radiologi
-
Upload
muflih-mahsyar -
Category
Documents
-
view
12 -
download
3
description
Transcript of radiologi
KARSINOMA REKTUM
(Muflih Mahsyar, Iriani Bahar)
A. Pendahuluan
Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang
tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya,
baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau
dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak
teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang
mengontrol pembagian sel dan fungsi lainnya.1,2
Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas
saluran cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60%
tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis
kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun
penyakit ini bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara
dini, maka kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%.1,2
Pada tahun 2009 diperkirakan 40.870 kasus baru dari kanker rektum di
Amerika Serikat (23.580 kasus pada laki-laki, 17.290 kasus pada wanita). Selama
pada tahun yang sama, diperkirakan 49.920 orang meninggal karena rektum dan
kolon. Kanker kolorektal menduduki peringkat keempat dari kanker yang paling
sering terjadi dan kedua penyebab kematian. Di Amerika Serikat, kematian akibat
kanker kolorektal telah menurun selama 30 tahun terakhir, penurunan ini karena
diagnosis dini melalui pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik.1.2
Pemeriksaan radiologi pada kasus ini sangat dibutuhkan untuk penegakan
dignosis, serta mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker rectum.
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui sapakah sudah metastasis ke
hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis.2
Pemeriksaan radiologi ini juga sangat diperlukan untuk pentuan penanganan
yang tepat bagi penderita ini.2
1
Diagnosis kanker rektum pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya
penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif
seringkali tidak dapat dilakukan. Padahal jika penderita telah terdeteksi secara dini
menderita kanker rektum sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh
dapat mencapai 50%. Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana
diagnosis yang paling tepat, dimana 90% diagnosis kanker rektum dapat ditegakkan
dengan colok dubur. Namun pada kenyataanya hanya sekitar 13% dokter
Puskesmas dan dokter umum yang melakukan colok dubur dengan keluhan BAB
berdarah.3.4
B. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi
Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke
garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian
ampula dan spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis
dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian
ampula terbentang dari vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada
insersio muskulus levator ani. Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15
cm pada bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu
ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang
tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muskularis propia,
dan serosa.3.5.6
2
Gambar 1. Anatomi Rektum7
Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,
media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan
kelanjutan dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal
media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior
(arteri rektal inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.3.5.6.7
3
Gambar 2. Vaskularisasi Arteri Rektum7
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan
berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya
melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup
sehingga tekanan dalam rongga perut atau intra abdominal sangat menetukan
tekanan di dalam vena tersebut. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke
vena pudenda interna yang kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem
vena cava.6.7
Gambar 3. Vaskularisasi Vena Rektum7
Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang
mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke
kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat
mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum
berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe
mesenterika inferior dan aorta.6.7
Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut
simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3,
dan 4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk
4
serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi
ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini
menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan
kanker rektum, yaitu disfungsi ereksi dan tidak dapat mengontrol buang air kecil.6.7
Gambar 4. Persyarafan Rektum7
Histologi potongan melintang melalui rektum bagian atas tampak serupa
dengan kolon, lapisan dindingnya sama, termasuk unsur-unsur dalam lapisan.
Kecuali lapisan otot longitudinal yang mengelilingi lumen.
Epitel permukaan lumen dilapisi sel-sel silindris dengan mikrovili dan sel
goblet. Kelenjar intestinal, sel lemak dan limfonoduli di lapisan lamina propria
serupa dengan yang ada di kolon, namun kelenjar-kelenjarnya lebih panjang, lebih
rapat, dan terutama terdiri atas sel goblet. Di bawah lamina propria terdapat mukosa
muskularis otot polos.4.5.6
Lapisan memanjang pada rektum bagian atas dan kolon bersifat sementara.
Lapisan ini berpusatkan submukosa dan ditutupi mukosa. Lapisan transversal
permanen rektum, jika terlihat pada sediaan mengandung serat otot polos lapisan
sirkular dalam muskularis eksterna. Lipatan memanjang permanen terdapat pada
rektum bagian bawah yaitu saluran atau liang anus.4.5.6
5
Diantara kedua lapisan otot terdapat ganglia parasimpatis pleksus
mesenterikus Auerbach. Adventisia menutupi bagian rektum dan serosa menutupi
sisanya. Banyak pembuluh darah terlihat di submukosa dan adventisia.
Gambar 5. Histologi
Rektum Dalam Potongan Melintang8
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena feses disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan feses masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam
rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus
besar dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.4.5.6
Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum,
terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding
rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus
internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon
sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri
dari otot rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus
eksternus berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum
6
menimbulkan perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan
defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan kontraksi sfingter anus
eksternus secara sengaja walaupun terjadi refleks defekasi. Apabila defekasi
ditunda, dinding rektum yang semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan
keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya
mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali meregangkan
rektum dan memicu refleks defekasi. Selama periode non aktif, kedua sfingter anus
tetap berkontraksi untuk menghasilkan tidak terjadinya pengeluaran feses.4.5.6
Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter
yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan
glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intra-
abdomen yang membantu pengeluaran feses.4.5.6
C. Defenisi
Karsinoma rektum adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak
di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction
terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir
seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum
keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari cabang
arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis
superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena
mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti
dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum
diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut
ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi
karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa ini. Dinding
rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner,
mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa.4.5.9
D. Epidemiologi
7
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling sering
terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun
2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950
kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan
berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal.
Ca kolorektal merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua jenis kanker.4.5.9
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi
kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization,
2003). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal
menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana.
Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia selain jenis
kanker lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian
dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah.
Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5%
pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki insidensi
terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7
- 9:5.4.5.9
E. Etiologi
1. Polip
Konsep tentang kanker kolorektal merupakan perkembangan dari polip
pertama kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu
sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari
hiperplasia sel mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju
transformasi maligna dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk
perkembangan polip menjadi kanker itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma
tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran polip, dan bukti adanya displasia
berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data dari National Polyp Study
dan St. Mark’s Hospital menunjukkan hampir 75-85% adenoma adalah adenoma
tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous. Adenoma tubular biasanya
membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai dasar yang luas.
8
Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan transformasi
menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2 cm melindungi
daerah dari karsinoma.10.11.12
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
a. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker kolorektal
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Resiko
perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan
berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Resiko
kumulatif sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun.
Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan resiko tinggi dari
kanker kolorektal pada ulseratif kronis dengan menggunakan kolonoskopi untuk
menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang
durasinya lebih dari 8 tahun.10.11.12
Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa
dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial
untuk semua pasien yang didiagnosis dengan displasia yang berhubungan dengan
massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa
diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari
displasia mempunyai masalah tersendiri pada pergumpulan sampling spesimen dan
variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.10.11.12
b. Crohn’s Disease
Pasien yang menderita Crohn’s Disease mempunyai resiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif
kronis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohn’s Disease sekitar
20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat
pada tempat strikturoplasty dimana biopsi dari dinding intestinal harus dilakukan
9
pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel
kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan Crohn’s
Disease10.11.12
3. Faktor Genetik
a) Riwayat Keluarga
Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga
terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk
menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.10.11.12
b) Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal
menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil
dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon
dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar. Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker
kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai
predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu
Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colorectal
Cancer (HNPCC).10.11.12
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan
10
mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama
adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin
dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah mengkonsumsi diet
yang berenergi tinggi yang mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus
proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.10.11.12
Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan
kanker kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi berkelanjutan dari agen
yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut, dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi
pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif
dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan
mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt foci.
Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan
lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi’ atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan
pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan
antara diet dan resiko kolorektal.10.11.12
5. Gaya Hidup
Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko
tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah
kali untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika dihubungkan dengan
pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan
meningkatnya risiko kanker kolorektal.10.11.12
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas,
obesitas, dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap
11
hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker.
Interaksi antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan penekanan pada aktivitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan resiko kanker kolorektal. The
Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktivitas fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan aktivitas
fisik akan meningkatkan resiko terjadinya adenoma.10.11.12
6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (≥65 tahun) laki-laki dan
perempuan adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7
kali (2158 pe 100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar 4
kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang
berusia lebih muda (30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat
bersamaan dengan usia, terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan
hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.
Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per
100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada
orang yang berusia lebih dari 65 tahun.10.11.12
F. Patofisiologi
Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami
regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma, terjadi perubahan
genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut
yang dimulai dengan inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang
menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat
replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan
mengaktivasi K-ra onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya
apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon dan rektum terutama (95%)
adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi
dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke
12
dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan
menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).3.5.9
G. Diagnosis
1. Gejala klinis dan stagging
Kanker rektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun, gejala
timbul perlahan-lahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-kadang
bertahun-tahun, sebelum terdiagnosis.5.10.11.12
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum antara lain
adalah:
Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu
darah segar maupun yang berwarna hitam.
Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar-benar kosong saat
BAB.
Feses yang lebih kecil dari biasanya.
Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh
pada perut atau nyeri.
Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
Mual dan muntah.
Rasa letih dan lesu.
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada
daerah gluteus.
Stadium kanker rektum yaitu:
a) Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum
13
Gambar 6. Stadium 0 (Carcinoma In Situ)14
b) Stadium I/Duke A
Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan menyebar
ke sel sub mukosa.14.15
Gambar 7. Stadium I14
c) Stadium II/Duke B
Stage II A. Sel kanker menyebar ke sel otot menuju sel serosa
Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus dinding
14
Gambar 8. Stadium IIA, IIB, dan IIC14
d) Stadium III/Duke C
Stage III A
-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel kanker dapat
menyebar 1-3 kelenjar getah bening
-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat menyebar 4-6
kelenjar getah bening.14.15
Gambar 9. Stadium IIIA
16
Stage III B
-Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke organ terdekat.
Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening organ terdekat atau sel kanker
terbentuk disekitar kelenjar getah bening
-Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker menyebar 4-6
kelenjar getah bening terdekat
-Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan mungkin dapat
menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker menyebar lebih dari 7 kelenjar getah
bening.14.15
17
Gambar 10. Stadium IIIB14
Stage III C
-Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ terdekat.
Sel kanker menyebar 4-6 kelenjar getah bening.
-Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa tetapi tidak
menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar ke 7 kelenjar getah bening
-Sel kanker menyebar sampai sel serosa dan organ terdekat. Sel kanker menyabar
ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker terbentuk di jaringan terdekat kelenjar
getah bening.14.15
18
Gambar 11. Stadium IIIC14
e) Stadium IV/Duke D
-Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat atau
kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke satu organ yang jauh dari rektum
seperti hepar, paru-paru, ovarium, kelenjar getah bening yang jauh.
-Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat atau
kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar >1 organ yang jauh dari rektum atau
masuk ke lapisan dinding abdomen.14.15
19
Gambar 12. Stadium IVA dan IVB14
Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC):15
Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1
T2
N0
N0
M0
M0
A
IIA
IIB
T3
T4
N0
N0
M0
M0
B
IIIA
IIIB
IIIC
T1-T2
T3-T4
Any T
N1
N1
N2
M0
M0
M0
C
IV Any T Any N M1 D
Keterangan:
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi
pada lamina propia
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
20
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam
subserosa atau ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum
mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan
perforasi peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis
2. Pemeriksaan Laboratorium
Fecal occult blood test (FOBT) : pemeriksaan terhadap darah dalam feces. Ada
2 tipe pemeriksaan darah pada feces yaitu guaiac based (pemeriksaan kimiawi) dan
immunochemical. Pemeriksaan dengan cara kimiawi tidak spesifik, sebab 90%
pasien dengan FOBT positif tidak menderita karsinima colon. Sensitivitas dari
pemeriksaan immunochemical jauh lebih baik daripada pemeriksaan secara
kimiawi. Untuk melihat perdarahan di jaringan. FOBT baik digunakan untuk
screening, meskipun spesifik dan sensitivitasnya terbatas.10.11
3. Pemeriksaan Radiologi
a) Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan
pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi, maka pemeriksaan barium enema merupakan
kontra indikasi.12.13.16
21
Foto polos abdomen sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar
horizontal. Posisi supine perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan di sikap
tegak untuk melihat batas udara-air dan letak obstruksi karena massa.12.13.16
Foto Polos Abdomen menjadi salah satu alat bantu dalam mendiagnosis
terjadinya gangguan pada abdomen. Pemeriksaan radiologis merupakan
pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan
abdomen akut. Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu :16
Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid level”
pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. Foto
polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus,
sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.16
Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran “step ladder dan air fluid
level” terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas.
Jika terjadi stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya
mukosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus. Udara bebas pada foto
tegak
22
menunjukkan adanya perforasi usus. Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena
dapat menyebabkan peritonitis akibat adanya perforasi.12.16
Gambar 13. Foto polos abdomen, posisi supine dan erect.12.
b) Pemeriksaan Colon inloop
Foto rontgen colon inloop atau barium enema, yaitu cairan yang mengandung
barium yang dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen.
Barium enema dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum dilakukan
pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya
sepanjang 5 – 6 cm berbentuk anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid
dan gambaran mukosa rusak.13.16
Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu sensitivitas
untuk kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan sangat tinggi,
tersedia hampir diseluruh rumah sakit, dan cukup aman.16
23
Gambar 14. Foto Rontgen Dengan Barium Enema12
c) Pemeriksaan CT-Scan
CT Scan dapat mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker kolorectal
preoperatif. CT Scan dapat mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis. CT Scan sangat berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker rectum. Sensitifitas CT Scan mencapai 55%. CT Scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolorectal karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT Scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90% dan
mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%. Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastasis pada
hepar dan daerah intraperitoneal.16
Gambar 15. CT-scan dengan kontras Kanker Rektum12
d) Pemeriksaan USG
USG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai
kelainan organ tubuh. USG digunakan antara lain menemukan dan menentukan
letak massa dalam rongga perut dan pelvis. membedakan kista dengan massa yang
solid. mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta, vena kafa), maupun
pergerakan janin dan jantungnya. Pengukuran dan penentuan volum. Pengukuran
aneurisma arterial, fetalsefalometri, menentukan kedalaman dan letak suatu massa
24
untuk biopsi. Menentukan volum massa ataupun organ tubuh tertentu (misalnya
buli-buli, ginjal, kandung empedu, ovarium, uterus, dan lain-lain).
Gambar
16. Ultrasound scan demonstrating carcinoma12
e) Pemeriksaan MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar dari pada CT Scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
Scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT Scan, MRI digunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. Selain itu, MRI dapat menentukan
dengan akurasi yang tinggi atau yang menginvasi CRM (Circumferential Resection
Margin) yang melibatkan fasia mesorektal.9.10.15
Keuntungan MRI berupa tidak memakai sinar x, tidak merusak kesehatan pada
penggunaan yang tepat, banyak pemeriksaan yang dapat dikerjaan tanpa
memerlukan zat kontras. Kekurangan MRI berupa alat mahal, waktu pemeriksaan
cukup lama, pasien yang mengandung metal tidak dapat diperiksa terutama alat
pacu jantung, sedangkan pasien dengan wire dan sten maupun pen boleh diperiksa,
pasien claustrofobi (takut ruang sempit), dan perlu anestesi umum.10.11.16
25
Gambar 17. MRI Karsinoma Rektum12
f) Pemeriksaan Kedokteran Nuklir
Studi kedokteran nuklir memiliki peran yang meningkat pada kanker
kolorektal. Radioimmunoglobulin skintigrafi menggunakan antibodi monoklonal
yang mengakui antigen Carcinoembryonic atau tumor terkait glikoprotein 72 dan
dapat digunakan dalam deteksi kekambuhan penyakit pada panggul atau perut
ekstrahepatik. Teknik ini digantikan oleh positron emission tomography (PET).
PET dapat mendeteksi berulang atau penyakit metastasis menggunakan
fluorodeoxyglucose (FDG).16
Pada pasien dengan kanker rektum stadium lanjut yang sebelumnya diobati
dengan radiokemoterapi neoadjuvant, temuan FDG-PET adalah prediktor
prognostik yang dapat diandalkan baik kelangsungan hidup secara keseluruhan dan
26
kelangsungan hidup bebas penyakit. Tingkat kelangsungan hidup secara
keseluruhan adalah 91% pada pasien dengan PET negatif setelah radiokemoterapi,
dibandingkan 72% pada mereka dengan PET positif setelah radiokemoterapi,
sedangkan kelangsungan hidup bebas penyakit adalah 81% dan 62% bagi mereka
dengan temuan PET negatif dan positif.16
Gambar 18. metastasis tumor ke hepar12
4. Pemeriksaan Histopatologi
a. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan, Secara
patologi anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering, yaitu
sekitar 90-95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa,
carcinoid tumors, adenosquamouscarsinomas, dan undifferentiated tumors.
27
Gambar 19. Histopatologi karsinoma colorectal5
b. Pemeriksaan Tumor Marker
CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9. CEA berkorelasi
dengan volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelah reseksi. CEA
akan menurun sampai normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30%
kekambuhan tidak disertai dengan peningkatan CEA. CEA normal < 5ngr.
5. Pemeriksaan Endoskopi
Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai
160 cm. Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan
polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan
kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya
hanya sebesar 67%.11.12
28
Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,
mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur
yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi, dan perforasi)
hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat
berguna untuk mendiagnosis dan
manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon, dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi diagnostik.11.12
Gambar 20. Sigmoidoscopy12
H. Diagnosis Banding
1. Chron disease
Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran
cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap
29
bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering
menyerang usus halus dan colon.
Gambar 21. Barium enema pada Crohn’s disease.12
I. Penatalaksanaan
Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk
stadium I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga
dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode
penetuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-surgical
treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum
pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektum,
neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan
kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan
kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang
tertinggal.17.18
30
Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain:
o Eksisi Lokal
Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen.
Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya
dinamakan polypectomy.
o Reseksi
Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu
dilakukan anastomosis. Dilakukan juga pengambilan limfonodus
di sekitar rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodus tersebut
juga mengandung sel kanker.
Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi
abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan
bagian dari otot levator ani dan dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang
efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.17.18.19
31
Gambar 22. Reseksi dan Anastomosis18
Gambar 23. Reseksi dan Kolostomi18
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan
sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan
retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi
perineal, anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui
abdomen.17.18.19
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan
menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal
rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas.
Indikasi dilakukannya eksisi lokal kanker rektum adalah:
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate.
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan
ultrasound.
Termasuk well-differentiated atau moderately well
differentiated secara histologi.
Ukuran kurang dari 3-4 cm.
Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah:
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound.
32
Termasuk poorly differentiated secara histologi
2. Radiasi
Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan
III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk
pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melalui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu.
Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi
yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko
kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.
Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek
lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal
yang unresectable. 17.18
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan)
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol (Stadium II lanjut dan stadium III).
Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan
dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU
merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen
lainnya, levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin. Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15%
dan menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10%.17.18
I. Komplikasi
1. Nekrosis kolostomi.
33
Hal ini diakibatkan tidak adekuatnya suplai darah. Komplikasi ini
biasanya terlihat 12-24 jam setelah pembedahan dan biasa diperlukan
pembedahan tambahan untuk menanganinya.
2. Kolostomi retraksi.
Disebabkan karena tidak cukupnya panjang stoma. Komplikasi ini dapat
ditangani dengan menyediakan kantong khusus. Memperbaiki stoma
dapat pula menjadi pilihan penanganan.
3. Parastomal hernia.
Keadaan ini dapat timbul akibat letak stoma pada dinding abdomen yang
lemah atau dibuat terbuka terlalu besar pada dinding abdomen.
4. Prolaps
Keadaan ini sering diakibatkan pembukaan yang terlalu besar pada
dinding abdomen atau fiksasi usus yang tidak cukup kuat pada dinding
abdomen. Pembedahan ulang untuk mengatasi prolaps dengan
mengambil vaskularisasi yang melampaui segmen usus yang disuplai.
5. Obstruksi
Obstruksi dapat terjadi akibat udem ataupun timbunan feses.
J. Prognosis
Secara keseluruhan, 5-year survival rates untuk kanker rektum adalah
sebagai berikut:
a. Stadium I – 72%
b. Stadium II – 54%
c. Stadium III – 39%
d. Stadium IV – 7%
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat
berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi pada penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh
batas-batas negatif tumor.11.12
34
K. Kajian Islam
Dalam setiap perjalanan hidup manusia, senantiasa dipertemukan pada
tiga kondisi dan situasi yakni sehat, sakit atau mati. Sebagian manusia
memandang sehat dan sakit secara berbeda. Pada kondisi sehat, terkadang
melupakan cara hidup sehat dan mengabaikan perintah Allah Swt, sebaliknya
pada kondisi sakit dianggapnya sebuah beban penderitaan, malapetaka dan wujud
kemurkaan Allah Swt kepadanya. Padahal Allah SWT dalam Q.S. Shaad : 27
selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti
ada hikmah/pelajaran dibalik itu semua.21
Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan
oleh Sang Pencipta Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Dan sesungguhnya bila Allah SWT
mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha
menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa
yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT” (H.R.
Ibnu Majah dan At Turmudzi). Sakit juga dapat dipandang sebagai peringatan dari
Allah SWT untuk mengingatkan segala dosa-dosa akibat perbuatan jahat yang
dilakukannya selama hidupnya. 21
SURAT ASY-SYUARA 26 : 80
Artinya : Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,
SURAT AL-ANBIYA 21 : 83
35
.
Artinya : Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang.
Pada kondisi sakit, kebanyakan manusia baru mengingat dosa-dosa dari
perbuatan jahatnya dimasa lalu. Dalam kondisi sakit itulah, kebanyakan manusia
baru melakukan taubat dengan cara memohon ampunan kepada Allah SWT dan
berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya di kemudian hari. Kondisi
sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap
manusia. Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak
menurunkan juga obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra dari Nabi saw bersabda:
“Tidak lah Allah SWT menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan
pula penyembuhnya.” (HR.Al-Bukhari dan Ibnu Majah)
Bila dalam kondisi sakit, umat Islam dijanjikan oleh Allah Swt berupa
penghapusan dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan
penyakitnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim,
“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali
Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-
dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.21
36
Sementara bagi Umat Islam lainnya yang berada dalam kondisi sehat
dianjurkan oleh Allah Swt untuk menjenguk saudara seiman yang menderita
sakit. Apabila orang yang sehat minta didoakan dari orang yang sakit, maka
Allah Swt berjanji akan mengabulkannya. Hal ini diriwayatkan Asy-Suyuti,
“Jika kamu menjenguk orang sakit, mintalah kepadanya agar berdoa kepada
Allah untukmu, karena doa orang yang sakit seperti doa para malaikat.” Dengan
demikian, kedudukan orang yang menderita sakit bukanlah orang yang hina,
malah memiliki kedudukan yang mulia. Simak hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari “Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit
yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan,
kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah
menghapus dosanya. 21
Untuk mencegah datangnya penyakit, manusia dibebaskan untuk
berikhtiar. Namun Islam sudah memberikan kuncinya secara umum dengan cara
mencegah kelebihan makan.Al Quran mengingatkan, “Makan dan minumlah
tapi jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-
lebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Rasulullah juga memberikan tips dalam
sabdanya,” Tidak ada bencana yang lebih buruk yang diisi oleh manusia
daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengonsumsi beberapa suap
makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka ia
bisa mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiga untuk minuman dan
sepertiga sisanya untuk nafasnya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-
Hakim). 21
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan, Isaac. Rectal Carsinoma. 2006. Available from:
www.emedicine.com. (Download: 25 April 2015)
2. Sadler TW. Langman embriologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: EGC, 2009.
3. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2010.
4. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC, 2007.
5. Elizabet J. Corwin. Buku Ajar Patofisiologi. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2009.
6. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC,
2007.
38
7. R. Putz dan R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. 22th ed. Jakarta:
EGC. 2006.
8. Eroschenko. VP. Atlas Histologi Difiore. 11th ed. EGC. Jakarta. 2010.
9. Sabiston DC. Sabiston buku ajar bedah (Essentials of surgery). 19th ed.
Jakarta: EGC. 2012.
10. Cagir B. Rectal cancer. 2012
Available from: http://emedicine.medscape.com . (Download 25 April 2015)
11. Dalal KM, Bleday R. Cancer of the rectum. In: Zinner MJ, Ashley SW,
editors. Maingot’s abdominal operations. The United States of America:
The McGraw-Hill companies: 2007. P. 693-725.
12. Engstrom FP, Arnoletti PJ. Rectal Cancer. J Natl Compr Canc Netw
2009;7:838-881. Available from: http://www.jnccn.org/ . (Download 25
April 2015)
13. Cutsem1 EV, Dicato M. The diagnosis and management of rectal cancer:
expert discussion and recommendations derived from the 9th World
Congress on Gastrointestinal Cancer, Barcelona, 2007. Annals of Oncology
19 (Supplement 6): vi1–vi8, 2008. Available from:
http://annonc.oxfordjournals.org/ . (Download 25 April 2015)
14. Khuhaprema T, Srivatanakul P. Colon and Rectum Cancer in Thailand: An
Overview. Jpn J Clin Oncol 2008;38(4)237–243. Available from:
http://jjco.oxfordjournals.org/ (Download 25 April 2015)
15. Smith N, Brown G. Preoperative staging of rectal cancer. Acta Oncologica,
2008; 47: 20-31. Available from: http://informahealthcare.com/ . (Download
25 April 2015)
16. Sajhrir. R. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta. Badan Penerbit FKUI.
2013.
17. Manuaba TW. Panduaan penatalaksanaan kanker solid peraboi 2010.
Jakarta: Sagung seto, 2010.
18. Meredith et al. The multidisciplinary management of rectal cancer. Surg
Clin N Am. 2009. Available from: http://www.sassit.co.za/Journals/
(Download 25 April 2015)
39
19. College of oncology national guidelines. Rectum cancer. 2007. Available
from: http://www.collegeoncologie.be/ (Download 25 April 2015)
20. Schwartz SI. Schwartz’s principles of surgery. 9th ed. United States of
America: The McGraw-Hill companies, 2010.
21. Fatimah: Konsep Sakit.2010. Dikutib dari URL:
http://agama.kompasiana.com/. (Diaksses 15 Maret 2015)
40