Reaksi Hipoklorit Dengan Lignin (Suyati-Pembuatan Selulosa Asetat Dari Serbuk Gergaji)

19
Bab IV Pembahasan IV.1 Ekstraksi selulosa Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai bahan pengikat sel-sel dan memberikan kekakuan kepada dinding sel. Hemiselulosa adalah heteropolimer dengan berbagai monomer gula, dan rantai molekul yang lebih pendek dari selulosa. Hemiselulosa adalah senyawa amorf, karena banyak percabangan pada rantai molekulnya. Selain ketiga komponen tersebut terdapat zat-zat dalam kayu yang bukan penyusun kayu yang dikelompokkan sebagai zat ekstraktif. Pada percobaan ini ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan senyawa – senyawa ekstraktif yang tercampur pada serbuk gergaji kayu. Pelarut dari campuran alkohol benzen yang digunakan untuk ekstraksi mula-mula jernih, setelah 4 jam kemudian berubah menjadi larutan kuning kecoklatan, yang mengindikasikan alkohol benzen sudah mengekstraksi senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam serbuk gergaji selain lignin, selulosa atau hemiselulosa. Selain warna ekstrak yang berubah, warna sampel juga mengalami perubahan, yang semula berwarna coklat kelam menjadi warna coklat agak cerah, seperti ditunjukkan pada Gambar IV.1 dan IV.2 berikut: Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

Transcript of Reaksi Hipoklorit Dengan Lignin (Suyati-Pembuatan Selulosa Asetat Dari Serbuk Gergaji)

  • Bab IV Pembahasan

    IV.1 Ekstraksi selulosa

    Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan

    hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin

    sebagai bahan pengikat sel-sel dan memberikan kekakuan kepada dinding sel.

    Hemiselulosa adalah heteropolimer dengan berbagai monomer gula, dan rantai

    molekul yang lebih pendek dari selulosa. Hemiselulosa adalah senyawa amorf,

    karena banyak percabangan pada rantai molekulnya. Selain ketiga komponen

    tersebut terdapat zat-zat dalam kayu yang bukan penyusun kayu yang

    dikelompokkan sebagai zat ekstraktif.

    Pada percobaan ini ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan senyawa senyawa

    ekstraktif yang tercampur pada serbuk gergaji kayu. Pelarut dari campuran

    alkohol benzen yang digunakan untuk ekstraksi mula-mula jernih, setelah 4 jam

    kemudian berubah menjadi larutan kuning kecoklatan, yang mengindikasikan

    alkohol benzen sudah mengekstraksi senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam

    serbuk gergaji selain lignin, selulosa atau hemiselulosa. Selain warna ekstrak yang

    berubah, warna sampel juga mengalami perubahan, yang semula berwarna coklat

    kelam menjadi warna coklat agak cerah, seperti ditunjukkan pada Gambar IV.1

    dan IV.2 berikut:

    Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

  • 29

    .

    Gambar IV 2 Serbuk gergaji kayu setelah diekstraksi

    Hasil ekstraksi serbuk gergaji kayu dapat dilihat pada Tabel IV.1 berikut:

    Tabel IV.1 Hasil ekstraksi Serbuk Gergaji kayu

    EkstraksiMassa

    serbuk kayu

    Massa sampel

    yang dihasilkan Randemen

    1 10,00 gram 7,48 gram 74,8 %

    2 10,00 gram 8,69 gram 86,9 %

    IV.2 Isolasi selulosa

    Isolasi ini dimaksudkan untuk memisahkan selulosa dari lignin atau senyawa-

    senyawa lain. Pada percobaan ini lignin dirusak oleh buffer natrium sulfida

    (Na2S) dalam NaOH panas, sehingga lignin mudah larut. Reaksi dengan larutan

    NaOH pada temperatur tersebut menyebabkan molekul lignin terdegradasi akibat

    pemutusan ikatan aril-eter, karbon-karbon, aril-aril dan alkil-alkil. Adanya lignin

    pada senyawa tersebut ditandai dengan adanya larutan yang berwarna hitam pekat

    (black liquor).

    Warna hitam yang ditimbulkan saat pemasakan dengan NaOH merupakan indikasi

    dari terlarutnya senyawa-senyawa yang memiliki gugus kromofor yaitu gugus

    yang memiliki ikatan rangkap terkonyugasi yang menyebabkan suatu senyawa

    memiliki warna dan dapat menyerap cahaya dengan panjang gelombang antara

  • 30

    200 nm - 400 nm (UV). Untuk mengetahui bahwa sampel tidak mengandung

    lignin, maka pada sampel filtrat berwarna jernih. Untuk lebih meyakinkan

    ligninnya telah terekstraksi, maka filtrat ditetesi dengan asam sulfat pekat, dan

    jika lignin sudah terekstraksi filtrat tidak memberikan endapan atau gumpalan,

    karena lignin dalam asam sulfat pekat akan membentuk endapan .

    Pengendapan ini terjadi karena lignin memiliki gugus hidroksil fenolat yang pada

    suasana asam mengalami protonasi, gugus hidroksil fenolat yang terionisasi akan

    berubah menjadi gugus hidroksil fenolat yang tidak terionisasi, akibatnya lignin

    tidak larut dan dapat dipisahkan dengan penyaringan.

    Mekanisme sederhana dari degradasi lignin oleh nukleofil basa kuat (OH) dapat

    dilihat pada Gambar IV.3 26

    Gambar IV 3 Mekanisme degradasi lignin oleh nukleofil OH

    O H

    C

    C-O

    H

    HOH2C

    H

    OCH3

    H3CO

    O R

    OH-

    H+

    O

    O C H 3

    CH

    C O

    H

    HO 2HC

    OCH 3

    + R O H

    O -

    O C H 3

    C H

    C H

    O

    H 3 C O

    + C H 2 O H+

  • 31

    Degradasi lignin diawali oleh penyerangan atom H yang terikat pada gugus OH

    fenolik oleh ion hidroksi (OH) dari NaOH. Atom H pada bagian tersebut bersifat

    asam karena terikat pada atom O yang memiliki keelektronegatifan besar. Atom O

    yang lebih elektronegatif akan menarik elektron pada atom H, sehingga atom H

    akan bermuatan parsial positif (+) dan mudah lepas menjadi ion H+. Keasaman juga dipengaruhi oleh efek resonansi dari gugus alkil pada posisi para, sehingga

    atom H pada gugus fenolik akan bersifat lebih asam.

    Reaksi selanjutnya adalah pemutusan ikatan aril-eter dan karbon-karbon

    menghasilkan fragmen yang larut dalam NaOH. Indikasi banyaknya lignin yang

    larut dapat dilihat dari randemen yang berkurang dan warna sampel lebih cerah.

    Perbedaan ke dua selulosa sebelum dan setelah dihilangkan ligninnya dapat dilihat

    pada Gambar IV.4 dan IV.5 berikut ini :

    Gambar IV 4 Sampel selulosa sebelum lignin dipisahkan

    Gambar IV 5 Sampel selulosa sesudah lignin dipisahkan

  • 32

    Tabel IV.2 Masa hasil isolasi

    Perc Masa Serbuk

    gergaji kayu

    Masa hasil

    ekstraksi

    Massa Selulosa

    yang dihasilkanRandemen

    1 10,00 gram 7,48 gram 4,35 gram 43,5 %

    2 10,00 gram 8,69 gram 5,45 gram 54,5 %

    Alkali kuat juga akan mengubah monosakarida maupun gugus-gugus ujung dalam

    polisakarida menjadi berbagai asam karboksilat. Polisakarida dengan ikatan 1,4

    glikosida dan hemiselulosa akan terdegradasi dengan mekanisme pemutusan

    ikatan dari ujung ke ujung . Bagian rantai selulosa yang tersisa dari proses ini

    adalah senyawa yang disebut

    selulosa (pulp). Mekanisme reaksi yang terjadi pada polimer selulosa adalah sebagai berikut :

    OHOH2C

    OH

    H

    HO HOH

    OH

    H

    H

    O

    OH

    O

    OH

    CH2OH

    O

    HOH2C

    OH

    HOH

    OH

    H

    Oselulosa

    OH-

    OO-

    OHH

    OH

    HOH2C

    HO

    selulosa

    OO-

    OHH

    OH

    HOC

    HO

    selulosaO

    O-

    OHH

    OH

    HOOC

    HO

    selulosa

  • 33

    Atau dapat juga terjadi oksidasi pada OH skunder

    Gambar IV 6 Reaksi degradasi selulosa 27

    Degradasi selulosa dapat juga terjadi akibat pemanasan (degradasi termal).

    Degradasi termal selulosa tidak terbatas pada pemutusan rantai molekul saja,

    tetapi terjadi juga reaksi dehidrasi dan oksidasi. Pemanasan dalam udara

    menyebabkan oksidasi gugus hidroksil yang menghasilkan gugus karbonil dan

    kemudian menjadi gugus karboksil. Jika suhu di atas 200oC degradasi selulosa

    akan membentuk senyawa yang mudah menguap dengan cepat. Jadi proses

    pulping dengan pemasakan soda memungkinkan terjadinya degradasi selulosa.27

    Produk pulp yang dihasilkan umumnya berwarna putih, namun pada percobaan ini

    berwarna coklat, hal ini dimungkinkan masih ada sisa lignin hasil depolimerisasi.

    Sisa kromofor ini dapat dihilangkan dengan proses bleaching (pemutihan).

    Proses bleaching bertujuan untuk menghilangkan sisa lignin dalam pulp. Pada

    proses ini molekul-molekul penyerap warna (mengandung kromofor) akan

    dioksidasi sehingga menjadi polar dan larut dalam air. Proses bleaching akan

    membuat warna pulp menjadi lebih cerah atau putih .28,31

    OO-

    OHH

    OH

    HOH2C

    HO

    selulosa

    OO-

    OH

    HOH2C

    HO

    selulosa

    OO-

    H

    OH

    HOH2C

    HO

    selulosa

    O

    O-

    HOH2C

    COOHselulosa

    O

    O

    O

    COOH

  • 34

    Sebagian besar reagen pemutih adalah oksidator kuat, dan reagen pemutih lebih

    menyerang lignin dibandingkan selulosa, karena molekul lignin banyak gugus

    kromofor atau ikatan rangkap yang kaya akan elektron. Pada percobaan ini reagen

    yang digunakan sebagai pemutih adalah larutan hipoklorit (kaporit) yang dibeli

    dipasaran dengan konsentrasi 30%, mengingat reagen tersebut murah, mudah

    didapat, serta tidak berbahaya. Ion hipoklorit yang bermuatan negatif merupakan

    nukleofil yang mudah diadisikan pada tempat tempat yang bermuatan positif

    pada lignin. Tempat-tempat tersebut adalah struktur karbonil dan ikatan rangkap

    terkonyugasi. Ion hipoklorit merupakan pengoksidasi kuat dan akan memecah

    ikatan C-C dalam struktur tersebut. Karbokation dan ikatan rangkap pada lignin

    dapat dilihat pada Gambar IV.7 berikut :

    Gambar IV 7 Karbokation dan ikatan konyugasi pada lignin

    Proses bleaching menggunakan kaporit berjalan lambat, akan tetapi dengan

    penambahan 1 gram NaOH padat proses bleaching berjalan lebih cepat, karena

    hipoklorit bekerja optimum pada pH 7 (netral).31 Selain itu penambahan NaOH

    membantu proses pelarutan sisa sisa lignin yang sudah teroksidasi menjadi

    senyawa polar yang mudah larut dalam pelarut polar.

    Reaksi oksidasi lignin saat bleaching dapat dilihat pada Gambar IV. 8 berikut :

    OCH3

    OH

    H

    OH

    H

    O

    OCH3

    -H2O

  • 35

    OCH 3

    O-

    Bleaching

    COOHCOOH

    Gambar IV 8 Reaksi Bleaching Selulosa

    Selulosa hasil isolasi dapat dilihat pada Gambar IV. 9 dan IV.10 berikut

    :

    Gambar IV 9 Selulosa hasil Isolasi sebelum proses pemutihan

    Gambar IV 10 Selulosa hasil isolasi sesudah proses pemutihan

  • 36

    IV.3 Asetilasi

    Reaksi asetilasi dilakukan dengan menggunakan asam anhidrida asetat sebagai zat

    pengasetilasi (acylating agent), asam sulfat sebagai katalis, dan asam asetat glasial

    sebagai pelarut. Proses asetilasi dilakukan selama 20 dan 42 jam pada suhu 37C dengan pengadukan secara teratur. Dari 2 gram selulosa yang diasetilasi, massa

    selulosa asetat yang dihasilkan pada proses 20 jam sebesar 2,4480gram,

    sedangkan pada proses 42 jam sebesar 2,2500 gram.

    Pada dasarnya reaksi yang terjadi adalah penggantian satu, dua atau tiga gugus

    hidroksil dalam unit glukosa dengan adanya katalis asam. Gugusgugus hidroksil

    pada selulosa dapat diesterifikasi dengan asam karboksilat menghasilkan suatu

    gugus ester.

    Mekanisme reaksi asetilasi yang terjadi adalah sebagai berikut :

    Gambar IV 11 Mekanisme reaksi asetilasi

    Reaksi ini diawali dengan terjadinya protonasi pada atom O pada gugus karbonil

    dalam asam asetat anhidrida membentuk karbo kation. Karbokation yang cukup

    reaktif ini merupakan suatu senyawa antara dimana terjadi muatan positif pada

    atom C yang berikatan dengan atom O yang terprotonasi. Dengan adanya

    karbokation ini maka substitusi nukleofilik akan mudah terjadi. Pada reaksi ini

    pasangan elektron yang tidak berikatan pada atom O pada gugus hidroksil akan

    CH 3CH 3CH 3

    +

    O

    O O H

    CH 3O

    HCH 3

    +

    -H +

    CH3

    CH3O

    O

    CH3

    O

    OHCH 3CH3

    O

    C

    OO H

    CH3O+

    H

  • 37

    menyerang karbo kation tersebut dan diikuti oleh eliminasi asam karboksilat dan

    H positif.

    Dalam reaksi asetilasi ini kedudukan OH pada atom C menentukan kereaktifan

    atom pada reaksi esterifikasi. Halangan sterik yang dimiliki gugus hidroksil pada

    atom C6 lebih kecil dibandingkan dengan atom C2 dan C3, sehingga reaksi

    esterifikasi cenderung terjadi pada atom C6 dibandingkan pada atom C2 dan atom

    C3. Dengan alasan yang sama kemungkinan tahap reaksi esterifikasi selanjutnya

    terjadi pada atom C3 dan terakhir pada C2. Dengan demikian reaksi esterifikasi

    triasetat pada selulosa berlangsung secara bertahap.

    Selulosa asetat hasil asetilasi dapat dilihat pada Gambar berikut :

    Gambar IV 12 Selulosa asetat dengan proses asetilasi 20 jam

    Gambar IV 13 Selulosa asetat dengan proses asetilasi 42 jam

  • 38

    IV.4 Penentuan Kadar Asetil

    Analisis ini bertujuan untuk menentukan kandungan asetil yang terdapat dalam

    molekul selulosa asetat, agar mengetahui golongan selulosa asetat yang terbentuk,

    apakah termasuk mono, di atau triasetat.

    Penentuan asetil ini didasarkan pada reaksi safonifikasi, yaitu mereaksikan suatu

    basa dengan ester membentuk sabun dan gugus asetat yang lepas sebagai asam.

    Tahap reaksi safonifikasi dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut :

    Tahap 1 :

    Tahap 2 :

    Persamaan 1. Reaksi safonifikasi selulosa asetat

    Persentase asetil dihitung dengan terlebih dahulu menentukan kandungan asam

    bebas sampel, melalui titrasi dengan NaOH

    Selanjutnya reaksi safonifikasi dilakukan dengan mereaksikan selulosa asetat

    dengan larutan NaOH, dan digunakan etanol sebagai swelling agent untuk

    membantu proses safonifikasi. Setelah reaksi berlangsung 3 hari, larutan hasil

    safonifikasi dititrasi dengan larutan HCl. Kemudian campuran ditambahkan HCl

    berlebih dan reaksi dibiarkan berlangsung 22 jam, dan campuran dititrasi balik

    dengan larutan NaOH.

    Berdasarkan metode ini diasumsikan semua gugus asetil terdeasetilasi. Selulosa

    asetat berubah menjadi garamnya dan asam asetat. Setelah 3 hari semua garam

    selulosa asetat dan asam asetat dianggap telah berubah menjadi selulosa dan asam

    OC

    O

    Rsel CH3+ NaOH

    H3CC

    O

    OH

    a +ONaRsel

    H3CC

    O

    OH

    a +H3C

    C

    O

    ONa+ONaRsel OH

    Rsel

  • 39

    asetat. Banyaknya NaOH yang bereaksi dengan selulosa asetat sama dengan

    jumlah gugus asetil yang dilepas. Mekanisme reaksi safonifikasi dapat dilihat

    pada Gambar IV. 14 berikut ini :

    Tahap 1 Penyerangan gugus karbonil oleh nukleofil

    Rsel OORsel C CH3

    O

    C CH3

    O-

    OH

    OH-

    Tahap 2 Pembentukan asam asetat dan selulosa

    HO C CH3

    O

    O-RselRsel O C CH3

    O-

    OH

    H3C C O-

    O

    OHRsel

    Gambar IV 14 Mekanisme reaksi safonifikasi selulosa asetat Secara teoritis jika kadar asetil lebih kecil dari 35% digolongkan selulosa

    monoasetat, antara 35%-43,5% termasuk selulosa diasetat, dan diatas 43,5%

    termasuk selulosa triasetat. Dari hasil perhitungan pada lampiran 15 didapatkan

    kadar asetil untuk proses asetilasi selama 20 jam 44,3%, dan proses asetilasi 42

    jam sebesar 40,7%.

    Memperhatikan hasil perhitungan hasil titrasi dapat disimpulkan bahwa asetilasi

    20 jam menghasilkan selulosa triasetat (persen asetil 44,32 % lebih besar dari

    43,5%), dan untuk asetilasi 42 jam menghasilkan selulosa diasetat (kadar asetil

    40,92 % lebih kecil dari 43,5%). Fakta ini didukung juga oleh analisis FTIR yang

    menunjukkan kadar asetil pada proses 20 jam lebih besar dibandingkan 42 jam.

  • 40

    Dari perbandingan serapan gugus karbonil dan hidroksil didapatkan fakta bahwa

    perbandingan karbonil dan hidroksil proses asetilasi 20 jam lebih besar

    dibandingkan proses asetilasi 42 jam. Pada asetilasi 20 jam diperoleh rasio gugus

    karbonil (C=O) dan OH adalah 3 : 2, sementara pada proses 42 jam diperoleh

    rasio gugus C=O dan OH adalah 1: 1. Selain dipengaruhi pelarut, perbedaan ini

    dapat disebabkan oleh transesterifikasi selama 42 jam terjadi deasetilasi kembali

    selulosa asetat.

    Menurut peneliti sebelumnya proses asetilasi selulosa asetat dari pulp eucalyptus

    alba membutuhkan waktu asetilasi optimal 2 jam dan terjadi hidrolisis kembali

    setelah 24 jam. 29 Demikian juga penelitian lainnya tentang asetilasi pulp kenaf

    membutuhkan waktu asetilasi 3 jam dan terjadi hidrolisis kembali setelah 20 jam. 30

    IV.5 Karakterisasi FTIR (Fourier Transform Infrared)

    Analisis gugus fungsi secara kualitatif pada selulosa sebelum atau sesudah

    asetilasi dilakukan dengan menginterpretasikan puncak-puncak serapan dari

    spektrum inframerah. Berdasarkan data literatur12, selulosa dapat dianalisa

    berdasarkan serapan gugus OH ulur yang muncul pada daerah serapan antara 3500

    cm-1-3700 cm-1. Spektrum selulosa sebelum diasetilasi memiliki gugus fungsi OH

    ulur yang muncul pada sekitar 3427 cm-1. Secara teori struktur siklik piranosa

    akan muncul pada puncak serapan sekitar 1150 cm-1, 1059 cm-1, 1022 cm-1.

    Spektrum ini diwakili oleh serapan yang muncul sekitar 1159 cm-1, 1058 cm-1 dan

    1022 cm-1. Dan pada daerah sidik jari terlihat puncak serapan C-O ulur diwakili

    oleh spektrum dengan puncak serapan pada bilangan gelombang 1022 cm-1 dan

    1058 cm-1. Pada puncak-puncak spektrum yang diperlihatkan menunjukkan

    adanya pengotor yang disebabkan adanya udara (CO2) yang terperangkap dalam

    pelet karena ketika membuat pellet tidak dilakukan dibawah sinar inframerah

    seperti yang disarankan dalam literatur atau masih adanya pelarut air (H2O) yang

    menyebabkan puncak yang teramati kurang bagus.

  • 41

    Spektrum IR selulosa dapat dilihat pada Gambar IV.15 berikut:

    Gambar IV 15 Spektrum IR selulosa

    Analisis gugus fungsi selulosa asetat dapat dilihat dari adanya puncak yang tajam

    pada bilangan gelombang 1755 cm-1 untuk gugus karbonil (C=O) dan sebaliknya

    terjadi penurunan intensitas gugus OH pada bilangan gelombang 3487 cm-1 yang

    menunjukkan adanya substitusi gugus OH oleh asetil. Kemudian teramati puncak

    serapan pada daerah 1238 cm-1 yang merupakan serapan gugus C-O ulur untuk

    ester. Serapan C-C cincin piranosa terlihat pada bilangan gelombang sekitar

    1163 cm-1 dan 1122 cm-1, 1043 cm-1. Pada proses 20 jam secara perhitungan %

    asetil menunjukkan gugus hidroksil seluruhnya tergantikan oleh gugus asetil.

    Namun kenyataannya masih ada serapan lebar OH pada panjang gelombang 3487

    cm-1, hal ini kemungkinan sampel masih mengandung air (H2O) yang belum

    menguap seluruhnya ketika dilakukan pengeringan dalam oven 80oC.

    50075010001250150017502000250030003500400045001/cm

    60

    65

    70

    75

    80

    85

    90

    95

    100

    %T

    3427

    .51

    2900

    .94

    1620

    .21

    1506

    .41

    1431

    .18

    1373

    .32

    1327

    .03

    1159

    .22

    1058

    .92

    1022

    .27

    selulosa 2

  • 42

    Spektrum IR selulosa asetat proses asetilasi selama 20 jam dapat dilihat pada

    Gambar IV.16 berikut :

    Gambar IV 16 Spektrum IR selulosa asetat asetilasi 20 jam

    50075010001250150017502000250030003500400045001/cm

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    100

    %T

    3487

    .30

    2958

    .80

    2625

    .12

    2372

    .44

    2121

    .70

    1755

    .22

    1631

    .78

    1433

    .11

    1375

    .25

    1238

    .30

    1163

    .08

    1122

    .57

    1043

    .49

    900.

    7687

    5.68

    690.

    5264

    6.15

    601.

    79

    476.

    4244

    9.41

    Selulosa asetat 1

  • 43

    Spektrum IR selulosa asetat proses asetilasi selama 42 jam dapat dilihat pada

    Gambar IV.17 berikut :

    Gambar IV 17 Spektrum IR selulosa asetat asetilasi 42 jam

    Dari dua spektrum memberikan informasi bahwa gugus asetil dari selulosa asetat

    yang dihasilkan pada proses asetilasi 20 jam intensitas serapannya lebih besar

    dibandingkan selulosa asetat hasil asetilasi selama 42 jam

    50075010001250150017502000250030003500400045001/cm

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    100

    %T34

    46.7

    9

    2935

    .66

    1747

    .51

    1635

    .64 15

    08.3

    314

    60.1

    114

    31.1

    813

    75.2

    5

    1244

    .09

    1157

    .29

    1124

    .50

    1045

    .42

    900.

    76

    601.

    79

    462.

    9240

    119

    Selulosa asetat 2

  • 44

    IV.6 Analisi DTA/TGA

    Termogram hasil analisis TGA /DTA untuk selulosa memperlihatkan adanya garis

    datar yang menunjukkan berat konstan serta memperlihatkan fase yang stabil pada

    selang temperatur tertentu. Sedang garis belok menurun berhubungan dengan

    pembentukan senyawa antara atau adsorbsi senyawa yang mudah menguap pada

    fase padat yang baru terbentuk. Pada suhu dibawah 100oC tidak mengubah

    struktur selulosa , pada termogram terlihat pengurangan massa sekitar 10,2%,

    karena hilangnya gas H2O, CO2 dan CO menguap akibat pemanasan. Sampai suhu

    264oC massa selulosa masih stabil, kemudian mengalami penurunan massa

    sampai suhu 339,7oC sebesar 52,6%. Penurunan massa ini terjadi karena

    putusnya ikatan glikosida menghasilkan glukosa, selanjutnya terjadi hidratasi

    menghasilkan 1,6anhidro--D-glukopiranosa dan oligosakarida, dan selanjutnya

    menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (asam-asam karboksilat), senyawa

    aldehid dan keton.

    Gambar IV 18 Degradasi termal selulosa menjadi 1,6anhidro--D-glukopiranosa

    Pada suhu ini uap air (H2O) , gas CO2, dan gas CO menguap dengan sempurna.

    Sekitar suhu 450oC senyawa-senyawa yang mudah menguap tidak ada lagi,

    akhirnya yang tersisa adalah char karbon (arang). 32, 33 Termogram selulosa dapat

    dilihat pada Gambar berikut :

    OCH2OH

    OH

    OH

    O

    OO

    CH2 O

    OH

    OHOH

    1,6anhidro--D-glukopiranosa Unit selulosa

  • 45

    Gambar IV 19 Hasil analisis DTA/TGA selulosa

    Analisis pada selulosa asetat mulai suhu 30oC sampai suhu 273oC terjadi

    penurunan massa sekitar 27,2% akibat menguapnya gas CO2, CO dan H2O,

    kemudian mengalami penurunan massa selulosa asetat secara drastis sebesar

    45,3% sampai suhu 315oC. Penurunan ini diakibatkan pecahnya ikatan siklik

    menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana terutama asam karboksilat,

    selanjutnya pemanasan berlanjut menghasilkan massa stabil, sampai suhu 450oC.

    Pada suhu ini zat-zat yang mudah menguap sudah tidak ada lagi, yang tersisa

    adalah arang karbon. 28

    Hasil analisis DTA/TGA untuk selulosa pada Gambar IV.19 dan selulosa asetat

    pada Gambar IV. 20 memperlihatkan temperatur degradasi untuk selulosa murni

    didapatkan sekitar 340oC, dan selulosa asetat didapatkan sekitar 315oC. Dari data

    itu dapat disimpulkan bahwa kestabilan termal selulosa lebih tinggi dibanding

    dengan selulosa asetat.

  • 46

    Gambar IV 20 Hasil analisis DTA/TGA selulosa asetat

    IV.7 Uji Kelarutan

    Adanya gugus asetil yang terikat pada selulosa asetat menyebabkan mudah larut

    dalam pelarut polar seperti aseton. Sebanyak 0,2 gram selulosa asetat proses

    asetilasi selama 20 jam dilarutkan dalam 2,0 ml aseton (massa jenis 0,79 gram/ml)

    ternyata hanya 0,13 gram yang terlarut. Maka prosentase kelarutan selulosa asetat

    yang didapatkan adalah 8,2 % atau 0,07 gram/ml untuk sampel 20 jam dan 10,1 %

    atau 0,08 gram/ml untuk sampel proses 42 jam (perhitungan terlampir).

    Kandungan asetil antara 36,5 % - 42,2 % dengan derajat substitusi 2,2 2,7

    mudah larut dalam aseton, sedangkan kandungan asetil 43,0% - 44,8% dengan

    derajat substitusi 2,83,0 mudah larut dalam khloroform.18 Hal inilah yang

    menyebabkan sampel proses 20 jam, % kelarutannya dalam aseton lebih kecil

    dibandingkan proses asetilasi selama 42 jam .