radiologi

54
KARSINOMA REKTUM (Muflih Mahsyar, Iriani Bahar) A. Pendahuluan Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel dan fungsi lainnya. 1,2 Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%. 1,2 Pada tahun 2009 diperkirakan 40.870 kasus baru dari kanker rektum di Amerika Serikat (23.580 kasus pada laki-laki, 17.290 kasus pada wanita). Selama pada tahun 1

description

R

Transcript of radiologi

KARSINOMA REKTUM

(Muflih Mahsyar, Iriani Bahar)

A. Pendahuluan

Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang

tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya,

baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau

dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak

teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang

mengontrol pembagian sel dan fungsi lainnya.1,2

Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas

saluran cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60%

tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis

kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun

penyakit ini bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara

dini, maka kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%.1,2

Pada tahun 2009 diperkirakan 40.870 kasus baru dari kanker rektum di

Amerika Serikat (23.580 kasus pada laki-laki, 17.290 kasus pada wanita). Selama

pada tahun yang sama, diperkirakan 49.920 orang meninggal karena rektum dan

kolon. Kanker kolorektal menduduki peringkat keempat dari kanker yang paling

sering terjadi dan kedua penyebab kematian. Di Amerika Serikat, kematian akibat

kanker kolorektal telah menurun selama 30 tahun terakhir, penurunan ini karena

diagnosis dini melalui pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik.1.2

Pemeriksaan radiologi pada kasus ini sangat dibutuhkan untuk penegakan

dignosis, serta mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker rectum.

Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui sapakah sudah metastasis ke

hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis.2

Pemeriksaan radiologi ini juga sangat diperlukan untuk pentuan penanganan

yang tepat bagi penderita ini.2

1

Diagnosis kanker rektum pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya

penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif

seringkali tidak dapat dilakukan. Padahal jika penderita telah terdeteksi secara dini

menderita kanker rektum sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh

dapat mencapai 50%. Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana

diagnosis yang paling tepat, dimana 90% diagnosis kanker rektum dapat ditegakkan

dengan colok dubur. Namun pada kenyataanya hanya sekitar 13% dokter

Puskesmas dan dokter umum yang melakukan colok dubur dengan keluhan BAB

berdarah.3.4

B. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi

Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke

garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian

ampula dan spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis

dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian

ampula terbentang dari vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada

insersio muskulus levator ani. Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15

cm pada bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu

ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang

tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muskularis propia,

dan serosa.3.5.6

2

Gambar 1. Anatomi Rektum7

Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,

media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan

kelanjutan dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal

media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior

(arteri rektal inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.3.5.6.7

3

Gambar 2. Vaskularisasi Arteri Rektum7

Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan

berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya

melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup

sehingga tekanan dalam rongga perut atau intra abdominal sangat menetukan

tekanan di dalam vena tersebut. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke

vena pudenda interna yang kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem

vena cava.6.7

Gambar 3. Vaskularisasi Vena Rektum7

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang

mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke

kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat

mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum

berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe

mesenterika inferior dan aorta.6.7

Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut

simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3,

dan 4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk

4

serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi

ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini

menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan

kanker rektum, yaitu disfungsi ereksi dan tidak dapat mengontrol buang air kecil.6.7

 Gambar 4. Persyarafan Rektum7

Histologi potongan melintang melalui rektum bagian atas tampak serupa

dengan kolon, lapisan dindingnya sama, termasuk unsur-unsur dalam lapisan.

Kecuali lapisan otot longitudinal yang mengelilingi lumen.

Epitel permukaan lumen dilapisi sel-sel silindris dengan mikrovili dan sel

goblet. Kelenjar intestinal, sel lemak dan limfonoduli di lapisan lamina propria

serupa dengan yang ada di kolon, namun kelenjar-kelenjarnya lebih panjang, lebih

rapat, dan terutama terdiri atas sel goblet. Di bawah lamina propria terdapat mukosa

muskularis otot polos.4.5.6

Lapisan memanjang pada rektum bagian atas dan kolon bersifat sementara.

Lapisan ini berpusatkan submukosa dan ditutupi mukosa. Lapisan transversal

permanen rektum, jika terlihat pada sediaan mengandung serat otot polos lapisan

sirkular dalam muskularis eksterna. Lipatan memanjang permanen terdapat pada

rektum bagian bawah yaitu saluran atau liang anus.4.5.6

5

Diantara kedua lapisan otot terdapat ganglia parasimpatis pleksus

mesenterikus Auerbach. Adventisia menutupi bagian rektum dan serosa menutupi

sisanya. Banyak pembuluh darah terlihat di submukosa dan adventisia.

Gambar 5. Histologi

Rektum Dalam Potongan Melintang8

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah

kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat

penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena feses disimpan

di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens

penuh dan feses masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air

besar. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam

rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan

defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus

besar dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi

untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.4.5.6

Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum,

terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding

rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus

internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon

sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri

dari otot rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus

eksternus berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum

6

menimbulkan perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan

defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan kontraksi sfingter anus

eksternus secara sengaja walaupun terjadi refleks defekasi. Apabila defekasi

ditunda, dinding rektum yang semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan

keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya

mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali meregangkan

rektum dan memicu refleks defekasi. Selama periode non aktif, kedua sfingter anus

tetap berkontraksi untuk menghasilkan tidak terjadinya pengeluaran feses.4.5.6

Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter

yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan

glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intra-

abdomen yang membantu pengeluaran feses.4.5.6

C. Defenisi

Karsinoma rektum adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak

di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction

terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir

seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum

keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari cabang

arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis

superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena

mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti

dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum

diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut

ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi

karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa ini. Dinding

rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner,

mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa.4.5.9

D. Epidemiologi

7

Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling sering

terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun

2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950

kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan

berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal.

Ca kolorektal merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua jenis kanker.4.5.9

Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi

kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization,

2003). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal

menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana.

Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia selain jenis

kanker lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian

dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah.

Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5%

pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki insidensi

terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7

- 9:5.4.5.9

E. Etiologi

1. Polip

Konsep tentang kanker kolorektal merupakan perkembangan dari polip

pertama kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu

sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari

hiperplasia sel mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju

transformasi maligna dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk

perkembangan polip menjadi kanker itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma

tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran polip, dan bukti adanya displasia

berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data dari National Polyp Study

dan St. Mark’s Hospital menunjukkan hampir 75-85% adenoma adalah adenoma

tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous. Adenoma tubular biasanya

membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai dasar yang luas.

8

Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan transformasi

menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2 cm melindungi

daerah dari karsinoma.10.11.12

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

a. Ulseratif Kolitis

Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker kolorektal

sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Resiko

perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan

berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Resiko

kumulatif sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun.

Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan resiko tinggi dari

kanker kolorektal pada ulseratif kronis dengan menggunakan kolonoskopi untuk

menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang

durasinya lebih dari 8 tahun.10.11.12

Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa

dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif

menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial

untuk semua pasien yang didiagnosis dengan displasia yang berhubungan dengan

massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa

diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari

displasia mempunyai masalah tersendiri pada pergumpulan sampling spesimen dan

variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.10.11.12

b. Crohn’s Disease

Pasien yang menderita Crohn’s Disease mempunyai resiko tinggi untuk

menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif

kronis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohn’s Disease sekitar

20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari

adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat

pada tempat strikturoplasty dimana biopsi dari dinding intestinal harus dilakukan

9

pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel

kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan Crohn’s

Disease10.11.12

3. Faktor Genetik

a) Riwayat Keluarga

Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan

riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga

terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk

menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan

seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.10.11.12

b) Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal

menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan

adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling

penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat

kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil

dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon

dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma

yang besar. Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker

kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai

predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu

Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colorectal

Cancer (HNPCC).10.11.12

4. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah

serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan

penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya

hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan

10

mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama

adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin

dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah mengkonsumsi diet

yang berenergi tinggi yang mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti

dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada

sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus

proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.10.11.12

Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan

kanker kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi berkelanjutan dari agen

yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari

pengamatan tersebut, dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi

pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah

akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,

karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif

dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan

mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt foci.

Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan

lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi’ atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme

tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan

pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan

antara diet dan resiko kolorektal.10.11.12

5. Gaya Hidup

Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko

tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.

Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah

kali untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika dihubungkan dengan

pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan

meningkatnya risiko kanker kolorektal.10.11.12

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas,

obesitas, dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap

11

hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker.

Interaksi antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan penekanan pada aktivitas

prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan resiko kanker kolorektal. The

Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara

aktivitas fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan aktivitas

fisik akan meningkatkan resiko terjadinya adenoma.10.11.12

 6. Usia

Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (≥65 tahun) laki-laki dan

perempuan adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7

kali (2158 pe 100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar 4

kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang

berusia lebih muda (30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat

bersamaan dengan usia, terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan

hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.

Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per

100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada

orang yang berusia lebih dari 65 tahun.10.11.12

F. Patofisiologi

Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami

regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma, terjadi perubahan

genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut

yang dimulai dengan inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang

menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat

replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan

mengaktivasi K-ra onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya

apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon dan rektum terutama (95%)

adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi

dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke

12

dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan

menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).3.5.9

G. Diagnosis

1. Gejala klinis dan stagging

Kanker rektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun, gejala

timbul perlahan-lahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-kadang

bertahun-tahun, sebelum terdiagnosis.5.10.11.12

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum antara lain

adalah:

Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu

darah segar maupun yang berwarna hitam.

Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar-benar kosong saat

BAB.

Feses yang lebih kecil dari biasanya.

Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh

pada perut atau nyeri.

Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.

Mual dan muntah.

Rasa letih dan lesu.

Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada

daerah gluteus.

Stadium kanker rektum yaitu:

a) Stadium 0 (carcinoma in situ)

Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum

13

Gambar 6. Stadium 0 (Carcinoma In Situ)14

b) Stadium I/Duke A

Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan menyebar

ke sel sub mukosa.14.15

Gambar 7. Stadium I14

c) Stadium II/Duke B

Stage II A. Sel kanker menyebar ke sel otot menuju sel serosa

Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus dinding

14

Stage II C. Sel kanker menembus statum serosa menuju dinding organ terdekat

15

Gambar 8. Stadium IIA, IIB, dan IIC14

d) Stadium III/Duke C

Stage III A

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel kanker dapat

menyebar 1-3 kelenjar getah bening

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat menyebar 4-6

kelenjar getah bening.14.15

Gambar 9. Stadium IIIA

16

Stage III B

-Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke organ terdekat.

Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening organ terdekat atau sel kanker

terbentuk disekitar kelenjar getah bening

-Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker menyebar 4-6

kelenjar getah bening terdekat

-Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan mungkin dapat

menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker menyebar lebih dari 7 kelenjar getah

bening.14.15

17

Gambar 10. Stadium IIIB14

Stage III C

-Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ terdekat.

Sel kanker menyebar 4-6 kelenjar getah bening.

-Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa tetapi tidak

menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar ke 7 kelenjar getah bening

-Sel kanker menyebar sampai sel serosa dan organ terdekat. Sel kanker menyabar

ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker terbentuk di jaringan terdekat kelenjar

getah bening.14.15

18

Gambar 11. Stadium IIIC14

e) Stadium IV/Duke D

-Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat atau

kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke satu organ yang jauh dari rektum

seperti hepar, paru-paru, ovarium, kelenjar getah bening yang jauh.

-Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat atau

kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar >1 organ yang jauh dari rektum atau

masuk ke lapisan dinding abdomen.14.15

19

Gambar 12. Stadium IVA dan IVB14

Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC):15

Stadium T N M Duke

0 Tis N0 M0 -

I T1

T2

N0

N0

M0

M0

A

IIA

IIB

T3

T4

N0

N0

M0

M0

B

IIIA

IIIB

IIIC

T1-T2

T3-T4

Any T

N1

N1

N2

M0

M0

M0

C

IV Any T Any N M1 D

Keterangan:

T : Tumor primer

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer

Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi

pada lamina propia

T1 : Tumor menyebar pada submukosa

20

T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria

T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam

subserosa atau ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum

mengenai peritoneal.

T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan

perforasi peritoneum viseral.

N : Kelenjar getah bening regional/node

Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai

N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening

N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional

N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening

M : Metastasis

Mx : Metastasis tidak dapat di nilai

M0 : Tidak terdapat metastasis

M1 : Terdapat metastasis

2. Pemeriksaan Laboratorium

Fecal occult blood test (FOBT) : pemeriksaan terhadap darah dalam feces. Ada

2 tipe pemeriksaan darah pada feces yaitu guaiac based (pemeriksaan kimiawi) dan

immunochemical. Pemeriksaan dengan cara kimiawi tidak spesifik, sebab 90%

pasien dengan FOBT positif tidak menderita karsinima colon. Sensitivitas dari

pemeriksaan immunochemical jauh lebih baik daripada pemeriksaan secara

kimiawi. Untuk melihat perdarahan di jaringan. FOBT baik digunakan untuk

screening, meskipun spesifik dan sensitivitasnya terbatas.10.11

3. Pemeriksaan Radiologi

a) Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan

pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen

ditemukan tanda-tanda perforasi, maka pemeriksaan barium enema merupakan

kontra indikasi.12.13.16

21

Foto polos abdomen sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar

horizontal. Posisi supine perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan di sikap

tegak untuk melihat batas udara-air dan letak obstruksi karena massa.12.13.16

Foto Polos Abdomen menjadi salah satu alat bantu dalam mendiagnosis

terjadinya gangguan pada abdomen. Pemeriksaan radiologis merupakan

pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan

abdomen akut. Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu :16

Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi

anteroposterior (AP).

Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar

horizontal proyeksi AP.

Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar

horizontal, proyeksi AP.

Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid level”

pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. Foto

polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus,

sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.16

Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran “step ladder dan air fluid

level” terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas.

Jika terjadi stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya

mukosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus. Udara bebas pada foto

tegak

22

menunjukkan adanya perforasi usus. Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena

dapat menyebabkan peritonitis akibat adanya perforasi.12.16

Gambar 13. Foto polos abdomen, posisi supine dan erect.12.

b) Pemeriksaan Colon inloop

Foto rontgen colon inloop atau barium enema, yaitu cairan yang mengandung

barium yang dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen.

Barium enema dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum dilakukan

pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya

sepanjang 5 – 6 cm berbentuk anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid

dan gambaran mukosa rusak.13.16

Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu sensitivitas

untuk kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan sangat tinggi,

tersedia hampir diseluruh rumah sakit, dan cukup aman.16

23

Gambar 14. Foto Rontgen Dengan Barium Enema12

c) Pemeriksaan CT-Scan

CT Scan dapat mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker kolorectal

preoperatif. CT Scan dapat mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal,

ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis. CT Scan sangat berguna untuk

mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah

pembedahan kanker rectum. Sensitifitas CT Scan mencapai 55%. CT Scan

memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolorectal karena sulitnya

dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT Scan dapat

mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90% dan

mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%. Penggunaan CT

dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastasis pada

hepar dan daerah intraperitoneal.16

Gambar 15. CT-scan dengan kontras Kanker Rektum12

d) Pemeriksaan USG

USG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai

kelainan organ tubuh. USG digunakan antara lain menemukan dan menentukan

letak massa dalam rongga perut dan pelvis. membedakan kista dengan massa yang

solid. mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta, vena kafa), maupun

pergerakan janin dan jantungnya. Pengukuran dan penentuan volum. Pengukuran

aneurisma arterial, fetalsefalometri, menentukan kedalaman dan letak suatu massa

24

untuk biopsi. Menentukan volum massa ataupun organ tubuh tertentu (misalnya

buli-buli, ginjal, kandung empedu, ovarium, uterus, dan lain-lain).

Gambar

16. Ultrasound scan demonstrating carcinoma12

e) Pemeriksaan MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar dari pada CT Scan dan sering

digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT

Scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT Scan, MRI digunakan

untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. Selain itu, MRI dapat menentukan

dengan akurasi yang tinggi atau yang menginvasi CRM (Circumferential Resection

Margin) yang melibatkan fasia mesorektal.9.10.15

Keuntungan MRI berupa tidak memakai sinar x, tidak merusak kesehatan pada

penggunaan yang tepat, banyak pemeriksaan yang dapat dikerjaan tanpa

memerlukan zat kontras. Kekurangan MRI berupa alat mahal, waktu pemeriksaan

cukup lama, pasien yang mengandung metal tidak dapat diperiksa terutama alat

pacu jantung, sedangkan pasien dengan wire dan sten maupun pen boleh diperiksa,

pasien claustrofobi (takut ruang sempit), dan perlu anestesi umum.10.11.16

25

Gambar 17. MRI Karsinoma Rektum12

f) Pemeriksaan Kedokteran Nuklir

Studi kedokteran nuklir memiliki peran yang meningkat pada kanker

kolorektal. Radioimmunoglobulin skintigrafi menggunakan antibodi monoklonal

yang mengakui antigen Carcinoembryonic atau tumor terkait glikoprotein 72 dan

dapat digunakan dalam deteksi kekambuhan penyakit pada panggul atau perut

ekstrahepatik. Teknik ini digantikan oleh positron emission tomography (PET).

PET dapat mendeteksi berulang atau penyakit metastasis menggunakan

fluorodeoxyglucose (FDG).16

Pada pasien dengan kanker rektum stadium lanjut yang sebelumnya diobati

dengan radiokemoterapi neoadjuvant, temuan FDG-PET adalah prediktor

prognostik yang dapat diandalkan baik kelangsungan hidup secara keseluruhan dan

26

kelangsungan hidup bebas penyakit. Tingkat kelangsungan hidup secara

keseluruhan adalah 91% pada pasien dengan PET negatif setelah radiokemoterapi,

dibandingkan 72% pada mereka dengan PET positif setelah radiokemoterapi,

sedangkan kelangsungan hidup bebas penyakit adalah 81% dan 62% bagi mereka

dengan temuan PET negatif dan positif.16

Gambar 18. metastasis tumor ke hepar12

4. Pemeriksaan Histopatologi

a. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika

ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan, Secara

patologi anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering, yaitu

sekitar 90-95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa,

carcinoid tumors, adenosquamouscarsinomas, dan undifferentiated tumors.

27

Gambar 19. Histopatologi karsinoma colorectal5

b. Pemeriksaan Tumor Marker

CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9. CEA berkorelasi

dengan volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelah reseksi. CEA

akan menurun sampai normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30%

kekambuhan tidak disertai dengan peningkatan CEA. CEA normal < 5ngr.

5. Pemeriksaan Endoskopi

Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh

mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai

160 cm. Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan

polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan

kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya

hanya sebesar 67%.11.12

28

Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,

mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur

yang sangat aman dimana

komplikasi utama (perdarahan,

komplikasi anestesi, dan perforasi)

hanya muncul kurang dari 0,2%

pada pasien. Kolonoskopi

merupakan cara yang sangat

berguna untuk mendiagnosis dan

manajemen dari inflammatory

bowel disease, non akut

divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,

striktur kolon, dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi

terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama

dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari

kolonoskopi diagnostik.11.12

Gambar 20. Sigmoidoscopy12

H. Diagnosis Banding

1. Chron disease

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran

cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap

29

bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering

menyerang usus halus dan colon.

Gambar 21. Barium enema pada Crohn’s disease.12

I. Penatalaksanaan

Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah

terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi

standar untuk kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk

stadium I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga

dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode

penetuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-surgical

treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum

pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektum,

neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien

lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan

kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan

kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang

tertinggal.17.18

30

Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain:

o Eksisi Lokal

Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor

dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen.

Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya

dinamakan polypectomy.

o Reseksi

Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu

dilakukan anastomosis. Dilakukan juga pengambilan limfonodus

di sekitar rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodus tersebut

juga mengandung sel kanker.

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi

abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan

bagian dari otot levator ani dan dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang

efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.17.18.19

31

Gambar 22. Reseksi dan Anastomosis18

Gambar 23. Reseksi dan Kolostomi18

Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan

sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan

retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi

perineal, anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui

abdomen.17.18.19

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan

menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal

rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas.

Indikasi dilakukannya eksisi lokal kanker rektum adalah:

Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate.

T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan

ultrasound.

Termasuk well-differentiated atau moderately well

differentiated secara histologi.

Ukuran kurang dari 3-4 cm.

Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah:

Tumor tidak jelas

Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound.

32

Termasuk poorly differentiated secara histologi

2. Radiasi

Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan

III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan

pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk

pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melalui

pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu.

Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi

yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko

kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.

Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek

lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya

digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal

yang unresectable. 17.18

3. Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti

memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan)

dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam

atau tumor lokal yang bergerombol (Stadium II lanjut dan stadium III).

Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan

dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU

merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen

lainnya, levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi

bagi leucovorin. Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15%

dan menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10%.17.18

I. Komplikasi

1. Nekrosis kolostomi.

33

Hal ini diakibatkan tidak adekuatnya suplai darah. Komplikasi ini

biasanya terlihat 12-24 jam setelah pembedahan dan biasa diperlukan

pembedahan tambahan untuk menanganinya.

2. Kolostomi retraksi.

Disebabkan karena tidak cukupnya panjang stoma. Komplikasi ini dapat

ditangani dengan menyediakan kantong khusus. Memperbaiki stoma

dapat pula menjadi pilihan penanganan.

3. Parastomal hernia.

Keadaan ini dapat timbul akibat letak stoma pada dinding abdomen yang

lemah atau dibuat terbuka terlalu besar pada dinding abdomen.

4. Prolaps

Keadaan ini sering diakibatkan pembukaan yang terlalu besar pada

dinding abdomen atau fiksasi usus yang tidak cukup kuat pada dinding

abdomen. Pembedahan ulang untuk mengatasi prolaps dengan

mengambil vaskularisasi yang melampaui segmen usus yang disuplai.

5. Obstruksi

Obstruksi dapat terjadi akibat udem ataupun timbunan feses.

J. Prognosis

Secara keseluruhan, 5-year survival rates untuk kanker rektum adalah

sebagai berikut:

a. Stadium I – 72%

b. Stadium II – 54%

c. Stadium III – 39%

d. Stadium IV – 7%

Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat

berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering

terjadi pada penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama

setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk

kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh

batas-batas negatif tumor.11.12

34

K. Kajian Islam

Dalam setiap perjalanan hidup manusia, senantiasa dipertemukan pada

tiga kondisi dan situasi yakni sehat, sakit atau mati. Sebagian manusia

memandang sehat dan sakit secara berbeda. Pada kondisi sehat, terkadang

melupakan cara hidup sehat dan mengabaikan perintah Allah Swt, sebaliknya

pada kondisi sakit dianggapnya sebuah beban penderitaan, malapetaka dan wujud

kemurkaan Allah Swt kepadanya. Padahal Allah SWT dalam Q.S. Shaad : 27

selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti

ada hikmah/pelajaran dibalik itu semua.21

Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan

oleh Sang Pencipta Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.

Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Dan sesungguhnya bila Allah SWT

mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha

menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa

yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT” (H.R.

Ibnu Majah dan At Turmudzi). Sakit juga dapat dipandang sebagai peringatan dari

Allah SWT untuk mengingatkan segala dosa-dosa akibat perbuatan jahat yang

dilakukannya selama hidupnya. 21

SURAT ASY-SYUARA 26 : 80

Artinya : Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,

SURAT AL-ANBIYA 21 : 83

35

.

Artinya : Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah

Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang.

Pada kondisi sakit, kebanyakan manusia baru mengingat dosa-dosa dari

perbuatan jahatnya dimasa lalu. Dalam kondisi sakit itulah, kebanyakan manusia

baru melakukan taubat dengan cara memohon ampunan kepada Allah SWT dan

berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya di kemudian hari. Kondisi

sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap

manusia. Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak

menurunkan juga obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh  Abu

Hurairah ra dari Nabi saw bersabda:

“Tidak lah Allah SWT menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan

pula penyembuhnya.” (HR.Al-Bukhari dan Ibnu Majah)

Bila dalam kondisi sakit, umat Islam dijanjikan oleh Allah Swt berupa

penghapusan dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan

penyakitnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali

Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-

dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.21

36

Sementara bagi Umat Islam lainnya yang berada dalam kondisi sehat

dianjurkan oleh Allah Swt untuk menjenguk saudara seiman yang menderita

sakit. Apabila orang yang sehat minta didoakan dari orang yang sakit, maka

Allah Swt berjanji akan mengabulkannya. Hal ini diriwayatkan Asy-Suyuti,

“Jika kamu menjenguk orang sakit, mintalah kepadanya agar berdoa kepada

Allah untukmu, karena doa orang yang sakit seperti doa para malaikat.” Dengan

demikian, kedudukan orang yang menderita sakit bukanlah orang yang hina,

malah memiliki kedudukan yang mulia. Simak hadits yang diriwayatkan oleh

Al-Bukhari “Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit

yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan,

kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah

menghapus dosanya. 21

Untuk mencegah datangnya penyakit, manusia dibebaskan untuk

berikhtiar. Namun Islam sudah memberikan kuncinya secara umum dengan cara

mencegah kelebihan makan.Al Quran mengingatkan, “Makan dan minumlah

tapi jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-

lebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Rasulullah juga memberikan tips dalam

sabdanya,” Tidak ada bencana yang lebih buruk yang diisi oleh manusia

daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengonsumsi beberapa suap

makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka ia

bisa mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiga untuk minuman dan

sepertiga sisanya untuk nafasnya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-

Hakim). 21

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, Isaac. Rectal Carsinoma. 2006. Available from:

www.emedicine.com. (Download: 25 April 2015)

2. Sadler TW. Langman embriologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: EGC, 2009.

3. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2010.

4. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC, 2007.

5. Elizabet J. Corwin. Buku Ajar Patofisiologi. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2009.

6. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC,

2007.

38

7. R. Putz dan R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. 22th ed. Jakarta:

EGC. 2006.

8. Eroschenko. VP. Atlas Histologi Difiore. 11th ed. EGC. Jakarta. 2010.

9. Sabiston DC. Sabiston buku ajar bedah (Essentials of surgery). 19th ed.

Jakarta: EGC. 2012.

10. Cagir B. Rectal cancer. 2012

Available from: http://emedicine.medscape.com . (Download 25 April 2015)

11. Dalal KM, Bleday R. Cancer of the rectum. In: Zinner MJ, Ashley SW,

editors. Maingot’s abdominal operations. The United States of America:

The McGraw-Hill companies: 2007. P. 693-725.

12. Engstrom FP, Arnoletti PJ. Rectal Cancer. J Natl Compr Canc Netw

2009;7:838-881. Available from: http://www.jnccn.org/ . (Download 25

April 2015)

13. Cutsem1 EV, Dicato M. The diagnosis and management of rectal cancer:

expert discussion and recommendations derived from the 9th World

Congress on Gastrointestinal Cancer, Barcelona, 2007. Annals of Oncology

19 (Supplement 6): vi1–vi8, 2008. Available from:

http://annonc.oxfordjournals.org/ . (Download 25 April 2015)

14. Khuhaprema T, Srivatanakul P. Colon and Rectum Cancer in Thailand: An

Overview. Jpn J Clin Oncol 2008;38(4)237–243. Available from:

http://jjco.oxfordjournals.org/ (Download 25 April 2015)

15. Smith N, Brown G. Preoperative staging of rectal cancer. Acta Oncologica,

2008; 47: 20-31. Available from: http://informahealthcare.com/ . (Download

25 April 2015)

16. Sajhrir. R. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta. Badan Penerbit FKUI.

2013.

17. Manuaba TW. Panduaan penatalaksanaan kanker solid peraboi 2010.

Jakarta: Sagung seto, 2010.

18. Meredith et al. The multidisciplinary management of rectal cancer. Surg

Clin N Am. 2009. Available from: http://www.sassit.co.za/Journals/

(Download 25 April 2015)

39

19. College of oncology national guidelines. Rectum cancer. 2007. Available

from: http://www.collegeoncologie.be/ (Download 25 April 2015)

20. Schwartz SI. Schwartz’s principles of surgery. 9th ed. United States of

America: The McGraw-Hill companies, 2010.

21. Fatimah: Konsep Sakit.2010. Dikutib dari URL:

http://agama.kompasiana.com/. (Diaksses 15 Maret 2015)

40