RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA · Jalan adalah prasarana transportasi darat yang...
Transcript of RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA · Jalan adalah prasarana transportasi darat yang...
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi
merupakan unsur penting dalam pengembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan
fungsi masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam
mendukung mobilitas di bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dijamin oleh negara dan
dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan
memperkokoh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran
pembangunan nasional;
c. bahwa peranan jalan sebagaimana mestinya belum
terpenuhi dimana masih banyak wilayah, desa yang merupakan kantong-kantong kemiskinan, dan daerah transmigrasi serta wilayah-wilayah potensial yang
belum dapat diakses secara memadai sehingga pemerintah berkewajiban mempercepat pembangunan
infrastruktur jalan yang merata di seluruh wilayah Indonesia guna menciptakan kesejahteraan masyarakat;
d. bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan belum mampu menjamin penambahan jalan baru, pemeliharaan jalan,
pembiayaan, keterlibatan masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan, dan tuntutan kebutuhan
infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan daya saing Indonesia dalam tataran regional dan global sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
-2-
baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf, c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Jalan;
Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang terdiri dari bagian-bagian jalan yang dapat didukung dengan bangunan penghubung
dan dapat dilengkapi dengan bangunan pelengkap yang diperuntukkan bagi lalul intas, yang berada pada permukaan tanah,
di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, dan/atau di atas permukaan air, kecuali jalur kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
2. Jembatan adalah bangunan penghubung di atas permukaan tanah yang menghubungkan ruas-ruas jalan yang dipisahkan antara lain oleh rintangan, sungai, laut, lembah, dan/atau jalan yang
mempunyai kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan pemeliharaan.
3. Terowongan adalah bangunan penghubung di bawah tanah yang menghubungkan ruas-ruas jalan yang yang dipisahkan antara lain oleh rintangan, gunung, sungai atau laut, bangunan, dan/atau
jalan yang mempunyai kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan pemeliharaan.
4. Pengawasan Jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pembinaan, pekerjaan, penyediaan lahan, dan pembiayaan jalan.
5. Jalan Bebas Hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar
-3-
ruang milik jalan.
6. Jalan Tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya
diwajibkan membayar tol.
7. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.
8. Badan Pengatur Jalan Tol yang selanjutnya disingkat BPJT adalah badan yang melakukan Penyelenggaraan Jalan tol dalam sistem jaringan jalan primer.
9. Badan Pengawas Jalan yang selanjutnya disingkat BPJ adalah badan independen dan profesional yang melakukan pengawasan
terhadap Penyelenggaraan Jalan.
10. Badan Usaha adalah badan hukum yang bergerak dan melakukan kegiatan pendanaan, perencanaaan teknis, pelaksanaan konstruksi,
pengoperasian, dan/atau pemeliharaan jalan.
11. Standar Pelayanan Minimal, selanjutnya disingkat SPM, adalah
standar pelayanan yang terukur untuk menjamin keselamatan dan dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh pengguna jalan.
12. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.
13. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
14. Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pembinaan, pembiayaan, dan pengawasan jalan.
15. Penyelenggara Jalan adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
16. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
17. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang jalan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan jalan dilaksanakan dengan berdasarkan asas:
-4-
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. kemanfaatan;
d. persatuan dan kesatuan;
e. efisiensi berkeadilan;
f. keserasian, keselarasan dan keseimbangan;
g. keterpaduan multimoda;
h. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
i. kebersamaan dan kemitraan;
j. berkelanjutan; dan
k. transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan jalan bertujuan untuk:
a. mewujudkan ketertiban, keamanan, kelancaran, keselamatan arus
penumpang dan barang, serta kepastian hukum;
b. mewujudkan peran Penyelenggara Jalan secara optimal dalam
pemberian layanan kepada masyarakat;
c. mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat;
d. mewujudkan Sistem Jaringan Jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu;
e. mewujudkan pengembangan Sistem Jaringan Jalan yang menghubungkan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berperan sebagai penggerak, pendorong, dan penunjang pembangunan nasional;
f. mewujudkan penyelenggaraan jalan yang mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan;
g. mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka; dan
h. memfasilitasi peran serta dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam penyelenggaraan jalan terutama dalam pembiayaan dan
pengawasan.
BAB III
LINGKUP PENGATURAN
Pasal 4
(1) Lingkup pengaturan penyelenggaraan jalan terdiri dari:
a. pembinaan jalan;
b. pembiayaan; dan
-5-
c. pengawasan.
(2) Pembinaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi penentuan sasaran, perwujudan sasaran, dan pemeliharaan jalan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan penyelenggaraan
jalan.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk memastikan pembinaan dan pembiayaan jalan dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
Penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan
melibatkan peran serta masyarakat.
BAB IV
PERAN DAN PENGUASAAN JALAN
Pasal 6
(1) Peran jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
dalam mewujudkan mobilitas orang dan barang, sistem logistik yang efisien, saluran data elektronik, serta jaringan utilitas lainnya.
(2) Selain peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jalan merupakan satu kesatuan Sistem Jaringan Jalan yang menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pasal 7
(1) Hak penguasaan atas jalan ada pada negara sebagai aset yang
dibangun dan dipelihara untuk prasarana berlalu lintas, baik pejalan kaki maupun kendaraan.
(2) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab dan berwenang menyelenggarakan jalan.
(3) Penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh:
a. Menteri pada tingkat nasional;
b. Gubernur pada tingkat provinsi;
c. Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota;
(4) Ketentuan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk penyelenggaraan bangunan penghubung.
(5) Pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada
-6-
ayat (3) huruf b dan huruf c wajib dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
penyelenggaraan jalan.
(6) Menteri bertanggung jawab melakukan pembinaan teknis kepada
satuan kerja perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 8
(1) Pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dapat dilakukan oleh Badan Usaha untuk periode waktu terbatas yang ditetapkan sebelumnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memperhatikan sebesar-besar kepentingan umum dan keselamatan lalu lintas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyelenggaraan jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PEMBINAAN JALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Pembinaan jalan dilakukan melalui:
a. penentuan sasaran;
b. perwujudan sasaran; dan
c. pemeliharaan jalan.
(2) Penentuan sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan perencanaan jalan yang terpadu dengan tata ruang.
(3) Perwujudan sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri dari:
a. perencanaan teknis;
b. penyelenggaraan pengadaan; dan
c. pelaksanaan pekerjaan jalan.
(4) Pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. pemeliharaan rutin;
b. pemeliharaan berkala; dan
c. rehabilitasi.
-7-
Bagian Kedua
Penentuan Sasaran
Paragraf 1
Perencanaan Jalan
Pasal 10
Perencanaan jalan dilakukan untuk merencanakan pembangunan dan pengembangan jalan secara berkelanjutan.
Pasal 11
(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 harus
memperhatikan:
a. rencana pembangunan nasional dan daerah;
b. rencana tata ruang wilayah;
c. luas wilayah dan pemerataan pembangunan;
d. daya dukung sumber daya lingkungan;
e. kondisi geografis dan demografis;
f. kebutuhan teknis dan ekonomis; dan
g. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Perencanaan penyelenggaraan jalan merupakan satu kesatuan yang utuh dari rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.
(3) Perencanaan penyelenggaraan jalan diwujudkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional.
(4) Perencanaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
Pasal 12
(1) Perencanaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 terdiri atas perencanaan jangka panjang dan perencanaan jangka
menengah.
(2) Perencanaan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rencana penyelenggaraan jaringan jalan primer dalam
waktu 10 (sepuluh) tahun.
(3) Perencanaan jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun untuk waktu 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari perencanaan jangka panjang dan dilengkapi dengan skala prioritas mengenai jaringan jalan primer.
(4) Perencanaan jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijabarkan dalam program perwujudan tahunan.
(5) Perencanaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(6) Perencanaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan program
-8-
perwujudan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun berdasarkan metode pemilihan dengan berbagai kriteria dengan
memperhitungkan parameter penting dari aspek:
a. sosial-ekonomi;
b. kemampuan pendanaan;
c. demografi;
d. teritorial; dan
e. kepadatan jaringan jalan dan tingkat pelayanan jalan di setiap satuan wilayah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode dan perhitungan parameter
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam peraturan Menteri.
Pasal 13
(1) Terhadap pencapaian dari rencana penyelenggaraan jalan wajib dievaluasi oleh Pemerintah setiap:
a. 2 (dua) tahunan untuk bahan evaluasi perencanaan jangka menengah; dan
b. 5 (lima) tahunan untuk bahan evaluasi perencanaan jangka
panjang dan penentuan perencanaan jangka menengah berikutnya.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat seseuai dengan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Keterpaduan Perencanaan Jalan dan Tata Ruang
Pasal 14
Rencana penyelenggaraan jalan pada jaringan jalan primer harus:
a. bersinergi, saling mendukung, dan berdasarkan Rencana Tata Ruang Nasional dan/atau Rencana Tata Ruang Provinsi; dan
b. sesuai dengan klasifikasi status jalan yang bersangkutan.
Pasal 15
Jaringan jalan arteri primer harus mendukung dan diprioritaskan untuk mengakses titik multi moda dengan jangkauan primer yang berskala
nasional.
Pasal 16
(1) Setiap orang dilarang membuka akses ke/dari jalan arteri primer dan
kolektor primer yang mengganggu kelancaran lalu lintas dan mengurangi kapasitas jalan, kecuali mendapat izin dari
-9-
Penyelenggara Jalan sesuai dengan klasifikasi status jalan.
(2) Izin dari Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mempertimbangkan dampak lalu lintas dari kegiatan yang membutuhkan akses jalan tersebut dan daya tampung jalan yang
ada.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan membuka akses dan tata cara mendapat izin diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 17
Rencana pekerjaan jalan, terutama pembangunan jalan baru dan
peningkatan kapasitas jalan pada jaringan jalan sekunder di wilayah kota, harus disusun secara bersinergi, saling mendukung, dan berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah kota berkewajiban menyusun Peraturan Daerah
tentang rencana detail tata ruang kota di sepanjang jalan arteri primer.
(2) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menjamin tingkat pelayanan fungsi jalan yang tinggi atau lalu lintas yang lancar.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang membuka akses ke atau dari jalan arteri primer yang berada di dalam kota yang mengganggu kelancaran lalu lintas
dan mengurangi kapasitas jalan, kecuali mendapat izin dari Penyelenggara Jalan.
(2) Izin dari Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mempertimbangkan dampak lalu lintas dari kegiatan yang membutuhkan akses jalan tersebut dan daya tampung jalan yang
ada sesuai dengan tata ruang dan tata guna lahan di sepanjang jalan nasional.
Bagian Ketiga
Perwujudan Sasaran
Pasal 20
(1) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dilakukan agar jalan dapat dimanfaatkan sesuai dengan umur rencana dan mengutamakan keselamatan serta hemat biaya
operasional kendaraan.
(2) Perencanaan teknis jalan meliputi :
a. studi kelayakan ekonomi dan/atau keuangan untuk pembangunan
jalan baru dan peningkatan kapasitas;
b. kajian trase untuk menetapkan garis tengah jalan;
c. penyusunan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dari
-10-
pekerjaan jalan;
d. rancang bangun kekuatan konstruksi jalan yang sama pada
semua status jalan; dan e. desain rancang bangun dari jalan termasuk saluran drainase
jalan, jalur pejalan kaki di sisi-sisi jalan, dan bangunan pelengkap.
(3) Pedoman dari perencanaan teknis jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan memperhatikan pendapat menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Pasal 21
(1) Pembangunan, peningkatan kapasitas, dan rekayasa jalan dilakukan dengan usia rencana paling singkat:
a. 10 (sepuluh) tahun untuk jalan dengan perkerasan lentur;
b. 20 (dua puluh) tahun untuk jalan dengan perkerasan kaku; dan
c. 50 (lima puluh) tahun untuk jembatan dengan materi struktur beton bertulang atau baja.
(2) Pembangunan, peningkatan kapasitas, dan rekayasa jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rancang bangun yang telah disetujui oleh Penyelenggara Jalan sesuai dengan klasifikasi jalan.
Pasal 22
(1) Rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
harus dilakukan sesuai dengan pedoman perencanaan teknis jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3).
(2) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam dokumen proyek.
(3) Dokumen proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat selama pelaksanaan pekerjaan jalan.
Pasal 23
(1) Penyelenggara Jalan berkewajiban membuat pusat data jalan yang harus selalu diperbaharui dengan rancang bangun aktual setelah pekerjaan selesai dari setiap pekerjaan jalan dan jaringan utilitas.
(2) Pusat data jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan mengenai keterbukaan informasi publik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap perencanaan teknis jalan.
-11-
Pasal 25
(1) Pedoman perencanaan teknis jalan untuk jalan khusus disusun
berdasarkan kebutuhan spesifik jalan yang dibangun.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri atau pejabat yang ditunjuk melaksanakan
pembinaan jalan nasional untuk jalan khusus nasional dan oleh pembina jalan kota untuk jalan khusus kota.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pengadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi kegiatan:
a. pengkoordinasian dan pengintegrasian dari rancang bangun, perencanaan teknik, serta pengkajian analisis dampak gangguan
lalu lintas;
b. pembangunan; dan
c. penerimaan, penyerahan dan pengambilalihan.
(2) Penyelenggaraan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi wewenang dan tanggung jawab badan usaha di bidang pembangunan infrastruktur.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimiliki oleh:
a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah; atau
b. Pemerintah Daerah.
(4) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha di bidang jalan yang memiliki
sertifikat kompetensi.
Pasal 27
(1) Pengadaan jalan khusus dilakukan oleh badan usaha yang membiayai pembangunan dan pemeliharaan jalan khusus atau oleh badan usaha
di bidang pembangunan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dengan persetujuan badan usaha yang membiayai pembangunan dan pemeliharaan jalan khusus.
(2) Pengawasan terhadap pengadaan jalan khusus dilakukan oleh Penyelenggara Jalan nasional atau Penyelenggara Jalan kota.
Pasal 28
(1) Pelaksanaan pekerjaan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (3) harus memperhitungkan keselamatan lalu lintas pejalan kaki dan kendaraan, pengguna jalan dan masyarakat sekitarnya serta dampak terhadap lalu lintas disekitarnya seminimal mungkin.
(2) Pelaksanaan pekerjaan jalan dimulai setelah dilakukan persiapan fisik berdasarkan hasil analisis dampak gangguan lalu lintas.
-12-
Pasal 29
Pelaksanaan pekerjaan jalan harus:
a. dilengkapi dengan penerangan tambahan serta dilengkapi dengan rambu-rambu petunjuk yang jelas; dan
b. dilaksanakan lebih dari 1 (satu) kelompok-waktu-bekerja yang disesuaikan dengan kondisi kepadatan lalu lintas pada waktu tertentu.
Pasal 30
Penyelenggara Jalan bertanggung jawab melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pekerjaan jalan.
Pasal 31
(1) Penyelenggara Jalan yang melakukan perencanaan teknis, pengadaan, dan/atau pelaksanaan pekerjaan jalan wajib
bertanggungjawab terhadap kerusakan dini yang terjadi selama usia teknis yang telah ditetapkan dalam rancangan teknis jalan sesuai dengan klasifikasi jalan.
(2) Pejabat atasan langsung dari Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut bertanggung jawab terhadap
kerusakan dini yang terjadi selama usia teknis yang telah ditetapkan dalam rancangan teknis jalan sesuai dengan klasifikasi jalan.
Bagian Keempat
Pemeliharaan Jalan
Pasal 32
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta Badan Usaha jalan khusus,
berkewajiban melakukan pemeliharaan melalui pemantauan kondisi jalan secara berkesinambungan, perbaikan terhadap kerusakan jalan, atau peningkatan kualitas jalan untuk menjamin tercapainya
usia rencana jalan sesuai perencanaan teknis yang telah disetujui agar standar pelayanan minimal jalan selalu terpenuhi.
(2) Pemantauan kondisi jalan secara berkesinambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penilik jalan.
(3) Standar pelayanan minimal jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penilik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
(4) Untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus menyediakan anggaran yang setiap saat dapat dipergunakan untuk memperbaiki jalan.
-13-
BAB VI
PENGELOMPOKAN DAN BAGIAN-BAGIAN JALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 33
(1) Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan
jalan khusus.
(2) Jalan umum merupakan jalan yang diperuntukkan bagi setiap orang untuk berlalu lintas.
(3) Jalan khusus merupakan jalan yang diperuntukkan khusus untuk suatu periode waktu tertentu, yang dibangun oleh badan usaha, untuk kepentingan sendiri.
Pasal 34
(1) Jalan umum dan jalan khusus harus memiliki bagian-bagian jalan yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk konstruksi jalan, keperluan peningkatan kapasitas jalan, dan keamanan bagi
pengguna jalan.
(2) Selain memiliki bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), jalan umum dan jalan khusus dapat didukung dengan bangunan penghubung.
(3) Jalan umum dan jalan khusus dapat dilengkapi dengan bangunan
pelengkap yang berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, keselamatan, keamanan dan kelancaran lalu lintas.
Bagian Kedua
Jalan Umum
Paragraf 1
Klasifikasi
Pasal 35
(1) Jalan umum diklasifikasikan berdasarkan sistem jaringan, fungsi,
status, dan pengelolaan.
(2) Jalan umum berdasarkan klasifikasi sistem jaringan terdiri dari jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder.
(3) Jalan umum berdasarkan klasifikasi fungsi terdiri dari jalan bebas hambatan, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan/desa.
(4) Jalan umum berdasarkan klasifikasi status terdiri atas jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota.
-14-
(5) Jalan umum berdasarkan klasifikasi pengelolaan terdiri dari jalan biasa, jalan tol, dan jalan berbayar.
(6) Klasifikasi jalan umum diatur dengan peraturan Menteri, setelah mendapat persetujuan dari menteri yang bertanggung jawab di
bidang transportasi/perhubungan dan mendapat pertimbangan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang urusan dalam negeri.
Pasal 36
(1) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul pusat-pusat
kegiatan yang mempunyai jangkauan pelayanan nasional, wilayah, dan lokal.
(2) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan klasifikasi fungsi terdiri dari:
a. jalan bebas hambatan;
b. jalan arteri primer;
c. jalan kolektor primer;
d. lokal primer; dan
e. jalan khusus yang dialihkan menjadi jalan nasional.
Pasal 37
(1) Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat.
(2) Jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan klasifikasi fungsi terdiri dari:
a. jalan arteri sekunder;
b. jalan kolektor sekunder;
c. jalan lokal sekunder;
d. jalan lingkungan/desa; dan
e. jalan khusus yang dialihkan menjadi jalan kabupaten/kota.
Pasal 38
Jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan utama, dengan ciri-ciri:
a. untuk perjalanan jarak jauh;
b. dapat dilintasi dengan kecepatan tinggi;
c. persimpangan tidak sebidang;
d. jumlah akses sangat terbatas;
e. dilengkapi dengan lajur darurat; dan
-15-
f. akses masuk/keluar jalan bebas hambatan harus dilengkapi dengan simpang tidak sebidang untuk dapat tersambung dengan
jalan arteri dengan jalur tunggu yang cukup panjang, dan dapat dibatasi dengan pintu/gardu.
Pasal 39
(1) Jalan arteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi
melayani angkutan utama dengan ciri:
a. perjalanan jarak jauh;
b. kecepatan rata-rata tinggi; dan
c. jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
(2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari jalan
arteri primer dan jalan arteri sekunder.
(3) Jalan arteri primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan arteri dalam skala wilayah tingkat nasional.
(4) Jalan arteri sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan arteri dalam skala perkotaan.
Pasal 40
(1) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri:
a. perjalanan jarak sedang;
b. kecepatan rata-rata sedang; dan
c. jumlah jalan masuk dibatasi.
(2) Jalan kolektor meliputi jalan kolektor primer dan jalan kolekter sekunder.
(3) Jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan kolektor dalam skala wilayah tingkat nasional.
(4) Jalan kolektor sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan jalan kolektor dalam skala perkotaan.
Pasal 41
(1) Jalan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri:
a. perjalanan jarak dekat;
b. kecepatan rata-rata rendah; dan
c. jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
(2) Jalan lokal meliputi jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder.
(3) Jalan lokal primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
jalan lokal dalam skala wilayah tingkat lokal kabupaten.
(4) Jalan lokal sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan lokal dalam skala perkotaan.
-16-
Pasal 42
(1) Jalan lingkungan/desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (3) berfungsi sebagai jalan umum di dalam kawasan permukiman di perkotaan atau yang menghubungkan antar
dusun/permukiman di dalam desa.
(2) Jalan lingkungan/desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melayani pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor sebagai
prioritas tertinggi, dan angkutan lingkungan dengan ciri:
a. perjalanan jarak dekat; dan
b. kecepatan sangat rendah.
Pasal 43
Jalan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) merupakan jalan umum yang pemanfaatannya tidak dikenakan tarif atau biaya.
Pasal 44
(1) Jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) merupakan
jalan umum yang pemanfaatannya dikenakan tarif.
(2) Jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan nasional, sebagai jalan bebas hambatan atau jalan arteri primer
dalam sistem jaringan jalan primer.
Pasal 45
(1) Jalan berbayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) merupakan jalan umum yang pemanfaatannya mewajibkan
pengguna membayar sejumlah uang dalam waktu tertentu.
(2) Jalan berbayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan kota sebagai jalan bebas hambatan, atau jalan kabupaten/kota
sebagai jalan arteri sekunder, dalam sistem jaringan jalan sekunder.
(3) Keuntungan bersih dari jalan berbayar wajib dipergunakan untuk
pembiayaan jalan umum.
(4) Keuntungan bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk:
a. pembangunan jalan; b. peningkatan kapasitas jalan; c. peningkatan kualitas jalan; dan/atau
d. pemeliharaan jalan.
(5) Penyelenggaraan jalan berbayar merupakan tanggung jawab Pemerintah atau pemerintah daerah yang pengelolaannya dilakukan
badan usaha di bidang pengelolaan jalan berbayar.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan jalan berbayar diatur dalam Peraturan Pemerintah.
-17-
Paragraf 2 Jalan Nasional
Pasal 46
Jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), berfungsi sebagai jalan bebas hambatan atau jalan arteri primer dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan
jalan strategis nasional.
Pasal 47
(1) Penetapan status jalan sebagai jalan nasional dilakukan secara berkala oleh Menteri.
(2) Penetapan status jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan fungsi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sesuai dengan pedoman dan standar penetapan status jalan yang
ditetapkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan standar penetapan
status jalan diatur dalam keputusan Menteri.
Paragraf 3 Jalan Tol
Pasal 48
(1) Jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diselenggarakan
untuk:
a. meningkatkan aksesibilitas dari daerah potensial yang belum
berkembang;
b. meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi untuk menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi;
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi penggunaan jalan; dan
d. mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan.
(2) Jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lintas alternatif dari jaringan jalan umum yang berklasifikasi fungsi sama atau lebih tinggi dari jalan arteri primer untuk melayani arus lalu
lintas jarak jauh.
(3) Jika belum ada infrastruktur jalan untuk meningkatkan efisiensi mobilitas barang antar kawasan, jalan tol dapat tidak merupakan
lintas alternatif agar sangat bermanfaat bagi perekonomian nasional dan melindungi kawasan yang dilalui jalan tol yang bersifat
tertutup.
(4) Dalam hal jalan tol bukan merupakan lintas alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jalan tol hanya dapat dihubungkan ke
dalam jaringan jalan umum pada ruas yang sekurang-kurangnya mempunyai fungsi kolektor.
-18-
Pasal 49
(1) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Badan Usaha di bidang jalan tol.
(2) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh:
a. Pemerintah, jika kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial rendah;
b. Badan Usaha jika kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan
finansial tinggi; atau
c. Pemerintah dan badan usaha jika kelayakan ekonomi tinggi dan
kelayakan finansial tidak mencukupi.
(3) Pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas
hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional.
(4) Pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui perjanjian pengusahaan jalan tol.
Pasal 50
(1) Perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) wajib di audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat penyimpangan, maka BPJT wajib segera memperbaharui atau
membatalkan perjanjian pengusahaan jalan tol.
(3) Pembaharuan atau pembatalan perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses
penyelenggaraan dan pengoperasian jalan tol.
Pasal 51
(1) Perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) mengatur pemberian konsesi pengusahaan jalan tol yang
diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol.
(2) Pemberian konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pengadaaan barang dan jasa.
Pasal 52
Dalam hal konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 telah selesai, Pemerintah mengalihkan status jalan tol yang dimaksud menjadi jalan berbayar sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 53
(1) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan jalan tol tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol, Pemerintah dapat
-19-
melakukan langkah penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan jalan tol.
(2) Dalam melakukan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menghentikan pengoperasian jalan tol.
Pasal 54
(1) Pengguna jalan tol diwajibkan membayar tarif jalan tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, pengoperasian, dan
pemeliharaaan.
(2) Tarif jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan selama periode waktu tertentu sesuai dengan perjanjian pengusahaan jalan
tol.
(3) Tarif jalan tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna
jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi.
(4) Tarif jalan tol yang besarannya tercantum dalam perjanjian
pengusahaan jalan tol ditetapkan pemberlakuannya bersamaan dengan penetapan pengoperasian jalan tersebut sebagai jalan tol.
(5) Evaluasi dan penyesuaian tarif jalan tol wajib dilakukan setiap 2 (dua)
tahun sekali berdasarkan hasil audit oleh akuntan publik terhadap kelayakan dan keuntungan minimal sebagaimana disepakati dalam
perjanjian pengusahaan jalan tol.
(6) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka
oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Pemberlakuan tarif awal jalan tol dan penyesuaian tarif tol ditetapkan
oleh Menteri pada waktu dan dengan besaran berdasarkan kesepakatan sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian pengusahaan
jalan tol.
Pasal 55
Penyelenggaraan jalan tol ditujukan untuk mewujudkan jalan tol yang aman, nyaman, berhasil guna dan berdaya guna, serta pengusahaan yang transparan dan terbuka.
Pasal 56
Badan Usaha yang mengusahakan jalan tol dapat melakukan operasional manajemen lalu lintas guna menjamin pelayanan jalan tol
dan menerima pendapatan dari pengoperasian jalan tol.
Pasal 57
(1) Badan Usaha yang mengusahakan jalan tol dapat melakukan pengembangan ruang kegiatan disekitar akses tol bagi kegiatan
produktif dan logistik skala nasional.
(2) Pengembangan ruang kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan nilai tambah pemanfaatan jalan tol.
-20-
(3) Pengembangangan ruang kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan bagian dari perjanjian pengusahaan jalan
tol.
Pasal 58
(1) Badan Usaha di bidang jalan tol dalam mengusahakan jalan tol wajib memenuhi SPM jalan tol.
(2) SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ukuran tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang harus selalu dipenuhi selama waktu konsesi.
(3) SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengguna jalan
tol.
Pasal 59
(1) SPM jalan tol paling sedikit meliputi: a. kondisi jalan;
b. kecepatan tempuh rata-rata; c. aksessibilitas; d. mobilitas;
e. keselamatan; dan f. unit pertolongan atau penyelamatan dan bantuan pelayanan.
(2) Selain SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada
jalan tol harus dilengkapi dengan pelayanan tempat istirahat dan fasilitas pendukung.
Pasal 60
(1) SPM jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan informasi publik yang ditetapkan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol.
(2) Penetapan SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan
manfaat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai SPM jalan tol diatur dengan
peraturan Menteri.
Pasal 61 (1) Setiap Badan usaha di bidang jalan tol yang mengusahakan jalan tol
tidak memenuhi SPM jalan tol sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1) dikenai sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. denda administratif; dan
c. pembatalan perjanjian pengelolaan jalan tol. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
-21-
Pasal 62
(1) Jalan tol hanya diperuntukkan bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor.
(2) Jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
(3) Penggunaan jalan tol selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri.
Pasal 63 (1) Selain peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, jalan tol
dapat dimanfaatkan untuk saluran data elektronik dan/atau
jaringan utilitas yang dibangun di ruang milik jalan tol. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh
badan usaha yang mengusahakan jalan tol atau badan usaha lain
yang memiliki kompetensi. (3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
menjadi bagian yang diperjanjikan di dalam perjanjian pengusahaan jalan tol.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jalan tol diatur dengan
Peraturan BPJT.
Pasal 64 Pengguna jalan tol berhak: a. mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan SPM; dan
b. menuntut kerugian kepada badan usaha akibat tidak terpenuhinya SPM jalan tol.
Pasal 65
(1) Selain pengguna jalan tol, setiap orang dilarang memasuki jalan tol. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi
petugas jalan tol.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan tol, pengusahaan jalan tol, tarif
jalan tol diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Jalan Provinsi
Pasal 67
Jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berfungsi
sebagai jalan kolektor primer dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
-22-
Pasal 68
(1) Penetapan status sebagai jalan provinsi dilakukan secara berkala oleh Menteri.
(2) Penetapan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan fungsi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
sesuai dengan pedoman dan standar yang ditetapkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan standar diatur dalam Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Jalan Kabupaten/Kota
Pasal 69
Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) meliputi:
a. jalan lokal primer dalam sistem jaringan jalan primer yang
berfungsi menghubungkan:
1. ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan;
2. antaribukota kecamatan;
3. ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal; dan
4. antarpusat kegiatan lokal.
b. jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten.
c. jalan strategis kabupaten.
Pasal 70
Jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berfungsi sebagai jalan bebas hambatan dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, yang
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada
di dalam kota.
Pasal 71
Jalan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4)
berfungsi sebagai jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder, jalan lokal sekunder, dan jalan lingkungan/desa dalam sistem jaringan jalan sekunder di wilayah kabupaten/kota, yang menghubungkan ibukota
kabupaten/kota dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten/kota dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat
kegiatan lokal, jalan strategis kabupaten/kota, pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman.
-23-
Pasal 72
(1) Penetapan status sebagai jalan kabupaten atau kota dilakukan
secara berkala oleh Menteri.
(2) Penetapan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan fungsi jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 sesuai dengan pedoman dan standar yang ditetapkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan standar diatur dalam Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Jalan Khusus
Pasal 73
(1) Jalan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) hanya
diperuntukkan bagi badan usaha untuk melayani kepentingan sendiri.
(2) Jalan khusus merupakan jalan yang sementara waktu dikelola untuk kepentingan khusus selanjutnya diserahkan kepada negara untuk kepentingan umum.
(3) Jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tertutup bagi lalu lintas umum.
Pasal 74
Jalan khusus wajib dibangun sesuai dengan persyaratan jalan umum.
Pasal 75
Setiap instansi dan/atau badan usaha yang membangun jalan khusus
harus mendapat izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan klasifikasi status jalan.
Pasal 76
(1) Jalan khusus dapat digunakan untuk lalu lintas umum dalam keadaan darurat berdasarkan persetujuan dari pengelola jalan khusus.
(2) Selain keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara dalam keadaan
perang jalan khusus dapat diambil alih oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pengelola jalan khusus.
(3) Jalan khusus yang digunakan untuk lalu lintas umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap menjadi tanggung jawab badan usaha dalam melakukan pengelolaan dan pemeliharaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan jalan khusus dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan untuk kepentingan pertahanan keamanan sebagaimana dimaksud pada
-24-
ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 77
(1) Pengelola jalan khusus wajib menyerahkan jalan khusus kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk dinyatakan sebagai jalan umum setelah batas waktu yang ditentukan berakhir.
(2) Penyerahan jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dalam kondisi baik sesuai dengan spesifikasi dari status jalan.
(3) Ketentuan mengenai penyerahan jalan khusus diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Bagian-Bagian Jalan
Pasal 78
(1) Bagian-bagian jalan meliputi:
a. ruang manfaat jalan;
b. ruang milik jalan; dan
c. ruang pengawasan jalan.
(2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari badan jalan termasuk fasilitas pejalan kaki, saluran tepi jalan, dan ambang pengaman jalan.
(3) Penyediaan fasilitas pejalan kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan di jalan bebas hambatan.
(4) Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan
(5) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang bebas dari
bangunan permanen dan tidak boleh terpotong oleh Garis Sempadan Bangunan.
Pasal 79
Ukuran dari ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat
dilebarkan sesuai dengan tingkat klasifikasi fungsi jalan.
Pasal 80
Setiap instansi, badan hukum, atau orang yang akan membangun jaringan utilitas atau apapun di bawah dan/atau di atas permukaan
jalan di dalam ruang milik jalan, harus:
a. mengajukan rencana rinci serta jadwal waktu dan penanggung jawab pekerjaan kepada Penyelenggara Jalan;
b. menyerahkan jaminan bank dan analisis dampak gangguan lalu
-25-
lintas kepada Penyelenggara Jalan; dan
c. memiliki izin tertulis dari Penyelenggara Jalan dan memberikan
kepada penilik jalan dari setiap lokasi pekerjaan, minimal 3 hari sebelum pekerjaan dilakukan.
Pasal 81
Setiap instansi, badan hukum, atau orang yang membangun jaringan
utilitas atau apapun di bawah dan/atau di atas permukaan jalan di dalam ruang milik jalan, wajib:
a. melaksanakan pekerjaan sesuai rencana pelaksanaan pekerjaan;
b. meminimalisasi dampak gangguan lalu lintas akibat pekerjaan; dan
c. mengembalikan ruang milik jalan minimal sesuai dengan kondisi
semula.
Pasal 82
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan keselamatan lalu lintas dari pejalan
kaki atau kendaraan di dalam ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan/atau ruang pengawasan jalan.
(2) Ketentuan larangan melakukan perbuatan di ruang pengawasan
jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal mendapat izin dari Penyelenggara Jalan.
(3) Setiap orang dilarang mendirikan bangunan, sebagian dari
bangunan, atau garis sepadan bangunan di ruang pengawasan jalan.
Bagian Kelima
Bangunan Penghubung
Pasal 83
Untuk mendukung fungsi jalan dapat dibangun bangunan penghubung berupa jembatan dan/atau terowongan guna mengatasi rintangan antar ruas-ruas jalan.
Pasal 84
(1) Jembatan dikelompokkan menjadi jembatan standar dan jembatan dengan karakteristik khusus.
(2) Jembatan standar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan jembatan yang dapat direncanakan, dibangun, dan/atau dipelihara dengan menggunakan teknologi yang sederhana.
(3) Jembatan dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan jembatan yang dibangun menggunakan sistem struktur khusus, atau material khusus, atau cara
pelaksanaan dan pemeliharaan yang khusus.
-26-
Pasal 85
(1) Jembatan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2), terdiri dari:
a. jembatan bentang pendek dengan bentang sampai dengan 40 (empat puluh) meter; dan
b. jembatan bentang sedang dengan bentang lebih dari 40 (empat
puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter.
(2) Jembatan dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (3), terdiri dari:
a. jembatan dengan bentang lebih dari 100 (seratus) meter; dan
b. jembatan dengan bentang dibawah 100 (seratus) meter yang
dibangun dengan menggunakan sistem struktur khusus, atau material khusus, atau cara pelaksanaan dan pemeliharaan yang khusus.
Pasal 86
(1) Jembatan bentang pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(2) Jembatan bentang sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85
ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh pemerintah provinsi.
(3) Jembatan dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah.
Pasal 87
(1) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota membangun jembatan bentang sedang yang terdapat di ruas jalan kabupaten/kota harus mendapat izin teknis dari pemerintah provinsi.
(2) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota membangun jembatan dengan karakteristik khusus di jalan kabupaten/kota, maka harus mendapat izin teknis dan pengawasan dari Pemerintah.
Pasal 88
(1) Dalam hal pemerintah provinsi membangun jembatan dengan karakteristik khusus di jalan provinsi, maka harus mendapat izin teknis dan pengawasan dari Pemerintah.
(2) Dalam hal pemerintah provinsi membangun jembatan bentang pendek di ruas jalan provinsi, tidak memerlukan izin dari pemerintah
kabupaten/kota.
Pasal 89
Dalam hal Pemerintah membangun jembatan bentang pendek dan jembatan bentang sedang di ruas jalan nasional, tidak memerlukan izin
dari pemerintah kabupaten/kota dan/atau provinsi.
-27-
Pasal 90
(1) Rancang bangun jembatan harus memenuhi spesifikasi khusus dan memperhitungkan prosedur standar pemeliharaan dan perbaikan
yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Selain rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
rancang bangun jembatan harus memperhatikan unsur estetika.
Pasal 91
(1) Pembangunan terowongan harus memenuhi spesifikasi khusus, analisis mengenai dampak lingkungan, dan memperhitungkan
prosedur standar pemeliharaan serta perbaikan.
(2) Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Spesifikasi khusus dan perhitungan prosedur standar pemeliharaan serta perbaikan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai bangunan penghubung dan izin teknis
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PEKERJAAN JALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 93
(1) Pekerjaan jalan terdiri dari pembangunan jalan baru, peningkatan
kapasitas jalan, peningkatan kualitas jalan, pemeliharaan jalan, dan perubahan geometrik jalan.
(2) Pembangunan jalan baru merupakan kegiatan penambahan panjang jalan dan membuka akses jalan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan lingkungan/desa.
(3) Peningkatan kapasitas jalan merupakan penambahan dimensi, jumlah dan fungsi lajur atau jalur lalu lintas pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan
lingkungan/desa.
(4) Peningkatan kualitas jalan merupakan kegiatan meningkatkan
mutu dan/atau daya dukung konstruksi pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan lingkungan/desa.
(5) Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan penanganan jalan, berupa
perawatan dan perbaikan yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi jalan agar tetap berfungsi secara optimal melayani lalu lintas sehingga umur rencana yang ditetapkan dapat tercapai.
(6) Perubahan geometrik jalan merupakan kegiatan merubah fisik jalan
-28-
berkaitan dengan rekayasa dan manajemen lalu lintas dan mendapat prioritas utama terkait dengan masalah keselamatan lalu
lintas.
(7) Setiap jenis pekerjaan jalan harus memenuhi kaidah keselamatan
jalan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Pasal 94
(1) Pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas jalan, peningkatan
kualitas jalan dilakukan melalui:
a. perencanaan teknis;
b. pemrograman dan penganggaran;
c. pengadaan lahan, dikecualikan bagi peningkatan kualitas jalan;
d. pelaksanaan konstruksi; dan
e. pengoperasian.
(2) Perencanaan teknis pembangunan jalan baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan menetapkan standar geometrik jalan, klasifikasi, sub bidang, dan lingkup pekerjaan.
(3) Pemrograman dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b merupakan kegiatan menetapkan uraian kegiatan dan biaya yang diperlukan untuk pembangunan jalan.
(4) Pengadaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan kegiatan menyediakan lahan melalui pembebasan lahan milik masyarakat atas hak kepemilikan untuk pembangunan jalan
bagi kepentingan umum atau kepentingan khusus.
(5) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh badan usaha di bidang pembangunan
infrastruktur.
(6) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggung
jawab terhadap kondisi jalan selama masa penjaminan sesuai dengan perjanjian pelaksanaan konstruksi.
(7) Pengoperasian jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e dilakukan setelah jalan dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan teknis, pemrograman
dan penganggaran, dan pelaksanaan konstruksi pembangunan jalan baru diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pembangunan Jalan Baru
Pasal 95
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban melakukan pembangunan jalan baru untuk mempercepat terciptanya sistem mobilitas barang dan/atau orang serta sistem logistik yang efisien
dan untuk membuka akses yang menghubungkan kabupaten/kota
-29-
di seluruh wilayah Indonesia.
(2) Pembangunan jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat pendapatan masyarakat, dan potensi daerah
setempat.
Pasal 96
(1) Pembangunan jalan baru pada jalan umum merupakan penambahan panjang jalan pada pembangunan jalan secara umum yang meliputi pembangunan jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan
kabupaten/kota.
(2) Ketentuan mengenai penentuan panjang minimum penambahan
panjang jalan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 97
(1) Pembangunan jalan baru harus memperhatikan rencana garis tengah jalan.
(2) Garis tengah jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri setelah mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan dan
setelah mendengar pendapat dari Gubernur yang bersangkutan.
Pasal 98
(1) Pemerintah Daerah menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah terhadap rencana
pembangunan jalan baru paling lama dalam waktu 5 (lima) tahun sejak ditetapkannya rencana pembangunan jalan baru.
(2) Pemerintah berkewajiban memprioritaskan pembangunan jalan
baru yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kota atau rencana tata ruang wilayah DKI Jakarta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal daerah belum mempunyai rencana tata ruang wilayah,
gubernur atau bupati/walikota dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah menetapkan lokasi pembangunan jalan dengan mempertimbangkan analisa mengenai dampak lingkungan.
Pasal 99
Pelaksanaan pembangunan jalan dimulai paling lama 2 (dua) tahun sejak rencana garis tengah jalan telah ditetapkan dengan keputusan Menteri atau sejak rencana garis tengah jalan telah dimasukkan ke
dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah.
-30-
Pasal 100
(1) Pembiayaan pembangunan jalan baru menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pemerintah berkewajiban membantu Pemerintah Daerah yang belum mampu membiayai pembangunan jalan baru yang
seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 101
Dalam hal pembangunan jalan tol:
a. melewati jalan yang telah ada, badan usaha menyediakan jalan pengganti;
b. berlokasi di atas jalan yang telah ada, jalan yang ada tersebut harus tetap berfungsi dengan baik.
c. mengganggu jalur lalu lintas yang telah ada, badan usaha terlebih
dahulu menyediakan jalan pengganti sementara yang layak.
Bagian Ketiga
Peningkatan Kapasitas Jalan
Pasal 102
Peningkatan kapasitas jalan secara kualitas teknis harus setara atau
lebih dari kualitas teknis jalan yang telah ada.
Pasal 103
(1) Pengelola jalan tol dilarang melakukan peningkatan kapasitas, dalam
hal terjadi penurunan tingkat kelayakan jalan tol akibat penurunan volume lalu lintas dan perubahan dan/atau pembatalan rencana tata ruang wilayah.
(2) Peningkatan kapasitas diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Penyelenggara Jalan.
Bagian Keempat
Peningkatan Kualitas Jalan
Pasal 104
Peningkatan kualitas jalan secara kualitas teknis jalan harus lebih dari kualitas teknis jalan yang telah ada.
Bagian Kelima
Pemeliharaan Jalan
Pasal 105
(1) Pemeliharaan jalan meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan
-31-
berkala dan rehabilitasi.
(2) Pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menjamin kondisi jalan dalam kondisi layak untuk berlalu lintas dengan selamat.
Pasal 106
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan pemeliharaan melalui perawatan, perbaikan, dan pemeriksaan jalan untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan SPM
yang ditetapkan.
Pasal 107
Pelaksanaan pemeliharaan jalan harus memperhatikan keselamatan
pengguna jalan dengan penempatan perlengkapan jalan secara jelas sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 108
Pelaksanaan pemeliharaan jalan di ruang milik jalan yang terletak di
luar ruang manfaat jalan harus dilaksanakan dengan tidak mengganggu fungsi ruang manfaat jalan.
Pasal 109
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyerahkan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 kepada
Badan Usaha.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa hak pengelolaan jalan.
(3) Ketentuan mengenai penyerahan diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 110
(1) Pemeliharaan jalan umum dapat dilaksanakan oleh orang atau instansi sepanjang tidak merugikan kepentingan umum.
(2) Pemeliharaan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penyediaan biaya, dan pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh orang atau instansi, atau pelaksanaan konstruksi
oleh Penyelenggara Jalan atas biaya dari orang atau instansi yang bersangkutan.
BAB VIII
PENGADAAN TANAH
Pasal 111
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan harus diutamakan dari
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum lainnya guna menjamin mobilitas barang dan/atau orang secara
-32-
efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin
pengadaan tanah untuk pembangunan jalan dilakukan berdasarkan prosedur baku yang transparan, akuntabel, serta melibatkan penilai
pertanahan yang independen.
Pasal 112
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan diselenggarakan sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
(2) Dalam hal belum ada rencana tata ruang wilayah atau sudah ada
rencana tata ruang wilayah akan tetapi belum ada rencana pembangunan jalan, proses pengadaan tanah untuk pembangunan jalan dapat dilakukan secara bersamaan dengan proses penetapan
rencana pembangunan jalan baru dalam rencana tata ruang wilayah.
Pasal 113
(1) Selain sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, pengadaan tanah untuk pembangunan jalan dilaksanakan
berdasarkan rencana garis tengah jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2).
(2) Garis tengah jalan untuk menentukan letak jalan harus
disosialisasikan kepada masyarakat, terutama masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan.
Pasal 114
Pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang bagi pengadaan tanah
untuk pembangunan jalan dilaksanakan melalui perbankan dan berdasarkan kesepakatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 115
Setiap orang dilarang bertindak sebagai calo tanah dan/atau melakukan pembelian dan kemudian menjual lahan yang bukan miliknya pada saat
ditetapkan rencana garis tengah jalan tersebut.
Pasal 116
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan khusus dilakukan oleh
badan usaha yang bersangkutan.
(2) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tidak mengabaikan kepentingan umum serta memperhatikan kesatuan jaringan jalan umum, terutama jaringan jalan nasional di wilayah bersangkutan.
-33-
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 117
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan jalan mempunyai tugas dan wewenang.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri.
(4) Tugas dan wewenang pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
oleh satuan kerja perangkat daerah.
Bagian Kedua
Tugas
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 118
(1) Pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan jalan bertugas
menyusun perencanaan jalan jangka panjang dan jangka menengah.
(2) Perencanaan jangka panjang dan jangka menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus:
a. disampaikan kepada Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia; dan
b. disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Perencanaan jangka panjang dan jangka menengah yang telah
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan dijadikan dasar dalam penentuan anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber pembiayaan lain di
sektor jalan.
Pasal 119
Selain membuat perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118,
Pemerintah bertugas:
a. menyusun norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan;
b. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi
pelaksanaan kebijakan nasional;
c. mengalokasikan dana dan/atau biaya;
-34-
d. melakukan dan mendorong penelitian dan pengembangan teknologi yang berkaitan dengan jalan dan jembatan;
e. mengembangkan sistem bimbingan, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan;
f. memberikan bimbingan, penyuluhan dan pelatihan kepada aparatur di bidang jalan;
g. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam
penyelenggaraan jalan;
h. menyusun dan menyediakan basis data jalan;
i. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan;
j. melakukan koordinasi lintas sektoral dan lintas wilayah, baik vertikal atau horizontal;
k. melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi;
l. memfasilitasi kerja sama tingkat nasional dan internasional antara
Pemerintah dan badan hukum dalam penyelenggaraan jalan;
m. membangun, mengoperasikan, memelihara, dan membina jalan
nasional;
n. menetapkan laik fungsi secara teknis dan administratif sehingga jalan dapat dioperasikan;
o. mengembangkan dan mengelola sistem manajemen jalan nasional;
p. mengendalikan fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional;
q. mengevaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional;
r. mempersiapkan pengusahaan jalan tol, mengadakan investasi dan
memberikan fasilitas pembebasan tanah;
s. pengaturan pengusahaan jalan tol; dan
t. memantau dan mengevaluasi pengaturan, pembinaan, dan
pengusahaan jalan tol.
Pasal 120
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pembangunan jalan umum
dalam hal pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota tidak mampu melaksanakan tugasnya.
(2) Kewajiban Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap jalan umum yang bersifat strategis.
(3) Penetapan jalan umum yang bersifat strategis ditetapkan dalam
Keputusan Menteri
Pasal 121
(1) Dalam mempersiapkan pengusahaan jalan tol sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 huruf r, Pemerintah menyusun rencana umum jaringan jalan tol.
(2) Rencana umum jaringan jalan tol sebagaimana dimaksud pada
-35-
ayat (1), merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana umum jaringan jalan nasional.
Pasal 122
(1) Dalam melaksanakan tugas pengaturan pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf s, tanggung jawabnya dilaksanakan oleh BPJT, meliputi pengaturan,
pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol.
(2) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non kementrian yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
(3) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) beranggotakan unsur
Pemerintah, akademisi, praktisi, dan masyarakat pengguna jalan tol.
(4) BPJT bertugas:
a. membuat kebijakan dan pengaturan dibidang jalan tol;
b. menyusun perencanaan jangka menengah untuk pengembangan
jalan tol;
c. menentukan tarif awal dan penyesuaian tarif tol;
d. melakukan pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi
atau jalan tol yang gagal dalam masa konsesi, dan menetapkan pengoperasian selanjutnya;
e. melakukan persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan
investasi, dan pelaksanaan pengadaan tanah untuk jalan tol;
f. menyusun, menandatangani, dan melaksanakan perjanjian
pengusahaan jalan tol.
g. mengembangkan jaringan, fungsi dan manfaat jaringan, dan kinerja jaringan jalan tol; dan
h. mengawasi pemenuhan SPM jalan tol.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai BPJT diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Pemerintah Provinsi
Pasal 123
Pemerintah provinsi dalam melaksanakan penyelenggaraan jalan bertugas melakukan pembinaan terhadap jalan provinsi dengan:
a. merumuskan kebijakan dan strategi pada tingkat provinsi dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
b. merumuskan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan
pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang jalan dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
c. menyusun perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan
-36-
provinsi; dan
d. melakukan perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran,
pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi.
Pasal 124
(1) Pemerintah provinsi bertugas menyusun rencana jangka menengah dan program perwujudan penyelenggaraan jalan pada jaringan jalan
sekunder.
(2) Rencana jangka menengah dan program perwujudan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan:
a. hanya jalan bebas hambatan dan jalan arteri sekunder yang
dapat dijadikan sebagai jalan berbayar;
b. jalan arteri primer di dalam kota yang dikelola sebagai jalan tol hanya diperbolehkan mempunyai akses dan pintu tol paling
banyak 3 (tiga) buah dengan jarak antar pintu minimal sama dengan jarak terpanjang dari ukuran kota yang bersangkutan;
c. penetapan jalan khusus sesuai dengan rencana jaringan jalan
kota
(3) Rencana jangka menengah dan program perwujudan
penyelenggaraan jalan, yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan, dituangkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 125
Selain membuat perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
dan Pasal 124, pemerintah provinsi bertugas :
a. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pada tingkat provinsi;
b. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi;
c. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan jalan lintas kabupaten/kota;
d. menyusun perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan
provinsi.
e. membiayai pembangunan jalan provinsi;
f. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pada tingkat
provinsi;
g. menyusun pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi
dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.
h. memberikan bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur
Penyelenggara Jalan kabupaten/kota;
i. mengkaji, meneliti, dan mengembangkan teknologi bidang jalan
untuk jalan provinsi;
-37-
j. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan;
k. membangun, mengoperasikan, memelihara, dan membina jalan provinsi;
l. mengembangkan dan mengelola sistem manajemen jalan provinsi;
m. mengevaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi; dan
n. mengendalikan fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan
provinsi.
Paragraf 3
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 126
Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan penyelenggaraan jalan
bertugas melakukan pembinaan terhadap jalan kabupaten/kota, dengan:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi;
b. menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah dengan berpedoman pada strategi nasional dan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi;
c. menyusun perencanaan jangka menengah pembangunan dan pengembangan jalan pada tingkat kabupaten/kota;
d. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota;
e. melaksanakan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun di bidang
jalan yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;
f. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang jalan pada tingkat kabupaten/kota;
g. melaksanakan kebijakan dan strategi di bidang jalan pada tingkat kabupaten/kota;
h. melaksanakan kebijakan dan strategi daerah provinsi dengan
berpedoman pada kebijakan nasional dan provinsi;
i. membiayai pembangunan jalan kabupaten/kota dan jalan
lingkungan/desa;
j. memberikan bimbingan, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan aparatur Penyelenggara Jalan kabupaten/kota dan jalan
lingkungan/desa;
k. melakukan perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan
kabupaten/kota dan jalan lingkungan/desa;
l. membangun, mengoperasikan, memelihara, dan membina jalan
-38-
jalan kabupaten/kota dan jalan lingkungan/desa;
m. mengembangkan dan mengelola manajemen jalan kabupaten/kota
dan jalan lingkungan/desa;
n. mengevaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/kota dan
jalan lingkungan/desa;
o. mengendalikan fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/kota dan jalan lingkungan/jalan desa.
Pasal 127
(1) Pemerintah kota bertugas menyusun rencana jangka menengah dan program perwujudan penyelenggaraan jalan pada jaringan jalan
sekunder.
(2) Rencana jangka menengah dan program perwujudan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan:
a. hanya jalan bebas hambatan dan jalan arteri sekunder yang dapat
dijadikan sebagai jalan berbayar;
b. jalan arteri primer di dalam kota yang dikelola sebagai jalan tol hanya diperbolehkan mempunyai akses dan pintu tol paling
banyak 3 (tiga) buah dengan jarak antar pintu minimal sama dengan jarak terpanjang dari ukuran kota yang bersangkutan;
c. penetapan jalan khusus sesuai dengan rencana jaringan jalan
kota.
(3) Rencana jangka menengah dan program perwujudan
penyelenggaraan jalan, yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan, dituangkan dengan Peraturan Daerah.
Bagian Ketiga
Wewenang
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 128
(1) Pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan di bidang jalan
mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan dan strategi nasional;
b. menetapkan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan
pemanfaatan hasil rekayasa teknologi;
c. menetapkan norma, standar, kriteria dan pedoman;
d. mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun
serta industri yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;
e. mengoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan
-39-
peraturan perundang-undangan;
f. menetapkan status jalan nasional;
g. membentuk peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya;
h. mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan;
i. mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi;
j. melakukan sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, dan registrasi keahlian kepada orang atau badan yang menyelenggarakan pembangunan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan/atau
pengelolaan jalan;
k. menetapkan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang
menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer;
l. memberikan izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan
pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan;
m. menetapkan rencana umum jaringan jalan tol;
n. menetapkan suatu ruas jalan tol; dan
o. memberikan rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta
pengambil alihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.
(2) Wewenang Pemerintah dalam menetapkan suatu ruas jalan tol
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dilaksanakan oleh BPJT.
(3) Selain melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPJT berwenang menetapkan akses jalan tol.
(4) Penetapan akses jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperuntukkan bagi:
a. pengembangan kawasan potensial guna meningkatkan produk domestik bruto dari kegiatan produksi dan logistik yang
berskala nasional;
b. berfungsinya titik multimoda yang berjangkauan nasional
secara optimal.
c. pemanfaatan ruang disekitar akses tol yang diprioritaskan bagi kegiatan produktif dan logistik skala nasional.
Pasal 129
Setiap orang dilarang mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol sebelum adanya keputusan Menteri.
-40-
Paragraf 2
Pemerintah Provinsi
Pasal 130
Dalam Penyelenggaraan Jalan, pemerintah provinsi berwenang:
a. menetapkan kebijakan dan strategi pada tingkat provinsi dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
b. menetapkan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang jalan dengan
berpedoman pada kebijakan nasional;
c. menetapkan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi;
d. menetapkan status jalan provinsi;
e. menetapkan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan provinsi;
f. menetapkan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan
lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer; dan
g. memberikan izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang
pengawasan jalan.
Paragraf 3
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 131
Dalam Penyelenggaraan Jalan, pemerintah kabupaten/kota berwenang:
a. menetapkan kebijakan Penyelenggaraan Jalan kabupaten/kota dan jalan desa berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi dengan
memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan;
b. menetapkan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan
kabupaten/desa dan jalan kota;
c. menetapkan status jalan kabupaten/kota dan jalan desa.
d. menetapkan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan
kabupaten/desa dan jalan kota;
e. memberikan izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan
pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
-41-
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 132
Pembiayaan Penyelenggaraan Jalan menjadi tanggung jawab Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 133
Pembiayaan Penyelenggaraan Jalan berasal dari sumber:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. pihak ketiga;
Pasal 134
Pembiayaan untuk perbaikan jalan dapat dilakukan dengan swadaya masyarakat dengan seizin Penyelenggara Jalan.
Pasal 135
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan dana
sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
(2) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mempercepat penanggulangan kendala infrastruktur jalan bagi
kemajuan ekonomi dan daya saing Indonesia di tingkat internasional.
(3) Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk kurun waktu 20 (dua puluh) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.
Pasal 136
Penggunaan sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) harus menjamin pencapaian tujuan dari Penyelenggaraan Jalan
secara efisien, akuntabel, dan transparan.
Pasal 137
(1) Pembiayaan dalam Penyelenggaraan Jalan khusus dihimpun dari badan usaha yang diizinkan melakukan pembangunan dan
pengoperasian jalan khusus.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-42-
Pasal 138
Pemerintah dapat menghimpun dana dari masyarakat melalui
penerbitan obligasi atau surat berharga untuk mendanai pembangunan jalan tol atau jalan berbayar.
BAB XI
PENGAWASAN
Pasal 139
(1) BPJ bertanggung jawab melaksanakan pengawasan terhadap
Penyelenggaraan Jalan.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
agar jalan tetap berfungsi secara optimal sesuai dengan rencana umur dan SPM yang telah ditetapkan
Pasal 140
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (1)
meliputi pemantauan dan evaluasi.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan agar umur jalan sesuai dengan rencana dan Penyelenggaraan Jalan sesuai
dengan sistem, fungsi, status, pengelolaan jalan, dan pelaksanaan SPM serta rencana tata ruang.
(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pelaksanaan:
a. pembangunan jalan baru;
b. peningkatan kapasitas jalan;
c. peningkatan kualitas jalan; dan
d. pemeliharaan jalan.
e. peningkatan kapasitas jalan;
f. peningkatan kualitas jalan; dan
g. pemeliharaan jalan.
Pasal 141
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1)
merupakan kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian Penyelenggaraan Jalan secara terukur dan obyektif.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengamati dan memeriksa pelaksanaan Penyelenggaraan Jalan.
Pasal 142
(1) Pengawasan dalam Penyelenggaraan Jalan dilaksanakan oleh BPJ yang independen dan profesional.
-43-
(2) BPJ bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) BPJ terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota
(4) Masa jabatan anggota BPJ adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(5) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan
dalam keanggotaan BPJ, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pemilihan anggota baru.
Pasal 143
(1) Keanggotaan BPJ dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden mengajukan 14 (empat belas) nama calon atau 2 (dua) kali jumlah anggota BPJ kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon
anggota BPJ dari 14 (empat belas) calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 144
Persyaratan keanggotaan BPJ adalah:
a. warga negara Republik Indonesia,
b. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
e. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
f. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
g. memiliki pengetahuan atau keahlian mengenai jalan;
h. tidak pernah dipidana; dan
i. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Pasal 145
Keanggotaan BPJ berhenti karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan BPJ; atau
f. diberhentikan.
Pasal 146
Dalam rangka mengawasi Penyelenggaraan Jalan BPJ mempunyai tugas dan wewenang:
a. Menerima laporan masyarakat atau dari pengguna jalan tentang
-44-
dugaan terjadinya penyimpangan Penyelenggaraan Jalan.
b. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus
dugaan terjadinya penyimpangan dalam Penyelenggaraan Jalan.
c. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang atau
ada atau tidak penyimpangan dalam Penyelenggaraan Jalan.
d. Memanggil Penyelenggara Jalan yang diduga telah melakukan pelanggaraan ketentuan perundang-undangan.
e. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
f. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada Penyelenggara Jalan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan.
g. Melaporkan kepada pihak berwajib apabila berdasarkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud
pada huruf (c) ditemukan pelanggaran tindak pidana.
Pasal 147
BPJ dapat dibentuk di daerah untuk mengawasi Penyelenggaraan Jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota.
Pasal 148
Dalam melaksanakan pengawasan, BPJ dapat melibatkan masyarakat.
Pasal 149
(1) BPJ melaporkan hasil pengawasan terhadap Penyelenggaraan Jalan
kepada Presiden sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses
secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 150
Peran serta masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan dapat dilakukan
dengan:
a. memberikan masukan;
b. melakukan pengawasan; dan/atau
c. berpartisipasi aktif dalam pembiayaan perbaikan jalan yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
-45-
Pasal 151
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150
huruf a dilakukan dengan memberikan masukan dalam:
a. penyusunan kebijakan perencanaan dan perencanaan umum;
b. pelayanan, pemberdayaan, serta penelitian dan pengembangan; dan/atau
c. penyusunan program, penganggaran, perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan;
(2) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian usulan, saran atau informasi.
Pasal 152
Peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung baik lisan maupun tertulis berupa permintaan
keterangan, pemberian informasi, saran dan pendapat kepada Penyelenggara Jalan.
Pasal 153
Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada Pasal
150, Pasal 151, Pasal 152, masyarakat berhak:
a. memperoleh akses seluas-luasnya atas data dan informasi tentang Penyelenggaraan Jalan, kecuali data dan informasi tentang rencana
trase jalan sebelum ditetapkan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
b. memperoleh manfaat atas Penyelenggaraan Jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
Pasal 154
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dalam peraturan Menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 155
Penyelenggara Jalan yang tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan dini yang terjadi selama usia teknis yang telah ditetapkan dalam
rancangan teknis jalan sesuai dengan klasifikasi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
-46-
Pasal 156
Pejabat atasan langsung dari Penyelenggara Jalan) yang tidak
bertanggung jawab terhadap kerusakan dini yang terjadi selama usia teknis yang telah ditetapkan dalam rancangan teknis jalan sesuai
dengan klasifikasi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 157
Setiap badan usaha di bidang jalan tol dalam mengusahakan jalan tol, yang tidak memenuhi SPM jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) yang mengakibatkan kecelakaan dan/atau korban jiwa
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 158
Setiap orang yang memasuki jalan tol selain pengguna jalan tol dan
petugas jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 159
Setiap badan usaha yang membangun jalan khusus yang digunakan untuk lalu lintas umum yang tidak sesuai dengan persyaratan jalan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 160
Pengelola jalan khusus yang tidak menyerahkan jalan khusus kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk dinyatakan sebagai jalan umum setelah batas waktu yang ditentukan berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 161
Setiap instansi, badan hukum, atau orang yang membangun jaringan utilitas atau apapun di bawah dan/atau di atas permukaan jalan di dalam ruang milik jalan, yang tidak:
a. melaksanakan pekerjaan sesuai rencana pelaksanaan pekerjaan;
b. meminimalisasi dampak gangguan lalu lintas akibat pekerjaan; dan
c. mengembalikan ruang milik jalan minimal sesuai dengan kondisi
semula.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
-47-
Pasal 162
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, ruang milik
jalan, dan/atau ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Pasal 163
Setiap orang yang mendirikan bangunan, sebagian dari bangunan, atau
garis sepadan bangunan di ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
Pasal 164
Pengelola jalan tol yang melakukan peningkatan kapasitas, dalam hal terjadi penurunan tingkat kelayakan jalan tol akibat penurunan volume
lalu lintas dan perubahan dan/atau pembatalan rencana tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 165
(1) Pejabat yang tidak melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat
pelayanan jalan sesuai dengan SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan penjara
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Pasal 166
Setiap orang yang bertindak sebagai calo tanah dan/atau melakukan
pembelian dan kemudian menjual lahan yang bukan miliknya pada saat ditetapkan rencana garis tengah jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
-48-
Pasal 167
Setiap orang yang mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol
sebelum adanya penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Pasal 168
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal 162, atau Pasal 164 dilakukan oleh badan hukum, maka
selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 169
(1) BPJT yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 295/PRT/M/2005 tentang Badan Pengatur Jalan Tol adalah badan yang menyelenggarakan jalan tol sebelum dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang ini.
(2) Sebelum terbentuknya Badan Pengawas Jalan, fungsi pengawasan jalan dilaksanakan oleh instansi yang berwenang melakukan pengawasan Penyelenggaraan Jalan.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 170
(1) Semua peraturan pelaksanaan yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Semua kelembagaan yang perlu dibentuk atau yang perlu
ditingkatkan statusnya dan pengalokasian anggaran pembiayaan penyelenggaraan jalan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini sudah terbentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang
ini diundangkan.
(3) Badan usaha di bidang pembangunan infrastruktur yang dimiliki
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dibentuk dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional.
(4) Badan usaha di bidang pembangunan infrastruktur yang dimiliki
oleh pemerintah daerah dibentuk setelah evaluasi kedua dari perencanaan jangka panjang.
Pasal 171
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
-49-
a. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
b. ketentuan dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025);
c. ketentuan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5049.);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 172
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal … 20…
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …, … 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
-50-
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
JALAN
I. UMUM
Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi
masyarakat untuk mencapai tujuan nasional, yaitu memajukan kesejahteraan umum yang hendak diwujudkan melalui serangkaian program pembangunan
yang menyeluruh, terarah dan terpadu serta berlangsung secara terus-menerus.
Dalam kerangka itu maka jalan mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, seperti pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadaan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, serta dalam jangka panjang
terciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan, sendiri, menuju suatu masyarakat Indonesia yang maju, adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Tumbuh dan berkembangnya suatu masyarakat bangsa dan negara, memerlukan peranan jasa angkutan yang mendukung berlangsungnya kegiatan usaha masyarakat. Untuk itu diperlukan pengembangan adanya pola
efisiensi pada segenap kegiatan usaha dalam memenuhi kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia akan terjadi arus orang dan
barang. Arus barang hanya dimungkinkan terjadi oleh adanya jasa distribusi, yaitu jasa perdagangan dan jasa angkutan sebagai bagian yang tak terpisahkan, yang bermula dari lokasi sumber alam dan berhenti pada
konsumen akhir.
Tersebarnya lokasi, baik sumber alam maupun konsumen akhir, menuntut diikutinya pola efisiensi dalam menghubungkan keduanya, yang
digambarkan dengan terbentuknya simpul jasa distribusi. Di dalam sistem distribusi, sistem jaringan jalan memegang peranan penting, karena peningkatan pelayanan pemasaran tidak lain adalah peningkatan kepadatan
jasa distribusi, yang menuntut pengembangan prasarana perhubungan antara lain jaringan jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional.
Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan
penting terutama dalam mendukung mobilitas di bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dijamin oleh negara dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran
-51-
pembangunan nasional. Dengan demikian, jalan semakin diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan
antarwilayah, antarperkotaan, maupun antarperdesaan guna meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efesien, handal, berkualitas, aman, dengan
harga yang terjangkau serta mewujudkan sistem transportasi nasional yang terpadu antarmultimoda dan dengan pembangunan wilayah dalam satu kesatuan sistem jaringan yang menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah
Republik Indonesia.
Peranan jalan sebagaimana mestinya tersebut belum terpenuhi dimana masih banyak wilayah, desa yang merupakan kantong-kantong kemiskinan, dan daerah transmigrasi serta wilayah-wilayah potensial yang belum dapat
diakses secara memadai sehingga pemerintah berkewajiban mempercepat pembangunan infrastruktur jalan yang merata di seluruh wilayah Indonesia
guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, peranan jalan juga dapat dimanfaatkan untuk saluran data elektronik atau jaringan utilitas lainnya, seperti saluran gas, air, air limbah, listrik, dan telekomunikasi.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan Negara, mempunyai hak penguasaan atas jalan yang merupakan aset, harus dibangun dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Sebagai pemegang hak penguasaan
atas jalan, pemerintah melakukan pembinaan jalan melalui penentuan sasaran, perwujudan sasaran, dan pemeliharaan jalan. Penentuan sasaran terdiri dari perencanaan jalan serta keterpaduan perencanaan jalan dan tata
ruang, sedangkan perwujudan sasaran terdiri dari perencenaan teknis, pengadaaan, dan pelaksanaan pekerjaan jalan.
Untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan dibutuhkan pembiayaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, pinjaman luar negeri, pihak ketiga, pemanfaatan pajak dan retribusi yang berasal dari transportasi, dan
pendapatan negara bukan pajak dari sebagian nilai tambah yang diperuntukan bagi masyarakat pengguna jalan.
Agar terwujudnya tertib penyelenggaraan jalan, dilakukan pengawasan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya terhadap pekerjaan jalan, yang meliputi pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas, peningkatan kualitas, pemeliharaan, dan perubahan
geometrik jalan. Selain itu pengawasan secara independen dan profesional dilakukan oleh Badan Pengawas Jalan terhadap keseluruhan kegiatan penyelenggaraan jalan. Badan Pengawas Jalan bertanggungjawab kepada
Presiden yang beranggotakan dari unsur Pemerintah, akademisi, praktisi, dan masyarakat pengguna jalan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
-52-
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keselamatan” adalah penyelenggaraan jalan untuk menjamin keselamatan pengguna jalan dalam berlalu
lintas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keamanan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan jalan memperhatikan masalah keamanan jalan
sesuai dengan persyaratan teknis yang berkaitan dengan kondisi permukaan dan kondisi geometrik jalan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah berkenaan dengan
semua kegiatan penyelenggaraan jalan yang dapat memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas persatuan dan kesatuan” adalah bahwa
jalan merupakan prasarana yang mempersatukan dan menghubungkan seluruh wilayah Indonesia
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas efisiensi berkeadilan” adalah
penyelenggaraan jalan dapat dinikmati bagi seluruh rakyat dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap orang secara proporsional dengan memperhatikan cara yang tepat, hemat energi,
hemat waktu, hemat tenaga, dan rasio dari manfaat dan biaya setinggi-tingginya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan jalan dilakukan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keterpaduan antar sektor, keseimbangan pertumbuhan
dan perkembangan antardaerah, serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan multimoda” adalah
penyelenggaraan jalan yang mampu mendukung dan mensinergikan penggunaan berbagai moda transportasi sehingga mobilitas orang dan barang dapat diwujudkan dengan efisien.
-53-
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas keberdayagunaan dan keberhasilgunaan” adalah berkenaan dengan penyelenggaraan jalan yang harus
dilaksanakan berlandaskan pemanfaatan sumberdaya dan ruang yang optimal untuk pencapaian hasil sesuai dengan sasaran yang
ditetapkan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan dan kemitraan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan jalan yang dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran serta
pemangku kepentingan dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik
langsung maupun tidak langsung.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas “berkelanjutan” adalah penyelenggaraan jalan dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan cara-cara pemanfaatan sumber daya yang menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat untuk masa kini dan masa depan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas transparansi dan akuntabilitas” adalah penyelenggaraan jalan yang setiap proses dan tahapannya bisa
diketahui masyarakat dan pelaksanaannya bisa dipertanggungjawabkan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Sistem transportasi yang terpadu dimaksudkan untuk mendukung secara sinergis simpul-simpul prasarana dari jaringan moda transportasi lain seperti, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta dan stasiun bus.
-54-
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jaringan utilitas lainnya” antara lain saluran gas, air, air limbah, listrik, dan telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
-55-
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “metode pemilihan dengan berbagai kriteria” adalah apa yang dikenal dengan ‘Multi Criteria Analysis’ dalam
membuat perencanaan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “titik multi moda” antara lain pelabuhan laut dan bandara internasional, kawasan industri, stasiun atau terminal logistik
barang.
Pasal 16
Cukup jelas.
-56-
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Peraturan Daerah disusun dengan memperhatikan tingkat koefisien
dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan yang harus konsisten dengan batas ruang pengawasan jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “studi kelayakan ekonomi” adalah seberapa
besar jalan bermanfaat bagi masyarakat, sedangkan “studi kelayakan keuangan” adalah seberapa besar manfaat yang
diperoleh bagi badan usaha.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kekuatan konstruksi” adalah kekuatan daya dukung jalan untuk menerima muatan sumbu terberat
kendaraan.
Huruf e
Cukup jelas.
-57-
Pasal 21
Ayat (1)
Penentuan usia rencana dimulai dari tahun pertama jalan atau jembatan dioperasionalkan atau dipakai untuk berlalu lintas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Pusat data jalan yang dikenal dengan leger merupakan data historis jalan.
Rancang bangun aktual (as built drawing) adalah rancang bangun dari
pekerjaan jalan yang telah selesai dan menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
Pekerjaan jalan dalam ketentuan ini dikecualikan untuk pemeliharaan jalan.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan data
mengenai jaringan utilitas jalan. Dalam hal ini masyarakat hanya dapat mengakses rancang bangun selama pelaksanaan pembangunan jalan sebagai informasi publik.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Perencanaan teknis jalan untuk jalan khusus yang tersambung dengan jalan umum harus mengikuti persyaratan teknis jalan umum seperti daya dukung konstruksi jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-58-
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Pengintegrasian rancang bangun meliputi rancang bangun jalan
dan rancang bangun berbagai obyek dan utilitas yang berada atau akan dibangun di dalam ruang milik jalan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan pekerjaan harus dilakukan minimal dengan 2 (dua) kerja atau 3 (tiga) kelompok-waktu-bekerja (shift) pada jalan arteri dengan
kondisi lalu lintas dimana rasio kepadatan volume (Volume Capacity Ratio) ≥1 pada jam sibuk pada waktu pagi dan sore.
-59-
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Perbaikan terhadap kerusakan jalan terutama yang membahayakan
keselamatan lalu lintas menjadi prioritas utama untuk segera dilakukan dalam waktu paling lambat 2(dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jalan khusus merupakan jalan umum yang diperuntukkan khusus untuk suatu periode waktu tertentu, yang dibangun oleh badan usaha, untuk kepentingan sendiri berdasarkan izin yang diberikan oleh
penyelenggara jalan.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
-60-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bangunan pelengkap” antara lain tempat parkir,
gorong-gorong, tembok penahan, besi pengaman jalan, rambu, dan saluran tepi jalan dibangun sesuai dengan persyaratan teknis.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kecepatan tinggi” adalah kecepatan maksimum
yang diijinkan lebih besar atau sama dengan 80 KM per jam.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “jumlah akses sangat terbatas” adalah jalan masuk dan jalan keluar pada jalan bebas hambatan dibatasi dengan
dengan jarak antara minimal tertentu.
Huruf e
Lajur darurat antara lain dipergunakan untuk lalu lintas darurat dan kecelakaan. Lebar lajur darurat minimal sama dengan lebar lajur utama.
Huruf f
Cukup jelas.
-61-
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “waktu tertentu” adalah waktu pada saat terjadi kepadatan misalnya pada jam berangkat atau pulang kantor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
-62-
Pasal 46
Yang dimaksud dengan “jalan strategis nasional” adalah jalan yang melayani kepentingan nasional dan internasional yang mempunyai
peranan untuk membina kesatuan dan keutuhan nasional, melayani daerah rawan, merupakan bagian dari jalan lintas regional atau lintas
internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, melayani aset penting negara, serta dalam rangka pertahanan dan keamanan.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lintas alternatif adalah pilihan jaringan jalan
dengan pelayanan yang lebih baik dari jalan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengusahaan jalan tol” meliputi kegiatan: melakukan investasi dan usaha komersial dalam mengelola jalan tol,
menyelenggarakan, dan mengelola jalan tol.
Yang dimaksud dengan “ badan usaha di bidang jalan tol” adalah badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah dan/atau
badan usaha milik swasta.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kelayakan ekonomi” adalah bersifat makro dengan memperhitungkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh masyarakat.
Yang dimaksud dengan “kelayakan finansial” adalah bersifat mikro yang
dihitung dari untung rugi yang diperoleh perusahaan.
-63-
Huruf a
Kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial rendah maksudnya adalah pengusahaan jalan tol bermanfaat buat
masyarakat tetapi kurang menguntungkan secara bisnis. Huruf b
Kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial tinggi maksudnya adalah pengusahaan jalan tol bermanfaat buat
masyarakat dan menguntungkan secara finansial.
Huruf c Kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial tidak
mencukupi maksudnya adalah pengusahaan jalan tol bermanfaat bagi masyarakat tetapi rugi secara bisnis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Proses pengalihan status jalan tol menjadi jalan berbayar harus dipersiapkan dan disetujui sebelum konsesi pengusahaan jalan tol selesai,
sehingga pada saat konsesi pengusahaan jalan tol selesai, jalan tersebut dapat langsung dioperasikan sebagai jalan berbayar, agar tidak terjadi kekosongan waktu dalam pengelolaannya.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengguna jalan tol” adalah orang yang sudah memiliki kartu tanda masuk jalan tol.
-64-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “waktu tertentu” adalah adalah jangka waktu pemberian konsesi pengusahaan jalan tol.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan adanya nilai tambah pemanfaatan jalan tol dapat berdampak
pada penentuan tarif tol yang lebih murah sehingga memacu dan menciptakan kegiatan perekonomian masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-65-
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Aksesibilitas dapat dilihat dari jumlah antrian di pintu tol (akses
masuk tol).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Unit pertolongan atau penyelamatan dan bantuan pelayanan dilihat
dari aspek kecepatan dan ketepatan waktu dalam memberikan layanan (response time).
Ayat (2)
Tempat istirahat dan fasilitas pendukung di jalan tol digunakan untuk keperluan berhenti sementara bagi pengguna jalan tol dan/atau
perbaikan kendaraan.
Tempat istirahat dimaksud sekurang-kurangnya terdiri dari sarana tempat parkir, jamban, dan peturasan.
Fasilitas pendukung yang dimaksud adalah tersedianya antara lain
stasiun pengisian bahan bakar, restoran, toko kecil, dan bengkel.
Pasal 60
Cukup jelas.
-66-
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup Jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
-67-
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” merupakan kondisi
penanganan bencana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang penanggulangan bencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ambang pengaman jalan” merupakan konstruksi pengamanan badan jalan yang terletak di bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan
bangunan jalan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ruang milik jalan dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan
-68-
penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan dan kebutuhan pelayanan yang direncanakan pada masa yang
akan datang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jaminan bank” adalah jaminan yang dapat
segera dicairkan untuk biaya perbaikan dan pemulihan kembali kondisi jalan sesuai spesifikasi jalan tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
-69-
Jembatan dengan karakteristik khusus antara lain seperti jembatan dengan tipe balok boks (box girder), jembatan balok boks segmental
pracetak, jembatan balok boks segmental dengan cara pelaksanaan kantilever berimbang (balance cantilever); jembatan pelengkung,
jembatan kabel (cable stayed); jembatan gantung (suspension).
Pasal 85
Yang dimaksud dengan „bentang‟ adalah jarak antar tumpuan.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penambahan lajur terkait dengan peningkatan fungsi pemanfaatan lalu lintas.
-70-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “kaidah keselamatan jalan” antara lain:
a. penilaian investasi keselamatan jalan (RSIA-Road Safety
Investment Assesment); b. audit keselamatan jalan (RSA) atau inspeksi keselamatan jalan
(RSI); c. manajemen lokasi rawan kecelakaan (BSM –Black Spot
Management); dan
d. manajemen keselamatan jaringan jalan (NSM – Network Safety Management).
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “garis tengah jalan” adalah apa yang dikenal dengan istilah teknis yaitu trase atau as jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
-71-
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Penurunan volume lalu lintas sebagai dampak dari peningkatan
kapasitas jalan umum yang ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah memperbaiki jalan dalam
kondisi rusak berat dan/atau kerusakan akibat bencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
-72-
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan jika ada kepentingan umum lainnya seperti:
a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
maka pengadaan tanah untuk pembangunan jalan menjadi prioritas
utama bagi pembangunan untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Ayat (2)
Penilai harga tanah adalah orang atau badan hukum yang memiliki keahlian di bidang penialian harga tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Pasal 112
Cukup jelas.
-73-
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Badan usaha yang bersangkutan antara lain badan usaha yang
memegang konsesi pertambangan, perkebunan, penguasaan hutan, pengembang perumahan, pariwisata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan sumber pembiayaan lain seperti penerbitan obligasi dan surat utang negara untuk pembiayaan pembangunan jalan baru.
Pasal 119
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
-74-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan.
Huruf o
Cukup jelas.
-75-
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Pengusahaan jalan tol antara lain berupa kegiatan pendanaan,
perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.
Huruf t
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bersifat strategis” antara lain merupakan
jaringan utama yang menghubungkan distribusi orang, barang, dan jasa, akses utama potensi pariwisata, permukiman transmigrasi, serta
pertahanan dan keamanan (daerah perbatasan).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembinaan jalan tol” antara lain kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan,
serta penelitian dan pengembangan.
-76-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perencanaan jangka menengah untuk pengembangan jalan tol
merupakan penjabaran dari perencanaan jangka panjang tentang jalan umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
-77-
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan kebolehan mempunyai akses dan pintu tol dimaksudkan
untuk mengakses kawasan-kawasan primer seperti pelabuhan laut dan bandara internasional atau kawasan industri skala besar dengan jangkauan primer/nasional/regional.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kota” merupakan kota metropolitan dan kota besar yang tingkat kemacetannya tinggi dan meluas di hampir seluruh
bagian kota.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan kebolehan mempunyai akses dan pintu tol dimaksudkan untuk mengakses kawasan-kawasan primer seperti pelabuhan laut
dan bandara internasional atau kawasan industri skala besar dengan jangkauan primer/nasional/regional.
-78-
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan pihak ketiga antara lain sumbangan dari perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri yang terkait
dengan penyelenggaraan jalan.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas
-79-
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
-80-
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
-81-
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Pencabutan ketentuan dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32
dilakukan dengan maksud bahwa dana preservasi jalan merupakan komponen pembiayaan penyelenggaraan jalan agar tidak menimbulkan pos pembiayaan lain di luar sumber pembiayaan yang diatur dalam
ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 172
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …