Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan tentang keberadaan pengadilan supranasional sampai saat ini banyak diperdebatkan sehubungan dengan Doktrin Kedaulatan Negara dan Immunitas Negara (Doctrine of State Sovereignity or State Immunity) yang membentengi suatu perbuatan negara terhadap langkah hukum dari negara lain. Pada satu sisi wilayah atau teritori negara merupakan landasan utama untuk menentukan jurisdiksi kriminal ini. Akan tetapi, pada sisi lain alasan primer masyarakat internasional untuk memaksakan rezim hukum pidana internasional untuk menuntut dan memidanakan pelaku kekejaman yang dilakukan dalam teritori suatu negara berdaulat adalah karena kekejaman tersebut seringkali diperintahkan dan bahkan diampuni oleh orang-orang yang berkuasa yang kebal secara de jure dan/atau de facto dari tuntutan pidanadi bawah sistem hukum domestik. Keberadaan pelbagai pengadilan supranasional harus diakui mempunyai tujuan yang bersifat luas. Tujuan-tujuan tersebut antara lain adalah usaha untuk mengakhiri praktek impunitas (secara harfiah berarti bebas hukuman); menciptakan efek ‘penggertak', menciptakan mekanisme untuk mengakhiri konflik di suatu bangsa; mengambil alih atas dasar prinsip subtitutif (seperti yang dilakukan ICTY dan ICTR) atau prinsip komplementer (seperti yang dilakukan ICC) seandainya pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu atau tidak 1

Transcript of Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

Page 1: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan tentang keberadaan pengadilan supranasional sampai saat ini

banyak diperdebatkan sehubungan dengan Doktrin Kedaulatan Negara dan

Immunitas Negara (Doctrine of State Sovereignity or State Immunity) yang

membentengi suatu perbuatan negara terhadap langkah hukum dari negara lain.

Pada satu sisi wilayah atau teritori negara merupakan landasan utama untuk

menentukan jurisdiksi kriminal ini. Akan tetapi, pada sisi lain alasan primer

masyarakat internasional untuk memaksakan rezim hukum pidana internasional

untuk menuntut dan memidanakan pelaku kekejaman yang dilakukan dalam

teritori suatu negara berdaulat adalah karena kekejaman tersebut seringkali

diperintahkan dan bahkan diampuni oleh orang-orang yang berkuasa yang kebal

secara de jure dan/atau de facto dari tuntutan pidanadi bawah sistem hukum

domestik.

Keberadaan pelbagai pengadilan supranasional harus diakui mempunyai

tujuan yang bersifat luas. Tujuan-tujuan tersebut antara lain adalah usaha untuk

mengakhiri praktek impunitas (secara harfiah berarti bebas hukuman);

menciptakan efek ‘penggertak', menciptakan mekanisme untuk mengakhiri

konflik di suatu bangsa; mengambil alih atas dasar prinsip subtitutif (seperti yang

dilakukan ICTY dan ICTR) atau prinsip komplementer (seperti yang dilakukan

ICC) seandainya pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu atau tidak

berdaya; berusaha untuk memberikan perlindungan dan restorasi terhadap

korban melalui restitusi, kompensasi dan rehabilitasi; serta pemeliharan

perdamaian.

Pada tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma ICC (Rome Statute of International

Criminal Court) disahkan. Statuta Roma tersebut membentuk lembaga ICC guna

mengadili orang-orang yang dituduh telah melakukan kejahatan terberat bagi

kemanusiaan: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran

HAM berat lainnya disamping kejahatan perang. Statuta Roma ICC mengajak

semua negara di dunia untuk menerapkan sistem keadilan internasional yang

baru dengan meratifikasinya agar individu-individu yang bertanggung-jawab

1

Page 2: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

dapat diadili tanpa terhalangi faktor-faktor nonyuridis seperti faktor politis karena

yang bersangkutan adalah petinggi negara di mana pelanggaran HAM berat itu

terjadi.

Pembentukan lembaga Pengadilan HAM lintasnegara ini disambut gembira

banyak pihak. Sampai saat ini, sebanyak 102 negara telah meratifikasi Statuta.

Sedang yang lainnya, termasuk Myanmar, Korea Utara, dan China masih

berdiam diri. Menyikapi meluasnya dukungan membuat Amnesty International

menyatakan optimismis bahwa dengan dukungan yang kuat, ICC akan sanggup

mengatasi kejahatan di masa depan sehingga orang-orang tidak lagi dapat

berencana ataupun melakukan kejahatan tanpa dimintai pertanggungjawaban. Di

samping itu, para korban akan tetap dapat menuntut keadilan terhadap kejahatan

yang telah mereka alami dan mendapatkan pemulihan penuh untuk membangun

kembali kehidupan mereka.

Optimisme itu terbukti. Sejak berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2002, statuta

ini telah menunjukkan kemajuan yang besar dalam menegakkan supremasi

hukum. Saat baru setahun diberlakukan, ICC yang juga berkedudukan di Den

Haag ini segera melakukan investigasi dalam tiga kasus pelanggaran HAM berat

yaitu Repulik Demokrasi Kongo, Sudan, dan Uganda di mana kejahatan terjadi

dalam skala sangat luas.

Khusus mengenai keberadaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)

dimensi tujuan tambahannya adalah melengkapi 'the missing link' dalam sistem

hukum internasional yang sampai terbentuknya ICC didominasi oleh Mahkamah

Internasional (ICJ) dengan Negara sebagai pihak yang berperkara, sedangkan

ICC menerapkan 'individual responsibility', sebagai pengadilan permanen ICC

juga berusaha memperbaiki kekurangan dan kelemahan dari tribunal ad hoc

yang sering dituduh menerapkan keadilan selektif dengan 'tempos' dan 'locus

delicti' tertentu, sekaligus mengakhiri 'tribunal fatigue' setelah Tribunal Rwanda

(ICTR) dari Yugoslavia (ICTY) memakan waktu dan energi yang cukup banyak;

ICC diharapkan menjadi warisan moral (moral legacy) bagi masyarakat beradab

yang mendambakan sistem peradilan pidana internasional yang permanen,

efektif dan secara politik tidak mengenal kompromi dan sekaligus merupakan

'landmark' dalam hubungan internasional. Mantan sekjen PBB Koffi Annan

2

Page 3: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

menyatakannya sebagai 'anugerah harapan bagi generasi mendatang, dan

sebuah langkah besar dalam penegakan HAM universal dan rule of law.1

B. Tujuan Penulisan

1) Menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum HAM

dan Hukum HAM Internasional, khususnya mengkaji pertimbangan

penerapan hukum internasional dalam penyelesaian kasus pelanggaran

HAM di suatu negara berdaulat; dan

2) Untuk menyelesaikan kewajiban tugas terstruktur dalam mata kuliah

hukum HAM.

C. Manfaat Penulisan

Kertas kerja ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait

dengan permasalahan dalam makalah ini, bagi masyarakat pada umumnya, para

pemerhati hukum, para praktisi hukum dan mahasiswa, khususnya dalam rangka

mengkaji landasan yuridis penerapan hukum HAM internasional.

BAB II

BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

1 Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, Jakarta, 2003

3

Page 4: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

A. Batasan Masalah

Namun, patut disayangkan, komitmen pemerintah Indonesia meratifikasi

Statuta Roma yang jadi landasan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional

(ICC) ini masih mengkhawatirkan. Padahal, seharusnya ratifikasi Statuta Roma

penting adanya karena akan mempertajam fokus penegakan hak asasi manusia

di Indonesia, terutama terkait aparat pemerintah yang telah melakukan

pelanggaran HAM berat. Lagipula Indonesia sempat menegaskan komitmen

ratifikasi tersebut melalui Rancangan Aksi Nasional tentang HAM. Bahkan pada

tahun pertama masa pemerintahannya (2004), presiden SBY langsung

mengesahkan Rancangan Aksi Nasional tersebut serta menyatakan bahwa

Indonesia meratifikasi Statuta Roma ICC paling lambat tahun 2008.

Namun, setelah dua tahun berlalu, tetap saja tidak ada tanda tanda menuju

ratifikasi yang dijanjikan presiden. Para aktivis HAM baik dalam maupun luar

negeri pun geram. Muncul sinyalemen bahwa pemerintahan SBY sama saja

dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang terbukti tak berkomitmen

pada penegakan HAM. Hingga saat ini tercatat sudah ada 2500 organisasi

kemasyarakatan di Indonesia menagih janji ratifikasi yang pernah disampaikan

pemerintah di tahun 2004 silam. Suatu jumlah yang tak dapat dikatakan sedikit

untuk ukuran dukungan bagi sebuah naskah perjanjian internasional.

Kontroversi inilah yang menjadi dasar ketertarikan penulis untuk mengangkat

sebuah makalah dengan ruang lingkup ratifikasi statuta roma di Indonesia dalam

hubungannya dengan HAM berjudul: “RATIFIKASI STATUTA ROMA SEBAGAI

IMPLEMENTASI PENEGAKAN HAM DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan ruang lingkup permasalahan diatas, penulis

akan melakukan kupasan pembahasan melalui dua pertanyaan pokok:

1) Apa kaitan Statuta Roma ICC dengan penegakan Hukum HAM?

2) Apa arti penting ratifikasi Statuta Roma ICC bagi Indonesia?

BAB III

ANALISIS MASALAH

4

Page 5: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

A. Kaitan Statuta Roma ICC dengan Penegakan Hukum HAM

Statuta Roma ICC merupakan buah dari usaha yang panjang dan sarat

dengan kendala, bahkan tragedi-tragedi kemusiaan di dunia. Usaha tersebut

dimulai sejak tiga perempat abad yang perlu, yaitu pada tahun 1919 di Versailles

saat berakhirnya Perang Dunia I, yang sebenarnya diharapkan sebagai 'the war

to end all wars'. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu meledaknya dari

Perang Dunia II yang menimbulkan akibat lebih dahsyat dan mengerikan dari sisi

kemanusiaan. Sejak saat itu boleh dikatakan telah terjadi kurang lebih 250 konflik

dalam segala bentuknya dan proses viktimisasi yang dilakukan oleh rezim-rezim

tiranis telah mengorbankan lebih kurang 170 juta orang. Yang teramat

mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan dan kejahatan perang diuntungkan melalui praktek 'impunity'.

Terbentuknya Statuta Roma ICC merupakan buah perjuangan panjang baik

individual, NGO's, pemerintah negara-negara maupun lembaga-lembaga lainnya

yang semuanya mengharapkan terciptanya 'the rule of law' di level internasional.

Tahun 1989-1998 merupakan saat-saat yang paling dramatis. Harapan yang

sudah tipis untuk membentuk suatu pengadilan HAM internasional permanen

antara tahun 1989-1992 (kurun berakhirnya Perang Dingin, digalakkan kembali

dengan terjadinya peristiwa di Yugoslavia dan Rwanda yang memaksa PBB

untuk membentuk Tribunal ad hoc internasional. Dalam suasana dan iklim

dukungan publik internasional yang kuat, berlandaskan pada statuta Roma

terbentuklah pengadilan permanen Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada

tanggal 17 Juli 1998 yang kini berkedudukan di Den Haague.

Yurisdiksi 'ratione materiae' ICC berkaitan dengan empat pelanggaran HAM

berat yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang and

agresi. Ada pun mengenai yurisdiksi tempo ditegaskan bahwa ICC berlaku

setelah Statuta ICC berlaku (entry into force) yang berarti konsisten menegakkan

Asas Legalitas. Mengenai yurisdiksi wilayah, ICC mempunyai jurisdiksi terhadap

kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara peserta Statuta Roma2, tanpa

mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku, termasuk kejahatan di wilayah

Negara yang menerima jurisdiksi atas dasar pernyataan ad hoc dan atau wilayah

2 Kendati demikian ICC juga mempunyai jurisdiksi terhadap warga negara bukan peserta Statuta Roma yang telah menerima jurisdiksi yang bersifat ad hoc atau mengikuti Dewan Keamanan PBB.

5

Page 6: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

yang ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB. Sedangkan sepanjang mengenai

'pertanggungjawaban individu', ditentukan bahwa ICC mempunyai jurisdiksi

terhadap warga negara Negara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan.

Prinsip 'equally to all persons', 'irrelevance of official capacity' diterapkan

termasuk mereka yang berkedudukan sebagai kepala pemerintahan atau kepala

Negara. Apalagi imunitas atas dasar hukum internasional tidak menghalangi

jurisdiksi ICC.

Namun bukan berarti ICC bukan panacea bagi setiap persoalan. Sejauh ini

ICC paling tidak menghadapi tiga tantangan signifikan, yakni :

1) Eksepsionalitas (exceptionality), seperti yang dilakukan Amerika Serikat;

2) Keamanan (security) sehubungan dengan berkembangnya ancaman

berupa terorisme global yang belum dimasukkan dalam jurisdiksi ICC

3) Penguatan (enforceability), yang memerlukan kerjasama dan bantuan

seluruh Negara terutama dalam mengejar pelaku dan menjamin keadilan

bagi para korban.

Terlepas dari besarnya tantangan yang dihadapi, harus diakui Statuta Roma

ICC telah memberi arti penting dalam hukum HAM melalui pelbagai hal seperti

beberapa hal sebagai berikut, yaitu :

1) Kepastian (certainity), berupa pendefinisian pelbagai gagasan yang

sebelumnya masih kabur, misalnya definisi tentang kejahatan perang,

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

2) Kekhususan (specifity), dalam bentuk pemisahan yang jelas antara

jurisdiksi ICC dengan hukum humaniter dan memisahkan antara

Konvensi Jenewa 1949 dengan dua Protokol 1997, yang tidak secara

khusus disebut mengingat beberapa negara sampai saat ini belum ikut

serta.

3) Pelengkap (complementarity), sebab apabila hukum HAM nasional yang

benar-benar diprioritaskan terhadap pelaku telah gagal, maka ICC dapat

menggunakan jurisdiksinya.

4) Universalitas, mengingat sebagai lembaga permanen yang bersifat

global, ICC harus mengadopsi pendekatan universal terhadap kejahatan

6

Page 7: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

internasional, yang mengundang partisipasi dari masyarakat global, baik

pemerintah maupun nonpemerintah.

5) Keterwakilan (representativity), sebab sejarah terbentuknya Statuta Roma

ICC merupakan hasil dari kerja sama orang-orang yang mewakili baik,

negara maju maupun negara berkembang, baik dari pemerintahan

maupun non pemerintahan.

6) Berpihak kepada korban (victim-sensibility), karena baik Statuta Roma

ICC maupun Hukum Acaranya rnenggambarkan perhatian yang lebih

besar terhadap korban.

Adapun karakteristik Statuta Roma ICC yang membuatnya lebih mawas HAM

dan lebih bersahabat dengan hukum nasional meliputi :

1) Menerapkan prinsip komplementer yang lebih santun. Berbeda dengan

pengadilan HAM ad hoc seperti ICTY dan ICTR, yang menentukan prinsip

keunggulan (primacy) terhadap pengadilan nasional;3

2) Menghormati Asas legalitas;

3) Asas ne bis in idem diberlakukan dengan perkecualian tertentu;

4) Menggunakan 'pertanggungjawaban individual' tanpa mengecualikan

'pertanggungjawaban negara'. Termasuk kategori ini siapa saja yang

dengan sengaja: memfasilitasi pelaksanaan kejahatan, mendukung,

menghasut, mendorong, berkolusi, membantu pelaksanaan kejahatan

atau percobaannya, termasuk sarana pelaksanaan kejahatan;

5) Khusus untuk kasus genosida terdapat pengaturan 'pertanggungjawaban

penguasa sipil dan/atau militer’;

6) Larangan mengadili secara in absentia;

7) Pengaturan jelas tentang reparasi korban, termasuk restitusi, kompensasi

dan rehabilitasi;

3 ICC hanya mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan terhadap:• Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma ICC.• Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma ICC.• Negara yang belum meratifikasi statuta Roma ICC tetapi telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut;• Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut kepada ICC berdasarkan bab 7 Piagam PBB.

7

Page 8: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

8) Statuta Roma tidak mengizinkan pidana mati, sehingga dapat diterima

negara negara yang ingin melalukan penghapusan pidana mati;

B. Makna ratifikasi Statuta Roma bagi Penegakan HAM Indonesia

Ratifikasi Indonesia akan mengakhiri praktik impunitas di pengadilan HAM

Nasional. Terobosan ini akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu

pendukung utama keadilan internasional.4 Indonesia akan bergabung dengan

lebih dari setengah masyarakat dunia untuk meyakinkan bahwa sistem keadilan

yang efektif akan mencegah kejahatan terburuk yang pernah terjadi terhadap

kemanusiaan dan memastikan adanya perlindungan bagi seluruh bangsa di

dunia, termasuk Indonesia sendiri.

Sebagai salah satu bangsa yang besar dan berpenduduk paling padat di

dunia, sikap Indonesia akan menjadi langkah penting menuju ratifikasi universal.

Terlebih lagi, hal itu akan menjadi preseden penting bagi negara-negara lain di

yang belum meratifikasi. Ratifikasi ini penting mengingat tujuan utamanya adalah

agar ICC dapat menerapkan jurisdiksi universal mengadili pelanggaran HAM

yang terjadi dimanapun di dunia. Terlebih melalui ratifikasi ini berarti Indonesia

akan mendapatkan dukungan dan kerjasama dari masyarakat internasional

untuk melakukan investigasi dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM

berat.

Sebagai negara anggota Statuta Roma, Indonesia akan berperan penting

dalam badan pengatur ICC–Majelis Negara-negara Anggota (Assembly of States

Parties) yang dibentuk oleh seluruh pemerintah negara-negara yang telah

meratifikasi. Indonesia juga akan dapat menominasikan calonnya untuk menjadi

hakim Pengadilan.

Ratifikasi juga memberi kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaiki

hukum nasionalnya dalam upaya pemberantasan impunitas melalui penyelidikan

dan penuntutan yang lebih efektif terhadap pelanggaran HAM berat seperti

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di pengadilan

HAM nasional. Hukum nasional harus mampu memberi jaminan bagi kerjasama

penuh dengan ICC.

4 Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam buku beliau Pengantar Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa persetujuan (consent) pada suatu perjanjian yang diberikan dengan penandatanganan itu bersifat sementara dan masih harus disahkan/penguatan demikian itu dinamakan ratifikasi

8

Page 9: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

Harus diakui selama ini pemerintah Indonesia tidak seratus persen pasif

walaupun juga tidak seratus persen aktif dalam Statuta Roma ICC. Secara

khusus pemerintah telah mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi

Diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998 di mana Statuta Roma disahkan. Pada

saat itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma

dan pembentukan ICC. Dalam kesempatan tersebut, delegasi Indonesia juga

menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma ICC. Setahun kemudian,

Indonesia kembali menyampaikan pernyataan positif kepada Komite Ke-6 Majelis

Umum PBB dalam pandangannya terhadap hal tersebut. Indonesia menyatakan

bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung tombak Statuta Roma ICC” dan

bahwa “Mahkamah Pidana Internasional menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh

bangsa tanpa memandang perbedaan politik, eonomi, sosial dan budaya.”

Dalam kesempatan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma

menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang

meliputi persepakatan, imparsialitas, nondiskriminasi, kedaulatan negara dan

kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia tegas menerima peran ICC untuk

MELENGKAPI bukannya MENGGANTIKAN mekanisme hukum nasional.

Namun, belakangan pemerintah Indonesia menyatakan bahwa pertimbangan

mendalam mengenai Statuta Roma ICC masih dalam proses sambil mencari

mekanisme efektif. Terutama untuk mensosialisasikan isinya ke lebih dari 200

juta penduduk Indonesia yang tersebar di 13,000 pulau lebih. Padahal pada

tahun 2004, Presiden SBY mengesahkan Rancangan Aksi Nasional tentang

HAM. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi

Statuta Roma pada tahun 2008.5 Untuk melaksanakan Rancangan tersebut,

Presiden membentuk sebuah Komite Nasional. Dalam beberapa kesempatan,

pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang dipelajari dan bahwa

legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan Pengadilan

sebelum ratifikasi dilaksanakan.

5Parlemen juga aktif mendukung ratifikasi pada tahun 2008. Pada bulan Agustus 2006, sejumlah wakil rakyat

Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang ICC dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Namun, setelah dua tahun berlalu, hingga makalah ini ditulis pada tahun 2010 ratifikasi belum juga dilakukan.

9

Page 10: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Komitmen pemerintah Republik Indonesia meratifikasi Statuta Roma yang

menjadi landasan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ini masih

mengkhawatirkan. Padahal, seharusnya ratifikasi Statuta Roma penting adanya

10

Page 11: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

karena akan mempertajam fokus penegakan hak asasi manusia di Indonesia,

terutama terkait aparat pemerintah yang telah melakukan pelanggaran HAM

berat. Lagipula Indonesia sempat menegaskan komitmen ratifikasi tersebut

melalui Rancangan Aksi Nasional tentang HAM. Bahkan pada tahun pertama

masa pemerintahannya (2004), presiden SBY langsung mengesahkan

Rancangan Aksi Nasional HAM tersebut serta menyatakan bahwa Indonesia

meratifikasi Statuta Roma ICC paling lambat tahun 2008.

Padahal Indonesia mengakui secara tegas bahwa Statuta Roma menambah

arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi

persepakatan, imparsialitas, nondiskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan

wilayah. Tentu saja sikap Indonesia dalam mengakui keberadaan Mahkamah

Pidana Internasional (ICC) adalah sebagai PELENGKAP, bukannya sebagai

PENGGANTI pengadilan HAM nasional. Karena Indonesia telah lama memiliki

mekanisme tersendiri berdasarkan UU nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 26

tahun 2000.

B. SARAN-SARAN

Pemerintah Indonesia harus menjalankan komitmennya sebagaimana

tertuang dalam RANHAM untuk meratifikasi ICC tahun 2008 ini karena akan

sangat berpengaruh dalam proses penegakan HAM dan menghentikan praktek

impunitas. Penundaan hanya akan menjauhkan Indonesia dari semangat

mewujudkan keadilan dan melawan impunitas. Pemerintah, dalam hal ini

Depkumham serta Deplu sebagai titik sentral ratifikasi ICC untuk bersama-sama

merancang draft naskah akademik dan RUU untuk ratifikasi ICC.

DAFTAR PUSTAKA

Bilder, Richard, Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta, ELSAM, 2005

Billah, M, Tipologi dan Praktek Pelanggaran HAM di Indonesia, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003

Fitriah, Nikmah, Hukum Internasional, Banjarmasin, STIH Sultan Adam, 2010

Kusumaatmaja, Mohtar, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, 1982

11

Page 12: Ratifikasi Statuta Roma Dan Penegakan HAM Di Indonesia

Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, Jakarta, 2003

Thontowi, Jawahir, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Refika Aditama, 2006

12