Rangkuman Akhlah Dan Tasawuf
description
Transcript of Rangkuman Akhlah Dan Tasawuf
Rangkuman Akhlah dan Tasawuf
Disusun dalam rangka Memenuhi Proses Pembelajaran Akhlak
1. Pengertian Tasawuf dan Sumbernya
a. Pengertian Tasawuf
Tasawuf menurut bahasa terdapat beberpa defenisi, diantaranya suf, yang
artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba
yang kasar sebagai lambing kesedarhanaan dan kesucian. Ahl Al-Suffah, yaitu
orang-orang yang ikut hijrah dengan nabi mereka ke madinah yang karena
kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tidak memiliki apa-
apa. Shafi yaitu suci, orang yang mensucikan diri dari sifat-sifat keduniawan.
Sophia, yaitu hikmah atau filsafat, yang artinya jalan yang ditempuh sufi hamper
sama dengan jalan yang ditempuh para filosof. Saf, yaitu pertama, orang yang
shalat pada saf pertama dan kemuliaan dan pahala yang utama.
Sedangkan menurut Istilah Tasawuf adalah sarana untuk memperbaiki
akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus menjadi sarana untuk
mendekatkan diri kepada allah sedekat-dekatnya.
b. Sumber-sumber ajaran Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang
dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa tuhan dekat dengan
manusia, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisme ternyata ada dalam Al-
Qur’an dan hadist.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 yang artinya : “ Jika hamba-hambaku
bertanya padamu tentang diriku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan
orang memanggil jika ia panggil aku.
Kata Da’a yang terdapat dalam ayat diatas oleh sufi diartikan bukan
berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau
memanggil. Tuhan mereka panggil, dan tuhan memperlihatkan dirinya kepada
mereka.
Ayat 115 dalam Q.S Al-Baqarah juga menyatakan yang artinya :Timur
dan barat kepunyaan allah, maka kemana saja kamu berpaling ditu (kamu
jumpai) wajah tuhan.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja tuhan ada,
dan dapat dijumpai.
Selanjutnya dalam Hadis nabi Saw juga dikatakan : Siapa yang kenal
pada dirinya, pasti kenal pada tuhan.
2. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
a. Zaman Nabi saw
Meskipun secara tekstual dari Rasulullah tidak ditemukan sebuah
ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf, Nabi Muhammad sebelum
diangkat menjadi Rasul berulang kai pergi ke gua hira dengan membawa sedikit
perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota
mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan
berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakikat kebenaran yang
disertai dengan melakukan banyak puasa dan beribadah, sehingga jiwanya
menjadi semakin suci.
Ada beberapa kisah Nabi dan para sahabat yang terpuji tersebut antara lain :
1) Hidup Zuhud ( tidak mementingkan keduniaan)
2) Hidup Qanaah ( menerima apa adanya)
3) Hidup taat (senantiasa menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya)
4) Hidup Istiqamah ( tetap beribadah )
5) Hidup Mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasulnya, melebihi cinta
kepeda dirinya dan makhluk lain)
6) Hidup Ubudiah ( mengabdikan diri kepada Allah)
Mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa
kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah
tangga yang serba mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga
yang sederhana saja tidak lengkap, begitu juga dalam hal makanan, makanan
yang biasa untuk dimakan sehari-hari saja kadang tidak ada. Ia tidur diatas
sepotong tikar bukan diatas kasur yang empuk, makanan yang dihidangkan
istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan segelas air minum, dengan
sebutir korma dan dua butir korma.
Dalam salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa
Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah, seraya berkata, “
Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku
bingung karenanya”, Urwah bertanya,” Jadi apakah kamu makan sehari-hari?
Aisyah menjawab,” Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah korma dan air.
Rasulullah menegaskan ,” Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali
kalau lapar, dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Rasululah juga sering melakukan puasa sunat, agar saat lapar itu tidak sia-sia,
Rasulullah senantiasa ibadah kepada Allah. Selain itu Rasulululah dirumahnya
sering berbaring dan tidur diatas sehelai anyaman daun korma sampai
memberikan bekas pada pipinya. Rasullah pernah bersabda: “ Aku didunia
laksana seorang yang sedang berpergian, sebentar berteduh dikala hari sangat
terik dibawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi
dari situ kearah tujuannya.
Rasulullah juga menerapkan pola hidup Zuhud, Rasulullah sebelum menjadi
Rasul suka menyendiri, dan berkhalwat atau bertafakur di gua hira, disana beliau
melakukan Tahannus merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi cahaya
tasawuf. Itulah cikal bakal atau benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian
yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan ruhaniyat.
Setelah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan Taqarub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud
samapai jauh malam. Beliau memperkuat batinnya dengan menjalani hidup
kerohanian. Untuk itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus di sampaing
masjid madinah untuk tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama untuk
para sahabat nabi yang ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam
dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka itu disebut Ahl suffah.
b. Zaman Sesudah Nabi Saw
Setelah Rasulullah benih-benih tasawuf tergambar dari Khalfaurrasyidin yang
empat, mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana
yang dicontohkan nabi.
Abu Bakar Shidiq hidup dengan sehelai kain saja, terhadap lidahnya sendiri ia
berkata,” Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula,”
Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu
dari hiasan dunia, maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu
diceraikannya. Dan sifat kedermawaan Abu Bakar merupakan buah dari
takwanya.
Umar Bin Khatab meski mendapat kekuasan tertinggi sama seperti Abu Bakar,
tidak mengurangi nilai kehidupan kerohaniannya, suatu ketika beliau pernah
memikul beras untuk dibagi kepada rakyatnya.
Usman Bin Affan meski kaya, tapi dia senantiasa menggunakan hartanya
untuk mengembangkan Islam, dan keunikan lainnya, Usman terkenal senantiasa
membaca dan menelaah al-qur’an.
Sedangkan Ali Bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup
kerohaniannya, dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulai, dia tidak peduli
bahwa pakaian yang dia pakai telah robek, ketika robek dia sendiri yang
menambalnya. Hal ini dilakukan hanya untuk mengkhusyukkan hati dan
menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain khalifaur rasyidin ada Huzaifah Bin Yaman, ia terkenal sahabat nabi
yang zahid, Huzaifah Bin Yaman, dari Huzaifah lah kemudian banyak yag
berguru kepadanya, termasuk hasan Al-Bashri, yang kemudian menjadi tokoh
sufi yang ternama, sahabat lainnya yang menentang gaya hidup mewah adalah
Abu Dzar Al-Ghifari, ia melihat bahwa ketulusan beragama sudah melemah,
karna pengaruh harta, dan Abu Dzar menantang Muawiyah, hingga dia dituduh
seorang pembangkang, dan diasingkan kesubeuh dusun yang bernama Rizbah.
Dengan peristiwa ini muncullah golongan kaum zahid, yaitu golongan yang
mengutamakan kebatinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang terkenal menentang hidup mewah pada masa
sahabat adalah Said bin Zubair seorang tabiin yang kuat pribadinya, ia seorang
zahid yang betul berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang
bersalah itu seorang khalifah, walaupun seorang khalifah, .
3.
4. Maqam Ruhani dalam Tasawuf
Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya, seorang
muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa
Arab disebut Maqamat, yang merupakan bentuk maqam.
Pengertian Maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun
pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut At-Thusi,
Maqam adalah kedudukan seseorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh
melalui kerja keras dalam beribadah (al-ibadat), kesungguhan melawan hawa
nafsu (Al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (Al-Riyadath), serta mengerahkan
seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada allah (Al-inqitha’ iala
Allah).
Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat,
namun secara umum Maqamat digambarkan sebagai berikut :
a. Taubat, disini seorang calon sufi harus bertaubat baik dari dosa besar
maupun dosa kecil.
b. Zuhus, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
c. Wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang syubhat
d. Faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
e. Sabar, yakni harus sabar menghadapi cobaan yang dating menimpanya.
f. Tawakkal, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
g. Ridha, yakni merasa telah dekat dengan Allah, sehingga ia tidak meminta
sesuatu kecuali ridhonya.
Seorang Calon sufi yang telah mampu menempuh Maqamat tersebut sebaik-
baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat.
Hatinya tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia hanya menuju
kehadirat Allah semata. Dengan kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Karna Allah yang maha suci tidak dapat didekati kecuali oleh
hambanya yang suci.
5. Hubungan Syari’ah dan Tasawuf
Menurut Sebagian Ulama, Syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu, yang saling
berhubungan erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang
mendalam. Syariah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek
lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada
aspek pada aspek batiniah. Aspek lahir dan aspek batin keduanya tidak dapat
dipisahkan, sebagaimana dikatakan Al- Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek
batin adalah kemunafikan, sedangkan aspek batin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ada beberapa ulama yang menyatakan terkait hubungan syariha dan tasawuf,
Ibnu Ujaibat dalam bukunya Iqazb Al- Himam Fi Syarh Al-Hikam menyebutkan :”
tiada tasawuf kecuali dengan fiqh. Muhammad Ibn Allan dalam kitab Dalil al
Falihin” Barangsiapa menghiasi lahirnya dengan syariat dan mencuci kotoran
bathiniahnya dengan air Thariqah, maka ia dapat menacapai Haqiqat. Al Qusyairi
juga menyebutkan” setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan
pengalaman Hakikat, maka tidak dapat diterima, dan setiap pengalaman hakikat
tidak didukung dengan pengalaman syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan
yang dikehendaki. Lebih jauh Imam Al-Ghazali menyebutkan ilmu-ilmu agama
Islam : Ilmu Kalam (Tauhid), ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf masing-masing berdiri,
akibat Dari adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu
kemudian menempuh jalannya masing-maisng dengan prinsip dan metode sendiri-
sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan ilmu lainnya pun menjadi berbeda
obyek, metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu kalam
(ilmu Tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut Ilmu Fiqh, dan
yang berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (Tasawuf).
7. Hubungan Psikologi dengan Tasawuf
Psikologi berkembang dari beberapa Madzhab yang kesmuanya itu
menitikberatkan bahwa perkembangan psikologi jiwa manusia menjadi tiga, yaitu
Adaptasi, Belajar, dan Potensi, jika dilihat lebih jauh, maka Psikologi pada
dasarnya sangatlah antroposentris, sementara tasawuf berada pada posisi teologis,
baik bersifat praktis maupun filosofis, hanya yang harus kita ketahui tasawuf pada
kenyataannya ingin melihat satu kondisi kejiwaan manusia, lewat berbagai Maqam,
Tasawuf berbicara tentang bagaimana seseorang bisa mencapai puncak
ketenangan, yang membuat mereka mengalami Peak Ekprience, Proses
pembersihan jiwa (Tazkiyatun Nafs) yang dilakukan hanya semata-mata untuk
menjelaskan bahwa sesungguhnya hal ini dikendalikan oleh manusia itu sendiri,
tasawuf mencoba merefleksikan diri, yang sesuai dengan sabda Nabi saw, Barang
siapa yang mengenal drinya, berarti mengenal tuhan, proses pengenalan diri ini
yang sebenarnya mampu dijelaskan oleh ilmu Psikologi, dan yang paling kelihatan
adalah potensi diri.
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi atau kemampuan istimewa
dibandingkan dengan makhluk lain. Di samping peluang untuk mengaktualisasikan
potensi dasarnya yang berupa kebaikan dan kebenaran, manusia juga diberi
peluang untuk menjauh dari karakter dasarnya tersebut. Dengan kehendak
bebasnya manusia bisa tunduk pada lingkungan yang dapat menyeretnya pada
kesalahan atau kemunduran. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan untuk
menentukan piihan, maju atau mundur dari proses aktualisasi diri. Pilihan inilah
yang akan dapat merubah kondisi psikologis manusia, karena perubahan yang ada
pada dirinya adalah ditentukan oleh pilihannya sendiri. Hal ini sesuai dengan
firman Allah QS. Ar-Ra’d, 13/11: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” Selanjutnya
dalam QS. Az-Zumar, 39/53, juga difirmankan: “Dan manusia tidak akan
mendapatkan, kecuali yang diusahakan.”
Dari kedua ayat di atas, jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan
manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan
fitrahnya, dalam pengertian senantiasa melakukan pilihan-pilihan maju, maka ia
akan berkembang secara wajar dan sehat menuju aktualisasi diri, namun jika ia
melakukan pilihan mundur, maka pertumbuhannya menjadi tidak wajar bahkan
gagal berkembang. Karena ia akan mengalami penyakit baik penyakit psikis
maupun fisik. Seperti perasaan dosa, takut, khawatir, dan kurangnya kepercayaan
diri.
Misalnya dalam perspektif psikologi humanistik Maslow, pertumbuhan
yang wajar dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan (growth
motivation), sementara pertumbuhan yang mengarah pada kemunduran
dipengaruhi oleh motif kekurangan (deficiency motivation), atau yang juga
diistilahkan dengan deficiency beeds atau basic needs (kebutuhan-kebutuhan dasar
atau rendah).
Motif kekurangan atau kebutuhan tingkat dasar ini, serupa dengan konsepsi
nafs al-ammarah (dorongan atau kecenderungan tingkat rendah) dalam tradisi
tasawuf. Dimana, jika seseorang didominasi oleh nafsu rendah, maka ia akan
cenderung pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan rendah. Jika
dorongan-dorongan atau kecenderungan-kecenderungan tingkat rendah ini tidak
dipenuhi atau tidak dikendalikan maka akan menimbulkan penyakit-penyakit
mental dan menjauhkan diri dari proses menuju aktualisasi diri (fitrah). Dengan
kata lain, jika penyakit-penyakit mental ini tidak disembuhkan maka seseorang
tidak akan pernah beranjak dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam
posisi seperti ini manusia belum menjadi dirinya sendiri, bahkan justru menjauh
dari fitrah-nya.