Publication wakaf02
-
Upload
akhmadarifin -
Category
Documents
-
view
188 -
download
0
Transcript of Publication wakaf02
PANDUAN WAKAF
(TANAH DAN UANG)
Tim Penyusun
Yayasan Peningkatan & Pemberdayaan Sumberdaya
Ummat
Jl. Retno Dumilah No.29A, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta
Istilah Wakaf berasal dari bahasa Arab, yakni ; wa-
qo-fa, yang berarti Menahan”, “berhenti”, “diam di
tempat” atau “tetap berdiri”. Istilah wakaf tidak di-
asalkan dari al Qur‟an atau al Hadits, karena tidak
ada kata „waqofa‟ dari kedua sumber petunjuk aga-
ma islam tersebut. Tetapi secara implisit, banyak
sekali kandungan dari keduanya yang menunjukkan
pentingnya seseorang untuk menafkahkan sebagian
hartanya, tidak hanya untuk sedekah, melainkan
juga untuk kemaslahatan ummat, bukan dalam
jangka pendek melainkan jangka panjang.
Istilah Wakaf, dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ibn Umar menggunakan kata „at tahbiis‟ atau ha-
basa-yahbisu-tahbisan, yang punya makna sama
dengan kata waqofa di atas. Yaitu dari sabda
Rasulullah kepada Sayyidina Umar Ibn Khottob, „In
Syi’ta habasta ashlaa-ha wa tashoddaq tsama-
rotaha’ (jika kamu inginkan, hendaklah kamu tahan
pokoknya dan kamu sedekahkan lah hasilnya).
Hadits di atas menjelaskan bahwa harta yang akan
diwakafkan itu harus berasal dari kehendak dari si
pemilik wakaf (harta kekayaan), apakah akan dimili-
ki sendiri, ataukah dihibahkan kepada orang lain,
ataukah diwakafkan. Jika diwakafkan, maka ia mere-
lakan diri, agar asset kekayaan tersebut dimanfaat-
kan, untuk kemaslahatan ummat.
Para Imam Mahdzab bersepakat tentang sunnahnya
berwakaf. Oleh karena itu banyak Negara yang te-
lah melakukan improvisasi wakaf sejak zaman dulu,
contohnya Universitas Al Azhar yang didirikan se-
jak masa Dinasti Fatimiyah menguasai Mesir.
Dengan penggagas awal oleh Khalifah Al Hakim bi
Amrillah, diikuti dengan para khalifah selanjutnya
dan orang-orang kaya setempat. Dari dana wakaf
ini, dapat menggerakkan aktivitas al Azhar hingga
menjadikanna universitas Islam ternama, dengan-
beasisswa, asrama dan berbagai fasilitas pendidikan
dan layanan social lainnya.
Wakaf adalah asset ummat yang berasal dari
kepemilikan pribadi. Meski sudah dilaksanakan
hingga ribuan tahun, tetapi masih ditemukan perbe-
daan pendapat di sekitar pertanyaan; “apakah harta
wakaf, sejatinya adalah milik wakif (orang yang me-
wakafkannya), atau benar-benar milik umum”.
Misalnya, Bapak Kiai A, punya tanah, diperuntuk-
kan untuk sekolah, apakah sekolah tersebut sejat-
inya adalah benar-benar milik umum (milik Allah)
ataukah milik Kiai A?
Ulama dari kalangan mahdzab Hanafi menaytakan
bahwa hak milik harta wakaf tetap beradda di tan-
gan wakif, tetapi merelakan assetnya untuk keba-
jikan. Begitu juga dari Imam Maliki, wakaf berarti
menahan miliknya, tetapi hasil dari wakafnya di-
peruntukkan bagi orang lain. Tetapi, jika harta
wakaf dimiliki oleh wakif, dan ummat hanya
mengambil kemanfaatn selagi ia masih hidup, maka
harta wakaf tersebut bersifat sementara. Harta
wakaf ketika berhenti memberikan manfaatnya,
maka tidak lah menjadi amalan jariyah. Oleh karena
itu, dalam wakaf dikenal pembagian wakaf pada dua
hal; yaitu wakaf abadi dan wakaf sementara.
Wakaf sementara atau wakaf abadi, keduanya sama-
sama sah dalam sistem hokum kita tentang per-
wakafan, sebagaimana bunyi Undang-undang ten-
tang wakaf No. 41 tahun 2004, yakni;
“Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah”
PENGERTIAN WAKAF
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan”, “berhenti”, “diam di tempat” atau tetap berdiri”.
Wakaf Sama artinya dengan At-Tahbis /
.habasa-yahbisu—tahbisan , التَّْحبِْيس
Secara Etimologi
Wakaf adalah menahan suatu
benda yang menurut hukum, tetap
milik si wakif dalam rangka mem-
pergunakan manfaatnya untuk ke-
bajikan.
Pengertian Wakaf Menurut Abu Hanifah
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menye-
rahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
DEFINISI WAKAF
Pengertian Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004
Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah Saw
dan disyariatkan setelah Nabi Saw di Madi-
nah, tepatnya pada tahun kedua Hijriyah. Ada
dua pendapat yang berkembang di kalangan
ahli fuqaha tentang siapa yang pertama kali
melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagi-
an pendapat ulama, yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah Saw,
yaitu wakaf tanah milik Nabi Saw untuk
dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diri-
wayatkan Umar bin Syabah dari „Amr bin
Sa‟ad bin Mu‟adz, ia berkata: “Kami bertanya
tentang mula-mula wakaf dalam Islam?
Orang Muhajirin mengatakan Umar, se-
dangkan orang-orang Ansor mengatakan
Rasulullah Saw.
Ketika itu (tahun ketiga Hijriyah) Rasulullah
pernah mewakafkan tujuh buah kurma di
Madinah, diantara adalah kebun “Araf, Shafi-
yah, Dalal, Barqah, dan kebun lainnya.
Sedangkan ulama yang berpendapat Umar
bin Khaththab adalah orang yang pertama
kali wakaf, berdasarkan hadits yang diri-
wayatkan Ibnu Umar ra. Disampaikan, bahwa
sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah
di Khaibar, kemudian menghadap Rasulullah
untuk minta petunjuk.
Rasulullah mengatakan, “Bila engkau suka,
kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihi-
bahkan dan tidak diwariskan . Ibnu Umar
berkata, “Umar menyedekahkannya (hasil
pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir,
kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu
sabil, dan tamu. Tidak dilarang bagi yang
mengelola (nadzir) wakaf, makan dari hasil-
nya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
memberi makan orang lain dengan tidak ber-
maksud menumpuk harta.” (HR. Muslim).
Selanjutnya, wakaf juga dilakukan Umar bin
Khaththab, disusul Abu Thalhah yang me-
wakafkan kebun kesayangannya (Bairaha).
Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi Saw
lainnya, seperti Abu Bakar As-Shiddiq yang
mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah
yang diperuntukkan kepada anak keturun-
annya yang datang ke Mekkah.
Begitu juga Utsman ra menyedekahkan har-
tanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib me-
wakafkan tanahnya yang subur, Mu‟adz bin
Jabal mewakafkan rumahnya yang populer
dengan sebutan “Daar Al-Anshar”. Kemudian
wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah
bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah
(istri Rasulullah saw).
Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa
Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Ban-
yak orang memberikan wakaf, tidak hanya
untuk orang-orang fakir miskin saja, tetapi
wakaf menjadi modal untuk membangun lem-
baga pendidikan, membangun perpustakaan
dan membayar gaji para stafnya, gaji para
guru dan beasiswa untuk para siswa dan ma-
hasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan
wakaf telah menarik perhatian negara untuk
mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor
untuk membangun solidaritas sosial dan
ekonomi masyarakat.
Sumber: Voa-Islam
WAKAF DI ZAMAN RASULULLAH SAW
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melain-
kan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir sera-
tus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
DALIL DARI AYAT AL QUR’AN TENTANG WAKAF
Secara eksplisit tidak disebutkan dalam al Qur‟an tentang konsep Wakaf, hanya disebut-
kan perintah umum (lafzh „am) untuk menafkahkan dari sebagian harta yang kita
usahakan dan dari apa-apa yang kita tanam, kepada orang lain
Wakaf dalam konsep ajaran Islam adalah bagian dari amal jariyah, yaitu amalan yang tetap
langgeng walau orang yang bersangkutan telah tiada. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra,
Rasulullah Saw bersabda;
“Apabila Meninggal seorang Anak Adam (Manusia) maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga
hal: yaitu Sedekah Jariyah, Ilmu Yang Bermanfaat, dan Seorang Shaleh yang senantiasa Men-
doakan Orangtuanya” (HR Muslim).
Ketiga hal di atas adalah, adalah amalan seseorang yang masih memberikan efek positif
terhadap lingkungannya. Amal Jariyah digunakan untuk keperluan orang banyak, Ilmu
yang bermanfaat yang diberikannya diamalkan dengan baik oleh para muridnya, hingga
mendatangkan kemaslahatan. Dan hasil didikan yang baik, menjadikan putra-putrinya se-
bagai generasi orang soleh dan solehah.
DALIL DARI HADITS NABI TENTANG WAKAF
Diriwayatkan dari Ibn Umar: “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia ber-
tanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh
tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih
tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk
melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan
sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak
boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada
fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang
berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh
digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti me-
makan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber penda-
patan.” (HR Bukhori)
REKENING WAKAF SAYYIDINA UTSMAN BIN AFFAN
MASIH BERTAHAN HINGGA KINI??
Utsman Bin Affan adalah seorang sahabat Nabi,
yang hidup di zaman Nabi, tetapi rekening atas na-
ma utsman bin affan tersimpan di salah satu bank di
Saudi Arabia? Bagaimana Bisa?? Apakah ada orang
yang mengatasnamakan harta miliknya dengan Sa-
habat Nabi tersebut? Ataukah itu hanya sekedar
nama belaka? Ternyata tidak, Rekening tersebut
benar-benar atas nama Utsman Bin Affan.
Sejarah Kerasulan, mencatat nama Utsman Bin Af-
fan sebagai khalifah ketiga dari khulafa’ur rasyidin.
Ia dikenal sebagai pedagang yang kaya raya,
seorang pebisnis, tapi juga dikenal sebagai seorang
yang sangat dermawan. Beliau dilahirkan pada seki-
tar 574 Masehi, atau 3 tahun lebih muda dari
Rasulullah. Dan meninggal pada usia 81 tahun, pa-
da tahun 35 Hijriyah.
Beliau mendapat julukan Dzun Nur‟aini, karena te-
lah menikahi dua putri rasulullah, di waktu yang
berbeda. Karena kepribadiannya yang jujur dan
rendah hati. Beliau berasal dari Bani Umayyah, yai-
tu Bani (keturunan) yang pada masa selanjutnya
memerintah wilayah Islam di Timur Tengah,
dengan nama Dinasti Umayyah.
Pada waktu sesudah Hijrah, Penduduk Kota di
Madinah semakin bertambah, yakni penduduk
setempat ditambah ratusan orang dari Mekkah
yang terpaksa berhijrah di sana, demi memper-
tahankan aqidahnya. Pertambahan jumlah
penduduk, di daerah padang pasir sangat menen-
tukan keseimbangan ekosistem, terutama dalam hal
ketersediaan jumlah volume air yang dibutuhkan
oleh sejumlah populasi manusia untuk bertahan
hidup.
Waktu itu sumur terbesar dan terbaik dimiliki oleh
seorang Yahudi, yaitu sumur Ar raumah atau al
bir‟u ar Raumah. Pemiliknya dikenal sangat pelit, ia
hanya mau berbagi dengan orang lainnya, hanya
jika mereka membelinya. Keadaan ini jelas membu-
at para sahabat yang datang dari Mekkah merasa
kesulitan, karena mereka sebelumnya terbiasa mi-
num dari Air Zam-zam selama di Mekkah. Kaum
Muslimin beserta penduduk Yatsrib, terpaksa mem-
beli air bersih dari orang Yahudi tersebut secara
rutin.
Rasulullah merasa prihatin, dengan ketergantungan
kaum muslimin atas sumur tersebut, sehingga ia
bersabda
" Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang
menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan
perigi itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka
akan mendapat surgaNya Allah Ta'ala" ( HR. Mus-
lim) .
Utsman segera bertindak untuk membebaskan su-
mur Raumah tersebut dari si Yahudi. Utsman
menawarkannya dengan biaya sangat tinggi, tetapi
si Yahudi tersebut menolak. Karena menurutnya,
jika sumur tersebut ia jual, maka penghasilan rutin
yang ia terima kesehariannya akan hilang.
Utsman pun berfikir bahwa orang banyak mesti
mendapat akses terhadap sumur tersebut, di sisi
lainnya, si Yahudi tidak kehilangan penghasilannya.
Maka ia memutuskan untuk menawarkan 1/2 dari
total harga sumur yang ditawarkan yakni seharga
12.000 dirham, lalu sumur tersebut dipergunakan
secara bergantian. Hari ini menjadi milik si Yahudi,
esok harinya berganti dimiliki oleh Utsman,
besoknya kembali kepada si Yahudi, begitu se-
terusnya.
Si Yahudi pun setuju dengan usulan Utsman bin
Affan. Ketika giliran Utsman Bin Affan memiliki
sumur tersebut, Utsman segera mengumumkan
kepada seluruh penduduk Madinah untuk mengam-
bil sumur yang ia beli setengahnya tersebut, se-
hingga mereka mendapat jatah air secara Cuma-
Cuma untuk mencukupi kebutuhan mereka selama
dua hari ke depan, karena keesokan harinya dirinya
tidak mendapat jatah kepemilikan sumur.
Keesokan harinya, si Yahudi mendapati sumurnya
sepi dengan pembeli, karena semua pembeli sudah
memborong keperluan air sumurnya selama dua
hari. Lalu si Yahudi mendatangi Utsman bin Affan,
untuk menawarkan pembelian setengahnya lagi.
Lalu Utsman menyanggupinya, dengan membayar
uang 8.000 dirham, sehingga total keseluruhannya
ia membeli sumur tersebut, dan menjadi miliknya
seutuhnya.
Utsman kemudian mewakafkan sumur tersebut,
untuk dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk oleh
pemilik lamanya. Ternyata, kekayaan sumur terse-
but, tidak lah berhenti sampai di sini saja. Tetapi
berlanjut, bahkan hingga pada masa kini !!
Masa-masa selanjutnya, sumur tersebut dirawat
untuk kepentingan orang banyak. Dari Sumur,
kemudian berkembang di sektiarnya menjadi
ladang kurma. Kemudian diatur, dari zaman
kekhalifahan khulafaur rasyidin, berlanjut ketika ma-
sa Dinasti Umayyah, kemduian berkembang ketika
masa Daulah Turki Utsmani, hingga penjagaan
oleh Dinasti Su‟udiyah sekarang ini.
Sumur tersebut kini menjadi kebun kurma, yang
hasil pemeliharaannya dijual ke pasaran. Hasil
penjualannya disimpun ke kas beliau di bawah
pengawasan Menteri Pertanian, sebagiannya lagi
disalurkan kepada anak-anak yatim dan terlantar di
Saudi Arabia. Jumlah tanaman kurma di lading
hasil wakaf Utsman tersebut kini berjumlah 1.550
buah.
Hasil perputaran uang tersebut, dapat di-
pergunakan untuk mengembangkan uang lebih luas
lagi, dengan membeli lahan di kawasan Masjid
Nabawi, yang diperuntukkan membangun hotel,
dengan nama Hotel “Utsman Bin Affan”, karena
dibiayai oleh rekening yang didapatkan dari
Utsman Bin Affan. Hotel tersebut akan dikelola
oleh sebuah perusahaan ternama di bidang per-
hotelan, dengan income (pemasukan) darinya sebe-
sar 50 juta Riyal atau sekitar 16 Milyar per tahun.
Hasil dari perputaran uang ini akan dibagikan kepa-
da anak yatim dan faqir miskin.
Ladang Kurma hasil pengembangan dari Sumur Raumah,
yang dibeli oleh Utsman Bin Affan
Wakaf
Infak/Shadaqah/Hibah
Menyerahkan kepemilikan suatu ba-rang kepada oaring lain
Menyerahkan kepemilikan suatu ba-rang kepada pihak lain
Hak milik atas barang di kembalikan kepada Allah
Hak milik atas barang diberikan kepada penerima shadaqah/hibah
Objek wakaf tidak boleh diberikan atau dijual kepada pihak lain
Objek shadaqah/hibah boleh diberi-kan atau dijual kepada pihak lain
Manfaat barang biasanya dinikmati un-tuk kepentingan sosial
Manfaat barang dinikmati oleh pen-erima shadaqah/hibah
Objek wakaf biasa nya kekal zatnya Objek shadaqah/hibah tidak harus kekal zatnya
Pengololaan objek wakaf diserahkan kepada administrator yang disebut nad-
zir/mutuwalli
Pengololaan objek shadaqah/hibah diserahkan kepada si penerima
PERBEDAAN ANTARA WAKAF DAN SHODAQOH
Wakaf Identik dengan orang kaya, apalagi wakaf tanah. Tetapi tidak demikian dengan Sukino. Seorang warga Desa Wonorejo Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar. Ia mewakafkan tanah 300 meter miliknya, un-tuk pembangunan masjid. Padahal Sukino bukan lah orang dengan kehidupan pas-pasan, dengan penghasilan seharinya han-ya 25 ribu rupiah, dari profesi tukang be-cak, yang dijalaninya sehari-harinya.
Rumah yang didiami Sukino sendiri bukan lah rumah mentereng, melainkan rumah yang sudah ditembok, tetapi belum diplester dengan semen dan cat dinding. Di ruang tamu, hanya ada kursi berusia tua, beserta papan besar dan mesin jahit yang sehari-harinya digunakan oleh istrinya, Sri, untuk menjahit pakaian.
Tanah untuk pembangunan masjid ini ada-lah tanah hasil warisan, yang total kese-luruhannya seluas 600 meter persegi. 300 meter digunakan sebagai rumah dan pekarangan yang ia tempati, dan 300 meter persegi adalah lahan yang sekarang ini su-dah ia wakafkan di Jalan Allah.
Wakaf lahan untuk pembangunan masjid, bukan lah amalan sia-sia. Karena wakaf un-tuk pembangunan lahan masjid, akan mendapat kebaikan yang tak pernah putus, meski jika yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Cerita Sukino berwakaf tanah untuk pem-
bangunan masjid ini berawal dari sakit pa-
ru-parunya yang ia alami selama 13 tahun.
Ia pun bernazar, jika sakit paru-parunya
sembuh, maka ia akan mewakafkan sebagi-
an tanahnya untuk pembangunan masjid.
Apa yang ia nazarkan, mendapat ijabah
dari Allah, ia menjadi sembuh, lalu memen-
uhi nazarnya.
Cerita tentang Sukino ini terdengar oleh
Bupati Karanganyar waktu itu, Rina Iriani,
yang datang ke Rumah Sukino mem-
berikan beberapa bantuan, seperti
melancarkan kepngurusan Jamkesmas, ka-
rena keluarga Sukino belum mendapatkan
jaminan Kesehatan dari pemerintah. Bupati
juga membantu melancarkan pem-
bangunan masjid, agar cita-cita Sukino da-
lam mebangun masjid di atas tanah
wakafnya, dapat terealisir.
Hari Sabtu, tanggal 23 November 2013,
Masjid tersebut diresmikan dengan pele-
takan batu pertama oleh Ibu Bupati, did-
ampingi Perangkat Kerja Daerah. Masjid
ini dinamakan dengan Al Maming 20
SUKINO, TUKANG BECAK WAKIF TANAH 500 METER
PERSEGI UNTUK PEMBANGUNAN MASJID
SYARAT WAKIF, NAZHIR, & BARANG WAKAF
Wakif (Pemberi Wakaf) meliputi tidak hanya in-
dividu (orang), melainkan dapat pula wakif itu
berupa yayasan, organisasi atau badan hokum, yang
menyerahkan asset mereka untuk dikelola.
Syarat menjadi Wakif adalah;
a. dewasa;, b. berakal sehat; c. tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum; dan d. pemilik sah
harta benda wakaf.
Nazhir (Pengelola Wakaf) tidak hanya individu, melain-
kan juga dapat berupa yayasan, organisasi atau badan ho-
kum. Dimana mereka menerima amanah dari wakif, untuk
mengelola harta benda yang diwakafkan. Syarat menjadi
wakif meliputi;
A) Beragama Islam B) Dewasa C) Amanah D) Mampu
secara jasmani dan rohani, E) Tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum
Harta Benda Wakaf dapat sah, jika benda yang
diwakafkan adalah milik sepenuhnya dari si wakif
(pemberi wakaf). Baik barang tersebut adalah ba-
rang tak bergerak (tanah, lahan pertanian, dan
gedung) ataupun barang bergerak (uang, tunai,
deposito, logam mullia, kendaraan, investasi, dst).
MACAM-MACAM WAKAF BERDASARKAN MAUQUF ‘ALAIH
Wakaf Khairi
Wakaf yang ditujukan untuk kepentingan
Umum, tidak ditujukan kepada orang-orang
tertentu. Wakaf jenis ini adalah wakaf yang
benar-benar diutamakan dalam ajaran Islam,
dan lebih baik daripada wakaf yang ditujukan
kepada kelompok tertentu saja. Oleh karena itu
Wakaf ini disebut dengan Wakaf Khairi (lebih
baik). Misalnya, wakaf lahan untuk pem-
bangunan masjid, sekolah atau yayasan anak
yatim untuk kepentingan semua orang yang
membutuhkannya.
Wakaf Ahli
Wakaf Ahli atau wakaf zhurriy atau keluar-
ga, yaitu wakaf yang ditujukan kepada
orang-orang tertentu (yang ditunjuk oleh
wakif), satu atau lebih orang, baik keluarga
maupun orang lain. Misalnya, wakaf
sebidang tanah dari seorang kakek, yang ditujukan un-
tuk kepentingan para cucu-cucunya, dan generasi beri-
kutnya. Wakaf ini dikelola untuk kepentingan para ke-
turunannya, kelemahannya adalah jika keluarga berkem-
bang biak, atau musnah. Sehingga pada akhirnya, beru-
bah statusnya menjadi wakaf khairi., dengan hakim se-
Wakaf di Zaman Rasul hanya pada wakaf dalam ben-
tuk lahan atau bangunan atau disebut dengan wakaf
barang tak bergerak (ghoiru al manqul), dan tidak
ada riwayat tentang wakaf dengan menggunakan ba-
rang bergerak (al manqul), seperti uang, saham, cek,
surat berharga dan seterusnya. Sehingga Para Ulama
bersepakat tentang wakaf tak bergerak (ghoiru al
manqul), tetapi tidak bersepakat tentang kebolehan
harta bergerak.
Pendapat Imam al-Zuhri (w. 124H.) bahwa
mewakafkan dinar (uang) hukumnya boleh,
dengan cara menjadikan dinar tersebut se-
bagai modal usaha kemudian keuntungannya
disalurkan pada mauquf 'alaih (penerima
wakaf)
Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat
Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatu-
hu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h.
162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham
sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-'Urfi,
berdasarkan atsar Abdullah bin Mas'ud r.a:
"Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka
dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam
pandangan Allah pun buruk".
PERTIMBANGAN KE-
BOLEHAN WAKAF TUNAI /
UANG
1) Nilai Pokok Wakaf Uang ha-
rus dijamin kelestariannya,
tidak boleh berkurang, tak
boleh dihibahkan atau diwaris-
kan.
2) Memperhatikan hadits dari
Ibn Umar tentang Wakaf Sa-
habat Umar Ibn Khattab, yaitu
mengusahakan keuntungan dari
harta benda, yang hasilnya untuk
kemaslahatan umum.
3) Uang memiliki fleksibilitas
(keluwesan ) dan kemaslahatan
besar yang tidak dimiliki oleh
benda lain.
KEBOLEHAN WAKAF TUNAI
Wakaf selalu identic dengan lahan atau bangunan tetap.
Bangunan wakaf selalu dipersepsikan sebagai bangunan yang
bermanfaat tetapi tidak menghasilkan. Bermanfaat dalam ar-
tian, ia selalu memberi manfaat kepada orang banyak, tetapi
tidak menghasilkan secara ekonomis, sehingga tidak dapat
berkembang. Jika bangunan berwujud masjid seluas 7 x 7 me-
ter misalnya, maka ia akan tetap seperti itu terus, tidak
berkembang, menjadi lebih luas.
Persepsi terhadap wakaf seperti di atas, mengakibatkan wakaf
seabgai bentuk amal jariyah, yang dititipkan oleh wakif, tidak
memiliki tingkat produktivitias. Padahal, dalam sejarah Nabi,
berbagai harta benda wakaf, punya peluang untuk
menghasilkan laba, dari laba tersebut digunakan untuk
kepentingan bersama. Selain factor persepsi bahwa wakaf itu
identic dengan harta tak bergerak, juga persepsi bahwa benda
wakaf itu kurang penting jika dikembangkan.
Ini lah yang menyebabkan potensi wakaf kurang dimaksimal-
kan. Wakaf berupa lahan dan bangunan, atau jenis wakaf ben-
da tak bergerak, memiliki kelemahan, yaitu kurang fleksibel
untuk dikembangkan. Hal ini berbeda dengan wakaf uang tun-
ai, karena mudah untuk diinvestasikan dalam berbagai bentuk
usaha, yang sekiranya lebih produktif.
Keunggulan lainnya dari wakaf tunai dibandingkan dengan
wakaf barang tak bergerak adalah, siapapun bisa berwakaf
uang. Selama ini, hanya orang yang memiliki lahan yang luas
atau orang kaya saja yang dapat berwakaf. Karena wakaf iden-
tic dengan tanah, dan tanah identic dengan harga tinggi yang
relative tak terjangkau oleh kelompok kelas ekonomi menen-
gah atau ke bawah.
Wakaf tunai jelas punya kemudahan dalam mengurus admin-
istrasinya daripada wakaf tanah, karena wakaf tanah berkaitan
dengan pengurusan sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan
Nasional, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan
pemindahan status kepemilikan tanah. Sedangkan, wakaf tun-
ai, hanya berupa sertifikat wakaf uang. Seseorang tidak diha-
ruskan untuk berwakaf dengan jumlah tertentu dengan nilai
tinggi, melainkan dengan nilai yang terjangkau. Misalnya,
untuk membangun masjid, untuk pembebasan lahan, maka
pihak takmir menyelenggarakan penggalangan dana wakaf.
Siapapun bisa menyumbang hingga terkumpul untuk mem-
bebaskan tanah yang pada akhirnya untuk pembangunan mas-
jid atau untuk areal pekuburan.
Potensi wakaf tunai dapat digunakan pula untuk usaha bisnis
yang hasilnya untuk kemaslahatan ummat, seperti wakaf Say-
yidina Umar Bin Khottob yang menyedekahkan hasil perke-
bunan miliknya untuk faqir miskin, untuk memerdekakan bu-
dak sampai pada musafir. Wakaf sumur Raumah sendiri
berkembang demikian pesat, dari masa kenabian hingga masa
sekarang. Dari sebuah sumur tua, dikembangkan menjadi areal
pertanian yang menghasilkan kurma, sampai pembangunan
hotel berbintang Lima di Kota Madinah Modern sekarang ini.
Bagaimana besarnya potensi wakaf di Indonesia?
Indonesia adalah Negara dengan mayoritas muslim, yaitu
sebanyak 200‟an juta populasi kaum muslimin di negeri ini.
Jika 5% diantaranya (sekitar 10 juta ummat Islam Indonesia),
mewakafkan uang Rp. 10.000,00 per bulan, jika dijumlahkan
akan menjadi 100 Milyar selama satu bulan, dan 1,2 Triliun
dalam satu tahun. Jika dari modal sebesar ini setidaknya akan
memberi keuntungan 10% dari total modal, maka didapatkan
per tahun akan menghasilkan laba sebesar 120 Miliar/tahun.
Bagaimana jika ummat Islam dapat melakukan wakaf untuk
investasi selama 5 tahun, dengan Nazhir yang professional?
Potensi dan pemanfaatannya ini, akan mampu menyelesaikan
persoalan ummat islam. Namun, penghimpunan dan pengel-
olaan potensi ini akan segera terwujud, jika seluruh ummat
Islam, baik dari swasta, pemerintahan, lembaga Ulama (MUI),
Ormas Islam, Media-media konvensional, mempunyai visi
yang sama dalam mengkampanyekan gerakan wakaf uang.
Misalnya di bidang mikrobisnis, dapat dipakai untuk investasi
kepada kerajinan dan peternakan. 10% dari hasil bersih diberi-
kan kepada Nazhir wakaf (pengelola dana wakaf), sedangkan
sisanya disalurkan untuk kepentingan umum atau untuk
menambah akun rekening dari modal awal. Sedangkan untuk
investasi jangka panjang, dapat dipakai untuk mengem-
bangkan swalayan atau membangun pabrik-pabrik dengan
skala menengah atau besar, yang dapat menampung ribuan
pekerja muslim, yang hasilnya dipakai untuk didistribusikan
kepada yayasan-yayasan yatim piatu atau diberikan secara
langsung kepada faqir miskin.
Dana wakaf tersebut dapat diinvestasikan secara langsung
sebagaimana contoh di atas, tetapi dapat dipakai pula sebagai
investasi tidak langsung, misalnya melalui perbankan dengan
cara Deposito. Dengan cara tersebut, maka akan dihasilkan
investasi tiap bulan. “Kelemahan” dari wakaf uang adalah, bah-
wa dalam wakaf, harta benda (dalam wujud uang) tidak boleh
berkurang nilainya (nilai pokoknya), sehingga perlu kehati-
hatian dan profesionalisme dalam pengelolaannya. Jika ke de-
pannya merugi, dan nilai pokoknya berkurang, maka
tanggungjawabnya ada pada diri Nazhir terhadap Allah Swt.
Apakah sumber daya nazhir untuk mengembangkan wakaf
uang dapat terpenuhi?
Wallahu A’lam Bish Showwab
MENGHITUNG POTENSI WAKAF UANG DI INDONESIA