Refer At

23
REFERAT PENTALAKSANAAN NYERI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Saraf di Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo Diajukan Kepada: dr. Aryono Hendrasto M.Si, Med, Sp.An Disusun Oleh: Arya Argamanda-20090310111 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA BAGIAN ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO

description

referat

Transcript of Refer At

Page 1: Refer At

REFERAT

PENTALAKSANAAN NYERI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan

Profesi Dokter Bagian Saraf di Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo

Diajukan Kepada:

dr. Aryono Hendrasto M.Si, Med, Sp.An

Disusun Oleh:

Arya Argamanda-20090310111

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS

MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA BAGIAN ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO

2014

Page 2: Refer At

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Referat dengan judul :

PENATALAKSANAAN NYERI

Tanggal: Oktober 2014

Tempat : RSUD Setjonegoro Wonosobo

Oleh:

Arya Argamanda

20090310111

Disahkan oleh:

Dokter Pembimbing

dr. Aryono Hendrasto, Msi, Med, Sp.An

Page 3: Refer At

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas

segala limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas dalam referat untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir program

pendidikan profesi di bagian anestesi dengan judul:

PENTALAKSANAAN NYERI

Penulisan referat ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena

itu maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Aryono Hendrasto, Msi, Med, Sp.An selaku dokter pembimbing dan

dokter spesialis anestesi RSUD Wonosobo.

2. dr. Totok,, Sp.An selaku dokter spesialis anestesi RSUD Wonosobo.

3. Perawat Instalasi Bedah Sentral dan perawat Anestesi RSUD Wonosobo

4. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah

membantu penulis dalam menyusun tugas ini.

Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih memiliki

banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan

penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah

pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Wonosobo, Oktober 2014

Arya Argamanda

Page 4: Refer At

DAFTAR ISI

REFERAT...............................................................................................................................1

PENTALAKSANAAN NYERI...............................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................2

KATA PENGANTAR.............................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................................6

PENDAHULUAN...................................................................................................................6

BAB II.....................................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................7

A. Pendahuluan.................................................................................................................7

B. Pendekatan Farmakologik............................................................................................8

C. Pendekatan Nonfarmakologik....................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................17

Page 5: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu

keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

Nyeri selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme

proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel

nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab

nyeri shingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh.

Penatalaksanaan terhadap nyeri hebat dan berkepanjangan pada hakikatnya

tidak hanya tertuju kepada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu,

melainkan bermaksud meningkatkan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat

kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.

Page 6: Refer At

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang jenis kelamin

dan usia. Penanganan nyeri tidak dapat disamakan pada masing-masing individu dan

kelompok umur karena penanganan nyeri yang baik memerlukan perhatian khusus

terhadap fisiologi, anatomi, dan karakteristik farmakologi. Pasien anak dan orang tua

mendapat perhatian khusus dalam penanganan nyeri karena persepsi nyeri, kognitif,

dan personaliti menyebabkan ambang nyeri keduanya sangat berbeda.

Nyeri yang bersifat akut adalah sensasi yang paling sering dialami oleh anak

dibandingkan nyeri kronik, yang dapat disebabkan trauma, adanya penyakit yang

diderita dan akibat tindakan medis lainnya.

Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri

Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus

memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan

nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama

2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan

5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Page 7: Refer At

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri

sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua

metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non

farmakologik.

B. Pendekatan Farmakologik

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic

Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu

terdiri dari :

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non

opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan

obat opioid lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah

ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk

nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat

pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-

Page 8: Refer At

masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas

analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk

bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.

Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.

Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan

antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau

koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus

digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara

terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses

transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.

1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan

sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen

(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek

antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang

sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).

OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit

meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera

melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.

Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan

produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin,

untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu

mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin.

Page 9: Refer At

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau

toleransi fisik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan pemberian OAINS

adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan

kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan

berkurangnya fungsi ginjal.

2. Analgesik opioid

Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan

dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan

dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah

suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan opium poppy yang telah

dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek

analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas

digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk

menilai obat analgesik lain.

Gambar 1. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Page 10: Refer At

Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan

efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas

sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG,

substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin

menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan

opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis

(meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus

modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem

desenden yang menghambat nyeri.

Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip

termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,

semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan

(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi

untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut

diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat

toleransi silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah

komplete. Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.

Opiod Half-

life

Durasi (jam) Dosis oral

equianalgesic

Dosis inisial

(mg)

Dosis

interval;

(jam)

Kodein 3 3-4 80 30-60 4

Hidromorfon 2-3 2-3 2 2-4 4

Hidrokodon 1-3 3-6 10 5-7.5 4-6

Oksikodon 2-3 3-6 7 5-10 6

Metadon 15-30 4-6 10-20 20 6-8

Morfin 2-3.5 3-4 10 10-30 3-4

Propoksipen 6-12 3-6 43-45 100 6

Tramadol 6-7 3-6 40 50 4-6

Tabel 1. Farmakodinamik dan dosis opiod oral.

Page 11: Refer At

Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan menjadi

3 kelompok:

1) Alkaloid opium (natural): morfin dan kodein

2) Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,

hidrokodon, oksikodon.

3) Derivate sintetik:

a. Fenilpiperidin: petidin, fentanyl, sulfentanil, alfentanil

b. Benzmorfans: pentazosin, fenazosin, siklazosin

c. Morfinans: lavorvanol

d. Propionanilides: metadon

e. Tramadol

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan

mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu

antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.

Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang

paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.

Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin

(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang

bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus

obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan

tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang

tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis

opioid murni.

Page 12: Refer At

4. Adjuvan atau koanalgesik

Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan

untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki

sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan

nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri

neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap opioid.

Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti

efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf.

Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini

menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf.

Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah

analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain

yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia

pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan

artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya

memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan.

Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah

hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan

efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam

(valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan

nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk

mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau

metastasis tulang pada pasien kanker.

Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa

(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal

bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik

Page 13: Refer At

apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik

simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1,

prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan

oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan

potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

C. Pendekatan Nonfarmakologik

Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien

dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak

terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode

nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk

mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas

fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna

walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam

penatalaksanaan nyeri.

1. Terapi dan Modalitas Fisik

Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi

kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas

atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif

yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter

kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan

bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan

neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.

Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah

pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan

stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan

melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung

Page 14: Refer At

memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang

penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.

2. Strategi kognitif-perilaku

Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien

terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang

lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup

relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun

sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau

pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.

Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan

bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan.

Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress

emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling

memperkuat.

Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan

perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,

membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.

Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan

fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan

pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian

menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana

memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada

kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan

yang paling konstruktif.

Page 15: Refer At

Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan

untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada

pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk

suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan

gelombang otak.

Page 16: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia.

5thed. Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97. 

2. Miller RD. Anesthesia 7th ed. Churchill Livingstone Philadelphia. 2009 

3. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: Penatalaksanaan nyeri pasca bedah.

Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.2002

4. Kaswiyan U. Manajemen nyeri perioperatif . Bagian Anestesiologi danReanimasi.

Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000.

5. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed.Pennsylvania:

W.B.saunders company; 1997: 375-393

6. Gofir Abdul, Winifred Karema, Runtuwene Theresia, Kembuan Mieke, Khosama

Herlyani, Mawuntu Arthur. 2011. Neurology update Makalah Ilmiah. Yogyakarta:

Pustaka Cendikia Press

7. PERDOSSI. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia (PERDOSSI), 2007

8. Lyon Lee. Pain management in anaesthesia. Oklahoma State University -Center for

Veterinary Health. 2006 

9. Heitz U, Horne MM. Management of pain perioperatif and postoperatif. 5th

ed.Missouri:Elsevier-mosby; 2005.