RAN GRK dan Sawit Berkelanjutan
-
Upload
alvian-safrizal -
Category
Documents
-
view
22 -
download
3
Transcript of RAN GRK dan Sawit Berkelanjutan
RAN GRK dan Sawit Ramah Lingkungan
Oleh: Alvian Safrizal
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI
Sejak regulasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dimunculkan pada tahun 2011,
tampak pemerintah cenderung menjalankan program pembangunan secara “serius”. Strategi
masing-masing sektor disinergikan dan merujuk pada target-target penurunan emisi GRK
secara kuantitatif dan kualitatif. Hal tersebut diterakan secara nyata dalam Peraturan
Presiden (P P) No.61 Tahun 2011.
Tidak terlepas dari hal tersebut, implementasi terhadap penurunan emisi GRK
dilakukan pada sektor perkebunan industri kelapa sawit; sementara dipahami bahwa kelapa
sawit Indonesia pernah mengalami kesulitan untuk masuk ke pasar Amerika Serikat. Untuk
itu tulisan ini berupaya untuk mengupas secara umum regulasi pemerintah dalam penurunan
emisi GRK dan implementasi upaya industri sawit ramah lingkungan.
Sekilas RAN GRK
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat Business as Usual (BAU) dengan usaha
sendiri dan mencapai 41 % apabila mendapat dukungan internasional. Hal ini telah
disampaikan oleh Presiden Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan G-20 pada tanggal
25 September 2005 di Pittsburg, USA. Implementasi dari komitmen tersebut yakni dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) No.61 Tahun 2011 tentang Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) pada tanggal 28 Oktober 2011 oleh Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana. Upaya
penurunan emisi GRK, selain pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di
tingkat pusat, juga dilakukan pula ditingkat daerah (propinsi) agar berkontribusi pula dalam
pencapaian target nasional.
Kegiatan inti yang berdampak langsung pada penuruan emisi GRK dan penyerapan
GRK, yakni:
Sektor Pertanian meliputi perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi; optimalisasi lahan;
penerapan teknologi budidaya tanaman; pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida;
pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) dilahan tidak berhutan/ lahan
terlantar/ lahan terdegradasi/ areal penggunaan lain (APL); dan pemanfaatan kotoran/urine
ternak & limbah pertanian untuk biogas.
Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut meliputi pembangunan kesatuan pengelolaan hutan
(KPH); perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan; pengembangan
pemanfaatan jasa lingkungan; pengukuhan kawasan hutan; peningkatan,rehabilitasi,
operasi& pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan bergambut); pengelolaan
lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan; pengembangan pengelolaan lahan pertanian di
lahan gambut terlantar & terdegradasi untuk mendukung subsector perkebunan, peternakan
& hortikultura; penyelenggaraan, rehabilitasi hutan & lahan & reklamasi hutan di DAS
prioritas; pengembangan perhutanan sosial; pengendalian kebakaran hutan; penyidikan &
pengamanan hutan; pengembangan kawasan konservasi, ekosistem esensial & pembinaan
hutan lindung; dan peningkatan usaha hutan tanaman.
Energi dan Transportasi meliputi penerapan mandatori manajemen energy untuk pengguna
padat Energi; penerapan program kemitraan konservasi energi; peningkatan
efisiensiPeralatan rumah tangga; penyediaan & pengelolaan energy baru terbarukan &
konservasi energi; pemanfaatn biogas; penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan
umum perkotaan; peningkatan sambungan rumah yang teraliri gas bumi melalui pipa;
pembangunan kilang mini plant liquid petroleum gas (LPG); reklamasi lahan pasca tambang;
pembangunan ITS (Inteligent Transport System) ; penerapan pengendalian dampak lalu
lintas (Traffic Impact Control); penerapan manajemen parker; penerapan Congestion
Charging and Road Pricing (dikombinasi dengan angkutan umum missal cepat); reformasi
sistem transit Bus Rapid Transit (BRT)/ semi BRT; peremajaan armada angkutan umum;
pemasangan Converter Kit (gasifikasi angkutan umum) ; pelatihan dan sosialisasi smart
driving (eco-driving); membangun non motorized transport (pedestrian & jalur sepeda);
pengembangan KA perkotaan Bandung; pembangunan double-double track (termasuk
elektrifikasi); pengadaan kereta rel listrik baru; modifikasi kereta rel diesel menjadi kereta rel
diesel elektrik; pembangunan mass rapid transportation Jakarta North-South tahap I dan
Tahap II; pembangunan jalur kereta api bandara Soekarno-Hatta; pembangunan monorail
Jakarta; dan pembangunan/peningkatan & preservasi jalan.
Industri meliputi penerapan modifikasi proses dan teknologi; konservasi & audit energy; dan
penghapusan bahan perusak ozon.
Pengelolaan Limbah meliputi pembangunan sarana prasarana air limbah dengan sistem off-
site & on-site; dan pembangunan tempat pemrosesan akhir (TPA) & pengelolaan sampah
terpadu reduce, reuse and recycle (3R)
Berikut detail target penurunan emisi CO2e setiap sektor:
Sektor
Pertanian
(gigaTon)
Sektor
Kehutanan
dan Lahan
Gambut
(gigaTon)
Sektor
Energi dan
Transportasi
(gigaTon)
Sektor
Industri
(gigaTon)
Sektor
Pengelolaan
Limbah
(gigaTon)
Target
Penurunan
Emisi 26 %
0,008 0,672 0,038 0,001 0,048
Target
Penurunan
Emisi 41 %
0,011 1,039 1,056 0,005 0,078
(Sumber: PP No.61 Tahun 2011)
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia saat ini dalam kancah dunia sangat berperan
dalam produksi kelapa sawit. Produk dibidang ini dalam susunan sektor-sektor target
penurunan emisi karbon (GRK) bisa masuk dalam konteks industri (perkebunan).
Menindaklanjuti antisipasi ke depan dalam hal global warming, pemerintah mulai
menerapkan sistem pengelolaan kelapa sawit ramah lingkungan. Hal ini tentu akan
menjembatani antara target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai dirujuk pada
RAN GRK, dan sistem pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan.
Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa
negara utama dari sektor non migas. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas perkebunan,
perkembangannya cukup pesat dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya
terutama terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Hingga saat ini Indonesia bersama Malaysia
menjadi negara pengekspor crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Seiring berjalannya
waktu luas dan produksi kelapa sawit Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya dan
ditargetkan akan semakin besar setiap tahunnya. Hingga tahun 2011, produksi kelapa sawit
Indonesia dari perkebunan rakyat (PR) 8.797.924 Ton, perkebunan besar (PB) 4.168.064 Ton
(Luas Kelapa Sawit Indonesia; dan Volume serta Nilai Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan)
Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit ternyata menimbulkan beberapa
masalah. Masalah tersebut antara lain di perkebunan kelapa sawit dan pada proses
pembuangan limbah. Perluasan perkebunan kelapa sawit yang sangat ekspansif ternyata
membawa berbagai dampak positif dan negatif. Dari berbagai literatur dampat disimpulkan
beberapa dampak negatif dari pengembangan kelapa sawit, antara lain:
1. Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat
besar pengaruhnya terhadap pemanasan global.
2. Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber
penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat
mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca).
3. Terganggunya Keseimbangan ekologis.
Hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik menyebabkan keseimbangan menjadi
terganggu.
4. Kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.
Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak yang
menuding agroindustri kelapa sawit terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat
mempengaruhi pemanasan global. Selain dari itu, semakin maraknya kampanye “anti sawit”
di negara-negara barat serta tindakan pemerintah di negara-negara maju yang “menghambat”
penggunaan CPO maka pemerintah Indonesia sejak tahun 2012, mengeluarkan konsep
kelapa sawit berkelanjutan yang lebih dikenal dengan akronim ISPO.
Dasar lain penetapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yakni adanya
beberapa komitmen global dalam pemanfataan sawit berkelanjutan, seperti Rio Earth
Summit 1992, Earth Summit +5 1997, World Summit on Sustainable Development 2002 di
Johannesburg sera International Conference on Financing Development di Doha dan
tuntutan dari para negara importir CPO di Eropa yang hanya akan membeli minyak kelapa
sawit berkelanjutan mulai tahun 2015.
Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm
Oil (ISPO) adalah merupakan Mandatori bagi seluruh perusahaan Perkebunan yang
berdomisili di Indonesia. Oleh karena itu seluruh usaha perkebunan yang ada harus
melakukan ISPO , sehingga perusahaan harus punya sertifikasi tentang ISPO . Tujuan
Ditetapkannya ISPO:
• Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memproduksi minyak sawit lestari.
• Meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Internasional
• Mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK.
• Mendukung komitmen unilateral pemerintah Indonesia di Kopenhagen (2009) dan
Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010).
• Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan
ekonomi Indonesia.
• Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit
berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global.
• Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi
lingkungan hidup.
Ketetapan Hukum dari ISPO melalui Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Untuk mendapatkan sertifikasi ISPO
perusahaan harus terlebih dahulu mendapat penilaian, untuk menentukan kriteria kelas
kebun. Kebun yang sudah dinilai akan mendapat kriteria kelas I, II,III dan IV sesuai hasil
dari pelaksanaan penilaian. Dalam pelaksanaan penilaian usaha perkebunan bukan hanya
pada fisik kebun semata, tetapi juga lingkungan, SDM, manajemen usaha, kegiatan ekonomi
masyarakat di sekitar. Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh petugas penilai yang
sudah mendapat pelatihan dari Lembaga Pelatihan Perkebunan (LPP) dan sudah mendapat
sertifikat tentang penilain usaha perkebunan. Petugas penilai akan bertanggung jawab secara
teknis dan juridis terhadap hasil penilaiannya. Aspek yang dinilai dalam penilaian usaha
perkebunan meliputi; legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi
wilayah, lingkungan, serta pelaporan. Hasil penilaian ini akan menentukan kelas kebun bagi
kebun operasional yaitu, kebun kelas I (Baik sekali) kelas II (baik), Kelas III (sedang), Kelas
IV (kurang) dan kelas V (kurang sama sekali). Ini semua ditentukan oleh nilai hasil penilaian
yang dilaksanakan oleh penilai.
Penutup
Dengan dilaksanakannya aksi nyata pemerintah di sektor industri (perkebunan)
dengan mengeluarkan peraturan produksi kelapa sawit yang ramah lingkungan merupakan
salah satu upaya konkrit mewujudkan target penurunan emisi karbon yang tercantum dalam
RAN GRK. Hingga tahun 2013 sudah terdapat sekitar 10 perusahaan pengelolaan kelapa
sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) serta sekitar 15
perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang sedang menjalankan proses audit oleh
Kementerian Pertanian RI (Fadhil Hasan, Gapki 2013). Dengan terwujudnya kelapa sawit
Indonesia yang ramah lingkungan maka negara kita telah mempersiapkan diri lebih dini
dalam mengantisipasi pemanfaatan kelapa sawit yang ramah lingkungan sebagaimana akan
diberlakukan di negara-negara maju (Eropa dan USA) 2015. Sehingga industri kelapa sawit
Indonesia pada masa depan tidak terkendala dan tidak menjadi penghambat bagi
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia.
Perusahaan pengelolaan industri kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO
menandakan perusahaan telah memenuhi semua aspek legalitas termasuk tidak melanggar
kawasan hutan, telah melakukan praktik terbaik di dalam mengelola operasionalnya, ramah
lingkungan, mengelola pekerja dengan baik, ramah sosial, mensejahterakan masyarakat
sekitar dan melakukan improvement secara terus menerus.
Referensi
Barani, Achmad Mangga. 2013. Pengalaman Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop
Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.
Direktur Jenderal Perkebunan. 2013. Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia/ISPO Sebagai Mandatori Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta:
Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang
Perekonomian.
Hasan, Muhammad Fadhil. Mengikuti Perkembangan Implementasi ISPO. Jakarta:
Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang
Perekonomian.
Kurniawan, Wawan. 2011. Urgensi Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan
Untuk Mengurangi Pemanasana Global. Jakarta: Jurnal Teknik Industri Universitas Trisakti.
Laporan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Menko
Perekonomian perihal satu tahun Perpres No.61/2011 tentang RAN-GRK. 29 November
2012.
Laporan Pelaksanaan RAN/RAD-GRK. Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Endang
Murniningtyas. 26 Maret 2013.
Mulyani, Anny,dkk. 2003. Kesesuaian Lahan Untuk Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta:
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.
Peraturan Presiden (PP) No.61/2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAN-GRK).