Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

98

Transcript of Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

Page 1: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016
Page 2: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

PRAKTIK LESSON STUDY ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

9 September 2016, Aula Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

ISBN: 978-602-60655-0-6

Editor:

Indah Wahyu Puji Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.

Penyunting:

1. Nurul Ratnawati 2. Lutfiyah Ayundasari, S.Pd., M.Pd.

Desain sampul dan tata letak:

1. Iyan Hadinata

Penerbit:

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang

Redaksi:

Komunitas Lesson Study FIS UM

Jl. Semarang No. 5, Malang

Telp. (0341) 585966

Page 3: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, prosiding seminar nasional ini dapat diterbitkan.

Seminar nasional ini berawal dari adanya kegelisahan bahwa lesson study belum banyak dilakukan

pada matapelajaran atau jurusan berbasis ilmu sosial dan humaniora. Padahal lesson study

memiliki banyak manfaat untuk meningkatkan profesionalisme guru maupun peningkatan kualitas

pembelajaran termasuk dalam bidang ilmu sosial dan humaniora. Kondisi ini seringkali berpangkal

pada ketidaktahuan (atau ketidakmautahuan) praktisi di bidang pendidikan ilmu sosial dan

humaniora terhadap lesson study. Hal ini tidak lepas dari sejarah masuknya lesson study ke

Indoesia yang lebih disominasi oleh bidang matematika dan ilmu alam.

Lesson study sebenarnya bisa diterapkan pada mata pelajaran atau bidang ilmu apapun

karena ia bukanlah sebuah metode atau strategi pembelajaran, melainkan sebuah upaya kolaboratif

untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pengembangan keprofesionalan pendidik

berdasarkan praktik pembelajaran. Terdorong oleh masih sepinya kajian dan diskusi mengenai

lesson study pada bidang ilmu sosial dan humaniora, Komunitas Lesson Study Fakultas Ilmu Sosial

(KLS FIS) Universitas Negeri Malang menggagas Senimar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu

Sosial dan Humaniora.

Seminar nasional ini mengundang para praktisi lesson study di bidnag ilmu sosial dan

humaniora baik dari kalangan pendidik di perguruan tinggi maupun sekolah. Melalui kegiatan ini

mereka dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk saling belajar dari praktik pembelajaran.

Seminar ini sekaligus menjadi representasi dari keinginan komunitas untuk memberikan

sumbangsih pada perkembangan studi pembelajaran dan ilmu pendidikan secara umum.

Seminar ini mengundang Prof. Dr. Herawati Susilo, M.Pd. yang merupakan pakar dengan

pengalaman dan reputasi yang luar biasa di bidang lesson study. Selain itu kami juga menungdang

lima pembicara, yaitu Tatang Suratno, M.Pd. (pakar lesson study dari Universitas Pendidikan

Indonesia), Aditya Nugroho Widiadi, S.Pd., M.Pd. (pakar lesson study bidag ilmu sosial dari

Universitas Negeri Malang), Dyah Prastiani, S.S., M.Pd. (pakar lesson study bidang ilmu

humaniora dari Universitas Negeri Semarang), Ryo Suzuki (praktisi lesson study dari Benesse

Lesson Study Club), dan Novita Ristianti, S.E., M.Pd. (praktisi lesson study dari MGMP Pasuruan).

Semua pembicara menyampaikan presentasi yang sangat menarik dan dapat dibaca dalam

prosiding ini, kecuali Ryo Suzuki yang memang tidak menulis artikel untuk seminar ini.

Page 4: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

Semua ini dapat terlaksana tidak lepas dari bantuan semua pihak, karena itu dalam

kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada:

1. Dekan beserta para Wakil Dekan di lingkungan FIS UM yang telah memberikan dukungan

dan fasilitas sehingga seminar nasional terselenggara dengan lancar.

2. Ketua KLS FIS UM yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga

kegiatan ini dapat berlangsung dengan baik.

3. Bapak/Ibu anggota KLS FIS yang telah mendukung mulai tahap persiapan hingga

pelaksanaan seminar internasional.

4. Para peserta yang telah berpartisipasi dalam seminar nasional dan berbagi pengalaman

serta ilmu dalam bentuk artikel ilmiah maupun diskusi sehingga pelaksanaan kegiatan ini

lebih dinamis.

5. Semua panitia, termasuk mahasiswa FIS UM yang sejak awal berpartisipasi dari persiapan

sampai pada pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana.

Kami sangat menyadari bahwa pelaksanaan seminar nasional ini masih banyak

kekuranganya. Oleh karena itu kami atas nama panitia mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila

ada hal-hal yang tidak berkenan, dan besar harapan agar kegiatan ini bermanfaat serta dapat

ditindaklanjuti dalam kegatan akademik lain.

Malang, Desember 2016

Panitia

Page 5: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

DAFTAR ISI

Halaman

POLA PENGAMATAN OBSERVER DALAM KEGIATAN LESSON STUDY BIDANG ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA ........................... 1 Aditya N. Widiadi

DIALOG DAN DEMOKRASI: SUATU METAREFLEKSI PILIHAN NILAI .............................................................................................................. 7 Tatang Suratno

PLAN LESSON STUDY ILMU HUMANIORA DI PERGURUAN TINGGI ........................................................................................................... 14 Dyah Prasetiani, S.S., M. Pd

EVALUASI PROGRAM LESSON STUDY MGMP IPS SMP KABUPATEN PASURUAN UNTUK PENINGKATAN KOMPETENSI GURU .............................................................................................................. 17 Novita Ristianti

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENTS (TGT) BERBANTUAN LKS UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR AKUNTANSI KOPERASI DAN UMKM ............................................................................. 21 A.A.Istri Dewi Adhi Utami

EFEKTIFITAS MODEL PROJECT BASED LEARNING (PJBL) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBANTUAN OUTDOOR STUDY TERHADAP PEMBELAJARAN IPS ............................................ 27 Asih Sukma

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PENDEKATAN STRUKTURAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH IPTEKS ..................................... 30 Daya Negri Wijaya

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MENUJU SISWA BERPRESTASI MELALUI LESSON STUDY .............................. 35 Eka Andriani, Sumarmi2, Komang Astina3

PROGRAM LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU IPS DI SMP NEGERI 2 GRATI .............. 39 Eni Cahya Wijayati1, Sri Kusprihatini2, Wahyuningati3

Page 6: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

OPEN CLASS SEBAGAI PROSES PENINGKATAN PROFESIONALITAS GURU BERKELANJUTAN .................................. 45 Hendrikus Midun, S.Fil, M.Pd

LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK DI SEKOLAH DASAR ...................................................................................... 52 Heni Hidayah1, Utami Widiati2, Edy Bambang Irawan3

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE (TPS) UNTUK MENINGKATKAN AKTIFITAS DAN HASIL BELAJAR HUKUM KONSTITUSI MAHASISWA JURUSAN PPKN ................................................................. 62 Dr. I Nengah Suastika, M.Pd.

PROBLEM BASED LEARNING: MODEL PEMBELAJARAN BERMUATAN KARAKTER ...................................................................... 71 Imam Prawiranegara Gani

PENERAPAN LESSON STUDY TERHADAP GURU DALAM PENINGKATAN KEPROFESIONALAN DAN KUALITAS PEMBELAJARAN .................................................................. 75 Indah Soetjining Tyasasih

MEMBANGUN KOMUNITAS BELAJAR MELALUI PERENCANAAN PEMBELAJARAN SECARA KOLABORATIF: APA ITU SEJARAH? .................................................................................... 78 Indah Wahyu Puji Utami

PRESTASI BELAJAR IPS SISWA SMPN 5 SAMPANG YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA ANGKAT ......................................... 86 Johan Yulianto1,2, Wahjoedi1, Utami Widiati1

PEMBELAJARAN IPS BERBASIS NILAI SOSIAL BUDAYA MELALUI LESSON STUDY UNTUK MEMBANGUN KARAKTER MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN IPS FIS UM ......... 90 Khofifatu Rohmah Adi1, Neni Wahyuningtyas1, Fatiya Rosyida2

DESAIN LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DAN MADRASAH ..... 95 Lilik Nur Kholidah

EFEKTIFITAS LESSON STUDY DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU ..................................................................... 101 Marfuatun

MENGEFEKTIFKAN GURU SEBAGAI PRAKTISI REFLEKTIF DALAM RANGKA MENUNJANG PROGRAM GURU PEMBELAJAR .............................................................................................. 103 Dr. Marselus Ruben Payong, M.Pd.

Page 7: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN IPS BERBASIS NILAI-NILAIKEARIFAN LOKAL TRADISI KEBO-KEBOAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN SOSIAL ......................................................................... 110 Moh. Imron Rosidi

MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, SHARE, (SSCS)SEBAGAI SARANA MELATIH KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS ............................................................................................................ 117 Moh. Zaenal Husaini1, Sugeng Utaya2, I Komang Astina3

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MELALUI LESSON STUDY ........................................................................................... 122 Mohamad Tofan Hanib

MODEL PRAKTEK BERACARA DI MUKA PENGADILAN MELALUI DESIMINASI PERADILAN SEMU UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN PEMAHAMAN MAHASISWA UNDIKSHA TENTANG KONSTITUSI NEGARA RI .............................. 126 Ni Ketut Sari Adnyani

STRATEGI PEMBELAJARAN PPKN MELALUI PEMANFAATAN KISAH INSPIRATIF UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN PEMAHAMAN BELA NEGARA PADA SISWA DI SMKN 1 SINGOSARI ................................................................................................... 132 Nur Fitrotun Nikmah1,* , Nur Fitriatul Maghfiroh2

LESSON STUDY SEBAGAI MODEL PEMBINAAN PROFESI KEPENDIDIKAN BAGI MAHASISWA KPL S2 PENDIDIKAN GEOGRAFI UNIVERSITAS NEGERI MALANG .................................... 136 Nur Wakhid Hidayat S.Pd, Prof, Dr, Sumarmi M.Pd, Dr, Ach. Amirudin M.Pd

PENERAPAN MODEL INQUIRY LEARNING DALAM KERANGKA LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN SEJARAH INDONESIA KELAS XII KOMPETENSI DASAR 3.3 .................................................... 139 Pi’i

PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA MENGENAI “JAMAN PENDUDUKAN JEPANG” KELAS IX I SMP NEGERI 1 SUKOREJO ................................................ 144 Poniti

PENGGUNAAN MEDIA FILM PROJECTOR UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SUBTEMA BARANG DAN JASA KELAS IV SD INPRES HARTACO INDAH MAKASSAR 149 Rafiuddin1

Page 8: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

MEMBANGUN KOMUNITAS BELAJAR GURU GEOGRAFI SMAN I TORJUN MELALUI LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN .............................. 163 Risnani

PENGGUNAAN LESSON STUDY UNTUK MEMBANTU SISWA BELAJAR DAN MENGASAH KEMAMPUAN GURU MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS SD .................. 166 Siti Malikhah Towaf

LESSON STUDY DAN GURU SEJARAH (USAHA MENDALAMI DENGAN MENYISIR TAHAPAN-TAHAPANNYA) ............................... 174 Susanto Yunus Alfian

REFLEKSI DALAM LESSON STUDY UNTUK PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGI BAGI CALON GURU ............................... 179 Yuswanti Ariani Wirahayu

Page 9: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

182 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

perilaku guru sudah menjadi bagian dari tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks). Bahwa perkembangan Ipteks yang sangat pesat menuntut orang untuk kreatif dan inovatif. Orang harus banyak mengembangkan berpikir untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya. Sementara orang bisa menjadi kreatif dalam memecahkan masalah hanya jika dalam pembelajaran di sekolah mendorong siswa ke arah berpikir. Karena itu sangat penting perubahan perilaku guru untuk mendorong siswanya untuk berpikir. Karena itu mengubah perilaku guru untuk mengikuti paradigm baru, merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Salah satu upaya untuk mengubah perilaku guru dari penyampai materi menjadi fasilitator, dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study. Dalam penerapan lesson study, dilakukan kegiatan perencanaan (plan) secara kolaboratif, pelaksanaan pembelajaran (DO), observasi.

D. PENUTUP

Salah satu kompetensi yang harus ada pada seorang calon guru dan guru adalah kompetensi pedagogi, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pemahaman dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, mahasiswa program studi pendidikan, sebagai calon pendidik atau guru harus dilatih untuk dapat melakukan refleksi diri terhadap proses belajar, pengalaman dan pencapaiannya untuk dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya, melalui kegiatan lesson study (LS). Hasilnya diketahui bahwa refleksi dapat meningkatkan kinerja calon guru dan digunakan untuk menyusun rencana tindak lanjut yang sesuai dengan tujuan serta memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kemampuan diri.

E. DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman. 2013. Identifikasi Paedagogical Content Knowledge Calon Guru Fisika Melalui Pembelajaran Berbasis Multirepresentasi, dalam Jurnal Pendidikan Progresif, Volume 3, Nomor 2, hlm 86.

Avalos, B. 2011. Teacher Professional Development in Teaching and Teacher Education Over Ten Years, dalam Teaching and Teacher Education, Volume 27, Nomor 1, halaman 10-20.

Beijaard, D.; Meijer, P. C.; & Verloop, N. 2004. Reconsidering Research on Teachers' Professional Identity, dalam Teaching and Teacher Education , Volume 20, Nomor 2, halaman 107-128.

Bowman, B. 1989. Self-reflection as An Element of Professionalism, dalam The Teachers College Record, Volume 90, Nomor 3, halaman 444-451.

Howard, T.C. 2003. Culturally Relevant Pedagogy: Ingredients for Critical Teacher Reflection, dalam Theory Into Practice;Summer 2003; Volume 42, Nomor 3, halaman 195-202.

Korthagen, F. & Vasalos, A. 2005. Levels in Reflection: Core Reflection as a Means to Enhance Professional Growth, dalam Teachers and Teaching, Volume 11, Nomor 1, halaman 47-71.

Loughran, J.J. 2005. Developing Reflective Practice: Learning about Teaching and Learning through Modelling.Bristol: Falmer Press.

Loughran, J.J.; Berry, A.; & Mulhall, P. 2006. Understanding and Developing Science Teachers' Paedagogical Content Knowledge. Rotterdam: Sense Publisher.

Loughran, J.J. 2010. What Expert Teachers Do: Enhancing Professional Knowledge for Classroom Practice. Routledge.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 1

Pola Pengamatan Observer dalam Kegiatan Lesson Study

Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora

Aditya N. Widiadi Universitas Negeri Malang [email protected]

Abstrak: Peran pengamat dalam kegiatan lesson study memiliki peran sentral meskipun terkesan sebagai figuran yang terabaikan dibanding dengan peran guru model. Hal ini dikarenakan lesson study harus dilaksanakan secara kolaboratif dan kolegial, yang setiap pihak memiliki peran dan tugas masing-masing. Semua tahap mulai dari plan, do, dan see harus diselenggarakan secara bersama-sama oleh sekelompok guru, dimana sebagian besar akan bertindak sebagai pengamat saat dilaksanakan open class dan hanya sebagian kecil yang bertindak sebagai guru model. Kebermanfaatan lesson study bisa didapatkan dengan optimal jika semua pihak saling mencermati dan mendiskusikan hasil amatan para observer saat refleksi. Akan tetapi terkadang observer tidak menjalankan tugas dan perannya dengan baik, khususnya bagi peserta pemula dalam kegiatan lesson study. Kondisi ini juga ditemukan dalam lesson study bidang ilmu sosial dan humaniora yang merupakan wilayah yang relatif baru dibanding bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam. Penelitian ini mencoba untuk memaparkan pola pengamatan observer dalam kegiatan lesson study bidang ilmu sosial dan humaniora mulai dari tingkat sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian historis. Data didapatkan dari sumber primer berupa dokumen kegiatan pendampingan lesson study dalam kurun tiga tahun, mulai 2013 hingga 2016. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pola pengamatan observer lesson study bidang ilmu sosial dan humaniora beragam. Terdapat observer yang telah matang dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, serta sebaliknya.

Kata Kunci: lesson study, pola pengamatan, observasi, ilmu sosial, humaniora

A. PENDAHULUAN

Sekolah merupakan ruang publik yang harus terbuka di dalam maupun di luar, dan guru harus rela membuka ruang kelasnya untuk diamati oleh rekan guru maupun orang lain (Sato, 2013:15). Melalui kegiatan open class, guru tidak akan menjadikan ruang kelasnya sebagai milik pribadi, melainkan telah mengubahnya menjadi ruang dialog dan kolaborasi terbuka sebagai wahana saling belajar agar terwujud learning community. Ketika misi publik ini tercapai maka hak belajar setiap siswa akan terjamin dan kualitas pembelajaran akan meningkat.

Syarat mutlak keberlangsungan kegiatan open class adalah kehadiran para observer yang akan mengamati proses pembelajaran. Begitu pentingnya peran observasi—tidak hanya dalam konteks lesson study—bagi guru, Artz & Armour-Thomas (2002:43) menegaskan bahwa “one of the most valuable experiences that should precede teaching and continue throughout a teaching career is observing other teachers.” Untuk itu, setiap guru hendaknya menyempatkan diri untuk mengamati proses pembelajaran guru lain karena akan mengasah kepekaan aspek kritis terhadap proses pembelajaran dan pada gilirannya akan dapat meningkatkan pemahaman serta kemampuan guru dalam menyelenggarakan pembelajaran.

Dalam konteks lesson study, peran observer adalah mengumpulkan data yang diperlukan selama pembelajaran berlangsung dan bukan membantu siswa (Susilo, 2011:27). Adapun tugas utama observer adalah mengamati bagaimana siswa belajar dan bukan sekedar mengamati bagaimana guru mengajar (Syamsuri & Ibrohim, 2008:58; Sato, 2012:92). Selain itu, tujuan pengamatan bukan untuk menilai apakah kegiatan pembelajaran berjalan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), melainkan secara teliti dan seksama mengamati dan menemui berbagai

kenyataan yang terjadi pada setiap siswa yang mempunyai karakter berbeda satu sama lain (Sato, 2012:92).

Kedudukan observasi dalam rangkaian kegiatan lesson study menempati posisi yang penting. Tanpa kegiatan observasi maka kebermaknaan dari lesson study akan pudar, karena tidak ada sari manfaat yang bisa diteguk oleh guru. Dari ketiga tahap—meski tidak dapat dipisahkan satu sama lain—lesson study di Indonesia, yakni merencanakan pembelajaran (plan), melaksanakan rencana pembelajaran dan mengobservasi pembelajaran (do), serta menyelenggarakan diskusi refleksi (see), kedudukan observasi merupakan daya gerak atas keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut.

Sedetail apapun lesson plan yang telah dirancang, tidak akan sempurna hasilnya jika dikerjakan seorang diri. Meskipun guru mampu dan terbiasa untuk membuat perencanaan pembelajaran secara mandiri, tapi jika dikerjakan bersama pasti akan lebih cermat. Sebab keberadaan kolega guru yang lain saat plan akan lebih mewarnai sharing pengalaman, tukar ide, berbagi buku teks, sumber belajar dan lainnya secara kolaboratif serta lebih cermat dalam mendesain rencana pembelajaran (Fernandez & Yoshida, 2004:7).

Seindah apapun proses pembelajaran (open lesson) yang berlangsung, tidak akan memberi pelajaran berharga pada guru yang lain jika tidak ada guru yang menjadi observer saat proses pembelajaran berlangsung. Andai ada observer dalam kegiatan open class, namun jika tidak menjalankan tugas dan perannya dengan baik, maka ruh lesson study tidak akan mengisi raga para pesertanya.

Diskusi refleksi juga tidak akan bisa eksis jika tidak dihadiri observer yang menyampaikan hasil temuan pengamatannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa guru juga dapat melakukan refleksi diri secara kritis melalui meta-refleksi untuk membangun

Page 10: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

2 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

kemandiriannya sebagai pendidik yang professional (Suratno, 2014:14). Bahkan Suratno & Iskandar (2010:47) juga meyakini bahwa refleksi merupakan jantung dari kegiatan lesson study. Akan tetapi refleksi akan lebih komprehensif jika dilakukan secara kolobaratif dan kolegial. Sato (2012:91) mengingatkan bahwa “keberhasilan forum refleksi tergantung pada bagaimana para peserta mengamati kegiatan pembelajaran (open class).”

Keseluruhan tahap lesson study di atas diyakini merupakan model pengembangan pendidik profesional yang efektif, sebagian besar disebabkan karena sifatnya yang kolaboratif (Puchner & Taylor, 2006:931). Tulisan ini memfokuskan kajian pada salah satu aspek dari ketiga tahap lesson study, yakni mengenai bagaimana tahap do dilaksanakan. Kajian dipusatkan pada pemaparan pola pengamatan yang dilakukan observer saat open lesson sedang berlangsung.

Urgensi kajian ini berangkat dari kondisi ideal yang telah dipaparkan di atas, bahwa posisi pengamat dalam proses lesson study sangat berdampak signifikan terhadap kebermaknaan kegiatan tersebut. Sementara itu, lesson study dalam bidang ilmu sosial dan humaniora merupakan hal yang relatif baru jika dibandingkan dengan bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam. Sebagai pemula, seringkali peserta lesson study bidang ilmu sosial melaksanakan kebingungan atas apa yang harus dilakukan saat pengamatan.

Tulisan ini mencoba untuk memaparkan dan berbagi pengalaman serta temuan peneliti dalam berbagai kegiatan lesson study bidang ilmu sosial dan humaniora pada berbagai tingkat pendidikan. Mulai dari sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga tingkat perguruan tinggi di wilayah Jawa Timur. B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian historis (Ary, Jacobs & Sorensen, 2010:466). Pertimbangan pemilihan jenis penelitian ini karena data telah tersedia sebelum peneliti menentukan masalah penelitian, memilih topic dan mendesain rencana penelitian (Gall, Gall, & Borg, 2003:515). Data didapatkan dari dokumen kegiatan pendampingan lesson study bidang ilmu sosial dan humaniora dalam kurun tiga tahun, mulai 2013 hingga 2016. Dokumen yang dimaksud terdiri atas dokumen RPP, lembar observasi yang diisi oleh observer, serta foto dan video kegiatan lesson study yang terkait dengan peran observer saat kegiatan open class. Data yang didapatkan melalui proses kritik dan interpretasi terlebih dahulu, kemudian digunakan untuk memaparkan pola pengamatan observer saat mengikuti kegiatan lesson study. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengurai peristiwa dalam historiografi secara kronologis, hanya bermaksud mengupas beberapa kasus terkait dengan pola pengamatan observer. Untuk itu data yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah tafsiran atau interpretasi peneliti atas peristiwa yang telah berlalu, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya salah tafsir.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kegiatan lesson study pada beragam tingkat pendidikan di Jawa Timur. Pertama, dari kegiatan lesson study berbasis sekolah di SMPN di

Jawa Timur. Mulai dari SMPN 1 Giri Banyuwangi pada 21 September 2012, SMPN 6 Mojokerto pada 11 Oktober 2014, SMPN 1 Kebonagung Pacitan pada 01 November 2016, SMPN 7 Pamekasan pada 26 September 2015, SMPN 2 Bojonegoro pada 02 Oktober 2015, SMPN 1 Rengel Tuban pada 10 Oktober 2015 dan SMPN 2 Sumberpucung sepanjang tahun 2015 yang menyelenggarakan delapan kali open class. Dari tingkat SMP juga digunakan sumber data dokumen dari kegiatan lesson study berbasis MGMP IPS Kabupaten Malang bagian Utara pada 27 Mei 2015. Kedua, untuk tingkat sekolah menengah atas digunakan data dokumentasi dari lesson stiudy berbasis Kajian dan Praktek Lapangan (KPL/PPL) di SMAN 1 Batu dan MAN 3 Malang pada tahun 2016. Ketiga, untuk data lesson study di tingkat perguruan tinggi diperoleh dari berbagai aktivitas lesson study di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang (FIS UM). Terutama dari kegiatan lesson study yang dilaksankan oleh Komunitas Lesson Study FIS UM.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Posisi Observasi dalam Lesson Study (Tinjauan

Literatur)

Kegiatan observasi dalam kegiatan lesson study merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lesson study tidak akan bermakna jika tidak ada observasi. Meski merupakan hal yang wajib ada, posisi observasi dalam lesson study ditafsirkan secara berbeda oleh para pakar dan diimplementasikan pada berbagai negara yang menerapkannya dengan cara yang beda pula—walau dengan merujuk pada negara asalnya, Jepang.

Fernandez & Yoshida (2004:7-9) memberi gambaran bahwa proses lesson study dapat dilaksanakan dalam enam tahap. Pertama, membuat perencanaan pembelajaran secara kolaboratif. Kedua, mengamati proses pembelajaran “in action.” Ketiga, diskusi atas pembelajaran yang telah berlangsung. Keempat, merevisi rencana pembelajaran (optional). Kelima, melaksankan pembelajaran kembali dengan versi rencana pembelajaran yang telah diperbaiki. Keenam, sharing refleksi atas versi pembelajaran yang telah diperbaiki. Berdasarkan pendapat tersebut, maka posisi observasi berada pada tahap kedua dan kelima.

Sementara itu, Catherine Lewis (dalam Syamsuri & Ibrohim, 2008:50) juga memberi saran untuk melaksanakan lesson study dalam enam langkah, yakni (a) membentuk kelompok, (b) memfokuskan studi, (c) membuat rencana pembelajaran, (d) melaksanakan pembelajaran dan observasi, (e) mendiskusikan dan menganalisis pembelajaran, dan (f) merefleksikan pembelajaran dan merencanakan tahap selanjutnya. Dengan demikian, posisi observasi berada pada tahap keempat lesson study.

Adapun dalam penerapannya di Indonesia, tahapan lesson study digunakan dalam pola yang lebih sederhana (Syamsuri & Ibrohim, 2008:51-52. Ketiga tahap utama tersebut adalah: (a) perencanaan (plan), (b) pelaksanaan (do), dan (c) melihat kembali/refleksi (see). Posisi observasi berdasarkan model ini berada pada tahap

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 181

kompetensi pedagogi tentu saja tidak terlepas dari kompetensi teknis, tips dan trik mengenai bagaimana guru bisa memahami dan mengorganisasi sedemikian rupa peran dan fungsinya sebagai proses edukatif baik bagi dirinya sendiri maupun siswa (Loughran, 2010). Calon guru atau bahkan guru sangat berperan penting bukan saja dalam pembentukan prestasi akademik siswa di sekolah, namun juga dalam pengembangan karakter siswa sehingga hal ini menuntut sikap dan perilaku profesional guru harus selalu berkembang. Pengembangan diri dan pengembangan profesionalisme guru dari hasil refleksi diri mereka menjadi sebuah keharusan.

Proses berkelanjutan yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Menurut Lewis (2002) ide yang terkandung di dalam Lesson Study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan.

Konsep Lesson Study, mengandung 7 (tujuh) kata kunci, yaitu pembinaan profesi, pengkajian pembelajaran, kolaboratif, berkelanjutan, kolegialitas, mutual learning, dan komunitas belajar. Lesson Study bertujuan untuk melakukan pembinaan profesi pendidik secara berkelanjutan agar terjadi peningkatan profesionalitas pendidik terus menerus. Kalau tidak dilakukan pembinaan terus menerus maka profesionalitas dapat menurun seiring dengan bertambahnya waktu.

Mengembangkan kompetensi pedagogi dapat dilakukan melalui pengkajian pembelajaran secara terus menerus dan berkolaborasi. Pengkajian pembelajaran dapat dilakukan secara berkala, misalnya seminggu sekali atau dua minggu sekali. Kegiatan ini dapat membangun komunitas belajar adalah membangun budaya yang memfasilitasi antar guru untuk saling belajar, saling koreksi, saling menghargai, saling bantu, saling menahan ego.

Kompetensi pedagogi merupakan seperangkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang meliputi merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, melakukan evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah dengan melaksanakan Lesson Study, terutama karena ada kegiatan refleksi di dalamnya. Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas yang saling membantu dalam belajar untuk membangun komunitas belajar.

Kemampuan untuk dapat melakukan refleksi merupakan suatu keterampilan yang dapat dilatih bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan dan cara pandang yang baru. Dalam lingkup pendidikan calon guru, dengan adanya refleksi melalui LS diharapkan dapat melatih kemampuan mahasiswa untuk mengenali kelebihan dan kekurangannya, mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan kompetensi pedagogi yang harus dikuasai serta menyusun suatu rencana

pembelajaran yang spesifik, sistematis dan mampu dilaksanakan. Kemampuan ini juga diharapkan dapat terus dilakukan setelah mahasiswa tersebut menjadi seorang guru, khususnya saat menghadapi suatu masalah dalam praktek pembelajaran yang kompleks. Oleh karena itu, sebaiknya refleksi tidak saja dilakukan dalam kerangka LS tetapi juga dilakukan setiap selesai melakukan kegiatan pembelajaran. Hal ini dijadikan sebagai salah satu kegiatan yang terstruktur dan berkelanjutan untuk memperbaiki kinerja pedagoginya.

Calon guru dan guru dapat memperoleh manfaat lesson study,terutama melalui kegiatan refleksi berupa; (a). membantu untuk mengobservasi dan mengkritisi pembelajarannya, (b). memperdalam pemahaman tentang materi pelajaran, cakupan dan urutan materi dalam kurikulum, (c) membantu memfokuskan bantuannya pada seluruh aktivitas belajar siswa, (d) menciptakan terjadinya pertukaran pengetahuan tentang pemahaman berpikir dan belajar siswa, (e) meningkatkan kolaborasi dengan sesama guru atau sejawat, (f) merencanakan pelajaran secara kolaboratif, (g) mengkaji secara teliti proses pembelajaran dan perilaku siswa, (h) mengembangkan pengetahuan pembelajaran yang dapat diandalkan, dan (i) melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan pendapat sejawat yang menjadi observer dan koleganya.

Apabila dikaitkan dengan teori belajar paradigm behaviorism, mengajar merupakan aktifitas memberi materi kepada siswa dan mengisi otak siswa dengan materi yang diajarkan. Konsekuensinya, guru sebagai satu-satunya sumber belajar yang diandalkan. Dalam pandangan ini siswa dipandang sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi sesuai kehendak guru atau sebagai gelas kosong yang harus diisi oleh guru dalam pengajaran. Ini berarti siswa hanya sebagai objek dalam pengajaran. Karena itu guru sebagai pusat pengajaran.

Sebaliknya dalam paradigm constructivism, seperti yang dianut saat ini, mengajar merupakan aktifitas dalam memfasilitasi siswa untuk belajar. Dalam hal ini peran guru sebagai fasilitator yang memberikan motivasi, memfasilitasi, dan mendorong siswa untuk belajar. Keberhasilan siswa dalam belajar sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri dan kemampuan guru dalam memfasilitasi siswa untuk bisa belajar secara baik. Karena itu istilah pengajaran dalam behaviorism menjadi pembelajaran dalam constructivism. Dalam pandangan constructivism, siswa merupakan individu yang unik yang memiliki kemampuan untuk mengonstruksi pengetahuan sendiri. Guru harus memandang siswa sebagai subjek belajar dalam proses pembelajaran. Berarti guru harus memfasilitasi siswa untuk mudah mengonstruksi pengetahuan. Dalam hal ini, guru harus memiliki kemampuan untuk mengemas materi pelajaran supaya menjadi bermakna bagi siswa, menciptakan situasi kelas yang mendorong siswa untuk berpikir dan berinteraksi, serta menciptakan situasi yang kondusif dan menyenangkan bagi siswa untuk belajar.

Mengubah perilaku guru dalam pembelajaran merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan namun tidak mudah dilakukan. Karena pengalaman yang sudah sangat lama dalam mengajar, sehingga perilaku “memberi” pengetahuan kepada siswa sudah menjadi kebiasaan atau budaya yang melekat pada diri guru. Tuntutan perubahan

Page 11: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

180 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

dijadikan sebuah terapi untuk memperbaiki diri guru dalam melakukan perbaikan pendidikan dan pembelajaran (Korthagen & Vasalos, 2005). Oleh karena itu, kajian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara refleksi diri calon guru atau mahasiswa selama kegiatan KPL dengan perilaku profesionalnya.

Dalam penelitian ini, refleksi diri calon guru dan upaya peningkatan kemampuan pedagogi menjadi fokus utama. Dalam penelitian ini, refleksi diri dilihat dari persepsi guru mengenai kompetensi atau yang meliputi tiga kategori, yaitu: (1) penguasaan konten/materi ajar (content knowledge ); (2) pengetahuan paedagogi (paedagogical knowledge ); dan (3) pengemasan materi/konten dalam pembelajaran (paedagogical content knowledge). Refleksi diri dikembangkan dari bagaimana calon guru mempersepsikan kemampuan diri sendiri yang dikembangkan dari refleksinya terhadap pengetahuan paedagogik maupun substantif, pemahaman tentang karakteristik belajar yang ideal, bagaimana mempersepsikan diri dalam rencana pembelajaran, metode, media serta hasil belajar siswa.

Refleksi diri calon guru dalam kaitannya dengan upayanya untuk mengembangkan profesionalismenya sebagaimana tercantum dalam poin-poin di atas diarahkan untuk mengetahui sejauh mana calon guru sebagai tenaga profesional melakukan kegiatan atau rambu-rambu yang harus dilakukan oleh seorang guru yang profesional. Dengan hal tersebut, guru dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri, apakah mereka sudah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya atau belum. Dengannya guru akan dapat mengetahui kelemahan dan kelebihannya, dan nantinya akan mendorong dalam melakukan perbaikan perbaikan kompetensinya. Jika dibandingkan dengan guru yang tidak pernah melakukan refleksi terhadap kemampuan profesionalnya, bisa jadi mereka tidak akan terdorong untuk melakukan upaya pengembangan profesionalismenya, mulai dari bagaimana merencanakan pembelajaran, menyiapkan proses pembelajaran sampai melakukan evaluasi terhadap ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan mendeskripsikan refleksi dalam lesson studi untuk pengembangan kompetensi pedagogi bagi calon guru. Yang dimaksud calon guru pada penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi peserta KPL pada semester gasal 2016/2017. Responden berjumlah 22 orang, peserta KPL 1 (kampus) sebanyak 15 orang dan KPL 2 (sekolah) sebanyak 7 orang yang melakukan KPL pada 3 sekolah.

Penelitian ini dilakukan dengan tahapan: a) melakukan tinjauan pustaka dan menentukan pertanyaan penelitian; b) menyusun instrument penelitian (termasuk kuisioner) tentang implementasi refleksi dalam Lesson Study (LS) pada kegiatan KPL pada Program Studi Pendidikan Geografi FIS UM; c) melakukan validasi instrument; d) melaksanakan penelitian (termasuk mendistribusikan kuesioner pada responden dengan petunjuk yang jelas; e) analisis data; (e) menyusun laporan.

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi FIS UM. Data yang diperlukan meliputi data tentang implementasi refleksi pada Lesson Study (LS) pada kegiatan KPL, serta data kompetensi pedagogi. Teknik perolehan data dilakukan dengan observasi dan pengukuran pada saat persiapan KPL (KPL 1 di kampus) serta selama pelaksanaan KPL di sekolah. Analisis yang digunakan adalah analisis deskripsi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data tentang persepsi terhadap refleksi yang dilakukan ketika praktik LS, baik ketika KPL kampus maupun KPL di sekolah didapatkan dari kuisioner persepsi yang dikembangkan dengan mengadopsi tes skala Likert dengan 4 (empat) opsi. Ada 10 (sepuluh) pernyataan yang disiapkan sehingga nilai persepsi terhadap refleksi maksimal adalah 40 dan nilai minimal 10. Rincian persepsi mahasiswa terhadap refleksi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persepsi Terhadap Refleksi dalam Lesson Study

No Interval Nilai

Kriteria Skor f %

1 10-17 Kurang 0 0 2 18-25 Cukup 3 13,64 3 26-33 Baik 12 54,54 4 34-40 Sangat baik 7 31,82

Jumlah 22 100 Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa

54,54% memiliki penilaian baik terhadap refleksi yang dilakukan ketika praktek LS, dan tidak ada yang mempunyai penilaian kurang terhadap LS. Meskipun demikian masih ada yang memiliki respon cukup terhadap LS.

Tabel 2. Nilai Kompetensi Pedagogi

No Komponen Pedagogi KPL Kampus

KPL Sekolah

1 Perencanaan Pembelajaran

78 82

2 Pelaksanaan Pembelajaran 63 87 3 Evaluasi Pembelajaran 72 83 4 Pemahaman dan

pengembangan peserta didik

68 75

Rata−rata 70,25 81,75

Jika dilihat dari kemampuan pedagogi, komponen kemampuan pelaksanaan pembelajaran pada saat KPL kampus, yang merupakan kegiatan peer teaching, mempunyai nilai paling rendah dan kemampuan ini juga yang mengalami peningkatan yang paling tinggi. Dapat disimpulkan, latihan peer teaching meningkatkan kemampuan pelaksanaan pembelajaran.

Berdasar penelitian ini dapat dipahami pengembangan kompetensi pedagogi guru perlu dilakukan secara terus menerus dalam rangka meningkatkan kualitas guru. Oleh karenanya,

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 3

kedua, yakni saat tahap do, bersamaan dengan kegiatan pelaksanaan pembelajaran.

Berdasar berbagai pandangan di atas, dapat dipahami bahwa pola pelaksanaan lesson study ditafsirkan dan diimplementasikan dengan cara yang beragam. Dari berbagai perbedaan padangan tersebut, semuanya mufakat bahwa observasi adalah tahap yang tidak dapat dipisahkan dari lesson study.

2. Posisi dan Peran Observer dalam Open Class (Tinjauan Literatur)

Mengamati kegiatan pembelajaran ibarat mengamati sandiwara tanda skenario (Sato, 2012:92). Meskipun observer mengamati adegan yang sama dengan koleganya, tapi penafsiran yang dihasilkan bisa berbeda. Menurut Syamsuri & Ibrohim (2008:58) idealnya tugas seorang observer adalah mengamati situasi kelas secara keseluruhan atau aktifitas belajar seluruh siswa. Hanya saja kemampuan dan kepekaan para observer beragam. Observer pemula dapat mengamati aktifitas belajar satu kelompok tertentu, dari awal hingga akhir pembelajaran. Observer yang telah terlatih dapat memfokuskan pengamatannya pada keseluruhan kelas atau bahkan detail aktivitas belajar setiap siswa.

Tujuan pengamatan bukan untuk menilai apakah pembelajaran telah berjalan sesuai dengan RPP, melainkan observer harus secara teliti dan seksama mengamati dan menemui berbagai kenyataan yang berbeda satu sama lain (Sato, 2012:92). Selama ada observer yang melakukan penilaian bagus atau tidaknya pelajaran dilakukan, guru tidak mungkin mengalami pertumbuhan (Sato, 2013:37).

Syamsuri & Ibrohim (2008:58-59) telah memberikan beberapa masukan terkait dengan fokus amatan yang bisa dilakukan oleh observer. Beberapa diantaranya adalah: (a) interaksi antar siswa, (b) interaksi siswa-guru, (c) interaksi siswa dengan media, (d) interaksi siswa dengan sumber belajar, (e) bagaimana gerak tubuh siswa, (f) apa yang dibicarakan siswa, dan lainnya. Observer juga disarankan untuk membawa lembar observasi untuk memudahkan pengamatan (Syamsuri & Ibrohim, 2008:60).

Begitu pentingnya peran pengamat dalam menentukan keberhasilan lesson study, Syamsuri & Ibrohim (2008:135-139) membuat panduan atau rambu-rambu pengamatan pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: (a) pengamat hadir sebelum pembelajaran dimulai dan diusahakan tidak meninggalkan ruangan sampai pelajaran berakhir, (b) hendaknya tidak menganggu konsentrasi belajar siswa, (c) menyiapkan lembar pengamatan, (d) tidak berkomunikasi dengan handphone di dalam kelas, (e) menempati posisi yang dapat memperhatikan wajah siswa, (f) tidak membantu guru maupun siswa dalam proses pembelajaran, (g) tidak menganggu pandangan guru maupun siswa, dan lain sebagainya.

Unit Pelaksana Teknis Praktek Pengalaman Lapangan UM (2011) juga menerbitkan “Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lesson Study Universitas Negeri Malang” yang didalamnya juga mengatur tugas dan peran observer. Berikut ini merupakan tata-tertib observer lesson study: (a) masuk kelas bersamaan dengan guru pengajar, (b) mengisi lembar pengamatan. (c) sesama pengamat dilarang berbicara, (d) dilarang berbicara dengan guru pengajar, (e) dilarang berbicara dengan siswa, (f) pengamatan terfokus pada kegiatan yang dilakukan siswa, (g) pengamatan terhadap guru

dilakukan terkait dengan pengamatan terhadap perilaku siswa di kelas. (h) tidak meninggalkan kelas sebelum pelajaran berakhir, dan (i) tidak melakukan kegiatan apapun yang berpotensi mengganggu proses belajar mengajar

3. Pola Pengamatan Observer di Sekolah Menengah Pertama

Pada bagian ini dipaparkan beberapa temuan terkait pola pengamatan observer lesson study di beberapa SMP dalam mata pelajaran bidang ilmu sosial dan humaniora. Temuan yang dipaparkan tidak mencakup seluruh peristiwa yang terjadi dalam setiap open class. Hanya merupakan cuplikan kejadian penting, unik, dan menarik dalam yang sempat terekam dalam dokumentasi kegiatan. Cuplikan tersebut merupakan fragmen puzzle dalam mozaik keseluruhan kejadian, maka kelengkapan narasi bergantung pada kelengkapan dokumen yang ada dan terkait dengan fokus kajian.

Pada tanggal 21 September 2016 berlangsung kegiatan open class dalam mata pelajaran IPS di SMPN 1 Giri, Banyuwangi. Materi yang disajikan pada saat itu adalah mengenai faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial dan budaya. Observer yang hadir sekitar tiga belas orang. Temuan menarik dari pola pengamatan observer adalah perbedaan mereka dalam mencermati pembelajaran. Mayoritas pengamat berdiri di depan kelas dekat dengan pintu ruangan. Salah seorang observer terlihat sering keluar masuk kelas, sehingga saat refleksi guru tersebut dilarang oleh moderator untuk memaparkan hasil pengamatannya meski ia bersikeras untuk menyampaikannya. Pola pengamatan para observer ini lebih disibukkan pada pengisian lembar observasi dan hanya satu orang yang memegang handycam untuk merekam kegiatan.

Diantara sekian banyak observer yang hadir saat itu, penulis tertarik atas keberadaan salah satu ibu observer. Ia begitu fokus mengamati aktivitas belajar siswa dalam satu kelompok. Ibu guru ini tidak hanya berusaha mengamati siswa dengan pandangan mata, namun juga berupaya untuk mendengarkan proses berpikir siswa saat berdiskusi kelompok. Denah kelas yang dibuat dengan format kelompok kecil yang tersebar dipinggir ruangan dalam model “U” memungkinkan ibu guru tersebut berdiri di sela-sela antar kelompok.

Kegiatan lesson study berbasis sekolah juga berlangsung di SMPN 6 Mojokerto. Pada tanggal 11 Oktober 2014 diselenggarakan open class dalam matapelajaran IPS materi keragaman flora dan fauna di Indonesia. Pola pengamatan observer di sekolah ini lebih sistematis. Sejak awal setiap guru diberi tugas untuk mengawasi satu kelompok tertentu. Guru model bernama Ibu Nur Aini, sementara yang bertugas untuk mengobservasi kelompok 1 adalah Ibu Siti Domah, kelompok 2 oleh Bapak M. Said, kelompok 3 oleh Ibu Khoirunnisak, kelompok 4 diamati oleh Ibu Mardiana, kelompok 5 dipegang oleh Ibu Sutamah, dan kelompok 6 diamati oleh Ibu Mamiek Zulfah. Penataan ruang kelas menggunakan pola kelompok kecil yang tersebar di samping ruang membentuk huruf “U”. Kondisi tersebut memungkinkan guru untuk bertugas mengamati siswa dari celah antar kelompok. Berdasarkan lembar observasi yang diisi oleh guru dan disampaikan saat

Page 12: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

4 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

refleksi, menjadi indikasi kuat bahwa guru observer menjalankan peran dan tugasnya dengan baik.

Hanya saja terkadang kegiatan pengamatan membutuhkan banyak tenaga agar tetap fokus. Kegiatan pembelajaran yang dimulai sejak pukul 08.30 mulai menguras sisa energi beberapa guru observer. Pada menit ke 44 (pukul 09.14) beberapa observer mulai duduk di bangku siswa sambil tetap menjalankan tugasnya mengamati proses belajar. Hal unik lain yang juga terjadi adalah ketika guru memanfaatkan jendela kelas sebagai alas untuk menulis lembar observasi, mengindikasikan bahwa ia mulai lelah dalam kegiatan pengamatan tersebut.

Pada tanggal 01 November 2014 dilangsungkan kegiatan open class di SMPN 1 Kebonagung, Pacitan. Tema pelajaran adalah mengenai sarana dan prasarana transportasi di Indonesia dalam matapelajaran IPS. Jumlah observer mencapai sembilan orang. Secara umum pola pengamatan para observer hampir sama dengan dua kasus yang dipaparkan sebelumnya. Denah kelas kelas juga sama, hanya saja bangku siswa tidak menempel di dinding samping kelas, sehingga memungkinkan observer untuk bergerak di samping ruang kelas.

Berdasarkan hasil dokumentasi kegiatan dan lembar observasi, terdapat pengamat yang agaknya lebih memfokuskan amatan terhadap guru dan bukan siswa. Dari sembilan observer yang ada, terdapat dua orang yang menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka tetap memperhatikan siswa ketika sebagian besar observer yang lain mengamati guru mengajar. Keduanya fokus mengamati aktifitas belajar dalam satu kelompok yang menjadi tanggung jawabnya. Meski demikian, dari kedua orang tersebut memiliki gaya yang berbeda dalam melakukan pengamatan. Satu orang tetap berada di posisinya sepanjang pembelajaran, yakni dari satu sudut untuk mengamati kelompok 1. Sementara observer yang bertugas mengamati kelompok 3, senantiasa bergerak di samping kanan, kiri, dan belakang kelompok tanpa menghalangi pandangan siswa ke depan kelas maupun kepada kelompok lain. Ia tetap memusatkan tatapannya ke siswa dari awal hingga akhir pelajaran.

Berikutnya, pada tanggal 29 September 2015 diselenggarakan lesson study berbasis sekolah dalam matapelajaran bahasa Inggris di SMPN 7 Pamekasan. Materi yang dipelajari adalah mengenai membuat kalimat prosedur kerja. Kegiatan ini diikuti oleh enam orang observer. Pola kelas dibuat klasikal dan ketika siswa berkelompok juga tidak merubah denah kelas, siswa hanya memutar posisi duduknya agar saling berhadapan.

Pola pengamatan yang dilakukan observer cukup beragam. Dari enam observer hanya tiga yang berdiam diri dalam ruang kelas, ketiga observer lain datang terlambat dan terkadang keluar kelas. Berhubung denah kelas klasikal, pergeseran observer ini cukup mengganggu proses pembelajaran. Dalam hal fokus amatan, ada pengamat yang fokus ke siswa, ada yang ke guru, dan ada juga yang tidak fokus sepanjang pengamatan. Terdapat observer yang sibuk mengisi lembar observasi dengan memanfaatkan meja di belakang kelas, sehingga mengabaikan proses yang terjadi dibelakang punggungnya. Dua orang pengamat

lebih memilih untuk duduk dibangku siswa. Dari keenam observer, setidaknya terdapat satu observer yang pusat amatannya tetap ke siswa dan terus bergerak untuk mengamati proses belajar pada dua kelompok.

SMPN 2 Bojonegoro pernah melaksanakan kegiatan open class pada tanggal 01 Oktober 2015 dalam matapelajaran IPS. Hal yang menarik adalah komposisi observer yang hadir cukup lengkap, mulai dari pihak kepala sekolah, pengawas, hingga perwakilan wali siswa juga turut serta. Keberadaan wali siswa tersebut sangat penting karena menunjukkan misi keterbukaan sekolah dalam proses pembelajaran yang ada.

Dari keenambelas observer yang hadir, semuanya duduk di deretan bangku paling belakang. Kondisi ini terjadi karena pihak sekolah sudah menyiapkan deret kursi di belakang dan pola kelas yang klasikal tidak memungkinkan guru mengobservasi dari samping kelas. Hanya kepala sekolah yang dengan semangat mengambil posisi berdiri dan selalu berupaya memperhatikan siswa. Barulah ketika pembelajaran masuk ke sesi kerja kelompok pada menit ke-21, para observer terlihat mulai turut berdiri dan bergerak di kelas untuk mengamati proses belajar dalam kelompok. Tidak ada pola pembagian tugas pengamatan, observer bebas memilih kelompok mana yang diamatinya. Sehingga terdapat beberapa kelompok tanpa observer dan ada pula kelompok yang diamati oleh beberapa observer.

Beberapa observer—termasuk pengawas—yang secara bersemangat terus mengamati aktifitas siswa, namun ada juga observer yang memilih untuk tetap duduk di belakang dan berbincang dengan rekan observer lain. Terdapat pula observer yang berdiri mengamati sambil sesekali disibukkan dengan pengisian lembar observasi. Ketika pembelajaran memasuki sesi presentasi, para observer kembali menempati tempatnya semula di belakang kelas. Kecuali kepala sekolah yang tetap memilih berdiri dan memfokuskan amatan pada siswa. Apa yang dilakukan kepala sekolah tersebut sangat luar biasa, mengingat justru pada titik seperti inilah hak belajar siswa seringkali terabaikan. Guru observer lebih banyak disibukkan dengan pengisian lembar observasi dan mengamati siswa yang presentasi, daripada mengkaji siswa lain yang mengalami kesulitan belajar.

Kondisi lain terkait dengan pola pengamatan observer terjadi pada saat pelaksanaan open class di SMPN 1 Rengel, Tuban pada tanggal 10 Oktober 2015 dan dihadiri oleh sembilan orang observer. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris pada saat itu diselenggarakan di ruang laboratorium IPA, sehingga siswa duduk di bangku-bangku panjang yang berderet dengan pola klasikal. Keuntunggannya observer bisa bebas bergerak di tepi kelas tanpa mengganggu proses pembelajaran. Temuan umum pada saat itu adalah observer sudah menjalankan tugas dan perannya cukup baik dengan mengamati proses belajar siswa. Hanya terdapat beberapa observer yang disibukkan dengan pengisian lembar observasi. Temuan khusus yang terjadi pada saat itu adalah ketika salah satu observer dengan sangat mencolok mengintervensi siswa saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Pada

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 179

Refleksi Dalam Lesson Study untuk Pengembangan Kompetensi Pedagogi bagi Calon Guru

Yuswanti Ariani Wirahayu Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UM

Abstrak: Salah satu kompetensi yang harus ada pada seorang guru adalah kompetensi pedagogi, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pemahaman dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, mahasiswa program studi pendidikan, sebagai calon pendidik atau guru harus dilatih untuk dapat melakukan refleksi diri terhadap proses belajar, pengalaman dan pencapaiannya untuk dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya, melalui kegiatan lesson study (LS). Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif dengan subjek mahasiswa peserta Kajian dan Praktek Lapangan (KPL) semester gasal 2016-2017, yang melakukan LS ketika KPL kampus maupun KPL sekolah. Hasilnya diketahui bahwa refleksi dapat meningkatkan kinerja calon guru dan digunakan untuk menyusun rencana tindak lanjut yang sesuai dengan tujuan serta memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kemampuan diri.

Kata Kunci: Refleksi, lesson study, kompetensi pedagogi

A. PENDHULUAN

Kegiatan refleksi diri merupakan kegiatan yang memberikan banyak manfaat dalam pengembangan profesionalisme guru (Avalos, 2011). Manfaat utama dari refleksi adalah membantu guru dalam memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang dirinya sendiri, tentang profesinya dan bagaimana dapat menjadi guru yang lebih efektif, efisien, serta dapat mendampingi siswa berhasil dalam belajar. Di samping itu, refleksi diri juga dapat membantu guru untuk mengeskplorasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya, memperbaiki kelemahan dan mencari solusi yang diperlukan untuk pengembangan profesinya. Oleh karenanya, refleksi diri memberikan kontribusi yang tinggi untuk membantu calon guru dalam upaya pengembangan profesionalismenya, dan dampak berikutnya tentu saja akan memberikan pengaruh yang positif terhadap efektivitas kegiatan belajar-mengajar di kelas yang bermuara pada peningkatan kompetensi peserta didik.

Pembelajaran merupakan suatu kegiatan dan proses yang kompleks. Seorang guru tidak cukup hanya berbekal pengalaman saja untuk menjadi profesional dalam mengola pembelajaran, namun, membutuhkan banyak belajar tentang bagaimana mengajar dan membelajarkan siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru dalam meningkatkan peran dan tanggung jawab profesionalnya adalah dengan senantiasa melakukan refleksi diri. Menurut Bowman (1989), refleksi diri merupakan elemen utama profesionalisme. Melakukan refleksi atas praktik-praktik profesional guru, terutama belajar dan mengajar merupakan faktor penting bagi terbentuknya inovasi dan revolusi pembelajaran di kelas (Loughran, 2005). Bahkan saat ini refleksi diri dalam konteks pengembangan profesional berkelanjutan dijadikan sebagai konsep kunci pendidikan guru (Korthagen &Vasalos, 2005). Selain itu, Loughran (2005) juga menyatakan bahwa refleksi merupakan cara penting untuk memenuhi keluasan dan kedalaman pengetahuan profesional guru. Paling tidak terdapat tiga unsur

pengetahuan profesional yang senantiasa menjadi bahan refleksi diri guru, yaitu: (1) pengetahuan konten (Content Knowledge), (2) pengetahuan paedagogi (Paedagogical Knowledge), dan (3) pengetahuan pengemasan konten dalam pembelajaran bermakna (Paedagogical Content Knowledge) (Abdurrahman, 2013). Pengetahuan tentang profesional guru memerlukan strategi khusus agar mampu memfasilitasi berbagai ungkapan yang lebih baik dan berbagi ide-ide dalam pembelajaran, sehingga harus tetap menjadi bagian prioritas untuk direfleksi oleh setiap guru bahkan sebaiknya sejak masih menjadi mahasiswa calon guru (Loughran, Berry & Mulhall, 2006).

Dengan demikian refleksi guru yang terus-menerus dalam karier profesionalnya merupakan bagian dari literatur pendidikan guru (Howard, 2003). Namun, jika diamati langsung ke lapangan, jarang sekali guru baik secara individu maupun bersama kelompok guru melakukan proses refleksi diri untuk melakukan perbaikan kinerja profesionalnya. Oleh karena itu, guru di kesehariannya kadang masih menghadapi kendala dalam praktik profesionalnya, walaupun guru tersebut sudah memiliki masa kerja yang cukup lama. Padahal refleksi dapat dijadikan panduan utama bagi guru dalam mengembangkan strategi-strategi baru dalam menyelesaikan permasalahan proses pembelajaran sehingga secara kultur menjadi acuan dalam pengembangan praktik profesional (Howard, 2003). Sementara itu Korthagen & Vasalos (2005) menyatakan bahwa paling tidak terdapat 4 aspek yang merupakan fokus refleksi guru dalam praktik profesionalnya, yaitu: (1) Lingkungan, hal ini mengacu pada bagaimana upaya guru memanfaatkan lingkungan belajar dalam pengembangan profesionalnya; (2) Perilaku profesional, seperti respons positif terhadap perubahan atau inovasi; (3) Kompetensi, terutama respons terhadap pentingnya meningkatkan kompetensi profesional; dan (4) Keyakinan guru (belief) tentang profesinya. Konsep identitas profesional guru tidak bisa telepas dari upaya perbaikan diri guru dan praktik profesionalnya melalaui refleksi “jati diri” seorang guru. Namun, proses dan upaya refkelsi guru dalam praktik profesionalnya terkadang tidak efektif, sehingga refleksi belum

Page 13: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

178 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Mereka merumuskan tujuan, merancang pelajaran, melaksanakan, mengamati untuk mengumpulkan data tentang proses belajar siswa, melakukan refleksi dan membahas bukti atau data yang telah dikumpulkan dari kelas tadi, dan jika diperlukan melakukan siklus berikutnya sesuai dengan tahapan tadi. Sehingga siklus lesson study terdiri dari (1) perencanaan, (2) pengajaran dan pengamatan, (3) pembahasan dan refleksi, (4) revisi dan perencanaan ulang. Juga bisa bersiklus dengan nama establishing long-term goals, planning the research lesson, teaching and observing the research lesson, and the post lesson discussion (Doig & Groves, 2011). Nama siklus lainnya lagi adalah formulating learning goals, designing the research lesson, teaching and observing the research lesson, analyzing the evidence, repeating the process, dan documenting the lesson study (Cerbin & Kopp, 2006). Di sekitar kami secara umum, Lesson study dapat digambarkan secara ringkas seperti berikut. Siklus atau proses lesson study terdiri dari persiapan (Plan), pelaksanaan (Do), pembahasan dan refleksi (See

D. DAFTAR PUSTAKA

Cerbin, W., & Kopp, B. (2006). Lesson study as a model for building pedagogical knowledge and improving teaching. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education , 18 (3), 250-257.

Chassels, C., & Melville, W. (2009). Collaborative, reflective, and iterative Japanese lesson study in an initial teacher education program: benefits and challenges. Canadian Journal of Education , 32 (4), 734-363.

Cheng, L. P., & Yee, L. P. (2011). A Singapore case of lesson study. The Mathematics Educator , 21 (2), 34-57.

Doig, B., & Groves, S. (2011). Japanes lesson study: teacher professional development through communities of inquiry. Mathematics Teacher Education and Development , 13 (1), 77-93.

Doig, B., & Groves, S. (2011). Japanese lesson study: teacher professional development through communities of inquiry. Mathematics Teacher Education and Development , 13 (1), 77-93.

Dotger, S., Moquin, F. K., & Hammond, K. (2012). Using lesson study to assess student thinking in science. Educator Voice , 5, 22-31.

Fernandes, C. (2002). Learning from Japanes approaches to professional development: the case of lesson study. Journal of Teacher Education , 53 (5), 393-405.

Halvorsen, A. L., & Lund, A. K. (2013). Lesson study and history education. The Social Studies , 104, 123-129.

Halvorsen, A. L., & Lund, A. K. (2013). Lesson study and history education. The Social Studies , 104, 123-129.

Hurd, J., & Licciardo-Musso, L. (2005). Lesson study: teacher-led professional development in literacy instruction. Language Arts , 82 (5), 1-8.

Inprasitha, M. (2011). One feature of adaptive lesson study in Thailand: designing a learning unit. Journal of Science and Mathematics Education in Souteast Asia , 34 (1), 47-66.

Isoda, M. (2010). Lesson study: problem solving approaches in mathematics education as a Japanese

experience. Procedia Social and Behavioral Sciences , 8, 17-27.

Karim, M. A. (2006). Implementation of lesson study for improving the quality of mathematics instruction in Malang. Tsukuba Journal of Educational Study in Mathematics , 25, 67-73.

Lewis, C. C., Perry, R. R., Friedkin, S., & Roth, J. R. (2012). Improving teaching does improve teachers: evidence from lesson study. Journal of Teacher Education , 63 (5), 368-375.

Lewis, C. (2002). Does lesson study have a future in the United States? Nagoya Journal of Education and Human Development , 1, 1-23.

Lewis, C. (2000, April 28). Lesson study: the core of Japanese professional development. American Educational Research Association Meetings . New Orleans.

Lewis, C., & Tsuchida, I. (1997). Planned educational change in Japan: the case of elementary science instruction. Journal of Education Policy , 12 (5), 313-331.

Lewis, C., Perry, R., & Murata, A. (2006). How should research contribute to instructional improvement? The case of lesson study. Educational Researcher , 35 (3), 3-14.

Marsigit. (2007). Mathematics teachers' professional development through lesson study in Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education , 3 (2), 141-144.

Ono, Y., & Ferreira, J. (2010). A case study of continuing teacher professional development through lesson study in Sout Africa. South African Journal of Education , 30, 59-74.

Perry, R. R., & Lewis, C. C. (2009). What is successful adaptation of lesson study in the US? Journal of Educational Change , 10 (4), 365-391.

Pierce, R. (2011 ). Lesson Study for Professional Development and Research . Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia , 34 (1 ), 26-46.

Post, G., & Varoz, S. (2008). Supporting teacher learning: lesson study groups with prospective and practicing teachers. Teaching Children Mathematics , 14 (8), 472-478.

Saito, E., Harun, I., Kuboki, I., & Tachibana, H. (2006). Indonesian lesson study in practice: case study of Indonesian mathematics and science teacher education project. Journal of In-service Education , 32 (2), 171-184.

Santyasa, I. W. (2009, Januari). Implementasi lesson study dalam pembelajaran. Seminar Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran bagi Guru-Guru TK, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama . Nusa Penida, Bali.

Suratno, T. (2012). Lesson study as practice: an Indonesian elementary school experience. US-China Education Review , 7, 627-638.

Takashi, A., & Yoshida, M. (2004). Ideas for establishing lesson study communities. Teaching Children Mathematics , 10 (9), 436-443.

Yarema, C. H. (2010). Mathematics teachers' views of accountability testing revealed through lesson study. Mathematics Teacher Education and Development , 12 (1), 3-18.

 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 5

beberapa kesempatan observer juga berbincang dengan rekan observer yang lain.

Sepanjang tahun 2015, kegiatan lesson study berbasis sekolah juga diselenggarakan di SMPN 2 Sumberpucung, Malang. Setidaknya telah diselenggarakan delapan kali open class dalam pembelajaran IPS dalam kurun Maret hingga November 2015. Kelompok guru IPS yang terdiri atas lima orang, secara kolaboratif mengadakan kegiatan lesson study. Diantara kelima guru tersebut, dua orang pernah bertindak sebagai guru model—masing-masing berkesempatan empat kali open class.

Keunikan temuan pola pengamatn observer pada kegiatan open class adalah terkait dengan posisi observer. Denah kelas yang dibentuk dalam kelompok kecil mengitari kelas membuat pola huruf “U” menyebabkan sebagian besar observer mengambil posisi di pojok belakang ruangan. Pada siklus pertama, observer memilih untuk berdiri di awal pembelajaran. Namun akhirnya memilih untuk duduk di bangku siswa di sisa akhir pembelajaran. Berangkat dari pengalaman seperti ini, maka dalam 7 siklus berikutnya guru observer disediakan kursi di pojok belakang ruangan. Observer pun merasa lebih nyaman melakukan pengamatan sembari duduk. Temuan lain yang berpola selama delapan siklus adalah beberapa kali observer mengintervensi siswa, berbincang dengan sesama observer, disibukkan dengan kegiatan mengisi lembar observasi, dan bahkan mengintervensi atau berbincang dengan guru saat open class.

Kegiatan lesson study berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) juga pernah diselenggarakan oleh guru-guru IPS SMP se-Kabupaten Malang bagian Utara pada tanggal 27 Mei 2015. Bertempat di SMPN 1 Singosari, observer yang hadir saat itu berjumlah lebih dari 30 guru. Pola pengamatan yang dilakukan observer sangat beragam dan tidak ada pembagian tugas. Posisi observer berada di sekeliling kelas untuk mencermati proses pembelajaran. Tatapan mata observer di awal pembelajaran lebih banyak dicurahkan pada bagaimana guru mengajar. Baru setelah sesi kerja kelompok, observer mulai mengamati aktivitas siswa. Hanya saja teramati beberapa observer berdiskusi dengan observer lain atau menggunakan alat komunikasinya. Terdapat pula observer yang mengintervensi siswa tanpa disadari ketika melontarkan celotehan yang menanggapi pekerjaan siswa.

4. Pola Pengamatan Observer di Sekolah Menengah Atas: Kasus Lesson Study dalam Kajian dan Praktek Lapangan

Pada pelaksanaan lesson study dalam kerangka kegiatan Kajian dan Praktek Lapangan (KPL) atau yang dulu memiliki nama Praktek Pengalaman Lapangan (PPL), temuan pola pengamatan observer juga beragam Tulisan ini hanya akan memaparkan temuan pada kegiatan lesson study KPL pada tahun 2016 saja.

Kasus disajikan disini hanya terbatas pada kegiatan yang terjadi di MAN 3 Malang dan SMAN 1 Batu dalam matapelajaran sejarah. Observer yang terdiri atas mahasiswa KPL dan guru pamong memiliki kekhasan saat melakukan pengamatan. Mahasiswa KPL lebih banyak menghabiskan waktunya di belakang kelas saat mengobservasi pembelajaran. Mereka lebih memilih untuk berdiri atau duduk di bangku belakang kelas sambil mengisi lembar observasi daripada mencoba untuk mengamati raut muka siswa saat belajar.

Tidak jarang, mahasiswa KPL berbincang-bincang disela tugasnya sebagai observer.

Pola pengamatan observer juga tergambar dalam lembar observasi yang mereka isi. Pada tulisan ini akan diambil contoh kasus pelaksanaan lesson study yang berlangsung pada 15 Oktober 2016 di MAN 3 Malang. Guru model yang bertugas adalah mahasiswi yang bernama Rikha dan didampingi oleh tiga orang observer mahasiswa serta seorang guru pamong. Berdasar analisis lembar observasi, dapat diinterpretasikan bahwa para observer rupanya bersepakat menilai proses pembelajaran mengalami banyak kendala dan banyak siswa. Namun dalam hal menganalisis penyebab siswa belum belajar dengan baik, tiga observer memvonis guru yang salah dan hanya satu observer yang memberi argument pada kesulitan belajar dari sisi siswa.

Dalam hal menjawab pertanyaan lembar observasi mengenai “mengapa siswa tersebut tidak belajar dengan baik? Menurut Anda apa penyebabnya dan bagaimana alternatif solusinya menurut anda?”. Observer pertama, memberi isian “suara guru kurang keras dan kurang respon siswa”. Observer kedua, juga membuat daftar dosa guru model dengan lebih rinci “penjelasan atau ceramah dari guru kurang menarik; suara guru kurang keras; teacher center; tidak ada interaksi; penjelasan kurang sederhana.” Observer ketiga, tidak mau kalah memvonis guru model “kurangnya mobilitas dan interaksi guru dengan siswa; walaupun ceramah diusahakan tetap berinteraksi dengan siswa dengan melempar pertanyaan atau pernyataan problematis”. Hanya satu observer yang menganalisis penyebab masalah dari sudut siswa “mengerjakan bahasa Arab; tidak membuka buku sejarah; siswa laki-laki belakang sibuk benerin name tag.”

Paparan di atas hanya sebagian contoh kecil bagaimana observer mengamati proses pembelajaran. Mayoritas memang lebih suka dan puas jika bisa menilai guru model. Adapun kondisi di atas dapat dimaklumi karena pesertanya adalah para mahasiswa yang baru berkenalan dengan lesson study dan guru pamong memang diberi mandat untuk menilai mahasiswa KPL.

5. Pola Pengamatan Observer di Perguruan Tinggi: Kasus Fakultas Ilmu Sosial UM

Untuk pelaksanaan lesson study di lingkung FIS UM, telah dilaksanakan sejak tahun 2013 hingga 2015. Kegiatan ini terwujud berkat hibah lesson study yang didapatkan oleh FIS UM. Selama tiga tahun, hampir semua dosen—khususnya dosen muda (junior)—FIS UM pernah menjadi dosen model. Adapun sejak tahun 2016 beberapa dosen FIS UM mendirikan Komunitas Lesson Study FIS UM. Keanggotaan komunitas ini bersifat terbuka, fleksibel, cair dan egaliter. Semua anggota komunitas umumnya—karena memang tidak ada surat tugas dari pimpinan yang bersifat memaksa—bergabung dalam komunitas dengan semangat untuk meningkatkan profesionalitas diri dengan semangat berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Para anggota komunitas biasanya berkumpul pada hari jumat untuk membuat lesson plan secara kolaboratif. Jumlah peserta relatif cukup banyak, karena para anggota komunitas biasanya di hari jumat sudah tidak ada jadwal perkulian. Namun tantangan terbesar adalah saat pelaksanaan observasi ketika salah satu anggota komunitas membuka kelas. Biasanya akan sulit didapatkan observer yang sempat untuk melakukan pengamatan, karena juga terhimpit oleh jadwal perkuliahan masing-masing.

Page 14: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

6 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Mengenai pola pengamatan observer saat dilaksanakan open class di lingkungan FIS UM, secara umum tidak dijumpai perbedaan yang berarti. Tidak dapat ditampik bahwa juga terdapat observer yang berbincang ketika melakukan pengamatan, observer yang duduk, dan juga keluar masuk ruangan. Terlapas dari itu semua, kesediaan para dosen untuk meluangkan waktu dalam kerangka sharing pengalaman dengan sukarela adalah keunggulan dari komunitas ini.

6. Tinjauan Reflektif: Pola Pengamatan Observer dalam Lesson Study

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengevaluasi atau menilai mana pola pengamatan yang salah dan benar dalam lesson study. Semangat tulisan ini hanya untuk memaparkan pengalaman yang ada saat dilaksanakan open class. Dengan harapan semua pihak mendapat manfaat sebagai landasan upaya perbaikan diri.

Dalam konteks posisi observer dalam lesson study, meski banyak dijumpai observer yang berdiri maupun duduk di belakang kelas, tidak ada yang salah dari kondisi tersebut. Hanya saja akan lebih ideal jika observer mampu mengamati dan menangkap ekspresi non-verbal siswa. Manabu Sato (dalam Saito, dkk. 2015:68) menyarankan agar observer melakukan pengamatan dari pojok depan ruang kelas agar mampu mengobservasi raut muka siswa. Bila diperlukan observer juga harus mendengar percakapan yang dilakukan siswa agar dapat dipahami jalan berpikir mereka.

Dalam hal merekam aktivitas belajar siswa saat observasi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa seringkali observer disibukkan dengan kegiatan mengisi lembar observasi dan dampaknya melepaskan pandangan ke arah siswa. Keberadaan lembar observasi memang membantu observer namun terkadang juga menjadi pengalih fokus dan bahkan menggiring pengisinya untuk menilai guru. Dampaknya hal ini akan mendorong observer mengambil posisi untuk menghakimi guru, daripada belajar dari temuannya (Saito, dkk. 2015:68). Keberadaan alat rekam untuk menangkap momen belajar siswa juga dibutuhkan agar temuan observer memiliki dasar bukti yang akurat.

Temuan penelitian yang menunjukkan bahwa terkadang terdapat observer yang berbincang saat open class. Kondisi demikian terkadang mengganggu siswa saat belajar. Untuk hal ini saran Saito, dkk (2015:69) hendaknya diperhatikan bahwa observer hendaknya tetap diam sampai pelajaran berakhir dan baru berbagi pikirannya saat refleksi. Sebagai konsekuensi logis atas kondisi ini, maka observer tidak diperkenankan untuk mengintervensi belajar siswa maupun layanan guru.

Temuan penelitian yang menunjukkan terkadang terdapat beberapa observer yang penuh semangat berupaya untuk mengamati siswa dengan berkeliling kelas, pada dasarnya itu adalah hal yang positif. Hanya saja observer hendanya mengambil posisi yang tidak menganggu pandangan guru maupun siswa (Saito, dkk. 2015:69).

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai penutup dalam tulisan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa observer dalam kegiatan lesson study terikat oleh tugas dan peran serta etika yang harus

dipenuhi. Guru sebagai observer bukanlah pihak yang paling benar dan tidak memiliki hak untuk menghakimi pihak lain. Guru sebagai guru model adalah pihak yang harus dihargai karena telah rela membuka kelasnya untuk diamati oleh pihak lain. Sudah selayaknya observer berterima-kasih kepada guru model. Guru bukan sekedar ahli mengajar namun juga harus ahli belajar dari pengalaman pihak lain.

Observer juga harus mampu menghargai siswa yang ada dalam kelas. Sebagai pihak asing sudah selayaknya observer tidak menganggu proses belajar siswa. Observer harus tiada dalam keberadaannya. Bagaimanapun ia juga harus menghormati siswa, karena para siswa telah menjadi guru bagi para guru.

E. DAFTAR PUSTAKA Artz, A.F. & Armour-Thomas, E. 2002. Becoming a

Reflective Mathematics Teacher: A Guide for Observations and Self-Assessment. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates

Ary. D., Jacobs, L.C., & Sorensen, C. 2010. Introduction to Research in Education. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Fernandez, C & Yoshida, M. 2004. Lesson Study: a Japanese Approach to Improving Mathematics Teaching and Learning. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates

Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. 2003. Educaional Research: an Introduction. Boston: Pearson Education.

Puchner, L.D. & Taylor, A.R. 2006. Lesson Study, Collaboration and Teacher Efficacy: Stories from Two School-based Math Lesson Study Group. Teaching and Teacher Education, 22(6): 922-934.

Saito, E. dkk. 2015. Lesson Study for Learning Community: A Guide to Sustainable School Reform. London: Routledge

Sato, M. 2012. Dialog dan Kolaborasi di Sekolah Menengah Pertama: Praktek “Learning Community”. Jakarta: PELITA

Sato, M. 2013. Mereformasi Sekolah: Konsep dan Praktek Komunitas Belajar. Jakarta: PELITA & IDCJ

Suratno, T. & Iskandar, S. 2010. Teacher Reflection in Indonesia: Lesson Learnt From a Lesson Study Program. US-China Education Review, 7(12):39-48.

Suratno, T. 2014. Menuju Kemandirian Pendidik. Dalam D. Suryadi & T. Suratno (Eds), Kemandirian Pendidik: Kisah Pendidik Reflektif dan Profesional Pembelajaran (hlm.1-19). Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Susilo, H. 2011. Mengapa Lesson Study Dipilih sebagai Sarana Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Dalam S. Wahyudi (Ed), Lesson Study Berbasis Sekolah (Guru Konservatif Menuju Guru Inovatif) (hlm.1-57). Malang: Bayumedia Publishing

Syamsuri, I & Ibrohim. 2008. Lesson Study (Studi Pembelajaran). Malang: FMIPA UM.

Unit Pelaksana Teknis Praktek Pengalaman Lapangan. 2011. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lesson Study Universitas Negei Malang. Malang: UPT PPL UM.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 177

B. PEMAHAMAN SEDERHANA DARI TAHAPAN

Tujuan Pelajaran menjadi awal proses yang menentukan. Pada tahap perencanaan lesson study yang dihasilkan adalah rencana pelajaran. Dalam rencana pelajaran ini terdiri dari tujuan pelajaran, pelajaran yang akan dijadikan lesson study, kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa, dan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh kelompok guru lesson study. Biasanya sebelum membuat perencanaan pelajaran, para guru melakukan dua workshop yaitu workshop tentang isi materi pelajaran (content) dan workshop tentang cara mengajar (pedagogy). Hasil-hasil penelitian, masukan para pakar, dan cerita-cerita pengalaman guru lain tentang pelajaran yang akan di-lesson study-kan harus dipertimbangkan dalam tahap perencanaan.

Yang perlu mendapat penekanan juga pada tahap perencanaan adalah tujuan pelajaran (learning goals). Tujuan pelajaran yang dibuat secara bersama harus bersifat umum atau abstrak, general goals, broad goals, vision of education, dan tidak berbentuk tujuan pembelajaran khusus atau not specific outcomes (Lewis & Tsuchida, 1997). Tujuan-tujuan itu bisa berasal dari kurikulum atau dari tujuan satuan pendidikan, tujuan tingkatan kelas, tujuan matapelajaran, atau kompetensi dasar yang ada. Dengan kata lain, tujuan pelajaran tersebut berada lebih tinggi dari sekedar tujuan-tujuan pembelajaran khusus di mata pelajaran. Guru harus memilih hal, topik atau bagian mana dari matapelajaran yang paling sulit diajarkan atau paling sulit dipelajari oleh siswa. Proses-proses belajar mana yang paling sulit dilakukan siswa harus menjadi perhatian dalam menentukan tujuan pelajaran.

Contoh tujuan yang ada adalah sebagai berikut. Dengan dikenalkan alam sekitar dan diminta melakukan pengamatan dan eksperimen, siswa bisa mencintai alam sekitar, bisa memecahkan permasalahan-permasalahan, menguasai cara-cara berpikir ilmiah tentang fenomena sekitar. Dengan meneliti dan membandingkan tanaman-tanaman, binatang, dan manusia di alam sekitar, siswa ditanamkan sikap mencintai makluk hidup, dibantu menguasai keterampilan berpikir tentang struktur dan pola pertumbuhan makluk hidup. Siswa mengumpulkan tanaman di lingkungannya dalam rangka meneliti proses pertumbuhan dan struktur tanaman tersebut. Siswa mempelajari bahwa tanaman terdiri dari akar, batang dan daun dengan masing-masing bagian tersebut memiliki karakteristik sendiri. Contoh yang berkenaan dengan pendidikan karakter adalah bertoleransi dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, meningkatkan kemampuan problem solving siswa, meningkatkan rasa empati siswa, menanamkan sikap cinta lingkungan, meningkatkan budi pekerti siswa.

Yang terpenting adalah bahwa tujuan pelajaran yang masih abstrak tersebut harus dinyatakan di pelajaran. Misal, tujuan yang berupa menguasai keterampilan berpikir harus diajarkan dalam pelajaran yang telah direncanakan. Begitu juga tentang tujuan tentang mencintai makluk hidup, di kelas tujuan tersebut harus nyata-nyata diajarkan. Jadi tujuan pelajaran tersebut harus dilakukan secara riil oleh siswa di kelas.

Pelajaran yang di-lesson study-kan menjadi menjadi hal yang menentukan juga. Pelajaran yang akan diajarkan dalam lesson study disebut research lesson atau study lesson (Lewis & Tsuchida, 1997). Pelajaran

berfungsi untuk membawa tujuan tadi menjadi nyata. Pelajaran yang akan di-lesson study-kan ini adalah disamping pelajaran yang sulit diajarkan dan dipelajari oleh siswa juga pelajaran-pelajaran yang baru dalam kurikulum. Tentu saja pelajaran baru itu bisa menjadi pelajaran yang banyak diperdebatkan banyak orang.

Praktek Lesson Study sebagai Plan-Do-See Cycles menjadi popular di Indonesia. Dalam implementasi di Indonesia, Thailand dan Afrika Selatan, siklus lesson study terdiri dari tiga tahap yaitu tahap perencanaan (Plan), tahap pelaksanaan (Do), dan tahap akhir (See). Dengan kata lain siklusnya adalah plan-do-see cycles (Suratno, 2012; Inprasitha, 2011; Ono & Ferreira, 2010). Dalam tahap perencanaan, guru harus mengadakan tujuan pelajaran, topik pelajaran, materi pelajaran, dan menghasilkan rencana pengajaran. Disamping itu, yang tidak kalah penting dalam tahap perencanaan adalah pembahasan tentang pengetahuan awal siswa, miskonsepsi siswa dan strategi-strategi untuk membantu siswa dalam mempelajari pelajaran yang akan diberikan. Jadi dalam tahap perencanaan itu, guru-guru merancang pelajaran.

Dalam tahap pelaksanaan, salah seorang guru mengajar dan yang lainya mengamati. Dengan kata lain, rencana pengajaran diimplementasikan dan pelajaran diamati. Pengamat mengumpulkan data tentang hal-hal yang dilakukan oleh siswa antara lain adalah: membuat catatan tentang apa yang dilakukan oleh siswa dalam rangka mencapai tujuan pelajaran yang telah tercantum dalam rencana pengajaran, merekam kegiatan pembelajaran di kelas. Tujuan pengamatan difokuskan pada proses berpikir siswa (the students’ thinking approach) dan tidak difokuskan pada kemampuan mengajar guru (not the teacher’s teaching competency).

Dalam tahap akhir, guru-guru membahas dan merefleksi pelajaran (research lesson) yang telah diajarkan. Disamping itu dalam tahap ini, mereka juga mendalami temuan-temuan dari hasil pengamatan. Pembahasan ini ditujukan untuk memperbaiki pelajaran. Semua guru diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat. Pendapat bisa berupa saran-saran atau alternatif-alternatif untuk memperbaiki pelajaran. Jadi pada tahap akhir ini, produknya adalah rencana pelajaran yang telah diperbaiki.

C. KESIMPULAN

Lesson study merupakan kegiatan pengembangan profesional guru yang bersifat kolaboratif, reflektif dan iteratif. Kolaboratif berarti bahwa lesson study dilakukan dalam satu kelompok untuk melakukan perencanaan bersama, satu orang guru mengajar dan yang lain mengamati atau mengumpulkan data proses belajar siswa, secara bersama membahas pelajaran yang telah diajarkan, kemudian secara bersama melakukan perencanaan perbaikan pelajaran. Reflektif berarti bahwa apa yang telah dilakukan tentang pelajaran yang telah direncanakan dan telah diajarkan dilihat lagi tentang kelemahan dan kelebihannya. Iteratif berarti bahwa kegiatan lesson study itu adalah siklus kegiatan pengembangan profesional guru dimana pelajaran direncanakan, dilaksanakan, direfleksi, direvisi dan direncanakan ulang dan dengan melakukan langkah yang sama dalam siklus berikutnya.

Sebagai suatu bentuk pengembangan profesional guru, dalam lesson study guru-guru bekerja bersama.

Page 15: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

176 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

kemungkinan solusi-solusi terhadap permasalahan yang ada.

Keempat, Mengembangkan satu pelajaran yang akan diteliti dan menuliskan rencana pengajaran. Dalam rencan pengajaran itu harus memuat informasi tentang mengapa menggunakan suatu problem tertentu, mengapa memilih suatu alat peraga tertentu, dan mengapa menggunakan kalimat pertanyaan tertentu. Oleh karena itu dalam rencana pengajaran harus berisi: judul pelajaran, tujuan pelajaran, hubungannya dengan standar isi atau kurikulum, informasi tentang pelajaran misal tentang latar belakang dan rasionalnya, proses belajar yang dilakukan, evaluasi belajar.

Tahap-tahap berikut berada pada pelaksanaan pengajaran dan sesudahnya. Kelima, Mengadakan penelitian pengajaran dan membahas pengajaran yang telah dilakukan. Pengajaran harus dilakukan di kelas reguler seperti biasanya. Pengajaran bisa dilakukan oleh satu orang atau dua orang (co-teaching). Guru lain sebagai pengamat tidak diperkenankan misal membantu siswa, karena hal itu akan mengganggu interaksi guru dan siswa yang telah ditentukan, akan mempengaruhi pengumpulan data, dan tidak lazim dalam kelas reguler banyak guru membantu siswa. Guru-guru lain mengamati pembelajaran. Tujuan utama pengamatan adalah untuk memahami proses berpikirnya siswa dan proses belajarnya siswa. Data-data yang dikumpulkan dari pengamatan harus mendukung hal-hal itu. Maka dari itu guru yang mengamati harus berpegang teguh bahwa: mereka harus fokus pada data yang berkaitan erat dengan tujuan pelajaran, berpijak pada rencana pengajaran dan lembar kerja siswa, mendokumentasikan proses belajar yang dilakukan siswa termasuk didalamnya adalah cara-cara siswa memecahkan permasalahan, salah pengertian yang ada pada siswa, bagaimana perubahan pemahaman siswa, kapan perubahan itu terjadi. Semua itu adalah data penting pengamatan.

Pembahasan dilakukan sesaat setelah pengajaran dilakukan. Sebaiknya pembahasan dilakukan di kelas yang baru saja digunakan untuk lesson study tersebut, karena guru-guru akan bisa melihat papan tulis yang baru saja digunakan yang berisi tulisan dan bahan pelajaran. Keenam, Lesson study tidak berakhir di pembahasan, tetapi guru-guru perlu merefleksi dan perlu menuliskan seluruh proses lesson study dalam bentuk laporan penelitian. Tulisan harus berisi aktifitas pembelajaran secara rinci yang diambil dari rencana pengajaran, hasil refleksi, dan sampel pekerjaan siswa. Dengan kata lain tulisan tersebut memuat perencanaan, pelaksanaan, pembahasan dan sampel pekerjaan siswa. Dengan membaca laporan penelitian atau tulisan itu, diharapkan pembaca akan memperoleh gambaran tentang apa yang terjadi selama pelajaran berlangsung.

Doig & Groves (2004)

Doig & Groves (2004) memaparkan proses lesson study sebagai berikut. Pertama, Mencari Tujuan (Long-Term Goals). Tujuan ini bisa berupa tingkah laku siswa, sikap siswa atau proses belajar siswa. Contoh-contohnya adalah “meneliti bagaimana cara memperbaiki pengajaran dan cara belajar siswa tentang pengukuran”, atau “untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa”. Tema-tema penelitiannya berkenaan dengan

kesenjangan antara yang telah dikuasai siswa sekarang dengan yang seharusnya diharapkan oleh guru.

Kedua, Merencanakan Pelajaran Yang Akan Diteliti. Pelajaran itu bisa diambil dari kurikulum atau pelajaran di luar kurikulum seperti pada pertandingan antar kelas. Pelajaran ini dibuat berdasarkan beberapa tahap yaitu: meninjau kembali pelajaran itu pada waktu-waktu yang lalu, melihat permasalahannya pada saat sekarang, kegiatan dilakukan secara individu atau kelompok, membahas cara-cara yang akan dilakukan siswa, menentukan atau meringkas hal-hal yang mendasar. Misal dalam matapelajaran matematika, pelajaran didesain agar siswa memecahkan satu masalah sebagai cermin pencapaian satu tujuan dalam suatu topik. Sebuah tugas yang dilakukan siswa yaitu tugas memecahkan satu masalah tersebut sangat berperan sentral dalam lesson study. Menentukan satu tugas tersebut harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh dalam materi mana yang posisinya di kurikulum sangat penting untuk membantu siswa dalam proses belajarnya. Disamping itu, guru harus mendalami materi-materi pelajaran dari berbagai buku teks, dari kurikulum, beberapa rencana pengajaran, laporan-laporan penelitian tentang pelajaran yang akan kita teliti. Pendalaman itu dilakukan dalam rangka memperkirakan reaksi siswa atau solusi-solusi yang akan dibuat siswa terhadap permasalahan yang diberikan, misalnya. Jika pendalaman itu dilakukan dalam bentuk workshop, hal itu akan lebih baik. Guru-guru yang ada dalam workshop akan menceritakan pengalamannya tentang pelajaran tersebut atau pengetahuan tentang pelajaran itu.

Tahap-tahap berikut merupakan tahap pengajaran dan sesudahnya. Ketiga, Mengajarkan Pelajaran Yang Diteliti. Siswa disuruh belajar secara individual atau secara kelompok. Dalam kelas sebaiknya tetap menggunakan papan tulis. Mengapa? Karena papan tulis itu bisa merekam pelajaran, bisa membantu siswa untuk mengetahui hubungan antar bagian pelajaran, bisa membandingkan jawaban-jawaban siswa, bisa membantu siswa mengorganisir pemikiran siswa dan pembentukan gagasan baru, bisa menjadi contoh keterampilan menulis secara terorganisir.

Keempat, Mengamati Pelajaran Yang Diteliti. Mereka sambil membawa rencana pengajaran, mengambil foto pelaksanaan pelajaran, menggunakan video camera, mencatat strategi-strategi yang digunakan siswa. Mereka bisa hanya mengamati hanya satu atau dua siswa saja. Mereka hanya mengamati saja dan tidak boleh melakukan interaksi dengan siswa atau guru yang mengajarnya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa fokus pengamatan terpusat pada proses berpikir siswa dan proses belajar siswa.

Kelima, Pembahasan. Fokus pembahasan bukan diarahkan pada personal atau guru, tetapi pada pelajaran dan biasanya pada proses belajar siswa dan cara-cara untuk memperbaiki pelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru pengajar diberi kesempatan ngomong lebih dulu untuk menjelaskan pengajaran yang telah dilakukan, dan kesan-kesannya tentang kelebihan dan kelemahan pelajaran yang telah diajarkan. Guru-guru lain bisa menerangkan tentang rasional dari pelajaran yang diberikan dan kelanjutan pelajaran itu. Penjelasan guru-guru itu harus didasarkan pada catatan pengamatan dan data lainnya.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 7

Dialog dan Demokrasi: Suatu Metarefleksi Pilihan Nilai

Tatang Suratno

Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Serang [email protected]

Abstrak: Tulisan ini membahas pentingnya dialog dalam merekonstruksi demokrasi yang diperankan melalui proses refleksi. Setelah membahas makna dan peranan dialog serta perubahan paradigma dari pembelajaran kewarganegaraan menuju pembelajaran demokrasi, pemaparan dilanjutkan dengan konstruksi dan studi kasus dialog reflektif-argumentatif calon guru sekolah dasar. Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk melakukan metarefleksi terhadap isu yang menjadi pembahasan tulisan ini.

Kata Kunci: Dialog, demokrasi, refleksi, lesson study

A. PENDAHULUAN

Isu penting dalam wacana pendidikan ilmu sosial dan humaniora adalah bagaimana mengajarkan hakikat ilmu tersebut sebagai cara dan pandangan hidup. Dalam hal ini, pengajaran seperti itu bukan dipandang sebagai prosedur, tetapi sebagai pola hubungan diantara individu serta antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian, pendidikan di ranah ilmu sosial dan humaniora merupakan pembelajaran tentang kehidupan dan kemanusiaan.

Perspektif ini mengandaikan bahwa ketika seseorang, misalnya guru atau siswa, berinteraksi dengan orang lain maka tercipta situasi dimana seseorang berkenalan dengan suatu gagasan. Hal ini berarti bahwa mempelajari cara dan pandangan hidup seperti itu meniscayakan suatu proses yang memodelkan situasi seseorang berada di dalam suatu peristiwa kehidupan tertentu (being in the world). Sebagai contoh, dengan mengandaikan Lesson Study sebagai praktik sosial dan kemanusiaan, seorang guru mempelajari sesuatu dengan cara mendengarkan, bertanya ataupun merefleksikan proses belajar siswanya sehingga dapat mencermati apa yang dibicarakan oleh mereka ketika sedang mempelajari sesuatu. Cara seperti itu membantu guru untuk mengungkap cara pandang siswa tentang sesuatu. Dengan demikian, pengajaran dan pembelajaran pada dasarnya bersifat dialogis.

Memang tidak mudah untuk membangun dialog di sekolah. Salah satunya adalah karena dalam setiap pengetahuan terkandung suatu kuasa tertentu yang apabila disalahgunakan akan membentuk pola hubungan yang monolog (Suratno, 2014). Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi tentang suatu upaya kecil untuk mengembangkan pembelajaran yang dialogis tentang isu sosial dan kemanusiaan. Dengan membahas hakikat dialog sebagai fondasi dari demokrasi, suatu ilustrasi proses refleksi berjenjang dielaborasi untuk menggambarkan bahwa proses dialogis di dalam diri seseorang dapat memancarkan cahaya jiwa (hati nurani) yang menerangi dan menggerakkan orang di sekitarnya untuk menangani sesuatu demi kebaikan bersama. Melalui ilustrasi tersebut, serpihan kecil mengenai proses demokrasi tentang pilihan nilai terungkap dan terjalin dalam lingkup pendidikan ilmu sosial dan humaniora di tingkat sekolah dasar. Melalui sajian studi

kasus tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan antara dialog dan demokrasi dalam konteks refleksi mahasiswa calon guru sekolah dasar di Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Serang.  

B. KAJIAN PUSTAKA

Bagian ini membahas tentang makna dan peran dialog serta kaitannya dalam rekonstruksi demokrasi sebagai transformasi dari dalam diri seseorang. Dalam konteks Lesson Study, hal tersebut diperankan oleh dialog reflektif-argumentatif.

Dialog dalam Pembelajaran

Matusov (2009) berpendapat bahwa secara ontologis pembelajaran itu sendiri bersifat dialogis. Selain itu, Sullivan et al. (2009) memandang dialog sebagai simpul antara otoritas (sistem), komunitas (masyarakat), dan pengetahuan (proses mengetahui). Dalam hal ini, pembelajaran berlaku di dalam suatu rangkaian interaksi kelas dimana sistem yang menaunginya bersifat terbuka untuk proses kerjasama setara dan saling berbagi pengalaman diantara guru dan siswa (Suratno, 2014). Ketersalingan secara bersama tersebut mewadahi pengujian pengetahuan secara sosial. Istilah dialog, dengan demikian, dimaknai bukan sebagai suatu prosedur, melainkan suatu paradigma yang mengusung peran dialog di dalam interaksi kelas.

Wegeriff (2010) memandang dialog sebagai prinsip, perspektif dan tujuan dari pengembangan kreatifitas. Hal ini dikarenakan di dalam dialog terkandung perbincangan dan pemahaman alamiah siswa. Melalui percakapan mengenai permasalahan tertentu siswa tidak hanya belajar saling mendengarkan berbagai sudut pandang, tetapi juga saling meluaskan wawasan dan mempertajam perasaan melalui proses imajinasi dan empati. Hal itulah yang pada akhirnya membentuk pola penaran (reasoning) dan argumentasi (critical thinking) siswa yang berperan penting bagi terbentuknya masyarakat yang demokratis.

Bagi Wegeriff (2010), dialog berperan dalam mentransformasikan keluasan wawasan siswa; dari jati diri yang terisolasi dan sempit menuju terbinanya

Page 16: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

8 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

hubungan dengan orang lain serta terbentuknya saling menghargai terhadap perbedaan pandangan. Dalam hal ini, kualitas pembelajaran yang dialogis bukan dilihat dari segi meniru atau mengikuti aturan tertentu, melainkan dari penyikapan siswa terhadap tantangan yang dihadapi dirinya, orang lain serta tantangan hidup secara umum. Melalui dialog, siswa tidak hanya belajar tentang menghargai keragaman, melainkan juga menentukan pilihan serta menjunjung tanggungjawab dan bersikap bijak. Dengan demikian, pembelajaran yang dialogis tidak hanya mempersiapkan siswa menjadi warga masyarakat masa depan, lebih dari itu melibatkan partisipasi siswa dalam membentuk masa depan yang lebih baik. Salah satu kemungkinannya adalah terciptanya tatanan masyarakat yang demokratis.

Istilah demokrasi yang dimaksud bukanlah sesuatu yang berkonotasi politik atau pemerintahan, melainkan sebagai suatu cara atau pandangan hidup. John Dewey (1915/2004) menyebutnya sebagai tatanan hidup yang saling berhubungan (a mode of associated living) dari suatu jalinan pengalaman bersama. Bahkan Dewey menyebut keterpaduan antara kerjasama (dialog) dengan pembentukan tatanan kehidupan masyarakat sebagai demokrasi kreatif (creative democracy). Tidak mengherankan jika Dewey memandang penting pertumbuhan (growth), yaitu suatu perkembangan yang dimulai dari penemuan suara hati seseorang yang memancarkan penemuan hal serupa pada diri orang-orang di sekitarnya sehingga terakumulasi menjadi proses kreatif kehidupan masyarakat pada kehidupan tertentu. Kreatifitas tersebut berkembang dari suatu proses penyelidikan (inquiry) yang pada dasarnya juga bersifat dialogis.

Konstruksi pendidikan ilmu sosial dan humaniora seperti itu, yang membentuk hubungan kehidupan dan kemanusiaan melalui pembelajaran dialogis, dimaksudkan untuk meningkatkan daya kreatif suatu masyarakat yang demokratis. Dalam hal ini, terciptanya dialog bukan ditentukan oleh kualitas ataupun kuantitas subjek yang terlibat, melainkan suatu proses intersubjektifitas (Suratno, 2014). Oleh karena itu, konstruksi pembelajaran seperti itu tidak memandang kehidupan sebagai suatu kumpulan individu, melainkan hubungan diantara individu dalam situasi tertentu yang menjalin kehidupan bersama. Dengan demikian, pengetahuan yang dipelajari dan dihasilkan bukanlah sesuatu yang bersifat objektif maupun subjektif, melainkan sebagai suatu konstruksi intersubjektif yang dipelajari dan dihasilkan secara bersama-sama. Misalnya, suatu materi yang dipelajari di kelas tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang berasal atau dihasilkan oleh guru atau siswa saja, melainkan sebagai pengetahuan bersama sebagai akibat dari interaksi belajar yang terjalin antara guru dan siswa dalam situasi tertentu (Suratno dan Suryadi, 2016).

Dengan mengandaikan peran inter-subjektifitas dalam pembelajaran maka dapat dimaknai bahwa pendidikan tidak hanya berperan sebagai pewarisan kebudayaan, melainkan pula sebagai upaya pemutakhiran peradaban. Kecenderungan ini memperluas cakupan pendidikan yang mencakup proses sosialisasi dan partisipasi, serta adaptasi dan akulturasi (Suratno, 2016). Dalam hal ini, belajar tidak sebatas menerima dan menyesuaikan, melainkan pula mengembangkan dan membuat pembaharuan.

Kecenderungan tersebut sejalan dengan analisis Biesta (2011) yang menjelaskan terjadinya perubahan paradigma dari pengajaran untuk membentuk warga negara (teaching citizenship) menuju pembelajaran demokrasi (learning democracy). Menurutnya, pendekatan pertama cenderung melihat konstruksi kewarganegaraan sebagai kontribusi individual (individualistic conception), sementara pendekatan kedua menekankan kontribusi individu dalam situasi tertentu (individuals-in context dan individuals-in relationship). Terkait hal ini, Biesta (2011, p. 6) menjelaskan karakteristik pembelajaran demokrasi:

The focus on learning democracy makes it possible to reveal the ways in which such learning is situated in the unfolding lives of young people and how these lives, in turn, are implicated in wider cultural, social, political and economic orders. It ultimately is this wider context which provides opportunities for young people to be democratic citizens – that is to enact their citizenship – and to learn from this.

Pembelajaran demokrasi dapat dimaknai sebagai

kritik terhadap upaya pengajaran kewarganegaraan yang gagal dalam menangani krisis demokrasi di kehidupan sehari-hari. Karena pendekatannya yang menekankan atribut individu, yaitu mengandaikan kualitas demokrasi disebabkan oleh kualitas individu, maka pendekatannya cenderung bersifat ‘mendidik-ulang’ (re-educating) konsepsi demokrasi berdasarkan pandangan tertentu. Sebaliknya, pembelajaran demokrasi mencoba membangun suasana dari hakikat demokrasi itu sendiri, artinya menghidupkan demokrasi di dalam pembelajaran. Terlepas dari berbagai makna tentang demokrasi, yang tidak mungkin dibahas dalam kesempatan ini, dengan mengacu kepada hakikatnya sebagaimana dikemukakan Dewey maka pembelajaran demokrasi dikembangkan dengan mengikuti kehidupan generasi muda ketika mereka berpartisipasi dalam berbagai praktik dan seting sosial, baik formal maupun informal, dan dengan mendengarkan suara mereka maka kita dapat melihat dan memahami bagaimana mereka belajar. Dengan begitu, melalui pembelajaran seperti itu terungkap bagaimana situasi kewarganegaraan bias diwujudkan (Biesta, 2011). Upaya tersebut dimaksudkan untuk menghindari pembentukan partisipasi secara individual belaka yang berlandaskan pada pemenuhan hak dan kewajiban yang membentuk hubungan monolog antara kekuasaan dan kerakyatan; suatu fenomena yang disebut sebagai penurunan kualitas deliberasi akibat hampanya ruang dialog.

Rekonstruksi Demokrasi

Transformasi tersebut juga menyiratkan bahwa pembelajaran demokrasi bukan dimaksudkan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen) atau tidak baik, sebagaima dipahami oleh pendekatan tradisional moralitas. Pemilahan yang baik dengan tidak baik berdasarkan kriteria benar atau salah menjadi kabur jika dilihat dari keseluruhan situasi yang terjadi. Jika pun pemilahan baik-tidak baik itu dilakukan, penekanan reflektif-argumentatif diperlukan untuk menentukan apa yang kurang dari segi sumberdaya kemasyarakatan. Dengan begitu, penanganannya bukan melihatnya dari segi normatif belaka, melainkan retrospeksi untuk memperbaiki sesuatu yang kurang atau hilang.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 175

pemikiran guru juga (teacher thinking) dalam kegiatan guru-guru yang tergabung dalam kegiatan lesson study.

A. TAHAPAN-TAHAPAN LESSON STUDY

Untuk memperjelas proses lesson study, langkah-langkah yang diuraikan oleh beberapa pakar berikut akan bisa memperjelas proses lesson study. Sepertinya prosesnya nampak berbeda. Tetapi pada intinya mereka adalah memiliki proses yang sama.

Lewis (2002)

Lewis (2002) menunjukkan empat kegiatan lesson study. Pertama, Mencari tujuan umum, misal: di kurikulum atau di visi sekolah yang dijadikan sebagai research focus, research theme atau important aim. Kedua. Menentukan pelajaran yang dianggap penting untuk di-lesson study-kan bisa isi yang bersifat akademiki ataupun non akademik. Ketiga, Meneliti siswanya yan difokuskan student learning process atau student development. Dan (4) Mengamati pelajaran yang di-lesson study-kan. Pengamatan langsung jauh lebih kaya dibandingkan dengan mendapatkan data dari

Fernandes, (2002)

Proses lesson study terdiri dari: menentukan tujuan lesson study, melakukan lesson study, dan membuat laporan lesson study (Fernandes, 2002). Proses lesson study dimulai dari tahap pembuatan tujuan lesson study. Tujuan apa yang diinginkan dari siswa melalui pembelajaran yang akan dilakukan. Berdasar tujuan itu, guru-guru akan mencari strategi-strategi pembelajaran yang akan bisa mencapai tujuan tadi. Tahap melakukan lesson study diawali dengan membuat rencana pembelajaran, mengajar sesuai dengan rencana pembelajaran itu dan yang lain mengamati, kemudian mereka berkumpul untuk mendiskusikan pembelajaran yang telah dilakukan, merevisi dan mengajar lagi rencana pembelajaran yang telah direvisi itu. Dan tahap terkhir adalah pembuatan laporan lesson study. Hasil refleksi dijadikan sebagai laporan lesson study atau ringkasan hasil lesson study yang menggambarkan pelaksanaan lesson study.

Cerbin & Kopp (2006)

Cerbin & Kopp (2006) menjelaskan proses lesson study seperti berikut. Pertama adalah perumusan tujuan belajar. Guru-guru dalam kelompok lesson study memulai dengan membuat tujuan tentang belajar (student learning), topik yang akan diajarkan. Topik yang menarik adalah topik yang sangat penting dalam matapelajaran yang diajar, atau topik yang sangat baru di kurikulum. Tujuan yang dibuat merupakan tujuan besar (broad goals) misal untuk mengembangkan kemampuan intelektual siswa. Di Jepang, biasanya tujuan-tujuan besar bisa berupa: pengembangan karakter, pengembangan keingintahuan siswa, kemampuan berpikir siswa, toleransi antar siswa, kemampuan berpikir kritis. Kedua adalah perancangan pelajaran. Guru perlu menempatkan diri seolah-olah sebagai siswa dan membayangkan seperti apa

kegiatannya nanti. Rancangan pelajaran harus memungkinkan proses berpikir siswa bisa terlihat. Ketiga adalah perancangan penelitian. Yang perlu ditekankan adalah bahwa lesson study tidak meneliti keefektifan pembelajaran. Lesson study tidak memfokuskan diri pada apa yang dipelajari siswa, tetapi yang menjadi fokus utama lesson study adalah bagaimana siswa mempelajari pelajaran. Dengan kata lain fokus utamanya antara lain pada bagaimana proses berpikir siswa dalam pelajaran itu, bagaimana siswa memahami pelajaran, apa kesulitan yang dialami, bagaimana siswa menjawab pertanyaan, bagaimana perubahan-perubahan proses berpikirnya.

Tahap-tahap berikut berada pada saat pengajaran hingga tahap pelaporan. Keempat adalah pengajaran dan pengamatan. Dalam tahap ini, salah seorang guru mengajar dan yang lainnya mengamati. Pengamatan tidak difokuskan pada bagaimana guru tersebut mengajar, tetapi bagaimana siswa mempelajari pelajaran yang diberikan. Kelima adalah analisis bukti. Dalam analisis data dan refleksi ini, tidak ada ketentuan baku yang harus diikuti. Data-data yang dibahas berupa antara lain: hasil pengamatan dan pekerjaan siswa dimana data-data tersebut menggambarkan praktek pengajaran sebenarnya dan proses belajarnya siswa. Keenam adalah pengulangan proses atau pengulangan siklus. Mereka melakukan revisi-revisi pendekatan yang digunakan. Pelajaran yang telah revisi ini diajarkan oleh guru berikutnya dan di kelas lain. Tahap 7 adalah pendokumentasian hasil lesson study.

Takashi & Yoshida (2004)

Untuk bisa memulai lesson study, Takashi & Yoshida (2004) menganjurkan langkah-lagkah berikut. Pertama, Mengidentifikasi tujuan riset atau tema riset. Guru-guru harus menentukan tujuan atau tema lesson study. Misal sekelompok guru ingin memperbaikan pengajaran pengukuran. Alasan pemilihan tema pengukuran adalah: bahwa pada test standarisasi nilai pada pengukuran adalah paling rendah dan topik pengukuran merupakan topik yang paling sulit diajarkan. Tema tersebut merupakan tema yang muncul pada diskusi yang dilakukan oleh guru-guru tersebut. guru-guru ingin meningkatkan problem solving dan tanggungjawab siswa. Tujuan pada lesson study yang telah ditentukan adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa.

Kedua, Menentukan satu topik yang akan diteliti. Cari topik-topik yang sulit dipelajari siswa dan cari topik-topik yang sulit pengajarannya. Cari juga topik-topik yang baru di kurikulum. Jangan hanya mencari satu topik terpisah, tetapi carilah topik-topik yang penting dalam kurikulum. Dan topik tersebut harus terdiri dari beberapa pelajaran dan bukan hanya satu pelajaran.

Ketiga, Cari bahan-bahan yang penting. Cari bahan-bahan pelajaran seperti: kurikulum, buku teks, lembar kerja siswa dan alat-alat peraga (misal: urutan materi di kurikulum, pengetahuan awal tentang topik yang akan diajarkan, bagaimana konsep-konsep baru disajikan dalam materi pelajaran). Cari buku atau artikel jurnal tentang metode-metode pengajaran. Cari hasil-hasil penelitian tentang topik tersebut. cari data-data tentang miskonsepsi siswa, kesalahpahaman siswa, dan

Page 17: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

174 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Lesson Study dan Guru Sejarah

(Usaha Mendalami dengan Menyisir Tahapan-Tahapannya)

Susanto Yunus Alfian SMA Negeri 1 Sumberpucung

[email protected]

 

Abstrak: Sebagai guru sejarah, rasanya perlu membahas lesson study. Lesson study perlu didalami lebih dulu, sebelum melaksanakannya dalam pengembangan profesional sebagai guru sejarah. Untuk mendalaminya, dilakukan langkah-langkah: pencarian sumber yang relevan, pembacaan, pendalaman. Disini tidak diuraikan langkah-langkah tersebut, tetapi hasil pendalamannya saja yang dipaparkan. Kegiatan pendalaman itulah dituangkan dalam tulisan sederhana ini. Dan struktur tulisan ini dipaparkan secara logis yang berupa pengertian, tahapan, dan penarikan hasil pendalaman itu. Sehingga pemaparannya terdiri dari tiga bagian. Pertama, pengertian lesson study perlu dipaparkan lebih dulu dalam tulisan ini. Kedua, ada beberapa pakar yang menyampaikan tahapan lesson study. Ada beberapa pakar yang tahapannya dipaparkan disini. Dan terakhir memeras hasil pendalaman itu sebagai pemahaman.

Keywords: lesson study, tahapan, pengembangan profesional, penelitian kwalitatif induktif. Pendahuluan

Sebagai guru sejarah, kami merasa iri dengan guru-guru Biologi. Kami hanya melihat saja bagaimana mereka asyik membahas lesson study. Sebagai guru sejarah kami memperhatikan mereka. Kami mendengarkan mereka. Akan tetapi kami hanya melihat mereka saja. Mereka dengan asyiknya membahas lesson study. Saya hanya berada di luar saja, meskipun mereka mengajak dan tidak membatasi keikutsertaan guru sejarah. Kami tetap kurang memahami. Itu terjadi beberapa tahun lalu dimana guru sejarah hanya berada diluar lingkaran mereka. Kini guru sejarah telah berusaha mendalami sedikit literatur tentang lesson study. Hasil pendalaman itulah kami tuangkan dalam tulisan sederhana ini. Untuk itu struktur tulisan ini kami mulai dengan pengertian, tahapan lesson study, dan hasil pemahaman kami.

Lesson study memiliki nama-nama lain. Lesson study memiliki beberapa nama lain yaitu lesson research (Lewis, 2000), kaji pembelajaran (Santyasa, 2009). Yang prinsip adalah tujuannya. Tujuan lesson study adalah untuk memperbaiki pembelajaran dan meningkatkan belajar siswa (Halvorsen & Lund, 2013).

Lesson study adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan guru-guru dalam rangka mendapatkan teori-teori mereka sendiri dimana teori-teori itu digunakan untuk memperbaiki praktek pembelajaran (Isoda, 2010). Guru mengembangkan teori-teorinya sendiri yang didapat dari praktek pembelajaran yang dilakukannya. Teori-teori demikian ini dianggap sebagai teori lokal yaitu teori yang berlaku di kelas guru tersebut. Ketika mengajarkan suatu topik pelajaran dengan di-lesson study-kan oleh guru di kelas, guru tersebut akan menghasilkan teori-teori yang cocok di kelas yang diajar saja. Akan tetapi teori dari suatu topik tersebut bisa berlaku juga untuk menjadi teori secara umum.

Dalam Lesson study, suatu bentuk pengembangan profesional guru dilakukan secara kolaboratif melalui siklus berkelanjutan (Post & Varoz, 2008). Siklus tersebut meliputi kegiata-kegiatan sebagai berikut: membuat tujuan, merancang rencana pengajaran, mengajarkan pelajaran yang telah dirancang dan mengamati pelajaran yang telah dirancang tersebut, merefleksi dan merevisi pelajaran yang didasarkan pada proses belajar siswa, dan mengajarkan lagi rencana

pengajaran yang telah direvisi. Dalam kegiatan lesson study, guru-guru tidak hanya belajar tentang materi pelajaran dan cara mengajar atau pedagogi tapi juga bisa mendapat pengetahuan langsung bagaimana proses penelitian.

Lesson study merupakan tidak saja sebagai kerangka pengembangan professional tetapi kerangka metodologi penelitian (Yarema, 2010). Sebagai kerangka pengembangan profesional, guru secara kolaboratif meneliti pengaruh suatu pelajaran (lesson) terhadap belajarnya siswa tentang topik yang sulit dipelajarinya. Dalam suatu proses lesson study, guru-guru melakukan 8 kegiatan: 1) merumuskan tujuan; 2) mengkaji kurikulum; 3) merencanakan satu unit dan mengembangkan satu pelajaran yang akan diteliti (a research lesson); 4) mengajarkan satu pelajaran yang akan diteliti tersebut, sementara guru-guru lainnya mengamati dan mengumpulkan data; 5) menarik kesimpulan-kesimpulan pada diskusi setelah melakukan pengajaran tersebut; 6) melakukan revisi pelajaran tadi atau mendesain ulang pelajaran tadi; 7) mengulang lagi siklus lesson study yaitu mengajar-mengamati-menyimpulkan; dan 8) menulis laporan lesson study.

Dalam lesson study ini, guru-guru berada dalam masyarakat belajar (learning community) dan melakukan perubahan-perubahan dalam praktek pembelajaran secara langsung. Jadi proses pengembangan profesional guru ini tidak di tangan para pakar yang hanya melatih guru di kampusnya kemudian guru tersebut dilepaskan sendiri di lapangan, tetapi guru-guru secara bersama melakukan riset untuk mengetahui kesulitan siswa dalam memikirkan pelajaran (student thinking) dan pada gilirannya digunakan untuk membenahi praktek pembelajaran.

Sebagai metodologi riset, lesson study merupakan penelitian kualitatif induktif. Guru-guru secara bersama mendokumentasikan kegiatan pengajaran dalam rangka mendapatkan pengetahuan tentang proses pemikiran siswa (student thinking). Pengetahuan tadi digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu ditujukan untuk perbaikan praktek pembelajaran di kelas dari guru-guru tadi. Sebagai riset kwalitatif, disamping mendalami pemikiran siswa (student thinking) lesson study bisa mendalami

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 9

Ketimbang sikap baik atau buruk, justru kealfaan dalam melihat secara mendalam tentang sesuatu yang kurang itu yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran, bahkan krisis masyarakat.

Pendekatan individualistik ditengarai menumbuhkan perasaan kosong seseorang yang mengiringi kehampaan dalam kehidupan masyarakat. Tragedi hilangnya jatidiri itu tersirat dari selfisme, apatisme dan eskapatisme akibat individualisme dalam kapitalisme serta masifnya standarisasi, keseragaman dan kepatuhan yang berlebihan. Hal itu yang menyusutkan integritas diri sehingga menekan keterlibatan kolektif dalam upayanya menerangi gelapnya dunia politik dan layanan publik. Keengganan untuk turun tangan menangani tantangan kehidupan bersama seperti itu memperlihatkan kehampaan ruh demokrasi. Epidemi ini mengakut di dalam dunia pendidikan yang ketika memainkan perannya untuk mempromosikan demokrasi mendapat respon skeptis dari guru dan siswa. Kiranya anak usia sekolah mengalami perasaan nihilisme dan sinisme terhadap pendidikan dan demokrasi itu sendiri, suatu kondisi tentang hilangnya kehidupan dan memudarnya rona jiwa generasi muda yang memadamkan corak kebudayaan.

Oleh karena itu, becermin dari kondisi masyarakat Amerika Serikat, Dewey menyerukan partisipasi untuk membangun kembali masyarakat (rebuilding Great Society) dengan memulihkan keretakan yang terjadi diantara dunia pribadi dan dunia masyarakat. Dewey mengandaikan terciptanya ruang publik dan itu memungkinkan dengan merekonstruksi sekolah sebagai wahana pembelajaran demokrasi. Artinya, pandangan bahwa pendidikan sebagai proses standarisasi dan moralisasi dirubah menjadi pendidikan sebagai proses transformasi, yaitu perubahan dari kondisi hilang menjadi ada, atau dalam bahasa Kartini, habis gelap terbitlah terang.

Naoko Saito (2005) memaknai rekonstruksi tersebut sebagai pendidikan kesempurnaan (perfection education) dengan memadukan pandangan Dewey tentang pertumbuhan progresif dan demokrasi serta pandangan Emerson tentang kesempurnaan moral (moral perfectionism). Baik pertumbuhan maupun kesempurnaan tersebut dimaknai sebagai sesuatu yang tiada henti sehingga beberapa kalangan mempertanyakan ‘Menuju kemana petumbuhan dan kesempurnaan itu pada akhirnya?’ Saito mengarahkannya sebagai berikut: perubahan di dalam diri individu yang digambarkan dengan metafora pancaran cahaya jiwa (the glim of light). Untuk menggelorakannya, ruh pertumbuhan dan kesempurnaan itu disentuh dengan dimulai dari dalam diri siswa agar memancarkan cahaya jiwa sehingga melalui dialog dapat saling menerangi ruang jiwa yang terlibat dalam interaksi belajar. Karena itu, tujuan sederhana dari pertumbuhan dan kesempurnaan itu adalah menjadi (being) dan proses menjadi (becoming), yaitu kondisi terbaik ketika seseorang belajar mengenali kembali pancaran cahaya dari dalam jiwanya. Namun demikian, pada akhirnya proses tersebut bukan dilihat secara individual, tetapi ketika seseorang itu belajar menerima keberadaan orang lain. Dengan demikian, pancaran cahaya jiwa itu bersifat mengalir dari-dalam-keluar (inside out) yang menerangi jiwa pembelajar lainnya: Apa yang penting dari dalam menerangi apa yang penting dari luar dimana pancarannya menerangi jembatan kehidupan pribadi dan kehidupan sosial.

Dengan memaknai hubungan antara pertumbuhan dan kesempurnaan tersebut maka pendidikan, tepatnya pembelajaran, dimaknai sebagai proses konversi, metamorfosis dan transformasi internal menuju kelahiran kembali jiwa seseorang yang pernah hilang. Untuk itu, seseorang memerlukan pertemuan (encounter) dengan orang lain agar dapat menciptakan situasi konversi secara kedisinian dan kekinian dengan mentransendensikan sesuatu yang telah padam secara berkelanjutan. Kegelapan itu merupakan sebentuk tragedy, suatu situasi yang mengajak, tepatnya memaksa, setiap orang untuk mengambil hikmah sehingga menggetarkan suara hatinya untuk bergerak turun tangan secara tulus sesuai panggilan jiwanya. Dalam hal ini, tragedi dipahami sebagai kedekatan (proximity) terhadap buraman (evanescene) dan kilauan (luminosity) pengalaman, yaitu rentang antara demokrasi yang diharapkan (dialogis) dan tidak diharapkan (monologis). Oleh karena itu, mentransendensikan tragedi artinya membangun intensitas kehidupan untuk menggetarkan suara hati, artinya memancarkan cahaya jiwa. Dengan demikian, pendidikan sebagai proses konversi bersifat menggugah hati nurani agar dapat membentuk demokrasi kreatif yang menjembatani kehidupan pribadi dan masyarakat. Disinilah pentingnya seni komunikasi dan translasi dialogis sebagai kondisi pemicu rekonstruksi demokrasi.

Proses pertumbuhan dan kesempurnaan memerlukan keterikatan kekeluargaan atau pertemanan yang membentuk pola kerjasama transformasional secara individual dan kultural yang melahirkan kembali jiwa kemanusiaan. Hal ini memerlukan kemampuan mendengarkan, berempati dan menerima/menghargai orang lain yang dalam perkembangan selanjutnya memungkinkan terjadinya rekonstruksi nilai etika yang melampaui pandangan teleologis pendidikan moral tradisional. Rekonstruksi artinya pembelajaran memfasilitasi dialog penalaran etis yang sebenarnya menjadi prasyarat penting bagi pendidikan politik. Dengan demikian, pendidikan kesempurnaan menyediakan jalan ketiga diantara pandangan progresif dan tradisional: bersifat dialogis dalam memajukan gerak hati dan mengawali budaya baru. Kiranya inilah tujuan dari rekonstruksi demokrasi yang berakar dari paradigma pembelajaran yang dialogis.

Dialog Reflektif-Argumentatif

Lantas, dialog seperti apakah yang membentuk pembelajaran yang demokratis? Isu ini sejalan dengan gerakan reformasi sekolah sebagai sebagai komunitas belajar (Sato, 2013). Ide ini dilandasi filosofi keterbukaan, demokrasi dan keunggulan. Prinsip tersebut diejawantahkan ke dalam praksis pengkajian pengajaran-pembelajaran secara terbuka, partisipatif dan dialogis melalui tiga pilar sistem kegiatan komunitas belajar: collaborative learning (siswa saling belajar), collegiality (guru saling belajar) dan relationship (partisipasi belajar masyarakat). Pilar tersebut diberlakukan melalui tiga bentuk komunikasi dialogis yang dilandasi prinsip ‘listening pedagogy’ (saling mendengarkan). Pertama, dialog dengan materi belajar (cognitive practice) yang melandasi active learning. Kedua, dialog dengan sesama (social practice) yang membentuk iklim collaborative learning. Ketiga, dialog dengan diri sendiri (existential/ethical practice)

Page 18: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

10 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

yang membangun budaya reflective learning. Selanjutnya, pola dialog seperti apa yang mencerahkan?

Sullivan et al. (2009) menganalisis pola dialog Socrates yang didalamnya terdapat ‘elenchos’ (critical reflection) sehingga terjadi proses saling berbagi argumentasi (‘anacrisis’) serta saling menghargai sudut pandang masing-masing (‘syncrisis’). Ball & Freedman (2004) memandang masyarakat sebagai dunia pemaknaan (ideological world) di mana di dalamnya beragam sudut pandang memediasi ‘proses pemaknaan diri’ (ideological becoming). Proses tersebut terbentuk dari bagaimana seseorang memaknai interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Freedman & Ball, 2004). Di sinilah pentingnya hubungan antara komunitas dengan dialog reflektif-argumentatif yang membentuk situasi atau suasana pembelajaran (Moyles et al., 2002; Collier & Meyers, 2010; Suratno, 2014).

Govier (2010) mengklasifikasi ragam argumentasi dari perspektif penerapannya secara praktis, yang mencakup deduktif, induktif, dan konduktif. Dalam hal ini, penalaran konduktif berkaitan dengan tindakan tertentu seperti praktik mengajar. Yang menjadi fokus perhatian di dalam penalaran konduktif adalah kemungkinan munculnya berbagai proposisi dengan beragam sudut pandang yang melatarinya. Hal ini meniscayakan perlunya pertimbangan kumulatif dan relasional. Secara praktikal, penalaran relasional lebih mengungkap fenomena secara kontekstual dalam seting tindakan yang konkrit.

Bagi guru, praktik refleksi merupakan bagian yang melekat dengan tugas profesionalnya (Pultorak, 2010). Melalui refleksi kritis terbangun sosok pendidik yang memiliki sudut pandang peneliti (‘inquiry stance’) (Cochran-Smith & Lytle, 2009) terhadap praktik kesehariannya yang unik, kontekstual dan rumit (Smith et al., 2010). Posner (2005) menekankan proses metarefleksi dimana di dalamnya pendidik mengkaji tindakannya, menyikapi keyakinan, menguji eksperimennya serta mengartikulasikan pengetahuannya. Keseluruhan hasil kajian tersebut menghasilkan teori praktis (practical theory) yang unik dan kontekstual, yang bahkan tidak mudah untuk diungkapkan (tacit knowledge).

Praktik refleksi bersifat multilevel dan multidimensional (van Mannen, 1977; Zeichner & Liston, 1996). Schön (1983) mengenalkan istilah praktisi yang reflektif (reflective practitioner), yaitu mereka yang melakukan proses yang disebut reflection-in-action (menata ulang apa yang sedang dilakukan sambil melakukannya) dan reflection-on-action (mengkaji apa yang telah dilakukan untuk memaknai apa yang telah terjadi). Kedua proses refleksi tersebut memerlukan fungsi tertentu, yang menghubungkan antara pengalaman dengan konstruksi makna. Lebih dari itu, Butke (2006) mengemukakan istilah reflection-fore-action untuk menjelaskan apa yang akan dilakukan ke depannya dengan mengandaikan suatu tindakan kolektif (Parsons & Stephenson, 2005). Bahkan Killion & Todnem (1991) mengemukakan ide reflection-for-action (memaknai hasil yang diharapkan sebagai panduan tindakan ke depan). Selain itu, praktik refleksi juga melibatkan faktor afeksi, konseptual, dan penalaran/argumentasi (Silcock, 1994). Keseluruhan aspek tersebut membentuk kesadaran ‘makna diri’ secara utuh. Dalam konteks praktik refleksi guru, kesadaran tersebut menyangkut: 1) konsepsi dan

keyakinan; 2) konteks sosiokultural-historikal; dan 3) inferensi dan implikasinya (Brookfield, 1990; Rogers, 2002; Wang & King, 2008).

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian sebelumnya membahas secara teoretis keterkaitan antara komunitas dan pengetahuan dalam pembentukan pribadi dan masyarakat melalui pembelajaran demokrasi yang dialogis. Melalui transformasi otoritatif yang bersifat inside-out, pancaran cahaya jiwa belajar seseorang berkembang melalui praktik dialog reflektif-argumentatif.

Ilustasi Pembelajaran Dialogis

Bagian ini membahas bagaimana kesinambungan proses refleksi pada berbagai tingkatan dapat menggambarkan tingkatan pencerahan. Dengan mengilustrasikan seting perkuliahan tentang pembelajaran terpadu pada calon guru sekolah dasar (50 mahasiswa semester 7, tahun 2016), suatu rangkian refleksi disajikan yang dimulai dari penyajian kisah mengenai penggalan kehidupan sehari-hari dua anak imajiner seusia sekolah dasar, yaitu Joko dan Bambang. Narasi yang membentuk situasi permasalahan sosial dan moral tersebut disajikan oleh seorang guru SD imajiner, yaiut Bu Ratih, dimana di dalamnya dua orang siswanya, yaitu Rara dan Rama, membahas kisah tentang pilihan nilai. Melalui analisis transkrip percakapan Rara dan Rama, para mahasiswa menganalisis rancangan dan refleksi terhadap hubungan antara kisah Joko-Bambang dengan pembelajaran Rara-Rama. Pada akhirnya, apa yang dipelajari oleh mahasiswa tersebut menyediakan ruang refleksi bagi pendidik guru maupun pembaca makalah ini.

Secara khusus, narasi kisah Joko-Bambang tersebut dikembangkan dari hasil studi kasus yang dilakukan oleh Wegerif (2010). Adaptasi dari narasi tersebut kemudian direkonstruksi menjadi suatu narasi yang berjudul “Pilihan Joko”. Adapun ilustrasi dari narasi tersebut adalah seperti berikut:

“Bambang merupakan teman sekelas Joko. Rumah mereka berdekatan dan mereka sering bermain bersama. Suatu ketika, Bambang dan Joko pergi ke pasar. Setelah mengitari beberapa kios, mereka pun pulang. Joko tahu bahwa Bambang telah mengambil beberapa bungkus coklat di salah satu kios. Sesaat kemudian Joko menyadari bahwa uang di sakunya juga hilang. Joko pun menduga Bambang lah yang mengambilnya.”

Berdasarkan narasi tersebut dikembangkan

permasalahan yang pada intinya meminta pendapat ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ terhadap pilihan seseorang dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, pertanyaannnya adalah “Apakah Joko benar ketika ia memilih untuk mengatakan kesaksian kepada seseorang bahwa Bambang telah mencuri coklat dari salah satu kios di pasar?”

Terhadap pertanyaan tersebut, para mahasiswa diminta untuk menentukan pilihannya, yaitu setuju atau tidak setuju terhadap pilihan Joko yang melaporkan Bambang. Secara khusus, mahasiswa diminta untuk mengungkapkan pilihannya itu dengan membayangkan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 173

Beberapa manfaat LS di lokasi antara lain, menciptakan suasana kebersamaan yang demokratis sehingga membuka peluang bagi guru-guru di lokasi untuk melakukan kerja sama dan saling mengamati pembelajaran yang dilaksanakan, yang akan bermanfaat bagi pengembangan profesional mereka. Ketika guru-guru SD lokasi telah menguasai LS dan mampu serta mau melaksanakannya maka kegiatan ini akan mendukung kepemilikan dan keberlangsungan LS. Akan terjadi pengembangan kemampuan professional secara berkelanjutan dan terbentuk komunitas para guru yang suka belajar; secara implisit terjadi proses demokratisasi pendidikan. Diharapkan guru-guru akan bersemangat untuk mencari informasi dan mempelajari berbagai hal terkait dengan pelaksanaan Kurikulum 2013. Dengan demikian akan terbangun rasa percaya diri dan kegembiraan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran di kelas yang menjadi tanggung jawab mereka.

E. REFERENSI

Akiba, Motoko & Willkinson. 2015. Adopting an International Innovation for Teacher Professional Development: State and District Approaches to Lesson Study. Journal of Teacher Education, 2016, Vol 67 (1) 74-73.

Andajani, Kusubakti. 2009. Lesson Study, Praktik Pengalaman Lapangan Bidang Kependidikan, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Malang: UPT PPL UM.

Bocola, Candice. 2015. From Experience to Eexpertice: The Development of Teaching Learning in Lesson Study. Journal of Teacher Education, Vol 66 (4) 349-362.

Cajkler, Wasil & Wood, Phil.. 2014. Toward A Culture of Professional Growth in School Based teacher Education: A Critical Analysis of the Impact Of New Teachers Lesson Study Project. University of Leichester, England. WALS-International Conference 2014, November 24-28,Bandung Indonesia.

Creswell, John W. 2012. Educational Research. Fourth Edition, Boston: Pearson.

Depdiknas. 2013. Permendiknas no 65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas, 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. no 67 tahun 2013 tentang Kurikulum 2013 (termasuk IPS SD). Jakarta: Depdiknas.

Dick, W & Carrey, L. 1985, The systimatic Design of Instruction. Second Edition, Glenview Illinois: Scott & Foresman Co.‐ 

Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara

Hendayana. S dkk. 2006. Lesson Study: Suatu Strategi Untuk Meningkatkan Keprofesionalan

Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI PRESS

Hidayah, Siti Nurul, 2014. The Relationship Between ‘Lesson Study and Novice Teachers Professionalism: A Case Study of A Mentoring Program in Secondary Education in Indonesia. WALS-International Conference 2014, November 24-28,Bandung, Indonesia.

Hong, Chia Swee & Pin, lim Yee. 2014. Nurturing Reflective Practitioners through lesson Study, a Case Study of Teachers’ Professional Development in Singapore. WALS-International Conference 2014, November 24-28,Bandung Indonesia.

Japan International Cooperation Agency (JICA). 2014. Expectation, Challenges and Solutions in conducting Lesson Studyin Projects Supported by JICA. WALS-International Conference 2014, November 24-28,Bandung Indonesia.

Ko, Po Yuk & Tsang, Ching Han Jannie. 2014. The learning Study Professional Development Program: A platform for the Hongkong in-Service Teachers to become Reflective Practitioners. WALS-International Conference 2014, November 24-28, Bandung Indonesia.

Koncara, L. E. 2008. Lesson Study. Purwakarta. STAIN DR KHEZ MUTTAQIEN. (Online) (http://www.scribd.com/doc/14250634/Makalah-Lesson Study Mandiri) . Diakses 20 Desember 2013.

Majid, Abdul. 2009.Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Miles & Hubberman. 1992. Qualitatif Data Analysis. Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Pusat Pengembangan program Pengalaman Lapangan. 2013/2014. Petunjuk Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Keguruan Universitas Negeri Malang. Malang: UM.

Sani, RA. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Iplementasi kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.

Sardiman, AM. 2005. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press.

Sithamparam, Saratha. 2014. Teacher Collaboration to achieve 21st Century Learning Outcomes in History Lessons in Lower Secondary Classrooms. WALS-International Conference 2014, November 24-28,Bandung Indonesia.

Syamsuri, I & Ibrohim. 2011. Lesson Study : Studi Pembelajaran . Malang: UM Press

Sugiyono. 2010. Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Susanto, Ahmad. 2013. Teori Balajar Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sutaji, Eddy, 2013. Pembelajaran Bermakna Dengan Lesson Study untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran, di Sekolah Dasar, Jurnal Ilmu Pendidikan, jilid 19, Nomor 2 Desember 2013, hal. 142-148.

Susilo, H. 2009. Konsep Dan Prinsip Lesson Study. Makalah Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Tim Penulis. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: UM PRESS.

Uno, H. B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

World Association of Lesson Studies (WALS) International Conference. 2014. Conference Abstracts. Bandung: Indonesia University of Education.

Page 19: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

172 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

dikaitkan dengan materi yang sedang dipelajari? Apakah kesimpulan akhir yang diajukan didasarkan pada pendapat siswa? Apakah kesimpulan yang diajukan sesuai dengan tujuanpembelajaran? Bagaimana guru memberi penguatan capaian hasil belajar siswa selama pembelajaran berlangsung? (Hendayana, 2006). Sederet pertanyaann itu memandu observer untuk mencermati kesulitann belajar siswa. Namun dalam praktek LS kali ini guru model belum sensitive mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.

Langkah ketiga/see dalam kegiatan Lesson Study diikuti dengan refleksi. Setelah selesai pembelajaran langsung dilakukan diskusi antara guru dan pengamat yang dipandu oleh kepala sekolah atau personel yang ditunjuk untuk membahas pembelajaran. Guru model mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan-kesan dalam melaksanakan pembelajaran. Selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar dan lesson learnt dari pembelajaran terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Kritik dan saran untuk guru disampaikan secara bijak demi perbaikan pembelajaran. Sebaliknya, guru harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan dari diskusi ini dapat dirancang kembali pembelajaran berikutnya. Begitu juga dalam refeleksi guru cenderung menyatakan kesan tentang tampilan mengajarnya/perilaku guru, dengan santun menyatakan kekurangannya dan minta masukan dari partisipan refleksi.

Pada prinsipnya, semua orang yang terlibat dalam kegiatan Lesson Study harus memperoleh lesson learnt dengan demikian kita membangun komunitas belajar melalui Lesson Study. Dalam refleksi Kepala Sekolah dapat bertindak sebagai moderator atau pemandu diskusi. Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan dalam refleksi adalah sebagai berikut: Moderator memperkenalkan peserta refleksi yang ada di ruangsambil menyebutkan masing-masing bidang keahliannya, menyampaikan agenda kegiatan refleksi yang akan dilakukan (sekitar 2 menit), menjelaskan aturan main tentang cara memberikan komentar atau mengajukan umpan balik. Aturan tersebut meliputi tiga hal berikut: Selama diskusi berlangsung, hanya satu orang yang berbicara (tidak ada yang berbicara secara bersamaan), (2) Setiap peserta diskusi memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, dan (3) Pada saat mengajukan pendapat, observer harus mengajukan bukti-bukti hasil pengamatan sebagai dasar dari pendapat yang diajukannya (tidak berbicara berdasarkan opini). Guru yang melakukan pembelajaran diberi kesempatan untuk berbicara paling awal, yakni mengomentari tentang proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Dari kegiatan refleksi bersama yang pesertanya guru-guru sebidang ataupun yang tidak sebidang terbangun kebiasaan untuk belajar bersama, membentuk komunitas belajar (Hendayana, 2006).

D. KESIMPULAN

Pada umumnya guru sudah mendengar istilah Lesson Study, tapi belum jelas apa konsepnya, hanya ada 2 orang yang mengaku pernah mengikuti workshop LS untuk guru-guru di FMIPA UM. Ada juga yang mencoba mencari tahu lewat internet, guru-guru yang belum pernah mengikuti workshop LS merasa terbantu oleh kegiatan ini. Mereka menjadi tahu detil prosedur

LS dan macam-macam LS. Untuk praktek sebagai observer dan terlibat dalam refleksi, guru kesulitan mengatur waktu karena ada kegiatan lain yang harus mereka lakukan. Disinilah masalahnya, perbaikan praktek pendidikan akan terjadi jika guru rajin melakukan see dan refelksi atas praktek pembelajaran yang dilakukan oleh teman yang lain. Memang kenyataannya, di 2 sekolah ini tenaga sangat terbatas, di SDN M 1 hanya ada guru 12 orang terdiri dari 6 orang guru kelas dan 4 guru bidang studi, beberapa guru honorer juga merangkap sebagai tenaga administrasi; di SDN M 2 ada 10 tenaga guru dan 3 staf administrasi dan 1 pustakawan.

Pada kegiatan Plan dan do guru masih perlu terus belajar bagaimana mengelola materi dan proses pembelajaran yang efektif, efisien dan menyenangkan. Efektif tentunya dalam arti tercapainya tujuan pembelajaran sesuia KI dan KD nya; efisien dalam arti bisa menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran, tidak sampai overload dalam menjelaskan materi; dan menyenangkan bagi peserta didik, dalam hal ini guru-guru di kedua sekolah tersebut sadar akan hal ini menyajikan selingan senam ringan, menyanyi dsb. Pembentukan kelompok siswa yang terdiri 6 orang, masing2 kelompok dengan 1 LKS saja menjadi kurang efektif, ada paling tidak 2 orang lebih sebagai penonton, yang aktif mukir yang memegang LKS dan teman sebelah kiri dan kanannya, ada kecenderungan siswa besar lebih dominan; alasan guru juga cukup masuk akal ruang yang sempit tidak memungkinkan guru untuk membentuk lebih dari 6 kelompok. Ruang kelas memang penuh, bahkan observer juga sulit bergerak, dipinggir kelas banyak pajangan hasil kerja anak-anak dan merupakan kebanggaan mereka.

Pada tahap see, guru perlu terus berlatih menguasai keterampilan observasi pembelajaran dan mengasah ketajaman untuk mengamati problema pembelajaran yang dialami siswa. Hanya sayang tidak banyak guru yang bisa mengikuti observasi. Pada tahap refleksi apa yang terjadi dikelas didiskusikan termasuk pencermatan pada siswa yang kurang terlibat dalam proses pembelajaran. Kesulitan belajar siswa belum terdeteksi dengan cermat. Refleksi masih diskusi seputar perilaku guru. Di akhir pada tahap ini guru dengan rendah hati meminta saran perbaikan untuk pembelajaran yang dilakukannya. Maklumlah praktek LS kali ini merupakan yang pertama bagi guru model, sehingga masih mencoba menguasai prosedur LS, belum sensitive pada kesulitasn belajar siswa. Proses supervisi yang masuk dalam praktek LS di sekolah-sekolah. Refleksi bukan hanya mencari solusi untuk kesulitan belajar siswa tetapi juga perbaikan praktek mengajar guru.

Kegiatan pengabdian ke sekolah-sekolah sangat diperlukan terutama pada sekolah-sekolah kecil seperti SDN M 1 dan 2 ini. Terciptanya komunitas belajar lewat LS secara mandiri masih agak sulit. Perubahan kurikulum menjadi PR yang berat bagi guru di sekolah-sekolah ini, guru harus berjuang memahami kurikulum 2013, dari segi isi, proses pembelajaran maupun evaluasinya. Kegiatan yang bersifat pendampingan-pendampingan akan sangat diapresiasi para guru; menjadi semacam pemberian perhatian kepada perjuangan guru yang sebagian masih status GTT ataupun honorer.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 11

jika dirinya menjadi atau berperan sebagai: 1) Bambang; 2) Bu Irawati (ibunya Joko); Bu Herawati (ibunya Bambang); Mang Koko (pemilik kios); Bu Wati (wali kelas); Pak Yusuf (kepala sekolah); Ririn (teman sekelas); dan Rizal (teman sekelas). Ungkapan pilihan tokoh imajiner tersebut oleh mahasiswa kemudian dituliskan ke dalam kertas berbentuk kartu. Setelah itu mahasiswa diminta untuk berdiskusi dengan membaca suatu kasus pembelajaran di kelasnya Bu Ratih. Adapun ilustrasi studi kasus pembelajaran adalah sebagai berikut.

“Bu Ratih membahas kisah Bambang dan Joko tersebut dengan meminta siswanya berdiskusi secara berpasangan. Setiap pasangan diminta untuk mengomentari beberapa pendapat yang berkaitan dengan pengakuan Joko. Bu Ratih telah menyiapkan kertas yang berisi masing-masing pendapat dari Bu Irawati (ibunya Joko), Bu Herawati (ibunya Bambang), Mang Koko (pemilik kios), Bu Indriani (wali kelas), Pak Yusuf (kepala sekolah), Ririn (teman sekelas), dan Rizal (teman sekelas).

Salah satu kelompok, yaitu Rara dan Rama, sedang

membahas komentar Bu Herawati. Rama membacanya sebagai berikut:

“Saya rasa Joko yang salah. Bambang itu anak yang baik. Memang saat itu sempat kaget ketika Bambang memberi coklat kepada saya. Saya tidak tahu ia mendapatkannya seperti apa. Saya rasa Bambang ingin menunjukkan sikap baik terhadap saya sebagai ibunya. Seharusnya Joko memberitahu saya yang sebenarnya sehingga saya langsung menasehati dan menyuruh Bambang untuk mengembalikan coklat itu ke Mamang kios. Kalau Joko bilang, pasti masalahnya selesai saat itu juga.”

Setelah itu disajikan cuplikan percakapan diantara

dua siswa sebagai berikut:  

Rama : [Membaca pendapat Bu Herawati]… “Ra, gimana menurut kamu?”

Rara : “Aku gak setuju dengan ibunya Bambang.”

Rama : “Aku juga.” Rara : “Ibunya Bambang salah.” Rama : “Heeuh. Coba ya kalau ibunya itu yang

jadi Mang Koko. Ibunya harusnya lebih tegas kepada Bambang.”

Rara : “Iya, bener! Sekarang kita lihat pendapat ibunya Joko”

Rama : [Membaca pendapat Bu Irawati] “Joko sudah benar karena ia berani berterus terang. Joko jangan sampai berbohong kepada saya sebagai ibunya.”

Rara : “Menurut kamu gimana pendapatnya ibunya Joko?”

Rama : “Setuju sih, memang Joko sudah benar. Joko

harus bilang ke ibunya apa adanya.” Rara : “Ya. Kebayang ya ibunya Joko terus

bilang ke ibunya Bambang bahwa Bambang itu tidak baik, nakal.”

Rama : “Karena telah mencuri…” Rara : “Tapi itu juga salah ya. Kan Joko

seharusnya bilang ke ibunya, dan memang Joko bilang gitu kan. Tapi kalau Joko gak bilang, ibunya akan bertengkar dengan ibunya Bambang. Mereka kan bisa saja bertetangga. Jadi, menurutku ibunya Joko sudah benar. Aku setuju dengan pendapat ibunya si Joko.

Rama : “Iya, sama. Itu juga akan baik buat Joko. Jadi, Joko gak akan merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri karena dia …”

Rara : “Dia harus bilang apa adanya. Jujur”. Rama : “Dan Bambang … Kalau gak ada orang

yang menasehati apa yang baik dan gak baik, walaupun maksudnya baik, lama-lama Bambang akan terus dapet masalah. Mungkin lebih besar daripada coklat.

Rara : “Iya, lebih cepat, lebih baik. Sebelum Bambang gede nanti, Bambang harus belajar ini sekarang.

 

Berdasarkan cuplikan tersebut mahasiswa diminta untuk membahas dua pertanyaan berikut: 1) apa yang dipelajari oleh Rara dan Rama; dan 2) apa yang dipelajari mahasiswa dari situasi dialog antara Rara dan Rama.

Metarefleksi Pembelajaran

Rangkaian tugas mahasiswa tersebut dirancang sedemikian rupa untuk memfasilitasi proses metarefleksi pembelajaran. Dalam hal ini, melalui dialog berpasangan, mahasiswa merefleksikan dari tingkat konteks isi pelajaran, proses pembelajaran dan pemaknaan diri. Berikut ini beberapa contoh metarefleksi mahasiswa.

Seharusnya Joko tidak langsung memberitahukan kenakalan saya ini kepada orang lain. Saya merasa diperlakukan bukan sebagai temannya dan banyak orang yang menyalahkan saya. [Anny Amanda dan Sri Utami]

Refleksi tersebut menyiratkan munculnya suara

hari terdalam dari sosok imajiner Bambang. Melalui pilihan Joko tersebut Anny dan Sri merasakan dan memaknai bagaimana hubungan pertemanan ketika dihadapkan pada situasi yang dilematis. Lebih dari itu, pendapat berikut mengungkap betapa hal kecil memiliki pengaruh yang penting.

Page 20: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

12 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Belajar menangani kejujuran dan moralitas/sikap. Percakapan tersebut dapat membuat anak mengembangkan pola pikir, bisa saling menghargai pendapat orang, bisa berdiskusi dan mencari solusinya. Yang bisa kita dapatkan dari cerita tersebut kita jangan sampai menyepelekan sekecil apapun suatu kesalahan karena akan berdampak negatif pada dirinya. [Jubaedi dan Chika Novia Yusriani]

Selain perhatian terhadap hal kecil, beberapa

dialog mahasiswa mengungkapkan makna dari perbedaan maupun dari permasalahan yang muncul dari suatu situasi yang mengakibatkan terjadinya konflik. Hubungan tersebut pada akhirnya menuntut suatu pertimbangan moral yang jujur.

Rara dan Rama dalam percakapan saling

menghargai pendapat dari berbagai pihak yang mengungkapkan sudut pandang suatu masalah dan percakapan harus bersikap jujur. Gambaran dari percakapan seperti ini mengungkap sikap moral, kejujuran, mengajarkan ke kita bagaimana mengajarkan tentang sudut pandang masalah. Tetapi, hal lainnya adalah seburuk-buruknya anak dimata orang tuanya tetap baik. [Indra Johar]

Yang dapat dipelajari dari percakapan Rara dan

Rama yaitu kita harus berdiskusi untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah dan belajar bagaimana menghargai pendapat dari berbagai sudut pandang. [Ifah Mudalifah dan Erin Elvia Nurul Aeni]

Lebih dari itu, refleksi berikut mengungkap makna

dari hubungan antara dialog, komunitas dan pilihan nilai dengan melihatnya dari segi konsekuensi yang dihasilkan.

Yang telah dipelajari oleh Rara dan Rama adalah melihat suatu kasus dari berbagai sudut pandang dan dengan begitu Rara dan Rama dapat menilai suatu tindakan itu baik atau tidak jika melihat dampaknya dari tindakan tersebut. [Siti Ani Situ Solihah dan Susianah]

Pandangan Siti dan Susianah merefleksikan pembelajaran demokrasi sebagai jalan ketiga. Sementara, refleksi Ayu dan Syarifa berukut mengungkap gagasan mengenai antisipasi sikap moral atau pilihan nilai.

Rara dan Rama belajar dan berlatih untuk berani berpendapat dan berani mengambil kesimpulan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang salah dan mana yang benar. Mereka juga belajar tentang pemecahan masalah yang mereka temukan, belajar menilai dari berbagai sisi dan pembentukan karakter menghargai setiap pendapat yang ada. Yang dapat kita pelajari dari percakapan Rara dan Rama adalah belajar memecahkan permasalahan dan mencari solusi dari pendapat yang ada dan menghargai pendapat orang lain serta belajar berpikir sebelum melakukan sesuatu serta siap menghadapi risiko dari apa yang kita lakukan. [Ayu Sela Diana dan Syarifatunnisah]

 

D. PENUTUP

Dalam mengakhiri tulisan ini saya tidak bermaksud untuk menyimpulkan, melainkan mengajak

pembaca untuk melakukan metarefleksi sebagaimana dialami oleh mahasiswa. Hal ini dimaksudkan agar pembaca juga dapat merasakan munculnya pancaran cahaya jiwa dan tergerak untuk berdialog dengan diri sendiri maupun orang lain sekaitan dengan kisah “Pilihan Joko”. Saya memulainya dengan menampilkan salah satu refleksi pasangan mahasiswa berikut.

Membuka pikiran kita bahwa untuk menyelesaikan masalah itu banyak solusi atau caranya. Bermusyawarah/diskusi dalam memecahkan masalah itu penting untuk mengambil jalan terbaik. [Sri Retno dan Lisda Imas]

 Pendapat Sri dan Lisda meneguhkan pentingnya

berdialog atau bermusyarah yang ditujukan untuk mencari jalan terbaik, bukan apa yang baik atau tidak baik. Memang tidak pernah ada istilah terbaik selama-lamanya dan ini menyiratkan dinamika transformatif dari setiap sendi kehidupan. Dengan begitu, akan selalu ada ruang untuk perbaikan. Di sinilah maknanya pertumbuhan dan kesempurnaan yang berasal dari proses dialog yang mencerahkan dan menggerakkan. Lebih dari itu, refleksi berikut memperlihatkan bahwa dialog dalam pembelajaran demokrasi ditujukan bukan untuk mengikuti norma tertentu (menentukan baik atau buruk berdasarkan kriteria tertentu), melainkan mencoba memahami situasi yang menyebabkan sesuatu terjadi sambil menemukan kurangnya sumberdaya sosial yang membatasi mengapa situasi tersebut berlaku. Yang bisa kita pelajari dari percakapan Rama dan Rara yaitu penghakiman bisa saja diberikan kepada yang bersalah tapi tidak untuk menghakimi (sikap). [Noer Faizah dan Lilis Hasanah]  

Kiranya refleksi dari Noer dan Lilis tersebut mewakili tujuan dari pembelajaran demokrasi secara dialogis yang difasilitasi melalui proses metarefleksi. Semoga pembaca juga dapat berefleksi agar dapat berdialog dengan diri sendiri maupun orang sekitar sehingga dapat memunculkan situasi demokrasi kecil sebagai suatu hubungan kehidupan bersama.

E. DAFTAR PUSTAKA

Ball, A., & Freedman, S. 2004. Bakhtinian perspectives on language, literacy and learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Biesta, G. 2011. Learning democracy in school and society. Education, lifelong learning and the politics of citizenship. Rotterdam: Sense Publisher.

Brookfield, S. 1990. Training educators of adults: The theory and practice of graduate adult education. New York: Routledge.

Butke, M. A. 2006. Reflection on practice. A study of five choral educators’ reflective journeys. UPDATE: Applications of Research in Music Education, 25(1), 57–69.

Cochran-Smith, M., and Lytle, S. L. 2009. Inquiry as stance: Practitioner research in the next generation. New York: Teachers College Press.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 171

orang dalam 1 kelompok) dengan lembar kerja siswa (LKS) yang hanya satu buah. Sebagai akibatnya anak-anak berebutan dalam mengerjakan LKS. Kertas LJK dipegang oleh siswa/siswi yang paling besar dan aktif sementara teman-teman yang lebih kecil mengalah dan tidak belajar. Pada sesi selanjutnya yaitu sesi presentasi, guru meminta siswa maju mempresentasikan hasil karya mereka tetapi tidak terlebih dahulu mengumpulkan LKS, sebagai akibat dari hal ini adalah siswa memilih sibuk mengerjakan LKS daripada mendengarkan presentasi teman. Presentasi teman juga kurang menarik karena semua siswa mengerjakan soal yang sama sehingga hal yang dipresentasikan juga sama sehingga terkesan mengulang-ulang dan membosankan.

Lesson Learned

Di Indonesia pelatihan untuk guru telah banyak dilakukan tapi usaha tersebut kurang membawa dampak pada praktek kependidikan. Hal ini terjadi karena pertama, pelatihan tidak berbasis pada permasalahan nyata didalam kelas. Materi pelatihan yang sama disampaikan kepada semua guru tanpa memperhitungkan perbedaan daerah asal, dan perbedaan permasalahan di sekolah. Kedua, hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan saja, kurang/tidak diterapkan pada pembelajaran di kelas; karena lemahnya monitoring setelah pelatihan. Selain itu, kepala sekolah tidak memfasilitasi forum sharing pengalaman di antara guru-guru. Untuk mengatasi hal tersebut ditawarkan model in-service training yang lebih berfokus pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi masing-masing yang disebut dengan Lesson Study/LS.

Secara konseptual dijelaskan bahwa Lesson Study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan demikian, Lesson Study bukan metoda atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengans situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru. Ada beberapa tujuan LS yaitu: 1) Meningkatkan pengetahuan tentang materi ajar. 2) Meningkatkan pengetahuan tentang pembelajaran. 3) Meningkatkan kemampuan mengobservasi aktivitas belajar. 4) Meningkatkan hubungan kolegalitas. 5) Menguatkan hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari-hari dan tujuan jangka panjang yang harus dicapai. 6) Meningkatkan motivasi untuk selalu berkembang. 7) Meningkatkan kualitas perencanaan pembelajaran

Lesson Study dimulai tahap perencanaan (Plan) yang bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa dan berpusat pada siswa, bagaimana supaya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan dilakukan bersama; beberapa guru dapat berkolaborasi atau guru-guru, dosen dengan guru, atau dosen dan calon guru/mahasiswa peserta Praktek Pangalaman Lapangan dapat berkolaborasi untuk memperkaya ide-ide. Perencanaan diawali dari analisis permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Permasalahan dapat berupa materi bidang studi, bagaimana menjelaskan suatu konsep; bisa juga tentang metoda pembelajaran

yang tepat agar pembelajaran lebih efektif dan efisien dan menyenangkan, atau bagaimana mensiasati kekurangan media dan fasilitas pembelajaran. Ditentukan guru model, yang membuat draf lesson plan, teaching materials, media pembelajaran dan lembar kerja siswa serta metoda evaluasi. Guru-guru berbagi pengalaman dan saling belajar dalam kesetaraan, sehingga melalui kegiatan-kegiatan pertemuan dalam rangka Lesson Study ini terbentuk mutual learning/saling belajar (Susilo, 2009).

Langkah kedua dalam Lesson Study adalah pelaksanaan/Do pembelajaran untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam perencanaan. Dalam perencanaan telah di sepakati siapa guru yang akan mengimplementasikan pembelajaran dan sekolah yang akan menjadi tuan rumah. Langkah ini bertujuan untuk menguji coba efektivitas model pembelajaran yang telah dirancang. Sebelum pembelajaran dimulai sebaiknya dilakukan briefing kepada para pengamat untuk menginformasikan kegiatan pembelajaran yang direncanakan oleh seorang guru, mencermati lembar observasi yang disediakan. Pada tahap ini juga sudah dimulai langkah ketiga yaitu see/pengamatan. Fokus pengamatan ditujukan pada interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, dan siswa-lingkungan yang terkait dengan 4 kompetensi guru. Biasanya para pengamat berdiri di sisi kiri dan kanan di dalam ruang kelas agar aktivitas siswa teramati dengan baik, mereka tidak boleh berbicara dan tidak menganggu aktifitas dan konsentrasi siswa. Pengamat dapat melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video camera atau foto digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan studi lebih lanjut (Syamsuri & Ibrahim, 2008).

Pada saat melakukan observasi, para pengamat disarankan untuk melakukan beberapa hal berikut: 1) Membuat catatan tentang komentar atau diskusi yang dilakukan siswa serta jangan lupa menuliskan nama atau posisi tempat duduk siswa. 2) Membuat catatan tentang situasi dimana siswa melakukan kerjasama atau memilih untuk tidak melakukan kerjasama.3) Mencari contoh-contoh bagaimana terjadinya proses konstruksi pemahaman melalui diskusi dan aktivitas belajar yang dilakukan siswa. 4) Membuat catatan tentang variasi metoda penyelesaian masalah dari siswa secara individual atau kelompok siswa, termasuk strategi penyelesaian yang salah. Seorang observer selama melakukan pengamatan perlu mempertimbangkan atau berpedoman pada sejumlah pertanyaan berikut; Apakah tujuan pembelajaran sudah jelas? Apakah aktivitas yang dikembangkan berkontribusi secara efektif pada pencapaian tujuan tersebut? Apakah langkah-langkah pembelajaran yang dikembangkan berkaitan satu dengan lainnya? Dan apakah hal tersebut mendukung pemahaman siswa tentang konsep yang dipelajari? Apakah hands-on atau teaching material yang digunakan mendukung pencapaian tujuan pembelajaran yang ditetapkan? Apakah diskusi kelas yang dilakukan membantu pemahaman siswa tentang konsep yang dipelajari? Apakah materi ajar yang dikembangkan guru sesuai dengan tingkat kemampuan siswa? Apakah siswa menggunakan pengetahuan awalnya atau pengetahuan sebelumnya untuk memahami konsep baru yang dipelajari? Apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru dapat mendorong dan memfasilitasi cara berpikir siswa? Apakah gagasan siswa dihargai dan

Page 21: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

170 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

slide PPT tentang keadaan alam Indonesia, meminta anak berkelompok menempelkan gambar-gambar tentang keadaan alam dan bencana di Indonesia dan diakhiri dengan review guru pada materi pembelajaran.

Kesan yang diperoleh selama mengikuti open class adalah kondusif, guru menyampaikan materi dengan baik dan jelas sehingga membuat anak mampu berkonsentrasi memahami materi di awal-awal pembelajaran. Ditengah pelajaran guru menjelaskan mengenai banjir, guru menanyakan kepada siswa siapa pernah mengalami banjir. Mendapat pertanyaan ini salah satu satu siswa bernama R mengangkat tangan dan berpendapat. R mengaku pernah tinggal di bantaran sungai dan rumahnya selalu menjadi langganan banjir. R memiliki perspektif yang berbeda terhadap banjir ini. Sebagai anak Rofi’i tidak memandang banjir bukan sebagai suatu bencana yang menyedihkan tetapi justru kejadian yang menyenangkan karena ada banyak air sehingga ia bersama teman-teman dapat berenang sesukanya dengan gratis dan tidak perlu bersekolah. Menanggapi pernyataan siswa ini guru kemudian menjelaskan kepada siswa bahwa banjir adalah bencana yang merugikan ekonomi dan menimbulkan penyakit. Kejadian ini menunjukkan adanya perbedaan sudut pandang antara guru dan siswa. hal yang disayangkan kemudiaan adalah sudut pandang guru kemudian terkesan dipaksakan kepada siswa tanpa siswa diajak membangun pemahaman dari pengalaman kontekstual siswa. Hal ini agaknya yang membuat selama ini pelajaran IPS hanya dipandang sebagai hal yang membosankan karena hanya berisi hafalan atau ceramah dari guru ke siswa saja.

Hal yang dipelajari dari open class kali ini adalah bagaimana kita membangun ilmu IPS yang menyenangkan bagi siswa. Ilmu IPS yang tidak lagi hanya berupa hafalan tetapi memberikan cakrawala pengetahuan anak untuk memahami keadaan dunia di luar lingkungan mereka. Cara yang dapat ditempuh adalah bagaimana mengajarkan materi melalui kasus-kasus yang terjadi disekitar atau dialami siswa sendiri. Oleh karena itu dalam pembelajaran kita harus terlebih dahulu mengenal latar belakang siswa itu sendiri.

Pada kegiatan open class ini adalah karena dalam menjelaskan materi anak tidak banyak diajak ikut serta membangun pemahaman dari kehidupan sehari-hari maka pembelajaran cenderung terasa monoton dan membosankan. Guru tidak memberikan kegiatan belajar yang membuat siswa sibuk berpikir atau beraktifitas sehingga mereka menjadi cepat mengantuk. Karena tidak diberi banyak kesibukan maka perhatian anak kemudian tidak bukan pada guru dan materi tetapi pada keberadaan guru/dosen observer disekitar mereka. Sebagai akibat dari hal ini kegiatan open class membuat anak justru menjadi lebih tegang dan tertekan selama mengikuti pembelajaran. Satu catatan terakhir dari open class ini adalah pada sesi pemberian tugas kelompok, guru hanya memberikan satu lembar kerja siswa (LKS) kepada kelompok berisi 6 orang. Sebagai akibatnya tidak semua anak bekerja, mereka yang bekerja hanya anak yang memegang LJK tersebut. Anak yang tidak membawa LKS menjadi anak yang terugikan, mereka merasa tidak perlu berpikir karena tugas dari guru telah dikerjakan oleh siswa lain dalam kelompok.

Di SDN M 1 disepakati Open lesson dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 17 Oktober 2015 jam 08.00 sampai selesai refleksi jam 10.30; guru model adalah

Ibu KP telah menyelesaikan tugas tahap Plan dan menyerahkan RPP yang mengolah tema yang sesuai dengan alur pembelajaran saat itu yaitu: Peristiwa dalam kehidupan, dengan sub tema: Macam-macam peristiwa dalam kehidupan. Dari pencermatan RPP dapat diketahui bahwa guru sudah cukup mampu membuat RPP sebagaimana seharusnya. Guru juga merancang pembelajaran cukup dinamis dengan kombinasi antara cermah dan diskusi kelompok, menyiapkan media terkait dengan LCD yang dibawa kekelas saat diperlukan. Namun ada catatan di SDN M ini, guru agak overload dalam membahas materi yaitu menjelaskan materi diawal pembelajaran, menugasi siswa diskusi kelompok untuk membahas materi yang sama, menugasi siswa presentasi hasil diskusi, diakhiri denngan membuat kesimpulan bersama siswa. Jadi inti materi dibahas 4 kali dalam pembelajaran.

Pada saat pelaksanaan atau tahap do guru mengajar siswa sebagaimana biasa, hanya ada pergeseran dari jadwal yang seharusnya ke hari Sabtu untuk kepentingan LS dengan durasi waktu 90 menit. Namun sayang pada waktu Open Lesson tidak banyak guru peserta LS ikut menjadi observer, karena mereka terlibat kegiatan lain. Observasi oleh guru terkadang kurang detil, dalam mengamati apa yang terjadi dalam diskusi kelompok. Namun pada prisnsipnya mereka tahu bahwa observasi lebih fokus pada apa yang dilakukan siswa, dan mendeteksi kesulitan belajar mereka. Di akhir refleksi sering kali guru minta masukan tentang proses pembelajaran yang dilakukan. Praktis pada waktu kegiatan refleksi hanya ada sekitar 3 orang guru yang terlibat dalam diskusi, guru model, 1 orang guru lain dan kepala sekolah; ditambah dengan 3 orang dosen. .

Pembelajaran pada open class ini dimulai dari kegiatan yang menyenangkan yaitu guru model mengajak anak-anak untuk menggerakkan badan, bersenam mengikuti irama dan gerakan yang diperagakan di layar proyektor. Setelah senam selesai suasana kelas menjadi menyenangkan karena anak-anak bersemangat dalam mengikuti pelajaran, ditambah lagi guru model memiliki karakter yang riang dan ramah dengan suara yang jelas dan bersahabat. Guru memulai pembelajaran dengan menanyakan hal disekitar siswa. Untuk materi tentang perekonomian dan dampak lingkungan, guru mula-mula menanyakan apa pabrik yang berdiri di dekat lingkungan rumah siswa. Para siswa menjawab bahwa pabrik disekitar lingkungan mereka adalah pabrik kompor dan rokok. Mengetahui jawaban ini, sayang sekali kemudian guru tidak membahasnya lebih lanjut tetapi justru memberikan contoh pabrik yang jauh dari lingkungan anak-anak. Guru menayangkan gambar tentang pabrik yang menimbulkan polusi asap tebal dan membuang limbahnya ke sungai. Tayangan ini membuat siswa menjadi tidak terlalu tertarik lagi pada pembelajaran karena kasus yang diambil ada ditempat yang sangat jauh bukan lingkungan sekitar anak-anak sendiri. Hal yang diketahui siswa adalah pabrik rokok dan kompor tidak menghasilkan asap dan polusi air seperti dalam tayangan sehingga pembelajaran tentang dampak lingkungan pabrik tidak dipercayai oleh siswa.

Ketika pelaksanaan kegiatan kerja kelompok guru memberikan soal agar siswa dapat menghitung kegiatan ekonomi, keuntungan dan kerugian suatu pabrik. Hal yang mengganggu siswa belajar pada sesi ini adalah guru membuat kelompok yang terlalu besar (6

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 13

Collier, S. T., and Meyers, B. 2010. Developing preservice teacher researchers to meet the needs of individual children. In J. Rainer, and E. M. Guyton (Eds.), Teacher education yearbook XI: Research on preparing teachers who can meet the needs of all children (pp. 45–65). Reston, VA: Kendall/Hunt.

Dewey, J. 1915/2004. Democracy and education. Delhi: Aakar Books.

Freedman, S., & Ball, A. 2004. Ideological becoming. Bakhtinian concepts to guide the study of language, literacy and learning. In A. Ball & M. Kaltz (Eds), Bakhtinian perspectives on language, literacy and learning (pp. 3-33). Cambridge: Cambridge University Press.

Govier, T. 2010. A practical study of arguments. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Killion, J. P., and Todnem, G. R. 1991. A process for personal theory building. Educational Leadership, 48(6), 14–16.

Moyles, J., Adams, S., and Musgrove, A. 2002. Using reflective dialogues as a tool for engaging with challenges of defining effective pedagogy. Early Child Development and Care, 172(5), 463–78.

Parsons, M., and Stephenson, M. 2005. Developing reflective practice in student teachers: Collaboration and critical partnerships. Teachers and Teaching: Theory and Practice, 11(1), 95–116.

Posner, G. J. 2005. Field experiences: A guide to reflective teaching (6th ed.). New York: Allyn and Bacon.

Pultorak, E. 2010. The purposes, practices and professionalism of teacher reflectivity. Insights for twenty first century teachers and students. New York: Rowman and Littelfield Education.

Rogers, C. 2002. Defining reflection: Another look at John Dewey and reflective thinking. Teachers College Record, 104(4), 842–66.

Saito, N. 2005. The gleam of light. Moral perfectionism and education in Dewey and Emerson. New York: Fordham University Press.

Sato, M. 2013. Mereformasi Sekolah: Konsep dan praktik komunitas belajar (Terj. Gakko o kaiaku

suru). Jakarta: International Development Center of Japan Inc c/o Iwanami Publishers.

Schön, D. 1983. The reflective practitioner: How professionals think in action. New York: Basic Books.

Silcock, R. 1994. The process of reflective teaching. British Journal of Educational Studies, 42(3), 273–86.

Sullivan, P., Smith, M., & Matusov, E. 2009. Bakhtin, Socrates and carnivalesque in education. New Ideas in Psychology, 27, pp. 326-342.

Suratno, T. 2014. Learning community in Indonesian schools. A dialogue. Invited speech delivered at the First International Conference for the School as Learning Community “Educational Innovation through Renovating Schools to Learning Community”, Gakushuin University, Tokyo 08-10 March 2014.

Suratno, T. 2016. Didaktik dan Didactical Design Research. Dalam D. Suryadi, E. Mulyana, T. Suratno, D. Dewi, S. Maudy (Eds), Monograf Didactical Design Research (pp. 1-11). Bandung: Rizqi Press.

Suratno, T., & Suryadi, D. 2016. Pemaknaan bersama. Dalam D. Suryadi, T, Suratno, E. Mulyana, D. Dewi dan Maudy, S, Menjaring Makna. Antologi Sistem Komunitas Pendidik Berbasis Riset. Bandung: Rizqi Press.

van Manen, M. 1977. Linking ways of knowing with ways of being practical. Curriculum Inquiry, 6, 205–28.

Wang, V. C. X., and King, K. P. 2008. Transformative learning and ancient Asian educational perspectives. Journal of Transformative Education, 6(2), 136–50.

Wegeriff, R. 2010. Mind expanding. Teaching for thinking and creativity in primary education. Maidenhead: Open University Press.

Zeichner, K. M., and Liston, D. P. 1996. Reflective teaching: An introduction. Mahwah, NJ: L. Erlbaum Associates.

Page 22: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

14 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Plan Lesson Study Ilmu Humaniora di Perguruan Tinggi

Dyah Prasetiani, S.S., M. Pd Universitas Negeri Semarang

[email protected]

Abstrak: Lesson Study merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Lesson study dapat dilaksanakandi sekolah maupun di perguruan tinggi. Pada Prodi Pendidikan Bahasa Jepang FBS Unnes, praktek LessonStudy hanya dilaksanakan pada beberapa mata kuliah yang diampu oleh team teaching. Hal ini dikarenakanketerbatasan waktu dan jumlah dosen. Tahapan perencanaan (plan) dilakukan pada saat awal semestersebelum perkuliahan dimulai dan di setiap minggu. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan tim teachingdalam: (1) menyusun silabus yang kemudian dipresentasikan (2) menentukan alur pembelajaran (3)menentukan materi dan media ajar. Khusus untuk mata kuliah Micro Teaching, kegiatan plan dilakukan olehteam teaching yang berjumlah 10 dosen (setiap 2-3 dosen mengampu 1 rombel). Hasil pengamatan yangdiperoleh yaitu mata kuliah micro teaching menjadi lebih terstruktur, efektif, dan mahasiswa banyakmendapatkan banyak praktek (workshop).

Kata kunci: lesson study, plan

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk membuat suatu negara menjadi maju. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menemukan cara yang terbaik dalam rangka menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang handal, baik dalam bidang akademis, sosio-personal, maupun vokasional. Karena itu kualitas pendidikan di berbagai lembaga pendidikan diharapkan selalu ditingkatkan baik dari segi kurikulum, buku ajar, media, sarana dan prasarana, SDM pendidik, maupun kualitas pengajaran.

Saat ini kondisi mutu pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian serius. Terkait dengan pembelajaran yang dianggap masih kurang efektif dan masih rendahnya mutu SDM yang dihasilkan. Di perguruan tinggi, mahasiswa masih membutuhkan bimbingan untuk menghubungkan antara pengetahuan yang mereka pelajari dengan aplikasi pengetahuan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu mahasiswa juga kurang termotivasi untuk belajar dan kurang mandiri. Di lain pihak, materi, metode, dan media ajar yang digunakan oleh dosen seringkali tidak mengalami perubahan tiap tahunnya. Biasanya hal ini disebabkan (1) Dosen tidak memiliki cukup waktu untuk membuat media baru ataupun membuat persiapan mengajar secara maksimal, (2) Dosen bekerja sendiri dalam mempersiapkan dan melaksanakan perkuliahan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah mengubah pembelajaran yang teacher-centered menjadi student-centered; mengupayakan pembinaan profesi dosen melalui model in-service training yang lebih berfokus pada forum sharing pengalaman di antara dosen-dosen agar terjalin komunitas belajar yang terprogram. Model pembinaan profesi ini disebut sebagai Lesson Study.

Lesson Study berasal dari Jepang (Jugyokenkyu) yaitu suatu proses sistematik yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran (Fernandez, 2004).

Proses sistematik yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Ide yang terangkum dalam kegiatan ini sangatlah sederhana, yaitu jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Kegiatan ini hendaknya dilakukan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning sehingga dapat membangun komunitas belajar.

Tahapan-tahapan siklus yang dilakukan dalam lesson study terdiri dari: perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see).

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Plan Dalam Merencanakan Pembelajaran

Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok pengajar secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 169

guru menyampaikan materi suatu pokok bahasan dengan mengaitkan pada beberapa pokok bahasan yang lain, sehingga siswa mendapat gambaran keterpaduan materi dan proses belajar. 5) Prinsip pemecahan masalah, Guru menghadapkan siswa pada masalah dan memberi peluang pada siswa untuk memecahkannya 6) Prinsip menemukan, guru memfasilitasi siswa untuk menggali potensi yang dimiliki untuk mencari, menggembangkan perolehan dalam bentuk fakta dan informasi. 7) Prinsip belajar dan bekerja, guru memfasilitasi siswa terlibat dalam proses belajar untuk memahami sesuatu sekaligus mampu melakukannya. 8) Prinsip belajar sambil bermain, merupakan kegiatan yang menyenangkan siswa dalam belajar; mengembangkan keterampilan, sikap dan daya fantasi anak. 9) Prinsip perbedaan individu, guru menyadari dan mengenali perbedaan individual siswanya, baik kecerdasan, sifat, kebiasaan dan latar belakang keluarga. 10) Prinsip hubungan sosial, belajar hendaklah merupakan mengalaman sosialisasi siswa (Susanto, 2013:85-88).

Bagi guru prinsip perbedaan individu (no 9) hal ini pada akhirnya akan dipengaruhi subyektivitas. Padahal pembelajaran hendaknya bersifat obyektif .Prinsip no 2 latar belakang dan no 9 perbedaan individu. Dalam pembelajaran, memperhitungkan perbedaan individu siswa masih sulit untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan kecerdasannya. Hal ini karena perbandingan jumlah siswa dan guru masih belum proporsional.

Guru mengenal LS, melalui penelitian orang lain; pernah mendengar, mengenal sepintas dari teman, tetapi setelah membaca buku materi LS ini menjadi bertambah pengetahuan saya; mengenal, melalui membaca artikel dan buku tetapi belum memahami secara mendalam dan menyeluruh..Ada 2 orang yang menjawab pernah mengikuti workshop di UM. Jelaskan singkat apa yang disebut Lesson Study. Lesson Study adalah suatu bentuk model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran setara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar, alasan penyebaran untuk membangun sosial ekonomi dan pendidikan. Teori dari bangsa lain bisa kita gunakan sebagai referensi jika itu baik, namun tetap memperhatikan kondisi masyarakat pendidikan kita. Perlu belajar dari bangsa lain, pembelajaran di Jepang sudah membuktikan dan melaksanakan sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Kita belajar dari bangsa lain diambil dari yang positif dan sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Dengan belajar dari negara lain kita akan meningkatkan hasil pembelajaran serta output SDM yang berkualitas dan profesional.

Guru memahami prosedur LS secara baik, mencukupi untuk melaksanakannya. Plan, perencanaan dilakukan secara bersama: guru dengan guru, dosen dengan guru, atau dosen dengan mahasiswa calon guru/pendidik. Pada tahap Do dalam Lesson Study guru melakukan, tujuannya menguji efektivitas program pembelajaran yang telah direncanakan. Melaksanakan menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dibuat, merupakanproses pelaksanaan perencanaan pembelajaran yang sudah dirancang dan dirumuskan. See adalah tindakan melakukan pengamatan selama pelaksanaan pembelajaran. Fokus pengamatan yang ditujukan pada interaksi siswa-siswi, bahan ajar dan

lingkungan. Refleksi adalah penyampaian kritik dan saran dari pengamat kepada guru model, yang bersifat membangun. See dan refleksi dilakukan pada saat pelaksanaan setelah selesai Lesson Study. Lesson Learned adalah pesan kesan guru selama proses pembelajaran, sehingga dapat dijadikan m,asukan untuk perbaikan pada pembelajaran selanjutnya. Masukan berupa kritik/saran yang bersifat membangun. Kegiatan refleksi terhadap hasil dari pembelajaran yang dilakukan. Dari pembelajaran tersebut kita menjadi mudah untuk belajar cara membelajarkan materi kepada siswa.Evaluasi belajar melalui Lesson Study yang dilakukan dalam langkah refleksi.Menerima hasil pembahasan untuk pengembangan dan perbaikan proses pembelajaran/melakukan refleksi.

Lesson Study ada dua macam. Pertama, yang berbasis (dilaksanakan) di sekolah, Manfaatnya adalah dapat meningkatkan pembelajaran siswa di kelas. LS dikembangkan di sekolah dengan anggota semua guru di sekolah dan kepala sekolah, manfaatnya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. LS berbasis sekolah dilakukan oleh semua guru dari berbagai bidang study/tematik beserta kepala sekolah di sekolah tersebut. Kedua, Lesson Study yang berbasis MGMP/KKG, dilakukan untuk mata pelajaran tertentu biasanya diterapkan pada tingkatan SMP dan SMA, manfaatnya adalah siswa lebih paham terhadap materi tertentu dalam suatu pelajaran..Proses pembelajaran yang dilakukan sekelompok guru bidang study tertentu di suatu wilayah secara bergiliran dari sekolah satu dengan sekolah lain sehingga potensial membentuk kemandirian, berkembang bersama-sama dengan anggota komunitas belajar lainnya.

Learning Community bisa terbentuk lewat Lesson Study di SD dengan, cara setelah setiap (perwakilan guru) di beberapa sekolah melakukan LS, mereka bisa langsung sharing (tahap see dan refleksi); mencari permasalahan yang ada, kemudian diberikan solusi dari pembelajaran yang sudah ada. Melalui LS di lingkup SD, kemudian LS SD dilokasi (gugus) bisa dibentuk kelompok pembelajar dengan adanya LS berbasis sekolah. Terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten melakukan continuous improvement (Susilo, 2009) baikpada level individu, kelompok, maupun pada sistem yang lebih umum.Pengetahuan yang dibangun melalui lesson study dapat menjadi modalsangat berharga untuk meningkatkan kualitas kinerja yang terlibat, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pembelajaran dan pendidikan.

Pelaksanaan Lesson Study

Di SDN M 2 disepakati Open Lesson dilakukan pada hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2015 jam 08.00 sampai selesai refleksi sekitar jam 10.30; disepakati guru model adalah Ibu W telah menyelesaikan tugas tahap Plan dan menyerahkan RPP yang mengolah tema yang sesuai dengan alur pembelajaran saat itu yaitu: materi tentang keadaan alam dan bencana alam. Pada saat Do, guru mengajar seperti biasa melaksanakan alur pembelajaran yg dirancang dalam RPP. Pada matapelajaran IPS kali ini ibu W memberikan materi tentang keadaan alam dan bencana alam. Kegiatan awal pelajaran dilaksanakan dengan menanyakan keadaan alam di sekitar siswa, pemberian ceramah dan tayangan

Page 23: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

168 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

dilakukan selama kegiatan; pelaksanaan workshop ditentukan sesuai kesepakatan dengan Kepala Sekolah lokasi. Wawancara informal dilakukan ketika mengambil bahan-bahan pengerjaan tugas mandiri untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru dan bagaimana sikap para guru terhadap kegiatan. Evaluasi dilakukan dengan menelaah lembar jawaban para guru dalam mengerjakan tugas mandiri; dan guru dipersilahkan mengisi lembar cek list untuk mengetahui kesan guru terhadap kegiatan LS secara keseluruhan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman Guru tentang Pembelajaran di SD dan Lesson Study

Berbagai pertanyaan pendalaman materi Tentang Pembelajaran di SD dan Lesson Study diajukan kepada 20 orang guru. Guru menyadari bahwa faktor internal dan faktor eksternal mempengaruhi pola pikir manusia. Pendidikan juga harus tanggap, disesuaikan dengan pola pikir manusia kekinian sehingga mampu bersaing di era globalisasiPendidikan dapat menyesuaikan terhadap kebutuhan SDM yang berkualitas sesuai perkembangan zaman sehingga output yang dihasilkan mampu bersaing di era modern, sekaligus meningkatkan kualitas praktek pendidikan. Pendekatan Pembelajaran yang direkomendasikan K2013 adalah penggunaan pendekatan saintifik yang terkenal dengan 5M, yaitu mengamati, mananya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.Pendekatan scientific jika dilakukan dengan baik akan memperoleh hasil yang maksimal.

Guru memahami bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan secara sistematis. Strategi pembelajaran, media pembelajaran, diperhitungkan dalam merancang pembelajaran efektif, efisien, dan menarik. Proses belajar mengajar yang efektif bukan saja terfokus pada hasil yang dicapai peserta didik, namun mampu memberikan pemahaman, kecerdasan, perilaku yang baik. Efisien adalah: pemanfaatan sesuatu yang sudah ada, untuk digunakan secara maksimal; tepat waktu; melakukan suatu pekerjaan dengan tepat dan cermat. Proses belajar mengajar yang ditetapkan secara maksimal dengan penggunaan komponen pembelajaran yang minimal; dalam hal ini waktu, tenaga, biaya. Menarik adalah membuat siswa tidak cepat bosan, selalu ingin belajar sehingga membuat siswa untuk mencoba bereksplorasi; menyenangkan; membuat orang terkesan dan ingin tahu yang tinggi. Guru bisa menggunakan cerita, nyanyian, tantangan, dan pemenuhan rasa ingin tahu siswa. Metode belajar yang mampu mengajak siswa aktif, kreatif, dan tanggap serta menjadikan seasana belajar hidup, dan tidak monoton.

Secara akademis pembelajaran adalah kegiatan yang memungkinkan terjadinya belajar. Pembelajaran adalah suatu system, artinya keseluruhan yang terjadi komponen-kompenen yang berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun komponen-komponen tersebut meliputi: a) tujuan pendidikan dan pembelajaran, b) peserta didik, c) tenaga kependidikan, d) perencanaan pengajaran, e) strategi pembelajaran, f) media pembelajaran, g) evaluasi (Hamalik, 2008:77).

Pembelajaran dikembangkan secara sistemik dengan memperhitungkan keterkaitan antar komponen proses pembelajaran dari input, proses maupun produk serta proses monetoring dan evaluasi secara terpadu. Komponen input bisa terdiri dari: tujuan, subyek didik, situasi dan kondisi; komponen proses terdiri dari materi, metode dan tehnik, media dan sistim penyampaian/delivery system; komponen produk adalah subyek didik dengan berbagai taraf keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dilaluinya. Program pengajaran yang ideal akan menampilkan unsur-unsur: efektif, efisien dan menarik (Dick & Carrey, 1985 dan Uno, 2008).

Dalam melaksanakan pembelajaran di kelas guru: Karakteristik siswa yang berbeda-beda dalam satu kelas, sehingga dalam penyampaian materi harus mampu memahamkan banyak siswa. Perbedaan kemampuan berpikir yang sangat mencolok. Untuk pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 permasalahan yang dihadapi: materi dalam buku kurang mendalam, sistem penilaian yang terdiri dari banyak unsur sehingga membuat guru sulit untuk memahami dan melaksanakan. Ramai sendiri, menagajak teman ramai, melamun, kesulitan menangkap pelajaran, merusak barang/fasilitas sekolah, sering menyendiri, suka mengadu. Sebagai solusi guru menggunakan strategi/metede belajar yang beragam sehingga, siswa dapat belajar tidak monoton; menyampaikan materi sesuai karakteristik siswa. Guru menambah wawasan dengan mengikuti kegiatan workshop yang diadakan di sekolah, gugus, ataupun program dinas pendidikan; berdiskusi bersama rekan guru lain melalui kegiatan KKG. Dilakukan pengajaran perbaikan, kegiatan pengayaan, pendekatan pada peserta didik, memperbaiki cara belajar siswa, peningkatan motivasi belajar, pengembangan sikap dan kebiasaan di kelas. Guru meluangkan waktu untuk melakukan pendekatan kepada siswa guna mengetahui masalah belajar siswa.

Trial & Error bisa diterapkan di SD dalam pembelajaran yang bersifat ilmiah. Namun akhlak, budi pekerti, keimanan sangat tidak tepat, ini perlu contoh, bimbingan dan pengarahan dari guru. Trial & Error merupakan metode pembelajaran yang membuat siswa dapat belajar aktif melalui mencoba dan pengalaman yang riil, saat mengalami sendiri proses yang riil membuat siswa akan mudah untuk mengerti, memahami, dan mengingatnya. Dalam proses mencoba sering terjadi yang namanya kegagalan. Kegagalan/kesalahan mencoba dalam pembelajaran tidak akan membuat siswa mengerti bahkan akan membuat siswa lebih tertantang untuk mencoba lagi sampai berhasil. Trial & Error Sangat baik, untuk mengembangkan kemampuan siswa secara nyata, mendapatkan melalui pengalaman kesalahan yang dilakukan.

Beberapa prinsip pembelajaran di Sekolah Dasar pada umumnya, termasuk untuk matapelajaran IPS yaitu:

1) Prinsip motivasi, guru berupaya menumbuhkan dorongan belajar, dari diri siswa maupun dari luar diri siswa/lingkungan dimana siswa berada. 2) Prinsip latar belakang, guru berupaya memperhatikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dimiliki siswa. 3) Prinsip pemusatan perhatian, guru berupaya memusatkan perhatian siswa dengan mengajukan masalah yang perlu dipecahkan. 4) Prinsip perpaduan,

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 15

Kegiatan lesson study di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Negeri Semarang dilaksanakan hanya pada beberapa mata kuliah yang diampu oleh team teaching. Sedangkan mata kuliah yang diampu oleh dosen mandiri tidak dilaksanakan lesson study. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan jumlah dosen yang aktiv mengajar hanya berjumlah 10 orang.

Mata kuliah yang diampu oleh team teaching yaitu berbicara, tata bahasa, membaca, dan micro teaching. Tahapan perencanaan (PLAN) dilakukan pada saat sebelum perkuliahan dimulai dan di setiap minggu. Plan yang dilakukan sebelum perkuliahan dimulai, bertujuan untuk mencapai kesepakatan tim teaching dalam penyusunan silabus serta materi yang akan diajarkan dalam satu semester. Silabus ini kemudian dipresentasikan dalam dua hari untuk mendapatkan masukan dari dosen pengampu mata kuliah lain, sehingga kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian materi, penggunaan materi/bab yang tumpang tindih dapat diminimalisir. Sedangkan kegiatan plan yang dilaksanakan di setiap minggu bertujuan untuk menentukan/membuat alur pembelajaran (RPP) untuk setiap pertemuan, menentukan materi serta media ajar yang akan digunakan. Kegiatan plan mingguan hanya dilakukan oleh team teaching (bila diperlukan dan tergantung kesepakatan team teaching).

Pada intinya kegiatan plan bertujuan untuk (a) Penggalian akademis, (b) Perencanaan pembelajaran, dan (c) Persiapan alat. Komentar dan saran yang diperoleh dari hasil diskusi saat kegiatan plan, kemudian diimplementasikan dalam rancangan pembelajaran yang disusun dan diimplementasikan di dalam kelas.

Untuk mata kuliah micro teaching, kegiatan plan dirancang lebih serius dan khusus lagi karena mata kuliah ini berkaitan dengan mahasiswa PPL yang nantinya akan mengajar di sekolah mitra. Karena itu penyamaan materi dan apa yang akan dilakukan dalam praktek dianggap sangat penting.

Perlakuan khusus yang dilakukan di Prodi kami terhadap mata kuliah micro teaching ini adalah mata kuliah ini diampu oleh team teaching yang berjumlah 10 dosen. Semua dosen bertanggung jawab mengajar di 4 rombel yang berbeda (setiap rombel diampu oleh 2-3 dosen). Kegiatan PLAN dalam mata kuliah ini dilakukan setiap minggu sebelum perkuliahan dilaksanakan, tepatnya pada hari Selasa. Sedangkan perkuliahan dilaksanakan pada hari Kamis dan Jumat (mulai semester lalu beban SKS pada mata kuliah ini yang semula berjumlah 2 SKS dijadikan 4 SKS).

Ketika melaksanakan plan, tim teaching menyusun silabus untuk satu semester, hand out, dan lembar kerja mahasiswa yang akan digunakan. Tahapan plan yang dilakukan pada mata kuliah micro teaching bertujuan untuk mencapai kesepakatan tim teaching dalam penyusunan silabus untuk satu semester, menentukan/membuat alur pembelajaran (RPP), menentukan materi, dan menentukan media (bila diperlukan).

Karena kesibukan masing-masing dosen berbeda-beda, maka refleksi (SEE) yang seharusnya dilakukan setelah DO, seringkali dilakukan pada tahap PLAN di minggu berikutnya. Pada tahapan refleksi (see) team teaching yang merangkap observer memberikan catatan/masukan tentang pembelajaran.

Dampak Penerapan Kegiatan Plan

Dampak yang dirasakan setelah melaksanakan lesson study terutama pada kegiatan plan antara lain: Dampak terhadap mata kuliah micro teaching

Hasil pengamatan yang diperoleh yaitu mata kuliah micro teaching menjadi lebih baik karena lebih terstruktur, efektif, dan mahasiswa banyak mendapatkan banyak praktek (workshop) yaitu workshop pembuatan media ajar, pembuatan RPP dengan kurikulum KTSP, pembuatan RPP dengan kurikulum 2013, serta tiap mahasiswa mendapatkan dua kali kesempatan praktek mengajar masing-masing selama 40 menit. Penambahan jumlah workshop ini merupakan perbaikan silabus berdasarkan hasil evaluasi tahun lalu.

1) Peningkatan kompetensi dosen

Kompetensi dosen yang meningkat dengan pelaksanaan plan ini adalah: (a) menjadi memikirkan tujuan pembelajaran dan materi pokok dengan cermat, (b) mengembangkan pembelajaran yang lebih baik yang dapat dikembangkan, (c) merancang pembelajaran secara kolaboratif.

2) Pengembangan inovasi pembelajaran dan teaching material

Perangkat pembelajaran yang sudah didiskusikan dan diperbaiki saat PLAN, kemudian dilaksanakan pada tahap DO. Sehingga kekuatan dan kelemahan perangkat pembelajaran dapat diketahui dan segera dilakukan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian tahap REFLEKSI/SEE selalu menghasilkan revisi final perangkat pembelajaran. Revisi ini menjadi produk luaran yang dapat digunakan untuk jangka waktu yang panjang selama masih sesuai dengan kurikulum dan kondisi mahasiswa serta lingkungan kampus.

3) Peningkatan aktivitas belajar mahasiswa

Hasil yang diperoleh dari kegiatan PLAN adalah rencana pembelajaran yang lebih baik. Sehingga mahasiswa menjadi lebih aktif lagi ketika mengikuti perkuliahan di dalam kelas. Kerja kelompok saat workshop membuat mahasiswa berkesempatan bertukar pikiran dengan dosen dan teman sekelompok, belajar team work, dan dirangsang untuk berpikir aktif saat mengerjakan task. Sedangkan penambahan jumlah kesempatan mahasiswa untuk praktek mengajar dalam micro teaching cukup membantu mahasiswa sehingga menjadi lebih percaya diri dalam mengajar.

C. KESIMPULAN

Lesson Study merupakan kegiatan terus menerus untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran mahasiswa. Kegiatan plan dapat mempermudah dosen dalam mengembangkan materi dan perangkat pembelajaran sehingga lebih efektif, meningkatkan kompetensi dosen, dan meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa.

D. DAFTAR PUSTAKA

Fernandez, Clea dan Yoshida, Makoto. 2004. Lesson Study: A Japanese Approach to Improving Mathematics Teaching and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers

Page 24: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

16 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Hendayana S. 2006. Lesson Study Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press.

________. 2007. Lesson Study: Makalah Seminar Nasional Lesson Study untuk Guru SMP dan SMA Se Jawa Tengah di IKIP PGRI. Semarang, 4 Juni 2007.

Lewis, Catherine. 2004. Does Lesson Study Have a Future in the United States? Online: http://www.sowi-online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 167

berpengalaman kearah lebih memahami dan mamp[u menerapkan LS sepanjang waktu.

Sebuah penelitian dengan Judul “menuju budaya pengembangan professional di Pendidikan Guru berbasis sekolah: A Critical Analysis of the Impact Of New Teachers Lesson Study Project. Universitas Leichester di Inggris and dan Amerika melakukan evaluasi terhadap 30 projects of LS yang dilakukan oleh mahasiswa calon guru di Inggris dan Amerika yang disebut dengan Initial Teacher Education (ITE). Hasil sementara menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa calon guru mendapatkan LS valuable. (Cajkler, & Wood, 2014). Meskipun mahasiswa yang menghadapi banyak tantangan pada penerapannya, karena banyak tugas yang harus dikerjakan dalam LS. Penelitian tentang penggunaan LS dalam PIPS masih langka analysis disajikan dalam WALS International Conference in WALS 2014; hasil yang positif selalu muncul dalam penggunaan LS dan banyak tantangan yang mengikuti. Beberapa observer mengatakan bahwa LS memerlukan banyak waktu, dan sulit untuk membuat kesepakatan dengan seluruh participant untuk menyetujui jadwal open lesson.

Penelitian lain berjudul “Merawat/menumbuhkembangkan praktisi yang reflektif lewat LS, Studi kasus tentang pengembangan professional guru di Singapura dilakukan oleh Hong, & Pin, (2014). Penelitian ini merupakan bagian dari Program Departemen Pendidikan Singapura dengan focus menciptakan tim kerja LS; membuat perencanaan tentang bagaimana mereka membuat perencanaan dan refleksi sebelum maupun sesudah pembalajaran. Hasilnya menunjukkan bahwa proses refelksi mendorong munculnya kesadaran guru; untuk menguban mind-set mereka tentang pentingna menciptakan pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik. Ko & Tsang (2014) melakukan penelitian tentang Program Pengembangan Professional: sebagai platform untuk pelatihan guru dalam jabatan di Hongkong untuk membawa guru menjadi praktisi peserta pelatihanyang reflektif. Hasilnya menunjukkan bahwa kerjasama antar guru dari berbagai sekolah dalam merencanakan, melaksanakan dan mengobservasi kelas, telah membuat mereka sharing pengalaman professional dalam conference melakukan refleksi setelah pelaksanaan pembelajaran.

Dalam perspektif lokal pengenalan konsep, prosedur dan praktek LS dalam rangka Mengasah Kemampuan Guru untuk mengenali kesulitan belajar siswa dan meningkatkan kualitas pembelajaran IPS di SD dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, guru-guru di Indonesia sedang direpotkan dengan tugas menerapkan kurikulum 2013 dengan rekomendasi pendekatan scientific dan berbagai model kreatif-inovatif untuk pembelajarannya. Kedua, diperlukan model kegiatan yang membawa guru-guru untuk bekerjasama dalam merancang dan melaksanakan pembelajarannya, melakukan diskusi refleksi bersama untuk menelaah kelebihan dan kekurangan pembelajaran yang dilakukan. Ketiga, peluang guru-guru untuk melakukan kerja sama dan saling mengamati pembelajaran yang dilaksanakan bisa menjadi hal baru yang bermanfaat bagi pengembangan profesional mereka. Keempat, ketika guru-guru SD lokasi telah menguasai LS maka kegiatan ini akan mendukung kepemilikan dan keberlangsungan LS.

Studi dilakukan pada guru-guru di SDN M 1&2 Malang. Kedua sekolah ini termasuk sekolah yang biasa-biasa saja dan berada di daerah pinggiran, namun kepala sekolah menunjukkan semangat untuk bisa lebih maju entah bagaimana caranya. Kepala Sekolah pernah mengajukan usul untuk dilibatkan menjadi Sekolah Pelatihan untuk mahasiswa PPL/KPL UM. Diharapkan keberadaan mahasiswa PPL/KPL akan menjadi jalur masuknya ilmu-ilmu baru terutama dalam hal model-model pembelajaran, peningkatan kualitas pengelolaan proses pembelajaran, dan penggugah semangat guru untuk terus belajar. Fokus kajian : 1) bagaimana pemahaman guru tentang pembelajaran di SD dan Lesson Study; 2) bagaimana guru melaksanakan Lesson Study dan 3) Apa Leeson Learned yang diperoleh guru dengan Lesson Study. Pemberian kemampuan ber Lesson Study pada guru di sekolah lokasi akan berguna untuk membangun kerjasama guru-guru sehingga akan terbentuk spirit komunitas belajar.

B. METODE

Kegiatan ini dilakukan dalam rangka membangun pengetahuan dan keterampilan guru di lokasi dengan model pengembangan profesional yang disebut Lesson Study/LS; suatu kegiatan yang membawa guru-guru untuk bekerjasama dalam merancang dan melaksanakan pembelajarannya, mencermati kesulitan belajar siswa, melakukan diskusi refleksi bersama untuk menelaah kelebihan dan kekurangan pembelajaran yang dilakukan. (Hendayana. S dkk. 2006) Kegiatan dilaksanakan di SDN M1 dan 2 guru sebagai subyek penelitian sejumlah 10 orang di setiap sekolah. jadi jumlah subyek semuanya 20 orang. Desain dan langkah-langkah Lesson Study/LS dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu Plan (merencanakan), Do (melaksanakan), dan See (mengobservasi & merefleksi) secara berkelanjutan; LS merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tak pernah berakhir (continous improvement).

Buku materi pengenalan Lesson Study memuat beberapa topik yaitu: 1) Profesionalisme guru, 1) Aspek historis Lesson Study, 3) Konsep dan langkah-langkah Lesson Study, 4) Simulasi Lesson Study dalam materi pelajaran IPS. Guru-guru ditugasi belajar mandiri dan diminta menjawab berbagai pertanyaan terkait dengan materi, dan diketahui hasilnya cukup bagus. Selanjutnya Guru-guru membuat perencanaan pembelajaran atau tahap Plan lalu disepakati kegiatan open lesson dengan guru model yang telah mereka pilih. Di lokasi pertama, disepakati oleh guru-guru SDN M 2 untuk melakukan Open Lesson pada hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2015. Di lokasi kedua, disepakati oleh guru-guru SDN M1 untuk melakukan Open Lesson pada hari Sabtu tanggal 17 Oktober 2015. Pada saat Open Lesson, guru model mengajar dan diobservasi oleh peneliti dengan beberapa guru, dilanjutkan dengan diskusi refleksi.

Digunakan pendekatan kualitatif (Cresswell, 2013 & Sugiyono, 2010) peneliti menjadi instrumen utama dengan tehnik pengumpulan data: kajian dokumen, observasi, wawancara, angket terbuka, dan diskusi refleksi (Miles & Huberman, 1992) . Monetoring dilakukan selama kegiatan sosialisasi Lesson Study, baik pada saat persiapan kegiatan belajar secara mandiri dari buku materi, membagikan perlengkapan kegiatan/lembar jawaban angket terbuka. Pengamatan

Page 25: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

166 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Penggunaan Lesson Study untuk Membantu Siswa Belajar dan Mengasah Kemampuan Guru

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPS SD

Siti Malikhah Towaf Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5, Malang

[email protected]

Abstrak: Penyebaran dan pelaksanaan kegiatan Lesson Study (LS) telah semakin ekspansif masuk ke semua jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk ke jenjang sekolah dasar. Ada dua kepentingan yang termuat dalam upaya pengenalan konsep dan pelaksanaan LS pada materi IPS di Sekolah Dasar. Pertama, dengan proses LS diharapkan guru di sekolah dapat mengenali kesulitan belajar siswa. Kedua, dengan LS guru dapat mencari solusi permasalahan belajar siswa, sehingga guru dapat meningkatkan kemampuan mengajar. Digunakan pendekatan kualitatif; peneliti menjadi instrumen utama dengan tehnik pengumpulan data: kajian dokumen, observasi, wawancara, angket terbuka, dan diskusi refleksi. Dilakukan pengenalan LS pada guru, menjaring pemahaman guru tentang LS, memberi kesempatan guru untuk melakukan LS, diobservasi dan dilakukan diskusi refleksi. Dari kajian ini diketahui bahwa guru Sekolah Dasar sebagian sudah memperoleh pengenalan tentang LS, namun masih sebatas informasi dan belum pernah melaksanakan sendiri; dan sebagian besar yang lain sama sekali belum mengenalnya. Setelah pengenalan LS pemahaman guru bagus. Kegiatan kedua adalah Praktek LS bersama beberapa guru dan peneliti. Hasilnya menunjukan bahwa LS telah memperkuat sensitifitas guru terhadap permasalahan belajar siswa dan dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran materi IPS di SD; walaupun dalam penguasaan LS masih sebatas mekanis mengetahui prosedur LS. Guru memahami pentingnya LS untuk membangun kompetensi secara berkelanjutan.

Kata-kata kunci: Lesson Study, siswa belajar, kemampuan guru, pembelajaran materi IPS SD

A. PENDAHULUAN

Berbagai tantangan internal dari dunia pendidikan, maupun eksternal dari perubahan lingku ngan global sudah mulai dirasakan saat ini, dan akan terus semakin menguat dimasa yang akan datang (Dikdasmen, 2013:139). Dunia pendidikan harus responsive, mampu mempersiapkan generasi penerus dan membekali mereka dengan berbagai kompetensi yang diperlukan di masa kini maupun masa depan. Kompetensi-kompetensi yang diperlukan antara lain: berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, menjadi warga negara yang bertanggungjawab, mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan dan kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya.

Guru-guru di semua jenjang pendidikan dituntut untuk terus mengasah diri dan kreatif dalam mengembangkan RPP, menguasai berbagai model pembelajaran kreatif-inovatif dan menyenangkan; dan terus berusaha meningkatkan kualitas pembelajaran yang dikelola. Diperlukan model in-service training yang lebih berfokus pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi masing-masing. Model tersebut adalah Lesson Study/LS yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.

Pada WALS (World Association Of lesson Study) International Conference pada bulan November 2014 di Bandung, diketahui bahwa yang tertarik untuk mengadopsi LS tidak hanya negara-negara berkembang, tetapi juga beberapa negara yang tergolong maju seperti Inggris, Amerika dan Australia. Ada dua alasan mengapa JICA mensuport LS yaitu: 1) keberlangsungan

dan kepemilikan; diharapkan LS bisa terus diterapkan dan dimiliki oleh berbagai fihak yang telah diberi LS oleh JICA dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran yang selanjutnya akan berdampak pada meningkatnya kualitas pendidikan. 2) Pemanfaatan pengalaman yang telah dimiliki Jepang; yaitu pengalaman yang cukup lama dalam melakukan LS dan tentu saja sangat dirasakan manfaatnya.

Dalam perspektif internasional sebuah study dilakukan oleh Akiba & Wilkinson. (2015:74-93) dengan judul adopsi inovasi internasional untuk pengembangan frofesional guru: pendekatan negera bagian dan distrik di Florida. Dikembangkan program penerapan Lesson Study sebagai model pengembangan professional guru di seluruh Negara bagian yang berhasil memperoleh biaya US$700 juta pada tahun 2010. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas distik memberi mandate pada sekolah untuk menerapkan Lesson Study. Struktur organisasi yang ada dan kegiatan rutin untuk pengembangan professional memperoleh tantangan besar dalam membangun kapasitas dari pimpinan ditingkat distrik dan para guru untuk berkutat dengan Lesson Study.

Study kasus yang lain dilakukan oleh Bocala (2015:349-362) yang menganalisis bagaimana pendidik salah satu sekolah di distrik northeastern berpartisipasi dalam pembelajaran berbasis sekolah dengan Lesson Study. Dengan menggunakan perspektif sosiokultural tentang bagaimana guru-guru belajar, dicermati partisipasi pendidik yang masih baru terhadap LS dna dibandingkan dengan yang sudah cukup mengenal dan mempraktekkan LS. Konsisten dengan penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa guru yang baru mengenal LS/Novice focus pada mempelajari rutinitas; sedangankan guru yang sudah berpengalaman dengan LS sudah nyaman dengan rutinitas langkah-langkah LS dan lebih fokus pada bagaimana membangkitkan pikiran siswa. Kemudian dibicarakan tentang bagaimana guru membuat kemajuan dari kurang

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 17

Evaluasi Program Lesson Study MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan Untuk

Peningkatan Kompetensi Guru

Novita Ristianti

SMPN 2 Wonorejo Jl.Masjid Babussalam,Wonosari-Wonorejo, Kabupaten Pasuruan

email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi: (1) relevansi program lesson study dengan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan, (2) latar belakang dan jenis pendidikan guru peserta, 3) proses perencanaan, pelaksanaan dan refleksi kegiatan lesson study, dan (4) kualitas pembelajaran dan keaktifan guru dalam pengembangan diri Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi program dengan menggunakan model evaluasi Context-Input-Proses-Product (CIPP) yang di kembangkan oleh Stufflebeam. Subyek dan lokasi penelitian adalah guru peserta dan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi dan observasi. Data yang sudah terkumpul di analisa dengan menggunakan teknik analisa deskriptif kuantitatif berupa prosentase masing-masing aspek komponen CIPP. Hasil penelitian aspek konteks menunjukkan relevansi program lesson study dengan program MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan sebesar 100% dan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan tidak memiliki buku panduaan pelaksanaan lesson study. Aspek input meliputi kualifikasi guru sebanyak 53 atau 88,3% peserta memiliki kualifikasi pendidikan S1 dan 7 atau 11, 6% peserta memiliki kualifikasi akademik S2. Aspek proses terdiri dari prosentase kegiatan perencanaan sebesar 83,3%, pelaksanaan oleh guru model sebesar 92,18% dan observer sebesar 83,3%, kegiatan refleksi sebesar 100%. Aspek produk diukur dari kualitas pembelajaran 88,28% dan pengembangan diri 100%. Hasil evaluasi program lesson study MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan secara keseluruhan belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang diharapkan, terlihat dari aspek konteks. input, proses maupun produk prosentase pelaksanaan belum mencapai 100%.

Kata Kunci: evaluasi, program, lesson study, kompetensi

A. PENDAHULUAN Beberapa kebijakan tentang kompetensi guru telah

di keluarkan oleh pemerintah seperti yang diatur dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang mengatur tentang standar pendidik, yaitu seorang tenaga profesional yang melakukan perencanaan pembelajaran, hingga mengevaluasi pencapaian perencanaan. Kebijakan pemerintah lainnya terkait dengan standar pendidik yaitu Undang-Undang No.14/2005.

Sehubungan dengan hal tersebut seperti yang diamanatkan dalam Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan KKG dan MGMP, maka diperlukan wadah pembinaan guru yang mandiri dan profesional agar proses peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi guru terprogram serta terlaksana dengan baik. Wadah pembinaan guru yang sudah ada, yaitu Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru SD/MI/SDLB dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk guru SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK.

Untuk mencapai tujuan yang diamantkan dalam Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan KKG dan MGMP Bab VI Pasal 4 (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010:51), maka kegiatan organisasi profesi ini terbagi menjadi kegiatan rutin dan kegiatan pengembangan.

Salah satu kegiatan Pengembangan yang disebutkan dalam Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan KKG dan MGMP adalah Lesson study (suatu pengkajian praktek pembelajaran yang memiliki tiga komponen yaitu plan, do, see yang dalam

pelaksanaannya harus terjadi kolaborasi antara pakar, guru pelaksana, dan guru mitra) serta Professional Learning Community (komunitas belajar professional), (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010:54).

Sejak tahun 2007 Lesson study diperkenalkan di kabupaten Pasuruan dan selama tahun 2007 FMIPA UM bekerjasama dengan LPMP Jawa Timur, beberapa Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten dan MGMP untuk melaksanakan kegiatan pelatihan dan workshop Lesson study di kalangan guru SD sampai dengan SMA. Lesson study sebagai altrnatif model pelatihan guru yang berbasis pada kebutuhan riil guru di sekolah dan dilaksanakan di sekolah tanpa harus meninggalkan sekolah. Lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa. Apabila Lesson study di desain dengan baik akan menghasilkan guru yang professional dan kreatif (Istamar, 2011:21-22).

Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2014, kegiatan Lesson study di MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan membuka 3 kelas yaitu kelas 7, 8 dan 9, dimana masing2 kelompok kelas terdiri dari 10 sd 15 guru peserta MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan yang menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dengan satu guru model dan diakhiri dengan kegiatan refleksi. Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksaan Lesson study ini hanya tiga kali dari 10 kali pertemuan yang tersedia.

Jumlah peserta yang lebih dari 40 sd 60 guru setiap tahunnya dan hanya membuka tiga kelas menjadikan kegiatan Lesson study ini kurang efektif dilihat dari

Page 26: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

18 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

keaktifan seluruh peserta. Hal ini disebabkan hanya sepertiganya saja dari seluruh anggota kelas yang aktif terutama dalam kegiatan perencanaan, pengamatan dan refleksi.

Pada tahun pelajaran 2015-2016 kegiatan Lesson study di MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan dilaksanakan dengan membuka 8 kelas. Peserta berjumlah 60 guru, terbagi menjadi 8 kelompok dan masing-masing kelompok menentukan satu guru model. Dengan dibukanya 8 kelas lesson study kesempatan peserta untuk menjadi guru model lebih besar dan guru akan lebih terbuka untuk berbagi ilmu terkait keterampilan mengajarnya. Selain itu peserta bias lebih fokus untuk mengamati guru model karena pengamat terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil.

Namun berdasarkan pengamatan diketahui bahwa program lesson study yang dilaksanakan di MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan tidak sepenuhnya dilanjutkan di unit kerja masing-masing peserta dan tidak ada tindak lanjut dalam peningkatan karir selanjutnya.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) relevansi program lesson study dengan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan, (2) panduan pelaksanaan lesson study, kualifikasi pendidikan, dan kesiapan guru sebelum pelaksanaan kegiatan lesson study, (3) proses perencanaan, pelaksanaan dan refleksi kegiatan belajar mengajar dengan lesson study, dan (4) kualitas pembelajaran dengan lesson study dan kompetensi guru.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di MGMP IPS SMP

Kabupaten Pasuruan. Data yang dikumpulkan adalah program MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan, latar belakang pendidikan peserta, proses perencanaan, pelaksanaan dan refleksi kegiatan pembelajaran lesson study, dan kualitas pembelajaran lesson study dan kompetensi guru. Metode pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan observasi. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif berupa pemaknaan data masing-masing indikator berupa prosentase.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tujuan pelaksanaan program lesson study di MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan yaitu untuk meningkatkan budaya akademik, kemampuan kolaborasi, kemampuan melakukan evaluasi diri, serta memotivasi guru untuk mengembangkan inovasi pembelajaran. Selain itu, melalui lesson study guru dimungkinkan menghasilkan karya ilmiah dan bahan ajar berbasis penelitian.

Berdasarkan hasil studi dokumentasi Standar Pengembangan KKG/MGMP Direktorat Jenderal peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008, dikaitkan dengan Program MGMP IPS SMP Kabupaten pasuruan menunjukkan bahwa bahwa setiap tahun MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan melaksanakan program rutin diantaranya analisis kurikulum dan program pengembangan diantaranya pelatihan penulisan karya ilmiah, seminar, peer coaching dan lesson study. Hal ini sesuai dengan pengalaman peserta MGMP IPS yang

mengikuti mengikuti kegiatan MGMP IPS sejak tahun 2007 sampai dengan 2015.

Dilihat dari aspek konteks menunjukkan adanya relevansi antara tujuan program lesson study dengan program MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan. Secara garis besar program lesson study dan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, kolaborasi peserta, meningkatkan mutu proses pendidikan dan pembelajaran yang tercermin dari peningkatan hasil belajar peserta didik, serta peningkatan kompetensi guru.

Terkait panduan program lesson study secara tertulis, berdasarkan hasil studi dokumentasi, dan observasi, menunjukkan bahwa tidak terdapat panduan tertulis dalam pelaksanaan program lesson study MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan. Selama ini panduan bersifat lisan dan tidak disusun dalam bentuk format tertulis.

Berdasarkan studi dokumentasi data peserta, evaluasi input personal menunjukkan bahwa dari 60 peserta, 53 atau 88,3% peserta memiliki kualifikasi pendidikan S1 dan 7 atau 11, 6% peserta memiliki kualifikasi akademik S2.

Berdasarkan hasil observasi kegiatan perencanaan lesson studi menunjukkan bahwa semua peserta dalam kelompok melaksanakan 83,3% tahapan perencanaan. Robinson dalam Herawati (2009: 30) merinci tahapan kegiatan perencanaan lesson study, antara lain pemilihan guru model, pemilihan topik atau materi baru, kajian akademik, kajian kurikulum, penyusunan RPP dan pembuatan LK, serta peer teaching.

Peserta dalam kelompok melakukan 5 dari 6 tahapan yang ada pada kegiatan perencanaan. Satu tahapan atau sebesar 16,7% tahapan tidak dilakukan oleh peserta, yaitu tahapan peer teaching, salah satu peserta dalam masing-masing kelompok mengajarkan topik yang ditentukan berdasarkan skenario yang dibuat kepada peserta lain.

Tahap Peer teaching dalam kegiatan perencanaan lesson study merupakan salah satu tahapan penting karena bisa menggambarkan secara keseluruhan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan sehingga apabila terdapat kekurangan atau ketidak sesuaian dengan tujuan yang diharapkan dapat langsung diperbaiki. Namun tahapan ini tidak dilaksanakan oleh masing-masing kelompok.

Hasil observasi dan dokumentasi pelaksanaan kegiatan lesson study oleh guru model menunjukkan bahwa, dari 8 guru model secara keseluruhan melaksanakan 92,18% memenuhi indikator dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran lesson studi. Sedangkan sisanya sebanyak 7,82% belum memenuhi indikator pelaksaaan lesson study.

Empat guru model mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai indikator dengan prosentase 100% dan 4 guru model lainnya hanya mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan prosentase 81% sd 94%.

Hasil observasi pelaksanaan kegiatan lesson study menunjukkan bahwa observer dari masing-masing kelompok melaksanakan 83,3% sesuai dengan indikator kegiatan refleksi, dan 16,7% masih belum sesuai dengan indikator.

Masing-masing observer terlihat masih membantu guru model ketika pelaksanaan pembelajaran, keluar-

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 165

sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya.

Komunitas belajar guru geografi di SMAN I torjun dilakukan sebagai konsep penting dalam pengembangan budaya dan kualitas sekolah. Beberapa kajian menunjukkan bahwa peran, fungsi dan pengaruh komunitas belajar ini dapat membantu profesionalitas guru dalam peningkatan pembelajaran sehingga berpengaruh terhadap prestasi akademis siswa.

Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara bersama dan berkelanjutan untuk memahami siswa dengan baik. Friedkin (2005) menyebutkan bahwa Lesson Study is a process in which teachers jointly plan, observe, analyze, and refine actual classroom lessons called “ research lesson”. Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam kegiatan Lesson Study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru.

Lesson study dipilih sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui kolaborasi dengan sesama guru. Kerjasama tersebut dimulai dari merancang pembelajaran, melaksanakan dan mengamati pembelajaran, serta melakukan diskusi dan refleksi terhadap pelajaran yang dilakukan. Lewis (2008) menyatakan bahwa lesson study dipilih dan diimplementasikan karena beberapa alasan: lesson study yang didesain dengan baik akan menghasilkan guru yang profesional dan inovatif.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa guru geografi di SMAN I Torjun telah berupaya dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan dengan komunitas belajar. Komunitas belajar guru terdapat dalam kegiatan lesson study.

Dari paparan diatas disarankan untuk guru geografi untuk membentuk komunitas belajar melalui lesson study. Jika komunitas belajar guru geogafi diterapkan oleh guru-guru geografi, maka proses berbagi, bekerja sama, saling mengamati dan belajar bersama terlaksana. Dalam kegiatan ini bermanfaat bagi guru khususnya dalam peningkatan kualitas pembelajaran.  

D. DAFTAR RUJUKAN

Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif. Bandung: Mizan Pustaka.

Anggara, Riyan, dkk. 2012. Penerapan Lesson study Berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Terhadap Peningkatan Kompetensi Professional Guru Pkn SMP Se- Kabupaten Ogn Ilir. Jurnal forum sosial, Vol. V, No. 02 September 2012.

Annurrahman. 2008. Belajar dan Pembelajaran Memadukan Teori-Teori Klasik Dan Pandangan-pandangan kontemporer. Alfabeta, Bandung.

Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson study. Lesson study Project. online:

http ://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm. Diakses tanggal 20 November 2015.

Friedkin, Shelley. 2005. What is Lesson study?. http://www.lessonresearch.net/. Diakses tanggal 20 November 2015.

Lewis, Catherine C. 2008. Does Lesson study Have a Future in the United States?. Online: sowi-online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm. Diakses tanggal 20 November 2015.

Mc Celland, D.C. Atkinson, JW. Clark, R. 1967. The Achievement Motive. New York: Appleton Century Croft.

Mulyana, Slamet . 2007. Lesson study. Kuningan: LPMP-Jawa Barat.

Piek & Mahlangu. 2009. Educational Perspectives and Teaching Practice. Halfway House, South Africa. Perskor.

Sumarmi. 2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media Publishing

Winkel, W.S. 1997. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

 

 

 

 

Page 27: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

164 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

sekolah. Permasalahan-permasalahan itu menyebabkan rendahnya kualitas pembelajaran.

SMAN I torjun terdapat Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) tiap mata pelajaran dengan waktu yang berbeda, sehingga tidak mengganggu KBM. Jadwal MGMP geografi pada hari sabtu. Melalui MGMP ini, guru geografi di SMAN I Torjun membentuk komunitas belajar. Guru geografi dapat belajar dari pengalaman pembelajaran sendiri dan guru geografi yang lain selama mengajar. Guru geografi selalu mengevaluasi diri, dan terus menerus berusaha memperbaiki kualitas pembelajaran, serta mencari solusi permasalahan yang dihadapi selama pembelajaran.

Perbaikan-perbaikan yang dilakukan antara lain: model pembelajaran, metode mengajar, penggunaan media, sistem penilaian dan yang lainnya. Perbaikan-perbaikan ini diharapkan terciptanya motivasi yang tinggi terhadap siswa sehingga ada kemajuan dalam hasil belajar siswa. Menurut Annurrahman (2008) sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi. Senada menurut Mc. Celland dkk. (1967) seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih baik hasil belajarnya dibandingkan dengan yang bermotivasi rendah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru geografi di SMAN I Torjun, perbaikan yang dilakukan sendiri oleh guru geografi hasilnya kurang maksimal. Hasil belajar siswa kurang memuaskan dan kurangnya motivasi siswa dalam pelajaran geografi. Hal ini disebabkan karena tidak ada masukan yang baik dari guru yang lain terkait kekurangan dalam pembelajaran. Belajar dari pengalaman sendiri tidaklah cukup. Para guru geografi harus bersedia belajar dari pengalaman guru yang lain, menerima saran, dan masukan untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya.

Kegiatan komunitas belajar guru geografi seperti berbagi, bekerja sama, saling mengamati, mengulas pembelajaran dan belajar bersama, adalah salah satu kegiatan lesson study. Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang lesson study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.

Komunitas belajar merupakan suatu konsep terciptanya masyarakat belajar di sekolah, yakni proses belajar membelajarkan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahkan antara masyarakat sekolah dengan masyarakat di luar sekolah, agar prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan. Tujuan dari komunitas belajar adalah mendobrak pandangan yang selama ini berlangsung yakni bahwa tugas guru adalah mengajar dan tugas siswa adalah belajar, yang diganti dengan tugas guru adalah belajar agar dapat mengajar lebih baik.

Komunitas belajar di SMAN I Torjun dapat dilakukan khususnya para guru. Hal ini dikarenakan guru-guru dapat dukungan penuh dari kepala sekolah, menyatukan tekad untuk dapat berbagi, bekerjasama, belajar bersama, serta saling mengamati dan mengulas pembelajaran dari guru geografi lain. Selain itu, adanya partisipasi antar guru dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan proses dan prestasi peserta didik.

Membangun komunitas belajar guru geografi di SMAN 1 Torjun melalui lesson study sangat penting. Dalam komunitas belajar geografi terjadi interaksi antar guru yang membahas terkait permasalahan dalam pembelajaran. Para guru geografi berdiskusi antara lain tentang: 1) materi pokok yang dianggap sulit dipahami siswa atau pada materi pokok yang seringkali guru mengalami kesulitan untuk menjelaskannya kepada siswa, 2) merancang media pembelajaran yang interaktif, 3) merancang pembelajaran yang inovatif, 4) cara-cara membangkitkan motivasi siswa, 5) mempelajari model dan metode pembelajaran, agar siswa semangat belajar maka guru menentukan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakter siswa.

Masalah-masalah yang terdaftar tersebut kemudian diseleksi dan diurutkan berdasarkan skala prioritas dalam mengatasinya, kemudian secara bersama-sama dicarikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan langkah permulaan yang demikian menjadikan setiap anggota tim akan belajar dari masalah-masalah pembelajaran yang sebenarnya, sehingga menghasilkan pembelajaran yang lebih baik.

Dari hasil observasi peneliti diperoleh data, hasil nyata dari komunitas belajar guru geografi SMAN I Torjun melalui lesson study antara lain: 1) membuat media pembelajaran 3 dimensi seperti bentuk-bentuk gunung, patahan, lipatan, susunan tata surya, bentuk bumi, dan yang lainnya. Dalam pembelajaran geografi guru harus memberikan contoh dalam bentuk gambar dan model. Piek dan Mahlangu (2009) menyatakan bahwa contoh adalah bagian dari jalan dimana manusia memahami realitas yang mengelilingi dia dan seluruh orang dunia. 2) merancang RPP sesuai dengan karakter siswa, sehingga dalam pembelajaran semua siswa terlibat. 3) pembelajaran dengan memanfatkan sumber belajar di sekolah seperti hutan sekolah, green house, rumah sampah, perpustakaan, wifi, dll. Guru geografi mengutamakan pembelajaran konstektual. Menurut Sumarmi (2012) pembelajaran geografi sulit dibahas hanya secara teoritis di kelas tetapi menghubungkan dengan kondisi lingkungan.

Dalam lesson study sejumlah guru bersama-sama akan belajar dari, tentang, dan untuk pembelajaran. lesson study merupakan model pembinaan profesi secara kolaboratif untuk membangun komunitas belajar guru. Semua peserta lesson study tidak ada perbedaan status, yang ada hanya teman sejawat yang saling belajar, saling bertukar ide dan pengalaman untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu dalam lesson study harus ada dorongan dan kesadaran untuk belajar dan terbuka.

Menurut guru geografi di SMAN I Torjun, komunitas belajar geografi yang terbentuk sangat membantu dalam penyelesaian permasalahan proses pembelajarannya. Guru-guru merasa tidak ada kesulitan lagi karena ada forum untuk berbagi pengalamannya dalam pembelajaran.

Bill Cerbin dan Bryan Kopp mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu : 1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar, 2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar peserta Lesson Study, 3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif, 4) membangun

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 19

masuk kelas, membantu siswa ketika pembelajaran dan berbicara diantara observer.

Hasil studi dokumentasi dan observasi pelaksanaan kegiatan refleksi menunjukkan secara keseluruhan atau 100% tahapan dalam pelaksanaan refeksi sudah dilalui oleh masing-masing kelompok. Robinson dalam Herawati (2009: 30) merinci tahapan dalam kegiatan refleksi diantaranya: menunjuk seorang moderator, notulis, moderator memimpin jalannya refleksi, mempersilahkan guru model untuk menyampaikan refleksinya dan menyimpulkan hasil refleksi.

Hasil observasi kualitas pembelajaran diukur dari perilaku pembelajaran atau kinerja guru terkait aspek evaluasi produk menunjukkan bahwa secara keseluruhan guru model mampu menumbuhkan perilaku pembelajaran atau kinerja sebesar 88,28% dan 11,78% belum menunjukkan perilaku atau kinerja yang diharapkan.

Hasil pengamatan dan angket guru tentang pengembangan diri terkait evalusi aspek produk menunjukkan bahwa secara keseluruhan peserta sudah melakukan pengembangan diri dengan mengikuti kegiatan diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru.

Berdasarkan Permenegpan no. 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, kegiatan pengembangan diri terdiri dari dua jenis, yaitu diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru. Kegiatan pengembangan diri ini dimaksudkan agar guru mampu mencapai dan/atau meningkatkan kompetensi profesi guru yang mencakup: kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Diklat fungsional termasuk diantaranya adalah kegiatan guru dalam mengikuti pendidikan atau latihan yang bertujuan untuk mencapai standar kompetensi profesi yang ditetapkan dan/atau meningkatkan keprofesian untuk memiliki kompetensi di atas standar kompetensi profesi dalam kurun waktu tertentu

Beberapa kegiatan kolektif yang dapat dilakukan diantaranya mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau kegiatan bersama yang bertujuan untuk mencapai standar atau di atas standar kompetensi profesi yang telah ditetapkan. Kegiatan kolektif guru mencakup: kegiatan lokakarya atau kegiatan kelompok guru, pembahas atau peserta pada seminar, koloqium, diskusi pannel atau bentuk pertemuan ilmiah yang lain, kegiatan kolektif lain yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru. D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN

Hasil penelitian terkait aspek evaluasi konteks menunjukkan bahwa terdapat relevansi antara program lesson study dengan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan.

Evaluasi aspek input menunjukkan 100% peserta memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diampu dan 88,3% peserta memiliki kualifikasi pendidikan S1 dan 7 atau 11, 6% peserta memiliki kualifikasi akademik S2 sesuai dengan standar kualifikasi akademik dalam Permendiknas no16 tahun 2007. Sedangkan aspek input terkait panduan

program lesson study, menunjukkan tidak terdapat panduan tertulis dalam pelaksanaan program lesson study MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan. Panduan bersifat lisan dan tidak disusun dalam bentuk format tertulis.

Evaluasi aspek proses terkait tahap perencanaan lesson study, peserta dalam kelompok melaksanakan 83,3% kegiatan perencanaan. Satu kegiatan atau sebesar 16,7% tidak dilakukan oleh peserta, yaitu tahapan peer teaching. Tahap pelaksanaan lesson study, secara keseluruhan, delapan guru model melaksanakan 92,18% kegiatan pelaksanaan pembelajaran lesson studi. Sedangkan sisanya sebanyak 7,82% kegiatanbelum terpenuhi. Tahap refelksi lesson study, observer masing-masing kelompok melaksanakan 83,3% kegiatan kegiatan refleksi, dan 16,7% masih belum dilaksanakan.

Evaluasi aspek produk kualitas pembelajaran yang diukur melalui perilaku atau kinerja guru menunjukkan bahwa secara keseluruhan guru model mampu menumbuhkan perilaku pembelajaran atau kinerja sebesar 88,28% dan 11,78% belum menunjukkan perilaku atau kinerja yang diharapkan. Sedangkan produk pengembangan diri secara keseluruhan peserta sudah melaksanakan pengembangan diri dengan mengikuti kegiatan diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru.

REKOMENDASI

Mengacu pada hasil penelitian evaluasi program lesson study MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan, ada beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:

1. Program lesson study disusun dan dikembangkan melalui proses perencanaan yang baik dan matang dalam program kerja tahunan MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan.

2. Membuat buku panduan pelaksanaan lesson study di MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan.

3. Tahap-tahap kegiatan lesson study mengacu pada buku panduan pelaksanaan lesson study.

4. Fasilitasi kebutuhan guru dalam penulisan artikel berbasis lesson study.

5. Penyelenggaraan seminar publikasi ilmiah peserta MGMP IPS SMP Kabupaten Pasuruan.

E. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arikunto, S. 2010. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta

Depdiknas. 2004. Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.

Ibrohim , dan Syamsuri I. 2008. Lesson study (Studi Pembelajaran) Model Pembinaan Pendidik secara kolaboratif dan berkelanjutan; Dipetik dari Program SISTEM JICA. Malang, FPMIPAUM Press Stufflebeam, David L and Shinkfield, Anthony J. (1986) Systematic Evaluation USA: Kluwer-Nijhoff Publishing

Page 28: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

20 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Reigeluth, M Charles. 1983. Instructional Design Theories and Models, An Overview of their Current Status New jersey: London.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Prosedur OperasionalStandar Penyelenggaraan KKG dan MGMP.

Suharsimi Arikunto, 2008. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Suherman, Erman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA

Sumar, Hendayana. 2006. Lesson study Suatu Strategi Untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidikan Bandung: UPI Press

Susilo Herawati dkk. 2009 Lesson study Berbasis Sekolah, Malang: Bayu Media

Syamsuri I dan Ibrohim. 2011. Lesson study. Malang: UM Press

Tayibnapis, Farida Yusuf. 2000. Evaluasi Program Jakarta: PT. Rineka Cipta

Wirawan. 2011. Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Contoh Aplikasi Evaluasi Program: Pengembangan Sumber Daya Manusia,Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, Kurikulum, Perpustakaan, dan Buku Teks). Jakarta : RajawalimPers

Alkin dalam Wirawan (2011: 7)

Jurnal Anita,Krisnawati. 2010. Evaluasi Kegiatan Lesson

study dalam Program SISTTEMS untuk Peningkatan Profesionalisme Guru.

http://eprints.uny.ac.id/id.eprint/4533. Cerbin, W dan Kopp, B. 2006. Lesson study as a Model

for Building Pedagogical Knowledge and Improving Teaching.International Jurnal of Teaching and Learning in Higher Education. (online). Tersedia http://www.Isetl.org/ijtlhe.

Guili Zhang, dkk., “Using the Context, Input, Process, and Product Evaluation Model (CIPP) as a Comprehensive Framework to Guide the Planning, Implementation, and Assessment of Service learning Programs”, Journal of Higher Education Outreach and Engagement ( Vol. 15 No. 4/2011)

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 163

Membangun Komunitas Belajar Guru Geografi SMAN I Torjun melalui Lesson Study untuk

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran

Risnani SMAN I Torjun, Sampang, Madura

[email protected]

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran geografi di SMAN I Torjun. Metode yang digunakan adalah observasi langsung dan wawancara dengan guru pengajar geografi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa guru geografi telah berupaya dalam peningkatan kualitas pembelajaran dengan komunitas belajar. Komunitas belajar guru terdapat dalam kegiatan lesson study. Lesson study merupakan kegiatan kolaboratif yang dilakukan oleh sekelompok guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran

Kata kunci: Komunitas Belajar, Kualitas Pembelajaran, Lesson Study

A. PENDAHULUAN

Dalam dunia pendidikan selalu terdapat permasalahan-permasahan. Salah satu permasalahan yang harus dipecahkan dalam dunia pendidikan adalah kualitas pembelajaran. Peningkatan mutu pendidikan tidak hanya dengan memperbaiki kurikulum, menambah buku pelajaran, dan menyediakan laboratorium sekolah. Salah satu mutu pendidikan yang harus diperbaiki adalah kemampuan guru, kesiapan guru dalam pembelajaran.

Guru adalah orang pertama dan utama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai pelaku utama dalam pembelajaran, maka didikan dan bimbingan yang diberikan guru kepada peserta didik menjadi penentu dalam mengantarkan kesuksesan. Guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat, sebagai pendidik yang profesional dengan utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal (Anggara, dkk. 2012).

Pertama yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran adalah kesiapan dan keprofesionalisme guru dalam mengajar. Guru menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Yudha (2009) melukiskan karakter guru dalam pembelajaran yang menyenangkan disingkat “Forchildren”, yaitu Fleksibel, Optimis, Respek, Cekatan, Humoris, Disiplin, Responsif, Empatik, dan Nge-Friend.

Kecakapan guru dalam mengetengahkan materi yang dapat menggugah motivasi dan semangat siswa untuk belajar adalah suatu prestasi yang menunjukkan keprofesionalisme guru. Sebaik apapun model atau metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam membawakan materi pembelajaran akan kurang bermakna jika siswa tidak menyenangi. Menurut Winkel (1997) menyatakan bahwa jika peserta didik merasa senang akan bergairah dan bersemangat, sebaliknya peserta didik yang merasa tidak senang akan tidak bergairah dalam belajar dan mengalami kesulitan.

Guru geografi SMAN I Torjun Sampang dihadapkan pada suatu permasalahan yaitu kekurangan pengetahuan, keterampilan, dan keterbatasan informasi. Hal ini menyebabkan kualitas pembelajaran geografi kurang maksimal. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru geografi SMAN I Torjun, guru geografi jarang

dikirim pada pelatihan-pelatihan dalam peningkatan mutu pembelajaran oleh dinas pendidikan Sampang. Pengiriman pelatihan-pelatihan ini lebih difokuskan kepada sekolah-sekolah swasta di Sampang.

Guru geografi masih kurang kreatif dalam mendesain pembelajaran variatif yang mengarahkan siswa aktif dalam belajar. Fakta di lapangan guru geografi hanya menggunakan metode atau media seadanya tanpa memperhatikan karakteristik peserta didik. Pembelajaran seperti ini membuat siswa tidak semangat dalam belajar karena pembelajaran yang monoton.

Dari permasalahan yang ada peneliti melakukan pendekatan dengan para guru geografi untuk mengetahui permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran geografi. Peneliti juga mencari informasi solusi apa yang dilakukan oleh para guru geografi dalam peningkatan kualitas pembelajaran.

A. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di SMAN I Torjun, Sampang dengan subjek penelitian para guru geografi. Metode yang dilakukan adalah observasi dan wawacara dengan para guru geografi. Pelaksanaan observasi ini meliputi pengamatan dan wawancara kepada guru geografi mengenai komunitas belajar geografi. Setiap responden diwawancara berdasarkan kuesioner yang telah disiapkan. Instrumen yang digunakan adalah a) lembar observasi kegiatan komunitas belajar, b) lembar pedoman wawancara. Bahan pertanyaan meliputi biodata diri, permasalahan yang dihadapi selama pembelajaran, dan kegiatan dalam komunitas belajar.

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini diawali dengan observasi yang dilakukan oleh peneliti di SMAN I Torjun pada bulan Juni 2016. Observasi awal untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran geografi. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru geografi didapatkan data bahwa: 1) kurang paham terhadap beberapa model atau metode pembelajaran, 2) kesulitan dalam mengelola kelas dengan berbagai karakter siswa yang berbeda, 3) jarang dikirim pelatihan dalam peningkatan mutu pendidikan, 4) kurang kreatif dalam memanfaatkan sumber belajar yang ada di

Page 29: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

162 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Rafiuddin, 2013. Urgensi Penggunaan Media Pembelajaran bagi Guru Sekolah Dasar Wilayah II Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Makassar.

RI, Kemendikbud. 2014. Buku Guru Tematik Terpadu Kurikulum 2013 Tema 4 Berbagai Pekerjaan. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

RI, Kemendikbud. 2014. Buku Siswa Tematik Terpadu Kurikulum 2013 Tema 4 Berbagai Pekerjaan. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sadiman. d.k.k. 2009. Media Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Suhardjono, d.k.k. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 21

Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournaments

(TGT) Berbantuan LKS Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Akuntansi Koperasi dan

UMKM

A.A.Istri Dewi Adhi Utami

Universitas Pendidikan Ganesha

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS dalam meningkatkan hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM, (2) Untuk mengetahui penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS dalam Mata Kuliah Akuntansi Koperasi dan UMKM untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa DIII Akuntansi FE Undiksha, (3) Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam mata kuliah akuntansi Koperasi dan UMKM dengan model pembelajaran kooperatif tipe Times Games Tournaments (TGT) dengan berbantuan LKS. Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan sebanyak dua siklus, dimana peneliti sebagai guru dalam pelaksanaan pembelajaran. Setiap siklus terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan penelitian, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa DIII Akuntansi FE Undiksha dengan jumlah mahasiswa 35 orang. Data hasil belajar dan hasil belajar dianalisis secara deskriptif kuantitatif kemudian dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Hasil peneliti menunjukkan bahwa: (1) terjadi peningkatan hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM mahasiswa DIII Akuntansi FE Undiksha. Pada siklus I diperoleh rata-rata hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM sebesar 66,97%. Sedangkan pada siklus II rata-rata hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM mahasiswa sebesar 77,22%. (2) untuk hasil belajar mahasiswa terhadap implementasi model pembelajaran kooperatif tipe Times Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS pada siklus I diperoleh skor rata-rata sebesar 68,56%, sedangkan pada siklus II diperoleh rata-rata sebesar 84,89% dengan kategori positif.

Kata-kata Kunci: Model Pembelajaran Teams Games Tournaments (TGT), Hasil Belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM dan Hasil belajar mahasiswa.

 

A. PENDAHULUAN Mata Kuliah Akuntansi Koperasi dan UMKM merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Dalam Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM mempunyai peran yang sangat penting dalam pembelajaran di jurusan DIII Akuntansi FE Undiksha. Mata Kuliah Akuntansi Koperasi dan UMKM diharapkan akan mampu membentuk mahasiswa yang kreatif, cerdas, mandiri, dan menguasai bidang keahlian akuntansi.

Kedua, dilihat dari komponen mahasiswa, Berdasarkan data hasil evaluasi mahasiswa di lapangan menunjukkan bahwa perolehan rata-rata nilai Akuntansi Koperasi dan UMKM mahasiswa khususnya kelas III C hanya 57 dan 63 sehingga belum mencapai ketuntasan. Sedangkan Kriteria Ketuntasan) pada Mata Kuliah Akuntansi Koperasi dan UMKM adalah 71. Maka sesuai dengan data hasil observasi menunjukkan bahwa total skor hasil belajar mahasiswa pada Ulangan Tengah Semester (UTS) pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015 sebesar 2709 dengan rata-rata hasil belajar 57 dan 63. Jadi rentang hasil belajar mahasiswa yang belum memenuhi kriteria 85% dan mahasiswa yang tuntas belajarnya hanya berjumlah 15%, sehingga dapat dikatakan tergolong sangat kurang. Dari hasil observasi hasil belajar dalam keseharian mahasiswa di dalam kelas masih sangat kurang dalam toleransi atau tenggang rasa, kerjasama atau gotong royong, dan

tanggung jawab. Jadi mahasiswa yang dianggap memiliki hasil belajar di dalam kelas sekitar 18% sedangkan sisanya 82% masih sangat kurang dalam menerapkan hasil belajar di dalam kelas yang meliputi toleransi atau tenggang rasa, kerjasama atau gotong royong, dan tanggung jawab.

Setelah peneliti melakukan identifikasi terhadap permasalahan belajar mahasiswa, peneliti memperoleh informasi bahwa ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai faktor kelemahan dalam proses pembelajaran yang dilakukan diantaranya yaitu Model pembelajaran konvensional yang kurang melibatkan mahasiswa terkesan ada dominasi guru dalam pengembangan materi sehingga dinilai tidak produktif, perkembangan dan kebutuhan belajar secara mandiri dari mahasiswa. Hal ini disebabkan karena dalam proses belajar mengajar, guru masih menekankan metode ceramah dan masih banyaknya mahasiswa yang hanya berusaha menghafal apa yang telah diberikan oleh guru selama terjadinya proses pembelajaran di kelas, sehingga yang terjadi hanyalah proses mengulang apa yang disampaikan oleh guru bukan proses berfikir lagi atau mengkaji apa yang disampaikan oleh guru. Kurangnya inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru secara langsung berpengaruh terhadap pada hasil belajar mahasiswa dalam proses pembelajaran di kelas, karena guru hanya menekankan pada kemajuan kemampuan individu yang dinilai dapat menguasai konsep dengan baik semata, tanpa adanya upaya untuk mencapai hasil pembelajaran secara bersama. Dapat dipantau dan kurangnya pendampingan terhadap

Page 30: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

22 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

mahasiswa yang berada dalam kategori kurang dalam pemahaman konsep dan pengembangan diri.

Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM adalah mengkaji koperasi dan sektor UMKM. Sehingga dari sana Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM perlu dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model – model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuannya.

Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif. Kooperatif berasal dari bahasa inggris yaitu “Cooperative” mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif terjadi pencapaian tujuan secara bersama-sama yang sifatnya merata dan menguntungkan setiap anggota kelompoknya. Pengertian secara sederhana kooperatif berarti bersifat kerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kooperatif muncul dari konsep manusia adalah makhluk individual, berbeda satu sama lainnya.

Menurut Sharan (2012:561) Pembelajaran Kooperatif adalah pendekatan yang berpusat kelompok dan berpusat pada mahasiswa untuk pengajaran dan pembelajaran dikelas. Sedangkan menurut Savage menyatakan bahwa kooperatif learning adalah suatu pendekatan yang menekankan kerjasama dalam kelompok.

Kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan dengan cara membagi peserta didik dalam beberapa kelompok atau tim, setiap kelompok atau tim terdiri dari beberapa peserta didik yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dan didiskusikan oleh masing-masing kelompok atau tim.

Model Pembelajaran Teams Games Tournaments (TGT) Menurut Rusman (2011:224), dalam Teams Games Tournaments (TGT) mahasiswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Kadang-kadang juga dapat diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok (identitas kelompok mereka). Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) dapat berfungsi untuk memotivasi mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran Akuntansi Koperasi dan UMKM karena tugas dikerjakan bersama dengan anggota kelompoknya dengan mengadakan game bola tangan yang membuat suasana kelas menjadi hidup dan mahasiswa mulai aktif dalam bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru maupun mahasiswa, apabila ada dari anggota kelompok yang lain bertanggung jawab untuk memberikan jawaban atau penjelasannya sebelum mengajukan pertannyaan tersebut kepada guru. Hal tersebut menunjukkan kesiapan mahasiswa dalam belajar dan memahami pembelajaran yang diberikan guru.

Disini peneliti juga menggunakan berbantuan LKS dalam menerapkan model pembelajar kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT), Menurut Trianto (2012:222) Lembar Kerja Mahasiswa adalah panduan mahasiswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah. Lembar kerja mahasiswa dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif maupun panduan untuk

latiahan pengembangan aspek pembelajaran dalam bentuk panduan eksperimen atau demontrasi. Lembar Kerja Mahasiswa memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh mahasiswa untuk memaksimalkan pemahaman dalam upaya pembentukan dasar sesuai indikator pencapaian hasil belajar yang harus ditempuh.

LKS merupakan sebuah panduan atau pedoman mahasiswa untuk digunakan dalam proses pembelajaran berlangsung. LKS juga salah satu alat atau bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran berlangsung. Lembar kerja mahasiswa dapat berupa panduan latihan dalam pengembangan aspek kognitif pembelajaran dalam bentuk panduan eksperimen atau demontrasi. Proses pembelajaran dalam Akuntansi Koperasi dan UMKM, guru Akuntansi Koperasi dan UMKM di DIII Akuntansi menggunakan sumber belajar berupa buku penunjang Akuntansi Koperasi dan UMKM untuk kelas VIII yang diberikan oleh pihak sekolah, namun buku pedoman saja tidak cukup untuk menunjang proses belajar. Sehingga peneliti membuat sumber belajar berupa LKS, sebagai alternatif atau solusi yang tepat untuk menunjang proses pembelajaran, karena selain menghemat waktu, LKS juga dapat mengukur sejauh mana pengetahuan mahasiswa terhadap pembelajaran yang sudah diterangkan oleh guru. Sehingga mahasiswa tidak hanya menghafal saja tetapi mereka akan dapat mengingat dalam jangka panjang.

Berdasarkan uraian diatas hal ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS untuk meningkatkan hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM ?, Bagaimanakah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS dalam Mata Kuliah Akuntansi Koperasi dan UMKM untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa DIII Akuntansi FE Undiksha ?, dan Apakah terdapat kendala-kendala yang dihadapi dalam pelajaran Akuntansi Koperasi dan UMKM dengan model pembelajaran kooperatif tipe Times Games Tournaments (TGT) dengan berbantuan LKS ? sehingga tujuan yang dicapai dari peneliti ini antara lain: Untuk mengetahui penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS untuk meningkatkan hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM, Untuk mengetahui penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS dalam Mata Kuliah Akuntansi Koperasi dan UMKM untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa DIII Akuntansi FE Undiksha, dan Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran Akuntansi Koperasi dan UMKM dengan model pembelajaran kooperatif tipe Times Games Tournaments (TGT) dengan berbantuan LKS.

Hasil peneliti ini sangat bermanfaat teoritis yaitu Dapat menemukan strategi atau pengetahuan baru bagi peneliti tentang peningkatan hasil belajar melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Times Games Toutnaments (TGT) dengan berbantuan LKS dalam Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM. Kedua yaitu manfaat praktis adalah Mahasiswa yang terlibat daslam penelitian akan memperoleh pengalaman

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 161

yaitu 97,5% atau hampir 100% atau 39 orang yang memperoleh nilai ≥ 71.

Indikator Keberhasilan Penelitian yang peneliti tetapkan dalam penelitian ini telah tercapai. Dalam hal ini minimal 80% peserta didik telah memperoleh nilai ≥ 71 dengan kategori predikat B+, maka penelitian ini dihentikan pada Siklus II karena telah dianggap berhasil. Ini berarti hipotesis penelitian telah tercapai yaitu “Jika media Audio-Visual (Film Projector) dimanfaatkan dalam pembelajaran subtema 2 barang dan jasa, maka hasil belajar peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar akan meningkat”.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) pada subtema 2 barang dan jasa di kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan hasil belajar peserta didik.

F. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah, paparan data dan pembahasan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) dalam meningkatkan hasil belajar subtema 2 barang dan jasa peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar, dilaksanakan melalui 3 tahapan pembelajaran yakni: 1) kegiatan awal pembelajaran, kegiatan yang dilakukan: a) mengemukakan tujuan pembelajaran, b) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran, c) menyiapkan dan mengatur posisi media Audio-Visual yang akan digunakan dalam pembelajaran, d) mengatur dan menata posisi tempat duduk peserta didik sehingga memungkinkan peserta didik dapat mengamati dan mendengarkan materi/film dengan jelas; 2) Kegiatan inti pembelajaran, kegiatan yang dilakukan, a) Guru memperlihatkan kepada peserta didik materi pelajaran berdasarkan gambar; b) Guru menampilkan Film yang berisi materi pelajaran subtema 2 barang dan jasa melalui Komputer dan LCD sebagai media proyeksi film pada layar serta Speaker (Sound System) sebagai alat pelempar suara (audio) berisi penjelasan materi dalam Film; c) Peserta didik mengamati materi yang ditampilkan oleh media Audio-Visual (Film Projector) secara individu maupun kelompok; d) Guru mengamati jalannya proses pembelajaran; e) Guru dan peserta didik bertanya jawab tentang materi yang ditampilkan dalam Film; f) Peserta didik secara bergantian mengemukakan isi materi dalam film; g) Guru mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilakukan; 3) Kegiatan akhir pembelajaran, kegiatan yang dilakukan yakni a) merefleksi dan mengevaluasi proses pembelajaran yang dilakukan, dan b) menyimpulkan dan memotivasi peserta didik.

Pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) dalam pembelajaran subtema 2 barang dan jasa dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar. Hal ini dapat dilihat adanya peningkatan persentase hasil belajar dari setiap siklus. Pada Siklus I peningkatan hasil belajar subtema 2 barang dan jasa peserta didik belum begitu memuaskan yaitu 62,5% peserta didik yang memperoleh predikat B+ tetapi telah menunjukkan adanya peningkatan hasil

belajar dibandingkan dengan data awal yang diperoleh peneliti dari guru kelas. Pada Siklus II juga nampak adanya peningkatan hasil belajar subtema 2 barang dan jasa peserta didik kelas yaitu 97,5% peserta didik memperoleh predikat B+ dan hanya 2,5% yang belum mencapai predikat B+ tetapi penelitian dihentikan karena sudah berhasil yaitu 80% dari jumlah peserta didik sudah berhasil memperoleh predikat B+.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh dalam penelitian ini, diajukan beberapa saran yang perlu dipertimbangkan: 1) Bagi guru dan praktisi pendidikan lainnya, hendaknya dengan adanya PTK yang berjudul “Penerapan Media Audio-Visual (Film Projector) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Subtema 2 Barang dan Jasa peserta didik kelas IVA SD Inpres hartaco Indah Makassar”, peneliti mengharapkan agar dapat mengaplikasikannya dalam pembelajaran di kelas sebagai salah satu alternatif untuk menciptakan suasana pembelajaran yang inovatif, menyenangkan, serta sesuai kebutuhan peserta didik berdasarkan tuntutan kurikulum 2013. 2) Perkembangan IPTEK yang semakin pesat saat ini mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan utamanya dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia agar tidak tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain maka guru maupun praktisi pendidikan lainnya perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian termasuk dalam pemanfaatan media dan sumber-sumber belajar utamanya dalam pemanfaatan media elektronika dalam pembelajaran. 3) Bagi pembaca, melalui PTK ini dapat memberikan gambaran tentang Potret pendidikan di Indonesia saat ini yang senantiasa melakukan perbaikan di semua aspek demi tercapainya pendidikan Indonesia yang lebih baik. 4) Bagi calon peneliti berikutnya hendaknya dalam melaksanakan penelitian tentang pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector), mencoba pada materi-materi yang lain agar lebih memberikan gambaran kepada masyarakat tentang kelebihan dari penggunaan media Audio-Visual (Film Projector) dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik. 5) Bagi pemegang kebijakan hendaknya bertindak sebagai fasilitator dalam memberikan stimulus kepada guru dan praktisi pendidikan lainnya agar lebih akrab dengan berbagai media pembelajaran khususnya media elektronika dalam rangka perbaikan kualitas manusia Indonesia utamanya para tenaga pengajar.

G. DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Amir. 2007. Media Pembelajaran. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Adri, Muhammad. 2008. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengembangan Media Pembelajaran. http://muhammadadri.wordpress. com.

Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Asnawir dan Usman, M. Basyiruddin. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers.

http://forum.upi.edu/index.php/topic,15693.msg49766.html#msg49766 diakses tanggal 23 Oktober 2015.

Page 31: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

160 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

E. PEMBAHASAN

Dalam proses pembelajaran Siklus I, tindakan

dilaksanakan di dalam ruang belajar kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar. Sebelum memulai pembelajaran peneliti terlebih dahulu menyiapkan media Audio-Visual yang akan digunakan. Dalam pembelajaran peneliti menjelaskan terlebih dahulu materi pelajaran yang terdapat pada gambar, setelah itu barulah diputarkan film yang berkaitan dengan materi tersebut. Diakhir pembelajaran Siklus I, peserta didik diberikan beberapa butir soal oleh peneliti sesuai dengan indikator dan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran mengenai materi pelajaran yang terdapat pada subtema 2 barang dan jasa. Pembelajaran Siklus I ini pada umumnya berjalan lancar, namun pada kegiatan ini masih terdapat berbagai macam kekurangan-kekurangan. Dimana kekurangan-kekurangan tersebut ada yang berasal dari guru/peneliti dan ada juga yang berasal dari peserta didik. Kekurangan dari aspek guru diantaranya pada awal pembelajaran guru tidak menyampaikan tujuan pembelajaran, peneliti kurang memberikan motivasi kepada peserta didik, dan pemilihan ruangan belajar dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) yang kurang tepat sehingga terjadi gangguan pembelajaran dari luar kelas.

Sedangkan kekurangan dari aspek peserta didik yaitu pada saat proses pembelajaran berlangsung peserta didik kurang fokus diakibatkan adanya gangguan dari luar kelas, masih banyak peserta didik yang ragu untuk mengungkapkan pendapatnya dan menanyakan hal-hal yang masih kurang dipahami sehingga peneliti kesulitan dalam mengetahui dimana letak kelemahan peserta didik dalam pembelajaran.

Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi yang dilaksanakan diakhir tindakan Siklus I, terlihat adanya peningkatan hasil belajar subtema 2 barang dan jasa yaitu 62,5% atau 25 orang peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 71 dengan predikat B+ dibandingkan dengan data awal yang diperoleh peneliti dari guru kelas yaitu 42,5% atau 17 orang peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 71 dengan predikat B+. Melihat kekurangan-kekurangan yang masih ada serta pencapaian hasil belajar subtema 2 barang dan jasa pada Siklus I belum memenuhi standar Indikator Keberhasilan Penelitian yang ditetapkan peneliti yaitu 80% peserta didik harus memperoleh nilai ≥ 71, maka penelitian diulangi pada Siklus II.

Pada Siklus II, pembelajaran subtema 2 barang dan jasa dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) dengan materi pembelajaran tematik kembali dilaksanakan. Tetapi pelaksanaan tindakan pada Siklus II ini tidak lagi dilaksanakan di ruang belajar kelas IVA melainkan di ruang perpustakaan yang memiliki ukuran ruangan yang lebih kecil dibanding dengan ruang belajar kelas IVA. Sebelum memulai pembelajaran seperti biasa peneliti terlebih dahulu menyiapkan media Audio-Visual yang akan digunakan. Dalam pembelajaran peneliti menjelaskan terlebih dahulu materi pelajaran yang terdapat pada gambar, setelah itu barulah diputarkan film yang berkaitan dengan materi tersebut. Diakhir pembelajaran Siklus II, peserta didik kembali diberikan beberapa butir soal oleh peneliti sesuai dengan indikator dan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan dalam

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pada subtema 2 barng dan jasa. Pembelajaran Siklus II ini pada umumnya semua kekurangan dan kelemahan-kelemahan pada Siklus I telah berusaha diperbaiki, namun pada kegiatan ini masih juga terdapat berbagai macam kekurangan-kekurangan berdasarkan hasil pengamatan guru pamong/teman sejawat. Kekurangan-kekurangan tersebut ada yang berasal dari guru/peneliti dan ada juga yang berasal dari peserta didik.

Kekurangan dari aspek guru/peneliti diantaranya guru masih kurang dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik. Sedangkan dari aspek peserta didik masih ada beberapa peserta didik yang masih malu-malu dalam menyampaikan pendapat dan bertanya tentang materi yang belum dipahami.

Berdasarkan hasil observasi pada tindakan Siklus II, kegiatan peneliti dan peserta didik meningkat, dimana kekurangan-kekurangan yang terjadi pada Siklus I sudah dapat diperbaiki pada Siklus II. Peneliti sudah mampu menggunakan waktu secara efisien sehingga semua kegiatan yang telah direncanakan dapat dilaksanakan. Peserta didik sudah lebih memperhatikan penjelasan peneliti maupun materi yang ditampilkan dalam film dan sudah berani mengungkapkan pendapat dan menanyakan hal-hal yang masih kurang dipahami sehubungan dengan materi.

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilaksanakan diakhir tindakan Siklus II, terlihat adanya peningkatan hasil belajar subtema 2 barang dan jasa yaitu 97,5% atau 39 orang peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 71 dengan kategori predikat B+ dibandingkan dengan hasil belajar subtema 2 barang dan jasa yang diperoleh pada Siklus I yaitu 62,5% atau 25 orang peserta didik saja yang memperoleh nilai ≥ 71 dengan kategori predikat B+ dan hanya 2,5% atau 1 orang saja yang belum mencapai predikat B+ tetapi hasil belajarnya juga sudah meningkat yaitu predikat B. Karena telah mencapai target Indikator Keberhasilan Penelitian yang ditentukan oleh peneliti yaitu ≥ 80% memperoleh nilai ≥ 71. Atau berrpredikat B+ maka penelitian tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya

Kesimpulan dari data pra penelitian serta data yang telah diperoleh dari hasil evaluasi Siklus I, dan II, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

No

Kesimpulan Peserta Didik

Keterangan

Peserta Didik

Keterangan

1 Data Awal 17 atau 42,5%

Tuntas 23 atau 57,5%

Belum tuntas

2 Siklus I 25 atau 62,5%

Tuntas 15 atau 37,5%

Belum tuntas

3 Siklus II 39 atau 97,5%

Tuntas 1 atau 2,5%

Belum tuntas

Dari tabel diatas diperoleh kesimpulan tentang hasil belajar subtema 2 barang dan jasa peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) menunjukkan bahwa data awal hasil belajar subtema 2 barang dan jasa peserta didik 42,5% atau 17 orang yang memperoleh nilai ≥ 71, hal ini mengalami peningkatan pada Siklus I yang memperoleh nilai ≥ 71 yaitu 62,5% atau 25 orang peserta didik. Selanjutnya pada Siklus II peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 71 meningkat

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 23

langsung dalam pembelajaran kooperatif tipe Times Games Tounaments (TGT) dengan berbantuan LKS.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas, berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) dengan berbantuan LKS dalam Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM. Penelitian bertempat di DIII Akuntansi khususnya di kelas III C. Objek dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS, hasil belajar, meningkatkan hasil belajar mahasiswa, kendala, solusi dan respon terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT). Subjek penelitian ini adalah mahasiswa kelas III C DII Akuntansi yang terdiri dari 35 mahasiswa, dengan jumlah mahasiswa putri 12 orang dan jumlah mahasiswa putra 23 orang. Peneliti ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan diantaranya yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi, dan refleksi.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode tes untuk hasil belajar dan lembar observasi atau kuisioner untuk hasil belajar mahasiswa. Adapun indicator yang digunakan dalam hasil belajar adalah toleransi (saling menghargai, menahan diri, dan menerima perbedaan), kerja sama (saling membantu, peduli terhadap sesama, dan rela berkorban), dan tanggung jawab (kesadaran dan kewajiban dan patuh pada aturan).

Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencari rata – rata hasil belajar dari nilai tes akhir siklus sebagai berikut: x 100% skor rata – rata hasil belajar, = jumlah skor hasil belajar mahasiswa, dan n = jumlah mahasiswa. Sedangkan pada skor rata-rata hasil belajar dihitung dengan jumlah skor dibagi dengan jumlah mahasiswa. C. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Siklus I

Hasil Belajar Mahasiswa

Aspek yang dinilai dalam hasil belajar adalah hasil tes. Hasil belajar merupakan salah satu indicator yang dijadikan ukuran tingkat pemahaman mahasiswa terhadap materi pelajaran. Setelah melakukan tes akhir siklus I, dapat diketahui jumlah skor tes hasil belajar 2344 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 35 orang sehingga skor rata – rata hasil belajar adalah sebagai berikut: x 100% = x 100% = 66,97% dan ketuntasan belajar secara individu sebanyak 14 orang, ketuntasan klasikal x100% adalah x 100% = 40%. Dari pernyataan di atas dapat dilihat rata – rata hasil belajar mahasiswa sebesar 66,97% dengan daya serap 66,97% dari ketuntasan belajar mencapai 40% berada dalam kualifikasi cukup baik.

Hasil Belajar Mahasiswa

Jumlah skor Pada pertemuan pertama jumlah skor hasil belajar mahasiswa 2292 dengan rata – rata 65,48 dengan kategori cukup, sesuai dengan kategori penggolongan hasil belajar mahasiswa. Kemudian pada pertemuan kedua siklus pertama, jumlah skor hasil belajar 2508 dengan rata – rata 73,71 dengan kategori positif.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti, adapun kendala – kendala yang ditemukan di dalam penerapan model TGT yaitu Mahasiswa belum bisa berkomunikasi secara aktif dengan guru maupun mahasiswa disaat merespon jawaban maupun mengsjuksn pertanyaan. Untuk mensiasati hal tersebut bisa dilakukan dengan mengupayakan agar mahasiswa terbiasa mengemukakan maupun menjawab pertanyaan baik dari guru maupun temannya. Karena inti sari dari belajar secara kooperatif adalah belajar yang menitik beratkan pada keaktifan para mahasiswanya, Pada saat proses pembelajaran berlangsung, waktu yang tersedia sebanyak 90 menit ternyata masih kurang dengan penerapan TGT ini. Untuk mensiasati hal tersebut bisa dilakukan dengan meminimalisasi terjadinya pembuangan waktu, dengan menyesuaikan tindakan dengan perencanaan. Dan Mahasiswa kurang menyiapkan diri untuk menguasai materi yang diajarkan, sehingga pada saat diskusi dan permainan akademik banyak mahasiswa yang kurang bisa menjawab pertanyaan. Untuk mensiasati hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan pengertian dan pemahaman pentingnya pembelajaran yang berlangsung dan membuat proses pembelajaran menjadi menyenangkan.

Siklus II

Hasil Belajar Mahasiswa

Pada siklus II, rata – rata untuk tes akhir siklus mengalami peningkatan dengan nilai rata – rata sebesar 77,22% dengan daya serap 77,22% dan ketuntasan belajar mencapai 88,57% yaitu berada dalam kualifikasi baik. Pada tes akhir siklus II ini, nilai tertinggi diperoleh sebesar 90 dan terendah 65. Dengan peningkatan nilai yang cukup pesat diperoleh dari tes yang diadakan diakhir siklus II ini, dapat menunjukkan bahwa mahasiswa kelas III C DIII Akuntasi merasa senang mengikuti pelajaran dengan penerapan strategi pembelajaran kooperatif tipe Tames Games Tournaments (TGT), mahasiswa merasa termotivasi dalam memecahkan masalah – masalah yang diberikan oleh guru, begitu juga dalam berdiskusi mereka sudah mampu dan memiliki rasa toleransi, kerja sama dan tanggung jawab dengan anggota kelompoknya masing – masing tanpa memilih – milih kemampuan teman dan saling menghargai pendapat atau masukkan dari teman lainnya. Selain itu pada siklus II ini, mahasiswa menjadi lebih tertarik karena merasa dihargai dengan pemberian penghargaan kepada mahasiswa yang mau aktif dalam proses pembelajaran.

Page 32: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

24 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Hasil Belajar Mahasiswa

Pada pertemuan I siklus II, jumlah skor hasil belajar 2993 dengan rata – rata 84,28% dengan kategori positif, sedangkan pada pertemuan kedua siklus II, jumlah skor hasil belajar 2993 dengan rata – rata 85,51% dengan kategori positif. Sehingga dalam dua kali pertemuan dalam satu siklus hasil belajar mahasiswa dapat dipertahankan dalam kategori positif. Hal ini dikarenakan mahasiswa sudah mulai mengenal dan mengerti mengenai pembelajaran TGT sehingga mahasiswa tidak mengalami kesulitan lagi dan menunjukkan bahwa mereka menyenangi dan merasa termotivasi dalam menemukan jawaban atas permasalahan yang diberikan oleh peneliti.

Pada pelaksanaan proses pembelajaran di siklus II tidak hanya mengatasi kendala – kendala yang muncul tetapi juga mempertahankan keunggulan – keunggulan dari proses pembelajaran yang telah berlangsung. Kemajuan yang terjadi pada siklus II bisa dilihat dari nilai rata – rata mahasiswa maupun ketuntasan secara klasikal sudah tercapai dengan baik.

Pembahasan

Dalam penelitian ini yang menjadi objek adalah hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM mahasiswa kelas III C DIII Akuntansi Tahun Ajaran 2014/2015 semester II. Sesuai dengan tujuan penelitian untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa dan juga hasil belajar, sudah dapt tercapai dengan baik yang ditunjukkan dengan peningkatan proses belajar maupun outputnya adalah hasil belajar dari siklus I sampai siklus II.

Temuan peneliti ini menunjukkan bahwa teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli sesuai dengan kajian teori yang dilakukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat membantu proses asimilasi pengetahuan mahasiswa sesuai dengan teori perkembangan kognitif Jean Peaget, asimilasi merupakan proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru atau kedalam skema atau pola yang sudah di dalam pemikiran seseorang tersebut (Suparno, 2001) karena dalam pembelajaran kooperatif ditekankan adalah interaksi sosial dalam kelompok kecil dan mengintegrasikan pemikiran mereka untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Berdasarkan hasil belajar dan juga pengamatan peneliti, mahasiswa sudah mampu sedikit demi sedikit mengintegrasikan pemikirannya, hal ini Nampak pada saat presentasi laporan hasil diskusi, pada siklus II walaupun mahasiswa ditunjuk secara acak untuk mempresentasikan hasil laporan kelompoknnya, mereka mulai mampu mengaitkan antar konsep sederhana dan mengelaborasikan pemikirannya.

Cambel (2009:48) menyatakan bahwa “sosial attitude are characterized by consistency in response to sosial objects”. Artinya bahwa hasil belajar itu disifatkan dengan konsistensi dalam respon terhadap objek objek sosial. Dari indikasi tersebut artinya bahwa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) yang mengutamakan kebersamaan/ kolektif dalam mencapai tujuan pembelajaran secara konsisten sehingga hasil belajar

mahasiswa dapat terjaga secara konsisten pula, yang indikatornya adlah hasil belajar mahasiswa terhadap berada pada kategori positif di siklus II.

Kemajuan yang terjadi pada siklus II bisa dilihat dari hasil belajar mahasiswa baik rata – rata maupun ketuntasan secara klasikal sudah tercapai dengan baik dan hasil belajar dalam proses pembelajaran sudah sudah mengalami peningkatan. Pembahasan pada bagian ini adalah hasil belajar siklus I dan siklus II, hasil belajar siklus I dan siklus II, dan kendala-kendala yang dihadapi selama proses pembelajaran akan diuraikan sebagai berikut.

Evaluasi Hasil Belajar

Penerapan stategi pembelajaran kooperatif tipe TGT dimaksudkan untuk menuntaskan suatu materi secara individu maupun kelompok agar dapat membangun motivasi dan kreativitas mahasiswa dalam bentuk ide, gagasan prakarsa dan terobosan baru dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran. Selain itu juga dapat melatih kemampuan mahasiswa dalam hasil belajarnya di dalam kelompoknya.

Rata – rata hasil belajar mahasiswa pada siklus I yaitu sebesar 66,97% daya serap 66,97%, ketuntasan belajar mencapai 40%. Dan jumlah mahasiswa yang tuntas sebanyak 14 orang berada dalam kualifikasi cukup baik. Dari data hasil belajar yang diperoleh pada siklus I yang belum tuntas, maka ada upaya – upaya memperoleh hasil yang lebih baik yaitu antara lain: mengupayakan agar mahasiswa terbiasa mengemukakan maupun menjawab pertanyaan baik dari guru maupun temannya. Karena inti sari dari belajar secara kooperatif adalah belajar yang menitik beratkan pada keaktifan para mahasiswanya, meminimalisasi terjadinya pembuangan waktu, dengan menyesuaikan tindakan dengan perencanaan, dan memberikan pengertian dan pemahaman pentingnya pembelajaran yang berlangsung dan membuat proses pembelajaran menjadi menyenangkan.

Berdasarkan perbaikan yang dilakukan pada siklus II, maka diperoleh rata – rata hasil belajar mahasiswa pada siklus I yaitu sebesar 77,22% daya serap 77,22% ketuntasan belajar mencapai 88,57% dan jumlah mahasiswa yang tuntas sebanyak 31 orang berada dalam kualifikasi baik, secara keseluruhan ketuntasan, individual dan klasikal dalam siklus II sudah tercapai.

Evaluasi Hasil Belajar Mahasiswa

Dalam penerapan stategi pembelajaran tipe TGT ini, mahasiswa akan berusaha mencari jawaban sendiri atas pertanyaan – pertanyaan atau permasalahan permasalahan yang diberikan oleh guru maupun temannya. Sehingga mahasiswa dapat menemukan sendiri isi dan makna dari materi pada pelajaran Akuntansi Koperasi dan UMKM adalah (1) toleransi, (2) kerja sama, dan (3) Bertanggung jawab.

Berdasarkan hasil penelitian ataupun observasi yang telah peneliti lakukan pada siklus I dan siklus II dapat diketahui tingkat hasil belajar mahasiswa yang sudah mengalami perubahan. Semakin banyak mahasiswa yang berperan aktif mengikuti proses pembelajaran, mahasiswa sudah tidak merasa malu ataupun takut dalam mengemukakan pendapat dan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 159

pembelajaran pada Siklus II, dapat dilihat pada tabel berikut :

Rentang Nilai Konversi

Nilai Predikat

Frekuensi (f)

Persentase

(%) 3,66 <skor ≤ 4,00 91-100 A 11 27,5 3,33 <skor ≤ 3,66 81-90 A - 16 40,0 3,00 <skor ≤ 3,33 71-80 B + 12 30,0 2,66<skor ≤ 3,00 61-70 B 1 02,5 2,33 <skor ≤ 2,66 51-60 B - 0 0 2,00 <skor ≤ 2,33 41-50 C + 0 0 1,66 <skor ≤ 2,00 31-40 C 0 0 1,33 <skor ≤ 1,66 21-30 C - 0 0 1,00 <skor ≤ 1,33 11-20 D + 0 0 0,00 <skor ≤ 1,00 0-10 D 0 0

∑f 40

100 %

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa, yang memperoleh predikat ≥ B+ sebanyak 39 orang atau 97,5% dengan kategori 11 orang atau 27,5% berpredikat A, 16 orang atau 40% berpredikat A-, serta 12 orang atau 30 % berpredikat B+, dan dinyatakan tuntas.

Sedangkan B- ≥ B hanya 1 orang atau 2,5 % dan dinyatakan belum tuntas sedangkan D ≥ B- tidak ada. c. Observasi

Pada pelaksanaan tindakan pada Siklus II secara umum hasil observasi dan evaluasi terjadi peningkatan dibandingkan dengan Siklus I. Hal ini terlihat pada hasil observasi peneliti dan peserta didik.

Hasil observasi terhadap peneliti menunjukkan bahwa: 1) Peneliti sudah menjelaskan tujuan pembelajaran dan memotivasi peserta didik. 2) Peneliti sudah memilih ruangan yang tepat untuk melaksanakan pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) dalam pembelajaran. 3) Peneliti telah melakukan pengaturan posisi tempat duduk peserta didik sehingga mereka dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. 4) Peneliti sudah berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan agar peserta didik tertarik untuk memperhatikan penjelasan peneliti. 5) Peneliti sudah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengungkapkan pendapat dan menanyakan hal-hal yang masih kurang dipahami selama pembelajaran. 6) Peneliti sudah menggunakan alat peraga penunjang pembelajaran seperti gambar-gambar yang berkaitan dengan materi pelajaran. 7) Peneliti sudah maksimal dalam membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar dan mengerjakan tugas yang diberikan.

Hasil observasi terhadap peserta didik menunjukkan : 1) Peserta didik sudah memperhatikan penjelasan peneliti dengan baik saat proses pembelajaran berlangsung. 2) Peserta didik sudah fokus dan bersemangat dalam belajar karena tidak lagi terganggu oleh gangguan dari luar kelas. 3) Berkat motivasi yang diberikan guru dan suasana pembelajaran yang menyenangkan membuat peserta didik lebih semangat lagi dalam belajar. 4) Semua peserta didik sudah berani mengungkapkan pendapat dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas yang ada kaitannya dengan materi yang dipelajari. 5) Melalui bimbingan guru sebagian besar peserta didik sudah mampu mengerjakan tugas dengan baik.

d. Refleksi Menurut pengamatan teman sejawat/guru pamong,

peneliti pada saat memulai pelajaran telah menyampaikan tujuan pembelajaran sehingga peserta didik lebih terarah dalam belajar, telah memotivasi peserta didik untuk lebih semangat dalam belajar, dan juga telah berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang bebas dari gangguan peserta didik dari luar kelas serta telah berusaha melakukan penataan kelas dengan baik. Peneliti telah berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik dalam belajar dan menggunakan alat peraga yang menunjang jalannya pembelajaran.

Demikian pula dari aspek peserta didik, semua peserta didik telah fokus dalam menyimak isi film tersebut, semua peserta didik telah berani mengungkapkan pendapat dan bertanya serta menjawab tes hasil belajar dengan baik.

Adapun kegagalan dan keberhasilan dari Siklus II ini adalah : 1) Penyajian pada tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir dalam pembelajaran tematik dengan menggunakan media Audio-Visual (Film Projector) berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. 2) Peserta didik merasa senang belajar dengan menggunakan media Audio-Visual (Film Projector), karena peserta didik dapat melihat dan mendengarkan secara langsung materinya. 3) Penggunaan media Audio-Visual (Film Projector) sebagai media dalam pembelajaran sangat menarik perhatian dan minat peserta didik dalam belajar, selain itu penggunaan media tersebut juga memudahkan peserta didik memahami materi dengan cepat. 4) Peneliti telah menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik dalam belajar. 5) Peneliti telah menggunakan alat peraga penunjang dalam pembelajaran. 6) Hasil tes untuk mengetahui peningkatan hasil belajar pada tema berbagai pekerjaan telah mencapai target yang peneliti tentukan. 7) Setelah dilakukan diskusi, seluruh peserta didik beranggapan bahwa mereka sangat senang dan tertarik mengikuti pelajaran yang diberikan guru dengan menggunakan media Audio-Visual (Film Projector).

Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pelaksanaan tindakan Siklus II ini sudah lebih baik dari Siklus I. Hasil observasi dan evaluasi pada pelaksanaan tindakan siklus II ini menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan karena proses pembelajaran telah berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan, dan hasil belajar peserta didik juga mengalami peningkatan dan telah mencapai target Indikator Keberhasilan Penelitian yang peneliti tetapkan merujuk pada pendapat Nurkancana (Heriani, 2008:36) yakni 80% peserta didik harus memperoleh nilai ≥ 71 yang jika dikonversi berdasarkan pedoman penilaian kurikulum 2013 yaitu predikat B+. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan tindakan Siklus II yang telah mencapai peningkatan dari 25 orang atau 62,5% peserta didik yang memperoleh predikat B+ atau ≥ 71 pada Siklus I menjadi 39 orang atau 97,5% peserta didik yang memperoleh predikat B+ atau ≥ 71 pada Siklus II, walaupun masih ada 1 orang atau 2,5% yang belum mencapai predikat B+ tetapi sudah lebih dari 80% peserta didik yang kategori tuntas maka penelitian tidak dilanjutkan lagi ke siklus berikutnya karena telah berhasil.

Page 33: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

158 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

menggunakan media Audio-Visual (Film Projector) berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. Namun pada saat tahap persiapan, dan tahap akhir/tindak lanjut pembelajaran masih terdapat kekurangan-kekurangan, olehnya itu pada tahap persiapan dan tahap akhir pembelajaran perlu ditingkatkan. 2) Peserta didik merasa senang belajar dengan menggunakan media Audio-Visual (Film Projector), karena peserta didik dapat melihat dan mendengarkan secara langsung materi. 3) Penggunaan media Audio-Visual (Film Projector) sebagai media dalam pembelajaran sangat menarik perhatian dan minat peserta didik dalam belajar, selain itu penggunaan media tersebut juga memudahkan peserta didik cepat memahami materi dalam film tersebut. 4) Pada saat peserta didik diminta untuk menyimak materi yang disajikan didepan kelas, peserta didik mengalami kesulitan karena awalnya materi yang ditampilkan oleh media Audio-Visual (Film Projector), ditampilkan terlalu tinggi sehingga peserta didik agak terlalu menengok keatas. Namun berkat bimbingan dan antissubtema 2 barang dan jasasi yang dilakukan guru hal tersebut dapat diatasi, sehingga peserta didik dapat menyimak dengan baik. 5) Hasil tes hasil belajar untuk mengetahui peningkatan hasil belajar tema berbagai pekerjaan sub tema 2 barang dan jasa belum mencapai target ketuntasan belajar rata-rata predikat B+ atau setara dengan 80% dari jumlah peserta didik yang mencapai nilai minimum acuan yang ditetapkan. 6) Setelah dilakukan diskusi, seluruh peserta didik beranggapan bahwa mereka sangat senang dan tertarik mengikuti pelajaran yang diberikan guru dengan menggunakan media Audio-Visual (Film Projector).

Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pada Siklus I belum mencapai target Indikator Keberhasilan Penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti merujuk pada pendapat Nurkancana (Heriani, 2008:36) yakni 80% peserta didik harus memperoleh nilai ≥ 71. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan tindakan Siklus I yang belum mencapai dari target harapan yaitu 25 orang peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 71 atau 62,5%, maka penelitian diulangi pada Siklus II.

3. Data Siklus II a. Perencanaan

Berdasarkan hasil observasi, evaluasi, dan refleksi pelaksanaan tindakan Siklus I belum mencapai target Indikator Keberhasilan Penelitian, sehingga peneliti bersama guru dan teman sejawat secara berkolaborasi merencanakan tindakan pada Siklus II. Kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang ada pada Siklus I akan diperbaiki pada Siklus II, begitupun keberhasilan-keberhasilan pada Siklus I akan dipertahankan dan ditingkatkan di Siklus II.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam rangka memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kekurangan dalam Siklus I yaitu : 1) Memberikan motivasi kepada seluruh peserta didik agar mereka lebih aktif dan semangat dalam belajar. 2) Mengoptimalkan pengaturan posisi tempat duduk peserta didik sehingga semua peserta didik dapat memperhatikan materi yang ditampilkan melalui media Audio-Visual (Film Projector) dengan baik dan dapat mendengarkan dengan baik penjelasan guru. 3) Mempersiapkan alat peraga penunjang dalam pembelajaran berupa gambar-gambar

yang berhubungan dengan materi pelajaran tematik. 4) Peneliti harus berusaha untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan agar peserta didik lebih tertarik lagi dalam belajar. 5) Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya, dan menanyakan semua hal-hal yang belum dipahami selama pembelajaran berlangsung. 6) Peneliti harus lebih membangkitkan keberanian dan minat peserta didik dalam mengungkapkan pendapatnya dan menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti sehubungan dengan materi pelajaran. 7) Lebih intensif lagi membimbing peserta didik yang masih mengalami kesulitan dalam belajar dan mengerjakan tes yang diberikan. 8) Menitik beratkan penjelasan pada materi yang masih kurang dipahami peserta didik pada Siklus I. 9) Peneliti harus tegas menegur peserta didik yang kurang memperhatikan pelajaran agar diakhir pembelajaran peserta didik dapat mengerjakan tes dan menjawab soal dengan baik. b. Pelaksanaan Tindakan

Pelaksanaan tindakan Siklus II dilaksanakan pada hari Kamis-Sabtu tanggal 5-7 Nopember 2015. Adapun kegiatan guru dalam melaksanakan tindakan pembelajaran tematik dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan awal pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector), yaitu : memberi salam, melakukan persiapan kegiatan belajar mengajar, melakukan pengelolaan kelas, mendata kehadiran peserta didik serta berdoa bersama, tedarus Al-qur’an, menyampaikan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi peserta didik agar semangat dan serius dalam belajar, menata posisi media Audio-Visual yang digunakan agar semua peserta didik dapat mengamati dengan jelas, mengatur dan menata posisi tempat duduk peserta didik agar memungkinkan peserta didik dapat mengamati dengan jelas apa yang ditampilkan. 2)Kegiatan inti pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector), yaitu : a) Guru memperlihatkan kepada peserta didik gambar serta menjelaskannya; b) Guru menampilkan Film yang berisi materi pelajaran melalui Komputer dan LCD sebagai media proyeksi film pada layar serta Speaker (Sound System) sebagai alat pelempar suara (audio) berisi penjelasan materi dalam Film; c) Peserta didik mengamati materi yang ditampilkan oleh media Audio-Visual (Film Projector) secara individu maupun kelompok; d) Guru mengamati jalannya proses pembelajaran; e) Guru dan peserta didik bertanya jawab tentang materi yang ditampilkan dalam Film; f) Guru mejelaskan kembali materi yang masih kurang dipahami oleh peserta didik, g) Peserta didik secara bergantian mengemukakan isi materi dalam film; h) Guru mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilakukan. 3) Kegiatan akhir pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector), yaitu menyimpulkan hasil pembelajaran dan menutup pelajaran.

Setelah diadakan proses pembelajaran pada Siklus II, untuk mengetahui sejauh mana peningkatan hasil belajar peserta didik diberikan tes diakhir pembelajaran. Soal yang diberikan pada Siklus II ini terdiri dari 15 butir soal. Adapun data kemampuan peserta didik dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti diakhir

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 25

menanggapi permasalahan yang telah diberikan, dan semua mahasiswa juga dapat bekerja sama dengan kelompoknya dengan kompak tanpa membeda-bedakan atau memilih-milih teman dari segi kemampuan, agama, ras, jenis kelamin dll.

Dalam memperoleh rata – rata hasil belajar mahasiswa pada siklus I dan siklus II diperoleh dengan cara menjumlahkan skor hasil belajar seluruh mahasiswa dibagi jumlah mahasiswa.

Hasil belajar mahasiswa dalam Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM dapat dilihat terjadinya peningkatan dalam Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM pada siklus I dan siklus II, hal tersebut berdasarkan lembar kuisioner yang digunakan untuk mengamati pada proses pembelajaran atau saat diskusi berlangsung. Pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh sebesar (68,56%) dan pada siklus II juga mengalami peningkatan yang signifikan menjadi (84,89%). Hal ini berarti hasil belajar mahasiswa sudah mengalami peningkatan khususnya pelajaran Akuntansi Koperasi dan UMKM. Secara keseluruhan hasil belajar mahasiswa juga sudah mengalami perubahan yang sangat berarti khususnya dalam Perkuliahan Akuntansi Koperasi dan UMKM.

Kendala – Kendala Yang Dihadapi

Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I dan II yang telah dilaksanakan oleh peneliti, adapun kendala – kendala yang ditemukan di dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT yaitu: (1) Mahasiswa belum bisa berkomunikasi secara aktif dengan guru maupun mahasiswa disaat merespon jawaban maupun mengsjuksn pertanyaan. Untuk mensiasati hal tersebut bisa dilakukan dengan mengupayakan agar mahasiswa terbiasa mengemukakan maupun menjawab pertanyaan baik dari guru maupun temannya. Karena inti sari dari belajar secara kooperatif adalah belajar yang menitik beratkan pada keaktifan para mahasiswanya, (2) Pada saat proses pembelajaran berlangsung, waktu yang tersedia sebanyak 90 menit ternyata masih kurang dengan penerapan TGT ini. Untuk mensiasati hal tersebut bisa dilakukan dengan meminimalisasi terjadinya pembuangan waktu, dengan menyesuaikan tindakan dengan perencanaan, dan (3) Mahasiswa kurang menyiapkan diri untuk menguasai materi yang diajarkan, sehingga pada saat diskusi dan permainan akademik banyak mahasiswa yang kurang bisa menjawab pertanyaan. Untuk mensiasati hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan pengertian dan pemahaman pentingnya pembelajaran yang berlangsung dan membuat proses pembelajaran menjadi menyenangkan. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa merasa bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT sangat asing sehingga mahasiswa belum secara optimal memahami penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut:

Sesuai dengan hasil penelitian tindakan kelas dalam Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS untuk meningkatkan hasil belajar Akuntansi Koperasi dan UMKM dan hasil belajar dan sesuai dengan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: Penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT) berbantuan LKS dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa kelas III C DIII Akuntansi tahun ajaran 2914/2015. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata, daya serap, dan ketuntasan klasikal. Pada siklus I diperoleh rata-rata hasil belajar mahasiswa sebesar 66,97% meningkat menjadi 77,22% pada siklus II, daya serap 66,97% meningkat menjadi 77,22% pada siklus II dan ketuntasan klasikal 40% meningkat menjadi 88,57% pada siklus II. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa hasil belajar mahasiswa sudah memenuhi criteria keberhasilan dengan kategori baik.

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT) % dan padapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Sebagai indicator dapat dilihat dari data hasil belajar mahasiswa dimana pada siklus I, pertemuan pertama rata-rata hasil belajar 65,48 dan pada pertemuan kedua rata-rata hasil belajar mahasiswa 84,28 dan pada pertemuan kedua rata-ratanya menjadi 85,51. Berpijak dari hasil rata-rata hasil belajar pada pertemuan kedua siklus II, dapat dikatakan hasil belajar mahasiswa berada dalam kategori positif begitupun dalam dua kali siklus rata-rata hasil belajar mahasiswa berada dalam kategori positif.

Kendala-kendala/ hambatan yang dihadapi peneliti dalam penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT) sesuai dengan apa yang sudah dijabarkan dalam tahap refleksi siklus I, secara umum dapat dikatakan mahasiswa masih belum terbiasa dengan pembelajaran Kooperatif yang lebih menekankan pada prinsip inquiri, karena pembelajaran yang mereka alami sebelumnya menggunakan metode ceramah. Kendala-kendala yang dihadapi diatasi dengan melaksanakan sosialisasi model pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT), melakukan pendekatan personal kepada mahasiswa, dan memberikan reinforcement positif untuk meningkatkan motivasi dan keaktifan mahasiswa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan melihat secara langsung proses dari awal sampai akhir, maka ada beberapa saran yang ditawarkan sebagai acuan untuk melakukan penelitian tindakan kelas yaitu sebagai berikut: (1) Model pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT) dapat dijadikan pedoman oleh guru-guru yang mengalami masalah sejenis dalam mengembangkan inovasi pembelajaran di kelas dalam rangka menciptakan perkembangan proses pembelajaran yang berkesinambungan, (2) Perlu adanya penelitian lanjutan bagi guru disekolah bersangkutan dalam penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Temas Games Tournaments (TGT), sehingga efektivitas penelitian ini dapat diterapkan dalam mata pelajaran yang lain, dan (3) Penelitian ini merupakan penelitian yang dilaksanakan yang dilaksanakan di kelas III C DIII Akuntansi, sehingga hasil penelitian kemungkinan akan menunjukkan hasil yang berbeda jika diterapkan disekolah dan kelas lainnya. Oleh karenanya disarankan

Page 34: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

26 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

kepada guru atau peneliti lain untuk melakukan penelitian sejenis dikelas dan sekolah yang berbeda.  

E. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud, 1994. Panduan Moral Pancasila dan

Kewarganegaraan. Jakarta: Depdikbud Kansil, 1997. Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga. Mudjijo. 1995. Test Hasil Belajar. Jakarta: Bumi Aksara Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran

Mengembangkan Profesionalisme guru. Jakarta: PT. Rajawali Pers.

Sharan, Sholomo. 2012. Handbook Cooperatif Learning. Yogyakarta Familia

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta. Pt. Renika Cipta

Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Mahasiswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Angensindo.

Trianto. 2011. Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan & Profesi Pendidikan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

   

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 157

pembelajaran pada Siklus I sebelum dilaksanakan tindakan. b. Pelaksanaan Tindakan

Pelaksanaan tindakan Siklus I dilaksanakan pada hari Senin – Rabu tanggal 2 – 4 Nopember 2015. Adapun kegiatan guru dalam melaksanakan tindakan pembelajaran tematik pada subtema barang dan jasa dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan awal pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector), yaitu : memberi salam, melakukan persiapan kegiatan belajar mengajar, melakukan pengelolaan kelas, mendata kehadiran peserta didik serta berdoa bersama, tadarus Al-qur’an, menyampaikan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, menata posisi media Audio-Visual yang digunakan agar semua peserta didik dapat mengamati dengan jelas, mengatur dan menata posisi tempat duduk peserta didik agar memungkinkan peserta didik dapat mengamati dengan jelas apa yang ditampilkan. 2) Kegiatan inti pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector), yaitu : a) Guru memperlihatkan kepada peserta didik gambar berbagai jenis-jenis pekerjaan b) Guru menampilkan Film yang berisi materi pekerjaan yang menggunakan alat tradisional dan alat modern melalui Komputer dan LCD sebagai media proyeksi film pada layar serta Speaker (Sound System) sebagai alat pelempar suara (audio) berisi penjelasan materi dalam Film; c) Peserta didik mengamati materi yang ditampilkan oleh media Audio-Visual (Film Projector) secara individu maupun kelompok; d) Guru mengamati jalannya proses pembelajaran; e) Guru dan peserta didik bertanya jawab tentang materi yang ditampilkan dalam Film; f) Peserta didik secara bergantian mengemukakan isi materi dalam film; g) Guru mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilakukan. 3) Kegiatan akhir pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector), yaitu menyimpulkan hasil pembelajaran dan menutup pelajaran.

Setelah diadakan proses pembelajaran pada Siklus I, untuk mengetahui sejauh mana peningkatan hasil belajar peserta didik diberikan tes diakhir pembelajaran. Soal yang diberikan pada Siklus I ini terdiri dari 16 butir soal. Adapun data kemampuan peserta didik dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti diakhir pembelajaran pada Siklus I, dapat dilihat pada tabel berikut :

Rentang Nilai Konversi

Nilai Predik

at

Frekuensi

(f)

Persentase

(%) 3,66 <skor ≤ 4,00 91-100 A 2 05,0 3,33 <skor ≤ 3,66 81-90 A - 9 22,5 3,00 <skor ≤ 3,33 71-80 B + 14 35,0 2,66<skor ≤ 3,00 61-70 B 12 30,0 2,33 <skor ≤ 2,66 51-60 B - 3 07,5 2,00 <skor ≤ 2,33 41-50 C + 0 0 1,66 <skor ≤ 2,00 31-40 C 0 0 1,33 <skor ≤ 1,66 21-30 C - 0 0 1,00 <skor ≤ 1,33 11-20 D + 0 0 0,00 <skor ≤ 1,00 0-10 D 0 0

∑f 40

100 %

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa, yang memperoleh predikat ≥ B+ sebanyak 25 orang atau 62,5 % dengan kategori 2 orang atau 5 % berpredikat A, 9 orang atau 22,5 % berpredikat A-, serta 14 orang atau 35 % berpredikat B+, dan dinyatakan tuntas.

Sedangkan B- ≥ B sebanyak 15 orang atau 37,5 % dengan kategori 12 orang atau 30 % berpredikat B, 3 orang atau 7,5 % berpredikat B-, dan dinyatakan belum tuntas sedangkan D ≥ C+ tidak ada. c. Observasi

Hal-hal yang diobservasi pada pelaksanaan tindakan Siklus I adalah melihat apakah pelaksanaan pembelajaran tematik dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) ini sudah sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang telah dibuat, apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran, serta melihat aktifitas guru dan peserta didik dalam pembelajaran.

Adapun hasil observasi terhadap peserta didik menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1) Peserta didik telah menyimak film yang ditampilkan namun kondisi ruang yang sangat luas dan adanya gangguan dari peserta didik lain dari luar kelas membuat peserta didik belum bisa fokus dalam belajar; 2) Beberapa peserta didik tidak mencatat hal-hal penting dari film yang ditampilkan; 3) Beberapa peserta didik masih malu-malu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya; 4) Belum semua peserta didik mampu menjawab tes hasil belajar dengan baik yang diberikan peneliti diakhir pembelajaran.

Sedangkan hasil observasi terhadap peneliti yang diamati oleh teman sejawat sebagai observer menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1) Peneliti tidak menyampaikan tujuan pembelajaran; 2) Pemberian motivasi belajar terhadap peserta didik masih kurang sehingga ada sebagian peserta didik tidak memperhatikan penjelasan peneliti tentang materi pelajaran;. 3) Penataan ruangan yang dilakukan peneliti masih kurang seimbang antara jumlah peserta didik yang banyak dengan ruangan kelas yang sempit; 4) Peneliti masih kurang dalam membangkitkan keberanian peserta didik untuk bertanya dan mengungkapkan pendapat. 5) Guru kurang mampu menguasai kelas diakibatkan adanya gangguan dari luar kelas. 6) Peneliti masih kurang dalam membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar. d. Refleksi

Menurut pengamatan teman sejawat/guru pamong, peneliti pada saat memulai pelajaran tidak mengungkapkan tujuan pembelajaran sehingga peserta didik kurang terarah dalam belajar, masih sangat kurang memotivasi peserta didik agar semangat dalam belajar, dan juga adanya gangguan dari luar kelas yang menyebabkan peserta didik kurang fokus dalam belajar.

Demikian pula dari aspek peserta didik, tidak semua peserta didik fokus dalam menyimak isi film tersebut dikarenakan beberapa peserta didik masih terfokus pada media yang digunakan bukan pada materi pelajaran karena adanya gangguan dari luar kelas yaitu adanya peserta didik dari kelas lain yang menyaksikan pembelajaran dari luar kelas. Selain itu masih ada beberapa peserta didik yang enggan untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.

Adapun kegagalan dan keberhasilan dari Siklus I ini adalah : 1) Penyajian pada tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir dalam pembelajaran dengan

Page 35: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

156 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

9. Indikator Keberhasilan Pembelajaran dengan media film projector untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran tema berbagai pekerjaan pada peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar dapat dikatakan berhasil apabila Keterampilan guru kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar dalam melaksanakan pembelajaran tematik dengan penggunaan media film projector minimal baik; Aktifitas peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar dalam mengikuti pembelajaran tematik dengan penggunaan media film projector minimal baik; dan Hasil belajar peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar dalam pembelajaran tematik dengan penggunaan media film projector mencapai angka acuan yang telah ditetapkan yaitu mencapai nilai 3,00-3,33 atau 71-80 dengan predikat minimal B+.

D. HASIL PENELITIAN

1. Data Awal

Sebelum melaksanakan penelitian peneliti terlebih dahulu melaksanakan tindakan prapenelitian diantaranya: 1) Mengadakan konsultasi dengan Kepala Sekolah dalam hal pelaksanaan penelitian; 2) Melakukan diskusi dengan pihak guru kelas IVA untuk mendapatkan gambaran bagaimana pelaksanaan pembelajaran tematik dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector); 3) Mengadakan observasi awal terhadap pelaksanaan pembelajaran tematik dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) dikelas agar dapat memahami karakteristik pembelajaran serta gambaran pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas sebagai langkah awal yang akan digunakan dalam pelaksanaan tindakan.

Adapun hasil observasi saat pra peneltian terungkap bahwa: a) guru dalam proses pembelajarannya masih bersifat konvensional atau ceramah saja, b) guru dalam menyampaikan materi pelajaran kurang dalam menggunakan media pembelajaran yang inovatif sehingga banyak materi pelajaran hanya sebatas konsep dan hafalan saja, c) guru kurang bervariasi dalam menggunakan media pembelajaran, guru hanya menggunakan metode ceramah. Sedangkan pada peserta didik di temukan : a) peserta didik kurang menguasai konsep pada tema berbagai pekerjaan khususnya pada sub tema 2 barang dan jasa, b) hasil belajar peserta didik rendah. Hal ini terungkap berdasarkan data hasil observasi yang dilakukan penulis kepada guru dan peserta didik selama pembelajaran berlangsung.

Selain melakukan observasi, penulis juga meminta data awal hasil belajar peserta didik dari guru kelas untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar dan pemahaman peserta didik terhadap materi pada sub tema 1 jenis-jenis pekerjaan. Dari data awal tersebut terungkap bahwa hasil belajar peserta didik kelas IVA rendah. Adapun data awal peserta didik pra penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Rentang Nilai Konversi

Nilai Predik

at Frekuen

si (f)

Persentase (%)

3,66 <skor ≤ 4,00 91-100 A 1 02,5 3,33 <skor ≤ 3,66 81-90 A - 5 12,5 3,00 <skor ≤ 3,33 71-80 B + 11 27,5 2,66<skor ≤ 3,00 61-70 B 8 20,0 2,33 <skor ≤ 2,66 51-60 B - 5 12,5 2,00 <skor ≤ 2,33 41-50 C + 10 25,0 1,66 <skor ≤ 2,00 31-40 C 0 0 1,33 <skor ≤ 1,66 21-30 C - 0 0 1,00 <skor ≤ 1,33 11-20 D + 0 0 0,00 <skor ≤ 1,00 0-10 D 0 0

∑f 40 100 % Dari tabel diatas menunjukkan bahwa, yang

memperoleh predikat ≥ B+ sebanyak 17 orang atau 42,5 % dengan kategori 1 orang atau 2,5 % berpredikat A, 5 orang atau 12,5 % berpredikat A-, serta 11 orang atau 27,5 % berpredikat B+, dan dinyatakan tuntas.

Sedangkan C+ ≥ B sebanyak 23 orang atau 57,5 % dengan kategori 8 orang atau 20 % berpredikat B, 5 orang atau 12,5 % berpredikat B-, serta 10 orang atau 25 % berpredikat C+ dan dinyatakan belum tuntas, sedangkan D ≥ C tidak ada.

Berdasarkan hasil observasi dan data awal hasil belajar peserta didik diatas yang tuntas hanya 17 orang atau 42,5 % dari 40 orang peserta didik berarti yang belum tuntas sebanyak 23 orang atau 57,5 % maka peneliti bersama guru kelas IVA atas persetujuan Kepala SD Inpres Hartaco Indah sepakat untuk melaksanakan tindakan perbaikan melalui Penelitian Tindakan Kelas pada Siklus I.

2. Data Siklus I a. Perencanaan

Setelah ditetapkan untuk memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector) dalam pembelajaran tematik tema berbagai pekerjaan, maka kegiatan selanjutnya adalah menyiapkan beberapa hal yang diperlukan saat pelaksanaan pembelajaran. Setelah melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing, kepala SD Inpres Hartaco Indah, guru kelas IVA dan teman sejawat, peneliti melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Menyamakan persepsi antara peneliti dengan guru tentang konsep dan tujuan pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) dalam pembelajaran tematik. 2) Secara kolaboratif menyusun rencana pembelajaran untuk tindakan Siklus I. 3) Menyiapkan materi/film yang akan digunakan dalam pembelajaran dengan memanfaatkan media Audio-Visual (Film Projector). 4) Menyusun rambu-rambu instrumen data keberhasilan guru maupun instrumen data kemajuan hasil dan aktivitas belajar, berupa format observasi, tes, dan persiapan rekaman kegiatan tindakan berupa foto pelaksanaan tindakan. 5) Peneliti dan guru mengadakan latihan bersama bagaimana mengimplementasikan rencana

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 27

Efektifitas Model Project Based Learning (PjBL) dengan Pendekatan Saintifik

Berbantuan Outdoor Study terhadap Pembelajaran Ips

Asih Sukma

SMP Negeri 2 Palang - Tuban [email protected]

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Tuban dengan sampel kelas VIIIC sebagai kelas penelitian. Data menggunakan angket respon siswa. Berdasarkan perhitungan hasil respon siswa terhadap model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study ditemukan respon tinggi sebesar 78,12% dan respon sedang 21,87%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil penelitian model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study efektif untuk pembelajaran IPS.

Kata-kata kunci: Project Based Learning (PjBL), Outdoor Study, hasil belajar IPS

A. PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang terdapat pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ciri dari mata pelajaran IPS adalah bersifat terpadu, karena IPS di SMP merupakan penggabungan dari geografi, sejarah, sosiologi dan ekonomi. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) selama ini sering dianggap sebagai pelajaran yang membosankan dan tidak menarik. Pelajaran IPS biasanya dilaksanakan setelah jam olah raga atau di jam terakhir pembelajaran dimana saat itu kondisi peserta didik dalam keadaan tidak kondusif dalam belajar. Pelajaran IPS dianggap pelajaran menghapal, mengingat, dan mencatat, sehingga kemampuan berpikir siswa tidak banyak di eksplorasi.

Peserta didik banyak yang meremehkan pelajaran IPS, pada umumnya mereka menomorduakan IPS dibanding dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Matematika. Hal ini dapat kita amati dengan adanya Ujian Nasional (UN) tingkat SMP. Pemerintah tidak memasukkan pelajaran IPS ke dalam materi UN. Ujian Nasional yang tidak memasukkkan pelajaran IPS membuat peserta didik lebih mengedepankan pelajaran-pelajaran yang masuk di ujian Nasional seperti Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Hal tersebut diatas sering terjadi karena guru mengajar cenderung menggunakan model konvensional, yaitu mengajar dengan cara ceramah dan tanpa menggunakan model pembelajaran. Peserta didik biasanya diberi tugas oleh guru untuk mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diproduksi oleh penerbit pada umumnya. Padahal seharusnya guru wajib menyusun sendiri Lembar Kerja (LK) yang sesuai dengan materi dan tujuan yang ingin dicapai.

Pembelajaran yang selama ini berpusat pada guru (teacher centered) patut diubah dengan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered). Guru dapat menerapkan belajar kelompok (cooperative learning) di kelas dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang, dengan struktur

kelompoknya yang bersifat heterogen seperti yang dikemukakan oleh Slavin (1983). Pembentukan kelompok-kelompok kecil ini diharapkan mempermudah siswa dalam berkomunikasi dan belajar bersama, sesuai pendapat Degeng (1993), pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa.

Salah satu model cooperative learning yang dapat diterapkan adalah model Project Based Learning (PjBL). Sesuai dengan pendapat Kemendikbud (2014: 39), Project Based Learning (PjBL) adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai inti pembelajaran. Dengan mengerjakan suatu tugas proyek dalam kelompok akan membuat pembelajaran tersebut terasa lebih bermakna. Seperti pendapat Ahmadi dkk (2011) bahwa belajar lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan cara mengaktifkan secara maksimal potensi inderawi mereka daripada hanya mendengarkan.

Model PjBL jarang sekali dilakukan oleh guru-guru karena penerapan PjBL dianggap terlalu banyak menyita waktu dan biaya. Hal tersebut merupakan salah satu kekurangan dari PjBL. Akan tetapi kelebihan dari PjBL ini adalah mampu memotivasi siswa dalam bekerja sama antar kelompok. Model Project Based Learning (PjBL) ini akan dikolaborasikan dengan Outdoor Study (OS) dimana tujuan dari OS adalah memberikan pengalaman langsung kepada siswa sehingga menjadikan pembelajaran melalui pengalaman tersebut dapat diingat sepanjang hayat. Akan tetapi dalam pembelajaran OS biasanya guru mengalami kesulitan dalam mengendalikan siswa karena pembelajaran ini dilakukan di luar kelas. Hal tersebut dapat diatasi dengan meminta bantuan guru lain untuk mendampingi kegiatan OS tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study terhadap pembelajaran IPS. Apabila model ini terbukti efektif maka selanjutnya model ini dapat menjadi salah satu cara guru dalam mengajar IPS agar tidak membosankan.

Page 36: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

28 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

 

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, data penelitian diperoleh dari angket respon siswa terhadap pembelajaran IPS dengan model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study yang dianalisis dengan menggunakan skala likert.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Tuban dengan sampel siswa kelas VIIIC SMP Negeri 2 Tuban. Teknik pengambilan sampel ini menggunakan simple random sampling (Sugiyono, 2014) dimana peneliti memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota sampel.

Untuk mengukur keefektifan model Project Based Learning (PjBL) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study ini peneliti menggunakan angket respon siswa yang berjumlah 10 soal. Jenis angket adalah angket tertutup dimana responden tinggal memilih jawaban yang telah tersedia.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Respon Siswa terhadap model Project Based Learning (Pjbl) dengan Pendekatan Saintifik Berbantuan Outdoor Study

Berdasarkan hasil analisis angket respon siswa, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Data Hasil Angket Respon Siswa

Jumlah Responden (N)

Total Skor Rata-rata

32 1051 32,84

 

Dari tabel 1 diatas diketahui bahwa respon siswa terhadap model Project Based Learning (PjBL) sebanyak 1051, sedangkan rata-rata respon siswa yaitu 32,84. Dari hasil angket respon siswa didapatkan skor maksimal sebesar 38 dan skor minimal sebesar 29.

Mengadopsi pendapat Arifin (2013:234) tentang beberapa kategori respon siswa terhadap model Project Based Learning (PjBL):

Tabel 2. Kategori respon Siswa

Interval Kategori 0 – 10 11 – 20 21 – 30 31 - 40

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi

Berdasarkan tabel 2 diatas, maka data angket

respon siswa dapat dikategorikan sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Respon Siswa

Interval Jumlah Responden

Kategori Persentase

0 – 10 Sangat Rendah

-

11 – 20 Rendah - 21 – 30 7 Sedang 21,87% 31 – 40 25 Tinggi 78.12%

 

Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa respon siswa terhadap model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study termasuk tinggi dengan nilai 78,12%. Hal ini bisa terlihat pada aktivitas siswa saat di lapangan (outdoor study) maupun ketika telah kembali ke kelas. Mereka mampu mengajukan pertanyaan saat berada di lapangan dan aktiv ketika berada di kelas, seperti: bertanya, menjawab dan mengajukan pendapat.

Kegiatan siswa di lapangan, yang berani mengajukan pertanyaan dan pendapat menjadikan mereka berani berbicara di depan umum. Apalagi pelaksanaan model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study ini dilakukan dengan membentuk kelompok pada kelas eksperimen. Pembentukan kelompok diharapkan mampu membantu siswa bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, siswa tidak malu dan ragu untuk bertanya jika ada sesuatu yang tidak dipahami, dan siswa mampu menyampaikan pendapatnya di kelompoknya sebelum disampaikan di forum kelas. Hal ini merupakan salah satu keuntungan dari penerapan model Project Based Learning (PjBL) menurut Sani (2014: 177) yang menyebutkan bahwa siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.

Pelaksanaan model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study ini dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan kepada siswa. Hal tersebut dibuktikan dengan antusiasnya siswa dalam melakukan tanya jawab dengan narasumber dan mengikuti jalannya OS dengan baik. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian dari Rose (2014) yang menyebutkan bahwa pembelajaran project based learning berbantuan modul pada kelas eksperimen efektif dan lebih bermakna diterapkan dalam pembelajaran kimia

Siswa yang merespon sedang sebanyak 21,87%, hal ini disebabkan karena pembelajaran di luar kelas ini jarang sekali dilakukan oleh guru. Pembelajaran OS ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka sehingga pelaksanaan bagi beberapa siswa tidak optimal. Karena pembelajaran ini dilakukan di luar kelas maka guru kurang bisa mengontrol aktivitas para siswa. Sebagian siswa dalam menjalankan OS tidak langkah-langkah OS yang telah dibuat.

Kegiatan outdoor bertujuan memberikan kegiatan yang menyenangkan pada siswa, tidak cepat bosan, tidak mudah dilupakan dan lebih bermakna (meaningful learning). Siswa mampu mengamati, bertanya atau wawancara, membuktikan sesuatu, serta menguji fakta dan data, sehingga siswa lebih antusias dalam belajar.

Guru sebagai fasilitator harus mampu mengatur waktu pelaksanaan model Project Based Learning

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 155

barang dan jasa pada peserta didik kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar meningkat”.

C. METODE

1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas

(classroom action research) yang dilakukan secara bersiklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahapan yaitu : tahap perencanaan, tahap pelaksanaan tindakan, tahap observasi dan evaluasi, dan tahap refleksi (Rahmawati, 2009:32)

2. Subjek Penelitian Penelitian dilaksanakan di SD Inpres Hartaco

Indah Makassar Kelas IVA tahun pelajaran 2015/2016 dengan jumlah peserta didik sebanyak 40 orang dari 19 peserta didik laki-laki dan 21 peserta didik perempuan.

3. Faktor yang Diselidiki Faktor yang diselidiki dalam penelitian ini adalah:

1) Faktor proses yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan peserta didik dan antara peserta didik dengan peserta didik agar kegitan belajar mengajar berlangsung efektif dan efisien, serta melihat kehadiran peserta didik dan keaktifan peserta didik dalam belajar seperti minat, perhatian peserta didik terhadap materi, kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal yang diberikan, dan keberanian peserta didik bertanya. 2) Faktor hasil yaitu untuk melihat hasil belajar pada subtema barang dan jasa apakah terjadi peningkatan atau tidak setelah diadakan tes.

4. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan dua siklus.

Siklus I dilaksanakan selama tiga kali pertemuan dan siklus II juga dilaksanakan selama tiga kali pertemuan, termasuk pemberian tes. Adapun kegiatan yang akan dilakukan pada setiap siklus yaitu: 1) Kegiatan dalam tahap perencanaan ini meliputi telaah ruang lingkup materi pembelajaran 1-6 pada setiap subtema dalam tema berbagai pekerjaan khusunya subtema 2 barang dan jasa pada pembelajaran 4; menyusun RPP sesuai indikator yang telah ditetapkan; menyiapkan alat evaluasi berupa tes keterampilan proses dan lembar kerja peserta didik, serta rubrik penilaian sikap dan keterampilan; menyiapakan lembar observasi untuk mengamati aktivitas peserta didik dan keterampilan guru. 2) Kegiatan dalam pelaksanaan tindakan guru akan melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan RPP yang sudah direncanakan. 3) Kegiatan observasi dilaksanakan secara kolaboratif dengan tim observasi untuk mengamati keterampilan guru dan aktifitas peserta didik dalam pembelajaran dengan menggunakan media film proyector sebagai pendukung dalam menentukan hasil belajar peserta didik. 4) Refleksi merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan (Arikunto,2008: 19). Kegiatan refleksi itu terdiri atas 4 komponen kegiatan, yaitu; analisis data hasil observasi, pemaknaan data hasil analisa, penjelasan hasil analisa, dan penyimpulan apakah masalah itu selesai/teratasi atau tidak. Jika teratasi berapa persen yang teratasi dan berapa persen yang belum. Jika ada yang belum teratasi, maka perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Jadi dalam refleksi

akan ditentukan apakah penelitian berlanjut atau sudah mencapai target.

Pada siklus II relatif sama pada siklus I. Namun pada beberapa langkah kemungkinan dilakukan perbaikan dan penyempurnaan atau penambahan tindakan sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan.

5. Data Penelitian Data penelitian ini yaitu hasil belajar dan aktifitas

peserta didik. 1) Hasil belajar yaitu hasil yang diperoleh peserta didik dalam bentuk nilai setelah mengikuti pembelajaran subtema barang dan jasa dengan menggunakan media film projector. 2) Aktifitas peserta didik yaitu segala kegiatan yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung sebagai wujud perilaku dan keaktifan dalam proses pembelajaran.

6. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan

data dalam rangka penelitian ini yaitu : 1) tes hasil belajar, digunakan untuk memperoleh informasi tentang penguasaan materi pelajaran setelah proses pembelajaran. 2) lembar Observasi, digunakan untuk mengetahui data tentang kehadiran peserta didik, keaktifan, dan perhatian peserta didik dalam mengikuti proses belajar mengajar.

7. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan

dalam penelitian ini yaitu: 1) Sumber data dari peserta didik dan guru kelas sebagai observer. 2) jenis data kuantitatif dan kualitatif yang terdiri dari tes hasil belajar peserta didik dengan menggunakan lembar tes dan data dari lembar observasi saat pembelajaran berlangsung.

8. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan akan

dianalisis secara deskriptif. Data yang dihasilkan melalui observasi akan dianalisis secara kualitatif, sedangkan data yang dihasilkan melalui evaluasi dan hasil tes akhir tiap siklus akan dianalisis secara kuantitatif.

Untuk menentukan kategori skor keberhasilan peserta didik dalam subtema barang dan jasa akan digunakan teknik kategorisasi standar berdasarkan kurikulum 2013 adalah sebagai berikut: 1) Sikap (Afektif); Penilaian hasil belajar dari ranah sikap menggunakan penilaian lembar instrument penilaian lembar observasi; 2) Pengetahuan (Kognitif); Penilaian hasil belajar dari ranah pengetahuan menggunakan lembar instrument penilaian berupa tes tertulis; 3) Keterampilan (Psikomotorik); Penialian hasil belajar dari ranah keterampilan menggunakan lembar instumen penilaian lembar observasi berupa unjuk kerja saat mengikuti proses pembelajaran.

Adapun bentuk konversi nilai dan rentang nilai yang digunakan dalam mengolah hasil belajar yaitu:

Page 37: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

154 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

pada diri peserta didik. Contohnya pada awal pembelajaran, peserta didik diterangkan mengenai berbagai jenis pekerjaan, setelah itu guru memperlihatkan gambar pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, pemanfaatan teknologi sederhana dan modern dalam pekerjaan. Selanjutnya akan dipertontonkan film mengenai materi tersebut dan akhirnya peserta didik menjadi paham.

Dalam hubungan dengan pembelajaran tematik, media Audio-Visual sangat bermanfaat dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik utamanya dalam pembelajaran tematik tema berbagai pekerjaan khususnya subtema barang dan jasa kelas IV di sekolah dasar, Adapun manfaat media Audio-Visual dalam pembelajaran tematik di sekolah dasar yaitu:

Dapat memperjelas penyampaian pesan kepada peserta didik, sehingga peserta didik dapat melihat dan mendengarnya secara langsung.

Dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik, sehingga peserta didik tertarik untuk menyimak, mengamati, mendengarkan dan melakukan apa yang didengarkan dan ditampilkan guru dalam bentuk film, sehingga sedikit demi sedikit dapat membangun dan meningkatkan minat dan aktivitas belajar peserta didik dalam pembelajaran tematik yang berimplikasi pada meningkatnya hasil belajar pada tema berbagai pekerjaan.

Hasil Belajar Peserta Didik Pada Tema Berbagai Pekerjaan Subtema Barang dan Jasa

Menurut Anni (2007: 5) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktifitas belajar. Oleh karena itu, hasil belajar dapat dilihat dari sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh pembelajar setelah mengalami proses belajar.

Bloom (dalam Anni 2007:7) mengemukakan bahwa belajar dibagi menjadi tiga taksonomi yang disebut dengan ranah belajar, yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. 7. Kajian Empiris

Setelah melakukan tinjauan pustaka belum ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang bagaimana media film projector dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV sekolah dasar pada subtema barang dan jasa.

Perbedaan yang sangat khusus antara peneliti sebelumnya dengan peneliti yang sekarang yaitu dari segi kurikulum, materi pelajaran, lokasi, dan sebagainya, tetapi ada karya ilmiah yang mempunyai kemiripan dengan penulis salah satunya ialah hasil penelitian Alphian Sahruddin, 2010. Meningkatkan Hasil Belajar IPA Peserta didik Kelas V melalui Pemanfaatan Media Audio-Visual (Film Projector) SD Negeri 6 Mojong Kab. Sidrap.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar IPA peserta didik kelas V SD Negeri 6 Mojong. Hal ini disebabkan karena guru didalam melakukan pembelajaran banyak memberikan teori atau konsep sedangkan peserta didik sangat sedikit mengetahui wujud dari teori atau konsep yang diberikan oleh guru. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pemanfaatan Media Audio-Visual (Film Projector) dalam meningkatkan hasil belajar IPA peserta

didik kelas V SD Negeri 6 Mojong Kab. Sidrap dan Apakah hasil belajar IPA dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) peserta didik Kelas V SD Negeri 6 Mojong Kab. Sidrap. Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) dalam meningkatkan hasil belajar IPA peserta didik Kelas V SD Negeri 6 Mojong Kab. Sidrap dan Untuk meningkatkan hasil belajar IPA melalui pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) peserta didik Kelas V SD Negeri 6 Mojong Kab. Sidrap.

Dari data yang telah diperoleh pada hasil evaluasi Siklus I, II, dan III dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Dari grafik diatas diperoleh kesimpulan bahwa pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) pada mata pelajaran IPA di SD Negeri 6 Mojong Kabupaten Sidrap memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan hasil belajar IPA peserta didik.

8. Kerangka Berpikir

Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan penelitian untuk meningkatkan hasil peserta didik pada subtema bartang dan jasa kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar. Untuk lebih jelasnya kerangka berfikir dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan kerangka berpikir

9. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian pada kajian pustaka dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut: “Jika media film projector digunakan maka hasil belajar subtema

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 29

(Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study ini khususnya pada saat outdoor study. Hal ini diharapkan dapat terlaksananya kegiatan tepat waktu, sehingga siswa mampu memanfaatkan kegiatan OS dengan sebaik-baiknya. Pada saat pembelajaran di kelas setelah kegiatan OS, setiap kelompok harus mendiskusikan hasil dari kegiatan outdoor yang telah mereka lakukan dan membuat laporan, setelah itu setiap kelompok wajib memaparkan hasil diskusinya di kelas.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study memberikan efek positif dalam pembelajaran IPS. Hal ini dapat dilihat dari respon siswa sebesar 78,12% dengan kategori tinggi dan 21,87% dengan kategori sedang.

Model Project Based Learning (Pjbl) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study bertujuan memberikan pengalaman langsung kepada siswa dan lebih menyenangkan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dengan pembelajaran langsung di lapangan siswa lebih antusias lagi dalam belajar IPS.

Pelaksanaan model Project Based Learning (PjBL) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Saran peneliti untuk peneliti selanjutnya apabila menggunakan model Project Based Learning (PjBL) adalah lakukan observasi awal serinci mungkin dan buatlah perencanaan pembelajaran yang matang baik itu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), rencana Outdoor Study maupun pelaksanaan penelitian. Tak lupa untuk memilih materi pelajaran atau tema yang sesuai dengan model Project Based Learning (PjBL) dengan pendekatan saintifik berbantuan Outdoor Study.  

E. DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, Iif, Khoiru & Amri, Sofan. 2011. Mengembangkan Pembelajaran IPS Terpadu. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Arifin, Zainal. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Degeng, I,Nyoman, Sudana. 1993. Buku Pegangan Teknologi Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti.

Kemendikbud. 2014. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun Ajaran 2014/2015 Mata Pelajaran IPS SMP/MTs. Jakarta: Kemendibud.

Rose, Retha, Aliefyan dan Prasetya, Agung, Tri. 2014. Keefektifan Strategi Project Based Learning Berbantuan Modul Pada Hasil Belajar Kimia Siswa. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 8 (2): 1360-1369.

Sani, R.A. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk

Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.

Slavin, Robert E. 1983. Cooperative Learning. Maryland: John Hopkins University.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Page 38: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

30 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

 

Efektivitas Penggunaan Pendekatan Struktural dalam Pembelajaran Sejarah Ipteks

Daya Negri Wijaya Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang

Jalan Semarang No 5, Malang, 65145 E-mail: [email protected]

Abstrak: pembelajaran sejarah perlu dipahami sebagai proses belajar yang sarat akan nilai. Seorang sejarawan pendidik tentu saja akan menyisipkan nilai tertentu saat berlangsungnya proses pembelajaran. Khalayak seringkali menggali kontinuitas (struktur) suatu peristiwa untuk menyampaikan benang merah sekaligus nilai apa yang dapat diambil dan dipelajari dari suatu peristiwa. Berpijak dari hal inilah penelitian ini dimulai. Dengan menggunakan metode penelitian eksperimen dan pendekatan kualitatif, peneliti ingin mengetahui efektivitas penggunaan pendekatan struktural dalam pembelajaran sejarah IPTEKS. Penelitian ini menemukan suatu prasyarat agar penggunaan pendekatan struktural dalam pembelajaran dapat dikatakan efektif (tujuan pembelajarannya tercapai atau dapat mempelajari nilai-nilai terkait). Setiap pebelajar harus menguasai teori struktural sebagai kerangka berpikir sehingga mereka mampu membuat pola-pola atau kontinuitas dari semua peristiwa yang ada.

Kata-kata kunci: makna kesejarahan, strukturalisme, kolegialitas, komunitas belajar

A. PENDAHULUAN Salah satu tugas pendidikan, secara umum, adalah mewariskan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jikalau generasi yang lebih muda mengalami krisis identitas dan berujung pada tindak kebiadaban maka dapat dipastikan ada yang salah dalam pewarisan nilai tersebut. Dengan kata lain, pewarisan nilai-nilai tersebut tidak tersampaikan dengan baik. Nilai kesejarahan adalah salah satu nilai yang paling berpengaruh dalam pembentukan identitas suatu masyarakat. Menurut Daliman (2012:107), nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam suatu bangsa pada dasarnya bersumber dari sejarah. Sejarah sebagai memori kolektif bangsa menyimpan dan mengabadikan pengalaman-pengalaman masa lampau sebagai tersimpan dan terabadikan dalam sejarah itu sewaktu-waktu dapat diolah kembali dan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam menjawab permasalahan yang dihadapi.

Jika pembelajaran yang efektif dapat dipahami sebagai tercapainya tujuan-tujuan pembelajaran maka efektivitas yang dimaksud dalam kajian ini adalah para mahasiswa dapat mengetahui nilai kesejarahan. Pembelajaran sejarah dengan berfokus pada aspek afektif bukanlah suatu hal yang baru. Sanjaya (2006) memiliki tiga model (konsiderasi, kognitif, dan teknik mengklarifikasi nilai) yang dapat dipakai untuk menanamkan nilai-nilai kesejarahan pada peserta didik. Secara spesifik, Wijaya (2014) mengajukan suatu metode yang turut serta membangun karakter nasionalis para peserta didik. Metode yang dimaksud adalah bermain peran. Selain itu, Hamid (2014) memberikan saran yang menarik. Pendidik dalam menggunakan metode role-playing dapat dipadukan dengan teori re-enactment. Teori tersebut dapat membantu setiap mahasiswa untuk menghayati karakter tertentu.

Salah satu alternatif sekaligus pendekatan dalam ilmu sejarah yang dapat digunakan dalam menyemaikan nilai kesejarahan adalah pendekatan struktural. Di Indonesia, pendekatan struktural dikembangkan oleh Sartono Kartodirdjo. Dia ingin mempergunakan

pendekatan struktural untuk mempertajam analisis prosesual dalam mendeskripsikan suatu peristiwa. Menurut Kartodirdjo (1993:110), asumsi mendasar dari pendekatan struktural ialah “…struktur adalah aspek statis dari kelakuan pelaku, sedang proses adalah aspek dinamisnya. Keduanya merupakan segi dari satu entitas…” Jika sejarah prosesual akan memulai deskripsinya dengan pertanyaan bagaimana, dimana, kapan, siapa, dan apa maka sejarah struktural akan mendekatinya obyeknya dengan pertanyaan mengapa. Oleh karena itu, apabila hal ini diterapkan pada sejarah pemikiran maka pendekatan struktural akan berfokus pada mengapa seseorang berpikir seperti itu dan sejarah prosesual akan menjelaskan pemikiran tertentu. Jika Locke berpikir bahwa pendidikan adalah akumulasi dari pengalaman manusia atau politik adalah kebiasaan manusia dalam mengelola hubungan antara dirinya dengan orang lain maka benang merah keduanya tidak lain adalah pengalaman sebagai kunci berpikir Locke.

Mengikuti pola berpikir tersebut, penulis ingin menawarkan pada khalayak termasuk para pebelajar belajar bagaimana belajar sejarah. Nilai kesejarahan tentu akan sulit diberikan atau ditrasfer pada orang lain. Oleh karena itu, para pebelajar seyogyanya mengaji sendiri suatu peristiwa historis sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dalam tradisi strukturalis, nilai-nilai tersebut seringkali disebut sebagai struktur, tatanan atau model yang terus berlanjut dan diikuti oleh masyarakat. Tulisan ini akan memaparkan sejauh mana efektivitas penggunaan pendekatan struktural dalam pembelajaran sejarah IPTEKS.

B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dan pendekatan kualitatif. Peneliti melakukan eksperimen pada tiga offering B,C, dan D program studi pendidikan sejarah. Percobaan tersebut diterapkan dengan menggunakan rancang bangun lesson study. Pendekatan kualitatif dipilih berdasarkan pada keinginan peneliti untuk mengetahui efektivitas

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 153

Berikut ruang lingkup pembelajaran tematik pada tema berbagai pekerjaan yang terdiri atas 3 subtema yaitu: 1) Sub Tema 1 Jenis-jenis Pekerjaan meliputi: Pembelajaran 1 : Menjelaskan hubungan antara pekerjaan dengan tempat tinggal, menjelaskan ciri-ciri dataran tinggi dan dataran rendah, serta menjelaskan proses pembuatan teh; Pembelajaran 2 : Menjelaskan hubungan antara pekerjaan dan barang yang dihasilkan, eksplorasi mengukur luas permukaan benda dan menggunakan alat ukur tidak baku, membaca serta menemukan unsur cerita dari teks petualangan si Semut dan Belalang, serta menjelaskan kewajiban bekerja dalam masyarakat; Pembelajaran 3 : Melakukan olahraga permainan bulutangkis, mengubah kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung dalam teks wawancara, serta eksplorasi mengukur luas dan keliling persegi panjang; Pembelajaran 4 : Menjelaskan hubungan antara pekerjaan dengan barang yang dihasilkan, menjawab pertanyaan teks bacaan, serta menggambar alam; Pembelajaran 5 : Menjelaskan hubungan antara pekerjaan dengan barang atau jasa yang dihasilkan, membedakan cara penulisan kalimat langsung dan tak langsung; dan Pembelajaran 6 : Evaluasi dan mengerjakan latihan. 2) Sub Tema 2 Barang dan Jasa meliputi: Pembelajaran 1 : Menjelaskan jenis pekerjaan, hasil kerja, dan sumber daya yang digunakan, menjelaskan jenis teknologi, serta mengaplikasikan jenis teknologi sederhana; Pembelajaran 2 : Eksplorasi luas dan keliling segitiga, menjelaskan teknologi pengolahan pembuatan pensil, serta menjelaskan peristiwa alam; Pembelajaran 3 : Latihan kelenturan, menjelaskan peristiwa alam banjir, serta berkreasi dengan barang dan jasa; Pembelajaran 4 : Pemanfaatan teknologi modern, isi wawancara, , mengaplikasikan kalimat langsung tidak langsung, serta menghitung luas dan keliling segitiga; Pembelajaran 5 : Menjelaskan teknologi pengolahan air minum, mengidentifikasi pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan air, membaca cerita, refleksi sikap, serta membuat poster; dan Pembelajaran 6 : Membuat karangan dan evaluasi. 3) ub Tema 3 Pekerjaan Orang Tuaku meliputi: Pembelajaran 1 : Menjelaskan perkembangan teknologi, memahami dampak penggunaan pupuk, bereksplorasi tentang luas bangun gabungan, serta mendesain pertanyaan untuk wawancara; Pembelajaran 2 : Menjelaskan perkembangan teknologi, menganalisis kegiatan ekonomi, aplikasi luas bangun datar, menjelaskan dampak penggunaan pukat harimau dan bahan peledak, serta menceritakan pekerjaan orang tua; Pembelajaran 3 : Mengaplikasikan permainan kasti, menjelaskan pengolahan sampah, serta berkreasi dengan bahan bekas; Pembelajaran 4 : Menganalisis kegiatan ekonomi, memprediksi kerusakan hutan, mengaplikasi konsep luas bangun datar, serta berkreasi membuat kursi impian; Pembelajaran 5 : Membaca teks tentang industri tekstil, menganalisa kegiatan ekonomi, serta berkreasi dengan pola geometri; dan Pembelajaran 6 : Membaca teks cita-cita, menulis teks cita-cita diri, berkreasi dengan kolase, serta evaluasi. 6. Pemanfaatan Media Film Projector dalam

Pembelajaran Tematik

Agar proses pembelajaran berlangsung dengan baik, maka hendaknya guru memberikan materi pelajaran tematik secara bervariasi, dapat menggunakan media/alat

peraga sebagai alat bantu dalam mengajar serta menggunakan metode yang tepat.

Penggunaan media dalam proses pembelajaran cukup penting. Hal ini dapat membantu para peserta didik dalam mengembangkan imajinasi dan daya pikir serta kreatifitasnya. Informasi yang disampaikan guru akan diterima langsung oleh peserta didik melalui sel saraf dan dibawa ke otak. Dari situlah peserta didik mulai bergerak dengan cara menanyakan sesuatu yang dipahami, sehingga proses komunikasi dalam pembelajaran mulai efektif.

Sudjana, d.k.k. (Adri, 2008) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar peserta didik yaitu:

Pembelajaran akan lebih menarik perhatian peserta didik sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.

Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh peserta didik dan memungkinkan menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran.

Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga peserta didik tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran.

Peserta didik dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktifitas lain seperti mengamati dan lain-lain.

Penggunaan media Audio-Visual (Film Projector) dalam kegiatan belajar mengajar melibatkan indera pendengaran dan penglihatan. Menurut Arsyad (2009:30) pengajaran melalui Audio-Visual adalah produksi dan penggunaan materi yang penyerapannya melalui pendengaran dan pandangan serta tidak seluruhnya tergantung kepada pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa.

Sadiman, d.k.k. (2009:11) mengemukakan bahwa proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/media, dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran atau didikan yang ada dalam kurikulum. Sumber pesannya bisa guru, peserta didik, orang lain ataupun penulis buku dan produser media. Salurannya adalah media pendidikan dan penerima pesannya adalah peserta didik atau juga guru.

Dari uraian dan pendapat beberapa para ahli, dapat disimpulkan beberapa manfaat praktis dari penggunaan media Audio-Visual dalam proses belajar mengajar sebagai berikut: 1) media Audio-Visual dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar, 2) media Audio-Visual dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara peserta didik dengan lingkungannya, dan kemungkinan peserta didik untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.

Pemahaman yang dipakai melalui Audio-Visual merupakan cara yang tepat digunakan di kelas, karena penggunaannya media ini memecahkan aspek verbalisme

Page 39: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

152 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Visual merupakan media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar, seperti TV, Film Projector yang menggunakan Komputer, LCD, dan Speaker (Sound System), serta yang lainnya. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan yang kedua. Dari beberapa jenis media Audio-Visual yang telah disebutkan di atas maka yang akan menjadi fokus pembahasan dan sekaligus menjadi objek kajian dalam skripsi ini yaitu media pembelajaran Audio-Visual (Film Projector).

Telah dikemukakan di atas bahwa Film Projector adalah salah satu jenis media Audio-Visual yang biasanya ditampilkan melalui bantuan komputer dan media proyeksi seperti LCD yang berfungsi untuk menampilkan film (Visual) pada layar serta Speaker (Sound System) sebagai pelempar suara (Audio).

Tidak ada satupun media yang paling unggul untuk semua tujuan pembelajaran (Degeng, 1997:24), pendapat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa memang tidak ada satupun media pembelajaran yang dapat kita katakan lebih unggul dari media yang lain. Semua media pembelajaran pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitupun Film Projector sebagai salah bagian dari media pembelajaran juga memiliki beberapa kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan.

Kelebihan Film Projector sebagai media pembelajaran menurut Nasution (2008:104), antara lain: a) Film sangat baik menjelaskan suatu proses, bila perlu dengan menggunakan “slow motion”; b) Tiap peserta didik dapat belajar sesuatu dari film, yang pandai maupun yang kurang pandai; c) Film sejarah dapat menggambarkan peristiwa-peristiwa masa lalu secara realistis dalam waktu yang singkat; d) Film dapat membawa anak dari Negara yang satu ke Negara yang lain dari masa yang satu ke masa yang lain; e) Film dapat diulangi bila perlu untuk menambah kejelasan.

Sadiman, d.k.k. (2009:68) mengemukakan bahwa sebagai suatu media, film memiliki keunggulan-keunggulan seperti berikut ini: a) Film merupakan suatu denominator belajar yang umum. Baik anak yang cerdas maupun lamban akan memperoleh sesuatu dari film yang sama; b) Film sangat bagus untuk menerangkan proses; c) Film dapat menampilkan kembali masa lalu dan menyajikan kembali kejadian-kejadian sejarah yang lampau; d) Film dapat mengembara dengan lincahnya dari satu Negara ke Negara yang lain, horizon menjadi amat lebar, dunia luar dapat dibawa masuk ke dalam kelas; e) Film dapat menyajikan baik teori maupun praktik dari yang bersifat umum ke khusus atau sebaliknya; f) Film dapat menggunakan teknik-teknik seperti warna, gerak lambat, animasi, dan sebagainya untuk menampilkan butir-butir tertentu; g) Film memikat perhatian anak; h) Film lebih realistis, dapat diulang-ulang, dihentikan dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan. Hal-hal yang abstrak menjadi jelas; i) Film bisa mengatasi keterbatasan daya indera kita (penglihatan); j) Film dapat memotivasi atau merangsang kegiatan anak.

Sekalipun banyak kelebihannya, Film Projector memiliki kelemahan antara lain harga/biaya produksi relatif mahal, film tak dapat mencapai semua tujuan pembelajaran, penggunaannya perlu ruang tertutup (gelap/remang-remang).

4. Pengertian Belajar dan Pembelajaran Menurut Morgan dan kawan-kawan dalam

Baharuddin dan Wahyuni (2010:14) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman-pengalaman. Menurut Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2010: 14) menyatakan bahwa “ learning occurs when experience causes a relatively permanent change in an individual’s knowledge or behavior “. Disengaja atau tidak, perubahan yang terjadi melalui proses belajar ini bisa saja ke arah yang lebih baik atau malah sebaliknya, ke arah yang salah. Yang jelas, kualitas belajar seseorang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang diperolehnya saat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2010:15) bahwa ciri-ciri belajar adalah ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku (change behavior). Ini berarti, bahwa hasil dari belajar hanya dapat diamati dari tingkah laku, yaitu adanya perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil; perubahan perilaku relative permanent. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-ubah; perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial; perubahan tingkah laku merupakan hasil latihan atau pengalaman; pengalaman atau latihan itu dapat member penguatan. Sesuatu yang memperkuat itu akan memberikan semangat atau dorongan untuk mengubah tingkah laku.

Menurut UU No. 20/2003, Bab I Pasal 1 Ayat 20 pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pengertian lain, pembelajaran (instruction) adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik (Warsita, 2008: 85). Sehingga dari beberapa pengertian pembelajaran tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah adalah usaha sadar dari guru untuk membuat peserta didik belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri peserta didik yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi kualitas pembelajaran. 5. Ruang Lingkup Pembelajaran Tematik Pada

Tema Berbagai Pekerjaan Subtema Barang dan Jasa Pembelajaran tematik integratif merupakan

pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari beberapa mata pelajaran ke dalam sebuah tema. Tujuan dari adanya tema ini bukan hanya untuk menguasai konsep-konsep dalam suatu mata pelajaran akan tetapi juga keterkaitannya dengan konsep dari mata pelajaran lain. Sehingga setelah mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan tema tersebut anak akan menguasai kompetensi dari masing-masing mata pelajaran yang diintegrasikan. Pembelajaran tematik juga dapat diartikan sebagai pola pembelajaran mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, kemahiran, nilai dan sikap pembelajaran dengan menggunakan tema.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 31

penggunaan pendekatan struktural dalam pembelajaran Sejarah IPTEKS. Proses pembelajaran tidak dapat dipahami dengan pendekatan naturalistik. Konsekuensi logisnya, peneliti mendekati obyek kajian secara kualitatif. Peneliti dengan bantuan beberapa kolaborator (juga bertugas sebagai observer) akan mengambil data secara berkesinambungan. Peneliti menggunakan teknik dokumentasi dengan bantuan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). LKM tersebut sangat berguna untuk mengetahui tingkat ketercapaian belajar mahasiswa. Selain itu, peneliti juga menggunakan lembar observasi pembelajaran dan notulensi catatan refleksi. Kemudian, peneliti menggunakan teori Miles dan Huberman (1994:10) untuk menganalisis data. Cara yang digunakan adalah dengan mereduksi data, menyajikan data, dan menyimpulkan serta memeriksa hasil penelitian secara berkelanjutan dalam proses penelitian. C. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Plan

Peneliti melaksanakan tahapan plan dengan membuat rancangan secara kolaboratif. Peneliti yang berperan sebagai dosen model merancang pembelajaran bersama Ulfatun Nafi’ah, Neni Wahyuningtyas, Khofifatu Rokhmah Adi, Desinta Dwi Rapita, Indah Wahyu Puji Utami, Nurul Ratnawati, dan Fatiya Rosyida di ruang I4.105, pada tanggal 16 September 2016. Kolaborasi ini dirasa sangat mempermudah dalam merancang apa yang harus dilakukan dalam membelajarkan mahasiswa. Bahkan, ada pula kolaborator, yang mengimajinasikan diri sebagai mahasiswa yang tidak tahu sama sekali perihal materi yang akan dibahas yakni pendekatan struktural dalam sejarah pemikiran, memberikan saran apa strategi yang harus dijalankan oleh dosen model. Secara umum, tahap plan ini adalah kesepakatan bersama seperti apa baiknya membelajarkan mahasiswa selama pada matakuliah Sejarah IPTEKS selama ± 120 menit.

Walaupun terdapat berbagai silang pendapat bagaimana membuka pelajaran, tetapi para kolaborator sepakat untuk memulai dengan hal yang memotivasi diri mahasiswa. Kita sepakat untuk mengambil satu atau dua status di media sosial mahasiswa sebelum dikaitkan dengan apa materi yang akan dibahas dalam open class. Pemberian motivasi, terutama yang terkait dengan kehidupan mahasiswa, dapat memberikan pemahaman bahwa mereka adalah sumber belajar yang sesungguhnya. Lebih jauh, mahasiswa seyogyanya ditempatkan pada subyek dan obyek belajar dengan cara yang disebut DePorter (1999) sebagai “bawalah siswa dari dunianya ke duniamu”. Dengan cara demikian, mahasiswa akan lebih nyaman dan tenang dalam memulai proses pembelajaran. Para kolaborator juga meminta dosen model memberi kesempatan pada para mahasiswa untuk menyampaikan apa pendapat mereka terkait dengan status yang ditulis di papan tulis. Dengan alokasi waktu selama 10 menit pada sesi pembukaan, dosen model juga disarankan untuk menyampaikan tujuan pembelajarannya, yakni: (1) mahasiswa dapat mengetahui teori struktural dan (2) mahasiswa dapat menggunakan teori struktural dalam mendekati teks sejarah pemikiran.

Kemudian, para kolaborator dan dosen model juga bersepakat untuk memulai kegiatan inti dengan memberikan waktu (sekitar 15-20 menit) pada para mahasiswa untuk membaca materi terkait (pendekatan struktural). Akan tetapi, para kolaborator berpendapat bahwa seyogyanya proses eksplorasi juga ditemani dengan adanya Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Dengan adanya LKM, para mahasiswa dapat lebih fokus pada apa materi yang dibahas dan bahkan lebih mudah memahami intisari materinya. Dosen model diharapkan bukan hanya mengawasi tetapi juga membimbing dan mengarahkan mahasiswa dalam mengerjakan LKM. Mahasiswa bukan hanya diberi kesempatan untuk mengeksplorasi materi tetapi juga mengelaborasi materi terkait.

Mereka kemudian diminta untuk menuliskan lima pertanyaan di papan tulis sebelum proses elaborasi dimulai. Lima pertanyaan tersebut akan menjadi permasalahan dalam memicu adanya diskusi kelompok. Oleh karena itu, mahasiswa akan dikondisikan belajar berkelompok antara 4-5 orang. Dosen model kemudian menunjuk 5-6 mahasiswa yang berperan sebagai kelompok ahli. Kelompok ahli bersama dosen model akan berdiskusi dan merespon lima pertanyaan terkait selagi mahasiswa lainnya berdiskusi dan berperan sebagai kelompok rekan. Kegiatan pembelajaran seperti ini dapat disebut sebagai modifikasi dari bentuk pembelajaran kooperatif jigsaw (Isjoni, 2010:83). Proses pembelajaran dengan modifikasi jigsaw ini direncanakan akan memakan waktu selama 30 menit. Mahasiswa diarahkan untuk memberikan komentar secara bergantian akan apa yang sudah dibahas dalam kelompok.

Mahasiswa bersama dosen model kemudian memberikan kesimpulan bersama. Dosen model juga diminta para kolaborator untuk memberikan penguatan sekaligus memberikan teladan bagaimana mendekati teks sejarah pemikiran dengan pendekatan tekstual. Dengan kelompok yang sama, mahasiswa kemudian mengaplikasikan pendekatan struktural dalam menganalisis teks sejarah pemikiran dengan bantuan LKM selama 30 menit. Selain itu, para kolaborator dan dosen model bersepakat untuk menutup kegiatan pembelajaran dengan memberi kesempatan mahasiswa melakukan refleksi atau berbicara singkat di kelas.

Suasana dan kondisi plan pada saat itu berjalan tenang dan kondusif. Walaupun terjadi silang pendapat tetapi akhirnya dapat juga dijalin kesepakatan diantara kami. Selain itu, dosen model bersama dengan para kolaborator juga menyusun Satuan Acara Perkuliahan (SAP) bersama. Dosen model membuat draft kasar SAP-nya sebelum menyampaikannya pada para kolaborator. Para kolaborator kemudian memberikan berbagai masukan meliputi: penyampaian motivasi dalam kegiatan pendahuluan seharusnya ditampilkan dalam sorot proyektor dan penulisan langkah-langkah pembelajaran seharusnya bersifat aplikatif serta dicantumkan materi yang akan dibahas.

Do

Open class I dilaksanakan di ruang I1.502, pada jam 13.10-15.10, tanggal 27 September 2016. Kegiatan ini dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Akan tetapi, status mahasiswa sebagai motivasi belajar mereka tidak ditampilkan dalam sorot

Page 40: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

32 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

proyektor. Hal ini dikarenakan keberatan mahasiswa yang bersangkutan. Menurutnya, menampilkan status seseorang tanpa mendapatkan izin tentu saja akan mengganggu pribadi seseorang. Dengan kesepakatan dan kepercayaan bahwa status yang ditampilkan bukan bertujuan untuk melalukan menyakiti perasaan yang bersangkutan tetapi untuk mengantarkan mahasiswa dalam memulai pembelajaran, maka jalan tengah yang diambil tentu saja menuliskan status salah seorang mahasiswa tanpa menyebutkan namanya di papan tulis. Mahasiswa, kemudian, diberi penjelasan sekaligus dihubungkan pengetahuannya dengan pengetahuan terdahulu. Sebelum status mahasiswa didekati dengan pendekatan struktural maka mahasiswa diajak untuk membandingkannya dengan dua pendekatan yang telah dibahas sebelum, yakni pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual.

Salah status mahasiswa yang dipergunakan adalah, “perjuangan hidupku di kota perantauan penuh perjuangan, namun perjuangan bapak dan ibu di tanah halaman lebih mengharukan dan penuh dengan perjuangan. Merekalah yang sebenarnya membuatku lemah dan membuatku kuat pula”. Mahasiswa diajak untuk menganalogikan (memahami) status tersebut sebagai teks pemikiran. Oleh karena itu, jika menggunakan pendekatan tekstual maka pembaca akan menggunakan ilmu bahasa untuk mengambil maknanya. Sedangkan, pendekatan kontekstual akan memaksa pembaca untuk memahami kehidupan penulisnya sebelum mengetahui maksudnya. Akan tetapi, pendekatan struktural menempati posisi yang berbeda. Mahasiswa diajak untuk memahami apa yang menjadi esensi dari suatu teks. Jika teks dilihat sebagai hal yang eksis maka maksud dari teks adalah esensinya. Sebagai pedoman belajar, dosen model tidak lupa menyampaikan tujuan pembelajaran sebagaimana yang telah direncanakan.

Setelah mahasiswa diberikan waktu untuk membaca materi pendekatan struktural baik dari nukilan karya Kuntowijoyo maupun tulisan dosen model, mereka kemudian diberi waktu untuk mengerjakan LKM I. LKM tersebut tidak dimaksudkan untuk menguji pengetahuan mahasiswa pada pendekatan struktural tetapi memberikan arahan bagi para mahasiswa apa yang harus diketahui dari bacaan terkait. Dua pertanyaan, seperti apa pengertian dan tiga aliran struktural, tentunya cukup membuat mahasiswa mengetahui titik tolak dalam memahami pendekatan struktural.

Lima pertanyaan tersebut kemudian dibahas dalam kelas. Kelas dibagi dalam dua kelompok yakni satu kelompok ahli dan empat kelompok rekan. Dosen memberikan waktu pada kelompok rekan untuk mendiskusikan lima pertanyaan tersebut sembari kelompok rekan dan dosen mendiskusikan kelima pertanyaan tersebut. Apa yang nampak ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak mahasiswa dalam kelompok rekan hanya termangu dan menguping pembicaraan kelompok ahli. Metode jigsaw hanya akan berhasil jika para mahasiswanya sudah terbiasa untuk menyelesaikan persoalan secara berkelompok. Nampak bahwa para mahasiswa tidak begitu berdialog dengan rekannya dalam kelompok rekan.

Ketidaklancaran pembelajaran ini juga berdampak pada praktek pengerjaan LKM II. Walaupun mereka semua terlihat mampu mengambil nilai-nilai kesejarahan pidato Soekarno berjudul ganyang Malaysia tetapi ada kalanya mereka kebingungan dalam menarik benang merah dengan melihat pekerjaan mahasiswa lainnya. Bahkan, ada juga mahasiswa yang belum menuliskan makna dibalik pidato tersebut. Ketidakmampuan mahasiswa dalam memahami teori struktural dan tidak semua mahasiswa belajar tentu saja membuat mereka kesulitan dalam memahami makna dari pidato Soekarno.

Kesenjangan tersebut membuat dosen model kemudian meniadakan metode jigsaw dan membahas lima pertanyaan di papan tulis secara klasikal di dua offering lainnya. Dosen model mulai memahami bahwa mahasiswa memiliki karakter yang perlu dibimbing untuk belajar (dan bagaimana caranya belajar). Terlihat pula masih banyak diantara mereka yang belum membaca teks atau teori strukturalisme. Oleh karena itu, mahasiswa perlu dibimbing untuk memahami teori dan mengaplikasikannya dalam membongkar kontinuitas dari pidato Soekarno. Dengan kesabaran serta instruksi yang mudah dipahami, para mahasiswa kemudian terlihat lebih memahami teori struktural dan mengaplikasikannya pada teks sejarah tertentu.

See

Tahap terakhir dari kegiatan lesson study adalah see atau refleksi pembelajaran. Kegiatan ini bukan hanya sekedar meningkatkan keaktifan belajar mahasiswa atau pertimbangan yang digunakan untuk perbaikan rencana pembelajaran berikutnya tetapi juga menjadi sarana yang baik dalam mengembangkan prinsip kolegialitas dan membangun komunitas belajar (Wahyuningtyas, dkk, 2015:220). Keberadaan lesson study, menurut Susilo (2002:5), dapat mengisi unsur yang hilang dalam reformasi pendidikan, yakni: “cara efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pengembangan keprofesionalan dengan pelaksanaannya secara kolaboratif berdasarkan praktek pembelajaran”. Penulis cenderung mendukung prinsip kolaboratif (kolegial) sebagai cara yang efektif dan efisien dalam meningkatkan profesionalisme pendidik di Indonesia.

Dengan keberadaan supervisi kolegial, seorang pendidik dapat dengan mudah melihat apa yang seharusnya dia lakukan dengan cara-cara yang lebih humanis. Pendidik bukan hanya terus mendalami strategi tetapi juga materi pembelajaran terkait. Pembagian kerja antara dosen model dan observer dapat dipahami sebagai kolaborasi untuk saling belajar. Dosen model belajar mengapa mahasiswa tidak belajar dan bagaimana alternatif solusinya sedangkan para observer mengambil pelajaran berharga dari proses pembelajaran dan performansi dosen model.

Refleksi pembelajaran siklus I dilaksanakan pasca open class yang pertama. Pada tahap refleksi ini masih dihadiri oleh para observer seperti I Dewa Putu Eskasasnanda, Neni Wahyuningtyas, Fatiya Rosyida, dan Ardiyanto Tanjung. Dewa Putu yang bertindak sebagai moderator memulai sesi refleksi dengan mempersilahkan dosen model menyampaikan kesan dan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 151

perhatian dan kemauan sebagai upaya mendukung terjadinya proses belajar. c) Laboratorium Bahasa Alat ini digunakan untuk melatih peserta didik mendengarkan dan berbicara dengan bahasa asing. Penggunaan alat ini yaitu, peserta didik duduk sendiri-sendiri pada bilik yang dilengkapi dengan headphone. Setiap peserta didik berbeda-beda dalam menangkap materi pelajaran. Ada yang menggunakan musik, suasana yang ramai dan sepi. 2) Media Visual atau Grafis. Media ini digunakan dalam proses pembelajaran hanya melibatkan indra penglihatan. Media visual mempunyai jenis yang bermacam-macam, diantaranya: a) bagan adalah suatu media pengajaran yang penyajiannya secara diagramatik dengan menggunakan lambang-lambang visual, untuk mendapatkan sejumlah informasi yang menunjukkan perkembangan ide, objek, lembaga, orang, keluarga ditinjau dari sudut waktu dan ruang (Asnawir dan Usman, 2002:33). b) Grafik merupakan gambar sederhana yang penggunaannya mengandung sejumlah ide, objek, simbol dan keterangan-keterangan serta memiliki fungsi untuk menggambarkan data kuantitatif secara teliti, sesuai dengan objek yang diamati. c) Karikatur dan Kartun merupakan garis yang dicoret dengan spontan yang menekankan kepada hal-hal yang dianggap penting, bedanya dengan poster, karikatur kadang-kadang lebih menggigit dan kritis. (Asnawir dan Usman, 2002:47). d) Poster merupakan gabungan antar gambar dan tulisan untuk menarik masyarakat agar berminat terhadap poster tersebut. Pesan yang disampaikan melalui gambar dan tulisan hendaknya dibuat dekoratif dan kalimat yang menarik serta singkat dan jelas. e) Diagram merupakan susunan garis-garis yang saling berhubungan. Berfungsi untuk memperjelas hubungan yang ada antar komponen yang terkait atau sifat-sifat proses yang ada di dalamnya. f) media visual dua dimensi. Media ini menyajikan rangsangan-rangsangan visual dan penggunaannya memerlukan aliran listrik, antara lain; a) Overhead Proyektor (OHP) Media ini alat untuk memproyeksikan obyek menggunakan bahan transparan. Alat ini dirancang sedemikian rupa sehingga dalam memproyeksikan dapat melewati atas kepala. Menurut Sudarwan Danim (Arsyad, 2009:22) penggunaan transparan tidak jauh berbeda dengan penggunaan papan tulis, perbedaannya jika papan tulis membutuhkan waktu yang cukup lama dan mesti menggambar terlebih dahulu. b) Film Bingkai adalah media komunikasi yang menggunakan satu seri gambar diam dalam film positif yang disajikan dengan memproyeksikan satu persatu secara berurutan dengan pesan-pesan audio melalui rekaman pada pita suatu atau kaset. 3) Media Audio-Visual. Penggunaan media audio visual dalam kegiatan belajar mengajar melibatkan indera pendengaran dan penglihatan. Adapun beberapa jenis Audio-Visual, yaitu; a) Televisi adalah media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara audio-visual dengan disertai unsur gerak. b) Video merupakan suatu alat yang dihubungkan dengan televisi. Cara kerja alat ini yaitu dengan memasukan Compack Disk (CD) ke dalam Video Compack Disk (VCD). c) Film Projector adalah salah satu jenis media Audio-Visual yang biasanya ditampilkan melalui bantuan komputer dan media proyeksi seperti LCD yang berfungsi untuk menampilkan film pada layar serta Speaker (Sound System) sebagai pelempar suara (audio).

2. Prinsip Pemilihan Media Pembelajaran

Sanjaya (2008:224) mengemukakan beberapa prinsip dalam pemilihan media pembelajaran, diantaranya: 1) Pemilihan media harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuan tersebut bersifat kognitif, afektif, dan psikomotor. Perlu dipahami tidak ada satupun media yang dapat dipakai cocok untuk semua tujuan. 2) Pemilihan media harus berdasarkan konsep yang jelas. Artinya pemilihan media tertentu bukan didasarkan kepada kesenangan guru atau sekedar selingan dan hiburan, melainkan harus menjadi bagian integral dalam keseluruhan proses pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran peserta didik. 3) Pemilihan media harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Ada media yang cocok untuk sekelompok peserta didik, namun tidak cocok untuk peserta didik yang lain. 4) Pemilihan media harus sesuai dengan gaya belajar peserta didik serta gaya dan kemampuan guru. Oleh sebab itu, guru perlu memahami karakteristik serta prosedur penggunaan media yang dipilih. 5) Pemilihan media harus sesuai dengan kondisi lingkungan, fasilitas, dan waktu yang tersedia untuk kebutuhan pembelajaran.

Selain pertimbangan di atas, untuk memilih media dapat menggunakan pola seperti yang dikemukakan Sanjaya (2008:224) yaitu ACTION, yang merupakan akronim dari acces, cost, technology, interactivity, organization, dan novelty. Adapun penjelasan dari akronim itu ialah: 1) Acces Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam memilih media. Apakah media yang kita perlukan itu tersedia, mudah, dan dapat dimanfaatkan oleh peserta didik. Misalnya kita akan menggunakan media internet, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah ada saluran untuk koneksi internet? 2) Cost atau biaya juga harus dipertimbangkan. Banyak jenis media yang dapat menjadi pilihan kita. Media canggih biasanya mahal. Namun, mahalnya biaya itu harus kita hitung dengan aspek manfaatnya. Semakin banyak yang menggunakan, maka unit cost dari sebuah media akan semakin menurun. 3) Technology Mungkin saja kita tertarik pada suatu media tertentu. Tetapi kita perlu perhatikan apakah teknologinya tersedia dan mudah menggunakannya? Misalnya, kita ingin menggunakan media audio visual di kelas. Perlu kita pertimbangkan, apakah ada jaringan listrik, apakah voltase listriknya memadai? 4) Interactivity Media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau interaktivisme. Setiap kegiatan pembelajaran yang di kembangkan tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut. 5) Organization Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi. Misalnya, apakah pimpinan sekolah mendukung? Bagaimana pengorganisasiannya? 6) Novelty Kebaruan media yang dipilih juga harus menjadi pertimbangan. Media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik bagi peserta didik. 3. Media Film Proyector dalam Pembelajaran

Latuheru (2003:12) mengartikan Media Audio-Visual adalah media pendidikan modern yang sesuai dengan perkembangan zaman (kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi), meliputi media yang dapat dilihat dan didengar secara langsung. Media Audio-

Page 41: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

150 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

minimal yang ditetapkan oleh sekolah yang setara dengan predikat B+.

Salah satu upaya yang disepakati dalam mengatasi masalah di atas adalah dengan pemanfaatan media Audio-Visual (Film Projector) sebagai media pembelajaran, sehingga peserta didik tertarik dalam pembelajaran tema berbagai pekerjaan khususnya subtema barang dan jasa. Melalui penggunaan media Audio-Visual (Film Projector) dalam pembelajaran tematik pada subtema barang dan jasa kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, sebagaimana karakteristik peserta didik sekolah dasar (Slameto, 2003:81) sangat tertarik terhadap sesuatu hal yang diamati, didengar dan dialaminya secara langsung, karena dapat menimbulkan kesan bermakna dalam diri individu peserta didik.

Menurut Arsyad (2009:30) pengajaran melalui Audio-Visual adalah produksi dan penggunaan materi yang penyerapannya melalui pendengaran dan pandangan serta tidak seluruhnya tergantung kepada pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa. Pemahaman yang dipakai melalui Audio-Visual merupakan cara yang tepat digunakan di kelas, karena penggunaan media ini memecahkan aspek verbalisme pada diri peserta didik. Contohnya pada awal pembelajaran, peserta didik diterangkan mengenai pekerjaan yang menghasilkan barang, setelah itu guru memperlihatkan gambar pekerjaan yang menyediakan jasa, dan lainnya. Selanjutnya akan dipertontonkan film mengenai materi tersebut sehingga peserta didik menjadi paham.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bersama guru melalui persetujuan kepala sekolah bermaksud melakukan tindakan perbaikan pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan judul “Penggunaan Media Film projector untuk Meningkatkan Hasil Pembelajaran Subtema Barang dan Jasa Kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar”.

Rumusan dan Pemecahan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumusakan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah penggunaan media film projector untuk meningkatkan hasil belajar subtema barang dan jasa peserta didik pada Kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar?

Berdasarakan rumusan masalah di atas, peneliti merencanakan pemecahan masalah dengan penggunaan media film projector pada peserta didik Kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan penggunaan media film projector untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tema berbagai pekerjaan peserta didik pada Kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar.

B. KAJIAN PUSTAKA

Pengertian Media Pembelajaran

Menurut AECT, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan. Gagne mengartikan sebagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Senada dengan itu, Briggs mengartikan sebagai alat untuk memberikan perangsangan bagi peserta didik agar terjadi proses pembelajaran. (Aristo Rahadi, 2003:9-10)

Heinich, dkk. (dalam Arsyad Azhar, 2011:4) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah perantara yang mengantar/membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran.

Gagne dan Briggs (dalam Arsyad Azhar, 2011:4) secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, gambar bingkai (slide), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer.

Menurut Latuheru menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan peserta didik dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna. (http://forum.upi.edu/index. php/topic,15693.msg49766.html#msg49766).

Sebagaimana telah diuraikan media pembelajaran adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan guna memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajarnya. Jelas bahwa sudah selayaknya media pembelajaran tidak lagi dipandang sebagai sebuah alat bantu belaka bagi guru untuk mengajar, tetapi lebih sebagai alat penyalur pesan dari pemberi pesan (guru), penulis buku, produsen, dan sebagainya kepada penerima pesan. Oleh karena itu sebagai penyaji dan penyalur dalam hal-hal tertentu, media pembelajaran dapat mewakili guru menyampaikan informasi secara lebih teliti, jelas, dan menarik.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, maka media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian peserta didik sehingga terjadi interaksi komunikasi dan edukasi 1. Jenis-jenis Media Pembelajaran

Bagian ini akan menguraikan mengenai macam-macam media yang umumnya didengar dan dilihat oleh masyarakat. Media-media tersebut meliputi: 1) Media audio merupakan alat bantu yang digunakan dengan hanya bisa mendengar saja. Jenis media audio dapat dikelompokkan antara lain; a) Radio ialah alat elektronik untuk mendengar berita secara aktual, mengetahui informasi serta peristiwa-peristiwa penting dan baru. b) Alat Perekam Pita Magnetik. Alat ini digunakan untuk merekam suara. Dalam proses pembelajaran, alat ini lebih efektif karena dapat diputar berulang-ulang sesuai dengan keinginan. Pesan dan isi pelajaran yang telah terekam dimaksudkan untuk merangsang perasaan,

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 33

perasaannya. Mengajar untuk belajar serta cenderung memaksakan mahasiswa mengetahui apa yang dosen ingin ketahui adalah prinsip yang dipegang dosen model. Open class ini adalah salah satu eksperimen yang dilakukannya. Fatiya kemudian menyampaikan apa yang dia lihat. Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi permasalahan sekaligus alasan mengapa mahasiswa tidak dapat belajar dengan baik. Pertama, beberapa mahasiswa tidak terlibat dalam diskusi kelompok. Kedua, diskusi kelompok rekan tidak berjalan dengan baik. Terakhir, persepsi mahasiswa berbeda-beda dan dipengaruhi oleh minimnya motivasi belajar mereka. Sebagai alternatif solusi Fatiya berpendapat bahwa seharusnya mahasiswa diminta untuk belajar sebelumnya dengan menjawab beberapa pertanyaan dan mahasiswa harus selalu dimotivasi dengan sisipan humor.

Moderator kemudian meminta Neni untuk menyampaikan apa yang dia lihat. Dia merasa bahwa banyaknya mahasiswa yang tidak menyiapkan bahan bacaan atau handout serta kebingungan dalam memahami instruksi dosen menjadi masalah utama mereka. Dia menawarkan bahwa mahasiswa sudah sewajarnya terus dibimbing dan dimotivasi serta dibuat nyaman dalam belajar terutama dengan sisipan humor. Moderator kemudian menyampaikan apa yang dia dan Tanjung lihat. Mereka merasa bahwa bahan ajar yang dibaca oleh para mahasiswa cukup berat. Pemilihan materi seharusnya melihat tingkat kemampuan belajar mahasiswa. Hal ini berdampak apabila mahasiswa tersebut tidak memahami maksud dari materi maka mereka akan berhenti untuk belajar. Pada konteks inilah, mahasiswa harus diberi penjelasan yang lebih sederhana dan penjelasan lanjutan terkait bacaan-bacaan yang sulit. Selain itu, penggunaan modifikasi jigsaw ternyata membuat degradasi dalam proses pembelajaran. Mahasiswa yang masuk kelompok rekan seringkali ikut mendengarkan apa yang didiskusikan dalam kelompok ahli. Mereka memberikan saran agar kesetaraan dalam belajar juga harus dijunjung tinggi.

Para observer ternyata sepakat terdapat beberapa pelajaran berharga yang dapat dipetik dari proses pembelajaran dan dosen model. Pertama, penggunaan humor dan hafal akan nama-nama mahasiswa dapat membuat kondisi kelas kondusif, cair, dan materi menjadi lebih konkret. Humor bisa jadi menjadi mesin pembangkit minat mahasiswa untuk belajar. Apabila seorang dosen mampu menggunakannya dengan baik maka mereka akan dicintai dan dinantikan kehadirannya. mahasiswa biasanya mencintai pelajaran tertentu bukan hanya karena materi pelajaran tetapi juga karena faktor sang pengajar. Humor dapat diasumsikan sebagai motor pembelajaran yang menyenangkan. Humor menempati posisi penting dalam penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan. Lingkungan belajar yang menyenangkan dapat dibentuk dengan memaksimalkan interaksi antara guru dan siswa (Wijaya, 2016).

Kedua, cara kerja strukturalisme bukan hanya dengan menggunakan oposisi biner tetapi juga eksplanasi dengan dimulai dari kata tanya mengapa. Sejauh pandang, strukturalisme memang memberi arahan penggunaan oposisi biner dalam analisisnya. Hal ini tidak lain dipengaruhi oleh peletak dasar aliran ini, Ferdinand de Saussure. Baginya, distingsi-distingsi sangat penting untuk mengetahui sesuatu. Manusia

mengetahui sesuatu karena dia membedakannya dengan hal-hal yang dibedakan darinya. Pengertian bahasa sebagai suatu sistem itulah yang menjadi landasan bagi struktur. Bahasa serta kata-kata tersusun dari dua bagian yang berkaitan. Manusia memahami makna bukan dari yang nampak tetapi dari apa yang tidak nampak (Hidayat, 2009). Perbedaan dalam keragaman inilah yang dikembangkan oleh ahli sejarah.

Mazhab Annales menjadi pemuka sejarah struktural sedangkan Sartono Kartodirdjo yang memperkenalkannya di Indonesia. Sartono percaya bahwa apabila suatu teks didekati dengan kata tanya mengapa maka teks seolah-olah tersusun menjadi dua bagian. Bagian yang tidak nampak itulah yang disebut sebagai struktur. Kartodirdjo (2014) memberikan contoh bagaimana mengulas nasionalisme Indonesia dengan pendekatan struktural. Dia berhasil memperlihatkan bahwa nasionalisme Indonesia dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti ekonomi, sosial, kebudayaan, dan politik. Dia juga melihat nasionalisme Indonesia dari unsur-unsur seperti kognitif, orientasi nilai atau tujuan, dan afektif. Selain itu, dia juga menjelaskan esensi dari nasionalisme sebagai antitesis dari kolonialisme. Dia sepertinya mengikuti dialektika Hegel, jika kolonialisme sebagai tesis maka nasionalisme menjadi antitesis dan kemerdekaan menjadi sintesisnya. Pendekatan ini diharapkan akan mampu menggarap suatu proses bukan dari satu tingkat saja tetapi dari berbagai tingkat dan bahkan hubungan anatara beberapa tingkat mikro, mezzo, dan makro (Kartodirdjo, 1993:116).

Refleksi pasca open class II dan III tidak terlalu memiliki banyak perbedaan baik dari aspek hambatan belajar mahasiswa dan solusi yang ditawarkan para observer ataupun pelajaran berharga yang diambil dari proses pembelajaran dan dosen model. Empat observer yang datang, Neni Wahyuningtyas, Ulfatun Nafi’ah, Fatiya Rosyida, dan Nur Wakhid Hidayat menyepakati tiga hambatan utama mahasiswa dalam belajar baik di open class II maupun III. Pertama, mahasiswa tidak diberikan waktu yang cukup untuk mengerjakan LKM akibatnya ketika diskusi berlangsung, mahasiswa banyak yang mengerjakan LKM-nya. Kedua, diskusi kelompok tidak berjalan dengan baik karena masih banyak mahasiswa yang terlalu pasif dalam berdiskusi. Ketiga, kebanyakan mahasiswa masih kurang bisa untuk bekerjasama dan kurang begitu memahami materi beserta dengan teks pendekatan struktural. Beberapa solusi kemudian dilayangkan. Mulai dari manajemen waktu dalam pembelajaran perlu diperhatikan; instruksi dosen model seharusnya diberikan setelah LKM mahasiswa selesai; instruksi pengerjaan LKM juga dituliskan di LKM tersebut; hingga aturan main dalam kelompok (ada leader dalam setiap kelompok).

Adapun, salah satu pelajaran berharga yang dibawa oleh para observer dari proses pembelajaran dan dosen model adalah penting untuk mengingat nama mahasiswa. Nama mahasiswa jika diberikan sisipan humor ternyata sangat berguna. Hal ini bukan hanya untuk menghargai mereka tetapi juga membangun citra pendidik sebagai pribadi yang hangat dan humoris. Dengan gaya seperti ini, pendidik akan mudah melancarkan arus komunikasi. Menurut Darmansyah (2011:181-186), terdapat beberapa upaya dalam mencitrakan pendidik sebagai orang yang humoris. Humor dapat disisipkan pada saat kita memperkenalkan

Page 42: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

34 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

diri. Biasanya kita dapat memlesetkan nama kita. Hal ini akan bertambah segar apabila kita dapat bercerita tentang peristiwa-peristiwa lucu yang anda alami. Selanjutnya adalah mengenal mahasiswa satu persatu dengan memanggil nama mereka dan bertanya beberapa hal tentang mereka. Jika ada mahasiswa yang memberi celetukan, ada baiknya pendidik jangan mudah geram apalagi terpancing emosi. Pendidik harus menanggapinya dengan bahasa humor. D. KESIMPULAN DAN SARAN Pembelajaran sejarah secara umum seringkali dikaitkan dengan pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya. Para pendidik sejarah sadar akan hal ini. Mereka menyisipkan berbagai nilai pada saat pembelajaran berlangsung. Akan tetapi, kiat ini lebih bersifat satu arah. Sudah saatnya, para mahasiswa harus menggali sendiri nilai-nilai kesejarahan dari berbagai sumber sejarah. Salah satu alternatifnya sekaligus dapat digunakan sebagai cara belajar di perguruan tinggi adalah dengan mendekati teks secara struktural. Dengan memanfaatkan pembelajaran secara teoretis dan praktis, penulis merasa mahasiswa dapat lebih mudah dalam menggali nilai-nilai kesejarahan. E. DAFTAR PUSTAKA Daliman. 2012. Manusia & Sejarah. Yogyakarta: Ombak Darmansyah. 2011. Strategi Pembelajaran Menyenangkan

dengan Humor. Jakarta: Bumi Aksara DePorter, B. Dkk. 1999. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa Hamid, AR. 2014. Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta:

Ombak Hidayat, A.A. 2009. Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja

Rosdakarya Isjoni. 2010. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan

Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kartodirdjo, S. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kartodirdjo, S. 2014. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Yogyakarta: Ombak

Miles, M.B. & A.M. Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. California: SAGE Publications

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana

Susilo, H. 2009. “Mengapa Lesson Study Dipilih sebagai Sarana Peningkatan Kualitas Pembelajaran”. S. Wahyudi (Ed). Lesson Study Berbasis Sekolah: Guru Konservatif menuju Guru Inovatif. Malang: Bayumedia Publishing

Wahyuningtyas, N. 2015. “Membangun Kolegialitas Calon Guru IPS melalui Lesson Study”. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya. Vol.9, No.2. (2015):217-222

Wijaya, D.N. 2014. “Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sejarah Eropa berbasis Bermain Peran”. D.A.G. Agung (Ed). 2014. Pembelajaran Sejarah di Tengah Perubahan. Malang: FIS-UM

Wijaya, D.N. 2016. Menjadi Sejarawan Pendidik. Yogyakarta: Penerbit DeePublish

 

 

   

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 149

Penggunaan Media Film Projector Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Subtema Barang dan

Jasa Kelas IV SD Inpres Hartaco Indah Makassar

Rafiuddin1 Program Pendidikan Dasar - Universitas Negeri Malang1

[email protected]

Abstract: The problem in this research is the low level of the results of the study on subtema barang dan jasa caused by the factors of teachers and learners. The purpose of this research is to improve the learning results of Subtema barang dan jasa Class IV SD Inpres Hartaco Indah Makassar. The approach used in this study is a qualitative research approach. This type of research in this action research is a class act that is a action against learning activities in the form of an action, which is intentionally inflicted and occurs in a class together and implemented based on stages PTK (planning, implementation, observation and reflection). This research data is data the results of learning about learners material on subtema barang dan jasa. The data obtained through observation, tests, and. The results of this research show that there is a meaningful improvement, both in the learning process as well as the evaluation given at the end of each Act. The improvement can be seen on the results of the evaluation of each cycle i.e. 62.5% in cycle I became 97.5% in cycle II obtain a predicate B +. Conclusion of this research is to use the medium of Film Projector so the results of the Study Subtema of barang dan jasa Class IV SD Inpres Hartaco Indah Makassar Increased.

Key Words: Film Projector, learning outcomes.

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun dalam pelaksanaannya, pendidikan selalu menghadapi berbagai permasalahan. Salah satunya adalah masalah mutu pendidikan. Masalah mutu pendidikan berkaitan dengan proses pengelolaan pembelajaran yang belum maksimal, sehingga belum dapat menciptakan proses belajar dan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkan hal tersebut, karena guru harus memperhatikan komponen-komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional salah satunya ialah pengembangan media dalam pembelajaran tematik berdasarkan kurikulum 2013.

Dalam kurikulum 2013 ada beberapa kajian materi yang harus dikuasai oleh peserta didik. Materi-materi tersebut harus dikuasai oleh peserta didik sekolah dasar baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat karena berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari seperti tema berbagai pekerjaan pada subtema barang dan jasa kelas IV SD. Oleh karena itu guru sebagai pengajar perlu menanamkan konsep materi yang akan dipelajari peserta didik pada subtema barang dan jasa tersebut dengan baik agar dapat dipahami oleh peserta didik.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia, baik dalam

ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan. Oleh karena itu, agar pendidikan tidak tertinggal dari perkembangan IPTEK tersebut perlu adanya penyesuaian-penyesuaian, terutama sekali yang berkaitan dengan faktor-faktor pengajaran di sekolah. Salah satu faktor tersebut adalah media pembelajaran yang perlu dikuasai oleh guru maupun calon guru khususnya media elektronika dalam proses belajar mengajar, sehingga dalam menyampaikan pesan pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, berdaya guna, dan berhasil guna sehingga mampu meningkatkan minat dan hasil belajar peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Asnawir dan Usman (2002:11) yang mengemukakan bahwa media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien (peserta didik) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya.

Seorang Insinyur dari Amerika B. Fuller (Depdiknas, 2003) mengatakan bahwa media telah menjadi “Orang Tua Ketiga” bagi anak setelah guru sebagai orang tua kedua. Hal ini memperlihatkan bahwa media telah menunjukkan keunggulannya membantu para guru dan staf pengajar dalam menyampaikan pesan pembelajaran serta lebih cepat dan lebih mudah ditangkap oleh peserta didik. Sehubungan dengan hal itu, peran media sangat dibutuhkan dalam pembelajaran dimana dalam perkembangannya saat ini media bukan lagi dipandang sekedar alat bantu tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pendidikan dan pembelajaran.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti tanggal 24 Oktober 2015 pada nilai ulangan harian subtema jenis-jenis pekerjaan pada tema berbagai pekerjaan tanpa menggunakan media kelas IVA SD Inpres Hartaco Indah Makassar menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh peserta didik belum maksimal karena sebagian besar peserta didik memperoleh nilai hasil belajar kurang dari 3,00-3,33 dari nilai acuan

Page 43: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

148 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Sudikin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tim Dalam Kelas. Jakarta : Insan Cendikia.

Sulistyo, Hasan Budi dan Suprobo Bambang. 2006. IPS Terpadu. Jakarta : Erlangga.

Winkel, Ws. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : PT. Grasindo.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 35

Peningkatan Kualitas Pembelajaran Menuju Siswa Berprestasi Melalui Lesson Study

Eka Andriani, Sumarmi2, Komang Astina3 Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study. Penelitian ini dirancang menggunakan desain penlitian tindakan kelas dengan model lesson study. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan tes tertulis. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Lokasi penelitian berada di SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo dengan subjek siswa dan guru geografi di kelas XI.IS.1. Hasil penelitian menunjukkakan bahwa kegiatan pembelajaran berbasis masalah yang didesain dengan lesson study mampu meningkatkan kualitas pedagogik guru dari segi kemampuan menyususn RPP dan melaksanakan pembelajaran. Kualitas siswa juga meningkat dilihat dari segi aktivitas dan hasil belajarnya. Kegiatan lesson study ini hendaknya dikembangkan guru untuk meningkatkan pembelajaran.

 

Kata kunci: kompetensi pedagogik, pembelajaran berbasis masalah , lesson study, aktivitas, hasil belajar

A. PENDAHULUAN

Siswa yang berkualitas harus dimulai dari guru yang berkualitas. Kemampuan seorang guru dalam mendesain pembelajaran, mengelola pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran sangat penting dalam menghasilkan pembelajaran yang berkualitas (Sato: 2012). Membangun kualitas siswa harus dimulai dari membangun kualitas diri seorang guru. Seorang guru yang professional harus mampu melakukan evaluasi diri terhadap pembelajaran yang dilakukan, sehingga tujuan akan siswa berprestasi bisa dicapai.

Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru yang berkualitas/professional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki guru professional antara lain kompetensi pedagokik, kompetensi professional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian (Sumarmi, 2012). Empat kompetensi tersebut harus menyatu dalam diri seorang guru sebagai sebuah karakter. Empat kompetensi tersebut yang akan membawa seorang guru sebagai fasilitator sekaligus motivator siswa dalam belajar.

Data hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) geografi SMA di Kabupaten Ponorogo tahun 2016 menunjukkan bahwa kemapuan pedagogik guru geografi perlu mendapatkan perhatian lebih. Terdapat 44% dari 32 peserta UKG yang mendapat nilai/skor rendah untuk keompetensi pedagogik. Kurangnya kemampuan pedagogik seorang guru dapat berdampak pada kualitas kegiatan pembelajaran. Dampak lebih jauhnya akan berpengaruh pada prestasi siswa.

Banyak sekali usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas seorang guru. Upaya peningkatan kualitas guru dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, pelatihan atau dengan diskusi bersama teman sejawat. Upaya peningkatan kualitas guru yang dilakukan oleh pemerintah adalah melaui kegiatan monitoring pembelajaran oleh dinas pendidikan setempat. Kegiatan ini sering kali dilakukan terhadap guru, akan tetapi pada pelaksanaanya tidak memberikan hasil yang optimal. Kegiatan monitoring pembelajaran yang dilakukan oleh pemerintah kurang bersifat menyeluruh, baik dalam pelaksanaanya maupun

objek/guru sasarannya (Andriani, 2016). Kegiatan tersebut biasanya dilakukan saat pembelajaran di kelas saja tidak sampai kegiatan tindak lanjut berupa solusi perbaikan.

Lesson study merupakakan salah satu alternatif solusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui peningkatan kualitas guru. Lesson study adalah sebuah proses yang kompleks, secara kolaboratif dalam merencanakan pembelajaran, dengan penuh kehati-hatian mengumpulkan data dari hasil pembelajaran dan mendiskusikannya (Lewis: 2002). Menurut Lewis kegiatan ini merupakan kegiatan secara simultan yang dilakukan guru untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu peningkatan kualitas peserta didik.

Lesson study pada awalnya berkembang di Negara Jepang yang dikenal dengan istilah Jugkyokenkyuu. Istilah lesson study pertama kalinya diperkenalkan oleh Yoshida (Hamdani: 2010). Tujuan utama kegiatan ini adalah meningkatkan kualitas pembelajaran melalui peningkatan kualitas guru. Berdasarkan Dirjen PMPTK (2008) pelaksanaan kegiatan lesson study terbagi dalam tiga tahapan yaitu plan, do, dan see. Dalam kegiatan lesson study, para guru berkolaborasi dalam merencanakan (Plan) dan merealisasikan pembelajaran (Do) serta melakukan evaluasi/refleksi (See) dari setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Kegiatan ini sangat memberi manfaat terutama bagi guru. Lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil positif yaitu kegiatan pembelajaran berbasis lesson study mampu meningkatkan kualitas pembelajaran baik dari segi kompetensi guru maupun kemampuan akademik siswa (Santoso & Waluyanti, 2010; Marhamah, 2015; Sulistiani, 2014; Azizah,2013). Menurut Sato (2012) dampak jangka panjang dari pelaksanaan lesson study adalah adanya peningkatan kualitas akademis siswa. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menerapkan model Lesson study dikolaborasikan dengan PTK pada jenjang SMA pada bidang studi Geografi.

Page 44: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

36 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

B. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dirancang dengan lesson study. Kegiatan pembelajaran lesson study melibatkan satu orang guru model (peneliti sendiri) dan empat orang observer. Penilitian ini dilaksanakan secara bersiklus (2 siklus). Kualitas guru dilihat dari aspek kompetensi pedagogik guru, diukur menggunakan lembar observasi yang diadaptasi dari Intrumen Penilaian Kinerja Guru (IPKG) (Azizah, 2015). Indikator dari kompetensi pedagogik guru meliputi kemampuan guru menyusun RPP dan melaksanakan pembelajaran. Prestasi siswa dilihat dari segi aktivitas dan hasil belajar. Metode pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan tes tertulis. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian adalah siswa dan guru geografi kelas XI.IS-1 SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo. Kelas XI.IS.1 dipilih karena kelas tersebut merupakan kelas bilingual dengan fasilitas belajar bagus tetapi memiliki nilai yang cukup rendah pada hasil belajarnya.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Melalui Pembelajaran Berbasis Lesson study

Hasil penilaian tentang kompetensi guru diambil melalui pengamatan yang dilakukan oleh empat observer selama dua kali siklus yang dinyatakan dalam nilai angka. Data kuantitatif tersebut kemudian dibandingkan antara siklus I dan siklus II. Nilai kompetensi pedagogik guru yang diukur dari 2 aspek yaitu kemampuan guru dalam menyusun RPP dan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Dari pengolahan data diperoleh hasil seperti terlihat pada Gambar 1.                           

Gambar 1. Perbedaan Nilai Rata-Rata Kemampuan Guru Menyusun RPP serta Melaksanakan Pembelajaran Pada

Siklus 1 dan Siklus 2

Kemampuan pedagogik guru secara umum

meningkat dari sklus I ke siklus II. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya kemampuan guru dalam menyusun RPP dan melaksanakan pembelajaran. Beberapa komponen dalam menyusun RPP yang masih kurang

maksimal pada siklus I adalah kemampuan menyusun skenario pembelajaran. Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran yang masih kurang pada siklus I adalah kemampuan membuka dan menutup pelajaran. Guru model masih terlalu banyak ceramah di awal pembelajaran sehingga berdampak pada kurang efektifnya manajemen waktu. Guru juga tidak menyampaikan tujuan dan indikator belajar sesuai dengan rancangan pada RPP. Pada siklus II semua komponen tersebut mengalami peningkatan. Perbaikan kegiatan pembelajaran guru tersebut tidak lepas dari peran anggota lesson study dalam mendesain pembelajaran (tahap Plan) dan merefleksi pembelajaran (tahap see) berdasarkan temuan saat observasi (pada tahap Do). Rangkaian kegiatan plan-do-see tersebut menghasilkan solusi perbaikan secara bersama-sama. Keberadaan teman sejawat dalam tim lesson study dapat memberikan bantuan solusi bagi guru dalam mengelola kelas dan mengatasi permasalahan di kelas. Kegiatan bersama yang terus menerus inilah yang kemudian mengasah kualitas diri seorang guru tidak hanya bagi guru model tetapi juga anggota lesson study yang lain. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Sulistani (2014) dan Azizah (2013) bahwa kegiatan pembelajaran yang dirancang dengan lesson study mampu meningkatkan kinerja guru dalam hal menyusun RPP. Suprapti (2014) juga menyatakan bahwa salah satu pengalaman berharga yang diperoleh guru dari kegiatan lesson study adalah meningkatnya kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran. Guru-guru bisa saling bertukar wawasan dan memberi solusi untuk merancang pembelajaran yang efektif sesuai dengan kondisi siswa. Menurut pernyataan salah satu observer pelajaran berharga dari lesson study yang telah dilakukan adalah perencanaan pembelajaran yang dibuat bersama menjadi lebih baik dan lebih mudah dilakukan karena dievalusi oleh banyak orang secara obyektif.

Peningkatan Prestasi Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Lesson study

Kegiatan pembelajaran dengan model PBL yang didesain dengan kegiatan lesson study yang dilakukan di kelas XI.IIS1 SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo ternyata berpengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa. Perstasi akademik ini dilihat dari aktivitas dan hasil belajar siswa selama kegiatan pembelajaran menggunakan model PBL berbasis lesson study. Hasil penelitian yang dilakukan selama dua siklus menunjukkan adanya peningkatan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat melalui rata-rata aktivitas belajar klasikal dan ketuntasan belajar klasikal dari siklus I ke siklus II.

Rata-rata aktivitas belajar klasikal meningkat sebesar 13,42% dari siklus I ke siklus II. Peningkatan ini terjadi karena dalam mengelola siswa di kelas guru mendapat masukan dan saran positif dari teman lesson study yang menjadi observer. Para observer yang sebagian besar lebih lama mengajar membagikan pengalamannya dalam mengatasi masalah pengelolaan kelas. Keberadaan banyak observer

80

85

90

95

KemampuanMenyusun RPP

KemampuanMelaksanakan KBM

Sikus 1

Siklus 2

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 147

lisan, 6) mencipta: menginovasi, mencipta, mendesain model, produk, berdasarkan pengetahuan yang dipelajari.

C. HASIL PENELITIAN

Data yang diambil sebelum dilakukannya pembelajaran dengan pendekatan saintifik diperoleh rata-rata kelas sebesar 82.4% dengan persentase keberhasilan siswa sebesar 88,1%. Dari 42 siswa hanya 5 siswa yang harus mengikuti remedial karena nilai yang diperoleh masih di bawah criteria ketuntasan minimal yaitu 78.

Dari tabel observasi pengamatan kegiatan kelompok diperoleh hasil bahwa performa siswa dalam kegiatan kelompok yang sudah berlangsung kurang memberikan dampak pada nilai siswa, walaupun dalam kegiatan kelompok, seperti ditunjukan pada tabel di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan interaksi kelompok siswa cukup memuaskan. Namun ada beberapa siswa yang kurang tertarik dengan kegiatan yang berlangsung atau kurang berkontribusi dalam kelompok tersebut. Hal ini menunjukan bahwa, metode konfensional yang diterapkan belum mampu menarik keluar seluruh kemampuan siswa dalam menyerap, memahami, dan mengaplikasikan apa yang diperoleh pada saat penyampaian materi dan kegiatan kelompok.

Setelah dilakukan pembelajaran dengan pendekatan saintific tampak bahwa rata-rata kelas sebesar 85,8%, dan persentase keberhasilan siswa sebesar 97,6%. Dari 42 jumlah siswa dalam satu kelas hanya satu orang saja yang harus mengikuti remidial karena memperoleh nilai di bawah KKM.

Dari tabel observasi kegiatan kelompok dalam proses pembelajaran ketika pengaplikasian metode pembelajaran saintifik, dapat dilihat bahwa siswa mulai lebih aktif berinteraksi dalam memberikan tanggapan, bertanya, dan memberikan klarifikasi. Hal ini secara tidak langsung juga meningkatkan pemahaman dan daya ingat dari para siswa.

Kegiatan pengamatan dalam pembelajaran saintifik meningkatkan pemahaman materi para siswa, kegiatan penyusunan pertanyaan membuat siswa bersikap lebih kritis terhadap materi, kegiatan pengumpulan data membuat siswa mempunyai banyak informasi yang berhubungan dengan materi yang mendukung siswa dalam memberikan respon terhadap pernyataan dan menjawab pertanyaan, kegiatan diskusi (mengolah data) membuat para siswa memperdalam pemahaman dan menyamakan pendapat terhadap suatu pernyataan, dan pada kegiatan akhir, siswa mampu menarik kesimpulan sesuai dengan apa yang telah diketahuinya.

Beberapa kegiatan dari pembelajaran saintifik ini memberikan dampak yang baik pada siswa IX I yang ditunjukan dengan peningkatan nilai para siswa dan meningkatkan interaksi pada saat kegiatan belajar berlangsung.

Perbedaan secara terinci hasil yang diperoleh sebelum pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintific dan setelah implementasi pendekatan saintific dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D. PENUTUP

Pemilihan strategi maupun pendekatan pembelajatran yang tepat dapat menimbulkan semangat, gairah, motivasi dan mencegah kebosanan peserta didik untuk belajar sehingga proses pembelajaran akan lebih menarik, proses penerimaan informasi berjalan dengan baik dan tujuan pembelajaran dapat tercapai yang berujung pada peningkatan hasil prestasi belajar peserta didik.

Sesuai dengan hasil penelitian ini disarankan bagi para pendidik untuk mencoba mengimplementasikan pendekatan saintific untuk semua matapelajaran yang diampu untuk memberikan situasi pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa sehingga hasil yang diperoleh dalam pembelajaran bisa maksimal.

E. DAFTAR RUJUKAN

(http://id.wikipedia.com/wiki/jaman_pendudukan_jepang)

Depdiknas. 2007. IPS. Jakarta : Depdiknas.

Mahdiyah, Sitta Ilmi. 2006. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Kelompok Investigasi (Group Investigation) Untuk Meningkatkan Kerja Ilmiah dan Prestasi Belajar Biologi Siswa Kelas X-1 SMA N 2 Pasuruan. Malang : F MIPA UM.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bangdung : PT Remaja Rosa Karya.

Kurnia, Anwar. Drs. 2006. IPS Terpadu Kelas VII. Jakarta : Yudhistira.

Ibrahim, Muslimin, dkk. 2004. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Unesa Press.

Poerwodarminto, WJS. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai pustaka.

Sadirman. AM, 1987. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Pers.

Gbr 1. Rekap hasil sebelum dan sesudah Implementasi Pendekatan Saintific

Page 45: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

144 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

   

Penerapan Pendekatan Scientific terhadap Hasil Belajar Siswa Mengenai “Jaman

Pendudukan Jepang” Kelas IX I SMP Negeri 1 Sukorejo

Poniti SMP Negeri 1 Sukorejo

Abstrak: Ilmu Pengetahuan Sosial adalah sebuah mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman mendalam. Tujuan umum dari pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mampu mengaplikasikannya di kehidupan bermasyarakat. Siswa juga diharapkan mampu mengingat dan menjelaskan peristiwa–peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia dan di dunia dan mengambil nilai–nilai dari peristiwa–peristiwa tersebut. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan untuk mengingat, menjelaskan, dan memaknai peristiwa–peristiwa bersejarah baik di Indonesia maupun di dunia. Ada beberapa faktor penyebab kesulitan siswa tersebut. Salah satunya adalah proses penyampaian materi yang kurang menarik dan kurang melibatkan siswa secara aktif dalam mempelajari peristiwa–peristiwa bersejarah tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa mengenai “Jaman Pendudukan Jepang” dengan pendekatan saintifik pada siswa IX I, semester ganjil, SMP Negeri 1 Sukorejo. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa rata-rata hasil belajar siswa pada siklus 1 sebesar 88,1% dan pada siklus 2 menjadi 97,6%. Rata-rata kelas yang diperoleh sebesar 82,4% pada siklus 1 meningkat menjadi 85,8% pada siklus 2. Dari data di atas dapat disimpulkan yaitu: penerapan pendekatan saintifik dapat meningkatan hasil belajar siswa.

Kata Kunci: Scientific, hasil belajar

A. PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Sosial adalah sebuah mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman mendalam guna mendapatkan hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan yang di inginkan. Tujuan umum dari pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mampu mengaplikasikannya di kehidupan bermasyarakat. Sebagai tambahan, siswa diharapkan mampu mengingat dan menjelaskan peristiwa–peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia dan di dunia dan mengambil nilai–nilai dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Akan tetapi, sebagian besar siswa mengalami kesulitan untuk mengingat, menjelaskan, dan memaknai peristiwa–peristiwa bersejarah baik di Indonesia maupun di dunia. Ada beberapa faktor penyebab kesulitan siswa tersebut. Salah satunya adalah proses penyampaian materi yang kurang menarik dan kurang melibatkan siswa secara aktif dalam mempelajari peristiwa–peristiwa bersejarah tersebut.

Untuk memecahkan permasalahan tersebut, banyak pengajar mengaplikasikan berbagai macam metode pembelajaran. Setiap metode pembelajaran memiliki masing – masing kelebihan, kekurangan, dan karakteristik yang berbeda. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah pembelajaran saintifik (scientific learning). Metode pembelajaran saintifik lebih menitik beratkan kepada kegiatan mengamati, merumuskan pertanyaan, pengumpulan data, mengolah data, dan menarik kesimpulan. Hal ini secara langsung akan melibatkan peran siswa secara aktif dalam proses belajar, serta meningkatkan singkronisasi antara pengajar dengan siswa terhadap pembahasan materi ajar.

Peneliti mengaplikasikan metode pembelajaran saintifik ini pada kelas IX I SMP Negeri 1 Sukorejo. Pemilihan kelas ini dikarenakan, kelas ini memiliki keragaman individu yang mempengaruhi penerimaan informasi belajar dan nilai yang perlu ditingkatkan.

B. PENDEKATAN SAINTIFIC

Pada pembelajaran saintific pembelajaran ini berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu. Bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. Langkah-langkah pembelajaran saintific: 1) mengamati: membaca, mendengar, menyimak, melihat ( tanpa lat atau dengan alat) untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin diketahui, 2) menanya: mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan utnuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati, 3) mencoba/mengumpulkan data (informasi): melakukan eksperimen, membaca sumber lain dan buku teks, mengamati objek/kejadian, wawancara dengan narasumber, mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, memodifikasi/mengembangkan, 4) mengasosiasikan/mengolah informasi: mengolah informasi yang dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengumpulkan informasi, 5) mengkomunikasikan: menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya, menyajikan laporan dalam bentuk bagan, diagram, atau grafik, dan menyajikan laporan meliputi proses, hasil, dan kesimpulan secara

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 37

pada saat open class juga sangat membantu guru dalam memantau aktivitas belajar siswa sehingga aktivitas setiap aktivitas belajar siswa dapat dinilai secara objektif. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Marhamah (2015) yang menyatakan bahwa pembelajaran PBL yang dipadu dengan GI (Group Investigation) melalui lesson study mampu meningkatkan hasil belajar kognitif mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong. Capaian prestasi akademik siswa dalam penelitian ini juga dilihat dari hasil belajar. Hasil belajar siswa diperoleh melalui hasil tes tertulis yang dilakukan siswa pada setiap akhir siklus. Berdasarkan kegiatan tes tertulis yang dilakukan sebanyak dua kali pada akhir pembelajaran siklus I dan siklus II diperoleh hasil nilai rata-rata ketuntasan klasikal seperti terlihat pada Gambar 2. Secara umum persentase ketuntasan belajar klasikal juga mengalami peningkatan sebesar 30,21% dari siklus I ke siklus II (Andriani: 2016).

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Perbedaan Rata-Rata Ketuntasan Hasil Belajar Klasikal Pada Siklus 1 dan Siklus 2

Peran lesson study dalam meningkatkan pestasi

siswa cukup besar. Selain merancang RPP, pada tahap plan guru juga bekerjasama dalam membuat LKS, menentukan media, sampai dengan membuat rancangan evaluasi dan penilaian. Guru-guru dalam tim lesson study berdiskusi saling bertukar pikiran dalam menentukan topic/tema yang akan dijadikan bahan ajar. Mengatasi siswa dengan keterbatasan akademik dan permasalahan lain. Ketuntasan klasikal pada siklus I belum bisa mencapai target yaitu 75%. Hal ini dikarenakan beberapa siswa banyak yang melewatkan beberapa tahapan kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama karena tidak masuk. Hal ini berakibat cukup fatal pada hasil belajar yang dicapai.

Guru mendapat solusi untuk memaksimalkan aktivitas belajar siswa agar mencapai hasil belajar lebih baik. Semua siswa harus terlibat dan mendapatkan pengalaman belajar. Salah satu strategi yang digunakan adalah mengubah komposisi anggota kelompok diskusi pada siklus II. Hal ini bertujuan agar siswa mendapat pengalaman berinteraksi dengan teman yang berbeda. Alur diskusi saat presentasi juga harus dikendalikan

langsung oleh siswa dengan cara menentukan moderator dan siswa yang presentasi untuk perwakilan tiap kelompok. Semakin banyak pengalaman belajar yang didapatkan akan semakin banyak berdampak pada hasil belajar siswa.

Kegiatan lesson study yang digunakan untuk mendesain pembelajaran model PBL ternyata cukup berhasil memberikan dampak positif bagi hasil belajar siswa di kelas XI.IS-1 SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo. Penentuan topik masalah sebagai bahan diskusi dan kesuaian materi diskusi dengan soal evaluasi merupakan poin penting yang didiskusikan dalam tahap plan oleh tim lesson study. Kegiatan refleksi (see) menjadi kekuatan dari keberhasilan lesson study. Forum refleksi menjadi wahana untuk evaluai diri sebagai landasan untuk membuat rencana-rencana perbaikan pada kegiatan berikutnya.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kegiatan pembelajaran yang dirancang dengan model lesson study telah mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru dalam hal menyusun RPP adan melaksanakan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari temuan dalam penelitian yang dilaksanakan sebanyak dua siklus. Kegiatan lesson study selain mampu meningkatkan kemampuan pedagogik guru juga dapat meningkatkan hubungan sosial antar guru serta kesadaran duru untuk mengevaluasi diri melalui teman sejawat. Kompetensi kepribadian dan sosial secara tidak langsung juga meningkat. Dampak positif lain dari kegiatan lesson study yang telah dilakukan adalah mampu meningkatkan prestasi akademik siswa. pembelajaran model PBL yang didesain dengan kegiatan lesson study ternyata telah mampu meningkatkan aktivitas belajar serta hasil belajar siswa. hal ini dibuktikan dengan meningkatnya rata-rata aktivitas belajar klasikal dan ketuntasan belajar klasikal dari siklus I ke siklus II.

Saran

Guru membuat rencana pembelajaran dengan baik serta merealisasikannya dalam kegiatan pembelajaran dengan model lesson study. Kegiatan lesson study dapat ditindaklanjuti melalui kebijakan sekolah sebagai program unggulan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran secara kolektif. Dinas Pendidikan setempat diharapkan menjadikan kegiatan lesson study sebagai sarana untuk mendukung peningkatan profesionalisme guru. Melalui lesson study program Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang lebih efisien.

DAFTAR RUJUKAN

Azizah, Nurul. 2013. Implementasi Lesson Study

Berbasis Sekolah (LSBS) Untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Dan Hasil Belajar Biologi Siswa

0

20

40

60

80

100

Siklus I Siklus II

% ketuntasanklasikal

Page 46: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

38 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

SMA Negeri 1 Bangil Kabupaten Pasuruan. Tesis tidak diterbitkan. Malang. PPs UM.

Andriani, Eka. 2016. Peningkatan Kompetensi

Pedagogic Guru Dan Kemampuan Akademis Siswa Memelalui Lesson Study. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian dan Pengembangan Pascasarjana UM, Vol.1 No.4 tahun 2016

Dirjen PMPTK. 2008. Pedoman Pelaksanaan MGMP

Berpola Lesson Study. Jakarta : JICA. Hamdani. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung:

Pustaka Setia Lewis, Catherine. C. 2002. Lesson Study: A Handbook

of Teacher-LedInstructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc.(online)(www.lessonresearch.net).diakses tanggal 20 Juni 2015.

Marhamah (2015). Pengenmbangan Pembelajaran Lingkungan Hidup Model Problem Based Learning dipadu Group Investigation Melalui Lesson Study untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis, Hasil Belajar Kognitif, Dan Sikap Terhadap Lingkungan Pada Mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Malang. PPs UM.

Santoso, Djoko & Waluyanti, Sri.2010. Upaya Peningkatan Penguasan Konsep dan Psikomotorik Mata Kuliah Alat Ukur dan Pengukuran Berbasis Lesson Study Mahasiswa Jurdik Teknik Elektronika FT UNY. Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Sato, Manabu. 2012. Mereformasi Sekolah, Konsep Dan Praktek Komunitas Belajar. Jakarta: Pelita

Sulistiani, Herlina. 2014. Penerapan Lesson Study Berbasis Madrasah Untuk Meningkatkan Kinerja Guru Dan Motivasi Serta Hasil Belajar IPA Siswa MTsN Rejoso Kabupaten Pasuruan. Tesis tidak diterbitkan. Malang. PPS UM.

Sumarmi, 2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media Publishing.

Suprapti. 2014. Pengalaman Berharga dari Lesson Study bagi Guru-Guru IPA di Kabupaten Subang. Poceding Become Reflective Educators and Professionals of Learning. Bandung: WALS International Conference.

Vitoria, Linda. 2014. Improving Student’s Interaction in Learning Mathematics Trough Lesson Study. Poceding Become Reflective Educators and Professionals of Learning.. Bandung: WALS International Conference.

 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 143

Kegiatan refleksi pertama dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 15 Oktober 2016 seusai open class pertama. Kegiatan ini berlangsung dari pukul 13.00-14.00 WIB. Kegiatan refleksi ini dimoderatori Arif Gagah, S.Pd. Kegiatan refleksi open class pertama dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu;

1. sebagian peserta didik telah berpatisipasi aktif dalam diskusi kelompok dan sesi penyajian hasil diskusi kelompok, dan ada sebagian peserta didik yang belum terlibat secara aktif dalam kegiatan tersebut. Terdapat 8 (delapan) peserta didik yang kurang aktif dalam kegiatan diskusi kelompok.

2. masih rendahnya partisipasi peserta didik dalam sesi tanya jawab yang didasarkan atas sedikitnya pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing kelompok yang mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Hal ini disebabkan belum memadainya pemahaman peserta didik mengenai materi pembelajaran.

3. Untuk meningkatkan partisipasi peserta didik pada open class kedua disepakati yaitu; (a) permasalahan yang ditawarkan kepada peserta didik diberikan satu pekan sebelumnya, (b) penggunaan media pembelajaran berupa peta konsep untuk mempermudah proses pemahaman terhadap materi (pembelajaran) konseptual yaitu pemikiran ekonomi.

Kegiatan refleksi kedua dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 29 Oktober 2016 seusai open class kedua. Dalam kegiatan refleksi ini para observer melihat adanya peningkatan partisipasi peserta didik proses pembelajaran dibandingkan dengan pembelajaran pada open class pertama. Partisipasi peserta didik dalam kegiatan diskusi kelompok dan kegiatan penyajian hasil diskusi mengalami peningkatan. Demikian pula partisipasi peserta didik dalam sesi tanya jawab juga mengalami peningkatan. Hal ini terindikasi dari pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing kelompok yang tampil di depan kelas, dari tidak lebih dari 3 (tiga) pertanyaan pada open class pertama menjadi antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) pertanyaan pada open class kedua.

Angket diberikan kepada 10 (sepuluh) peserta didik secara acak setelah selesai kegiatan open class kedua, terdapat 8 (delapan) peserta didik memilih jawaban “ya”, dari keempat pertanyaan yang menyediakan 3 (tiga) alternatif jawaban “ya”, “tidak” dan “biasa”. Adapun angket yang diisi peserta didik (Ibrohim, 2013) adalah sebagai berikut; (1) apakah tema barusan penting?, (2) apakah metode pembelajarannya menarik?, (3) apakah media pembelajarannya menarik?, (4) apakah anda mendapatkan pelajaran berharga?, (5) Apakah anda punya saran? Jika disimpulkan saran peserta didik sebagian besar menyatakan model pembelajaran yang diterapkan (inquiry learning) untuk dipertahankan.

E. KESIMPULAN.

Berdasarkan uraian pada tahapan plan, do dan see di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan model inquiry learning mampu meningkatkan kuliatas pembelajaran Sejarah Indonesia (umum) kelas XII KD 3.3 “menganalisis perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan sampai masa demokrasi liberal” . Peningkatan kualitas pembelajaran sejarah tersebut tercermin adanya peningkatan jumlah peserta didik dalam berpartisipatif mengikuti proses pembelajaran. Peningkatan partisipasi dan keaktifan peserta didik semakin baik, jika peserta didik terlebih dahulu (satu pekan sebelumnya) diberi tugas untuk membahas permasalahan materi pembelajaran yang diberikan guru, serta didukung dengan penggunaan media pembelajaran yang bervariasi pada setiap open class.

F. DAFTAR RUJUKAN.

Abdurakhman, dkk, 2015. Sejarah Indonesia Kelas XII, Jakarta: Kemendikbud RI.

_______, 2015. Abdurakhman, dkk, 2015. Sejarah Indonesia Kelas XII, Jakarta: Kemendikbud RI.

Direktorat Pembinaan SMA, 2014. Modul Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013 di SMA, Jakarta: Kemendikbud.

Ibrahim, et. al. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : UNESA-University Press

Ibrohim, 2013. Rambu-Rambu Penyusunan Perangkat Pembelajaran Dalam Rangka Lesson Study. Makalah dalam Sosialisasi Perluasan Lesson Study di FIS UM.

Lampiran Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar dan Menengah.

Lampiran Permendikbud No 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pada Mata Pelajaran Kurikulum 2013 Pada Pendidikan dasar dan Menengah.

Lie, A. 2002. Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang kelas. Jakarta : Gramedia.

Mulyana, Agus & Gunawan, Restu, Ed. (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salamina Press.

Pathuddin. 2005. Model Cooperative Learning. Kompetitif dan Individualistik. Dalam Pembelajaran Matematika perspektif konstruktivis. Dalam Jurnal Sains dan edukasi Vol. 3. No 1, Maret 2005.

Pi’i, 2016. Developing Historical Thinking Skill on History Learning Process at Senior Hight School Based on Curriculum 2013, makalah yang dipresentasikan Seminar Internasional pada tanggal 8 Oktober 2016 di UM Malang.

Page 47: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

142 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

mengapa pada awal tahun 1950 pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi Gunting Syafrudin?, dan bagaimana cara yang dilakukan pemerintah dalam menerapkan kebijakan Gunting Syafrudin itu?, (2) mengapa pemerintah pada masa kabinet Natsir menerapkan sistem ekonomi gerakan benteng?, dan bagaimana hasil dari kebijakan ekonomi gerakan benteng itu? (3) mengapa pemerintah menasionalisasi De Javashe Bank?, dan apakah tujuannya menasionalisasi De Javashe Bank itu), (4) bagaimana cara pemerintah mewujudkan sistem ekonomi Ali-Baba?, dan mengapa meskipun telah menerapkan sistem ekonomi Ali-Baba pengusaha pribumi masih kalah bersaing dengan penngusaha Cina?, (5) bandingkan antara penerapan sistem ekonomi gerakan benteng dengan sistem ekonomi Ali-Baba?, dan mengapa kedua sistem ekonomi tersebut mengalami kegagalan ? (6) apakah gerakan ekonomi As’at itu?, dan bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan gerakan ekonomi As’at itu?, dan (7) mengapa pemerintah pada masa kabinet Ali II menasionalisasi perusahaan-perubahan Belanda di Indonesia?, apakah tujuan kebijakan nasionalisasi itu?.

Dalam open class kedua, permasalahan yang ditawarkan kepada peserta didik sudah diberikan satu pekan sebelumnya. Media pembelajaran yang digunakan hampir sama dengan open class pertama. Dalam open class kedua, media pembelajaran yang digunankan berupa peta konsep, hal ini didasarkan atas permasalahan yang dikajikanya berupa materi konseptual yaitu pemikiran ekonomi. Media pembelajaran ini ditayangkan guru pada awal pembelajaran yang menjadi obyek pengamatan bagi peserta didik. Peserta didik tetap dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok diskusi dengan keanggotaan hampir sama seperti pada open class pertama, yaitu seluruh kelompok beranggotakan 5 (lima) orang peserta didik, dan dilakukan perubahan nama kelompok. Kelompok I bertukar nama dengan Kelompok VII, Kelompok II bertukar nama dengan Kelopok VI dan Kelompok III bertukar dengan Kelompok V, kecuali Kelompok IV tetap. Perubahan nama kelompok ini didasarkan atas pertimbangan supaya adanya pemerataan kelompok dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas.

Setiap kelompok diberi dua point permasalahan untuk didiskusikan sesuai dengan langkah-langkah model inquiry learning, sama dengan open class pertama. Kelompok I mendiskusikan permasalahan point (1) dan (2). Kelompok II mendiskusikan permasalahan point (2) dan (3). Kelompok III mendiskusikan permasalahan point (3) dan (4). Kelompok IV mendiskusikan permasalahan point (4) dan (5). Kelompok V mendiskusikan permasalahan point (5) dan (6). Kelompok VI mendiskusikan permasalahan point (6) dan (7). Sedangkan kelompok VII mendiskusikan permasalahan point (1) dan (7). Kegiatan utama masih tetap yaitu diskusi kelompok dan presentasi kelompok di depan kelas yang dilakukan secara bergiliran. Dalam dikusi kelompok, hampir setiap anggota kelompok turut aktif dalam melaksanakan diskusi pada kelompoknya masing-masing. Peserta

didik yang kurang aktif dalam diskusi kelompok masing-masing 1 (satu) orang terdapat di kelompok V, VI dan VII.

Kegiatan presentasi di depan kelas diawali dari kelompok pertama seperti pada open class pertama. Kegiatan presentasi ini karena waktunya terbatas sehingga hanya 3 (tiga) kelompok yang memiliki kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas yaitu Kelompok 1, II dan III. Kegiatan presentasi terdiri atas 2 (dua) sesi yaitu penyajian hasil diskusi dan tanya jawab. Pada sesi penyajian hasil diskusi kelompok hampir semua peserta turut aktif dalam mengikuti penyajian hasil diskusi itu. Demikian pula, pada sesi tanya jawab, partisipasi peserta didik semakin baik yang terindikasi adanya peningkatan jumlah peserta yang mengajukan pertanyaan dibandingkan dengan open class pertama. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing kelompok yang tampil di depan kelas antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) pertanyaan. Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan, kelompok yang tampil tampak lebih mengusai materi pembelajaran. Pembelajaran diakhiri dengan memberikan umpan balik terhadap proses pembelajaran serta guru dan peserta bersama-sama menyimpulkan jawaban-jawaban dari permasalahan yang diajukan guru.

D. SEE (REFLEKSI).

  Pada tahap refleksi guru model dan para observer mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan berbagai temuan hasil pengamatan pembelajaran pada tahap do (pelaksanaan). Untuk menjaga akurasi terhadap hasil pengamatan sebaiknya kegiatan refleksi dilaksanakan segera setelah selesai pembelajaran. Dalam pertemuan ini dipimpin oleh moderator. Kepala sekolah dapat bertindak sebagai moderator, dan dapat pula moderator berasal dari salah satu dari para observer yang disepakati bersama. Dalam pertemuan ini guru model dipersilahkan terlebih dahulu untuk memaparkan berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran. Selanjutnya para observer secara bergiliran menyampaikan hasil pengamatannya terutama berkaitan dengan aktifitas peserta didik. Para observer sebaiknya bertindak secara bijak dalam menyampaikan saran dan kritik. Demikian pula guru model sebaiknya bersikap lapang dada terhadap saran dan kritik yang disampaikan para observer.

Melalui refleksi ini dapat diketahui kelebihan-kelebihan yang dilakukan guru model dalam melaksanakan pembelajaran. Kelebihan-kelebihan tersebut perlu dipertahankan dalam pelaksanaan pembelajaran berikut. Sedangkan kekurangan-kekurangan dalam proses pembelajaran perlu dianalisis secara mendalam, dan bersama-sama mencari solusi untuk perbaikan open class berikutnya. Kesimpulan pada tahap refleksi sangat bermanfaat bagi guru model maupun para observer dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 39

Program Lesson Study Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru IPS

di SMP Negeri 2 Grati

Eni Cahya Wijayati1, Sri Kusprihatini2, Wahyuningati3

SMP Negeri 2 Grati - Pasuruan JL. Ranuklindungan – Grati 67184

[email protected], [email protected],[email protected]

Abstrak: Lesson Study merupakan suatu cara efektif untuk meningkatkan profesionalisme guru karena lesson study dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar di kelas. Lesson study dilakukan berdasarkan sharing yang berlandaskan pada praktek dan hasil belajar yang dilakukan guru. Kegiatan lesson study dilaksanakan dengan tahapan plan, do, dan see. Artikel ini bertujuan mengungkap bagaimana program lesson study untuk meningkatkan profesionalisme guru IPS di SMP Negeri 2 Grati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subyek dalam penelitian ini guru IPS di SMP N 2 Grati. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, kuesioner dan dokumentasi. Untuk mengecek keabsahan data menggunakan teknik trianggulasi sumber, membandingkan data hasil wawancara dengan hasil observasi. Kegiatan lesson study dapat meningkatkan profesionalisme guru IPS yang ditandai dengan adanya peningkatan kualitas pembelajatan, guru lebih kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang bervariasi dan lebih relevan dengan kemampuan peserta didik. pada pengembangan, pemilihan dan pengolahan materi pembelajaran yang diajar secara kreatif.

Kata Kunci: lesson study, profesionalisme, guru IPS

F. PENDAHULUAN

Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia perlu upaya yang serius melalui peningkatan kualitas guru. Walaupun guru bukan satu-satunya pihak yang memiliki peran penting untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi guru memiliki peran yang paling besar, karena inovasi serta peningkatan mutu pendidikan dapat dimulai di kelas melalui inovasi dalam proses pembelajaran. Guru mempunyai peran yang strategis dalam usaha pencapaian keberhasilan pembelajaran.

Undang-Undang Nomor 14, Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, untuk itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Berbagai upaya tersebut antara lain dalam bentuk: 1) penataran guru; 2) kualifikasi pendidikan guru; 3) pembaharuan kurikulum; 4) implementasi model atau metode pembelajaran baru; dan 5) penelitian tentang kesulitan dan kesalahan siswa dalam belajar atau yang sering dilakukan guru seperti penelitian tindakan kelas.

Salah satu kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran di sekolah adalah Lesson Study. Lesson study merupakan kegiatan kajian terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Lesson study bukan metode mengajar tetapi metode berbasis praktek, walaupun dalam kegiatan kajian pembelajaran tersebut, guru akan membicarakan tentang metode mengajar, media, dan alat bantu pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran tersebut.

Lesson study pertama kali dikembangkan di Jepang oleh Makoto Yoshida sejak tahun 1960 an. Inovasi ini pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, dengan istilah kenkyuu jugyo. Makoto Yoshida adalah orang yang dianggap

berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyodi Jepang (Lewis, 2002). Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat. melalui kegiatan The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS).

Di Indonesia, pada awalnya kegiatan lesson study diaplikasikan hanya di mata pelajaran sains saja. Saat ini lesson study sudah banyak diaplikasikan pada mata pelajaran yang lain hingga jenjang perguruan tinggi. Syamsuri dan Ibrohim (2008:2) mengatakan bahwa ”kegiatan lesson study di Indonesia diperkenalkan oleh JICA melalui kegiatan follow-up IMSTEP pada tahun 2004 dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan sains”.

Wang-Iverson (2002), lesson study memiliki peran yang cukup besar dalam melakukan perubahan secara sistematik. . Terdapat lima jalur yang dapat ditempuh lesson study, yaitu 1) membawa tujuan standar pendidikan ke alam nyata di dalam kelas, 2) menggalakkan perbaikan dengan dasar data, 3) mentargetkan pencapaian berbagai kualitas siswa yang mempengaruhi kegiatan belajar, 4) menciptakan tuntutan mendasar perlunya peningkatan pembelajaran; dan 5) menjunjung tinggi nilai guru.

Lesson study terdiri dari tiga tahapan yaitu plan-do-see. Tahap perencanaan (plan) guru membuat perencanaan program pembelajaran. Tahap perencanaan terdiri dari beberapa kegiatan inti yang diantaranya: (1) menganalisis SK dan KD, (2) menentukan materi pembelajaran dan guru model, (3) menyusun RPP, indikator, merumuskan tujuan, serta menentukan metode pembelajaran, (4) menyusun rubrik penilaian, dan rubrik observasi. Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan (do), guru model melaksanakan kegiatan pembelajaran dan di observasi. Kegiatan observasi difokuskan kepada kegiatan belajar peserta didik. Setelah tahap pelaksanan dilaksanakan saat itu juga dilaksanakan tahap refleksi (see). Pada tahap refleksi setiap guru yang bertugas sebagai observer

Page 48: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

40 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

mengemukakan pendapat, pengalaman, dan temuan berharga selama proses pembelajaran berlangsung. Hasil dari kegiatan refleksi dimanfaatkan untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Untuk menjadi guru profesional dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan dan latihan. Hal ini sesuai dengan definisi yang diuraikan Arends, et al., (2001) seperti berikut. “Professional is someone who has acquired through a fairly long periode of training a specialized body of knowledge, who has recieved a license to practice, who is respected for that knowledge by the larger community, and who is given a degree of outonomy in his or her work”. Para profesional adalah merupakan para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan khusus untuk pekerjaanya tersebut (Tilaar, 2000; 2002). Profesi guru merupakan profesi terhormat yang telah ada sejak zaman Yunani Romawi di dalam kebudayaan Barat dan juga di dalam kebudayaan Timur. Tilaar (2005) menguraikan bahwa profesi guru tetap dihormati, tetapi tidak dihargai oleh masyarakat. Agar masyarakat dapat menghargai profesi guru, maka guru harus menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat, meningkatkan pengabdian, dan terus-menerus meningkatkan kualiatasnya.

SMP Negeri 2 Grati merupakan sekolah yang melaksanakan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS). LSBS di SMP Negeri 2 Grati mulai tahun 2006. Pada awalnya kegiatan open class dilaksanakan setiap hari jumat, mulai tahun 2008 kegiatan open class pada hari sabtu. Open class dilaksanakan setiap minggu, dengan guru model sudah terjadwal. Berdasarkan keadaan tersebut maka penulis ingin meneliti tentang program lesson study terhadap peningkatan profesionalisme guru IPS di SMP Negeri 2 Grati.

F. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang fenomena sosial peneliti berusaha memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi pada saat penelitian sehingga peneliti dapat memahami penerapan lesson study di SMPN 2 Grati. Subyek dalam penelitian ini adalah guru bidang studi IPS di SMP N 2 Grati. Penelitian ini menggunakan metode wawancara, observasi, kuesioner dan dokumentasi. Data yang telah terkumpul dideskripsikan dalam bentuk kata-kata tertulis. Analisis data melalui tiga tahap, yaitu (1) reduksi data; (2) penyajian data; (3) penarikan kesimpulan.

Pengumpulan data dengan metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan perangkat pembelajaran berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat guru sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas (plan). Metode wawancara ini peneliti gunakan untuk mengumpulkan data mengenai persepsi guru terhadap lesson study. Dalam observasi, peneliti mengamati guru secara langsung yang sedang melakukan proses pembelajaran di kelas. Proses pelaksanaan pembelajaran IPS (do) sesuai yang tertuang dalam RPP atau tidak yang

dilanjutkan dengan refleksi. Merupakan hal yang juga penting dalam kegiatan lesson study, observer dan guru saling memberikan pendapat tentang proses pembelajaran yang baru dilaksanakan. Metode kuesioner diberikan untuk mengetahui bagaimana pendapat guru dan siswa tentang proses pembelajaran berbasis lesson study. Siswa dan guru mengisi kuesioner yang sudah disiapkan.

G. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perangkat pembelajaran yang berhasil dikembangkan adalah; 1) silabus, 2) rencana pelaksanaan pembelajaran, 3) lembar kegiatan siswa, 4) instrumen penilaian, 5) lembar observasi aktivitas siswa, 6) kinerja guru, dan 7) angket siswa. Perangkat pembelajaran tersebut telah diujicobakan pada 15 siswa kelas VIII B SMP Negeri 2 Grati sebagai langkah uji coba terbatas untuk keterbacaan data, kemudian ditelaah, dianalisis bersama tim LS kemudian diujicobakan yang ke dua pada siswa kelas VIII C yang berjumlah 40 siswa. Setelah mengadakan revisi, maka perangkat pembelajaran tersebut diimplementasikan.

Tabel 1: Pengaruh LS Terhadap Hasil Belajar

Pertemuan ke

Rerata Pre tes

Rerata Post tes

I 45,67 76,67 II 55,33 86,67 III 65,67 90,00

 

Berdasarkan analisis data hasil pretes dengan postes terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini dikarenakan guru merencanakan pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Pada tahap plan guru yang tergabung dalam lesson study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran. Susiana dan Suhadi (2014:44) dalam artikelnya yang berjudul Program Lesson Study Untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogi dan Profesional Guru Paud di Sekolah XYZ Jakarta menyatakan bahwa proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan lebih bervariasi karena semua guru turut serta dalam

 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 141

digunakan sebagai data pembanding bagi observer dan sebagai masukan bagi guru model.

Pelaksanaan open class pertama direncanakan pada hari Sabtu, 15 Oktober 2016 di kelas XII MIPA 2 dengan materi pembelajaran “Pekembangan politik; Pemilihan Umum 1955”. Karena pada hari Sabtu, 22 Oktober 2016 penulis dan segenap guru sejarah baru berakhir mengikuti kegiatan study tour sekolah. Maka, kegiatan open class kedua dilaksanakan dua pekan berikutnya, pada hari Selasa, 29 Oktober 2016 pada kelas yang sama, dengan materi pembelajaran “Perkembangan ekonomi; pemikiran ekonomi nasional”.

C. DO (PELAKSANAAN).

Pada tahap ini terdapat dua kegiatan utama, yaitu; (1) pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru model yang menerapkan RPP yang telah disepakati bersama (guru model dan para observer), dan (2) kegiatan pengamatan pembelajaran dilakukan para observer. Dalam melaksanakan pengamatan para observer mengacu pada prosedur dan instrumen pengamatan yang telah sepakati bersama. Para observer tidak boleh mengganggu pelaksanaan pembelajaran seperti melakukan tindakan menginterupsi, menegur guru model maupun peserta didik, mengevaluasi pembelajaran atau mencari kesalahan guru model yang diamati. Para observer dapat mendokumentasikan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan foto digital sebagai bahan diskusi dalam kegiatan refleksi.

Open class pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 15 Oktober 2016 di kelas XII MIPA 2 jam ke 7-8 (11.30-13.00 WIB), dihadiri 36 (tiga puluh lima) peserta didik, 3 (tiga) orang tim observer yaitu (Nurawan, S.Pd., Gagah Arif D., S.Pd dan Santoso Ilham) dan seorang observer bebas sekaligus juru kamera (Deni Ogana). Materi pembelajaran pada open class pertama membahas “Perkembangan Politik; Pemilu 1955”. Permasalahan yang ditawarkan dalam pembelajaran tersebut meliputi yaitu; (1) apakah arti pentingnya pemilu bagi negara yang menerapkan sistem demokrasi?, (2) bandingkan pelaksanaan Pemilu 1955 dengan pemilu di era orde baru ! (3) bandingkan harapan rakyat terhadap Pemilu 1955 dengan kinerja pemerintahan baru hasil Pemilu 1955 , (4) bagaimanakah keterkaitan antara kegagalan konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959?, dan (5) bagaimanakah keterkaitan konsepsi presiden dengan dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959?.

Pembelajaran open class pertama diawali kegiatan persepsi dan appersepsi dilanjutkan menayangkan garis besar materi pembelajaran dan gambar-gambar yang berkaitan dengan Pemilu 1955. Perserta didik dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok, masing-masing kelompok anggotanya 5 (lima) orang atau lebih. Setiap kelompok diberi dua permasalahan untuk didiskusikan sesuai dengan langkah-langkah model inquiry learning. Kelompok I mendiskusikan permasalahan point (1) dan (2). Kelompok II mendiskusikan point (2) dan (3). Kelompok III mendiskusikan permasalahan point (3)

dan (4). Kelompok IV mendiskusikan permasalahan point (4) dan (5). Kelompok V mendiskusikan permasalahan point (1) dan (5). Kelompok VI mendiskusikan permasalahan point (2) dan (4). Sedangkan kelompok VII mendiskusikan permasalahan point (3) dan (5).

Waktu yang disediakan dalam diskusi kelompok 30 menit. Dalam kegiatan diskusi kelompok tampak sebagian besar peserta didik aktif mengikuti kegiatan kelompok. Hal ini tercermin dari masing-masing kelompok yang sibuk mencari dan membaca referensi, membahas dan menyepakati jawaban yang berkaitan dengan permasalahan yang diberikan kepada kelompoknya. Dalam open class pertama juga terdapat sebagian peserta didik kurang aktif mengikuti kegiatan kelompok. Peserta didik yang kurang aktif, ada 8 (delapan) orang yang tersebar diberbagai kelompok, yaitu 1 (satu) orang di kelompok I, 2 (dua) orang di kelompok II, 1 (satu) orang di kelompok IV, 1 orang di kelompok V, 1 (satu) orang di kelompok VI, dan 2 (dua) orang di kelompok VII. Seorang orang peserta didik yang kurang aktif dari kelompok IV tersebut berjalan ke kelompok V melihat hasil kerja kelompok V.

Kegiatan dilanjutkan dengan presentasi di depan kelas. Kegiatan presentasi dilakukan secara bergiliran yang diawali dari kelompok pertama. Dalam open class pertama ini hanya 4 (empat) kelompok yang mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas yaitu Kelompok I, II, III dan IV. Sedangkan kelompok V, VI dan VII tidak memiliki kesempatan karena keterbatasan waktu yang tersedia. Kegiatan presentasi terdiri atas 2 (dua) sesi yaitu penyajian hasil diskusi dan tanya jawab. Pada sesi penyajian masing-masing kelompok mampu menyajikan secara lancar, dan sebagian besar peserta didik aktif mengikuti sesi penyajian itu. Tetapi ketika sesi tanya jawab, hanya sebagian kecil peserta didik yang turut berpartisipasi aktif. Hal ini tercermin dari pertanyaan-pertanyaan diajukan maupun jawaban-jawaban yang diberikan oleh kelompok yang tampil di depan kelas. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing kelompok yang tampil di depan kelas tidak lebih dari 3 (tiga) pertanyaan, dan itupun belum merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas. Demikian pula jawaban-jawaban yang diberikan oleh setiap kelompok yang tampil belum mencerminkan pemahaman yang memadai mengenai materi yang dibahas. Pembelajaran diakhiri dengan memberikan umpan balik terhadap proses pembelajaran serta memberikan tugas kepada peserta didik.

Open class kedua dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Oktober 2016 di kelas yang sama yaitu kelas XII MIPA 2 (11.30-13.00 WIB), dihadiri 35 peserta didik. Salah seorang peserta didik, Wahyu Rama tidak hadir karena sakit. Open class kedua dihadiri 4 (empat) orang tim observer yaitu (Nurawan, S.Pd., Eko Novi Wartiningsih, S.Pd., Gagah Arif D., S.Pd dan Santoso Ilham) dan seorang observer bebas sekaligus juru kamera (Deni Ogana). Materi pembelajaran pada open class kedua adalah “Perkembangan ekonomi: pemikiran ekonomi nasional”. Permasalahan yang ditawarkan dalam pembelajaran tersebut meliputi yaitu; (1)

Page 49: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

140 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

kelompok ketimbang individu (Ibrahim et al., 2000: 6-7). Pembelajaran cooperative ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk membiasakan kecakapan berpikir ilmiah sehingga mampu membangkitkan rasa ingin tahu, sikap kritis, kemampuan menemukan (sense of inquiry) dan berpikir kreatif. Johnson & Johnson menyatakan penggunaan model cooperative learning bertujuan memaksimalkan belajar peserta didik untuk meningkatkan prestasi akademik dan pemahaman terhadap individu maupun kelompok (dalam Pathuddin, 2005:35). Dalam konteks ini, pemerintah wajar jika merekomensikan model pembelajaran cooperative learning untuk diterapkan di sekolah yang memberlakukan Kurikulum 2013 yaitu antara lain discovery learning, project-based learning, problem-based learning, inquiry learning (Lampiran Permendikbud No. 103 Tahun 2014).

Model pembelajaran yang akan digunakan dalam lesson study ini adalah model inquiry learning. Model inquiry learning adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berfikir kritis dan logis (Direktorat Pembinaan SMA, 2014; 31). Penerapan model inquiry learning diharapkan mampu meningkatkan keterlibatan peserta didik untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran sejarah. Penerapan model inquiry learning ini juga diharapkan mampu melatih peserta didik menumbuhkan keberanian dalam mengajukan pertanyaan dan mengemukakan gagasan kepada orang lain, serta mendorong peserta didik terlibat aktif baik secara mental maupun fisik untuk memecahkan permasalahan atau issu yang berkaitan dengan fakta sejarah yang diberikan guru.

Adapun langkah-langkah model inquiry learning ini adalah sebagai berikut; (1) observasi/mengamati berbagai fakta-fakta sejarah, (2) mengajukan pertanyaan tentang fakta sejarah yang dihadapi, dalam tahap ini melatih peserta didik untuk mengeksplorasi melalui kegiatan menanya kepada guru atau sumber-sumber lainnya, (3) mengajukan hipotesis, pada tahap ini peserta didik melakukan penalaran atau mengasosiasi, (4) mengumpulkan data terkait dengan terkait dengan fakta-fakta yang ditanyakan, mempredidiksi hipotesis sebagai dasar untuk merumuskan suatu kesimpulan, dan (5) merumuskan kesimpulan berdasarkan data yang dianalisis, sehingga peserta didik dapat mempresentasikan atau menyajikan hasil temuannya (Direktorat Pembinaan SMA, 2014; 31).

B. PLAN (PERENCANAAN).

Pada tahap perencanaan guru-guru sejarah SMA Negeri 1 Turen pada hari Selasa, 04 Oktober 2016 pukul 09.00-10.00 WIB mengadakan pertemuan untuk menyiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran. Pertemuan ini didasarkan atas kesadaran bersama untuk meningkatkan kompetensi dalam pembelajaran. Pertemuan tersebut disepakati beberapa keputusan yaitu; (1) penulis (Drs. Pi’i, MM) dipilih

menjadi guru model, sebagai guru model dituntut memiliki kesadaran “mau membuka” proses pembelajaran untuk diamati para guru lain (observer) dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas proses pembelajaran, (2) sebagai guru model, penulis diberi tugas menyusun RPP, media pembelajaran, dan kelengkapan administrasi lainnya; (3) bertindak sebagai tim observer yaitu Nurawan, S.Pd., Eko Novi Wartiningsih, S.Pd., Gagah Arif, S.Pd., dan Santoso Ilham; (4) Pemilihan KD 3.3 mengacu program semester yang disusun penulis pada awal tahun pembelajaran, sehingga kajian lesson study ini tidak mengganggu pelaksanaan program pembelajaran, dan justru sebaliknya sangat mendukung program pembelajaran dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran sejarah; (5) kegiatan pembelajaran (open class) direncanakan dua siklus, yang masing-masing siklus terdapat tiga tahapan yaitu plan, do dan see; dan (6) disepakati akan dilaksanakan pertemuan kembali untuk membahas RPP dan kelengkapan pembelajaran lainnya yang diharapkan mampu mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas dan mendorong peserta didik berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Pada pertemuan kedua, pada hari Selasa tanggal 11 Oktober 2016 antara lain membahas RPP yang penulis susun sehingga RPP tersebut mengalami perbaikan-perbaikan terutama berkaitan dengan penyusunan indikator pencapaian kompetensi (IPK). IPK merupakan perilaku yang dapat diamati dan diukur. Indikator disusun bergradasi dan sistematis hingga tingkat paling tinggi. IPK pengetahuan berkaitan erat dengan dimensi pengetahuan dan proses kognitif. Dimensi pengetahuan meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif. Dimensi proses kognitif meliputi tindakan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta/mengkreasi. Sedangkan, IPK keterampilan berkaitan dengan ranah abstrak dan konkrit (Direktorat Pembinaan SMA, 2014; 4). Unsur RPP yang turut dilakukan perbaikan yaitu penilaian pengetahuan. Penilaian ini bermanfaat sebagai alat untuk mengukur keberhasilan IPK pengetahuan yang dicapai peserta didik dalam proses pembelajaran.

Dalam pertemuan tersebut juga disepakati tentang media pembelajaran, instrumen pengamatan pembelajaran, dan instrumen penilaian sikap dalam bentuk jurnal yang dimanfaatkan untuk mencatat perilaku peserta didik yang menonjol baik positif maupun negatif (Pi’i, 2016; 7) selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, juga disepakati tentang kelas yang akan dijadikan sebagai kegiatan lesson study yaitu kelas XII IPA 2. Penentuan kelas XII 2 didasarkan atas pertimbangan antara lain mata pelajaran Sejarah Indonesia pada kelas tersebut masuk pada 2 (dua) jam terakhir yaitu 7-8 (11.30-13.00 WIB). Kelengkapan administrasi seperti instrumen pengamatan dan angket untuk peserta didik turut disepakati dalam pertemuan itu. Angket peserta didik diberikan kepada peserta didik secara acak setelah selesai pembelajaran yang bertujuan untuk memperoleh respon terhadap proses pembelajaran yang menggunakan model inquiry learning. Angket ini dapat

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 41

perencanaan dan mengerti tujuan yang ingin dicapai dengan jelas.

Lesson study yang dilakukan benar-benar dipersiapkan dengan baik, sehingga setiap orang yang mengikuti merasa memperoleh pengetahuan yang sangat berharga, baik disadari atau tidak, tindak lanjut dari kegiatan tersebut akan terjadi dengan sendirinya yang dapat berlangsung pada tataran individu, kelompok atau sistem tertentu. Susilowati (2014:196) dalam artikelnya yang berjudul Strategi Peningkatan Profesional Guru MI Melalui Lesson Study menyatakan bahwa kegiatan lesson study memiliki dampak cukup luas bagi munculnya kegiatan-kegiatan lain yang inovatif.

Hasil observasi aktivitas/kinerja guru dibedakan menjadi tiga kegiatan yaitu observasi kegiatan pra pembelajaran, kegiatan inti, dan kegiatan penutup dapat dilihat pada Tabel 2.  

Tabel 2. Hasil refleksi observer terhadap guru model dan proses pembelajaran

Perte-muan

Ke

Temuan Observer

Saran Observer

Identitas Observer

1 Siswa masih belum

antusias Keterba-tasan

bahan ajar yang diguna-

kan siswa dalam

mengikutipembela-jaran

Belum menggu-

nakan sarana perpusta-kaan

sebagai sumber belajar,

Ada siswa yang pasif

dalam diskusi kelompok Ada siswa yang malu

menge-mukakan

pendapat dan bertanya

dalam diskusi kelompok Presentasi

masih belum baik, siswa

masih malu-malu untuk mempre-

sentasi-kan di depan kelas Siswa belum

diajak membuat

kesimpul-an

Masih ada siswa yang

belum fokus belajar

Sebelum pelaksa-naan

pembela-jaran siswa diminta

untuk membawa

sumber belajar, dapat berupa buku, artikel, atau sumber lain

Diarahkan ke perpusta-kaan

dalam menjawab

permasa-lahan pada LKS

Perlu pembagi-an tugas dalam

diskusi Memberi

tugas individu yang saling berkaitan

dengan siswa lain

Memberi motivasi agar

siswa mau bertanya

Perlu pembagi-an

waktu kegiatan pra

pembela-jaran, kegiatan

inti dan penutup

Eni, Wahyuni-ngati, M. Muchlis, Firdaus Efendi, Rudi. M

2 Siswa antusias dan bersema-

ngat Diskusi berjalan

dengan sangat bagus, tidak ada siswa yang pasif

Proses Tanya jawab dalam

kelompok sudah bagus Presentasi

sudah mulai bagus

walaupun belum semua

kelompok berani

mempre-sentasi-kan

hasil kerjanya di depan kelas

Dapat ditindak

lanjuti agar lebih berkem-

bang Guru perlu

memberi-kan penjelas-an

dengan tetap mengait-kan

dengan materi pokok

Ratih, Wahyuning

ati, M. Muchlis, Rudi. M,

Richi Agus

3 Siswa tidak malu-malu

lagi bertanya dan menge-

mukakan pendapat di depan kelas

Diskusi berlang-sung sangat baik Presentasi berjalan

dengan baik, tidak ada lagi siswa yang malu untuk mempre-

sentasi-kan hasil kerja

kelom-poknya.

Siswa aktif mengerja-kan LKS secara

mandiri. Guru mempersipakan dengan baik

Motivasi siswa sangat

baik. Refleksi yang kita lakukan harus bisa

memper-baiki do yang akan

datang

Eni, Ratih,

Muchlis, Firdaus Efendi,

Rudi. M, Richi Agus

 

Observer mengamati aktivitas siswa, bukan mengamati penampilan guru. Pengamatan aktivitas siswa dilakukan observer yang selanjutnya akan memberikan refleksi untuk perbaikan pembelajaran berikutnya (Bogner, 2007). Interaksi antara siswa dengan bahan ajar, pada pertemuan pertama sampai ketiga terjadi peningkatan. Terjadinya kenaikan aktivitas siswa ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan efektifitas penggunaan model pembelajaran yang bervariasi. Siswa menjadi terlatih untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi permasalahan secara cermat sehingga siswa dapat mengembangkan daya nalarnya secara kritis untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi (Gita, 2003).

Interaksi antara siswa dengan guru, pertemuan pertama sampai dengan pertemuan ketiga, telah terjadi peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi karena dengan melalui LS, guru selalu mengadakan perbaikan-perbaikan dalam cara mengajar sehingga aktivitas siswa

Page 50: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

42 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

secara keseluruhan masuk dalam kriteria sangat tinggi. Dapat dikatakan, bahwa dengan melalui kegiatan LS dapat meningkatkan kemampuan

guru dalam meningkatkan aktivitas siswa. Keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar di

kelas juga bergantung pada minat atau perhatian siswa terhadap apa yang sedang dipelajari. Apabila perhatian siswa telah terfokus

pada pelajaran, maka siswa tersebut akan secara langsung menjadi lebih aktif dibandingkan dengan siswa yang kurang memperhatikan. Warpala (2003) pembelajaran dengan LKS berbasis masalah memberikan peluang kepada siswa untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimilikinya. Guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang dimulai dengan pendahuluan dilakukan dengan baik yaitu mengingatkan siswa kembali pada pelajaran dengan melakukan apersepsi, penyampaian tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa dalam memecahkan masalah autentik.

Pada kegiatan inti pada pertamanya saja siswa terlihat kebingungan, guru mendatangi kelompok-kelompok yang masih bingung dan memberikan penjelasan, akhirnya semua bias mengerjakan dengan baik. Pada waktu presentasi siswa juga antusias. Becker (2008) pada saat kegiatan inti, guru menunjukkan peningkatan dalam penguasaan materi pelajaran, peningkatan penguasaan model pembelajaran, peningkatan pemantapan sumber/media pembelajaran, peningkatan pengelolaan kelas, peningkatan dalam kegiatan penilaian proses dan hasil pembelajaran, peningkatan penggunaan bahasa dengan baik sehingga mudah dipahami siswa. Pada kegiatan penutup, menunjukkan peningkatan kemampuan dalam melakukan refleksi, mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan, dan memberikan pengarahan untuk kegiatan berikutnya.

Berdasarkan data pada tabel 2 mengenai observasi kegiatan pembelajaran pada kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup, maka dapat dikatakan telah terjadi peningkatan kinerja guru secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa LS meningkatkan kinerja guru untuk menjadi guru yang profesional.

Keprofesionalan guru harus selalu ditingkatkan, karena peningkatan keprofesionalan guru akan diikuti oleh peningkatan efektifitas kegiatan belajar mengajar. Secara tidak langsung peningkatan keprofesionalan guru juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan secara luas. Lesson Study is a method, used by the Japanese

educational system for over a century, of observing student learning. (LS adalah metode yang digunakan sistem pendidikan di Jepang lebih dari satu abad, dalam mengamati pembelajaran siswa). (Bogner, 2007).

Kegiatan LS yang melibatkan guru dan stakeholder sekolah, melaksanakan kegiatan se- cara kolaboratif untuk mengamati proses pendidikan yang dilakukan dan mempelajarinya untuk mendapatkan solusi dan masukan demi perbaikan proses pembelajaran berikutnya. “The key to long-term improvement [in teaching] is to figure out how to generate, accumulate, and share professional knowledge. Japanese Lesson Study has proved to be one successful means”. (Kunci untuk peningkatan jangka panjang adalah menggambarkan bagaimana men-

generalisasikan, mengumpulkan, dan bertukar pengetahuan profesional. Kegiatan LS di Jepang telah meningkat menjadi salah satu sukses yang sangat berarti)(Isoda, et al. 2007).

Dalam lesson study, guru dapat berperan sebagai model/pengajar dalam satu waktu dan menjadi guru pengamat di lain waktu. Pergantian peran ini menciptakan rasa saling mengerti serta mendukung di antara guru dan secara efektif meningkatkan mutu proses belajar-mengajar. Hendayana dkk. (2006:10) menegaskan bahwa setiap guru pada kegiatan lesson study berkesempatan untuk melakukan hal-hal berikut ini : (1) mengidentifikasi masalah pembelajaran, (2) mengkaji pengalaman pembelajaran yang biasa dilakukan, (3) memilih alternatif model pembelajaran yang digunakan, (4) merancang rencana pembelajaran, (5) mengkaji kelebihan dan kekurangan alternatif model pembelajaran yang dipilih, (6) melaksanakan pembelajaran, (7) mengobservasi proses pembelajaran, (8) mengidentifikasi hal-hal penting yang terjadi dalam aktivitas belajar siswa di kelas, (9) melakukan refleksi secara bersama-sama atas hasil observasi kelas, dan (10) mengambil pelajaran berharga dari setiap proses yang dilakukan untuk kepentingan peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran lainnya.

Tercatat pula bahwa beberapa kegiatan masih ada yang didominasi oleh kegiatan mengajar guru, sehingga murid hanya merespon pada saat diminta atau diperintahkan guru. Hal ini terutama karena guru ingin mencapai standar yang telah ditetapkan dalam waktu singkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Herman (2012:60) yang mengatakan bahwa keberhasilan dari kegiatan lesson study bukanlah dalam waktu sesaat namun merupakan pencapaian hasil dari proses kolaborasi beberapa pihak yaitu guru, kepala sekolah dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkesinambungan.

Ada tujuh kunci lesson study, yaitu pembinaan profesi, pengkajian pembelajaran, kolaboratif, berkelanjutan, kolegialitas, mutual learning, dan komunitas belajar. Lesson study bertujuan untuk melakukan pembinaan profesi pendidik secara berkelanjutan agar terjadi peningkatan keprofesionalan pendidik terus menerus. Bagaimana membinanya, yaitu melalui pengkajian pembelajaran secara terus menerus dan berkolaborasi. Membangun budaya tidak sebentar, memerlukan waktu lama. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun budaya komunitas belajar tidak ada batasnya. Tidak ada pembelajaran yang sempurna, selalu ada celah untuk memperbaikinya, karena itu pembelajaran harus dikaji secara terus menerus agar lebih baik dan lebih baik lagi. Chotimah (2015:30) dalam artikelnya yang berjudul Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Lesson Study Untuk Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran menyatakan pengkajian pembelajaran di SMP Negeri Satu Atap Merjosari Malang dilakukan secara berkala dua minggu sekali yang pelaksanaanya dilaksanakan pada hari sabtu untuk membangun komunitas belajar, yaitu membangun budaya yang memfasilitasi anggotanya untuk saling belajar, saling koreksi, saling menghargai, salingmembantu, saling menahan ego.

 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 139

Penerapan Model Inquiry Learning dalam Kerangka Lesson Study untuk

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Sejarah Indonesia

Kelas XII Kompetensi Dasar 3.3

Pi’i SMA Negeri 1 Turen Kabupaten Malang

[email protected]

 

Abstrak: Kompetensi Dasar (KD) 3.3 kelas XII SMA merupakan KD yang dimensi proses berfikirnya berada pada tataran berfikir tingkat tinggi. Untuk mencapai KD tersebut lebih tepat menggunakan model cooperative learning. Model cooperative learning selaras dengan paradigma baru pembelajaran konstruktifivisme yang mengubah orientasi pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centered) beralih ke peserta didik (student centered). Model cooperative learning yang digunakan dalam penelitian lesson study ini adalah model inquiry learning bertujuan meningkatkan kreatifitas peserta didik dalam berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model inquiry learning mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran sejarah.

Kata kunci ; kompetensi dasar, model pembelajaran, inquiry learning, lesson study.

A. PENDAHULUAN.

Dalam Lampiran Permendikbud Nomor 24 tentang Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran Sejarah Indonesia (umum) kelas XII pada KD (pengetahuan) 3.3 menyatakan “menganalisis perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan sampai masa demokrasi liberal”. Sedangkan KD (keterampilan) 4.3 menyatakan “merekonstruksi perkembangan kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan sampai masa demokrasi liberal dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis”.

Jika mengacu pada Taksonomi Bloom yang direvisi Anderson, KD 3.3 menunjukkan bahwa dimensi proses berfikirnya berada pada tataran berfikir tingkat tinggi pada level menganalisis. Sedangkan KD 4.3 mengindikasikan bahwa peserta didik diharapkan memiliki keterampilan baik keterampilan abstrak maupun konkrit. Keterampilan abstrak berupa tindakan merekonstruksi materi pembelajaran tentang perkembangan kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan sampai masa demokrasi liberal. Sedangkan keterampilan konkrit berupa laporan tertulis dari hasil tindakan merekonstruksi materi pembelajaran sejarah tersebut. KD keterampilan ini pada dasarnya juga berkaitan dengan dimensi proses berfikirnya berada pada tataran berfikir tingkat tinggi.

Materi pembelajaran dalam Buku Siswa kelas XII yang berkaitan KD 3.3 adalah membahas tentang “sistem dan struktur politik dan ekonomi masa demokrasi parlementer (1950-1959)” (Abdurakhman, dkk, 2016; 47-76). Materi pembelajaran demokrasi parlementer tersebut dalam Buku Guru kelas XII dibagi menjadi beberapa pertemuan meliputi materi pembelajaran yaitu; (a) perkembangan politik; sistem pemerintahan, (b) perkembangan politik; sistem kepartaian, (c) pekembangan politik; Pemilihan Umum

1955, (d) perkembangan ekonomi; pemikiran ekonomi nasional, dan (e) perkembangan ekonomi; sistem ekonomi liberal (Abdurakhman, dkk, 2015: 110-136)

KD (3.3 dan 4.3) dimensi proses berfikirnya berada pada tataran berfikir tingkat tinggi, maka pelaksanaan pembelajaran dengan materi pembelajaran masa demokrasi parlementer sebaiknya mampu mencapai tuntutan kompetensi dalam KD itu. Artinya KD yang akan dicapai dan pelaksanaan pembelajaran berada pada tataran yang sama. Demikian pula dalam melaksanakan penilaian hasil belajar sebaiknya menggunakan penilaian berfikir tingkat tinggi yang dikenal dengan soal hots (higer order of thingking skill). Dengan demikian, akan tercipta suatu konsistensi antara tuntutan KD, pelaksanaan pembelajaran dan penilaian hasil belajar.

Model pembelajaran untuk mencapai KD pada tataran berfikir tingkat tinggi lebih tepat menggunakan model cooperative learning. Model pembelajaran konvensional yang mengedepankan gaya bertutur (ceramah) dinilai tidak tepat dalam mengantarkan KD yang berada pada tataran berfikir tingkat tinggi. Model cooperative learning merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu pada paradigma baru pembelajaran kontruktivisme yang dianut kurikulum 2013 yang mengubah orientasi pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centered) beralih ke peserta didik (student centered). Anita Lie (2002:12) menyatakan model cooperative learning merupakan sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan sesama peserta didik dalam menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur.

Model cooperative learning memiliki ciri-ciri sebagai berikut; (1) peserta didik bekerja dalam kelompok secara kooperatif, (2) kelompok dibentuk dari peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah, (3) bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin yang berbeda-beda, dan (4) penghargaan lebih berorientasi

Page 51: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

138 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

inovatif bisa meningkatkan motivasi dan aktifitas belajar peserta didik. Peserta didik lebih mudah untuk menyampaikan pendapat, melatih peserta didik belajar secara mandiri, serta berfikir tingkat tinggi peserta didik untuk merekonstruksi pemahaman secara mandiri.

Berdasarkan hasil wawancara menjelaskan bahwa penting bagi mahasiswa KPL S2 untuk bisa cepat menghafal nama peserta didiknya. Menghafal nama peserta didik dilakukan dengan tujuan agar mereka merasa lebih diperhatikan. Harapannya peserta didik bisa lebih fokus memperhatikan penjelasan yang disampaikan oleh Mahasiswa KPL.

Berdasarkan hasil wawancara juga menjelaskan penting bagi mahasiswa KPL S2 memberikan instruksi dengan jelas kepada peserta didik. Instruksi kegiatan perkuliahan bisa disampaikan dalam bentuk tertulis dan bisa disampaikan secara lisan kepada peserta didik. Instruksi yang jelas akan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sebaliknya jika instruksi yang disampaikan dengan tidak jelas maka mahasiswa akan bingung dan kesulitasn untuk mencapai tujuan pembelajaran.

D. KESIMPULAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa lesson study pada jenjang S2 juga penting dilaksanakan. Mahasiswa KPL S2 bisa mendapat banyak pengalaman mengenai model dan metode pembelajaran yang efektif. Mahasiswa KPL S2 yang mengikuti kegiatan lesson study juga bisa melatih dan mengembangkan kompetensi kependidikan mereka yang diantaranya kompetensi pribadi, kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, dan kompetensi sosial. Banyak pelajaran bermakna yang dapat diambil oleh mahasiswa S2 yang mengikuti kegiatan lesson study yaitu memiliki banyak pengalaman dan inovasi untuk menyampaikan materi dalam kegiatan perkuliahan.

E. DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Lesson Study. DEPDIKNAS.

Fatchan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya. Jenggala Pustaka Utama.

Sumardi. Subadi, T. Sutarni, S. 2015. Model Pembinaan Dosen Berbasis Program Perluasan Lesson Study untuk Penguatan Proses Pembelajaran di LPTK FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal University Research Colloquium. (Online), no 128, (https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/5143), diakses 18 Mei 2016.

Syamsuri, I. Ibrohim. 2008. Lesson Study (Studi Pembelajaran) Model Pembinaan Pendidik Secara Kolaboratif dan Berkelanjutan di Kabupaten

Pasuruan-Jawa Timur (2006-2008). Malang: FMIPA UM.

Susilo, Herawati. 2013. Lesson Study Sebagai Sarana Meningkatkan Kompetensi Pendidik. Makalah Seminar dan Lokakarya. (Online), (http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/Lesson-Study-Sebagai-Sarana-Meningkatkan-Kompetensi-Pendidik-herawati.pdf), diakses 20 Mei 2016.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 43

Lesson study menjadi salah satu sarana dalam membangun pembelajaran di sekolah. Guru mampu mengembangkan kecakapan hidup melalui lesson study yaitu dengan cara berpikir yang efektif. Cara berpikir yang efektif dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Lesson study melakukan perbaikan dengan dasar data dan data tersebut tidak seperti yang selama ini terbatas pada hasil tes tulis yang hanya mengukur kinerja akademik yang sempit. Didasarkan pada paparan di atas, lesson study mampu mencetak guru yang professional, kreatif, inovatif, berpikir kritis, dan metakognitif.

Dampak dari pelaksanaan lesson study yang telah dilakukan terjalinya kemitraan yang mutual antara guru mata pelajaran IPS dengan guru yang lain, memberikan pemahaman bagi guru tentang pentingnya pengkajian pembelajaran sebagai dasar peningkatan sikap profesionalitas yang ia miliki sehingga empat kompetensi: kompetensi pedagogik, sosial, profesional, kepribadian yang dimiliki guru dapat meningkat dan berkembang. Pada mata pelajaran IPS lebih inovatif, metode pembelajaran lebih bervariasi dan lebih relevan terhadap tingkat kemampuan siswa. Sedangkan kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaan mulai dari tahap perencanaan (plan), sampai pada tahap refleksi (see) ialah persoalan waktu yang terbatas untuk melaksankan kembali kegiatan lesson study secara berkesinambungan.

H. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil program lesson study di SMP N 2 Grati

adalah: (1) membantu guru dalam membuat perangkat pembelajaran, (2) meningkatkan profesionalitas guru, (3) meningkatkan kemampuan guru dalam melakukan pengamatan pembelajaran di kelas, (4) meningkatkan rasa kolegalitas para guru, (5) meningkatkan kompetensi pedagogik, (6) meningkatkan kompetensi kepribadian, dan (7) guru lebih dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran,

Saran

Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian, terbukti bahwa pelaksanaan program lesson study mampu menjadikan profesionalisme guru lebik baik. Namun dalam pelaksanaan lesson study tersebut tentu ada kekurangannya, maka dari itu perlu perbaikan agar pelaksanaan program lesson study dapat optimal, untuk itu disarankan: 1. Bagi Kepala Sekolah

Kepala Sekolah sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan lesson study sebaiknya selalu mengawasi pelaksanaan program lesson study. Selain itu sebaiknya Kepala Sekolah juga melakukan pengamatan pada guru pada saat pembelajaran biasa.

2. Bagi guru

Sebaiknya guru selalu berusaha secara konsisten dalam melaksanakan pembelajaran yang baik, bukan hanya saat pelaksanaan lesson study namun juga saat kegiatan belajar mengajar seperti bisanya.

3. Bagi guru pengamat (observer)

Sebaiknya guru pengamat benar-benar mengamati pelaksanaan lesson study dan tidak berbicara sendiri. Guru pengamat benar-benar mengevaluasi pembelajaran yang sedang diamati dan memberi masukan demi kemajuan pembelajaran

4. Bagi peserta didik

Sebaiknya peserta didik ketika pelaksanaan pembelajaran lesson study fokus pada pelajaran segaimana biasanya. Jangan sampai kehadiran observer menjadikan peserta didik menjadi tertekan, bertingkah lakulah seperti pembelajaran biasanya.

 

I. DAFTAR PUSTAKA Buku

Arends, R.I.; Winitzky, N.E. dan Tannenbaum, M.D. 2001. Exploring Teaching: An Introduction to education. New York: McGraw-Hill.

Hendayana, S., dkk. (2006). Lesson Study: Suatu Strategi untukMeningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP JICA).Bandung: UPI Press.

Syamsuri, Istamar. Ibrohim. 2008. Lesson Study (STUDI PEMBELAJARAN) Model Pembinaan Pendidik secara Kolaboratif dan Berkelanjutan; dipetik dari Program SISTTEMS-JICA di Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur (2006-2008). Malang: FMIPA UM.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas.

Wang-Iverson, Patsy and Yoshida, Makoto Building Our understanding of Lesson study. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, 2005

.  

Jurnal Becker, J., Ghenciu, P., Horak, M., dan Schroeder,

H. A. 2008. College Lesson Study in Calculus, Preliminary Report. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, 39.

Bogner, L. 2007. Using Lesson Study as an

Instrument to Find the Mental Models of Teaching and Learning Held by Career and Technical Education Instructors. The International Journal of Learning, 15(1):239-244.

Gita, I.N. 2003. Peningkatan Kualitas

Pembelajaran Persamaan Deferensial melalui Pengembangan Strategi Pemberian Tugas dan

Page 52: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

44 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Pengajuan Masalah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja,

Herman, Tatang. 2012. Meningkatkan Kualitas

Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar melalui Lesson Study.Jurnal Pendidikan (13) 1: 56-633.

Isoda, M., Miyakawa, T., Stephens, M. and Ohara,

Y. 2007. Japanese Lesson Study In Mathematics, Its Impact, Diversity and Potential for Educational Improvement. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology. Table of Contents. Chapter 1: Japanese Education and Lesson Study: An Overview

Lewis, C. (2002). Does Lesson Study Have a

Future in the United State?. Nagoya Journal of education and Human Development, 1, 1-23. (www.rbs.org/lesson_study/conference/2002/papers/wang.shtml).

Susiana, Nancy. Suhandi, Fransiska. 2014.

Program Lesson Study Untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogi dan Profesional Guru Paud di Sekolah XYZ Jakarta. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, (21)1:41-47.

Susilowati, Retno. Strategi Peningkatan

Profesional Guru MI Melalui Lessons Study. ELEMENTARY (2) 1:181-198.

Warpala, P.G. 2003. Implementasi Pendidikan

Pembelajaran Kontektual dalam Pengajaran IPA di Sekolah Dasar dengan Menggnakan LKS Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja, 3.

Proceedings of meetings and symposiums,

conference papers Chotimah, Chusnul. 2015. Peningkatan

Profesionalisme Guru Melalui Lesson Study Untuk Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015, yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang,

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 137

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini masuk kedalam jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk mendeskripsikan pengalaman yang diperoleh oleh informan selama melaksanakan lesson study. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk mengungkap keunikan fenomena, dinamika, dan pola kehidupan (individu, kelompok, dan masyarakat) sehari-hari secara komprehensif (Fatchan, 2011:8).

Subjek penelitiannya adalah mahasiswa S2 Pendidikan Geografi yang mengikuti kegiatan KLS FIS dan pernah mengikuti kegiatan LS di FIS. Penelitian ini menggunakan metode obsevasi,wawancara, dandokumentasi. Data yang terlah terkumpul dideskripsikan dalam bentuk kata-kata tertulis, Analisis data melalui tiga tahap, yaitu (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan kesimpulan.

Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur dan dokumentasi. Wawancara dilakukan kepada mahasiswa S2 Pendidikan Geografi yang pernah melaksanakan dan mengikuti kegiatan lesson study dan dokumentasi dilakukan pada saat mahasiswa tersebut mengikuti kegiatan lesson study. Observasi dilakukan ketika mahasiswa melaksanakan plan, do, dan see. Pada observasi ini peneliti merekan dalam bentuk catatan tentang respon dan reaksi mahasiswa selama kegiatan berlangsung.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Manfaat Lesson Study Bagi Mahasiswa S2 Pendidikan Geografi

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat diketahui bahwa lesson study memiliki banyak manfaat bagi mahasiswa khususnya mahasiswa S2 Pendidikan Geografi yang sedang melaksanakan KPL. Melalui kegiatan lesson study mahasiswa KPL bisa mendapat banyak pengalaman bagaimana cara mendidik yang baik, contohnya seperti masukan dan saran tentang metode serta model pembelajaran yang efektif. Bagi mahasiswa KPL lesson study adalah sebuah program pelatihan untuk mengembangkan kompetensi profesional pendidik.

Berdasarkan wawacara Mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi dapat diketahui bahwa dengan lesson study mahasiswa S2 bisa lebih meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran meningkat karena pada saat plan mahasiswa saling bertukar informasi tentang metode dan model yang efektif untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan hasil wawancara juga ketahui bahwa mahasiswa KPL lebih banyak memiliki inovasi dalam menyampaikan materi pembelajaran. Inovasi dalam kegiatan perkuliahan membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan, peserta didik lebih termotivasi untuk belajar, dan materinya lebih mudah untuk disampaikan kepada mahasiswa.

Kompetensi Kependidikan yang Dikembangkan Melalui Lesson Study

Berdasarkan hasil wawancara mahasiswa KPL S2 Pendidikan geografi dapat diketahui bahwa dengan mengikuti lesson study kompetensi kependidikan mereka bisa berkembang. Kompetensi kependidikan ini terdiri dari kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, komperensi profesional, dan kompetensi pedagogik. Mahasiswa merasa bahwa dengan mengikuti kegiatan lesson study rasa akrab dengan sesama teman lebih terbangun, dari yang awalnya tidak kenal menjadi saling kenal, dari yang awalnya pendiam menjadi lebih care terhadap teman hal ini menunjukkan bahwa kegiatn lesson study mampu meningkatkan kompetensi sosial.

Berdasarkan hasil wawancara mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi juga menyebutkan bahwa lesson study mampu mengembangkan kompetensi profesional mahasiswa. Kompetensi profesional ini terbangun karena pada saat tahap plan mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi bisa saling bertukar informasi tentang materi yang akan diajarkan. Berdasarkan hasil riset Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (2009:8) menjelaskan bahwa dengan lesson study pendidik bisa saling bertukar informasi seputar materi ajar sehingga dapat meningkatkan pengetahuian seorang pendidik dan bisa mengembangkan kompetensi profesional pendidik.

Berdasarkan hasil wawancara menyebutkan bahwa mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi yang mengikuti kegiatan lesson study bisa lebih termotivasi untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik. Motivasi ini terbentuk ketika kegiatan diskusi dan syaring saat melaksanakan plan dan see. Motivasi positif juga sering diberikan oleh dosen-dosen saat kegiatan refleksi, sehingga pribadi mahasiswa lebih terpacu untuk terus mengembangkan diri. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara langsung lesson study dapat mengembangkan kompetensi kepribadian mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi.

Berdasarkan hasil wawancara menyebutkan bahwah lesson study bisa mengembangkan kompetensi pedagogik mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi. Kompetensi pedagogik mahasiswa berkembang ditandai dengan kemampuan mahasiswa merancang dan merencanakan kegiatan pembelajaran yang didalamnya terdiri dari penyusunan RPP, materi ajar, strategi pembelajaran, dan teaching skill.

Pelajaran Bermakna yang bisa Diambil Mahasiswa KPL S2 Pendidikan Geografi

Berdasarkan hasil wawancara menjelaskan bahwa banyak pelajaran bermakna yang bisa diambil dari lesson study. Mahasiswa S2 menyadari bahwa untuk merancang dan merencanakan kegiatan pembelajaran itu tidak mudah. Rancangan pembelajaran harus bisa membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Bagi mahasiswa S2 yang pernah melaksanakan kegiatan lesson study menyadari bahwa inovasi dalam perkuliahan seperti diskusi, presentasi, dan tanya jawab sangat diperlukan. Perkuliahan yang dirancang secara

Page 53: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

136 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Lesson Study sebagai Model Pembinaan Profesi Kependidikan bagi Mahasiswa KPL S2

Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang

Nur Wakhid Hidayat S.Pd, Prof, Dr, Sumarmi M.Pd, Dr, Ach. Amirudin M.Pd Pascasarjana Universitas Negeri Malang

JL. Semarang 5 Malang 65145 E-mail: [email protected]

 

Abstract: Lesson study adalah model pembinaan profesi kependidikan yang sudah lama dikembangkan di Jepang. Aplikasi lesson study dalam program pembelajaran dapat melatih mahasiswa KPL S2 meningkatkan kompetensi kependidikan yang diantaranya kompetensi profesional, pedagogi, sosial, dan kepribadian. Bagi mahasiswa KPL S2 perlu banyak pengalaman agar bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik. Metode pada penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dengan menggunakan teknik diskusi, wawancara, dan interview. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mahasiswa yang sering mengikuti kegiatan lesson study lebih bisa berinovasi dalam kegaitan pembelajaran. Mahasiswa yang sering mengikuti kegiatan lesson study lebih kreatif dalam menyampaikan materi kegiatan pembelajaran. Mahasiswa yang sudah melaksanakan kegiatan lesson study memiliki pengalaman, wawasan, keterampilan yang lebih baik dari pada mahasiswa yang tidak mengaplikasikan kegiatan lesson study.

Keywords:lesson study, kompetensi kependidikan, mahasiswa KPL.

A. PENDAHULUAN

Lesson study adalah definisi sebuah program pembinaan profesi kependidikan yang sudah lama dilaksanakan di Indonesia. Lesson study berasal dari jepang yang dikenal dengan sebutan jugyoukenkyu. Di Indonesia lesson study diperkenalkan sejak oktober tahun 1998 hingga september 2005 dengan mengikutsertakan tiga lembaga perguruan tinggi di Indonesia yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Yokyakarta (UNY), dan Universitas Negeri Malang (UM) (Syamsuri dan Ibrohim, 2008:5).

Lesson study yang dikembangkan di Indonesia terdiri dari tiga tahapan yaitu plan, do, dan see. Pada tahap plan seluruh tim lesson study merancang dan merencanakan kegiatan pembelajaran, tahap do tim lesson study melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan tahap see seluruh anggota tim lesson study dan anggota observer merefleksi hasil dari kegiatan pembelajaran. Setiap kegiatan lesson study dilaksanakan dengan berkolaborasi dan prinsip kolegialitas yang tinggi (Susilo, 2013:4).

Awal pelaksanaan lesson study di Indonesia hanya berfokus pada bidang studi MIPA saja. Seiring berjalannya waktu lesson study terus berkembang dan saat ini sudah banyak dilaksanakan diberbagai bidang study salah satunya adalah lesson study pada bidang study sosial.

Lesson study di Universitas Negeri Malang sudah lama dilaksanakan sejak tahun 2007. Pada awalnya lesson study UM dilaksanakan di FMIPA pada jurusan Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Geografi. Tahun 2009 FMIPA UM mulai melaksanakan lesson study dalam program PPL (Praktik Pembelajaran Lapangan) (Sumardi, 2015:131).

Pada tahun 2013 PPL diganti menjadi KPL (Kajian dan Pembelajaran Lapangan). Universitas Negeri Malang mewajibkan bagi seluruh jurusan kependidikan

untuk melaksanakan KPL dalam rancangan lesson study. Harapan dilaksanakan KPL adalah agar mahasiswa mendapat banyak pengalaman mendidik yang terdiri dari menyusun perangkat pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan melakukan evaluasi.

Tahun 2013 Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dalam program DIKTI mulai mengembangkan lesson study berbasis sosial. Program DIKTI tersebut dilaksanakan sejak tahun 2013 hingga 2015. Meski program DIKTI telah berakhir tetavpi kegiatan lesson study FIS tetap berjalan dan telah dibentuk sebuah komunitas lesson study club Fakultas Ilmu Sosial (KLS FIS).

KLS FIS berdiri sejak tahun 2016 yang diketuai oleh bapak Andrianto Tanjung S.Pd M.Pd. Setiap bulannya KLS FIS terus melaksanakan kegiatan open class bergilir pada semua jurusan yang ada di FIS yaitu Jurusan Geografi, Sejarah, HKN, P.IPS, dan Sosiologi. KLS FIS juga ikut menunjang, mensuport dan membackup kegiatan PEKERTI yang dilaksanakan oleh dosen-dosen di FIS.

KegiatanKLS FIS kebanyakan di dominasi oleh para dosen-dosen FIS khususnya bagi dosen yang pernah mengikuti pelatihan lesson study dan program studi lesson study ke Jepang. Selain dosen-dosen FIS, KLS FIS juga di ikuti oleh beberapa mahasiswa Pascasarjana UM. Harapan dibentuk KLS FIS ini bapak dan ibu dosen bisa saling berbagi informasi seputar pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi kependidikan.

Bagi mahasiswa Pascasarjana, KLS FIS memberikan banyak manfaat, tetapi kenyataan dilapangan sedikit mahasiswa pascasarjana yang ikut dalam komunitas lesson study FIS. Bagi mahasiswa pascasarjana yang mengikuti kegiatan KLS FIS cara mengajarnya lebih bervariasi. Mahasiswa pascasarjanamengakui dengan mengikuti kegiatan KLS banyak memperoleh pengalaman mengajar.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 45

Open Class sebagai Proses Peningkatan

Profesionalitas Guru Berkelanjutan

Hendrikus Midun, S.Fil, M.Pd STKIP Santu Palulus Ruteng Flores NTT

[email protected]

 

 

Abstrak: Open class sebagai salah satu tahapan penting dalam lesson study memainkan peran krusial dalam upaya meningkatkan profesionalitas guru. Melalui open class proses pembelajaran didiagnosa secara mendalam melalui aktivitas pengamatan cermat dan refleksi kritis mendalam. Untuk melakukan diagnosis pembelajaran, setiap pembelajar, baik guru model maupun pengamat melaksanakan peran sebagai peneliti dan analis. Dengan peran-peran ini, para guru dapat menemukan ‘penyakit’ pembelajaran (bersifat interal dan eksternal) secara tepat dan merancang proses ‘penyembuhkan’ dengan benar melalui re-design dan re-treatment lebih bermutu. Pelaksanaan open class sebagai kegiatan kolaboratif tidak hanya berdampak positif terhadap optimalisasi proses dan hasil pembelajaran sebagai maingoals pelaksanaanya, tetapi juga kesempatan belajar bagi guru untuk meningkatkan kompotensi-kompetensi yang melekat pada dirinya. Kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial dapat berkembang secara seimbang dalam open class. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pengalaman dan proses belajar para guru dalam open class untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi keguruan.

Kata-kata kunci: lesson study, mutu pendidikan, open class, profesonalitas guru,

A. PENDAHULUAN

Aktivitas pembelajaran merupakan aspek yang mendapat tekanan utama dari pekerjaan seorang guru. Kemampuan yang dituntut pada aktivitas ini sangat kompleks dan terkonsepsi dalam rumusan kompetensi keguruan. Kemampuan/kompetensi keguruan diperoleh secara bertahap malalui pendidikana formal, program induksi, dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) atau PPG (Pendidikan Profesi Guru) bagi guru yang tersertifkasi. Namun hasilnya masih relatif stagnan. Payong melansir temuan penelitian Ditjen PMPTK dan Bank Dunia pada 2010 terhadap guru-guru SD dan SMP dengan hasil antara lain: (1) Sertifikasi belum banyak membawa dampak bagi peningkatan profesionalisme guru, dampak dari sertifikasi lebih berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan daripada peningkatan profesionalisme, (2) sertifikasi guru belum membawa dampak bagi peningkatan disiplin guru dalam menjalankan tugas profesionalnya, masih banyak guru yang lalai melaksanakan tugasnya meskipun telah mendapatkan tunjangan profesi (Payong, 2016).

Oleh karena itu salah satu opsi pengembangan kompetensi guru berkelanjutan adalah melalui belajar kolaboratif dalam komunitas pembelajaran (learning community). Dalam komunitas pembelajaran, para guru dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendalaman pembelajaran melalalui studi kasus (case study), studi pembelajaran (lesson study), dan penelitian tindakan kelas (class action research). Melalui tiga model belajar bersama ini, para guru melakukan pengkajian pembelajaran lebih mendalam; masalah-masalah pembelajaran dicermati, didalami, dan dikritisi secara bersama-sama dalam kerja kolaboratif.

Lesson Study merupakan suatu proses untuk menguji secara sistematis efektivitas pembelajaran mencapai tujuan yang diinginkan. Proses ini melibatkan guru dalam kerjasama kolaboratif dengan mengembangkan satu set kecil pelajaran. Bentuk

kerjasama ini mulai pada perencanaan, pengajaran, mengamati, mengkritisi, dan merevisi pelajaran dalam siklus terus menerus (Garfield, 2006).

Kegiatan open class sebagai satu tahapan siklus lesson study merupakan kegiatan sentral dalam menemukan masalah-masalah pembelajaran, baik masalah yang terkait dengan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar peserta didik, maupun interaksi guru dengan siswa dan interaksi guru dan siswa dengan sumber belajar. Oleh karena itu open class merupakan cara baru bagaimana guru dalam komunitas pembelajaran belajar sungguh-sungguh terhadap pembelajaran. Syamsory dan Ibrohim (2008) melihat lesson study berorientasi pada perubahan paradigma: (a) dari guru mengajar, peserta didik belajar kepada peserta didik belajar, guru belajar; (b) mengajar orientasi hasil kepada pembelajaran berorientasi proses; (c) pembelajaran menekankan peserta didik meraih prestasi akademik (nilai) kepada pembelajaran berorientasi pada peserta didik berpikir kreatif, inovatif, dan ilmiah. Guru dalam komunitas pembelajaran belajar membelajarkan peserta didik berpikir aktif (mental dan fisik), kreatif, dan inovatif melalui penggunaan model, strategi/metode, sumber dan media pembelajaran sesuai dengan konteks pembelajaran, isi pesan, dan target pencapaian kompetensi peserta didik.

Praktek lesson study di Jepang (sebagai negara pertama melaksanakan lesson study) dan negara-negara lain (seperti Amerika Serikat) yang mengadopsi lesson study Jepang (Syamsory & Ibrohim, 2008) efektif meningkatkan hasil belajar peserta didik dan pengembangan kompetensi guru. Munculnya lesson study di Jepang dipicu oleh hilangnya motivasi guru dalam meningkatkan kinerja menggajarnya yang menimbulkan beragam masalah pendidikan dan pembelajaran. Pemerintah Jepang meyakini bahwa membangun kultur mutu di sekolah harus dimulai dari memperbaiki motivasi guru dan kepala sekolah. Syamsory dan Ibrohim (2008:119) menegaskan, “Jika

Page 54: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

46 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

motivasi kepala sekolah dan guru berubah, maka faktor lain akan secara perlahan mengikuti perubahan itu....Salah satu sarana yang dapat mendorong motivasi kepala sekolah dan guru adalah studi pembelajaran untuk membangun komunitas belajar di sekolah”. Lesson study merupakan upaya membangun kembali mutu sekolah yang “runtuh”.

Sejauhmana lesson study pada tahap open class dapat meningkatkan motivasi dan kompetensi guru dalam mengajar? Iktiar menjawab pertanyaan ini menjadi titik mulai dari uraian ini. Masalah ini dijabarkan atas empat sub-poin: pelaksanaan open class, kemudian open class sebagai wahana belajar bagi guru, open class sebagai peningkatan kompetensi guru, dan open class sebagai pengembangan budaya mutu di sekolah.

B. PELAKSANAAN OPEN CLASS

Pelaksanakan pembelajaran (open class) merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan lesson study. Konsep lesson study yang dikemukan Lewis, Walker, dan Gaefield (Syamsory & Ibrohim, 2008) mengungkapkan satu poin penting bahwa lesson study merupakakan upaya sistematis dan kolaboratif dalam mengkaji aktivitas pembelajaran yang mencakup perencanaan (PLAN), pelaksanaan (DO), dan refleksi (SEE).

Sesungguhnya melaksanakan open class bukan hal baru bagi para guru. Sebab sebelum menjadi guru mereka telah berkali-kali melaksanakan pembelajaran. Mereka sudah belajar melaksanakan pembelajaran sejak persiapan menjadi guru lewat program PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik dan Kependidikan), program induksi di sekolah dibawah bimbingan guru senior, dan praktek Peer Teaching dalam program PLPG dan/atau PPG bagi guru yang tersertifikasi. Karena itu secara prinsipil, open class relatif sama dengan pembelajaran reguler ataupun pengalaman pembelajaran selama PPL, program induksi, dan peer teaching. Ciri pembeda pembelajaran reguler dengan open class adalah adanya pengamatan dan refleksi bersama dalam kolegalitas.

Untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran, pengamatan dan refleksi secara efektif dan efisien, perangkat pendukung perlu disiapkan. Setting ruangan kelas dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan semua komponen dalam open class dapat melaksanakan tugasnya dengan baik; lembar observasi, alat/perangkat perekam kegiatan belajar, rambu-rambu observasi dan refleksi perlu disiapkan dengan baik sebelum kegiatan pembelajaran (Syamsory & Ibrohim, 2008).

Dalam satu kegiatan open class, paling kurang terdapat empat komponen yang ada secara simultan, yakni peserta didik, guru model, guru pengamat, tenaga ahli (dosen, pengawas, kepalas Dinas, praktisi pendidikan, dll). Pertama, peserta didik. Peserta didik dalam open class merupakan peserta didik dalam arti alamiah, tidak diseting seperi halnya peserta didik pada kelas eskperimen penelitian. Tugas mereka selama proses pembelajaran sama dengan ketika pembelajaran reguler, tergantung pada model dan metode pembelajaran yang digunakan guru model. Mereka

mengikuti pembelajaran secara utuh. Kedua, guru model. Tugas utama guru model adalah melaksanakan pembelajaran yakni aplikasi RPP yang telah disiapkan bersama dan pengembangan-pengembangan kreatif edukatif yang mendorong peserta didik untuk berpikir kreatif, inovatif, dan divergen. Ia menyiapkan diri dengan matang (mental dan fisik), tidak pertama-tama bertujuan agar semua yang dilakukannya di kelas “harus” sempurna. Akan tetapi supaya perfoma yang ditunjukkannya dalam pembelajaran sungguh bersifat by design (penggunaan model, strategi, metode dan media pembelajaran), dapat mengontrol setiap tindakan edukasinya selama proses pembelajaran, menguasai kelas dan pembelajaran. Ketiga, (guru) pengamat. Tugas utama (guru) pengamat adalah melakukan pengamatan cermat terhadap proses dan seluruh pembelajaran, baik perilaku guru maupun perilaku peserta didik, dan segala interaksi edukatif yang terjadi antara guru dengan peserta didik, antarsesama peserta didik, antara guru dan peserta didik dengan sumber belajar selama proses pembelajaran. Dengan demikian, ia tidak hanya mengamati dan “menilai” keterlaksanaan RPP yang telah disiapkan, tetapi seluruh peristiwa belajar yang terjadi dalam proses pembelajaran. Hasil pengamatan dibuat secara tertulis, bila perlu menggunakan alat perekan. Catatan yang cermat membantu guru memberi komentar objektif pada tahap refleksi. Keempat, tenaga ahli. Tugas tenaga ahli relatif sama dengan guru pengamat. Namun catatan dan komentar mereka diharapkan lebih mendalam dan komprehensif, disertai kajian-kajian ilmiah yang lebih luas sehingga dapat memberikan penguatan (reinforcement) bagi para guru (guru model dan guru pengamat) dan peluang perubahan treatment berikut.

C. OPEN CLASS SEBAGAI WAHANA BELAJAR

Tugas-tugas para komponen pembelajaran dalam open class sebagaimana dideskripsikan di atas, sesungguhnya mengungkapkan beberapa aspek belajar bagi para guru. Saya melihat ada empat aspek yang guru belajar dari pengalaman open class, yakni belajar melaksanakaan pembelajaran bermutu, belajar meneliti, belajar bersikap sportif dan inklusif, dan belajar bekerjasama.

Belajar Melaksanakan Pembelajaran Bermutu Ketika sesorang dipercayakan untuk menjadi guru

model dalam kegiatan open class, maka dua kegiatan utama dilakukannya adalah: Pertama, merancang pembelajaran secara sistematis. Merancang pembelajaran sistematis, memprasyarat dua hal: (1) mengetahui komponen-komponen pembelajaran yang harus ada dan (2) mengetahui dan menguasai bagaimana komponen-komponen pembelajaran yang tersistem itu membentuk rancangan pembelajaran yang memgambarkan proses pembelajaran yang akan dilakukan dalam open class (kelas nyata). Untuk memiliki dua kemampuan ini, maka guru terlebih dahulu melakukan minimal: (a) menganalisis karakteristik peserta didik menyangkut kemampuan awal (entry behavior), motivasi dan kebiasaan belajar, (b) menganalisis pembelajaran menyangkut tipe isi

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 135

Gambar 2. Antusias siswa mengikuti proses pembelajaran.

Gambar 3. Tulisan cita-cita masing-masing siswa setelah penayangan kisah inspiratif.

Strategi yang Sesuai untuk Mencapai Tujuan Pembelajaran

Peningkatan mutu penyelenggaraan akademik di sekolah dititik beratkan pada penciptaan proses pembelajaran yang kondusif, efektif, dan efisien agar dapat memberikan bekal kemampuan akademis dan profesional kepada siswa. Strategi belajar mengajar penting untuk dirumuskan guru sebelum melaksanakan pembelajaran, strategi membutuhkan tahapan-tahapan yang disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran (Pupuh dan Sobri, 2009).

Mengimplementasikan suatu strategi pembelajaran tidaklah mudah. Dibutuhkan keterampilan dari seorang guru dalam melihat keadaan, karena suatu strategi pembelajaran harus ditentukan sesuai dengan karakteristik siswa dan materi pembelajaran. Guru juga dituntut untuk terampil dalam komunikasi dan penggunaan media, ketrampilan berkomunikasi guru sangat berpengaruh pada keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran, yang didukung dengan penggunaan media yang tepat dapat mendorong kemauan siswa untuk aktif dalam pembelajaran, dan mampu mengembangkan sikap positif dalam kegiatan pembelajaran.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Pendidikan merupakan kebutuhan utama dan pembelajaran merupakan aspek terpenting dalam suatu

jenjang pendidikan. Oleh karena itu dalam pembelajaran, dibutuhkan suatu variasi strategi, metode yang sesuai dengan situasi, materi pembelajaran dan perkembangan siswa agar tujuan pembelajaran tercapai.

PPKn merupakan mata pelajaran wajib bagi semua jenjang sekolah, demikian pula di SMK. Namun PPKn bukanlah pelajaran yang diprioritaskan oleh kebanyakan siswa SMK, sebab fokus utama mereka adalah pelajaran bidang keahliannya masing-masing.

Berdasarkan hal tersebut, perlu suatu strategi sebagai alternatif solusi. Guru diharapkan mampu membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan memepertajam pemahaman siswa mengenai suatu meteri agar siswa benar-benar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik dan kedepannya siswa dapat mengetahui tentang materi tersebut khususnya pelajara PPKn yang tidak hanya sekedar materi di kelas.

Salah satunya dengan pemberian motivasi yang berhubungan dengan kontens pembelajaran yakni menggunakan kisah inspiratif sebagai media pembelajaran yang berkenaan materi kesadaran bela negara yakni tentang kegigihan seseorang dalam mengapai kesuksesan dan berprestasi serta dapat berguna bagi nusa dan bangsa.

Setelah penayangan video kisah inspiratif, para siswa kelas X TIPTL 1 nampak antusias pada proses pembelajaran materi bela negara ini yang ditunjukkan dengan siswa terdorong untuk menuliskan impian mereka untuk mencapai prestasi terbaik guna berkontribusi sebagai warga negara yang berguna bagi nusa dan bangsa.

E. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dra. Ester Maharani selaku guru pamong saya di SMK Negeri 1 Singosari selama melaksanakan KPL2 Gelombang 2 yang telah memberi amanah saya untuk mengajar di kelas X TIPTL 1 dan terima kasih kepada seluruh siswa kelas X TIPTL 1 angkatan 2016 SMKN 1 Singosari atas kerja samanya selama ini sehingga penelitian ini berjalan lancar.

F. DAFTAR PUSTAKA Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi

Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja. Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran;

Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pupuh dan Sobri, 2009. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Reka Jaya

Astuti, E.Y. 2016. Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Supervisi Klinis Dengan Pendekatan Lesson Study di Madrasah Tsanawiyah Bantul Kota. Jurnal Pendidikan Madrasah, 1(1), 1-14.

Jarwanto. 2015. Pemanfaatan Kisah Inspiratif Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Pemahaman Mendiskripsikan Pranata Dan Penyimpangan Sosial Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Saradan Tahun 2015. Jurnal Bioma.

Page 55: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

134 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

langsung kesadaran dan semangat bela negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam materi ini banyak pesan moral terkait perjuangan gigih bangsa Indonesia dalam mengusir Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Para pejuang mempunyai motivasi yang sangat tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Oleh karena itu, untuk menghargai jasa pahlawan, maka sebagai generasi muda Indonesia harus memiliki rasa rela berkorban untuk mempertahankan negara, memiliki kesadaran bela negara dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negara.

Dengan karakteristik materi pelajaran demikian, hendaknya para siswa tertarik mengikuti pembelajaran (motivasi instrinsik) dan dapat mencapai hasil maksimal. Namun berdasarkan pengalaman yang diperoleh bahwa penggunaan metode konvensional yakni ceramah, diskusi, dan penugasan pada pembelajaran PPKn menunjukkan respek siswa kurang baik pada saat proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut dilakukan refleksi serta instrospeksi untuk menemukan solusi demi mencapai keberhasilan dalam pembelajaran PPKn. Alternatif pemecahannya adalah menggunakan kisah inspiratif sebagai media pembelajaran.

Motivasi Melalui Kisah Insipatif Guna Membangkitkan Semangat Siswa.

Motivasi melalui kisah inspiratif merupakan suatu strategi awal dalam menumbuhkan semangat belajar siswa. Kisah inspirasi berarti cerita atau kejadian yang mampu memberikan ilham atau dapat dikatakan memiliki makna positif, yaitu mampu membawa perubahan ke arah yang dinamis (Jarwanto, 2015). Perubahan dapat berbentuk pola pikir, sikap dan perilaku, atau ketrampilan.

Untuk mendaptkan secercah ilham dari sebuah kisah inspiratif, dapat ditampilkan melalui cerita (audio) atau ditayangkan dalam bentuk film (audio visual). Kisah inspiratif yang ditampilkan dalam proses pembelajaran, berfungsi sebagai apersepsi, motivasi, dan bahan kajian untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sehingga dalam memilih kisah inspiratif harus memperhatikan dan mengkaitkan dengan kontens materi dan tujuan pembelajaran.

Selama ini, disekolah para guru banyak yang terpaku pada materi dan hasil pembelajaran. Mereka disibukkan oleh berbagai kegiatan dalam menetapkan tujuan yang ingin dicapai, menyusun materi apa saja yang perlu diajarkan, dan kemudian merancang evaluasinya. Guru banyak yang mengabaikan bagaimana proses belajar-mengajar yang baik dalam kelas, yang dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup untuk kreatifitas, dan kemandirian siswa sesuai bakat, minat, perkembangan fisik, dan psikologis.

Mutu pembelajaran yang baik dapat dicapai jika pembelajaran dapat menarik perhatian siswa. Untuk mewujudkannya guru perlu mengelola kelas dengan baik. Dalam hal ini, pembelajaran hendaknya dimaknai

sebagai upaya yang dilakukan guru untuk menciptakan suasana yang kondusif dan menciptakan proses pembelajaran yang mampu melibatkan siswa, baik keterlibatan emosional, pikiran, maupun fisik (Astuti, 2016). Manfaat dari keterlibatan emosional menjadikan siswa mampu merasakan pentingnya materi yang dipelajari, sedangkan keterlibatan pikiran akan menggerakkan motivasinya untuk mempelajari konsep maupun prinsip dalam ilmu pengetahuan yang dipelajari, dan keterlibatan fisik berfungsi mengasah keterampilan dan mengembangkan bakat peserta didik. Dengan demikian, keinginan untuk mencapai tiga ranah pembelajaran, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat terwujud.

Berdasarkan observasi saat pembelajaran PPKn di kelas X TIPTL 1 saat pemaparan materi tentang bela negara, sebagian siswa memperhatikan dengan seksama namun mereka terlihat kurang respek atau antusias terhadap materi yang diajarkan. Materi yang diajarkan adalah mengenai kesadaran bela negara sehingga membutuhkan suatu media agar dapat membangkitkan semangat siswa supaya lebih termotivasi untuk mengetahui lebih dalam mengenai materi. Untuk belajar, seseorang membutuhkan suatu kondisi fikiran yang harus santai, percaya diri dan termotivasi. Jika dalam kondisi stres dan kurang percaya diri atau tidak melihat manfaat dari yang dipelajari, pembelajaran tidak dapat berlangsung dengan baik. Untuk itu, guru perlu memotivasi siswa agar memperoleh keadaan fikiran yang benar dalam belajar. Salah satu cara untuk memberikan motivasi adalah dengan menayangkan kisah inspiratif yang berkenaan materi kesadaran bela negara yakni tentang kegigihan seseorang dalam mengapai kesuksesan dan berprestasi serta dapat berguna bagi nusa dan bangsa. Selain itu juga menanamkan pada diri siswa tentang manfaat bagi mereka dalam mempelajari suatu konsep. Sugesti-sugesti positif akan menambah semangat siswa dalam belajar dan proses pembelajaran akan terasa menyenangkan.

Setelah penayangan video kisah inspiratif didapatkan hasil yang sangat baik yaitu para siswa kelas X TIPTL 1 nampak antusias pada proses pembelajaran khususnya terhadap materi bela negara, ini tampak dari banyaknya siswa yang ingin bertanya dan rasa keingintahuan mereka sangat besar. Bahkan para siswa sangat bersemangat dan terdorong untuk menuliskan impian mereka dengan mencapai prestasi–prestasi terbaik guna berkontribusi sebagai warga negara yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa. Seperti ditunjukkan pada gambar 2. dan gambar 3. di bawah ini.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 47

bidang studi dan sumber yang tersedia, (c) memilih dan menyeleksi isi pesan (materi ajar) dan mengorganisasikannya secara tepat sesuai dengan karakter pesannya, (d) merancang dan/atau memilih media pembelajaran secara tepat sesuai dengan karakteristik isi bidang studi dan kondisi peserta didik, (e) membuat tahapan sintaks pembelajaran sesuai dengan model pembelajaran yang dipilih, (f) menyediakan lembar pengamatan aktivitas peserta didik, dan soal-soal latihan, ulangan, pendalamaan (lihat juga Dick & Carey, 1990).

Kedua, melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien. Melaksanakan pembelajaran secara efektif dan sfisien berkaitan dengan proses pencapaian pembelajaran. Pembelajaran yang efektif maksudhnya setiap tindakan pembelajaran (melalui ceramah, tanya awab, diskusi kelompok, penugasan, dll) berorientasi pada pencapaian kompetensi peserta didik. Untuk mencapaian kompetensi peserta didik (efektif) perlu mempertimbangkan waktu dan tenaga untuk mencapainya (efisien). Efektivitas dan efisiensi pembelajaran umumnya tercapai jika adanya konsistensi antara rancangan dan pelaksanaan.

Matching antara rancangan (RPP) dan pelaksanaan pembelajaran merupakan perkerjaan cerdas yang membutuhkan belajar dan pembiasaan. Seringkali kegagalan pembelajaran terjadi karena tidak adanya konsistensi antara desig (plan) dan action (do). Rancangan pembelajaran dalam bentuk RPP, bukan pertama-tama bertujuan memenuhi tuntutan administrasi, tetapi sebuah dokumen akademis-pembelajaran. Rancangan pembelajaran merupakan panduan atau pedoman pelaksanaan pembelarajan. Itulah sebabnya rancangan pembelajaran tidak disebut dengan draft , tetapi design.

Merancang pembelajaran yang sistematis dan melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien merupakan pekerjaan cerdas yang tidak mudah. Namun melalui open class, pekerjaan itu dapat dilakukan karena dibuat dan dievaluasi secara bersama-sama dalam komunitas pembelajaran. Cara belajar cerdas ini diharapkan dapat berlanjut (diteruskan) pada praktek pembelajaran yang dilakukan guru secara madiri dalam pembelajaran reguler.

Belajar Meneliti

Salah satu poin penting dalam open class adalah proses pengumpulan data-data pembelajaran secara objektif dan transparan. Melalui proses pengamatan yang cermat dibantu dengan instrumen dan panduan pengamatan yang memadai, guru belajar menjadi seorang peliti, minimal peneliti pembelajaran. Karena itu aktivitas meneliti sesungguhnya melekat erat dengan tugas seorang guru. Suyono dan Haryanto (2011: 204) melukiskan keniscayaan peran guru sebagai peneliti, sbb: “Guru adalah seorang peneliti sejati. Ia memiliki dan selalu memelihara semangat inkuiri yang tidak pernah padam. Ia tidak sekedar menyatakan bahwa ia sedang mencari tahu sesuatu, tetapi memang benar-benar sedang mencaritahu sesuatu”. Lesson study memungkinkan kelompok guru untuk meneliti, mengembangkan, dan praktek pelajaran dan teknik yang memiliki dampak langsung pada peserta didik mereka (http://www.educationworld.com/a_admin/admin/admin382.shtml).

Inovasi praktek pembelajaran, entah penggunaan model, metode, dan media pembelajaran bermula dari aktivitas pengamatan cermat terhadap masalah-masalah pembelajaran. Masalah–masalah itu dikumpulkan, dinarasikan apa adanya, kemudian dianalisis, disimpulkan, dan dirumuskan rekomendasi pemecahannya.

Melalui kegiatan open class, guru secara kolaboratif menemukan masalah-masalah pembelajaran. Masalah-masalah pembelajaran mencakup masalah-masalah yang terkait dengan kinerja dan kemampuan dasar mengajar guru, seperti keterampilan bertanya, keterampilan menjelaskan, keterampilan mengadakan varisi stimulus (verbal dan nonverbal) sesuai yang pesan yang disampaikan, keterampilan memberikan penguatan (reinforcement), keterampilan membuka dan menutup pembelajaran, keterampilan mengelola kelas dan pembelajaran, keterampilan memimpin diskusi kelompok, keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, dll (Djamarah, 2010:99-171), maupun masalah-masalah yang terkait dengan peribadi peserta didik seperti perhatian, motivasi belajar, keaktifan, kecepatan daya tangkap atau retensi (daya serap), hasil belajar, dll.

Kemampuan mengamati dan menemukan masalah pembelajaran merupakan salah satu aspek yang dibelajar para guru dalam kegiatan open class. Kebiasaan dan/atau kemampuan ini diharapkan dapat dilanjutkan guru pada pembelajaran reguler sehari-hari. Kemampuan meneliti memungkinkan guru melakukan penelitian tindakan kelas (PTK); lesson study sesunguhnya merupakan satu rangkiaan kegiatan dalam PTK.

Belajar Sportivitas dan Inklusivitas

Sikap sportif dan inklusif dapat diperoleh guru dalam pengalaman open class. Kegiatan open class dapat mengembangkan dan meningkatkan profesionalitas guru ketika setiap orang bersikap sportif dan iklusif. Sikap sportif dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan kelemahan dan keterbatasan kinerja diri sendiri, baik dalam merancang maupun melaksanakan pembelajaran. Sikap inklusif nampak pada keterbukaan seorang orang menerima catatan kristis dan saran konstruktif dari rekanan (kolega) dan tenaga ahli terkait dengan kinerja mengajar yang telah ditampilkannya.

Sikap sportif dan inklusif memang tidak mudah bagi seorang guru (dan kebanyakan orang), lebih-lebih jika penilaian (kritikan) itu datang dari sesama guru. Namun jesteru di situlah aspek belajar dalam kegiatan open class. Skap sportif dan inklusif, bahkan autokritik merupakan faktor penentu perubahan dan perbaikan pembelajaran. Dengan memiliki sikap-sikap ini, seseorang sudah memulai langkah pertama untuk melakukan perubahan demi perubahan di masa mendatang.

Menurut Iryanto (2008) proaktif terhadap perubahan merupakan salah satu ciri orang yang berorentasi hidup ke masa depan. Perkembangan pengetahuan menawarkan perubahan kepada setiap orang. Belajar pada hakekatnya adalah proses penyesuaian diri terhadap perubahan. Charles Darwin sebagaimana dikutip Sutarto (2011:206) menegaskan bahwa “spesies yang mampu bertahan bukanlah mereka

Page 56: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

48 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

yang terkuat, bukan pula yang tercerdas, melainkan yang mampu beradaptasi dengan perubahan”. Guru yang berorientasi ke masa depan (future orientation) memulainya dengan perubahan sikap dan paradigma terhadap visi karirnya. Dengan visi perubahan ini seorang guru dapat mengatasi setiap pesoalan yang bakal muncul dalam diinamika karirnya. Louis Pasteur sebagaiman dikutip Sutarto (2011:115) menegaskan, “perubahan memihak pada orang yang sudah siap pikiran dan mentalnya”. Marubah cara pandang terhahadap diri dan karir merupakan sebuah perjuangan, dan kegiatan open class menawarkan suatu cara belajar memulai suatu perubahan.

Belajar Berkerjasama

Bekerjasama merupakan salah satu ciri pembeda utama antara pembelajaran dalam open class dengan pembelajaran kelas reguler. Praktek open class itu sendiri mengandaikan adanya kerjasama antara berbagai pihak [guru, kepala sekolah, kepada Dinas, pengurus wadah KKG (Kelompok kerja guru) untuk tingkat SD/MI atau MGP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) untuk tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, tenaga ahli, dan lain-lain]. Kerjasama dalam pembelajaran open class dilakukan sejak koordinasi kegiatan, pembuatan racangan (design), pelaksanaan dan refleksi pembelajaran. Ada proses belajar dalam kerjasama itu. Orang belajar berkoodirinasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Keterampilan koordinasi dan komunikasi memerlukan sikap sabar, pengertian, perhatian, pengorbanan, tanggung jawab, dll.

Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran open class menggambarkan bentuk kerjasama yang telah dibangun antara berbagai pihak dalam komunitas pembelajaran. Bahkan lebih tegas lagi, belajar kolaboratif sebagai salah satu ciri utama pembelajaran open class, memprasyarat adanya kerjasama yang harmonis antaranggota komunitas pembelajaran. Masalah-masalah pembelajaran akan terungkap ketika para guru menjalin kerjasama yang baik. Namun demikian, tidak semua guru (secara otomatis) dapat melakukan kerjasama dengan baik dengan orang lain. Oleh karena itu kerjasama yang baik dan cerdas dengan orang lain memerlukan proses belajar. Proses belajar secara intensif dapat dilakukan antara lain melalui pembelajaran open class. Kerjasama pada kegiatan open class memerlukan sikap kertergantungan positif antaranggota. Dalam suasana itulah belajar kolaboratif dapat dilaksanakan secara efektif dan menyenangkan.

D. OPEN CLASS SEBAGAI PENINGKATAN KOMPETENSI

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 mendefenisikan kompetensi sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (ps 1). Kompetensi guru senantiasa bersifat dinamis (berubah) dalam dinamika tuntutan kinerjanya sebagai guru profesional. Dengan begitu maka peningkatan kompetensi guru merupakan upaya berkelanjutan selaras dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian lesson

study merupakan upaya berkelanjutan pengembangan komptensi guru (Karen Coe, Arend Carl & Liezel Frick, 2010). Apa yang dikembangkan dalam proses lesson study bagi para guru? Menurut Hiroaki Ozawa (https://www.google.com/search?q=Lesson+Study), terdapat tiga aspek yang dibelajari guru dalam proses lessson study yakni konten pengetahuan, metodologi dan penilaian pembelajaran; “They considered that teachers could learn from each other through the planning process of lesson study about content knowledge, teaching methodology and assessment strategy”. Aspek-aspek itu nampak pada proses lesson study cycle yang digambarkan Karen, Arend, dan Liezel berikut.

Dagram Steps in the lesson study cycle (adopsi dari Karen, Arend & Liezel, 2010:216)

Kompetensi apa saja yang dikembangkan melalui

lesson study? UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Pemendikbud Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru menyebut secara eksplisit kompetensi-kompetensi yang perlu dimiliki seorang guru profesional, yakni kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial. Bagaimanakah keempat kompetensi ini dapat dikembangkan dan ditingkatkan melalui siklus lesson study khususnya pada tahap open class? Uraian berikut dapat memberi (sebagian) jawaban atas pertanyaan ini.

Kompetensi Pedagogik

Secara singkat kompetensi pedagogik dipahami sebagai kemampuan guru mengelola pembelajaran yang mencakup kemampuan memahami karakteristik peserta didik; pembuatan rancangan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran, dan kemampuan membelajaran peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi belajar yang dimilikinya. Dalam siklus lesson study kemampuan-kemampuan itu dikembangkan dan ditingkatkan. Lesson study memberi angin segar kepada

1 Fokus on Goal 

 Lesson study 

cycle 

2 Develop the 

Reseach lesson 

3Teachandobservethe

researchlesson 

4Reflect,revise,re‐teachthelesson 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 133

terbaik guna berkontribusi sebagai warga negara yang baik yang berguna bagi nusa dan bangsa.

B. METODE PENELITIAN

Penelitan ini dilaksanakan pada siswa di kelas X TIPTL 1 angkatan 2016 SMK Negeri 1 Singosari Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yakni mencatat semua fenomena atau peristiwa yang dilihat, didengar dan dibaca secara teliti.

Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara dan observasi langsung di lapangan, guna mengungkapkan terjadinya peristiwa yang dialami subjek penelitian. Data-data dalam penelitian ini yang dibutuhkan yakni berupa catatan lapangan, foto, dan hasil wawancara yang didapat dari penelitian di lapangan. Sehingga kehadiran peneliti di lapangan sangat penting.

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis data diskriptif kualitatif. Tahap-tahap penelitian (1) Tahap pra lapangan, dilaksanakan sebelum penelitian dilakukan, (2) Tahap persiapan yakni dilakukan pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan selanjutnya menarik kesimpulan, (3) Tahap pelaporan dalam tahap pelaporan ini adalah menyusun hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian dan artikel.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil dan pembahasan. Dimana suatu pemanfaatan kisah inspiratif dalam pembelajaran PPKn khususnya materi bela negara dapat meningkatkan motivasi dan kesadaran bela negara pada siswa di SMK Negeri 1 Singosari.

Hasil dari observasi menunjukkan bahwa di kelas X TIPTL 1 SMK Negeri 1 Singosari ini merupakan siswa-siswa yang bersemangat saat pembelajaran di bengkel yang memiliki jam pelajaran cukup lama sedangakan untuk pelajaran PPKn memiliki alokasi waktu 2 jam pelajaran (2x45 menit) dan bertepatan pada jam pelajaran terakhir yakni jam ke 9 sampai 10 tepatnya pukul 13.45 WIB hingga 15.15 WIB. Hal ini sangat memungkinkan siswa sudah dalam keadaan kurang bersemangat saat memasuki jam pelajaran PPKn.

Dari data yang diperoleh dapat diketahui jumlah siswa kelas X TIPTL 1 adalah 36 siswa terdiri dari 29 siswa laki-laki dan 7 siswa perempuan. Seperti yang terlihat pada gambar. 1 berikut ini.

 

Gambar 1. Daftar hadir siswa

Dengan perbandingan jumlah siswa laki-laki dan

perempuan 29:7 mengindikasikan bahwa kelas tersebut mayoritas dihuni siswa laki-laki. Mereka cenderung lebih menyukai mata pelajaran kejuruan/keahlihan yang memang menjadi tujuan utama mereka bersekolah di SMK. Perhatian utama siswa SMK seringkali tertuju pada pelajaran keahlihan. Hal tersebut dikarenakan sesuai bidang mereka dalam mencari kerja setelah lulus dari SMK. Sedangkan mata pelajaran yang termasuk dalam pelajaran normatif adaptif cenderung diabaikan, salah satunya adalah pelajaran PPKn.

Pembelajaran PPKn di SMK

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) hadir sebagai kebutuhan dalam pendidikan yang lebih mengacu pada sumber daya manusia yang siap terjun di dunia kerja, dan memiliki kompetensi handal. Kriteria lulusan kejuruan terdiri dari aspek keberhasilan siswa untuk memenuhi tuntutan yang telah diorientasikan pada dunia kerja, serta memiliki keterampilan lebih pada kemampuan unjuk kerja sesuai dengan standar kompetensi nasional ataupun internasional setelah mereka menempati posisi sesungguhnya di lapangan kerja.

PPKn atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi semua jenjang sekolah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, demikian pula di SMK, meskipun pelajaran yang utama di SMK adalah mata pelajaran kejuruan. Namun perlu diingat bahwa PPKn juga pelajaran yang sangat penting demi membekali, mengarahkan, dan membentuk warga negara Indonesia yang baik dan berbudi pekerti yang luhur. PPKn sendiri seringkali tidak menjadi fokus utama siswa dibanding pelajaran kejuruan. Sehingga pada saat pelajaran PPKn siswa mayoritas tidak begitu mempedulikan, bahkan mereka hanya sekedar masuk kelas dan mencatat. Dengan demikian tujuan awal dari pembelajaran PPKn yang erat akan nilai-nilai moral, nilai-nilai luhur dan mengandung semangat perjuangan sering diabaikan, dan hanya sekedar materi.

Bahasan mengenai kesadaran bela negara penting dalam pembelajaran PPKn di SMK karena menyangkut

Page 57: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

132 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Strategi Pembelajaran PPKn Melalui Pemanfaatan Kisah Inspiratif

Untuk Meningkatkan Motivasi dan Pemahaman Bela Negara

Pada Siswa di SMKN 1 Singosari

Nur Fitrotun Nikmah1,* , Nur Fitriatul Maghfiroh2 Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5, Malang dan 65145

1)[email protected], 2)[email protected]

Abstrak: Strategi pembelajaran adalah suatu cara yang dirumuskan sebelum melaksanakan pembelajaran, yang disesuaikan dengan kondisi kelas, situasi kelas, karakteristik siswa dan materi yang akan diajarkan. Tujuan utama pembelajaran yaitu adanya keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sehingga guru harus mampu memberikan berbagai pengalaman kepada siswa baik secara real maupun melalui media. Motivasi melaui kisah inspiratif merupakan suatu strategi awal dalam menumbuhkan semangat belajar siswa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang melalui teknik wawancara, dan observasi langsung yang dilaksanakan di Kelas X TIPTL 1 SMKN 1 Singosari Kabupaten Malang tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran yang efektif dengan memanfaatkan kisah inspiratif sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa pada kompetensi bela negara, serta keberanian rela berkorban demi mewujudkan impian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui pemanfaatan kisah inspiratif yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran, secara tidak sadar siswa dituntut untuk menjadi individu yang memiliki semangat tinggi dalam belajar dan mampu mendriskripsikan kesadaran bela negara serta menanamkan semangat berjuang untuk mengapai cita-cita demi mengharumkan nusa dan bangsa.

Kata kunci : strategi pembelajaran, kisah inspiratif, bela negara.

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan kebutuhan utama pada saat ini, Oleh karena itu setiap negara selalu berusaha memajukan bidang pendidikan, dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang bedaya saing dan berkualitas.

Pembelajaran merupakan aspek penting dalam pendidikan. Hal ini berterkaitan dengan target kompetensi yang diharapkan dicapai siswa. Tujuan dari pendidikan dan pembelajaran yaitu mempersiapkan siswa agar dapat belajar mandiri. Sehingga dalam suatu pembelajaran, dibutuhkan variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi, materi pembelajaran dan perkembangan siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Penerapan strategi pembelajaran yang sesuai sangat mendukung terciptanya suasana pembelajaran yang disukai siswa dan tidak terkesan kaku. (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien.

Newman dan Logan (Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu: (1) mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi serta kualifikasi hasil yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera. (2) memilih pendekatan utama yang efektif untuk mencapai sasaran. (3) mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah yang akan ditempuh mulai awal sampai mencapai sasaran. (4) menetapkan kriteria, dan standar untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan.

Pada pelajaran PPKn khususnya di SMK, seringkali pelajaran ini tidak menjadi pelajaran yang diprioritaskan oleh sebagian siswa, sebab mereka lebih fokus pada mata pelajaran kejuruannya masing-masing. Dengan demikian, maka butuh suatu strategi agar pelajaran PPKn di SMK ini diminati dan dapat membangkitkan semangat siswa serta secara tidak sadar dapat membantu siswa untuk menguasai materi pelajaran yang diajarkan.

Perlu diingat bahwa pada diri siswa terdapat berbagai potensi yang dapat dikembangkan dan dimaksimalkan. Sehingga, guru diharapkan mampu memotivasi siswa untuk mengolah dan mengembangkan potensi diri. Motivasi termasuk faktor penting dalam proses pendidikan dan pembelajaran karena motivasi merupakan sesuatu yang unik dalam diri manusia. Demikian juga faktor-faktor yang dapat memotivasi anak dalam belajar. Motivasi berasal dari dalam individu dan ada pula motivasi yang berasal dari luar diri individu. Namun dalam kenyataannya baik motivasi internal maupun motivasi ekternal menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pelaksanaanya. Keyakinan serta harapan berpengaruh pada penerimaan, sedangkan konsepsi diri dan kecenderungan kepribadian berpengaruh pada apa yang seseorang pelihara untuk melihat tentang diri mereka sendiri serta seberapa sering dan akurat yang mereka lakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran yang efektif dengan memanfaatkan kisah inspiratif sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan motivasi siswa dan prestasi siswa pada materi bela negara, yakni mengetahui pengertian bela negara serta menanamkan semangat berjuang untuk mengapai impian dengan meraih prestasi–prestasi

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 49

para guru untuk mengembangkan dan melaksanakan pembelajan lebih dari sekadar rutinitas transfer ilmu dan kegiatan eksklusif guru dengan peserta didik di kelas. Lesson study merupakan kesempatan bagi guru untuk memeriksa praktek pembelajarannya dengan cara baru, meningkatkan penguasaan konten pelajaran, cara membelajarkan peserta didik, mengelola kelas.

Hal itu dimungkinkan karena kegiatan open class melibatkan banyak komponen, seperti guru, kepala sekolah, tenaga ahli, dll. Dalam kerjasama kolaboratif, guru model, dan pengamat melakukan pencermatan dan pengkajian mendalam terhadap pembelajaran, baik rancangannya (design) maupun pelaksnaan pembelajaran (action/do), dan evaluasi. Ketiga aktivitas ini (merancang, melaksanakan, mengevaluasi) menggambarkan kemampuana pedagogik seorang guru. Kemampuan pedagogis semakin ditingkatkan apabila dilakukan pengkajian bersama perihal pembelajaran, mulai dari rancangan dengan segala perangkat yang perlu sampai pada pelaksanaan dan evaluasi terhadap segala aspek terkait dengan kinerja mengajar guru, misalnya konsistensi dan ketepatan menggunakan model, strategi/metode pembelajaran, penggunaan media pembelajaran, penguasaan kelas, keterampilan mengogansasi kelas dan pembelajan, dll. Kemampuan-kemampuan ini semakin diasah dalam praktek open class.

Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional terkait dengan kemampuan guru menguasai materi (konten) pembelajaran secara luas dan mendalam, menggunakan hasil-hasil teknologi untuk keperluan pembelajaran yang memungkinkannya membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Survei yang dilakukan terhadap guru-guru awal di Jepang menunjukan bahwa lesson study membantu mereka untuk menguasai komponen-komponen pembelajaran dan mengimplementasinya pada pembelajaran berorientasi pada peserta didik belajar (Smál dan Luimnigh,2013).

Ketika seorang guru ditunjuk menjadi guru model dalam kegiata open class, dia tentu melakukan persiapan-pesiapan tertentu, baik persiapan jangka panjang maupun persiapan jangka pendek (dekat). Persiapan-persiapan itu terkait dengan penguasaan konsep dan prinsip pembelajaan, komponen-komponen pembelajaran, hubungan antarkomponen dalam praktek pembelajaran, dan penguasaan teknis-operasional bagaimana komponen-komponen pembelajaran itu dipraktekkan dalam pembelajaran nyata. Persiapan memadai dipadukan dengan motivasi tinggi mendukung terbentuknya komptensi profesional pada diri guru. Open class merupakan motivasi eksternal yang membantu guru mengembangkan dan menigkatkan kompetensi profesionalnya. Hal itu dimungkinkan ketika guru melihat belajar sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidup, dia belajar dari banyak sumber belajar (multi resouces): manusia, buku, jurnal, situasi sosial, situasi alam, dll (Danim, 2011: 209). Dengan begitu guru termotivasi untuk semakin optimis dan berpandangan visioner terhadap karirnya.

Kompetensi Personal

Menjadi guru model dalam kegiatan open class bukan perkara gampang. Pengalaman saya di tiga KKG (Kelompok Kerja Guru) di Kabupaten Manggara Flores dalam rangkaian kegiatan BERMUTU (Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading) menunjukkan bahwa guru model selalu diperankan oleh guru yang relatif masih baru/muda. Di satu sisi hal itu baik, karena dapat melatih sang guru muda untuk menampilkan diri sebaik mungkin sebagai ajang promosi. Namun di sisi lain kurang baik, karena sebagai guru baru/muda, kaku dan kurang percaya diri menghantuinya selama melaksanakan pembelajaran.

Secara psikologis, setiap guru tidak mau kinerjanya dilihat, diamati, dan dinilai oleh orang lain. Profesor Masaski Sato sebagaimana dikutip Syamsory dan Ibrohim (2008:106) mengatakan, “ada dua macam profesi yang tidak mau diamati jika sedang bekerja, pertama adalah pencuri, kedua adalah guru”. Oleh karena itu, melalui open class faktor kematangan diri (peribadi) juga dapat dilatihkan dan ditingkatkan.

Kematangan diri (self maturation) seorang guru dalam open class, tidak hanya terkait dengan penampilannya dalam pembelajaran, tetapi juga menyangkut sikap-sikap yang ditunjukkannya ketika mendengar saran dan kritikan pengamat pada tahap refleksi, yang kadang-kadang sangat “pedas” dan kurang santun. Tetapi, justeru disinilah kematangan diri sesorang guru diuji. Sikap sportif dan obyektif dalam mendengar saran dan kritik para pengamat pembelajaran justeru mematangkan kepribadiannya. Seorang yang matang secara psikologis melihat saran dan kritikan pengamat sebagai pantikan motivasi untuk terus belajar. Dalam proses itu para guru saling belajar untuk menerima dan menghargai pendapat dan gagasan orang lain dalam komunitas pembelajaran. Dengan begitu, maka kompetensi personal/kepribadian guru semakin meningkat.

Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi, bergaul dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidk, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Secara singkat kompetensi sosial merupakan kemampuana seseorang melakukan komunikasi dan relasi dengan yang lain. Kemampuan-kemampuan ini pun dapat ditunjukkan guru ketika melaksanakan pembelajaran (open class). Pembelajaran itu sendiri merupakan sebuah proses komunikasi. Komunikasi yang dijalankan guru dalam proses pembelajaan (open class) tidak saja dilakukan dengan peserta didiknya, tetapi juga dengan pihak lain yang hadir dalam proses itu, seperti sesama guru (inter-antarsekolah), kepala sekolah, pengawas, tenaga ahli, dll.

Dalam melakukan komunikasi dan koordinasi kegiatan open class, kemampuan komunikasi dan koordinasi (lintas) mutlak diperlukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan open class membantu guru membiasakan dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan relasi, yang

Page 58: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

50 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

merupakan bagian penting dari kompetensi sosial yang melekat pada bidang karirnya.

E. OPEN CLASS MENGEMBANGKAN BUDAYA MUTU

Sasaran akhir dari lesson Study adalah membiasakan budaya mutu bagi guru dan sekolah. Para perintis lesson study di Jepang (sekitar tahun 1890-an) dan dikembangkan seara secara sistematis melalui Jepan International Cooperation Agency (JICA) dan perintis lesson study di Indonesia dalam program Indonesian Mathematics and Science Teaching Education Proect (IMSTEP) sejak tahun 2004 meyakini bahwa lesson study merupakan proses sistematis pemecahahan masalah pembelajaran melalui proses yang bermutu (Syamsory & Ibrohim, 2008). Selanjutnya penelitian Gunarso pada tingkat SMP/MTs di kota Binjai Tahun Pelajaran 2012-2013 menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan open class (tahapan DO dan SEE dalam lesson study) terdapat perubahan persepsi guru dari pembelajaran teacher center ke arah student center, adanya peningkatan kualitas pembelajaran, baik dalam hal model pembelajaran dan aktivitas peserta didik, maupun pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk kreatif (Gunarso, 2013).

Proses pendidikan yang bermutu menurut Arcaro (2007) memiliki lima pilar utama. Pertama, fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal (internal customers) yang mencakup dewan sekolah, orangtua peserta didik, guru, peserta didik, dan administrator, maupun pelanggan eksternal (external customers) yang meliputi masyarakat, perusahan, pengguna lulusan. Pendidikan sebagai layanan jasa harus berorientasi pada kepuasan pelanggan. Kedua, Keterlibatan total; maksudnya adanya partisipasi dan tanggung jawab semua komponen sekolah dalam mengupayakan transformasi mutu; Setiap orang dalam sekolah merasa memiliki sekolah dan bertanggung jawab atas pengelolaannya. Ketiga, Pengukuran; dilakukan secara profesional dan oleh orang-orang yang profesional, tidak hanya difokuskan pada pemecahana masalah, tetapi setiap pemecahan masalah mesti juga diukur efektivitasnya secara profesional. Keempat, komitmen, yakni kesetiaan setiap guru dan kepala sekolah untuk menjalankan pendidikan secara bermutu, serta didukung oleh proses perubahan manajemen sekolah dengan memberikan pendidikan, perangkat, sistem, dan proses untuk meningkatkan mutu. Kelima, Perbaikan berkelanjutan; guru dan sekolah harus melakukan sesuatu yang lebih baik di hari esok. Oleh karena itu guru dan kepala sekolah harus belajar terus menerus untuk menemukan dan mengatasi masalah pendidikan/pembelajaran dengan cara yang berragam sesuai kataker masalah yang ditemukan dan target pecapaian yang diinginkan.

Siklus lesson study hemat saya memenuhi pilar-pilar mutu Arcaro tersebut di atas. Tradisi mutu dalam lesson study dilaksanakan dalam tahapan/proses dan sekuensi yang sistematis. Proses itu dimulai dengan (a) kegiatan kolaboratif dalam studi kasus (case study) untuk menemukan, mengumpulkan, dan menarasikan masalah-masalah pembelajaran, (b) studi pembelajara (lesson study) dalam komunitas pembelajaran yang

diawali dengan pembuatan rancangan pembelajaran kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pembelajaran (open class) yang oriensitasi pada aktivitas belajar peserta didik, pengamatan cermat, dan refleksi keterlaksanaannya secara obyektif dan transparan; (c) merumuskan rekomendasi cerdas untuk re-design untuk re-treatment yang lebih baik. Dengan proses seperti ini implisit memenuhi lima prinsip dan gagasan mutu yang ditawarkan Iryanto (2008), yakni berpikir dan betindak menghasilkan yang terbaik, berorientasi ke masa depan, terbuka dan adaptif terhadap perubahan, melakukan penyempurnaan terus-menerus, dan merubah cara pandang terhadap sesuatu.

Dengan begitu guru memerankan diri sebagai agen perubahan. Sebagai agen perubahan lima pilar yang harus dimilikinya adalah rasa ingin tahu, optimisme, keiklasan, kosistensi, pandangan visioner (Danim, 2011). Prinsip-prinsip dan pilar-pilar ini ditumbuhkembangkan dalam diri para guru melalui siklus lesson study.

F. PENUTUP

Open class merupakan proses pengkajian pembelajaran secara terbuka dan mendalam. Terbuka karena cara peserta didik belajar dan cara guru mengajar “dibuka” untuk diamati dan dicermati secara obyektif dalam komunitas pembelajaran dan “mendalam” karena pengamatan yang dilakukan para guru dalam kerja kolaboratif mencakup banyak aspek, yang mencakup perilaku belajar peserta didik, perilaku mengajar guru, interaksi edukatif antarkeduanya dengan sumber belajar, dan seluruh peristiwa belajar yang terjadi. Proses itu memberi pengalaman belajar kepada para guru. Guru belajar untuk melaksanakaan pembelajaran lebih baik (bermutu), belajar meneliti, belajar bersikap sportif terhadap diri sendiri dan inklusif terhadap orang lain, dan belajar bekerjasama dalam team (teamwork).

Dengan begitu maka open class dapat dilihat sebagai model pengembangan profesionalitas guru berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD), dimana paket-paket kompetensi guru dapat berkembang secara maksimal dan seimbang. Pada kompetensi pedagogik, guru semakin profesional membelajarkan peserta didik secara efektif dan efisien; pada kompetensi profesional guru semakin menguasai bidang studi yang dibelajarkannya; pada kompetensi personal guru semakin matang dalam mengembangkan sifat-sifat dan karakter baik yang diperlukan dalam membelajarkan peserta didik; dan pada kompetensi sosial guru semakin terampil menjalin relasi dan komunikasi dengan peserta didik, sesama guru dan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan open class merupakan pilihan cerdas bagi guru dan sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran.

G. REFERENSI:

Arcaro, Jerome S. 2007. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan (terjamahan Yosal Iriantara). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 131

yang mesti dilakukan dalam praktek peradilan semu melalui desiminasi di kelas. Mahasiswa sangat antusias, dampak perubahan yang dapat diamati setelah diselenggarakannya praktek desiminasi peradilan semu di kelas adalah dapat meningkatan dalam motivasi dan prestasi belajar mahasiswa sangat jelas sekali terlihat ketika tim pelaksana penelitian penelitian menerapkan model praketk peradilan semu sebagai model pembelajaran yang inovatif melalui desiminasi. Seperti halnya dalam mata kuliah Hukum Konstitusi yaitu mahasiswa tampak antusias dalam mengikuti proses persidangan semu di kelas. Tentu saja perubahan tersebut sangat nampak jika dibandingkan dengan ketika belum menerapkan model praktek beracara di muka pengadilan dengan pembelajaran desiminasi. Motivasi tersebut sangat nampak terlihat dari tingkat kehadiran mahasiswa di kelas. Pentingnya pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah Hukum Konstitusi yaitu sebagai dasar untuk mengantarkan mereka nantinya dalam mengikuti mata kuliah selanjutnya dan sebagai pedoman dalam mengembangkan wawasan sebagai warga negara yang baik yang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara serta untuk melatih kepekaan mahasiswa merespon permasalahan penegakan hukum nasional di Indonesia. Dengan banyaknya pembahasan atau pemecahan terhadap kasus-kasus yang diberikan di kelas mengakibatkan peningkatan terhadap kemandirian dan kreativitas berfikir mahasiswa. Berbagai ide-ide dan solusi yang diberikan dalam kegiatan tanya jawab di kelas menunjukkan bahwa mahasiswa mulai memahami materi kuliah yang diajarkan. Dampak yang sangat besar terhadap peningkatan prestasi atau hasil belajar mahasiswa yaitu ditunjukkan pula dalam proses persidangan semu. Dalam mata kuliah Hukum Konstitusi yang disajikan dengan melakukan desiminasi praktek persidangan semu telah membuka pemikiran baru bagi mahasiswa untuk tanggap dan peka terhadap berbagai kasus-kasus atau peristiwa yang terjadi di masyarakat terutama menelaah perubahan hukum yang berlaku dengan memilih dan menentukan ketentuan hukum dalam memenuhi perubahan kehidupan masyarakat di Indonesia. Apalagi berbagai fenomena-fenomena yang berkaitan dengan peristiwa hukum banyak sekali terjadi di masyarakat. Maka untuk lebih mendekatkan mahasiswa pada pemahaman terhadap peristiwa atau fenomena-fenomena tersebut tepatlah kiranya jika model praktek persidangan semi dapat diterapkan dengan memadukannya melalui proses desiminasi melalui forum diskusi atau tanya jawab. Sehingga ketika di akhir proses kegiatan desiminasi tampak kemajuan yang sangat signifikan terhadap hasil atau prestasi belajar mahasiswa yang diukur melalui tes lisan maupun tertulis yang telah tim pelaksana penelitian berikan.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dalam hal praktek peradilan semu melalui desiminasi pada mata kuliah Hukum Konstitusi telah memberikan dampak yang

sangat besar terhadap peningkatan prestasi atau hasil belajar mahasiswa yaitu ditunjukkan pula dalam proses persidangan semu. Dalam mata kuliah Hukum Konstitusi yang disajikan dengan melakukan desiminasi praktek persidangan semu telah membuka pemikiran baru bagi mahasiswa untuk tanggap dan peka terhadap berbagai kasus-kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat maupun dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.

4.2 Saran

Melalui pelaksnaan desiminasi peradilan semu pada praktek kuliah Hukum Konstitusi, ada beberapa saran yang layak dipertimbangkan, yaitu :

1. Bagi Dosen sebagai informan kunci penyebarluasan informasi di lingkungan kampus, hendaknya mampu mengeimplementasikan hasil kegiatan penelitian ini dengan sharring informasi kepada teman sejawat sehingga dapat dijadikan acuan referensi untuk melakukan perbaikan pembelajaran di kelas.

2. Bagi Mahasiswa, hendaknya memberikan dukungan kepada dosen untuk mendukung sepenuhnya kelancaran proses kegiatan desiminasi karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pengembangan profesi keahlian di bidang hukum.

E. DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie Jimly. 2006.Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Effendi, Lautfi. 2003. Pokok-pokok Hukum Administrasi. Malang : Bayumedia Publishing

Hadjon, Philipus M.. 1995. Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung : Alumni

Lotulung, Paulus E. 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah. Bandung : Citra Aditya Abadi.

Martosoewignjo, Sri Soemantri. 1992. Bunga Rampai Tata Negara Indonesia. Bandung : Alumni.

Rinjin. 2011. Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Negara RI. Singaraja : Undiksa

Silalahi, Daud. 2001. Hukum Tata Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung : Alumni

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/peradilan-semu-moot-court.html.Peradilan Semu. Diakses tanggal 1 Januari 2014, pukul 14.00 Wita.

Page 59: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

130 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

bekal tidak hanya pemahaman konsep secara teoritik tapi juga secara praktik dengan adanya model pembelajaran melalui desiminasi peradilan semu.

Dipilihnya sasaran mahasiswa Ilmu Hukum, mempunyai tujuan untuk memperkenalkan bentuk peradilan ke seluruh mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum. Ini dapat memudahkan mahasiswa khususnya mahasiswa Ilmu Hukum dalam mempraktekkan konsep dan teorinya didalam Hukum Acara yang selama ini hanya kita lihat di media massa. Tujuan lainnya ialah memberikan pengetahuan kepada seluruh Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum yang ingin mengetahui bagaimana menjadi seorang Hakim, pengacara, jaksa, penuntut umum serta perangkat pengadilan lainnya secara baik dan benar di dalam acara persidangan.

Peradilan adalah salah satu dari sekian aparat penegak hukum yang sangat berpotensi untuk melindungi masyarakat. Tetapi, beberapa waktu belakangan ini terdapat beberapa kabar mengenai beberapa oknum yang membuat aparat penegak hukum di Indonesia dipandang sebelah mata. Hal ini membuat miris sebagian besar aparat penegak hukum diIndonesia. Alih-alih masyarakat ingin menginginkan keadilan tetapi, yang mereka dapat hanyalah kehampaan dari aparat itu sendiri. Contoh riilnya dapat kita lihat kembali kasus Gayus Halomoan Tambunan, yang ketika dia berada di tahanan, beliau dengan mudahnya untuk keluar masuk penjara. Dalam hal ini, telah jelas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia telah mati. Contoh lainnya, dimana seorang nenek yang telah lanjut usia yang dituduh mencuri kakao, dapat dengan cepat ditindak oleh aparat penegak hukum. Seharusnya, jika kita dapat mencermati dari dua kasus yang berbeda di atas, nampak bahwa hukum akan tajam jika mengenai masyarakat kecil dan tumpul jika telah mengenai aparat pejabat negara. Sebuah ironi yang seharusnya menjadi instrospeksi bagi kita semua.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa betapa mirisnya sistem peradilan di Indonesia saat ini. Situasi hukum yang terdapat di Republik Indonesia ini yang masih kacau balau. Hal ini membutuhkan keseriusan dari berbagai elemen masyarakat untuk menciptakan sebuah reformasi peradilan di Indonesia untuk menjadi sebuah sistem peradilan yang lebih mendukung keadilan seluruh rakyat. Itu sebabnya reformasi keadilan membutuhkan peran mahasiswa sebagai tonggak berdirinya reformasi keadilan. Namun, untuk merubah sebuah kebiasaan yang telah buruk tersebut tidaklah mudah. Diperlukan waktu yang lama dan kerjasama dari berbagai pihak untuk mewujudkan sebuah reformasi peradilan. Salah satu upaya yangdapat ditempuh adalah memperbaiki SDM ( Sumber Daya Manusia ) yang dimiliki. Ini cukup penting, karena SDM merupakan hal yang paling mendasar.

Dengan konsep seperti itu, maka sepertinya mahasiswa perlu melakukan sebuah inovasi dan kontribusi yang nyata. Hal ini dipandang perlu sebab, kaum intelektual atau para mahasiswa sebagai agen of change mempunyai konsep dan sebuah terobosan yang

baru sebagai tolok ukur dalam perkembangan sistem peradilan di Indonesia. Yang diharapkan nantinya akan mampu membawa peradilan nyata di Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebuah inovasi yang diterapkan oleh mahasiswa saat ini adalah dengan peradilan semu ( Moot Court ) yang lebih di konsentrasikan di dalam Fakultas Hukum.

Penerapan model praktek beracara di muka pengadilan merupakan salah satu model inovatif dan kreatif yang tim pelaksana PENELITIAN terapkan. Di mana model ini dilakukan dengan memperagakan kepada mahasiswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu. Dengan begitu mahasiswa seperti merasakan sendiri peristiwa yang saya ceritakan atau yang terjadi. Hal tersebut bertujuan mendekatkan mahasiswa kepada kenyataan di lapangan. Selain pada mata kuliah Hukum Konstitusi, maka model ini diterapkan oleh tim pelaksana penelitian pada kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat. Dalam mata kuliah Hukum Konstitusi menekankan pada pembangunan hukum nasional yang menyasar pembaharuan dan pembinaan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia dengan menyelaraskan antara teori dan kasus-kasus mengenai penegakan hukum di Indonesia. Sehingga dipraktekkan melalui desiminasi sidang peradilan semu dengan contoh-contoh kasus nyata yang terjadi di masyarakat agar mahasiswa lebih memahami mengenai mata kuliah tersebut kemudian membahasnya di kelas. Kedepannya saya berharap jika mahasiswa melihat secara langsung peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kasus-kasus hukum maka mereka dapat memahami dan menganalisanya dengan baik. 3.1.2 Alur Model Praktek Beracara di Muka

Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu

Adapun alur Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu ini dimulai dari, 1) Tahap persiapan, yang terdiri dari tahap : (a) penyiapan bahan administrasi sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan pelatihan, (b) melakukan koordinasi dengan Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Konstitusi beserta rekan dosen Hukum lainnya yang berkompeten di bidangnya, (c) menyiapkan materi pelatihan, (d) menyiapkan narasumber yang memiliki kompetensi sesuai dengan target dan tujuan pelatihan, dan (e) menyiapkan jadwal pelatihan selama 1 hari efektif, 2) tahap pelaksanaan, yang terdiri dari : (a) melakukan desiminasi praktek peradilan semu di kelas, (b) diskusi terbatas mengenai pentingnya dilaksanakan model praktek belajar melalui desiminasi peradilan semu dan 3) tahap evaluasi, yang terdiri dari (a) persentasi kesimpulan hasil desiminasi oleh mahasiswa, (b) refleksi dan tes kegiatan praktek peradilan dari tim pelaksana PENELITIAN, dan (c) memberikan penilaian terhadap mahasiswa yang dinilai paling baik dalam memainkan perannya selaku aktor di persidangan. 3.2 Pembahasan Pada proses kajian , mahasiswa sangat antusias mendengarkan dan memahami prosedur atau tahapan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 51

Carroll, Claire dan Leavy Aisling. 2013. “Exploring the Impact of Lesson Study on the Theory-Practice Gap in Pre-service Teacher Education” (the Report of Research), https://www.google.com (online), diakses 17 Oktober 2016).

Danim, Sudarman. 2011. Pengembangan Profesi Guru, dari Pra-Jabatan, Induksi, dan Profesional Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dick, Walter dan Carey, Lou. 1990. The Systematic Design of Instruction (Tird Edition). Illinois: Scot, Foresman and Company.

Djamarah, Syaful Bahri. 2010. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Suatu Pendekatan Teoretis psikologis. Jakarta: Rineka Cipta.

Gunarso. 2013. “Apresiasi Guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Madrasah Tsanawiyah (Mts) Se Kota Binjai Terhadap Implementasi Lesson Study” (hasil penelitian), dalam http://sumut.kemenag.go.id/ (Online), diakses 18 Oktober 2016.

Garfield, Joan. 2006. “Exploring the Impact of Lesson study on Developing Effective Statistics Curriculum”, www.stat.auckland.ac.nz/-iase/ (Online), diakses 18 Oktober 2016.

Iryanto. 2008. “Sekolah sebagai Wahana Persemaian Budaya dan Perilaku Unggul” (powerpoint, tidak diterbitkan), Malang.

Karen Coe, Arend Carl dan Liezel Frick. 2010. “Lesson Study in Continuing Professional Teacher Development: A South African Case Study” dalam Acta Academica Journal Volume 42 Number 4, pp.206-230.

“Lesson Study:Practical Professional Development”, dalam http://www.educationworld.com/a_admin/admin/admin382.shtml (online), diakses 22 Oktober 2016.

Ozawa, Hiroaki. “Lesson Study in Mpumalanga Province, South Africa” dalam https://www.google.com/search?q=Lesson+Study+in+Mpumalanga+Province%2C+South+AfricaHiroaki+Ozawa (online), diakses 18 Oktober 2016.

Payong, Marselus Ruben. 2016. “Profesionalisme Guru di Indonesia Memasuki Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)”, dalam Arah Kebijakan Pendidikan Guru di Indonesia (Prosiding Conferensi Nasional 12-15 Oktober 2016), dalam www.seminars.unj.ac.id/konaspi (online), diakses 22 Oktober 2016. pp.949-956.

Sutarto, Edi. 2015. Pemimpin Cinta: Mengelola Sekolah, Guru, dan Peserta Didik Dengan Pendekatan Cinta. Bandung: Penerbit Kalifah (PT Mizan Pustaka)

Suyono dan Haryanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Praktek. Bandung: Rosdakarya

Syamsuri, Istamar dan Ibrohim. 2008. Lesson Studi (Studi Pembelajaran), Model Pembinaan Pendidik Secara Kolaboratfi dan Berkelanjutan; Dipetik dari Program SISTEMS-JICA di Kabupten Pasuruan Jawa Timur (2006-2008) Malang: FMIPA UM.

“The World Association of Lesson Studies (WALS) International Conference 2016” https://www.google.com/search?q=Shelley+Friedkin-whta+is+lesson+study&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab (online), diakases 21 Otober 2016.

 

Page 60: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

52 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Lesson Study dalam Pembelajaran Tematik Di Sekolah Dasar

Heni Hidayah1, Utami Widiati2, Edy Bambang Irawan3 [email protected]

 

 

 

Abstrak: Artikel ini menggambarkan kegiatan Lesson Study pada Sekolah Dasar Anak Saleh. Lesson Study dilakukan dalam satu siklus utuh tahapan-tahapannya, Lesson Study di SD Anak Saleh ini mengadaptasi dari Jepang. Penggambaran pelaksanaan pembelajaran melalui Lesson Study di SD ini memberikan banyak informasi kegiatan kelompok guru. Kelompok guru membentuk kelompok belajar melalui kegiatan Lesson Study untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Mereka mendapatkan banyak manfaat dari pelaksanaan Lesson Study. Para guru merasa bahwa dibutuhkan kegiatan Lesson Study yang rutin untuk meningkatkan mutu dan keprofesionalan diri. Melalui 3 tahapan siklus yaitu; perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see) ada aktivitas untuk membangun lingkungan belajar. Kerjasama antar guru dalam kegiatan ini membangun komunitas belajar yang positf. Kegiatan ini membantu guru dalam meningkatkan kualitas dalam melakukan pembelajaran yang efektif dan bermakna. Pembelajaran yang memberikan hak sepenuhnya agar peserta didik benar-benar belajar dari proses pembelajaran.

Kata Kunci: pembelajaran, Lesson Study, komunitas belajar

A. PENDAHULUAN

Perkembangan jaman yang makin canggih diikuti dengan era globalisasi yang mengalami perkembangan pesat dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi proses dan perkembangan dalam dunia pendidikan. Perubahan demi perubahan harus diikuti perubahan kurikulum untuk meraih keseimbangan hasil dalam dunia pendidikan. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan perubahan kurikulum di Indonesia yang berawal dari Kurikulum Berabasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tematik Terpadu 2013. Pembelajaran tematik yang menjadi salah satu hal yang paling utama diharuskan di kurikulum 2013 ini adalah terobosan dalam pendidikan di Indonesia. Diharapkan dengan pembelajaran tematik yang menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik) ini peserta didik mampu menjadi generasi yang mampu menghadapi perkembangan jaman era teknologi dan ilmu pengetahuan ini.

Perkembangan jaman ini menjadi tantangan tersendiri dalam pendidikan generasi penerusnya. Proses pendidikan dengan mengedepankan kondisi peserta didik untuk bersama-sama menguasai materi yang dipelajari dengan baik sebagai bekal hidupnya. Prastowo (2013:15) menguatkan bahwa pembelajaran yang efektif dapat dilakukan secara interaktif, inspiratif, motivatif, menyenangkan, dan mengasyikkan sehingga dapat mendorong peserta didik untuk aktif, berinisiatif, kreatif, dan mandiri. Guru memberikan pencerahan dalam proses pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan bagi peserta didik dalam melakukan pembelajaran yang melibatkan langsung peserta didiknya utamanya hal-hal yang langsung berhubungan dengan lingkungannya.

Majid (2014:iv) dalam bukunya yang menyatakan bahwa pembelajaran tematik dengan mengangkat tema-tema yang dekat dengan kehidupan peserta didik dan

lingkungannya akan memberikan makna karena memenuhi kebutuhan, menarik minat, dan bakat siswa sehingga membantu dalam menyelesaikan pekerjaan atau bagi masa depannya. Lebih lanjut Prastowo (2013:126) memaparkan bahwa pembelajaran tematik merupakan pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Siswa aktif dalam proses pembelajaran dan pemberdayaan dalam memecahkan masalah, sehingga menumbuhkan kreativitas sesuai dengan potensi dan karakteristik mereka.Pembelajaran ini dapat memberikan pengalaman langsung yang mendalam sehingga peserta didik memahami dan menguasai materi sesuai tujuan dari pembelajaran itu sendiri.

Diharapkan dengan pembelajaran tematik terpadu ini memberikan pendidikan sesuai dengan psikologi usia peserta didik yang masih membutuhkan keutuhan atau keholistikan dalam proses belajar. Mereka mengalami sesuatu yang konkrit untuk kemudian diolah dalam pola pikir masing-masing individu dan membentuk pengetahuan baru. Hal inilah yang menjadi dasar dari kurikulum 2013 untuk lebih menekankan pada pengalaman langsung dan melatih peserta didik untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang telah didapatkan baik di dalam maupun di luar proses pembelajaran. Pembelajaran yang memberikan dampak pemahaman mendalam menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Pembelajaran bermakna tentunya dapat diciptakan oleh seorang guru yang mampu memberikan pembelajaran kontekstual dan seperti seharusnya, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan psikologisnya. Pembelajaran ini menciptakan interaksi yang dinamis antara guru dan peserta didik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Majid (2014: iv) dalam bukunya yang menyatakan bahwa pembelajaran tematik dengan mengangkat tema-tema yang dekat dengan kehidupan peserta didik dan lingkungannya akan memberikan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 129

melalui Desiminasi Peradilan Semu (moot court)untuk Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa Undiksha tentang Konstitusi Negara Republik Indonesia

2.Identifikasi dan Perumusan Masalah Menurut hasil pengkajian permasalahan yang terjadi di lapangan, ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi keradaannya sehingga berdasarkan pertimbangan perlu disasar penelitian penelitian. Identifikasi masalah yang dimaksudkan diantaranya, yaitu:

(1) Rendahnya penguasaan mahasiswa terhadap pemahaman konstitusi negara Republik Indonesia,

(2) Mahasiswa cenderung memunculkan pembicaraan secara serentak, baik menjawab pertanyaan ataupun apabila mengungkapkan opini,

(3) Tim peneliti merasa kesulitan memotivasi belajar mahasiswa yang masih rendah,

(4) Mahaiswa tidak mau bertanya jika ada konsep-konsep yang belum dipahami tentang konstitusi secara terperinci.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh tim pelaksana penelitian untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dalam rangka membangun karakter nasional warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan mandiri serta bertanggung jawab bagi kehidupan bangsanya, khususnya memperdalam pengertian, pemahaman, maupun penerapan konstitusi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia untuk dapat menghasilkan sebuah pengalaman ilmiah dalam rangka mempersiapkan diri sebagai warga negara yang baik dan memiliki loyalitas terhadap masyarakat negaranya? 3. Tujuan Kegiatan Berdasarkan identifikasi masalah dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan utama kegiatan penelitian ini dengan menyelenggarakan Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu untuk Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa Undiksha tentang Konstitusi Negara Republik Indonesia. Sehingga tujuan dari pelaksanaan penelitian, diantaranya yaitu:

1. Untuk mengetahui tingkat penguasaan mahasiswa terhadap pemahaman konstitusi negara Republik Indonesia. 2. Untuk memotivasi belajar mahasiswa yang masih rendah terhadap konsep-konsep yang belum dipahamitentang konstitusi secara terperinci melalui praktek peradilan semu. 4. Manfaat Penelitian a) Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa

Undiksha tentang Konstitusi Negara RI. b) Adanya pengakuan intelektual terhadap proses dan

hasil karya seni produk – produk bahan ajar melalui publikasi ilmiah khususnya terkait dengan hak cipta informasi dan publikasi

B. METODE PENELITIAN

a) Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat aktual dalam rangka peningkatan pengetahuan dan wawasan mahasiswa mengenai Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu (moot court).

b) Prosedur-Sistim Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai bentuk jawaban dan antisipasi dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai Konstitusi Negara RI melaluipenerapan Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu (moot court).

Lama pelaksanaan kegiatan adalah 8 (delapan) bulan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada proses evaluasi dengan melibatkan mahasiswa jurusan ilmu hukum undiksha. Pada akhir penelitian setiap peserta akan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti partisipasi mereka dalam kegiatan ini. Melalui penelitian ini, diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan pemehaman dalam hal Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu(moot court). 2.5 Rancangan Evaluasi Untuk mengukur tingkat keberhasilan kegiatan yang telah dilakukan, maka akan dilakukan evaluasi minimal 3 (tiga) kali, yaitu evaluasi proses, evaluasi akhir, dan evaluasi tindak lanjut. Kegiatan evaluasi ini akan melibatkan tutor/pakar dari Undiksha Singaraja.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Kegiatan

3.1.1 Laporan Hasil Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh hampir mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha dalam kaitannya dengan masih terkendalanya dalam penguasaan pemahaman konstitusi Negara Republik Indonesia, keterampilan dalam pengelolaan kelas telah dilakukan oleh tim pelaksana penelitian dengan menampilkan penerapan Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu untuk Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa Undiksha tentang materi terkait secara aplikatif di lapangan dengan menggunakan kelas sebagai media untuk melakukan praktik belajar.

Model sidang peradilan semu sangat cocok diterapkan bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum mengingat dunia persidangan adalah ruang lingkup pekerjaannya kelak, sehingga sejak dini patut diberikan

Page 61: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

128 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

pengemban amanat konstitusi, 2).Hasil yang diperoleh sebagai akibat pemerosesan masukan (output) berupa peningkatan pemahaman mahasiswa melalui pengembangan 4 (empat) sikap kewarganegaraan, yang meliputi: sikap relegi, sikap pengetahuan, sikap keterampilan, dan sikap sosial. 3).Masukan lingkungan (environmental) yang dibutuhkan dalam pemerosotan seperti Orang Tua/Wali teman sejawat atau rekan mahasiswa dan Masyarakat, 4).Masukan alat (instrumental input) pemerosotan seperti kurikulum, sarana dan prasarana termasuk dosen selaku fasilitator pengembangan modelperadilan semu (moot court) dalam pendalaman materi konsitusi bagi mahasiswa”.

Mengacu dari konsepsi tersebut, jelaslah bahwa faktor dosen menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, sehingga diperlukan pengembangan inovasi dan kreasi terbaru dosen terhadap mahasiswa dalam menjembatani kebutuhan belajar mereka. Dosen sebagai sub komponen instrument atau alat harus diberdayakan secara optimal. Peranan dosen dalam pengajaran belum dapat tergantikan oleh mesin pengajaran seperti tape recorder, komputer dan lain-lain yang diciptakan manusia. Jadi, sifat otodidak metodik itu tetap selalu muncul untuk dapat mengkreasikan pengembangan materi kuliah yang diampu dengan harapan dapat menyasar pemahaman mahasiswa secara terarah. Sehubungan dengan tanggung jawab profesinya, dosen dituntut untuk mencari gagasan baru, penyempurnaan metode, bahkan memvariasikan multi metode dan mengupayakan pembuatan serta penggunaan alat peraga atau media yang konkrit.

Berdasarkan pada prinsip efektifitas dan transparansi dalam pengembangan materi ajar, dosen harus mampu melihat dan mengevauasi kinerjanya sendiri. Kemampuan ini berkaitan dan memiliki urgensi dengan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan di dalam kelas sendiri. Berdasarkan pengalaman faktual yang dialami oleh tim pengusul susulan PENELITIAN sendiri, yaitu menurut hasil evaluasi yang dilakukan dapat memperbaiki informasi bagi dosen pengampu mata kuliah khususnya MKPK (mata kuliah pengembangan kepribadian) tentang PKn dengan mengusung tema pendalaman pemahaman konstitusi oleh mahasiswa, dapat ditinjau dari keefktifan pembelajaran yang dilakukan. Informasi hasil evaluasi dijadikan acuan dosen melihat, mengevaluasi kinerjanya sendiri, serta sebagai acuan dalam rangka penyempurnaan pembelajaran.

Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial terletak di pusat kota Singaraja, tepatnya di jalan Udayana Kampus Tengah Singaraja. Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial atau sering disingkat FHIS merupakan sebuah fakultas yang menjadi bagian dari Universitas Pendidikan Ganesha. Terdapat beberapa jurusan yang bernaung di bawah FHIS Undiksha, yaitu antara lain : PPKn, Pendidikan Geografi, Pendidikan Sejarah, Ilmu Hukum, Pendidikan Sosiologi, D3 Kepustakaan, dan D3 Pemetaan. Dari sekian jumlah jurusan yang disebutkan, 4 (empat) diantaranya merupakan jurusan baru yang

dikembangkan di lingkungan FHIS Undiksha, yakni Ilmu Hukum, Pendidikan Sosiologi, D3 Kepustakaan, maupun D3 Pemetaan.

Dengan dikembangkannya Jurusan Ilmu Hukum sebagai salah satu jurusan baru di lingkungan FHIS Undiksha memberikan kontribusi tersendiri dalam hal pengembangan wawasan dan pemahaman kesadaran hukum mahasiswa terkait dengan aspek akademis yang menjadi prasyarat utama mahasiswa dalam menyelenggarakan aktifitas formalnya di dalam kampus.

Berkaitan dengan hasil evaluasi, tim peneliti melakukan pengamatan hasil evaluasi mahasiswa semester 3 tahun ajaran 2014/2015. Dari data sementara hasil perkembangan belajar mahasiswa, nilai rata-rata kelas untuk mata kuliah dengan sub tema pokok konstitusi negara Republik Indonesia adalah 65. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat pemahaman mahasiswa terhadap materi kuliah. Berdasarkan kenyataan tersebut, tim peneliti mengambil langkah tindak lanjut berupa perbaikan pembelajaran karena pembelajaran materi kuliah MKPK (Pendidikan Kewarganegaraan) dengan pokok bahasan konstitusi di semester 3 masih bermasalah.

Tim Peneliti memiliki kesadaran serta merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres di kelas, yang jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak buruk bagi proses dan hasil belajar mahasiswa. Renungan dan refleksi membuat masalah tersebut menjadi jelas. Untuk menjernihkan masalah-masalah yang telah tim peneliti kenali, maka penulis melakukan identifikasi terhadap beberapa masalah yang terjadi dalam pemahaman kosntitusi mahasiswa, yaitu; 1).Rendahnya penguasaan mahasiswa terhadap materi pelajaran, 2). Mahasiswa cenderung memunculkan pembicaraan secara serentak, baik menjawab pertanyaan ataupun apabila mengungkapkan opini, 3).Tim peneliti merasa kesulitan memotivasi belajar mahasiswa yang masih rendah, 4).Mahasiswa tidak mau bertanya jika ada konsep-konsep yang belum dipahami tentang konstitusi.

Berpatokan pada masalah-masalah yang teridentifikasi seperti tersebut di atas, tim penyusun penelitian melakukan diagnosis untuk menemukan faktor penyebab dari masalah tersebut. Suatu masalah dapat dengan mudah diatasi apabila kita menemukan faktor yang menyebabkan. Ada 2 (dua) cara yang tim peneliti rancang untuk mendiagnosis (menganalisis) masalah-masalah tersebut yakni: 1).Merenungkan kembali (refleksi) masalah-masalah tersebut dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang dijawab sendiri (melakukan instospeksi), 2).Bertanya kepada mahasiswa, apa yang terjadi sehingga hasil belajar serta pemahaman mereka terhadap materi pelajaran selalu rendah dalam hal ini tim peneliti melakukan wawancara dengan mahasiswa.Untuk memberikan suatu penyelesaian terhadap fokus masalah penguasaan konsep konstitusi Negara Republik Indonesia beserta penerapannya, maka tim peneliti melakukan perbaikan berbasis Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 53

makna karena memenuhi kebutuhan, menarik minat, dan bakat peserta didik sehingga membantu dalam menyelesaikan pekerjaan atau bagi masa depannya. Sementara Mudiono (2010: 90) menyatakan bahwa belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Dalam proses belajar mengajar terdapat interaksi antar guru dan murid yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pembelajaran dilakukan. Hal ini tentunya sebagai guru harus memperbaiki pola pengajarannya dengan menggunakan berbagai sumber belajar atau bahan ajar yang bervariasi dengan tetap memperhatikan usia peserta didiknya.

Usia peserta didik pada sekolah dasar memiliki kecenderungan untuk banyak bergerak dan bermain, sesuai dengan pernyataan Piaget menyatakan bahwa masa perkembangannya usia 7 -11 tahun (periode II dan III) adalah masa anak menggali informasi dari benda konkrit dan mengolahnya secara holistik (Crane, 2007:182). Sementara dalam bukunya Smaldino dkk (2011:13) menyebutkan pernyataan kontsruktivisme menganggap keterlibatan para peserta didik dalam pengalaman yang bermakna sebagai inti sari dari pembelajaran empiris. Ia beralih dari transfer pasif informasi ke penyelesaian masalah dan penemuan pasif. Untuk itu perlu pertimbangan lebih lanjut untuk menentukan materi dan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan dan pola berpikir peserta didik di sekolah dasar ini. Hal ini diperlukan pemikiran mendalam karena peserta didik dengan usia antara 7-11 tahun memiliki karakter dan minat bakat yang beragam.

Seperti juga Chatib (2009:12) menyatakan , karakter dalam diri setiap insan yang terlahir ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda, antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan genetik itu juga ditambah dengan pengaruh lingkungan yang melingkupi pengalaman hidup manusia, baik lingkungan keluarga, masyarakat, teman sepermainan, sekolah, maupun lingkungan lainnya, sehingga kombinasi antara perbedaan genetik dan perbedaan pengalaman hidup tersebut mentransformasi seorang manusia menjadi individu memiliki potensi yang unik. Dalam proses pembelajarannya, diharapkan keunikan dan perbedaan karakter peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan pembelajaran di kelas, baik proses berpikir, berpartisipasi, maupun dalam evaluasi. Untuk itu penggunaan bahan ajar dalam hal ini berupa modul dengan tujuan untuk memberikan kesempatan peserta didik berekplorasi dengan gaya belajar mereka masing-masing, sehingga tercipta pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar masing masing dan lebih bermakna.

Pembelajaran yang bermakna akan memberikan kesempatan peserta didik untuk melakukan, berinteraksi, dan menemukan sendiri menjadikan proses pembelajaran itu sendiri akan lebih efektif, dengan peranan seorang guru sebagai fasilitator yang terus mendampingi dan mengarahkan peserta didik untuk mendapatkan hasil dari proses pembelajaran yang maksimal. Tentunya dibutuhkan kemampuan yang tinggi untuk terus menciptakan pembelajaran bermakna setiap harinya. Guru yang memiliki kemampuan pengelolaan kelas yang baik yang dapat melakukannya. Guru yang dalam penggunaan teknik dan pendekatan dalam pembelajaran yang tepat tentunya dapat berinteraksi positif dua arah dengan siswa. Adanya

interaksi dua arah ini membentuk suasana kelas yang efektif untuk pembelajaran. Seperti yang dinyatakan Mudiono (2010:90) menyatakan bahwa belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif.

Kemampuan guru untuk memberikan kegiatan yang bernilai edukatif tentunya tidak semua guru mampu melakukannya dengan baik. Guru yang mampu melakukannya adalah guru yang benar-benar memahami peran dan fungsinya dalam pembelajaran. Peran fasilitator seorang guru bukan memberikan materi dengan diakhiri penilaian dalam bentuk kuis atau pemberian tugas. Namun inilah yang banyak dilakukan guru di beberapa sekolah dasar yang diamati peneliti. Guru merasa sebagai penguasa kelas sehingga sepenuhnya pembelajaran adalah kewenangannya dan caranya adalah yang terbaik. Paradigma seperti ini masih nampak walaupun perubahan dan perkembangan kurikulum terjadi. Selama beberapa bulan terakhir peneliti mengamati proses pembelajaran di lingkungan sekitar kelurahan Tunggulwulung Kota Malang. Guru kelas lain juga tidak merasa perlu untuk melakukan perbaikan pembelajaran dari guru tersebut. Tidak ada keperdulian untuk melakukan perubahan demi masa depan generasi penerus yang ada di depannya.

Perubahan mulai terjadi sejak ada yang mengenalkan SD Anak Saleh dengan Lesson Study. Dalam pembinaannnya, guru perlu berolaborasi dengan guru dari satu tingkat atau berbeda tingkatnya. Guru satu dengan guru lainnya dapat saling belajar khususnya dalam mutu pembelajaran. Guru melakukan perencanaan matang untuk satu pembelajaran dengan bantuan guru lainnya. Pada pelaksanaan pembelajaran ada guru yang menjadi observer untuk melihat dan mencari temuan-temuan saat pelaksanaan pembelajaran. Selanjutnya dilakukan refleksi dari guru pelaksana pembelajaran dan observer mengemukakan temuan-temauannya. Satu rangkaian kegiatan tersebut tercantum dalam kegiatan Lesson Study (LS).

Lesson Study (LS) diterapkan dalam pembelajaran secara terus menerus agar para guru mampu belajar dari pembelajaran guru lain. Dengan mengetahui pembelajaran kelas lain, diharapkan guru tersebut menemukan sendiri bagaimana respon peserta didik dari apa saja yang telah diberikan oleh guru. Ketika guru menjelaskan, bagaimana respon peserta didiknya, juga ketika guru memberikan permalahan dan kesempatan untuk berdiskusi, bagaimana respon mereka, dan banyak kegiatan lain dalam ranah pembelajaran. Guru yang lain sebagai observer dan mengetahui respon-respon masing-masing dari stimulus guru. Penambahan wawasan dalam pembelajaran orang lain ini akan meberikan pencerahan dari guru tersebut, karena dia menemukan sendiri keefektifan dan kebermaknaan pembelajaran yang diamatinya. Hal ini sama halnya dengan ungkapan Syamsuri (2007:26) dalam bukunya bahwa Lesson Study merupakan pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan dengan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning (bermanfaat pada kedua belah pihak) untuk membangun komunitas belajar mengajar.

LS yang menjadi salah satu wadah pembinaan profesi guru untuk meningkatkan mutu diri ini sangat dianjurkan pelaksanaannya di SD Anak Saleh. LS di kelas II SD Anak Saleh dilaksanakan dalam ruang lingkup kecil yakni sejumlah 6-8 guru.Hal ini sesuai

Page 62: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

54 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

dengan jumlah rombongan belajar ada 4 kelas dengan masing-masing ada 2 guru dalam satu kelas. Pelaksanaan LS terbatas ini dengan tujuan meningkatkan kualitas diri guru dalam pembelajaran. Guru ynang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengobservasi teman sejawat selama proses pembelajaran tentunya akan mempengaruhi pola pengajaran dalam dirinya. Guru tersebut belajar bagaimana menghidupkan kelas dengan hasil belajarnya selama menjadi observer. Dia juga secara perlahan-lahan akan mengetahui dari proses pembelajaran dirinya nanti apakah peserta didik benar-benar mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berpartisipasi selama pembelajaran. Seperti ungkapan Elli (guru model SDN Kauman I) bahwa sepintar-pintarnya guru dalam mengevaluasi diri dan mengajar, akan lebih baik lagi jika ada kerjasama guru lain untuk membantunya dengan ide-ide kreatifnya dalam melakukan pembelajaran yang efektif dan bermakna.

Selama ini kegiatan Lesson Study di SD Anak Saleh lebih banyak dilaksanakan di tingkat atas yakni kelas III, IV, dan V. Kelas bawah dalam hal ini kelas I dan II belum banyak menerapkannya dalam kegiatan kolaborasi antar kelas dalam rombongan belajar satu tingkat. Untuk itu proses pembelajaran yang hanya dilakukan, diketahui, dan dievaluasi sendiri oleh guru yang bersangkutan kurang maksimal dalam peningkatan kualitas maupun kuantitas dari proses pembelajarannya. Elvera sendiri selaku koordinator level di kelas II mengarahkan tim guru kelas II untuk dapat saling memberi masukan melalui kegiatan LS yang dilakukannya dalam satu tingkat kelas II.

B. PENGERTIAN LESSON STUDY

Dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kementrian pendidikan bekerjasama dengan berbagai pihak telah merencanakan dan melaksanakan berbagai program peningkatan mutu. Peningkatan mutu yang berupa pelatihan maupun seminar dan sosialisasi di berbagai tingkatan telah dilaksanakan. Namun hal tersebut masih belum signifikan terlihat implementasinya dalam pembelajaran, seperti yang diungkapkan Juwairiah (2010), bahwa berbagai program pelatihan guru yang dilakukan pemerintah ini banyak yang kurang signifikan terhadap peningkatan mutu guru, ini disebabkan karena pelatihan tidak berbasis pada permasalahan nyata di dalam kelas. Hasil pelatihan hanya sebatas pengetahuan saja tidak diterapkan pada pembelajaran di kelas.

Pelatihan yang diikuti guru dengan meninggalkan sekolah bahkan daerahnya hanya untuk mendapatkan pengetahuan akan sia-sia jika tidak diaplikasikan di dalam kelas. Seperti halnya Ibrahim dan Syamsuri (2008:71) mengungkapkan bahwa guru tidak perlu terlalu sering meninggalkan daerahnya untuk mengikuti penataran atau pelatihan. Ketrampilan yang dilatihkan dicoba dan dikaji di kelas nyata, yaitu di kelasnya sendiri. Guru tidak hanya menonton melainkan dilatih mencatat data, menganalisis dan mencari jalan keluar sesuai dengan situasi dan kondisi nyata di sekolah masing-masing.

Dari hasil pengamatan dan pelatihan langsung di kelas dengan sendirinya guru bisa belajar dan membelajarkan sesama guru dalam sekolah tersebut. Dari kegiatan yang melibatkan guru dalam satu sekolah tersebut, guru tidak perlu meninggalkan kelasnya karena dilaksankan dalam sekolahnya sendiri. Hal ini juga memberikan manfaat nyata bagi para guru yang belajar dari pembelajaran teman sejawatnya, sehingga muncul refleksi pada dirinya bahwa masing-masing guru memiliki kelebihan dan kelemahannya namun bagaiman mengelola kemampuan diri untuk bisa melakukan pembelajaran yang lebih bermakna. Kelemahan dan kelebihan dari masing-masing bisa dilengkapi dengan belajar pada orang lain yang memiliki kelebihan tersebut. Dari kegiatan ini, para guru dapat membekali diri dengan berbagai catatan dan evaluasi diri melalui pembelajaran orang lain.

Kegiatan untuk belajar dari pembelajaran teman adalah kegiatan kolaboratif dari Lesson Study. Juwairiah (2010) menyatakan bahwa Lesson Study adalah suatu model pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjuan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membantun komunitas belajar. Sementara itu Lewis (2002) dalam Ibrahim dan Syamsuri (2008: 27) menyatakan bahwa Lesson Study adalah sebuah lingkaran yang terdiri dari pembelajaran bersama guru untuk mengutamakan tujuan jangka panjang bagi peserta didik, mengemas tujuan tersebut dalam tindakan penelitian pembelajaran dan kerja kolaborasi seperti mengamati, mendiskusikan, dan merefleksi kegiatna pembelajaran.

Lewis (2002) menyatakan bahwa Lesson Study adalah kerja kolaborasi pada strategi peningkatan pembelajaran, kegiatan diskusi dimana ada pengamatan dari pembelajran langsung oleh sekelompok guru untuk mengumpulkan data dari hasil pengamatannya dan bekerjasama untuk menganalisanya. Sama halnya dengan Lewis, Friedkin (2005) dalam Mahmudi (2006) mengemukakan bahwa Lesson Study (LS) sebagai suatu proses yang melibatkan guru yang bekerja sama untuk merencanakan, mengobervasi, menganalisis, dan memperbaiki pembelajaran.

C. SEJARAH LESSON STUDY

LS telah dilaksanakan dan dikembangkan di Jepang lebih dari 100 tahun lalu. Kegiatan studi pembelajaran (LS) atau jugyokenkyu (Istilah Jepang) berasal dari dua kata yakni jugyo yang berarti pembelajaran dan kenkyu yang berarti penelitian. LS berkembang mengarah pada guru sebagai sasaran utama dalam pembelajaran. Perkembangan LS sendiri untuk membantu guru-guru di Jepang yang menggunakan pembelajaran individual untuk mengembangkan pembelajaran kelompok guru di negara-negara barat.

Implementasi dari kegiatan LS sendiri di Jepang telah diteliti oleh Prof. Kiyomi Akita dari Universitas Tokyo. (Ibrahim dan Syamsuri, 2008:2). Prof. Akita menemukan bahwa kegiatan LS dapat menjadi proses pengembangan diri para guru untuk dapat memperbaiki kualitas belajarnya. Prof. Akita menyatakan bahwa LS dapat dijadikan wahana perbaikan diri dalam proses

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 127

Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, tidak seluruh mahasiswa menyadari hal tersebut, karena menurut sebagian besar pandangan bahwa konstitusi hanya milik fakultas hukum saja. Terjadi kesalahan interpretasi atau penafsiran di berbagai kalangan terhadap merebaknya pandangan tadi, pada dasarnya konstitusi adalah milik seluruh warga negara sebab mengatur perilaku, tata cara penyelenggara negara, termasuk warga negara dan alat-alat kelengkapan negara lainnya dalam bekerja untuk menyelenggarakan tatanan kehidupan negara yang berkesinambungan dan konsisten dengan cita dan tujuan Negara Republik Indonesia.

Gambaran tadi menunjukkan ada konsep pembelajaran konstitusi yang perlu diintensifkan keberadaannya di tengah-tengah pengembangan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi. Mengingat mengkaji prihal konstitusi fokus analisa akan mengacu pada pedoman penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara yang perlu memperoleh dukungan dari seluruh warga negara termasuk mahasiswa di dalamnya untuk patuh, taat, dan setia terhadap konstitusi yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal ini menjadi agenda penting untuk menuntun mahasiswa mengenal lebih dekat tentang landasan operasional penyelenggaraan ketatanegaraan Republik Indonesia. Strategi pengembangannya melalui kurikulum pendidikan tinggi mengemban salah satu misi melalui pengembangan mata kuliah kepribadian, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan yang salah satu sub komponen materinya mengulas tentang konstitusi secara mendalam. Fokus tujuannya agar terjadi interaksi berupa pemahaman konseptual dan aplikatif tentang konstitusi negara melalui transformasi pengetahuan dari pendidik (dosen) dengan subjek didik (mahasiswa) yang berlangsung dalam lingkungan belajar dan interaksi di kelas dengan menggunakan bermacam tindakan yaitu salah satunya yang dapat tim pengusul tawarkan sebagai bentuk inovasi pembelajaran adalah dengan penerapan Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu (moot court) untuk Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa Undiksha tentang Konstitusi Negara Republik Indonesia. Komponen yang cukup signifikan dalam pendidikan adalah proses belajar mengajar. Proses ini merupakan bentuk mini dari proses peradilan yang menyisipkan pembekalan konseptual tentang konstitusi, praktek penyelenggaraan negara berikut kewenangan untuk melakukan refleksi terhadap kinerja aparatur negara melalui kewenangan tupoksi yang dimilikinya.

Bagi mereka yang awam dan bukan mahasiswa Fakultas Hukum, mungkin belum pernah mendengar istilah ini. Secara etimologis, ”moot” dapat diartikan sebagai “dapat diperdebatkan” atau “semu,” dan “court” dapat diartikan sebagai “pengadilan/peradilan.” Dengan demikian, apabila dirangkaikan, “moot court” dapat berarti “peradilan yang dapat diperdebatkan.”Dalam perkembangannya sekarang ini, moot court dikenal sebagai peradilan semu.

Peradilan Semu (moot court) memberikan tambahan belajar bagi mahasiswa Fakultas Hukum maupun di luar Fakultas Hukum untuk mengembangkan diri, terutama perwujudan konkrit dari matakuliah-matakuliah hukum acara yang juga dikembangkan di lingkungan FHISIP, FHISIPOL, dan FHIS. Meskipun belum sepenuhnya benar, tapi proses belajar yang dialami mahasiswa, dapat diupayakan untuk mengerti lebih jauh mengenai kebiasaan-kebiasaan praktek beracara. Tugas hakim, jaksa, penasehat hukum, dan bahkan kedudukan terdakwa serta saksi-saksi di pengadilan menarik untuk digali dan dicerna sisi-sisi ilmiahnya. Mahasiswa yang belajar di dalam peradilan semu (moot court) mencernakan mata kuliah yang ia dapat selama kuliah, menganalisis kasus dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh penegak hukum dalam upaya menangani kasus-kasus. Tentu saja dengan demikian peradilan semu (moot court) sendiri memberikan peluang bagi mahasiswa untuk berkarya, mencoba-coba, dan sekaligus “pura-pura” menjadi penegak hukum sesungguhnya.Mereka dapat menjadi hakim, jaksa, penasehat hukum, dan bahkan saksi dan terdakwa dalam suatu acara pengadilan.

Peradilan semu (moot court)juga berisi mengenai perdebatan-perdebatan akademis mengenai telaah kasus-kasus fiksi dan nonfiksi yang dilihat berdasarkan analisis dalam kerangka yuridis normatif berdasarkan teori-teori hukum yang mahasiswa dapatkan selama kuliah. Perlahan tapi pasti mahasiswa diperhadapkan pada tataran ideal kekuatan peradilan yang dapat memutus perkara mengenai berbagai kasus yang terjadi.Kemampuan untuk membuat atau praktek membuat berkas-berkas yang diperlukan untuk beracara di pengadilan dipertaruhkan bagi mahasiswa di dalam peradilan semu (moot court). Surat dakwaan, surat tuntutan, putusan hakim, pembelaan, adalah beberapa di antara berbagai berkas yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan acara peradilan.

Hadirnya peradilan semu (moot court) sebagai sarana belajar mendalami konstitusi Negara Republik Indonesia (dalam konstruksi akademis) menjadi bahan peninjauan kembali dalam melihat praktek-praktek peradilan di Indonesia. Adalah hal yang tabu bagi mahasiswa untuk memperlihatkan sesuatu yang tidak benar di hadapan hukum. Secara umum, peradilan semu (moot court) memberikan gambaran ideal yang perlu untuk ditanamkan semenjak dini mengenai peradilan yang bersih dan berwibawa. Dengan demikian, apa yang ideal yang ditanamkan kepada generasi penerus penegak hukum di Indonesia tersebut dapat membantu perbaikan pelaksanaan peradilan di Indonesia masa depan (saifudiendjsh, 2009).(http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/peradilan-semu-moot-court.html).

Proses belajar mengajar dengan menggunakan model praktek beracara di muka pengadilan melalui desiminasi peradilan semu (moot court)tidak boleh dilepaskan dari komponen sistem lainnya, seperti: 1).Mahasiswa itu sendiri sebagai masukan mentah (rawput) dalam kapasitasnya sebagai subyek

Page 63: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

126 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu

untuk Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa Undiksha tentang

Konstitusi Negara RI

Ni Ketut Sari Adnyani Email: [email protected]

Abstrak: Latar belakang penelitian ini adalah pemahaman konstitusi yang lemah di kalangan mahasiswa berdasarkan hasil evaluasi sementara nilai rata-rata mahasiswa ± 65 dinilai belum mampu memenuhi standara ketercapaian pemebelajaran terhadap akses mahasiswa mengenai mata kuliah tersebut. Peradilan semu (moot court) memberikan tambahan belajar bagi mahasiswa Jurusan FHISIPOL, FHISIP, dan FHIS untuk mengembangkan diri, terutama perwujudan konkrit dari mata kuliah hukum acara. Meskipun belum sepenuhnya benar, tapi proses belajar yang dialami mahasiswa dapat diupayakan untuk mengerti lebih jauh mengenai kebiasaan-kebiasaan praktek beracara.Hadirnya peradilan semu (moot court) sebagai sarana belajar (dalam konstruksi akademis) sebagai sebuah bentuk apresiasi yang tinggi bagi dosen pengampu mata kuliah yang dilakukan inovasi model kepada mahasiswa. Kenyataan tabu bagi mahasiswa untuk memperlihatkan sesuatu yang tidak benar di hadapan hukum. Secara umum, peradilan semu (moot court) memberikan gambaran ideal yang perlu untuk ditanamkan semenjak dini mengenai peradilan yang bersih dan berwibawa. Dengan demikian, apa yang ideal yang ditanamkan kepada generasi penerus penegak hukum di Indonesia tersebut dapat membantu perbaikan pelaksanaan peradilan di Indonesia masa depan.Metode penelitian adalah yuridis empiris, dengan pengkajian terhadap penyelengraraan Model Praktek Beracara di Muka Pengadilan melalui Desiminasi Peradilan Semu (moot court) untuk Meningkatkan Penguasaan Pemahaman Mahasiswa Undiksha tentang Konstitusi Negara RI. Bahan penelitian yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui proses observasi dan wawancara langsung dengan responden dan narasumber berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan peneliti sebelum penelitian dilaksanakan. Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan/studi dokumen pada beberapa literatur yang relevan dengan topik penelitian. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah (1) metode observasi, (2) metode wawancara, (3) metode pencatatan dokumen dan (4) metode kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dalam hal praktek peradilan semu melalui desiminasi pada mata kuliah Hukum Konstitusi telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap peningkatan prestasi atau hasil belajar mahasiswa yaitu ditunjukkan pula dalam proses persidangan semu. Dalam mata kuliah Hukum Konstitusi yang disajikan dengan melakukan desiminasi praktek persidangan semu telah membuka pemikiran baru bagi mahasiswa untuk tanggap dan peka terhadap berbagai kasus-kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat maupun dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.

Kata kunci: beracara di muka pengadilan, peradilan semu, konstitusi, Negara RI

A. PENDAHULUAN

Secara khusus, kegagalan gerakan Pembangunan Hukum dibanyak negara berkembang (Carothers 2006), menunjukkan bahwadalam konteks tertentu baik dalam ranah teoretikal maupun praktikal,studi hukum arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalankeadilan yang menyangkut kaum terpinggirkan. Banyak persoalankemasyarakatan yang sangat rumit dan tidak bisa dijawab secaratekstual dan monodisiplin, dan dalam situasi seperti ini penjelasanyang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secarainterdisipliner.Oleh karenanya dibutuhkan suatu pendekatan hukumyang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat.Hukum memiliki banyak wajah, oleh karenanya di kalanganilmuwan (hukum) tidak ada kesepakatan yang tunggal tentangpengertiannya. Pada umumnya hukum diartikan sebagai seperangkatrules of conduct yang mengatur dan memaksa masyarakat, jugamengatur tentang penyelesaian sengketa (Otto 2007: 14-15). Dalampengertian terbatas, hukum selalu dikaitkan dengan hukum Negara (legal centralism). Namun para antropolog hukum menangkap hukumdengan perspektif yang lebih luas, meliputi

tidak hanya hukum negara,tetapi juga sistem norma di luar negara, ditambah pula dengan segalaproses dan aktor yang ada di dalamnya.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain mempunyai makna yang sangat mendalam, juga mengandung pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pokok-Pokok pikiran tersebut mewujudkan cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, Sucipta (2014:49). Pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia tersebut dioperasionalkan dalam tujuan Pembangunan Nasional yang akan mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dengan menggunakan kompas pedoman yang ditunjukkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam memahami Undang-Undang Dasar atau konstitusi Negara Republik Indonesia, perlu pemahaman yang jelas dari peserta didik (mahasiswa) tentang makna, hakikat, dan peranan konstitusi tersebut di dalam mengatur penyelenggaraan ketatanegaraan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 55

pembelajaran dan untuk melakukan penelitian. Dengan perbaikan diri melalui pembelajaran orang lain diharapkan mampu menambah pemahaman bagaimana menciptakan pembelajaran yang baik.

LS yang dilaksanakan di Jepan gtelah membentuk komunitas belajar dalam usaha untuk peningkatan mutu pembelajaran. Perkembangan LS di Jepang tidak melalui kegiatan musyarah guru ataupun kerja kelompok guru. LS telah berkembang di negara-negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat, Kanada, Amerikan Latin, Singapura, Hongkong, RRC, Korea, Vietnam, Thailand, Afrika Selatan dan di tahun 2004 merambah ke Indonesia.

D. PERKEMBANGAN LESSON STUDY DI INDONESIA

Indonesia mengenal LS pada kegiatan follow-up prpgram IMSTEP (Indonesian Mathematics and Science Teaching Education Project) di akhir tahun 2004. Program ini bekerjasama dengan Fskultas Matematika Ipa dari 3 universitas, yakni; Universitas Pendidikan Indonesia (UPI-Bandung), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Universitas Negeri Malang (UM). Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran MIPA di beberapa universitas tersebut. Pelaksanannya dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi dengan guru-guru SMA, SMP, dan SD termasuk kepala sekolahnya.

Di tahun berikutnya ketiga universitas telah mengembangkan LS dalam usahanya meningkatakan pelaksanaan pembelajaran. Para guru dan pihak terkait melaksanakan diskusi, pengamatan, dan refleksi untuk memperbaiki diri melalui pembelajaran yang dikalukan guru model ( guru yang melakukan pembelajaran). LS berawal dari banyaknya kendala dalam program IMSTEP. Dengan maksud meningkatkan mutu pembelajaran, LS diadopsi sebagai salah satu upaya peningkatan tersebut.

Pelaksanaan LS di ketiga universtas tersebut dilaksanaka secara periodik. Di kota Malang sendiri, UM bekerja sama dengan beberapa sekolah percontohan yakni SMA Laboratorium UM, SMA Negeri 2 Malang, SMP Laboratorium UM, SMP Negeri 4 Malang, dan tahun ini bahkan Dinas Pendidikan Kota Malang mencanangkan SDN Kauman I sebagai “Project School” dan bulan November, SD Anak Saleh Malang menjadi pelaksana ICLS (International Conference Lesson Study) bekerjasama dengan UMM (Universitas Muhamadiyah Malang) dan F MIPA UM.

E. MENGAPA LESSON STUDY

Berbagai upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah menghabiskan banyak energi, waktu, dan biaya, namun pendidikan Indonesia masih belum mengalami perkembangan. Data UNESCO melalui EFA “Global Monitoring Report 2013-2014” menyebutkan bahwa memotivasi anak-anak untuk dapat belajar dan mengenyam pendidikan di sekolah dasar (EFA, 2014:72). Data mengenai kualitas pendidikan yang mempengaruhi kemampuan literasi orang dewasa juga perlu mendapatkan perhatian pemerintah dan pelaku pendidikan. EFA menemukan bahwa sistem pendidikan yang dapat meningkatkan pendidikan di negara yang rendah dalam pendidikan

literasi generasi mudanya. Dari data Indonesia belum memenuhi target 100% untuk pembelajaran literasinya (EFA, 2014:72).

Generasi muda ini menjadi perhatian khusus pemerintah dalam proses perkembangan dunia pendidikan. Usaha yang telah dilaksanakan guna meningkatkan mutu guru tetap dilakukan secara terus menerus, melalui Guru Pembelajar, SM3T bagi calon guru, juga program kerjasama peningkatan pendidikan melalui beasiswa, dan berbagai program peningkatan pendidikan di daerah terdalam wilayah Indonesia. Program-program tersebut bertujuan meningkatkan mutu pendidikan yang rendah. EFA juga menyebutkan dalam datanya bahwa Indonesia hanya 20-30 % pencapaian kemampuan literasi orang dewasanya. Dengan kata lain para pendidik yang merupakan orang dewasa memiliki kemampuan rendah.

Dengan menciptakan komunitas yang saling mendukung untuk pembinaan, kerjasama, dan kerja tim menuju peningkatan literasi dan pendidikan secara umum dikenalkan Jepang melalui kegiatan “Learning Community” yakni “Lesson Study”. Menurut Prof Akita pendidikan yang baikadalah pendidikan yang dapat menciptakan output (lulusan) yang lebih baik dengan siswa sebagai fokus utama dalam proses pembelajaran (Ibrahim dan Syamsuri, 2008:4). Proses kegiatan LS yang dilakukan dengan pendidik yang mempelajari, mengamati, mencatat, mengevaluasi, dan mendiskusikan apa yang telah diamati dalam proses pembelajaran. Hal ini tentunya dapat meningkatan mutu guru itu sendiri. Guru yang mengamati proses pembelajaran akan mempelajrai banyak hal dari guru lain selaku “guru model”. Guruan banyak pengetahuan dan wawasan yang diperoleh selama melakukan serangkaian LS. Mereka akan termotivasi untuk terus belajar dan belajar lagi guna meningkatkan mutu dirinya. Dengan membaca banyak literasi, menciptakan komunitas belajar, dan mengikuti kegiatan LS, guru dapat meningkatkan kemampuan dirinya baik literasi maupun kemampuan melakukan pembelajaran yang lebih inovatif dan kreatif. Kemampuan melakukan pembelajaran inovatif dan kreatif itulah yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didiknya.

F. BAGAIMANA MELAKSANAKAN LESSON STUDY DI SD ANAK SALEH

Pelaksanaan LS di SD Anak Saleh Malang sudah dimulai sejak 3 tahun silam. Pelaksanaan yang bekerjasama dengan pihak Benesse Jepang yang berpusat di Jakarta ini telah meberikan banyak perubahan pola pikir pada beberapa guru yang mengikutinya. LS di sekolah ini awalnya bukan berbasis sekolah. Dari 24 rombongan belajar dari kelas I hingga kelas VI ini hanya kelas V dan VI yang diarahkan untuk mengikuti LS ini. Peningkatan yang terus menerus ini memberikan banyak dampak secara individual dari guru tersebut juga kelas dalam satu tingkat. Pertama kali diadakan “open class” oleh salah satu guru secara bertahap ini di tiga rombel kelas VI ini memberikan ketertarikan tersendiri bagi kepala sekolah.

Tahun berikutnya LS dilakukan dengan berbasis level kelas V. Pelaksanaan “open class” berbasis level ini diikuti 3 guru dari 3 rombel di level kelas V. Tema yang diusung adalah “Kerukunan dalam Bermasyarakat” sub tema 1 “Bentuk-Bentuk

Page 64: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

56 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Kerukunan”. Pelaksanaan selama satu minggu ini dilanjutkan hingga 3 minggu tanpa terputus. Hal ini dilakukan karena ketertarikan guru dan melihat peningkatan semangat peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran selama LS. Peserta didik bahkan sudah terbiasa dengan banyaknya para observer yang datang untuk melihat mereka belajar. Hal ini akhirnya dilanjutkan hingga ke level kelas yang lain, yakni kelas III dan IV pada tahun yang sama.

Menurut Ibrahim dan Syamsuri (2008:158) menyatakan bahwa kegiatan dari proses LS ini tentunya bukan harga mati. Teknik-teknik tersebut akan berkembang untuk menuju pelaksanaan LS yang lebih kondusif, efektif, dan efisien. Dengan tujuan untuk membangun komunitas belajar dan meningkatkan mutu guru tentunya akan terus berkembang. Seperti halnya di SD Anak Saleh awalnya hanya 1 kelas saja dari 24 kelas yang ada. Namun karena banyak yang positif baik bagi peserta didik maupun pribadi gurunya, sekarang SD Anak Saleh telah menjadi salah satu tuan rumah dalam pelaksanaan tingkat internasional pada bulan Nopember 2016. Partisipasi SD Anak Saleh dalam ICLS (Internasional Conference Lesson Study) ini adalah membuka “open class” oleh 2 guru model dari kelas III dan kelas V. “Open class” yang dimaksud adalah memberikan kesempatan kepada guru dari berbagai sekolah untuk mengikuti perencanaan, mengobservasi, dan merefleksi secara terbuka.

Pelasksanaan LS melalui beberapa langkah. Beberapa ahli menuliskan beberapa langkah-langkah yang berbeda-beda. Fernandez dan Yoshida (dalam Ibrahim dan Syamsuri, 2008:49-50) menyebutkan ada 6 langkah dalam pelaksanaan LS yaitu: 1)merencakanan pembelajaran secara kolaboratif (bersama-sama), 2) melaksanakan pembelajaran (menunjuk satu orang untuk menjadi guru model), 3) melakukan diskusi refleksi tentang pembelajaran yang diamati, 4) merevisi rencana pembelajaran, 5) melaksanakan pembelajaran di masing-masing kelas berdasarkan hasil revisi, dan 6) melakukan sharing hasil pembelajaran masing –masing.

Berbeda dengan Richardsaon (dalam Ibrahim dan Syamsuri, 2008:51) menuliskan ada 7 langkah yakni: 1) membentuk sebuah tim LS, 2) memfokuskan LS, 3) merencanakan rencana pembelajaran, 4) persiapan untuk observasi, 5) melaksanakan pengajaran dan observasinya, 6) melaksanakan tanya-jawab (diskusi) pembelajaran, dan 7) melakukan refleksi dan merencanakan pembelajaran selanjutnya.

Untuk langkah dalam penelitian ini dilakukan 3 tahapan yang mengikuti pelaksanaan di Indonesia pada umumnya yakni 3 tahapan yakni perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see) seperti yang tercantum dalam bukunya Ibrahim dan Syamsuri. (2008:52). Ketiga langkah ini lebih sederhana namun tidak menghilangkan esensi dari kegiatan LS.

Perencanaan (Plan)

Tahap perencanaan dilakukan dengan mendata siapa saja yang terlibat dalam kegiatan ini. Anggota dari kegiatan LS ini dibentuk dan ditentukan penugasan masing-masing. Ada yang menjadi koordinator, moderator, notulis, guru model, dan anggota. Kegiatan

selanjutnya dilakukan pemetaan KD mana yang menurut peserta didik paling sulit dipahami. Dalam penentuan KD guru model juga memfokuskan pada siswa mana yang menjadi target dalam pembelajaran. Peserta didik yang dipilih biasanya yang nampak tidak begitu menikmati proses pembelajaran di kelas tersebut. Dalam hampir pembelajaran muatan apapun, peserta didik tersebut memberikan respon sama “tidak menikmati dan tidak terlibat. Setelah itu dilanjutkan dengan perencanaan lesson design dan penetapan waktu pelaksanaan pembelajaran.

Perencanaan dilaksanakan dengan membawa hasil catatan masing guru kelas yang menemukan bahwa perlu adanya kegiatan saling mengobservasi dan mengevaluasi apakah pembelajaran di kelas II satu dengan kelas II lainnya sesuai dengan perencanaan yang telah dirancang sebelumnya. berdasarkan hal tersebut, koordinator kelas II mencoba untuk mengaplikasikan kegiatan LS di level kelas II. Mereka menyusun Plan ersama. Penyusunan plan yang diawali dengan pementaan KD terlebih dahulu, apakah muatan pelajaran yang ada mendukung dan sesuai dengan tema. Bagaimana bentuk evaluasi yang tepat dari pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam minggu tersebut. Kegiatan dilanjutkan dengan menyusun RPP selama satu minggu ke depan. RPP yang mengedepankan peserta didik untuk aktif terlibat seutuhnya dalam pembelajaran. Mereka juga menentukan aspek-aspek yang tepat untuk dievaluasi berdasarkan hasil pemetaan KD tersebut. Untuk guru model, mereka semua adalah guru modelnya sendiri. Masing-masing akan menjadi guru model dalam kelasnya sendiri. Observer yang ada dari kelas lain yang kebetulan tidak sedang mengajar tematik pada waktu dan hari pelaksanaan dari pembelajaran oleh guru model.

Plan yang berupa gambaran aktivitas yang akan di lakukan selama pembelajaran ini diaplikasikan dengan sebuah garis gelombang dari kanan ke kiri yang digambar sendiri oleh guru model. Gelombang mewakili fluktuasi atau naik turunnya mood peserta didik selama pembelajaran. Kegiatan guru dicerminkan dari kegiatan di atas garis gelombang, sementara peserta didik yang berada di bawah gelombang. Dalam melengkapi kegiatan yang akan dilakukan terlebih dahulu guru menuliskan tujuan dari pembelajaran tersebut di bagian kiri di luar batas garis gelombang. Kemudian hasil akhir dari apa yang didapatkan peserta didik dituliskan di sebelah kanan luar batas gelombang. Langkah selanjutnya mengisi langkah-langkah dari akhir kegiatan menuju kegiatan awal. RPP pada umumnya disusun dari kegiatan awal namun di LS dibalik penyusunannya, yakni dari kegiatan akhir yang dilakukan guru.

Gelombang yang naik turun itu sendiri tentunya punya makna tersendiri. Gelombang yang turun mengindikasikan adanya penurunan semangat siswa. Guru model dan tim LS harus menemukan mengapa itu terjadi, pastinya ada sesuatu yang membuat peserta didik lelah atau bosan. Kemudian untuk gelombang yang naik mengindikasikan peserta didik tertantang dan dalam proses berpikir. Peserta didik bersemangat untuk terus dalam lingkaran pembelajaran. Mereka senang dan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 125

membangun komunitas belajar. Lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dikarenakan: (a) pengembangan lesson study dilakukan dan didasarkan pada hasil sharing pengetahuan profesional yang berlandaskan pada praktik dan hasil pengajaran yang dilaksanakan para guru; (b) penekanan mendasar pada suatu lesson study adalah para siswa memiliki kualitas belajar; (c) tujuan pelajaran dijadikan fokus dan titik perhatian utama dalam pembelajaran di kelas; (d) berdasarkan pengalaman nyata di kelas, lesson study mampu menjadi landasan bagi pengembangan proses pembelajaran. Tahapan lesson study meliputi perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see).

Melalui kegiatan lesson study, diharapkan ada upaya sadar dan bersama-sama secara sinergis untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan membentuk generasi penerus bangsa yang cerdas berkualitas, memiliki kecakakapan hidup, keterampilan dan akhlak yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study

Brooks, J. G., & Brooks, M. G. 1993. In search of understanding: The case for Constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

. Delors, J. et al. (1996). Learning the Treasure Within, Education for the 21th Century. New York : UNESCO

Lewis, Catharine. 2004. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Online: http://www.sowi-online.de/journal/20041/lesson_lewis.htm Lesson Study Research Group online:http://www.tc.edu/lessonstudy /whatislesson study. htmLewis, C. 2002. Lesson study: A handbook of teacherled instructional change.

Lewis, C., Perry, R., Hurd, J., & O’Connel, M. P. 2006.Teacher collaboration: Lesson study comes of age in North America. Tersedia pada http://wwwLessonresearch.net/LS_6Kappan.pdf. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2016. Malvem Rood Australia : Eleanor Curtain Publishing. Philadelphia:Research for Better Schools.

Mulyana, Slamet. 2007. Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat

Podhorsky, C. & Moore, V. 2006. Issues in curriculum: Improving instruc tional practice through lesson study. Tersedia pada http://www.lessonstudy.net. Diakses pada tangal 20 Oktober 2016. Project. online : http :// www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm

Susilo, H. 2006. Apa dan Mengapa Lesson Study Perlu Dilakukan untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Dosen MIPA. Makalah. Disajikan dalam Seminar Peningkatan Profesionalisme Guru dan Dosen MIPA melalui Lesson Study, di Singaraja, 25 November 2006.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Utami, Indah Wayu Puji. 2016. A Model of Microteaching Lesson Study Implementation in the Prospective History Teacher Education. Journal of Education and Practice. (Online) Vol.7, No.27, 2016

Wikipedia.2007. Lesson Study. Online: http: // en.wikipedia.org /wiki/ Lesson_ studyWang-Iverson, P. 2002. Why Lesson Study. http://www.rbs.org/lesson_study/confenrence/2002/paper/wang.shtml. 

   

Page 65: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

124 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

mengemukakan tiga tahapan dalam lesson study yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do) dan Refleksi (see), sedangkan menurut wikipedia (2007) bahwa lesson study dilakukan melalui empat tahapan yaitu dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Menurut Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam lesson study, yaitu:

1. Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study.

2. Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari Lesson Study.

3. Plan the Research Lesson: guru-guru mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan merespons.

4. Gather Evidence of Student Learning: salah seorang guru tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.

5. Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa

6. Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada. Tahapan lesson study yang lebih umum dan yang dikembangkan di Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 1.

 

Gambar 1. Tahapan Lesson Study di Indonesia (Utami, 2016:2)

Menurut Mulyana (2007) Pada tahap pertama yaitu

perencanaan (plan), para guru yang tergabung dalam lesson study berkolaborasi menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran seperti tentang kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar dan sebagainya sehingga diketahui kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran.

Pada tahapan yang kedua yaitu tahap pelaksanaan (Do) terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama; (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang

dilakukan oleh anggota atau komunitas lesson study lainnya (guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai observer)

Pada tahap ketiga yaitu refleksi (see), merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya bergantung dari ketajaman analisis para peserta berdasarkan pengamatan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti oleh seluruh peserta lesson study dan dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi diawali oleh kesan dari guru model dilanjutkan dengan komentar dari pengamat terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan dilengkapi bukti-bukti dari hasil pengamatan. Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi sangatlah penting yang dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi seluruh peserta dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran.

Dalam pembelajaran di kelas terjadi interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan media untuk memperoleh pengalaman belajar yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa maupun guru itu sendiri. Manfaat bagi guru seperti terjadinya perubahan pola pengajaran guru dari yang berpusat pada guru (teacher center) menjadi pembelajaran yang menarik dan terintegrasi dengan baik, meningkatnya motivasi guru untuk selalu senantiasa memperbaiki dan selalu menyajikan metode, model pembelajaran dan media yang inovatif. Bagi siswa manfaat yang diperoleh seperti semangat belajar siswa meningkat, kualitas aktifitas belajar siswa juga meningkat dan terjadi saling belajar antar siswa sehingga siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju (Mulyana, 2007)

Dengan adanya lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan sebagai media atau cara bagi guru untuk selalu memperbaiki pembelajaran secara sistematis (Podhorssky & Moore, 2006). Lesson study menyediakan suatu proses untuk berkolaborasi dan merancang lesson (pembelajaran) dan mengevaluasi kesuksesan strategi-strategi mengajar yang telah diterapkan sebagai upaya meningkatkan proses dan perolehan belajar siswa (Lewis, 2002; Lewis et al, 2006; Yuliati, et al, 2006).

Dalam proses lesson study tersebut guru bekerjasama mulai merencanakan, mengajar, dan mengamati suatu pembelajaran yang dikembangkannya secara kooperatif. Sementara itu, seorang guru mengimplementasikan pembelajaran dalam kelas, yang lain mengamati dan mencatat pertanyaan dan pemahaman siswa. Penggunaan lesson study dengan pengembangan profesional tersebut merupakan wahana untuk mengembalikan guru kepada budaya mengajar yang proporsional (Lewis, 2004). Berdasarkan hal tersebut lesson study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 57

fokus. Hal ini tentu juga ada stimulus yang dilakukan guru. Untuk merangkai semuanya menjadi sebuah kegiatan yang utuh tentunya dengan bantuan banyak

pihak (guru lain sebagai tim) menjadikan Plan ini lebih bermakna. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar 1 berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar Plan LS di SD Anak Saleh

 

Pelaksanaan (do)

Pelaksanaan mengikuti hasil perencanaan. Tim LS yang sudah terbentuk di awal melakukan kegiatan pengamatan. Sementara itu, guru model menjadi pelaksana pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran (lesson design). Pelaksanaan pembelajaran yang menciptakan kegiatan pembelajaran yang menarik, melibatkan seluruh peserta didik, memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh peserta didik, dan fokus pada peserta didik. Tentunya disesuaikan dengan rencana pembelajaran hasil perencanaan.

Guru model diharapkan peka terhadap apapun respon peserta didik pada saat pembelajaran. Jika menemukan sesuatu yang berbeda tentunya harus mengambil keputusan yang tepat yang mengedepankan peserta didik. Hal ini akan menjadikan guru model harus siap dan mampu untuk melakukan modifikasi sesuai dengan kondisi di kelas model. Rencana pembelajaran awal menjadi pedoman untuk melakukan pembelajaran, namun bukan satu-satunya yang menjadikan ketentuan pelaksanaan pembelajaran. Kelaslah yang menentukan apa yang harus dilakukan dengan pertimbangan siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator.

Kapan waktunya diskusi kelompok, kapan waktu yang tepat untuk konfirmasi klasikal, di mana waktu yang tepat untuk lembar kerja, dan refleksi diri peserta didik. Keputusan–keputusan yang menjadikan kelas lebih aktif dan menyenangkan tentunya tidak harus sepenuhnya mengikuti rencana. Dalam perencanaan, tim mencoba memprediksi apa yang akan

terjadi secara umumnya. Jika di kelas ternyata peserta didik di luar dugaan danharus ada sikap untuk mengatasinya, maka guru dapat mengubah dan memodifikasi pelaksanaan pembelajaran.

Tim observer bertugas mengamati dan mencatat segala sesuatu yang terjadi dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Ibrahim dan Syamsuri (2008:58-59) menekankan beberapa hal-hal yang menjadi fokus pengamatan meliputi:

(1) Interaksi peserta didik dengan peserta didik lain (2) Bagaimana efektivitas kerja kelompok (3) Interaksi peserta didik dengan guru selama proses

pembelajaran (4) Interaksi peserta didik dengan media

pembelajaran (5) Interaksi peserta didik dengan sumber belajar dan

lingkungan sekitarnya (6) Bagaimana bahasa tubuh peserta didik yang

mencerminkan keaktifan untuk belajar (7) Apa sajakah yang dibicarakan dan didiskusikan

peserta didik.

Adakah penemuan-penemuan yang terjadi selama proses pembelajaran (ketidakaktifan peserta, kemampuan yang melebihi peserta didik pada umumnya, dan yang lain) yang observer lihat. Observer juga harus melatih untuk menemukan motiv atau alasan mengapa itu terjadi. Itulah kiranya yang menjadi fokus dalam observasi pembelajaran guru model. Fokus utama pada aktivitas dan respon peserta didik yang mencerminkan bagaimana pembelajaran itu.

Pengamatan yang dilakukan fokus pada pelaksanaan pembelajaran tematik dengan pendekatan

 

 

Kegiatan awal 

 

Kegiatan inti 

 

Pencapaian akhir 

Kegiatan Guru (materi, media/gambar, alat dan bahan, manajemen penataan kelas, bentuk latihan, soal jump/tantangan)  

Kegiatan  peserta didik (kegiatan yang dilakukan peserta didik selama pembelajaran menyesuaikan apa yang dilakukan guru juga posisi tempat duduk  

Menggambarkan hasil akhir dari perwakilan 

salah satu siswa 

Tujuan Pembelajaran 

Permasalahan yang dihadapi peserta didik pada umumnya.  Aku bisa Bu....  

Aku tahu sekarang.... 

Ternyata perkalian gampang ya, aku 

Huh.... hitung lagi ... bosan ah....capek...!  

Aku ngantuk.... 

Page 66: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

58 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

saintifik sesuai dengan kesepakatan awal. Hasil pengamatan yang dilakukan akan didiskusikan setelahnya. Hasil dari refleksi(reflection) yang dilakukan setelah pelaksanaan pembelajaran (do) akan dijadikan sebagai bahan untuk perbaikan di kelas lain yang akan melaksanakan pembelajaran serupa. Catatan-catatan dari observer menjadikan bekal bagi guru model untuk perbaikan di pembelajaran selanjutnya dan bagi guru lain untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelasnya sendiri. 

Refleksi (see)

Pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan perlu adanya refleksi. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana keefektifan proses pembelajaran dan keaktifan peserta didiknya. Untuk itu dalam LS, pelaksanaan refleksi merupakan salah satu langkah yang penting untuk dilakukan. Menurut Ibrahim dan Syamsuri (2008:62) menyatakan bahwa pada tahap refleksi, setiap anggota LS akan mengemukakan hasi temuannya dan dimanfaatkan untuk perbaikan dan peningkatan kualitsa proses pembelajaran selanjutnya.

Kegiatan refleksi dilakukan tepat setelah pelaksanaan pembelajaran selesai. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil temuan berharga sesegera mungkin. Dengan pelaksanaan yang segera setelah pengamatan, anggota LS akan mudah mengingat apa yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Temuan-temuan ini akan sangat berguna dalam perbaikan pelaksanaan pembelajaran selanjutnya.

Jika pelaksanaan tidak memungkinkan segera, bisa dilakukan di hari selanjutnya dengan catatan ada rekaman yang tersimpan selama pembelajaran. Sebelum refleksi, perlu diputarkan terlebih dahulu hasil rekaman pembelajaran tersebut. Berikan kesempatan peserta LS untuk melihat dan mencoba menggali informasi yang mungkin terlewatkan selama melakukan pengataman. Rekaman ini juga berguna untuk mengingat dan mempermudah peserta LS dalam mengemukakan hasil temuan dan mengungkapkan pendapatnya mengenai proses yang terjadi.

Kegiatan ini sangat diperlukan guna perbaikan proses pembelajaran selanjutnya. Guru model akan mencoba memperbaiki dan meningkatkan lagi mutu pembelajaran dan akan lebih efektif jika ada beberapa ide dan masukan dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai guru, guru model yang memiliki keterbatasan dalam memperhatikan peserta didiknya akan dibantu peserta LS lainnya untuk menemukan dan mendapatkan data-data yang dapat membantu memperbaiki proses selanjutnya.

Refleksi diawali dengan ungkapan dan refleksi dari guru model itu sendiri. Apa yang terjadi di kelas, mengapa peserta didik A aktif, mengapa peserta didik B selalu diam, mengapa ada kekompakkan di kelompok A dan lain sebagainya. Hal ini tentunya agara pelaksanaan refleksi dilakukan dari individunya sendiri sebagai pelaksana. Dengan begitu, LS juga melatih guru untuk lebih bercermin dari diri pribadi sebelum menyalahkan yang lain. Hal yang lain di luar dirinya tentunya akibat dari keputusan, sikap, dan bahasa tubuh diri yang menimbulkan respon dari peserta didik.

Refleksi dari diri guru model ini meliputi perasaannya dengan hasil pelaksanaan yang telah direncanakan sebelumnya, apakah telah merasakan puas dengan mencapai target fokus pembelajaran atau tidak. Guru model juga mengungkapkan kembali tahapan-tahapan dari proses pembelajaran yang dilakukkan. Jika ada hal-hal yang menarik yang dirasakan guru model bisa diungkapkan dalam refleksi diri ini. Guru model juga bisa menyebutkan persentase hasil ketercapaian rencana pembelajaran yang telah dihasilkan dalam perencanaa. Apakah ada yang telewatkan atau memang tidak memungkinkan untuk dilakukan. Bagaimana hasil dari fokus peserta didik yang dijadikan sebagai target.

Pelaksanaan refleksi selanjutnya adalah dari pengamat lainnya yang mengikuti proses pembelajaran. Ibrahim dan Syamsuri (2008:154) mengungkapkan bahwa agar dikusi dan refleksi lebih terarah, sebaiknya pelaksanaan diskusi dibagi dalam beberata termin. Sebagai contoh mengikuti tahapan pembelajaran (kegiatan awal, kegiatan ini, dan kegiatan penutup). Dapat juga dilakukan termin diskusi berdasarkan aspek pengamatan; interaksi peserta didik dengan guru, sesama anggota kelompok ataupun antar kelompok,dengan media belajar, hasil diskusi kelompok dan aspek lainnya.

Kegiatan selanjutnya adalah catatan temuan dari para pengamat lainnya. Masing-masing pengamat dapat mengungkapkan dalam ruang lingkup kelompok kecil terlebih dahulu. Pertama yang diungkapkan pengamat adalah pendapat dan komentar dari pembelajaran. Kemudian dilanjutkan dengan hasil temuannya, apa yang mereka pelajari dalam proses pembelajaran ini, hal-hal positif apakah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk diri pengamat sendiri, permasalahan peserta didik yang bagaimana yang menarik untuk dipelajari, bagaimanakah cara mengatasi hal tersebut,belajar apakah pengamat dari peserta didik selama proses pembelajaran. Jika ada kritikan dan masukan, kemukakan dengan bahasa yang membangun bukan menghakimi atau sekedar kritikan menjatuhkan. Karena tujuan utama refleksi bukan mengkritik namun memperbaiki proses dengan solusi-solusi terbaik. Kalaupun kritikan itu perlu dilakukan, alangkah baiknya jika dilakukan diluar forum refleksi. Berikan kritikan secara personal langsung kepada guru model setelah refleksi.

Penyelesaian kegiatan refleksi dilakuan dengan menyampaikan ringkasan dari proses refleksi secara keseluruhan, penyimpulan hal-hal penting yan g bisa dijadikan pertimbangan dalam pelaksanan selanjutnya dan hasil perencanaan selanjutnya. Moderator juga menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas peran serta peserta LS ini. Terlaksananya LS ini tentunya karena adanya berbagai pihak yang berpartisipasi aktif dan membantu banyak dalam bentuk ide, materi, maupun dukungan dengan kehadirannya.

G. MANFAAT LESSON STUDY

Peneliti tertarik untuk melaksanakan LS dalam penelitiannya dikarenakan banyak manfaat yang dirasakan peneliti selama mengikuti 2 tahun LS di SD Anak Saleh ini. Selain itu juga, peneliti ingin menkaji

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 123

Pendahuluan mencakup latar belakang dan tujuan penelitian/penulisan

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggambarkan bagaimana peningkatan kualitas pembelajaran melalui kegiatan lesson study. Pendekatan yang digunakan dengan metode kajian literatur dan studi dokumentasi. Metode kajian literatur digunakan untuk memperkuat teori-teori tentang lesson study dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Studi dokumentasi dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana pelaksanaan lesson study yang dilakukan di sekolah penulis.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Lesson study merupakan suatu model pembinaan yang dilakukan oleh sekelompok guru dalam rangka meningkatkan kinerja guru menjadi lebih baik lagi dalam proses pembelajaran. Dalam proses lesson study, guru secara kolaboratif merancang skenario pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi, karakter, kebutuhan siswa, kemudian membelajarkan siswa dengan skenario tersebut (salah seorang sebagai guru model dan beberapa rekan sejawat yang lainnya sebagai pengamat), mengevaluasi dan merevisi skenario pembelajaran, membelajarkan lagi skenario pembelajaran yang sudah direvisi dan mendiseminasikan kepada guru-guru lain mengenai skenario pembelajaran yang sudah disempurnakan. Oleh sebab itu, lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Hal yang sama dikemukakan oleh Susilo (2006) menyatakan bahwa keutamaan dari lesson study adalah dapat meningkatkan keterampilan atau kecakapan dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru melalui kegiatan lesson study, yakni belajar dari suatu pembelajaran.

Alasan yang tepat dan mendasari bahwa dikatakan lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas belajar dan mengajar serta pelajaran di kelas, antara lain: (a) pengembangan lesson study dilakukan dan didasarkan pada hasil sharing pengetahuan profesional yang berlandaskan pada praktik dan hasil pengajaran yang dilaksanakan para guru; (b) penekanan mendasar pada suatu lesson study adalah para siswa memiliki kualitas belajar; (c) tujuan pelajaran dijadikan fokus dan titik perhatian utama dalam pembelajaran di kelas; (d) berdasarkan pengalaman nyata di kelas, lesson study mampu menjadi landasan bagi pengembangan pembelajaran. Kenyataan ini menggambarkan bahwa lesson study mampu mengubah proses pembelajaran menjadi lebih hidup, aktif, kreatif dan menarik. Proses ini terjadi karena guru mempersiapkan pembelajaran dengan baik dan semaksimal mungkin pada saat open class.

Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa tujuan utama Lesson Study antara lain untuk: (a) meningkatkan pengetahuan tentang materi ajar dan pembelajaran; (b) meningkatkan hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari-hari dengan tujuan

jangka panjang yang harus dicapai; (c) meningkatkan motivasi belajar baik guru maupun siswa untuk selalu berkembang; (d) meningkatkan kualitas rencana pembelajaran; (e) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (f) memperoleh hasil-hasil tertentu yang bermanfaat bagi para guru lainnya dalam melaksanakan pembelajaran; (h) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif; (i) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Catherine Lewis (2004) mengemukakan pula tentang ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang, yaitu:

1. Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa, pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.

2. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa.

3. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.

4. Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti

Berkenaan dengan tahapan dari lesson study, ada beberapa pendapat. Menurut Mulyana (2007)

Page 67: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

122 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study

Mohamad Tofan Hanib SMAN I Torjun, Sampang, Madura

[email protected]

 

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study. Data diperoleh dari kajian literatur tentang efektifitas lesson study. Dari penelitian sebelumnya mengungkapkan lesson study mampu meningkatan kualitas pembelajaran. Lesson study merupakan kegiatan pembinaan guru secara kolaboratif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kompetensi pendidik.

Kata kunci: Kualitas pembelajaran, Lesson Study

A. PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor guru, siswa, faktor kurikulum dan faktor lingkungan. Guru merupakan faktor penting yang turut menentukan baik tidaknya mutu pendidikan. Guru menjadi subjek utama yang secara langsung berinteraksi dengan siswa yang juga diposisikan sebagai subjek pendidikan. Dalam hal ini, guru menjadi ujung tombak dalam peningkatan mutu pendidikan.

Guru merupakan komponen yang berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas, perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung dari guru pula. Guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas pada proses pembelajaran. Guru mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan Nasional dibidang pendidikan sehingga profesi guru perlu diimbangkan sebagai tenaga profesi yang professional.

Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 2 ayat 1 menyatakan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan juga meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru mempunyai tugas dalam membelajarkan siswa, sehingga diharapkan seorang guru terus menerus belajar dan berupaya bagaimana membelajarkan siswanya lebih baik sesuai dengan perkembangan jaman yang terus berubah. Paradigma pembelajaran yang berkembang saat ini, siswa tidak dituntut sekedar menguasai pada aspek kognitif namun siswa dituntut untuk menguasai berbagai kecakapan hidup yang diperlukan untuk bekal siswa dimasa yang akan datang. Kecakapan hidup yang dirumuskan UNESCO dalam bentuk empat pilar pendidikan yaitu learnig to be, learning to know, learning to do, learning to live together (Delors, 1996)

Kualitas pendidikan di Indonesia menjadi isu topik yang selalu menjadi perdebatan dan tidak pernah berakhir pada titik penyelesaian permasalahan. Kualitas pendidikan di Indonesia apabila dibandingkan dengan beberapa negara-negara lainnya masih rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001;Siskandar 2003; Suyanto 2001). Menurut laporan dari United Nation Development Program (UNDP), Indonesia menempati peringkat ke-108 dari 187 negara pada tahun

2013, atau tidak mengalami perubahan dari tahun 2012. Posisi tersebut menempatkan Indonesia pada kelompok menengah. Skor nilai HDI Indonesia sebesar 0,684, atau masih di bawah rata-rata dunia sebesar 0,702. Peringkat dan nilai HDI Indonesia masih di bawah rata-rata dunia dan di bawah empat negara di wilayah ASEAN (Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand).

Saat ini, sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia antara lain perubahan dan perbaikan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan jaman, program pengembangan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), kerjasama dengan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK), proyek peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru dan berbagai program lainnya. Program pendidikan yang berkembang saat ini sering tidak sejalan dengan hakikat belajar dan pembelajaran. Dalam arti, pengemasan pendidikan belum sepenuhnya memperhatikan konsepsi belajar pembelajaran. Guru seyogyanya memperhatikan bagaimana siswa belajar dan guru mengajar, bukan semata-mata pada hasil belajar (Brook & Brook, 1993). Podhorsky & Moore (2006) menyatakan bahwa reformasi pendidikan hendaknya dimaknai sebagai upaya penciptaan program-program yang berfokus pada perbaikan praktik mengajar dan belajar, bukan semata-mata berfokus pada perancangan kelas dengan teacher proof curriculum.

Berdasarkan permasalahan kualitas pendidikan atau pembelajaran yang ada dan tuntutan profesionalisme seorang guru, maka diperlukan suatu upaya perbaikan dalam praktik pembelajaran. Salah satu yang bisa dikembangkan melalui kegiatan lesson study. Lesson study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson study bukanlah merupakan metode atau strategi pembelajaran tetapi suatu kegiatan pembelajaran secara menyeluruh yang dapat menggunakan metode atau strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap guru. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study. (Times New Roman 11, spasi 1,5, maksimal 2 halaman termasuk juga referensi-referensi yang diacu) Dalam

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 59

lebih dalam mengenai LS yang terus mengalami perbaikan ini guna meningkatkan mutu diri dan mutu pendidikan secara umum. Peneliti juga mempelajari bagaimana LS ini mampu memberikan banyak hal positif dalam pembelajaran seperti yang diungkapkan oleh beberapa peneliti sebelumnya.

Lewis, Perry, dan Murata dalam penelitiannya yang berjudul “ How Should Reseacrh Contribute to Instructional Improvement? The Case of Lesson Study” yang dilaksanakan pada tahun 2006 ini. Lewis dkk mengungkapkan 6 perubahan yang terjadi selama pelaksanaan LS. Beberapa inovasi yang dikembangkan dalam lingkaran (kelompok) interaksi yang merubah pola pikir bahwa penelitian pendidikan menjadi pengembangan pendidikan. Dengan kata lain tujuan awal penelitian pendidikan dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengembangkan pendidikan itu sendiri melalui kegiatan LS ini.

Cheung dan Wong (2014) dalam penelitiannya “Does Lesson Study Works? A Systematic Reveiw on The Effects of Lesson Study and Learning Study on Teachers and Students” pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa pencapaian tujuan pembelajaran adalah adanya hubungan timbal balik antara mengajar dan belajar. Belajar dengan menggunakan pendeketan LS ini memberikan prosedur dan implementasi seharusnya dalam proses pembelajaran. Dengan LS, pembelajaran lebih terkondisikan dan menghasilkan outcome yang menerapkan ingatan jangka pendek dan jangka panjang pada siswa, guru, dan sekolah dan berguna untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Fernandez (2002) menguatkan bahwa LS dapat mengajari kita tentang tujuan dari peningkatan pembelajaran yang terpusat atau dengan penggunaan evaluasi guru dalam proses pembelajaran. Fernandez dalam artikelnya “Learning from Japanese Approaches to Professional Development, The Case of Lesson Study” menjelaskan bahwa LS membantu guru untuk mengajar, melihat lebih dekat lagi kelas kita, dan mengembangkan berbagai langkah terbaik untuk peningkatan pembelajaran. Untuk itu jika kehilangan kesempatan untuk mengikuti LS maka kita harus membayar mahal (mengalami kerugian).

Fuji dan Takahashi (2015) menemukan bahwa LS mampu menjawab tiga pertanyaan yang mereka ungkapkan dalam penelitiannya. Pertanyaan yang sering muncul dalam benak mereka selalu adalah; pengetahuan apa yang dibutuhkan dalam pembelajaran yang terpisah-pisah?, guru merasa tidak nyaman ketika dikritik atau diberi masukan, bagaimana mengatasinya?, dan apa yang seharusnya dipelajari peserta didik?. Pertanyaan pertama terjawab dengan adanya pelaksanaan perencanaan dari tahapan LS ini. Pada perencanaan, tim LS mengkaji ulang pengetahuan yang dibutuhkan siswa dan bagaimana cara melaksanakannya. Interaksi yang bagaimanakan yang memberikan kesempatan peserta didik untuk berpikir kritis. Selanjutnya bagaimana dengan mengatasi ketidaknyamanan guru yang telah bekerja keras mengajar peserta didik namun masih harus dikritik.

Untuk itu, LS memberikan kesempatan kepada guru itu sendiri untuk merefleksi dirinya sebelum mendapatkan masukan dari yang lain. Pengamatpun tidak diarahkan untuk mengkritik guru “apa kesalahannya?” namun dianjurkan untuk mengkritisi “Apa yang belum atau tidak dipelajari oleh siswa?”. Fokus dari refleksi adalah tingkat pencapaian siswa bukan guru semata.

Dalam hasil penelitiannya, Fuji dan Takashi (2015) juga mengungkapkan bahwa guru terkadang tidak mampu mengantisipasi respon peserta didik atas keputusan dan sikap guru dalam memberikan materi. Namun melalui LS ini ada banyak masukan dan pendapat yang dapat menjadi penyelesaian jikalau terjadi siswa yang begini maka guru harus bersikap ini, jika ada peserta didik yang ngantuk maka sikap guru harus mencoba mengubah teknik pengajarannya dan sebagainya. Menurut Fuji dan Takashi, melalui LS pertanyaan-pertanyaan tersebut terpecahkan dengan sendirnya. Adanya tim dan pelaksanaan yang sesuai akan mampu mengatasi problematika guru dalam proses pembelajaran yang lebih baik.

Berbeda dari sudut pandang Suratno dkk (2010) yang menemukan bahwa kegiatan LS berbasis sekolah dapat memberikan pelajaran pada guru untuk dapat memberikan para guru terkait dengan perangkat pembelajaran. LS memgarahkan para guru untuk mendapatkan pemahaman luas mengenai pengajaran, materi yang diajarkan dan proses pembelajarannya, guru juga diarahkan untuk merancang bahan ajar, strategi pembelajaran, setting kelas, dan berbagai hal lainnya dengan pertimbangan akan tingkat perkembangan dankebutuhan peserta didiknya. Melalui LS dapat memberikan pemahaman hakikat dan pengajaran yang sesungguhnya.

Dari hasil penelitian tersebut di atas maka peneliti memahami banyak hal yang didapatkan melalui kegiatan LS. Peneliti akan menerapkan pembelajaran saintifik melalui LS. Beberapa manfaat dari LS diantaranya sebagai berikut:

a. Lewis (dalam Istamar dan Ibrahim, 2008:35) mengungkapkan bahwa dua manfaat utama dalam pelaksanaan LS adalah meningkatkan keprofesioanalan seorang guru dan mutu pembelajaran di kelas.

b. Wang-Iverson & Yoshida (dalam Istamar dan Ibrahim, 2008:35) menjelaskan bahwa LS memberikan manfaat dianratanya: i. Mengurangi isolasi guru.

ii. Membantu guru dalam belajar mengobservasi dan memberi saran

iii. Membuat guru lebih memahami kurikulum, urutan, dan kedalaman materi.

iv. Membantu guru untuk menolong peserta didik belajar.

v. Memahami bagaimana proses berpikir dan belajar peserta didik.

vi. Meningkatkan kolaborasi antar guru dan mengaplikasikan bagaimana penghormatan dan penghargaan satu sama lain.

c. Imarotul Muhibbah (Guru Sekolah Dasar Anak Saleh) selaku koordinator LS sekolah tersebut

Page 68: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

60 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

menyatakan bahwa melalui LS banyak hal yang didapatkan guru dan peserta didik, diantaranya: peserta didik mendapatkan hak yang seharusnya selama proses pembelajaran, guru dapat menggali lebih dalam kemampuan peserta didik, guru mendapatkan pemahaman kebutuhan peserta didik, terciptanya lingkungan positif dalam komunitas belajar, dan belajar bagaimana merefleksi diri bukan menyalahkan orang lain sebagai alasan kegagalan diri sendiri.

d. Peneliti sendiri sebagai pelaku merasakan bagaimana peningkatan yang didapatkan dalam pelaksanaan LS ini bagi dirinya dan peserta didik khsususnya dan para guru dari berbagai sekolah lain yang tergabung dalam LS ini, yakni: tergalinya bakat diri yang terpendam selama ini dengan adanya masukan dari pengamat, komunitas memberikan banyak inspirasi bagi peneliti selama kegiatan refleksi dan diskusi, peneliti semakin termotivasi untuk belajar lagi dan lagi bagi peningkatan mutu pembelajarannya, dan belajar bagaimana mengamati yang seharusnya.

H. DAFTAR RUJUKAN

Chatib, M. 2009. Sekolahnya Manusia. Sekolah Berbasis Multiple Intelegences di Indonesia.Bandung: Kaifa.

Cheung, W. M. dan Wong, W. Y. 2014. Does Lesson Study Work?: A Systematic Reveiw on The Effects of Lesson Study and Learning Study on Teachers and Students. (online), ( http://dx.doi.org/10.1108/IJLLS-05-2013-0024.) Diakses pada tanggal 21 Februari 2016.

Crane, W. 2007. Teori Perkembangan. Konsep dan Aplikasi. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

EFA Global Monitoring Report. 2014. Teaching and Learning : Achieving Quality for All. France: UNESCO.

Fernandez, C. 2002. Learning From Japanese Approaches to Professional Development. The Case of Lesson Study. (online), (jle.sagepub.com.) Diaskes pada tanggal 21 April 2016.

Fuji, T. dan Takahashi, A. 2015. Improving Teacher Professional Development Through Lesson Study. “proceeding of the 12th International Congress on Mathematical Education. (online), (DOI 10.1007/978-3-319-12688-3_69). diaskes pada tanggal 22 Maret 2016.

Hudson, P. Learning to Teach in the Primary School. USA: Cambrige University Press.

Ibrohim dan Syamsuri, I. 2008. Lesson Study (Studi Pembelajaran). Malang: FMIPA UM.

Juwairiah. 2010. Profesionalisme Guru Melalui Lesson Study. Materi diklat. Balai Diklat Keagamaan Medan. (online), (http://sumut.kemenag.go.id.) diakses pada tanggal 11 Januari 2016.

Kamus Bahasa Indonesia. https://www.kamusbesar.com/pemahaman. Diakses tanggal 25 April 2016.

Lewis, C., Perry R., dan Murata, A. 2006. How Should Research Contribute to Instructional Improvement? The Case of Lesson Study. Jurnal Educational Researcher. Vol. 35 No. 3, pp 3-14. (online), (http://er.aera.net.) Diakses tanggal 21 April 2016, pukul 09.15.

Mahmudi, A. 2006. Lesson Study. Makalah disampaikan pada Pelatihan Lesson Study di Bantul, Yogyakarta.

Majid, A. 2014. Pembelajaran Tematik Terpadu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mudiono, A. 2010. “Pengembangan Bahan Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar”. Malang: FIP UM.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mulyasa, E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosda Karya.

PIRLS. 2011. PIRLS 2011 International Result in Reading. Boston: TIMSS and PIRLS.

Prastowo, A. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Tematik. Jakarta: Kencana.

Prastowo, A. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogjakarta: Diva Press.

Santyasa, I. 2005. Pengembangan Teks Fisika Bermuatan Model Perubahan Konseptual dan Komunitas Belajar serta Pengaruhnya Terhadap Perolehan Kompetensi Siswa. Laporan Penelitian.

Smaldino, S.E., Lowther, D.L., dan Russel, J.D. Intructional Technology & Model for Learning. Jakarta: Kencana Pernada Model Group.

Suratno, T. Agus. Murniasih. dan Sholahuddin. 2010. Implementasi Lesson Study pada Pengajaran Deret Aritmatika di Sekolah Avicenna Yogyakarta. Makalah Pembinaan LS. Bandung: UPI

Syamsuri, I. 2007. Lesson Study. Malang: FMIPA UM.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 121

atau memahami teori, tapi dalam hal ini mereka mampu mengaplikasikan dalam pengetahuan yang mereka peroleh kedalam dunia nyata yang tentunya akan bisa menjadi bekal untuk menghadapi kehiduapan dimasa sekarang dan akan datang

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Model pembelajaran Search, Solve, Create, Share (SSCS) jika diterapkan dalam pembelajaran geografi akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam melatih siswa untuk berpikir kritis. Namun ketika akan menerapkanya tentu seorang guru harus memikirkan dan merancang pengalaman belajar yang harus disajikan kepada siswa baik secara individu maupun kelompok, dan dalam melaksanakan ini guru harus benar benar menguasai materi dan model pembelajaran itu sendiri yang tercermin dalam tiap fase model pembelajaran SSCS. Selain itu pada tahap refleksi hendaknya mampu mengubah pengalaman belajar siswa menjadi sebuah pengetahuan yang aplikatif.

Peran seorang guru dalam kegiatan pembelajaran sangat penting dalam mengantarkan peserta menyambut masa depan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat yang disesuaikan dengan materi dan kondisi akademik siswa merupakan salah satu upaya untuk menciptakan situasi pembelajaran yang membuat siswa merasa nyaman dan lebih giat untuk belajar.

D. DAFTAR PUSTAKA

Elder, Linda (2007). Our concept of critical Thinking. Foundation for Critical Thinking. Diakses melalui http://www.critical thinking.org pada 16 September 2016

Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. (online). (http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf), diakses 25 September 2016.

Fischer, Alec. 2009 Berpikir Kritis Sebuah Pengantar Jakarta: Erlangga

Gulo. 2005. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Grasindo.

Irwan. 2011. Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search, Solve, Create and Share (SSCS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Matematika. Skripsi. Padang: Universitas Negeri Padang.

Kimiero. 2013. Model pembelajaran Search, Solve, Create and Share. Tersedia di http://kimlemoet.wordpress.com/2013/04/24/model-pembelajaran-search- solve-create-and-share-sscs/ (diakses 11 Agustus 2016).

Kistiyanto, M.S. 2013.Pelaksanaan Pembelajaran Geografi Menurut Kurikulum2013. (online), (http://marhadi.ilmusosial.com/pelaksanaan-

pembelajaran- geografi-menurut-kurikulum-2013/), diakses 14 Agustus 2016.

Mauladana Naning. 2014. Pengaruh Strategi Pemecahan Masalah Tipe Search, Solve, Create and Share (SSCS) terhadap Penguasaan Konsep Fisika dan Kemampuan Berpikir Kritis SiswaKelas XI SMA. Tesis tidak diterbitkan. Malang. Universitas Negeri Malang.

Sofianti Anita, 2013. Penerapan Model Pembelajaran Search, Solve, Create, Share SSCS untuk meningkatkan pemahaman konsep peserta didik kelas X IPS 1 SMA Negeri 4 Bandung. Tesis tidak diterbitkan. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumarmi. 2012 Model-Model Pembelajaran Geografi . Malang Aditya Publishin

 

Page 69: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

120 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

pembelajaran menjadi salah satu upaya dalam mengembangkan kemampan berpikir kritis siswa. Salah satu model pembelajaran yang dinilai tepat untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis adalah model pembelajaran SSCS (Search, Solve,Create, and Share).

Model pembelajaran Search Solve Create Share (SSCS) adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah dan dirancang untuk mengembangkan dan menerapakan konsep-konsep ilmu pengetahuan dan keterampilan berpikir kritis. Penggunaan model ini membantu guru dalam menggambarkan pemikiran yang kreatif.

Model SSCS melibatkan siswa dalam mengeksplorasi situasi yang baru, mengingat pertanyaan yang menarik, dan memecahkan masalah yang realistis. Dengan menggunakan model SSCS siswa akan menjadi lebih aktif dalam penerapan isi, konsep dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Pizinni, 1996).

Model SSCS adalah model pembelajaran yang efektif, praktis, dan mudah untuk digunakan. Model SSCS terdiri dari 4 fase yakni Search, Create, and Share. Pada fase Search, siswa mencari pertanyaan dan masalah-masalah mengenai topik atau materi yang ingin diselidiki. Pada fase Solve, siswa merancang untuk memecahkan pertanyaan maupun permasalahan yang diperoleh pada fase sebelumnya. Pada fase Create, siswa menganalisis dan menginterpretasikan data yang mereka peroleh kemudian menciptakan sarana untuk mengkomunikasi hasil temuan mereka. Dan pada fase Share, siswa menyampaikan dan mengevaluasi hasil temuan mereka.

Model pembelajaran dengan pendekatan problem solving, didesain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan pemahaman tentang konsep ilmu. Dengan pembelajaran ini siswa akan belajar secara berkelompok yang akan membuat muncul ide baru dan keinginan untuk belajar yang lebih besar untuk menemukan informasi yang baru.

Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Search, Solve, Create, Share (SSCS)

Kelebihan model pembelajaran yang dikemukakan oleh L. Pizzini 1996 adalah sebagai berikut: 1. Model SSCS mempunyai keunggulan dalam

upaya merangsang para siswa untuk menggunakan perangkat statistik sederhana dalam mengadministrasikan data atau fakta hasil pengamatan studinya

2. Model SSCS membuat studi konteks pada perkembangan dan menggunakan kemampuan berpikir yang lebih tinggi dan hasil yang lebih penting pada kemampuan berpikir mentransfer dari suatu ruang lingkup pelajaran ke yang lain.

3. Dapat menimbulkan minat siswa secara lebih luas.

4. Dapat melibatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dalam pelajaran.

5. Meningkatkan pemahaman antara sains teknologi dan masyarakat dengan memfokuskan pada masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan beberapa kekurangan atau kelemahan model pembelajaran Search, Solve, Create, Share (SSCS) menurut Zain (2006) diantaranya : 1. Menentukan suatu masalah yang tingkat

kesulitanya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya, serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan ketrampilan guru

2. Proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran Search, Solve, Create, Share (SSCS) sering memerlukan waktu yang cukup lama

3. Mengubah kebiasaan siswa belajar sekedar mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang model pembelajaran SSCS adalah

Anita Novianti (2013) dari hasil analisis data menunjukkan SSCS dapat meningkatkan pemahaman konsep materi hakekat geografi pada siswa kelas X IPS 1 SMA Negeri 4 Bandung.

Penelitian lain yang mendukung model pembelajaran SSCS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dilakukan oleh oleh Naning Mauladana (2014) Pengaruh Strategi Pemecahan Masalah Tipe Search, Solve, Create and Share (SSCS) terhadap Penguasaan Konsep Fisika dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMA Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan antara siswa yang belajar dengan model SSCS dan siswa yang belajar dengan konvensional. Selain itu, siswa yang belajar dengan model SSCS mempunyai penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan konvensional.

Dalam jurnal Bioedukasi Uinsuka (2011) Pengaruh Model Pembelajaran Search Solve Create And Share (SSCS)dan Problem Based Instruction (PBI)Terhadap Prestasi Belajar dan Kreativitas Siswa. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, aplikasi model pembelajaran SSCS (kelas eksperimen) dan model pembelajaran PBI (kelas kontrol) diketahui bahwa Hasil belajar siswa pada ranah kognitif untuk kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol

Model pembelajaran SSCS juga dapat meningkatkan semangat, motivasi belajar dan berpikir kritis tentunya, hal ini karena siswa secara langsung terlibat dalam memecahkan permasalahan baik secara individu maupun kelompok. Siswa akan berpartisipasi untuk menemukan sesuatu serta mengambil tindakan solusi yang tepat untuk penyelesaian suatu masalah. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa pentingnya guru untuk menentukan model pembelajaran yang tepat yang disesuaikan dengan materi dan keadaan peserta didik.

Kegiatan pembelajaran akan semakin bermakna ketika seorang guru mampu mengajak siswanya untuk berpikir kritis sehingga siswa dalam kegiatan belajar mengajar bukan sekedar menghafal

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 61

Trianto. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta. Prestasi Pustaka Publisher.

Yuliaelawati. E. 2002. Karakteristik Pembelajaran MIPA berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. Disajikan pada Seminar Pembelajaran MIPA di IKIP Negeri Singaraja. Bali. 21Desember 2002

 

   

Page 70: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

62 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) untuk

Meningkatkan Aktifitas dan Hasil Belajar Hukum Konstitusi Mahasiswa Jurusan

PPKn

Dr. I Nengah Suastika, M.Pd.

A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu sektor penting yang harus diperhatikan oleh suatu bangsa, karena pada hakikatnya pendidikan merupakan proses untuk membangun manusia dalam mengembangkan dirinya agar dapat menghadapi segala perubahan dan permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan pembelajaran, suasana belajar, dan proses belajar yang membantu peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sendiri. Dosen merupakan tenaga pendidik yang secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, guru seharusnya senantiasa berinovasi dalam kegiatan belajar-mengajar, agar terwujud pembelajaran yang optimal dan efektif. Apabila model pembelajarannya inovatif, tidak monoton, mengaktifkan mahasiswa, dan menyenangkan, tentunya membuat hasil belajar mahasiswa menjadi meningkat. Begitu juga sebaliknya, bila model pembelajaran yang digunakan monoton, membosankan, dan tidak mengaktifkan mahasiswa, tentu membuat kurangnya keaktifan akan berdampak pada rendahnya hasil belajar.

Mata kuliah Hukum Konstitusi merupakan mata kuliah inti yang wajib diberikan bagi mahasiswa. Dalam konteks kurikulum di Perguruan Tinggi khususnya Jurusan PPKn FIS Undiksha. Keberadaan mata kuliah Hukum Konstitusi mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam penyelenggaraan bernegara Indonesia yang didasarkan pada suatu konstitusi. Konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara, dasar-dasar penyelenggaraan bernegara didasarkan pada konstitusi sebagai hukum dasar. Oleh karena itu, perkembangan minat dan kemampuan mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Konstitusi sangat menarik untuk diperhatikan.

Berdasarkan hasil observasi awal yaitu pada penyajian kompetensi dasar “Mendeskripsikan Faktor-faktor Daya Ikat Konstitusi dalam Kehidupan Bernegara”, telah dilakukan proses pembelajaran sesuai dengan sintaks pembelajaran. Untuk Kelas 2A, dari hasil quis harian maupun pengamatan terhadap minat mahasiswa didapatkan data yang kurang menggembirakan. Dari keseluruhan mahasiswa yang berjumlah 27 orang, yang berdasarkan rekapitulasi data di SIAK (sistem informasi akademik kampus) nilai mahasiswa sejumlah 10 orang atau berkisar 60,48% dari jumlah mahasiswa. Adapun pada mata kuliah Hukum Konstitusi ditetapkan nilai memenuhi standar kelulusan dengan kriterian baik sebesar 78. Jumlah nilai rata-rata mahasiswa juga tergolong kurang yaitu di bawah kriteria, yaitu nilai 69,8.

Pembelajaran Hukum Konstitusi perlu diterapkan strategi pembelajaran yang dapat memacu mahasiswa untuk belajar sendiri dan mengerjakan tugas untuk mendapatkan pengetahuan sendiri. Hal ini dikarenakan dalam proses pembelajaran yang diterapkan selama ini mahasiswa kurang termotivasi untuk berusaha menemukan sendiri pemecahan suatu masalah. Mahasiswa hanya menerima apa yang diberikan oleh dosen dan melaksanakan apa yang diminta oleh dosen, akibatnya mahasiswa kurang percaya diri dalam memecahkan suatu masalah ataupun mengeluarkan ide-ide atau pendapat dalam diskusi kelas. Hal ini menyebabkan mahasiswa enggan mengerjakan tugas dan lebih senang menunggu jawaban yang sudah jadi tanpa memperhatikan prosesnya.

Pemilihan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi mahasiswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang dosen untuk meningkatkan hasil yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa dosen dalam memilih metode mengajar akan berpengaruh terhadap keberhasilan hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran. Karena cara mengajar dan proses pembelajaran yang digunakan oleh dosen berpengaruh besar terhadap kualitas proses belajar mengajar yang dilakukannnya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dipandang perlu untuk mencari jalan keluar agar fenomena seperti ini tidak berkelanjutan sehingga akan mengakibatkan proses pembelajaran tidak dapat berjalan dengan lancar.

Setiap mahasiswa memiliki suatu kondisi internal yang berbeda antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain, di mana kondisi internal tersebut sangat berperan dalam pemantapan disiplin pada aktivitas mahasiswa sehari-hari. Salah satu dari kondisi internal mahasiswa tersebut dapat menggerakkan seseorang dalam bertingkah laku dan diharapkan seseorang tersebut melakukan sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Begitu pula dapat mempengaruhi mahasiswa dalam pemahaman pelajaran di kelas dan hasil belajar dari pada mahasiswa di akhir dalam proses belajar mengajar. Untuk itu sebuah dorongan positif yang akan menggerakkan dan mengarahkan mahasiswa sehingga akan berdampak bagi pemahaman hasil belajar mahasiswa di kelas.

Beberapa permasalahan yang teridentifikasi di kelas 2A Jurusan PPKn FIS Undiksha secara umum adalah kurang motivasi mahasiswa untuk belajar atau mengikuti mata kuliah Hukum Konstitusi di kelas mengakibatkan hasil belajar mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn masih rendah. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti mengamati dorongan belajar mahasiswa masih rendah. Hal tersebut dapat

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 119

dengan menggunakan peralatan-peralatan laboratorium,bekerjasama dengan orang lain.

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

Salah satu ketrampilan geografi (geographycal skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir perlu dilatih dan dikembangkan karena semakin baik kemampuan berpikir siswa maka semakin baik pula cara siswa dalam menyikapi suatu permasalahan yang terjadi dalam kehidupan nyata nantinya. Salah satu kecakapan hidup yang perlu dikembangkan adalah kemampuan berpikir kritis.

Berpikir kritis merupakan pola pikir yang melibatkan proses menganalisa dan mengevaluasi suatu informasi melalui pengamatan, pengalaman dan komunikasi (Arjanto:2010). Dalam kegiatan pembelajaran seharusnya siswa tidak hanya menerima informasi begitu saja, melainkan dengan mendiskusikanya sehingga diharapkan mereka bisa menilai suatu informasi dan memecahkan masalah dengan tepat dan ilmiah.

Berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk membuat sebuah kesimpulan dan memutuskan apa yang seharusnya dipercaya atau dilakukan (Ennis, dalam Fischer 2009:4). Pemikir kritis ideal memiliki kemampuan untuk: 1) menjelaskan, yang dapat dilakukan melalui mengidentifikasi masalah atau pertanyaan, menganalisis argumen, mengklarifikasi pertanyaan atau argumen yang bertentangan dan mengidentifikasi istilah. 2) menilai dasar keputusan, dapat dilakukan melalui menilai kredibilitas sumber dan menilai laporan observasi. 3) menduga, dapat dilakukan melalui mengidentifikasi asumsi tak tertulis, menyimpulkan dan menilai keputusan, membuat deduksi atau induksi. 4) Membuat pengandaian dan mengintegrasikan kemampuan. 5) peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan derajat kelebihan orang lain.(Kuswana, 2012)

Menurut Sumadi (2002) terdapat 3 langkah dalam kegiatan berpikir yaitu 1) pembentukan pengertian, yaitu menganalisis ciri-ciri dari sejumlah objek yang sejenis, 2) pembentukan pendapat, yaitu meletakkan antara dua buah pengertian atau lebih, 3) pembentukan keputusan atau penarikan kesimpulan yaitu hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah ada.

Elder (2007) mengungkapkan lima ciri seseorang yang memiliki ketrampilan berpikir kritis yaitu: a) dapat memunculkan pertanyaan dan masalah yang penting dan merumuskanya dengan jelas dan tepat, b) dapat mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan serta menggunakan ide ide abstrak untuk menafsirkanya secara efektif, c) dapat menyimpulkan dan memberi solusi yang baik dan mengujinya berdasarkan kriteria dan standar yang relevan, d) memiliki keterbukaan pemikiran terhadap pemikiran, pengakuan dan nilai lain, e) dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain untuk memecahkan masalah yang kompleks.

Berpikir kritis adalah salah satu bentuk dari berfikir tingkat tinggi yang dibutuhkan dalam hal memahami masalah geografi, karena dengan pemikiran kritis, siswa berusaha menemukan hubungan antar komponen sehingga diketahui penyebab untuk kemudia

dirumuskan solusi yang tepat sesuai konteks wilayah. Geografi mempelajari persamaan dan perbedaan geosfer yang ada di bumi. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan pembelajaran geografi yang kontekstual adalah siswa diajak menggunakan berfikir tingkat tinggi seperti kemampuan berfikir kritis, analitis dan kreatif ( The Notheast Regional Education Laboratory) (Sumarmi:2012).

Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, selalu ingin tahu berdasarkan fakta dan pengetahuan yang logis, karena mereka tidak puas dengan informasi yang diterima.

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BERFIKIR KRITIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SSCS

Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk diajarkan dan dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat beberapa hasil penelitian masih mengidentifikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia.

Hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Fachrurazi, 2011) terhadap 16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan hasil tes mata pelajaran matematika sangat rendah, terutama pada soal cerita matematika. Soal cerita termasuk pada ranah kognitif tingkat aplikasi (C3). Kemampuan aplikasi merupakan bagian dari ranah kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi.

Masih rendahnya kemampuan berpikir kritis juga ditunjukkan dari hasil penelitian Mayadiana (Fachrurazi, 2011) bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Hal serupa juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Maulana (Fachrurazi, 2011) bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran, guru hendaknya tidak hanya menekankan pada hafalan-hafalan materi saja, tetapi juga penting untuk memfasilitasi dan melatih siswa agar kemampuan berpikir kritis mereka dapat berkembang dengan baik, serta mengajak siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran.

Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui mata pelajaran geografi karena dalam mata pelajaran ini siswa tidak hanya dituntut untuk mampu menghafal konsep melainkan juga mampu menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan dari suatu fenomena yang ada di sekitar mereka. Idealnya, proses pembelajaran geografi adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kompetensi inti (KI) pembelajaran geografi (Kistiyanto,2013)

Kemampuan berpikir yang pada dasarnya telah dimiliki oleh siswa akan bisa berkembang dengan baik apabila dalam setiap proses pembelajaran mampu memberikan stimulus kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis secara alami. Model pembelajaran yang tepat untuk proses

Page 71: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

118 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

lebih tajam. Model pembelajaran yang diterapkan untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara kritis oleh siswa harus dengan model pembelajaran yang tepat.

Salah satu model yang tepat adalah model SSCS(Search, Solve, Create, and Share). Model pembelajaran SSCS adalah model yang memakai pendekatan problem solving, didesain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan pemahaman terhadap konsep ilmu (Baroto, 2009).Model SSCS melibatkan siswa dalam menyelidiki Sesuatu, membangkitkan minat bertanya serta memecahkan masalah-masalah yang nyata.

Pada penerapan model pembelajaran SSCS terdapat empat fase yang berbeda yaitu fase Search, fase Solve, fase Create dan fase Share. Fase search merupakan fase yang menyangkut ide-ide yang mempermudah dalam mengidentifikasi masalah. Fase solve berpusat pada permasalahan spesifik yang telah ditetapkan pada fase search dan mengharuskan siswa untuk menghasilkan serta menerapkan rencana mereka untuk memperoleh suatu jawaban. Pada fase create siswa diharuskan untuk menghasilkan suatu jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan, membandingkan data dengan masalah, melakukan generalisasi, bahkan jika perlu melakukan modifikasi. Fase terakhir dari model pembelajaran ini adalah fase share, prinsip dasar fase share adalah untuk melibatkan siswa dalam mengkomunikasikan jawaban terhadap permasalahan atau jawaban pertanyaan, serta menghasilkan kembali pertanyaan untuk diselidiki pada kegiatan lainya.

Geografi merupakan salah satu mata pelajaran yang membutuhkan kemampuan berpikir kritis dalam setiap pembelajaranya. Hal ini sesuai dengan objek material yang menjadi kajian geografi sangat luas yaitu meliputi geosfer terdiri dari aspek manusia dan aspek fisik. Aspek yang dikaji tidak saja pada case (kasus) tapi sudah meningkat pada cause (hubungan sebab akibat) (Astina, 2004). Dalam proses penyampaian materi tidak hanya menekankan penguasaan konsep saja, tetapi juga dapat menganalisis permasalahan geosfer. Menganalisis permasalahan geosfer dilakukan mulai dari mengidentifikasi masalah, hingga menetapkan solusi untuk memecahkan permasalahan. Proses tersebut membutuhkan kemampuan berpikir siswa yang lebih kompleks yaitu kemampuan berpikir kritis. Hal tersebut bertujuan supaya materi geografi mudah dipahami dan menjadi bermakna, sehingga bermanfaat untuk pengetahuan siswa di masa yang akan datang.

Dengan berfikir kritis, siswa dapat mengevaluasi pemikiran mereka sendiri serta mengubah perilaku pemikiranya. Mereka harus tahu bagaimana menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Pernyataan ini didukung oleh (Wulandari:2014) bahwa setiap orang membutuhkan kemampuan berpikir kritis agar dapat mengatasi masalah dengan baik. Siswa yang dapat berpikir kritis akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, selalu ingin tahu berdasarkan fakta dan pengetahuan yang logis karena mereka tidak mudah percaya dengan informasi yang diterima.

Secara rinci aktifitas dalam model pembelajan SSCS setiap fasenya akan dijelaskan dalam Tabel 2.1. berikut. Tabel 2.1. Aktivitas Siswa pada Setiap Fase

Fase Kegiatan yang dilakukan

Search 1. Memahami soal atau kondisi yang diberikan kepada siswa,

yang berupa apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui, apa yang ditanyakan.

2. Melakukan observasi dan investigasi terhadap kondisi tersebut,

3. Membuat pertanyaan-pertanyaan kecil,

4. Serta menganalisis informasi yang ada sehingga terbentuk

sekumpulan ide.

Solve 1. Menghasilkan dan melaksanakan rencana untuk mencari solusi

2. Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif, membentuk hipotesis

yang dalam hal ini berupa dugaan jawaban.

3. Memilih metode untuk memecahkan masalah

4. Mengumpulkan data dan menganalisis

Create 1. Menciptakan produk yang berupasolusi masalah berdasarkan dugaan yang telah dipilih pada fase

sebelumnya,

2. Menguji dugaan yang dibuat apakah benar atau salah,

3. Menampilkan hasil yang sekreatif mungkin dan jika perlu

Share 1. Berkomunikasi dengan guru dan teman sekelompok dan

kelompok lain atas temuan, solusimasalah. Siswa dapat

menggunakan media rekaman, video,poster, dan laporan

2. Mengartikulasikan pemikiran mereka, menerima umpan balik dan mengevaluasi

solusi.

Sumber: Pizzini, Abel dan Shepardson dikutip oleh Irwan (2011)

Keunggulan model pembelajaran SSCS menurut Pizzini sebagaimana yang dikutip oleh Kimiero (2013) adalah sebagai berikut. 1. Bagi pengajar: dapat melayani minat siswa

yang luas, dapat melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran, melibatkan semua siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, meningkatkan pemahamanatara sains teknologi dan masyarakat dengan memfokuskan pada masalah- masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari.

2. Bagi pelajar/mahasiswa: kesempatan untuk memperoleh pengalaman langsung pada proses pemecahan masalah, kesempatan untuk mempelajari dan memantapkan konsep-konsep dengan cara yang lebih bermakna, mengolah informasi,menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan metode ilmiah

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 63

diamati dari indikator yang dihasilkan atau ditimbulkan oleh mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn yaitu: (1) tidak ada dorongan internal dan eksternal pada mahasiswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, (2) tidak ada hasrat dan keinginan untuk berhasil, (3) tidak ada dorongan dan kebutuhan dalam belajar di kelas.

Menurut pengamatan dari hasil observasi awal tersebut, dapat dikatakan hasil belajar mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn masih rendah dan kurang optimal perlu kiranya untuk ditingkatkan agar bisa memenuhi standar kelulusan dengan fredikat baik dan hasil yang lebih bagus dari sebelumnya. Melihat hal tersebut, teridentifikasi indikator yang menunjukkan hasil belajar yang kurang dari mahasiswa dan perlu ditingkatkan yaitu: (1) nilai mahasiswa rendah sehingga belum memenuhi kreteria kelulusan, (2) tujuan pembelajaran yang belum tercapai, (3) hasil nilai ulangan harian mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn yang kurang jika dibandingkan dengan mahasiswa lainnya di kelas 2B Jurusan PPKn masih jauh perbandingannya, dan (4) tentunya hasil belajar mahasiswa yang belum optimal. Permasalahan ini terjadi tidak hanya disebabkan oleh mahasiswa saja melainkan juga disebabkan oleh faktor-faktor lainnya. Salah satunya adalah dosen, dosen dalam menyiapkan materi dipandang perlu untuk menyesuaikan dengan keadaan mahasiswa agar penyempaian materi dapat diserap dengan baik.

Hal yang lebih merisaukan adalah hasil belajar yang tidak mencapai hasil yang optimal. Dari hasil evaluasi tersebut, saat dikonfirmasi, mahasiswa menyatakan kurang berminat belajar Hukum Konstusi karena harus menghafal konsep-konsep yang luas dan cukup membosankan. Selain permasalahan tersebut, pada observasi awal terhadap mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah ditemukan masalah-masalah sebagai berikut. Pertama, berdasarkan pengisian angket oleh 27 orang mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn, disimpulkan hal sebagai berikut: 1) dari segi kesulitan, 17 orang atau 72,3% mahasiswa menganggap mata kuliah Hukum Konstitusi sulit karena materinya yang luas, menghafal konsep-konsep yang luas, serta pelajaran yang membingungkan. 2) dari segi kejenuhan, 14 orang atau 69,7% mahasiswa menyatakan merasa bosan dengan metode mengajar yang sama terus menerus, yaitu selalu mengerjakan peta konsep. 3) dari segi pelaksanaan pembelajaran, 23 orang atau 89,7% mahasiswa menginginkan Hukum Konstitusi agar berlangsung lebih menyenangkan yaitu dengan menyelipkan permainan-permainan yang mendidik agar pelajaran tidak terkesan menegangkan.

Kedua, berdasarkan hasil kroscek di kelas, didapatkan kesan dari bahwa permasalahan utama mahasiswa dalam mempelajari Hukum Konstitusi adalah kemalasan mahasiswa untuk membaca literatur menunjukkan kelemahan aspek disiplin mahasiswa. Padahal bahan acuan yang digunakan sudah cukup, setiap mahasiswa sudah dianjurkan untuk memiliki atur rujukan sebagai pegangan. Hal ini didukung dari pihak mahasiswa, 18 orang dari 27 jumlah mahasiswa atau 60% mahasiswa menyatakan kurang berminat untuk membaca buku.

Ketiga, dosen kurang menerapkan variasi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Hal ini menimbulkan kecenderungan sebagaian besar mahasiswa merasa bosan dalam mengikuti perkuliahan. Kesan ini terlihat

dari adanya sebagian mahasiswa yang kurang memperhatikan pelajaran. Indikatornya antara lain: mahasiswa asik berbicara dan bercanda dengan teman sebangku, atau melakukan aktifitas yang tidak berhubungan dengan pembelajaran yang diikuti.

Keempat, kurang terjalin interaksi yang baik antara dosen dan mahasiswa pada saat perkuliahan berlangsung. Kelima, dosen mata kuliah Hukum Konstitusi mangakui masih mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan K13. Kesulitan yang dihadapi khususnya dalam jenjang Perguruan Tinggi terutama dalam upaya pengembangan keterpaduan pencapaian kompetensi sesuai visi, misi, dan tujuan mata materi kuliah.

Keenam, dosen memang merasa sulit untuk “memintarkan” seluruh mahasiswa. Hal ini karena setiap mahasiswa mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda, sehingga boleh jadi ada yang sejalan dengan gaya mengajar dosen dan ada pula yang tidak. Untuk itu diperlukan variasi pola mengajar yang tidak hanya menggantungkan pada peran dosen semata. Disinilah metode brainstorming dapat memegang peranan sebagai mitra bagi guru dan temannya untuk mencapai kesuksesan bersama.

Menurut pengamatan yang dilakukan peneliti melalui observasi kelas pada saat mata kuliah Hukum Konstitusi Kelas 2A Jurusan PPKn, keaktifan mahasiswa kelas 2A masih kurang, hal itu berdampak pada prestasi belajar yang rendah. Hal ini ditunjukkan dari pencapaian

nilai ulangan harian mahasiswa kelas 2A pada mata kuliah Hukum Konstitusi yang kurang optimal dibandingkan kelas 2B Jurusan PPKn.

Tabel 1 : Daftar Nilai Rata-rata Nilai Quis Mata Kuliah Hukum Konstitusi Kelas 2 Jurusan PPKn FIS Undiksha

Tahun Ajaran 2014/2015

Kelas 2A 2B Nilai Rata-rata 69,8 79,2

(Sumber : Data Sekunder 2014/2015). 

Data di atas, dapat diketahui bahwa kelas 2A Jurusan PPKn merupakan kelas yang rendah prestasinya daripada kelas2B Jurusan PPKn. Berdasarkan nilai quis harian mahasiswa pratindakan yang terlihat pada lampiran menunjukkan rata–rata nilai mata kuliah Hukum Konstitusi kelas 2A Jurusan PPKn adalah 69,8 sedangkan nilai mahasiswa yang dibawah kreteria ketuntasan ada 10 orang. Ini artinya ada 45% mahasiswa dari 27 mahasiswa yang tidak tuntas atau tidak memenuhi kreteria ketuntasan. Masalah rendahnya hasil belajar mahaiswa mata kuliah Hukum Konstitusi, diidentifikasikan karena adanya dorongan belajar mahasiswa yang masih rendah. mahasiswa kurang aktif untuk belajar, karena pembelajaran yang ada hanya menggunakan metode ceramah dan pembelajaran berjalan secara monoton tanpa ada variasi tertentu. Hal ini mengakibatkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami materi yang disampaikan oleh dosen. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka dosen sekaligus juga sebagai peneliti merasa perlu untuk mengadakan perbaikan model pembelajaran. Peneliti secara bertim sepakat untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS).

Page 72: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

64 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Model ini dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekan-rekan dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Pada intinya model pembelajaran kooperatif tipe ini menerapkan tahapan berpikir, berpasangan, dan berbagi. Keunggulan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) adalah mudah untuk diterapkan pada berbagai tingkat kemampuan berpikir dan dalam setiap kesempatan. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) ini mengajak mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn aktif memahami materi, sehingga hasil belajar mahasiswa meningkat. Berdasarkan diskusi peneliti secara bertim, maka diputuskan untuk melakukan perbaikan pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) di kelas 2A untuk mengatasi rendahnyaaktifitas dan hasil belajar mahasiswa.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti akan mengkaji masalah dengan melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) terhadap Aktifitas dan Hasil Belajar Hukum Konstitusi pada Mahasiswa Jurusan PPKn Tahun Ajaran 2014/2015”.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian di atas, maka dapat peneliti rumuskan permasalahan yang akan diteliti yaitu Apakah terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap pemahaman konsep Hukum Konstitusi untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa di kelas 2A Jurusan PPKn FIS Undiksha.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research. PTK adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas (Kunandar, 2008:45). Fokus PTK pada mahasiswa atau pelaksanaan belajar mengajar dengan tindakan bermakna menggunakan sebuah model pembelajaran kooperatif tipe TPS (think pairs share) yang diperhitungkan dapat memecahkan masalah atau memperbaiki situasi dan kemudian secara cermat mengamati pelaksanaannya untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Penelitian dilaksanakan di Jurusan PPKn FIS Undiksha yang beralamat di Jalan Udayana No.11 Singaraja.

Teknik Penentuan Sampel

Subjek penelitian merupakan sesuatu yang menjadi perhatian untuk diambil datanya. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa kelas 2A Jurusan PPKn Tahun Ajaran 2014/2015 dengan jumlah mahaiswa sebanyak 27 orang mahasiswa. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan teknik purposive sampling, bahwa sampel ditentukan menyesuaikan dengan tujuan perbaikan keaktifan dan hasil belajar mata kuliah Hukum Konstitusi mahasiswa Jurusan PPKn.

Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini berupa berbagai kegiatan yang terjadi di dalam kelas selama berlangsungnya proses pembelajaran yang terdiri dari: Pemilihan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), suasana belajar saat berlangsungnya pembelajaran, dan ketuntasan belajar mahasiswa terhadap standar ketuntasan hasil belajar ada pada kisaran tujuh delapan (78). Adapun sumber data dalam penelitian ini yaitu: responden, proses pembelajaran, dan dokumen.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian tindakan kelas yang dilakukan ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut: Observasi, Wawancara, Tes, dan Dokumentasi.

Penelitian ini telah diawali dengan observasi pada bulan Oktober. Pembuatan instrumen dilaksanakan pada bulan Desember 2014 dengan tujuan dilaksanakan pada pembelajaran semester genap 2014/2015 dan pelaksanaan penelitian dilaksanakan mulai dari bulan pebruari sampai bulan Juni 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha dengan jumlah mahasiswa kelas A sebanyak 34 orang dan kelas B dengan jumlah mahasiswa 33. Penelitian ini kelas A jurusan PPKn FIS Undiksha dijadikan sebagai kelompok eksperimen dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS sedangkan kelas B Sjurusan PPKn FIS Undiksha dijadikan sebagai kelompok kontrol dengan menerapkan metode pembelajaran ceramah. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah teknik non random sampling dengan metode sampling pruporsif (purposive sampling). Menurut Yusuf, Muri (2005:205) penentuan sampel pruporsif dilandasi tujuan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu. Peneliti mengambil 40 mahasiswa sebagai sampel dengan persebaran 20 mahasiswa kelompok kontrol dan 20 mahasiswa kelompok eksperimen. Pada prinsipnya meneliti adalah suatu kegiatan mencari suatu perbedaan, sehingga diperlukan suatu alat ukur. Alat ukur dalam penelitian biasanya disebut instrumen penelitian (Sugiono, 2011: 193). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu aktifitas belajar dan hasil belajar mahasiswa jurusan PPKn pada aspek kognitif. Instrumen yang peneliti digunakan untuk menilai kognitif mahasiswa yaitu lembar pilihan jamak dengan jumlah soal 15 butir berdasarkan pengujian soal yang telah dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan memberikan soal pilihan jamak kepada mahasiswa untuk menjawab soal tersebut dalam bentuk tertulis. Tes tertulis (pilihan jamak) merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada mahaiswa dalam bentuk tulisan (Kunandar, 2013: 159).

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data dengan teknik analisis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 117

Model Pembelajaran Search, Solve, Create, Share, (SSCS)

sebagai Sarana Melatih Kemampuan Berpikir Kritis

Moh. Zaenal Husaini1, Sugeng Utaya2, I Komang Astina3

Pendidikan Geografi-Pascasarjana. Universitas Negeri Malang [email protected]

Abstrak: Kemampuan berfikir kritis dalam pembelajaran geografi sangat penting untuk dimiliki oleh tiap siswa, kemampuan berfikir penting untuk dimiliki siswa agar mereka mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan yang tepat terkait dengan fenomena yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari hari baik di masa sekarang maupun akan datang, mereka akan peka dalam menghadapi berbagai persoalan, mampu menyelesaikanya dengan tepat, dan mampu mengaplikasikan materi pembelajaran dalam kehidupan nyata. Salah satu model pembelajaran yang mampu untuk melatih siswa berfikir kritis adalah model pembelajaran Search, Solve, Create, Share (SSCS). Artikel ini akan membahas tentang perananan model pembelajaran SSCS dalam pembelajaran geografi dalam melatih kemampuan siswa untuk berfikir kritis.

Kata Kunci: Model Pembelajaran SSCS, Berfikir Kritis 

A. PENDAHULUAN

Proses pendidikan berlangsung dalam lembaga, baik sekolah, rumah tangga, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sekolah adalah suatu lembaga yang secara formal bertanggung jawab atas keberlangsungan proses pendidikan (Gulo, 2002). Pada lingkungan sekolah terjadi interaksi antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa. Hubungan antara siswa dengan guru adalah proses pemberian pengetahuan, sedangkan hubungan siswa dengan siswa adalah proses untuk dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam pembelajaran.

Peran guru dalam pendidikan adalah sebagai penolong berusaha memberi bantuan kepada siswa untuk mengembangkan diri, sedangkan peran siswa adalah berusaha secara aktif untuk mengembangkan dirinya dibawah bimbingan guru. Namun proses pembelajaran yang terjadi di beberapa sekolah memperlihatkan bahwa lebih banyak aktivitas guru memberikan penjelasan materi dan contoh soal dan siswa mencatat, daripada aktivitas siswa yang secara aktif bertanya dan mencari pengetahuan dengan kemampuan sendiri. Siswa akan terpaku pada materi yang telah diberikan guru dan membuat catatan rapi untuk dipelajari kembali tanpa mencari pengetahuan lebih banyak tentang materi yang dipelajari dari sumber belajar yang lain.

Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui mata pelajaran geografi karena dalam mata pelajaran ini siswa tidak hanya dituntut untuk mampu menghafal konsep melainkan juga mampu menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan dari suatu fenomena yang ada di sekitar mereka.

Pada umumnya, proses pembelajaran geografi di sekolah masih menggunakan pembelajaran klasikal. Siswa hanya menghafalkan materi atau informasi tanpa memahami isi informasi sehingga siswa tidak dapat menghubungkan informasi yang diperoleh dengan kehidupan sehari-hari.

Kemampuan berpikir kritis bukanlah merupakan suatu kemampuan yang dapat berkembang dengan sendirinya, kemampuan ini harus dilatih melalui

pemberian motivasi atau dorongan yang menuntut sesorang untuk berpikir kritis serta harus dikembangkan pada siswa.

Model pembelajaran memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi pada proses pembelajaran. Penerapan model pembelajaran yang dilakukan oleh para guru selama ini kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu memahami materi. Para siswa mampu menghafal dengan baik, mampu menjawab soal ujian dengan baik, namun tidak mampu mengaplikasikan materi dengan baik.

Salah satu upaya untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan desain proses pembelajaran dalam kelas yaitu dengan model pembelajaran yang tepat.Model pembelajaran yang tepat akan menjadikan suasana belajar yang menyenangkan dan membuat siswa tidak bosan dengan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Salah satu model pembelajaran yang dinilai tepat dalam upayanya melatih kemampuan berpikir kritis adalah Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share). Model pembelajaran SSCS adalah model yang memakai pendekatan problem solving didesain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan pemahaman terhadap konsep ilmu (Baroto, 2009). Sehingga kemampuan berpikir kritis siswa akan muncul dengan pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran ini.

Artikel ini akan membahas persoalan kemampuan berpikir kritis dengan model pembelajaran Search, Solve, Create, Share (SSCS)

MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, SHARE (SSCS)

Setiap pembelajaran dalam kelas akan menjadikan pembelajaran lebih menarik jika komponen dalam belajar telah terpenuhi dengan baik salah satunya adalah model pembelajaran. Model pembelajaran yang tepat dengan tujuan pembelajaran akan menjadikan belajar siswa dan guru dalam menyampaikan materi

Page 73: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

116 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

dikatakan baik dengan presentase 54,55% dan rerata skor 4,09. Sementara itu hasil penilaian terhadap validasi bahan ajar atau materi secara umum mempunyai kriteria baik dengan skor presentase perolehan 73,68% dan rerata 4,05.

Hasil uji efektivitas dari model yang diterapkan menunjukkan bahwa rata-rata untuk kelas eksperimen mempunyai nilai yang lebih baik dari kelas kontrol. Meskipun kedua kelas sama-sama mengalami peningkatan persentase hasil belajar, namun pada kelas eksperimen mempunyai rata-rata lebih besar. Sedangkan pada uji t diperoleh nilai (2,578) >

(2,00) dengan nilai signifikansi 0,015 < 0,025, artinya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap model yang dikembangkan. b. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi Guru yaitu penelitian ini diharapkan untuk

meningkatkan motivasi guru IPS dalam mengembangkan model-model pembelajaran dalam kelas melalui model kooperatif yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran tidak hanya diarahkan pada pencapaian hasil belajar yang bersifat kognitif, tetapi mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam bekerja sama, berinteraksi, mengembangkan kecerdasan emosional siswa dan keterampilan sosialnya.

2. Bagi Siswa yaitu melalui model pembelajaran IPS berbasis nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan yang telah diterapkan, siswa diharapkan lebih aktif lagi untuk menanyakan hal-hal yang memang belum dipahami tanpa merasa takut. Mengenalkan siswa terhadap tema-tema budaya lokal, diharapkan dapat meningkatkan penguasaan materi siswa tentang keragaman suku bangsa dan budaya setempat, serta meningkatkan keterampilan sosial siswa melalui contoh tradisi kebo-keboan yang dijadikan objek pembelajaran. Dengan demikian nila-nilai tersbut mampu di aktualisasikan ke dalam pribadi masing-masing siswa.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya dapat mengembangkan penelitian lebih lanjut menggunakan model –model pembelajaran IPS yang lebih inovatif dan membantu memecahkan permasalahan pembelajaran.

E. DAFTAR PUSTAKA

Asmani, J. M. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta: Diva Press.

Alexon dan Sukmadinata, N.S. 2010 “Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Berbasis Budaya Untuk Meningkatkan Apresiasi Siswa Terhadap Budaya Lokal”. Cakrawala Pendidikan, th. XXIX, no. 2 hlm. 189-203. Bengkulu: FKIP Universitas Bengkulu dan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Gall, M. D., Gall, J. P. & Borg, W. R. 2003. Educational Research: An Introduction. New York: Longman.

Kertih, I.W. 2003. “Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berwawasan Sosial Budaya Untuk Meningkatkan Literasi Sosial Budaya pada Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Buleleng”, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, th. XXXVI, no. 2 hlm. 1-13. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Maryani, E dan Syamsudin, H. 2009. “Pengembangan Program Pembelajaran IPS Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial”. Jurnal Penelitian, vol. 9 no. 1, hlm. 1-15. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Richey, R. C & Klein, J. D. 2007. Design and Development Research. London: Lawrence Erlbaum Associates.

Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Press.

Simanjuntak, B. A., Panjaitan, A. P., Darmawan, A., Maharani, Purba., I. R., Rachmad, Y., dan Simanjuntak, R. 2014. Landasan Teori dan Refleksi Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan. hlm. 1-53 dalam Bungaran Antonius Simanjuntak (edt.) Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Susanto, A. 2014. Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenada.

Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 65

mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan kinerja mahasiswa dan dosen selama proses penerapan tindakan, serta membandingkan hasil penelitian dengan indikator ketercapaian dalam bentuk prosentase. Hasil analisis tersebut menjadi bahan untuk menyusun rencana memperbaiki pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya. Jadi data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif komparatif, dengan melakukan analisis kritis antara siklus I dengan siklus II.

Menurut Yusuf, Muri (2005: 235) langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan rancangan ini adalah : 1. Pilih dua kelompok subjek yang tidak ekuivalen. Kelompok satu dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok yang satu dijadikan sebagai kelompok kontrol. 2. Laksanakan pretes pada kedua kelompok. 3. Kenakan perlakuan pada kelompok eksperimen. Dalam hal ini adalah pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. 4. Setelah selesai langkah ketiga, berikan posttes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. 5. Cari beda mean kelompok eksperimen dan kontrol, antara posttes dan pretes. 6. Gunakan statistik yang tepat untuk mencari perbedaan hasil langkah kelima, sehingga dapat diketahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS terhadap aktifitas dan hasil belajar mahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha.

Data yang akan dianalisis adalah data aktifitas dan hasil belajar Hukum Konstitusi mahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, data tersebut akan dianalisis untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS terhadap aktifitas dan hasil belajar Hukum Konstitusi mahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha. Sebelum dilaksanakan analisis data, terlebih dahulu peneliti harus melakukan pungujian prasyarat analisis dengan menguji normalitas dan homogenitas data. Uji hipotesis ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh dari penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS terhadap kedua variabel di atas. Menurut Sujana (1996: 239) pengujian ini dapat menggunakan uji hipotesis komperatif dua sampel yang berkorelasi ditunjukan pada rumus: _ _ √ Keterangan : _ = rata-rata kelompok 1 _ = rata-rata kelompok 2 = simpangan baku kelompok 1 dan 2 = jumlah sampel kelompok 1 = jumlah sampel kelompok 2 Setelah hasil diketahui selanjutnya yang peneliti lakukan adalah membandingkan dengan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS terhadap hasil belajar aspek kognitif. Apabila hasil > maka hipotesis ditolak dan diterima.

Indikator Kinerja Penelitian

Tabel 3. Indikator Kinerja Penelitian

Aspek yang diukur Target Capaian Cara Mengukur

Keaktifan belajar mahasiswa dalam mengikuti proses

pembelajaran

75% Dinilai dari hasil pengolahan

lembar observasi keaktifan mahasiswa

Hasil Belajar

80% Hasil belajar Dihitung dari jumlah

ketuntasan mahasiswa yang

mendapatkan nilai diatas 70 ke atas

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan tahapan-tahapan yang ditempuh dalam penelitian dari awal sampai akhir secara urut. Penelitian kali ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Berdasarkan pendapat para ahli maka prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap kegiatan yaitu: Tahap Perencanaan, Tahap Implementasi tindakan, Tahap Observasi, Tahap Refleksi dan Tahap Penyusunan Laporan.

C. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Jurusan PPKn (S1) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha bertujuan untuk menghasilkan sarjana dengan kualifikasi PPKn (S.H.). Lulusan program S1 PPKn diharapkan mampu berkontribusi dalam menyediakan lulusan yang berkompeten di bidang PPKn, profesional, dan berintegritas tinggi demi memenuhi kebutuhan di masyarakat/instansi baik instansi pemerintah maupun non pemerintah. Lulusan S1 PPKn Undiksha dapat bekerja pada bidang: (1) Tenaga pendidik bidang hukum (Universitas, Akademi, Sekolah Tinggi, dan lain-lain); (2)Institusi/lembaga Pemerintah baik pusat maupun daerah; (3) Praktisi hukum formal (Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris); (4) Badan/Lembaga Bantuan Hukum; (5) Organisasi Sosial Politik; (6) Lembaga Swadaya Masyarakat; dan (7) Instansi Swasta.

Kompetensi Keahlian, yang dimiliki oleh Jurusan PPKn FIS Undiksha sejak awal berdirinya tahun 2014 yaitu diantaranya: Hukum Kenegaraan (Tata Pemerintahan dan Administrasi Negara) , Hukum Perdata Bisnis; Hukum Pidana dan Hukum Internasional. Di awal penerimaan mahasiswa pada tahun pertama dengan dengan 4 kompetensi Keahlian, jurusan PPKn FIS Undiksha memiliki dua kelas di setiap jenjang, sehingga terdapat kelas (satu rombongan belajar) terdiri dari 34 siswa, sehingga kapasitas keseluruhan berjumlah kurang lebih 76 siswa. Pada tahun 2014, Mahasiswa Jurusan PPKn telah berhasil memenangkan Lomba Pidato Konstitusi tingkat perguruan tinggi se-Bali dari Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Universitas Udayana, dengan demikian kualitas layanan yang diberikan jurusan PPKn FIS Undiksha kepada seluruh mahasiswa telah terstandar dan menjadi komitmen jurusan PPKn FIS Undiksha untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanan pembelajaran terhadap mahasiswa dari waktu ke waktu. Kebijakan mutu yang mengalir dalam semangat pelayanan Jurusan PPKn FIS Undiksha berpijak pada kebijakan standar mutuuniversitas, jurusan PPKn FIS Undiksha berupaya untuk mewujudkan visi mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum dengan berlandaskan falsafah Tri Hita Karana serta menghasilkan tenaga profesional yang berkualitas dan berdaya saing tinggi dan misi jurusan. Kebijakan mutu didukung dengan pengelolaan managemen, seperti (1) Menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang Hukum untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional, humanis, beretika, serta berkualitas dan berdaya saing tinggi; (2) Mendorong pengembangan kepribadian dan kemampuan berwirausaha. Sehingga Jurusan PPKn FIS Undiksha mampu mengantarkan seluruh peserta

Page 74: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

66 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

didiknya untuk mencapai kompetensi lulusan berupa learning out come yang berkompeten di bidangnya.

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) diampu oleh dosen pengampu mata kuliah yang kompeten di bidangnya. Sarana dan prasarana yang pendukung terdiri dari ruang kelas dilengkapi Ac dan LCD; laboratorium Hukum (praktek sidang semu/mootcourt); perpustakaan hukum (dilengkapi berbagai literatur bidang hukum); akses internet/ free WiFi; ketersediaan beasiswa (PPA, BBM, dan sebagainya). Proses pembelajaran dikelola mengacu pada standar proses. Jurusan PPKn sebagai institusi pendidikan formal di bidang keahlian hukum melaksanakan pendidikan berupa pembekalan pemahaman teoritis sesuai dengan jenjang semester yang dilalui dan mahasiswa juga mendapatkan pembelajaran praktik langsung di institusi/lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah seperti pengadilan, kenotariatan, kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah daerah propinsi/kabupaten pada bagian biro hukum, dan sebagainya.

Kegiatan Pra-tindakan ini di awali dengan wawancara tidak terstruktur dengan dosen pengampu mata kuliah konstitusi dengan bidang konsentrasi Hukum Kenegaraan. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran akuntansi di kelas. Selain itu, peneliti juga menyusun rancangan tindakan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share. Rancangan tindakan berupa model pembelajaran yang dapat memotivasi siswa agar belajar lebih aktif di kelas. Kegiatan ini berlangsung dengan berdiskusi dengan dosen pengampu mata kuliah Hukum Konstitusi. Dosen pengampu mata kuliah Hukum Konstitusi menceritakan bahwa keaktifan mahasiswa dilihat dari mahasiswa siswa dapat menjawab pertanyaan dari dosen jika distimulus lebih awal sehingga barulah memperoleh respon dari mahasiswa. Hal ini juga ditemukan oleh peneliti pada observasi tanggal 16 Pebruari 2015 lalu diperoleh data lapangan bahwa mahasiswa tidak aktif secara mandiri namun di pancing dahulu oleh dosen pengampu mata kuliah. Dalam observasi ini tidak terdapat mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, hal ini ditunjukkan ketika dosen pengampu Hukum Konstitusi bertanya kepada mahasiswa, mahasiswa hanya diam saja. Berdasarkan kejadian di atas, hal tersebut membuktikan bahwa aktifitas belajar mahasiswa masih rendah. Mahasiswa hanya mengikuti pembelajaran di kelas dengan tidak mengoptimalkan aktifitas belajar yang dimiliki siswa.Metode pembelajaran dosen pengampu yang digunakan sangat berpengaruh pada aktifitas belajar mahasiswa. Metode ceramah yang digunakan tidak dapat membuat mahasiswa aktif dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, diperlukan adanya solusi guna meningkatkan aktifitas belajar mahasiswa. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share adalah solusi yang akan digunakan. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa aktifitas belajar mahasiswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Selain itu, dosen pengampu mata kuliah dalam penggunaan metode pembelajaran yang kurang bervariasi diduga juga berpengaruh terhadap aktifitas dan hasi belajar mahasiswa. Penggunaan metode ceramah yang bersifat satu arah ini tidak dapat

memaksimalkan aktifitas belajar mahasiswa sehingga berpengaruh juga terhadap hasil belajar mahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha dalam memahami konstitusi negara Republik Indonesia.

Berdasarkan kenyataan di atas, dibutuhkan adanya solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Solusi yang digunakan adalah penggunaan model pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang mudah dan sederhana untuk dilaksanakan di semua jenjang pendidikan. Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share atau berpikir, berpasangan, dan berbagi merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Prosedur yang digunakan dalam Think Pair Share dapat memberi mahasiswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu (Trianto, 2009: 81).

Observasi awal dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui proses pembelajaran di kelas. Observasi awal ini dilakukan pada tanggal 16 Pebruari 2015. Berdasarkan observasi tersebut, peneliti menemukan persamaan observasi dengan pernyataan dosen pengampu mata kuliah bahwa permasalahan utama di kelas adalah mengenai aktifitas belajar mahasiswa yang berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Aktifitas belajar mahasiswa dalam mengeksplorasi kemampuan sendiri (think), membahas tugas dengan pasangannya (pair), menyelesaikan tugas dengan pasangannya, siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya ke depan kelas (share), mahasiswa mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada dosen pengampu mata kuliah atau teman sejawat, mahasiswa mencatat materi yang dipelajari, mahasiswa memperhatikan penjelasan pasangan lain atau dosen pengampu mata kuliah dan mahasiswa menjawab pertanyaan dari dosen maupun teman sejawatnya.

Berdasarkan data hasil observasi, adapaun tahapan penelitian yang dilakukan adalahh dengan diskusi terlebih dahulu dengan dosen pengampu mata kuliah Hukum Konstitusi sebelum dilakukan penelitian, mengenai materi yang akan digunakan untuk penelitian yaitu Hukum Konstitusi.

Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat mengoptimalkan aktifitas belajar yang berpengaaruh terhadap hasil belajar mahasiswa. Pembelajaran ini bertujuan agar kegiatan pembelajaran berlangsung maksimal dan mahasiswa dapat aktif dalam memahami pelajaran Hukum Konstitusi dengan cara yang efektif dan menyenangkan. Model pembelajaran ini diambil sebagai solusi atas permasalahan rendahnya aktifitas dan hasil belajar mahasiswa. Peneliti berdiskusi dengan dosen pengampu mata kuliah mengenai Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share yang ingin diadakan untuk penelitian. Dosen pengampu merespon dengan baik dan menanggapi secara positif dengan adanya rencana tersebut. Kelas yang diberi tindakan adalah kelas 2 A PPKn dengan Kompetensi Dasar Faktor-Faktor Daya Ikat Konstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktifitas dan hasil belajar maahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha sehingga mahasiswa dapat lebih aktif dalam pembelajaran di kelas. Pembelajaran dengan menggunakan Model

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 115

skor 4,09. Sementara itu hasil penilaian terhadap validasi bahan ajar atau materi secara umum mempunyai kriteria baik dengan skor presentase perolehan 73,68% dan rerata 4,05. Hal ini sejalan dengan penelitian Alexon Ibrahim dan Nana Syaodih Sukmadinata (2010) “Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Berbasis Budaya Untuk Meningkatkan Apresiasi Siswa Terhadap Budaya Lokal”. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan. Pertama, Model Pembelajaran Terpadu Berbasis Budaya (MPTBB) yang dikembang dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal karena materi pembelajaran terintegrasi dengan budaya lokal yang relevan, media dan sumber yang beragam dan kontekstual, serta komponen penilaian yang menekankan penilaian proses dan hasil; Model pembelajaran yang dikembangkan terbukti secara signifikan lebih efektif meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal simultan dengan penguasaan materi pelajaran bila dibandingkan dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan guru. 3. Hasil Uji Efektivitas Model 

Hasil uji efektivitas dari model yang diterapkan menunjukkan bahwa rata-rata untuk kelas eksperimen mempunyai nilai yang lebih baik dari kelas kontrol. Meskipun kedua kelas sama-sama mengalami peningkatan persentase hasil belajar, namun pada kelas eksperimen mempunyai rata-rata lebih besar. Sedangkan pada uji t diperoleh nilai 2,578) >

(2,00) dengan nilai signifikansi 0,015 < 0,025,

artinya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap model yang dikembangkan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Enok Maryani dan Helius Syamsudin (2009) dengan judul “Pengembangan Program IPS Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan materi yang bermuatan isu-isu kontemporer, model pembelajaran kooperatif, pemanfaatan media pembelajaran dan evaluasi yang bervariasi lebih efektif untuk meningkatkan hasil hasil belajar dan pengembangan keterampilan sosial siswa.

Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian yang dilakukan I Wayan Kertih (2003) dengan judul “Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berwawasan Sosial dan Budaya Untuk Meningkatkan Literasi Sosial Budaya pada Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Buleleng”. Berdasarkan hasil penelitian diformulasikan beberapa simpulan sebagai berikut: (1) prosedur pembelajaran dengan model belajar berpendekatan sosial-budaya memberikan keleluasaan yang optimal bagi peserta didik untuk berimprovisasi selama berlangsungnya pembelajaran sehingga dapat menciptakan iklim dan aktivitas belajar yang kondusif; (2) dilihat dari efektivitas model belajar berpendekatan sosial-budaya terhadap peningkatan pemahaman materi IPS oleh peserta didik, tampak bahwa pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan memperlihatkan grafik

yang meningkat, dan pada tahap uji coba model, hasil tes evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa rerata skor evaluasi belajar peserta didik yang dibelajarkan dengan model belajar berpendekatan sosial-budaya lebih tinggi daripada skor rerata peserta didik yang dibelajarkan dengan model belajar konvensional; dan (3) terjadi peningkatan literasi sosial-budaya peserta didik yang berkaitan dengan materi yang dibelajarkan dalam pembelajaran IPS berpendekatan sosial-budaya.

Mengacu pada hasil penelitian terdahulu dan hasil penelitian pengembangan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan efektif mewariskan nilai kearifan lokal ke generasi berikutnya serta dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan penelitian terhadap pengembangan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang.

Berdasarkan hasil observasi, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga pembelajaran lebih banyak berpusat pada guru (teacher centered). Guru juga sesekali mengadakan diskusi dan melakukan tanya jawab dengan siswa. Namun dalam hal ini masih belum dapat mengoptimalkan peran siswa karena disatu sisi kondisi kelas kurang kondusif karena sebagian siswa justru ramai sendiri dan beberapa tidak memperhatikan jalannya diskusi.

Draf awal pengembangan model pembelajaran IPS yang disusun oleh peneliti dan berkolaborasi dengan guru. Diharapkan melalui model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan ini siswa mampu memberikan contoh cara menghargai keragaman budaya lokal yang ada di masyarakat serta mampu menanamkan keterampilan sosial baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

Pengembangan model pembelajaran dilakukan setelah peneliti melakukan uji validasi instrumen kepada pakar/ahli. Secara keseluruhan hasil validasi oleh pakar terhadap instrumen penelitian mempunyai kriteria baik. Berdasarkan aspek penilaian dan 32 indikator model pembelajaran yang telah di validasi, diperoleh nilai rerata sebesar 4,22. Hal ini menunjukkan model pembelajaran yang akan dikembangkan mempunyai kategori baik. Namun peneliti merasa perlu melakukan revisi untuk menyempurnakan model yang akan diujicobakan.

Adapun aspek-aspek yang dimuat dalam lembar validasi yang diuraikan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebanyak 15 indikator serta telah direvisi dimana peneliti bekerja sama dengan guru mata pelajaran berusaha menyempurnakan langkah-langkahnya terutama dari segi isi. Secara keseluruhan presentase dari skala perolehan bisa dikatakan baik dengan skor 46,7% dan rerata 4,4. Kriteria soal bisa

Page 75: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

114 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

f. Hasil Uji Perbedaan Rerata Sebelum dan Sesudah Perlakukan Pada Kelas Kontrol dengan program SPSS 19 adalah sebagai berikut : Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol yaitu pre tes 11,52, dan pos tes 13,29. Sedangkan hasil uji t (4,546) >

(2,00) dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,27 maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas kontrol tidak sama.

g. Hasil Uji Perbedaan Rerata Sebelum dan Sesudah Perlakukan Pada Kelas Eksperimen dengan program SPSS 19 adalah sebagai berikut : Berdasarkan hasil uji statistik di atas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas eksperimen yaitu pre tes 11,59, dan pos tes 14,62. Sedangkan uji t sebesar 6,07 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,25 dan (6,07) > (2,00) maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas eksperimen tidak sama (lampiran).

h. Hasil Uji Perbandingan Skor Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen dengan program SPSS 19 adalah sebagai berikut : Berdasarkan hasil uji di atas diperoleh nilai F 3,714 dengan taraf signifikansi 0,061 > 0,05 artinya terdapat kesamaan varian. Sementara itu hasil uji t

(2,578) > (2,00) dengan taraf signifikansi 0,015 < 0,025 maka Ho ditolak. Artinya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap model yang dikembangkan.

2. Penilaian Keterampilan Sosial a. Uji Normalitas Keterampilan Sosial Kelas Kontrol

dan Kelas Eksperimen Berikut hasil Uji statistik dengan SPSS : Hasil uji statistik SPSS dengan teknik Kolmogorov-Smirnov untuk kelas eksperimen diperoleh data statistik sebesar 0,117 dan signifikansi sebesar 0,202.

Dikarenakan nilai signifikansi (0,202) > (0,05) maka data dari kelompok eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal. Sementara itu untuk kelas kontrol diperoleh data statistik sebesar 0,108 dengan nilai signifikansi 0,202. Karena nilai signifikansi 0,202 > 0,05 maka data kelas kontrol juga diartikan berdistribusi normal (lihat lampiran).

b. Uji Perbedaan Rerata Keterampilan Sosial Sebelum dan Sesudah Perlakuan (Kelas Kontrol) Analisis Uji dengan SPSS menggunakan Paired-Sample T Tes untuk mencari rata-rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berikut simpulan hasil ujinya : Analisis uji dengan SPSS menggunakan Paired-Sample T Tes untuk mencari rata-rata sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji statistik di atas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas kontrol yaitu sebelum perlakuan 65,99, dan setelah perlakuan 67,82. Sedangkan hasil uji t diperoleh (4,537)

> (2,00) dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025 maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas kontrol tidak sama (lampiran).

c. Uji Perbedaan rerata Keterampilan Sosial Sebelum dan Sesudah Perlakuan (Kelas Eksperimen).

Berikut hasil uji statistik menggunakan SPSS : Berdasarkan hasil uji statistik di atas maka diperoleh hasil uji rerata untuk kelas eksperimen yaitu sebelum perlakuan 61,75, dan setelah perlakuan 69,19. Sedangkan hasil uji t (5,944)

> (2,00) dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025 maka Ho ditolak, sehingga rerata sebelum dan sesudah perlakuan kelas eksperimen tidak sama.

Berdasarkan analisis data hasil post tes kelas eksperimen dan kontrol diketahui rata-rata perolehan skor tiap siswa di kelas kontrol adalah 13,3. Sedangkan rata-rata perolehan skor tiap siswa di kelas eksperimen dengan model pembelajaran yang diterapkan adalah 14,8. Siswa dinyatakan tuntas apabila memperoleh skor 14 atau nilai 70, dengan demikian guru bersama peneliti menyepakati bahwa kriteria ketuntasan minimal untuk pos tes adalah 70. Dari tabel di atas persentase ketuntasan untuk kelas kontrol mencapai 53,3 %. Sedangkan untuk kelas eksperimen ketuntasan mencapai 76,6 %. Berdasarkan hasil data ini maka model pembelajaran yang dikembangkan bisa digunakan untuk mencapai efektivitas belajar siswa.  

b. Pembahasan 1. Hasil Penelitian Pendahuluan

Berdasarkan hasil observasi, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga pembelajaran lebih banyak berpusat pada guru (teacher centered). Selain itu, dalam beberapa pertemuan guru juga sesekali mengadakan diskusi dan melakukan tanya jawab dengan siswa. Namun dalam hal ini masih belum dapat mengoptimalkan peran siswa karena disatu sisi kondisi kelas kurang kondusif karena sebagian siswa justru ramai sendiri dan beberapa tidak memperhatikan jalannya diskusi. 2. Hasil Pengembangan Model

Pengembangan model pembelajaran IPS yang disusun oleh peneliti dan berkolaborasi dengan guru diharapkan siswa mampu memberikan contoh cara menghargai keragaman yang ada di masyarakat serta mampu menanamkan keterampilan sosial baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

Sebelum pengembangan model pembelajaran maka peneliti melakukan uji validasi instrumen kepada pakar/ahli. Secara keseluruhan hasil validasi oleh pakar terhadap instrumen penelitian mempunyai kriteria baik. Berdasarkan aspek penilaian dan 32 indikator model pembelajaran yang telah di validasi, diperoleh nilai rerata sebesar 4,22. Hal ini menunjukkan model pembelajaran yang akan dikembangkan mempunyai kategori baik. Namun peneliti merasa perlu melakukan revisi untuk menyempurnakan model yang akan diujicobakan.

Adapun aspek-aspek yang dimuat dalam lembar validasi yang diuraikan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebanyak 15 indikator serta telah direvisi dimana peneliti bekerja sama dengan guru mata pelajaran berusaha menyempurnakan sintak atau langkah-langkah pembelajaran. Secara keseluruhan presentase dari skala perolehan bisa dikatakan baik dengan skor 46,7% dan rerata 4,4. Kriteria soal bisa dikatakan baik dengan presentase 54,55% dan rerata

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 67

Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share dilakukan dalam tiga kegiatan utama yaitu think (berpikir), pair (berpasangan) dan share Share. Guru berperan sebagai pengamat proses pembelajaran sehingga ketika terdapat permasalahan dapat memberikan saran. Peneliti dibantu oleh 2 observer dari rekan dosen anggota peneliti dan rekan dosen yang bertugas mengamati aktifitas dan hasil belajar mahasiswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Aktifitas dan hasil belajar mahasiswa dalam penelitian ini dapat dilihat dari kegiatan mengeksplorasi kemampuannya sendiri (think), membahas tugas dengan pasangannya (pair), mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (share), mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada dosen atau teman sejawat, mencatat materi yang dipelajari, memperhatikan penjelasan teman sejawat atau dosen, dan menjawab pertanyaan dosen atau teman sejawat. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam bentuk siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Materi yang akan digunakan dalam penelitian adalah materi yang telah didiskusikan dengan dosen pengampu mata kuliah Hukum Konstitusi, yaitu Pencatatan Transaksi dalam Jurnal Khusus. Alokasi waktu yang digunakan adalah 2 pertemuan , dengan rincian siklus I dan II adalah masing-masing 2 x 45 menit. Pada akhir tindakan, peneliti mengkaji hasil tindakan dengan dosen. Hasil refleksi proses pembelajaran pada siklus I akan dijadikan sebagai perbaikan dalam pembelajaran di siklus selanjutnya.

Perencanaan pada siklus II berdasarkan refleksi dari pelaksanaan tindakan pada siklus I. Pada siklus I, terdapat beberapa aspek yang kurang optimal serta aktifitas belajar dan hasil belajar mahasiswa masih rendah. Aspek-spek tersebut yaitu mahasiswa mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada dosen atau teman sejawat, mahasiswa menjawab pertanyaan dari teman sejawab atau dosen. Aspek-aspek tersebut, pada siklus II ini harus dioptimalkan. Materi yang digunakan pada pembelajaran siklus II ini melanjutkan materi sebelumnya yaitu Kompetensi Faktor-faktor Daya Ikat Konstitusi. Pelaksanaan tindakan pada pembelajaran siklus II ini diupayakan agar mahasiswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga dapat berjalan sesuai perencanaan yang telah disusun.

Pelaksanaan tindakan pada siklus II melanjutkan dari siklus I dengan materi Analisis Yuridis tentang beragam Naskah UUD 1945. Pembelajaran pada siklus II ini dilaksanakan dalam satu kali pertemuan dengan alokasi waktu 2x 45 menit. Peneliti menyusun Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan menghasilkan soal latihan yang akan digunakan pada pembelajaran siklus II.Soal terdiri dari 5 teori dan 1 praktik. Pembelajaran ini diharapkan aktifitas dan hasil belajar mahasiswa dapat meningkat daripada siklus I. RPP Siklus II. Pelaksanaan tindakan siklus II dilaksanakan pada hari Rabu, Senin 20 April 2015. Dosen mengawali pembelajaran dengan salam, berdoa, dan mengabsensi kehadiran mahasiswa pada hari tersebut. Dosen kembali mengingatkan materi perkuliahan sebelumnya dengan menanyakan kepada mahasiswa. Hal ini bertujuan untuk mengecek pengetahuan mahasiswa sebelum melanjutkan ke materi kuliah berikutnya. Dosen menyampaikan prosedur pembelajaran yang akan digunakan yaitu pembelajaran

dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share. Dosen membagi mahasiswa dalam pasangan-pasangan yang heterogen berdasarkan kemampuan masing-masing mahasiswa. Setelah soal dibagikan, hampir semua mahasiswa mulai berpikir mandiri tentang jawaban soal (think). Pada aktivitas think ini mahasiswa melaksanakan prosedur dengan baik, ini terbukti dengan hampir seluruh mahasiswa melaksanakan berpikir mandiri (think) terhadap soal dengan baik. Kemudian diberi peringatan bahwa siswa sudah dapat berpasangan. Setelah mahasiswa selesai mengerjakan soal, maka mahasiswa dapat berbagi ke depan kelas (share) pada siklus II , aktifitas belajar mahaiswa terlihat lebih meningkat. Pada akhir kegiatan, suasana di kelas lebih kondusif, mahasiswa memperhatikan dosen yang sedang menyimpulkan materi yang telah dipelajari .Setelah itu, dosen memberikan informasi mengenai materi yang dipelajari pada pertemuan berikutnya. Karena bertepatan dengan jam istirahat, pembelajaran ditutup oleh dosen dengan salam dan dosen mempersilahkan mahasiswa untuk beristirahat.

Selama kegiatan belajar mengajar, peneliti bertindak sebagai pengatur jalannya Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share, sedangkan pengamatan dilakukan oleh 3 observer, rekan dosen termasuk peneliti sendiri. Aktifitas belajar dan hasil belajar mahasiswa diamati oleh 3 observer dari rekan dosen yang berkapasitas sebagai anggota peneliti yang menggunakan lembar observasi aktifitas dan hasil belajar mahasiswa. Mahasiswa terlihat lebih antusias dalam pembelajaran siklus II ini.mahasiswa melakukan 3 aktifitas, yaitu Think, Pair, and Share dengan sangat antusias dan lebih aktif dengan dilakukan sesuai prosedur Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share. Berdasarkan pengamatan mengenai KBM yang dilakukan oleh observer, maka diperoleh data sebagai berikut : Grafik 1. Aktifitas belajar mahaiswa pada Siklus II No Indikator yang diamati Implementasi TPS pada siklus II 1. mahasiswa mengeksplorasi kemampuannya sendiri (think) 100 % 2. Mahasiswa membahas tugas dengan pasangannya (pair). 97,8 % 3. Mahasiswa menyelesaikan tugas dengan pasangannya . 100 % 4. Mahasiswa menyampaikan hasil diskusi kelompoknya (share). 90 % 5. Mahasiswa mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada dosen atau teman sejawat. 87,8 % 6. Mahasiswa mencatat materi yang dipelajari. 88,9 % 7. Mahasiswa memperhatikan penjelasan pasangan lain ataudosen. 86,7 % 8. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen atau teman sejawat. 76,7 % Rata-rata aktifitas belajar mahassiswa 88,72 %.

Grafik 1: Grafik Aktifitas Belajar Mahasiswa dalam Perbaikan Pembelajaran Hukum Konstitusi, Semester 2,

Jurusan PPKn FIS Undiksha(Pra Siklus, Siklus I, Siklus II)

Page 76: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

68 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Ket: X = Siklus Perbaikan Y = Nilai Rata-rata Hasil Perbaikan Garis Warna Biru = Prosentase Mahasiswa Aktif Garis Warna Merah = Prosentase Mahasiswa

Tidak Aktif Sumber :data primer yang diolah Berdasarkan

grafik diatas, dari 30 mahasiswa yang mengikuti pembelajaran Hukum Konstitusi di Jurusan PPKn FIS Undiksha diperoleh data aktifitas belajar mahasiswa yang meliputi 100% mahasiswa megeskplorasi kemampuan sendiri (think), 88,8% mahasiswa membahas tugas dengan pasangannya (pair), 100% mahasiswa menyelesaikan tugas dengan pasangannya, 90 % mahasiswa menyampaikan hasil diskusi kelompoknya (share), 87,8% mahasiswa mengajukan pertanyaan atau pendapat dari teman atau dosen, mahasiswa mencatat materi yang dipelajari sebesar 88,9%, mahasiswa memperhatikan penjelasan pasangan lain atau dosen 86,7 % dan 76,7 % mahasiswa menjawab pertanyaan dosen atau teman. Rata- rata aktifitas belajar mahasiswa adalah 88,72 %, presentase rata-rata ini sudah mencapai indikator aktifitas mahasiswa yakni sebesar 75%.

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share pada siklus ini sudah terlaksana dengan baik.Pembelajaran yang dilaksanakan sudah mampu meningkatkan aktifitas belajar mahasiswa sesuai indikator yang ditetapkan. Adapun upaya perbaikan dalam siklus II ini sebagai berikut : 1) Peneliti menjelaskan prosedur pelaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Sharedengan tegas dan lengkap kepada mahasiswa. 2) Memberikan nametag nama - nama mahasiswa dalam kelompok, sehingga memudahkan observer dalam melakukan pengamatanaktifitas belajar mahasiswa. 3) Peneliti mengingatkan kembali kepada mahasiswa di setiap pergantian aktivitas tentang apa yang harus dilakukan disetiap aktivitas. Upaya perbaikan ini belum cukup untuk menjadikan pembelajaran Hukum Konstitusi yang diminati mahasiswa. Aktifitas belajar mahasiswa dalam pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Proses pembelajaran harus menggunakan metode dengan berbagai variasi, sehingga mahasiswa dapat belajar lebih aktif dan menyenangkan. Penggunaan model pembelajaran ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh peneliti. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II sudah cukup baik hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan aktifitas belajar dan hasil belajar dibandingkan pada siklus sebelumnya. Aktifitas belajar mahasiswa dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu mahasiswa dapat mengeksplorasi kemampuan sendiri (think), membahas tugas dengan pasangannya (pair), menyelesaikan tugas dengan pasangannya, mahasiswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya ke depan kelas (share), mahasiswa mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada dosen atau teman sejawat, mahasiswa mencatat materi yang dipelajari, mahasiswa memperhatikan penjelasan pasangan lain atau dosen dan mahasiswa menjawab pertanyaan dari dosen atau teman sejawat.

Angket atau questionnaire adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab dibawah

pengawasan peneliti.Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang bersifat tertutup.Angket tertutup terdiri atas pernyataan dengan sejumlah jawaban tertentu sebagai pilihan. Angket diberikan pada seluruh mahasiswa semster 2 jurusan PPKn FIS Undiksha yang berjumlah 76 orang mengenai pernyataan mahasiswa tentang penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti, baik dalam metode pembelajaran kooperatif tipe TPS maupun aktifitas belajar mahasiswa.

Dari 76 mahasiswa, sebanyak 69 mahasiswa atau 96,67 % mahasiswa berdiskusi dengan teman untuk belajar bersama ketika proses pembelajaran berlangsung. 1) Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya Menilai hasil belajar oleh mahasiswa, dalam hal ini adalah dengan membahas soal dan jawaban mahasiswa ketika telah selesai mengerjakan.80 % mahasiswa yaitu 67 dari 76 mahasiswa berkesempatan untuk menilai hasil belajar yang dicapai. 2) Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis mahasiswa dalam melatih diri memecahkan masalah dengan memberikan tanggapan maupun jawaban kepada teman yang mengajukan pertanyaan. Hal ini dapat melatih diri mahasiswa untuk lebih disiplin dalah belajar. Pada nomor butir 18 pada angket, sebanyak 73,33 % atau 72 mahasiswa dari 76 mahasiswa dapat memberikan tanggapan bagi siswa lain yang mengajukan pertanyaan. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya. Mahasiswa dalam melaksanakan proses pembelajaran, akan membutuhkan bantuan dari dosen. Demi terciptanya pembelajaran yang optimal, mahasiswa yang membutuhkan bantuan tersebut, akan berupaya dengan berbagai cara agar mahasiswa dapat menguasai mata pelajaran. Mahasiswa mendapatkan kesempatan salah satunya melalui dosen.Sebesar 80 %, yaitu 70 dari 76 mahasiswa yang berupaya bertanya kepada dosen atau meminta pendapat dosen. 3) Aktifitas yang diperoleh selama pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Berdasarkan kuesioner yang diberikan, nomor butir yang mengacu pada indikator ini adalah nomor 1dan 2. Seluruh mahasiswa yaitu 70 mahasiswa atau 100 % mahasiswa setuju bahwa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat menjadikan mahasiswa aktif dalam proses pembelajaran di kelas. 4) Manfaat yang didapatkan selama pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Sebanyak 96,67 % yaitu 69 dari 76 mahasiswa setuju bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS memiliki manfaat dalam proses pembelajaran Hukum Konstitusi. 27) Kendala yang dialami selama proses pembelajaran Hukum Konstitusi menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) mahaiswa dengan berbagai karakter, memiliki metode pembelajaran yang berbeda-beda pula. Peneliti ingin mengetahui mahasiswa yang memiliki kendala dalam proses pembelajaran menggunakan model pembeljaran kooperatif tipe TPS. Sebanyak 70 % atau 67 mahasiswa dari 76 mahasiswa kurang setuju adanya kendala dalam menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 113

2) Uji Coba Terbatas Siklus II Sebelum dilakukan uji coba pada tahap ketiga,

peneliti bersama dengan guru mendiskusikan temuan-temuan yang ada di uji coba tahap kedua ini. Berdasarkan hasil observasi, peneliti memberikan kesimpulan bahwa secara umum langkah langkah yang terdapat dalam sintak sudah terlaksana dengan baik oleh guru, bahkan dalam beberapa indikatornya mengalami perbaikan. Sajian data sintak pembelajaran hasil observasi uji coba terbatas siklus II.

Secara umum langkah-langkah dalam sintak tersebut sudah terlaksana dengan baik oleh guru. Beberapa aspek dalam sintak setelah diobservasi dan dinilai oleh peneliti mengalami peningkatan, baik dalam kegiatan apersepsi, eksplorasi, kofirmasi dan penutup. Selain itu beberapa aspek lain dalam prisip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung juga mengalami penyempurnaan jika dibandingkan dengan uji coba siklus I.

3) Uji Coba Terbatas Siklus III Berdasarkan hasil observasi, peneliti

memberikan kesimpulan bahwa secara umum langkah-langkah yang terdapat dalam sintak sudah terlaksana dengan baik oleh guru. Berikut sajian data sintak pembelajaran hasil observasi uji coba terbatas siklus III. Seperti yang terlihat dalam observasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam sintak, bahwa secara umum dapat dikatakan sudah baik dimana langkah-langkahnya telah dijalankan. Beberapa komponen juga mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan siklus II.

Hasil penelitian tahap selanjutnya yaitu validasi instrumen penelitian oleh pakar atau ahli. Instrumen yang dikembangkan terlebih dahulu divalidasi oleh pakar atau ahli untuk menguji layak atau tidaknya instrumen-instrumen tersebut digunakan untuk mengukur aspek-aspek yang akan dikembangkan dan ditinjau melalui pengukuran yang telah dibuat, butir-butir pertanyaan, penggunaan bahasa, serta kejelasan petunjuk penggunaan instrumen. Instrumen yang divalidasi meliputi model pembelajaran, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, soal, dan materi pelajaran yang telah disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

Setelah peneliti melakukan kolaborasi dan kerja sama dengan guru IPS di SDN 1 Bedewang untuk mengembangkan pembelajaran ini, maka akan dilakukan uji coba terbatas di kelas IV. Berdasarkan saran dan persetujuan yang telah didiskusikan, dari enam Kompetensi Dasar hanya diambil satu yang dianggap mendukung pengembangan model pembelajaran IPS berbasis nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan. Kompetensi Dasar tersebut yaitu menghargai keragaman suku bangsa dan budaya setempat (kabupaten/kota, provinsi). 3. Uji Efektivitas Pembelajaran IPS Berbasis Nilai-

nilai Kearifan Lokal Ttadisi Kebo-keboan. Uji efektivitas model pembelajaran ini

dilakukan dengan melakukan uji kompetensi di dua kelas berbeda, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pembelajaran yang dilakukan di kelas kontrol menggunakan metode biasa, atau dengan kata

lain tidak diberikan perlakuan. Sementara itu pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran IPS berbasis nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan yang telah disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Selain tes prestasi, uji efektivitas terhadap model juga dilakukan dengan mengukur keterampilan sosial siswa melalui angket yang telah disebarkan oleh peneliti dan berkolaborasi dengan guru. 1. Tes Prestasi a. Hasil Uji Normalitas Kelompok Kontrol

Simpulan dari hasil uji normalitas kelompok kontrol menggunakan SPSS dengan jumlah n = 30 dan (α) = 0,05, maka diperoleh data sebagai berikut : Hasil uji statistik SPSS dengan teknil Kolmogorov-Smirnov (lihat lampiran) diperoleh data statistik sebesar 0,137 dan signifikansi sebesar 0,177. Dikarenakan nilai signifikansi (0,177) lebih besar dari alfa (0,05) maka data dari kelompok kontrol dapat diartikan berdistribusi normal.

b. Hasil Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Dari hasil uji normalitas kelompok eksperimen dengan jumlah n = 30 dan (α) = 0,05, maka diperoleh data sebagai berikut : Hasil uji statistik SPSS dengan teknik Kolmogorov-Smirnov (lihat lampiran) diperoleh data statistik sebesar 0,143 dan signifikansi sebesar 0,134. Dikarenakan nilai signifikansi (0,134) > = (0,05) maka data dari kelompok eksperimen dapat diartikan berdistribusi normal.

c. Hasil Uji Homogenitas Uji homogenitas dimaksudkan untuk mencari bahwa dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama. Berikut simpulan hasil uji statistik dengan program SPSS : Berdasarkan hasil uji diperoleh p > α (0,207 > 0,05) yang berarti Ho diterima, dimana tidak terdapat perbedaan variansi antara kelas kontrol dan kelas eksperimen (lampiran).

d. Hasil Uji Kesetaraan Sebelum Perlakuan (kelas kontrol dan kelas eksperimen) dengan bantuan program SPSS 19 adalah sebagai berikut : Kesimpulan yang diperoleh dari uji statistik dengan program SPSS yaitu hasil uji F = 0,032 dengan taraf signifikansi 0,865 > 0,05 maka terdapat kesamaan varian. Sedangkan pada hasil uji t (0,152) <

(2,00) dengan taraf signifikansi 0,884 > 0,05 Ho diterima, maka rerata kompetensi kedua kelas sama (lihat lampiran).

e. Hasil Uji Perbedaan Rerata Setelah Perlakuan (Kelas kontrol dan Kelas Eksperimen) dengan program SPSS 19 adalah sebagai berikut : Kesimpulan yang diperoleh dari uji statistik dengan program SPSS (lihat lampiran) yaitu hasil uji F = 1,975 dengan taraf signifikansi 0,167 > 0,05 maka terdapat persamaan varian. Sedangkan pada hasil uji t (2,735) > (2,00) dengan taraf signifikansi 0,008 < 0,05 Ho ditolak, maka rerata kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah perlakuan tidak sama.

Page 77: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

112 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

merupakan suatu teknik analisis yang mantap untuk menarik kesimpulan, sehingga untuk menafsirkan sesuatu dibutuhkan lebih dari satu sudut pandang supaya data lebih lengkap, mantap, dan mendalam untuk menyimpulkan sesuatu.

C. PEMBAHASAN

a. Hasil Penelitian

1. Hasil Penelitian Pendahuluan

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan terhadap materi pembelajaran pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, maka peneliti mempunyai dasar pertimbangan dalam melaksanakan pengembangan pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Hasil penelitian pra survei adalah sebagai berikut : 1) Studi Pustaka

Studi pustaka adalah suatu pembahasan yang berdasarkan pada buku-buku referensi yang bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan. Dalam hal ini peneliti hanya mengangkat bagaimana asal mula tradisi kebo-keboan itu muncul, makna simbolik dari tradisi tersebut, serta tata cara pelaksanaannya. Sementara itu kajian mengenai kondisi masyarakat yang terdiri dari empat etnis dijadikan contoh sebagai bentuk nilai sosial yang terjalin, sehingga siswa diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai sosial tersebut baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. 2) Survey Lapangan 1) Observasi

Survey lapangan adalah untuk memperoleh data dan informasi di lapangan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil observasi ini, model pembelajaran IPS yang digunakan masih berpusat pada guru yaitu melalui metode ceramah, sementara siswa hanya menjadi pendengar dan terlihat pasif.

2) Hasil Wawancara

Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahwa materi yang disajikan selama ini hanya bersumber dari buku paket, sesuai dengan kurikulum, guru tidak mengangkat kebudayaan lokal sebagai pengembangan mater pembelajaran dikarenakan sulitnya mendapatkan literatur yang harus disesuaikan dengan Kompetensi Dasar yang ingin dicapai.

Sementara itu wawancara dengan dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Jember. Berdasarkan hasil wawancara ini peneliti kemudian memperoleh informasi mengenai kondisi sosial masyarakat Banyuwangi yang terbagi beberapa etnis (Jawa, Madura, dan Using). Keberadaan etnis-etnis ini juga mendukung terlaksananya tradisi kebo-keboan. Dengan demikian, keterampilan sosial yang terjalin di antara etnis-etnis itu dapat dijadikan contoh model pembelajaran IPS yang berbasis nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan.

Berdasarkan observasi oleh peneliti terhadap langkah-langkah dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat dikatakan sudah terlaksana dengan baik, guru juga aktif memberikan motivasi, penguatan, serta memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengungkapkan ide-idenya yang berupa pendapat dan pertanyaan seputar materi yang disajikan.

Keterampilan sosial siswa masih tergolong rendah. Siswa cenderung acuh terhadap permasalahan yang diberikan oleh guru, serta komunikasi hanya terbatas pada beberapa siswa saja. Siswa belum bisa menerapkan konsep keterampilan sosial yang positif, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. 3) Analisi Kebutuhan Guru dan Siswa

Berdasarkan angket analisis kebutuhan yang diberikan kepada siswa, sebagian besar siswa senang dengan pelajaran IPS untuk mengetahui tentang keragaman suku bangsa dan budaya setempat. Sementara model pembelajaran yang dilakukan oleh guru adalah menjelaskan secara detail materi dari buku paket, pemberian tugas, serta tanya jawab. Disamping siswa memperoleh informasi dari buku paket, siswa juga terkadang aktif mencari informasi dari internet. Berdasarkan materi yang disajikan, sebagian besar siswa mudah menerima dan mengerti apa yang dijelaskan oleh guru.

Sementara itu guru menganggap perlu untuk memasukkan tradisi kebo-keboan untuk dijadikan contoh dalam pembelajaran. Selain untuk mengangkat potensi lokal yang ada di daerah, guru berharap bahwa siswanya paham akan kebudayaan yang ada di lingkungan sekitar, serta lebih menghargai adanya tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat. Namun keterbatasan sumber tentang kebudayaan lokal ini menjadi kendala bagi guru untuk mengembangkan materi pembelajaran. 2. Pengembangan Pembelajaran IPS Berbasis

Nilai-nilai Kearifan Lokal Tradisi Kebo-keboan Penelitian pada tahap ini dijalankan

menggunakan prosedur CAR (Classroom Action Research) atau penelitian tindakan kelas. Adapun langkah-langkahnya meliputi perencanaan, pelaksanaan atau tindakan, observasi dan refleksi. Berdasarkan langkah-langkah pada pelaksanaan siklus I dapat menjadi acuan untuk melakukan perencanaan pada uji coba di siklus berikutnya.

Pada dasarnya pada tahap uji coba terbatas yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen ini hanya dilakukan di dua kelas saja. Uji coba ini akan dihentikan bukan dilihat dari banyaknya jumlah pelaksanaan, melainkan dari hasil yang didapat dari penelitian.

1) Uji Coba Terbatas Siklus I Sebelum dilakukan uji coba pada tahap kedua,

peneliti bersama dengan guru mendiskusikan temuan-temuan yang ada di uji coba tahap pertama ini. Berdasarkan hasil observasi, peneliti memberikan kesimpulan bahwa secara umum langkah langkah yang terdapat dalam sintak sudah terlaksana dengan baik oleh guru. Hanya saja, pada aspek menyampaikan materi kurang begitu detail. Beberapa materi sengaja dilewati untuk mempersingkat waktu. secara lebih jelasnya dapat dilihat dalam langkah-langkah sintak.

Secara umum langkah‐langkah dalam sintak ini sudah terlaksana dengan baik oleh guru. Selain dibatasi oleh waktu, dalam tahapan ini siswa juga belum bisa menyampaikan gagasannya secara penuh 

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 69

Pada bagian ini dijelaskan hasil penelitian tindakan yang dilakukan yaitu hasil observasi terhadap aktifitas mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa. Siklus I a. Aktifitas mahasiswa Pada awal pertemuan aktifitas mahasiswa yang bertanya sedikit sekali namun setelah dilanjutkan pertemuannya terjadinya peningkatan. Aktifitas mahasiswa dalam menjawab pertanyaan dosen pada awal pertemuan mulai kelihatan dan terjadi peningkatan. Pada saat memikirkan jawaban, aktifitas mahasiswa dapat ditingkatkan. Aktifitas mahasiswa dalam mengungkapkan ide Think masih tergolong sedikit. Aktifitas mahasiswa yang negatif seperti bermenung mengalami penurunan yang sangat cepat. Pada saat Pair umumnya mereka aktif berdiskusi. Aktifitas mahasiswa yang negatif seperti bermenung dan bekerja sendiri mengalami penurunan, pada lanjutan pertemuan mahasiswa yang bermenung sudah tidak ada lagi. Pada saat Share aktivitas mahasiswa yang dapat ditingkatkan adalah aktifitas dalam memperhatikan penjelasan temannya. b. Hasil Belajar Setelah diadakan pengamatan, di akhir siklus I ini diadakan tes hasil belajar. Berdasarkan hasil tes tersebut nilai yang dicapai oleh mahasiswa sudah cukup memuaskan. Nilai rata-rata yang dicapai oleh mahasiswa 72,2. Ada 14 (41,18% ) mahasiswa yang memperoleh nilai kurang dari 65. Sehingga secara klasikal mahasiswa belum dapat dikatakan tuntas. c. Refleksi Berdasarkan data di atas, pada siklus I masih ditemui beberapa kelemahan, yaitu : 1. Kemampuan mahasiswa bertanya masih rendah. 2. Kemampuan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan masih rendah. 3. Siswa belum terbiasanya belajar dengan pasangannya. 4. Kebiasaan selama ini, mahasiswa belum terbiasa berdiskusi secara klasikal sehingga mereka gugup, takut bertanya, dan menjawab pertanyaan. Revisi tindakan yang dilakukan pada siklus I adalah untuk meningkatkan aktifitas mahasiswa pada siklus II. Beberapa revisi tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1.Meningkatkan teknik pertanyaan . 2. Menyuruh mahasiswa untuk mempelajari materi di rumah terlebih dahulu 3. Menyuruh mahasiswa membuat pertanyaan tentang materi yang belum dipahaminya sebelum dosen menyajikan materi. Siklus II a. Aktivitas mahasiswa Setelah dilaksanakan perkuliahan berdasarkan revisi tindakan pada siklus I maka dari hasil observasi pada siklus II diperoleh data bahwa semua mahasiswa sudah memperhatikan Informasi dosen. Sedangakan aktivitas dalam menjawab pertanyaan peningkatannya sudah cukup bagus . Pada saat Think semua mahasiswa sudah memikirkan jawaban. Aktifitas mahasiswa dalam mengungkapkan pertanyaan terjadi peningkatan. Aktifitas mahasiswa melakukan kegiatan lain sudah dapat dihilangkan. Pada saat mahasiswa Pair semua mahasiswa sudah dapat berdiskusi dengan pasangannya. Pada saat Share semua mahasiswa sudah memperhatikan penjelasan temannya. Aktivitas mahasiswa dalam mengajukan pertanyaan terlihat mengalami peningkatan. b. Hasil Belajar Setelah dilakukan pengembangan pada siklus II, diberikan tes hasil belajar diakhir siklus. Berdasarkan evaluasi, hasil belajar yang diperoleh mahasiswa sudah cukup memuaskan. Nilai rata-rata yang diperoleh 74,0. Disamping itu ada 8 (23,53 % ) mahasiswa yang nilainya kurang dari 65. Secara klasikal ketuntasan belajar mahasiswa belum tercapai. c. Refleksi Berdasarkan data di atas hasil belajar mahasiswa cukup

memuaskan. Sedangkan aktifitas mahasiswa ada yang sudah maksimal, ada aktifitas yang belum maksimal tetapi masih bisa ditingkatkan, yaitu : 1) Pada saat dosen menyajikan materi: bertanya pada dosen dan menjawab pertanyaan dosen 2) Pada saat Think : mengungkapkan ide Think 3) Pada saat Share : bertanya dan menjawab pertanyaan. Siklus II a. Aktifitas mahasiswa Setelah dilaksanakan perkuliahan berdasarkan revisi tindakan pada siklus I maka dari hasil observasi pada siklus II diperoleh data bahwa semua mahasiswa sudah memperhatikan Informasi dosen serta aktifitas dalam menjawab pertanyaan mengalami peningkatan yang cukup berarti. Pada saat Think, Pair maupun Share semua mahasiswa sudah meperlihatkan aktivitas yang positif, baik dalam memperhatikan penjelasan dosen, bertanya, berdiskusi maupun memberikan penjelasan terhadap pertanyaan tenannya. b. Hasil Belajar Hukum Konstitusi. Setelah dilakukan pengembangan pada siklus II, diberikan tes hasil belajar di akhir siklus. Berdasarkan evaluasi, hasil belajar yang diperoleh mahasiswa sudah sangat memuaskan dengan nilai rata-rata yang 78,0. Walaupun masih terdapat 4 mahasiswa yang nilainya kurang dari 65, namun ketuntasan secara klasikal sudah mencapai 88,24%. C. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat diambil simpulan bahwa penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan aktifitas belajar mahasiswa jurusan PPKn FIS Undiksha semster 2 tahun ajaran 2014/2015. Keaktifan Belajar mahasiswa secara umum mengalami peningkatan 6,39 yaitu dari 88,33 % pada siklus I menjadi 94,72 % pada siklus II. Setiap indikator aktifitas belajar mahasiswa mengalami peningkatan, yakni sebagai berikut : 1. Pada indikator mahasiswa mengeksplorasi kemampuannya sendiri (think), mengalami peningkatan sebesar 5,6 % dari 84,4 % pada siklus I menjadi 100 % pada siklus II. 2. Mahasiswa membahas tugas dengan pasangannya (pair) mengalami peningkatan 6,7 % yakni dari 81,1 % pada siklus I menjadi 87,8 % pada siklus II. 3. Tidak ada peningkatan pada indikator mahasiswa menyelesaikan tugas dengan pasangannya karena sudah mencapai 100 % pada kedua siklus. 4. Mahasiswa menyampaikan hasil diskusi kelompoknya (share) mengalami peningkatan sebesar 3,3 % dari 86,7 % pada siklus I menjadi 90 % pada siklus II. 5. Siswa mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada dosen atau teman sejawat mengalami peningkatan sebanyak 14,5 % dari 73,3 % pada siklus I menjadi 87,8 % pada siklus II. 6. Mahasiswa mencatat materi yang dipelajari mengalami peningkatan 8,9 % yakni dari 90 % pada siklus I menjadi 88,9 % pada siklus II. 7. Pada indikator mahasiswa memperhatikan penjelasan pasangan lain atau dosen mengalami peningkatan sebesar 3,4 %, pada siklus I dari 83,3 % menjadi 96,7 % pada siklus II. 8. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen atau teman sejawat juga mengalami peningkatan 8,9 %, yaitu dari 77,8 % pada siklus I menjadi 86,7 % pada siklus II.

Pada saat Think, Pair maupun Share semua mahasiswa sudah meperlihatkan aktifitas yang positif, baik dalam memperhatikan penjelasan dosen, bertanya, berdiskusi maupun memberikan penjelasan terhadap pertanyaan temannya. b. Hasil Belajar Hukum Konstitusi. Setelah dilakukan pengembangan pada

Page 78: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

70 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

siklus II, diberikan tes hasil belajar di akhir siklus. Berdasarkan evaluasi, hasil belajar mencapai ketuntasan secara klasikal sejumlah 88,24%.

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tindakan kelas ini, maka peneliti menyampaikan saran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dan dosen dalam proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. Adapun saran-sarannya sebagai berikut : (1). Bagi dosen, hendaknya menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi, agar pembelajaran menjadi menyenangkan. Model pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share merupakan salah satu variasi metode pembelajaran yang dapat digunakan dosen dalam mengelola proses pembelajaran Hukum Konstitusi. Berdasarkan hasil penelitian, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share dapat Meningkatkan aktifitas belajar mahasiswa. 2. Bagi mahasiswa, hendaknya dapat lebih aktif dan antusias dalam belajar baik secara individu maupun secara kelompok. Mahasiswa atau peserta didik harus dapat memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh dosen dalam belajar. Kesempatan berupa diskusi, bertanya, mengemukakan pendapat, mengerjakan soal, dan lain sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, diharapkan akan memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran. 3. Bagi peneliti, sebagai bahan refernsi untuk peneliti selanjutnya hendaknya dapat mengembangkan penelitian tindakan kelas, khususnya pada kompetensi Faktor-Faktor Daya Ikat Konstitusi dan Landasan Yuridi Pengkajian Naskah UUD 1945 dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share, sehingga dapat mengembangkan dan memajukan penelitian di bidang pembelajaran mengenai konstitusi negara Republik Indonesia . Hal ini disebabkan penelitian tindakan kelas secara empiris menunjukkan bahwa dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi di kelas.

DAFTAR PUSTAKA Hamalik, O. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran.

Jakarta: Bumi Aksara.

Kristiyanto, A. 2010. Penelitian Tindakan Kelas Dalam Pendidikan Jasmani dan Kepelatihan Olahraga. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Mukhtar dan Iskandar. 2010. Desain Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikansi. Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta.

Miriam Budiardjo, Miriam B dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama .

Nana Sudjana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Jimly Asshiddiqie. 2011. Makalah Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Menurut UUD 1945 serta Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sugiono. 2011.Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sudjana. 1996. Metode Statistik. Jakarta: Tarsito.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif- Progresif. Jakarta: Kencana Predana Media Grup.

Trianto. 2012.Model Pembelajaran Terpadu.Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. PERMENDIKNAS. Jakarta

Warsono dan hariyanto. 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yatim Rianto. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

  

   

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 111

internasional yang dikagumi keanekaragaman budayanya lama kelamaan menjadi luntur bahkan hilang.

Pendidikan sebagai lembaga yang menyediakan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai sosial untuk resources atau sumber materi bahan ajar pendidikan. Kebudayaan dapat mewarnai bentuk pendidikan yang dapat dipakai sebagai alat untuk kemajuan bangsa dan negara. Nilai-nilai budaya atau esensi yang dimiliki kebudayaan daerah atau suku-suku bangsa yang berisi dan bernilai pendidikan dapat memberikan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa serta dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk membangun manusia Indonesia dari satu generasi ke generasi berikutnya (Simanjuntak, 2014:v).

Dalam pembentukan karakter baik kebudayaan maupun pendidikan harus saling mendukung. Kebudayaan memiliki nilai-nilai budaya yang berfungsi dan mampu membentuk karakter manusia pendukungnya. Para pendidik harus mampu menggali nilai-nilai kebudayaan yang dibutuhkan untuk membangun karakter yang dibutuhkan oleh bangsa. Namun yang paling utama adalah pendidikan harus mampu membentuk kepribadian yang memang berkeinginan keras untuk memiliki karakter yang baik dan berguna bagi bangsa. Karakter yang dilandasi moral yang baik. Moral yang diperoleh dari nilai-nilai budaya, dan terutama mendapat dukungan dari ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap insan manusia Indonesia (Simanjuntak, 2014:20).

Berdasarkan hasil pengamatan dan obsevasi di lapangan, saat ini terdapat kecenderungan bahwa mata pelajaran IPS kurang diminati peserta didik, Hal ini disebabkan karena guru dalam pembelajaran IPS masih terfokus pada model pembelajaran konvensional, kurang ditunjang dengan penggunaan model dan media pembelajaran yang inovatif, proses pembelajaran IPS kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial, serta selama ini pembelajaran IPS cenderung lebih banyak mengembangkan kemampuan menghafal materi pelajaran. Siswa belum dibiasakan memahami materi dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari, siswa juga jarang diberi kesempatan untuk berpikir tentang masalah-masalah sosial yang ada di sekitar siswa. Selain itu, kurangnya kemampuan guru untuk mengintegrasikan materi pelajaran melalui kearifan lokal yang ada di lingkungan sekitar siswa sehingga guru kurang dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa.

Melalui pengembangan model pembelajaran IPS diharapkan siswa mampu memperoleh pengalaman secara empirik dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai yang didapat di dalam mata pelajaran ke dalam kehidupan nyata serta dapat melestarikan budaya lokal yang siswa miliki sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa. Atas dasar uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun penelitian dengan judul “Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Tradisi Kebo-keboan Untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Sosial Siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon”. Penelitian ini mencoba menerapkan pengembangan model pembelajaran tersebut sehingga diperoleh kesimpulan mengenai efek

dari model pembelajaran terhadap hasil belajar dan keterampilan sosial siswa yang pada akhirnya dapat memberi referensi kepada guru IPS di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon dalam menerapkan model pembelajaran baru tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana model pembelajaran IPS yang selama ini

dilaksanakan di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon? 2. Bagaimana pengembangan model pembelajaran IPS

berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon?

3. Bagaimana efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon? Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan model pembelajaran IPS yang selama ini dilaksanakan di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon.

2. Mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan yang dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon.

3. Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kelas IV SDN 1 Bedewang dan SDN 2 Bedewang Kecamatan Songgon. Penelitian dan pengembangan ini disusun berdasarkan konsep yang telah dibuat oleh Borg and Gall. Menurut Borg and Gall (2003:624), educational research and development is a process used to develop and validate product, dapat diartikan bahwa penelitian pengembangan pendidikan adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Adapun tahap-tahap dalam penelitian dan pengembangan ini yaitu: (1) penelitian pendahuluan, (2) tahap pengembangan model, (3) uji coba model atau produk . analisis data kelayakan model menggunakan skala Likert dengan rentang 4, sedangkan uji efektivitas model menggunakan uji t.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV di SDN 1 Bedewang dan SDN 2 Bedewang Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Penentuan sampel menggunakan probability sampling dengan menggunakan teknik cluster sampling, hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Sugiyono (2012:121-122) bahwa untuk menentukan sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas, maka dalam pengambilan sampelnya berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan, sehingga diperoleh sampel dua sekolah negeri di daerah Bedewang.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, instrumen tes prestasi dan angket keterampilan sosial. Berbagai cara dalam mengumpulkan data untuk memperoleh data yang akurat, hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Sutopo (2006:92) bahwa menggunakan trianggulasi sumber

Page 79: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

110 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Tradisi Kebo-Keboan Untuk Meningkatkan

Hasil Belajar dan Keterampilan Sosial

Moh. Imron Rosidi Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi

[email protected]

Abstrak: Penelitian dan pengembangan ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan model pembelajaran IPS yang selama ini dilaksanakan di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon, (2) mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan yang dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon, (3) mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai kearifan lokal tradisi kebo-keboan untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di SDN 1 Bedewang Kec. Songgon. Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi dari konesp Borg and Gall. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, angket, dan tes prestasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi studi pendahuluan, pengembangan model pembelajaran, dan uji efektivitas model. Analisis data untuk uji validasi model menggunakan skala Likert dengan rentang 5, sedangkan uji efektivitas model menggunakan uji t. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru dalam pembelajaran IPS masih terfokus pada model pembelajaran konvensional, jarang menggunakan model pembelajaran yang inovatif. Siswa jarang diberi kesempatan untuk berpikir tentang masalah-masalah sosial yang ada di lingkungan sekitarnya. Selain itu, kurangnya kemampuan guru untuk mengintegrasikan materi pelajaran melalui kearifan lokal yang ada di sekitar siswa. Adapun langkah-langkah pengembangan model ini dibagi menjadi beberapa tahap antara lain tahap persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Validasi oleh pakar juga dijadikan pertimbangan untuk menyempurnakan model yang akan dikembangkan pada tahap uji coba. Hasil uji validasi model diperoleh nilai 4,22 (baik), validasi RPP diperoleh nilai 4,4 (baik), validasi soal diperoleh nilai 4,09 (baik) dan validasi materi diperoleh nilai 4,05 (baik). Hasil uji efektivitas menunjukkan bahwa hasil uji t 2,578 dengan taraf signifikansi 0,0013 < 0,025 yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap model yang dikembangkan. Sedangkan uji t penilaian keterampilan sosial sebesar 5,944 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,025. Dengan kata lain model pembelajaran IPS yang dikembangkan efektif meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial.

Kata Kunci: Pengembangan Model, Pembelajaran IPS, Hasil Belajar, dan Keterampilan Sosial

A. PENDAHULUAN

Pembangunan pendidikan nasional senantiasa berorientasi pada upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang ditujukan untuk mencapai keunggulan bagsa. Salah satu sektor terpenting yang memiliki kontribusi secara langsung terhadap pengembangan kualitas SDM adalah sektor pendidikan. Pendidikan dapat dikatakan sebagai katalisator utama pembangunan SDM. Pendidikan juga merupakan suatu kerangka pemikiran bagi yang berkeinginan untuk mencapai keunggulan (exellence) dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai faktor penting dalam meningkatkan daya saing di era global saat ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah suatu proses dalam upaya membangun manusia yang dapat mengenali diri dan menggali potensi yang dimilikinya serta mampu memahami realita kehidupan nyata di sekitarnya, baik secara lokal, maupun nasional, serta global.

Tujuan pendidikan nasional dapat dicapai melalui berbagai aktivitas, salah satu di antaranya yakni aktivitas pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang dimaksudkan untuk memahami dan mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, keterampilan sosial serta mampu merefleksikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu terobosan penting dunia pendidikan adalah lahirnya kurikulum baru yang memberikan perhatian besar bagi

pengembangan pendidikan berbasis kearifan budaya lokal (Susanto, 2014:v-vi).

Terobosan ini bertujuan menggugah kesadaran dan perhatian insan pendidikan dalam menggali dan mengembangkan pendidikan yang berbasis budaya lokal yang bersumber dari potensi lokal. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) berbasis kearifan lokal ini diharapkan mampu membangkitkan potensi lokal yang selama ini termarginalkan dan teralinasi dari perhatian publik. Hal ini menjadi isu aktual yang mendapat perhatian publik secara luas, sehingga masyarakat terpanggil untuk berpartisipasi aktif dalam proses kegiatan penelitian dan pengembangan kearifan budaya  lokal.    Dalam  implementasi  pendidikan berbasis  kearifan  budaya  lokal  ini  bisa  terintegrasi dalam  mata  pelajaran  atau  kegiatan  non  formal, seperti ekstrakurikuler atau dua-duanya. Lebih efektif bila program pendidikan berbasis kearifan budaya lokal terintegrasi dalam mata pelajaran dan dikuatkan dalam kegiatan ekstrakurikuler sehingga hasilnya lebih maksimal (Asmani, 2012:9-10).

Pendidikan ilmu pengetahuan sosial dan kearifan lokal merupakan perpaduan yang seharusnya tidak boleh dipisahkan, hakikat dari pembelajaran IPS adalah mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal maupun nilai luhur bangsa. Jika dalam pembelajaran IPS tidak mengintegrasikan nilai kebudayaan lokal memungkinkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa akan tercabut dari akar budaya yang telah dimiliki. Ciri khas bangsa Indonesia dimata dunia

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 71

Problem Based Learning: Model Pembelajaran Bermuatan Karakter

Imam Prawiranegara Gani Pendidikan Ekonomi, PPs-Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pentingnya model pembelajaran yang bermuatan karakter. Problem based learning merupakan model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam memecahkan masalah. Selain itu, dapat merangsang peserta didik berpikir kritis dalam menghadapi masalah-masalah dalam dunia nyata, termasuk untuk memperoleh pengetahuan dari materi pembelajaran. Nilai-nilai karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran ini. Setiap peserta didik yang memiliki komitmen tinggi untuk menyelesaikan masalah adalah peserta didik yang memiliki rasa tanggung jawab. Dari situlah nilai karakter dapat dibentuk untuk menumbuhkan nilai karakter yang lain dalam problem based learning yang bermuatan karakter.

.Kata Kunci: Problem Based Learning, Model Pembelajaran, Karakter

A. PENDAHULUAN  

Proses pembelajaran dianggap sebagai suatu sistem. keberhasilannya dapat ditentukan oleh berbagai kom-ponen yang membentuk sistem itu sendiri. Di antara sekian banyak komponen yang berpengaruh itu, komponen guru merupakan salah satu komponen yang menentukan. Oleh karena itu, berkualitas dan tidaknya proses pembelajaran sangat tergantung pada kemampuan dan perilaku guru dalam pengelolaan pembelajaran.

Guru sebagai perencana ber-tanggung jawab dalam menyusun dan merumuskan program pembelajaran dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru mampu menerapkan berbagai model pem-belajaran yang inovatif dalam proses pembelajaran. Adanya berbagai model pembelajaran adalah untuk memberikan suasana pembelajaran yang menye-nangkan dan meningkatkan kreativitas serta motivasi belajar pada peserta didik. Salah satu model pembelajaran yang dianggap dapat mengembangkan kreativitas peserta didik adalah model Problem Based Learning dengan menginternalisasikan nilai-nilai karakter.

Problem based learning merupakan model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam memecahkan masalah. Model pembelajaran ini akan lebih me-nonjolkan nilai-nilai karakter peserta didik dalam menyelesaikan suatu per-masalahan. Dalam artikel konseptual ini, model pembelajaran problem based learning akan dihadapkan pada pembentukan nilai-nilai karakter peserta didik.  

D. PEMBAHASAN Problem based learning adalah pendekatan

pembelajaran yang berpusat pada peserta didik serta dapat mem-berdayakannya untuk melakukan penelitian, menginternalisasikan teori dan praktek, menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk men-gembangkan solusi untuk masalah yang didefinisikan (Savery, 2006:12). Problem Based Learning dapat merangsang peserta didik dalam menghadapi masalah-

masalah dalam dunia nyata, termasuk untuk mem-peroleh pengetahuan dari materi pembelajaran. Model problem based learnng memfokuskan peserta didik dengan mengarahkannya menjadi pem-belajaran yang mandiri dan terlihat langsung dalam pembelajaran ber-kelompok. Hal ini dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan cara berpikir secara kritis dalam mencari pemecahan masalah sehingga diperoleh solusi yang rasional.

Penyelesaian masalah pada model problem based learning digunakan untuk melibatkan ke-ingintahuan peserta didik. Pada tingkat yang paling mendasar, problem based learning dicirikan oleh penggunaan masalah di dunia nyata sebagai konteks bagi peserta didik untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah dan untuk memperoleh pen-getahuan yang penting. Menggunakan problem based learning, peserta didik memperoleh keterampilan belajar se-umur hidup, yang mencakup ke-mampuan untuk menemukan dan meng-gunakan sumber belajar yang tepat. Hal ini tentu saja penting dalam dunia yang semakin berubah berdasarkan teknologi informasi.

Ruang problem based learning yaitu menyediakan sebuah kelompok kecil dimana keterampilan dapat dikembangkan. Peserta didik dimotivasi untuk mengidentifikasikan konsep-konsep mengenai masalah yang kompleks dari dunia nyata. Peserta didik bekerja dalam kelompok belajar kecil, menyatukan kemampuan secara kolektif, berkomunikasi, dan mengintegrasikan informasi. Kemampuan yang harus dilakukan dalam problem based learning yaitu (1) berpikir kritis dan mampu menganalisis dan memacahkan masalah yang kompleks dari dunia nyata; (2) menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan sumber belajar yang tepat; (3) bekerjsama dalam kelompok kecil; (4) menunjukkan keterampilan komunikasi yang fleksibel dan efektif baik lisan maupun tertulis.

Kementerian Pendidikan Nasional (2011:9) telah merumuskan 18 nilai karakter yang akan digunakan untuk membangun karakter bangsa melalui pendidikan yang ditanamkan dalam diri peserta didik. Nilai- nilai karakter tersebut yaitu Religius, Jujur,Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan atau nasionalisme, Cinta tanah air, Meng-hargai prestasi,

Page 80: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

72 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab. Nilai karakter tersebut dalam upaya membangun karakter bangsa melalui pendidikan di sekolah/madrasah. Dalam upaya pembangunan karakter diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk membangun karakter individu.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada mata pelajaran perlu dikembangkan, di-eksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Pendidikan karakter adalah salah satu sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemapuan dan tindakan untuk memaksimalkan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud manusia seutuhnya.

Konsep mendasar dibangunnya strategi problem based learning adalah untuk menyelesaikan masalah. Dan orang yang mempunyai komitmen tinggi untuk menyelesaikan masalah adalah orang yang memiliki rasa tanggung jawab. Dimana tanggung jawab me-rupakan salah satu nilai karakter yang dapat dikembangkan untuk me-numbuhkan nilai-nilai karakter lain seperti kerja keras, rasa ingin tahu, disiplin dan sebagainya. Dengan demikian, menyelesaikan masalah tidak mungkin dilakukan tanpa adanya kerja keras, dan kerja keras selalu mensyaratkan kedisiplinan tinggi sehingga dari nilai karakter tanggung jawab dapat dijadikan sebagai gerbang masuknya nilai-nilai karakter yang lebih kompleks.

Model problem based learning mengharuskan peserta didik ber-tanggung jawab untuk belajar secara mandiri (Hmelo-Silver, 2006:24). Guru mampu menyusun strategi model problem based learning yang baik dalam bentuk kelompok kecil. Guru sebagai fasilitator harus terus memantau peserta didik, memilih dan menerapkan strategi yang sesuai. Hal ini dapat mondorong peserta didik dapat berpikir secara kritis dan menyelesaikan suatu masalah yang kompleks dan juga dapat membentuk karakter peserta didik.

Pembelajaran berbasis masalah menyarankan kepada peserta didik untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah mem-berikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik.

Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.

Para peserta didik tidak diharapkan hanya memiliki kemampuan kognitif, tetapi mereka mampu me-nerapkan semua nilai karakter baik dalam kehidupan di sekolah maupun di masyarakat. Adapun nilai-nilai karakter yang terkandung dalam problem based learning yaitu tanggung jawab, kerja keras, toleransi dan demokratis, mandiri, kepedulian lingkungan dan sosial maupun keagamaan, semangat ke-bangsaan dan cinta tanah air (Suyadi, 2013:135). Pengembangan nilai-nilai karakter dalam Problem based learning dapat diaktualisasikan, sehingga nilai-nilai karakter tersebut dapat ditanamkan atau diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik. Dalam hal ini problem based learning dapat dimodifiksi dan dikembangkan secara kreatif agar basis nilai-nilai karakter lebih kompleks.

Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pen-didikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak meng-abaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotong-royongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.

Problem Based Learning (PBL) bermuatan karakter bermaksud untuk memberikan ruang gerak berpikir yang bebas kepada peserta didik untuk mencari konsep dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan materi yang disampaikan oleh guru. Dengan meng-gunakan pendekatan problem based learning peserta didik tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru saja, karena dalam hal ini guru sebagai motivator dan fasilitator yang meng-arahkan peserta didik agar terlibat secara aktif dalam seluruh proses pembelajaran dengan diawali pada masalah yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari. Proses internalisasi nilai karakter pada peserta didik tidak dapat dilakukan secara instan, namun secara bertahap dan dilakukan secara berkelanjutan.

Combs (1976) dalam Warsono (2014:148) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi agar terbangun situasi kela yang efektif dalam PBL, yaitu sebagai berikut: (1) peserta didik memerlukan pemahaman baik tentang risiko maupun penghargaan yang akan diperolehnya dari pencarian pengetahuan dan pemahaman. Situasi kelas harus mampu menyediakan kesempatan peserta didik untuk terlibat, saling berinteraksi, dan sosialisasi; (2) peserta didik harus sering diberi kesempatan untuk mengkonfrontasikan informasi baru dengan pengalamannya selama proses pencarian makna. Namun kesempatan ini harus timbul dari banyaknya kesempatan peserta didik untuk menghadapi tantangan baru berdasarkan pengalamannya; (3) makna baru tersebut harus diperoleh melalui proses pe-nemuan secara individu.

Adapun prosedur pelaksanaan problem based learning, meliputi: (1) Menyadari adanya masalah, guru dapat menunjukkan masalah yang dikhendaki melalui pemberian materi sehingga pesrta didik harus mampu menangkap masalah itu dengan sesuatu yang diharapkan. Nilai karakter yang dapat muncul yaitu tanggung jawab, mandiri, gemar membaca, kerja keras, rasa ingin tahu, dan kreatif; (2) Merumuskan masalah. peserta didik mampu me-rumuskan masalah sehingga

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 109

et al., (eds), Encouraging Reflective Practice in Education, An Analysis of Issues and Programs, New York: Teacher College, Columbia University.

Villegas-Reimes, E., 2003, Teacher Professional Development: An International Review of the

Literature, Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO.

Zeichner, KM. And Tabachnick, BR. 2001, ”Reflection on Reflective Teaching” in Soler, J, Craft A., Burgess, H., (eds), Teacher Development: Exploring Our Own Practice, London: Paul Chapman Publishing and The Open Universtity Press.

Page 81: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

108 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Kohonen (1995) yang melakukan sebuah penelitian di Finlandia untuk mendukung para guru tahun pertama melalui sebuah prgoram indusksi, juga memasukkan penggunaan portfolio untuk membantu para guru merefleksikan dan memonitor pengembangan profesionalnya sendiri. Hasil-hasil menunjukkan bahwa tingkat kereflektifan cukup tinggi di antara para guru yang sudah berpartisipasi dalam penelitian ini. C. KESIMPULAN DAN SARAN

Memasuki era Guru Pembelajar, guru dituntut untuk memiliki kemampuan merefleksikan pekerjaannya secara objektif dan jujur dan menjadi daya dorong bagi guru untuk terus belajar. Kemampuan belajar hanya mungkin dipacu apabila guru memiliki rasa ”kekurangan” dalam praktek-praktik profesionalnya yang ditemukan secara objektif melalui refleksi secara terus-menerus. Karena itu guru pembelajar bukan sekedar program, tetapi suatu keinginan dasariah dari guru untuk berubah dan keinginan untuk melakukan perubahan-perubahan secara terus-menerus. Karena itu program guru pembelajar harus ditunjang dengan pembentukan karakter dasar guru sebagai praktisi reflektif.

Berdasarkan kajian terhadap best practice dan uraian-uraian teoretik di atas di atas maka berikut adalah beberapa saran konkret yang dapat dilakukan baik oleh guru, pengawas, maupun kepala sekolah. Pertama, bagi para guru, hendaknya mulai menumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa refleksi terhadap praktik pembelajaran adalah sebuah tahapan kegiatan yang tidak terpisahkan dari siklus kegiatan rutin guru. Jika guru sudah mulai dengan perencanaan yang bagus dan melaksanakan perencanaannya dalam pembelajaran maka tahap akhir selain evaluasi terhadap hasil belajar siswa juga harus dilanjutkan dengan refleksi terhadap praktik pembelajaran dan hasil evaluasi terhadap kinerja belajar siswa.

Kedua, bagi kepala sekolah dan pengawas, hendaknya kegiatan supervisi yang dilakukan terhadap pelaksanaan pembelajaran guru tidak hanya terbatas pada supervisi administratif berupa kelengkapan perangkat pembelajaran saja tetapi harus juga mencermati dokumentasi refleksi guru baik dalam bentuk catatan harian, jurnal pembelajaran, atau portofolio. Para kepala sekolah dan pengawas dapat mewajibkan para guru untuk selalu memperlihatkan hasil refleksi pembelajarannya bila dilakukan supervisi. Karena itu supervisi dapat dilakukan pra pembelajaran melalui pengecekan terhadap perangkat pembelajaran, supervisi selama pembelajaran berlangsung melalui pengamatan tetapi juga supervisi pasca pembelajaran melalui pengecekan terhadap dokumentasi refleksi guru, dokumentasi terhadap hasil penilaian proses dan penilaian hasil belajar siswa. Hasil-hasil refleksi guru juga dapat dibahas dalam pertemuan-pertemuan rutin guru baik mingguan atau bulanan dalam wadah KKG / MGMP atau juga dalam rapat-rapat rutin guru di sekolah. D. DAFTAR PUSTAKA Adalbjanrdottir, S dan Selman, R., 1997, ”I Feel I Have

Received a New Vision, An Analysis of Teachers’ Professional Development as They Work with

Students on Interpersonal Issues”, Teaching and Teacher Education, 13 (4), 409-428.

Bloud, D., Keogh, R., and Walker, D (eds) 1985, Reflection: Turning Experience into Learning, London: Kogan Page.

Bush, W.S. 1999, ”Not for Sale: Why a Bankroll Alone Cannot Change Teaching Practice”, in Journal of Staff Development, 20(3), 61-64.

Clarke, A. 1995, ”Professional Development in Practicum Setting: Reflective Practice under Scrunity”, in Teacher and Teacher Education 11 (3) 243-261.

Clements, P. 2001, ”Autobiographical Research and the Emergence of the Fictive Voice” in Soler, J, Craft A., Burgess, H., (eds), Teacher Development: Exploring Our Own Practice, London: Paul Chapman Publishing and The Open Universtity Press.

Dietz, M.E., 1999, ”Portfolios”, in Journal of Staff Development, 20(3), 45-46.

Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan, 2016, Guru Pembelajar, Pedoman Program Peningkatan Kompetensi, Jakarta: Ditjen GTK, Kemdikbud.

Ershler, A.R., 2001, ”The Narrative as an Experience Text: Writing Themselves Back in” in Lieberman, A., and Miller, L., (eds), Teachers Caught in the Action: Professional Development that Matters, New York: Teachers College Press.

Freese, A.R., 1999, ”The Role of Reflection on Pre-Service Teachers’ Development in the Context of a Professional Development School”, in Teaching and Teacher Education, 15, 895-909.

Glazer, C., Abbott, L., and Harris, J., 2000, ”Overview: The Process for Collaborative Reflection Among Teachers”, (http://ccwf.cc.utexas.edu/-cgazer/reflection-process.html), diakses 24 Mei 2014.

Jarvinen, A., Kohonen, V. 1995, ”Promoting Professional Development in Higher Education Through Portfolio Assesment”, in Educational Research, 42(3) 287-308.

Jones, Jeff, Jenkin Mazda, and Lord, Sue, 2006, Developing Effectice Teacher Performance, London: Paul Chapman Publishing.

Loughran, John J., 1996, Developing Reflective Practice: Learning about Teaching and Learning Through Modelling, London: Falmer Press.

McKernan, J. 1999, Curriculum Action Research, London: Kogan Page.

Payong, Marselus R. 2011, Sertifikasi Profesi Guru, Konsep Dasar, Problematika dan Implementasinya, Jakarta: Indeks.

Potter, T.S., and Badiali, B.J. 2001, Teacher Leader, New York: Eye on Education.

Riggs, I.M., Sandlin, R.A., 2000, ”Teaching Portfolios for Support of Teachers’ Professional Growth”, in NASSP Bulletin, 84 (618), 22-27.

Ross, D.D., 1990, ”Programmatic Structures for the Preparation of Reflective Teacher”, in Clift, RT,

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 73

dapat menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih fokus terhadap materi yang diajarkan. Nilai karakter yang dapat muncul yaitu kerja keras, kreatif, bertanggung jawab, gemar membaca, jujur, dan disiplin; (3) Merumuskan hipotesis, peserta didik dapat me-rumuskan hipotesis yang logis, rasional dan empiris sesuai dengan materi pembelajaran. Nilai karakter yang dapat muncul yaitu kreatif, kerja keras, tanggung jawab, dan jujur; (4) Mengumpulkan data, peserta didik diharapkan mampu mengumpulkan data-data yang relevan dari berbagai referensi-referensi yang digunakan serta menyajikannya. Nilai karakter yang dapat muncul yaitu kreatif, jujur, disiplin, rasa ingin tahu, dan kepedulian sosial; (5) Menguji hipotesis, peserta didik diharapkan mampu menguji hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data–data yang dikumpulkan. Sehingga peserta didik mampu memilih hipotesis yang sesuai dan benar. Nilai karakter yang dapat muncul yaitu kerja keras, jujur, rasa ingin tahu, mandiri, dan tanggung jawab; (6) Menentukan pilihan penyelesaian, peserta didik memilih salah satu kesimpulan ataupun solusi yang diambil dari hipotesis yang telah teruji kebenarannya berdasarkan data yang relevan sebagai suatu pilihan. Sehingga dapat menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan. Nilai karakter yang dapat muncul yaitu tanggung jawab, jujur, kreatif, mandiri, kepedulian sosial, dan berani mengambil resiko.

Prosedur pelaksanaan pem-belajaran berbasis masalah dapat ditanamkan nilai-nilai karakter. Prosedur tersebut menjadi acuan dalam me-laksanakan tindakan untuk mening-katkan hasil belajar peserta didik. Hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemaanusiaan saja. Namun hasil belajar yang optimal dapat tercapai bilamana dalam proses pembelajaran bagi peseerta didik mampu menciptakan nilai-nilai perilku dari seluruh aktivitas kehidupannya.

Problem based learning ber-muatan karakter merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah ini akan lebih menonjolkan nilai-nilai karakter peserta didik dalam menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan kurikulum sekarang.

Keunggulan problem based learning bermuatan karakter, meliputi: (1) Dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya, dan bertanggung jawab dalam pem-belajaran yang dilakukan; (2) Dapat mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis dan beradaptasi dengan pengetahuan baru; (3) Dapat membantu peserta didik mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata; (4) Dapat menantang kemampuan peserta didik, sehingga memberikan keleluasaan untuk me-nentukan pengetahuan baru bagi peserta didik.

Kelemahan Problem Based Learning bermuatan Karakter, meliputi: (1) Ketika peserta didik tidak memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah yang dipelajari, maka mereka cenderung tidak mencoba karena takut salah; (2) Tanpa pemahaman mengenai masalah, peserta didik tidak akan belajar yang ingin mereka pelajari.

Keunggulan dalam model Problem Based Learning yaitu dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan permasalahan yang

dihadapinya, sedangkan kelemahan dalam model Problem Based Learning yaitu membutuhkan waktu cukup lama dan peserta didik harus memiliki minat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya. E. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pertama, Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang dapat merangsang peserta didik dalam menghadapi masalah-masalah dalam dunia nyata, termasuk untuk memperoleh pengetahuan dari materi pembelajaran. Hal ini dapat mem-bantu peserta didik untuk mengem-bangkan cara berpikir secara kritis dalam mencari pemecahan masalah sehingga diperoleh solusi yang rasional. Dan problem based learning bermuatan karakter dapat membangun karakter peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga kemampuan peserta didik mampu berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis.

Kedua, Strategi problem based learning yaitu untuk menyelesaikan masalah, sehingga peserta didik memiliki komitmen yang tinggi untuk bertanggung jawab dan kerja keras menyelesaikaan masalah.

Ketiga, Melalui model problem based learning yang bermuatan karakter dapat mengembangkan aspek secara keseluruhan baik itu aspek pengetahuan maupun aspek perilaku peserta didik. Muatan karakter dapat ditanamkan pada saat pelaksanaan model itu sendiri.

Saran

Berdasarkan uraian tersebut terdapat saran yang disampaikan untuk pendidik yaitu model pem-belajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis karakter ini perlu diterapkan dan dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif pem-belajaran, agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan dari materi pembelajaran serta ikut menum-buhkan nilai karakter peserta didik.

F. DAFTAR PUSTAKA

Hmelo-Silver, Cindy E. and Howard S. Barrows. 2006.

Goals and Strategies of a Problem-Based Learning Facilitator. Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning,1 (1): 21-39.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum Dan Perbukuan. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman Di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Puskurbuk.

Mukhadis, A. 2014. Kiat Menulis Karya Ilmiah. Malang: Aditya Media Publishing.

Savery, John R. 2006. Overview of Problem-based Learning: Definitions and Distinctions. Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, 1 (1): 8-20.

Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikaan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suyono, dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Page 82: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

74 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Warsono, dan Hariyanto. 2014. Pembelajaran Aktif, Teori dan Asesmen. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

   

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 107

para guru dalam jabatan (Freese, 1999), dan selanjutkan mereka dapat menghasilkan suatu perbaikan dalam pembelajaran mereka.

Menurut Clarke (1995), program-program yang sudah berhasil dalam mempromosikan praktek reflektif di antara para calon guru ini memiliki beberapa variabel umum: 1) program-program itu menawarkan perspektif ganda yang kaya makna, 2) program tersebut juga menawarkan suatu ujian intensif terhadap praktek siswa; 3) program-program itu juga menawarkan para calon guru peluang untuk menteorikan praktek-prakteknya dan mendorong mereka untuk melakukan hal itu sesering mungkin; dan 4) program juga menawarkan kesempatan bagi para mahasiswa calon guru untuk menyukai ketidakpastian dan berani mengambil resiko terhadap ketidakpastian itu.

Satu contoh implementasi model ini dilaporkan oleh Adalbjarnardottir dan Selman (1997). Mereka merancang dan menerapkan satu program intervensi yang memiliki dua tujuan: 1) mendukung kompetensi dan keterampilan interpersonal siswa dan 2) menyediakan dukungan bagi pengembangan profesional guru dengan mendorong mereka merefleksikan ide-ide pedagogis mereka, tujuan, praktek mengajar, dan pengembangan profesional ketika mereka berhadapan dengan isu-isu perilaku sosial anak dan perkembangan anak. Program ini mempromosikan dua jenis refleksi: individual dan kelompok. Hasil implementasi memperlihatkan bahwa para guru menjadi lebih reflektif terhadap praktek mereka, dan tersedia kesempatan yang penting bagi siswa untuk melakukan hal yang sama.

Medium Refleksi Bagi Guru

Medium untuk melakukan refleksi bagi para guru dapat dibuat dengan berbagai macam bentuk. Berikut adalah beberapa contoh. Pertama, Catatan harian guru, yakni dokumen berisi narasi tentang segala peristiwa yang terjadi dalam proses pembelajaran guru (Payong, 2011). Catatan ini sering disebut diari guru, berisi pengalaman-pengalaman guru ketika membawakan satu sesi pembelajaran, respon para siswa, berbagai situasi yang melingkupi suasana pembelajaran dan lain. Catatan-catatan itu akan menjadi menarik dan memberikan gambaran dan informasi tentang segala seluk beluk yang terjadi di dalam kelas dan jika dibuat secara sistematis akan menjadi wahana bagi guru untuk menemukan informasi-informasi penting yang dapat direfleksikan dan sebagai petunjuk bagi guru untuk melakukan perbaikan atau pembaharuan dalam kinerja mengajarnya. Catatan harian guru juga berisi berbagai perilaku dan kinerja belajar siswa, terutama disiplin, ketekunan siswa, kegairahan siswa dalam mengikuti pembelajaran atau hambatan-hambatan teknis yang dihadapi guru dalam pembelajaran. Kemasan catatan harian guru kurang bersifat formal, kadang dibuat dengan bahasa yang sangat informal tetapi familiar dan menawan. Catatan-catatan tersebut jika dibuat secara teratur, diberikan juga dengan catatan-catatan penjelasan atau penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam ruang kelas, justru akan memberikan wawasan yang bagus dan menjadi dasar untuk guru dalam melakukan refleksi secara kritis

terhadap berbagai peristiwa dan pengalaman yang telah terdokumentasikan tersebut.

Kedua, narasi guru. Beberapa penulis melaporkan pengaruh yang luar biasa dari narasi/cerita guru terhadap pengalaman mereka di kelas terhadap pengembangan profesional mereka (Clements, 2001; Wood, 2000). Berbeda dengan catatan harian guru, narasi guru lebih komprehensif, dibuat secara mendalam dengan alur dan plot tertentu yang menarik. Seperti dikemukakan oleh Ershler (2001), model belajar melalui narasi guru adalah bagaimana guru merefleksikan pengalaman sendiri, mengumpulkan data tentang pengalaman sendiri dan menuliskan pengalaman-pengalaman harian di kelas. Ershler (2001) bahkan melaporkan bahwa penggunaan cerita guru merupakan suatu alat ‘kekuatan yang luar biasa’ (p. 163) untuk mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan guru dalam karirnya.

Adapun tahap-tahap metodologis dari narasi guru adalah sebagai berikut (Villegas-Reimers, 2003). Pertama, Para guru menulis cerita/narasi yang menggambarkan peristiwa-peristiwa atau contoh-contohh praktek pengajaran berbeda-beda. Kedua, Cerita ini kemudian dibagikan kepada guru lain pada kelompok belajar tertentu seperti KKG atau MGMP untuk dibaca dan dikaji. Ketiga, Cerita-cerita kemudian didiskusikan lebih luas. Biasanya, para guru memusatkan perhatian pertama-tama kepada peristiwa spesifik yang sedang dilaporkan dan kemudian menetapkan hubungan dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terisolasi di dalam konteks yang lebih luas. Tanggapan guru terhadap pengalaman ini bersifat positif. Keempat, Dengan mendengar cerita orang lain, para guru dapat menghayati beberapa pengalaman seolah-olah merupakan pengalaman sendiri; para penulis narasi juga mampu ‘melangkah keluar’ dari pengalaman mereka sendiri dan mencermati/ menganalisisnya sendiri seperti guru lain dalam contoh belajar mengajar tertentu.

Ketiga, portfolio guru. Portfolio adalah sekumpulan bahan/item yang dikumpulkan selama periode waktu tertentu untuk menggambarkan aspek tertentu dari karya seseorang, perkembangan profesional, kemampuan seseorang (Riggs dan Sandlin, 2000). Dalam pengajaran, portfolio biasanya merupakan suatu alat yang digunakan untuk melibatkan guru dan siswa dalam diskusi tentang topik-topik yang terkait dengan belajar dan mengajar. Ada tiga bentuk portfolio yang biasa digunakan oleh para pendidik: portfolio pekerjaan (kumpulan bahan yang menggambarkan apa yang sudah dilakukan guru dalam pembelajaran); portfolio penilaian (sebagai satu cara ntuk menunjukkan pencapaian terhadap hasil dan kompetensi yang telah ditentukan); dan portfolio belajar (sekumpulan bahan yang membantu para guru untuk mempertimbangkan dan mendeskripsikan hasil belajar)(Dietz, 1999). Portfolio pengajaran dapat melengkapi penilaian formatif, penilaian sumatif dan penilaian diri (Riggs dan Sandlin, 2000).

Studi yang dilakukan oleh Bush (1999) melaporkan keberhasilan penggunaan portfolio untuk mendukung pengembangan profesional guru, karena portfolio memberi kesempatan bagi para guru untuk merefleksikan pekerjaan mereka, tujuan, dan kegiatan-kegiatan di dalam dan di luar ruang kelas. Jarvinen dan

Page 83: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

106 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Bila keterampilan-keterampilan menyatu bersama dan terpatri sehingga menjadi kebiasaan, maka guru telah mencapai tahap ketidaksadaran akan kompetensi atau kemampuannya. Rasa percaya diri dan kemampuan guru sudah mencapai puncak dan guru tidak perlu berkonsentrasi pada apa yang harus dilakukan atau apa yang diketahuinya. Guru bisa melakukan itu tetapi mungkin mengalami kesulitan dalam memahami dan menerangkan bagaimana keterampilan-keterampilan itu dilakukan.

Tahap 5: Kesadaran akan kemampuan kompetensi yang tidak disadari

Tahap final dari model belajar ini adalah ketika guru sudah memiliki kemampuan untuk mengakui kekurangan, melihat secara cermat hubungan sebab akibat dari kekurangannya itu dan mengembangkan keterampilan-keterampilan pada bidang tertentu yang dirasakan dapat menunjang efektivitas praktik profesionalnya. Tahap ini sering disebut tahap kesadaran reflektif.

Dari studi-studi yang sudah dilakukan nampak bahwa banyak guru yang sudah mampu mencatat keprihatinan mereka tentang pengalaman ruang kelas yang buruk tetapi karena kurangnya kemampuan untuk melakukan refleksi secara kritis dan objektif terhadap masalah-masalah yang bersumber dari pengalaman konkretnya ini, maka keprihatinan tersebut sering diungkapkan dalam bentuk kambing hitam terhadap siswa dan atau pihak lain. Guru reflektif justru mengkaji praktek dan kinerja mereka sendiri, melihat secara jernih kesulitan-kesulitan yang dialami dan mencari cara-cara terbaik untuk memperbaiki situasi ini dengan menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia atau juga keahlian-keahlian profesional lainnya.

Guru yang lebih percaya diri akan memahami kebutuhan untuk menggunakan strategi yang berbeda, mempraktekkan keterampilan-keterampilan baru, dan membiasakannya dalam praktek setiap hari untuk meningkatkan keterampilan mengajar yang efektif dan pendekatan-pendekatan pengelolaan perilaku siswa yang tepat. Guru yang kurang percaya diri dan kurang reflektif perlu membangun dan mengembangkan kedua keterampilan tersebut (keterampilan mengajar efektif dan pendekatan pengelolaan perilaku) secara integratif dan mengembangkan kedua keterampilan tersebut melalui refleksi diri dan rasa percaya diri serta kemauan untuk mencoba teknik dan pendekatan-pendekatan baru.

Guru sebagai Praktisi Reflektif dan Guru Pembelajar

Model guru sebagai praktisi reflektif didasarkan pada pengalaman nyata di ruang kelas. Model ini menuntut para guru untuk memberi perhatian kepada aktivitas rutin harian mereka dan peristiwa-peristiwa dalam hari-hari reguler, dan merefleksikan makna dan efektivitasnya.

Asumsi utama yang mendasari model ini mencakup: 1) komitmen para guru untuk melayani siswa dengan merefleksikan kepuasan mereka dan aspek-aspek yang paling bermanfaat bagi mereka; 2) tuntutan profesional untuk mengkaji praktek

profesional guru secara objektif untuk memperbaiki mutu pembelajarannya; dan 3) tuntutan profesional untuk terus meningkatkan pengetahuan praktisnya.

Mo del guru sebagai praktisi reflektif ini diinspirasikan oleh model Schon (lihat Clarke, 1995) yang mengatakan bahwa seorang praktisi reflektif memiliki ciri berikut: 1) Selalu terdorong oleh rasa ingin tahu atau dipicu oleh beberapa aspek dari latar prakteknya; 2) Senantiasa menyusun cara-cara untuk berubah berdasarkan fakta-fakta dari latar profesionalnya; 3) Senantiasa menyusun ulang kiat dan strategi untuk berubah dalam terang pengetahuan masa lalu atau pengalaman sebelumnya; dan 4) Senantiasa mengembangkan suatu rencana untuk aksi di masa depan.

Dalam kaitan dengan itu, Potter dan Badiali (2001) mengatakan bahwa tiga bentuk refleksi hendaknya dianjurkan: Refleksi teknis, yang mengacu kepada mengkaji

kurikulum dan menyesuaikan pengajaran menurut situasi yang diberikan pada waktu tertentu

Refleksi praktis, mengacu kepada kemampuan guru untuk memikirkan dan mempertimbangkan alat dan tujuan dari tindakan-tindakan tertentu

Refleksi kritis, yakni kemampuan guru untuk memunculkan isu-isu yang terkait dengan situasi moral dan etis yang dihadapi dalam profesi dan mendorong guru untuk menemukan hakikat terdalam dari kebutuhan-kebutuhan para siswa.

Untuk dapat melakukan refleksi yang baik dan menemukan akar-akar persoalan secara objektif maka para guru harus memiliki kerangka pikir dan kerangka refleksi yang jelas yang didasarkan pada sejumlah tradisi atau mashab berpikir tertentu. Zeichner dan Tabachnick (2001) telah mengidentifikasi empat ’tradisi’ berpikir relektif yang masing-masingnya memiliki fokus tentang refleksi yang berbeda-beda:

Tradisi akademis memberi fokus pada penyajian mata pelajaran kepada siswa agar dapat mendukung dan meningkatkan pemahaman siswa

Tradisi efisiensi sosial berfokus pada penggunaan strategi pengajaran generik yang cerdas yang diusulkan sebagai satu hasil penelitian yang dilakukan tentang pengajaran

Tradisi developmentalis memusatkan perhatian pada proses belajar, perkembangan dan pemahaman dari para siswa

Tradisi rekonstruksionalis sosial memusatkan perhatian pada isu tentang kesetaraan dan keadilan dan kondisi sosial persekolahan. Menurut Glazer, Abbott and Harris (2000), model

praktisi reflektif menuntut para guru untuk merefleksikan pengalaman harian mereka di dalam ruang kelas, perubahan-perubahan atau eksperimen-eksperimen yang mungkin diimplemementasikan di ruang kelas dan dampaknya.

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa program yang dirancang untuk mendukung refleksi para guru terhadap praktek mereka membuat para guru dapat mengembangkan pandangan yang lebih kompleks tentang keyakinan dan praktekpraktek pembelajarannya, baik terhadap para guru pra jabatan (Adalbjanrdottir dan Selman, 1997) dan juga terhadap

75 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Penerapan Lesson Study terhadap Guru dalam Peningkatan Keprofesionalan dan

Kualitas Pembelajaran

Indah Soetjining Tyasasih SMP Negri 1 Prigen

[email protected]

Abstrak: Lesson study merupakan suatu model pengembangan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran seacara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip koligalitas dan mutual learning. Guru dituntut untuk dapat mengintropeksi pembelajaran setiap hari dan berusaha memperbaiki kualitas pembelajaran. Observasi dalam pembelajaran merupakan wadah belajar bagi guru. Sebuah kelas pembelajaran dapat dimengerti jika kita masuk sendiri dalam kelas tersebut, dan memperhatikan pembelajaran dari sudut pandang yang berbeda. Kegiatan demikian merupakan salah satu bentuk penerapan konsep komunitas belajar (learning community). Kegiatan LS bertujuan dapat meningkatkan kualitas mengajar serta pelajaran di kelas. Hasil penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif ini akan menunjukkan peningkatan pemahaman tentang materi metode belajar yang diperlukan selama proses pembelajaran kolaborasi dalam meyusun RPP dan LK.

Kata Kunci: lesson study, koligalitas, mutual learning, profesinonalitas, kualitas pembelajar

A. PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan jaman, Indonesia saat ini dihadapkan dengan generasi modern yang semakin melek dengan adanya teknologi untuk meningkatkan sistem pembelajaran mereka menjadi lebih mudah. Teknologi atau sistem yang semakin canggih jika digunakan dalam waktu dan tempat yang tepat akan menghasilkan sesuatu yang inovatif dan baik bagi kemajuan di negara ini. Seiring dengan berkembangnya jaman yang semakin maju dan berkembang, sistem pembelajaran juga secara otomatis menjadi berkembang.

Di Indonesia, mayoritas guru menggunakan sistem tradisional dalam sistem pembelajarannya, yakni metode ceramah yang berarti bahwa guru hanya menerangkan dan menjelaskan materi yang diberikan kepada siswa. Hal ini membuat siswa menjadi lebih bosan, karena tidak ada interaksi dari antara kedua belah pihak. Saat ini, siswa lebih tertarik menggunakan kegiatan pembelajaran yang lebih mudah dimengerti dan terjadi interaksi antara kedua belah pihak, yakni bagaimana kegitan terbaik dari sudut pandang guru terhadap siswa dan kegitan terbaik dari sudut pandang siswa terhadap guru.

Salah satunya sistem pembelajaran yang akan dibahas pada artikel ini yakni sistem lesson study (LS). Lesson study (LS) merupakan salah satu kegiatan metode pembelajaran yang saat ini digunakan oleh guru yang dipercaya lebih efektif. Lesson Study (LS) merupakan kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam metode pembelajarannya dalam jangka waktu yang tidak singkat dan secara terus menerus dalam menguji tingkat keprofesionalan seorang guru (Walker, 2005 dalam PKGMP, 2012). Lesson study menurut Herawati (2010) dalam PKGMP (2012) yang mengatakan bahwa LS merupakan salah satu metode pembelajaran dalam membentuk keprofresionalitasan guru dalam mengajar dan mengukur tingkat kualitas guru dalam proses kegiatan belajar mengajar di Jepang.

Pengertian LS yang disampaikan oleh beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa LS adalah metode kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk lebih meningkatkan keefektifan pembelajaran dengan

menggunakan kedua belah pihak yang terkait yakni guru dan siswa yang dilakukan secara terus menerus hingga siswa mampu benar – benar memahami materi yang disampaikan dan merasa nyaman dengan metode pembelajaran yang bersifat terbuka.

Di Indonesia, LS menggunakan 3 prinsip yang penting yakni plan, do and see. Ketiga prinsip ini sangat efektif dalam membantu kegiatan LS. Dalam praktiknya, LS dapat berjalan dengan efektif jika ketiga prinsip tersebut dapat berjalan beriringan dan terjadi dengan baik. Plan, do dan see merupakan tiga prinsip dalam kegiatan LS ini bertujuan agar peekembangan metode pembelajaran di Indonesia kedepannya akan semakin baik dan terstruktur dengan baik pula, sehingga melahirkan putra putri dengan didikan yang dapat dikatakan profesional.

Ada beberapa hal menurut PKGMP (2012) yang menjadi bagian penting dalam melaksanakan proses tahap pertama yaitu plan, hal ini meliputi kurikulum yang termasuk dari SK, KD yang akan diberikan kepada siswa, guru juga harus menentukan materi apa yang akan disampaikan kepada siswa, khususnya materi yang sulit dipahami oleh siswa. Selain itu, guru juga harus menyusun indikator apa saja dan bagaimanakah pengalaman belajar siswa yang telah dilalui, selanjutnya guru mulai menyusun metode pembelajaran yang membuat siswa menjadi aktif dan tidak takut dalam berpendapat atau dengan kata lain metode pembelajaran yang efektif dari kedua belah pihak. Guru juga dapat menyusun LK/LT untuk mengetahui apakah siswa mengerti dan memahami materi yang telah disampaikan, setelah itu menyusun lembar evaluasi dan memilih atau membuat media pembelajaran untuk menigkatkan kreativitas guru dalam proses kegiatan LS.

Prinsip kedua yakni do, pada tahap ini guru diharapkan mampu melaksanakan apa yang telah direncanakan sebelumnya dengan guru model. Pada tahap ini guru melakukan proses pembelajaran dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Dalam tahap ini, guru akan dibantu dengan kolaborator yang bertugas mengamati siswa dalam proses pembelajaran. Kegiatan ini akan berjalan dengan baik jika semua menaati peraturan saat

Page 84: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

76 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

pelaksanaan proses pembelajaran seperti mematikan atau silent HP, tidak keluar masuk kelas secara sembarangan, tidak berbicara saat ditengah proses pembelajaran, tidak membantu siswa dan fokus terhadap pengamatan siswa. Dan yang paling penting yakni tepat waktu atau sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Prinsip terakhir dalam pelaksanaan kegiatan LS yakni see. Tahap ini bertujuan untuk mendiskusikan hasil dari pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan adanya tahap ini, guru dan pengamat mampu melihat apakah LS telah berjalan dengan baik dan apakah masalah yang dihadapi siswa saat ini sehingga kurang mampu dalam menerima materi yang diberikan oleh guru. Tahap ini, beberapa hal yang harus disiapkan yakni menunjuk moderator dan notulis dalam, berdiskusi dengan menghormati guru model. Selanjutnya, guru dapat melakukan diskusi dari hasil proses pembelajaran yang telah dilakukan, guna untuk mengetahui dan mengembangkan kedepannya bagaimana proses belajar mengajar yang baik.

Saat ini, Indonesia sedang mengalami peningkatan kualitas dalam dunia pendidikan. Terlihat dari bagaimana sistem pendidikan yang berubah drastis, dari segi metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar. LS saat ini hadir dan mulai digunakan oleh sekolah – sekolah yang ada di Indonesia sebagai salah satu kegiatan metode pembelajaran yang diharapkan mampu mengembangkan sistem pendidikan yang ada di Indonesia.

Pengembangan sistem kegiatan LS ini dapat diketahui keefektifannya dengan melakukan observasi terhadap guru – guru dalam proses kegiatan pembelajaran menggunakan LS dengan menjawab bagaimanakah guru dapat melakukan kegiatan LS sehinga LS dapat berjalan dengan baik dan bagaimanakah stategi guru dalam melakukan 3 prinsip penting LS dalam kegiatan proses belajar mengajar dan apakah saat ini memang benar adanya LS dapat meningkatkan kualitas keprofesionalan guru dan kualitas pembelajaran saat ini.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari adanya LS ini yakni meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran, sehingga antara dari sudut pandang guru dan sudut pandang siswa terjadi keseimbangan saat kegiatan belajar mengajar. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan keprofesionallitasan guru dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar di kelas. Selain bertujuan untuk menyeimbangkan sudut pandang guru dan siswa, LS juga bermanfaat untuk menjadi motivasi guru dalam meningkatkan kegiatan pembelajaran dan menambah wawasan guru dalam berkegiatan pembelajaran.

B. METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang

bertujuan untuk memberikan hasil bagaimanakah kegiatan LS dapat berjalan dengan efektif dengan menggunakan pertanyaan mendalam, sehingga hasil yang didapatkan diharapkan mampu mewakili dari guru yang di Indonesia apakah sistem ini dapat berjalan dengan baik dan mampu diterapkan dalam kegiatan proses pembelajaran yang ideal. Terlaksanakannya metode ini dilaksanakan dengan menyebarkan beberapa pertanyaan langsung kepada guru yang menerapkan dan belajar menerapkan sistem kegiatan LS dalam proses pembelajarannya dan bagaimana feedback siswa dalam

menerima kegiatan LS yang mengutamakan keterbukaan antara guru dan siswa dalam penerimaan materi yang telah disampaikan oleh guru.

Guru yang akan dijadikan penelitian yakni guru IPS yang ada di SMPN 1 Prigen yang berjumlah tiga orang. Alasan memilih SMPN 1 Prigen karena guru – guru terutama guru IPS di SMPN 1 Prigen merupkan guru yang bersemangat mengikuti dan mau belajar bagaimana sistem LS dapat diterapkan dalam metode pembelajaran setelah guru IPA.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan dalam artikel ini merupkan 3 prinsip penting yang dilakukan oleh guru – guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran menggunakan lesson study. Tiga prinsip penting dalam pelaksanaan lesson study yakni plan (perencanaan), do (melakukan) dan see (melihat). Sample dalam penulisan ini yakni SMP Negeri 1 Prigen. Guru yang akan dijadikan sample yakni guru – guru yang berkonentrasi di IPS yakni Sulistyoningsih, S.Pd dan Sri Subekti, S.Pd.

Plan (Perencanaan)

Hasil yang ditemukan yakni plan merupakan hal pertama yang terpenting melakukan kegiatan pembelajaran. Tanpa adanya plan, maka seluruh mata pelajaran yang akan diajarkan menjadi tidak terstruktur dengan baik dan memungkinkan tidak adanya keefektifan dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada tahap ini, guru diharuskan untuk mengidentifikasi terlebih dahulu masalah apa yang dihadapi oleh siswa, kemudian baru merencanakan metode pembelajaran lesson study bagaimana yang tepat, sehingga sesuai dengan karakteristik siswa. Setelah itu, guru juga diharapkan mampu menyusun LK/LT yang bertujuan mengetahui apakah siswa mengerti dan memahami materi yang telah disampaikan, setelah itu menyusun lembar evaluasi dan memilih atau membuat media pembelajaran untuk menigkatkan kreativitas guru dalam proses kegiatan LS.

Penulis menemukan hasil bahwa semua 100% guru IPS di SMPN 1 prigen melakukan plan dengan tujuan tercapainya pembelajaran dengan baik. Guru IPS di SMPN 1 Prigen melakukan obervasi terlebih dahulu kepada mayoritas dan minoritas karakteristik siswa, kemudian guru menentukan metode lesson study seperti apa yang akan dibawa sebagai metode pembelajaran saat melakukan kegiatan belajar mengajar. Setelah itu, guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat berdasarkan hasil observasi dan memberikan LK kepada siswa guna memberikan tes kepada siswa, sehingga mengetahui bagaimana kemampuan siswa sebenarnya.

Do (Melakukan)

Hasil pelaksanaan LS di kelas, ditemukan hasil bahwa guru SMPN 1 Prigen, Pasuruan melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan metode lesson study dengan menggunakan baik. Lesson Study dilaksanakan oleh tim guru mata pelajaran di sekolah, salah satu sebagai penyaji atau modeling sedang guru tim lainya sebagai observer. Saat pembelajaran berlangsung, guru datang dengan tepat waktu, sehingga pembelajaran dengan

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 105

dalam menolong siswa atau memperbaiki kualitas pembelajarannya

- Melalui refleksi yang berkelanjutan, para guru dibantu untuk semakin kritis terhadap berbagai faktor-faktor baik yang ada di dalam lingkup sistem pembelajaran mikro di dalam kelas maupun di luar sistem pembelajaran di dalam kelas yang berpengaruh terhadap kinerja belajar siswa atau juga kinerja guru.

- Refleksi juga membantu guru meningkatkan ketajaman analisis untuk semakin peka terhadap persoalan pembelajaran dan persoalan-persoalan lain yang berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap pembelajaran dan hasil-hasilnya

- Refleksi dapat membantu mengembangkan kesadaran kritis guru untuk jujur terhadap diri sendiri sehingga timbul self-awareness secara berkelanjutan

- Refleksi diri yang jujur dan objektif dapat menjadi suatu alat pertanggungjawaban publik kepada para stakeholders.

- Guru yang melakukan refleksi diri secara teratur dan melakukan pencatatan secara sistematis terhadap berbagai hasil refleksinya akan membantunya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan meneliti khususnya studi kasus dan penelitian tindakan kelas.

- Refleksi guru menjadi dasar bagi guru untuk mengembangkan kemampuan belajar secara terus menerus (guru pembelajar) terutama sepanjang karier profesionalnya.

Mengembangkan Kesadaran Reflektif Guru

Kemampuan melakukan refleksi menurut Jones, Jenkins dan Lord (2006) merupakan sebuah disposisi yang bisa dipelajari, dilatih dan dikembangkan. Bagi guru yang sudah terbiasa menjalankan tugas sebagai pengajar dengan sejumlah panduan dan tuntutan yang bersifat birokratis dan mekanistik, kemampuan ini membutuhkan kesabaran, ketekunan dan kesediaan untuk belajar. Sebetulnya, refleksi guru tidak dilakukan atas pengalaman-pengalaman istimewa, namun bertolak dari peristiwa-peristiwa yang biasa, mungkin juga alamiah, atau rutinitas. Mengikuti skema Jones, Jenkins dan Lord (2006) kami membagi tahap-tahap belajar reflektif sebagai berikut:

Tahap 1: Ketidaksadaran akan ketidakmampuan

Pada tahap ini, guru tidak menyadari akan kekurangan dan keterbatasan dirinya. Mereka tidak tahu bahwa mereka tidak mampu atau tidak kompeten atau guru tidak tahu apa yang mereka tidak ketahui. Sebagian guru yang berkinerja rendah berada pada tahap ini dan guru senior atau kepala sekolah perlu memberikan dukungan kepada para guru ini untuk mengidentifikasi bidang-bidang mana yang kurang dikuasai oleh guru agar para guru menjadi lebih efektif. Pada tahap ini sebagian guru tidak mengakui kebutuhan akan belajar karena rasa percaya diri mereka melebihi

kemampuan mereka. Tahap ini boleh dikatakan sebagai tahap pra kesadaran kritis karena pada tahap ini guru tidak menyadari adanya masalah yang harus direfleksikan. Guru melihat aktivitas sebagai hal rutinitas biasa dan karena itu sejauh semua tugas pokok sudah dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka ia sudah dianggap kompeten. Ketidaksadaran akan kemampuan kadang-kadang juga terjadi karena tidak adanya keluhan baik yang datang dari siswa maupun dari pihak lain seperti orang tua, kepala sekolah, atau pengawas.

Tahap 2 : Kesadaran akan Ketidakmampuan

Ketika para guru sadar bahwa mereka tidak kompeten, maka para guru menyadari bahwa mereka perlu belajar keterampilan tertentu. Namun kesadaran tentang kemampuannya terbatas (guru tahu apa yang mereka tidak ketahui). Guru yang berkinerja rendah menyadari bahwa dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka maka efektivitas mereka dapat diperbaiki. Pada tahap ini tidak lazim bagi guru untuk mengalami kehilangan kepercayaan diri karena guru mempraktekkan keterampilan baru sebagai bagian dari proses pembelajaran diri dan sering menemukan kegagalan. Implikasi bagi para guru senior atau pimpinan sekolah adalah merancang dan menawarkan suatu program dukungan tertentu yang dibuat secara terstruktur. Kesadaran ini belum mencapai kesadaran kritis karena guru belum menyadari bahwa ketidakmampuan yang dimilikinya memiliki dampak yang bersifat sistemik. Akibatnya, upaya-upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki kinerja dan kompetensinya dilakukan secara parsial dan penyelesaian masalah juga sering terjadi sesaat. Misalnya, guru menyadari bahwa ketidakmampuan siswa dalam membaca suatu teks tertentu adalah akibat dari teknik penugasan yang tidak tepat. Karena itu untuk meningkatkan kemampuan siswa membaca teks para guru mengubah teknik atau metode penugasannya atau bahkan mengkombinasikannya dengan metode lain.

Tahap 3: Kesadaran akan Kemampuan

Ketika guru menyadari kompetensinya, maka guru sudah belajar keterampilan baru yang dapat dipraktekkannya. Guru menjadi lebih percaya diri akan kemampuannya dan mampu mempraktekkannya dalam situasi nyata. Guru dapat melakukan itu jika ia tahu bagaimana melakukannya. Sebagai pembelajar, guru menjadi semakin percaya diri terhadap kemampuannya untuk mempraktekkan keterampilan-keterampilan barunya sebaik-baiknya. Bagi guru senior atau mentor, perlu memberikan dukungan dan dorongan serta monitoring berkesinambungan untuk memelihara kompetensi yang baru dikuasai oleh guru. Kesadaran ini sudah melibatkan afeksi yang luar biasa sehingga ada dorongan dan kegairahan tertentu dalam diri guru untuk selalu mengoreksi kemampuannya, menyesuaikannya dengan tuntutan dan masalah-masalah baru.

Tahap 4: Ketidaksadaran terhadap Kemampuan

Page 85: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

104 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

melakukan pembaharuan-pembaharuan di dalam praktik profesionalnya. Refleksi guru telah menjadi salah satu resep ampuh seiring dengan munculnya konsep tentang guru sebagai praktisi reflektif (reflective-practitioners).

A. METODE PENELITIAN

Makalah ini merupakan sebuah kajian kepustakaan yang didasarkan pada sejumlah riset dan kajian-kajian teroretik yang telah dilakukan. Penulis melakukan kajian terhadap sejumlah riset dan kajian terdahulu dan melakukan kategorisasi terhadap riset-riset yang berkaitan dengan topik yang dibahas, memberikan analisis kritis terhadap hasil-hasil riset tersebut dan kemudian menuliskannya secara sistematis dalam bentuk paper. B. PEMBAHASAN

Hakikat Refleksi Guru

Louden (1991) yang dikutip Jones, Jenkins dan Lord (2006) mendefinisikan refleksi sebagai: pemikiran yang serius dan bijaksana dengan mengambil jarak dari tindakan, suatu proses mental yang terjadi di luar dari tindakan, dengan melihat ke belakang terhadap tindakan yang sudah dilakukan sebelumnya.

Menurut Boud, Keogh dan Walker (1985), refleksi merupakan bagian dari suatu proses belajar, dan merupakan istilah generik untuk kegiatan-kegiatan intelektual dan afektif yang dilakukan individu untuk mengkaji kembali pengalaman-pengalamannya sehingga dapat memberikan pemahaman dan apresiasi baru. Ross (1990) mengatakan bahwa dalam pembelajaran, refleksi merupakan satu cara berpikir tentang hal-hal pendidikan yang mencakup kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan rasional dan mengambil tanggungjawab untuk pilihan-pilihan tersebut.

Tentang prinsip-prinisip yang mendasari refleksi, McKernan (1999) mengatakan bahwa sifat yang paling luar biasa dari profesional adalah kemampuan untuk melakukan evaluasi diri dan perbaikan diri melalui penelitian dan kajian yang sistematis terhadap praktek-prakteknya sendiri. Demikian pun, Ross (1990) mengatakan bahwa refleksi merupakan suatu cara berpikir tentang hal-hal pendidikan yang melibatkan kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan yang rasio0nal dan untuk menerima tanggungjawab terhadap pilihan-pilihan tersebut.

Boud, Keogh dan Walker (1985, p. 19) mengatakan bahwa refleksi merupakan kegiatan manusiawi yang penting di mana orang menangkap kembali pengalamannya, memikirkan kembali pengalaman itu, mempertimbangkan dan mengevaluasinya. Maka refleksi adalah bekerja dengan pengalaman dan hal ini sangat penting dalam belajar. Kemampuan untuk berefleksi berkembang dalam tahap-tahap yang berbeda-beda untuk orang yang berbeda-beda dan inilah yang mungkin menjadi kemampuan yang mencirikan manusia untik belajar secara efektif dari pengalamannya.

Dalam salah satu buku klasiknya berjudul How We Think, John Dewey (1933) dalam Loughran (1996) mengatakan bahwa refleksi merupakan suatu produk dari kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir reflektif mencakup : 1) suatu keadaan keragu-raguan, kebingngan, kesulitan mental di mana pemikiran berasal dan 2) suatu tindakan untukk mencari, memburu, menyelidiki, menemukan bahan yang akan memecahkan keraguan, menyelesaikan dan mengakhiri kebingungan atau keraguan tersebut (p. 12).

Manfaat Refleksi Guru

Berbeda dengan praktek profesional guru pada era sebelumnya, refleksi guru memposisikan guru sebagai agen dan pelaku perubahan dalam sistem pendidikan tertentu. Ketika guru hanya diperlakukan sebagai pengajar dan pelaksana kurikulum, maka kesadaran kritis untuk melakukan refleksi tidak menjadi pilihan yang menggairahkan (Payong, 2011). Apalagi sebagai pelaksana kurikulum, guru sudah terjebak dalam jaring-jaring birokrasi. Misalnya penilaian tentang kinerja guru sebagian besarnya hanya berbasis pada dokumen-dokumen administratif. Guru hanya dituntut untuk memperlihatkan kehadirannya melalui daftar hadir, perangkat-perangkat pembelajaran yang telah dibuat (RPP, media, instrumen penilaian, materi pembelajaran dan sebagainya. Jarang bahkan belum terlihat bagaimana guru membuat evaluasi diri secara kritis atas praktek-praktek pembelajarannya selama kurun waktu tertentu, dan usaha-usaha apa yang sudah dilakukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahannya.

Dalam beberapa monitoring yang pernah kami lakukan, ada guru yang sudah memperlihatkan produk penelitian tindakan yang dilakukannya tetapi penelitian itu tidak didasarkan pada kajian kritis terhadap persoalan-persoalan pembelajaran yang dihadapinya. Karena itu, masalah pembelajaran tidak teratasi dengan tuntas karena upaya untuk menemukan akar permasalahan masih sangat dangkal dan parsial. Dari hasil review terhadap PTK yang dilakukan para guru – sebagiannya terindikasi plagiasi – akar persoalan selalu diletakkan pada faktor-faktor yang ada di dalam sistem pembelajaran mikro di dalam kelas yakni pada faktor guru dan siswa sehingga jalan keluar yang diambil sebagiannya hanya berkutat pada masalah mengutak-atik metode dan strategi pembelajaran. Padahal, akar persoalan pembelajaran jika dikaji secara kritis, sebagiannya berada di luar dari sistem pembelajaran mikro yang harus berimplikasi pada level kebijakan yang lebih luas. Karena itu penyelesaiannya tidak dapat dilakukan oleh guru seorang diri melainkan harus dalam kerjasama dengan banyak pihak, terutama orang tua, kepala sekolah atau komite-komite sekolah. Karena itu, refleksi kritis yang dilakukan oleh guru memiliki manfaat ganda. Di satu sisi ia dapat menemukan gunung es masalah dalam sistem pembelajaran mikro yang ada dalam kewenangannya, tetapi di sisi lain dapat memperlihatkan gunung es dalam sistem pembelajaran yang bersifat makro dan memiliki kaitan dengan faktor-faktor di luar dari ruang kelas. Berikut adalah beberapa manfaat utama refleksi bagi guru. - Refleksi guru membantu para guru untuk

menggunakan keterampilan berpikir kritisnya

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 77

menggunakan sistem lesson study ini mempunyai waktu yang maksimal dan efektif dalam pengaplikasiannya kepada siswa IPS di SMPN 1 Prigen.

Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok presentasi, sebelumnya guru memberikan materi yang memancing siswa dalam memberikan feedback yang diharapkan mampu mengaktifkan siswa dalam pembelajaran, sehingga tidak menjadi monoton dan bertujuan dapat memhami satu sama lain dari sudut pandang guru dan sudut pandang siswa. Guru juga memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk menyampaikan pendapat secara individu guna meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan pendapat di publik. Dengan salah satu cara ini, dapat dilihat mayoritas siswa sangat bersemangat karena mereka berpendapat bahwa dengan adanya sesi tanya jawab seacara tim maupun individu dan mampu berpendapat tentang materi yang diberikan dapat mampu lebih mengerti dengan mudah.

Dari pengamatan di kelas, dari sudut pandang siswa, guru dengan menggunakan sistem pembelajaran lesson study dengan menggunakan plan untuk tahap pertama guna untuk menguasai materi lebih baik sangat penting, sehingga siswa mampu bertanya apapun dan guru siap dalam menjawab ataupun berpendapat tentang materi yang diberikan. Hal ini juga mampu dilihat dari tingkat keprofesionalitasan guru dalam menggunakan metode lesson study.

See (Evaluasi / Refleksi)

Setelah mekaukan kedua tahap dari ketiga prinsip lesson study ini, guru IPS SMPN 1 Prigen, Pasuruan. Pada tahap terakhir ini, guru model memberikan kesan pesannya tentang metode pembelajaran lesson study yang coba diterapkan oleh guru IPS di SMPN 1 Prigen, Pasuruan. Diskusi in dipimpin oleh pada msing – masing kelompok mata pelajaran IPS. Dua dari tiga guru telah melaksanakan lesson study dengan baik, dan satu guru yang melaksanakan lesson study cukup baik. Hal ini karena adanya perbedaan pendapat tentang pengimplementasian dari palaksanaan lesson study. Lesson study dianggap agak sedikit rumit dibanding dengan metode pembelajaran menggunakan metode ceramah. Hal ini disebabkan karena satu dari ketiga guru IPS tersebut terbiasa melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan metode ceramah tanpa ada guru pendamping dan metode ceramah juga dapat meberikan feedback yang cukup untuk mengetahui kempuan dari siswa secara akademik.

Pada tahap ini hal pertama yang dilakukan yakni guru model yang telah melaksanakan lesson study, guru menyampaikan kesan pesan tentang implentasi dari metode pembelajaran yang telah dilakukan, guru menyampaikan bagaimana siswa menanggapi metode pembelajaran ini dan bagaimana suasana yang jelas sedikit berbeda dari biasanya saat melakukan metode pembelajaran lesson study di SMPN 1 Prigen, Pasuruan. Tahap ini juga dapat menentukan langkah selanjutnya dalam memperbaiki metode pembelajaran yang akan dilakukan kedepannya. Evaluasi dari guru modeling dipertimbangkan dan diberikan solusi, sehingga metode pembelajaran dengan menggunakan lesson study ini dapat dikembangkan lebih baik dan dapat diterapkan hingga mencapai titik sempurna.

Hasil keseluruhan dari adanya kegiatan metode pembelajaran lesson study di SMPN 1 Prigen, Pasuruan yakni yang pertama bahwa guru menyetujui adanya perencanaan yang matang sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran, kemudian guru juga mampu melihat permasalahan yang terjadi saat proses pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa sehingga dapat mencari jalan keluar yang sesuai. Kedua yakni bahwa guru lebih dituntut dalam keprofesionalitasan saat melakukan metode pembelajaran menggunakan lesson study. Ketiga yakni siswa mampu memberikan pendapat secara bebas saat kelompok lain memberikan kritik atau saran saat presentasi. Keempat, lesson study digunakan untuk saling bertukar pikiran, sehingga mengethui bagaimana sudut pandang dari sisi guru dan sudut pandang dari sudut siswa. Dan yang terakhir yakni metode pembelajaran lesson study cukup mampu dalam meningkatkan keprofesionalitasan guru dan kulitas pembelajaran.

KESIMPULAN

Kesimpulan dalam artikel penelitian ini yakni guru – guru IPS di SMPN 1 Prigen mengimplementasikan motode lesson study dengan tergolong sangat baik. Lesson study membantu para guru untuk meningkatkan keprofesionalitasan dalam metode pembelajaran yang efektif melalui tiga tahap penting yakni plan (perencanaan), do (melakukan) dan see (melihat / evaluasi). Strategy penerapan lesson study berjalan dengan baik dan lancar jika guru mempunyai motivasi yang tinggi dalam meningkatkan keprofesionalan mereka.  

DAFTAR PUSTAKA

PKGMP, F. (2012). Lesson study untuk pengajaran profesional dan pembelajaran bermakna: Lesson study for better teaching and learning. Pasuruan: Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan

Page 86: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

78 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Membangun Komunitas Belajar Melalui Perencanaan Pembelajaran secara

Kolaboratif: Apa itu Sejarah?

Indah Wahyu Puji Utami

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang [email protected]

Abstrak: Salah satu peran lesson study adalah untuk membentuk sebuah komunitas belajar di mana setiap orang yang terlibat dapat berkolaborasi satu sama lain. Kolaborasi ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk termasuk perencanaan pembelajaran. Artikel ini hendak mendeskripsikan praktik perencanaan pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh Komunitas Lesson Study Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang pada Matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui dokumentasi dan diskusi terfokus. Penelitian ini menemukan bahwa merencanakan pembelaajaran secara kolaboratif bukanlah hal yang mudah apalagi jika latar belakang keilmuan peserta yang terlibat berbeda. Meskipun demikian, perbedaan tersebut justru menjadi sumber inspirasi yang memperkaya perencanaan pembelajaran. Kemauan untuk saling mendengar dan saling belajar merupakan prasyarat penting dalam perencanaan pembelajaran secara kolaboratif.

Kata-kata Kunci: komunitas belajar, perencanaan, kolaborasi, Pengantar Ilmu Sejarah

A. PENDAHULUAN

Komunitas belajar (learning community) merupakan salah satu kata kunci yang penting dalam lesson study (LS). Manabu Sato, seorang tokoh LS di Jepang, memiliki visi untuk membangun komunitas belajar melalui LS. Hal ini berawal dari kegelisahannya akan hegemoni kebijakan pendidikan neo-liberal yang berlangsung di Jepang pada awal 1980-an. Ia berkeinginan untuk merevitalisasi pendidikan dan mulai melakukan inisiatif secara “akar-rumput” yang akhirnya melahirkan komunitas belajar dalam kalangan pendidikan (Saito, dkk. 2015:1).

Komunitas belajar merupakan visi dan filosofi dari reformasi sekolah. Menurut Sato (2012:13-15) sekolah komunitas belajar adalah sekolah yang memiliki visi di mana siswa-siswa saling belajar dan berkembang, sekolah di mana guru-guru pun sebagai pakar pendidikan saling belajar dan berkembang, dan sekolah di mana para orangtua serta masyarakat pun mendukung dan terlibat dalam reformasi sekolah dengan saling belajar dan berkembang. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa sekolah komunitas belajar berusaha mewujudkan misi publik sekolah, yaitu “mewujudkan hak belajar setiap anak, dan meningkatkan kualitias pembelajaran tersebut” serta “menyiapkan masyarakat demokratis”.

Komunitas belajar memandang bahwa setiap orang memiliki peran yang penting dan bisa turut berkontribusi dalam pembelajaran. Bukan hanya siswa yang dipandang sebagai pebelajar, tapi juga guru, orang tua, dan masyarakat. Semua pihak saling belajar satu satu sama lain sebagaimana yang dijelaskan oleh Saito, dkk (2015:1) sebagai berikut:

Lesson study for learning community promotes an environment where children learn together, teachers are respected as professionals modelling learning, and parents within the larger community come together and participate in the restoration of education. Such a learning community requires collaborative learning in all classrooms and encourages collegiality in the staffrooms with partnership among teachers being a critical component of success.

Pembangunan komunitas belajar dapat dilakukan melalui kegiatan LS berbasis sekolah, MGMP, maupun komunitas (Susilo, 2013). Komunitas LS Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Malang (UM) berusaha membangun komunitas belajar di lingkungan FIS UM. Komunitas yang berdiri pada awal tahun 2016 ini memiliki kegiatan rutin melaksanakan LS di berbagai program studi (prodi) di FIS. Pada semester Genap 2015/2016 komunitas LS FIS UM melaksanakan LS pada prodi S1 Pendidikan IPS dan S1 Pendidikan Geografi. Sementara pada semester Gasal 2016/2017 kegiatan LS direncanakan dilaksanakan pada prodi S1 Pendidikan Sejarah. Hal ini dilakukan karena latar belakang anggota komunitas yang berasal dari berbagai prodi yang berbeda di FIS sehingga pelaksanaan LS dilakukan secara bergiliran. Pada saat yang bersamaan, komunitas LS FIS juga mendukung kegiatan LS yang dilaksanakan oleh anggota komunitas yang mengikuti kegiatan PEKERTI. Setiap anggota komunitas menunjukkan keterlibatan dan dukungannya dalam setiap tahapan kegaiatan LS yang dilakukan.

Beberapa ahli memiliki pandangan yang berbeda tentang tahapan-tahapan LS. Misalnya saja Fernandez (2005) merinci lesson study sebagai siklus yang dimulai dari perencanaan (planning), pelaksanaan dan pengamatan (implementing and observing) oleh sejawat atau ahli, refleksi analitis (analytic reflection) terhadap pembelajaran yang terjadi, serta perbaikan (revision) secara kolaboratif. Sementara itu Lewis (dalam Syamsuri dan Ibrohim, 2008: 27) menyebutkan bahwa “lesson study is a cycle in which teachers work together to consider their long term goals for students, bring this goal to life in actual research lesson and collaboratively observe, discuss, and refine the lessons”. Dalam praktiknya, praktik LS di Indonesia pada umumnya disederhanakan menjadi 3 tahapan yaitu plan (perencanaan), do (pelaksanaan open class dan observasi) serta see (diskusi refleksi). Kolaborasi pelaksanaan LS berlangsung dalam setiap tahapan tersebut seperti yang diungkap oleh Rock & Wilson (2005) “during the lesson study process, professional collaboration occurs as teachers of various levels of experience work together in groups to study their

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 103

MENGEFEKTIFKAN GURU SEBAGAI PRAKTISI REFLEKTIF

DALAM RANGKA MENUNJANG PROGRAM GURU PEMBELAJAR

Dr. Marselus Ruben Payong, M.Pd. STKIP Santu Paulus Ruteng, Flores

([email protected])

Abstrak: Program Guru Pembelajar sebagai salah satu inovasi pengembangan profesional guru merupakan sebuah tawaran di tengah kompleksitas persoalan mutu profesionalisme guru di Indonesia. Program ini mensyaratkan guru sebagai insan yang selalu haus untuk belajar dan berubah. Program Guru Pembelajar akan menjadi efektif bila ditunjang oleh prasyarat mentalitas dan kemampuan guru. Salah satu kemampuan guru yang harus ditumbuhkan adalah kemampuan refleksi. Makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang pentingnya kemampuan refleksi guru ditumbuhkan untuk menjadi daya dorong dari dalam diri guru untuk terus belajar dan berubah. Karena itu, program guru pembelajar akan menjadi efektif sebagai sarana pengembangan profesionalisme guru berkelanjutan apabila ada kesadaran internal guru untuk selalu melakukan refleksi secara terus-menerus terhadap praktik pembelajarannya.

Kata Kunci: Guru, Praktisi Reflektif, Guru Pembelajar

A. PENDAHULUAN

Tahun 2016 pemerintah memperkenalkan sebuah program pengembangan profesionalisme guru yang bertajuk “Guru Pembelajar”. Salah satu alasan dibalik program ini adalah keprihatinan pemerintah terhadap hasil ujian kompetensi guru (UKG) pada tahun 2015 yang belum menggembirakan karena masih jauh di bawah rata-rata ideal. Rata-rata hasil ujian kompetensi guru secara nasional untuk dua bidang kompetensi yakni kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional yang diikuti oleh 2.699.516 adalah 56,7 (skala 100) dengan deviasi standar 12,67 (Ditjen GTK, Kemdikbut, 2016). Angka ini menggambarkan bahwa sebagian besar guru Indonesia masih lemah pada kedua kompetensi tersebut yang merupakan kompetensi penting bagi seorang guru profesional.

Beberapa tahun sebelumnya, pemerintah juga meluncurkan program pengembangan profesionalisme guru melalui wadah Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) berupa pelatihan-pelatihan kurikulum, penilaian, dan strategi pembelajaran inovatif dan lesson study. Juga, hampir setiap tahun para guru mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program-program pengembangan profesionalisme berkelanjutan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) atau juga di pusat-pusat pelatihan guru yang telah disiapkan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, para guru yang mengikuti prorgam sertifikasi guru wajib mengikuti program peningkatan profesionalisme guru melalui PLPG. Sudah banyak inovasi pengembangan profesionalisme guru yang ditawarkan oleh pemerintah namun hasilnya belum menggembirakan. Nilai Ujian Nasional baik pada jenjang SMP sederajat maupun SMA/MA/SMK secara nasional belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan pula.

Salah satu faktor yang diidentifikasi sebagai penyebabnya adalah kurangnya sarana pembelajaran terutama modul, bahan ajar yang terkait dengan kedua kompetensi tersebut yang dibuat secara sistematis sehingga para guru kurang memahami dengan baik dan kurang memperlihatkan kompetensi secara memadai

untuk aspek-aspek profesioal maupun pedagogik. Itulah sebabnya lahirlah program Guru Pembelajar yang disediakan dalam bentuk bahan ajar daring dan juga off line. Para guru memiliki akun tertentu untuk dapat mengakses bahan-bahan ajar online tersebut.

Inovasi untuk pengembangan profesionalisme guru semacam ini patut diapresiasi, karena memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menyediakan layanan bagi para guru yang merupakan garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Namun demikian, program-program inovatif semacam ini akan menjadi mubazir apabila tidak dicermati dengan baik akar permasalahannya secara lebih akurat. Salah satu akar permasalahan yang hemat penulis perlu dikaji lebih jauh adalah kemampuan guru dalam mengembangkan diri, terutama kemampuan melakukan refleksi atas praktik-praktik pembelajaran yang dilakukan selama ini.

Demam penelitian tindakan kelas (PTK) yang muncul beberapa tahun terakhir seiring dengan upaya peningkatan kompetensi guru konon hanyalah tuntutan-tuntutan administratif karena tidak menyentuh persoalan-persoalan subsansial yang dihadapi oleh para guru dalam pembelajaran. Belum lagi ditambah dengan mentalitas copy paste dalam membuat penelitian-penelitian tindakan kelas sehingga marwah dari penelitian tindakan kelas itu sendiri menjadi kehilangan daya ungkitnya untuk mendongkrak perubahan-perubahan substansial di dalam kelas. Malah, PTK lebih sebagai syarat bagi guru untuk mendapatkan kualifikasi S1 atau kenaikan pangkat. Karena itu, Program Guru Pembelajar yang ideal hanya bisa dicapai apabila terjadi perubahan sikap mental guru dari sekedar pelaksana kurikulum dan instruksi-instruksi pembelajaran kepada individu yang memiliki kemampuan kritis untuk melakukan refleksi secara terus-menerus terhadap praktik-praktik pembelajarannya dan secara terus-menerus pula melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam pembelajarannya.

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji peranan dari refleksi diri (self-reflection) sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kinerja guru terutama dalam

Page 87: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

102 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Seorang guru yang profesional harus mengupayakan peningkatan hasil pembelajaran seoptimal mungkin dengan menggunakan strategi, pendekatan, atau model-model pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan topik yang akan disajikan dan dipelajari oleh peserta didik. Berdasarkan uraian di atas, hal tersebut dapat diperoleh dengan melaksanakan pendekatan Lesson Study. Tahap-tahap (Plan, Do, See) dalam Lesson Study sangat efektif meningkatkan keempat kompetensi guru yaitu: kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Apabila keempat kompetensi tersebut dimiliki oleh seorang guru, maka sebutan guru profesional layak untuk disandang.

Berdasarkan keefektifan dari Lesson Study dalam peningkatan profesionalisme guru disarankan guru-guru hendaknya menyelenggarakan Lesson Study baik dalam Lesson Study berbasis sekolah maupun berbasis MGMP.

F. DAFTAR PUSTAKA  

Agoestanto, Arief. 2012. Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pada Mata Kuliah Pengantar Probabilitas Melalui Lesson Study Dengan Pengajaran Berbalik Secara Team. Jurnal Kreano. ISSN 2086-2334.

Baba, Takuya. 2007. How is lesson study Implemented? Dalam Isoda, M, Stephen, M, Ohara, Y, & Miyakawa, T. (Ed). Japanese Lesson Study in Mathematics Its Impact, Diversity and Potential for Educational Improvement New Jersey USA: World Scientific Publishing Co.Pte. Ltd.

Friedkin, Shelley. 2005. What is lesson study?. [Online]. Tersedia: http/www. lessonresearch.net/. [11 September 2005]

Mulyana, Slamet. 2007. Lesson Study (makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat.

Prayitno, Daheri. Agus. 2010. Peranan Lesson Study dalam Proses Transformasi Budaya BelajarGuru Base Bangil Kabupaten Pasuruan. Dalam Proseding seminar nasional Lesson Study 3. FMIPA Uneversitas Negeri Malang.

Gianto. 2010. Pengaruh Lesson Study terhadap Keterampilan dalam Melaksanakan Strategi Pembelajaran yang Menarik pada Pendidikan Anti Korupsi (Integrasi PKN). Dalam Proseding seminar nasional Lesson Study 3. FMIPA Uneversitas Negeri Malang.

Sparks, Dannis (1999) Overview of Lesson Study. [Online]. Tersedia: http/www.nwrel.org/msec/lesson study/overview. Html. [27 Juni 2006].

Susilo, Herawati. 2013. Seminar dan Lokakarya PLEASE 2013 di Sekolah Tinggi Theologi Aletheia Jalan Argopuro (Makalah)

Syamsuri, Istamar. Ibrohim. 2008. Lesson Study (STUDI PEMBELAJARAN) Model Pembinaan Pendidik secara Kolaboratif dan berkelanjutan; dipetik dari Program SISTEMS-JICA di Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur (2006-2008). Alang FPMIPA UM.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Widhiartha, P, A. Sudarmanto, D. Ratnaningsih, N. 2008. Lesson Study Sebuah Upaya Peningkatan Mutu Pendidik Pendidikan Non Formal. Surabaya: Prima Printing Surabaya.

   

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 79

practice through the implemen-tation of a research lesson”.

Kolaborasi di antara pendidik dalam kegiatan LS sangat penting untuk mengembangkan kolegialitas mereka (Lim, White, & Chiew, 2005; Harris & Anthony, 2001). Hal ini dimungkinkan karena LS dapat membantu membangun komunitas di mana pendidik dapat berbagi sumber dan pengalamannya membelajarkan siswa secara rutin atau periodik (Lewis, Perry, & Hurd, 2004). Para pendidik dapat belajar satu sama lain dengan berkolaborasi dalam merencanakan, mengobservasi, menganalisis dan merefleksikan praktik pembelajaran yang nyata. Lebih lanjut Lee & Oyao (2013) mengungkapkan “They strengthen their bond and develop a habit of improving their practice by working and discussing with their colleagues”. Oleh karenanya kolaborasi merupakan kunci dalam melaksanakan LS terutama untuk membangun komunitas belajar.

Kolaborasi dalam LS secara teoritis akan bermuara pada pembentukan komunitas belajar. Meskipun demikian, kolaborasi dalam pelaksanaan LS bukanlah hal yang mudah, apalagi jika pihak-pihak yang terlibat dalam LS berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda seperti yang ada dalam komunitas LS FIS UM, terutama dalam merancang pembelajaran. Oleh karenanya saya tertarik untuk melihat lebih dalam bagaimana praktik kolaborasi komunitas LS FIS UM dalam merencanakan pembelajaran, terutama pada matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah.

Pengantar Ilmu Sejarah merupakan matakuliah wajib yang disajikan pada mahasiswa semester pertama. Ada beberapa hal yang menarik dari mahasiswa semester pertama, misalnya ada beberapa mahasiswa yang masuk kuliah di prodi S1 Pendidikan Sejarah karena keterpaksaan, pengetahuan dan wawasan kesejarahan mereka pada umumnya juga masih minim. Kondisi ini merupakan tantangan yang harus dipecahkan bersama memngingat matakuliah ini sebenarnya sangat penting untuk menanamkan dasar-dasar keilmuan sejarah pada para mahasiswa. Dengan demikian praktik kolaborasi komunitas LS FIS UM dalam merencanakan pembelajaran pada matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah menjadi penting untuk diungkap.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Subyek penelitian ini adalah Komunitas Lesson Study FIS UM. Penelitian ini berlangsung selama Semester Gasal 2016/2017. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi dan diskusi terfokus. Data yang terkumpul kemudian dianalis dengan model interaktif Miles dan Huberman (2007). C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Komunitas LS FIS UM terdiri dari para civitas akademika di lingkungan FIS UM yang tertarik untuk melakukan dan mengembangkan LS. Mereka adalah dosen dari berbagai prodi di FIS seperti S1 Geografi, S1 Pendidikan Geografi, S1 Pendidikan Kewarganegaraan, S1 Pendidikan Sejarah, S1 Ilmu Sejarah, S1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), S1 Pendidikan Sosiologi

serta mahasiswa S2 Pendidikan Geografi. Komunitas ini terbentuk pada awal tahun 2016 sebagai tindak lanjut kegiatan hibah LS yang diterima oleh FIS UM selama tahun 2012-2015.

Komunitas ini secara berkala melakukan kegiatan LS. Para anggotanya secara bergantian merencanakan untuk membuka kelasnya dan mengundang anggota komunitas untuk berkolaborasi dalam merencanakan, melaksanakan hingga mereflkeksikannya. Pada semester Gasal 2016/2017 saya menawarkan diri untuk membuka kelas pada matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah.

Tawaran ini disambut positif oleh anggota komunitas. Mereka memiliki keingintahuan mengenai bagaimana membelajarkan sejarah yang selama ini terkesan membosankan kepada mahasiswa yang baru masuk apalagi kegiatan open class yang saya tawarkan adalah untuk pertemuan kedua. Artinya pertemuan ini masih termasuk pertemuan awal yang sangat penting untuk menanamkan kesan yang baik kepada mahasiswa bahwa belajar sejarah, terutama di perguruan tinggi, sangat berbeda dengan di sekolah menengah serta untuk menepis kesan negatif pembejaran sejarah yang banyak beredar. Untuk itu diperlukan perencanaan pembelajaran yang matang.

Kolaborasi Kolegial pada Plan Pertama: Penyusunan Chapter Design

Kolaborasi kolegial sudah mulai terjadi pada pertemuan pertama yang berlangsung pada tanggal 5 Agustus 2016. Pertemuan ini dihadiri oleh sepuluh orang anggota komunitas (Adrianto Tanjung, Aditya Nugroho Widiadi, Ulfatun Nafi’ah, Desinta Dwi Rapita, Lutfiyah Ayundasari, Nur Wakhid, Daya Negri Wijaya, Indah Wahyu Puji Utami, I Dewa Putu Eskasasnanda, serta Nurul Ratnawati) ditambah dengan tamu dari Lesson Study Club (LSC) Malang (Aditya Syarif) dan seorang mahasiswa dari Jepang (Shiota San) yang sedang studi mengenai pendidikan di Indonesia.

Pada pertemuan ini Aditya Syarif diundang untuk memberi gambaran bagaimana melaksanakan chapter design seperti yang sering dilakukannya di LSC Malang. Chapter design dimulai dengan merumuskan kompetensi yang ingin dicapai melalui pembelajaran Pengantar Ilmu Sejarah selama satu semester. Selanjutnya adalah membuat peta pikiran mengenai materi yang akan diajarkan untuk mencapai kompetensi tersebut. Pada awalnya terdapat beberapa perbedaan persepsi mengenai penyusunan chapter design karena agak berbeda dengan perumusan kompetensi dan tujuan serta indicator yang ingin dicapai dari sebuah pembelajaran di perguruan tinggi. Saya sebagai dosen model merasa memiliki pemahaman yang berbeda mengenai core matakuliah ini dengan Aditya Syarif yang berpperan sebagai fasilitator karena ia terbiasa membuat chapter design untuk sekolah dasar terutama bidang matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) yang tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan di perguruan tinggi untuk bidang Ilmu Sosial dan Humaniora.

Page 88: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

80 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Gambar 1. Aditya Syarif (LSC Malang) sebagai fasilitator penyusunan Chapter Design Salah satu karakteristik peserta didik di sekolah

dasar adalah tahap perkembangan kognitifnya yang masih berada pada tahap operasional konkret. Mereka mulai memiliki penalaran seperti orang dewasa namun masih terbatas pada realitas konkret (Ormrod, 2008). Mereka masih mengalami kesulitan untuk memahami gagasan-gagasan abstrak, serta masih mengalami kesulitan menghadapi permasalahan atau soal dengan banyak variabel atau hipotesis karena kemampuan-kemapuan tersebut baru muncul pada tahap operasional formal pada usia 12 tahun hingga dewasa. Dengan demikian perumusan kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran juga sudah bisa sampai pada tahap berpikir yang abstrak. Mahasiswa sebagai peserta didik di perguruan tinggi sudah dapat membangun abstraksi mereka sendiri. Tujuan pembelajaran memang perlu dijabarkan secara rinci walaupun tidak harus dalam bentuk yang sangat konkrit seperti di sekolah dasar.

Perbedaan pemahaman tentang perumusan kompetensi serta tujuan pembelajaran ini sempat menjadi masalah tersendiri. Aditya Syarif berpendapat bahwa rumusan kompetensi dan tujuan pembelajaran harus sangat konkrit dan operasional. Sementara anggota komunitas yang terbiasa mengajar di tingkat perguruan tinggi kurang sepakat karena tahap perkembangan kognitif mahasiswa berbeda dengan siswa SD sehingga konsep-konsep yang abstrak pun dapat mereka terima. Pada akhirnya tercapai kesepakatan bahwa rumusan kompetensi dan tujuan pembelajarannya tidak harus sekonkrit pada tingkat SD. Kompetensi yang ingin dicapai pada matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah adalah mahasiswa mampu memahami sejarah sebagai peristiwa, kisah, ilmu dan seni beserta penulisan dan pengajarannya melalui pengkajian terhadap pelbagai sumber sejarah melalui berpikir historis agar mampu mengambil makna atau pelajaran berharga dari sejarah atau dengan kata lain memiliki kesadaran sejarah. Berpikir historis dan kesadaran sejarah merupakan dua kata kunci dalam pembelajaran matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah yang mengerangkai keseluruhan proses belajar.

Shiota San juga menyampaikan bagaimana pembelajaran sejarah di Jepang yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Jepang, pembelajaran sejarah di tingkat SD hingga SMP mengikuti garis linier dari sejarah perkembangan bangsa Jepang mulai dari masa prasejarah sampai era Edo. Sementara itu sejak tingakt SMA siswa diajak untuk tidak lagi berpikir secara linier. Pada tingkat SMA siwa belajar apa yang terjadi di Jepang pada suatu periode dan membandingkannya dengan peristiwa sejarah yang terjadi di belahan dunia lain. Hal ini tentu sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia yang mana pembelajaran sejarah diberikan secara spiral sehingga ada kesan pengulangan dan siswa merasa bosan.

Kesan sejarah sebagai pelajaran yang membosankan juga diamini oleh anggota komunitas yang berasal dari luar jurusan sejarah. Hal ini tidak mengherankan mengingat citra pembelajaran sejarah di masyarakat yang memang masih kurang baik. Sejarah dipandang sebagai pelajaran yang dipenuhi hafalan, tidak penting dan membosankan (Sayono, 2013). Hal ini tentu saja sangat jauh dari harapan tentang pembelajaran sejarah yang bertujuan untuk menjadikan seseorang bijaksana. Lebih jauh Sayono (2013: 12) mengungkapkan sebagai berikut.

Belajar sejarah merupakan pintu untuk memelajari dan menemukan hikmah terhadap apa yang sudah terjadi. Belajar sejarah adalah belajar tentang kemanusiaan dalam segala aspeknya. Belajar sejarah akan melahirkan kesadaran tentang hakekat perkembangan budaya dan peradaban manusia. Hasil belajar inilah yang kemudian dikenal sebagai kesadaran sejarah (historical consciousness). Jadi tujuan belajar sejarah salah satunya adalah melahirkan kesadaran sejarah. Dengan demikian, proses pembelajaran sejarah juga harus didorong untuk menciptakan situasi yang dapat menumbuhkembangkan kesadaran sejarah.

Proses menumbuhkan kesadaran sejarah dan berpikir historis tentu saja akan sulit dilakukan selama pembelajaran sejarah hanya dijejali dengan fakta kering

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 101

mengobservasi, menganalisis, dan memperbaiki pembelajarannya. Sedangkan menurut Baba (2007) lesson study merupakan proses yang dilakukan guru yang secara progesif berusaha untuk meningkatkan metode pembelajaran dengan cara bekerja sama dengan guru-guru lain.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, kegiatan lesson study secara garis besar meliputi 3 tahapan penting yaitu: 1) perencanaan (PLAN); 2) pelaksanaan (DO); dan 3) refleksi (SEE). Stigler dan Hiebert (Baba, 2007) juga mengemukakan bahwa kegiatan lesson study terdiri dari tiga tahapan utama yaitu: persiapan (preparation/PLAN), pembalajaran (lesson study) dan evaluasi (review session).

Pada prinsipnya lesson study bertujuan untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran sehingga kualitas pendidikan meningkat. Menurut Syamsuri dan Ibrohim (2008:2) mengatakan bahwa kegiatan lesson study di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan Sains. Namun kegiatan lesson study saat ini tidak hanya terbatas pada mata pelajaran sains saja, melainkan mata pelajaran lain juga menerapkan lesson study hingga ke perguruan tinggi.

Dari beberapa hasil penelitian tentang kegiatan lesson study terbukti memiliki banyak manfaat yang dapat diperoleh diantaranya: 1) guru lebih kreatif dalam mengkreasikan kegiatan pembelajaran; 2) memunculkan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran; 3) meningkatkan hasil belajar siswa; 3) membentuk komunitas belajar guru; 4) meningkatkan kompetensi profesional guru; 5) menjaga kualitas guru; 6) memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi guru; 7) meningkatkan kerjasama antar guru dalam perencanaan kegiatan pembelajaran; 8) dapat berbagi pengetahuan dalam komunitas belajar sehingga permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kegiatan pembelajaran dapat dicarikan solusi untuk mengatasinya serta dapat menghasilkan opini dan pengetahuan/wawasan baru; 10). dapat memperbaiki kegiatan pembelajaran melalui dilakukan refleksi sehingga kegiatan pengajaran berikutnya dan seterusnya menjadi lebih baik.

Agoestanto (2012:40) juga mengemukakan bahwa kegiatan lesson study yang dilaksanakan di berbagai tempat mampu memberikan banyak hasil yang positif karena mampu meningkatkan kolaborasi antar guru dalam merencanakan kegiatan pembelajaran, hasil belajar siswa menjadi lebih meningkat, dan mampu membentuk komunitas akademik yang positif (komunitas belajar).

C. PROFESIONALISME GURU

Profesional merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti sebagai ahli, pakar ataupun mumpuni di bidang yang digelutinya. Berarti seorang yang profesional selain ahli di bidangnya juga berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Menjadi profesional menjadi tuntutan setiap profesi termasuk guru. Profesi guru memiliki peranan mendidik, membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Sehingga profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan

merencanakan, melakukan dan melaksanakan evaluasi pembelajaran.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen di sebutkan bahwa seorang guru yang profesional harus mempunyai empat kompetensi guru yaitu: 1) kompetensi pedagogik, dimana kemampuan seorang guru dalam memahami karakteristik atau kemampuan yang dimiliki oleh murid melalui berbagai cara. Cara yang utama yaitu dengan memahami murid melalui perkembangan kognitif murid, merancang pembelajran dan pelaksanaan pembelajran serta evaluasi hasil belajar sekaligus pengembangan murid. 2) kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan; 3) kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, penguasaan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan serta penguasaan proses-proses pendidikan; 4) kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

D. LESSON STUDY DAN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU

Lesson study menjadi sebuah cara yang sangat efektif dalam meningkatkan profesionalisme guru. Tahap-tahap dalam proses Lesson study baik secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kompetensi guru, yaitu: 1) kompetensi profesional karena sebelum guru mengajar dilakukan analisis materi bersama-sama pada tahap perencanaan (PLAN) sehingga guru lebih menguasai materi yang akan diajarkan dan guru yang mampu mengidentifikasi, menganalisis dan memecahkan permasalahan di kelasnya merupakan ciri guru yang profesional; 2) kompetensi pedagogik karena pada tahap perencanaan (PLAN) melatih guru dalam membuat perencanaan dan melaksanakan pembelajaran; 3) kompetensi sosial karena selama Plan-doo-see hubungan antar guru semakin meningkat; 4) kompetensi kepribadian karena guru saling memotivasi untuk mengembangkan diri dan menumbuhkan rasa percaya diri. Selain itu kritik dan saran dari teman sejawat akan menjadikan guru semakin dewasa dalam menyikapi suatu permasalahan dalam pembelajaran.

Hal tersebut di atas juga yang diungkapkan oleh Susilo (2013:1) dalam artikelnya bahwa Lesson study adalah jenis in-service training yang mampu meningkatkan empat kompetensi pendidik yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik.  

Page 89: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

100 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Efektifitas Lesson Study

dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

Marfuatun

Abstrak: Guru profesional merupakan guru yang kompeten dalam membangun pembelajaran yang baik sehingga menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Profesionalisme guru ini sangat menentukan kesuksesan seorang guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai pendidik dan menjadi kunci keberhasilan belajar siswa. Cara yang diyakini mampu meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui lesson study. Lesson study mampu menciptakan komunitas belajar guru yang dapat memunculkan ide-ide kreatif dan inovatif guna meningkatkan kualitas pembelajaran yang akhirnya meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru sebagai sumber utama bagi perserta didik seperti yang menjadi tujuan dalam pendidikan nasional.

Kata Kunci: lesson study, profesionalisme guru.

A. PENDAHULUAN

Guru saat ini menjadi sebuah profesi yang menuntut pelakunya untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Tidak hanya menjadi tuntutan profesi, akan tetapi juga tuntutan dari peraturan menteri Pendidikan agar profesi guru selalu menjalankan kegiatan belajar secara terus menerus dan berkelanjutan sebagai bentuk pengembangan diri agar dapat melaksanakan tugas profesionalnya. Prayitno (2010) juga berpendapat agar guru tetap bisa menjaga profesionalitasnya, daya kreativitas dan pembelajarannya disenangi peserta didik, maka guru harus terus menerus mengembangkan budaya belajarnya agar kompetensinya terus meningkat.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun dan perkembangan di bidang komunikasi berbasis IT serta di era globalisasi saat ini, mau tidak mau seorang guru dituntut untuk terus meningkatkan kualitasnya sebagai guru profesional. Kemajuan IPTEK memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemampuan siswa dalam mengakses informasi tentang materi pembelajaran. Oleh sebab itu peran guru profesional dalam pembelajaran sangatlah penting sebagai kunci keberhasilan belajar peserta didik. Jangan sampai seorang guru mendapat julukan sebagai guru “gaptek”. Hal ini selaras dengan pernyataan dari Gianto (2010) bahwa untuk meningkatkan profesionalitas seorang guru mau tidak mau harus mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar mampu mengikuti perkembangan zaman yang semakin global. Dengan kata lain guru harus memiliki kemampuan yang lebih dalam menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, sehingga dianggap layak disebut sebagai guru yang profesional.

Pengembangan profesionalitas guru melalui berbagai program pelatihan baik secara formal maupun informal telah dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun sekolah-sekolah sebagai upaya peningkatan kompetensi guru. Namun kenyataan di lapangan tidaklah sesuai dengan yang diharapkan karena hasil pelatihan tersebut banyak yang tidak diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga pelatihan tersebut kurang berdampak positif terhadap kualitas pembelajaran. Hal ini juga dikemukankan oleh Prayitno (2010) bahwa program pelatihan tersebut

hanya berdampak terhadap peningkatan pengetahuan para guru semata, karena kurangnya implementasi dalam pelaksanaan tugas guru.

Supaya profesionalitas guru meningkat, maka guru harus mengembangkan terus kegiatan belajarnya. Dalam kegiatan belajar tersebut guru dapat melakukan bersama-sama dengan guru lain pada mata pelajaran yang sama, serumpun maupun pelajaran yang berbeda dalam satu sekolah bahkan dengan sekolah lainnya. Pendekatan belajar yang sesuai dan dapat diterapkan oleh guru adalah Lesson Study. Dalam pelaksanaanya, Lesson Study membutuhkan kerjasama beberapa guru dalam bentuk MGMP mapel berbasis sekolah ataupun berbasis kabupaten seperti yang disampaikan oleh Mulyana (2007) lesson study dapat diselenggarakan melalui dua tipe yaitu lesson study berbasis sekolah dan lesson study berbasis MGMP. Dalam tulisan ini akan diulas mengapa harus lesson study dan bagaimana hubungannya dengan peningkatan profesionalisme guru.

B. LESSON STUDY

Istilah lesson study digunakan dan dikembangkan pertama kali di negara Jepang. Meskipun menurut Widhiartha, dkk. (2008:2) menyatakan bahwa tidak ada asumsi pasti tentang asal mula lesson study, namun di Jepang lesson study berasal dari istilah Kounbaikenshu. Lesson study merupakan sebuah metode atau cara yang digunakan oleh sekelompok guru yang bekerjasama secara berkolaboratif untuk menuangkan ide-ide yang kreatif dan inovatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.

Sparks (1999) menyebutkan bahwa lesson study merupakan proses kolaboratif yang dilakukan oleh sekelompok guru dalam mengidentifikasi masalah-masalah pembelajaran, merencanakan perbaikan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dengan salah satu guru membelajarkannya sementara guru lain sebagai pengamat, mengevaluasi dan merevisi pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan hasil evaluasi, mengevaluasi lagi, dan berbagi (menyebarluaskan) hasilnya kepada guru-guru lain. Friedkin (2005) juga berpendapat bahwa lesson study sebagai proses yang melibatkan guru-guru yang bekerja sama dalam merencanakan,

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 81

dan membosankan. Hariyono (2014) mengungkapkan bahwa guru sejarah tidak lagi dapat mengandalkan pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi belaka. Oleh karenanya diperlukan penyusunan rencana

pembelajaran yang baik dan dimulai dari menyusun chapter design yang baik. Berikut adalah gambar chapter design yang dihasilkan pada pertemuan plan pertama.

Gambar 2. Chapter design Pengantar Ilmu Sejarah (Sumber: Dokumentasi KLS FIS UM 5 Agustus 2016) Kolaborasi dalam penyusunan chapter design ini sangat membantu dosen model untuk memetakan dan merencanakan pembelajaran selama satu semester. Dalam diskusi kolaboratif ini dosen model tidak menjadi pihak yang paling tahu, namun justru mendapat banyak saran dan masukan dari peserta diskusi plan yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Para peserta diskusi plan juga mendapatkan pengetahuan baru mengenai ilmu sejarah. Dengan demikian pada tahap ini sudah mulai terjadi mutual learning atau hubungan saling belajar yang merupakan fondasi dari learning community.

Mutual learning dalam rangka membangun learning community menurut Sato (2014) hanya mungkin terjadi jika ada keterbukaan dan kemauan untuk mau saling mendengar dalam hubungan yang dialogis. Kemauan untuk mendengar pendapat orag lain merupakan batu pijakan awal untuk membangun komunitas belajar atau learning community.

Kolaborasi Kolegial pada Plan Kedua: Penyusunan Lesson Plan

Plan kedua dilaksanakan pada 12 Agustus 2016. Pertemuan ini dihadiri oleh sebelas orang anggota komunitas (Aditya Nugroho Widiadi, Ulfatun Nafi’ah, Desinta Dwi Rapita, Lutfiyah Ayundasari, Nur Wakhid, Daya Negri Wijaya, Indah Wahyu Puji Utami, I Dewa Putu Eskasasnanda, Neni Wahyuningtyas, Luhung Ahmad Perguna serta Nurul Ratnawati) ditambah dengan fasilitator dari Lesson Study Club (LSC) Malang (Aditya Syarif) dan seorang mahasiswa dari Jepang (Shiota San).

Pada kegiatan ini I Dewa Putu Eskasasnanda berperan sebagai moderator dan Aditya Syarif sebagai

fasilitator yang membantu. Pada pertemuan ini target yang diharapkan adalah tesusunnya draf lesson plan.

Lesson plan yang dibuat adalah rancangan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam hal ini, perancang lesson plan diminta untuk berpikir layaknya siswa sehingga bisa memprediksi respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran.

Pada tahap awal, saya sebagai dosen model diminta moderator untuk menyebutkan siswa yang paling sulit belajar dan mendeskripsikannya. Namun karena open class akan dilaksanakan pada mahasiswa baru di pertemuan kedua sementara saya kegiatan plan kedua ini dilaksanakan sebelum perkuliahan dimulai maka saya tidak bias memenuhi permintaan moderator. Sebaagai jalan keluar, moderator meminta saya untuk menyebutkan siswa yang pernah mengikuti perkuliahan saya dan memiliki masalah belajar serta medeskripsikannya sebagai contoh atau tipikal mahasiswa yang sulit belajar. Beberapa sikap yang sering ditunjukkan oleh mahasiswa yang kesulitan belajar antara lain pasif, datang terlambat, tidak masuk kelas, tidak fokus, bahkan tidak mengerjakan tugas. Kami lalu berusaha menganalisis mengapa mahasiswa bersikap demikian, salah satu hasilnya adalah karena kurangnya motivasi belajar atau karena memang sejak awal sebenarnya tidak ingin masuk jurusan sejarah. Dalam pengalamannya saya, mahasiswa seperti ini bukannya tidak bias, namun hanya perlu motivasi dan dorongan yang tepat serta perhatian dari pendidik agar dapat terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Langkah berikutnya adalah saya diminta untuk mendeskripsikan secara konkrit tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada satu sesi perkuliahan tersebut. Sekali lagi perdebatan mengenai rumusan tujuan pembelajaran

Page 90: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

82 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

terjadi. Rumusan yang menurut kami sudah konkrit tetap saja dianggap terlalu abstrak bagi Aditya Syarif. Rumusan yang terlalu spesifik bagi saya justru akan menyulitkan dan terlalu membatasi pandangan peserta didik. Dalam perkuliahan ini, di awal semester mahasiswa diharapkan mampu mengkonstruksi definisi sejarah dengan menggunakan bahasanya sendiri. Dengan demikian definisi yang akan dibangun oleh mahasiswa pasti sangat beragam dan tidak untuk diseragamkan.

Pembatasan materi dan tujuan pembelajaran juga menjadi masalah dalam pertemuan ini. Bagi saya dan Daya Wijaya yang juga mengampu matakuliah yang sama, tujuan pembelajaran yang dirumuskan oleh Aditya Syarif terlalu sederhana dan waktu yang tersedia (3 jam semester atau JS setara 150 menit) akan terbuang sia-sia jika hanya digunakan untuk mendeskripsikan sejarah sebagai peristiwa. Sementara itu moderator menyarankan agar praktik open class dilaksanakan selama 2 JS saya. Usulan ini saya tolak dengan alasan bahwa open class haruslah merupakan real living lesson, pembelajaran yang sesungguhnya dan biasa terjadi di kelas bukan ‘panggung pertunjukan pembejaran’ seperti yang diungkap oleh Widiadi dan Utami (2015). Meskipun beberapa peserta diskusi plan sempat pesimis apakah mahasiswa semester pertama bias bertahan belajar Pengantar Ilmu Sejarah selama 3 JS penuh, namun akhirnya disepakati bahwa open class tidak akan mengubah JS.

Beberapa permasalahan di atas terjadi karena perbedaan latar belakang keilmuan masing-masing peserta diskusi plan. Mereka yang memiliki background keilmuan sejarah maupun pendidikan sejarah akan dengan sangat mudah mengikuti alur berpikir saya namun belum tentu yang lain bisa melakukan hal yang sama.

Kehadiran peserta diskusi plan dengan latar belakang yang berbeda sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri dalam kegiatan plan ini. Mereka dapat memberikan point of view yang berbeda. Mereka bahkan dapat berperan sebagai mahasiswa baru yang benar-benar awam dengan ilmu sejarah. Desinta Dwi Rapita (Dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan FIS UM) misalnya membantu merumuskan respon konkrit yang diharapkan dari mahasiswa seperti yang diminta oleh fasilitator sebaga berikut “Ooo…sekarang saya paham bahwa sejarah itu semua yang terjadi di masa lalu. Saya juga punya sejarah. Tapi yang akan kita pelajari adalah yang penting, berdampak luas bagi orang banyak”. Rumusan itu hanya salah satu contohnya. Dengan demikian saya sebagai dosen model dapat memilih dan memilah bahan yang sederhana dan menyesuaikan dengan karakter mahasiswa baru yang pada umumnya juga awal dengan ilmu sejarah dan baru akan mempelajarinya secara lebih serius di perguruan tinggi.

Kolaborasi kelegial pada kegiatan ini juga muncul pada saat perumusan lesson plan. Para anggota komunitas yang nantinya akan menjadi observer pada saat open class membuat berbagai prediksi reaksi siswa, seolah mereka adalah mahasiswa yang dilayani dosen model.

Pada plan ini disepakati pembelajaran akan lebih banyak berpusat pada mahasiswa dan memanfaatkan pengalaman yang telah dimiliki mahasiswa sebelumnya dan diharapkan mereka bisa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Model yang akan digunakan adalah Kolb’s experiential learning. Bagi Kolb (1984) belajar merupakan proses yang berkesinambungan dan didasarkan pada pengalaman. Belajar merupakan proses untuk mengonstruksi dan mentransformasikan

pengalaman menjadi pengetahuan. Tahapan siklus experiential learning dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3.Siklus Kolb’s Experiential Leraning Kegiatan awal pembelajaran yang direncanakan

lebih diarahkan pada optimalisasi penggunaan pengalaman awal siswa (concrete experience) dengan cara meminta dua orang mahasiswa ( satu orang laki-laki dan satu orang perempuan) untuk menceritakan kisah sejarah dirinya hingga masuk ke Jurusan Sejarah. Peserta kegiatan plan juga mengantisipasi jika seandainya tidak ada mahasiswa yang berani melakukannya maka dosen model diminta untuk memberi contoh lalu menunjuk mahasiswa untuk melakukan hal yang sama. Mahasiswa lalu diminta memerhatikan tayangan gambar pengibaran bendera pada saat proklamasi dan pengibaran bendera pada saat peringatan proklamasi lalu diminta untuk menjawab “manakah yang termasuk peristiwa bersejarah? Apa bedanya peristiwa bersejarah tersebut dengan sejarah diri kalian?”. Hal ini merupakan bagian dari tahap reflective observation.

Pada kegiatan ini, mahasiswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Mahasiswa kemudian diminta untuk mendiskusikan mengapa ada peristiwa yang bersejarah dan tidak? Mengapa sejarah hidup mereka tidak dipelajari di sekolah? Apa sebenarnya yang dimaksud sejarah? Hal ini merupakan bagian dari tahap abstract conceptualization.

Mahasiwa lalu diberi LKM untuk mengonstruksi pengertian sejarah berdasarkan hasil diskusi dalam kelompok kecil. Beberapa mahasiswa kemudian akan diminta untuk menyampaikan konsep mereka tentang sejarah. Dosen model bisa mengonfirmasi jawaban tersebut atau menambahkan materi tentang pengertian sejarah. Mahasiswa kemudian akan diminta untuk mencermati foto/video tentang peristiwa reformasi lalu diminta mendiskusikan apakah peristiwa tersbut merupakan sejarah? Mengapa kita harus belajar sejarah? Dan menuliskan hasilnya di LKM. Beberapa mahasiswa yang terlihat kurang aktif dapat didorong untuk menyampaikan isi LKMnya. Kegiatan ini merupakan bagian dari active experimentation.

Pada kegiatan akhir mahasiswa akan diminta untuk membentuk kelompok baru yang terdiri dari 4 orang (berbeda dengan kelompok pertama). Setiap mahasiswa diminta untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari pada pertemuan ini serta pelajarn berharga yang didapatkan selama perkuliahan. Hal ini merupakan masukan dari Ulfatun Nafi’ah yang memiliki pengalaman

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 99

mempengaruhi kegiatan pembelajaran, yakni kondisi pembelajaran, guru, strategi pembelajaran,peserta didik, hasil pembelajaran. Menurut Mudhafir (1991: 12) sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-unsur yang saling berintegrasi dan berinteraksi secara fungsional yang memproses masukan menjadi keluaran, yang ditandai dengan ciri-ciri antara lain (a) ada tujuan yang ingin dicapai, (b) ada fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan, (c) ada komponen yang melaksanakan fungsi tersebut, (d) ada interaksi antar komponen, (e.) ada penggabungan yang menimbulkan jalinan keterpaduan, (f) ada proses transformasi, (g) ada proses balikan untuk perbaikan, dan (h) ada daerah batasan dan lingkungan.

Berkaitan dengan sistem, lesson study secara konseptual mengacu pada pendekatan sistem. Hal ini nampak pada penekanan tujuan pembelajaran, fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan, proses transformasi. Namun, dalam praktiknya, semua pihak yang terlibat dalam lesson study pada pembelajaran pendidikan agama Islam, perlu memperhatikan beberapa aspek yang menunjang keberhasilan pembelajaran PAI. Beberapa aspek, antara lain karakteristik dari mata pelajaran PAI yang bersifat khas, jenis isi pesan, organisasi isi materi dan pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai sehingga kualitas dan hasil pembelajaran PAI dapat tercapai secara efektif dan efisien..

Melalui lesson study, yang bercirikan mutual learning dan kolegitas, guru dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang inovatif dalam mengatasi praktik pembelajaran yang umumnya masih konvensional. Guru juga dapat melakukan pengembangan diri sehingga dapat berkembang bersama-sama dengan anggota komunitas belajar lainnya. Sebagai contoh, seorang guru PAI yang terlibat dalam observasi kegiatan lesson study dapat menemukan sejumlah hal penting yang berkenaan dengan bahan ajar, strategi pembelajaran yang dikembangkan. Hal ini menjadi wawasan yang dapat mendorong inisiatif guru untuk mengembangkan sebuah pola pembelajaran yang efektif sesuai dengan situasi, kondisi permasalahan yang riil terjadi di kelas.

G. KESIMPULAN DAN SARAN

Lesson study secara konseptual dapat dikategorikan mengacu pada pendekatan sistem. Hal ini nampak pada penekanan tujuan pembelajaran, fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan, dan proses transformasi. Lesson study memberikan peluang lebih besar dalam pencapaian kualitas pembelajaraan karena prosesnya mengintegrasikan semua komponen yang mempengaruhi kegiatan pembelajaran, yakni kondisi pembelajaran, guru, strategi pembelajaran,peserta didik, hasil pembelajaran. Melalui lesson study yang bercirikan mutual learning dan kolegitas, guru dapat melakukan pengembangan diri, mengembangkan kompetensi professionalnya sebagai pendidik dengan anggota komunitas belajarnya secara sinergis. Guru juga dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang inovatif sesuai dengan situasi, kondisi permasalahan yang riil terjadi di kelas

sehingga kualitas proses dan hasil pembelajaran PAI dapat tercapai secara efektif dan efisien.

H. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2002. Antara al Ghazali dan Kant: filsafat Etika Islam, terj hamzah. Bandung: Mizan

Catherine Lewis. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. http://www.sowi-online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm, diakses pada 10 Oktober 2016

Hendayana, S. 2007. Lesson Study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik. Bandung: UPI Press.

Muhaimin, 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Mudhafir, 1991. Pengembangan Pembelajaran. Bandung: Tarsito

Lickona, Thomas. 1991. Educating For Character How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility.New York. Bantam Books.

Nasih, Ahmad Munjin. Adib, Khoirul. 2008. Lesson Study dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Jurnal Ulumuna, Studi Keislaman. Volume XII. Nomor 1 Juni 2012.

Saito, E., Imansyah, H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia: Studi Kasus dari IMSTEP . Jurnal Pendidikan &ldquo;Mimbar Pendidikan&rdquo;, No.3. Th. XXIV: 24-32.

Saito, E., 2006. Development of school based in-service teacher training under the Indonesian Mathematics and Science Teacher Education Projec . Improving Schools. Vol.9 (1): 47-59

Susilo, Herawati, dkk. 2011. Lesson Study Berbasis Sekolah. Malang: Bayu Media

Uno, Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Undang-Undang nomor 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

  

   

Page 91: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

98 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

diperhitungkan secara cermat termasuk alokasi waktu yang tersedia.

Selain mempersiapkan materi ajar dan strategi pembelajarannya, perlu dilakukan persiapan untuk melibatkan pihak-pihak yang berkompeten untuk menjadi observer dalam implementasi pembelajaran yang dilanjutkan dengan kegiatan refleksi atas implementasi kegiatan. Disamping kelompok guru PAI dalam pelaksanaan lesson study, dimungkinkan untuk mengundang guru mata pelajaran lain, kepala sekolah, ahli pendidikan bidang Pendidikan Agama Islam, para stacke holder yang berkepentingan.

b. Pelaksanaan lesson study

Pada tahap pelaksanaan ini, sebelum melaksanakan proses pembelajaran, perlu dilakukan pertemuan yang dikoordinasi oleh kepala sekolah. Pada pertemuan ini, setelah kepala sekolah menjelaskan secara umum kegiatan lesson study yang akan dilakukan, selanjutnya guru yang bertugas untuk melaksanakan pembelajaran pada kesempatan yang telah terjadwalkan diberi kesempatan mengungkapkan rencananya secara singkat. Informasi ini diperlukan untuk merancang rencana observasi yang dilakukan dikelas. Awal pembelajaran dimulai dengan kegiatan penyampaian tentang materi PAI yang akan dipelajari hari itu, serta rangkaian kegiatan yang harus dilakukan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Pada kegiatan pembelajaran ini guru memiliki peran penting, terutama dalam memfasilitasi proses diskusi kelas dan memberikan pendalaman, penguatan terhadap materi yang disajikan peserta didik.

c. Kegiatan observasi dalam lesson study

Pada kegiatan observasi ini, agar proses observasi dalam pembelajaran dari suatu lesson study dapat berjalan dengan baik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru maupun observer. Sebelum pembelajaran berlangsung, guru dapat memberikan gambaran secara umum tentang kegiatan pembelajaran di di kelas yakni meliputi informasi tentang rencana pembelajaran, tujuan pembelajaran, bagaimana hubungan materi ajar Pendidikan Agama Islam dengan mata pelajaran secara umum, dll. Selain itu, observer juga perlu diberikan informasi tentang lembar kerja siswa dan peta posisi tempat duduk tersebut dilengkapi dengan identitas peserta didik secara lengkap.

Dengan memiliki gambaran yang lengkap tentang pembelajaran yang akan dilakukan, maka seorang observer dapat menetapkan apa yang akan dijadikan sebagai fokus pengamatan, pada saat melakukan pengamatan di kelas. Aspek yang menjadi fokus observasi di kelas akan sangat beragam, tergantung pada tujuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing observer. Keberagaman target yang menjadi fokus observasi, menjadikan temuan informasi atau data yang bisa digali, dianalisis dan diungkap pada saat dilakukan refleksi menjadi lengkap. Untuk menunjang kelengkapan, kecermatan temuan data sesuai rencana pengamatanya masing-masing observer dapat menggunakan instrument pedoman observasi.

d. Melakukan refleksi

Kegiatan refleksi dilaksanakan setelah pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar setiap peristiwa pembelajaranyang diamati dapat dijadikan bahan sekaligus bukti pada saat mengajukan pendapat setelah pembelajaran terjaga akurasinya. Refleksi ini sebagai kegiatan evaluasi atas pelaksanaan proses pembelajaran, agar dapat diketahui keberhasilan dan kelemahan guru dalam melaksankan kegaitan pembelajaran, yang selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan penentuan upaya selanjutnya. Dalam kegiatan ini paling tidak terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam proses refleksi, daintaranya kepala sekolah, guru yang melakukan pembelajaran, dan tenaga ahli yang biasanya datang dari Perguruan Tinggi.

e. Tindak lanjut lesson study

Pada tahap ini, dilakukan penentuan langkah tindak lanjut atas pelaksanaan kegiatan lesson study. Hasil pengetahuan yang diperoleh melalui lesson study dapat menjadi modal wawasan sekaligus keterampilan akademis untuk meningkatkan kualitas kinerja masing-masing pihak yang terlibat.

Kegiatan lesson study, memiliki dampak cukup signifikan bagi munculnya kegiatan-kegiatan lain yang inovatif. Dengan demikian, jika lesson study yang dilaksanakan dengan persiapan yang baik, dan semua tahapnya dilalui dengan baik, maka baik secara langsung atau secara tidak langsung tidak tindak lanjut dari kegiatan tersebut akan terjadi dengan sendirinya yang dapat berlangsung pada tataran individu guru, kelompok guru atau sistem pendidikan.

F. ANALISIS PENERAPAN LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DAN MADRASAH

Inovasi pendidikan diperlukan seiring dengan tuntutan perkembangan zaman dan dinamika permasalahan perubahan sosial masyarakat yang pluralistik dewasa ini. Demikan pula, inovasi pendidikan agama menjadi program yang penting direalisasikan secara sistemik pada semua jenjang di lingkungan sekolah umum maupun madrasah. Menurut Abdullah, Amin (2002: 11) ilmu pendidikan Islam hendaknya tidak hanya bersikukuh pada metodologi mengajar dengan pola konvensional tradisional dan perlu terobosan baru sehingga isi dan metodenya aktual kontekstual dengan gerak perubahan dan tuntutan zaman.

Terobosan baru untuk mewujudkan kualitas pendidikan agama Islam salah satunya adalah dengan mengembangkan kualitas pembelajaran baik dari aspek proses dan hasil. Kualitas pembelajaran juga banyak tergantung pada bagaimana pembelajaran itu dirancang. Kegiatan pembelajaran dari aspek desain pembelajaran perlu dirancang dengan pendekatan sistem (Uno, 2008: 136). Hal ini didasarkan atas dampak pendekatan sistem yang memberikan peluang lebih besar dalam mengintegrasikan semua komponen yang

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 83

bahwa mahasiswa akan lebih terdorong untuk aktif jika diberi tanggung jawab untuk menyampaikan hasil diskusinya kepada mahasiswa lain di luar kelompoknya. Dengan demikian maka kegiatan ini bisa menjadi concrete experience baru bagi para mahasiwa. Mereka

juga akan berbagi pemahaman dan pengelaman yang baru yang akan memperkaya pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Gambaran mengenai lesson plan yang dihasilkan pada pertemuan bisa dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 4. Lesson plan Pengantar Ilmu Sejarah (Sumber: Dokumentasi KLS FIS UM 12 Agustus 2016)

Kolaborasi Kolegial Plan Ketiga: Pembahasan RPP dan Media Pembelajaran

Pada pertemuan sebelumnya disepakati bahwa dosen model sebaiknya menuliskan lesson plan dalam bentuk RPP sederhana beserta media pembelajarannya yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Dengan demikian pada plan ketiga yang berlangsung tanggal 26 Agustus 2016, kegiatan difokuskan pada pembahasan kedua hal tersebut.

RPP yang ditulis oleh guru model dianggap sudah sesuai dengan yang direncanakan pada pertemuan sebelumnya. Namun ada saran dari peserta diskusi plan ketiga ini misalnya dari Daya Negri Wijaya yang meminta pencantuman tujuan pembelajaran secara eksplisit di RPP. Dosen model sudah mencantumkan kompetensi dan indikator pencapaian kompetensi namun hal itu dirasa belum cukup dan harus ditambahi dengan tujuan pembelajaran.

Media yang disiapkan oleh dosen model dianggap sudah cukup baik. Namun I Dewa Putu Eskasasnanda menyarankan agar gambar yang lucu diletakkan pada slide akhir saja agar tidak membuyarkan konstentrasi mahasiswa. Sementara itu Neni Wahyunintyas mengomentari video yang akan digunakan sebagai media dan meminta adegan tertentu untuk dihapus karena dikhawatirkan akan menimbulkan salah persepsi di kalangan mahasiswa. Dosen model kemudian melakukan revisi terhadap RPP dan medianya. Kegiatan plan pada tanggal 26 Agustus 2016 kemudian

dilanjutkan dengan plan untuk anggota komunitas yang menikuti kegiatan lesson study berbasis PEKERTI.

Kolaborasi Kolegial dan Komunitas Belajar dalam Perencanaan Pembelajaran

Kolaborasi kolegial akan terjalin dengan efektif jika semua pihak yang terlibat mau menghormati ide atau pendapat orang lain, komitmen untuk berbagi informasi dan pengalaman serta berfokus pada usaha untuk meningkatkan kemampuan siswa belajar (Felux & Hidalgo, 2010). Pada kegiatan perencanaan pembelajaran yang diamati dalam penelitian ini ketiga hal di atas muncul. Meskipun memiliki pendapat yang berbeda, namun para peserta diskusi plan pertama, kedua dan ketiga mau mendengar saran dan pendapat satu sama lain. Mereka juga saling berbagi pengalaman untuk menghasilkan lesson plan yang akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Lesson plan disusun secara seksama. Para peserta diskusi berperan layaknya mahasiswa yang masih awam atau bahkan tidak suka dengan sejarah. Pandangan-pandangan mereka memberikan perspektif yang berbeda dan memperkaya lesson plan. Baik dosen model maupun para peserta diskusi plan bisa saling belajar. Kolaborasi kolegial juga terjalin.

Kolaborasi kolegial sangat penting untuk mengembangkan profesionalisme pendidik (Utami & Nafi'ah, 2016). DuFrense (2007) menyebutkan bahwa selama beberapa decade, pendidik mengajar dalam situasi yang terisolasi dan hampir tidak pernah

Page 92: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

84 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

berkolaborasi satu sama lain. Ia menyebutkan bahwa LS tampaknya merupakan cara yang baik untuk membangun kolaborasi kolegial di antara para pendidik. Hal ini dimungkinkan karena dalam LS mereka berkolaborasi dalam merencanakan pembelajaran, salah satunya menjadi model yang melaksanakan pembelajaran sementara yang lain bisa membantu mengamati, hingga merefleksikan praktik pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan bekerja sama secara kolaboratif dalam kelompok, para pendidik akan belajar satu sama sama lain (mutual learning) dan membangun kolegialitas untuk mengembangkan profesionalismenya. Kolaborasi kolegial di antara pendidik juga berkontribusi pada perkembangan kualitas guru seperti yang diungkap oleh Harris dan Anthony (2001) sebagai berikut.

“Collegial interactions helped to produce an emotionally supportive work environment… Those supportive colleagues don’t make inquiries for the purpose of another’s work, rather they converse with peers out genuine interest in what they’re doing. They take pride in each other’s accomplishments and recognize the efforts of others, not seeing themselves as in competition with one another…for colleagues to truly collaborate, they must have a relationship that is characterized by trust, care and mutual respect.” Kolaborasi kolegial dapat berkembang jika setiap

orang yang terlibat dalam LS, termasuk dalam kegiatan perencanaan pembelajaran atau plan, saling menghormati dan peduli satu sama lain (Tyoso, 2007). Hubungan interpersonal yang terbangun selama LS memungkinkan terjadinya kolaborasi dan membangun lingkungan belajar yang baik (Lewis, Perry, & Hurd, 2004).

Kolaborasi kolegial dalam rangka membangun komunitas belajar bukanlah hal yang mudah, terutama pada tingkat perguruan tinggi (Utami & Nafi'ah, 2016). Dosen pada umumnya memiliki independensi dan otonomi keilmuan yang tinggi sehingga jarang mau melakukan kolaborasi dalam pembelajaran, termasuk merencanakan pembelajaran. Namun karena adanya komitmen yang kuat di antara para peserta diskusi plan baik yang berasal dari komunitas LS FIS maupun dari LSC akhirnya terjalin kolaborasi kolegial yang baik dalam merencanakan pembelajaran.

Plan yang telah disusunn bersama selama tiga kali pertemuan tersebut akhirnya dipraktikkan pada tanggal 31 Agustus 2016. Hasilnya sangat memuaskan bahkan di luar dugaan karena para mahasiswa bisa mengikuti pelajaran dengan sangat baik dan menunjukkan antusiasme yang tinggi. Dengan demikian maka lesson plan yang disusun secara kolaboratif dapat dikatakan berhasil.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

LS merupakan sarana yang baik dalam membangun kolaborasi kolegial di antara para pendidik. Latar belakang pendidikan yang berbeda kadang bisa menimbulkan perbedaan persepsi dalam menyusun rancangan pembelajaran. Namun dengan hubungan saling mendengar dan diskusi yang dialogism aka

perbedaan itu justru menjadi berkah. Saran dan masukan dari peserta diskusi plan yang memilki latar belakang yang berbeda justru memperkaya rencana pembelajaran. Hasil yang didapatkan ternyata sangat baik bahkan melebihi ekspektasi. DAFTAR PUSTAKA 

DuFrense, C. R. 2007. Using the Lesson Study Model of Professional Development to Enhance Teacher Collaboration. Minneapolis: Walden University.

Felux, C., & Hidalgo, P. 2010. Improving Student Learning Trough Teachers' Collegial and Collaborative Learning. San Antonio: CAMT.

Fernandez, M. L. 2005. Exploring Lesson Study in Teacher Preparation. Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (pp. 305-312). Melbourne: PME.

Hariyono. 2014. Kekuasaan dalam Proses Pembelajaran Sejarah: Membangun Kuasa Diri dan Harapan dalam Dunia yang Terus Berubah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah di tengah Perubahan, Jurusan Sejarah FIS UM Bekerja Sama dengan APPS, Malang, 27-28 September 2014.

Harris, D. L., & Anthony, H. M. 2001. Collegiality and Its Role in Teacher Development: Perspectives from Veteran and Novice Teachers. Teacher Development: An International Journal of Teachers' Professional Development, 371-390.

Kolb, D. A. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. New Jersey: Prentice-Hall.

Lee, S. M., & Oyao, S. G. 2013. Establishing Learning Communities among Science Teachers through Lesson Study. Journal of Science and Mathematic Education in South Eas Asia, 36(1), 1-22. Retrieved August 11, 2015, from http://www.recsam.edu.my/R%26D_Journals/YEAR2013/June2013vol1/abstract/abstracts%20lee%20page%201%20to%2022.pdf

Lewis, C., Perry, R., & Hurd, J. 2004, February). A Deeper Look at Lesson Study. Educational Leadership, pp. 18-22.

Lim, C. S., White, A. L., & Chiew, C. M. 2005. Promoting Mathemathics Teacher Collaboration through Lesson Study: What Can We Learn from TwoCountries' Experience? Reform, Revolution and Paradigm Shifts in Mathematics Education (pp. 135-140). Johor Baru: Universiti Teknologi Malaysia. Retrieved August 11, 2015, from http://math.unipa.it/~grim/21_project/21_malasya_Lim135-139_05.pdf

Miles, M.B. & Huberman, A.M. 2007. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Ormrod, J. E. 2008. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 97

keseluruhan terbagi dalam empat cakupan: al-Quran dan hadis, keimanan, akhlak, dan fiqh/ibadah. Cakupan tersebut menggambarkan bahwa ruang lingkup PAI diharapkan dapat mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT., diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya (hablun min al-Lâh wa hablun min al-nâs).

Secara konseptual teoretis pendidikan agama Islam di sekolah menurut (Muhaimin, 2005: 40) berfungsi sebagai ;(1) pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin; (2) penanaman nilai-nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (3) penyesuaian mental peserta didik dalam keyakinan dan pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; (6) pengajaran tentang ilmu pengetahaun keagamaan secara umum (alam nyata dan nir nyata), system dan fungsionalnya; dan (7) penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

Dilihat dari fungsi pendidikan agama Islam di sekolah, maka secara konseptual teoretis pendidikan agama Islam di kembangkan kearah paradigma sistemik, yang menjadikan PAI sebagai sumber nilai dan pedoman bagi peserta didik untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Muhaimin, 2005:41). Fungsi PAI ini termanifestasi dalam pengamalan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan keseharian peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang berkarakter positif, bermanfaat untuk masyarakat.

Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menajdi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab (UU Sisdiknas No. 20/2003).

Untuk mencapai fungsi fungsi Pendidikan Agama Islam, dan merealisasikannya dalam program penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, Lesson Study tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong peningkatan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Lesson Study, sebagai inovasi pendidikan yang dikembangkan dari negara Jepang merupakan salah satu alternatif guna mengatasi masalah pelaksanaan praktik pembelajaran pendidikan Agama Islam yang selama ini dipandang kurang efektif penyelenggaraannya di sekolah maupun madrasah.

Karakteristik Lesson study yang menekankan pada kemandirian guru dan bagaimana belajar (student center) relevan dengan fungsi pembelajaran PAI yang diarahkan pada upaya membantu, mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik memiliki sikap positif sosio personal baik yang menyangkut kemampuan

membangun interaksi dengan lingkungan sosial lokal, regional, nasional, global. Dalam konteks pendidikan karakter berbasis nila-nilai ajaran agama Islam, proses pembelajaran melalui Lesson study menekankan pada pengembangan integrasi ranah kognitif, afektif, psikomotorik. Lickona (1991) menyebutkan, bahwa untuk membentuk karakter dan nilai-nilai positif pada diri peserta didik diperlukan proses pengembangan terpadu yang meliputi pembelajaran tentang pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral. Integrasi ketiganya dikembangkan melalui lesson study, yang dapat menjadi terobosan dalam peningkatan kualitas pembealajaran pendidikan agama Islam sebagai wahana pendidikan karakter nilai-nilai positif peserta didik.

E. DESAIN LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DAN MADRASAH

Lesson study merupakan suatu upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran pendidikan Agama Islam dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.

Kegiatan lesson study sebagai pembentukan suatu komunitas belajar yang secara sinergis dimungkinkan dapat menciptakan terobosan baru dalam menciptakan pembelajaran inovatif. Pelaksanaan lesson study idealnya melibatkan berbagai pihak, yakni kepala sekolah dan guru PAI.Melalui pola komunitas belajar, setiap anggota komunitas akan mampu melakukan pengembangan diri sehingga dapat berkembang bersama-sama dengan anggota komunitas belajar lainnya. Dengan demikian yang menjalankan dapat meningkatkan kompetensinya sesuai tuntutan perkembangan zaman (Susilo,dkk, 2011:1). Dalam kaitan ini, merupakan jenis lesson study berbasis sekolah. a. Persiapan Lesson Study Pendidikan Agama Islam

Pada tahap awal persiapan, perlu dilakukan identifikasi masalah pembelajaran yang meliputi materi ajar, teaching materials (hands on), strategi pembelajaran, dan siapa yang akan berperan menjadi guru. Materi ajar yang dipilih dalam kegiatan lesson study, perlu dipertimbangkan kesesuainnya dengan kurikulum yang berlaku serta program yang berjalan disekolah dan madrasah.

Pada tahap awal ini, selain aspek materi ajar, guru secara berkelompok perlu mendiskusikan strategi pembelajaran yang akan digunakan, meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Kegiatan ini dapat dimulai dengan analisis eksplorasi pengalaman masing-masing dalam mengajarkan materi yang sama. Berdasarkan analisis pengalaman tersebut selanjutnya dapat dipilih, ditetapkan, diekmbangkan strategi pembelajaran yang tepat yang diasumsikan dapat menghasilkan proses belajar peserta didik yang optimal. Agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, maka rangkaian kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir pembelajaran perlu

Page 93: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

96 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

suatu model (pola) pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian (studi) pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Chaterine, 2004).

Dengan demikian, Lesson study bukan sebuah metode pembelajaran tetapi merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dapat diterapkan di dalamnya berbagai motode atau strategi pembelajaran yang dianggap efektif. Implementasi lesson study juga dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan situasi, kondisi, dan permasalahana yang dihadapi guru di kelas secara factual.

C. TAHAP-TAHAP PEMBELAJARAN DALAM LESSON STUDY

Terdapat beberapa tahap dalam impelemenatsi lesson study. Lesson study yang dilakukan oleh IMSTEP-JICA di Indonesia, menurut Saito, dkk (2005) mengenalkan lesson study yang berorientasi pada praktik. Tahapan pokok Lesson study yang dilaksanakan tersebut terdiri atas 3 tahap sebagai berikut : 1. Tahap Plan, merencanakan pembelajaran dengan

penggalian pada topik dan alat-alat pembelajaran yang digunakan.

2. Tahap Do, melaksanakan pembelajaran dengan mengacu pada rencana pembelajaran dan alat-alat yang disediakan, serta mengundang sejawat untuk mengamati.

3. Tahap Refleksi, melaksanakan refleksi melalui berbagai pendapat/tanggapan dan diskusi bersama pengamat/observer.

a) Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan langkah identifikasi masalah. Temuan hasil identifikasi masalah, akan digunakan untuk kegiatan lesson study dan perencanaan alternatif pemecahannya. Identifikasi masalah dalam rangka perencanaan pemecahan masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan (materi pelajaran) yang relevan dengan kelas dan jadwal pelajaran, karakteristik pebelajar dan suasana kelas, metode pembelajaran, media, dan evaluasi proses dan hasil belajar. Selanjutnya hasil identifikasi tersebut didiskusikan (dalam kelompok lesson study) tentang pemilihan materi pembelajaran, pemilihan metode dan media yang sesuai dengan karakteristik pebelajar serta jenis evaluasi yang akan digunakan. Dari hasil identifikasi masalah dan diskusi perencanaan, pemecahannya, selanjutnya disusun dan dikemas dalam suatu perangkat pembelajaran.

Pada tahap perencanaan ini, dapat dilakukan oleh seorang atau beberapa orang guru dalam kelompok untuk mengidentifikasi permasalahan dan membuat perencanaan, pemecahannya yang berupa perangkat-perangkat pembelajaran untuk suatu pokok bahasan dalam suatu mata ajar yang telah ditetapkan dalam kelompok. Selanjutnya, hasil identifikasi masalah dan perangkat pembelajaran tersebut didiskusikan untuk

disempurnakan sehingga dapat dilanjutkan pada tahap implementasi.

b) Implementasi dan Observasi

Pada tahap ini seorang guru yang telah ditunjuk (disepakati) oleh kelompoknya, melakukan implementasi sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun, di kelas. Sedangkan kelompok pembelajar melakukan observasi, untuk mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran, terutama dilihat dari segi perilaku pebelajar. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan, seperti handy camp untuk merekam (audio visual) kejadian-kejadian khusus selama pelaksanaan pembelajaran. Hasil rekaman ini dapat digunakan sebagai bukti autentik kejadian-kejadian yang perlu didiskusikan dalam tahap refleksi atau pada seminar hasil lesson study, di samping itu dapat digunakan sebagai bahan diseminasi kepada khalayak yang lebih luas.

c. Refleksi

Pada tahap refleksi ini, pembelajar yang telah melaksanakan kegiatan pembelaajaran dan para observer mengadakan diskusi tentang pembelajaran yang telah dilakukan. Diskusi ini dipimpin oleh Kepala Sekolah, Koordinator kelompok, atau guru yang ditunjuk oleh kelompok. Pertama pembelajar yang melakukan implementasi rencana pembelajaran diberi kesempatan untuk menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap pebelajar yang dihadapi. Selanjutnya observer (guru lain) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Selanjutnya, guru yang melakukan implementasi tersebut dapat memberikan tanggapan balik atas komentar para observer. Tindak lanjut dari tahap refleksi ini adalah mempertimbangkan kembali rencana pembelajaran yang telah disusun sebagai dasar untuk perbaikan rencana pembelajaran berikutnya. Pertimbangan-pertimbangan ini digunakan untuk perbaikan rencana pembelajaran selanjutnya

D. URGENSI LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Kajian tentang permasalahan dan tantangan pengembangan pendidikan, seringkali tertuju pada bagaimana upaya untuk menemukan cara yang terbaik guna mencapai pendidikan yang bermutu. Upaya ini, dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, baik dalam bidang akademis, spiritual, sosio emosional. Untuk itulah perhatian terhadap pendidikan agama sebagai media pembentukan kepribadian, watak, dan karakter bangsa pada semua jenjang pendidikan, baik jenis lembaga pendidikan umum maupun madrasah menjadi langkah konstruktik yang sangat penting

Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang berlangsung di sekolah maupun madrasah secara

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 85

Rock, T. C., & Wilson, C. 2005. Improving Teaching throuh Lesson Study. Teacher Education Quarterly, 77-92. Retrieved August 11, 2015, from http://www.teqjournal.org/backvols/2005/32_1/rock%26wilson.pdf

Saito, E., dkk. 2015. Lesson Study for Learning Community: a Guide to Suistainable School Reform. London: Routledge

Sato, Masaki. 2012. Dialog dan Kolaborasi di Sekolah Menengah Pertama: Praktek “Learning Community”. Jakarta: PELITA-JICA

Sato, Manabu. 2014. Retrospeck and Prospect of School as Learning Community in Asia. First International Conference of School as Learning Community (pp. 1-46). Tokyo: The International Network for School as Learning Community. Retrieved August 11, 2015, from http://school-lc.com/wp-content/uploads/Opening-Remark.pdf

Sayono, J. 2013. Pembelajaran Sejarah di Sekolah: dari Pragmatis ke Idealis. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 9-17.

Susilo, H. 2013. Lesson Study sebagai Sarana Meningkatkan Kompetensi Pendidik. Seminar dan Lokakarya PLEASE (pp. 1-32). Malang: Universitas Negeri Malang.

Syamsuri, I & Ibrohim. 2008. Leson Study (Studi Pembelajaran). Malang: FMIPA UM

Tyoso, B. W. 2007. Budaya Kolegialitas Akademik sebagai Pendukung Kehidupan Akademik yang Kondusif. Yogyakarta: UGM.

Utami, I. W., & Nafi'ah, U. 2016. Developing Lecturer Collegiality Trough Lesson Study. 6th International Conference on Lesson Study (pp. 232-240). Singaraja: Asosiasi Lesson Study Indonesia (ALSI).

Page 94: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

86 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Prestasi Belajar IPS Siswa SMPN 5 Sampang

yang Tinggal dengan Orang Tua Angkat

Johan Yulianto1,2, Wahjoedi1, Utami Widiati1 Pascasarjana Pendidikan Dasar IPS-Universitas Negeri Malang-Jl. Semarang 5-Malang1

SMP Negeri 5 Sampang-Ds. Pulau Mandangin-Sampang2

[email protected]

Abstrak: Jumlah anak yang tinggal dengan orang tua angkat di Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang cukup banyak, faktor yang paling dominan mempengaruhi adalah karena tradisi setempat dan anak – anak tersebut ditinggal merantau ke daerah lain baik dalam negeri maupun luar negeri oleh orang tua kandung. Hal ini berpengaruh terhadap prestasi belajar anak (siswa). Makalah ini menyajikan secara berturut – turut konsep keterkaitan hubungan antara siswa yang tinggal dengan orang tua angkat dan prestasi belajar siswa tersebut di sekolah.

Kata Kunci: Prestasi Belajar, Orang Tua Angkat

A. PENDAHULUAN

Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu modal penting dalam pembangunan bangsa Indonesia untuk dapat bertahan di tengah-tengah kompleksitas zaman. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka sejauh itulah kita harus melengkapi diri kita dengan pendidikan. Pendidikan menjadi sarana yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Melalui pendidikan akan dapat dihasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing. Salah satu tujuan pendidikan adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik atau professional yang dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 1996: 45). Sedangkan Soelaeman (1994: 12) mengatakan bahwa “ Keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalani kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia dan dikukuhkan dengan pernikahan dengan tujuan saling menyempurnakan diri”.

Lingkungan keluarga sangat berperan dalam memotivasi anak untuk belajar, Karena anak yang berada di lingkungan keluarga yang baik maka motivasi belajarnya juga akan menjadi baik, dan hasil belajarnya akan menjadi lebih baik pula. Begitu juga sebaliknya anak yang berada di lingkungan keluarga yang tidak baik maka akan berdampak terhadap motivasi dan presyasi belajarnya.

Dengan demikian lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dalam kehidupan seseorang dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan kehidupannya. Hal ini dikemukakan oleh Purwanto (2004: 104) mengemukakan bahwa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap prestasi belajar yaitu lingkungan keluarga, mau tidak mau

menentukan bagaimana dan sampai dimana belajar dialami dan dicapai oleh anak-anaknya.

Ada beberapa siswa SMP Negeri 5 Sampang yang tinggal dengan orang tua angkat, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling dominan adalah karena faktor tradisi di desa Pulau Mandangin dan faktor ditinggal orang tua kandungnya untuk merantau ke daerah lain, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.

B. PEMBAHASAN

Prestasi Belajar

Pengertian belajar menurut Suhaenah (2001: 2) adalah merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relatif permanen sebagai akibat dari upaya – upaya yang dilakukannya. Sardiman (2012: 22) mengatakan bahwa belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia (id – ego – super ego) dengan lingkungannya, yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori. Dalam hal ini terkandung suatu maksud bahwa proses interaksi ini adalah:

a. Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri yang belajar.

b. Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.

Sehubungan dengan prestasi belajar, menurut Purwanto (2003: 28) menjelaskan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Sedangkan Winkel (2000: 162) menjelaskan bahwa “ prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya”.

Prestasi belajar adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan proses belajar yang dijalani oleh seorang siswa di bangku sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tirtonegoro (2001: 43) yang mengatakan bahwa “ prestasi belajar adalah hasil dari pengukuran serta penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 95

Desain Lesson Study dalam Pembelajaran

Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Madrasah

Lilik Nur Kholidah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Abstrak: Lesson study merupakan salah satu model inovasi pendidikan, sekaligus sebagai salah satu alternatif model untuk mengatasi permasalahan praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif, termasuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yang cenderung masih konvensional. Desain Lesson study dalam pembelajaran PAI meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan refleksi. Implementasi Lesson Study dalam pembelajaran PAI mengacu pada beberapa aspek yang menunjang keberhasilan pembelajaran PAI, antara lain karakteristik dari mata pelajaran PAI yang bersifat khas, jenis isi pesan, organisasi isi materi dan strategi pembelajaran PAI. Secara umum Lesson study adalah suatu model pembinaan professional pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.Melalui lesson study, guru dapat mengembangkan kompetensi professionalnya sebagai pendidik dengan komunitas belajarnya secara sinergis. Guru juga dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang inovatif sesuai dengan situasi, kondisi permasalahan yang riil terjadi di kelas sehingga kualitas proses dan hasil pembelajaran PAI dapat tercapai secara efektif dan efisien

.Kata Kunci: lesson study, pembelajaran, PAI, sekolah dan madrasah

A. PENDAHULUAN

Salah satu inovasi pendidikan yang belakangan ini menarik untuk diperbincangkan yaitu tentang lesson study, sebagai salah satu alternatif model untuk mengatasi permasalahan praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif. Realitas di lapangan menunjukkan pada umumnya praktik pembelajaran yang berlangsung di sekolah, termasuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam, cenderung masih konvensional, antara lain seperti kegiatan pembelajaran didominasi metode ceramah, aktivitas peserta didik hanya mendengarkan penjelasan guru.

Praktik pembelajaran konvesional semacam ini lebih cenderung kurang menekankan pada bagaimana siswa belajar (student centered), melainkan didominasi pada bagaimana guru mengajar (teacher-centered). Dampaknya, tidak banyak memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Hal ini diperkuat dari hasil berbagai kajian, bahwa segala macam krisis bangsa berpangkal dari krisis moral yang berhubungan dengan persoalan pendidikan (Muhaimin, 2005:18).

Salah satu faktor esensial yang turut berpengaruh terhadap kualitas hasil pendidikan adalah bagaimana proses pembelajaran diorientasikan pada bagaimana guru mengembangkan proses pembelajaran yang melibatkan bagaimana siswa belajar. Keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, tidak lepas dari peran serta guru sebagai pilar utama pendidikan di sekolah. Guru hendaknya kreatif, inovatif, untuk memperbaiki dan meningkatkan keprofesionalannya. Guru dapat mengetahui segala kekurangannya selama mengajar jika terdapat teman sejawat yang mengamati proses pembelajaran, sehingga melalui refleksi guru dapat memperbaiki kekurangan tersebut pada pembelajaran berikutnya. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan Lesson Study, yaitu suatu model pembinaan profesional pendidik melalui

pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip mutual learning dan kolegitas untuk membangun komunitas belajar (Hendayana, dkk, 2007).

Lesson Study tampaknya dapat dijadikan terobosan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran di Indonesia menuju ke arah yang lebih efektif. Jepang sebagai negeri asal Lesson Study, mampu menjadi kiblatnya reformasi pendidikan bagi banyak negara maju, salah satunya karena menjadikan Lesson Study sebagai basis budaya pembelajaran secara terus menerus (Nasih, Adib, 2008: 70). Untuk itu, tulisan ini memaparkan desain lesson study dalam pembelajaran pendidikan agama Islam.

B. KONSEPSI LESSON STUDY

Lesson study adalah suatu model pembinaan professional pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana dkk, 2007:10). Sedangkan berdasarkan latar historisnya, lesson study sebagai sebuah proses pengembangan potensi professional untuk pendidik yang berasal dan dikembangkan secara sistematis di negara Jepang. Lesson study merupakan terjemahan dari bahasa Jepang Jugyokenkyu, yang berasal dari dua kata jugyo yang berarti lesson atau pembelajaran, dan kenkyu yang berarti study atau pengkajian. Melalui kegiatan tersebut guru-guru di Jepang mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk memotivasi siswa-siswa aktif (Hendayana, dkk, 2007:20). Lesson study dapat diartikan sebagai study atau pengkajian terhadap pembelajaran

Lesson study lebih memfokuskan pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi masing-masing. Lesson study adalah

Page 95: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

94 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

berfokus pada teori dan pengetahuan saja, tetapi juga pada pengembangan karakter mahasiswa.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bassiouny, dkk. 2008. The Importance of character Education fot Tweens as Consumers. Journal of research in character education, vol 6 no 2 hal 37-61.

Budur, Laialatul Elly. 2013. Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Inkuiri dengan Lesson Study dalam Pembelajaran Biologi untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VII SMPN I Singosari. Jurnal Pendidikan Sains, Volume 1, Nomor 2, Juni 2013, Halaman 171-177, (online), (www.download.portalgaruda.org/artikelphp, diakses 3 November 2016)

Chandrasri, Titis Rini, dkk. 2015. Implementasi Pembelajaran berbasis Lesson Study untuk mengembangkan karakter kemandirian belajar siswa kelas VII C SMPN 9 Jember Semester Genap Tahun Ajaran 2013/2014 pada Sub Pokok Bahasan Garis dan Sudut. Kadikma, vol 6 no. 2 hal 109-118, agustus 2015, (online), (www.download.portalgaruda.org/artikelphp, diakses 3 November 2016)

Hendayana, S. 2007. Lesson Study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik. Bandung: UPI Press.

Hasan, dkk. 2010. Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. kemendiknas RI

Ikhwanuddin. 2012. Implementasi Pendidikan Karakter Kerja Keras dan Kerja Sama dalam Perkuliahan. Jurnal Pendidikan Karakter, (Online), II (2): 153-163, (http://lppmp.uny.ac.id/sites/lppmp.uny.ac.id), diakses 3 November 2016.

Winataputra, Udin. S. 2015. Revitalisasi Epistemologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Kaitannya dengan Pembangunan Bangsa yang Berkarakter. Makalah disampaikan pada seminar nasional PIPS tanggal 3 November 2015: FIS UM

Republik Indonesia (2007) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007, Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Sekretariat Negara.

Republik Indonesia (2010) Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa , Jakarta: Kemko Kesejahteran Rakyat.

Sunaryo, K. 2010. Redesigning Profesional Teacher Education. International Conference of Teacher Education. Bandung, 6-8 April 2010.

Chotimah, Umi. 2010. Membangun karakter bangsa yang berbudaya dan berkarakter melalui penerapan model pembelajaran IPS yang inovatif. Prosiding seminar internasional di Makassar oleh HISPISI

Wasty, Soemanto. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta:

Rineka Cipta.    

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 87

bentuk angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu”.

Berdasarkan pengertian prestasi belajar dari beberapa ahli diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai atau ditunjukkan oleh peserta didik sebagai sebagai hasil belajarnya yang didapat melalui pengalaman dan latihan. Biasanya berupa angka – angka, huruf, serta tindakan yang dicapai masing – masing peserta dalam waktu tertentu. Prestasi belajar peserta didik tidak selamanya merupakan gambaran dari kemampuan yang sebenarnya, tidak selalu diwujudkan dengan kecakapan – kecakapan, namun kecakapan itu hanya merupakan sebagian dari unsur pertumbuhan, dan pembentukan dari proses belajar.

Suatu aktivitas dapat dikatakan prestasi belajar apabila memenuhi unsur – unsur sebagai berikut :

1. Adanya perubahan tingkah laku. 2. Perubahan terjadi dari hasil latihan atau

pengalaman. 3. Perubahan itu menyangkut beberapa aspek,

yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Menururt Benyamin Bloom (dalam Sudjana: 2009)

kemampuan peserta didik dalam proses belajar mengajar secara garis besar diklasifikasikan menjadi 3 ranah, yaitu sebagai berikut :

1. Ranah Kognitif. berkenaan dengan sikap hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yang meliputi:

a. Knowledge (pengetahuan, ingatan) b. Comprehension (pemahaman, menjelaskan,

meringkas, contoh) c. Analysis (menguraikan, menentukan hubungan) d. Synthesis (mengorganisasikan, merencanakan,

membentuk bangunan baru) e. Evaluation (menilai) f. Application (menerapkan) 2. Ranah Afektif. Berkenaan dengan sikap dan

nilai yang terdiri dari lima aspek, yaitu meliputi : a. Receiving (sikap menerima) b. Responding memberikan respon) c. Valuing (nilai) d. Organization (organisasi) e. Characterization (karakterisasi)

3. Ranah Psikomotorik. berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak individu.

Ketiga ranah tersebut diatas menjadi objek penilaian hasil dan prestasi belajar. Namun diantara ketiga ranah tersebut, ranah kognitif yang paling banyak dinilai oleh para pendidik karena berkaitan dengan kemampuan peserta didik dalam menguasai isi bahan pengajaran.

Pengertian Keluarga dan Anak Angkat

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan. 1996 : 45). Dalam arti luas Soelaeman (2004 : 12) mengatakan bahwa keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalin kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia dan dikukuhkan dengan pernikahan dengan tujuan saling

menyempurnakan diri. Keluarga sangat penting sekali pengaruhnya terhadap pembentukan karakter anak, karena keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak dan bersifat informal yang artinya keluarga merupakan lembaga pendidikan yang tidak memiliki program resmi seperti lembaga lainnya. Semakin harmonis hubungan dalam lingkungan keluarga maka akan semakin baik pengaruhnya pada perkembangan anak, begitu juga sebaliknya. Jadi Lingkungan Keluarga adalah suatu lingkungan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Helmawati (2014 : 49) mengatakan bahwa tiga tempat pendidikan yang dapat membentuk anak menjadi manusia seutuhnya adalah di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga adalah tempat titik tolak perkembangan anak. Peran keluarga sangat dominan untuk menjadikan anak yang cerdas, sehat, dan memiliki penyesuaian sosial yang baik. Keluarga merupakan salah satu faktor penentu utama dalam perkembangan kepribadian anak, di samping faktor – faktor yang lain. Masalah pemeliharaan dan pengasuhan anak adalah masalah yang menyangkut perlindungan kesejahteraan anak itu sendiri dalam upaya meningkatkan kualitas anak pada pertumbuhannya, dan mencegah penelentaraan serta perlakuan yang tidak adil untuk mewujudkan anak sebagai manusia seutuhnya, tangguh, cerdas, dan berbudi luhur, Helmawati (2014: 50).

Sedangkan menurut Koerner dan Fitzpatrick (dalam Sri Lestari 2012: 5), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi intersaksional.

Definisi Struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).

1. Definisi Fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas – tugas dan fungsi – fungsi psikosial. Fungsi – fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran – peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas – tugas yang dilakukan oleh keluarga.

2. Definisi Transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku – perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita – cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.

Keluarga berfungsi sebagai tempat yang penting untuk perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual dan sosial. Hal ini disebabkan karena keluarga merupakan sumber untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya.

Menurut Berns (dalam Sri Lestari 2012: 22), keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu :

Page 96: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

88 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

1. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat.

2. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.

3. Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.

4. Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung makanan, dan jaminan kehidupan.

5. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.

Pengertian anak angkat menurut Soekanto (2001: 251) adalah anak orang lain (dalam hubungan perkawinan yang sah menurut agama dan adat) yang diangkat karena alasan tertentu dan dianggap sebagai anak kandung. Sedangkan menururt Pradjodikoro (1983: 37) mengatakan bahwa anak angkat adalah seorang bukan turunan dua orang suami istri, yang diambil, dipelihara, dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak keturunannya sendiri.

Sebagian anak – anak desa Pulau Mandangin, kecamatan Sampang khususnya siswa SMP Negeri 5 Sampang kelas IX adalah anak yang tinggal bukan dengan orang tua kandung, melainkan tinggal dengan orang tua angkat, hal ini menyebabkan fungsi keluarga pada anak tersebut nerjalan tidak maksimal.

Para orang tua kandung menitipkan anaknya kepada orang lain dengan alasan yang bermacam – macam, namun yang paling banyak adalah karena alasan tradisi yang sudah turun temurun di desa Pulau Mandangin, dan juga karena alasan orang tua kandung tersebut merantau ke daerah lain baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Malaysia, Arab Saudi), dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik karena di daerah asalnya (Pulau Mandangin) pilihan pekerjaan “hanya” sebagai nelayan.

Pada umumnya anak kandung mereka dititipkan ke orang lain yang masih ada ikatan famili, seperti paman/bibi dan sepupu. Namun pengawasan dalam berbagai hal kepada anak tersebut tidak berjalan maksimal seperti anak – anak lain yang tinggal dengan orang tua kandungnya sendiri. Inilah yang menyebabkan peneliti tertarik untuk meneliti kehidupan anak – anak angkat tersebut khususnya tentang prestasi belajar mereka di sekolah.

Adapun penelitian yang pokok permasalahannya hampir sama dengan makalah ini adalah sebagai berikut: (1) Mohammad Idham (2006), mengkaji hubungan antara fasilitas belajar di rumah dengan prestasi belajar, yang hasilnya menyatakan ada pengaruh positif antara keduanya. (2) Daewin Bangun (2008), mengkaji hubungan persepsi siswa tentang perhatian orang tua, kelengkapan fasilitas belajar, dan penggunaan waktu belajar di rumah dengan prestasi belajar ekonomi, yang hasilnya menyatakan bahwa semakin baik persepsi siswa tentang perhatian orang tua, maka akan semakin baik

prestasi belajar siswanya. (3) Dewi Nur Rofiah (2006), mengkaji pengaruh persepsi siswa tentang perhatian orang tua terhadap prestasi belajar, yang hasilnya menyatakan ada pengaruh yang positif persepsi siswa tentang perhatian orang tua terhadap prestasi belajar.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Keluarga merupakan forum pendidikan yang pertama dan utama dalam sejarah hidup sang anak yang menjadi dasar penting dalam pembentukan karakter manusia itu sendiri. Dalam perkembangannya, seorang anak memerlukan dukungan, curahan kasih sayang, arahan, dan pengawasan dari orang tua kandungnya. Namun karena beberapa faktor banyak orang tua kandung yang tidak bisa memberikan itu semua kepada anak kandungnya, sehingga perkembangan anak kandungnya sendiri tidak bisa terkontrol secara langsung karena tinggal dengan orang lain (orang tua angkat), yang tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan dari anak tersebut termasuk kehidupannya di dunia pendidikan (sekolah).

Saran

Ada banyak alasan orang tua kandung menitipkan anaknya kepada orang lain, akan tetapi orang tua tetap harus bisa memantau perkembangan dari anak tersebut, misalnya dengan cara selalu berkomunikasi dengan orang tua angkatnya, guru di sekolahnya, ataupun juga langsung berkomunikasi dengan anak tersebut. Sehingga dengan begitu si anak tersebut merasa tetap mendapatkan perhatian dari orang tua kandungnya atas kehidupan pribadinya, baik di rumah maupun di sekolah.

Penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna, sehingga peneliti sangat mangharapkan banyak masukan agar menjadi lebih baik lagi. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi teferensi oleh peneliti lain agar bisa menjadi lebih baik.

D. DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Darwin. 2008. Hubungan Persepsi Siswa Tentang Perhatian Orang Tua, Kelengkapan Fasilitas Belajar, dan Penggunaan Waktu Belajar di Rumah Dengan Prestasi Belajar Ekonomi.UNILA

Gerungan. 1996. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Eresco.

Helmawati, 2014. Pendidikan Keluarga. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Idham, Muhammad. 2004. Hubungan Antara Kompetensi Guru, Fasilitas Belajar di Rumah dan Aktivitas Belajar Dengan Peningkatan Prestasi Belajar Akuntansi. UNILA

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana Prenamedia Group

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 93

dokumenter, mereka diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasilnya. Presentasi dilakukan oleh masing-masing kelompok secara bergantian. Kelompok yang lain dapat mengajukan pertanyaan ataupun sanggahan. Dari presentasi ini terlihat beberapa karakter yang dapat terbentuk antara lain bekerja keras dan menghargai pendapat orang lain.

Video dokumenter ini menyuguhkan realitas fenomena yang ada di Indonesia. ada dua video dokumenter yang disuguhkan dalam pembelajaran. Video yang pertama berjudul “samin Vs Semen” video ini secara ringkas menayangkan bagaimana kaum masyarakat samin dengan segala kesederhanaannya berjuang menolak pendirian pabrik semen. Video dokumenter yang kedua berjudul “Belakang Hotel”, video ini menceritakan bagaimana masyarakat yang tinggal di belakang hotel mengalami masalah kesulitan memperoleh air bersih.

Pada proses ini mahasiswa secara tidak langsung dapat menggunakan kemampuan analisis yang telah dipelajarinya untuk menganalisis permasalahan sosial tersebut. mahasiswa mengkonstruk pengetahuan dari apa yang ada di lingkungan dan dihubungkan dengan teori yang telah mereka pelajari. Karakter yang dapat terbentuk pada tahap ini adalah rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli sosial, dan peduli lingkungan.

Karakter-karakter tersebut diperoleh dari analisis terhadap permasalahan sosial sehingga mereka didorong untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada. Tuntutan tersebut membuat mereka terus menggali pengetahuan sehingga menciptakan rasa ingin tahu yang tinggi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli sosial dan peduli lingkungan dengan sendirinya akan terbentuk setelah mereka “kenal” dengan lingkungannya atau dengan kata lain dengan banyaknya informasi yang didapat.

Kegiatan penutup dilakukan dengan memberikan evaluasi kepada mahasiswa. Proses evaluasi ini dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan untuk mengukur sejauh mana tujuan pembelajaran tercapai. Evaluasi ini diberikan dengan bentuk word square, TTS, dan True/False. Mahasiswa diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Nilai yang dapat dibentuk dari kegiatan ini adalah sikap tanggung jawab, kerja keras (responsif), dan toleransi (santun).

Tahap yang terakhir, See (Refleksi) ditahap ini refleksi dari kegiatan di kelas dilaksanakan dari awal hingga akhir. Tahap ini dilakukan oleh dosen model dengan berkolaborasi dengan dosen lain sebagai observer. Kegiatan refleksi dilakukan untuk mengetahui capaian pembelajaran dan pelajaran berharga yang dapat diambil dari kegiatan pembelajaran. Tahap memberikan koreksi pada pembelajaran selanjutnya untuk lebih baik dalam kegiatan apersepsi. Apersepsi diperlukan untuk meningkatkan motivasi dan rasa ingin tahu mahasiswa sehingga mereka secara suka rela mengkonstruk pengetahuan mereka.

Apersepsi membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyakny. Dalam koneksionisme, Thorndike (dalam Wasty, 1998) mengemukakan hukum-hukum belajar, diantaranya hukum kesiapan (Law of readiness), hubungan antara stimulus dan respon akan terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi

dari hukum ini adalah keberhasilan belajar seseorang tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan belajar. Perbaikan pada kegiatan apersepsi yang didasarkan pada kegiatan refleksi dapat meningkatkn kesiapan belajar mahasiswa, sehingga kegiatan inti pada pembelajaran berjalan sesuai dengan rencana.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran IPS berbasis nilai sosial budaya dalam kerangka lesson study dapat menumbukan karakter mahasiswa. Penelitian ini ssesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pembelajaran karakter dapat dilakukan dengan lesson study (Budur, 2013; Ikhwanuddin, 2012; dan Chandrasari, dkk.2015). Keberhasilan pembelajaran dengan lesson study dapat terjadi karena kegiatan pemebelajaran mahasiswa akan dapat dikontrol dan dipantau secara bersama oleh beberapa dosen sehingga timbul keseragaman berpikir, bertindak, dan tanggapan yang diberikan dosen dalam pembentukan karakter.

Keberhasilan pembelajaran ini selain karena kerja sama antar dosen juga terjadi juga tidak lepas dari peran serta dosen model. Dosen harus selalu kreatif, inovatif, dan mau menerima kritik, saran dan perbaikan dari orang lain untuk memperbaiki dan meningkatkan keprofesionalannya. Dosen dapat mengetahui segala kekurangannya selama pembelajaran jika ada rekan sejawat yang mengamati pembelajaran, sehingga ia dapat memperbaiki kekurangan tersebut pada pembelajaran berikutnya. Cara tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study, yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana, dkk, 2007). Semangat kolegialitas dalam memperbaiki pembelajaran dapat terjadi termasuk pembelajaran karakter.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pembelajaran IPS berbasis nilai sosial budaya dapat menanamkan karakter mahasiswa. Karakter yang muncul dalam pembelajaran ini adalah rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli sosial, dan peduli lingkungan. sikap tanggung jawab, kerja keras (responsif), dan toleransi (santun). Karakter tersebut dapat muncul karena perencanaan yang matang, pelaksanaan yang baik, dan refleksi yang digunakan sebagai dasar perbaikan pembelajaran selanjutnya. Kegiatan kolaboratif melalui lesson study dapat memecahkan masalah pembelajaran kaitannya dengan pengembangan karakter mahasiswa.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan dalam penelitian ini disarankan bahwa lesson study perlu diterapkan secara efektif dan menjadi budaya di kampus karena dapat memberikan kontribusi positif dalam peningkatan mutu pembelajaran dan pendidikan secara kolaboratif. Selain itu, penerapan pendidikan karakter perlu dilakukan pada semua matakuliah yang disajikan karena pendidikan di kampus tidak hanya

Page 97: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

92 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

rancangan pembelajaran yang dianggap paling efektif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tema mata kuliah yang diambil adalah kearifan lokal dalam penjagaan lingkungan dan tema ke dua adalah kemiskinan di perkotaan.

Kegiatan kedua adalah pelaksanaan, pada tahap ini dosen model menerapkan rancangan yang telah direncanakan sebelumnya. Dosen menggunakan metode-metode pembelajaran yang telah dipilih sebelumnya untuk menyampaikan materi serta memberikan gambaran dari permasalahan yang ada sesuai dengan topik atau tema. Pada tahap ini pembelajaran tidak hanya dilakukan dengan ceramah saja, akan tetapi dosen memberikan video permasalahan tentang lingkungan, perubahan, serta dampak terhadap masyarakat. Selanjutnya dari permasalahan tersebut mahasiswa mendiskusikan pemecahan masalah. Observasi bertujuan untuk mengamati jalannya pembelajaran.

Kegiatan selanjutnya adalah see (refleksi), tahap ini dimaksudkan untuk menemukan kelebihan serta kekurangan dari proses pembelajaran yang telah berlangsung. Dosen model mengawali diskusi dengan menyampaikan hasil refleksi dan kesan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan. Kemudian dosen model memberikan kesempatan kepada observer secara bergantian untuk menyampaikan apa yang telah diperoleh dalam pembelajaran. Kritik dan saran disampaikan secara bijak tanpa merendahkan pendidik, berdasarkan saran dan masukan dapat dipergunakan untuk memperbaiki pembelajaran selanjutnya sehingga tercipta pembelajaran lebih baik.

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, diskusi dan dokumentasi. Observasi dilakukan pada saat pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi, kamera foto, dan video. Diskusi dilakukan pada saat refleksi, yang mana hasil dari diskusi ini dicatat secara rinci pada lembar refleksi. Data berupa lembar hasil observasi, catatan notulensi, RPP, LKM, foto, video serta media pembelajaran yang didokumentasikan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya adalah cerminan dari sikap mereka. Sikap dapat terbentuk melalui pembiasaan dan pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan di Kampus dapat menjadi wadah dalam pembentukan karakter mahasiswa. Pembelajaran ini dilakukan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Pendidikan IPS memiliki tujuan untuk membentuk warga negara baik yang berdaya saing dan memiliki nilai. Adalah suatu kewajiban untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Internalisasi nilai budaya dapat terjadi melalui pembelajaran. Proses belajar mengajar ini dilakukan dengan penyampaian materi dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Pemilihan metode didasari atas pertimbangan kesesuaian materi dan topik yang akan disampaikan.

Pembelajaran di kelas dirancang sedemikian rupa dalam kegiatan planning sehingga pembelajaran dapat

berlangsung menarik dan menyenangkan. Dengan dibuat menjadi pembelajaran yang menarik maka pembelajaran akan lebih bermakna sebab seluruh peserta didik turut aktif dan tidak jenuh dalam mengikuti perkuliahan. Sehingga integrasi nilai dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan baik.

Pada tahap planning, perencanaan pembelajaran dilakukan dan keperluan terkait proses pembelajaran disiapkan. Hal-hal yang disiapkan tersebut antara lain metode dan model pembelajaran. Model pembelajaran yang dipilih adalah model pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik. Metode yang dipilih adalah cooperative learning, model problem solving, debat dan inquiry. Dalam Model ini terdapat ketergantungan positif dimana diantara peserta didik untuk mencapai tujuan. (Chotimah: 2010). Selain itu, metode pembelajaran menekankan pada sikap dan perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur yakni kelompok.

Dalam proses perencanaan ini, nilai-nilai yang akan dimasukkan dituangkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Selain dari materi yang disampaikan, pemilihan metode juga akan berdampak pada pembentukan karakter peserta didik. Dengan dipilihnya model pembelajaran cooperative learning, maka nilai karakter yang dapat dibentuk diantaranya adalah kerjakeras, toleransi dan tanggung jawab.

Pembelajaran IPS berbasis nilai sosial budaya memiliki konsekuensi bahwa pembelajaran dilakukan secara kontekstual, artinya mahasiswa tidak hanya harus tahu tentang teori yang ada di teks, tetapi mereka juga harus belajar tentang suatu hal yang ada di lingkungan mereka. Dengan demikian mahasiswa lebih dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri sehingga nilai-nilai baik juga akan tertanam. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro bahwa pendidikan tidak boleh dilepaskan dari lingkungan dimana peserta didik berada terutama dilingkungan budayanya, karena peserta didik hidup dalam lingkungan tersebut dan bertindak sesuai dengan kaedah-kaedah budayanya.

Tahap pelaksanaan (do), dosen menyampaikan pembelajaran sesuai dengan hasil planning yang telah dilakukan sebelumnya. Pada tahap ini, kegiatan pertama yang dilakukan adalah pendahuluan dan eksplorasi. Dosen menggali pengetahuan awal mahasiswa. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan ringan dan selanjutnya dapat membuat mahasiswa tergerak untuk mengetahui lebih dalam.

Kegiatan inti dalam pembelajaran IPS berbasis nilai budaya dilakukan dengan menyuguhkan permasalahan-permasalahan sosial. Permasalahan sosial yang ada di lingkungan sekitar dihadirkan kepada mahasiswa dalam bentuk video dokumenter. Dosen model memberi instruksi mengenai tugas dan aturan dalam pembelajaran. Dari instruksi tersebut selanjutnya mahasiswa dapat belajar dengan cara menganalisis video dokumenter yang dihadirkan oleh dosen model. Pada tahap ini mahasiswa diharuskan untuk berfikir secara mendalam terkait dengan permasalahan, sehingga mereka dapat mengambil inti dari permasalahan yang disuguhkan. Hasil analisis ini mereka tuliskan dalam catatan kecil mereka.

Selanjutnya setelah mahasiswa menganalisis realitas fenomena yang disuguhkan dalam video

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 89

Nurrofiah, Dewi. 2006. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Iklim Sekolah dan Perhatian Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Ekonomi Akuntansi. UNILA

Prodjodikoro, Wiryono. 1983. Hukum waris di Indonesia. Bandung: Sumur

Purwanto, Ngalim. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sardiman, 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soelaeman. 1994. Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta

Soekanto, Soerjono. 2001. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sudjana, Nana. 2009. Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosadakarya

Winkel, W.S. 2000. Psikologi Pengajaran. Terjemahan Kartini Kartono, Yogyakarta: Media Abad

Page 98: Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 2016

 

90 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Pembelajaran IPS Berbasis Nilai Sosial Budaya melalui Lesson Study untuk

Membangun Karakter Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS FIS UM

Khofifatu Rohmah Adi1, Neni Wahyuningtyas1, Fatiya Rosyida2

Prodi Pendidikan IPS, 2 Jurusan Geografi Universitas Negeri Malang

Abstrak: IPS sebagai pembelajaran dan pengetahuan sosial tidak hanya menyajikan materi-materi yang sifatnya teori saja. Pembelajaran IPS sesuai dengan tujuannya memiliki kewajiban untuk memberikan pengetahuan tentang pengalaman dan kehidupan. Selain itu, pembelajaran IPS harus mampu menanamkan karakter baik pada mahasiswa. Lesson Study digunakan dalam penerapan pembelajaran ini dikarenakan penanaman karakter akan lebih baik jika dilakukan secara kolegial. Pembelajaran karakter bukan hal yang gampang sehingga perlu kerjasama dalam menjalankan rangkaian pembelajaran, mulai dari plan, do, dan see. Semangat kolegial yang ada dalam proses lesson study dapat memecahkan masalah yang ada dalam menerapkan pembelajaran karakter. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti berperan sebagai pengamat dosen model. Prosedur penelitian ini meliputi tiga tahap, yaitu plan (perencanaan), do (pelaksanaan), dan see (refleksi). Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 pendidikan IPS angkatan 2013 dan 2014 yang mengambil mata kuliah sosiologi pedesaan dan perkotaan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, diskusi dan dokumentasi. Hasil dari penelitian adalah pembelajaran IPS berbasis nilai sosial budaya dapat menanamkan karakter mahasiswa. Karakter yang muncul dalam pembelajaran ini adalah rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli sosial, dan peduli lingkungan. sikap tanggung jawab, kerja keras (responsif), dan toleransi (santun). Karakter tersebut dapat muncul karena perencanaan yang matang, pelaksanaan yang baik, dan refleksi yang digunakan sebagai dasar perbaikan pembelajaran selanjutnya. Kegiatan kolaboratif melalui lesson study dapat memecahkan masalah pembelajaran kaitannya dengan pengembangan karakter mahasiswa.

 

Kata Kunci: Lesson Study, Pembelajaran IPS, Pembelajaran Karakter

A. PENDAHULUAN

Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan. Masalah ini antara lain adalah tentang perekonomian bangsa, sentimen antar etnis, isu sara serta moralitas bangsa yang tengah terdegradasi. Masalah tersebut perlu segera membutuhkan perbaikan. Upaya nyata perlu segera diterapkan, walaupun memerlukan waktu panjang. Hal ini dikarenakan, moral yang dimiliki masyarakat merupakan cerminan dari jati diri suatu bangsa.

Berbagai kasus yang menjerat anak muda antara lain menyangkut tindakan amoral, kekerasan, dan kriminal kian marak terjadi. Hal ini tentulah membuat kita berfikir bahwa sejatinya bukan hanya prestasi-prestasi dibidang akademik yang kita kejar. Prestasi cemerlang yang ditorehkan generasi muda memang patut kita banggakan. Akan tetapi, lebih dari itu moral dan pribadi yang baik juga amat berharga. Convey (bassiouny,dkk,2008) menyatakan “as dengerous as little knowledge is even more dengerous is much knowledge without a strong principle character” (sebahaya-bahayanya orang yang sedikit pengetahuan, lebih berbahaya orang yang banyak pengetahuan, tetapi karakternya tidak baik)

Sebagai suatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, Indonesia dikenal memiliki karakter luhur, memiliki kualitas perilaku kebangsaan khas yang memiliki adab, tangguh, dan berakhlaq mulia. Kualitas perilaku bangsa semuanya tertuang dalam pancasila. Karakter yang dimiliki bangsa Indonesia ini sudah

melekat dalam diri bangsa. Karakter ini bisa diibaratkan sebagai suatu identitas, atau ciri khas bangsa Indonesia. Sungguh sangat disayangkan jika karakter baik yang menjadi ciri khas ini hilang, sehingga masalah moral yang memudarkan citra bangsa harus segera diatasi. Salah satu upayanya adalah dengan pendidikan karakter.

Tujuan utama dari pendidikan karakter adalah membantu anak untuk mengembangkan sikap baik yang akan memungkinkan mereka untuk berkembang secara intelektual, pribadi dan sosial (Boston University school of education, dalam Ikhwanuddin:2004). Pendidikan karakter merupakan suatu upaya menanamkan nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat umum. Dengan adanya pendidikan karakter tersebut, diharapkan kompetensi mahasiswa dalam pengambilan keputusan mengenai hal-hal baik dan buruk dapat berkembang.

Penerapan pendidikan karakter dapat diimplementasikan di lingkungan sekitar mahasiswa berada. Lingkungan tersbut diantaranya adalah lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan paling dekat dengan mahasiswa, lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal mahasiswa, dan lingkungan pendidikan. Ketiga lingkungan ini erat kaitannya dengan pembentukan sikap dan perilaku mahasiswa sehingga akan membentuk karakter mereka. Pembelajaran yang diperoleh dari keluarga merupakan titik awal dari proses pembentukan karakter seseorang. Lingkungan keluarga sebagai pendidikan yang paling dekat dengan mahasiswa membelajarkan banyak hal. Mahasiswa dalam lingkungan keluarga biasa belajar

Seminar Nasional Praktik Lesson Study Ilmu Sosial dan Humaniora, 9 November 2016 91

dengan apa yang mereka lihat atau apa yang orang tua mereka contohkan oleh sebab itu nilai-nilai karakter dapat dengan mudah disosialisasikan pada lingkungan ini.

Lingkungan tempat tinggal mahasiswa juga merupakan faktor penting dalam pembentukan karakter. Kebanyakan mahasiswa sudah tidak tinggal lagi dengan orang tua mereka sehingga lingkungan sekitar tempat tinggal mereka membawa pengaruh dalam perilaku mereka. Lingkungan masyarakat yang kondusif membuat mereka tetap dalam koridor nilai-nilai moral yang dianut karena adanya pengawasan.

Selanjutnya pembelajaran secara umum dapat dilaksanakan di lingkungan pendidikan atau sekolah. Lingkungan ini dibentuk secara formal sebagai wadah untuk membelajarkan mahasiswa. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur (Karakter) adalah dengan melaksanakan kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa. Kebijakan tersebut memprioritaskan pembangunan karakter dalam pembangunan nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap aspek pembangunan nasional harus bertujuan untuk memberi dampak positif terhadap pengembangan karakter

Pendidikan nasional dalam upayanya mengembalikan citra bangsa melalui pendidikan memiliki tujuan sebagaimana tertuang dalam visi pembangunan nasional. Visi pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), yaitu ”...terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks”. Berdasarkan visi tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak hanya sebagai wadah untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga pendidikan merupakan suatu tempat sebagai sarana menanamkan sekaligus menguatkan nilai-nilai

Pendidikan karakter di lembaga pendidikan bukan merupakan suatu mata kuliah atau mata pelajaran yang berdiri sendiri, akan tetapi pendidikan karakter dapat diintegrasikan kedalam mata kuliah atau mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan. Sebagaimana yang termaktub dalam lingkup sasaran pembangunan karakter (Kebijakan Nasional: 2010) lingkup satuan pendidikan merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter yang dilakukan dengan menggunakan (a) pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, (b) pengembangan budaya satuan pendidikan, (c) pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan di lingkungan satuan pendidikan. Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi.

Kebijakan Nasional (2010) mengartikan karakter sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terjawantahkan dalam perilaku. Karakter

secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Aspek penting dalam pendidikan karakter adalah pengetahuan tentang nilai baik, sikap dan juga perilaku yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter bukan hanya mencakup pengetahuan saja melainkan tercermin dari perilaku baik yang ditunjukkan oleh mahasiswa. Nilai karakter yang dapat dikembangkan dalam pendidikan karakter menurut hasan, dkk (2010) meliputi disiplin, kerja keras, mandiri, tanggung jawab dan menghargai prestasi. Karakter merupakan ciri khas seseorang yang mengandung nilai, kompetensi, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.

IPS sebagai pembelajaran dan pengetahuan sosial tidak hanya menyajikan materi-materi yang sifatnya teori saja. Pembelajaran IPS sesuai dengan tujuannya memiliki kewajiban untuk memberikan pengetahuan tentang pengalaman dan kehidupan. Hal ini sesuai dengan tujuan IPS yang telah dijabarkan oleh versi NCSS 1983 (dalam Winataputra: 2015) bahwa tujuan utama mata pelajaran ilmu pengetahuan social (social studies) ialah mengembangkan siswa untuk menjadi warganegara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi. Oleh sebab itu, merupakan suatu kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai dalam pembelajaran ini.

Berdasarkan paparan sebelumnya, perlu pembelajaran IPS yang mampu menanamkan karakter baik pada mahasiswa. Lesson Study digunakan dalam penerapan pembelajaran ini dikarenakan penanaman karakter akan lebih baik jika dilakukan secara kolegial. Pembelajaran karakter bukan hal yang gampang sehingga perlu kerjasama dalam menjalankan rangkaian pembelajaran, mulai dari plan, do, dan see. Semangat kolegial yang ada dalam proses lesson study dapat memecahkan masalah yang ada menerapkan pembelajaran karakter.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu sebuah penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistik kontekstual melalui pengumpulan data dengan menggunakan peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian ini menggunakan lesson study. Peneliti berperan sebagai pengamat dosen model. Prosedur penelitian ini meliputi tiga tahap, yaitu plan (perencanaan), do (pelaksanaan), dan see (refleksi). Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 pendidikan IPS angkatan 2013 dan 2014 yang mengambil mata kuliah sosiologi pedesaan dan perkotaan.

Kegiatan lesson study dalam penelitian ini berlangsung selama 4 putaran. Kegiatan pertama yaitu perencanaan, pada tahap ini bertujuan untuk membuat rancangan pembelajaran yang dirasa mampu membuat mahasiswa aktif dalam pembelajaran. Hasil dari kegiatan plan ini adalah berupa RPP, LKS dan lembar observasi pembelajaran. Perencanaan ini dilaksanakan secara kolaboratif antara dosen model dengan beberapa observer yang bekerjasama sehingga menghasilkan