Refer At

15
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Diperkirakan sekitar 529.000 ibu meninggal setiap tahun (WHO, 2005). Diantara penyebab kematian tersebut salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan yang merupakan suatu kondisi yang membahayakan, tetap menjadi penyebab utama mortalitas maternal di seluruh dunia (Pahlavan et al, 2001). Mayoritas mortalitas ini berasal dari Asia (48%) dan Africa (47,5%) (Ramanathan & Arulkumaran, 2006). Di Indonesia penyebab utama dari mortalitas maternal >90% adalah trias klasik yaitu perdarahan (40-60%), hipertensi (20-30%) dan infeksi (20-30%) (Jekti & Suarthana, 2011) Perdarahan pascapersalinan yang banyak dapat menyebabkan koagulopati, iskemia pituitary, insufisiensi kardiovaskular, dan kegagalan organ multiple. Perdarahan post-partum juga meningkatkan kebutuhan transfusi darah, perawatan secara intensif, histerektomi (Devine, 2009). Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang massif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu terbanyak. Perdarahan pascapersalinan bila tidak mendapatkan penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu (Prawirohardjo, 2009). Definisi perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang melebihi 500 mL setelah bayi lahir. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, maka akan menyebabkan perubahan keadaan umum dan tanda vital seperti kesadaran menurun, pucat, keringat dingin, tensi <90 mmHg dan nadi >100 x/ menit, maka penanganan harus segera dilakukan. Sebagai patokan, setelah persalinan selesai maka keadaan disebut “aman” bila kesadaran dan tanda vital ibu baik, kontraksi uterus baik, dan tidak ada perdarahan aktif/ merembes dari vagina (Prawirohardjo, 2009)

description

ea

Transcript of Refer At

12

BAB IPENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Diperkirakan sekitar 529.000 ibu meninggal setiap tahun (WHO, 2005). Diantara penyebab kematian tersebut salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan yang merupakan suatu kondisi yang membahayakan, tetap menjadi penyebab utama mortalitas maternal di seluruh dunia (Pahlavan et al, 2001). Mayoritas mortalitas ini berasal dari Asia (48%) dan Africa (47,5%) (Ramanathan & Arulkumaran, 2006). Di Indonesia penyebab utama dari mortalitas maternal >90% adalah trias klasik yaitu perdarahan (40-60%), hipertensi (20-30%) dan infeksi (20-30%) (Jekti & Suarthana, 2011)

Perdarahan pascapersalinan yang banyak dapat menyebabkan koagulopati, iskemia pituitary, insufisiensi kardiovaskular, dan kegagalan organ multiple. Perdarahan post-partum juga meningkatkan kebutuhan transfusi darah, perawatan secara intensif, histerektomi (Devine, 2009).Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang massif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu terbanyak. Perdarahan pascapersalinan bila tidak mendapatkan penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu (Prawirohardjo, 2009).Definisi perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang melebihi 500 mL setelah bayi lahir. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, maka akan menyebabkan perubahan keadaan umum dan tanda vital seperti kesadaran menurun, pucat, keringat dingin, tensi 100 x/ menit, maka penanganan harus segera dilakukan. Sebagai patokan, setelah persalinan selesai maka keadaan disebut aman bila kesadaran dan tanda vital ibu baik, kontraksi uterus baik, dan tidak ada perdarahan aktif/ merembes dari vagina (Prawirohardjo, 2009)

Perdarahan pascapersalinan bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari penyebab nya. Seperti perdarahan pascapersalinan karena atonia uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta, atau karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan pada perdarahan pascapersalinan bisa banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi sedikit tanpa henti (Prawirohardjo, 2009)

Dengan berbagai kemajuan pelayanan obstetri di berbagai tempat di indonesia, maka telah terjadi pergeseran kausal kematian ibu bersalin dengan perdarahan dan infeksi yang semakin berkurang tetapi kewaspadaan tetap harus ada (Prawirohardjo, 2009).

Salah satu penyebab dari perdarahan pascapersalinan adalah atonia uteri yang dapat mencapai 90% dari penyebab perdarahan pascapersalinan tersebut (Bateman et al., 2010) oleh karena itu penulis akan membahas perdarahan pascapersalinan terhadap mortalitas dan morbiditas ibu khusus nya akibat atonia uteri.I.2. TUJUAN

I.2.1. Tujuan Umum

Meningkatkan pengetahuan dalam pencegahan, penemuan dini, pengobatan, dan perawatan perdarahan pascapersalinan dengan tepat, cepat, dan baik.

I.2.2. Tujuan Khusus

a) Meningkatkan pengetahuan dalam perdarahan pascapersalinanb) Meningkatnya kewaspadaan terhadap mortalitas dan morbiditas akibat perdarahan pascapersalinanc) Membaiknya pencegahan, pengobatan, dan perawatan perdarahan pascapersalinand) Menurun nya angka perdarahan pascapersalinan

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1. DefinisiII.1.1. Perdarahan PascapersalinanPerdarahan pascapersalinan didefinisikan sebagai kehlangan darah 500 mL atau lebih dari jalan lahir dalam 24 jam dari kelahiran. Perdarahan pascapersalinan masif didefinisikan kehilangan darah 1000 mL atau lebih (Carroli et al., 2008)

Kemampuan seorang wanita terhadap kompensasi tergantung status kesehatan dan beratnya perdarahan. Kebanyakan wanita yang sehat dapat mentoleransi kehilangan darah hingga 1500 mL akibat peningkatan volume vaskular selama kehamilan (Bonnar, 2000)II.1.2. Atonia Uteri

Atonia uteri didefinisikan sebagai gagal nya miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan (Cunningham et al., 2005). Kontraksi yang efektif dan kuat sangat penting untuk mencegah perdarahan. Atonia uteri secara kontras menyebabkan uterus menjadi lembek dengan menyebabkan perdarahan dari jalan lahir. Pengenalan dini yang diikuti dengan pemijatan uterus dan pemberian obat uterotonika sering menghentikan perdarahan.

II.2. Faktor Risiko Atonia Uteri

Kehamilan ganda, Polihidramnion, dan makrosomia menyebabkan distensi uterus berlebihan, odd ratio untuk berkembang menjadi perdarahan pascapersalinan dari makrosomia dan kehamilan ganda adalah 1,8 (95% CI 1,4 2,3) dan 2,2 (95% CI 1,5 2,3) secara beruturut- turut (Magann et al., 2005). Pada kehamilan ganda dengan disertai sindrom twin-twin transfusion odd ratio meningkat menjadi 5,1 (95% CI 1,5 15,7) (Magann et al., 2005)

Sedangkan menurut penelitian Carolli tidak menemukan hubungan apapun antara kehamilan ganda dengan kejadian atonia uteri (Carolli et al., 2008)

Faktor intrapartum seperti induksi persalinan, persalinan lama, paparan oksitosin, dan kelainan kala 3 juga berhubungan dengan atonia uteri. Induksi persalinan menyebabkan atonia uteri dengan odd ratio 1,5 (95% CI 1,2 -1,7) (Magann et al., 2005) dan menjadi penyebab 17% atonia uteri yang membutuhkan transfusi.Penggunaan oksitosin berkepanjangan pada persalinan berkontribusi terhadap atonia uteri. Grotegut et al telah menunjukkan bahwa perdarahan pascapersalinan masif karena atonia uteri lebih tinggi secara signifikan pada wanita yang terpapar oksitosin (Grotegut et al., 2011). Penulis berpendapat bahwa penggunaan oksitosin yang panjang menyebabkan desensitisasi dari reseptor oksitosin yang akhirnya menyebabkan atonia uteri.Fibrosis atau kelainan jaringan ikat mungkin memperburuk kontraksi dari miometrium, sehingga menyebabkan atonia uteri (Qidwai et al., 2006). Meskipun demikian atonia uteri dapat terjadi pada wanita manapun dengan tanpa terlihat faktor risiko. Sehingga penilaian awal diperlukan dan penanganan cepat juga sangat penting.

Kontraksi uterus yang lemah dapat juga akibat kelelahan karena persalinan yang lama atau persalinan yang terlalu cepat. Dapat juga akibat obat seperti NSAID, MgSO4, dan nifedipine. Penyebab lain juga karena hipoksia plasenta (Smith, 2012)II.3. Epidemiologi

Diperkirakan sekitar 529.000 ibu meninggal setiap tahun (WHO, 2005). Diantara penyebab kematian tersebut salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan yang merupakan suatu kondisi yang membahayakan, tetap menjadi penyebab utama mortalitas maternal di seluruh dunia (Pahlavan et al, 2001). Mayoritas mortalitas ini berasal dari Asia (48%) dan Africa (47,5%) (Ramanathan & Arulkumaran, 2006). Di Indonesia penyebab utama dari mortalitas maternal >90% adalah trias klasik yaitu perdarahan (40-60%), hipertensi (20-30%) dan infeksi (20-30%) (Jekti & Suarthana, 2011)

Jumlah perdarahan pascapersalinan berhubungan dengan kala III persalinan, berdasarkan penellitian mengindikasikan bahwa prevalensi perdarahan pascapersalinan >500 mL kurang lebih 5% ketika diberikan managemen aktif dibanding yang tidak sebesar 13%. Sedangkan prevalensi perdarahan pascapersalinan >1000 mL kurang lebih 1% ketika diiberi managemen aktif dibanding yang tidak sebesar 3% (Smith, 2012)II.4. Patofisiologi

Selama kehamilan, volume darah maternal meningkat sekitar 50% dari ( 4 L hingga 6 L ) volume plasma meningkat lebih dari sel darah merah, menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Peningkatan volume darah ini untuk memberikan perfusi yang adekuat untuk plasenta dan menyediakan cadangan darah untuk darah yang hilang selama persalinan (Smith, 2012)Saat aterm perkiraan aliran darah ke uterus sekitar 500 800 mL / menit, sehingga aliran ini sebanyak 10 15% dari curah jantung. Pembuluh darah di uterus yang mensupplai plasenta melintasi serabut serabut otot myometrium. Sehingga ketika uterus berkontraksi maka pembuluh darah akan terjepit dan aliran darah akan tersumbat. (Smith, 2012)

Atonia uteri adalah kegagalan myometrium untuk berkontraksi, keadaan ini penyebab paling banyak dari perdarahan pascapersalinan dan biasanya terjadi secara cepat setelah kelahiran bayi, sekitar hingga 4 jam setelah kelahiran. (Smith, 2012)

II.5. Gejala Klinis Gejala tersering dari perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan vagina yang hebat yang secara cepat menyebabkan tanda dan gejala syok hipovolemik. Kehilangan darah biasanya terlihat melalui introitus vagina dan biasanya merupakan pertanda penting perdarahan pascapersalinan setelah plasenta terlepas. Karena jika plasenta masih terdapat di dalam uterus maka darah masih dapat tertahan dibelakang plasenta atau perdarahan akibat retensio plasenta (Smith, 2012)

(Smith, 2012)

Penilaian cepat dan diagnosis dari perdarahan pascapersalinan sangat penting untuk penanganan yang sukses.

II.6. Diagnosis

Perdarahan pascapersalinan bermanifestasi dengan cepat, prosedur diagnosis hampir terbatas pada pemeriksaan fisik :a. Penilaian tonus uterus dengan menggunakan tangan diletakkan di fundus dan palpasi dinding anterior dari uterus. Uterus yang lembek dan banyak nya darah yang mengalir dari jalan lahir dapat dicurigai sebagai atonia uteri.

b. Jika plasenta sudah dilahirkan, lakukan pemeriksaan kembali apakah masih ada sisa plasenta di dalam uterus. Jika masih terdapat sisa plasenta akan meregangkan uterus dan akan menyebabkan perdarahan

c. Periksa juga apakah terdapat luka pada vagina atau serviks dan juga lakukan pemeriksaan apakah terdapat tanda tanda trauma.

II.7. PenatalaksanaanPada atonia uteri uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan. Maka tindakan yang dilakukan :II.7.1. Terapi Non Farmakologi

1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri

2. Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai kebutuhanTerapi pengganti intravena merupakan terapi baris pertama untuk hipovolemia. Pengobatan awal dengan cairan ini dapat menolong nyawa seorang dan dapat memberikan waktu untuk mengendalikan perdarahan dan mendapatkan darah untuk transfusi jika dibutuhkan. Untuk mengganti cairan yang hilang, infus NaCl atau ringer laktat cukup efektif misalnya pada syok perdarahan atau kehilangan cairan pada pembedahan :

a. Cairan kristalloid seperti NaCl atau ringer laktat : diperlukan volume cairan kristalloid sekurangnya 3 kali volume yang hilang untuk mempertahankan volume inravaskular

b. Cairan Koloid seperti dekstran atau hydroxyethil starch : diberikan dengan volume sesuai dengan jumlah darah yang hilang. Larutan koloid terdiri dari suspensi partikel partikel yang lebih besar dibandingkan cairan kristalloid. Koloid cendrung untuk bertahan dalam darah dan akan menyerupai protein plasma untuk menjaga atau meningkatkan tekanan onkotik koloid darah.3. Lakukan pemijatan uterus

Pemijatan uterus dilakukan pada fundus uteri, dihipotesiskan bahwa pemijatan pada uterus akan mengeluarkan prostaglandin lokal yang membuat uterus berkontraksi dan mengurangi perdarahan.

4. Kompresi aorta

Kompresi aorta dapat membantu mengkontrol jumlah kehilangan darah dengan mengurangi aliran darah pada percabangan distal termasuk arteri uterina. Kompresi aorta dicapai melalui tekanan pada permukaan abdomen di atas uterus sedikit ke arah kiri.

Tidak adanya denyut arteri femoralis menunjukkan kompresi aorta yang benar, penting untuk melepaskan kompresi setiap 30 menit untuk mengalirkan darah ke ekstremitas bawah. Kompresi aorta adalah tindakan sederhana yang dapat digunakan sementara mempersiapkan terapi lanjutan atau selama pengiriman pasien ke rumah sakit yang lebih besar

5. Kompresi bimanual

Kompresi bimanual dilakukan dengan memasukkan tangan kanan ke dalam vagina pada permukaan anterior dari uterus. Dan tangan kiri di atas perut pada fundus di permukaan posterior dari uterus.

Uterus dikompresi diantara dua tangan untuk meminimalisasi perdarahan, tekhnik ini dapat digunakan sebagai tindakan sementara untuk mempersiapkan terapi lanjutan.

II.7.2. Terapi Farmakologia. Oksitosin

Oksitosin adalah terapi lini pertama untuk atonia uteri, oksitosin bekerja dengan menstimulasi kontraksi uterus secara ritmik. Dapat diberikan secara IM atau IV. Mula kerja nya lebih lama jika diberikan secara IM sekitar 3-7 menit.

Kebanyakan tempat memberi oksitosin 20 IU dalam 500 ml cairan kristalloid (Breathnach & Geary, 2009). Efek samping dari oksitosin berhubungan dengan sifat anti diuretik nya yang menyebabkan intoksikasi air seperti sakit kepala, muntah, mengantuk dan kejang (Breathnach & Geary, 2009)b. ErgometrinSeperti oksitosin, ergometrin juga menyebabkan kontraksi miometrium. Karena ergometrin juga bekerja pada otot polos pembuluh darah, maka ergometrin tidak cocok diberi pada pasien hipertensi, migraine, penyakit jantung, dan penyakit vaskular perifer.

Ini diberikan 0,25 mg IM atau IV dengan efek cepat dalam 2-5 menit yang dapat bertahan selama 3 jam. Ergometrin dimetabolisme di hepar dan mempunyai waktu paruh plasma 30 menit. Pengulangan dosis ergometrin dapat dilakukan setelah 5 menit jika uterus tidak berkontraksi dengan baik. Mual, muntah dan pusing adalah efek samping yang sering dilaporkan (Breathnach & Geary, 2009)

Syntometrine terdiri dari 5 IU Oksitosin dan 0,5 mg ergometrine dalam preparat tunggal, preparat ini menyediakan onset cepat dari kontraksi uterus karena merupakan gabungan dari oksitosin dan ergometrine (Rajan & Wing, 2010)c. MisoprostolMisoprostol adalah analog sintetis dari prostaglandin E1 yang mempunyai aktifitas uterotonika (Hofmeyr & Gulmezoglu, 2008). Misoprstol adalah obat uterotonika yang efektif dan murah yang dapat diberikan melalui oral, sublingual, vaginal atau rektal. Mula kerja obat lebih lambat jika diberikan lewat rektal dengan efek samping yang lebih, efek samping dapat berupa diare, menggigil dan demam (Breathnach & Geary, 2009)Jenis Uterotonika dan Cara pemberian nya

JENIS DAN CARAOKSITOSINERGOMETRINMISOPROSTOL

Dosis dan cara pemberian awalIV : Infus 20 unit dalam 1 liter larutan garam fisiologis dengan 60 tpmIM : 10 unitI.M atau I.V (secara perlahan ) 0,2 mgOral 600 mcg atau rektal 400 mcg

Dosis lanjutanIV : Infus 20 unit dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan 40 tpmUlangi 0,2 mg I.M setelah 15 menit. Jika masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam400 mcg 2-4 jam setelah dosis awal

Dosis maksimal perhariTidak lebih dari 3 liter larutan dengan oksitosinTotal 1 mg atau 5 dosisTotal 1200 mcg atau 3 dosis

Kontra indikasi atau hati hatiTidak boleh memberi I.V. secara cepat atau bolusPre eklampsia, sakit jantung, dan hipertensiNyeri kontraksi dan asthma

II.7.3. HisterektomiHisterektomi untuk perdarahan pascapersalinan adalah keputusan yang sulit tetapi merupakan prosedur penyelamatan jiwa. Meskipun ini adalah usaha terakhir tetapi pertimbangan terhadap tindakan ini dapat dipilih ketika masalah fertilitas sudah terpenuhi Histerektomi dapat dilakukan sebagai histerektomi total atau subtotal. Histerektomi total menurunkan risiko dari keganasan serviks di kemudian hari tetapi membutuhkan operasi yang lebih lama dan mempunyai angka cedera saluran kemih yang tinggi. Sedangkan histerektomi subtotal lebih cepat dan aman BAB III

PENUTUPIII.1. KESIMPULAN

1. Perdarahan pascapersalinan merupakan tiga besar penyebab mortalitas dan morbiditas maternal selain infeksi dan hipertensi dalam kehamilan

2. Perdarahan pascapersalinan didefinisikan sebagai kehlangan darah 500 mL atau lebih dari jalan lahir dalam 24 jam dari kelahiran. Perdarahan pascapersalinan masif didefinisikan kehilangan darah 1000 mL atau lebih3. Perdarahan pasca persalinan dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu trombin, tissue, trauma, dan tonus. 4. Sebesar 90% penyebab perdarahan pascapersalinan adalah faktor tonus yaitu atonia uteri5. Sehingga memahami dan mengenali tanda tanda dari perdarahan pasca persalinan khususnya atonia uteri diharapkan akan menurunkan mortalitas dan morbiditas maternalIII.2. SARAN1. Mengingat perdarahan pascapersalinan adalah suatu keadaan yang tidak bisa diprediksi maka setiap institusi kesehatan harus waspada dan menyediakan fasilitas yang memadai untuk menghadapi perdarahan pascapersalinan ini.2. Mengingat perdarahan pascapersalinan termasuk 3 besar penyebab morbiditas dan mortalitas maka pengenalan dan pengawasan yang tepat akan menurunkan morbiditas dan mortalitas

DAFTAR PUSTAKA

Bonnar, J. (2000). Massive obstetric haemorrhage, Bailliere's best practice & research.Clinical obstetrics & gynaecology, Vol. 14, No. 1, pp. 1-18.Breathnach, F. & Geary, M. (2006). Standard Medical Therapy in A Textbook of Postpartum

Hemorrhage, eds. C. B-Lynch, L.G. Keith, A.B. Lalonde & M. Karoshi, Sapiens

Publishing, United Kingdom, pp. 256.

Carroli, G.; Cuesta, C.; Abalos, E. & Gulmezoglu, A.M. (2008). Epidemiology of postpartum haemorrhage: a systematic review, Best practice & research.Clinical obstetrics & gynaecology, Vol. 22, No. 6, pp. 999-1012.Cunningham, F.G.; Leveno, K.J.; Bloom, S.L.; Hauth, J.C.; Gilstrap, L. & Wenstrom, K.D.

(2005). Williams Obstetrics, 22nd edn, MacGraw-Hill, USA.Grotegut, C.A.; Paglia, M.J.; Johnson, L.N.; Thames, B. & James, A.H. (2011). Oxytocin

exposure during labor among women with postpartum hemorrhage secondary to

uterine atony, American Journal of Obstetrics and Gynecology, Vol. 204, No. 1, pp.

56.e1-56.e6.

Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. (2008) Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : FKUI

Longo, D.L., kasper, D.L., Jameson, J.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L. & Loscalzo, J. (2011) Harrisons principle of internal medicine. 18th ed. New york : McGraw-Hill.Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., Setiowulan, W. (2007) Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Putz, R. & Pabst, R. (2006) Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Ed 22. Jakarta : EGCSaifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., & Winkjosastro, G.H. (2009) Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, A.B., Winkjosastro, G.H., Affandi, B., & Waspodo, D. (2006) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono PrawirohardjoSherwood, L (2007) Human Physiology from Cells to systems , 7th Ed. Belmont, USA : Brooks / COLESmith, J.R. (2012) Postpartum Hemorrhage. [Internet] Available from : [Accessed 6 October 2013]