Refer At

13
EPIDEMIOLOGI Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat (1 dari 5 orang dewasa mengalami gejala sekali dalam seminggu serta 40% gejala tersebut sekali dalam sebulan). Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi GERD dari 5,7 % pada tahun 1997 menjadi 25,18 % pada tahun 2002 dan didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia. (Waleleng, 2013)

description

pink

Transcript of Refer At

EPIDEMIOLOGI Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat (1 dari 5 orang dewasa mengalami gejala sekali dalam seminggu serta 40% gejala tersebut sekali dalam sebulan). Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi GERD dari 5,7 % pada tahun 1997 menjadi 25,18 % pada tahun 2002 dan didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia. (Waleleng, 2013)

Gambar 2.1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.

PENATALAKSANAAN Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Tujuan terapi GERD adalah menghilangkan gejala, menyembuhkan esofagitis (jika terjadi) dan untuk mencegah terjadinya komplikasI. (Sudoyo, 2007)Sasaran terapinya adalah asam lambung, lapisan mukosa lambung. Strategi terapinya dengan menurunkan sekresi asam di lambung, mengurangi keasaman pada lambung, melapisi mukosa lambung, menaikkan pH dan mengurangi terjadinya reflux, mempercepat pengosongan lambung, memperkuat LES, faktor barier antirefluks terpenting. (Sudoyo, 2007)Terapi untuk GERD dapat dibedakan menjadi terapi tanpa nonfarmakologi atau modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis atau medikamentosa, terapi bedah,terapi endoskopik. (Sudoyo, 2007)Berikut ini merupakan terapi non farmakologi : (Sudoyo, 2007) Modifikasi Gaya Hidup Mengurangi berat badan pada pasien yang kegemukan menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen. Meninggikan posisi kepala saat tidur menghindari makan sebelum tidur, dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol, karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan, karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung. Menghindari makanan seperti coklat, pepermint, teh, kopi, dan minuman bersoda, karena dapat menstimulasi sekresi asam. Menghindari konsumsi obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis beta adrenergik, progesteron.Tatalaksana GERD dengan 2 pendekatan yaitu step up dan step down, 1. Metode step up menggunakan obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan terapi lebih lama (penghambat pompa proton/ PPI ).2. Metode step down pengobatan dimulai dengan PPI dan apabila berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.

Gambar 2.7 Strategi pengobatan GERD

Berikut ini adalah obat yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa : Antasid Golongan obat ini cukup efektif dan aman, dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah tapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis Antagonis reseptor H2 Sebagai penekan sekresi asam, golongan ini efektif dalam pengobatan GERD jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus, golongan ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. (1) Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg (2) Ranitidin : 4 x 150 mg (3) Famotidin : 2 x 20 mg (4) Nizatidin : 2 x 150 mg Obat-obat prokinetik : (1) Metoklopramid : 3 x 10 mg (2) Domperidon : 3 x 10-20 mg (3) Cisapride : 3 x 10 mg Sukralfat ( aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat )Obat ini tidak punya efek langsung terhadap asam lambung, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu, cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal Dosis 4x1 gram. Penghambat pompa proton / PPI Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. - Omeprazole : 2 x 20 mg. - Lansoprazole : 2 x 30 mg. - Pantoprazole : 2 x 40 mg. - Rabeprazole : 2 x 10 mg. - Esomeprazole : 2 x 40 mg.

Table 2 : Efektifitas terapi obat-obatanGolongan obatMengurangi gejalaPenyembuhan lesi esofafitisMencegah komplikasiMencegah kekambuhan

Antasid+1000

Prokinetik+2+10+1

Antagonis reseptor H2+2+2+1+1

Antagois reseptor H2 + prokinetik+3+3+1+1

Antagonis reseptor H2 dosis tinggi+3+3+2+2

Penghambat pompa proton+4+4+3+4

Pembedahan+4+4+3+4

Berikut ini merupakan terapi bedah: Pembedahan antirefluks, yaitu fundus lambung dibungkus mengelilingi esofagus (fundoplikasi), meningkatkan tekanan sfingter bagian bawah dan sebaiknya dipertimbangkan pada kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak secara penuh responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan dan gagal. Juga diindikasikan apabila terjadi striktur yang berulang.

Gambar 5: nissen fundoplication Berikut ini merupakan terapi endoskopi : Penggunaan energi radiofrekwensi Plikasi gastrik endoluminal Implantasi endoskopik, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagus bagian menjadi lebih kecil Indikasi terapi endoskopi pada GERDPenderita GERD yang tidak memerlukan terapi pembedahan yang mengalami keadaan : Peristaltik yang buruk dengan refluks yang banyak Pasien muda yang gagal dengan terapi medikamentosa Volume refluxate PROGNOSISPrognosis GERD sangat baik, sekitar 80-90% yang terkena dapat sembuh dengan bantuan terapi farmakologi, tetapi tidak terlalu jelas berapa lama untuk sembuh. (Gleadel, 2007)

PEMERIKSAAN PENUNJANG Endoskopi saluran cerna bagian atasMerupakan standart baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus, jika tidak ditemukan keadaan ini disebut sebagai non erosive refluks disease (NERD). Pada kebanyakan kasus hasil pemeriksaan ini normal, atau bisa tampak esofagitis / eppitellium barret, yang merupakan suatu keadaan praganas dan predisposisi adenokarsinoma di sepertiga bawah esofagus. Biopsi diperlukan untuk memastikan diagnosis, menyingkirkan etiologi radang lainnya seperti kandidiasis atau virus (herper simpleks, Cytomegalo virus), selanjutnya endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopik). (Sudoyo 2007)

Tabel 1. Klasifikasi Los AngelesDerajat KerusakanGambaran Endoskopi

AErosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 mm

BErosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan

CLesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

DLesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Pemeriksaan radiologiPada pemeriksaan ini diberikan kontras barium, diamati secara fluoroskopi jalannya barium dalam esofagus, peristaltik terutama bagian distal, bila ditemukan refluks barium dari lambung kembali ke esofagus maka hal itu dinyatakan sebagai GERD. Sering tidak menunjukkan kelainan pada kasus esofagitis ringan. Namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada : (Sudoyo 2007)1. Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia2. Hiatus hernia Pemantauan PH 24 jam Pengukuran PH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. PH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. (Sudoyo 2007) Tes Provokatif - Tes Bernstein Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transanal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Bila larutan ini menimbulkan nyeri dada seperti yang biasa dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. (Sudoyo 2007)- Tes farmakologik/edrofonium Menggunakan obat edrophorium yang disuntikkan IV untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometri untuk memastikan nyeri dada berasal dari esofagus. (Sudoyo 2007) Manometri esofagusTes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata. (Sudoyo 2007)

American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)

a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)

b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap (baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)

d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)

FAKTOR RESIKO

Faktor resiko GERD adalah kondisi fisiologis/penyakit tertentu seperti tukak lambung, hiatal herna, obesitas, kanker, asma, alerfi terhadap makanan tertentu, dan luka pada dada (chest trauma). Sebagai contoh, pada pasien tukak lambung gterjadi peningkatan jumlah asam lambung maka semakin besar kemungkinan asam lambung untuk mengiritasi mukosa esofagus dan LES (Lower Esophageal Sphyncter). (Sujono, 2010)Terjadinya aliran balik/ refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah . Pada bagian ujung ini terdapat otot pengatur ( sfingter ) disebut LES , yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas kebawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan/ asam lambung, dari bawah keatas ataupun sebaliknya. (Sujono, 2010)Faktor yang mempengaruhi LES:Menaikkan tekananMenurunkan tekanan

HormonGastrinMotilinSubstance PSecretinColesistokininSomastotatinGlukagonPolipeptidaProgesteron

MakananProteinLemakCoklatPepermint

Lain-lainHistaminAntasidaMeticlopramidDomperidoneCisaprideKafeinRokokKehamilan ProstaglandinMorpin

DAPUS1. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;20072. Gleadle Jonathan, Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik, Penerbit Erlangga. 20073. Waleleng BJ, Simadibrata MK, Syam AF, The Pathophysiology of Gastro-esofageal reflux disease Diunduh dari : www.ina-ghic.or.id pada tanggal 15- Oktober- 2013 4. Hadi, Sujono, Gastroenterologi, ed VII. Bandung: Penerbit PT Alumni. h 113;2010