PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK...
Transcript of PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK...
Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 11-22
ISSN: 1412-8004
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 11
PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Prospect of Peatland Utilization For Oil Palm Plantation In Indonesia
WAHYUNTO1), AI DARIAH2), DJOKO PITONO3) dan MUHRIZAL SARWANI1)
1)Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian,
Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 2)Balai Penelitian Tanah
Indonesian Research Institute of Soil
Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 3)Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan,
Indonesian Center for Estate Crops Research and Development
Jalan Tentara Pelajar No 1. Bogor.
Diterima: 10 Desember 2012; Disetujui: 27 Mei 2013
ABSTRAK
Pengembangan perkebunan kelapa sawit (Elaeis
guenensis L.), terbukti mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat, dan mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra
pengembangan kelapa sawit. Pemanfaatan lahan rawa
gambut untuk perkebunan akan menyebabkan
tingginya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama
emisi CO2. Reklamasi lahan rawa gambut untuk
tanaman perkebunan kelapa sawit agar emisi GRK
dapat dikurangi, memerlukan jaringan drainase makro
yang dapat mengendalikan tata air di tingkat lahan.
Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat
kerusakan lahan gambut. Dengan demikian prinsip
pengelolaan lahan secara berkelanjutan perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut sangat diperlukan, agar
tidak berdampak terhadap penurunan kualitas
lingkungan. Diperlukan strategi pengaturan tinggi
muka air tanah agar tidak terlalu dangkal untuk
mendukung pertumbuhan optimal tanaman kelapa
sawit, dan juga tidak terlalu dalam agar permukaan
tanah gambut tetap lembab, sehingga tidak mudah
terjadi kebakaran dan penurunan tanah gambut secara
cepat sehingga emisi Gas Rumah Kaca dapat
dikurangi.
Kata kunci: Perkebunan, Elaeis guenensis L., penge-
lolaan, tata air, lahan gambut,
berkelanjutan
ABSTRACT
Development of oil palm (Elaeis guenensis L.)
plantations, has been proven to be able to increase
people's income, and has driven the region's of
economic growth in the centers of oil palm
development. Utilization of peatlands for plantations
will lead to high emissions of Greenhouse Gases
(GHG) emissions, especially CO2 emissions.
Reclamation of peatlands for palm oil plantation in
order to GHG emissions can be reduced, requiring
macro level of drainage network that can control water
flow at the landscape level. In appropriate drainage
system will accelerate the destruction of peatlands.
Thus the principle of sustainable land management of
oil palm plantations on peatland is needed, to
minimize the impact on environmental degradation.
Strategy on ground water level arrangements is
necessary ie: not too shallow ground water table to
support optimal growth of oil palm plantations, and
also not too deep ground water level in order to the
ground surface remains moist peat soil, so fire and
rapid subsident in peat soil can be prevented and
greenhouse gas emissions can be reduced.
Key words: Estate plantation, Elaeis guenensis L.,
sustainable, management, peatland,
water manage-ment
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2006, Indonesia telah tercatat
sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia.
Total produksi sawit Indonesia menyumbang
sekitar 45% dari produksi sawit dunia (Badrun,
2010). Meningkatnya permintaan minyak sawit
12 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
dunia mendorong peningkatan produksi
terutama dalam bentuk minyak sawit mentah
(Crude Palm Oil-CPO). Indonesia saat ini
memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 8,9 juta
ha dan 1,25 juta ha berada di lahan gambut
(Ditjen Perkebunan 2013 dan ICCTF, 2013). Saat
ini, tanaman kelapa sawit 41,4% dimiliki oleh
perkebunan rakyat (PR), 48,6% dimiliki oleh
perkebunan besar swasta (PBS), dan 10%
dimiliki oleh perkebunan besar milik Negara
(PTPN). Kementerian Pertanian mencatat 19,3
juta ton CPO diekspor, yang menghasilkan
devisa 17,4 miliar dolar AS. Pengembangan
kelapa sawit melibatkan 3,2 juta kepala keluarga
yang bekerja di sektor on farm (Herman et al.,
2009). Disamping itu pengembangan kelapa
sawit terbukti telah mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat dan mengurangi
kemiskinan serta telah mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan
kelapa sawit. Sebagai tanaman yang berbentuk
pohon, kelapa sawit juga mampu memfiksasi
CO2 menjadi O2 yang diperlukan makhluk hidup.
Produk kelapa sawit dapat digunakan
sebagai minyak makan, oleokimia dengan
berbagai produknya dan sebagai sumber energi.
Limbah kelapa sawit baik berupa limbah padat
maupun limbah cair, juga dimanfaatkan untuk
pakan ternak, pupuk maupun sumber energi.
Disamping itu dengan pola tanam yang tepat,
pengembangan kelapa sawit dapat diintegrasikan
dengan pengembangan tanaman palawija
(khususnya pada saat kanopi belum menutup),
maupun diintegrasikan dengan ternak sapi
(ICALRD, 2010).
Kelapa sawit hanya dapat tumbuh di daerah
tropis dan mampu menghasilkan minyak nabati
10 kali lipat lebih besar dibanding minyak
kedelai, rape seed maupun bunga matahari (World
Bank, 2009 dalam Bappenas, 2009). Pengembangan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat,
meningkatkan penerimaan dan devisa negara,
menyediakan lapangan kerja, meningkatkan
produktivitas, nilai tambah dan daya saing,
memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku
dalam negeri, mendorong pengembangan
wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Pengembangan kelapa sawit di Indonesia
dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai
dengan berbagai peraturan yang berlaku di
antaranya Indonesian Sustainable Palm Oil-ISPO
(Agus et al., 2010 dan Ditjen Perkebunan, 2013 ).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk
pertanian dan perkebunan, saat ini menjadi lahan
terlantar tidak produktif, akan tetapi sebagian
lainnya dengan pengelolaan yang baik ternyata
mampu berproduksi dan telah berkontribusi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
sekitarnya (Wahyunto et al., 2010). Gambaran ini
memperlihatkan bahwa ada bagian dari lahan
gambut yang memang perlu dikonservasi untuk
dipertahankan sebagai kawasan lindung dan
peresapan air di kawasannya, tetapi juga ada
gambut potensial yang bisa dimanfaatkan untuk
pembangunan pertanian secara bijaksana.
Semakin terbatasnya lahan mineral dalam
luasan yang ekonomis untuk perkebunan kelapa
sawit, lahan gambut merupakan salah satu
alternatif perluasan lahan, yang berpotensi
memberikan tambahan devisa dan kesempatan
kerja bagi masyarakat. Apalagi pada daerah-
daerah yang lahannya didominasi oleh lahan
gambut seperti Provinsi Riau, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah, pemanfaatan lahan
gambut merupakan suatu keharusan karena
tidak ada pilihan lain. Tulisan ini membahas
dinamika perkebunan kelapa sawit dan alternatif
pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan
kelapa sawit secara berkelanjutan dengan
mempertimbangkan potensi lahan dan
dampaknya terhadap penurunan kualitas
ekosistem lahan gambut.
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI
LAHAN GAMBUT
Kelapa sawit adalah unggulan utama
komoditas perkebunan Indonesia. Saat ini
Indonesia adalah pemilik terluas kebun kelapa
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 13
sawit dan penghasil Crude Palm Oil (CPO)
terbesar di dunia yang sebagian besar harus
diekspor karena konsumsi dalam negeri jauh
lebih rendah ketimbang produksi. Sumbangan
Sub-sektor perkebunan bagi perekonomian
Indonesia selama periode 2000-2004 sebesar
15,63% dari Produk Domestik Bruto (PDB)
Pertanian atau 2,46% dari PDB nasional. Selain
itu subsektor ini juga sebagai salah satu sumber
devisa non migas, sebagai sumber kesempatan
kerja bagi jutaan penduduk, lapangan investasi
bagi investor nasional maupun internasional,
mendorong pertumbuhan berbagai sektor
perekonomian lainnya (Wahyono et al., 2005).
Berdasarkan asumsi bahwa setiap 2 ha
kebun kelapa sawit memerlukan tenaga kerja
sekitar 35 orang; 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS)
memerlukan 136 tenaga kerja, maka sampai
dengan tahun 2005 penyerapan tenaga kerja oleh
sub sektor perkebunan kelapa sawit sekitar 2,1
juta ha (Wahyono et al., 2005 dan Wiratmoko et
al., 2008). Pada tahun 2006 sub sektor perkebunan
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,3 juta
juta jiwa (Ditjen Perkebunan, 2007). Luas area
perkebunan kelapa sawit di tanah mineral seluas
7, 7 juta ha dan 1,5 juta ha (20%) berada di lahan
gambut (Tabel 1). Perkebunan kelapa sawit
paling luas berada di Sumatera (69,1% dari luas
kebun kelapa sawit di Indonesia) terutama di
provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera
Selatan. Produktivitas tanaman kelapa sawit
masih bervariasi antara 0,8 – 4,1 ton tandan buah
segar (TBS) per ha. Produktivitas tertinggi
dicapai di daerah Provinsi Riau (4,1 ton TBS/ha)
dan produktivitas terendah berada di daerah
provinsi Kepulauan Riau (0,8 ton TBS per ha).
Sejak tahun 2006 Indonesia sudah menjadi
penghasil CPO terbesar di dunia. Pada tahun
2009, dengan produksi CPO sebesar 20,4 ton dan
volume ekspor sebesar 14,3 juta ton, Indonesia
merupakan produsen dan ekportir minyak sawit
terbesar di dunia. Perolehan devisa dari CPO
pada tahun 2010 diperkirakan mencapai USD 14
millard (Kadin, 2009, dalam BPS, 2010). Menurut
proyeksi Kadin (2009), penerimaan devisa tahun
2010-2014 dari komditas CPO mencapai USD 80,9
Tabel 1. Luas areal perkebunan kelapa sawit dan produktivitasnya di Indonesia
Provinsi/Pulau
Perkebunan Kelapa Sawit (ha) Produktivitas
rata-rata TBS (ton/ha) di tanah mineral di tanah gambut Luas total perkebunan
N.A.Darussalam 252.496 29.836 282.332 2,6
Sumatera Utara 831.387 217.305 1.048.692 3,7
Sumatera Barat 290.755 48.920 339.675 2,6
Riau 1.105.098 788.491 1.893.589 4,1
Kep. Riau 8.130 - 8.130 0,8
Jambi 397.491 88.645 486.136 3,4
Sumatera Selatan 643.938 64.118 708.056 3,8
Keb Babel 182.116 245 182.361 3,8
Bengkulu 226.072 963 227.035 4
Lampung 142.336 10.882 153.218 3,1
Sumatra 4.079.819 1.249.405 5.329.224 2,6 - 4,0
Jawa barat 9.837 0 9.837 1,9
Banten 14.894 0 14.894 2,8
Kalimantan 1.796.730 288.136 2.084.866 2,4 - 3,7
Sulawesi 209.379 0 209.379 1,8 - 3,9
Papua &Papua Barat 59.887 2.038 61.925 2,5 - 2,8
Indonesia 6.170.546 1.539.579 7.710.125 1,9 - 4,1
Sumber: Dirjen Perkebunan, 2011 dan ICCTF, 2012
14 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
millard (80% dari keseluruhan komoditas pangan
andalan ekspor), yaitu CPO, teh, kopi, kakao,
tuna dan udang. Pengembangan industri hilir
kelapa sawit memegang peranan penting dalam
perekonomian nasional, khususnya penghasil
devisa, penciptaan lapangan kerja, penyedia
kebutuhan pokok masayarakat dan bahan baku
industri, dan peningkatan ketahanan pangan dan
energi nasional.
LAHAN GAMBUT DAN POTENSINYA
UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Ekosistem Lahan Gambut
Luas lahan gambut di dunia diperkirakan
sekitar 400 juta ha. Indonesia merupakan negara
ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di
dunia, yaitu sekitar 14,9 juta ha setelah Kanada
seluas 170 juta ha, Uni Soviet seluas 150 juta ha,
dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Istomo,
2005 dan BBSDLP, 2011). Namun pada
kenyataannya, Indonesia merupakan negara
dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia.
Jika luas gambut di Indonesia seluas 14,9 juta ha,
maka sekitar 40% gambut tropika dunia yang
luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia.
Gambut dinilai sebagai habitat lahan basah yang
mampu menyerap (sequester) dan menyimpan
(sink) karbon dalam jumlah besar sehingga dapat
mencegah larinya Gas Rumah Kaca (GRK)
terutama CO2 ke atmosfer bumi yang berdampak
terhadap perubahan iklim.
Ada tiga jenis ekosistem lahan gambut
Indonesia terletak di daerah rawa dataran
rendah, marin/pesisir dan sub-marin (Sabiham,
1988). Gambut yang diendapkan di tiga
ekosistem rawa umumnya terakumulasi selama
periode Holocene. Komposisi bahan gambut
umumnya terdiri dari bahan yang sangat kaya
akan kayu, mengandung lignin yang sangat
tinggi yang bervariasi antara 65,0-80,0%,
sedangkan kandungan bahan selulosa dan hemi-
selulosa umumnya kurang dari 10% (Polak, 1950
dan Sabiham, 1997).
Sifat fisik dan Kimia (Kesuburan) Lahan
Gambut
Tingkat kesuburan tanah gambut dikenal
dengan istilah: Eutrofik, Oligotropik dan
Mezotropik (Hardjowigeno, 1987 dan 1989),
dengan mempertimbangan kandungan abu, dan
unsur hara terutama phospor (P2O5), Kalsium
(CaCO2), dan Potasium (K2O).
Terkait dengan penggunaan pertanian, lahan
gambut air tawar dikategorikan sebagai gambut
ombrogen (Oligotrofik) dengan karakteristik
sangat asam, miskin hara. Lahan gambut yang
berkembang pada lingkungan air payau atau laut
dapat diklasifikasikan ke dalam gambut Topogen
(Eutrofik) dengan ketebalan gambut kurang dari
3,0 m, lebih subur bila dibanding dengan gambut
ombrogen, cukup masam sampai masam, dan
memiliki dukungan pertumbuhan tanaman yang
lebih baik dibandingkan dengan gambut
ombrogen (Sabiham, 2000). Kandungan unsur
hara N, P, K, Na, Ca, Mg, dan Fe pada tanah
gambut baik ombrogen dan topogen berturut-
turut adalah seperti berikut 0,4-0,9%, 0,1-0,8%,
0,01-0,05%, 0.04-0,01%, 0.01- 0,61%, 0,02-0,06%
dan 0,03-0,6% (Saragih, 1996 dan Dohong, 1999).
Tingginya unsur hara N dan P dengan diikuti
dengan tingginya kandungan C (> 51%) berarti
C/N dan C/P memiliki rasio yang tinggi, sehingga
menyebabkan ketersediaan unsur N dan P
rendah. Kandungan total unsur Cu, Zn dan Mn
juga rendah (<0,01%).
Sifat lain dari gambut yang penting adalah
tingkat porositas yang tinggi dan berat jenis (BD)
yang sangat rendah. Total volume porositas
berkisar 88-90%, sedangkan BD gambut di
lapisan permukaan berkisar 0,14-0,17 g/cc
(Andriese, 1994). Andriesse (1974) dan
Fahmuddin et al., (2009a dan 2009c) menyatakan
bahwa secara umum, BD telah terkait erat
dengan tingkat dekomposisi gambut. Gambut
Fibric mempunyai BD sangat rendah
(kebanyakan kurang dari 0,1 g/cc), sedangkan
gambut saprik memiliki BD sekitar 0,2 g/cc dan
gambut hemik di antara 0,1 sampai 0,2 g/cc.
Ketika lahan gambut mengering, maka fungsi
hidrologi akan terganggu karena menurunnya
konsentrasi COOH dan fungsi OH gambut,
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 15
Kelompok-kelompok fungsional bersifat polar
dan hidrofilik, yang dapat membantu dalam
proses menyerap air (Silvoa et al., 1985 dan
Sabiham, 2000).
Gambut Sebagai Penyimpan Karbon dan
Pengaruhnya terhadap Emisi GRK
Lahan gambut menyimpan karbon yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah
mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan
tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10
kali karbon yang disimpan oleh tanah dan
tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa,
2008). Lahan gambut hanya meliputi 3% dari
total luas daratan dunia, namun menyimpan 550
Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah,
setara dengan seluruh C yang dikandung
biomasa (masa total mahluk hidup) daratan dan
setara dengan 2 kali simpanan C semua hutan di
seluruh dunia (Joosten, 2007).
Besarnya cadangan C pada lahan gambut
sangat ditentukan oleh tingkat ketebalan gambut,
vegetasi yang tumbuh di atasnya, dan tingkat
kematangan gambut. Di Indonesia proporsi luas
lahan gambut mencapai 10% dari luas
permukaan, sebagian besar terdapat di Pulau
Sumatera, Kalimantan, Papua dan Papua Barat
(Wahyunto et al., 2005; Agus et al., 2009b). Lahan
gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar
(Sumatera, Kalimantan dan Papua) seluas 14,9
juta ha (BBSDLP, 2011). Variabilitas besarnya
cadangan karbon dalam lahan gambut
ditunjukkan hasil penelitian Page et al. (2011)
yang menyatakan rata-rata besarnya cadangan
karbon sebesar 600 t C/m3, sedangkan hasil
penelitian Wahyunto et al. di Sumatera dan
Kalimantan (2003,2004) menunjukkan kandungan
C dalam lahan gambut berkisar antara 2000-3000
t/ha. Penelitian terbaru dari Agus et al. (2011)
menyatakan cadangan karbon pada gambut di
Indonesia sekitar 27 Gt.
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan
gambut khususnya CO2 di antaranya berasal dari
pembakaran cadangan karbon atas permukaan
tanah yang berupa pohon dan serasah tanaman.
Emisi juga terjadi karena pembakaran atau
terbakarnya lahan gambut dan proses
dekomposisi sebagai akibat perubahan kondisi
anaerob (tergenang-basah) menjadi aerob
(kering). Penelitian Hooijer et al.., (2010)
menunjukkan bahwa emisi CO2 lahan gambut
berkisar antara 16,2–776,7 mg CO2/m2/jam
tergantung pada kedalaman permukaan air
tanah. Emisi paling kecil terjadi pada permukaan
air tanah tertinggi (dangkal) dan emisi meningkat
bila permukaan air tanah semakin dalam. Emisi
CO2 hampir 2 kali lipat yaitu sekitar 231,3
mg/m2/jam pada permukaan air 0-5 cm di atas
permukaan tanah menjadi 453,7 mg/m2/jam pada
permukaan air tanah 1-5 cm dibawah permukaan
tanah.
Menurut Hooijer et al. (2006), kedalaman
saluran drainase sangat mempengaruhi tingkat
emisi CO2 pada lahan gambut. Pada kedalaman
drainase 30-120 cm, emisi CO2 meningkat 9,10
t/ha/tahun setiap penambahan kedalaman
drainase 10 cm. Agus et al., (2007) mengoreksi
nilai tersebut dengan faktor 0,70 karena
diperkirakan 30% dari emisi CO2 berasal dari
respirasi akar yang dikompensasi oleh
penyerapan CO2 dari atmosfer melalui
fotosintesis. Dengan demikian, emisi dari
respirsasi akar tersebut tidak berpengaruh
terhadap pemanasan global. Jauhiainen et al.
(2010) menemukan bahwa emisi tertinggi terjadi
bila kedalaman muka air tanah sekitar 60 cm.
Pada kedalaman muka air tanah lebih dangkal
tanahnya terlalu jenuh dan pada kedalaman air
tanah lebih dalam, tanahnya terlalu kering
sehingga tidak ideal untuk aktivitas mikroba,
artinya pada kondisi ini proses dekomposisi
terhambat, hal ini berdampak pada penurunan
emisi.
Potensi Lahan Gambut Untuk Perkebunan
Kelapa Sawit dan Kendala Pengembangannya
Areal berpotensi untuk perluasan
perkebunan kelapa sawit tidak saja lahan
mineral, tetapi juga lahan gambut. Namun
pemanfaatan hutan rawa gambut akan
menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca
(GRK) terutama CO2 (Ambak and Melling, 2000;
Andriese, 1994 and Agus et al., 2010b). Emisi GRK
dapat dikurangi dengan cara konservasi hutan.
16 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
Tidak seluruh lahan rawa gambut di
Indonesia sesuai dan layak dimanfaatkan untuk
pertanian dan perkebunan karena adanya
berbagai kendala seperti ketebalan gambut,
kesuburan rendah, kemasaman tinggi, adanya
lapisan pirit, tanah di bawah gambut (sub-
stratum) berupa pasir kwarsa. Diperkirakan
hanya 9 juta ha yang dapat dimanfaatkan untuk
pertanian, dan sampai tahun 2002 diperkirakan
baru 5,39 juta ha yang telah dibuka untuk
pertanian (Agus et al., 2010a). Dengan demikian
bila dilihat dari segi kuantitas, pertanian di lahan
gambut masih memiliki prospek untuk dikem-
bangkan (Norr M, 2010). Namun pengembangan-
nya harus dilakukan secara sangat hati-hati dan
sesuai dengan peruntukannya mengingat
kendalanya cukup banyak.
Kesesuaian lahan gambut untuk perkebunan
tergantung pada tanaman yang akan
dibudidayakan. Pengaturan kedalaman drainase
(kedalaman muka air tanah) sesuai dengan
kebutuhan tanaman untuk mencapai
pertumbuhan yang optimal, sangat penting bagi
keberhasilan pemanfaatan lahan gambut. Ada
tiga tingkat kesesuaian lahan yang dapat
digunakan untuk pertanian, yaitu: Sesuai, sesuai
bersyarat, dan tidak sesuai (Djaenuddin et al.,
2007). Lahan gambut dangkal umumnya
tergolong sesuai bersyarat untuk perkebunan
kelapa sawit, dan memerlukan pengelolaan tata
air yang khusus agar tanaman dapat tumbuh dan
berproduksi secara optimal.
Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres)
No.32 Tahun 1990, tidak semua lahan gambut
dapat diarahkan untuk lahan pertanian dan
perkebunan. Lahan gambut dengan ketebalan
lebih dari 3 meter diarahkan untuk dikonservasi/
dilindungi demi menjaga kelestarian lingkungan
(Pasal 10 Keppres No.10/1990). Artinya, dengan
Keppres No. 32/1990 tersebut, lahan gambut yang
dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit
hanya gambut dengan ketebalan kurang dari 3 m.
Kementerian Pertanian kemudian mengem-
bangkan kriteria, lahan gambut dengan ketebalan
gambut 0,5 - 1 m diprioritaskan untuk tanaman
pangan/semusim, sedangkan lahan gambut
dengan ketebalan 1,0 - 3 m diarahkan untuk
tanaman tahunan (perkebunan dan hortikultura).
Namun demikian, kriteria tersebut perlu
dipertimbangkan kembali karena tidak hanya
ketebalan gambut yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, tetapi juga faktor lain
seperti: (i) tingkat kematangan gambut, (ii) bahan
mineral di bawah lapisan gambut/ substratum,
dan (iii) status kesuburan lahan gambut.
Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) No.14/2009, lahan gambut yang
termasuk dalam kawasan hutan lindung, taman
nasional, cagar alam dan hutan konservasi tidak
direkomendasikan untuk pengembangan
pertanian termasuk perkebunan. Demikian juga,
lahan gambut fibrik (masih mentah/belum
terdekomposisi), dan atau lahan gambut yang
bahan mineral di bawah gambut berupa pasir
kuarsa harus dilestarikan sebagai hutan rawa
gambut.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa
gambut saprik memiliki potensi pertanian yang
relatif lebih baik bila dibanding dengan gambut
yang terdiri dari bahan hemik dan fibrik.
Keberadaan bahan mineral di antara lapisan
gambut membantu meningkatkan kesuburan
tanah gambut. Bagian pinggiran kubah sebagian
besar merupakan gambut mesotropik, dan
eutrofik dapat dijumpai pada lahan gambut
dengan ketebalan <3 m, memiliki kesuburan lebih
baik daripada gambut dalam (>3 m) atau
merupakan bagian tengah kubah gambut.
Yang perlu diperhatikan dalam mengelola
lahan gambut. Jika di bawah gambut terdapat
lapisan pasir apalagi pasir kwarsa, sebaiknya
tidak usah digunakan untuk pertanian/
perkebunan, karena disamping tidak subur,
kalau gambutnya habis akan menjadi padang
pasir. Apabila di bawah gambut terdapat lapisan
pirit, pengelolaan harus hati-hati dan tanahnya
harus dijaga agar selalu dalam keadaan berair
(agar piritnya tidak teroksidasi) atau dibuat
sistem drainase yang memungkinkan tercucinya
bahan berpirit.
Dari sifat fisik tanah, kendala tanah gambut
untuk budidaya tanaman, antara lain: (i) tanah
tidak cukup kuat untuk mendukung tegak dan
tumbuhnya tanaman, sehingga tanaman tidak
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 17
dapat berdiri tegak menjadi condong, (ii) daya
dukung yang rendah, menciptakan kesulitan
dalam pengolahan tanah bila menggunakan
mesin/alat mekanisasi pertanian seperti traktor
atau hewan kerja.
PENGALAMAN DAN KEBERHASILAN
PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
Indonesia sebagai negara agraris harus
mengedepankan kelestarian lingkungan dalam
mengeskploitasi sumberdaya alam. Eksploitasi
yang berlebihan pasti mengganggu kelestarian
lingkungan. Pengalaman menunjukkan bahwa
tidak semua pengembangan pertanian di lahan
gambut bisa sukses, namun tidak semuanya juga
mengalami kegagalan. Sebetulnya, sudah sejak
lama lahan gambut digunakan untuk budidaya
pertanian. Di Indonesia budidaya pertanian di
lahan gambut secara tradisional sudah dimulai
sejak ratusan tahun lalu oleh suku Dayak, Bugis,
Banjar dan Melayu dalam skala kecil. Mereka
memilih lokasi dengan cara cermat, memilih
komoditas yang teruji, dan dalam skala yang
masih dapat terjangkau oleh daya dukung/
layanan alam.
Indonesia telah mempunyai pengalaman
membuka dan mengelola lahan rawa pasang
surut termasuk lahan gambut sejak puluhan
tahun lalu, yaitu untuk perluasan lahan pertanian
berupa lahan sawah pasang Surut (di Sumatera
Selatan, Jambi, dan Kalimantan Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah)
dengan luas persawahan pasang surut sekitar
954.000 ha (Driessen and Suhardjo, 1975) terdiri
lahan gambut sekitar 20-40%, dan diperkirakan
lebih dari 1 juta ha lahan gambut telah
dimanfaatkan untuk areal perkebunan, terutama
kelapa sawit yang sangat produktif. Pertanaman
kelapa sawit pada lahan gambut mampu
menghasilkan tandan buah segar (TBS) 20,25 -
23,74 t/ha/tahun (Barchia, 2006). Lebih spesifik
lagi, menurut Wiratmoko et al. (2008), kelapa
sawit yang ditanam di lahan gambut topogen
dapat menghasilkan Tandan buah segar (TBS)
19,64-25,53 t/ha/tahun. Sebagai pembanding,
menurut Lubis dan Wahyono (2008), pengusaha-
an kelapa sawit pada lahan mineral dapat
menghasilkan TBS rata-rata 22,26 t/ha/tahun
dengan puncak produksi sekitar 27,32 t/ha/tahun.
Keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut
dapat dilihat di beberapa daerah terutama di
kawasan permukiman transmigrasi di
Kalimantan Barat (Rasau Jaya, Pinang luar,
Jangkang) Kalimantan Tengah (Kalampangan,
Berengbengkel), Riau, Sumatera Selatan, Jambi
untuk pengembangan sayuran, tanaman buah-
buahan hortikultura dan tanaman perkebunan
(kopi, coklat, kelapa, dan kelapa sawit). Saat ini
budidaya keberhasilan tanaman di tanah gambut
dapat ditemukan dalam situs lokal dan
transmigrasi di Kalimantan.
Akhir-akhir ini pemanfaatan lahan gambut
telah menimbulkan perdebatan hangat, karena di
satu sisi merupakan suatu kebutuhan dan
mampu memberikan keuntungan ekonomi, tetapi
di sisi lain telah menimbulkan kerusakan
lingkungan berupa penyusutan keaneka ragaman
hayati, kerusakan tata air, dan peningkatan emisi
CO2 yang ikut berperan menimbulkan
pemanasan global. Agar tidak mengulang
kegagalan yang sama dan meminimalkan
dampak negatif, maka dalam upaya pemanfaatan
lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan,
selain mempertimbangkan aspek teknis, aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan juga perlu perlu
mendapat perhatian, agar usaha tani yang
dikembangkan dapat berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan
pemanfaatan lahan gambut sangat dipengaruhi
oleh banyak aspek terutama aspek teknis
kesesuaian lahan, ketersediaan pasar, dukungan
infrastruktur yang memadai terutama jalan dan
saluran air di lokasi pertanian, teknologi dan
kearifan lokal, kelembagaan tani, dan
ketersediaan dana kredit untuk modal usaha tani.
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
BERKELANJUTAN UNTUK PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT
Gambut merupakan ekosistem yang
marginal dan rapuh sehingga mudah rusak.
Kondisi semacam ini menuntut kesadaran semua
pihak untuk bersikap bijak dan harus melihat
18 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
gambut dari berbagai sudut pandang. Kesadaran
terhadap pentingnya keseimbangan antar
berbagai fungsi gambut, akan lebih menjamin
keberlanjutan pemenuhan fungsi sosial, ekonomi
dan kelestarian lingkungan.
Konsep pertanian berkelanjutan pada lahan
gambut sebenarnya bukan merupakan istilah
tepat, karena lahan gambut bersifat labil
terutama karena adanya penurunan permukaan
tanah (subsident) yang disebabkan oleh
pemadatan (consolidation) dan emisi CO2 selama
digunakan untuk usaha pertanian dan
perkebunan. Subsiden tersebut bisa dikurangi
dengan cara mengadopsi beberapa strategi
pengelolaan lahan yang benar mengenai air,
tanah, dan tanaman. Namun pada akhirnya lahan
gambut terutama lahan gambut tipis akan
berubah menjadi lahan mineral setelah
gambutnya habis terdekomposisi, dan pertanian
di atas lahan tersebut menjadi terbengkalai.
Menurut Munasinghe (1993), dalam Herman
et al. (2009), pembangunan pertanian akan
berkelanjutan apabila layak secara ekonomi,
tidak menimbulkan kesenjangan sosial budaya
(layak secara sosial budaya), dan tidak
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
(layak secara ekologi). Berkaitan dengan
pertanian di lahan gambut (Maas, 2002)
menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan
diartikan sebagai suatu pertanian yang produktif
dan menguntungkan, tetap melaksanakan
konservasi terhadap sumber daya alam,
mengupayakan seminimal mungkin dampak
negatifnya terhadap lingkungan hidup.
Pengembangan lahan rawa (gambut) secara
lestari dan berwawasan lingkungan dapat
terwujud apabila pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana dan dikelola serasi dengan
karakteristik, dan sifat lahan rawa (gambut)
didukung oleh pembangunan prasarana fisik
(terutama tata air), sarana, pembinaan
sumberdaya manusia dan penerapan teknologi
spesifik lokasi (Mario, 2002). Gambut tipis <1m
diarahkan untuk tanaman pangan/semusim,
gambut sedang (1-3 m) untuk tanaman tahunan
(hortikultura dan perkebunan) dan gambut tebal
(>3 meter) harus dijadikan kawasan konservasi
untuk menjaga kestabilan ekosistem Daerah
Aliran Sungai. Selain dari pertimbangan teknis,
pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut
sebagai lahan sub-optimal, terutama untuk
perkebunan besar, adalah: lahan gambut tersedia
dalam hamparan yang luas dan relatif jarang
penduduknya, sehingga secara ekonomi sangat
layak dan konflik tata guna lahan relatif kecil.
Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu
dalam keadaan jenuh air (anaerob), sementara itu
sebagian besar tanaman memerlukan kondisi
yang aerob. Oleh karenanya, langkah pertama
dalam reklamasi lahan gambut untuk pertanian/
perkebunan adalah pembuatan saluran drainase
untuk menurunkan permukaan air tanah,
menciptakan kondisi aerob di zona perakaran
tanaman, dan mengurangi konsentrasi asam-
asam organik. Namun demikian, gambut tidak
boleh terlalu kering, karena gambut akan
mengalami kerusakan dan menimbulkan emisi
GRK yang tinggi. Berbeda dengan tanah mineral,
bagian aktif gambut adalah fase cairnya,
sehingga apabila gambut kering akan kehilangan
fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat
hidrofobik.
Pengembangan kawasan lahan gambut
dalam skala luas memerlukan jaringan saluran
drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk
mengendalikan muka air tanah di seluruh
kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan
tersier disesuaikan dengan luas kawasan dan
jenis komoditas yang dikembangkan. Tanaman
kelapa sawit dan kelapa memerlukan saluran
drainase sehingga kedalaman air tanah menjadi
sekitar 50-70 cm dan tanaman karet sedalam 20-
40 cm. (Agus et al., 2010a).
Pembuatan saluran drainase di lahan
gambut akan diikuti oleh peristiwa penurunan
permukaan lahan (subsiden). Proses ini terjadi
karena pemadatan, dekomposisi, dan erosi
gambut di permukaan yang kering. Semakin
dalam saluran drainase, maka penurunan
permukaan lahan semakin besar dan semakin
cepat. Penurunan permukaan gambut dengan
mudah dapat diamati dengan munculnya akar
tanaman tahunan di permukaan tanah. Untuk
mengurangi dampak penurunan tanah terhadap
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 19
perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman
tanaman tahunan ditunda sampai satu tahun
setelah pembukaan saluran. Hal ini dilakukan
untuk menghindari tanaman roboh karena daya
sangga gambut yang rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengelolaan perkebunan di lahan gambut
harus dilakukan secara lebih bijaksana (wise used)
dan direncanakan secara matang, baik dari aspek
teknis maupun aspek sosial ekonomi dan
lingkungan. Pengaturan tata air, pemberian
bahan amelioran dan pemupukan yang
berimbang merupakan kunci utama dalam
pengelolaan lahan berkelanjutan untuk mencapai
produksi yang optimal dan kontinyu.
Pengaturan tinggi muka air tanah
diusahakan supaya tidak terlalu dangkal dan
tidak terlalu dalam, sehingga kelestarian gambut
dapat terjaga. Pengaturan tinggi muka air tanah
berkisar 60-70 cm diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan optimal tanaman kelapa sawit,
dalam kondisi demikian permukaan tanah tetap
lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran
dan penurunan tanah gambut secara cepat
sehingga emisi Gas Rumah Kaca terutama emisi
Karbon dapat dikurangi.
Perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan
lahan gambut seyogianya dilakukan melalui
pendekatan partisipatif dengan melibatkan
semua pihak terkait, sehingga dapat terjalin
kerjasama dan rasa kebersamaan untuk mencapai
tujuan yang sama. Sehingga dalam suatu area
pengembangan perkebunan diharapkan upaya
pembinaan, pengawasan kegiatan dan
pengendalian dampak negatif relatif lebih mudah
ditangani, sehingga pengembangan usaha tani
lahan gambut secara berkelanjutan dan ramah
lingkungan dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. F., Suyanto, Wahyunto, and M.van
Noordwijk. 2007. Reducing Emission
from Peatland Deforestration and
Degradation: carbon emission and
opportunity coast. Paper presented in
International Sysmposium and Work-
shop on tropical peatland: Carbon
Climate-Human Interaction-Carbon Polls,
Fire, Mitigation, restoration, and Wise
use. Yogyakarta, Indonesia, 27-29 August
2007.
Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut:
Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah.
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Agus, F. 2009a. Cadangan karbon, emisi gas
rumah kaca dan konservasi lahan
gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis
Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari
2009. Malang.
Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H.
Komara. H. Syahbudin, I. Las, and M.
Van Noordwijk. 2009b. Carbon budget in
land use transitions to plantation. J.
Penel. Pengemb. Pert. 29(4):119-126.
Agus, F. Wahyunto, E. Runtunuwu, A. Dariah, E.
Susanti, dan E. Surmaini. 2009c.
Identifikasi iptek terhadap dampak
perubahan iklim di sektor pertanian
(mitigasi perubahan iklim pada berbagai
sistem pertanian di lahan gambut
Kabupaten Kubu Raya dan Pontianak,
Kalimantan Barat). 2009. Laporan
Kerjasama BBSDLP dengan Kementerian
Riset dan Teknologi.
Agus, F., A. Dariah, E. Susanti, dan Jubaedah.
2010a. Penggunaan lahan gambut: Trade
offs antara emisi CO2 dan keuntungan
ekonomi. Kerjasama antara Asisten
Deputy Iptek Pemerintahan dengan Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto,
I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti,
and W. Supriatna. 2010b. Carbon budget
and management strategies for conserving
carbon in peat land: Case study in Kubu
Raya and Pontianak Districts, West
Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In,
Chen, Z.S. and F. Agus (eds.), Proceedings
20 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
of Int’l Workshop on Evaluation and
Sustainable Management of Soil Carbon
Sequestration on Asian Countries.
Agus, F., Gunarso, P., Sahardjo, B.H., Joseph,
K.T., Rashid, A., Hamzah, K., Harris, N.,
and van Noordwijk, M. 2011. Strategies
for CO2 emission reduction from land use
changes to oil palm plantations in
Indonesia, Malaysia and Papua New
Guinea. RSPO, Kuala Lumpur. Presented
at the Rountable 9 of the Roundtable on
Sustainabe Palm Oil, Kota Kinabalu,
Malaysia.
Ambak, K. and Melling, L. 2000. Management
practices for sustainable cultivation of
crop plantation on tropical peatlands.
Proc. of The Internatonal Symposium on
Tropical Peatlands, 22-23 Nopember
1999. Bogor, Indonesia, p. 119.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical Lowland peats in
South East Asia. Comm. No. 63. Royal
Tropical Istitute. Amsterdam.
Andriesse, J.P. 1994. Constraints and oppor-
tunities for alternatives uses options of
tropical peatland. In B.Y Aminiddin (Ed.).
Tropical Peat: Proceedings of Intern
Symp. On Trop. Peatland, 6-10 may 1991,
Kucing Sarawak, Malaysia.
Badrun, M. 2010. Lintasan 30 tahun pengem-
bangan kelapa sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian dan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (The 30 year oil palm
development. Directorate General of
Plantations, Ministry of Agriculture,
Indonesia and the Indonesian Company
Society for Oil Palm Plantation).
BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumber Daya
Lahan Pertanian). 2011. Peta Lahan
Gambut Indonesia. Bogor.
BAPPENAS, Indonesian National Development
Planning Agency. 2009. Reducing carbon
emissions from Indonesia’s peatlands.
Interim report of multi-disciplinary
study. BAPPENAS, the Republic
Indonesia.
Barchia. M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan
Transformasi Karbon. Gadjahmada
University Press. Yogyakarta.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Statistik
Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A.
Hidayat. 2000. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai
Penelitian Tanah. Bogor.
Ditjen Perkebunan. 2011. Kebijakan Pengem-
bangan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Makalah disampaikan pada Seminar
Implementasi RSPO di Indonesia. Jakarta,
10 Februari 2011
Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan).
2007. Road Map Kelapa sawit. Ditjenbun.
Jakarta.
Dohong S. 1999. Peningkatan Produktivitas
Tanah gambut yang disawahkan dengan
pemberian bahan Alemlioran Tanah
Mineral berkadar Besi Tinggi. Disertasi
Program Pasca Sarjana. Institute
Pertanian Bogor.
Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1975.
Reclamation and Use of Indonesian
Lowland peats and Their effects on soil
conditions. 3rd Asean Soil Conference,
Kuala Lumpur.
Hardjowigeno, S. 1987. Suitability of Peat Soil of
Sumatra for Agricuture Development.
International Peat Society Sysposium on
Tropical Peat and Peatland for Develop-
ment. Yogyakarta 9-14 Febreuari 1987.
Hardjowigeno S. 1989. Sifat-sifat dan Potensi
Tanah Gambut Sumatra untuk Pengem-
bangan Pertanian. Prosiding Seminar
Tanah Gambut untuk perluasan Pertani-
an. Medan 27 Nopember 1989, halaman
43-79. Fakultas pertanian Universitas
Islam Sumatera Utara, Medan
Herman, Fahmuddin Agus dan Irsal las. 2009.
Analisis finansial dan keuntungan yang
hilang dari pengurangan Emisi Karbon
Dioksida pada Perkebunan Kelapa Sawit.
Jurnal Litbang Pertanian, Volume 28 No.4
tahun 2009 halaman: 127-133. Badan
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 21
Litbang Pertanian. Departemen Pertani-
an. Jakarta.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S.
2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
emissions from drained peatlands in SE
Asia. Delft Hydraulics report Q3943
(2006).
Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J.
Kwadijk, H. Wösten, and J. Jauhiainen.
2010. Current and future CO2 emission
from drained peat lands in Southest Asia.
Biogeosci. 7:1505-1514.
ICALRD Team. 2010. Policy brief: Kajian
pemanfaatan lahan gambut untuk
pengembangan perkebunan ICALRD,
Ministry of Agriculture, Indonesia.
Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF).
2012. Sustainable Management of
Degraded Peatland to mitigate GHG
Emissionand Optimzed Crop production.
Laporan kerjasama Penelitian ICCTF
Bapennas – BBSDLP. Bogor.
Istomo.2005. Keseimbangan Hara dan Karbon
dalam Pemanfaatan Lahan Gambut
Berkelanjutan.halaman: 133-147. Prosi-
ding lokaraya Pemanfaatan Lahan
gambut secara Bijaksana untuk manfaat
Berkelanjutan. Pekanbarau, 31 Mei – 1
Juni 2005. Wetland International
Indonesia Program. Bogor
Jauhiainen, J, J. Heikkinen, P.J. Martikainen, and
H. Vasander. 2010. CO2 fluxes in
pristine peat swamp forest and peat land
converted to agriculture in Central
Kalimantan, Indonesia. Int. Peat J. 11:
43-49.
Joosten, H.2007. Peatland and carbon. Pp99-117 in
Parish, F. Siri, A., Chapman, Joosten and
Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland,
Biodiversity and Climate Change. Global
environmental Centre, Kuala Lumpur
and Wetland International, Wageningen.
Maas, A. 2002. Lahan rawa sebagai lahan
pertanian masa kini dan masa depan.
Prosiding Seminar Nasional Pertanian
Lahan kering dan Lahan rawa. Balai
Pertanian Lahan rawa Banjar baru, 18-19
Desember 2002.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas
dan Stabilitas Tanah Gambut dengan
Pemberian Tanah Mineral yang
diperkaya bahan berkadar besi tinggi .
Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Noor M. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan,
konservasi dan perubahan iklim. Gadjah-
mada University Press. Yogyakarta.
Page, S., Morrison, E., R., Malins, C., Hooijer, A.,
Rieley, J.O. and Jauhiainen, J. 2011.
Review of peat surface greenhouse gas
emissions from oil palm plantations in
Southeast Asia. International Council on
Clean Transportation, Washington, DC.
Polak, B. 1950. Occurance and Fertility of Tropical
peatsoils in Indonesia. 4th Int. Conggres
of Soil Science, Vol2, 183-185,
Amsterdam. The Netherlands.
Sabiham, S. 1988. Studies on peat in the coastal
plains of Sumatra and Borneo. PhD
Dissertation. Kyoto University, Kyoto,
Japan.
Sabiham S., T.B. Prasetyo and S. Dohong.1997.
Phenolic acid in Indonesian Peat. In
Reiley and page (Eds). Pp.289-292.
Biodeversity and Sustainability of
Tropical Peat and Peatland. Samara
Publishing Ltd. Cardigan, U.K.
Sabiham, S. 2000. Kadar air kritis gambut
Kalimnantan Tengah dalam kaitannya
dengan kejadian kering tidak balik
(Critical water content of the Central
Kalimantan peats in relation to the
process of irreversible drying). J. Tanah
Trop. 11:21-30
Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-asam
Organik meracun dengan Penambatan Fe
(III) pada Tanah gambut Jambi, Sumatra.
Tesis S2. Program pasca sarjana, Institute
Pertanian. Bogor.
Silvola, J., Valijoki, J. And Aaltonen, H. 1985.
Effect of draining and fertilization on soil
respiration at three ameliorated peatland
site. Acta For. Fem. 191:1-32.
22 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
Lubis dan Wahyono, T. 2008. Keragaan Konflik
pengusahaan lahan pada perkebunan
kelapa sawit di Sumatra. Jurnal
Penelitian Kelapa sawit 16(1): 47-59
Wahyono, T., L. Buana, Dja’far dan D. Siahaan.
2004. Ekonomi investasi pabrik kelapa
sawit. Dalam Tinjauan Ekonomi Industri
Kelapa sawit. Pusat Penelitian Kelapa
sawit. Medan.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.
2005. Peatland distribution and its C
content in Sumatra and Kalimantan.
Wetland Int’l – Indonesia Programme
and Wildlife Habitat Canada. Bogor,
Indonesia.
Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin
Agus. 2010. Landuse change and
Recommendation for Sustainable
development of Peat for agriculture: Case
study at Kubu raya and pontianak
Districts, West Kalimantan. Indonesian
Journal of Agricultiural Science. Vol.11,
No.1, April 2010. Page. 32-40.
Wiratmoko, D., Winarno, S., Rahutomo, dan
H.Santoso. 2008. Karakteristik gambut
topogen dan ombrogen di Kabupaten
Labuhan batu Sumatera Utara untuk
Budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal
Penelitian Kelapa sawit 16 (3):119-126.