R EDD - FORDA · Mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil dari iuran Pengelola REDD+ juga...
Transcript of R EDD - FORDA · Mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil dari iuran Pengelola REDD+ juga...
5
DE DR
Mekanisme dan Distribusi REDD+
Kajian Badan Litbang Kehutanan merekomendasi mekanisme yang didasarkan pada pasar sukarela dan pasar wajib yang juga didasarkan pada lokasi pengusahaan REDD+ dan besarnya proporsi bagi pihak-pihak yang terlibat.
Pendanaan REDD bisa berdasarkan pada pendanaan pasar atau bantuan pendanaan. Pendanaan pasar terdiri atas voluntary
1 2 market (VM) dan compliance market (CM). Sebelum CM disetujui dalam konferensi para pihak (COP), maka VM dapat dilaksanakan sebagai salah satu upaya mempersiapkan peraturan dan kelembagaan REDD+.
D e s k r i p s i
43 144
16
1. Voluntary market: pasar karbon yang menggunakan mekanisme perdagangan emisi tetapi berjalan diluar kesepakatan internasional, dan murni dari inisiatif individu.
2. Compliance market: pasar karbon yang berada di bawah aturan kesepakatan internasional untuk penetapan target pengurangan emisi pada negara maju dengan membeli kredit penurunan emisi dari proyek-proyek penurunan emisi yang dilakukan di negara berkembang.
Rancangan mekanisme untuk skema VM yang bisa disajikan dalam Gambar 1(b).ditawarkan seperti Gambar 1(a). Sedangkan dalam
CM, peran pemerintah menjadi sentral karena dana Dalam skema VM, entitas internasional bisa langsung yang berasal dari negosiasi bilateral maupun melakukan pembayaran kepada pengelola berdasarkan multilateral akan dikelola secara terpusat untuk sertifikat emisi pengurangan karbon (sertifikat kemudian didistribusikan kepada para pihak yang REDD/Certified Emission Reduction (CER)) yang terlibat dalam implementasi REDD+. Distribusi peran dihasilkan. dan manfaat untuk skema CM yang diusulkan
Gambar 1. Rancangan Rancangan Mekanisme Distribusi Manfaat REDD+ skema voluntary market (a) dan compliance market (b)
(a) (b)
mplementasi REDD+, apalagi jika membicarakan mengenai pasar karbon memang masih jauh dari kenyataan. Namun Indonesia Isebagai satu negara dengan luasan hutan terbesar ketiga dunia,
merupakan pasar potensial karbon di dunia khususnya karbon hutan.
Mekanisme REDD+ memungkinkan Indonesia sebagai penyedia karbon mendesain bagaimana mekanisme dan distribusi REDD+ baik dalam pasar wajib (compliance market) maupun pasar sukarela (voluntary market). Tujuannya agar dapat terwujud mekanisme yang efisien dan berkeadilan. Berbagai hasil kajian ditawarkan oleh kementerian terkait. Kementerian Keuangan bekejasama dengan Australia menawarkan mekanisme dan distribusi yang dikenal dengan Regional Incentive Mechanisme, dimana daerah akan memperoleh insentif dari usaha mitigasi perubahan iklim.
Saat ini kebijakan yang mengatur distribusi peran para pihak dan manfaat REDD+ belum ada, sehingga diperlukan suatu peraturan pemerintah yang bersifat lintas sektoral.
Mekanisme dan Distribusi REDD+
Kajian Badan Litbang Kehutanan merekomendasi mekanisme yang didasarkan pada pasar sukarela dan pasar wajib yang juga didasarkan pada lokasi pengusahaan REDD+ dan besarnya proporsi bagi pihak-pihak yang terlibat.
Pendanaan REDD bisa berdasarkan pada pendanaan pasar atau bantuan pendanaan. Pendanaan pasar terdiri atas voluntary
1 2 market (VM) dan compliance market (CM). Sebelum CM disetujui dalam konferensi para pihak (COP), maka VM dapat dilaksanakan sebagai salah satu upaya mempersiapkan peraturan dan kelembagaan REDD+.
D e s k r i p s i
43 144
16
1. Voluntary market: pasar karbon yang menggunakan mekanisme perdagangan emisi tetapi berjalan diluar kesepakatan internasional, dan murni dari inisiatif individu.
2. Compliance market: pasar karbon yang berada di bawah aturan kesepakatan internasional untuk penetapan target pengurangan emisi pada negara maju dengan membeli kredit penurunan emisi dari proyek-proyek penurunan emisi yang dilakukan di negara berkembang.
Rancangan mekanisme untuk skema VM yang bisa dalam Gambar 1(b).ditawarkan seperti Gambar 1(a). Sedangkan dalam
CM, peran pemerintah menjadi sentral karena dana Dalam skema VM, entitas internasional bisa langsung yang berasal dari negosiasi bilateral maupun melakukan pembayaran kepada pengelola berdasarkan multilateral akan dikelola secara terpusat untuk sertifikat emisi pengurangan karbon (sertifikat kemudian didistribusikan kepada para pihak yang REDD/Certified Emission Reduction (CER)) yang terlibat dalam implementasi REDD+. Distribusi peran dihasilkan. dan manfaat untuk skema CM yang diusulkan tersaji
mplementasi REDD+, apalagi jika membicarakan mengenai pasar karbon memang masih jauh dari kenyataan. Namun Indonesia Isebagai satu negara dengan luasan hutan terbesar ketiga dunia,
merupakan pasar potensial karbon di dunia khususnya karbon hutan.
Mekanisme REDD+ memungkinkan Indonesia sebagai penyedia karbon mendesain bagaimana mekanisme dan distribusi REDD+ baik dalam pasar wajib (compliance market) maupun pasar sukarela (voluntary market). Tujuannya agar dapat terwujud mekanisme yang efisien dan berkeadilan. Berbagai hasil kajian ditawarkan oleh kementerian terkait. Kementerian Keuangan bekejasama dengan Australia menawarkan mekanisme dan distribusi yang dikenal dengan Regional Incentive Mechanisme, dimana daerah akan memperoleh insentif dari usaha mitigasi perubahan iklim.
Saat ini kebijakan yang mengatur distribusi peran para pihak dan manfaat REDD+ belum ada, sehingga diperlukan suatu peraturan pemerintah yang bersifat lintas sektoral.
Gambar 1. Rancangan Rancangan Mekanisme Distribusi Manfaat REDD+ skema voluntary market (a) dan compliance market (b)
(a) (b)
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah:ŸPropinsiŸKabupaten/kota
penghasil
1. Pungutan atas sertifikasi REDD yang dijual
2.Iuran ijin kegiatan REDD+
DBH Kehutanan kegiatan REDD+
Sertifikat REDD
Entitas Internasional
Masyarakat
Pengelola
Entitas Internasional
Sertifikat REDD
Pemerintah Pusat
Pungutan atas Sertifikat REDD
Pembayaran atas Sertifikat REDD
Dana Jaminan REDD Nasional
Pemerintah Daerah:ŸPropinsiŸKabupaten/kota
penghasil
Pengelola Masyarakat
Bagian dari penerimaan REDD+ untuk masyarakat program yang dialokasikan dalam anggaran di setiap dapat diberikan dalam bentuk alternatif sumber mata satuan kerja lingkup Pemda. Program-program pencaharian, seperti bantuan pembibitan tanaman, tersebut diarahkan pada pemberdayaan masyarakat perikanan, peternakan, handycraft dan sebagainya. Di sekitar lokasi REDD+.samping itu bantuan juga dapat berupa pembangunan
Hasil kajian ini sudah didiskusikan dalam berbagai infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
kesempatan dengan Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah (Pemda) juga memiliki kewajiban Bappenas, Satgas REDD+ bagian pendanaan dan para berkontribusi terhadap masyarakat dari penerimaan calon pengembang baik sektor swasta maupun BUMN DBH REDD+. serta menjadi masukan dalam penyempurnaan
Permenhut P. 36/Menhut-II/2009.Bantuan diberikan melalui pembiayaan program-
Untuk memastikan bahwa mekanisme distribusi peran dan manfaat REDD+ dapat diterapkan (practicability) adalah:
1. Kementerian Keuangan perlu segera mempercepat proses penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme distribusi peran dan manfaat REDD+, dengan dukungan berbagai lembaga internasional untuk penyiapan mekanisme distribusi manfaat REDD.
2. Kementerian Kehutanan cq Ditjen Planologi dan institusi yang berwenang dalam pengaturan tata ruang seperti pemda, BPN perlu secara intensif memperjelas tata ruang di daerah untuk memastikan kepemilikan lahan yang clear and clean.
Tantangan
Peneliti : Kirsfianti L. Ginoga, Indartik, Deden Djaenudin dan Fitri Nurfatriani
Unit kerja : Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)
Email : [email protected], [email protected] dan [email protected]
Gambar : Koleksi PuspijakInfo detil : www.puspijak.org
Keterangan
Sedangkan untuk skema CM, penerimaan atas CER pusat dan daerah adalah 20 % untuk Pusat dan 80 yang dijual masuk ke pemerintah pusat sebelum % untuk daerah. Di daerah selanjutnya akan akhirnya disalurkan kembali ke pengelola setelah didistribusikan dengan rincian 16 % untuk propinsi dipotong iuran ijin usaha dan pungutan atas sertifikat dan 64 % untuk kabupaten penghasil. Bagian untuk REDD yang terjual. Penerimaan yang bersumber dari pusat dialokasikan untuk dana jaminan REDD hasil penjualan sertifikat REDD merupakan hak nasional. pengelola.
Sedangkan mekanisme distribusi dan proporsi bagi Apabila lokasi REDD+ berada dalam kawasan hutan, hasil untuk pungutan atas sertifikat REDD yang maka pengelola memiliki kewajiban membayar rente terjual, diusulkan mengikuti proporsi Dana Bagi Hasil ekonomi kepada negara berupa iuran ijin kegiatan (DBH) dari Dana Reboisasi, sebesar 60 % untuk REDD+ dan pungutan atas sertifikat REDD yang dijual. pusat dan 40 % untuk daerah. Iuran ijin kegiatan REDD+ ini dibayarkan sekali dalam
Proporsi tersebut diusulkan dengan dasar bahwa jangka waktu pengusahaan. Sedangkan pungutan atas
implementasi REDD+ berdasarkan pendekatan CER berdasarkan volume karbon yang dijual (per ton C
nasional yang melibatkan kelembagaan yang equivalent).
kompleks karena melibatkan lintas sektoral.Mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil dari iuran
Pengelola REDD+ juga memiliki kewajiban ijin kegiatan REDD+ ini mengikuti Peraturan
memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitar Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
lokasi REDD+, sehingga perlu ada manfaat yang Perimbangan.
dialokasikan kepada masyarakat. Proporsi bagi hasil dari iuran ijin kegiatan REDD+ antara
D e s k r i p s i (lanjutan)
45 46
Bagian dari penerimaan REDD+ untuk masyarakat program yang dialokasikan dalam anggaran di setiap dapat diberikan dalam bentuk alternatif sumber mata satuan kerja lingkup Pemda. Program-program pencaharian, seperti bantuan pembibitan tanaman, tersebut diarahkan pada pemberdayaan masyarakat perikanan, peternakan, handycraft dan sebagainya. Di sekitar lokasi REDD+.samping itu bantuan juga dapat berupa pembangunan
Hasil kajian ini sudah didiskusikan dalam berbagai infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
kesempatan dengan Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah (Pemda) juga memiliki kewajiban Bappenas, Satgas REDD+ bagian pendanaan dan para berkontribusi terhadap masyarakat dari penerimaan calon pengembang baik sektor swasta maupun BUMN DBH REDD+. serta menjadi masukan dalam penyempurnaan
Permenhut P. 36/Menhut-II/2009.Bantuan diberikan melalui pembiayaan program-
Untuk memastikan bahwa mekanisme distribusi peran dan manfaat REDD+ dapat diterapkan (practicability) adalah:
1. Kementerian Keuangan perlu segera mempercepat proses penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme distribusi peran dan manfaat REDD+, dengan dukungan berbagai lembaga internasional untuk penyiapan mekanisme distribusi manfaat REDD.
2. Kementerian Kehutanan cq Ditjen Planologi dan institusi yang berwenang dalam pengaturan tata ruang seperti Pemda, BPN perlu secara intensif memperjelas tata ruang di daerah untuk memastikan kepemilikan lahan yang clear and clean.
Tantangan
Peneliti : Kirsfianti L. Ginoga, Indartik, Deden Djaenudin dan Fitri Nurfatriani
Unit kerja : Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)
Email : [email protected], [email protected] dan [email protected]
Gambar : Koleksi PuspijakInfo detil : www.puspijak.org
Keterangan
Sedangkan untuk skema CM, penerimaan atas CER pusat dan daerah adalah 20 % untuk Pusat dan 80 yang dijual masuk ke pemerintah pusat sebelum % untuk daerah. Di daerah selanjutnya akan akhirnya disalurkan kembali ke pengelola setelah didistribusikan dengan rincian 16 % untuk propinsi dipotong iuran ijin usaha dan pungutan atas sertifikat dan 64 % untuk kabupaten penghasil. Bagian untuk REDD yang terjual. Penerimaan yang bersumber dari pusat dialokasikan untuk dana jaminan REDD hasil penjualan sertifikat REDD merupakan hak nasional. pengelola.
Sedangkan mekanisme distribusi dan proporsi bagi Apabila lokasi REDD+ berada dalam kawasan hutan, hasil untuk pungutan atas sertifikat REDD yang maka pengelola memiliki kewajiban membayar rente terjual, diusulkan mengikuti proporsi Dana Bagi Hasil ekonomi kepada negara berupa iuran ijin kegiatan (DBH) dari Dana Reboisasi, sebesar 60 % untuk REDD+ dan pungutan atas sertifikat REDD yang dijual. pusat dan 40 % untuk daerah. Iuran ijin kegiatan REDD+ ini dibayarkan sekali dalam
Proporsi tersebut diusulkan dengan dasar bahwa jangka waktu pengusahaan. Sedangkan pungutan atas
implementasi REDD+ berdasarkan pendekatan CER berdasarkan volume karbon yang dijual (per ton C
nasional yang melibatkan kelembagaan yang equivalent).
kompleks karena melibatkan lintas sektoral.Mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil dari iuran
Pengelola REDD+ juga memiliki kewajiban ijin kegiatan REDD+ ini mengikuti Peraturan
memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitar Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
lokasi REDD+, sehingga perlu ada manfaat yang Perimbangan.
dialokasikan kepada masyarakat. Proporsi bagi hasil dari iuran ijin kegiatan REDD+ antara
D e s k r i p s i (lanjutan)
45 46
Berbagai Opsi Mekanisme Distribusi Insentif untuk REDD+
Badan Layanan Umum (BLU), program nasional b. Perlu ada pengawasan dari pihak
nasional pemberdayaan masyarakat mandiri dan independen dalam distribusi dana dari
pembayaran jasa lingkungan.kegiatan REDD+ ini.
1. Transfer Fiskal Pusat-Daerahc. Jika melalui anggaran pemerintah, dana untuk
Beberapa instrumen fiskal yang saat ini kegiatan REDD+ tidak fleksibel dalam
diimplementasikan di Indonesia adalah Dana penggunaannya, karena adanya tenggat
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), waktu (time lag) perencanaan anggaran dan
dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana-dana tersebut penggunaan anggaran. Padahal dalam
dikenal sebagai dana perimbangan dengan tujuan kegiatan pengurangan emisi dimungkinkan
yang berbeda-beda.adanya kejadian yang sifatnya mendadak dan
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika harus segera ditangani, misalnya kebakaran menggunakan mekanisme ini untuk kegiatan hutan.REDD+ agar tepat sasaran, adalah:
2. Trust-Funda. Jika melalui DBH, dana yang seharusnya
Trust fund merupakan salah satu bentuk mekanisme dialokasikan untuk kegiatan REDD+ bisa
distribusi manfaat di mana sejumlah aset finansial dialokasikan untuk kegiatan lain, karena
yang berasal dari orang atau lembaga yang adanya proses pembahasan anggaran di
disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan DPRD yang mungkin memiliki prioritas
penerima melalui sebuah lembaga pengelola. berbeda.
Mekanisme distribusi insentif tidak bisa bersifat absolut atau merujuk pada teori tertentu, melainkan merupakan hasil kesepakatan antara pihak terkait dan disesuaikan dengan karakteristik setiap daerah. Saat ini sudah diperoleh beberapa opsi mekanisme distribusi insentif untuk REDD+,
yang dapat menjadi input untuk menghasilkan kesepakatan
mekanisme distribusi insentif REDD+.
Saat ini terdapat berbagai sumber pendanaan untuk pemberian insentif REDD+ yang potensial dapat
dimanfaatkan oleh Indonesia baik fund-based (non-pasar)
maupun market-based (pasar). Beberapa sumber
pendanaan potensial tersebut antara lain melalui
pendanaan antar pemerintah, dana investasi, carbon offset dan voluntary market.
Beberapa skema distribusi insentif lain yang ada di dalam
negeri dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau diadopsi untuk mekanisme distribusi manfaat/insentif REDD+.
Mekanisme tersebut adalah transfer fiskal pusat-daerah,
D e s k r i p s i
erkembangan persiapan REDD+ di Indonesia sangat dinamis termasuk dari segi penyiapan Pmekanisme distribusi insentif REDD+.
Salah satu pertimbangan penting dalam merancang mekanisme distribusi insentif REDD+ adalah ketepatan dalam menentukan peran pihak-pihak terkait dan distribusi manfaat (insentif) REDD+ adil dan proporsional sesuai dengan peran dan tanggung jawab parapihak tersebut. Insentif dari mekanisme REDD diperlukan bagi negara berkembang sebagai kompensasi atas upaya pencegahan kegiatan konversi hutan ke penggunaan lain.
Pertimbangan yang harus diambil untuk memilih mekanisme distribusi yang tepat adalah mekanisme yang memungkinkan untuk diimplementasikan, optimal untuk pembangunan, dan diterima oleh para pihak.
47 48
17
Berbagai Opsi Mekanisme Distribusi Insentif untuk REDD+
Badan Layanan Umum (BLU), program nasional b. Perlu ada pengawasan dari pihak
nasional pemberdayaan masyarakat mandiri dan independen dalam distribusi dana dari
pembayaran jasa lingkungan.kegiatan REDD+ ini.
1. Transfer Fiskal Pusat-Daerahc. Jika melalui anggaran pemerintah, dana untuk
Beberapa instrumen fiskal yang saat ini kegiatan REDD+ tidak fleksibel dalam
diimplementasikan di Indonesia adalah Dana penggunaannya, karena adanya tenggat
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), waktu (time lag) perencanaan anggaran dan
dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana-dana tersebut penggunaan anggaran. Padahal dalam
dikenal sebagai dana perimbangan dengan tujuan kegiatan pengurangan emisi dimungkinkan
yang berbeda-beda.adanya kejadian yang sifatnya mendadak dan
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika harus segera ditangani, misalnya kebakaran menggunakan mekanisme ini untuk kegiatan hutan.REDD+ agar tepat sasaran, adalah:
2. Trust-Funda. Jika melalui DBH, dana yang seharusnya
Trust fund merupakan salah satu bentuk mekanisme dialokasikan untuk kegiatan REDD+ bisa
distribusi manfaat di mana sejumlah aset finansial dialokasikan untuk kegiatan lain, karena
yang berasal dari orang atau lembaga yang adanya proses pembahasan anggaran di
disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan DPRD yang mungkin memiliki prioritas
penerima melalui sebuah lembaga pengelola. berbeda.
Mekanisme distribusi insentif tidak bisa bersifat absolut atau merujuk pada teori tertentu, melainkan merupakan hasil kesepakatan antara pihak terkait dan disesuaikan dengan karakteristik setiap daerah. Saat ini sudah diperoleh beberapa opsi mekanisme distribusi insentif untuk REDD+,
yang dapat menjadi input untuk menghasilkan kesepakatan
mekanisme distribusi insentif REDD+.
Saat ini terdapat berbagai sumber pendanaan untuk pemberian insentif REDD+ yang potensial dapat
dimanfaatkan oleh Indonesia baik fund-based (non-pasar)
maupun market-based (pasar). Beberapa sumber
pendanaan potensial tersebut antara lain melalui
pendanaan antar pemerintah, dana investasi, carbon offset dan voluntary market.
Beberapa skema distribusi insentif lain yang ada di dalam
negeri dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau diadopsi untuk mekanisme distribusi manfaat/insentif REDD+.
Mekanisme tersebut adalah transfer fiskal pusat-daerah,
D e s k r i p s i
erkembangan persiapan REDD+ di Indonesia sangat dinamis termasuk dari segi penyiapan Pmekanisme distribusi insentif REDD+.
Salah satu pertimbangan penting dalam merancang mekanisme distribusi insentif REDD+ adalah ketepatan dalam menentukan peran pihak-pihak terkait dan distribusi manfaat (insentif) REDD+ adil dan proporsional sesuai dengan peran dan tanggung jawab parapihak tersebut. Insentif dari mekanisme REDD diperlukan bagi negara berkembang sebagai kompensasi atas upaya pencegahan kegiatan konversi hutan ke penggunaan lain.
Pertimbangan yang harus diambil untuk memilih mekanisme distribusi yang tepat adalah mekanisme yang memungkinkan untuk diimplementasikan, optimal untuk pembangunan, dan diterima oleh parapihak.
47 48
17
Beberapa model trust-fund di Indonesia adalah single efisiensi dan produktivitas (Peraturan Pemerintah donor trust-fund, sector specific trust-fund, multi donor No. 23 tahun 2005).
trust-fund dan inisiasi trust-fund. Sedangkan bentuk Dari pengertian BLU diatas, maka mekanisme
dari trust-fund adalah: 1) edowment fund (dana abadi); distribusi insentif untuk REDD+ dapat dilakukan
2) revolving fund (dana bergulir); 3) sinking fund (dana melalui BLU apabila proponen atau project developer-
menurun).nya adalah instansi pemerintah seperti Taman
Skema trust fund diusulkan untuk menghindari Nasional atau KPH.
kerumitan prosedur birokratis dalam pendistribusian 4. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
insentif REDD+. Meskipun demikian, mekanisme (PNPM) Mandiri
kontrol keuangan tetap diperlukan di mana kontrol sendiri selain dilakukan oleh pemberi dana dapat PNPM Mandiri adalah program nasional
juga melibatkan pihak-pihak terkait REDD+. penanggulangan kemsikinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan Keputusan
3. Badan Layanan Umum (BLU)
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan
No. 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007, tujuan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
PNPM Mandiri adalah meningkatnya kesejahteraan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mengutamakan mencari keuntungan dan dalam
mandiri.melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
Belum ada peraturan yang ditetapkan di level nasional maupun daerah yang khusus mengatur mengenai mekanisme distribusi insentif REDD+. Tantangan ke depan adalah bagaimana skema pendanaan tersebut bisa memberikan manfaat bagi negara untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan semua lapisan masyarakat.
TantanganPeneliti : Indartik dan Nunung ParlinahUnit kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan (Puspijak)Email : [email protected] dan [email protected], Foto : Koleksi PushumasInfo detil : www.puspijak.org
Keterangan
49 50
D e s k r i p s i (lanjutan)
5. Pembayaran Jasa Lingkungan yang berbeda memerlukan opsi yang berbeda agar tujuan distribusi manfaat tercapai. Karena
Pembayaran jasa lingkungan dapat dilakukan tidak setiap opsi diatas dapat diterapkan untuk
dengan pendekatan voluntary yaitu langsung dari setiap penerima manfaat.
pemanfaat (buyer) ke penyedia jasa (seller) atau melalui compliance yaitu melibatkan pihak luar 2. Dalam implementasinya, beberapa skema seperti pemerintah. tersebut dapat dikombinasikan dengan
memenuhi kriteria transparan, berkeadilan, 6. Kredit Usaha Tani
kemudahan, kemanfaatan dan demokratis.Untuk memastikan bahwa mekanisme distribusi
Dalam implementasinya skema-skema tersebut insentif manfaat REDD+ dapat diterapkan, maka
dapat dikombinasikan dengan memenuhi kriteria beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
transparan, berkeadilan, kemudahan, kemanfaatan1. Pemilihan opsi mekanisme harus dan demokratis. Pemilihan opsi mekanisme tersebut
memperhatikan siapa penerima manfaat dari juga harus memperhatikan penerima manfaat dari REDD+. Dengan kata lain, penerima manfaat REDD+.
Beberapa model trust-fund di Indonesia adalah single efisiensi dan produktivitas (Peraturan Pemerintah donor trust-fund, sector specific trust-fund, multi donor No. 23 tahun 2005).
trust-fund dan inisiasi trust-fund. Sedangkan bentuk Dari pengertian BLU diatas, maka mekanisme
dari trust-fund adalah: 1) edowment fund (dana abadi); distribusi insentif untuk REDD+ dapat dilakukan
2) revolving fund (dana bergulir); 3) sinking fund (dana melalui BLU apabila proponen atau project developer-
menurun).nya adalah instansi pemerintah seperti Taman
Skema trust fund diusulkan untuk menghindari Nasional atau KPH.
kerumitan prosedur birokratis dalam pendistribusian 4. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
insentif REDD+. Meskipun demikian, mekanisme (PNPM) Mandiri
kontrol keuangan tetap diperlukan di mana kontrol sendiri selain dilakukan oleh pemberi dana dapat PNPM Mandiri adalah program nasional
juga melibatkan pihak-pihak terkait REDD+. penanggulangan kemsikinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan Keputusan
3. Badan Layanan Umum (BLU)
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan
No. 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007, tujuan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
PNPM Mandiri adalah meningkatnya kesejahteraan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mengutamakan mencari keuntungan dan dalam
mandiri.melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
Belum ada peraturan yang ditetapkan di level nasional maupun daerah yang khusus mengatur mengenai mekanisme distribusi insentif REDD+. Tantangan ke depan adalah bagaimana skema pendanaan tersebut bisa memberikan manfaat bagi negara untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan semua lapisan masyarakat.
TantanganPeneliti : Indartik dan Nunung ParlinahUnit kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan (Puspijak)Email : [email protected] dan [email protected] Gambar : Koleksi PushumasInfo detil : www.puspijak.org
Keterangan
49 50
D e s k r i p s i (lanjutan)
5. Pembayaran Jasa Lingkungan1. Pemilihan opsi mekanisme harus
Pembayaran jasa lingkungan dapat dilakukan memperhatikan siapa penerima manfaat dari dengan pendekatan voluntary yaitu langsung dari REDD+. Dengan kata lain, penerima manfaat pemanfaat (buyer) ke penyedia jasa (seller) atau yang berbeda memerlukan opsi yang berbeda melalui compliance yaitu melibatkan pihak luar agar tujuan distribusi manfaat tercapai. Karena seperti pemerintah. tidak setiap opsi diatas dapat diterapkan untuk
setiap penerima manfaat. 6. Kredit Usaha Tani
2. Dalam implementasinya, beberapa skema Untuk memastikan bahwa mekanisme distribusi tersebut dapat dikombinasikan dengan insentif manfaat REDD+ dapat diterapkan, maka memenuhi kriteria transparan, berkeadilan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: kemudahan, kemanfaatan dan demokratis.
Mekanisme Pembayaran atas Jasa Lingkungan sebagai Alternatif Skema Distribusi Insentif REDD+
Pembayaran atas Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah sistem yang transparan untuk penyediaan jasa lingkungan melalui pembayaran bersyarat pada penyedia jasa secara sukarela (Tacconi, 2012). Aspek penting untuk diperhatikan dalam mendesain mekanisme PJL adalah:
• Transparansi• Tambahan Manfaat (Additionality)• Persyaratan (Conditionality)• Kesukarelaan
Dalam merancang PJL, aspek hak atas lahan (property rights) dan efektivitas biaya (cost effectiveness) merupakan penentu efisiensi dan keadilan dalam PJL yang harus dipertimbangkan. Kriteria dan pertimbangan rancangan PJL ini juga dapat digunakan untuk menilai opsi-opsi dalam memberikan kompensasi atau pembayaran kepada masyarakat untuk REDD+.
embayaran Jasa Lingkungan (PJL) merupakan
salah satu opsi yang dapat ditawarkan dalam Pmekanisme distribusi insentif untuk REDD+ yang berfokus
pada masyarakat sekitar kawasan hutan. Hal ini karena
mekanisme PJL memiliki kriteria transparansi, tambahan
manfaat, persyaratan dan kesukarelaan yang berpotensi
untuk menciptakan suatu mekanisme distribusi insentif
yang efektif, efisien dan berkeadilan.
Namun demikian, untuk mencapai efektivitas, efisiensi dan
keadilan PJL, aspek hak atas lahan (property rights) dan
efektivitas biaya (cost effectiveness), yang merupakan
penentu efisiensi dan keadilan dalam PJL. Kriteria dan
pertimbangan rancangan PJL ini dapat digunakan untuk
menilai opsi-opsi dalam memberikan kompensasi atau
pembayaran kepada masyarakat untuk REDD+.
D e s k r i p s i
Selanjutnya, hak atas lahan (sumber daya hutan) yang akan dijadikan obyek REDD+ dapat digolongkan atas : Keenam pilihan tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.
1. hak milik. Bagi masyarakat yang tidak memiliki akses sama sekali ke 2. hak pemanfaatan. sumberdaya hutan, karena tidak memiliki hak milik
maupun hak pemanfaatan, tetap dapat dilibatkan ke Dari perpaduan dua kategori tersebut yaitu basis dalam skema REDD+. Pelibatan tersebut dalam bentuk pembayaran dan tipe hak atas lahan, dapat disusun aktivitas pemantauan karbon berbasis masyarakat, serta matriks desain pelaksanaan REDD+ di tingkat aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan untuk menjaga masyarakat. Dengan menggunakan matriks tersebut, sumberdaya hutan dari aktivitas illegal yang dapat studi di Propinsi Papua dan Propinsi Riau mengganggu stabilitas karbon hutan.menghasilkan enam pilihan pelibatan masyarakat lokal dalam program PJL untuk REDD+ di Indonesia.
51 52
18
Basis Pembayaran
Kategori Hak
Kepemilikan Pemanfaatan
Luasan Hutan
Pilihan 1: Masyarakat adat memperoleh pembayaran berdasarkan luasan hutan adat
Pilihan 4: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan luasan kawasan
Perubahan Volume Karbon
Pilihan 2: Masyarakat adat mendapatkan pembayaran atas perubahan volume karbon di hutan adat
Pilihan 5: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan perubahan volume karbon di kawasan hutan
Biaya Korbanan
Pilihan 3: Masyarakat adat menadapatkan pembayaran atas pendapatan yang hilang akibat konservasi tegakan hutan
Pilihan 6: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan biaya korbanan kawasan hutan
Tabel 1. Opsi-opsi pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan untuk REDD+ di Papua dan Riau.
Mekanisme Pembayaran atas Jasa Lingkungan sebagai Alternatif Skema Distribusi Insentif REDD+
Pembayaran atas Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah sistem yang transparan untuk penyediaan jasa lingkungan melalui pembayaran bersyarat pada penyedia jasa secara sukarela (Tacconi, 2012). Aspek penting untuk diperhatikan dalam mendesain mekanisme PJL adalah:
• Transparansi• Tambahan Manfaat (Additionality)• Persyaratan (Conditionality)• Kesukarelaan
Dalam merancang PJL, aspek hak atas lahan (property rights) dan efektivitas biaya (cost effectiveness) merupakan penentu efisiensi dan keadilan dalam PJL yang harus dipertimbangkan. Kriteria dan pertimbangan rancangan PJL ini juga dapat digunakan untuk menilai opsi-opsi dalam memberikan kompensasi atau pembayaran kepada masyarakat untuk REDD+.
Pembayaran Jasa Lingkungan untuk REDD+ dapat didasarkan pada: 1. Luasan hutan.2. Perubahan volume karbon.3. Biaya korbanan.
embayaran Jasa Lingkungan (PJL) merupakan salah satu opsi yang ditawarkan Pdalam mekanisme distribusi insentif untuk
REDD+ yang berfokus pada masyarakat sekitar kawasan hutan. Hal ini karena mekanisme PJL memiliki kriteria transparansi, tambahan manfaat, persyaratan dan kesukarelaan yang merupakan kekuatan dibutuhkan untuk menjalankan suatu mekanisme distribusi.
Selain itu, dalam PJL juga diperhitungkan aspek hak atas lahan (property rights) dan efektivitas biaya (cost effectiveness), yang merupakan penentu efisiensi dan keadilan dalam PJL. Kriteria dan pertimbangan rancangan PJL ini juga dapat digunakan untuk menilai opsi-opsi dalam memberikan kompensasi atau pembayaran kepada masyarakat untuk REDD+.
D e s k r i p s i
Pembayaran Jasa Lingkungan untuk REDD+ dapat Dengan memadukan basis pembayaran dan tipe hak didasarkan pada: atas lahan, dapat disusun matriks pilihan desain 1. Luasan hutan. pelaksanaan REDD+ di tingkat masyarakat. 2. Perubahan volume karbon.
Dengan menggunakan matriks tersebut, hasil studi di 3. Biaya korbanan. Provinsi Papua dan Riau dapat dirangkum menjadi enam
Selanjutnya, hak atas lahan (sumber daya hutan) yang pilihan pelibatan masyarakat lokal dalam program PJL akan dijadikan obyek REDD+ dapat digolongkan atas : untuk REDD+. Keenam pilihan tersebut ditunjukkan pada 1. Hak milik. Tabel 1.2. Hak pemanfaatan.
51 52
18
Basis Pembayaran
Kategori Hak
Kepemilikan Pemanfaatan
Luasan Hutan Pilihan 1: Masyarakat adat memperoleh pembayaran berdasarkan luasan hutan adat
Pilihan 4: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan
Perubahan Volume Karbon
Pilihan 2: Masyarakat adat mendapatkan pembayaran atas perubahan volume karbon di hutan adat
Pilihan 5: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan perubahan volume karbon di kawasan hutan
Biaya Korbanan
Pilihan 3: Masyarakat adat menadapatkan pembayaran atas pendapatan yang hilang akibat konservasi tegakan hutan
Pilihan 6: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan biaya korbanan kawasan hutan
Tabel 1. Opsi-opsi pengembangan pembayaran jasa lingkungan untuk REDD+ di Papua dan Riau.
Keenam pilihan tersebut dirancang dengan asumsi bahwa di tingkat masyarakat terlebih dahulu dibangun Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), untuk menjamin hak-hak masyarakat atas sumberdaya hutan di daerahnya. Berdasarkan kajian, masyarakat adat di Provinsi Papua dapat dikategorikan sebagai 'pemilik' atas sumberdaya hutan melalui hak ulayat, sehingga keterlibatan mereka dalam skema REDD+ dapat dilaksanakan melalui pilihan 1 – 3.
Sedangkan masyarakat lokal di Provinsi Riau dikategorikan sebagai 'pengelola' kawasan hutan dan dapat diberikan hak akses dan pengelolaan atas sumberdaya hutan, sehingga pilihan 4 – 6 merupakan pilihan yang cocok untuk mereka.
Rancangan umum PJL REDD+ yang dibangun di kedua provinsi tersebut, terdiri atas dua mekanisme, yaitu pendanaan dan pembayaran (Gambar 1).
Untuk merealisasikan rancangan PJL untuk REDD+ tersebut, tahap awal yang perlu ditempuh adalah membangun sistem hak atas sumberdaya hutan melalui PHBM. Dalam hal ini, biaya pembangunan PHBM perlu dimasukkan sebagai bagian dari biaya pelaksanaan REDD+. Implementasi kebijakan REDD+ di Indonesia pada tingkat masyarakat lokal dapat dilaksanakan menggunakan dua tahap PJL untuk REDD+ (Gambar 2).
Implementasi REDD+ di Indonesia memerlukan percepatan pembangunan PHBM dengan membenahi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Selain itu diperlukan dukungan mekanisme pendanaan REDD+ tingkat nasional yang sesuai dengan kebijakan fiskal nasional.
TantanganPeneliti : M. Zahrul MuttaqinUnit kerja : Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)Email : [email protected] : Koleksi Puspijak dan Sekretariat Badan Litbang KehutananInfo detil : www.puspijak.org
Keterangan
Tahap pertama adalah pembangunan PHBM (inisiasi) , Selama periode PJL murni, pembayaran didasarkan pada tahap kedua adalah pelaksanaan PJL murni dimana volume perubahan karbon yang dapat diserap/disimpan kriteria persyaratan, transparansi, nilai tambah, dan dalam hutan.kesukarelaan benar-benar diterapkan dan aspek tenurial
Pembangunan PJL untuk REDD+ dalam dua tahap ini dan efektivitas biaya benar-benar dipertimbangkan.diharapkan dapat mengatasi persoalan ketidakjelasan hak atas sumberdaya hutan dan konflik terkait Pada tahap inisiasi, kegiatan difokuskan pada pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut, meskipun pembangunan PHBM. Pembangunan PHBM harus berpotensi meningkatkan biaya transaksi dan diselesaikan sebelum periode inisiasi berakhir untuk implementasi REDD+. Namun demikian kejelasan hak menguji apakah PHBM dapat dijalankan sebagaimana atas sumberdaya hutan memiliki manfaat berganda mestinya hingga akhir periode inisiasi. yang lebih luas dibandingkan dengan biaya transaksi dan
Selama periode inisiasi, masyarakat selain mendapatkan implementasi. kompensasi sebesar biaya korbanan pendapatan mereka
Menurut Tacconi et al. PJL yang didukung oleh kejelasan dari kayu, juga dapat dilibatkan dalam pengukuran dan tenurial dapat memeberikan kontribusi yang nyata bagi pemantauan karbon hutan. Ketika PHBM sudah dapat pendapatan rumah tangga, peningkatan kapasitas, dijalankan dengan baik, maka tahap selanjutnya adalah pemantapan kelembagaan lokal, dan perbaikan tahap PJL murni selama 10 tahun dimana masyarakat infrastruktur yang pada gilirannya dapat memperbaiki pemegang hak/izin PHBM dapat secara sukarela dan menjaga kelestarian sumberdaya alam.menentukan untuk ikut program REDD+ atau tidak.
Gambar 1. Rancangan PJL untuk REDD+ di tingkat masyarakat.
53 54
Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kab/Kota
Mekanisme Transfer Fiskal
Pemegang Izin PHBM
Lembaga Keuangan
Dewan Adat
Dukungan Lokal
LSM
Universitas
Konsultan Swasta
Dana REDD+ Internasional
APBN
Aliran Dana
Bantuan Teknis
Aliran Jasa Lingkungan
Mekanisme Pendanaan
Mekanisme Pembayar
Gambar 2. Tahapan pengembangan PJL untuk REDD+ di Indonesia.
Tahap Inisasi Tahap PJL Murni
Pembangunan PHBM
Hutan Adat/Desa/ Kemasyarakatan/ Tanaman Rakyat
Masyarakat memeroleh pembayaran berdasarkan
biaya korbanan dan pelibatan pada proses
pengukuran dan pemantauan karbon hutan
Masyarakat secara sukarela mengikuti PJL untuk REDD+
dan memeroleh pembayaran berdasarkan perubahan
volume karbon hutan
Aplikasi
Keenam pilihan tersebut dirancang dengan asumsi bahwa di tingkat masyarakat terlebih dahulu dibangun Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), untuk menjamin hak-hak masyarakat atas sumberdaya hutan di daerahnya. Berdasarkan kajian, masyarakat adat di Provinsi Papua dapat dikategorikan sebagai 'pemilik' atas sumberdaya hutan melalui hak ulayat, sehingga keterlibatan mereka dalam skema REDD+ dapat dilaksanakan melalui pilihan 1 – 3.
Sedangkan masyarakat lokal di Provinsi Riau dikategorikan sebagai 'pengelola' kawasan hutan dan dapat diberikan hak akses dan pengelolaan atas sumberdaya hutan, sehingga pilihan 4 – 6 merupakan pilihan yang cocok untuk mereka.
Rancangan umum PJL REDD+ yang dibangun di kedua provinsi tersebut, terdiri atas dua mekanisme, yaitu pendanaan dan pembayaran (Gambar 1).
Untuk merealisasikan rancangan PJL untuk REDD+ tersebut, tahap awal yang perlu ditempuh adalah membangun sistem hak atas sumberdaya hutan melalui PHBM. Dalam hal ini, biaya pembangunan PHBM perlu dimasukkan sebagai bagian dari biaya pelaksanaan REDD+. Implementasi kebijakan REDD+ di Indonesia pada tingkat masyarakat lokal dapat dilaksanakan menggunakan dua tahap PJL untuk REDD+ (Gambar 2).
Aplikasi (lanjutan)
Implementasi REDD+ di Indonesia memerlukan percepatan pembangunan PHBM dengan membenahi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Selain itu diperlukan dukungan mekanisme pendanaan REDD+ tingkat nasional yang sesuai dengan kebijakan fiskal nasional.
TantanganPeneliti : M. Zahrul MuttaqinUnit kerja : Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)Email : [email protected] : Koleksi Puspijak dan Sekretariat Badan Litbang KehutananInfo detil : www.puspijak.org
Keterangan
Gambar 2 menjelaskan bahwa tahap pertama adalah program REDD+ atau tidak.pembangunan PHBM (inisiasi), tahap kedua adalah
Selama periode PJL murni, pembayaran didasarkan pada pelaksanaan PJL murni dimana kriteria persyaratan, volume perubahan karbon yang dapat diserap/disimpan transparansi, nilai tambah, dan kesukarelaan benar-dalam hutan.benar diterapkan dan aspek tenurial dan efektivitas biaya
benar-benar dipertimbangkan. Pembangunan PJL untuk REDD+ dalam dua tahap ini diharapkan dapat mengatasi persoalan ketidakjelasan Pada tahap inisiasi, kegiatan difokuskan pada hak atas sumberdaya hutan dan konflik terkait pembangunan PHBM. Pembangunan PHBM harus pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut, meskipun diselesaikan sebelum periode inisiasi berakhir untuk berpotensi meningkatkan biaya transaksi dan menguji apakah PHBM dapat dijalankan sebagaimana implementasi REDD+. Namun demikian kejelasan hak mestinya hingga akhir periode inisiasi. atas sumberdaya hutan memiliki manfaat berganda
Selama periode inisiasi, masyarakat selain mendapatkan yang lebih luas dibandingkan dengan biaya transaksi dan kompensasi sebesar biaya korbanan pendapatan mereka implementasi. dari kayu, juga dapat dilibatkan dalam pengukuran dan
Menurut Tacconi et al.. (2010) PJL yang didukung oleh pemantauan karbon hutan. Ketika PHBM sudah dapat kejelasan tenurial dapat memberikan kontribusi yang dijalankan dengan baik, maka tahap selanjutnya adalah nyata bagi pendapatan rumah tangga, peningkatan tahap PJL murni selama periode waktu tertentu yang kapasitas, pemantapan kelembagaan lokal, dan sama dengan periode inisiasi (misalnya 10 tahun). perbaikan infrastruktur yang pada gilirannya dapat
Dalam periode ini masyarakat pemegang hak/izin memperbaiki dan menjaga kelestarian sumberdaya PHBM dapat secara sukarela menentukan untuk ikut alam.
Gambar 1. Rancangan PJL untuk REDD+ di Tingkat Masyarakat.
53 54
Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kab/Kota
Mekanisme Transfer Fiskal
Pemegang Izin PHBM
Lembaga Keuangan
Dewan Adat
Dukungan Lokal
LSM
Universitas
Konsultan Swasta
Dana REDD+ Internasional
APBN
Aliran Dana
Bantuan Teknis
Aliran Jasa Lingkungan
Mekanisme Pendanaan
Mekanisme Pembayar
Gambar 2. Tahapan Pengembangan PJL untuk REDD+ di Indonesia.
Tahap Inisasi Tahap PJL Murni
Pembangunan PHBM
Hutan Adat/Desa/ Kemasyarakatan/ Tanaman Rakyat
Masyarakat memeroleh pembayaran berdasarkan
biaya korbanan dan pelibatan pada proses
pengukuran dan pemantauan karbon hutan
Masyarakat secara sukarela mengikuti PJL untuk REDD+
dan memeroleh pembayaran berdasarkan perubahan
volume karbon hutan
Strategi Penurunan Emisi GRK Sektor Kehutanan
Strategi penurunan emisi didasarkan pada prinsip dasar penurunan emisi yaitu dengan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Sektor kehutanan mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui pembuatan tanaman dan pertumbuhan hutan. Selain itu, upaya-upaya untuk mengurangi laju deforestasi, kebakaran hutan serta peningkatan serapan karbon melalui pertumbuhan dan pembangunan hutan tanaman akan sangat menentukan seberapa besar potensi kehutanan dalam menyerap emisi atau meningkatkan serapan (sink).
Kegiatan sektor kehutanan yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim yang dapat dijadikan strategi dalam penurunan emisi pada prinsipnya dapat dibedakan kedalam tiga kategori utama, yaitu:
1. Konservasi karbon hutan, yaitu mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat praktek manajemen lainnya.a. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD)b. Penetapan kawasan hutan lindung/kawasan konservasic. Perbaikan teknik silvikulturd. Konservasi lahan gambut
D e s k r i p s i
2. Menambah rosot/serapan karbon melalui kegiatanaforestasi, reforestasi dan praktek pengelolaan banyak minat dari lembaga atau negara yang lainnya. Berbagai kegiatan kehutanan yang telah melaksanakan demonstration activities (DA) REDD didilaksanakan selama ini yang dapat dianggap Indonesia, sebagai pembelajaran untuk REDD. sebagai kegiatan mitigasi adalah pembangunan
Selain itu, beberapa mekanisme sukarela juga telah HTI, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, reboisasi berkembang misalnya Voluntary Carbon Standard (VCS),(penghutanan kembali kawasan hutan yang telah Community, Climate and Biodiversity Alliance (CCBA), rusak), dan penghijauan (penanaman tanaman memungkinkan untuk mendapatkan insentif dari skema tahunan di lahan milik).REDD.
3. Memanfaatkan biomas sebagai pengganti bahan Upaya pengurangan emisi dari deforestasi memerlukan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi pendekatan kebijakan internasional yang tidak akanbiomas atau secara tidak langsung melalui mengancam pembangunan ekonomi negara yang substitusi bahan yang industrinya menggunakan bersangkutan dan kehidupan masyarakat lokalnya. bahan bakar fosil.Dengan demikian negara berkembang akan terdorong
Dengan laju deforestasi tahunan yang mencapai melaksanakan upaya pengurangan emisi dari deforestasi rata-rata 1.1 juta ha, Indonesia memiliki potensi besar dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan untuk mengurangi laju deforestasi dan mendapatkan setidaknya setara dengan opportunity costs dari kompensasi. Meskipun mekanisme wajib REDD pemanfaatan lahan/hutan tersebut.belum ditetapkan, akan tetapi sampai saat ini telah
ektor kehutanan masih merupakan pengemisi gas rumah kaca atau GRK. SEmisi tersebut umumnya berasal dari
deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan. Namun disisi lain, sektor kehutanan juga mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan.
Target pemerintah Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020 perlu kebijakan dan tindakan nyata di lapangan. Oleh karena itu diperlukan strategi penurunan tingkat emisi yang didasarkan pada upaya-upaya pengurangan sumber-sumber emisi dari sektor kehutanan dan peningkatan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon.
55 56
19
Dalam usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan, diperlukan sinergitas dengan sektor-sektor lain terutama kebijakan sektor berbasis lahan yang seringkali memiliki kepentingan yang berlawanan. Kesinambungan kebijakan pengelolaan hutan dengan sektor lainnya akan sangat mendukung keberhasilan pencapaian target penurunan emisi.
TantanganPenulis : Ari WibowoUnit Kerja : Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)Email : [email protected] dan
[email protected] : Koleksi Sekretariat Badan Litbang KehutananInfo detil : Policy Brief Volume 5 Nomor 8 Tahun 2011,
www.forda-mof.org/publikasi, www.puspijak.org
Keterangan
Strategi Penurunan Emisi GRK Sektor Kehutanan
Strategi penurunan emisi didasarkan pada prinsip dasar penurunan emisi yaitu dengan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Sektor kehutanan mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui pembuatan tanaman dan pertumbuhan hutan. Selain itu, upaya-upaya untuk mengurangi laju deforestasi, kebakaran hutan serta peningkatan serapan karbon melalui pertumbuhan dan pembangunan hutan tanaman akan sangat menentukan seberapa besar potensi kehutanan dalam menyerap emisi atau meningkatkan serapan (sink).
Kegiatan sektor kehutanan yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim yang dapat dijadikan strategi dalam penurunan emisi pada prinsipnya dapat dibedakan kedalam tiga kategori utama, yaitu:
1. Konservasi karbon hutan, yaitu mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat praktek manajemen lainnya.a. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD)b. Penetapan kawasan hutan lindung/kawasan konservasic. Perbaikan teknik silvikulturd. Konservasi lahan gambut
D e s k r i p s i
2. Menambah rosot/serapan karbon melalui kegiatanaforestasi, reforestasi dan praktek pengelolaan banyak minat dari lembaga atau negara yang lainnya. Berbagai kegiatan kehutanan yang telah melaksanakan demonstration activities (DA) REDD didilaksanakan selama ini yang dapat dianggap Indonesia, sebagai pembelajaran untuk REDD. sebagai kegiatan mitigasi adalah pembangunan
Selain itu, beberapa mekanisme sukarela juga telah HTI, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, reboisasi berkembang misalnya Voluntary Carbon Standard (VCS),(penghutanan kembali kawasan hutan yang telah Community, Climate and Biodiversity Alliance (CCBA), rusak), dan penghijauan (penanaman tanaman memungkinkan untuk mendapatkan insentif dari skema tahunan di lahan milik).REDD.
3. Memanfaatkan biomas sebagai pengganti bahan Upaya pengurangan emisi dari deforestasi memerlukan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi pendekatan kebijakan internasional yang tidak akanbiomas atau secara tidak langsung melalui mengancam pembangunan ekonomi negara yang substitusi bahan yang industrinya menggunakan bersangkutan dan kehidupan masyarakat lokalnya. bahan bakar fosil.Dengan demikian negara berkembang akan terdorong
Dengan laju deforestasi tahunan yang mencapai melaksanakan upaya pengurangan emisi dari deforestasi rata-rata 1.1 juta ha, Indonesia memiliki potensi besar dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan untuk mengurangi laju deforestasi dan mendapatkan setidaknya setara dengan opportunity costs dari kompensasi. Meskipun mekanisme wajib REDD pemanfaatan lahan/hutan tersebut.belum ditetapkan, akan tetapi sampai saat ini telah
ektor kehutanan masih merupakan pengemisi gas rumah kaca atau GRK. SEmisi tersebut umumnya berasal dari
deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan. Namun disisi lain, sektor kehutanan juga mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan.
Target pemerintah Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020 perlu kebijakan dan tindakan nyata di lapangan. Oleh karena itu diperlukan strategi penurunan tingkat emisi yang didasarkan pada upaya-upaya pengurangan sumber-sumber emisi dari sektor kehutanan dan peningkatan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon.
55 56
19
Dalam usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan, diperlukan sinergitas dengan sektor-sektor lain terutama kebijakan sektor berbasis lahan yang seringkali memiliki kepentingan yang berlawanan. Kesinambungan kebijakan pengelolaan hutan dengan sektor lainnya akan sangat mendukung keberhasilan pencapaian target penurunan emisi.
TantanganPenulis : Ari WibowoUnit Kerja : Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)Email : [email protected] dan
[email protected] : Koleksi Sekretariat Badan Litbang KehutananInfo detil : Policy Brief Volume 5 Nomor 8 Tahun 2011,
www.forda-mof.org/publikasi, www.puspijak.org
Keterangan
Monograf Model-model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon
alometrik dikumpulkan dari berbagai informasi yang dimuat di jurnal ilmiah (nasional maupun internasional), dan/atau volume pohon meskipun penyebarannya laporan penelitian, laporan teknis, prosiding, skripsi, belum merata di seluruh lokasi. Sebagian besar (88%) thesis, dan disertasi. model alometrik biomassa dikembangkan untuk
menduga komponen-komponen biomassa pohon Jumlah model alometrik pohon yang dilaporkan dalam bagian atas permukaan tanah.monograf ini adalah 807 model yang mencakup 437
model alometrik untuk menduga komponen- Monograf ini juga menyajikan analisis keragaman komponen biomassa pohon dan 370 model alometrik dugaan biomassa dan volume dari model, cara untuk menduga beberapa tipe volume pohon. penggunaan model-model alometrik untuk pendugaan
biomassa pohon, identifikasi kesenjangan, dan strategi Hampir di semua tipe ekosistem hutan utama di untuk mengatasi kesenjangan tersebut.Indonesia sudah tersedia model alometrik biomassa
Monograf tentang model alometrik ini membahas model-model alometrik biomassa dan volume pohon yang sudah dikembangkan pada berbagai jenis pohon dan tipe ekosistem hutan di Indonesia.
Monograf ini bermanfaat sebagai acuan serta informasi dasar dalam sistem perhitungan karbon nasional dan pendugaan perubahan stok karbon dari aktivitas penurunan emisi GRK (misalnya: mekanisme REDD+). Lebih jauh lagi, monograf ini dapat dipakai sebagai perangkat pendukung pelaksanaan Peraturan Presiden No 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, khususnya sektor berbasis lahan.
Bentuk matematis model alometrik, parameter statistik dan informasi yang terkait dengan ukuran (diameter dan tinggi pohon), dan jumlah pohon contoh yang digunakan untuk menyusun model
ata dan informasi mengenai stok karbon dalam biomassa hutan beserta perubahannya secara Dspasial, sangat diperlukan untuk menyusun strategi
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan stok karbon hutan. Oleh karena itu, diperlukan Sistem Perhitungan Karbon Nasional yang komprehensif, kredibel dan dapat diverifikasi.
Salah satu langkah awal dalam pengembangan sistem ini adalah melakukan inventarisasi dan kajian terhadap model-model alometrik biomassa dan volume pohon agar diperoleh referensi model-model alometrik yang sesuai dengan kondisi yang spesifik di lndonesia.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menyusun Monograf “Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia”.
D e s k r i p s i
57 58
20
Mencatat diameter pohon
Gambar 1. 437 Model Alometrik Gambar 2. 370 Model Alometrik
Monograf Model-model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon
alometrik dikumpulkan dari berbagai informasi yang dimuat di jurnal ilmiah (nasional maupun internasional), dan/atau volume pohon meskipun penyebarannya laporan penelitian, laporan teknis, prosiding, skripsi, belum merata di seluruh lokasi. Sebagian besar (88%) thesis, dan disertasi. model alometrik biomassa dikembangkan untuk
menduga komponen-komponen biomassa pohon Jumlah model alometrik pohon yang dilaporkan dalam bagian atas permukaan tanah.monograf ini adalah 807 model yang mencakup 437
model alometrik untuk menduga komponen- Monograf ini juga menyajikan analisis keragaman komponen biomassa pohon dan 370 model alometrik dugaan biomassa dan volume dari model, cara untuk menduga beberapa tipe volume pohon. penggunaan model-model alometrik untuk pendugaan
biomassa pohon, identifikasi kesenjangan, dan strategi Hampir di semua tipe ekosistem hutan utama di untuk mengatasi kesenjangan tersebut.Indonesia sudah tersedia model alometrik biomassa
Monograf tentang model alometrik ini membahas model-model alometrik biomassa dan volume pohon yang sudah dikembangkan pada berbagai jenis pohon dan tipe ekosistem hutan di Indonesia.
Monograf ini bermanfaat sebagai acuan serta informasi dasar dalam sistem perhitungan karbon nasional dan pendugaan perubahan stok karbon dari aktivitas penurunan emisi GRK (misalnya: mekanisme REDD+). Lebih jauh lagi, monograf ini dapat dipakai sebagai perangkat pendukung pelaksanaan Peraturan Presiden No 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, khususnya sektor berbasis lahan.
Bentuk matematis model alometrik, parameter statistik dan informasi yang terkait dengan ukuran (diameter dan tinggi pohon), dan jumlah pohon contoh yang digunakan untuk menyusun model
ata dan informasi mengenai stok karbon dalam biomassa hutan beserta perubahannya secara Dspasial, sangat diperlukan untuk menyusun strategi
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan stok karbon hutan. Oleh karena itu, diperlukan Sistem Perhitungan Karbon Nasional yang komprehensif, kredibel dan dapat diverifikasi.
Salah satu langkah awal dalam pengembangan sistem ini adalah melakukan inventarisasi dan kajian terhadap model-model alometrik biomassa dan volume pohon agar diperoleh referensi model-model alometrik yang sesuai dengan kondisi yang spesifik di lndonesia.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menyusun Monograf “Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia”.
D e s k r i p s i
57 58
20
Mengukur diameter pohon
Gambar 1. 437 model alometrik biomassa pohon Gambar 2. 370 model alometrik volume pohon
Aplikasi
Model-model tersebut dapat diaplikasikan langsung ke data inventarisasi tegakan hutan untuk menduga biomassa dan stok karbon hutan pada suatu lokasi dengan hanya menggunakan dimensi pohon yang diukur, (Diameter setinggi dada (dbh) atau dbh dan tinggi).
Pilihan model yang akan digunakan akan menentukan tingkat akurasi dan kompleksitas metodologi yang digunakan. Informasi detil mengenai penggunaan model dapat dilihat pada Gambar 3.
Pengembangan model-model alometrik masih terbuka dan sangat dimungkinkan karena ketersediaan model-model alometrik untuk tipe ekosistem hutan alam primer dan hutan alam sekunder, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur masih sangat terbatas.
Model alometrik tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui proses pertumbuhan dan akumulasi biomassa hutan secara lebih lengkap setelah adanya aktivitas penggunaan lahan oleh manusia. Selain itu kondisi struktur vegetasi dan taksonomi jenis-jenis pohon di Indonesia bagian timur sangat berbeda akibat dipisahkan oleh garis Wallace, sehingga sangat diperlukan model-model alometrik khusus di wilayah Indonesia bagian timur.
Tantangan
Inovator : Haruni Krisnawati, Wahyu Catur Adinugroho, Rinaldi Imanudin
Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)
E-mail : [email protected] dan [email protected]
Gambar : Koleksi Haruni dkkInfo Detil : Buku Monograf Model-Model Alometrik untuk
Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia yang diterbitkan Puskonser Tahun 2012
Keterangan
59 60
D e s k r i p s i (lanjutan)
Belowground biomass Aboveground biomass
Trees
Fokus monograf
Gambar 3. Skema penggunaan model-model alometrik
DATA INVENTARISASI HUTAN(Jenis Pohon, Diameter (Dbh) dan Tinggi)
1
BIOMASSA POHON DI ATAS PERMUKAAN TANAH (kg)
Sebaran Dbh hasil
invent pada kisaran Dbh alometrik B
tsb?
Sebaran Dbh hasil invent pada
kisaran Dbh alometrik B di lokasi lain tsb?
Sebaran Dbh hasil
invent pada kisaran Dbh alometrik V
tsb?
Sebaran Dbh hasil
invent pada kisaran Dbh
alometrik V di lokasi lain tsb?
Alometrik B sesuai dengan
jenis/ekosistem di lokasi tsb?
Tersedia alometrik B lokasi lain yg sesuai dgn
lokasi tsb?
Alometrik V sesuai dengan
jenis/ekosistem di lokasi tsb?
Tersedia alometrik V lokasi lain yg sesuai dgn lokasi tsb?
GUNAKAN RUMUS
GEOMETRIKV = ¼π x D2 x
H x F
Tersedia data BEF pohon tsb?
Tersedia alometrik V di
lokasi tsb?
Tersedia data Dbh dan H
pohon?
Susun alometrik yg berpedoman
pada SNI 7725:2011
GUNAKAN ALOMETRIK B
tsbB = f (D),
B = f (D, H)
GUNAKAN ALOMETRIK B
DI LOKASI LAIN tsbB = f (D),
B = f (D, H)
GUNAKAN ALOMETRIK V
tsbV = f (D),
V = f (D,H)
GUNAKAN ALOMETRIK V
DI LOKASI LAIN tsbV= f (D),
V= f (D, H)
GUNAKAN RUMUS
B = V x WD phnx BEFphn
GUNAKAN RUMUS
B = Σ(V x WD) x BEFteg
phn
3
4
5
6
BIOMASSA TEGAKAN DI ATAS PERMUKAAN TANAH (ton/ha)
11 23 25
8 12 20 24Ya
Ya
Ya Ya
Ya Ya
Ya
Ya
Ya
Ya Ya
Tidak Tidak TidakTidak
Tidak
Tidak
Ya
TidakTidak
9 13 21 Tersedia data wood density?
15
16
10 14 22 17 18GUNAKAN
RUMUSB = V x
BCEFteg
19
Tidak Tidak
Tidak Tidak TidakTersedia model alometrik B di
lokasi tsb?
7
Ya
2
Aplikasi
Model-model tersebut dapat diaplikasikan langsung ke data inventarisasi tegakan hutan untuk menduga biomassa dan stok karbon hutan pada suatu lokasi dengan hanya menggunakan dimensi pohon yang diukur, (Diameter setinggi dada (dbh) atau dbh dan tinggi).
Pilihan model yang akan digunakan akan menentukan tingkat akurasi dan kompleksitas metodologi yang digunakan. Informasi detil mengenai penggunaan model dapat dilihat pada Gambar 3.
Pengembangan model-model alometrik masih terbuka dan sangat dimungkinkan karena ketersediaan model-model alometrik untuk tipe ekosistem hutan alam primer dan hutan alam sekunder, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur masih sangat terbatas.
Model alometrik tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui proses pertumbuhan dan akumulasi biomassa hutan secara lebih lengkap setelah adanya aktivitas penggunaan lahan oleh manusia. Selain itu kondisi struktur vegetasi dan taksonomi jenis-jenis pohon di Indonesia bagian timur sangat berbeda akibat dipisahkan oleh garis Wallace, sehingga sangat diperlukan model-model alometrik khusus di wilayah Indonesia bagian timur.
Tantangan
Peneliti : Haruni Krisnawati, Wahyu Catur Adinugroho, Rinaldi Imanudin
Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)
E-mail : [email protected] dan [email protected]
Gambar : Koleksi Haruni dkkInfo Detil : Buku Monograf Model-Model Alometrik untuk
Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia yang diterbitkan Puskonser Tahun 2012
Keterangan
Gambar 3. Skema Penggunaan Model-model Alometrik
59 60
D e s k r i p s i (lanjutan)
Belowground biomass Aboveground biomass
Trees
Biomassa pohon total