pustaka-indo.blogspot · 2018. 7. 19. · sejak kelas 1 SMA dan berpisah ketika kami memilih...

277
http://pustaka-indo.blogspot.com

Transcript of pustaka-indo.blogspot · 2018. 7. 19. · sejak kelas 1 SMA dan berpisah ketika kami memilih...

  • http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Hak cipta dilindungi undang-undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

    atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • BRIDE WANNABEChristina JuzwarSeptember 2014

    Penyunting : Fitria Sis Nariswari

    Perancang sampul : WirastutiPemeriksa aksara : Septi Ws & Fitriana

    Penata aksara : Martin Buczer & Endah AdityaDigitalisasi: Rahmat Tsani H.

    Diterbitkan oleh Penerbit Bentang

    (PT Bentang Pustaka)Anggota Ikapi

    Jln. Plemburan No. 1, Pogung Lor, RT 11, RW 48 SIA XVSleman, Yogyakarta – 55284

    Telp.: 0274 – 889248Faks: 0274 – 883753

    Surel: [email protected]://bentang.mizan.com

    http://www.bentangpustaka.com

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

    Christina JuzwarBride Wannabe/Christina Juzwar;

    penyunting, Fitria Sis Nariswari.—Yogyakarta: Bentang, 2014.ISBN 978-602-291-043-5

    1. Fiksi Indonesia. I. Judul. II. Fitria Sis Nariswari.

    899.221 3

    E-book ini didistribusikan oleh:Mizan Digital Publishing

    Gedung Ratu Prabu I Lantai 6Jln. T.B. Simatupang Kav. 20

    Jakarta 12560 - IndonesiaPhone.: +62-21-78842005

    Fax.: +62-21-78842009email: [email protected]

    website: www.mizan.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • No matter how long the distance between us.No matter how different the road that we

    take.But if in the end, we’ll still see each other.

    I will call you my soulmate.(Christina Juzwar)

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • S1

    uatu sore, kabar pernikahan datang kepadaku ketika akusedang berada di kamarku pada hari libur yang

    menyenangkan. Mataku tak lepas menatap layar laptopmeskipun tanganku sedang sibuk meraih segelas es jeruk. Dihalaman Facebook-ku sudah ada sebuah pesan yang masukdengan judul, “Surprise!”

    Ternyata dari salah seorang teman SMA-ku, Olla. Dia akanmenikah.

    Aku terkejut, senang, sekaligus terharu. Aku mengenal Ollasejak kelas 1 SMA dan berpisah ketika kami memilihuniversitas yang berbeda. Namun, pertemanan kami tetapterjalin hingga sekarang. Terkadang kami menyapa lewatFacebook, BBM, maupun SMS. Setahuku, Olla tidak pernahcerita tentang pacar-pacarnya. Kami memang dekat, tetapiuntuk hal itu, dia sangat tertutup. Jika aku bertanya siapapacarnya, dia hanya melemparkan lelucon untuk menutupinya.Begitu juga waktu SMA, Olla yang bertubuh subur—tetapiselalu dikelilingi oleh teman-teman karena periang dan baik itu—tidak pernah terdengar naksir seorang cowok terlebihpacaran.

    Aku menatap foto Olla yang tidak banyak berubah, kecualitubuhnya yang memang lebih ramping. Namun, senyum bahagiayang tercetak di wajahnya semakin membuatku terharu. Akumenatap foto calon suaminya, ternyata orang asing. Calonsuaminya berambut pirang dan bermata biru jernih.

    Sebuah cerita singkat menemani undangan pernikahan

    ~1~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • tersebut. Beginilah yang ditulisnya kepadaku. Dear, Neneng Sascha ....

    Guess what? I'm getting married! Ajaib

    enggak, sih? Percaya enggak, sih, lo? Gueaja masih enggak percaya, tetapikeajaiban terjadi di mana saja dan kapansaja, bukan? Gue sebenarnya enggakhopeless. Seperti yang lo tahu, kan,Neng? Gue enggak pernah pacaran, sampaiorangtua gue panik.

    Sampai akhirnya, karena enggak tahanmelihat nyokap gue nangis terus, guenekat ikut online dating di internet.Seperti yang gue bilang, keajaibanterjadi dan gue bertemu dengan Dean. Diaberasal dari Amerika dan gue merasa diaadalah jodoh gue, my soulmate. Gueterharu ketika dia mengajak gue menikahsetelah kami berpacaran selama dua tahun.Memang, sih, gue enggak kasih tahu lokarena gue malu dan agak sangsi denganhubungan ini. Hubungan yang berasal darionline dating, kan, takutnya bersifatsemu dan penuh kebohongan, ternyatatidak. Dean serius, bahkan sampaimengajak orangtuanya kemari!

    Gue percaya jodoh itu datang dariTuhan. Pada saat yang tepat, Dia akanmengirimkannya kepada kita. Kami akanmenikah di Amerika dan sori enggak bisaundang lo, hanya keluarga yang diajak ke

    ~2~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • sana. Lagian, gue bisa bokek bayarin loke Amerika, he he he .... But, I reallyneed your prayers, supaya semuaterlancarkan jalannya. I'll be updatingour honeymoon for the next message, ya!:)

    Miss you, Neng .... Olla

    Sudah ada setitik air di sudut mataku yang siap turun kepipi, sampai aku harus melepas kacamataku yang berminus dua.Surat yang begitu indah ditulis oleh Olla, temanku. Diamembagi kebahagiaannya dengan cara yang begitu sederhana,tetapi aku benar-benar merasakan kebahagiaannya. Mungkinkarena aku sudah mengenalnya sejak dulu dan menjadi bagiandari salah satu saksi hidupnya.

    Ternyata Olla menemukan soulmate-nya di online dating.Jarak yang terbentang begitu jauh bisa berjodoh hanya dengansebuah jaringan internet. Aku masih juga tidak percaya diantara perasaan bahagia untuknya. Karena penasaran, aku punmencoba browsing tentang online dating ini. Ternyatainformasi yang diberikan lebih memberikan pengaruh pesimisdaripada optimis. Namun, siapa yang bisa menebaknya, bukan?Dua orang terdekatku mengenal pasangannya lewat onlinedating, dan sampai sekarang masih baik-baik saja, bahkan salahsatunya akan menikah. Secara pribadi aku tidak terlalumemercayainya, tapi ada bukti nyata. And I’m happy forthem.

    Setidaknya, hubungan mereka lebih baik daripada hubunganyang sedang aku jalani.

    ~3~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • A2

    ku sedang bergelut dengan gantungan baju yangbertumpuk di gudang ketika Baby masuk melalui pintu

    depan, diiringi bunyi lonceng yang aku gantung di atas pintu.Dengan bunyi lonceng itu, kami bisa tahu ketika pelanggan atautamu masuk ke butik. Ternyata yang masuk adalah Baby. Diamasuk dengan keadaan yang tidak seperti biasanya, agak kusam,kucel, dan seperti belum mandi. Aku menyipitkan mata. Bukankarena aku sedang tidak memakai kacamata, melainkan karenakelakuan aneh Baby. She’s so ... gloomy.

    Aku memandangnya dari balik kacamataku dengan sedikitcuriga. Kepalaku yang muncul dari dalam gudang mengikutilangkah Baby. Sepertinya, ia pun menyadari apa yang akulakukan. Namun, Baby hanya merespons dengan lambaiantangan yang sedikit malas kepadaku.

    Baby berjalan menuju meja kasir. Entah apa yangdiinginkannya, tetapi terlihat ia sedang mengubek-ubek lemariyang terletak tepat di bawah meja kasir. Aku kembalimemasukkan kepalaku ke gudang untuk membereskangantungan baju yang banyaknya melebihi tumpukan sampah ditempat pembuangan akhir, yang rasanya sedari tadi tidak jugaberes dan rapi.

    Pagi tadi begitu datang, aku mengecek barang-barang digudang besar dan merapikannya sedikit. Aku hampir sajamengamuk ketika membuka salah satu pintu gudang kecil yangtepat bersebelahan dengan gudang besar dan mendapati semuagantungan baju berhamburan seperti salju yang langsung

    ~4~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • mengubur kakiku. Aku bertanya kepada salah seorangpegawaiku yang kebetulan memang masuk pagi ini, Dini, tetapiia tidak tahu-menahu mengenai keadaan ini. Sesudah itu, akutidak bisa bertanya kepada siapa pun karena memang tidak adaorang yang bisa ditanyai. Mau tak mau aku harusmembereskannya. Great, kerjaan bertambah.

    Pada usia yang ke-28 tahun ini, sebenarnya aku merasasangat beruntung. Ketika aku hendak membebaskan diri darijam kantor yang membuat otak serasa beku dan buntu, sertamembuat efek keterbelakangan mental karena bos egois yangbisa mengubah perintah dan delegasi tugas dalam hitungandetik, Baby, adik sepupuku yang hanya beda umur dalamhitungan bulan, memberikan pencerahan bagaikan matahariyang bersinar pada malam hari.

    Akhirnya, sebuah butik yang dua tahun lalu aku dirikanbersama Baby cukup membuat bangga dan lega karena bisaterlepas dari atmosfer kerja nine to five yang membosankan.Bermodalkan tempat yang lumayan strategis di daerah Kemang,kemampuan Baby dalam desain grafis dan kecintaannya padafashion menjadi nilai tambah berkali-kali lipat untukmewujudkan keinginanku dan Baby: mendirikan butik impiankami.

    Selesai membereskan gantungan baju, aku kembali menengokke meja kasir, tetapi tidak mendapati sosok Baby di sana. Akumulai mencarinya, tapi yang aku lihat hanyalah dua pegawaikuyang sedang bersiap untuk membuka butik. Aku naik ke Lantai2 di bagian pakaian dalam, tas, sepatu, dan aksesori. Di sanaterdapat sofa merah yang besar dan empuk yang biasanyamenjadi tempat mengusir lelah dan bersantai. Tempat inipulalah yang menjadi tempat beristirahat buat aku dan Baby

    ~5~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • untuk mengobrol setelah butik tutup pada malam hari. Obrolankami beragam, mulai dari urusan butik, urusan gaul, hinggaurusan pria.

    Benar saja, aku mendapati Baby sedang terduduk lesu. Iamenggenggam ponsel kesayangannya yang bersarung hijauterang dan seperti sedang mengetik sesuatu, tetapi mulutnyamanyun. Aku mengempaskan diri di sebelahnya danmenyebabkan badan Baby sedikit terguncang. Dia cumamelirikku sesaat, lalu kembali asyik dengan ponselnya.

    Aku diam dan menunggu. Jam yang terpasang di dindingsudah menunjukkan pukul 8.30 pagi. Aku tetap menunggu Babyberbicara. Kakiku bergoyang-goyang mengikuti irama laguRihanna yang terdengar sayup-sayup dari bawah. Biasanya untuksepagi ini, musik memang tidak terpasang hingga ke lantai atas.

    Sekarang posisi duduk Baby semakin merosot. Ia melemparponselnya ke dalam tas yang tergeletak di bawah kakinya.

    “Kusam amat, sih, lo,” sapaku sambil tetap mengikuti irama

    lagu Rihanna dengan melodi yang sedikit mengentak. Babymelirikku malas. “Daripada lo. Udah kayak abis tidur dua haridi gudang.”

    Aku segera berkaca pada salah satu cermin besar yangkebetulan terpasang di sana. Benar yang dikatakan Baby. Akumengusap keningku yang agak lebar dengan tisu dari kantongcelana jeans, juga pipiku yang ada freckles cokelat samar yangberminyak. Aku lihat juga ada sedikit noda debu di dagukuyang dihiasi tahi lalat kecil. Aku turut menghapusnya.Rambutku yang sebahu berpotongan shaggy sudah terikat acak,dan aku tidak berminat untuk menyisirnya sampai detik ini.I’m a mess.

    Baiklah, jangan berharap setelah berjam-jam di gudang,penampilan masih akan tetap rapi. Namun, aku tidak peduli.Aku memang tidak terlalu memedulikan penampilanku.

    ~6~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Kebalikan dari aku, Baby sangat girly, mungkin sejak diabaru lahir. Bisa saja begitu keluar dari kandungan ibunya, diasudah memakai lipstik, atau sewaktu hamil Baby, ibunyamengidam lipstik. Secara natural, dia memang terlahir sebagaiseorang perempuan yang feminin. Dia adalah tipe perempuanyang sebagian besar pria akan bersedia menjadi pacarnya danakan jatuh cinta sejak kali pertama melihatnya. Rambutpanjangnya ikal sempurna, riasan selalu menempel di wajah,dan ratusan sepatu dengan hak minimal lima sentimeter yangmenemani langkah kakinya secara bergantian selalu terawatdengan baik di setiap transparant box.

    “Urusan gue udah beres di gudang, berikutnya giliran lo.Gue udah capek bergelut dengan gantungan baju.”

    “Emang kenapa gantungannya?”“Gantungan baju berantakan sekali. Begitu gue buka pintu

    gudang baju-baju itu langsung jatuh,” ungkapku dengan napasberat.

    Baby mengangkat bahunya. “Iya, gue tahu. Semalam guemalas beresinnya.”

    Akhirnya, aku tahu siapa yang membuat gantungan bajutersebut berantakan. “Oh, jadi lo yang membuat gantungan-gantungan itu berantakan?” kataku sambil mendengus sedikitkesal.

    “Ada urusan yang lebih penting ketimbang ngurusingantungan baju. Hidup gue aja seruwet gantungan baju itu,”oceh Baby asal. Tak seperti biasanya. Pasti Baby sedang adamasalah.

    “Lo kenapa, sih? Bete amat.”“Hidup itu memang penuh kebetean, hidup bete!” sahutnya

    sewot.Aku tertawa mendengarnya. Aku pun mengubah posisi

    duduk menghadap kanan sehingga bisa berhadapan dengansepupuku yang lagi suntuk ini. Aku mengacak-acak rambutnya

    ~7~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • hingga membuatnya belingsatan, “Jangan dong, Cha ….”“Makanya, kalau hangout, jam dua harus pulang, tidur dan

    istirahat. Biarpun bete, bisa seger lagi dan selanjutnya bisaberpikir yang jernih.”

    “Kayak nenek-nenek nasihatnya. Perasaan dulu Oma enggaksebawel lo, deh,” gerutunya asal.

    “Dinasihati malah begitu,” gerutuku. Baby hendak berdiri,tetapi aku menahannya hingga ia terjatuh lagi di sofa.

    “Apa-apaan sih, Cha?” omel Baby dengan mata mendelik.“Cerita dulu, kenapa lo bisa sampai begini? Hangout,

    enggak pulang, dan datang ke sini dalam keadaan berantakan?”Baby mengaduk-aduk tasnya dan menemukan sebuah ikat

    rambut, kemudian mengikat rambutnya membentuk cepol dipuncak kepala. “Males, Cha, ceritanya.”

    “Tumben,” sahutku dengan santai. “Biasanya lo enggakditanya juga cerita kayak ember bocor.”

    Yang membuatku heran, Baby tidak tertawa ataupun marah,ia malah menggigiti kukunya perlahan. Pandangannyamenerawang, mungkin kembali lagi ke tempat hangout-nyasemalam. Aku memperhatikannya dengan saksama. Matanyayang menerawang mulai berkaca-kaca. Aku panik.

    “Hei, ada apa, sih?” tanyaku, kali ini dengan serius karenasepertinya Baby bakalan menangis kencang.

    Baby menggeleng, berusaha menghapus air matanya yangmulai mengambang di pelupuk mata dengan mengedipkanmatanya. Namun, sepertinya tidak berhasil. Dugaanku benar.Air mata mulai turun di pipinya.

    “Gue berantem sama William kemarin. Dia ninggalin guebegitu aja. Sebel!”

    Aku berusaha mencerna kata-katanya. William? Aku masihmempertanyakan nama itu dalam hati.

    “Tunggu … tunggu … William??? Dia ada di sini? Kok bisa?Kapan datangnya?” aku bertanya kepada Baby bertubi-tubi. Baby

    ~8~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • menarik napas panjang dan membuangnya keras-keras. “Willdatang kemarin sore. Kami bertemu di apartemennya ....”

    “Dia punya apartemen di sini?” potongku dengan gemas.

    Kenapa Baby tidak memberitahuku apa-apa? Apakah ini sebuahrahasia yang tidak pantas aku ketahui?

    “Lo mau dengar apa enggak, sih, Cha? Jangan potong ceritague, dong.”

    “Iya …. Iya ....” Aku mengangkat tanganku pertanda akuakan diam. Biarlah semua rasa penasaranku tetap menjadirahasia. Mungkin buat Baby tidak terlalu penting untukdiceritakan.

    Baby pun melanjutkan, “Lalu kami pergi hangout, ramai-ramai dengan teman-teman kuliah gue. Sesampainya di sana,ada teman kuliah gue juga, cowok yang dari dulu ngejar-ngejargue, deketin gue terus. Meskipun gue udah menyingkir danmenolaknya, orang itu enggak kapok. Will melihat itu semuadan dia marah. Gue ditinggal pulang.”

    Baby berhenti dengan ceritanya. Aku menunggu.“That’s all?”Baby melirikku tajam. “Lo mau dengar apa? Gue putus,

    gitu?”Aku tidak menghiraukan kata-kata judesnya. “Ya, enggak

    kali. Terus lo udah bicara lagi belum?”“Dia enggak mau bicara sama gue.”“Datang ke apartemennya?”“Udah, tapi dia enggak ada. Enggak tahu ke mana.”Hening lagi. Baby dan aku sama-sama berpikir. “Sudahlah,

    Beb, nanti dia juga akan bicara lagi sama lo. Dia, kan, sebatangkara di sini, pasti bakal cari lo juga.”

    “Siapa bilang dia sebatang kara? Temannya banyak, kok, disini.”

    ~9~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Aku berdiri dan merenggangkan pinggangku denganmemutarkannya ke kanan dan ke kiri. “Terserah, deh. Willpasti akan menghubungi lo, Dear. Sekarang lo mandi dulu, biarsegar.”

    Aku berjalan menuruni tangga dengan santai. Babymengekoriku dengan langkah yang malas. Waktu sudahmenunjukkan pukul 10.00 pagi. Pengunjung pertama telahdatang dan masuk, terbukti dengan bunyi bel di pintu depan.Aku melihat sekeliling untuk memastikan segala sesuatunyasudah beres, lalu menunggu Baby selesai mandi.

    Pada saat menunggu, aku mencoba untuk menghubungi Ben,pacarku, tapi hingga deringan kesepuluh, tidak diangkat juga.Sudah seminggu ini aku belum bertemu dengan Ben karenakesibukannya di kantor. Dia sedang ada proyek besar yangmengharuskannya selalu berhubungan dengan kantor pusatnyadi Chicago, Amerika Serikat. Sebulan sekali ia harus pergi kesana selama satu minggu.

    Setelah beberapa kali mengulangi sambungan teleponku, akupun menyerah karena tetap tak diangkat olehnya. Akumeletakkan ponselku di dekat meja kasir dengan kesal. Padasaat yang bersamaan, Baby selesai mandi. Ia terlihat lebih segardibandingkan 15 menit yang lalu. Bukan itu saja, wajahnya jugaterlihat lebih cerah. Senyuman sudah tampak di wajahnya.Tidak ada lagi mulut yang manyun.

    “Lo bener, Cha. Will barusan telepon, dia malah yang mintamaaf,” ujar Baby sambil tersenyum lega.

    Perkataan Baby terputus ketika salah seorang pegawaikumenghampiri kami dengan membawa bunga hasil pesanan daritoko bunga langgananku untuk menghiasi butik. Ah, sudahdatang, tepat waktu pula!

    “Mau ditaruh di mana, Mbak Sascha?”“Taruh dulu di meja belakang kasir, nanti biar saya yang atur

    tempat untuk menatanya.”

    ~10~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Aku kembali memandang Baby dan tersenyum penuhkemenangan. “Tuh, kan, gue bilang apa.”

    “Siang ini dia mau ke sini, mau ngajak gue special lunch.”Matanya menerawang senang.

    “Cie .... Special lunch.” Aku melirik Baby dengan kerlinganyang kubuat-buat dan membuat Baby melirik sadis karenaledekanku yang agak norak. “Ya sudah, asal pekerjaandiselesaikan dulu, ya. Kita mulai saja, deh, sekarang. Semakincepat semakin baik,” kataku sambil menunjuk pembukuan yangsudah kubawa untuk segera dikerjakan.

    “Yes, Mam!” serunya dengan memberi tanda hormat.Aku menoleh ke sana kemari. “Lo cari apa?” tanya Baby.“Kacamata gue.”Baby memutar bola matanya. Dia sudah ilfil dengan

    keteledoranku, terutama soal kacamata. Aku masuk ke ruangkerjaku yang mungil, tidak ada. Kemudian, aku mendengarBaby berteriak, “Nih! Ada di sofa, nenek pikun!”

    Aku tertawa dan segera menyusulnya ke atas.

    Ketika kami sedang mengerjakan pembukuan itu, tiba-tiba akuteringat sesuatu dan menghentikan kegiatanku.

    “Beb, lo masih ingat teman SMA gue, Olla?”Baby mengerutkan keningnya dan berpikir. Kemudian, ia

    menyahut, “Kayaknya masih ingat, deh. Yang gemuk itu, kan?”Aku mengangguk. “Dia mau married.”“Oh, ya? Wow! Congratulation! Kalau enggak salah, dulu lo

    pernah cerita, dia enggak pernah punya pacar sama sekali?”“Dan, lo tahu Olla dan calon suaminya ketemu di mana?”Baby menggeleng.

    ~11~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • “Di online dating! Hanya dua tahun kenalan terusmenikah.”

    Mata Baby terbelalak. Bulu matanya seketika naik semua.“Really? Ternyata bukan hanya gue, ya, yang ketemu pasangandi online, malah hubungan mereka berhasil sampai menikah!Again, congrats! Ini membuktikan kalau lo bisa mendapatkanjodoh di mana saja, termasuk di dunia maya. DI INTERNET,”Baby menegaskan kata-katanya yang terakhir.

    Aku tahu Baby sengaja menyindirku karena dia memangtahu bahwa aku selalu berkata dan berasumsi bahwa dunia mayatidaklah seramah yang kita pikirkan. “Ya, tetapi persentasenya,kan, lebih banyak yang gagal dibandingkan yang berhasil,”ledekku.

    “Yes, tetapi jangan mengecilkan kemungkinannya, dong.”Baby masih mempertahankan argumennya. “Bukan masalahtempat ketemunya, tetapi ikatan batin dan kecocokannya yanglebih penting,” Baby menambahi pendapatnya.

    “Iya, deh, Miss Cupid Online,” ledekku.“Eh, seharusnya bikin lo tambah miris, kan, Olla ketemu

    jodoh di online, pacaran dua tahun dan menikah. Lo? Ketemudi dunia nyata, tetapi pacaran delapan tahun kayak cicak yangmerayap,” ledek Baby dengan kejam sambil tertawa terbahak-bahak.

    “Sialan!” gerutuku.Meskipun aku tahu Baby hanya bercanda dengan lelucon

    tentang kenyataan hubungan pacaranku, tapi perkataannyamembangkitkan lagi pertanyaan yang sudah sering kali timbultenggelam di dalam hati dan pikiranku. Kapan, ya, akumempunyai kabar gembira yang akan aku sampaikan kepadaorang-orang terdekatku bahwa aku akan menikah?

    Setelah beberapa saat kami tenggelam dalam angka danhitungan yang bikin mabuk, Baby mengangkat kepalanya. “Loharus tanya ke Ben.”

    ~12~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Aku ikut mengangkat kepalaku.“Tanya apaan?”“Kejelasan hubungan kalian.”Aku melepas kacamataku dan menatap Baby, yang wajahnya

    lebih serius daripada biasanya. “Lo ngomong begitu karenaenggak enak sama gue, ya? Beb, I’m fine.”

    “No, you are not. Gue tahu pasti, hati lo mengganjal. Loudah kayak kembaran gue, so I feel you.”

    Aku tertawa. Baby berkata lagi, “Sudah waktunya lo tegas.Gue yakin banget Ben enggak akan bergerak sama sekali,kecuali lo duluan.”

    Aku meresapi kata-katanya. Tak lama, aku melihat Babymencabut selembar sticky note, dan mulai menulis sesuatu.

    Ia menyodorkannya kepadaku.Aku mengambilnya. “Apaan, sih?” Lalu, aku tertawa kecil.

    “Gue masih belum butuh ini, Beb.”“In case ....” Baby mengangkat telunjuknya. “Kalau ada apa-

    apa. Online dating bisa jadi alternatif lo.”“Gue masih pacaran sama Ben, Beb!”“Iya, gue tahu. Tapi, menggantung, kan? Lo tahu gue benci

    banget Ben melakukan itu sama lo. Delapan tahun itu bukanwaktu yang sebentar, Cha. Pokoknya simpan dulu kertas itu, itusemua situs web online dating yang tepercaya menurut gue.Tapi, lo harus jaga-jaga juga. Enggak semua orang berniatbaik.”

    Aku mencibir mendengarnya. “See? Lo yang ngomongsendiri, lho.”

    Baby mencubit lenganku. “Gue, kan, bilang enggak semuaorang. Pasti ada juga yang baik, Cha! Hilangkan, tuh, pikirannegatif.”

    “Gue hanya coba untuk realistis, Beb.” Aku melipat kertastersebut. “Gue simpan dulu, ya.”

    ~13~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • “Pokoknya kalo lo udah putus dari Ben, ingat kertas itu.Ingat gue!”

    “Iya deh, Bu. Iya.”

    ~14~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • U3

    ntungnya pembukuan Butik Darling tidak memakanwaktu yang lama. Aku mengembuskan napas lega ketika

    akhirnya sudah selesai. Baby mengangkat tangannya tinggi-tinggiuntuk melonggarkan otot-otot yang terasa kaku. Tak lamakemudian, ponselnya berdering. Ia pun girang setengah mati. Iamenjawab telepon yang masuk sambil menyingkir darihadapanku.

    Aku menyibukkan diri dengan menata bunga yang tadi barudatang. Sepertinya, aku ingin memindahkannya ke atas karenadi lantai bawah sudah ada karangan bunga yang aku pesanbeberapa hari yang lalu. Aku membawanya ke atas dan aku puasmelihat betapa cantiknya bunga lili yang aku pesan untuk kaliini.

    Aku pencinta bunga.Jangan salah, meskipun penampilanku tak sekeren Baby,

    tetapi aku masih mempunyai aura feminin. Aku suka sekalidengan bunga. Bagiku, bunga adalah salah satu makhluk hiduppaling cantik yang ada di dunia ini. Dari sekian banyak bunga,favoritku adalah mawar dan lili. Aku memilih bunga mawarkarena mempunyai bentuk yang glamor dengan warna–warnaatraktif. Mawar adalah bunga yang feminin dan identik denganperasaan romantis.

    Sementara itu, bunga lili mempunyai bentuk yang simpel,tetapi indah. Kelopaknya tidak banyak, tetapi terlihat kokoh.Bagiku bunga lili melambangkan kekuatan. Semacam jugafilosofi bahwa terkadang wanita dianggap lemah, tetapi

    ~15~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • sebenarnya wanita juga mempunyai kekuatan yang tak bisadianggap remeh.

    Berbicara tentang butik, ternyata banyak orang yang takpercaya ketika aku hendak mendirikan butik. Memang, sih,penampilanku tidak terlalu mendukung. Aku tidak modis,santai, dan jauh dari kesan glamor. Malah beberapa orangmenyangsikan diriku. “Sascha? Mau punya butik? Enggak salah,tuh?” Begitulah komentar beberapa orang ketika kusampaikanmaksudku untuk membuka butik.

    Please, don’t jugde a book by its cover. Aku punya passionyang besar di butik ini. Bukan dalam pakaian, aksesori, ataupernak-pernik cantik lainnya, mungkin itu bagian Baby. Akupunya passion yang besar dalam hal mengembangkan bisnisbutik ini. Aku ingin sekali mempunyai beberapa butik sepertiini yang selalu ramai dikunjungi banyak orang dan menuaikeuntungan yang besar. Dalam impianku, butik ini akanbercabang-cabang seperti dahan pohon. Sebenarnya, aku inginsekali mempunyai toko bunga. Namun, rasanya untuk sekarangini, mimpi itu masih harus aku tunda. Mungkin nanti bisaterwujud. Entah kapan.

    Dari kejauhan, aku masih memperhatikan gerak-gerik Baby. Iamenyandarkan diri di tembok, sesekali memainkan rambutnya,dan tertawa malu-malu. Aku tersenyum melihat sosok Baby yangsedang jatuh cinta. Sekelilingnya menjadi terlihat begitu indahdan romantis. Kemudian, aku tertegun menatapnya seolah tidakpercaya. Baby terlihat begitu cantik. Ternyata jatuh cinta jugamampu membuat seluruh wajahnya berbinar cantik penuhkebahagiaan.

    Aku pun berkata kepada diriku sendiri, kapan kali terakhiraku merasakan jatuh cinta yang begitu indah? Aku sendiri sudah

    ~16~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • lupa karena aku sudah bersama Ben sejak delapan tahun yanglalu. Rasanya, itulah kali terakhir aku mengalami dan merasakanjatuh cinta.

    “Cha! Elo lagi ngelamunin apa, sih? Gue pergi dulu, ya! Willudah jemput di depan, bye!” teriak Baby yang membangunkanlamunanku. Aku hanya melambai hingga pintu butik tertutupdengan agak kencang karena Baby pergi dengan terburu-buru.

    Butik sudah tutup pada pukul 7.00 malam. Aku memutuskanuntuk tidak pulang tepat waktu malam ini karena akanmembereskan ruangan kerjaku yang mungil, tetapi sungguhberantakan. Pegawaiku akan pulang pada pukul 8.00 malamketika mereka telah menyelesaikan semuanya, termasukmembereskan dan membersihkan butik. Menyapu danmengepel adalah agenda yang harus mereka kerjakan sebelumpulang.

    Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8.00 malam, merekapamit pulang, bersamaan denganku yang sudah selesaimembereskan isi ruangan kerjaku. Aku naik ke Lantai 2 danduduk di sofa merah, melepas kacamataku yang bertengger dihidungku, kemudian melemparkannya begitu saja.

    Baru saja aku duduk beberapa menit di sofa tersebut, tiba-tiba pintu butik berdenting cukup keras dan membuatkuterlonjak. Seharusnya, sudah tidak ada pelanggan malam-malambegini karena aku sudah memasang tanda CLOSED di pintu.Aku menyesali diriku yang lupa untuk menguncinya. Tak lamaterdengar suara yang sudah sangat kukenal, “Cha? Kamu ada diatas?”

    Aku pun mengembuskan napas lega. Ternyata Ben. Kenapadia tidak bilang jika ingin datang ke sini? Aku pun buru-burumembereskan rambutku yang sudah awut-awutan dan turun kebawah.

    “Aku di sini.”“Hei, Dear, sori tentang telepon tadi siang. Aku sedang

    ~17~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • conference meeting dengan kantor pusat, jadi aku tidak bisamengangkatnya.”

    Jadi, dia tahu aku meneleponnya? Namun, mengapatidak meneleponku kembali? Hatiku bertanya-tanya, merasajanggal.

    “Aku juga tidak bisa meneleponmu balik karena aku haruspergi ke tempat klien di Pondok Indah. Aku baru pulang darisana.”

    Aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban ataspertanyaan hatiku meskipun aku tidak merasa puas. Ben terlihatmondar-mandir di dalam butik dengan memegang ponsel,terlihat sibuk mengirimkan SMS atau semacamnya. Aku hanyabisa memperhatikannya. Tak lama, ia pun tersadar dan segeramenyimpan ponselnya di saku celana.

    “Udahan urusan kantornya?”“Udah. Maaf, ya, Cha. Belakangan ini pekerjaan di kantor

    benar-benar menyita waktu. Eh, kita dinner, yuk. Mau, kan?”Aku tersenyum. “Tapi, aku yang milih tempatnya, ya,”

    kataku. Aku mengambil tasku di bawah meja kasir. Kemudian,aku teringat sesuatu.

    “Mau ke mana?” tanya Ben bingung melihatku naik ke ataslagi.

    “Kacamataku ketinggalan.” Aku mencari-carinya dan berhasilmenemukannya. Setelah itu, aku turun kembali, mematikansemua lampu dan membiarkan tanganku digandeng olehnya.

    Jika melihat Ben dan aku berjalan berdampingan, kamiseperti saudara saja. Tidak heran banyak orang yang mengirakami adik dan kakak. Kami sama-sama berkacamata, meski akujarang memakainya, dan sama-sama mempunyai profil tubuhyang ramping. Wajah kami putih, lonjong, tetapi tulang pipiBen lebih bagus dan lebih keras. Senyum satu sisi yang menjadiciri khas kami berdua, lesung pipit kami sama, yaitu di sebelahkiri.

    ~18~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Akan tetapi, di antara persamaan yang kami miliki, tetap adaperbedaannya. Mataku kecil khas oriental dengan alis yang tipisjuga. Mata Ben juga kecil, tetapi tidak sesipit milikku. Alisnyayang tebal membuat mata Ben jadi setajam elang. Hidungkukecil, sangat berbeda dengan hidung Ben yang mancung. Satulagi perbedaannya, yaitu sifat kami. Ben lebih serius danhidupnya sangat teratur jika dibandingkan aku yang sukabercanda, gampang lupa, dan gampang panik. Kami juga tidaktahu bagaimana kami bisa memiliki chemistry dan bisa bersatuselama delapan tahun ini.

    Aku sering sekali ditanya apakah aku tidak bosan denganhubungan yang panjang dan lama ini. Tentu saja bosan. Akudan Ben bukan robot. Dulu, kami punya cara praktis untukmengakali semuanya. Kami membuat peraturan untuk tidakbertemu selama satu minggu. Sebagai penggantinya, kamimeluangkan waktu bersama teman-teman yang lain, atauberaktivitas yang lainnya. Hingga salah satu dari kami akanmenelepon, artinya kami sudah tidak bosan lagi.

    Akan tetapi, seperti yang aku katakan, itu dulu. Sekarang,sejak Ben sibuk dengan pekerjaan dan jabatan baru dikantornya sebagai marketing manager untuk produk baju danjas dari luar negeri, rasanya cara praktis itu sudah tidakberpengaruh lagi. Terkadang aku dan Ben bisa tidak bertemuselama dua minggu, bahkan sebulan. Ben juga mulai jarangmenelepon.

    Jika menelepon, itu pun tak sampai lima menit, dan yangdiceritakan tentu saja pekerjaannya, bukan menanyakankabarku. Aku selalu protes akan hal ini. Namun, ketika akumeributkan hal ini, Ben pasti lebih bisa berargumen karena iapintar berbicara dan berkelit. Hasilnya? Yang pasti aku kalahdan dia menang. Ia akan memenangkan pekerjaannya.

    “Kenapa, sih, lo enggak nikah aja, Cha?” Suatu saat ketikamasa pacaranku memasuki tahun keenam, Baby mengajukanpertanyaan yang sebenarnya sudah aku tunggu-tunggu akan

    ~19~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • keluar dari mulut Ben. Namun, sayang, sampai sekarang takkunjung aku dengar juga. Pertanyaan Baby tersebut membuatkusangat keki, kenapa keluarnya harus dari mulut Baby?Memangnya dia yang akan menikahiku?

    Memang, sih, di usiaku sekarang ini, apalagi dengan masapacaran yang cukup lama, tidak mustahil bagiku dan Ben untukmenikah. Sama-sama sudah matang, sudah mempunyaipekerjaan yang mapan, dan Ben sudah mempunyai rumah darihasil kerja kerasnya.

    Apa lagi yang ditunggu? Mama sudah menyindir-nyindir akudari sindiran yang superhalus hingga pertanyaan blakblakan,begitu juga Baby dan semua orang yang aku kenal. Namun, bisaditebak, tidak pernah satu kali pun Ben mengajukannyakepadaku, menanyakannya, terlebih memberi kejutan denganberlutut di hadapanku. Nol besar.

    Sudah berkali-kali juga aku menyindirnya. Sekarang akusudah sampai pada satu titik yang pada akhirnya aku capek,hanya diam, dan menunggu, tetapi hatiku memberontak terus.

    Ketika kami sudah berada di mobil menuju ke RestoranDakken di Kemang selatan, ponsel Ben berbunyi. Benmengangkatnya dan terlibat pembicaraan yang serius denganseseorang, yang kemungkinan besar dari kantornya. Aku tahukarena nada suara Ben yang berbeda.

    “Kenapa bisa seperti itu? Bukannya semua berkas sudahselesai dan terkirim?”

    Ben diam mendengarkan penjelasan dari lawan bicaranya.Aku melirik untuk melihat raut wajah Ben yang sedikit tegangdan kesal.

    “Kalau memang ada tambahan, harus direvisi ulang semuabujet yang sudah kita ajukan.”

    Ben terdiam lagi, kemudian ia berkata, “Baik, saya akan kesana.” Lalu, Ben menutup teleponnya, dan ia menatapku.“Dear, maaf, aku harus antar kamu pulang sekarang.”

    ~20~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • “Kok, pulang?” Aku mengerutkan keningku. “Kita, kan, maudinner.”

    Ben memutar haluan mobilnya menuju ke rumahku. “Adaurusan kantor yang sangat mendadak. Ternyata kantor pusatmeminta perhitungan bujet yang baru. Aku janji akan gantikanmakan malam ini secepatnya, ya.”

    Again. Cancelled. Mendadak mood-ku langsung terjunbebas ke sebuah lubang yang tak berujung, sebuah lubang yangsama yang sering aku lewati. Sudah keberapa puluh kalinya Benmembatalkan janji seperti ini. Suatu waktu, Ben membatalkanjanji pada menit terakhir ketika aku sudah menunggu satu jamdi sebuah restoran yang kami sepakati.

    Pada hari lain, Ben pernah tidak hadir di undangan ulangtahun mamaku dan dia tidak memberikan kabar sama sekali.Dia berdalih sudah meneleponku, tapi ponselku mati. Dan, diajustru terbang ke Singapura karena ada meeting mendadak.Semua itu terjadi karena satu hal: pekerjaan Ben.

    “Rasanya aku udah biasa dengan situasi seperti ini,” akuberkata dengan sangat sinis, berusaha menyindirnya.

    “Gimana kalau besok siang aku datang ke butik?” Ben masihmencoba mencari solusi untuk pembatalan malam ini. Tetapi,aku sudah tidak terlalu peduli dan enggan untukmendengarkannya.

    “Enggak bisa. Memangnya yang punya kerjaan—yang kamujunjung selangit itu cuma kamu saja?” sahutku ketus.

    Ben menarik napas panjang. Dia merasakan keketusanku.“Cha, aku, kan, sudah minta maaf. Ini sangat penting ....”

    Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan ucapan Ben.“Terserah.”

    Mobil Ben sudah berhenti di depan rumahku. “Aku teleponnanti, ya.”

    Aku tidak menyahut. Aku membanting pintu mobilnyadengan keras karena emosi yang terlalu menyesakkan dada.

    ~21~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Lalu, segera masuk ke rumah dan bergegas mandi. Mandicukup bisa membantuku untuk menghilangkan penat. Baru sajaselesai mengeringkan rambut, ponselku berbunyi. Akumembaca nama yang tercantum di layar, Baby. Padahal, akusedang malas berbicara. Dengan supertega, aku mematikansambungannya. Tak lama, Baby menelepon lagi. Akumendengus kesal sambil menekan tombol end di ponselku. Barubeberapa detik, ia menelepon lagi.

    “Apa???” sahutku dengan galak.“Kok, dimatiin terus, sih, telepon gue?”“Lo bisa lihat jam enggak?”“Bisa, setengah sepuluh, kan?” jawabnya dengan polos. “Gue

    ada kabar gembira!” serunya dengan semangat.“Aduh, enggak bisa tunggu sampai besok? Besok aja ketemu

    di butik, gue lagi enggak mood, nih!” Aku pura-pura menguap.Aku benar-benar tidak ingin mendengar kabar gembira yangakan Baby sampaikan ketika aku sedang tidak merasakankegembiraan apa pun.

    “Jangan gitu, dong, Cha. Dengerin gue dulu, gue janjienggak lama-lama, cerita selengkapnya akan gue ceritain besok,”rajuk Baby. “Please?”

    Aku menyerah. “Ya ... ya … udah apaan?”“Tahan napas, ya .... Gue dilamar Will,” dia berkata sambil

    menahan napasnya dengan gembira. Sepertinya, dia sedangmenahan diri untuk tidak menjerit-jerit.

    “APA???” aku menjerit hingga hampir terguling dari tempattidur.

    “Aduh, jangan teriak gitu, dong! Will yang ada di sebelah guesampai dengar suara lo.”

    “Lo … lo di ....” aku tergagap.“Iya, gue dilamar Will!” serunya dengan gembira.“Oh.” Seperti kertas yang terkena air, detik itu juga tubuhku

    langsung lemas. Great! Kenapa tidak sekalian saja semua orang

    ~22~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • di dunia ini memberitahuku kabar gembira yang mereka miliki?Mungkin bagi Baby itu adalah kabar gembira, tetapi untukku….

    “Reaksi lo, kok, standar banget, sih?” omel Baby.Aku mencoba tersenyum meskipun hambar. Toh, Baby tidak

    bisa melihatnya. “Enggak, gue kaget aja. Selamat, ya, Beb, I’mso happy for you.”

    “Iya, Cha. Thanks, ya.”“Memangnya udah lo jawab?”“Sudah dong,” sahutnya ceria.Telepon dari Baby tadi membuatku kembali termenung.

    Hatiku rasanya begitu kosong dan sungguh nelangsa mengingatbahwa Baby dan Will yang baru berpacaran dalam hitunganbulan, bahkan belum mencapai satu tahun sudah beranimemutuskan untuk menikah. Sangat sukar dipercaya. Merekabertemu saja jarang, tetapi apa yang terjadi? Ternyata merekaberhasil menjaga hubungan tersebut, malah sudah akanmelangkah ke satu jenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan.

    Ini adalah kabar bahagia kedua yang aku dengar dari keduaorang terdekatku. Mereka sama-sama bertemu di online, yangibaratnya lautan yang penuh dengan ikan hiu, tetapi merekaberhasil melewatinya dan akan menikah. Sementara aku?

    Wajahku memerah ketika terlintas hubunganku dengan Bendalam benak. Dadaku terasa sesak dan aku malu dengan dirikumengingat hubunganku dengan Ben yang rasanya sudah seabad,tetapi masih saja jalan di tempat.

    Sejujurnya, aku sudah muak dengan semua ini. Rasanyasangat tidak adil. Dengan kabar bahagia yang diembuskan olehBaby, kenyataan pahit sudah tertoreh dengan tinta tebal dikeningku. Ia akan menikah, sedangkan nasibku masih tidakjelas.

    Bukannya aku tidak bahagia dengan hubunganku denganBen, aku ingat bahwa aku PERNAH bahagia. Pernah, aku

    ~23~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • memikirkan kata yang mengandung makna masa lampau itu.Sikap dan kecintaan Ben pada pekerjaannyalah yang membuatrasa itu semakin luntur. Aku sungguh lelah.

    ~24~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • T4

    “erjadi begitu saja, Cha. Kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba saja Will diam dan memandangi gue. Tatapannya

    dalam banget. Sebenarnya, gue agak-agak ngeri gitu, soalnya gueenggak pernah melihat Will segitu seriusnya. Sampai akhirnyaWill malah ngomong, ‘I cannot imagine to spend the rest ofmy life without you, Baby. Will you marry me?’”

    Aku langsung menghentikan kegiatanku dan menatap Babyseolah ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Planet Mars.Kacamataku sampai melorot. “Apa? William ngomong kayakgitu? How come? Gue enggak pernah tahu kalau Will sangatromantis and able to say those ... you know ... words.”

    “I know!” pekik Baby dengan raut wajah yang masih sukarmemercayainya. Aku melihat pipinya kembali blushing. “Guesampai enggak berkedip. Ini Will atau bukan, sih? Gila! Guemana percaya? Gue tanya aja lagi, ‘What do you mean?’”

    “Lalu?”“Lalu, dia mengulangi lagi kalimatnya, ‘You and I, Baby ....

    What if we get married? Will you marry me?’”“Terus lo jawab apa?” potongku dengan suara yang sedikit

    terpendam puluhan baju yang baru datang.Baby berhenti dengan urusan aksesorinya. Ia masih

    menggenggam kalung dan ikat pinggang, kemudian menatapkudengan matanya yang cantik dan berlapis bulu mata yang tertataapik.

    “Gue cuma bisa terpana dan tiba-tiba air mata gue mengalir.

    ~25~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Gue terharu. Gue benar-benar tidak menyangka, karenasepertinya Will bukan orang yang serius dalam menjalin suatuhubungan, but I’m gonna get married!”

    Kemudian, Baby mendesah senang, yang akhirnya malah jadimelamun. Aku tidak heran. Tidak ada perempuan yang bisamelupakan pengalaman yang begitu manis dan indah sepertiyang dialami oleh Baby semalam. Jika aku yang mengalaminya,aku pun tidak akan bisa melupakannya, bahkan akan terusmengingatnya setiap menit dan setiap detiknya.

    Akan tetapi, sayangnya, hal itu tidak terjadi kepadaku. Entahbelum terjadi, atau bisa saja tidak akan pernah terjadi. Babysudah mendahuluiku.

    “Well, congrats again on your engagement, Beb. Loberhasil membuat gue iri.” Aku menarik napas panjang sambilmenatap nanar baju-baju yang bertebaran di sekeliling kami.Wajahku pasti berubah dan menjadi muram karena Babymenatapku dengan saksama. Raut wajahnya jadi seakan merasabersalah.

    “Jangan gitu dong ngomongnya, Cha.”Aku tertawa. “Gue bercanda kali. I’m so happy for you.”

    Aku melembutkan suaraku. Baby membalasnya dengansenyuman yang tersungging. Dentingan lonceng di pintu masukmenyadarkan kami. Aku menoleh ke arah pintu masuk. Dini,pegawaiku yang kebagian shift siang baru masuk.Kedatangannya menyadarkan aku untuk kembali bekerja danmengubur masalahku di relung hatiku yang paling dalam. Akutahu Baby masih memperhatikanku diam-diam, tetapi diamemilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

    Suasana butik menjadi sepi. Alunan lagu Ke$ha tepat pada

    ~26~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • penghabisan. Kedua pegawaiku sudah pulang sedari tadi, begitujuga Baby. Aku memutuskan untuk tinggal sejenak. Setelahmenikmati waktu santai dengan suasana butik yang sepi, akumengangkat pantatku dari sofa yang membuat busanya naik lagike permukaan. Aku menuju kasir untuk menelepon Ben. Akutidak mendapatkan kabar darinya sejak kemarin malam. Diaberjanji untuk meneleponku, tetapi nyatanya tidak satu deringanpun yang aku terima di ponselku.

    Aku menempelkan gagang telepon di telingaku. Berpuluh-puluh deringan menyapaku, tapi tak satu pun suara Ben yangmenyahut. Aku menyerah pada deringan yang kira-kira kelimapuluh serta setelah menekan ulang nomor teleponnya yangkesepuluh kalinya.

    Seakan sudah terlalu terbiasa dengan situasi seperti ini, akupun pulang sendiri tanpa menunggu balasan telepon darinya. Diluar hujan sudah mulai membasahi aspal yang membuatnyamenghitam seperti langit malam.

    Aku berlari-lari kecil menghindari air yang makin lamamakin deras turun dari langit, dengan gerakan yang cepatmembuka pintu mobil, kemudian mengempaskan diri denganlega di belakang kemudi. Aku mengemudikan mobil denganperlahan menembus hujan, diiringi lagu yang mengalun lembutdari salah satu stasiun radio. Tiba-tiba lagu berubah. SuaraBruno Mars menyapa telingaku. Sialnya, lagu yangdinyanyikannya adalah yang berjudul “Marry You”.

    Sialan, kok bisa tepat banget, ya? hatiku berbisik. Lagu inimemang seperti menyindir apa yang aku rasakan. Namun, akutak berniat menggantinya. Aku membiarkan lagu tersebutmenggiringku pada rasa rindu yang perlahan menyergap relunghatiku. Aku menghela napas ketika kembali teringat akankebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Baby dan Will.

    Tanpa terasa, aku sudah sampai di rumah. Tanpa bersuara,aku masuk ke rumah dan langsung mendekam di dalam kamar.Saat itu sudah pukul 8.00 malam. Rumah terlihat sepi, hanya

    ~27~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • terdengar suara jangkrik yang menyapa hujan.Anne, adikku yang masih SMP, tidak kelihatan. Sepertinya,

    dia berada di dalam kamar. Mama dan Papa mungkin sedangasyik menikmati tontonan televisi di ruang keluarga yangterletak di pojok rumah. Setelah selesai berberes diri, akumencoba menghubungi Ben kembali. Kali ini benar-benar taktersambung karena nada sambung menyebutkan bahwateleponnya mati.

    Rasa cemas menyergapku tanpa ampun. Kali ini aku benar-benar meragukan hubungan delapan tahun antara aku dan Ben,apakah akan berhasil atau tidak sama sekali. Aku menutupmata, dan berharap akan menemukan masa depan bersamanya,sebagaimana yang dulu sering aku impikan. Namun, yang akulihat hanyalah warna hitam, gelap gulita tanpa berujung, tanpakejelasan sama sekali.

    Keesokan harinya, aku dan Baby tiba di butik menjelangmalam. Butik sudah mulai sepi. Baby mengecek stok baranglewat komputer yang menyatu dengan mesin kasir, sedangkanaku mulai merapikan baju-baju yang tergantung berantakansetelah pembeli melihat dan mencobanya.

    Tiba-tiba ada teriakan dari depan, “Cha, handphone lobunyi!”

    Aku bergegas ke meja kasir tempat aku meletakkan tasku.Aku melihat layarnya yang berkedip-kedip, nama Ben tertera dilayarnya. Baru muncul rupanya. Aku menarik napas dan ….

    “Halo?” Aku mengangkatnya.“Hey, so sorry about last night,” sahut suara berat yang

    sangat aku kenal.“Hm ...,” aku menjawab asal sambil tetap membereskan

    ~28~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • baju-baju.“Kamu marah, ya?” tanya Ben.Aku menjawab dengan suara yang tinggi, “Enggak tahu, ya.

    Menurut kamu, apakah aku perlu marah?”“Iya, aku tahu aku salah, Dear. Aku enggak angkat telepon

    kamu, terus telepon aku juga mati ...,” sahutnya dengan ucapanyang menggantung.

    “Terus?”“Ada principal dari USA datang ke sini dan aku harus

    menemani mereka.”“Memangnya enggak sempat telepon semenit aja atau kirim

    sebaris SMS?” seruku dengan gemas. “That’s an easy thing todo, Ben,” tambahku sedikit sarkastis.

    “Iya ... iya … aku tahu .... Tapi ....”Aku diam saja mendengar suara Ben yang menjelaskan

    panjang lebar seolah gerbong kereta. Sekarang aku duduksambil menunduk, memainkan jari-jari tanganku. Malasmendengarnya.

    “Dear? Kamu masih di sana, kan?” suara Ben terdengarsedikit keras. Sekarang aku mendengar suara yang sangat ramaidi belakang Ben. Suara tawa dan orang-orang yang sedangberbincang-bincang. Aku tetap diam.

    “Aku masih di kantor ...,” suara Ben mengeras untukmengimbangi suara di belakangnya. “Begini, sebentar lagi akuakan pulang, dan aku jemput kamu di butik, ya. Kita makanmalam. Aku janji, Dear. Aku sudah mau jalan. See you later,OK?”

    Aku menutup telepon dengan gemas tanpa mengucapkan apapun, kemudian berjalan menuju kasir. Baby muncul dari arahbelakang. Ia sudah membawa tas di bahu, tanda ia sudah siapuntuk pergi. “Mau pulang enggak? Sebentar lagi kita tutup.Enggak ada orang juga, kok.”

    “Gue tunggu di sini aja. Bentar lagi Ben jemput.”

    ~29~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Baby memandangiku. “Ben? Nongol juga tuh orang. Kapantelepon?”

    “Barusan,” jawabku lesu.“Lo yang telepon atau dia?”“Dia.”Baby mengangkat bahunya. “Ya udah, lo baik-baik aja, kan?”Aku mengangguk. Tak lama, lonceng pintu butik berdenting,

    tanda Baby sudah keluar.

    Rasanya aku sudah menunggu seabad, tetapi ia tidak datangjuga. Padahal, hujan yang menimpa atap dan mengeluarkansuara yang cukup keras sudah turun sedari tadi. Aku melihatjam tanganku, sudah pukul 8.00 malam. Suasana sepi dan Benbelum juga datang. Padahal, ia menelepon pukul 6.00 petang.Dan, aku tahu perjalanan dari kantornya kemari tidak butuhwaktu hingga dua jam.

    Aku turun ke bawah bertepatan dengan kedatangan Ben. Akumembuka pintu depan dan Ben pun masuk. “Sori, ya, telat.Jalanan macet banget. Hujan.”

    Seperti biasa, aku mendengar beribu alasan yang keluar darimulutnya. Namun, aku tetap merapatkan mulutku danmengambil tas di dekat meja kasir. Rupanya Ben menyadaridiriku yang lebih diam daripada biasanya. “Kamu kenapa?”

    Aku menggeleng. “Kita pulang aja, yuk?”“Kamu enggak mau makan?”“Makan di rumah aja, Mama pasti masak. Aku juga ingin

    bicara sama kamu. Lebih enak ngobrol di rumah.”Ben mengangguk menyetujuinya. Di dalam mobil, aku juga

    tidak banyak berbicara, Ben yang lebih banyak berceritamengenai pekerjaannya. Aku hanya memandangi jendela yang

    ~30~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • masih berembun sisa hujan tadi. Jalanan pun masih terlihatbasah. Tidak ada satu pun ucapan Ben yang masuk ke telingaku.

    Akhirnya, kami pun tiba di rumah yang disambut olehMama. Benar saja, makanan masih tersedia. Aku pamit untukmandi dan berganti baju, sedangkan Ben makan terlebih dahulu.Mama yang memang senang menjamu tamu, langsung sibukmelayani Ben.

    Tubuhku terasa sangat nyaman ketika terguyur oleh airhangat. Sangat kontras dengan cuaca dingin di luar sana. Rasakantuk yang dari tadi menyerang perlahan hilang dan tubuhkumulai terasa rileks dan segar. Setelah mandi dan bergantipakaian yang bersih, aku bergabung dengan Ben di meja makan.

    “Makan, Cha,” kata Mama.“Iya, Ma, aku lapar.”Mama tersenyum dan langsung menyendokkan nasi ke

    piringku. Aku melirik Ben yang masih lahap menikmatimasakan Mama. Dia memang paling suka masakan Mama.Orangtuanya tinggal di Surabaya sehingga dia sudahmenganggap Mama sebagai ibunya, begitu juga Mama yangsudah menganggap Ben sebagai anaknya. Bahkan, tak jarangMama memasak spesial untuk Ben dan membungkuskannyauntuk ia makan di apartemennya.

    “Mau tambah, Ben?” suara Mama mengisi keheningan dimeja makan.

    “Enggak, sudah kenyang banget, Tante. Terima kasihbanyak,” sahut Ben sambil mengelus-elus perutnya dengan puas.Mama tersenyum melihat tingkah Ben, sedangkan aku tetapdiam sambil memperhatikannya dengan saksama. Mama mulaimembereskan meja makan, dan aku membantunya.

    Tak lama, ponsel Ben berbunyi dengan nyaring. Ia menjauhdariku dan Mama. Aku memperhatikannya. Cukup lama, dansepertinya percakapan tersebut cukup alot karena aku melihatBen sampai menggunakan bahasa tubuhnya ketika berbicara

    ~31~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • dengan sang penelepon. Sampai akhirnya ia menyudahipembicaraannya dan menghampiriku.

    “Siapa? Kantor?” Sebelum ia sempat bicara, aku sudahmenebaknya lebih dahulu.

    Ben mengangguk. “Aku harus kembali ke kantor. Banyakkerjaan.”

    Darahku langsung mendidih. Kembali ke kantor. Banyakkerjaan. Sudah terlalu sering aku mendengar kalimat-kalimatyang memuakkan itu. Sekarang aku harus mendengarnyakembali. Sampai kapan?

    “Aku ingin bicara, Ben. Aku sudah bilang tadi di mobil.Ingat, kan?”

    Ben tersenyum. “Besok saja, ya, Dear. Aku sedang dikejardeadline. Ada kesalahan report yang dibuat anak buahku.”

    “Ini penting,” ujarku dengan dingin. “Lagian ini sudahhampir pukul 9.00 malam. Kan, bisa dikerjain besok, Ben.”

    “Tapi, ini lebih penting, Cha. Mereka harus terima laporanitu sekarang.”

    “Jadi, bagi kamu aku enggak penting? Kamu pikir akuenggak butuh kamu?” Nada suaraku terdengar sangat tajam.Napasku terasa berat karena aku mencoba untuk menahanamarah yang sudah menggumpal di dada. Senyum Benmenghilang. Raut wajahnya menjadi keras dan kaku.

    “Tolong, Cha. Jangan sekarang ….”“Kalau enggak sekarang, kapan? KAPAN, BEN?” aku

    berteriak. Suaraku cukup keras sampai Mama menoleh untukmencari tahu. Ben yang merasa malu segera menarikku keluardari ruang makan.

    “Kamu kenapa, sih? Memangnya ada masalah apa sampaikamu jadi begini?”

    Aku tertawa. Aku bisa merasakan tawa yang keluar darimulutku begitu pahit. “Masalah apa? Kamu tidak tahu masalahapa yang sedang terjadi di antara kita?”

    ~32~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Ben menggelengkan kepala. “Semuanya bisa kita bicarakanbaik-baik, Cha. Tapi, tidak sekarang.”

    “Kapan? Sampai kapan aku harus menunggu kamu? Sampaikapan aku harus terus mengerti, Ben?” jeritku.

    Tanpa menghilangkan nadanya yang membentakku, Benberbisik, “Kecilkan suaramu, Cha! Ini sangat penting untukku!Pekerjaan ini sangat penting! Kenapa, sih, kamu enggak maumengerti juga?”

    Aku menggelengkan kepalaku. “Enggak mengerti? Aku sudahcukup mengerti selama lebih dari enam bulan ini, Ben. Akusudah cukup mengalah untuk membiarkan kamu tenggelamdalam pekerjaan yang kamu dewakan itu.”

    Ben memegang keningnya yang sudah penuh dengan peluh.Matanya berkilat dan rahangnya mengeras. “Kita bicarakannanti. Aku tunggu sampai kamu tenang.”

    Ben meninggalkan aku begitu saja. Aku terpaku di tempatkuberdiri dan melihatnya pergi begitu saja dengan mobilnya.Bahkan, dia tidak mau menyelesaikan masalah ini terlebihdahulu. Dia memilih melarikan diri.

    Aku masuk ke kamar dengan lemas bercampur kekesalanyang rasanya masih menumpuk di dadaku. Rasanya sangatsesak, hingga akhirnya aku menangis, untuk mengeluarkan rasasesak itu. Aku tidak pernah menginginkan kejadian seperti inimengingat apa yang sudah kami jalani selama delapan tahun.Namun, siapa yang bisa menebak? Tidak ada satu pun. Begitujuga aku. Manusia terkadang memang hanya bisa berharap danberusaha, tetapi semua Tuhan yang berkuasa.

    ~33~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • S5

    eminggu kemudian, aku masih belum juga mendengarkabar dari Ben. Aku tidak berniat untuk menghubunginya

    terlebih dahulu. Aku ingin melihat langkah apa yang akandiambil oleh Ben. Aku berharap dia menghubungiku terlebihdulu, lalu meminta maaf. Namun, aku sadar, hal itu akan sia-siadan membuatku lebih sedih lagi.

    Aku sampai di butik tanpa membawa semangat sama sekali.Hari jadi terasa begitu lama. Aku pandangi jam dinding yangpaling dekat denganku. Rasanya aku sudah duduk seabad disini, tetapi jam itu tak menunjukkan tanda-tanda untuk majudan mengurai hari. Aku menelungkupkan kepalaku di lututkudan mengerang putus asa.

    Aku tidak tahan dengan rasa bosan ini. Jadi, kuputuskanuntuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Aku berjalan tanpatujuan yang berarti. Hanya melakukan window shopping.Hingga tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

    “Sascha?”Aku menengok ke belakang.Ben.Ia berdiri tak jauh. Aku terpaku melihatnya. Sejujurnya, aku

    tidak mengharapkan pertemuan ini dan aku juga tidak tahuharus berbuat apa ketika Ben berjalan menghampiriku.

    Aku sedikit menyesal mengapa memilih mendatangi mal ini.Jika saja aku cepat menyadari bahwa kantor Ben terletak tepatdi sebelah mal ini dan aku sebenarnya tahu bahwa ia sering

    ~34~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • sekali makan siang di sini. Stupid me! Aku mengutuki dirikudalam hati. Aku menggigiti bibirku, yang selalu aku lakukanketika dilanda gelisah.

    “Hei,” sapanya. “Hm ... kamu sendirian?”Suaranya terdengar sedikit gugup, begitu juga bahasa

    tubuhnya. Aku mengangguk.“Apa kabar, Cha?”Aku mengerutkan keningku. Kegelisahanku berkurang ketika

    mendengar pertanyaannya, dan berganti kesal. Apa kabar?Hanya itu? Setelah apa yang terjadi dengan kami hingga tidakbicara selama satu minggu? Ben juga mengucapkannya seolahtidak ada masalah. Apa kabar itu rasanya tidak pantas, akubukanlah orang asing baginya.

    Atau, ia sudah menganggapnya seperti itu? Aku sebagai orangasing?

    “Baik,” jawabku dengan singkat.Tiba-tiba di belakang Ben datang empat orang yang

    menyapanya, “Hei, Ben. Masih ada yang mau dicari enggak?”Ben sedikit terkejut dan sepertinya tidak siap untuk

    kehadiran mereka. Mau tidak mau Ben memperkenalkandiriku. Kegugupannya bertambah. Sebelah tangannya mengusaptengkuknya. “Guys, kenalkan, ini Sascha. Sascha, merekateman-teman kantorku.”

    Satu per satu teman-teman Ben mulai menyalamiku. AdaFrans, cowok gemuk berkacamata, terus ada Nidya, perempuanyang kelihatannya tomboi dengan potongan rambut cepak,kemudian ada Greg, bule yang tubuhnya tinggi dan kurus, sertaCharles, seorang pria yang klimis dan berpenampilan sangatrapi.

    “Hai,” aku menyapa mereka.“Wah, pacarnya, ya?” goda temannya Ben yang bertubuh

    subur bernama Frans.Semuanya tertawa, begitu juga Ben meskipun dengan agak

    ~35~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • salah tingkah. “Iya, pacarku.”“Sudah cepetan nikah kenapa you, Ben? Jangan ditunda-

    tunda, apalagi cewek lo cantik begini.”Semua tertawa lagi, tetapi aku tidak karena terdengar sangat

    janggal. Apalagi suasana di antara aku dan Ben sedang tidakenak. Namun, yang membuatku terpaku adalah apa yangdiucapkan Ben selanjutnya. “Enggaklah, masih lama.”

    Aku menatap Ben. Masih lama? Seketika hatiku sakit.Kalau saja mereka tahu sudah berapa lama aku berpacarandengan Ben, mereka pasti akan menertawakannya.

    “Pokoknya dipegangin,” ujar Frans yang ditujukankepadaku. “Banyak yang naksir Ben.” Lalu, Frans tertawaterbahak-bahak hingga perutnya bergoyang hebat yang langsungmenular pada semuanya. Namun, tetap tidak untukku.

    Entah apa yang lucu dari perkataan itu karena bagiku apayang mereka katakan sangatlah tidak lucu. Bahkan, aku hanyabisa termangu melihat reaksi Ben yang juga ikut tertawabersama teman-temannya ini. Apakah dia tidak merasakannya?Dia tidak masalah dengan itu?

    Lalu, mereka pamit untuk kembali ke kantor, begitu jugaBen. Sebelum berlalu, Ben berkata kepadaku, “Hm, kamubesok ada waktu? Kita bisa makan malam dan … dan …membicarakan mengenai … masalah kita ….”

    Ah, ternyata ia masih ingat. Aku diam dan menatapmatanya. Lalu, mengedikkan bahuku. “Enggak tahu, deh, Ben.Kalau aku jawab iya, aku malah kecewa sendiri karena nantikamu batalin lagi.”

    Sepertinya, Ben cukup tersindir. “Besok aku cuti. Aku sudahmengajukannya cukup lama. Kali ini aku enggak akan batalin,”ujar Ben dengan mantap. Aku kembali mencari kebenaran dimatanya. Tetap harus aku buktikan, apakah kesungguhan yangdipancarkan oleh matanya akan disertai dengan kehadirannyahari esok. Dengan enggan yang menggelayut, aku pun

    ~36~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • mengangguk.Terlebih lagi, aku harus mendapatkan jawaban tentang apa

    yang ia katakan kepada teman-temannya hari ini.

    Aku menunggu dengan gelisah. Es teh lemon yang aku pesantidak juga aku sentuh hingga esnya mencair dan gelasnyaberembun. Setiap menit, aku melirik jam tangan yangmelingkar di pergelangan tanganku. Sudah pukul 7.00 malam,padahal Ben berjanji akan datang pada pukul setengah tujuh danbertemu denganku di Restoran Venice yang menjadi favoritnya.

    Aku memilin rambutku yang sepundak dan kakiku yangterbungkus ballet shoes berwarna hitam bergerak terus untukmengusir gelisah. Maxi dress sederhana, yang aku pinjam dariBaby, rasanya sudah semakin lecek.

    Kemarin Ben mengatakan bahwa dirinya cuti, tetapi tetapsaja aku tidak memercayai ucapannya dan benar saja. Pagiharinya, ia mengabariku bahwa ada panggilan meetingmendadak di kantornya.

    Aku hampir kehilangan kesabaranku, sampai akhirnya Babymenelepon dan menjadi penolongku. Rupanya iamembutuhkanku pagi itu juga, untuk urusan penting di butikkarena koleksi terbaru Butik Darling sudah terlambat datangsampai lima hari. Kesibukan di butik membuatku melupakankemarahanku, setidaknya untuk sementara waktu.

    Sudah hampir tiga puluh menit, dan Ben belum juga muncul.Aku sudah bersiap menggenggam ponselku untuk meneleponBen dan memakinya. Namun, dia tiba tepat sebelum akumenekan tombol berwarna hijau itu.

    “Sascha, maaf telat. Macet. Jakarta memang enggak pernahbersahabat dengan kita.”

    ~37~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Aku mendengus pelan. Alasan klise, hati kecilku berkatadengan sendirinya. Aku tetap menatap Ben yang sedang dudukdi hadapanku. Lalu, ia memanggil pelayan dan memesan kopidingin.

    “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Dear?”Untuk sesaat aku memperhatikan wajah Ben yang memang

    tidak banyak berubah sejak dahulu. Aku menatap matanya lebihdalam, dan hal ini rupanya membuatnya tidak nyaman. Diamembuang matanya ke arah lain untuk menghindari tatapanmataku.

    “Menurut kamu, hubungan kita seperti apa, sih, Ben?”tanyaku secara langsung. Ben sedikit terkejut, dan diamenutupinya dengan meneguk kopi dinginnya. Dia berdeham.“Maksud kamu?”

    “Apakah hubungan kita baik-baik saja?”Kening Ben berkerut. “Tentu saja baik-baik. Apa ini soal

    yang kemarin di rumah kamu? Jika soal itu, aku minta maaf.Aku capek, pekerjaan lagi banyak ....”

    Aku segera memotong perkataannya. “Bukan hanya itu, Ben.Ini mengenai semuanya. Hubungan kita secara keseluruhan.”

    “Aku masih enggak ngerti, Cha.”Aku menghela napas. “Ben, kita sudah pacaran selama

    delapan tahun, hampir sembilan tahun. Apakah enggak adaartinya buat kamu?”

    “Tentu saja ada. Aku mensyukuri hubungan ini.”“Jadi? Apakah kamu ingin selamanya seperti ini?”“Maksud kamu apa, sih?” Ben mulai gerah.Aku menatap Ben dengan tajam. “Ben, jangan pura-pura

    enggak ngerti, deh. Jujur saja, aku muak karena kamu lebihcinta pekerjaanmu daripada merawat dan mempertahankanhubungan kita ini. Sekarang, aku sebagai pacarmu, inginmemastikan, kapan kamu ada rencana untuk membangunsebuah pernikahan?”

    ~38~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Kata pernikahan yang aku katakan terang-terangan rupanyamembuat Ben cukup shock. Wajahnya langsung pucat dan iatidak bisa berkata apa pun. Aku melihat ia berusahamenenangkan dirinya sendiri dengan menarik napas beberapakali, lalu ia berkata kepadaku, “Jadi, ini yang ingin kamutanyakan kepadaku?”

    Aku mendengus. “Kalau kamu masih ingat, akumempertanyakan ini berkali-kali, tetapi kamu selalumenghindar. Aku ingin tahu aja, sampai kapan kamu maumenggantung aku seperti ini tanpa kepastian?”

    Ben terdiam, dia terlihat gelisah dan tegang. Apalagi,kemudian ponselnya bergetar terus menandakan telepon sertaSMS yang masuk. Namun, dia tidak mengangkatnya. Kamiberdua terdiam. Aku menunggunya untuk berbicara.

    “Apakah hal itu sangat penting untuk kamu, Cha?”Aku menatap matanya lekat. “Kamu tahu jawabannya, Ben.”Dia terdiam beberapa saat. Lalu, berkata lagi, “Pekerjaan ini

    sudah menjadi impianku sejak dahulu. Ini masa depan, Cha.Masa depan kita! Aku memikirkan kamu juga!”

    Aku tertawa dengan sangat miris. “Kita? Tetapi, aku merasaaku enggak pernah ada di dalam masa depan kamu. Kamuenggak peduli sama aku. Yang aku lihat kamu selalu melihatdirimu sendiri.”

    “Itu enggak benar!” bantah Ben dengan sedikit keras.“Kalau kamu peduli, kamu enggak akan memperlakukan aku

    seperti ini. Sejak kamu bekerja di sini, kamu sudah banyakberubah. Yang ada di pikiran kamu hanyalah kerja, kerja, dankerja. Jadi, maaf kalau aku enggak merasa ada di dalam masadepan kamu. Di masa depan yang kamu katakan itu hanya adakamu dan pekerjaanmu.”

    “Kamu benar-benar enggak ngerti, Cha ....”“Aku sudah cukup berusaha dan cukup mengerti selama

    beberapa tahun, Ben! Jika kamu melibatkanku di masa

    ~39~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • depanmu, kamu pasti akan berusaha, setidaknya sedikit sajauntuk menjaga hubungan kita. Tetapi, apa yang aku dapat? Akuhanyalah nomor dua. Dengan mudah kamu mementingkanpekerjaan kamu daripada diriku, daripada kita. Coba kamuhitung berapa banyak janji yang kamu sepelekan, batalkan, danlewatkan, bahkan yang sampai enggak ada kabar sama sekali?”

    Ben terdiam. Mungkin dia merasa tersindir ketika seringsekali membatalkan janjinya. Lalu, ketika kami terdiam, lagi-lagi ponselnya berbunyi dan Ben sepertinya menahan diri untuktidak mengangkatnya.

    Aku sudah sangat ingin mengambilnya dan mencelupkannyake dalam es teh lemonku. Dan, yang bikin tambah emosi adalahperhatian Ben jadi teralihkan. Aku rasa dia tidakmendengarkanku seratus persen.

    “Kamu tahu enggak, hatiku sakit banget waktu kamu bilangke teman-temanmu bahwa pernikahan kita masih lama. Cobakalau mereka tahu sudah berapa lama kita pacaran, aku yakinbanget, mereka pasti bakal menertawakan kita,” ujarku dengansinis.

    Ucapanku tersebut membuat wajah Ben memerah, entahmarah atau malu. Aku melanjutkannya kembali, “Apakah itupenjelasan yang masuk akal mengapa kamu tidak pernahmengajakku menikah? Karena masih lama?”

    “Aku baru tiga puluh tahun, Cha. Masa depanku masihpanjang! Aku masih ingin bekerja, dan posisiku di sini sangatbagus untuk mendapatkan promosi! Kita bisa menikah kapansaja, tetapi mendapatkan pekerjaan ini? Ini sudah susah payahaku dapatkan!” jelas Ben dengan sedikit emosi.

    Hatiku mencelus mendengarnya. Menikah bisa kapan saja?Susah payah untuk mendapatkan pekerjaan? Aku terdiam danmenatapnya lekat. Hatiku sungguh sakit mendengarnya. Akuingin menangis saat itu juga. Namun, aku mencobamenahannya.

    ~40~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Rupanya si penelepon tidak menyerah juga. Ponsel Benkembali bergetar dan kali ini Ben mengangkatnya. Aku sungguhtidak tahan mendengar ponsel berengsek itu berdering terus.Aku langsung mengambil tasku dan pergi meninggalkannya.

    “Sascha!” Aku mendengar Ben meneriakkan namaku. Akutidak peduli ada berapa banyak pasang mata yang menatapku.Aku tetap berjalan keluar dan menyelip di antara mobil-mobilyang terparkir lumayan padat di parkiran Restoran Venice ini.Ben berhasil menyusulku dan menarik tanganku.

    “Tunggu, Cha!”“Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ben. Aku mengerti.

    Jadi, pernikahan hanya akan menahan langkahmu untuk sukses.Pernikahan ini hal yang sepele. Artinya aku juga.”

    “Sascha ....” Ben menatapku dengan frustrasi. “Aku hanyaminta kamu sabar, karena aku yakin sekali bahwa aku melihatmasa depanku bersama kamu. Hanya kamu, Cha. Please, akuenggak ingin menyia-nyiakan hubungan kita yang sudah terjalinsangat lama ini.”

    Air mata mengalir di pipiku. “Sori, tapi aku enggak bisamelihatnya. Bukan aku yang sia-siakan, tapi kamu.”

    Ketika aku hendak berbalik lagi, Ben masih belum maumelepaskan tanganku. “Jangan pergi dulu, Cha. Tolong,mengerti!”

    Aku memberanikan diri untuk menantangnya. “Sampaikapan? Aku butuh kepastian Ben, sampai kapan?”

    Ben terdiam. Ia memegang keningnya. “Aku tidak ….Sascha, aku tidak bisa kasih kepastiannya. Tapi, aku janji untuklebih memperhatikan kamu dan hubungan kita.”

    Aku menggeleng, lalu tawa getir keluar bersamaan dengan airmataku. “Tadi kamu tanya, apakah menikah itu begitu penting?Ya, bagiku penting. Kita sudah sama-sama dewasa, matang. Akuenggak bisa menikah kapan saja. Aku ingin punya anak dankeluarga. Jika harus menunggumu tanpa kepastian, aku enggak

    ~41~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • bisa.” Perlahan aku menghapus air mataku.“Kalau kamu bilang kamu bersusah payah mendapatkan

    pekerjaanmu itu, bagaimana dengan hubungan kita? Aku susahpayah mempertahankannya, sampai hampir sembilan tahun,tapi kamu malah meremehkannya. Aku mengerti, aku sudahenggak penting lagi buat kamu,” suaraku serak.

    Ben terpaku. Aku berkata perlahan, “Kalau kamu bilangbahwa menikah itu kapan saja, lebih baik kamu pilihperempuan yang siap mendampingimu ketika kamu siap. Kitasampai di sini saja, Ben.”

    Aku kembali berjalan, tetapi rupanya Ben tidak terimadengan ucapanku dan ia menghalangi jalanku. “Apa maksudkamu kita sampai di sini? Kamu mau kita putus?”

    “Ini yang terbaik.”Tiba-tiba Ben mencengkeram lengan atasku erat. “Enggak,

    Cha! Aku enggak mau!”Aku mencoba untuk mengibaskan tangannya, tetapi

    cengkeramannya terlalu kuat dan membuatku kesakitan.“Lepaskan, Ben.”

    “Please, Cha. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”“Ben, dengar!” seruku sambil mengentakkan tangan Ben.

    “Aku enggak mau bersama seseorang yang menganggappernikahan itu enggak penting. Sekarang kamu enggak anggapini penting, jika kesuksesan pekerjaan mengikuti kamu terus.Lalu, siapa yang bisa menjamin kamu akan tetap menginginkanpernikahan? Buat kamu, menikah bisa kapan saja, kan? Tapi,aku? Aku ingin punya anak, jika aku harus menunggu sampaiumurku empat puluh tahun, risikonya terlalu besar.”

    “Kita bisa bicarakan baik-baik, Cha. Aku akan pikirkanjalan keluarnya.”

    “Jalan keluar seperti apa? Kalau kamu serius, kamu pastisudah menyusunnya di pikiranmu.”

    Ben tetap tidak memberikan aku jalan. “Aku nggak siap,

    ~42~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • Cha.”“Minggir, Ben.”Tiba-tiba Ben berteriak. Untung saja tempat parkir sepi dari

    orang. “Kenapa baru sekarang? Dulu kamu enggak pernahmeributkan hal ini!”

    Aku menatap Ben dengan dingin. “Apa perlu aku ingatkan?Aku udah terlalu sering mengungkit hal ini, tetapi kamu enggakpernah mendengarkan, Ben.”

    Ben menaruh kedua tangannya di kepala dengan kesal.Rahangnya mengeras, dan aku tahu dia marah, juga frustrasi.

    “Aku pulang dulu.”“Aku tahu kenapa kamu bisa begini! Kamu sudah

    dipengaruhi orang lain, kan? Siapa yang pengaruhi kamu?Jangan-jangan sepupu kamu itu, ya?” Nada suara Ben terdengarberbeda. Aku menghentikan langkahku ketika dia sudahmembawa-bawa Baby. Aku enggak suka kalau dia mulaimenyalahkan orang lain.

    Dia tertawa sinis. “Aku tahu, Cha. Pasti Baby yang merasukikamu. Siapa lagi? Dia sudah mau menikah? Terus memanas-manasi kamu?”

    Aku tertegun. Nada suaranya tidak aku kenali sebagai Ben.Dia seperti mengejek dan menyepelekan. Aku memutuskanuntuk tidak mendengarkannya. Namun, Ben tidak berhentisampai di situ, dia mengikutiku sembari berkata dengan dingin,“Kamu tahu aku enggak akan membiarkan kamu pergi begitusaja, Sascha.”

    Aku tidak menghiraukannya. Ben tidak sadar masalah yangsebenarnya terjadi di antara kami berdua. Pembicaraan taditidak akan berujung ke mana pun. Stuck di jalan buntu. Iatidak akan menyadari kesalahannya. Jangankan sadar, memintamaaf pun tidak.

    “Atau, kamu sudah punya pacar lain, ya?” seruan Benmembuatku terkesiap. Aku berbalik. Omongannya mulai

    ~43~

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.com

  • melantur.“Kamu enggak bisa menuduh orang sembarangan, Ben.

    Jangan meracau, deh.”Akan tetapi, Ben tertawa sinis. “Bisa saja! Buktinya kamu

    tiba-tiba saja mendesak aku. Atau, jangan-jangan kamu sudahhamil dengan orang lain?”

    Perkataan Ben membuatku shock. Aku menahan napas danhatiku bergejolak tidak menerima tuduhan yang begitu jahatterhadapku. Aku berjalan mendekati Ben dan PLAK! Akumenamparnya. Dia memegangi pipinya dan matanya menatapnyalang kepadaku.

    “Tarik tuduhan kamu, Ben! Kamu jahat sekali!” teriakkudengan suara yang bergetar menahan marah dan tangis. Airmata sakit hati sudah mengalir di pipi. Namun, sepertinya Bensudah terlalu kalap karena dia meneruskan ucapannya yangsangat menyakitkan tersebut. “Itu bukan tuduhan, tetapikenyataan, bukan? Kamu tiba-tiba meminta kita untuk menikah?Apa lagi kalau bukan kamu sudah selingkuh dengan orang laindan memaksaku menikahimu supaya anak kamu itu ada statusyang jelas? Betul, kan? Kamu ternyata wanita murahan, Cha.”

    Ben benar-benar keterlaluan dan dia sudah kehilangan akalsehatnya. Ketika aku hendak menamparnya kembali atasucapannya yang semakin menyakitkan itu, dia menangkistanganku dan mendorong tubuhku dengan sangat keras hinggaaku terdorong dan berputar ke belakang, lalu menabrak sebuahmobil yang berada di belakangku. Tidak hanya tubuhku saja,tetapi juga wajahku menghantam mobil itu. Tasku terjatuh.

    “Aduh!” Aku berteriak kesakitan dan memegangi wajahsebelah kiriku yang terbentur cukup keras. Aku memegangipelipisku yang berdenyut sakit dan aku melihat tanganku, yangtercetak darah segar. Rupanya wajahku menghantam bagianpinggir mobil yang terdapat penghalang air hujan.

    Ben melihat darah di tangan serta pelipisku. Dia terkejut.

    ~44~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • Seketika wajahnya mengendur dan menyesal. “Cha, maaf …maaf … aku ….” Dia mendekatiku, tetapi aku berjalanmundur. “Berengsek kamu! Jangan dekati aku!”

    Aku mengambil tasku dan segera berlari mencari taksi yanguntung saja sedang melintas di depanku. Aku buru-buru masuk.Aku sempat menengok ke belakang, dan bersyukur Ben tidakmengikutiku. Sepanjang perjalanan pulang, bahkan aku tidakbisa menangis lagi karena terlalu shock. Namun, setelah sampaidi rumah dan melihat di cermin hasil perbuatannya, akulangsung menangis tiada henti.

    Aku baru tahu bagaimana rasanya sakit hati karena cinta.Meskipun aku sudah memasuki usia 28 tahun, hanya ada Benseorang yang mengisi hatiku. Tidak pernah ada lelaki lain. Akubaru kali pertama pacaran, itu dengan Ben. Bukannya tidaklaku, banyak lelaki yang mengejarku, bahkan sejak SMP, SMA,tak terhitung yang mengutarakan perasaannya terhadapku.Hanya saja, aku tidak pernah merasa cocok, hingga akubertemu dengan Ben.

    Patah hati ini ternyata rasanya tidak enak. Apalagi, ketikaperpisahan ini juga diiringi dengan tindakan kasar.

    Ben sukses membuat aku terluka, baik fisik maupun hati.Kalau saja aku pernah merasakannya sedari dahulu,

    bergonta-ganti pacar dan merasakan jatuh cinta, putus cintayang berkali-kali, kurasa sakitnya mungkin tidak akan terasasampai seperti ini. Namun, yang ini sungguh berbeda. Akuterpukul dan trauma atas tindakan Ben yang tidak aku sangkasama sekali. Semenjak malam itu, aku mengurung diri di dalamkamar. Aku berusaha menyembunyikan masalah ini darikeluargaku, tetapi rupanya tidak ada yang bisa disembunyikan,

    ~45~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • terutama ketika lebam di wajahku semakin terlihat jelas denganwarna biru, merah, dan kuning.

    Mama terkejut ketika ia memasuki kamarku untukmenanyakan apa yang terjadi dengan diriku. Mama tidakmarah. Dia lebih lega karena Ben tidak melakukan hal buruklainnya. Namun, aku tahu, dia sangat kecewa karena Mamasudah menganggap Ben seperti anaknya sendiri.

    Kalau Papa jelas sekali marah. Bahkan, memintaku untuktidak menemuinya lagi. “Kalau sekarang saja dia kasarkepadamu, bagaimana jika sudah menikah? Dia bisamemukulimu!”

    Papa sepertinya menghubungi Ben meskipun Mama dan akusudah melarangnya. Hal ini terbukti bahwa beberapa saatkemudian, Ben menghubungiku, tetapi tidak kuangkat.Berpuluh telepon dan SMS yang tak kuhiraukan akhirnyamembuat Ben menyerah.

    “Ma, aku salah enggak, ya?” tanyaku esok siang ketika kamisedang menikmati tontonan di televisi.

    “Salah kenapa?”“Seperti yang Ben bilang. Memangnya aku salah minta

    kepastian kepadanya mengenai hubungan ini? Aku sudah capekmenunggu. Kenapa segalanya harus tentang dirinya? Gimanadenganku? Kenapa Ben enggak pernah mau mengerti meskipundia selalu minta aku untuk mengerti dirinya?”

    Mama memelukku. Aku bergelung nyaman di pelukannya.“Semua hubungan pasti mempunyai masalah, Cha. Baik yangmasih pacaran, maupun yang sudah menikah. Kita enggak bisamelarikan diri dari masalah. Yang bisa kita lakukan adalahmenghadapi dan menyelesaikannya, apa pun hasilnya, baik atauburuk. Ben memilih menyelesaikannya dengan cara yang salah.Menurut Mama, bisa jadi dia enggak bisa membagi waktunyadi tengah tekanan pekerjaannya serta target yang ingin diacapai, ditambah desakan dari kamu, membuatnya panik. Dia

    ~46~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • enggak siap menerima semuanya.”“Tapi, kita sudah bersama selama hampir sembilan tahun,

    Ma.” Mengatakannya membuat dadaku sesak.“Enggak perlu menyesal, Cha. Ada yang menikah sampai tiga

    puluh tahun tetap bercerai. Waktu hanyalah sebuah angka.Pendewasaan seseorang tidak akan berhenti sampai diameninggal. Dan, cocok atau tidaknya pasangan itu akan tetapberjalan dan disesuaikan, sampai mereka terpisahkan. Jadi,tidak ada orang yang benar-benar cocok satu sama lain. Gimanapun juga, pribadi setiap orang berbeda satu sama lain. Tidakada habisnya. Orang bisa berubah seiring berjalannya waktu,maka dari itu penyesuaian harus tetap ada ketika dia hidupbersosialisasi dengan orang lain.”

    Aku terdiam mencoba menyerap ucapan Mama. Kemudian,Mama menepuk tanganku lembut. “Tapi, Mama bersyukurkamu harus pacaran dengan Ben selama sembilan tahun. Kalaukamu sudah menikah dan kamu baru tahu bahwa emosinyatidak bisa dikendalikan, apa jadinya? Mama enggakmembencinya, tetapi Mama menyesalinya kenapa dia harusberlaku seperti itu. Selama ini Mama berpikir dia orang yangcukup tenang.”

    “Kenapa dia tetap mau mempertahankan aku, sekalipun diaenggak tahu apakah akan menikahiku atau enggak? Aku enggakngerti ….”

    “Mungkin Ben takut. Kalau menurut Mama, dia sedangbimbang dan prioritasnya sudah jauh berbeda dengan yangdahulu.”

    “Antara aku dan pekerjaan yang dia kagumi itu?” Jarikumembentuk tanda petik di udara sewaktu menyebut kata“kagumi”.

    Mama mengangguk. Lalu, ia bangkit. “Sudah, jangandipikirkan. Tenangkan diri kamu dulu. Mama tahu ini berat,tetapi semuanya akan berlalu. Anggap saja ini jalan yang harus

    ~47~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • kamu tempuh. Mungkin kamu tidak berjodoh dengan Ben.”Kondisiku sudah sampai ke telinga Baby. Dia datang ke

    rumah pada malam harinya. Kali ini aku cukup kaget melihatreaksi Baby yang biasanya marah dan penuh emosi, ternyatamalah menangis melihat mataku yang bengkak dan biru. Diamemelukku sambil sesenggukan. Saking begitu dekatnya dirikudengan Baby, dia sampai bisa merasakan sakitnya ketika adayang menyakitiku.

    “Seharusnya, gue temenin lo malam itu. Gue nyesel, Cha!Nyesel!”

    Aku menghapus air mataku. “Sudahlah, Beb. Memangharusnya kandas begini.”

    Baby langsung memelukku. Kami pun menangis bersama.

    ~48~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • S6

    atu bulan kemudian.

    Ponselku berbunyi. Aku mencarinya, dan ternyata terjatuhke bawah tempat tidur. Aku melihat nama si penelepon denganmata menyipit. Ternyata Baby. Ya, siapa lagi? Dia yang selalurajin meneleponku untuk mengetahui kondisiku sejak kejadianpatah hati yang bisa dibilang cukup buruk.

    “Halo?” jawabku malas-malasan.“Lagi apa?”“Bengong.”“Mikirin apa, sih?”Aku menarik napas, pertanyaan yang diajukan oleh Baby

    juga selalu sama. “Nasib gue,” sahutku sambil membereskanrambutku yang acak-acakan. Aku menuju jendela dan melihathujan sudah mulai turun. Langit terlihat gelap dengan awan-awan hitam yang menggantung, seperti hatiku saat ini.

    Aku tahu satu bulan telah berlalu sejak aku benar-benarresmi putus dari Ben, tetapi aku tidak menyangka bahwaefeknya cukup menohok diriku.

    “Jangan terlalu dipikirin, Cha. Please, it’s not worth it. Inisudah lebih dari satu bulan, lho. Kenapa lo masih kayak begini?Mengurung diri di kamar, nangis, nyesel. Ben enggak pantasdapat itu semua!”

    Aku kembali memeluk guling dan menggigiti kuku tanganku.“Ternyata lebih susah daripada yang gue kira, Beb. Enggak

    ~49~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • semua teori bisa sejalan dengan kenyataan yang harusdihadapi,” sahutku jujur. Terdengar Baby berdecak. “Jangancengeng! Lo harus bangun dan bangkit.”

    “Yup, dan gue jadi zombie gentayangan,” sahutku sarkastis.Baby menggeram. Sepertinya, dia makin jengkel

    menghadapiku. “Gue serius, Cha! Cari kegiatan lain yang didalamnya enggak termasuk tidur dan melamun. Atau kalauperlu, gue izinkan lo cuti, tanpa batasan waktu. Lo boleh pergijalan-jalan, kalau perlu sampai Bali dan Papua.”

    “Lo bercanda, kan, Beb? Gue jalan-jalan sendirian? Lo maugue bunuh diri?”

    Suara Baby melunak. “Enggak sampai segitu juga, sih.Pikiran pesimis lo, tuh, harus dihilangkan. Apa yang lo kerjakansekarang malah bikin lo tambah terpuruk.”

    Baby berkata lagi, kali ini dengan sangat putus asa. “Lo tahu,kan, gue cuma ingin yang terbaik buat lo, Cha.”

    Aku terharu. “Iya, gue tahu. Gue janji enggak aneh-aneh. Ittakes time, tapi gue yakin akan sembuh dengan sendirinya.”

    “Sebenarnya, gue sedikit meragukan ucapan lo itu. Secara, lobaru kali pertama pacaran dan putus hanya dari satu orangpacar. Tapi, gue akan pegang ucapan lo itu. Promise me you’llbe fine, Cha.”

    “Gue janji, Beb. Dukungan lo berarti banget buat gue,”ucapku dengan tulus.

    “Pokoknya ingat aja. Enggak mungkin, kan, lo maumenghabiskan waktu lo untuk bersedih dan terpuruk terus,secara waktu lo delapan tahun itu udah terbuang sia-sia? Apalagidengan bonus akhir kelakuan mantan lo yang tak terpuji itu?”ujar Baby dengan tak kalah tulusnya. “Call me anytime youneed me, okay?”

    Aku menutup telepon dari Baby. Kemudian, mataku tertujupada bantal yang sudah aku tiduri dari semalam. Di sana akumendapatkan bekas air mata. Aku merabanya.

    ~50~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • Bekas air mata itu mengingatkanku kepada Ben. Yangmerayap di benakku bukanlah kisah cinta kami berdua selamalebih dari delapan tahun itu. Namun, sikap dan ucapankasarnya kepadaku.

    Seperti bilah pedang yang mengoyak hati. Sakit.Lantas aku mengambil bantal itu, dan membuka sarungnya

    serta melemparnya ke bawah. Tak lama, aku menerima pesan diponselku: Baby.

    Eh ngomong-ngomong, lo masih nyimpen, kan,alamat situs web online dating yang gue kasih,kan? Sudah saatnya gue ingetin lo lagi, nih. Inisalah satu cara supaya lo move on. DICOBA, YA! Aku tertawa membaca pesan itu dan tanpa terasa

    mengalirkan sedikit kekuatan ke dalam hatiku.Aku mengisi hari dengan membuka laptop dan iseng

    browsing. Di Facebook, ternyata Olla sudah mengunggahbeberapa foto pernikahannya. Beberapa di-tag ke namaku. Akumembuka satu per satu foto-foto yang berjumlah cukup banyak,140 buah. Olla terlihat begitu bahagia. Tawanya lebar danpenuh cinta. Hatiku bercampur aduk lagi. Antara senang dansedih.

    Setidaknya, masih ada orang yang lebih beruntungdaripadaku.

    Tepat pukul 5.00 sore. Aku mematikan beberapa lampu didalam butik. Tulisan OPEN yang tergantung di depan pintubutik aku putar sehingga dari luar terbaca tulisan CLOSED.

    Butik Darling baru saja tutup, dan hari ini kami tutup lebih

    ~51~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • awal daripada biasanya.Karena hari ini Baby libur, jadi sepanjang hari aku sendirian.

    Aku baru masuk kembali setelah cukup lama tidak datang kebutik. Aku akui aku rindu kesibukan ini dan seharusnya sudahaku lakukan sejak kemarin. Karena itulah, aku menyuruh Babyuntuk libur selama beberapa hari, mengganti hari-hari yangtelah diisinya ketika aku masih terpuruk karena patah hati.

    Setelah menutup butik, aku memutuskan untuk pergi ketoko buah yang terletak tidak jauh dari Butik Darling sehinggaaku memilih untuk berjalan kaki. Setibanya di toko buahtersebut, hidungku sudah menangkap berbagai macam wangibuah yang terasa menyegarkan. Perasaanku jadi relaks. Akusegera mengambil keranjang dan plastik, lalu asyik memilihjeruk dan mangga harum manis yang sangat menggiurkan danmembuatku tidak sabar untuk menyantapnya.

    Toko buah, done. Aku keluar dan berjalan santai sambil cucimata menikmati toko-toko yang terhampar di sepanjang jalanitu. Kakiku berhenti melangkah di sebuah kedai makan, yangsuasananya terlihat selalu menyenangkan.

    Aku sering datang ke tempat makan bernama Kedai Nonaini. Dan, sepertinya hari ini aku bisa memanjakan dirikudengan mampir ke dalam.

    Mataku tertancap pada etalase ice cream yang berbentukcembung. Air liurku terbit tanpa diminta melihat gundukan icecream yang menggiurkan itu. Rasa strawberry itu pasti enak,yang vanilla juga, apalagi dark chocolate. Aku mau semuanya!

    “Sore, Sascha!”Aku mengangkat wajahku, dan aku melihat seorang

    perempuan yang sederhana, tetapi sangat cantik. Maksudkucantiknya bukan karena polesan make-up, melainkan cantiknatural. Setiap melihat perempuan itu, aku selalu teringat dirisendiri, karena perawakan kami yang mirip. Aku tersenyumkepadanya.

    ~52~ pustaka-indo.blogspot.com

    http

    ://pu

    stak

    a-in

    do.b

    logs

    pot.c

    om

    http://pustaka-indo.blogspot.comhttp://pustaka-indo.blogspot.com

  • “Hai, Karla.”“Mau beli ice cream?” tanya perempuan itu kembali,

    mungkin karena tidak ada respons dariku. Aku segeratersenyum dan berkata, “Iya, aku lagi bingung milihnya. Akumau semuanya.”

    Karla