PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat....

6
1 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah padat terbesar dari pabrik minyak CPO. Komponen utama TKKS adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang umum disebut lignoselulosa. Kandungan lignin yang tinggi pada TKKS menyebabkan kendala dalam pemanfaatan selulosa murni bagi industri yang berbahan baku selulosa. Produksi glucose dari TKKS melalui cara konvensional mebutuhkan biaya yang tinggi. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi TKKS menjadi glucose dengan menggunakan kombinasi fungi Tricodherma harzianum (TH) dan Phanerochaete chrysosporium (PC) pada proses degradasi lignin, kemudian dilanjutkan proses degradasi cellulose dan hemicellulose yang menggunakan penambahan fungi Aspergillus niger (AN) dan Tricodherma viride (TV). Metode penelitian ini menggunakan 2 tahap utama yaitu fungal treatment 1 dan fungal treatment 2. Bahan baku yang digunakan adalah TKKS, sedangkan jamur yang digunakan adalah jamur Phanaerochaete chrysosporium, Tricodherma harzianum, Aspergillus niger dan Tricodherma viride. Proses fungal treatment dilakukan pada suhu 37 o C dan pH 4 6 disertai dengan pengadukan sebesar 50 rpm. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan proses fungal treatment terbaik terdapat pada fungal treatment 2 dengan ratio PC:TH = 2:1, dengan penurunan lignin sebesar 84,72%, penurunan hemiselulosa sebesar 16,209%, penurunan selulosa sebesar 13,328% dan kenaikan glukosa sebesar 119,95%. Kata KunciAspergillus niger, Phanaerocaete chrysosporium, Tandan Kosong Kelapa Sawit, Tricodherma harzianum, Tricodherma viride. I. PENDAHULUAN K elapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan bagi perekonomian Indonesia. Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm Oil (CPO) yang tinggi merupakan keunggulan dari komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan menyebutkan pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 5.358.423 hektar dengan total produksi minyak hingga 10.683.756 ton (Ditjenbun, 2008). Dalam proses produksi CPO dihasilkan banyak limbah yang masih belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah padat terbesar dari pabrik minyak CPO. Komponen utama TKKS adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang umum disebut lignoselulosa (Darnoko, 1992). Kandungan lignin yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu menyebabkan kendala dalam pemanfaatan selulosa murni bagi industri yang berbahan baku selulosa seperti industri pulp dan kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini menggunakan mikroorganisme dalam rangka biodelignifikasi. Mikroorganisme yang berperan penting dalam biodelignifikasi adalah Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan biodelignifikasi disebabkan oleh enzim ligninolitik ekstraselular yang dihasilkannya (Kirk & Chang 1990). Enzim ligninolitik ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase (MnP) (Gold & Alic 1993). Produksi enzim ligninolitik dari limbah lignoselulosa mempunyai arti penting karena selain dapat mengatasi masalah limbah organik lignoselulosa, juga dapat memberi nilai tambah dari limbah tersebut. TKKS mengandung Hemiselulosa sebanyak 28 persen. Dari 28 persen tersebut mengandung xilosa sebanyak 33 persen (Kwei Nam-Law, 2010). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa limbah TKKS memilki potensi yang besar jika dimanfaatkan untuk industri glucose. Potensi ini ditunjang dengan fakta bahwa glucose memiliki manfaat di berbagai bidang industri seperti makanan, obat-obatan, alkohol, aseton butanol atau biopolimer dan sudah dipakai secara luas di hampir seluruh negara di dunia, seperti Eropa, Amerika, serta Asia, sehingga glucose mempunyai peluang besar untuk komoditi ekspor yang unggul. (Darnoko, 1992) Produksi glucose dari TKKS melalui cara konvensional memang memerlukan biaya yang cukup tinggi karena selain diperlukan energi yang tinggi juga bahan baku utamanya adalah cellulose murni, serta glucose yang dihasilkan pun masih memerlukan proses pemurnian untuk memenuhi standar pada industri obat dan makanan yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi . Maka diperlukan proses bioteknologi dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mengganti proses produksi kimia yang diharapkan lebih ekonomis. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi TKKS menjadi glucose dengan menggunakan kombinasi fungi Tricodherma harzianum dan Phanerochaete chrysosporium PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN PROSES FUNGAL TREATMENT Aldino J.G 1 , Fanandy K 1 , S.R. Juliastuti *1 ,Nuniek H 1 , Sumarno 1 *1) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya, 60111 Indonesia Phone : 031-5940374, Fax : 031-5999282 * Email : [email protected]

Transcript of PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat....

Page 1: PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara ... dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa

1

Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah

padat terbesar dari pabrik minyak CPO. Komponen utama

TKKS adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang umum

disebut lignoselulosa. Kandungan lignin yang tinggi pada TKKS

menyebabkan kendala dalam pemanfaatan selulosa murni bagi

industri yang berbahan baku selulosa. Produksi glucose dari

TKKS melalui cara konvensional mebutuhkan biaya yang tinggi.

Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi

TKKS menjadi glucose dengan menggunakan kombinasi fungi

Tricodherma harzianum (TH) dan Phanerochaete chrysosporium

(PC) pada proses degradasi lignin, kemudian dilanjutkan proses

degradasi cellulose dan hemicellulose yang menggunakan

penambahan fungi Aspergillus niger (AN) dan Tricodherma viride

(TV). Metode penelitian ini menggunakan 2 tahap utama yaitu

fungal treatment 1 dan fungal treatment 2. Bahan baku yang

digunakan adalah TKKS, sedangkan jamur yang digunakan

adalah jamur Phanaerochaete chrysosporium, Tricodherma

harzianum, Aspergillus niger dan Tricodherma viride. Proses

fungal treatment dilakukan pada suhu 37 oC dan pH 4 – 6 disertai

dengan pengadukan sebesar 50 rpm. Dari hasil penelitian yang

telah dilakukan didapatkan proses fungal treatment terbaik

terdapat pada fungal treatment 2 dengan ratio PC:TH = 2:1,

dengan penurunan lignin sebesar 84,72%, penurunan

hemiselulosa sebesar 16,209%, penurunan selulosa sebesar

13,328% dan kenaikan glukosa sebesar 119,95%.

Kata Kunci— Aspergillus niger, Phanaerocaete chrysosporium,

Tandan Kosong Kelapa Sawit, Tricodherma

harzianum, Tricodherma viride.

I. PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah

satu komoditas perkebunan andalan bagi perekonomian

Indonesia. Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm

Oil (CPO) yang tinggi merupakan keunggulan dari

komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan menyebutkan

pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit di

Indonesia mencapai 5.358.423 hektar dengan total

produksi minyak hingga 10.683.756 ton (Ditjenbun,

2008). Dalam proses produksi CPO dihasilkan banyak

limbah yang masih belum dimanfaatkan secara

maksimal sehingga berpotensi mencemari lingkungan.

Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan

limbah padat terbesar dari pabrik minyak CPO.

Komponen utama TKKS adalah lignin, selulosa, dan

hemiselulosa yang umum disebut lignoselulosa

(Darnoko, 1992). Kandungan lignin yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu

menyebabkan kendala dalam pemanfaatan selulosa murni bagi

industri yang berbahan baku selulosa seperti industri pulp dan

kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara

untuk mengatasi masalah ini menggunakan mikroorganisme

dalam rangka biodelignifikasi. Mikroorganisme yang berperan

penting dalam biodelignifikasi adalah Fungi Pelapuk Putih

(FPP) dari kelas Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan

biodelignifikasi disebabkan oleh enzim ligninolitik

ekstraselular yang dihasilkannya (Kirk & Chang 1990). Enzim

ligninolitik ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin

peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase (MnP) (Gold &

Alic 1993). Produksi enzim ligninolitik dari limbah

lignoselulosa mempunyai arti penting karena selain dapat

mengatasi masalah limbah organik lignoselulosa, juga dapat

memberi nilai tambah dari limbah tersebut.

TKKS mengandung Hemiselulosa sebanyak 28 persen. Dari

28 persen tersebut mengandung xilosa sebanyak 33 persen

(Kwei Nam-Law, 2010). Dari data tersebut dapat

disimpulkan bahwa limbah TKKS memilki potensi yang besar

jika dimanfaatkan untuk industri glucose. Potensi ini ditunjang

dengan fakta bahwa glucose memiliki manfaat di berbagai

bidang industri seperti makanan, obat-obatan, alkohol, aseton

– butanol atau biopolimer dan sudah dipakai secara luas di

hampir seluruh negara di dunia, seperti Eropa, Amerika, serta

Asia, sehingga glucose mempunyai peluang besar untuk

komoditi ekspor yang unggul. (Darnoko, 1992)

Produksi glucose dari TKKS melalui cara konvensional

memang memerlukan biaya yang cukup tinggi karena selain

diperlukan energi yang tinggi juga bahan baku utamanya

adalah cellulose murni, serta glucose yang dihasilkan pun

masih memerlukan proses pemurnian untuk memenuhi standar

pada industri obat dan makanan yang menyebabkan

meningkatnya biaya produksi . Maka diperlukan proses

bioteknologi dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk

mengganti proses produksi kimia yang diharapkan lebih

ekonomis.

Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi

TKKS menjadi glucose dengan menggunakan kombinasi fungi

Tricodherma harzianum dan Phanerochaete chrysosporium

PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG

KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL

SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN

PROSES FUNGAL TREATMENT Aldino J.G

1, Fanandy K

1, S.R. Juliastuti

*1,Nuniek H

1, Sumarno

1

*1) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya, 60111 Indonesia

Phone : 031-5940374, Fax : 031-5999282 *Email : [email protected]

Page 2: PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara ... dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa

2

pada proses degradasi lignin, kemudian dilanjutkan proses

degradasi cellulose dan hemicellulose dengan fungi

Aspergillus niger dan Tricodherma viride

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan

Bahan – bahan yang digunakan yaitu Tandan kosong kelapa

sawit (TKKS), Potatoes Dextrose Agar (PDA), Tricodherma

harzianum, Phanerochaete chrysosporium, Tricodherma

viride, Aspergillus niger, Asam/basa (H2SO4 dan CH3COOH /

NaOH), glukosa, agar.

B. Peralatan

Peralatan yang digunakan yaitu waterbath, agitator,

peralatan gelas, autoclave, incase, incubator.

C. Cara Kerja

Pretreatment Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

TKKS dicuci untuk menghilangkan debu dan pengotor

lainnya. Lalu TKKS dipotong menjadi potongan-potongan

kecil. Kemudian TKKS tersebut direbus / dimasak. Setelah

dikeringkan, potongan TKKS tersebut digiling menjadi serbuk

dan diayak sampai dengan ukuran 20 mesh. Setelah itu

dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan

glukosa dalam TKKS.

Fungal Treatment

Tricodherma harzianum, Aspergillus niger, Tricodherma

viride, dan Phanerochaete chrysosporium dibiakkan pada

Potato Dextrose Agar (PDA). Jumlah jamur dihitung

menggunakan mikroskop (counting chamber). Konsentrasi

jamur yang diperlukan pada Tricodherma harzianum adalah 5

x 106 sel/mL, pada Aspergillus niger adalah 5 x 10

6 sel/mL,

pada Tricodherma viride adalah 5 x 106

sel/mL, dan pada

Phanerochaete chrysosporium adalah 5 x 106 sel/mL. (Pada

kondisi log phase masing-masing jamur). Bubur TKKS dibuat

dengan menambahkan air ke TKKS dengan rasio berat TKKS

: Air = 3:5 (w/w). Delignifikasi dan proses hidrolisis pada

TKKS dilakukan dengan menambahkan jamur Tricodherma

harzianum, Phanerochaete chrysosporium, dan dibiakkan

selama 5 hari sebagai proses fungal treatment 1. Aspergillus

niger, dan Tricodherma viride dengan konsentrasi tertentu

(sesuai variable), ditambahkan pada hari ke-5, dan fungal

treatment dilanjutkan sampai hari ke-9 sebagai proses fungal

treatment 2. Kondisi operasi proses fungal treatment dijaga

37oC pada pH 4-6 disertai pengadukan 50 rpm.

Pengolahan Data Hasil Penelitian

Metode Chesson (Datta 1981)

Satu gram sampel kering (berat a) ditambahkan 150 mL

H2O dan direfluk pada suhu 100 oC dengan water bath selama

1 jam. Hasilnya disaring, residu dicuci dengan air panas 300

mL. Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai

beratnya konstan dan kemudian ditimbang (berat b). Residu

ditambah 150 mL H2SO4 1 N, kemudian direfluk dengan water

bath selama 1 jam pada suhu 100 oC. Hasilnya disaring dan

dicuci sampai netral (300 mL) dan residunya dikeringkan

hingga beratnya konstan. Berat ditimbang (berat c). Residu

kering ditambahkan 100 mL H2SO4 72% dan direndam pada

suhu kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N

dan direfluk pada suhu 100 oC dengan water bath selama 1 jam

pada pendingin balik. Residu disaring dan dicuci dengan H2O

sampai netral (400 mL). Residu kemudian dipanaskan dengan

oven dengan suhu 105oC sampai beratnya konstant dan

ditimbang (berat d). Selanjutnya residu diabukan dan

ditimbang (berat e)

Kadar Air (% berat) =

Kadar Hemiselulosa (%berat) =

Kadar Selulosa (% berat) =

Kadar Lignin (% berat) =

Kadar Abu (% berat) =

Dengan : Massa A = Oven dry weight (ODW) awal

sampel biomassa lignoselulosa

Massa B = Oven dry weight (ODW) residu

sampel direfluk dengan air panas

Massa C = Oven dry weight (ODW) residu

sampel setelah direfluk dengan 1

N H2SO4

Massa D = Oven dry weight (ODW) residu

sampel setelah direndam H2SO4

72% dan ditambah H2SO4 1 N

kemudian direfluk

Massa E = Abu dari residu sampel

Dinitrosalisilat (DNS)

A. Prosedur Pembuatan Larutan Standar Glukosa

Sebelum analisa DNS dilakukan perlu membuat

larutan standar glukosa terlebih dahulu. Langkah yang

pertama dilakukan ialah membuat larutan persediaan

dengan cara mencampurkan 0,9 g glukosa dalam 100 mL

aquadest. Membuat larutan standar glukosa dengan

mengencerkan larutan persediaan (1) dengan pengenceran

1 : 1 (tanpa pengenceran), 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4 dan 1 : 5.

B. Prosedur Pembuatan Larutan DNS

Selanjutnya untuk membuat larutan DNS yang

pertama dilakukan ialah melarutkan 16 g NaOH dalam

200 mL aquades, kemudian ditambahkan 10 g larutan

DNS dan diaduk menggunakan stirrer sampai benar-benar

larut. Melarutkan 30 g NaK-tartrat dan 8 g Na-

metabisulfit kedalam 500 ml aquadest. Mencampurkan

larutan (1) dengan (2) dan ditambahkan aquades sampai

1000 mL.

C. Prosedur Pembuatan Kurva Standar Glukosa

Setelah membuat larutan standar glukosa dan larutan

DNS, selanjutnya membuat kurva standar glukosa yang

nanti akan digunakan untuk menganalisa sampel proses

fermentasi-ekstraktif. Langkahnya adalah mencampurkan 2

Page 3: PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara ... dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa

3

Gambar. 3. Grafik kadar hemiselulosa yang hilang setelah proses Fungal

treatment.

Gambar. 1. Grafik kadar lignin yang hilang setelah proses Fungal

treatment.

Gambar. 2. Grafik kadar selulosa yang hilang setelah proses Fungal

treatment.

mL larutan persediaan yang mengandung glukosa dengan 3

mL larutan DNS. Memanaskan campuran dalam air

mendidih selama 15 menit. Lalu mendinginkan campuran

menggunakan es atau air mengalir. Mengulangi langkah

sebelumnya untuk konsentrasi larutan glukosa berbeda.

Mengukur dan mencatat absorbansi pada

spektrophotometer dengan panjang gelombang 540 nm.

Membuat grafik dengan memplot antara kadar glukosa

sebagai gula reduksi dengan absorbansi.

D. Prosedur Pembuatan Larutan Blanko

Untuk menganalisa perlu larutan blanko. Pembuatan

larutan blanko dilakukan dengan mencampurkan 2 mL

aquades dengan 3 mL larutan DNS. Memanaskan

campuran dalam air mendidih selama 5 menit.

Mendinginkan campuran tersebut menggunakan es atau air

mengalir.

E. Prosedur Analisa Sampel

Untuk menganalisa sampel hasil fermentasi-ekstraktif,

prosedurnya ialah mencampurkan 2 mL larutan sampel

yang telah diencerkan 50 kali menggunakan aquades

dengan 3 mL larutan DNS. Memanaskan campuran dalam

air mendidih selama 15 menit. Mendinginkan campuran

tersebut menggunakan es atau air mengalir. Mengulangi

langkah tersebut untuk sampel yang berbeda. Mengukur

dan mencatat absorbansi pada spektrofotometer dengan

panjang gelombang 540 nm. Mensubstitusi absorbansi yang

diperoleh dengan persamaan dari kurva standar glukosa.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses fungal treatment dilakukan dengan dua tahapan,

fungal treatment 1 dilakukan dari hari ke-0 hingga hari ke-5

dengan menggunakan jamur Phanaerochaete chrysosporium

dan Tricodherma harzianum dengan variabel perbandingan

1:1, 2:1, dan 1:2 (%v/v), kemudian dilanjutkan fungal

treatment 2 dari hari ke-5 hingga hari ke-9 dengan

penambahan jamur Aspergillus niger dan Tricodherma viride

sebesar 2:1 (%v/v). Besar perubahan kandungan lignin,

selulosa dan glukosa ditampilkan pada gambar 1, 2, 3, 4 dan 5.

Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa Fungal treatment 2

pada setiap variabel run menunjukkan penurunan kadar lignin

dalam TKKS lebih besar dari Fungal treatment 1. Hal ini

disebabkan karena pada fungal treatment 2 terdapat

penambahan jamur A.niger (AN) dan T.viride (TV) pada hari

ke-5 dimana AN memiliki kemampuan mendegradasi lignin

sebagai sumber karbonnya sedangkan TV tidak dapat

menggunakan karbon pada lignin sebagai sumber karbonnya

karena TV hanya bekerja secara spesifik terhadap karbon pada

selulosa.

Selain itu juga lama waktu 9 hari pada Fungal treatment 2

memungkinkan jamur PC, TH, AN, dan TV mencapai fasa

pertumbuhan logaritmiknya yang menyebabkan PC secara

optimal menghasilkan enzim pendegradasi lignin berupa

lakase, LiP dan MnP sedangkan TH menghasilkan lakase

dimana enzim tersebut merupakan enzim yang mampu

mendegradasi lignin. LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin

melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation

yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus

ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin

lignin dan reaksi lain (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 2001).

MnP mengoksidasi Mn2+

menjadi Mn3+

(Hofrichter 2002).

Sifat reaktif Mn3+

yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin

fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti

dengan dekomposisi lignin secara spontan (Hatakka 2001,

Hofrichter 2002). Laccase mengoksidasi cincin fenolik lignin

menjadi radikal fenoksil (Hatakka 2001)

Page 4: PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara ... dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa

4

Gambar. 4. Grafik kadar glukosa yang terbentuk setelah Fungal treatment.

Gambar. 5. Grafik persen pembentukan glukosa setelah proses Fungal

treatment pada FT 2 terhadap FT 1

Gambar 2 dan 3 dapat dilihat bahwa penurunan kadar

hemiselulosa dan selulosa lebih efektif pada proses fungal

treatment 2. Hal ini disebabkan dari struktur TKKS yang

merupakan lignoselulotic material yang sebagian besar terdiri

dari lignin. Keberadaan lignin disini adalah sebagai dinding

yang melapisi selulosa, sehingga jika ingin mendapatkan

selulosa maka lignin harus didegradasi terlebih dahulu seperti

pada Fungal treatment 2 dimana proses ini merupakan

lanjutan dari fungal treatment 1 yang bertujuan untuk

mendegradasi lignin dengan menggunakan P.chrysosporium

dan T.harzianum kemudian dilanjutkan dengan proses Fungal

treatment 2 dengan penambahan A.niger dan T.viride guna

menguraikan hemiselulosa dan selulosa yang terdapat didalam

TKKS.

Gambar 5 menunjukkan bahwa terdapat kenaikan

pembentukan glukosa pada proses fungal treatment 2 terhadap

proses fungal treatment 1 untuk masing – masing variabel.

Persen pembentukan glukosa tertinggi sebesar 119,95% oleh

Fungal treatment 2 dengan perbandingan PC:TH = 2:1

terhadap proses fungal treatment 1. Sedangkan pada treatment

yang lain diperoleh % pembentukan glukosa sebesar 109,96%

(pada Fungal treatment 2 dengan ration PC:TH = 1:1) dan

118,04% (pada Fungal treatment 2 dengan ration PC:TH =

1:2). Hal ini disebabkan karena adanya jamur P.chrysosporium

dan T.harzianum yang mampu mendegradasi lignin pada saat

proses fungal treatment 1 sehingga proses hidrolisa selulosa

menjadi glukosa oleh A.niger dan T.viride pada fungal

treatment 2 berjalan secara efektif dan glukosa yang dibentuk

lebih banyak. Sedikitnya kenaikan glukosa pada fungal

treatment 2 terhadap fungal treatment 1 disebabkan oleh

sedikitnya waktu yang diberikan pada campiran AN dan TV

pada saat proses fungal treatment yang hanya memakan waktu

4 hari dibandingkan dengan campuran fungi PC dan TH yang

sudah ada selama 9 hari didalam reaktor.

Pada gambar 2, 3 dan 4 dapat diketahui bahwa jumlah

glukosa yang terbentuk tidak sama dengan jumlah selulosa dan

hemiselulosa yang terurai, hal ini terjadi karena pada hidrolisa

selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa melalui reaksi

secara enzimatis selulosa tidak langsung terhidrolisa menjadi

glukosa tetapi menjadi selubiosa terlebih dahulu dan dalam

penelitian ini, jumlah selubiosa yang terbentuk tidak dianalisa

(Chen ming dkk, 2007). Tidak hanya itu hidrolisa selulosa

menjadi glukosa dimungkinkan berlanjut menjadi ethanol yang

kemudian hilang karena terjadi penguapan pada saat proses

fermentasi. Selain itu faktor kelembaban (moisture) juga

berpengaruh terhadap jumlah karbon yang terkonsumsi. Fungi

jenis Tricodherma harzianum dan Phanaerochaete

chrysosporium umumnya baik hidup pada kelembaban 100 –

200%, sehingga pada kelembaban tersebut karbon yang

dikonsumsi lebih banyak. (keller et al, 2003)

Dari gambar 1, 2.3, 4 dan 5 dapat dilihat bahwa dari ketiga

variabel Run 1 dengan perbandingan PC dan TH sebesar 1:1,

Run 2 dengan 2:1, dan Run 3 dengan 1:2 dapat diketahui

bahwa Fungal treatment 2 Run 2 dengan perbandingan PC dan

TH sebesar 2:1 (%v/v) memiliki tingkat efektifitas yang paling

baik. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya kadar lignin,

hemiselulosa dan selulosa yang hilang pada gambar 1 sebesar

84,72%, gambar 2 sebesar 13,328% dan gambar 3 sebesar

16,209% sedangkan besar kenaikan glukosa yang dihasilkan

ditunjukkan pada gambar 5 yaitu sebanyak 119,95% untuk

metode DNS dan 134,826% untuk metode HPLC. Hal ini

disebabkan karena jamur P.chrysosporium lebih dominan

daripada T.harzianum, dimana P.crysosporium ini tidak hanya

mampu mendegradasi lignin dengan 3 enzim lignoselulotik

seperti lakase, LiP, dan MnP yang mampu mendegradasi lignin

secara optimal juga mampu menghasilkan enzim selulotik

berupa xylanase dan selulase yang dapat menhidrolisa selulosa

menjadi glukosa sedangkan T.harzianum hanya menghasilkan

enzim lakase saja yang berfungsi untuk mendegradasi lignin.

Adanya T.harzianum ini berfungsi sebagai biokontrol terhadap

bakteri penganggu mengingat sifat dari jamur ini patogen

terhadap mikroorganisme. Sehingga jalannya proses fungal

treatment menjadi lebih optimal.

Adanya penambahan A.niger dan T.viride menjadikan

proses degradasi lignin dan hidrolisa selulosa menjadi glukosa

semakin efektif. Karena jamur A.niger selain menghasilkan

enzim yang dapat menghidrolisa selulosa menjadi glukosa juga

mampu mendegradasi lignin. Sedangkan T.viride hanya

menghasilkan selulotik termasuk endoglukanase,

eksoselobiohidrolase, dan b-glikosidase. Ketiga enzim ini

bekerja secara sinergis dalam mendegradasi selulosa menjadi

glukosa. Sehingga glukosa yang terbentuk pada Fungal

treatment 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Fungal treatment

1.

Lain halnya dengan Run 3 dengan perbandingan PC dan

TH sebesar 1:2. Pada variabel ini baik penurunan lignin,

selulosa dan hemiselulosa maupun kenaikan glukosa yang

dihasilkan memiliki nilai yang paling rendah daripada variabel

Page 5: PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara ... dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa

5

yang lain yakni sebesar 45,91% untuk lignin, 7,905% untuk

selulosa dan 8,581% untuk hemiselulosa sedangkan untuk

kenaikan glukosa FT 2 terhadap FT 1 hanya sebesar 118,04%.

Hal ini disebabkan karena sifat dari T.harzianum yang bersifat

patogen terhadap mikroorganisme lain. Dengan komposisi

yang dominan menyebabkan kinerja dari bakteri lain

terhambat. Sehingga proses fermentasi degradasi lignin dan

hidrolisa selulosa menjadi tidak berjalan dengan baik.

IV. KESIMPULAN/RINGKASAN

Proses fungal treatment terbaik terdapat pada fungal

treatment 2 dengan ratio PC:TH = 2:1, dengan penurunan

lignin sebesar 84,72%, penurunan hemiselulosa sebesar

16,209%, penurunan selulosa sebesar 13,328% dan kenaikan

glukosa sebesar 119,95%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. Petrokimia

Gresik yang telah membantu dalam menyediakan bahan baku

berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit dan fungi yang

digunakan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Adaskaveg, J.E., R.L. Gilbertson and M.R. Dunlap. 1995. Effects of

incubation time and temperature on in vitro seceltive delignification

of silver leaf oak by Ganoderma colossum. Appl. Environ. Microbiol.

61:138-144.

[2]. Alexopoulos C.J., Mims C.W., Blackwell M. 1996. Introductory

Mycology. Ed. Ke-4. New York: John Willey and Sons Inc.

[3]. Arif W, Ferry, Musmuriadi. 2004. Jurnal : Pengaruh Berbagai

Konsentrasi Mediator Pada Biodelignifikasi Menggunakan Enzim

Kasar Lignin Peroksidase. Teknik Kimia ITS, Surabaya.

[4]. Bajpai S.M and Anantharaman, N., 2006, Activity Enhancement of

Ligninolytic Enzymes of Trametes versicolor with Bagasse Powder,

African Journal of Biotech.,5, 189-194

[5]. Blanchette R.A. 1995. Degradation of lignocellulose complex in wood.

Can. J. Bot. 73 (Suppl. 1):S999-S1010.

[6]. Blanchette R.A., K.R. Cease and A.R. Abad. 1991. An evaluation of

different forms of deterioration found in archaeological wood. Int.

Biodeter. 28:3-22.

[7]. Chahal P.S. and D.S. Chahal. 1998. Lignocellulosic Waste: Biological

Conversion. In: Martin, A.M. [eds]. Bioconversion of Waste Materials

to Industrial Products. Ed ke-2. London: Blackie Academic &

Professional. pp. 376-422.

[8]. Darnoko, Z. Poeloengan & I. Anas 1992. Pembuatan pupuk organik

dari tandan kosong kelapa sawit. Buletin Penelitian Kelapa Sawit, 2 ,

89-99.

[9]. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Pendataan Lengkap

Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2008.

www.ditjenbun.go.id.[26 July 2008]

[10]. Djumali Mangunwidjaja., Anas M.F., Sukardi., Wagiman. 2009.

Rekayasa Produksi Bioetanol Dari Biomassa Lignoselulosa Tanaman

Jagung Sebagai Energi Terbarukan.

[11]. Dumanauw JF. 2001. Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius.

[12]. Erickson K.E.L., Blanchette R.A., Ander P. 1990. Microbiol and

Enzymatic Degradation of Wood and Wood Component. Berlin:

Spinger-Verlag..

[13]. Fan, L. T., Y. H. Lee dan M. M. Gharpuray. 1982. The nature of

lignocellulosics and their pretreatments for enzymatic hydrolysis.

Adv. Biochem. Eng. 23: 158-187.

[14]. Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-

Reaksi. Diterjemaahkan oleh Sastrohamidjojo, H. Terjemahan dari :

Wood : Chemical, Ultrastructure, Reactions. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

[15]. Gold M.H. and M. Alic. 1993. Molecular biology of the lignin-

degrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Microbiol.

Rev. 57:605-622.

[16]. Hammel K.E. 1996. Extracellular free radical biochemistry of

ligninolytic fungi. New J Chem 20:195-198.

[17]. Hammel K.E. 1997. Fungal Degradation of Lignin. Di Dalam: Cadisch

G, Giller KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And

Decompostion. London: CAB International. hlm. 33-45.

[18]. Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbüchel A. [ed]

Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic Substances and Coal. Germany:

Wiley VCH. pp. 129-180.

[19]. Hatakka A. 1994. Lignin-modifying enzymes from selected white-rot

fungi: production and role in lignin degradation. FEMS Microbiol.

Rev. 13: 125-135.

[20]. Herliyana E.N. 1997. Studi Pertumbuhan Fungi White-Rot

Phanerochaete chrysosporium Pada Berbagai Macam Suhu, pH Media

dan Sumber N. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[21]. Highley T.I, T.K Kirk. 1979. Mechanisme of Wood Decay an The

Unique Features of Heartrots. Symposium on Wood Decay J. 69 : 1151

– 1157.

[22]. Higley T.L, Dashek W.V. 1998. Biotechnology in the Study of Brown

and White rot Decay. Di dalam : Bruce A, Palfreyman JW, editor.

Forest Products Biotechnology. Taylor & Francis Ltd, London. hlm.

15 – 36.

[23]. Hofrichter M. 2002. Review: Lignin conversion by manganese

peroxidase (MnP). Enzyme Microbiol. Technol.30:454-466.

[24]. Howard, R.T., Abotsi, E., Jansen van Rensburg, E.L and Howard, S.,

2003, Lignocellulose Biotechnology : Issue of Bioconversion and

Enzymes Production, African Journal of Biotech., 2. 602-619

[25]. Johjima T., N. Itoh, M. Kabuto, F. Tokimura, T.Nakagawa. H. Wariishi

and H. Tnaka. 1999. Directinteraction of lignin and lignin peroxidase

fromPhanerochaete chrysosporium. Proc. Natl. Acad. Sci. 96:1989-

1994.

[26]. Kirk KT, Chang HM. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper

Manufacture. New York: Butterworth-Heinemann.

[27]. Kirk T.K. and R.L. Farrell. 1987. Enzymatic “combustion”:the

microbial degradation of lignin. Ann. Rev. Microbiol. 41,465-505.

[28]. Kuhad, R.C., Singh, A. and Eriksson, K.E.L. (1997) Mi-croorganisms

and enzymes involved in the degradation of plant fiber cell walls.

Advances in Biochemical Engi-neering/Biotechnology, 57, 45-125.

doi:10.1007/BFb0102072

[29]. Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl WH and I.S. Pretorius. 2002.

Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology.

Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3):506-577.

[30]. Orth A.B., D.J. Royse, M. Tien. 1993. Ubiquity of lignindegrading

peroxidases among various wood-degrading fungi. Appl Environ

Microbiol 59:4017-4023.

[31]. Perez J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002.

Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose

and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5:53-63.

Page 6: PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG … · kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara ... dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa

6

[32]. Purwito dan Firmanti A. 2005. Pemanfaatan Limbah Sawit Untuk

Bahan Pencegah Serangan Rayap Tanah. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. 89 hal.

[33]. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Aplikasi Kompos TKS Pada

Kelapa Sawit TM. Publikasi Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

[34]. Rayner A.D.M., Boddy L. 1988. Fungal decomposition of wood. Great

Britain: John Wiley & Sons.

[35]. Richana N, Prastowo B, Purwantana B, Nuralamsyah A. 2011.

Diversifikasi Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Biofuel Generasi 2

dan Reduksi 3 MCPD. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perkebunan. 106 hal.

[36]. Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit. Yogyakarta: Kanisius.

[37]. Sjöberg, G. 2003. Lignin degradation: Long-term effects of nitrogen

addition on decomposition of forest soil organic matter. [disertasi].

Uppsala: Dep. Soil Sci. Swedish University of Agricultural Sciences.

[38]. Sjostrom, Eero.1995. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan Edisi

Kedua

[39]. Steffen, K.T. 2003. Degradation of recalcitrant biopolymers and

polycyclic aromatic hydrocarbons by litter-decomposing

basidiomycetous fungi. [disertasi]. Helsinki: Division of Microbiology

Department of Applied Chemistry and Microbiology Viikki Biocenter,

University of Helsinki

[40]. Sun, Y., dan Cheng, J. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials

for ethanol production: a review. Bioresour. Technol. 83, 1 – 11.

[41]. Syafwina, Honda Y, Watanabe T, Kuwahara M. 2002. Pretreatment of

Oil Palm Empty Fruit Bunch by White Rot Fungi for Enzymatic

Saccharification. Wood Res. 89: 19-20.

[42]. Vähätalo A.V., K. Salonen, M. Salkinoja-Salonen and A. Hatakka.

1999. Photochemical mineralization of synthetic lignin in lake water

indicates rapid turnover of aromatic organic matter under solar

radiation. Biodegradation 10:415-420.

[43]. YSI Model 50B: Dissolver Oxygen Meter Instruction