Puasa Dalam Kritik Al-ghazali

2
1 PUASA DALAM KRITIK AL-GHAZALI Novriantoni Kahar Maksud terdalam dari puasakata al-Ghazali lebih lanjutadalah pengosongan (al- khawaa') dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual. Namun berkat al-Ghazali, beberapa ulasan soal agama kembali menemukan elan- vitalnya. Ambillah contoh dari kritik al-Ghazali soal tradisi puasa. Sejak sembilan abad lalu, penambahan jenisbahkan pengelipatan volume konsumsioleh al-Ghazali sudah dirasakan sebagai ironi bulan puasa. "Memakan apa yang tak dimakan di selain bulan Ramadan, mengonsumsi sesuatu lebih banyak dari hari-hari non-puasa, sungguh telah jauh melenceng dari ruh puasa," tulisnya. Dalam rumusan al-Ghazali, esensi puasa adalah upaya untuk melemahkan energi- energi syaithani yang ada pada diri manusia agar tidak terlalu berdaya untuk berbuat jahat. Pelemahan itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui pengurangan. "Wa lan yahtsul dzaalika illaa bi at-taqliil," tandasnya. Apa yang dikeluhkan al-Ghazali di masanya tampaknya berlaku juga di masa kita. Sudah bukan rahasia, saban kali Ramadan tiba, tingkat konsumsi di negara-negara muslim justru melonjak tajam. Logisnya, puasa akan menekan tingkat konsumsi masyarakat ke angka yang lebih rendah dari hari-hari biasa. Namun yang terjadi justru paradoks ini: orang seperti menunda makan siang untuk disikat di kala malam. Puasa seperti men-jamak ta'khir apa yang luput tadi siang, ditambah panganan-panganan penunjang. Padahal, inti dari ibadah puasa adalah pengurangan. Taqliil, kata al-Ghazali, bukan penundaan, apalagi pengelipatan. Dan jikapun dikaitkan dengan upaya mencapai takwa, aspek pengurangan konsumsi itu pun masihlah belum memadai. Ini barulah tangga pertama menuju takwa. Maksud terdalam dari puasakata al-Ghazali lebih lanjutadalah pengosongan (al-khawaa') dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual. Bagi al-Ghazali, tersambungnya diri seseorang ke alam transendental ('aalam al- malakuut)yang konon menyingkapkan diri pada momen lailatul qadarhanya mungkin terjadi bila perut dalam keadaan kosong. Terisinya rongga-rongga di antara hati dan dada dengan limpahan pangan sudah cukup membuat orang terhalang (mahjuub) untuk menyingkap alam transendental yang menampilkan diri sekali setahun itu. Intinya, melalui puasa al-Ghazali mengajak kita merasakan pengalaman spiritual. Dimulai dari pengurangan terhadap konsumsi yang fisikal, dilanjutkan dengan pengosongan diri dari selain Yang Transendental. Dari ulasan di atas, mudah saja membuat indikator kasat mata untuk mengavaluasi berhasil-tidaknya puasa kita mencapai sasaran. Pertama, bila belanja dapur di bulan puasa

description

puasa ramadhan

Transcript of Puasa Dalam Kritik Al-ghazali

  • 1

    PUASA DALAM KRITIK AL-GHAZALI Novriantoni Kahar

    Maksud terdalam dari puasakata al-Ghazali lebih lanjutadalah pengosongan (al-khawaa') dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual.

    Namun berkat al-Ghazali, beberapa ulasan soal agama kembali menemukan elan-vitalnya. Ambillah contoh dari kritik al-Ghazali soal tradisi puasa. Sejak sembilan abad lalu, penambahan jenisbahkan pengelipatan volume konsumsioleh al-Ghazali sudah dirasakan sebagai ironi bulan puasa.

    "Memakan apa yang tak dimakan di selain bulan Ramadan, mengonsumsi sesuatu lebih banyak dari hari-hari non-puasa, sungguh telah jauh melenceng dari ruh puasa," tulisnya.

    Dalam rumusan al-Ghazali, esensi puasa adalah upaya untuk melemahkan energi-energi syaithani yang ada pada diri manusia agar tidak terlalu berdaya untuk berbuat jahat. Pelemahan itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui pengurangan. "Wa lan yahtsul dzaalika illaa bi at-taqliil," tandasnya.

    Apa yang dikeluhkan al-Ghazali di masanya tampaknya berlaku juga di masa kita. Sudah bukan rahasia, saban kali Ramadan tiba, tingkat konsumsi di negara-negara muslim justru melonjak tajam. Logisnya, puasa akan menekan tingkat konsumsi masyarakat ke angka yang lebih rendah dari hari-hari biasa.

    Namun yang terjadi justru paradoks ini: orang seperti menunda makan siang untuk disikat di kala malam. Puasa seperti men-jamak ta'khir apa yang luput tadi siang, ditambah panganan-panganan penunjang.

    Padahal, inti dari ibadah puasa adalah pengurangan. Taqliil, kata al-Ghazali, bukan penundaan, apalagi pengelipatan.

    Dan jikapun dikaitkan dengan upaya mencapai takwa, aspek pengurangan konsumsi itu pun masihlah belum memadai. Ini barulah tangga pertama menuju takwa. Maksud terdalam dari puasakata al-Ghazali lebih lanjutadalah pengosongan (al-khawaa') dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual.

    Bagi al-Ghazali, tersambungnya diri seseorang ke alam transendental ('aalam al-malakuut)yang konon menyingkapkan diri pada momen lailatul qadarhanya mungkin terjadi bila perut dalam keadaan kosong. Terisinya rongga-rongga di antara hati dan dada dengan limpahan pangan sudah cukup membuat orang terhalang (mahjuub) untuk menyingkap alam transendental yang menampilkan diri sekali setahun itu. Intinya, melalui puasa al-Ghazali mengajak kita merasakan pengalaman spiritual. Dimulai dari pengurangan terhadap konsumsi yang fisikal, dilanjutkan dengan pengosongan diri dari selain Yang Transendental.

    Dari ulasan di atas, mudah saja membuat indikator kasat mata untuk mengavaluasi berhasil-tidaknya puasa kita mencapai sasaran. Pertama, bila belanja dapur di bulan puasa

  • 2

    lebih besar dari di bulan lainnya, berarti ada yang sia-sia dari puasa kita. Kedua, bila berat badan tidak menyusut, bahkan stabil atau malah bertambah, berarti proyek taqliil sudah gagal bekerja.

    Itulah dua contoh pengukuran terhadap indikator yang kasat mata. Untuk yang tidak kasat mata, sebaiknya tiap orang bermuhasabah sendiri-sendiri. Tak perlu intervensi al-Ghazali, apalagi mengundang campur tangan ormas anarkhi.

    Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.

    Salah satu kelebihan Imam al-Ghazali (1058 1111 M) dalam mengulas persoalan agama adalah ketajaman instingnya dalam menangkap ruh agama. Penguasaan ilmu-ilmu agama yang mumpuni,

    ketajaman instingtif dalam menangkap pesan-pesan dasar agama, plus pengamatan yang cermat

    terhadap tradisi beragama, itulah yang terasa di dalam kitabnya: Ihyaa Ulum-i ad-Din. Kitab yang

    ditulis untuk menghidupkan-ulang ilmu-ilmu agama ini merupakan injeksi darah bagi metode

    pengulasan agama yang galibnya sudah kering kerontang dan mulai sekarat.

    seorang pemikir yang multi talenta yang banyak menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu

    teologi, filsafat, astronomi, politik, sejarah, ekonomi, hukum, kedokteran, biologi, kimia, sastra,

    etika, musik, maupun sufisme. Dia adalah teolog Islam, ahli hukum, ahli filsafat, kosmologi,

    psikolog, maupun biologi. Dia dilahirkan di Tus, Provinsi Khorasan, Persia dan hidup antara tahun

    1058 hingga 1111. Al Ghazali yang sering disebut juga Algazel merupakan salah satu sarjana yang

    paling terkenal dalam sejarah pemikiran Islam Sunni. Dia dianggap sebagai pelopor metode

    keraguan dan skeptisisme. Salah satu karya besarnya berjudul Tahafut Al Falasifah atau The

    Incoherence of the Philosophers. Dia berusaha mengubah arah filsafat awal Islam, bergeser jauh

    dari metafisika Islam yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno dan Helenistik menuju filsafat

    Islam berdasarkan sebab-akibat yang ditetapkan oleh Allah SWT , sebuah teori yang kini dikenal

    sebagai occasionalism