Pusdiklatwas BPKP · Web viewBahkan jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga telah lebih...

21
PENGELOLAAN UTANG NEGARA : ANALISIS RISIKO DAN STRATEGI UTANG Arief Tri Hardiyanto

Transcript of Pusdiklatwas BPKP · Web viewBahkan jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga telah lebih...

PENGELOLAAN UTANG NEGARA

: ANALISIS RISIKO DAN STRATEGI UTANG

Arief Tri Hardiyanto

PENGELOLAAN UTANG NEGARA:

ANALISIS RISIKO DAN STRATEGI UTANG

Pendahuluan

Untuk mencapai tujuan bernegara yaitu menciptakan masyarakat adil makmur dan sejahtera, pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang yang telah ditetapkan. Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perekonomian dan mencapai target pertumbuhan yang telah direncanakan setiap tahun. Apabila ekonomi Indonesia dapat tumbuh sesuai dengan yang direncanakan maka diharapkan akan tercipta lapangan kerja baru yang diperlukan untuk menyerap tenaga kerja sehingga akan mengurangi pengganguran.

Dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan, pemerintah dihadapkan pada berbagai pilihan sumber pembiayaan. Pembiayaan dalam negeri merupakan pilihan utama pemerintah untuk pembiayaan pembangunan. Namun sumber penerimaan dalam negeri yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan migas, serta penerimaan dalam negeri lainnya belum cukup untuk membiayai pembangunan sesuai target pertumbuhan yang diinginkan. Saat ini pemerintah Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan penerimaan dari migas, sehingga harus mengupayakan peningkatan penerimaan pajak. Namun, penerimaan pajak tidak terlepas dari kondisi perekonomian. Perekonomian yang tumbuh dengan cukup signifikan akan berdampak terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan sehingga profitabilitas perusahaan akan semakin besar. Para pekerjapun akan mengalami peningkatan pendapatan. Dalam kondisi seperti ini, penerimaan Negara dari perpajakan akan dapat dipacu peningkatannya.

Pada umumnya penerimaan pajak tidak cukup untuk membiayai seluruh kegiatan pembangunan yang dirancang untuk mengejar pertumbuhan yang ditargetkan. Hal ini nampak dari proporsi penerimaan pajak dalam APBN yang sampai saat ini masih berkisar 72% dari total pendapatan Negara. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pembiayaan pembangunan tersebut dari utang dan kebijakan tersebut termasuk salah satu kebijakan ekonomi yang tidak berubah sejak pemerintahan orde baru hingga pemerintahan Indonesia Bersatu. Pembiayaan defisit anggaran dengan pinjaman/utang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan Negara yang lazim dilakukan oleh suatu Negara.

Namun demikian, akumulasi utang pemerintah Indonesia semakin membengkak dari tahun ke tahun. Bahkan pembubaran IGGI pada saat pemerintah Suharto maupun pembubaran CGI pada saat pemerintahan SBY-JK tidak berperan sama sekali dalam menurunkan jumlah utang pemerintah. Meskipun dalam lima tahun terakhir pemerintah telah berhasil menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 57% menjadi 33%, namun secara nominal saldo utang (dalam negeri dan luar negeri) terus membengkak dari Rp1.300 trilyun menjadi Rp1.700 trilyun.

Hadar (2009) menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Sepanjang 2005/2006, misalnya, untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo pemerintah harus mengeluarkan dana Rp42,3 trilyun, sementara bunga untuk SUN valuta asing sebesar 132,3 juta dolar AS. Jumlah tersebut belum termasuk cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp90-an trilyun. Dengan kondisi seperti ini, Bank Dunia (2005) memasukkan Indonesia ke dalam kelompok Negara di Asia Pasifik yang berpendapatan menengah dengan tingkat utang yang sangat tinggi (severely indebted middle income).

Saat ini, dengan jumlah pokok utang sebesar Rp1.700 trilyun, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang telah menjadi sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN, maupun tekanan atas cadangan devisa. Karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif guna mengurangi utang tersebut.

Tulisan ini mencoba menyajikan profil utang pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir dan menganalisis risiko yang terkait dengan kondisi utang tersebut serta strategi utang komprehensif yang diperlukan dalam mengelola utang menuju perekonomian Indonesia yang mandiri dan berkesinambungan.

Profil Utang Negara

Perhatian para analis ekonomi saat ini ditujukan terhadap jumlah saldo utang pemerintah Indonesia yang semakin meningkat. Jumlah total outstanding utang pemerintah baik pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri selama periode 1999 – 2009 dapat dilihat dari grafik berikut ini:

Jumlah Saldo Utang Pemerintah Indonesia

1997 s.d. 2009

(trilyun rupiah)

(dalam %)

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Pinj. LN

100%

82%

47%

47%

48%

47%

47%

49%

47%

43%

42%

45%

43%

SBN

0%

18%

53%

53%

52%

53%

53%

51%

53%

57%

58%

55%

57%

Sumber data: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI

Pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia berasal dari lembaga keuangan internasional (World Bank, Asian Development Bank, Islamic Development Bank), kreditor bilateral (seperti Jepang, Jerman, dan Perancis), serta kredit ekspor. Jenis pinjaman yang diperoleh berupa pinjaman program dan pinjaman proyek. Pinjaman program diperuntukkan bagi dukungan anggaran dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix dibidang kegiatan untuk mencapai Millenium Development Goals-MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate change, dan insfrastruktur. Pinjaman proyek digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor (seperti perhubungan dan energi), dan proyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM).

Pinjaman dalam negeri digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum serta kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan. Tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh pemerintah diatur dalam PP No.54 Tahun 2008. Instrumen pembiayaan dalam negeri yang digunakan pemerintah Indonesia adalah Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat Utang Negara (berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN/T-Bills) dan Obligasi Negara (ORI, FR/VR Bond, Global Bond) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara baik SBSN berjangka pendek (Islamic T-Bills) maupun jangka panjang (Ijarah Fixed Rate, Global Sukuk, Sukuk Dana Haji Indonesia).

Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat tersebut akan membebani APBN karena mengakibatkan adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga setiap tahunnya. Bahkan jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga telah lebih besar dibandingkan dengan jumlah penambahan utang baru. Pada 2001, jumlah penambahan utang baru hanya sebesar US$5.511 juta, sementara jumlah pembayaran angsuran pokok utang dan bunga mencapai US$7.157 juta, yang berarti terdapat selisih negatif sebesar minus US$1.646 juta. Selama periode 2001 s.d. 2008 selisih tersebut cenderung meningkat setiap tahun hingga mencapai minus US$4.949 juta, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Selisih Jumlah Penambahan Utang Baru

dengan Pembayaran Cicilan Pokok Utang dan Bunga

(dalam juta US$)

Keterangan

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Penambahan Utang Baru

5.511

5.646

5.224

2.602

5.538

3.661

4.009

3.892

Angsuran Pokok Utang

4.245

4.567

4.955

5.222

5.626

5.787

6.322

6.569

Bunga

2.912

2.782

2.656

2.495

1.339

2.280

2.298

2.272

Jumlah

7.157

7.349

7.611

7.717

6.965

8.067

8.620

8.841

Selisih

(1.646)

(1.703)

(2.387)

(5.115)

(1.427)

(4.406)

(4.611)

(4.949)

Sumber Data: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI

Berdasarkan data di atas, maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Indonesia sudah masuk dalam perangkap jebakan utang (debt trap) yang memaksa pemerintah melakukan gali utang bayar utang setiap tahunnya (Radhi, 2009).

Namun demikian, pihak pemerintah (Departemen Keuangan) menyatakan bahwa utang pemerintah Indonesia masih dalam batas aman (wajar). Saat ini pengelolaan utang sudah lebih baik dibandingkan dengan masa lalu (antara news, 2009). Hal ini dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang cenderung semakin menurun yang mengindikasikan peningkatan kemampuan Indonesia dalam membayar utang. Pada tahun 1999 rasio utang terhadap PDB masih sebesar 85% kemudian turun menjadi 34,7% pada tahun 2008. Tambahan utang selama periode 2004 – 2008 menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih besar, sehingga rasio utang menurun tajam dari 57% pada akhir tahun 2004 menjadi diproyeksikan sekitar 32% pada tahun 2009, seperti ditunjukan pada grafik berikut ini.

Rasio Utang terhadap PDB

1999 s.d. 2009

Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

Risiko Utang

Dengan jumlah utang yang semakin besar banyak ekonom yang memeringatkan pemerintah akan adanya risiko jebakan utang (debt trap) dimana utang sudah terlalu membebani anggaran Negara untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga. Risiko lainnya terkait dengan tereksposure-nya pemerintah Indonesia kedalam risiko perekonomian global. IMF dan World Bank (2001) mengidentifikasi beberapa risiko yang dihadapi suatu Negara terkait dengan jumlah utang yang besar yaitu market risk, funding risk, liquidity risk, credit risk, dan operational risk.

Market risk merupakan risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan inflasi. Sebagai contoh akibat dari perkembangan moneter global, nilai tukar mata uang Yen terhadap dolar Amerika Serikat meningkat tajam pada akhir 2008. Proses perubahan peran mata uang Yen tersebut (deleveraging) menjadikan utang Pemerintah Indonesia yang sebagian besar berasal dari Jepang meningkat cukup tajam. Demikian juga, menguatnya dolar AS terhadap rupiah berdampak cukup signifikan terhadap beban APBN untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga yang jatuh tempo. Jika pada akhir 2007 nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sebesar Rp9.419,00, pada akhir 2008 nilai tukar tersebut meningkat tajam menjadi Rp10.950,00. Peningkatan tersebut mengakibatkan kenaikan jumlah utang luar negeri dalam rupiah yang diperkirakan sebesar Rp41,8 trilyun, jika nilai tukar 2008 stabil (Harinowo, 2009).

Funding risk merupakan risiko ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan anggaran ataupun roll-over utang pada tingkat yang dapat diterima. Risiko ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk melakukan pinjaman baru yang dibutuhkan. Semakin besar jumlah utang (sebagai % dari PDB) yang dimiiliki suatu Negara semakin besar risiko (kesulitan) pemerintah dalam mendapatkan pinjaman baru. Risiko lainnya adalah risiko roll-over yaitu risiko bahwa utang akan diroll-over dengan biaya yang sangat tinggi atau bahkan risiko utang tidak dapat diroll-over sama sekali. Ketidakmampuan untuk memperpanjang jatuh tempo utang tersebut dapat menimbulkan krisis utang dan menimbulkan kerugian ekonomi yang riil. Pengelolaan risiko ini sangat penting khususnya bagi Negara yang sedang berkembang.

Liquidity risk berkenaan dengan manajemen kas pemerintah. Risiko likuiditas menunjuk ke suatu keadaan dimana volume aset lancar (kas) menurun dengan cepat karena timbulnya kewajiban pembayaran yang tidak diantisipasi sebelumnya atau kesulitan dalam memperoleh kas melalui pinjaman jangka pendek. Pembayaran angsuran pokok utang dan bunga yang setiap tahun meningkat membawa risiko terhadap likuiditas APBN. Apabila jebakan utang tidak segera diselesaikan maka akan mengarah ke liquidity trap. Mexico merupakan salah satu Negara yang mengalami liquidity trap yang sangat besar sehingga akhirnya dinyatakan default. Dari APBN tahun 2008 terlihat bahwa anggaran yang harus disediakan pemerintah Indonesia untuk membayar bunga utang sebesar Rp89,46 trilyun (mencapai 10% dari total pendapatan atau 9% dari total belanja). Pada tahun 2009, diprediksi pembayaran bunga utang sebesar Rp101,66 trilyun atau 10,3% dari total pendapatan atau 9,8% dari total belanja.

Credit risk berkenaan dengan kinerja yang rendah dari peminjam atas kesepakatan keuangan yang telah dituangkan dalam kontrak. Risiko tersebut relevan khususnya dalam pengelolaan aset lancar. Risiko kredit juga terkait dengan penerimaan atas penawaran surat berharga (surat utang) yang diterbitkan pemerintah ataupun kontrak-kontrak derivatif yang ditutup oleh pemerintah. Risiko kredit yang tinggi akan menjadikan pemerintah dikenakan premi yang tinggi pada saat menjual surat utang atau menutup kontrak derivative, sehingga menjadikan biaya peminjaman (cost of borrowing) lebih tinggi di atas rata-rata tarif premi pasar.

Operasional risk meliputi berbagai jenis risiko seperti kemungkinan kesalahan berbagai tahapan pelaksanaan dan pencatatan transaksi, ketidakcukupan atau kegagalan pengendalian intern atau kegagalan sistem, risiko reputasi, risiko hukum, risiko keamanan dan risiko bencana alam yang mempengaruhi aktivitas pemerintah. Contoh nyata dari risiko operasional adalah adanya pembangunan fisik yang salah sasaran dan dilaksanakan dengan tidak efisien. Juga risiko dana pembangunan dari utang yang dikorupsi.

Strategi Pengelolaan Utang

Dengan mempertimbangkan jumlah utang pemerintah yang besar, jenis instrumen utang yang beragam, jangka waktu pelunasan utang yang beragam, serta berbagai risiko yang melekat pada utang, maka pemerintah perlu merancang strategi pengelolaan utang yang sustainable. Saat ini, kita telah memiliki strategi utang dengan diterbitkannya KMK Nomor:447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Dalam KMK ini disebutkan dua strategi umum manajemen utang yaitu pengelolaan portfolio dan risiko, serta pengembangan pasar perdana dan pasar sekunder SUN.

Pengelolaan portfolio dan risiko mencakup pengurangan utang Negara, penyederhanaan portfolio utang Negara, pengadaan utang Negara dalam mata uang rupiah, minimalisasi risiko pembiayaan kembali, peningkatan porsi utang Negara dengan bunga tetap, penurunan porsi kredit ekspor, dan penerapan prinsip pengelolaan utang Negara yang baik. Pengembangan pasar perdana mencakup pengembangan metode penerbitan, pengembangan sistem lelang, penyusunan jadwal yang teratur, dan penerbitan benchmark issues. Sedangkan pengembangan pasar sekunder mencakup diversifikasi instrumen SUN, dan aktifitas lain untuk meningkatkan likuiditas pasar SUN.

Namun demikian, KMK tersebut masih perlu disempurnakan dan dalam beberapa hal perlu ditingkatkan kedudukannya dalam sistem perundangan-undangan yang berlaku. Strategi pengelolaan utang agar diarahkan pada pencapaian tujuan dari pengelolaan utang yaitu meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali.

Pertama, strategi pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang saat ini lebih difokuskan pada perolehan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program pembangunan prioritas dan belum banyak memberikan perhatian pada pengelolaan biaya dan risiko (Suminto, 2006). Strategi ini masih bisa dijalankan mengingat portfolio utang pemerintah masih didominasi oleh official development assistance (ODA) dari kreditur bilateral dan concessional loan dari kreditur multilateral, yang dianggap sebagai kredit dengan biaya murah dan risiko rendah.

Saat ini posisi utang pemerintah semakin besar dengan portfolio utang yang semakin beragam. Sejak tahun 2005 Surat Berharga Negara menjadi instrumen utama pembiayaan defisit anggaran. Komposisi SBN didominasi oleh obligasi, baik domestik maupun internasional, yang tentunya memiliki eksposure yang tinggi terhadap fluktuasi perekonomian global. Oleh karena itu, strategi pengelolaan utang pemerintah harus difokuskan pada pengelolaan biaya dan risiko dari berbagai instrumen pembiayaan yang dimiliki sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin terjadi khususnya risiko pasar dan risiko likuiditas.

Strategi kedua, pengelolaan utang pemerintah terkait dengan penetapan jumlah utang yang aman bagi perekonomian dan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah dengan menciptakan rerangka hukum yang kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pembiayaan APBN melalui utang sangat dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Sesuai undang-undang dasar, masa jabatan presiden adalah 5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk masa jabatan lima tahun kedua. Kebijakan pembiayaan melalui utang yang sangat agresif oleh pemerintah yang sedang berkuasa saat ini akan membawa implikasi jangka panjang terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, perlu penetapan jumlah utang yang aman sesuai perekonomian Indonesia. Sesuai ‘IMF Country Report” tahun 2005 tingkat utang yang aman adalah tingkat utang yang tidak rentan terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu keseimbangan fiscal (fiscal sustainability). Menurut studi yang dilakukan oleh IMF tersebut, tingkat utang yang aman bagi pemerintah Indonesia adalah berkisar 35% s.d. 42 % dari GDP.

Jumlah tingkat utang yang aman ini perlu ditetapkan dalam suatu Undang-undang, sehingga pemerintah yang berkuasa tidak dapat sewenang-wenang menarik pinjaman. Dalam rerangka hukum pengelolaan utang tersebut diatur pula kewenangan memutuskan utang dan batasan-batasannya serta hubungan antar eksekutif dan legislatif (Suminto, 2006; Hadar, 2009). Disamping itu, diperlukan pula pemberlakuan batas maksimum pembayaran utang pemerintah, khususnya utang luar negeri.

Strategi ketiga adalah pembentukan intregated debt management office (Bank Dunia, 2004). Saat ini, pengelolaan utang pemerintah ditangani secara parsial oleh beberapa institusi yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Bappenas. Menurut Hadar (2009) debt management office seharusnya tidak hanya mengurus rescheduling dan reprofiling utang, namun juga menawarkan pengelolaan utang secara nonkonvensional yang memerlukan teknis negosiasi dan rekayasa financial, seperti pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write-off), konversi utang menjadi ekuitas, konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap) dan konversi utang ke MDGs (debt for MDGs swap).

Penutup

Seiring dengan jumlah utang pemerintah yang semakin besar, maka diperlukan pengelolaan utang yang lebih komprehensif. Pemerintah perlu melakukan analisis yang lebih mendalam atas risiko yang dihadapi pemerintah terkait dengan utang tersebut baik dari segi jumlahnya maupun jenis instrumen utang. Dari hasil analisis risiko tersebut pemerintah dapat memformulasikan strategi pengelolaan utang yang diarahkan pada pengelolaan biaya dan risiko dan penyusunan rerangka hukum untuk memastikan batasan kewenangan pemerintah (eksekutif) dan lembaga legislative dalam penetapan tambahan utang yang diperlukan untuk menutup defisit APBN. Disamping itu diperlukan pula strategi untuk mengintegrasikan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan utang. Dengan pengelolaan utang yang baik yang merupakan salah satu prasyarat dalam mencapai MDGs, bersama-sama dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penguatan institusi pemerintah, dan kebijakan ekonomi pro rakyat, maka target pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada tahun 2015 tidak mustahil untuk dicapai.

REFERENSI

Danmarks National Bank, (1998), “Government Debt Policy in an International

Perspective” in Danish Government Borrowing and debt 1998.

Hadar, Ivan A., (2009), “Perlu Terobosan Kurangi Utang”. Kompas, 24 Juni 2009.

Harinowo, Cyrillus, (2009), “Perdebatan tentang Utang Pemerintah”, okezone.com,

IMF dan World Bank, (2001). Guidelines for Public Debt Management.

Radhi, Fahmy, (2009), “Beban Utang Luar Negeri dalam Perekonomian Indonesia”,

Economic Review: Nomor 215.

Suminto, (2006), “Manajemen Utang Pemerintah: Best Practices dan Pengalaman

Indonesia”, Treasury Indonesia.

World Bank, (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.

13

_1323439307.xls

Chart1

19971997

19981998

19991999

20002000

20012001

20022002

20032003

20042004

20052005

20062006

20072007

20082008

20092009

Pinjaman Luar Negeri
Surat Berharga Negara
238
0
453
100
438
502
583
652
613
661
570
655
583
649
637
662
620
693
559
743
586
803
730
906
732
968

Sheet1

Pinjaman Luar NegeriSurat Berharga Negara

19972380

1998453100

1999438502

2000583652

2001613661

2002570655

2003583649

2004637662

2005620693

2006559743

2007586803

2008730906

2009732968

_1323439303.xls

Chart1

199919991999

200020002000

200120012001

200220022002

200320032003

200420042004

200520052005

200620062006

200720072007

200820082008

200920092009

Hutang
PDB
Rasio Hutang thd PDB
940
1105.8823529412
0.85
1234
1386.5168539326
0.89
1273
1653.2467532467
0.77
1275
1902.9850746269
0.67
1232
2019.6721311475
0.61
1299
2278.9473684211
0.57
1313
2793.6170212766
0.47
1302
3338.4615384615
0.39
1399
3997.1428571429
0.35
1637
4960.6060606061
0.33
1700
5312.5
0.32

Sheet1

Rasio Hutang terhadap PDB

HutangPDBRasio Hutang thd PDB

1999940110685%

20001234138789%

20011273165377%

20021275190367%

20031232202061%

20041299227957%

20051313279447%

20061302333839%

20071399399735%

20081637496133%

20091700531332%

To resize chart data range, drag lower right corner of range.