Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana -...

316
Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana i

Transcript of Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana -...

Page 1: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

i

Page 2: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

ii

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KE-3

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG, 01 OKTOBER 2015

“TANTANGAN DAN STRATEGI

PENINGKATAN KESEHATAN HEWAN

DI KAWASAN SEMI RINGKAI

KEPULAUAN”

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2015

Page 3: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

iii

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL KE-3 “TANTANGAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KESEHATAN

HEWAN

DI KAWASAN SEMI RINGKAI KEPULAUAN”

Dewan Redaksi

Tim Penyusun : Fakultas Kedokteran Hewan Undana

Penanggungjawab : Dr. drh. Maxs U.E. Sanam

(Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Undana)

Pengarah : Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App Sc, Ph.D

Penyunting : Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si

drh. Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc

Alamat Redaksi : Fakultas Kedokteran Hewan, Undana,

Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, Kotak Pos 104

Nusa Tenggara Timur 85001

Page 4: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

iv

Prosiding Seminar Nasional

“TANTANGAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KESEHATAN HEWAN DI

KAWASAN SEMI RINGKAI KEPULAUAN”

Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Nusa Cendana

Copyright © 2015

Editor : Tim Penyusun Fakultas Kedokteran Hewan Undana

Desain Sampul : Annytha Detha

PT Penertbit : Lembaga Penelitian Undana

Cetakan Pertama : November 2015

ISBN : 978-979-24-6839-7

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Page 5: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselenggaranya Seminar

Nasional ke-3, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana yang bertema

“Tantangan Dan Strategi Peningkatan Kesehatan Hewan di Kawasan Semi Ringkai

Kepulauan” pada tanggal 01 Oktober 2015 di Kupang. Pembicara utama pada seminar ini

berdiri dari Akademisi,Ilmuan, Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi NTT,

Peneliti dan Praktisi. Hasil-hasil kajian dan penelitian terkini yang berkaitan erat dengan

kesehatan hewan di kawasan lahan kering, diharapkan dapat memperkaya pemahaman

tentang strategi meningkatkan kesehatan hewan di kawasansemi ringkai kepulauan

khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Isi prosiding ini memuat sejumlah artikel

hasil-hasil kajian dan penelitian yang telah dilakukan oleh Dosen Universitas Nusa

Cendana dan beberapa peneliti dari perguruan tinggi lain yang ada di Kota Kupang. Oleh

karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang turut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam pembuatan prosiding Seminar

Nasional ke-3 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana.

Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, untuk kepentingan

pengembangan ilmu kedokteran hewan. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi

referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Kami mengakui dalam prosiding ini

masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan

menyempurnakan prosiding ini sangat diharapkan.

Kupang, November 2015

Tim Penyunting

Page 6: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

vi

Page 7: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DEWAN REDAKSI

ISBN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

MAKALAH UTAMA

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc.Agr, AIF

(Guru Besar FKH IPB, Ketua Pelaksana SPR LPPM IPB)

“PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH

PETERNAKAN RAKYAT (SPR) UNTUK PERCEPATAN PENGEMBANGAN

PETERNAKAN DAN KEDAULATAN PETERNAKAN INDONESIA”

Prof. drh. Hj. Romziah Sidik, PhD

(Guru Besar Ilmu Pakan Hewan dan Ternak, FKH-UNAIR)

“TEKNOLOGI PENGELOLAAN PAKAN UNTUK PENYEDIAAN PAKAN TERNAK

BERMUTU PADA MUSIM KERING DI NTT”

Prof. Dr. drh. I Nyoman Sadra Dharmawan, MS

(Guru Besar Parsitologi, FKH UNUD)

“URGENSI PENANGANAN KASUS HELMINTHIASIS PADA TERNAK DI

WILAYAH SEMI- RINGKAI KEPULAUAN”

Richard Chopland, QDA, BVSc, MSc, PhD

(Animal Biosecurity Expert, The University of Queensland, Australia)

“LESSONS LEARN FROM SUCCESSFUL BIOSECURITY PROGRAMS IN AUSTRALIA

THAT MAY BE APPLICABLE TO THE SEMI ARIDS ISLANDS OF NUSA TENGGARA

TIMUR”

MAKALAH PENDUKUNG (PRESENTASI LISAN)

Andrijanto Hauferson Angi, Fadjar Satrija, Denny Widaya Lukman,Mirnawati

Sudarwanto, Etih Sudarnika

“STUDI EPIDEMIOLOGI TRICHINELLOSIS PADA DAGING BABI DI KOTA

KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR”

Thelny Nenabu, Elisabet Tangkonda, Nemay A. Ndaong

“UJI POTENSI MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) SEBAGAI

ANTIBAKTERI TERHADAP Avibacterium paragallinarum”

Page 8: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

viii

Antin Yeftanti Nugrahening Widi

“PATOGENESIS DAN SIFAT LATEN NEUROPATOGENIK EQUINE

HERPESVIRUS-1 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT SYARAF”

Margaretha Mariani Bota Sogen, Annytha Ina Rohi Detha, Novalino Harold Gerald

Kallau

“ANALISIS TINGKATAN PERLAKUAN MASA SIMPAN TERHADAP CEMARAN

Vibrio sp. PADA IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PASAR IKAN

TRADISIONAL KOTA KUPANG”

Frans Umbu Datta, Annytha I.R. Detha

“AKTIVITAS ANTIMIKROBA SOPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN

Staphylococcus aureus”

Putri Pandarangga

“THE EVOLUTION OF CIRCULATING NEWCASTLE DISEASE VIRUS IN

INDONESIA WITH PATHOLOGICAL DESCRIPTION”

Rupertus G. Oncok, Elisabet Tangkonda, Diana Agustiani Wuri

“TINGKAT KEJADIAN SAPROLEGNIASIS PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias

gariepinus) YANG DIPELIHARA DI DESA TUATUKA KABUPATEN KUPANG”

Robynson Yerobkim Dimu, Nemay Anggadewi Ndaong, Annytha Ina Rohi Detha

“IDENTIFIKASI KANDUNGAN TIMBAL DALAM DARAH SAPI YANG MEMAKAN

SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK KOTA KUPANG”

Cynthia D. Gaina

“PENYAKIT PORCINE REPRODUCTION AND RESPIRATORY SYNDROME (PRRS) PADA

PETERNAKAN BABI DI NUSA TENGGARA TIMUR”

Maria L. F. P. Kale, Diana A. Wuri, Novalino H.G. Kallau

“KAJIAN RESIDU TETRASIKLIN DALAM DAGING BABI YANG DIPOTONG DI

RUMAH POTONG HEWAN OEBA KOTA KUPANG”

Hadrianus K. Nahak, Maxs U.E. Sanam, Diana A. Wuri

“POTENSI EKSTRAK LIDAH BUAYA (ALOEVERA) SEBAGAI

IMUNOMODULATOR PADA AYAM BURAS YANG DIVAKSINASI DENGAN

VAKSIN ND”

Ellen Fanggi, Annytha I.R. Detha, Diana A. Wuri

“DETEKSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG

HEWAN OEBA, KOTA KUPANG”

Page 9: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

ix

Siswatiana Taha

“UJI KUALITATIF CEMARAN BAHAN KIMIA FORMALIN PADA BAKSO YANG

DIJUAL DI KOTA GORONTALO”

Yohanes T.R.M.R. Simarmata, Ida Tjahajati, Hajar Cahya Utami GAMBARAN DARAH PADA DOMBA YANG TERINFEKSI Mycobacterium bovis

Yulfia Nelymalik Selan

DISTRIBUSI SARAF PADA VENTRIKULUS KELELAWAR (Pteropus vampyrus)

ASAL PULAU TIMOR DENGAN PEWARNAAN ANTI-PROTEIN GENE PRODUCT

(PGP) 9.5

MAKALAH PENDUKUNG (PRESENTASI POSTER)

Yeremilo Haryantho Selly, Yulfia N. Selan, Antin Y.N. Widi

“GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGI DUODENUM

KAMBING KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIGEMBALAKAN DI TEMPAT

PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK”

Umbu Ridwan Praimajangga, Antin Y. N. Widi,Yulfia N. Selan

“GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGIRUMEN KAMBING

KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT

PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK”

Marche Shintyami Noya , Nemay A. Ndaong, Filphin Adolfin Amalo

“EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata

ness) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT (Mus musculus) PADA

KONDISI DIABETES MELITUS TIPE 1”

Arthenia D. Manafe, Diana Agustiani Wuri, Annytha I.R. Detha KAJIAN RESIDU

“PENISILIN DALAM DAGING AYAM PEDAGING, AYAM KAMPUNG DAN AYAM

PETELUR AFKIR YANG DIJUAL DI KOTA KUPANG”

Edward Ndappa, Antin Yeftanti Nugrahening Widi , Filphin Adolfin Amalo

“GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL KAMBING KACANG (Capra aegagrus

hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK,

KOTA KUPANG”

Adonia Ibma Ibu, Filphin Adolfin Amalo, Nemay Anggadewi Ndaong

“EFEKTIVITAS SALEP EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis

paniculata) TERHADAP KESEMBUHAN LUKA INSISI PADA MENCIT (Mus

musculus)”

Page 10: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

x

Hermina Nuhan, Cynthia Dewi Gaina2, Filphin Adolfin Amalo

“HISTOPATOLOGI OVARIUM, OVIDUK, DAN UTERUS KAMBING KACANG

(Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

(TPA) ALAK KOTA KUPANG”

Nur Aini Ismail Kasim, Diana A Wuri, Nemay A Ndaong

“IDENTIFIKASI KADAR FORMALIN PADA IKAN LAUT SEGAR YANG DIJUAL

DI KOTA KUPANG”

Ricky Myki Laurens Sine, Herlina Umbu Deta, Yulfia N. Selan

“IDENTIFIKASI KADAR KALSIUM, FOSFOR, DAN MAGNESIUM PADA SERUM

DARAH SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL DI DESA

NONOHONIS-TTS”

Putri Pandarangga

“DERAJAT KEPARAHAN PERADANGAN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI

SISISERKUS PADA BABI DI RPH OEBA, KUPANG”

Wilfridus A.K. Seran, Antin Y. N. Widi , Yulfia N. Selan

“GAMBARAN HISTOPATOLOGI ILEUM KAMBING KACANG (Capra aegagrus

hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH

KECAMATAN ALAK, KOTA KUPANG”

Thomas Emanuel Manggotu Nahak, Nemay Anggadewi Ndaong, Antin Yeftanti

Nugrahening Widi

“PENGARUH PEMBERIAN CAIRAN PROBIOTIK Effective Microorganisms-4 (EM-

4®) DENGAN DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARANHISTOPATOLOGIS

DUODENUM DAN BERAT BADAN AYAM KAMPUNG (Gallus Domesticus)”

Febrina D. Manggas, Cynthia D. Gaina, Antin Yeftanti Nugrahening Widi

“GAMBARAN ANATOMI DAN HIDTOLOGI TESTIS DAN EPIDIDIMIS SAPI BALI

RPH OEBA KUPANG”

Donny R.R. Padji, Novalino H.G. Kallau, Annytha I.R. Detha

“TINGKAT KANDUNGAN NITRIT DAN NILAI GIZI PADA BERBAGAI MEREK

SOSIS YANG DI JULA DI KOTA KUPANG”

Page 11: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

1

MAKALAH UTAMA

Page 12: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

2

Page 13: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

3

PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH

PETERNAKAN RAKYAT (SPR) UNTUK PERCEPATAN KEMANDIRIAN DAN

KEDAULATAN PETERNAK RAKYAT DI INDONESIA

Agik Suprayogi dan Prastowo

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM)-IPB

Latar Belakang

Kenyataan bahwa peternak di Indonesia pada umumnya memiliki karakter yang

kurang menguntungkan. Karakter tersebut tercipta sejak dulu dan bersifat turun-temurun,

diantaranya adalah memiliki ternak bersifat subsisten dalam sekala kecil (1-3 ekor)

danhanya untuk tabungan, pengetahuan beternak rendah sehingga produktifitas rendah,

tidak memiliki daya saing dalam kompetisi pasar, dankurang profesional sehingga kurang

mampu menarik investor. Karakter peternak ini member gambaran suram peternakan

Indonesia, padahal sebagian besar populasi ternak di Indonesia ada di peternakan rakyat

dan menjadi andalan kebutuhan sapi atau daging nasional.

Peternakan/peternak rakyat belum mampu mandiri apalagi berdaulat. Sebenarnya

komponen utama yang dapat menggerakkan peternakan rakyat cukup banyak, diantaranya,

perguruan tinggi (PT), pemerintah (pusat,propinsi,daerah), pengusaha, konsumen, investor,

dan ternak lokal Indonesia. Namun sampai saat ini belum mampu merubah karakter

peternakan dan peternak Indonesia, walaupun masing-masing komponen utama tersebut

sudah bekerja keras dengan segala upaya yang maksimal. Kemungkinan hanya cara

pandang (paradigm) terhadap peternakan/peternak yang kurang tepat selama ini.

Masing-masing komponen utama di bidang peternakan memiliki paradigm sendiri-

sendiri dan kurang bersinergis untuk menuju solusi peternakan Indonesia. Perguruan tinggi

seharusnya memainkan peranan penting dalam mencarikan solusi tersebut. Melalui

kegiatan Tri-Dharma PT yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,

PT memiliki peran sentral dalam pengembangan peternakan. Sebagai contoh konsep

sekolah peternakan rakyat (SPR) yang di kembangkan IPB, sudah terimplementasi untuk

menjadi kawasan/sentra peternakan rakyat yang menjadi program Dirjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan, KementerianPertanian-RI.

Makalah ini bertujuan untuk berbagi pengalaman IPB dalam mengembangkan

program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PPM) yang mengarah pada

pengembangan SPR. Disamping itu juga berbagi peran dalam pengembangan SPR bersama

mitra terkait melalui bentuk kerjasama termasuk dengan PT setempat.

Paradigma Perguruan Tinggi dalam memandang Tri-Dharma PT

Perguruan Tinggi memiliki kemampuan untuk mendorong agar kemandirian

maupun kedaulatan peternakan/peternak rakyat dapat bergulir dengan cepat melalui

pelaksanaan Tri-Dharma PT. Peran PT secara langsung dilapang dalam pengembangan

peternakan rakyat menuju kemandirian dan kedaulatan peternak rakyat harus

Page 14: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

4

jelasarahdantujuannya. Paradigma pelaksanaan Tri-Dharma PT harus dipandang secara

holistic dan terintegrasi, tidak dipandang secara parsial. Pengelolaan kegiatan PPM,

termasuk didalamnya kegiatan pendidikan dipandang sebagai suatu konser music yang

harmoni menuju pengembangan peternakan rakyat.

Kegiatan penelitian PT merupakan proses panjang yang harus didukung oleh

sumber daya manusia dan fasilitas yang handal, pendanaan yang cukup, dan kebijakan

yang matang. Kegiatan penelitian ini harus didorong untuk menghasilkan inovasi (konsep,

IPTEKS, Kebijakan) dan kemudian segera diputar menuju sasaran pengguna inovasi

tersebut. Sasaran pengguna inovasi dapat berupa masyarakat (petani, peternak, nelayan),

industri, maupun lembaga pemerintah. Didalam upaya perputaran inovasi menuju sasaran

pengguna tersebut sangat diperlukan suatu model kolaborasi tersendiri dalam bentuk

kerjasama profesional (pelatihan dan pendampingan) maupun kemitraan bisnis. Dengan

demikian ketika inovasi tersebut dihantarkan atau hadir di tengah masyarakat melalui suatu

model kolaborasi antara PT dengan sasaran pengguna, maka disanalah bentuk kegiatan

pengabdian kepada masyarakat yang sesungguhnya. Melalui perputaran inovasi ini, maka

akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya perbaikan terus menerus inovasi

itu sendiri. Disamping itu pada segala kegiatan penelitian maupun pengabdian kepada

masyarakat, keterlibatan sumber daya manusia (dosen, peneliti, mahasiswa) dapat

dihadirkan di masyarakat melalui suatu kegiatan pendidikan di kawasan/sentra yang

terbentuk diwilayah tersebut, misalnya sentra peternakan rakyat. Sentra ini dapat

merupakan laboratorium lapang bagi mahasiswa.

Sekolah Peternakan Rakyat Vs Kawasan/Sentra Peternakan Rakyat

Sekolah peternakan rakyat (SPR) merupakan salah satu program LPPM-IPB,

dikembangkan sejak Tahun 2013. Sekolah peternakan rakyat ini didirikan dengan tujuan

memberi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peternak tentang berbagai aspek teknis

peternakan dan nonteknis yang melandasi terwujudnya perusahaan kolektif dalam satu

manajemen yang dikelola oleh satu manajer dalam rangka meningkatkan daya saing

usahanya untuk meningkatkan pendapatan peternak serta kesejahteraannya.SPR

merupakan media (kendaraan) bagi peternak untuk mencapai kedaulatannya yang pada

gilirannya mampu meningkatkan pembangunan peternakan Indonesia. Melalui konsep

SPR, maka peternak dapat belajar terus-menerus bagaimana cara beternak yang baik,

sehingga dikemudian hari mereka menjadi pintar beternak dan mereka mampu menjadi

peternak modern dan optimum. Peran perguruan tinggi adalah memberikan pendampingan

pada peternak, dan mengarahkan hasil penelitian dalam bentuk inovasi-teknologi menuju

pada mereka. Melalui SPR, kedepan populasi ternak sapi local diharapkan dapat

meningkat dan mencukupi kebutuhan daging nasional. Walaupun disadari bahwa untuk

pemenuhan daging nasional sangat diperlukan kondisi makroekonomi-politik bangsa yang

stabil dan harus berpihak pada peternak, dan bukan sebaliknya.

Selaras dengan IPB yang telah mengimplementasikan SPR keberbagai wilayah di

Indonesia (11 SPR IPB), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Kementerian Pertanian, Republik Indonesia mengembangkan konsep kawasan/sentra

Page 15: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

5

peternakan rakyat. Kebijakan Ditjen PKH ini sungguh sesuai dengan kondisi

peternakan/peternak rakyat di Indonesia. Sudah sepatutnya PT di Indonesia yang terkait

sector peternakan mengambil peran penting. KebijakanDitjen PKH ini merupakan suatu

bentuk penataan dan perbaikan kondisi peternakan rakyat yang kurang menguntungkan

seperti tersebut diatas. Konsep sentra peternakan rakyat merupakan hal yang tepat

dikembangkan oleh Ditjen PKH sebagai upaya penataan objek ternak dan subyeknya

peternak itu sendiri. Didalam penataan itulah sangat diperlukan SPR yang sifatnya sekolah

atau apapun namanya untuk memberikan kesempatan para peternak untuk bersedia dan

mampu belajar terus menerus tanpa batasan umur, tempat dan waktu. Di SPR inilah peran

(medan tempur) PT untuk dapat mengembangkan Tri-Dharma PT.

Difinisi SPR adalah proses pembelajaran aplikatif, partisipatif, sistematis, dan

terstruktur untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan peternakan rakyat dengan cara

pemberian akses informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan kendali

produksi dan pasca produksi ternak (Muladno, S.Sjaf, Suprayogi). Melihat difinisi SPR ini

mustinya ini dapat dilakukanoleh PT untuk mendukung danmewujudkan Sentra Peternakan

Rakyat di Indonesia.

Posisi PT dalam konsep Akademisi-Binis-Government (ABG) dalam pengembangan

SPR

Tujuan SPR seperti tersebut diatas akan dapat berhasil bila ada komitmen yang

tinggi dan adanya sinergi yang baik antara PT sebagai akademisi, investor sebagai

pembisnis, dan pemerintah sebagai regulator melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak

pada peternak. Konsep ABG dapat dilakukan melalui suatu bentuk kerjasama untuk saling

berbagi peran. Semua pihak harus mengarahkan potensi aktivitasnya menuju kearah yang

sama yaitu pembentukan, pengembangan, maupun penguatan SPR di suatu wilayah

pemerintah daerah. Posisi PT sangat sentral dalam pengembangan bisnis kolektif dalam

SPR. Pengalaman IPB dalam pengembangan SPR di wilayah Indonesia berupaya

mengedepankan bentuk kolaborasi dengan pemerintah daerah melalui Dinas terkait secara

formal (MOU) termasuk dengan perguruan tinggi wilayah setempat. Kerjasama semacam

ini juga dilakukan pada pihak investor (swasta) dengan prinsip berbagi peran.

Kesimpulan

1. Peran PT dalam pengembangan SPR sangat dinantikan sebagai suatu upaya percepatan

kemandirian dan kedaulatan peternak rakyat menuju peternakan Indonesia yang

modern dan optimal.

2. Melalui kegiatan Tri-Dharma, PT dapat menghadirkan sumberdaya manusia (dosen,

peneliti,mahasiswa) sebagai bentuk pendampingan, maupun menghadirkan

teknologi/inovasi kekawasan/sentra peternakan rakyat. Sentra ini merupakan

laboratorium lapang bagi mahasiswa.

3. Posisi PT sangat sentral dalam pengembangan bisnis kolektif SPR. Konsep ABG harus

disikapi sebagai suatu upaya berbagi peran.

Page 16: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

6

4. Mengingat sejarah SPR, IPB memiliki tanggung jawab moral dalam pengawalan

pengembangan SPR di Indonesia. Dalam pelaksanaannya IPB berupaya untuk

berkolaborasi dengan pemerintah daerah (dinas terkait) maupun perguruan tinggi

setempat.

Daftar Pustaka

1. LPPM-IPB. 2015. Panduan Sekolah Peternakan Rakyat.

2. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, KementerianPertanian-RI.

2015. Draf Pedoman Sentra Peternakan Rakyat

Page 17: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

7

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PAKAN UNTUK PENYEDIAAN PAKAN TERNAK

BERMUTU PADA MUSIM KERING DI NUSA TENGGARA TIMUR

Prof. Romziah Sidik, Drh. Ph.D.

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Hewan ternak merupakan salah satu sumber protein hewani yang diperlukan oleh

masyarakat, dengan produk utama yang berupa daging, susu maupun telur. Untuk

memenuhi kebutuhan protein hewani tersebut, diperlukan kemampuan untuk bisa

mengelola usaha peternakan yang disertai dengan upaya mengontrol kesehatan hewan agar

tetap sehat dan produknya aman bagi konsumen. Hal ini berkaitan dengan program Food

Security, dalam arti: menyediakan sumber produk protein hewani yang aman, sehat, utuh

dan halal (ASUH). Dengan demikian hewan ternak yang disiapkan untuk memenuhi

kebutuhan protein hewani harus dipelihara dengan system manajemen peternakan yang

baik dan benar, dimulai dari seleksi bibit ternak, kontrol kesehatan, program pakan, system

perkandangan, biosecurity, program sanitasi dan hygiene, pengembangan sumber daya

manusia yang bekerja di peternakan tersebut, serta analysis ekonomi dan strategi

pemasaran. Dapat dikatakan bahwa untuk melaksanakan suatu usaha atau bisnis

peternakan secara konsisten dengan mengikuti pola atau sistim usaha agribisnis yang

meliputi: input-proses-output-outcomes yang disesuaikan dengan tujuan dan target produk

yang akan dihasilkan.

Ketika akan memproduksi daging sapi, maka factor Input yang harus

dipenuhimeliputi: bibit sapi jantan yang berumur 18-20 bulan untuk digemukkan baik

secara fattening/ kereman; penyediaan pakan sapi yang berupa padang rumput, hijauan

(rumput, legume), sisa hasil pertanian/perkebunan, limbah industry, konsentrat; obat-

obatan (anthelmintic, pemberantas ectoparasit, probiotic), bahan pembersih lantai kandang

seperti antiseptic,; Kandang yang permanen, semi permanen, terbuat dari bangunan beton

dengan atap genteng/asbes/seng,daun enau, kadang kala berupa bangunan yang terbuat dari

kayu atau bamboo.

Proses penggemukkan dilakukan perawatan terhadap sapi bibit yang sudah tersedia,

diberi pakan hijaun atau limbah pertanian yang diberikan secara tersendiri ataupun

dikombinasi dengan pemberian konsentrat. Frekueansi dan cara pemberian pakan hijauan

ataupun konsentrat dapat mempengaruhi proses metabolism pakan didalam rumen sapi,

sehingga berpengaruh dalam proses sintesis jaringan otot yang diexpresikan pada

performance kenaikan berat badan yang bisa diukur dalam unit gram/ekor/hari. Dimensi

lamanya waktu penggemukkan akan menghasilkan target berat badan akhir yang

dikehendaki dan disesuaikan dengan ketetapan yang berlaku, misalnya: dewasa potong

untuk sapi jantan adalah 2 tahun (poel 2) dengan berat badan 250 kg untuk jenis sapi

ringan (sapi Bali, sapi Madura, sapi Rambon, sapi Aceh), sedang sapi yang termasuk

kategori medium dan kategori berat pada umur 2 tahun berat badannya dapat mencapai 700

kg-1,2 ton. Bagaiaman seandanya pada umur 2 tahun, berat badan sapi belum mencapai

250 kg?. Dalam kondisi yang demikian ini, harus ditambah waktu penggemukannya

hingga dicapai berat badan yang ditargetkan. Berat badan sapi merupakan target produk

Page 18: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

8

ketika hewan masih hidup, untuk dijual hidup. Dilain sisi target output dari sapi potong

adalah dalam bentuk produk karkas, daging, tulang dan lemak. Apakah dikehendaki

produk daging yang memiliki angka marbling yang tinggi? Tergantung pada kepentingan,

kebutuhan dan target pasar.

Outcomes dari produk daging, tulang, dan lemak dikaitkan dengan

pemanfaatannya oleh masyarakat. Apakah hanya untuk pemenuhan protein hewani saja,

ataukah untuk memproduksi daging yang spesifik, misalnya untuk memproduksi daging

yang rendah kandungan lemak dan cholesterolnya, ataukah untuk produksi daging yang

memiliki tingkat marbling yang tinggi terutama dibagian daginglulur/longissimus dorsi

yang disukai bila dimasak untuk steak. Sehingga produk daging sapi daoat didesain sesuai

dengan tujuan, target dan manfaat yang dikehendaki baik untuk kepentingan komersial

maupun pemenuhan kebutuhan protein hewani. Demikian juga untuk produk daging selain

berasal dari hewan ternak sapi. Konsep perancangan target output dan outcomes juga

berlaku untuk produk susu maupun telur. Faktor input pakan hewan ternak berperan

penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas produk ternak yang dihasilkan.

Penyediaan pakan ternak untuk dikonsumsi oleh hewan ternak yang mencukupi

untuk kebutuhan pemeliharaan fungsi tubuh secara normal dan mencukupi untuk produksi

daging, susudan telur sangat tergantung pada factor: pemilihan, ketersediaan, komposisi

nutrisi bahan pakan ternak dengan harga yang relative murah. Namun ketersediaan bahan

pakan ternak ditentukan juga oleh factor lingkungan, diantaranya adalah factor musim

yang secara langsung berpengaruh pada kesuburan tanah tempat tumbuhnya tanaman

hijaun pakan ternak maupun biji-bijian. Terutama pada saat musim kering produksi dan

kualitas hijauan dan biji-bijian bahan pakan ternak menurun. Hal ini berlaku dimana saja,

termasuk di wilayah Nusa Tenggara Timur, persediaan pakan ternak asal tanaman menjadi

berkurang jumlahnya, demikian juga kualitasnya menurun. Umumnya pada musim kering

kandungan protein bahan pakan asal tanaman menurun, sebaliknya kandungan serat kasar

meningkat. Problem pada saat musim kering sangat kompleks dalam hal penyediaan

pakan.

Strategi untuk mengatasi kekurangan pakan saat musim kering dapat dilakukan

dengan melakukan: (1). Penyimpanan rumput gajah, batang dan daun jagung, pucuk tebu,

daun dan ranting pohon turi, jerami padi, hijauan limbah hasil pertanian lainnya ketika

pada musim penghujan hingga saat musim kering tiba. Bahan lain seperti katul beras, litter

ayam yang sudah terpakai, serta tetes atau molasses dari produk sampingan pabrik gula.

(2). Melakukan proses teknologi pengolahan bahan pakan ternak yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas kandungan nutrisi bahan pakan.

Teknologi pengolahan bahan pakan ternak dapat dilakukan dengan beberapa cara,

misalnya: (1). Pemanasan, (2) ammoniasi, (3) hidrolisis basa, (4) fermentasi dengan

menggunakan starter yang berasal dari innokulan non pathogen bakteria,

khamir/yeast/kapang, (5) proses ensilase, (6) pembuatan dodol pakan ternak, serta (7)

pembuatan pakan konsentrat.

Proses pemanasan dengan cara dikukus/steamataupun dioven dapat mempermudah

bahan pakan untuk dicerna. Kalau proses ammoniasi dilakukan dengan merendam bahan

pakan yang berserat kasar tinggi didalam larutan urea 1-3% selama tiga mingggu.

Page 19: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

9

Sebaiknya menggunakan larutan urea 1%, karena lebih aman. Setelah itu dibuka dan

diangin-anginkan semalam sebelum diberikan pada ternak sapi. Umumnya berbau

ammonium, oleh karenanya dalam aplikasinya ditambahkan sedikit molasses untuk

meningkatkan palatabilitas. Hasil analisis kimiawi dari bahan pakan yang berserat dengan

diproses ammoniasi dapat meningkatkan kadar protein didalamnya. Proses hidrolisis basa

dengan merendam cara merendam bahan pakan berserat seperti jerami padi, pucuk tebu,

ampas tebu didalam larutan basa (air kapur 3%) selama tiga minggu. Effek proses

hidrolisis basa dapat menurunkan kadar serat kasar bahan pakan, karena terjadi proses

perenggangan ikatan ligno-cellulose, sehingga akan lebih mudah dicerna, namun kadar

protein bahan pakan tidak terpengaruh. Setelah proses perendaman menggunakan larutan

basa, bahan pakan diangkat dan dicuci dibawah air mengalir, hingga bersih dari endapan

kapur dan jernih. Sebelum diberikan pada ternak sebaiknya dikeringkan dulu. Umumnya

dilakukan kombinasi antara proses hidrolisis basa, kemudian dilanjutkan dengan proses

animasi. Dengan demikian akan didapat penurunan kadar serat kasar dan peningkatan

kadar protein pakan yang berserat. Cara tersebut merupakan teknologi proses pengolahan

bahan pakan yang rendah nilai nutrisinya menjadi meningkat nilainya menjadi lebih baik.

Cara lain untuk meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan ternak dengan fermentasi

menggunakan inoculant bakteri non pathogen yang bersifat aerobe (Lactobacillus sp.),

anaerobe atau fakultatif anaerobe (Ruminococcus ruminocola) yang diinkubasi selama 7 -

15 hari. Bisa juga menggunakan yeast/kapang/kamir, seperti:Sacharomyces cerevicae (ragi

tape), ragi tempe. Proses fermentasi dapat meningkatkan kadar protein dan nilai kecernaan

bahan pakan, umumnya menurunkan kadar serat kasar. Cara ini merupakan dasar untuk

membuat silase, yaitu proses pengawetan bahan hijauan pakan ternak dengan bantuan

inoculant selama proses fermentasi. Untuk kesempurnaan proses ensilase ditambahkan

bahan karbohidrat (katul, pollard, tepung jagung, biji coklat, tetes/molases) yang

merupakan sumber energy dalam penambahan jumlah biomass mikroorganisme yang

berperan sebagai inoculant. Proses ensilase dapat mempertahankan kesegaran hijauan

pakan ternak (rumput, pucuk tebu, daun serta batang tanaman jagung, jerami padi). Silase

merupakan sumber pakan yang dapat disimpan serta cocok untuk digunakan pada saat

musim kering. Sebelum silase diberikan pada ternak sapi harus diangin anginkan lebih

dahulu untuk menghindari timbulnya gas methane yang tidak dikehendaki.

Dodol untuk ternak sapi biasa dikenal dengan nama urea molasses block (UMMB)

yang dimanfaatkan sebagai pakan tambahan (feed supplement). Dodol pakan ternak terbuat

dari campuran bahan pakan yang terdiri dari: molasses, urea, mineral mix, sedikit semen

putih, serta katul. Jumlah urea jangan lebih dari 3 % untuk menghindari keracunan ura,

sebaiknya dibuat 1% saja untuk amannya, dan yang penting urea harus dilarutkan dengan

air hingga larut. Baru dicampur dengan bahan bahan yang lain. Jumlah dodol yang

diberikan pada ternak sapi sekitar 100 – 200 gram/ekor/hari tergantung berat badan sapi.

Contoh gambar dodol untuk sapi/UMMB dapat dilihat pada gambar 3.

Pembuatan konsentrat dimulai dengan penyusunan beberapa bahan baku pakan

dengan targer kandungan protein dan enegi yang dibutuhkan serta disesuaikan dengan

phase pertumbuhan dan produksi sapi. Umumnya kandungan protein konsentrat untuk sapi

sekitar 12-15%, kadar bbahan kering sekitar 92-95%. Pada saat menyusun pakan

Page 20: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

10

konsentrat diklasifikasikan dulu bahan pakan ternak yang berfungsi sebagai sumber

karbohidrat, protein, lemak, mineral. Pemilihan bahan pakan disesuaikan dengan

ketersediaan bahan pada saat itu, daftar komposisi nutrisi bahan pakan disertai harga per

kilo gram pakan. Kemudian disusun komposisi konsentrat dengan menggunakan program

software excel, sehingga dapat ditentukan proporsi setiap bahan pakan yang serasi dengan

target kandungan protein dan energy dengan harga yang paling minimal/murah per kilo

gram. Setelah itu disusun konsentrat sesuai dengan komposisi bahan baku pakan yang

didapat dari hasil hitungan formulasi pakan konsentrat, semyua bahan baku dihaluskan

dengan mesin hamermill dan dicampur hingga homogeny menggunakan mixer, diberi

adonan perekat yang dibuat dari tepung tapioca, diupayakan campuran konsentrat dapat

dibentuk dengan cara mengepalkan telapak tangan, setelah itu dimasukkan mesin cetak

pellet, dan dikeringkan didalam oven (dapat dilihat pada gambar 2).

Untuk mengatasi masalah kesulitan pakan pada musim kering di wilayah Nusa

Tenggara Timur disarankan untuk memproses bahan pakan ternak dengan membuat silase

(gambar 1).

Gambar 1: Proses pembuatan silase yang terbuat dari ubi ketela pohon (singkong) yang

dipotong kecil kecil serta dicampur dengan potongan 5 cm daun + batang tanaman jagung

yang sudah dilayukan, 10 % katul serta tetes sebanyak 1%. Setelah itu dimasukkan

kedalam karung goni dan diinkubasi selama 3 minggu.

CARA PEMBUATAN PAKAN KONSENTRAT (Gambar 2)

1. Bahan baku disiapkanditimbang sesuai proporsinya.

2. Semua bahan baku dicampur menjadi satu.

1 2

Page 21: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

11

3. Campuran bahan baku disiapkan untuk dimasukkan kedalam mesin pencampur

(mixer).

4. Mesin mixer dinyalakan dan campuran bahan baku dimasukkan kedalamnya dan

ditampung setelah keluar dari mixer.

5. Campur dengan dengan bubur tapioca sebagai perekat.

6. Masukkan kedalam mesin cetak pellet yang sudah dinyalakan mesinnya.

7. Hasil cetakkan pellet dipotong @ 3 cm dan ditampung.

8. Cetakan pellet yang sudah dipotong potong dikeringkan didalam oven dengan suhu

150 derajat celcius hingga kering.

9. Pellet pakan sapi siap diberikan pada sapi sebagai pakan supplemen.

6

3 4

5

7 8

9

Page 22: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

12

Gambar 3. Pembuatan urea molases block (ummb/dodol untuk sapi)

1. Bahan bahan penyusun UMMB/dodol untuk sapi ditimbang dan dicampur hingga

menjadi homogen menjadi adonan yang pekat. Adonan ditimbang dengan berat @

100 gram dan dicetak dengan menggunakan pipa pralon yang berdiameter sekitar

10 cm, tinggi 5 cm.

2. UMMB/dodol sapi yang tercetak dipanaskan didalam oven dengan suhu 60 derajad

Celcius hingga kering.

3. UMMB/dodol yang sudah kering dikeluarkan dari oven dan siap dikonsumsi oleh

ternak sapi pedaging ataupun sapi perah.

Gambar 4: sapi jantan jenis Rambon dan sapi pejantan perah.

Hasil penelitian Romziah (2015) membuktikan bahwa sapi jantan Rambon yang

diberi pakan silase dikombinasi dengan pakan konsentrat sebanyak 1 kg dan 100 gram

UMMB/dodol sapi dapat meningkatkan rata rata kenaikkan berat badan sapi sebesar 660

g/ekor/hari. Dibandingkan dengan sapi Rambon yang hanya diberi pakan silase saja,

kenaikan berat badannya sekitar 317 g/ekor/hari dan 357 g/ekor/hari untuk dapi Rambon

yang debari pakan silase ditambah 1 kg konsentrat saja. Demikian pula persentase berat

karkass meningkat, yaitu 48 % pada sapi Rambon yang diberi pakan silase + 1 kg kosentrat

+ 100 gram UMMB. Sedangkan sapi yang diberi pakan silase saja hanya 45% berat

karkassnya. Ketika sapi Rambon diberi pakan silase + 1 kg konsentrat/hari, maka

persentase berat karkass meningkat menjadi 47 %. Kenyataan ini benar benar dapat

meningkatkan performance sapi pedaging yang diexpresian pada kenaikan berat badan dan

persentase berat karkass. Dengan demikian modifikasi formula dan proporsi jenis pakan

Page 23: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

13

yang diberikan pada sapi pedaging dapat dipergunakan sebagai langkah peningkatan

produktivitas sapi pedaging.

Bagaimana aplikasi perbaikan mutu pakan sapi yang dilepas di padang rumput? Langkah

yang dapat dilakukan adalah: 1. Mengelola pada rumput agar tetap subur tanahnya untuk

pertumbuhan rumput yang ditanam dengan memberikan tambahan pupuk organic. 2.

Menempatkan sapi di padang rumput sesuai dengan kapasitas lahan (untuk sapi jenis

ringan 10 ekor/ha). 3. Melakukan system rotasi padang rumput yang digembalakan, agar

pertumbuhan rumput yang optimal serta mempertahan permukaan tanah tidak menjadi

padat akibat injakan sapi (trampling effect) dan rumput dapat tumbuh dengan baik serta

mencukupi kebutuhan ternak.

Bagaimana cara meningkatkan produk ternak yang tinggi manfaatnya untuk

kesehatan masyarakat? Meningkatkan kadar asam lemak rantai panjang omega 6 di dalam

susu sapi perah dengan cara menambahkan minyak nabati yang tinggi kandungan Omega 6

didalamnya, seperti minyak jagung, minyak kedelai dan minyak canola kedalam campuran

pakan konsentrat sebelum dicetak. Menurut Romziah (2008 dan 2009), kandungan Omega

8 pakan konsentrat meningkat setelah ditambah minyak jagung atau minyak kedeleai

ataupun minyak canola, demikian juga kandungan omega 6 didalam susu sapi perah yang

mengkonsumsi pakan konsent5rat yabg ditambah dengan masing masing jenis minyak

nabati tersebut. Lebih lanjut dibuktikan bahwa susu sapi yang tinggi kandungan Omega 6

didalamnya, dapat berfungsi sebagai anti inflamasi serta anti cancer pada tikus puti yang

dipapar dengan peradangan buatan pada bagian carpal maupun pada tikus putih yang

menderita cancer paru buatan. Proses yang terjadi secara immune histokimia terlihat proses

apoptosis berlangsung dengan baik dan dapat menekan pertumbuhan cel radang dan cel

cancer tertekan dengan disertai penurunan radikal bebas dari metabolism enzyme dari cel

cancer paru. Penelitian ini sebagai model untuk membuktikan bahwa factor bahan baku

pakan sangat berperan dalam mempengaruhi produktivitas ternak penghasil susu sapi

maupun kambing.

Kualitas maupun kuantitas pakan yang diberikan pada ternak menentukan kualitas

zat nutrisi yang dihasilkan dari proses metabolism didalam tubuh. Hal ini dapat diukur

dari: (1). Komposisi nutrisi yang terkandung didalam pakan. (2). Jumlah nutrient yang

dikonsumsi hewan ternak. (3). Kecepatan pakan melalui saluran pencernaan / rate of

passage (4). Nilai kecernaan pakan. (4). Nilai metabolic serta (5) Nilai biollogis pakan.

(7). Nilai effisiensi pakan serta (8). Perfoman produktivitas ternak.

Page 24: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

14

Page 25: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

15

BIOSECURITY IN NUSA TENGGARA TIMOR (NTT)

(LESSONS LEARN FROM SUCCESSFUL BIOSECURITY PROGRAMS IN AUSTRALIA

THAT MAY BE APPLICABLE TO THE SEMI ARID ISLANDS OF NUSA TENGGARA

TIMOR)

Richard Copland QDA, BVSc., MSc., PhD

104 Ellington St Tarragindi Qld 4121 Australia.

Email: [email protected]

ABSTRACT

Diseases eradicated from Australia are listed, including bovine brucellosis and

tuberculosis. Factors critical to successful biosecurity operations in Australia included:

animal identification, control of animal and people movement, a skilled field staff, good

cooperation between farmers and government officials, and adequate funding. These

critical factors are discussed.

INTRODUCTION

The author does not offer specific suggestions or recommendations for biosecurity

in NTT; but he will indicate from his experience some critical factors that have led to

successful biosecurity outcomes in Australia. It is up to readers with local knowledge and

experience to determine if some of these critical factors are relevant to conditions in

Eastern Indonesia or NTT.

Personal experience with Biosecurity by the author

Australia Malaysia United Kingdom

Figure 1: Sites where Dr Copland worked in Australia, Malaysia, and the United

Kingdom.

Dr Copland participated in the first phase of the Australian bovine Brucellosis and

TB eradication campaign (BTEC - see figure 1). This phase consisted of vaccination with

strain 19 brucellosis vaccine. During the process, he became quite ill from Brucellosis, but

recovered with treatment. Dr Copland then worked as the veterinary officer (East Coast)

with the Sabah (Malaysia) department of animal husbandry – controlling Newcastle

disease through vaccination and border control to prevent illegal entry of poultry from the

Philippines. The second phase of the BTEC program consisted of testing hundreds of

2. Sabah. Control of ND

and border security.

1. Strain 19

vaccination for

Brucellosis.

3. Testing for

Brucellosis & TB.

4. Foot and mouth

disease eradication.

Page 26: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

16

thousands of cattle for Brucellis and TB (and removal of all reactors). See figure1. Finally,

Dr Copland worked on eradicating Foot and Mouth disease from the UK.

What is Biosecurity? Essentially, there are three tasks:

1) Don’t have the disease - Prevent exotic diseases entering the country. This is the

best option.

2) The second best option is to rapidly eradicate a disease after it has entered a

country.

3) Finally, if a disease is endemic and eradication is not possible, manage the disease

to minimise damage and loss.

The Australian experience in eradicating diseases: The following diseases have been

eradicated from Australia:

Foot and Mouth Disease (1872)

Rabies (1867)

Bovine brucellosis (1989)

Bovine tuberculosis (1997, 2002)

Contagious bovine pleuropneumonia (1973)

Scrapie (1952)

Contagious equine metritis (1980)

Equine piroplasmosis (1976)

Avian influenza (1997)

Classical Swine fever (1962)

Equine influenza (2008)

Ref: ANIMAL DISEASE STATUS, ANIMAL HEALTH AUSTRALIA 2014

What have been the critical factors in eradicating diseases from Australia?

1. Animal identification

Dr Bruce Christie in his report (2007) made the following recommendation:

The development and piloting of low-cost animal identification systems should be

incorporated into an animal production or animal health project in Nusa Tenggara

Timur.

The following methods of identifying livestock have been used in Australia:

Fire and freeze brands (mainly to prevent theft - not for individual

identification)

3 hole Strain 19 punch

Property Identification Codes (PIC - critical for trace back)

Paint brand (temporary)

Ear tags (may fall out, but small tags (read electronically) properly applied are

permanent.

Rumen boluses (these can also be read electronically and last a lifetime. They

could be reused.

Page 27: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

17

All cattle and sheep in Australia must now be identified as part of the National Livestock

Identification Scheme (NLIS). This scheme is necessary to satisfy export market

requirements, but would be invaluable in tracing an incursion or eradication of an exotic

disease.

Ref: History of livestock identification and traceability

What would be an appropriate system of animal identification and recording for NTT?

2. Animal control, movement control

Good fences; to control introductions of new animals which may be

quarantined, or to prevent entry of stray or wild animals.

Clean musters; must test every animal every time.

Cooperate with neighbours; fix each others fences and return stray animals.

Vendor declaration form / waybill. This process enables the control and

tracking of all animal movements.

3. Good cooperation between farmers and government officials

Common goals; farmers and government officials both support the goal of

eradication of the disease in question. Farmers agree this goal is vital and

beneficial to them.

Mutual respect

Trust built up over time

Most testing was done by private veterinarians working on behalf of the

government.

4. Highly skilled field staff

Sufficient training

Adequate funding

Includes private sector

Supported by well informed farmers (who have been trained and informed)

5. Good tests and access to a diagnostic lab

Cheap, quick, sensitive screening test (eg Rose Bengall Test)

Accurate follow up test (eg CFT)

Good transport system – biosecurity of samples so that samples do not spread

diseases

6. Effective vaccine

Vaccine used to reduce prevalence

Eradication cannot be achieved while vaccine is being used

Vaccine can interfere with diagnostic tests

Vaccination may be used as a protective buffer

7. Adequate funding

Staff training

Informing the community / extension

Laboratory

Running costs (fuel, vehicles etc)

Page 28: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

18

Compensation – purchase and destruction of infected animals

8. Prearranged plan

1) AUSVETPLAN (see AUSVETPLAN (a) and (b) (2014)

2) Manual for everything! Destruction of animals, Disinfectants, disease strategies etc

3) Role for everyone – Government, Private vets, police, farmers, army, community.

4) INDOVETPLAN (see Helen Scott-Orr. 2007)

BIOSECURITY PLANS

• For farm

• District, or nation

Especially relevant for intensive industries (minimal disease hatcheries, broiler units)

ELEMENTS OF A BIOSECURITY PLAN

1. People movement

2. Animal movement (Including introductions)

3. Water

4. Feed

5. Pests

BIOSECURITY PROBLEMS FOR AUSTRALIA (especially in the North)

• Large herds, limited control

• Many wild animals (buffaloes, pigs, horses, cattle)

• Few people

• Training for aboriginal people

NTT acts as a sentinel herd or barrier for exotic diseases entering Australia.

What advantages do the semi arid islands of NTT have?

• Islands dry climate -barrier to spread of disease

• Populated – volunteer observers?

• Improved communication & government services.

Take home message

• Biosecurity involves everyone – because all would be affected by an outbreak:

• Farmers

• Tourists

• Business people / hotels / banks

• Schools / universities / hospitals

• Government officials

• Transport / airlines / ships / bus companies

• Animals

Page 29: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

19

REFERENCES

ANIMAL DISEASE STATUS, ANIMAL HEALTH AUSTRALIA. 2014.

http://www.animalhealthaustralia.com.au/wp-content/uploads/2011/01/AHiA-2014.pdf

ACCESSED 23/09/2015

ANON 2013: CATTLE STANDARDS AND GUIDELINES – IDENTIFICATION

DISCUSSION PAPER. Prepared by the Cattle Standards and Guidelines Writing Group,

February 2013. www.animalwelfarestandards.net.au(Accessed 2nd October 2015)

AUSVETPLAN(a)http://www.animalhealthaustralia.com.au/programs/emergency-animal-

disease-preparedness/ausvetplan/Accessed 1st October 2015

AUSVETPLAN (b) - Disease Strategy for Avian influenza Version 3.4, 2011

Dr Helen Scott-Orr. 2007 FINAL REPORT – Future directions for animal health

servicesin Indonesia ACIAR PROJECT AH/2006/164.

A review of animal health research opportunities in Nusa Tenggara Timurand Nusa

Tenggara Barat provinces, eastern IndonesiaACIAR - Bruce M. Christie 2007

History of livestock identification and

traceabilityhttp://www.animalhealthaustralia.com.au/programs/biosecurity/national-

livestock-identification-system/history-of-livestock-identification-and-traceability/Accessed

1st October 2015

Page 30: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

20

Page 31: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

21

URGENSI PENANGANAN KASUS HELMINTHIASIS PADA TERNAK

DI WILAYAH SEMI-RINGKAI KEPULAUAN NTT:

DENGAN REFERENSI KHUSUS SISTISERKOSIS-TAENIASIS

Nyoman Sadra Dharmawan

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Udayana Denpasar, Bali

Email: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak sapi di

NTT adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Di antara penyakit pada ternak sapi di

NTT, penyakit parasit helminthiasis kurang mendapat perhatian, walaupun penyakit ini

telah menimbulkan kerugian besar dan dapat menurunkan daya produktivitas ternak.

Sebagian besar peternak di NTT memelihara sapi secara tradisional dengan sistem semi-

intensif, dengan membiarkan ternak mencari makan sendiri, bahkan tidak dikandangkan.

Hal ini merupakan peluang besar bagi parasit untuk berkembang biak. Melihat pentingnya

masalah helminthiasis pada ternak di daerah semi-ringkai kepulauan NTT, maka informasi

tentang urgensi penanggulangan kasus helminthiasis pada ternak sangat diperlukan untuk

meningkatkan produksi dan reproduktivitas ternak. Selain menguraikan helminthiasis

secara umum pada sapi, scara khusus makalah ini menekankan pentingnya sistiserkosis dan

taeniasis sebagai zoonosis parasit yang berbahaya bagi manusia. Penyakit tersebut

merupakan penyakit terabaikan, bersumber ternak dan menjadi ancaman kesehatan

masyarakat.

Kata kunci: helminthiasis, ternak, semi-ringkai, sistiserkosis, taeniais.

PENDAHULUAN

Nusa Tenggra Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang didominasi oleh

lahan kering dengan corak geografi, agroklimat semi-ringkai, dan kondisi sosial yang khas.

NTT dipandang cocok untuk pembibitan dan pengembangan sapi di Indonesia(1). Wilayah

kepulauan ini terdiri lebih dari 500 pulau dengan Flores, Sumba, dan Timor sebagai tiga

pulau terbesar. NTT memiliki iklim yang paling kering di Indonesia, berlangsung panjang

8-9 bulan/tahun, dengan curah hujan rendah (1000-1500 mm) selama musim hujan(1,2).

Akibat musim kemarau yang panjang terdapat banyak lahan marjinal yang lebih cocok

untuk usaha ternak, terutama ruminansia(1-3).

Ternak ruminansia seperti sapi, kambing, domba merupakan sumber protein hewani

yang penting di seluruh dunia(4). Ternak tersebut menyumbang kebutuhan akan daging dan

produk susu, baik di desa maupun di kota di berbagai negara(4,5). Selain sebagai sumber

protein utama, limbah ternak juga sangat penting dan bermanfaat bagi pertanian. Di

beberapa negara di Afrika Barat, seperti Nigeria, ternak ini juga digunakan untuk upacara

tradisional tertentu(4). Hal serupa juga ada di NTT, pada umumnya ternak masih sangat

memegang peranan dalam status sosial masyarakat NTT, misalnya untuk kepentingan

perkawinan, pemakaman, maupun pesta adat lainnya(1).

Page 32: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

22

Potensi NTT sebagai provinsi ternak atau sebagai lumbung ternak sapi di Indonesia

telah diakui secara nasional. Hal ini didukung data ketersediaan padang pengembalaan

untuk peternakan sapi, kuda, kerbau, dan kambing seluas 832.228 Ha(4). Selain itu,

dilaporkan adanya lahan pertanian kering seluas 1.528.308 Ha yang baru dimanfaatkan

sekitar 54,62% dan lahan perkebunan seluas 888.931 Ha yang baru dimanfaatkan sekitar

35,45%(4). Namun, diketahui kendala yang dihadapi pembanguann peternakan di NTT

sampai saat ini, diantaranya adalah (1) pakan ternak, (2) air, (3) penyebaran penduduk dan

populasi ternak, (4) penurunan mutu lingkungan hidup, (5) mutu ternak, (6) penyakit dan

kesehatan ternak(1).

Persoalan penyakit dan kesehatan ternak dapat menjadi hambatan pengembangan

peternakan karena berpengaruh langsung terhadap kehidupan ternak. Penyakit pada ternak

dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, karena selain berdampak pada

ternaknya sendiri, juga dapat menular ke manusia(5,6). Salah satu penyakit yang merugikan

pada peternakan sapi adalah infeksi parasit gastrointestinal yang dikenal dengan

kecacingan (helminthiasis). Angka kematian ternak karena helminthiasis memang tidak

tinggi sehingga membuat orang tidak khawatir, namun efek tidak langsung pada

produktivitas peternakan dan dampak zoonosis helminthiasis terhadap kesehatan

masyarakat sangat besar(5).

Menurut beberapa peneliti, kerugian tidak langsung yang dikaitkan dengan infeksi

parasit meliputi terganggunya produksi ternak akibat penurunan tingkat pertumbuhan,

berat badan, diarrhea, anorexia, dan kadang-kadang anemia(4-6). Sementara itu, zoonosis

parasit terus berkembang menjadi salah satu kajian penting yang perlu mendapat perhatian.

Sudah sejak lama Brotowidjoyo menyatakan bahwa zoonosis parasit tidak hanya

membahayakan jiwa manusia, melainkan juga menggangu kesejahteraannya(7). Uraian

berikut menjelaskan tentang pentingnya penangggulangan helminthiasis pada ternak di

wilayah semi-ringkai kepulauan secara umum. Pembahasan sistiserkosis dan taeniasis di

Indonesia dijadikan referensi khusus, karena merupakan contoh zoonosis parasit penting

masa kini.

HELMINTHIASIS PADA TERNAK

Infeksi parasit gastrointestinal adalah problem bagi peternakan di seluruh dunia, baik

pada peternakan skala kecil maupun besar(4). Sejak dulu orang telah mengetahui bahwa

helminth atau cacing adalah parasit utama yang terdapat dalam saluran gastrointestinal.

Berbagai jenis Trematoda, Cestoda, dan Nematoda berparasit dalam lumen atau di bawah

mukosa dinding saluran pencernaan(7). Selain pada saluran pencernaan, infeksi cacing

pada tubuh hewan juga dapat ditemukan pada hati, saluran pernafasan, maupun pada

bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya cacing ditemukan pada saluran pencernaan dan

hati(8). Beberapa faktor predisposisi (pemicu) penyakit tersebut adalah umur ternak,

musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor/inang antara, cara pemeliharaan ternak,

dll.(5,8,9).

Page 33: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

23

Secara umum, dari hasil pemeriksan feses, telur cacing yang sering ditemukan pada

ruminansia adalah: Trichuris sp., Nematodirus sp., Strongyloides sp., Toxocara sp.,

Moniezia sp., Fasciola sp., Paramphistomum sp., dan Strongyle sp.(10). Helminthiasis

yang disebabkan oleh Nematoda yang paling sering ditemukan pada sapi muda (pedet)

adalah dari spesies Toxocara vitulorum(8). Habitat cacing ini pada usus halus sapi,

berukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan nematoda lainnya. Telur cacing T.

vitulorum berbentuk bulat, memiliki ciri khas dinding telur yang tebal(8,11). Sementara itu,

jenis Cestoda yang dapat menyerang sapi adalah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan

Echinococcus sp. Hanya Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi(8,12).

Kasus helminthiasis dari Trematoda, khususnya spesies Fasciola sp. cukup banyak

dan sudah umum dijumpai pada ruminansia di lapangan. Penyakitnya disebut fascioliosis

yang disebabkan oleh trematoda hermaprodit yaitu F. hepatica dan F. gigantica(14-16). Di

daerah tropis penyakit ini disebabkan oleh F. gigantica, sedangkan di daerah beriklim

dingin disebabkan oleh F. hepatica(14-16). Penyakit ini bersifat zoonosis, dan manusia

biasanya terinfeksi dengan mengonsumsi tanaman air yang mengandung metasercaria

infektif. Infeksi larva cacing hati pada ternak sapi dan manusia secara umum bersifat

subklinis, namun tanda klinis pada manusia bisa berupa mual dan rasa nyeri pada otot(14,17).

Parasit helminthiasis juga dilaporkan sebagai penyakit yang sangat patogenik untuk

satwa liar. Penyakit ini disebut yang bertanggungjawab terhadap menurunnya tingkat

kesuburan hewan dan bahkan kematian(18). Kepadatan populasi, kelembaban, dan kondisi

sanitasi yang buruk merupakan pemicu berkembangnya infeksi helminthiasis pada satwa

liar(19). Sayangnya, kondisi sanitasi yang buruk lebih sering dijumpai justeru pada

penangkaran satwa liar dibandingkan pada kondisi hidup bebas. Dengan meningkatknya

intensitas kontak antar satwa liar dan hewan ternak, penularan helminthiasis juga semakin

meningkat. Ini mengakibatkan merebaknya infeksi helminthiasis campuran yang

ditemukan baik pada satwa liar maupun pada ternak dan hewan domestik lainnya(19-21).

Sebuah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui berbagai jenis parasit cacing yang

dikaitkan dengan status inang pembawa (helminth reservoir status) ruminansia liar yang

ditangkarkan di wilayah semi-ringkai di timur laut Nigeria, melaporkan hasil yang sangat

menarik. Dari 36 sampel yang diperiksa, infeksi cacing Strongyle dilaporkan cukup tinggi

(66,7%) pada ruminansia liar tersebut, tanpa tanda-tanda klinis. Larva cacing yang umum

ditemukan adalah Haemonchus contortus, Trichostrongylus axei, dan Strongyloides

papillosus. Data demografi seperti umur, jenis kelamin dan spesies ruminansia liar

tersebut juga diamati dan menunjukkan bahwa variasi prevalensi infeksi cacing tersebut

tidak berbeda nyata (P>0,05)(19).

Data tentang kejadian helminthiasis pada ternak di wilayah semi-ringkai di Indonesia

pada umumnya dan di NTT pada khususnya, secara akademis belum tersedia. Ini

merupakan tantangan bagi para akademisi dan pemangku kepentingan lainnya untuk

menyediakannya. Terbuka kesempatan yang sangat luas untuk mengeksplorasi kejadian

helminthiais tersebut, baik pada berbagai ternak dan hewan peliharaan maupun pada satwa

liar lainnya. Ketersediaan data prevalensi kejadian penyakit tersebut menjadi urgen dan

akan sangat bermanfaat bagi pemegang kebijakan di sektor pemerintahan, swasta, maupun

di tingkat petani peternak, terutama untuk digunakan dalam rangka menyusun strategi

Page 34: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

24

penanggulangan kasus tersebut. Tersedianya informasi tentang berbagai jenis

helminthiasis di NTT, terutama yang bersifat zoonosis, akan dapat dipakai untuk

memahami ekoepidemiologi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Helminthiasis pada ternak di wilayah semi-ringkai dataran Afrika telah dilaporkan

oleh beberapa peneliti(19,22-24). Ayana dan Ifa dari College of Agricultural and Veterinary

Sciences, Ambo University Ethiopia, mencatat dari 120 ruminansia kecil yang diperiksa

lewat prosedur baku parasitologi, menemukan 49,2% terinfeksi cacing. Ternak tersebut

terinfeksi oleh Strongyle sp., Fasciola sp. dan infeksi campuran. Parasit cacing yang

dominan teramati adalah Strongyle sp. (81,4%), Fasciola sp. (10,2%) dan infeksi campuran

(8,3%)(22). Tingkat kejadiannya ternyata bervariasi antar wilayah di Ethiopia,

prevalensinya berkisar 47,67-84,1%(23-24). Lebih lanjut dilaporkan bahwa genus parasit

cacing yang umum ditemukan pada ruminansia kecil adalah Haemonchus,

Trichostrongylus, Oesophagustomum, Bonustonum, Strongyloides, Fasciola dan

Trichuris(22).

Studi epidemiologi yang dilaporkan Owhoely dan kerabat kerjanya(4) tentang

prevalensi cacing gastrointestinal pada ruminansia yang dipotong di beberapa Abatoir di

Port Harcourt Negeria, menemukan beberapa spesies cacing. Spesies cacing yang

ditemukan tersebut berspektrum luas, meliputi: Haemonchus, Strongyloides, Chabertia,

Trichuris, Ostertagia, Bunostunum, Trichostrongyloidea, Ascaris, Taenia, Avitalina,

Fasciola, Eurytrema, Gastrothylax, Schistosoma, dan Dicrocoelum. Secara keseluruhan

prevalensi helminthiasis tersebut dilaporkan tinggi, mencapai 75,5%. Karena tingginya

tingkat prevalensi tersebut, oleh peneliti disarankan agar terus dilakukan pengamatan

secara periodik. Pemeriksaan untuk tindakan kontrol secara reguler menjadi suatu

keharusan, di samping memberikan edukasi kepada peternak tentang penggunaan

antihelminthiasis yang benar(4).

Prevalensi dan insidensi infeksi parasit cacing bervariasi secara luas dari satu wilayah

ke wilayah lain tergantung dari beberapa faktor penting. Faktor-faktor tersebut meliputi

status nutrisi, manajemen pengembalaan, kondisi iklim, imunitas ternak, dan kondisi

inang(22,25). Selanjutnya untuk memperoleh hasil identifikasi jenis parasit yang lebih baik,

sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi penanggulangan

kejadian helminthiasis pada ruminansia, adalah penting sejak awal melakukan pengamatan

terhadap beban helminthiasis pada setiap ruminansia(22). Di samping itu, berbagai upaya

untuk melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor resiko yang spesifik dan unik di

berbagai wilayah dan sistem peternakan, amat bermanfaat untuk tindakan kontrol

helminthiasis.

Prevalensi helminthiasis pada saluran pencernaan pedet di Provinsi Jawa Tengah

dilaporkan oleh Purwaningsih dan Sumiarto(26). Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan,

ditemukan prevalensinya sebesar 41,3%. Jenis cacing yang ditemukan mulai dari

prevalensi tertinggi ke terendah adalah Strongyle sp. (24,0%), Toxocara sp. (12,5%),

Trichuris sp. (6,8%), Strongyloides sp. (6,3%), Fasciola sp (2,5%), Capillaria sp. (2,1%),

dan Moniezia sp. (1,6%). Dari hasil tersebut tampak infeksi cacing Strongyle lebih tinggi

dibanding infeksi jenis cacing nematoda lainnya. Hal ini diungkapkan karena kelompok

ini mempunyai daur hidup yang lebih sederhana, sehingga dengan mudah menghasilkan

Page 35: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

25

populasi parasit yang segera dapat menginfeksi inang definitif tanpa memerlukan inang

antara(26).

Pada peternakan sapi potong sering dijumpai penyakit cacing hati (fascioliosis). Organ

hati sapi yang mengalami fascioliosis memperlihatkan penebalan serta pengapuran di

sekeliling permukaan; dan bila hati dibelah akan terlihat liang-liang pada jaringan hati.

Keadaan tersebut mengakibatkan hambatan pertumbuhan, pertambahan berat badan,

kekurusan, dan bila melanjut akan berakibat fatal berupa kematian(6,14). Munadi yang

melakukan penelitian terhadap kejadian fascioliosis di Keresidenan Banyumas, mencatat

rata-rata prevalensi cacing hati pada sapi yang disembelih di Rumah Potong Hewan adalah

47%(6). Sementara, secara keseluruhan di Indonesia dilaporkan prevalensi fascioliosis

antara 60-90%(14,28). Tingkat infeksi cacing hati yang ditemukan ternyata lebih tinggi pada

sapi dewasa. Hal ini sejalan dengan lama waktu terinfeksi dan proses perkembangan

metacercaria cacing hati di dalam saluran pencernaan(6,27).

Kerugian ekonomi pada industri peternakan akibat penyakit fascioliosis di seluruh

dunia lebih dari 3.109 USD per-tahunnya(14,29). Kerugian ekonomi yang sangat besar ini

menyebabkan penyakit helminthiasis tersebut dikenal juga dengan nama penyakit

ekonomi. Beberapa peneliti melaporkan helminthiasis ini secara ekonomi nyata merugikan

para peternak. Penyakit ini menyebabkan peningkatan ternak yang di culling, penurunan

harga jual sapi, menurunnya tingkat produktivitas, penurunan bobot sapih pedet, dan

penurunan laju pertumbuhan(6,14,27,30). Lebih lanjut dilaporkan fascioliosis pada ternak

dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar akibat pengapuran organ hati,

terganggunya fertilitas, berkurangnya produksi daging, dan kematian. Ternak juga

mengalami penurunan daya tahan terhadap infeksi bakteri maupun virus(30-32).

Menyangkut kerugian ekonomi yang ditimbulkan, hal yang sama juga diungkapkan

berlaku untuk infeksi helminthiasis secara umum. Kerugian disebabkan karena penurunan

produktivitas ternak, penurunan daya kerja, penurunan berat badan mencapai 6-12

kg/tahun, penurunan kualitas daging dan organ bagian dalam, terhambatnya pertumbuhan

hewan muda, dan bahaya penularan pada manusia/zoonosis(26-33). Sementara itu,

Koesdarto(34) melaporkan bahwa infeksi cacing parasit usus pada sapi dan kerbau akan

mengurangi fungsi kemampuan mukosa usus dalam transport glukosa dan metabolit

lainnya. Apabila ketidakseimbangan ini cukup besar dan berlangsung lama, akan

menyebabkan menurunnya nafsu makan. Kondisi tersebut mengakibatkan keterlambatan

pertumbuhan terutama pada ternak muda. Oleh karena itu, infeksi cacing parasit usus akan

bersifat patogenik, terutama jika bersamaan dengan kondisi pakan ternak yang buruk(34).

SISTISERKOSIS DAN TAENIASIS

Salah satu penyakit yang dapat menurunkan kualitas daging sapi adalah infeksi

Cysticercus bovis, yaitu bentuk larva dari cacing pita Taenia saginata. Penyakit ini

berbahaya bagi manusia karena bersifat zoonosis, dapat menular dari hewan ke

manusia. C. bovis menginfeksi otot sapi, penyakitnya disebut sistiserkosis. Sementara

cacing pita T. saginata berparasit pada usus manusia, penyakitnya disebut taeniasis.

Page 36: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

26

Manusia terinfeksi cacing pita bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di

masak kurang matang yang mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi larva

cacing pita bila menelan telur T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Infeksi

C. bovis pada sapi ditemukan hampir di seluruh dunia(34,35).

Dampak ekonomi yang disebabkan oleh penyakit ini merugikan berbagai pihak.

Kerugian terbesar dialami oleh industri daging, karena daging yang terinfeksi harus

dimusnahkan, tidak boleh dikonsumsi. Cacing T. saginata juga ditemukan hampir di

seluruh dunia. Hasil penelitian di Bali pada 2002-2009 menemukan 80 kasus

taeniasis dari 660 orang yang diperiksa(36,37). Tingginya kejadian taeniasis di Bali

terkait kegemaran masyarakat mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Lawar

adalah makanan berupa campuran sayur dengan daging yang biasanya tidak dimasak

sempurna. Hal yang sama juga ditemukan di beberapa wilayah Indonesia, misalnya

mengonsumsi sang-sang di Samosir, barapen di Papua(38-40).

Upaya penanggulangan zoonosis tersebut sebenarnya tidak sulit, salah satunya

dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi.

Namun, permasalahannya sampai sekarang data epidemiologi kejadian infeksi C. bovis

pada sapi di Indonesia tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini akibat sulitnya

melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Biasanya diagnosis sistiserkosis

dilakukan setelah hewan disembelih (post mortum) dengan menemukan parasitnya

melalui pemeriksaan kesehatan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada

lidah sapi dengan melakukan palpasi, teraba adanya benjolan/nodul di bawah jaringan

kulit atau intramuskular. Namun, cara deteksi seperti ini sensitifitasnya rendah,

terutama pada hewan yang terinfeksi ringan(41).

Saat ini telah banyak dikembangkan uji imunodiagnostik untuk deteksi sistiserkosis

pada hewan. Metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dilaporkan

memberi hasil baik(42,43). Agar uji memberi nilai sensitifitas dan spesifisitas baik, metode

diagnostik ini telah dikembangkan dengan menggunakan antigen C. bovis isolat lokal

(Bali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antigen C. bovis isolat lokal

(Bali) pada pengenceran 1:160; konjugat 1:4000; dan serum 1:80, mampu mendeteksi

antibodi C. bovis dengan nilai sensitifitas 87,5% dan spesifisitas 88,9%(43). Berdasarkan

hasil tersebut, metode ini perlu diterapkan di lapangan untuk dipakai melakukan

pemetaan penyakit dengan cara mendeteksi kejadian sistiserkosis pada sapi di Indonesia,

khususnya di Bali dan Nusa Tenggara.

Sistiserkosis dan taeniasis selain merupakan masalah kesehatan masyarakat, juga

menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Sistiserkosis dapat menurunkan

nilai jual daging karena daging yang terinfeksi harus dimusnahkan(44-46). Seperti telah

dilaporkan, di Indonesia penyakit ini tersebar di beberapa wilayah dengan tingkat

prevalensi bervariasi. Walaupun upaya pengendalian dan pemberantasannya tergolong

mudah, di Indonesia penyakit ini masih terabaikan(35). Sistiserkosis pada sapi ditemukan

hampir di seluruh dunia. Parasit ini kosmopolit di negera-negera dengan penduduknya

yang makan daging sapi. Manusia akan terinfeksi, bila mengonsumsi daging sapi mentah

atau setengah matang yang mengandung sistiserkus. Sementara itu, ternak akan terinfeksi

sistiserkus karena makan rumput yang terkontaminasi oleh feses penderita taeniasis,

Page 37: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

27

melalui feses sebagai pupuk, atau air yang mengandung feses(35,47).

Sejak lama ditengarai bahwa data epidemiologi tentang kejadian taeniasis T.

saginata pada manusia yang dipublikasikan dinilai belum cukup memadai. Hal ini

disebabkan belum adanya standarisisasi prosedur pemeriksaan laboratorik di antara

peneliti(47,48). Di samping itu, umumnya data yang dilaporkan hanya mewakili beberapa

bagian saja dari suatu populasi yang seharusnya diperiksa, misalnya laporan

prevalensi hanya pada anak-anak atau kelompok umur tertentu saja, atau hanya

berupa laporan kasus dari pasien yang di rawat di rumah sakit. Kesemuanya itu, dinilai

sangat kecil memberikan gambaran objektif terhadap prevalensi sesunguhnya(47).

Sementara itu, data kejadian sistiserkosis karena C. bovis kebanyakan dipetik dari

laporan-laporan pemeriksaan kesehatan daging. Padahal diketahui, tidak seluruh negara

telah melakukan pemeriksaan yang intensif terhadap kesehatan daging. Oleh karena itu,

diperlukan adanya metode yang mudah namun dapat dipercaya untuk menggambarkan

data epidemiologi sistiserkosis dan taeniasis secara akurat.

Pengembangan uji-uji imunodiagnostik untuk mendeteksi adanya agen penyakit telah

dilakukan lebih dari satu dasa warsa yang lalu. Beberapa teknik yang telah

dikembangkan tersebut terutama untuk deteksi sistiserkosis pada hewan ternyata memberi

kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya. Uji serologi yang

dilakukan pada kondisi ante mortum – sebelum hewan disembelih, dapat memberi arti

praktis dan spesifik. Beberapa metode serologi yang telah dicobakan untuk mendeteksi

adanya sistiserkus adalah: indirect haemaglutination test (IHA) dan doble diffusion agar;

immunoelectrophoresis (IEP); enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan

radioimmunoassay (RIA). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang

paling banyak digunakan(49-52). Teknik ini umumnya memberi hasil yang baik.

Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi

kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis(53-

56). Namun demikian, bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna.

Sampai sekarang, yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya

reaksi silang(57). Sebagai ilustrasi dapat disampaikan disini bahwa antara kista hydatida,

Multiceps multiceps, Taenia sp. dan Schistosoma sp. masing-masing menunjukkan reaksi

silang dengan antibodi sistiserkus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui

bahwa suatu antigen, yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi yang

baik(50). Penggunaan Ag ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya

reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan(47)

diketahui bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama

pada tegumen Taenia.

Sementara itu beberapa peneliti yang membandingkan ekstrak kista, cairan kista dan

ekstrak cacing pita sebagai antigen untuk uji ELISA terhadap kasus neuro-

sistiserkosis, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil

yang paling baik(47). Uji serologi lain yang merupakan modifikasi ELISA, yang juga

digunakan untuk mendeteksi adanya cacing pita atau sistiserkusnya, terutama pada

manusia adalah uji hambatan ELISA dengan menggunakan monoclonal antibody; Dot

ELISA; “Dipstick” immunoassay; deteksi coproantigen dengan menggunakan poliklonal

Page 38: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

28

dan Dipstick dot ELISA(47,58).

Penggunaan monoklonal antibodi yang sangat spesifik, akan mampu

menurunkan reaksi silang, sehingga positif palsu dapat dihindarkan. Sementara itu hasil

yang memuaskan dengan teknik Western blot, yaitu enzyme-linked immunoelctrotransfer

blot (EITB), juga dilaporkan oleh beberapa peneliti(54,56). Teknik EITB dan ELISA telah

dibandingkan oleh Pathak dkk. Duapuluh serum babi yang dikonfirmasikan positif

sistiserkus, diperiksa dengan menggunakan kedua metode ini. Ternyata EITB memberi

hasil 90% sensitif dan 100% spesifik, tanpa adanya reaksi silang. Sedangkan dengan

ELISA, 70% sensitif, 73% spesifik, dan disertai dengan reaksi silang(59).

Dari uraian di atas, untuk mengembangkan teknik imunodiagnostik yang paling

cocok, mudah diterapkan dan dapat digunakan dalam jumlah sampel banyak adalah

berbasis ELISA. Selanjutknya agar uji diagnosis tersebut memberi nilai sensitifitas dan

spesifisitas tinggi diperlukan antigen yang spesifik. Suatu studi pengembangan

metode diagnostik ELISA dengan menggunakan antigen spesifik berupa isolat lokal

(Bali) telah dikerjakan(43). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa cairan kista

C. bovis (isolat Bali) mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai reagen uji

imunologis untuk mendeteksi antibodi terhadap C. bovis. Metoda ELISA dengan

menggunakan cairan kista C. bovis (isolat Bali) sebagai antigen, terbukti dapat

mendeteksi antibodi pada pengenceran optimal antigen 1:160, konjugat 1:4000 dan

serum 1:80 dengan nilai sensitifitas 87,5% dan spesifisitas 88,9%(43). Hasil penelitian ini

sudah dapat dimanfaatkan untuk uji seroepidemiologi dalam rangka menentukan daerah

endemis taeniasis-sistiserkosis, sehingga langkah-langkah pencegahan penyebaran dari

ternak ke manusia dapat dilakukan.

Berdasarkan uji seroepidemiologi dan metode pemeriksaan parasitologi telah

terpetakan kejadian sistiserkosis dan taeniasis di Indonesia. Lewat proyek kerjasama yang

telah berlangsung lama, telah berhasil dikonfirmasi kejadian taeniasis karena infeksi T.

saginata di Bali; T. solium terutama di Papua dan sporadis di Bali; serta T. asiatica di

Sumatra Utara(60, 61). Tingkat prevalensi kejadian taeniasis dan seroprevalensi sistiserkosis

akibat infeksi T. solium di Papua dalam kurun waktu 1996-2012 diringkas pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan Kejadian Taeniasis dan Sistiserkosis T. solium di Papua(60)

Tahun

Kabupaten

Prevalensi T.

solium (%)

Seroprevalensi Sistiserkosis

Manusia Babi Anjing

1997-1998 Merauke 0/90 1/90 (1,1) NS NS

2003-2004 Manokwari NS 8/274 (2,9) NS NS

2004 Paniai NS 1/61 (1,6) NS NS

2009 Paniai (9,6) (29,2) NS NS

2004-2005 Nabire NS 10/105 (9,5) NS NS

2009 Peg Bintang (10,7) (2,6) NS NS

2009 Puncak Jaya (1,7) (2,0) NS NS

1996-2002 Jayawijaya 19/146 (13,0) 203/902 (22,5) NS NS

1998-1999 Jayawijaya NS NS (8,5-70,4) NS

Page 39: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

29

2000-2002 Jayawijaya NS NS NS (4,9-33,3)

2009 Jayawijaya (7.0) (20,8) NS NS

2011 Jayawijaya NS 28/181 (15,5) NS NS

2012 Jayawijaya NS 9/109 (8,3) 38/200 (19,0) NS

NS: tidak ada sampel (no sample).

Sementara itu, kejadian taeniasis dan seroprevalensi sistiserkosis di Bali dalam

rentang waktu 2002-2014 diringkas pada Tabel 2. Hasil penelitian tersebut merupakan

bentuk kerjasa penelitian yang dilakukan oleh Universitas Udayana, Departemen

Kesehatan, dan Asahikawa Medical University.

Tabel 2. Ringkasan Kejadian Taeniasis dan Sistiserkosis di Bali(61)

Kabupaten (Tahun)

Jumlah

Kasus

Taeniais T .

saginata

Jumlah Kasus

Taeniasis T.

solium

Seroprevalensi

Sistiserkosis pada

Manusia (%)

Seroprevalensi

Sistiserkosis

pada Babi (%)

Gianyar (2002) 32 - 0,8 (1/125) NA

Gianyar (2004) 14 - 0,0 (0/46) NA

Gianyar (2005) 5 - 0,0 (0/13) NA

Gianyar (2006) 2 - 0,0 (0/39) NA

Gianyar (2007) 3 - 4,2 (1/24) NA

Gianyar (2008) 4 - NA NA

Gianyar (2009) 7 - NA NA

Gianyar (2010) 18 - 0,0 (0/24) NA

Gianyar (2011) 9 - 5,4 (8/147) NA

Gianyar (Jan 2013) 6 - 0,1 (1/13) NA

Gianyar (Sept 2013) 9 - 7,1 (1/14) NA

Gianyar (2014) 4 - NA NA

Badung (2014) 1 - 0,0 (0/91) NA

Denpasar (2004) 9 - 0,0 (0/49) NA

Denpasar (2005) 2 - 0,0 (0/16) NA

Denpasar (2010) 3 - 0,0 (0/54) NA

Karangasem (2006) 1 - 2,8 (1/36) NA

Bangli (2007) 0 - 0,0 (0/32) NA

Tabanan (2008) 0 - 0,0 (0/42) NA

Jembrana (2008) 0 - 0,0 (0/84) NA

Klungkung (2009) 0 - 0,0 (0/100) NA

Buleleng (2009) 0 - 0,0 (0/47) NA

Karangasem (2011) - 3 6,3 (11/175) 11,6 (5/64)

Karangasem (Jan 2013) - 6 5,1 (11/214) 18,0 (31/164)

Karangasem (Sept

2013)

- 2* 4,2 (5/118) 6,9 (7/101)

Karangasem (2014) - 2* # #

Total 129 13 2,6 (38/1489) 13,1 (43/329)

Page 40: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

30

NA: tidak ada data (no data available) # dalam konfirmasi * Swastika et al. unpublished

PENANGGULANGAN HELMINTHIASIS, SISTISERKOSIS, DAN TAENIASIS

Penanggulangan helminthiasis pada ternak sebenarnya dapat dilakukan dengan cara

sederhana yaitu dengan memutus siklus hidup parasit(7,8,21). Beberapa hal secara umum

yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus helminthiasis

pada ternak, di antaranya adalah: 1) program pemberian antelmintika/obat cacing, 2)

sanitasi kandang dan lingkungan, 3) sistem pengembalaan dan pemberian rumput, 4)

populasi inang antara, 5) kualitas pakan, 6) monitoring terhadap telur dan larva cacing.

Pemberian antelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak yang telah

dipastikan positif terinfeksi cacing, mengingat hampir sebagian besar ternak terutama

yang dipelihara secara tradisional menderita helminthiasis(8). Namun, sebaiknya lakukan

pemeriksaan feses terlebih dahulu untuk mengetahui jenis telur cacing yang menginfeksi.

Dengan demikian antilmentik yang diberikan sesuai dengan diagnosisnya.

Berdasarkan hasil Workshop bertajuk “Strengthening of Prevention and Control of

Taeniasis/Cysticercosis and Soil Transmitted Helminthiases in Bali, Indonesia” yang

diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali pada 22

September 2014, dapat dicatat beberapa rekomendasi mengenai panggulangan

helminthiasis berbasis lokal kontekstual. Rekomendasi tersebut disusun bersama oleh para

akademisi, praktisi lapangan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta pakar khusus

yang menekuni bidang terkait. Kiranya rekomendasi tersebut relevan dijadikan referensi

untuk kontrol helminthiasis di kawasan semi-ringaki kepulauan NTT. Berikut

rekomendasi pencegahan dan penanggulangan tersebut dikutip sesuai aslinya(61).

a. Combine the prevention and control of taeniasis and NCC with the prevention

and control of STHs. As STHs including Ascaris, Trichuris and hookworms etc. are

more common than Taenia, detection of taeniasis carriers are one part of STH

surveys. All STH carriers have been medicated through all taeniasis projects in

Indonesia.

b. Review and strengthen the ‘legal aspects’ for the prevention and control of

taeniasis and NCC at the provincial, district, and local level. This would include

standardizing policies and methods for the distribution of guidelines for the

prevention and control of taeniasis and NCC. It would also include better law

enforcement to prevent the occurrence of illegal slaughterhouses

c. Strengthen buy-in of policy makers, stake holders, professional organizations,

universities, NGOs, and members of the private sector.

d. Intensify active and passive surveillance, with prompt treatment of identified

tapeworm carriers.

e. Conduct periodic health inspection of lawar sellers and their family members.

f. Conduct health investigations of family members and neighbours of newly

diagnosed NCC patients.

g. Immprove public health education focusing on personal hygiene, environmental

sanitation, and practices related to pig and cattle rearing, with an emphasis on

Page 41: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

31

primary school-aged children.

h. Develop and distribute IEC media on taeniasis and NCC prevention that has been

translated into local languages/dialects and edited to be socially and culturally

appropriate.

i. Further invest in local health education programmes by training additional health

workers and then having them participate in a train-the-trainer programme.

j. Strengthen the epidemiological surveillance of taeniasis and NCC in Bali by using

validated diagnostic tools.

k. Provide additional funding for the prevention and control of taeniasis and NCC.

l. Improve the meat inspection system and conduct studies to determine the

prevalence and distribution of infected animals.

m. Encourage political commitment and inter-sectoral collaboration at the local,

national, and international levels.

n. Put in place a system to monitor and evaluate the taeniasis and NCC prevention

and control programme in Bali.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari seluruh bahasan di atas dapat dibuat simpulan bahwa helminthiasis pada ternak

merupakan penyakit ekonomi yang dapat menimbulkan kerugian cukup besar pada ternak,

peternak, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk mengatasi kasus helminthiasis pada

ternak yang terus berulang, penanganan yang serius terhadap kasus helminthiasis di

Indonesia pada umumnya dan di kawasan semi-ringkai kepulauan NTT pada khususnya

menjadi urgen. Cara pengendaliannya sangat sederhana dengan memutus siklus hidup

cacing tersebut yang perlu ditunjang kesadaran dan komitmen dari para pemangku

kepentingan. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis parasit yang

tergolong ke dalam penyakit terabikan (neglected diseases). Penyakit ini amat baerbahaya

bagi manusia dan memerlukan perhatian serius. Beberapa rekomendasi dari Workshop

“Strengthening of Prevention and Control of Taeniasis/Cysticercosis and Soil

Transmitted Helminthiases in Bali, Indonesia” yang diselenggarakan di Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali kiranya cukup relevan dipakai referensi.

Mengingat data kejadian penyakit helminthiasis di wilayah semi-ringkai kepualaun NTT

belum ada, upaya pemetaan kasus tersebut mutlak dilakukan. Terbuka peluag lebar bagi

akademisi Universitas Nusa Cendana Kupang untuk berkontribusi menjawab tantangan

tersebut, sehingga strategi dan penanggulangan helminthiasis di NTT dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Henuk YL. 2015. Mengembalikan Kejayaan NTT Sebagai Lumbung Ternak Sapi di

Indonesia. (http://www.kompasiana.com/prof_yusufhenuk/mengembalikan-kejayaan-

Page 42: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

32

ntt-sebagai-lumbung-ternak-sapi-di-indonesia_54f38692745513992b6c79db). Akses

12-9-2015.

2. Hau DK, Pohan A, Nulik J. 2005. Penyakit-Penyakit Zoonosis di Nusa Tenggara

Timur. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005. Puslitbang

Peternakan.

3. Kebijakan Pembangunan Peternakan di NTT. 2013. Disampaikan oleh Kepala Dinas

Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Juli 2013 di BBPP

Kupang.

4. Owhoeli O, Elele K, Gboeloh B. 2014. Prevalence of Gastrointestinal in Exotix and

Indigenous Goats Slaughtered in Selected Abattoir in Port Harcourt, South-South,

Nigeria. Chinese Journal Biology. Vol. 2014, Article ID 435913, 8 pages.

5. Adedipe OD, Uwalaka EC, Akinseye VO, Adediran A, Cadmus SIB. 2014.

Gastrointestinal Helminths in Slaughtered Cattle in Ibadan South-Western Nigeria.

Journal of Veterinary Medicine. Vol. 2014. Article ID 923561, 6 pages.

6. Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Kaitannya dengan Kerugian Ekonomi

Sapi Potong yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-Kresidenan

Banyumas. Agripet. 11 (1): 45-50.

7. Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Media sarana Press. Jakarta.

8. Info Medion. 2013. Cacingan pada Sapi Jangan Dianggap Enteng. Info Medion

Online (http://info.medion.co.id). Akses 12-9-2015.

9. Fox NJ, Marion G, Davidson RS, White PCL, Hutchings. 2012. Livestock Helminth

in a Changing Climate: Approach and Restriction to Meaningful Predictions.

Animals. 2: 93-107; doi: 10.3390/ani2010093.

10. Gibbons LM, Jacobs DE, Fox MT, Hansen J. 2015. The RPV/FAO Guide to

Veterinary Diagnostic Parasitology faecal Examination of Farm animals for Helminth

Parasites. http://www.rvc.ac.uk/review/Parasitology/Index/Index.htm. Akses 25-9-

2015.

11. Thienpont D, Rochette F, Vanpariijs OFJ. 1986. Diagnosing Helminthiasis by

Coprological Examination. Janssen Research Foundation. Beerse, Belgium.

12. Kauffmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals. A Diagnostic Manual.

Birkhauser Verlag. Basel, Boston, Berlin.

13. Arjona R, Riancho JA, Aquoda JM, Salesa R, Gonzales-Marbychias J. 1995.

Fascioliosis in Developed Countries: A Review of Classic and Aberrant Forms of the

Disease. Medicine. 74: 13-23.

14. Winaya IBO, Astawa INM, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Berata IK. 2014.

Pelacakan Secara Imunohistokimiawi Antigen Eksretori_Sekretori pada Sapi Bali

yang Terinfeksi Fasciola gigantica. Jurnal Veteriner. 15 (3): 411-416.

15. Mas-Coma MS, Bargues MD, Valero MA. 2005. Fascioliosis and Other Plant-Borne

Trematode Zoonosis. Int J Parasitol. 35:1225-1265.

16. Ai L, Che MX, Alasaad M, Elsheika HM, Li J, Li HL, Lin RQ, Zou FC, Zhu XO,

Chen JX. 2011. Genetic Characterization, Species Differentation and Deetection of

Fasciola spp by Melecular Approaches. Parasite & Vectors 4 (101): 1756-1766.

Page 43: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

33

17. Pilet B, Deckers F, Pouillon M, Parizel B. 2010. Fasciola hepatica Infection in a 65-

Year Old Women. Radiology Case 4 (4): 13-19.

18. Davies JW and Anderson RC. 2004. Parasitic Diseases of Wildlife. Iowa State

University Press, pp 45-47.

19. Ibrahim UI, Mbaya AW, Geidam YA, Gambo HI, Sanda KA, Kelechi OL. 2012.

Helminth Parasites and Reservoir Status or Captive Wild Ruminants in the Semi-Arid

Region of North-Esatern Nigeria. Vet. World. 5 (9): 530-534.

20. Devos V and Lambrechts MC. 2003. Emerging Aspects of Wildlife Diseases in

Southern Africa. In: Proceeedings of Sarcus Symposium on Nature Conservation as a

Form of Land. Gorongosa National Park, Mozambique, pp. 97-99.

21. Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.

7th Edition. Bailliere Tindall. London, pp763-778.

22. Ayana T and Ifa W. 2015. Major Gastrointestinal Helminth Parasites of Grazing

Small Ruminants In and Around Ambo Town of Central Oromia, Ethuipia. Jurnal of

Veterinary Medicine and Animal Health. doi: 10.5897/JVMAH2014.0327.

http:www.academic journals.org/JVMAH.

23. Dagnachew SD, Asmare A, Wudu T. 2011. Epidemiology of Gastrointestinal

Helminthiasis of Small Ruminants in Selected Sites of North Gonder Zone, Northwest

Ethiopia. Ethiop. Vet. J. 15(2): 57-68.

24. Regassa F, Sori T,Dhuguma R, Kiros Y. 2006. Epidemiology of GIT Parasites of

Ruminants in Western Oromia, Ethuiopia. Intern J Appl Res Vet Med. 4:1.

25. Radositits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2006. Nematode Diseases of

the Alimentary Tract. In: Veterinary Medicine, A Textbook of the Diseases of Cattle,

Horses, Sheep, Pigs and Goats. 10th Ed. 1541-1553.

26. Purwaningsih dan Sumiarto B. 2012. Prevalensi Helminthiasis pada Saluran

Pencernaan Pedet di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Peternakan. 7 (1): 11-15.

27. Suweta IGP. 1985. Kerugian Ekonomi Oleh cacing Hati pada Sapi. Penerbit Alumni.

Bandung.

28. Suhardono H, Widjajanti S, Partoutomo S. 1988. Freshwater Snail of Medical and

Veterinary Importance in Indonesia. Asian-Planty Technical Meeting on Snail and

Slug of Economic Importance. June 22-24. Bangkok. Thailand.

29. Sobhon P, Anantavara S, Dangprasert T, Viyanant V, Krailas D, Upatham ES,

Wanichanon C, Kusamram T. 1998. Studies of Tegumen as a Basis for the

Development of Immunodiagnosis and Vaccine. Southeast Asian J Trop Med Public

Health 29 (2): 387-400.

30. Kaplan RM. 2001. Fasciola hepatica: A Review of the Economic Impact in Cattle

and Considerations for Control. Vet. Therapeutics. 2 (1):1-11.

31. Gasbarre LC, Leighton EA, Stout WL. 2001. Gastrointestinal Nematodes of Cattle in

the Northeastern US: Results of a Producer Survey. Veterinary Parasitology. 101: 29-

44.

32. Hawkins JA. 1993. Economic Benefits of Parasite Control in Cattle. Veterinary

Parasitology. 46: 159-173.

Page 44: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

34

33. Tisdell CA, Harrison SR, Ramsay GC. 1999. The Economic Impacts of Endemic

Diseases Control Programmes. Rev Sci Tech Off Int Wpiz. 18 (2): 380-398.

34. Taresa G, Melaku A, Bogale B, Chanie M. 2011. Cyst Viability, Body Site

Distribution and Public Health Significance o f Bovine Cysticercosis At Jimma,

South West Ethiopia. Global Veterinaria. 7(2): 164-168.

35. Dharmawan NS. 2012. Roadmap Penelitian: Studi Sistiserkosis dan Taeniasis pada

Hewan dan Manusia. Makalah Disampaikan pada Seminar Ilmiah FKH Unud

Denpasar, Kamis 15 Maret 2012. 8 halaman.

36. Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan NS, Sako Y, and Okamoto, M. 2013.

Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology.

Parasitology. 140: 1608-1616.

37. Wandra T, Swastika K, Dharmawan NS, Purba IE, Sudarmaja IM, Yoshida T, Sako Y,

Okamoto M, Diarthini NLPE, Laksemi DAAS, Yanagida T, Nakao M, Ito A. 2015.

The Present Situation and Towards the Prevention and Control of Neurocysticercosis

on the Tropical Island, Bali, Indonesia. Parasites & Control. 8:148. DOI

10.1186/s13071-015-0755-z.

38. Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006.

Taeniasis /Cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-

S148.

39. Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for Control of Taeniasis

/ Cysticercosis in Indonesia. Parasitol International. 55: S161-S165.

40. Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Raka

Sudewi AA., Depary AA., Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO,

Yamasaki H, Nakaya K, Craig PC, Ito A. 2007. Taeniasis/Cysticercosis in

Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (Supp 1): 140-

143).

41. Gonzalez LM, Villalobos N, Montero E, Morales J, Sanz RA, Muro RA,

Harrison LJ, Parkhouse RM and Garate T. 2006. Differential Molecular Identification

of Taeniid spp. and Sarcocystis spp. Cysts Isolated from Infected Pigs and Cattle.

Vet. Parasitol., 142: 95-101.

42. Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000. Performance of the ELISA

Test for Swine Cysticercosis Using Antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps

Cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130.

43. Dharmawan NS., Dwinata IM, Damriyasa IM. 2010. Evaluasi Antigen dari

Cairan Kista Taenia saginata Untuk Uji Serologis Taenia saginata Sistiserkosis.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Strategis Nasional 2009. Lembaga

Penelitian Unud.

44. Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham AL III. 2006. Control of the

Taeniasis/Cysticercosis Complex: Future Developments. Vet. Parasitol. 139(4): 283-

292.

45. Willingham AL III and Engels D. 2006. Control of Taenia solium Cysticercosis /

Taeniasis. Adv. Parasitol. 61:509-566.

Page 45: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

35

46. Prasad KN, Prasad A, Verma A, Singh AK. 2008. Human Cysticercosis and Indian

Scenario: A Review. J. Biosci. 33 (4): 571-582.

47. Dharmawan NS. 1995. Pelacakan Terhadap Kehadiran Taenia saginata Taiwanensis

di Bali Melalui Kajian Parasitologi dan Serologi. Disertasi S3. Institut Pertanian

Bogor.

48. Pawlowski Z and Schultz. 1972. Taeniasis and Cysticercosis (Taenia saginata).

Adv. Parasitol. 10: 269-343.

49. Husain N, Jyotsna, Bagchi M, Huasain M, Mishra MK, Gupta S. 2001. Evaluation

of Cysticercus fasciolaris Antigen for Immunodiagnosis of Neurocysticercosis.

Neurol India. 49 (4): 375-379.

50. Das S, Mahajan RC, Ganguly NK, Sawhney IM, Dhawan V, Malla N. 2002.

Detection of Antigen B of Cysticercus cellulosae in Cerebrospinal Fluid for the

Diagnosis of Human Neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58.

51. Xiao N, Yao JW, Ding W, Giraudoux P, Craig PS, Ito A. 2013. Priorities for

Research and Control of Cestode Zoonoses in Asia. Infectious Disesases of Poverty

2:16. doi: 10.1186/2049-9957-2-16

52. Samie K, Assefa A, Get A. 2015. Review on Bovine Cysticercosis and Its Public

Health Importance’s in Ethiopia. Acta Parasitologica Globalis 6 (1):20-28.

53. Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig

PS, Ito A. 2001. Taenia solium Infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: A

Pilot Serological Survey of Human and Porcine Cysticercosis in Jayawijaya District.

Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.

54. Bragazza LM, Vas AJ, Passos AD, Takayanagui OM, Nakamura PM, Espindola NM,

Pardini A, Bueno EC. 2002. Frequency of Serum Anti-Cysticercus Antibodies in the

Population of Rural Brazilian Community (Cassia Dos Coqueiros, SP) Determined by

ELISA and Immunoblotting Using Taenia crassiceps Antigens. Rev. Inst. Med. Trop.

Sao Paulo. 44 (1): 7-12.

55. Dorney P, Phiri I, Gabriel S, Speybroeck N, Vercruysse J. 2002. A Sero-

Epidemiological Study of Bovine Cysticercosis in Zambia. Vet Parasitol. 104 (3):

211-215.

56. Ito A, Sako Y, Ishikawa Y, Nakao M, Nakaya K, Yamasaki H. 2002.

Differential Serodiagnosis for Alveolar Echinococcosisby Em18-Immunoblot and

Em18-ELISA in Japan and China. 147-155. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.)

Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis - An Emergent and Global

Problem. IOS Press.

57. El-Moghazy FM and Abdel-Rahman H. 2012. Cross-Reaction as A Common

Phenomenon Among Tissue Parasites in Farm Animals. Global Veterinaria 8 (4):

367-373.

58. Sarti E, Schantz PM, Avila G, Ambrosio J, Medina-Santillen R, Flisser A. 2000.

Mass Treatment Against Human Taeniasis for the Control of Cysticercosis: A

Population-Based Intervention Study. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94 (1): 85-89.

59. Dharmawan NS. 2009. Fenomena Penyakit Cacing Pita Daging Babi di Bali

dan Peran Laboratorium Klinik dalam Menegakkan Diagnosis. Hal.: 152-164.

Page 46: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

36

Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek.

Editor: Tim BPMU Unud. Vol 1. Cetakan II. Udayana University Press. Denpasar.

60. Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan, NS, Sako Y, Okamoto M. 2013.

Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology.

Parasitology. 140: 1608-1616.

61. Wandra T, Swastika K, Dharmawan NS, Purba IE, Sudarmaja IM, Yoshida T, Sako Y,

Okamoto M, Diarthini NLPE, Laksemi DAAS, Yanagida T, Nakao M, Ito A. 2015.

The Present Situation and Towards the Prevention and Control of Neurocysticercosis

on the Tropical Island, Bali, Indonesia. Parasites & Vector. 8:148. DOI

10.1186/s13071-015-0755-z.

Page 47: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

37

MAKALAH PENDUKUNG

(PRESENTASI LISAN)

Page 48: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

38

Page 49: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

39

STUDI EPIDEMIOLOGI TRICHINELLOSIS PADA DAGING BABI

DI KOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

(Epidemiology Study of Trichinellosis in Pork Meat at Slaughterhouse in Kupang City,

East Nusa Tenggara Province)

Andrijanto Hauferson Angi1, Fadjar Satrija2, Denny Widaya Lukman2,

Mirnawati Sudarwanto2, Etih Sudarnika2

1Program Studi Kesehatan Hewan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang,

Jalan Adi Sucipto Penfui Kupang, Nusa Tenggara Timur, telepon 0380-881601

Email : [email protected] 2Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

Trichinellosis is one of many diseases caused by infestation of nematode worms

Trichinella spp which is zoonotic and occurs worldwide. Trichinellosis prevalence in

Indonesia is rare, even in the area of East Nusa Tenggara, Kupang, it is not particularly

transparently reported. This study was aimed to observe the occurance of Trichinella spp

in pigs in Kupang. The research was conducted using cross sectional study in the pig

slaughterhouse in Kupang. The data was derived from interview 60 farmers in 6

subdistrics using the questionnaires, laboratory examination on Trichinella larvae using

pooled sample digestion method (33 pooled samples of 323 muscle samples) whereas the

positive results were individually subjected to the compression method, and serological

test (200 serum samples) using AB-ELISA. The result showed that there were 5 pooled

muscle samples were positive and by the compression method it was found 3 of 323 muscle

samples (0.9%) containing larvae of Trichinella spiralis. The AB-ELISA test identified

that 3 serum samples were positive with the seroprevalence were 1.5%. The occurance of

Trichinella in pigs slaughtered in Kupang could be a threat of human health.

Keywords: AB–ELISA, compression method, pooled sample digestion, Trichinellosis.

PENDAHULUAN

Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella spp. dan

terdapat hampir di seluruh dunia. Penyakit ini mengakibatkan kerugian pada manusia serta

menjadi masalah epidemiologi di banyak negara. Dari hasil penemuan ini diarahkan untuk

dilakukan pemeriksaan secara rutin terhadap Trichinella di tempat pemotongan babi

setelah diketahui bahwa kehadiran Trichinella spp. di daging babi merupakan penyebab

trichinellosis klinis pada manusia (Sattmann dan Prosl 2005; Schuppers 2010). Trichinella

spp. tidak hanya ditemukan pada babi, namun juga pada banyak spesies hewan omnivora

dan karnivora, baik hewan domestik maupun satwa liar. Trichinella spp. ditransmisikan

Page 50: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

40

secara oral melalui asupan daging mentah atau setengah matang (Pasio 2005). Salah satu

perbedaan yang terlihat secara jelas antara infeksi oleh Trichinella spp. pada hewan dan

manusia adalah infeksi pada hewan tidak terlihat gejala klinis, sedangkan infeksi pada

manusia dapat menyebabkan penyakit ringan hingga parah bahkan dapat menyebabkan

kematian (Oivanen et al. 2005).

Laporan tentang penyebaran trichinellosis di kawasan Asia Tenggara khususnya

Indonesia sangat sedikit. Di Indonesia identifikasi Trichinella secara serologis pada

penduduk di Pulau Bali didokumentasikan terinfeksi 19.5% (Chomel et al. 1993). Di

daerah Tapanuli (wilayah utara Pulau Sumatera) kebiasaan masyarakat lokal memasak atau

memanggang daging babi hingga matang cukup efektif menghambat transmisi ke manusia

(Pasio 2001). Agen penyebab trichinellosis pada babi lokal di Pulau Bali dan Sumatera

tidak pernah teridentifikasi, meskipun telah dilaporkan sebagai T. spiralis. Di wilayah

Asia Tenggara lain yaitu di Singapura, wabah trichinellosis terjadi pada 84 siswa dan guru

saat berkunjung ke sebuah pulau di Malaysia tahun 1998 (Kurup et al. 2000). Di Laos,

wabah trichinellosis pada manusia terdata pada 51 orang yang mengonsumsi daging babi

terinfeksi dan telah didokumentasikan pada tahun 1975 (Pasio 2001). Trichinellosis juga

muncul pada babi di Myanmar (Watt et al. 2000), tetapi prevalensi infeksinya tidak

diketahui. Kasus trichinellosis pada manusia juga ditemukan di Bensbach Papua Nugini

bagian barat, yang mana T. papuae terdeteksi pada babi liar. Prevalensi secara serologi

terdeteksi pada orang yang tinggal di 6 desa di daerah tersebut sebesar 28.9% berdasarkan

metode ELISA menggunakan antigen tyvelose sintetis (Pasio 2001). Populasi babi di Nusa

Tenggara Timur sebanyak 1724316 ekor, dengan populasi di wilayah Kota Kupang sendiri

sebanyak 25205 ekor (BPS NTT 2012). Kejadian infeksi trichinellosis sangat mungkin

terjadi di peternakan babi di Kota Kupang dan apabila ditemukan kasus trichinellosis pada

daging babi akan berdampak sangat besar terhadap kelangsungan peternakan babi dan

menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Kota Kupang.

Siklus hidup parasit Trichinella spp. relatif sederhana dibandingkan dengan parasit

lain, namun beberapa pola penularan serta tingkat prevalensinya belum sepenuhnya

dipahami. Kajian secara epidemiologi penting dan sangat perlu dilakukan untuk

mengembangkan strategi pengawasan dalam menghindari penularan ke manusia.

Penelitian terkait identifikasi dan prevalensi Trichinella spp. pada ternak babi hingga saat

ini belum pernah dilaporkan di Indonesia, khususnya untuk wilayah Kota Kupang Provinsi

NTT.

Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi keberadaan parasit Trichinella spp. pada

ternak babi di wilayah Kota Kupang, (2) identifikasi jenis nematoda Trichinella yang

terdapat pada ternak babi di Kota Kupang sebagai langkah awal untuk pemetaan di wilayah

NTT dan dijadikan acuan untuk studi epidemiologi trichinellosis di wilayah Nusa

Tenggara Timur lainnya, serta (3) identifikasi seroprevalensi trichinellosis pada babi

dengan metode AB-ELISA.

Page 51: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

41

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai bulan Februari 2014.

Pengambilan sampel otot dan serum darah dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH)

Oeba yang merupakan lokasi pemotongan babi milik Pemerintah Daerah Kota Kupang.

Pemeriksaan dan identifikasi sampel otot terhadap larva Trichinella spp. dilakukan di

Laboratorium Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang (POLITANI).

Identifikasi serum dengan kit antigen E/S Trichinella dengan metode AB-ELISA dilakukan

di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor. Wawancara terhadap peternak

babi menggunakan kuisioner dilakukan di 6 kecamatan di Kota Kupang, yaitu Kecamatan

Alak, Kecamatan Maulafa, Kecamatan Oebobo, Kecamatan Kota Raja, Kecamatan Kelapa

Lima, dan Kecamatan Kota Lama.

Desain dan Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional. Pengambilan sampel otot masseter

dari babi dilakukan dengan cara pengambilan contoh acak sederhana. Ukuran sampel

ditentukan dengan menggunakan software Win Episcope 2.0, dengan tingkat kepercayaan

95%, sementara prevalensi yang diharapkan 30%, serta tingkat kesalahan 5% sehingga

jumlah sampel otot yang diambil 323 sampel.

Pengujian sampel otot terhadap larva Trichinella spp. dilakukan dengan metode

pooled sample digestion dan jika hasil positif maka dilanjutkan identifikasi sampel

individu dengan metode kompresi. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan serum untuk

identifikasi antibodi terhadap T. spiralis dengan metode indirect-enzyme linked

immunosorbent assay atau dikenal dengan non-competitive ELISA (AB-ELISA).

Pengambilan darah dilakukan secara bersamaan saat pengambilan otot di RPH. Darah

diambil (± 10 ml) dari vena jugularis. Sampel otot disimpan dalam kotak pendingin (cool

box), sementara sampel darah pada tabung yang diletakkan dalam standar kayu dan

didiamkan semalam pada refrigerator (kulkas). Setelah semalam, sampel darah disentrifus

dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan serum.

Selain pengujian laboratorium, dilakukan pula wawancara menggunakan kuesioner

terhadap 60 responden peternak babi di 6 kecamatan. Uji validitas dan uji reabilitas

kuesioner dilakukan sebelumnya dengan mewawancarai 10 responden peternak babi.

Pengujian Sampel Otot dan Serum

Pooled Sample Digestion

Page 52: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

42

Sebanyak 50 g otot masseter dari 10 ekor babi (masing-masing 5 g/ekor) dicincang

dengan blender menggunakan pisau khusus untuk daging yang akan dicerna dengan cairan

pencernaan buatan. The International Commision on Trichinellosis (ITC)

merekomendasikasi sampel otot sebanyak 5 g per ekor babi untuk daerah endemik

(Gamble et al. 2000). Cairan pencernaan buatan terdiri dari air (44 – 46 °C), HCl 37%,

dan pepsin (1:10.000 NF/1:12500 BP/2000 FIP). Pencernaan diaduk selama 30 menit pada

suhu 44-46 °C dalam gelas beaker (volume 2 liter) menggunakan hot plate magnetic stirrer

(pada proses ini diharapkan larva terlepas dari otot). Cairan pencernaan kemudian

dituangkan melalui saringan logam (diameter lubang 0.18 mm) ke dalam corong kaca

yang ditutup selang karet penjepit. Larva dibiarkan tinggal selama 30 menit dan

selanjutnya sebanyak 40 ml cairan sampel dengan cepat dituang ke dalam tabung 50 ml,

kemudian biarkan selama lebih dari 10 menit agar terjadi sedimentasi (suspensi).

Sebanyak 30 ml supernatan diambil dan 10 ml sisa sedimen dituang ke dalam cawan petri

untuk selanjutnya diperiksa minimal selama 8 menit dengan stereomikroskop untuk

visualisasi atau melihat keberadaan larva Trichinella spp.

Metode Kompresi

Sampel otot dipotong setipis mungkin menjadi sejumlah potongan dengan masing-

masing potongan sepanjang serat otot. Selanjutnya sampel otot dikompresi antara dua pelat

kaca (kompresi) sampai terlihat tembus. Otot diperiksa secara individual untuk melihat

bentuk morfologi larva Trichinella apakah termasuk golongan encapsulated atau non-

encapsulated menggunakan stereomikroskop dengan berbagai pembesaran (low range, mid

range, dan high range).

AB-ELISA

The European Commision (EC) 2075/2005 merekomendasikan metode pencernaan

buatan sebagai metode referensi untuk pemeriksaan Trichinella pada pemotongan hewan

(EC 2005), sedangkan pemeriksaan serologis digunakan untuk sertifikasi pengawasan

bebas Trichinella (Gamble et al. 2000), serta pengawasan infeksi dan penyelidikan

epidemiologi pada populasi hewan, khususnya di wilayah dengan prevalensi penyakit

tinggi (Gamble et al. 2004). Metode pemeriksaan ELISA adalah satu-satunya uji

imunologi yang didukung oleh ITC (OIE 2012).

Penelitian ini menggunakan kit diagnostik dari ID-VET Prancis yaitu ID Screen®

Trichinella indirect multi-species ELISA, didasarkan penggunaan antigen ekskresi/sekresi

(E/S) yang memungkinkan untuk mendeteksi antibodi terhadap Trichinella spiralis

(termasuk Trichinella pseudospiralis, Trichinella britovi dan Trichinella nativa) pada

berbagai hewan diantaranya kuda, babi, dan babi liar, serta jus daging.

Sampel yang akan diuji serta kontrol ditambahkan ke sumuran yang telah dilapisi

dengan ekstrak antigen E/S khusus untuk Trichinella. Jika terdapat antibodi anti-

Trichinella, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi. Konjugat horseradish peroxidase

(HRP) multispesies ditambahkan ke sumuran. Jika cocok dengan antibodi anti-Trichinella,

terbentuk suatu kompleks antigen antibodi-konjugat-HRP. Setelah pencucian untuk

Page 53: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

43

menghilangkan kelebihan konjugat, ditambahkan cairan substrat (TMB). Warna yang

dihasilkan tergantung jumlah antibodi spesifik yang terdapat dalam sampel yang diuji:

1. Keberadaan antibodi, larutan biru yang muncul menjadi kuning setelah penambahan

stop solution; jika tidak terdapat antibodi, maka tidak ada warna yang muncul.

2. Dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dan optical density

(OD) dicatat.

Validasi uji.

Nilai rata-rata dari OD kotrol positif (ODPC) lebih besar dari 0.350. Rasio rata-rata

OD nilai kontrol positif dan negatif (ODPC dan ODNC) lebih lesar dari 3.5.

Interpretasi hasil.

Untuk setiap sampel, rasio S/P (S/P %): [ODSample - ODNC] / [ODPC - ODNC] x 100.

Sampel kemudian diklasifikasikan sebagai positif, negatif atau meragukan tergantung

pada hasil S/P %, seperti yang ditunjukkan Tabel 1.

Tabel 1 Hasil dan status S/P % untuk serum dan plasma terkait identifikasi antibodi

Trichinella spiralis

Hasil Status

S/P % 50% Negatif

50% < S/P < 60% Ragu-ragu

S/P % 60 % Positif

Karakteristik Responden dan Manajemen Kesehatan Babi

Karakteristik responden dan manajemen kesehatan babi dilakukan dengan

wawancara menggunakan kuesioner terhadap 60 pemilik peternakan babi sebagai

responden di 6 kecamatan yang berada di Kota Kupang. Responden yang diwawancarai

dipilih dengan teknik propabilitas secara acak sederhana dengan melihat faktor keterkaitan

mereka dengan penelitian yang dilakukan seperti lokasi dan kondisi kandang, ternak dan

jumlah babi yang dipelihara serta manajemen pemeliharaan yang mempengaruhi pola

penularan trichinellosis (Sunyoto 2011). Data yang dikumpulkan meliputi karekteristik

responden seperti tingkat pendidikan, lama usaha serta orang yang terlibat dalam usaha

peternakan babi, aspek manajemen pemeliharaan dan pencegahan penyakit parasit, aspek

higienis dan sanitasi serta pengolahan limbah, aspek hewan pengerat yang berpotensi

sebagai penular trichinellosis, aspek penyuluhan dan informasi, serta aspek pengetahuan

peternak terhadap penyakit trichinellosis.

Analisis Data

Data pengujian sampel otot terhadap larva Trichinella spp dianalisis secara

deskriptif. Seroprevalensi hasil pemeriksaan serum untuk mendeteksi antibodi terhadap

anti-trichinellosis dengan metode AB-ELISA dihitung dengan metode point prevalence

rate, yaitu proporsi terinfeksi terhadap total sampel serum babi yang diteliti pada saat itu

dikalikan 100% (Azwar 1988). Data hasil wawancara dengan survei kuisioner yang

mendukung kejadian trichinellosis dianalisis secara deskriptif sebagai gambaran umum

Page 54: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

44

profil peternakan babi di wilayah Kota Kupang terhadap kemungkinan penyebaran

penyakit trichinellosis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pooled Sample Digestion dengan Metode Magnetic Stirrer

Larva Trichinella spp. ditemukan pada 5 pooled samples otot babi (kode sampel E, I,

K, L,dan T). Gambaran secara mikroskopik larva Trichinella spp.yang ditemukan dapat

dilihat pada Gambar 1.

Pooled sample Kode E

Pooled sample Kode I

Pooled sample Kode K

Pooled sample Kode L

Pooled sample Kode T

Gambar 1 Larva Trichinella spp. pada sampel otot babi yang dipotong di RPH Oeba Kota

Kupang yang diuji dengan metode digesti di bawah stereomikroskop

Metode Kompresi

Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi terhadap 50 sampel individu (dari 5

pooled samples yang positif pada uji digesti) dengan stereomikroskop terhadap keberadaan

Page 55: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

45

encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella spp. didapatkan 3 sampel otot

mengandung larva T. spiralis. Prevalensi larva T. spiralis pada otot babi diperoleh 0.9%.

Gambaran morfologi larva T. spiralis pada otot babi yang dipotong di RPH Oeba Kota

Kupang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Larva Trichinella spiralis pada sampel otot babi yang dipotong di RPH Oeba

Kota Kupang yang diidentifikasi dengan metode kompresi di bawah

stereomikroskop

AB-ELISA

Hasil pengujian dengan metode AB-ELISA terhadap 200 sampel ditemukan 3

sampel positif mengandung antibodi terhadap T. spiralis (Tabel 2), sehingga diperoleh

seroprevalensi sebesar 1.5%. Prevalensi infeksi tertinggi Trichinella pada babi domestik

atau lokal di RPH yang dilaporkan pada salah satu negara anggota Uni Eropa (UE) tahun

2006 adalah 0.000127% melalui pemeriksaan serologi (Frey et al. 2009). Uji ELISA

memiliki tingkat kepercayaan dengan sensitivitas hampir 100% serta spesifisitas lebih dari

97% dalam pengujian di rumah potong hewan (Gamble et al. 1988), sehingga hasil uji

ELISA yang dilakukan dapat dinyatakan terdapat kasus trichinellosis di wilayah Kota

Kupang.

Tabel 2 Nilai OD, SP % dan status sampel hasil uji AB- ELISA 3 dari 200 sampel

serum babi yang dipotong di RPH Oeba Kota Kupang

Kode

Sampel

Tanggal

Pengambilan

Status Babi OD

S/P

Ratio S/P % Status

Ras Umur/jenis kelamin

42 16/11/2013 Babi kampung Di atas 1.5 thn/

jantan

1.505 0.94 94 (+)

105 8/12/2013 Eksotik ras Di atas 3 thn /

betina

1.106 0.69 69 (+)

193 18/01/2014 Triplecross Di atas 3 thn /

betina

1.818 1.12 112 (+)

Karakteristik Responden dan Manajemen Kesehatan Babi

Page 56: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

46

Sebagian besar peternak babi di Kota Kupang adalah laki-laki (71.7%) dengan umur

rata-rata di atas 50 tahun (36.7%). Tingkat pendidikan peternak yang terbanyak lulusan

SMA (38.3%). Ras babi yang dipelihara peternak sangat beragam dan yang terbanyak

merupakan ras campuran (45%) dan diikuti jenis babi lokal sebesar 40%. Sebagian besar

babi yang dipelihara, bibit atau anakannya berasal atau dibeli dari peternakan tradisional.

Pakan yang diberikan pada babi bervariasi baik pakan komersial hasil olahan pabrik, hasil

sisa rumahan atau restoran. Sebagian besar pakan sisa rumahan atau restoran biasanya

langsung diberikan pada babinya atau dicampur dengan pakan lainnya misalnya dedak atau

pakan komersil.

Aspek manajemen kesehatan yang terlihat dari para peternak responden adalah

sebagian besar peternak babi di wilayah Kota Kupang memelihara babinya dalam kandang

(98.3%) dengan bangunan kandang semi permanan berbahan kayu (71.7%). Kebanyakan

peternak responden memelihara hewan lain selain babi (seperti anjing). Hal penting yang

terlihat dari aspek manajemen kesehatan yaitu tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan

secara rutin terhadap babi yang dipelihara (90%). Terkait dengan pencegahan terhadap

infeksi penyakit asal parasit seperti penyakit trichinellosis, 88.3% dari responden peternak

yang diwawancara tidak pernah memberikan obat cacing pada babi peliharaannya. Hewan

pengerat merupakan reservoir utama penularan penyakit trichinellosis. Studi epidemiologi

pada manusia akibat infeksi trichinellosis ditemukan bahwa tikus dan babi berperan

penting dalam penularan penyakit trichinellosis (Kaewpitoon et al. 2006). Data hasil

survei kuisioner pada peternak terlihat dari jawaban yang diberikan oleh para peternak

terhadap pertanyaan yang diajukan umumnya para peternak mengatakan sering melihat

keberadaan tikus dikandang atau sekitar kandang (86.7%). Semua responden yang

diwawancarai belum mengetahui atau mendengar tentang penyakit trichinellosis yang

dapat menjadi salah satu sebab terjadinya penyebaran trichinellosis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pemeriksaan larva Trichinella spiralis pada otot babi yang diambil dari RPH

Oeba dengan pooled sample digestion dan dilanjutkan dengan metode komperesi

menunjukkan kejadian trichinellosis pada babi di wilayah Kota Kupang dengan prevalensi

sebesar 0.9%. Hasil pemeriksaan dengan AB-ELISA pada 200 sampel yang diuji

ditemukan 3 positif dengan tingkat seroprevalensi sebesar 1.5%. Pengetahuan peternak

yang rendah atau tidak mengetahui sama sekali tentang penyakit trichinellosis menjadi

salah satu faktor penyebab adanya kejadian trichinellosis di Kota Kupang. Keberadaan

larva T. spiralis pada otot babi dapat menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Kota

Kupang.

Saran

Page 57: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

47

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk identifikasi jenis spesies Trichinella yang

ada di Kota Kupang secara molekular seperti menggunakan metode polymerase chain

reaction (PCR) dan perlu dilakukan penilaian faktor-faktor penyabab penularan

trichinellosis di Kota Kupang. Pemerintah daerah Kota Kupang perlu melakukan tindakan

pencegahan dan pengendalian trichinelosis dengan melakukan pembinaan terhadap

peternak babi terkait dan mengembangkan kepedulian masyarakat melalui informasi,

komunikasi, dan edukasi.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar A. 1988. Pengantar Epidemiologi. Jakarta (ID): Bina Aksara.

[BPS NTT] Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. 2012. Populasi Ternak Kecil

Menurut Jenis Ternak Menurut Kabupaten/Kota. [Internet]. Kupang(ID):BPS

NTT.[diunduh 2014 Mar 25]. Tersedia pada: ntt.bps.go.id /index.php/

pertanian/peternakan.383-populasi-ternak-kecil-menurut-jenis-ternak-menurut-

kabupaten-kota-2012.

Chomel BB, Kasten R, Adams C, Lambillote D, Theis J, Goldsmith R, Koss J, Chioino C,

Widjana DP, Sutisna P. 1993. Serosurvey of some major zoonotic infections in

children and teenagers in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health.

24:321-6.

[EC] European Commission. 2005. Commission Regulation (EC) No. 2075/2005 of 5

December 2005 laying down specific rules on official controls for Trichinella in

meat. Off. J. European Union, L338, 60–82 (Regulation as last amended by

Commission Regulation (EC) No 1245/2007. Off. J. European

Union.[Internet].[diunduh 2013 Jan 24]; L(281): 19–20.

Frey CF, Patrik Buholzer, Relja Beck, Albert Marinculic´, Alex J. Raeber, Bruno

Gottstein, Manon E. Schuppers. 2009. Evaluation of a new commercial enzyme-

linked immunosorbent assay for the detection of porcine antibodies against

Trichinella spp. J Vet Diagn Invest. 21:692–697.

Gamble HR, Rapic D, Marinculic A, Murrell KD. 1988. Evaluation of excretory–secretory

antigens for the serodiagnosis of swine trichinellosis. Vet Parasitol. 30:131–137.

Gamble HR, Bessonov AS, Cuperlovic K, Gajadhar AA, Van Knapen F, Noeckler K,

Schenone H, Zhu X. 2000. International Commission on Trichinellosis:

Recommendations on methods for the control of Trichinella in domestic and wild

animals intended for human consumption. Vet Parasitol. 93:393–408.

Gamble HR, Pozio E, Bruschi F, Nöckler K, Kapel CMO, Gajadhar AA. 2004.

International Commission on Trichinellosis: Recommendations on the Use of

Serological Tests for the Detection of Trichinella Infection in Animals and Man.

Parasite. 11:3–13.

Page 58: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

48

Kurup A, Yew WS, San LM, Ang B, Lim S, Tai GK. 2000. Outbreak of suspected

trichinosis among travelers returning from a neighboring island. J Travel Med.

7:189-93.

Kaewpitoon N, Kaewpitoon SJ, Philasri C, Leksomboon R, Maneenin C, Sirilaph S,

Pengsaa P. 2006. Trichinosis: Epidemiology in Thailand - Review. World J

Gastroenterol.12(40):6440-6445.

Sattmann H, Prosl H. 2005. Frühe Erforschungsgeschichte der Trichinellen und der

Trichinellose. Wien Tierärztl Mschr. 92:283-287.

Schuppers EM. 2010. Development of a risk-based surveillance program for Trichinella

spp. in domestic swine and wildlife in Switzerland. [disertasi]. Wageningen

(ND):Wagenigen Univ.

Sunyoto D. 2011. Analisis Data untuk Penelitian Kesehatan: Analisis Data Penelitian

dengan SPSS untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan. Yogyakarta (ID):Muha

Medika.

Oivanen L, Nareaho A, Jokela S, Rikula U, Gamble R, Sukura A. 2005: The prevalence of

Trichinella infection in domestic dogs in Finland. Vet Parasitol. 132: 125-129.

[OIE] Office International des Epizooties. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.1.16.

Trichinellosis. Rome (IT): OIE.

Pasio E. 2001. Taxonomy of Trichinella and the epidemiology of infection in the Southeast

Asia and Australian regions. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32 (Suppl

2): 129-131.

Pozio E. 2005: The broad spectrum of Trichinella hosts: from cold-to warm-blooded

animals. Vet Parasitol. 132:3-11.

Watt G, Saisorn S, Jongsakul K, Sakolvaree Y, Chaicumpa W. Blinded. 2000. Placebo-

controlled trial of antiparasitic drugs for trichinosis myositis. J Infect Dis. 182:371-4.

Page 59: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

49

UJI POTENSI MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL) SEBAGAI

ANTIBAKTERI TERHADAP Avibacterium paragallinarum

(POTENTIAL TEST OF PURE COCONUT OIL (VIRGIN COCONUT OIL) AS

ANTIBACTERIAL TO Avibacterium paragallinarum)

Thelny Nenabu1, Elisabet Tangkonda2, Nemay A. Ndaong3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail

:[email protected] 2Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. 3Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa

Cendana, Kupang

ABSTRACT

Infectious coryza or snot is one of the upper respiratory disease in poultry caused

by Avibacterium paragallinarum. Infectious coryza is difficult to eradicate because the

farm management condition is unfavorable, one of them is giving antibiotics excessively

and repeatedly which causes resistance. The use of herbal antibiotics is one option to

overcome the problems of resistance. Pure coconut oil or Virgin Coconut Oil (VCO)

becomes the favorite one because it is believed to have medicinal properties. Among

others, VCO has 50 % of fatty acids in coconut oil which consists of lauric acid and 7 % of

kaprilat acid. Both acids are medium chain saturated fatty acids which are easily

metabolized and antimicrobial (antiviral, antibacterial, and antifungal), so that the study

was conducted to know the potential of VCO as antibacterial to Avibacterium

paragallinarum. The sample used was 4 Avibacterium paragallinarum isolates consists of

3 isolates of B serotype and 1 isolate of C serotype, tested in the laboratory of

microbiology, faculty of veterinary medicine Nusa Cendana University using the Kirby-

bauer method. Isolates 1 to 3 are B serotype and isolate 4 is C serotype. Results showed

that VCO with a concentration of 2 0% in isolate 1 to 4 form a clear zone= 1,5mm,1mm,

1mm, 0 mm (±1,17 mm), 40 % = 2mm, 2mm, 2mm, 0mm (±2mm), 60 % = 31mm, 30mm,

30 mm, 0mm (±30,3mm), 80 % = 32 mm, 32mm, 31,5mm, 0mm (±31,8mm), 100 % =

33,5mm, 33mm, 34mm, 0 mm (±33,5mm). Oksterasiklin antibiotics in isolate 1 to 4 form a

clear zone 33mm, 26mm, 26mm, 0mm (±28,3mm) and antibiotic amoxicillin-clavulanic

acid combination 44mm, 45mm, 44mm, 29mm (±40,5 mm). Based on results of the VCO

with 100% concentration, it can replace commercially antibiotics (oxytetracycline) for

Avibacterium paragallinarum B serotype while the C serotype can only be inhibited by the

antibiotic amoxicillin-clavulanic acid combination.

Key Words: VCO, Antibacterial, Avibacterium paragallinarum

PENDAHULUAN

Infectious coryza atau yang biasa dikenal dengan istilah snot merupakan salah satu

penyakit saluran pernafasan atas pada ayam yang disebabkan oleh Avibacterium

Page 60: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

50

paragallinarum yang berlangsung akut sampai kronis. Infectious coryza merupakan

penyakit yang memiliki dampak ekonomi yang merugikan bagi industri perunggasan dan

paling tinggi ditemukan pada pergantian musim (Gordon dan Jordan, 1982).

Infectious coryza sulit diberantas karena kondisi manajemen peternakan yang

kurang baik seperti ventilasi yang kurang memadai, kandang yang sempit, kepadatan ayam

dan kadar amoniak yang tinggi dalam kandang, umur ayam yang bervariasi serta

pemberian antibiotik secara berlebihan dan berulang sehingga menyebabkan terjadi

resistensi dan menimbulkan efek samping yang berimbas pada produksi ayam yang tidak

maksimal (Tabbu, 2000).

Tanaman obat banyak digunakan oleh masyarakat dalam rangka menanggulangi

masalah kesehatan yang dihadapi, untuk pengobatan, maupun untuk menjaga kesehatan

sebagai antibiotik herbal banyak menjadi pilihan di zaman moderen ini. Hal ini karena

penggunaan obat–obatan seperti antibiotik dapat menimbulkan berbagai efek samping,

salah satunya adalah resistensi (Hembing, 2003).

Minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan salah satu hasil

olahan dari buah kelapa (Cocos nucifera L). Virgin Coconut Oil banyak diminati orang

karena diyakini berkhasiat sebagai obat (Sutarmi dan Rozaline, 2005).

Pada tahun 2006, Darmuyono melakukan penelitian uji aktivitas antibakteri VCO

terhadap Staphylococcus aureus LIPI (Lipo Protein) dan hasilnya diketahui bahwa

minyak kelapa murni mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

(Gram positif).

Kelebihan VCO antara lain memiliki 50 % asam lemak pada minyak kelapa adalah

asam laurat dan 7 % asam kaprilat. Kedua asam tersebut merupakan asam lemak jenuh

rantai sedang yang mudah dimetabolisme dan bersifat antimikroba (antivirus, antibakteri

dan antijamur). Sifat antimikroba dari minyak kelapa murni terutama tergantung pada

adanya monogliserida dan asam lemak bebas. Monogliserida bersifat aktif sebagai

antimikroba (Sutarmi dan Rozaline, 2005).

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Uji Potensi Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) Sebagai Antibakteri

Terhadap Avibacterium paragallinarum”.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 4 isolat Avibacterium paragallinarum yangterdiri dari

3 isolat Avibacterium paragallinarum serotipe B dan 1 isolat Avibacterium

paragallinarum serotipe C yang diisolasi dari ayam yang terinfeksi Infectious coryza,

denganwaktu penelitian pada bulan Maret 2015.

Alat dan bahan yang digunakan mikroskop cahaya (Olympus®), gelas obyek

(Pyrex®), , penggaris, ose, spuite 1 cc (one med®), botol ukur (Pyrex®), batang pengaduk,

timbangan digital (Ohaus®), autoclave, inkubator dan cawan petri, blood agar, VCO

(VCO Poli®), kertas cakram, kertas label, bunsen, alkohol, aquadest, darah domba, kapas,

standar Mc Farland 5 antibiotik oksitetrasiklin (Medoxy-L®) 1mg/ml dan kombinasi

amoksisilin-asam klavulanat (Clavuneksi®) 1mg/ml.

Page 61: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

51

Serangkaian tahapan dalam penelitian ini adalah pembuatan media agar coklat,

mengkultur Avibacterium paragallinarum pada agar coklat, dan pewarnaan gram untuk

memastikan isolat merupakan isolat murni, selanjutnya dilakukan uji potensi VCO. Uji

Potensi VCO sebagai antibakteri tehadap Avibacterium paragallinarum menggunakan

metode Kirby-Baurer di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Nusa Cendana. Hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan

diagram serta dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini menggunakan 4 isolat Avibacterium paragallinarum serotipe B

berjumlah 3 isolat dengan kode sampel (Av 1, Av 2, dan Av 3)dan serotipe C berjumlah 1

isolat dengan kode sampel (Av 4). Isolat Avibacterium paragallinarum dikultur pada

media agar coklat, karena dalam agar coklat terdapat nicotamide adenine dinocleotida

(NAD) atau faktor V yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya sehingga dapat berkembang

baik (Mouahaid et al., 1992).

Dalam media agar coklat, morfologi koloni Avibacterium paragallinarum

transparan, kecil, berbentuk bulat dan tampak seperti tetesan embun dengan permukaan

dan tepi koloni halus.

Hasil pewarnaan Gram dari empat isolat Avibacterium paragallinarum berbentuk

kokobasil dan bersifat Gram negatif, dengan sel bakteri berbentuk kokobasil (Priya et al.,

2012 dan Tangkonda, 2013).

Uji potensi VCO sebagai antibakteri terhadap Avibacterium paragallinarum

menggunakan metode difusi. Hasil pengujian potensi VCO sebagai antibakteri terhadap

Avibacterium paragallinarum dengan konsentrasi 20 %, 40 %, 60 %, 80 % dan 100 %,

antibiotik oksitetrasiklin yang dijual secara komersial (kontrol negatif) dan antibiotik

kombinasi amoksisilin-asam klavulanat (kontrol positif) yang berdasarkan penelitian

Tangkonda et al. (2013) menyatakan bahwa antibiotik tersebut yang masih sensitif

terhadap Avibacterium paragallinarum (kontrol positif) pada media Nutrien agar beserta

zona hambat.

Gambar 1. Diagram zona hambat VCO serta kontrol positif dan kontrol negatif

Page 62: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

52

Berdasarkan penelitian ini VCO hanya dapat menghambat pertumbuhan

Avibacterium paragallinarum serotipe B, namun VCO tidak dapat menggantikan

antibiotik kombinasi amoksisilin-asam klavulanat (kontrol positif) yang dapat menghambat

Avibacterium paragallinarum serotipe B dan C.

Komponen penyusun struktur Avibacterium paragallinarum adalah

lipopolisakarida yang komponennya terdiri atas lipid atau lemak yang biasa disebut lipid A

dan merupakan salah satu komponen virulensi dari Avibacterium paragallinarum (Gyles

et al., 2010) dan Remon et al., 2006), sehingga pertumbuhannya dapat dihambat oleh

VCO, denga mekanisme kerja dari VCO yaitu membunuh bakteri, karena asam lemak

bebas dalam bentuk monolaurin mengikat dinding sel bakteri yang tersusun atas lipid dan

melisiskannya kemudian monolaurin menembus dinding sel sehingga cairan yang

beradadidalam sel keluar, dan terjadilah pengerutan sel yang diikuti dengan kematian sel

bakteri.

Serotipe Avibacterium paragallinarum yang dapat dihambat oleh VCO adalah

serotipe B, sedangkan serotipe C hanya bisa dihambat oleh antibiotik kombinasi

amoksisilin-asam klavulanat, hal ini karena antibiotik kombinasi amoksisilin-klavulanat

bekerja secara bakteriosidal, yaitu mengubah tegangan permukaan yang berakibat rusaknya

permeabilitas selektif dari membran sel mikroba. Kerusakan membran sel mengakibatkan

keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat

dan nukleotida dan merupakan antibiotik yang dapat membunuh Avibacterium

paragallinarum (Tangkonda et al., 2013). Antibiotik oksitetrasiklin merupakan antibiotik

berspektrum luas dan mekanisme kerjanya adalah bakteriostatik yaitu bekerja mengganggu

kemampuan bakteri memproduksi protein penting dengan cara mengikat ribosom 30S

bakteri namun dalam penelitian ini menghasilkan zona hambat yang menurut standar

Kirby-Baurer dengan dosis 1 mg yang membentuk zona hambat resisten dengan zona

hambat 47 mm, intermediet 49 sampai 52 mm dan sensitif 53 mm (Ravel, 1978).

Serotipe A dan C merupakan serotipe Avibacterium paragallinarum yang paling

patogen. Hal ini karena kedua serotipe ini memiliki kapsul, sedangkan serotipe B tidak

memiliki kapsul (Sawata et al., 1974).

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

1. Virgin Coconut Oil (VCO) memiliki potensi sebagai antibakteri terhadap

Avibacterium paragallinarum.

2. Virgin Coconut Oil (VCO) dengan dosis 60 %, 80 % dan 100 % dapat

mengggantikan antibiotik oksitetrasiklin (Medoxy-L®) yang dijual secara

komersial.

3. Tidak semua isolat Avibacterium paragallinarum dapat dihambat oleh VCO, hanya

serotipe B yang dapat dihambat oleh VCO.

Saran

Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat VCO sebagai antibakteri terhadap

Avibacterium paragallinarumsecara in vivo.

Page 63: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

53

DAFTAR PUSTAKA

Darmoyono. 2006, Gaya Hidup Sehat Dengan Virgin Cocunut Oil. PT Indeks Kelompok

Gramedia, Hal 1-10, 15-20.

Gordon, R. F. and F. T. W. Jordan (ed). 1982, Infectious Coryza (Haemophilus

gallinarum; H. paragallinarum)In: Poultry desease, 2nd Edition, Ballere Tindall,

London 48-50.

Gyles, C.L., J.F.Prescott, G. Songer, and C.O.Thoen. 2010, Pathogenesis of Bacterial

Infections in Animal, Willey Blackwell Publishing.

Hembing. 2003, Penggunaan Obat Tradisional, Puspa Swara, Jakarta.

Juckett. 2004, Daya Tarik Herbal, Penebar Swadaya, Jakarta.

Mouahaid, M., M.Bisgard, A.J.Morley, R.Mutters, and W.Mannheim. 1992, Occurrence of

V-factor (NAD) Independent Strains of Haemophilus paragallinarum. Vet.

Microbial. (31):363-368

Ramon, R.M.O. Gracia-Agonzales, A.Parez-Mandez, J. Ibarra-Caballero, V.M. Perez-

Marquez, S. Vaca , and E. Negrete A. Bascal. 2006, Membrane Vecisles Release By

Avibacterium paragallinarum Contain Putative Virulence Factors, FEMS,

Microbial, Lett, (257):63-68, Published by Blackwell Publishing Ltd, All Right

Reserved.

Ravel, R. 1978. Clinical Laboratory Medical, Clinical Application Laboratory Data, 3rd

Edition, Year Book Medical Publisher, Inc, Chicago.

Rootd, Y. 2009. Towards Unravelling the Genome of Avibacterium paragallinarum.

Faculty of Natural and Agricultural Sciences. Departement of Microbial,

Biochemical and Food Biotechnology. University of the Free State. Bloemfontein.

South Africa.

Sawata, A., Kume,K. and Nakase, Y.. 1974, Antigenic Structure and Relationship serotype

A, B and C Haemophilus Paragallinarum, American Journal Veterinary Research,

.(41):1901-1904

Sutarmi dan Hartin Rozaline. 2005, Taklukkan Penyakit Dengan VCO, Penebar Surabaya,

Jakarta.

Tabbu CR. 2000, Snot Dalam Penyakit Ayam Dan Penanggulangannya. Kanisius,

Yogyakarta, Vol. 1. Hal ;31-51.

Tangkonda, E., Tabbu, C.R., Wahyuni, A.E.T.H. 2013, Uji Kepekaan Avibacterium

paragallinarum Terhadap Antibiotik Yang Berbeda, Jurnal Kajian Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Page 64: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

54

Page 65: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

55

NEUROPATHOGENIC EQUINE HERPESVIRUS-1,

ITS PATHOGENESIS AND LATENCY RELATED TO NEUROLOGICAL DISEASE

(PATOGENESIS DAN SIFAT LATEN NEUROPATOGENIK EQUINE

HERPESVIRUS-1 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT SYARAF)

Antin Yeftanti Nugrahening Widi

Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Equine herpesvirus-1 (EHV-1) merupakan salah satu jenis virus penting yang

menyerang kuda dan dianggap membawa kerugian yang besar dalam peternakan kuda

karena menyerang kuda pada berbagai umur dan spesies. Kasus-kasus pada kuda yang

disebabkan oleh EHV-1 myeloenchephalopathy biasa ditandai dengan tingkat morbiditas

dan mortalitas yang tinggi, serta gejala syaraf yang pada akhirnya dapat menimbulkan

kematian. Kesulitan memberantas virus ini adalah pada sifatnya yang laten dan resisten

terhadap vaksin. Review ini disusun untuk melihat patogenesis dan sifat laten

neuropatogenik equine herpesvirus-1 dalam hubungannya dengan penyakit syaraf.

Kata kunci: equine herpesvirus-1 (EHV-1), pathogenesis neuropatogenik EHV-1, sifat

laten neuropatogenik EHV-1,

Introduction

Equine herpesvirus 1 (EHV-1) is a member of family herpesvirinae and sub family

α-herpesvirus. As a member of α-herpesvirus, EHV-1 also performs a long period of

latency, especially in neural ganglia and lymphoid tissue (Roismann and Pellet, 2001,

cited in Bell et al. (2006)). EHV-1 is a DNA virus, and in the same group with herpes

simplex virus, varicella zoster virus, Marek’s disease virus, and ILT virus (MacLachlan &

Dubovi, 2011). Cases caused by EHV-1 myeloenchephalopathy show high neurologic

morbidity, high mortality, resistant to vaccination and infects horses at any breeds and

ages (Donaldson and Sweeney, 1997, cited in Allen (2008). Therefore, this virus causing

great loss in horse industry worldwide (Van der Meulen, Favoreel, Pensaert, & Nauwynck,

2006).

1. Pathogenesis of neurological disease caused by neuropathogenic EHV-1

Cymerys et al. (2010) describe neuropathogenicity as “the ability to cause

pathological changes in the nervous tissue and related clinical symptoms”. It has been

known that EHV-1 as a pathogen has the capability to cause respiratory disorder,

neurological disease and abortions (Bartels, Steinbach, Hahn, Ludwig, & Borchers, 1998).

Based on the definition of neuropathogenicity and the ability of EHV-1 to cause

neurological disease, EHV-1 can be classified as neuropathogenic virus.

Page 66: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

56

2.1 Neurological disease and viral replication in endothelial blood cells

Several neurological clinical signs may present on the infection of

neuropathogenic EHV-1. They are ataxia, paresis, and paralysis (Walker, Love, &

Whalley, 1999). These symptoms are mainly as results of the replication of the virus in the

endothelial blood vessel (Cymerys et al., 2010). The pathogenesis will be explained as

follow.

EHV-1 infection spreads through nasal and saliva discharge, feed or water which

has been contaminated, and fomites (Walker et al., 1999). After infect the host, viremia will

present, followed by the transport of the virus through lymphocytes to the neurons’ blood

vessels (Borchers, Thein, & Kock, 2006). The viruses then replicate in the endothelial cells

of the blood vessels, includes brain blood vessels (MacLachlan & Dubovi, 2011), result in

vasculitis and thrombosis (Yamada et al., 2008, cited in Cymerys et al. (2010)).

Thrombosis reduces blood and oxygen supply to brain, cause ischemia and hypoxia. Brain

is susceptible to hypoxia, therefore neurons experience further effect, which is necrosis

(Zachary & McGavin, 2012). Ischemic injury also brings the same consequence as

hypoxia, that is necrosis of the neuron. As necrosis occurs in neuron, neuron’s function

does not work properly, and it is reflected in the neurological disorders which range from

mild ataxia to death.

2.2 Neurological disease and SNP

Another explanation to the lethal neurological disease caused by neuropathogenic

EHV-1 is related to single nucleotide polymorphism (SNP) in the viral DNA polymerase

gene. According to Van de Walle et al. (2009), the mutation on SNP, especially which

results in the presence of D752, will increase the neurovirulence of EHV-1 strain, and

elevates the neuropathogenicity. Furthermore, a study which involved horses infected with

D752 variant showed that the presence of mutation on SNP D752 contributed to the leakage

of peripheral blood mononuclear cells (PBMCs), which contain virus, to the serebrospinal

fluid, and also caused vasculitis (Van de Walle et al., 2009). Further effect of vasculitis is

the alteration of blood circulation in the brain, which results in ischemia and hypoxia, and

leads to imperfect neuron functions which may appear as clinical neuronal disorder. The

most fatal case may result in the death of the infected horse. These findings indicate that

SNP plays an important role on the pathogenesis of the lethal neurologic EHV-1 infection.

2. Latency of neuropathogenic EHV-1

One of the most well-known characteristics of EHV-1 infection is its latency and

reactivation of the shedding virus over time (Burrows and Goodridge, 1984, cited in Baxi

et al. (1996)). Several factors influence the latency and reactivation of EHV-1. Those

factors can be divided into 2 major parts, they are factors which come from the virus and

factor which comes from the host. Each factor will be explained separately.

3.1 Viral factors

Viral factors which may contribute to the latency of EHV-1 are cellular tropism,

and evasion from host immune response.

Page 67: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

57

3.1.1. Cellular tropism

According to Slater, Borchers, Thackray, and Field (1994), EHV-1 latency can be

found in several tissues, such as PBMCs, lymph nodes, respiratory tract and trigeminal

ganglia. However, the reactivation of EHV-1 was limited to EHV-1 located in trigeminal

ganglia. The main reason is that EHV-1 which was found in other latency cites impaired

their ability to reactivate. Therefore, neuron in the trigeminal ganglia becomes important

target cells to the life cycle of Herpesviruses, EHV-1 particularly, and the major

reactivation cite (Slater et al., 1994, Ch’ng et al., 2005, Regge at al., 2006, cited in

Cymerys et al. (2010)).

3.1.2 Transcription during latent phase

Latent phase does not mean without activity. During its latent phase, EHV-1 keep

performing its transcription activity even though its replication is blocked (Cymerys et al.,

2010). Baxi et al. (1995) found that a region in the genome of neuron with latent infection

showed limited transcription and concluded the Latency Associated Transcripts (LATs)

were in neurons. Furthermore, Borchers, Wolfinger, and Ludwig (1999) claim that LATs

represent latency marker. The finding of the transcription part in the viral genome during

latent phase proved the existence of LATs has been the important part of EHV-1

mechanism to survive inside their host, and prepare for the reinfection in the same host by

invading other cells. This LATs is closely related to and supported by the viral factor, that

is evasion from host immune response.

3.1.3. Evasion from host immune response

According to Van der Meulen et al. (2006), there are at least 4 mechanism are

which usually used by EHV-1 to avoid host immune reaction. They are interference Ab

dependent lysis, interference with CTL mediated cell lysis, interference with NK cell-

mediated lysis, and interference with the host cytokine network.

In order to escape from Ab dependent lysis mechanism, EHV-1 restricted the

expression of its envelope protein on cell surface (Van der Meulen et al., 2006), and uses

certain envelope protein to create obstacles for the Ab-dependent arms to work (Huemer et

al., cited in Van der Meulen et al. (2006)). This mechanism acts as a camouflage so that

immune system will not recognize the presence of the antigen.

Another mechanism is to evade from CTL mediated cell lysis by performing MHC-

I down regulation (Van der Meulen et al., 2006). CTL participate in the clearance of the

EHV-1 leucocytes associated viremia (Kydd, Townsend, & Hannant, 2006). EHV-1 has

transporter associated with Ag processing (TAP) inhibitor, called UL49.5 protein

(Koppers-alic et al., 2005 cited in Van der Meulen et al. (2006)), which inhibits the

transport of TAP, thus reduces protein availability in ER, and finally prevent Ag

presentation to the CTL and prevent further lysis of the infected cells (Hewit, 2003,

Petersen et al., 2003, cited in Van der Meulen et al. (2006)).

The third mechanism is interfering NK cell mediated lysis by lowering the

concentration of the MHC-I in the cell surface (Van der Meulen et al., 2006). This

Page 68: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

58

mechanism prevent NK cell to recognize the infected cells, thus the virus survive in the

host.

The last mechanism is interference in the host cytokine network by using its

envelope protein gG (Bryant et al., 2003 cited in Van der Meulen et al. (2006)). This

method may prevent the interaction between chemokines with cellular receptor, in which

EHV-1 envelope protein bind certain chemokines.

3.2 Host factor

The most important host factor which contributes to EHV-1 latency is immune

status of the host. A research which used corticosteroid, such as dexamethasone, as

immunodepressor, induced the reactivation of EHV-1, which was previously in a latent

phase (Slater et al., 1994). This research proved that the latency of EHV-1 is influenced by

immune status of the host, in which the latency will be prolonged in the good immune

status, on the other hand, EHV-1 will be reactivated when the host immune system is

depressed.

Conclusion

Neuropathogenic EHV-1 with its latency can be considered as a serious threat for

horse industry. The high mortility and morbidity of cases caused by this aetiological agent

in addition to vaccination failure due to its resistance have become challenge in order to

eradicate EHV-1 neurological disease. Better understanding on pathogenesis and latency

factors of neuropathogenic EHV-1 may enlighten the way to solve problems in regards to

neurological disease caused by EHV-1.

References

Allen, G. P. (2008). Risk factors for development of neurologic disease after experimental

exposure to equine herpesvirus-1 in horses. Am J Vet Res, 69 (12), 1595-1600.

Bartels, A., Steinbach, F., Hahn, G., Ludwig, H., & Borchers, K. (1998). In situ study on

the pathogenesis and immune reaction of equine herpesvirus type 1 (EHV-1)

infections in mice. Immunology, 93, 329-334.

Baxi, M. K., Borchers, K., Bartels, A., Schellenbach, A., Baxi, S., & Field, H. J. (1996).

Molecular studies of the acute infection, latency and reactivation of equine

herpesvirus-1 (EHV-1) in the mouse model. Virus Res, 40, 33-45.

Baxi, M. K., Efstathion, S., Lawrence, G., Whalley, J. M., Slater, J. D., & Field, H. J.

(1995). The detection of latency-associated transcripts of equine herpesvirus 1 in

ganglionic neurons. Journal of General Virology, 76, 3113-3118.

Bell, S. A., Balasuriya, U. B., Gardner, I. A., Barry, P. A., Wilson, W. D., Ferraro, G. L., &

MacLachlan, N. J. (2006). Temporal detection of equine herpesvirus infections of a

cohort of mares and their foals. Vet Microbiol, 116(4), 249-257. doi:

10.1016/j.vetmic.2006.05.002

Borchers, K., Thein, P., & Kock, A. S. (2006). Pathogenesis of equine herpesvirus-

associated neurological disease a revised explanation. Equine Vet J, 38 (3), 283-

287.

Page 69: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

59

Borchers, K., Wolfinger, U., & Ludwig, H. (1999). Latency-associated transcrips of equine

herpesvirus type 4 in trigeminal ganglia of naturally infected horse. Journal of

General Virology, 80, 2165-2171.

Cymerys, J., Dzieciątkowski, T., Słońska, A., Bierła, J., Tucholska, A., Chmielewska, A.,

Golke, A., Banburra, M. (2010). Equine herpesvirus type 1 (EHV-1) replication in

primary murine neurons culture. Polish Journal of Veterinary Sciences, 13(4). doi:

10.2478/v10181-010-0022-3

Kydd, J. H., Townsend, H. G., & Hannant, D. (2006). The equine immune response to

equine herpesvirus-1: the virus and its vaccines. Vet Immunol Immunopathol,

111(1-2), 15-30. doi: 10.1016/j.vetimm.2006.01.005

MacLachlan, N. J., & Dubovi, E. J. (2011). Fenner's veterinary virology (4th ed.):

Elsevier.

Slater, J. D., Borchers, K., Thackray, A. M., & Field, H. J. (1994). The trigemial ganglion

is a location for equine herpesvirus 1 latency and reactivation in the horse Journal

of General Virology, 75, 2007-2016.

Van de Walle, G. R., Goupil, R., Wishon, C., Damiani, A., Perkins, G. A., & Osterrieder,

N. (2009). A single-nucleotide polymorphism in a herpesvirus DNA polymerase is

sufficient to cause lethal neurological disease. J Infect Dis, 200(1), 20-25. doi:

10.1086/599316

Van der Meulen, K. M., Favoreel, H. W., Pensaert, M. B., & Nauwynck, H. J. (2006).

Immune escape of equine herpesvirus 1 and other herpesviruses of veterinary

importance. Vet Immunol Immunopathol, 111(1-2), 31-40. doi:

10.1016/j.vetimm.2006.01.006

Walker, C., Love, D. N., & Whalley, J. M. (1999). Comparison of the pathogenesis of acute

equine herpesvirus 1 (EHV-1) infection in the horse and the mouse model: a

review. Vet Microbiol, 68, 3-13.

Zachary, J. F., & McGavin, M. D. (2012). Pathologic basis of veterinary disease (5th ed.):

Elsevier.

Page 70: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

60

Page 71: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

61

ANALISIS TINGKATAN PERLAKUAN MASA SIMPAN TERHADAP CEMARAN

Vibrio sp. PADA IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PASAR IKAN

TRADISIONAL KOTA KUPANG

THE ANALYSIS OF TREATMENT LEVEL OF STORAGE PERIOD AGAINSTTHE

CONTAMINATION OFVibriosp. ON THE CAKALANG FISH (Katsuwonus pelamis)

IN THE TRADITIONAL FISH MARKET IN THE CITY OF KUPANG

Margaretha Mariani Bota Sogen1, Annytha Ina Rohi Detha2, Novalino Harold Gerald

Kallau3 1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail :

[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang 3Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang

ABSTRACT

The cakalang fishis one of the fishery products oftenconsumed byurban community

in Kupang butareeasily damaged because of the bacterial contaminations. Oneof the

bacteriain the fish whichcause infections in humans isVibriosp. The contamination

ofVibrio sp. in the cakalang fish is caused by the treatment of traders who usually wetting

the fish with the sea water and the ice water contaminated by the Vibrio sp. during the

sales process. This research aims to determine the contamination of Vibrio sp. and the

Vibrio species which caused the contamination as well as to investigate the influence of

storage period against the level contamination ofVibrio sp.on the cakalang fish in the

traditional fish market in the Kupang City. The fish samples were taken based on the

length of the storage period ie at 0 hours, 3 hours, 6 hours and 9 hours from the Pasir

Panjang traditional fish market as many as 40 fish and each time consisted of 10 cakalang

fish. The number of Vibrio sp. were counted by using the plate count method in order to

spread. The contamination level of Vibrio sp. were analyzed by Anova and continued with

the Least Significant Difference test which research indicates that the contamination and

the level of contamination of Vibrio sp. on the cakalang fish are influenced by the storage

period with an average level of contamination at 0 hours is negative, 3 hours is 4,5 x 102

CFU/g, 6 hours was 7,25 x 102 CFU/g and 9 hours was 1,15 x 103 CFU/g. The species

found were Vibriovulnificus, Vibriodamsela, VibrioalginolyticusandVibrioharveyi. The

influence of time on the contamination level was caused by the treatment of the traders

who wetting the fish with the contaminated sea water and ice water, the sanitation and the

hygiene of traders as well as the equipment used in the process of distributing and selling

of fish. Therefore it can be concluded that there is contamination of Vibrio sp. on the

cakalang fish and the contamination level is influenced by the storage period so that the

consumers should pay attention to the purchasing time of the fish and the processing to

make sure that was cooked perfectly to prevent the infections.

Keywords : cakalang fish, Vibrio sp., storage period, Kupang City.

Page 72: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

62

PENDAHULUAN

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Kupang (2012), produksi ikan di Kota Kupang

pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun 2011 yaitu sebesar4,44%. Salah satu

hasil perikanan di Kota Kupang adalah ikan pelagis besar yaitu ikan cakalang dengan

tingkat produksi pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun 2011 sebesar 50,59%.

Tingkat produksi yang meningkat berbanding lurus dengan tingkat konsumsimasyarakat

dikarenakan ikan cakalang mudah diperoleh bernilai ekonomis dan memiliki nilai gizi

yang tinggi yakni mengandung protein dan omega-3 (Sunahwati, 2000).

Selain memiliki nilai gizi yang tinggi, ikan cakalang merupakan hasil perikanan

yang bersifat mudah rusak dan membusuk (perishable) karena adanya aktivitas bakteri

(Guenneugues and Morrissey,2005).Salah satu spesies bakteri patogen yang sering

ditemukan pada ikan dan produk perikanan adalah Vibrio sp. (Feldhusen, 2000).Infeksi

Vibriosp. pada manusia dapat mengakibatkan gastroenteritis dengan gejala umum yaitu

diare encer dan seringkali berdarah, muntah, mual, demam dan nyeri abdomen apabila

mengkonsumsi hasil-hasil laut yang terkontaminasi Vibrio sp. (Feliatra, 1999).

Lokasi penjualan ikan cakalang segar di Kota Kupang adalah di pasar ikan

tradisional Pasir Panjang yang merupakan lokasi penjualan ikan yang sering dikunjungi

oleh masyarakat. Selama masa penjualan, ikan yang dijual pada lokasi tersebut diberi

perlakuan oleh pedagang yaitu membasahi ikan dengan air laut dan air es. Air laut yang

digunakan tersebut telah tercemar oleh limbah yang berasal dari rumah pendududuk sekitar

dan sisa bahan makanan lainnya yang memungkinkan terdapatnya bakteri pathogen Vibrio

sp. yang secara langsung dapat tumbuh, berkembang dan mengalami peningkatan jumlah

bakteri(Shuval, 1986)sehingga dapat meningkatkan kontaminasi Vibrio sp. pada ikan

cakalang karena Vibrio sp. tumbuh optimal pada salinitas air laut yaitu 20 sampai 40 ppt

(Prajitno, 2005). Semakin lama masa simpan, semakin banyak air laut yang digunakan

untuk membasahi ikan maka sangat memungkinkan semakin tinggi cemaran Vibrio sp.

pada ikan cakalang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ananta, dkk. (2013) juga, es yang

digunakan pedagang sebagai bahan pengawet ikan ditemukan adanya kontaminasi Vibrio

cholerae. Kondisi perairan di Kota Kupang sangat memungkinkan tercemar oleh Vibrio sp.

sehingga proses penanganan ikan segar di Kota Kupang perlu mendapat perhatian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya cemaran Vibrio sp.

dan untuk mengetahui spesies Vibrio apa saja yang menyebabkan cemaran tersebut serta

untuk mengetahui apakah waktu mempengaruhi tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan

cakalang di pasar ikan tradisional Kota Kupang.

MATERI DAN METODE

Ikan cakalang yang diukur tingkat cemarannya adalah ikan cakalang yang diambil

di pasar ikan tradisional Pasir Panjang Kota Kupang. Pengambilan sampel menggunakan

metode purposive sampling dimana pengambilan sampel ditentukan sendiri oleh peneliti.

Sampel yang digunakan sebanyak 40 ekor ikan cakalang yang diambil berdasarkan waktu

yaitu pada 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam.

Page 73: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

63

Metode kerja untuk pengujian dilakukan melalui teknik isolasi dan identifikasi

Vibrio sp. adalah dengan metode cawan hitung (Plate count) agar sebar menggunakan

media Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose (TCBS) dan dilanjutkan dengan pemurnian

koloni hasil isolasi pada media TSA2 % dan TSIA 2 %. Selanjutnya, dilakukan pengujian

bentuk morfologi Vibrio sp. dan pengujian biokimia yaitu uji garam, uji katalase, uji

oksidase, uji MR/VP, uji indol, uji urea, uji O/F, uji gelatin, uji lisin, uji gula, uji motilitas

serta uji biokimi lanjutan.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan metode One Way Anova

dan apabila terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan waktu terhadap tingkat cemaran

Vibrio sp. maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata terkecil (uji BNt).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Identifikasi Vibrio sp.

Hasil isolasi dari 40 sampel ikan cakalang dengan masing-masing waktu (0 jam, 3

jam, 6 jam, 9 jam ) terdiri dari 10 sampel yang diambil di pasar ikan tradisional Pasir

Panjang Kota Kupang menunjukkan sebanyak 26 sampel ikan positif tercemar Vibrio sp.

yang ditandai dengan adanya pembentukan koloni berwarna kuning dan hijau pada media

TCBS. Hasil isolasi pada 0 jam menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak adanya

pembentukan koloni pada media TCBS, pada 3 jam dan 6 jam masing-masing sebanyak 8

sampel yang menunjukkan hasil positif, sedangkan pada 9 jam 10 sampel menunjukkan

hasil yang positif. Koloni yang tumbuh pada media Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose

(TCBS) berwarna hijau (tidak memfermentasi sukrosa) dan berwarna kuning sebagai hasil

fermentasi sukrosa serta memiliki koloni berbentuk bulat (Fardiaz, 1992).

Pemurnian Bakteri

Pemurnian koloni pada media TSA 2 % dan TSIA 2 % dilakukan untuk

memperoleh koloni yang benar-benar murni dan hasil pemurniannya digunakan untuk

beberapa uji biokimia. Hasil pemurnian 26 koloni bakteri yang positif, 23 koloni

menunjukkan kondisi alkali pada bagian slant dan asam pada bagian butt (A/K) sedangkan

3 koloni menunjukkan kondisi asam pada bagian slant dan butt (A/A).

Pengujian Bentuk Morfologi Vibrio sp.

Pengujian bentuk morfologi Vibrio sp. digunakan larutan giemsa agar mudah

diamati pada mikroskop bentuk morfologinya. Bentuk morfologi Vibrio sp. pada pengujian

ini adalah sel tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) dan lurus.

Uji Garam

Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibriomenunjukkan reaksi timbulnya

gel seperti lendir yang berarti bakteri tersebut adalah bakteri Gram negatif. Vibrio sp.

merupakan bakteri Gram negatif yang ditunjukkan dengan timbulnya gel seperti lendir

pada bakteri yang diteteskan dengan larutan KOH 3 % (Edwin, 2011).

Uji Katalase

Hasil pengujian katalase dari 26 sampel yang positif Vibrio sp. menunjukkan reaksi

positif yaitu adanya gelembung gas.

Uji Oksidase

Page 74: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

64

Hasil pengujian oksidase dari 26 sampel yang positif Vibrio sp., menunjukkan

reaksi positif yang ditandai dengan berubahnya warna kertas oksidasemenjadi warna biru

setelah digoreskan dengan isolat bakteri.

Uji MR/VP

Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibrio menunjukkan reaksi positif

pada pengujian Methyl Red yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah setelah

ditambahkan indikator methyl red. Hasil uji Voges Proskauer (VP)menunjukkan reaksi

positif pada 18 sampel yang ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi merah pada

media setelah penambahan KOH 40 % dan α-naftol sebanyak 5 tetes dan 8 sampel

menunjukkan reaksi negatif.

Uji Indol

Hasil pengujian ini menunjukkan reaksi positif pada 20 sampel yang ditandai

dengan pembentukan cincin merah pada permukaan media karena mampu membentuk

indol yang bereaksi dengan reagen kovac’s sedangkan 6 sampel menunjukkan reaksi

negatif.

Uji Urea

Hasil pengujian 26 sampel Vibrio sp. menunjukkan reaksi negatif yaitu tidak

terbentuk warna merah muda pada media karena bakteri-bakteri tersebut tidak mampu

menghidrolisis urea dan membentuk amonia (Suyati, 2010).

Uji O/F

Hasil pengujian O/F dari 26 sampel yang positif Vibrio sp.menunjukkan sifat

fermentatif karena Vibrio sp. adalah bakteri yang bersifat fermentatif terhadap glukosa

yang ditandai dengan munculnya warna kuning pada media oksidasi fermentasi (Randa,

2012).

Uji Gelatin

Pengujian ini menunjukkan reaksi positif pada 14 sampel yang ditandai dengan

media gelatin bersifat tetap cair. Dua belas sampel menunjukkan reaksi negatif terhadap

uji gelatin.

Uji Lisin

Pengujian ini menunjukkan reaksi positif pada 20 spesies yang ditandai dengan

perubahan warna menjadi ungu sedangkan 6 sampel yang menunjukkan reaksi negatif.

Uji Gula

Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibrio, 18 sampel menunjukkan reaksi

positif glukosa, sukrosa, maltosa dan manitol, 6 sampel hanya menunjukkan reaksi positif

glukosa dan maltosa dan 2 sampel menunjukkan reaksi positif glukosa, laktosa, maltosa

dan manitol

Uji Motilitas

Hasil pengujian dari 26 sampel yang positif Vibrio, 100 % bersifat motil karena

Vibrio sp. adalah bakteri yang bersifat motil.

Uji Biokimia Lanjutan

Pengujian biokimia lanjutan ini merupakan uji toleransi terhadap garam karena ikan

cakalang merupakan ikan air laut yang tumbuh pada air yang memiliki kandungan garam

yang tinggi. Semua spesies Vibrio tumbuh optimum pada kadar garam 2 % sampai 6 %

Page 75: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

65

(Holt et al., 1994). Hasil identifikasi dengan membandingkan dengan Austin and Austin

(2007) dan berdasarkan Bergeys Manual Of Determinative Bacteriologymenunjukan

bahwa spesies Vibrio yang ditemukan adalah Vibrio damsela, Vibrio harveyi, Vibrio

alginolyticus dan Vibrio vulnificus.

Vibrio damsela

Vibrio damsela merupakan patogen pada hasil perikanan air laut dan merupakan

salah satu spesies Vibrio yang menyebabkan vibriosis pada ikan dan invertebrata laut

(Plumb, 1994)

Vibrio harveyi

Vibrio harveyi merupakan bakteri patogen dalam budidaya perikanan laut dan

payau baik jenis ikan maupun crustacea. Menurut Egidius (1987) Vibrio harveyi

menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio harveyi merupakan agen utama

penyebab penyakit vibriosis (Zhang and Austin 2000) dan berdasarkan hasil pemantauan

Stasiun Karantina Perikanan NTT, V. harveyi adalah spesies Vibrio yang sering ditemukan

di perairan NTT.

Vibrio alginolyticus

Berdasarkan hasil pemantauan Stasiun Karantina Perikanan NTT, V. alginolyticus

adalah spesies Vibrio yang paling sering ditemukan di perairan NTT. Vibrio alginolyticus

memproduksi toksin anhydrotetrodotoksin yang bersifat kurang toksik, namun dalam

kondisi pH rendah mudah berubah menjadi tetrodotoksin yang merupakan neurotoksin

yang bersifat sangat letal dan dapat menimbulkan gejala sakit pada manusia yaitu kejang,

paralisis, dan juga mengakibatkan kematian apabila memakan daging ikan atau hasil laut

lainnya yang tidak dimasak sempurna.

Vibrio vulnificus

Vibrio vulnificus dapat menyebabkan infeksi pada manusia yaitu infeksi luka yang

parah, bakterimia, dan gastroenteritis apabila manusia kontak dengan air laut atau

mengkonsumsi ikan, kerang atau seafood yang terkontaminasi Vibrio vulnificus yang tidak

dimasak secara sempurna (Nairet al, 2006)

Tingkat Cemaran Vibrio sp. pada Ikan Cakalang

Tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang bardasarkan waktu pengambilan

sampel yaitu pada 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam memiliki perbedaan tingkat cemaran yang

dapat dilihat pada hasil rata-rata perhitungan pada setiap jam. Hasil isolasi pada 0 jam

adalah negatif yang berarti cemaran Vibrio sp. pada 0 jam adalah negatif. Hasil isolasi

Vibrio sp. pada 3 jam sebanyak 8 sampel yang positif dengan masing–masing tingkat

cemaran dari C13 sebesar 14 x 102 CFU/g, C14 sebesar 2,0 x 102 CFU/g, C15 sebesar 2,0

x 102 CFU/g, C16 sebesar 3,0 x 102 CFU/g, C17 sebesar 2,0 x 102 CFU/g, C18 sebesar 5,0

x 102 CFU/g, C19 sebesar 3,0 x 102 CFU/g dan C20 sebesar 5,0 x 102 CFU/g, hasil isolasi

Vibrio sp. pada 6 jam sebanyak 8 sampel yang positif dengan masing-masing tingkat

cemaran dari C21 sebesar 14 x 102 CFU/g, C24 sebesar 7,0 x 102 CFU/g, C25 sebesar 5,0

x 102 CFU/g, C26 sebesar 7,0 x 102 CFU/g, C27 sebesar 8,0 x 102 CFU/g, C28 sebesar 5,0

x 102 CFU/g, C29 sebesar 5,0 x 102 CFU/g dan C30 sebesar 7,0 x 102 CFU/g, sedangkan

hasil isolasi Vibrio sp. pada 6 jam sebanyak 10 sampel yang positif dengan masing-masing

Page 76: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

66

tingkat cemaran dari C31 sebesar 1,0 x 103 CFU/g, C32 sebesar 1,1 x 103 CFU/g, C33

sebesar 1,1 x 103 CFU/g , C34 sebesar 1,0 x 103 CFU/g, C35 sebesar 1,0 x 103 CFU/g, C36

sebesar 1,2 x 103 CFU/g, C37 sebesar 1,7 x 103 CFU/g, C38 sebesar 1,2 x 103 CFU/g, C39

sebesar 1,0 x 103 CFU/g dan C40 sebesar 1,2 x 103 CFU/g.

Berdasarkan perhitungan tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang, diperoleh

tingkat cemaran pada 9 jam lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat cemaran pada 6 jam

dan 3 jam dengan nilai rata-rata tingkat cemaran masing-masing secara berturut-turut dari

tinggi ke rendah adalah 1,15 x 103 CFU/g, 7, 25 x 102 CFU/g dan 4,5 x 102 CFU/g.

Analisis Data

Tabel 1. Hasil uji analisis deskriptif tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang

Waktu

(jam) N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence

Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower

Bound

Upper

Bound

0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 8 4,5 4,03556 1,42678 1,1262 7,8738 2 14

6 8 7,25 2,96407 1,04796 4,772 9,728 5 14

9 10 11,5 2,12132 0,67082 9,9825 13,0175 10 17

Total 26 5,8056 5,0924 0,84873 4,0825 7,5286 0 17

Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang

meningkat dengan berjalannya waktu. Semakin lama waktu maka tingkat cemaran Vibrio

sp. semakin meningkat dan dapat dilihat bahwa pada 0 jam tingkat cemaran Vibrio sp.

belum nampak dimana semua sampel ikan cakalang menunjukkan hasil yang negatif

namunketika waktu terus berjalan, tingkat cemaran mulai nampak dan terus meningkat.

Untuk mengetahuiada atau tidaknya pengaruh waktu atau masa simpan selama

proses penjualan terhadap tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang maka dilakukan

ujiAnova seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji Anova tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang

Source of Vaiance Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 691.639 3 230.546 34.155 0.000

Within Groups 216.000 32 6.750

Total 907.639 35

Sumber : Data Primer, 2015

Hasil uji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa F hitung = 34,155 > F0,05 = 2,90, hal ini

berarti bahwa waktu atau masa simpan berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat cemaran

Vibrio sp. pada ikan cakalang selama proses penjualan. Ada perbedaan tingkat cemaran

Vibrio sp. pada 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam dipengaruhi oleh waktu dan didukung oleh

Page 77: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

67

perlakuan yang diberikan pedagang selama proses penjualan, higiene dan sanitasi

pedagang.

Pengaruh nyata waktu terhadap tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang

selama proses penjualan secara umum sudah terlihat pada Tabel 2 di atas dan untuk

melihat perbedaan yang nyata pada setiap waktu dilakukan uji Beda Nyata terkecil seperti

terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji Beda Nyata terkecil tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang

A B Mean

Difference Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0

3 -4.50000* 1.23238 0.001 -7.0103 -1.9897

6 -7.25000* 1.23238 0.000 -9.7603 -4.7397

9 -11.50000* 1.16190 0.000 -13.8667 -9.1333

3

0 4.50000* 1.23238 0.001 1.9897 7.0103

6 -2.75000* 1.29904 0.042 -5.3961 -.1039

9 -7.00000* 1.23238 0.000 -9.5103 -4.4897

6

0 7.25000* 1.23238 0.000 4.7397 9.7603

3 2.75000* 1.29904 0.042 .1039 5.3961

9 -4.25000* 1.23238 0.002 -6.7603 -1.7397

9

0 11.50000* 1.16190 0.000 9.1333 13.8667

3 7.00000* 1.23238 0.000 4.4897 9.5103

6 4.25000* 1.23238 0.002 1.7397 6.7603

Ket. Pengaruh nyata apabila nilai signifikan < 0,05

Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan yang nyata

waktu terhadap tingkat cemaran yaitu pada 0 jam dan 3 jam dengan nilai signifikan 0,001 <

0,05; 0 jam dan 6 jam dengan nilai signifikan 0,00 < 0,05; 0 jam dan 9 jam dengan nilai

signifikan 0,00 < 0,05; 3 jam dan 6 jam dengan nilai signifikan 0,042 < 0,05; 3 jam dan 9

jam dengan nilai signifikan 0,00 < 0,05 serta 6 jam dan 9 jam dengan nilai signifikan

0,002 < 0,05.

Tingkat cemaran pada 0 jam adalah negatif dikarenakan bakteri masih berada pada

fase lag dimana Vibrio sp. masih beradaptasi dengan lingkungan dan sel belum membelah

diri sehingga pertumbuhannya tidak terlihat nyata (Sariadji dkk., 2015). Pertumbuhan yang

tidak terlihat nyata ditandai dengan tidak adanya pembentukan koloni pada media TCBS.

Selain itu pada 0 jam, tidak ada perlakuan yang diberikan oleh pedagang untuk

mempertahankan mutu dan kesegaran ikan baik itu membasahi ikan cakalang dengan air

laut yang tercemar maupun dengan proses pendinginan menggunakan es batu sehingga

ikan cakalang tersebut belum tercemar oleh Vibrio sp. akibat pencemaran oleh air laut

maupun air es dan es batu yang terkontaminasi oleh Vibrio sp.

Page 78: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

68

Adanya perbedaan tingkat cemaran yang signifikan terlihat dengan adanya

peningkatan pertumbuhan sel bakteri pada setiap jam. Perbedaan tingkat cemaran ini

dikarenakan selama proses penjualan ada perlakuan yang diberikan oleh pedagang untuk

mempertahankan mutu dan kesegaran ikan cakalang. Salah satu perlakuan yang diberikan

oleh pedagang yaitu membasahi ikan dengan air laut. Air laut yang digunakan oleh

pedagang mungkin sudah tercemar oleh Vibrio sp. yang merupakan saprofit di air laut dan

merupakan opportunistic pathogenyang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan

hidupnya. Jadi apabila air sudah tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga seperti

feses manusia atau sisa bahan makanan lainnyamaka secara langsung akan tumbuh,

berkembang dan mengalami peningkatan jumlah yang juga dapat mencemari produk

perikanan (Suriawiria, 2003).

Menurut Herawati (1996), Vibrio sp. merupakan bakteri yang bersifat halofilik

yang tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20 sampai 40 ppt. Perlakuan membasahi

ikan cakalang dengan air laut sangat memungkinkan dapat meningkatkan pertumbuhan

Vibrio sp. karena Vibrio sp. tumbuh optimal pada salinitas air laut, sehingga semakin lama

waktu penjualan, semakin banyak air laut yang digunakan untuk membasahi ikan, semakin

optimal pertumbuhan Vibrio sp. maka semakin tinggi tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan

cakalang.

Selain perlakuan membasahi ikan dengan air laut, pedagang juga mempertahankan

mutu dan kesegaran ikan dengan proses pendinginan yaitu dengan menggunakan es batu

dimana suhu pertumbuhan Vibrio sp. menjadi rendah sehingga bakteri mengalami

penurunan pertumbuhan. Prinsip proses pendinginan dengan menggunakan es batu adalah

untuk mempertahankan kesegaran ikan cakalang dan menghambat atau menurunkan

pertumbuhan bakteri bukan untuk mematikan bakteri (Hari, 2007) artinya bahwa bakteri

tetap mengalami pertumbuhan seiring berjalannya waktu.

Adanya pertumbuhan dan peningkatan jumlah bakteri pada perlakuan ini

dikarenakan es batu dan air es yang digunakan oleh pedagang mungkin sudah tercemar

oleh Vibrio sp. karena digunakan untuk mengawetkan banyak jenis ikan dan sudah dipakai

berulang-ulang kali. Hal ini sudah dibuktikan pada penelitian Ananta dkk. (2013) bahwa

pada es batu yang digunakan oleh pedagang di pasar modern dan tradisional untuk proses

pengawetan ikan positif terdapat V. cholerae karena digunakan berulang-ulang sehingga

terjadi kontaminasi V.cholerae.

Perlakuan yang diberikan oleh pedagang untuk mempertahankan kesegaran ikan

cakalang pada proses penjualan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya

kontaminasi Vibrio sp. karena fakta di lapangan bahwa tidak jarang para pedagang ikan di

pasar ikan tradisional juga kurang memperhatikan kehigienisan dagangannya (Adawiyah,

2008). Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2012), tingkat cemaran yang terjadi

salah satunya juga disebabkan oleh sistem pengelolaan pada proses penjualan ikan yang

kurang baik karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga Vibrio sp. yang berasal dari

laut yang tercemar dapat mencemari tempat penjualan sehingga dapat juga mencemari ikan

yang dijual. Pribadi (2008) juga mengemukakan faktor lokasi penjualan, peralatan yang

kurang higienis mempengaruhi adanya kontaminasi dari Vibrio sp. Selain itu, bila air yang

terkontaminasi ini digunakan oleh pedagang untuk mencuci tangan, maka pedagang

Page 79: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

69

tersebut dapat membawa bakteri Vibrio sp. ketika melakukan kontak dengan hasil

perikanan yang dijual, maka hasil perikanan yang disentuhnya dapat terkontaminasi bakteri

Vibrio sp. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari WHO (2004), menyatakan bahwa

kontaminasi Vibrio sp. dapat ditularkan melalui manusia dalam hal ini pedagang yang

kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang segar harus menjadi perhatian bagi

nelayan, pedagang dan konsumen agar lebih memperhatikan higiene dan sanitasi dalam

proses pendistribusian ikan dan proses pengolahan ikan untuk dikonsumsi agar dapat

meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang

ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan yang

matang (Jay, 2000).Keadaan dengan tingkat cemaran yang tinggi perlu menjadi perhatian

agar dapat ditangani secara dini untuk mencegah penyebaran dan penularan Vibrio sp.

mengingat pola penularannya adalah melalui pangan dan air yang terkontaminasi.

KESIMPULAN

1. Dari hasil pemeriksaan 40 sampel ikan cakalang yang dijual di pasar ikan tradisional

Kota Kupang, 26 sampel ikan cakalang (65 %) tercemar oleh Vibrio sp.

2. Tingkat cemaran Vibrio sp. pada ikan cakalang dipengaruhi oleh waktu atau lamanya

masa simpan selama proses penjualan.

3. Dari hasil identifikasi 26 sampel ikan cakalang yang tercemar oleh Vibrio sp. ditemukan

4 spesies yang bersifat patogen pada ikan dan manusia. Sebanyak 6 sampel (23,07 %)

adalah V. damsela, 12 sampel (46,15 %) adalah V. alginolyticus, 6 sampel (23,07 %)

adalah V. harveyi dan 2 sampel (7,69 %) adalah V. vulnificus yang dapat menyebabkan

infeksi pada manusia berupa infeksi luka yang parah, gastroenteritis dan bakterimia.

DAFTAR PUSTAKA

Ananta, W.S., Wijaya, P., Dhinarananta, P., Yuniadi, A. dan Agus M.H. 2013, Identifikasi

Serotipe Bakteri Vibrio cholerae Terisolasi dari Es Bahan Pengawet Ikan yang

Digunakan Oleh Pedagang Hasil Laut Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota

Denpasar, E-Jurnal Medika Udayana, 02(6):1-15.

Austin, D.A. and Austin, B. 2007, Bacterial Fish Pathogen 4th Edition, Press Publishing,

United Kingdom, 40-41, pp. 136-137.

Badan Pusat Statistik. 2012,Perikanan, Nusa Tenggara Timur dalam angka, BPS NTT.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2012, Dinas Perikanan dan Kelautan, Jakarta.

(www.brkp.dkp.go.id).

Badan Standardisasi Nasional. 2006, Standar Nasional Indonesia No. 01-2729.1-2006,

Mutu Ikan Segar, Jakarta.

Edwin. 2011. Materi Kuliah Mikrobiologi, Universitas Lambung Mangkurat,Banjarbaru.

Fahri, M. 2009, Bakteri Patogen pada Budidaya Perikanan Vibrio alginolyticus,Diakses

pada tanggal 20 Juli 2015,http://elfahrybima.blogspot.com/209/01/bakteri-pathogen-

pada-budidaya.html.

Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat

Antar Universitas IPB, Bogor.

Page 80: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

70

Feldhusen, F. 2000, The role of seafood in bacterial food borne diseases, Journal Microbes

and Infection, 2:1651-1660.

Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen (Vibrio sp.) di perairan Nongsa Batam

propinsi Riau, J Natur Indones, 1I(1):28-33.

Guenneugues, P. and Morrissey, M.T. 2005, Surimi and seafood resources, 2nd Edition.

Boca Ratton Florida: CRC Press, Inc. 375-433pp.

Hari, E.I.dan Indroyono, S. 2007, Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan,

Bogor.

Herawati, E. 1996, Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai

Penyebab Penyakit Udang Windu, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T. dan Williams, S.T. 1994, Bergey’s

Manual of Determinative Bacteriology, Ninth Edition, Lippincot Williams &

Wilkins, Philadelphia, USA.

Jay, J.M. 2000, Modern Food Microbiology, Chapman and Hall, New York.

Khastari, D. F. 2011, Isolasi dan Deteksi Gen Virulen Bakteri Vibrio Parahaemolyticus

pada Ikan Tongkol Sisik (Thunnus obesus Lowe) dengan Metode Pholymerase Chain

Reaction (PCR), Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang.

Mewengkang, H. W. 2010, Identifikasi Vibrio sp. pada Gonad Ikan Cakalang (

Katsuwonus pelamis ), Jurnal Perikanan dan Kelautan, 6(1):18.

Nair, G.B., Faruque, S.M. and Sack, D.A. 2006, Vibrios in ‘‘Emerging foodborne

pathogens.’’ ed. Motarjemi, Y. and Adams, M. Cambridge. Woodhead Publishing

Ltd, 332–372.

Prajitno, A. 2005,Diktat Kuliah Parasit dan Penyakit Ikan, Universitas Brawijaya,

Malang.

Pribadi, A. 2008, Identifikasi Bakteri Vibrio Cholera pada Udang Bakar Yang Dijual di

Sekitar Jalan Pahlawan Semarang, diakses pada tanggal 25 Juli 2015,

<http://digilib.unimus.ac.id>.

Randa, M. S. 2012. Analisis Bakteri Coliform (Fekal dan Nonfekal) pada Air Sumur Di

Komplek Roudi Manokwari, Skripsi, Universitas Negeri Manokwari, Manokwari.

Shuval, H.I. 1986, Thalassogenic disease, Regional seas report and studies No 79.UNEP,

Nairobi. 38p.

Sunahwati, E. 2000, Studi Karakteristik Arabushi Ikan Cakalang (Katsuwonuspelamtis)

Setelah Proses Fermentasi Kapang, IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.

Suriawiria, 2003, Mikrobiologi Air, Penerbit PT Alumni, Bandung.

Suyati, 2010. Identifikasi Dan Uji Antibiotik Bakteri Gram-Negatif Pada Sampel

UrinPenderita Infeksi Saluran Kemih (Isk), Skripsi, Jurusan Biologi Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua Manokwari.

World Health Organization. 2004, International Statistical Classification of Disease and

Related Health Problems Tenth RevisionVolume 2nd edition, Geneva: World Health

Organization.

Zhang, X.H. and Austin, B. 2000, Pathogenicity of Vibrio harveyi to Salmonella, J.Fish

Dis. 23:93‒102.

Page 81: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

71

AKTIVITAS ANTIMIKROBA SOPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN

STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Frans Umbu Datta1 dan Annytha Detha2 1Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi

Sucipto, Kampus Baru Undana, Penfui. Kupang-NTT,

E-mail:[email protected] 2Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto, Kampus Baru Undana,

Penfui. Kupang-NTT,

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki sumber daya alam dan kearifan

lokal yang berciri khas, khususnya minuman tradisional berfenmentasi (Moke dan Sopi).

Minuman tradisinonal berfermentasi khas NTT memiliki potensi yang besar untuk

dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi

aktivitas antimikroba minuman beralkohol tradisional NTT sopi sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba khususnya pada bakteri patogen. Salah satu

bakteri patogen yang penting adalah Staphylococcus aureus yang menyebabkan penyakit

pada manusia, ternak, babi, domba, kuda, tikus dan unggas. Penelitian ini dilakukan dalam

dua tahap. Tahap pertama yaitu pengujian kadar alkohol dan menguji derajat keasaman

sopi. Tahap kedua yaitu identifikasi aktivitas antimikroba sopi melalui pengujian bioassay

menggunakan bakteri patogen Staphylococcus aureus. Sebagai kontrol positif digunakan

antibiotika Oksitetrasiklin. Hasil penelitian menunjukkan Sopi memiliki aktivitas

antimikroba terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus. Hasil penelitian ini dapat

menjadi dasar penelitian lanjutan untuk pengembangan Sopi sebagai agen antimikroba.

Kata kunci: sopi, antimikroba, Staphylococcus aureus.

LATAR BELAKANG

Kontaminasi mikroba dari lingkungan ke dapat berkontribusi terhadap kejadian

penyakit pada lingkungan peternakan. Beberapa faktor kejadian penyakit pada ternak

sangat berhubungan dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan. Tindakan bioesekuriti

pada lingkungan yang higiene berhubungan dengan segala upaya mengeliminasi

lingkungan peternakan dari agen-agen biologis yang dapat mengganggu kesehatan manusia

dan hewan. Oleh karena itu sebuah lingkungan peternakan selalu menyediakan produk

biosekuriti seperti antiseptik dan desinfektan. Secara umum penggunaan desinfektan di

kandang meliputi sanitasi setiap peralatan yang digunakan seperti tempat makan dan air

minum, bangunan kandang seperti lantai dan dinding, kebersihan personel yang bekerja di

kandang yang meliputi lalu lintas orang serta sanitasi lingkungan sekitar kandang. Segala

tindakan biosekuriti menjadi bagian yang sangat penting karena dapat menjaga

kelangsungan produksi sebuah peternakan dan terutama bila di lingkungan sekitar kandang

pernah terjadi wabah penyakit. Salah satu agen penyakit yang biasa ditemukan pada

lingkungan kandang yaitu Staphylococcus aureus.

Page 82: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

72

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat,

berdiameter 0,7-1,2 μm, bersifat fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, non motil dan

tumbuh pada suhu optimum 37 ºC (Brook 2001, Murray et al. 2009). Sekitar 90% isolat

lapang menghasilkan Staphylococcus aureus yang mempunyai kapsul polisakarida yang

menyebabkan sifat virulensi (Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000). Sebagian bakteri

Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran

pencernaan makanan pada manusia. Staphylococcus aureus ditandai dengan kerusakan

juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial (Ryan, et al., 1994) karena Bakteri ini

juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar yang patogen (Warsa, 1994).

Penggunaan disinfektan berperan meminimalkan risiko penularan penyakit di

lingkungan peternakan namun terkadang penggunaan desinfektan. Ketersediaan

desinfektan di pasaran yang sulit diperoleh serta pentingnya produk desinfektan bagi

sanitasi kandang masih belum dimaknai secara baik oleh peternak. Hal ini mendorong

perlunya dilakukan kajian alternatif penggunaan bahan antimikroba alami yang dapat

berfungsi sebagai “desinfektan alami” yang dapat diaplikasi oleh peternak di wilayah NTT.

Masyarakat di wilayah NTT sudah sejak lama memanfatkan nira atau sadapan bunga lontar

(Borassus flabellifer L.) sebagai bahan pembuat gula cair, cuka dan minuman fermentasi

beralkohol untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi diantara adalah Sopi.

Beberapa studi telah menunjukkan kemungkinan bahwa minuman beralkohol seperti

anggur yang mampu membunuh bakteri Helicobacter pylori, dan beberapa bakteri patogen

yang mengkontaminasi makanan seperti Shigella sonnei, dan Escherichia coli (Waite dan

daeschel 2007). Penelitian serupa juga dilakukan Moretro dan Daeschel (2004) yang

menemukan Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, E. coli O157: H7, dan

Salmonella Typhimurium mampu diinaktivasi oleh minuman fermentasi anggur. Beberapa

penelitian tersebut mengindikasikan minuman beralkohol berpotensi digunakan sebagai

bahan antimikroba yang dapat di apikasikan pada berbagai kondisi. Dengan latar belakang

ini maka perlu dilakukan kajian tentang aktivitas antimikroba minuman tradisional NTT

Sopi untuk mengidentifikasi aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen

Staphylococcus aureus.

METODE PENELITIAN

Penelitian aktivitas antimikroba minuman beralkohol tradisional NTT sopi

dilakukan dalam dua tahap. Pertmaa yaitu pengujian kadar alkohol Sopi dan derajat

keasaman Sopi. Pengujian kedua dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas antimikroba

Sopi terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus melalui pengujian bioassay. Tempat

penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia FST Universitas Nusa Cendana, Laboratorium

Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Veteriner Dinas Peternakan dan di Laboratorium

Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2015. Sampel penelitian

berupa Sopi yang diambil dari tempat pembuatan Sopi Sikumana, Kota Kupang, Nusa

Tenggara Timur. berasal dari tiga tempat yang berbeda, yakni Oesapa, Sikumana dan

Camplong dan bakteri patogen yang digunakan yaitu Staphylococcus aureus yang

diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

Page 83: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

73

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, alkohol meter, pH

meter, gelas beker, labu erlenmyer, cotton bud, timbangan digital, tabung duran, magnetic

stirrer, water bath, autoklaf, oven, cawan petri, laminar air flow, mikropipet, ose ujung

bulat, ose ujung rucing, bunsen, inkubator, objek gelas, mistar, tabung reaksi, rak tabung

reaksi, batang pengaduk, kertas cakram atau kertas saring dan batang gelas bengkok.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Nutrient Agar, aquades,

oksitetrasiklin dan Buffer Peptone Water.

Penentuan aktivitas antimikroba dari minuman tradisional beralkohol Sopi melalui

pengujian bioassay. Sebanyak satu loop penuh dari biakan isolat bakteri dari media nutrien

agar miring diambil dan dibuat suspensi ke dalam Heart Infusion Broth, diinkubasi selama

24 jam. Sejumlah 75 µl suspensi Heart Infusion Broth diambil dan disebarkan secara

merata ke dalam media nutrien agar. Setelah suspensi mengering pada permukaan agar,

diletakkan kertas cakram ukuran 8 mm dan dituangkan sampel minuman tradisional

beralkohol Sopi serta kontrol antibiotik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24

jam (Gambar 1). Isolat bakteri ditentukan suseptibilitasnya dengan mengukur diameter

zona hambat terhadap senyawa antimikroba (NCCLS 2002). Kategori penghambatan

antimikroba berdasarkan diameter zona hambat yaitu diameter 0-3 mm memiliki respon

daya hambat pertumbuhan yang lemah, diameter 3-6 mm memiliki respon daya hambat

pertumbuhan yang sedang, dan diameter >6 mm memiliki respon daya hambat

pertumbuhan yang kuat (Pan et al. 2009; Adila et al. 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Alkohol dan Derajat Keasaman Sopi

Hasil pengukuran kadar alkohol sopi dengan alkohol meter yang berasal dari

Sikumana, adalah berkisar 46%. Pengujian pH sopi murni adalah 4,00. Hal ini dapat terjadi

karena Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada kisaran pH antara 4,0 sampai dengan 9,0

dengan pH optimum 6-7 (....)(Brook 2001). Menurut Myers et al. (2007) Alkohol memiliki

beragam fungsi, salah satunya bersifat sebagai antibakteri. Bila jika kadar alkohol tinggi

maka aktivitas antibakteri juga tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan alkohol melisiskan

fosfolipid pada membran bakteri sehingga dapat membunuh bakteri.

Pengujian Daya Hambat Antimikroba Sopi

Pengujian ini bertujuan untuk mengamati daya hambat antimikroba sopi terhadap

bakteri yang telah diidentifikasi dan dibandingkan dengan oksitetrasiklin. Materi pengujian

tahap ini terdiri atas minuman beralkohol sopi, oksitetrasiklin, dan aquades. Berdasarkan

hasil aktivitas antimikroba Sopi terhadap bakteri Staphylococcus aureus, menunjukkan

bahwa Sopi mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji tersebut. Hasil pengujian

aktivitas antimikroba sopi terhadap bakteri Staphylococcus aureus dapat diamati pada

Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata diameter zona hambat sopi terhadap bakteri uji dan kategori daya hambat

Bahan uji Staphylococcus aureus

Page 84: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

74

Diameter zona hambat (mm) Kategori daya hambat

Sopi 15,5 Kuat

Oksitetrasiklin 15 Kuat

Aquades 0 -

Terbentuknya diameter zona hambat hal ini dikarenakan Sopi memiliki memiliki

senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Sopi dikategorikan kuat dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (15,5 mm) karena sesuai

standar kategori daya hambat kuat yaitu >6 mm. Respon daya hambat pertumbuhan

mikroba yang dihasilkan dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam

Sopi. Penelitian yang dilakukan Vas et al. (2012) menemukan bahwa minuman alkohol

seperti anggur memiliki komponen asam organik, etanol dan senyawa fenolik. Asam

organik pada minuman anggur menunjukkan efek inaktivasi kuat terhadap bakteri Bacillus

cereus. Apablia dikombinasikan dengan etanol, terjadi efek sinergis diamati dalam

membunuh bakteri.

Penelitian García-Ruiz et al. (2008) menyebutkan bahwa kandungan fenolik

memiliki kemampuan sebagai agen antimikroba yang baru yang juga dapat diekstrak dari

minuman anggur. Penelitian yang juga dilakukan Carneiro et al. (2008) yang menemukan

bahwa anggur murni dapat secara cepat menonaktifkan Campylobacter jejuni karena

adanya fraksi antimikroba yang diisolasi yaitu etanol dan asam organik tertentu yang

bekerja secara sinergi dalam mempengaruhi kemampuan inaktivasi bakteri. Berdasarkan

hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Sopi dapat juga memiliki

kandungan antimikroba yang sama terdapat pada anggur mengingat anggur dan Sopi

memiliki kesamaan dalam proses pembuatan yaitu melewati proses fermentasi.

KESIMPULAN

Adapun simpulan dari penelitian ini yaitu bahwa minuman tradisional beralkohol

Sopi memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus

dengan kategori daya hambat kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Adila R, Nurmiati, Agustien A. 2013. Uji Antimikroba Curcuma spp. Terhadap

Pertumbuhan Candida albicans, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal

Biologi Universitas Andalas 2(1) : 1-7.

Brooks G.F., Butel J.S., Morse S.A. 2001. Medical Microbiology. 22nd ed. USA: Appleton

& Lange. p. 219, 225 – 227.

Carneiro, A. Couto, J.A., Mena, C.dan Queiroz, J. 2008, Activity of wine against

Campylobacter jejuni. Food Control :19: 800-805.

Page 85: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

75

García-Ruiz A, Bartolome B, Martínez-Rodríguez AJ, Pueyo E, Martín-Álvarez PJ,

Moreno-Arribas MV. 2008. Review Potential of phenolic compounds for controlling

lactic acid bacteria growth in wine. Food Control Volume 19(9): 835-841

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston.

1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa: Nugroho &

R.F.Maulany). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 211,213,215.

Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA (2009). Medical Microbiology (6th ed.).

Philadelphia, PA: Mosby Elsevier. p. 307.

Myers, Richard L.; Myers, Rusty L. (2007). The 100 most important chemical compounds:

a reference guide. Westport, Conn.: Greenwood Press. p. 122. ISBN 0313337586.

Pan, X., Chen, F., Wu, T., Tang, H., and Zhao, Z. 2009. The acid, Bile Tolerance and

Antimicrobial property of Lactobacillus acidophilus.J. Food Control 20: 598-602

Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, and C.G.

Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases. 3rd ed.

Connecticut: Appleton&Lange. p.254.

Renato SL.; Shuping Zhang; Renee M. Tsolis; Robert A. Kingsley; L. Gary Adams;

Adreas J. Baumler (2001). "Animal models od Salmonella infections: enteritis versus

typhoid fever". Microbes and Infection3: 1335–1344

Vas M, Hogg T, Couto JA. 2012. The antimicrobial effect of wine on Bacillus cereus in

simulated gastro-intestinal conditions. Food Control Volume 28(2): 230-236

Waite, J.G. and Daeschel, M.A. 2007,Contribution of wine components to inactivation of

food-borne pathogens. J Food Sci.72(7): 286-291.

Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi

Revisi. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110

Weisse, M.E., Eberly, B. and Person, D.A. 1995, Wine as a digestive aid: comparative

antimicrobial effects of bismuth salicylate and red and white wines. Br Med

J311:1657-1660.

Page 86: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

76

Page 87: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

77

REVIEW: THE EVOLUTION OF CIRCULATING NEWCASTLE DISEASE VIRUS

IN INDONESIA WITH PATHOLOGICAL DESCRIPTION

Pandarangga P1, Brown CC2, Susta L3 1Department of Veterinary Pathology, Nusa Cendana University, Kupang, Indonesia

Email: [email protected] 2Department of Veterinary Pathology, College of Veterinary Medicine, University of

Georgia, Athens, GA, USA 3Department of Pathobiology, Ontario Veterinary college, University of Guelph, Guelph,

ON N1G 2W1, Canada

ABSTRACT

Newcastle disease (ND) is a devastating disease of poultry caused by virulent

strains of Newcastle disease virus (NDV). Outbreaks of ND cause significant economic

losses, especially in developing countries with large populations of backyard poultry

flocks, such as Indonesia. Prior to 2010, limited information was available about the

epidemiology of virulent NDV strains present in Indonesia. Based on recent phylogenetic

studies, two genotypes, VII and XIII, and two sub-genotypes, VIIh and VIIi, of NDV have

been reported to be currently co-circulating in this country. All of the NDV strains

included in these genotypes or sub-genotypes are virulent, causing high morbidity,

mortality, and severe lesions in infected chickens. The goal of the present manuscript is to

review the clinico-pathological data, the diagnostic criteria, and the control strategies

concerning ND, with a particular focus on the epidemiology of ND in Indonesia. This

review is aimed to veterinarian and stakeholder of the agricultural sector that may benefit

from this knowledge in controlling ND in the field.

THE VIRUS

Newcastle disease (ND), caused by virulent strains of Newcastle disease virus

(NDV), was reported for the first time in 1926 in Java, Indonesia, and in Newcastle Upon-

Tyne, England. The virus spread quickly across the world, and four main panzootic of ND

have been reported since the initial report (possibly a fifth panzootic is currently on its

way) (7). NDV, synonymous with avian paramyxovirus serotype-1 (APMV-1), belongs to

the order Mononegaviruales, family Paramyxoviridae and Avulavirus genus (27). Virions

are enveloped, pleomorphic, and the viral genome is composed of a single, non-segmented,

negative-sense RNA molecule that encodes for six structural proteins: nucleoprotein (NP),

phosphoprotein (P), matrix (M), fusion (F), haemagglutinin-neuraminidase (HN), and

large (L) RNA-dependent RNA polymerase (25). The RNA genome is tightly encapsidated

by polymerized NP protein, which is also associated with the P and L proteins. The

complex of the NP, P, and L proteins together with the virus nucleic acids is referred to as

ribonucleoprotein (RNP), which is found at the center of the virion. The viral envelope

contains two transmembrane glycoproteins (F and HN), and is associated in the inner

leaflet with the M protein (22, 29). F and HN protein are part of the envelope of virus and

have role to control the virulence of NDV(14, 32, 34). The V protein is translated by post-

Page 88: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

78

transcriptional editing of the mRNA for the P gene, and it has been shown to contribute to

the virulent of NDV by inhibiting the interferon pathways by increasing the degradation

(ubiquitinilation) of the STAT-1 protein (a common downstram molecular of the IFN

pathway) (28).

NDV has a great genetic variability among the different strains (11, 16). Based on

the phylogenetic topology and the evolutionary distances, NDV was classified into two

classes, class I and class II (16). Class I is predominantly composed of wild bird-origin

low virulence isolates, which are all encompassed in one genotype (Class I, genotype I)

(12). Class II has 18 genotypes, genotype I-XVIII(35), of which genotypes I and II include

both virulent and low virulence NDV strains, genotype X has only low virulence strains,

while all the other genotypes include only virulent strains. Within class II, genotypes X,

XII, XII, XIV, XV, XVI, XVII and XVIII, are the considered evolutionarily more recent.

Genotype II was for vaccine such as Lasota and B1 NDV strains, both belonging to

genotype II, are used all over the world – including Indonesia - as vaccines against ND.

Newcastle disease virusNDV, also known as avian paramyxovirus serotype-1

(APMV-1) belong to family Paramyxoviridae, subfamily Paramyxovirinae, and genus

Avulavirus(26). APMVs has 12 serotypes with APMV-1 being the most important serotype

due to ability to infect and cause disease with high levels of mortality in poultry all over

the world(29). NDV is a non-segmented, pleomorphic and negative sense RNA virus with

a genome described as 3’-NP-P-M-F-HN-L-5’, where can encode Nucleocapsid protein

(NP), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein (F), Haemagglutinin-

neuraminidase (HN), and Large (L) RNA-dependent RNA polymerase(22).

NDV virus has a great genetic variability among the different strains (11, 16).

Based on the phylogenetic topology and the evolutionary distances, NDV was classified

into two classes, class I and class II (16). Class I has only single genotype where isolated

from live bird markets in northeastern US and class II is divided into 18 genotypes: I-XVIII

where genotype X, XII, XII, XIV, XV, XVI, XVII and XVIII, are the newerovel

genotypes(16, 19, 23).

Classification Of Viral Pathogenicity And Virulence Test For NDV

According to the severity of clinical disease in chickens, and virulence, NDV

strains haves been divided into 4 pathotypes: 1) velogenic, highest pathogenicity; 2)

mesogenic, moderate pathogenicity; 3) lentogenic, the low pathogenicity; 4) asymptomatic

enteric, apathogenic (5). Velogenic strains can be divided into the most virulent that is

also divided into two categories; viscerotropic velogenic NDV (VVNDV) and neurotrophic

velogenic NDV (VNNDV). In naïve chicken flocks, VVNDV strains can cause 100%

morbidity and up to 100% mortality, causing severe bilateral conjuncitivits, diarrhea,

severe prostration and death within 4-6 days post infection. Lesions consist of severe

hemorrhage and necrosis of the lymphoid organs (spleen, bursa, thymus) and mucosa-

associated lymphoid tissue scattered through the digestive (such as cecal tonsils) and

respiratory tracts (such as pharyngeal tonsils).(10). VNNDV strains cause 50% morbidity

in affected flocks, with clinical signs consistent with head tremor, opisthotonous, wing

drop, and leg paresis. With these strains, gross lesions are often inconspicuous, and

Page 89: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

79

microscopic lesions are characterized by non-suppurative encephalitis (perivascular

cuffing) and neuronal degeneration(9, 32). Mesogenic strains can cause moderate

respiratory illness, with lesions consisting of hyperemia/congestion of the pharyngeal area

and mild airsacculitis(8, 32). Lentogenic strains cause mild respiratory signs and lesions

in very young birds, especially when such strains are deployed as live attenuated vaccines

delivered by aerosol (8, 32). It should be noted that mesogenic and lentogenic strains,

albeit not markedly pathogenetic in experimental conditions, can cause severe problems in

chicken flocks where the bacterial challenge (especially E.coli) is elevated and secondary

infections ensue after the initial viral infection.

Recognized standard pathogenicity indices used to classify the virulence of NDV

isolates are the mean death time (MDT) in specific pathogen free (SPF) eggs, and the intra

cerebral pathogenicity index (intracerebral pathogenicity indexICPI) in day-old SPF

chicks. Historically, the MDT was the first method to be used in the classification of NDV

virulence. The test is performed by inoculating the chorioallantoic cavity of 9 to 10

embryonating SPF eggs with serial dilutions of the NDV preparation. The time of death

after infection for each egg is recorded by candling the eggs twice a day: the time

necessary for the minimal lethal dose (highest dilution) to kill all the eggs is the MDT. If

the MDT is less than 60 hours, the isolate is categorized as velogenic, if more than 90

hours, the isolate is considered lentogenic. Strains with MDT between these two time

points are considered mesogenic.(6). More recently, the ICPI and the deduced amino acid

sequence of the F protein cleavage are the standard tests accepted by the World

Organization for Animal Health (OIE) to classify the virulence of NDV (1). The ICPI is

carried out by inoculating intracerebrally Ten of 20 to 40 hour-old SPF chicks were

injected trough intra-cerebrally with the 0.05 ml of 1:10 diluted, filtered NDV preparation

that has an hemagglutination titer > 16. Inoculated birds isolate are then observed every

24 hours for 8 days, and clinical signs scored (0, normal; 1, sick or paralyzed; 2, dead)

(4). The result for the ICPI test is mean score of per bird observation for each day over the

eight-day observation period, and the final score ranges between 0 (non virulent) and 2

(most virulent strain). A strain with ICPI result ≥ 0.7 is considered virulent and therefore

notifiable to the international community.

Current Status of ND In Indonesia

ND is endemic in Indonesia and causes significant economic losses in both

commercial and non-commercial poultry operations. Very few Indonesian scientific

journals provided updated data on ND outbreaks over the last 90 years. In 1961, there

was a report of an ND outbreak with 30%-40% mortality in Indonesia(24) that implicated

the misuse of live ND vaccines as a factor in the outbreak. From1978 to 1979, virulent

NDV strains of moderate virulence (called mesogenic) circulated in duck flocks in Java

and Borneo leading to clinical disease presenting as acute nervous signs (ataxia,

torticollis) and decreased production(20, 21). Initially ND in Indonesia was sporadic, but

found in both the western and eastern parts of Indonesia, including Papua, Bali and Nusa

Tenggara(13).In the latter, also known as Sector 4 in Indonesia, ND causes up to 100 %

mortality in young chicks and significant morbidity and mortality among adult chickens.

Page 90: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

80

The devastating effects of ND in this segment of poultry production could be the

consequence of inadequate or non-existent vaccination programs.(3). Nonetheless,

although commercial farms (sector 1, 2 and 3) have extensive vaccination programs, ND

outbreaks are common in commercial poultry operations, with mortality rates between

70%-80%, as reported in 2009 and 2010(3, 38). The types of vaccines used in Indonesia

are strains LaSota and B1(Class II, genotype I). These strains have a genetic identity with

the challenge NDV strains isolated during the 2009-2010 outbreaks ranging between 87%

to 89%, a very low score (38). Based on OIE data, 15,000 to 18,000 ND outbreaks have

been reported in Bali during 2007(31, 33). In Indonesia, prompt diagnosis and efficient

reporting system for ND outbreaks is often inadequate.

Although many causes are to blame, lacking of knowledge about ND clinical signs

(especially in sector 4), and the similarities with clinical disease caused by avian influenza

virus are two of the most common. In addition, until 2010, researchers in Indonesia have

focused mainly to holist medicine approaches, to use either vitamins or traditional herbs

for the treatment of ND. Only few strains of ND from Indonesia have been recognizing

where most of the viruses are from genotype VII(15, 31, 38). Genotype XIII also

responsible for outbreak in Indonesia in 1979 (18).

Evolution And Epidemiological Description Of ND Virus In Indonesia

Few and scattered data are present in the literature describing the ND status and

the epidemiology of ND in Indonesia. A report from 1961, described an ND outbreak with

30%-40% mortality in Indonesia(24) that implicated the misuse of live ND vaccines as a

culprit. From 1978 to 1979, virulent NDV strains of moderate virulence (identified as

mesogenic) circulated in duck flocks in Java and Borneo leading to clinical disease

presenting as acute nervous signs (ataxia, torticollis) and decreased production IN

WHAT? DUCKS? WHAT AGE?(20, 21). Initially ND in Indonesia was sporadic, but found

in both the western and eastern parts of Indonesia, including Papua, Bali and Nusa

Tenggara(13).

According to a study published in 20154, Indonesian NDV strains from between

1983-1990 were identified as belonging to new sub-genotypes, VIIh and VIIi. They appear

to not be associated with other strains of NDV from genotype VII that are now circulating

other countries, but evolved from strains of NDV isolated from wild birds in Indonesia in

the 1980s (3). These viruses from new sub-genotypes have also been circulating in the

Middle East and South East Asia and are phylogenetically similar to strains that

circulating in China, Malay and Cambodia (3) and are suggested as a new panzootic.

Until 2015, only few NDV Indonesian strains have been genetically or

clinopathologically characterized. One isolate from 1977, Isolate JKT-1977, was found in

the Lombok area of Indonesia from an Arbovirus surveillance project, and was

characterized in 2010 as belonging to genotype XIII, being closely related to the ND V

outbreak strains isolated from Sweden in 1977(2, 18). However, based on genetic

phylogeny, JKT- 1977 is more closely related to Indonesian strains namely chicken/

Sragen014/10 (97.6%); chicken/Makassar 003/09 (96.9%); chicken/Banjarmasin 010/10

Page 91: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

81

(97.5%); chicken/Bali 020/10 (96%); chicken/Sukorejo 019/10 (96.9%) and

cockatoo/Indonesia 14698/90 (98.2%)(18).

A NDV strain of the highest virulence (called a velogenic) was found in Bali in

2009. It was designated as NDV/Bali-1/07, and belongs to genotype VII(31) and is most

closely associated with sub-genotype VIIh that circulating in Indonesia

(Cockatoo/Indonesia/90), China (Guangxi/03) and Cambodia during 2009 to 2012(3, 31).

Nine strains were isolated in the outbreak of 2009 had been collecting nine

isolates(3). Indo/Bandung/ks0116/2009 was found in 140 days-old backyard chicken in

Bandung. Indo/Subang/bs06310/2009 isolate was taken from 21 days-old broilers at

commercial farm in Subang.Indo/Yogyakarta/ks13335/2009 was isolate from Yogyakarta

and found in a 210 day-old chicken. Chicken/Indo/IndraMayu/ks10331/2009 was taken

from Indramayu area. Duck/Indo/Tangerang/is05a789/2009 isolate infected 70 day-old

duck in Tengerang. All of these strains were virulent strains except isolate that found in

duck.

Five isolates were recognized in 2010(3). Chicken/Indo/Cianjur/Is14381/2010

isolate was found in layer at Poultry Collector Facility.

Chicken/Indo/Sukabumi/ks16812/2010, and chicken/Indo/Sukabumi/bs15811/2010 isolates

were taken from 140 and 21 day-old native chicken at live bird market, respectively.

Chicken/Indo/Bogor/bs18816/2010 isolate was recognized in a 21 day-old broiler at a live

bird market. Chicken/Indo/Sukabumi/ls11759/2010 was taken from a 250 day-old layer at

a farm.

In 2011, there were three isolates. Chicken/Indo/Tangerang/ks22973/2011 and

chicken/Indo/Tangerang/ks231017/2011 were found in 140 and 210 day-old native chicken

in live bird market, respectively. Chicken/Indo/Bogor/ks19964/2011 was isolated in a 140

day-old native backyard chicken. In 2012, chicken/Indo/Tangerang /ks251217/2012 was

found in a 140 day-old native chicken at live bird market. All the isolates were virulent.

In 2012, the complete genome of some NDV strains from Indonesia were

determined, using MEGA 4.0 phylogenetic analysis program, namely

Banjarmasin/010/2010; Kudus/018/2010; Sragen 014/2010; Kudus/017/2010 and

Gianyar/013/2010 become part of sub-genotype VIIf while Bali/020/2010;

Makassar/003/2009 and Sukorejo/019/2010 belong to sub-genotype VIIg(37, 38). All these

2009-2020 outbreak strains were taken from commercial farms in Indonesia with 70% to

80% mortality despite good vaccination programs (38). In 2014, based on the phylogenetic

analysis of the complete F coding region using MEGA 5.0 program, there are evolutionary

distances obtained, pushing Bali/020/2010 and Makassar/003/2009 into sub-genotype VIIh

and Banjarmasin 010/2010, Kudus/018/2010, Sragen 014/2010, Kudus/017/2010,

Gianyar/013/2010, and Sukorejo/019/2010 to sub-genotype VIII (3).

Sub-genotypes VIIh and VIIi were recognized as new sub-genotypes and based on

the distance genetic criteria these sub-genotypes have independently evolved from older

strain in Indonesia, instead of from exist genotype VII found in other parts of the world in

2014. Sub-genotype VIIh circulated in Indonesia in 2009 and 2012, and also in China and

Cambodia. Sub-genotype VIIi were found from outbreaks in Indonesia, Pakistan and Israel

during 2010 to 2012. These new sub-genotypes have similar ancestral viruses,

Page 92: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

82

Iory/Indonesia/88-08989-523/1988 and Cockatoo/Indonesia/14698/1990, from

Indonesia(3). MBased on data from journals that explained about NDV characteristics in

Indonesia, most of the NDV strains that circulating in Indonesia are virulent and belong to

genotype VII, XIII, sub-genotype VIIh and VIIi where suggest that can cause new

panzootic(3).

Clinicopathological characteristics of strains that are currently circulating in Indonesia

NDV genotypes currently circulating in Indonesia are genotype XIII, VII, and the

new sub-genotypes, VIIh and VIIi. Based on a recent study, all strains representative of

these subgenotypes All of these viruses are virulent and share the similar clinical signs,

pathology and histopathology (9, 17, 31, 36). CAN I CITE MY THESIS OR HAVE TO

WAIT FOR THE JOURNAL??. Generally, velogenic strains have clinical signs such as

depression, emaciation, diarrhea, conjunctivitis, inability to move and ruffled feather.

Gross pathology showed severe edema and petechial hemorrhage of the eyelid;

hemorrhage in pharynx and trachea; atrophy of thymus and bursal with petechial

hemorrhage; splenomegaly with mottle pattern trough the surface of spleen; severe

necrosis and hemorrhage trough the intestine (proventriculus and small intestine) and

cecal tonsil.

Histopathologically, the eyelids were severe hemonecrotic and infiltrated by

heterophil and macrophage with edema and accumulation of fibrin. Loss of demarcation

between cortex and medulla due to depletion and fibrin deposition were showed in thymus

as well as in the bursal. In the spleen, karyorrhetic debris cells were in the white pulp

characterized by fibrin accumulation and heterophil and macrophage infiltration. There

was focal to extensive epithelium ulceration with hemorrhage and necrotic material within

the intestine lumen. Respiratory system showed necrotic and depletion of tonsil laryngeal

and bronchus-associated lymphoid tissue (BALT) and multifocal necrosis tracheal

epithelium. Multifocal necrosis of heart muscle was only showed by chicken were infected

by genotype XIIIb. Bone marrow had multifocal necrosis in the stroma. In the comb, there

were multifocal to coalescing necrosis in the superficial and deep dermis or ballooning

degeneration. The brain was infiltrated by multifocal lymphocyte and plasma cell in

choroid plexus while genotype VII can cause non-suppurative meningoenchephalitis with

perivascular cuffing and sometime was found ischemic neuron cerebellum(31).

CONCLUSION

Strains of NDV that exist in Indonesia consist of two genotype, XIII and VII, and

two new sub-genotypes, VIIh and VIIi. However, these two sub-genotypes did not

originate from recent strains of genotype VII, rather these sub-genotypes evolved from

older strains from between late 1980s and early 1990s. Since most of Indonesian strains

are virulent and have also been found in Israel and Pakistn, suggesting a 5th panzootic,

this information would be valuable for surveillance not only for Indonesian but also for

other countries battling NDV.

REFERENCES

Page 93: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

83

World Animal Health - 2012. Volume 1. In: World Animal Health - 2012. Volume 1. OIE

(World Organisation for Animal Health), Paris; France. 2013.

A.M. Linde, M. M., S. Zohari, K. Sthal, C. Baule, L. Renstrom, M. Berg. Complete genome

characterisation of a newcastle disease virus isolated during an outbreak in Sweden

in 1997. Virus Genes 41:165-173. 2010.

Afonso, C. L., P. Miller, R. Haddas, and L. Simanov. Emergence of new sub-genotypes of

virulent Newcastle disease virus with panzootic features. Infection, Genetics and

Evolution In Press. 2015.

Aldous, E. W., and D. J. Alexander. Newcastle disease in pheasants (Phasianus colchicus):

a review. Veterinary journal 175:181-185. 2008.

Alexander, D., and D. Senne. Newcastle disease virus and other avian paramyxoviruses, p

135-141. A laboratory manual for the isolation, identification, and characterization

of avian pathogens. 2008.

Alexander, D. J. Newcastle disease and other avian paramyxoviruses. Revue scientifique et

technique 19:443-462. 2000.

Alexander, D. J. Gordon Memorial Lecture. Newcastle disease. British poultry science

42:5-22. 2001.

Briand, F. X., A. Henry, P. Massin, and V. Jestin. Complete genome sequence of a novel

avian paramyxovirus. Journal of virology 86:7710. 2012.

Brown, C., D. J. King, and B. S. Seal. Pathogenesis of Newcastle disease in chickens

experimentally infected with viruses of different virulence. Veterinary pathology

36:125-132. 1999.

Brown, C. C., D. J. King, and B. S. Seal. Comparison of pathology-based techniques for

detection of viscerotropic velogenic Newcastle disease virus in chickens. Journal of

comparative pathology 120:383-389. 1999.

Cattoli, G., L. Susta, C. Terregino, and C. Brown. Newcastle disease: a review of field

recognition and current methods of laboratory detection. Journal of veterinary

diagnostic investigation : official publication of the American Association of

Veterinary Laboratory Diagnosticians, Inc 23:637-656. 2011.

Cornax, I., D. G. Diel, C. A. Rue, C. Estevez, Q. Yu, P. J. Miller, and C. L. Afonso.

Newcastle disease virus fusion and haemagglutinin-neuraminidase proteins

contribute to its macrophage host range. The Journal of general virology 94:1189-

1194. 2013.

Darminto, P. W. Daniels, and P. Ronohardjo. Studies on the epidemiology of Newcastle

disease in eastern Indonesia by serology and characterisation of the viral isolates

using panels of monoclonal antibodies. Penyakit Hewan 25:67-75. 1993.

de Leeuw, O. S., G. Koch, L. Hartog, N. Ravenshorst, and B. P. Peeters. Virulence of

Newcastle disease virus is determined by the cleavage site of the fusion protein and

by both the stem region and globular head of the haemagglutinin–neuraminidase

protein. Journal of General Virology 86:1759-1769. 2005.

Dharmayanti, N. L. P. I., R. Hartawan, D. A. Hewajuli, and R. Indriani. Phylogenetic

analysis of genotype VII of Newcastle disease virus in Indonesia. African Journal of

Microbiology Research 8:1368-1374. 2014.

Page 94: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

84

Diel, D. G., L. H. da Silva, H. Liu, Z. Wang, P. J. Miller, and C. L. Afonso. Genetic

diversity of avian paramyxovirus type 1: proposal for a unified nomenclature and

classification system of Newcastle disease virus genotypes. Infection, genetics and

evolution : journal of molecular epidemiology and evolutionary genetics in infectious

diseases 12:1770-1779. 2012.

Diel, D. G., L. Susta, S. Cardenas Garcia, M. L. Killian, C. C. Brown, P. J. Miller, and C.

L. Afonso. Complete genome and clinicopathological characterization of a virulent

Newcastle disease virus isolate from South America. Journal of clinical microbiology

50:378-387. 2012.

Forrester, N. L., S. G. Widen, T. G. Wood, A. P. Travassos da Rosa, T. G. Ksiazek, N.

Vasilakis, and R. B. Tesh. Identification of a new newcastle disease virus isolate from

Indonesia represents an ancestral lineage of class II genotype XIII. VIRUS GENES

47:168-172.

Kim, L. M., D. J. King, D. L. Suarez, C. W. Wong, and C. L. Afonso. Characterization of

class I Newcastle disease virus isolates from Hong Kong live bird markets and

detection using real-time reverse transcription-PCR. Journal of clinical

microbiology 45:1310-1314. 2007.

Kingston, D. J., and R. Dharsana. Newcastle disease infection in Indonesian ducks.

Philippine Journal of Veterinary Medicine 18:125-130. 1979.

Kingston, D. J., R. Dharsana, and E. R. Chavez. Isolation of a mesogenic Newcastle

diseases virus from an acute disease in Indonesian ducks. Tropical animal health

and production 10:161-164. 1978.

Lamb, A. Paramyxoviridae: the virus and their replication. Fields virology. 1996.Liu, X.,

H. Wan, X. Ni, Y. Wu, and W. Liu. Pathotypical and genotypical characterization of

strains of Newcastle disease virus isolated from outbreaks in chicken and goose

flocks in some regions of China during 1985–2001. Archives of virology 148:1387-

1403. 2003.

Mansjoer, M. Newcastle disease in Indonesia. Part I. Its present situation, epizootiology

and combat. Communicationes Veterinariae 5:1-15. 1961.

Mast, J., and L. Demeestere. Electron tomography of negatively stained complex viruses:

application in their diagnosis. Diagnostic pathology 4:5. 2009.

Mayo, M. A. Names of viruses and virus species - an editorial note. Arch Virol 147:1463-

1464. 2002.

Mayo, M. A. A summary of taxonomic changes recently approved by ICTV. Archives Of

Virology 147:1655-1663. 2002.

Mebatsion, T., S. Verstegen, L. T. C. d. Vaan, A. Römer-Oberdörfer, and C. C. Schrier. A

recombinant newcastle disease virus with low-level V protein expression is

immunogenic and lacks pathogenicity for chicken embryos. Journal of virology

75:420-428. 2001.

Miller, P., G. Koch, and D. L. Suarez. Newcastle Disease, Other Avian Paramyxoviruses,

and Avian Metapneumovirus Infections. In: Diseases of poultry, 13th ed. D. E.

Swayne and J. R. Glisson, eds. Wiley-Blackwell, Ames, Iowa. pp 89-138. 2013.

Page 95: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

85

Miller, P. J., E. L. Decanini, and C. L. Afonso. Newcastle disease: evolution of genotypes

and the related diagnostic challenges. Infection, genetics and evolution : journal of

molecular epidemiology and evolutionary genetics in infectious diseases 10:26-35.

2010.

Mirah Adi, A. A. A., N. M. Astawa, K. S. Adhy Putra, Y. Hayashi, and Y. Matsumoto.

Isolation and Characterization of a Pathogenic Newcastle Disease Virus from a

Natural Case in Indonesia. Journal of Veterinary Medical Science 72:313. 2010.

Morrison, T. G. Structure and function of a paramyxovirus fusion protein. Biochimica et

Biophysica Acta (BBA)-Biomembranes 1614:73-84. 2003.

OIE. NDV in Indonesia In: Detailed country(ies) disease incidence. 2009.Römer-

Oberdörfer, A., O. Werner, J. Veits, T. Mebatsion, and T. C. Mettenleiter.

Contribution of the length of the HN protein and the sequence of the F protein

cleavage site to Newcastle disease virus pathogenicity. Journal of general virology

84:3121-3129. 2003.

Snoeck, C. J., A. A. Owoade, E. Couacy-Hymann, B. R. Alkali, M. P. Okwen, A. T.

Adeyanju, G. F. Komoyo, E. Nakoune, A. Le Faou, and C. P. Muller. High genetic

diversity of Newcastle disease virus in poultry in West and Central Africa:

cocirculation of genotype XIV and newly defined genotypes XVII and XVIII. Journal

of clinical microbiology 51:2250-2260. 2013.

Susta, L., P. J. Miller, C. L. Afonso, and C. C. Brown. Clinicopathological

characterization in poultry of three strains of Newcastle disease virus isolated from

recent outbreaks. Veterinary pathology 48:349-360. 2011.

Xiao, S., B. Nayak, A. Samuel, A. Paldurai, M. Kanabagattebasavarajappa, T. Y. Prajitno,

E. E. Bharoto, P. L. Collins, and S. K. Samal. Generation by reverse genetics of an

effective, stable, live-attenuated Newcastle disease virus vaccine based on a

currently circulating, highly virulent Indonesian strain. PloS one 7:e52751-e52751.

2012.

Xiao, S., A. Paldurai, B. Nayak, A. Samuel, E. E. Bharoto, T. Y. Prajitno, P. L. Collins, and

S. K. Samal. Complete genome sequences of Newcastle disease virus strains

circulating in chicken populations of Indonesia. Journal of virology 86:5969-5970.

2012.

Page 96: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

86

Page 97: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

87

TINGKAT KEJADIAN SAPROLEGNIASIS PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias

gariepinus) YANG DIPELIHARA DI DESA TUATUKA KABUPATEN KUPANG

Rupertus Geofrie Oncok1, Elisabet Tangkonda2, Diana Agustiani Wuri3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email :

[email protected] 2Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana :

[email protected] 3Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana

ABSTRACT

The catfish is a fresh water fish cultivating commodity that is preferred by the fish

farmers, this is because the catfish have taste delicious, the price is relatively cheap, has a

high nutritional content, rapid growth, easy to breed, and able to be maintained almost

throughout the container cultivation. Container cultivation is commonly used cement pool

and a pool tarpaulin. Problem often encountered farmers giant mud catfish (Clarias

gariepinus) is saprolegniasis.Saprolegniasis caused by fungi Saprolegnia sp.

Saprolegniasis incident could cause economic losses for farmer giant mud catfish in the

fish's death and the failure of eggs to hatch. So the purpose of this study was to isolate and

identify the presence of fungi Saprolegnia sp. the attack on the giant mud catfish pool

maintenance container cement and tarpaulin pool and find out saprolegniasis at an

incidence rate of pool cement and pool tarpaulin. This research was conducted in the

maintenance and cultivation of freshwater fish in the Village Tuatuka District Kupang.

Sample drawn by the mycosis symptoms shown by the giant mud catfish from 2 pools

cement and 2 pool tarpaulin. Isolation of fungi Saprolegnia sp. performed on media

Saboraud Dextrose Agar (SDA) and the identification of fungi Saprolegnia sp. conducted

by macroscopic and microscopic observation. Fourteen samples of giant mud catfish

showed a positive result is infected with fungi Saprolegnia sp. by showing characteristic

greenish white colony growth with a surface that resembles cotton, as well as the circular

on the media prominent SDA and the microscopic observation of visible hyphae and

sporangium, sporangium with sizes larger than the size of the hyphae. Saprolegniasis at an

incidence rate of pool cement is the by 7,5 % and saprolegniasis at an incidence rate of

pool tarpaulin is the by 13,3 %. Based incidence rate saprolegniasis, so that cement pool

as a container giant mud catfish farming is better when compared with a tarpaulin pool.

Keywords : Giant mudcatfish, cement pond, pool tarp, saprolegniasis, Saprolegnia sp.

PENDAHULUAN

Lele merupakan komoditas budidaya ikan air tawar yang cukup diminati oleh

para petambak ikan, hal ini disebabkan karena lele memiliki rasa yang lezat, harga yang

relatif murah, mempunyai kandungan gizi tinggi, pertumbuhan cepat, mudah

berkembangbiak, serta mampu dipelihara hampir diseluruh wadah budidaya (Nasrudin,

2010).

Kolam semen dan kolam terpal merupakan contoh wadah budidaya yang

digunakan untuk pembudidayaan lele dumbo. Sebagai wadah budidaya, kolam semen dan

kolam terpal memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan kolam semen dan kolam

Page 98: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

88

terpal sebagai wadah budidaya perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan

ekonomi petambak ikan dalam pembudidayaan lele dumbo.

Serangan penyakit merupakan masalah yang paling sering menjadi penghambat

budidaya ikan yang dibudidayakan pada berbagai wadah budidaya tak terkecuali pada

kolam semen dan kolam terpal. Serangan penyakit dapat menyebabkan berbagai dampak

negatif terhadap ikan, seperti menimbulkan kerugian ekonomi dan menyebabkan

kegagalan pada saat panen. Penyakit ikan umumnya disebabkan oleh organisme patogen

seperti bakteri, fungi, virus dan parasit. Petambak ikan umumnya sulit untuk mendeteksi

adanya invasi organisme patogen, hal ini disebabkan karena beberapa gejala klinis

penyakit yang tampak pada ikan menunjukan gejala klinis penyakit yang sama sehingga

petambak ikan sulit untuk menduga dan menanggulangi serangan penyakit (Afrianto dan

Evi, 1992).

Salah satu organisme patogen yang banyak menyerang ikan adalah dari kelompok

fungi. Infeksi oleh fungi dapat menyerang telur ikan, larva ikan, juvenil dan ikan dewasa.

Infeksi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya trauma pada tubuh ikan baik secara

mekanik maupun infeksi yang disebabkan oleh organisme patogen (Ratentondok, 1986).

Saprolegniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh fungi Saprolegnia sp. dan

merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang ikan lele (Muklishoh, 2008).

Saprolegnia sp. hidup di lingkungan air tawar dan memerlukan air untuk tumbuh dan

bereproduksi. Fungi ini merupakan jenis utama dari fungi air yang memiliki kaitan erat

dengan kejadian infeksi fungi terhadap ikan maupun telur ikan pada budidaya air tawar

(Noga, 1996).

Berdasarkan uraian di atas dan masalah yang sering dihadapi oleh para petambak

lele dumbo, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan tujuan sebagai

langkah awal dalam mencegah penyebaran penyakit yang disebabkan oleh fungi dengan

mengisolasi dan mengidentifikasi langsung agen penyebabnya dan mengetahui tingkat

kejadian penyakit yang disebabkan oleh fungi tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi dan mengidentifikasi fungi Saprolegnia

sp. pada lele dumbo yang dipelihara di wadah kolam semen dan wadah kolam terpal dan

mengetahui tingkat kejadian saprolegniasis pada lele dumbo yang dipelihara di wadah

kolam semen dan wadah kolam terpal.

MATERI DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian ini dilakukan

untuk memberi gambaran dan informasi mengenai fungi Saprolegnia sp. yang terdapat

pada lele dumbo (Claria gariepinus) dengan kisaran umur 3-4 bulan yang dibudidayakan

pada kolam semen dan pada kolam terpal. Isolasi fungi Saprolegnia sp. dilakukan pada

media Saboraud Dextrose Agar (SDA) dan diidentifikasi melalui pengamatan makroskopis

pada morfologi koloni fungi Saprolegnia sp.dengan menunjukan warna putih kecokelatan

dengan permukaan yang menyerupai kapas, menonjol serta bundar (Nuryati, dkk., 2009),

pada pengamatan mikroskopis diidentifikasi pada karateristik morfologi organ reproduksi

dari Saprolegnia sp (Woo dan Bruno, 1999). Organ reproduksi Saprolegnia sp. adalah

Page 99: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

89

sporangium yang merupakan diferensiasi dari hifa dengan ukuran sporangium yang

mempunyai ukuran lebih lebar dari hifanya.

Hasil isolasi dan identifikasi serta perhitungan tingkat kejadian saprolegniasis

dianalisis secara deskriptif, data hasil penelitian disajikan dalam bentuk gambar dan tabel

dan data yang terkumpul dianalisis secara dekskriptif (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mikosis pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang dipelihara di Desa Tuatuka

Kabupaten Kupang

Jumlah populasi lele dumbo dengan rentangan umur 3 sampai 4 bulan di tempat

pemeliharaan dan budidaya ikan air tawar di desa Tuatuka Kabupaten Kupang adalah

sebanyak 140 ekor yang dipelihara pada 2 kolam semen dan 2 kolam terpal.

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan 14 ekor lele dumbo yang

memperlihatkan gejala mikosis seperti yang ditunjukan pada Gambar 6a dan Gambar 6b.

Lele dumbo yang menunjukan gejala mikosis sebanyak 4 ekor yang berasal dari kolam

semen 1, 2 ekor dari kolam semen 2, 4 ekor dari kolam terpal 1 dan 4 ekor dari kolam

terpal 2. Total jumlah sampel lele dumbo dengan gejala mikosis adalah sebanyak 14 ekor

lele dumbo.

Isolasi dan identifikasi fungi Saprolegnia sp. pada lele dumbo

Isolasi dan identifikasi pada 14 sampel lele dumbo yang mengalami gejala

mikosis, melalui pengamatan makroskopis dan pengamatan mikroskopis positif terinfeksi

fungi Saprolegnia sp.

Tingkat kejadian saprolegniasis

Tingkat kejadian saprolegniasis pada kolam semen sebesar 7,5 % sedangkan pada

kolam terpal sebesar 13,3 %. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kejadian saprolegniasis

lebih tinggi kejadiannya pada kolam terpal dibandingkan dengan kolam semen.

Tabel 2. Tingkat kejadian saprolegniasis pada kolam semen dan kolam terpal

Jenis Kolam

Kolam semen Kolam terpal

Ks 1 Ks 2 Total Kt 1 Kt 2 Total

Jumlah populasi

Jumlah sampel

yang positif

Tingkat kejadian

saprolegniasis

40

4

10 %

40

2

5 %

80

6

7,5 %

30

4

13,3 %

30

4

13,3 %

60

8

13,3

%

Ks 1 : Kolam semen 1, Ks 2 : Kolam semen 2, Kt 1 : Kolam terpal, Kt 2 :Kolam terpal 2

Page 100: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

90

Dalam pengelolaan budidaya lele dumbo (Clarias gariepinus) kualitas air

merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan. Menurut Menegristek (2000) lele dapat

hidup dan berkembang secara optimum pada suhu 20 sampai 28 °C dengan kisaran pH 6,5

sampai 8,5 (Mahyuddin, 2010).

Tabel 3. Parameter kualitas air

Jenis kolam

Kolam semen Kolam

terpal

Ks 1 Ks 2 Rata-rata Kt 1 Kt 2 Rata-rata

Rata-rata suhu

kolam pada

pagi hari

21 °C 21 °C 21 °C 29,4 °C 29,6 °C 29,5 °C

Rata-rata suhu

kolam pada

siang hari

23,7 °C 23,4

°C

23,5 °C 32,7 °C 32,7 °C 32,7 °C

pH 8 8 8 10 10 10

Ks 1 : Kolam semen 1, Ks 2 : Kolam semen 2, Kt 1 : Kolam terpal, Kt 2 : Kolam terpal 2

Suhu dan pH ideal yang dimiliki kolam semen masih memungkinkan terjadinya

kejadian saprolegniasis. Rata-rata suhu kolam semen pada pagi hari adalah 21 °C dan siang

hari memiliki rata-rata suhu 23,5 °C, kisaran suhu ini merupakan kondisi ideal untuk lele

dapat tumbuh dan berkembang secara optimum namun pada kisaran suhu ini juga

merupakan kisaran suhu yang baik bagi pertumbuhan fungi Saprolegnia sp. sehingga

kejadian saprolegniasis masih bisa terjadi.

Fungi Saprolegnia sp. dapat tumbuh pada suhu 0 sampai 35 °C dengan suhu

pertumbuhan optimum pada kisaran 15 sampai 30 °C (Irianto, 2005). Menurut Carlson

(2007) pada umumnya, fungi Saprolegnia sp. merupakan organisme patogen sekunder

namun dengan kondisi lingkungan budidaya yang optimum sekalipun fungi Saprolegnia

sp. juga dapat bertindak sebagai organisme patogen primer. Hal inilah yang menyebabkan

kejadian saprolegniasis masih bisa terjadi pada kolam semen yang memiliki kualitas air

ideal dengan kondisi suhu dan pH yang optimal untuk pertumbuhan lele dumbo.

Suhu dan pH dengan kondisi yang kurang ideal pada kolam terpal dapat

menyebabkan stres pada ikan. Perubahan dan peningkatan suhu bisa berdampak fatal dan

menyebabkan gangguan terhadap kesehatan ikan untuk jangka waktu yang panjang,

misalnya stres yang ditandai dengan tubuh lemah dan kurus yang dialami oleh ikan

(Irianto, 2005). Suhu yang dimiliki oleh kolam terpal juga masih memungkinkan terjadinya

kejadian saprolegniasis. Kondisi pH yang kurang ideal pada kolam terpal juga dapat

Page 101: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

91

menyebabkan ikan mengalami stres. Kerentanan terhadap penyakit dan terjadinya

pertumbuhan yang lambat serta penurunan produksi ikan dapat dipicu oleh kondisi stres

pada ikan sehingga menjaga kualitas dan kondisi air dalam pemeliharaan lele dumbo

menjadi hal yang sangat penting (Irianto, 2005). Tingkat kejadian saprolegniasis pada

kolam terpal lebih tinggi jika dibandingkan pada kolam semen hal ini disebabkan karena

suhu dan pH kolam terpal tidak berada dalam kisaran ideal sehingga dapat mengganggu

status kesehatan ikan dan menyebabkan stres pada ikan dan ikan menjadi rentan terhadap

infeksi fungi Saprolegnia sp. Ketidakseimbangan kualitas air dapat menimbulkan masalah

seperti penyakit yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan budidaya. Keadaan

kualitas air dengan kondisi yang kurang ideal dapat memicu adanya organisme patogen

seperti fungi (Rizka dkk., 2014).

PENUTUP

Kesimpulan

Dari total populasi 140 ekor lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dipelihara pada

2 kolam semen dan 2 kolam terpal di tempat pemeliharaan dan budidaya ikan air tawar di

Desa Tuatuka Kabupaten Kupang ditemukan 14 sampel lele dumbo yang menunjukan

gejala mikosis. Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi pada 14 sampel lele dumbo yang

menunjukan gejala mikosis, semua sampel menunjukan hasil positif terinfeksi fungi

Saprolegnia sp.

Tingkat kejadian saprolegniasis kolam semen lebih rendah jika dibandingkan

dengan kolam terpal. Kolam semen memiliki tingkat kejadian saprolegniasis sebesar 7,5 %

sedangkan pada kolam terpal 13,3 % .

Saran

Berdasarkan tingkat kejadian saprolegniasis pada kolam semen dan kolam terpal di

tempat pemeliharaan dan budidaya ikan air tawar di Desa Tuatuka Kabupaten Kupang,

maka penggunaan kolam semen sebagai wadah budidaya lele dumbo lebih baik jika

dibandingkan dengan kolam terpal, hai ini disebabkan karena pada kolam semen memiliki

tingkat kejadian saprolegniasis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kolam terpal.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Evi, L. 1992, Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan, Kanisius,

Yogyakarta, 89 hal.

Carlson, N. R. 2007, Physiology of Behavior, 9th Ed., Boston : Pearson Education, Inc. p.

290-319, 420-423

Irianto, A. 2005, Patologi Ikan Teleostei, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Mahyuddin, K. 2010, Panduan Lengkap Agribisnis Lele, Cetakan keempat, Penebar

Swadaya, Jakarta.

Menegristek. 2000, Teknologi Tepat Guna Budidaya Ikan Lele (Clarias sp.), Kantor

Deputi Menegristek Bidang Pendayahgunaan dan Pemasyarakatan IPTEK, Jakarta,

Hal 17.

Page 102: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

92

Musklishoh, S. S. 2008, ‘Karaterisasi Morfologi dan Patogenisitas Jamur Penyebab

Saprolegniasis pada Jaringan Tubuh Ikan Gurami (Osphronemus goramy Lac.) dan

Ikan Lele (Clarias batrachus L.)’, Tesis, M.Sc, Fakultas Biologi, Universitas Gajah

Mada, Yogyakarta, Hal 1-7.

Naijiyati. 1992, Morfologi Ikan Lele Lokal, Teknologi Budidaya, Bogor.

Nasrudin. 2010, Jurus Sukses Beternak Lele Sangkuriang, Penebar Swadaya, Jakarta.

Noga, E. J. 1996, Fish Disease Diagnosis and Treatment, Mosby-Year Book, Inc. St.

Louis, MO, 367 p.

Nuryati, S., Sari, F.B.P. dan Taukhid. 2009, Identifikasi dan Uji Postulat Koch Cendawan

Penyebab Penyakit pada Ikan Gurame, Jurnal Akuakultur Indonesia,8 (2) : 21-27

Rizka, N. F. F., Suprapto, H. dan Kusdawarti, R. 2014, Pengaruh Ekstrak Rimpang Kencur

(Kaempferia galanga L.) Terhadap Tingkat Kesembuhan Benih Ikan Lele Dumbo

(Clarias gariepinus) Yang Terinfeksi Saprolegnia sp., Jurnal Ilmiah Perikanan dan

Kelautan,6(2) November 2014.

Steel R. G. D. dan Torrie J. H. 1993, Prinsip Prosedur Statistika, diterjemahkan oleh

Bambang Sumantri, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Woo, P. T. K. dan Bruno. 1999, Fish Disease and Disorder Volume 3 Viral Bacterial and

Fungal Infection, CABI Publishing, New York, hal 599-643.

Page 103: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

93

IDENTIFIKASI KANDUNGAN TIMBAL DALAM DARAH SAPI YANG

MEMAKAN SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK KOTA

KUPANG

(Identificationof Lead Contentin Blood of Cattle thatFeedWastein Landfill Site

ofAlakKupang)

Robynson Yerobkim Dimu1, Nemay Anggadewi Ndaong2, Annytha Ina Rohi Detha3 1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail:

[email protected] 2Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. E-mail: [email protected] 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang. E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Feed shortages in dry season make the cattle breeder in Alak Kupang looking for

alternative such as garbage to fulfill the feed requirement of their animals. However, the

presence of inorganic waste mixed with organic waste can become a source of hazards due

to degraded toxic chemicals from inorganic waste could contaminate organic waste, such

as lead. Lead regarded as one of the major environmental pollutants and also the most

frequent cause of poisoning in cattle. Lead is accumulated in animal tissues so the long-

term exposure will cause high level of lead in cattle products which harmful if consumed

by humans. A study was conducted to determine the presence of lead in blood of cattle that

fed on waste in the Alak landfill site. A sample of 12 cattle were classified into three age

groups, the groups of 0 to 1.5 years, 1.5 to 3 years and over 3 years. Three mililiters of

cattle’s blood taken for testing its lead content at the laboratory of Quality Testing and

Sertification of Animal Products HallBogor using Atomic Absorption Spectrophotometry

variant AA240FS. The results show that there is lead exceed normal limits within all

samples. Lead content varied from 0.2860 to 0.9652 µg/ml. There are two blood samples

diagnosed as chronic poisoning because of their lead contents above 0.59 µg/ml. One-way

Analysis of variance did not reveals any difference between groups. High lead content in

the blood indicated that the cattle have been exposed to lead with a moderate to high dose

of lead. It is possible that lead can be found in carcasses and internal organs of cattle, so

further studies are required.

Keywords:Lead, cattle, blood, landfill.

PENDAHULUAN

Keadaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang termasuk dalam daerah lahan

kering dengan iklim semi-arid(Universitas Nusa Cendana, 2011) berdampak langsung pada

terganggunya potensi peternakan karena menurut Reksohadiprodjo (1995), jumlah curah

hujan total di daerah semi-arid adalah rendah. Hal inimengakibatkan kontinuitas

ketersediaan hijauan sebagai pakan sapi tidak dapat terjadi. Keterbatasan hijauan terjadi

pada musim kemarau, sapi kekurangan pakan dan memaksa peternak untuk melakukan

berbagai cara demi memenuhi kebutuhan pakan ternaknya.

Page 104: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

94

Salah satu cara yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan pakan sapi oleh

peternak adalah dengan mencari berbagai sumber pakan alternatif. Seperti yang terjadi di

daerah Alak, peternak sapi daerah setempat memilih untuk menjadikan sampah di lokasi

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak sebagai pakan bagi jenis sapi bali (Bos sondaicos)

yang dipelihara. Berdasarkan hasil observasi, sampah organik maupun anorganik ditumpuk

secara bersama-sama, tidak ditumpuk terpisah. Sampah organik yang ada di TPA Alak

adalah sayur-sayuran, dedaunan dan rumput-rumputan, kulit jagung, jerami, sisa-sisa

makanan, sedangkan sampah anorganik adalah plastik, kaleng, kaca, besi, kain, kertas,

kardus dan berbagai jenis sampah anorganik lainnya.

Sudiyono (2011) mengatakan bahwa sampah anorganik kemungkinan mengandung

logam berat sehingga pakan sapi berupa sampah organik juga dicurigai terkontaminasi

logam berat sebagai bahan toksik. Bahan toksik berupa logam berat yang mungkin terdapat

di tempat sampah adalah timbal. Soeparno (2011) mengatakan bahwa timbal dianggap

sebagai salah satu polutan lingkungan utama dan juga paling sering menyebabkan

keracunan pada ternak dibanding senyawa lain. Hal ini disebabkan oleh penggunaan timbal

sebagai salah satu komponen di dalam berbagai produk, seperti oli, baterai, cat, linoleum,

pipa, mainan anak-anak, peralatan komputer, plastik, kertas koran, kosmetik dan pestisida

(Plumlee, 2003; Siddiqui dan Rajurkar, 2008 dan Matham, 2009). Timbulnya potensi

paparan timbal diperkuat oleh sering ikut termakannya plastik pembungkus makanan oleh

sapi.

Sapi adalah hewan yang paling banyak dilaporkan mengalami keracunan timbal

(Thompson, 2007). Rute utama masuknya timbal ke dalam tubuh hewan adalah melalui

saluran pencernaan. Sistem gastrointestinal, sistem syaraf pusat dan sistem peredaran darah

adalah sistem tubuh hewan yang paling beresiko terhadap keracunan logam berat ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada/tidaknya kandungan timbal

dalam darah sapi yang memakan sampah di TPA Alak.

MATERI DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross

sectional atau potong lintang. Pada desain potong lintang, peneliti hanya melakukan

observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu saja. Adapun variabel yang

diamati pada penelitian ini adalah kandungan timbal dalam darah sapi yang memakan

sampah di TPA Alak.

Penelitian ini dilakukan di TPA Alak yang berlokasi di Kelurahan Manulai 2,

Kecamatan Alak, Kota Kupang. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan

Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) di Bogor, Jawa Barat.

Populasi penelitian ini adalah semua sapi yang setiap hari memakan sampah di

TPA Alak, Kota Kupang. Jumlah sapi di TPA Alak pada saat observasi adalah sebanyak

100 ekor. Teknik penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah sapi

yang diambil sebagai sampel sebanyak 12 ekor dengan klasifikasi pemilihan sampel

berdasarkan rentangan umur. Rinciannya, umur 0 sampai 1,5 tahun sebanyak 2 ekor, umur

1,5 sampai 3 tahun sebanyak 5 ekor, dan umur di atas 3 tahun sebanyak 5 ekor.

Page 105: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

95

Serangkaian tahapan dalam penelitian ini meliputi observasi, pengambilan sampel

darah, dan pengujian. Peralatan yang digunakan untuk pengambilan darah adalah multi-

sample needle OneMed®, vacutainer tube Vaculab® dan cool Box. Peralatan yang

digunakan untuk pengujian di laboratorium adalah Atomic Absorption Spectrophotometer

(AAS) varian tipe AA240FS, Microwave Acid Digestion Apparatus Milestone®, tabung

vessel, neraca, labu ukur 50 ml, parafilm, corong kaca, dan pipet mekanik. Bahan yang

digunakan untuk pengujian di laboratorium adalah darah sebanyak 3 ml untuk setiap

sampel larutan asam nitrat (HNO3) 65%, larutan asam hidrogen peroksida (H2O2) 30% dan

air deionisasi. Alur pengujian di laboratorium meliputi preparasi contoh dan pengukuran

deret standar dan contoh uji.

Jenis data pada penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil observasi dan

wawancara serta data hasil uji laboratorium. Kedua data dianalisis dan dijabarkan secara

deskriptif. Adapun data berdasarkan kelompok umur dianalisis menggunakan uji statistik

AnalysisofVarianceOne-way atau Anova satu jalur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji menunjukkan bahwa pada semua sampel darah sapi terdeteksi logam

timbal. Kandungan timbal dalam darah bervariasi dan semua melebihi batas normal

kandungan timbal dalam darah. Menurut Ruhr (1984, cit. Darmono, 2001, p 113), kadar

timbal dalam darah sapi normal adalah 0,05 sampai 0,25 ppm dan pada sapi keracunan

timbal kronis 0,59 sampai 2,0 ppm. Kandungan timbal pada atau di bawah batas normal

mengindikasikan sedikit sekali paparan timbal, dan sebaliknya dengan kandungan timbal

di atas batas normal mengindikasikan sapi telah terpapar timbal dalam dosis berat. Hasil

lengkap uji laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji kandungan timbal dalam darah sapi

Kode sampel Kelompok umur Kandungan timbal (µg/ml)

A1 1 0,5633

A2 1 0,7611

B1 2 0,4713

B2 2 0,2860

B3 2 0,5239

B4 2 0,4756

B5 2 0,5714

C1 3 0,3447

C2 3 0,4200

C3 3 0,5504

C4 3 0,3491

C5 3 0,9652

Satuan µg/ml setara dengan part per million (ppm)

Keberadaan timbal dalam darah merupakan indikator telah terjadi paparan timbal

(Patrick, 2006). Salah satu faktor yang menyebabkan sapi terpapar timbal pada

Page 106: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

96

pemeliharaan di tempat sampah adalah kebiasaan makan dari sapi yang suka menjilat-jilat

sehingga dapat menjilati sampah anorganik yang mengandung senyawa timbal (Siddiqui

dan Rajurkar, 2008). Hal ini terjadi terutama ketika sampah organik sebagai pakan utama

sapi habis sehingga sapi mulai menjilati bahan-bahan anorganik yang ada di sekitarnya.

Keadaan diperparah dengan bercampurnya polutan termasuk timbal dari berbagai bahan

sehingga dapat memperbesar resiko pencemaran timbal pada semua sampah di lokasi TPA

termasuk hijauan yang dimakan oleh sapi.

Kandungan timbal dalam darah dari 12 ekor sapi yang diambil sebagai sampel

berkisar antara 0,2860 sampai 0,9652 ppm. Nilai tersebut melampaui batas kandungan

timbal darah sapi normal yaitu 0,25 ppm sehingga memberi makna bahwa sapi telah

terpapar timbal dalam dosis yang cukup tinggi yang berasal dari sampah yang dimakan di

lokasi TPA. Menurut Rogowska et al. (2009), konsentrasi timbal dalam tubuh hewan

sangat bergantung pada konsentrasi di lingkungan.

Berdasarkan uji statistik Anova satu jalur (lampiran 5), nilai rata-rata kandungan

timbaluntuk kelompok umur 1 adalah 0,6622 ppm, kelompok umur 2 adalah 0,4661 ppm

dan kelompok umur 3 adalah 0,52 ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel sapi

kelompok umur 1 dengan rentangan umur 0 sampai 1,5 tahun memiliki kandungan timbal

yang paling tinggi dalam darahnya namun tidak ada perbedaan yang nyata antara

kandungan timbal dalam darah dari tiap kelompok umur sapi karena nilai Fhitung (0,74) <

nilai Ftabel (4,26).

Kandungan timbal dalam darah yang melampaui batas normal berbahaya karena

dapat menyebabkan kerusakan tubulus proksimal ginjal berkaitan dengan fungsi ginjal

sebagai organ ekskresi. Keadaan ini terjadi ketika ada paparan timbal secara

berkesinambungan pada hewan (Vyskocil et al., 1989). Bahaya lainnya yaitu adanya

peluang terjadi keracunan kronis, karena kandungan timbal dalam darah tidak hanya akibat

timbal yang terkandung dalam pakan yang dimakan namun juga berasal dari timbal yang

dilepas oleh jaringan (Kang et al., 2010). Asumsinya adalah kandungan timbal dalam

darah dapat berasal dari timbal yang dilepas oleh jaringan sehingga mengindikasikan

timbal sudah terakumulasi cukup banyak di jaringan. Akumulasi timbal dalam jaringan

akan berdampak kepada keracunan kronis pada sapi. Menurut Ruhr (1984, cit. Darmono,

2001, p 113), kandungan timbal antara 0,59 sampai 2,0 ppm dalam darah didiagnosa

sebagai keracunan kronis timbal.

Uji kandungan timbal darah menunjukkan ada 2 sampel darah mengandung timbal

di atas 0,59 ppm, yaitu sampel darah dengan kode sampel A2 dan C5 yang secara berturut-

turut mengandung timbal dalam darah 0,7611 dan 0,9652 ppm. Merujuk pada Ruhr (1984,

cit. Darmono, 2001, p 113), sapi yang darahnya dipakai untuk pengujian dengan kode

sampel A2 dan C5 didiagnosa mengalami keracunan kronis. Sapi yang mengalami

keracunan timbal kronis pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis),

namun kadang teramati gejala-gejala yang tidak spesifik (Thompson, 2007). Gejala yang

dapat teramati pada keracunan kronis timbal pada sapi adalah seperti anoreksia, nyeri

perut, diare, konstipasi, dan rebah kemudian mati (Clarke, et al., 1981). Beberapa dari

gejala-gejala tersebut kadang terjadi pada sapi yang dipelihara di TPA Alak, yaitu nyeri

perut, diare dan rebah kemudian mati.

Page 107: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

97

KESIMPULAN

Ada kandungan timbal yang bervariasi dalam darah 12 sampel sapi yang memakan

sampah di lokasi TPA Alak Kota Kupang. Kandungan timbal dalam semua sampel

memiliki nilai di atas batas normal dengan 2 sampel termasuk dalam kategori keracunan

kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Clarke, M.L., Harvey, D.G. and Humphreys, D.J. 1981, Veterinary Toxicology, 2nd edition,

ELBS, London.

Darmono. 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press, Jakarta.

Kang, H.G., Bischoff, K., Ebel, J.G., Cha, S.H., McCardle, J. and Choi, C.U. 2010,

Comparison of Blood Lead and Blood and Plasma Delta-Aminolevulinic Acid

Concentrations as Biomarkers for Lead Poisoning in Cattle, J Vet Diagn Invest,

22:903–907.

Matham, V.K. 2009, Veterinary Toxicology, New India Publishing Agency, New Delhi,

India.

Miller, G.D. and Groziak, S.M. 1997, ‘Essential and Nonessential Mineral Interactions’, in

Massaro, E.J. Handbook of Human Toxicology, CRC Press, USA, pp 373-374;

378-379.

Patrick, L. 2006, Lead Toxicity, A Review of the Literature. Part I: Exposure, Evaluation,

and Treatment, Alternative Medicine Review, 11:2-22.

Plumlee, K. 2003, Clinical Veterinary Toxicology, Elsevier Health Sciences, Missouri,

USA.

Reksohadiprodjo, S. 1995, Pengantar Ilmu Peternakan Tropik, Edisi 2, BPFE Yogyakarta,

Yogyakarta.

Rogowska, K.A., Monkiewicz, J. and Grosicki, A., Lead, Cadmium, Arsenic, Copper, and

Zinc Contentsin the Hair of Cattle Living in the AreaContaminated by A Copper

Smelter in 2006 – 2008, Bull Vet Inst Pulawy,53:703-706.

Ruhr, L.P. 1984, Blood Lead, Delta-Aminolevulinic Acid Dehydratase and Free

Erythrocyte Porphyrins in Normal Cattle, Veterinary and Human Toxicology,

26:105-107 cit. Darmono. 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press,

Jakarta.

Siddiqui, M.F.M.F. dan Rajurkar, G.R. 2008, Lead – An Emerging Threat to Livestock,

Veterinary World, 1:213-216.

Soeparno. 2011, Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Sudiyono. 2011, Upaya Eliminasi Residu Logam Berat pada Sapi Potong yang Berasal

DariLokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah dengan Pemeliharaan

SecaraKonvensional, Sains Peternakan,9:1-7.

Thompson, L.J. 2012, ‘Lead’, in Gupta, R.C. Veterinary Toxicology, 2nd edition, Academic

Press, London, pp 522-524.

Universitas Nusa Cendana. 2011, ‘Profil Semi-Arid Agriculture Research Centre’, diakses

pada 27 Oktober 2014,

Page 108: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

98

<http://www.undana.ac.id/Research_Institutes/index.php?option=com_content&vi

ew=article&id=57&Itemid=63&lang=in>

Vyskocil, A., Pancl, J., Tusl, M., Ettlerova, E., Semecky, V., Kasparova, L., Lauwerys, R.,

and Bernard, A. 1989, Dose Related Proximal Tubuler Dysfunction in Male Rats

Chronically Exposed to Lead, Journal of Applied Toxicology, 9:395-399.

Wardhayani, S. 2006. ‘Analisis Risiko Pencemaran Bahan ToksikTimbal (Pb) pada Sapi

Potong di TempatPembuangan Akhir (TPA) SampahJatibarang Semarang’, Tesis,

MSi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Page 109: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

99

REVIEW ARTIKEL:

PENYAKIT PORCINE REPRODUCTIVE AND RESPIRATORY SYNDROME

(PRRS)

PADA PETERNAKAN BABI DI NUSA TENGGARA TIMUR

Cynthia Dewi Gaina

Bidang Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa

Cendana, Email: [email protected]

ABSTRACT

Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) is a viral swine disease,

which is characterised by reproductive failure of sows and respiratory problems of piglets

and growing pigs. The disease is caused by the PRRS virus which has been spread widely

throughout the pig industry, including local pig farm. The reproductive failure is indicated

by infertility, fetal mummification, abortions, stillbirths, while respiratory problems are

recognised by weak- born piglets and dead piglets after respiratory infection. It has been

suspected that the virus has occurred in Indonesia, including some areas in eastern

Indonesia. The virus is mainly transmitted via aerosol route, infected pigs, defecation,

urine and semen. This paper describes the characteristic of PRRS virus and the evidence of

infection in pig farm industry in Nusa Tenggara Timur (NTT).

Keywords: Swine, PRRS, NTT

PENDAHULUAN

Industri peternakan babi berperan penting bagi peningkatan ekonomi masyarakat,

khususnya dibeberapa wilayah di Indonesia. Ternak babi merupakan salah satu penghasil

protein hewani bagi sebagian masyarakat Indonesia, meski diusahakan secara tradisional.

Sampai saat ini, peternakan babi terpusat di wilayah Sumatra Utara, Jawa Tengah, Bali,

Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. Menurut (BPS 2015), terdapat

puluhan juta ekor jumlah babi yang dipelihara pada peternakan rakyat maupun peternakan

industri.

Babi merupakan salah satu dari banyak hewan produksi yang memiliki berbagai

keunggulan sehingga kuantitas dan kualitasnya perlu ditingkatkan (Girisonta, 1989).

Keunggulan ini ditandai dengan tingginya tingkat produksi dan populasi babi yang

menjadikan ternak babi sebagai penghasil keuntungan yang besar dan relatif lebih cepat.

Keunggulan ternak babi dibanding ternak lain adalah sebagai tabungan hidup yang mudah

diatur untuk memenuhi pendapatan bagi peternak dengan pertumbuhan babi sendiri relatif

cepat antara 0,5 – 0,7 kg per hari, babi merupakan ternak prolifik tinggi karena

menghasilkan banyak anak dan melahirkan dua kali dalam setahun dan adaptasinya

terhadap usaha tani responsif (Aritonang, 1993), sehingga sangat diperlukanmanajemen

peternakan babi yang baik.

Manajemenpemeliharaan ternak babi merupakan faktor penting penentu

keberhasilan suatu usaha peternakan babi. Pada kenyataannya hampir 97 – 98%

kepemilikan babi di Indonesia berada di level peternakan rakyat yang belum di kelola

dengan baik. Pengelolaan yang kurang baik ini dapat berdampak pada tingginya tingkat

Page 110: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

100

penularan penyakit baik oleh ternak babi, peternak maupun oleh lingkungan. Berbagai

jenis penyakit menular asal babi telah dilaporkan menyebar di seluruh bagian wilayah

Indonesia. Salah satunya adalah penyakit Porcine Respiration and Reproductive Syndrome

(PRRS). Penyakit ini telah dilaporkan menyebar di seluruh dunia dan menyebabkan

kerugian yang cukup signifikan pada peternakan babi (Neumann et al 2005). Keberhasilan

pemeliharaan ternak babi dari aspek reproduksinya dapat dilihat darireproduction

performance atau penampilan reproduksiyang dipelihara. Hal ini secara langsung dapat

dilihat dari angka kebuntingan, angka kelahiran, jarak beranak dan birahi atau estrus

pertama setelah partus. Selain itu penanganan penyakit reproduksi, salah satunya penyakit

Porcine Respiration and Reproductive Syndrome dapat menurunkan penampilan

reproduksi babi.

KARATERISTIK VIRUS PRRS DAN PENYEBARANNYA PADA TERNAK BABI

Ternak babi merupakan salah satu komoditas unggulan peternakan sehingga

kuantitas dan kualitasnya perlu terus ditingkatkan. Salah satu cara untuk menigkatkan

produktivitasnya adalah dengan pencegahan terhadap serangan penyakit, terutama yang

disebabkan oleh bakteri, parasit dan virus (Taylor, 1983). Salah satu penyakit viral pada

babi yang merugikan peternak babi adalah sindroma reproduksi dan penyakit pernapasan

babi atau dikenal dengan nama “Porcine Reproductive and Respiration Syndrome”

(PRRS) (Taylor, 1983). Penyakit ini dikenal sebagai penyakit “Swine infertility and

Respiratory Syndrome”, “Swine reproductive failure syndrome”, “Abortus blauw” dan “

Porcine Epidemic Abortyion and Respiratory syndrome (PEARS)” (Wensvoort et al, 1993;

Meredith, 1992 dan Stevenson, 1993). Virus PRRS diketahui menyebabkan kegagalan

respirasi pada neonatal dan abortus pada induk babi (Blaha, 2000), disertai gangguan pada

organ reproduksi pada masa penggemukan dan masa sapih (Burch, 2008). Morbiditas atau

tingkat kesakitan pada ternak babi dapat mencapai 80% dan tingkat mortalitasnya sebesar

80% (Done dan Paton, 1995).

Penyakit ini ditemukan menyerang babi muda dan babi tua, dengan gejala klinis

.yang lebih parah pada babi muda sehingga menyebabkan kerugian yang besar bagi

peternak (Mengeling et al, 1995). Kerugian ini berupa, kematian babi, still birth (kematian

anak baru lahir) dan mumifikasi (Sendow et al, 1997). Virus PRRS adalah virus ribo-

nuclei acid (RNA) beramplop (Benfield et al 1992, Muelenberg et al 1994). Penyakit

Porcine Reproductive and Respiration Syndrome (PRRS) disebabkan oleh virus PRRS

yang tergolong dalam famili Arteiviridae, ordo Nidovirales (Zimmermann et al., 1997,

Blaha 2000). Virus PRRS mempunyai diameter 45-55 mm dan memiliki sifat kimia yang

sensitif terhadap kloroform dan eter dikarenkan memiliki amplop protein (Benfield et al

1992; Yoon et al 1992a). Penurunan infektivitas juga dapat terjadi pada penyimpanan

selama 20 menit pada suhu 560C, 2 hari pada suhu 370C, 6 hari pada suhu 200C dan 1

bulan pada suhu 40C serta dapat bertahan lama pada suhu -200C sampai -700C. Sifat-sifat

kimia ini dapat menjadi dasar pengiriman sampel lapangan. Sangat dianjurkan pengiriman

sampel paling lama 2 hari dalam keadaan dingin (40C).

Berikut ini adalah klasifikasi lengkap virus PRRS menurut Dietze et al (2011)

Ordo : Nidovirales

Page 111: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

101

Famili : Arteriviridae

Genus : Arterivirus

Species :Porcine Reproductive and

Respiratory Syndrome Virus

Genotypes :

Tipe 1 : European genotipe

(Subtipe 1,2 dan 3)

Tipe 2 : North American genotipe

Gangguan reproduksi yang dihasilkan dari infeksi virus ini pada ternak babi adalah

kelahiran prematur, keguguran triemester akhir, janin lembek dan kelemahan pada anak

babi baru lahir (Sendow et al, 1997). Adapun tanda-tanda klinis infeksi virus PRRS pada

anak babi adalah diare, kekurusan, batuk, dermatitis dan pembengkakan limfonodus

inguinalis superficialis (Suartha et al, 2013). Selain itu, gejala klinis pada saluran

pernapasan adalah gejala yang khas terlihat pada babi yang beru dilahirkan atau babi muda.

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu susceptibilitas genetik, lingkungan, galur

virus, infeksi campuran dan status imun ternak. Indikasi lain dari penyakit ini adalah

kegagalan reproduksi dan aborsi berulang pada induk; pertumbuhan pra dan pasca sapih

yang lambat; gangguan pernapasan; kekerdilan dan angka mortilitas yang tinggi (Suartha

et al, 2013). Infeksi sekunder dapat menyerang babi yang terinfeksi virus PRRS. Selain itu,

beberapa gejala klinis yang juga pernah dilaporkan berupa penurunan nafsu makan,

demam, bersin, pilek, bercak merah dan kebiruan pada kuku, vulva dan telinga. Tanda-

tanda klinis ini disertai dengan terhambatnya pertumbuhan badan, konjuntivitis, edema

periorbital, edema pada skrotum, spamus, kekakuan pada kaki dan kelemahan (Collins et

al 1992, Rossow et al 1994a, Done dan Paton 1995).

Penularan virus ini terjadi melalui sekresi saliva, semen babi, muntahan, vektor

perantara, burung, aerosol dan alat transportasi yang tercemar (Suartha et al, 2013). Masa

inkubasi penyakit ini berlangsung 4-7 hari setelah infeksi yang disertai dengan penurunan

nafsu makan, keguguran pada hari ke 107-117, kematian dan autolisis janin menjadi

berwarna coklat kehitaman (Christianson dan Joo, 1994). Selain itu, antibodi maternal

yang diberikan oleh induk kepada anak babi hanya bertahan paling lama 4 minggu,

sehingga anak babi akan kembali terinfeksi dan dapat menjadi sakit setelah 4minggu

(Done dan Paton, 1995).

Keberadaan virus dalam darah (viraemia) dapat terdeteksi sampai dengan 28 hari

dan sero positif antibodi PRRS masih dapat terdeteksi sampai 6 bulan (Sendow, 1997).

Infeksi virus ini diketahui terjadi mulai dari hari ke-1 sampai hari ke-27 yang ditandai

dengan penurunan jumlah alveolar machropage (AM) dan limfosit. Dalam kondisi ini,

sering terjadi infeksi sekunder. Akan tetapi, jumlah AM dan limfosit akan kembali naik

setelah hari ke-27 pasca terinfeksi (Done dan Patton, 1995). Beberapa infeksi sekunder

yang diketahui dapat menyertai penyakit PRRS adalah Pasteurella multocida,Salmonella

spp, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetellabronchiseptica, Mycoplasma

hyopneumoniae,Actinobacillus pleuropneumoniae dan Actinomyces pyogenes (Stevenson

et al., 1993; Zeman et al., 1993).

Page 112: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

102

KEJADIAN PRRS DI NTT

Beberapa rasa babi yang terdapat di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara

Timur (NTT) adalah babi lokal, babi impor, babi hasil pencampuran babi lokal dan babi

impor (Sendow, 1997). Jenis babi lokal yang terkenal di NTT adalah babi sumba dan babi

timor. Babi timor yang banyak dijumpai adalah Yorkshire, Hampshire, Chester White,

Tamworth dan Saddleback (Tambubolon dan Suranto, 1978). Akan tetapi, masih belum

banyak diketahui jenis-jenis penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus. Demikian

halnya dengan penelitian yang membahas masalah penyakit yang disebabkan oleh virus

PRRS masih sangat terbatas walaupun data telah melaporkan bahwa telah ditemukan

positif adanya antibodi PRRS sebesar 4% dari 40 sampel serum darah dari peternakan

babi di NTT (Sendow, 1997). Hasil seropositif dapat menunjukkan adanya keterpaparan

ternak dengan virus PRRS atau adanya pembelian ternak babi yang sudah divaksinasi atau

pembelian pada lokasi yang pernah terinfeksi wabah PRRS (Martdeliza, dkk, 2014)

Dengan terdeteksinya sejumlah antibodi terhadap virus PRRS di NTT menunjukkan

bahwa virus ini telah menyebar dan menginfeksi peternakan babi di NTT. Oleh karena itu,

pola penyebaran PRRS di NTT perlu diamati dengan seksama untuk membatasi pola

penyebaran penyakit yang mungkin akan merebak.

UJI SEROLOGIS PENYAKIT PRRS

Virus ini dapat diisolasi dari serum 12 jam setelah infeksi dan berkisar 1-14 hari

pada pejantan (Suartha et al, 2013). Diagnosis penyait ini dapat dilakukan dengan melihat

tanda-tanda klinis, uji serologis dan uji virologis (Sendow, 1997). Uji serologis dilakukan

untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dan antigen dari ternak yang diduga. Uji serologis

yang sering dilakukan alah uji serum netralisasi atau uji enzyme-linked immunosorbent

assay (ELISA), sedangkan uji virologis dilakukan dengan mengisolasi virus penyebab

penyakit. Virus dapat diisolasi dari paru-paru, tonsil, limpa, timus, limfoglandula, serum

dan cairan thorax (Sendaw, 1997). Akan tetapi virus ini ditemukan tidak berhasil diisolasi

dari jaringan tiroid, jantung, kelenjar ludah, hati, ginjal, otot daging dan otak (Mengeling et

al, 1995; Rossow et al, 1994a).

Dibeberapa negara maju, kerugian ekonomi yang besar merupakan dampak akibat

infeksi virus PRRS yang teramati dari berbagai gejala klinis yang timbul pada fase akut

maupun pada saat terjadi wabah yang dapat menurukan produksi 5-20% (Christianson dan

Joo, 1994). Akan tetapi,pola penyebaran infeksi virus ini serta dampak ekonomi pada

peternakan di Indonesiamasih jarang dilakukan (Sendow, 1997). Mengingat kasus penyakit

ini adalah penyakit relatif baru yang menyerang babi, maka kasus penyakit ini belum

dilaporkan secara resmi di Indonesia. Dengan demikian, uji serologis dapat menjadi

langkah awal untuk mengetahui sejauh mana infeksi virus PRRS telah menyebar di

Indonesia, khususnya di Kupang, NTT.

KESIMPULAN

Oleh karena itu, penelitian lanjutan tentang kejadian infeksi virus PRRS pada

peternakan babi di NTT, pola penyebaran virus, jenis atau strain virus lokal serta

Page 113: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

103

epidemiologi penyakit PRRS sehingga dapat dilakukan penanganan dan pencegahan yang

tepat dari infeksi virus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, D. 1993. Babi “Perencanaan dan Pengelolaan Usaha”. PT. Penebar

Swadaya,Jakarta

Benfield, D.A., Nelson, E., Collins, J.E., Harris,L., Goyal, S.M., Robinson,

D.,Christianson,W.T.,Morrison, R.E., Gorcyca, D.E., and Chladek, D.W. 1992

Characterization of swine infertility and respiratory syndrome (SIRS) virus (isolate

ATCC VR 2332). J. Vet. Diagn. Invest . 4 : 127-133

Biro Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Blaha T. 2000. The “colorful” epidemiology of PRRS. Vet Res. 31:77–83.

Christianson, W.T and Joo, H.S 1994. Porcine reproductive and respiratory syndrome: A

review. Swine Health Prod. Marchand April. pp: 10-30.

Dietze, K. , Pinto J., Wainwright, S. &Hamilton, C.2011. Porcine reproductive and

respiratory syndrome (PRRS):virulence jumps and persistent circulation in

Southeast Asia. In Focus on..., No. 5, p.8.Rome. Food and Agriculture Organization

of theUnited Nations.

Done, S. H and Paton, D.J. 1995. Porcine reproductive and respiratory syndrome :

clinicaldisease, pathology and immunosuppression.

Girisonta, 1989. Pedoman Lengkap Beternak Babi. Kanisius, Yogyakarta

Mengeling, W. L., K. M. Lager, and A. C. Vorwald. 1995. Diagnosis of porcine

reproductiveand respiratory syndrome. J. Vet. Diagn. Invest. 7(1): 3-16.

Meredith, M. J. 1992. Review of porcine reproductive and respiratory syndrome. Pig

Disease Information Centre, University of Cambridge, Cambridge, England.

Meulenberg, J. J. M., Hulst,M.M., Meijer,E.J., Moonen,P.L.J.M., Den Besten,A., Den

Kluyver,E.P., De, G., Wensvoort, R.J.M., Moormann, E.J., De Meijer, A., Den

Besten, De Kluyver. 1994. Lelystad virus belongs to a new virus family,

comprisinglactate dehydrogenase- elevating ., '.(us, equine arteritis virus and simian

hemorrhagic fever virus. Arch . Virol. Suppl. 9 : 441- 448.

Neumann EJ, Kliebensteins JB, Johnson CD, Mabry JW, Bush EJ, Seitzienger AH,

GreenAL, Zimmermann JJ. 2005. Assesment of economic impact of porcine

reproductiveand respiratory syndrome on swine production in United State. JAVMA.

227: 385-392

Rossow, K. D., Bautista,E.M., Goyal,S.M., Molitor, M.P., Murtaugh, R.B ., Morrison,

D.A., Benfield, and Collins, J.E. 1994 . Experimental porcine reproductive and

respiratorysyndrome virus infection in one; four; and 10 week old pigs . J.

Vet.Diagn. Invest. 6 : 3-12 .

Sendow, I. 1997. Sindroma Reproduksi dan Pernapasan Babi. Jurnal Litbang Pertanian,

XVI (3).

Sendow, I., Bahri, S dan Sarosa, A. 1997. Deteksi antibodi terhadap virus Porcine

Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) pada babi di beberapa daerah

Page 114: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

104

Indonesia bagian Timur. Balai Penelitian Veteriner. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner Vol.2 No.3 Th. 1997.

Stevenson, G. W., W. G. Van Alstine, C. L. Kanitz, and K. K. Keffaber. 1993.

Endemicporcine reproductive and respiratory syndrome virus, infection of nursery

pigs in two swine herds without current reproductive failure. J. Vet. Diagn. Invest.

(5): 432-434.

Suartha I,N., Anthara, I.M.S., Wirata, I.W., Sari., T.K., Dewi, N.M.R.K., Narendra, I.G.N.,

Mahardika, I.G.N. 2013. Survei Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory

Syndrome pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Veteriner. ISSN: 1411-8327

Tampubolon, P.T. dan B. Suranto. 1978. Memelihara ternak babi. Direktorat Bina Produksi

Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Taylor, D.J. 1983. Pig Diseases. Third Edition the Burlington Press. Ltd.,

Foxton,Cambridge.

Wensvoort, G., Meulenberg,J.J.M.,Murtaugh,M.P., Benfield,D.A., Nelson,E.A.,

Conzelmann,K., Thiel,H.J., Albina, E and Drew, T.W 1993. The porcinereproductive and

respiratory syndrome. Characteristics and diagnosis of the causative virus. OIE.

Veterinary Biotechnology Newsletter pp. 113-120.

Yoon, I. J., Joo,H.S., Christianson, W.T., Kim, H.S., Collins,J.E.,Carlson, J.H and

Dee,S.A. 1992 . Isolation of a cytopathic virus from weak pigs on farms with a

history ofswine infertility and respiratory syndrome. J. Vet. Diagn. Invest. 4 : 139-

143.

Zeman, D., R. Neiger, M. Yaeger, E. Nelson, D.Benfield, P. Leslie-steen, J. Thomson, D.

Miskimins, R. Daly, and M. Minehart. 1993. Laboratory investigation of PRRS virus

infection in three swine herds. J. Vet. Diagn. Invest. (5): 522-528.

Zimmerman JJ, Yoon KJ, Wills RW, Swenson SL. 1997. General overview of PRRSV:

Aperspective from the United States. Vet Microbiol. 55:187–196.

Page 115: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

105

UJI RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN DAN AMINOGLIKOSIDA PADA

DAGING BABI YANG BEREDAR DI KOTA KUPANG

(TEST OF TETRACYCLINE AND AMINOGLYCOSIDES ANTIBIOTIC RESIDUES ON

PORK SOLD IN KUPANG CITY)

Maria Laurensia Fanny Permata Kale1, Novalino Harold Gerald Kallau2, Diana

Agustiani Wuri3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail:

[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang. 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang.

ABSTRACT

The presence of antibiotic residues in food products of animal is very harmful to

human health because it may cause allergies, resistance and toxicity. NTT as the province

with the largest population of pigs in Indonesia, traditionally pig does have an important

role in various religious and social activities of NTT’s people. In this province,

particularly in Kupang City, slaughtering pigs apart in slaughterhouse, was also

conducted out of slaughterhouses during custom events, social events and large scale pork

restaurants. The purpose of this study was to determine the presence of tetracycline and

aminoglycoside antibiotic residues in pork sold in Kupang. Testing method used is the

bioassay method for qualitative analysis of antibiotic residues. Samples used were 10

samples of pork meat taken from the slaughterhouse and large scale pork meat restaurants

in the Kupang City. Of the 10 samples tested, one was found positive for residues of

tetracycline antibiotics. The result of this research showed that the pork sold in Kupang

City is not entirely free of antibiotic residues because of 10 samples tested using the

bioassay method, there are 1 sample (10%) were positive for tetracycline antibiotic

residues. Pre-production stage, namely the pig farm sector are the main control point.

There is a need to do further testing to confirm result test (quantitative test) by HPLC

assay to determine the real concentration of antibiotic residues in pork which then can be

compared with BMR set by SNI to be able to know the safety of pork sold in the Kupang

City.

Keywords: residues, antibiotics, pork, Kupang, bioassay

PENDAHULUAN

Keberadaan residu antibiotik pada bahan pangan asal hewan seperti susu, daging

dan telur sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan alergi,

resistensi dan keracunan. Mudiarti (1997) dan Yuningsih (2005) menyatakan bahwa dalam

industri peternakan sekarang ini, antibiotik telah digunakan secara luas untuk pengobatan

penyakit dan sebagai imbuhan pakan (feed additive), dalam penggunaannya, antibiotik

sering disalahgunakan sehingga dapat menyebabkan adanya residu antibiotik pada bahan

pangan asal hewan. Penyalahgunaan tersebut meliputi penggunaan antibiotik secara

Page 116: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

106

berlebihan, penggunaannya tidak dibawah pengawasan dokter hewan, penggunaannya

tidak sesuai dosis dan diagnosa penyakitnya dan tidak memperhatikan waktu henti obat.

NTT sebagai salah satu propinsi dengan populasi ternak babi terbesar di Indonesia,

secara tradisional ternak babi memang mempunyai peran yang penting dalam berbagai

kegiatan keagamaan dan sosial bagi masyarakat NTT. Di Propinsi ini, khususnya di Kota

Kupang, pemotongan ternak babi selain dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH),

dilakukan juga di luar RPH yaitu di tempat-tempat diadakannya kegiatan adat, kegiatan

sosial dan di rumah makan daging babi skala besar (Johns dkk., 2010; Komunikasi pribadi,

8 Oktober 2014).

Selanjutnya sehubungan dengan penggunaan antibiotik, berdasarkan hasil survei di

lapangan dengan stakeholder terkait didapatkan data bahwa penggunaan antibiotik

tertinggi untuk ternak babi di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang adalah antibiotik dari

golongan tetrasiklin dan aminoglikosida (Komunikasi pribadi, 8 Oktober 2014). Beberapa

penelitian telah membuktikan adanya residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosida pada

bahan pangan asal hewan seperti Furi (2012) melaporkan adanya residu antibiotik

tetrasiklin dan aminoglikosida pada 45 sampel daging ayam dari 5 pasar tradisional di Kota

Medan, Werdiningsih dkk. (2013) melaporkan adanya residu tetrasiklin pada 5 sampel

paha ayam, hati ayam dan telur ayam yang diambil dari 6 provinsi di Indonesia. Sejauh

inipun belum ada penelitian mengenai keberadaan residu antibiotik pada daging babi yang

beredar di Kota Kupang. Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keberadaan residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosida pada daging babi

yang beredar di Kota Kupang.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan 10 sampel daging babi ras mentah atau segar yang

telah dipisahkan dari tulangnya. Lima sampel berasal dari RPH Oeba dan 5 sampel lainnya

berasal dari rumah makan daging babi skala besar yang ada di Kota Kupang. Pengambilan

sampel ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Jenis data pada penelitian ini

adalah data primer yaitu data hasil observasi dan wawancara serta data hasil uji

laboratorium. Analisis atau uji residu antibotik menggunakan analisis secara kualitatif

dengan metode bioassay. Proses analisis sampel dilakukan di BBVet Denpasar.

Bioassay merupakan suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk

mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif. Prinsip pengujian ini, yaitu residu

antibiotik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan di sekitar kertas

cakram. Besarnya diameter daerah hambatan menunjukan konsentrasi residu antibiotik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil uji residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosida pada sampel

didapatkan hasil seperti yang tertera pada Tabel 6.

Page 117: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

107

Tabel 6. Hasil uji residu antibiotik menggunakan metode bioassay

No. Kode sampel Asal sampel Residu antibiotik

Tetrasiklin Aminoglikosida

1. B1 RPH Oeba negatif negatif

2. B2 RPH Oeba negatif negatif

3. B3 RPH Oeba negatif negatif

4. B4 RPH Oeba positif negatif

5. B5 RPH Oeba negatif negatif

6. B6 R.M. A negatif negatif

7. B7 R.M. B negatif negatif

8. B8 R.M. C negatif negatif

9. B9 R.M. D negatif negatif

10. B10 R.M. E negatif negatif

Berdasarkan hasil uji residu antibiotik pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa 1 sampel

daging babi positif mengandung residu antibiotik tetrasiklin dan negatif residu antibiotik

aminoglikosida untuk seluruh sampel yang diuji. Artinya ada 10% sampel dari seluruh

sampel yang diuji mengandung residu antibotik tetrasiklin.

Pengamatan secara organoleptik tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan

daging babi normal. Hal ini menggambarkan bahwa adanya residu antibitiotik pada bahan

pangan tidak dapat terdeteksi melalui pemeriksaan secara makroskopis seperti contohnya

uji organoleptik, pemeriksaan antemortem dan postmortem yang dilakukan di RPH. Cara

untuk menangani masalah residu antibiotik adalah dengan melakukan pengawasan secara

ketat pada tahap pra produksi yaitu pada sektor peternakan. Pengawasan tersebut berupa

pemantauan secara berkelanjutan mengenai penggunaan antibiotik secara wajar dan

bijaksana dengan mengikuti aturan pemakaian yang telah ditetapkan, memperhatikan

waktu henti obat dan penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter hewan.

Mengacu pada hasil uji residu antibiotik pada Tabel 6, menggambarkan bahwa ada

faktor resiko atau kemungkinan jika daging babi yang beredar di Kota Kupang belum

sepenuhnya aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat, karena dari 10 sampel yang diuji, 1

sampel positif mengandung residu antibiotik tetrasiklin. Ditemukannya residu antibiotik ini

juga menggambarkan bahwa ada daging babi yang beredar di Kota Kupang yang berasal

dari ternak babi yang disembelih sebelum waktu henti obatnya habis.

Hasil survei di lapangan dengan stakeholder terkait, memberikan data yaitu 100%

antibiotik digunakan untuk pengobatan penyakit pada ternak babi. Kemudian, survei di

toko obat hewan 100% menyatakan paham tentang waktu henti obat dan dianjurkan kepada

pembeli untuk dipatuhi. Dari 7 peternak yang diwawancarai 42,8% menyatakan paham

tentang waktu henti obat tapi diabaikan, 28,6% menyatakan tidak tahu tentang waktu henti

obat dan 28,6% menyatakan bahwa melihat aturan tentang waktu henti obat, tetapi tidak

dipatuhi. Selanjutnya, hasil pada Tabel 6, juga menunjukkan bahwa sampel daging yang

positif mengandung residu antibiotik berasal dari RPH, sedangkan sampel daging babi

Page 118: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

108

yang berasal dari rumah makan daging babi skala besar negatif dari residu antibiotik. Hal

ini menggambarkan bahwa pengawasan atau pemeriksaan yang dilakukan di RPH atau di

luar RPH tidak dapat digunakan untuk mendeteksi adanya residu antibiotik. Sehingga

pengawasan yang ketat bukanlah pada tempat pemotongan ternak babi namun harus

dilakukan pada peternakan babi.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji menggunakan

metode bioassay terdapat 1 sampel (10%) yang positif mengandung residu antibiotik

tetrasiklin, artinya daging babi yang beredar (dipasarkan) di Kota Kupang belum

sepenuhnya bebas dari residu antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Afiati, F. 2009, Pilih-pilih Daging Asuh. Biotrends, 4(1): 19-25.

Anonimous. 2012, Aminoglikosida, diakses pada tanggal 23 November 2014,

<http://kepacitan.wordpress.com/farmakologi/aminoglikosida/>.

Agustina, H., Risch, A., Prawito, P. dan Kalinda, J.S. 2000, Monitoring dan

Surveillance Residu Cemaran Mikroba di Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur dan Kalimantan Barat, Dilavet, 9(3): 1-5 cit. Masrianto., Fakhrurrazi. dan

Azhari. 2013, Uji Residu Antibiotik pada Daging Sapi yang Dipasarkan di Pasar

Tradisional Kota Banda Aceh, Jurnal Medika Veterinaria, 7(1) : 13-14.

Badan Standarisasi Nasional. 2000, Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas

Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan, SNI No. 01-6366-2000,

Jakarta, Dewan Standarisasi Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. 2008, Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika

pada Daging, Telur dan Susu secara Bioassay, SNI No. 7424 : 2008, Jakarta,

Dewan Standarisasi Nasional.

Pusat Statistik. 2014, Data Statistik Pusat Tahun 2014, Jakarta, Badan Pusat Statistik

Republik Indonesia.

Badan Pusat Statistik. 2014, Populasi Ternak Kecil Menurut Jenis Ternak dan Menurut

Kabupaten/Kota, 2012, Kupang, Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara

Timur.

Bahri, S., Sani, Y. dan Indraningsih. 2006, Beberapa Faktor yang Mempengaruhi

Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, Wartazoa, 16(1) : 1-13.

Bahri, S., Masbulan, E. dan Kusumaningsih, E. 2005, Proses Praproduksi Sebagai

Faktor Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia,

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1) : 27-35.

Bahri, S., Kusumaningsih, A., Murdiati, T.B., Nurhadi, A. dan Masbulan E. 2000, Analisis

Kebijakan Keamanan Pangan Asal Ternak (Terutama Ayam Ras Petelur dan

Broiler), Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,

Bogor.

Burch, D. 2005, Problems of Antibiotik Resistance in Pigs in the UK, In Practice, 27.

p.37- 42 cit. Yuningsih. 2005, ‘Keberadaan Residu Antibiotik dalam Produk

Page 119: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

109

Peternakan (Susu dan Daging)’, Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk

Peternakan, Bogor, hal. 48-55.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013, Produksi Daging Ternak di

Indonesia Tahun 2012-2013, Jakarta, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Furi, M. 2012, ‘Penentuan Residu dan Pengaruh Pemanasan Terhadap Kandungan

Antibiotik yang Terdapat dalam Daging Ayam yang Beredar di Pasar Kota

Medan’, Tesis, M.Sc, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Handayani, N.M.S., Dewi, A.A.S. dan Riti, N. 2003, Survei Cemaran Mikroba, Residu

Antibiotik dan Sulfa pada Produk Asal Hewan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2003, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner

Regional VI Denpasar, Bali.

Harlia, E., Balia, R.L. dan Suryanto, D. 2005, ‘Pengaruh Suhu Pemanasan Air Susu Sapi’,

Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, hal.42-

46Infovet. 1994, Kronologi Ketentuan Penggunaan Feed Additive di Indonesia,

lnfovet. 014:12 cit. Mudiarti, T.B. 1997, Pemakaian Antibiotik dalam Usaha

Peternakan, Wartazoa, 6: 18-22.

Johns, C., Cargill, C., Patrick, I., Geong, M. dan Ly, J. 2010, Budidaya Ternak Babi

Komersial oleh Peternak Kecil di NTT – Peluang untuk Integrasi Pasar yang Lebih

Baik, Australian Center for International Agricuture Research, Canberra, Australia.

Kementerian Pertanian. 2009, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, No.

20/Permentan/OT.140/4/2009, tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran

Karkas, Daging dan/atau Jeroan Dari Luar Negeri, Jakarta, Kementerian

Pertanian Republik Indonesia.

Kurniawan, W. 2009, ‘Antibiotik Growth Promotor VS Alternatif Growth Promotor’,

Majalah Infovet, diakses pada 8 Desember 2014,

<http://www.majalahinfovet.com/antibiotik-growth-promotor-vs.html>.

Lawa, R. 2012, Manajemen Perkandangan Ternak Babi pada UPT Pembibitan Ternak

Babi dan Produksi Makanan Ternak Instalasi Tarus Dinas Peternakan Tarus

Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Laporan Praktik Kerja

Lapangan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Mata, H.C. 2012, Tatalaksana Pemeliharaan Induk Babi pada Usaha Peternakan Mad

Susur di Desa Baumata Kabupaten Kupang, Laporan Praktik Kerja Lapangan,

Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Mbeo, J. 2012, Manajemen Penyediaan dan Pemberian Pakan Ternak Babi di Unit

Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak Babi dan Produksi Makanan Ternak Instalasi

Tarus Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Laporan Praktik Kerja

Lapangan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Mudiarti, T.B. 1997, Pemakaian Antibiotik dalam Usaha Peternakan, Wartazoa, 6: 18-22.

Murtidjo, B.A. 2007, Pemotongan, Penanganan dan Pengolahan Daging Ayam cit.

Mansari, A. 2014, ‘Perilaku Peternak dalam Pengelolaan Lingkungan Fisik

dan Sanitasi Kandang Terhadap Penggunaan Antibiotik dan Residu bagi

Konsumen’, Tesis, M.Sc, Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana,

Kupang.

Page 120: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

110

Peraturan Pemerintah. 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang

Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Jakarta, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia.

Prasetyo, H., Ardana, I.B. dan Budiasa, M.D. 2013, Studi Penampilan Reproduksi (Litter

Size, Jumlah Sapih, Kematian) Induk Babi pada Peternakan Himalaya, Kupang,

Indonesia Medicus Veterinus, 2(3): 261-268.

Satwa Tani. 2014, Daftar Golongan Obat Hewan, diakses pada tanggal 23 November

2014,<http://UD-satwa-tani-daftar-golongan-obat-hewan.htm>.

Shankar, B.P., Manjunatha, P., Chandan, S., Ranjith, D. dan Shivakumar, V. 2010,

Rapid Methode for Detection of Veterinary Drugs Residues in Meat, Veterinary

World, 3(5): 241-246 cit. Furi, M. 2012, ‘Penentuan Residu dan Pengaruh

Pemanasan Terhadap Kandungan Antibiotik yang Terdapat dalam Daging

Ayam yang Beredar di Pasar Kota Medan’, Tesis, M.Sc, Fakultas Farmasi,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Smith, H.W. 1977, Antibiotiks resistance in bacteria and associated problems in farm

animals before and after the 1969 Swann Report.in Antibiotiks and

Antibiosis in Agriculture, Butterworths, London :344-357 cit. Mudiarti, T.B.

1997, Pemakaian Antibiotik dalam Usaha Peternakan, Wartazoa, 6: 18-22.

Subronto dan Tjahajati, 2001, Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak, Bentang

Pustaka, Hal 137, 145-147 cit. Furi, M. 2012, ‘Penentuan Residu dan

Pengaruh Pemanasan Terhadap Kandungan Antibiotik yang Terdapat

dalam Daging Ayam yang Beredar di Pasar Kota Medan’, Tesis, M.Sc,

Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Werdiningsih, S., Patriana, U., Ariyani, N., Ambarwati dan Nugraha, E. 2013, Pengkajian

Residu Tetrasiklin dalam Paha, Hati dan Telur Ayam pada Beberapa Provinsi di

Indonesia, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Bogor.

Yuningsih. 2005, ‘Keberadaan Residu Antibiotik dalam Produk Peternakan (Susu dan

Daging)’, Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, hal.

48-55.

Page 121: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

111

PENGARUH EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI KANDIDAT

IMUNOSTIMULATOR PADA AYAM BURAS YANG DIVAKSINASI DENGAN

VAKSIN Newcastle disease

THE POTENSIAL OF Aloe vera AS AN IMUNOSTIMULANT IN NATIVE CHICKEN

VACCINATED WITH Newcastle disease VACCINE STRAIN

Handrianus Klemensius Nahak1, Maxs Urias Ebenhaizar Sanam2, Diana Agustiani

Wuri3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email :

[email protected]

2Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa

Cendana, Kupang. Email : [email protected]

ABSTRACT

Aloe Vera constitutes a plant that is included within the family of Liliaceae which

are able to grow in any climate. This plant contains acetylated mannose which is nutritious

as a biofarmaka which has as an imunostimulant effect on animals. Imunostimulant

involves a substance or medicine which modulates the function and activity of the immune

system. The effect of an Imunostimulant quickly raises the cell activities like lymphosites

and macrophages until they produce and release cytokines. The activity of acetylated

mannose which raises the maturation of lymphocyte T-helper CD4+ become Th1 Cells and

also build non-specific immunity by increasing the synthesis of cytokine. Aloe vera also

can be used as a feed additive which is able to decrease the conversion of feed by 3.5%

within broiler chicken feed. The sample used 20 male domestic poultry chickens which

were divided into 2 groups (A and B). The average weight after the treatment was obtained

with reduction final weight with initial weight, while to see the development of titer

antibodies after the vaccination use HI test (Hemaglutination Inhibition). The research

results indicate that throughout the 5 weeks there no significant difference in chicken

weight in the sample. The result of the statistical analysis which used a paired t test

(paired-samples t test) shows significance value, which 0,193 large than 0,05 and t-

count is smaller than t-table (t-test = 1,406 < t-table = 2,26). On average titer antibodies

which were formed from the result of testing after the vaccination possessed titer

antibodies which varied. The results of statistical testing with t-testing paired for

identifying whether there was a difference between every groups behavior showed there

was no difference between the average titer antibodies between the control group and

groups which received additional natural immunomodulator. The result of the analysis

indicates the significant of the titer antibodies in the 2nd , 3rd and 4th week after the

vaccination were above 0,05 (p>05), which means there was no average difference in the

average level of titer antibodies between the control group and groups given the Aloe vera

gel extract as a form of natural imunostimulant.

Key words : Aloe vera, Imunostimulant, feed additive, Hemaglutination Inhibition test.

Page 122: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

112

PENDAHULUAN

Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang dikenal dengan sebutan

ayam buras (ayam bukan ras). Ayam buras memiliki kelebihan pada daya adaptasi tinggi

karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan

perubahan iklim serta cuaca setempat sehingga dalam pemeliharaannya dilakukan secara

tradisional. Cara pemeliharaan ayam buras tidak memerlukan banyak persyaratan, karena

telah beradaptasi dengan lingkungan dan memiliki daya tahan terhadap penyakit sehingga

dapat dipelihara secara ekstensif (Sumekar, 1993).

Kebutuhan masyarakat akan protein hewani sudah semakin meningkat. Hal ini

terdata pada tahun 2008, sebanyak 20,3% produksi daging didominasi dari unggas lokal.

Saat ini produksi daging ayam buras hanya memenuhi sekitar 55% dari kebutuhan pasar

dalam negeri. Populasi ayam buras mencapai 290 juta ekor, tahun 2011 mencapai 264,3

juta ekor dan tahun 2012 mencapai 285,2 juta ekor. Populasi ini hanya mengacu pada

populasi dari peternakan tradisional (Direktorat Jendral Peternakan, 2012).

Ternak ayam mempunyai kelemahan karena sangat peka terhadap beberapa

penyakit menular selain faktor-faktor menguntungkan yang telah disebutkan. Salah satu

penyakit menular yang sering menyerang ternak ayam adalah Newcastle disease (ND).

Penyakit ini disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1(APMV-1), genus Avulavirus,

famili Paramyxoviridae (Al-Garib et al., 2003).

Penyakit ND bersifat endemik di Indonesia, yang ditandai dengan kejadian

penyakit yang ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ND bersifat akut sampai kronis

ditandai dengan angka sakit (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) yang sangat

tinggi. Kelompok ayam yang peka kejadian penyakit berlangsung cepat ditandai dengan

mortalitas maupun morbiditasnya tinggi, dapat mencapai 100% terutama akibat infeksi ND

strain velogenik dan 30 sampai 50% pada strain mesogenik (Tabbu, 2000).

Usaha penanggulangan penyakit ND dilakukan dengan vaksinasi dan didukung

dengan praktek manajemen yang optimal. Berbagai usaha telah dilakukan dalam rangka

penanggulangan penyakit tersebut, namun kasus ND masih banyak ditemukan di lapangan

(Machdum, 2009). Pada penelitian ini peneliti meneliti tanaman alami yang memiliki

khasiat sebagai imunostimulator untuk bisa menjadi solusi masalah kadar titer antibodi

yang kurang maksimal pasca vaksinasi ND. Salah satu tanaman yang diduga dapat

memodulasi sistem imun adalah lidah buaya (Aloe vera). Lidah buaya mengandung

senyawa aktif acemannan (Acetiylated mannose) yang mampu meningkatkan sistem imun

hewan (Kaufman, 1999). Sebelumnya dilaporkan bahwa pemberian acemannan yang

bersamaan dengan vaksin NDV (Newcastle disease virus) dan IBDV (Infectious bursal

disease virus) pada ayam pedaging (setelah menetas) menyebabkan kenaikan titer antibodi

(Chinnah et al., 1992)

Imunomodulator adalah substansi atau obat yang dapat memodulasi fungsi dan

aktivitas sistem imun. Kebanyakan tanaman obat yang telah diteliti membuktikan adanya

kerja imunostimulator. Banyak tanaman yang memiliki efek sebagai imunostimulator

contohnya daun ketepeng cina (Cassia alata L.) yang memiliki efek imunostimulator

terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag (Kusmardi et al., 2007). Pemakaian

Page 123: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

113

tanaman obat sebagai imunostimulator dengan maksud menekan atau mengurangi infeksi

virus dan bakteri intra seluler, untuk mengatasi imunodefisiensi atau sebagai perangsang

pertumbuhan sel-sel pertahanan tubuh dalam sistem imunitas (Block dan Mead, 2003).

Sinurat et al. (2005) menyatakan bahwa lidah buaya juga dapat digunakan sebagai

imbuhan pakan (feed additive) yang mampu menekan konversi pakan 3,5% dalam pakan

ayam pedaging. Bintang et al. (2001) menyatakan pemberian gel kering dalam ransum

ayam pedaging dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan kering ransum hingga

6,8% dan pemberian gel segar bahkan meningkatkan efisiensi hingga 17,8% (Bintang et

al., 2001). Pemanfaatan lidah buaya dalam penelitian ini memiliki beberapa alasan selain

bersifat sebagai imunostimulator untuk memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun juga

dapat digunakan untuk menekan konversi pakan.

Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan dan lingkungan. Faktor

yang paling berpengaruh adalah pakan. Hafez dan Dryer (1969) menyatakan bahwa faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hereditas, pakan dan kondisi lingkungan.

Penurunan bobot badan akan terjadi pada ternak pada fase pertumbuhan bila diberikan

pakan dengan kandungan nutrisi yang rendah. Sutardi (1995) menyatakan bahwa ternak

ayam kampung akan dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila

mendapat zat zat makanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Energi digunakan oleh ayam

untuk kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi. Kebutuhan energi untuk hidup pokok

meliputi kebutuhan untuk metabolisme, aktivitas, dan pengaturan temperatur atau panas

tubuh. Kebutuhan energi untuk produksi meliputi untuk pertumbuhan dan produksi telur,

bulu, lemak, dan untuk kerja. Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan

baik dalam menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein

dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan

pertumbuhan jaringan ( Scott et al., 1982 )

MATERI DAN METODE

Penelitian pengaruh ekstrak lidah buaya (Aloe vera) sebagai kandidat

imunomodulator pada ayam buras yang divaksinasi dengan vaksin ND (newcastle

disease) dan pemanfaatan lidah buaya sebagai imbuhan pakan pada ayam buras

dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Mei 2015. Jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian berjumlah 30 ekor ayam buras jantan yang terbagi ke dalam 2

kelompok (A dan B). Kelompok A dan B untuk melihat pertambahan berat badan setelah

pemberian perlakuan dan untuk melihat perkembangan titer antibodi setelah vaksinasi.

Hewan percobaan (ayam) berasal dari Desa Umalawain, Kecamatan Weliman, Kabupaten

Malaka. Kegiatan penelitian berupa vaksinasi, pemberian pakan beserta ekstrak gel lidah

buaya serta pengambilan darah dilakukan di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota

Kupang.

Pemeriksaan titer antibodi dengan uji HI (Hemaglutinasi Inhibisi) dilakukan di

UPT Veteriner, Dinas Peternakan Provinsi. Pemeriksaan HI dibagi dalam 4 tahap

pemeriksaan yaitu tahap pertama dimulai dengan pemeriksaan titer antibodi awal sebelum

perlakuan serta penimbangan berat badan awal, minggu kedua setelah vaksinasi dilakukan

pemeriksaan titer antibodi tahap kedua, minggu ketiga dan keempat setelah vaksinasi

Page 124: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

114

dilakukan pemeriksaan titer antibodi tahap ketiga dan tahap keempat dan minggu kelima

penelitian dilakukan penimbangan berat badan akhir untuk perhitungan pertambahan berat

badan ayam selama perlakuan. Rata-rata petambahan berat badan dianalisis menggunakan

uji statistik Analysis of variance (ANOVA) atau analisis keragaman untuk melihat ada

tidaknya pengaruh perlakuan terhadap variabel yang akan diteliti dan apabila ada

perbedaan yang nyata antara perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji

beda nyata terkecil (LSD). Khusus untuk melihat adanya kenaikan titer antibodi dapat

digunakan uji t berpasangan (paired-samples t test) menggunakan software SSPS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Berat Badan

Data penampilan ternak selama 5 minggu penelitian tidak memiliki perbedaan yang

signifikan. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t berpasangan (paired-samples t

test) menggunakan software SSPS menunjukkan t-hitung lebih kecil dari t-tabel (t-hitung

= 1,406 < t-tabel = 2,26216) dan nilai signifikansi 0,193 berada diatas 0,05 (p>0,05). Hasil

analisis statistik menunjukkan bahwa PBB dari setiap kelompok perlakuan yang terdiri dari

kelompok B dengan 30% ekstrak gel lidah buaya kering dan kelompok A sebagai

kelompok kontrol tidak berbeda nyata. Hal ini berarti tidak ada pengaruh pemberian

ekstrak gel lidah buaya kering terhadap pertambahan berat badan ayam buras. Hasil PBB

tiap kelompok perlakuan dan rata-rata pertambahan berat badan pada ayam buras/ekor

selama 5 minggu penelitian dan PBB/ekor/hari masing-masing disajikan pada Tabel 5,

Tabel 6 dan Gambar 3.

Tabel 5. Hasil pengukuran berat badan awal dan berat badan akhir kelompok kontrol (A)

Kelompok A

(BB awal)

Kelompok A

(BB akhir)

Rata-rata PBB

kelompok A

A1 = 850 g A1 = 1.250 g A1 = 400 g

A2 = 950 g A2 = 1.300 g A2 = 350 g

A4 = 1.150 g A4 = 1.600 g A4 = 450 g

A5 = 1.100 g A5 = 1.400 g A5 = 300 g

A6 = 1.050 g A6 = 1.350 g A6 = 300 g

A7 = 1.050 g A7 = 1.400 g A7 = 350 g

A8 = 1.050 g A8 = 1.350 g A8 = 300 g

A9 = 950 g A9 = 1.400 g A9 = 450 g

A10 = 1.000 g A10 = 1.450 g A10 = 450 g

A11 = 1.050 g A11 = 1.450 g A11 = 400 g

ƩA = 375 g

Page 125: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

115

Tabel 6. Hasil pengukuran berat badan awal dan berat badan akhir kelompok uji (B)

Gambar 3. Grafik rata-rata pertambahan berat badan ayam buras (gram/hari)

Pertambahan berat badan ayam buras yang tidak berbeda nyata tersebut

disebabkan level protein pakan dalam kedua kelompok masih mencukupi untuk

mendukung pertumbuhan ayam. Resnawati et al. (1998) melaporkan bahwa imbangan

protein dan energi dalam pakan ayam kampung yang dibutuhkan selama masa

Kelompok B

(BB awal )

Kelompok B

(BB akhir)

Rata-rata PBB

Kelompok B

B1 = 950 g B1 = 1.200 g B1 = 250 g

B2 = 900 g B2 = 1.300 g B2 = 400 g

B4 = 1.050 g B4 = 1.450 g B4 = 400 g

B5 = 1.250 g B5 = 1.600 g B5 = 350 g

B6 = 1.050 g B6 = 1.400 g B6 = 350 g

B7 = 900 g B7 = 1.200 g B7 = 300 g

B8 = 1.150 g B8 = 1.550 g B8 = 400 g

B9 = 900 g B9 = 1.250 g B9 = 350 g

B10 = 950 g B10 = 1.300 g B10 = 350 g

B11 = 1.000 g B11 = 1.300 g B11 = 300 g

ƩB = 345 g

Page 126: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

116

pertumbuhan adalah 14% protein dan 2600 kkal/kg energi termetabolis sementara itu,

Nawawi dan Norrohmah (2002) juga melaporkan bahwa ayam dengan umur 12 sampai 22

minggu kebutuhan akan proteinya 14%.

Pakan komersial ayam buras yang digunakan dalam penelitian memiliki

kandungan protein/100 gram masih lebih tinggi dari kebutuhan minimal yaitu 19,5%

kandungan protein pakan komersial, sehingga PBB ayam buras pada kelompok B tidak

berbeda nyata dengan PBB ayam buras pada kelompok A (kelompok kontrol). Hal ini

disebabkan karena penurunan protein dari 19,5% pakan komersial dengan penambahan

ekstrak gel lidah buaya dengan konsentrasi 30% sebesar 5,85%.

Lidah buaya juga mempunyai sejumlah zat gizi yang dibutuhkan ayam.

Departemen Kesehatan Repulik Indonesia. (1992) melaporkan kandungan protein lidah

buaya/100 gram = 0,10 garam dan memiliki kandungan energi/100 gram = 4,00 kal. Total

sumbangan protein dengan penambahan ekstrak gel lidah buaya dengan konsentrasi 30%

ekstrak gel lidah buaya adalah 0,03% protein dan total sumbangan energi dengan

penambahan 30% gel lidah buaya kering adalah 1,2 kal. Sehingga total sumbangan protein

pakan dengan penambahan konsentrasi 30% ekstrak gel lidah buaya adalah 13,68%.

Pertambahan berat badan juga tidak telepas dari sumbangan energi dari pakan komersial

akan tetapi jumlah energi pada pakan komersial yang digunakan tidak diketahui

jumlahnya, tetapi berdasarkan standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di

Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan National Research Council.

(1994) menyatakan kebutuhan energi termetabolisme standar pakan di Indonesia adalah

3100 kal. Hal ini yang mungkin menyebabkan PBB ayam buras tidak berbeda nyata karena

kebutuhan jumlah protein yang dibutuhkan ayam dengan umur 12 sampai 22 minggu

adalah 14% protein. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Bintang et al.

(2001) yang melaporkan bahwa pemberian gel lidah buaya kering dalam ransum ayam

pedaging dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan kering ransum hingga 6,80%

dan pemberian gel segar bahkan meningkatkan efisiensi hingga 17,80%.

Titer Antibodi

Rata-rata titer antibodi yang terbentuk dalam hasil pengujian setelah vaksinasi

memiliki titer antibodi yang bervariasi. Menurut Burgos dan Burgos (2007), vaksinasi pada

unggas dapat memberikan hasil yang bervariasi tergantung pada kondisi imun tiap

individu. Hasil uji statistik dengan pengujian t berpasangan untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan setiap kelompok perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata titer

antibodi kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (kelompok dengan penambahan

imunostimulator alami). Hasil analisis menunjukkan nilai signifikansi titer antibodi minggu

ke-2, minggu ke-3, dan minggu ke-4 setelah vaksinasi secara berturut-turut adalah 0,507,

0,451, dan 0,361 berada diatas 0,05 (p>0,05) dan hasil t-hitung secara berturut-turut adalah

0,691, 0,788 dan 0,962 lebih kecil dari t-tabel (2,26216) artinya tidak ada perbedaan rata-

rata nilai titer antibodi kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi ekstrak gel lidah

buaya sebagai imunostimulator alami. Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah

vaksinasi selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 4.

Tabel 7. Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah vaksinasi

Page 127: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

117

Kelompok

Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah

vaksinasi

Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4

A 58,8 HI unit 29,6 HI unit 29,6 HI unit

B 21,6 HI unit 9,2 HI unit 5,2 HI unit

Gambar 4. Grafik rata-rata perkembangan titer antibody

Rata-rata perkembangan titer antibodi setelah vaksinasi antara kelompok kontrol

(A) dan kelompok perlakuan (B) menunjukkan ada perbedaan rata-rata titer antibodi.

Minggu ke-2 setelah vaksinasi rata-rata titer antibodi kelompok kontrol adalah 58,8 HI unit

dan kelompok perlakuan adalah 21,6 HI unit berada pada level tidak protektif terhadap ND

yaitu dibawah 26 (64). Rata-rata titer minggu ke-3 dan ke-4 setelah vaksinasi menurun

pada kelompok kontrol yaitu 29,6 HI unit pada minggu ke-3 dan titernya bertahan 29,6 HI

unit pada minggu ke-4 setelah vaksinasi. Kelompok perlakuan juga titer antibodinya

mengalami penurunan menjadi 9,2 HI unit pada minggu ke-3 setelah vaksinasi dan 5,2 HI

unit pada minggu ke-4 setelah vaksinasi. Minggu ke-3 dan minggu ke-4 setelah vaksinasi

pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak mencapai titer yang protektif

terhadap ND. OIE, (2012) menyatakan titer antibodi yang protektif terhadap serangan ND

apabila memiliki inhibisi pada serum yang diencerkan 64 (26) yang menggunakan antigen

4 HAU.

Page 128: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

118

Gambar 5. Grafik pola pembentukan titer antibodi ND hasil vaksinasi dengan Medivac

ND La Sota

Titer antibodi dibawah level protektif tersebut kemungkinan karena merupakan

paparan awal atau pertama dengan virus ND pada ayam yang digunakan dalam. Oleh

karena itu belum ada memori di sistem kekebalan tubuh ayam terhadap virus ND, sehingga

reaksi tubuh terhadap antigen vaksin sangat rendah. Menurut Tizard (1982), sistem

pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu

antigen sebelumnya. titer antibodi akan mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi karena

tubuh sudah mengenal antigen yang masuk ke dalam tubuhnya sehingga respon kekebalan

tubuh lebih tinggi. Demikian juga menurut Bellanti (1993), sesudah ada rangsangan

antigen (bahan asing), baik limfosit-B atau limfosit T akan mengalami beberapa kali

diferensiasi yang kemudian akan menghasilkan suatu subpopulasi yang disebut sel

memori. Pada pertemuan kembali dengan antigen spesifik (vaksinasi kedua dan

seterusnya), sel-sel tersebut mempunyai kemampuan untuk berproliferasi dan

berdiferensiasi menjadi jalur-jalur sel yang bertanggung jawab baik pada kekebalan

humoral maupun seluler.

Berdasarkan hasil uji statistik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kenaikan titer yang signifikan antara kelompok

perlakuan yaitu kelompok dengan penambahan konsentrasi 30% ekstrak gel lidah buaya

kering dengan kelompok kontrol. Hal ini sejalan dengan penelitian Sulistiawati (2011),

yang menyatakan konsentrasi ekstrak lidah buaya 25% tidak memberikan efek sebagai

imunostimulator atau tidak mempunyai efek imunosupresif. Semakin besar jumlah

konsentrasi ekstrak lidah buaya yang digunakan maka akan memberikan efek negatif atau

dapat bersifat imunosupresif (Sulistiawati, 2011). Dalam penelitiannya digunakan

sebanyak 32 tikus putih jantan (Rattus novergicus) berumur 3 bulan, berat badan 180

sampai 200 g, dan sehat, yang terbagi menjadi 4 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu

satu kelompok kontrol diberikan akuades, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun

lidah buaya 25%, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 50%, dan

Page 129: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

119

satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 75% dan hasilnya rata- rata

jumlah makrofag kelompok kontrol (aquadest) adalah 39,131,99, rata-rata kelompok

ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25% adalah 39,031,12, rata-rata kelompok ekstrak

daun lidah buaya konsentrasi 50% adalah 19,902,21, dan rata- rata kelompok ekstrak

daun lidah buaya konsentrasi 75% adalah 11,551,80. Uji perbandingan antara keempat

kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna

jumlah makrofag diantara keempat kelompok, yaitu pada konsentrasi 50%, dan 75%.

Penurunan jumlah makrofag tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan

saponin. Saponin memiliki kemampuan menghambat mediator inflamasi sehingga

menghambat proliferasi dari proses radang. Hambatan ini disebabkan karena saponin

mampu menghambat dehidrogenase jalur prostaglandin yang akan menghambat

pengaktifan prostaglandin (Robinson, 1995). Saponin dalam jumlah normal berperan

sebagai immunostimulator, sedangkan dalam jumlah yang melebihi batas normal saponin

akan berperan sebagai immunosupresor atau zat yang menekan/menurunkan sistem imun

(Francis et al., 2002). Selain itu Cheeke (1989), menyatakan bahwa senyawa antibakteri

seperti saponin apabila berada dalam tubuh ternak terlalu lama dapat menurunkan daya

tahan tubuh.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa

pemberian ekstrak gel lidah buaya kering yang dicampurkan pada pakan ayam buras

komersial dapat mengurangi konsumsi pakan komersial sebanyak 15% sampai 30 % pada

ayam buras. Dan Pemberian 30% ekstrak gel lidah buaya kering pada ayam buras tidak

bersifat sebagai imunomodulator dan juga tidak bersifat imunosupresif, karena tidak

mampu meningkatkan titer antibodi setelah vaksinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Garib, S. O., Gielkens, A. L. J., Gruys, E. And Koch G. 2003, Review of Newcastle

disease virus with particular reference to immunity and vaccination, World’s Poult.

Sci. Jurnal, 59: 185-200.

Bellanti J. A. 1993, Immunologi III. George University School of Medicine.

Washington DC.

Bintang, I. A. K., Sinurat, A. P., Purwadaria, T., Togatorop, M. H., Rosida, J., Hamid, H.

and Saulina. 2001, ‘Pengaruh Pemberian Bioaktif dalam Lidah Buaya (Aloe vera)

terhadap Penampilan Ayam Pedaging’, Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, pp.574-580.

Block, K. I. And Mead, M. N. 2003, Immune system effects of Echinacea, Ginseng and

Astragalus, Integrative cancer therapies, 2(3): 247-267.

Chinnah, A. D., Baig, M. A., Tizard I. R. and Kemp, M. C. 1992, Antigen dependent

adjuvant activity of a polydispersed β-(1,4)-linked acetylated mannan (acemannan),

Vaccine 10(8): 551 – 557.

Direktorat Jendral Peternakan. 2012, Pengolahan Hasil-Hasil Peternakan. Dirjen

Peternakan. Departemen Peternakan, Jakarta.

Page 130: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

120

Kaufmann, P. B. 1999, Natural Product from plants, CRC Press, New York.

Katzung, B.G. 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Penerjemah dan

editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR. Penerbit Salemba Medika, Surabaya. Hlm

37-41.

Kleppin, Karin. (1998), Fehler und Fehlerkorrektur, Berlin, Druckhause Langenscheidt

Kusmardi, K. Shirly, Triana E. E. 2007, Efek Imunomodulator Ekstrak Daun Ketepeng

Cina (cassia alata L.) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag,

Makara, Kesehatan, 11: 50-53.

Machdum, N. 2009, Vaksinasi Mencegah Penyakit yang Disebabkan oleh Virus dalam

Infovet Edisi 174. Jakarta: Gita Pustaka.

Nawawi, T. and Nurromah. 2002, Ransum Ayam Kampung, Penebar Swadaya, Jakarta

Price, S. A. and Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.

(Edisi 4). Diterjemahkan dari bahasa inggris, Jakarta : EGC. 35-50.

Resnawati, H., Gozali, A., Barchia, I., Sinurat, A. P., Antawidjaja, T. 1998, ‘Penggunaan

berbagai tingkat energi dalam ransum ayam buras yang dipelihara secara intensif’,

Laporan penelitian, Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: K.

Padmawinata, K. Edisi IV. Bandung: ITB Press. Hal. 191, 196, 197

Sinurat, A. P., Purwadaria, T., Togatorop M. H. And Pasaribu, T. 2003, Pemanfaatan

bioaktif tanaman sebagai feed additive pada ternak unggas, Pengaruh pemberian gel

lidah buaya atau ekstraknya dalam ransum terhadap penampilan ayam pedaging,

JITV, 8(3): 139 – 145.

Sulistiawati, N. 2011, ‘Pemberian Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe Vera) Konsentrasi

75% Lebih Menurunkan Jumlah Makrofag Daripada Konsentrasi 50% Dan 25%

Pada radang Mukosa Mulut Tikus Putih Jantan’, Tesis, M.Si, Universitas Udayana,

Denpasar.

Sumekar, W. 1993, ‘Hubungan Konsumsi Protein Hewani dengan Pendapatan Rumah

Tangga Peternak Ayam Buras pada Tiga Pola Pemeliharaan Berbeda di Kabupaten

Kendal, Jawa Tengah’, Tesis, Magister Sains Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor,

Bogor.

Tabbu, C. R. 2000, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial, Mikal,

dan Viral, Kanisius, Yogyakarta.

Tizard, I. 1982, Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi II. W. B. Saunders Company, New

York.

Page 131: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

121

DETEKSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH

POTONG HEWAN (RPH) OEBA KOTA KUPANG

(THE DETECTION OFCYSTICERCOSIS IN PIGCUTIN THE SLAUGHTER HOUSE

OEBAKUPANG CITY)

Ellen Fanggi1, Annytha Ina Rohi Detha2, Diana Agustiani Wuri 3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email:

[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected] 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected]

ABSTRACT

Cysticercosis is a zoonotic parasitic disease caused by the larvae of Taenia solium

that is a tapeworm in pigs. Yet cysticercosis is still a public health problem in Indonesia.

Humans can be infected by the Taeniasis when eating pork containing cysticercus. Based

on the number of pigs in NTT, the high level of consumption of pork, the socio-cultural

communities which often use pigs in the traditional and religious events, as well as pigs

maintenance system in general which is still done traditionally, could be a great chance

occurrence of cases of taeniasis and cysticercosis. The research of cysticercosis in pigs

slaughtered in the slaughter house Oeba the city of Kupang was carried out for 21 days by

examining the direct inspection of the pork, followed by phases of laboratory

identification. This study aims to detect the incidence of cysticercosis in pigs slaughtered in

Slaughter House Oeba Kupang and the sampling used a purposive sampling method.

There were 355 pigs examined in this research and as many as 28 pigs with the livers

showed show specific symptoms of cysticercus. Based on the results of microscopic

observation of the preparations of cysticercus by seeing the morphology of skoleks, there

were 2 samples detected as positive results of cysticercus and 26 samples were negative.

Both samples were the male race Duroc pigs from the village of Tarus, Kupang regency

with the cause of occurrence was Cysticercus cellulosae or larval form of Taenia solium

worms.

Keywords: Cysticercosis, Cystisercus cellulosae, Kupang City, Pork, Slaughter house,

Taenia solium,

PENDAHULUAN

Sistiserkosis adalah salah satu penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh

larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva ini adalah

metacestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae (Handojo and Margono,

2002). Penyakit ini menyebar hampir di seluruh dunia dan oleh World Health Organization

(WHO) disebut sebagai salah satu Neglected Tropical Diseases (NTDs) atau Neglected

Zoonotic Diseases (NZDs) karena menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat,

pertanian dan perekonomian tetapi kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah dan

masyarakat (Craig et al., 2007; Flisser et al., 2011 and WHO, 2011).

Page 132: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

122

Sampai saat ini sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia.

Tiga propinsi di Indonesia yang merupakan endemis taeniasis dan sistiserkosis adalah Bali

(T. solium dan T. saginata), Sumatera Utara (T. asiatica), dan Papua (T. solium) (Wandra

et al., 2006). Kasus sistiserkosis juga pernah dilaporkan dengan kejadian secara sporadis di

Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta dan

Kalimantan Barat (Margono et al., 2001 and Margono et al., 2004).

Parasit T. solium inimelangsungkan siklus hidupnya di antara manusia dan babi

(Pondja et al., 2010). Babi berperan sebagai hospes perantara, sedangkan manusia berperan

sebagaihospes definitif dan hospes perantara. Babi terinfeksi sistiserkosis setelah menelan

telur atau proglotid cacing pita dari feses manusia. Kejadian Sistiserkosis pada babi ini

merupakan sumber awal infeksi taeniasis pada manusia yang terjadi setelah manusia

mengkonsumsi daging babi yang mengandung larva Cysticercus cellulosaeyangdimasak

kurang sempurna. Sistiserkosis juga dapat terjadi pada manusia jika telur T.solium tertelan

melalui mulut dari jari tangan yang tidak bersih setelah defekasi ataupun akibat

kontaminasinya pada tanah, air atau vegetasi. Dengan demikian penyakit Taeniasis dan

Sistiserkosis ini sangat berkaitan erat dengan faktor sosial-budaya, seperti cara

pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan mengkonsumsi daging yang

kurang matang serta masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan

lingkungan (Estungsih, 2009).

Office Internasional des Epizooties (OIE) (2008) telah menetapkan bahwa metode

pemeriksaan standar untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah

pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan dengan

cara palpasi lidah, sedangkan pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi

sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara

visual pada tempat yang berbeda pada organ-organ predileksi seperti otot antar tulang

rusuk, otot leher, otot bahu, otot paha, lidah, hati, paru-paru, ginjal, jantung, dan otak

(Garcia et al., 2003; Juyal et al., 2008; Allepuz et al., 2009).

Berdasarkan banyaknya jumlah ternak babi di NTT, tingginya tingkat konsumsi

daging babi, sosial-budaya masyarakat yang sering menggunakan ternak babi dalam acara

adat dan keagamaan, serta sistem pemeliharaan ternak babi pada umumnya masih

dilakukan secara tradisional dapat menjadi peluang besar terjadinya kasus taeniasis dan

sistiserkosis. Dengan demikian maka salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

mengendalikan penyebaran kedua penyakit tersebut adalah dengan melakukan

pemberantasan sistiserkus pada dagingdi tempat pemotongan hewan, mengingat adanya

sistiserkus pada daging dapat menjadi faktor resiko dalam penularan penyakit taeniasis

pada manusia.

Salah satu sumber distribusi daging babi bagi masyarakat di wilayah Kota Kupang

dan sekitarnya berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba. Oleh karena itu,

berdasarkan latar belakang yang ada di atas, maka studi kajian sistiserkosis perlu dilakukan

dengan mempelajari kejadian sistiserkosis pada babi yang di potong di RPH Oeba.

Page 133: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

123

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei yang bersifat kualitatif yaitu

untuk mendeteksi sistiserkosis pada daging babi di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba,

Kota Kupang. Pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling. Penelitian ini

menggunakan sampel dari organ hati yang menunjukkan gejala spesifik sistiserkus yang

diperoleh dari hasil pemeriksaan terhadap setiap ekor babi yang dipotong.

Pemeriksaan sampel dilakukan melalui dua tahap, yaitu pemeriksaan secara

postmortem dan pemeriksaan secara laboratoris. Pada pemeriksaan postmortem, setiap ekor

babi yang dipotong diamati perubahan patologi anatomi dariorgan hati terhadap

kemungkinan adanya kista sistiserkus.Selanjutnya kista yang ditemukan diambil 2x1 cm

dan dimasukkan ke dalam pot sampelberisi larutan formalin 10%dan diberi tanda

menggunakan kertas label. Setelah pengambilan sampel selesai dilaksanakan, kemudian

dilanjutkan dengan pemeriksaan secara laboratoris.

Tahapan pembuatan preparat sistiserkus dilakukan dengan mengeluarkan skolek dari

metacestoda dengan cara menekan metacestoda menggunakan skalpel. Skolek dipotong,

kemudian ditipiskan dengan mengiris secara berhati-hati di bawah mikroskop untuk

memperoleh sediaan setipis mungkin, selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan

menggunakan carmine. Preparat direndam didalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol

50 %, 70 %, 80 % dan alkohol absolut. Kemudian dijernihkan menggunakan minyak

cengkeh sampai terlihat transparan. Potongan skolek ditekan dengan menggunakan kaca

penjepit dan diletakan diatas gelas objek lalu direkatkan dan ditutup dengan gelas penutup.

Identifikasi spesies dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop (Yulianto, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian sistiserkosis pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Oeba

Kota Kupang dilakukan selama 21 hari dengan melakukan pemeriksaan secarapostmortem,

kemudian dilanjutkan dengan tahap pengidentifikasian secara laboratoris.Jumlah babi yang

diperiksa selama penelitian adalah sebanyak 355 ekor yang terdiri dari 128 ekor babi

jantan dan 227 ekor babi betina. Terdapat beberapa jenis babi yang dipotong, antara lain

Duroc 85 ekor, Landrace 198 ekor dan Lokal-Persilangan 22 ekor. Pemeriksaan terhadap

kista dilakukan dengan teliti pada organ hati dari setiap ekor babi yang dipotong.

Pemeriksaan Postmortem pada Babi yang Dipotong

Menurut Dorny et al. (2004), pemeriksaan postmortem terhadap sistiserkus

memiliki sensitivitas sebesar 38,7 % dan spesifisitas sebesar 100 %. Rendahnya

sensitivitas pemeriksaan postmortem memungkinkan tidak ditemukannya sistiserkus pada

jenis infeksi ringan. Berdasarkan hasil pemeriksaan postmortem terhadap kista atau

sistiserkus, diperoleh 28 ekor babi dengan permukaan organ hatinya mengandung kista

yang beberapa diantaranya menunjukkan gejala spesifik sistiserkus dari 355 ekor babi yang

dipotong selama penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini, pemeriksaan untuk

mengetahui keberadaan kista sistiserkus tidak dilakukan pada semua organ predileksi

karena terkait kendala yang ditemui di lapangan sehingga pemeriksaan hanya dilakukan

pada organ hati.

Page 134: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

124

Sebagian besar sampel yang menunjukkan gejala spesifik sistiserkus tersebut

merupakan babi yang berasal dari wilayah Kabupaten Kupang dibandingkan Kota Kupang.

Hal ini dapat disebabkan karena pada umumnya di wilayah Kabupaten Kupang, masih

jumpai babi duroc yang dipelihara dengan cara diumbar atau tidak dikandangkan.

Sedangkan pada babi-babi yang berasal dari Kota Kupang, sangat jarang ditemukannya

gejala sistiserkus tersebut karena didukung oleh kondisi sanitasi dan pola peternakan di

wilayah Kota Kupang yang sudah lebih baik, yakni masyarakat tidak lagi melakukan

defekasi diluar jamban dan ternak babi dipelihara dengan sistem pemeliharaan yang

intensif sehingga tidak memungkinkan terjadinya kontak antara ternak babi dengan feses

dari penderita taeniasis yang mengandung telur cacing. Hal ini dibuktikan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Suroso et al. (2006) yang menemukan bahwa peningkatan

sanitasi dan sistem perkandangan akan menyebabkan terjadinya penurunan kejadian

sistiserkosis dan taeniasis secara signifikan.

Gambar 7. Sampel kista yang ditemukan pada permukaan organ hati: Kista dengan ciri

spesifik sistiserkus (a) dan (b); Kista yang mengalami kalsifikasi (c).

Setiap organ hati yang mengandung kista memiliki jumlah bervariasi antara 1

sampai 3 gelembung yang menyebar secara acak di setiap lobus. Beberapa kista yang

ditemukan pada hati tersebut memiliki ciri seperti sistiserkus yang ditandai dengan kista

berbentuk gelembung transparan berwarna keputih-putihan berisi cairan berukuran 1

sampai 2 cm pada permukaan hati dan ada kista yang sudah mengalami kalsifikasi

(pengapuran) yang ditandai dengan kapsulnya tampak mengeras tanpa cairan dan

ditemukan adanya pengapuran. Menurut Flisser et al. (2006), sistiserkus T. solium

berbentuk gelembung keputihan semi transparan dengan ukuran diameter sekitar 1 sampai

2 cm. Demikian pula menurut Soedarto (2008), sistiserkus terdiri atas kantung tipis yang

a b

c

Page 135: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

125

dindingnya mengandung skoleks dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih

dengan ukuran diameter 1 sampai 2 cm.

Penemuan terkait organ hati yang mengandung sistiserkus sebelumnya juga pernah

ditemukan oleh Marianto (2010) yang menemukan adanya hati babi yang dijual di salah

satu pasar tradisional Kecamatan Medan Kota terkotaminasi oleh sistiserkus. Demikian

pula oleh Maitindom (2008) yang menemukan adanya hati babi mengandung sistiserkus

yang dijual di pasar Jibama Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. Hal ini sesuai dengan pendapat

dari Garcia et al. (2003) and Bendryman et al.(2014) bahwa hati merupakan salah satu

organ predileksi dari sistiserkus selain otot intercostae, otot leher, otot bahu, diafragma,

mesenterium, otot paha, lidah, masseter, paru-paru, ginjal, hati, mata dan otak.

Pemeriksaaan Laboratorium Terhadap Sampel Kista

Pemeriksaan secara laboratoris terhadap sampel kista dilakukan dalam dua tahap.

Pada tahap pertama, pemeriksaan dilakukan di Laboratorium BBVet Denpasar dengan

jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 20 sampel. Metode identifikasi yang digunakan

yaitu melalui pengamatan terhadap morfologi dari sampel kista secara makroskopis karena

tidak tersedianya pemeriksaan secara mikroskopis. Hasil yang diperoleh dalam

pemeriksaan ini, semua sampel dinyatakan negatif atau kista yang ditemukan tersebut

bukan merupakan kista dari sistiserkus. Hasil pemeriksaan sampel secara makroskopis

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pemeriksaan sampel secara makroskopis

Kode

sampel Asal ternak

Jenis

kelamin Ras Asal Organ Hasil

A01 Tarus Betina Duroc Hati Negatif

A02 Oesao Betina Landrace Hati Negatif

A03 Penfui Jantan Duroc Hati Negatif

A04 Tarus Jantan Duroc Hati Negatif

A05 Noelbaki Jantan Duroc Hati Negatif

A06 Baumata Jantan Duroc Hati Negatif

A07 Oeleta Betina Duroc Hati Negatif

A08 Osmok Jantan Duroc Hati Negatif

A09 Bolok Jantan Duroc Hati Negatif

A10 Manutapen Betina Landrace Hati Negatif

A11 Labat Betina Duroc Hati Negatif

A12 Lasiana Jantan Landrace Hati Negatif

A13 Tablolong Jantan Duroc Hati Negatif

B14 Oesao Betina Duroc Hati Negatif

B15 Oebufu Betina Duroc Hati Negatif

B16 Oebelo Betina Duroc Hati Negatif

B17 Osmok Jantan Landrace Hati Negatif

B18 Oesao Betina Duroc Hati Negatif

B19 NBS Betina Duroc Hati Negatif

Page 136: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

126

B20 Oenesu Betina Duroc Hati Negatif

Keterangan: Kode sampel A: sampel yang diambil pada minggu pertama; Kode sampel B:

sampel yang diambil pada minggu kedua.

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti pada Tabel 4 tersebut, maka peneliti

melakukan pengambilan sampel tahap kedua dan mendapatkan 8 sampel kista.

Pemeriksaan kemudian dilakukan di Laboboratorium Helminth, Ilmu Penyakit Dalam

Hewan dan Masyarakat Veteriner IPB Bogor. Metode pemeriksaan yang digunakan, yaitu

secara mikroskopis melalui pembuatan preparat skoleks dengan tujuan untuk

mengidentifikasi spesies dari sistiserkus berdasarkan morfologi skoleks yang terlihat. Hasil

pemeriksaan sampel secara mikroskpis disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil pemeriksaan sampel secara mikroskopis

Kode

sampel Asal ternak

Jenis

kelamin Ras Asal Organ Hasil

C21 Tarus Jantan Duroc Hati Positif C.cellulosae

C22 Oebobo Betina Landrace Hati Negatif

C23 Namosain Jantan Duroc Hati Negatif

C24 Oesao Jantan Duroc Hati Negatif

C25 Jln. Nangka Betina Landrace Hati Negatif

C26 Pasir Panjang Betina Landrace Hati Negatif

C27 Tarus Jantan Duroc Hati Positif C. cellulosae

C28 Baumata Jantan Duroc Hati Negatif

Keterangan: Kode sampel C:sampel yang diambil pada minggu ketiga.

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan terhadap 8 sampel,

diperoleh 2 sampel terdeteksi positif merupakan sistiserkus yaitu sampel dengan kode C21

dan C27 sedangkan6 sampel lainnya menunjukkan hasil yang negatif. Kedua sampel

positif tersebut merupakan babi jantan dengan ras Duroc yang berasal dari Desa Tarus

wilayah Kabupaten Kupang.

Banyaknya hasil negatif yang diperoleh baik pada pemeriksaan tahap pertama

maupun tahap kedua ini, menandakan bahwa tidak semua kista yang ditemukan pada

permukaan organ hati babi merupakan kista dari sistiserkus. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena beberapa kista yang ditemukan tersebut merupakan bentuk migrasi dari

larva cacing Ascaris suum dan Stephanurus dentatus, serta ada juga beberapa sampel kista

sistiserkus yang ditemukan tersebut sudah mengalami kalsifikasi (pengapuran). Kedua hal

ini masing-masing dibuktikan dengan pendapat dari Sewell and Brocklesby (1990) yang

dikutip dalam Dharmawan (1996), yang mengemukakan bahwa migrasi larva dari cacing

Ascaris suumdan Stephanurus dentatus pada babi menyebabkan terbentuknya kista pada

permukaan organ hati yang dapat dikelirukan dengan bentuk kista dari sistiserkus dan

selanjutnya oleh Irianto (2009), yang menyatakan bahwa satu tahun pasca infeksi

sistiserkosis pada babi dan manusia, sistiserkus akan mengalami kalsifikasi (pengapuran).

Page 137: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

127

Gambaran Mikroskopis Preparat Sistiserkus

Skoleks merupakan anggota tubuh cestode yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia. Berdasarkan hasil pengamatan secara

mikroskopik terhadap morfologi skoleks pada kode sampel C21, teramati bahwa skoleks

tersebut mempunyai 4 buah sucker dengan rostelum yang dikelilingi oleh kait-kait dalam

dua baris, tetapi jumlah kaitnya tidak dapat dihitung secara jelas. Sedangkan pada preparat

dengan kode sampel C27, teramati skoleks dengan rostelum yang dikelilingi 2 baris kait

berjumlah 32 buah. Hal ini sejalan dengan pendapat Handojo dan Margono (2008) yang

menyatakan bahwa skoleks T. solium berbentuk bulat, mempunyai 4 buah batil hisap

(sucker) dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dengan

masing-masing sebanyak 25 sampai 30 buah. Adapun menurut Bogisth et al. (2005) yang

menyatakan bahwa morfologi skoleks T. solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat

buah batil hisap (sucker). Rostelum dikelilingi oleh sebaris kait panjang dan kait pendek

yang setiap barisnya tersusun atas 22 sampai 32 kait. Oleh karena itu,maka dapat

disimpulkan bahwa pengidentifikasian berdasarkan morfologi dari skoleks pada kode

sampel C21 dan C27 merupakan C. celluosae atau larva dari cacing T. soilum.

Gambar 8. Bentuk morfologi skoleks C. cellulosae dari kode sampel C21

Gambar 9. Bentuk kait C. cellulosae dari kode sampel C27

Penemuan dua ekor babi yang terinfeksi sistiserkosis ini diperkuat dengan hasil penelitian

sebelumnya oleh Detha dan Toha (2010) yang menemukan beberapa ekor babiyang dipotong di

Rostelum

Kait

Sucker

Page 138: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

128

RPH Oeba Kota Kupang terinfeksi sistiserkosis yang disebabkan oleh C. cellulosae. Hal ini

didukung pula oleh pendapat dari Simanjuntak dan Widarso (2004) yang menyatakan bahwa

kasustaeniasis dan sistiserkosisjuga pernah dilaporkandengan kejadian secara

sporadispadabeberapa Provinsi, salah satunyadiNusaTenggara Timur yaitu pada tahun 1975

prevalensi sistiserkosis di Pulau Flores ialah sebesar 2,8 % yang disebabkan oleh T. solium

dan T. saginata. Penelitian lain mengenai sistiserkosis pada babi di NTT masih sangat

jarang dilakukan sehingga tidak ada banyak laporan yang dapat mendukung hasil

penelitian ini. Namun Hasil yang diperoleh ini menjadi penting karena pada umumnya

kejadian sistiserkosis pada babi ditemukandi wilayah yang masyarakatnya banyak

mengkonsumsi daging babi. Penelitian terdahulu menyebutkan wilayah Papua, Bali, dan

Sumatra utara menjadi daerah dengan tingkat kejadian sistiserkosis yang cukup tinggi.

Menurut Dharmawan et al. (2012), bahwa tingginya tingkat konsumsi daging babi

memungkinkan penyakit ini terus terjadi.

Dengan ditemukannya kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong di RPH, hal

ini mengindikasikan bahwa masih ada ternak babi yang dipelihara dengan tidak

dikandangkan atau diumbar, selain itu juga masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam

memperhatikan sanitasi dan kesehatan lingkungan, yaitu tidak melakukan defekasi pada

tempatnya sehingga ternak babi masih dapat kontak dengan feses yang mengandung telur

cacing taenia yang berasal dari penderita Taeniasis. Bagaimanapun telur T. solium yang

berada di lingkungan berasal dari penderita taeniasis. Oleh karena itu, penderita taeniasis

merupakan kunci terpenting dalam penularan sistiserkosis. Hal ini sesuai dengan pendapat

dari Flisser et al. (2003) yang menyatakan bahwa sistiserkosis dan taeniasis sangat

berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, manajemen peternakan, dan cara manusia

mengkonsumsi daging babi. Penemuan dua ekor babi yang terinfeksi sistiserkosis dalam

penelitian ini, disebabkan karena di Desa Tarus masih dijumpai adanya ternak babi yang

dipelihara dengan tidak dikandangkan. Keadaan ini menyebabkan ternak babi mempunyai

kesempatan berkontak dengan feses atau telur cacing T. solium dari penderita taeniasis.

Kejadian sistiserkosis pada babi yang ditemukan pada penelitian ini dapat menjadi

ancaman kesehatan bagi masyarakat terutama bila daging yang terkontaminasi sistiserkus

tersebut tidak mendapat pengawasan yang ketat dan beredar di pasaran. Oleh karena itu,

hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi positif kepada pihak RPH

yang merupakan pemegang peran penting sebagai sarana yang diperlukan untuk

meningkatkan pelayanan masyarakat sekaligus pemutusan rantai penularan penyakit

zoonosa (dari hewan ke manusia) dalam hal ini terkait infeksi sistiserkosis pada babi,

sehingga karkas, daging dan organ dalamnya sehat, aman dan layak untuk dikonsumsi

masyarakat luas, terutama oleh masyarakat Kota Kupang dan sekitarnya.

PENUTUP

Kesimpulan

1. Terdeteksi 2 ekor babi yang positif terinfeksi sistiserkosisdari 355 ekor babi yang

dipotong di RPH Oeba Kota Kupang dengan penyebab kejadiannya adalah Cysticercus

cellulosae atau bentuk larva dari cacing Taenia solium.

Page 139: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

129

2. Dua ekor babi yang terinfeksi sistiserkosis adalah babi jantan rasDuroc yang berasal

dari Desa Tarus Kabupaten Kupang.

DAFTAR PUSTAKA

Allepuz, A., Napp, S., Picado, A., Alba, A., Panades, J., Domingo. M., et al. 2009,

Descriptive and spatial epidemiology of bovine cysticercosis in North-Eastern

Spain (Catalonia). Vet Parasitol. 159:43-48.

Bogisth, B. J., Carter, C. E. and Oeltmann, T. N. 2005, Human Parasitology, 3rd edition,

Elsevier, Oxford.

Craig, P.S., Budke, C.M., Schantz, P.M., Li, T., Qiu, J., Yang, Y., et al. 2007, Human

echinococcosis: A neglected disease? Tropical Medicineand Health, 35: 283-292.

Detha, A.I.R. and Toha, L.R.W. 2014, Identifikasi sistiserkus penyebab sistiserkosis pada

daging babi. Media exacta, Lemlit, Undana.

Dharmawan, N.S. 1996, The Detection of Taenia saginata Cysticercus In Pigs and Cattle

In Bali Using Elisa Method. Media Veteriner. 6 (1): 27-30.

Dharmawan, N. S., Swastika, K., Putra, I.M., Wandara, T., Sutisna, P., Okamoto.,et al.

2012, Present situation and problems of cysticercosis in animal in Bali and Papua. J

Vet. 13 (2): 154-162.

Estuningsih, S.E. 2009,Taeniasis dan Sistiserkosis Merupakan Zoonosis Parasiter,

Wartazoa Vol. 19. No.2

Flisser, A., Sarti, E., Lightowlers, M. and Schantz, P. 2003, Neurocysticercosis: regional

status, epidemiology, impact and control measures in the Americas. Acta Trop. 87:

43–51.

Flisser, A., Craig, P.S. and Ito, A. 2011, Cysticercosis and taeniosis: Taeniasolium, Taenia

saginata and Taenia asiatica. In: Oxford Textbook of Zoonoses (Editors, S.R.

Palmer, Lord Soulsby, P.R. Torgerson & D.W.G. Brown) pp. 625-642. Oxford

University Press, Oxford.

Garcia, H.H., Gonzalez, A.E., Evans, C.A.W. and Gilman, R.H. 2003, Taenia solium

cysticercosis. Lancet. 362:547-556.

Handojo, I. and Margono, S.S. 2008, Taenia solium. Dalam Sutanto, I., Ismid, I. S.,

Sjarifuddin, P.K. and Sungkar, S. ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia, 79-82.

Irianto, Kus. 2009, Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan

Manusia, Cv.Yrama Widya, Bandung.

Juyal, P.D., Sharma, R., Shing, N.K. and Shing, G. 2008, Epidemiology and control

strategies against cysticercosis (due to Taenia Solium) with speciel reference to

swine and human in Asia. J. Veterinary Animal Science, 1: 1-10.

Margono, S.S., Subahar, R., Hamid, A., Wandra, T., Raka S.A.A., Sutisna, P. and Ito, A.

2001, Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop.

Med. Public Health, 32 (Suppl 2): 79-84.

Margono, S.S., Wandra, T., Suroso, T. and Ito, A. 2004, Taeniasis and cysticercosis in

Indonesia. In: Ito, A., Wen. H., Yamasaki, H., editors. Taeniasis/Cysticercosis and

Page 140: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

130

Echinococcosis in Asia. Asian Parasitology vol. 2, AAA Committee/Federation of

Asian Parasitologists, Chiba, Japan, pp. 115-134.

Office Internasional des Epizooties (OIE). 2008, Cysticercosis,

<http://www.oie.int/eng/normes/manual/2008/pdf/2.09.05_CYCTICERCOSIS.pdf>

. Diakses pada 24 September 2014.

Pondja, A., Neves, L., Mlangwa, J., Afonso, S., Fafetine J., Willingham, A.L., et al. 2010,

Prevalence and risk factors of porcine cysticercosis in Angonia District,

Mozambique. Plos Neglected Trop Dis. 4: e594.

Simanjuntak, G.M. and Widarso, H.S. 2004, The Current Taenia Solium

taeniasis/cysticercosis situation in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub

Health. 35:240-246.

Soedarto. 2008, Parasitologi Klinik, Airlangga University Press, Surabaya, Indonesia.

Suroso, T., Margono, S.S., Wandra, T. and Ito, A. 2006, Challenges for control of

taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int 55: S161-S165.

Wandra, T., Deparry, A.A., Sutisna, P., Margono, S.S., Suroso, T., Okamoto, M., et al.

2006, Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatera, Indonesia. Parasitol.

Int. 55: S155-S160.

World Health Organization(WHO). 2011, The Control of Neglected Zoonotic Diseases -

Community-based interventions for prevention and control. ISBN 9789241502528.

Yulianto, Heri. 2014, ‘Kajian Sistiserkosis Dan Taeniasis Pada Babi Hutan dan Babi

Peliharaan Serta Peternak Di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung’,

Disertasi, Dr., Program Studi Kesehatan masyarakat Veteriner, Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Page 141: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

131

UJI KUALITATIF CEMARAN BAHAN KIMIA FORMALIN PADA BAKSO

YANG DIJUAL DI KOTA GORONTALO

(ANALYSIS OF THE CONTENT OFFORMALDEHYDE ON MEATBALL IN

GORONTALO CITY)

Siswatiana Taha

Fakultas Peternakan, Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRACT

This study aims to determine the content of formaldehyde on meatball in Gorontalo

City. Themethod used in this study was to analyze the color change in meatball sample by

using turmeric extract to detect the content of borax and Potassium

permanganate (KMnO4) to detect formaldehyde. The type of this study is descriptive

qualitative. The experimental borax identification results on 40 samples of meatball show

that there are no borax content in the sample. Meanwhile, 37 samples (92,5 %) contain

formaldehyde and 3 samples does not contain formaldehyde. The research has been

concluded that most of meatball sellers in Gorontalo City still use formaldehyde to

preserve meatballs.

Keywords : meatball, formaldehyde, potassium permanganate (kmno4)

PENDAHULUAN

Bakso merupakan salah satu jenis makanan yang terbuat dari produk olahan daging.

Widyaningsih dan Murtini (2006), menyatakan bahwa bakso merupakan produk olahan

daging yang telah dihaluskan terlebih dahulu dan telah dicampur dengan bumbu-bumbu,

tepung dan kemudian dibentuk seperti bola-bola kecil dan direbus dalam air panas. Bakso

sudah lama dikenal dan digemari serta menyebar luas di masyarakat sehingga produk ini

memegang peranan penting dalam penyebaran protein sebagai zat gizi yang dibutuhkan

tubuh.Bakso digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa karena bakso

dihidangkan selain dalam bentuk mie bakso atau mie ayam, juga dihidangkan sebagai

campuran dalam beberapa jenis makanan.

Masyarakat Kota Gorontalo sering mengkonsumsi makanan di luar rumah, salah

satunya adalah mie bakso karena nilai nutrisinya cukup baik, mudah didapat dan harganya

murah.Meskipun demikian, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai bakso yang aman

dan baik untuk dikonsumsi masih kurang. Hal ini perlu diantisipasi karena bakso yang

dijual oleh para pedagang biasanya menggunakan bahan kimia berupa boraks dan formalin.

Boraks dan Formalin merupakan senyawa yang bisa memperbaiki tekstur, kekenyalan dan

memperpanjang masa simpan pada bakso (Syah dkk., 2005).

Boraks adalah senyawa kimia yang mempunyai sifat dapat mengembangkan

adonan, memberi efek kenyal serta membunuh mikroba. Boraks sering digunakan oleh

produsen untuk dijadikan zat tambahan pada makanan bakso, tahu, mie, kerupuk, maupun

Page 142: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

132

lontong.Svelha (1985) mengemukakan bahwa boraks ataupun asam borat digunakan

sabagai bahan antiseptika, solder, pembersih dan pengawet kayu.

Formalin merupakan bahan kimia yang biasa dipakai untuk membasmi bakteri atau

berfungsi sebagai desinfektan. Zat ini termasuk dalam golongan desinfektan kuat dan

dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, penyakit, cendawan atau kapang.

Disamping itu, juga dapat mengeraskan jaringan tubuh (Winarno, 2004).

Jenis bakso yang mengandung boraks dan formalin, teksturnya sangat kenyal dan

awet,bila dilempar ke lantai akan memantul seperti bola bekel, warna tidak kecoklatan

seperti warna daging dan cenderung keputihan. Sedangkan bakso yang aman berwarna

abu-abu segar dan merata disemua bagian, baik di pinggir maupun tengah (Putra, 2009).

Boraks dan Formalin akan berguna dengan positif bila digunakan sesuai yang

seharusnya. Kedua bahan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai bahan pengawet makanan

karena sangat berbahaya bagi kesehatan.Oleh karena itu, perlu menguji bakso yang dijual

oleh para produsen atau pedagang bakso.

Guna mendeteksi formalin pada bakso adalah bahan kimia yang biasa digunakan

untuk mendeteksi formalin pada bakso yaitu larutan Kalium Permanganat (KMnO4).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya kandungan formalin pada

bakso yang dijual di Kota Gorontalo.

MATERI DAN METODE

Sampel yang di uji di ambil dari total populasi penjual bakso yang ada di Kota

Gorontalo sebanyak 40 sampel. Sampel diambil secara acak dari Kota Tengah, Kota Barat,

Kota Utara, Kota Timur, dan Kota Selatan. Kategori penjual bakso adalah penjual bakso

gerobak keliling, dan rumah makan.

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dekskriptif yaitu menentukan ada

atau tidaknya hasil yang didapatkan. Menjelaskan objek yang diteliti sesuai apa adanya,

dengan tujuan menggambarkan secara sistematis, fakta, dan karakteristik objek yang

diteliti secara tepat.

a. Prosedur Kerja Deteksi Formalin yaitu:

1. Sediakan sampel yang akan diuji yaitu bakso

2. Bakso dihaluskan kemudian ditimbang masing-masing sebanyak 5 gr

selanjutnya disimpan dicawan petri yang berbeda

3. Sampel dilarutkan dengan 10 ml aquades selanjutnya disaring

4. Masing-masing filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah diberi

label kemudian ditetesi dengan KMnO4 0,1 N

5. Amati dan tunggu sampai bereaksi selama 1 jam

6. Jika warna ungu violet segera memudar/hilang berarti sampel mangandung

formalin yang bersifat mereduksi KMnO4.

Variabel yang diamati adalah kandungan formalin pada bakso. Pengujian formalin

menggunakan larutan kalium permanganat (KMnO4), dengan melihat perubahan warna

yang terjadi pada masing–masing sampel bakso.

1. Petunjuk sampel mengandung atau tidak mengandung boraks dapat dilihat dari

perubahan warna yang terjadi setelah ditetesi ekstrak kunyit sebagai berikut:

Page 143: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

133

- Jika sampel bakso tidak mengalami perubahan warna (tetap berwarna kuning),

maka sampel negatif mengandung bahan tambahan boraks.

- Jika sampel bakso mengalami perubahan warna (merah kecoklatan), maka

sampel diduga positif mengandung bahan tambahan boraks.

2. Petunjuk bahwa sampel mengandung atau tidak mengandung formalin dapat dilihat

dari perubahan warna yang terjadi setelah ditetesi larutan kalium permanganat

(KMnO4) sebagai berikut :

- Jika sampel bakso tidak mengalami perubahan warna (tetap ungu violet), maka

sampel negatif mengandung senyawa formalin.

- Jika sampel bakso mengalami perubahan warna coklat sampai memudar

menjadi bening, maka sampel diduga positif mengandung formalin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kota Gorontalo merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Gorontalo yang

mempunyai banyak warung makanan menetap seperti warung-warung bakso yang selalu

ramai dikunjungi konsumen setiap harinya. Ini karena Kota Gorontalo yang letaknya

berada di pusat kota sehingga sangat mudah untuk dijangkau oleh seluruh

kalangan masyarakat.Untuk mengetahui ada tidaknya pedagang bakso di Kota

Gorontalo yang menggunakan formalin dalam proses produksi bakso yang

dikhawatirkan dapat membahayakan konsumen dari semua kelompok umur dan

golongan masyarakat yang mengunjungi daerah ini maka dilakukan penelitian mulai

tanggal 10 Oktober 2014 sampai 10 November 2014. Penelitian dilakukan dengan

cara pengamatan ciri fisik bakso secara visual dan pengujian di laboratorium yang

terdiri dari analisis kualitatif formalin pada bakso dan sampel bakso yang

dinyatakan positif mengandung formalin pada analisis kualitatif. Sampel bakso

dikumpulkan dengan menggunakan teknik sampling jenuh (sensus) dimana sampel

bakso diambil dari seluruh pedagang bakso yang memiliki warung menetap yang

ada di lima Kecamatan dengan jumlah pedagang bakso sebanyak 40 yaitu 15

pedagang bakso di Kecamatan Kota Tengah, 5 pedagang bakso di Kota Utara, 5

pedagang bakso di Kota Selatan, dan 10 pedagang bakso di Kota Barat, 5 pedagang di

Kota Timur.

Berdasarkan hasil pencatatan dari survey yang dilakukan saat pengambilan sampel

pedagang bakso yang memiliki warung menetap di Kota Gorontalo yaitu

sebanyak 35 pedangang bakso memperoleh persediaan bakso dengan cara dibuat

sendiri dan 5 pedagang bakso memperoleh persedian bakso yang dijual dari produsen

bakso yang lain.

4.1 Pengamatan Ciri Fisik Bakso

Uji ciri fisik bakso secara visual dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat

perubahan dari parameter yang dijadikan acuan peneliti yaitu tekstur, warna dan daya

simpan bakso. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sampel bakso segar yang

dibuat sendiri tanpa formalin yang kemudian dikonversikan menjadi nilai-nilai mutu

sensoris yang dijadikan acuan perbandingan dalam penilaian uji pengamatan ciri fisik

Page 144: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

134

sampel bakso yang diteliti secara visual.

Bakso kontrol yang dibuat sendiri didapatkan hasil yaitu memiliki tekstur bulat

agak kasar, tidak lengket dan basah, warna bakso abu-abu muda sebelum penyimpanan

dan mengalami kerusakan seperti berlendir, bertekstur rapuh dan lengket , berwarna

kemerahan yang gelap dan berkapang setelah peyimpanan satu hari. Hasil pengamatan

tersebut sama dengan hasil pengataman dalam literature menurut Winarno dan Rahayu

(1994) bahwa bakso kontrol (bakso bebas formalin) mempunyai ciri-ciri yaitu tekstur

agak kasar, masa simpannya hanya 1 hari dan untuk kriteria warna bakso yang baik

dan tidak mengandung bahan pengawet menurut Andayani (1999) yaitu bakso

mempunyai warna abu-abu pucat atau muda.

Formalin

Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa dari 40 sampel

bakso di Kota Gorontalo yang diuji, sebanyak 37 (92,5 %) sampel bakso mengandung

formalin dan 3 (0,75%) sampel bakso tidak mengandung formalin (Lampiran 2).

Tingginya penggunaan formalin pada bakso yang dijual di Kota Gorontalo disebabkan oleh

kepentingan ekonomi para produsen atau penjual bakso. Alasannya adalah agar pedagang

tidak mengalami kerugian bila barang dagangan mereka tidak habis terjual dalam sehari.

Selain itu, penggunaan formalin oleh produsen dikarenakan daya beli konsumen yang

rendah dibandingkan produksi bakso serta persaingan para penjual yang semakin

meningkat. Kurangnya informasi tentang bahaya formalin, harga formalin yang sangat

murah, tingkat kesadaran masyarakat (khususnya para produsen atau penjual bakso)

terhadap kesehatan yang masih rendah, juga ikut mendorong penggunaan formalin sebagai

bahan pengawet pada bakso.

Tingginya penggunaan formalin pada bakso setidaknya mencerminkan masih

tingginya tingkat penggunaan formalin pada produk pangan. Effendi (2012)

mengemukakan bahwa bahan pengawet (formalin) pada dasarnya memang sangat

dibutuhkan pada makanan produk pangan, khusunya pada bakso dan mie basah karena

memiliki kadar air cukup tinggi. Tujuannya untuk mencegah aktifitas mikroorganisme

sehingga dapat bertahan lama. Namun demikian, harus juga dipertimbangkan

keamanannya serta pengaruhnya terhadap kesehatan setiap orang yang mengkonsumsinya

(Effendi, 2012).

Pengaruh formalin terhadap kesehatan adalah tenggorokan dan perut terasa

terbakar, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat,

sakit kepala, hipotensi, kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu, juga dapat terjadi

kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pancreas, sistem susunan saraf pusat dan ginjal,

menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing,

penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada (Depkes RI, 1988).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa sebanyak

92,5% (37 dari 40 sampel yang diuji) bakso yang dijual di Kota Gorontalo mengandung

formalin.

Page 145: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

135

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 1988. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.

722/Menkes/IX/1988. Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta.

Effendi, S. 2012. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta. Bandung.

Mointi, S. 2014. Mengidentifikasi Boraks dan Kandungan Eschericia coli Pada Jajanan

Bakso Yang di Jual di LingkunganUniversitas Negeri Gorontalo. Skripsi.

Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Putra, A.K. 2009. Formalin dan Boraks pada Makanan. Institut Teknologi Bandung.

Bandung.

Svehla, G.. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro,

Terjemahan: Setiono dan A. Hadyana Pudjatmaka. Jakarta: PT. Kalman Media

Pustaka.

Syah, D. dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan

Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Winarno FG . 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. M-Brio Press. Bogor.

Widyaningsih, T.W, dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada

Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agirasana.Pusat definisi,2012.bakso.

http://www.pusat-definisi.com/2012/11/bakso-adalah.html. [Diakses 15 juni 2014].

Page 146: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

136

Page 147: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

137

GAMBARAN DARAH PADA DOMBA YANG TERINFEKSI Mycobacterium bovis

Yohanes T.R.M.R. Simarmata1, Ida Tjahajati2, Hajar Cahya Utami2

1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana 2Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Tuberkulosis merupakan penyakit zoonosis yang perlu mendapat perhatian di

Indonesia. Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium bovissering ditemukan pada

sapi tetapi rentan menginfeksi hewan domestik lain termasuk domba. Bovine tuberculosis

dikarakteristikkan dengan pembentukan granuloma (tuberkel) di beberapa organ terutama

paru-paru, hati dan ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahahan

perubahan gambaran darah domba yang terinfeksi M.bovis.Sebanyak 4 ekor domba yang

diduga terinfeksi tuberkulosis, dilakukan PCR untuk isolasi dan identifikasi bakteri. Dua

ekor domba yang dinyatakan terinfeksi M. bovis, selanjutnya dilakukan pengambilan darah

untuk pemeriksaan darah rutin. Empat minggu terakhir dilakukan pengambilan serum

untuk pemeriksaan fungsi hati dan ginjal. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan

peningkatan jumlah total sel darah putih, neutrofil, limfosit, monosit, kadar SGOT, SGPT,

BUN, dan kreatinin serta terjadi penurunan jumlah total sel darah merah, hemoglobin, dan

hematokrit.

Kata kunci : Tuberkulosis, M.bovis, darah, domba

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis kompleks (M.tuberculosis, M.bovis, dan M.africanum) (Quinn, 2002).

Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis dengan prevalensi tinggi yang menyerang

manusia dan hewan di beberapa negara berkembang. Lima sampai delapan persen kasus

pada manusia disebabkan oleh M.bovis. Tuberkulosis yang disebabkan oleh M.bovis

merupakan penyakit penting yang menyerang sapi dan spesies lain di beberapa negara.

Walaupun hospes utama adalah sapi domestik, tetapi M.bovis dapat juga menginfeksi

hewan domestik lain, termasuk rentan pada domba dan hewan liar(Hirsch, 2004; Rocha,

et.al., 2010). Data OIE pada tahun 2010 menyebutkan bahwa di Indonesia secara klinis

tidak pernah dilaporkan adanya kasus penyakit Bovine Tuberculosis (BTB) pada sapi. Data

tahun 1994 hanya menyebutkan adanya 3 kasus BTB di Propinsi Jawa Barat. Namun

penelitian sebelumnya menyebutkan, seroprevalensi BTB di kabupaten Bangli sebesar

2,22% (Putra, et.al., 2013).

Beberapa sumber menyebutkan bahwa kasus M.bovis jarang ditemukan dan relatif

resisten pada domba (Headley, 2002; Carter dan Wise, 2004; Shitaye, et.al., 2007). Namun

pada penelitian sebelumnya, pemeriksaan postmortem dilakukan pada 70 domba yang

bereaksi positif terhadap reaksi tuberkulin. Lesi mirip tuberkulosis yang terdapat pada sapi

ditemukan sebanyak 61% dari kasus. M.bovis juga ditemukan sebanyak 32 dari 43 domba

yang terdapat lesi tuberkulosis pada penyelidikan sebelumya. Pada penyelidikan lain,

OutbreakM.bovis di kandang domba yang kontak dengan tuberkulosis sapi ditemukan lesi

Page 148: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

138

makroskopik TB sebanyak 4 dari 6 sampel yang positif tes tuberkulin dan dari lesi dapat

diisolasi M.bovis.

Ternak domba menyebar rata di seluruh wilayah nusantara. Hal ini menunjukkan

bahwa domba mempunyai potensi yang cepat untuk menyesuaikan diri baik dengan

lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Kelebihan domba dibandingkan dengan

ternak lain adalah lebih tahan terhadap beberapa penyakit (Murtidjo, 1993).

Darah

Gambaran darah normal pada domba dapat terlihat pada tabel 1. Tabel 1 menunjukan

gambaran darah kisaran dan rata-rata, namun ada juga yang tidak memiliki rata-rata (dapat

dikategorikan normal jika hasilnya masih dalam kisaran yang tertera di tabel)

Tabel 1. Nilai darah normal pada domba

Parameter Kisaran Rata-rata

Eritrosit (x106/µL) 9-15 12,0

Hemoglobin 9-15 11,5

PCV (%) 27-45 35

MCV (fL) 28-40 34

MCH (pg) 8-12 10,0

MCHC (%) 31-34 32,5

Diameter RBC (µm) 3,2-6,0 4,5

Plasma protein (g/dL) 6,0-7,5

Fibrinogen (mg/dL) 100-500

Trombosit(x103) 800-1100 500

Masa hidup RBC 140-150

Myeloid: rasio eritroid 0,77-1,7 1,1

Total leukosit (/µL) 4000-8000 12000

Neutrofil (band) jarang -

Neutrofil (segmented) 700-6000 2400

Limfosit 2000-9000 5000

Monosit 0-750 200

Eosinofil 0-1000 400

Page 149: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

139

Basofil 0-300 50

Persentase distribusi

Neutrofil (band) jarang

Neutrofil (segmented) 10-50 30

Limfosit 40-55 62

Monosit 0-6 2,5

Eosinofil 0-10 5,0

Basofil 0-3 0,5

(Weiss dan Wardrop, 2010)

MATERI DAN METODE

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah darah domba jantan dan betina yang

diambil dari pasar hewan yang diduga menderita tuberkulosis dengan test PCR.

Pemeriksaan darah dilakukan di RSH Soeparwi Yogyakarta dengan alat Hemoanaliser dan

di Laboratorium Pramita Yogyakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan gejala klinis

Pemeriksaan terhadap gejala klinis dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi pada

domba. Pemeriksaan kondisi fisik secara umum, domba masih tampak normal dan gerakan

tubuh masih cukup aktif. Pemeriksaan selaput mukosa mata, hidung, mulut, dan anus, tidak

menunjukkan keadaan anemik atau hiperemik. Pemeriksaan hidung tidak terlihat adanya

leleran. Cermin hidung terlihat kering. Pada kondisi tubuh, domba tampak kurus, dilihat

dari flank yang cekung. Pemeriksaan limfoglandula tidak menunjukkan kebengkakan.

Secara keseluruhan tidak ditemukan perubahan gejala klinis yang spesifik pada domba.

Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah meliputi rata-rata jumlah total sel darah putih, limfosit, monosit,

granulosit, sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit.

Jumlah Total Sel Darah Merah

Hasil pemeriksaan rata-rata sel darah merah total disajikan pada Gambar 1. Pemeriksaan

sel darah merah pada minggu ke-1 menunjukkan hasil 6,495x106/uL kemudian pada

minggu ke-2 menjadi 1,62x106/uL. Pada minggu ke-3 dan ke-4 mengalami kenaikan

menjadi 2,095x106/uL dan 7,275x106/uL. Penurunan terjadi pada minggu ke-5 menjadi

6,95x106/uL dan meningkat pada minggu ke-6 menjadi 8,385x106/uL. Pada minggu ke-7

dan ke-8 terjadi penurunan menjadi 7,09x106/uL dan 6,675x106/uL. Peningkatan terjadi

pada minggu ke-9 menjadi 7,84x106/uL tetapi pada minggu ke-10 turun menjadi

7,77x106/uL.Dari hasil pemeriksaan pada minggu ke-1 sampai ke-10, total sel darah merah

Page 150: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

140

lebih rendah dibanding normal. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah normal sel

darah merah pada domba berkisar antara 9-15x106/uL (rata-rata 12x106/uL). Menurut

Javed, et.al., (2010) tuberkulosis menyebabkan penurunan eritrosit.

Gambar 1. Grafik rata-rata total sel darah merah (106/uL) selama 10 minggu dibanding

rata-rata normal

Hemoglobin

Hasil pemeriksaan rata-rata hemoglobin disajikan pada Gambar 2. Hasil pemeriksaan

menunjukkan hasil 17,85g/dL pada minggu ke-1 kemudian menurun pada minggu ke-2 dan

ke-3 menjadi 9,2g/dL dan 8,05g/dL. Pada minggu ke-4 terjadi peningkatan menjadi

9,6g/dL tetapi turun kembali pada minggu ke-5 menjadi 8,95g/dL. Peningkatan terjadi

pada minggu ke-6 menjadi 10,6g/dL tetapi turun pada minggu ke-7 dan ke-8 menjadi

8,75g/dL dan 7,5g/dL. Pada minggu ke-9 terjadi peningkatan menjadi 9,8g/dL dan turun

pada minggu ke-10 menjadi 9,7g/dL.

Gambar 2. Grafik rata-rata hemoglobin (/uL) selama 10 minggu dibanding rata-rata

normal

Page 151: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

141

Pada minggu ke-3,5,7, dan ke-8, hemoglobin lebih rendah dari normal. Menurut

Weiss dan Wardrop (2010), hemoglobin normal pada domba berkisar antara 9-15g/dL

(rata-rata 11,5g/dL). Menurut Javed, et.al., (2010) pada tuberkulosis terjadi penurunan

pada nilai hemoglobin.

Hematokrit

Hasil pemeriksaan rata-rata hematokrit disajikan pada Gambar 3. Pemeriksaan

hematokrit pada minggu ke-1 menunjukkan hasil 29,75% kemudian turun menjadi 7,1%

pada minggu ke-2. Peningkatan terjadi pada minggu ke-3 dan ke-4 menjadi 9,5% dan

34,5%. Pada minggu ke-5 turun menjadi 33,2% dan meningkat menjadi 41,2% pada

minggu ke-6. Penurunan terjadi pada minggu ke-7 dan ke-8 menjadi 34,9% dan 32,7%.

Pada minggu ke-9 terjadi peningkatan menjadi 37,8 tetapi sedikit menurun pada minggu

ke-10 menjadi 36,9%.

Hasil pemeriksaan hematokrit minggu ke-2 dan ke-3 lebih rendah daripada normal.

Pada minggu yang lain, hasil pemeriksaan hematokrit masih dalam kisaran normal tetapi

mengalami penurunan pada minggu ke-10 dibandingkan pengambilan pada minggu

sebelumnya. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), hematokrit normal pada domba berkisar

antara 27-45% (rata-rata 35%). Menurut Shettar, et.al., (2011) penurunan nilai hematokrit

dapat disebabkan karena penyakit sudah berada pada fase kronis dan terjadi atrofi pada

sumsum tulang.

Gambar 3. Grafik rata-rata hematokrit (%) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal

Jumlah total sel darah putih

Pemeriksaan jumlah total sel darah putih atau leukosit terdapat pada Gambar 4.

Hasil menunjukkan bahwa jumlah total leukosit minggu ke-1 dari 86,85x103/uL menurun

menjadi 15,55x103/uL pada minggu ke-2 dan 11,5x103/uL pada minggu ke-3. Pada minggu

ke-4 mengalami sedikit kenaikan menjadi 14,75 WBC tetapi minggu ke-5 turun menjadi

13,45x103/uL dan kembali menjadi 14,75x103/uL pada minggu ke-6. Pada minggu ke-7,

leukosit menurun menjadi 9,4x103/uL kemudian mengalami kenaikan menjadi

10,75x103/uL, 14,25x103/uL, 15,05x103/uL pada minggu 8, 9, dan ke 10.

Dari hasil pemeriksaan, sel darah putih lebih tinggi dibanding rata-rata normal pada

minggu ke-1,2,4,5,6,8,9,10. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), normal sel darah putih

Page 152: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

142

pada domba berkisar antara 4-8x103/uL (rata-rata 12x103/uL). Peningkatan total sel darah

putih pada minggu ke-1 mungkin disebabkan karena awal infeksi dari M. bovis (infeksi

akut) kemudian menurun setelah infeksi sudah bersifat kronis.Saat bakteri memasuki paru-

paru, makrofag akan menyebabkan respon keradangan dengan memobilisasi leukosit dari

darah. Migrasi leukosit menuju daerah alveolar menunjukkan infeksi aktif dari

Mycobacterium (Andersson, et.al.,2011). Javed, et.al., (2010) menambahkan, pada

pemeriksaan hematologi dapat terjadi leukositosis dan leukopenia tergantung fase dan

perkembangan penyakit.

Gambar 4. Grafik rata-rata jumlah total sel darah putih (103/uL) selama 10 minggu

dibanding rata-rata normal

Jumlah sel neutrofil

Hasil pemeriksaan rata-rata jumlah neutrofil disajikan pada Gambar 5. Pemeriksaan

jumlah neutrofil segmen pada minggu ke-1 menunjukkan hasil 26,05x103/uL kemudian

turun menjadi 2,5x103/uL dan 1,8x103/uL pada minggu ke-2 dan ke-3. Pada minggu ke-4

mengalami sedikit kenaikan menjadi 5,65x103/uL, tetapi turun kembali menjadi

3,9x103/uL pada minggu ke-5. Peningkatan terjadi pada minggu ke-6 menjadi 5,1x103/uL

dan turun pada minggu ke-7 menjadi 2,85x103/uL. Pada minggu ke-8 dan ke-9 terjadi

peningkatan menjadi 4,05x103/uL dan 5x103/uL kemudian turun menjadi 4,45x103/uL

pada minggu ke-10.

Jumlah neutrofil lebih tinggi dibanding normal pada minggu ke-1 sedangkan

minggu ke-2 sampai ke-10 masih berada dalam batas normal. Peningkatan terjadi pada

minggu ke-8 dan 9 dibanding hasil pada minggu sebelumnya. Menurut Weiss dan Wardrop

(2010), jumlah normal neutrofil pada domba berkisar antara 0,7-6x103/uL (rata-rata

2,4x103/uL. Menurut Andersson, , et.al., (2011) sel fagosit pertama yang menuju tempat

infeksi adalah neutrofil yang teraktivasi oleh produk mikrobial. Aktivasi neutrofil akan

meningkatkan imunitas dengan memproduksi antimikrobial peptida, pelepasan granula,

dan memperpanjang masa hidup sel.

Page 153: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

143

Gambar 5. Grafik rata-rata jumlah neutrofil (103/uL) selama 10 minggu dibanding rata-

rata normal

Jumlah sel limfosit

Hasil pemeriksaan nilai rata-rata sel limfosit dapat dilihat pada Gambar 6.

Pemeriksaan jumlah sel limfosit pada minggu 1 adalah 49,65x103/uL kemudian menurun

pada minggu ke-2, 3, 4 menjadi 11,35x103/uL, 8,3x103/uL, dan 8x103/uL. Pada minggu ke-

5 mengalami sedikit kenaikan menjadi 8,55 tetapi turun kembali pada minggu ke-6

menjadi. Pada minggu ke-7 terjadi penurunan mejadi 5,65x103/uL dan 5,55x103/uL pada

minggu ke-8. Peningkatan terjadi pada minggu ke-9 dan 10 menjadi 8x103/uL dan

8,7x103/uL.

Peningkatan jumlah sel leukosit hanya terjadi pada minggu ke-1 dan 2 sedangkan

minggu ke-3 sampai ke-10 masih berada dalam batas normal. Peningkatan terjadi pada dua

minggu terakhir pengambilan sampel dibanding dengan minggu sebelumnya. Menurut

Weiss dan Wardrop (2010), jumlah normal sel limfosit pada domba berkisar antara 2-

9x103/uL (rata-rata 5 x103/uL).

Gambar 6. Grafik rata-rata jumlah sel limfosit (103/uL) selama 10 minggu dibanding

rata-rata normal

Menurut Beechler, et.al., (2009) infeksi akut tuberkulosis menyebabkan kenaikan limfosit.

Limfosit akan mengalami penurunan saat penyakit berada pada fase kronis. Menurut

Page 154: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

144

Nagata dan Koide (2012) Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri intraseluler

fakultatif yang bertahan di fagosom makrofag alveolar.

Jumlah sel monosit

Hasil pemeriksaan jumlah sel monosit dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil

pemeriksaan monosit pada minggu ke-1 adalah 11,2x103/uL kemudian menurun dari

minggu ke-2 sampai minggu ke-5 berturut-turut menjadi 1,7x103/uL, 1,4x103/uL,

1,1x103/uL, 1x103/uL. Hasil pada minggu ke-6 mengalami sedikit kenaikan menjadi 1,3,

tetapi turun pada minggu ke-7 menjadi 0,9x103/uL. Pada minggu ke-8,9,10 terjadi

peningkatan menjadi 1,15x103/uL, 1,25x103/uL, dan 1,9x103/uL.

Gambar 7. Grafik rata-rata jumlah sel monosit (103/uL) selama 10 minggu dibanding

rata-rata normal

Berdasarkan pemeriksaan, jumlah monosit dari minggu ke-1 sampai minggu ke-10

lebih tinggi dibanding normal. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah normal sel

monosit pada domba berkisar antara 0-0,75x103/uL (rata-rata 0,2x103/uL) dan persentase

distribusi normal monosit berkisar antara 10-50% (rata-rata 30%). Menurut Junior dan

Henriques (1997) akumulasi neutrofil di daerah radang akan menyebabkan aktivasi pada

sel monosit untuk melakukan fagositosis. Monosit akan berubah menjadi makrofag yang

mampu mengeliminasi Mycobacterium. Shettar, et.al., (2011) menambahkan, monosit

memiliki peran penting dalam respon seluler terhadap basilus tuberkel dan bertanggung

jawab untuk melakukan degradasi fosfolipid pada dinding sel bakteri. Monosit kemudian

berubah menjadi sel epithelioid yang merupakan bagian dari granuloma tuberkulosis. Oleh

karena itu, monositosis dapat dianggap sebagai bukti proses aktif yang ekstensif dari

tuberkulosis.

Pemeriksaan fungsi hati

Pemeriksaan fungsi hati meliputi pemeriksaan nilai SGOT dan SGPT. Hasil

pemeriksaan fungsi hati ditampilkan pada Gambar 8 dan Gambar 9. Pada pemeriksaan

SGOT minggu ke-7 menunjukkan hasil 156uL kemudian turun pada minggu ke-8 menjadi

95,586,5uL. Hasil pada minggu ke-9 adalah 95,5uL kemudian menurun pada minggu ke-

10 menjadi 79,5uL. Pada pemeriksaan SGPT minggu ke-7 menunjukkan hasil 10,5uL

Page 155: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

145

kemudian turun menjadi 10uL pada minggu ke-8. Hasil pada minggu ke-9 adalah 10,5uL.

Hasil pada minggu ke-10 adalah 10,5uL.

Hasil pemeriksaan SGOT menunjukkan nilai lebih tinggi dibanding batas bawah

SGOT normal. Pada pemeriksaan SGPT terjadi peningkatan hasil pada dua minggu

terakhir pengambilan sampel. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) jumlah SGOT normal

pada domba berkisar antara 49-123uL sedangkan jumlah SGPT normal pada domba

berkisar antara 15-44uL.

Gambar 8. Grafik rata-rata SGOT (uL) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal

Gambar 9. Grafik rata-rata SGPT (uL) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal

Menurut Shettar, dkk., (2011) terjadi peningkatan level SGPT dan SGOT pada

infeksi tuberkulosis. Peningkatan nilai SGPT dan SGOT dalam serum merupakan indikasi

gangguan hepatoseluler. Ketika terjadi kelukaan hati, enzim ini akan keluar ke aliran darah

dari jaringan yang rusak dan menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam serum

(Shyamjith dan Rao, 2013).

Pemeriksaan fungsi ginjal

Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi pemeriksaan nilai Blood Urea Nitrogen (BUN)

dan nilai kreatinin. Hasil pemeriksaan fungsi ginjal ditunjukkan pada Gambar 10 dan

Gambar 11. Pemeriksaan BUN pada minggu ke-7 menunjukkan hasil 15,2mg/dL kemudian

menurun menjadi 13,2mg/dL pada minggu ke-8. Pada minggu ke-9 kembali naik menjadi

Page 156: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

146

15,9mg/dL dan pada minggu ke-10 menjadi 23,85mg/dL. Pemeriksaan kreatinin pada

minggu ke-7 menunjukkan hasil 0,5mg/dL kemudian sedikit mengalami kenaikan pada

minggu ke-8 menjadi 0,65mg/dL. Pada minggu ke-9 menunjukkan hasil 0,6mg/dL

kemudian mengalami sedikit penurunan pada minggu ke-10 menjadi 0,55mg/dL.

Hasil pemeriksaan menunjukkan BUN masih berada dalam kisaran normal tetapi

cenderung mengalami peningkatan sedangkan kreatinin berada di bawah kisaran normal

tetapi cenderung mengalami peningkatan sampai minggu terakhir. Menurut Weiss dan

Wardrop (2010) nilai BUN normal antara 10-26mg/dL sedangkan kreatinin antara 0,9-

2,0mg/dL.

Gambar 10. Grafik rata-rata BUN (mg/dL) selama 10 minggu dibanding rata-rata normal

Gambar 11. Grafik rata-rata serum kreatinin (mg/dL) selama 10 minggu dibanding rata-

rata normal

Menurut Silva, dkk., (2011) infeksi M.bovis dapat menyebabkan peningkatan level

BUN dan kreatinin. Oevermann, et.al., (2004) menambahkan, peningkatan BUN dan

kreatinin mungkin disebabkan oleh prerenal uremia.

KESIMPULAN

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan peningkatan pada total sel darah putih,

neutrofil, limfosit, dan monosit. Penurunan terjadi pada total sel darah merah, hemoglobin,

dan hematokrit. Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan peningkatan SGOT dan SGPT,

fungsi ginjal juga menunjukkan adanya peningkatan BUN dan kreatinin.

Page 157: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

147

DAFTAR PUSTAKA

Andersson, M., Lutay, N., Hallgren, O., Thorsson, G.W., Svensson, M., Godaly, G. 2011.

Mycobacterium bovis bacilli Calmette-Guerin regulates leukocyte Recruitment by

Modulating Alveolar Inflammatory Responses. Journal 18(3) 531-540.

Beechler, B.R., Jolles, A.E. dan Ezenwa, V.O. 2009. Evaluation Of Hematologic Values in

Free-Ranging African Buffalo (Syncerus Caffer). Journal of Wildlife Diseases,

45(1), pp. 57–66.

Carter, G.R. dan Wise, D. J. 2004. Essensial of Veterinary Bacteriology and Mycology.

Edisi ke 6. Iowa : Blackwell Publishing : 207-213.

Headley, S.A. 2002. Systemic Bovine Tuberculosis: A Case Report. v. 23, n. 1, p. 75-79.

Hirsh, D. C., MacLachlan, N. J. dan Walker, R. L. 2004. Veterinary Microbiology. Edisi ke

2. Iowa : Blackwell Publishing: 223-225.

Javed, M.T., Ahmad, L., Irfan, M., Ali, I., Khan, A., Wasiq, M., Farooqi, F.A., Shahid,

A.L. dan M. Cagiola, M. 2010. Haematological and Serum Protein Values in

Tuberculin Reactor and Non-Reactor Water Buffaloes, Cattle, Sheep and Goats. Pak

Vet J, 30(2): 100-104.

Junior, O.M. dan Henriques, M.G. 1997. Mechanisms of Cell Accumulation Induced by

Mycobacterium bovis BCG. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 92,

Suppl.II : 227-232, 1997 227.

Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Domba. Jakarta : Penerbit Kanisius.

Nagata, T. dan Koide, Y. 2012. Immune Responses Against Mycobacterium tuberculosis

and the Vaccine Strategies. ISBN: 978-953-307-942-4.

Quinn, P. J., Carter, M.E., Markey, B.K., Carter, G.R. 2004. Clinical Veterinary

Microbiology. London : Mosby : 156-166.

Rocha, V.C.M., Correa, S.H.R., Oliveira, E.M.D., Rodriguez, C.A.R., Fedullo,J.D., Setzer,

A., Ikuta, C.Y., Vejarano, M.P., Figueiredo, S.M. dan Ferreira, J.S. 2010.

Tuberculosis Determined by Mycobacterium bovis in Captive Waterbucks (Kobus

ellipsiprymnus) in Sao Paulo, Brazil. Brazilian Journal of Microbiology 42: 726-728.

Shettar, M., Nalini, T.S., Kumar, K.R.A., Ravikumar, P. Dan Azeemulla, H.R. 2011.

Hematological and Biochemical Studies in Tuberculin TestPositive Reactors.

International Journal of Pharma and Bio Sciences. Vol. 2.Issue 4.

Shitaye, J.E., Tsegaye, W., Pavlik, I. 2007. Bovine Tuberculosis Infection in Animal and

Human Populations in Ethiopia: A Review. Veterinarni Medicina, 52: 317–332.

Shyamjith, M. dan Rao, S.N. 2013. Effect of Ethanolic Extract of Phyllanthus Amarus and

Tylophora Indica on Isoniazid Induced Hepatic Injury in Wistar Albino Rats.

International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology. Vol.

4.Issue 2.

Silva, U.V., Viana, L.S., Castro, P.T., Almeida, R.D.S., Silva, R.S.P. 2011. Fatal Sepsis

after Intravesical Instillation of BCG.Rev Bras Ter Intensiva. 23(1):104-107.

Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Edisi ke 6. USA :

Wiley Blackwell: 263,265,281,290,298,837.

Page 158: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

148

Page 159: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

149

DISTRIBUSI SARAF PADA VENTRIKULUS KELELAWAR (Pteropus vampyrus)

ASAL PULAU TIMOR DENGAN PEWARNAAN ANTI-PROTEIN GENE

PRODUCT (PGP) 9.5

Yulfia Nelymalik Selan

Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang, email:

[email protected]

ABSTRACT

Pteropus vampyrus is a fruit bat that plays an important role in ecosystem. As one

of main part of digestive system, Ventriculus is key organ that runs enzymatic and

chemistry process. With a help from enteric nervous system (ENS), Ventriculus facilitates

food absorption in intestine. The main purpose of this research is to explore

Ventriculus nerve distribution of Pteropus vampyrus using Anti Protein Gene Product

(PGP) 9.5. 5 bats had anesthetized with ketamine and xylazine, continued with intracardial

perfusion with 0.9% physiological NaCl, then fixated with 10% buffer formalin,

constructed the ventriculus tissue and lastly applied IHC with PGP 9.5 (1:5000;

Ultraclone, UK). The results had been analysed and presented in descriptive manner and

pictures. This research successfully showed curvature minor and curvature major of

ventriculus. Those two curvature then enlarge and forming a sac that consists of cardia,

fundus and pylori without a presence of non-glands area. Sub mucosal plexus are located

at tunica submucosa and plexus mientericus between longitudinal and circular muscles at

tunica muscularis. Nerve distribution of these three areas are similar. There are ganglia

and nerves between longitudinal and circular muscles.

Key word: Pteropus vampyrus, ventriculus, enteric nervous system (ENS)

PENDAHULUAN

Kelelawar merupakan mamalia terbang dan termasuk dalam ordo Chiroptera (Hill

dan Smith, 1984).Kelelawar memiliki peranan penting dalam ekosistem, yaitu sebagai

pengontrol serangga hama, penyerbuk bunga dan penyebar bijian serta berperan penting

dalam komunitas hutan (Nowak, 1995). Ordo Chiroptera terdiri dari dua subordo yaitu

Megachiroptera atau kelalawar yang berukuran besar, umumnya pemakan buah-buahan

dan Microchiroptera atau kelelawar yang berukuran kecil, umumnya pemakan serangga

(Eisentraut, 1975). Subordo Microchiroptera kebanyakan adalah pemakan serangga

(insectivora). Ada juga penghisap darah (sanguivora), misalnya Desmodus vampirus; dan

penghisap madu misalnya (Leptonycteris curasoae). Subordo Megachiroptera adalah

pemakan buah (frugivora), juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini

terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak, 1994).

Ciri subordo ini adalah memiliki ukuran relatif besar (berat badan 10-1500 g dengan

bentangan sayap hingga 1700 mm), memiliki mata basar, telinga tidak memiliki tragus,

moncong sederhana dan ekor tidak berkembang, jari kedua dan ketiga terpisah relatif jauh

dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix

(Altringham, 1996).

Kelelawar merupakan salah satu fauna yang termasuk troglozene yaitu fauna yang

secara teratur masuk kedalam gua untuk berlindung, beristirahat, berkembang biak, tetapi

Page 160: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

150

mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua,

hewan yang tergolong troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap

(Vermeulen dan Whitten, 1999). Hewan ini juga mengeluarkan suara ultrasonik untuk

melakukan navigasi di tempat gelap, ekolokasi. Suara yang dikeluarkan dipantulkan oleh

benda yang ada di sekelilingnya, sehingga kelelawar dapat mengetahui adanya rintangan,

jalan yang harus dilalui dan dapat mendeteksi mangsa.

Pteropus vampyrus adalah kelelawar yang memiliki berat badan mencapai 1500 g

dan memiliki wajah mirip dengan anjing (Medway, 1969; Suyanto, 2001). Ciri Pteropus

vampyrus yaitu memiliki telinga yang panjang dan runcing, tidak mempunyai ekor, rambut

pada bagian bahu (mantel) berwarna coklat kekuningan, sedangkan daerah dada, perut dan

punggung berwarna hitam, jari kedua memiliki cakar (Lekagul dan McNeely, 1977).

Pteropus vampyrus termasuk dalam appendix II (IUCN, 2012).

Ventrikulus adalah kantung yang dapat dikelompokan menjadi ventrikulus

tunggal dan ventrikulus ganda, pada kuda, anjing dan babi adalah ventrikulus tungal

berkelenjar yang dibedakan menjadi zona esofagea, zona kardia, zona fundus dan zona

pilorika. Fungsi dan aktivitas saluran pencernaan diatur oleh enteric nervous system (ENS)

yang terletak pada dinding saluran pencernaan, dikelompokkan menjadi pleksus

mienterikus (Auerbach) yang terletak diantara otot longitudinal dan sirkular pada tunika

muskularis dan pleksus submukosa (Meissner) terletak di tunika submukosa (Goyal dan

Hirano 1996; Wood 2000).

ProteinGeneProduct(PGP) 9.5merupakan enzim, yaitu ubiquitin karboksil-

terminal hidrolase,yang terdapatpada neuron dan neuroendokrinsel (Wilkinson et al.,

1989). ProteinGeneProduct(PGP) 9.5merupakan anggota keluargaC-terminal

ubiquitinhidroksilasedan kelimpahannya dalam saraf, sehinggadapat digunakan sebagai

petanda pada saraf perifer (Thompson et al., 1983; Karanth et al., 1991). Pada penelitian

sebelumnya, saraf pada esofagus hamster yang ditandai menggunakan PGP 9.5

menunjukkan kepadatan neuron pada pleksus mienterikus bagian thorak lebih sedikit

disbanding bagian servikal esofagus (Izumi et al., 2002). Pada domba, dengan petanda

PGP 9.5 menunjukkan bahwa pleksus submukosa di rumen tidak teratur dan beberapa

kumpulan saraf menembus papilla rumen. Pada retikulum, pleksus submukosa terdapat

dalam dinding retikular dan lipatan retikular, berbeda dengan pleksus submukosa di

omasum yang terbagi dalam segmen pleksus intraluminar dan pleksus subluminar

(Yamamoto et al., 1995).

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Materi yang dipakai adalah ventrikulus kelelawar asal Timor sebanyak 5 ekor yang

diambil dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Larutan

phosphate buffer saline (PBS), Pewarna Hematoksilin, Antibodi primer anti PGP 9.5

(rabbit; 1:5000; Ultraclone, UK), Starr Trek Universal HRP Detection (Biocare Medical,

USA), Formalin buffer 10%, Parafin, Larutan Etanol (70%, 80%,90%, 100%), Xilol

100%, Aquades.

Kelelawar dianestesi, dilakukan proses perfusi jaringan kemudian koleksi jaringan

ventrikulus dengan ketebalan irisan 1 cm dan dimasukan ke dalam tissue casset, biarkan

Page 161: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

151

dibawah air mengalir selama 30 menit. Proses dehidrasi dilakukan dengan merendam

didalam larutan etanol bertingkat 70%, 80%, 90%, absolute I, II dan III masing-masing

selama 60 menit. Proses selanjutnya yaitu penjernihan (clearing) dengan larutan xilol

absolut sebanyak tiga kali pemindahan. Dilanjutkan proses infiltrasi ke dalam larutan

parafin sebanyak tiga kali pemindahan masing-masing 60 menit pada suhu 60oC. Jaringan

di tanam dalam parafin cair, kemudian didinginkan dalam suhu kamar sehingga menjadi

blok parafin. Sayatan diambil kemudian diletakkan dipermukaan air hangat dengan suhu

45oC dan ditempelkan pada coated slide gelatin,kemudian dikeringkan pada suhu kamar.

Setelah kering preparat diinkubasi pada suhu 37oC dengan posisi horizontal selama satu

malam, selanjutnya dilakukan pewarnaan imunohistokimia dengan metode strepavidin

biotin menggunakan antibodi primer rabbit anti PGP 9.5 (1:5000; Ultraclone, UK). Metode

pewarnaan dimodifikasi dari Kusindarta et al., 2003. Pewarnaan imunohistokimia diawali

dengan proses deparafinisasi dan rehidrasi yaitu: rendam dalam xilol absolut I, II, III

masing-masing selama 5 menit, direndam dalam etanol absolut I, II, III masing-masing

selama 5 menit, rendam dalam etanol 90%, 80%, 70% masng-masing selama 5 menit.

Kemudian jaringan dibilas tiga kali dalam larutan Phosphatase buffered saline (PBS) pada

suhu ruangan masing-masing 5 menit. Bloking endogenous peroksidase pada jaringan

dengan 0,3% H2O2 dalam metanol selama 30 menit, kemudian bilas dengan PBS tiga kali

masing-masing 5 menit. Untuk memblok latar belakang (backgraound) jaringan,

dipergunakan larutan background sniper (Biocare Medical, USA) selama 10 menit pada

suhu ruangan.

Antibodi primer anti PGP 9,5 diteteskan pada jaringan. Jaringan kontrol negatif

tidak diberi antibodi primer. Sediaan diletakkan secara horizontal pada kotak yang lembab

dan ditutupi pada suhu 4oC selama semalam. Hari berikutnya, jaringan dibilas dengan PBS

sebanyak tiga kali masing-masing 5 menit, kemudian ditetesi antibodi sekunder Trakkie

Universal Link (Biocare Medical, USA), dengan inkubasi selama 20 menit, kemudian bilas

dengan PBS sebanyak tiga kali masing-masing 5 menit. Kemudian jaringan ditetesi dengan

larutan kompleks TrakkieAvidin-HRP (Biocare Medical, USA) yang diinkubasi selama 10

menit. Selanjutnya jaringan dibilas dengan menggunakan PBS sebanyak tiga kali masing-

masing 5 menit.

Segera setelah dibilas, sediaan kemudian diinkubasi dengan larutan BetazoidDAB

+ substrat selama 5 menit selanjutnya sediaan dibilas dengan aquades sebanyak 10

celupan. Jaringan diwarnai Hematoxilin sebagai counterstain selama 1 menit, kemudian

cuci dibawah air mengalir selama 5 menit dan bilas dengan aquades sebanyak 30 detik.

Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi menggunakan etanol bertingkat 70%, 80%,

90%, absolute I, II, dan III dilanjutkan dengan clearing menggunakan xilol, kemudian

coverslip dengan menggunakan Canada balsam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ventrikulus Pteropus vampyrus terletak dibagian kiri rongga abdomen yang

terdiri dari curvature mayor mengalami perluasan seperti kantung dan curvature minor

(Gambar 1).Ventrikulus Pteropus vampyrus tersusun atas area kardia, fundus dan pilorus

dan tidak memiliki area non-kelenjar (Gambar 1). Hal ini mirip dengan ventrikulus Myotis

Page 162: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

152

Sp. yang dilaporkan oleh Ariana dan Budipitojo (2000). Area fundus pada Pteropus

vampyrus lebih luas dibanding kardia dan pilorika, hal ini mirip dengan ventrikulus babi

hutan Vietnam yaitu area fundus lebih luas dibanding dengan area kardia dan pilorika

(Trang et al., 2012). Ventrikulus merupakan tempat penyimpanan sementara bolus yang

kemudian akan diteruskan ke intestinum tenue. Bentuk dan ukuran ventrikulus tergantung

pada ras, umur, ukuran tubuh dan ketersediaan pakan (Kararli, 1995; Hildebrand dan

Goslow, 2001).

Gambar 1. Makroskopik ventrikulus Pteropus vampyrus. A: gambaran makroskopik

ventrikulus; B: Skematis ventrikulus : kardia (k), fundus (f) dan pilorika (p),

curvature minor (↑), curvature mayor (↑↑) yang berbentuk kantung; C:

ventrikulus tampak medial, Seluruhnya merupakan daerah kelenjar yaitu kardia

(k) yaitu bagian awal yang berbatasan dengan esofagus (↑), fundus (f) yang

adalah bagian tengah dan pilorika (p) adalah bagian akhir yang berbatasan

dengan duodenum (↑↑). Scale bar : 5cm.

Secara histologi ventrikulus Pteropus vampyrus tersusun atas tunika mukosa,

tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika serosa. Tunika mukosa terdiri dari lamina

epitelialis mukosa yang berbentuk kolumner simpleks. Terdapat sel permukaan yang tidak

memiliki tepi sikat. Distribusi saraf pada ketiga area sama yaitu ditemukan ganglia dan

nervus diantara otot longitudinal dan otot sirkular (Gambar 2). Ganglia dan nervus juga

ditemukan pada tunika submukosa, otot longitudinal maupun otot sirkular (Gambar 2).

Page 163: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

153

Gambar 2. Ventrikulus Pteropus vampyrus dengan IHC anti PGP 9.5. A: pleksus

mienterikus : nervus (↑), ganglia juga ditemukan pada otot longitudinal dan

otot sirkular (kepala panah); insert: ganglia (kepala panah), nervus (↑) B:

pleksus submukosa (↑↑), ganglia ditemukan diantara otot longitudinal dan

sirkular. Scale bar: 20µm.

Keberadaan ganglia dan nervus pada tunika submukosa dan tunika muskularis di

ventrikulus diduga berperan dalam proses penyimpanan pakan, produksi kimus dan mukus

dapat terjadi secara baik, serta menjaga kontraksi otot polos terutama pada daerah kardia

sehingga pakan yang telah sampai ke ventrikulus tidak balik lagi ke esofagus (muntah).

Pada kelinci, sfingter di daerah kardia yang berdinding tipis, non-glandular dan pergerakan

intrinsik untuk mencegah muntah (O’Malley, 2005). Ganglia dan nervus pada ventrikulus

juga diduga berperan dalam reflek otot untuk pengosongan ventrikulus menuju duodenum.

Enterik nervus sistem terdiri dari ribuan ganglia dan neuron yang terletak di dinding

saluran pencernaan. setiap ganglia dihubungkan oleh serabut saraf yang menginervasi otot-

otot dinding saluran pencernaan, epithel mukosa dan perubahan aliran darah lokal serta

mampu mengontrol reflek aktivitas otot-otot pada saluran pencernaan. Ganglia pada

saluran pencernaan termasuk ganglia intramural yaitu ganglia yang berada atau dekat

dengan organ yang diinervasi. Ganglia ini berperan dalam kontrol kontraksi dan relaksasi

peristaltik secara normal (VeeremanWauters, 1996).

DAFTAR PUSTAKA

Altringham, J. D. 1996. Bats. Biology and Behavior. Oxford University press. New York.

Ariana., dan Budipitojo, T. 2009. Morfologi dan Morfometri Struktur Anatomis Lambung

Codot (Rousettus sp.) dan Lawa (Myotis sp.) J. Sain Vet. 27: 76-81.

Eisentraut, M. 1975. The Bats Dalam: Grizimek’s Animals Life Encyclopedia, Mammals

11, Edisi 1., van Nonstrand Reinhold company, New York. 67-148.

Goyal, R. K. dan Hirano, I. 1996. The Enteric Nervous System. N. Engl. J. Med.,

334:1106–1115.

Hildebrand, M dan Goslow, G. E. 2001. Analysis of Vertebrate Structure, dalam John

Wiley and Sons, New York, NY, USA, Ed ke-5.

Hill, J. E. dan Smith, J. D. 1984. Bats A Natural History. Universitas of Texas press.

London.

Page 164: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

154

Izumi, N., Matsuyama, H., Yamamoto, Y., Atoji, Y., Suzuki, Y., Unno, T., dan Takewaki,

T. 2002. Morphological and morphometrical characteristics of the esophageal

intrinsic nervous system in the golden hamster. Eur. J. Morphol. 40:137-44.

IUCN. 2012. Pteropus vampyrus. IUCN Red List of Treatened Species, Version 2012. 2.

www.iucnredlist.org.

Karanth, S. S., Springall, D. R., dan Kuhn, D. M. 1991. An immunocytochemical study of

cutaneous innervation and the distribution of neuropeptide and protein gene product

9.5 in man and commonly employed laboratory animals. Am J Anat; 191: 369 - 383.

Kararli, T. T. 1995. Comparison of the gastrointestinal anatomy, physiology, and

biochemistry of humans and commonly used laboratory animals. Biopharmaceutics

and Drug Disposition. 16 : 351–380.

Kusindarta, D. L., Wijayanto, H., dan Atoji, Y. 2003. Intrinsic Inervation in the Tracheal

Smooth Muscle of the Large Flying Fox (Pteropus vampyrus): An

Immunohistochemical Study. Eurp.J. Morphology. 41: 111-116.

Lekagul, B., dan Mcneely, J. A. 1977. Mammals of Thailand. Association for the

Conservation of Wildlife, Bangkok, Thailand.

Medway, Lord. 1969. Wild mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and Singapore.

Oxford University Press, Kuala Lumpur, Malaysia.

Nowak, R. M. 1994. Walker’s Bat of the World. Baltimore: John Hopkins University Press.

Nowak, R.M. 1995. Walker’s Bat of the World. Baltimore: John Hopkins University Press.

O’Malley B. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species: Structure and

Function of Mammals,Birds, Reptiles, and Amphibians. London, UK: Elsevier

Saunders.

Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia, Publitbang Biologi LIPI, Bogor.

Trang, P. H., Ooi, P. T., Zuki,A. B. Z dan Noordin, M. M. 2012. Comparative

GastricMorphometry of Muong Indigenous and VietnameseWild Pigs. The

ScientificWorld Journal. 1- 9.

Thompson, R. J., Doran, J. F., Jackson, P., Dhillon, A. P., dan Rode, J. 1983. PGP 9.5-a

New Marker for Vertebrate Neurons and Neuroendocrine cells. Brain Res 278:224–

228.

VeeremanWauters G, 1996. Neonatal Gut Development and Postnatal Adaptation. Eur J

Pediatri. 155: 627-632.

Vermeulen, J. dan Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the

Management of Limestone Resources – Lessons from East Asia. World Bank,

Washington, DC.

Wilkinson, K. D., Lee, K. M., Deshpande, S., Duerksen-Hughes, P., Boss, J. M., dan Pohl,

J. 1989. The Neuron-specific Protein PGP9.5 is a Ubiquitin Carboxylterminal

Hydrolase. Science; 246:670–673. Wood, J.D. 2000. Neuropathy in the Brain-in-Gut.

Eur. J. Gastroenterol Hepatol., 12:597–600.

Wood, J. D. 2000. Neuropathy in the Brain-in-Gut. European Journal of Gastroenterology

and Hepatology., 12: 597–600.

Yamamoto, Y., Atoji, Y., dan Suzuki Y. 1995. Morphological Study of the Submucosal

and Mucosal Plexuses of the Sheep Forestomach. Ann Anat.177:405-412.

Page 165: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

155

MAKALAH PENDUKUNG

(PRESENTASI POSTER)

Page 166: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

156

Page 167: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

157

GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGI DUODENUM

KAMBING KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIGEMBALAKAN DI

TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK

DESCRIPTION ANATOMIC PATHOLOGY AND HISTOPATHOLOGY DUODENUM OF

KACANG GOATS (Capra aegagrus hircus) MAINTAINED AT ALAK DUMPING SITE

Yeremilo Haryantho Selly1, Yulfia Nelymalik Selan2, Antin Yeftanti Nugrahening

Widi3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail : [email protected] 2Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail : [email protected] 3Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Goats especially kacang goats is one kind goats that has been widely known in

Indonesia. Rearing of goats is closely connected with nutrients obtained. In the goat

rearing in NTT constraints faced is the limited forage which is the staple feed kacang goats

so that the farmers choose the semi-intensive and extensive system maintenance by

allowing goats to feed themselves in paddocks or in places that are not as prevalent as in

dumping site and the only dumping site in the city of Kupang is Alak dumping site. The

Alak dumping site encountered any kind of trash, both organic and inorganic stacked

together or separated. This is exactly what will lead to a high risk for goats if consuming

toxic materials contained in the trash and one is the risk of livestock suffered indigestion.

Thus, the purpose of this study was to describe the anatomical pathology and

histopathology of duodenum in kacang goats reared in Alak dumping site. The sample used

in this study amounted to six kacang goats consisting of four kacang goats maintained on

Alak dumping site and two kacang goats from non dumping site. Organs were observed

duodenum, by observing the anatomic pathology and histopathology. Using paraffin

method and HE staining. The results of the study showed that the duodenum organ kacang

goats reared on Alak dumping site macroscopically changes in the form of nodules,

mucosal thickening and hemorrhage, whereas the microscopic observation discovered the

existence of some kind of change such as inflammatory cell infiltration, damage to the villi

which includes the fusion of villi, necrosis, congestion and hemorrhage. There is no

macroscopic and microscopic changes in the duodenum organs from non dumping site

goats.

Keywords: Kacang goats (Capra aegagrus hircus), pathology anatomy of duodenum,

histopathology of duodenum, Alak Dumping Site.

PENDAHULUAN

Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal

secara luas dan banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia. Ternak kambing memiliki

potensi produktivitas yang cukup tinggi. Kambing di Indonesia telah dimanfaatkan sebagai

ternak penghasil daging, susu, maupun keduanya (dwiguna).Kendala pemeliharaan

Page 168: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

158

kambing di NTT adalah terbatasnya pakan hijauan yang merupakan pakan pokok ternak

kambing. Keterbatasan pakan menyebabkan peternak memilih sistem pemeliharaan semi-

intensif dan ekstensif dengan cara membiarkan ternak mencari pakan sendiri di padang

penggembalaan atau di tempat-tempat yang tidak lazim.

Tempat Pembuangan Akhir merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap

terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan,

pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Tempat Pembuangan Akhir

diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.

Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan

tersebut dapat dicapai dengan baik.Tempat Pembuangan Akhir Alak adalah satu-satunya

TPA yang ada di kota Kupang. Di TPA Alak ditemuisegala jenis sampah, baik organik

maupun anorganik yang ditumpuk secara bersama-sama/tidak dipisah.

Menurut observasi yang dilakukan, tidak sedikit masyarakat di sekitar lokasi TPA

Alak yang menggembalakan ternak kambingnya di lokasi TPA. Kambing yang

digembalakan pada TPA Alak beresiko mengalami gangguan saluran pencernaan akibat

dari mengkonsumsi sampah anorganik. Sampah tersebut akan masuk ke dalam tubuh

ternak kambing dan terdistribusi ke seluruh tubuh. Dengan demikian ternak kambing yang

mengkonsumsi sampah memiliki risiko tinggi terpapar bahan toksik yang terkandung

didalamnya dan salah satu resiko adalah gangguan pencernaan.

Bahan toksik yang terkonsumsi oleh kambing pada konsentrasi yang tinggi akan

menyebabkan kambing mengalami gastroenteritis (Darmono, 2001). Hal ini disebabkan

oleh reaksi rangsangan bahan toksik pada mukosa saluran pencernaan sehingga

menyebabkan pembengkakan dan gerak kontraksi rumen dan usus (duodenum) terhenti.

Akibat peristaltik duodenum menurun sehingga terjadinya konstipasi dan terkadang

mengalami diare (Darmono, 2001).

Duodenum mempunyai peranan utama dalam proses pencernaan terutama untuk

meneruskan sari-sari makanan yang berasal dari ventrikulus masuk ke usus. Duodenum

juga berperan sebagai tempat penyerapan sari-sari makanan (Bloom dan Fawcett, 1986),

sehingga bahan toksik dapat terserap oleh duodenum. Akibat terserapnya bahan toksik

maka akan beresiko mengalami gangguan berupa adanya lesi pada lapisan dinding

duodenum.

MATERI DAN METODE

Bahan utama berupa potongan jaringan 6 buah duodenum (2 ekor kambing jantan

dan 2 ekor kambing betina dari TPA, 1 ekor kambing jantan dan 1 ekor kambing betina

sebagai hewan kontrol), Analisis hasil dilakukan secara deskriptif, yaitu disajikan dalam

bentuk tabel dan gambar.

Sampel yang diambil berupa jaringan organ duodenum dari hewan hidup, sebelum

pengambilan sampel tersebut hewan dieutanasi dengan memutuskan saluran nafas, saluran

pencernaan dan pembuluh darah yang berada di sekitar daerah leher. Setelah dieutansi

hewan dinekropsi yaitu diawali dengan pembedahan post mortem dari linea alba kemudian

membuka bagian abdomen dan menemukan organ duodenum (Soeharmi dkk, 2003).

Selanjutnya diamati secara makroskopis meliputi warna, tekstur dan perubahan bentuk

Page 169: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

159

yang terjadi pada organ. Pengambilan sampel duodenum dipotong dengan ukuran 1 cm x 1

cm x 1 cm dan difiksasi ke dalam larutan formalin 10 %.

Proses pembuatan sediaan histologi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :

Tahap pertama (pemrosesan jaringan), dilakukan melalui beberapa proses :proses fiksasi

kemudian diikuti proses dehidrasi, jaringan dicelupkan kedalam alkohol 70%, 80%, 95%

dan alkohol absolut. Proses selanjutnya adalah clearing dilakukan menggunakan xilol.

Dilanjutkan dengan proses infiltrasi paraffin.

Tahap 2 (embedding), cetakan disiapkan diatas tungku penghangat, selanjutnya

jaringan yang telah selesai diproses dimasukkan kedalam wadah yangsudah diisi dengan

parafin cair,didinginkan sehingga menjadi cetakan blok dan kemudian diberi label.

Tahap 3 (sectioning), blok parafin ditempatkan pada mikrotom yang dilengkapi

pisau dengan kemiringan 30o. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 5 μm dan

dimasukkan kedalam waterbath bersuhu 50 oC. Potongan blok selanjutnya dipindahkan

pada permukaan object glass yang telah diberi nomor registrasi blok.

Tahap 4 (incubation), preparat diinkubasi diatas hot plate dengan suhu 50 oC (di

bawah titik cair parafin) selama 15 menit.

Pengecatan dilakukan dengan beberapa tahap, deparafinisasi yaitu dengan cara

dicelupkan pada larutan xilol I, xilol II dan xilol III, masing-masing selama 3 menit,

rehidrasi dengan cara dicelupkan ke alkohol absolut, alkohol 95%, 80%, 70% masing-

masing selama 3 menit. Sediaan lalu direndam dalam Harri’s Hematoxylline selama 10

menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Dilanjutkan dengan pewarnaan

Eosin selama 10 menit, kemudian dehidrasi menggunakan alkohol 70 %, 80 %, 95 %,

hingga absolut, masing-masing selama 30 detik, clearing dengan xilol I, xilol II dan xilol

III masing-masing selama 30 detik, mounting menggunakan canada balsam dan ditutup

dengan cover glass, dikeringkan dan amati dibawah mikroskop (Ndaong, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pengamatan makroskopik organ duodenum kambing kacang (Capra

aegagrus hircus) yang digembalakan TPA Alak, terdapat perubahan-perubahan berupa

adanya nodul (Gambar 1B), penebalan mukosa (Gambar 1C) dan hemoragi (Gambar 1D).

Adapun gambaran terperinci perubahan patologi anatomi dari organ duodenum kambing

dapat dilihatpada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopik (patologi anatomi) organ duodenum kambing

kacang

No Perubahan JA.I JA.II KJ BA.I BA.II KB

1. Adanya nodul √ √ - √ √ -

2. Penebalan mukosa - √ - √ - -

3. Hemoragi √ - - √ √ -

Page 170: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

160

Keterangan : (JA.I) : jantan Alak I; (JA.II) : jantan Alak II; (KJ) : non TPA jantan; (BA.I) :

betina Alak I; (BA.II) : betina Alak II; (KB) : non TPA betina; (√) : terdapat

perubahan (adanya nodul, hemoragi, penebalan mukosa dan warna pucat); (-)

: tidak ada perubahan.

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui adanya nodul pada mukosa semua sampel

duodenum kambing yang berasal dari TPA Alak. Diameter nodul-nodul tersebut berkisar

antara 2 mm sampai dengan 4 mm (Gambar 1B). Penebalan sebagian mukosa terjadi pada

sampel jantan Alak I (JA.II) dan betina Alak I (BA.I) (Gambar 1C, Tabel 1). Hemoragi

ditemukan pada sampel jantan Alak I (JA.I), betina Alak I (BA.I) dan betina Alak II

(BA.II) (Gambar 1D, Tabel 1).

Gambar 1. Gambaran makroskopik duodenum kambing kacang non TPA dan yang

digembalakan di TPA Alak;(A) duodenum kambing non TPA; (B) Adanya

nodul (TPA Alak), (C) Penebalan mukosa (TPA Alak), (D) Adanya hemoragi

(TPA Alak).

Perubahan makroskopik yang terjadi pada organ duodenum kambing kacang

(Capra aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak diduga diakibatkan oleh

paparan bahan toksik maupun bahan kimia yang dikonsumsi bersama pakan sampah oleh

kambing secara terus menerus. Pada gambar 1B mukosa dudodenum mengalami

penonjolon atau nodul, hal ini disebabakan karena terjadinya hiperplasia sel radang untuk

merespon bahan toksik yang ikut diserap oleh mukosa duodenum. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Holmgren dan Czekinsky (2005) yang mengatakan bahwa sistem pertahanan

D

A B

C

Page 171: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

161

mukosa usus akan berespon terhadap paparan yang terus menerus oleh mikroba patogen di

dalam lumen usus halus dan usus besar. Menurut Darmono (2001) bahan toksik yang

terkonsumsi oleh kambing akan diserap oleh duodenum sehingga menyebabkan

pembengkakan atau penebalan bagian mukosa seperti pada gambar 1C.

Hemoragi pada mukosa duodenum kambing yang berasal dari TPA Alak, diduga

akibatpaparan bahan toksik dan bahan kimia lain secara terus menurus (Gambar 1D).

Menurut Daft dkk (1989) peningkatan jumlah sel dalam pembuluh darah yang terjadi terus

menerus akan menyebabkan pembuluh darah akan pecah sehingga mengakibatkan

hemoragi.

Pada pengamatan secara mikroskopik terhadap duodenum kambing kacang

(Capra aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak ditemukan adanya beberapa

jenis perubahan, yaitu adanya infiltrasi sel radang, kerusakan pada vili yang meliputi fusi

vili, nekrosis, kongesti dan hemoragi (Gambar 2 dan Gambar 3).

Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopik (histopatologi) duodenum kambing kacang

Perubahan JA.I JA.II KJ BA.I BA.II KB

A. Peradangan

1. Lokasi Mu, Sm Mu, Sm - Mu, Sm Mu, Sm -

2. Sel radang M,N,L,Sp M,N,L,Sp - M,N,L,Sp M,N,L,Sp -

3. Dominan M M - M M -

B. Fusi vili √ √ - √ √ -

C. Nekrosis - - - √ -

D. Kongesti √ - - √ √ -

E. Hemoragi √ - - √ √ -

Keterangan : (JA.I) : jantan Alak I; (JA.II) : jantan Alak II; (KJ) : non TPA jantan; (BA.I) :

betina Alak I; (BA.II) : betina Alak II; (KB) : non TPA betina; (Mu) :

mukosa; (Sm) : sub mukosa; (M) : makrofag; (N) : neutrofil; (L) : limfosit;

(Sp) : sel plasma; (√) : ada perubahan; (-) : tidak ada perubahan.

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui adanya infiltrasi sel radang berupa makrofag,

neutrofil, limfosit dan sel plasma pada bagian mukosa dan sub mukosa semua sampel

duodenum kambing yang berasal dari TPA Alak yang didominasi oleh sel makrofag. Fusi

vili juga ditemukan pada semua sampel duodenum kambing dari TPA Alak. Nekrosis

hanya terdapat bagian mukosa dari sampel betina Alak I (BA.I), sedangkan pada sampel

jantan Alak I (JA.I), betina Alak I (BA.I) dan betina Alak II (BA.II) ditemukan adanya

kongesti dan hemoragi.

Page 172: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

162

Gambar 2. Gambaran histopatologi infiltrasi sel radang pada sampel duodenum kambing

kacang yang digembalakan di TPA Alak; (A) sel radang; (a) makrofag; (b)

neutrofil; (c) limfosit; (d) sel plasma (betina Alak II, 40x, H&E); (B) sel

radang pada lapisan mukosa (betina Alak II, 40x, H&E); (C) sel radang pada

lapisan submukosa (betina Alak I, 40x, H&E).

C B

A

Page 173: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

163

Gambar 3. Gambaran histopatologi sampel duodenum kambing kacang yang di

gembalakan di TPA Alak; (A) fusi vili (betina Alak II, 10x, H&E); (B)

nekrosis (betina Alak II, 40x, H&E); (C) kongesti (jantan Alak I, 40x, H&E);

(D) hemoragi (betina Alak I, 40x, H&E).

Bahan toksik dalam pakan yang ikut terkonsumsi oleh kambing kacang (Capra

aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak akan diserap oleh usus. Selanjutnya

akan direspon oleh sistem pertahanan tubuh untuk mengeluarkan antigen yang masuk

melalui mekanisme peradangan, sehingga terdapat infiltrasi sel radang pada bagian mukosa

dan sub mukosa (Gambar 2). Mekanisme peradangan ini dilaksanakan oleh leukosit yang

berfungsi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap patogen yang

masuk dalam tubuh (Holmgren dan Czekinsky, 2005). Menurut Shackelford dan Elwell

(1999), pada keadaan kronis infiltrasi sel radang yang dapat ditemukan pada usus akan

didominasi limfosit dan sel plasma, hal ini menyebabkan kripta menjadi lebih lebar karena

berisi leukosit.

Pada Gambar 3A sampel duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus)

yang digembalakan di TPA Alak mengalami fusi vili atau penurunan luas permukaaan vili.

Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Balqis (2014) yang

menunjukkan hasilbahwa infestasi yang berat dari agen patogen atau agen kimia lain dapat

menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis pada epitel usus halus dan menyebabkan

penurunan luas permukaan vili. Penyerapan logam berat seperti kadmium (Cd) berkisar

antara 1% sampai 5% bergantung pada jumlah kadmium yang masuk kedalam tubuh

A

B

B

B

C

B

D

B

Page 174: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

164

sehingga dalam keadaan kronis akan mengakibatkan kerusakan pada vili-vili usus dan

keadaan ini dapat mengakibatkan diare (Klasing, 2005).

Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah

suplai darah hilang atau setelah terpapar toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel

serta kerusakan organel sel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat pada jaringan

(Kumar dkk, 2007). Pada Gambar 3B ditemukan nekrosis yang terjadi pada bagian mukosa

duodenum, diduga akibat paparan bahan toksik secara terus-menerus yang menyebabkan

sel atau jaringan dari mukosa duodenum tidak dapat beradaptasi dengan bahan toksik yang

masuk, sehingga sel mengalami kerusakan dan selanjutnya akan terjadi kematian sel.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat dari Robbins dan Kumar (1995) yang menyatakan

kerusakan sel sampai ke tingkat nekrosis terjadi sebagai bentuk adaptasi sel untuk bertahan

hidup akibat pengaruh dari bahan toksik, seperti bahan kimia dan logam berat. Kumar dkk

(2007) menyatakan bahwa nekrosis merupakan kematian sel akibat cedera (jejas) yang

bersifat irreversible (tidak bisa kembali normal). Ketika sel mengalami gangguan, maka

sel akan berusaha beradaptasi supaya dapat mengembalikan keseimbangan tubuh. Namun,

ketika sel tidak mampu untuk beradaptasi, sel tersebut akan mengalami jejas atau cedera.

Jejas tersebut dapat kembali dalam keadaan normal, apabila penyebab jejas hilang

(reversible). Tetapi ketika jejas tersebut berlangsung secara berulang, maka akan terjadi

jejas yang bersifat irreversible dan selanjutnya akan terjadi kematian sel.

Pada semua sampel duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang

digembalakan di TPA Alak ditemukan terjadinya kongesti dan hemoragi diduga akibat

bahan toksik maupun bahan kimia yang dikonsumsi bersama pakan sehingga

mempengaruhi fisiologis pembuluh darah dan menginisiasi terjadinya peradangan (Gambar

3C dan Gambar 3D). Kongesti ditandai dengan adanya sel darah yang berlebihan dalam

pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar dan berisi banyak sel darah

(Underwood, 2000). Peradangan didahului oleh peningkatan vaskularisasi yang

mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam pembuluh darah, dan apabila terjadi terus

menerus maka pembuluh darah akan pecah sehingga mengakibatkan hemoragi. (Daft

dkk,1989).

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa gambaran

makroskopik (patologi anatomi) duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang

digembalakan di TPA Alak yaitu adanya nodul pada mukosa dodenum, penebalan mukosa

dan terdapat hemoragi. Sedangkan berdasarkan gambaran mikroskopik (histopatologi)

duodenum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang digembalakan di TPA Alak

yaitu adanya infiltrasi sel radang pada lapisan mukosa dan submukosa yang terdiri dari

makrofag, neutrofil, limfosit dan sel plasma yang didominasi oleh sel makrofag, adanya

fusi vili, nekrosis pada bagian mukosa, kongesti dan hemoragi.

Page 175: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

165

DAFTAR PUSTAKA

Balqis, U. 2014, ‘Gambaran Histopatologis Usus Halus Ayam Kampung (Gallus

Domesticus) Yang Terinfeksi Ascaridia Galli Secara Alami’, Jurnal Medika

Veterinaria Vol. 8 ISSN : 0853-1943.

Bloom dan Fawcett. 1986, Buku Ajar Histologi, diterjemahkan dari Bahas Inggris oleh

Tambayong, EGC, Jakarta.

Daft, B.M., Bickford, A.A. dan Hammarlund, M.A. 1989, Experimental and field

sulfaquinoxaline toxicosis in Leghorn chickens, Avian Dis, 33:30-34.

Darmono. 2001, Linkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press, Jakarta.

Holmgren, J dan Czerkinsky, C. 2005, Mucosal immunity and vaccines. Nat Med.Supply;

11:S 45 – S 51.

Klasing, K.C. 2005, Cadmium In Mineral Tolerance Of Animal. National Research

Council, The National Academies Press. Cit. Gupta, R.C. 2012, Veterinary

Toxicology, Academic press, New Delhi, India.

Kumar, Vinay., Ramzi S. Cotran. dan Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi

Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ndaong, N.A. 2013, ’Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas

Enzim Alanine Amino Transferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran

Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Tesis, MSc, Fakultas Kedokteran

Hewan, Universitas Gajah Mada.

Robbins S.L. dan Kumar V. 1995, Buku Ajar patologi 1. Edisi 4. Jakarta. EGC. 290-293.

Shackelford C. C. dan Elwell M. R. 1999. Small and Large Intestine, and Mesentary. Di

dalam: RR Maronpot, GA Boorman, BW Gaul, Editor. Pathology of the Mouse

Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 81-115.

Underwood, J.C.E. 2000, Patologi umum dan sistemik, Volume 2. Edisi 2. Editor edisi

bahasa Indonesia: Sarjadi, EGC, Jakarta.

Page 176: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

166

Page 177: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

167

GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI DAN HISTOPATOLOGIRUMEN

KAMBING KACANG (Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT

PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK

ANATOMIC PATHOLOGY AND HISTOPATHOLOGY DESCRIPTION OF KACANG

GOATS RUMEN (Capra aegagrus hircus) ARE MAINTAINED IN THE ALAK DUMPING

SITE

Umbu Ridwan Praimajangga1, Antin Yeftanti Nugrahening Widi2,Yulfia Nelymalik

Selan3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail

:[email protected] 2Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail:[email protected] 3 Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana,

Kupang E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Goat, particularly kacang goat (Capra aegagrus hircus), is a ruminant which is

commonly raised by Indonesian community. Kacang goat has several benefits, such as

breed rapidly and easy to adapt to different environment. Limited pastures especially in

dry season causes farmers nearby Alak Dumping Site (TPA Alak) rear their animals as

well as goats in this location. It may bring advantages to the farmers, however from

animal health approach it causes problems, including to rumen due to ingestion of waste

which contains anorganic materials such as heavy metals and any other toxicants. This

study is aimed to examine both macroscopic and microscopic figure of rumen of kacang

goat which are raised at TPA Alak. A total of six kacang goats were used in this study.

Those goats consisted of four goats (two males and two females) from TPA Alak, and two

goats (one male and one female) which are not reared in TPA Alak. All goats were

euthanized and necropsied in order to take the rumen, and subsequently examined

macroscopically for their pathologic anatomy figures. Histological methods which covered

fixation in 10% formalin, tissue processing, and routine H&E staining were applied.

Results showed macroscopic changes of the rumen of kacang goats from TPA Alak, such

as papilla enlargement, dark spot at papilla, thick and rough mucosa, and darkened color

of mucosa, whereas the other goats showed normal anatomic features. Histopathological

changes of rumen of kacang goats from TPA Alak revealed hyperkeratinisation, epithelial

hyperplasia, flattened of most keratin cells, hypertrophy of small numbers of keratin cells,

and haemorrhage at submucosa These microscopical changes were not found in rumen of

kacang goats which were not reared at TPA Alak.

Keywords: kacang goats, pathology anatomy rumen, histopathology rumen, Alak dumping

Site.

PENDAHULUAN

Kambing adalah jenis ternak ruminansia yang banyak diternakkan oleh

masyarakatIndonesia. Kambing mempunyai sifat adaptasi yang baik dan memiliki nilai

ekonomi yang cukup tinggi sehingga kambing sangat digemari oleh masyarakat (Sarwono,

Page 178: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

168

2006). kambing yang umum dikenal di wilayah Indonesia yaitu kambing Peranakan Etawa

(PE) dan kambing Kacang (Capra Aegagrus Hircus). Kambing kacang juga dapat

beradaptasi dalam kondisi dan lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi

pemeliaharaan yang sangat sederahana (Pamungkas dkk, 2009).Berdasarkan hal ini

beberapa peternak di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) Alak memilih untuk

memelihara ternaknya disana.

Keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) Alak sangat di perlukan sebagai

terminal akhir dari sampah-sampah yang ada di kota Kupang. Keberadaan dari tempat

pembuangan akhir ini juga di maanfaatkan untuk mengembalakan hewan demi memenuhi

asupan pakan bagi hewan salah satunya kambing. Kegiatan pengembalan ini dapat

menguntungkan peternak kambing, tetapi di sisi lain kesehatan dari kambing yang di

gembalakan terancam karena mengkonsumsi pakan yang tidak layak dikonsumsi oleh

hewan.

Menurut hayder et al (2006) sapi yang mengkonsumsi sampah dari TPA mempunyai

resiko tinggi terpapar bahan toksik, mudah terjangkit diare, dan pada pemeriksaan rumen

dapat ditemukan benda asing.Gangguan pencernaan rumen pada kambing yang

disebabkan benda asing seperti sampah akan menyebabkan toksisitas bahkan kematian

(Fouad et al., 1990)Kerusakan rumen kambing yang dipelihara di TPA terjadi karena

benda-benda yang tidak dapat dicerna seperti sampah plastik. Berdasarkan hasil

wawancara yamg dilakukan pada peternak di TPA Alak didapat informasi bahwa didalam

lambung hewan yang di potong sering terdapat sampah serta mengeluarkan bau busuk

yang keluar dari lambung.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan

mikroskopik rumen kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di TPA

Alak,Kota Kupang.

MATERI DAN METODE

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ekor kambing kacang

(Capra argagrus hircus) yang terdiri dari2 ekor kambing jantan dan 2 ekorbetina yang

dipelihara di TPA Alak serta masing-masing 1 ekor kambing jantan dan 1 ekor betina yang

dipelihara di luar TPA Alak (non TPA). Analisis hasil dilakukan secara deskriptif dan

disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Sampel yang diambil dalam pembuatan sediaan histologi yaitu berupa jaringan

organ ginjal dari hewan hidup, sebelum pengambilan sampel tersebut hewan dieuthanasi

dengan memutuskan saluran nafas, saluran pencernaan dan pembuluh darah yang berada di

sekitar daerah leher. Setelah dieutanasi hewan dinekropsi seperti kriteria Soeharmi et al.

(2003) yaitu diawali dengan pembedahan post mortem dari linea alba kemudian membuka

bagian abdomen dan menemukan ke dua organ ginjal. Pengambilan sampel ginjal untuk

pembuatan sediaan histologi dilakukan pada daerah dengan ciri, adanya perubahan warna

organ, ada perubahan bentuk atau adanya pembengkakan daerah ginjal serta adanya

perubahan tekstur organ yang lebih keras ataupun lebih lunak dan rapuh. Jaringan

kemudian dipotong dengan ukuran 1cm x 1cm x 1cmdan difiksasi dengan larutan formalin

10 %.

Page 179: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

169

Proses pembuatan sediaan histologi yang meliputi beberapa tahapan, yaitu; Tahap

pertama (Pemrosesan jaringan), dilakukan melalui beberapa proses: proses fiksasi dengan

menggunakan formalin 10 %. Kemudiandilanjutkan dengan proses dehidrasi, jaringan

dicelupkan kedalam alkohol 70 %, 80 %, 95 % dan alkohol absolut. Proses selanjutnya

yaitu proses clearingdengan menggunakan xilol. Dilanjutkan dengan proses infiltasi

paraffin yaitu jaringan dicelupkan kedalam parafin cair pad suhu60oC sebanyak tiga kali

selama 60 menit.

Tahap kedua (Embedding), cetakan disiapkan untuk proses pengeblokan diatas

tungku penghangat, selanjutnya jaringan yang telah selesai diproses dikeluarkan dan

dimasukkan ke dalam blok yang sebelumnya sudah diisi dengan parafin cair. Permukaan

jaringan yang dipotong menghadap ke bawah pada cetakan blok dan kemudian diberi label.

Tahap ketiga (Sectioning), blokditempatkan pada mikrotom yang dilengkapi pisau

dengan kemiringan 30o. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 5 μm dan dimasukkan ke

dalam waterbath bersuhu 50°C. Potongan blok selanjutnya dipindahkan pada permukaan

objek glass yang telah diberi nomor registrasi blok.Tahap keempat (Inkubasi), preparat

diinkubasi diatas hot plate dengan suhu 50°C (di bawah titik cair parafin) selama 15 menit.

(Ndaong dan Selan, 2013).

Tahap pewarnaan HE diawali dengan tahap deparafinisasi yaitu preparat

dicelupkan pada larutan xilol I, xilol II dan xilol III, masing-masing selama tiga menit.

Selanjutnya adalah tahap rehidrasi, jaringan dicelupkan ke alkohol absolut, alkohol 95 %,

80 % dan 70 % masing-masing selama dua menit dan selanjutnya preparat dibilas di bawah

air mengalir selama tiga menit. Sediaan lalu direndam dalam Harri’s Hematoxilline10

menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit selanjutnya direndam dalam larutan

Eosin selama 10 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Kemudian

dilanjutkan pada tahap dehidrasi yaitu preparat direndam dengan alkohol 70 %, 80 %, 95

% dan alkohol absolut masing-masing tiga kali celupan. Tahap clearing yaitu preparat

direndam dengan xilol I, xilol II dan xilol III masing-masing selama dua menit. Kemudian

dilanjutkan lagi pada tahap mountingyaitu sediaan ditetesi perekat (Canada balsam) dan

ditutup dengan cover glass, dikeringkan dan kemudian diamati di bawah mikroskop

(Ndaong, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Makroskopis Rumen Kambing Kacang Yang Dipelihara Di Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang.

Pada pengamatan makroskopik organ rumen yang dipelihara di tempat

pembuangan akhir (TPA) sampah Kecamatan Alak, Kota Kupang dilihat ada perubahan-

perubahan yang terjadi pada rumen seperti kerusakan papilla dan perubahan warna pada

mukosa organ rumen. Adapun Gambaran terperinci patologi anatomi dari masing-masing

kambing yang dipelihara di TPA dapat dilihat pada Tabel1.

Page 180: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

170

Gambar 1. Gambaran makroskopik rumen (Non TPA). (1) papilla ruminis;

(2) papilla cranialis; (3) papilla coronaria; (4) papilla

longitudinal

Tabel 1.Hasil pengamatan makroskopis organ rumen kambing kacang

No Perubahan JA BA JA.I JA.II BA.I BA.II

1. Papilla membesar ‒ ‒ ++ + ++ +

2. Bintik hitam ‒ ‒ √ ‒ √ ‒

3. Kerusakan mukosa ‒ ‒ √ √ √ √

4. Warna ‒ ‒ √ √ √ √

Keterangan :(++) : semua papilla membesar;(+) : sebagian papilla membesar;

(√) : terdapat bintik hitam; (√): keseluruhan mukosa mengalami

penebalan; (√) : terjadi perubahan warna pada mukosa; ‒ : tidak ada

perubahan (normal).

Perubahan-perubahan makroskopik yang pada organ rumen kambing kacang yang

dipelihara di tempat pembuangan akhir (TPA) dapat di sebabkan karena mengkonsumsi

pakan yang telah bercampur dengan bahan-bahan toksik seperti logam berat dan zat-zat

kimia lainnya. Selain itu Widowati dan Jusuf (2008)jugamenyatakan bahwa logam berat

bersifat akumulatif di dalam tubuh dan dapat mempengaruhi sistem gastrointestinal. Hal ini

sesuai dengan Hayder et al (2006) yang menyatakan bahwa hewan yang mengkonsumsi

sampah di TPA mempunyai resiko tinggi terpapar bahan toksik, mudah terjangkit diare,

dan pada pemeriksaan rumen terdapat benda asing.

Pada pemeriksaan patologi anatomi di temukan bahwa semua sampel yang berasal

dari TPAmengalami perubahan seperti papilla membesar (Gambar 2A, Tabel 1), kerusakan

pada mukosa dimana terjadi penebalan pada mukosa dan perubahan warna mukosa

menjadi lebih kehitaman atau kecoklatan (Gambar 2C dan 2D, Tabel 1 ) . Hal ini sejalan

dengan pernyataan Zachary dan Mcgavin (2012) yang menyatakan bahwapakan dengan

serat kasar yang tinggi seperti jagung dan dedak menyebabkan papilla rumen akan menjadi

4

2

1

3

Page 181: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

171

lebih panjang,pakan juga dapat membuat papilla menjadi berbentuk kerucut dan hewan

yang mengkonsusmsi pakan dengan serat kasar tinggi menunjukkan rumen menjadi keras,

coklat, kadang kaku, dan sedikit lesi tanpa gejala klinis .

Pemberian pakan dengan kandungan serat kasar tinggi dan jumlahnya banyak akan

menyebabkan rumen akan bekerja lebih keras yaitu ditandai dengan peningkatan kontraksi

pada otot – otot rumen yang pada akhirnya akan meyebabkan otot – otot rumen menjadi

kelelahan. Kelelahan ini akan berakibat pada penurunan gerakan rumen (hipotonia) dan

beberapa jam kemudian gerakan rumen akan hilang (atonia). Hilangnya gerakan rumen ini

sangat berbahaya karena ingesta yang ada didalam rumen tidak akan tercerna secara

maksimal. Akibatnya ingesta tersebut akan tertimbun didalam rumen ataupun akan

menyubat saluran pencernaan sehingga ketika ingesta tersebut keluar dalam bentuk feses

akan terlihat bahwa feses tersebut memiliki konsistensi yang keras, warnanya agak gelap

dan terkadang juga terdapat lendir bercampur darah (Subronto, 2003).

Secara umum dapat dikatakan bahwa kerusakan rumen yang nampak secara

makroskopis diakibatkan oleh paparan yang bersifat terus menerus dan akumulasi dari

bahan pencermar yang ada dilokasi TPA yang secara perlahan-lahan akan mempengaruhi

sistem gastrointestinal, urinaria, reproduksi, dan lain-lain (Widowati dan Jusuf,

2008).Untuk memastikan perubahan-perubahan yang ditemukan dalam pengamatan

makroskopis, maka dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada organ rumen kambing

kacang TPA Alak.

Gambaran Mikroskopik Rumen

Hasil pengamatan mikroskopik terhadap rumen kambing kacang yang tidak

dipelihara di TPA Alak tidak didapati adanya perubahan (Gambar 6). Gambaran histologi

normal yang tampak pada rumen dari kambing-kambing ini adalah

tersusunatasbeberapalapisanyaitutunikamukosa, tunikasubmukosa,

tunikamuskularisdantunika serosa. Pada mukosa rumen mempunyaicirrikhususyaituadanya

papilla (Hofmann, 1988).

Pada pengamatan secara mikroskopik terhadap rumen kambing kacang (Capra

aegagrus hircus) yang di pelihara di tempat pembuangan akhir (TPA) Alak ditemukan

adanya beberapa jenis perubahan. Perubahan-perubahan mikroskopik yang terjadi tersebut

disajikan pada Gambar 5A, 5B, 5C, 5D, dan 5E, serta tabel 2.

Page 182: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

172

Gambar 3 : Gambaran mikroskopik rumen (Normal) kambing

kacang yang tidak dipelihara di TPA Alak (10x, H&E). (1)

epitel skuamos kompleks, (2) lamina propia(3) submucosa; (4)

papilla.

Tabel 2.Gambaranmikroskopis (Histopatologi) rumen kambingkacang (Capra aegagrus

hircus) yang dipeliharadan tidak dipelihara di TPA KecamatanAlak, Kota

Kupang

Keterangan : (√) : ada perubahan;(‒) : tidak ada perubahan (normal); (KJ) :

Kambing Jantan (Non TPA); (KB) : Kambing Betina (Non TPA);

(JA.I) : Jantan Alak I; (JA.II) : Jantan Alak II; (BA.I) : Betina Alak I;

(BA.II) : Betina Alak II

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa bagian epitel darisemua sampel rumen

yang berasal kambing kacang (Capra aegagrus hircus) dari TPA Alak mengalami

hiperkeratinisasi. Hiperkeratinisasi adalah gangguan yang ditandai dengan penebalan

lapisan stratum corneum secara berlebihan. Hiperkeratosis sering terjadi karena disebabkan

No Perubahan JenisKambing

KB KJ BA I BA II JA I JA II

1 Hiperkeratinisasi - - √ √ √ √

2 Perubahan bentuk sel

keratin

- - √ √ √ √

3 Hyperplasia selepitel - - √ √ √ √

4 Hemoragi - - - - √ -

5 Hipertropi sel keratin - - - - √ -

1 2

3

4 3

4

4

Page 183: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

173

karena keracunan Arsen kronik, dan keracunan senyawa benzen-klorida, atau minyak

pelumas bekas. Apabila dihubungkan dengan kondisi TPA Alak, kejadianhiperkeratinisasi

ini kemungkinan besar disebabkan oleh proses pencernaan secara mekanis yang terjadi

secara berlebihan pada rumen, akibat pakan anorganik yang ikut termakan bersamaan

dengan pakan organik dan telah tercampur dengan bahan-bahan toksik. Menurut Frants et

al (1991) hiperkeratinisasi terjadi pada daerah stratum korneum dan biasanya diikuti

dengan hiperplasia.

Hiperplasia sel epitel merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada semua

organ rumen kambing kacang yang berasal dari TPA Alak (Gambar 4C, Tabel 2). Menurut

Soresen (1991), hiperplasia adalah pembentukan jaringan secara berlebihan karena

bertambhanya jumlah sel dan dapat disebabkan karena kontak dengan logam berat.

Menurut Frants et al (1991) hyperplasia terjadi karena adanya peningkatan proliferasi

epitel. Menurut Kumar et al (2007) paparan bahan kimia serta logam berat memyebabkan

gangguan pada sel selanjutnya sel akan berusaha beradaptasi dengan cara hiperplasia. Hal

ini dapat terjadi pada sel epitel rumen kambing kacang yang mengkonsumsi pakan sampah

yang mengandung logam berat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bakhiet (2008), bahwa

lesihistopatologi yang berkaitandenganbendaasing yaitu gangguan pada epitel

yangakanmenyebarkebagiansubmukosa. Hyperplasia pada lapisanepithel rumen

mengakibatkanlapisaninimenonjolkebeberapabagianseperti lamina propiadansubmukosa,

bahkanpadabeberapakasussampaikedaerahmuskularis. Namun menurut Hailat (1998)

belum diketahui iritasi pada epitel rumen terjadi karena iritasi mekanis akibat

mengkonsumsi plastik atau akibatbeberapazatkimia yang dilepaskanolehplastik.

Perubahan yang juga terjadi pada semua organ rumen JA I (Jantan Alak I) yang

berasal dari TPA Alak adalah perubahan bentuk sel keratin menjadi pipih. Hal ini dapat

terjadi karena proses pencernaan secara mekanik pada rumen. Pada kasus yang terjadi pada

kambing yang berasal dari TPA, kambing mengkonsumsi bahan anorganik yang memiliki

serat lebih keras dibandingkan dengan bahan organik sehingga menekan permukaan

mukosa rumen yang menyebabkan hiperkeratinisasi dimana ini juga akan menyebabkan

perubahan bentuk sel keratin menjadi lebih pipih.

Pada sampel rumen yang berasal dari TPA, terjadi perubahan histopatologi yaitu

hemorhagi. Menurut Leininger (1992), hemorhagi dapat terjadi secara spontan (idiopatik)

atau karena toxic kimia secara langsung atau tidak langsung. Biasanya hemorhgi diikuti

dengan peradangan. Berdasarkan teori di atas, maka hemorhagi yang terjadi pada organ

rumen kambing kacang yang di pelihara di TPA kemungkinan besar di akibatkan karena

mengkosumsi pakan yang mengandung bahan-bahan kimia atau logam berat. Hal ini

sejalan dengan pernyataan Bakhiet (2008), bahwa kondisipatologis lain yang di temuipada

rumen yaituhemoragidankongestipada papilla rumen.

Hipertrofi sel keratin juga terjadi pada sampel rumen JA I (Jantan Alak I) dari TPA.

Menurut Hirmawan (1973), Hipertrofi merupakan kelainan progresif berupa bertambahnya

isi atau volume suatu jaringan atau alat tubuh yang terjadi pada sel-sel yang tidak dapat

memperbanyak diri sehingga sel-sel yang menyusun jaringan atau alat tubuh tersebut

membesar. Pada kondisi tersebut membesarnya jaringan atau alat tubuh disebabkan sel-sel

yang menyusunnya membesar, bukan karena bertambahnya jumlah sel.Hipertrofi terjadi

Page 184: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

174

karena peningkatan aktivitas dari sel sehingga sel tampak membesar. Menurut Harteman

(2011) akumulasi cadmium dan timbal hewan dapat menyebabkan menyebabkan hipertrofi

pada sel. Hal ini akan menyebabkan aktivitas sel semakin meningkat sehingga kosentrasi

cadmium dan timbal di dalam sel akan meningkat dan akan terakumulasi ke dalam sel

dengan cara difusi menembus selaput sel. Berdasarkan teori diatas bahwa hipertrofi yang

terjadi pad sel keratin terjadi karena aktivias sel keratin terhadap bahan anorganik yang

masuk kedalam rumen, sehingga meninggakat metabolisme dari sel keratin untuk

beradaptasi dengan bahan anorganik yang masuk ke dalam organ rumen, yang akan

menjadikan sel keratin nampak membesar.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa gambaran

makroskopis (patologi anatomi) rumen kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang

dipelihara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang adalah adanyaadanya

bintik-bintik hitam pada mukosa rumen, papilla membesar, kerusakan pada mukosa dan

terjadi perubhan warna.Sedangkan gambaran Mikroskopis (Histopatologi) rumen kambing

kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Alak, Kota Kupang adalah hiperkeratinisasi, perubahan bentuk sel keratin, hiperplasia sel

epitel, hemoragi, hipertropi sel keratin.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhiet, A. O. 2008. Studies on the rumen pathology of sudanse desert sheep in slaughter

hause. Scientific Research dan Essay vol 3 (7), PP 294-298.

Frantz, J. D., Betton, G. R., Cartwright, M. E., Crissman, J. W, Macklin, A. W, dan

Maronpot, R. R. 1991. Proliferative lesions of the non-gldanular dan glandular

stomach in rats. GI-3. In Guides for Toksikologic Pathology.STP/ARP/AFIP,

Washington, DC, 1-20.

Fouad, K. Muss, B. dan Haggo, B. 1990. Foreign body ruminal indigestion among goats in

Sudan. Egyptian Vet. Med. 1: 27 34-40.

Hailat, N. Al-Darraji, A. Lafi, S. Barakat SAF Al-Ani, F. El-Magrhaby, H. Al-Qudah K.

Gharaibeh, S. Rousan, M. Al-Smadi, M. 1998.Pathology of the rumen in goats

caused by plastic foreign bodies with reference to its prevalence in Jordan. Small

Ruminant Res. 30: 77-83.

Hailat, N. Lafi, S. Al-Rawashdch, O. dan Zorah, K. 1995. Significant changes in some

blood parameters in severely emaciated sheep associated with rumen impaction by

plastic objects. J. Egypt. Vet. Med. Assoc. 55: 353-358.

Harteman, E. 2011. Sebaran Logam Berat Dalam Organ Tubuh Ikan Badukang (Arius

marculatus fis & Bian) Dan Sembilang (Plotosis canius Web &Bia) Serta

Pengaruhnya Terhadap Morfologis Organ. PascasarjanaIPB. Bogor

Hayder, A. M. Amel, O. Bakhiet dan Mohammed, A. A. 2002. Retrospective Study on the

Prevalence of Foreign Body in Goats’ Rumen : Omdurman Province, Khartoum

State, Sudan (1998-2002). Journal of Animal dan Veterinary Advances 5(6) : 449-

451.

Page 185: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

175

Hirmawan. 1973. Patologi Umum (Dasar-Dasar Patologi). UI Press: Jakarta

Hofmann, R. R., 1988. The ruminant stomach. Stomach structure dan feeding habits of

East African game ruminants. East Afr. Lit. Bureau, 2: 1-354.

Leininger, J. R, Jokinen, M. P, Dangler, C. A. dan Whiteley, L. O. 1999. Oral cavity,

esophagus, dan stomach. In: Pathology of the Mouse (Maronpot RR, ed). Cache

River Press, St Louis, MO, 29-48.

Ndaong, N. A. 2013. Efek Pemaparan Deltamethrin Pada Broiler Terhadap Aktivitas

Enzim Alanine Amino Transferase, Asparat Aminotransferase, Gambaran

HistopatologiHepar Dan Feed Convertion Ratio. Tesis. Fakultas Kedokteran

Hewan. UniversitasGadjah Madah.

Pamungkas, F. A. A. Batubara, M. Doloksaribu, dan Sihite, E. 2009. Petunjuk Teknis

Potensi Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian danPengembangan

Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.

Sarwono, B. 2005. Beternak Kambing Unggul. Cetakan Ke – VIII. Penerbit PT Penebar

Swadaya, Jakarta.

Sarwono. 2006. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Selan, Y. N. 2013. Morfologi Dan Momfometri Saluran Pencernaan Kalong Kapauk

(Pteropus vampyrus) Beserta Distribusi Sarafnya. Tesis. Fakultas Kedokteran

Hewan. Universitas Gadjah Madah.

Soeharmi, S. Harjanto, H dan Lazuardi, M. 2003, Pemeriksaan histologi organ dalam

kambing pasca kematian akibat infeksi Tripanosomaevansi isolat Bangkalan,

Medika Eksakta 1: 1-6.

Sorensen , E.M.B 1991. Metal Polsoning in Fish Volume II. CRC Press Boca Ann Arbor,

Boston. 376p. Kajian Sistem Resirkulasi Tertutup Menggunakan Biofilter Bivalvia

dan Makroalgae pada Pembesaran Udang Windu (Panaeus monodon). Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I (Mamalia). Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press

Widowati, S. dan Jusuf, R. 2008, Efek Tosik Logam, Dani press, Yogyakarta.

Zachary, F. J dan McGavin, M. D. 2012. Pathology Basis of Veterinary Disease. Elsevier.

St. Louis misouri

Page 186: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

176

Page 187: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

177

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis

paniculata ness) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT (Mus

musculus) PADA KONDISI DIABETES MELITUS TIPE 1

EFFECTIVENESS OF ETHANOL SAMBILOTO LEAF EXTRACT (Andrographis

paniculata ness) ON MICE BLOOD GLUCOSE LEVELS (Mus musculus) IN

CONDITIONS TYPE 1 DIABETES MELLITUS HISTORY

Marche Shintyami Noya1, Nemay A. Ndaong2, Filphin Adolfin Amalo3 1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

2Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. E-mail: [email protected] 3 Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana,

Kupang

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a metabolic disorder characterized by increased levels of

blood glucose due to insulin deficiency. Herbal medicine used to lower blood glucose

levels are bitter (Andrograpis paiculata ness) for allegedly possessing antihyperglycemic

efficacy.Treatment consists 4 groups i.e. negative group (no treatment), positive control

(no treatment alloxan induced), treatment group sambiloto extract 2.2 mg/kg bw and

sambiloto extract treatment group 4.4 mg / kg bw.Analysis of blood glucose levels in the

state of alloxan-induced diabetes mellitus shows the results of P<0.01 with Fhit is 9.31 and

F0,05 is 4.06. In the treatment group sambiloto extract dose of 2.2 mg / kg bw showed the

results of P<0.01 with Fhit is 12.22 and F0,05 is 7.59, The results were significantly different

at a dose of 4.4 mg / kg bw which shows the results of P<0.01 was 45.34 and F0,05 Fhit was

7.59, and significantly different to alloxan group. In sambiloto extract LSD with a dose of

2.2 mg / kg bw dose was not significantly different from the extract of sambiloto with dose

of 4.4 mg / kg bw. From the above explanation can be concluded that the extract of bitter

with a dose of 2.2 mg / kg bw more effectife to compare 4,4 mg/kg bw but and 2.2 mg / kg

bw and 4.4 mg / kg bw can be recommended as a therapeutic dose in Diabetes Mellitus

type 1 state in mice.

Keywords: Diabetes Mellitus, Sambiloto extract, Alloxan, blood glucose.

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolisme karbohidrat yang

ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin (Hasdianah,

2013). Penyakit ini terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua –

duanya yang ditandai dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan

beberapa organ tubuh seperti jantung, ginjal, gangguan pada mata dan hati (Homenta, 2012

dan Pho, 2005).

Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi 2 yaitu Diabetes Melitus tipe 1 dan Diabetes

Melitus tipe 2.Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005) menuliskan bahwa

Diabetes Melitus tipe 1 merupakan penyakit yang jarang atau sedikit populasinya,

Page 188: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

178

diperkirakan berkisar antara 5 % sampai dengan 10 % dari keseluruhan populasi penderita

Diabetes namun penyakit ini dapat menyebabkan kematian.

Indonesia merupakan negara yang menempati peringkat 5 sedunia dengan jumlah

pasien penderita Diabetes Melitus sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2013, naik 2

tingkat dibanding tahun 1995 dimana jumlah pasien sebanyak 4,5 juta orang (Suyono,

2007). Besarnya insidensi, prevalensi, dan komplikasi Diabetes Melitus menggambarkan

betapa pentingnya pencegahan dan penatalaksanaan dini penyakit tersebut.

Obat herbal merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar

pengobatan karena memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan obat modern

yang mempunyai kandungan bahan kimia yang akan memberikan efek samping dan dapat

membahayakan (Sembiring, 2009). Obat herbal yang digunakan untuk menurunkan kadar

glukosa darah adalah sambiloto (Andrograpis paiculata ness). Sambiloto (Andrograpis

paiculata ness) diketahui memiliki efek antihiperglikemia dan bersifat antioksidan

(Ratimanjari, 2011). Khasiat lain dari sambiloto (Andrographis paniculata Ness) sebagai

anti bakteri, anti radang, reaksi imunitas, analgesik, anti piretik, menghilangkan panas

dalam dan detoksikasi.

MATERI DAN METODE

Hewan coba

Hewan coba yang digunakan adalah mencit jantan (Mus musculus) berumur 2 minggu

sebanyak 12 ekor dengan berat badan antar 15 g sampai 20 g. Sebelum digunakan dalam

percobaan, semua mencit diaklimasi terlebih dahulu selama 5 hari untuk penyesuaian

lingkungan dan mengontrol kesehatan. Mencit diperoleh dari Laboratorium Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah ekstrak daun sambiloto. Bahan kimia yang digunakan adalah

aloksan (Sigma aldrich), etanol 96 %, alkohol 70 %, aquabidest proinjeksi, pakan

konsentrat (Br 2), NaCl 0,9 %, reagen glukosa, sekam, masker, sarung tangan, kertas

perkamen (Unimed (R)), kertas saring (Whatman (R)), pipet hematokrit (Superior (R)) dan

spuit 1 ml.

Alat

Timbangan digital (CHQ (R), fotometer (Zenin 288 (R), oven, Rotari Evaporator (Eyela

Osb 2100), 1 set alat bedah minor (One Med), blender (Panasonic), Blender (Panasonic),

saringan, Pot penampung ekstrak, botol kaca 500 ml, gelas ukur 200 ml, kandang ukuran :

39 X 31 X 12 cm serta tempat makanan dan minum.

Prosedur kerja

Ekstraksi

Sebanyak 550 g serbuk daun Sambiloto ditimbang dan dimaserasi dengan etanol selama 4

hari kemudian dikentalkan dengan rotari evaporator.

Prosedur pemberian aloksan dan pemberian ekstrak sambiloto

Mencit pada kelompok II, III dan IV diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb sebanyak 2 kali

sehari selama 3 hari pemberian secara intraperitoneal. Sedangkan ekstrak sambiloto

diberikan pada kelompok perlakuan yaitu kelompk III dan IV secara peroral sebanyak 2

Page 189: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

179

kali sehari. Dosis ekstrak sambiloto yang diberikan pada kelompok III adalah 2,2 mg/kg bb

dan kelompok IV ada 4,4 mg/kg bb.

Cara pemeriksaan glukosa darah

Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan menggunakan

Gluco Dr dan Metode GOD-PAP. Hasil data yang diperoleh dianalisis dengan One Way

Anova dan Uji Beda Nyata terkecil (BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Rerata KGD Normal (hari ke -7)

Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-7

yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 1.

Rerata kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok perlakuan sebagai berikut:

Kelompok 1 (kontrol negatif) adalah ±126,67 mg/dl, kelompok 2 adalah ±128,67 mg/dl,

kelompok 3 adalah ±123,67 mg/dl dan kelompok 4 adalah ±132,67 mg/dl. Hal ini

didukung oleh Kusumawati (2007) yang menyatakan bahwa mencit (Mus musculus)

memiliki kadar glukosa darah normal berkisar antara 62,8 mg/dl sampai dengan 176 mg/dl

sedangkan menurut Malole dan Pramono (1989) kadar glukosa darah normal pada mencit

adalah 76 mg/dl sampai dengan 178 mg/dl serta menurut Hadiyanti (2012) kadar glukosa

darah normal mencit adalah 67,85 mg/dl sampai dengan 178,87 mg/dl. Malole dan

Pramono (1989) menambahkan apabila kadar glukosa darah diatas 200 mg/dl maka mencit

dalam keadaan hiperglikemik.

Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-

12 yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 190: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

180

Berdasarkan data di atas didapatkan hasil bahwa pada hari ke-12 kadar glukosa darah

pada kelompok-2, 3 dan 4 sudah mengalami peningkatan. Rerata kadar glukosa darah

kelompok-1 pada hari ke-12 adalah ±126 mg/dl, kelompok-2 adalah ±302,33 mg/dl,

kelompok-3 adalah ±448,67 mg/dl serta kelompok-4 adalah ±418 mg/dl. Berdasarkan

rerata kadar glukosa darah pada ketiga kelompok perlakuan yang lebih dari 200 mg/dl

dapat disimpulkan bahwa mencit pada ketiga kelompok perlakuan di hari ke-12 mengalami

hiperglikemik. Hasil pengujian ANOVA kadar glukosa darah pada hari ke-12 dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji ANOVA kadar glukosa darah pada mencit yang diinduksi aloksan (Hari

Ke-12)

Sumber

Keragaman

Jumlah

Kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

Tengah F P-value F crit

Perlakuan 207232,9 3 69077,64 9,31** 0,005 4,066

Galat/error 59390 8 7423,75

Total 266622,9 11

Sumber : Data Primer, 2014

Ket : ** Sangat nyata (P<0,01)

erdasarkan hasil pengujian ANOVA terhadap kadar glukosa darah pada hari ke-12

dengan Fhit adalah 9,31 dengan signifikansi 0,05, didapatkan hasil bahwa F 0,01 adalah

4,066 lebih kecil dibandingkan dengan Fhit (P<0,01). Perlakuan berbeda nyata maka

dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil pengujian Beda Nyata Terkecil (BNT) antar perlakuan

pada hari ke-12 dapat dilihat pada Tabel 2.

Kelompok perlakuan

Page 191: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

181

Tabel 2. Uji BNT antar perlakuan pada hari ke-12

Perbandingan

antar kelompok

Mean Difference Signifikan

K1 K2 -175.66667* .037

K1 K3 -324.00000* .001

K1 K4 -291.33333* .003

K2 K3 -166.33333* .046

K2 K4 -115.66667tn .139

K3 K4 50.66667tn .492

Sumber: Data Primer, 2014

Ket : tn = tidak nyata (P>0,05)

*Beda nyata

Hasil uji BNT ini jika dibandingkan antara K1 dan K2, K1 dan K3, K1 dan K4

serta K2 dan K3 didapatkan hasil P < 0.05 artinya berbeda nyata antara kadar glukosa

normal dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi dengan aloksan, sedangkan jika

dibandingkan antara K2 dan K4 serta K3 dan K4 didapatkan hasil P > 0.05, artinya bahwa

tidak ada perbedaan yang nyata kadar glukosa darah antara K2 dan K4 serta K3 dan K4

setelah diinduksi aloksan.Aloksan merupakan molekul radikal bebas yang merusak sel-sel

β pankreas (Purbowati, 2011). Mekanisme kerja aloksan diawali dengan pembentukan

Reactive oxygen Species (ROS) yang bersifat toksik, yaitu radika superoksida dan hidrogen

peroksida (Lenzen, 2008). Organ target dari ROS ini adalah DNA sel-sel β pankreas.

Menurut Nurdiana dkk. (1998) pankreas dari mencit yang diinduksi dengan aloksan akan

tampak ruang-ruang kosong disebabkan karena nekrosis dari sel β. Penurunan jumlah sel β

pankreas tersebut menunjukkan adannya gangguan metabolisme insulin pada pankreas

menyebabkan penghancuran selektif sel β (apoptosis) dan mengakibatkan penurunan

volume sel β dalam pulau langerhans. Kerusakan dan kematian sel-sel β pankreas ini akan

mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah insulin yang disekresikan (Lenzen, 2008).

Berkurangnya jumlah sekresi insulin mengakibatkan terhambatnya transportasi glukosa ke

dalam sel-sel tubuh sehingga menimbulkan penimbunan glukosa dalam darah (Hadley,

2000). Departemen Kesehatan (2000) menyatakan bahwa aloksan mempunyai

kemampuan untuk menginduksi diabetes secara permanen dalam waktu dua sampai tiga

hari dimana terjadi gejala hiperglikemik.

b. Rerata KDG kelompok perlakuan ekstrak sambiloto hari ke-19 dan 26

Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-

19 yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 192: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

182

Rerata kadar glukosa darah mencit jantan pada K1 pada hari ke-19 adalah ±112

mg/dl dan K2 adalah ±360,67 mg/dl. Ketika diinduksi sambiloto 2,2 mg/kg bb, rerata

kadar glukosa darah mencit pada hari ke-19 untuk K3 adalah ±353,33 mg/dl atau menurun

sebesar 2,03% dibandingkan dengan kontrol positif, sedangkan rerata kadar glukosa darah

hari ke-19 pada K4 yang diinduksi ekstrak sambiloto 4,4 mg/kg bb adalah ±232 mg/dl atau

menurun sebesar 45,01% jika dibandingkan dengan kontrol positif. Hasil uji ANOVA

glukosa darah pada hari ke-19 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji ANOVA

kadar glukosa darah pada hari ke-19

Sumber

Keragaman

Jumlah

Kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

Tengah Fhit

P-

value F krit

F 0,01

Perlakuan 111419,7 3 37139,89 12,22** 0,0023 7,59

Galat/error 24300 8 3037,5

Total 135719,7 11

Sumber: Data Primer, 2014

** : Sangat nyata

Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa F0,01 < Fhit (P<0,01), dimana nilai Fhit

adalah 12,22 sedangkan nilai F0.01 adalah 7,59. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh nyata

dari pemberian ekstrak sambiloto dengan dosis 22,2, mg/kg bb dan 4,4 mg/kg bb.

Petlakuan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil uji BNT KGD pada hari

ke 19 dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 193: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

183

Tabel 4. Uji BNT Kadar glukosa darah pada mencit sesudah pemberian

ekstrak sambiloto hari ke-19

Perbandingan

antar kelompok Mean Difference Signifikan

K2 K3 7.33333 tn .875

K2 K4 128.66667* .021

K3 K4 121.33333* .027

Sumber: Data Primer, 2014

* nyata (P<0,05)

Dari hasil uji BNT dapat dilihat bahwa pada hari ke-19, kadar glukosa darah mencit pada

kelompok 3 yang diberi 2,2 mg/kg bb (K3) berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan K2

(kontrol positif). Kadar glukosa darah pada K3 menunjukan penurunan tetapi penurunan

tersebut tidak nyata secara statistik.

Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran kadar glukosa darah mencit pada hari ke-

26 yang diinduksi aloksan pada kelompok-2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 4.

Rerata kadar glukosa darah mencit pada K1 pada hari ke-26 adalah ±132,67 mg/dl

sedangkan rerata kadar glukosa darah pada K2 adalah ±354,67 mg/dl. Ketika diinduksi

sambiloto 2,2 mg/kg bb pada hari ke-26 rerata kadar glukosa darah mencit untuk K3

adalah ±155 mg/dl atau menurun sebesar 57,30% dibandingkan dengan kontrol positif

(K2). Hal ini menunjukkan bahwa adanya penurunan kadar glukosa darah hari ke-26 jika

dibandingkan dengan kadar glukosa darah pada hari ke-19. Rerata kadar glukosa pada hari

ke-26 turun dari ±232 mg/dl menjadi ±173,33mg/dl atau turun sebesar 21,83%. Jika

dibandingkan dengan kadar glukosa pada hari ke-19, di hari ke-26 terjadi penurunan yang

sangat berarti sampai pada keadaan normal yaitu 155 mg/dl atau menurun sebesar 56,13%.

Rerata kadar glukosa darah mencit pada kelompok 4 di hari ke26 adalah ±173,33

mg/dl. Rerata kadar glukosa darah pada hari ke-26 turun dari ±355,67 mg/dl menjadi

Page 194: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

184

±173,33 mg/dl menurun sebesar 49,87% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol

positif atau turun sebesar 18,57% dari keadaan K4 pada hari ke-19. Hasil uji ANOVA

pada hari ke-26 dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil uji ANOVA kadar glukosa darah pada hari ke-26

Sumber

Keragaman

Jumlah

Kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

Tengah Fhit P-value F krit

F0,01

Perlakuan 94784,92 3 31594,97 45,34** 0,002341 7,59

Galat/error 5574,5 8 696,8125

Total 100359,4 11

Sumber: Data Primer, 2014

** Sangat nyata (P<0,01)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan pemberian ekstrak sambiloto

sebanyak 2,2 mg/kg bb dan 4,4 mg/kg bb berbeda sangat nyata terhadap kadar glukosa

darah pada mencit dimana F0,01 adalah 7,59 (P<0,01) lebih kecil dari Fhit adalah 45,34.

perlakuan berbeda sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil uji BNT pada hari

ke 26 dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Uji BNT kadar glukosa darah pada mencit sesudah pemberian ekstrak

sambiloto hari ke-26

Perbandingan

antar kelompok Mean Difference Signifikan

K2 K3 199.33333** .000

K2 K4 173.00000** .000

K3 K4 -26.33333tn .160

Ket: ** sangat nyata (P<0,01);

tn tidak nyata (P>0,05)

Adanya perbedaan yang sangat nyata antara kadar glukosa darah setelah

diinduksikan aloksan (K2) dengan kadar glukosa darah setelah diberikan ekstrak sambiloto

dosis 2,2 mg/kg bb dan 4,4 mg/kg bb menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto secara sangat

nyata mampu untuk menurunkan kadar glukosa darah pada mencit.

Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada kelompok 4 diduga akibat

faktor-faktor pendukung antara lain mengkonsumsi pakan yang diberikan dan juga akibat

stres yang dialami oleh mencit pada saat penelitian. Menurut yuriska (2009) pemberian

pakan Br 2 dapat meningkatkan kadar glukosa darah dalam tubuh dikarenakan komposisi

karbohidrat dalam pakan tersebut cukup tinggi yaitu 10% sampai dengan 12% dari total

kandungan gizi pada pakan tersebut. Menurut Hadiyanti (2012) terjadinya stres

dikarenakan adanya kemampuan tubuh dalam menanggapi stres yang diberikan berbeda-

Page 195: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

185

beda pada mencit. Guyton dan Hall (1997) menambahkan bahwa stress dapat

meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin untuk

mengeluarkan ephinefrin yang mempunyai efek yang sangat kuat menyebabkan timbulnya

proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga melepaskan sejumlah besar glukosa ke

dalam darah dalam beberapa menit. Sherwood (2001), menambahkan bahwa jika

terjadinya stress akan memicu pengeluaran hormon kortisol yang menyebabkan pelepasan

glukosa di hati sebagai respon untuk meningkatkan ketersediaan glukosa, asam amino dan

asam lemak untuk digunakan.

Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada kelompok 4 diikuti oleh

penurunan kadar glukosa darah pada hari ke-19 dan 26. Hal ini disebabkan karena interaksi

yang saling mendukung antara senyawa-senyawa bioakif yang ada di dalam daun

sambiloto (Purbowati, 2011). Penelitian-penelitian sebelumnya membuktikan bahwa

senyawa aktif dalam ekstrak sambiloto yang mempunyai aktivitas dalam menurunkan

kadar glukosa darah adalah andrographolide (Rao, 2006). Efek penurunan kadar glukosa

darah yang terlihat pada kelompok 3 dan kelompok 4 pada hari ke-19 dan 26 membuktikan

bahwa ekstrak sambiloto mampu menurunkan kadar glukosa darah pada mencit yang

diinduksi dengan aloksan.

Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat unggulan selain temulawak,

mengkudu, daun jinten dan mahkota dewa yang digunakan sebagai bahan terapi berbagai

penyakit (Nugroho, 2001). Kandungan bahan aktif pada tanaman sambiloto ini diantaranya

andrographolide, alkalin, keton, aldehid, damar, minyak atsiri, lakton dan flavonoid yang

memiliki berbagai efek farmakologis (Widhyaningrum, 2011). Sambiloto sudah dikenal

sebagai antidiabetik, namun belum diketahui dosis dan lama terapi untuk penyembuhan

yang maksimal.

Kandungan andrographolide dalam tanaman ini banyak terdapat pada batang dan

daun memberikan rasa pahit (Ratnani dkk, 2012). Menurut Dalimartha (2006), sifat kimia

dan efek farmakologis sambiloto adalah rasa pahit dan dingin sehingga dapat berfungsi

sebagai antipiretik, analgetik, menghilangkan panas dalam, detoksifikan dan

antiradang.Wuragil (2009) menambahkan bahwa efek farmakologis yang ditimbulkan

bahan ini selain sebagai antidiabetik adalah sebagai antiinfeksi, merangsang daya tahan sel,

pengambat reaksi imunitas, penghilang rasa nyeri dan antihistamin.

Selain adanya kandungan Andrograpolide sebagai bahan aktif dalam daun

sambiloto yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah dan antiinflamasi,

terdapat pula antioksidan yang dapat menekan radikal bebas (Hidayah, 2008).

Kusumowadhani (2005), menyatakan bahwa bahan kimia yang mengandung antioksidan

dapat menurunkan radikal bebas yang berperan dalam melindungi pulau langerhans dan

melawan efek sitotoksik. Kandungan antioksidan dalam tanaman ini menghambat

terbentuknya ROS yang akan meningkatkan apoptosis sel (Hidayah, 2008).

Kandungan lain dari sambiloto selain andrograpolideadalah Flavonoid. kandungan

inimemiliki aktivitas hipoglikemik atau penurunan kadar glukosa darah (Handayani, 2009)

serta memiliki mekanisme kerja dalam melindungi tubuh terhadap efek radikal bebas

berperan dalam memperbaiki keadaan insulitis pada sel β pankreas sehingga dapat

mengurangi kerusakan sel β pankreas dan akibatnya meningkatkan pelepasan insulin

Page 196: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

186

sehingga kadar gula darah dapat menurun (Winarsi, 2007).Flavonoid banyak terdapat di

dalam daun dan batang dari tanaman sambiloto (Handayani, 2009).

Menurut Hamid dkk. (2010) Senyawa flavonoid memiliki potensi sebagai

antioksidan karena memiliki gugus hidroksil yang terikat pada karbon cincin aromatik

sehingga dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari reaksi peroksidasi lemak,

sehingga dapat memperbaiki keadaan insulitis pada pankreas akibat pemberian senyawa

diabetogenik yang menginduksi pembentukan radikal bebas. Dalimarta (2006)

menambahkan bahwa efek farmakologis sambiloto yang paling berperan dalam perbaikan

insulitis adalah sebagai antioksidan. Struktur molekul sambiloto bekerja memecah rantai

oksida sehingga mampu meningkatkan status antioksidan endogenous mencit diabetes,

sehingga keberadaan antioksidan eksogen yang kuat seperti flavonoid dalam daun

sambiloto (Andrographis paniculata) diperlukan untuk menetralisir radikal bebas dengan

cara mengeliminasi reactive oxygen species (ROS) dan detoksifikasi hidrogen peroksida

(H2O2) sehingga menurunkan level lipid peroksida, meningkatkan kadar enzim antioksidan

endogen dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai radikal bebas. Hal ini

akan menyebabkan terhambatnya reaksi autooksidasi dan dapat menetralisir radikal bebas

atau sitokin yang membinasakan sel β pankreas pada saat terjadinya insulitis (Dalimartha,

2006).

Pemberian ekstrak daun sambiloto ke dalam tubuh mencit yang menderita Diabetes

Melitus tipe 1 mengakibatkan munculnya serangkaian proses sebagai suatu perwujudan

kerjasama yang sinergis diantara komponen-komponen farmakologis yang terkandung

dalam daun sambiloto (Ratnani dkk, 2012). Serangkaian kerjasama yang sinergis ini akan

menghasilkan keadaan insulitis menajadi lebih baik sehingga sel β dapat memproduksi

insulin dan kadar glukosa sebagai energi dalam tubuh tetap dijaga homeostatisnya.

Ketersediaan insulin dalam tubuh sangat diperlukan, terutama untuk individu yang

mengalami hiperglikemik. Hal tersebut berkaitan dengan peran insulin dalam menurunkan

kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi difusi glukosa ke dalam sel-sel tubuh,

terutama hepar, otot dan jaringan adiposa (Djojosoebagio, 1995). Insulin juga merangsang

glikogenesis (pembentukan glikogen) dan menghambat glikogenolisis (penguraian

glikogen) menjadi glukosa sehingga kadar glukosa darah dapat terkendali menuju keadaan

normal (Sherwood, 2001).

KESIMPULAN

1. Ekstrak etanol daun sambiloto (Andrograpis paniculata nees) memiliki kemampuan

untuk menurunkan kadar glukosa darah mencit pada kondisi Diabetes Melitus tipe 1.

2. Ekstrak etanol daun sambiloto (Andrograpis paniculata nees) dosis 2,2 mg/kg bb lebih

efektif menurunkan kadar glukosa darah mencit pada kondisi Diabetes Melitus tipe 1

pada hari ke-26, meskipun pada dosis 4,4 mg/kg bb terjadi penurunan kadar glukosa

darah namun rerata kadar glukosa darahnya tidak lebih rendah dibandingkan dengan

rerata kadar glukosa darah kelompok perlakuan dosis 2,2 mg/kg bb pada hari ke-26.

Page 197: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

187

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan variasi waktu menggunakan dosis yang

sama. Jika menggunakan dosis rendah maka menggunakan waktu terapi yang lebih

panjang sedangkan jika menggunakan dosis tinggi maka diperlukan waktu yang lebih

singkat sehingga dapat diketahui penyembuhan maksimal dari bahan terapi sambiloto yang

digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, S. 2006, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Diabetes Mellitus, Jakarta.

Penebar Swadaya.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak

Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakatra. Hal

5,7-12.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Jumlah Penderita Diabetes Indonesia Rangking Ke-4 di

Dunia. http: //www. depkes. go. id/ index. php? option=news dan task. Diakses

tanggal 11 Maret 2007.

Djojosoebagio. 1995, Fisiologi kelenjar endokrin. Penerbit UI-Press, Jakarta: V + 501 Hal.

Guyton A. C dan J. E. Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. ke 9. Terj. dari :

Text Book Of Medical Physiology, oleh setiawan, I. Penerbit buku kedokteran EGC,

Jakarta: 1428 Hal.

Hadley, M. S. 2000, Endocrinologi. 5thed. Prentice hall. Inc., London : xxii + 585 Hal.

Hadiyanti, S., Harmayetty, Widyawati I, Y. 2012, Kadar Glukosa Darah Mencit (Mus

Musculus) Diabetes Mellitus Paska Pemberian Model Latihan Isometrik. Mahasiswa

Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

Hidayah, R. 2008, Pengaruh Lama Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (andrographis

paniculata nees) Terhadap glukosa darah dan gambaran histologi pankreas tikus

(Rattus norvegicus) diabetes, Malang. Jurusan biologi Fakultas sains dan teknologi

Universitas Negeri Malang. Skripsi.

Hamid, A.A., Aiyelaagbe, O.O., Usman, L.A., Ameen, O.M., dan Lawal, A. 2010,

Antioxidant : its Medidal and Pharmacological Applications. African Journal of

pure and applied chemistry, vol.4(8),pp. 142- 151.

Hasdianah, R. H. 2012, Mengenal Diabetes Melitus dengan Solusi Herbal, Cetakan

Pertama, Nuha Madika, Yogyakarta.

Homenta, H. 2012, 'Diabetes Mellitus Tipe I', Tesis, MSc, Program Pasca Sarjana Ilmu

Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

Kusumawati, D. 2004, Bersahabat Dengan Hewan Coba, Edisi Pertama, Gajah Madah

University Press (anggota IKAPI), Yogyakarta.

Kusumowardhani, I, Y. 2005. Uji Potensi Labu Siam Sebagai Antidiabetik: Kajian

Terhadap Kadar Gula Darah, Radikal Bebas dan Aktivitas Transaminase Hepar Pada

Tikus Diabet.Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam. Malang: Universitas Brawijaya.

Lenzen, S. 2008, The mechanism of alloxan – and streptozotocin – induced diabetes.

Diabetologia 51: 216-226

Page 198: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

188

Malole, M., dan Pramono, C. S. 1989, Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,

Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Nugroho, A. E. 2006, Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi dan Mekanisme Aksi

Diabetogenik, Yogyakarta. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Bagian

Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Vol

7. Hal: 378-382

Nurdiana,.N.P., Setyawati dan M, Ali. 1998, Efek Streptozotocin Sebagai Bahan

Diabetogenik Pada Tikus Wistar dengan Cara Pemberian Intraperitonial dan

Intravena. Majalah Kedokteran Unibraw. Vol. 14. Hal 66-77.

Pho, K. 2005, Diabetes Mellitus. http//www. nlm .nih. gou/ medlineplus / ency / article /

000305 html. Diakses tanggal 7 April 2014.

Purbowati, O. 2011, Pengaruh Campuran Ekstrak Tanaman Binahong (Anrederacordifolia

(Ten.) Steenis) dan Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Terhadap Kadar

Glukosa Darah Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan. Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Biologi Depok. Skripsi

Rao, N. K. 2006, Anttihyprglikemic and renal protective activities of Andrograpis

paniculata roots cloroform extract. Iranian Journal Of Pharmacology &

Therapeutics (IJPT) : 47-50.

Ratnani, R. D., Hartati, I., Kurniasari, L. 2012, Potensi Produksi andrographolide dari

sambiloto (andrographispaniculata nees) melalui proses ekstraksi hidrotropi.

Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim

Semarang. Vol. 8, April 2012 : 6‐10

Ratimanjari, D. 2011, Pengaruh Pemberian Infusa Herbal Sambiloto (Andrographis

paniculata ness) Terhadap Glibenklamin Dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah

Tikus Putih Jantan yang Dibuat Diabetes, Depok, Skripsi, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi.

Sembiring, B. 2009, Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengisi dan Cara Pengeringan Terhadap

Mutu Ekstrak Kering Sambiloto, Bogor.

Sherwood, L. 2001, Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Ed. 2. Terj. dari Human

Psicology from Cell To System, oleh Brahm, U. Pendit. Penerbit buku kedokteran

EGC, jakarta : xvi + 739 Hal.

Suyono, S. 2007, Diabetes mellitus di Indonesia, Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit.

Widyaningrum, H., Tim Solusi Alternatif. 2011, Kitab Tanaman Obat Nusantara Disertai

Indeks Pengobatan, Cetakan Pertama, MedPress (anggota IKAPI) Yogyakarta.

Wuragil, D.K. 2006, Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata) Terhadap

Kadar Glukosa Darah dan Keberadaan Tumor Nekrosis Faktor Alfa Pada Pankreas

Tikus (Rattus norvegicus) Diabetes Hasil Paparan MLD-STZ. Skripsi Jurusan

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Malang: Universitas Brawijaya.

Yuriska F. A. 2009, Efek Aloksan Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar,

Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Skripsi.

Page 199: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

189

KAJIAN RESIDU PENISILIN DALAM DAGING AYAM PEDAGING, AYAM

KAMPUNG DAN AYAM PETELUR AFKIR YANG DIJUAL DI KOTA KUPANG

(STUDY OF PENICILLIN RESIDUE WITHIN THE MEATS OF BROILER CHICKEN,

RANGE CHICKEN AND CULLED LAYER HENS SOLD IN KUPANG CITY)

Arthenia Degalin Manafe1, Diana Agustiani Wuri2, Annytha Ina Rohi Detha3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email:

[email protected] 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected] 3Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang. Email: [email protected]

ABSTRACT

The consumption of chicken meat in Indonesian society increased by 10 % per

year. The use of antibiotics to increase chicken production irregularly can lead to residues

within organ and tissue which can cause allergic reaction, resistance and poisoned so that

quite dangerous for human health. Considering the danger of antibiotic residues, then

there is a provision of maximum residue limits (BMR) listed in SNI 01- 6366-2000 which

stipulates that maximum residue limit of penicillin within the meat is 0.1 ppm. The purpose

of this study is to determine the residual content of penicillin in the meats of broiler

chicken, range chicken and culled layer hens sold in Kupang City. Samples were taken

using purposive sampling method. Sampling was conducted in Hypermart and in two

traditional markets in Kota Kupang i.e. Inpres Market and Oeba Market. Examination of

samples were carried out in the Laboratory of Quality Testing and Certification of

Veterinary Products (BPMSPH) in Bogor using Tapis test method (Screening Test) of

antibiotic residues within chicken meat by Bioassay. This study used 15 samples of chicken

breast and thigh from 5 broiler chickens, 5 range chickens, and 5 culled layer hens. The

test results showed that there is no penicillin residue in those 15 samples.

Keywords: chicken meat, residue, penicillin, kupang city.

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan makanan dan minuman untuk

dapat memenuhi kebutuhan gizi maupun kesehatan. Produk peternakan merupakan salah

satu komoditas dasar untuk memenuhi kebutuhan gizi maupun kesehatan manusia. Salah

satu produk peternakan ialah daging ayam.

Peningkatan juga terjadi pada produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, yaitu

pada tahun 2001 sampai 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5% dan pada tahun 2005

sampai 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton

(Aman, 2011). Ayam kampung merupakan ternak yang banyak dipelihara dan menjadi

bagian penting bagi kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ayam petelur afkir oleh peternak dimanfaatkan sebagai ayam potong untuk

penghasil daging dan mempunyai kualitas daging lebih rendah dibanding ayam broiler,

karena mempunyai bau spesifik dan alot, tetapi merupakan sumber penghasilan baru bagi

Page 200: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

190

peternak jika harga jual tinggi (Rasyaf, 2010). Seiring dengan meningkatnya permintaan

masyarakat akan daging ayam, maka diusahakan berbagai cara untuk dapat meningkatkan

produksi ayam. Salah satu caranya yaitu dengan penggunaan obat-obatan, khususnya

antibiotika. Penggunaan antibiotik yang tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal

time), akan menimbulkan residu antibiotik pada produk hewan (Donkor et al., 2011).

Pemakaian antibiotika yang tidak beraturan dapat menyebabkan residu dalam

jaringan organ yang dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan keracunan sehingga

cukup berbahaya bagi kesehatan manusia (Yuningsih, 2004). Salah satu golongan

antibiotik yang sering ditemukan menjadi residu pada daging ayam yaitu penisilin.

Antibiotik ini dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan pada

hewan ternak (Verdon et al., 2000).Berdasarkan latar belakang yang ada, maka perlu

dilakukan penelitian tentang “Kajian Residu Penisilin dalam Daging Ayam Pedaging,

Ayam Kampung, dan Ayam Petelur Afkir yang Dijual di Kota Kupang”.

METODE PENELITIAN

Metode yang dilakukan adalah metode uji tapis (screening test) residu penisilin

pada daging ayam pedaging, ayam kampung, serta ayam petelur afkir secara bioassay.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian residu penisilin dengan metode uji tapis (screening test) pada

daging ayam secara bioassay didapat hasil yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian residu penisilin dalam daging ayam pedaging, ayam kampung dan

ayam petelur afkir yang dijual di Kota Kupang

Asal sampel Jenis

ayam

Jenis sampel Jumlah

sampel

Asal

sampel

Hasil

pengujian

residu

penisilin

Metode uji

Pasar Oeba Pedaging Daging ayam 1 Tarus Negatif

Pasar Oeba Pedaging Daging ayam 1 Tarus Negatif

Pasar Inpres Pedaging Daging ayam 1 Alak Negatif

Hypermart Pedaging Daging ayam 1 Oesapa Negatif

Hypermart Pedaging Daging ayam 1 Surabaya Negatif Bioassay

Pasar Oeba Kampung Daging ayam 1 Naibonat Negatif SNI

Pasar Inpres Kampung Daging ayam 1 Oemofa Negatif 7424:2008

Pasar Inpres Kampung Daging ayam 1 Oesao Negatif

Pasar Inpres Kampung Daging ayam 1 Camplong Negatif

Pasar Oeba Kampung Daging ayam 1 Oesao Negatif

Pasar Inpres Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif

Pasar Inpres Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif

Pasar Inpres Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif

Pasar Oeba Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif

Pasar Oeba Petelur Daging ayam 1 Oesao Negatif

Page 201: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

191

Hasil uji residu penisilin negatif ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona

hambatan di sekitar kertas cakram yang menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus

stearothermophilus pada media.

Hasil uji seperti pada Tabel 3 bahwa ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan

tidak ditemukannya residu penisilin, yaitu:

1. Pemahaman peternak

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 5 peternak ayam pedaging,

100 % para peternak telah memahami penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti

obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat. Hasil penelitian sebelumnya oleh Wijaya

(2011), sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam diambil secara

purposive sampling di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat menggunakan metode

screening test secara bioassay tidak ditemukan residu antibiotik pada daging ayam,

tetapi ditemukan residu antibiotik golongan makrolida pada 3 sampel daging sapi.

Tidak ditemukan residu penisilin pada daging ayam dan sapi kemungkinan karena

pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat

(withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al., 2011). Menurut Ditjennak

(1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti pensilin G yang diaplikasikan

secara injeksi pada ayam adalah 5 hari.

2. Umur pemeliharaan

Berdasarkan hasil observasi pra penelitian dan pada saat penelitian,

pemeliharaan ayam pedaging yang begitu singkat yaitu ayam yang berumur 3 minggu

atau 4 minggu langsung dijual sehingga kemungkinan ayam terserang penyakit dan

dilakukan pengobatan sangat kecil sehingga tidak ditemukan residu penisilin. Menurut

Rasyaf (1992), ayam pedaging adalah ayam jantan dan ayam betina muda yang

berumur dibawah 6 minggu ketika dijual dengan bobot badan tertentu, mempunyai

pertumbuhan yang cepat, serta dada yang lebar dengan timbunan daging yang banyak.

Berdasarkan wawancara pada 5 peternak ayam pedaging, 40 % peternak jarang

melakukan pengobatan menggunakan antibiotik karena ayam yang dipelihara hampir

tidak pernah mengalami sakit karena telah dilakukan vaksinasi teratur.

3. Penggunaan antibiotik

Berdasarkan hasil observasi pra penelitian, ditemukan bahwa penggunaan jenis

antibiotik yang paling sering digunakan antibiotik golongan tetrasiklin kemudian

diikuti antibiotik golongan penisilin, dan lain-lain. Penggunaan penisilin juga jarang

dilakukan disebabkan oleh cara kerja penisilin yang berspektrum sempit, yaitu hanya

dapat mengobati jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram positif.

4. Jumlah sampel.

Sedikitnya sampel yang diambil dapat pula berpengaruh terhadap penelitian

ini, tidak menutup kemungkinan adanya daging ayam yang positif pasti bisa

ditemukan dari peternakan yang tidak dilakukan pengambilan sampel. Penelitian

yang dilakukan bersifat survey kualitatif sehingga sampel yang diambil sedikit dan

menghasilkan sampel yang diteliti negatif.

Hasil uji pada 5 sampel daging ayam kampung tidak ditemukan residu penisilin. Ada

beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak ditemukannya residu penisilin, yaitu:

Page 202: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

192

1. Umur pemeliharaan

Berdasarkan hasil observasi peneliti pada beberapa pasar, ayam kampung

dipelihara dalam jangka waktu yang cukup panjang sehingga walaupun telah diberi

antibiotik, kemungkinan saat ayam dijual telah melewati batas waktu henti obat

(withdrawal time) sehingga tidak ditemukan residu penisilin dalam daging ayam

kampung. Berdasarkan hasil wawancara pada 5 peternak ayam kampung, 20 %

peternak menjual ternak ayam ketika ayam tidak dalam masa pengobatan atau sepuluh

hari setelah masa pengobatan.

2. Sistem pemeliharaan

Pemeliharaan ayam kampung umumnya masih bersifat ekstensif. Hasil

wawancara menunjukkan bahwa 80 % peternak ayam kampung memelihara ternak

ayam mereka secara ekstensif. Sistem pemeliharaan ayam kampung secara ekstensif

menyebabkan kontrol terhadap penyakit maupun dilakukan pengobatan sangat rendah.

Menurut Pamungkas dkk (2000) cara pemeliharaan ayam kampung juga bersifat

ekstensif, pakan hanya diberikan 2 kali/hari, yaitu pagi dan sore berupa jagung, dedak

dan putak, kematian cukup tinggi yang dapat mencapai 75%, sebagai akibat dari

jarangnya dilakukan vaksinasi, selain itu Murtidjo (1992), menyatakan bahwa ayam

buras yang juga disebut ayam kampung, umumnya diternakkan masyarakat terutama di

pedesaan secara liar, akibatnya kontrol terhadap produksi, pakan, maupun penyakit

sangat rendah. Ekstensif berarti, pemeliharaan dilakukan dengan cara dilepas, tanpa

ada kontrol pakan dan kesehatan.

3. Pemahaman peternak

Minimnya pemahaman peternak menyebabkan ternak ayam yang sakit tidak

diobati. Enam puluh persen peternak tidak melakukan pengobatan pada ternak ayam

yang sakit. Ternak yang sakit tidak dijual melainkan disembelih lalu dikonsumsi, dan

jika ada ternak yang mati maka akan dibakar atau dikubur.

4. Jumlah sampel

Sedikitnya sampel yang diuji juga mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian

bersifat survei kualitatif sehingga sampel yang diambil sedikit.

Sampel daging ayam petelur afkir juga tidak ditemukan residu penisilin.

Kemungkinan yang menyebabkan tidak ditemukan residu penisilin yaitu:

1. Umur pemeliharaan

Pemeliharaan ayam petelur yang cukup lama menghasilkan ayam yang sakit

dan mengalami proses pengobatan hingga sembuh telah melewati masa henti obat

sebelum diujual untuk dikonsumsi sehingga tidak ditemukan residu penisilin.

Berdasarkan hasil observasi peneliti pada salah satu peternakan ayam petelur, ternak

ayam petelur yang dijual berumur 90 minggu. Ayam yang mengalami sakit diobati dan

tidak langsung dijual ketika sedang mengalami proses pengobatan. Menurut Gillespie

dan Flanders (2010)ayam petelur afkir adalah ayam betina petelur dengan produksi

telur rendah sekitar 20 sampai 25% pada usia sekitar 96 minggu dan siap untuk

dikeluarkan dari kandang.

Page 203: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

193

2. Pemahaman peternak

Peternak telah memahami penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat

(withdrawal time) dan dosis yang tepat. Peternak tidak memberikan antibiotik lebih

dari 5 hari. Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti

pensilin G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 5 hari.

3. Jumlah sampel

Ketiadaan residu penisilin pada sampel daging ayam petelur afkir juga

disebabkan oleh sedikitnya sampel yang diuji juga mempengaruhi hasil penelitian.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pada peternakan lain dapat ditemukan

residu penisilin dalam daging ayam petelur afkir karena sedikitnya sampel yang

diambil sehingga menyebabkan semua hasil penelitian negatif terhadap residu

penisilin. Penelitian bersifat survei kualitatif sehingga sampel yang diambil sedikit.

PENUTUP

Simpulan

Penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada 15 sampel daging ayam yang

diuji menggunakan metode screening test secara bioassay tidak ditemukan residu penisilin.

DAFTAR PUSTAKA

Aman. 2011, Ayam Kampung Unggul, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2001, Standar Nasional Indonesia, Batas Maksimum

Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal

Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jendral Bina

Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2008, Standar Nasional Indonesia, Metode Uji Tapis

(Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu Secara

Bioassay, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2008, SNI Nomor 7442: 1995 Tentang Metode Uji Tapis

(Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu Secara

Bioassay, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1993, Indeks Obat Hewan Indonesia, Edisi III, Jakarta.

Donkor, E., Newman, M. J., Tay, S.C.K., Tay, N.T.K.D., Dayie, E., Bannerman, and Olu-

Taiwo, M. 2011, Investigation Into the Risk of Exposure to Antibiotic Residues

Contaminating Meat and Egg in Ghana, Food Cont., 22:869-873.

Gillespie, J.R. and F.B. Flanders. 2010, Modern Livestock and Poultry Production:

Feeding, Manajement, Housing, and Equipment, 8th ed, Delmar, Ltd., New York,

USA. Page: 674-695.

Pamungkas, D.L., Affandhy, Gunawan, Mariyono, U., Umiyasih, dan Ariyanto, H. 2000,

‘Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Ayam Buras Berbasis Ekoregional Lahan

Kering’. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian/Pengkajian, Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian, Karang Ploso.

Rasyaf, M. 1992, Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging, Penebar Swadaya, Jakarta.

Page 204: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

194

Rasyaf, M. 1995, Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, Gramedia Pustaka

Utama, Bogor.

Verdon E., Fuselier, R., Hurtaud-Pessel, D., Couedor, P., Cadien, N. and Laurentie, M.

2000, Stability of penicillin antibiotic residue in meat duringstorage ampicillin, J.

of Chroma 882:135-143.

Wijaya, R. M.2011, Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional

di Provinsi Jawa Barat, Bogor.

Yuningsih. 2004, Keberadaan Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan (Susu dan

Daging), Di dalam: Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan,

Balai Penelitian Veteriner, Bogor, hal. 48-55.

Page 205: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

195

GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL KAMBING KACANG (Capra aegagrus

hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) ALAK,

KOTA KUPANG

HISTOPATHOLOGY OF KACANG GOATS (Capra aegagrus hircus) KIDNEY WHICH

ARE REARED AT ALAK DUMPING SITE OF KUPANG

Edward Ndappa1, Antin Yeftanti Nugrahening Widi 2, Filphin Adolfin Amalo 3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail : [email protected] 2Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail: [email protected] 3Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Rearing goats, especially kacang goats (Capra aegagrus hircus), is one of

businesses that is developed by most people in Kupang due to the high breeding rate of this

breed of goat and their ability to adapt to surrounding environment. The latter factor and

the narrower pasture in Kota Kupang cause some of the farmers who live nearby Alak

dumping site choose to herd their kacang goats at this location. This rearing method may

lead to renal injury due to ingestion of heavy metal or toxic chemical contained waste.

Kidney is an organ that plays important roles in secreting metabolism remnant and toxic

chemical substances. these functions can be impaired by the alteration of both

macroscopic and microscopic structure. This study is aimed to examine pathology anatomy

and histopathology of kacang goats kidney which are reared at Alak dumping site. A total

of six goats were used in this study, and consisted of four goats which were raised Alak

dumping site and the other were not reared at this location. these goats were euthanized,

and necropsy was performed to take kidney samples which subsequently were observed

macroscopically, cut, and fixed for further histotechnique processes, and microscopic

examination. Pathology anatomy examination results showed diffuse red spots on the

surface of the kidney, swelling, and softened consistency of kidneys of kacang goats which

were reared at Alak dumping site, whereas the other showed normal macroscopic figure.

Histopathological changes were found in all kidneys although kidneys of kacang goats

from Alak dumping site showed severer changes. The changes which were depicted by

kidneys of kacang goats of Alak dumping site are glomerular and interstitial congestion,

glomerular atrophy, mesangial cells hyperplasia, tubular epithelial cells necrosis, and

protein deposits in tubular lumen. While kacang goats kidneys which were not raised at the

dumping site merely revealed glomerular congestion and picnotic tubular epithelial cells.

Keywords: kidney anatomy, kidney histology, renal pathology anatomy, renal

histopathology, kacang goat, Alak dumping site, waste

PENDAHULUAN

Beternak kambing khususnya kambing kacang (Capra aegagrus hircus) merupakan

salah satu usaha yang diminati oleh masyarakat Kota Kupang. Hal ini dikarenakan cara

Page 206: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

196

pemeliharaannya lebih mudah dibandingkan ternak ruminansia besar mengingat

kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan cukup besar, selain itu kambing kacang

cepat berkembang biak dan pertumbuhan anaknya juga tergolong cepat (Atmojo, 2007).

Keberadaan beberapa faktor di atas namun tidak diimbangi dengan luasnya lahan

penggembalaan menyebabkan beberapa peternak yang berada di sekitar lingkungan

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang memilih untuk menggembalakan

ternak kambingnya di TPA tersebut.

Ginjal secara anatomi terletak retroperitoneal, tepat pada posisi ventral terhadap

beberapa vertebra lumbal yang pertama (Frandson, 1992). Setiap ginjal memiliki sisi

medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah

dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung.

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari

aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke

dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak

mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat

kerusakan salah satu dari cabang arteri ini berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada

daerah yang diinervasinya (Junquiera dan Carneiro, 2007).

Secara histologi, ginjal terdiri dari tiga lapisan utama mulai dari luar ke dalam yaitu

kapsula, korteks dan medulla. Kapsula merupakan pembungkus ginjal yang tersusun atas

jaringan lemak dan jaringan ikat padat kolagen (Hartono, 1992). Bagian korteks terbagi

atas dua komponen utama, yaitu pars radiata dan pars convoluta. Pars radiata tersusun atas

tubulusdan bagianlurusdarinefron, sedangkan pars konvoluta terdiri dari korpuskulum

renalis, tubulus konvolutus proksimal serta tubulus konvolutus distal (Bacha dan Bacha,

2000).Korpuskulum renalis mengandung kapiler glomerulus yang diselubungi oleh dua

lapis epitel yang disebut kapsula Bowman (Mescher, 2013). Suatu rongga yang terbentuk

diantara glomerulus dan kapsula Bowman disebut rongga urin atau rongga kapsular

(Gartner et al., 2012). Tubulus konvolutus proksimal dibatasi oleh selapis sel-sel epitelial

yang bentuknya tidak beraturan, mempunyai mikrovili membentuk brush border,dan

memiliki lumen lebih panjang dibandingkan lumen tubulus konvolutus distal (Gartner et

al., 2012; Eroschenko, 2008). Tubulus konvolutus distal tidak memiliki brush border

sehingga bagian lumennya nampak lebih halus, selain itu bentuknya lebih kecil

dibandingkan dengan tubulus konvolutus proksimal (Bacha dan Bacha, 2000). Medula

renalis terletak dekat hilus, sering terlihat berupa garis-garis putih oleh karena adanya

saluran-saluran yang terletak dalam piramida renalis (Guyton dan Hall, 1997). Medulla

renalis terutama terdiri atasloop of henle, pembuluh darah dan duktus pengumpul yang

bermuara ke dalam kaliks minor (Gartner et al., 2012).

Beberapa resiko dapat terjadi sebagai akibat sampingan dari fungsi ginjal. Ginjal

dapatmengalami gangguan yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan.Menurut

Alatas et al (2002), beberapa zat yang dapat merusak struktur maupun fungsi ginjal

diantaranya makanan yang tercemar racun, bahan kimia, obat-obatan antibiotik, obat

kemoterapi, logam berat dan zat-zat radiokontras. Widayanti (2004) menyatakan bahwa

ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik, hal ini disebabkan

karena ginjal menerima 25 % dari cardiac output sehingga sering dan mudah kontak

Page 207: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

197

dengan zat kimia dalam jumlah besar. Beberapa penanda terjadinya kerusakan ginjal

menurut Cotran et al. (1999) antara lain adanya kongesti, munculnya polymorphonuclear

cell, kariolisis sel parenkim dan sel endotel, penyempitan celah antara kapsula Bowman

dengan glomerulus, atrofi dan hipertrofi glomerulus, serta penyempitan lumen duktus

kontortus.

Sumber pakan ternak yang dipelihara di TPA Alak merupakan campuran sampah

organik dan anorganik yang mengandung berbagai bahan yang kemungkinan dapat bersifat

toksik dan patogen. Bahan toksik dan patogen dari sampah tersebut akan masuk ke dalam

tubuh kambing bersama dengan pakan sampah yang dikonsumsi dan terdistribusi ke bagian

tubuh kambing, khususnya pada organ ginjal yang berperan penting dalam sistem eksresi

dan menjaga keseimbangan kandungan garam, asam dan air dalam tubuh (Soemirat, 2009).

Dengan demikian, kambing yang digembalakan di TPA mengkonsumsi sampah dan

beresiko terpapar bahan toksik ataupun pathogen yang dapat mengakibatkan kerusakan

pada ginjal.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan

mikroskopik ginjal kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di TPA Alak

Kota Kupang.

MATERI DAN METODE

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini berupa 6 ekor kambing kacang

(Capra aegagrus hircus) yang terdiri dari 2 ekor kambing jantan dan 2 ekor kambing

betina yang dipelihara di TPA Alak serta masing-masing 1 ekor kambing jantan dan betina

yang tidak dipelihara di TPA Alak (non TPA).

Proses nekropsi dilakukan terhadap seluruh kambing yang diteliti dengan

menggunakan metode sebagaimana tercantum dalam Soeharmi et al. (2003). Pengamatan

patologi anatomi dilakukan setelah ginjal dipisahkan dari organ viscera lainnya dan

dilanjutkan dengan fiksasi dalam larutan formalin 10%. Preparat histopatologi dibuat

dengan mengaplikasikan metode yang sama sebagaimana dipergunakan oleh Ndaong

(2013) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap preparat tersebut.

Analisis hasil dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Patologi Anatomi

Hasil pemeriksaan patologi anatomi pada semua sampel dari TPA Alak

menunjukan adanya gambaran yang sama, yaitu bintik-bintik merah yang menyebar

(difuse) pada permukaan ginjal sehingga ginjal terlihat bewarna merah gelap (Gambar 1B),

pembengkakan organ ginjal (Gambar 1C), dan konsistensi yang lunak (Gambar 1D). Ginjal

kambing kacang yang tidak dipelihara di TPA Alak berbentuk seperti kacang merah dan

berwarna coklat kemerahan (Gambar 1A), serta tidak menunjukan perubahan makroskopik

seperti yang dijumpai pada ginjal dari kambing yang dipelihara di TPA Alak. Rincian hasil

pemeriksaan patologi anatomi terhadap semua kambing yang diteliti disajikan dalam Tabel

1.

Page 208: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

198

Gambar 1. Gambaran anatomi ginjal kambing kacang non TPA Alak dan yang dipelihara

di TPA Alak. (A)ginjal normal (kambing non TPA); B,C,D (ginjal kambing

dari TPA Alak), (B)bintik-bintik merah difuse pada korteks ginjal,

(C)pembengkakan ginjal dan konsistensi lunak, (D)batas korteks dan medula

tampak tidak terlalu jelas.

Tabel 1. Patologi anatomi ginjal kambing kacang (Capra aaegagrus hircus) yang

dipelihara

di TPA Alak dan tidak dipelihara di TPA Alak.

No Asal organ Perubahan Warna

(bintik merah)

Perubahan Bentuk

(bengkak)

Perubahan Konsistensi

(lunak)

1 Jantan Alak I

2 Jantan Alak II

3 Betina Alak I

4 Betina Alak II

5 Jantan non Alak - - -

6 Betina non Alak - - -

Anatomi ginjal kambing kacang yang tidak dipelihara di TPA Alak yang

menunjukkan bentuk seperti kacang merah dengan warna coklat kemerahan menandakan

bahwa struktur anatomi ginjal dari kambing kacang ini tergolong normal. Hal ini sesuai

A B

C D

Page 209: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

199

dengan pendapat Junquiera dan Carneiro (2007) yang menyatakan bahwa ginjal normal

memiliki warna coklat kemerahan dengan bentuk menyerupai kacang merah.

Adanya bintik-bintik merah pada ginjal kambing kacang yang dipelihara di TPA

Alak dapat disebabkan karena adanya kongesti ataupun hemoragi. Kongesti adalah

keadaan apabila darah secara berlebihan terdapat di dalam pembuluh darah pada daerah

tertentu, yang jika dilihat secara makroskopis daerah jaringan atau organ ginjal yang

mengalami kongesti berwarna lebih merah serta batas antara korteks dan medula nampak

tidak jelas (Price dan Wilson, 1994). Kongesti yang terjadi pada pembuluh darah ginjal

dapat disebabkan oleh adanya paparan dari logam berat seperti timbal (Sari, 2010).

Hemoragi merupakan keadaan keluarnya darah dari dalam pembuluh darah, dapat terjadi di

tubuh bagian luar, di dalam rongga tubuh, dan di dalam jaringan (Jones et al., 1997).

Menurut Daft et al. (1989), hemoragi pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh adanya

paparan zat kimia toksik, obat-obatan dan logam berat. Price dan Wilson (1994)

menyatakan bahwa keracunan zat toksik menyebabkan pembendungan sehingga tekanan di

dalam pembuluh darah jauh lebih tinggi dibandingkan tekanan di dalam jaringan,

akibatnya darah akan merembes keluar pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya

pembengkakan pada organ ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya temuan patologi anatomi

berupa pembengkakan ginjal pada sampel dari TPA Alak. Selain kelebihan cairan darah

dalam ginjal, pembengkakan ginjal juga dapat disebabkan karena hiperplasia jaringan

(Price dan Wilson, 1994; Azizah et al, 2014), serta paparan langsung dari zat toksik yang

dapat menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel sehingga

mengakibatkan terjadinya pembengkakan sel (Cheville, 1999).

Konsistensi ginjal dari kambing yang dipelihara di TPA Alak yang lunak ditandai

dengan adanya permukaan ginjal yang fluctuant (bergelombang). Hal ini kemungkinan

disebabkan karena adanya kelebihan cairan darah didalam ginjal, radang pada glomerulus,

hiperplasia jaringan serta adanya endapan protein (Azizah et al., 2014).

Gambaran Histopatologi Ginjal

Hasil pengamatan histopatologi ginjal kambing kacang yang dipelihara di TPA

Alak dan yang tidak dipelihara di TPA Alak menunjukan adanya perubahan struktur

histologi. Pada sampel dari TPA Alak terlihat perubahan pada glomerulus berupa kongesti,

atropi glomerulus dan hiperplasia sel mesangium (Gambar 2), sedangkan pada tubulus

dijumpai adanya nekrosis epitel tubulus dan endapan protein pada lumen tubulus (Gambar

3), serta pada daerah interstisium terjadi kongesti (Gambar 4). Hasil pemeriksaan

histopatologi secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Pengamatan histopatologi glomerulus pada`semua sampel dari TPA Alak dan satu

sampel dari non TPA Alak memperlihatkan adanya kongesti yang ditandai dengan adanya

kapiler-kapiler dalam jaringan yang melebar dan penuh berisi darah (Gambar 2B). Hal ini

merupakan konfirmasi temuan patologi anatomi berupa kongesti (bintik-bintik merah

difus) pada permukaan ginjal. Kongesti ini kemungkinan dapat disebabkan karena adanya

paparan dari bahan-bahan kimia bersifat toksik seperti logam berat yang ikut termakan

oleh kambing kacang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Baldatina (2008), Sari (2010),

dan Himawan (1979) bahwa bahan-bahan kimia bersifat toksik seperti logam berat dan

Page 210: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

200

insektisida dapat menyebabkan kongesti pada glomerulus ginjal. Kongesti pada sampel

dari non TPA Alak kemungkinan disebabkan karena hewan mengalami stres sebelum

dilakukan euthanasi. Virden dan Kidd (2009) menyatakan bahwa stres pada hewan dapat

menyebabkan gangguan pada sirkulasi darah sehingga mengakibatkan meningkatnya aliran

darah pada suatu daerah atau jaringan tubuh.

Tabel 2. Histopatologi ginjal kambing kacang yang dipelihara di TPA Alak dan tidak

dipelihara di TPA Alak.

Sampel

ginjal

Glomerulus Tubulus Interstisial

Kongesti Atropi Hiperplasia

mesangial

Nekrosis

epitel

Endapan

protein

Kongesti

Jantan

Alak 1

Jantan

Alak 2

Betina

Alak 1

Betina

Alak 2

Jantan

non TPA

Betina

non TPA

p,kr,kl

p,kr,kl

p,kr,kl

p,kr,kl

p

p

Keterangan: (√) : ada; (−) : tidak ada; (p) : piknosis; (kr) : karioreksis; (kl) :kariolisis

Pada glomerulus juga didapati adanya atropi (Gambar 2C) yang hanya dijumpai

pada sampel dari TPA Alak. Rumawas (1989) menyatakan bahwa atropi glomerulus dapat

disebabkan oleh akumulasi protein di dalam ruang Bowman dan adanya tekanan intertisial.

Endapan protein di dalam ruang Bowman terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas

kapiler glomerulus sehingga kapiler glomerulus menjadi permeabel terhadap plasma

protein (Cunningham, 2002). Peningkatan permeabilitas kapiler ini kemungkinan

disebabkan oleh adanya bahan-bahan kimia toksik yang masuk kedalam tubuh melalui

sampah yang dikonsumsi oleh ternak kambing kacang. Hal ini didukung oleh Beattie et al.

(1984) yang menyatakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan membran

plasma sehingga protein lolos dan terakumulasi di ruang Bowman, yaitu zat kimia toksik.

Gangguan ini menyebabkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin

(Ganiswara 1995).

Page 211: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

201

Perubahan berupa hiperplasia sel mesangium juga terlihat pada sampel dari TPA

Alak (Gambar 2D). Menurut Kumar et al. (2007), paparan bahan kimia serta logam berat

menyebabkan gangguan pada sel selanjutnya sel akan berusaha beradaptasi dengan cara

hiperplasia. Berdasarkan teori ini, maka kondisi hiperplasia sel mesangium kemungkinan

terjadi karena ternak kambing kacang mengkonsumsi sampah organik yang mengandung

bahan-bahan kimia serta logam berat.

Pada pengamatan histopatologi tubulus terlihat adanya nekrosis sel epitel (Gambar

3B). Nekrosis sel epitel tubulus terjadi pada sampel dari TPA Alak maupun non TPA Alak,

dengan tingkat keparahan yang lebih besar pada sampel dari TPA Alak. Secara

mikroskopik sel epitel tubulus pada sampel dari TPA Alak umumnya menunjukan tiga pola

kerusakan sebagaimana yang biasa dijumpai pada sel yang mengalami nekrosis, yaitu

(1)inti menjadi keriput, inti tampak lebih padat dan warnanya gelap (piknosis), (2)inti

terbagi atas fragmen-fragmen dan robek (karioreksis) dan (3)inti tidak lagi mengambil

warna banyak sehingga terlihat pucat atau tidak nyata (kariolisis) (Lestari dan Agus, 2011),

sedangkan pada sampel dari non TPA Alak hanya menunjukan pola kerusakan berupa inti

mengalami piknosis. Menurut Cheville (2006), salah satu penyebab dari nekrosis pada sel

epitel ginjal adalah asupan bahan atau zat kimia yang bersifat nefrotoksik diantaranya

A B

D

Gambar 2. Gambaran glomerulus kambing kacang non-TPA Alak dan yang dipelihara di

TPA Alak; A) Glomerulus normal(kambing kacang non-TPA, 400x, H&E) B)

kongesti glomerulus (kambing kacang jantan TPA, 400x, H&E),C) atropi

glomerulus (kambing kacang betina TPA, 400x, H&E), D) hiperplasia sel

mesangium (kambing kacang betina TPA, 400x, H&E); a)kongesti glomerulus,

b)atropi glomerulus, c)endapan protein, d)perluasan ruang Bowman

C

Page 212: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

202

logam berat, antibiotik, insektisida, analgesik, dan hidrokarbon berhalogen tertentu (Alatas

et al., 2002). Berdasarkan teori tersebut maka nekrosis sel epitel tubuli yang ditemukan

pada sampel dari TPA Alak kemungkinan disebabkan karena kambing kacang

mengkonsumi sampah yang mengandung zat kimia toksik. Nekrosis sel epitel yang terjadi

pada sampel dari non TPA Alak kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti

agen fisik, iskemia, agen biologik dan hipersensifitas (Pringgoutomo et al., 2002).

Nekrosis ini juga berhubungan erat dengan kondisi kongesti. Junquiera dan Carneiro(2007)

menyatakan gangguan-gangguan pada pembuluh darah ginjal seperti kongesti dan

hemoragi dapat menyebabkan kerusakan yang menyeluruh pada organ ginjal, hal ini

dikarenakan sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai

anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada

salah satu dari cabang arteri ini berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada daerah

yang divaskularisasiya.

Pada daerah tubulus juga ditemukan adanya endapan protein pada bagian lumen

(Gambar 3C) yang hanya dijumpai pada sampel dari TPA Alak. Endapan protein ini

disebabkan oleh malfungsi glomerulus akibat rusaknya struktur membran kapiler

(Hidayati, 2008). Struktur membran kapiler yang rusak meningkatkan permeabilitas filter,

sehingga protein dengan molekul besar dan plasma albumin dapat menerobos keluar

memasuki filtrat dan terakumulasi di lumen tubulus. Berbagai komponen yang

berkemampuan merusak filter glomerulus diantaranya bahan toksik, molekul bermuatan

atau kompleks imun. Akumulasi bahan yang bersifat toksik pada ginjal dapat

menyebabkan gangguan fungsi enzim lisosom epitel tubuli, yang kemudian mengganggu

absorpsi enzimatik hasil degradasi protein, dan pada akhirnya akan menimbulkan residu

protein yang tersisa baik dalam lumen maupun pada sel epitel (Glainster, 1986). Selain itu,

gangguan reabsorpsi karena melebihi ambang batas kemampuan atau rusaknya epitel

tubulus dapat juga menjadi penyebab hadirnya endapan protein di tubulus (Hidayati,

2008). Kondisi ini sesuai dengan temuan berupa nekrosis sel epitel tubulus. Dengan

demikian, beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adanya protein dalam lumen

tubulus ginjal kambing kacang yang mengkonsumsi sampah dari TPA Alak yaitu

kemungkinan adanya zat toksik pada pakan sampah yang dimakan dan nekrosis epitel

tubulus.

Perubahan lain yang juga didapati adalah kongesti pada daerah interstisial (Gambar

4). Kongesti merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan meningkatnya volume darah

dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Wiegertjes dan

Flik, 2004).

Page 213: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

203

Gambar 3. Gambaran tubulus ginjal kambing kacang non-TPA Alak dan yang dipelihara di

TPA Alak; A) tubulus normal (kambing kacang non-TPA, 400x, H&E), B)

nekrosis sel epitel tubulus (kambing kacang betina TPA, 400x, H&E), C)

endapan protein pada lumen tubulus (kambing kacang betina TPA, 400x,

H&E), a) sel piknosis, b)sel karioreksis, c) sel kariolisis, d) endapan protein

Gambar 4. Kongesti pembuluh darah pada daerah interstisium (a), (kambing kacang

jantan TPA, 400x, H&E)

A

C

B

Page 214: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

204

Perubahan yang terjadi secara makroskopik maupun mikroskopik pada organ ginjal

menunjukkan bahwa ginjal merupakan salah satu organ yang mengalami kerusakan

sebagai akibat pemeliharaan hewan di lokasi TPA. Secara umum, dapat disimpulkan

bahwa beberapa jenis kerusakan yang dijumpai pada ginjal kambing kacang yang

digembalakan di TPA mengindikasikan kerusakan akibat bahan toksik. Kerusakan ginjal

pada kambing kacang yang dipelihara di TPA Alak terjadi pada semua bagian nefron

ginjal. Menurut Lu (1995) dan Ressang (1984) semua bagian nefron secara potensial dapat

rusak oleh efek toksikan, dengan tingkat kerusakan yang beragam dari satu atau lebih

perubahan biokimia sampai kematian sel, dan efek mulai dari perubahan kecil pada fungsi

ginjal sampai gagal ginjal total.

KESIMPULAN

Patologi anatomi pada ginjal kambing yang dipelihara di TPA Alak berupa bintik-

bintik merah difuse pada korteks ginjal, terjadi pembengkakan dan konsistensi yang lunak,

sedangkan ginjal kambing yang tidak dipelihara di TPA Alak menunjukkan gambaran

makroskopis yang normal. Perubahan histopatologi yang dijumpai pada ginjal dari TPA

Alak yaitu kongesti glomerulus, atropi glomerulus, hiperplasia sel mesangium, nekrosis sel

epitel tubulus, endapan protein pada lumen tubulus serta kongesti pembuluh darah pada

daerah intertisial. Ginjal dari kambing non TPA Alak secara histopatologi hanya

menunjukan perubahan berupa kongesti glomerulus dan piknotik sel epitel tubulus yang

ringan.

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P.P. dan Pardede, S.O. 2002, Buku Ajar Nefrologi

Anak, Edisi ke-2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Atmojo, A.T. 2007,Apa Khasiat Susu dan Daging Kambing, diakses tanggal 25 Januari

2015,<http://triatmojo. wordpress.com/2007/01/15/apa-khasiat-susu-dan-daging-

kambing/>.

Azizah, N., Ramadhan, L., Atika, A.T.T., Audini, I.S. dan Saraswati, P.N. 2014, Buku

Petunjuk Praktikum Patologi Sistemik Veteriner, Departemen Patologi Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.

Baldatina, A.Z.I. 2008,Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin Dan D-

Phenothrin) Pada Tikus Putih (Rattus Rattus): Kajian Histopatologi Hati Dan

Ginjal, , Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Skripsi, Bogor.

Beattie, J.M., Dickson, W.E.C., Drennan, A.M. dan Hememann, W. 1984, A Texbook of

Pathology, Ed ke-5, Vol 1, Medical Books Ltd, London.

Cheville, N.F. 1999, Introduction to Veterinary Pathology, 2nd Edition, Iowa State

University Press, USA.

Cheville, N.F. 2006, Introduction to Veterinary Pathology. 3thEdition, 2121 State Avenue,

IA 50014 , Blackwell Publishing Profesional, USA.

Cooper, J. dan Slauson, D.O. 2002, Mechanism of Disease : A Text Book ofComparative

General Pathology, 3rd Ed, Mosby Incorporation, Amerika.

Page 215: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

205

Cunningham, J.G. 2002, Textbook of Veterinary Physiology, 3rd Edition, WB Saunders

Company, USA.

Daft, B.M., Bickford, A.A. dan Hammarlund, M.A. 1989, Experimental and field

sulfaquinoxaline toxicosis in Leghorn chickens, Avian Dis, 33:30-34.

Erlangga. 2007,’Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar Di Propinsi Riau Terhadap

Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)’, Tesis, MSc, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ganiswara, S.G. 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi keempat, Gaya Baru, Jakarta.

Glainster, J.R. 1986, Prinsiple of Toxicological Phatology, Taylor and Francis, London,

England.

Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 1997, Ginjal dan Cairan Tubuh, diterjemahkan dari Bahasa

Inggris oleh Setiawan , EGC, Jakarta.

Himawan, S. 1979, Kumpulan Kuliah Patologi, Bagian Patologi Anatomik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Jones, T.C., Ronald, D.H. dan Norval, W.K. 1997, Veterinary Pathology, Sixth Edition,

William and Wilkins, Baltimore, USA.

Junqueira, L.C. dan Carneiro, J. 2007, Histologi Dasar : Teks dan Atlas, diterjemahkan

dari Bahasa Inggris oleh Jan Tambayong, Penerbit Kedokteran EGC, Jakarta.

Kumar, V., Ramzi, S. Cotran. Stanley, L. Robbins. 2007, Buku Ajar Patologi Robbins,

Ed.7, Vol.1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Lestari, A.S.P. dan Agus, M. 2011, Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi Sel Piknosis

dan Sel Nekrosis, Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66.

Lu, F.C. 1995, Toksikologi Dasar, UI Press, Jakarta.

Ndaong, N.A. 2013, ‘Efek Pemamaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas

Enzim Alanine Amino Transferase, Aspartat Aminotranferase, Gambaran

Histoptologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Tesis, MSc, Fakultas Kedokteran

Hewan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Price, S.A. dan Wilson, L.M. 1994, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Buku I. Edisi Keempat, Terjemahan dari Pathophysiology Clinical Concepts of

Disease Processes. Anugerah P, penerjemah Wijaya C, editor, EGC, Jakarta:

Price, S.A. dan Lorraine, M.W. 2006, Pathofisiologi : Konsep Proses-proses Penyakit,

Edisi ke-6 Vol 1. EGC, Jakarta.

Pringgoutomo, S., Himawan, S. dan Tjarta, A. 2002. Buku Ajar Patologi I, Sagung Seto,

Jakarta.

Ressang, A.A. 1984, Buku Ajar Patologi Khusus Veteriner, Fakultas kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rumawas, W. 1989, Patologi Umum, Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Sari, D.H. 2010, Pengaruh Timbal (Pb) pada Udara Jalan Tol Terhadap Gambaran

Mikroskopis Ginjal dan Kadar Timbal (pb) dalam Darah Mencit balb/c Jantan,

Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro, Semarang.

Page 216: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

206

Soeharmi, S., Harjanto, H dan Lazuardi, M. 2003, Pemeriksaan histologi organ dalam

kambing pasca kematian akibat infeksi Tripanosomaevansi isolat Bangkalan,

Medika Eksakta 1: 1-6.

Soemirat, J. 2009, Toksikologi Lingkungan, cetakan ke-3, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta.

Virden, W.S. dan Kidd, M.T. 2009, Physiological stress in broilers: ramifications on

nutrient digestibility and responses, J Appl Poult Res. 18:338-347.

Widayanti E, 2004, Struktur Histologik Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) Galur Spraque

Dawley setelah Pencekokan Spent Catalyst Lokal dan Impor dari Residual

Catalytic Cracking Unit, Jurnal Kedokteran Yarsi, 12(3) : 33 – 40

Wiegertjes, G.F. dan Flik, G. 2004, Host Parasitic Interactions, BIOS Scientific Publishers.

USA, pp. 8-9.

Page 217: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

207

EFEKTIVITAS SALEP EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis

paniculata) TERHADAP KESEMBUHAN LUKA INSISI PADA MENCIT (Mus

musculus)

Effectiveness of Ethanol Sambiloto(Andrographis paniculata) Leaf Extract on Wound

Healing Incision in Mice (Mus Musculus)

Adonia Ibma Ibu1, Filphin Adolfin Amalo2, Nemay Anggadewi Ndaong3 1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana

E-mail: [email protected] 2Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Nusa Cendana 3Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,

Universitas Nusa Cendana

ABSTRACT

Incision is a cellular and anatomical disruption of a tissue. Improper wound care

resulted in a slowdown in wound healing. Wound healing is essential to restore the

integrity of the skin as soon as possible and is a complex and dynamic process. Sambiloto

(Andrographis paniculata) is the famous medicinal plants in Indonesia. Sambiloto

containing the active compound such as flavonoid, andrographolide, tannins and saponins

which can affect the wound healing process. This study aims to determine the effectiveness

of the ethanol extract of Andrographis paniculata ointment with a concentration of 10%,

15%, 20% against the incision wound healing in mice (Mus musculus). This studies using

12 mice (Mus musculus) ± 2 month old male, were divided into 4 groups randomly, which

is: Group I was given an ointment base, Group II were given ethanol Andrographis

paniculata extract ointment 10%, Group III given ethanol Andrographis paniculata

extract ointment 15%, Group IV was given ointment extract ethanol of

Andrographispaniculata 20%. Lubrication conducted for 14 days, 2 times a day. On day

15, all mice were sacrificed using chloroform and scar tissue taken for histopathological

preparations made with hematoxylin-eosin staining method. Research data with the

parameters is the macrophages and fibroblass, were analyzed with the Kruskal-Wallis test

and significantly different when followed by Mann-Whitney. The results of the Kruskal-

Wallis test showed dose administration of various concentrations of Andrographis

paniculata significantly different (P<0.05) to fibroblass, but not significantly different

(P>0.05) on macrophages. The results of the Mann-Whitney test for fibroblass, compared

between K1 to K4 significant (P<0.05). The conclusion is application the leaf extract of

ethanol (Andrographis paniculata) ointment on concentration of 20% is the most effective

to accelerating wound healing process.

Keywords: Sambiloto (Andrographis paniculata), incision, macrophages, fibroblass,

wound healing

PENDAHULUAN

Kulit merupakan bagian terluas dari bagian tubuh, yang berfungsi sebagai

pelindung tubuh terhadap bahaya fisik dan bahan kimia (Muthalib dkk., 2013). Sebagai

organ tubuh yang letaknya paling luar, kulit mudah mengalami luka. Luka digambarkan

Page 218: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

208

secara sederhana sebagai gangguan seluler dan anatomis dari suatu jaringan (Dewi dkk.,

2013). Saat timbulnya luka, beberapa efek akan muncul diantaranya hilangnya seluruh atau

sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,

kontaminasi bakteridan kematian sel (Pongsipulung dkk, 2014).

Penyembuhan luka sangat penting untuk mengembalikan integritas kulit sesegera

mungkin dan merupakan proses yang kompleks dan dinamis (Purnasari, dkk., 2012).

Proses perbaikan jaringan terdiri dari 3 fase yaitu fase inflamasi (0 sampai 3 hari), fase

proliferasi (3 sampai 14 hari) dan fase remodeling (bisa dimulai pada hari ke-8 dan

berlangsung sampai 1 tahun) (Singer dan Clark, 1999). Hasil dari mekanisme

penyembuhan luka tergantung dari perluasan dan kedalaman luka, serta ada tidaknya

komplikasi yang mengganggu perjalanan proses penyembuhan luka yang alami.Saat ini,

banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan bahan-bahan atau formula obat, yang

dapat mempercepat kesembuhan luka. Banyak pengobatan yang dilakukan pada saat ini

mengarah kembali ke alam (back to nature) karena diketahui bahwa penggunaan obat-

obatan modern ternyata menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki. Menurut

catatan sejarah terapi menggunakan tumbuhan (fitoterapi) telah dikenal masyarakat sejak

masa sebelum masehi (Dalimunthe, 2009). Beberapa keuntungan menggunakan tumbuhan

obat tradisional antara lain relatif lebih aman, mudah diperoleh, murah, tidak menimbulkan

resistensi dan relatif tidak berbahaya terhadap lingkungan sekitarnya (Eismaputeri dkk.,

2010). Bahkan dipercaya kalau tumbuhan dapat menetralisir efek samping dari zat aktif

yang berbahaya di dalam tubuh (Dalimunthe, 2009).

Salah satu tanaman obat yang terkenal di Indonesia adalah sambiloto

(Andrographis paniculata) yang mempunyai 2 komponen utama yaitu flavonoid dan lakton

(Widyawati, 2007). Flavonoid diduga dapat memperpendek fase inflamasi dengan cara

mengeliminasi reactive oxygen species (ROS), detoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2)

sehingga menurunkan level lipid peroksida (Rasal dkk., 2008), meningkatkan kadar enzim

antioksidan dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai radikal bebas (Thakur

dkk., 2011), serta mempunyai efek antibakteri. Pada fase proliferasi dan remodelling

jaringan, flavonoid berperan dalam meningkatkan vaskuler, meningkatkan sintesis kolagen

(Patil dkk., 2012), meningkatkan kekuatan serat kolagen (Thakur dkk., 2011), merangsang

platelet derived growth factor (PDGF) yang berperan dalam merangsang dan mengatur

migrasi fibroblas, mitogenik untuk fibroblas, sel otot polos dan sel endotel. Semua proses

ini akan meningkatkan kecepatan epitelisasi jaringan luka (Nayak dkk., 2009). Penelitian

oleh Al-Bayaty dkk. (2012), melaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol Andrographis

paniculata dengan konsentrasi 10% dalam bentuk salep pada tikus yang dilukai dapat

mempercepat pembentukan kolagen dan angiogenesis ditandai dengan hilangnya sel-sel

inflamasi, dibandingkan dengan luka yang diberi plasebo kosong.

Berdasarkan uraian dan data di atas maka penulis merasa perlu untuk melakukan

penelitian dengan judul “Efektifitas Salep Ekstrak Etanol Daun Sambiloto (Andrographis

Paniculata) Terhadap Kesembuhan Luka Insisi Pada Mencit (Mus Musculus)”.

Page 219: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

209

MATERI DAN METODE

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor mencit jantan (Mus

musculus) umur ± 2 bulan. Daun sambiloto (Andrographis paniculata) diperoleh dari

daerah Kupang-Nusa Tenggara Timur

Pembuatan salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata)

Pembuatan salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai

berikut: memasukkan vaseline putih yang telah ditimbang kedalam mortar, selanjutnya

ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) dimasukkan sedikit demi sedikit

kedalam vaseline lalu dihomogenkan.

Salep dibuat dengan cara yang sama untuk masing-masing konsentrasi (10%, 15%

dan 20%). Lalu masing-masing formula yang sudah jadi, disimpan dalam wadah salep.

Metode insisi dan metode pemberian salep

Sebelum perlakuan, mencit tersebut diadaptasikan dikandang percobaan selama 5

hari. Kemudian mencit dibagi secara acak dalam 4 kelompok perlakuan, masing-masing

kelompok terdiri dari 3 ekor, semua kelompokdiberikan makan dan minum secara ad

libitum. Mencit dalam setiap kelompok dilakukan pembiusan dengan menggunakan

lidokain. Setelah terbius, rambut disekitar punggung dicukur bersih sampai licin kemudian

diberi antiseptik. Selanjutnya semua mencit diinsisi linear dari lapisan epidermis sampai

dermis di daerah punggung dengan panjang sayatan 1.5 cm dengan kedalaman ± 0.1 mm

secara aseptis, sejajar os vertebrae, dengan menggunakan skalpel yang steril (Ambiyani,

2013).

Kelompok I diinsisi dan diberi basis salep sebagai kontrol, kelompok II diinsisi dan

diberi salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) dengan konsentrasi

10%, kelompok III diinsisi dan diberi salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis

paniculata) dengan konsentrasi 15%, kelompok IV diinsisi dan diberi salep ekstrak etanol

daun sambiloto (Andrographis paniculata) dengan konsentrasi 20%. Semua kelompok

diberi perlakuan 2 kali sehari selama 14 hari.

Pengambilan sampel

A. Pengambilan data

Pengambilan jaringan luka mencit disemua kelompok pada hari ke-20. Mencit

dieutanasi dengan kloroform, kemudian dilakukan pengambilan jaringan luka. Jaringan

luka diambil dari lapisan epidermis sampai subkutis (2,5 cm x 1 cm). Selanjutnya

jaringan luka dikirim ke Laboratorium Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM

Jakarta untuk pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin

(HE).

B. Metode pembuatan sediaan histopatologi

Jaringan luka yang diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan formalin 10%.

Sediaan kulit yang telah difiksasi, dilakukan trimming organ menggunakan tissue

processor. Kemudian dilakukan proses dehidrasi alkohol secara bertingkat yaitu

dicelupkan ke dalam akohol 70%, 80%, 95% dan alkohol absolut. Selanjutnya adalah

Page 220: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

210

proses clearing menggunakan xilol dan dilanjutkan dengan infiltasi parafin, yaitu

jaringan dicelupkan kedalam parafin cair yang suhunya 57 sampai 59 ºC. Kemudian

cetakan disiapkan untuk proses pengeblokan diatas tungku penghangat. Sebelum

dipotong, blok parafin didinginkan terlebih dahulu di dalam refrigerator, setelah itu

blok-blok parafin dipotong setebal 5µm dengan mikrotom. Hasil potongan dimasukan

kedalam waterbath bersuhu 50 ºC. Potongan blok kemudian dipindahkan pada

permukaan gelas obyek yang telah diberi nomor registrasi blok. Kemudian preparat

diinkubasi di atas hot plate dengan suhu 50 ºC (di bawah titik cair parafin) selama 15

menit.

C. Pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE)

Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian

dideparafinisasi dengan dicelupkan pada larutan xilol I, xilol II dan xilol III, masing-

masing selama 3 menit. Selanjutnya berturut - turut dicelupkan ke dalam alkohol

absolut, alkohol 95%, 80%, 70% masing-masing selama 2 menit. Preparat dibilas di

bawah air mengalir selama 3 menit. Selanjutnya, sediaan dimasukkan ke dalam larutan

hematoxylin yang memberikan warna biru pada inti selama 7 menit. Kemudian

preparat dibilas dibawah air mengalir selama 3 menit. Selanjutnya sediaan direndam

dengan larutan eosin yang memberikan warna merah pada sitoplasma selama 0,5

menit. Selanjutnya adalah tahap dehidrasi untuk melepaskan air yang terbawa oleh

preparat dengan xilol I dan xilol II masing-masing selama 2 menit. Tahap terakhir

adalah mounting yaitu sediaan histologi ditutup dengan cover glass. Dilanjutkan

dengan labelling.

D. Pengamatan hasil pewarnaan

Hasil pewarnaan diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran

1000 kali dalam tiga lapang pandang kemudian difoto. Pengamatan preparat dibawah

mikroskop cahaya akan tampak inti sel berwarna biru sedangkan sitoplasma berwarna

merah muda. Parameter yang digunakan adalah pembentukan fibroblas dan infiltrasi

sel radang.

Analisis data

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain

penelitian Post Test Randomized Control Group Design. Analisis yang digunakan adalah

analisis Kruskal Wallis dan Mann Whitney menggunakan program SPSS 18.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan histopatologi jaringan luka insisi pada kulit mencit (Mus musculus)

dengan metode pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan terlihat sel makrofag dan fibroblas dengan kepadatan yang berbeda. Gambaran

histopatologi luka insisi kulit mencit hari ke-14 masig-masing kelompok disajikan pada

Gambar 1a, 1b, 1c, dan 1d.

Page 221: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

211

Gambar 1a. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (kontrol) hari ke-14

(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)

Gambar 1b. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (konsentrasi 10%) hari ke-14

(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)

Page 222: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

212

Gambar 1c. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (konsentrasi 15%) hari ke-14

(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)

Gambar 1d. Gambaran histopatologi luka insisi kulit mencit (konsentrasi 20%) hari ke-14

(1=makrofag dan 2=fibroblas, HE, 400x)

Berdasarkan pengamatan gambaran histopatologi maka dihitung rerata sel

makrofag dan fibroblas yang dapat dilihat pada gambar 2

Berdasarkan diagram, rerata sel makrofag pada kelompok kontrol yaitu ± 21,83 dan rerata

fibroblas ± 14,5. Kelompok perlakuan konsentrasi 10%, tampak adanya penurunan jumlah

sel makrofag dengan rerata ± 19,78 tetapi pada fibroblas terjadi peningkatan dengan rerata

± 19,89. Selanjutnya pada pengamatan gambaran histopatologi kelompok perlakuan

konsentrasi 15%, menunjukkan adanya penurunan jumlah makrofag dengan rerata ± 17,44

sedangkan jumlah fibroblas terjadi peningkatan dengan rerata ± 18,33. Pada kelompok

perlakuan konsentrasi 20% menunjukan penurunan jumlah sel makrofag dengan rerata ±

16,22 dan terjadi peningkatan jumlah fibroblas dengan rerata ± 21,11.

Andrographis paniculata mengandung komponen senyawa aktif flavonoid,

andrographolid, tanin dan saponin yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka

(Matsuda dkk., 1994; Sudarsono dkk., 2002; Widyawati, 2007). Saponin memiliki fungsi

antiinflamasi, antibakteri, dan antikarsinogenik. Komponen saponin terbukti mampu

menstimulasi sintesis fibroblas oleh fibronektin (Froschle dkk., 2004).

Page 223: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

213

Gambar 2. Rerata sel inflamasi makrofag dan fibroblas masing-masing kelompok pada hari

ke-14 setelah insisi pada mencit (Mus musculus).

Menurut Yuliantin (2012), sambiloto (Andrographis paniculata) mempunyai

aktifitas antimikrobial dan anti-inflamasi, yang dapat mempercepat fase inflamasi dan

mencegah terjadinya infeksi pada luka sehingga kesembuhan luka dapat dipercepat.

Menurut Hamid dkk. (2010) Senyawa flavonoid memiliki potensi sebagai antioksidan

karena memiliki gugus hidroksil yang terikat pada karbon cincin aromatik sehingga dapat

menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari reaksi peroksidasi lemak. Senyawa

flavonoid akan menyumbangkan satu atom hidrogen untuk menstabilkan radikal peroksi

lemak. Flavonoid juga bekerja dalam proses membunuh atau menghambat pertumbuhan

mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada permukaan kulit dan membran

mukosa (Harris, 2011).

Sumartiningsih (2009), menyimpulkan bahwa terjadinya peningkatan jumlah

fibroblas disebabkan oleh senyawa flavonoid. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai

antioksidan, antimikroba dan juga antiinflamasi pada luka (Harborne dan Williams, 2000;

Park, 2010). Aktivitas anti-bakteri dan anti-inflamasi dapat mempercepat proses inflamasi

yang diduga dapat menurunkan migrasi sel radang ke daerah infeksi, salah satunya adalah

sel makrofag (Muslihatin, 2011). Selain itu, kandungan flavonoid dapat membantu

penyembuhan luka dengan meningkatkan pembentukan kolagen, menurunkan makrofag

dan edema jaringan serta meningkatkan jumlah fibroblas (Ambiga dkk., 2007).

Rerata fibroblas pada kelompok perlakuan konsentrasi 20% meningkat tajam

dibandingkan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan konsentrasi 10% dan 15%

(gambar 2). Hal ini karena, fase inflamasi berjalan normal (0 sampai dengan 3 hari), tidak

mengalami gangguan dan sel-sel yang berperan pada respon seluler fase inflamasi

berfungsi normal, termasuk perangsangan terbentuknya berbagai growth factor tidak

terhambat, sehingga dapat meneruskan kepada fase selanjutnya (fase proliferasi) dengan

cepat. Fase inflamasi dapat berjalan normal salah satunya adalah bila tidak terdapat infeksi

atau tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas.

Seperti diketahui migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal dapat dihambat dengan

keberadaan radikal bebas yang berlebih yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan

endogen yang ada, sehingga keberadaan antioksidan eksogen yang kuat seperti flavonoid

dalam daun sambiloto (Andrographis paniculata) diperlukan untuk menetralisir radikal

bebas dengan cara mengeliminasi reactive oxygen species (ROS) dan detoksifikasi

hidrogen peroksida (H2O2) sehingga menurunkan level lipid peroksida, meningkatkan

kadar enzim antioksidan endogen dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai

radikal bebas.

Aktivitas antioksidan dan antibakteri sangat penting agar fase inflamasi terlampaui

dan berfungsi optimal. Kandungan antioksidan dan anti bakteri yang kuat pada daun

sambiloto (Andrographis paniculata) menyebabkan fase inflamasi cepat berakhir dan

berlanjut pada fase selanjutnya diantaranya untuk pembentukan fibroblas yang dipicu oleh

makrofag dan growth factor.

Analisis Data

Page 224: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

214

Data hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rerata sel makrofag dan fibroblas disajikan pada

Tabel 1. Hasil uji Kruskal-Wallis

Fibroblas Makrofag

Chi-square 8.667 1.911

Df 3 3

Asymp. Sig. .034 .226

Secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis, rerata sel makrofag pada kelompok

perlakuan salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) tidak berbeda

nyata (P>0,05), sebaliknya rerata fibroblas pada kelompok perlakuan salep ekstrak etanol

daun sambiloto (Andrographis paniculata) berbeda nyata (P<0,05), sehingga dilanjutkan

dengan uji Mann-Whitney, hasil uji Mann-Whitney secara ringkas dapat dilihat pada Tabel

2.

Tabel 2. Hasil uji Mann-Whitney

K1 K2 K3 K4

K1 - .086 .124 .004*

K2 .086 - .564 .424

K3 .124 .564 - .076

K4 .004* .424 .076 -

Keterangan : * = beda nyata (P<0,05)

Hasil uji Mann-Whitney jika dibandingkan antara K1 dan K4 didapatkan hasil

(P<0,05) artinya berbeda nyata antara jumlah fibroblas pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan konsentrasi 20%, sedangkan jika dibandingkan antara K1 dan K2, K1

dan K3, K2 dan K3, K2 dan K4 serta K3 dan K4 didapatkan hasil (P>0,05) artinya bahwa

tidak berbeda nyata jumlah fibroblas setelah pemberian salep ekstrak etanol daun

sambiloto (Andrographis paniculata)konsentrasi 10% dan 15%.

Rerata jumlah sel makrofag terbanyak pada kelompok kontrol dengan rerata ±

21,83, namun terjadi penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi, tetapi tidak

menunjukan perbedaan yang bermakna (P>0,05). Sedangkan rerata jumlah fibroblas

terbanyak pada kelompok perlakuan 20% dengan rerata ± 21,11 dan menunjukkan

perbedaan yang bermakna (P<0,05).

Hasil uji Mann-Whitney pada kelompok perlakuan konsentrasi 20% berbeda nyata

(P<0,05) terhadap kelompok kontrol, hal ini dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi

sehingga jumlah senyawa aktif yang terdapat pada salep ekstrak etanol daun sambiloto

(Andrographis paniculata) konsentrasi 20% bertambah, yang akan berdampak pada

kecepatan proses kesembuhan luka. Hal ini didukung oleh pernyataan Kalsum dkk, 2014

dan Yuliani, 2012 bahwa meningkatnya jumlah senyawa aktif seiring dengan

Page 225: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

215

meningkatnya konsentrasi. Senyawa aktif yang terkandung dalam sambiloto seperti lakton

dan flavonoid mempunyai aktivitas antimikroba, antiinflamasi dan antioksidan yang

berfungsi untuk mencegah infeksi bakteri pada lokasi luka, menangkap radikal bebas

sehingga fase inflamasi tidak terhambat dan proses kesembuhan segera tejadi.

Dengan demikian salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata)

konsentrasi 20% lebih efektif dalam meningkatkan jumlah fibroblas yang akan berperan

dalam penyembuhan luka insisi secara optimal.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

aplikasi salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata) konsentrasi 10%,

15% dan 20% dapat meningkatkan jumlah fibroblas yang berperan dalam proses

kesembuhan luka insisi.Salep ekstrak etanol daun sambiloto (Andrographis paniculata)

konsentrasi 20% lebih efektif terhadap penyembuhan luka.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bayaty, F.H., Abdulla, M.A., Hassan, I.A., dan Ali, H.M. 2012, Effect of Andrographis

paniculata Leaf Extract on Wound Healing in Rats, Natural Product Research.

University of Malaya.

Ambiga, Narayanan, Gowri, D., Sukumar, dan Madhavan. 2007, Evaluation of Wound

Healing Activity of Flavonoids from Ipomoea carnea Jacq, Ancient Science of Life,

XXVI: 45-51.

Dalimunthe, E. 2009, Interaksi Sambiloto (Andrographis paniculata), Fakultas Farmasi,

Universitas Sumatra Utara, Medan.

Dewi, I.A.L.P., Damriyasa, I.M., dan Dada, I.K.A. 2013, Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak

Dara (Catharanthus roseus) Terhadap Periode Epitelisasi Dalam Proses

Penyembuhan Luka Pada Tikus Wistar, Indonesia Medicus Veterinus, 2(1) : 58 –

75.

Eismaputeri, M.K., Khotimah, K., Hasyimi, R., dan Hasan, A.F. 2010, Efektifitas Daun

Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) sebagai pengendalian Aeromonas

hydrophila pada ikan patin (Pangasius pangasius), Universitas Airlangga,

Surabaya.

Froschle, M., Pluss, P.A., Etzweiler, E., dan Ruegg, D. 2004, Phytosteroid for Skin Care,

Personal Care, 55-8.

Hamid, A.A., Aiyelaagbe, O.O., Usman, L.A., Ameen, O.M., dan Lawal, A. 2010,

Antioxidant : its Medidal and Pharmacological Applications. African Journal of

pure and applied chemistry, vol.4(8),pp. 142- 151.

Harborne, J.B., dan Williams, C.A. 2000 Advances in Flavonoid Research Since 1992,

Phytocemistry, 481-504.

Haris, M. 2011, Penentuan Kadar Flavanoid Total Dan Aktivitas Antioksidan Dari Getah

Jarak Pagar Dengan spektrofotometer UV-Visibel, Skripsi, Fakultas Farmasi,

Universitas Andalas, Padang.

Page 226: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

216

Kalsum, U., Rini, I.S., dan Kusumawardhani, A.D. 2014. Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak

Daun Sirih (Piper betle Linn.) Terhadap Jumlah Fibroblas Luka Bakar Derajat IIA

Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Galur Wistar.

Matsuda, T., Kuroyanagi, M., Sugiyama, S., Umehara, K., Ueno, A., and Nishi, K. 1994,

Cell differentiation-inducing diterpenes from Andro- graphis paniculata Ness.,

Chem. Pharm. Bull. (Tokyo) 42(6):1216-25.

Muslihatin, A. 2011, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica

papaya) Terhadap Pertumbuhan Salmonella thypi secara In Vitro. Skripsi. Fakultas

Kedokteran. Universitas Jember.

Muthalib, E.M., Fatimawali, dan Edy, H.J. 2013, Formulasi Salep Ekstrak Etanol Daun

Tapak Kuda (Ipomoea pes-caprae) Dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka Terbuka

Pada Punggung Kelinci, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 2 No. 3.

Nayak, B.S., Sandiford, S dan Maxwell, A. 2009, Evaluation of the Wound-Healing

Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L. Leaf, Evidence-Based

Complementary and Alternative Medicine, 6(3)351–356.

Park. 2010, Protection of Burn-Induced Skin Injuries by The Flavonoid Kaempferol, BMB

Reports, 43(1): 46-51.

Patil, M.V.K., Kandhare, A.D., dan Bhise, S.D. 2012, Pharmacological evaluation of

ethanolic extract of Daucus carota Linn root formulated cream on wound healing

using excision and incision wound model, Asian Pacific Journal of Tropical

Biomedicine, Vol. 2.

Pongsipulung, G.R., Yamlean, P.V.Y., dan Banne, Y. 2014, Formulasi dan Pengujian

Salep Ekstrak Bonggol Pisang Ambon (Musa paradisiaca var. sapientum (L.))

Terhadap Luka Terbuka Pada Kulit Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus

norvegicus).

Purnasari, P.W., Fatmawati, D., dan Yusuf, I. 2012, Pengaruh Lendir Bekicot (Achatina

fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka Sayat, Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Vol. 4, No. 2.

Rasal, V.P., Sinnathambi, A., Ashok, P., dan Yeshmaina, S. 2008, Wound Healing and

Antioxidant Activities of Morinda citrifolia Leaf Extract in Rats, Iranian Journal of

Pharmacology & Therapeutics, IJPT 7:49-52.

Singer, A.J., dan Clark, R.A.F. 1999, Cutaneous Wound Healing, The New England

Journal of Medichine, Volume 341: 738-746.

Sudarsono, P.N., Gunawan, D., Wahyuono, S., Donatus, I.A., dan Purnomo. 2002,

Tumbuhan Obat II (Hasil Penelitian, Sifat-Sifat, dan Penggunaan),Yogyakarta:

Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada.

Sumartiningsih, S. 2009, Pengaruh Pemberian Binahong (Anradera Cordifolia) terhadap

Sel Radang dan Sel Fibroblas pada Hematoma Regio Femoris Ventralis Rattus

Norvegicus Strain Wistar Jantan, Karya Ilmiah, Program Pascasarjana Universitas

Airlangga, Surabaya.

Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., dan Singh, S. 2011, Practices in Wound Healing Studies

of Plants, Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. IRJP, 3 (7).

Page 227: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

217

Widyawati, T. 2007, Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees),

Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 40.

Yuliani, N.S. 2012, Efek Ekstrak Etanol Daun Chromolaena odorata L. Terhadap

Kesembuhan Luka Insisi Pada Tikus Sprague Dawley, Skripsi, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Yuliatin, I.S. 2012, Khasiat Sambiloto Si Pahit Berkhasiat Selangit, Tibbun Media,

Surabaya.

Page 228: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

218

Page 229: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

219

HISTOPATOLOGI OVARIUM, OVIDUK, DAN UTERUS KAMBING KACANG

(Capra aegagrus hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN

AKHIR (TPA) ALAK KOTA KUPANG

HISTOPATHOLOGYDESCRIPTION OF OVARY, OVIDUCT AND UTERUS OF

KACANG GOAT (Capra aegagrus hircus) FROM MUNICIPAL WASTE LANDFILL,

ALAK-KUPANG

Hermina Nuhan1, Cynthia Dewi Gaina 2, Filphin Adolfin Amalo 3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail :

[email protected] 2Laboratorium Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. E-mail: [email protected] 3 Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. E-mail:[email protected]

ABSTRACT

Livestock species play significant roles in supporting socio-economics development

of Indonesian societies. The most common livestock, such as goats, are traditionally raised

among small scale farmers in NTT. However, the restrictions and limitations of forage

production causing local breeders feed theirs goats in municipal waste landfill area in

Alak, Kupang. In fact, this disposed waste area could not be used as an alternative place

for feeding the animals because it may cause negative effects on animals and their health.

Fertility of female goat were mainly affected by nutritional status and environmental

factors. Goats that are raised in landfill environment tend to consume amount of

contaminated materials, such as heavy metals and toxic substances. This study aims to

describe the histological appearance of ovary, oviduct and uterus of Kacang goat (Capra

aegarus hircus) from Alak Landfill area. 3 female Kacang goats were used in this

descriptive research. 2 goats were obtained from Alak and 1 goat was obtained from non-

landfill area. Three goats were euthanized and necropsied. Non-significant gross and

histologic lesions of the ovary, oviduct and uterus were observed. Then, the tissues were

collected and prepared for histology studies. The post-mortem inspection of landfill’s

Kacang goat indicated the growth of ovarian follicle, hydrosalping, thickened uterus wall,

while non-landfill’s Kacang goats showed no remarkable changes. Histologic changes in

oviduct included dilated oviduct lumens without inflammatory infiltration and

desquamation of ciliated cells. Moreover, the results showed the infiltration of

inflammatory cells, such as eosinophil, lymphocytes, neutrophil, macrophages and plasma

cells in uterus of landfill’s Alak goat (TPA1 and TPA2). However, no pathological changes

were found in ovary, oviduct and uterus of non-landfill Kacang goats.

Keywords: Kacang goat, ovary, oviduct, uterus, Alak landfill Area

PENDAHULUAN

Peternakan merupakan salah satu sektor terbesar dalam menunjang kehidupan

perekonomian masyarakat Indonesia. Salah satu peternakan yang cukup berkembang

adalah beternak kambing. Kambing kacang (Capra aegagrus hircus) merupakan kambing

asli Indonesia yang memilki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat,

Page 230: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

220

sifatnya lincah dan memiliki daya reproduksi yang sangat tinggi (Sodiq dan Abidin, 2008;

Senger, 2003 cit. Santoso dkk., 2014).

Masyarakat di Kecamatan Alak Kota Kupang yang tinggal disekitar Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) menjadikan TPA sebagai salah satu alternatif tempat

pemeliharaan ternak, baik itu sapi, babi maupun kambing.

Lingkungan TPA sangat tidak mendukung sebagai tempat alternatif dalam

pemeliharaan ternak, dimana secara tidak langsung lingkungan pada tempat ini sudah

tercemar dengan adanya pembakaran sampah pada lingkungan terbuka sehingga

menurunkan aspek kesehatan lingkungan (Wardhayani, 2006), selain itu polusi lingkungan

yang terdapat di udara, air tanah, dan tanah, juga terpapar pada tanaman. Ternak (terutama

domba dan ruminansia lainnya) dapat terpapar berbagai konsentrasi polutan lingkungan

untuk waktu yang lama dan kemungkinan efek eksposur atau paparan tersebut berdampak

pada fertilitas ternak (Kamarianos et al., 2001).

Kondisi induk sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak, karena

induk yang sehat diharapkan dapat menghasilkan keturunan (anak), sehingga pada

akhirnya akan dapat meningkatkan populasi, akan tetapi hal ini tidak dapat tercapai jika

induk berada dalam kondisi tidak sehat atau mengalami masalah reproduksi (Nurhayati

dkk., 2008).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan

mikroskopik ovarium, oviduk dan uterus kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang

dipelihara di TPA Alak Kota Kupang.

MATERI DAN METODE

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa 3 ekor kambing kacang (Capra

argagrus hircus) betina, yang terdiri dari masing-masing 2 ekor kambing yang dipelihara

di TPA Alak serta 1 ekor kambing tidak dipelihara di TPA Alak (non TPA). Analisis hasil

dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Nekropsi dan fiksasi jaringan

Sediaan histologi berupa jaringan organ ovarium,oviduk dan uterus dari kambing.

Sebelum pengambilan sampel, kambing dieuthanasi kemudian dinekropsi. Setelah

ovarium, oviduk dan uterus dikeluarkan dari ruang inguinal, dilakukan pengamatan

makroskopis terhadap organ tersebut dan difiksasi dalam larutan formalin 10 %

selanjutnya organ ovarium, oviduk dan uterus dipotong menjadi beberapa bagian kecil

berukuran 1 cm3.

Pembuatan sediaan histopatologis

Proses pembuatan sediaan histologi yang meliputi beberapa tahapan, yaitu; Tahap

pertama (Pemrosesan jaringan) yaitu proses fiksasi dengan menggunakan formalin 10 %.

Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi, jaringan dicelupkan kedalam alkohol 70

%, 80 %, 95 % dan alkohol absolut. Proses selanjutnya yaitu proses clearingdengan

menggunakan xilol. Dilanjutkan dengan proses infiltasi paraffin. Selanjutnya tahap

(Embedding), dan tahap ketiga (Sectioning) (Ndaong, 2013).

Page 231: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

221

Pewarnaan Hematoxiline Eosin (HE)

Tahap pewarnaan HE meliputi deparafinisasi, rehidrasi, pewarnaan, dehidrasi,

clearing dan mounting.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Makroanatomi Ovarium, Oviduk dan Uterus Kambing kacang (Capra

aegagrus hircus)

Ovarium

Hasil pengamatan menunjukan ovarium kambing K, dan TPA1 tidak mengalami

perubahan bentuk dan ukuran, sedangkan kambing TPA2 mengalami atropi pada

ovariumnya. Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa ovarium kambing berbentuk oval

dan bervariasi dalam ukuran panjang 1,5 sampai 5cm dan lebar 1 sampai 3 cm, tergantung

pada tahap siklus reproduksi.Ukuran berat, panjang dan lebar ovarium masing-masing

kambing dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1 menunjukan folikel yang sedang

berkembang pada ovarium kambing K, TPA1 dan TPA2

Tabel 1. Morfometri ovarium kambing kacang (Capra aegagrus hircus)

Kambing Umur Berat (g) Panjang (cm) Lebar (cm)

Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan

K 2 Thn 1,0 0,8 2 1,5 1,3 1

TPA1 4 Thn 1,3 0,7 2 1,5 1,3 1,3

TPA2 2 Thn 1,1 0,8 0,8 1 1 1

.

A

B

C

Gambar 1. Gambaran makroanatomi ovarium kambing kacang (Capra aegagrus hircus).

A. Kambing K; B. TPA1; C. TPA2. (a, b, c: ovarium kiri; a’, b’, c’ : ovarium

kanan; Folikel )

a b c

a’ b’ c’

Page 232: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

222

Kambing TPA2 memiliki ukuran ovarium yang lebih kecil dari normal atau mengalami

atropi. Atropi merupakan pengurangan ukuran yang disebabkan oleh mengecilnya ukuran

sel dalam organ tubuh. Chakurkar dkk. (2008) menyatakan bahwa atropi dapat disebabkan

oleh kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan

hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif. Hal ini dapat

menyebabkan terjadinya hipofungsi ovaria. Jika hal ini terjadi pada periode yang lama

akan berlanjut menjadi atropi ovaria.

Oviduk

Hasil pengamatan pada oviduk kambing TPA1, terlihat adanya penimbunan cairan atau

hidrosalping pada saluran bagian kanan (unilateral) (Gambar 2B), sedangkan oviduk

kambing K dan TPA2 secara anatomi terlihat normal dan tidak terjadi perubahan bentuk

(gambar 2A dan 2C). Menurut Nurhayati dkk. (2008), hidrosalping merupakan salah satu

kelainan tersumbatnya oviduk yang menyebabkan sel telur (ovum) yang telah diovulasikan

dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan di ampula dan sel sperma juga akan

terhalang mencapai tempat pembuahan, sehingga proses pembuahannya gagal. Salah satu

penyebab hidrosalping adalah manajemen yang kurang baik (Zemjanis, 1980).

Gambar 2. Gambaran oviduk kambing kacang (Capra aegagrus hircus). A) Kambing K;

B) Kambing TPA1 yang mengalami hidrosalping unilateral (b); C) Kambing

TPA2. a.Pertumbuhan folikel; b.Oviduk

Menurut Azawi et al., (2008), hidrosalping dapat terjadi karena dilatasi saluran telur

akibat akumulasi cairan yang disebabkan oleh obstruksi pada lumen saluran telur. Adanya

sumbatan pada oviduk terjadi dari tabung rahim dan berada dekat persimpangan utero-tuba

atau diakhir bagian dari isthmus. Mastroianni (1999) mengatakan bahwa hidrosalping

merupakan hasil dari beberapa proses inflamasi disekitar uterus. Ellington dan Schlafer

(1993) juga mengatakan hidrosalping mungkin juga disebabkan oleh penyakit bawaan.

Menurut Ogunbodede et al., (2014), hidrosalping bilateral maupun unilateral dapat

a b

A

B C

a

b

b

a

Page 233: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

223

disebabkan oleh kondisi di lapangan dimana terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) antar

ternak.

Uterus

Secara anatomi bagian uterus kambing K, TPA1 dan TPA2 terdiri darikorpus uteri,

kornua uteri dan serviks uteri. Pada bagian korpus setelah disayat ditemukan tonjolan-

tonjolan sebagai tempat menempelnya fetus yang disebut karunkula (Frandson, 1992).

Pada kambing TPA1, karunkula ini lebih tebal (Gambar 3B) dibandingkan pada kambing K

dan TPA2 (Gambar 3).

Perbedaan ketebalan karunkula ini dapat berkaitan dengan status reproduksi ternak

yang berada pada fase folikular atau pada fase proestrus-estrus, dimana Johnson dan

Everitt (1988); Burkit et al. (1999) mengatakan bahwa perkembangan endometrium uterus

ditunjukan dengan perubahan ukuran tebal endometrium, yang dapat dibedakan menjadi

dua fase utama yaitu fase proliferasi dan fase sekresi, dimana fase proliferasi terjadi fase

diestrus-estrus, ditandai dengan peningkatan ketebalan endometrium.

Gambar 3. Gambaran makroanatomi uterus (bagian karunkula) kambing kacang (Capra

aegagrus hircus) . A. Kambing K ; B. Kambing TPA1 ; C. Kambing TPA2.

Gambaran Histopatologi Ovarium, Oviduk dan Uterus Kambing Kacang (Capra

aegagrus hircus)

Ovarium

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis terhadap struktur histologi ovarium, tidak

terlihat adanya perubahan, baik itu nekrosis maupun infiltrasi sel radang, yang ditemukan

adalah fase perkembangan folikel. Struktur histologi ovarium kambing K, TPA1 dan TPA2,

bagian permukaan ovariumnya terdapat epitel kubus selapis atau epitel germinativum

sedangkan bagian profundal terdapat tunika albuginea berupa jaringan ikat padat. Ovarium

kambing K, TPA1, dan TPA2 terdapat dua lapisan yaitu korteks pada bagian lateral dan

medula pada bagian medialnya (gambar 4).

A

B C

Page 234: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

224

Gambar 4 memperlihatkan karakteristik perkembangan folikel, dimana pada kambing

K sedang berada dalam fase folikuler yakni terdapat folikel primordial, folikel primer dan

juga folikel de graaf (gambar 4A dan 4B). Gambaran histologi ovarium kambing TPA1

juga berada dalam fase folikular, yakni terdapat perkembangan folikel primordial, folikel

primer dan folikel sekunder (gambar 4C). Sedangkan gambaran histologi ovarium kambing

TPA2, berada dalam fase luteal, yakni terdapat perkembangan folikel de graaf dan juga

terdapat korpus luteum (gambar 4D).

Gambar 4. Gambaran histologi ovarium kambing kacang (Capra aegagrus hircus). (A)

Kambing K, Folikel primer, (B) Kambing K, Folikel de graaf , (C) TPA1,

(D) TPA2 . Ket : FP.folikel primer; FPr.folikel primordial; Sf.sel folikel;

O.oosit; TA.tunika albuginea; GE.germinal epithelium; FD.folikel de graaf;

CO.cumulus oophorus; SG.stratum granulosum; ST.sel teka; CL.corpus

luteum; A.antrum; K.korteks; M.medula. (A. 400X, B. 100X, C. 100X,

40X; H&E).

Oviduk

Berdasarkan hasil pengamatan, histologi oviduk (ampula) pada kambing K, dari bagian

luar ke bagian dalam secara berurutan adalah lapisan serosa, muskularis dan lapisan

mukosa yang tersusun atas sel epitel kolumnar simplek dan bersilia serta memiliki lipatan-

lipatan mukosa dengan percabangan yang sangat kompleks (gambar 5).

A B

C D

Page 235: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

225

Gambar 5. Gambaran histologi oviduk kambing K. S.serosa; M.muskularis; Lm.Lipatan

mukosa; s.silia; EKS.epitel kolumnar simpleks; Mb.membran basal; Pc.peg

cell (A. 100X, B.400X; H&E).

Struktur histologi oviduk kambing TPA1 (Gambar 6) dari bagian luar ke bagian

dalam secara berturut-turut adalah lapisan serosa, lapisan muskularis dan lapisan mukosa.

Pada lapisan mukosa tersusun atas epitel kolumnar simplek bersilia dan tidak bersilia (peg

cell) serta memiliki lipatan-lipatan mukosa, namun lipatan yang terbentuk pada lapisan ini

sudah tidak kompleks atau mengalami atropi dan hanya terdapat beberapa lipatan dengan

bagian tengah yang kosong atau berongga akibat dilatasi lumen oviduk (Gambar 6A) serta

tidak ditemukannya infiltrasi sel radang. Hal ini terjadi karena pada kambing TPA1 pada

pengamatan makroskopis terdapat penimbunan cairan pada salah satu bagian oviduknya

(hidrosalping unilateral), sehingga hal ini berpengaruh pada penampang histologisnya yang

nampak sebagai bagian tengah yang kosong atau berongga.

Gambar 6. Gambaran histopatologi oviduk kambing TPA1.(A)Terlihat gambaran

hidrosalping dengan lipatan mukosa yang tidak komples dan pada bagian

tengah terlihat kosong/berongga S.serosa; M.muskularis; s.silia; EKS.epitel

kolumnar simpleks (A. 100X, B.400X; H&E)

Pengamatan terhadap histopatologi oviduk kambing TPA2 terlihat struktur lapisan yang

masih sama dengan kambing K dan TPA1, namun pada lipatan mukosanya terjadi

deskuamasi sel epitel dan silianya (gambar 19).

A B

A B

Page 236: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

226

Gambar 7. Gambaran histopatologi oviduk kambing TPA2. S.serosa; M.muskularis;

Lm.lipatan mukosa; a.deskuamasi sel epitel kolumnar dan silia; b..silia

(A.100X, B.400X, H&E)

Uterus

Berdasarkan hasil pengamatan pada struktur histologi uterus kambing K, tidak

ditemukan adanya sel radang maupun perubahan struktur histologinya. Struktur histologi

uterus kambing K terdapat kelenjar uterin yang berfungsi menghasilkan cairan uterus pada

proses estrus dalam membantu pematangan spermatozoa. Kelenjar uterin pada uterus

kambing TPA1 terlihat terpisah-pisah dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan

dengan kambing K dan TPA2 (gambar 9B). Gambaran histopatologis uterus kambing

TPA1 dan TPA2, terdapat infiltrasi sel radang berupa eosinofil, limfosit, neutrofil, sel

plasma dan makrofag. Sel radang ini didominasi oleh limfosit pada uterus kambing TPA1

menunjukan terjadinya peradangan kronik pada uterus tersebut (endometritis kronik)..

Gambar 8. Gambaran histologi uterus kambing kacang (Capra aegagrus hircus). (A).

Kambing K; (B). TPA1; (C). TPA2. KU.kelenjar uterin; e.eosinofil;

m.makrofag; n.neutrofil; L.limfosit; sp.sel plasma (100X, H&E).

A

B C

A B

Page 237: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

227

Gambar 9. Gambaran infiltrasi sel radang yang didominasi oleh limfosit pada uterus

kambing TPA1 (400X; H&E)

KESIMPULAN

Berdasarkan pengamatan secara makroskopis ovarium kambing yang dipelihara di

daerah non TPA Alak (K) maupun di TPA Alak (TPA1 dan TPA2) tidak terdapat

perubahan, sedangkan pada oviduk kambing TPA1 menunjukkan adanya hidrosalping dan

penebalan karunkula pada uterus. Berdasarkan pengamatan mikroskopis ovarium kambing

K, dan TPA1 berada pada fase folikuler sedangkan kambing TPA2 berada berada pada fase

luteal. Pada pengamatan oviduk kambing K tidak terdapat perubahan, sedangkan pada

kambing TPA1 mengalami atropi mukosa dan juga dilatasi lumen oviduk selanjutnya pada

TPA2 terjadinya deskuamasi sel epitel dan silia sedangkan pada pengamatan terhadap

uterus kambing K tidak terdapat perubahan, pada kambing TPA1 dan TPA2 terdapat

infiltrasi sel radang. Sel radang yang lebih banyak terdapat pada kambing TPA1 yang

didominasi oleh limfosit.

DAFTAR PUSTAKA

Azawi, O.I., Abidy, H.F., Al and Ali, A.J. 2008, Pathological and Bacteriological Studies

Ofhydrosalpinx In Buffaloes, Reprod Dom Anim 45, 416–420, Department of

Surgery and Obstetrics; Department of Microbiology, College of Veterinary

Medicine, University of Mosul, Mosul, Iraq.

Azawi, O.I., Ali, A.J and Lazim, E.H. 2008, ‘Pathological and Anatomical Abnormalities

Affecting Buffalo Cows Reproductive Tracts In Mosul’, Iraqi Journal of

Veterinary Sciences, 22 (2) : 59-67, Department of Surgery and Obstetrics, College

of Veterinary Medicine, University of Mosul, Mosul, Iraq.

Ball, P. J. H. and Peters, A. R. 2004, Reproduction in Cattle, Ed 3, Blackwell Publishing.

Burkitt, H.G., Young, B. dan Heath, J.W. 1999, Wheaters Functional Histology. A Text

and Colour Atlas. Third Ed. Churchill Livingstone. Edinburg.

Chakurkar, E. B., Barbuddhe, S. B. dan Sundaram, R. N. S. 2008, ‘Infertility In Farm

Animals : Causes and Remedies’, Technical Bulletin, No. 15, Indian Council of

Agricultural Research.

Ellington, J.E., Schlafer, D.H. 1993, ‘Oviduct disease in cattle’, JAVMA202: 450–454.

Jadon RS, Dhaliwal GS, Jand SK, 2005: Prevalence of aerobic and anaerobic

bacteria during peripartum period in normal and dystocia affected buffaloes. Anim

Reprod Sci 88, 215–224

Page 238: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

228

Frandson, R. D. 1992, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Ed 4, diterjemahkan oleh

Srigandono, B. dan Praseno, K. editor, Soedarsono, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Johnson, M.H. dan Everitt, B.J. 1988, Essential Reproduction. Ed.3. Blackwell Sci. Publ,

London.

Kamarianos, A., Karamanlis, X., Goulas, P., Theodosiadou, E. and Smokovitis, A. 2002,

The Presence Of Environmental Pollutants In The Follicular Fluid Of Farm

Animals (Cattle, Sheep, Goats and Pigs), Reproductive Toxicology, 17 (2003) 185-

190.

Mastroianni, J.R. 1999, ‘The Fallopian Tube and Reproductive Health’, J Pediatr

Gynecol12: 121–126.

Ndaong, N. A. 2013, ‘Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas

Enzim Alanin Aminotransferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran

Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Thesis, M.Sc, Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nurhayati, I. S., Saptati, R. A. dan Martindah, E. 2008, ‘Penanganan Gangguan

Reproduksi Guna Mendukung Pengembangan Usaha Sapi Perah’, Semiloka

Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Ogunbodede, M. A., Oladele, G. M., Ode, O. J. and Ubah, S. A. 2014, ‘Survey of Gross

Abnormalities and Microbial Load on the Female Reproductive Tract of Maradi

Goats Slaughtered at Bodija Abattoir’, Advanced Journal of Agricultural Research

2(001), pp. 001-007, Department of Theriogenology, University of Abuja, Abuja,

Nigeria, Department of Veterinary Pharmacology and Toxicology, University of

Abuja, Abuja, Nigeria.

Santoso, Amrozi, Bambang, P. dan Herdis. 2014, ‘Gambaran Ultrasonografi Ovarium

Kambing Kacang Yang Disinkronisasi Dengan Hormon Prostaglandin F2 Alfa

(Pgf2α) Dosis Tunggal’, Jurnal Kedokteran Hewan, 8 (1).

Sodiq, A., dan Abidin, Z. 2008, Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa,

Agromedia Pustaka, Jakarta.

Wardhayani, Sutji. 2006, ‘Analisis Resiko Pencemaran Bahan Toksik Timbal (Pb) pada

Sapi Potong di tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Semarang’,

Thesis, Magister Kesehatan Lingkungan, M.Sc, Universitas Diponegoro, Semarang.

Zemjanis, R. 1980, Repeat Breeding or Conception Failure in cattle; Current Theraphy in

Theorigenology.,Morrow, D.A, W.B Saunders Company Philadelphia, pp: 205.

Page 239: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

229

IDENTIFIKASI KADAR FORMALIN PADA IKAN SEGAR YANG DIJUAL DI

KOTA KUPANG

IDENTIFICATION OF THE CONTENT FORMALDEHYDE FRESH FISH SOLD IN THE

CITY KUPANG

Nur Aini Ismail Kasim1, Diana Agustiani Wuri2, Nemay Anggadewi Ndaong3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email :

[email protected]

2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Nusa Cendana, Kupang.

3Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang.

ABSTRACT

The use of formaldehyde in the food ingredient has been prohibited by the

Regulation of the Minister of Health RI No. 722/Menkes / Per / IX / 88, but in reality there

are many foods that contain formaldehyde, including fresh fish. The purpose of this study

was to identify the addition of formaldehyde on fresh fish sold in the Kupang city and know

the amount of formaldehyde content is added to the fresh fish. The method used in this

study is Purpposive Sampling. Researchers took 192 samples from seven locations selling

fish that are in the Kupang city is the Fish Auction Place (FAP) Oeba 6 samples, Inpres

Market 4 samples, Nun Baun Dela (NBD) 3 samples, Kuanino Market 2 samples, Pasir

Panjang 5 samples, Kelapa Lima 3 samples and the Night Market Kampung Solor 9

samples. Tests were carried out using formaldehyde merck merck with two types of kits are

Aquamerck® and Merckoquant®. Results showed that samples taken from FAP Oeba 100

% undetectable because merck kit used is Aquamerck® has an indicator readings

formaldehyde levels of 0,1 ppm to 1.5 ppm so that if the level ≤ 0,1 ppm it is no longer

detected in the reading using color card and the necessary follow-up tests such as

spectrophotometer. At the location of Inpres Market 50 % of the samples detected

formaldehyde at levels of 0,3 ppm and 50 ppm, at Pasir Panjang 20 % of the samples

detected formaldehyde at levels of 5 ppm, location Kelapa Lima 33.34 % of samples

detected formaldehyde at levels of 5 ppm and at Night Market Kampung Solor 60 %

formalin detected with levels of 5 ppm, 0,2 ppm is also 0,05 ppm. This test result is the

average value akumulaif which has been divided by the number of samples tested. This

indicates that fresh sea fish taken from the second place worthy and safe for consumption.

Keysword: Fresh sea fish, Formaldehyde, Kupang city

PENDAHULUAN

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah wilayah kepulauan yang memiliki

luas wilayah perairan ± 200.000 km2 . Hal inilah yang menyebabkan hasil komoditi

perikanan di daratan NTT yang menjadi unggulan ialah ikan dan rumput laut (Pemrov

NTT, 2009).

Komoditas unggulan yang dimiliki terdiri atas ikan pelagis baik pelagis besar

maupun pelagis kecil seperti tuna, tongkol, cakalang, tenggiri, layang, selar, dan kembung,

sedangkan ikan demersal seperti kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan serta komoditi

Page 240: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

230

non ikan seperti lobster, cumi-cumi, kerang darah dan lain-lain (Kupang Antara News,

2012).

Ikan adalah bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan asam amino

essensial yang diperlukan oleh tubuh manusia, disamping itu nilai biologis dari protein dan

asam amino essensial mencapai 90 % dengan jaringan pengikat sedikit, sehingga mudah

dicerna (Rabiatul, 2007). Dalam melakukan penangkapan dan penjualan ikan, nelayan atau

penjual mengalami beberapa kendala yaitu jumlah tangkapan yang tidak menentu, iklim,

musim ikan dan jumlah ikan yang tidak habis terjual dalam sehari.

Adapun karena faktor banyaknya jumlah ikan yang tersisa atau tidak habis terjual

dalam sehari, sehingga para nelayan atau penjual melakukan beberapa cara untuk

menghambat pembusukan ikan yang terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu

tubuh ikan mengandung kadar air tinggi (80 %) dan pH tubuh mendekati netral dengan

cara membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba.

Beberapa cara umum yang dilakukan untuk mencegah pembusukan yaitu dengan metode

pendinginan menggunakan es batu. Namun penggunaan ini membutuhkan es batu dalam

jumlah yang cukup banyak, apabila ikan tidak habis terjual dan harus disimpan lebih dari

sehari dan es batu memiliki sifat yang mudah mencair sehingga kurang praktis. Selain itu,

hal tersebut menyebabkan adanya nelayan atau penjual yang menggunakan zat kimia

berbahaya seperti formalin sebagai pengganti es batu.

Menurut hasil penelitian BPOM dari 287 sampel yang diambil di Kota Kupang, dua

ekor ikan tembang segar mengadung formalin (Pos Kupang, 2014), sedangkan Dinas

Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT menyita 12 ton ikan tembang di pasar Oeba yang

mengandung formalin dan Dinas Kesehatan di Kabupaten Sikka menemukan 203 boks

atau lima ton ikan yang berformalin (Pos Kupang, 2015).

Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan pengujian pada berbagai jenis

ikan segar di Kota Kupang, sehingga dengan penelitian “Identifikasi Kadar Formalin

Pada Ikan Laut Segar Yang Dijual Di Kota Kupang” merupakan langkah awal untuk

mencegah adanya dampak negatif yang ditimbulkan formalin bagi kesehatan masyarakat.

MATERI DAN METODE

Identifikasi kadar formalin pada ikan segar yang dijual di Kota Kupang ini

dilaksanakan pada tujuh lokasi yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Oeba, Pasar Inpres,

Nun Baun Dela (NBD), Pasar Kuanino, Pasir Panjang, Kelapa Lima, dan Pasar Malam

Kampung Solor.Pengambilan sampel menggunakan metode purpposive sampling. Peneliti

mengambil 184 sampel dari tujuh lokasi penjualan ikan yang terdapat di Kota Kupang

diantaranya ialah tempat pelelangan ikan (TPI) Oeba sebanyak 6 sampel, Pasar Inpres

sebanyak 4 sampel, Nun Baun Dela (NBD) sebanyak 3 sampel, Pasar Kuanino sebanyak 2

sampel, Pasir Panjang sebanyak 5 sampel, Kelapa Lima sebanyak 3 sampel dan Pasar

Malam KampungSolor sebanyak 8 sampel.Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mutu

Perikanan di Namosain. Pengujian yang dilakukan menggunakan metode formaldehide

merck dengan dua jenis kit merck yaitu aquamerck® yang memiliki indikator pembacaan

kadar formalin dari 0,1 sampai 1,5 ppm dan merckoquant® yang memiliki indikator

pembacaan formaldeh dari 10 sampai 100 ppm.Tujuan penelitian ini adalah untuk

Page 241: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

231

mengidentifikasi penambahan formaldehid pada ikan segar yang dijual di Kota Kupang

dan mengetahui jumlah kandungan formaldehid yang ditambahkan pada ikan segar. Hasil

pengujian disajikan dalam bentuk tabel dan hasil dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Kadar Formalin di TPI Oeba Kota Kupang

Tempat Pelelangan Ikan Oeba merupakan suatu tempat pendistribusian ikan dari

nelayan ke beberapa penjual ikan di Kota Kupang yang dilakukan dalam waktu ± 7 jam,

dimana setiap hasil tangkapan langsung didistribusikan atau dijual ke pasar tradisional dan

penjual ikan. Hasil pengujian kandungan formalin dari 6 sampel disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian kadar formalin pada sampel dari TPI Oeba

No Lokasi Jenis komoditi Jumlah

(ekor)

Hasil

(+/-) Kadar formalin

1. TPI Oeba Ikan Kembung

Ikan Kembung

Ikan Tembang

Ikan Kembung

Ikan Kembung

Ikan Kembung

8 ekor

8 ekor

8 ekor

8 ekor

8 ekor

8 ekor

-

-

-

-

-

-

ttd

ttd

ttd

ttd

ttd

ttd

Keterangan : (-) = Negatif ; (+) = Positif dan t.t.d. = tidak terdeteksi dalam pembacaan

colour card.

Berdasarkan data hasil pengujian dengan menggunakan kit merck® pada Tabel 2,

dapat dilihat bahwa semua sampel menunjukkan hasil negatif atau 100 % ikan yang dijual

tidak terdeteksi bahan tambahan formalin. Hasil pengujian ini menunjukan bahwa

pemerintah berhasil mengontrol penyalahgunaan formaldehid di TPI Oeba setelah adanya

penemuan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT pada bulan Januari, tahun

2015 yang menyatakan bahwa 12 ton ikan tembang di TPI Oeba positif mengandung

formalin (Pos Kupang, 2015).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, proses distribusi ikan di TPI

Oeba dilakukan selama ± 4 jam sehingga dapat mencegah terjadinya prosesnya

pembusukan. Selama proses distribusi dilakukan, ikan akan disimpan pada box yang berisi

es batu. Penggunaan es batu berfungsi untuk menurunkan suhu di dalam box ikan sehingga

dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri pembusuk agar ikan yang

dijual tetap tampak segar (Djoko Tri Ismanto., et al, 2013). Selain itu untuk setiap kapal

nelayan yang akan mendistribusikan ikan dari luar daerah Kota Kupang maka akan

dilakukan pengujian identifikasi formalin sehingga meminimalisir kemungkinan

penggunaan formalin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2004), bahwa

penggunaan formalin pada ikan segar biasanya pada penjual atau reseller.

Page 242: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

232

Identifikasi Kadar Formalin pada Penjual Ikan di Kota Kupang

Pengujian identifikasi formaldehid ini dilakukan pada 6 lokasi yang terdiri dari,

pasar Inpres, NBD, pasar Kuanino, Pasir Panjang, Kelapa Lima dan pasar Malam.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, ke 6 lokasi pengambilan sampel ini

merupakan tempat yang paling sering dikunjungi oleh konsumen untuk memperoleh ikan

segar. Hasil pengujian kadar formaldehid pada ikan segar yang dijual oleh beberapa

pedagang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengujian dari Pasar Inpres, NBD, Pasar Kuanino, Pasir Panjang, Kelapa

Lima dan Pasar Malam

Lokasi Jenis komoditi Jumlah

(ekor)

Hasil

(+/-)

Kadar

formalin

1. Pasar Inpres Ikan Tongkol

Ikan Tongkol

Ikan Tongkol

Ikan Tongkol

8 ekor

8 ekor

8 ekor

8 ekor

+

-

-

+

0,3 ppm

ttd

ttd

50 ppm

2. NBD Ikan Tembang

Ikan Gergahing

Ikan Tongkol

8 ekor

8 ekor

8 ekor

-

-

-

ttd

ttd

ttd

3

.

PasarKuanino Ikan Lencam

Ikan Lencam

8 ekor

8 ekor

-

-

ttd

ttd

4

.

Pasir Panjang Ikan Lencam

Ikan Lada

Ikan Tembang

Ikan Kakap Putih

Ikan Ekor Kuning

8 ekor

8 ekor

8 ekor

8 ekor

8 ekor

-

+

-

-

-

ttd

5 ppm

ttd

ttd

ttd

5

.

Kelapa Lima Ikan Kembung Besar

Ikan Belanak

Ikan Lajang

8 ekor

8 ekor

8 ekor

-

-

+

ttd

ttd

5 ppm

6 Pasar Malam Ikan Kakap Merah

Ikan Kerapu

Ikan Kerapu Merah

Ikan Ekor Kuning

Ikan Kerapu Merah

Ikan Kerapu

Ikan Lada

Ikan Gergahing

1 ekor

1 ekor

1 ekor

1 ekor

1 ekor

1 ekor

1 ekor

1 ekor

+

-

+

+

+

-

-

+

0,2 ppm

ttd

5 ppm

0,05

ppm

5 ppm

ttd

ttd

5 ppm

Page 243: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

233

Keterangan : (-) = Negatif ; (+) = Positif dan t.t.d. = tidak terdeteksi dalam pembacaan

colour card.1 ppm setara dengan 0,001 ml/L

Pengujian ini menggunakan delapan ekor ikan laut segar dalam 1 sampel kecuali

Pasar Malam Kampung Solor, dimana delapan ekor ikan tersebut kemudian dicincang dan

diambil 10 gr untuk diuji kadar formaldehidnya. Berdasarkan uji laboratorium kadar

formaldehid dari 6 lokasi, 2 lokasi yaitu Pasar Kuanino dan NBD 100 % tidak terdeteksi

formaldehid, hal ini disebabkan karena kit merck yang digunakan ialah aquamerck®

memiliki indikator pembacaan kadar formaldehid 0,1 ppm sampai 1,5 ppm sehingga jika

kadarnya ≤ 0,1 ppm maka tidak terdeteksi lagi dalam pembacaan menggunakan colour

card dan perlu dilakukan pengujian lanjutan seperti spektofotometer. Empat lokasi lainnya

sampel ikan terdeteksi mengandung formaldehid dengan kadar yang bervariasi. Pada lokasi

Pasar Inpres 50 % sampel terdeteksi formaldehid dengan kadar 0,3 ppm dan 50 ppm, lokasi

Pasir Panjang 20 % sampel terdeteksi formaldehid dengan kadar 5 ppm, lokasi Kelapa

Lima 33,34 % sampel terdeteksi formaldehid dengan kadar 5 ppm dan lokasi Pasar Malam

Kampung Solor 60 % terdeteksi formaldehid dengan kadar 5 ppm, 0,2 ppm juga 0,05 ppm.

Hasil pengujian ini merupakan nilai akumulaif rata- rata yang telah dibagi dengan jumlah

sampel diuji.

Menurut pengamatan yang dilakukan peneliti, keragaman hasil pengujian kadar

formalin pada ikan segar disebabkan karena biasanya ikan yang diambil dari TPI dalam

jumlah yang banyak dan cara penyimpanan yang dilakukan oleh penjual tanpa media

pendingin yang mampu menghambat proses pembusukan pada ikan.

Gambar 2. Kadar formalin 50 ppm

Gambar 3. Kadar formalin 5 ppm

Page 244: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

234

Gambar 4. Kadar formalin 5 ppm

Gambar 5. Kadar formalin 0,2 ppm

Gambar 6. Kadar formalin 0,3 ppm

Gambar 7. Kadar formalin 0,05 ppm

Gambar 8. Hasil tidak terdeteksi (t.t.d)

Hasil positif pada pengujian dengan penggunaan kit merck ® yang dilakukan

sesuai dengan hasil pengamatan organoleptik pada beberapa penjual ikan laut segar di Kota

Kupang. Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik ikan-ikan yang dijual memilki warna

mata suram, warna insang yang berwarna coklat, dan sisik yang mudah terlepas dari tubuh

ikan..

Hasil positif pada pengujian dengan penggunaan kit merck ® yang dilakukan

sesuai dengan hasil pengamatan organoleptik pada beberapa penjual ikan laut segar di Kota

Kupang. Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik ikan-ikan yang dijual memilki

Page 245: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

235

warnanya putih bersih,warna insang yang berwarna coklat, kenyal, sisik yang mudah

terlepas dari tubuh ikan dan tidak mudah membusuk.

Hasil pengamatan cara penanganan atau penyimpanan ikan segar pada beberapa

lokasi penjualan ikan terdapat 3 lokasi (Pasar Inpres, Kelapa Lima dan Pasir Panjang) yang

cara penyimpanan tanpa menggunakan es batu dan 1 lokasi (Pasar Malam) yang cara

penyimpannya menggunakan es batu, namun pasokan ikan pada lokasi penjualan ini selalu

stabil sesuai permintaan konsumen tanpa adanya pengaruh musim. Hal ini sesuai dengan

pernyataan menurut Adawyah (2007), bahwa beberapa faktor yang menyebabkan penjual

menggunakan formalin sebagai bahan pengawet pada ikan segar diantaranya karena sifat

ikan yang mudah membusuk, ikan yang biasanya tidak habis terjual dalam waktu sehari,

permintaan konsumen terhadap jenis ikan tertentu dan pergantian musim secara berkala.

Oleh karena itu, para pedagang harus melakukan beberapa cara pengawetan agar waktu

penyimpanan ikan menjadi lebih lama sehingga dengan penambahan formalin pada ikan

segar dapat memperpanjang umur penyimpanan ikan (Winarno, 2004).

Berdasarkan hasil pengujian terdapat 2 lokasi (NBD dan Pasar Kuanino) dimana

hasil pengujiannya tidak terdeteksi (ttd), hal ini kemungkinan dikarenakan penjual ikan di

kedua lokasi tersebut mengambil ikan dari TPI Oeba pada pagi hari dengan jumlah ikan

yang sedikit sedangkan ikan yang dijual pada sore hari di NBD merupakan ikan hasil

tangkapannya sendiri sehingga ikan dapat terjual habis dalam waktu yang singkat. Cara

penyimpanan pada 2 lokasi penjual, umumnya tidak menggunakan es batu akan tetapi pada

hasil pengujian kedua lokasi (NBD dan pasar Kuanino) tidak terdeteksi adanya kandungan

formalin.

Berdasarkan hasil pengujian terdapat 4 lokasi yang terdeteksi kandungan formalin

pada sampel ikan yang dijual. Kadar formalin yang tertinggi adalah sampel yang diambil

dari Pasar Inpres dengan kandungan 50 ppm dimana melebihi nilai batas ambang yang

aman bagi tubuh manusia terhadap formalin menurut IPCS (International Programme on

Chemical Safety) yaitu 1 miligram per liter (1 ppm) dalam sekali konsumsi sedangkan

kadar formalin terendah terdapat pada Pasar Malam dengan kandungan 0,05 ppm.

Kandungan formalin dengan kadar 50 ppm pada ikan segar ini jika dikonsumsi dapat

mengakibatkan konvulsi, haematuria dan haematomesis yang berakibat kematian

(Takahashi et al., 1986) sedangkan jika dikonsumsi dengan kadar 0,05 ppm atau kadar

yang rendah (< 1 ppm) dalam jangka panjang maka formalin juga bisa mengakibatkan

banyak gangguan organ tubuh karena sifat formalin yang karsinogenik (Farida, 2010).

Formalin merupakan bahan pengawet yang dilarang menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999. Berdasarkan hasil uji laboratorium dari 192

sampel ada 37 sampel yang positif (19,27%) menunjukkan bahwa masih tingginya tingkat

penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pada makanan di pasaran. Dalam hal ini

formalin digunakan oleh penjual ikan sebagai bahan pengawet dari ikan segar. Selain itu,

berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat juga bahwa formalin masih dengan mudah

didapatkan dan digunakan sebagai pengawet ikan segar oleh penjual sehingga pemerintah

juga perlu memperketat pemberian izin kepada industri usaha makanan berskala besar

maupun kecil dan secara rutin melakukan pengawasan terhadap industri-industri makanan

tersebut (Hustyani, 2006).

Page 246: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

236

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa 19,27 %

dari 192 sampel ikan segar positif mengandung formalin. Jenis-jenis ikan yang

mengandung formalin ialan ikan tongkol, ikan lada, ikan lajang, ikan kakap merah, ikan

kerapu merah dan ikan gergahing. Kandungan formalin yang tertinggi ialah sampel dari

Pasar Inpres dengan kadar formalin 50 ppm, dimana ini melebihi batas ambang menurut

IPCS yaitu 1 ppm sedangkan untuk kandungan formalin yang terendah sampel dari Pasar

Malam Kampung Solor dengan kadar 0,05 ppm.

SARAN

1. Bagi Masyarakat

Diharapkan dengan penelitian ini dapat membantu masyarakat dalam memilih tempat

penjualan ikan segar yang bebas dari penggunaan formaldehid seperti TPI Oeba dan

masyarakat dapat lebih aktif dalam memilih dan menentukan ikan yang layak dan

aman untuk dikonsumsi

2. Pemerintah

Diharapkan dengan hasil yang telah didapatkan dalam penelitian ini Pemerintah lebih

meningkatkan pengawasan secara menyeluruh terhadap keamanan pangan disetiap

pasar-pasar tradisional dan peninjauan kembali serta memperketat terhadap kebijakan

yang menyangkut tata niaga penjualan formalin serta bahan kimia berbahaya lainnya.

3. Penjual

Diharapkan dapat menggunakan bahan pengawet yang lebih aman dan tidak berbahaya

bagi kesehatan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007, Pengolahan dan Pengawetan Ikan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Afrianto, E. dan Evi, L. 1991, Pengawetan dan Pengolahan Ikan, Kanisius, Yogyakarta.

Astawan, M. 2004, Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan, Tiga Seragkai, Solo.

Astawan, M. 2006, Mengenal Formalin dan bahayanya, Penebar Swadya, Jakarta.

Astawan, M. 2007, Pengantar Teknologi Perikanan, Gramedia, Jakarta.

Amri. 2008, Dasar-dasar teknologi Hasil Perikanan SMK Negeri 06, Modul, Lampung.

Cahyadi, W. 2006, Bahan Tambahan Pangan, Cetakan Pertama, Penerbit Bumi Aksara,

Jakarta.

Djarijah, 2001, Morfologi Ikan, Gramedia, Jakarta.

Djoko Tri Ismanto, Taufik Fajar Nugroho dan Alam Baheramsyah, 2013, Desain Sistem

Pendingin Ruang Muat Kapal Ikan Tradisional Menggunakan Es Kering Dengan

Penambahan Campuran Silika Gel, J.Teknik Pomits, 2 (2).

Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV,

Departemen Kesehtan Republik Indonesia, Jakarta, hal : 11-57.

Direktorat Jendral Perikanan, 1990, Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut,

Departemen Pertanian, Jakarta.

Effendi, M. I. 1979, Biologi Perikanan, Yogyakarta : Yayasan Pustaka Tama

Page 247: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

237

Farida, I. 2010, Bahaya Paparan Formalin terhdap Tubuh. Available at : (http

://cheminterconnected.spaces.live.com , diakses pada tanggal 1 Februari 2015)

Hamdayani, 2006, Bahaya Formalin Pada Makanan, Departemen Komunikasi dan

Informatika, PT. Astra International, Tbk. 2-23.

Hikmayani, Y.et al. 2007. Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian Balai Riset Sosial

Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Balai Besar Riset Sosial Ekonomi dan

Kelautan dan Perikanan

Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan

Enkaapsulasi Komponen Flavor. [Disertasi], Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Irianto, A. 2005, Patologi Ikan, Gadja Mada University Press, Yogyakarta.

Irianto, H dan Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.

Badan riset kelautan dan perikanan

Junianto. 2005, Teknik Penangan Ikan, Penebar Swaday, Jakarta.

Katzung, B. G. 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi II, Salemba Medika,

Jakarta,Hal.671, 677-678.

Kupang Antara News. 2012, Potensi Sumber Daya Perikanan NTT, (Online),

(http://www.kupangantaranews.com, diakses pada tanggal 1 Februari 2015).

Loomis, T. 1979, Formaldehyde Toxicity, Arch Pathol Lab Med, 103: 321-324.

Mahdi,C. dan Mubarrak, S. A. 2008, Bahan Pengawet Makanan, Fakultas Perikanan dan

Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.

Mahardono, 1979, Anatomi Ikan, Jakarta : PT. Intermasa.

Marhaeni. 2008, Kadungan Gizi Pada Ikan, Jakarta.

Moeljanto, 1992, Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan, Penebar Swadaya,

Jakarta.

Murniyati, A. S dan Sunarman. 2000, Pendiginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan,

Yogyakarta: Kanisius

Nasir, M. 1998, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2003, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Rineka Cipta,

Jakarta.

Pos Kupang. 2014, Balai POM Kupang Tidak Bekerja Sendiri, (online),

(http://www.Poskupang.com, diakses pada tanggal 1 Februari 2015)

Pos Kupang, 2015, Kabupaten Sikka dikepung Ikan Berformalin, (online), (diakses pada

tanggal 1 Februari 2015)

Pos Kupang, 2015, Aparat NTT Sita 12 Ton Ikan Tembang Lamuru Mengandung

Formalin, (online), (diakses pada tanggal 1 Februari 2015)

Saprianto, C. dan Hidayati, D. 2006, Bahan Tambahan Pangan, Kanisius, Yogyakarta.

Smith, J. 1991. Food Additive User’s Handbook, Blackie & Sons Ltd, New York.

Suhartini, S. dan Hidayat, N. 2005, Olahan Ikan Segar, Trubus Agrisarana, Surabaya.

Takahashi, M., R. Hasegawa, F. Furukawa, K. Toyoda, H. Sato and Y. Hayashi. 1986,

Effects of ethanol, potassium metabisulfite, formaldehyde and hydrogen peroxide on

gastric carcinogenesis in rats after initiation with N-methyl- N’nitro-

N’nitrosoguanidine, J.Cancer Res, 77:118-124, Japanese.

Page 248: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

238

Terelak, K. 2003, Pilot Plant Formaldehyde distillation Experiment and Modelling.

Institute of Heavy Organic Synthesis “Blachownia”, Poland.

Uzairu, A. 2009, Formaldehyde Levels In Some Manufactured Reguler Foods In Makurdi

Benue State, Nigeria, Jurnal Of Applied Sciences In Enviromental Sanitation, VOL

211-214.

Widyaningsih, D. dan Erni, S. 2006, Formalin, Trubus Agrisarana, Surabaya.

Winarno, F. G. 1980, Kimia Pangan, PT. Gramedia Utama, Bogor.

Winarno, F.G dan Sulistyo, T. 1994, Bahan Tambahan Pangan Untuk Makanan dan

Kontaminan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Winarno, F. G. 2004, Keamanan Pangan Jilid 1, M-Brio Press, Bogor.

Windarti. 2010, Buku Ajar Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

UR : Pekanbaru

Yuliarti, 2007, Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan, Andi,Yogyakarta.

World Health Organization (WHO), 2000, Formaldehyde Concise International Chemical

Assessment Document 40, Geneva.

Page 249: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

239

IDENTIFIKASI KADAR KALSIUM, FOSFOR, DAN MAGNESIUM PADA

SERUM DARAH SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL DI

DESA NONOHONIS – TTS

(IDENTIFICATIONS OF CALCIUM, PHOSPORUS, AND MAGNESIUM LEVEL ON

BLOOD SERUM ON BIBOS SONDAICUS WHICH IS MAINTAINED TRADISIONALY IN

NONOHONIS VILLAGE – TTS)

Ricky Myki Laurens Sine1, Herlina Umbu Deta2, Yulfia Nelymalik Selan3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail:

[email protected] 2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa

Cendana, Kupang. E-mail:[email protected] 3Laboratorium Anatomi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa

Cendana, Kupang. E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The aims of this research namely to identify, to evaluate, and to compare the level of

mineral on blood serum of bibossondaicusin the end of dry season and in the beginning of

wet season and also to identify mineral level of field grass which is consumed by cattle. 4

samples of natural grass and 14 samples of blood are taken from two different season;

from 7 cattles. The analysis result show that hypercalcemia is found in two different

season, while magnesium mineral state under normal limits; In the end of dry season with

slight increase to normal in the beginning of rainy season. Phosphorus mineral describe

normal average on blood serum. Mineral level of grass feet illustrate. The feed shortages

in dry season it increasing in rainy season. The conclution is seasons influence the level of

Ca and P in blood because of the sunlight, while seasons do not influence level of the

magnesium mineral, but it is influenced by the consumption of field grass from the cattle

and the level of Ca in blood.

Keywords: Bibos sondaicus, mineral, blood, feed

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki berbagai breed ternak sapi potong diantaranya sapi ongole, sapi

bali dan sapi madura beserta peranakannya. Sapi bali merupakan domestikasi banteng yang

telah menyebar di berbagai daerah di Indonesia yang mempunyai potensi ekonomis yang

tinggi (Sukariada et al., 2014). Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi ternak

memiliki populasi ternak sapi bali yang cukup besar yang bermanfaat memenuhi

kebutuhan pokok protein hewani masyarakat NTT. Nusa Tenggara Timur merupakan

daerah tropis dengan curah hujan cukup rendah dengan rata-rata curah hujan selama 4

bulan dan memiliki waktu kering yang cukup panjang yaitu 8 bulan (TTS DALAM

ANGKA, 2013). Hal ini menyebabkan ternak sapi sangat kekurangan pakan dan mineral di

musim kemarau dan keadaan yang sebaliknya hewan mendapatkan pakan yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan mineral di musim hujan.

Tubuh sapi tidak dapat menghasilkan mineral sendiri, walaupun diperlukan dalam

jumlah sedikit, namun sangat penting untuk kesempurnaan makanan yang dikonsumsi.

Batasankekurangan mineral pada ternak dapat dikategorikan sebagai defisiensi dan

Page 250: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

240

marginal. Kedua batasan ini hanya berbeda dalam menentukan ambang batas kekurangan.

Marginal menunjukkan bahwa kadar suatu mineral berada di bawah normal tetapi masih

cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dasarnya apabila kekurangan tidak

berlanjut. Pada keadaan marginal ini, cadangan mineral sudah sangat sedikit. Sedangkan

pada ternak yang dikategorikan defisiensi, kandungan mineral dalam tubuh ternak sudah

sangat rendah, untuk aktivitas metabolisme dasarnya saja tidak mencukupi dan tidak

memiliki cadangan mineral di dalam tubuhnya(Caple, 1984).

Tabel 1. Klasifikasi Kadar Ca, P dan Mg Dalam Serum Darah Sapi

Sumber: Puls in Kincaid (2008)

Peternak di NTT cenderung memelihara sapi dengan cara semiintensif atau ekstensif,

namun hal ini tidak efisien bagi ternak untuk mendapatkan pakan yang cukup dimusim

kemarau karena ketersediaan pakan di padang sangat sedikit sehingga mineral yang

didapat juga sangat rendah. Berbagai laporan penelitian menunjukkan bahwa kandungan

beberapa jenis unsur mineral dalam rumput lapangan relatif rendah. Rendahnya kandungan

mineral ini berakibat terhadap ketidakcukupan kebutuhan mineral dalam tubuh sapi,

sehingga menyebabkan terjadinya kekurangan (defisiensi) mineral (Little, 1985; Stoltz et

al., 1993; Prabowo et al., 1997). Ibrahim et al. (2008) mengatakan bahwa lama periode

rumput di lapangan dan jumlah bahan kering rumput mempengaruhi kadar mineral Ca, Mg,

Cu, Mn, dan Zn yang terdapat didalam rumput. Semakin banyak bahan kering rumput dan

lama periode maka kadar mineral tersebut diatas akan menghilang, hal ini disebabkan oleh

cuaca, usia, dan unsur rumput yang berbeda.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kadar mineral pada rumput

lapangan yang dikonsumsi, serta mengidentifikasi, mengevaluasi dan membandingkan

kadar mineral dalam serum darah sapi bali di akhir musim kemarau dan awal musim hujan.

MATERI DAN METODE

Metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Pengambilan

sampel dilakukan di Desa Nonohonis-Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sampel rumput

dan darah diambil dalam 2 tahap yaitu 2 sampel rumput pada akhir musim kemarau dan 2

sampel rumput pada awal musim hujan. Sampel darah diambil dari 7 ekor sapi (Total 14

sampel), darah yang diambil, disentrifuse di Laboratorium Klinik Bijoba Soe untuk

Status Ca

(mg/dL)

P

(mg/dL)

Mg

(mg/dL)

Defisiensi 1-6 <3.0 <1.1

Marginal 7-9 3-4.1 1.2-1.8

Normal 8-11 4-8 1.8-3.5

High >12 >9 >4.0

Page 251: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

241

mendapatkan serum darah. Tahap pemeriksaan kadar mineral dalam serum dan pakan

rumput lapangan dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas

Peternakan di Institut Pertanian Bogor.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian diklasifikasi dalam dua (2) tahap. Tahap

persiapan sampel darah sampai mendapatkan serum darah menggunakan gunakan alat:

Venoject, tabung reaksi tanpa antikoagulan, rak penyimpanan, box, pipet, sentrifuge, dan

ependorf.Tahap analisis sampel serum darah dan pakan: Alat yang digunakan adalah

sebagai berikut : Spektrofotometri serapan atom AA7000, Spektrofotometer Uv-200-R5,

Vortex, tabung pereaksi, Finnpipet, pipet otomatis, rak tabung reaksi, labu kjedal, tanur,

cawan porselen, botol penyimpanan sampel, erlenmeyer, timbangan analitik, Gegep besi,

eksikator, pipet Mohr, bulb, corong kaca, kertas saring, labu takar 100 mL/50 mL.Sampel

yang akan dianalisis adalah sebanyak 14 sampel serum darah sapi dan 4 sampel rumput

lapangan. Uji analisis mineral serum darah dan rumput menggunakan bahan; kapas

alkohol, kertas label (marker), lantan khlorida (Cl3La.7H2), H2SO4, tricloroacetic acid

(TCA) 17%, ammonium molibdat tetrahidrat, FeSO4,7H2O, aquadest dan HCL 25%.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu hasil penelitian disajikan dalam

bentuk gambar dan tabel. Adapun Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah kadar

kalsium, kadar fosfor dan kadar magnesium dalam serum darah sapi dan pakan rumput

lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Mineral Ca, Mg dan P Dalam Serum Darah Sapi Bali yang Diambil pada

Akhir Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan

Berdasarkan data kadar mineral kalsium dalam tabel 2, menunjukan bahwa kadar

kalsium dalam seluruh sampel serum darah sapi bali mengalami hiperkalsemia, jika

dibandingkan dengan serum darah sapi bali atau pedaging yang mengandung kalsium rata-

rata 8,00 mg/ 100 ml sampai 11,00 mg/ 100 ml (Nugroho, 2009). Terdapat satu (1) sampel

serum darah yaitu sampel A-1 (Anak menyusui) dengan kadar kalsium normal (11,53

mg/100 ml) di akhir musim kemarau tetapi mengalami peningkatan kadar kalsium di awal

musim hujan.

Tabel 2. Kadar Kalsium Dalam Serum Darah Sapi Bali

No. Sampel

Akhir

musim

kemarau Status

Awal

musim

hujan Status

Ca,

mg/100 ml

Ca,

mg/100

ml

1. J (Jantan) 14.13 Hiper 13.64 Hiper

2. T (Sapi dara) 13.40 Hiper 13.68 Hiper

3. A1 (Pedet

menyusui) 11.53 Normal 13.05 Hiper

4. A2 (Pedet 13.60 Hiper 10.57 Normal

Page 252: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

242

Kadar normal mineral Ca 8-11 mg/100 ml (Puls dalam Kincaid, 2008)

Sedangkan kadar mineral magnesium dalam serum darah sapi bali yang disajikan

dalam tabel 3, menunjukan bahwa serum darah sampel J, T, A1, A2 dan I3 berada dibawah

angka normal dengan dua (2) sampel T dan A1 disebut defisiensi dan tiga (3) sampel

lainya yaitu sampel J, A2 dan I3 disebut marginal.

Tabel 3. Kadar Magnesium Dalam Serum Darah Sapi Bali

No. Sampel

Akhir

musim

kemarau Status

Awal

musim

hujan Status

Mg,

mg/ 100 ml

Mg,

mg/100

ml

1. J (Jantan) 1.42 Marginal 2.22 Normal

2. T (Sapi dara) 0.86 Defisiensi 1.81 Normal

3. A1 (Pedet

menyusui) 0.20 Defisiensi 2.01 Normal

4. A2 (Pedet

menyusui) 1.68 Marginal 1.57 Marginal

5. I1 (Induk

menyusui) 1.80 Normal 1.62 Marginal

6. I2 (Induk

menyusui) 1.88 Normal 1.74 Marginal

7. I3 (Induk

menyusui) 1.57 Marginal 1.92 Normal

Kadar normal mineral Mg 1,8-3,5 mg/100 ml (Puls dalam Kincaid, 2008)

Terjadinya hiperkalsemia dan kekurangan magnesium dalam serum darah sapi

diduga karena terjadinya gangguan metabolisme pada tubuh ternak sapi. Menurut Cseh et

al (1984), sapi-sapi yang bunting dan menyusui sangat memerlukan Ca dan Mg, sehingga

bila terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh penyakit infeksius maupun oleh

penyebab lain, akan dapat menyebabkan penurunan Mg dan diikuti oleh naiknya Ca di

dalam serum.Kalsium yang banyak dimakan akan menurunkan penyerapan magnesium,

besi, iodine, mangan, zink dan tembaga, terutama jika salah satu unsur yang dimakan di

ambang batas kekurangan. Kalsium yang berlebihan akan menurunkan penyerapan dan

menyusui)

5. I1 (Induk

menyusui) 12.26 Hiper 13.51 Hiper

6. I2 (Induk

menyusui) 12.65 Hiper 13.57 Hiper

7. I3 (Induk

menyusui) 14.04 Hiper 13.29 Hiper

Page 253: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

243

pemanfaatan zink, dan menyebabkan parakeratosis akibat defisiensi zink (Sihombing,

2006).

Berdasarkan data kadar mineral Fosfor dalam serum dara sapi bali yang ditunjukan

pada tabel 4, pada akhir musim kemarau menunjukan bahwa kadar mineral fosfor yang

terkandung dalam darah tidak terdapat sampel yang berada dalam status defisiensi, tetapi

terdapat tiga (3) sampel serum darah yaitu sampel T, I1 dan I2 yang dikategorikan

marginal dan terdapat satu sampel yang memiliki kadar mineral fosfor diatas kadar normal

(Hiper). Sedangkan data kadar mineral P pada awal musim hujan menunjukan status yang

normal pada sampel J, T, A1 A2, I1 dan I2, tetapi sampel I3 mengalami penurunan kadar

mineral dari status normal ke status marginal. Terjadinya penurunan kadar P dalam darah

seperti pada sampel I3 diduga karena kekurangan vitamin D dan P digunakan dalam

jumlah yang banyak untuk air susu (Nugroho, 2009).

Tabel 4. Kadar Fosfor Dalam Serum Darah Sapi Bali

No. Sampel

Akhir musim

kemarau Status

Awal musim

hujan Status

P,

mg/100 ml

P,

mg/100 ml

1. J (Jantan) 4.40 Normal 4.75 Normal

2. T (Sapi dara) 3.68 Marginal 7.76 Normal

3. A1 (Pedet

menyusui) 6.19 Normal 7.06 Normal

4. A2 (Pedet

menyusui) 9.75 Hiper 7.77 Normal

5. I1 (Induk

menyusui) 3.80 Marginal 5.18 Normal

6. I2 (Induk

menyusui) 3.73 Marginal 6.56 Normal

7. I3 (Induk

menyusui) 6.15 Normal 3.11 Marginal

Kadar normal mineral P 4-8 mg/100 ml (Puls dalam Kincaid, 2008)

Page 254: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

244

Gambar 1. Jumlah Kadar Mineral Ca, Mg dan P Dari Sampel Serum Sapi Bali di Akhir

Musim Kemarau

Berdasarkan Gambar 1, kadar kalsium menunjukan angka 11,53 mg/100 ml sampai

14,3 mg/100 ml pada akhir musim kemarau dengan rerata 13,09 mg/ 100 ml dan

dibandingkan dengan serum darah normal 7,40 sampai 11,08 mg/ 100 ml, maka dapat

dikatakan ternak sapi tersebut mengalami hiperkalsemia. Selanjutnya pada gambaran kadar

magnesium yang menunjukan angka 0,20 mg/100 ml sampai 1,88 mg/ 100 ml dengan

rerata 1,34 mg/100 ml dari sampel yang sama maka kadar magnesium dikategorikan

marginal atau di bawah normal dibandingkan dengan kadar magnesium normal pada serum

darah sapi yang berada diantara 1,7 mg/100 ml sampai 4 mg/ 100 ml. Defisiensi yang

paling menonjol terlihat pada sampel serum darah A-1 (anak menyusui) yaitu kadar

magnesium hanya 0,20 mg/100 ml, hal ini sangat berbahaya karena fungsi mineral

magnesium yang sangat penting dalam proses aktivator dari berbagai enzim, membantu

tahapan metabolisme dan sistem syaraf.

Dari gambaran kadar mineral fosfor pada tabel 3, sebagian besar sampel berada

dalam status normal dan hanya terdapat beberapa sampel yang mengalami kekurangan

mineral P jika dibandingkan dengan kadar fosfor normal dalam serum darah sapi bali dan

pedaging yaitu 4 sampai 8 mg/100 ml. Adapun tiga (3) sampel yang berada dibawah

normal namun dengan rata-rata angka diatas 3,5 mg/100 ml, maka keadaan tersebut dapat

dikatakan ternak sapi mengalami marginal P.

Page 255: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

245

Gambar 2. Jumlah Kadar Mineral Ca, Mg dan P Dari Sampel Serum Sapi Bali di

AwalMusim Hujan

Kadar mineral pada awal musim hujan (Gambar 2) menunjukkan bahwa kadar

mineral kalsium hanya mengalami sedikit perubahan jumlah dari akhir musim kemarau ke

awal musim hujan dan masih dapat dikatakan hiperkalsemia. Gambaran yang berbeda

terlihat pada kadar magnesium dimana sebagian besar sampel mengalami peningkatan

status menuju normal dan hanya terdapat dua (2) sampel yang dikatakan marginal karena

berada dibawah batas normal yaitu 1,57 mg/100 ml (sampel A2) dan 1,62 (sampel I1).

Penurunan kadar Mg dalam serum sampai mencapai defisiensi dapat terjadi pada penyakit-

penyakit yang bersifat kronis dan defisiensi ini dapat juga mengakibatkan timbulnya

gangguan pada jantung (Elin, 1987).

Mineral fosfor pada gambar 2, menunjukan bahwa sebagian besar sampel

dapat berada dalam status yang normal apabila dibandingkan dengan kadar normal 4

sampai 8 mg/100 ml (Nugroho, 2009).Terdapat juga satu (1) sampel yang dikatakan

marginal fosfor karena memiliki kadar 3,11 mg/100 ml. Perbandingan kadar mineral

magnesium di akhir musim kemarau dan awal musim hujan yang sebagian besar sampel

menunjukan adanya peningkatan jumlah kadar di awal musim hujan, maka dapat dikatakan

bahwa tidak ada pengaruh jumlah kadar mineral magnesium berdasarkan musim, tetapi

jumlah kadar magnesium dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi di awal musim hujan

karena pada awal musim hujan, ternak sapi sudah mulai mendapatkan pakan rumput alami

untuk memenuhi kebutuhan mineral tersebut.

Kadar Mineral Ca, Mg dan P dalam Pakan Rumput Alami yang Diambil Pada Akhir

Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan

Pada Tabel 8 menunjukan kadar Ca, Mg, dan P yang terkandung dalam pakan

rumput alami. Dua (2) sampel rumput (L1H dan L2H) yang diambil padaawal musim

hujan dari tempat pengembalaan yang berbedamenunjukan kadar mineral sampel rumput

L1H adalah Ca 10,65 mg/gr, Mg 1,99 mg/gr dan P 4,09 mg/gr, sedangkan kadar mineral

sampel rumput L2H adalah Ca 8,18 Mg/gr, Mg 1,89 mg/gr dan P 4,19 mg/gr.

Page 256: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

246

Tabel 5. Kadar Ca, Mg dan P pada Pakan Rumput Alami

No Sampel Kadar Ca

(mg/gr)

Kadar Mg

(mg/gr)

Kadar P

(mg/gr)

1. L1K (Akhir musim

kemarau) 6,77 1,26 0,39

2. L1H ((Awal musim hujan) 10,65 1,99 4,09

3. L2K (Akhir musim

kemarau) 2,73 0,90 0,39

4. L2H (Awal musim hujan) 8,18 1,89 4,15

Sampel rumput alami L1K dan L2K yang diambil saat akhir musim kemarau dari

lahan pengembalaan yang berbeda (Gambar 3a dan Gambar 3b) menunjukan kadar mineral

sampel rumput L1K yaitu kalsium 6,77 mg/gr, magnesium 1,26 mg/gr, dan fosfor 0,39

mg/gr, selanjutnya pada sampel rumput L2K adalah kalsium 2,73 mg/gr, magnesium 0,90

mg/gr, dan fosfor 0,39 mg/gr. Dari hasil pemeriksaan kadar mineral Ca, Mg dan P pada

sampel rumput alami menunjukan perbedaan kadar mineral di akhir musim kemarau dan

awal musim hujan (Tabel 8), terjadinya perbedaan ini diduga umur dari rumput alami yang

tinggi pada akhir musim kemarau dibandingkan dengan umur rumput alami yang baru

hidup pada awal musim hujan. Perbedaan lahan pengembalaan dalam pengambilan sampel

juga menunjukan bahwa adanya perbedaan setiap kadar mineral, hal ini diduga dipengaruhi

oleh tipe lahan yang berbeda-beda, pH tanah setiap lahan pengembalaan dan jumlah kadar

mineral yang terkandung di dalam tanah yang berbeda (Hidayat, 2007). Hal serupa juga

dikatakan Ibrahim et al. (2008), bahwa kualitas rumput alami sangat bervariasi tergantung

dari jenis, umur, musim dan lokasi rumput tersebut tumbuh. Rumput yang masih muda

kualitasnya lebih baik, begitu juga dengan jenis tanah pada tanah yang subur kualitas

rumput lapangan lebih baik dari pada yang tumbuh di daerah tandus. Pernyataan yang

sama dari Nugroho (2009), bahwa gangguan kekurangan fosfor sering dijumpai karena P

dalam tanah terutama pada tanah–tanah asam sangat rendah, apabila pH tanah rendah akan

menyebabkan kadar P dalam hijauan yang tumbuh diatasnya juga rendah. Hal ini akan

menimbulkan gangguan karena ternak yang mendapat hijauan dari tanah tersebut akhirnya

akan menderita kekurangan unsur P.Perbandingan Kadar Mineral Ca, Mg dan P dalam

Serum Darah pada Akhir Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan dan Pengaruh Mineral

dalam Pakan Rumput Alami terhadap Jumlah Kadar Mineral Dalam Serum Darah Sapi

Bali

Gambaran mineral dalam serum darah sapi pada Tabel 6 menunjukan bahwa

perbedaan kadar mineral dalam serum darah tidak dipengaruhi oleh musim yang berbeda

yaitu akhir musim kemarau dan awal musim hujan. Sedangkan pada tabel 5 dan 7, musim

berpengaruh terhadap kadar mineral kalsium dan fosfor akibat paparan sinar matahari yang

membantu pengaktifan vitamin D untuk membantu penyerapan kedua jenis mineral

tersebut. Pada mineral kalsium dari dua (2) musim yang berbeda menunjukan terjadinya

hiperkalsemia yang diduga akibat terjadinya kekurangan asupan pakan sebagai sumber

mineral kalsium sehingga tubuh merespon secara berlebihan untuk membongkar cadangan

kalsium didalam tulang, selain itu mineral kalsium juga dipengaruhi oleh parathormon,

Page 257: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

247

calcitonin dan vitamin D. Berdasarkan daerah pengelambaan (Gambar 3) dan data kadar

mineral kalsium pada sampel rumput yang diambil pada akhir musim kemarau dan awal

musim hujan (Tabel 8), menunjukkan bahwa asupan pakan rumput alami dan kadar

mineral dari pakan sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan mineral kalsium

sebanyak 15 gr / bobot badan / hari. Kadar mineral magnesium dalam serum darah yang

diteliti mengalami kekurangan magnesium pada akhir musim kemarau dan mengalami

peningkatan di awal musim hujan. Hal ini diduga akibat kadar mineral dalam pakan

rumput alami yang rendah (Tabel 8), ketersediaan pakan rumput yang sedikit dan kadar

mineral dalam tanah lahan pengembalaan yang memiliki kadar magnesium rendah,

sehingga pakan yang dikonsumsi belum dapat memenuhi kebutuhan mineral magnesium di

akhir musim kemarau. Defisiensi mineral magnesium yang terjadi secara terus-menerus

akan tampak gangguan berupa kejang-kejang atau disebut Grass Tetany (Ibrahim et al,

2008). Sedangkan pada gambaran kadar mineral fosfor menunjukan keadaan yang

cenderung normal yang diduga karena iklim daerah TTS yang memiliki musim kemarau

cukup panjang sehingga vitamin D teraktifasi dengan baik akibat paparan sinar matahari

untuk penyerapan mineral P. Sedangkan pada awal musim hujan, kadar fosfor dalam pakan

mulai meningkat yang diduga karena ketersediaan air yang cukup untuk penyerapan kadar

fosfor dalam tanah, dengan demikian pakan rumput alami yang dikonsumsi pada awal

musim hujan sudah dapat memenuhi kebutuhan fosfor dalam tubuh ternak. Terdapat juga

beberapa sampel serum darah sapi yang mengalami kekurangan fosfor dibawah batas

normal yang diduga terjadi karena gangguan metabolisme dari tubuh ternak sapi sehingga

penyerapan mineral fosfor terhambat.

KESIMPULAN

Musim dan jumlah pakan rumput alami yang dikonsumsi berpengaruh terhadap

jumlah kadar mineral kalsium dan fosfor di dalam darah ternak sapi bali.Kadar mineral

magnesium dalam darah sapi bali tidak dipengaruhi oleh dua musim yang berbeda yaitu

akhir musim kemarau dan awal musim hujan, tetapi jumlah kadarmineral magnesium

dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi sebagai sumber dari mineral magnesium dan

kadar Ca yang tinggi dalam darah.Sedangkan pakan rumput alami yang dikonsumsi ternak

sapi sebagai pakan basal memiliki kadar mineral yang sangat rendah diakhir musim

kemarau sehingga belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Timor tengah Selatan Dalam Angka. 2013, Badan Pusat Statistik, TTS, Katalog BPS:

1403.5304

Caple, I.W. 1984, ‘Deficiencies, Nutrition and Disease’, Trace Elements, pp 342-366, Beef

Cattle Production, The Univesity of Sidney, Australia.

Cseh, S.B., J.P. Fay, dan A. Casaro. 1984. Changes in blood composition of pregnant cows

during onset of hypomagnesaemia, Vet, Rec, 115: 567-570.

Elin, R.J. 1987, Assesment of magnesium status, Clin, Chem, 33(11): 1965-1970.

Page 258: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

248

Hidayat, S. 2007, Pertumbuhan Rusa Timor (Cervus Timorensis)yang Diberi Pakan

Tambahan Daun Lamtoro dan Dedak Padi Dengan Pakan Dasar Rumput Alam,

Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Indonesia, Kupang.

Ibrahim, G., Suryadi, D., Sasangka, H.H.dan Abidin, Z. 2008, Penentuan Kandungan

Mineral di Dalam rumput Lapangan Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Pasar

jumat. Pusat Penelitian Teknik Nuklir, Batam.

Kincaid, R. 2008, Changes in the Concentration of Minerals in Blood of Peripartum Cows,

Mid-South Ruminant Nutritioan Conference, Washington State University,

Arlington-Texas

Little, D.A. 1985, The Mineral Content of Ruminant Feeds and Potential for Mineral

Supplementations in South-East Asia with Particular Reference to Indonesia, pp

77-85, Dalam Dixon, R.M. Ed., Ruminant Feeding Sistems utilizing Fibrous

Agricul-tural Residues, IDP, Australia.

Nugroho. 2009, Penyakit Kekurangan Mineral pada Sapi, Text Book, hal. 14-38,

Semarang.

Prabowo, A., Djajanegara. dan Diwyanto, K. 1997, Nutrisi Mineral Pada Ternak

Ruminansia, Jurnal Litbang Pertanian, 16(2): 53-64.

Sihombing, M.Sc., Ph.D. 2006, Ilmu Ternak Babi, Gadjah Mada University Press

Yogyakarta.

Stoltz, D.B. 1993, In: Beckage N.E, Thompson S.N, Federici B.A. Parasites and

pathogens of insects, Academic, San Diego.

Sukariada, I.P.J., Suwiti, N.K., Utama I.H., dan Suarsana, I.N. 2014, Profil Makromineral

Natrium (Na) dan MIkro Mineral Seng (Zn) Serum Sapi Bali yang Dipelihara di

Lahan Hutan, Jurnal Ilmiah Kedokteran , Vol 6 No 1.

Page 259: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

249

DERAJAT KEPARAHAN PERADANGAN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI

SISTISERKUS PADA BABI DI RPH OEBA, KUPANG

(GRADING OF HOST INFLAMMATORY RESPONSE AND HISTOPATHOLOGY OF

CYSTICERCUS IN PORCINE FROM OEBA SLAUGHTERHOUSE)

Putri Pandarangga

Departemen Patologi, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT, Indonesia. Email:

[email protected]

ABSTRACT

The aims of this study were to determine the severity degree of tissue inflammatory

response and to describe the histopathology of cysticercus in porcine from Oeba

slaughterhouse in Kupang province. Histopathologically, the larva of Taenidae lacks of

intestinal track and has pseudocoelum with subcuticular and parenchymal muscle. The

larva was covered by tegument with microvilli and belongs to Taenia Solium. The degree

of severity of tissue inflammatory response or the grading system in three livers of porcine

from Oeba slaughterhouse is from grade 1 to grade 5.

Key words: Larval stage, Taenidae, Cysticercus, Porcine, Grading system, Oeba, Kupang

PENDAHULUAN

Mayoritas masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya di kota Kupang adalah

non-muslim dimana menggunakan daging babi sebagai salah satu sumber protein yang

utama. Disisi lain, pada babi terkadang terinfeksi beberapa penyakit yang bersifat zoonosis

dan akan menyerang manusia bila tidak ditangani dengan baik. Salah satu contohnya

adalah sistiserkosis. Ini merupakan bentuk larva dari cacing kelas Cestoda. Infestasi cacing

cestoda sangat penting pada hewan domestik, bukan karena bentuk dewasa pada induk

semang definitif tapi karena bentuk larva atau metacestoda pada induk semang antara yang

dapat masuk dalam jaringan dan mengganti posisi sel-sel yang penting seperti otak (Sotelo

2000).

Cacing dewasa ini merupakan hermaprodit yang mempunyai badan panjang antara

1-12 m, beruas-ruas (bersegmen), berbentuk pipih dorsoventral, tanpa rongga badan

maupun saluran pencernaan (Soulsby 1982). Bagian tubuh terdiri atas sebuah kepala yang

disebut skoleks dan badan yang disebut strobila. Skoleks dilengkapi dengan empat batil

hisap dan rostellum dimana dilengkapi dengan beberapa kait yang dapat menancap pada

jaringan sehingga menyebabkan pendarahan. Bentuk kait merupakan indikator untuk

membedakan jenis-jenis cacing cestoda khususnya Taenia sp (Flisser et al. 2005). Strobila

merupakan proliferasi dari leher cacing tersebut dimana semakin ke belakang ukurannya

semakin membesar karena mengandung telur dengan jumlah diantara 50.000-80.000 atau

dikenal dengan proglotida gravid (Andreassen 1998; Harrison & Bogits 1991).

Penegakan diagnosa kecacingan dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan

postmortem baik secara patologi anatomi maupun histopatologi. Secara mikroskopik dapat

ditemukan invaginasi skoleks, kalsifikasi dari kista yang matang dan sistiserkus yang

tertanam di hati (JPC 2012). Perubahan lainnya berupa nekrosis yang disertai dengan

infiltrasi sel radang dimana eosinofil merupakan sel radang yang dominan dan hilangnya

Page 260: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

250

jaringan hati diganti dengan kista cacing (Berata IK, 2010, Pandarangga 2006). Cestoda

dalam jaringan adalah tertanam dalam matriks organ, tidak mempunyai organ tubuh,

mempunyai batil hisap yang mengitari skoleks, invaginasi skoleks, otot terbagi atas dua

bagian yaitu otot subkutikular dan otot parenkim (korteks dan medulla) (Georgi 1985;

Pandarangga 2006).

Menurut De Aluja & Vargas (1988) tingkat keparahan reaksi peradangan dapat

diukur dengan dengan menggunakan sistem Grading. Grade 0 adalah tidak ditemukan

reaksi peradangan. Grade 1 terlihat adanya infiltrasi sel radang seperti limfosit, sel plasma

dan eosinofil. Selain itu parasitnya masih terlihat jelas. Grade 2 terdapat peningkatan

reaksi radang. Eosinofil dalam jumlah yang besar menyebar dan menempati rongga kista

serta mengelilingi larva cacing. Demikian juga makrofag. Pada grade 3 terjadi reaksi

radang granulomatous dengan berbagai tingkat keparahan yang mengelilingi larva. Selain

itu terdapat kumpulan limfosit pada zona radang. Eosinofil melekat pada tegument parasit

lalu melakukan pelepasan granul atau degranulasi sehingga dinding larva menjadi bengkak

dan terdapat vakuola di dalam larva. Kemudian eosinofil melakukan penetrasi ke dalam

tubuh larva melalui tegument. Pada grade 4, reaksi peradangan yang mengelilingi parasit

semakin utuh. Fibroblast juga terlihat dalam zona peradangan. Pada bagian luar lingkaran

peradangan, terdapat kumpulan limfosit yang sangat banyak dan terkadang terdapat

pembelahan. Adanya peningkatan eosinofil dan sel raksasa menyebar ke dalam rongga

kista kemudian beberapa menjadi nekrosa. Selain itu jumlah eosinofil yang masuk ke

dalam larva melalui kanal semakin meningkat sehingga membuat tegument parasite

menjadi bengkak lalu mengalami degenerasi. Grade 5 adalah fase dimana larva telah

mengalami degenerasi dan tidak dapat didentifikasi. Hanya terlihat calcareous corpuscle

yang merupakan kumpulan kalsium karbonat dimana ini merupakan karakteristik dari larva

cestoda di dalam jaringan. Selain itu terdapat massa asidofilik yang merupakan kumpulan

dari sel debris, parasit yang hancur, exudate dan calcareous corpuscle. Jaringan ikat

pembentuk kista mulai jelas terlihat di sekeliling larva. Terkadang, kalsifikasi dapat terlihat

pada peradangan ini. Pada grade 6, bekas larva mulai diganti dengan jaringan ikat dan sel

radang mulai jarang.

Penelitian ini merupakan studi kasus kejadian cystiserkosis yang ditemukan pada

organ hati tiga ekor babi yang berasal dari rumah potong hewan (RPH), Oeba, Kupang.

Hasil penelitian ini merupakan informasi bahwa di NTT khususnya di Kupang terdapat

kejadian sistiserkosis pada babi dimana merupakan penyakit zoonosis. Oleh karena itu

masyarakat Kupang dimana penduduknya adalah mayoritas non-muslim yang

menggunakan babi sebagai salah satu sumber protein agar berhati-hati dalam pengolahan

daging babi.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana

Organ hati dari tiga ekor babi di RPH Oeba, Kupang yang diduga mempunyai kista,

dipisahkan guna pengambilan sampel. Dilanjutkan dengan periksaan secara histopatologi.

Sampel hati direndam dalam cairan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %, selanjutnya

Page 261: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

251

dibuat sediaan histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE)

yang diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pemeriksaan patologi anatomi, terdapat beberapa kista berwarna putih dengan

ukuran diameter 3-4 mm (Gambar 1 dan 2). Kista cacing menekan dan mengganti

parenkim hati. Pada setiap hati babi diinfestasi oleh dua atau tiga kista secara acak. Kista

ini mempunyai konsistensi yang keras dan bahkan terlihat kalsifikasi pada saat dilakukan

sayatan melintang.

Larva cacing tertanam dalam parenkim hati dan mendorong sel hepatosit normal ke

samping (Gambar 3). Larva dengan diameter 2 mm tidak mempunyai rongga tubuh atau

pseudocoelum dan tidak mempunyai saluran pencernaan. Lapisan luar larva mempunyai

ketebalan 10-20 μm dimana dibentuk oleh tegument. Dinding tegument mempunyai alur

dimana dilengkapi dengan mikrovili (Gambar 4). Otot larva terdiri dari longitudinal

subtegumental and lapisan otot parenkim transversa. Pada preparat ini tidak ditemukan

pengait atau rostellum sebagai alat untuk identifikasi jenis cestoda. Akan tetapi

berdasarkan tipe otot, tegument, inang antara dan reaksi peradangan maka kista ini

merupakan larva dari cacing pita, Taenia Solium.

Gambar 1. Hati babi yang terinfestasi kista putih dengan diameter 1-2 mm

Gambar 2. Hati babi yang terinfestasi kista putih dengan diameter 3-24 mm

Page 262: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

252

Gambar 3. Sistiserkus yang tertanam di parenkim hati babi dengan invaginasi skoleks,

mempunyai otot dan larva dikelilingi oleh radang granulomatous (grade 2-3).

Gambar 4. Sistiserkus pada hati babi: tegument dengan mikrovili

Gambar 5. Sistiserkus di hati babi: otot bervakuola dan tegument dikelilingi sel radang

(grade 3)

Gambar 6. Larva cacing yang telah mengalami degenerasi dan berbatasan dengan radang

granulomatosa grade 4-5.

Page 263: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

253

Respon induk semang akibat adanya infestasi larva cacing adalah dengan

mengerahkan sel-sel radang untuk membunuh larva dan membentuk kista untuk

melokalisir larva. Dari hasil pengamatan histopatologi ditemukan bahwa tingkat keparahan

reaksi radang dihati berada di kisaran grade 1 ke 5. Organ hati yang mempunyai tingkat

keparahan diantara grade 1 dan 2 ditandai dengan bentuk larva masih dikenali dengan

baik, terdapat infiltrasi eosinofil dimana sel ini mulai mendekati larva, limfosit dan juga

makrofag. Sel debris juga terlihat di area peradangan. Reaksi peradangan dengan tingkat

keparahan diantara grade 3 dan 4 mempunyai karakter yaitu jumlah sel radang diantaranya

eosinofil, makrofag dan limfosit meningkat secara signifikan. Eosinofil melekat pada

dinding larva dan sejumlah eosinofil mulai menembus ke dalam dinding cacing. Tegument

menjadi bengkak dan terdapat vakuola di dalamnya (Gambar 5). Pada zona peradangan

juga terdapat banyak sel fibroblast dimana menghasilkan jaringan ikat yang mengelilingi

larva cacing. Jenis peradangan ini adalah granulomatosa. Jumlah limfosit di dalam atau di

luar lingkaran semakin meningkat dan cenderung untuk membelah. Pada grade 4 dan 5,

larva telah mengalami degenerasi dan tidak terlihat bentuk yang jelas lagi (Gambar 6). Sel-

sel radang seperti eosinofil, plasma sel dan makrofag semakin banyak jumlahnya dan

sebagian dari sel-sel tersebut mengalami nekrosis. Selain itu terdapat calcareous corpuscle

merupakan karakteristik dari cacing pita dalam jaringan. Kalsifikasi sering juga bercampur

dengan sel debri.

KESIMPULAN

Walaupun pada preparat ini tidak terlihat rostellum dan pengait larva, larva ini

berasal dari cacing pita yang hidup pada babi yaitu Taenia Solium. Pertahanan utama pada

infestasi larva cacing adalah eosinofil dimana terlihat pada barisan depan untuk

menghancurkan larva. Tingkat keparahan reaksi peradangan pada ketiga hati babi adalah

antara grade 1 sampai grade 5 dimana sel peradangan yang dominan adalah eosinofil, sel

plasma, limfosit dan makrofag. Tipe peradangannya adalah granulomatosa. Dengan

penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi kepada petugas RPH atau

masyarakat tentang karakteristik sistiserkosis pada saat pemeriksaan postmortem sehingga

mereka dapat mencegah penyebaran sistiserkosis pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Andreassen J. (1998). Intestinal tapeworms. In: F.E.G. Cox, J.P. Kreier & D. Wakelin.

(Ed) Topley & Wilson’s Microbiology and Microbial Infections. 9th. London. Vol. 5,

Chapter 27, 521-537.

Berata IK, Arjana AAG, Sudira IW, Merdana IM, Budiasa IK, Oka IBM. 2010. Studi

Patologi Kejadian Cysticercosis pada Tikus Putih. Jurnal Veteriner. Volume 11 No 4

: 232-237

Dalton JP. 1999. Fasciolosis. CABI Publishing. Dublin City University. Republic of

Ireland

De Aluja A.S and Vargas G. 1987. The Histopathology of Porcine Cysticercosis.

Veterinary Parasitology 28. Elsevier Science Publisher. Amsterdam. P 65-77

Flisser A. et al. 2005, Chapter 1: Biology of Taenia Solium,Taenia Saginata and Taenia

Page 264: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

254

Saginata Asiatica in WHO/FAO/OIE Guidelines for the surveillance, prevention and

control of taeniosis/cysticercosis. France. OIE. Pp 1-8

Georgi JR. 1985. Parasitology for Veterinarians. WB Saunders Company. Newyork

Harrison F.W. & Bogitsh B.J. 1991. Microscopic anatomy of invertebrates. Vol 1.

Pletyhleminthes and Nemertinea. Wiley-Liss Inc. New York. Pp 211-283

Pandarangga P. 2006. Identifikasi Larva Cacing yang Terinfestasi pada Hati Tikus Putih

(rattus-rattus) Melalui Gambaran Histopatologi. Skripsi. IPB. Indonesia

Sotelo J. 1999. Brain Cysticercosis. Archives of Medical Research. Ecuador.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th

Edition. Bailliere Tindal. London.

The Joint Pathology Center (JPC). 2012.

http://www.askjpc.org/vspo/show_page.php?id=107.

Page 265: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

255

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ILEUM KAMBING KACANG (Capra aegagrus

hircus) YANG DIPELIHARA DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA)

SAMPAH KECAMATAN ALAK, KOTA KUPANG

HISTOPATHOLOGY OF ILEUM OF KACANG GOATS (Capra aegagrus hircus)

WHICH ARE RAISED AT ALAK DUMPING SITE, KUPANG

Wilfridus Ariesta Kristian Seran1, Antin Yeftanti Nugrahening Widi 2, Yulfia

Nelymalik Selan 3

1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail : [email protected] 2Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail: [email protected] 3 Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Goats are valuable small ruminants to Indonesians due to their advantages and

economic benefits. Narrower pastures causes farmers who live nearby Alak dumping site

choose to herd their goats at this location. Cattle foods that are available at this site are

assortment of organic and inorganic materials which may contain toxic substances such as

heavy metals, toxic chemicals, and other toxicants. One of organs which is greatly at risk

due to expose to toxic materials is ileum. This study is aimed to examine both pathology

anatomy and histopathology of ileum of kacang goats which are raised at Alak dumping

site. Six kacang goats were used in this study, and consisted of two male and two female

goats from Alak dumping site, whereas the others are one female and one male goats

which are not reared at Alak dumping site. Those goats were euthanized and necropsied

for further pathology anatomy observation and histopathology examination using routine

H&E staining. Results showed pathologic anatomical changes of ileum of kacang goats

from Alak dumping site, such as mucosal nodules and hemorrhage, and thickened at

several part of ileal mucosa. Histopathologically, ileum of goats from Alak dumping site

revealed villi damage included epithelial desquamation and villi fusion, inflammation of

mucosa and sub mucosa layers, in which inflammatory cells consisted of lymphocytes,

neutrophils, and plasma cells, with domination of macrophages. However, both pathologic

anatomical and histopathological changes were not found in ileum of goats which were not

raised at Alak dumping site.

Key words: Kacang goats (Capra aegagrus hircus), pathology anatomy of ileum,

histopathology of ileum, Alak Dumping Site

PENDAHULUAN

Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besar bagi

masyarakat Indonesia. Ternak kambing sangat potensial bila diusahakan secara komersial,

hal ini dikarenakan ternak kambing memiliki beberapa kelebihan dan potensi ekonomi

antara lain cepat mencapai dewasa kelamin, pemeliharaannya relatif mudah, memiliki sifat

Page 266: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

256

adaptasi yang baik, tidak membutuhkan lahan yang luas, investasi modal usaha relatif kecil

dan mudah dipasarkan (Sarwono,2006). Berdasarkan kelebihan dan potensi ekonomi

tersebut serta minimnya ladang pengembalaan ternak di Kota Kupang menyebabkan

beberapa peternak yang berada di sekitar lokasi TPA memilih untuk menggembalakan

ternak kambingnya di TPA Alak.

Sumber pakan ternak kambing yang dipelihara di TPA adalah campuran sampah

organik dan anorganik yang kemungkinan bersifat toksik, sehingga ternak kambing yang

mengkonsumsi sampah memiliki risiko tinggi terpapar bahan-bahan toksik yang

terkandung dalam pakan sampah. Menurut Sudiyono (2011), bahan toksik yang berpotensi

menjadi faktor resiko adalah logam-logam berat seperti timbal (Pb), Cadmium (Cd) dan

Ferum (Fe). Logam berat timbal (Pb) yang masuk kedalam tubuh ternak diserap 1 %

sampai 10 % sedangkan cadmium (Cd) diserap 3 % sampai 8 % melalui dinding saluran

pencernaan kemudian terikat pada mukosa usus dan isi usus (Darmono, 1995). Salah satu

organ pencernaan yang beresiko untuk terpapar bahan toksik dan mengalami perubahan

adalah ileum karena ileum berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan

dalam tubuh, termasuk bahan makanan yang bersifat toksik (Praseno dan Sudarmoyo,

2003).

Ileum merupakan bagian dari intestinum tenue yang secara anatomi terletak antara

jejunum dan caecum. Ileum berdinding tipis dengan lumen yang lebih sempit, namun

ileum memiliki lebih banyak jaringan limfatik. Ileum menerima suplai darah melalui arteri

mesenterika celiaca dan kranialis yang ada pada dinding usus dan menerima molekul

makanan yang selanjutnya diangkut ke hati melalui vena portal hati (Frandson, 1992;

Gartner et al., 2012).

Secara histologi sebagaimana lapisan intestinum lainnya, ileum tersusun atas

lapisan mukosa, sub mukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa dilapisi sel epitel

kolumner selapis, yang terdiri atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel Paneth

(Geneser, 1994). Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat fibroelastis, pembuluh darah,

serat saraf, pleksus Meissner, dan nodulus limfatikus yang membentuk daun peyer (peyer

patches) (Gartner et al., 2012). Lapisan muskularis terdiri atas lapisan luar yang

mempunyai serabut otot longitudinal dan lapisan dalam yang mempunyai serabut otot

halus berbentuk sirkuler (Shackelford dan Elwell, 1999). Lapisan serosa terdiri atas lapisan

mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Frappier, 2006).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuigambaran makroskopik dan

mikroskopik ileum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara di TPA

Alak, Kota Kupang.

MATERI DAN METODE

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ekor kambing kacang

(Capra argagrus hircus) yang terdiri dari 2 ekor kambing jantan dan 2 ekor betina yang

dipelihara di TPA Alak serta 1 ekor kambing jantan dan 1 ekor betina yang dipelihara di

luar TPA Alak. Seluruh hewan uji dinekropsi seperti kriteria Soeharmi et al. (2003),

kemudian organ ileum diambil, dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, dan dilanjutkan

dengan fiksasi menggunakan larutan formalin 10%. Preparat histopatologi dibuat sesuai

Page 267: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

257

dengan metode Ndaong (2013), dan dilanjutkan dengan pemerikaan histopatolog. Analisis

hasil dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Patologi Anatomi Ileum

Pada pengamatan makroskopis organ ileum kambing kacang yang dipelihara di

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kecamatan Alak, kota Kupang ditemukan

perubahan-perubahan patologi anatomi berupa nodul, hemoragi, dan penebalan mukosa

(Gambar 1.). Adapun gambaran terperinci perubahan patologi anatomi dari masing-masing

kambing dapat dilihatpada Tabel 1.

Adanya nodul pada mukosa usus dapat diakibatkan oleh bahan toksik yang

dikonsumsi bersama pakan secara terus-menerus. Bahan toksik yang dikonsumsi akan

menyebabkan sistem pertahanan pada mukosa usus merespon melalui hiperplasia sel

pertahanan atau peradanagan yang nampak sebagai nodul atau tonjolan kecil pada mukosa

usus. Holmgren dan Czekinsky (2005) menyatakan bahwa pertahanan mukosa usus yang

terdiri atas sel-sel limfoid maupun myeloid berespon terhadap adanya paparan yang

bersifat terus menerus oleh bahan toksik maupun agen-agen patogen di dalam lumen usus

halus dan usus besar. Selain itu, pada ileum juga ditemukan sistem pertahanan berupa

agregat nodulus limfatikus (daun peyer atau peyer patches), yang dapat merespon terhadap

adanya benda asing yang masuk kedalam tubuh terutama pada usus (Gartner et al., 2012).

Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopis (Patologi Anatomi) organ ileum kambing kacang.

No Perubahan JA. I JA. II JK BA.I BA.II BK

1. Nodul ++ ++ ‒ ++ + ‒

2. Hemoragi √ ‒ ‒ √ ‒ ‒

3. Penebalan mukosa ‒ ‒ ‒ ** ** ‒

Keterangan : JA.I : Jantan Alak 1; JA. II : Jantan Alak 2; JK : Jantan Kontrol; BA.I :

Betina Alak 1; BA.II : Betina Alak 2; BK : Betina Kontrol; (+++) : Terdapat

nodul lebih dari 5; (++) : terdapat nodul berkisar antara 2-4; (+) : hanya

terdapat 1 nodul; (√) : ada hemoragi/ada perubahan warna; (**) : penebalan

pada sebagian mukosa; (‒) : tidak ada perubahan (normal).

Page 268: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

258

Gambar 1. Gambaran patologi anatomi ileum kambing kacang yang diternakkan di TPA

Alak; (A) Nodul pada mukosa ileum, (B) Nodul berwarna kehijauan, (C)

Nodul (a) dan hemoragi (b) pada mukosa ileum, dan (D) Sebagian mukosa

yang mengalami penebalan.

Pada ileum kambing kacang yang dipelihara di TPA Alak juga dijumpai hemoragi

dan penebalan pada sebagian mukosa. Hal ini diduga diakibatkan oleh pola konsumsi

pakan yang telah bercampur dengan bahan-bahan toksik seperti logam berat dan zat-zat

kimia lain yang diserap oleh usus sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan fisiologis

pembuluh darah untuk menginisiasi terjadinya peradangan. Menurut Daft et al. (1989)

peradangan akan diawali peningkatan vaskularisasi dan apabila terjadi secara terus-

menerus akan mengakibatkan pembuluh darah pecah dan terjadi hemoragi. Adanya

infiltrasi sel radang secara terus-menerus mengakibatkan penebalan pada mukosa usus

karena berisi banyak sel radang (Shackelford dan Elwell, 1999; Resang, 1984).

Secara umum dapat dikatakan bahwa kerusakan ileum yang nampak secara

makroskopis diakibatkan oleh paparan yang bersifat terus menerus dari bahan pencemar di

lokasi TPA. Menurut Darmono (1995), logam berat yang masuk kedalam tubuh ternak

akan diserap oleh mukosa usus dan proses penyerapan ini dapat mengakibatkan kerusakan

pada dinding usus halus. Akumulasi dari bahan pencermar dilokasi TPA juga secara

perlahan-lahan akan mempengaruhi sistem gastrointestinal, urinaria dan reproduksi

(Widowati dan Jusuf, 2008). Untuk memastikan perubahan-perubahan yang ditemukan

dalam pengamatan makroskopis, maka dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada organ

ileum kambing kacang TPA Alak dan non TPA Alak.

A

B

C D

Page 269: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

259

Gambaran Histopatologi Ileum

Pada pengamatan mikroskopis terhadap ileum kambing TPA Alak ditemukan

adanya beberapa jenis perubahan, yaitu kerusakan pada vili berupa deskuamasi epitel dan

fusi vili (Gambar 2), peradangan (Gambar 3), dan beberapa gambaran khusus seperti

hemoragi, kongesti, pembentukan jaringan fibrosa, dan lesi granuloma (Gambar 4).

Penilaian gambaran histopatologi ileum dari semua sampel secara detail dapat dilihat pada

Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semua sampel organ ileum yang

berasal dari TPA Alak mengalami kerusakan pada vili berupa deskuamasi epitel dan fusi

vili. Hal ini diduga diakibatkan oleh penyerapan bahan-bahan toksik atau bahan kimia

seperti logam berat yang dikonsumsi bersama pakan yang tersedia di lokasi TPA. Usus

halus memiliki epitel kolumner selapis yang mempunyai daerah permukaan yang luas dan

struktur vili yang berbentuk seperti ibu jari pada mukosa dapat mengoptimalkan absorbsi

(Underwood, 2000). Darmono (1995) menyatakan bahwa logam berat seperti timbal (Pb)

akan diserap 1% sampai 10% pada mukosa saluran pencernaan sedangkan kadmium (Cd)

akan diserap 3% sampai 8 % pada mukosa sistem pencernaan serta dapat mengakibatkan

kerusakan pada epitel usus. Hal ini juga dikatakan oleh Klasing (2005, cit. Gupta, 2012)

bahwa penyerapan logam berat seperti kadmium (Cd) berkisar antara 1 % sampai 5 %

bergantung pada jumlah kadmium yang masuk kedalam tubuh sehingga dalam keadaan

kronis akan mengakibatkan kerusakan pada vili-vili usus dan hewan akan mengalami diare.

Kerusakan pada epitel usus ini juga dapat mengakibatkan epitel usus terkelupas dan

sebagian logam berat akan keluar bersama feses. Absorbsi zat kimia di usus halus selalu

jauh lebih cepat dibandingkan dengan epitel lambung karena permukaan epitel usus halus

jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung (Neal, 2006). Penelitian lain yang

dilakukan oleh Balqis et al., (2014) menunjukkan hasil bahwa infestasi yang berat dari

agen patogen atau agen kimia lain dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis

pada epitel usus halus dan menyebabkan penurunan luas permukaan vili. Deskuamasi

epitel ini terjadi agar bahan toksik maupun kimia yang masuk kedalam tubuh tidak diserap

terus menerus oleh mukosa usus dan berikatan dengan darah lalu didistribusi ke seluruh

bagian tubuh. Deskuamasi epitel dan fusi vili juga dapat diakibatkan oleh reaksi radang

yang terjadi pada usus sehingga mengakibatkan epitel mengalami nekrosis dan vili-vili

usus menjadi pendek.

Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis (Histopatologi) organ ileum kambing kacang

Perubahan JA. I JA. II JK BA. I BA. II BK

A. Kerusakan Vili

1. Deskuamasi

epitel

2. Fusi Vili

√ ‒ √ √ ‒

√ √ ‒ √ √ ‒

B. Radang

Page 270: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

260

1. Lokasi

2. Jenis

3. Dominan

Mu,Sm Mu, Sm ‒ Mu, Sm Mu, Sm ‒

M,N,L,Sp M,N,L,Sp ‒ M,N,L,Sp M,N,L,Sp ‒

M M ‒ M M ‒

C. Gambaran lain

1. Hemoragi

2. Kongesti

3. Pembentukan

Jaringan

Fibrosa

4. Granuloma

√ √ ‒ √ √ ‒

√ √ ‒ √ √ ‒

√ ‒ √ √ ‒

√ ‒ ‒ ‒ ‒ ‒

Keterangan : JA.I : Jantan Alak 1; JA. II : Jantan Alak 2; JK : Jantan Kontrol; BA.I :

Betina Alak 1; BA.II : Betina Alak 2; BK : Betina Kontrol ; (√) : Ada; (‒) :

Tidak ada; L : Limfosit; M : Makrofag; N : Neutrofil; Sp : Sel Plasma; Mu :

Mukosa; Sm : Sub Mukosa.

Gambar 2. (A) dan (B) Kerusakan pada vili; a) Deskuamasi epitel (betina alak, 40x, H&E);

b) Fusi Vili (jantan alak, 10x, H&E

A B

Page 271: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

261

Gambar 3. Peradangan pada ileum; (A) Peradangan pada daerah mukosa (a); Adanya ruang

antar kripta (B) (Jantan alak, 10x, H&E); (B) Peradangan pada daerah sub

mukosa (C) (Jantan alak, 10x, H&E); (C) Berbagai jenis sel radang pada daerah

mukosa; a) Makrofag; b) Limfosit; c) Sel Plasma; d) Neutrofil (jantan alak, 40x,

H&E)

C

A B

Page 272: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

262

Gambar 4. (A), (B), (C), dan (D) Gambaran khusus lain; a) hemoragi; b) kongesti (jantan

alak, 40x, H&E); c) Pembentukan jaringan fibrosa (betina alak, 40x, H&E); d)

Granuloma (jantan alak, 40x, H&E).

Peradangan pada ileum terjadi pada bagian mukosa maupun submukosa (Gambar

3), yang nampak oleh adanya infiltrasi sel radang yang terdiri dari makrofag, limfosit, sel

plasma, dan neutrofil (Tabel 2). Ressang (1984) menyatakan bahwa radang usus akan

dimulai terlebih dahulu pada bagian mukosa sehingga menyebabkan mukosa menjadi lebih

tebal. Proses peradangan pada sampel ileum dari TPA Alak didominasi oleh makrofag

(Tabel 2). Makrofag merupakan sel mononuklear utama yang berada di jaringan yang

berperan dalam proses fagositosis terhadap mikroorganisme maupun kompleks molekul

asing lainya (Ressang, 1984). Sel makrofag kemudian akan mengolah antigen dalam

persiapan terhadap reaksi tanggap kebal berperantara antibodi maupun seluler (Tizard,

1982). Selain makrofag, ditemukan juga sel radang lain yaitu limfosit dan sel plasma yang

cukup banyak serta sedikit neutrofil. Infiltrasi sel radang ini dapat diakibatkan oleh

penyerapan bahan toksik atau bahan kimia yang dilakukan oleh usus. Masuknya bahan

toksik akan direspon oleh tubuh melalui mekanisme sistem imun yang berusaha

mengeluarkan antigen. Sel leukosit berfungsi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat

terhadap setiap patogen yang masuk dalam tubuh (Guyton, 1996; Holmgren dan

Czekinsky, 2005). Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada keadaan kronis infiltrasi

sel radang yang dapat ditemukan pada usus akan didominasi limfosit dan sel plasma,

sehingga menyebabkan penyebaran kripta menjadi lebih lebar karena berisi leukosit.

Perubahan lain seperti hemoragi, kongesti, pembentukan jaringan fibrosa, dan lesi

granuloma juga ditemukan pada sampel ileum dari TPA Alak (Gambar 3). Hemoragi dan

C D

A B

Page 273: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

263

kongesti diduga akibat bahan toksik maupun bahan kimia yang dikonsumsi bersama pakan

berintegrasi dengan jaringan mukosa usus halus sehingga mempengaruhi fisiologis

pembuluh darah dan menginisiasi terjadinya peradangan. Peradangan akan didahului oleh

peningkatan vaskularisasi yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam pembuluh

darah, dan apabila terjadi terus menerus maka pembuluh darah akan pecah sehingga

mengakibatkan hemoragi (Daft et al.,1989). Kongesti ditandai dengan adanya sel darah

yang berlebihan dalam pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar dan berisi

banyak sel darah (Resang, 1984; Underwood, 2000). Pembentukan jaringan fibrosa

merupakan reaksi penyembuhan terhadap radang kronis. Jaringan yang telah mengalami

kerusakan akan diganti dengan jaringan fibrosa yang memiliki kemampuan untuk

beregenerasi dan menggantikan jaringan yang rusak (Arimbi et al., 2013). Pada Tabel 2

terlihat bahwa semua sampel organ ileum kambing dari TPA Alak menunjukan adanya

hemoragi, kongesti dan pembentukan jaringan fibrosa meskipun penyebarannya tidak

merata diseluruh lapisan usus.

Lesi granuloma pada daerah mukosa ileum kambing TPA (Tabel 2) disebabkan

oleh adanya radang granulomatosa (Arimbi et al., 2013; Zachary dan McGavin, 2012). Hal

ini diakibatkan oleh konsumsi pakan yang bercampur dengan bahan toksik dan bahan

pencemar lain yang terdapat di lokasi TPA. Menurut Harris dan Barletta (2001) pada

peradangan granulomatosa sel radang akan didominasi oleh makrofag dan giantcell yang

akan berubah menyerupai sel epitel (sel epiteloid)untuk merespon terhadap benda asing

yang masuk. Arimbi et al., (2013) juga mengatakan bahwa lesi granulomatosa ini akan

muncul pada keadaan kronis dan dapat bertahan lama. Pada tahap selanjutnya dapat pula

mengakibatkan terjadinya luka pada payer patches dan menyebar ke seluruh usus sehingga

menyebabkan radang granulomatosa yang parah (Nugroho et al., 2009). Apabila dikaitkan

dengan hasil pengamatan jenis sel radang, diketahui bahwa sel makrofag mendominasi sel-

sel radang yang ditemukan pada semua daerah peradangan dari sampel-sampel kambing

TPA Alak (Tabel 2), sehingga peradangan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai radang

granulomatosa, dan hal ini mengindikasikan bahwa kambing-kambing kacang ini telah

terpapar bahan-bahan sampah di TPA Alak dalam jangka waktu cukup lama. Secara

makroskopik, lesi granuloma sering tampak sebagai nodul (Zachary dan McGavin, 2012).

Hal ini dapat menjelaskan hubungan antara temuan patologi anatomi yaitu adanya nodul

pada semua sampel dari TPA Alak (Tabel 1), yang salah satunya telah diambil untuk

diproses dengan metode histoteknik, dan hasil pengamatan histopatologi yang

menunjukkan adanya gambaran lesi granuloma (Tabel 2). Berdasarkan beberapa jenis

temuan ini, kemungkinan bahwa semua nodul yang ditemukan dalam pengamatan patologi

anatomi merupakan lesi granuloma yang mulai terbentuk pada permukaan ileum sebagai

respon terhadap adanya paparan bahan toksik yang cukup lama pada kambing-kambing

yang dipelihara di TPA Alak.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa gambaran

makroskopis (patologi anatomi) ileum kambing kacang (Capra aegagrus hircus) yang

dipelihara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang adalah adanya nodul

Page 274: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

264

pada mukosa ileum, hemoragi, dan penebalan pada sebagian mukosa. Gambaran

mikroskopis (histopatologi) ileum kambing kacang yang dipelihara di Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang adalah adanya kerusakan pada vili berupa

deskuamasi epitel dan fusi vili, infiltrasi sel radang pada lapisan mukosa dan sub mukosa

yang terdiri dari limfosit, sel plasma, neutrofil dan didominasi oleh makrofag dan juga

beberapa gambaran lain yaitu hemoragi, kongesti, pembentukan jaringan fibrosa, adanya

ruang antar kripta serta lesi granuloma. Hal ini menunjukan bahwa peradangan yang terjadi

pada organ ileum kambing TPA Alak merupakan peradangan kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, B. M. 1992, Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah, Kanisius, Yogyakarta.

Arimbi, A., Azmijah, R., Darsono, H., Plumeriastuti, T. V., Widiyanto dan Legowo, D.

2013, Buku Ajar Patologi Umum Veteriner, Airlangga Press, Jakarta.

Azwar, A. 2000, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Bacha, W. J. dan Bacha, L. M. 2000, Color atlas of veterinary histology, Lippincott

Williams and Wilkins, Baltimore-Maryland United States of America.

Balqis, U., Hambal, M. dan Utami, C. S. 2014, Gambaran Histopatologis Usus Halus

Ayam Kampung (Gallusdomesticus) Yang Terinfeksi AscaridiaGalli Secara Alami,

Jurnal Medika Veterinaria Vol. 8 ISSN : 0853-1943.

Bevelender, G. dan Ramaley, J. A. 1988, Dasar-Dasar Histologi, Ed. ke-8, Erlangga,

Jakarta.

Campbell, N. A., Jane, B. R. dan Lawrence, G. M. 2004, Biologi jilid 3, Erlangga, Jakarta

Cotran, R. S., Kumar, V. and Collins, T. 1999, Diseases of Immunity in Robbins

Pathologic Basis of Disease, 6th ed., WB Saunders Company, A Division of

Harcourt Brace & Company, The Curtis Center Independence Square West

Philadelphia, Pennsylvania.

Daft, B. M., Bickford, A. A. dan Hammarlund, M. A. 1989, Experimental and field

sulfaquinoxaline toxicosis in Leghorn chickens, Avian Dis, 33:30-34.

Darmono. 1995, Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI Press, Jakarta.

Dellmann, H. D. dan Brown E. M. 1992, Buku Teks Histologi Veteriner Jilid 2,

diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Hartono, R., Universitas Indonesia Press,

Jakarta.

Devandra, C. dan McLeroy G. B. 1982, Goat and Sheep Production in the Tropics,

Longman Group Limited, Harlow, Essex, UK.

Frandson, R. D. 1992, Anatomi dan Fisilogi Ternak, Universitas Gadjah Mada Press,

Yogyakarta.

Frappier, B. L. 2006, Digestive System: Textbook of Veterinary Histology, Blackwell

Publishing, Oxford.

Gartner, L. P., Hiatt, L., James. dan Strum, M. J. 2012, Essential Biologi Sel dan Histologi,

Binarupa Aksara publisher, Pamulang-Tanggerang Selatan.

Geneser, F. 1994, Buku Teks Histologi Jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta.

Guyton, A. C. 1996, Buku Fisiologi Kedokteran, edisi ke-7, diterjemahkan dari Bahasa

Inggris oleh Engadi, K.A., EGC, Jakarta.

Page 275: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

265

Harris, N. B. dan Barletta, R. G. 2001, MycobacteriumAviumSubspeciesParatuberculosis

in Veterinary Medicine, Clinic Microbiol Rev, 3: 489-512

Herman, R., Duljaman, M. dan Sugama, N. 1983, Perbaikan Produksi Daging Kambing

Kacang, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Holmgren, J. dan Czerkinsky, C. 2005, Mucosal immunity and vaccines, Nat Med. Supply,

11 : 45– 51.

Jonqueira, L. C. 2007, Persiapan Jaringan Untuk Pemeriksaan Mikroskopik. Histology

Dasar, Teks dan Atlas, EGC, Jakarta.

Jullianus, I. K. dan Hermana, J. 2009, Optimalisasi Pengelolaan TPA Alak Dalam

Mengatasi Permasalahan Persampahan di Kota Kupang, ISBN 978-979-18342-1-6.

Klasing, K. C. 2005, Cadmium In Mineral Tolerance Of Animal, National Research

Council, The National Academies Press. Cit. Gupta, R. C. 2012, Veterinary

Toxicology, Academic press, New Delhi, India.

Kusnoputranto, H. 2000, Toksikologi Lingkungan, Dirjen Dikti, Jakarta.

Levine dan Servin A. L. 2006, The front line of enteric host defense against

unwelcome intrusion of harmful microorganism : mucins, antimcrobial peptide

and microbiota, Clinic Microbiol Rev, 19 : 315–337.

Macfarlane, P. S., Reid, R. dan Callander, R. 2000, Pathology Illustrated, Ed. ke-5,

Edinburgh: Churchill Livingstone, Hlm 62-77.

Maramis, Kristijanto dan Notosoedarmo. 2006, Sebaran Logam Berat dan Hubungannya

dengan Faktor Fisiko-Kimiawi di Sungai Kreo, Dekat Buangan Air Lindi TPA

Jatibarang, Kota Semarang, Jurnal Akta Kimindo, 1(2): 93-97.

Mulyono, S. dan Sarwono, B. 2004, Penggemukan Kambing Potong, Penebar Swadaya,

Depok.

Ndaong, N. A. 2013, ’Efef Pemaparan Deltamethrin pada Broiler terhadap Aktivitas

Enzim Alanin Amino Transferase, Aspartat Amino Transferase, Gambaran

Histopatologi Hepar dan FeedConvertionRatio’, Tesis, M.Sc, Fakultas Kedokteran

Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Neal, M. J. 2006, At a glance farmakologi medis, Edisi ke-5, diterjemahkan dari Bahasa

Inggris oleh Juwalita Surapsari, Erlangga, Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta.

Nugroho, W. S., Sudarwanto M., Lukman D. W., Setiyaningsih S. S. dan Sleber E. U.

2009, Kajian Deteksi MycobacteriumAviumSubspeciesParatuberculosis pada Sapi

Perah di Bogor, JITV, 14 : 307-315

Pamungkas, F. A., Batubara, A., Doloksaribu, M. dan Sihite, E. 2008, Potensi Beberapa

Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia, Petunjuk Teknis, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian, Bogor.

Praseno, K. I. dan Sudarmoyo, B. 2003, Fisiologi Ternak, Proyek Semique, Semarang.

Rahim, L., Rahma, M. I. A. D. dan Kusumandari, I. P. 2012, Keragaman Kelompok Gen

Pertumbuhan (GH, GHR, IGF-1, Leptin dan Pit-1) dan Hubungannya Dengan

Karakteristik Tumbuh Kembang dan Karkas Pada Ternak Kambing Marica dan

Kacang, Laporan Penelitian, Makassar.

Page 276: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

266

Ressang, A. A. 1984, Buku Pelajaran Patologi Khusus Veteriner, Edisi kedua, Team

leader IFAD Proect : Bali Cattle Disease Investigation unit, Denpasar, Bali.

Santi, D. N. 2001, Manajemen Pengendalian Lalat, Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, digitized by USU digital library, Sumatera Utara, hal : 1-5.

Sarwono. 2006, Beternak Kambing Unggul, Penebar Swadaya, Jakarta.

Shackelford, C. C. dan Elwell, M. R. 1999, Small and Large Intestine and Mesentary. Cit.

Maronpot, R. R., Boorman, G. A. dan Gaul, B. W. 1999, Pathology of the Mouse

Reference and Atlas, Cache River Press, Vienna.

Simanjuntak, N. C. E. 2001, Potensi Lalat Sebagai Vektor Mekanik Cacing Parasit,

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soeharmi, S., Harjanto, H. dan Lazuardi, M. 2003, Pemeriksaan Histology Organ Dalam

Kambing Pasca Kematian Akibat Infeksi Trypanosoma Evansi Isolat Bangkalan,

Medika Eksakta, 1 :1-6.

Sudiyono. 2011, Upaya Eliminasi Residu Logam Berat pada ternak yang berasal dari

Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah dengan Pemeliharaan secara

Konvensional, Sains Peternakan, 9 (1), 1-7. ISSN 1693-8828.

Suhartini. 2008, Pengaruh Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah

Piyungan terhadap Kualitas Air Sumur Penduduk di Sekitarnya, Fakultas Biologi

Universitas Negeri Yogyakarta, Jurnal Saintek, Yogyakarta.

Supriyati, S., Hidayat dan Sadiran. 2001, Penelitian Ternak Ruminansia Kecil, Balitnak,

Bogor.

Setiadi, B., Priyanto, D. dan Martawijaya, M. 1994, Komparatif Morfologik Kambing,

Laporan Hasil Penelitian APBN 1996/1997, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor

Tizard, I. 1982, Pengantar Imunologi Veteriner, Edisi ke-2, diterjemahkan dari Bahasa

Inggris oleh Partodiredjo, M., Airlangga University Press, Surabaya.

Underwood, J. C. E. 2000, Patologi Umum dan Sistemik, Edisi 2, diterjemahkan dari

Bahasa Inggris oleh Sarjadi, EGC, Jakarta.

Widowati, S. dan Jusuf, R. 2008, Efek Tosik Logam, Andi press, Yogyakarta.

Zachary, F. J. dan McGavin, M. D. 2012, Phatologic Basis of Veterinary Disease, Fifth

edition, Elsevier Mosby, St Louis, Misoury.

Page 277: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

267

PENGARUH PEMBERIAN CAIRAN PROBIOTIK Effective Microorganisms-4(EM-

4®) DENGAN DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGIS DUODENUM DAN BERAT BADAN AYAM KAMPUNG

(Gallus Domesticus)

EFFECT OF GIVINGLIQUIDPROBIOTIC Effective Microorganisms-4(EM-4®)

WITHMULTILEVEL DOSE OFDESCRIPTIONDUODENUM HISTOPATHOLOGIC

ANDWEIGHTLOCALCHICKEN(Gallus domesticus)

Thomas Emanuel Manggotu Nahak1, Nemay Anggadewi Ndaong2, Antin Yeftanti

Nugrahening Widi3

1Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail :

[email protected] 2Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. E-mail: [email protected] 3Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Probiotics are live beneficial microorganisms that entered into the human or

animal body orally with the aim to a positive effect on the health of humans or animals by

maintaining the balance of the ratio between pathogenic and pathogenic bacteria in the

digestive tract. The use of probiotics today conducted independently by the breeder

regardless of dose use of probiotics. One type of probiotic that is often used by breeder

local chicken (Gallus domesticus) is the Effective Microorganisms-4 (EM-4®). The use of

probiotics EM-4® aims to increase the weight of the local chicken (Gallus domesticus) so

it can be efficiently feeding. This study aims to determine the effect of graded doses of EM-

4® probiotics for the histological appearance of duodenum and weight of local chicken

(Gallus domesticus). A total of 15 local chickens (Gallus domesticus) were used as samples

and divided into 5 groups: Group K (control were given distilled water), P1 group

(treatment group were given EM-4® with a dose 1 ml/liter of water), a group P2 (

treatment group were given EM-4® with a dose 2 ml/liter of water), P3 group (treatment

group were given EM-4® with a dose 4 ml/liter of water) and P4 group (treatment group

were given a dose EM-4® 8 ml/liter of water). Provision of treatment carried out for 2

weeks. The Measurements of daily feed intake performed every day and weight

measurement carried out every week during treatment. After the treatment of EM-4®

probiotic the local chicken (Gallus domesticus) has been euthanasia and necropsy to take

the duodenum organs and then made preparations histopathologic. The results obtained

are giving probiotics EM-4®in all treatment groups (P1, P2, P3 and P4) is safe in

histopathology still in its early stages as there was no inflammation and necrosis in the

tunica mucosa, tunica submucosa, tunica muscularis externa and tunica serosa of the

duodenum. Giving probiotics EM-4® with a dose of 1 ml / liter of water can efficiently

feeding while giving probiotics EM-4® with a dose 2 ml/liter of water, 4 ml/liter of water

and 8 ml/liter of water can not be efficiently feeding.

Keywords: probiotics, Effective Microorganisms-4 (EM-4®), local chickens (Gallus

domesticus),duodenum histopathologic, weight.

PENDAHULUAN

Page 278: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

268

Konsep probiotik pertama kali diperkenalkan oleh Fuller (1992) sebagai

mikroorganisme hidup yang menguntungkan yang dimasukan ke dalam tubuh manusia

atau hewan secara oral. Tujuan pemberian mikroorganisme tersebut agar mampu

memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan manusia atau hewan dengan cara

menjaga keseimbangan rasio antara bakteri patogen dan nonpatogen dalam saluran

pencernaan. Syarat probiotik adalah tidak patogen, toleran terhadap asam dan garam

empedu, mempunyai kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan penyimpanan

serta memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesehatan (Shortt, 1999).

Penggunaan probiotik dewasa ini dilakukan secara bebas oleh para peternak tanpa

memperhatikan dosis penggunaan dari probiotik. Salah satu jenis probiotik yang sering

digunakan oleh para peternak adalah Effective Microorganisms-4® atau yang biasa disebut

EM-4®. Effective Microorganism-4® (EM-4®) mengandung kombinasi bakteri fotosintetik

(Rhodopseudomonas spp.), bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.) dan yeast

(Saccaharomyces spp.) (Kusuma et al.,2012).

Ayam kampung (Gallus domesticus) merupakan ayam lokal di Indonesia yang banyak

dipelihara oleh masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras

(bukan ras). Menurut Cahyono (1998) sifat genetik ayam kampung merupakan tipe ayam

yang kecil dengan pertumbuhan yang lambat dan daya alih (konversi) makanan menjadi

produk protein esensial yang juga rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut maka para

peternak menggunakan probiotik dengan tujuan agar daya alih (konversi) makanan dari

ayam kampung dapat meningkat. Menurut Surung (2008) Penggunaan probiotik EM-4®

yang baik sehingga dapat mengefisiensikan pemberian pakan dan dapat meningkatkan

pertambahan berat badan ayam buras adalah 1 ml/liter air minum.

Keamanan probiotik sangat ditentukan dari jumlah bakteri yang digunakan dan

dosis penggunaan probiotik. Jumlah bakteri dalam probiotik dan dosis penggunaan

probiotik perlu diperhatikan agar tidak terjadi overdosis. Secara teoritis probiotik dapat

menyebabkan infeksi sistemik seperti bakteremia (Snydman, 2008)dan stimulasi kekebalan

tubuh yang berlebihan (overstimulasi) sehingga mengakibatkan respon yang sama seperti

infeksi karena kekebalan tubuh menganggap probiotik sebagai benda asing. Hal ini dapat

menyebabkan peningkatan produksi sel darah putih, kelelahan dan bahkan demam

(Sudarmono et al., 2006).

Lokasi target utama probiotik setelah diminum adalah di usus terutama usus halus

oleh karena itu penyelidikan dan studi klinis infeksi di luar usus halus agak sedikit

(Schrenzenmeir dan deVerse, 2001). Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum.

Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki jumlah vili yang lebih

banyak dan lebih tinggi dibanding jejunum dan ileum serta berbentuk seperti lembaran

daun (Jonqueira dan Carneiro, 2005). Semakin banyak jumlah vili maka semakin banyak

adhesi yang dilakukan probiotik karena mekanisme kerja dari probiotik itu sendiri yang

mampu melakukan adhesi pada mukosa usus terutama pada vili usus (Goossens et al.,

2003).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuipengaruh pemberian cairan

probiotik EM-4® dengan dosis bertingkat terhadap gambaran histopatologis duodenum dan

berat badan ayam kampung (Gallus domesticus).

Page 279: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

269

MATERI DAN METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratorik dengan desain

penelitian adalah Post Test Randomized Control Group Design. Teknik pengambilan

sampel penelitian menggunakan teknik Simple Random Sampling dengan menggunakan

sebanyak 15 ayam kampung (Gallus domesticus).

Metode perlakuan

Ayam kampung (Gallus domesticus) berjumlah 15 ekor yang memiliki umur 6

minggu, kondisi fisik yang baik dan sehat diadaptasikan selama 6 hari. Pada hari pertama

adaptasi dilakukan deworming melalui pemberian anthelmintika(Triworm), yang

dilanjutkan dengan pemeriksaan feses pada hari ke- 6 pasca deworming untuk memastikan

ayam kampung (Gallus domesticus) bebas dari infeksi cacing. Pada hari ke- 7 dibagi dalam

5 kelompok dengan jumlah ayam kampung (Gallus domesticus) tiap kelompok 3 ekor.

Pada hari ke- 8 dimulai perlakuan selama 2 minggu. Rancangan perlakuan yang

dilakukanuntuk setiap kelompok sebagai berikut: Kelompok K sebagai kelompok kontrol

yang diberi aquades, kelompok P1 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4® dengan

dosis 1 ml/liter air, kelompok P2 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4® dengan

dosis 2 ml/liter air, kelompok P3 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4® dengan

dosis 4 ml/liter air dan kelompok P4 sebagai kelompok perlakuan yang diberi EM-4®

dengan dosis 8 ml/liter air. Selama perlakuan semua ayam kampung (Gallus domesticus)

diberi pakan 40 gr/hari dan kemudian sisanya akan ditimbang. Penimbangan berat badan

dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sebelum pemberian perlakuan, minggu pertama perlakuan

dan minggu kedua perlakuan.Setelah pemberian perlakuan setiap ayam kampung (Gallus

domesticus) dalam kelompok dieutanasidengan teknik emboli jantung, ayam kampung

(Gallus domesticus) dinekropsi dan organ duodenum dikoleksi ke dalam pot yang

berisiFormalin 10 %.

Pembuatan sediaan histopatologis

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

Tahap I (pemrosesan jaringan), dilakukan melalui beberapa proses yaitu proses fiksasi

menggunakan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %. Proses dehidrasi menggunakan

alkohol 70 %, 80 %, 95 % dan alkohol absolut. Proses clearing dilakukan menggunakan

xylol. Proses infiltrasi parafin menggunakan parafin cair suhu 57 ºC sampai 59 ºC, jaringan

dicelupkan ke dalam parafin cair. Tahap II (Embedding). Cetakan disiapkan untuk proses

pengeblokan di atas tungku penghangat, selanjutnya jaringan yang telah selesai diproses

dikeluarkan dan dimasukan ke dalam blok yang sebelumnya sudah diisi dengan parafin

cair. Permukaan jaringan akan dipotong menghadap kebawah pada cetakan blok dan

kemudian diberi label. Tahap III (Sectioning). Sebelum dipotong, blok didinginkan terlebih

dahulu di dalam refrigerator, setelah itu ditempatkan pada mikrotom yang dilengkapi pisau

dengan kemiringan 30 º terhadap blok parafin. Blok parafin dipotong dengan ketebalan ± 2

µm sampai 5 µm kemudian dimasukan kedalam waterbath bersuhu 50 ºC. Tahap IV

Page 280: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

270

(Inkubasi). Preparat diinkubasi di atas hot plate dengan suhu 50 ºC (di bawah titik cair

parafin) selama 15 menit (Ndaong, 2013).

Pewarnaan Hematoxiline Eosin (HE)

Metode pewarnaan Hematoxiline Eosin (HE) dilakukan dengan beberapa tahap.

Tahap deparafinisasi dengan cara dicelupkan pada larutan xylol I, II dan III masing –

masing selama 3 menit. Tahap rehidrasi dengan cara dicelupkan ke alkohol absolut,

alkohol 95 %, 80 % dan 70 % masing – masing selama 2 menit. Preparat dibilas di bawah

air mengalir selama 3 menit. Sediaan lalu direndan dalam Harri’s Hematoxylin selama 10

menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Perendaman dalam Eosin selama

10 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit, selanjutnya didehidrasi dengan

alkohol bertingkat dari 70 % hingga absolut masing – masing tiga kali celupan, kemudian

clearing dengan xylol I, II dan III masing – masing selama 2 menit. Setelah pewarnaan

selesai, sediaan ditetesi perekat (Canada balsam) dan ditutup dengan gelas penutup lalu

dikeringkan (Ndaong, 2013).

Analisis hasil pembuatan preparat histopatologi dilakukan secara deskriptif

dengan membandingkan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol untuk

melihat ada atau tidaknya peradangan, jenis peradangan, ada atau tidaknya nekrosis dan

jenis nekrosis. Analisis hasil pengukuran konsumsi pakan dan pertambahan berat badan

akan dilakukan secara statistik dengan menggunakan One Way Anova dan dilanjutkan

dengan uji Beda Nyata terkecil (BNt).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Cairan Probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) Dengan

Dosis Bertingkat terhadap Gambaran Histopatologis Duodenum Ayam Kampung

(Gallus domesticus)

Secara mikroskopik, lapisan – lapisan penyusun dinding duodenum mulai dari

dalam ke luar terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika

serosa (Frappier, 2006). Tunika mukosa terdiri atas lipatan – lipatan yang disebut vili.

Struktur vili pada kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) dapat

dilihat pada gambar dibawah ini (Gambar 1).

Page 281: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

271

Gambar 1. Struktur histologi vili duodenum ayam kampung (Gallus domesticus) kelompok

K, P1, P2, P3 dan P4. A. Kelompok K; B. Kelompok P1; C. Kelompok P2; D.

Kelompok P3; E. Kelompok P4; a. Vili; b. Epitel kolumnar; c. Lamina

propria; d. Sel goblet; e. Limfosit (400x, H&E).

Pada Gambar 1 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan struktur vili antara

kelompok P1, P2, P3 dan P4 dengan kelompok K. Pada setiap kelompok tidak ditemukan

adanya peradangan dan nekrosis. Gambaran yang sama juga didapati pada daerah tunika

submukosa, tunika muskularis dan tunika serosa dari kelompok K, P1, P2, P3 dan P4

(Gambar 2).

Page 282: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

272

Gambar 2. Stuktur tunika submukosa, tunika muskularis externa dan tunika serosa ayam

kampung (Gallus domesticus) kelompok K, P1, P2, P3 dan P4. A. Kelompok K;

B. Kelompok P1; C. Kelompok P2; D. Kelompok P3; E. Kelompok P4; a.

Secretory unit; b. Muskularis mukosa; c. Tunika submukosa; d. Tunika

muskularis externa (sirkuler); e. Tunika muskularis externa (longitudinal); f.

Tunika serosa (400x, H&E).

Berdasarkan pengamatan di atas, tidak ditemukan adanya peradangan dan

nekrosis pada duodenum ayam kampung (Gallus domesticus) kelompok K, P1, P2, P3

maupun P4. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian probiotik Effective

Microorganisms-4 (EM-4®)sampai dengan dosis 8 ml/liter air masih tergolong aman

ditinjau dari segi histopatologis. Tidak ditemukannya perubahan gambaran histopatologi

duodenum ayam kampung (Gallus domesticus) kelompok P1, P2, P3 dan P4 disebabkan

karena mekanisme kerja dari probiotik terbatas pada lapisan mukosa usus halus tanpa

mempengaruhi struktur histologis dari usus halus dan probiotik berfungsi untuk

menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan melakukan kompetisi nutrisi dan

kompetisi perlekatan pada mukosa usus dengan bakteri patogen (Ann dan Fergus, 2007).

Page 283: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

273

Menurut Fooks dan Gibson (2002) mekanisme kerja probiotik terbatas pada mukosa usus

disebabkan karena adanya adhesi dari probiotik pada mukosa usus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhou et al. (2000), menunjukan bahwa

pemberian probiotik strain Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus acidophilus dan

Bifidobacterium lactis pada mencit strain Balb/c selama interval waktu pemberian 8 hari

dengan dosis 1011/tikus/hari secara histopatologis tidak menimbulkan perubahan morfologi

sel-sel usus halus. Hal yang sama juga ditemukan oleh Lara et al. (2007), bahwa

pemberian probiotik Lactobacillus salivarius pada mencit strain Balb/C sebanyak 50 ekor

dengan dosis 1010/tikus/hari dengan interval waktu pemberian selama 28 hari secara intra

peritoneal, tidak ditemukannya bakteri pada jaringan thymus, ginjal, jantung, hati, usus

halus dan usus besar. Kusuma et al. (2012) juga melaporkan bahwa pemberian probiotik

Effective Microorganisms-4 (EM-4®)dengan dosis sampail 2 ml/tikus/hari selama 21 hari

tidak menyebabkan perubahan secara histologis pada organ hati.

Pengaruh Pemberian Cairan Probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) Dengan

Dosis Bertingkat terhadap Berat Badan Ayam Kampung (Gallus domesticus)

a. Konsumsi pakan ayam kampung (Gallus domesticus)

Hasil analisa statistik terhadap tingkat konsumsi pakan ayam kampung (Gallus

domesticus) dari semua kelompok pada minggu pertama dan minggu kedua dengan

menggunakan One Way Anova pada tingkat kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa

pemberian cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) mempunyaipengaruh

yang signifikan (P<0,05) terhadap tingkat konsumsi pakan ayam kampung (Gallus

domesticus). Sehubungan dengan hasil analisa yang menunjukkan adanya pengaruh yang

signifikan maka analisa data dilanjutkan dengan uji Beda Nyata terkecil (BNt) untuk

melihat perbedaan antara kelompok. Hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian Beda Nyata terkecil (BNt) konsumsi pakan ayam kampung

(Gallus domesticus)

Perlakuan Minggu pertama Minggu kedua

K 33.39b 34.00333b

P1 30.82a 30.56333a

P2 35.20667c 35.95333c

P3 37.1d 37.1d

P4 39.27e 39.41e

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom

menunjukan ada perbedaan nyata pada taraf 5% Uji BNt (Nilai BNt

minggu pertama = 0,65 dan nilai BNt minggu kedua = 0,95).

Berdasarkan hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) maka konsumsi pakan minggu

pertama dan minggu kedua perlakuan dari masing – masing kelompok berbeda nyata

Page 284: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

274

karena pada tabel hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) setiap kelompok memiliki kode huruf

yang berbeda. Konsumsi pakan terendah minggu pertama dan minggu kedua adalah pada

kelompok P1 yang diberi Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 1 ml/liter air

sedangkan konsumsi pakan tertinggi adalah kelompok P4 yang diberi Effective

Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 8 ml/liter air. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Surung (2008) dimana pemberian Effective Microorganisms-4 (EM-

4®) dengan dosis 1ml/liter air dapat mengefisiensikan pemberian pakan pada ayam

kampung (Gallus domesticus) sedangkan pemberian Effective Microorganisms-4 (EM-4®)

dengan dosis lebih dari 1 ml/liter air tidak dapat megefisiensikan pemberian pakan pada

ayam kampung (Gallus domesticus). Selanjutnya dijelaskan oleh Haruna dan Sumang

(2008) bahwa penggunaan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) pada air minum

secara optimal dapat meningkatkan efisiensi pakan.

b.Pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus)

Hasil analisa pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus)

minggu pertama dan minggu kedua dengan menggunakan One Way Anova pada tingkat

kepercayaan 95 % menunjukan adanya pengaruh yang signifikan (P<0,05) pemberian

cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) terhadap pertambahan berat badan

ayam kampung (Gallus domesticus). Sehubungan dengan adanya pengaruh yang signifikan

maka analisa dilanjutkan dengan uji Beda Nyata terkecil (BNt) untuk melihat perbedaan

antara kelompok. Hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian Beda Nyata terkecil (BNt) pertambahan berat badan ayam

kampung (Gallus domesticus)

Perlakuan Minggu pertama Minggu kedua

K 57.16667d 57.33333d

P1 64.4e 64.2e

P2 52.53333c 53.13333c

P3 48.4b 49.26667b

P4 40.46667a 42.16667a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom

menunjukan ada perbedaan nyata pada taraf 5% Uji BNt((Nilai

BNt minggu pertama = 3,68 dan nilai BNt minggu kedua = 3,09).

Berdasarkan hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) makapertambahan berat badan

minggu pertama dan minggu kedua dari masing – masing kelompok berbeda nyata karena

pada tabel hasil uji Beda Nyata terkecil (BNt) setiap kelompok memiliki kode huruf yang

berbeda. Pertambahan berat badan terendah minggu pertama dan minggu kedua adalah

pada kelompok P4 yang diberikan Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 8

ml/liter air sedangkan pertambahan berat badan tertinggi adalah kelompok P1 yang

diberikan Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 1 ml/liter air.

Page 285: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

275

Menurut Rasyaf (2004) pertambahan berat badan harus dikaitkan dengan

konsumsi pakan agar dapat mengetahui efisiensi pemberian pakan. Pertambahan berat

badan tertinggi pada kelompok P1 dikarenakan adanya penambahan Effective

Microorganisms-4 (EM-4®) yang optimal sehingga dapat meningkatkan daya cerna dari

organ pencernaan. Pada Tabel 1 dilihat bahwa konsumsi pakan kelompok P1 memiliki

konsumsi pakan yang paling rendah, hal ini mengindikasikan bahwa kelompok P1 memiliki

nilai konversi pakan yang rendah. Nilai konversi pakan dapat dihitung dengan

perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi ayam dengan pertambahan berat

badannya (Siregar et al., 1980). Anggorodi (1994) menambahkan bahwa semakin rendah

konversi pakan maka semakin tinggi efisiensi pakan. Menurut Surung (2008) pemberian

Effective Microorganisms-4 (EM-4®)dengan dosis 1 ml/liter air dapat meningkatkan

pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus). Samadi (2007) juga

menyatakan bahwa pemberian probiotik yang optimal dapat menjaga keseimbangan

komposisi mikroorganisme dalam sistem pencernaan ternak yang

menyebabkanpeningkatan daya cerna bahan pakan dan menjaga kesehatan ternak.

Menurut Kholid (2011) rata – rata pertambahan berat badan standar ayam

kampung (Gallus domesticus) per minggu adalah 50 gr sampai 70 gr. Pada Tabel 3 dilihat

bahwa rata – rata pertambahan berat badan kelompok P3 dan P4 tidak mencapai rata – rata

pertambahan berat badan standar ayam kampung (Gallus domesticus). Hal ini disebabkan

oleh penggunaan dosis Effective Microorganisms-4 (EM-4®) yang berlebihan yaitu 4

ml/liter air dan 8 ml/liter air. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok P2 dimana

pertambahan berat badannya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok K dan P1. Nilai

konversi pakan pada kelompok P2, P3 dan P4 tinggi karena konsumsi pakan yang tinggi

namun pertambahan barat badanya yang rendah. Tingginya nilai konversi pakan

mengindikasikan bahwa tidak terjadinya efisiensi pemberian pakan pada kelompok P2, P3

dan P4. Hal ini terjadi karena penggunaan probiotik secara berlebihan pada kelompok P2,

P3 dan P4 dimana menurut Atlas dan Richard (1993) dapat menyebabkan kepadatan bakteri

yang tinggi dan adanya persaingan dalam pengambilan substrat atau nutrisi sehingga dapat

menurunkan pertambahan berat badan karena aktifitas bakteri menjadi terhambat. Mulyadi

(2011) menambahkan bahwa Effective Microorganisms-4 (EM-4®) mengandung 90 %

bakteri Lactobacillus sp. (bakteri penghasil asam laktat) sehingga jumlah bakteri yang

tinggi menyebabkan aktifitas bakteri Lactobacillus sp. tidak optimal.

KESIMPULAN

Pemberian cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis

bertingkat (1 ml/liter air, 2 ml/liter air, 4 ml/liter air dan 8 ml/liter air) dengan interval

waktu pemberian 14 hari masih dalam taraf aman karena tidak menyebabkan perubahan

pada gambaran histopatologi duodenum ayam kampung (Gallus domesticus). Pemberian

cairan probiotik Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 1 ml/liter air dapat

mengefisiensikan pemberian pakan karena berimplikasi pada peningkatan pertambahan

berat badan ayam kampung (Gallus domesticus) sedangkan pemberian cairan probiotik

Effective Microorganisms-4 (EM-4®) dengan dosis 2 ml/liter air, 4 ml/liter air dan 8

ml/liter air tidak dapat mengefisiensikan pemberian pakan karena berimplikasi pada

penurunan pertambahan berat badan ayam kampung (Gallus domesticus).

Page 286: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

276

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1994, Ilmu Makanan Ternak Unggas, Penerbit Universitas Indonesia, UI

Press, Jakarta.

Ann, M.O. dan Fergus, S. 2007, Mechanisms of Action of Probiotics in Intestinal Diseases,

The Scientific World Journal, 7: 31 – 46.

Atlas, M.R. dan Richard, B. 1993, Microbial Ecology, The Benjamin Cummings

Publishing Company, California.

Cahyono, B. 1998, Ayam Kampung Pedaging, Kanisius, Yogyakarta.

Fooks, L.J. dan Gibson, G.R. 2002, Probiotics as Modulators of the Gut Flora, British

Journal of Nutrition, 88(1).

Frappier, B.L. 2006, Digestive System : Textbook of Veterinary Histology, Blakwell

Publishing, Oxford.

Fuller, R. 1992, Probiotics : The Science Basics. Chapman and Hall. London.

Goossens, D.J., Jonker, D. dan Stobberingh, E. 2003, Probiotics in Gastroenterology:

Indications and Future Perspectives, Scandinavian Journal of Gastroenterology –

Supplement, 239:15-23.

Haruna, S. dan Sumang. 2008, Pemanfaatan jamu sebagai campuran air minum pada ternak

ayam buras, Jurnal Agrisistem, 4(1).

Jonqueira, L.C., dan Carneiro, J. 2005, Basic Histology, Mc Graw Hill Companies,

California.

Kholid, Anwar. 2011, Panduan Sukses Beternak dan Bisnis Ayam Kampung, Penerbit

Pinang Merah, Yogyakarta.

Kusuma, I.G.E., Arjana, A.A.G. dan Berata, I.K. 2012, Pemberian Efective Microorganism

(Em4®) terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Betina, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Indonesia Medicus

Veterinus, 1(5):582-595.

Lara-Villoslada, S., Sierra, M.P., Diaz-Ropero, M.O., dan Xaus, J. 2007, Safety

Assesment of the Isolated Probiotic Lactobacillus salivarius CECT5713, Journal of

Dairy Science, 90(8).

Mulyadi, A.E. 2011, Pengaruh pemberian probiotik pada pakan komersil terhadap laju

pertumbuhan benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus), Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjajaran.

Ndaong, N.A. 2013, ’Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas

Enzim Alanine Amino Transferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran

Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Tesis, MSc, Fakultas Kedokteran

Hewan, Universitas Gajah Mada.

Rasyaf, M. 2004, Beternak Ayam Pedaging, Penebar Swadaya, Jakarta.

Schrezenmeir, J. dan deVrese, M. 2001, Probiotics, Prebiotics and Symbiotics-

Approaching a Definition, American Journal of Clinical Nutrition, 7(3):361-364.

Shortt, C. 1999, The Probiotic Century: Historical and Current Perspectives, Review on

Trend Food Science and Technology, 10:411-417.

Siregar, A.P., Sabrani, M. dan Pramu, S. 1980, Teknik Beternak Ayam Pedaging di

Indonesia, Penerbit Margie Group, Jakarta.

Page 287: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

277

Snydman, D.R. 2008, The safety of probiotics, Clin Infect Dis., 46(2):104–11.

Sudarmono, S.M., Reza, G.H., Pitono dan Djupri, L.S. 2006, Kontribusi Prebiotika pada

Formula untuk Pemeliharaan Ekosistem Mikrobiota Normal pada Usus, diakses 11

Januari 2015, www.pediatrik.com/ilmiahpopular/20060220.

Surung, M.Y. 2008, Pengaruh Dosis EM-4 (Effective Microorganisms-4) Dalam Air

Minum Terhadap Berat Badan Ayam Buras, Jurnal Agrisistem, 4(2):1858-4330.

Zhou, J.S.Q., Shu, K.J., Rutherfurd, J., Prasad, P.K dan Gopal, H.S.G. 2000, Acute Oral.

Toxicity and Bacterial Translocation Studies on Potentially Probiotic Strains of

Lactic Acid Bacteria, Int. J. Food Microbiol., 56(1).

Page 288: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

278

Page 289: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

279

GAMBARAN ANATOMI DAN HISTOPATOLOGI TESTIS DAN

EPIDIDIMIS SAPI BALI (Bos sondaicus) DI RUMAH POTONG HEWAN OEBA

KUPANG

ANATOMY AND HISTOPATHOLOGY TESTIS AND EPIDIDYMIS BALI CATTLE (Bos

sondaicus) IN SLAUGHTER HOUSE (SH) OEBA KUPANG

Febrina Damoris Manggas1, Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc2, Yulfia Nely Selan3

1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. E-mail

:[email protected]. 2Laboratorium Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana,

Kupang. E-mail: [email protected] 3 Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Univertsitas Nusa Cendana,

Kupang E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Bali Cattle is one of the extremely potential livestock in East Nusa Tenggara (NTT).

These cattle are the type of beef cattle that are commonly raised by the farmers. However,

since Bali cattle used for breeding purpose, in which affecting reproductive performance,

reproductive failure was found in Bali cattle. Reproductive problems may occur in both

males and females cattles. Therefore, it is essential to select bulls and to understand their

reproductive health. There are a number of traits that are used to measure bull fertility.

These includes examination of testicles, examination of the outer part of male reproductive

tract, male reproductive histology examination. Palpation of scrotal contents and

measurement of scrotal size are required for testicles examination. The aim of this

research was to determine the anatomical pathology and histopatology appearance of Bali

cattle’s testis and epididymis which slaughter at Oeba abattoir in Kupang. 10 bulls were

used in this experiment. Bulls were slaughtered and necropsied as typically done in the

slaughterhouse. Then, it is anatomical observation and histology sample preparation.

However, it was found no changes in anatomical appearances in all samples. Moreover,

the scrotal circumference of RPH 6 was smaller in the right testis compare to left testis in

which it was supported by macroscopic changes (histopatholgy). These includes

hypoplastic testes which is followed by testicular degeneration, necrosis, apoptosis,

vacuolation of the seminiferous and epididymial epithelium, exfoliated germ cells, giant

cells, adhesion, and damaged pseudostratified epithelial cell.

Keywords: Bali cattle (Bos sondaicus), testis, epididymis, sperm quality, SH Oeba Kupang.

PENDAHULUAN

Menurut Lake et al. (2010), sapi bali merupakan salah satu potensi peternakan selain

beternak kambing dan babi yang menjadi unggulan masyarakat di Propinsi Nusa

TenggaraTimur (NTT), terutama di Pulau Timor. Sapi bali sebagai sapi potong mempunyai

keunggulan, yaitu: memiliki efisiensi reproduksi yang tinggi, meliputi tingkat fertilitas dan

tingkat kesuburan ternak yang tinggi (Guntoro, 2002).Meskipun demikian, dalam upaya

pengembangan populasi ternak sapi Balidi NTTkasus kegagalan manajemen

reproduksimerupakan kejadian yang sering dijumpai.

Page 290: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

280

Menurut Yusuf (2012), kegagalanreproduksi akibat rendahnya fertilitas dapat

berdampak pada produktivitas yang menyebabkan kehilangan keuntungan setiap

tahunnya.Kegagalan reproduksi tidak hanya dapat terjadi dari faktor betina, akan tetapi

dari pejantan pun sering terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukannya suatu seleksi tingkat

kesuburan pada ternakterutama dalam hal kesehatan reproduksi ternak(O’Shea, 1983 cit.

Nataatmaja danArifin, 2008).

Adapun menurut Hafez (2000) kondisi patologis pada testis dan epididimisdapat

mempengaruhi jumlah dan kualitas sperma yang dihasilkan. Migbaru et al.(2014)

menyatakan bahwa gangguan patologis pada testis dan epididimis dapat diklasifikasikan

berdasarkan penyebabnya, yaitu: penyebabkongenital seperti hipoplasiadankriptorchid,

penyebab mikroorganisme atau agenmenular patogen, seperti degenerasitestis,orkitis,

hematomatestis, epididimitis dan kemungkinan penyebab lain darikelainantestis, yaitu gizi,

faktormanagement, pengaruhtermaldan usia.

Salah satu penyakit reproduksi yang disebabkan oleh agen mikroorganisme patogen

dan bersifat endemik di Propinsi NTT adalah penyakit brucellosis yang disebabkan oleh

bakteri Brucella abortus. Pulau Timor merupakan salah satu wilayah yang memiliki

prevalensi tertinggi penyakit brucellosis. Pada hewan jantan biasanya tidak menunjukan

gejala tetapi dapat mengakibatkan epididimitis, vesiculitis seminalis, orchitis atau abses

pada testis (Arsyilini, 2014).

Salah satu cara untuk mengetahui gangguan atau kerusakan struktur organ

testisdanepididimisadalah dengan melakukanpengamatan pada perubahan makroskopis dan

mikroskopis yang mencakup pengamatanpatologi anatoomi dan histopatologi tentang

struktur sel atau organ tersebut. Analisis hubungan antara gambaran histopatologi dengan

data klinik dan pemeriksaan lain seperti analisis kualitas spermadigunakanuntuk

menentukan jenis dan lokasi kelainan, prognosis dan evaluasi keberhasilan terapi (Levin,

1979), sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaranhistopatologi

testis dan epididimis sapi bali di Rumah Potong Hewan Oeba Kupang.

MATERI DAN METODE

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 ekor sapi bali (Bos

sondaicus) yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba, Kupang.Analisis hasil

dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.Sampel yang

diambil dalam pembuatan sediaan histologi yaitu berupa jaringan organ reproduksi (testis

dan epididimis) sapi bali di RPH Oeba. Sebelum pengambilan sampel, hewan disembelih

seperti lazimnya yang dikerjakan dirumah pemotongan hewan di kota Kupang.

Selanjutnya, dilakukan pemisahan bagian testis dari badan sapi yang telah disembelih

dengan cara testis dikeluarkan dari ruang inguinal dan diamati perubahan anatominya.

Selanjutnya, jaringan yang dimaksud kemudian dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1

cm dan dimasukan ke dalam larutan formalin 10 %. Adappun Proses pembuatan sediaan

histologi yang meliputi beberapa tahapan, yaitu; Tahap pertama (Pemrosesan jaringan),

dilakukan melalui beberapa proses: proses fiksasi dengan menggunakan formalin 10 %.

Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi dengan alkohol 70 %, 80 %, 90 % dan

alkohol absolut. Proses selanjutnya yaitu proses clearing dengan menggunakan xilol.

Page 291: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

281

Dilanjutkan dengan proses infiltasi paraffin dimana jaringan dicelupkan kedalam parafin

cair dengan suhu 57oC sampai 59°C sebanyak tiga kali selama 60 menit. Tahap kedua

(Embedding), tahap ketiga (Sectioning) dan tahap keempat (Inkubasi). Tahap pewarnaan

HE meliputi deparafinisasi, rehidrasi, pewarnaan,dehidrasi, clearing dan mounting. Tahap

deparafinisasi (Ndaong, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Makroskopis Testis dan Epididimis Sapi Bali di Rumah Potong Hewan

(RPH) Oeba Kupang

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, semua sampel yang digunakan dalam

penelitian tidak menunjukan perubahan patologis pada gambaran anatominya

(makroskopis). Keadaan skrotum yang normal ditunjukkan dengan tidak adanya luka

maupun infeksi dengan bentuk simetrisdan menggantung di daerah inguinal serta normal

terletak diantara dua paha. Selain itu, dari hasil penelitian diperoleh semua sampel

memiliki bentuk normal testes oval memanjang dengan permukaan yang halus dan tegas,

konsistensi testes sapi bali kenyal dan lenting seperti tomat matang yang menurut Jackson

dan Cockcroft (2002) menyatakan bahwa proses spermatogenesis berlangsung baik serta

tidak ada perubahan warna testes ataupun kelainan yang tampak pada tunika albugenia

testes yang bila dirabaterlihat kuat. Demikian pula dengan epididimis yang tampak normal

dengan caput, corpus dan cauda yang melekat erat pada testis serta konsistensi yang sama,

yaitu cauda epididimis pada sapi bali terabaseperti karet busa ada isinya dengan ukuran

yangtidak terlalu berbeda nyata.

Secara umum data menunjukan bahwa kelompok umur sapi bali yang memiliki

umur 4 tahun pada sampel RPH 3, RPH 9 dan RPH 10 mempunyai rataan berat dan lingkar

skrotum, berat testis, epididimis dan cauda epididimis tertinggi sehingga membuktikan

bahwa umur sangat mempengaruhi perkembangan organ reproduksi. Hasil penelitian ini

didukung oleh pendapat Noviana dkk. (2000) yang menyatakan bahwa ukuran testis akan

terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur dan berat testis berkolerasi positif

dengan berat epididimis. Meskipun demikian, sampel RPH 6 yang berumur 2 tahun

memiliki panjang dan lingkar testis serta epididimis yang berbeda ukurannya dimana pada

testis dan epididimis kiri ukuran panjang serta lingkar yang berbeda nyata dibandingkan

dengan bagian kanan.

Gambaran Mikroskopis Testis dan Epididimis Sapi Bali di Rumah Potong Hewan

(RPH) Oeba Kupang

Hasil pengamatan secara mikroskopis pada testis dan epididimis sapi bali di

Rumah potong Hewan Oeba Kupang secara umum menunjukan gambaran histopatologi

yang disajikan pada Tabel 5.

Apoptosis sel ditemukan pada bagian tubulus seminiferus testis RPH 2, testis kiri

RPH 10 (Gambar 10 B) serta pada corpus epididimis RPH 2 (Gambar 11). Gambaran

histopatologi sel apoptosis ditandai dengan adanya kehadiran membran plasma utuh sekitar

badan sel yang mengalami apoptosis, nukleus menjadi piknotik dengan kromatin padat

pada membran sel ataupun tampak fragmen nukleus dengan titik seperti partikel.

Page 292: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

282

Sedangkan vakuolisasi tubulus seminiferus ditemukan pada sampel RPH 2dan RPH 10.

Vakuolisasi sel juga ditemukan pada epididimis terutama pada bagian caput RPH 4 dan

corpus epididimis (RPH 1, RPH 2, RPH 3 dan RPH 4 (Gambar 12).

Menurut pratama (2008), kejadian apoptosis sel secara patologis dapat disebabkan

akibat adanya bahan toksik seperti obat sitotoksik dan radiasi, keadaan tumor dan keadaan

yang diperantarai oleh sel kekebalan karena infeksi virus atau antigen asing.

Gambar 10. Gambaran histopatologi testis sapi bali di RPH Oeba Kupang: A) vakuolisasi

Tubulus seminiferus RPH 2 (10x, H&E); B) Apoptosis dan vakuolisasi

tubulus seminiferus RPH 10 (40x, H&E); a) septula testis, b) vakuolisasi, c)

sel apoptosis, d) sel piknotik (nekrosis), e)jaringan interstitial.

Gambar 11. Apoptosis dan vakuolisasi epididimis: A) Apoptosis dan vakuolisasi corpus

epidimis RPH 2 (10x, H&E); B) Apoptosis epitelium corpus epidimis RPH 2

(40x, H&E); a) pseudostratified epithelium, b) sel apoptosis, c) lumen

epididmis, d) stereocilia, e) jaringan ikat longgar.

e

d

B

c

b

a

c

c

A

e

B A

d

b

a

c

a

b

Page 293: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

283

Gambar 12. Vakuolisasi epitelium epididimis sapi bali di RPH Oeba Kupang: A)

Vakuolisasi corpus epididimis (RPH 4, 40x, H&E), B) Vakuolisasi caput

epididimis (RPH 4, 40x, H&E), C) Vakuolisasi corpus epididimis (RPH 3,

40x, H&E); a) spermatozoa, b) pseudostratified epithelium, c)

mikrovakuolisasi, d) stereocilia, e) makrovakuolisasi, f) otot halus, g) basal

sel, h) principal cel.

Nekrosis sel juga dapat ditemukan pada epididimis dengan keadaan nekrosis parah,

seperti tampak pada sampel corpus RPH 6 dan corpus epididimis RPH 10. Tampak terlihat

lapisan epitelium epididimis hancur atau rusak dan menghilang. Normalnya epididimis

tersusun atas lapisan epitelium pseudostratified yang kompak dan stereocillia yang utuh

mengitari lumen epididimis (Kishore et al., 2012).

Gambar 13. Nekrosis pada tubulus seminiferus sapi bali. A) Nekrosis pada RPH 9 (10x,

H&E), B) Nekrosis pada RPH 6 (40x, H&E); ( ) sel piknosis, a) vakuola

tubulus seminiferus, b) sel apoptosis.

h

b g

f

c

a

e

e

d

b

c

A B

a

b

A B

a

C

Page 294: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

284

Gambar 14. Nekrosis sel epitelium pseudostratified corpus epididimis RPH 6 (40x, H&E);

a) epitelium pseudostratified, b) pembuluh darah.

Gambaran histopatologi seperti hipoplasia yang diikuti oleh degenerasi testis juga

ditemukan pada sampel testis kanan RPH 6. Secara makroskopis sampel RPH 6 yang

dicurigai mengalami hipoplasia seperti tampak pada gambar 15, menunjukan tubulus yang

abnormal yaitu berdiameter kecil serta bentuk tubulus hanya dilapis oleh sel sertoli dan

kadang beberapa spermatogonia. Pada beberapa tubulus tampak adanya spermatid

mengalami apoptosis ataupun degenerasi sehingga membentuk vakolisasi dan lumen

tubulus dapat berisi material debris atau multinuklear sel.

Gambar 15. Gambaran hipoplasia testis yang disertai degenerasi testis pada RPH 6 bagian

kanan (10x, H&E) tampak diameter tubulus seminiferus mengecil dan

membran basal bergelombang.

Hipoplasia testis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama adalah malnutrisi

seperti defisiensi zinc (Zn), defisinsi protein atau asam amino, kekurangan vitamin

(hipovitaminosis) A, B, C dan E. Kedua adalah gangguan endokrin, yaitu pengurangan

Luteunizing Hormon (LH) yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari yang diikuti dengan

perubahan pengaruh produksi testoteron oleh interstitial sel atau FSH (Folicel Stimulating

Hormon). Selain itu, faktor lain yang menyebabkan degenerasi adalah bahan kimia, umur,

radiasi, trauma, panas, bahan toksin sepeti arsenik (Galloway et al., 1992)

a

b

Page 295: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

285

Gambar 16. Oligospermia dan aspermiapada cauda epididmis: A) cauda epididimis RPH 9

(10x, H&E) tampak duktus epididimis yang berisi banyak sperma (strong

spermatozoa); B) cauda epididmis RPH 2 (10x, H&E); a) tidak ada

spermatozoa di lumen epididimis (aspermia), b) sedikit spermatozoa

(oligospermia), c) jaringan ikat longgar.

Pada sampel RPH 2 lumen epididimis baik pada bagian caput, corpus maupun

cauda epididimis sedikit spermatozoa (oligospermia) bahkan tidak ditemukan adanya

spermatozoa (aspermia) (Gambar 16). Perubahan lainnya berupa exofoliated germ cell,

giant cell dan adhesi lumen dapat diamati pada sampel epididmis (gambar 17 dan 18).

Exofoliated germ cell dapat ditemukan pada sampel cauda epididimis RPH 4, cauda RPH

8 dan cauda sampel RPH 9. Menurut Creasy et al. (2012), exofoliated germ cell

merupakan terkelupasnya testicular germ cell atau sel yang sering dikaitkan dengan

gangguan spermatogenik pada testis.

Gambar 17. Histopatologi epididimis sapi bali di RPH Oeba Kupang: A) Exofoliated germ

cell (RPH 4, 40x, H&E), B) Exofoliated germ cell cauda epidimis (RPH 9,

40x, H&E); a) Exofoliated germ cell, b) pseudostratified epithelium, c)

vakuolisasi sel, d) stereocillia.

Adhesi atau perlekatan ditemukan pada sampel cauda epididimis RPH 3 dan RPH 7

yang secara mikroskopis ditandai adanya perlekatan antar duktus epididimis (gambar 18

A). Menurut Creasy et al. (2012), giant cell biasanya ditemukan bersamaan dengan

degenerasi germinal cell ataupun atropi dan kejadian timbulnya lesi infeksi.

b a

b

c

B A

c

b a d

b

a

\

B A

Page 296: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

286

Gambar 18. Adhesi dan Giant Cell Epididimis; A: Adeshi atau perlekatan lumen cauda

epididimis RPH; B: Giant cell cauda epidimis (RPH 8, 40x, H&E), a)

pseudostratified epithelium, b) giant cell, c) exofoliatedgerm cell, d) apical

cell, e) sel apoptosis, f) adhesi lumen epididimis, g) jaringan ikat longgar, h)

lumen epididimis.

Perubahan histopatologi lainya seperti sel raksasa atau giant cell juga ditemukan

pada sampel cauda epididimis RPH 8 (gambar 18 B). Giant cell pada cauda epididimis

termasuk dalam golongan giant cell multinuklear (banyak inti).

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dapat didimpulkan bahwa pada sampel RPH 1 sampai RPH

10 ditemukan beberapa perubahan, yaitu hipoplasia testis yang diikuti dengan degenerasi

testis, kematian sel (nekrosis atau apoptosis sel), vakuolisasi tubulus seminiferus maupun

epitelium epididimis, exofoliated germ cell, giant cells atau sel raksasa, adeshi serta

kerusakan sel epitel pseudostratified lumen epididimis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada

Fakultas Kedokteran Hewan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis serta

kepada seluruh staf laboratorium anatomi dan histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsylini, Ainin. 2014, Seroprevalensi Brucellosis pada sapi di Rumah Potong Hewan

Tamangapa Kota Makasar, SI, S.Kh, Program Studi Kedokteran Hewan, Makasar.

Creasy, D. Bube A., de Rijk, E., Kandori H., Kuwahara, M, Manson R., Nolte T., Reams,

R., Regan, K., Rehm, S., Rogerson, P. and Whitney, K. 2012, Proliferative and

Non-proliverative Lessions of the Rat and Mouse Male Reproductive System,

Toxicol Pathol, 40:40S-121S.

Abstract: http://www.nbcl.nlm.nih.gov/pubmed/22949412.

Galloway, D. B., Wright, P. J., de Kretser, D. and Clarke, I. J. 1992, An Outbreak Of

Gonadal Hypoplasia in A Sheep Flock: Clinical, Pathological And

Endocrinological Features And Aetiological Studies, Vet.Rec, 131:50-512.

Guntoro, S. 2002, Membudidayakan Sapi bali, Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.

d

e c

b

a

B A

g h

f

Page 297: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

287

Hafez, B. danHafez, E.S.E. 2000, Reproduction in Farm Animal 7th edition, Lippincott

William & Wilkins : Baltimore. USA.

Jackson, G.G.P. dan Cockcroft, D.P. 2002, Clinical Examination of Farm Animals,

Blackwell Science, Oxford, UK.

Kishore, P. V. S., Ramesh, G. dan Basha, H. S. 2012, Postnatal Differentation and

Regional Histological Variations in the DuctusEpidiys of Rams, Tamilnadu J.

Veterinary and Animal Science, 8:145-151.

Lake, P.R.M.T., Kusumawati, A. Dan Budiharta, S. 2010, Faktor Resiko Bovine

Brucellosis Pada Tingkat Peternakan Di Kabupaten Belu Provinsi Nussa Tenggara

Timur, J.Sain Vet, 28: 1-8.

Levin, H. S. 1979, Testicular Biobsy in the Study of Male Infertility, Human Pathology,

10:569-584.

Migbaru, K., Sisay, G. dan Kasa T. 2014, ‘Study on Gross Testicular Disorders ofBulls

Slaughtered at Addis Ababa Abattoirs Enterprise’, Journal of Reproduction and

Infertility,5:45-49.

Ndaong, N.A. 2013, ‘Efek Pemaparan Deltamethrin pada Broiler Terhadap Aktivitas

Enzim Alanin Aminotransferase, Aspartat Aminotransferase, Gambaran

Histopatologi Hepar dan Feed Convertion Ratio’, Thesis, Fakultas Kedokteran

Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

O’Shea, T. 1983, Anatomi and Physiology, In: Topical Sheep and Goat Production, T. N.

Edey (Ed) Australian Universitas Internasional Development Program, Camberra

cit. Nataatmaja, D.M dan Arifin, Johar. 2008, Karakteristik Ukuran Tubuh dan

Reproduksi Jantan paa Kelompok Populasi Domba di Kabupaten Pandeglang dan

Garut, Animal Reproduction, 10:140-146.

Pratama, M. L. 2008, Basic Pathological Processes, Edisi I, Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Yusuf, M. 2012, Ilmu Reproduksi Ternak, Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan

Universitas Hasanudin, Makasar, Indonesia.

Page 298: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

288

Page 299: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

289

TINGKAT KANDUNGAN NITRIT DAN NILAI GIZI PADA BERBAGAI MEREK

SOSIS SAPI YANG DIJUAL DI KOTA KUPANG

Donny R.R Padji1, Novalino H.G Kallau2, Annytha I.R Detha2

1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana 2Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Undana

ABSTRAK

Sosis sapi adalah salah satu bahan pangan olahan yang terbuat dari daging sapi

cincang, lemak sapi dan rempah serta bahan-bahan lain kemudian dimasukkan kedalam

casing yang mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Nitrit adalah salah satu bahan

tambahan pangan yang diperlukan dalam pengawetan sosis sapi. Nitrit diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, mempertahankan warna merah

daging agar tampil menarik, dan juga sebagai pembentuk cita rasa. Konsumsi nitrit yang

berlebihan dapat menyebabkan keracunan dan bersifat akumulatif. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di

Kota Kupang sesuai atau tidak dengan batas maksimum penggunaan yang telah ditetapkan

dalam SNI 01-0222-1995 sebesar 125 mg/kg dan kandungan nilai gizi sosis sesuai atau

tidak dengan batas SNI 01-3820-1995.Pengambilan sampel dilakukan pada Hypermart dan

Ramayana Flobamora mall dengan jumlah sampel sebanyak 10 merek sosis sapi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi

yang dijual di Kota Kupang 100% berada dibawah batas maksimum penggunaan yang

telah ditetapkan dalam SNI 01-0222-1995 dengan kata lain masih aman untuk dikonsumsi.

Nilai gizi protein pada 10 merek sosis sapi yang dijual di Kota Kupang 100% berada

dibawah batas minimal SNI, hal ini mengindikasikan bahwa nilai gizi protein tidak

memenuhi syarat mutu SNI, nilai gizi lemak juga 100% dibawah batas maksimal SNI

dengan kata lain nilai gizi lemak masih memenuhi syarat SNI. Sedangkan nilai gizi

karbohidrat 90% berada diatas batas SNI 01-3820-1995, dikarenakan penggunaan tepung

lebih banyak dibandingkan penggunaan daging. Hasil ini menjadi gambaran kepada

masyarakat baik konsumen maupun produsen serta pemerintah tentang keamanan dan

kualitas nilai gizi sosis.

Kata kunci : sosis sapi, nitrit, nilai gizi.

PENDAHULUAN

Sapi merupakan salah satu komoditi peternakan di Indonesia. Hasil pendataan sapi

potong, sapi perah, dan kerbau diketahui bahwa populasi sapi potong mencapai 14,8 juta

ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Provinsi yang memiliki populasi

sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut-turut adalah Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa

Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; Nusa Tenggara Timur 778,2 ribu ekor;

Lampung 742,8 ribu ekor; Nusa Tenggara Barat 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu ekor; dan

Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di

Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jumlah populasi ternak sapi potong di

Indonesia cukup tinggi sehingga memungkinkan pemanfaatannya sebagai sumber bahan

pangan hewani yaitu daging sapi (Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, 2011).

Page 300: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

290

Ciri daging sapi yang baik adalah daging berwarna merah cerah (khas daging),

berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensinya liat, bau beraroma serta tidak berair

(Standar Nasional Indonesia (SNI) 3932 : 2008). Daging sapi mempunyai kandungan gizi

yang cukup tinggi seperti protein, zat besi, selenium, vitamin B kompleks, vitamin D, zat

seng dan omega 3 (Hasrati dan Rusnawati, 2011). Selain memiliki kandungan gizi

yangcukup tinggi, pada umumnya daging sapi juga mudah rusak, oleh karena itu

penanganan yang tepat dan cepat akan menekan tingkat kerusakan daging sapi. Salah satu

cara memperpanjang daya tahan, mengembangkan cita rasa dan memperbesar daya guna

dapat dilakukan dengan pengolahan dan pengawetan.

Tujuan pengolahan maupun pengawetan antara lain untuk memperpanjang waktu

penyimpanan, mempertahankan nilai gizi, memberi peluang penganekaragaman jenis

olahan serta menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan

kuman agar daging tidak mudah rusak (Badan Petunjuk Pengolahan dan Teknologi, 2000).

Salah satu pengolahan daging sapi yaitu dibuat menjadi sosis sapi. Ketentuan mutu sosis

berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-3820-1995 adalah kadar air 67%, kadar abu

3%, kadar protein minimum 13%, kadar lemak maksimum 25%, kadar karbohidrat

maksimum 8%.

Proses curing merupakan teknik pengolahan dalam pembuatan sosis sapi yaitu

dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Natrium nitrit dan atau

Natrium nitrat, gula serta bumbu-bumbu (Soeparno, 2009). Nitrit adalah salah satu bahan

tambahan pangan yang diperlukan dalam pengawetan sosis sapi. Nitrit diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, mempertahankan warna merah

daging agar tampil menarik, dan juga sebagai pembentuk cita rasa (Nurwantoro, 1999

dalam Waruwu, 2010).

Menurut Khomsan (2003), nitrit sebagai pengawet aman digunakan, namun

sekalipun aman perlu diperhatikan batas aman penggunaannya dalam pangan supaya tidak

menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Konsumsi nitrit yang

berlebihan dapat menyebabkan keracunan. Berdasarkan SNI 01-0222-1995 batas

penggunaan nitrit yang aman dalam bahan pangan olahan contohnya sosis sapi yaitu

sebesar 125 mg/kg.

Pada tahun 1989 terdapat kasus biskuit beracun yang menelan korban 38 jiwa

manusia, akibat mengkonsumsi Natrium nitrit yang secara tidak sengaja ditambahkan

kepada makanan karena kekeliruan (Waruwu, 2010). Berdasarkan hal tersebut di atas maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Tingkat kandungan nitrit dan nilai

gizi pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota Kupang”.

MATERI DAN METODE

Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu untuk

menganalisa kandungan bahan pengawet nitrit dan nilai gizi pada berbagai merek sosis

sapi.

Page 301: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

291

Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Hypermart dan Supermarket pada

Ramayana Flobamora Mall, dimana setelah dilakukan survei kedua tempat ini

merupakan pasar swalayan yang cukup besar dan banyak dimanfaatkan

masyarakat serta menjual hampir semua merek sosis sapi. Sampel yang diambil

berjumlah 10 dengan masing-masing merek yaitu bernardi, abby’s, farmhouse,

kimbo, harmoni, vitalia, irene, andy, willy, dan champ yang akan diuji di

Laboratorium Balai Pengawas Obat dan Makanan Kota Kupang dan

Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana.

b. Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2014.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah kandungan nitrit dan nilai gizi pada sosis sapi.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh merek sosis sapi yang dijual di Kota

Kupang.

Sampel

Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa terdapat 10 merek sosis sapi

yang ada di Kota Kupang yaitu sosis sapi bernardi, abby’s, farmhouse, kimbo,

harmoni, vitalia, irene, andy, willy, dan champ, sehingga hal ini menjadi

pertimbangan peneliti untuk mengambil semua merek sosis sapi tersebut sebagai

sampel. Dengan demikian metode yang digunakan dalam penentuan sampel

adalah metode sampling jenuh yaitu dengan mengambil keseluruhan populasi

yang ada dimana jumlah populasinya kurang dari 30 (Sugiyono, 2012).

Teknik Pengumpulan Data

Sumber data penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian data primer. Data primer yang

dimaksud adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium

mengenai tingkat kandungan nitrit dan nilai gizi pada berbagai merek sosis sapi.

Pengumpulan data

a. Tahap persiapan

Melakukan survei awal dan menetapkan lokasi penelitian dalam hal ini

tempat yang menjual berbagai merek sosis sapi (yang ada di Kota Kupang),

yaitu Hypermart dan supermarket Ramayana Flobamora mall.

b. Tahap pelaksanaan

Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi yang sudah ditentukan,

kemudian sampel tersebut dibawa ke Laboratorium BPOM Kota Kupang dan

Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Undana untuk dilakukan

pengujian sesuai prosedur yang berlaku.

Page 302: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

292

MATERI DAN PROSEDUR PENELITIAN

Materi pengujian nitrit

Alat yang digunakan dalam pengujian nitrit terdiri dari spektrofotometer,

labu ukur 200 ml, bekker glass 100 ml, corong penyaring, erlenmeyer 300 ml,

labu ukur coklat 100 ml, pipet volume 50 ml.

Bahan yang digunakan sosis sapi, larutan sulfanilamide, larutan n-1

naftilethylendiamin dihidroklorida 0,1% b/v, larutan zink acetat, larutan kalium

besi (II) sianida trihidrat 10,6 % b/v, larutan HCl 5 N dan 5,34 N, larutan

natrium tetraborat 0,5 % b/v.

Prosedur pengujian nitrit

a. Larutan uji

- 10 g sampel yang telah dihaluskan dan homogen ditimbang, lalu

dimasukkan dalam beker glass 100 ml. Selanjutnya ditambahkan 5 ml

larutan natrium tetraborat 0,5 % b/v dan 70 ml air panas (suhu air tidak boleh

kurang dari 70 ºC), dicampur hingga homogen dan larutan dipindahkan

dalam labu takar 200 ml dengan bantuan 75 ml air panas.

- Labu tersebut dipanaskan pada penangas air mendidih selama 30 menit

sambil sering dikocok dan dinginkan. Selanjutnya dimasukkan 5 ml larutan

kalium besi (II) sianida trihidrat 10,6 % b/v dan 5 ml larutan zink acetat lalu

dikocok hingga homogen.

- Larutan yang sudah homogen diatur pH supernatan hingga 8,3 dengan

penambahan larutan NaOH 1 M atau HCl 4 M. Setelah itu ditambahkan

aquadest hingga mencapai tanda, dan dikocok sampai homogen, didiamkan

selama 30 menit. Kemudian larutan tersebut disaring hingga diperoleh filtrat

yang jernih.

- Dengan pipet 50 ml filtrat dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml.

Kemudian ditambahkan 10 ml larutan sulfanilamide dan 6 ml larutan HCl

5,34 N kemudian dikocok dan diamkan di tempat gelap selama 5 menit.

- Ditambahkan 2,0 ml larutan naftilethilendiamin dihidroklorida 0,1 % b/v,

kemudian dikocok dan diamkan ditampat gelap selama 3 menit.

- Selanjutnya ditambahkan aquadest hingga mencapai tanda, kemudian

dikocok sampai homogen (A).

- Untuk larutan blanko disiapkan sama seperti larutan uji dengan

menggunakan 10 ml aquadest sebagai pengganti 10 gr sampel.

b. Larutan baku

- 150 mg NaNO2 ditimbang dan dimasukkankedalam labu ukur 100 ml,

kemudian diencerkan dengan aquadest hingga tanda dan dikocok sampai

homogen (B).

- Dengan Pipet 1,0 ml larutan B, diencerkan dengan aquadest hingga 100 ml

(Bi).

- Pipet yang berisi 0,5 ml; 1 ml; 2 ml; 3 ml larutan Bi dipindahkan kedalam

labu ukur 50 ml.

Page 303: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

293

- Didiamkan di tempat gelap selama 5 menit.

- Ditambahkan 2,0 ml larutan naftilethylendiamin dihidroklorida 0,1 % b/v,

kemudian dikocok dan didiamkan ditempat gelap selama 3 menit.

- Selanjutnya ditambahkan aquadest hingga tanda, kocok sampai homogen

(B1, B2, B3, B4).

c. Cara penetapan

Masing-masing larutan A, B1, B2, B3, B4 segera diukur serapannya

menggunakan spektrofotometer pada λ 538 nm. Perhitungan : kadar nitrit

dapat dihitung menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan garis lurus

y =bx+a.

Materi dan prosedur pengujian kandungan gizi

Materi dan prosedur pengujian kandungan gizi (Protein, Lemak dan

Karbohidrat) :

Materi dan prosedur pengujian protein

1. Materi pengujian protein

Alat yang digunakan dalam pengujian protein yaitu

timbangan analitik, spatula, labu Kjieldahl/labu digesti, alat

destruksi, dispenser, beker glass kimia, pipet tetes, erlenmeyer,

destilator, buret 50 ml, magnetic sterier.

Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar protein yaitu

sosis sapi, H2SO4 pekat; katalisator mix CuSO4. 5H2O dan K2SO4

(0,8:7); NaOH 35%, HCl 0,2 N; H3BO3 4%, aquades; metil merah.

2. Prosedur pengujian protein

- Dimasukkan sampel sebanyak 1 g (a) dalam labu Kjieldahl.

- Ditambahkan 7,8 g katalisator mix (7 g K2SO4 + 0,8 g CuSO4. 5H2O)

serta 12,5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu Kjieldahl, selanjutnya

didestruksi hingga larutan menjadi hijau/biru bening.

- Setelah destruksi larutan didinginkan.

- Destilator/Kjelflex dihidupkan dengan menekan power.

- Dimasukkan 3 tetes metil merah dalam erlenmeyer dan diletakkan

pada posisi alat destilasi hingga koleksi dalam labu erlenmeyer

mencapai 25 ml asam borat (4%). Tabung digesti yang berisikan

sampel diletakkan pada posisi unit destilasi. Ditampung sedikitnya

100 ml sampel tersebut dalam labu erlenmeyer.

- Program dibuat dan di setting sesuai kebutuhan (sesuai kebutuhan

bahan kimia yang akan digunakan).

- Destilasi dilakukan dengan menekan tombol enter.

- Destilasi dilakukan selama 3 menit, tunggu hingga proses destilasi

selesai dan residunya dibuang ke tempat penampungan.

Nitrit dihitung

sebagai mg/kg

:

µg nitrit/ml dari kurva

gr sampel

X

Faktor pengenceran

Page 304: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

294

- Labu erlenmeyer yang berisi destilat diangkat dan titrasi dilakukan

dengan menggunakan HCl 0,2 N (b). Catat volume HCl yang

terpakai, misal (c) ml.

- Untuk blanko, caranya sama tetapi tidak memakai sampel, misal (d)

ml.

3. Penetapan kandungan protein

Keterangan : a : Berat sampel

b : Normalitas HCl standart

c : Volume HCl titrasi sampel

d : Volume HCl titrasi blanko

Materi dan prosedur pengujian lemak

1. Materi pengujian lemak

Alat yang digunakan pada pengujian lemak berupa ekstraksi soxhlet,

pendingin tegak, penangas air, labu penampung, filter, desikator, tanur,

oven, cawan, pinset, timbangan analitik.

Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar lemak yaitu sosis,

ether dan pelarut lemak lainnya seperti petrolium benzena.

2. Prosedur pengujian lemak

- Kertas saring/filter dimasukkan kedalam oven yang bersuhu 105 ºC

selama 1 jam. Kemudian diangkat dan diletakkan dalam desikator

selama 30 menit lalu di timbang berat kertas saring/filter.

- Sampel ditimbang sebanyak (a) g, lalu dimasukkan dalam roll film

yang berisi larutan ether untuk dilakukan perendaman selama 20 jam.

Roll film yang berisi sampel diletakkan didalam freezer agar larutan

ether tidak menguap.

- Sampel diangkat dan dipindahkan larutan ether dari dalam roll film

dan dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxlet.

- Water circulation bersuhu 5 ºC, labu penampung, pendingin tegak,

alat ekstraksi Soxlet dirangkai sedemikian rupa lalu diletakkan di atas

tungku pemanas.

- Pada rangkaian soxlet tersebut diisi ether atau petrolium benzena.

- Proses ekstraksi dihentikan apabila pada labu Soxlet bahan pelarutnya

sudah bening.

- Sampel diangkat dan dikeringkan dalam oven yang bersuhhu 105 ºC

sekurangnya 20 jam.

- Sampel diangkat dan diletakkan dalam desikator selama 30 menit.

% N = (c-d) x 0,2 x 1,40067 X 100 %

(a)(%BK/100)

% protein = % N x 6,25

Page 305: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

295

- Ditimbang dan catat berat sampel (C) g.

- Untuk menghitung presentase lemak kasar adalah sebagai berikut :

Materi dan prosedur pengujian karbohidrat

Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu

dengan perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan

kadar lemak. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam

menghitung kadar karbohidrat dengan metode by difference.

Definisi Operasional

1. Sosis sapi adalah salah satu jenis makanan yang terbuat dari daging sapi cincang,

lemak sapi, dan rempah serta bahan-bahan lain yang kemudian dimasukan

kedalam selongsong.

2. Kandungan nitrit adalah banyaknya nitrit yang terkandung dalam berbagai merek

sosis sapi, yang diukur dengan metode spektofotometri.

3. Memenuhi syarat kesehatan jika jumlah kandungan nitrit yang terdapat pada

berbagai merek sosis sapi sesuai, dalam hal ini sama atau kurang dari batas yang

ditetapkan SNI 01-0222-1995 yaitu sebesar 125 mg/kg.

4. Tidak memenuhi syarat kesehatan jika jumlah kandungan nitrit yang terdapat pada

berbagai merek sosis sapi tidak sesuai, dalam hal ini melebihi batas yang

ditetapkan SNI 01-0222-1995 yaitu sebesar 125 mg/kg.

5. Memenuhi syarat gizi jika jumlah kandungan gizi pada berbagai merek sosis sapi

sesuai dengan ketentuan mutu sosis berdasarkan SNI 01-3820-1995 adalah kadar

air 67%, kadar abu 3%, kadar protein minimum 13%, kadar lemak maksimum

25%, kadar karbohidrat maksimum 8%.

6. Tidak memenuhi syarat gizi jika jumlah kandungan gizi pada berbagai merek

sosis sapi tidak sesuai dengan ketentuan mutu sosis berdasarkan SNI 01-3820-

1995 adalah kadar air 67%, kadar abu 3%, kadar protein minimum 13%, kadar

lemak maksimum 25%, kadar karbohidrat maksimum 8%.

7.

Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara Bivariat. Analisis

Bivariatmerupakan penyajian data secara deskriptif yang membahas dua variabel yang

dalam penyajiannya berbentuk tabel yaitu menganalisis tingkat kandungan nitrit dan nilai

gizi pada berbagai merek sosis sapi.

Kadar lemak kasar = ((a x (%BK/100)) + b-c X 100%

(a x (%BK/100)

Kadar karbohidrat (%) = 100% – (% kadar air + %kadar abu

+ %kadar protein + % kadar lemak)

Page 306: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

296

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Tingkat Kandungan Nitrit Pada Berbagai Merek

Sosis Sapi

Pemeriksaan tingkat kandungan nitrit pada sosis sapi diawali dari pengambilan

sampel yang telah ditentukan yaitu pada Hypermart dan Ramayana Flobamora mall,

kemudian dibawa ke Laboratorium Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota

Kupang untuk dilakukan pemeriksaan kandungan nitrit. Sampel yang diteliti terdiri dari 10

merek sosis sapi yaitu sosis sapi bernardi, abby’s, farmhouse, kimbo, harmoni, vitalia,

irene, andy, willy, dan champ.

Berdasarkan hasil observasi peneliti, 10 merek sosis sapi yang diambil untuk

pemeriksaan tersebut mempunyai berat rata-rata yang berkisar antara 160 sampai 250 gr

serta pada setiap kemasan berisi 6 sampai 8 potong batang sosis. Sampel tersebut disimpan

pada penyimpanan dingin yaitu 0 ºC sampai 0,2 ºC dan tempat penyimpanannya terbuka.

Sampel yang diambil dikemas dalam plastik yang vakum (kedap udara).

Hasil perhitungan tingkat kandungan nitrit diperoleh dalam bentuk konsentrasi

(ppm) dan kandungan nitrit (mg/kg), yang dibandingkan dengan Standar Nasional

Indonesia. Menurut (SNI) 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada

produk daging sapi olahan yaitu sosis sapi sebesar 125 mg/kg dan memastikan penggunaan

pengawet nitrit dalam berbagai merek sosis sapi sudah memenuhi syarat untuk dikonsumsi

masyarakat.

Hasil pemeriksaan tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota

Kupang

No Merek

Sampel

Konsentrasi

(ppm)

Kandungan

Nitrit

(mg/kg)

Rata-Rata

Kandungan Nitrit

1 Bernardi A

Bernardi B

0,027

0,028

0,8668

0,9211

0,89 mg/kg

2 Abby’s A

Abby’s B

0,589

0,579

27,5721

27,1527

27,36 mg/kg

3 Farmhouse A

Farmhouse B

0,020

0,019

0,4259

0,3821

0,40 mg/kg

4 Kimbo A

Kimbo B

0,090

0,098

3,1128

3,3928

3,25 mg/kg

5 Harmoni A

Harmoni B

0,859

0,839

32,5356

31,6143

32,07 mg/kg

Page 307: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

297

6 Vitalia A

Vitalia B

0,129

0,132

4,6109

4,6661

4,64 mg/kg

7 Irene A

Irene B

0,376

0,359

17,5233

16,7506

17,14 mg/kg

8 Andy A

Andy B

0,474

0,474

22,1677

21,8659

22,02 mg/kg

9 Willy A

Willy B

0,520

0,520

19,4860

19,5144

19,50 mg/kg

10 Champ A

Champ B

0

0

0

0

0

Keterangan : Batas maksimal penggunaan nitrit menurut SNI 01-0222-1995 adalah 125

mg/kg

Tabel 1 menunjukkan nilai hasil perhitungan rata-rata kandungan nitrit pada 10

merek sosis sapi berada di bawah batas maksimum penggunaan nitrit yang ditetapkan oleh

Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP)

yaitu sebesar 125 mg/kg atau dengan kata lain sampel yang diteliti 100% berada di bawah

batas yang ditetapkan oleh SNI. Hasil kandungan nitrit yang diteliti, nilai tertinggi berada

pada sampel merek harmoni yaitu sebesar 32,07 mg/kg dan terendah pada merek champ

sebesar 0 mg/kg.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, perbedaan kandungan nitrit pada setiap

sampel mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya perbedaan lama simpan

(masa kadaluarsa), suhu, dan kemasan. Lama penyimpanan erat hubungannya dengan

konsentrasi nitrit yang dipakai sebagai bahan pengawet. Karena konsentrasi nitrit yang

dipakai disesuaikan dengan lama penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan, pada

masing-masing sampel mempunyai lama penyimpanan selama 3 sampai 4 bulan tetapi

mempunyai tanggal produksi serta tanggal kadaluarsa yang berbeda. Hal ini disebabkan

karena masing-masing produsen tidak mengirimkan berbagai merek sosis dalam waktu

yang bersamaan.

Menurut Hartati (2010) bahwa kadar nitrit pada sosis sapi berpengaruh terhadap

lama penyimpanan (kadaluarsa). Semakin banyak kadar nitrit semakin lama masa

penyimpanan (masa kadaluarsa), karena proses oksidasi reduksi nitrit serta penguraian

nitrit bisa diminimalkan sesuai jangka waktu kadaluarsa sosis sapi. Proses oksidasi

merupakan proses reaksi nitrit dan protein daging yaitu mioglobin yang berperan

mempertahankan warna merah dari daging sosis (Soeparno, 2009).

Suhu dapat berpengaruh terhadap kandungan nitrit. Berdasarkan hasil observasi

kemasan sampel yang diambil dianjurkan untuk penyimpanan pada suhu beku (-18 ºC),

karena pada suhu ini perubahan kualitas daging beku sangat minimal (forrest et al., 1977).

Tetapi sampel yang diambil disimpan pada suhu refrigerator (0 ºC sampai 0,2 ºC) serta

tempat penyimpanan sampel pada tempat terbuka. Pernyataan ini sesuai dengan Soeparno

(2009), bahwa residu nitrit akan menurun selama penyimpanan pada temperatur refrigerasi.

Menurut Triatmodjo (1992), pada suhu refrigerator proses reaksi enzimatis dan kimia serta

Page 308: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

298

pertumbuhan mikroba pada daging masih dapat berlangsung. Hal ini sinergis dengan

proses penguraian nitrit terhadap reaksi kimia serta enzimatis, yang menyebabkan nitrit

bersifat antioksidan untuk menghambat proses oksidasi lemak yang dapat menyebabkan

ketengikan (Forrest et al., 1977).

Kemasan sampel juga berkaitan dengan kadar nitrit, berdasarkan observasi

diketahui bahwa sampel yang diambil berada dalam kemasan plastik yang vakum.

Kemasan plastik ini mempengaruhi kadar nitrit karena kemasan plastik pada sampel dapat

dipengaruhi oleh suhu penyimpanan serta lingkungan sekitar yang berpengaruh terhadap

proses oksidasi serta reduksi dari nitrit. Pernyataan ini didukung oleh Winarno (1995)

dalam Hartati (2010) yang mengatakan bahwa kemasan kaleng dengan proses hampa udara

memberikan proses reduksi dan oksidasi nitrit oleh pengaruh suhu penyimpanan, sehingga

masa penyimpanan kemasan kaleng lebih panjang dibandingkan dengan pengemasan

plastik.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa produsen telah mengetahui atau

memahami batas aman penggunaan nitrit dalam pangan olahan, yaitu dengan menetapkan

lama penyimpanan selama 3 sampai 4 bulan dan penyimpanan pada suhu beku (-18 ºC)

disesuaikan dengan terurainya nitrit yang dipakai sebagai pengawet dalam sosis, akan

tetapi hal ini tidak sinergis dengan hasil observasi sehingga menyebabkan berbedanya

kandungan nitrit dalam sosis.

Walaupun berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan nitrit pada sosis sapi masih

berada di bawah batas maksimum, konsumsi sosis harus tetap diperhatikan karena nitrit

bersifat akumulatif dalam tubuh manusia. Konsumsi nitrit yang berlebihan dapat

menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung, yaitu keracunan

maupun yang bersifat tidak langsung, yaitu nitrit bersifat akumulasi dan menjadi

karsinogenik (Nur dan Suryani, 2011).

Nitrit yang dikonsumsi dalam jumlah banyak akan terbentuk nitrit oksida dalam

jumlah yang banyak pula. Nitrit oksida yang terserap dalam darah, mengubah haemoglobin

darah manusia menjadi nitrose haemoglobin atau methaemoglobin yang tidak berdaya lagi

mengangkut oksigen. Kebanyakan penderita methaemoglobinemia menjadi pucat, sianosis

(kulit kebiru-biruan), akibatnya sesak nafas, muntah dan shock. Kematian pada penderita

dapat terjadi apabila kandungan methaemoglobin lebih tinggi dari 70 % (Nur dan Suryani,

2011).

Hasil Pemeriksaan Nilai Gizi Pada Berbagai Merek Sosis Sapi

Hasil pemeriksaan nilai gizi pada berbagai merek sosis sapi yang dilakukakan di

Laboraturium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, dapat dilihat

pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Nilai gizi pada berbagai merek sosis sapi

Merek

Sampel

PK

(%)

SNI

(Min)

(%)

LK

(%)

SNI

(Max)

(%)

CHO

(%)

SNI

(Max)

(%)

Bernardi 12,72 8,70 8,55

Abby’s 12,88 14,80 9,45

Page 309: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

299

Farmhouse 9,27 10,18 14,47

Kimbo 11,07 7,07 14,62

Harmoni 11,56 13 14,65 25 11,01 8

Vitalia 12,73 8,70 9,99

Irene 10,31 8,78 13,86

Andy 8,97 5,11 20,86

Willy 10,30 8,75 16,90

Champ 11,60 13,56 7,57

Rata-Rata 11,14 10,03 12,72

Keterangan : PK (Protein kasar) LK (Lemak kasar) CHO (karbohidrat)

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa nilai gizi protein pada 10 merek sosis sapi

100% masih berada di bawah batas minimal SNI 01-3820-1995yang telah ditetapkan yaitu

sebesar 13%. Sampel yang memiliki nilai gizi protein tertinggi yaitu pada sampel merek

abby’s sebesar 12,88% dan terendah pada sampel merek andy yaitu sebesar 8,97 %. Hasil

ini mengindikasikan bahwa semua nilai gizi protein sosis sapi tidak memenuhi syarat mutu

nilai gizi dari sosis sapi.

Protein merupakan zat gizi utama untuk pertumbuhan serta perkembangan tulang,

otot dan juga membantu perkembangan otak. Menurut Dalilah (2006), penggunaan daging

giling beku dapat mengakibatkan protein yang larut air ikut terlarut dalam air drip (cairan

hasil thawing) saat proses thawing terjadi, sehingga kadar protein yang terukur semakin

kecil. Kadar protein pada sosis juga dipengaruhi oleh jenis daging, kandungan protein awal

dalam daging, dan jumlah daging yang digunakan (Pujorahardjo, 2002).

Hasil pemeriksaan kandungan lemak pada 10 merek sosis sapi 100% masih berada

di bawah batas maksimal nilai gizi sosis yang telah ditetapkan oleh SNI 01-3820-1995

sebesar 25%. Sampel yang memiliki nilai lemak tertinggi yaitu pada sampel merekabby’s

sebesar 14,80% dan terendah pada sampel merk andysebesar 5,11%. Hasil tersebut

mengindikasikan bahwa mutu nilai gizi lemak pada sosis sapi masih memenuhi syarat SNI

01-3820-1995. Peranan lemak dalam pembuatan sosis yaitu untuk memperoleh sosis yang

empuk, kompak dan rasa yang lebih baik (Granada, 2011).

Hasil pemeriksaan nilai gizi karbohidrat pada 10 merek sosis sapi diketahui bahwa

90% melebihi batas maksimal SNI 01-3820-1995yaitu sebesar 8%. Sampel yang

mempunyai nilai karbohidrat tertinggi yaitu pada sampel merek andy sebesar 20,86% dan

terendah pada sampel merek champ sebesar 7,57 %.

Nilai karbohidrat yang tinggi dikarenakan konsentrasi penggunaan bahan pengisi

dalam hal ini karbohidrat pada pembuatan sosis cukup banyak yaitu tepung terigu, tepung

beras, tepung tapioka, tepung kedelai, tepung ubi jalar, tepung roti dan tepung kentang

(Koswara, 2009). Fungsi karbohidrat pada pembuatan sosis untuk menarik air, memberi

warna khas, membentuk tekstur yang padat, memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan

penyusutan waktu pemasakan, memperbaiki cita rasa dan sifat irisan (Koswara, 2009).

Namun hasil ini mempunyai standar gizi karbohidrat melebihi batas yang harus ada pada

sosis sapi, sehingga hasil ini mengindikasikan adanya penurunan nilai gizi atau

penambahan tepung yang terlalu berlebihan.

Variasinya nilai gizi dari 10 merek sosis sapi diketahui bahwa untuk setiap

kandungan gizi pada setiap sampel berkaitan dengan suhu, kemasan, lama penyimpanan

Page 310: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

300

dan konsentrasi bahan yang dipakai. Berdasarkan hasil observasi, sampel yang dijual pada

tempat pengambilan sampel, disimpan pada suhu dingin yaitu pada suhu 0 ºC sampai 0,2

ºC. Pada penyimpanan dingin yang lama dapat meningkatkan kelembaban juga

ketersediaan air yang ada cukup banyak dan reaksi enzimatis pada daging hanya dapat

diminimalkan, faktor ini berhubungan dengan pertumbuhan mikroorganisme yaitu semakin

banyaknya ketersediaan air maka pertumbuhan mikroorganisme dalam menurunkan

kualitas daging juga semakin baik (Forrest et al., 1975). Pada suhu refrigerator (0 ºC

sampai 5 ºC) mikroorganisme psikrofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh, sehingga

dapat menyebabkan kerusakan kualitas daging akibat akitivitas mikroorganisme

(Soeparno, 2009). Suhu yang baik untuk mempertahankan kualitas dari daging yaitu pada

penyimpanan beku (Soeparno, 2009). Dengan membekunya sebagian kandungan air bahan

atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad

renik yaitu pertumbuhan mikroorganisme dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat

mempertahankan mutu bahan pangan (Triatmodjo, 1992 dalam Lay Rihi, 2009).

Kemasan juga berkaitan dengan kestabilan nilai gizi. Dengan masuknya mikroba

melalui kemasan yang memiliki permiabilitas uap air dan gas yang cukup tinggi pada saat

terjadi pertukaran uap tersebut akan mempengaruhi nilai gizi (Forsythe dan Hayes, 1998

dalam Lay Rihi, 2009). Hal ini sesuai pada saat observasi, kemasan sampel yang berada

pada suhu dingin mempunyai sedikit permiabilitas uap air. Hal ini tidak menutup

kemungkinkan bahwa dapat masuknya mikroorganisme dalam membuat perubahan nilai

gizi.

Kemasan juga berhubungan ketersediaan oksigen/gas yang ada dalam kemasan.

Menurut Syarief dan Halid (1993) dalam Nur (2009), pengemasan vakum pada prinsipnya

adalah pengeluaran gas dan uap air dari produk yang dikemas, tetapi tidak menutup

kemungkinan bahwa dari kemasan vakum yang terlihat pada saat observasi masih adanya

kandungan oksigen/gas walaupun kandungannya sedikit, hal ini dapat terjadi pada saat

penanganan waktu pengemasan sampel serta pendistribusian sampel. Menurut Faridaz,

Andhika dan Lasmi (1992) dalam Nur (2009), ketersediaan oksigen merupakan salah satu

faktor utama untuk pertumbuhan mikroba aerob. Adanya oksigen di dalam kemasan serta

adanya pertukaran atau sirkulasi gas dan uap air melalui pori-pori kemasan yang cukup

besar pada kemasan dapat menyebabkan mikroorganisme aerob meningkat

pertumbuhannya sehingga terjadi perombakan komponen-komponen gizi (Nur, 2009).

Lama penyimpanan (umur simpan) yang baik juga akan menentukkan kualitas dari

pangan olahan. Lama penyimpanan bahan pangan merupakan jangka waktu dimana bahan

pangan tersebut dianggap tetap aman dan layak untuk dikonsumsi, dapat digunakan oleh

konsumen seperti kebutuhannya dan kemasan dapat mempertahankan keadaan bahan

pangan yang dikemasnya (Lay Rihi, 2009).

Lama penyimpanan ditentukan berdasarkan salah satu atau beberapa faktor kualitas

dari bahan pangan yang dianggap paling penting yang akan berubah selama lama

penyimpanan sampai mencapai batas terakhir yang masih dapat dianggap baik (Park et al.,

2000 dalam Lay Rihi, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, diketahui bahwa

umur simpan rata-rata dari semua sampel berkisar antara 3 sampai 4 bulan dan diketahui

pula bahwa ada beberapa sampel yang mendekati umur penyimpanan, serta ada yang agak

Page 311: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

301

jauh dari umur simpan sosis sapi. Hal inilah yang dapat mengakibatkan adanya sedikit

perubahan dari nilai gizi dari setiap sampel.

Komposisi bahan penyusun sosis sapi, menjadi salah satu faktor adanya perbedaan

dari setiap nilai gizi yang didapatkan dari semua sampel. Hal ini dikarenakan pada setiap

merek/produk mempunyai takaran yang berbeda-beda, terutama bahan tepung tapioka yang

ditambahkan sehingga mendukung adanya perbedaan dari setiap nilai gizi.

Hubungan Kandungan Nitrit Dengan Nilai Gizi

Hasil pemeriksaan antara kandungan nitrit dengan nilai gizi pada 10 merek sosis

sapi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hubungan kandungan nitrit dengan nilai gizi

Merek

Sampel

NILAI GIZI NITRIT

PK

(%)

SNI

(Min)

(%)

LK

(%)

SNI

(Max)

(%)

CHO

(%)

SNI

(Max)

(%)

Nitrit

(mg/kg)

SNI

(mg/kg)

Bernardi 12,72 8,70 8,55 0,89

Abby’s 12,88 14,80 9,45 27,36

Farmhouse 9,27 10,18 14,47 0,40

Kimbo 11,07 7,07 14,62 3,25

Harmoni 11,56 13 14,65 25 11,01 8 32,07 125

Vitalia 12,73 8,70 9,99 4,64

Irene 10,31 8,78 13,86 17,14

Andy 8,97 5,11 20,86 22,02

Willy 10,30 8,75 16,90 19,50

Champ 11,60 13,56 7,57 0

Rata-Rata 11,14 10,03 12,72 12.72

Keterangan : PK (protein kasar) LK (lemak kasar) CHO (karbohidrat)

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan kandungan nitrit pada 10 merek

sosis sapi masih berada dibawah batas maksimum SNI atau dengan kata lain masih aman

untuk dikonsumsi. Ditinjau dari nilai gizi dapat diketahui bahwa nilai gizi protein dari 10

merek sosis sapi 100% masih berada di bawah batas minimal SNI 01-3820-1995 atau tidak

memenuhi syarat mutu sosis daging.Sedangkan protein merupakan nilai gizi yang penting

bagi pertumbuhan, perkembangan tulang, otot dan perkembangan otak.

Nilai gizi lemak pada semua merek sosis sapi 100% masih berada di bawah batas

maksimal SNI atau nilai gizi lemak ini masih memenuhi syarat mutu gizi sosis dan dapat

dikatakan bahwa konsentrasi lemak yang dipakai baik untuk keempukan dari sosis,

sedangkan untuk nilai gizi karbohidrat pada 10 merek sosis sapi 90% melebihi batas

maksimum SNI. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung sebagai bahan

pengisi pada sosis lebih banyak dibandingkan daging sehingga terjadinya penurunan nilai

gizi protein.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dari ketiga nilai gizi tersebut

tidak 100% memenuhi syarat mutu gizi yang ditetapkan oleh SNI 01-3820-1995. Hal ini

Page 312: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

302

dikarenakan produsen lebih banyak menggunakan bahan pengisi yaitu tepung

dibandingkan penggunaan daging dan tidak menutup kemungkinan juga produsen lebih

melihat dari segi ekonomis daripada mutu gizi/kualitas dari sosis daging, dimana tepung

lebih murah dibandingkan dengan daging.

PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Tingkat kandungan nitrit pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota

Kupang 100% berada di bawah batas maksimum penggunaan yang telah ditetapkan

dalam SNI 01-0222-1995.

2. Nilai gizi protein dan lemak pada berbagai merek sosis sapi yang dijual di Kota

Kupang 100% berada di bawah batas SNI dan nilai gizi karbohidrat 90% berada

diatas batas SNI 01-3820-1995.

Saran

1. Disarankan kepada masyarakat agar mengurangi konsumsi sosis sapi, walaupun

hasil yang diketahui bahwa kandungan nitrit berada di bawah SNI 01-0222-1995.

Hal ini disebabkan karena konsumsi nitrit yang berlebihan dapat menimbulkan

keracunan dan menjadi karsinogenik (menyebabkan kanker).

2. Disarankan kepada produsen agar tetap memperhatikan penggunaan nitrit dan nilai

gizi dalam sosis sapi agar sesuai dengan batas yang telah ditetapkan oleh SNI yang

diacu.

3. Dari hasil yang diketahui tentang kandungan nitrit maupun nilai gizi dari sosis sapi,

agar menjadi perhatian bagi pemerintah maupun dinas terkait untuk tetap

memperhatikan kandungan bahan pengawet yang mempunyai efek negatif terhadap

kesehatan juga kualitas gizi yang terkandung dalam sosis sapi.

4. Diharapkan bagi peneliti lain untuk dapat mengembangkan dan melakukan

penelitian yang lebih mendalam terhadap kandungan dan jenis pengawet lain yang

mungkin dipakai pada sosis sapi selain nitrit, yang mempunyai efek negatif

terhadap kesehatan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Petunjuk Pengolahan dan Teknologi. 2000, Dendeng Sayat. Jakarta, BPP

Teknologi.

Balai Informasi Pertanian DKI Jakarta. 1993, Karkas dan Bagian-bagiannya, Jakarta.

Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wooton, M. 1987, Ilmu Pangan,

(Terjemahan Purnomo, H dan Adiono), Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,

dikutip Waruwu, F. I. P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk

Daging Sapi Olahan yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi,

SKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Cahyadi, W. 2006, Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, PT Bumi

Aksara, Jakarta.

Page 313: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

303

Dalilah, E. 2006, Evaluasi Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapi dan Hasil

Olahannya, Skripsi, SKM, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Faridaz, D., Andhika, A., dan Lasmi, K. 1993, Penurunan Kandungan dalam kemasan

dengan katalis untuk memperpanjang masa simpan produk pangan, Laporan

penelitian Institup Pertanian Bogor, Bogor dikutip Nur, M. 2009, Pengaruh Cara

Pengemasan, Jenis Bahan Pengemas, Dan Lama Penyimpanan Terhadap Sifat

Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Sate Bandeng (Chanos Chanos), Jurnal

Teknologi dan Industri Hasil Pertanian, Vol 14. No 1.

Forrest, J.C., Aberle, E.D., Hendrick, H.B., Judge, M.D and Merkel, R.A. 1975, Principle

of Meat Science, W. H. Freeman and Company, San Fransisco.

Forsythe, S.J. and Hayes, P.R. 1998, Food Hygiene Microbiology and HACCP. Aspen

Publisher. Gaitherburg, dikutip Lay Rihi, A. Y. M. 2009, Pengaruh Lama

Penyimpanan Pada Suhu Dingin Terhadap pH, Water Holding Capacity, Tekstur,

dan Total Plate Count Bakso Ayam Rumput Laut. 2009, Skripsi, S.pt, Fakultas

Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.

Granada, I.P. 2011, Pemanfaatan Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) dalam

Pembuatan Sosis Rasa Sapi dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai, Skripsi,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hartati, S. 2010, Hubungan Bahan Pengawet, Kemasan dan Lama Penyimpanan Sosis

Sapi, Skripsi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Makassar, Makassar.

Hafriyanti., Hidayati., dan Elfawati. 2008, Kualitas Daging Sapi Dengan Kemasan Plastik

PE (Polyethilen) dan Plastik PP (Polypropilen) dipasar Arengka Pekan Baru,

Jurnal Peternakan, 5(1):22-27.

Hasrati, E dan Rusnawati, R. 2011, Kajian penggunaan daging ikan mas (cyprinus carpio

linn) terhadap Tekstur dan cita rasa bakso daging sapi, Agromedia Vol. 29, No. 1.

Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. 2011, Rilis Hasil Awal PSPK 2011,

Kementan-BPS. Jakarta.

Indriyani, B. 2007, Karakteristik Sosis Sapi dengan Menggunakan Bahan Dasar Tepung

Daging Sapi, Skripsi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Khomsan, A. 2003, Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Koswara, S. 2009, Teknologi Praktis Pengolahan Daging, eBookPangan.com.

Kramlich, R.V. 1971, The Science of Meat and Meat Product. Ed. J.F.Price dan B.S.

Schweigert. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Hal. 230-286.

Lawrie. 2003, Ilmu Daging, Edisi Kelima, Terjemahan A. Parakkasi, UI. Press, Jakarta.

Lay Rihi, A. Y. M. 2009, Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Dingin Terhadap pH,

Water Holding Capacity, Tekstur, dan Total Plate Count Bakso Ayam Rumput

Laut, 2009. Skripsi, S.pt, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.

Nurwantoro. 1999, Mikrobiologi Pangan Hewani dan Nabati. Kanisius, Yogyakarta,

dikutip Waruwu, F. I. P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk

Daging Sapi Olahan yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi,

SKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Page 314: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

304

Nur, M. 2009, Pengaruh Cara Pengemasan, Jenis Bahan Pengemas, dan Lama

Penyimpanan Terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Sate

Bandeng (Chanos Chanos). Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian, Vol.

14. No. 1.

Nur, H.H dan Suryani, S. 2011, Analisis Kandungan Nitrit Dalam Sosis Pada Distributor

Sosis di Kota Yogyakarta Tahun 2011, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 6, No.

1.

Park, M.H., Lee, D.S andLee, K.H. 2000, Food Packaging. Hyeongseol Publising. Daegu,

dikutip Lay Rihi, A. Y. M. 2009, Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Dingin

Terhadap pH, Water Holding Capacity, Tekstur, dan Total Plate Count Bakso

Ayam Rumput Laut, 2009, Skripsi, S.pt, Fakultas Peternakan, Universitas

Brawijaya, Malang.

Pujoraharjo, A. 2002, Karakteristik Sosis dari Daging Kelinci dan Ayam dengan Tingkat

Penggunaan Tapioka dan Susu Skim yang Berbeda, Skripsi, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rachman, N. 2005, Uji Kadar Nitrat-Nitrit pada Chicken Nugget yang dijual di Daerah

Malang. Diakses pada 20 Maret 2014, <http://student-research.umm.ac.id>.

Rahardjo, S. 2010, Aplikasi Madu sebagai Pengawet Daging Sapi Giling Segar selama

proses Penyimpanan, Skripsi, Sp, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret,

Surakarta.

Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006, Bahan Tambahan Pangan. Kanisius, Yogyakarta.

Siswanto, B. 2014, Jenis Sapi Unggul di Indonesia. Diakses pada 1 Mei 2014,

<http://www.usahaternak.com/2014/03/jenis-sapi-unggul-di-seluruh-dunia.html>.

Soeparno. 2009, Ilmu dan Teknologi Daging, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2008, SNI 3932 : 2008 : Mutu Karkas dan Daging Sapi,

Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1995, SNI 01-3820-1995 : Sosis Daging, Badan Standarisasi

Nasional, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1995, SNI 01-0222-1995 : Bahan Tambahan Pangan, Badan

Standarisasi Nasional, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1992, SNI 01 - 2891 –1992 : Cara Uji Makanan dan

Minuman, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Sugiyono. 2012, Statistika untuk Penelitian, Alfa beta, Jakarta.

Syarief, R dan Halid, H. 1993, Teknologi Penyimpanan pangan, Institut Pertanian Bogor,

Bogor, dikutip Nur, M. 2009, Pengaruh Cara Pengemasan, Jenis Bahan Pengemas,

Dan Lama Penyimpanan Terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik

Sate Bandeng (Chanos Chanos), Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian,

Vol 14. No 1.

Triatmodjo, S. 1992, Pengaruh Penggantian Daging Sapi dengan Daging Kerbau, Ayam,

Kelinci pada Komposisi dan Kualitas Fisik Bakso, Buletin Peternakan Volume 6,

Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.

Urbain, M.W. 1971, The Science of Meat and Meat Product. Ed. J.F.Price dan B.S.

Schweigert. W.H. Freeman and Co., San Fransisco, Hal 402-431.

Page 315: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

305

Usmiati, S. 2010, ‘Pengawetan Daging Segar dan Olahan’, Bogor : Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Wahyudi, H. 2007, Keracunan Nitrat-Nitrit. Diakses 23 Maret 2014, <http://red-

msg.blogspot.com>.

Waruwu, F.I.P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk Daging Sapi Olahan

yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi, SKM, Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Winarno, F.G. 1980, Pengantar Teknologi Pangan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

dikutip Waruwu, F. I. P. 2010, Pemeriksaan Kandungan Nitrit pada Produk

Daging Sapi Olahan yang dijual di Swalayan Kota Medan tahun 2010, Skripsi,

SKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Winarno, F.G. 1995, Pengantar Teknologi Pangan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

dikutip Hartati, S. 2010, Hubungan Bahan Pengawet, Kemasan dan Lama simpan

Sosis Sapi tahun 2010, skripsi, S.Pd, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Negeri Makassar.

Page 316: Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana - vetpub.netvetpub.net/attachments/File/SemNas_3_-_2015/Prosiding_Semnas_Ke_3... · akan terjadi mekanisme umpan balik positif dalam upaya

Prosiding Seminar Nasional Ke-3 FKH Undana

306