Refer At

43
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih setia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Endothelial Dystrophy”. Referat ini kami susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSU UKI. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Jannes Fritz Tan, Sp.M yang telah membimbing dan membantu kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka. Akhir kata kami berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui tentang “Endothelial Dystrophy”. Jakarta, Mei 2011 Penyusun 1

Transcript of Refer At

Page 1: Refer At

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih

setia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Endothelial

Dystrophy”. Referat ini kami susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu

Penyakit Mata RSU UKI.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Jannes Fritz Tan, Sp.M yang telah

membimbing dan membantu kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun

referat ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.

Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka.

Akhir kata kami berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua

pihak yang ingin mengetahui tentang “Endothelial Dystrophy”.

Jakarta, Mei 2011

Penyusun

1

Page 2: Refer At

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

Daftar isi 2

Bab I Pendahuluan 4

Bab II Anatomi Kornea 5

Bab III Fuchs Endothelial Corneal Dystrophy

III.A. Definisi 7

III.B. Epidemiologi dan Pola Pewarisan 7

III.C. Patologi 8

III.D. Gejala Klinis 8

III.E. Patofisiologi dan Genetik 9

III.F. Diagnosis Banding 11

III.G. Penatalaksanaan 11

Bab IVPosterior Polymorphous Corneal Dystrophy

IV.A. Definisi 15

IV.B. Gejala Klinis 15

IV.C. Patofisiologi dan Genetik 15

IV.D. Penatalaksanaan 16

Bab V Congenital Hereditary Endothelial Dystrophy

V.A. Definisi 17

V.B. Patologi 17

V.C. Patofisiologi dan Genetik 18

V.D. Penatalaksanaan dan Prognosis 18

V.E. Sindrom Harboyan

V.E.1. Epidemiologi 18

V.E.2. Deskripsi Klinis 19

V.E.3. Etiologi 19

V.E.4. Patofisiologi 20

V.E.5. Metode Diagnostik 21

V.E.6. Pemeriksaan Oftalmologi 21

V.E.7. Audiometri 22

V.E.8. Diagnosis Banding 22

2

Page 3: Refer At

V.E.9. Konseling Genetik 23

V.E.10.Penatalaksanaan 24

V.E.11.Prognosis 24

Bab VIKesimpulan 25

Daftar Singkatan 26

Daftar Pustaka 27

3

Page 4: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Distrofi kornea merupakan sekelompok kelainan kornea bawaan jarang yang belum

diketahui penyebabnya, dan ditandai dengan deposisi materi-materi abnormal bilateral dan

disertai perubahan arsitektur normal kornea yang tidak atau dapat mengganggu penglihatan.

Distrofi kornea ini umumnya mulai tampak dalam decade pertama atau kedua, kadang-

kadang pada usia yang lebih tua. Sifatnya menetap atau progresif lambat seumur hidup.

Transplantasi kornea, bila diindikasikan, memperbaiki penglihatan pada kebanyakan pasien

distrofi kornea herediter.

Distrofi kornea dikelompokan berdasarkan lapisan kornea yang mengalami kelainan,

yaitu distrofi epitel dan subepitel, distrofi membrane Bowman, distrofi stroma, serta yang

terakhir distrofi membrane Descemet dan endotel. Masing-masing kelompok berbeda secara

genetic maupun secara klinis. Hingga saat ini telah ditemukan 4 jenis distrofi endotel, yaitu

posterior polymorphous corneal dystrophy (PPCD), Fuchs endothelial corneal dystrophy

(FECD), congenital hereditary endothelial dystrophy (CHED), dan X-linked endothelial

corneal dystrophy (XECD). Keempatnya memiliki beberapa persamaan antara lain

dekompensasi kornea, perubahan morfologi sel endotel, dan sekresi lapisan kolagen abnormal

pada daerah posterior dari membrane Descemet. FECD merupakan kelainan distrofi endotel

yang paling sering dijumpai.

4

Page 5: Refer At

BAB II

ANATOMI KORNEA

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput

mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.

Kornea berbentuk elips dengan diameter 12 mm secara horizontal dan 11 mm secara vertical.

Ketebalannya berkisar 1 mm pada daerah limbus dan semakin berkurang ke tengah hingga

0,52 mm. Kornea merupakan permukaan refraksi yang paling penting pada mata, dengan

kekuatan 43 dioptri, dan banyak teknik bedah refraksi yang bergantung pada perubahan

kelengkungan permukaan kornea. Kornea tersusun atas 5 lapisan yaitu epitel, membrane

Bowman, stroma, membrane Descemet, dan endotel.

1. Epitel

Terdiri atas 5 lapis sel epitel skuamosa tidak bertanduk yang saling tumpang tindih,

berbentuk kolumnar pada daerah basal dan semakin mendatar embran permukaan

dengan tebal keseluruhan 50 pm. embrane basal Bering terjadi mitosis sel, dan sel

muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan

menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingya dan sel

embrane di depannya melalui desmosom dan embra okluden. Ikatan ini menghambat

pengaliran air, elektrolit, dan glukosa dan merupakan barrier.

2. Membran Bowman

Terletak di bawah embrane basal epitel komea, merupakan jaringan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini

tidak mempunyai daya regenerasi dan bila rusak akan membentuk jaringan ikat.

3. Stroma

Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan

lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sementara di bagian perifer

serat kolagen ini bercabang. Pembentukan kembali serat kolagen memakan waktu

lama, kadang-kadang sampai 15 bulan. Di antara lamella terdapat sel keratosit yang

bertanggung jawab untuk produksi serat kolagen dan substansi dasar yakni

mukopolisakarida dan glikosaminoglikan.

4. Membran Descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma komea. Lapisan

ini bersifat sangat elastic dan tahan terhadap trauma dan infeksi.

5. Endotel

5

Page 6: Refer At

Berasal dari mesotelium, merupakan 1 lapis sel berbentuk heksagonal dengan besar

20-40 pm. Endotel melekat pada embrane descement melalui hemidesmosom dan

zonula okluden. Tidak seperti epitel, endotel tidak dapat beregenerasi. Jika terjadi

kerusakan sel endotel, sel lain yang tersisa akan menjadi datar untuk menutupi area

endotel yang rusak namun hal ini sangat menurunkan fungsi sel endotel.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus

dan saraf nasosiliar. Saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam

stroma kornea, menembus embrane Bowman dan melepaskan selubung Schwannya. Seluruh

lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbul Krause

untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di

daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.1

Kejernihan dari kornea dipengaruhi oleh susunan dan keadaan hidrasi dari serat

kolagen dalam stroma. Jika air masuk ke dalam serat kolagen maka akan terjadi pemisahan

antar sel sehingga mengurangi kejernihan kornea. Lapisan epitel dan endotel mencegah

masuknya cairan ke dalam stroma dengan bekerja sebagai penghalang. Sebagai tambahan,

endotel dapat mengeluarkan kelebihan air di jaringan kornea melalui proses transport aktif

(pompa endotel). Kornea mendapatkan asupan nutrisi dan oksigen dari air mata, humor

akuosus, dan kapiler-kapiler daerah limbus.

6

Page 7: Refer At

BAB III

FUCHS ENDOTHELIAL CORNEAL DYSTROPHY

III.A. Definisi

Fuchs Endothelial Corneal Dystrophy (FECD) merupakan kelainan endotel kornea

yang progresif, menyebabkan edema kornea dan kehilangan penglihatan. Stadium awal

penyakit FECD biasanya dimulai sejak dekade ke 5 sampai 7, dan ditandai dengan akumulasi

dari pertumbuhan jaringan lokal yang disebut gutata, dan penebalan membran Descemet.

Pada akhirnya akan terjadi kehilangan densitas dan fungsi sel endotel sebagai pompa kornea

yang menyebabkan edema kornea. Walaupun gutata kornea bukan merupakan tanda khas dari

FECD, perkembangan edema stroma semakin menegaskan kelainan ini.

III.B. Epidemiologi dan Pola Pewarisan

Angka kejadian FECD sulit diperkirakan dikarenakan onsetnya yang lambat dan

minimnya gejala pada stadium awal penyakit. Lebih lanjut, gutata ringan dapat muncul pada

individu normal dengan riwayat trauma mata, infeksi, glaukoma, dan penuaan. Pada

penelitian dari 2002 individu normal, Lorenzetti et al menemukan gutata yang menyebar pada

sekitar 0,18% dari mereka yang berusia 20-39 tahun, dan sekitar 3,9% pada mereka yang

berusia di atas 40 tahun. Di samping kurangnya estimasi angka kejadian, FECD tetap

merupakan salah 1 indikasi terbanyak dari transplantasi kornea, yakni sekitar 29% kasus.

FECD dapat menyebar secara sporadis maupun diturunkan. Pada kasus herediter,

FECD diwariskan secara autosomal dominan. Pada penelitian yang melibatkan 228 kerabat

dari 64 keluarga dengan FECD, Krachmer et al menemukan sekitar 38% dari keturunan

pertama dengan usia di atas 40 tahun terjangkit kondisi ini, menimbulkan dugaan adanya pola

pewarisan autosomal dominan yang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Pada beberapa

penelitian termasuk penelitian asli dari Fuchs, dilaporkan peningkatan prevalensi dan derajat

keparahan pada pasien wanita. Hal ini mungkin disebabkan oleh bias saat pengambilan

sampel atau adanya efek fisiologis dari hormon seks terhadap fungsi sel endotel kornea.

Angka kejadian FECD dilaporkan sama pada pasien kulit putih maupun kulit hitam, namun

lebih rendah pada orang Jepang. Gutata kornea sentral banyak dilaporkan terjadi pada orang

Jepang, namun jarang terjadi kehilangan penglihatan yang signifikan.

7

Page 8: Refer At

III.C. Patologi

Endotel kornea berasal dari krista neuron, merupakan 1 lapis sel yang memiliki

pompa ATP untuk mempertahankan hidrasi stroma kornea yang penting untuk kejernihan

kornea itu sendiri. Sel endotel tidak dapat berproliferasi dan beregenerasi, dan secara normal

berkurang 0,6% per tahun seiring bertambahnya usia. Kehilangan sel yang lebih besar dapat

terjadi pada keadaan trauma (bedah maupun non bedah) dan endoteliopati primer. Sel endotel

yang tersisa mengkompensasi kehilangan ini dengan berubah bentuk menjadi gepeng dan

membesar untuk mempertahankan kesinambungan lapisan. Sel endotel kornea pada stadium

lanjut FECD berkurang dalam jumlah besar dan menjadi sangat tipis jika dilihat melalui

mikroskop cahaya. Dengan pencitraan secara mikroskopi elektron, nampak degenerasi sel

endotel dengan vakuola besar serta pembengkakan organel dan membran yang terganggu.

Selain itu nampak dilatasi dari retikulum endoplasma yang terisi materi granular disertai

peningkatan filamen sitoplasma dan ribosom yang mengarah ke perubahan menjadi sel

fibroblastik.

Sel endotel kornea normal memproduksi membran Descemet, dimulai sejak dari

kandungan dan berlanjut terus selama kehidupan. Secara histologis dan ultrastruktur,

membran Descemet terdiri dari zona anterior yang terikat ke stroma dan zona posterior yang

tidak terikat. Keduanya berkembang seiring pertambahan usia akibat proses sintesis dan

deposisi oleh endotel kornea.

Membran Descemet normal mengandung kolagen tipe 4, kolagen tipe 8, fibronektin,

entaktin, laminin dan perlekan. Struktur supramolekular dari membran Descemet

menunjukan kumpulan kisi-kisi heksagonal yang tersusun paralel terhadap permukaan

membran. Analisis antibodi monoklonal menunjukan susunan kisi-kisi tersebut terdiri dari

kolagen tipe 8.

Kelainan membran Descemet merupakan ciri dari FECD. Pada FECD terjadi

penebalan membran Descemet, yang mengandung banyak gutata sepanjang permukaan

posteriornya. Dilihat dari mikroskop elektron, pada FECD terjadi pengurangan atau tidak

terdapat zona posterior, dan digantikan oleh penebalan lapisan kolagen. Lapisan kolagen

posterior ini ditandai dengan gambaran menyebar, pola pengikatan granular, gutata posterior,

dan akumulasi ikatan kolagen tipe 8.

III.D. Gejala Klinis

Gejala awal dari FECD meliputi gutata sentral di membran Descemet dengan jumlah

kurang dari 10. Terjadi akumulasi dari gutata bersama dengan pengurangan bertahap dari sel

8

Page 9: Refer At

endotel kornea sepanjang kehidupan postnatal. Densitas normal dari sel endotel orang dewasa

berkisar 2500 sel/mm2, dan densitas minimal antara 500-1000 sel/mm2. Jika batas minimal

ini dilewati akan timbul edema kornea, menyebabkan kehilangan penglihatan dan nyeri

akibat pembentukan bula epitel.

Gejala klinik dari FECD dapat dibagi menjadi 4 stadium. Stadium 1 ditandai dengan

timbulnya gutata sentral kornea yang dibuktikan dengan biomikroskop. Dapat juga disertai

penebalan dari membran Descemet. Pada stadium ini seringkali pasien tidak merasakan

gejala apapun. Pada stadium 2 dari penyakit, seringkali terjadi penglihatan kabur pada pagi

hari akibat berkurangnya penguapan air mata, yang menurunkan osmolalitas air mata saat

mata ditutup. Dapat dideteksi adanya edema stroma dan epitel melalui biomikroskop.

Stadium 3 dan 4 ditandai dengan hadirnya bula epitel, yang menimbulkan nyeri jika pecah.

Stadium 4 dibedakan dengan adanya jaringan parut subepitel, menyebabkan kehilangan

penglihatan lebih lanjut namun pengurangan rasa sakit.

Diagnosis FECD ditegakan berdasarkan pemeriksaan biomikroskopi. Pemeriksaan

lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis meliputi pakimetri kornea, mikroskop

konfokal, dan mikroskop spekular non kontak. Pakimetri kornea mengukur ketebalan dari

kornea. Pakimetri sangat membantu untuk melakukan keratoplasti pada pasien yang dicurigai

atau diketahui mengidap FECD yang akan melakukan operasi katarak.

Mikroskop konfokal dan non kontak bergantung pada metode emisi cahaya dan pola

refleks cahaya yang berbeda pada permukaan antara membran Descemet dan lapisan endotel.

Daerah yang tidak memiliki sel endotel akan mentransmisikan cahaya tanpa direfleksikan.

Sel endotel kornea dan gutata dapat ditunjukan dengan mudah menggunakan mikroskop

konfokal. Baik mikroskop konfokal maupun spekular dapat membantu menunjukan polimorfi

dan pleomorfi dari sel endotel serta mengukur densitas sel endotel. Hal ini sangat berguna

secara klinik dan penelitian untuk menilai perjalanan penyakit.

Mikroskop konfokal lebih unggul dibanding mikroskop spekular dalam mengevaluasi

lapisan endotel kornea pada kondisi edema stroma. Namun spekular mikroskop unggul dalam

segi hemat biaya dan lebih mudah digunakan. Namun penggunaan kedua alat ini sangat

jarang dalam penegakan diagnosis FECD karena biasanya diagnosis dapat ditegakan hanya

dengan menggunakan pemeriksaan biomikroskop slit lamp.

III.E. Patofisiologi dan Genetik

Penelitian mengenai FECD hanya terbatas pada kasus stadium lanjut karena kasus

yang lebih ringan biasanya tidak menunjukan gejala dan kurang memiliki korelasi secara

9

Page 10: Refer At

patologiklinik. Kebanyakan pengamatan menampilkan perubahan sekunder yang komplek

akibat dekompensasi sel endotel. Lebih lanjut, kejadian tahap awal masih belum terdeteksi,

dan belum ada informasi mengenai perubahan matriks sel dan ekstrasel pada tahap awal yang

mengarah pada kehilangan sel endotel.

Dengan menggunakan pencitraan fluorofotometri, Wilson et al menunjukan

penurunan pompa endotel di kornea seiring perkembangan FECD. McCartney et al

menunjukan penurunan densitas pompa ATP pada membran sel endotel di daerah basolateral.

Penamaan nukleus, mikroskop transmisi elektron, dan TUNEL assays digunakan untuk

menunjukan apoptosis sel endotel pada FECD stadium lanjut. Analisis serial dari ekspresi

gen sel endotel kornea yang mengidap FECD menunjukan penurunan transkrip yang

berhubungan dengan pertahanan apoptosis dan produksi energi oleh mitokondria. Namun

masih perlu ditelusuri lebih lanjut apakah apoptosis sel endotel kornea merupakan

patogenesis utama dari FECD atau kelainan sekunder membran basal. Faktor lain yang masih

belum diketahui dengan jelas meliputi fibrinogen / fibrin, penurunan kadar sulfur dan

peningkatan kalsium di membran Descemet, komposisi / aliran humor akuosus, hormon seks

dan peradangan.

Hingga saat ini, baru teridentifikasi mutasi di gen α2 kolagen tipe 8 (COL8A2)

sebagai penyebab dari FECD. Biswas et al melakukan analisis keterkaitan gen dari 3 generasi

keluarga dan berhasil mengidentifikasi lokus FECD di kromosom 1p34.2-p32. Pengurutan

DNA menunjukan mutasi di COL8A2 menyebabkan substitusi glutamin dengan lisin pada

asam amino 455 (Q455K). COL8A2 diurutkan pada 115 pasien FECD tambahan, dengan

hasil 8 pasien menunjukan mutasi di gen COL8A2. Gottsch et al melakukan analisis

keterkaitan gen pada keluarga dengan onset awal FECD dan mengidentifikasi titik kedua

mutasi di COL8A2 pada asam amino 450, yang menyebabkan substitusi dari leucine dengan

tryptophan (L450W). Sebagai perbandingan dengan FECD biasa, anggota keluarga dengan

onset ini mengalami onset awal penyakit yang lebih dini, yakni sejak usia 3 tahun dengan

gejala yang berbeda berupa gutata berbentuk plak.

Kolagen tipe 8 merupakan komponen utama dari membran Descemet normal dan

membentuk lapisan kolagen posterior tebal yang abnormal pada FECD. Berdasarkan efek

fungsional dari mutasi ini, hipotesis patofisiologi yang dikemukakan adalah substitusi asam

amino menurunkan penggantian dari COL8A2, mengakibatkan akumulasi abnormal dari

kolagen tipe 8 dan perubahan membran Descemet. Perubahan ini bertentangan dengan fungsi

sel endotel sehingga menyebabkan apoptosis. Jika hasil percobaan ini terbukti akurat,

kandidat gen tambahan untuk FECD dapat meliputi protein lain pembentuk membran

10

Page 11: Refer At

Descemet. Hingga saat ini, belum ada laporan yang menghubungkan mutasi gen tersebut

dengan FECD.

Di sisi lain, akumulasi dari kolagen tipe 8 di FECD dapat muncul sebagai respon

sekunder terhadap gangguan lain di endotel. Hal ini dikarenakan lapisan kolagen posterior

dari membran Descemet ternyata juga muncul pada penyakit endotel lainnya baik yang

turunan maupun didapat. Dengan demikian, timbul hubungan yang lebih komplek antara

disfungsi sel endotel kornea dengan akumulasi materi kolagen abnormal di membran

Descemet.

III.F. Diagnosis Banding

Diagnosis FECD ditegakan berdasarkan temuan klinik, terutama dengan

biomikroskop slit lamp. Membedakan FECD dari penyakit lain sangat penting karena

melibatkan penanganan dan prognosis baik untuk pasien dan keluarganya. Penyakit lain yang

harus dibedakan dengan FECD meliputi distrofi posterior lain, termasuk diantaranya distrofi

polimorfi posterior (PPCD). Pada penyakit tersebut, ditemukan sekelompok vesikel kecil

pada lapisan endotel, diselingi lembaran material abu pada membran Descemet. Keadaan ini

secara umum tidak berkaitan dengan edema stroma atau epitel atau gutata kornea.

Bentuk lain dari distrofi endotel yakni distrofi endotel bawaan turunan (CHED),

timbul saat lahir atau masa awal setelah lahir dengan gejala berupa edema seluruh kornea dan

penurunan kemampuan melihat yang drastis. Badan Hassal-Henle memiliki bentuk yang

mirip dengan gutata namun terletak hanya di perifer kornea dan tidak berkaitan dengan

kehilangan penglihatan maupun edema kornea. Keratopati bulosa baik afakia maupun

pseudofakia dapat disebabkan oleh disfungsi sel endotel akibat trauma yang terjadi selama

atau setelah operasi katarak. Penyakit radang seperti uveitis atau keratitis interstisial dapat

disalahartikan sebagai FECD dan dibedakan dengan penyembuhan dari presipitat keratitis

dengan pengobatan yang sesuai pada kasus uveitis anterior, atau dengan metode uji serologi

syphilis pada kasus keratitis interstisial.

III.G. Penatalaksanaan

Pengobatan tahap awal biasanya tidak spesifik untuk FECD, melainkan untuk semua

etiologi dari edema epitel dan stroma kornea. Contohnya dengan meningkatkan osmolalitas

air mata, pemberian larutan garam hipertonik dan salep, serta penggunaan hairdryer di pagi

hari untuk mendehidrasi lapisan air mata pre kornea. Penggunaan kontak lensa terapetik

dapat membantu mengurangi nyeri akibat erosi epitel yang berulang, juga mengurangi derajat

11

Page 12: Refer At

astigmatisma iregular jika telah timbul keadaan keratopati bulosa. Penggunaan obat-obatan

siklopegi dan anti peradangan non steroid dapat membantu menyisihkan nyeri kornea dari

keratopati bulosa. Penggunaan obat penurun tekanan intra okular dapat mengurangi edema

kornea pada pasien yang tekanan intra okularnya meningkat atau bahkan normal.

Jika terapi konservatif tidak menunjukan perbaikan pada axis visual maupun rasa

tidak nyaman atau nyeri di mata, pilihan terapi bedah dapat dilakukan. Keratoplasti penetrans

dinyatakan sebagai prosedur definitif pada pasien dengan dekompensasi kornea akibat FECD.

Pada salah satu penelitian keratoplasti penetrans pada pasien dengan FECD, jumlah pasien

yang mencapai kemampuan penglihatan 20/40 atau lebih mencapai 50% dalam 3 bulan pasca

operasi, dan meningkat mencapai 80% dalam waktu 24 bulan. Perbaikan ini terjadi bertahap

dengan penyembuhan kornea, pelepasan jahitan, dan penggunaan kontak lensa yang kaku.

Penelitian 10 tahun yang dilakukan pada 908 pasien yang telah dilakukan keratoplasti

penetrans menemukan angka ketahanan hasil cangkokan 97% untuk 5 tahun pertama, dan

90% untuk 10 tahun. Penyebab paling sering kegagalan pencangkokan pada pasien ini adalah

penolakan endotel diikuti dengan kegagalan endotel non imun. Astigmatisma iregular yang

tidak dapat dikoreksi merupakan penyebab lain dari perbaikan kemampuan melihat yang

buruk pasca operasi. Penelitian lain melaporkan angka ketahanan hasil cangkokan sekitar

89% pada pasien yang dipantau selama 8,4 tahun dan 81% setelah 10 tahun.

Walaupun demikian, fungsi penglihatan tidak meningkat secara dramatis setelah

keratoplasti penetrans, seperti yang dilaporkan oleh sebuah penelitian ternyata 42% pasien

yang menjalankan transplantasi kornea memperoleh kemampuan melihat yang lebih buruk

dari 20/200 pada 50 bulan setelah operasi. Perbedaan hasil ini menunjukan bahwa

keberhasilan operasi ini tergantung dari operator, dan ahli bedah dengan pengalaman lebih

banyak memiliki kecenderungan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Karena banyak pasien dengan FECD dan dekompensasi kornea juga memiliki

katarak, terjadi perdebatan antara penanganan kombinasi atau bertahap untuk katarak dan

kornea. Dilaporkan bahwa prosedur kombinasi di tangan ahli bedah berpengalaman memiliki

hasil yang sama dengan prosedur bertahap melalui keratoplasti penetrans diikuti ektraksi

katarak. American Academy of Ophtalmology mengusulkan untuk dilakukan prosedur

kombinasi pada pasien dengan ketebalan kornea lebih dari 600 μm, karena memiliki

prognosis yang buruk jika dilakukan ektraksi katarak terpisah setelahnya. Namun, suatu

penelitian melaporkan bahwa ekstraksi katarak tetap dapat dilakukan dengan aman di tangan

ahli bedah yang berpengalaman pada pasien dengan ketebalan kornea mencapai 640 μm.

12

Page 13: Refer At

Baru-baru ini telah dikembangkan teknik lamelar posterior dengan secara selektif

mengganti endotel yang rusak, dan lebih diminati dibandingkan keratoplasi penetrans biasa.

Pada tahun 1998, Melles memperkenalkan keratoplasti lamelar posterior (Posterior Lamellar

Keratoplasty / PLK), yang dilakukan dengan memisahkan baik jaringan resipien maupun

donor secara manual pada kedalaman stroma 80-90% dan mentransplantasikan piringan

lamelar posterior donor melalui sebuah insisi pada sklera. Teknik ini kemudian dimodifikasi

dan dipopulerkan oleh Terry dan Ousley sebagai Deep Lamellar Endothelial Keratoplasty

(DLEK).

DLEK memiliki keunggulan dibandingkan keratoplasti penetrans karena tidak

memerlukan jahitan, sehingga mengurangi resiko infeksi dan komplikasi refraksi yang

berkaitan dengan jahitan. Teknik ini juga memiliki keunggulan dalam mempertahankan daya

rekat kornea, yang tidak mungkin dicapai dengan keratoplasti penetrans. Kelemahan terbesar

dari DLEK adalah teknik ini sangat sulit, bahkan untuk seorang ahli bedah segmen anterior

yang berpengalaman sekalipun, dan mungkin dapat terjadi kekeruhan media akibat

iregularitas pada tahap pemotongan lamelar. Hasil awal DLEK cukup memuaskan, dengan

rata-rata perbaikan kemampuan melihat sebesar 20/46 dan 20/50 dan astigmatisma rata-rata

sebesar 1,34D dan 2,3D pada 6 bulan dan 12 bulan setelah operasi.

Baru-baru ini, telah dikembangkan keratoplasti endotel dengan pengupasan Descemet

(Descemet’s Stripping with Endothelial Keratoplasty / DSEK). Pada teknik ini tidak perlu

dilakukan pemotongan lamelar resipien dan eksisi daerah posterior seperti pada DLEK.

DSEK menggantikan proses pemisahan lamelar kornea resipien yang melelahkan dengan

secara sederhana mengupas membran Descemet dan endotel. Teknik ini pertama kali

diperkenalkan oleh Melles et al pada tahun 2004. Jaringan lamelar posterior dari donor

kemudian dilipat dan dimasukan ke dalam ruang kamera anterior resipien, dan dibuka

lipatannya di dekat lapisan stroma sambil mempertahankan orientasi endotel yang tepat.

Kemudian diberikan gelembung udara intrakamera untuk membantu penempelan jaringan ke

lapisan stroma resipien, dan pasien dipertahankan dalam posisi telentang setelah operasi.

Dengan penempelan tersebut, sel endotel donor bergabung dengan stroma dan epitel resipien

sehingga kornea menjadi berning kembali. Anterior chamber optical coherence tomography

(AC-OCT) dapat dilakukan untuk melihat penempelan jaringan donor.

Pada awalnya, jaringan lamelar donor untuk DSEK didapat dari pemotongan lamelar

secara manual. Namun sekarang, persiapan jaringan endotel donor dipermudah dengan

penggunaan mikrokeratom otomatis untuk memotong jaringan kornea melalui sebuah ruang

buatan. Variasi ini dinamakan Descemet’s Stripping with Automated endothelial keratoplasty

13

Page 14: Refer At

(DSAEK). Namun, penggunaan nama DSEK dan DSAEK sering tertukar setelah penggunaan

mikrokeratom otomatis menjadi semakin populer.

Prosedur DSEK/DSAEK telah menggantikan DLEK pada terapi pembedahan untuk

FECD. Keunggulannya dibandingkan dengan DLEK antara lain teknik yang lebih mudah

untuk memisahkan endotel yang rusak, resiko trauma lebih kecil untuk jaringan resipien,

jaringan stroma resipien yang lebih terstruktur, dan permukaan kornea lebih rata. Pada

peninjauan terhadap 50 pasien yang menjalani DSEK, Price et al menunjukan bahwa pada 6

bulan 31 mata (62%) memperoleh perbaikan kemampuan melihat hingga di atas 20/40 dan 38

mata (76%) memperoleh perbaikan kemampuan melihat di atas 20/50. Dalam waktu 6 bulan,

rata-rata manifestasi silinder sekitar 1,5+0,94D dan rata-rata manifestasi sferis sekitar

0,15+1,0D. Komplikasi yang paling sering terjadi pada DSEK adalah terlepasnya jaringan

lamelar, dilaporkan terjadi 15-30% kasus pada periode awal pasca operasi. Namun

komplikasi ini dapat segera diatasi pada periode pasca operasi dengan mereposisi atau

memasukan udara lebih banyak ke ruang kamera anterior (dinamakan “rebubbling”).

14

Page 15: Refer At

BAB IV

POSTERIOR POLYMORPHOUS CORNEAL DYSTROPHY

IV.A. Definisi

Posterior Polymorphous Corneal Dystrophy (PPCD) merupakan kelainan autosomal

dominan jarang yang ditandai oleh sel endotel kornea metaplastik dengan morfologi

menyerupai epitel. Lapisan endotel yang normalnya merupakan 1 lapis sel yang tidak

membelah diri, berkembang menjadi epitel skuamosa berlapis bertingkat dengan proliferasi

abnormal, kadang menyebar ke jaringan lain seperti iris. Selain itu sel ini juga memiliki ciri

epitel lainnya yakni adanya tonofilamen, desmosom dan mikrovili.

IV.B. Gejala Klinis

Gejala klinis dari penyakit ini sangat beragam dan anggota yang terkena dari keluarga

yang sama dapat menunjukan derajat keparahan penyakit yang berbeda-beda. Onset awal

penyakit ini dapat timbul pada usia yang berbeda, pada beberapa kasus yang parah timbul

sejak masih anak-anak, sementara kasus lainnya timbul pada usia dewasa. Secara klinis

timbul sekelompok vesikel dan area keabuan pada membran Descemet. Kelainan ini kadang-

kadang muncul dalam bentuk nodul dan mengandung daerah vesikel berbentuk bulat

sehingga terlihat pola seperti keju Swiss. Membran Descemet menjadi tidak berfungsi

terutama pada daerah tidak terikat di posterior yang sangat tipis dan karena kehadiran lapisan

kolagen posterior dengan berbagai bentuk. Meskipun demikian daerah terikat anterior dari

membran Descemet nampak normal, mengesankan dugaan proses patologi timbul pada

periode setelah kelahiran. PPCD biasanya terjadi bilateral namun kelainannya dapat asimetris

dan kadang-kadang hanya 1 kornea yang nampak terkena. Kebanyakan pasien biasanya tidak

mengalami gejala dan tidak nampak adanya edema kornea, hal ini mungkin disebabkan

lapisan endotel masih dapat mempertahankan keadaan hidrasi kornea yang normal pada

kebanyakan individu yang terjangkit. Namun, kadang-kadang edema epitel dan stroma

kornea dapat timbul saat lahir dan kornea anterior membentuk jaringan parut dan terdapat

keratopati kalsifikasi.

IV.C. Patofisiologi dan Genetik

Pola ekspresi gen dari sel endotel kornea juga mengalami perubahan, dimana mereka

mengekspresikan ciri sitokeratin dari epitel yakni CK7, CK8, CK18, CK17, CK19, CK4,

CK13, CK6, dan CK16, pada sel yang berproliferasi. Pertumbuhan berlebihan dari sel endotel

15

Page 16: Refer At

ke iris dan jaringan trabekula dapat menyebabkan glaukoma. Hal ini ditemukan pada

beberapa pasien dengan PPCD.

3 gen telah dinyatakan memegang peranan dalam terjadinya PPCD (VSX1, COL8A2,

TCF8), namun bukti keterlibatan VSX1 dan COL8A2 masih diperdebatkan. Telah dilaporkan

terjadi mutasi p.Leu159Met dan p.Gly160Asp di VSX1, namun hasil analisi dari 2 keluarga

besar di Republik Ceko menunjukan lokus yang ditemukan tidak termasuk VSX1. Mutasi

p.Gln455Lys di COL8A2 juga telah diidentifikasi, namun sayang tidak ada hasil dokumentasi

dari diagnosis jaringan keluarga tersebut. Bukti untuk TCF8, yang mengkode faktor

transkripsi 8 lebih meyakinkan.

Sebuah gen yang belum diidentifikasi untuk PPCD autosomal dominan juga telah

dipetakan ke wilayah perisentromerik kromosom 20 dari manusia (20q11), di mana gen untuk

CHED1 juga terletak. Sementara PPCD dan CHED1 bergantung pada gen yang berbeda, 1

gen di wilayah ini mungkin bertanggung jawab untuk kedua distrofi kornea tersebut. Yang

terakhir menjadi mungkin karena individu yang memiliki hubungan darah dengan penderita

PPCD ada yang menderita CHED1. PPCD memiliki kemiripan perkembangan, morfologi,

dan gejala klinik dengan CHED1. Dan salah 1 varian dari PPCD mungkin berhubungan

dengan CHED1.

IV.D. Penatalaksanaan

PPCD biasanya asimtomatik dan pada kebanyakan kasus tidak memerlukan

pengobatan. Namun, pada beberapa kasus biasanya diperlukan keratoplasti penetrans, atau

salah 1 prosedur terapi seperti untuk FECD. PPCD dapat muncul kembali setelah

pencangkokan dengan keratoplasti penetrans. Perubahan endotel kornea dapat bertahan

bertahun-tahun, namun kelainan biasanya berjalan lambat menuju dekompensasi endotel

kornea dan edema kornea.

16

Page 17: Refer At

BAB V

CONGENITAL HEREDITARY ENDOTHELIAL DYSTROPHY

V.A. Definisi

Congenital Hereditary Endothelial Dystrophy (CHED) merupakan kelainan bilateral

yang melibatkan degenerasi dari lapisan endotel kornea. CHED memiliki 2 bentuk,

autosomal dominan (AD-CHED : CHED1) dan autosomal resesif (AR-CHED : CHED2).

CHED ditandai dengan penampakan kornea yang seperti kaca dan nampak lebih tebal.

CHED1 biasanya timbul pada 2 tahun pertama setelah lahir, dengan gejala fotofobia dan

keluar air mata, namun tidak didapatkan adanya nistagmus. Pada CHED2, individu yang

terkena lahir dengan kornea yang nampak seperti gelas kaca dan disertai dengan nistagmus.

V.B. Patologi

Kornea pada pasien CHED nampak membengkak akibat edema stroma yang

berlebihan dengan pembesaran serat kolagen. Perubahan ini bersamaan dengan berkurangnya

densitas serat, membuyarkan cahaya sehingga muncul gambaran seperti gelas kaca pada

kornea. Sel endotel sangat sedikit dan berdegenerasi. Endotel kornea kemungkinan berfungsi

secara normal selama in utero, terbukti dengan tipisnya membrane Descemet. Sebagai

tambahan, terdapat jaringan penghubung fibrosa di belakang membrane Descemet, yang

terbentuk dari campuran serat berukuran 20-40nm dan sejumlah kecil materi menyerupai

membrane basal. Pada beberapa tempat, materi menyerupai membrane basal tersebut menjadi

padat dan nampak seperti lapisan tambahan dari membrane Descemet. Keratosit dan

membrane Bowman nampak normal.

Pemeriksaan histopatologis dari CHED1 dan CHED2 menunjukan gambaran yang

mirip, namun terdapat sedikit perbedaan pada ketebalan kolagen dari membrane Descemet.

Pada CHED1, penebalan membrane Descemet disebabkan oleh lapisan serat kolagen di

daerah posterior. Sementara CHED2 menunjukan peningkatan kecenderungan endotel

abnormal mensintesis membrane Descemet posterior tidak terikat yang homogen. Seperti

PPCD, sel endotel kornea pada CHED juga mengekspresikan sitokeratin yang bertolak

belakang dengan endotel normal. Namun tidak seperti PPCD, lapisan endotel jarang menjadi

berlapis-lapis. Telah dilaporkan adanya amiloidosis subepitel pada kasus CHED2, namun

masih belum dapat dipastikan apakah itu merupakan manifestasi dari CHED2 atau

berhubungan dengan GDCD pada pasien yang memiliki 2 distrofi berbeda.

17

Page 18: Refer At

V.C. Patofisiologi dan Genetik

Gen yang bertanggung jawab untuk CHED1 telah berhasil dipetakan pada wilayah

perisentromerik dari kromosom 20 (20p11.2-q11.2) pada area yang tumpang tindih dengan

gen yang bertanggung jawab untuk PPCD, dan berbeda dengan lokus untuk CHED2.

Kebanyakan kasus CHED2 disebabkan oleh mutasi homozigot di gen SLC4A11 yang

mengkode protein terkait transporter bikarbonat 1 yang dilaporkan meregulasi konsentrasi

boron intraselular. Sebuah tingkat heterogenitas yang tinggi telah terdeteksi di CHED2 dan

heterogenitas genetic mungkin ada karena tidak terdeteksi adanya mutasi di SLC4A11 atau di

wilayah promoternya pada beberapa keluarga.

V.D. Penatalaksanaan dan Prognosis

Pada CHED dimana derajat kekeruhan kornea bilateral sangat parah, keratoplasti

penetrans merupakan satu-satunya harapan untuk mengembalikan penglihatan. CHED1

berkembang lambat selama 5-10 tahun, sementara CHED2 tetap dan tidak berkembang

sepanjang kehidupan. CHED2 sering dikaitkan dengan tuli reseptif (Sindrom Harboyan).

V.E. SINDROM HARBOYAN

V.E.1. Epidemiologi

Data epidemiologi berdasarkan populasi untuk sindrom Harboyan tidak tersedia

dikarenakan hanya 7 laporan kasus sindrom ini di literature. 11 keluarga yang dilaporkan (24

kasus) berasal dari berbagai asal (Portugis Brasil, Belanda, Gipsi, Moroka, India, Indian,

Yahudi Sephardi, Dominika). Hal yang menarik adalah, sementara lebih dari setengah kasus

yang dilaporkan dikaitkan dengan kerabat orangtua, beberapa kasus dihasilkan dari

heterozigositas, menunjukan bahwa frekuensi pembawa tidak mungkin rendah.

Sindrom Harboyan tampaknya lebih jarang disbanding CHED2. Sebelum penemuan

gen terlibat dalam etiopatogenesis CHED2 pada tahun 2006, hanya beberapa kasus CHED2

telah dilaporkan. Sejak saat itu, mutasi yang menyebabkan telah terdeteksi dalam 92 keluarga

CHED2 yang terutama berasal dari daerah dengan tingkat pertalian darah yang tinggi (seperti

beberapa daerah di India). Meskipun kehilangan pendengaran sindrom Harboyan bersifat

progresif lambat dan dapat tidak terdeteksi dalam waktu lama, pada saat yang sama

pemantauan pendengaran belum dilaporkan pada pasien CHED2, ada kemungkinan beberapa

kasus sindrom Harboyan saat ini dilaporkan sebagai CHED2 nonsindromik.

18

Page 19: Refer At

V.E.2. Deskripsi Klinis

CHED nampak sebagai kornea yang buram berwarna putih kebiruan seperti kaca. Hal

ini disebabkan oleh edema kornea menyebar akibat disfungis sel endothelial dan

menyebabkan kehilangan penglihatan (meskipun bagian anterior kornea normal).

Sindrom Harboyan, sama seperti CHED2, bermanifestasi sebagai edema kornea

menyebar bilateral dengan tampilan kornea seperti kaca. Kekeruhan kornea dapat diamati

pada saat lahir atau selama periode neonatal, dengan progresi minimal seiring berjalannya

waktu. Tanda tambahan yang paling sering adalah nistagmus, yang diduga disebabkan oleh

kekeruhan kornea parah yang muncul sejak awal kehidupan.

Kehilangan pendengaran pada sindrom Harboyan tidak dilaporkan pada saat lahir, dan

tidak ada kasus tuli prelingual telah dilaporkan sejauh ini. Kehilangan pendengaran yang

terjadi bersifat sensorineural, berjalan progresif lambat dengan gangguan khas pada kisaran

20-50 dB (ringan sampai sedang) pada usia 10-25 tahun, dan terutama pada frekuensi tinggi.

Meskipun gejala kehilangan pendengaran tidak dilaporkan pada masa awal kanak-kanak,

namun dapat dideteksi pada tahun pertama kehidupan jika diselidiki. Dalam keluarga dengan

sindrom Harboyan, kehilangan pendengaran (jika ditelusuri) telah ditemukan sejak usia 4

tahun pada semua penderita CHED.

V.E.3. Etiologi

Pada tahun 1995, Toma melakukan analisis keterkaitan gen dengan penanda

mikrosatelit pada 7 silsilah generasi British CHED1, dan memetakan CHED1 ke daerah

2.7cM dari kromosom 20p11.2-q11.2 dengan skor lod multipont 9,34 di antara D20S48 dan

D20S471. Daerah 2.7cM ini terletak dalam daerah 30cM terkait dengan distrofi polimorf

posterior (PPD). Secara genetic PPD heterogen, dan PPD di 20p11 telah dikaikan dengan

mutasi pada gen homedomain seperti pasangan VSX1. Gen CHED1 masih belum diketahui.

Pada tahun 1999, sebuah silisilah besar kerabat Irlandia dengan CHED2, dikaitkan ke

kromosom 20p13 dengan skor lod maksimal 9.30 pada penanda mikrosatelit D20S482.

Daerah kritis homozigositas membentang 8cM antara penanda D20S113 dan D20S882. Data

pemetaan secara jelas mengindikasikan bahwa gen CHED2 yang autosomal resesif

dipisahkan dari gen CHED1 yang autosomal dominan.

Sindrom Harboyan juga dipetakan ke 20p13 dalam keluarga besar kerabat Moroka

antara penanda D20S199 dan D20S437 dengan skor lod multipoint maksimal 4.20 pada

D20S889/D20S179. Lokusnya dinamakan CDPD1. Daerah keterkaitan kritis 7.73cM

tumpang tindih dengan daerah keterkaitan CHED2 autosomal resesif.

19

Page 20: Refer At

Pada tahun 2006, analisa dari gen SLC4A11 yang terletak dalam daerah tumpang

tindih, pada pasien dengan CHED2 menunjukan 7 mutasi berbeda dalam 10 keluarga. Mutasi

ini diperkirakan menyebabkan kehilangan fungsi protein dengan menghalangi penargetan

membrane atau dengan penghancuran yang dimediasi. Penelitian mengenai 3 keluarga

kerabat dan 3 keluarga non kerabat dengan sindrom Harboyan menunjukan homozigositas

atau senyawa heterozigositas, masing masing, untuk mutasi SLC4A11 pada pasien dengan

sindrom Harboyan, mengindikasikan bahwa CHED2 dan sindrom Harboyan adalah gangguan

alelik. Keseluruhan 62 mutasi SLC4A11 berbeda telah dilaporkan dalam 98 keluarga (92

CHED2 dan 6 sindrom Harboyan). Secara kasar diamati terdapat proporsi yang sama antara

mutasi yang terpotong dan missense pada kedua kelainan, tanpa pengelompokan mutasi yang

jelas. Dari catatan, ditemukan 2 residu bermutasi pada pasien dengan CHED2 dan sindrom

Harboyan. Kasus pertama adalah penghapusan 473_480del8bp. Meskipun demikian

perkiraan perubahan protein sedikit berbeda pada 2 laporan kasus : Arg158GlnfsX4 dalam

CHED2, dan Arg158ProfsX4 dalam sindrom Harboyan, dikarenakan inti sel tunggal polimorf

(SNP, rs3827075) di inti sel segera setelah penghapusan, yang adalah A/A pada pasien

CHED2 dan C/C pada pasien dengan sindrom Harboyan. Pada kasus kedua, residu yang

sama, Serine 213, terlibat dalam 2 mutasi missense berbeda : c.638C T (ser213Leu) pada

pasien CHED2, dan c.637T C (Ser213Pro) pada pasien sindrom Harboyan. Pasien

sindrom Harboyan ini memiliki senyawa heterozigot, dan mutasi keduanya (Met856Val)

secara teori mungkin menjelaskan perbedaan fenotip. Ada kemungkinan beberapa kasus yang

dilaporkan sebagai CHED2 mengandung kasus sindrom Harboyan yang salah dikenali

dimana kehilangan pendengaran belum berkembang atau terabaikan.

Mutasi heterozigot SLC4A11 baru-baru ini dilaporkan pada distrofi endotel kornea Fuchs

(FECD), gangguan pprogresif onset lambat dari endotel kornea, yang mengindikasikan

bahwa orangtua pembawa dari anak yang terkena CHED2 dan sindrom Harboyan memiliki

resiko terkena distrofi kornea onset lambat. Hubungan antara Fuchs dengan CHED atau

sindrom Harboyan di keluarga yang sama belum dilaporkan sejauh ini.

V.E.4. Patofisiologi

SLC4A11 menyandi banyak transporter borate berikatan sodium (disebut juga BTR1

atau NABC1) yang penting untuk homeostasis boron dalam sel, dimana jika terjadi

kekurangan akan menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel. SLC4A11 dihubungkan

dengan keluarga protein transport SLC4, yang terdiri dari beragam kelompok fungsional

dengan 11 anggota yang memainkan peran penting dalam transport HCO3-. Walaupun

20

Page 21: Refer At

SLC4A11 merupakan transporter konsentrasi boron yang sangat selektif, pada media bebas

boron, dia berfungsi sebagai saluran Na+ dan OH-.

CHED2 merupakan penyakit manusia pertama yang dihubungkan dengan cacat

transporter boron, walaupun homeostasis boron masih kurang dipahami pada manusia.

Sejalan dengan mutasi SLC4A11 sebagai penyebab hilangnya pendengaran, gen ini

diekspresikan di koklea dari tikus dewasa, lebih tepatnya di dinding lateral, dimana terdapat

stria vaskularis yang terlibat dalam sekresi endolimfe dan homeostasis dari koklear yang

sangat khas. Mengingat konstitusi yang sangat spesifik dari endolimfe dan ekspresi dari gen

di stria vaskularis, peran dari SLC4A11 dalam homeostasi Na+ dan OH- di telinga dalam

tidak bisa diabaikan. Perbandingan analisis SAGE dari profil ekspresi gen menunjukan

SLC4A11 mengalami downregulasi pada distrofi endothelial Fuchs. Hibridisasi in situ

menunjukan ekspresi dari SLC4A11 dari kornea tikus pada hari ke 18 embrio, yang sesuai

dengan bulan kehamilan ke 5 pada manusia, waktu dimana patologi CHED diyakini

berkembang pada manusia. SLC4A11 diekspresikan di endotel kornea manusia seperti

ditunjukan oleh “reverse transcriptase polymerase chain reaction” (RT-PCR).

V.E.5. Metode Diagnostik

Diagnosis CHED didasarkan pada kriteria klinis dan pemeriksaan oftalmologi

lengkap. Semua kasus CHED autosomal resesif dan semua kasus sindrom Harboyan yang

dilaporkan sejauh ini menunjukan mutasi, atau berkaitan dengan SLC4A11, tanpa bukti dari

heterogenitas genetic. Konfirmasi molecular dari diagnosis klinis dapat dilakukan.

V.E.6. Pemeriksaan Oftalmologi

Pasien dengan sindrom Harboyan maupun CHED2 menampilkan gambaran

kekeruhan seluruh kornea bilateral yang muncul pada tahun pertama kehidupan. Terjadi

peningkatan penebalan kornea tengah. Pemeriksaan slit lamp menunjukan opasifikasi

menyebar dengan edema epitel dan stroma. Ketajaman penglihatan biasanya sangat

terpengaruh dan dapat timbul nistagmus. Fungsi perlindungan endotel dapat dinilai dengan

metode fluoro-fotometrik. Distrofi endotel dapat dikonfirmasi dengan temuan histopatologi

dari jaringan kornea yang menunjukan degenerasi sel endotel kornea yang parah dan

penebalan abnormal dari membran Descemet.

21

Page 22: Refer At

V.E.7. Audiometri

Audiometri nada pada pasien dengan sindrom Harboyan menunjukan kehilangan

pendengaran sensorineural. Kehilangan pendengaran bersifat postlingual, berjalan progresif

lambat, dengan onset umur yang beragam, berkisar dari 4 sampai 19 tahun, dan berbagai

derajat kehilangan pendengaran, mulai dari -30 dB sampai -60 dB, dalam suatu penelitian

yang melibatkan 6 keluarga sindrom Harboyan dari berbagai latar belakang etnis.

V.E.8. Diagnosis Banding

Membedakan diagnosis sindrom Harboyan dari CHED2 bergantung pada data

pemeriksaan audiometric, dimana kehilangan pendengaran terjadi pada sindrom Harboyan,

sementara kedua penyakit di atas menunjukan kelainan mata yang sama.

Sindrom Harboyan dan CHED2 berbeda dengan CHED1. Pada CHED1, opasifikasi

tidak timbul pada saat lahir dan biasanya baru terlihat pada tahun pertama atau kedua

kehidupan. Berbeda dengan sindrom Harboyan dan CHED2, gejala penyerta seperti fotofobia

dan epifora sering timbul pada CHED1 (gejala ini berkurang seiring dengan bertambahnya

derajat kekeruhan kornea), namun nistagmus jarang diamati.

Berbagai penyakit genetic, metabolic, perkembangan, didapat dan kriptogenik dapat

menyebabkan kekeruhan kornea bawaan. Opasitas kornea bawaan muncul pada kurang lebih

3/100,000 bayi baru lahir. Pada penelitian oleh Rezende et al, di antara 47 kasus kelainan

kornea bawaan, penyebab pertama adalah anomal Peters (40%), diikuti dengan sklerokornea

(18%), dermoid (15%), glaucoma congenital (7%), mikroftalmia (4%), trauma lahir dan

penyakit metabolic (3%). 7 kasus (9%) diklasifikasikan sebagai idiopatik. 10 pasien memiliki

kelainan sistemik yang terkait dengan kondisi mata mereka.

Anomali Peters bukan merupakan kelainan segmen anterior saja. Melainkan muncul

dalam berbagai kondisi heterogen secara fenotip yang dikaitkan dengan beberapa cacat mata

dan sistemik. Opasitas kornea sentral, parasentral atau keseluruhan selalu muncul pada pasien

dengan anomaly Peters. Pembuluh darah secara khas tidak ditemukan pada bagian opak dari

kornea. Gejala ini sangat bermakna untuk membedakan anomaly Peters dengan penyebab lain

dari opasitas kornea bawaan.

Skelrokornea merupakan kelainan perkembangan yang jarang dari segmen anterior

akibat disgenesis mesenkim. Biasanya terbatas hanya sebagai abnormalitas mata yang

menyerang kedua mata, namun dapat juga muncul unilateral. Kondisi ini secara khas muncul

secara sporadic tapi dapat juga diwariskan secara keluarga atai autosomal dominan. Pada

evaluasi klinis, pasien dengan sklerokornea parsial memiliki rim kornea putih

22

Page 23: Refer At

bervaskularisasi, 1 sampai 2 mm, terletak di tepi yang menyatu dengan sclera menghilangkan

limbus. Kornea sentral biasanya normal. Pada sklerokornea total, seluruh kornea terlibat,

namun bagian pusat kornea lebih jernih daripada bagian tepi. Temuan ini membedakan

sklerokornea dari anomaly Peters, dimana pada anomaly Peters bagian tengah kornea lebih

opak. Opasifikasi mempengaruhi ketebalan dari stroma dan menghambat visualisasi

permukaan posterior kornea dan struktur intaokular. Pemeriksaan histopatologi menunjukan

jaringan kolagen tak teratur yang mengandung fibril berukuran lebih besar dari normal.

Temuan lain dapat muncul meliputi ruang anterior yang dangkal, kelainan iris dan lensa, dan

mikroftalmos. Kelainan sistemk, seperti deformitas wajah dan cacat genitourinaria dapat

menyertai penyakit ini.

Dermoid limbal merupakan tumor jinak bawaan yang mengandung jaringan

koristomatosa (jaringan yang bukan berasal dari daerah tersebut). Terutama sering muncul

pada kuadran inferior temporal dari limbus kornea. Namun, mereka dapat timbul pada

keseluruhan kornea atau menyatu dengan konjungtiva. Pewarisan biasanya secara sporadic,

meskipun ada yang secara autosomal resesif atau silsilah terkait seksual. Dermoid limbal

biasanya dikaitkan dengan kekeruhan kornea. Meskipun kebanyakan dermoid limbal

merupakan temuan terbatas, sekitar 30% dikaitkan dengan sindrom Goldenhar, terutama jika

gejala timbul bilateral.

Glaukoma congenital merupakan penyebab penting dari kekeruhan kornea bawaan.

CHED sendiri dapat menyebabkan dlaukoma, dan jelas ada hubungan antara glaucoma

bawaan dengan ditrofi endotel bawaan keturunan. CHED dicurigai jika opasifikasi kornea

total menetap dan tidak mereda setelah tekanan intraocular dinormalkan.

V.E.9. Konseling Genetik

Konseling genetic diusulkan pada semua kasus CHED. Resiko kekambuhan sekitar

25% pada hubungan saudara baik CHED2 dan sindrom Harboyan, tanpa gejala yang

dilaporkan pada pembawa heterozigot. Harus dibedakan antara CHED tipe autosomal resesif

(CHED2 dan sindrom Harboyan) dengan CHED1 autosomal dominan. Jika tidak ada riwayat

penyakit dahulu yang jelas, pemeriksaan yang teliti terhadap kerabat, analisa gen SLC4A11,

dan gambaran klinis dapat menyingkirkan CHED1 yang biasanya kurang parah, dimana

belum dilaporkan adanya ketulian.

23

Page 24: Refer At

V.E.10.Penatalaksanaan

Larutan hiperosmolar topical (Sodium klorida hipertonik) menyebabkan dehidrasi

kornea sementara dan menguntungkan pada sebagian pasien.

Transplantasi kornea merupakan terapi definitive. Hal ini dianjurkan untuk

menghindari resiko amblyopia dan untuk mengembalikan penglihatan. Keratoplasti

penetrating menghasilkan prognosis bedah yang relative baik dan dapat meningkatkan

penglihatan walaupun dilakukan pada usia tua. Setelah operasi, pasien hanya akan mendapat

sedikit perbaikan penglihatan. Kemampuan melihat baru kembali secara sempurna setelah 6

sampai 12 bulan, bahkan lebih.

Audiometri yang teliti sangat dianjurkan pada semua kasus CHED2. Pemantauan

audiometric disarankan dikarenakan kehilangan pendengaran bukan bawaan yang progresif

pada sindrom Harboyan seringkali membutuhkan alat bantu dengar.

V.E.11.Prognosis

Semua pasien dengan sindrom Harboyan sampai saat ini memiliki kondisi kesehatan

yang baik, tanpa gejala sistemik lain yang mengurangi angka harapan hidup. Transplantasi

kornea membawa dampak operasi yang relative baik dan meningkatkan kemampuan melihat

walaupun dilakukan pada usia tua. Sejauh ini belum ada laporan mengenai kekambuhan

setelah menjalani transplantasi kornea. Prognosis pendengaran pada pasien CHED sporadic

usia muda masih belum jelas karena tidak tersedianya data longitudinal.

24

Page 25: Refer At

BAB VI

KESIMPULAN

FECD merupakan penyakit distrofi kornea paling sering di negara barat, namun lebih

jarang di Timur Tengah dan Asia. FECD ditandai dengan munculnya gutata, merupakan

akumulasi pertumbuhan jaringan local di membran Descemet. Pada stadium lanjut dari

penyakit, timbul edema kornea bilateral akibat degenerasi lapisan endotel, dengan

konsekuensi kehilangan penglihatan. FECD bersifat progresif, dimana edema kornea meluas

hingga stroma dan epitel.

PPCD merupakan kelainan autosomal dominan jarang yang ditandai oleh sel endotel

kornea metaplastik dengan morfologi menyerupai epitel. PPCD biasanya terjadi bilateral

namun kelainannya dapat asimetris dan kadang-kadang hanya 1 kornea yang nampak terkena.

Kebanyakan pasien biasanya tidak mengalami gejala dan tidak nampak adanya edema

kornea, hal ini mungkin disebabkan lapisan endotel masih dapat mempertahankan keadaan

hidrasi kornea yang normal pada kebanyakan individu yang terjangkit.

CHED merupakan kelainan bilateral yang melibatkan degenerasi dari lapisan endotel

kornea. CHED memiliki 2 bentuk, autosomal dominan (CHED1) dan autosomal resesif

(CHED2). Gejala pada CHED1 biasanya timbul dalam 2 tahun pertama setelah lahir,

sementara pada CHED2 dapat timbul sejak lahir. CHED2 sering dikaitkan dengan tuli

reseptif (Sindrom Harboyan).

Keratoplasti penetrans merupakan terapi definitive pada semua kasus distrofi endotel.

Perbaikan fungsi penglihatan biasanya tidak terjadi secara langsung setelah operasi, namun

pulih secara bertahap dalam 6-12 bulan. Kekambuhan dapat terjadi pada beberapa kasus,

terutama PPCD, namun biasanya sangat jarang.

25

Page 26: Refer At

DAFTAR SINGKATAN

1. AC-OCT : Anterior Chamber Optical Coherence Tomography

2. AD-CHED : Autosomal Dominant Congenital Hereditary Endothelial Dystrophy

3. AR-CHED : Autosomal Resesive Congenital Hereditary Endothelial Dystrophy

4. CHED : Congenital Hereditary Endothelial Dystrophy

5. DLEK : Deep Lamellar Endothelial Keratoplasty

6. DSAEK : Descemet’s Stripping with Automated Endothelial Keratoplasty

7. DSEK : Descemet’s Stripping with Endothelial Keratoplasty

8. FECD : Fuchs Endothelial Corneal Dystrophy

9. PLK : Posterior Lamellar Keratoplasty

10. PPCD : Posterior Polymorphous Corneal Dystrophy

11. RT-PCR : Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction

26

Page 27: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta, 2009, Ilmu Penyakit Mata, edisi 3, Jakarta : Balai Penerbit FKUI

2. Kannabiran, C., 2009, Genetics of Corneal Endothelial Dystrophies, Journal of

Genetics., Vol. 88, No.4, 487–494

3. Klintworth, Gordon K., 2009, Corneal Dystrophies, Orphanet Journal of Rare

Diseases, 4:7, http://www.ojrd.com/content/4/1/7

4. Reinhard, T., Larkin, F., eds., 2008, Cornea and External Eye Disease, Heidelberg :

Springer

5. Riordan-Eva, Paul, Whitcher, John P., 2008, Vaughan & Asbury’s General

Ophthalmology, 17th ed, The McGraw-Hill Company Inc.

6. Suhardjo, S.U., Hartono, eds., 2007, Ilmu Kesehatan Mata, edisi 1, Yogyakarta :

Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM

7. Weiss, J.S., Moller, H., Lisch, W., Kinoshita, S., Aldave, A., Belin, M.W., Busin, M.,

Kim, E.K., Munier, F., Seitz, W., Sutphin, J., Bredrup, C., Mannis, M., Rapuano, C.,

van Rij, G., Klintworth, G.K., 2008, The IC3D Classification of Corneal

Dystrophies. Cornea, 27(Suppl.2):S1-S42

27