Prosiding BUKU 1

390
BUKU 1 ISBN 978-979-8257-49-0

Transcript of Prosiding BUKU 1

Page 1: Prosiding BUKU 1

BUKU 1

ISBN 978-979-8257-49-0

Page 2: Prosiding BUKU 1
Page 3: Prosiding BUKU 1

PROSIDING SEMINAR NASIONALBUKU 1

“Penerapan Inovasi Teknologi dalam Mendukung Pembangunan Hortikulturayang Berdaya Saing dan Berbasis Keragaman

Sumber Daya Lokal”

Lembang, 5 Juli 2012

Penanggung Jawab :

Dr. Ir. M. Prama Yufdy, MSc.Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura

Penyunting :Dr. Budi MarwotoDr. Budi Winarto

Dr. Idha Widi ArsantiDr. I Djatnika

Dr. Witono AdiyogaDr. Rofik Sinung Basuki

Drs. Jawal AS, MSDr. Iteu M Hidayat

Ir. Otto EndartoDra. Dyah Widiastoeti

Tata Letak dan Editing :Djoko Mulyono

Adhitya Marendra KiloesTuryono

Dian KurniasihNurmalindaOfi LuthfiyahSuarti Sutadi

Alamat :Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura

Jl. Ragunan No. 29 A, Pasar MingguPO Box 122 Jkpsm, 12540 Jakarta Selatan

Telp : (021) 7805768, 7890990, Fax : (021) 7805135E-mail : [email protected]

Website : www.hortikultura.litbang.deptan.go.id

Page 4: Prosiding BUKU 1
Page 5: Prosiding BUKU 1

Kata Pengantar

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│i

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, ProsidingSeminar Nasional Hortikultura tahun 2012 telah dapat diselesaikan denganbaik. Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2012 diBalai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang dengan tema : “PenerapanInovasi Teknologi dalam Mendukung Pembangunan Hortikulturayang Berdaya Saing dan Berbasis Keragaman Sumber Genetik DayaLokal” ini bertujuan untuk : 1) Meningkatkan peran inovasi teknologihortikultura berbasis sumberdaya lokal untuk mendukung tercapainya 4Sukses Kementan, meliputi pencapaian swasembada dan swasembadapangan berkelanjutan, diversifikasi pangan, nilai tambah, daya saing danekspor, serta mewujudkan kesejahteraan petani, 2) Menyebarluaskanhasil-hasil penelitian hortikultura dan meningkatkan adopsi oleh penggunaakhir, 3) Wahana diskusi dalam upaya memberikan solusi pemecahan

permasalahan di bidang pengembangan inovasi teknologi hortikultura dan diseminasinya, dan 4)Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) hortikultura dan membangun jaringan kerjasama di antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Berbagai rumusan telah dihasilkan dalam Seminar Nasional tersebut, diharapkan tidak hanya sebatasmenjadi dokumen semata, tetapi berbagai inovasi dan teknologi hortikultura yang dihasilkan berbagailembaga penelitian dapat ditingkatkan aplikasinya untuk mendukung 4 Sukses Kementan.

Prosiding Seminar Nasional ini mengemukakan hasil-hasil iptek hortikultura yang disajikan dalamnaskah-naskah yang telah dipresentasikan dalam seminar tersebut. Selanjutnya dokumen tersebut telahmelalui proses perbaikan oleh Tim evaluator serta editing oleh tim editor Pusat Penelitian danPengembangan Hortikultura.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yangtelah membantu penyusunan Prosiding Seminar Nasional Hortikultura 2012 ini. Semoga Prosiding inidapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan

Jakarta, April 2013Kepala Pusat,

Dr. Ir. M. Prama Yufdy, MSc.NIP.: 19591010 198603 1 002

Page 6: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

ii│

Page 7: Prosiding BUKU 1

Daftar Isi

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iDAFTAR ISI .................................................................................................................................... iii

Rumusan Hasil Seminar Nasional ................................................................................................. 1Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian ................................. 3

Bagian 1. Pemuliaan dan Teknologi Benih ................................................................................... 6

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family Wellbeing On Mango andCitrus Trees In East Java (Andri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB) ................................................ 7

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical FruitTrees in East Java (Andri, KB dan Purnomo, S) ............................................................................. 15

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning Keriting(Wulandari, AW dan Duriat, A S) .................................................................................................. 24

Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi Mikro TanamanKentang (Karjadi, AK)..................................................................................................................... 31

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.)Umur Genjah (Widiarsih, S dan Dwimahyani, I)............................................................................. 38

Pembentukan Buah Tanpa Biji Melalui Mutasi : Pengaruh Dosis Iradiasi Sinar Gamma padaPertumbuhan Tunas Manggis (Indriyani, NLP, Karsinah, dan Sukartini)....................................... 45

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In Vitro(Joni, Y.Z dan Triatminingsih, R.) ................................................................................................ 52

Parameter Genetik Karakter Komponen Buah pada Beberapa Aksesi Salak (Hadiati, S. danBudiyanti, T) .................................................................................................................................... 59

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada Uji Multilokasi diProvinsi Banten (Yursak, Z. Dan Mayunar) .................................................................................. 65

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi Sayuran(Hidayat, I.M. dan Murtiningsih, E)................................................................................................. 73

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan Sumatera (Nasution, T) ...................................................... 79

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di Indonesia (Hanif, Z dan Ashari, H)............................ 87

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet SiamKintamani (Citrus suhuiensis cv Siam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via SomatikEmbryogenesis (Devy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto) ............................................................... 96

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNA (Santoso,P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP) ............................................................................................... 107

Bagian 2. Fisiologi dan Agronomi ................................................................................................. 113

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi BungaSedap Malam Varietas Roro Anteng (Sihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W) ....... 114

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai FrekuensiPenyiraman dan Media Tumbuh (Juradi, M.A. dan Ardjanhar, A) ................................................. 120

Page 8: Prosiding BUKU 1

Daftar Isi

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

iv│

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu KabupatenPoso (Sukarjo dan Rahayu, HSP) .................................................................................................... 127

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap PertumbuhanAnggrek Dendrobium Jayakarta (Yuniawati, M dan Indriatama, W) ............................................ 134

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui KonsepM-P3MI di Malang-Jatim (Baswarsiati dan Yuwoko) ................................................................... 140

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)(Juhaeti, T dan Lestari, P) ................................................................................................................ 151

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) AsalJawa Barat (Syarif, F dan Utami, NW) ........................................................................................... 161

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap InisiasiPembungaan Anggrek Vanda Robert Delight (Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D) ........... 169

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk MeningkatkanKeberhasilan Aklimatisasi Planlet Anggrek Dendrobium (Utami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N,Santi, A dan Widiastoety, D) ......................................................................................................... 177

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthuriumandraeanum L. ex Andre) (Rachmawati, F. dan D. Pramanik) ...................................................... 184

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan diIndonesia (Sugiyatno, A) ............................................................................................................... 196

Bagian 3. Proteksi ........................................................................................................................... 205

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama KutuDompolan (Dismycoccus brevipes)(Sihombing, D dan Handayati, W)........................................... 206

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5 (Wulandari,AW dan Duriat, AS) ....................................................................................................................... 212

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubenseRas 1 dan Ras 4 terhadap Pisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa (Riska, Jumjunidang,Hermanto, C dan Molina, AB) ......................................................................................................... 219

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan Akibat SeranganAntraknosa (Krestini, E H dan Kusandriani, Y) ............................................................................. 229

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cubense dengan beberapa Vegetative Compatibility Groups di Rumah Kasa (Jumjunidang,C. Hermanto, Riska, dan A. Sutanto) ............................................................................................. 234

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Perkembangbiakan Parasitoid Tamarixia radiata Wats(Yunimar, S. Wuryantini, dan Dwiastuti, ME) ................................................................................ 243

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun Jeruk KabupatenKaro Sumatera Utara (Nasution, I. A, Indarwatmi, M, Kuswadi, A.N, Rusli, dan Ginting, R) ....... 247

Wilt Desease Intensity of Cayenne Plants in the Use of Plastic Mulch and Straw Mulch in DryAgro-Ecosystem Zone (Pustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, A) .................................................. 252

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly TransmittedGeminiviruses on Farmer’s Field in Kaliori, Rembang-Central Java (Sutoyo and Gniffke, P.A).... 256

Page 9: Prosiding BUKU 1

Daftar Isi

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│v

Bagian 4. Pascapanen ................................................................................................................... 263

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada RuangSimpan dan Kemasan yang Berbeda Selama Periode Simpan (Waluyo, N)...................................

264

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI Jakarta (Ramdhan, T, Aminah, Sdan Yanis, M) ................................................................................................................................ 272

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari BuahSalak Manonjaya (Suyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S) .............................................................. 277

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible Film (Purwaningsih,Wanita, Y.P dan Kobarsih, M) ....................................................................................................... 287

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman danLama Penyimpanan (Sunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E) .......................................................... 293

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra Produksi (Amiarsi, D, Suyanti,dan Widowati, S) ............................................................................................................................. 305

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong Alpinia (Sunarmani danAmiarsi, D) ...................................................................................................................................... 311

Bagian 5. Sosial Ekonomi ............................................................................................................. 319

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar Internasional (Sayekti, A, L) .............................. 320

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokaldan Impor Sebagai Dasar Pengingkatan Daya Saing Jeruk Nasional (Kiloes, A M) ..................... 327

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassae(Nurmalinda, Herlina, D dan Hayati, N. Q.) ................................................................................... 335

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak PropinsiKalimantan Barat (Puspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T) ....................................................... 344

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di Indonesia (Setyawati,T).................

351

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul BaruKentang di Jayawijaya, Papua (Wamaer, D) ................................................................................. 359

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, Indonesia (Arsanti, I. W.) ........... 366

Page 10: Prosiding BUKU 1
Page 11: Prosiding BUKU 1
Page 12: Prosiding BUKU 1
Page 13: Prosiding BUKU 1

Rumusan Hasil Seminar Nasional Pekan Inovasi Hortikultura Nasional

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│1

RUMUSAN HASIL SEM INAR NASIONAL INOVASI HORTIKULTURA 2012

TEMA“Penerapan Inovasi Dalam Mendukung Pembangunan Hortikultura Yang Berdaya Saing Dan

Berbasis Sumberdaya Lokal”

1. Seminar Nasional Hortikultura ini diselenggarakan sebagai forum pembahasan pengembanganIPTEK Hortikultura guna mendukung pembangunan hortikultura nasional yang tangguh, moderndan berdaya saing. Inovasi sebagai unsur utama peningkatan daya saing perlu dikembangkansecara luas kepada pengguna agar dapat diadopsi untuk menghasilkan produk trend setter yangmampu menciptakan preferensi pasar global. Dengan kekayaan Sumber Daya Genetik yangmelimpah dan sentuhan inovasi, Indonesia mampu menghasilkan produk trend setter hortikulturayang tidak dapat disaingi oleh negara lain.

2. Jejaring kerja pengembangan inovasi perlu ditingkatkan dari waktu ke waktu, karena bermanfaatuntuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya, menghindari tumpang-tindih penelitian,meningkatkan kualitas penelitian dan mengefektifkan diseminasi hasil penelitian. Ke depan jejaringkerja penelitian dan pengembangan yang selama ini telah terbangun dengan baik perlu diperluasdengan melibatkan para pengguna, sehingga produk inovasi dapat diadopsi langsung untukpeningkatan daya saing hortikultura nasional.

3. Kerjasama ACIAR telah dilakukan selama 30 tahun dengan tujuan untuk pemenuhan gizi danketahanan pangan, menurunkan kemiskinan, diversifikasi usaha, adaptasi terhadap perubahaniklim, meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk hortikultura. Untuk mencapai tujuantersebut ditempuh strategi peningkatan produktivitas, kualitas hasil dan penurunan kehilanganhasil, peningkatan nilai tambah, penurunan residu pestisida, perbaikan pengelolaan tanaman,pengembangan ekspor, biosekuritas, phyitosanitary, peningkatan kapasitas serta kemitraan litbanghortikultura. Mitra yang terlibat di dalam kerjasama ACIAR mencakup Balitsa, Balitbu, BPTP,Pemerintah Daerah, Universitas, pengusaha, konsultan dan CGIAR. Bidang masalah yangditangani terdiri atas permasalahan kritis di tingkat hulu sampai ke hilir dalam sistem agrisnis,mulai dari pengelolaan plasma nutfah, perbenihan, pengelolaan tanaman, penanganan pasca panen,dan penanganan ekspor untuk komoditas strategis buah dan sayuran. Selama periode 30 tahuntelah dihasilkan rekomentasi PHT, PTT, potensi pasar, penanganan pra ekspor. Ke depandiperlukan kegiatan lanjutan integrasi program nasional penanganan masalah khusus, integrasirantai pasok, pengembangan produksi sayuran periurban untuk mendukung ketahanan dankeamanan pangan.

4. Pemanfaatan inovasi mutakhir terbukti berperan sebagai instrumen utama dalam pemanfaatansumber daya dan perekayasaan untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi sekecil mungkinketergantungan terhadap kelimpahan sumberdaya alam. Untuk itu pembangunan hortikultura kedepan harus terbuka dan responsif terhadap perkembangan inovasi mutakhir, tetapi harus selarasdengan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal.

5. Pada saat ini perkembangan IPTEK hortikultura mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dibidang pemuliaan tanaman, kegiatan penelitian diarahkan pada upaya mendapatkan varietas unggulbaru tahan terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik yang menjadi kendala dalampeningkatan produksi, produktivitas, dan mutu hasil hortikultura. Perakitan varietas hortikuluradilakukan melalui kegiatan pemuliaan konvensional dan pendekatan bioteknologi. Pemanfaatanbiologi molekuler, teknik mutasi dan transformasi genetik menjadi trend masa depan mengingathasil yang lebih cepat untuk kegiatan seleksi, identifikasi, dan perakitan varietas dengankarakteristik spesifik yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan konvensional.

6. Kegiatan penelitian di bidang hama dan penyakit sebagaian besar dilakukan untuk menghasilkanteknologi pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan agensia hayati yangdiformulasikan dalam berbagai produk biopestisida. Kecenderungan arah penelitian inimengantisipasi tuntutan lingkungan strategis masyarakat internasional yang peduli terhadapkeamanan pangan, lingkungan dan tenaga kerja. Kepedulian masyarakat internasional tersebutdituangkan dalam bentuk tuntutan persyaratan penerbitan sertifikasi produk berbasis Good

Page 14: Prosiding BUKU 1

Rumusan Hasil Seminar Nasional Pekan Inovasi Hortikultura Nasional

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

2│

Agriculture Practices (GAP), Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Maximum Residue Limits(MRLs). Persyaratan ini menjadi technical barrier bagi masuknya produk hortikultura ke berbagainegara maju.

7. Penelitian di bidang produksi tanaman hortikultura mengarah pada pemanfaatan agroinput yangberasal dari bahan dari alam, seperti biocompost yang mengandung agensia yang memacuketersediaan hara bagi tanaman. Selain itu itu penelitian diarahkan pada penerapan teknologiberbasis LEISA untuk efisiensi dan kelestarian lingkungan produksi serta modifikasi lingkunganuntuk adaptasi perubahan iklim. Penelitian tentang induksi pembungaan dan pembuahan dilakukansecara intensif untuk mengatasi ketidak-normalan siklus tanaman akibat perubahan iklim.

8. Penelitian di bidang pasca panen difokuskan inovasi pengolahan untuk peningkatan nilai tambahmelalui diversifikasi produk. Inovasi ini sangat sesuai untuk mengatasi kelimpahan hasil dilapangan. Selain itu penelitian juga banyak dilakukan untuk menghasilkan inovasi selama prosestransportasi melalui penerapan modifikasi admofir ataupun admosfir terkontrol dan teknikpengemasan yang mampu mempertahankan mutu hasil tetap prima hingga ke tangan konsumen.

9. Kajian sosial ekonomi pada komoditas hortikultura merupakan salah satu bidang yang sangatpenting dalam peningkatan daya saing. Analisis preferensi dan prospek pasar sangat diperlukanbagi pelaku usaha dalam penetapan strategi pemasaran dan perluasan jaringan pasar. Di eraglobalisasi perdagangan dunia penetapan strategi pemasaran merupakan kunci utama bagikeberhasilan penguasaan pasar internasional komoditas hortikultura.

Tim Perumus SeminarHortikultura 2012Dr. Budi MarwotoIr Arry Suprianto

Dr. Witono AdiyogaDr. Rofik Sinung Basuki

Dr. Nikardi

Page 15: Prosiding BUKU 1

Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│3

KEYNOTE SPEECHKEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

PADA ACARA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL HORTIKULTURA,PEKAN INOVASI TEKNOLOGI HORTIKULTURA NASIONAL

LEMBANG-BANDUNG, 5 Juni 2012

Assalamualaikum Warrahmatullohi WabarakatuhSelamat PagiSalam Sejahtera Bagi Kita Semua

Yang Terhormat,

1. Direktur Jenderal Hortikultura,2. Para Kepala Pusat dan Kepala Balai Besar Lingkup Badan Litbang Pertanian3. Para pejabat struktural lingkup Kementerian Pertanian RI,4. Para Profesor Riset, Peneliti, Dosen Perguruan Tinggi, Penyuluh pertanian, dan Mahasiswa5. Seluruh peserta Seminar Nasional Hortikultura6. Hadirin yang berbahagia

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Alloh SWT, Tuhan yang MahaKuasa, atas rahmat dan hidayahNya, pada hari ini kita dapat hadir di AULA Balai Penelitian TanamanSayuran Lembang-Bandung dalam keadaan sehat wal’fiat untuk mengikuti acara pembukaanSEMINAR NASIONAL HORTIKULTURA yang diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatanPEKAN INOVASI TEKNOLOGI HORTIKULTURA NASIONAL, Badan Litbang Pertanianpada tanggal 2 s/d 5 Juni 2012. Penyelenggaraan PEKAN INOVASI TEKNOLOGIHORTIKULTURA NASIONAL dipusatkan di Kebun Plasma Nutfah Subang, Jawa Barat,berlangsung dari tanggal 2 s/d 5 Juli 2012.

Saya berharap kiranya Seminar Nasional Hortikultura ini dapat dimanfaatkan sebagai forumpembahasan pengembangan IPTEK Hortikultura guna mendukung pembangunan hortikultura nasionalyang tangguh, modern dan berdaya saing. Inovasi sebagai unsur utama peningkatan daya saing perludikembangkan secara luas kepada pengguna agar dapat diadopsi untuk menghasilkan produk trendsetter yang mampu menciptakan preferensi pasar global. Dengan kekayaan Sumber Daya Genetikyang melimpah, Indonesia mampu menghasilkan produk trend setter hortikultura yang tidak dapatdisaingi oleh negara lain. Produk trend setter tersebut hanya dapat dihasilkan bila para pelaku usahamenerapkan inovasi tepat guna secara berkelanjutan. Melalui strategi ini para pelaku usahahortikultura nasional akan dapat mengatasi persaingan yang semakin berat dari negara lain.

Hadirin sekalianTema dalam seminar ini “Penerapan Inovasi Dalam Mendukung Pembangunan

Hortikultura Yang Berdaya Saing Dan Berbasis Sumberdaya Lokal” sejalan dengan ReviltalisasiTeknologi yang dicanangkan Kementerian Pertanian untuk meraih empat sukses pembangunanpertanian, yaitu (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatandiversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatankesejahteraan petani. Revitalisasi teknologi harus mencakup perubahan paradigmapenyelenggaraan Litbang Pertanian ke arah peningkatan peran litbang dalam pembangunan pertanian(impact recognition) dan nilai ilmiah tinggi (scientific mission/ recognition) dalam rangkapencapaian status sebagai lembaga penelitian berkelas dunia (a world class research institution).

Page 16: Prosiding BUKU 1

Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

4│

Prioritas penyelenggaraan litbang pertanian diarahkan pada pencapaian sasaran tersedianya danberkembangnya inovasi yang berorientasi pasar global untuk meningkatkan ekspor danmensejahterakan petani hortikultura.

Pengembangan inovasi harus mampu meningkatkan mutu dan ketersediaan pasokan produksecara berkelanjutan untuk menggeser importasi produk dari luar negeri yang cenderung meningkatdari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir nilai dan volume perdagangan luar negeriproduk hortikultura cenderung negatif. Berdasarkan data FAO, share ekspor buah-buahan Indonesiake pasar internasional kurang dari 0,8 % dan 1,1% ke pasar Asia. Porsi buah Indonesia yang dapatdiekspor baru mencapai 1,8% dan sayur sebesar 1,75%. Selain itu peningkatan mutu hasil hortikulturadiharapkan mampu mendorong konsumsi domestik di dalam negeri. Pada saat ini konsumsi buah dansayur di dalam negeri masih di bawah rekomendasi minimal FAO, yaitu 73 kg/kapita/tahun untuksayur dan 65 kg/kapita/tahun untuk buah. Saat ini, konsumsi sayur di Indonesia masih berkisar 40,66kg/kapita/th, sedangkan konsumsi buah sebesar 32,59 kg/kapita/th.

Bapak, Ibu, Saudara SekalianPerubahan lingkungan strategis global menuntut perumusan agenda riset lebih fokus dan lebih

tajam sesuai prioritas bidang masalah yang dibutuhkan pasar global. Penyusunan agenda riset danpenajaman prioritas penelitian perlu dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan secaraintensif. Sejalan dengan hal itu lembaga riset hortikultura perlu senantiasa meningkatkan kapasitasdan kompetensi yang setara dengan lembaga riset kelas dunia. Peningkatan kapasitas dan kompetensidiarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, pengembangan mekanismeintermediasi iptek, peningkatan kualitas SDM, pengembangan kerjasama penelitian di dalam dan luarnegeri, serta penumbuhan kelompok industri pertanian berbasis produk litbang.

Hadirin yang berbahagiaJejaring kerja pengembangan inovasi perlu ditingkatkan dari waktu ke waktu, karena bermanfaat

untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya, menghindari tumpang-tindih penelitian,meningkatkan kualitas penelitian dan mengefektifkan diseminasi hasil penelitian. Berdasarkan datayang ada pada saat ini Badan Litbang Pertanian telah memiliki jejaring kerja yang cukup luas ditingkat nasional maupun internasional. Secara nasional telah terbentuk konsorsium penelitian untukbeberapa komoditas dan bidang masalah yang melibatkan beberapa lembaga penelitian di bawahkoordinasi Kementerian Ristek (LIPI, BATAN, BPPT) dan beberapa perguruan tinggi. Untukmengefektifkan diseminasi hasil penelitian telah terbentuk pula jejaring kerja dengan pemerintahdaerah, pihak swasta dan instansi pengambil kebijakan di lingkup kementerian maupun di luarKementerian Pertanian. Secara international, Badan Litbang Pertanian juga terlibat dalam jejaringkerja bilateral, multilateral maupun regional. Ke depan jejaring kerja penelitian dan pengembanganperlu diperluas dengan melibatkan para pengguna, sehingga produk inovasi dapat diadopsi langsunguntuk peningkatan daya saing hortikultura nasional.

Kerjasama dengan pengguna inovasi perlu dikembangkan secara luas pada masa mendatangtidak hanya mencakup pada penerapan inovasi yang selama ini telah banyak dilakukan, melainkanjuga pengembangan investasi dalam penguasaan inovasi. Partisipasi dunia usaha dalam investasi dibidang penguasaan inovasi sangat diperlukan dalam rangka peningkatan kapasitas pembiayaan riset.Selama ini pembiayaan masih terbatas, sehingga lembaga riset tidak mampu menjawab seluruhpermasalahan yang dihadapi para pelaku usaha. Partisipasi pembiayaan riset oleh dunia usahaberimplikasi pada kepemilikan dan komersialisasi inovasi secara bersama sesuai dengan porsikontribusi para pihak yang bekerja sama.

Hadirin yang berbahagiaPada saat ini perkembangan IPTEK hortikultura mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Inovasi yang dihasilkan lembaga riset mengarah pada pemecahan masalah aktual yang terjadi saat ini,seperti perubahan iklim, sertifikasi persyaratan keamanan pangan, lingkungan dan tenaga kerja,persyaratan SPS (Sanitary and Phytosanitary) dan MRLs (Maximum Residue Limits), peledakanserangan hama dan penyakit serta permasalahan barier non tarif lainnya. Di sisi lain dalam beberapa

Page 17: Prosiding BUKU 1

Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│5

dekade terakhir dijumpai kemajuan pesat di bidang bioteknbologi tanaman yang didukung olehkemajuan biologi molekuler dan berbagai ilmu pendukungnya, seperti pemetaan genom, transformasi,dan regenerasi planlet transforman. Hal ini membuka peluang bagi pengembangan industrihortikultura berbasis sumberdaya hayati. Kemajuan pesat lainnya ialah penemuan di bidangnanoteknologi yang berhasil menciptakan bahan baku baru yang memberi nilai tambah produkhortikultura. Bidang lain yang mengalami kemajuan pesat ialah infoteknologi yang berhasil diterapkanuntuk mendesain dan mendiseminasikan iptek hortikultura secara cepat dan efisien. Semua kemajuaniptek tersebut perlu dimanfaatkan secara luas untuk menjawab kebutuhan para pelaku usaha sesuaiperubahan lingkungan strategis di tingkat global.

Hadirin yang berbahagiaPengalaman di berbagai negara maju menunjukkan bahwa pemanfaatan inovasi mutakhir

terbukti berperan sebagai instrumen utama dalam pemanfaatan sumber daya dan perekayasaan untukmeningkatkan nilai tambah dan mengurangi sekecil mungkin ketergantungan terhadap kelimpahansumberdaya alam. Untuk itu pembangunan hortikultura ke depan harus terbuka dan responsifterhadap perkembangan inovasi mutakhir, tetapi harus selaras dengan kelestarian lingkungan dankearifan lokal.

Pada bagian akhir keynote speech ini saya berharap kiranya Seminar Hortikultura 2012 dapatmenghasilkan rumusan strategis yang dapat diimplementasikan untuk menghasilkan terobosan yangberdampak nyata terhadap peningkatan nyata pembangunan hortikultura nasional.

Selanjutnya dengan mengucapkan Bismillahirohmanirohim, saya buka Seminar ini secararesmi. Semoga Alloh SWT meridhoi segala usaha yang kita lakukan.

Bilahitaufik walhidayahWassalamualaikum Warahmatullohi Wabarakatuh

Lembang, 5 Juli 2011Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian

(Dr. Haryono, MSc)

Page 18: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

6│

6│

BAGIAN 1.

PEMULIAAN DAN TEKNOLOGI BENIH

Page 19: Prosiding BUKU 1

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family Wellbeing On Mango and Citrus Trees In East JavaAndri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│7

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family WellbeingOn Mango and Citrus Trees In East Java

Andri, KB, Harnowo, D, Daroini, PBBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km. 4 Malang 65101

E-mail: [email protected]

ABSTRACT. Home gardens are considered a sustainable production system in the tropics, which contributes tobiodiversity conservation. Whereas, the tropical fruits genetic resources, had a vital role on nourish and source ofincome of local people as well as natural preservation. The study which was conducted during 2010 to 2012 aimto describe the integrated TFTs (Tropical Fruit Trees) Livestock system in community of Kaligayam, Kediri andBibis, Magetan, of East Java Provinces. The both sites have been practicing integrated TFTs-Livestock systemby most of the farmers in their home garden (HG). Each farmer managed on the average about 3-5 cattle/goatswhich provides manure for TFTs, and served farmers as living saving account. A couple of farmers alsocombines the system with bee keeping ensuring good pollination process and provides additional income fromhoney. Multi-strata farming has been applied in the two sites. Crops grown under the mango trees were generallytuber crops and vegetables, whereas under citrus trees are peanuts, leafy vegetables, sweet potato, cassava andtaro. This integrated management system accompanied by the enhancement of an added-value program toincrease the economic value of the local varieties may serve as a system to maintain the existing TFTs diversityin the community.

Keywords: On farm conservation; Home garden; Diversity; Tropical fruit trees; East Java

ABSTRAK. Andri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB. 2013. Integrasi Pekarangan Rumah untukMempertahankan Keanekaragaman dan Penghidupan Keluarga pada Tanaman Mangga dan Jeruk diJawa Timur. Pekarangan diyakini sebagai salah suatu sistem produksi yang berkelanjutan di daerah tropis, yangmempunyai kontribusi terhadap konservasi keanekaragaman buah. Sedangkan sumber daya genetik buah tropismemiliki peran penting dalam penyediaan gizi dan sumber pendapatan masyarakat serta kelestarian alam. Studiyang dilakukan selama 2010 sampai 2012 ini bertujuan untuk menggambarkan integrasi pengelolaan tanamanbuah tropis dengan peternakan di komunitas Kaligayam, Kediri, dan Bibis, Magetan, Provinsi Jawa Timur yangtelah dilakukan oleh sebagian besar petani di pekarangan mereka. Para petani rerata memiliki sekitar 3-5 ternak/kambing yang dapat menyediakan pupuk untuk tanaman buah tropis sehingga dapat mengurangi biaya produksi.Beberapa petani juga menggabungkannya dengan sistem pemeliharaan lebah sehingga dapat membantu prosespenyerbukan dan memberikan tambahan penghasilan dari madu. Kebun multi-strata juga telah diterapkan didua wilayah tersebut. Tanaman yang tumbuh di bawah pohon mangga pada umumnya ialah tanaman umbi dansayur-sayuran, sedangkan di bawah pohon jeruk umumnya adalah kacang tanah, sayur, ubi jalar, singkong dantalas. Sistem pengelolaan terpadu ini yang disertai dengan peningkatan nilai tambah untuk meningkatkan nilaiekonomi dari varietas buah lokal dapat berfungsi sebagai suatu sistem yang mempertahankan keanekaragamantanaman buah tropis di komunitas.

Katakunci: Konservasi on farm; Pekarangan; Keanekaragaman; Tanaman buah tropis; Jawa Timur

Indonesia is the centre of origin and diversity of many globally important tropical fruit treespecies and their wild relatives. This diversity is very valuable for the livelihoods of local peoplethroughout the country both as a source of nutrition and income as well as for urban consumers at thelocal, regional and even global levels for their nutritional properties. Additionally, tropical fruit treesare important components of multi-crop systems such as Home Gardens (HG) and agro-forestrysystems, which are characteristic features in many Indonesian rural landscapes, as well as for singlecrop systems such as orchards. The sustainable management of locally developed fruit tree species(farmer varieties), together with associated wild relatives, by farmers or communities withintraditional agricultural (on-farm), horticultural (orchards) or Agri-silvicultural (Home Garden) systemshas been defined as on-farm conservation (GEF 2008, Maharjan, et al. 2011).

Converting primary forest to frequently unsustainable agricultural lands has increased in manytropical regions including East Java, Indonesia. Because forest margins, even in protected areas, are

Page 20: Prosiding BUKU 1

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family Wellbeing On Mango and Citrus Trees In East JavaAndri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

8│

particularly concerned due to easy access, sustainable production systems urgently need to bepromoted (Kehlenbeck & Maass 2004). Tropical home gardens are generally regarded as sustainableproduction systems. A home garden is a clearly bounded piece of land cultivated with a diversemixture of annual and perennial crops, and on which a house is built. Home gardens are considered asustainable production system in the tropics, which contributes to biodiversity (Seneviratne 2006,Frison et al. 2011).

The large crop diversity found in home gardens makes them an environmentally friendlyintervention as they often are much more diverse than typical field-scale agriculture. Such diversitymay also be a repository of rarer plant varieties or landraces, thus acting as areas of in situ germplasmpreservation (Keatinge, et al. 2012). This includes the contribution of Tropical fruit gardens inimproving food and nutritional security, generating additional income, providing employment,contributing to better health, and helping to empower disadvantaged groups in society (Susana Akrofi2010).

Home gardens are commonly found in many parts of Indonesia. It has been suggested thatJava is the Indonesian center of origin of the home garden in its present highly developed form.Traditional home gardens have received special attention in Indonesia since the 1970’s(Abdoellah et al. 2001). Home gardens are defined as a land use system whose structureresembles a forest and it combines the natural architecture of a forest with species fulfilling thesocial, economic and cultural needs of the people. Home gardens are a component of ruralecosystem that has been used for centuries by the villagers. Home gardens, especially in the ruralareas, are typically cultivated with a mixture of annual and perennial plants that can be harvestedon a daily or seasonal basis with a wide variety of plants (Sharrock & Frison 2004, Mir 2011).

Home gardens in Indonesia, particularly those in Java, have been investigated in somedepth. Many different types of home gardens have been reported from different tropical regionswhich makes their classification difficult. They have most commonly been classified on the basisof garden characteristics that are easy to investigate, such as size, further criteria used to classifythe Agroforestry system ‘home garden’ are structure e.g., Vertical stratification, integration oflivestock, or socio-economics e.g., Level of inputs, subsistence/commercial production, alsomight be classified using the dominant plant species grown or the level of urbanization. Despitethe number of classification schemes proposed for tropical home gardens, none has beenuniversally accepted (Kehlenbeck & Maass 2004, Jacobi 2009).

This paper tries to examine Good Practices (GP) of the function of home gardens in Kediri andMagetan, East Java for maintaining diversity on mango and citrus trees and family well-being. Themain objective of the present study is to revisit the ‘traditional’ assumption that home gardens as anentity can contribute to in situ conservation of plant genetic resources in farming systems. By doingthis, we are hoping to increase our understanding of the structure and function of home gardens inrelation to multidimensional social, economic, ecological, and cultural factors.

MATERIALS AND METHOD

This on farm conservation study is incorporated BPTP Jawa Timur, Indonesian Center ofHorticulture Research (ICHORD), and the Bioversity International, by focused on mango and citrusspecies. The study carried out from February 2010 to January 2012 with the involvementof leaders, members of farmers' groups and women farmers, as well as the villages in thetwo communities studied. The study aimed to describe Good Practices (GP) conducted by thecommunities that is the integrated home garden of TFTs (Tropical Fruit Trees) and Livestocksystem, so that the richness of the plant genetic resources remains protected. The data wereobtained through conducting a baseline survey and in depth interviews as well asFGDs at Kaligayam community in Kediri and Bibis community in Magetan which is the centerof the mango and citrus genetic resources in East Java. The number of households with the homegarden samples was determined using the following Table 1.

Page 21: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│9

Table 1. Information of community size and sample surveyed

Location (Unit)Community Total HH Total HH with Fruit

Trees in Home Garden10%

Sample Notes

Kediri

Village: Tiron

(Hamlet)Kaligayam

658 559 (85%) 56 Total HH of Tiron Village 3869 HH

MagetanVillage: Bibis

(Village)Bibis

647 647 (100%) 65 Village Bibis consist of 3 Hamlet: Jarakan(198 HH), Lumbungan (255 HH) andKidulan (194 HH)

RESULTS AND DISCUSSIONS

The Description of Home Garden and Biodiversity of TFTThe focus area of GP is on integrated TFT-Livestock system by most of the farmers in their

home garden in Kaligayam community, Kediri sites and Bibis community on Magetan Site, of EastJava Provinces. GIS reference of locations is 6048’47 S , 1070 36’52 E ( Kediri) 7039’50 S ; 111011’43 E ( Magetan). Name of farmers Group practiced in this GP in Kaligayam Community isSumber Mulyo Farmer Group, whereas in Bibis Community is Lumbung Makmur Farmer GroupUnion.

Figure 1. HG Land ownership in Kediri Site (in hectare)

Table 1. List of varieties of mango in HG belongs to Kediri community

Local name Species No Local name SpeciesPodang Urang Mangifera indica 16 Gajih Mangifera indica

Podang Lumut Mangifera indica 17 Gurih Mangifera indica

Madu Mangifera indica 18 Ireng Mangifera indica

Golek Mangifera indica 19 Doso Muko Mangifera indica

Santok Buto Mangifera indica 20 Santok Kapor Mangifera indica

Gadung Mangifera indica 21 Cantek Mangifera indica

Cantrik Mangifera indica 22 Lulang Mangifera indica

Lali Jiwo Mangifera indica 23 Pelem Lanang Mangifera indica

Endog Mangifera indica 24 Katul Mangifera indica

Manalagi Mangifera indica 25 Bader Mangifera indica

Dodonilo Mangifera indica 26 Jempol Mangifera indica

Beruk Mangifera indica 27 Jaran Mangifera foetida

Sengir Mangifera indica 28 Pakel Mangifera foetida

Empok Mangifera indica 29 Kopyor Mangifera laurina

Apel Mangifera indica 30 Kweni Mangifera odorata

Page 22: Prosiding BUKU 1

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family Wellbeing On Mango and Citrus Trees In East JavaAndri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

10│

Figure 2. HG land ownership in Magetan site (in hectare)

Table 2. List of varieties of citrus in HG belongs to Magetan communityLocal name Species No. Local Name Species

Adas Citrus grandis 9 Nambangan Citrus grandis

Adas Duku Citrus grandis 10 Keprok Siem Citrus reticulata

Pamelo Magetan Citrus grandis 11 Keprok Pulung Citrus reticulata

Sri Nyonya Citrus grandis 12 Keprok Manis Citrus sinensis

Bali Merah Citrus grandis 13 Sunkiest Citrus sinensis

Bali Putih Citrus grandis 14 Jeruk Purut Citrus histryx

Jeruk Gulung Citrus grandis 15 Jeruk pecel/nipis Citrus aurantiifolia

Jeruk Jowo Citrus grandis 16 Sitrun Citrus medica

Land ownership of community both in Kaligayam during Kediri site and Bibis in Magetansite are relatively small size which is the majority (more than 50%) of household owned 0,25 ha -0,5 ha (Figure 1 and 2). Most of the lands are in the form of Home Garden and householdsmanages intensify their owned land with cultivated TFTs. Anyhow, it is revealed that the sites arethe rich regions of the resource genetic of mango and citrus in East Java, where the communityhave a rich variety of the species of mango and citrus in their own HG (Table 1 and 2). Speciesand varieties available in the Home Garden are 3 Mango Species (30 var. of Manggo) i.e: Mangiferaindica (porang urang, podang lumut, santok, golek, madu, gadung etc.), Mangifera odorata (kweni),Mangifera foetida lour (jaran, pakel). Whereas for citrus there are 6 species and 16 var. of citrus useie: Citrus reticulata (keprok siem, keprok pulung), Citrus grandis (adas duku, sri nyonya, bali putih,nambangan, gulung, jowo, adas, bali merah, pamelo magetan), Citrus medica (jeruk sitrun), Citrushistryx (jeruk purut), Citrus aurantiifolia (jeruk nipis, pecel), and Citrus sinensis (jeruk manis, sunkis).

The Kaligayam community in the Kediri site covering a lowland area of about 26.700 ha, withelevation 500 m asl., Located in the centre of East Java province. The average size of a home gardenis 0.25-0.5 ha. With an average annual income from TFTs of Rp1,500,000, - (US$ 150, -) perfarmers family. The mango fruits are usually sold directly by each farmer to the middlemen or to thelocal market. From mango fruits only it may contribute 15-20% of the family income.

The Bibis community on the Magetan site is the center of the genetic resources of citrus in EastJava, where the community has rich varieties of the species of citrus as main crops in their homegardens. The site covers a lowland area of about 247.830 ha, with altitude 105 m asl., located in themid-west of East Java province. The average size of a home garden is 0.5-1.0 ha. With an averageannual income from pummelo fruits Rp1,500,000,- (US$ 1,500,-) per farmers family, which is themain household income. The total population of pummelo citrus trees is more than 50.000 trees, withan average yield of 100-200 kg/tree. The fruits are usually sold directly by each farmer to themiddlemen or to the local market by the farmers' group.

Page 23: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│11

Table 3. Sites characteristics and biodiversity setting in home garden

IndicatorsInter and intra

speciesdiversity

IncomeConnection and access to

markets Presence of institutionsAppreciation in

maintaining TFTsdiversity

Kaligayam,Kediri

3 Mangiferaspecies found,At least 26local varietiesmentioned forMangiferaindica

From HGEstimated 80%mango sales20% homeconsumption.

Fresh fruits distributed andtransported to anotherprovince by inter regionaltraders. Home gardenproduces sold to local markets.Some fruit processed by homeindustry and marketed locally.

International NGO namedREI from USA active onagricultural investment andassistance. Farmers are wellorganized, women's groupsavailable.

High interest becausefarmers look foradditional mean ofincome.

Bibis,Magetan

6 citrus speciesfound, 8varieties ofpummelo(Citrus gandis)mentioned

Income is highfrom citrus,mostly fromcommercialcitrus orchards inHG

Many inter regional tradersfound on this site. Fruitsbrought to major market inJakarta and Surabaya. Citruscommonly sold for collectingagents and used for freshconsumption

Farmers are well organized.Many women's groups withhome industry activities.

Commercially manage

The Description of Good Practices in Home Garden

This production system in HG done by smallholders which combine Mangifera Sp., Livestockand bee keeping in, as well as Citrus Sp. And livestock in Magetan is maintaining diversity andimprove rural livelihood. Cattle/goat and hens farming provides manure for TFTs, and also servedfarmers as living saving account. Each farmer managed on the average about 3-5 cattle/goats. Multi-strata farming has been applied in the both areas. Crops grown under the mango trees are generallytuber crops such as cassava, taro and yam; and vegetables such as labor Siam (Sechium edule),eggplant, tomato, chilies, amaranth; whereas under citrus trees farmers grow peanuts, leafy vegetables,sweet potato, cassava, taro or yam. These crops are used for their own daily consumption and a partare sold in the local market. A couple of farmers also combine the system with bee keeping ensuringgood pollination process, and the honey product also provides additional income (Table 4). Debrisfound in the home garden is usually burnt out, and the smoke may serve as flowering or fruit ripeninginducers. Farmers also practices citrus fruits bagging with low cost materials such as plastic bags andnewspaper bags.

Table 4. Households managed livestock and other crops in the studied areas

Sites Goat(%)

Beef Cattle(%)

Poultry(%)

Honey Bee (TotalHH) Major crops grown under TFTs

Kediri 75 23 95 4 Cassava, taro, yam, vegetables such aslabor Siam (Sechium edule), eggplant,tomato, chilies, amaranth

Magetan 30 16 74 1 Peanuts, many kinds of leafy vegetables,sweet potato, cassava, taro or yam.

Most of the mango or citrus fruits of different varieties produced in the home garden areharvested and sold fresh by farmers themselves on the spot or sold by the wholesale system(“Tebasan” system in Bahasa) to the intermediaries, where the intermediaries harvest fruits. Citrustrees in the home garden even provide the main income for the households. Therefore, farmers do theirbest to take care their mango or citrus fruit trees. By practice this GP, farmers may generate incomefrom livestock raising as well as provide manure for maintaining soil fertility and from bee keepingproduce honey bee and to the certain pollination of trees. This integrated management system in thehome garden accompanied by the enhancement of an added-value program of both different varietiesof mango and citrus to increase the economic value of the local varieties may serve as a system tomaintain the existing TFTs diversity in the community.

Page 24: Prosiding BUKU 1

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family Wellbeing On Mango and Citrus Trees In East JavaAndri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

12│

Table 5 . Evaluation of Good practices of integrated home garden in East Java

GP Integrated Home Garden Effect on crop geneticdiversity Improved livelihoods Environmental, social and economic

sustainable

Integrate several species ofmango and varieties withlivestock maintenance and beekeeping in home gardens atKediri site. Similarly Severalspecies/ varieties of citrus areintegrated with livestock inMagetan. This system maintainsdiversity and improve rurallivelihood.By practicing this GP, farmersgenerate additional income fromlivestock raising as well asprovide manure for maintainingsoil fertility. Bee keepingimproves pollination of TFTs andproduce honey that can beconsumed or marketed.

It maintains inter and intraspecific diversity ofmango and citrus. Thepractice may attract boththe community membersand the local governmentas an activity / componentof a program onalleviating rural poverty.The program then mayhave a component onplanting new trees so itwill enhance on-farmdiversity of some varietiesboth of mango and citrus.

It improves the livelihoodby supplying dailysupplement of nutrition tothe family thus saving thecost of living. It meetsdemands of local foodculture. In addition, it canresult in annualincome/saving about 20-30 % compared ‘control’(i.e. With no livestockand bee keeping).

Maintaining livestock can add organicmanure and help in improving soils andecological health of garden lands. Incomeincrease and exchange of planting materialscan help improve social interaction ofgarden owners and their social standing.This integrated system will bring selfreliance in local food production by reducinguse of external inputs like fertilizers, soilconditioners, etc.

This system maintains inter and intra specific mango and citrus. The practice may attract boththe community members and the local government as an activity/component of a program onalleviating rural poverty. The program then may have a component on planting new trees so it willincrease the population of some varieties both of mango and citrus. The practice helps to maintain oflocal genetic diversity and provides access to the local Genetic Diversity (GD)/Genetic Resources(GRs) to other communities. The availability/request of the planting materials of the GD/GRs shouldbe ordered in advance. On the other hand, the cost of providing livestock and bee box stock could be aconstraint.

Enhancing Economic and Social Well-being

Fruit trees in the HG are very important for food security and source of income for householdsthrough marketing and processing activities. This system has proven empowering women's group toimprove processing and market local mangos and citrus products. The average incomes from TFT forthe Household in the studied area are significantly important. From mango fruits only in Kediri it maycontribute 12% on average to the family income, whereas in Magetan it can achieve 32% of the totalincome (Table 6). Since the system provides women jobs and generate additional income forhouseholds it will stand for longer periods.

Table 6. Average Income Contribution for Households from Targeted TFT (%)Community From TFTs Other Agriculture Activities Non Agriculture

Kaligayam, Kediri 12 28 60

Bibis, Magetan 32 16 52

The practiced have maintaining diversity of TFT in Home Garden through empowered women'sgroup to get the value added from varieties of local mango and Citrus by process product and groupmarketing. At the beginning, the farmers have already had their own processing technique. Moreover,in the both studied sites then they got training from the government research Institution (AIAT),University (Brawijaya), and NGO (REI and Pummelo Association) on the improved processingtechnology.

Page 25: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│13

Women farmers group initially processed only few of variety of mango (Podangurang/Mangivera indica) and citrus (adas nambangan/Citrus grandis). Currently, the groups processfor many variety of product such as for examples product derived from mango are dried mango (frompodang urang, podang lumut, madu), Dodol mango (from gadung, golek, dodonili), mango jus (fromkweni), Mango sweet ( from pakel, jaran), leather mango (from podang urang, podang lumut, madu).Whereas a product derived from citrus are: sweet pummelo rind (from java pummelo, adas, balimerah), Jelly (from jeruk gulung, pummelo magetan), Jus (from jeruk manis, keprok, sunkis), as wellas local uses for medicine and spices (jeruk purut, sitrun, pecel and nipis). It maintains and enhancesinter and intra crop diversity. This system creates diversity as farmers use many local types of mangoand citrus, because the raw material of processed product produce by women farmer group come frommany types of local mango and citrus species and varieties . Furthermore, to support source of rawmaterial farmer expand to planting many fruits in their home garden and managed forest.

CONCLUSION

This Good Practices (GP) enhancing natural capital by maintaining local of mango and citrus inthe home garden and providing internal inputs for maintaining the local TFTs. Further, it is enhancingfinancial capital by increasing annual farmers’ income and saving as well as enhancing physicalcapital by construction of the infrastructure of stall facilities and bee stock box.

This system also has livelihood strategies through provision for internal inputs for mango andcitrus GP management in the home garden and capacity building on integrated management of homegarden, livestock, and bee keeping. Also it is enhancing natural capital by better management of ruralhome gardens, enhancing financial capital by provide labour for wages, and enhancing physical capitalby the development of community self capacity building. This practices impact on livelihood incomethrough additional cash and saving income from fruit trees, livestock, and beekeeping, Increasedincome and saving of the farmers, as well as maintain and may enhance conservation of mango andcitrus varieties.

REFERENCES

1. Abdoellah, Oekan, S, Parikesit, Budhi Gunawan & Herri Y. Hadikusumah, 2001, Home gardensin the Upper Citarum Watershed, West Java: a challenge for in situ conservation of plant geneticresources. Paper Presented in International Workshop: Contribution of home gardens to in situconservation of plant genetic resources in farming systems. 17–19 July , 2001, Witzenhausen,Germany.

2. Frison, Emile, A, Jeremy Cherfas & Toby Hodgkin 2011, ‘Agricultural biodiversity is essential fora sustainable improvement in food and nutrition security’, Sustainability, vol. 3, pp. 238-53.

3. Global Environment Facility (GEF) 2008, ‘Proposal project document entitled ‘conservation andsustainable use of cultivated and wild tropical fruit diversity: promoting sustainable livelihood,food security and ecosystem services’.

4. Jacobi, Johanna, Axel W. Drescher, Priyanie H. Amerasinghe & Philipp Weckenbrock 2009,‘Agricultural Biodiversity Strengthening Livelihoods in Peri Urban Hyderabad, India’, UrbanAgriculture magazine number 22, June 2009

5. Kehlenbeck, K & Maass, BL 2004, ‘Crop diversity and classification of home gardens in CentralSulawesi, Indonesia’, Agroforestry Systems, vol. 63, pp. 53-62.

6. Maharjan, Shree Kumar, Assa Ram Gurung, & Sthapit, BR 2011, ‘Enhancing on-farmconservation of agrobioversity through community seed bank: an experience of western nepal’,The J. Agriculture and Environ., vol. 12.

7. Mir, Laura Calvet 2011, Beyond food production: Ecosystem services provided by home gardens.A case study in Vall Fosca, Catalan Pyrenees, northeastern Spain, A PhD Thesis, Institut deCiència i Tecnologia Ambientals Universitat Autònoma de Barcelona.

Page 26: Prosiding BUKU 1

Integrated Home Garden for Maintaining Diversity and Family Wellbeing On Mango and Citrus Trees In East JavaAndri, KB, Harnowo, D, Daroini, PB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

14│

8. Seneviratne, G & Kuruppiuarachchi, KAJM 2006, ‘Nutrient cycling and safety-net mechanism inthe tropical home gardens’, International J. Agricultural Res., vo1. 2, pp. 169-82.

9. Sharrock, SL, & Frison, EA 2004, ‘Prospect and challenge of biodiversity in small-holdersystems’, African Crop Sci. J., vol. 12, no. 1, pp. 51-57.

10. Susana Akrofi, Inge D. Brouwer, Lisa L. Price, & Paul C. Struik 2010, ‘Home gardens contributesignificantly to dietary diversity in HIV/AIDS afflicted households in rural Ghana’, J. Hum. Ecol.,vol. 3, no. 2, pp. 125-34.

Page 27: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│15

Study on Community Biodiversity Management Toward on Farm Conservation ofTropical Fruit Trees in East Java

Andri, KB dan Purnomo, S.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km. 4 Malang 65101

E-mail: [email protected]

ABSTRACT. Community Biodiversity Management (CBM) is a community driven participatory approach tostrengthen the capacity of farmers and farming communities for managing biodiversity for benefit of thehousehold and the community. This study was conducted from 2010 to 2011, by selected site of the Kaligayamcommunity, during Kediri Regency for mango species, and community of Bibis during Magetan Regency forcitrus species. Objectives of this study was to empowers farmers and communities to organize themselves andsupport on farm management of agricultural biodiversity. The study showed that sustainable on-farmconservation is possible for a community as long as the people obtain the benefits, especially economic andsocial benefits, as well as the genetic and ecological aspects benefits. The activities through the CBM approachwhich gave significant role toward on farm conservation by empowered community were as follows: 1)enhancing community awareness and education on agricultural biodiversity (building human capital), 2)understanding local agricultural biodiversity and the associated social networks and local institutions, 3) capacitybuilding of community institutions, 4) setting up of institutional working modalities, 5) consolidating communityroles in planning, and implementation, 6) social learning and scaling up for community collective action.

Keywords: On farm conservation; Community biodiversity management (CBM); Tropical fruit trees; JawaTimur

ABSTRAK. Andri, KB dan Purnomo, S. 2013. Studi Tentang Pengelolaan Keanekaragaman HayatiBerbasis Komunitas terhadap Konservasi On-Farm Tanaman Buah Tropika di Jawa Timur. CommunityBiodiversity Management (CBM) adalah sebuah pendekatan terhadap komunitas secara partisipatif untukmemperkuat kapasitas petani dan komunitas tani dalam mengelola keanekaragaman hayati guna memberikanmanfaat kepada petani dan komunitasnya. Penelitian ini dilaksanakan pada 2010-2011, dengan memilihKomunitas Kaligayam, Kediri untuk komoditas mangga dan Komunitas Bibis Magetan untuk komoditas jeruksebagai obyek penelitian. Tujuan penelitian ini ialah memberdayakan petani dan komunitas agar dapatmengorganisir diri mereka sendiri dalam mendukung pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati pertanian.Studi ini menunjukkan bahwa keberkelanjutan konservasi keaneka ragaman hayati pertanian hanya akanmungkin, selama masyarakat tersebut mendapatkan manfaat, terutama dari segi ekonomi dan sosial, serta aspekgenetik dan ekologi. Kegiatan-kegiatan oleh komunitas yang dilakukan melalui pendekatan CBM yang telahmemberikan peran signifikan terhadap konservasi keanekaragaman hayati pertanian ialah: 1) peningkatkankesadaran masyarakat pada keanekaragaman pertanian (building human capital), 2) pemahamankeanekaragaman komoditas pertanian lokal dan menyatukan jejaring sosial dengan institusi lokal, 3) capacitybuilding dari institusi lokal, 4) penyediaan modalititas kerja dari institusi lokal, 5) konsolidasi peran masyarakatdalam perencanaan dan implementasi kegiatan konservasi, 6) pembelajaran sosial dan scaling up olehmasyarakat secara keseluruhan.

Katakunci: Konservasi on farm; Biodiversity management oleh komunitas (CBM); Tanaman buah tropis; JawaTimur

Indonesia is an agricultural-based country which is rich in agricultural biodiversity as aresult ofits diverse farming systems, great variation in agroecological niches, and varied sociocultural settings.This region is a centers and source for the varieties of tropical fruits and its wild relative’sbiodiversity, which has significat roles on agricultural production and trade in nasional and regionalscope. In this region, exist hundreds of edible species of tropical fruits, however its tropical fruitsgenetic resources faced an extincty trouble since human behaviour and unfriendly policy on naturalconservation. Whereas, the tropical fruits genetic resources had a vital roles on nourish and source ofincome of local people as well as natural preservation. (Kehlenbeck & Maass 2004, GEF 2008).

Tropical fruit trees are important components of multi-crop systems such as home gardens andagro-forestry systems, which are characteristic features in many Indonesian rural landscapes, as well

Page 28: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

16│

as for single crop systems such as orchards. Commonly, the tropical fruits planted in the home gardenclosed to farm house intercrop with other perennial plants or vegetables and ornamental crops(Kruijssen & Somsri 2006, Frison et al. 2011). The sustainable management of locally developed fruittree species (farmer varieties), together with associated wild relatives, by farmers or communitieswithin traditional agricultural (on-farm), horticultural (orchards) or agri-silvicultural (home gardens)systems has been defined as on-farm conservation (Sharrock & Frison 2004, GEF 2008, Jacobi, et al.2009).

On the other hand, most of the rural farming communities in East Java still lack the access ofinformation regarding agricultural biodiversity and it’s conservation, communities in research, anddevelopment activities (GEF 2008). On farm conservation is generally used to describe a managementprocess by which farmers maintain the local crop varieties that they develop in their local conditionsand continue to manage and improve. On farm conservation activities tend to focus on persuadingfarmers to continue planting local varieties. This primarily focuses on educating farmers about thevalue of local crop diversity, fostering the sense of pride in their cultural heritage of local diversity(Sajise 2003, Sthapit, et al. 2008b).

The linkage of smallholders to agricultural markets through farmer organizations, increasedinvolvement of the private sector in value chains, and improvement of governance is still considered tobe a strategic tool for poverty reduction. However, increased marketing to more distant markets withstrict food safety requirements also requires farmers to produce more uniform products and some foodsafety policies may restrict the entry of certain products. Farmers attempting to comply with theinternational standards may as a result lose agricultural biodiversity on their farms. This however doesnot necessarily mean that agro biodiversity is not important in agricultural markets. The major share oftropical fruits produced is still sold in the domestic market rather than being exported. Domesticmarkets, which may provide more opportunity for agro biodiversity to be sold, however are oftenassociated with significant price volatility, a lack of value addition and poor price premium for goodquality. There is thus a need to target appropriate markets and products and enable smallholders toparticipate (Kruijssen & Somsri 2006, Bartlett 2008).

MATERIAS AND METHOD

This study aims to obtain the strategy to improve livelihoods and food security of targetbeneficiaries through the Good Practices (GP) of conservation and use of tropical fruit tree geneticresources in East Java. Within this study, market and non-market values of mango and citrus treegenetic resources will be assessed and good practices for marketing and management of theseresources will be tested and implemented. On the approach to avoid the rapid loss of genetic diversity(genetic erosion) is through on-farm conservation activities.

This on farm conservation study is incorporated BPTP Jawa Timur, Indonesian Center ofHorticulture Research (ICHORD), and the Bioversity International. This study is focusing at the onfarm conservation and sustainable uses of the tropical fruits for targeted crops which are species ofmango and citrus. This research was start from August 2009 and will be countinue until at 2013, byselected site of the Kaligayam community, Tiron Village, Banyakan sub-district during Regency ofKediri for mango species and community of Bibis Village, Sukomoro sub-district during Regency ofMagetan for citrus species. The goal of this research activities is to improved livelihoods and foodsecurity of target beneficiaries through the conservation and use of tropical fruit tree genetic resources.The basis data of this study were obtained through conducting a baseline survey and in depthinterviews as well as FGDs at Kaligayam community in Kediri and Bibis community in Magetanwhich is the center of the mango and citrus genetic resources in East Java. The description ofcommunities studied in both sites were as illustates in the following Table 1.

Page 29: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│17

Table 1. Description of communities studied

CommunityAvailability ofagro-ecological

systems

Income percapita or

household

Importance offruit trees forhouseholds –

share inincome and

labour

Connection andaccess to markets

Potential forstarting up good

practises –presence ofinstitutions

Appreci ation of andinterest in

maintaining tropicalfruit tree diversity

Kaligayam,Kediri

Most trees found incommercialorchards. ManyHH’s have homegardens,Communal/bufferzone or naturalforests found in thisarea.

Many bigplantations.Estimated 80%sales 20% homeconsumption.HH’s in site aremostly poorfarmers livingfrom subsistencefarming

Manyhouseholdshave a homegarden andfruitproduction byplantations ismajor industryfor this area.

Fresh fuitsdistributed andtransported to otherprovince by interregional trader.Home gardenproduce sold tolocal market. Somefruit processed byhome industry andmarketed locally.

International NGOnamed REI fromUSA active onagriculturalinvestment andassistance. Farmersare well organized,women groupsavailable.

High interest becausefarmers look foradditional mean ofincome.

Bibis,Magetan

Most trees found incommercialorchards. ManyHH’s have homegardens

Income is high,mostly fromcommercialcitrus orchards.

Manyhouseholdshave a homegarden andfruitproduction byplantations ismajor industryfor this area.

Many inter regionaltraders found in thissite. Fruits broughtto major market inJakarta andSurabaya. Citruscommonly sold tocollecting agentsand used for freshconsumption

Farmers are wellorganized. Manywomen groups withhome industryactivities.

High interest becausefarmers look foradditional mean ofincome.

Strengthening capacity of farmers’ and users’ groups will assure long-term implementation ofpractices that conserves and sustainably utilize tropical fruit tree genetic resources. The study tried todeveloped a system that will facilitate working together of partners and stakeholders at the communitylevel, develop institutional framework, empower local institutions and develop mechanisms togenerate support of policy makers. Capacity of farmers, users’ group and local institutions willstrengthened by organizing training in conducting Community Biodiversity Management (CBM).

Community Biodiversity Management (CBM) is a community driven participatory approach tostrengthen the capacity of farmers and farming communities for managing biodiversity for benefit ofthe household and the Community. Based on Sthapit (2008a), on-farm conservation of agriculturalbiodiversity requires a recognition that farmers control the decision making process; and thatconservation is concerned with the maintenance of the capacity of animals, or crop plants to changeand adapt. Good participatory practices strengthen local capacity to manage on-farm conservation. Thegeneral steps needed to implement CMB approach for On-Farm Conservation of AgriculturalBiodiversity is descibe in Figure 1.

Figure 1. General Steps Needed to Strengthen Community through CBM Approach

1. Develop understanding of local context and local diversity

2. Sensitize farming communities and key stakeholders

3. Improve access to materials and knowledge

4. Locate, characterize and assess diversity

5. Manage community biodiversity information systems for monitoring diversity

6. Develop options of adding benefits to community

8. Increase consumer demand for rare, threatened and traditional crops and food culture

9. Improve the materials and creating new opportunities for livelihoods

Page 30: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

18│

Community empowerment underpins the CBM approach. It aims to build capacity of farming oruser communities and their institutions in ways that increase their decision making power and securetheir access to and control over resources necessary for the sustainable management of communitybiodiversity resources (Sajise 2003, Jarvis 2007). Regarding Sthapit (2008a), the key elements thatform the basis of CBM include: (i) knowledge about biodiversity and associated landscapes, (ii) socialsystems facilitating maintenance and exchange of their genetic resources, (iii) local institutions thatsupport and govern local management and access to b biodiversity, (iv) technologies, processes andpractices that add value to local genetic resources, (v) local financial resources such as savings andcredits to ensure the continuity of good practices, and (vi) necessary linkages to appropriateinstitutions which will sustain these access to livelihood assets (Figure 2).

Figure 2. The key elements that form the basis of CBM

This approach empowers farmers and communities to organize themselves and support on farmmanagement of agricultural biodiversity. This method can support increased community control oftheir biodiversity resources and mobilize these resources as sustainable livelihood options formanaging external inputs and risks, and leverage other livelihood assets. CBM is directed at socialprocesses that are central to managing biodiversity in agricultural production systems (Jarvis 2007;Sthapit et al. 2008a).

To implement the CBM approach in this research, it has been done baseline study and focusgroup discussion to grasp the biodiversity information and community basic condition during twoselected sites. Furthermore, it was done community meeting to plan the conservation actions andempowered the local institutions. It is also propose in this research to setting up some of the CBMparticipatory tools such as diversity fair, diversity block, community biodiversity register (CBR),value addition of local crop diversity, traveling seminar, community workshop, training, field visit,social and resource mapping, traditional food fair, exchange visits, etc. The entire tools areprerequisite for better understanding and devising strategy for biodiversity conservation and itssustainable utilization. It is effective in bringing awareness among farming communities,strengthening institutional capacity and changing behavior towards enhanced conservation and use oflocal crop diversity.

RESULTS AND DISCUSSION

Understanding of TFTs biodiversity on Selected Sites

Understanding of amount and distribution of local crops diversity at the community level isbasic information required for managing agricultural biodiversity on farm. Suitable participatorymethodologies that help researchers and farmers to understand distribution patterns of local cropdiversity and rationale for such distribution are lacking. The four cell analysis (FCA) method, attempts

Page 31: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│19

to determine the risk of genetic diversity loss and the reasons why a species or variety is in risk zone.Methods to characterize the amount and distribution of crop cultivars were developed based on theaverage area and the number of households growing each cultivar. Varieties grown by farmers in agiven location are categorized into groups of cultivars that occupy large or small areas (based onaverage area), and those cultivars that are grown by many and few households (based on the numberof households). This method has been used in a variety of ways to understand the amount anddistribution of local crop diversity at a village or landscape level. Rana et al. (2004) used FCA for fourmain uses; a) classification of varieties according to population structure, b) identification of commonand rare alleles for conservation actions, c) understanding of socioeconomic reasons and use value,and d) a decision making tool for on farm conservation actions. The FCA resulted from FGD in thetwo sites for targeted crops are displayed in the Figure 3 and 4.

Figure 3. FCA of extent and distributionof mango diversity in Kedirisite

Figure 4. FCA of extent and distribution ofcitrus diversity in Magetan site

Varieties which falls into four different cell have one of the following rationale; a) varietiesgrown for food security or for the market or with multiple use values tend to be cultivated in largeareas by many households; b) landraces cultivated for socio cultural (traditions, religious rituals, foodculture) purposes are grown in small areas by many households; c) varieties with specific adaptationstraits (such as cultivars adapted to swampy lands, poor soil fertility, drought, shade etc) are grown inlarge areas by few households and, d) varieties with specific use or limited use value to particularfamilies are grown in small areas by a few households. The value of diversity for each household isreflected by the proportion of population size of variety allocated from the total cultivated area of thecrop.

During the implementation of CBM approach, it was using the participatory tools to evaluate thefruits diversity conditions in the selected site. One of it tool used was matrix ranking. Matrix rankingis a tool to compare and characterize in qualitative and quantitative manner a range of varieties. It isused to compare local varieties or to compare local varieties with introduced or tested varieties. Itshows how farmers evaluate varieties. Like other ranking tools it is often used in participatory varietalselection and participatory plant breeding (De Boef & Thijssen, 2007). Matrix ranking is also helpfulin comparing and evaluating other resources, issues and ideas (Jarvis, 2007). A weighed ranking ofvarieties can be calculated as the product of the value for the criteria and the score for each specificvariety. In that way all varieties can be compared with each other (Table 2 and 3).

- Podang Urang (many)- Podang Lumut (many)- Golek (500 trees)- Gadung (1000 trees)

MANY HOUSEHOLD FEW HOUSEHOLD

- Jaran (20 trees) - Bader (5 trees) - Gajih (10 trees)- Madu (100 trees) - Jempol (1 trees) - Gurih (5 trees)- Lanang (100 trees) - Manalagi (5 trees) - Ireng (2 trees)- Santok Kapur (50 trees) - Dodonilo (5 trees) - Dasa Muko (5 trees)- Santok Buto (50 trees) - Beruk (5 trees) - Cantek (2 trees)- Kopyor (100 trees) - Pakel ( 5 trees) - Lulang (5 trees)- Lali Jiwo (100 trees) - Sengir (10 trees) - Kweni (1 trees)

- Empoh (2 trees) - Cantrik (5 trees)- Apel (2 trees)

LARGE AREA

SMALL AREA

- Jeruk Bali Merah (±25 hh) 5-10 tree/hh- Jeruk Bali Putih (± hh) 5-10 tree/hh- Sri Nyonya (± 100 hh) 5-10 tree/hh

- Adas (50-200 tree/hh) - Pamelo Magetan (± 25 hh) 5-10 tree/hh- Adas Duku ( 20-100 tree/hh)- Nambangan (50-200 tree/hh)

MANY HOUSEHOLD FEW HOUSEHOLD

- Sunkies (350 hh) 1-5tree/hh - Jeruk Gulung (5 hh) 2-3 tree/hh- Jeruk purut (100 hh) 1 tree/hh - Jeruk Jowo (10 hh) 2-3 tree/hh- Jeruk pecel/nipis (50 hh) 1 tree/hh - Sitrun (5 hh) 1 tree/hh- Keprok manis (200 hh) 1-5 tree/hh) - Keprok Pulung (5 hh) 1 tree/hh

- Keprok Siem (5 hh) 1 tree/hh

LARGE AREA

SMALL AREA

Page 32: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

20│

Table 2. Matrix ranking of mango types by Kaligayam community, FGD 2010

Table 3. Matrix ranking of citrus types by Bibis community, FGD 2010

THE IMPLEMENTATION OF CBM PARTICIPATORY ACTIONS

Multiplication of Mango Varieties and Free Exchange System

The Good Practices (GP) of multiplication of local varieties of mango organized farmers tomaintain diversity of mango through managing mango nursery and multiplication system. The drivingforces of this method are improved living conditions of farmers who have practiced the GP, andproviding additional annual income from selling mango planting materials. The condition of favoringsuccess of this methods is create market for not favor local mango accompanied by the enhancementof an added-value programme of different varieties of mango to increase the economic value of thelocal varieties. Whereas the constrains of successful functioning of GPs are lack of a clear policysupport for planting and conserve local variety of mango and lack of research on value addition forlocal mango, as well as lack of promotion and information of local mango. The action had been takenwere:1. Community meeting to hold a dialog on the importance of maintaining local varieties of mango,

market value of fresh and processed products of local varieties2. Developing a community mango nursery3. Farmers to farmers training on the mango propagation technology, supervised by AIAT,

University, and Agri-Extension Service

CharactersPodangUrang

PodangLumut Madu Golek

SantokButo Gadung Kopyor

LaliJiwo Jaran

Manalagi

Dodonilo

Beruk/Kates Sengir Empok Apel Gajih Gurih Ireng

DasaMuko

SantokKapur Cantek Lulang

Lanang Pakel Kweni Jempol Bader

Taste 5 4 5 5 3 5 4 5 4 5 5 4 3 2 4 3 4 5 3 3 3 3 4 2 2 2 1

Aroma 5 2 5 5 4 5 4 3 3 5 5 3 2 2 3 3 4 3 3 3 2 2 3 2 5 2 1

Price 5 3 5 5 4 5 4 5 1 5 2 2 3 1 3 1 2 3 2 4 1 1 5 2 1 1 2

Shape 5 4 5 5 3 5 4 5 2 4 4 1 5 1 4 3 2 3 2 3 2 3 4 2 3 2 3

Rind colour 5 4 4 3 3 4 4 4 3 4 4 3 3 1 5 2 2 1 3 3 2 3 4 2 1 3 1

Fruit flesh colour 5 4 5 5 3 5 2 3 3 3 5 2 2 1 3 2 2 3 4 3 2 3 2 2 2 2 2

Weight 3 3 4 4 5 4 4 2 5 2 3 5 4 1 2 3 4 3 5 3 3 3 2 3 3 2 2

For processing 5 5 5 5 1 5 1 3 3 3 5 3 1 1 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 1 2

Adaptive 5 5 4 1 5 4 5 3 5 3 5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 1 1

Market demand 5 3 5 5 2 5 4 5 4 5 3 3 1 1 4 3 2 3 1 1 1 2 5 1 3 3 1

Useful wood 5 5 5 5 5 1 3 1 4 1 2 4 4 5 1 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 1 3

Productivity 5 4 5 5 4 4 5 3 3 3 2 2 2 1 1 1 2 3 2 3 2 2 2 2 4 1 2

Total Score 58 46 57 53 42 52 44 42 40 43 45 35 33 20 36 31 34 37 36 35 29 33 42 31 39 21 21

Average Score 4.83 3.83 4.75 4.42 3.50 4.33 3.67 3.50 3.33 3.58 3.75 2.92 2.75 1.67 3.00 2.58 2.83 3.08 3.00 2.92 2.42 2.75 3.50 2.58 3.25 1.75 1.75

Note: 1= Low/Bad 5 = High/Good

Characters AdasAdasDuku

PameloMagetan

SriNyonya

BaliMerah

BaliPutih

JerukGulung

JerukJowo

Nambangan

KeprokSiem

KeprokPulung

KeprokManis

Jerukpurut

Sunkiest

Jerukpecel/n

ipis SitrunShape 5 5 5 4 4 4 4 3 5 2 2 3 2 1 1 1Taste 5 5 5 4 5 5 4 4 5 2 2 3 1 1 1 1Endurance for storage 5 5 5 3 4 4 4 4 5 2 2 2 4 2 1 1Price 5 5 5 5 5 5 5 5 5 2 2 3 1 3 1 1Rind colour 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 3 3 3 2 2Fruit flesh colour 5 5 5 4 5 4 5 4 5 3 3 3 3 3 2 2Long age of tree 5 5 5 4 5 5 5 5 5 2 2 2 2 4 1 1Resistant to pests/diseases 4 4 4 5 4 4 4 4 4 2 2 2 2 5 2 2Process for beverages 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 1 4 2 2Madicine purposes 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1Consumer preference 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 4 2 4 1 1Size and weight 4 5 4 4 4 4 5 4 4 3 3 3 2 3 1 1Productivity 4 5 4 5 5 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 4

Total Score 57 59 57 53 54 55 55 52 57 33 33 38 27 38 20 20Average Score 4.38 4.54 4.38 4.08 4.15 4.23 4.23 4.00 4.38 2.54 2.54 2.92 2.08 2.92 1.54 1.54

Note: 1= Low/Bad 5 = High/Good

Page 33: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│21

Value Addition for Local Fruits and Empowering Women Farmers

This GP of organized women self help groups and increased the added value of fruit, bypurchase and processing of fruit at harvest season when the prices of fruits down and providing wagesto work in fruit processing work. The conditions favoring success by empowering women groupscreating financial capital of woman group by purchase of shares by the members. The constraints ofthe success are lack of a clear policy support for enhancing community resilience lack of research andno development of new type of product.

The GP of value addition of local mango and citrus requested government and local NGOsupport, as well as financial support for establishing processed fruits home industry at the community.The condition favoring success of this GP are by training of women farmers on value addition,government extension services and subsidies, as well as analysis of value chain and capacity buildingof value chain actors. The constraints of the success of this GP are reliance on government supervisionand outside support, and preference to few market demanded fruit cultivars that does not supportdiversity enhancement.

The GP of marketing of local products and food culture is importance since generate incomefrom inferior local products that do not have market earlier. The condition favoring success of this GPare guaranteed access to market for local raw materials and value added products through diverseoutlets (woman group outlets, warung/grocery outlets inside and neighboring village, exportspossibilities through NGO Support). The constraints of the success of this GP are quality maintenance,and much competition for similar products. The action had been taken were:1. Community meeting to hold a dialog on the importance of maintaining local varieties of mango,

market value of fresh and processed products of local varieties2. Developing a marketing system of fruit products through farmer group or association.3. Farmers to farmers training on the improvement of mango and citrus processing technology,

supervised by AIAT, University, and Agri-Extension Service.

Revitalization of Homegareden for on Farm Conservation

This practice of GP enhanced livelihood asset through enhancing human capital by training onenvironmental friendly production and management (fruit trees, livestock and bee keeping productionmanagement in the home garden. It is also enhanced social capita by strengthening skills of farmers inimplementing integrated management of home garden. Then it is enhancing natural capital bymaintaining local GP of mango and citrus in the home garden and providing internal inputs formaintaining the local GPs. Further, it is enhancing financial capital by increasing annual farmers’income and saving as well as enhancing physical capital by construction of the infrastructure of stallfacilities and bee stock box.

This system also had livelihood strategies through provision for internal inputs for mango andcitrus GP management in the home garden and Capacity building on integrated management of homegarden, livestock, and bee keeping. Also it is enhancing social capital by Organize need based skilltraining, Enhancing natural capital by Better management of rural home gardens, enhancing financialcapital by Provide labour for wages, and enhancing physical capital by development of communityself capacity building.

This practices impact on livelihood income through additional cash and saving income fromfruit trees, livestock, and beekeeping, increased income and saving of the farmers, as well as maintainand may enhance GP of mango and citrus varieties, local government and related institutionssupports, and increase integrated home garden implementation. It is also the system impact onawareness on the integrated HG management towards rural environmental friendly, improved skills offarmers, Income supplemented, income increased, awareness of community raised and communityempowered.

The GP had been taken were organized farmers’ field visit and interactive dialogue onintegrated HG management with the community members who have practiced the GP. It will have thedriving force of Better living conditions of farmers who have practiced the GP, Providing additionalannual income and saving, and Increase market for the honey-bees.

Page 34: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

22│

Village – Forest Service Regulation in Kaligayam Comunity

A social profit share system between the forestry service and the community has been developedthrough the utilization of state forest for planting mango trees for more than a decade. The profit shareof 50 % : 50 % has been agreed by the community and the forest service. Then the 25% of the 50 % ofcommunity earns will be given to the farmer who manage the crop and the land. Total forest areasmanaged by the community are about 1500 ha. Since the forest area is hilly, a terrace zone systemdevelopment is applied. The lower terraces are planted with mango and secondary crops, the middleterraces planted with crops for fodder, whereas the upper terraces planted with the perennial forestrycrops. Mango varieties grown in the lower terraces are mostly local varieties. At the harvest time, themiddlemen will come to the area to buy directly the mango fruits by tebasan/wholesale system at theagreed price.

The system could be linked to the village policy of not allowing farmers to cut down the agedtrees in the area and to the development plan for community nursey which later may support thecommunity to in situ/on-farm conservation. Developing regular community meeting to enhanceknowledge and importance of conservation and use of TFT diversity will also strengthen the system.

CONCLUSION

1. This research project uses CBM approach to strengthen the capacity of farmers and farmingcommunities for managing biodiversity for the benefit of the household and the community. Thisapproach empowers farmers and communities in selected sites Kediri and Magetan to organizethemselves and support on farm management of agricultural biodiversity. During theimplementation of the CBM approach in this project, it was using the participatory tools toevaluate the fruits diversity conditions in the selected site.

2. CBM is a process‐led approach and builds on the existing capacity of the farming/usercommunities. Establishing and promoting CBM approach to managing community biodiversityresources includes the following elements. These can be applied, adapted, and sequenced based onlocal conditions. The approach had been done during this research activities in the selected sitesin Kediri and Magetan were as follows: 1. Enhanced community awareness and education onagricultural biodiversity (building human capital), 2. Understanding local agricultural biodiversityand the associated social networks and local institutions, 3. Capacity building of communityinstitutions, 4. Setting up of institutional working modalities, 5. Consolidating community roles inplanning, and implementation, 6. Social learning and scaling up for community collective action.

REFERENCES

1. Bartlett, Andrew 2008, ‘No more adoption rates! Looking for empowerment in agriculturaldevelopment programmes’, Development in practice,vol. 18, no. 4, pp. 524-38.

2. De Boef, WS & Thijssen, MH 2007, Participatory tools working with crops, varieties and seeds, Aguide for professionals applying participatory approaches in agrobiodiversity management, cropimprovement and seed sector development, Wageningen, Wageningen International.

3. Frison, Emile, A, Jeremy Cherfas & Toby Hodgkin 2011, ‘Agricultural biodiversity is essential fora sustainable improvement in food and nutrition security’, Sustainability, vol.3, pp. 238-53.

4. Global Environment Facility (GEF) 2008, Proposal project document entitled ‘conservation andsustainable use of cultivated and wild tropical fruit diversity: Promoting sustainable livelihood,food security and ecosystem services.

5. Jacobi, Johanna, Axel, W, Drescher, Priyanie, H, Amerasinghe & Philipp Weckenbrock, 2009,‘Agricultural biodiversity strengthening livelihoods in peri urban Hyderabad, India’, UrbanAgriculture magazine, no. 22.

Page 35: Prosiding BUKU 1

Study on Community Biodiversity Managament Toward on Farm Conservation of Tropical Fruit Trees in East JavaAndri, KB dan Purnomo, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│23

6. Jarvis, Devra 2007, Participatory diagnosis participatory assessment of fruit tree diversity: on farmand in wild system, diversity for livelihoods programme, Bioversity International.

7. Kehlenbeck, K & Maass, BL 2004, ‘Crop diversity and classification of home gardens in CentralSulawesi, Indonesia’, Agroforestry Systems, vol. 63, pp. 53-62.

8. Kruijssen, Froukje & Somsri S 2006, Marketing local biodiversity in thailand: identification of apossible good practice for on farm biodiversity management of tropical fruit trees, Paper of Confer onInternational Agricultural Research for Development, University of Bonn.

9. Rana, RB, Sthapit, BR, Garforth, C, Subedi, A, &Jarvis, DI 2005, ‘Four cell analysis as decisionmaking tool for conservation of agricultural biodiversity on farm’, Plant Genetic ResourcesNewsletter.

10. Sajise, Percy, E 2003, Agrobiodiversity and sustainable development: what, why and for whom. inlandscapes of diversity: indigenous knowledge, sustainable livelihoods and resource governance inMontane Mainland Southeast Asia, Proceedings of the III Symposium on MMSEA 25–28 August2002, Lijiang, P.R. China. Xu Jianchu and Stephen Mikesell, eds. pp. 289–294. Kunming: YunnanScience and Technology Press.

11. Sharrock, SL & Frison, EA 2004, ‘Prospect and Challenge of Biodiversity in Small-HolderSystems’, African Crop Sci. J., vol. 12, no. 1, pp. 51-57.

12. Sthapit, Bhuwon, Shrestha, P, Subedi, A, Shrestha, P, Upadhyay, M & Eyzaguirre, P 2008a,Mobilizing and empowering communities in biodiversity management, in: Thijssen, MH, Bishaw, Z,Beshir, A & de Boef, WS 2008 (Eds.), Farmers, seeds and varieties: supporting informal seed supplyin Ethiopia, Wageningen, Wageningen International.

13. Sthapit, Bhuwon, Sherestha, P & Upadhyay, M 2008b, On-Farm Management of AgriculturalBiodeversity in Nepal, Good Practices, IPGRI-Rome.

Page 36: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

24││24

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning Keriting

Wulandari, AW dan dan Duriat, ASBalai Penelitian Tanaman Sayuran

Jl. Tangkuban Perahu No. 517, Lembang, Bandung Barat-40791Email : [email protected]

Abstrak. Salah satu penyebab rendahnya produksi cabai merah pada saat ini adalah serangan penyakit kuningkeriting, atau disebut penyakit virus kuning. Pada empat tahun terakhir ini OPT penting pada cabai merah masihtetap virus kuning gemini. Virus ini sudah menyebar ke berbagai sentra produksi cabai merah baik di pulauJawa, Sumatera maupun Kalimantan. Varietas cabai yang resisten terhadap penyakit virus kuning adalah idamansetiap produsen cabai. Masalahnya sampai saat ini cabai yang diharapkan tersebut masih belum tersedia,kalaupun ada atau diintroduksi dari luar (import) belum tentu dapat menghadapi strain-strain penyakit kuning diIndonesia atau bahkan patogen lain. Tujuan penelitian adalah memilih individu tanaman cabai dari setiap galurdan varietas komersial yang tahan atau toleran terhadap infeksi virus kuning keriting. Penelitian dilakukan padabulan Juni - Oktober 2009. Benih cabai diperoleh dari galur-galur introduksi AVRDC, varietas komersial daripedagang benih di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil penelitian : 1). Varietas komersial/galur yangterpilih sebagai varietas imun atas dasar tidak terinfeksi di rumah kaca (inokulasi antifisial) dan infeksi alami dilapang ada 11 nomor yaitu : 0735-5675-1, 0735-5623-1, LV-3633 CMV Res 19, Punjab Lal, PBC 549-3, VC-34a, Padang 4 CMV keriting, 0735-5696-1, 0735-5626-1, Rama dan Wibawa, 2). Varietas/galur yang termasukkedalam kelompok tahan (R) ada 23 nomor yaitu : Bagayo, Gada, Tit Super LV, Hot Chili, Tanjung 2, 0735-5687-1, 0735-5601-2, 0735-5603-1, 0735-5629-1, 0735-5646-1, 0737-7640,B, 0735-5611-1, 0735-5601-1,0735-5670, Resi, VC16a 2-4, Tit Segitiga, OR Slim, OR 369, Redsking, Siramping C-199, Paras 201 dan C371, 3). Varietas/galur yang termasuk kedalam kelompok agak tahan (MR) ada 11 nomor yaitu : TM 888, Keris,Aligator, Arimbi, OR Twist 33, New emperor, Balado 69, Super 999, Fantastic, C 339 dan Tit Randu, 4).Varietas yang termasuk kedalam kelompok agak rentan (MS) ada 4 nomor yaitu : TM 999, Prada, OR Twist 22dan Astina.

Kata kunci : Ketahanan, Capsicum sp., virus kuning keriting, 19 galur, 30 varietas komersial

ABSTRACT. Wulandari, A.W. and Duriat, A.S. 2013. RESISTANT 19 LINES and 30 VARIETIESCOMERCIAL CHILLI OF VIRUS YELLOW CURL. The low production of red pepper at this point is anattack of jaundice curly, or viral disease called yellow. In the last four years is an important pest on red pepperstill yellow gemini virus. This virus has spread to a variety of chili production centers both on the island of Java,Sumatra and Kalimantan. Chili varieties that are resistant to viral diseases yellow chili is every manufacturer'sdream. The problem to date is expected peppers are still not available, if any, or introduced from outside(imports) may not be able to deal with the strains of yellow fever in Indonesia or other pathogens. The researchobjective is to select individuals from each strain of pepper plants and commercial varieties that are resistant ortolerant to yellow curl virus infection. The study was conducted in June-October 2009. Chili seeds obtainedfrom AVRDC introduced strains, commercial varieties of seed merchants in the area of West Java and CentralJava. Results of the study: 1). Commercial varieties/strains selected as immune varieties on the basis of non-infected in the greenhouse (antifisial inoculation) and natural infection in the field there are 11 number is: 0735-5675-1, 0735-5623-1, LV-3633 CMV Res 19, Punjab Lal, PBC 549-3, VC-34a, Padang 4 CMV keriting, 0735-5696-1, 0735-5626-1, Rama and Wibawa, 2). Varieties/strains are included into the group of resistant (R) thereare 23 numbers are: Bagayo, Gada, Tit Super LV, Hot Chili, Tanjung 2, 0735-5687-1, 0735-5601-2, 0735-5603-1, 0735-5629-1, 0735-5646-1, 0737-7640,B, 0735-5611-1, 0735-5601-1, 0735-5670, Resi, VC16a 2-4, TitSegitiga, OR Slim, OR 369, Redsking, Siramping C-199, Paras 201 and C 371, 3). Varieties/strains are includedinto the group of moderately resistant (MR) there are 11 numbers are: TM 888, Keris, Aligator, Arimbi, ORTwist 33, New emperor, Balado 69, Super 999, Fantastic, C 339 and Tit Randu, 4). Varieties/strains areincluded into the group susceptible (MS) there are 4 numbers are: TM 999, Prada, OR TWIST 22 and Astina.

Keywords : Resistant, Capsicum sp., Virus yellow curl, 19 line, 30 varieties commercial

Cabai adalah tumbuhan anggota genus capsicum. Jenis cabai yang banyak digunakan sebagaibumbu masakan adalah cabai merah yang besar dan panjang, cabai hijau dan cabai keriting. Untukmakanan atau masakan pedas, kebanyakan memilih cabai keriting karena kadar airnya lebih sedikit

Page 37: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│25

sehingga zat pedasnya per 100 gr lebih banyak dari cabai jenis lain. Cabai juga banyak dijadikanproduk olahan dengan tujuan memperpanjang daya awet, kepraktisan, keragaman, dan menambahkegunaan. Berbagai produk olahan dari cabai bisa berbentuk saus cabai, sambal cabai, dan cabaibubuk.Zat yang menyebabkan cabai terasa pedas adalah kapsaisin yang tersimpan dalam urat putih cabai,tempat biji cabai melekat. Kapsaisin cabai bersifat stomakik, dan mampu merangsang produksihormon endorphin yang membangkitkan sensasi kenikmatan. Selain mengandung vitamin C 18,00mg, cabai juga mengandung vitamin A 71,00 RE, vitamin B 10,05 mg, energi 31,00 kal, protein 7100g, lemak 0,30 g, karbohidrat 7,30 g, kalsium 29,00 mg, fosfor 24,00 mg, serat 0,30 g, besi 0,50 mg,dan niacin 0,20 mg.Pada cabai rawit berwarna merah dan cabai hijau memiliki kandungan vitamin C tinggi danbetakaroten mengungguli buah-buah yang sering dikonsumsi masyarakat seperti pepaya, mangga,nanas dan semangka. Sementara kandungan kalsium dan fosfor pada cabai rawit dan cabai hijaumengalahkan kandungan mineral pada ikan segar (Gobel 2011).Salah satu penyebab rendahnya produksi cabai merah pada saat ini adalah serangan penyakit kuningkeriting, atau disebut penyakit virus kuning. Serangan lebih meluas menjadi epidemik di JawaTengah, Yogya dan Magelang pada awal tahun 2003. Pada empat tahun terakhir ini OPT penting padacabai merah masih tetap virus kuning gemini. Virus ini sudah menyebar ke berbagai sentra produksicabai merah baik di pulau Jawa, Sumatera maupun Kalimantan (Hartono 2003; Hidayat 2003 danSulandari 2004). Kerugian yang ditimbulkan bisa mencapai milyaran rupiah (Sulandari 2004).Virus kuning keriting atau Gemini virus ditularkan oleh vektor whitefly atau kutu kebul Bemisiatabaci pada tanaman dikotiledon dan monokotiledon dan bersifat persisten (Wahyuni 2005).Berbagai upaya, seperti penggunaan pestisida kimia, pestisida non kimiawi, induser bahan nabati,penghalang fisik baik tanaman maupun kasa, penyaringan tanaman resistensi, pengendalian vektorBemisia tabaci menggunakan predator (Menochillus sexmaculatus), entomopatogen (Beauveriabassiana) maupun perangkap telah banyak dilakukan namun belum mendapatkan hasil yang tuntas.Perbaikan yang diperoleh melalui cara-cara diatas adalah hasil panen yang terselamatkan belummelebihi 40% (Duriat 2008, Setiawati et al. 2008)).Menurut Sulandari (2004) sejauh ini belum ada tanaman cabai yang resisten terhadap penyakit virusGemini (tidak adanya sumber gen tahan). Varietas cabai yang resisten terhadap penyakit virus kuningadalah idaman setiap produsen cabai. Masalahnya sampai saat ini cabai yang diharapkan tersebutmasih belum tersedia, kalaupun ada atau diintroduksi dari luar (import) belum tentu dapatmenghadapi strain-strain penyakit kuning di Indonesia atau bahkan patogen lain. Karena itu skriningyang ketat terhadap varietas cabai komersial yang sudah adaptif pada iklim Indonesia diperlukan, agarvarietas yang terpilih diantara varietas yang komersial di Indonesia akan dapat beradaptasi denganbaik pada saat digunakan mengganti varietas cabai yang peka atau rentan.

Tujuan dari penelitian ini adalah memilih varietas tanaman cabai dari kelompok varietaskomersial yang tahan atau toleran terhadap infeksi virus kuning keriting.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Oktober 2009 bertempat di rumah kasa danlapangan (mikroplot) Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang (1.250 m dpl).

Benih CabaiBenih cabai yang digunakan sebanyak 19 galur dan 30 varietas komersial cabai diperoleh dari

galur-galur introduksi AVRDC, varietas dari Balitsa serta varietas komersial (hibrida dan OP) daripedagang benih di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Foto 1).

Vektor Virus Kuning Keriting

Page 38: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

26│

Penyakit kuning keriting ditularkan oleh kutu kebul Bemisia tabaci. Vektor kutu kebuldiperoleh dari tanaman tomat dan cabai yang terserang virus kuning keriting di daerah Garut danSukabumi.

Perlakuan di Rumah KasaBenih cabai disemai dalam pot plastik yang berisi tanah steril (Foto 2), yang tumbuh terus

dipelihara (Foto 3), setelah memiliki 2 daun sejati diinfeksi dengan virus kuning gemini langsung dilapangan menggunakan vektor Bemisia tabaci menggunakan aspirator untuk mengoleksi vektorBemisia sebanyak 1-3 ekor/tanaman atau kurang lebih 50-100 ekor/baki. Tutup baki dengan kain sifondan biarkan selama 3 hari. Setiap pagi dan sore permukaan sifon digoyang atau digetarkan agarserangga berpindah dan makan pada lebih banyak tanaman (Foto 4). Sebanyak 50 tanaman muda yangtelah diinfeksi dipindahkan ke baki plastik ukuran 40 x 60 x 15 cm dengan media tanah steril (Foto 5)untuk diamati gejalanya. Amati dan hitung gejala yang muncul, secara bertahap tanaman yangterinfeksi (ditandai dengan gejala mosaik kuning yang kadang-kadang disertai keriting) dicabut (Foto6) sedangkan tanaman yang nampak tanpa gejala (sehat) dibumbun dipersemaian (Foto 7) dan terusdipelihara sampai cukup umur untuk dipindahkan ke lapang.

Kegiatan di LapanganTanaman cabai yang tanpa gejala dari kegiatan di rumah kasa, ditanam di lapangan. Setiap

nomor terdiri dari 20 tanaman. Cara penanaman, pemeliharan, dan pemupukan dilakukan untukmendapatkan pertumbuhan yang optimal.

Peubah yang Diamati1. Insiden gejala virus :

a. Di rumah kasa diamati setiap hari setelah satu minggu diinfeksi dengan virus kuning keriting.b. Di lapangan diamati 14 hari setelah tanam dengan interval satu minggu.Dengan rumus :

nI = x 100%

N

Dimana : I = Insiden serangan, n = Jumlah tanaman yang terserang, N = Jumlah tanaman yangdiamati

2. Intensitas serangan virus di lapangan dengan rumus (Dolores 1996) (n x v)

I = x 100%N x V

Dimana : I = Intensitas gejala serangan, N = Jumlah tanaman yang diamati, n = Jumlah tanamanskala tertentu, V = Nilai skala keparahan tertinggi, v = Nilai skala tertentu.Kriteria resistensi ditetapkan sebagai berikut : Intensitas 0% = Imun, 1-10% = Tahan (Resisten),10,1-20% Agak tahan (Moderat resisten), 20,1-30% = Agak rentan (Moderat susceptible), 30,1-50% = Rentan (Susceptible), >50,1% = Sangat rentan (Highly susceptible)

Foto 1. Benih komersial yang terkumpul Foto 2. Sebanyak 100 butir benih disemaipada pot plastik

Page 39: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│27

Foto 3. Biji cabai berkecambah Foto 4. Semaian siap untuk diinfeksi viruskeriting dengan aspirator

Foto 5. Lima puluh semaian yang sudahdiinokulasi dipindah kan padabaki plastik

Foto 6. Semaian mulai ada yang bergejalakuning

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan di rumah kasa menunjukkan bahwa persentase insiden serangan gejala virusdari 19 galur dan 30 varietas cabai komersial yang diuji hanya 15 nomor yang 0%, sebanyak 12nomor dengan insiden serangan berkisar >1-5%, 9 nomor dengan insiden serangan berkisar >5-10%,5 nomor dengan insiden serangan berkisar >10-20% dan insiden serangan berkisar >20% sebanyak 8nomor (Gambar 1).

Pada dasarnya ketahanan atau resistensi pada tanaman didukung oleh 3 unsur pokok, yaitunonpreferensi/preferensi, antibiosis dan toleran (Painter 1951 dalam Omoy et al. 2001). Sifatnonpreferensi dan preferensi ditunjukkan dalam satu sifat tanaman inang yang dapat menimbulkanrespon serangga hama pergi menghindar atau memilih dan menyukai keistimewaan inang tersebutuntuk dimakan, tempat peletakan telur, atau berlindung.

Pada Tabel 1 menunjukkan insiden serangan virus di lapangan berkisar 0 – 66,67% denganintensitas gejala virus berkisar 0 – 25,0%. Varietas komersial/galur yang terpilih sebagai varietasimun atas dasar tidak terinfeksi di rumah kaca (inokulasi antifisial) dan infeksi alami di lapang ada 11nomor yaitu : 0735-5675-1, 0735-5623-1, LV-3633 CMV Res 19, Punjab Lal, PBC 549-3, VC-34a,Padang 4 CMV keriting, 0735-5696-1, 0735-5626-1, Rama dan Wibawa.

Varietas/galur yang termasuk kedalam kelompok tahan (R) ada 23 nomor yaitu : Bagayo,Gada, Tit Super LV, Hot Chili, Tanjung 2, 0735-5687-1, 0735-5601-2, 0735-5603-1, 0735-5629-1,0735-5646-1, 0737-7640,B, 0735-5611-1, 0735-5601-1, 0735-5670, Resi, VC16a 2-4, Tit Segitiga,OR Slim, OR 369, Redsking, Siramping C-199, Paras 201 dan C 371.

Varietas/galur yang termasuk kedalam kelompok agak tahan (MR) ada 11 nomor yaitu : TM888, Keris, Aligator, Arimbi, OR Twist 33, New emperor, Balado 69, Super 999, Fantastic, C 339 danTit Randu sedangkan yang termasuk kedalam kelompokagak rentan (MS) ada 4 nomor yaitu : TM999, Prada, OR Twist 22 dan Astina.

Berdasarkan hasil penelitian Duriat et al. (2009) bahwa galur-galur hasil introduksi dariAVRDC yaitu 0735-5623-1, 0735-5696-1 dan 0735-5626-1 termasuk kedalam kelompok imunsedangkan hasil penelitian Gunaeni et al. (2010) di daerah endemi virus kuning keriting Magelang danBrebes bahwa galur 0735-5623-1 termasuk kedalam kelompok agak rentan (MR). Hal tersebut

Page 40: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

28│

menunjukkan bahwa galur-galur hasil introduksi dari AVRDC bisa digunakan sebagai varietas yangtahan virus kuning keriting dan bisa sebagai bahan silangan untuk pemuliaan tanaman.Menurut Murphy et al. (2001) asam salisilat merupakan sinyal transduksi bagi ketahanan tanamanterhadap penyakit. Tertundanya masa inkubasi mungkin terjadi seperti yang dikemukakan olehNaylor et al. (1998) bahwa peranan asam salisilat adalah sebagai penghambat pergerakan sistemikvirus secara tidak langsung melalui pembuluh tanaman inang, sehingga sifatnya menunda gejalapenyakit.

Tabel 1. Varietas cabai merah terpilih hasil penyaringan/Chili varieties selected screening results

No. Nama Varietas Jenis Cabai Insiden Virus(%)

IntensitasVirus (%) Tingkat resistensi

1. Bagayo Keriting/F1 5,0 1,25 Resisten

2. Gada Besar/F1 5,26 1,05 Resisten

3. Tit Super LV Besar/OP 10,53 2,11 Resisten

4. Hot chili Besar/OP 5,26 2,1 Resisten

5. Tanjung 2 Besar/F1 10,0 3,0 Resisten

6. 0735-5675-1 Rawit/OP 0 0 Imun

7. 0735-5687-1 Keriting/OP 25,0 5,0 Resisten

8. 0735-5601-2 Rawit/OP 5,0 2,0 Resisten

9. 0735-5603-1 Rawit/OP 10,53 2,11 Resisten

10. 0735-5623-1 Besar/OP 0 0 Imun

11. 0735-5629-1 Rawit/OP 15,0 3,0 Resisten

12. 0735-5646-1 Rawit/OP 15,0 3,0 Resisten

13. 0735-5670 Besar/OP 11,11 3,0 Resisten

14. 0737-7640-B Keriting/OP 25,0 6,0 Resisten

15. Resi Besar/F1 10,53 2,11 Resisten

16. LV 3633 CMV Res 19 Rawit/OP 0 0 Imun

Page 41: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│29

No. Nama Varietas Jenis Cabai Insiden Virus(%)

IntensitasVirus (%)

Tingkat resistensi

17. Punjab Lal Rawit/OP 0 0 Imun

18. PBC 549-3 Rawit/OP 0 0 Imun

19. VC 34a Rawit/OP 0 0 Imun

20. VC 16a 2-4 Rawit/OP 10,53 2,11 Resisten

21. Padang 4 CMV Keriting Keriting/OP 0 0 Imun

22. Tit Segitiga Besar/OP 10,0 2,0 Resisten

23. 0735-5696-1 Besar/OP 0 0 Imun

24. 0735-5611-1 Rawit/OP 5,0 1,0 Resisten

25. 0735-5626-1 Rawit/OP 0 0 Imun

26. 0735-5601-1 Rawit/OP 5,0 1,0 Resisten

27. Tit Randu Besar/OP 47,6 13,75 M. Resisten

28. TM 999 Keriting/F1 41,18 20,11 M Susceptible

29. Prada Besar/F1 55,0 21,87 M Susceptible

30. TM 888 Besar/F1 55,0 17,5 M. Resisten

31. OR Twist 22 Keriting/F1 50,0 25,0 M Susceptible

32. OR Slim Keriting/F1 25,0 7,5 Resisten

33. OR 369 Keriting/F1 10,53 5,26 Resisten

34. Astina Besar/F1 66,67 25,0 M Susceptible

35. Redsking Keriting/F1 37,5 9,37 Resisten

36. Keris Keriting/F1 38,89 12,5 M. Resisten

37. Aligator Keriting/F1 38,89 13,15 M. Resisten

38. Arimbi Besar/F1 62,5 15,62 M. Resisten

39. OR Twist 33 Keriting/F1 35,29 10,29 M. Resisten

40. New Emperor Keriting/F1 33,33 11,12 M. Resisten

41. Siramping C-199 Keriting/F1 27,28 6,82 Resisten

42. Balado 69 Keriting/F1 47,06 16,17 M. Resisten

43. Rama Rawit/F1 0 0 Imun

44. Super 999 Keriting/F1 41,18 10,29 M. Resisten

45. Wibawa Besar/OP 0 0 Imun

No. Nama Varietas Jenis Cabai Insiden Virus(%)

IntensitasVirus (%)

Tingkat resistensi

46. Paras 201 Keriting/F1 25,0 6,25 Resisten

47. Fantastic Besar/F1 40,0 13,75 M. Resisten

48. C 339 Besar/F1 42,11 15,26 M. Resisten

49. C 371 Besar/F1 25,0 10,0 Resisten

KESIMPULAN

1. Varietas komersial/galur yang terpilih sebagai varietas imun atas dasar tidak terinfeksi di rumahkaca (inokulasi antifisial) dan infeksi alami di lapang ada 11 nomor yaitu : 0735-5675-1, 0735-

Page 42: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

30│

5623-1, LV-3633 CMV Res 19, Punjab Lal, PBC 549-3, VC-34a, Padang 4 CMV keriting, 0735-5696-1, 0735-5626-1, Rama dan Wibawa.

2. Varietas/galur yang termasuk kedalam kelompok tahan (R) ada 23 nomor yaitu : Bagayo, Gada, TitSuper LV, Hot Chili, Tanjung 2, 0735-5687-1, 0735-5601-2, 0735-5603-1, 0735-5629-1, 0735-5646-1, 0737-7640,B, 0735-5611-1, 0735-5601-1, 0735-5670, Resi, VC16a 2-4, Tit Segitiga, ORSlim, OR 369, Redsking, Siramping C-199, Paras 201 dan C 371.

3. Varietas/galur yang termasuk kedalam kelompok agak tahan (MR) ada 11 nomor yaitu : TM 888,Keris, Aligator, Arimbi, OR Twist 33, New emperor, Balado 69, Super 999, Fantastic, C 339 danTit Randu.

4. Varietas yang termasuk kedalam kelompokagak rentan (MS) ada 4 nomor yaitu : TM 999, Prada,OR Twist 22 dan Astina.

PUSTAKA

1. Duriat, A.S. 2008. Pengaruh ekstrak bahan nabati dalam menginduksi ketahanan tanaman cabaiterhadap vektor dan penyakit kuning keriting. J.Hort. Vol. 18 (4) : 446-456.

2. Duriat, A.S., and Gunaeni, N. 2009. Resistance testing on chilli against Whitefly TransmittedGeminivirus (WTG). Final Report IVEGRI and ACIAR. 16p.

3. Gobel, F.A. 2011. Cabai pedas nan menyehatkan. http:home/sloki/user/t11317/sites/ekspresi.fajar.co.id/www/berita.php on line 165. 3 Desember 2011.

4. Gunaeni, N., Kirana, R., dan Sofiari, E. 2010. Keragaman derajat toleransi beberapa galur cabaimerah (Capsicum annuum L.) terhadap virus kuning keriting di daerah endemi. Laporan internalBalitsa dan ACIAR. 20p.

5. Hartono, S. 2003. Penyakit virus daun menguning dan keriting pada cabai merah di Yogyakartadan upaya pengendaliannya. Makalah pada seminar sehari pengenalan dan pengendalian penyakitvirus pada cabai merah. Dir. Perlindungan Hortikultura, Dir. Jen. Bina Produksi Hortikultura.Jakarta. 6 hal.

6. Hidayat S. Hendrastuti. 2003. Rangkuman hasil penelitian geminivirus di Indonesia : sebagaibahan diskusi untuk menghadapi peningkatan infeksi geminivirus pada cabai merah. Makalahpada seminar sehari pengenalan dan pengendalian penyakit virus pada cabai merah. Dir.Perlindungan Hortikultura, Dir. Jen. Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. 4 hal.

7. Murphy, A.M., A. Giliand, C.E. Wong, J. West, D.P. Shingh, and J.P. Carr. 2001. Signaltransduction in resistance to plant viruses. Euro.J.Plant Pathol. 107:121-128.

8. Naylor, M., A.M. Murphy, J.O. Berry and J.P. Carr. 1988. Salicylic acid can induce resistance toplant virus movement. Molecular Plant Microbe Interac. 11:860-866.

9. Omoy, T.R., Maryam Abn, D. Sihombing dan Suryamah. 2001. Metode evaluasi ketahananvarietas melati terhadap hama Palpita unionalis. J. Hort. Vol. 11(1) : 40-45.

10. Setiawati, W., B.K. Udiarto dan T.A. Soetiarso. 2008. Pengaruh varietas dan sistem tanam cabaimerah terhadap penekanan populasi hama kutu kebul. J.Hort. Vol. 18(1) : 55-61.

11. Sulandari, S. 2004. Karakterisasi biologi, Serologi dan analisa sidik jari DNA virus penyebabpenyakit daun kuning keriting cabai merah. Disertasi S-3 Institut Pertanian Bogor. 175 hal.

12. Wahyuni, W.S. 2005. Dasar-dasar virologi tumbuhan. First Ed. Gadjah Mada University Press.234p.

Page 43: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi Mikro Tanaman KentangKarjadi, AK

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

31│

Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi MikroTanaman Kentang (Solanum tuberosum L)

Karjadi, AKBalai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu No. 517 Lembang – Bandung JAWA BARAT.

Email : [email protected]

ABSTRAK. Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Balai Penelitian Tanaman Sayuran padabulan Juni 2009 s.d Januari 2010. Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAL dengan 5 ulangan .Perlakuannya 3 komposisi media induksi umbi mikro yaitu: (a)M1 = MS + supplement (gula 60 gL-1 + airkelapa 100 mlL-1, pH 5.7); b) M2 = MS + supplement (gula 80 gL-1 + Hyponex (6.5-6-19) 5 gL-1 , pH 5.8) ; (c)M3 = MS + supplement BAP 1 mgL-1 + caumarine 50 mgL-1 + air kelapa 100 mlL-1 + gula 80 gL-1 , pH 5.7).Varietas/klon yang dipergunakan Margahayu (V1), Berolina (V2), Granola (V3). Sebagai bahan penelitiandigunakan eksplan dalam bentuk stek in vitro dengan 2 buku,setiap container/wadah ditanam 5 eksplan. Untukinduksi tunas dari ketiga varietas/klon digunakan media MS + supplement ( air kelapa 100 mlL-1 + GA3 0.15mgL-1 + gula 30 gL-1 + agar 6 gL-1, pH 5.7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi umbi mikro antaraperlakuan vareitas/klon dan komposisi media tidak ada interaksi. Untuk varietas/kultivar Margahayu (V1)kualitas dan kuantitas umbi mikro lebih baik. Dalam menginduksi umbi mikro perlakuan caumarine (M3)memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya.

Katakunci : Kentang (Solanum tuberosum L); Umbi mikro; Gula; Hyponex; Caumarine.

ABSTRACT. Karjadi, AK 2013. The effect of Medium Composition And Variety on Micro TuberInduction of Potato (Solanum tuberosum L). Experiment has been conducted at IVEGRI tissue culturelaboratory from June 2009 until January 2010. The experiment design were RAL with 5 replications , andtreatment of experiment were M 1 = MS + supplement (sugar 60 gL-1 + coconut water 100 mlL-1 , pH 5.7); M2 =MS + supplement ( sugar 80 gL-1 + Hyponex (6.5-6-19) : 5 gL-1, pH 5.8 ); M3 = MS + supplement ( BAP 1mgL-1 + caumarine 50 mgL-1 + coconut water 100 mlL-1 + sugar 80 gL-1, pH 5.7). Varieties / clones in thetreatment were Margahayu (V1); Berolina (V2), Granola (V3). The explants of experiment in vitro cutting havebeen planted in container in 50 ml medium MS + supplement (coconut water 100 mlL-1 + GA3 0.15 mgL-1 +sugar 30 gL-1 + agar 6 gL-1, pH 5.7). The results of induction micro tubers , there were no interaction betweenvarieties and medium composition . Variety Margahayu (V1) has the quality and quantity of micro tubers betterthan other varieties. Medium with caumarine (M3) could be used for micro tuber induction in cultivarsMargahayu (V1), Berolina (V2) and Granola (V3).

Keywords: Potato (Solanum tuberosum L); micro tubers; sugar; Hyponex; caumarine.

Dalam perbaikan sistim perbenihan kentang ada beberapa teknik yang dapat digunakandiantaranya perbanyakan mikropropagasi baik yang menghasilkan materi berupa plantlet atau umbimikro. Dan teknik ini dapat membantu pemecahan dalam tingginya tingkat kegagalan aklimatisasiplantlet. Selain itu umbi mikro ini mempunyai beberapa keuntungan diantaranya penanganan lebihmudah terhadap penyimpanan materi dan penanaman dibandingkan dengan tanaman in vitro(plantlet).

Proses aklimatisasi plantlet yang rentan dari kondisi in vitro ke lingkungan luar , akanmendapatkan tingkat kegagalan hidup yang tinggi, kecuali jika langkah kerja proses aklimatisasidilakukan secara hati-hati dan perlakuan yang tepat (Wang dan Hu , 1982). Umbi mikro dorman yangdihasilkan secara in vitro memiliki beberapa keuntungan yaitu penanganan yang mudah terhadappenyimpanan, pengiriman dan penanaman (Li, 1995 & Struik 1999, Otrosky et al. 2009).

Keberhasilan pembentukan umbi mikro secara in vitro pada awalnya tergantung padakemampuan memproduksi umbi secara konvensional (Wattimena 1983, Hussey & Stacey, 1981).Terbentuknya umbi mikro kentang dimulai dari membengkaknya ujung stolon yang tumbuh dariketiak daun dan mempunyai sifat genetik sama. Setiap varietas mempunyai kemampuan berbedadalam menghasilkan umbi mikro. (Wattimena 1983; Wang and Hu 1983 dalam Po Jeng & Chiang Yen

Page 44: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi Mikro Tanaman KentangKarjadi, AK

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

32│

Hu, 1985). Selain itu ada hasil penelitian yang menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhiterbentuknya umbi mikro antara lain genotip (varietas) tanaman (Dhital & Lim 2004, Otrosky et al.2009), komposisi media yang digunakan meliputi sumber karbohidrat, penggunaan ZPT sitokinin,antigibberelin atau CCC (Altindal & Karadogan 2010, Rafique et al. 2004, Zakaria et al. 2008, Dwiati& Anggorowati 2011).

Teknik pengumbian umbi mikro dapt dilakukan langsung dari penanaman eksplan pada mediapertumbuhan dan produksi umbi (Rafique et al. 2004, Uranbey 2005). Atau tidak langsung melaluidua tahap yaitu eksplan ditumbuhkan menjadi plantlet kemudian di transfer ke media pengumbian (Piao et al. 2003, Nistor et al. 2010).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan umbi mikro kentang yaitu temperatur,waktu penyinaran (photoperiode), konsentrasi sumber karbohidrat, zat pengatur tumbuh yangdipergunakan dan kandungan N pada media tumbuh.

Menurut Gunawan ( 1987) dan Wattimena et al. (1992) pembentukan umbi mikro secara invitro mempunyai beberapa keuntungan : yaitu bahan tanaman yang dibutuhkan sedikit, lingkungantumbuh aseptik dan terkendali , kecepatan perbanyakan tinggi, dapat diproduksi sepanjang tahundengan kata lain tidak tergantung dari musim.

Manfaat dan dampak dari penelitian produksi umbi mikro ini untuk mendapatkan teknologidalam meningkatkan kualitas dan kuantitas umbi benih dengan memproduksi umbi mikro untukmenunjang industri perbenihan tanaman kentang. Manfaat dari teknologi memproduksi umbi mikro iniadalah umbi yang dihasilkan bebas patogen, true to type, selain itu memproduksinya tidak tergantungpada keadaan musim dan dapat dilakukan sepanjang tahun.Dalam penelitian ini akan dilakukan induksi pengumbian in vitro tanaman kentang varietasMargahayu (V1); Berolina (V2) dan Granola (V3), pada media dasar MS (1962) ditambah Hyponex(6.5-6-19), BAP dan Caumarine. Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan supplemen(Hyponex, BAP, Caumarine) pada media MS (1962) dan varietas (kultivar) kentang dalammenginduksi umbi mikro.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Balai Penelitian Tanaman Sayuran padabulan Juni 2009 s.d Januari 2010 . Dalam penelitian ini menggunakan media dasar MS (1962) yaituNH4 NO3 : 1650 mgL-1; KNO3 : 1900 mgL-1 ; CaCl2. 2 H2O: 440 mgL-1 ; MgSO4. 7 H2O : 370 mgL-

1 ; KH2PO4 : 170 mgL-1 ; KI : 0.83 mgL-1 : H3BO3 : 6.2 mgL-1 ; MnSO4. 4 H2O : 22.3 mgL-1 ; ZnSO4.7H2O : 8.6 mgL-1: Na2MoO4. 2 H2O : 0.25 mgL-1 ; CuSO4. 5 H2O : 0.025 mgL-1 ; Inositol 100 mgL-1 ;Nicotinic acid 0.5 mgL-1 ; Phyridoxine HCl: 0.5 mgL-1; Thiamnine HCl : 0.1 mgL-1 dan Glycine 2.0mgL-1 , pH. 5.7. Perlakuan dari penelitian ini adalah 3 komposisi media induksi umbi mikro yaitu (a).M1 = MS + supplement ( gula 60 gL-1 + air kelapa 100 mlL-1 , pH 5.7 ); (b) M2 =MS + supplement (gula 80 gL-1 + Hyponex ( 6.5-6-19 ), 5 gL-1 , pH 5.7) , (c). M3 = MS + supplement ( BAP 1 mgL-1

+ caumarine 50 mgL-1 + air kelapa 100 mlL-1 + gula 80 gL-1 , pH 5.7). Varietas/klon yangdipergunakan Margahayu (V1), Berolina (V2); Granola (V3). Sebagai eksplan dipergunakan stek invitro dengan 2 buku setiap erlenmeyer 250 ml diisi 50 ml media dan 5 eksplan masing-masing terdiridari 2 buku.Untuk induksi tunas dari ketiga varietas (kultivar) dipergunakan media : MS + suplemen (air kelapa100 mlL-1 + GA3 0,15 mgL-1 + gula 30 gL-1+agar 6 gL-1 , pH5.7). Didalam pelaksanaan induksi umbimikro media ditambahkan setelah stek tunas tumbuh atau setelah 3 – 4 minggu setelah tanam(inokulasi). Penelitian menggunakan rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 5 ulangan, kulturdiinkubasikan diruang kultur (inkubasi) dengan suhu 22 – 23 oC, photoperiode 16 jam (8 jam dalamkeadaan gelap, 16 jam keadaan terang). Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan , jumlah danberat umbi mikro saat panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa statistik antara perlakuan tidak terdapat interaksi, pada pertumbuhan tunas persentasetumbuh varietas Granola selalu lebih tinggi dari varietas lainnya. Setelah penambahan media induksi

Page 45: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│33

umbi secara visual terlihat penambahan Caumarine (media M3), % pertumbuhan tanaman rendah biladibandingkan dengna perlakuan varietas lainnya. Untuk ketiga varietas % tumbuh Margahayu (V1)lebih tinggi dari Granola (V3) dan Berolina (V2) disini terlihat bahwa varietas sangat berpengaruhpada pertumbuhan. Kontaminasi kultur umumnya terjadi setelah penambahan media induksi umbi ,sumber kontaminan dapat dari tanaman (eksplan), teknik pengerjaan atau lingkungan tumbuh (ruangkultur) , umunya kultur terkontaminasi bakteri atau jamur. Menurut Gunawan (1987 dan Wattimena etal. 1992), kontaminasi merupakan faktor pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan yang dapatdisebabkan atau berasal dari (a) bahan tanaman (eksplan) baik eksternal maupun internal, (b) organismyang masuk kedalam media, (c) peralatan yang dipergunakan kurang steril, (d) lingkungan kerja danruang inkubasi tidak menunjang, (e) kecerobohan dalam pelaksanaan. Jenis kontaminasi yang banyakditemukan adalah bakteri yang mempunyai ciri media berubah warna menjadi keruh dan putih sepertisusu, bakteri ini sifatnya tidak langsung mematikan tanaman (plantlet).

Tabel 1. Pengaruh varietas/kultivar, komposisi media terhadap jumlah tunas dan % pertumbuhan

PengamatanJumlah tunas per erlenmeyer % tanaman tumbuh

Varietas/kultivarMargahayu (V1) 13,87 A 92,33 ABerolina (V2) 13,80 A 91,87 AGranola (V3) 14,60 A 98,60 A

MediaM1 14,13 B 94,13 BM2 14,40 B 95,87 BM3 13,73 B 92,80 B

Media x var/kulM1 13,60 a 90,60 a

V1 M2 14,40 a 95,80 aM3 13,50 a 90,40 a

V2 M1 14,00 a 93,20 aM2 14,00 a 93,20 aM3 13,40 a 89,20 a

V3 M1 14,80 a 98,60 aM2 14,80 a 98,60 aM3 14,20 a 98,50 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5%.

Pada tabel 1, analisa statistik tidak berbeda nyata untuk perlakuan varietas (kultivar), mediaserta tidak terdapat interaksi antar perlakuan. Dalam pengamatan jumlah tunas dan persentasetanaman tumbuh , walaupun analisa statistik tidak berbeda nyata tetapi varietas Granola (V3) jumlahtunas dan persentase tanaman tumbuh tertinggi bila dibandingkan dengan varietas/kultivar lainnya.Kombinasi perlakuan media dan varitas tidak berbeda nyata untuk seluruh perlakuan . Perlakuanmedia M2 (Hyponex) jumlah tunas dan persentase tanaman tumbuh tertinggi, hal ini dimungkinkan dimedia tersebut selain unsur hara makro dan mikro juga ditambahkan pupuk Hyponex (6.5;9;19) jadidikomposisi media tsb unsur haranya lebih tinggi bila dibandingkan dengan komposisi media lainnya.

Untuk media caumarine (M3) hanya ditambahkan zat pengambat pertumbuhan , dan terlihatbahwa kombinasi perlakuan Caumarine jumlah tunas dan % tanaman tumbuhnya terendah untukketiga varietas (kultivar). Caumarine adalah zat (bahan) kimia yang termasuk dalam kategori bahankimia yang dapat menghambat (menekan) pertumbuhan plantlet kentang. Sehingga plantlet tidaktumbuh membentuk tunas, tetapi membentuk umbi mikro (Zamora et al. 1994; Paet and Zamora ,1991).

Dalam kultur jaringan media tumbuh merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan danharus sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan serta perkembangan explan. Selain faktor endogenousdari eksplan, pertumbuhan tunas maupun umbi mikro sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti

Page 46: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi Mikro Tanaman KentangKarjadi, AK

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

34│

komposisi media tumbuh, faktor fisik seperti pencahayaan, lama penyinaran (photoperiode) serta suhudiruang inkubasi. Pada umumnya pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi pencahayaan tinggidikarenakan iriadiasi ini dipergunakan tanaman sebagai enerji untuk fotosintesa (Gopal and Minocha,1977), tetapi sebaliknya untuk induksi umbi mikro kentang (Slimmon, et al, 1989).

Tabel 2. Pengaruh varietas dan media terhadap jumlah umbi mikro per botol pada umur 4,8,12 MSTPengamatan

Umur 4 MST Umur 8 MST Umur 12 MSTVarietas/kultivarMargahayu (V1) 1,87 A 9,40 A 12,27 ABerolina (V2) 1,40 A 4,47 B 5,67 CGranola (V3) 1,33 A 6,53 A 8,33 B

MediaM1 1,60 B 5,87 C 7,60 DM2 1,40 B 7,40 C 9,13 DM3 1,60 B 7,13 C 9,53 D

Media x var/kulM1 2,00 a 7,80 a 9,80 a

V1 M2 1,60 a 10,80 a 14,00 aM3 2,00 a 9,60 a 13,00 a

V2 M1 1,60 a 4,00 c 5,20 cM2 1,40 a 4,00 c 5,00 cM3 1,20 b 5,40 b 6,80 c

V3 M1 1,20 b 5,80 b 7,80 bM2 1,20 b 7,40 b 8,40 bM3 1,60 a 6,40 b 8,80 b

Keterangan: Nilai rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5%.

Pada tabel 2 antara perlakuan varietas dan media untuk pengamatan jumlah umbi 4,8,12 MSTtidak terdapat interaksi. Saat tanaman berumur 4 MST jumlah umbi mikro tidak berbeda nyata antaravarietas (kultivar) demikian pula untuk perlakuan media induksi umbi. Dari rata-rata jumlah umbimikro pada 4,8,12 MST varietas Berolina (V2) jumlah umbinya selalu rendah bila dibandingkandengan varietas lainnya dan Margahayu(V1) jumlah umbinya tertinggi. Dapat dikatakan bahwavarietas Margahayu (V1) memberikan respon yang lebih baik dari varietas lainnya.

Hasil pengamatan dari ketiga komposisi media jumlah umbi mikro tertinggi adalah perlakuancaumarin (M3), bila dihubungkan dengan jumlah tunas dan % tanaman tumbuh (tabel 1) , terlihatbahwa caumarin tidak merangsang pembentukan tunas tetapi pembentukan umbi mikro, penambahancaumarine pada media MS (1962) akan meningkatkan pembantukan umbi mikro tanaman kentangdari ketiga varietas.

Dalam kombinasi perlakuan terlihat bahwa pada umur 8, 12 MST media MS (1962) ditambahgula (M1) jumlah umbinya selalu terendah sendangkan caumarine (M3) jumlah umbi mikronyatertinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Paet & Zamora (1991), bahwa penambahan caumarine padamedia MS (1962) dapat meningkatkan pembentukan umbi mikro.

Page 47: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│35

Tabel 3. Pengaruh varietas dan komposisi media terhadap jumlah dan berat umbi mikro

PengamatanJumlah umbi mikro Berat umbi mikro (g)

Varietas/kultivarMargahayu (V1) 12,07 A 3,13 ABerolina (V2) 5,47 C 0,99 cGranola (V3) 8,20 B 1.37 B

MediaM1 7,27 D 2,40 CM2 9,07 D 1,44 CM3 9,40 D 1,66 C

Media x var/kulM1 9,40 b 4,88 a

V1 M2 13,00 a 2,31 aM3 13,80 a 2,19 a

V2 M1 5,00 c 0,76 cM2 5,00 c 0,82 cM3 6,40 c 1,37 b

V3 M1 7,40 b 1,56 bM2 8,40 b 1,17 bM3 8,80 b 1,40 b

Keterangan: Nilai rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda duncan taraf 5%.

Dalam tabel 3 pengamatan jumlah umbi dan berat umbi mikro antara perlakuan tidak terdapatinteraksi . Perlakuan varietas berbeda nyata , untuk varietas Margahayu (V1) jumlah dan berat umbimikro tertinggi bila dibandingkan dengan varietas lainnya. Sedangkan untuk perlakuan media antaramedia MS (1962) ditambah gula (M1), media MS (1962) ditambah Hyponex (M2), MS (1962)ditambah caumarin (M3) tidak berbeda nyata. Secara visual media caumarine + BAP (M3)menghasilkan jumlah dan berat umbi tertinggi dan terlihat bahwa perlakuan caumarine meningkatkanjumlah dan berat umbi mikro.

Dari pengamatan rata-rata berat umbi mikro varietas Margahayu (V1) selalu lebih berat darivarietas lainnya dan mutu umbi mikro secara visual selalu lebih baik. Hasil analisa statistik tidak adainteraksi antara perlakuan tetapi perlakuan varietas Margahayu (V1) dan 3 komposisi media hasilnyaselalu lebih baik dari perlakuan lainnya baik untu jumlah maupun berat umbi mikro. MenurutSlimmon et al. (1989), varietas (kultivar) sangat berpengaruh dalam induksi umbi mikro.Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan umbi mikro yaitu varietas (klon),photoperiode (lama penyinaran), komposisi media yang dipergunakan baik media dasar ataukonsentrasi zat pengatur tumbuh yang dipergunakan dan kandungan nitrogen pada media tumbuh (Lentizi & Earle 1991 Zarrabeitia et al. 1993).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan :1. Hasil analisa statistik antara perlakuan varietas (kultivar) dan komposisi media tidak ada interaksi.

Induksi umbi mikro ini sangat dipengaruhi oleh sifat (karakter) dari varietas (kultivar).2. Kultivar(varietas) Margahayu (V1) kualitas dan kuantitas umbi mikro selalu lebih baik dari

lainnya.3. Perlakuan caumarine (M3) menginduksi umbi mikro pada ketiga varietas (kultivar).

PUSTAKA

1. Altindal, D & Karadogan, T 2010, ‘The effect of carbon source on in vitro tuberization in potato(Solanum tuberosum L)’, Turkish J. Field, Crops, vol.15, no. 1, p. 7 – 11.

Page 48: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi Mikro Tanaman KentangKarjadi, AK

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

36│

2. Dhital, SP and Lim, HT 2004, ‘Microtuberization response in several genotypes of potato(Solanum tuberosum L) by direct addition of liquid medium to in vitro plantlets’, J. Korea. Soc.Hort. Sci., vol. 45, no. 6, p. 281 – 86.

3. Dwiati, M & Anggorowati, S 2011, ‘Induction of in vitro culture of microtuber by using Alar anddark photoperiode application’, Agrivitia, vol. 33, no. 1, hlm. 47 – 52.

4. Gopal, J & Minocha, JL 1997, ‘Effectivenes of selection at microtuber crop level in potato’, Plantbreeding no.116, p. 293-95

5. Dwiati, M, Minocha, L & Dhaliwae, HS 1998, ‘Microtuberization in potato (Solanum tuberosumL)’, Plant Cell. Rep. no. 17, p. 794 – 98.

6. Gunawan, LW 1987, Teknik kultur jaringan tumbuhan, Lab. Kultur jaringan PAU BioteknologiIPB, Dir Jend. Pend Tinggi Dept. P&K.

7. Hussey & Stacey, NJ 1981, ‘In vitro propagation of potato (Solanum tuberosum L)’, Ann. Bot.,no. 48, 787 – 96.

8. Murashige, T & Skoog, F 1962, ‘A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacaotissue culture’, Phys. Planta, no. 15, p. 473 – 97.

9. Nistor, A; G.Campeanu;N. Atanasiu;N.Chiru and D. Karacsonyi 2010, ‘Influence of potatogenotypes on production of microtubers. Romanian Biotech’, Letter 15(3); 5317-5324.

10. Otrosky, M, Nazarian, F and Struik, PC 2009, ‘Effects of temperature fluctuation during in vitrophase on in vitro microtuber production in different cultivars of potato (Solanum tuberosum L)’,Plant Cell. Tissue organ culture, no. 98, p. 213-18.

11. Paet, CN & Zamora AB 1991, ‘In vitro tuberization in white potato (Solanum tuberosum L), usingprotocol and storage of tuberlets’, The Phillippines Agriculturist, vol 74, no. 1, p. 59 -70.

12. Piao, XC, Chakrabarty, D, Hahn, EJ and Paek, KY 2003, ‘A simple method for mass productionof potato microtubers using a bioreactor system’, Curr. Sci. vol 84, no. 8, p. 1129 – 32.

13. Pojen, W & Ching-Yeh, Hu, 1985, Potato tissue culture and It’s application in agric, in LieP.H.(eds), Potato Physiology, Acad. Press. Inc., New York.

14. Rafique, M, Jaskani MJ, Rozaand, H and Abbas, M 2004, ‘In vitro studies on microtuberinduction in potato’, Int. J. Agric and Biol., vol. 6, no. 2, p. 375 – 77.

15. Slimmon, T, Sauza M and Coffin, R 1989, ‘The Effect of light on in vitro microtuberization ofpotato cultivars’, Short communication Amer. Pot. J., vol. 66.

16. Uranbey, S 2005, ‘Comparison of kinetin and 6 – benzyladenine (BA) on in vitromicrotuberization of potato under short day conditions’, J. Agric. Sci., vol. 15, no. 1, p. 39 – 41.

17. Wang P & Hu C 1985, Potato tissue culture and it’s application in agric, in Lie PH (eds), PotatoPhysiology, Acad Press, Inc. NY.

18. Wattimena, GA 1983, Micropropagation as an alternative technology for potato production inIndonesia, Ph.D. dissertation, Univ. of Wisconsin Madison.

19. Wattimena, GA, Mattjik, NA, Syamsyudin, E, Armini, NM dan Ernawati, A 1992. Perbanyakantanaman dalam bioteknologi tanaman I. G.A. Wattimena et al (eds), PAU, Bioteknologi IPB,Dirjen Dikti, Dept. P dan K.

20 Zakaria, M, Hossain, MM, Khaleque Mian, MA, Hossain, T and Uddin, MZ 2008, ‘In vitrotuberization of potato influenced by benzyladenine and chlorocholine chloride’, BangladeshJ.Agric.Res, vol. 33, no. 3, p. 419 - 25.

Page 49: Prosiding BUKU 1

Ketahanan 19 Galur dan 30 Varietas Komersial Cabai Terhadap Virus Kuning KeritingWulandari, AW dan Duriat, A S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│37

21 Zammora, AB, Paet, CN and Altoveros, EC, 1994, ‘Micropropagation and virus eliminationprocedures in potato for conservation’, dissemination and production in humid tropic, IPB- Univof The Phill- Los banos, SAPPRAD, 203 pp.

Page 50: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

38│

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsisamabilis Bl.) Umur Genjah

Widiarsih, S dan Dwimahyani, IPusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional

Jl. Lebakbulus Raya No. 49 Jakarta Selatan 12440E-mail: [email protected]

ABSTRAK. Anggrek bulan merupakan puspa pesona yang populer di Indonesia. Pusat Aplikasi TeknologiIsotop dan Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional menerapkan teknik mutasi sebagai alternatif terhadap metodepersilangan untuk memperkaya keragaman genetik dalam rangka memperoleh varietas tanaman hias yangunggul. Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Januari 2011 sampai Mei 2012. Materi tanaman berupa plantletkultur jaringan Phalaenopsis amabilis siap tanam dari Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor,dan diiradiasi dengan sinar gamma masing-masing dengan dosis 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 Gy. Plantletdiaklimatisasi pada media pakis cacah steril selama 3 minggu, kemudian dipindahkan ke pot individu dandipelihara di Rumah Kaca Kebun Percobaan Pasarjumat, Jakarta Selatan. Pada usia 13 bulan (Februari 2012)didapatkan satu tanaman dengan dosis iradiasi 25 Gy yang menunjukkan tanda-tanda pembungaan. Sekitar 5minggu kemudian, kuntum bunga mulai mekar. Warna dan bentuk bunga hampir sama dengan bunga tanamaninduk dengan diameter bunga 8 cm. Mengingat tanaman anggrek bulan umumnya membutuhkan waktu lebihdari dua tahun sejak masa aklimatisasi hingga memasuki masa generatif, dan khususnya genus Phalaenopsislebih rajin berbunga di dataran tinggi, maka temuan mutan anggrek bulan berumur genjah ini merupakanindikasi yang menjanjikan. Penelitian ini perlu dilanjutkan observasi lebih lanjut terhadap kestabilan karaktermutan pada generasi berikutnya.

Katakunci: Anggrek bulan; Mutasi; Umur genjah; Dataran rendah

ABSTRACT. Widiarsih, S and Dwimahyani, I 2013. Gamma Irradiation Application in MutationBreeding Leading to Early Flowering Moth Orchid (Phalaenopsis amabilis Bl.). Moth orchid is the popularnational flower of Indonesia. Indonesian Center for Application of Isotopes and Radiation Technology (CAIRT)has applied mutation techniques as an alternative to conventional crossings for broadening genetic diversity inorder to obtain superior ornamental plant varieties. The experiment was conducted since January 2011 to May2012. The materials used were ready-to-plant in-vitro plantlets of Phalaenopsis amabilis from Plant ConservationLaboratory, Bogor Botanical Garden, and irradiated by gamma rays dose 0, 5, 10, 15, 20, and 25 Gyrespectively. Plantlets were acclimatized on sterile fern stem medium for 3 weeks, and then transferred toindividual pots and maintained in the Greenhouse on Pasarjumat, South Jakarta. After 13 months (February2012) there was one individual plant with treatment dose of 25 Gy which developed one flower spike. Fiveweeks later, the flowers started to open. The flower color and shape is almost similar with the wild type withflower diameter of 8 cm. Since it usually takes more than 2 years to grow moth orchid plants to grow fromacclimatization to flowering stage, and especially for Phalaenopsis genus would flowers more readily in coolerregion, this early flowering mutant has a promising potential. Further observation will be needed for this newcharacter stability on the next generation.

Keywords: Moth orchids; mutation; Early flowering; Low altitude

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Bl.) merupakan puspa pesona dan salah satu bunganasional Indonesia. Spesies ini merupakan spesies pertama dalam genus Phalaenopsis yang ditemukanoleh Dr. C. L. Blume. Sebagai anggrek yang sangat populer di seluruh dunia pada beberapa tahunterakhir (Lin & Hsu 2004), Phalaenopsis merupakan anggrek yang memiliki manfaat dan nilaiekonomi yang tinggi karena dapat digunakan sebagai induk persilangan, koleksi, bunga potong, danpenghias ruangan maupun taman.

Wang (1995) menyatakan bahwa produksi domestik dan impor anggrek ini meningkat pesat.Seiring dengan meningkatnya stok materi yang semakin murah dan meningkatnya permintaan pasar,anggrek ini sekarang ditanam bersama-sama dengan tanaman bunga tradisional lainnya.

Page 51: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│39

Metode pemuliaan konvensional melalui persilangan dan seleksi telah membuka jalan bagipemulia untuk menciptakan varietas-varietas baru yang memiliki karakter yang diharapkan sepertiwarna, bentuk, aroma, bentuk tanaman, umur simpan (shelf-life), dan ketahanan terhadap hama danpenyakit, tetapi kemajuannya dibatasi oleh ketersediaan gene pool dari spesies yang bersangkutan(Chen et al. 2005). Mengingat novelty merupakan kekuatan pendorong dalam industri tanaman hias,Chen et al. (2005) juga menyatakan bahwa perakitan kultivar mutan telah menjadi faktor pentingdalam pasar untuk produksi anggrek potensial.

Sejumlah penelitian sejenis menggunakan iradiasi sinar gamma telah dilakukan sebelumnya diUGM pada plantlet Phalaenopsis amabilis (Setiawan 2008) maupun tanaman pot Phalaenopsisaphrodite di Cina (Sun, Zhang & Liu 2009). Walaupun demikian, penelitian tersebut masih berfokuspada keragaman yang ditemui dalam populasi mutan, baik fenotipik (Setiawan 2008) maupunmolekuler (Sun, Zhang & Liu 2009). Diperolehnya mutan yang mampu berbunga dalam jangka waktusingkat (umur genjah) diharapkan dapat memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat anggrek di dalamnegeri.

Penelitian ini bertujuan mengetahui efek iradiasi sinar gamma terhadap kemampuan hiduptanaman anggrek bulan sejak masa aklimatisasi hingga memasuki masa pembungaan, sertamemperoleh mutan anggrek bulan berumur genjah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Januari 2011 sampai Mei 2012, bertempat di Pusat AplikasiTeknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Jakarta Selatan.Materi tanaman berupa plantlet kultur jaringan Phalaenopsis amabilis siap tanam dari LaboratoriumKonservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, dan diiradiasi dengan sinar gamma masing-masingdengan dosis 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 Gy. Dalam penelitian pendahuluan telah diperoleh rekomendasibahwa dosis optimal untuk iradiasi plantlet siap tanam anggrek bulan adalah di bawah 30 Gy(Widiarsih & Dwimahyani 2010). Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri atas6 perlakuan dosis irradiasi dengan setiap dosis terdapat 4 botol (tiap botol berisi 8-12 plantlet) sebagaiulangan. Radiasi sinar gamma dilakukan dengan iradiator panorama serba guna (IRPASENA), yangberasal dari sumber Co 60 (laju dosis 42,07 Gy/jam dengan act 17,957,865 ci).

Setelah diiradiasi, plantlet anggrek bulan diaklimatisasi dengan ditanam pada kontainer plastikdengan media tanam cacahan pakis steril halus selama 2 minggu. Setelah fisik tanaman kokoh,tanaman dipindahkan ke dalam kompot plastik hitam selama 2 minggu. Pemindahan berikutnyadilakukan pada umur 10 MST ke pot plastik berdiameter 12 cm, dengan media tanam campuran pakiscacah, arang kayu, serta kompos halus. Pada umur 1 tahun, tanaman dipindahkan lagi ke pot plastikhitam berdiameter 20 cm dengan media yang sama.

Pemupukan dilakukan dua kali seminggu dengan Hyponex biru 2%. Sejak umur 4 bulanditambahkan pupuk kompos halus setiap dua bulan, dan pada umur 10 bulan ditambahkan pupukDekastar. Mengingat anggrek lebih menyukai tempat teduh sebagai syarat hidupnya, ruangangreenhouse diberi paranet dengan intensitas 75% untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yangmasuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fase aklimatisasi merupakan masa peralihan dari kondisi serba terkontrol dan aseptik di dalamkultur jaringan ke kondisi luar ruangan. Pada umumnya tanaman yang baru dikeluarkan dari botolakan mengalami stress akibat perubahan lingkungan yang ekstrim. Kesuksesan proses aklimatisasi inisangat dipengaruhi oleh daya vigor plantlet, suhu dan kelembaban lingkungan, kerusakan mekanisyang terjadi setelah pemindahan dan teknik aklimatisasi (Darmono 2003).

Iradiasi sinar gamma yang diberikan tidak menyebabkan kematian pada tanaman anggrek bulansejak awal dikeluarkan dari botol, tetapi setelah tanaman dipindahkan ke greenhouse sudah mulaiterlihat dampak pemberian dosis iradiasi sinar gamma. Cuaca selama penelitian juga mempengaruhitanaman. Pertumbuhan tanaman anggrek bulan dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya suhu,

Page 52: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

40│

kelembaban, dan curah hujan. Anggrek bulan, membutuhkan cahaya matahari 20-50% dan suhuberkisar antara 15-29 oC (Iswanto 2001).

Pada Tabel 1 terlihat fluktuasi keberhasilan hidup tanaman anggrek bulan. Periode antara 2hingga 10 MST masih merupakan masa aklimatisasi plantlet, dari data terlihat bahwa angka kematianterbesar terjadi pada tanaman dengan dosis 15 Gy (persentasi hidup 35%). Pada saat bulan-bulan awalpenelitian (hingga 10 MST), curah hujan serta kelembaban yang tinggi mengakibatkan tanamanterinfeksi bakteri Erwina carotovora yang menyebabkan kematian bagi sebagian populasi tanaman.Setelah dipindahkan ke media campuran arang kayu dan pakis (10 MST), maka angka kematian akibatpengaruh lingkungan cuaca lembab dapat ditekan.

Tabel 1. Pengaruh irradiasi sinar gamma terhadap persentase hidup tanaman anggrek bulan

Perlakuan 2 MST ( % ) 10 MST ( % ) 12 BST (%)

0 Gy 100 90 805 Gy 100 60 40

10 Gy 100 95 90

15 Gy 100 35 33,3

20 Gy 100 60 13,3

25 Gy 100 85 26,7

Pada periode berikutnya yaitu masa pertumbuhan vegetatif (10 MST hingga 12 BST,) kematianlebih banyak terjadi pada tanaman dengan dosis tinggi (20 dan 25 Gy). Dari hasil pengamatan,tanaman pada selang dosis ini banyak mengalami kematian pada titik tumbuh utama dan tidak mampubertahan hidup. Pertumbuhan akar juga banyak yang terhambat, tanaman menjadi kerdil dan lama-kelamaan mengering. Walaupun demikian, dari sedikit tanaman yang mampu bertahan hidup padadosis tinggi ini, terutama 25 Gy, menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang kokoh, tidak kalah daritanaman kontrol (Gambar 1).

Phalaenopsis merupakan tanaman CAM epifit monopodial yang memiliki daun sukulen. Daun-dannya tumbuh secara berseling (alternate) pada kedua sisi tanaman dengan batang yang sangatpendek (Lin & Hsu 2004). Sejumlah tanaman hasil iradiasi menunjukkan perubahan morfologi padadaun, terutama hingga 10 MST (daun yang tumbuh tepat setelah perlakuan iradiasi). Perubahan yangteramati antara lain malformasi pada bentuk daun (menyempit, berbentuk bulan sabit, kerdil, menebalatau melebar), tetapi sebagian besar perubahan itu bersifat sementara. Pada daun-daun yang munculsetelah itu sebagian besar kembali ke bentuk yang normal. Oleh karena itu diduga bahwa perubahanbentuk daun yang sementara itu hanya respons kerusakan fisiologis sel dan jaringan sebagai efekiradiasi. Mutasi pada individu-individu tersebut hanya pada lapisan terluar titik tumbuh dan tidakterjadi pada inti titik tumbuh yang terus berdiferensiasi membentuk jaringan baru.

Gambar 1. Pertumbuhan vegetatif Phalaenopsis amabilis pasca iradiasi gamma usia 1 tahun (darikanan ke kiri : perlakuan dosis 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 Gy)

Dari pengamatan di lapangan, dari total 4 tanaman yang bertahan hidup hingga Januari 2012,ada dua tanaman pada dosis 20 Gy yang mengalami kematian pada titik tumbuh utama (tunas apikal).Namun, kedua tanaman tersebut mampu membentuk tunas-tunas samping yang kemudian terpisah

Page 53: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│41

menjadi individu baru. Dari satu tanaman menjadi tiga anakan baru dengan ukuran lebih kecildaripada tanaman induk tanpa anakan usia satu tahun.

Gambar 2. Penampilan tanaman anggrek bulan kontrol/tanpa iradiasi (kiri) dan tanaman mutan dosis25 Gy (kanan)

Satu tanaman mutan dengan dosis perlakuan 25 Gy (galur OrA.12.25.9) menunjukkan tanda-tanda pembungaan (spiking) pada minggu kedua Februari 2012. Dalam satu tangkai terdapat 6 kuntumbunga, yang kemudian kuntum pertama mulai mekar pada satu bulan kemudian (Maret 2012). Bungaketiga gugur tanpa mampu mekar (aborted), tetapi kelima bunga yang lain mampu bertahan mekarsampai dengan 4 Mei 2012. Setelah kelima bunga awal layu, dari ujung tangkai bunga kemudianmuncul kembali tiga kuntum bunga baru. Ketiga kuntum ini kemudian mekar dan mampu bertahanhingga 5 Juni 2012. Pada Gambar 2 dapat terlihat bahwa pada umur yang sama (13 bulan pascaaklimatisasi) tanaman anggrek bunga kontrol belum memasuki masa pembungaan, sedangkan tanamanmutan (sebelah kanan) sudah memasuki fase reproduksi dan mampu berbunga sempurna.

Mutan OrA.12.25.9 memiliki keunikan yaitu sejumlah daun menunjukkan gejala variegatadengan mutasi daun viridis (bergaris kuning) ataupun hijau muda (Gambar 2). Kemunculan daunvariegata atau daun dengan campuran warna normal daun yang hijau dengan warna lain, baik putih(albino) ataupun kuning (viridis) menandakan terjadinya proses mutasi klorofil. Dalam pemuliaanmutasi pada berbagai komoditi, seperti padi, kemunculan mutasi klorofil pada sejumlah individudalam satu populasi tanaman yang diberi perlakuan iradiasi menandakan keberhasilan dan efektivitasdosis iradiasi yang digunakan. Ringkasan data morfologi bunga dari tanaman mutan OrA 12.25.9disajikan dalam Tabel 2, dan gambar bunga secara detail dalam Gambar 3.

Gambar 3. Penampilan bunga tanaman mutan Phalaenopsis amabilis umur genjah

Page 54: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

42│

Tabel 2. Ringkasan data morfologi bunga mutan P. amabilis OrA 12.25.9

Parameter Keterangan

Tangkai bunga tangkai tunggal (simple stalk), semi-erect, panjang total (total length): 47 cm, panjangtangkai dengan rangkaian bunga (flower-bearing stalk length): 17,5 cm

Diameter bunga melintang : 8,13 ± 0,35 cmmembujur : 7,1 ± 0,22 cm

Sepal dorsal putih solid (solid white), lanceolate-ellipticp : 3,325 ± 0,21 cml : 1,825 ± 0,05 cm

Petal putih solid (solid white), susunan petal terbuka (open petal arrangement). Obovateobtuse. p: 3,8 ± 0,36 cml: 3,4 ± 0, 23 cm

Sepal lateral putih solid (solid white). Elliptic dengan sisi bawah datar (Elliptic with flat lower side).Sedikit terputar pada pangkal sepal (A bit twisted on near sepal axis). p: 3,75 ± 0,37 cm,l: 1,57 ± 0,14 cm

Bibir terdiferensiasi menjadi 3 keping (differentiated into 3 lobes). Kedua keping sisi tipe V,keping tengah tipe segitiga terbalik, melengkung agak ke dalam (both side lobes wasobdeltoid, type V, rather inwardly curved). Kedua keping sisi, paruh atas putih solid,dan separuh bawah kuning bintik kemerahan (Both side lobes are solid white in upperhalf and yellow with red spots in lower half). Callus sederhana (simple callus). Panjanglabellum (labellum length): 4,45 ± 0,06 cm

Sungut kuning solid (solid yellow), ikal (curly). p: ± 2,7 cm

Jumlah bunga dalam satutangkai

6 (satu gugur/one aborted) (pembungaan I/first flowering) + 3 (pembungaan II/secondflowering)

* Keterangan deskripsi mengacu pada Balithi (2007)

Sejumlah penelitian telah melaporkan bahwa berbagai faktor seperti genetik, faktor kimiawi,laju pertumbuhan, status nutrisi tanaman, termoperiod dan fotoperiod menentukan pembungaan padaanggrek, namun umumnya hanya berfokus pada level fisiologi dan bukan level molekuler (Tsai et al.2008). Perilaku pembungaan berbeda pada setiap jenis anggrek. Ada sejumlah spesies memberikanrespon terhadap fotoperiod dan ada juga yang merespon hormon pengatur tumbuh (Goh & Arditti1985). Pada Phalaenopsis, pada aksilar setiap daun yang muncul terdapat satu tunas besar yangberpotensi reproduktif dan satu tunas kecil vegetatif. Ketika seluruh syarat fisiologi dan lingkunganterpenuhi, tunas reproduksi akan memanjang dan dapat mengarah ke pembungaan. (Wang 1995).Suplai sukrosa yang berkesinambungan ke apeks tunas reproduksi merupakan faktor yang vital bagikeberlanjutan pembentukan bunga, baik terinduksi oleh intensitas cahaya tinggi, suhu rendah, ataupungiberelin (Chen et al. 1994).

Blanchard dan Runkle (2006) menyatakan bahwa suhu siang harilah yang menentukanpembungaan pada anggrek, bukan suhu malam hari. Mereka menemukan bahwa anggrek yangdipaparkan pada suhu siang 29oC selama 20 minggu tidak ada yang memasuki masa pembungaan, baikdengan suhu malam rendah atapun tinggi. Suhu terbaik pemicu pembungaan ialah 14-17oC pada sianghari. Walaupun demikian, mutan OrA.12.25.9 mampu berbunga pada daerah Jakarta Selatan denganrentang fluktuasi suhu harian berkisar antara 23 sampai dengan 34oC (BMKG), dimana kisaran inisebenarnya berada di luar kondisi optimal pemicu pembungaan.

Glover (2007) menyebutkan ada empat pathway pengendali induksi pembungaan: vernalisasi,fotoperiod, giberelin, dan otonomi. Pathway fotoperiod dan vernalisasi menerima sinyal darilingkungan. Pathway otonomi menghantarkan sinyal endogen dari fase pertumbuhan yang sedangdijalani. Sebelumnya, Arditti (1992) tidak mencantumkan pathway giberellin dalam empat pathwaypengendali pembungaan, namun diduga gen-gen yang terlibat dalam biosintesis hormon dantransduksi sinyal hormon telah membentuk pathway yang mempromosikan hormon tersendiri.

Salah satu gen vital yang berkaitan dengan peralihan fase dari vegetatif ke generatif ialah genLEAFY (LFY). Chen et al. (2005) telah berhasil mengklon gen LFY tersebut dari salah satu hibridaPhalaenopsis. Chen et al (2005) menyarankan bahwa fungsi gen ini dalam pembungaan dapatdipelajari lebih lanjut melalui transformasi gen ini ke dalam mutan Arabidopsis yang memiliki

Page 55: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│43

kerusakan pada LFY. Promotor dari Phalaenopsis LFY juga dapat dipelajari untuk memahamiperanannya dalam induksi pembungaan dan perkembangan tanaman. Ada kemungkinan bahwa mutanOrA.12.25.9 ini dapat berbunga lebih awal karena mengalami perubahan atau mutasi pada gen LFYtersebut.

Mutan anggrek bulan berumur genjah ini merupakan plasma nuftah yang berpotensi besar.Walaupun ukuran bunganya relatif tidak besar (diameter ± 8 cm) jika dibandingkan anggrek bulanhibrida, namun dapat dipasarkan sebagai anggrek bulan mini ataupun menjadi induk dalampersilangan terhadap berbagai kultivar anggrek sebagai donor karakter umur genjah. Keberhasilanuntuk memperpendek masa vegetatif yang dibutuhkan pada nursery untuk membesarkan tanamananggrek sejak aklimatisasi hingga usia siap dipasarkan di masa mendatang akan sangatmenguntungkan bagi para petani anggrek. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa perbanyakanmassal melalui kultur in vitro, kemudian seleksi serta pengujian kestabilan karakter genjah dankualitas bunga mutan anggrek ini sebelum siap dilepas sebagai kultivar baru.

KESIMPULAN

Telah diperoleh satu mutan anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) OrA.12.25.9 yang memilikikarakter umur genjah (early flowering) dan mampu berbunga pada usia 13 bulan sejak aklimatisasi.Karakter bunga, dari segi warna dan bentuk hampir sama dengan tipe aslinya. Mutan ini potensialuntuk dipasarkan sebagai anggrek bulan mini ataupun menjadi induk persilangan sebagai donorkarakter umur genjah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yulidar (PATIR-BATAN) dan Sdri. NurlailaMaulidiah (Universitas Muhammadiyah Jakarta) atas bantuan teknis di lapangan selama penelitian iniberlangsung.

PUSTAKA

1. Arditti, J 1992, Fundamentals of orchid biology, John Wiley & Sons, Inc, New York.

2. Balithi. 2007, Panduan karakterisasi anggrek, <http://balithi.litbang.deptan.go.id/siplasmaok/referensi /Pand%20Karakter%20Anggrek.pdf.>.

3. Blanchard, MW & Runkle, ES 2006, ‘Temperature during the day, but not during the night,controls flowering of Phalaenopsis orchids’, J. Exp. Bot., vol. 57, no. 15, pp. 4043-49.

4. Chen, FC, Kasthuri, JM, Tsai, Y-J, Huang, J-Z, Lee, W-L, Roy, YH, Luo, Chiang, S-F, Chen, Y-H, Cheng, T-C & George, MM 2005, Approaches and perspectives towards molecular breeding oforchids, Proc. International Orchid (Paphiopedilum and Phalaenopsis) Symposium 2005, TaiwanOrchid Growers’ Association, Tainan, Taiwan, pp.89-117.

5. Chen, W-S, Liu, H-Y, Liu, Z-H, Yang, L & Chen, WH 1994, ‘Gibberellin and temperatureinfluence carbohydrate content and flowering in Phalaenopsis’, Physiol. Plant, vol. 90, pp. 391-95.

6. Darmono, W 2003, Menghasilkan anggrek ailangan, Penebar Swadaya, Jakarta.

7. Glover, B 2007, Understanding flowers and flowering: an integrated approach, OxfordUniversity Press.

8. Goh, CJ & Arditti, J 1985. Orchidaceae. In Handbook of Flowering. (Ed.) Halevy, AH, CRCPress, Boca Raton, FL, pp. 309–36.

9. Iswanto, H 2001, Anggrek Phalaenopsis, AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Page 56: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

44│

10. Konow, EA & Wang, Y 2001, ‘Irradiance levels affect in vitro and greenhouse growth, flowering,and photosynthetic behavior of a hybrid Phalaenopsis orchid’, J. Am. Soc. Hortic.Sci., vol. 126,pp. 531-36

11. Lee, N & Lin, GM 1984, ‘Effect of temperature on growth and flowering of Phalaenopsis whitehybrid’, J. Chinese Soc. Hort.Sci, vol. 30, no. 4, pp. 223-31.

12. Lin, MJ & Hsu, BD 2004, ‘Photosynthetic plasticity of Phalaenopsis in response to different lightenvironments’, J. Plant Physiol., vol. 161, pp. 1259-68.

13. Sun X, Zhang, T, & Liu, X 2009, ‘Study on the radiation of the (60)Co γ-ray for variationinduction in Phalaenopsis aphrodite by using of RAPD-PCR technique’, Chinese Agricultural Sci.Bull., 2009-01

14. Setiawan, S 2008, Keragaman fenotip plantlet anggrek bulan putih Phalaenopsis amabilis (L.)Blume hasil iradiasi sinar gamma, Tesis, S2 Biologi UGM, Yogyakarta.

15. Tsai, WC, Hsiao, YY, Pan, ZJ, Hsu, CC, Yang, YP, Chen, WH & Chen, HH 2008, Molecularbiology of orchid flowers: with emphasis on Phalaenopsis, Advances in Botanical Research, vol47, Incorporating advances in plant pathology, Elsevier Ltd., pp. 99-144

16. Wang, YT 1995, ‘Phalaenopsis orchid light requirement during the induction of spiking’Hort.Sci., vol. 30, no. 1, hlm. 59-61.

17. Widiarsih, S & Dwimahyani, I 2010, Laju pertumbuhan anggrek bulan pada fase aklimatisasi danvegetatif awal pasca iradiasi gamma, Prosiding Seminar APISORA yang diselenggarakan diPATIR-BATAN Jakarta, 27-28 September 2010, Jakarta

Page 57: Prosiding BUKU 1

Pembentukan Buah Tanpa Biji Melalui Mutasi : Pengaruh Dosis Iradiasi Sinar Gamma pada Pertumbuhan Tunas ManggisIndriyani, NLP, Karsinah, dan Sukartini

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

45│

Pembentukan Buah Tanpa Biji Melalui Mutasi : Pengaruh Dosis Iradiasi Sinar Gammapada Pertumbuhan Tunas Manggis

Indriyani, NLP, Karsinah, dan SukartiniBalai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km 8 Solok 27301

ABSTRAK. Pembentukan buah tanpa biji melalui mutasi dengan iradiasi sinar gamma memerlukan waktu yangcukup panjang. Tahapan yang harus dilalui ialah pelaksanaan iradiasi entris, penyambungan, pengamatanpertumbuhan vegetatif dari tunas yang diiradiasi, pengamatan pertumbuhan generatif yang diikuti denganseleksi, dan penyambungan kembali cabang yang membawa buah tanpa biji untuk evaluasi kestabilan sifatseedlessnya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma pada pertumbuhan tunasmanggis. Penelitian dilakukan di KP. Subang, Jawa Barat, mulai bulan Mei 2009 sampai dengan Desember 2011.Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan dan tigaulangan. Perlakuan adalah dosis iradiasi sinar gamma (0, 20, 40, 60 dan 80 Gray). Setelah diiradiasi, entrismanggis disambung pada batang bawah lokal. Parameter yang diamati pada manggis meliputi persentasesambungan jadi, tinggi tunas, jumlah daun, ketidaknormalan pertumbuhan, jumlah stomata, panjang stomata,lebar stomata dan saat berbunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis iradiasi berpengaruh negatifterhadap persentase sambungan jadi dan pertumbuhan tunas manggis. Tanaman manggis yang mampu tumbuhadalah tanaman dengan dosis 0 Gray dan 20 Gray. Tanaman kontrol sudah mulai berbunga pada umur 29 bulansetelah penyambungan, sedangkan tanaman yang diiradiasi dengan dosis 20 Gray belum berbunga.

Katakunci: Manggis; Iradiasi; Gamma; Pertumbuhan

ABSTRACT. Indriyani, NLP, Karsinah, dan Sukartini, 2013. Seedless Fruit Formation throughMutation : The Effect of Gamma Irradiation Doses on The Growth of Mangosteen Shoot Seedless. fruitformation through mutation by gamma ray irradiation requires a long time. Stages to be followed are scionirradiation, grafting, observation of the vegetative growth of irradiated shoots, observation of generative growthfollowed by selection, regrafting the branch that carried the fruit seedless for evaluation of seedless propertystability. The research aim was to determine the effect of gamma irradiation doses on the growth of mangosteenshoot. This research carried out at Subang Experimental Field, West Java, starting in May 2009 to December2011. Experimental design used was randomized block design with five treatments and three replications. Thetreatment is a doses of gamma irradiation (0, 20, 40, 60 and 80 Gray). After irradiation, mangosteen scions weregrafted on a local rootstock. Observed parameters were the percentage of grafting successfulness, shoot height,leaves number, growth abnormality, stomata number, stomata length, stomata width and flowering time. Theresults showed that the irradiation doses negatively affect to the percentage of grafting successfulness and thegrowth of mangosteen shoots. Mangosteen plant that could be grew was at a doses 0 and 20 Gray. Themangosten that no irradiaton had started flowering at 29 months after grafting, while plants irradiated with 20Gray have not flowered yet.

Keywords: Mangosteen; Irradiation; Gamma; Growth

Pembentukan buah dimulai dengan adanya proses persarian kepala putik oleh serbuk sari secarasendiri atau oleh bantuan angin, serangga penyerbuk dan manusia. Selanjutnya polen berkecambah danmembentuk tabung polen untuk mencapai bakal biji. Bertemunya polen dengan bakal biji di dalam bakalbuah disebut pembuahan. Kemudian bakal buah membesar dan berkembang menjadi buah bersamaandengan pembentukan biji sehingga akan dihasilkan buah yang fertil (berbiji) (Pardal 2001).

Buah tanpa biji bermanfaat bagi peningkatan kualitas tanaman khususnya pada tanaman komersial.Berbagai cara dapat ditempuh untuk menghasilkan buah tanpa biji, salah satu di antaranya adalah melaluimutasi. Mutasi merupakan perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara tiba-tiba,acak, dan merupakan dasar bagi sumber keragaman organisme hidup yang bersifat terwariskan(heritable). Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam dan dapat juga terjadi melalui induksi.Keduanya dapat menimbulkan keragaman genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman, baik seleksisecara alami (evolusi) maupun seleksi secara buatan (pemuliaan). Mutasi induksi dapat dilakukan pada

Page 58: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

46│

tanaman dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji,stek batang, serbuk sari, akar rhizome, kultur jaringan dan sebagainya.

Beberapa hasil penelitian mutasi menggunakan sinar gamma yang bertujuan untukmenghasilkan buah tanpa biji telah banyak dilakukan terutama pada tanaman jeruk. Majd et al. (2009)melaporkan bahwa iradiasi sinar gamma dengan dosis 40 Gray pada mata tunas Jeruk Siammenghasilkan tanaman dengan buah tanpa biji. Hearn (1986) memperoleh buah tanpa biji pada matatunas anggur Foster (C. paradisi Macf.) yang diiradiasi sinar gamma dengan dosis 5 krad. Froneman etal. (1996) menghasilkan kultivar jeruk tanpa biji melalui penyinaran mata tunas dengan iradiasi sinargamma 30-75 gray. Selanjutnya dinyatakan bahwa Pummelo, Mandarin dan Navel Orange sangatsensitif terhadap dosis iradiasi yang tinggi. Radiasi sinar gamma pada Valencia Orange dan anggurmenghasilkan lebih banyak buah tanpa biji di cabangnya.

Iradiasi sinar gamma dengan dosis 0-9 krad pada entris ‘Kutdiken’ lemon (Citrus limon (L.)Burm, f.) clone KT-2A menghasilkan jumlah biji yang beragam dari 0-34 biji per buah. Buah tanpabiji yang bersifat stabil dan toleran terhadap penyakit mal secco yang disebabkan oleh Phomatracheiphila (Petri) Kantsch. and Gik. diperoleh dari iradiasi 5 dan 7 krad. Tiga mutan dari radiasi 5krad berbuah seperti lemon, sedangkan iradiasi 7 krad menyebabkan perubahan morfologi tanamandan pematangan buah yang lebih awal (Gulsen et al. 2007).

Untuk mendapatkan varietas manggis tanpa biji melalui mutasi dengan iradiasi sinar gammamemerlukan waktu yang cukup panjang. Beberapa tahapan yang harus dilalui adalah pelaksanaaniradiasi entris, penyambungan pada batang bawah, pengamatan pertumbuhan vegetatif dari tunas yangdiiradiasi, pengamatan pertumbuhan generatif yang diikuti dengan seleksi, penyambungan kembalicabang yang membawa buah tanpa biji untuk evaluasi kestabilan sifat seedlessnya.

Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadappertumbuhan tunas manggis.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Subang, Jawa Barat, mulai Bulan Mei 2009 sampaidengan Desember 2011. Entris manggis yang diiradiasi ialah manggis lokal Tanjung Siang, Subang.Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dengan lima perlakuan dan tiga ulangan.Perlakuan ialah dosis iradiasi sinar gamma (0, 20, 40, 60, dan 80 Gray). Setiap perlakuan terdiri dari40 tanaman. Entris manggis yang telah diiradiasi disambung pada batang bawah manggis berumur ± 2tahun yang ditanam pada polibag dengan ukuran 25 x 35 cm, dengan media tanah : sekam (2:1).

Parameter yang diamati pada manggis meliputi persentase sambungan jadi, saat pecah tunas,tinggi tunas, jumlah daun, jumlah stomata, panjang stomata, lebar stomata, dan saat berbunga/berbuah.Selain itu juga diamati jika terjadi ketidaknormalan pertumbuhan. Saat pecah tunas dihitung ketika50% dari jumlah sambungan yang hidup telah pecah tunasnya. Tinggi tunas diukur mulai dari batasbidang penyambungan sampai titik tertinggi dari entres. Persentase sambungan jadi dihitung denganrumus di bawah ini:

Jumlah sambungan yang hidupPersentase sambungan jadi = x 100%

Jumlah sampel tanaman

Pengamatan dilakukan setiap 4 bulan. Data dianalisis dengan analisis ragam. Uji lanjutan yangdigunakan ialah BNT 0,05%. Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara persentasesambungan jadi dengan dosis radiasi dan umur tanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan persentase sambungan jadi pada umur 1 sampai 29 bulan setelah penyambungan(BSP) disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa dosis iradiasi sinar gamma terhadappersentase sambungan jadi pada umur 1 bulan tidak berbeda nyata. Pengaruh dosis iradiasi mulai tampak

Page 59: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│47

nyata pada umur 5 BSP, di mana persentase jadi manggis pada tanaman kontrol (0 Gray) berbeda nyatadengan tanaman yang diradiasi 20–80 Gray. Pada umur 9 BSP, tanaman manggis yang mampu tumbuhialah pada perlakuan 0 dan 20 Gray. Sejalan dengan perkembangan waktu, persentase sambungan jadimengalami penurunan baik pada tanaman kontrol (0 Gray) maupun pada tanaman yang diiradiasi.

Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi terhadap persentase sambungan jadi manggis pada umur 1 sampai 29bulan setelah penyambungan (Data ditransformasi dengan arcsin x).

Dosis Radiasi(Gray)

Umur, BSP1 5 9 13 17 21 25 29

0 Gray 85,00 tn 69,17 a 63,33 59,17 56,57 53,33 48,33 47,50

20 Gray 80,00 41,67 b 39,17 26,17 21,67 17,50 13,33 12,50

40 Gray 72,50 35,83 bc - - - - - -

60 Gray 60,83 20,00 c - - - - - -

80 Gray 57,50 31,67 bc - - - - - -

BSP : Bulan Setelah Penyambungan

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang nyata antara dosisiradiasi dengan persentase sambungan jadi manggis pada umur 1 bulan (r = - 0,97*). Ini berarti bahwasemakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan maka semakin rendah persentase sambungan jadi manggis(Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan antara dosis iradiasi dengan persentase sambungan jadi manggis pada umur 1BSP

Untuk mengetahui laju penurunan persentase sambungan jadi pada dosis 0 dan 20 Gray, dilakukananalisis regresi antara persentase sambungan jadi (Y) dengan umur tanaman (X). Dari analisis regresidiketahui bahwa laju penurunan persentase sambungan jadi pada dosis iradiasi 20 Gray lebih tinggi jikadibandingkan dengan tanaman kontrol (Gambar 2). Hasil serupa mengenai penurunan persentase hidupsambungan terjadi pada mata tunas jambu biji yang diiradiasi. Penurunan yang nyata terjadi setelahdosis 40 Gray (Zamir et al. 2009).

Y = 86 – 0,37 X** R2 =0,97

Dosis Iradiasi Irradiationdoses (Gray)

Persentase sambungan jadi Grafted successfulneespercentage (%)

Page 60: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

48│

Gambar 2. Hubungan antara persentase sambungan jadi dengan umur tanaman

Pada Gambar 3 disajikan keragaan tanaman yang berumur 2 bulan setelah penyambungan. Tunaspada tanaman kontrol dan tanaman yang diiradiasi dengan dosis 20 Gray telah tumbuh, sementara padatanaman dengan dosis 40, 60, dan 80 Gray tunas belum pecah tetapi entris masih segar.

Gambar 3. Kondisi tanaman manggis pada umur 2 BSP

Saat pecah tunas untuk masing-masing dosis iradiasi sinar Gamma disajikan pada Tabel 2. Saatpecah tunas manggis pada tanaman kontrol terjadi pada 34 hari setelah penyambungan (HSP), sedangkanpada tanaman yang diiradiasi dengan 20 Gray terjadi pada 38,67 HSP. Sampai umur 3 bulan, entres yangdiiradiasi dengan dosis 40, 60, dan 80 Gray belum menunjukkan tanda-tanda pecah tunas, meskipunentres kelihatan masih segar. Hasil serupa terjadi pada mata tunas C. paradisi Macf yang disinari dengandosis 0-11 krad. Sampai umur 12 minggu setelah penyambungan (MSP), tunas yang tumbuh hanya padadosis 0-5 krad (Hern 1986). Selanjutnya, beberapa tanaman manggis yang tunasnya diiradiasi dengandosis 40, 60, dan 80 Gray mengalami pecah tunas dengan jumlah di bawah 50% dari jumlah sambunganyang hidup dan pada akhirnya mati setelah berumur 5 bulan.

Tabel 2. Pengaruh dosis iradiasi terhadap saat pecah tunas.

Dosis Iradiasi , Gray Saat pecah Tunas , hari0 Gray 34,00

20 Gray 38,67

40 Gray -

60 Gray -

80 Gray -

BSP : Bulan Setelah Penyambungan

Pada Tabel 3 disajikan perkembangan tinggi tunas sambungan manggis pada umur 1 sampai 29BSP. Tinggi tunas tanaman kontrol dengan tanaman yang diiradiasi tidak berbeda nyata pada umur 1 dan5 bulan. Tinggi tunas manggis yang diiradiasi dengan dosis 20-80 Gray pada umur 5 bulan lebih kecil jika

Umur tanaman (bulan setelah penyambungan)

Persentase sambungan jadi (%)

(0 Gray) Y = 78 ,13 – 1,19 X** R2 = 0.89

(20 Gray) Y = 62,02 – 2, 03 X** R2 = 0,79

0Gray

20Gray

40Gray

60Gray

80Gray

Page 61: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│49

dibandingkan dengan umur 1 bulan. Hal ini disebabkan pada dosis radiasi 20-80 Gray, entres menjadiagak kisut meskipun masih hidup (hijau). Pengukuran tinggi tunas dilakukan dari batas bidang sambungansampai titik tertinggi dari entres. Titik tumbuh dari calon tunas baru ditutupi oleh tangkai daun sehinggajika tunas pecah, maka tangkai daun dapat lepas sehingga pengukuran menjadi lebih rendah. Tunas yangmampu tumbuh sampai umur 29 bulan ialah tunas yang diiradiasi dengan dosis 0 Gray (kontrol) dan 20Gray, sedangkan tunas manggis pada perlakuan iradiasi 40-80 Gray hanya mampu tumbuh sampai umur 5bulan setelah penyambungan.

Tabel 3. Pengaruh dosis iradiasi terhadap tinggi tunas manggis pada umur 1 sampai 29 BSP.

Dosis Iradiasi, GrayUmur, BSP

1 5 9 13 17 21 25 290 Gray 13,28 tn 15,92 tn 19,77 23,68 30,23 38,85 47,25 52,02

20 Gray 11,11 10,97 11,29 13,10 16,02 22,6 30,01 33,70

40 Gray 10,26 10,20 - - - - - -

60 Gray 11.27 9,64 - - - - - -

80 Gray 10,48 9,01 - - - - - -

BSP : Bulan Setelah Penyambungan

Jumlah daun pada umur 1 sampai 29 BSP disajikan pada Tabel 4. Dari tabel tersebut dapat dilihatbahwa pada umur 1 dan 5 bulan, jumlah daun pada tanaman kontrol lebih banyak jika dibandingkandengan tanaman yang diiradiasi dengan dosis 20-80 Gray. Secara visual tidak terlihat adanya gejalaabnormalitas pada pertumbuhan tunas manggis yang diiradiasi. Dari data yang telah disajikan, terlihatadanya penekanan pertumbuhan pada tunas yang diiradiasi. Menurut van Harten (1998), iradiasi sinargamma bersifat merusak jaringan yang dilaluinya. Di samping itu, karena daya tembusnya sangatdalam, maka kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai beberapa sentimeter. Ahnstroem (1977) danDatta (2001), menyatakan bahwa abnormalitas hingga kematian tanaman yang diradiasi disebabkanoleh terbentuknya radikal bebas seperti Ho, yaitu ion yang sangat labil dan banyak menghasilkanbenturan ke berbagai arah yang dapat membuat mutasi DNA, serta menyebabkan perubahan padatingkat sel dan jaringan, bahkan dapat mengakibatkan kematian pada tanaman.

Tabel 4. Pengaruh dosis iradiasi terhadap jumlah daun manggis pada umur 1 sampai 29 bulan setelahpenyambungan sambung, data ditransformasi dengan (x+0,5).

Dosis Iradiasi, GrayUmur (bulan setelah sambung)

1 5 9 13 17 21 25 290 Gray 1,95 c 7,07 b 10,11 11,93 14,50 18,33 21,89 22,89

20 Gray 0,16 b 3,40 a 3,15 3,10 4,24 5,25 8,86 9,72

40 Gray 0,00 a 0,86 a - - - - - -

60 Gray 0,00 a 0,91 a - - - - - -

80 Gray 0,00 a 1,13 a - - - - - -

Pada Tabel 5 telihat bahwa jumlah, panjang dan lebar stomata antara tanaman kontrol relatiftidak berbeda dengan tanaman yang diradiasi dengan dosis 20 Gray. Jumlah stomata/mm2 pada daunbiasanya dipakai untuk menentukan jumlah ploidi suatu tanaman. Pada pisang terdapat korelasi yangnegatif antara jumlah ploidi dengan kepadatan stomata (Ganga et. al. 2002, Vandenhout et al. 1995),demikian juga pada Acacia mearnsii de Wild (Beck et al. 2003). Selanjutnya Widiastuti et al. (2010)menyatakan bahwa secara anatomi, kepadatan stomata berkorelasi positif dengan tinggi tanamanmanggis.

Page 62: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

50│

Tabel 5. Pengaruh dosis iradiasi terhadap jumlah stomata, panjang stomata dan lebar stomata padaumur 17 BSP.

Dosis Iradiasi, Gray Jumlah stomata,mm

Panjang stomata,mm

Lebar stomata,mm

A. 0 Gray 117,73 0,035 0,014

B. 20 Gray 111,90 0,034 0,014

BSP : Bulan Setelah Penyambungan

Adanya perbedaan pertumbuhan pada tanaman kontrol dengan tanaman yang diiradiasi dengandosis 20 Gray menyebabkan perbedaan saat muncul bunga. Tanaman kontrol sudah mulai berbunga danberbuah pada umur 29 BSP, sedangkan tanaman manggis pada dosis 20 Gray belum berbunga.

KESIMPULAN

1. Dosis iradiasi berpengaruh negatif terhadap persentase sambungan jadi manggis, tinggi tunas danjumlah daun.

2. Tanaman manggis yang mampu tumbuh ialah tanaman pada dosis 0 Gray dan 20 Gray.3. Tanaman kontrol sudah mulai berbunga pada umur 29 BSP, sedangkan tanaman yang diiradiasi

dengan dosis 20 Gray belum berbunga.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada DIKTI yang telah membiayai penelitian ini; Sukarmin,Farihul Ihsan dan Warya yang telah membantu pelaksanaan penelitian di pembibitan.

PUSTAKA

1. Ahnstroem, G 1977. RadiobioloGray, In: Manual on mutation breeding. 2nd ed. Tech. ReportSeries No. 119, Joint FAO/IAEA, Division of Atomic Ener Gray in Food and Agriculture,Vienna.

2. Beck, SL, Dunlop, RW & Fossey, A 2003, ‘Stomatal length and frequency as a measure of ploidylevel in black wattle, Acacia mearnsii (de Wild)’, Botanical J. of the Linnean Society, vol. 141,no.2, pp. 177-81.

3. Datta, SK 2001, ‘Mutation studies on garden chrysanthemum, A review’, Sci. Hort., vol. 7, pp.159-199.

4. Froneman, IJ, Breedt, HJ & Koekemoer, P 1996, ‘Promising seedless citrus selections from theITSC mutation breeding program’, Inligtings Bulletin-Institut Vir Tropiese en SubtropieseGewasse, vol. 292, pp.12-16.

5. Ganga, M, Chezhiyan, N, Kumar, N & Soorianathasundaram, K 2002, ‘Stomatal and chloroplasttraits as ploidy assessment techniques for ploidy screening of in vitro induced tetraploids ofbanana’, PhytomorpholoGray , vol. 52, no.2-3, pp.113-20.

6. Gulsen, O, Uzun, A, Pala, H, Canihos, E & Kafa, G 2007, ‘Development of seedless and MalSecco tolerant mutant lemons through budwood irradiation’, Sci. Hort. vol. 112, pp. 184-90.

7. Hearn, CJ 1986, ‘Development of seedless grapefruit cultivars through Budwood Irradiation’, J.Amer. Soc. Hort. Sci., vol. 111, no.2, pp. 304-306.

8. Majd, F, Jahangirzadeh, E, Vedadi, S, Naseri Tafti, M & Rastegari, J 2009, ‘Mutation inductionfor improving of tangerine in Iran’, Accessed on 21 Oktober 2009.http:\\www.pub.iaea@org.

9. Pardal, SJ 2001, ‘Pembentukan Buah Partenokarpi melalui Rekayasa Genetika’, Buletin AgroBio,vol. 4, no.2, hlm. 45-49.

Page 63: Prosiding BUKU 1

Aplikasi Iradiasi Gamma dalam Pemuliaan Mutasi Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) Umur GenjahWidiarsih, S dan Dwimahyani, I

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│51

10. Vandenhout, Hilde × Ortiz, Vuylsteke, R, Swennen, D, Rony Bai, KV 1995, ‘Effect of ploidy onstomatal and other quantitative traits in plantain and banana hybrids.’, Euphytica, vol. 83, no. 2,pp. 117-22.

11. Van Harten, AM 1998, Mutation breedin,. Theory and Practical Aplication, Press Syndicate,University of Cambridge, UK.

12. Widiastuti, A, Sobir, M & Suhartanto, R 2010, ‘Diversity analysis of mangosteen (Garciniamangostana) irradiated by gamma-ray based on morphological and anatomical characteristics’,Bioscience, vol. 2, no. 1, pp. 23-33.

13. Zamir, R, Ali, N, Tariq Shah, S, Mohammad, T & Ahmad, ‘J Guava (Psidium guajava L)improvement using in vivo and in vitro induced mutagenesis’, Accessed on 21 Oktober 2009http:\\www.pub.iaea@org.

Page 64: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

52│

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui KulturIn Vitro

Joni, Y.Z dan Triatminingsih, R.Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl. Raya Solok-Aripan KM. 8, Solok 27301

Email: [email protected]

ABSTRAK. Perbanyakan benih manggis melalui kultur in vitro merupakan salah satu cara untuk mengatasipermasalahan yang dihadapi pada perbanyakan benih secara konvensional. Penelitian ini bertujuan mendapatkanmedia yang cocok untuk induksi dan multiplikasi tunas pada tanaman manggis. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Pemuliaan dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, dari bulan Maret sampaiSeptember 2011. Eksplan yang digunakan adalah biji manggis dari buah yang telah masak. Eksplan dikulturkanpada media WPM dan ½ MS ditambah 30 g/l sukrosa dan 2 g/l gelrite. Induksi tunas manggis terdiri atasdelapan perlakuan zat pengatur tumbuh, yaitu kombinasi BAP ( 1, 3, 5, dan 7 mg/l) dan NAA (0.5 mg/l).Multiplikasi tunas manggis terdiri atas enam perlakuan zat pengatur tumbuh, yaitu kombinasi BAP (0.01, 0.05,0.1, dan 0.15 mg/l) dan NAA (0.06 mg/l). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap induksi tunas, mediaWPM yang mengandung 5 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas terbanyak (13.43 tunas/biji). Untukmultiplikasi tunas, media ½ MS yang mengandung 0.1 mg/l BAP + 0.06 mg/l NAA menghasilkan penambahantunas terbanyak (9.2 tunas/botol). Induksi dan multiplikasi tunas merupakan tahapan awal yang penting untukmemperbanyak benih manggis secara kultur in vitro.

Kata kunci: manggis; tunas; induksi; multiplikasi

ABSTRACT. Joni, Y.Z and R. Triatminingsih. 2013. Shoot Induction and Multiplication of Mangosteen(Garcinia mangostana L.) through in vitro culture. Mangosteen seed multiplication through in vitro culture isa way to solve problems in conventional seed propagation. This research aimed to get the best medium for shootinduction and multiplication of mangosteen. The research was conducted at the Plant Breeding and TissueCulture Laboratory of Indonesian Tropical Fruit Research Institute, started from March until September 2011.The explants used mature seeds of mangosteen. The explants were cultured on WPM and ½ MS medium addedwith 30 g/l sucrose and 2 g/l gelrite. For induction of shoot, the treatments consisted of eight concentrations ofplant growth regulator, namely the combination of BAP (1, 3, 5, and 7 mg/l) and NAA (0.5 mg/l). Formultiplication of shoot, the treatments consisted of six concentrations of plant growth regulator, namely thecombination of BAP (0.01, 0.05, 0.1, and 0.15 mg/l) and NAA (0.06 mg/l). The results showed that the inductionof shoot, WPM medium supplemented with 5 mg/l BAP produced the highest of shoot (13.43 shoots/seed). Forshoot multiplication, ½ MS medium supplemented with 0.1 mg/l BAP + 0.06 mg/l NAA produced the highestincrease in the number of shoot (9.2 shoots/bottle). Shoot induction and multiplication are an important first stepto propagate the seed of mangosteen through in vitro culture.

Keys word: mangosteen; shoot; induction; multiplication.

Untuk mendukung pengembangan kawasan hortikultura, khususnya tanaman manggis,dibutuhkan benih dal jumlah banyak. Umumnya tanaman manggis diperbanyak dengan biji, karenabijinya bersifat apomiksis (Richards 1990). Akan tetapi, penyediaan benih dari biji sangat lambat,karena jumlah biji manggis dalam satu buah hanya sedikit, berkisar 1-2 biji, kadangkala tidak berbijisama sekali. Selain itu, biji manggis bersifat rekalsitran dan hanya berbuah sekali dalam setahun,sehingga penyediaan benih dari biji sangat terbatas sekali (Qosim et al. 2005; Sirchi et al. 2008).Selain itu, perbanyakan manggis secara vegetatif belum sepenuhnya berhasil, karena tanaman yangdihasilkan tumbuh sangat lambat, lemah, tidak seragam, dan berbunga lambat (Normah et al. 1995).

Untuk mengatasi masalah di atas, kultur in vitro merupakan cara yang paling tepat untukmemperbanyak benih manggis secara cepat, massal, dan seragam. Metode perbanyakan melalui kulturin vitro dapat menghasilkan bibit secara klonal dalam jumlah besar dan waktu relatif singkat. Telahbanyak dilaporkan keberhasilan dari kultur in vitro manggis. Menurut Goh et al. (1990) dan Rostika etal. (2008) komposisi media terbaik untuk induksi tunas adalah media WPM + 5 mg/l BAP,

Page 65: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│53

sedangkan Normah et al (1992) menyatakan bahwa penggunaaan media MS dengan penambahan 9mg/l BAP juga menghasilkan multiplikasi tunas terbaik. Triatminingsih et al. (1993) melaporkanbahwa penggunaan tunas pucuk sebagai sumber eksplan, dengan penambahan 0,5 ppm BA + 1 ppmGA3 menghasilkan jumlah eksplan yang tumbuh sebesar 42%.

Berdasarkan penelitian Rostika et al. (2008), penggunaan media MS yang diperkaya dengan 5mg/l BA menghasilkan rata-rata 2.7 tunas/biji. Hal ini berarti tingkat multiplikasi tunas yangdihasilkan masih relatif rendah. Karena perbanyakan benih manggis dilapangan juga mampumenghasilkan 1-2 tunas/biji. Untuk meningkatkan jumlah tunas yang dihasilkan, diperlukan penelitianlebih lanjut untuk mencari media dan kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat, sehingga mampumeningkatkan jumlah tunas yang dihasilkan, baik pada saat induksi maupun multiplikasi. Dengandemikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan media dan zat pengatur tumbuh yangtepat untuk menginduksi dan multiplikasi tunas manggis.

BAHAN DAN METODEPenelitian dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Kultur Jaringan Balai Penelitian

Tanaman Buah Tropika, mulai bulan April sampai September 2011. Bahan tanaman yang digunakansebagai eksplan adalah biji dari buah yang telah masak. Biji manggis dibersihkan dari daging buahnya,kemudian disterilisasi dengan direndam dalam alkohol 70% selama 5 menit, setelah itu dibilas denganaquades steril 1 kali. Selanjutnya direndam ke dalam larutan clorox 20% selama 10 menit, dan dibilasdengan aquades steril 3-4 kali. Selanjutnya eksplan siap untuk dikulturkan.

Induksi Tunas ManggisMedia dasar yang digunakan untuk induksi tunas manggis adalah media Woody Plant Medium

(WPM) dilengkapi dengan 30 g/l sukrosa dan 2 g/l gelrite. Percobaan terdiri atas delapan perlakuan zatpengatur tumbuh, yaitu: 1) 1 mg/l BAP; 2) 3 mg/l BAP; 3) 5 mg/l BAP; 4) 7 mg/l BAP; 5) 1 mg/lBAP + 0.5 mg/l NAA; 6) 3 mg/l BAP + 0.5 mg/l; 7) 5 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA; dan 8) 7 mg/lBAP+ 0.5 mg/l NAA. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali (10 botol). Setiap botolkultur ditanami 1 biji manggis masak yang dipotong melintang sebanyak 3-4 bagian. Kultur diinkubasidalam ruang gelap pada temperatur sekitar 25-28° C selama 8 minggu. Parameter yang diamati adalahpersentase eksplan berkalus, persentase eksplan bertunas, jumlah tunas/biji, dan jumlah daun/tunas.

Multiplikasi TunasSelanjutnya tunas yang tumbuh disubkultur ke media multiplikasi tunas, yaitu media ½ MS

dan WPM dilengkapi dengan 30 g/l sukrosa dan 2 g/l gelrite. Percobaan terdiri atas enam perlakuanzat pengatur tumbuh, yaitu ½ MS (0.06 mg/l NAA + 0.01 mg/l BAP; 0.06 mg/l NAA + 0.05 mg/lBAP; 0.06 mg/l NAA + 0.1 mg/l BAP), WPM (0.05 mg/l BAP; 0.1 mg/l BAP; 0.15 mg/l BAP).Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali (10 botol). Setiap botol kultur ditanami 3-4 bagianeksplan yang telah bertunas (rata-rata 12 tunas/botol). Kultur diinkubasi di ruang terang dengan lamapencahayaan 8 jam/hari, pada temperatur sekitar 25-28° C selama 8 minggu. Parameter yang diamatiadalah penambahan jumlah tunas, penambahan tinggi tunas, dan penambahan jumlah daun. Data yangdiperoleh dianalisis secara deskriptif dan aritmatik.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Induksi Tunas

Eksplan mulai membentuk kalus dan mata tunas umumnya pada minggu ke-2 dan ke-3 setelahkultur. Umumnya diawali dengan pembengkakan eksplan, terutama pada bekas pelukaan/potongan.Kalus yang dihasilkan strukturnya padat dan agak kompak dengan warna krim mengkilat, biasanyadisebut kalus nodular (Gambar 1B). Dari semua perlakuan, media dengan penambahan 5 mg/l BAPatau yang dikombinasikan dengan 0.5 mg/l NAA menghasilkan kalus terbanyak (90%). Sedangkanmedia yang mengandung 3, 5, dan 7 mg/l BAP tidak mampu menginduksi kalus (Tabel 1). Perlakuanyang mengkombinasikan BAP dengan NAA umumnya menghasilkan kalus. Hal ini disebabkan karena

Page 66: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

54│

adanya hormon auksin (NAA) dalam media tersebut. Hormon dari jenis auksin yang dikombinasikandengan sitokinin pada kombinasi konsentrasi tertentu dapat menginduksi kalus.

Dari ke delapan perlakuan zat pengatur tumbuh, tujuh perlakuan seluruh (100%) eksplan yangdikulturkan bertunas, hanya perlakuan dengan penambahan 3 mg/l BAP eksplan yang bertunas 87.5 %(Tabel 1). Hal ini diduga bukan hanya pengaruh dari media tumbuh atau konsentrasi dari hormon yangdiberikan. Selain media tumbuh, ada faktor lain yang mempengaruhi muncul atau tidaknya tunas,salah satunya adalah jenis eksplan. Eksplan yang tidak bertunas diduga daya viabilitasnya rendah.Persentase biji berkecambah secara in vitro lebih tinggi dibandingkan dengan perkecambahan yangdilakukan di lapangan (ex vitro). Menurut Cruz (2001), persentase biji manggis yang berkecambah dilapangan hanya 21-83%, tergantung pada kesegaran biji manggis.

Tabel 1. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap persentase eksplan berkalus, eksplan bertunas,jumlah tunas/biji, dan jumlah daun/tunas manggis pada minggu ke-8 setelah kultur (Effectof plant growth regulators on the percentage on mangosteen which have callus, thepercentage of shoot, the number of shoot/seed, and the number of leaves/shoot onmangosteen at 8 weeks after culture)

Perlakuan Media(Treatment of medium)

(WPM)

Eksplanberkalus (Callus of

explants) (%)

Eksplan bertunas(Shoot of explants)

(%)

Jumlah tunas/biji(Number ofshoots/seed)

Jumlahdaun/tunas(Number of

leaves/shoot)

1 mg/l BAP 20 100 6.6 ± 3.1 2 .0 ± 0.0

3 mg/l BAP 0 87.5 12.5 ± 9.3 2.8 ± 1.5

5 mg/l BAP 0 100 13.4 ± 10.3 2.6 ± 1.0

7 mg/l BAP 0 100 9.7 ± 4.3 2.0 ± 0.0

1 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA 90 100 3.1 ± 1.6 2.6 ± 1.0

3 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA 80 100 5.9 ± 5 2.4 ± 0.8

5 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA 90 100 11.4 ± 6.3 2.8 ± 1.1

7 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA 78 100 12.9 ± 11.3 2.2 ± 0.7

Media yang mengandung 5 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas tertinggi (13.4 tunas/biji),kemudian perlakuan 7 mg/l BAP + 0,5 mg/l NAA (12.9 tunas/biji). Sedangkan yang terendah terdapatpada media yang mengandung 1 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA (3.1 tunas/biji). Secara umum, konsentrasiBAP sangat mempengaruhi jumlah tunas yang dihasilkan. Hasil penelitian ini relatif sama denganhasil penelitian Teo (1992); Dewi et al. (1999); dan Rostika et al. (2008), bahwa penambahan 5 mg/lBAP menghasilkan jumlah tunas tertinggi.

.

Page 67: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│55

Gambar 1. Tahap induksi dan multiplikasi tunas manggis (A) eksplan awal manggis,(B) kalus nodular, (C) calon tunas, (D) tunas, dan (E) tunas di mediamultiplikasi (munculnya tunas baru) (Steps of shoot induction andmultiplication on mangosteen (A) the explant of mangosteen, (B) nodularcallus, (C) candidate of shoot, (D) shoots, and (F) shoot in mediummultiplication).

Hasil penelitian ini 497% lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan olehRostika et al. (2008). Jumlah tunas tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini 13.4 tunas/biji,sedangkan pada penelitian Rostika et al. (2008) hanya dihasilkan 2.7 tunas/biji. Tingginya jumlahtunas yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh jenis media yang digunakan. Dalam penelitian inidigunakan media Woody Plant Medium (WPM) sedangkan rostika et al. (2008) menggunakan mediaMurashige and Skoog (MS) Untuk tanaman berkayu, umumnya media WPM lebih cocokdibandingkan menggunakan media MS.

Jumlah daun yang dihasilkan selama 8 minggu pertama rata-rata sama, yaitu berkisar antara 2-2.8daun/tunas. Hal ini berarti jumlah daun yang dihasilkan tidak terlalu dipengaruhi oleh zat pengaturtumbuh, tapi lebih dipengaruhi oleh umur tunas manggis. Dalam penelitian ini rata-rata tunas munculpada saat yang relatif sama, sehingga jumlah daun yang dihasilkan juga relatif sama

C D

E

A B

Page 68: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

56│

B. Multiplikasi Tunas

Tabel 2. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap penambahan jumlah tunas, tinggi tunas, danjumlah daun manggis pada minggu ke-8 setelah sub kultur (Effect of plant growthregulators for increase in the number of shoot, height, and leaf number onmangosteen at 8 weeks after subculture).Perlakuan media Penambahan

Jumlah tunas(Increase in

the number ofshoot)

Penambahantinggi tunas(Increase inplant height)

(cm)

PenambahanJumlah daun(Increase inleaf number)

(cm)½ MS + 0.06 mg/l NAA + 0.01 mg/lBAP 8.6 ± 10.8 0.4 ± 0.5 0.6 ± 1.0½ MS + 0.06 mg/l NAA + 0.05 mg/lBAP 8.8 ± 8.0 0.2 ± 0.4 0.5 ± 1.0½ MS + 0.06 mg/l NAA + 0.10 mg/lBAP 9.2 ± 8.9 0.2 ± 0.3 1.0 ± 1.1

WPM + 0.05 mg/l BAP 3.0 ± 3.5 0.1 ± 0.4 0.9 ± 1.1

WPM + 0.10 mg/l BAP 1.8 ± 3.1 0.3 ± 0.5 1.0 ± 1.1

WPM + 0.15 mg/l BAP 5.6 ± 10.9 0.1 ± 0.2 0.6 ± 1.0

Multiplikasi tunas dilakukan dengan mengkulturkan tunas-tunas yang muncul pada mediainisiasi (masih menempel pada eksplan awal) pada media ½ MS dan WPM yang mengandungkombinasi hormon NAA dan BAP, atau BAP saja. Berdasarkan hasil percobaan, penggunaan jenismedia dan hormon yang berbeda menghasilkan tingkat multiplikasi tunas yang beragam.

Penggunaan media ½ MS yang mengandung 0.06 mg/l NAA yang dikombinasikan dengan0.01 – 0.10 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan penggunaan mediaWPM yang mengandung 0.05 – 0.15 mg/l BAP. Media ½ MS yang mengandung 0.06 mg/l NAA +0.1 mg/l BAP menghasilkan penambahan jumlah tertinggi (9.2 tunas/botol), kemudian diikuti olehmedia ½ MS yang mengandung 0.06 mg/l NAA + 0.05 mg/l BAP (8.8 tunas/botol), sedangkan yangterkecil pada media WPM yang mengandung 0.1 mg/l BAP (1.8 tunas/botol) (Tabel 2 dan gambar2A). Hal ini berarti penggunaan media ½ MS yang mengandung 0.06 mg/l NAA + 0.01-0.1 mg/lcocok untuk multiplikasi tunas manggis. Berdasarkan penelitian Te-chato (1998), untuk multiplikasidan pemanjangan tunas manggis yang eksplannya berasal dari biji direkomendasikan menggunakanmedia ½ MS yang mengandung 0.06 mg/l NAA + 0.03 mg/l BAP, sedangkan untuk multiplikasi danpemanjangan tunas yang eksplannya berasal dari daun muda direkomendasikan untuk menggunakanmedia WPM yang mengandung 0.1 mg/l BAP.

Penambahan tinggi tunas tertinggi (0.4 cm) terdapat pada media ½ MS yang mengandung 0.06mg/l NAA + 0.01 mg/l BAP, sedangkan penambahan tinggi tunas terendah (0.1 cm ) terdapat padamedia WPM yang mengandung 0.05 dan 0.15 mg/l BAP (Tabel 2 dan Gambar 2B). Di dalampercobaan ini penambahan tinggi tunas tidak selalu diikuti oleh penambahan jumlah daun, karenapenambahan jumlah daun tertinggi (1 daun/tunas) terdapat pada media ½ MS + 0.06 mg/l NAA + 0.10mg/l BAP dan media WPM + 0.1 mg/l BAP (Tabel 2 dan Gambar 2C).

Page 69: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│57

Gambar 2. Pengaruh beberapa perlakuan media terhadap A. penambahan jumlah tunas; B.Penambahan tinggi tunas; dan C. Penambahan jumlah daun manggis pada mingguke-8 setelah kultur.

Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan untuk menghasilkan planlet manggis yang baikadalah menentukan media yang tepat untuk pemanjangan tunas dan induksi akar. Setelah munculakarnya, maka manggis siap untuk diaklimatisasi, sehingga menghasilkan benih manggis yang sehatdan seragam dalam jumlah massal.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Media terbaik untuk induksi tunas manggis adalah media WPM yang mengandung 5 mg/l BAP.Media ini menghasilkan 13.43 tunas/biji.

2. Media terbaik untuk multiplikasi tunas adalah media ½ MS yang mengandung 0.06 mg/l NAA +0.1 mg/l BAP. Media ini menghasilkan penambahan tunas 9.2 tunas/botol.

3. Tahap selanjutnya adalah menentukan media dan zat pengatur yang tumbuh yang cocok untukpemanjangan tunas dan pengakaran tanaman manggis.

4.PUSTAKA

1. Dewi, I.S., K.A. Kodir, L.E. Setijorini, G.A. Wattimena, dan B.S. Purwoko. 1999. Pengaruh ZatPengatur Tumbuh BA dan Tipe Eksplan terhadap Pembentukan Tunas dan Akar TanamanManggis (G. mangostana L.) in vitro. Seminar Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan,Bogor 28 Mei 1999.

2. Goh, H.K.L., A.N. Rao, and C.S Loh. 1990. Direct Shoot Bud Formation from Leaf Explants ofSeedlings and Mature Mangosteen (G. mangostana L.) Trees. Plant Sci. 68: 113-121.

3. Normah, M.N., H. Rosnah, and A.B. Noor-Azza. 1992. Multiple Shoots and Callus Formationfrom Seeds of Mangosteen (G. mangostana L.) Cultured in vitro. Acta Horticulturae. 292: 87-91.

0

5

10

15

20

25

PM1 PM2 PM3 PM4 PM5 PM6

Jum

lah

Tuna

s

Media Perlakuan

1 msk

8 msk

AA

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

PM1 PM2 PM3 PM4 PM5 PM6

Panj

ang

Tuna

s (cm

)

Media Perlakuan

1 msk

8 msk

B

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

PM1 PM2 PM3 PM4 PM5 PM6

Jum

lah

Daun

Media Perlakuan

1 msk

8 msk

C

Page 70: Prosiding BUKU 1

Induksi Dan Multiplikasi Tunas Manggis (Garcinia Mangostana L) melalui Kultur In VitroJoni, Y.Z dan Triatminingsih, R.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

58│

4. ___________, A.B. Noor-Azza, and R. Aliudin. 1995. Factors Affecting in Vitro Proliferationand ex Vitro Establishment of Mangosteen. Plant Cell Tissue Organ Cult. 43(3): 291-294.

5. Qosim, W.A., R. Poerwanto, G.A. Wattimena, dan Witjaksono. 2005. Pembentukan PlanletManggis dari Kalus Nodular in Vitro. Zuriat. 16(2): 145-153.

6. Richard, A.J. 1990. Studies in Garcinia Dioecious Tropical Forest Trees: the Origin of theMangosteen (Garcinia mangostana L.). Botanical Journal of The Linnean Society. 103: 301–308.

7. Rostika, I., N. Sunarlim., dan I. Mariska. 2008. Micropropagation of Mangosteen. IndonesianJournal of Agriculture. 1(1): 28-33.

8. Sirchi, MH Torabi, M. A. Kadir, M. A. Aziz, A. A. Rashid, A. Rafat and M. B. Javadi. 2008.Plant Regeneration as Affected by Plant Growth Regulators (PGR) in Mangosteen (Garciniamangostana L.). African Journal of Biotechnology. 7(15): 2693-2701.

9. Te-chato, S. 1998. Recent Potential in the Biotechnology of Mangosteen I: Micropropagation.Songklanakarin J. Sci. Technol. 20(3): 275-284.

10. Teo, C.K.H. 1992. In Vitro Culture of Mangosteen Seed. Acta Horticulturae. 292: 81-85.

11. Triatminingsih, R., E. Nazir, dan M. Winarno. 1993. Mikropropagasi in Vitro dari Tunas PucukManggis dan Kotiledon terhadap Keberhasilan Regenerasi Tunas. J. Hortikultura. 5(2): 28-36.

Page 71: Prosiding BUKU 1

Parameter Genetik Karakter Komponen Buah pada Beberapa Aksesi SalakHadiati, S. Dan Budiyanti, T.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

59│

Parameter Genetik Karakter Komponen Buah pada Beberapa Aksesi Salak

Hadiati, S dan Budiyanti, TBalai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km. 8, Solok 27301

ABSTRAK. Variabilitas genetik, heritabilitas dan kemajuan genetik merupakan parameter genetik dalamprogram seleksi yang sangat menentukan keberhasilan program pemuliaan. Penelitian bertujuan untukmengetahui variabilitas genetik dan fenotipik, heritabilitas, serta kemajuan genetik beberapa karakter komponenbuah salak. Penelitian dilakukan mulai tahun 2008 sampai dengan 2009 di Kabupaten Bintan. Rancanganpercobaan yang digunakan ialah rancangan acak kelompok dengan 31 nomor aksesi salak sebagai perlakuan dandiulang dua kali. Aksesi salak yang digunakan adalah salak hibrida yang berasal dari persilangan dengan tetuasalak Pondoh, Gula Pasir, Gondok, Mawar, Kersikan, serta varietas salak lokal yaitu salak Gula Pasir, Gondok,dan Mawar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter bobot buah, panjang buah, dan diameter buahmemiliki veariabilitas genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi. Semua karakter yang diamati memilikivariabilitas fenotipik yang luas. Kemajuan genetik yang tinggi terdapat pada karakter bobot buah, tebal daging,dan diameter buah.

Katakunci: Salacca sp.; Variabilitas genetik; Fenotipik; Heritabilitas; Kemajuan genetik

ABSTRACT. Hadiati, S and Budiyanti, T. 2013. Parameters Genetic of Fruit Component Characters onSome Snake Fruit Accessions. Genetic variability and heritability are the genetic parameters in the selectionprogram which will determine the success of breeding programs. The objectives of this research were to knowgenetic and phenotypic variabilities, heritabilities and genetics gain of fruit component characters on somesnake fruit accessions. This research was conducted at Bintan District from 2008 to 2009 with a CompletelyRandomized Block Design, 31 treatments (accessions), and two replications. Snake fruit accessions used werethe hybrids came from crossing between Pondoh, Gula Pasir, Gondok, Mawar and Kersikan parents, and GulaPasir, Gondok, Mawar as local varieties. The results show that the characters of fruit weight, fruit length, fruitdiametre had broad genetic variabilities and high heritabilities. All the characters were observed to have broadphenotypic variabilities. The characters which had high genetics gain were fruit weight, fruit flesh thickness,and fruit diametre.

Keywords: Salacca sp.; Variability genetic; Phenotypic; Heritability; Genetic gain

__________________________________________________________________________________

Salak (Salacca zalacca (Gaertner) Voss) merupakan tanaman buah asli Indonesia. Indonesiamemiliki ragam genetik salak tinggi yang tersebar hampir di setiap propinsi. Plasma nutfah dari genusSalacca yang pernah ditemukan di dunia ± 20 spesies, 13 species diantaranya tersebar di AsiaTenggara, dan sebagian besar ditemukan di Indonesia (Mogea 1990).

Pada umumya, konsumen salak menyukai buah salak berdaging tebal, citarasa manis,sedikit/tidak ada rasa sepet, tahan lama disimpan dan sisik pada kulit buah tidak berduri (Sunaryono1988). Varietas dengan karakter sesuai keinginan konsumen tersebut jumlahnya sangat terbatas.Seperti pada salak Pondoh mempunyai keunggulan rasa buah manis dan tidak sepet, tetapikelemahannya adalah daging buah tipis. Pada salak Sidempuan, salak Suwaru, dan salak Balimempunyai ukuran buah besar, daging buah tebal, rasa manis, tetapi daging buah agak sepet terutamaapabila kematangan buah belum optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan perakitanvarietas salak untuk menghasilkan varietas salak yang manis, tidak sepet walaupun buah masih muda,dan berdaging tebal.

Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika memiliki beberapa aksesi salak hibrida dan salak lokal.Aksesi-aksesi tersebut telah dievaluasi pertumbuhannya pada fase bibit maupun fase vegetatif dilapang (Hadiati et al. 2008, Susiloadi et al. 2008). Evaluasi terhadap hibrida-hibrida tersebutdilanjutkan sampai tanaman berproduksi untuk diseleksi kualitas dan kuantitas buahnya.

Page 72: Prosiding BUKU 1

Parameter Genetik Karakter Komponen Buah pada Beberapa Aksesi SalakHadiati, S. Dan Budiyanti, T.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

60│

Dalam rangka seleksi kualitas dan kuantitas buah salak tersebut diperlukan informasi tentangperilaku pewarisan berbagai karakter agronomis tanaman tersebut. Informasi ini sangat diperlukanuntuk menetapkan apakah karakter-karakter yang diamati tersebut dapat dijadikan sebagai kriteriaseleksi dalam memilih genotipe baru yang diinginkan. Beberapa parameter genetik yang dapatdigunakan sebagai pertimbangan agar seleksi efektif dan efisien ialah keragaman genetik, heritabilitas,dan kemajuan genetik (Borojevic 1990, Tampake & Luntungan 2002). Variabilitas genetik yang luasdari suatu karakter akan memberikan peluang yang lebih besar dalam seleksi karakter terbaikdibandingkan dengan karakter yang mempunyai variabilitas genetik sempit. Karakter yang diseleksisebaiknya mempunyai heritabilitas yang tinggi, sebab karakter tersebut akan mudah diwariskan danseleksi dapat dilakukan pada generasi awal.

Heritabilitas dapat dijadikan landasan dalam menentukan program seleksi. Seleksi padagenerasi awal dilakukan bila nilai heritabilitas tinggi, sebaliknya jika rendah maka seleksi padagenerasi lanjut akan berhasil karena peluang terjadi peningkatan keragaman dalam populasi (Falconer1970). Lebih lanjut Suprapto et al. (2007) menyatakan bahwa heritabilitas menentukan kemajuanseleksi, makin besar nilai heritabilitas makin besar kemajuan seleksi yang diraihnya.

Sampai saat ini belum terungkap seberapa besar variabilitas genetik, fenotipiknya, heritabilitasmaupun kemajuan genetik dari aksesi-aksesi salak yang dievaluasi. Oleh karena itu perlu dilakukanpenelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas genetik dan fenotipik, heritabilitas, sertakemajuan genetik beberapa karakter komponen buah salak guna menunjang program seleksi untukmendapatkan varietas unggul baru.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan mulai tahun 2008–2009 di Balai Benih Induk Hortikultura KabupatenBintan dengan ketinggian tempat 350 m dpl., tekstur tanah liat berpasir dan curah hujan: 2500–3500mm/tahun.

Rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok dengan 31 perlakuan(31 aksesi salak) dengan dua ulangan. Jumlah ulangan merupakan dua kali musim panen salak.Aksesi salak yang dievaluasi adalah hibrida dan varietas lokal. Hibrida yang digunakan berasal daripersilangan dengan tetua salak Pondoh, Gula Pasir, Gondok, Mawar, Kersikan, dan varietas salaklokal yang digunakan ialah salak Gula Pasir, Gondok, dan Mawar. Tanaman salak yang dievaluasitelah berumur 6 tahun dan bibit yang digunakan berasal dari perbanyakan generatif.

Karakterisasi dilakukan per individu tanaman dengan cara memberi nomor pada setiap tanamansebanyak dua kali musim panen. Karakterisasi buah meliputi: bobot buah (g), panjang buah (cm),diameter buah (cm), tebal daging (cm), porsi dimakan (edible fruit) (%), TSS (oBrix). Tebal dagingmerupakan hasil rerata dari ke-4 sisi buah yang dibelah secara membujur.

Variabilitas genetik dan fenotipik diduga dengan menggunakan analisis komponen variansmenurut Steel & Torrie (1989). Varians genetik dan varians fenotipik dapat dihitung menurut Singhdan Chaudhary (1979), yaitu :

Varians genetik = ( M2 - M1 ) / r

Varians fenotip = M1

Keterangan: M2 : kuadrat tengah genotipM1 : kuadrat tengah galat

2g

2f 2

g

Page 73: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│61

Untuk menilai luas sempitnya koefisien variasi genetik dan fenotipik suatu karakter ditentukanmenurut Anderson dan Bancroff (1952), dikutip Wahdah, et al. 1996, sbb :

=

=

Suatu karakter dikategorikan mempunyai variabilitas luas apabila : 2 dan 2

serta sebaliknya.Heritabilitas diduga dengan menggunakan analisis komponen varians dan dihitung berdasarkan

metode “broad sense” menurut Allard (1960) dan kriteria nilai heritabilitas menurut Mc. Whirter(1979) :

H = , dimana : H(%) : 0 – 20(rendah), 20 H 50 (sedang), H 50 (tinggi)

Persentase kemajuan genetik harapan (KGH) dihitung menurut Falconer (1989) :

KGH(%) = %100___

xX

KG

, dimana KG = i H p

Keterangan :KGH = Kemajuan genetik harapanKG = Kemajuan genetikX = Rerata umumi = Intensitas seleksi 5% (= 0,0206)p = Standar deviasi fenotipik

Kriteria kemajuan genetik harapan menurut Begum dan Sobhan (1991) dikutip Bambang et al.(1998) ialah rendah: 0-7%; sedang: 7,1-14%; tinggi: > 14,1%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Tabel 1 terlihat adanya variasi diantara karakter komponen buah. Variasi yang terbesarterdapat pada karakter bobot buah dan porsi dimakan. Bobot buah pada aksesi yang diamati berkisar40,30 ± 9,89 g, dan porsi dimakan 62,59 ± 10,02%. Adanya variasi yang besar pada kedua karaktertersebut akan memberikan peluang untuk mendapatkan buah yang besar dengan porsi dimakan yangtinggi. Aksesi salak yang diamati mempunyai rerata TSS yang tinggi, yaitu 19,13 ± 1,27 (oBrix ).Aksesi-aksesi yang diamati tersebut lebih manis dibandingkan salak Pondoh Super yang ditanam diSleman, DIY yaitu sebesar 18,675oBrix (Nandariyah et al. 2000) dan salak Madu dengan TSSberkisar 17-19 oBrix (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 122/Kpts/LB.240/2/2004).

Variabilitas genetik adalah suatu besaran yang mengukur variasi penampilan yang disebabkanoleh faktor genetik, sedangkan variabilitas fenotipik adalah variasi penampilan yang disebabkan olehfaktor fenotip. Pada Tabel 1 terlihat bahwa karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas adalahbobot buah, panjang buah dan diameter buah. Variabilitas genetik yang luas menggambarkan bahwapopulasi yang diuji mempunyai latar belakang genetik yang berbeda. Dengan demikian aksesi-aksesiyang diuji mempunyai peluang yang besar untuk mendapatkan karakter yang dikehendaki yang akanberguna untuk program pemuliaan selanjutnya. Semua karakter yang diamati mempunyai variabilitasfenotipik luas. Seleksi terhadap karakter yang mempunyai variabilitas genetik dan fenotipik luasdiharapkan akan membawa kemajuan genetik yang besar, dan semakin besar pula peluang

g

2

22

2 21

22

2 dbgalat

M

dbgenotip

M

r

f

2

2

2 22

2 dbgenotip

M

r

g2

g2

2f

f2

2

2

f

g

Page 74: Prosiding BUKU 1

Parameter Genetik Karakter Komponen Buah pada Beberapa Aksesi SalakHadiati, S. Dan Budiyanti, T.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

62│

memperoleh genotip yang diinginkan melalui seleksi. Sebaliknya, karakter-karakter yang mempunyaivariabilitas genetik sempit, seleksi tidak akan berhasil meskipun variabilitas fenotipiknya luas, karenaperbedaan fenotip yang ada tersebut disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Demikian juga, seleksiakan sulit dilakukan terhadap karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas dan fenotipik sempit.Oleh karena itu, seleksi akan efektif bila dilakukan terhadap karakter-karakter yang mempunyaivariabilitas genetik dan fenotipik luas. Berdasarkan Tabel 1, maka karakter yang mempunyaivariabilitas genetik dan fenotip luas adalah bobot, panjang, dan diameter buah.

Tabel 1. Nilai rerata, varians genetik dan fenotipik beberapa karakter komponen buah salak.

Karakter Rerata 2 Kriteria 2 Kriteria

Bobot buah , g 40,30 ± 9,89 91,18 47,91 luas 98,48 47,77 luas

Tebal daging , cm 0,72± 0,15 0,007 0,009 sempit 0,02 0,01 luas

Diameter buah, cm 4,18± 0,53 0,21 0,12 luas 0,25 0,12 luas

Panjang buah, cm 5,06± 0,71 0,197 0,188 luas 0,35 0,17 luas

TSS (°Brix) 19,13±1,27 0,12 0,56 sempit 0,86 0,42 luas

Bobot biji , g 3,56± 0,95 0,17 0,32 sempit 0,54 0,26 luas

Porsi dimakan, % 62,59± 10,02 22,15 50,19 sempit 82,61 40,07 luas

Nilai duga heritabilitas suatu karakter juga perlu dikatahui untuk menentukan kemajuan darisuatu seleksi, apakah karakter tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan. DariTabel 2 terlihat bahwa nilai duga heritabilitas yang tinggi terdapat pada karakter bobot buah, panjangbuah dan diameter buah. Mc Whirter (1979) mengemukakan bahwa karakter yang termasuk dalamkategori heritabilitas sedang-tinggi, berarti lingkungan tidak begitu berperan besar dalam penampilansuatu karakter. Dan menurut Mardjono, et al. (1991) maka seleksi terhadap karakter tersebut dapatdilakukan pada generasi awal. Nilai duga heritabilitas yang paling tinggi adalah pada karakter bobotbuah, yaitu sebesar 92.58%. Ini menggambarkan bahwa 92.58% penampilan fenotipiknya ditentukanoleh faktor genetik, dan selebihnya oleh faktor lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhiheritabilitas adalah karakter populasi, sampel genotip yang dievaluasi, metode estimasi, adanyalinkage, keluasan evaluasi genotip, dan pelaksanaan percobaan (Fehr 1987).

Tabel 2. Heritabilias dan kemajuan genetik beberapa karakter komponen buah salak.

Karakter (Characters) H (%) Kriteria (Criterion) KGH (%) Kriteria (Criterion)

Bobot buah(Fruit weight)

92,58 tinggi 45,26 tinggi

Tebal daging(Flesh thickness)

44,02 sedang 15,96 tinggi

Diameter buah (Fruit diameter) 83,06 tinggi 20,39 tinggi

Panjang buah( Fruit length)

55,76 tinggi 13,32 sedang

TSS (Total Soluble Solid) 13,58 rendah 1,36 rendah

Bobot biji(Seed weight)

31,04 sedang 12,72 sedang

Porsi dimakan (Edible portion) 26,81 rendah 8,09 sedang

Keterangan: H (%): 0 – 20 (rendah), 20 H 50 (sedang), H 50 (tinggi);

KGH(%) : 0 - 7 (rendah), 7,1 - 14 (sedang), dan KGH 14,1 (tinggi)

Persentase kemajuan genetik harapan (%) dengan intensitas seleksi 5% berkisar 1,36- 45,26%(Tabel 2). Kriteria persentase kemajuan genetik (%) berdasarkan Begun & Sobhan (1991) dikutipBambang et al.(1998), maka karakter yang diamati sebagian besar mempunyai persentase kemajuan

2g

g2

2f

f2

Page 75: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│63

genetik yang tinggi, yaitu karakter bobot buah, tebal daging, dan diameter buah. Karakter yangmempunyai persentase kemajuan genetik sedang adalah panjang buah, bobot biji, dan persentase porsidimakan. Menurut Murdaningsih et al. (1990) bahwa seleksi akan efektif bila nilai kemajuan genetiktinggi dan ditunjang oleh salah satu nilai koefisien keragaman genetik dan atau heritabilitas yangtinggi pula.

KESIMPULAN

Seleksi terhadap karakter bobot buah dan diameter buah dapat dilakukan pada generasi awal danefektif karena mempunyai variabilitas genetik dan fenotipik luas, heritabilitas tinggi, serta persentasekemajuan genetik yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintanyang telah membantu pendanaan penelitian dan Sdr. Anang Wahyudi yang telah membantu dalampelaksanaan penelitian ini.

PUSTAKA

1. Allard, RW 1960, Principles of Plant Breeding, John Wiley & Sons, Inc. New York, 485p.

2. Bambang, H, Purwati, RD, Marjani & Budi, US 1998, ‘Parameter genetik komponen hasil danhasil serat pada aksesi kenaf potensial’, Zuriat, vol. 9, no. 1, hlm. 6-12.

3. Falconer, DS 1989, Introduction to Quantitative Genetics, ELBS. Longam. London, 468p.

4. Fehr 1987, Principles of Cultivar Development, Theory and Technique, Volume I, Iowa StateUniversity, 536 p.

5. Hadiati, S, Susiloadi, A & Budiyanti, T 2008, ‘Hasil persilangan dan pertumbuhan beberapagenotipa salak’, Buletin Plasma Nutfah, vol. 14, no. 1, hlm. 26-32.

6. Mardjono, R, Mitoyat, E & Soetarso 1991, ‘Pola pewarisan sifat bentuk daun okra danheritabilitas beberapa sifat penting tanaman kapas’ Zuriat, vol. 2, no. 2, hlm. 26-33.

7. Mc. Whirter, KS 1979, Breding of Cross Pollinated Crops, pp. 79-110. In. R. Knight (eds), PlantBreeding, AA VCS, Brisbane.

8. Mogea, J 1990, ‘The Salak Palm Species in Indonesia’, Voice of Nature, vol. 85, no. 42 & 62.

9. Suprapto, Narimah & Kairudin, MD 2007, ‘Variasi genetik, heritabilitas, tindak gen, dankemajuan genetik kedelai (Glycine max Merr. ) pada ultisol’, J. Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia,vol. 9, no. 2, hlm. 183-90.

10. Nandariyah, Purwanto, E, Sukaya & Kurniadi, S 2000, ‘ Pengaruh tetua jantan dalam persilanganterhadap produksi dan kandungan kimiawi buah salak Pondoh Super’, Zuriat, vol.11, no. 1, hlm.33-38.

11. Singh, RK & Chaudhary, BD 1979, Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis,Kalyani Publisher, New Delhi, India.

12. Steel, RGD & Torrie, JH 1989, Prinsip dan Prosedur Statistik (terjemahan oleh BambangSumantri), PT Gramedia, Jakarta.

13. Sunaryono, H 1988, Perkembangan Salak, Ilmu Produksi Tanaman Buah-buahan, Sinar Baru,Bandung.

14. Susiloadi, A, Hadiati, S & Budiyanti, T 2008, ‘Keragaan pertumbuhan beberapa aksesi salak diKabupaten Kampar’, J. Agritek, vol. 16, no. 5, hlm. 943-48.

Page 76: Prosiding BUKU 1

Parameter Genetik Karakter Komponen Buah pada Beberapa Aksesi SalakHadiati, S. Dan Budiyanti, T.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

64│

15. Tampake, H & Luntungan, HT 2002, ‘Pendugaan parameter genetik dan korelasi antar sifat-sifatmorfologi kelapa (Cocos nucifera, Linn)’, Jurnal Littri, vol. 8, no. 3, hlm. 97-102.

16. Wahdah, R, Baihaki, A, Setiamihardja, R & Suryatmana, G 1996, ‘Variabilitas dan heritabilitaslaju akumulasi bahan kering pada tanaman kedelai’, Zuriat, vol. 7, no. 2, hlm. 92-98.

Page 77: Prosiding BUKU 1

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada Uji Multilokasi di Provinsi BantenYursak, Z. Dan Mayunar

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

65│

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada UjiMultilokasi di Provinsi Banten

Yursak, Z dan MayunarBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Jl. Ciptayasa KM.01 Ciruas Serang BantenE-mail : [email protected]

ABSTRAK. Semakin meningkatnya kebutuhan dan manfaat yang dimiliki, maka peningkatan produktivitasbawang merah melalui budidaya perlu ditingkatkan. Dilain pihak, usaha budidaya bawang merah sangatdipengaruhi oleh ketersediaan benih unggul dan bermutu serta penerapan budidaya yang baik. Berdasarkan haltersebut dilakukan uji multilokasi beberapa galur harapan bawang merah sebagai langkah awal untukmendapatkan calon varietas unggul baru yang potensial. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada 3 lokasi denganRancangan Acak Kelompok (RAK), dimana setiap perlakuan memiliki 3 ulangan. Sebagai perlakuan adalah 6galur dan 3 varietas yaitu : 2005/20 (G-1), 2005/41 (G-2), 2005/54 (G-3), 2007/01 (G-4), 2007/57 (G-5), KL-80(G-6), varietas Katumi (V-1), variaetas Kuning (V-2) dan varietas Bima Brebes (V-3). Benih ditanam satu umbiper lubang dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm, sedangkan sebagai pupuk dasar adalah pupuk kandang sebanyak20 ton/ha dan SP-36 200 kg/ha. Selanjutnya pupuk susulan berupa Urea 100 kg/ha, ZA 200 kg/ha dan ZK 120kg/ha, yang diberikan pada umur 10 HST dan 30 HST. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa daya tumbuhpada semua lokasi diatas 90 % dan bahkan mencapai 100 %. Namun, komponen hasil lainnya sangat beragam,baik antar galur/varietas maupun antar lokasi. Di Kecamatan Ciruas, tinggi tanaman galur bawang merahberkisar antara 30,5-34,8 cm dan varietas 27,8-39,6 cm, Kecamatan Kramatwatu 26,6-30,5 cm dan 28,0-34,4 cm,sedangkan di Kecamatan Majasari adalah 24,1-30,7 cm dan 29,2-36,4 cm. Selanjutnya jumlah anakan atau umbi,hasil tertinggi di Kec. Ciruas diperoleh pada G-2007/01 yaitu 8,1 dan terendah pada G-2005/20 yaitu 5,6; di Kec.Karamatwatu adalah G-2007/01 yaitu 6,0 dan G-2007/57 yaitu 5,6; sedangkan di Kec. Majasari adalah G-2007/01 yaitu 7,1 dan G-2007/57 yaitu 5,7. Hal lain yang sangat penting adalah tingkat produktivitas, hasiltertinggi di Kec. Ciruas dipeorleh pada G-2005/41 yaitu 7,24 ton/ha; Kec. Karamatwatu G-2007/01 yaitu 5,90ton.ha; dan di Kec. Majasari adalah G-2007/01 yaitu 9,74 ton/ha, sedangkan produktivitas terendah pada setiaplokasi secara berurutan adalah G-KL.80 (4,82 ton/ha); G-2005/20 (2,94 ton/ha) dan G-KL.80 (4,27 ton/ha).Berdasarkan data pengamatanan beberapa komponen hasil, diperoleh 2 galur harapan berpeotensi dijadikanvarietas unggul baru yaitu G-2007/01 dan G-2005/41.

Kata kunci : bawang merah; galur harapan; multilokasi; produktivitas.

ABSTRACT. Yursak, Z and Mayunar. 2013 Display Result Components of Several Strain of Onion toMultilocate Trials in Banten Province. The increasing needs and benefits that are owned, then the increase inproductivity through the cultivation of onions need to be improved. On the other hand, the cultivation of onionsgreatly influenced by the availability of seed and quality as well as the application of good farming. Based on themultilocation trials conducted several strains of onion expectations as a first step to get the candidate of potentialnew varieties. Research activities conducted at three locations with Random Design Group (RAK), where eachtreatment had 3 replicates.As the treatment is 6 strain and 3 varieties which is : 2005/20 (G-1), 2005/41 (G-2),2005/54 (G-3), 2007/01 (G-4), 2007/57 (G-5), KL-80 (G-6), Katumi varieties (V-1), Kuning variaetas (V-2) andBima Brebes varieties (V-3). Seed bulb were planted one per hole with a spacing of 20 cm x 15 cm, whereas thebasic fertilizer is animal manure as much as 20 tons / ha and SP-36 200 kg / ha. Further follow-up of Ureafertilizer 100 kg / ha, ZA 200 kg / ha and ZK 120 kg / ha, which is given at the age of 10 and 30 HST HST.Observations indicate that the ability to grow at all locations above 90% and even reached 100%. However, othercomponents of the results vary considerably, both between strains / varieties and between locations. In DistrictCiruas, plant height onion strains ranged from 30.5 to 34.8 cm and 27.8 to 39.6 cm of varieties, from 26.6 to 30.5cm and the District Kramatwatu 28.0 to 34.4 cm, while in the District is 24.1 to 30.7 cm Majasari and 29.2 to36.4 cm.Furthermore the number of tillers or bulbs, the highest in the district Ciruas G-2007/01 obtained at the8.1 and the lowest was 5.6 G-2005/20; in the district Karamatwatu is G-2007/01 G-2007/57 of 6.0 and was 5.6,whereas in the district Majasari is G-2007/01 G-2007/57 which is 7.1 and 5.7. Another very important thing isthe level of productivity, the highest in the district Ciruas obtained on G-2005/41 is 7.24 tons / ha; districtKaramatwatu G-2007/01 the ton.ha 5.90, and in the district Majasari is G-2007/01 is 9.74 tons / ha, while thelowest productivity at each location in sequence is G-KL.80 (4.82 tonnes / ha); G-2005/20 (2.94 tonnes / ha ) andG-KL.80 (4.27 tonnes / ha). Based on observation data several components of results, obtained two strains haspotential made two new varieties are G-2005/41 and G-2007/01.

Page 78: Prosiding BUKU 1

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada Uji Multilokasi di Provinsi BantenYursak, Z. Dan Mayunar

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

66│

Key words: red onion; strain; multilocation; productivity.

Salah satu daerah yang memiliki prospek cukup baik untuk pengembangan usaha hortikulturaadalah Provinsi Banten, karena memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan letaknya sangat strategisdengan pusat perekonomian. Provinsi Banten memiliki lahan pertanian berupa sawah seluas 197.914ha dan lahan kering pertanian 424.158 ha. Khusus lahan sawah, selain padi juga diusahakan tanamanpalawija dan tanaman hortikultura semusim (mentimun, kacang panjang, sawi/caisin, bawang merah,cabai merah, bayam, kangkung, kemangi, semangka, melon, belewa dll). Berdasarkan hasil penelitiandan kajian, pendapatan rumah tangga pada daerah dengan usahatani berbasis nonpadi lebih tinggidibandingkan dengan daerah berbasis padi (rice based farming). Berdasarkan biaya produksi,komoditas hortikultura semusim yang banyak diusahakan petani dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: komoditas dengan biaya produksi tinggi (cabai merah, bawang merah, tomat, semangka, melon),komoditas dengan biaya produksi sedang (terung, kacang panjang, mentimun, buncis), dan komoditasdengan biaya produksi rendah (caisin/sawi, kangkung, bayam).

Peluang dan prospek pengembangan agribisnis hortikultura cukup baik, karena dapatdilakukan pada berbagai agroekosistem dan skala usaha. Usaha agribisnis hortikultura terusberkembang pada beberapa daerah, karena secara bisnis dapat memberikan keuntungan yang cukuptinggi, baik dalam areal luas maupun relatif sempit. Namun demikian, usaha agribisnis hortikulturamengandung berbagai permasalahan dan kendala serta resiko dan ketidakpastian yang cukup besar.Pada bawang merah, masalah utama adalah kesenjangan hasil antara potensi genetik tanaman denganhasil yang diperoleh petani. Rendahnya produktivitas disebabkan sebagian besar petani belummenggunakan benih unggul dan penerapan teknik budidaya yang belum optimal. Teknik produksimeliputi penggunaan varietas unggul dan benih bermutu, pengelolaan lahan, air, tanaman danorganisme pengganggu (LATO). Varietas unggul dan pupuk merupakan inovasi yang signifikan dalammeningkatkan produksi, karena memiliki sifat hasil tinggi, umur genjah serta tahan terhadap cekamanbiotik dan abiotik. Masalah lain adalah aspek panen dan pascapanen, dimana komoditas hortikulturacepat rusak dan tidak tahan lama, sehingga perlu penanganan khusus. Hal lain yang tidak kalahpentingnya adalah kualitas produk dan standar mutu. Dengan pengembangan GAP (Good AgriculturalPracticess) dan kawasan hortikultura, maka suplai sayuran dan buah-buahan dalam negeri dapatmenekan impor masuk ke pasar modern.

Sampai saat ini sudah dihasilkan sejumlah penelitian hortikultura yaitu berupa varietas unggulbaru, teknologi produksi dan penyediaan benih sumber (Suryana, 2006; Hilman et al., 2008).Produksi dan produktivitas komoditas hortikultura pada tahun 2007 meningkat sebesar 4,34-7,30 %dibanding tahun sebelumnya. Pengembangan agribisnis hortikultura berdaya saing dan berkelanjutandiharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pemilihan lokasi, komoditasdan teknologi yang tepat serta kesesuaian agroekosistem, sosial budaya dan norma masyarakatsetempat akan sangat menentukan keberhasilan pengembangan hortikultura berwawasan lingkungan.Komoditas hortikultura yang akan dikembangkan pada suatu daerah harus disesuaikan denganpersyaratan agronomis tanaman, kondisi agroekosistem, preferensi konsumen, ketersediaan teknologiserta mempunyai prospek pasar dan harga yang baik. Di Provinsi Banten, tanaman hortikulturaunggulan meliputi 15 komoditas, diantaranya bawang merah yang produksinya pada tahun 2007 dan2008 secara berurutan adalah 247 ton dan 158 ton dengan produktivitas 6,87 ton/ha (Setiawan, 2009).Berdasarkan hasil penelitian Rachman et al. (2004), usahatani hortikultura di Majalengka-Jabar,Kediri-Jatim dan Agam-Sumbar memiliki daya saing cukup baik, namun usahatani hortikultura rentanterhadap serangan hama dan penyakit. Lebih lanjut dikatakan bahwa usahatani hortikultura memilikitingkat toleransi antara 24-59 % terhadap perubahan harga maupun produktivitas.

Bawang merah merupakan komoditas unggulan hortukultura, baik secara nasional maupun diProvinsi Banten karena cukup strategis dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Sejak tahun 1974 telahdilepas lebih dari 58 varietas hortikultura. Khusus bawang merah, varietas unggul baru dengan mutuyang sesuai preferensi konsumen serta resisten terhadap bercak ungu dan antraknosa adalah Kramat-1,Kramat-2, Kuning, Sembrani, Ajiba-1 dan Katumi dengan potensi hasil 9-25 ton/ha (Anonim, 2002;

Page 79: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│67

Himan et al., 2008). Hasil penelitian Limbongan et al. (1999) menunjukkan, dosis pupuk organik NPKplus yang terbaik pada budidaya bawang merah varietas Palu adalah 1.200 kg/ha dengan hasil umbibasah 8,05 ton/ha (kering 5,25 ton), sedangkan dosis pupuk anorganik terbaik adalah 90 kg N, 80 kgP2O5 dan 70 kg K2O/ha dengan hasil umbi basah 8,34 ton/ha (kering 5,31 ton). Selanjutnya hasilpenelitian Thamrin et al. (2003), produksi bawang merah varietas Bangkok dengan penerapanteknologi anjuran adalah 11,7 ton/ha. Biaya produksi teknologi anjuran adalah Rp. 14.728.000,-/ha,penerimaan kotor Rp. 28.500.000,- sehingga diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 13.772.000,-/hadengan R/C ratio 1,94. Lain halnya pada penelitian Asandhi et al. (2005), penggunaan pupuk NPKdosis 375 kg/ha serta bahan organik ampas tebu dan NPK 375 kg/ha sudah memberikan kenaikan hasilbawang merah varietas Bangkok Warto, baik bobot basah maupun bobot kering.

BAHAN DAN METODE

Pelaksanaan uji multilokasi galur harapan bawang merah dilaksanakan pada 3 lokasi yaituKecamatan Ciruas, Kecamatan Kramatwatu dan Kecamatan Majasari. Penelitian menggunakanRancangan Acak Kelompok (RAK), dimana setiap perlakuan diulang 3 kali. Sebagai perlakuan adalah6 galur dan 3 varietas yaitu : 2005/20 (G-1), 2005/41 (G-2), 2005/54 (G-3), 2007/1 (G-4), 2007/57 (G-5), KL-8 (G-6), varietas Katumi (V-1), varietas Kuning (V-2) dan varietas Bima Brebes (V-3). Padatahap awal dilakukan pengolahan tanah secara sempurna, lalu dibuat bedengan-bedengan berukuranpanjang 250 cm, lebar 100 cm dan tinggi 30 cm. Selanjutnya diberi pupuk dasar berupa pukan sapisebanyak 20 ton/ha dan SP-36 200 kg/ha. Untuk mengurangi pertumbuhan gulma, sebelum ditanamlahan disemprot dengan herbisida pratumbuh berupa Goalma 240 EC. Sebelum tanam umbi dirompespada bagian ujung, kemudian diberi perlakuan fungisida Dithane-45 dengan dosis 2 kg/ha. Penanamansatu umbi per lubang dengan jarak 20 x 15 cm. Selain pupuk dasar, selama pemeliharaan dilakukanpupuk susulan sebanyak dua kali yaitu pada umur 10 HST berupa Urea 100 kg/ha, ZA 200 kg/ha danKCl 100 kg/ha, sedangkan pupuk susulan II pada umur 30 HST dengan jenis dan dosis yang sama(Urea 100 kg/ha, ZA 200 kg/ha dan KCl 100 kg/ha). Selama pemeliharaan juga dilakukan penyiangangulma sebanyak 2 kali serta pengendalian hama dan penyakit. Hama penting yang umumnyamenyerang bawang merah adalah lalat penggerek daun, ulat bawang, trips dan ulat tanah. Selanjutnyajenis penyakit adalah layu fusarium, bercak ungu, antraknose, virus mozaik dan penyakit embuntepung. Apabila terdapat serangan hama dan penyakit dilakukan pengendalian secara terpadu. Dataagronomis dan komponen hasil yang diamati dan dikumpulkan selama peneltian adalah : daya tumbuh,persentase tanaman hidup dan mati, intensitas serangan hama dan penyakit serta tingkat produktivitas(umbi basah dan kering). Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara statistik dengan analisissidik ragam. Uji beda antar perlakuan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai bawang merah telah banyak dilakukan, namun penerapan teknologinya ditingkat petani belum sesuai anjuran, sehingga produktivitas yang diperoleh masih dibawah potensigenetiknya. Dalam pengembangan usahatani bawang merah, ketersediaan benih bermutu danberproduksi tinggi serta memiliki ketahanan terhadap penyakit masih terbatas. Keterbatasan benihmerupakan faktor utama dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas. Menurut Delouche danPotts (1983), terdapat tiga peranan penting benih dalam pertanian yaitu : (1) benih merupakan saranayang paling efektif dan efisien dalam perbanyakan tanaman, (2) benih yang dibentuk melalui prosessexual berperan penting dalam pemuliaan dan penyebarluasan varietas unggul, dan (3) benihmerupakan sarana efisien sebagai pembawa kimiawi pertanian.

Salah satu komponen utama yang sangat mempengaruhi dalam peningkatan produksi adalahpenggunaan varietas unggul yang mampu beradaptasi baik pada lokasi yang berbeda. Ketersediaanvarietas unggul bawang merah yang mampu beradaptasi pada beberapa lokasi yang berbeda masihsangat terbatas, sehingga perlu pengujian beberapa galur harapan dan varietas unggul yang sudahdihasilkan. Dengan pengujian akan diperoleh galur-galur harapan yang mampu beradaptasi baik padalokasi yang berbeda dengan mengetahui sifat-sifat unggul yang dimiliki seperti daya hasil, daya

Page 80: Prosiding BUKU 1

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada Uji Multilokasi di Provinsi BantenYursak, Z. Dan Mayunar

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

68│

adaptasi, dan kesesuaian agroekologi. Berdasarkan beberapa hal diatas, maka dilaksanakan uji galurharapan bawang merah di Provinsi Banten yaitu Kec. Ciruas, Kec. Kramatwatu dan Kec. Majasari.Benih bawang merah yang ditanam pada ke-3 lokasi tersebut terdiri dari 6 galur dan 3 varietas yaitu :2005/20 (G-1), 2005/41 (G-2), 2005/54 (G-3), 2007/01 (G-4), 2007/57 (G-5), KL-8 (G-6), varietasKatumi (V-1), varietas Kuning (V-2) dan varietas Bima Brebes (V-3). Berdasarkan hasil pengamatan,benih bawang merah yang digunakan mutunya sangat baik karena memiliki daya tumbuh yangmencapai 100 %, kecuali varietas Katumi pada lokasi Kec. Singamerta hanya 71,4 %. Selanjutnyapengamatan pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 15 HST, rataan tertinggi diperoleh pada varietasKuning dan Bima Brebes yaitu 27,10-28,35 cm dan terendah pada varietas Katumi yaitu 16,90 cm.Pada umur 45 HST, pertumbuhan tertinggi di Kec. Ciruas diperoleh pada varietas Kuning yaitu 31-46cm (rataan 39,6 cm) dan terendah pada varietas Katumi yaitu 18-33 cm (rataan 27,8 cm). Di Kec.Karamatwatu, pertumbuhan tertinggi diperoleh pada varietas Bima Brebes yaitu 25-48 cm (rataan 34,4cm) dan terendah pada galur 2005/20 yaitu 17-40 cm (rataan 26,7 cm). Selanjutnya di Kec. Majasari,pertumbuhan tertinggi diperoleh pada varietas Kuning yaitu 30-48 cm (rataan 39,2 cm) dan terendahpada galur KL-80 yaitu 13-40 cm (rataan 24,0 cm).

Selain tinggi tanaman, komponen hasil lainnya yang diamati adalah jumlah anakan atau umbi,dimana setiap galur/varietas dan lokasi cukup beragam. Pada lokasi Kec. Ciruas, jumlah anakanmencapai 20, sedangkan di Kec. Kramatwatu dan Kec. Majasari masing-masing 13 dan 15. Hasilpengamatan diperoleh bahwa rataan jumlah anakan bawang merah tertinggi di Kec. Ciruas diperolehpada varietas Katumi yaitu 10,1 dan terendah pada galur 2005/20 yaitu 5,6; sedangkan di Kec.Karamatwatu adalah varietas Bima Brebes 7,0 dan terendah galur 2007/57 yaitu 4,1. Selanjutnya diKec. Majasari, rataan jumlah anakan tertinggi dipeorleh pada varietas Kuning yaitu 10,0 dan terendahpada galur 2005/54 yaitu 5,1. Hasil pengamatan daya tumbuh, tinggi tanaman, jumlah anakan danproduktivitas bawang merah pada setiap galur/varietas dan lokasi disajikan pada Tabel 1. Dilihat daripertumbuhan tanaman dan jumlah anakan, ternyata pertumbuhan dan jumlah anakan galur lebihrendah dibanding varietas pembanding, dimana jumlah anakan berpotensi dalam pembentukan umbisekaligus gambaran potensi hasil setiap galur/varietas. Suatu galur harapan atau varietas dikatakanadaptif apabila dapat tumbuh dan berkembang baik pada wilayah penyebarannya dengan produksitinggi dan stabil, memiliki nilai ekonomi tinggi serta diterima masyarakat dan berkelanjutan(Somaatmadja, 1995).

Selain komponen hasil diatas, hal utama yang sangat penting dan menentukan tingkatkeberhasilan usaha budidaya bawang merah adalah produktivitas yang diperoleh. Seperti terlihat padaTabel 1, produktivitas bawang merah antar galur/varietas dan antar lokasi sangat beragam. Pada lokasiKec. Ciruas,

Tabel 1. Pengamatan Daya tumbuh, tinggi tanaman, produksi (Bobot basah, bobot kering, bobotbiomassa dan nilai susut) pada lokasi Kecamatan Ciruas

Galur danVarietas

Daya tumbuh Tinggi Tan. Jml anakanProduksi

Bobot basah Bobot kering BK. Biomasa Nilai Susut

2005/20 94.5 ± 3.57 b 30.9 ± 0.92 b 5.57 ± 0.83 a 2874 ± 185 a 1496 ± 343b 1385 ± 325 52.13 ± 8.002005/41 96.5 ± 4.22 b 34.0 ± 5.63 b 5.83 ± 0.65 a 3523 ± 646 a 1810 ± 298b 1678 ± 276 51.80 ± 8.332005/54 98.4 ± 1.78 b 34.8 ± 1.27 b 6.33 ± 0.31 a 1981 ± 224 a 1324 ± 410b 1229 ± 376 38.80 ± 12.092007/01 98.8 ± 1.20 b 30.5 ± 2.04 b 8.13 ± 0.40 b 2887 ± 1093a 1665 ± 407b 1544 ± 380 44.47 ± 8.182007/57 99.6 ± 0.69 b 30.5 ± 1.30 b 7.03 ± 1.16 b 2731 ± 1091a 1330 ± 457b 1222 ± 418 53.07 ± 12.17KL-80 99.6 ± 0.69 b 32.8 ± 2.06 b 7.60 ± 0.78 b 2172 ± 993 a 1206 ± 307b 1109 ± 286 45.47 ± 13.34Kuning 100.0 ± 0.00 b 39.6 ± 1.47 b 7.90 ± 0.66 b 4586 ± 1750b 2107 ± 628c 1951 ± 584 53.50 ± 20.50Katumi 71.4 ± 4.49 a 27.8 ± 0.80 a 7.83 ± 0.68 b 1860 ± 285 a 1197 ± 304a 1108 ± 286 41.03 ± 8.04B. Berebes 99.6 ± 0.69 b 38.5 ± 2.25 b 7.90 ± 0.40 b 4606 ± 820 b 1669 ± 610b 1543 ± 557 67.07 ± 6.21

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji DMRT 5%.Berdasarkan hasil analisisTabel 2. Pengamatan Daya tumbuh, tinggi tanaman, produksi (Bobot basah, bobot kering, bobot

biomassa dan nilai susut) pada lokasi Kecamatan Kramatwatu

Page 81: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│69

Galur danVarietas Daya tumbuh Tinggi Tan. Jml anakan

Produksi

Bobot basah Bobot kering BK.Biomasa Nilai susut2005/20 99.2 ± 1.39 26.6 ± 1.53 3.97 ± 0.64 1002 ± 207 736 ± 162.5 676.3 ± 151.3 32.6 ± 1.492005/41 97.3 ± 1.62 28.3 ± 2.61 4.40 ± 0.89 1410 ± 217 983 ± 169.6 872.3 ± 168.5 38.4 ± 2.962005/54 100 ± 0.0 26.9 ± 0.90 4.97 ± 0.75 1253 ± 57.4 836 ± 67.0 738.0 ± 60.6 41 ± 2.172007/01 98.8 ± 2.02 30.5 ± 2.69 6.00 ± 0.20 1945 ± 441 1474 ± 440 1298 ± 323 33.4 ± 2.802007/57 98.4 ± 1.78 28.8 ± 1.01 4.13 ± 0.47 1278 ± 170 895 ± 148 815.7 ± 150.5 36.3 ± 3.85KL-80 97.2 ± 1.78 28.3 ± 1.45 5.67 ± 1.53 1754 ± 152 990 ± 221 951.7 ± 99.6 45.8 ± 3.16Kuning 99.6 ± 0.69 33.2 ± 1.05 5.87 ± 0.64 2951 ± 327 2086 ± 266 1886 ± 238 36.1 ± 2.63

Katumi 96.8 ± 2.44 28 ± 2.46 6.70 ± 0.82 1741 ± 488 1219 ± 456 1073 ± 449 39.9 ± 8.40B. Berebes 98.8 ± 0.0 34.4 ± 1.00 6.97 ± 0.74 3227 ± 180 2388 ± 153 2171 ± 140.8 32.7 ± 1.60

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji DMRT 5%.

Tabel 3. Pengamatan Daya tumbuh, tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi (Bobot basah, bobot kering, bobotbiomassa dan nilai susut) pada lokasi Kecamatan Majasari

Galur danVarietas

Daya tumbuh Tinggi Tan. Jml anakanProduksi

Bobot basah Bobot kering BK.Biomasa Nilai susut

2005/20 99.2 ± 1.39 30.7 ± 8.51 6.70 ± 2.69 1932 ± 1310 1539 ± 1029 1477 ± 1019 24 ± 1.512005/41 99.2 ± 0.69 27.3 ± 9.22 5.83 ± 2.03 2002 ± 809 1517 ± 608 1449 ± 561 39.7 ± 16.862005/54 99.2 ± 0.69 28.4 ± 5.94 5.13 ± 1.79 2345 ± 1012 1662 ± 743 1846 ± 694 34.5 ± 0.632007/01 99.6 ± 0.69 28.0 ± 7.35 7.07 ± 1.96 2757 ± 1506 2101 ± 1177 1975 ± 1104 28.5 ± 2.892007/57 98.0 ± 1.33 27.0 ± 8.05 5.20 ± 2.27 1385 ± 1145 1088 ± 916 982 ± 819 29.4 ± 0.87KL-80 99.6 ± 0.69 24.1 ± 9.91 6.00 ± 0.26 1445 ± 823 1067 ± 586 937 ± 460 33.1 ± 5.60Kuning 100 ± 0.00 39.2 ± 4.14 10.07 ± 1.00 4253 ± 1089 3074 ± 670 2842 ± 635 32.8 ± 2.23

Katumi 99.2 ± 0.69 29.7 ± 7.36 9.40 ± 1.49 3455 ± 2598 2754 ± 2115 2607 ± 2015 25.4 ± 1.82B. Berebes 100 ± 0.0 36.4 ± 5.11 7.93 ± 0.77 3781 ± 1204 2826 ± 878 2620 ± 830 30.7 ± 0.20

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji DMRT 5%.

Produktivitas bawang merah berkisar antara 3,51-11,10 ton/ha, dimana rataan tertinggidiperoleh pada varietas Kuning yaitu 8,43 ton/ha dan terendah pada varietas Katumi 4,79 ton/ha. DiKec. Kramatwatu, kisaran prduktivitas adalah 3,04-10,18 ton/ha, dimana rataan tertinggi diperolehpada varietas Bima Brebes yaitu 9,55 ton/ha dan terendah pada galur 2005/20 yaitu 2,94 ton/ha.Selanjutnya di Kec. Majasari, kisaran produktivitas adalah 3,21-15,12 ton/ha, dimana rataan tertinggipada varietas Bima Brebes yaitu 11,30 ton/ha dan terendah pada galur KL-80 yaitu 4,27 ton/ha. Secarakeseluruhan terlihat bahwa produktivitas semua galur yang diuji masih dibawah varietas yang sudahdilepas, namun beberapa diantaranya memiliki potensi untuk dijadikan varietas unggul baru yaitugalur 2005/41, 2005/54 dan 2007/01. Dilihat dari kondisi tanaman dan produktivitas yang diperoleh,ternyata di lokasi Kec. Majasari jauh lebih baik dibandingkan Kec. Ciruas dan Kec. Karamatwatu.

Menurut Kusumo dan Sumarjani (1992), rataan produktivitas bawang merah secara nasionaladalah 7,06 ton/ha, sedangkan potensi hasilnya dapat mencapai 20 ton/ha. Produktivitas bawangmerah masih dapat ditingkatkan apabila faktor-faktor yang mempengaruhi sistem usahataninyadikelola secara maksimal, diantaranya : penggunaan varietas unggul, pupuk berimbang, pengendalianhama dan penyakit terpadu serta panen dan pascapanen yang tepat. Handewi et al. (2004) melaporkan,produktivitas bawang merah di Indramayu berkisar antara 8,9-9,8 ton/ha dan di Majalengka 5,0-6,5ton/ha. Selanjutnya penelitian adaptasi beberapa varietas bawang merah di Jeneponto diperolehproduktivitas varietas Bangkok, Bima Brebes, Kuning dan Maja secara berturut-turut adalah 13,30ton/ha; 10,33 ton/ha; 14,87 ton/ha dan 14,60 ton/ha (Nurjanani et al., 1999 dalam Thamrin et al.,(2003).

Berdasarkan hasil pengamatan, hama dan penyakit yang dijumpai pada tanaman bawangmerah pada ke-3 lokasi tersebut adalah ulat bawang dan layu fusarium. Di lokasi Kec. Ciruas dan Kec.Kramatwatu, penyakit layu fusarium menyerang tanaman setelah berumur 30 HST (hanya pada daun),

Page 82: Prosiding BUKU 1

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada Uji Multilokasi di Provinsi BantenYursak, Z. Dan Mayunar

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

70│

dan bahkan di Kec. Ciruas setelah umur 45 HST sudah menyerang umbi dan akar, sehingga berakibatpada penurunan hasil panen. Selanjutnya di Kec. Kramatwatu, untuk mencegah kerusakan lebih lanjutdan penurunan hasil, panen dilakukan lebih awal yaitu pada umur 45 HST. Menurut Sastrosiswojo(1998), hama dan penyakit yang umum menyerang tanaman bawang merah adalah ulat bawang,orong-orong atau anjing tanah, Thrips, Antraknose, bercak ungu atau trotol dan layu fusarium ataungoler. Khusus penyakit layu fusarium, gejala serangan ditandai dengan daun menguning danterpelintir, selanjutnya layu. Selain itu, tanaman mudah dicabut, karena pertumbuhan akar terganggudan bahkan membusuk. Jika terinfeksi melalui bibit, gejala serangan mulai terlihat pada umur 7-14hari setelah tanam, sedangkan jika terinfeksi melalui tanah, gejala serangan mulai terlihat pada umur >30 hari (Sastrosiswojo, 1998). Selain fusarium juga dijumpai antraknose atau disebut penyakitotomatis, yang ditandai dengan terbentuknya bercak putih pada daun, selanjutnya terbentuk lekukanyang menyebabkan patahnya daun-daun bawang seraca serentak (serangan bersifat sporadis). Penyakitini dapat dicegah dengan menggunakan bibit yang sehat dan sterilisasi lahan.

Selanjutnya pada kajian usaha budidaya bawang merah yang dilaksanakan di DesaGempolsari, Kecamatan Sepatan-Kabupaten Tangerang dengan menggunakan varietas Bima Curut,diperoleh hasil yang sangat beragam untuk setiap petakan. Hasil pengamatan ubinan seluas 1 m x 1 mdiperoleh bobot basah antara 0,9-3,4 kg (Tabel 2). Bobot basah terendah diperoleh pada petakan 8yang tanahnya tanpa diolah. Penyakit utama yang dijumpai dan bahkan merusak beberapa tanamanadalah busuk umbi. Pada kajian ini, pupuk diberikan dua kali yaitu pada umur 15 HST (Urea 10 kg,NPK Phonska 10 kg dan ZA 5 kg) dan umur 30 HST (Urea 10 kg, NPK Phonska 20 kg dan ZA 5 kg)serta ZK untuk pembesaran buah. Hasil pengamatan lain menunjukkan bahwa jumlah anakan atauumbi bawang merah berkisar 3-11.

Tabel 4. Hasil ubinan bawang merah di Desa Gempolsari, Kec. Sepatan-Tangerang

PetakanUbinan (kg) Jumlah Tanaman (rumpun)

1 2 Rataan 1 2 Rataan

IIIIIIIVVVIVIIVIII

2,03,12,72,63,42,12,80,9

2,43,02,62,13,32,72,21,0

2,203,052,652,353,352,402,500,95

4649485259494740

5262594762655947

49,055,553,549,560,557,053,043,5

Tabel 5. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil antar Galur dan Verietas yang berbedaGalur Harapan

dan VarietasDaya

tumbuh (%)Tinggi

Tanman(cm)Jumlahanakan

bobotbasah bobot kering BK biomassa nilai susut

2005/20 97.63 b 29.411 a 5.411 a 1936 a 1257.2 a 1179.4 a 36.23 a2005/41 97.67 b 29.844 a 5.356 a 2312 a 1436.4 a 1332.9 a 43.29 a2005/54 99.21 b 30.033 a 5.478 a 1860 a 1274.0 a 1151 a 37.98 a2007/01 99.08 b 29.667 a 7.067 ab 2530 a 1746.7 ab 1605.7 ab 35.46 a2007/57 98.69 b 29.533 a 5.456 a 1799 a 1104.6 a 1006.7 a 39.60 aKL-80 98.81 b 27.644 a 6.422 ab 1790 a 1087.7 a 999.1 a 41.43 aVar. Kuning 99.87 b 37.344 b 7.944 b 3930 b 2422.3 b 2226.6 b 40.80 aVar. Katumi 89.13 a 28.522 a 7.978 b 2352 a 1723.1 ab 1595.8 ab 35.46 aB. Berebes 99.47 b 36.456 b 7.600 b 3871 b 2294.6 ab 2111.4 b 43.50 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji DMRT 5%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 83: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│71

1. Daya tumbuh benih bawang merah dari 6 galur dan 3 varietas yang ditanam sangat baik (>96 %)dan bahkan mencapai 100 %. Selanjutnya tinggi tanaman umur 15 HST, rataan tertinggidiperoleh pada varietas Kuning dan Brebes yaitu 27,10-28,35 cm dan terendah pada varietasKatumi yaitu 16,90 cm. Pada lokasi Kec. Ciruas, pertumbuhan tinggi tercepat adalah galur2005/20 yaitu 21,04 cm dan terendah galur 2007/01, sedangkan di Kec. Majasari adalah galur2005/54 yaitu 22,71 cm dan terendah pada galur 2005/41 yaitu 19,51 cm.

2. Jumlah anakan bawang merah varietas Bima pada umur 25 HST adalah 6,27; Katumi 6,17 danKuning 6,13; sedangkan pada galur harapan terendah pada galur 2005/20 dan tertinggi galur2007/01. Pada kajian budidaya bawang merah Bima Curut diperoleh hasil 0,9-3,4 kg/m2.

3. Pengendalian penyakit busuk umbi pada bawang merah dapat menggunakan fungisida DithaneM-45 atau penggunaan pupuk kandang yang dikombinasikan dengan Trichoderma sp.

4. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai galur-galur melon yang berpotensi untuk dilepas sebagaivarietas unggul, karena selama penelitian kondisi lingkungan kurang mendukung, sehinggapotensi riilnya belum dapat diketahui. Selain itu, penggunaan pupuk/hara masih sangat beragam,baik antara lokasi/wilayah maupun antar petani.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak subrata, bapak Tana Rukmana, Bapak

Ahmad Makmur dan semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

PUSTAKA

1. Anonim. 2002. Lima Tahun Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1997-2001) : MembangunAgribisnis Melalui Inovasi Teknologi. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Jakarta :117 hal.

2. Asandhi, A. A., N. Nurtika, dan N. Sumarni. 2005. Optimasi Pupuk dalam Usahatani LEISABawang Merah di Dataran Rendah. Jurnal Hortikultura, Vol. 15 (3) : 199 – 207.

a. Asandhi, A.A. dan Suryadi, 1984. Penanaman Cabai Diluar Musim. Bulletin PenelitianHortikultura, Volume XI (1) :122-126.

3. Delouche,J.C. and H.C. Potts. 1983. The Importance of Seed In Agriculture and The Need For aSeed Program. Seminar on Improved Rice Seed Production In West Africa. WARDA. Freetown.Sierra Leone.

4. Handewi, P.S.R., Supriyati, Saptana, dan B. Rachman. 2004. Efiseinsi dan Daya Saing UsahataniHortikultura. Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberaoa KomoditasPertanian Lahan Sawah. Puslitbang Sosek Pertanian, badan Litbang Pertanian : 50-82.

5. Hilman, Y et al. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah (EdisiKedua). Badan Litbang Pertanian, Deptan : 40 hal.

6. Hilman, Y. et al. 2008. Katalog Teknologi Unggulan Hortikultura : Tanaman Sayuran, TanamanBuah, dan Tanaman Hias. Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang Pertanian. DepartemenPertanian : 95 hal.

7. Kusumo, S.dan H. Sunarjono.1992. Petunjuk Bertanam Sayuran. Proyek Pembangunan PenelitianPertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian – Reptan : 97 hal.

8. Limbongan, J., A. Monde, dan Y. S. Patadung. 1999. Kajian Penggunaan Pupuk Organik danAnorganik Terhadap Produksi Bawang Merah Varietas Palu. Jurnal Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian, Vol, 1 (2) : 95 – 105.

Page 84: Prosiding BUKU 1

Keragaan Komponen Hasil Beberapa Galur Harapan Bawang Merah pada Uji Multilokasi di Provinsi BantenYursak, Z. Dan Mayunar

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

72│

9. Moekasan, T. K., L. Prabaningrum dan M. S. Ratnawati. 2005. Penerapan PHT Pada SistemTanam Tumpanggilir Bawang Merah dan Cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, PuslitbangHortikultura : 44 hal.

10. Rachmat, M. et al. 2006. Tanaman Budidaya Sayuran yang Baik (Good Agriculture Practices).Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Direktoral Jendral Hortikultura, Deptan :52 hal.

11. Rosiani, R., Suwandi, dan N. Sumarni. 2005. Pengaruh Waktu Tanam dan Zat Pengatur TumbuhMepiquat Klorida Terhadap Pembungaan dan Pembijian Bawang Merah. Jurnal Hortikultura,Volume 15 (3) : 192 – 198.

12. Soetiarso, T. A. dan W. Setiawati. 2005. Pedoman Umum Pengembangan Teknologi Inovatifpada Tanaman Bawang Merah. Balitsa, Puslitbang Hortikultura : 31 hal.

13. Suryana, A. 2006. Kebijakan Penyediaan dan Diseminasi Inovasi Teknologi dalam MendukungPeningkatan Investasi Hortikultura. Prosiding Simposium Nasional Hortikultura. Bogor, 28Nopember 2006 : 5 – 19.

14. Thamrin, M., Ramlan, Armiati, Ruchjatiningsih dan Wahdania. 2003. Pengkajian SistemUsahatani Bawang Merah di Sulawasi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan TeknologiPertanian, Vol, 6 (2) : 141 – 153.

Page 85: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

73│

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi Sayuran

Hidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jalan Tangkuban Parahu No 517 Lembang 40391

ABSTRAK. Sayuran merupakan sumber vitamin, serat dan fitokemikal yang memegang peranan penting dalamkeseimbangan kesehatan manusia. Disamping itu, tanaman sayuran berpotensi sebagai penambah estetika dipekarangan. Uji kandungan zat besi (Fe), Vitamin A dan antioksidan dilakukan terhadap 53 aksesi sayuran yangbiasa ditanam di pekarangan, yaitu 9 aksesi tomat, 27 aksesi bayam, masing masing 3 aksesi kangkung, basela,dan kecipir, serta masing masing 1 aksesi okra, katuk, rosela, paria, leunca, labu siem hijau dan putih, serta labubesar. Kegiatan ini dilakukan di Kebun Percobaan Margahayu, dan laboratorium Fisiologi Hasil, Balai PenelitianTanaman Sayuran Lembang, dari Agustus 2010 sampai April 2011. Berdasarkan metode AAS untuk penentuankandungan Fe, metode HPLC dalam penentuan vit A dan metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhydrazyl) dalampenentuan antioksidan diperoleh informasi bahwa kandungan Fe diantara aksesi tomat, bayam, kangkung,kecipir dan basela masing masing berkisar dari 0,12 – 0,22; 0,21 – 0,41; 0,14 – 0,15; 0,13 – 0,67; 0,13 – 0,23mg/g bahan kering. Untuk vitamin A berturut turut: 2,20 – 43,66; tidak terdeteksi – 497,6; 15,99 – 73,33; tidakterdeteksi – 3,0; 3,0 – 17,99 IU. Sedangkan antioksidan berdasarkan nilai inhibisi yang tinggi dibandingkandengan mg contoh adalah kandungan antioksidan baik pada semua aksesi tomat, aksesi bayam TOT 1810, TOT2261, TOT 2353, TOT 4510, TOT 4896, TOT 8097, TOT 8139, TOT 8211, TOT 8269, semua aksesi kangkung,basela TOT 3578 dan TOT 1586, daun serta buah leunca.

Kata kunci: Zat besi, Vitamin A, antioksidan, DPPH, AAS, HPLC.

ABSTRACT. Hidayat, I.M and E. Murtiningsih. Analysis of iron, vitamin A and antioxidant content in 53vegetables accessions. Vegetables are good source of vitamins, fiber and phyitochemical which play importantrole in human health balance. Analysis of iron (Fe), Vitamin A and antioxidants performed on 53 accessions ofvegetables that are usually planted in the yard: 9 tomato accessions, 27 accessions of amaranth, 3 accessionseach of kangkong, basella, and winged bean, and 1 accession each of okra, katuk, rosella, pare, leunca, chayote(green and white), and pumpkin. This activity was carried out in the Experiments Station Lembang and PostHarvest Physiology Laboratory, IVegRI-Lembang, from August 2010 until April 2011. Results based on AASmethod for determination of Fe, HPLC method in the determination of vitamin A and DDPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhydrazyl) method in the determination of antioxidants obtained that the Fe content among the accessions oftomato, amaranth, kangkong, winged bean and basella ranging from 0.12 to 0.22; 0.21 to 0.41; 0.14 to 0.15; 0.13- 0.67; 0.13 to 0.23 mg/g dry matter respectivelly. For vitamin A: 2.20 - 43.66; not detected - 497.6; 15.99 -73.33; not detected - 3.0; 3.0 - 17.99 IU. While high antioxidants activity based on the inhibition DPPH wasfound in all accessions of tomato, amaranth accessions TOT 1810, 2261 TOT, TOT 2353, 4510 TOT, TOT4896, 8097 TOT, TOT 8139, 8211 TOT, TOT 8269, all accessions kangkong, basella TOT TOT 3578 and 1586,leaf and fruit of leunca.

Key words: Iron, Vitamin A, antioxidant, DPPH, AAS, HPLC

Tanaman sayuran sebagai salah satu bagian dari komoditi hortikultura merupakan sumbervitamin, serat dan fitokemikal yang memegang peranan penting dalam keseimbangan kesehatanmanusia. Disamping itu, tanaman sayuran berpotensi sebagai penambah estetika di pekarangan.Sayuran dikenal sebagai protective supplementary food karena mengandung sejumlah besar mineral,vitamin dan asam amino esensial yang dibutuhkan dalam fungsi normal proses metabolik manusia danjuga menetralisir asam-asam yang dihasilkan selama proses pencernaan (Joy et al., 1998).

Empat masalah serius yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang adalah kekuranganvitamin A, malnutrisi protein, anemia akibat kekurangan zat besi, dan kekurangan yodium (E-Siong1995). Vitamin A (retinol dan turunannya) sangat dibutuhkan dalam berbagai proses biologi, yangberhubungan dengan pertumbuhan dan diferensiasi sel serta interaksi antar sel (Ross, 1992).

Page 86: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

74│

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan penurunan imunitas tubuh (Ross, 1992), kebutaan, dananemia akibat terganggunya metabolisme zat besi (Semba & Bloem 2002). Konsumsi sayuran yangcukup merupakan salah satu pemecahan dari masalah tersebut. Kandungan nutrisi dalam sayurandiketahui sangat beragam dan tinggi, misalnya pada sayuran berwarna hijau kaya akan vitamin A danzat besi (Yang et al. 2007).

Selain itu, berbagai macam antioksidan juga terkandung dalam sayuran. Vitamin C,karotenoid, flavonoid adalah jenis antioksidan yang banyak terkandung dalam sayuran (Kalt 2005).Peran penting vitamin C antara lain diperlukan dalam pembentukan kolagen, gigi, tulang, dan sel-selkapiler, sebagai antioksidan dan meningkatkan penyerapan zat besi (Fe), terutama zat besi yangtersedia dalam bentuk ‘non-haeme’ yang terkandung dalam daging, ikan, sayuran, buah, biji-bijian dankacang-kacangan.

Pekarangan merupakan areal di sekitar rumah yang dapat dijadikan sebagai area bermainanggota keluraga disamping sebagai kebun maupun tanaman penghias rumah. Sayuran merupakantanaman yang sesuai ditanam baik di dalam pot maupun pada lahan sempit. Pemanfaatan pekaranganuntuk berkebun sayur dapat meningkatkan keadaan gizi keluarga, bahkan pendapatan. Pilihan jenissayuran sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan.Penelitian ini bertujuan untuk menguji kandungan zat besi, vitamin A, dan antioksidan pada 53 asesisayuran yang banyak ditanam dipekarangan. Informasi kandungan nutrisi dari hasil pengujian inidiharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menanam sayuran di pekarangan,meningkatkan konsumsi sayuran dalam diet kesehariannya, serta dapat menjadi acuan dalammenentukan jenis sayuran yang akan dikonsumsi dalam menu sehari-hari.

BAHAN DAN METODA

Pengujian ini menggunakan bahan 13 jenis sayuran, yang terdiri atas 53 aksesi, yang biasaditanam di pekarangan (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar sayuran bahan pengujian

No. Jenis sayuranJumlahasesi

Bagian yang dianalisis

1. Tomat (Lycopersicon esculentum) 9 Buah matang2. Bayam (Amaranthus sp.) 27 Daun + pucuk muda3. Kangkung (Ipomoea sp.) 3 Daun + pucuk muda

4. Basela (Basela sp.) 3 Pucuk muda

5. Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) 3 Polong muda6. Okra (Abelmolchus esculentus) 1 Polong muda

7. Katuk (Sauropus androgynus) 1 Daun + pucuk muda8. Rosela (Hibiscus sabdariffa) 1 Pucuk muda

9. Paria (Momordica charantia) 1 Buah muda10. Leunca (Solanum nigrum) 1 Buah hijau dan daun

11. Labu siam hijau (Sechium edule) 1 Buah konsumsi

12. Labu siam putih (Sechium edule) 1 Buah konsumsi13. Labu besar (Cucurbita moschata) 1 Buah konsumsi

Sampel pengujian diambil dari tanaman yang ditanam di Kebun Percobaan Margahayu BalaiPenelitian Tanaman Sayuran, adapun pengujian kandungan Fe, Vitamin A, dan aktivitas antioksidandilakukan di laboratorium Fisiologi Hasil, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, dari Agustus2010 sampai April 2011. Pengujian dilakukan berdasarkan metode AAS (Atomic AbsorptionSpectrophotometer) untuk penentuan kandungan Fe, metode HPLC (High Pressure Liquid

Page 87: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│75

Chromatography) dalam penentuan vitamin A, dan metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhydrazyl)dalam penentuan aktivitas antioksidan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan zat besi, vitamin A, dan aktivitas antioksidan yang diperoleh dari pengujian inisangat bervariasi, baik antar jenis sayuran maupun antar asesi dalam jenis sayuran yang sama.

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa persentase bahan kering pada sayuran daun (bayam, katuk,kangkung, basela,dan daun leunca) lebih tinggi daripada bahan kering pada sayuran buah (tomat,paria, buah leunca, labu siam, dan labu besar), kecuali okra. Kandungan zat besi pada bayam beragamantar asesi yang diuji, berkisar dari 0,213 sampai 0,410 mg/g DW. Keragaman kandungan zat besijuga dilaporkan oleh Srivastasa (2011) pada berbagai beberapa spesies bayam budidaya dan bayamliar. Asesi sayuran lainnya juga memiliki kandungan zat besi yang tinggi. Pada tomat berkisar antara0,121 dan 0,227 mg/gDW. Bahkan pada dua asesi, yaitu Kecipir-3 dan Paria Lokal kandungan zatbesinya mencapai 0,670 mg/gDW dan 0,950 mg/gDW, meskipun persentase bahan kering masing-masing termasuk rendah. Adapun kandungan zat besi pada labu siam (hijau dan putih) dan labu besartermasuk rendah. Kandungan vitamin C dan zat besi dipengaruhi oleh metode budidaya yangdilakukan dan media tumbuh yang digunakan (Premuzic et al. 1998).

Tabel 2. Bahan kering dan kandungan zat besi pada 53 asesi sayuran (Dry matter and iron content in53 vegetable accessions)

No Asesi (Accession)

Bahankering(Dray

matter)(%)

Fe(mg/gDW)

No Asesi (Accession)

Bahankering(Dray

matter)(%)

Fe(mg/gDW)

1. Tomat CH154 8,61 0,227 28. Bayam TOT 8192 15,14 0,3512. Tomat CLN13/46 4,82 0,146 29. Bayam TOT 8211 16,20 0,2833. Tomat CLN2026D 4,57 0,135 30. Bayam TOT 8251 16,70 0,2734. Tomat CLN2123A 4,41 0,156 31. Bayam TOT 8269 16,60 0,2305. Tomat CLN2071C 6,19 0,164 32. Bayam TOT 8272 19,37 0,2396. Tomat CLN5915 5,11 0,165 33. Bayam TOT 8281 16,18 0,2137. Tomat CLN2070A 5,43 0,168 34. Bayam TOT 8299 17,18 0,2688. Tomat Lokal 1 10,14 0,121 35. Bayam TOT 8309 18,57 0,2869. Tomat Lokal 2 5,25 0,227 36. Bayam lokal 19,32 0,32810. Bayam TOT 1807 17,54 0,335 37. Okra TOT 3886 19,56 0,10511. Bayam TOT 1810 19,63 0,264 38. Rosela TOT 4736 10,38 0,16512. Bayam TOT 2261 16,88 0,267 39. Katuk 20,05 0,14513. Bayam TOT 2263 15,95 0,339 40. Kangkung-1 13,46 0,14614. Bayam TOT 2272 14,03 0,321 41. Kangkung-2 13,35 0,15415. Bayam TOT 2337 13,80 0,257 42. Kangkung-3 16,21 0,14416. Bayam TOT 2353 20,82 0,309 43. Kecipir -1 7,94 0,13317. Bayam TOT 4096 16,62 0,339 44. Kecipir -2 6,79 0,14418. Bayam TOT 4510 16,44 0,410 45. Kecipir -3 8,79 0,67019. Bayam TOT 4545 15,41 0,246 46. Basela- TOT 3578 10,12 0,14620. Bayam TOT 4685A 14,47 0,215 47. Basela- TOT 1586 9,87 0,23021. Bayam TOT 4685B 16,17 0,247 48. Basela-3 8,36 0,12822. Bayam TOT 4896 11,41 0,226 49. Paria, lokal 5,64 0,95023. Bayam TOT 5472 11,62 0,247 50. a. Leunca (daun) 17,15 0,27524. Bayam TOT 5473 12,82 0,232 b. Leunca (buah) 11,36 0,11325. Bayam TOT 8097 15,58 0,345 51. Labu Siam Hijau 6,30 0,06826. Bayam TOT 8139 16,02 0,304 52. Labu Siam Putih 5,70 0,01127. Bayam TOT 8168 14,47 0,319 53. Labu besar 8,02 0,031

Pengujian menggunakan metode HPLC ternyata tidak dapat mendeteksi keberadaankandungan vitamin A pada sebagian besar aksesi sayuran (Tabel 3). Dari keseluruhan asesi yangterdeteksi, kandungan vitamin A yang tinggi diperoleh pada beberapa asesi bayam. Adapun penelitian

Page 88: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

76│

Birnin-Yaurin et al. (2011) mengungkapkan tingginya kandungan vitamin A pada tomat dan bayamyang ditanam baik pada musim kemarau maupun musim hujan.

Tabel 3. Kandungan vitamin A pada 53 asesi sayuran (Vitamin A content in 53 vegetableaccessions)

No Asesi (Accession) Vit A (IU) No Asesi (Accession) Vit A (IU)1. Tomat CH154 2,1998 28. Bayam TOT 8192 ND

2. Tomat CLN13/46 43,6623 29. Bayam TOT 8211 ND

3. Tomat CLN2026D ND 30. Bayam TOT 8251 ND

4. Tomat CLN2123A 4,7662 31. Bayam TOT 8269 ND

5. Tomat CLN2071C ND 32. Bayam TOT 8272 83,3250

6. Tomat CLN5915 11,5322 33. Bayam TOT 8281 ND

7. Tomat CLN2070A 25,7974 34. Bayam TOT 8299 ND

8. Tomat Lokal 1 ND 35. Bayam TOT 8309 ND

9. Tomat Lokal 2 2,8164 36. Bayam lokal ND

10. Bayam TOT 1807 103,3230 37. Okra TOT 3886 13,9986

11. Bayam TOT 1810 113,3220 38. Rosela TOT 4736 59,3274

12. Bayam TOT 2261 ND 39. Katuk ND

13. Bayam TOT 2263 314,6352 40. Kangkung-1 73,3260

14. Bayam TOT 2272 380,2950 41. Kangkung-2 15,9984

15. Bayam TOT 2337 299,3030 42. Kangkung-3 53,3280

16. Bayam TOT 2353 497,6170 43. Kecipir -1 ND

17. Bayam TOT 4096 ND 44. Kecipir -2 ND

18. Bayam TOT 4510 ND 45. Kecipir -3 2,0000

19. Bayam TOT 4545 ND 46. Basela- TOT 3578 3,0000

20. Bayam TOT 4685A ND 47. Basela- TOT 1586 17,9982

21. Bayam TOT 4685B ND 48. Basela-3 17,4825

22. Bayam TOT 4896 ND 49. Pare, lokal 75,9924

23. Bayam TOT 5472 ND 50. a. Leunca (daun) 3,9996

24. Bayam TOT 5473 ND b. Leunca (buah) 56,6610

25. Bayam TOT 8097 ND 51. Labu Siam Hijau 6,6660

26. Bayam TOT 8139 ND 52. Labu Siam Putih ND

27. Bayam TOT 8168 ND 53. Labu besar 2,3660

Keragaman aktivitas antioksidan yang diuji berdasarkan DPPH scavenging muncul dalampengujian ini (Tabel 4). Semua asesi sayuran memiliki aktivitas antioksidan dalam bentuk % inhibisiyang tinggi, kecuali pada bayam TOT 4685 yang tidak terdeteksi. Hasil pengujian yang dilakukanAndarwulan et al. (2010) juga memperlihatkan aktivitas antioksidan yang tinggi pada beberapa jenissayuran lokal Indonesia, termasuk daun katuk.

Page 89: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│77

Tabel 3. Kandungan antioksidan pada 53 asesi sayuran (Antioxidant content in 53 vegetableaccessions)

No Asesi (Accession) % Inhibisi

50%Inhibisi

mg/100ml

No Asesi (Accession) % Inhibisi

50%Inhibisi(mg/100

ml)1. Tomat CH154 52,15-98,64 41,72 28. Bayam TOT 8192 25,52-97,70 126,88

2. Tomat CLN13/46 50,17-96,11 40,14 29.Bayam TOT 8211

31,11-96,08 68,9

3. Tomat CLN2026D 64,08-96,12 51,26 30.Bayam TOT 8251

25,36-95,02 127,14

4. Tomat CLN2123A 53,41-97-61 42,73 31. Bayam TOT 8269 32,24-94,63 68,01

5. Tomat CLN2071C 36,64-97,01 68,61 32.Bayam TOT 8272

25,12-96,24 127,24

6. Tomat CLN5915 56,35-96,73 45,08 33. Bayam TOT 8281 25,89-94,06 126,45

7. Tomat CLN2070A 58,45-97,86 46,76 34.Bayam TOT 8299

23,27-25,89 127,27

8. Tomat Lokal 1 52,03-99,05 41,62 35. Bayam TOT 8309 21,55-93,73 127,22

9. Tomat Lokal 2 60,10-99,21 48,08 36. Bayam lokal 26,82-95,74 126,30

10. Bayam TOT 1807 29,44-93,74 126,26 37. Okra TOT 3886 41,30-95,36 188,98

11.Bayam TOT 1810

35,44-98,33 67,25 38. Rosela TOT 4736 54,14-77,78 21,66

12. Bayam TOT 2261 38,10-96-84 66,96 39. Katuk 60,66-95,78 48,53

13.Bayam TOT 2263

28,25-97-96 126,01 40. Kangkung-1 85,51-95,45 76,36

14. Bayam TOT 2272 26,22-90,41 126,69 41. Kangkung-2 96,05-97,51 76,84

15.Bayam TOT 2337

24,21-96,26 127,11 42. Kangkung-3 95,82-96,24 76,99

16.Bayam TOT 2353

35,43-93,90 67,92 43. Kecipir -1 95,09-95,73 138,57

17. Bayam TOT 4096 19,24-92,59 127,66 44. Kecipir -2 95,14-96,91 138,61

18.Bayam TOT 4510

36,93-97,41 66,26 45. Kecipir -3 95,38-96,04 138,80

19. Bayam TOT 4545 26,11-97,77 126,21 46. Basela- TOT 3578 34,92-96,37 68,41

20.Bayam TOT 4685A

- 250,39 47. Basela- TOT 1586 36,45-93,23 67,12

21. Bayam TOT 4685B 26,72-95,41 126,45 48. Basela-3 26,15-83,43 126,54

22.Bayam TOT 4896

50,00-94,56 62,5 49. Paria lokal 11,53-95,39 251,64

23.Bayam TOT 5472

17,90-94,98 128,73 50. a. Leunca (daun) 93,79-98,81 75,03

24. Bayam TOT 5473 20,97-94,92 128,35 b. Leunca (buah) 94,46-96,39 75,57

25.Bayam TOT 8097

30,62-99,56 68,92 51. Labu Siam Hijau 36,34-92,98 127,90

26. Bayam TOT 8139 65,77-96,17 52,62 52. Labu Siam Putih 39,95-94,22 127,38

27.Bayam TOT 8168

28,05-97,06 126,12 53. Labu besar 9,34-90,17 500,70

Aktivitas antioksidan pada sampel yang diuji dapat berbeda-beda sesuai metode pengujianyang dilakukan (Hassimoto et al. 2005). Kalt (2005) menyebutkan bahwa kandungan antioksidandalam sayuran dan buah, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh faktorlingkungan, teknik budidaya, penyimpanan pasca panen, dan proses pengolahan.

KESIMPULAN

Uji kandungan zat besi (Fe), Vitamin A dan antioksidan dilakukan terhadap 53 aksesi sayuranyang biasa ditanam di pekarangan, yaitu 9 aksesi tomat, 27 aksesi bayam, masing masing 3 aksesikangkung, basela, dan kecipir, serta masing masing 1 aksesi okra, katuk, rosela, pare, leunca, labu

Page 90: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

78│

siam hijau dan putih, serta labu besar. Berdasarkan metode AAS untuk penentuan kandungan Fe,metode HPLC dalam penentuan vitamin A dan metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhydrazyl) dalampenentuan antioksidan diperoleh informasi bahwa kandungan Fe diantara aksesi tomat, bayam,kangkung, kecipir dan basela masing masing berkisar dari 0,12 – 0,22; 0,21 – 0,41; 0,14 – 0,15; 0,13 –0,67; 0,13 – 0,23 mg/g bahan kering. Untuk vitamin A berturut turut: 2,20 – 43,66; tidak terdeteksi –497,6; 15,99 – 73,33; tidak terdeteksi – 3,0; 3,0 – 17,99 IU. Sedangkan aktivitas antioksidan yangtinggi berdasarkan nilai inhibisi terhadap DPPH terdapat pada semua aksesi tomat, aksesi bayam TOT1810, TOT 2261, TOT 2353, TOT 4510, TOT 4896, TOT 8097, TOT 8139, TOT 8211, TOT 8269,semua aksesi kangkung, basela TOT 3578 dan TOT 1586, daun serta buah leunca.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pengujian ini dapat terlaksana atas bantuan proyek TECRO AIT tahun 2010 dan 2011. Terimakasih disampaikan kepada Dr. Andreas Ebert, Direktur GRSU, AVRDC, Taiwan.

PUSTAKA

1. Andarwulan N, R Batari, D.A. Sandrasari, B. Bolling, & H. Wijaya. 2010. ‘Flavonoid contentand antioxidant activity of vegetables from Indonesia’. Food Chemistry 121:1231-1235.

2. Birnin-Yauri, U.A., Y. Yahaya, B.U. Bagudo, & S.S. Noma. 2011. ‘Seasonal variation in nutrientcontent of some selected vegetables from Wamakko, Sokoto State, Nigeria’. Journal of SoilScience and Environmental Management, 2(4): 117-125.

3. E-Siong, T. 1995. ‘The medical importance of vitamin A and carotenoids (with particularreference to developing countries) and their determination’. Mal J Nutr 1: 179-230.

4. Hassimoto N.M A., M.I. Genovese, & F.M Lajolo. 2005. ‘Antioxidant cctivity of dietaryfruits,vegetables,and commercial frozenf pulps’. J. Agric Food Chem 53(8): 2928-2935.

5. Joy, P. P., J. Thomas, S. Mathew, & B. P. Skaria. 1998. ‘Medical plants’. Kerala AgriculturalUniversity, Aromatic and Medicinal Plant Research Satation, Kerala-India. 211 pages.

6. Kalt, W. 2005. ‘Effects of production and processing factors on major fruit and vegetableantioxidants’. Journal of Food Science. Vol 7(1): 11-19.

7. Premuzic, Z., M. Bargiela, A. Garcia, A. Rendina, & A. Iorio. 1998. ‘Calcium, iron, potassium,phosphorus, and vitamin C content of organic and hydroponic tomatoes’. HortScience 33(2): 255-257.

8. Rai, M., G. Biswas, S. Chatterjee, S.C. Mandal, & K. Acharya. 2009. ‘Evaluation of antioxidantand nitric oxide synthase activation properties of Armillaria mellea Quell’. E Journal ofBiological Sciences, 1 (1): 39-45.

9. Ross, C. 1992. ‘Vitamin A status: Relationship to immunity and antibody response’. P.S.E.B.M.,Vol 200: 302-320.

10. Semba, R.D. & M.W. Bloem. 2002. ‘The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology andpathogenesis’. European Journal of Clinical Nutrition, 56(4): 271-281.

11. Srivastava, R. 2011. ‘Nutritional quality of some culivated and wild species of Amaranthus L’.IJPSR 2(12): 3152-3156.

12. Yang, R. Y., P. M. Hanson, & T. A. Lumpkin. 2007. ‘Better health through horticulture –AVRDC’s approach to improved nutrition of the poor’. Proc. In IS on Hum. Health Effects of F& V. Ed.: Y. Desjardins. ActaHort. 744, ISHS. Hal. 71-78.

Page 91: Prosiding BUKU 1

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan SumateraNasution, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

79│

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan Sumatera

Nasution, TUPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI Cipanas, Cianjur 43253

E-mail: [email protected]

ABSTRAK. Salah satu tugas pokok Kebun Raya Cibodas adalah sebagai lembaga konservasi eks situ. Kegiataneksplorasi flora dilakukan untuk mendukung tupoksi institusi. Pemilihan lokasi di kawasan pegununganSumatera didasarkan pada keragaman floranya yang tinggi, kondisi iklim, dan kesesuaian habitat dengan KebunRaya Cibodas. Kegiatan eksplorasi flora bertujuan mengoleksi tumbuhan langka dan berpotensi. Metode surveidilakukan dengan melakukan penjelajahan dalam lokasi. Dikoleksi tumbuhan langka dan berpotensi sebagaipangan, obat-obatan, penghasil kayu, dan tanaman hias di 7 lokasi kegiatan. Potensi flora terbesar dari kegiataneksplorasi adalah sebagai tanaman hias. Jenis-jenis yang berpotensi sebagai tanaman hias yaitu jenis-jenisanggrek (Orchidaceae), Rhododendron spp., Begonia spp., Vaccinium spp., Impatiens spp., Nepenthes spp.,Aeschynanthus spp., Medinilla spp., Ardisia spp., Cyathea spp., Pandanus spp. Koleksi tumbuhan berpotensihias dengan jumlah terbanyak dari Suku Orchidaceae.

Katakunci: Potensi; Tanaman hias; Pegunungan; Sumatera

ABSTRACT. Nasution, T. 2013. Ornamental Plants Potency in Sumatera Mountains. One of the CibodasBotanic Garden main tasks is as ex-situ conservation institution. Flora exploration activities conducted tosupport this duty. Site selection in the Sumatra mountains are based on a high diversity of flora, climaticconditions and habitat suitability with Cibodas Botanic Garden. Flora exploration activities aim to collectpotential and rare plants. Survey method was conducted by exploring inside the area. Had been collected rareand potential plants as food, medicines, timber, and ornamental plants in seven locations of activities. Thehighest potency of flora collection is as an ornamental plant. The potential species as ornamental plants areorchids (Orchidaceae), Rhododendron spp., Begonia spp., Vaccinium spp., Impatiens spp., Nepenthes spp.,Aeschynanthus spp., Medinilla spp., Ardisia spp., Cyathea spp., and Pandanus spp. The highest number of plantcollection is Orchidaceae family.

Keywords: Potency; Ornamental plant; Mountains; Sumatra

Kebun Raya Cibodas merupakan unit pelaksana teknis balai konservasi tumbuhan di bawahKedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Salah satu tugaspokoknya sebagai lembaga konservasi eks situ flora dataran tinggi basah. Kegiatan eksplorasi floradilakukan untuk mendukung tupoksi tersebut. Sesuai dengan SK Kepala LIPI Nomor 1017/M/2002bahwa Kebun Raya Cibodas bertugas melakukan kegiatan eksplorasi flora. Kebun Raya Cibodas telahmengoleksi 5872 spesimen tumbuhan yang terbagi ke dalam koleksi kebun, paku-pakuan dan tamanGesneriace. Spesimen lainnya berupa kekayaan kebun non koleksi berupa anggrek, kaktus dansukulen. Tumbuhan yang dikoleksi merupakan tumbuhan langka dan berpotensi sebagai pangan, obat-obatan, kayu, dan tanaman hias. Jenis-jenis introduksi dari luar negeri masih cukup dominan sehinggaperlu dilakukan kegiatan eksplorasi flora untuk menambah jenis-jenis tumbuhan asli Indonesia.Kegiatan eksplorasi flora Kebun Raya Cibodas mencakup kawasan dataran tinggi basah Indonesiabagian barat. Kegiatan difokuskan di dataran tinggi dan pegunungan Sumatera karena kawasan inimemiliki keunikan ekosistem dan kekayaan flora yang tinggi. Hutan pegunungan tropis termasukhutan pegunungan Sumatera memiliki kekayaan komunitas tumbuhan yang lebih besar dibandingkandaerah lainnya di dunia (Whitten et al. 1997). Pertimbangan lainnya karena kemiripan kondisi iklimdengan Kebun Raya Cibodas yang terletak di lereng Gunung Gede Pangerango. Laju kerusakan hutanyang tinggi di Pulau Sumatera mengancam kelestarian jenis tumbuhan dan ekosistemnya. LAPAN(2005) menyatakan jika laju deforestasi di Sumatera tidak dihentikan maka hutan Sumatera akan habispada tahun 2015.

Jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman hias sangat melimpah di kawasanSumatera. Menurut Sleumer (1966) terdapat 26 jenis Rhododendron yang 19 di antaranya endemikSumatera. Jenis-jenis Nepenthes juga sangat melimpah di pulau ini dan menempati urutan kedua

Page 92: Prosiding BUKU 1

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan SumateraNasution, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

80│

setelah Borneo. Sebanyak 29 jenis Nepenthes ditemukan di Sumatera (Mansur 2006). Habitat sebagianbesar jenis Nepenthes berada di pegunungan antara 1500-2500 m dpl (Cheek & Jebb 2001). Jenis lainyang berpotensi sebagai tanaman hias adalah Impatiens spp. (Balsaminaceae). Sumatera jugamenyimpan potensi jenis Impatiens yang sangat besar. Tercatat 29 jenis Impatiens dideskripsi di pulauini (Grey-Wilson 1989). Jenis-jenis baru Impatiens masih ditemukan di kawasan ini, antara lain I.tujuhensis Utami & Shimizu, I. batanggadisensis Utami dan I. sorikensis Utami (Shimizu & Utami1997, Utami 2005). Dari hasil penelitian beberapa lokasi di Sumatera diperoleh 25 jenis dari berbagailokasi dan 9 jenis di antaranya berpotensi sebagai tanaman hias (Utami 2006). Begonia jugamerupakan jenis yang cukup melimpah di Sumatera. Hughes et al. (2009) mendeskripsi 7 jenis barudari 45 jenis yang sudah ditemukan sebelumnya di pulau ini.

Kegiatan Eksplorasi bertujuan mengoleksi tumbuhan langka dan berpotensi pangan, obat-obatan, penghasil kayu, dan tanaman hias. Potensi terbesar dari tumbuhan yang dikoleksi adalahsebagai tanaman hias. Potensi ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan keragamankomoditas tanaman hias yang berbasis sumberdaya lokal Indonesia. Tanaman hias yangdibudidayakan saat ini umumnya masih didominasi oleh jenis-jenis asing (introduksi). Padahal potensitanaman hias dari tumbuhan asli Indonesia sangat melimpah termasuk di pegunungan, salah satunya dipegunungan Sumatra. Hasil kegiatan diharapkan menjadi pertimbangan jenis-jenis tumbuhan hiaspegunungan yang berpotensi sebagai komoditi tanaman hias.

BAHAN DAN METODELokasi dan waktu

Data diperoleh dari pengamatan lapangan dan studi pustaka dari laporan teknis kegiataneksplorasi. Kegiatan lapangan dilakukan di 2 lokasi di Provinsi Sumatera Barat, yaitu: (1) GunungMarapi, Cagar Alam Gunung Marapi, Provinsi Sumatera Barat yang dilaksanakan pada tanggal 4 - 23Mei 2011, (2) Gunung Singgalang, Cagar Alam Singgalang Tandikat, Provinsi Sumatera Barat yangdilaksanakan pada tanggal 5–24 Mei 2010.

Data lain diperoleh dari studi pustaka di Perpustakaan Kebun Raya Cibodas, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia pada bulan Mei-Juni 2012 berupa laporan teknis kegiatan eksplorasi di lokasisebagai berikut: (1) Danau Gunung Tujuh Jambi dan Sungai Manau Sumatera Barat, Taman NasionalKerinci Seblat pada tahun 2000, (2) Gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh, Taman NasionalKerinci Seblat tahun 200, (3) Resort Kebun Baru, Resort Tanjung Genting, dan Danau Kerinci, TamanNasional Kerinci Seblat tahun 2005, (4) Gunung Kunyit dan Danau Gunung Tujuh, Taman NasionalKerinci Seblat tahun 2008, (5) Gunung Kappi dan Gunung Kemiri, Taman Nasional Gunung Leusertahun 2009.

METODE

Kegiatan eksplorasi flora dilakukan dengan metode survey dengan melakukan penjelajahandalam lokasi penelitian. Semua jenis tumbuhan berpotensi dicatat dan dikoleksi serta dilengkapidengan data mikrohabitat. Jenis-jenis yang belum teridentifikasi dibuat spesimen herbariumnya untukidentifikasi lebih lanjut. Kegiatan lain yang dilakukan berupa analisis vegetasi di lokasi penelitian.Tujuannya untuk menggambarkan komposisi vegetasi di lokasi tersebut. Penentuan potensi sebagaitanaman hias didasarkan pada informasi penduduk lokal, morfologi tumbuhan yang dikoleksi, danstudi pustaka. Jenis yang memiliki kekerabatan dengan tanaman hias yang telah dibudidayakan didatasebagai tumbuhan berpotensi hias. Data eksplorasi diperoleh dari kegiatan lapangan pada tahun 2010dan 2011 serta studi pustaka dari laporan teknis kegiatan eksplorasi pegunungan Sumatera tahun 2000,2002, 2005, 2008, dan 2009. Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dangrafik.

Page 93: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│81

HASIL DAN PEMBAHASANLokasi penelitian merupakan kawasan konservasi berstatus taman nasional dan cagar alam dengankondisi hutan yang relatif masih bagus. Jumlah koleksi terbanyak pada tahun 2000 di Danau GunungTujuh dan Sungai Manau Taman Nasional Kerinci Seblat (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah koleksi dan suku berpotensi sebagai tanaman hias di Pulau Sumatera

Lokasi Tahun Jumlahkoleksi Suku berpotensi hias Sumber

Danau Gunung TujuhJambi dan Sungai ManauSumatera Barat TamanNasional Kerinci Seblat

2000 215 Apocynaceae, Araceae, Arecaceae, Aspleniaceae,Balsaminaceae, Begoniaceae, Cyatheaceae,Cyperaceae, Gesneriaceae, Hypoxidaceae,Liliaceae, Marantaceae, Melastomataceae,Myrsinaceae, Nepenthaceae, Oleandraceae,Orchidaceae, Pandanaceae, Poaceae,Polypodiaceae, Pteridaceae, Rubiaceae,Selaginellaceae, Zingiberaceae

Purwantoro et al.2000

Gunung Kerinci danDanau Gunung TujuhTaman Nasional KerinciSeblat

2001 184 Apocynaceae, Araceae, Asteraceae,Balsaminaceae, Begoniaceae, Berberidaceae,Cannaceae, Ericaceae, Melastomataceae,Myrsinaceae, Nepenthaceae, Orchidaceae,Ranunculaceae, Rubiaceae, Vacciniaceae

Purwantoro et al.2001

Resort Kebun Baru,Resort Tanjung Genting,dan Danau Kerinci TamanNasional Kerinci Seblat

2005 155 Amarylidaceae, Araceae, Arecaceae,Aspleniaceae, Asteraceae, Balsaminaceae,Begoniaceae, Cyatheaceae, Ericaceae,Gesneriaceae, Halogranaceae, Melastomataceae,Myrsinaceae, Orchidaceae, Poaceaae,Polypodiaceae, Ranunculaceae, Rosaceae,Rubiaceae, Thelypteridaceae

Suhatman et al.2005

Gunung Kunyit danDanau Gunung TujuhTaman Nasional KerinciSeblat

2008 182 Araceae, Aspleniaceae, Balsaminaceae,Begoniaceae, Ericaceae, Gesneriaceae,Lycopodiaceae, Melastomataceae, Nepenthaceae,Orchidaceae, Polypodiaceae, Rubiaceae,Selaginellaceae

Rahman et al.2008

Gunung Kappi danGunung Kemiri TamanNasional Gunung Leuser

2009 153 Adiantaceae, Agavaceae, Araceae,Asclepiadaceae, Aspleniaceae, Balsaminaceae,Begoniaceae, Caesalpiniaceae, Dryopteridaceae,Ericaceae, Gesneriaceae, Lycopodiaceae,Melastomataceae, Orchidaceae, Selaginellaceae,Taccaceae, Verbenaceae

Rahman et al.2009

Cagar Alam GunungSinggalang Tandikat,Provinsi Sumatera Barat

2010 160 Araceae, Arecaceae, Balsaminaceae, Asteraceae,Balsaminaceae, Begoniaceae, Cyatheaceae,Cyperaceae, Ericaceae, Fabaceae, Gentianaceae,Gesneriaceae, Gunneraceae, Hypnodendraceae,Liliaceae, Lobeliaceae, Lycopodiaceae,Melastomataceae, Myrsinaceae, Myrtaceae,Nepenthaceae, Ophioglossaceae, Orthotrichaceae,Pandanaceae, Polypodiaceae, Ranunculaceae,Rosaceae, Rubiaceae, Selaginellaceae, Urticaceae

Nasution et al.2010

Cagar Alam GunungMarapi, ProvinsiSumatera Barat

2011 151 Araceae, Arecaceae, Asteraceae, Balsaminaceae,Begoniaceae, Blechnaceae, Cyatheaceae,Ericaceae, Gesneriaceae, Gunneraceae,Hydrangeaceae, Lobeliaceae, Melastomataceae,Moraceae, Myrsinaceae, Osmundaceae,Pandanaceae, Rosaceae, Rubiaceae, Urticaceae

Nasution et al.2011

Sebanyak 215 nomor yang dikoleksi di tahun 2000, tumbuhan berpotensi sebagai tanaman hiassebanyak 145 nomor koleksi atau sekitar 67,44% (Gambar 1). Pada tahun 2008 di Gunung Kunyit danDanau Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat angka yang diperoleh lebih tinggi mencapai

Page 94: Prosiding BUKU 1

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan SumateraNasution, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

82│

69,23%. Hal ini menunjukkan tumbuhan berpotensi sebagai tanaman hias cukup dominan dikoleksidalam kegiatan eksplorasi.

Koleksi tumbuhan berpotensi hias didominasi oleh jenis-jenis anggrek dari Suku Orchidaceae(Gambar 2). Sebanyak 40 marga anggrek dikoleksi dari 7 kali perjalanan. Jenis yang banyak dikoleksiyaitu Dendrochilum sp. sebanyak 12 nomor, Epigeneium spp. sebanyak 15 nomor, Bulbophyllum spp.sebanyak 20 nomor, Dendrobium spp. sebanyak 26 nomor, dan yang terbanyak Eria spp. sebanyak 40nomor. Suku dengan jumlah koleksi terbanyak di setiap kegiatan ialah Suku Orchidaceae (Tabel 2).Anggrek merupakan salah satu komoditas hortikultura bernilai tinggi. Jenis-jenis anggrek alampegunungan memiliki karakteristik bunga yang tidak terlalu mencolok dan berukuran kecil. Beberapajenis memiliki bunga yang berwarna dan bentuk yang menarik sehingga cocok sebagai tanaman hias.Jenis-jenis anggrek alam juga dapat dijadikan bahan silangan dengan anggrek yang sudahdibudidayakan. Jenis anggrek berbunga indah diantaranya Paphiopedillum spp. dan Coelogyne spp.Selain anggrek epifit dikoleksi anggrek tanah yang juga memiliki bunga yang indah, misalnyaCalanthe spp., Phaius spp., dan Spathoglottis aurea Lindl. Anggrek tanah yang memiliki warna dancorak daun yang indah seperti Goodyera spp. Koleksi anggrek tidak terdapat pada kegiatan tahun2011 di lokasi Gunung Marapi, Sumatera Barat karena adanya larangan pengoleksian dari BKSDASumatera Barat. Secara umum dari 6 kegiatan lainnya jenis anggrek menempati jumlah koleksiterbanyak untuk tumbuhan berpotensi hias.

Gambar 1 Jumlah koleksi tumbuhan berpotensi hias hasil kegiatan eksplorasi di Pulau Sumatera padatahun 2000-2011

Gambar 2 Perbandingan antara jumlah koleksi tumbuhan berpotensi hias jenis-jenis anggrek dan nonanggrek

Page 95: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│83

Koleksi Suku Ericaceae mendominasi 7 lokasi. Salah satu jenis yang cukup potensialdikembangkan sebagai tanaman hias adalah Rhododendron spp. Jenis-jenis Rhododendron beragamdan melimpah di pegunungan. Tumbuhan ini memiliki bunga yang indah, baik warna maupunbentuknya. Marga ini ditemukan di semua lokasi. Bunga ini telah lama dikembangkan sebagaitanaman hias, yang umum dikenal sebagai azalea. Jenis-jenis asli sepertiRhododendron javanicum Benn. dan Rhododendron retusum (Blume) Benn. masih belum banyakdikembangkan sehingga perlu dikaji lebih lanjut.

Tabel 2 Jumlah tumbuhan berpotensi hias tiap suku hasil eksplorasiSuku Jumlah Suku Jumlah

Orchidaceae 230 Pteridaceae 3

Ericaceae 87 Apocynaceae 2

Begoniaceae 41 Blechnaceae 2

Gesneriaceae 41 Fabaceae 3

Araceae 26 Lobeliaceae 2

Balsaminaceae 24 Osmundaceae 2

Nepenthaceae 21 Ranunculaceae 2

Melastomataceae 20 Urticaceae 2

Rubiaceae 14 Adiantaceae 1

Cyatheaceae 12 Agavaceae 1

Myrsinaceae 12 Amarylidaceae 1

Arecaceae 8 Berberidaceae 1

Lycopodiaceae 8 Dicksoniaceae 1

Pandanaceae 8 Dryopteridaceae 1

Aspleniaceae 7 Gentianaceae 1

Polypodiaceae 7 Hydrangeaceae 1

Asclepiadaceae 6 Hypnodendraceae 1

Selaginellaceae 6 Hypoxidaceae 1

Asteraceae 5 Marantaceae 1

Cyperaceae 5 Moraceae 1

Ranunculaceae 5 Orthotrichaceae 1

Rosaceae 4 Taccaceae 1

Gunneraceae 3 Thelypteridaceae 1

Liliaceae 3 Verbenaceae 1

Poaceaae 3 Zingiberaceae 1

Pegunungan Sumatera banyak menyimpan potensi tanaman hias selain anggrek. Berdasarkankeindahan warna serta keunikan morfologinya tumbuhan non-anggrek berpotensi hias yang palingbanyak dikoleksi ialah Rhododendron spp. (Tabel 3).

Page 96: Prosiding BUKU 1

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan SumateraNasution, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

84│

Tabel 3. Tumbuhan Non-Anggrek yang berpotensi sebagai tanaman hias di pegunungan SumateraJenis Suku Jumlah

Rhododendron spp. Ericaceae 55Begonia spp. Begoniaceae 41Vaccinium spp. Ericaceae 27Impatiens spp. Balsaminaceae 24Nepenthes spp. Nepenthaceae 21Aeschynanthus spp. Gesneriaceae 20Medinilla spp. Melastomataceae 16Ardisia spp. Myrsinaceae 13Cyathea spp. Cyatheaceae 12Pandanus spp. Pandanaceae 9Asplenium spp. Aspleniaceae 7Alocasia spp. Araceae 6Cyrtandra spp. Gesneriaceae 6Selaginella spp. Selaginellaceae 6Arisaema spp. Araceae 5Pinanga spp. Arecaceae 5Hoya spp. Asclepiadaceae 5Agalmyla sp. Gesneriaceae 5Chirita spp. Gesneriaceae 5Ranunculus spp. Ranunculaceae 5

Rhododendron spp. menempati urutan pertama dengan jumlah koleksi terbanyak sebanyak 55nomor koleksi dan ditemukan di semua lokasi. Jenis ini tumbuh epifit atau teresterial. Rhododendronretusum (Blume) Benn populasinya cukup melimpah. Di Gunung Marapi dan Gunung Singgalangjenis ini sangat dominan dengan habitus beragam, mulai dari semak, perdu sampai pohon kecil. Selaintumbuh teresterial juga tumbuh epifit pada inangnya. Warna bunganya yang merah menyala sangatcocok sebagai tanaman hias. Jenis tumbuhan berbunga yang indah yang banyak dikoleksi adalahImpatiens spp., Aeschynanthus spp., Cyrtandra spp., Hoya spp., Agalmyla spp., Chirita spp., danRanunculus spp.

Salah satu jenis Begonia yang dikoleksi di Gunung Marapi ialah Begonia scottii Tebbitt. Jenisini endemik Sumatera pada ketinggian 1400-1700 m dpl. (Hughes & Girmansyah 2011). Di kawasanini juga ditemukan jenis Begonia longifolia Blume, Begonia muricata Scheidw., dan Begonia isopteraDryand. Ex Sm. Tumbuhan ini umumnya menyukai tempat yang lembab dan ternaungi. Begoniamemiliki bunga yang menarik dengan corak dan bentuk daun yang indah sehingga cocok sebagaitanaman hias.

Kelompok paku-pakuan juga memiliki potensi sebagai tanaman hias. Meskipun tanpa bunga,keindahan batangnya yang menyerupai pohon dan frond yang tersusun roset pada Cyathea spp. sangatcocok sebagai tanaman hias ornamen taman. Asplenium spp. potensial dikembangkan sebagai tanamanhias dalam pot indoor atau outdoor. Paku-pakuan hias lainnya ialah Selaginella spp. Paku ini cocokdijadikan sebagai tanaman hias dalam pot, sebagai border maupun tumbuhan penutup tanah (groundcover). Keistimewaannya terletak pada warna daun yang beranekaragam mulai dari kuning, hijau,merah sampai kebiruan. Jenis-jenis paku-pakuan sangat melimpah di pegunungan karena tumbuhan inimenyukai tempat yang lembab dan basah.

Jenis tumbuhan hias berdasarkan keindahan daunnya antara lain Nepenthes spp. Keindahantumbuhan ini karena keunikan pada modifikasi daun yang berbentuk kantong. Kantong ini berfungsiuntuk menangkap mangsa berupa serangga. Pulau Sumatera kaya akan jenis-jenis endemik Nepenthes.Salah satunya Nepenthes singalana Becc yang dikoleksi di Gunung Singgalang. Jenis-jenis Nepenthesyang dikoleksi di Sumatera antara lain Nepenthes izumiae T. Davis. C. Clark & R. Tamin, Nepenthespectinata Danser, Nepenthes ampullaria Jack, Nepenthes alata Blanco, dan Nepenthes inermis Danser.Tumbuhan lain yang memiliki keindahan daun sebagai tanaman hias ialah Begonia spp., Alocasiaspp., dan Arisaema spp.

Jenis tumbuhan yang memiliki perawakan indah juga cocok sebagai tanaman hias. Selain pakuCyathea spp., jenis lain di daerah pegunungan atau dataran tinggi adalah Vaccinium spp., Ardisia spp.,Pandanus spp., dan Pinanga spp.

Page 97: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│85

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanFlora pegunungan Sumatera menyimpan potensi tanaman hias yang perlu dikembangkan lebih

lanjut. Tumbuhan berpotensi hias yang dikoleksi adalah jenis-jenis anggrek (Orchidaceae),Rhododendron spp., Begonia spp., Vaccinium spp., Impatiens spp., Nepenthes spp., Aeschynanthusspp., Medinilla spp., Ardisia spp., Cyathea spp., Pandanus spp. Orchidaceae merupakan suku denganjumlah koleksi terbanyak.

SaranJenis-jenis tumbuhan asli dataran tinggi basah perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai komoditi

tanaman hias. Penelitian tentang budidaya perlu dilakukan agar populasinya di alam tidak punahakibat eksploitasi berlebihan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim eksplorasi dataran tinggi basah Sumatera,Kebun Raya Indonesia. Kegiatan eksplorasi didanai oleh Proyek DIPA Tematik, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia.

PUSTAKA

1. Cheek, M & Jebb, M 2001, ‘Nepenthaceae’, Flora Malesiana Series I-Seed Plants, vol. 15, pp. 1-157.

2. Grey Wilson, C 1989, A Revision of Sumatran Impatiens, Studies on Balsaminaceae VII’, KewBull., vol. 44, pp. 67-106.

3. Hughes, M & Girmansyah, D 2011, ‘A revision of Begonia Sect. Sphenanthera (Hassk.) Warb.from Sumatra, Gardens,’ Bulletin Singapore , vol. 62, no. 2, pp. 27-39.

4. Hughes, M, Girmansyah, D, Ardi, WH, & Nurainas 2009, ‘Seven new species of Begonia fromSumatra, Gardens,’ Bulletin Singapore, vol. 61, no.1), pp. 2-44.

5. LAPAN 2005, DEPHUT bisa pakai data penginderaan jauh, LAPAN – BPPT, <www.bppt.go.id>.

6. Mansur, M 2006, Nepenthes, Kantong Semar yang unik, Penebar Swadaya, Jakarta.

7. Nasution, T, Kurniawati, F, Destri, Upah, Bahtiar, & Suhandi 2010, Eksplorasi dan penelitianflora Gunung Singgalang, Laporan Teknis, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun RayaCibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cianjur. Jawa Barat.

8. Nasution, T, Iskandar, EAP, Ismaini, L, Nudin, Syamsudin, Suhandi, E, & Hengki 2011,Eksplorasi dan penelitian flora Gunung Marapi, Sumatera Barat, Laporan Teknis, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI, Cianjur,Jawa Barat.

9. Purwantoro, RS, Supardi, S, Latifah, D, Solihin SP, R, Sulaiman, E, & Dadang 2000, Eksplorasiflora di Danau G. Tujuh Jambi dan Sungai Manau, Sumatera Barat Taman Nasional Kerinci-Seblat, Laporan Teknis, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, UPT Balai Pengembangan KebunRaya, Bogor, Jawa Barat.

10. Purwantoro, RS, Hidayat, A, Amiruddin, Susetyo, N, Syamsuddin, & Kosasih, A, 2001,Eksplorasi flora Jambi, Gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci

Page 98: Prosiding BUKU 1

Potensi Tanaman Hias di Pegunungan SumateraNasution, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

86│

Seblat, Laporan Teknis, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, UPT Balai Pengembangan KebunRaya, Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat.

11. Rahman, W, Muttaqien, Z, Mustari, A, Rustandi, Sudrajat, & Jodi, T 2008, eksplorasi floradataran tinggi basah di Taman Nasional Kerinci Seblat: Gunung Kunyit dan Danau GunungTujuh, Laporan Teknis, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia, Cianjur, Jawa Barat.

12. Rahman, W, Iskandar, EAP, Sumartono, Wagino, Iyung, & Supratman, A 2009, Eksplorasi floradataran tinggi basah 2009 di Taman Nasional Gunung Leuser, Laporan Teknis, UPT BalaiKonservasi Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cianjur.

13. Shimizu, T & Utami, N 1997, ‘Three new species of Impatiens (Balsaminaceae) added to floraMalesiana’, Kew Bull., vol. 52, pp. 435-42.

14. Sleumer, H 1966, ‘Ericaceae’ Flora Malesiana ser. I, vol. 6, no. 4, pp. 469-668.

15. Suhatman, A, Destri, Sumartono, Sidik, bin Saroja, I, & Restiadi, M 2005, Eksplorasi danpenelitian flora dataran tinggi basah di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat: Resort KebunBaru, Resort Tanjung Genting dan Danau Kerinci, Laporan Teknis, Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat.

16. Utami, N 2006, ‘Impatiens spp. (Balsaminaceae) endemik di sumatera dan potensinya sebagaitanaman hias’, Biodiversitas. Vol. 7, no. 2, hlm. 135-38

17. Utami, N 2005, ‘Two new species of Impatiens (Balsaminaceae) from Batanggadis National Park,North Sumatra, Indonesia’, Blumea, vol. 50, pp. 443-46.

18. Whitten, T, Damanik, SJ, Anwar, J, & Hisyam, N 1997, The ecology of Sumatra, PeriplusEditions (HK) Ltd.

Page 99: Prosiding BUKU 1

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di IndonesiaHanif, Z dan Ashari, H

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

87│

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di Indonesia

Hanif , Z. dan Ashari, H.Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Jl. Raya Tlekung No.1 Junrejo, Batu 65301

ABSTRAK. Perkembangan komoditi buah-buahan di Indonesia berjalan cukup pesat. Apalagi dilengkapidengan introduksi buah-buahan subtropik dari luar negeri yang ternyata dapat tumbuh dan berproduksi denganbaik dalam kondisi iklim di Indonesia khususnya dataran tinggi. Stroberi yang sebelumnya menjadi buah elitsekarang mudah dijumpai di berbagai pasar domestik. Tanaman stroberi (Fragaria x ananassa) ditanam disebagian besar negara yang beriklim sedang dan di beberapa negara subtropis. Stroberi yang beredar diIndonesia ada puluhan varietas, bahkan semakin menyebar dan buahnya mudah ditemui. Di antara varietastersebut, beberapa menjadi unggulan di daerah sentra. Dalam upaya perbaikan kultivar/varietas yang sudah ada,kegiatan pengkoleksian tanaman stroberi melalui eksplorasi, karakterisasi, pra evaluasi dan seleksikultivar/varietas koleksi plasmanutfah sangat dibutuhkan. Balitjestro mengkoleksi dan mengevaluasi koleksiyang ada di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali untuk dipilih varietas terbaik dan dikembangkan. Saat inisetidaknya terdapat 21 aksesi stroberi yang berkembang di Indonesia dan menjadi koleksi plasma nutfahBalitjestro, beberapa diantaranya adalah Dorit, Chandler, Rosa Linda, Earlibrite, Aerut, California, dan SweetCharlie. Daerah penyebaran stroberi masih terbatas di dataran tinggi yang ada di Jawa, Bali dan Sumatera.Dengan adanya informasi daerah sentra stroberi di Indonesia, program eksplorasi dan pengembangan akan lebihterarah dan terdokumentasi dengan baik.

Katakunci: Plasma nutfah; Stroberi

ABSTRACT. Hanif, Z and Ashari, H. 2013. Distribution of Strawberries (Fragaria x ananassa) inIndonesia. Development of fruit commodities in Indonesia is quite fast. Moreover, it is equipped with theintroduction of subtropical fruits from abroad that can grow and produce well in Indonesia, particularly inclimatic conditions of the highlands. Strawberries, which had been the fruit of the elite, are now easily found inmany domestic markets. Strawberry plants (Fragaria x ananassa) grown in most countries of the temperate andsubtropical regions in several countries. There are many varieties of strawberries in Indonesia and them spreadseven more easily found. Some of these varieties are superior in the central areas. In efforts to improve cultivars /varieties that have already existed, it is required strawberry plant collecting activities through exploration,characterization, pre-evaluation and selection of cultivars / varieties of germ plasm collection. ICSFRI has beencollecting and evaluating the existing strawberry plants in Indonesia, especially those in Java and Bali, to beselected as the best varieties and developed them. This study used survey and direct observation in productioncenters areas and used descriptive analysis. The survey was conducted from January 2008 until 2012 in locationof strawberry production centers in Java, Sumatra and Bali. The area spreads of strawberries are still limited inthe highlands of Java, Sumatra and Bali. The information of strawberries center areas in Indonesia will supportthe exploration and development program that are more focused and well-documented.

Keywords: germplasm, strawberries

Stroberi (Fragaria x ananassa) merupakan tanaman buah potensial. Buah stroberi banyakmengandung bahan fitokimia terutama adalah senyawa fenolik yang bermanfaat bagi kesehatan(Hannum 2004). Stroberi dapat ditumbuhkan pada rentang geografis yang luas dari tropika hinggadaerah artik (Hancock 1999). Sroberi pertama kali ditemukan di Chili, Amerika Latin. Perjalananstroberi Chili, Fragaria chiloensis dari Chili ke Perancis pada tahun 1714 ialah peristiwa palingpenting dalam sejarah stroberi modern (Darrow, 1999). Sekitar 27 varietas beredar di seluruh duniapada tahun 1965 dan menjadi varietas yang sangat penting. Beberapa di antaranya ialah; M. Moutot,Shasta, S. de C. Machiroux yang memiliki ukuran besar. Kita sekarang tahu bahwa tidak mungkin adahanya satu varietas yang ditanam secara universal. Persyaratan hari panjang dan pendek menuntutharus ada beberapa varietas untuk iklim kompleks yang berbeda. Perkembangan produksi stroberidunia tampak pada Tabel 1.

Menurut data FAO pada Tabel 1, produksi stroberi dunia cenderung mengalami kenaikan.Negara produsen stroberi terbesar di dunia (FAO 2010) ialah Amerika (1.292.780 ton), Turki (299.940

Page 100: Prosiding BUKU 1

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di IndonesiaHanif, Z dan Ashari, H

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

88│

ton), Spanyol (275.300 ton), Mesir (238.432 ton), dan Korea Selatan (231.803 ton). Varietas dariAmerika yang berkembang luas di dunia ialah Sweet Charlie, Selva, Osogrande dan Tristar. Danvarietas ini juga menyebar di Indonesia terutama di daerah Ciwidey.

Tabel 1. Produksi Stroberi Dunia (2006-2010)

Negara 2006 2007 2008 2009 2010

Amerika Serikat 1.090.440 1.109.220 1.148.530 1.270.620 1.292.780

Turki 211.127 250.316 261.078 291.996 299.940

Spanyol 330.485 269.139 281.240 263.700 275.300

Mesir 128.349 174.414 200.254 242.776 238.432

Korea Selatan 205.307 203.227 192.296 203.772 231.803

Meksiko 191.843 176.396 207.485 233.041 226.657

Jepang 190.700 191.400 190.700 184.700 177.500

Polandia 193.666 174.578 200.723 198.907 176.911

Jerman 173.230 158.658 150.854 158.563 166.911

Rusia 227.000 230.400 180.000 185.000 165.000

Itali 143.315 160.558 155.583 163.044 153.875

Maroko 112.000 120.000 130.000 355.020 140.600

Total Produksi Dunia 3.973.243 4.001.721 4.136.802 4.596.614 4.366.889

Sumber: FAO STAT

Negara pengimpor terbesar stroberi ialah Kanada (103.073 ton), Jerman (103.673 ton) danPrancis (106.831 ton). Sedangkan perkembangan stroberi di Indonesia belum terekap dengan baik.Data produksi Kementerian Pertanian belum memasukkan stroberi sebagai salah satu tanamanhortikultura.

Badan Pusat Statistik (2012) mencatat, impor stroberi segar Indonesia selama tahun 2011mencapai 210 ton dengan nilai US$ 480.602 atau setara dengan Rp4.325.418.000,- (1 US$ =Rp9.000,-). Pada tahun 2004-2008 Agista (Asosiasi Agrobisnis dan Pariwisata) di Ciwideymengimpor 23 varietas stroberi dengan jumlah 3.808.700 benih dengan rincian sebagai berikut:

Page 101: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│89

Tabel 1. Varietas stroberi yang diimpor dan lokasi tanamnya

Varietas Jumlah Keterangan

Camarosa 214.500Lokasi Penanaman

1. Bedugul (Bali)2. Cugeneng, Cianjur (Jabar)3. Wonosobo (Jateng)4. Cipanas (Jabar)5. Lembang (Bandung)6. Cilemer, Cisarua (Jabar)7. Brastagi, Medan (Sumut)8. NTT9. Batu, Malang (Jatim)10. Bantaeng (Sulsel)11. Purbalingga (Jateng)

Sunset 30.000Selve 80.000Carmine 60.000Pajero 65.000Sweetcharlie 1.064.200Festival 480.000Earlibrite 911.000Cal Giant 85.000Aromas 30.000Diamente 25.000Giavonta 191.000Terry 25.000Adina etc 50.000Collma 25.000Whitney 25.000Chandler 185.000Ozogrande 16.000Rosalinda 10.000Kanaka Peak 794-15 5.000Kanaka Peak 770-506 500Winter down 225.000Icigo 1.000

Jumlah 3.808.700

Dari ke-23 varietas tersebut, Balitjestro sudah mempunyai 8 di antaranya, sedangkan 15 varietaslainnya belum ditemukan. Keberagaman varietas tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.Agista maupun petani tidak bisa mengidentifikasi di lapang, masing-masing dari ke-23 varietas yangada itu. Varietas yang beredar luas di Ciwidey ialah jenis KP (California) dan Earlibrite. Varietas yangsaat ini bertahan di petani ialah varietas yang bernilai ekonomis, sedangkan sisanya terindikasi telahpunah.

Stroberi masuk Indonesia pada tahun 1980-an. Stroberi di Bali pertama kali diperkenalkan padatahun 1983 tepatnya di Dusun Bukit Catu Desa Candi Kuning yang selanjutnya berkembang di tigadusun lainnya yaitu Dusun Bukit Catu, Dusun Pemuteran, dan Dusun Batu Sesa. Stroberi mulaidiusahakan dan dikembangkan secara luas oleh masyarakat sejak tahun 1991 bersamaan dengankeberadaan perusahaan perkebunan PT Bali Berry Farms yang berlokasi di Desa Pancasari (Wandra,2007). Di Indonesia tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian lebihdari 1000 m dpl. (Tohir, 1978) sehingga dapat dikembangkan di Indonesia. Tanaman stroberi diIndonesia dalam setahun dapat berproduksi hingga lima kali, puncak produksi terjadi pada bulan Juli-Agustus tergantung keadaan lingkungan (Sukumalanandana dan Verheij, 1997). Sebaran Stroberi diIndonesia terdapat di daerah tinggi yaitu yang terdapat di pulau Jawa, Sumatera, Bali dan dalam 5tahun ini menyebar pula di daerah Sulawesi serta NTT.

Stroberi dapat tumbuh baik pada jenis tanah berdrainase baik, biasanya pada jenis tanahlempung berpasir yang mempunyai pH sedikit asam sampai netral. Drainase buruk akan menyebabkansistem perakaran rusak, busuk dan munculnya penyakit serta busuk buah. Tanaman ini juga tidakcocok ditanam pada tanah dengan kadar liat tinggi atau tanah yang terlalu berpasir (Gunawan 1996,Soemadi 1997).

Permasalahan stroberi di Indonesia adalah ketersediaan benih berkualitas dan bebas penyakit.Penyediaan benih stroberi selama ini dilakukan secara konvensional dengan menggunakan stolon.Kelemahannya adalah volume perbanyakan relatif lebih sedikit dan tidak bebas penyakit karenainfeksi patogen endogenous yang ditularkan dari tanaman induk. Bibit tertular patogen ini yang

Page 102: Prosiding BUKU 1

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di IndonesiaHanif, Z dan Ashari, H

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

90│

menyebabkan kualitas dan kualitas produksi buah semakin menurun setelah tiga periode penanaman(Zebrowska 2004).

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa setiap varietas yang biasanya tidak baik dalam wilayahtertentu akan berkembang dengan baik bila ditanam menggunakan plasticulture (Nourse, 1999).Penelitian dari Ohio menunjukkan bahwa aplikasi kompos yang terbuat dari cacing tanah limbahmeningkatkan pertumbuhan dan hasil stroberi secara signifikan (Arancon et al. 2004)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode survey dan observasi langsung di daerah-daerah sentraproduksi dan analisis diskriptis. Survey dilaksanakan dari Bulan Januari 2008 sampai dengan April2012 di lokasi daerah sentra produksi stroberi yaitu di Jawa, Sumatera, dan Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jawa BaratProvinsi Jawa Barat menjadi rujukan utama daerah lain dalam pengembangan stroberi. Daerah

sentra yang terkenal ialah Ciwidey, Garut, dan Lembang. Varietas yang berkembang di wilayah iniialah Sweetcharlie, California, Erlybrite, dan Holland. Areal pengembangan stroberi di Ciwideymencapai 184 hektar, sedangkan di Garut mencapai 160 hektar. Stroberi yang menguasai pasarsupermarket ialah stroberi dari Jawa Barat, khususnya dari Garut. Budidaya dengan sistem semiorganik dan organisasi gapoktan yang kuat membuat stroberi Garut mampu bersaing di pasar nasionaldengan rantai pemasaran yang cukup panjang. Stroberi Garut dapat bertahan 1-2 pekan di pasaran.

Gambar 2. Budidaya stroberi di Garut dan stroberi di pengepul siap kemas

Jawa TengahSentra Stroberi di Jawa Tengah yaitu di Purbalingga, Karanganyar, dan Magelang. Varietas

yang berkembang di Jawa tengah yaitu Anna, Nenas, Selva, Tristar, Osogrande, dan Quantum. DiPurbalingga areal tanamnya mencapai 70 hektar dan saat ini (2012) melakukan replanting denganmengimpor dari Australia varietas Osogrande sebanyak 20.000 benih.

Stroberi yang ditanam di Desa Serang ialah kultivar Oso Grande. Kultivar ini juga merupakankultivar introduksi dari California, Amerika Serikat dengan karakteristik ukuran buah sangat besar,

Page 103: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│91

padat, bagian tengah buah bertekstur seperti busa, dan hasil panen tinggi. Teknik budidaya yangditerapkan oleh petani Stroberi ialah sistem penanaman di lahan terbuka (sistem penanaman bedengan)dan di dalam rumah plastik (dalam polybag).

Gambar 2. (kiri) Stroberi di Purbalingga dalam hamparan, (tengah) varietas Osogrande, (kanan)Varietas Quantum

Jawa TimurSentra stroberi di Jawa Timur ada di Batu, Pasuruan, dan Bondowoso dan akhir-akhir ini

dikembangkan pula di Magetan. Di kawasan PTPN XII di Kampung Baru dikembangkan stroberiseluas 5 hektar pada ketinggian 1100 m dpl. Teknologi budidaya yang diterapkan berbasis organik,yaitu pertama kali pengusahaan tanaman ini sesuai paket teknologi anjuran yang kemudian dikelolasecara organik dengan luas bedengan 60 cm, tinggi 60 cm sedang untuk panjang bedengan mengikutipanjang lahan, jarak tanam 20 x 20cm dan jarak antar bedengan 40 cm sehingga populasi per hektar50.000 tanaman. Varietas yang ditanam ada 3 varietas yaitu Sweet Charlie, Holland, dan Chandler.

Pengamanan dari hama/serangga dilakukan dengan memasang jaring di sekeliling pertanamanatau sebagai pagar. Pada ketinggian ini, produksi per hektar mencapai 6.720 kg/ha pada musim hujan,sedang untuk musim kemarau bisa mencapai 7-8 ton bahkan bisa lebih. Sehingga usaha tani padatanaman stroberi dirasakan menguntungkan dimana untuk unit cost-nya Rp.180.000.000,-/ha pertahun, sedang output-nya (panen) pada tahun pertama = 70x2x4x10x Rp 40.000,- = Rp 224.000.000,-sehingga pada tahun pertama B/C rationya = 1,24, untuk pendapatan tahun berikutnya lebih besar,karena karena bibit stroberi sudah tidak membeli sehingga unit biayanya berkurang.

Gambar 3. Lahan dan hasil panen stroberi di Jampit PTPN XII

Page 104: Prosiding BUKU 1

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di IndonesiaHanif, Z dan Ashari, H

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

92│

Di Agrokusuma Batu, teknologi budidaya stroberi diusahakan pada ketinggian 1.030 m dpl., pH6,2 dan kelembaban tanah 3,4. Varietas yang ditanaman ialah Sweet Charlie dan Rosalinda.Pengelolaan pada awalnya secara organik namun karena tuntutan produksi sehingga secara intensifmenambahkan pupuk anorganik dan pestisida kimia. Di Agrokusuma penanaman stroberimenggunakan sistem glangsi dengan ukuran panjang 50 cm dan diameter 4 cm dan ditanami 4tanaman yang diatur melingkar. Media menggunakan pupuk kandang, arang sekam, dan tanah dengankomposisi sebagai berikut: ⅓ bagian bawah glangsi tanah murni, ⅔ terdiri dari kompos dan tanah.Target produksi buah stroberi di Agrokusuma luasan 0,5 ha selama 2 hari sekali 1,5 ton, namunrealisasinya pada musim hujan maksimal 200 kg.

Budidaya dalam screen house dirasa paling menguntungkan karena produksi bisa sepanjangmusim bisa mencapai (0,8-1,2 kg/ton/tahun/40-60ton/ha/tahun) akan tetapi biayanya paling tinggi.

Gambar 4. Pengembangan stroberi di Agrokusuma Kota Batu

Pengembangan stroberi di desa Pandan Kota Batu menerapkan teknologi budidaya tumpang sari,dimana tanaman stroberi ditumpangsarikan dengan sayur-sayuran (jagung manis, bawang prei, dll)dan buah-buahan (jeruk, apel) dengan harapan saat musim hujan tetap ada pemasukan/panen daritanaman tumpangsari, karena varietas yang ditanam kebanyakan Lokal Batu, sehingga pada musimhujan produksi menurun dan bahkan tidak berbuah serta hanya pertumbuhan vegetatif dan produksibibit. Selain stroberi ditanam dipolibag, juga ditanam di lapang tanpa mulsa, sehingga kualitas buahkurang optimal dan nilai jualnya rendah dan tidak berdasarkan grade seharga Rp. 8000-15.000,-/kg

Gambar 5. Pengembangan stroberi di Desa Pandan dan Metro Kota Batu

BaliSebagai sentra pengembangan komoditas stroberi di Provinsi Bali ialah Kawasan Bedugul yaitu

di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada dan Desa Candikuning Kecamatan Tabanan yang letaknyaberdampingan. Varietas yang ditanam sebagain besar petani varietas Rosalinda dan Sweet Charlie.Rosalinda lebih rajin berbuah walaupun dari segi warna masih lebih baik Sweet Charlie.

Sistem hidroponik vertikultur dilakukan di dalam rumah plastik, sistem di atas bedengan denganpenutup plastik. Cara budidaya ini pada umumnya diterapkan oleh perusahaan. Media hidroponikadalah arang sekam yang dimasukkan dalam kantong plastik hitam memanjang ukuran lebar 25 cmtebal 20 cm memanjang, ditempatkan di atas rak yang tersesusun bertingkat (vertikultur). Tinggi rakbagian bawah 100 cm dari permukaan tanah, bibit ditanam dengan jarak tanam 25-30cm. Untukmengairi digunakan sistem tetes pada setiap tanaman (drip irigation), yang berfungsi juga untukpemberian nurtrisi tanaman (fertigasi) pada setiap polybag yang memanjang tersebut. Disampingmedia dimasukkan pula pipa yang saling berhubungan dilengkapi nozel pada setiap titik tanaman.

Page 105: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│93

Sebagai penggerak air digunakan pompa air, sistem di atas guludan dengan penutup plastik di ataskanopi.

Pertumbuhan optimal buah bisa dipetik mulai tanaman umur 2 bulan sebanyak 5 kg buah dari4000 tanaman, selanjutnya setiap 3 hari sekali dapat dipetik dan berat buah bertambah hingga 50 kgsetiap petik. Tanaman bisa produktif hingga usia 2 tahun. Dengan produksi setiap tanaman 0,5–0,8 kg.Model pertanaman stroberi di lokasi Desa Candi Kuning, dengan PH 6-7 , kelembaban 60–80 danketinggian 1.300 m dpl. Varietas yang digunakan Rosalida dan Sweet Charlie. Pupuk dasar yangdigunakan pupuk Phonska ± 100 kg /m² dan menggunakan pupuk kandang ayam. Model tanam Zig-zag, dengan jarak tanam 25 x 25 cm.

Gambar 6. Stroberi di Bedugul menggunakan mulsa penutup antisipasi hujan

Sumatera UtaraStroberi di Sumatera Utara terdapat di Kecamatan Berastagi tepatnya di Desa Tongkoh

Kecamatan Tiga Panah dan Desa Korpri. Produktivitas petani stroberi di Desa Tongkoh ialah13.874,62 kg/Ha dan di Desa Korpri sebesar 15.305,67 kg/ha masih jauh lebih rendah dariproduktivitas stroberi menurut literatur yaitu 57.142,85 kg/ha (Aswita, 2007). Petani di Sumatera utara(Tanah Karo) umumnya menanam jenis varietas Lokal Berastagi, Dorit, Sweet Charlie, danOsogrande.

Gambar 7. Bentuk buah stroberi yang berkembang di Sumatera Utara

Pengembangan Stroberi di IndonesiaPeningkatan areal tanam stroberi di seluruh pelosok Indonesia dan pangsa pasar yang masih

terbuka serta kejenuhan komoditas hortikultuta lainnya membuat stroberi ini masih berpeluangberkembang. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan luas pertanaman stroberi di Indonesia,dibutuhkan bibit stroberi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar. Permasalahan utama yangtimbul dan perlu pemecahan ialah masalah ketersediaan bibit berkualitas. Mengupayakan perbaikangenetika benih atau bibit domestik tidak bisa ditawar lagi. Selama ini bibit yang ada adalah

Page 106: Prosiding BUKU 1

Sebaran Stroberi (Fragaria x ananassa) di IndonesiaHanif, Z dan Ashari, H

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

94│

pengembangan dari impor tahun 2004 yang bisa dipastikan kualitasnya semakin menurun, denganbuah yang semakin jarang dan mengecil.

Penyakit utama stroberi tular benih penyebab penurunan hasil adalah strawberry crinkle virus(SCV), strawberry vein banding virus (SVBV), strawberry yellow edge virus (SYEV). Dilaporkan ketiga penyakit ini dapat menurunkan hasil sebesar 80% di pusat produksi stroberi Ohio, USA, danEropa.

Di Indonesia, penyakit-penyakit stroberi belum pernah diteliti, namun gejala SCV dan SVBVsudah ditemukan di sentra Batu, Situbondo (PTPN XII) dan Ciwedey (Jabar). Dari hasil kunjungan kePTPN XII tahun 2009, diketahui tidak kurang dari 25% tanaman stroberi di Kalisat Jampit Situbondobergejala SCV dan SVBV, serta menyebabkan kerdil.

Ketika hulu sudah baik, maka penanganan pasca panen stroberi perlu ditingkatkan. Barubeberapa daerah saja (seperti di Kalisoro Tawangmangu) yang mampu mengolah panen stroberidengan optimal yaitu dengan membuat selai, sirup dan berbagai produk olahan lain. Sehingga semuakualitas stroberi dari grade A sampai C bisa dimanfaatkan.

Selama ini perbanyakan dari sulur/stolon bisa dilakukan 3-5 kali, setelah itu memangkualitasnya semakin menurun. Sedangkan perbanyakan dengan biji perlu waktu yang lama dankebanyakan petani tidak sabar dalam hal ini. Bibit yang ada dari perusahaan penyedia biasanya hibrid.Sebelumnya di Ciwidey (tahun 2004-2007-an) panen bisa dilakukan selama 8 bulan berturut-turut,namun sekarang hanya bisa dilakukan selama 4 bulan.

Ketersediaan benih sangat mendesak, dari hasil eksplorasi, beberapa petani, dinas, maupunpengembang siap menyerap produksi benih stroberi dalam jumlah besar. Bahkan, areal tanam yangada perlu di replanting. Garut dengan luas areal tanam stroberi 160 Ha, jika direplanting 50% saja,dimana 1 hektar membutuhkan 50.000 benih, maka benih yang dibutuhkan mencapai 4 juta benih.Prakiraan kebutuhan benih yang akan terserap petani dapat dilihat pada Tabel 2.

Dengan areal tanam stroberi di Indonesia sebanyak 529 hektar (belum termasuk di Sulawesi danNTT), dan area replanting 50% yaitu seluas 264,5 hektar, maka dibutuhkan benih stroberi sebanyak13.225.000. Jumlah yang bisa dicapai dengan teknologi perbanyakan masal in vitro.

Tabel 2. Perkiraan kebutuhan benih stroberi di daerah sentra

Lokasi Sentra Stroberi Luas Lahan Replanting 50% Perkiraan Kebutuhanbenih

Kab. Bandung, Jawa Barat 184 Ha 92 Ha 4.600.000

Garut, Jawa Barat 160 Ha 80 Ha 4.000.000

Purbalingga, Jawa Tengah 60 Ha 30 Ha 1.500.000

Bedugul, Bali 40 Ha 20 Ha 1.000.000

Batu, Jatim 25 Ha 12,5 Ha 625.000

Brastagi, Sumut 60 Ha 30 Ha 1.500.000

Jumlah 529 Ha 264.5 Ha 13.225.000

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebaran Stroberi di Indonesia terdapat di daerah tinggi yaitu yang terdapat di pulau Jawa,Sumatera, Bali dan dalam 5 tahun ini menyebar pula di daerah Sulawesi serta NTT. Diperkirakan adalebih dari 30 varietas stoberi yang berkembang di Indonesia, dan sampai saat ini Balitjestro telahmengoleksi 21 diantaranya. Penyediaan benih berkualitas dan murah secara berkesinambungan perludilakukan, yaitu dengan menyediakan benih berkualitas secara masal dan murah melalui perbanyakanin vitro. Benih stoberi berkualitas diindikasikan oleh keseragaman genetik, produksi tinggi serta bebaspenyakit.

Page 107: Prosiding BUKU 1

Uji Kandungan Zat Besi, Vitamin A, dan Antioksidan pada 53 Aksesi Koleksi SayuranHidayat, I.M. dan Murtiningsih, E.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│95

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Basuki Joko Sudarmanto dan Emi Budiyati, teknisidan peneliti stroberi Balitjestro yang telah membantu pelaksanaan eksplorasi ini.

PUSTAKA

1. Arancon, NQ, Edwards, CA, Bierman, P, Welch, C, & Metzger, JD 2004, ’Influences ofvermicomposts on field strawberries: Effects on growth and yields’,. Bioresource Technology, vol.93, no.2, pp.145-53.

2. Aswita, 2007, Analisis Usahatani Stroberi (Studi Kasus: Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah,dan Desa Korpri kecamatan Berastagi Kabupaten Karo). Universitas Sumatera Utara. Medan.

3. Badan Pusat Statistik 2012, < http://www.bps.go.id/>. Diakses 20 Mei 2012

4. Darrow,GM. 1999, The Strawberry: History, breeding and physiology, The strawberry from Chile,<http://www.nal.usda.gov/pgdic/Strawberry>.

5. FAO 2012, FAOSTAT Agriculture, <http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx>, Diakses pada 5Juni 2012

6. Gunawan, LW 1996, Stroberi, Penebar Swadaya, Jakarta.

7. Hancock, JF 1999, Strawberries, Crop Production Science in Horticulture, CABI Publishing,USA.

8. Hannum, SM 2004, ‘Potential impact of strawberries on human health’, Crit. Rev. Food Sci. Nutr.,vol. 44, pp. 1-17.

9. Nourse, Tim 1999, Adapting the plasticulture system to northern conditions, Northland BerryNews. Summer. p. 1, 22.

10. Soemadi, W, 1997, Budidaya Stroberi di Pot dan Kebun. CV. Aneka, Solo.

11. Sukumalanandana, C & Verheij, EWM 1997, Fragaria x ananassa (Duchesne). In E.W.M.Verheij and R.E. Coronel (Eds.). Edible Fruits and Nuts. Prosea Plant Resources of South-EastAsia. Bogor, Indonesia.

12. Tohir, KA 1978, Bercocok Tanam Pohon Buah-buahan, Pradnya Paramitha, Jakarta.

13. Wandra 2007, Budidaya Tanaman Stroberi, Belum dipublikasikan.14. Zebrowska, JI 2004, ‘Micropropagaon in the strawberry (Fragaria x ananassa Duch.) inbred

lines’, Food, Ag. & Environ., vol. 2, pp. 253-55.

Page 108: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik EmbryogenesisDevy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

96│

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik PlanletSiam Kintamani (Citrus suhuiensis cv Siam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik

Embryogenesis

Devy, N.F, Yulianti, F dan HardiyantoBalai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropik

ABSTRAK. Pengaruh densitas awal terhadap daya multiplikasi dan stabilitas genetik planlet Siam Kintamani(Citrus suhuiensis cv. Siam Kintamani) hasil perbanyakan via somatik embryogenesis (SE). Optimasi padasetiap tahap perbanyakan in vitro sangat diperlukan untuk menunjang tingkat keberhasilan yang tinggi. Selainmedia, berbagai faktor fisik juga berpengaruh terhadap daya multiplikasi pada proses perbanyakan maupunperkembangan kalus dan planlet yang dihasilkan. Penelitian dilakukan di Laboratorium SE, Balai PenelitianTanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) mulai Maret 2009 s/d Februari 2011. Lima perlakuan densitasawal (ID100 – ID300) kalus Siam Kintamani dikulturkan pada 25 cc media cair MS + 500 mg Malt Ekstrak (ME)/l+ 1.5 ppm BA, dan diulang 3 kali; adapun densitasnya adalah a) 100 mg, b) 150 mg, c) 200 mg, d) 250 mg dane) 300 mg. Pada analisa stabilitas genetik, sampel yang digunakan adalah tanaman hasil perbanyakan SE padastadia planlet hasil subkultur 1 s/d 6. Planlet tersebut diuji keragamannya dengan teknik PCR, sebagai penandadigunakan ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada media inisiasikalus, jaringan nuselus dapat tumbuh dengan memuaskan pada 12-45 hari setelah kultur. Secara umum,pertambahan berat basah kalus (mg) pada setiap sub kulturnya (subkultur 1 s/d 5) tidak berpola dengan baik.Namun pada subkultur ke-5, pertambahan tertinggi dibandingkan subkultur sebelumnya terdapat pada perlakuanID100, yaitu 41.60 mg, sedangkan pada pertambahan berat secara total (subkultur 1 s/d 5) perlakuan ID200

menghasilkan pertambahan tertinggi dibandingkan dengan empat perlakuan lainnya (207.8 mg). Analisastabilitas genetik menunjukkan bahwa tanaman hasil perbanyakan SE pada stadia planlet seragam secara genetikdan tidak mengalami variasi dibandingkan dengan tanaman induknya. Hal ini dimungkinkan karena tanamanyang diuji merupakan tanaman baru (belum lama dipelihara di dalam kultur). Namun demikian, pengujianstabilitas genetik pada tanaman hasil SE masih harus terus dilakukan seiring dengan semakin lama tanamandipelihara di dalam kultur mengingat frekuensi mutasi akan meningkat seiring dengan semakin lama periodekultur.

Katakunci: Densiti; Kalus; Somatik embriogenesis; Plantlet; PCR; ISSR; Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvKintamani)

ABTRACT. Devy, N.F., F. Yulianti and Hardiyanto. 2013. Effect of Initial Density at the Multiplicationand Genetic Stability of Plantlets Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cv. Siam Kintamani) Derived fromSomatic Embryogenesis (SE) Propagation. Optimization on all in vitro multiplication stages are needed tosupport a high success rate. Besides media, the various physical factors also affect the capability proliferate anddevelop of callus into plantlets. The research was done at Somatic Embryogenesis Laboratory of IndonesianCitrus and Subtropical Fruit Research Institute (ICISFRI) from March 2009 up to February 2011. Fivetreatments of Siam Kintamani callus initial density (ID100 - ID300) were cultured on 25 cc liquid medium of MS +500 mg Malt Extract (ME)/l + 1.5 ppm BA, and repeated 3 times; the density were a) 100 mg, b) 150 mg, c) 200mg, d) 250 mg and e) 300 mg. At the analysis of genetic stability treatment, the sample used was the plantletsderived from 1st up to 6th sub-cultured of SE propagation, which the variability was tested by PCR by using theISSR (Inter-Simple Sequence Repeat) as a marker. The research results showed that at the callus initiationmedia, the nucellus tissue used as explants can be grown satisfactorily in 12-45 days after culture. In general,fresh callus weight (mg) increment in each sub-culture (1st up to 5th sub-culture) was different. But in the fifthsubculture, the highest weight increment compared to the previous subculture found in ID100 treatment, i.e. 41.60mg, while the highest total weight increment (1st up to 5th sub-culture) was on ID200 treatment (207.8 mg). Theanalysis genetic stability of plant showed that all the samples used were genetically uniform and had no variationcompared to the parent plant. This was a possible condition, because the tested plants were derived from callusthat was relatively new (not long be maintained in the culture). However, genetic stability testing on the SE-derived plants still to be continued because it would give enhancement of the frequency of mutations with longerperiods of culture.

Keywords: Density; Callus; Somatic embryogenesis; Plantlets; PCR; ISSR; Siam Kintamani (Citrus suhuiensiscv. Kintamani)

Page 109: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik Embryogenesis

Devy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│97

Jeruk Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cv Siam Kintamani) merupakan jeruk yang sangatpopuler dan umumnya ditanam di dataran tinggi Kintamani, Bali mempunyai kulit kuning cerah danrasa yang segar. Seperti halnya spesies jeruk lainnya, Siam Kintamani umumnya diperbanyak dengancara menyambung/menempel mata tempel pada batang bawah JC. Dengan adanya permintaan benihyang cukup banyak, serta untuk antisipasi kebutuhan dimasa datang untuk konsumsi lokal maupundaerah lain di Indonesia, sangat penting untuk mengembangkan metode perbanyakan lain yang dapatmenghasilkan benih dalam jumlah masal pada satuan waktu, bebas dari penyakit virus dan secaramorfologi dan genetik sama dengan sifat induknya.

Perbanyakan masal dapat dilakukan melalui teknologi somatik embryogenesis, yaitu eksplanyang digunakan adalah kalus yang berasal dari berbagai sumber eksplan. Hasil penelitian tentangteknologi ini telah banyak didokumentasikan, dengan berbagai aspek yang mempengaruhi tingkatkeberhasilannya. Secara umum hal-hal yang berpengaruh tersebut antara lain adalah media kultur(Cunha & Fernandes-Ferreira 2010, Kayim & Kemal Koc 2006, Niedz & Evens 2008, Niedz et al.2002, Sing et al. 1992, Tomaz et al. 2001), varietas atau spesies, kodisi kalus yang ada (De Pasquale etal.1994, Han et al. 2002, Mendes-da-Gloria et al. 1999, Ricci et al. 2002) serta densitas kalus maupunsuspensi sel yang dikulturkan (Kobayashi et al. 1999).

Secara umum, teknologi SE banyak menggunakan media padat pada tahapan inisiasi maupunmultiplikasi kalus dan embrionya. Namun demikian, dengan semakin majunya teknologiperbanyakan, media cair juga berperan penting dalam metode perbanyakan masal tersebut. Dari hasilpenelitian Cabasson et al. (1997) dihasilkan bahwa sekitar 60% dari embrio somatic yang dikulturkanpada media padat berkembang menjadi embrio kotiledonary tapi bersifat hyperhydric. Denganmenggunakan sistem temporary immersion system yang menggunakan media cair, akan mendorongterbentuknya embrio somatik, dan sekitar 66% dari embrio tersebut akan berkembang pada fasekotiledonari dan secara morfologi sama dengan embrio yang berasal dari embrio nuselar.

Tanaman yang dihasilkan dari perbanyakan SE secara umum sama dengan induknya. Namundemikian, deteksi adanya keseragaman maupun deteksi off-type pada tanaman hasil mikropropagasi,khususnya pada tanaman tahunan, melalui observasi morfologi dan analisis kromosom mengalamibeberapa pembatasan, seperti waktu evaluasi yang cukup lama apabila dilakukan secara konvensional(misalnya dengan menunggu tanaman sampai fase berbuah). Teknologi fingerprinting menggunakanpenanda DNA merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mendeteksi keseragaman tanamanproduk perbanyakan tanaman baik melalui teknologi in vitro maupun secara konvensional (Fang et al.1997, Scarano et al. 2002, Tusa et al. 2002). Dari berbagai penelitian, didapat bahwa tanaman hasilperbanyakan somatik embriogenesis menghasilkan tanaman yang bersifat ‘true-to-type’ denganinduknya (Chandrika & Rai 2009, Chakravarty & Goswami 1999, Devarumath et al. 2007, Hashmi etal. 1997, Leroy et al. 2000, Munthali et al. 1996, Rahman & Rajora 2001, Rani et al. 1995).

Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui pengaruh kepadatan awal (inisial densitas) terhadaplaju multiplikasi dari kalus embrionik yang terbentuk dan stabilitas genetik planlet yang dihasilkandari perbanyakan dengan metode SE pada tanaman Siam Kintamani. Hipotesis dari kegiatan iniadalah bahwa densitas awal kultur akan sangat berpengaruh terhadap laju multiplikasi kalus.Sedangkan tanaman yang dihasilkan dari perbanyakan SE secara genetik akan sama dengan induknya.

BAHAN DAN METODE

Bahan Tanaman

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2010 – September 2011 di Laboratorium SEBalai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropis. Bahan tanaman yang digunakan adalah jaringannuselus yang berasal dari biji buah jeruk Siam Kintamani yang berumur 10-14 minggu setelah bungamekar. Jaringan nuselus dikulturkan secara in vitro pada media inisiasi, yaitu media MS padat yangterdiri dari garam MS makro dan mikro, sukrose 50 g/l; tiamin-HCl 0,2 mg/l; piridoksin-HCl 1 mg/l;

Page 110: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik EmbryogenesisDevy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

98│

asam nikotinik 1 mg/l; myo-inositol 100 mg/l; and glisin 4 mg/l, dan bakto agar 7 g/l, dengan pHmedium adalah 5.7.

Kalus yang tumbuh dipelihara dan disubkulturkan setiap 2 minggu pada media MS standar +0.7% bacto agar + 5% sukrose + 1.5 ppm BA + 500 mg/l ME. Pada subkultur ke-4, kalus dibagi 2bagian, yaitu:I. Kalus dikulturkan di media cair untuk diamati laju multiplikasinyaII. Kalus dikulturkan pada media padat embrio, dan planlet yang tumbuh dianalisis kestabilan

genetiknya.

Daya Multiplikasi Kalus Siam Kintamani

Kalus diperbanyak dengan dikulturkan pada media cair MS standar + 0.7% bacto agar + 5%sukrose + 1.5 ppm BA + 500 mg/l ME. Untuk mengamati laju multiplikasi yang optimal, maka kalusdengan 5 macam perlakuan berat pada densitas awal dikulturkan pada erlemeyer 100 cc dan dishakerdengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam pada suhu ruang.

Adapun perlakuan densitas awal adalah 5 macam berat kalus, yaitu :1. 100 mg dalam 25 cc media2. 150 mg dalam 25 cc media3. 200 mg dalam 25 cc media4. 250 mg dalam 25 cc media5. 300 mg dalam 25 cc media

Pengamatan yang dilakukan adalah dengan menimbang pertambahan berat kalus embrioniksetiap sub kultur (setiap 2 minggu) serta histologi dari kalus embriogenik pada akhir pengamatan.

Data yang dianalisis ialah:

1. Pertambahan berat basah kalus pada setiap subkulturPertambahan berat kalus pada setiap sub kultur dihitung dengan cara mengurangi berat total kaluspada sub kultur saat itu dengan berat total kalus pada sub kultur sebelumnya (misalnyapertambahan berat basah kalus pada sub kultur II = berat total kalus sub kultur II-berat total kaluspada sub kultur I dst.).

2. Pertambahan total berat kalus pada setiap sub kulturPertambahan total berat kalus pada setiap sub kultur dihitung dengan cara mengurangi berat totalkalus pada sub kultur saat itu dengan berat total kalus pada awal kultur.

Pada V100 = berat kalus pada setiap saat sub kultur - 100 mg (berat kalus awal)V150 = berat kalus pada setiap saat sub kultur - 150 mg (berat kalus awal)V200 = berat kalus pada setiap saat sub kultur - 200 mg (berat kalus awal)V250 = berat kalus pada setiap saat sub kultur - 250 mg (berat kalus awal)V300 = berat kalus pada setiap saat sub kultur - 300 mg (berat kalus awal)

3. Pertambahan total berat kalus pada setiap sub kultur per 100 mgPertambahan total berat kalus pada setiap sub kultur dihitung dengan cara mengurangi berat totalkalus pada sub kultur saat itu dengan berat total kalus pada awal kultur (misalnya : berat totalkalus sub kultur II-berat total kalus pada awal kultur dst.). Dari nilai yang didapat, dikonversikanpada berat setiap 100 mg.

Pada V100 = mg tambahan berat kalus x 100 mg/100 mgV150 = mg tambahan berat kalus x 100 mg/150 mgV200 = mg tambahan berat kalus x 100 mg/200 mgV250 = mg tambahan berat kalus x 100 mg/250 mg

Page 111: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik Embryogenesis

Devy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│99

V300 = mg tambahan berat kalus x 100 mg/300 mg

Untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan terhadap semua parameter yang diamati, makadata yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam pada Rancangan Acak Kelompok, dengan 3ulangan dan 5 erlemeyer setiap unitnya. Parameter yang dipengaruhi secara nyata oleh faktorperlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan pada taraf 5%.

Pengujian keragaman planlet jeruk hasil Somatik Embriogenesis (SE)

Planlet yang tumbuh dari embrio pada media MS0 diuji keragamannya dengan teknik PCRmenggunakan penanda ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat).

Tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Ekstraksi, Isolasi dan Kuantifikasi DNA

Metode isolasi DNA mengikuti prosedur yang dikembangkan Doyle&Doyle (1999).Sampel daun digerus menggunakan mortar dengan penambahan 400 l buffer ekstraksi sampaihalus dan ditambahkan lagi 500 l buffer ekstraksi. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabungmikro (eppendorf) ukuran 2 ml. campuran hasil gerusan dan buffer ekstraksi diinkubasi padasuhu 65C selama 15 – 30 menit dan setiap 5 – 10 menit tabung mikro dibolak-balik untukmembantu proses lisis. Setelah itu, campuran diambil dari waterbath dan didiamkan sebentar (2menit) pada suhu ruang kemudian ditambah dengan Na-asetat 1/10 volume campuran dan 1 mlCHISAM (chloroform: isoamil alkohol 24 : 1). Penambahan dilakukan dalam fume hood.Campuran dicampur dengan baik dengan cara divortex selama 2 – 5 menit kemudian disentrifuseselama 5 atau 10 menit pada kecepatan 12000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil secarahati-hati dengan menggunakan pipet dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru.Supernatan yang ditambah dengan Na-asetat) sebanyak 1/10 x volume dan dicampur dengan baik,selanjutnya ditambah dengan isopropanol sebanyak 1/10 x volume atau etanol absolut 2,5 xvolume untuk presipitasi DNA dan campur dengan membolak-balik tabung secara perlahan.Campuran di sentrifuse pada kecepatan 12000 rpm selama 5 atau 10 menit untuk mengendapkanDNA. cairan yang terbentuk dibuang dan endapan DNA dicuci dengan etanol 70% kemudiandisentrifuse lagi selama 5 manit pada kecepatan 12000. cairan dibuang dan endapan DNAdikeringkan dalam oven dengan suhu 50C selama 10 menit (tergantung besar kecilnya pelet).Setelah kering, endapan DNA dilarutkan kembali dengan 50-100 l buffer TE yang mengandungRNAse (1 l). DNA diinkubasi pada suhu 37C selama 30 menit dan siap digunakan untukproses selanjutnya.

2. Amplifikasi dan Separasi DNA

Amplifikasi sampel DNA dengan penanda ISSR dilakukan berdasarkan metode Scarano etal.(2002) Program mesin PCR adalah 1 siklus denaturasi suhu 94 C selama 3 menit, diikutidengan 28 siklus denaturasi suhu 94 C selama 45 detik, annealing suhu 53 C selama 1 menit,dengan ekstensi suhu 72 C selama 2 menit. Siklus PCR untuk penanda ISSR ini diakhiri dengan1 siklus ekstensi akhir dengan suhu 72 C selama 10 menit.

Setiap sample DNA dicampur dengan 20 µl campuran yang mengandung 10 ng DNAgenomic sebagai catakan, 0,25 mM dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), 0,5 pmol primerISSR (Tabel 1), 1 unit Taq DNA polymerase dalam larutan buffer 1x dan 3 mM MgCl2.Pemisahan pita DNA hasil amplifikasi dilakukan dengan metode elektroforesis pada gel agarose 2% yang mengandung etidium bromida (10 mg/l) di dalam larutan 0,5 x TBE selama 70 menitpada kekuatan arus 100 volt. Deteksi pita DNA dilakukan dengan system biodokumentasi.

Page 112: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik EmbryogenesisDevy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

100│

Tabel 1. Penanda ISSR yang digunakan untuk amplifikasi DNA tanaman hasil SENo Nama Primer Sequence

1 ISSR 3 5’-GAG AGA GAG AGA GAG AYG-3’2 ISSR 4 5’- TCC TCC TCC TCC TCC RY-3’

HASIL DAN DISKUSI

Saat Tumbuh KalusDari hasil penelitian didapat bahwa jaringan nuselus Siam Kintamani dapat tumbuh dan

berkembang secara memuaskan, jaringan ini mulai tumbuh pada 12-45 setelah kultur (atau rerata 24.5hari), dengan persentase saat tumbuh nuselus paling tinggi pada 3-4 minggu (Gambar 1.).

Gambar 1. Persen jumlah nuselus yang tumbuh.

Pertumbuhan awal ditandai dengan munculnya kalus pada permukaan atas eksplan serta diikutioleh tumbuhnya embrio (Gambar 2.). Dari 131 jaringan nuselus yang dikulturkan, hanya 103 (78.6%)sampel yang tumbuh pada media inisiasi. Kalus yang tumbuh umumnya remah, putih kehijau-hijauanserta beberapa embrio yang berkembang bersamaan dengan tumbuhnya kalus tersebut.

Gambar 2. Kalus dan embrio yang tumbuh pada jaringan nuselus.

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, menurut Miah et al. (2002) persen jaringannuselus dari C. macroptera Mont yang tumbuh pada media inisiasi adalah 73.3%, dari semua mediayang dicobakan, media MS + 500 ppm ME merupakan media yang optimal, disamping kalus yang

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

1-2 mg 3-4 mg > 4 mg

Pers

en n

usel

us y

ang

tum

buh

saat tumbuh kalus

Page 113: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik Embryogenesis

Devy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│101

tumbuh, beberapa embrio juga tumbuh dan berkembang pada media tersebut. Sedangkan media yangditambah dengan zat pengatur tumbuh, menyebabkan embrio yang tumbuh tidak berkembang.

Pertambahan Berat Basah Kalus (mg) pada Setiap Subkultur

Pertambahan berat basah pada setiap sub kultur dihitung dengan cara mengurangi berat totalkalus pada sub kultur saat itu dengan berat total kalus pada sub kultur sebelumnya. Berdasarkananalisa statistika, didapat bahwa pola pertambahan berat kalus per perlakuan sampai dengan 5 kalisubkultur tidak berpola tetap. Namun apabila dilihat dari reratanya, pertambahan setiap subkulturtertinggi pada perlakuan ID200 (Tabel 2.).

Tabel 2. Rerata pertambahan berat kalus pada setiap sub kultur.

PerlakuanPertambahan berat kalus pada setiap sub kultur (mg)

I II III IV V Rerata (Average)ID100 21,96 c*) 17,60 c 39,60 c 14,40 ab 41,60 a 27,03ID150 22,40 c 16,60 c 42,80 bc 15,36 a 26,96 b 24,82ID200 92,92 a 24,40 b 50,80 b 12,16 ab 21,00 b 40,25ID250 45,00 b 31,93 a 49,80 b 11,00 b 22,00 b 31,94ID300 36,00 bc 15,24 c 62,20 a 6,08 c 24,20 b 28,74

KK (CV), % 25,59 21,80 12,29 22,93 20,49*) = angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%, KK =

Koefisien Keragaman (Coefisien Variation)ID100 = berat eksplan kalus awal yang dikulturkan (initial density of callus) = 100 mg/25 cc mediaID150 = berat eksplan kalus awal yang dikulturkan (initial density of callus) = 150 mg/25 cc mediaID200 = berat eksplan kalus awal yang dikulturkan (initial density of callus) = 200 mg/25 cc mediaID250 = berat eksplan kalus awal yang dikulturkan (initial density of callus) = 250 mg/25 cc mediaID300 = berat eksplan kalus awal yang dikulturkan (initial density of callus) = 300 mg/25 cc media

Kepadatan awal kultur sangat berpengaruh terhadap proliferasi maupun perkembangan eksplanyang dikulturkan. Dari hasil penelitian Umehara et al. (2005) pada kultur sel Larch Jepang (Larixleptolepis Gordon), embrio somatik akan sulit terbentuk ketika kepadatan sel awal lebih rendah dari0,1 ml/l. Namun, dengan ditambahakan phytosulfokine aktivitas pembelahan sel selama embriogenesisberlangsung normal, walaupun densitas awal kultur kurang dari optimal. Sedangkan pada densitasyang terlalu tinggi juga akan berpengaruh terhadap daya proliferasi eksplan tersebut.

Pada tanaman wortel, somatik embryogenesis akan sangat terhambat bila densitas sel yangdikulturkan terlalu padat. Menurut Kobayashi et al. (1999), terhambatnya proses tersebut disebabkanbeberapa zat penghambat yang dilepaskan eksplan ke dalam media. Selain zat tersebut, kepadatan seljuga menekan terjadinya pembelahan sel yang menjadi karakter utama pada awal proses somatikembriogenesis. Namun pada tahap proses perkembangan embrio tertentu, zat penghambat yangdilepas ke media tidak berpengaruh lagi.

Pertambahan Berat Total Dari Awal Tanam serta Pertambahan Berat Kalus Total Per 100 mgEksplan pada Setiap Subkultur (mg).

Dari analisa statistika, pertambahan berat total pada setiap subkulturnya (berat saat subkultur –berat awal kultur) berbeda nyata dan terbaik ada pada perlakuan ID200 (Gambar 3).

Page 114: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik EmbryogenesisDevy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

102│

Gambar 3. Pertambahan berat kalus pada sub kultur ke I s/d V pada 5 perlakuan densitas awal.

Bila dilihat pertambahan berat basah per 100 mg kalus yang dikulturkan, berdasarkan analisastatistika, didapat bahwa secara konsisten perlakuan ID200 mulai dari sub kultur I sampai dengan Vmenghasilkan pertambahan berat basah per 100 mg eksplan kalus yang tertinggi dibandingkanperlakuan lainnya (Tabel 3.)

Tabel 3. Rerata pertambahan berat kalus/100 mg pada setiap sub kultur.

Perlakuan Pertambahan berat kalus per 100 mg pada setiap sub kultur (mg)

I II III IV V

ID100 21,96 cd*) 37,40 c 77,00 b 91,40 b 133,00 a

ID150 14,92 d 25,98 d 54,50 c 64,74 c 81,70 b

ID200 61,92 a 83,44 a 117,28 a 125,40 a 138,50 a

ID250 31,23 b 52,76 b 86,32 b 87,06 b 101,66 b

ID300 23,96 bc 34,13 cd 73,14 bc 77,22 bc 92,90 b

KK (CV) (%) 18,47 13,11 18,67 17,38 13,70

Penggunaan media cair pada perbanyakan kalus maupun somatik embriogenesis sangatdipengaruhi oleh komposisi maupun faktor lingkungannya. Pada tanaman Siam Kintamani, perlakuansumber karbohidrat di media cair berpengaruh nyata terhadap daya multiplikasi maupunperkembangan kalus menjadi embrio (Devy et al. 2011). Selain faktor media dan lingkungan lainnya,densitas awal tampaknya juga berpengaruh terhadap kemampuan kalus jeruk Siam Kintamani untukberproliferasi. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kepadatan awal sebesar 200 mg/25 cc media,kemampuan proliferasi per 100 mg nya lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini sesuaijuga dengan penelitian produksi embrio somatik pada tanaman wortel dengan menggunakanbioreaktor (Shigeta et al. 1996), dimana densitas awal kultur, pH serta kadar oksigen yang dimasukkanpada sistem tersebut berpengaruh nyata pada produksi maupun kualitas embrio yang dihasilkan.

Analisa Histologi Kalus Embrionik

Dari hasil analisa histologi didapat bahwa eksplan kalus dapat berproliferasi dan berkembangdengan baik pada perlakuan ID200. Awal kultur menghasilkan struktur yang belum jelas, sedangkanpada perkembangan berikutnya, struktur globular sudah terbentuk (Gambar 4.). Menurut Tomaz et al.(2001), tingginya pertambahan kalus ini disebabkan daya multiplikasi yang tinggi pada media yangmengandung sukrose.

0

50

100

150

200

250

sub kultur ke

berat kalus (mg)

V100

V150

V200

V250

V300bcb

b

c

a

c

c

bcbab

bb

a

a

a

a

b

c

b

c

b

b

ab

0 I II III IV V

Page 115: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik Embryogenesis

Devy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│103

Gambar 4. Histologi kalus Siam Kintamani saat dikulturkan (a) dan setelah sub kultur ke-5 (a.Histology of Siam Kintamani callus at first culture (a) and after fifth sub-culture (b))

Pengujian keragaman planlet jeruk Siam Kintamani hasil SE

Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan pada Siam Kintamani stadia planlet (tanaman kecil)hasil perbanyakan SE (sampel no 1 – 6) dibandingkan dengan tanaman induknya (sampel no 7). Hasilamplifikasi DNA tanaman jeruk hasil SE dan induk Siam Kintamani disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pola pita DNA hasil amplifikasi dengan penanda ISSR 3 dan 4 (Banding pattern of DNAamplification using ISSR 3 and 4 markers)

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tanaman hasil SE seragam secara genetikdan tidak mengalami variasi dibandingkan dengan tanaman induknya. Hal ini ditunjukkan denganadanya kesamaan pola pita DNA yang dihasilkan antara sampel yang diuji, yaitu planlet (no 1-6)dengan sampel induknya (no. 7). Hal ini dimungkinkan karena tanaman yang diuji merupakantanaman hasil perbanyakan kalus yang relatif baru (belum banyak dilakukan sub kultur). Hasil inisesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chakravarty dan Goswami (1999), yaitu kalus dari C.acida Roxb. sampai dengan umur 2 tahun masih mampu untuk menumbuhkan embrio dan planlet,walaupun derajat regenerasi pucuk dan akar akan berkurang dengan bertambahnya umur kalus.Namun demikian, hasil histologi studi menunjukkan bahwa tanaman yang dihasilkan dari perbanyakanini jumlah kromosomnya tidak berubah/sama dengan induknya. Demikian pula pada kalus dari RadMars grape fruit yang telah berumur satu tahun. Dengan menggunakan analisa RAPD denganmenggunakan 102 primer didapat bahwa tidak ada perbedaan pola pita DNA yang dihasilkan antarainduk dengan embrio hasil perbanyakannya asal kalus umur 1 tahun (Hao et al. 2004)

Namun demikian, pengujian stabilitas genetik pada tanaman hasil SE masih harus terusdilakukan seiring dengan semakin lama eksplan kalus atau embrio dipelihara di dalam kultur,mengingat frekuensi mutasi akan meningkat seiring dengan semakin lama periode kultur (Muller et al.1990, Nehra et al. 1992). Stabilitas genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan sangatdipengaruhi oleh jenis eksplan, periode kultur, genotip tanaman, kondisi kultur dan metode regenerasi

2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

Page 116: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik EmbryogenesisDevy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

104│

tanaman (Route et al. 2006). Menurut Potter & Jones (1991), frekuensi variasi somaklonal padatanaman yang dihasilkan melalui kalus lebih tinggi dibandikan dengan tanaman yang dihasilkan darikultur meristem.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa:1. Kepadatan awal (inisial densitas) kultur sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan kalus

untuk berproliferasi.2. Perlakuan ID200 memberikan pertambahan berat total (subkultur 1 s/d 5) tertinggi dibandingkan

dengan empat perlakuan lainnya.3. Tanaman hasil perbanyakan SE pada stadia planlet seragam secara genetik dan tidak mengalami

variasi dibandingkan dengan tanaman induknya.

PUSTAKA

1. Cabasson, C, Alvard, D, Dambier, PD, Ollitrault, Teisson, C 1997, ‘Improvement of Citrussomatik embryo development by temporary immersion’, Plant Cell, Tissue and Organ Culture,vol. 50, pp. 33-7.

2. Chakravarty, B, & Goswami, BC 1999, ‘Plantlets regeneration from long-term callus culture ofcitrus acida Roxb. and the uniformity of regenerated plants’, Scientia Horticulturae, vol. 82, pp.159-69.

3. Chandrika, M & Ravishankar Rai, V. 2009, ‘Genetic fidelity in micropropagated plantlets ofOchreinauclea missionis an endemic, threatened and medicinal tree using ISSR markers’, AfricanJ. Biotechnol. Vol. 8, no. 13, pp. 2933-38.

4. Cunha, A & Fernandes-Ferreira, M 2010, Influence of medium parameter on somaticembryogenesis from hypocotyls explants of Flax (Linum usitatissimum L.), E papper, 18 pp

5. De Pasquale, F, Carimi, F & Crescimanno, FG 1994, Somatic embryogenesis from styles ofdifferent cultivars of Citrus limon (L.) Burm’, Aust. J. Bot., vol. 42, pp. 587-94.

6. Devarumath RM, Doule, RB, Kawar, PG, Naikebawane, SB & Nerkar, YS 2007, ‘Fieldperformance and RAPD analysis to evaluate genetic fidelity of tissue culture raised plants vis-a-vis conventional sets derived plants of Sugarcane’, Sugar Tech., vol. 9, no. 1, pp. 17-22.

7. Devy, NF, Sugiyatno, A & Yulianti, F 2011, ‘Daya tumbuh tanaman jeruk kalamondin hasilperbanyakan via somatik embriogenesis in vitro pada batang bawah JC’, J. Hort., vol. 21, no. 3,pp. 214-24.

8. Doyle, JJ & Doyle, JL 1999, ‘Isolation of plant DNA from fresh tissue’, Focus, vol. 12, pp. 11-5

9. Fang, DQ, Roose, ML, Krueger, RR, Federici, CT 1997, ‘Fingerprinting trifoliate orange germplasm accessions with isozymes, RFLPs, and inter-simple sequence repeat markers’, Theor App.lGenet., vol. 95, pp. 211-19

10. Han, SH, Kang, SK, An, HJ, & Kim, HY 2002, ‘Effect of embryonic callus conditions on plantregeneration in Satsuma Mandarin (Citrus unshiu Marc.)’, J. Plant Biotecnol., vol. 4, no. 1, pp. 29-32.

11. Hao, Yu-Jin, Xiao-Peng Wen & Xiu-Xin Deng 2004, Genetic and epigenetic evaluations of citruscalluses recovered from slow-growth culture, J. Plant Physiol., vol. 161, no. 479-84.

Page 117: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik Embryogenesis

Devy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│105

12. Hashmi, G, Huettel, R, Meyor, R, Krusberg, L, & Hammerschlag, F 1997, ‘RAPD analysis ofsomaclonal variants derived from embryo callus cultures of peach’, Plant Cell Rep., vol. 16, pp.624-27.

13. Kayim, M & Kemal Koc, N 2006, ‘The effects of some carbohydrates on growth and somaticembryogenesis in citrus callus culture’, Scientia Horticulturae, vol. 109, no. 1, pp. 29-34.

14. Kobayashi, T, Higashi, K, Saitou, T & Kamada, H 1999, ‘Physiological properties of inhibitoryconditioning factor(s), inhibitory to somatic embryogenesis, in high-density cell cultures ofcarrot’, Plant Science, vol. 144, pp. 69-75.

15. Leroy, XJ, Leon, K, Charles, G & Branchard, M 2000, ‘Cauliflower somatic embryogenesis andanalysis of regenerant stability by ISSRs’, Plant Cell Reports, vol. 19, pp. 1102-107.

16. Mendes-da Gloria, FJ, Filho, FAAM, Demetrio, CGB, Mendes, BMJ 1999, ‘Embryogenic calliinduction from nucellar tissue of citrus cultivars’, Scientia Agricola, vol. 56, no. 4, pp.1111-15.

17. Miah, MN, Islam, S & Hadiuzzaman, S 2002, ‘Regeneration of planlets through somaticembryogenesis from nucellus tissue of Citrus macroptera Mont. Var. anammensis (‘Sat Kara’)’,Plant Tissue Cult., vol. 12, no. 2, pp. 167-72.

18. Muller, E, Brown, PTH, Hartke, S, Lorz, H 1990, ‘DNA variation in tissue culture derived riceplants’, Theor. Appl. Genet., vol. 80, pp. 673-79.

19. Munthali, MT, Newbury, HJ, & Ford-Lloyd, BV 1996, ‘The detection of somaclonal variants ofbeet using RAPD’, Plant Cell Rep., vol. 15, pp. 474-78.

20. Nehra, NS, Kartha, K, Stusnoff, C, Giles, K 1992, ‘The influence of plant growth regulatorconcentration and callus ages on somaclonal variation in callus culture regenerants of strawberry’,Plant Cell Tissue Org Cult., vol. 29, pp. 257-68.

21. Niedz, RP & Evens, TJ 2008, ‘The effect of nitrogen and potassium nutrition on the growth ofnonembryogenic and embryogenic tissue of sweet oranges (Citrus sinensis (L.) Osbeck)’, BMCPlant Biology, vol. 8, no. 126, pp. 11.

22. Niedz, RP, Hyndman, SE, Wynn, ET & Bausher, MG 2002, Normalizing sweet orange (C.sinensis (L.) Osbeck) somatic embryogenesis with semi-permiable membranes’, In Vitro Cell.Dev. Biol-Plant, vol. 38, no. 6, pp. 552-57.

23. Potter, R & Jones, MGK 1991, ‘An assessment of genetic stability of potato in vitro by molecularand phenotypics analysis’, Plant.Sci., vol. 76, pp. 239-48.

24. Rahman, MH & Rajora, OP 2001, ‘Microsatellite DNA somaclonal variation in micropropagatedtrembling aspen (Populus tremuloides)’, Plant Cell Rep., vol. 20, pp. 531-36.

25. Rani, V, Parida, A, & Raina, SN 1995, ‘Random amplified polymorphic DNA (RAPD) markersfor genetic analysis in micropropagated plants of Populus deltoides Marsh’, Plant Cell Rep.,vol.14, pp. 459-62.

26. Ricci, AP, F. de Assis, AM, Filho, BMJ, Mendes & de Stefano Piedade, SM 2002, ‘Somaticembryogenesis in Citrus sinensis, C. reticulate and C. nobilis x C. deliciosa’, Scietia Agricola,vol. 59, no. 1, pp. 41-6.

27. Route, GR, Mohapatra, A, Mohan, JS 2006, ‘Tissue culture of ornamental pot plant: a criticalreview on present scenario and future prospects’, Biotechnol. Adv., vol. 24, pp. 531-60.

28. Scarano, M-T, Abbate, L, Ferrante, S, Lucretti, S & Tusa, N 2002, ‘ISSR-PCR technique: a usefulmethod for characterizing new allotetraploid somatic hybrids of mandarin’, Plant Cell Rep., vol.20, pp. 1162-66.

29. Shigeta, J, Satoa, K & Mii, M 1996, ‘Effects of initial cell density, pH and dissolved oxygen onbioreactor production of carrot somatic embryos’, Plant Sci., vol. 115, pp. 109-14

Page 118: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Densitas Awal Terhadap Daya Multiplikasi dan Stabilitas Genetik Planlet Siam Kintamani (Citrus suhuiensis cvSiam Kintamani) Hasil Perbanyakan Via Somatik EmbryogenesisDevy, N.F, Yulianti, F dan Hardiyanto

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

106│

30. Sing, AK N, Nito & Twamassa, M 1992, ‘Influence of lactose and glycerol on growth and somaticembryogenesis of citrus callus’, Acta Horticulturae, vol. 321, pp. 606-609.

31. Tomaz, ML, Mendez, De Assis, F, Filho, AM, Demetrio, CGB, Jansakul, N & Rodriguez, APM2001, ‘ Somatic embryogenesis in Citrus spp.: Carbohidrate stimulation and histodefferentiation’,In vitro Cell. Dev. Biol-Plant, vol. 37, pp. 446-52.

32. Tusa, N, Abbate, L, Ferrante, S, Lucretti, S & Scarano, M-T 2002, ‘Identification of zygotic andnucellar seedlings in citrus interploid crosses by means of isozymes, flow cytometry and ISSR-PCR’, Cellular and Molecular Biology Letters, vol. 7, pp. 703-708.

33. Umehara, M, Ogita, S, Sasamoto, H, Chang-Ho Eun, Matsubayashi, Y, Sakagami, Y & Kamada,H 2005, ‘Two stimulatory effects of the peptidyl growth factor phytosulfokine during somaticembryogenesis in Japanese larch (Larix leptolepis Gordon)’, Plant Sci., vol. 169, pp. 901-907.

Page 119: Prosiding BUKU 1

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNASantoso, P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│107

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNA

Santoso, P.J1), Pancoro, A2), dan Aryantha, INP2)

1)Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km. 8, Solok, 273012)Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganeca 10, Bandung

Email: [email protected]

ABSTRAK. Penelitian untuk mengetahui filogenetik di antara varietas unggul durian (Durio sp.) berdasarkandaerah lestari ITS-nrDNA telah dilaksanakan di Laboratorium Genetika Tumbuhan, SITH-ITB dari Bulan Aprilsampai dengan Desember 2011. Sebanyak 49 varietas unggul, 5 varietas harapan, dan 9 data sekuen kerabatdurian dari genebank digunakan dalam penelitian ini. DNA genom diisolasi menggunakan protokol berdasarkanGeneaid™ Mini Preparation Kit yang telah dimodifikasi. Daerah ITS-nrDNA diamplifikasi menggunakan teknikPCR dengan primer spesifik ITS5-F dan ITS4-R. Perunutan hasil amplifikasi dikerjakan secara direct-sequencing menggunakan jasa Macrogen, Korea. Pohon filogenetik dibangun menggunakan program Geneiousver. 5.5.7. dengan alignment menggunakan ClustalW dan bootstrab 5000x. Di antara 54 sampel yang diamati, 51merupakan kelompok D. zibethinus, dua varietas termasuk D. kutejensis dan satu (Pelangi) berada di luarbersama spesies D. dulcis dan D. graveolens. Dari data ini dapat diketahui juga bahwa varietas-varietas durianunggul memiliki keragaman genetik yang rendah, sehingga untuk perbaikan varietas selanjutnya disarankanmelalui kegiatan persilangan secara inter-spesies daripada intra-spesies.

Katakunci: Filogenetik, Durio sp.; ITS-DNA

ABSTRACT. Panca J. Santoso, Pancoro, A, and I Nyoman P. Aryantha 2013. Phylogenetic amongDurian (Durio sp.) Varieties Based on Conserved Region ITS-nrDNA. An experiment to study phylogeneticamong durian (Durio sp.) varieties based on conserved region ITS-nrDNA was conducted at Plant GeneticLaboratory, School of Life Science and Technology-ITB from April to December 2011. A number of 49superior varieties, 5 promosing varieties, and 9 durian relative sequences from gene bank were used in theresearch. Genomic DNA was isolated based on Geneaid™ Mini Preparation Kit protocol with modification.ITS-nrDNA region was amplified using PCR technique exploiting specific primers spesifik ITS5-forward andITS4-reverse. Amplicon sequencing was conducted through direct-sequencing at Macrogen, Korea. Sequencesalignment was conducted using pc-soft ware ClustalW, while phylogenetic tree was built using Geneious ver.5.5.7. with bootstrab at 5000. Among 54 samples analized, 51 samples were grouped into D. zibethinus, 2varieties grouped into D. kutejensis, and 1 accession (durian pelangi) out of the group together with D. dulcisand D. graveolens. Based on the research results, it was found that the durian superior varieties are having lowgenetic variation. For durian varietal improvement, therefore, it is suggested through inter-specific crossingrather than intra-specific.

Keywords: Phylogenetic; Durio sp.; ITS-nrDNA

Durian (Durio sp.) merupakan tanaman buah tropis yang termasuk dalam marga Bombacaceaedari ordo Malvales. Ada lebih kurang 30 spesies di seluruh dunia yang umumnya merupakan tanamanhutan penghasil kayu (Soon & Lum 1978), 20 spesies ditemukan di Kalimantan dan Sumatera (Uji2005), 9 diantaranya menghasilkan buah yang dapat dimakan (Brown 1997, Lim 1990, Nanthachai1984). Tanaman ini telah berkembang menjadi komoditas komersial yang penting di tiga negaraThailand, Indonesia, dan Malaysia (Nanthachai 1994).

Spesies Durio zibethinus Murr. yang dikenal umum sebagai durian merupakan spesies yangmemiliki nilai ekonomi yang paling tinggi dan paling banyak dibudidayakan (Nanthachai 1984).Spesies kedua yang mulai dikembangkan secara komersial ialah Durio kutejensis Becc. atau lebihdikenal dengan nama durian Lai (Santoso 2010), yang banyak terdapat di Kalimantan Timur danKalimantan Selatan. Sampai tahun 2011, sejumlah 76 varietas telah dilepas sebagai varietas ungguloleh Kementrian Petanian (Dirjen Hortikultura, komunikasi pribadi). Seleksi indigenus ini masih akanterus berlangsung karena variasi di alam yang sangat banyak dan terus bertambah akibat sifatpersarian bebas (Nanthachai 1984, Brown 2007).

Page 120: Prosiding BUKU 1

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNASantoso, P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

108│

Variasi genetik yang sangat tinggi merupakan sumber penting dalam perbaikan varietas durian,baik secara langsung melalui seleksi (Chan 2000) maupun kegiatan persilangan. Seleksi plasmanutfah indigenus memiliki nilai yang tidak bisa diabaikan, dan terbukti semua varietas yangberkembang sekarang merupakan hasil seleksi indigenus. Namun demikian, kehadiran varietas barudurian akan terus diperlukan untuk memenuhi keinginan konsumen yang senantiasa berubah sertauntuk memenangkan persaingan pasar. Disamping itu program breeding untuk perbaikan varietasterhadap karakter hasil, ketahanan hama dan penyakit, kualitas buah sesuai selera konsumen sepertirasa, aroma, dan penampilannya juga sama pentingnya. Atribut kualitas ini memiliki pengaruh yangkuat pada penerimaan pasar dan harga buah durian (Rahman 2000, Santoso 2011).

Untuk memberikan hasil yang maksimal, program perbaikan varietas harus dilandaskan padaperencanaan yang matang. Salah satu bagian terpenting ialah mengetahui variabilitas dan hubungankekerabatan (filogeni) diantara sumberdaya genetik durian untuk menentukan tetua yang akandigunakan dalam persilangan. Filogeni merupakan penggambaran sebuah alur pergeseran genetikdiantara group organisme atau spesies yang mungkin berasal dari moyang yang sama (Fairbanks &Andersen 1999), atau secara ringkas disebut sebagai hubungan evolusi diantara organisme sekerabat(Li & Graur 1991). Hubungan filogenetik antar organisme sekarang banyak dipelajari berdasarkanperubahan pola dari urutan DNA (Li & Graur 1991), yang biasanya memanfaatkan gen-gen lestariseperti ITS ( Baldwin et al. 1995).

Gen lestari internal transcribe spacer (ITS) merupakan bagian dari unit transkripsi nuclearribosome DNA (nrDNA) tetapi tidak bergabung dalam maturasi ribosom. Mutasi dalam gen ini sesuaiuntuk studi filogenetik tanaman Angiospermae dan Eukariot umumnya pada level takson rendah(Baldwin et al. 1995). Gen ini telah banyak digunakan untuk identifikasi filogeni berbagai tanamansampai tingkat intraspesies (Crous et al. 2003, Kita & Ito 2000), karena memiliki kelebihan-kelebihanantara lain: memiliki tingkat pengulangan yang tinggi di dalam genom inti, mengalami proses evolusiyang cepat melalui crossing-over dan konversi gen, serta ukuran yang pendek (<700 nt) dan memilikisekuen yang lestari di kedua ujungnya sehingga gen ini mudah diamplifikasi (Baldwin et al.1995).

Penelitian bertujuan untuk mengetahui filogenetik varietas unggul durian secara molekulerberdasarkan polimorfisme sekuens daerah lestari ITS-nrDNA.

BAHAN DAN METODE

Materi Tanaman

Empat puluh sembilan varietas unggul dan lima varietas harapan digunakan dalam penelitiandigabung dengan data sekuens sembilan kerabat durian dari bank gen, serta tanaman coklat (T. cacao)sebagai outgroup.

Isolasi DNADaun durian muda yang masih kuncup sebanyak 2-3 helai disimpan dalam kantong plastik

berisi 20 gr silica-gel dan dibiarkan mengering. Isolasi DNA dilaksanakan terhadap sampel keringmenggunakan metode berdasarkan Geneaid™ Mini Preparation Kit yang telah mengalami beberapamodifikasi.

Amplifikasi Daerah ITS-nrDNADNA hasil isolasi diamplifikasi menggunakan protokol PCR dengan primer spesifik ITS5-

forward (5’-TAG AGG AAG GAG AAG TCG TAA CAA-3’) dan ITS4-reverse (5’-CCC GCC TGACCT GGG GTC GC 3’). Raksi PCR meliputi tahap pre-denaturasi pada suhu 94oC selama 3 menit,selanjutnya amplifikasi dilakukan sebanyak 25 siklus yang meliputi denaturasi pada suhu 94oC selama30 detik, diikuti annealing pada suhu 55oC selama 30 detik dan elongasi pada suhu 72oC selama 1 menit.Amplifikasi diakhiri dengan tahap elongasi pada suhu 72oC selama 5 menit.

Elektroforesis dilaksanakan untuk memastikan keberhasilan proses amplifikasi. Setiap 5 μlamplikon ditambah 1 μl loading dye dimasukkan ke dalam sumur gel agarose 1% di dalam chamber

Page 121: Prosiding BUKU 1

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNASantoso, P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│109

elektroforesis yang dipasang pada daya listrik 100 volt selama 15-25 menit. Setelah itu gel di rendamdalam larutan 0,01% ethidium bromide selama 10-15 menit kemudian dipindai di atas UV-transiluminator.

Sekuensing dan penyusunan pohon filogenetik

Sekuensing hasil amplifikasi dikerjakan secara direct-sequencing dengan menggunakan jasapelayanan sekuensing di Macrogen, Korea. Data hasil sekuensing kemudian di alignmenmenggunakan program CustalW dan pohon filogenetik disusun menggunakan perangkat lunakGeneious ver. 5.5.7 dengan bootstrap 5000 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pohon filogenetik varietas unggul durian yang tebentuk berdasarkan polimorfisme daerah ITS-nrDNA ditampilkan pada Gambar 1.

Pohon filogenetik terbentuk secara monofiletik menunjukkan urutan evolusi dari yang tertuasampai yang termuda berturut-turut mulai D. acutifolius, D. oblongus, D. carinatus, D. dulcis, D.graveolens, D. oxleyanus, D. kutejensis, dan D. zibethinus.

Berdasarkan pohon filogenetik ini menunjukkan bahwa D. singaporensis sangat dekat denganD. oblongus, diduga keduanya merupakan sekerabat (satu spesies D. oblongus). Berdasarkan hasilanalisis spesimen Bogoriensis yang dilakukan oleh Uji (2005), diantara 20 spesies yang ada, tidak

Gambar 1. Pohon filogeni durian unggul berdasarkan polimorfisme daerah lestari ITS-nrDNA

Page 122: Prosiding BUKU 1

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNASantoso, P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

110│

menyebutkan adanya spesies D. singaporensis. Satu varietas harapan, durian Pelangi, menempatiposisi yang sejajar dengan D. dulcis, D. graveolens, D. oxleyanus, dan D. kutejensis, sedangkanberdasarkan karakter morfologi durian ini menunjukkan adanya gabungan karakter dari D. graveolensdan D. zibethinus. Di duga aksesi ini berasal dari persilangan alami diantra dua spesies tersebut. Duavarietas durian Lai (Batuah dan Kutai) berada secara mantap dalam satu clade dengan D. kutejensisyang menunjukkan bahwa kedua varietas ini atau yang lebih luas lagi dalam spesies ini dapatdigunakan daerah ITS untuk membedakan dengan anggota spesies lain.

Lima puluh satu aksesi durian tergabung dalam satu clade besar yang merupakan group dari D.zibethinus. Terdapat tujuh aksesi yang setara dalam group ini yang menunjukkan ketujuh aksesi masihstabil dan belum mengalami pergeseran/evolusi lanjut. Satu group besar berada dibawah D. zibethinusyang berarti telah mengalami pergeseran evolusi dalam laju yang rendah dan ada sembilan nomoryang telah mengalami evolusi yang cukup jauh yang ditunjukkan adanya sub-sub group yang lebihkecil seperti: durian Sunan, Sigundul, Chanee, Semenguk, Sihijau, Asoekaya, Bantal Mas, Gelapir,dan Perwira.

Dari gambaran group D. zibethinus secara umum menunjukkan bahwa tingkat evolusi di dalamspesies ini memiliki laju yang rendah sehingga variasi yang ada juga berada pada tingkat yang rendah,menunjukkan bahwa variasi yang ada lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktorgenetik. Fakta ini memberikan implikasi bahwa untuk keperluan perbaikan varietas tidak dianjurkanmelakukan secara antar varietas (intra-species) tetapi perlu dilakukan secara inter-species untukmendapatkan tingkat variabilitas yang tinggi yang pada akhirnya memberikan peluang ditemukannyavarietas unggul yang lebih besar.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Diantara 54 sampel yang diamati, 51 merupakan kelompok D. zibethinus, dua varietas (Lai Kutaidan Batuah) termasuk D. kutejensis dan satu (durian Pelangi) berada diluar bersama spesies D.dulcis dan D. graveolens.

2. Berdasarkan polimorfisme sekuens ITS diketahui bahwa varietas-varietas durian unggul memilikikeragaman genetik yang relatif rendah.

3. Untuk perbaikan varietas selanjutnya disarankan melalui kegiatan persilangan secara inter-spesies.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendonorkan sampeldurian untuk diuji. Kegiatan ini dibiayai dari kegiatan kerjasama KKP3T Badan Litbang Pertanian,No Kontrak 965/LB.620/I.1/3/2011, Tanggal 21 Maret 2011.

PUSTAKA

1. Abidin, M Z, Mohammad, AG, Shamsudin, MO, Masdek, NHN & Ghazali, NM 2000, Klondurian berpotensi untuk alaf bar, In: Mohamed, ZA, Othman, MS, Sapii, AT, Mahmood, Z &Idris, S (eds.), Prosiding Seminar Durian 2000: Kearah Menstabilkan Pengeluaran Kualiti danPasaran, 1-3 Ogos 2000. Ipoh, Perak, Malaysia. pp. 26-36.

2. Anonymous 1977, Durian (Durio zibethinus Murr.), Proyek sumber daya ekonomi, LembagaBiologi Nasional, LIPI, Bogor.

3. Anonymous 2002, <http://agrolink.moa.my/comoditi/durian/durian.html>, diakses tanggal 29Agustus 2002.

4. Baldwin, BG, Sanderson, MJ, Porter, JM, Wojeiechowski, MF, Champbell, CS & Donoghue, MJ1995, ‘The ITS region of nuclear ribosomal DNA: A valuable source of evidence of angiospermphylogeny’, Annals of Missouri Botanical Garden.vol. 82, no. 2, pp. 247-77.

Page 123: Prosiding BUKU 1

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNASantoso, P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│111

5. Brown, MJ 1997,Durio-A bibliographic review, Arora, RK, Rao, VR & Rao, AN (eds.), IPGRIoffice for South Asia, New Delhi.

6. Chan, YK 2000, Fruit breeding in Malaysia: progress and challenges ahead, In: Lazan, H. (ed.).Transactions of the Malaysian society of plant physiology, Tropical plant biology research inMalaysia: Fruit and vegetables, pp. 164-171

7. Crous, PW, Groenewald, JZ & Gams, W 2003, ‘Eyespot of cereals revisited: ITS phylogenyreveals new species relationships’, European J. of Plant Pathol., vol. 109, pp. 841-50

8. Fairbanks, DJ & Andersen, WR 1999, Genetics: The continuity of life, Brooks/Cole PublishingCompany and Wadsworth Publishing Company.

9. Hameed, BH & Hakimi, H 2007, ‘Utilization of durian (Durio zibethinus Murray) peel as lowcost sorbent for the removal of acid dye from aqueous solutions’, Biochemcal EngineeringJournal,vol. 29, no. 2, pp 338-43.

10. Kita, Y & Ito, M 2000, ‘Nuclear ribosomal ITS sequences and phylogeny in East Asian Aconitumsubgenus Aconitum (Ranunculaceae), with special reference to extensive polymorphism inindividual plants’, Plant Syst. Evol., vol. 225, pp. 1-13.

11. Jufri, M., R. Dewi, A. Ridwan dan Firli. 2006. Studi kemampuan pati biji durian sebagai bahanpengikat dalam tablet ketoprofen secara granulasi basah. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(2): 78 –86

12. Kanzaki, S, Yonemori, K, Sugiura, K & Subhadrabandhu, S 1997, Phylogenetic relationships ofthe common durian (D. zibethinus Murr.) to other edible fruited Durio spp. by RFLP analysis ofan amplified region of cpDNA. pp. 317-21.

13. Kuntarsih, S 2006, Status, prospek dan kendala pengembangan durian nasional, Kumpulanmakalah temu pakar dan pelaku agribisnis durian, Jakarta, 20 November 2006.

14. Li, WH & Graur, D 1991, Fundamentals of molecular evolution, Sinauer Associates, Inc.Publishers, Sunderland, Massachusetts.

15. Nafsi, NI 2007, Analisis keanekaragaman varietas durian (Durio zibhetinus Murr.) dengan markamikrosatelit, Skripsi, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

16. Nanthachai, S 1984, Durian: fruit development, post-harvest physiology, handling and marketingin ASEAN, ASEAN Food Handling Bureau.

17. Nasir, N, Muas, I & Novaril 1991, ‘Durian harapan dari Sumatera Barat’, Penel.Hort., vol. 4, no.4.

18. Pongsamart, S, Tawatsin, A & Sukrong, S 2002, ‘Long-term consumption of polysaccharide gelfrom durian fruit-hulls in mice’, Songklanakarin J. Sci. Technol., vol. 24, no. 4, pp. 649-61.

19. Rahman, ASA 2000, ‘Direction of fruit and vegetable research in Malaysia. In: Lazan, H. (ed.).Transactions of the Malaysian society of plant physiology’, Tropical Plant Biology Research inMalaysia: Fruits and Vegetables, vol. 9, pp. 12-7.

20. Rais, M & Wahjudi, T 1991, ‘Kajian pemasaran dan usaha tani buah durian di Sumatera Barat’Penel. Hort., vol. 4, no. 2, hlm. 85-9.

21. Santoso, PJ 2010, Lai, ‘durian berwarna daging atraktif potensi ekspor’, Iptek Horti.

22. Santoso, P. J. 2011. Keragaman karakter kualitatif dan kuantitatif buah durian asal aripan,kabupaten solok dan introduksi. Buletin Plasma Nutfah (unpublish)

Page 124: Prosiding BUKU 1

Filogenetik Varietas Unggul Durian Berdasarkan Sekuens Gen Lestari ITS-nrDNASantoso, P.J, Pancoro, A, dan Aryantha, INP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

112│

23. Santoso, PJ, Saleh, GB, Saleh, NM & Napis, S 2005, ‘Phylogenetic relationships amongst 10Durio species based on PCR-RFLP analysis of two chloroplast genes’,. Indonesian J. Agric. Sci.,vol. 6, no. 1, pp. 20-7.

24. Santoso, PJ, Saleh, GB, Saleh, NM & Napis, S 2005, Variation of Durian germplasm in Malaysiaas determined by fruits morphology and PCR-RFLP markers, Proceeding of the 6"' NationalCongress on Genetics. Beyond Genome: Harnessing the Potential. 12th -14th May 2005, KualaLumpur, Malaysia.

25. Santoso, PJ dan Sudarso, D 2007, Potensi dan strategi pengembangan durian nasional, ProsidingSeminar Nasional: Strategi dan dukungan inovasi dalam pengembangan agribisnis hortikulturadi Indonesia, Padang, 13 Desember 2007, hlm. 49-55.

26. Santoso, PJ, Novaril, M. Jawal, AS, Wahyudi, T & Hasyim, A 2008, ‘Idiotipe durian nasionalberdasarkan preferensi konsumen’, J. Hort., vol. 18, no. 4, hlm. 395-401.

27. Shamsudin, M, Redzuan, A, Abidin, Z & Zaharah, T 2000, Penggunaan durian hutan, Durioiowianus sebagai pokok penanti, Prosiding seminar durian kearah menstabilkan pengeluarankualiti dan pasaran, Ipoh, Perak, Malaysia, hlm. 26-36.

28. Uji, T 2005, ‘Keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah Durio (Durio spp.) di Indonesia’,Bul. Plasma Nutfah, vol.11, no. 1, hlm. 28-33.

29. Wibawa, WD 2009, Program pengembangan durian, Makalah Wrokshop: Sinkronisasi ProgramPengembangan Durian, Direktorat Jendral Hortikultura, Bogor, 25-27 Juni 2009.

Page 125: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│113

BAGIAN 2.

FISIOLOGI DAN AGRONOMI

Page 126: Prosiding BUKU 1

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Sedap Malam Varietas RoroAntengSihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

114│

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan danProduksi Bunga Sedap Malam Varietas Roro Anteng

Sihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,WBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km. 4 Malang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK. Sedap malam merupakan salah satu komoditas tanaman hias potensial yang umumnyadibudidayakan petani secara tradisional, di antaranya dengan menggunakan benih yang masih asalan.Berkaitan dengan hal tersebut suatu pengkajian telah dilakukan sejak Januari sampai Desember 2009 di DesaOro-oro Ombo Kulon, Kecamatan Rembang Pasuruan Jawa Timur (10 m dpl.). Percobaan menggunakanrancangan acak kelompok pola faktorial dengan 3 ulangan. Sebagai faktor petama ialah jarak tanam yaitu 30 x20, 30 x 30, dan 40 x 30 cm. Faktor kedua ialah ukuran umbi benih yaitu 1–1,5; 1,5–2,5; dan >2,5 cm. Hasilpercobaan menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan produksi bunga.Makin sempit jarak tanam, makin tinggi produksi bunga per petak dengan produktivitas per tanaman makinmenurun. Sementara ukuran umbi berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan dan panjang malai.

Katakunci: Sedap malam; Jarak tanam; Ukuran umbi benih; Pertumbuhan tanaman; Hasil panen bunga

ABSTRACT. Sihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W, 2013. The Effect Study of PlantSpacing and Seed Size on Growth and Production of Tuberose Flower : Varieties Roro Anteng. Tuberoseis one of potential ornamental plant that commonly cultivated by traditional farmers with traditional methodslike using seeds that are still random. The study was conducted from January to December in Oro-oro OmboKulon village, Rembang district, Pasuruan Regency, East Java (10 m asl.). This experiment used a factorialrandomized block design with three replications. The first factor is the plant spacing (30 x 20, 30 x 30 and 40 x30 cm). The second factor is the size of the seed tubers (1-1.5; 1.5-2.5, and> 2.5 cm). The results of theexperiment showed that the plant spacing significantly affect plant height and flower production. The morenarrow plant spacing, the higher production rate per plot per crop with declination of productivity. While thetubers size significantly affect the number of tillers and panicle length.

Keywords: Tuberose; Spacing; seed tuber size; plant growth; interest yields__________________________________________________________________________________

Sedap malam (Polianthus tuberosa) merupakan salah satu jenis tanaman hias yang populer dantelah lama diusahakan oleh petani terutama di pulau Jawa dan Sumatera Utara (Djanika 1998). Luasareal pertanaman dan produksi bunga sedap malam di Jawa Timur mencapai 21,32 ha denganproduksi bunga potong sekitar 46,279,671 tangkai atau sekitar atau sekitar 74,22% dari total produksiIndonesia (BPS 2011).

Permintaan di dalam negeri cukup tinggi, meskipun pola permintaan bunga sedap malamcenderung fluktuatif dari waktu ke waktu (Effendie 1994). Hal tersebut terlihat dari volume penjualanbunga sedap malam di Rawabelong sebagai sentra perdagangan tanaman hias potong yang terbesar diIndonesia. Pada tahun 1998 permintaan bunga sedap malam sebanyak 6.494.000 tangkai, tahun 19993.736.000 tangkai, tahun 2000 4.338.900 tangkai dan tahun 2001 berubah menjadi 3.731.100 tangkai(Nurmalinda et al. 2004).

Tingginya permintaan bunga sedap malam tersebut mendorong kegiatan peningkatan produksibunga di berbagai daerah. Peningkatan produksi dapat ditempuh melalui perluasan areal(ekstensifikasi) dan peningkatan produktivitas per satuan luas lahan (intensifikasi). Perbaikan teknikbudidaya merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan produktivitas, yaitu denganpenerapan teknologi budidaya anjuran spesifik lokasi beserta komponen-komponen pendukungnyayang terintegrasi di dalam sistem pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu.

Sampai saat ini terdapat dua jenis sedap malam yang sudah dilepas sebagai varietas unggulbaru, salah satu di antaranya ialah varietas Roro Anteng, berasal dari kultivar lokal Pasuruan dantelah dilepas sebagai varietas unggul nasional oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timurbekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pasuruan. Varietas tersebut memiliki bunga semi ganda

Page 127: Prosiding BUKU 1

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Sedap Malam Varietas RoroAnteng

Sihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│115

dan lebih cocok ditanam di dataran rendah di bawah 200 m dpl (Priharidini et al. 2003). Sedapmalam tersebut umumnya diusahakan petani dengan teknologi yang masih tradisional sepertipenggunaan benih yang masih asalan, dengan jarak tanam yang masih bervariasi antar petani.

Benih sedap malam diklasifikasikan berdasarkan ukuran umbi menjadi 3 klas yaitu berukurankecil dengan diameter <1–1,5cm, sedang dengan ukuran 1,5–2,5 cm dan besar >2,5 cm (Sarwana2004). Ukuran umbi merupakan salah satu komponen teknologi yang berpengaruh terhadappertumbuhan tanaman dan produksi bunga sedap malam (Tejasarwana 2009). Selanjutnya menurutPatil et al. (1987) diameter umbi 1,5–2,5 cm dapat menghasilkan bunga dengan kualitas terbaik.

Dalam budidaya sedap malam yang masih tradisional, penggunaan jarak tanam atau kerapatantanam masih belum mendapat perhatian dari petani. Padahal menurut Mane at al. (2007) kerapatantanam sedap malam merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan produktivitas tanamandan kualitas hasil panen bunga. Tujuan pengkajian ialah mengetahui pengaruh jarak tanam danukuran umbi terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi bunga sedap malam varietas Roro Anteng.

BAHAN DAN METODE

Kaji terap pengelolaan tanaman terpadu budidaya dan perbanyakan benih sedap malamdilaksanakan sejak Januari sampai Desember 2009. Pengkajian dilakukan Oro-oro Ombo RembangPasuruan (dataran rendah) dengan menggunakan varietas Roro Anteng sebagai bahan tanam.Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial. Sebagai faktor pertama ialah jaraktanam, terdiri 20 x 30, 30 x 30 (yang biasa digunakan oleh petani), dan 30 x 40 cm, serta faktor keduaialah ukuran umbi benih, mencakup 1–1,5; 1,5–2,5; dan >2,5 cm. Tanah diolah sampai halus dandibuat guludan. Di atas guludan disebar pupuk kandang yang sudah matang sebanyak 10–20 ton/hadan kemudian guludan ditutup dengan tanah. Pada guludan dibuat lubang tanam memakai tugaldengan jarak tanam sesuai perlakuan. Tiap lubang ditanam satu umbi sedap malam dengan kedalaman1–2 cm di bawah permukaan tanah. Sebelum ditanam, umbi disortir berdasarkan ukuran yang telahditentukan dalam perlakuan. Selanjutnya umbi-umbi tersebut direndam di dalam larutan insektisidaselama satu malam untuk membunuh hama kutu dompolan, sehingga tidak sampai terbawa kelapangan.

Setelah tunas tumbuh atau berumur 3 minggu setelah tanam, tanaman dipupuk dengan NPKsebanyak 300 kg/ha, dan diulang tiap 3 bulan, sedangkan pupuk kandang diberikan kembali tiap 3-4bulan. Pemberian air irigasi dan penyiangan gulma dilakukan sesuai kebutuhan.

Pengendalian hama/penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida berdasarkan intensitasserangan. Penyemprotan pestisida dilakukan apabila intensitas serangan hama utama (thrips) danpenyakit penting (bercak daun) sudah mencapai 10%. Untuk mencegah serangan hama kutu dompolanterutama pada musim kemarau, lahan senantiasa diberi pengairan agar tetap basah dan tidak sampairetak-retak akibat kekeringan. Apabila tanah sampai retak, maka kutu dompolan akan menyerangbagian umbi.

Pemanenan bunga dilakukan apabila 1 atau 2 kuntum bunga terbawa telah mekar. Sementarapemanenan umbi dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun. Umbi dikeringkan di bawah terikmatahari selama 2–3 minggu. Kemudian umbi dipisahkan satu dengan lainnya dengan meninggalkansedikit akar, disortasi serta digrading berdasarkan ukuran umbi.

Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, serangan hama-penyakit, ukuranmahkota bunga, panjang dan diameter malai, jumlah kuntum, diameter bunga kuncup dan bungamekar, produksi bunga dan lama kesegaran bunga dalam vas serta jumlah umbi per rumpun, jumlahproduksi total umbi dan biaya produksi.

Data yang diperoleh direrata dan dianalisis dengan uji t. Bila di antara perlakuan terdapatperbedaan nyata, analisis dilanjutkan dengan uji Tukey pada selang kepercayaan 0,05.

Page 128: Prosiding BUKU 1

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Sedap Malam Varietas RoroAntengSihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

116│

HASIL DAN PEMBAHASANHasil pengamatan pengaruh perlakuan jarak tanam dan ukuran umbi terhadap pertumbuhan

tanaman yaitu jumlah anakan dan tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Berdasarkananalisis ragam, perlakuan jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman,sedang perlakuan ukuran umbi memberi pengaruh yang nyata. Antara perlakuan jarak tanam danukuran umbi benih tidak didapatkan pengaruh ada interaksi yang nyata. Dengan demikian masing-masing faktor mempunyai pengaruh bebas terhadap variabel-variabel yang diamati, oleh karena itu,dalam analisis dan pembahasan selanjutnya dititikberatkan pada pengaruh masing-masing faktorperlakuan.

Pertumbuhan TanamanPada Tabel 1 dapat dilihat pertumbuhan tanaman mencakup jumlah anakan dan tinggi tanaman.

Sejak awal tanam menunjukkan bahwa jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan.Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun kerapatan tanaman tinggi, maka jumlah anakannyaakan sama dengan kerapatan tanaman yang lebih rendah.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan jarak tanam dan diameter umbi benih terhadap jumlah anakan tanamansedap malam varietas Roro Anteng

PerlakuanJumlah anakan8 MST 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST

A. Jarak Tanam20 x 30 cm 1,53 a*) 2,11 a 2,78 a 3,28 a 4,97 a 5,75 a 7,56 a30 x 30 cm 1,50 a 2,21 a 2,56 a 3,46 a 6,46 a 6,67 a 8,46 a40 x 30 cm 1,40 a 2,11 a 3,04 a 3,96 a 5,76 a 7,14 a 8,90 a

B. Ukuran Umbi1 – 1,5 cm 0.90 b 1,17 b 1,89 b 2,83 b 5,23 a 6,32 a 7,77 a1,5 – 2,5 cm 1,40 b 1,80 b 2,28 b 2,96 b 5,44 a 6,44 a 7,48 a>2,5 cm 2,39 a 3,47 a 4,22 a 4,83 a 6,50 a 6,91 a 8,89 aInteraksi (A X B) tn tn tn tn tn tn tn

Ukuran umbi berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan sampai umur 12 MST. Hal tersebutdiduga berkaitan dengan ketesediaan bahan nutrisi dalam umbi sedang dan besar yang cukup banyak,sehingga dapat menghasilkan anakan yang lebih banyak dan pertumbuhan tanaman yang lebih suburdan cepat. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Mane et al. (2007) bahwa umbi yang besarmenghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak. Namun setelah umur 14 mst, ukuran umbi benih tidakberpengaruh nyata terhadap jumlah anakan. Hal tersebut diduga karena umbi bibit berukuran keciltelah tumbuhan dan berkembang dengan baik dan telah memiliki kemampuan yang hampir samadengan umbi berukuran sedang dan besar dalam menghasilkan anakan (beregenerasi).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan jarak tanam dan diameter umbi bibit terhadap tinggi tanaman sedapmalam varietas Roro Anteng

PerlakuanTinggi tanaman (cm)8 MST 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST

A. Jarak Tanam20 x 30 cm 29,33 a 32,92 b 37,10 b 41,92 b 50,09 b 53,67 b 59,34 a30 x 30 cm 30,47 a 34,32 ab 39,11 a 44,51 a 51,07 ab 56,29 ab 60,17 a40 x 30 cm 31,63 a 36,04 a 39,96 a 45,92 a 53,07 a 58,90 a 61,48 a

B. Ukuran Umbi1 – 1,5 cm 28,37 a 33,27 a 37,47 a 43,71 a 50,69 b 54,31 b 59,19 a1,5 – 2,5 cm 31,33 a 34,37 a 39,53 a 43,76 a 51,70 ab 58,73 a 61,41 a>2,5 cm 31,70 a 35,66 a 39,17 a 44,67 a 52,70 a 57,82 a 60,41 a

Interaksi (A X B) tn tn tn tn nn tn tn

Pada Tabel 2 perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 10sampai 18 MST . Setelah umur tersebut yakni pada umur 20 MST tidak terjadi lagi pertambahantinggi tanaman dan diduga tanaman tersebut telah mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum. Hal

Page 129: Prosiding BUKU 1

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Sedap Malam Varietas RoroAnteng

Sihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│117

tersebut berkaitan erat dengan fase pertumbuhan tanaman yang telah memasuki fase generatif yangditandai munculnya kuncup bunga. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Mane et al. (2006) bahwasemakin jarang tanaman, maka tanaman makin pendek.

Sementara ukuran umbi sejak awal pengamatan yakni umur 8 mst sampai 14 mst tidakmenunjukkan perbedaan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Perbedaan pengaruh nyata hanyaterlihat pada umur 16 sampai 18 mst terutama terhadap ukuran benih yang kecil. Jika ditelaah lebihlanjut nampaknya antar benih berukuran sedang dan besar tidak terdapat perbedaan. Hasil penelitianSarwana (2007) bahwa ukuran umbi benih tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan adakecenderungan makin besar ukuran umbi benih maka tanaman makin pendek. Sementara Santi et al.(2008) melaporkan bahwa ukuran umbi sedang menghasilkan pertambahan tinggi tanaman yang lebihbaik dibanding ukuran umbi lainnya.

Penampilan BungaPengaruh perlakuan terhadap beberapa karakter bunga dapat dilihat pada Tabel 3. Panjang

tangkai bunga tertinggi sebesar 123,84 cm diperoleh pada perlakuan jarak tanam 40 x 30 cm dan tidakberbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam lainnya. Demikian juga pengaruh perlakuan ukuranumbi tidak berbeda nyata terhadap panjang tangkai bunga. Ada kecenderungan bahwa makin besarumbi maka tangkai bunga makin pendek.

Hasil pengamatan pada diameter tangkai bunga menunjukkan bahwa semua faktor perlakuanbaik jarak tanam dan ukuran umbi tidak berpengaruh nyata. Diameter tangkai bunga yang dihasilkankerkisar antara 1,05 sampai 1,11 cm.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan jarak tanam dan ukuran umbi benih terhadap bunga sedap malamvarietas Roro Anteng

PerlakuanKarakter Bunga

Pjtki(cm)

Dmtki(cm)

Pjgmli(cm)

Dmmli(cm)

Jlktm Dmkcpcm)

Dmmkr(cm)

Vaslife(hari)

Jarak Tanam20 x 30 cm 120,93 a 1,11 a 52,18 a 6,27 a 52,80 a 0,85 a 3,72 a 3,6 a30 x 30 cm 122,86 a 1,07 a 50,34 a 6,84 a 53,69 a 0,81 a 3,89 a 3,3 a40 x 30 cm 123,84 a 1,08 a 49,63 a 5,44 a 53,29 a 0,79 a 3,50 a 3,6 aUkuran Umbi1 – 1,5 cm 123,92 a 1,09 a 48,39 b 5,94 a 51,33a 0,80 a 3,93 a 3,3 a1,5 – 2,5 cm 122,82 a 1,10 a 49,80 a 6,41 a 54,94 a 0,81 a 3,27 a 3,6 a>2,5 cm 120,88 a 1,05 a 54,01 a 6,20 a 53,10 a 0,83 a 3,91 a 3,6 aInteraksi (A XB)

tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan : Pjtki = panjang tangkai bunga (cm); Dmtki = diameter tangkai bunga (cm) Pjgmli = panjang malai (cm); Dmmli = diametermalai (cm); Jlktm = jumlah kuntum ; Dmkcp = diameter kuncup bunga (cm); Dmmkr = diameter mekar bunga (cm)

Pengamatan panjang malai pada perlakuan jarak tanam berkisar antara 49,63 sampai 52,18 cmdan tidak terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan. Ada kecenderungan makin lebar jarak tanam,makin pendek panjang malai. Hasil yang sama pada perlakuan ukuran umbi juga menunjukkanperbedaan berpengaruh nyata terhadap panjang malai terutama antara perlakuan umbi berukuran besardengan umbi benih berukuran kecil. Dengan demikian makin besar umbi benih, makin panjang malaibunga. Menurut Misra (2010) bahwa panjang malai kelas medium sekitar 30 cm dan kelas panjangantara 40–45 cm. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada semua perlakuan dihasilkanmalai yang dikategorikan sebagai kelas panjang. Pada pengamatan diameter malai menunjukkanbahwa perlakuan jarak tanam dan ukuran umbi benih tidak berpengaruh nyata. Diameter tangkaibunga berkisar 5,44 sampai 6,84 cm.

Pengamatan jumlah kuntum bunga per malai menunjukkan tidak terdapat perbedaan pengaruhnyata di antara perlakuan jarak tanam maupun ukuran umbi benih. Jumlah kuntum berkisar palingtinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam 20 x 30 cm sebanyak 53,69 kuntum per malai. Sementarapada perlakuan umbi diperoleh jumlah malai terbanyak pada umbi benih sedang sebanyak 56,94kuntum.

Page 130: Prosiding BUKU 1

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Sedap Malam Varietas RoroAntengSihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

118│

Pengamatan pada diameter kuncup dan mekar bunga menunjukkan tidak terdapat perbedaanpengaruh nyata perlakuan jarak tanam maupun ukuran umbi benih. Diameter kuncup paling besardiperoleh pada perlakuan jarak tanam 20 x 30 cm dan perlakuan ukuran umbi besar. Sementaradiameter bunga mekar paling besar diperoleh pada perlakuan jarak tanam 30 x 30 cm yakni 3,89 cmdan pada perlakuan ukuran umbi benih kecil yakni 3,93 cm.

Hasil pengamatan terhadap vaselife atau lama kesegaran bunga dalam peragaan bahwaperlakuan jarak tanam dan ukuran umbi benih tidak menunjukkan perbedaan pengaruh nyata. Masakesegaran bunga pada semua perlakuan hampir sama yakni berkisar antara 3,33 sampai 3,63 hari.

Bunga dihasilkan telah memenuhi standar mutu baku bunga potong dalam perdagangan.Menurut Amiarsih et al. (2004) panjang tangkai merupakan salah satu kriteria yang mempengaruhipreferensi konsumen dan harga jual bunga sedap malam. Pada umumnya konsumen bunga sedapmalam menginginkan panjang tangkai bunga potong lebih dari 75 cm. Hasil pengamatan pada semuaperlakuan menunjukkan panjang tangkai bunga berkisar antara 120,88 sampai 123,92 cm, sehinggatelah memenuhi kriteria tersebut. Selanjutnya berdasarkan kriteria Misra (2010) ukuran tangkai bungatersebut dikategorikan sebagai kelas panjang.

Pada pengkajian ini ditemukan serangan penyakit bercak daun. Berdasarkan ciri-ciri atau gejalayang nampak, penyakit tersebut disebabkan oleh Xanthomonas sp. yang merupakan salah satupenyakit penting pada sedap malam (Djatnika & Rahardjo 1996). Pengamatan intensitas penyakitbercak daun Xanthomonas sp menunjukkan adanya perbedaan pengaruh nyata pada perlakuan jaraktanam (Tabel 4). Makin lebar jarak tanam, makin tinggi intensitas penyakit. Pada perlakuan jaraktanam 20 x 30 cm intensitasnya mencapai 30,83%, sedangkan pada perlakuan jarak tanam 40 x 30 cmhanya mencapai 22,22%. Sementara pada pengamatan perlakuan ukuran umbi benih menunjukkantidak terdapat pengaruh nyata terhadap intensitas penyakit karat.

Tabel 4. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi terhadap intensitas penyakit bercak daun, produksibunga per petak dan produktivitas per tanaman varietas Roro Anteng

Perlakuan Intensitas penyakit bercakdaun (%)

Produksi bunga/petak(tangkai)

Produktivitas(tangkai/tanaman)

Jarak Tanam20 x 30 cm 30,83 a 200,33 a 3,77 b30 x 30 cm 25,00 b 169,56 b 4,34 ab40 x 30 cm 22.22 c 139,67 b 4,66 a

Ukuran Umbi1 – 1,5 cm 27,78 a 171,67 a 4,33 a1,5 – 2,5 cm 25,27 a 164,11 a 4,27 a>2,5 cm 25,00 a 173,78 a 4,19 a

CV 10,39 30,14 0,77Interaksi (A X B) tn tn tn

Pengamatan produksi bunga menunjukkan bahwa di antara perlakuan jarak tanam terdapatperbedaan pengaruh nyata (Tabel 4). Makin sempit jarak tanam, makin tinggi produksi bunga perpetak. Produksi bunga tertinggi pada perlakuan jarak tanam 20 x 30 cm mencapai 200,33 tangkai perpetak. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa makin tingginya populasi tanaman per satuan luasseperti pada perlakuan jarak tanam yang makin sempit, maka produksi bunga per satuan luas akanmakin tinggi. Selanjutnya pada pengamatan perlakuan ukuran benih menujukkan tidak terdapatperbedaan pengaruh nyata. Produksi bunga tertinggi diperoleh dari perlakuan umbi benih berukuranbesar yakni 173,78 tangkai per petak. Sementara hasil penelitiasn Patil et al. (1987) menunjukkanbahwa umbi berukuran kecil (1,5–2,5 cm) dengan kerapatan 15 x 20 cm selama 3 tahun memberikanhasil bunga tertinggi dengan kualitas terbaik.

Pengamatan produktivitas per tanaman menunjukkan perbedaan pengaruh nyata padaperlakuan jarak tanam dan tidak berpengaruh nyata pada perlakuan ukuran umbi benih (Tabel 4).Produktivitas tertinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam 40 x 30 cm yakni 4,66 tangkai/tanaman.Jika ditelaah lebih jauh nampaknya peningkatan produktivitas per tanaman tersebut belum mampu

Page 131: Prosiding BUKU 1

Kajian Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Benih terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Sedap Malam Varietas RoroAnteng

Sihombing, D, Dewi, IR, Kasmiati dan Handayati,W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│119

mengimbangi peningkatan produksi per satuan luas. Produksi tertinggi diperoleh dari jarak tanamyang lebih sempit atau dari populasi yang lebih tinggi per satuan luas.

KESIMPULAN1. Perlakuan jarak tanam yang lebih sempit meningkatkan tinggi tanaman, intensitas penyakit bercak

daun dan produksi bunga per petak.2. Ukuran umbi benih yang lebih besar menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dan malai

yang lebih panjang.3. Semua perlakuan dapat menghasilkan bunga sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh

konsumen.

PUSTAKA

1. Amiarsi, D, Yulianingsih & Sabari, S 2004. Karakterisasi mutu untuk bahan penyusunan standarmutu bunga sedap malam. Prosiding Seminar Nasional Florikultura Bogor, 4-5 Agustus, hlm.432-37.

2. Djatnika, I & Rahardjo, IB 1996, ’Inventarisasi penyakit penting tanaman sedap malam’, J. Hort.,vol. 6, no. 3, hlm. 280-86.

3. Djatnika, I 1997. Efisiensi sistem produksi dan usahatani sedap malam (Polianthus tuberosa L.).Monograf Sedap Malam. Balai Penelitian Tanaman Hias. Jakarta. 38 hal.

4. Effendi, K 1994,’Tata niaga dan perilaku konsumen bunga potong’, Bull. Penel. Tanaman Hias,vol. 2, no. 2, hlm. 1-17.

5. Mane, PK, Bankar, GJ & Makne, SS 2006, ‘Effect of spacing, bulb size nd depth of planting ongrowth and bulb production in tuberose (Polianthes tuberosa) cv. Single’, Indian J. of Agric. Res.,vol. 40, no. 1

6. Mane, PK, Bankar, GJ & Makne, SS. 2007, ‘Influence of spacing, bulb size and depth of plantingon flower yield and quality of tuberose (Polianthes tuberosa L.) cv. Single’, Indian J. of Agric.Res.,vol. 41, no. 1

7. Misra, R 2010, Gogrees Farm tuberose basics, diakses tanggal 15 Oktober 2010,<http://www.articlesnatch.com/ Article/Gogreen-Farms-tuberose-Basics/449472>.

8. Nurmalinda, Herlina, D & Satsijati 2004, ‘Studi diagnostik eksploratif perkembangan tanamanhias potensial’, J. Hort., vol. 14 (Edisi khusus), NR 1987 ‘Effect of bulb siza and and spacing onstalk and flower yield tuberose (Polianthus tuberose L.) cv Single’, Curret Research Reporter,Mahatma Pule Agric., vol. 3 no. 2, pp. 81-2.

9. Santi, A, Kusumo, S & Sitorus, E 2008, Pengaruh ukuran bibit disertai dengan penggunaanpaklobutrazol, asam giberelat atau asam humik terhadap produksi bunga dan waktu pembungaansedap malam (Polianthes tuberosa), Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI, vol. 1, hlm. 172-78

10. Sarwana, R 2004, ‘Pengaruh ukuran umbi dan ukuran umbi terhadap produktitivitas tanamansedap malam’, J. Hort. Vol. 14 (Edisi khusus), hlm. 326-33

11. Sarwana, R, Warsito, A & Prasetio, W 2007, ‘ Pengaruh umur simpan dan ukuran umbi bibitterhadap mutu dan produktivitas tanaman sedap malam’, J. Hort. (Edisi Khusus), no. 2, hlm. 154-61

12. Sihombing, D 2007, Panduan perbanyakan benih sedap malam, Balai Penelitian Tanaman Hias,Tidak dipublikasikan

Page 132: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

120│

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai FrekuensiPenyiraman dan Media Tumbuh

Juradi, M.A. dan Ardjanhar, ABalai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jln. Lasoso No.62 Sigi Biromaru-Sigi

ABSTRAK. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari yangberlangsung pada bulan Agustus sampai November 2007. Penelitian disusun berdasarkan pola faktorial denganRancangan Petak Terbagi (split plot) dengan tiga ulangan yang terdiri atas petak utama ialah frekuensipenyiraman total, dimana: F1 = Penyiraman setiap hari (kontrol), F2 = Penyiraman 2 hari sekali, F3 =Penyiraman 3 hari sekali dan anak petak ialah media tumbuh total, dimana: M1 = Pupuk kandang ayam, M2 =Pupuk kandang sapi, M3 = Bokashi Chromolaena L . Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antaraperlakuan frekuensi penyiraman dan media tumbuh yang terbaik adalah frekuensi penyiraman setiap hari padabokashi C.odorata L memberikan tinggi tanaman 41,52 cm pada umur 21 HST. Jumlah daun dan luas daunperlakuan yang terbaik adalah pada kotoran ayam masing-masing 13,22 (helai) 14,21 dan 28 HST dan 109,28(cm) pada umur 14 dan 21 HST dan perlakuan bokashi C.odorata L memiliki berat segar tanaman sawi yangtinggi dibanding perlakuan lainnya.

Katakunci: Pertumbuhan; C. odorata L.; Kotoran ayam; Frekuensi penyiraman; Media tumbuh

ABSTRACT. Juradi, MA and Asni Ardjanhar 2013. Growth and Production of Brassica juncea L. inVarious Frequency of Watering and Growing Media. The study is based on pattern plot factorial designwith divided (split plot) consists of the main plot and subplot. The results showed the best interaction betweenirrigation frequency factors and growing media was daily irrigation and bokashi Chromolaena odorata L heightof plant (41,52 cm) 21 days after planting.The highest Number of leaf (13,22) and leaf area (14,21) resultedfrom chicken manure 28 days after planting and 109,28 cm at the day aof 14 and 21day after planting andbokashi Chromolaena odorata L treatment resulted the highest fresh weight of Brassica juncea compared toother treatment.

Keywords: Growth; Chromolaena odorata L; Chicken manure; The frequency of watering; Growing medium

Tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan tanaman hortikultura yang penting karenabernilai ekonomi tinggi dan mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Sayuran ini dapatdikonsumsi, baik setelah diolah maupun sebagai lalapan. Sawi mengandung vitamin A, C sertasedikit vitamin B. Setiap 100 gram daun sawi mengandung 1.940,0 mg vitamin A, 102 mg vitamin Cdan 0,09 mg vitamin B. Zat gizi lain yang ada pada sawi adalah 2,3 g protein, 4,0 g karbohidrat dan0,3 g lemak sehingga sangat baik untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Haryanto 2003)

Berdasarkan data statistik pertanian secara nasional, kemampuan produksi tanaman sawi diIndonesia 8-10 t ha-1 tahun-1. Sedangkan untuk Sulawesi Tenggara produksi sawi rerata 3,74 t tahun-1

dengan luas panen 574 ha dan hasil panen 6,51 t ha-1. Data ini menunjukkan bahwa hasil sawi diSulawesi Tenggara masih sangat rendah jika dibandingkan dengan rerata produksi nasional apalagipotensi produksi bisa mencapai 17,6 – 18,6 t ha-1 berat basah (BPS Sulawesi Tenggara 2005).Rendahnya hasil sawi di Sulawesi Tenggara disebabkan oleh keadaan tanah di Sulawesi Tenggaraumumnya tanah ultisol. Tanah tersebut mempunyai sifat seperti pH rendah, kelarutan unsur haramikro meningkat seperti Fe dan Mn dan berada dalam jumlah yang dapat meracuni tanaman,kandungan unsur hara makro seperti N, P, K rendah, kapasitas tukar kation (KTK), demikian halnyadengan unsur Al. Makin rendah pH tanah kelarutan aluminium akan semakin meningkat. Padakonsentrasi 1-2 ppm aluminium dapat membahayakan dan bersifat racun bagi tanaman (Buckman &Brady, 1982).

Daerah Sulawesi Tenggara tergolong beriklim kering dengan limpahan sinar matahari cukuptinggi baik pada musim hujan maupun musim kemarau namun curah hujan rendah sehingga menjadipembatas pertumbuhan tanaman. Oleh karena kondisi air terbatas jumlahnya, diperlukan penggunaanair secara efisien (La Ode Sabaruddin & Mane Kandari A. 2003)

Page 133: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│121

Untuk meningkatkan kesuburan tanah tersebut diperlukan input teknologi media tumbuh danmenjaga ketersediaan air melalui penyiraman dengan identitas tertentu. Air merupakan salah satufaktor pembatas produktivitas tanaman bila ketersediaannya kurang atau lebih dari kebutuhanpertumbuhan tanaman yang optimal. Kondisi kadar air dalam tanah menentukan tingkat efisiensiserapan unsur hara oleh tanaman. Pemberian air harus mempertimbangkan air pada fase vegetatif danpembungaan. Jumlah air yang diberikan harus ditentukan secara tepat agar diperoleh pertumbuhantanaman yang maksimum.

Media tumbuh yang tepat merupakan salah satu syarat keberhasilan budidaya tanamanutamanya budidaya tanaman dalam wadah. Hakim (1986) menyatakan bahwa media tumbuh sepertitanah merupakan media alam untuk pertumbuhan tanaman. Tanah menyediakan unsur-unsur harasebagai makanan untuk pertumbuhan tanaman, tanah mengandung 50% ruang pori-pori, 25% air danlainnya diisi oleh udara. Keadaan tanah memegang peranan penting dalam pertumbuhan tanamanterutama pertumbuhan akar. Menurut Susanto (2002) bahwa tanah sebagai media tanam dapatdikombinasikan dengan bahan-bahan organik dan anorganik. Bahan-bahan organik yang dapatdigunakan adalah sisa-sisa tanaman dan kotoran, antara lain pupuk kandang dan bokashi.

Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh frekuensi penyiraman dan media tumbuh terhadappertumbuhan dan hasil panen tanaman sawi

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari yangberlangsung pada bulan Agustus sampai November 2007 yang secara geografis terletak pada posisi122031’ BT 0401’ LS dengan ketinggian 24 m dpl. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalahbenih sawi varietas Choi sim, tanah, bokashi kirinyuh (Chromolaena L.), pupuk kandang ayam, pupukkandang sapi. Alat yang digunakan adalah bak pengecambahan berukuran (40 cm x 30 cm), pacul,parang, skop, polibag (30 cm x 40 cm), ember, leaf area meter, mistar ukur, terpal, alat penyiramandan alat lain untuk menggemburkan tanah, timbangan analitik. Penelitian disusun berdasarkan polafaktorial dengan rancangan Petak Terbagi (Split Plot) yang terdiri atas petak utama dan anak petak.Faktor pertama adalah frekuensi penyiraman (F) 0,5 liter air per polibag terdiri atas tiga taraf, yaitu F1

= Penyiraman setiap hari (kontrol), F2 = Penyiraman 2 hari sekali, F3 = Penyiraman 3 hari sekali.Faktor kedua adalah media tumbuh (M) terdiri atas empat taraf, yaitu Mo = tanah (kontrol), M1 =Pupuk kandang ayam, M2 = Pupuk kandang sapi, M3 = Bokashi Chromolaena L , masing-masingperbandingan 1:1 (tanah+pupuk) yang ditempatkan pada petak utama. Dari kedua faktor tersebutdiatas diperoleh 12 kombinasi perlakuan masing-masing kombinasi perlakuan diulang tiga kalisehingga terdapat 36 unit perlakuan. Tiap unit perlakuan terdiri atas delapan tanaman, sehingga totaltanaman yang digunakan adalah 288 tanaman.

Prosedur PenelitianPembuatan pupuk bokashi

Bokashi yang dibuat berasal dari C. odorata L. yang diperoleh dari sekitar Kebun PercobaanFakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahandasar dalam pembuatan bokashi adalah bagian batang yang masih muda ditandai dengan bentukbatang halus dan lunak dan daun tanaman yang muda berwarna kehijau-hijauan. Selanjutnya, bagian-bagian tersebut dipotong-potong dengan ukuran ± 3-5 cm, Bahan tersebut disiram larutan EM4 secaraperlahan-lahan, kemudian dibuat menjadi pupuk bokashi. EM4 mengandung mikroorganismefermentasi dan sintesis yaitu bakteri asam laktat, bakteri fotosintesis, Actynomycetes sp. dan ragi.Pembuatan bokashi dikatakan berhasil jika bahan bokashi terfermentasi dengan baik. Ciri-cirinyaadalah bokashi ditumbuhi jamur yang berwarna putih dan tidak berbau. Sedangkan jika bokashi yangberbau busuk, maka pembuatan bokashi gagal.

Page 134: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

122│

Penyemaian benihBenih tersebut disemaikan pada bak pengecambahan dengan menggunakan media

perkecambahan tanah + kotoran ayam (1:1). Benih disebarkan di atas permukaan tanah. Setelahbenih disebar merata, media kemudian ditutupi dengan tanah. Pemindahan ke polybag dilakukan jikatanaman mempunyai 3 helai daun atau tanaman berumur ±3 minggu

Persiapan media tumbuhMedia yang digunakan adalah tanah, bokashi C. odorata L pupuk kandang ayam dan pupuk

kandang sapi. Keempat media ini terlebih dahulu dibersihkan. Tanah, bokashi C.odorata L. danpupuk kandang ayam diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 0,8 mm, selanjutnya jenismedia tersebut dikering anginkan supaya gas racun pada media menguap/hilang selama 6 harikemudian dimasukkan ke dalam polybag berukuran (30x40 cm) sesuai dengan kombinasi perlakuanyang dicobakan. Volume media per polybag adalah 9,5 liter. Polibag-polibag ditempatkan padarumah (naungan) penanaman tanaman sawi berukuran 8 m x 6,5 m, dengan menggunakan plastikbening sebagai atap dan dindingnya menggunakan jaring net yang berwarna hitam.

PenanamanBibit yang ditanam adalah bibit yang sehat dan seragam. Tiap polybag ditanam 1 bibit.

Penanaman dilakukan pada pagi hari, setelah penanaman dilakukan penyiraman masing-masingsebanyak 0,5 liter per polybag (kapasitas lapang). Penyiraman selanjutnya dilakukan berdasarkanperlakuan frekuensi penyiraman.

Pemeliharaan tanamanPemeliharaan yang dilakukan pada tanaman sawi meliputi penyulaman dan penyiangan.

Penyulaman dilakukan ketika tanaman ada yang tidak tumbuh. Penyiangan dilakukan pada umur satuminggu setelah tanam dengan cara mencabut/membersihkan gulma di sekitar tanaman.

Metode PanenPemanenan dilakukan setelah tanaman sawi berumur 28 hari setelah tanam. Pada umur 28

HST, daun terbawah sudah menguning yang menandakan bahwa tanaman memasuki fase generatifdan waktu yang terbaik untuk melakukan pemanenan tanaman sawi8. Pengamatan terhadap tanamansawi dilakukan pada 2 tanaman sampel yang ditentukan secara purposif. Pengamatan dilakukan padaumur 7, 14, 21, 28 HST (saat panen). Adapun variabel yang diamati, antara lain : tinggi tanaman,jumlah daun, luas daun, dan berat segar. Data hasil pengamatan akan dianalisis dengan menggunakansidik ragam (uji F). Apabila hasil analisis menunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel makadilanjutkan dengan uji BNT pada taraf kepercayaan 95 % dengan Program Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa interaksi antara frekuensi penyiraman dan mediatumbuh berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman umur 21 HST. Hasil uji beda nyataterkecil (BNT) pada taraf 95% pengaruh interaksi antara frekuensi penyiraman dan media tumbuhterhadap rerata tinggi tanaman.

Page 135: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│123

12.57 b

24.5 b27.4 a 26.35 ab

14.45 c

28.77 b33.73 a

41.52 a

20.55 b

36.82 a

23.75 b 24.03 b

05

1015202530354045

M0 M1 M2 M3

Ting

gi T

anam

an (c

m)

Frekuensi Penyiraman x Media Tumbuh

F1

F2

F3

Gambar 1. Pengaruh interaksi antara frekuensi penyiraman dengan media tumbuh terhadap tinggiumur 21 HST

Gambar 1 menunjukkan bahwa media tumbuh bokashi kirinyuh (M3) memberikan respon yangsangat baik untuk tinggi tanaman pada perlakuan penyiraman dua hari sekali dibandingkan denganmedia tumbuh lainnya, pada umur 21 hari setelah tanam. Tanaman sawi lebih efektif dilakukanpenyiraman dua hari sekali. Kemampuan tanaman untuk menggunakan air secara efisien tergantungdari tahap perkembangan tanaman. Besarnya kebutuhan air pada setiap fase pertumbuhan tidak sama,hal ini berhubungan langsung dengan proses fisiologis, morfologis dan kombinasi kedua faktortersebut (Sutanto, 2002). Jika kadar kelembaban suatu tanah optimum untuk pertumbuhan tanaman,maka tanaman sudah dapat menggunakan air dalam tanah untuk proses pertumbuhannya (Fitter danHay, 1992), C. odorata L, memiliki konsentrasi unsur hara N, P, K, Ca, Mg dan Na (Salisbury danRoss, 1995). Ketersediaan unsur hara yang seimbang akan mempengaruhi perkembangan sel dalamjaringan tanaman sehingga laju pertumbuhan berjalan cepat (Kilham, 1995). Aktivitas meristem padapertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun sangat ditentukan oleh unsur hara N, P, Kdan Ca. Pupuk bokashi C. odorata L, sampai pada dosis tertentu dapat memperbaiki sifat fisik, kimiadan biologi tanah sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman sawi menjadi lebih baik. Denganpenambahan bokashi yang diaplikasikan ke dalam tanah, ketersediaan unsur hara, baik hara makromaupun hara mikro dapat meningkat sebagai akibat dari mineralisasi bahan organic (Kilham, 1995)yang terkandung di dalam bokashi oleh mikroba-mikroba pengurai dalam EM4. Efeknya adalahtanah menjadi gembur sehingga drainase dan aerasi tanah menjadi lebih baik, serta tanah menjadilebih lembab sebagai akibat dari kapasitas memegang air bahan organik. Perbaikan sifat kimia danfisik tanah tersebut selanjutnya akan memacu aktivitas mikroba pengurai dalam mendekomposisikanbahan organik sehingga laju mineralisasi meningkat dan hara yang tersedia bagi tanaman sawimeningkat (Karimuna, 2006). Selanjutnya, bahwa pemberian bahan organik 10 t ha-1 yang ditunjangpemberian air dengan frekuensi tinggi dan penanaman secara bersamaan dapat meningkatkanproduktivitas tanaman (Sabaruddin. 2003).

Page 136: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

124│

6.39 c

10.04 a

8.23 b 8.33 b6.94 c

8.50 a7.56 b 7.33 b

9.72 c

13.22 a

10.17 b 10.72 b

0

2

4

6

8

10

12

14

M0 M1 M2 M3

Jum

lah

Daun

(Hel

ai)

Media Tumbuh

14 HST

21 HST

28 HST

59.06 c

109.28 a94.27 b 91.43 b

58.5 c

89.56 a74.65 b 73.33 b

0

20

40

60

80

100

120

M0 M1 M2 M3

Luas

Dau

n (c

m2 )

14…21…

Gambar 2. Pengaruh media tumbuh terhadap jumlah daun umur 14, 21, 28 HST

Gambar 2 menunjukkan rerata jumlah daun umur 14,21 dan 28 HST tertinggi diperoleh padaperlakuan M1 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya serta sangat nyata terhadap jumlah daunumur 28 HST. Secara mandiri perlakuan tanah + pupuk kotoran ayam dapat meningkatkanpertumbuhan vegetatif tanaman sawi khususnya jumlah daun dan luas daun (Gambar 2 dan 3). Hal inididuga karena pada perlakuan tersebut ketersediaan unsur hara khususnya N dan hara mikro lebihbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya selain pH tanah lebih tinggi, tingkat keracunan Al, Fedan Mn lebih rendah, drainase dan aerasi tanah lebih baik, dan kelembaban tanah lebih tinggi.Menurut Sujatmaka16, menyatakan dibandingkan dengan pupuk kandang lainnya kotoran ayam palingkaya akan unsur hara, bahwa di dalam kotoran ayam terkandung unsur-unsur hara seperti N,P, dan K(Tabel 1).

Tabel 1. Kadar N, P, dan K yang terdapat dalam Pupuk Kandang

Unsur (%) Kotoranayam Kotoran sapi Kotoran kuda Kotoran babi Kotoran

Domba

Nitrogen (N) 1,70 0,29 0,44 0.60 0,55Phospor (P2O5) 1,90 0,17 0,17 0,41 0,31Kalium (K2O) 1,50 0,35 0,35 0,13 0,15

Gambar 3. Pengaruh Media Tumbuh Terhadap Luas Daun Umur 14,21 HST

Page 137: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│125

106.2 b

135.3 b

178.35 a

106.74 b

157.08 b

123.16 c

198.35 a

145.61 b

115.23 b 108.33 b86.83 c

121.18 a

0

50

100

150

200

250

M0 M1 M2 M3

Luas

Dau

n (c

m2 )

Frekuensi Penyiraman x Media Tumbuh

F1

F2

F3

Gambar 4. Pengaruh Interaksi antara frekuensi penyiraman dan media tumbuh terhadap LuasDaun Umur 28 HST

Gambar 4 menunjukkan bahwa pengaruh faktor frekuensi penyiraman (F1 dan F2) rerata luasdaun tertinggi diperoleh pada perlakuan M2 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya sedangkanfrekuensi penyiraman (F3) rerata luas daun tertinggi diperoleh pada perlakuan M3 dan berbeda nyatadengann perlakuan lainnya. Interaksi antara perlakuan kotoran sapi dengan frekuensi penyiraman 2hari sekali dapat meningkatkan luas daun pada umur 28 HST. Hal ini menunjukkan bahwaketersediaan air dalam tanah ditentukan oleh kemampuan partikel tanah memegang air dankemampuan akar untuk menyerapnya. Besarnya kemampuan partikel tanah memegang air ditentukanoleh jumlah air yang diberikan. Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui tanah denganjalan penyerapan oleh akar sehingga dapat memungkinkan tetap berlangsungnya proses fotosintesis.

Tabel 2. Pengaruh Media Tumbuh terhadap Berat Segar Umur 14, 21 HS

PerlakuanBerat segar

14 HST 21 HST

M0 31,79 c 33,55c

M1 72,32 b 58,97b

M2 67,03b 64,41ab

M3 84,01a 84,36a

BNT 0,05 10,54 19,16Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf

kepercayaan 95%

Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata berat segar tanaman umur 14 dan 21 HST tertinggidiperoleh pada perlakuan M3 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, Berat basah panentertinggi diperoleh pada perlakuan media tanah + pupuk bokashi C odorata L. Menurut Soegiman(2008), bahwa suatu tanaman akan tumbuh dan mencapai tingkat produksi tinggi apabila unsur harayang dibutuhkan tanaman berada dalam keadaan cukup tersedia dan berimbang didalam tanah danunsure N, P, dan K yang merupakan tiga unsur dari enam unsur hara makro yang mutlak diperlukan

Page 138: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Berbagai Frekuensi Penyiraman dan Media TumbuhJuradi, M.A. dan Ardjanhar, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

126│

oleh tanaman. Bila salah satu unsur tersebut kurang atau tidak tersedia dalam tanah, akanmempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman

KESIMPULAN

Perlakuan interaksi antara media tumbuh bokashi C. odorata L dan penyiraman setiap harimemiliki tinggi tanaman umur 21 hari setelah tanam yang lebih baik dibandingkan dengan mediatumbuh yang lainnya, sedangkan jumlah daun dan luas daun memperlihatkan perlakuan mediatumbuh yang baik adalah kotoran ayam, sedangkan frekuensi penyiraman 2 hari sekalimemperlihatkan yang lebih baik dibandingkan frekuensi penyiraman yang lain, sementara berat segaryang terbaik adalah perlakuan bokashi C.odorata L

PUSTAKA

1. Buckman, HO & Brady, NC 1982, Ilmu tanah. Terjemahan Soegiman, Bhratara Karya Aksara,Jakarta.

2. BPS Sulawesi Tenggara, 2005, Produksi tanaman padi, palawija, sayuran dan buah-buahan,Sulawesi Tenggara.

3. Fitter, AH. & Hay, RKM, 1992, Fisiologi lingkungan tanaman. Gadjah Mada University press,Yogyakarta.

4. Hakim, Nyakpa, NMY, Lubis, AM, Nugroho SG, Saul, R, Dina, MA, Go Bang Hong & Bailey,HH 1986, Dasar-Dasar ilmu tanah, Universitas Lampung, Lampung.

5. Hardjadi, S 1986, Pengantar agronomi, Gramedia, Jakarta.

6. Haryanto 2003, Sawi dan selada, Edisi Revisi, Penebar Swadaya, Jakarta.

7. Killham, K 1995, Soel ecology, Camridge University Press, Cambridge.

8. Karimuna. 2006, Study penggunaan bokashi kirinyuh (Chromolaena. L) terhadap perbaikan sifatkimia tanah dan produksi tumpangsari jagung dan kacang tanah di Kabupaten Muna. ProposalTeknis. Lembaga Penelitian Universitas Haluleo. Kendari.

9. Sabaruddin, LO & Mane KA 2003, Pengkajian efisiensi penggunan air dalam sistem tumpangsari tanaman pangan di lahan beriklim kering pada musim kemarau, Laporan Akhir HibahPenelitian Proyek Development For Undergraduate Education (Due-Like) Batch II tahun 2003,Unhalu, Kendari.

10. Sabaruddin, LO 2003, ‘Model optimalisasi pemanfaatan lahan kering berdasarkan sumberdayaiklim (Kasus DAS Tiworo Sulawesi Tenggara)’, Disertasi, Program Pascasarjana InstitutPertanian Bogor, Bogor.

11. Salisbury, FB dan Ross, CW 1995, Fisiologi tumbuhan, Institut Teknologi Bandung, Bandung

12. Sutanto, R 2002, Penerapan pertanian organic, Yogyakarta.

13. Soegiman 2008, ‘Pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dengan pemberian bokashi’, J.Agrisistem, vol. 4, no. 2.

Page 139: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│127

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah NapuKabupaten Poso

Sukarjo dan Rahayu, HSPBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jl. Lasoso 62 Biromaru, Palu

ABSTRAK. Kawasan Lembah Napu yang berada pada ketinggian di atas 1000 meter dpl merupakan tempatproduksi sayuran yang menyuplai kebutuhan masyarakat palu dan sekitarnya. Pengusahaan lahan yang berbasiskonservasi sangat diperlukan karena Lembah Napu menjadi daerah tangkapan air wilayah di bawahnya. Kajianini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya erosi untuk pengembangan sayuran di Kawasan Lembah Napu.Penelitian dilaksanakan Juli-September 2010, dengan batas wilayah seperti dalam masterplan pegembanganhortikultura di Lembah Napu. Penelitian dilaksanakan dengan metode survey. Data yang diambil meliputi dataklimatologi, topografi dan komoditas sayuran unggulan di Lembah Napu. Tingkat bahaya erosi dianalisisdengan sistem informasi geografis dan komoditas unggulan dianalisis dengan analisis hirarki. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa lokasi pengembangan sayuran di kawasan Lembah Napu mempunyai tingkat bahaya erosisangat rendah pada areal 98.84%, rendah-sedang seluas 0.82%, berat 0.35% dan sangat berat 0% sehinggasangat sesuai untuk pengembangan sayuran baik dari aspek agroekologi maupun konservasi. Sedangkanberdasarkan komoditas unggulan yang dikembangkan berturut-turut meliputi kacang-kacangan, bawang daun,kentang, tomat, petsai/sawi dan bawang merah.

Katakunci: Tingkat bahaya erosi; Sayuran; Lembah Napu

ABSTRACT. Sukarjo and Heni SPR 2013. Erosion Hazard Levels in Vegetable Development Area inThe Napu Valley, Poso District. Napu Valley region which located at an altitude of 1000 meters above sealevel is a place that suply vegetables for Palu City and the surrounding communities. Cultivation of land-basedconservation is needed because the Napu Valley is in the water catchment of the underneath area. This studyaims to determine the level of erosion hazard for the development of vegetables in Napu Valley Region. Theexperiment was conducted from July to September 2010, with boundaries as in the masterplan of thehorticulture’s development in Napu Valley. The research conducted by survey method. The data capturedincludes climatological data, topographic and vegetables commodities in the Napu Valley. The erosion rate wasanalyzed by geographic information systems and the superior commodities were analyzed with hierarchicalanalysis. The results showed that the location of vegetables’s development in the Napu Valley has very lowlevels of erosion area at 98.84%, low to moderate erosion area at 0.82%, heavy erosion area at 0.35% and veryheavy at 0%. Therefore it is very suitable for both the development of vegetables and also the conservation ofagro-ecological aspects. While based on hierarchical analysis the superior commodities that suitable for beingdeveloped are beans, scallions, potatoes, tomatoes, petsai / mustard and onions.

Keywords: Erosion Hazard; Vegetables; Napu valley

Kawasan Lembah Napu yang berada pada ketinggian 1000 meter dpl merupakan tempatproduksi sayuran yang menyuplai kebutuhan masyarakat palu dan sekitarnya. Pengusahaan lahanyang berbasis konservasi sangat diperlukan karena Lembah Napu menjadi daerah tangkapan airwilayah di bawahnya.

Suroso dan Susanto (2006) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan daerah aliransungai (DAS) bagian hulu menjadi lahan pertanian memberikan pengaruh cukup dominan terhadapdebit banjir dan laju erosi. Ada dua proses alami yang sangat penting di daerah hulu sungai akibatperubahan penggunaan lahan, yaitu aliran permukaan dan erosi (Syam, 2003). Erosi yang terjadi dapatmenyebabkan kemerosotan produktivitas tanah, sehingga lahan menjadi marginal (Wicaksono, 2003).Menurut Sitorus (2007) dampak erosi dirasakan oleh warga tidak saja yang berada di daerah hulu,melainkan juga yang berada di bagian tengah dan hilir, baik langsung maupun tidak langsung. Lahandengan tingkat kemiringan 3-15%, erosi tanah yang terjadi dapat mencapai 97,5-423,6 t/ha/tahun ataurerata kehilangan tanah setebal 1-5 cm (Kurnia et al. 1997).

Douglas (1992) menyatakan bahwa beberapa prinsip umum yang dapat digunakan agar berhasildalam mempromosikan konservasi lahan pada tingkat usahatani berskala kecil antara lain adalah

Page 140: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

128│

perencanaan konservasi lahan harus mengutamakan petani (farmer first approach) dan penerapankonservasi lahan harus ramah petani (farmer friendly). Sistem usahatani konservasi yangmemanfaatkan sumberdaya spesifik lokasi harus berdasarkan pada karakteristik, kemampuan, dankesesuaian, efisien, produksi tinggi, dan berkelanjutan (Syafrudin et al., 2004). Mengingat pentingnyaaspek konservasi dalam mengusahakan lahan di dataran tinggi maka kajian ini bertujuan untukmengetahui tingkat bahaya erosi untuk pengembangan sayuran di kawasan Lembah Napu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan Juli-September 2010, dengan batas wilayah seperti ditunjukkan padaGambar 1 yang tertuang dalam masterplan pegembangan hortikultura di Lembah Napu (DinasPertanian Sulawesi Tengah, 2010).

Sumber: Dinas Pertanian Sulawesi Tengah, 2010

Gambar 1. Batas wilayah pengembangan sayuran di Lembah Napu

Penelitian dilaksanakan dengan metode survai. Data yang diambil meliputi data klimatologi,topografi dan komoditas sayuran unggulan di Lembah Napu. Sumber data diperoleh dari DinasPertanian Kabupaten Poso dan Propinsi Sulawesi Tengah, Bappeda Kabupaten Poso, BPS, dan BPTPSulawesi Tengah.

Tingkat bahaya erosi dianalisis dengan sistem informasi geografis melalui pendekatanklasifikasi kelerengan (Djaenudin et al, 2003) yang diturunkan dari peta Shuttle Radar TopographyMission (SRTM) 90 meter dan komoditas unggulan dianalisis dengan analisis hirarki.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lembah Napu merupakan suatu lembah yang meliputi wilayah desa Sedoa, Wuasa, Wanga,Watutau. Secara geografis Lembah Napu terletak pada 120°18’-120°23’ Bujur Timur dan 1°24’-1°34’Lintang Selatan.

Kondisi IklimLembah Napu mempunyai suhu rata-rata maksimum 32oC, suhu rata-rata minimum 16oC

dengan rata-rata suhu harian 24°C. Kondisi curah hujan diwakili oleh rata-rata pengamatan selama10-20 tahun dari tiga stasiun pengamatan, yaitu stasiun penakar curah hujan BPP Wuasa, Kebun Bibit

Page 141: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│129

Hortikultura Winowanga, dan PT. Perkebunan Teh Hashfarm Napu yang mewakili wilayah datarantinggi Napu.

Jumlah curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1.529-1.624 mm, dengan rata-rata bulananberkisar antara 127-135 mm, tanpa adanya bulan kering (<60 mm) dengan Tipe Hujan A (Schmidth &Ferguson, 1951) dan Zone Agroklimat A1 (Oldeman, 1975). Sedangkan jumlah hari hujan rata-ratatahunan berkisar antara 130 sampai 173 hari.

Keadaan suhu dan curah hujan yang terdapat di Lembah Napu menunjukkan bahwa LembahNapu sesuai untuk pengembangan sayuran. Hal ini didukung oleh Mario dan Hutahaean (2002) yangmenyatakan bahwa sayuran tomat, kacang panjang dan buncis berada pada kelas sangat sesuai (S1)sedangkan wortel, kentang, bawang merah, cabe dan kubis berada pada kelas cukup sesuai (S2) dansesuai marginal (S3) dengan pembatas ketersediaan air, oksigen, temperatur dan media perakaran.

TanahPemahaman karakter dan perilaku lingkungan tanah dan iklim secara tepat dan benar akan

mempermudah dalam penyusunan arahan penggunaan lahan untuk suatu komoditas tertentu sesuaidengan kondisi agroekologi setempat.

Hasil kajian Mario et al. (2004) di kecamatan Lore Utara, termasuk di dalamnya sebagianLembah Napu ditemukan 2 ordo tanah yaitu Entisols dan Inceptisols, dari kedua ordo tanah tersebutmenurunkan 4 sub ordo, 5 grup, dan 22 famili tanah. Hasil delineasi peta tanah 1: 1.000.000 (PusatPenelitian Tanah dan Agroklimat, 2000) didapatkan bahwa Lembah Napu mempunyai 2 ordo tanahyaitu Inceptisols dan Ultisols.

Tanah Inceptisols tergolong masih muda, sifat tanahnya sangat bervariasi bergantung bahaninduknya, di antaranya: tekstur lebih halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai netral,tergantung dari sifat bahan asal dan keadaan lingkungannya. Banyak data menunjukkan penampangtanahnya dangkal dan berbatu, terutama di pegunungan atau perbukitan berlereng curam. Terdapatjuga Inceptisols yang berbahaya untuk tanaman karena mengandung pirit atau aluminium yang tinggi(Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000).

Tanah ultisols mempunyai horison argilik atau kandik dan memiliki kejenuhan basa sebesarkurang dari 35 persen pada kedalaman 125 cm atau lebih di bawah batas atas horison argilik ataukandik. Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi translokasi liat pada bahan induk yangumumnya terdiri dari bahan kaya aluminium-silika dengan iklim basah. Sifat-sifat utamanyamencerminkan kondisi telah mengalami pencucian intensif, diantaranya: miskin unsur hara N, P, danK, sangat masam sampai masam, miskin bahan organik, lapisan bawah kaya aluminium (Al), danpeka terhadap erosi. Potensinya bervariasi dari rendah sampai sedang dan biasanya digunakan untuktanaman keras (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000).

Penggunaan Lahan dan VegetasiPenggunaan lahan merupakan cerminan tingkat penggunaan lahan dan penerapan teknologi

masyarakat. Berdasarkan cirta landsat ETM 2006 dan pengecekan lapangan, penggunaan lahan diLembah Napu dapat dikelompokkan menjadi 7 satuan penggunaan lahan, yaitu: hutan lahan keringsekunder, pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering+semak, sawah, tanah terbukadan tubuh air. Rincian luas penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3.

Page 142: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

130│

Tabel 3. Penggunaan lahan Lembah Napu

Penggunaan LahanLuas

Ha %Hutan Lahan Kering Sekunder 1066,08 10,24%Pemukiman 7,50 0,07%Pertanian Lahan Kering 7967,30 76,51%Pertanian Lahan Kering+Semak 486,20 4,67%Sawah 370,36 3,56%Tanah Terbuka 487,37 4,68%Tubuh Air 28,21 0,27%J u m l a h 10413,04 100,00

Sumber: Data primer

Berdasarkan pada Tabel 3 maka potensi pengembangan sayuran merupakan satuan lahandengan penggunaan pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur semak dan tanahterbuka yang mempunyai kesesuaian lahan dengan tingkat bahaya erosi yang masih dapat ditoleransi.

Tingkat Bahaya Erosi

Hasil analisis tingkat bahaya erosi dengan sistem informasi geografis yang diturunkan dari petaShuttle Radar Topography Mission (SRTM) 90 meter disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tingkat Bahaya Erosi kawasan pengembangan sayuran Lembah Napu

Hasil delineasi terhadap peta tingkat bahaya erosi kawasan Lembah Napu diperoleh tingkatbahaya erosi sangat rendah pada areal 98.84%, rendah-sedang seluas 0.82%, berat 0.35% dan sangatberat 0% sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sayuran baik dari aspek agroekologi maupunkonservasi.

Berdasarkan pada komoditas yang sudah ada dan diusahakan oleh petani di lapangan, jenissayuran yang diusahakan meliputi: tomat buah, tomat sayur, buncis, kacang panjang, kacang tunggak,petsai, sawi, wortel, kentang, sawi, kubis, dan cabe. Mario et al. (2004) melakukan analisiskesesuaian lahan pada wilayah Lembah Napu yang hasilnya untuk tanaman sayuran seperti tomatsayur, kacang panjang, dan buncis berada pada kelas S1 (sangat sesuai), sedangkan wortel, kentang,bawang merah, cabe, dan kubis berada pada kelas S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal).

Page 143: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│131

Potensi Lahan dan Jenis Sayuran Yang DikembangkanMengingat perkembangan penggunaan lahan yang terdapat di lapangan dan memperhatikan

hasil evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan Mario et al (2004) serta mempertimbangkan tingkatbahaya erosi yang akan terjadi maka luas wilayah yang berpotensi untuk pengembangan sayuranmerupakan hasil overlapping dari kesesuaian lahan, penggunaan tanaman lain dan penggunaantanaman sayuran yang telah ada. Potensi pengembangan sayuran di Lembah Napu disajikan padaTabel 4.

Tabel 4. Luas potensi pengembangan sayuran dan penggunaan eksisting

Kecamatan Kesesuaian LahanBerdasarkan TBE Luas Potensi (ha)*) Penggunaan Lain

(ha)**) Sayuran (ha)***)

Lore Peore Sangat Sesuai 6411,15 1016,67 15

Cukup Sesuai 77,33

Sesuai Marginal 21,83

Tidak Sesuai -

Lore Timur Sangat Sesuai 1609,45 279,76 25

Cukup Sesuai 0,47

Sesuai Marginal 0,01

Tidak Sesuai -

Lore Utara Sangat Sesuai 2263,93 175,73 69

Cukup Sesuai 14,71

Sesuai Marginal 14,15

Tidak Sesuai -Sumber: *) Analisis Data 2010

**) Hutan Sekunder, Pemukiman, Sawah, Tubuh Air***) BPS, 2010

Berdasarkan pada Tabel 4 maka luas potensi pengembangan sayuran di kecamatan Lore Peorelebih dari 5.000 ha, kecamatan Lore Timur lebih dari 1.000 ha dan kecamatan Lore Utara lebih dari2.000 ha. Selain mempertimbangkan faktor biofisik, pengembangan sayuran di kawasan LembahNapu hendaknya diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana, seperti jalan, pasar dan lain-lain(Dinas Pertanian Sulawesi Tengah, 2010).

Komoditas sayuran yang akan dikembangkan dapat dilihat dari tingginya permintaan dantingkat ketersediaannya di lapangan. Makin tinggi permintaan serta makin rendahnya tingkatketersediaannya di lapangan maka sayuran tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu,perkembangan secara alamiah luas areal dan produksi suatu jenis sayuran dapat dijadikan indikatorbahwa sayuran tersebut berpotensi untuk dikembangkan. Hasil analisis hirarki produksi tanamansayuran di Lembah Napu disajikan pada Tabel 5.

Page 144: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

132│

Tabel 5. Komoditas unggulan berdasarkan hirarki produksi tanaman sayuran di Lembah Napu (ton)

Jenis sayuranProduksi (ton) Total

Produksi HirarkiLore Utara Lore Peore Lore Timur

Bawang daun 673,64 122,48 796,12 2Bawang merah 186,96 62,32 62,32 311,60 6Petsai/sawi 429,66 95,48 525,14 5Tomat 540,02 83,08 623,10 4Kentang 662,96 662,96 3Buncis 40,76 40,76 10Ketimun 58,92 58,92 8Kacang-kacangan

272,52 211,96 514,74 999,22 1

Lombok 165,15 128,45 293,60 7Bayam 17,04 8,52 25,56 11Kangkung 50,76 50,76 9Jumlah 3.098,39 402,73 886,62 4.387,74

Sumber: BPS, 2010

Hasil analisis hirarki pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis sayuran yang berpotensi untukdikembangkan berturut-turut meliputi kacang-kacangan, bawang daun, kentang, tomat, petsai/sawidan bawang merah.

KESIMPULAN

1. Lokasi pengembangan sayuran di kawasan Lembah Napu mempunyai tingkat bahaya erosi sangatrendah pada areal 98.84%, rendah-sedang seluas 0.82%, berat 0.35% dan sangat berat 0%sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sayuran baik dari aspek agroekologi maupunkonservasi.

2. Komoditas unggulan yang dikembangkan berturut-turut meliputi kacang-kacangan, bawang daun,kentang, tomat, petsai/sawi dan bawang merah.

PUSTAKA

1. BPS, 2010. Kabupaten Poso dalam angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. Poso.

2. Dinas Pertanian Sulawesi Tengah, 2010. Masterplan pengembangan hortikultura di kawasanLembah Napu, Laporan Akhir, Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah.

3. Djaenudin, Marwah H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk teknis evaluasi lahan untukkomoditas pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Bogor. 154 Hlm.

4. Douglas, M.G. 1992. The Development of conservation farming systems :some policy andinstitutional considerations p. 101−122.. In S. Arsyad, I. Amien, T. Sheng & W.C. Moldenhauer[editors] Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming. SWCS & WASWC AnkenyIowa USA.

5. Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh teknikrehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. J. Tanah dan Iklim. 15:10-18.

6. Mario, D. Mulyady, dan L. Hutahaean, 2002. Potensi pengembangan hortikulktura di datarantinggi Napu Sulawesi Tengah, Prosiding Seminar Nasional IV Pengembangan Wilayah Lahan

Page 145: Prosiding BUKU 1

Tingkat Bahaya Erosi dalam Pengembangan Kawasan Sayuran di Lembah Napu Kabupaten PosoSukarjo dan Rahayu, HSP

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│133

Kering dan Temu Ilmiah Tahunan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Pusat Kajian Lahan Keringdan Rehabilitasi Lahan, FP UNRAM, FKPT-PI, HITI, FKOTK, Mataram.

7. Mario, D. Muljady, Husen Hasni, Lintje Hutahaean, Rahmat Anasiru, Ropik, Samdan CD., M.Amin, dan Tina Febrianti. 2004. Penyusunan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkanZAE, skala 1:50.000 Di kawasan dataran tinggi Napu Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso.Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.

8. Oldeman, 1975, An agroclimatic map of Java contribution from the Central Research Institute ofAgriculture, no. 17, CRIA, Bogor.

9. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000. Peta sumberdaya tanah eksplorasi 1 : 1.000.000.Lembar MA51, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

10. Schmidt. F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall type based on wet and dry period ratios forIndonesia with Western New Guinea Verhandelingen No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika.Jakarta.

11. Sitorus, S.R.P. 2007. Kualitas, degradasi, dan rehabilitasi lahan. Sekolah Pascasarjana. IPB.Bogor. 84 Hlm.

12. Suroso dan H.A. Susanto. 2006. Pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap debit banjir DaerahAliran Sungai Banjaran. J. Teknik Sipil. 3:75-80.

13. Syafruddin, A.N. Kairupan, A. Negara, dan J. Limbongan. 2004. Penataan sistem pertanian danpenetapan komoditas unggulan pada Zone Agroekologi di Sulawesi Tengah. J. Litbang Pert.23:61-67.

14. Syam, A. 2003. Sistem pengelolaan lahan kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. J.Litbang Pert. 22:126-171.

15. Wicaksono, A.H. 2003. Penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap kualitas tanah. J. Penel.UNIB. IX: 85-88.

Page 146: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek DendrobiumJayakartaYuniawati, M dan Indriatama, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

134│

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadapPertumbuhan Anggrek Dendrobium Jayakarta

Yuniawati, M dan Indriatama, WPusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jl. Cinere, Pasar Jumat, Jakarta 12440

ABSTRAK. Tanaman anggrek Dendrobium banyak ditemukan di Indonesia terutama di hutan sekitarpulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, Maluku dan Nusa Tenggara. Dendrobium HLB 102 yangbiasa dikenal dengan sebutan Dendrobium Jayakarta merupakan hasil persilangan antara DendrobiumWalter Oumae dengan Dendrobium Merpati. Setiap tanaman memiliki pengaruh yang berbeda terhadapberbagai dosis iradiasi. Penggunaan iradiasi dalam pemuliaan tanaman bertujuan mendapatkan sifat baruyang belum dimiliki oleh tanaman induk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh iradiasisinar gamma dan pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) giberelin terhadap pertumbuhan anggrekDendrobium Jayakarta dalam media Vacin dan Went (VW). Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustussampai Desember 2008 di laboratorium kultur jaringan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi,Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jum’at, Jakarta. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap(RAL) dengan pola faktorial yang terdiri atas dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama ialah dosisiradiasi (0, 40 dan 80 Gy) dan faktor kedua yaitu konsentrasi ZPT Giberelin (0, 1 dan 2 ppm). Setiap unitperlakuan pada setiap ulangan terdiri atas lima botol dan tiap botol berisi satu planlet. Data dianalisissecara ANOVA dan dilanjutkan dengan uji DMRT. Pengamatan dilakukan hingga tanaman berumur tigabulan meliputi persentase tumbuh, pertambahan tinggi planlet, jumlah daun, jumlah akar dan jumlahtunas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tumbuh, pertambahan tinggi planlet, jumlahdaun, jumlah akar dan jumlah tunas terbaik diperoleh pada perlakuan iradiasi 40 Gy dengan penambahan2 ppm giberelin tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pertambahan jumlah akarterbanyak diperoleh dari perlakuan tanpa iradiasi dan memperlihatkan perbedaan yang sangat nyatadibandingkan perlakuan lainnya.Katakunci: Dendrobium Jayakarta; Radiation; Giberelin

ABSTRACT. Yuniawati, M and Indriatama, W. 2013. Effect of Gamma Rays Irradiation andSubstances Growth Regulator Giberelin on Growth of Dendrobium Orchids Jayakarta. Dendrobiumorchid mostly found naturally in Indonesia, especially in the forest of Java, Borneo, Sumatera, Papua, Malukuand Nusa Tenggara islands. Dendrobium HLB 102 known as Dendrobium Jayakarta is a cross between D.Walter Oumae and D. Merpati. Every plant may show different response toward irradiation doses. Applicationof irradiation on plant breeding was aimed to obtain new characters that had not been found from the motherplants before. The research was done in order to determine the influence of gamma rays irradiation and theapplication of plant growth regulators (PGRs) called gibberelin on the growth of D. Jayakarta cultured in Vacinand Went (VW) medium. The experiment carried out at tissue culture laboratory.Center for Application ofIsotope and Radiation Technology from August to December 2008 was arranged in a factorial completelyrandomized design with 2 factors and 3 replications. The first factor was irradiation doses (0, 40 and 80 Gy) andthe second factor was the concentration of gibberelin (0, 1 and 2 ppm). Each unit of experiment consisted of 5flasks and one plantlet was cultured in every flask. Data were analyzed using Duncan Multiple Range Test(DMRT). The parameter was observed after 3 months cultured, namely growth percentage, increasing of plantletheight, number of leaves, shoots and roots. The results showed that the highest growth percentage, increasing ofplant height, number of leaves, shoots and roots was obtained from the plantlets exposed to gamma rays at thedose 40 Gy and cultured in VW medium enriched with 2 ppm gibberelin., however there were no significantdifference compared to other treatments. The untreated plantlets indicated the most increasing of root numberand significantly different from other treatments.

Keywords: Dendrobium Jayakarta, Radiasi, Giberelin

Anggrek dalam penggolongan taksonomi termasuk ke dalam famili Orchidaceae. Dendrobiummerupakan salah satu genus tanaman anggrek yang sangat diminati oleh masyarakat karenamenghasilkan bunga yang cantik, warna yang menawan, dan tidak mudah layu dibandingkan dengan

Page 147: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek DendrobiumJayakarta

Yuniawati, M dan Indriatama, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│135

jenis anggrek lainnya. Selain itu, anggrek Dendrobium dapat digunakan sebagai bunga potong untukrangkaian, bunga pot, dan bunga taman sebagai landscape (Solvia 2008).

Dendrobium dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 3.800 m di atas permukaan laut.Habitatnya koral di pantai, batu-batuan, atau menempel pada pepohonan seperti mangrove, kelapa dankaret sehingga disebut tanaman epifit. Dendrobium Jayakarta memiliki tekstur serta warna bungaputih dan permukaan bunga yang indah serta harum (Redaksi Trubus 2005).

Anggrek merupakan salah satu tanaman yang telah dikembangkan secara kultur jaringan untuktujuan komersial. Permintaan terhadap anggrek yang semakin meningkat menuntut adanyapenyediaan bibit dalam jumlah besar pada waktu yang relatif singkat. Melalui teknik kultur jaringan,bibit tanaman dapat dihasilkan dengan bersih, bermutu tinggi, seragam, murah, skala massal dalamwaktu yang relatif singkat (Wattimena 1991).

Keberhasilan penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yangdigunakan. Media Vacin dan Went (VW) merupakan media kultur jaringan anggrek yang cukup baikuntuk pembentukan plb sampai dengan planlet. Bahan organik yang dapat ditambahkan ke dalammedia kultur jaringan di antaranya ialah air kelapa muda dan arang aktif. Penambahan bahan organikke dalam media dasar yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi sebagai sumber gula di sampingmengandung vitamin, ZPT dan asam amino dapat meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi selpada tanaman (Widiastoety 2001).

ZPT memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur jaringan.Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya antara lain jenis ZPT yang akan digunakan,konsentrasi, urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur (Gunawan 1995). Giberelinmemiliki beberapa manfaat yaitu : mengatasi genetic dwarfism (kekerdilan akibat mutasi), membuatbuah tanpa biji (parthenocarpy), mempercepat proses pertumbuhan dan pembungaan sertameningkatkan produktivitas (Parnata 2004).

Iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menginduksi yangberasal dari sumber radiasi (Winarno 1989). Penggunaan iradiasi dalam pemuliaan bertujuanmendapatkan sifat-sifat baru yang belum dimiliki oleh induk tanamannya. Hipotesis yang diajukanialah bahwa setiap tanaman memiliki pengaruh yang berbeda terhadap berbagai dosis iradiasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Agustus sampai Desember 2008 di Laboratorium KulturJaringan PATIR-BATAN Jakarta. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini ialah planletanggrek Dendrobim Jayakarta berukuran 3 cm berdaun 3-5, media VW, ZPT Giberelin, alkohol 96%,spiritus dan akuades. Alat yang digunakan ialah autoclave, timbangan analitik, laminar air flowcabinet (LAFC), oven, pH meter, stirrer, botol kultur, selotip bening besar ukuran 5 cm dan kecilukuran 1 cm, alumunium foil, skapel, pinset, lampu spiritus, cawan petri, gelas ukur, tabungerlenmeyer, pipet, sprayer, kertas label, dan ruang tumbuh yang dilengkapi dengan rak kultur,pendingin (AC) serta lampu TL (sebagai sumber cahaya).

Penelitian ini disusun dalam rancangan acak lengkap dengan pola faktorial yang terdiri atas duafaktor dan tiga ulangan. Faktor pertama ialah dosis iradiasi (0, 40 dan 80 Gy) dan faktor kedua ialahkonsentrasi ZPT Giberelin (0, 1 dan 2 ppm) sehingga menghasilkan sembilan kombinasi perlakuan.

Planlet Dendrobium Jayakarta diiradiasi dengan dosis 0, 40, dan 80 Gy dan dipindahkan kedalam media perlakuan. Setiap satu botol media terdiri atas satu planlet. Kegiatan penuangan mediadan sterilisasi, pengambilan serta penanaman planlet dilakukan secara aseptik di laminar air flowcabinet (LAFC), kemudian botol kultur berisi planlet dipindahkan ke ruang tumbuh. Suhu ruangtumbuh berkisar antara 20 sampai dengan 24oC dengan penyinaran lampu TL Philips 40 watt 1000 luxselama 16 jam.

Pengamatan dilakukan setelah tiga bulan dari masa setelah tanam yang meliputi persentasetumbuh dan kultur terkontaminasi, pertambahan tinggi planlet, jumlah daun, jumlah akar, dan jumlahtunas.

Page 148: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek DendrobiumJayakartaYuniawati, M dan Indriatama, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

136│

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase daya tumbuh terendah (53,33%) ditunjukkan pada eksplan dengan perlakuan tanpairadiasi dan tanpa giberelin, sedangkan persentase daya tumbuh tertinggi ditunjukkan pada eksplandengan perlakuan 40 Gy yang dikombinasikan dengan giberelin 0,1 dan 2 ppm serta pada eksplandengan perlakuan iradiasi 80 Gy yang dikombinasikan dengan giberelin 0 dan 2 ppm (100%) (Tabel1). Persentase daya tumbuh dipengaruhi oleh jumlah planlet yang mati dan jumlah terkontaminasi,tetapi pada penelitian ini tidak terjadi kematian pada planlet yang disebabkan oleh iradiasi.

Soedjono (2003) menyatakan bahwa perlakuan iradiasi dengan dosis yang rendah dapatmempertahankan daya hidup tunas, memperpanjang waktu pemasakan, meningkatkan kadar pati,protein dan kadar minyak pada biji. Dosis iradiasi 0-1000 Gy merupakan ketegori dosis iradiasi yangrendah (Anonim 1991).

Tabel 1. Persentase Daya Tumbuh dan Kultur TerkontaminasiPersentase daya tumbuh

Iradiasi (Gy)Giberelin (ppm)

Rerata0 1 2

0 53,33 73,33 93,33 73,3340 100,00 100,00 100,00 100,0080 100,00 93,33 100,00 97,78

Rerata 84,44 88,89 97,78

Persentase kultur terkontaminasi

Iradiasi (Gy)Giberelin (ppm)

Rerata0 1 2

0 46,67 26,67 6,67 26,6740 0,00 0,00 0,00 0,0080 0,00 6,67 0,00 2,22

Rerata 15,56 11,11 2,22

Iradiasi dan pemberian giberelin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggieksplan pada 12 MST (Tabel 2). Planlet terendah terlihat pada perlakuan tanpa radiasi dan tanpagiberelin (1,82 cm), sedangkan planlet tertinggi diperoleh dari planlet yang diiradiasi dengan dosis 40Gy dengaan penambahan giberelin 1 dan 2 ppm (1,97 ppm). Pada tingkat dosis tertentu iradiasi sinargamma dapat merangsang pertumbuhan tanaman, pertumbuhan ini meliputi pertambahan tinggitanaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunarjono at al. (1986) bahwa iradiasi sinar gammaberpengaruh terhadap tinggi tanaman bawang merah generasi pertama (MV1).

Tabel 2. Interaksi iradiasi dan giberelin terhadap pertambahan tinggi eksplan anggrek (cm) secara invitro pada 12 MST

Iradiasi (Gy)Giberelin (ppm)

Rerata0 1 2

0 1,82 1,83 1,94 1,8640 1,92 1,97 1,97 1,9580 1,92 1,85 1,93 1,90

Rerata 1,89 1,88 1,95KK (%) 10,28

Penggunaan ZPT giberelin konsentrasi 2 ppm memperlihatkan pertambahan rerata tinggi planletyang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 1 ppm dan tanpa penggunaan giberelin. MenurutKrisnamorty (1981), perpanjangan batang disebabkan oleh dua proses yaitu pembelahan sel danpembesaran sel. Giberelin berpengaruh nyata terhadap perpanjangan batang, hal ini disebabkan karenagiberelin dapat meningkatkan aktifitas pembelahan sel di bawah meristem pucuk. Media kultur yangdiberi giberelin pada konsentrasi 2 ppm menunjukkan hasil yang lebih baik terhadap pertambahanjumlah daun eksplan anggrek Dendrobium Jayakarta bila dibandingkan dengan pada konsentrasi 1

Page 149: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek DendrobiumJayakarta

Yuniawati, M dan Indriatama, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│137

ppm dan tanpa giberelin. Salisbury dan Ross (1993) menyatakan bahwa giberelin bila diberikandengan cara apapun di tempat yang dapat mengangkutnya ke bagian tajuk, maka peningkatanpembelahan sel dan pertumbuhan sel akan mengarah kepada pemanjangan batang dan perkembangandaun muda.

Planlet anggrek Dendrobium Jayakarta yang diiradiasi dengan dosis 40 Gy secara umummemberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang diiradiasi dengan 80 Gy dan tanpairadiasi. Hal ini terlihat pada parameter tinggi planlet, jumlah daun dan jumlah tunas. Iradiasi gammasampai suatu tingkat dosis tertentu dapat merangsang pertumbuhan tinggi tanaman (Pahan 1987).Soeminto (1985) melaporkan bahwa iradiasi dengan dosis rendah dapat digunakan untuk merangsang(stimulasi) pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini aktifitas hormon pertumbuhan lebih memacukegiatannya sehingga proses pembentukan daun lebih cepat.

Perlakuan iradiasi pada eksplan anggrek tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyataterhadap pertambahan jumlah daun (Tabel 3), tetapi iradiasi pada eksplan dengan dosis 40 Gymenunjukkan pertambahan jumlah daun terbanyak (3,49 helai).

Tabel 3. Interaksi Iradiasi dan Giberelin terhadap Pertambahan Jumlah Daun Eksplan Anggrek (helai)secara in vitro pada 12 MST.

Iradiasi (Gy)Giberelin (ppm)

Rerata0 1 2

0 3,12 3,51 3,72 3,4540 3,57 3,40 3,49 3,4980 3,25 3,34 3,32 3,30

Rerata 3,31 3,42 3,51KK (%) 13,31

Iradiasi planlet anggrek pada dosis 40 Gy tampaknya dapat memacu pertambahan jumlah daun.Hal ini sejalan dengan pernyataan Soedomo (1989) bahwa iradiasi sinar gamma berpengaruh nyataterhadap jumlah daun bawang merah. Iradiasi juga berpengaruh terhadap jumlah daun anggrekAranthera James Storie.

Tabel 4. Interaksi iradiasi dan giberelin terhadap pertambahan jumlah tunas eksplan anggrek secara invitro pada 12 MST

Iradiasi (Gy)Giberelin (ppm)

Rerata0 1 2

0 1,64 1,75 1,92 1,7740 1,81 1,85 1,81 1,8280 1,61 1,76 1,75 1,71

Rerata 1,69 1,79 1,83KK (%) 15,52

Iradiasi memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tunas pada planlet anggrek DendrobiumJayakarta (Tabel 4). Planlet yang diiradiasi dengan dosis 40 Gy menunjukkan pertambahan jumlahtunas lebih banyak bila dibandingkan dengan planlet yang diiradiasi dengan dengan dosis 80 Gy dankontrol. Pada umumnya dosis iradiasi yang rendah dapat mempertahankan daya hidup atau tunas(Soedjono 2003).

Perlakuan iradiasi berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah akar, sedangkan pemberiangiberelin tidak berbeda nyata terhadap pertambahan jumlah akar (Tabel 5). Planlet anggrekDendrobium Jayakarta yang tidak diiradiasi memperlihatkan pertambahan jumlah akar terbanyak danberbeda nyata dengan anggrek yang diiradiasi dosis 40 Gy dan 80 Gy. Hal ini disebabkan karenairadiasi sinar gamma menyebabkan kerusakan fisiologis pada pertumbuhan akar sehingga jumlah akarlebih sedikit pada tanaman yang diiradiasi (Boertjes & Van Harten 1988). Sejalan dengan pendapat

Page 150: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek DendrobiumJayakartaYuniawati, M dan Indriatama, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

138│

tersebut, Kusumo et al. (1989) menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma mempengaruhi pembentukanakar pada tanaman Chrysanthemum morifolium. Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) pada mediakultur sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Tujuan ditambahkannya ZPT dalammedia kultur adalah untuk menginisiasi pertumbuhan eksplan yang diharapkan. Pemberian ZPT kedalam media kultur harus tepat karena jika konsentrasi yang diberikan melebihi kebutuhan maka akanmengakibatkan terhambatnya pertumbuhan pada tanaman.

Tabel 5. Interaksi iradiasi dan giberelin terhadap pertambahan jumlah akar eksplan anggrek secara invitro pada 12 MST.

Iradiasi (Gy)Giberelin (ppm)

Rerata0 1 2

0 4,73 a 4,74 a 4,86 a 4,7840 3,45 b 3,30 b 3,63 b 3,4680 3,58 b 3,58 b 3,56 b 3,57

Rerata 3,92 3,87 4,02KK (%) 5,63

Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama pada semua kolom tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%

KESIMPULAN

1. Persentase tumbuh, pertambahan tinggi eksplan, jumlah daun, dan jumlah tunas terbaik diperolehpada planlet anggrek Dendrobium Jayakarta yang iradiasi 40 Gy dengan penambahan 2 ppmgiberelin walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

2. Pertambahan jumlah akar terbanyak diperoleh dari planlet anggrek Dendrobium Jayakarta yangtidak diiradiasi dan memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata dibandingkan perlakuanlainnya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih atas partisipasi Sdri. Yulidar dalam pelaksanaan penelitianini.

PUSTAKA

1. Anonim 1991, Iradiasi pangan, cara pengawetan dan meningkatkan keamanan pangan, ITB,Bandung, hlm. 26-37.

2. Boertjes, C &Van Harten 1988, Applied mutation breeding for vegetatively propagated crops,Elseiver, Amsterdam, pp 337-47.

3. Gunawan, LW 1995, Teknik kultur in vitro dalam hortikultura, Penebar Swadaya, Jakarta.

4. Krisnamorty, HN 1981, Plant growth substance, Tata Mc Growth Hill Publishing CompanyLimited, New Delhi.

5. Kusumo, D, Tjondronegoro, PD, Mariska, I & Hendratno 1989, Pengaruh iradiasi gamma padakultur in vitro, Risalah Pertemuan Ilmiah dan Aplikasi Teknik Nuklir Bidang Pertanian danBiologi, PATIR BATAN, Jakarta, hlm. 793-800.

6. Pahan, I 1987, Pengaruh iradiasi sinar gamma pada pucuk in vitro terhadap keragaman tanamanpetunia (Petunia hybrida Vilm.), Skripsi, IPB, Bogor.

7. Parnata, Ayub, S 2004, Pupuk organik cair aplikasi dan manfaatnya, Agromedia Pustaka, Jakarta.

8. Redaksi Trubus 2005, Anggrek Dendrobium, PT Trubus Swadaya, Depok.

Page 151: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek DendrobiumJayakarta

Yuniawati, M dan Indriatama, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│139

9. Soedjono, S 2003, ‘Aplikasi mutasi induksi dan variasi somaklonal dalam pemuliaan tanaman’,J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, vol. 22, no. 2, hlm. 70-6.

10. Salisbury, FB & Ross 1993, Fisiologi tumbuhan jilid 3, Terjemahan oleh Lukman & SumaryonoITB, Bandung.

11. Soedomo, PR 1989, ‘Studi pendahuluan iradiasi sinar gamma pada tanaman bawang merah(Allium ascalonicum L.)’, Buletin Penelitian Hortikultura, vol. XVIII, no. 2, hlm. 67-6.

12. Soeminto, B 1985, Manfaat tenaga atom untuk kesejahteraan manusia, CV Karya Indah, Jakarta.

13. Solvia, N 2008, Mengenal dan memelihara anggrek dendrobium, diakses tanggal 19 Juli 2008,<www.spmabogor.net>.

14. Sunarjono, H. Yetty dan Eti. 1986. Kemungkinan Perbaikan Varietas Bawang Merah melaluiMutasi dengan Radiasi Sinar Gamma. Buletin Penelitian HortikulturaVol. XIII (3) hal : 16.

15. Wattimena, GA 1991, Zat pengatur tumbuh (ZPT) tanaman, Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor.

16. Widiastoety, D 2001, Penambahan persenyawaan organik kompleks dalam media kultur in vitropada anggre, East Java Orchid Show 2001, Purwodadi Botanical Garden May 26th-31th 2001, pp.40-7.

17. Winarno, FG 1989, Kimia pangan dan gizi, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 23-4.

Page 152: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

140│

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya SaingMelalui Konsep M-P3MI di Malang-Jatim

Baswarsiati dan YuwokoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km-4, Malang

[email protected]

ABSTRAK. Budidaya sayuran ramah lingkungan belum banyak dilakukan oleh petani di kabupaten Malang,padahal Malang merupakan sentra utama produksi sayuran di Jawa Timur. Oleh karena itu perlu adanyapengkajian diseminasi melalui konsep M-P3MI (Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi)dengan implementasi program di lapang berbentuk unit percontohan (demplot) sayuran yang menerapkaninovasi teknologi menuju Prima-3. Tujuan pengkajian yaitu ingin melakukan percepatan penumbuhan kawasansayuran ramah lingkungan melalui inovasi teknologi yang diterapkan dengan model demoplot-demoplot.Kegiatan pengkajian dimulai pada Januari hingga Desember 2011 di desa Tawangargo, kecamatan Karangploso,kabupaten Malang. Jenis sayuran yang ditanam petani yaitu sawi daging, lettuce, andewi, mentimun baby,buncis baby, tomat, jagung manis, cabai besar dan cabai rawit. Teknologi sayuran yang diperkenalkan antaralain penggunaan pupuk organik + trichocompos, pengurangan pupuk anorganik dan pengurangan pestisidakimia serta penggunaan pestisida hayati. Hasil kajian menunjukkan adanya peningkatan persentase petani yangmenerapkan budidaya sayuran ramah lingkungan yaitu lebih dari 60 % sedangkan penggunaan pupuk kimiaberkurang 50-60 % dan penggunaan pestisida kimia juga menurun 50-60 %. Produksi dari aneka sayuran yangmenerapkan GAP tetap sama bahkan lebih tinggi dari teknologi eksisting, serangan OPT semakin rendah, mutuproduk lebih baik, produk lebih lama umur simpannya dan keamanan terjamin untuk dikonsumsi sehinggamemiliki daya saing. Sedangkan kelembagaan kelompok tani, kelembagaan unit usaha kelompok tani,kelembagaan pasar, kemitraan semakin baik sehingga penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungan di desaTawangargo semakin mantap.

Kata kunci: Sayuran; Ramah lingkungan; MP3MI; Inovasi teknologi; Prima 3; Produksi; Mutu

ABSTRACT. Baswarsiati and Yuwoko. 2013. Study of Growing of environmentally friendly vegetablearea that competitiveness through M-P3MI Concept in Malang – East Java. Environmentally friendlyvegetable cultivation has not been done by farmers in the district of Malang, Malang when the main center ofvegetable production in East Java. Hence the need for assessment of dissemination through the concept of M-P3MI (Rural Agricultural Development Model Through Innovation) by implementing a field program in theform of a pilot unit (demonstration plot) vegetables that apply technological innovation to the Prima-3. Purposeof assessment is to perform accelerated growth of the green vegetables through technological innovation appliedto the model-demoplot demoplot. Assessment activities began in January and December 2011 in the villageTawangargo, Karangploso district, district Malang. Farmers planted vegetables, namely cabbage meat, lettuce,endive, baby cucumber, baby green beans, tomatoes, sweet corn, pepper and cayenne pepper large. Technologyis introduced vegetables such as the use of organic fertilizers trichocompos +, reduction of inorganic fertilizersand chemical pesticides reduction and the use of biological pesticides. The study results showed an increase inthe percentage of farmers who implement environmentally friendly vegetable cultivation which is around 60%while the use of chemical fertilizers was reduced 50-60% and the use of chemical pesticides also decreased 50-60%. Production of various vegetables are applying the same GAP is even higher than the existing technology,pest attacks and the lower the better product quality and longer product shelf life and guaranteed as safe to eat,so competitive. While the institutional group of farmers, farmer groups institutional units, institutional market,the better the partnership so that the growth area in the village green vegetables Tawangargo more stable.

Keywords : Vegetables; Environmentally friendly; MP3MI; Technological innovation; Prima 3; Production,quality.

Dalam rangka mendukung pembangunan pertanian menuju terwujudnya pertanian uggulanberkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilaitambah, daya saing dan kesejahteraan petani, Badan Litbang Pertanian mulai tahun 2011mencanangkan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI) atau Prima

Page 153: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│141

Tani Plus sebagai program pembangunan pertanian melalui Sistem Diseminasi Multi Channel atauSDMC (Badan Litbangtan, 2011).

M-P3MI merupakan suatu konsep diseminasi inovasi yang tidak hanya fokus mempercepatpenyebaran inovasi pertanian, tetapi juga memperluas dan memperbesar spektrum diseminasi.Implementasi program di lapang berbentuk unit percontohan berskala pengembangan berwawasanagribisnis terpadu. Unit percontohan yang holistik meliputi aspek perbaikan teknologi produksi,pasca panen, pengolahan hasil, aspek pemberdayaan masyarakat tani, aspek pengembangan danpenguatan sarana pendukung agribisnis. Dengan demikian akan terjadi proses pembelajaran dandiseminasi teknologi yang berjalan secara simultan sehingga spektrum diseminasi menjadi semakinluas (Badan Litbangtan, 2011). Untuk itu dalam implementasi penumbuhan kawasan sayuran ramahlingkungan dilakukan percepatan melalui konsep Model Pembangunan Pertanian Perdesaan melaluiInovasi.

Konsep pengembangan sayuran yang telah dicanangkan Pemerintah agar dapat bersaing dipasar global yaitu usaha produksi yang efisien untuk menghasilkan produk bermutu yang amandikonsumsi dan dihasilkan secara kontinyu berdasarkan prinsip kelestarian lingkungan denganmenerapkan budidaya sayuran yang baik dan benar sesuai konsep GAP /Good Agriculture Practices(Kementerian Pertanian, 2009). Sayangnya konsep ini masih belum banyak diterapkan oleh petanisayur karena petani belum bijaksana dalam berbudidaya sayuran terutama penggunaan pupuk kimiadan pestisida kimia masih berlebihan (Baswarsiati et al, 2010; Dipertabun Malang, 2010) Dukunganteknologi produksi sayuran ramah lingkungan telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian melaluipengelolaan tanaman terpadu sayuran dan teknologi ramah lingkungan memanfaatkan sumberdayahayati spesifik lokasi (Setiawati et al, 2008).

Konsep pengembangan kawasan sayuran sama halnya dengan pembangunan pertanianperspektif ke depan yaitu mengikuti konsep pertanian berkelanjutan (Syafaat, 2003). Konseppertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA) dan pengembangan teknologi partisipatoris(PTP) merupakan pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdayamanusia. Secara ekonomis layak, mantap secara ekologis, dan sesuai menurut budaya, serta adilsecara sosial. Pemanfatan input luar tidak dikesampingkan namun dipandang sebagai pelengkappemanfaatan sumber daya lokal. (Soemarno, 1997; Reintjes et al, 1999).

Dalam rangka pengembangan agribinis sayuran harus memperhatikan indikator keberhasilan(Soemarno, 2003: Napitupulu, 2004) : 1) Penambahan luas areal tanam dan panen, 2) Peningkatanproduktivitas dan produksi, 3) Peningkatan mutu produk, 4) Adopsi teknologi maju, 5) Tercukupinyaproduksi sepanjang tahun, 6) Terbentuknya usaha agribisnis, 7) Terbentuknya kelembagaan usaha, 8)Terbangunnya prasarana usaha, 9) Tersedianya sarana produksi secara berkelanjutan (benih, pupuk),10) Berkembangnya usaha pengolahan hasil, 11) Terpasarkannya hasil/produk pada pada tingkat nilaitambah yang layak, 12) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungan akan dilaksanakan di kecamatanKarangploso-khususnya desa Tawangargo. Sekitar 64 % dari luas wilayah desa atau hampir 519 ha,saat ini didominasi usahatani aneka sayuran (sayuran daun, brokoli, lettuce, kobis, cabai, bawangmerah, buncis, tomat, kacang polong, jagung manis dll) dengan wilayah pemasaran di pasar Keputran-Surabaya serta wilayah Jawa Timur (Anonim, 2008; Rahayu, 2010). Sebagian petani desaTawangargo telah mampu memproduksi aneka sayuran dengan produktivitas tinggi, kontinyu danpanen bertahap sesuai permintaan pasar.

Tujuan pengkajian yaitu ingin melakukan percepatan penumbuhan kawasan sayuran ramahlingkungan melalui inovasi teknologi yang diterapkan dengan demoplot-demoplot denganmenggunakan SDMC (Sistem Diseminasi Multi Channel) dalam implementasi Model PengembanganPertanian Pedesaan Melalui Inovasi.

BAHAN DAN METODE

Kajian penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungan yang berdaya saing melalui konsep M-P3MI di Malang di lakukan di desa Tawangargo, kec. Karangploso yang dimulai sejak bulan Januari

Page 154: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

142│

2011 hingga Desember 2011. Topografi wilayah yaitu perbukitan, ketinggian tempat 700-1100 mdpl, curah hujan 1.500-2.000 mm/th dengan luas areal sayuran sekitar 519 ha. Pengkajian diawalidengan Rapid Rural Appraisal (RRA), koordinasi dengan instansi terkait, pemilihan petani pesertademoplot, pemilihan lokasi demoplot serta pemilihan jenis sayuran dan pemilihan teknologipartisipatif serta pembuatan rancang bangun untuk disepakati bersama pelaksanaanya oleh pemangkukepentingan. Teknologi sayuran menuju Prima-3 yang diterapkan dalam demplot antara lain :penggunaan pupuk organik sebanyak 5 ton/ha + trichocompos 100 kg/ha, pengurangan pupukanorganik dan pengurangan pestisida kimia 50-60 % dari kebiasaan petani serta penggunaan pestisidanabati. Jenis sayuran yang ditanam di demplot yaitu sawi daging, brokoli, bloomkol, tomat,mentimun, buncis dan jagung manis.

Petani peserta demplot ada di 2 dusun yaitu dusun Ngudi dan dusun Kali Malang, desaTawangargo sejumlah 80 orang dan melibatkan 2 kelompok tani. Luas demoplot sayur di masing-masing petani berkisar 1.250 m2 – 3.000 m2. Adapun data yang diamati yaitu : peningkatan jumlahpeserta demoplot, persentasi petani yang menerapkan inovasi teknologi, peningkatan produksi danmutu produk sayur ramah lingkungan, berjalannya dan berkembangnya SDMC, berkembangnyakelembagaan mendukung kawasan sayuran ramah lingkungan. Sedangkan analisa data dilakukansecara deskriptif berdasarkan hasil wawancara menggunakan daftar pertanyaan setelah pelaksanaandemoplot.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil RRA tentang Kondisi Desa TawangargoDesa Tawangargo-Karangploso merupakan wilayah dengan topografi perbukitan, ketinggian

tempat 700 m dpl, curah hujan 1.500-2.000 mm/th. Luas desa Tawangargo 805 ha sedang luaskawasan sayuran 519 ha, terbagi dalam 6 dusun yaitu : Ngudi, Kali Malang, Leban, Lasah, BoroLasah dan Suwaluwan. Kawasan desa Tawangargo merupakan kawasan prioritas pengembangankomoditas sayuran oleh Pemda Malang. Jumlah penduduk desa Tawangaro 8695 jiwa. Jumlah KK =2.475 KK dan 80 persen adalah petani. Jumlah kelompok tani 6 dan jumlah anggota per kelompok30-45 orang.

Jenis sayuran yang ditanam petani sekitar 50 jenis sayuran daun antara lain (sawi manis, sawidaging, aneka lettuce), sayuran buah (cabai, tomat, mentimun, bucis), kubis2an (kubis, bloomkol,brokoli, kailan), jagung manis dan lain lain. Terdapat sekitar 100 pedagang/ pengepul sayur di desaTawangargo. Semua jenis sayur yang ditanam memiliki pangsa pasar yang baik artinya sayur yangdihasilkan petani semuanya mampu terjual walaupun harga fluktuatif dan mengikuti harga pasar.Selama ini pemasaran sayur dilakukan di Jakarta (Mangga Dua), Surabaya, Sidoarjo (Puspa Agro),Porong, Pandaan, Pasuruan serta kota besar lainnya dan pasar sekitar Lawang, Singosari,Karangploso, Belimbing. Petani mampu memproduksi sayur secara bertahap (tidak tergantungmusim), kontinyu dan produktivitas tinggi. Beberapa pedagang pengepul memasok aneka benih sayurdan saprodi serta memberikan modal Pedagang pengepul terkadang juga menentukan kuota jenissayur serta kuota areal tanam per komoditas sesuai permintaan pasar.

Dalam berusahatani sayuran terdapat beberapa permasalahan yang muncul di tingkat petanidesa Tawangargo antara lain : 1) Penggunaan pestisida & pupuk kimia berlebihan, 2) Ketergantungansumber benih dari distributor, 2) Tidak dijumpai maintanance alsintan, rumah bibit, pembuatanpupuk organic, 3) Aktivitas kelembagaan petani masih rendah, 4) Jaringan sistem informasi bergeraklambat, 5) Infrastruktur belum memadai (jalan, pasar wisata, dll), 6) Perlu tambahan modal usahatani.

Keragaan Perkembangan Petani Peserta Demoplot dan Penerap Inovasi TeknologiJumlah demoplot sayuran berkembang cepat setelah demoplot tahap I menunjukkan hasil yang

baik dan petani peserta demoplot berkembang lebih banyak walaupun dukungan sarana produksi yangdikelola dalam kerjasama pengkajian hanya berupa berupa pupuk organik sejumlah 30 % darikebutuhan. Selain itu untuk meningkatkan ketrampilan petani dan keberlanjutan penggunaan pupuk

Page 155: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│143

organik maka petani diajarkan membuat bokasi dan yang mengelola pembuatannya atas namakelompok tani dan Gapoktan sehingga hasil penjualan bokasi dapat menambah kas dari Gapoktan.

Petani yang menerapkan inovasi teknologi sayuran ramah lingkungan berkembang denganpesat. Pada awalnya hanyalah peserta demoplot sekitar 80 orang dari dua dusun yaitu dusun Ngudidan Kali Malang. Namun seiring dengan perkembangan perbaikan dan masuknya inovasi teknologibahwa berbudidaya sayuran ramah lingkungan memiliki keuntungan lebih tinggi dari segi produksi,mutu dan harga serta perbaikan lingkungan maka petani di luar peserta demoplot juga berminat untukmelaksanakannya. Saat ini hampir 100 persen petani sayur desa Tawangargo menggunakan pupukorganik serta petani mulai memanfaatkan kotoran ternak yang dimiliki (kotoran ternak ayam, kambingdan sapi) untuk dibuat menjadi bokasi.

Keterangan:Jumlah dem tahap I = 15 dem (Juni-Agustus 2011)= 15.550 m2Jumlah dem tahap II = 38 dem ( September- Desember 2011) = 54.000 m2

Gambar 1. Keragaan perkembangan jumlah petani peserta demplot sayuran ramah lingkungan

Jenis sayuran yang banyak ditanam petani yaitu jagung manis, sawi daging, sawi manis, lettuce,andewi, selada, tomat, cabai kecil, bunga kol, brokoli, kobis, mentimun, buncis, bawang merah,bawang prei dan lainnya. Model penanamannya yaitu multiple cropping dan intercropping dan jarangditanam dengan monokultur. Hal ini karena petani sangat efisien dalam menggunakan lahansehingga produktivitas lahan sangat tinggi. Sedangkan penerapan petani yang menerapkan inovasiteknologi sayuran ramah lingkungan pada beberapa komoditas sayuran setelah adanya demoplot ataubersamaan dengan demoplot disajikan pada tabel 1 berikut ini.

Dari data di Tabel 1 terlihat bahwa komponen teknologi usahatani sayuran yang sesuaipersyaratan dalam teknologi ramah lingkungan dan sesuai konsep GAP (Good Agriculture Practices)dari 14 titik kendali wajib (Dirjen Hortikultura, 2008). yaitu antara lain, tanah untuk usahatani sayurantidak mengandung cemaran limbah beracun, tentang penggunaan benih bermutu, penggunaan pupukorganik, pengurangan pupuk kimia, pengurangan pestisida kimia dan pengendalian hama dan penyakitmenggunakan konsep PHT sudah diterapkan oleh hampir seluruh petani desa Tawangargo. Petaniyang telah menggunakan benih bermutu sejak awal sebelum pengkajian untuk 15 jenis sayuranberkisar antara 75 hingga 85 persen dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 95 persen.. Sedangkanpetani yang menggunakan pupuk organik untuk budidaya sayuran sudah hampir 100 persen walaupundosis belum sesuai anjuran.

Page 156: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

144│

Penggunaan trichocompos ataupun trichoderma sebelum pengkajian belum pernah dilakukanoleh petani desa Tawangargo karena mereka belum mengenal produk tersebut. Setelah adanyapengkajian dan masuknya inovasi tentang manfaat dari trichocompos ataupun trichoderma sertaadanya pelatihan cara membuat trichocompos dan ketersediaan produk setiap saat dari BPTP JawaTimur maka persentase petani pengguna meningkat dari 0 menjadi 50 sampai 70 persen. Untukpengurangan pupuk kimia dan pestisida kimia nampaknya tergantung pada jenis tanamannya. Padasayuran daun yang rata-rata memiliki umur tanaman 3-4 minggu maka petani yang melakukanpengurangan penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia dari 50 persen bisa mencapai 100 persen.Hal ini karena petani telah membuktikan bahwa dengan penggunaan pupuk organik yang sesuai makakebutuhan pupuk kimia semakin berkurang. Demikian juga dengan penerapan konsep PHT sudahdilakukan oleh petani sehingga mereka melakukan pengurangan pestisida kimia dalam usahatanisayuran.

Manfaat pestisida nabati nampaknya sudah diketahui oleh sebagian petani karena sebelumadanya kegiatan pengkajian penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungan petani sudahmemperoleh inovasi teknologi dari petugas pengamat hama penyakit. Oleh karena itu sebelumadanya pengkajian sekitar 10 sampai 20 persen petani telah menerapkan penggunaan pestisida nabatiuntuk mengendalikan hama dan penyakit dan setelah pengkajian meningkat menjadi 65 hingga 80persen petani.

Tabel 1. Data Persentasi Petani Penerap Inovasi Teknologi Sayuran Ramah Lingkungan tahun 2010dan 2011. Tawangargo, 2011.

JenisTanaman

Persentase Petani Penerap Inovasi Teknologi 2010 dan 2011 (%)

Benih BermutuPenggunaan

pupukorganik

Penggunaantrichoderma/trichocompos

Penguranganpupuk kimia

Penguranganpestisida kinia

Penggunaanpestisidanabati

2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011Sawi daging 80 94 80 100 0 60 60 100 60 100 20 80Sawi manis 75 83 80 95 0 50 60 100 60 100 20 80Lettuce 80 92 80 100 0 70 50 100 50 100 20 70Andewi 80 93 80 100 0 70 50 100 50 100 20 70Tomat 78 95 80 100 0 70 40 80 40 80 10 65Cabai besar 90 90 80 100 0 60 40 80 40 80 10 65Cabai kecil 80 80 80 100 0 60 50 80 50 80 10 70Mentimunbaby

90 90 90 100 0 70 50 90 50 90 20 70

Buncis baby 85 92 90 100 0 70 50 90 50 90 20 70Kubis 80 80 90 100 0 70 40 90 40 90 10 60Kubis bunga 80 80 90 100 0 70 40 90 40 90 10 60Brokoli 80 80 90 100 0 60 40 80 40 80 10 60Bawangmerah

80 85 100 100 0 60 30 80 30 80 10 65

Bawangdaun

80 80 100 100 0 60 30 80 30 80 10 65

Jagungmanis

85 95 70 100 0 70 50 100 50 100 20 70

Peningkatan Produksi Dan Mutu Produk Sayur Ramah LingkunganProduksi dan mutu produk sayur hasil penerapan budidaya ramah lingkungan tidak kalah

dengan produk yang dihasilkan menggunakan teknologi eksisting sebelum pengkajian. Produksi dari15 jenis sayuran seperti jagung manis, sawi daging, mentimun baby, buncis baby, cabai dan tomatyang menerapkan inotek sesuai teknologi ramah lingkungan tidak menurun jika dibandingkan denganteknologi petani bahkan beberapa demplot produksinya tetap dan meningkat. Penciri utama hasilpenerapan inotek berbasis GAP adalah peningkatan mutu sayur yaitu rasa sayur lebih manis, lebihrenyah dan umur simpan lebih lama dibandingkan cara petani (Baswarsiati et al, 2010).

Sedangkan umur panen hampir pada semua jenis sayuran yang ditanam pada demoplot lebihawal 1-5 hari dibandingkan cara petani sebelum MP3MI (Tabel 2). Selain itu jenis sayuran buah

Page 157: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│145

seperti tomat, cabai, mentimun dan buncis waktu dan jumlah pemanenan lebih banyak jikamenerapkan teknologi ramah lingkungan dibandingkan cara petani. Pemanenan tomat hasildemoplot sampai 26 kali demikian juga dengan cabai besar lebih dari 20 kali.

Tabel 2. Keragaan Produksi , Mutu Produk dan Umur Panen Sebelum dan Sesudah Kegiatan.

Komoditas

PRODUKTIVITAS(ton/ha) Mutu Umur panen (hari)

SebelumMP3MI

SesudahMP3MI

SebelumMP3MI Sesudah MP3MI Sebelum

MP3MISesudahMP3MI

Sawi daging 20-24 20-25 Baik, Baik, rasa lebih renyah danumur simpan lebih lama

27 21

Sawi manis20-25 20-26 Baik Baik, rasa lebih manis dan

renyah, umur simpan lebihlama

35 30

Lettuce18-20 19-22 Baik Baik, rasa lebih renyah umur

simpan lebih lama50 40

Andewi19-23 20-24 Baik Baik, rasa lebih renyah dan

umur simpan lebih lama50 45

Tomat40-50 45-52 Baik Baik, rasa lebih manis, umur

simpan lebih lama80 70

Cabai besar25-28 26-30 Baik, Baik, umur simpan lebih

lama80 70

Cabai kecil8-9 8-10 Baik Baik, umur simpan lebih

lama125 115

Mentimunbaby

20-24 22-26 Baik Baik, rasa lebih manis danrenyah, umur simpan lebihlama

42 36

Buncis baby9-12 10-13 Baik, Baik, rasa lebih manis dan

renyah, umur simpan lebihlama

50 45

Kubis34-38 36-40 Baik Baik, rasa lebih manis dan

renyah, umur simpan lebihlama

60 52

Kubis bunga28-30 30-32 Baik Baik, umur simpan lebih

lama55 48

Brokoli27-29 27-30 Baik, Baik, umur simpan lebih

lama60 52

Bawangmerah

16-18 16-20 Baik Baik, umur simpan lebihlama

60 56

Bawang daun20-25 20-26 Baik Baik, umur simpan lebih

lama45 40

Jagung manis15-20 15-25 Baik Baik, rasa lebih manis, umur

simpan lebih lama80 73

Hasil dari demoplot sayuran ramah lingkungan serta setelah selesainya demoplot petani masihmenerapkan inovasi teknologi yang diberikan karena petani telah membuktikan bahwa denganmenerapkan budidaya yang ramah lingkungan maka lebih efisien dalam penggunaan pestisida kimiadan pupuk kimia serta petani lebih terampil dalam membuat bokhasi, pestisida nabati maupun MOL(mikro organisme lokal) seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Page 158: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

146│

Tabel 3. Kebiasaan Petani Dalam Berbudidaya Sayuran di Desa Tawangargo Sebelum danSesudah Inovasi Teknologi Sayuran Ramah Lingkungan

Macam Teknologi Sebelum Ada Inotek Sesudah Ada Inotek

Penggunaan pupuk organik Belum banyak menggunakan pupukorganik

Menggunakan pupuk organik dengantakaran 6 – 10 ton/ha

Penggunaan bokhasi Belum menggunakan dan belum tahucara membuat bokasi

Menggunakan bokhasi + trichocompos ( 6ton/ha

Penggunaan pupuk kimia Menggunakan pupuk kimia berlebihan Mengurangi penggunaan pupuk kimia 50-60 %

Penggunaan pestisida kimia Penggunaan pestisida kimia berlebihan Mengurangi pestisida kimia 50-60 %Penggunaan pestisida nabati Belum menggunakan pestisida nabati Menggunakan pestisida nabati

(organem/mimba, aneka daunan dan biji2an pesnab, empon2)

Penerapan konsep PHT Belum menerapkan konsep PHT dalammengendalikan OPT

Menerapkan konsep PHT dalammengendalikan OPT

Pembuatan MOL Belum bisa membuat MOL (mikroorganisme lokal)

Membuat dekomposer dan MOLmenggeser penggunaan EM4 dandecomposer pabrikkan

Peningkatan Kelembagaan PetaniInovasi teknologi budidaya sayuran ramah lingkungan sesuai konsep GAP yang telah diberikan

ke petani/kelompok tani dalam bentuk materi penyuluhan di kelas, di lapang maupun dalam bentukdemoplot. Sejalan dengan waktu dan adanya proses pembelajaran maka teknologi yang diadopsi olehpetani biasanya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada tahapan ini, dapatdiketahui bahwa teknologi yang tersedia apakah sudah siap untuk diterapkan atau masih perlu dimodifikasi lagi. Hal ini perlu di lakukan karena terjadi perbedaan pola pikir antara penghasil teknologi(peneliti) dengan pengguna teknologi (petani).

Menurut peneliti komponen teknologi yang di hasilkan mungkin mudah dilaksanakan ataumurah harganya akan tetapi menurut petani belum tentu mudah dan murah. Kondisi ini sering kaliterjadi karena banyak faktor penyebabnya. Secara umum faktor penyebabnya antara lain: karakteristikSDM, kemudahan akses, dan tingkat ekonomi.

Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dan saling kait mengkait pada saat teknologi diimplementasikan dan dikembangkan. Apabila faktor-faktor tersebut di atas dapat di penuhi, makasecara otomatis akselerasi teknologi yang di implementasikan akan berkembang secara cepat dimasyarakat. Dengan kata lain tanpa di suruh petani akan serta merta mau dan mampu untukmelaksanakan. Hal ini terbukti pada inovasi teknologi pemberian pupuk organik atau bokasi padatanaman sayuran karena berdampak positif dan memperoleh produksi yang lebih tinggi maka segerasemua petani menggunakan bokasi tanpa harus diperintah.

Selain itu dengan adanya beberapa demoplot yang ada sebagai wahana tempat petani belajaruntuk menerapkan dan memilih teknologi akan lebih memudahkan petani dalam mencontoh danmenerapkan teknologi. Adapun beberapa demoplot yang ada merupakan sarana belajar bagi petani,mahasiswa, penyuluh di luar desa, luar kecamatan bahkan luar kabupaten dan luar propinsi Jatimkarena sering sebagai ajang kunjungan tamu.

Jika melihat keragaan adopsi teknologi yang tergolong cepat (akselerasi berjalan cepat) makahal ini terkait dengan kondisi petani yang respon dan haus akan teknologi sehingga mereka masihsemangat untuk mengadopsi suatu teknologi. Selain itu juga berkaitan dengan tenaga pendampingyang ulet dan sabar dalam membina petani sehingga petani mau menerapkan teknologi tersebut. Dantak kalah pentingnya yaitu komitmen kelompok tani untuk maju dalam pembangunan pertanianmerupakan hal yang utama dalam keberhasilan suatu program.

Untuk mendukung keberlanjutan program dan penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungandalam kegiatan kelompok tani dan Gapoktan Tani Rukun desa Tawangargo maka dibuat usaha

Page 159: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│147

produksi yang mendukung yaitu unit usaha pembuatan dan penjualan pupuk organik atau bokasi, unitusaha pembuatan dan penjualan pestisida nabati serta unit usaha pembuatan MOL (Mikro OrganismeLokal) sebagai bahan dekomposer kotoran ternak. Adapun uraian lebih rinci tentang aktivitaskelembagaan petani sebelum dan sesudah adanya kegiatan MP3MI di desa tawangargo disajikan padaTabel 3.

Tabel 3. Keragaan Kelembagaan Petani Desa Tawangargo Sebelum dan Sesudah Adanya ProgramMP3MI

TOPIK KONDISI SEBELUM ADA MP3MI KONDISI SETELAH ADA MP3MI

Kelompok Tani Telah terbentuk 6 Kelompok Tani yaituAmar Tani (dusun Ngudi), Rukun Damai(dusun Kali Malang), Tani Makmur(dusun Suwaluwan), Budidaya I (dusunLasah), Budidaya II (dusun Boro Lasah),Tani Mulyo (dusun Leban).

Kelompok tani masih belum aktifmelakukan pertemuan kelompok

Belum terbentuk unit kegiatan dalamkelompok tani

Jumlah anggota yang lama rata-rata 20orang per kelompok

Belum ada kelompok wanita tani Pengurus kel. Tani belum mengerti

administrasi kelompok Terbentuk Gapoktan pada Desember 2010

Kelompok tani yang ada telah aktif kembalidan telah melakukan banyak kegiatan sesuaiteknologi arahan dari BPTP Jawa Timur.Semua kegiatan yang ada dilakukan secaraberkelompok

Terbentuk unit kegiatan sesuai komoditasunggulan (4 unit)

Jumlah anggota berkembang antara 40- 50orang per kelompok tani

Anggota kelompok tani banyak yang dipilihsebagai peserta magang dalam pelatihan2yang diadakan Pemkab Malang danPemprop Jatim

Pengurus kel. Tani telah mengerti dan mulaimembenahi administrasi kelompok

Petani-petani pioner sering diundangmenjadi narasumber dalam usahatanisayuran

Gapoktan sudah mulai berjalan sesuaidengan fungsinya

Unit UsahaGapoktan

Belum ada kelembagaan agribisnis di desaTawangargo yang dikelola olehGapoktan/kelompok tani namun hanyamelalui pedagang pengepul khususnyapemasaran sayur.

Untuk lembaga penyedia sarana produksisudah terdapat 2 kios saprodi milikmasyarakat dan lembaga permodalan didesa seperti koperasi belum ada, pascapanen, pemasaran

Mulai dibentuk unit usaha pemasaranproduk sayur ramah lingkungan dan dibuatMOU antara Gapoktan dan Kepala PasarKarangploso serta dengan Agromart-KPRIHorti BPTP Jatim

Dibentuk unit usaha pembuatan danpemasaran bokasi di tingkat gapoktan sertaunit usaha pembuatan MOL dan pestisidanabati

Peningkatan Kelembagaan PasarHingga saat ini perkembangan pemasaran produk sayuran ramah lingkungan masih dalam

proses rintisan. Kerjasama pemasaran produk telah tertuang dalam MOU antara Gapoktan TaniRukun dengan UPT Pasar Karangploso serta antara Gapoktan Tani Rukun dengan Agromart-KPRIHorti BPTP Jatim. Saat penandatanganan MOU disaksikan oleh Kepala Badan Litbang Pertanianserta jajaran Pemkab Malang dan Camat Karangploso. Sedang untuk rintisan pemasaran telahdilakukan di Agromart BPTP Jatim dan Pasar Minggu di STPP Lawang. Sedangkan penjajakan pasarjuga pernah dilakukan dari salah satu perusahaan sayuran asal Jepang namun belum ada kesepakatanmasalah harga antara Gapoktan dan perusahaan tersebut. Promosi pemasaran juga dilakukan melaluipameran-pameran dan produk sayuran ramah lingkungan merupakan andalan produk kecamatanKarangploso. Di desa Tawangargo terdapat sekitar 100 pedagang kecil dan pedagang besar. Adapunkeragaan mekanisme pasar untuk sayuran di desa Tawangargo disajikan pada Gambar 2.

Page 160: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

148│

Gambar 2. Mekanisme pasar sayuran di desa Tawangargo

Petani sayur di desa Tawangargo memasarkan produk sayurnya ke pengepul kecil atau pengepulbesar yang berada di Tawangargo dan sudah ada ikatan yang baik dengan pengepul. Sedangkan pengepulkecil dari dalam desa, luar desa atau bahkan dari luar kota memasarkan produknya ke pengepul besaratau langsung dibawa ke pasar Karangploso , Lawang, Singosari atau pasar Belimbing, Malang.Pengepul besar desa Tawangargo memasarkan sayuran ke pasar Puspa Agro, Keputran-Surabaya,Porong, Solo, Semarang, Mangga Dua serta pasar swalayan kota besar.

Keragaan SDMC (Sistem Diseminasi Multi Channel)SDMC yang sangat terkait dengan kegiatan M-P3MI khususnya untuk pembentukan kawasan

sayuran di desa Tawangargo yaitu kegiatan yang diadakan oleh Diperta Propinsi Jatim yaitu TOT PL2SL GAP sayuran yang melibatkan 60 orang petugas dari seluruh Kabupaten di Jawa Timur. Dan saatpelaksanaan kegiatan yang menjadi narasumber yaitu petani pelaksana demplot sayuran ramahlingkungan dan pendamping dari BPTP Jatim maupun petugas lapang. Dengan adanya kegiatan TOTyang dilaksanakan secara langsung di lahan demplot di tingkat propinsi Jatim menunjukkan bahwalokasi M-P3MI Malang telah berjalan SDMC nya karena terbukti banyak dikunjungi tamu untukmagang dan studi banding.

SDMC di lokasi MP3MI Malang berjalan melalui berbagai kegiatan seperti kunjungan tamuuntuk studi banding ataupun magang di lokasi demoplot sayuran ramah lingkungan desaTawangargo antara lain dari BPTP seluruh Indonesia, dari petani propinsi Sulawesi Tengah,Jamsostek, Petrokimia Gresik, perusahaan benih sayur nasional dan lain-lainnya. Selain itu jugadilakukan Temu Lapang yang dihadiri oleh Kepala Badanlitbang Pertanian yang juga akanmempercepat proses diseminasi dan berjalannya SDMC.

Page 161: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│149

Gambar 3. Keragaan SDMC di MP3MI Malang desa Tawangargo

KESIMPULAN

1. Dengan adanya kegiatan MP3MI (Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi)maka dapat mempercepat penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungan melalui inovasiteknologi yang diterapkan dengan demoplot-demoplot dengan menggunakan SDMC (SistemDiseminasi Multi Channel)

2. Persentase petani yang menerapkan budidaya sayuran ramah lingkungan yaitu lebih dari 60 %dibanding tahun sebelumnya sedangkan penggunaan pupuk kimia berkurang 50-60 % danpenggunaan pestisida kimia juga menurun 50-60 %.

3. Produksi dari aneka sayuran yang menerapkan GAP tetap sama bahkan lebih tinggi dari teknologieksisting, serangan OPT semakin rendah dan mutu produk lebih baik serta produk lebih lamaumur simpannya dan terjamin karena aman untuk dikonsumsi sehingga berdaya saing.

4. Sedangkan kelembagaan kelompok tani, kelembagaan unit usaha kelompok tani, kelembagaanpasar, kemitraan semakin baik sehingga penumbuhan kawasan sayuran ramah lingkungan di desaTawangargo semakin mantap.

PUSTAKA

1. Anonim, 2008 Profil desa Tawangargo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang

2. Badan Litbang Pertanian 2011, Panduan model pengembangan pertanian perdesaan melaluiinovasi.

3. Baswarsiati, Yuwoko, K and Andri, B 2010, Pendampingan pelaksanaan SLPAH di desaTawangargo, Karangploso, Malang (belum dipublikasi)

Page 162: Prosiding BUKU 1

Kajian Penumbuhan Kawasan Sayuran Ramah Lingkungan yang Berdaya Saing Melalui Konsep M-P3MI di Malang-JatimBaswarsiati dan Yuwoko

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

150│

4. Dipertabun Malang 2010, Laporan tahunan 2010, Dinas Pertanian Tanaman Pangan danPerkebunan Kabupaten Malang.

5. Dirjen Hortikultura 2008, Pedoman dan tata cara budidaya sayur dan buah yang baik.

6. Kementerian Pertanian 2009, Permentan Nomor : 48/Permentan/OT.140/10/2009 tentangpedoman budidaya buah & sayur yang baik

7. Napitupulu, E 2004, Pemantapan manajemen pengembangan agribisnis hortikultura, dalampertemuan sinkronisasi pelaksanaan pengembangan agribisnis hortikultura, Dirjen BinaProduksi Hortikultura. Jakarta, 36 hal.

8. Rahayu, S 2010, Programa penyuluhan desa Tawangargo Kecamatan Karangploso th 2010.

9. Reijntjes, C, Haverkort, B dan Bayer, AW 1999, Pertanian masa depan. Pengantar untukpertanian berkelanjutan dengan input luar rendah, Eds Indonesia, Penerbit Kanisius, Jakarta,270 hal.

10. Setiawati,W, Murtiningsih, R, Gunaeni, N dan Rubiati, T 2008, Tumbuhan bahan pestisidanabati, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

11. Sumarno, 1997, ‘Agroekoteknologi sebagai dasar pembangunan sistem usaha berkelanjutan,dalam Mahfud et al (eds)’, Prosiding Lokakarya wawasan dan Strategi Pembangunan PertanianDi Jawa Timur Menjelang Abad XXI, BPTP Jawa Timur, Malang, p. 156-175.

12. Sumarno, 2003, Arahan dan pesan Dirjen Bina Produksi Hortikultura pada PertemuanKoordinasi Keterpaduan Pengembangan Hortikultura, Bogor.

13. Syafaat, N 2003, ‘Konsep pengembangan wilayah tertinggal dalam rangka pemberdayaanekonomi kerakyatan melalui pengembangan agribisnis’ dalam Suyamto et al (eds), ProsidingLokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal dalam MendukungPembangunan Ekonomi Kawasan Selatan Jawa, BPTP Jatim bekerjasama dengan PusatPenelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, p. 62-84.

Page 163: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│151

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhandan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)

Juhaeti, T dan Lestari, PBidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46 Cibinong, Jawa Barat

E mail: [email protected]

ABSTRAK. Basela (Basella alba L) merupakan jenis sayuran potensial untuk dikembangkan dalam rangkameningkatkan keragaman konsumsi sayuran karena sudah dikenal masyarakat walaupun belum populer, rasanyaenak, nilai gizinya pun tidak kalah dengan sayuran yang sudah populer. Cocok untuk ditanam di dataran rendahsebagai tanaman pot maupun untuk dikebunkan, dapat ditanam melalui stek maupun bijinya. Merupakantanaman melilit tahunan, tetapi dapat dibudidayakan sebagai sayuran semusim (tidak dibiarkan memanjang danmelilit) untuk dipanen pucuk mudanya. Salah satu hal yang menarik dalam budidaya basela semusim adalahapabila pucuknya dipotong, maka daun yang tersisa akan terus membesar dan pertumbuhan tunas yang barumenjadi terhambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh letak pemotongan pertama pada batangutama (yang menunjukkan jumlah ruas yang dipelihara lebih lanjut) dan pembuangan daun (defoliasi) terhadappertumbuhan dan produksi tunas muda basela. Basela ditanam dalam bedengan. Perlakuan yang diberikanadalah: 1) Letak pemotongan pertama pada ba tang utama : pada daun ke 6 (B6), pada daun ke 9 (B9) dan padadaun ke 12 (B12) dan 2) Pembuangan daun: defoliasi (D1), tidak defoliasi (D0), Peubah yang diamati adalahproduksi tunas muda tiap minggu sampai umur 5 minggu setelah perlakuan (MSP). Hasilnya menunjukkanbahwa untuk meningkatkan produksi tunas, tanaman lebih baik tidak didefoliasi. Produksi tunas muda padaperlakuan tanpa defoliasi (5,18) lebih banyak dibandingkan pada perlakuan defoliasi (3,57). Begitu pula padapeubah panjang tunas, jumlah daun dan bobot basah daun perlakuan tanpa defoliasi menunjukkan angka yanglebih tinggi. Pemotongan pertama pada batang utama pada daun ke 12 menghasilkan tunas muda yang lebihbanyak (7,2).

Kata kunci: Basela; Defoliasi; Produksi;Tunas Muda

ABSTRACT. Juhaeti, T and Lestari, P. 2013. The Influence of Defoliation on Growing and Production ofBasela Shoot. Basella (Basella alba L), is potential to be developed as a vegetable commodity to increasing thediversity of vegetable consumption. Basella has good taste with as high nutritional value as popular vegetable.This vegetable can be grown as annual or perennial lowland leafy vegetable. It can be planted by stem cutting orseed. One of the interested thing of basella cultivation is that the adult leaf will become bigger if the shoot werecutted, and so the growth of new shoot will be stunted. The research was conducted to study the effect of adultleaf defoliation and number of node on the growth and production of new shoot. The experiment used factorialRCBD with 5 repetitions. The treatments were defoliation (with and without defoliation ) and first cutting onnumber of leaf (6, 9, 12). The observed variables were shoot production/week. The observation was done along5 weeks after treatment. The result was revealed that treatment without defoliation resulting better shootperformance and higher shoot number (5,18) compare to defoliation treatment (3,57). The shoot length, leafnumber, and fresh weight showed higher value too. The 12 node number treatment was produced more newshoot (7,2) than others.

Key word: Basella alba; Defoliation; New shoot production__________________________________________________________________________________

Basela atau gendola (Basella alba L), famili Basellaceae merupakan salah satu jenis sayuranindigenous yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka diversifikasi konsumsi sayuran.Sayuran indigenous adalah spesies sayuran asli Indonesia yang berasal dari daerah/wilayah/ekosistemtertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain tetapi telah berevolusi dengan iklimdan geografis wilayah Indonesia (http://www.litbang.deptan.go.id). Studi pustaka menunjukkanbahwa basela merupakan salah satu jenis sayuran yang telah lama dikenal dan dimanfaatkanmasyarakat. Tanaman ini dapat diketemukan di berbagai wilayah Indonesia seperti di Sumatera, Jawa,Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara (Rumphius dalam buku V) melukiskan basela dengannama gandola yang dikenal di seluruh nusantara dan dibudidayakan di istana-istana.

Page 164: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

152│

Basela tidak diketahui dengan pasti daerah asalnya tetapi diduga berasal dari Asia Selatan(India). Tumbuh di daerah tropik pada ketinggian 1-500 m dpl. Di Asia Tenggara dan Cina,tumbuhan ini sudah ditanam sejak lama. Sekarang sudah ditanam di Asia tropik, Afrika dan Amerikadan bahkan di daerah temperate sebagai tanaman setahun. Di Indonesia, masyarakat perbatasanKalimantan Timur sejak lama telah mengkonsumsi daunnya sebagai sayur (Budiardjo, komunikasipribadi), demikian juga dengan komunitas suku Sunda. Daun dan batang mudanya enak dimakanuntuk dibuat sop, tumis atau salad. Di beberapa negara, seperti di kawasan Afrika bagian timur(Burkill 1985) B. alba telah menjadi komoditas sayur unggulan.

Basella merupakan sayuran bergizi. Kandungan gizi tunas basela per 100 g adalah sebagaiberikut : air 91 g, protein 2,1 g, lemak 0,3 g , karbohidrat 3,9 g, serat 1,3 g, energi 112kJ, vit A 1686-6390 IU, vit C 29-166 mg, Ca 16-117 mg, Fe 1,2-3.1 mg (Siemonsma JS and Kaem Piluek(eds).1994). Orang Eropa di Afrika menggunakannya sebagai pengganti bayam. Catatan lain tentangkandungan gizi basela adalah : air 93 g, energy 79 kJ (19 kkal), protein 1,8 g, lemak 0,3 g, karbohidrat3,4 g, Ca 109 g, P 52 mg, Fe 1,2 mg, vit A 8000 IU, thiamin 0,05 mg, riboflavin 0,16 mg, niacin 0,50mg, folate 120 µg, ascorbic acid 102 mg. Daunnya juga mengandung beberapa triterpeneoligoglicosides dari tipe oleanane, meliputi basellasaponins, betavulgaroside I, spinacoside C danmomordins. Dua antifungal peptida dan 2 ribosome-inactivating protein dengan aktivitas antivirussudah diisolasi dari biijinya (www.prota.org).

Basela sebenarnya merupakan terna melilit ke kiri, tumbuh merayap atau memanjat, sampaiketinggian 6 m. Batangnya yang panjang, tidak berkayu dan sangat lemah, bentuknya bulat,bercabang, merayap dan melilit pada para-para (Gambar 1) atau tonggak (Gambar 2). Bisa jugadibiarkan tumbuh di tanah (Gambar 3) atau dililitkan di pagar.

Basela dikonsumsi daun dan batang mudanya. Tunas muda tersebut bisa didapat dari baselayang ditumbuhkan sesuai habitusnya yakni dengan cara dilillitkan di para-para atau dibiarkanmemanjang di tanah atau dari basela yang dibudidayakan sebagai sayuran semusim (tidak dibiarkanmemanjang) di bedengan atau di pot (Gambar 4 dan 5). Untuk penanaman basela sebagai tanamansemusim perlu dilakukan pemotongan ujung batang yang merupakan salah satu tehnik budidaya untukmempercepat dan memperbanyak pertumbuhan tunas baru (cabang samping atau cabang lateral).

Gbr 1.Basela di para-para. Gbr 2. Di tonggak. Gbr 3. Basela di tanah

Gambar 4. Basela di pot. Gambar 5. Basela ditanam di petakan

Untuk mendapatkan pucuk muda basela, tanaman ini dapat ditanam dengan cara dibiarkantumbuh memanjang sesuai habitus aslinya atau diatur supaya tidak terus tumbuh memanjang dengan

Page 165: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│153

cara dipotong ujung batang utamanya. Ke dua cara budidaya tersebut memiliki keunggulan dankelemahan masing-masing. Apabila basela ditanam dengan cara dibiarkan memanjang, makakeuntungannya adalah penanaman basela cukup sekali untuk panen berkali-kali bahkan sampaisetahun lamanya, akan tetapi cara ini memerlukan tempat untuk membuat para-para atau melilitkantanaman ini. Sedangkan apabila basela ditanam sebagai tanaman semusim, diperlukan peremajaantanaman dalam waktu lebih singkat tetapi tidak diperlukan para-para untuk menopang. Penanamanbasela sebagai tanaman semusim cocok untuk dikembangkan pada pertanaman untuk konsumsisendiri dan untuk elemen pekarangan.

Satu hal menarik dari pertumbuhan basela yang berasal dari biji adalah biasanya setelah tumbuhdaun ke- 12 maka tanaman akan segera tumbuh memanjang. Untuk budidaya semusim sebaiknyadiusahakan supaya tanaman tidak sampai memanjang, artinya setelah tumbuh daun ke 12, batangutama tanaman segera dipotong. Diharapkan setelah itu basela akan segera membentuk tunas baru dandapat dipanen.

Gambar 6. Basela ditanam dari biji, dipanen pucuk mudanya.

Hal lain yang menarik dari pertumbuhan basela semusim adalah apabila pucuknya dipotongmaka daun bagian bawah tunas yang dipotong akan terus membesar, sedangkan pertumbuhan tunasyang baru terhambat (Gambar 7). Oleh sebab itu diperlukan cara supaya pertumbuhan tunas baru tidakterhambat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan defoliasi yaitupembuangan daun yang ada di bagian bawah tunas yang dipotong. Untuk mendapatkan produksi tunasbaru yang optimal selain defoliasi juga perlu diperhatikan jumlah daun atau ruas yang akandipertahankan dengan cara memotong ujung batang utama pada misalnya daun ke 6, 9 atau 12.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh defoliasidan pemotongan ujung batang utama pada daun ke 6, 9 dan 12 terhadap pertumbuhan dan produksitunas muda basela.

Gambar 7. Daun basela terus membesar setelah cabang utama dipotong

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bahan tanaman berasaldari biji dari Malinau, Kalimantan Timur. Biji sebelumnya disemai dan pada saat bibit sudah berdaun3 helai membuka penuh, bibit tersebut dipindah ke bedengan. Bedengan percobaan berukuran 90X90

Page 166: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

154│

0,00

50,00

100,00

150,00

TT JT JD PD LD BBP

B6D0

B6D1

B9D0

B9D1

B12D0

B12D1

0,00

50,00

100,00

150,00

TT JT JD PD LD BBP

B6D0

B6D1

B9D0

B9D1

B12D0

B12D1

cm, dan jarak tanam 45X45 cm. Pada media tanam ditambahkan kompos dan pupuk kandang masing-masing satu kilogram. Bedengan tanam terletak di tempat yang ternaungi dengan paranet berwarnaputih. Tanaman dibiarkan tumbuh sampai terbentuk daun ke 12. Setelah daun ke 12 terbuka penuh,perlakuan pemotongan batang utama dan perlakuan pembuangan daun (defoliasi) mulai dilakukan.Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial. Faktorpertama adalah a) pemotongan pertama ujung batang utama pada daun ke 6 (B6), b) pemotonganpertama ujung batang utama pada daun ke 9 (B9), dan c) pemotongan pertama ujung batang utamapada daun ke 12 (B12). Faktor kedua adalah: 1) tidak defoliasi (D0) yakni tidak dilakukanpembuangan daun yang berada di bagian bawah tunas yang dipanen dan 2) defoliasi (D1) yaknidilakukan pembuangan daun yang berada di bagian bawah tunas yang dipanen. Ulangan dilakuan 5kali dan tiap ulangan terdiri dari 4 individu tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap produksi panentunas muda tiap minggu meliputi panjang tunas panen (TT), jumlah tunas panen (JT), jumlah daunJD), daun terpanjang (PD), daun terlebar (LD) dan bobot tunas panen (BBP) sampai umur 5 minggusetelah perlakuan (MSP) serta bobot biomassa tanaman meliputi bobot basah akar (BBA) dan bobotbasah tajuk BBT setelah tunasnya dipanen pada umur 5 MSP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap produksi tunas muda yang dipanen pada umur 1MSP pada terteraGambar 8.

Gambar 8. Produksi tunas basela 1 MSP

Hasilnya menunjukkan bahwa pada panen pertama yakni umur 1 minggu setelah perlakuan (1MSP), secara umum produksi BBP dari perlakuan tidak defoliasi lebih banyak dibandingkan hasil dariperlakuan defoliasi. BBP perlakuan tidak defoliasi terlihat lebih besar dibandingkan perlakuandefoliasi. Produksi BBP tertinggi didapat dari perlakuan B6D0 diikuti B12D0 dan B9D0.

Gambar 9. Produksi tunas basela 2 MSP

Page 167: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│155

0,0020,0040,0060,0080,00

100,00120,00140,00

TT JT JD PD LD BBP

B6D0

B6D1

B9D0

B9D1

B12D0

B12D1

0,00

50,00

100,00

150,00

TT JT JD PD LD BBP

B6D0

B6D1

B9D0

B9D1

B12D0

B12D1

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

TT JT JD PD LD BBP

B6D0

B6D1

B9D0

B9D1

B12D0

B12D1

Produksi pada umur 2 MSP juga menunjukkan bahwa produksi tunas muda pada perlakuan tidakdefoliasi lebih banyak dibandingkan perlakuan defoliasi pada hampir semua peubah yang diamati.Hasil panen pada umur 2 MSP dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 10. Produksi tunas basela 3 MSP

Pada umur 3 MST produksi tunas perlakuan tanpa defoliasi sangat berbeda dengan perlakuandefoliasi terutama pada peubah bobot basah panen dan jumlah tunas. Hasil panen pada umur 3 MSPtertera pada Gambar 10.

Gambar 11. Produksi tunas pada umur 4 MSP

Terlihat bahwa pada hampir semua peubah yang diamati produksi tunas pada perlakuan tidakdefoliasi lebih banyak dibandingkan dari perlakuan defoliasi. Gambar 11 menunjukkan produksitunas pada 4 MSP, sedangkan Gambar 12 menunjukkan produksi tunas pada 5 MSP

Gambar 12. Produksi tunas 5 MSP.

Page 168: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

156│

Hasil analisis statistik produksi tunas muda pada umur 5 MSP tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh defoliasi terhadap pertumbuhan tunas muda (5MSP)

PerlakuanPanjang

Tunas TT(cm)

JumlahTunas

JT

Panjangdaun PD

(cm)

Lebar DaunLD (cm)

Bobot BasahBBP(gram) Jumlah Daun JD

Defoliasi (D1) 19,205 b 6,663 a 12,784 a 9,699 a 32,25 b 19,648 b

Tdkdefoliasi D0) 32,718 a 5,189 a 9,107 b 6,659 b 69,03 a 34,655 a

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasaran uji DMRT pada α=0.05

Hasilnya menunjukkan bahwa pada umur 5 MSP defoliasi berpengaruh nyata terhadappeubah panjang tunas, panjang daun, lebar daun, bobot basah tunas dan jumlah daun tetapitidak berbepngaruh nyata terhadap jumlah tunas. Tanaman yang tidak didefoliasimenunjukkan pertumbuhan yang lebih baik, ditunjukkan oleh ukuran tunas yang dihasilkanlebih panjang, bobot basah lebih tinggi dan jumlah daun yang lebih banyak. Akan tetapijumlah tunas tidak berbeda nyata. Defoliasi berpengaruh nyata terhadap ukuran panjang danlebar daun tanaman. Tanaman yang didefoliasi menunjukkan ukuran daun yang lebih besar.

Hasil analisis statistik terhadap pemotongan pertama ujung batang utama pada daun ke6, 9 dan 12 tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh pemotongan pertama batang utama (5 MSP)

PerlakuanPanjang

Tunas TT(cm)

JumlahTunas JT

Panjangdaun PD

(cm)

Lebar DaunLD (cm)

BobotBasah

BBP(gram)

Jumlah DaunJD

B6 23,995 a 3,441 b 9,743 b 6,873 b 41,25 a 21,750a

B9 30,194 a 3,475 b 9,897 b 7,164 b 55,34 a 26,850 a

B12 24,194 a 11,328 a 13,242 a 10,590 a 57,88 a 34,322 a

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasaran uji DMRT pada α=0.05Hasilnya menunjukkan bahwa pemotongan pertama pada posisi daun ke-n berpengaruh

nyata terhadap peubah jumlah tunas, panjang daun dan lebar daun, tetapi tidak berpengaruhnyata terhadap panjang tunas, bobot basah dan jumlah daun. Pemotongan pertama kali batangutama pada daun ke 12 menunjukkan pertumbuhan jumlah tunas terbanyak serta ukuranpanjang dan lebar daun terbesar. Akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tunas(PT), bobot basah tunas dan jumlah daun.

Tabel 3. Interaksi perlakuan terhadap produksi tunas mada 5 MSTPerlakuan JT PD LD BBP

B6D0 4,266 bc 9,260 b 6,870 b 54,28 abc

B9D0 4,100 bc 9,098 b 6,726 b 62,50 ab

B12D0 7,200 b 8,962 b 6,382 b 90,30 a

B6D1 2,616 c 10,226 b 6,876 b 28,23 bc

B9D1 2,850 c 10,696 b 7,602 b 48,18 abc

B12D1 16,488 a 18,593 a 15,850 b 17,36 c

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasaran uji DMRT pada α=0.05

Hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan B12D1 menunjukkan hasil tertinggi pada peubah JT,PD, dan LD. Tetapi BBP tertinggi didapat dari perlakuan B12D0. Hal ini terjadi karena walaupunperlakuan B12D1 menunjukkan nilai JT, PD dan LD terbesar (Tabel 3) tetapi nilai TT dan JDperlakuan B12D0 lebih tinggi sehingga BBP nya lebih besar dari perlakuan B12D1 (Gambar 12).Perlakuan B12D0 menunjukkan tinggi tunas, jumlah daun dan bobot daun yg tinggi artinya walaupun

Page 169: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│157

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

TT JT JD PD LD BBP

B12D0

B12D1

0,0050,00

100,00150,00200,00250,00300,00350,00

B6D1 B9D1 B0D1 B6D0 B9D0 B0D0

BB tajuk

BB akar

B12D1 jumlah tunasnya banyak tapi tunasnya pendek-pendek dan walaupun ukuran daunnya besartapi jumlah daunnya sedikit. Hal ini berarti bahwa dalam budidayanya tunas yang dipelihara 12 dantidak didefoliasi menghasilkan produksi tunas yang lebih baik daripada perlakuan lainnya. Hal inidapat juga dilihat dari hasil pengamatan terhadap bobot basah biomassa tanaman. Bobot basah tajukdan bobot basah akar pada perlakuan B12D0 menunjukkan hasil tertinggi diikuti B9D0 (Gambar 13) .

Meningkatnya jumlah tunas yang muncul akibat perlakuan defoliasi sesuai dengan hasilpenelitian Darmanti (2008) pada tanaman jarak yang menunjukkan bahwa perlakuan defoliasi dapatmematahkan dominansi apikal sehingga memacu pembentukan dan pertubuhan tunas lateral padatanaman jarak.

Gambar 13. Pertumbuhan tunas 12 antara D0 dan D1

Gambar 14. Produksi biomassa setelah tunas dipanen pada 5 MST

Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Salisbury and Ross (1995) yang menerangkanbahwa pada batang sebagian besar spesies, kuncup apikal memberikan pengaruh yang menghambat(dominansi apical) terhadap kuncup samping (ketiak) dengan mencegah atau memperlambatperkembangannya dan para pekebun sudah sejak lama memangkas kuncup apical dan daun-daunmuda untuk meningkatkan percabangan dimana tehnik ini memungkinkan cabang tumbuh lebih tegak.Hal ini terjadi karena pada daun muda atau kuncup diproduksi suatu faktor dominansi yaitu auksin.Sementara itu jika sitokinin diberikan pada kuncup samping yang tidak tumbuh karena kalah olehdominansi apical, seringkali kuncup samping itu mampu tumbuh; nisbah sitokinin:auksin berperanpenting dalam mengendalikan dominansi apical; nisbah yang tinggi mendorong perkembangankuncup dan nisbah yang rendah mendukung dominansi (Salisbury and Ross, 1995). Hal tersebutmerupakan prinsip dari praktek defoliasi yaitu pengaturan keseimbangan hormon sitokinin dan auksinpada ketiak daun di bawah ujung batang (Taiz dan Zeiger, 1998). Dengan adanya defoliasi, sintesisauksin ditiadakan sehingga konsetrasi auksin di ketiak daun semakin rendah. Turunnya auksin diketiak daun akan memacu pembentukan hormone sitokinin (Taiz dan Zeiger, 1998). Sementara fungsiutama sitokinin adalah memacu pembelahan sel dan pembentukan organ (Salisbury and Ross, 1995).

Page 170: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

158│

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umur 5 MST jumlah tunas pada perlakuan B12D1lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 12). Akan tetapi defoliasi yang dilakukannampaknya terlalu ekstrim sehingga fotosintat yang akan digunakan untuk pembentukan daunmenjadi sangat sedikit, hal ini terlihat dari peubah jumlah daun pada perlakuan B12D1 lebih sedikitdibandingkan B12D0 (Tabel 3). Membesarnya ukuran daun yang terletak di bawah tunas yangdipanen ternyata memberikan efek yang menguntungkan terhadap pertumbuhan tunas karenafotosintat yang dihasilkan dengan adanya daun tersebut lebih banyak dibandingkan apabila dauntersebut dibuang (didefoliasi).

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa pada budidaya basela semusim, sebaiknya dilakukan pemotonganujung batang utama pada daun ke 12 dan tidak perlu dilakukan defoliasi (pembuangan daun) padadaun yang tumbuh di bawah tunas yang dipanen walaupun daun tersebut ukurannya membesar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kegiatan Kompetitif LIPI Tahun 2011-2012 SubKegiatan Eksplorasi dan Pemanfaatan Terukur Sumber Daya Hayati (Darat dan Laut) Indonesia yangmembiayai kegiatan penelitian ini serta Rahmi Swara Putri S.Si dan Riska Amelia Chandra yang telahmembantu pelaksanaan penelitian.

PUSTAKA

1. Anonimous 2012, Basella alba. Protabase Record Display, diunduh 8 Maret 2012, www.prota.org.

2. Burkill, HM 1985, The useful plants of west tropical Africa, vol 1, diunduh 10 April 2012,http://plants.jstor.org/upwta/1_530.

3. Darmanti, S, Setiari, N & Romawati, TD 2012, Perlakuan defoliasi untuk meningkatkanpembentukan dan pertumbuhan cabang lateral jarak pagar (Jatropa curcas), diunduh 22 Juni 2012,e prints undip.ac.id.

4. http://www.litbang.deptan.go.id, diunduh 10 Feb 2012.

5. Taiz, L & Zeiger, E 1998, Plant physiology, Sinauer Associates Inc., Publ. Sunderland.Massachusetts.

6. Salisbury, FB & CW Ross 1995, Plant physiology, 4th edition, diterjemahkan Lukman DR &Sumaryono, 1995, Fisiologi tumbuhan, jilid 3, Penerbit ITB. .

7. Siemonsma, JS & Kaem, P (eds) 1994, Prosea 8.

LAMPIRAN 1

mg ke 1

TT JT JD PD LD BBP

B6D0 30.27 3.28 24.3 9.51 7.00 141.9

B6D1 17.51 2.78 16.9 10.38 7.24 23.8

B9D0 18.09 2.58 14.9 7.58 5.48 102.9

B9D1 22.69 2.67 15.9 9.98 7.01 35.6

B12D0 49.57 2.85 20.9 8.80 6.42 129.1

B12D1 34.00 3.38 25.9 11.31 8.06 49.1

Page 171: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│159

mg ke 2

TT JT JD PD LD BBP

B6D0 23.55 2.30 88.7 10.01 7.51 88.7

B6D1 20.28 2.30 20.8 10.00 7.09 20.8

B9D0 27.11 3.90 96.4 7.58 5.43 96.4

B9D1 22.23 3.05 28.7 9.38 6.90 28.7

B12D0 20.98 3.05 85.6 8.80 6.35 85.6

B12D1 14.41 2.63 19.3 10.09 7.24 19.3

mg ke 3

TT JT JD PD LD BBP

B6D0 25.39 2.70 17.1 8.86 6.34 89.9

B6D1 26.10 1.83 12.4 9.38 6.74 15.3

B9D0 23.10 2.57 14.7 6.90 5.19 81.7

B9D1 20.60 2.62 17.4 9.09 6.52 22.4

B12D0 35.92 5.55 40.5 7.69 5.47 131.6

B12D1 17.11 3.15 18.8 8.32 6.01 33.8

mg ke 4

TT JT JD PD LD BBP

B6D0 32.33 3.83 28.0 8.98 6.43 133.2

B6D1 21.09 3.08 22.6 10.33 7.01 31.6

B9D0 28.46 5.37 33.1 8.00 5.90 134.4

B9D1 24.97 3.25 23.1 9.83 7.17 45.8

B12D0 33.98 3.40 25.1 9.18 5.95 128.5

B12D1 19.30 3.25 22.9 9.70 6.66 32.6

mg ke 5

TT JT JD PD LD BBP

B6D0 29.77 4.27 27.1 9.26 6.87 54.3

B6D1 18.22 2.62 16.4 10.23 6.87 28.2

B9D0 37.73 4.10 29.0 9.10 6.72 62.5

B9D1 22.66 2.85 24.8 10.70 7.60 48.2

B12D0 30.65 7.20 48.0 8.96 6.38 90.3

B12D1 16.13 16.49 16.7 18.59 15.85 17.4

TT JT JD PD LD BBP

B12D0 30.65 7.20 48.0 8.96 6.38 90.3

B12D1 16.13 16.49 16.7 18.59 15.85 17.48.

Page 172: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tunas Muda Basela (Basella alba l)Juhaeti, T dan Lestari, P

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

160│

BB tajuk BB akar

B6D1 71.35 12.71

B9D1 122.33 15.25

B0D1 123.52 19.69

B6D0 193.98 21.155

B9D0 252.27 28.165

B0D0 298.555 28.865

Page 173: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│161

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik(Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa Barat

Syarif, F dan Utami, NWBidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor, Km 46 Cibinong 16911

ABSTRAK. Telah dilakukan penelitian mengenai pola pertumbuhan dan pembungaan dua belas aksesi bayampetik (Amaranthus hybridus L.) yang dikoleksi dari Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Bogor. Hal inidimaksudkan untuk menyeleksi nomor-nomor bayam petik yang potensil untuk dikembangkan lebih lanjut.Kriteria seleksi adalah berdasarkan penampakan agronomis dan rasa daun. Sebagai pembanding dilakukan pulapengamatan terhadap bayam cabut dari varietas Giti Hijau, Kartika dan Alabama. Hasilnya menunjukkan bahwadari dua belas nomor bayam petik yang ditanam pertumbuhan yang tersubur adalah bayam dari Kuningandengan kode RBG, Batang paling tinggi (122,6 cm), jumlah daun terbanyak (142,4) dan diameter terbesar (3,02cm). Pertumbuhan yang terkecil pada bayam dari Kuningan dengan kode KRP2, tinggi batang 66,2 cm dandiameter 2,03 cm. Penampilan bayam RBG paling besar dbandingkan dengan bayam lainnya walaupun sudahfase generatif masih kelihatan pertumbuhan tinggi batang bertambah. Panjang daun mencapai 21 cm dan lebardaun rata-rata 14,7 cm merupakan daun paling lebar dan besar. Saat daun tumbuh dari tangkai daun akanmuncul warna daun kekuningan merata dan membulat dan bagian luar daun berwarna hijau. Tetapi setelah daunmembesar warna kekuningan pada helaian daun akan menghilang perlahan-lahan. Daun hijau tua dan mengkilat.Pada fase generatif dilakukan pengamatan fenologi bunga masing-masing benih bayam. Hasilnya menunjukkanbahwa bunga pada jenis bayam petik muncul lebih awal yaitu 3 Minggu Setelah Tanam (MST), sedangkan padabayam cabut, bunga muncul pada 4 MST. Hasil seleksi menunjukkan aksesi bayam petik yang potensial dikembangkan adalah RBG, Ciaruteun dan Ciparigi

Katakunci: Seleksi; Bayam petik; Pertumbuhan; Pembungaan

ABSTRACT. Syarif, F dan Utami, NW. 2013. Growth and Inflourescence Some of Local AmaranthAcsesion from West Java. The research about growth and flowering pattern of twelve accessions of localamaranth (Amaranthus hybridus L.) from Bogor and Kuningan had done. The aim of the research was to selectpotential accessions for further development. Selection criteria are based on agronomic appearance andorganoleptic. Giti Hijau, Kartika and Alabama were used as comparison varieties on this research. The resultrevealed that RBG was had best growth for Kuningan accession with highest value in plant height (122.6 cm),leaves number (142.4 cm), and stem diameter (3.02 cm). moreover, the worst one was KRP2 with smallest valuefor plant height (66.2 cm) and stem diameter (2.03 cm). Performance of RBG was best for all characters. Thisaccession has intermediate type for inflourescence. Leaf was 21 cm in length and14.7 in wide. In first phase ofleaf growth, it will be yellowish color with green in border. At next phase, the yellowish color will be fade andreplaced with shiny dark green color. In generative phase, it revealed that the flower of local amaranth would berised up at 3 WAP (Weeks arter planting), whereas the varieties one were 4 WAP. Selection result that thepotential accessions of local amaranth were RBG, Ciparigi, and Ciaruteun.

Keyworts: Amaranthus hybridus; Selection; Local amaranth; Growth; Inflourescence

Bayam merupakan salah satu sayuran yang bernilai gizi tinggi dan dikonsumsi banyak orang,mulai dari desa sampai di kota besar. Budidaya bayam banyak dilakukan sehingga produksi bayammenempati urutan ke 11 dari 18 jenis sayuran komersial di Indonesia (31.981 hektar) , di Jawa Baratbudidaya bayam seluas 4.273 hektar (Cerianet agricultur blog, 2008). Produksi bayam di dominasioleh bayam cabut sementara bayam petik sangat sedikit sekali. Bayam yang kita kenal untuk sayuranada 2 jenis, yaitu bayam cabut dan bayam petik. Penampilan kedua jenis bayam ini berbeda, baik dariukuran dan warna daun maupun dari ukuran dan warna batang. Bayam petik (Amaranthus hybridusL.) tidak sepopuler bayam cabut terutama di kota-kota, karena di pasar tradisional maupun di pasarswalayan jarang dijumpai sayur bayam petik, yang umumnya dijual adalah bayam cabut..Sementara didesa, penduduk biasa mengkonsumsi bayam petik karena mudah didapatkan di kebun-kebun yangtidak diolah dan di jual di pasar. Tetapi sampai saat ini belum ada yang membudiyakan untukdikomersialkan, hanya didapat dengan cara tumbuh liar atau ditanam dipekarangan rumah dalam

Page 174: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

162│

jumlah terbatas. Bayam petik dikenal juga dengan nama bayam kakap, mungkin karena ukuranbatang dan daunnya yang besar, sehingga dinamakan bayam kakap. Batangnya keras, padat danwarna batang bagian bawah merah (kira-kira 10 cm dari permukaan tanah) setelah itu berwarna hijaumuda, tetapi ada juga yang seluruh batangnya berwarna hijau muda. Bentuk daun bulat telur, tetapiada juga yang agak memanjang, berukuran besar, berwarna hijau tua dan tebal.

Perawakan bayam petik tegak, herba, umumnya bercabang, tingginya mencapai + 2,5 m.Bentuk daun bervariasi, lebar bulat telur, bentuk lanset, bentuk jorong, lonjong atau belah ketupat.Ujung daun runcing, meruncing atau tumpul dan dasar daunlebar atau runcing. Bunga majemuk cukupberkembang, tangkai bunga terminal lemah dengan banyak bulir-bulir lateral. Daun pelindung keduapanjang seperti daun tenda, melebihi cabang, tulang tengah perluasan melebihi daun. Daun tenda 5,pendek buah kering tidak merekah dan agak terlentik. Daun tenda bagian dalam pendek, agak bulattelur, ujung runcing, bagian luar lonjong. Buah kering tidak merekah, tajam kearah ujung, agakberkeriput. Biji berwarna gelap (Grubben & Sloten, 1981).

Hasil survey di lapangan di dapat beberapa lokasi tempat tumbuh bayam petik yang belumdibudiyakan. Bayam petik cukup banyak ditemukan di Kabupaten Kuningan Jawa Barat denganketinggian tempat yang berbeda mulai 320 m dpl. (Kec. Cidahu) – 807 m dpl (Kec. Cigugur).Pertumbuhan bayam yang ditemukan berukuran panjang dan lebar daun berkisar 9 – 6 cm sampai15,5 – 10, 4 cm, tinggi tanaman 98 – 235 cm dan lebar kanopi mencapai 102 cm.Bunganya dalamrangkaian panjang dan terkumpul pada ujung-ujung batang. Penduduk setempat banyak yangmengenal bayam petik dan dikonsumsi untuk sayur lalap, sayur bening dan sayur pecel. Merekamendapatkannya ada dari kebun-kebun maupun di pasar tradisionil. Hasil wawancara denganpenduduk mereka menyukai bayam petik dari pada bayam cabut karena dari perawakan, kesegaransayur dan cita rasa. Perawakan bayam petik, besar, daun lebar dan berwarna hijau tua bila di sayurjumlahnya lebih banyak dari pada bayam cabut , tidak cepat layu, rasanya lebih enak dan renyah(komunikasi pribadi).

Sebagian orang berpendapat bahwa bayam mempunyai rasa enak, lunak, dan dapat memberikanrasa dingin di perut. Sedangkan sebagian lagi mengatakan bahwa bayam adalah sayuran yang tidakkomplet, daunnya cenderung akan terasa seperti bubur bila terlalu lama dimasak, dan mengandungkadar besi terlalu tinggi. Terlepas dari kedua pendapat itu, sebenarnya bayam merupakan sayuranyang banyak mengandung vitamin dan garam-garam mineral yang dibutuhkan tubuh manusia. Daunbayam mengandung hara mikro esensial yang tinggi, sumber betha karoten 4 - 8 mg/100g dari bagianyang dimakan, vitamin C 60 -120 mg, Fe 4 – 9 mg dan Ca 300 – 450 mg. Kaya akan serat, asam folatdan kandungan protein (20 – 38 % dari berat kering), termasuk methionin dan asam amino lainnya.Daun dan batang mengandung nitrat dan oksalat dalam jumlah kecil. (PROSEA, 1994).Dari uraian diatas perlu dilakukan budidaya bayam petik seperti halnya bayam cabut, mengingat nilaigizi, menambah ragam sayur dan nilai ekonomi. Budidaya bayam petik tidak sulit dilakukan asalsyarat tumbuhnya terpenuhi seperti tanah yang gembur dan subur, pH tanah berkisar antara 6-7.Perbanyakan dilakukan dengan biji, umur 1 sampai dengan 1,5 bulan setelah tanam dapat dipanen.Panen bayam dilakukan dengan cara dipetik batang atau cabangnya. Pemetikan tersebut akanmerangsang tumbuhnya cabang baru yang banyak dan siap untuk di panen lagi. Pemanenandilakukan berkali-kali dengan interval seminggu sekali kemudian dibiarkan tumbuh kembali.Biasanya bayam petik berumur tahunan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan seleksi beberapaaksesi bayam petik terhadap pertumbuhan, pembungaan dan cita rasa yang baik untuk budidayatanaman sayuran penghasil daun.

BAHAN DAN METODE

Bayam petik yang diteliti sebanyak 12 aksesi, 2 aksesi berasal dari Kab. Bogor dan 10 aksesiberasal dari Kab. Kuningan. Bayam petik asal Kab. Bogor didapat dari desa Ciaruteun,Kec.Cibubulang dan di desa Ciparigi Kec. Kedunghalang. Bayam petik asal Kab. Kuningan didapatdari desa Windujanten Kec. Kadugede (2 aksesi), desa Kadurama Kec. Ciawi Gebang (2 aksesi), desaCidahu Kec. Pasawahan (1 aksesi), desa Randabawagirang Kec. Mandi Rancan (1 aksesi), desa

Page 175: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│163

Babakan Mulya Kec. Cigugur (1 aksesi),, desa Jambar Kec. Nusaherang (1 aksesi),, desa Sadamantra(1 aksesi), dan desa Pajambon (1 aksesi), di Kec. Jalaksana . Bayam petik asal Kab. Kuninganditemukan mulai ketinggian 320 m dpl (Cidahu Kec. Pasawahan) sampai 734 m dpl (Babakan MulyaKec. Cigugur). Ke 12 aksesi bayam petik disemai 12 April 2011, umur tiga minggu (3 Mei 2011)ditanam di kebun percobaan Botani Pusat Penelitian Biologi –LIPI Cibinong Science Center. Plotpenelitian berukuran 1 x 2 m, sebanyak dua belas plot. Lahan sebelum ditanami diberi pupukkandang ( 1 karung/plot). Setelah itu diberi pupuk kimia (Urea 150 kg, TSP 100 kg, dan KCl 75 kgper hektar) sebagai pupuk dasar masing-masing 40 g, 75 g dan 50 g setiap/plot(www.bluefame.com/topic/27584-budidaya.bayam 2012 ). Bayam petik di tanam dengan jaraktanam 50 x 50 cm dibuat lobang ukuran kedalam 2 cm., untuk diamati pertumbuhan dan pembungaanmasing-masing aksesi bayam. Tanaman dalam bedeng berjumlah 8 batang. Selama pertumbuhanvegetatif dilakukan pengukuran sebagai berikut: tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebardaun, jumlah cabang dan diameter batang setiap minggu. Pengukuran vegetatif tiap bedeng berjumlah5 tanaman/aksesi. Pada fase generatif dilakukan pengamatan saat muncul bunga, terbentuknya putik,benang sari dan biji pada ujung batang dan ketiak batang. Pengamatan generatif tiap bedengberjumlah 2 tanaman/aksesi.

Aksesi bayam petik yang ditanam sebagai berikut:1. Bayam petik asal Ciparigi Kec. Bogor Utara (CP)2. Bayam petik asal Ciaruteun Kec. Cibubulang Kab. Bogor (CT)3. Bayam petik batang hijau asal Desa Windujanten (WJHP)4. Bayam petik batang merah asal Desa Windujanten (WJMP)5. Bayam petik asal Desa Babakan Mulya (BM)6. Bayam petik asal Desa Pajambon (PJ)7. Bayam petik asal Desa Kadurama 1 (KRP I)8. Bayam petik asal Desa Sadamantra (SMJ)9. Bayam petik asal Desa Cidahu (CDH)10. Bayam petik asal Desa Randabawa Girang (RBG)11. Bayam petik asal Desa Nusaherang (NH)12. Bayam petik asal Desa Kadurama 2 (KRP 2)

Sebagai pembanding juga ditanam bayam cabut dari aksesi Giti Hijau, Alabama dan Kartika.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PertumbuhanHasil pengamatan terhadap parameter pertumbuhan bayam petik bervariasi pada masing-masing

aksesi, tanaman tertinggi berturut-turut adalah Randabawa Girang RBG (122,6 cm), Ciaruteun CT(122,25 cm), Windujanten Merah Petik WJMP (115,3 cm), Kadurama 1 KRP 1(109,38 cm) dan jugake empat aksesi ini menghasilkan jumlah daun terbanyak. kecuali aksesi CT (Tabel 1).

Pertumbuhan bayam petik umur empat minggu setelah tanam (MST) bervariasi tiap aksesi,mulai dari yang tertinggi pada aksesi Randabawa Girang (RBG) mencapai rata-rata 122,6 cm danjumlah daun rata-rata 142,4. Bentuk morfologi dari aksesi RBG, besar, daun lebar, panjang daun rata-rata 21 cm dan diameter terbesar rata-rata 3.02 cm. Penampilan bayam RBG paling besardibandingkan dengan bayam lainnya walaupun sudah fase generatif masih kelihatan pertumbuhantinggi batang bertambah. Saat daun tumbuh dari tangkai daun akan muncul warna daun kekuninganmerata, membulat dan bagian luar daun berwarna hijau. Namun setelah daun membesar warnakekuningan pada helaian daun akan menghilang perlahan-lahan, kemudian warna daun berubahmenjadi hijau tua dan mengkilat. Sementara pertumbuhan yang terendah pada aksesi Kadurama 2(KRP2) rata-rata 66,2 cm tetapi rata-rata jumlah daun cukup banyak yaitu 96,4 kedua aksesi iniberasal dari Kab. Kuningan. Secara umum bentuk daun dari dua belas aksesi bayam petik membulatdan agak meruncing pada bagian ujung daun, warna hijau tua, warna batang hijau muda, tetapi adajuga beberapa bagian bawah batang berwarna kemerah- merahan (Ciaruteun). Pertumbuhan tanaman

Page 176: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

164│

bayam dikategorikan tipe pertumbuhan indeterminate, artinya tanaman tetap mengalami pertumbuhanvegetatif walaupun tanaman tersebut telah memasuki fase generatif.

Selanjutnyanya pertumbuhan bayam cabut dibandingkan bayam petik pada umur yang sama (4MST) terlihat lebih rendah ditampilkan dari tinggi batang (67,13 cm), dan diameter batang 1,59 cm(aksesi Kartika). Ditemukan perbedaan warna daun pada setiap aksesi, dimana bayam cabut memilikiwarna hijau lebih muda daripada bayam petik, dan bayam petik Ciparigi memiliki warna hijau lebihtua daripada bayam petik Ciaruteun.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman beberapa aksesi bayam petik, panjang daun, lebar daun dandiameterbatang umur 4 MST di kebun percobaan Bidang Botani Puslit Biologi-LIPICibinong

Aksesi Tinggi (cm) Jumlah daun Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Jumlah cabang Diameter batang(cm)

CT 122,25 ± 25,34 58,81 ± 17,42 16,97 ± 2,05 13 ± 1,47 12,5 ± 2,39

CP 89,94 ± 33,14 36,81 ± 31,86 12,28 ± 3,83 9,59 ± 3,36 6 ± 3,61

WJHP 66,9 ± 16,48 105,4 ± 33,61 18,84 ± 1,80 14,26 ± 1,11 16,6 ± 2,30 2,46 ± 0,29

WJMP 115,3 ± 10,80 104,8 ± 12,85 19,2 ± 0,45 14,66 ± 0,21 17,4 ± 1,95 2,46 ± 0,23

BM 93,5 109 18 14,6 16 3

PJ 80,8 ± 15,07 93,6 ± 29,90 17,52 ± 2,08 13,96 ± 1,69 14,4 ± 1,14 2,46 ± 0,47

KRP 1 109,38 ± 17,92 129,75 ± 42,23 20,38 ± 1,41 15,68 ± 0.78 18 ± 2,16 2,9 ± 0,58

KRP 2 66,2 ± 19,82 96,4 ± 33,33 17,86 ± 2,88 13,2 ± 1,91 15,2 ± 3,42 2,03 ± 0,45

SMJ 86,8 ± 19,86 103,6 ± 33,62 18,54 ± 0,91 14,68 ± 0,91 14,6 ± 2,88 2,56 ± 0,30

CDH 86,2 ± 16,05 136,8 ± 64,55 18,1 ± 1,64 13,46 ± 1,44 14,2 ± 0,84 2,35 ± 0,35

RBG 122,6 ± 3,05 142,4 ± 23,68 21 ± 1,87 14,7 ± 0,67 15,8 ± 2,68 3,02 ± 0,45

NH 98 ± 6,38 102,2 ± 4,73 18,58 ± 0,92 14,13 ± 0,68 15,24

± 2,06 2,55 ± 0,26

Keterangan: CT= Ciaruteun; CP= Ciparigi; CM= Cimanggu; WJHP= Windujanten Hijau Petik ; WJMP= Windujanten Merah Petik ;BM= Babakan Mulya; PJ= Pajambon ; KRP1= Kadurama 1; KRP2= Kadurama 2; SMJ= Sadamantra ; CDH= Cidahu; RBG=Randabawa Girang; NH= Nusaherang

PembungaanBunga umumnya muncul pertama kali diujung (terminal) kemudian disusul dengan bunga di

ketiak daun. Tumbuh bunga bervariasi pada tiap aksesi bayam petik, paling tercepat aksesi Ciaruteun(CT) hari ke 23 setelah tanam (minggu ke 3) dan paling lambat aksesi Randabawa Girang (RBG) harike 56 (minggu ke 8) (Tabel 2.). Pemunculan bunga ketiak dimulai dari ketiak ke tiga belas(perhitungan ketiak di mulai dari ruas pertama dari permukaan tanah) sampai satu ketiak di bawahbunga terminal. Kemudian, bunga pada ketiak di bawahnya mulai bermunculan di hari-hariberikutnya. Karakteristik bunga bayam pada masing-masing jenis dapat dilaporkan sebagai berikut:

Page 177: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│165

Tabel 2. Perkembangan pertumbuhan generatif dari rata-rata beberapa aksesi bayam petik yangditanam di kebun percobaan Bidang Botani Puslit Biologi-LIPI Cibinong

AksesiBunga tumbuh hari

ke ...Putik tumbuh hari ke

...Benangsari mekar hari

ke ...Terbentuk biji hari ke

...Ujung Ketiak Ujung Ketiak Ujung Ketiak Ujung Ketiak

CTCPWJHPWJMPBMPJKRP 1KRP 2SMJCDHRBGNH

234044454940444341405543

31455251584849-

47575950

255051506149515247475851

345152546951545552486251

355657566850605748515953

455858607152-

5858525858

38585860-

53635862556655

48----------

58Keterangan: CT= Ciaruteun; CP= Ciparigi; CM= Cimanggu; WJHP= Windujanten Hijau Petik ; WJMP= Windujanten

Merah Petik ; BM= Babakan Mulya; PJ= Pajambon ; KRP1= Kadurama 1; KRP2= Kadurama 2; SMJ=Sadamantra ; CDH= Cidahu; RBG= Randabawa Girang; NH= Nusaherang;

Pada tabel diatas terlihat mulai terbentuknya bunga bervariasi pada setiap aksesi bayam,sebagian besar antara minggu ke 5 sampai minggu ke 7. Posisi terbentuk bunga yang tercepat padaujung batang (terminal) kemudian di ketiak batang. Munculnya bunga umumnya setelah tanamanberumur 40 hari dari semai kecuali pada bayam Randabawa Girang (RBG) paling lambat 55 hari.Begitu juga terbentuknya kepala putik lebih cepat di ujung batang (terminal) daripada di ketiak daun(pada ruas-ruas batang). Warna kepala putik putih sehingga kelihatan memutih jika dilihatmenyeluruh di tandan bunga. Benangsari mengalami hal yang sama yaitu mekarnya lebih cepat diujung batang daripada di ketiak daun. Warna benangsari kuning. Selanjutnya akan diikuti denganpembentukan buah lebih cepat di ujung batang kemudian disusul di ketiak batang. Buah munculpertama kali berwarna coklat setelah matang akan berobah berwarna hitam.

Bunga pada bayam petik merupakan bunga majemuk (dalam satu tandan bunga terdiri atasbunga-bunga kecil) dengan tipe pembungaan berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina terletakpada bunga yang berbeda. Bunga tersebut bercabang-cabang. Kemudian, bunga pada ketiak dibawahnya mulai bermunculan di hari-hari berikutnya. Tipe penyerbukan pada bunga bayam petiktermasuk tipe protogini. dimana putik muncul lebih dahulu, baru kemudian disusul serbuk sari (padabayam Ciparigi, serbuk sari muncul seminggu kemudian, sedangkan pada bayam Ciaruteun serbuksari muncul setelah sepuluh hari). Namun demikian, masih diperlukan pengamatan lebih lanjut.Selama pengamatan, terdapat kerancuan, kapan putik mulai keluar. Karena putik pada jenis bayam initidak dapat dibedakan dengan brachteanya. Catatan lain yang ditemui selama pengamatan, padabayam Ciparigi, sering ditemukan lebah sekitar pukul 09.30 WIB. Kedatangan lebah pada bayampetik berkaitan dengan mekarnya bunga dan kemungkinan sebagai lebah penyerbuk. Hubunganadanya lebah dengan waktu mekarnya bunga ada dalam biologi bunga (Uji, et al., 2010) mengkoleksilebah penyerbuk setiap jenis tanaman pertanian dengan tiga periode waktu: pagi (05.00 – 10.00),siang (10.01 – 13.59 ) dan sore (14.00 -17.30). Serangga pada bayam petik sering ditemukan waktupagi hari, Mekar bunga waktu pagi (05.00 – 10.00) di dapati pada tanaman sayuran terong, cabai,tomat, ketimun, caisin, kacang panjang dan kecipir (Uji, et al., 2010). Pada aksesi lainnya ditemukanserangga berupa kumbang sekitar jam 9.00 WIB. Fenologi fase pembungaan dua belas aksesi yangdiawali dari saat muncul tunas perbungaan sampai terbentuknya biji berlangsung antara 11 – 22 hari,paling cepat pada aksesi Randabawa Girang (11 hari) dan paling lama aksesi Cidahu (22 hari).Walaupun aksesi Randabawa Girang tumbuh bunga pertama paling lama tetapi terbentuk biji palingcepat. Aksesi inilah yang diharapkan pada bayam petik karena karena diperlukan tumbuh bunga agaklama, karena panen bayam dengan cara memetik batang atau cabang sebelum terjadi pembungaan.Panen dapat dilakukan berkali-kali.

Page 178: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

166│

Bunga pada bayam cabut aksesi kartika tumbuh pada hari ke 26 (menjelang minggu ke 4).Berbeda dengan bayam petik, pada bayam cabut, bunga terminal muncul pada saat yang sama denganbunga di ketiak daun. Pemunculan bunga ketiak dimulai dari ketiak ke 3 atau ruas ke 4 (perhitunganketiak di mulai dari ruas pertama dari permukaan tanah) sampai satu ketiak di bawah bunga terminal.Bunga pada bayam cabut merupakan bunga majemuk (dalam satu tandan bunga terdiri atas bunga-bunga kecil) dengan tipe pembungaan berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina terletak padabunga yang berbeda. Bayam cabut memiliki bentuk bunga seperti sikat botol. Pada jenis bayam cabuttidak ditemukan serangga penyerbuk. Diduga tipe penyerbukan pada bunga bayam termasuk tipeprotoandry, dimana serbuk sari muncul lebih dahulu, baru kemudian disusul putik. Bunga padajenis bayam petik muncul lebih awal yaitu pada 3 MST, sedangkan pada bayam cabut, bunga munculpada 4 MST. Perbedaan lama munculnya bunga antara aksesi bayam yang satu dengan aksesi lainnyadalam satu jenis tidak sama. Ditemukan perbedaan warna daun pada setiap aksesi, dimana bayamcabut memiliki warna hijau lebih muda daripada bayam petik warna hijau lebih tua. Dibawah inidiuraikan mulai tumbuh bunga sampai terbentuk biji pada masing-masing aksesi bayam petik sebagaiberikut:

CT. CiaruteunPembentukan bunga di ujung, hari ke 23 – 33 dan di ketiak, hari ke 31 – 39. Tumbuh putik di

ujung, hari ke 26 – 48 dan di ketiak, hari ke 34 – 41. Benangsari muncul di ujung, hari ke 35- 41 dandi ketiak hari 45. Pembentukan biji di ujung, hari ke 38 - 48

CP. CiparigiMulai terbentuk bunga, hari ke 40 – 45 (ujung batang) dan hari ke 45 – 62 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul, hari ke 50 - 51 (ujung batang) dan harike 51 – 62 (ketiak daun). Benangsari mekar, hari ke 56 – 60 (ujung batang) dan hari ke 58 – 62(ketiak daun). Biji terbentuk hari ke 58 .

WJHP Windujanten Hijau PetikMulai terbentuk bunga hari ke 44 – 45 (ujung batang) dan hari ke 48 – 59 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 51 (ujung batang) dan hari ke 52– 62 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 56 – 62 (ujung batang) dan hari ke 58 – 61 (ketiakdaun). Biji terbentuk hari ke 58

WJMP Windujanten Merah PetikMulai terbentuk bunga hari ke 44 – 46 (ujung batang) dan hari ke 46 – 53 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 48 – 53 (ujung batang) dan hari ke51 – 58 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 56 (ujung batang) dan hari ke 62 (ketiak daun).Biji terbentuk hari ke 60

BM Babakan MulyaMulai terbentuk bunga hari ke 46 – 53 (ujung batang) dan hari ke 58 (ketiak daun). Kepala

putik muncul hari ke 61 (ujung batang)

PJ PejambonMulai terbentuk bunga hari ke 38 – 48 (ujung batang) dan hari ke 46 – 51 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 47 hari – 51 (ujung batang) danhari ke 51 – 62 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 50 – 58 (ujung batang) dan hari ke 52 – 62(ketiak daun) . Biji terbentuk hari ke-53

KRP1= Kadurama 1Mulai terbentuk bunga hari ke 44 – 45 (ujung batang) dan hari ke 49 – 51 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 51 (ujung batang) dan hari ke 58

Page 179: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│167

(ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 58 (ujung batang) dan hari ke 58 (ketiak daun). Bijiterbentuk hari ke 63

KRP2= Kadurama 2Mulai terbentuk bunga hari ke 44 – 45 i (ujung batang) dan hari ke 48 – 61 (ketiak daun).

Bunga terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 51 - 53 (ujung batang) danhari ke 53 – 62 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 57 – 58 (ujung batang) dan hari ke 58 – 62(ketiak daun). Biji terbentuk hari ke 58

SMJ= SadamantraMulai terbentuk bunga hari ke 40 – 44 (ujung batang) dan hari ke 44 – 62 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 47 – 52 (ujung batang) dan harike 51 – 62 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 48 – 58 (ujung batang) dan hari ke 58 – 62(ketiak daun). Biji terbentuk hari ke 62

CDH= CidahuMulai terbentuk bunga hari ke 36 – 45 (ujung batang) dan hari ke 44 – 58 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 43 hari – 51 (ujung batang) danhari ke 48 – 62 hari (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 47 – 58 (ujung batang) dan hari ke 52 –62 (ketiak daun). Biji terbentuk hari ke 55

RBG= Randabawa GirangMulai terbentuk bunga hari ke 55 – 59 (ujung batang) dan hari ke 59 – 62 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 58 - 62 (ujung batang) dan hari ke62 - 65 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 59 – 64 (ujung batang) dan hari ke 58 – 66 (ketiakdaun). Biji terbentuk hari hari ke 66 – 68 ( ujung batang)

NH= NusaherangMulai terbentuk bunga hari ke 41 – 44 (ujung batang) dan hari ke 46 – 51 (ketiak daun). Bunga

terbentuk pertama pada ketiak tertua. Kepala putik muncul hari ke 51 (ujung batang) dan hari ke 51– 62 (ketiak daun). Benangsari mekar hari ke 55 – 58 (ujung batang) dan hari ke 58 – 62 (ketiakdaun). Biji terbentuk hari ke-55

Dilakukan test uji rasa terhadap dua belas aksesi bayam petik dengan empat belas responden.Dari hasil uji rasa ternyata paling enak bayam Randabawa Girang (RBG): mempunyai rasa enak (14orang responden), rasa manis (3 orang responden) dan tekstur empuk (9 orang responden) , bayamCiparigi (CP) mempunyai rasa enak (10 orang responden), rasa manis (1 orang responden), teksturempuk (11 orang responden). CT mempunyai rasa enak ( 8 orang responden), rasa manis (2 orangresponden), tekstur empuk (10 orang responden)

KESIMPULAN

Dari dua belas aksesi bayam petik asal Kab. Bogor dan Kab. Kuningan yang ditanam di kebunpercobaan Bidang Botani Puslit Biologi-LIPI, Cibinong terdapat pertumbuhan yang terbaik meliputitinggi tanaman tertinggi, jumlah daun terbanyak dan ukuran daun terbesar antar aksesi yaitu berurutanaksesi Randabawa Girang (RBG), Ciaruteun (CT), Windujanten Merah Petik (WJMP), danKadurama Petik 1 (KRP1). Pada bayam petik diperlukan muncul bunga paling lama karena untukproduksi daun yakni Randabawa Girang (RBG) hari ke 55, Babakan Mulya (BM) hari ke 49,Windujanten Merah Petik (WJMP) hari ke 45, Kadurama Petik 1 (KRP1) hari ke 44 dan WindujantenHijau Petik (WJHP) hari ke 44. Pembentukan biji tercepat pada aksesi Ciaruteun (CT) yakni hari ke38 setelah semai. Hasil uji rasa daun paling enak Randabawa Girang (RBG), Ciparigi (CP) danCiaruteun (CT)

Page 180: Prosiding BUKU 1

Pertumbuhan dan Pembungaan Beberapa Aksesi Bayam Petik (Amaranthus hybridus l. ) Asal Jawa BaratSyarif, F dan Utami, NW

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

168│

PUSTAKA

1. Agricultur on line: Budidaya bayam. Cerianet agricultur.blog spot.com/2008/12/budidayabayam.html. Di akses 26 Juni 2012

2. Anonim 2012, Teknologi Budidaya tanaman pangan bayam tahun (Bayam sekop atau kakap)Family Amaranthaceae. www.bluefame.com/topic/27584-budidayabayam. html. Di akses 26Juni 2012

3. Cerianet agricultur.blog, spot.com/2008/12/budidaya bayam.html, 2008.

4. Grubben, G.J.H and D.H. van Sloten. 1981. Genetic resources of amaranths. IBPGR. Rome. 57pp.

5. PROSEA. 1994. Plant esources of South East Asia 8. Vegetables. PROSEA, Indonesia.Page 83 –86.

6. Uji, T, Erniwati dan Sih Kahono 2010, ‘Kajian biologi bunga pada beberapa tanaman pertanianmusiman untuk mendukung manajemen penyerbukannya’, J. Teknologi Lingkungan, PusatTeknologi Lingkungan. Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam. BadanPengkajian dan Penerapan Teknologi. (In. Press)

Page 181: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelight

Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│169

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap InisiasiPembungaan Anggrek Vanda Robert Delight

Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, DBalai Penelitian Tanaman Hias. Jl. Raya Ciherang-Pacet, Cianjur 43253

E-mail: [email protected]

ABSTRAK. Vanda merupakan salah satu jenis anggrek tumbuh lambat, sehingga perlu perlakuan khusus untukmenginisiasi pembungaan dengan pemberian air kelapa dan perlakuan waktu pemupukan. Tujuan penelitian iniialah mengetahui konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukan yang tepat untuk menginduksi pembungaananggrek Vanda. Penelitian dilakukan di Rumah Sere Kebun Percobaan Pasarminggu, Balai Penelitian TanamanHias mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2008. Bahan tanaman yang digunakan ialah anggrek VandaRobert Delight ukuran dewasa. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dengankonsentrasi air kelapa (0, 100, 150, 200, dan 250 ppm) sebagai faktor pertama dan waktu pemupukan (pagi dansore hari) sebagai faktor kedua. Penelitian dilakukan dengan 3 kelompok atau ulangan. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukan tidak berpengaruh nyataterhadap parameter yang diamati. Konsentrasi air kelapa 100 ppm memberi pengaruh terhadap pertumbuhangeneratif tanaman yang paling baik (presentase munculnya bunga), sedangkan waktu pemupukan sore harimenunjukkan kecenderungan respon yang lebih baik untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif tanamananggrek Vanda.

Katakunci: Vanda; Air kelapa; Waktu pemupukan; Inisiasi pembungaan

ABSTRACT. Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D. 2013. Concentration Effect of Coconut Waterand Fertilization Application Time to Initiation of Flowering Orchid Vanda Robert Delight. Vanda is onetype of orchid that has a slow vegetative growth, so as to accelerate the flowering initiation should be givenspecial treatment with concentration of coconut water and treatment time of fertilizer application. The purposeof this research to know the appropriate concentration of coconut water and proper fertilizer application toaccelerate flower initiation of Vanda. The study was conducted in a greenhouse experiment at PasarmingguJakarta, Indonesian Ornamental Crops Research Institute from January to December 2008. The plant materialused is Vanda Robert Delight adult size. The experimental design using randomized block design with factorialpattern of concentration of coconut water (0, 100, 150, 200, and 250 cc/l) as the first factor and the time offertilizer application (morning and afternoon) as the second factor. The study was conducted with 3 groups orreplicates. The results showed that the interaction effect of concentration of coconut water and time of fertilizerapplication was not significantly different to the parameters observed. However, in each - respectively, theeffect of concentration of coconut water seen a tendency that the concentration of 100 cc/l shows the bestgenerative growth response (number of flower stalk in a plant), while the fertilizing late afternoon showed atendency to better response to the vegetative and generative growth of Vanda.

Keywords: Vanda; Coconut water; Time of fertilizer application; Flower initiation

Anggrek ialah salah satu jenis tanaman hias yang banyak dibutuhkan masyarakat perkotaanuntuk memenuhi keperluan sosialnya, sebagai sarana untuk menyatakan simpati kepada kerabat,relasi, maupun untuk menyemarakkan lingkungan kehidupannya. Anggrek memiliki jenis yangberagam dari aspek warna, bentuk dan aroma bunganya. Beberapa jenis anggrek yang populer, diantaranya ialah Dendrobium, Vanda, Phalaenopsis, Spathoglottis, Cattleya, Oncidium, danAranthera. Potensi pasar dalam negeri cukup besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, saatini mencapai lebih dari 200 juta. Jika 10% jumlah populasi menyukai anggrek, maka potensipasarnya menjadi sangat besar.

Vanda merupakan salah satu jenis anggrek yang berbunga sepanjang tahun. Panjang tangkaibunga berkisar antara 10–30 cm dengan jumlah kuntum bunga 5–20 kuntum per tangkai. Daya tahanbunga lebih dari 2 minggu bila masih melekat pada tanamannya, tetapi ketahanan bunga hanya 1minggu apabila digunakan sebagai bunga potong. Daun berbentuk bulat panjang sampai agak sedikit

Page 182: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelightSanti, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

170│

lebar, berdaging dan terletak berselang –seling berhadapan (Widiastoety 2003). Anggrek Vandamemiliki ciri pertumbuhan monopodial yaitu pertumbuhan batang utama yang tidak terbatas, sehinggaperbanyakan tanaman secara vegetatif bisa melalui stek batang (Widiastoety 2004). Selain itu Vandamemiliki pertumbuhan vegetatif yang lambat, sehingga masa inisiasi bunganya cukup lama. Untukmenginduksi pembungaan anggrek Vanda perlu diberikan perlakuan khusus. Pada beberapa jenisanggrek seperti Cattleya, Cymbidium, Dendrobium, Miltoniopsis, Phalaenopsis, dan Zygopetalum,induksi pembungaan dapat dilakukan dengan perlakuan suhu rendah (Roberto & Runkle 2005).

Air kelapa merupakan endosperm dalam bentuk cair yang mengandung unsur hara dan zatpengatur tumbuh, sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan. Menurut Tulecke et al. (1961) airkelapa mengandung zat atau bahan–bahan seperti vitamin, asam–asam amino, asam nukleat, fosfor,dan zat tumbuh seperti auksin dan asam giberelat yang berfungsi sebagai penstimulir dalam proliferasijaringan, memperlancar metabolisme dan respirasi. Oleh karena itu air kelapa mempunyaikemampuan untuk mendorong pembelahan sel dan proses diferensiasi. Staden & Drew (1994)melaporkan bahwa dalam air kelapa mengandung pula zeatin yang diketahui termasuk dalamkelompok sitokinin. Menurut Hess (1975), sitokinin mempunyai kemampuan mendorong terjadinyapembelahan sel dan diferensiasi jaringan terutama dalam pembentukan tunas pucuk dan pertumbuhanakar, namun peranan sitokinin dalam pembelahan sel tergantung pada adanya fitohormon lainterutama auksin.

Air kelapa sudah sejak lama diperkenalkan penggunaannya untuk pertumbuhan anggrek secarain vitro. Air kelapa ternyata memiliki manfaat untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa air kelapa kaya akan potasium (kalium) hingga 17%. Mineral lainnyaantara lain natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), cuprum (Cu), fosfor (P), dansulfur (S). Selain kaya mineral, air kelapa juga mengandung berbagai macam vitamin seperti asamsitrat, asam nikotinat, asam pantotenat, asam folat, niacin, riboflavin, dan thiamin. Air kelapa jugamengandung gula antara 1,7 sampai 2,6% dan protein 0,07 hingga 0,55%. Terdapat pula hormonalami yaitu auksin dan sitokinin. Dengan kandungan unsur kalium yang cukup tinggi, air kelapa dapatmerangsang pembungaan pada anggrek seperti Dendrobium dan Phalaenopsis (Anggrek.org 2008).

Fosfor (phosphorus) berperanan penting sebagai bioenergi tanaman. Sebagai komponen dariadenosin trifosfat (ATP), fosfor diperlukan untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimiaselama proses fotosintesis. Fosfor dapat digunakan juga untuk memodifikasi aktivitas dari berbagaienzim dalam proses fosforilasi. Karena ATP dapat digunakan untuk biosintesis dari berbagaibiomolekul tanaman, maka fosfor sangat penting dalam pertumbuhan tanaman, pembungaan, danpembentukan biji (Wikipedia.org 2008).

Anggrek termasuk jenis tanaman CAM (Crassulacean Acid Metabolism) atau juga dikenalsebagai fotosintesis CAM yaitu tanaman yang melakukan pengikatan CO2 pada malam hari yangdiubah menjadi asam malat. Pada siang harinya akan mengalami dekarboksilasi dan melepaskan CO2

kembali untuk proses fotosintesis. Tanaman CAM membuka stomata pada saat suhu rendah disertaikondisi malam hari yang lembab, sehingga akan mengurangi penguapan air pada saat pengambilanCO2 melalui stomata (Wikipedia.org 2008).

Hasil penelitian Soedjono & Kamidjono (1992) menunjukkan bahwa pemberian air kelapa 250cc/l dalam media tumbuh dapat meningkatkan berat basah anggrek Dendrobium Ekapol Panda secarain vitro. Pemberian 150 cc/l air kelapa tanpa sukrosa pada media tumbuh, dapat menghasilkan 50%jaringan mata tunas yang membentuk plb. dengan waktu tercepat pada kultur jaringan anggrek Vanda(Widiastoety & Santi 1994). Air kelapa pada tingkat ketuaan muda dan sedang dapat mendorongpertumbuhan plantlet anggrek Dendrobium Sonia Deep Pink, sedangkan jenis kelapa Genjah Hijaudan Genjah Kuning mempunyai pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan anggrekDendrobium Sonia Deep Pink (Widiastoety et al. 1997). Dengan perlakuan pemberian air kelapa padaberbagai level konsentrasi dan waktu pemupukan yang berbeda, diharapkan dapat diperoleh suatuteknologi yang tepat dalam menstimulasi percepatan inisiasi bunga pada anggrek Vanda.

Tanaman anggrek memiliki potensi yang sangat besar sebagai komoditas ekonomi dalamperdagangan lokal maupun internasional. Impor bunga anggrek segar di negara –negara Uni Eropameningkat 25 % per tahun pada periode 2001 sampai 2005, dengan jumlah transaksi senilai 87 juta

Page 183: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelight

Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│171

Euro pada tahun 2005. Peran negara berkembang di dalam memasok anggrek ke Uni Eropa sangatdominan yaitu hampir mencapai 60 % pada tahun 2001 dan meningkat tajam menjadi 65,6 % padatahun 2005 (AW, 2008). Dengan peluang anggrek sebagai tanaman hias yang bernilai ekonomitinggi, maka segala upaya untuk peningkatan produksi dan mutunya sangat diperlukan untukmemenuhi kebutuhan pasar lokal maupun internasional.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukanyang tepat untuk mendorong inisiasi bunga anggrek Vanda.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Rumah Sere Kebun Percobaan Tanaman Hias Pasarminggu Jakarta,mulai Bulan Januari sampai dengan Desember 2008. Penelitian menggunakan tanaman anggrekVanda ukuran remaja. Tanaman ditanam dalam pot plastik tanpa media dan digantung di dalam rumahsere.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial, dengan 2 faktor yaitupemberian air kelapa dengan konsentrasi 0, 100, 150, 200, dan 250 ml/l sebagai faktor pertama, danwaktu pemupukan yaitu pagi (pukul 6:00), dan sore (pukul 16:00) sebagai faktor kedua. Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan (kelompok) dan masing-masing perlakuan menggunakan 2tanaman.

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman, pemberian pestisida, dan lingkungansekitar yang dijaga kelembabannya (60–70 %). Perlakuan air kelapa diberikan satu kali seminggusampai tanaman berbunga. Pemupukan NPK (pupuk majemuk) dengan kandungan fosfor tinggidiberikan dua kali seminggu sampai akhir penelitian dengan konsentrasi 2 gr/l. Pengamatan vegetatifdilakukan pada awal dan akhir penelitian. Pengamatan generatif dilakukan pada saat mulai terjadinyainisiasi bunga sampai bunga mekar penuh.

Peubah yang diamati dan diukur dalam penelitian ini meliputi tinggi tanaman (diukur daripangkal batang sampai ujung daun terakhir), panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujungdaun), jumlah daun (dihitung banyaknya daun yang ada dalam satu tanaman), jumlah tangkai bungadalam satu tanaman, panjang tangkai bunga (diukur dari pangkal tangkal sampai ujung), jumlahkuntum bunga dalam setiap tangkai bunga.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukansecara interaksi tidak berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman, pertambahan panjang daundan pertambahan jumlah daun. Namun apabila dilihat dari pengaruh masing-masing perlakuan makaperlakuan waktu pemupukan memberikan perbedaan yang nyata pada pertambahan panjang daun.Penempatan ulangan atau kelompok berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Hal ini diduga karenapenyiraman air melalui ”nozzle” juga tidak merata, sehingga ulangan tiga yang letaknya lebih dekatke arah nozzle lebih banyak menerima siraman air daripada ulangan dua dan satu (Tabel 1).

Page 184: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelightSanti, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

172│

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukan terhadap pertambahantinggi tanaman,pertambahan panjang daun dan pertambahan jumlah daun pada anggrek Vanda RobertDelight

Perlakuan Pertambahan Pertambahan PertambahanTinggi tanaman (cm) Panjang daun (cm) Jumlah daun

Kelompok/UlanganI. Kelompok 1 5,91 b 11,76 a 2,35 aII. Kelompok 2 7,30 ab 12,43 a 2,35 aIII. Kelompok 3 10,26 a 12,23 a 2,25 aKonsentrasi air kelapa(ppm)0 8,19 a 11,42 a 2,50 a100 7,24 a 10,15 a 2,75 a150 7,58 a 13,45 a 1,83 a200 7,42 a 12,25 a 2,08 a250 8,67 a 13,44 a 2,42 aWaktu pemupukanPagi 8,02 a 9,31 b 2,63 aSore 7,62 a 14,97 a 2,00 aInteraksi Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata

Waktu pemupukan sore hari menghasilkan pertambahan panjang daun yang lebih besardibandingkan pemupukan pagi hari. Hal ini disebabkan karena anggrek merupakan tanaman CAMyang stomatanya membuka pada saat sore hari atau intensitas cahaya matahari telah menurun, dengandemikian nutrisi yang dapat diserap lebih banyak daripada pagi hari. Crassulacean acid metabolism(CAM) atau disebut juga dengan ”CAM photosynthesis” merupakan salah satu cara dalam fiksasikarbon. Tanaman yang termasuk ke dalam golongan CAM menyerap CO2 pada malam hari danmerubah menjadi malat, yang kemudian akan dilepas kembali pada siang hari untuk melakukanproses fotosintesis. Dengan bantuan enzim RuBisCO akan meningkatkan efisiensi proses fotosintesis.Siklus CAM akan membuat tanaman beradaptasi dengan kondisi kekeringan, karena stomata menutuppada siang hari (http://en.wikipedia.org/wiki/CAM_photosynthesis).

Gambar 1. Pengaruh air kelapa terhadap pertambahan jumlah daun, pertambahan tinggi tanaman,dan pertambahan panjang daun

Walaupun dari hasil analisis statistik pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata, namun secaravisual dapat digambarkan kecenderungan perlakuan yang menunjukkan respon tanaman yang lebihbaik (Gambar 1).

0

2

4

6

8

10

12

14

16

0 100 150 200 250

Konsentrasi Air Kelapa (ppm)

Pertambahan Jumlah Daun

Pertambahan Tinggi Tanaman(cm)

Pertambahan Panjang Daun(cm)

Page 185: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelight

Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│173

Gambar 2. Pengaruh Waktu Pemupukan terhadap Pertambahan Jumlah Daun, Pertambahan TinggiTanaman dan Pertambahan Panjang Daun

Pemupukan pada sore hari terlihat lebih baik untuk pertumbuhan vegetatif tanaman yaitupertambahan panjang daun, namun demikian untuk pertambahan tinggi tanaman dan pertambahanjumlah daun tidak nyata di antara kedua waktu pemupukan (Gambar 2).

Tabel 2. Nilai rerata jumlah tangkai bunga per tanaman, jumlah kuntum bunga per tangkai bunga,panjang tangkai bunga dan diameter bunga pada perlakuan konsentrasi air kelapa dan waktupemberian pupuk

Perlakuan Jumlah tangkai bungaper tanaman

Jumlah kuntum bungaper tangkai bunga

Panjang tangkaibunga (cm)

Diameterbunga (cm)

Kosentrasi air kelapa(ppm)

0100150200250

3,03,53,52,52,0

6,344,674,344,925,50

26,8422,8820,2921,8824,25

10,5710,9810,8410,5910,75

Waktu pemupukanPagiSore

3,04,5

5,887,00

27,6530,42

13,2813,58

Konsentrasi air kelapa(ppm) dan waktupemupukan

0, Pagi0, Sore100, Pagi100, Sore150, Pagi150, Sore200, Pagi200, Sore250, Pagi250, Sore

3325342313

6,006,674,335,003,675,003,506,336,005,00

25,0028,6720,7525,0018,8321,7518,0025,7528,0020,50

10,5010,6311,4510,5010,6711,0010,5010,6710,0011,50

*) Data di dalam Tabel 2. tidak bisa diolah secara statistik karena tidak semua perlakuan dalam ulangan menghasilkan bunga. Hanyadilakukan perhitungan rerata dari setiap data yang diperoleh, sehingga kecenderungan hasil yang terbaik yang disimpulkan

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Pagi Sore

Waktu Pemupukan

Pertambahan Jumlah Daun

Pertambahan Tinggi Tanaman(cm)

Pertambahan Panjang Daun(cm)

Page 186: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelightSanti, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

174│

Gambar 3. Pengaruh Air Kelapa terhadap jumlah tangkai bunga per tanaman, jumlah kuntum bungaper tangkai bunga, panjang tangkai bunga, dan diameter bunga

Pemberian air kelapa 100 dan 150 ppm menunjukkan jumlah tangkai bunga per tanaman lebihtinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam air kelapa mengandungnutrisi yang dapat mendorong munculnya bunga (Gambar 3). Penelitian di National Institue ofMolecular Biology and Biotechnology di UP Los Banos mengungkapkan bahwa dari air kelapa dapatdiekstrak hormone yang kemudian dibuat suatu produk suplemen yang disebut cocogro. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa produk tersebut dapat meningkatkan hasil kedelai hingg 64 %, kacangtanah hingga 15 % dan sayuran hingga 20–30 %. Dengan kandungan Kalium yang cukup tinggi(17%), air kelapa dapat merangsang pembungaan pada anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis(http://www.anggrek.org/index.php/2006/07/13/ air-kelapa-pemacu-pertumbuhan-dan pembungaananggrek.2/16/2008)

Gambar 4. Pengaruh waktu pemupukan terhadap jumlah tangkai bunga per tanaman, jumlah kuntumbunga per tangkai bunga, panjang tangkai bunga, dan diameter bunga

Pemupukan pada sore hari memberikan respon yang lebih baik pada panjang tangkai bunga,jumlah kuntum bunga per tangkai dan persentase bunga per perlakuan. Hal ini sejalan denganpengaruh waktu pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Dengan demikian pemupukansore hari dapat direkomendasikan sebagai waktu pemupukan yang lebih baik dibandingkanpemupukan pada pagi hari.

Pemberian air kelapa 200 ppm dan pemupukan pada sore hari memberikan hasil persentasebunga yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan jumlah kuntum bunga per tangkaidan panjang tangkai bunga tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dengan

0

5

10

15

20

25

30

0 100 150 200 250

Konsentrasi air kelapa (ppm)

Jumlah tangkai bunga pertanamanJumlah kuntum bunga pertangkai bungaPanjang tangkai bunga (cm)

Diameter bunga (cm)

0

5

10

15

20

25

30

35

Pagi Sore

Waktu pemupukan

Jumlah tangkai bunga pertanamanJumlah kuntum bunga pertangkai bungaPanjang tangkai bunga (cm)

Diameter bunga (cm)

Page 187: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelight

Santi, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│175

demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian air kelapa 200 ppm dan pemupukan padasore hari dapat memberikan hasil persentase munculnya bunga per perlakuan yang paling besar(Gambar 5).

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukan terhadap jumlah tangkai bunga pertanaman, jumlah kuntum bunga per tangkai bunga, panjang tangkai bunga, dan diameterbunga

Gambar 6. Tanaman anggrek Vanda yangsedang berbunga dengan perakar-an yang sehat

Gambar 7. Tanaman anggrek Vanda dengan 3kuntum bunga dengan 3 kuntumbunga

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara1. Pengaruh konsentrasi air kelapa dan waktu pemupukan tidak berbeda nyata.2. Konsentrasi air kelapa 100 ppm menunjukkan respon pertumbuhan generatif tanaman yang lebih

baik dibandingkan perlakuan lainnya.3. Waktu pemupukan sore hari menunjukkan kecenderungan respon yang lebih baik untuk

pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman anggrek Vanda.

0

5

10

15

20

25

30

35

0,pag

i

0,sore

100,p

agi

100,s

ore

150,p

agi

150,s

ore

200,p

agi

200,s

ore

250,p

agi

250,s

ore

Konsentrasi air kelapa (ppm) dan waktu pemupukan

Jumlah tangkai bunga per tanaman

Jumlah kuntum bunga per tangkaibungaPanjang tangkai bunga (cm)

Diameter bunga (cm)

Page 188: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa dan Waktu Aplikasi Pemupukan terhadap Inisiasi Pembungaan Anggrek Vanda RobertDelightSanti, A, Nurmalinda, dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

176│

PUSTAKA

1. Anggrek.org 2008, http://www.anggrek.org/index.php/2006/07/13

2. AW 2008, ’Anggrek potong , Potensinya dalam perdagangan global’, Florikultura, vol. I Edisi8, hlm. 22-3.

3. Gordon, B 1989, ‘Phalaenopsis flower induction (or, how to make them bloom)’, AmericanOrchid Society Bull., vol. 58, no. 9, pp. 908-910.

4. Hess, D. 1975. Plant Physiology . Springer – Verleg, New York. 333 pp.

5. Mukarlina, Listiawati, A & Mulyani, S 2010, ‘The effect of coconut water and naphthaleneacetic acid (NAA) application on the in vitro growth of Paraphalaenopsis serpentilingua frpmWest Kalimantan’, Bioscience, vol. 2, no. 2, pp. 62-6

6. Roberto, GL & Runkle, ES 2005 ‘Environmental Physiology of Growth and Flowering ofOrchids’, HortSci., vol. 40, no. 7, pp. 1969-73.

7. Soedjono, S & Kamidjono 1992, ‘Penggunaan medium pupuk daun dan konsentrasi air kelapabagi pertumbuhan protocorm anggrek Dendrobium Ekapol Panda in vitro’, J. Hort., vol. 2, no. 1,hlm. 27- 30.

8. Staden & Drews 1974, ‘Identification of cell division compounds from coconut milk’, PlantPhysiol., vol. 32, pp. 347-51.

9. Tulecke, W, Weintein, LH, Rutner, A & Laurencot, HJ 1961, ‘The biochemical composition ofcoconut water as related to its use in plant tissue culture. Contrib. Boyce Thompson Inst’, PlantRes., Inc. Yonkers 3. New York, vol. 21, pp. 115-26.

10. Widiastoety, D & Santi, A 1994, ‘Pengaruh air kelapa terhadap protocorm like bodies (plbs) darianggrek Vanda dalam medium cair, J. Hort., Vol. 4, no. 2, hlm. 71-3.

11. Widiastoety, D, Kusumo, S & Syafni 1997, ‘Pengaruh tingkat ketuaan air kelapa dan jenis kelapaterhadap pertumbuhan plantlet anggrek Dendrobium’, J. Hort., vol. 7, no. 3, hlm. 768 -72.

12. Widiastoety, D 2003, Agar anggrek rajin berbunga, Seri agrikiat, Penebar Swadaya, Jakarta.

13. Widiastoety, D 2004, Bertanam anggrek, Seri agrihobi, Penebar Swadaya, Jakarta.

14. Wikipedia.org., 2008, http://en.wikipedia.org/wiki/CAM_photosynthesis.

15. Yusnida, B, Syafii, W & Sutrisna 2006, Pengaruh pemberian giberelin (GA3) dan air kelapaterhadap perkecambahan biji anggrek bulan (Phalaenopsis Amabilis BL) secara in vitro, J.Biogenesis, vol. 2, no. 2, hlm. 41-6.

Page 189: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek Dendrobium

Utami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│177

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organikuntuk Meningkatkan Keberhasilan Aklimatisasi Planlet Anggrek Dendrobium

Utami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, DBalai Penelitian Tanaman Hias, Jl. Raya Ciherang Pacet, Cianjur 43253

ABSTRAK. Salah satu cara mendapatkan bibit Anggrek Dendrobium yang berkualitas yaitu melaluipenambahan bahan organik ke dalam media tumbuh. Agar pertumbuhan bibit planlet berkembang cepatdiperlukan pengaturan kerapatan jumlah planlet di dalam setiap botol. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkanperbaikan paket teknologi percepatan pertumbuhan dan kerapatan tanam planlet dalam media tumbuh untukmendukung tahap aklimatisasi plantlet Anggrek Dendrobium. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca KebunPercobaan Pasarminggu, Balai Penelitian Tanaman Hias, dari Bulan April 2011 sampai dengan Maret 2012.Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok terdiri atas 12 kombinasi perlakuan dan 4 ulangan, masing-masing 3 botol setiap perlakuan. Faktor pertama ialah kerapatan planlet terdiri dari: 5, 10, 15, dan 20 planlet perbotol. Faktor kedua ialah tiga macam media masing-masing ialah: 1) Vacin & Went + pisang 75g/l + air kelapa150cc/l + gula 20 gr/l, 20 Fish Emulsion 0,2% + pisang 75gr/l + air kelapa 150cc/l + gula pasir 20g/l + daunmengkudu (Morinda citrifolia) 100 g/l, 3) Vacin & Went + pisang 75gr/l + air kelapa 150cc/l + manitol 30 gr/l.Hasil penelitian menunjukkan bahwa plantlet terbaik diperoleh pada media Manitol dengan kerapatan 5 plantletper botol dengan prosentase tumbuh 235% dan skoring vigor (8.8), diikuti oleh perlakuan media pisang dengankerapatan 5 plantlet per botol menghasilkan prosentase tumbuh (205%) dan scoring vigor (8.6), sedangkan padaperlakuan media Fish Emulsion + mengkudu pertumbuhan planlet kurang baik.

Katakunci: Anggrek Dendrobium; Planlet; Media organik

ABSTRACT. Utami, P.K, Santi, A, Prasetya, J, Sutrisno, N, and Widiastoety, D. 2013. Plantlet Inductionon Organic Medium for Increasing Plantlet Population to Support Aclimatization Cultivation ofDendrobium. Tissue culture is a method to improve plantlets initiation using the organic medium. The objectiveof this experiment was to find out the best organic media composition and plantlet population density toproduce a good quality of cultivation Dendrobium orchid. The research was conducted at tissue culturelaboratory of Indonesian Ornamental Crop Research Institute from April 2011 untill Maret 2012. The materialsused were Dendrobium selected cross Balithi plantlets cultivated in Vacin & Went solid medium with additionof organic matter. The experiment was arranged in Factorial Randomized block Design with 12 treatments andfour replications, with three bottle per treatment. All treatment combination consisted of 4 plantlet populationdensity (5,10,15, and 20) plantlet per bottle combined with three kinds of solid organic medium., i.e. 1) Vacinand went + banana 75gr/l+ coconut water 150ml/l + glucosa 20gr/l, 2) Fish emulsion 0,2% + Noni leaves(morinda citrifolia) 100gr/l + banana 75g/l + coconut water 150ml/l + glucosa 20gr/l, 3) Vacin and went +manitol 30gr/l + banana 75g/l + coconut water 150 ml/l. The Results showed that the best plantlets growth onVacin & Went solid media with Manitol which consist 5 -10 plantlet per bottle was significantly gave thehighest percentage growth (235% plantlets growth and scoring vigor (8.8).

Keywords: Dendrobium Orchid, Plantlets, Growth, Organic Medium.

Industri Anggrek di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga.Penyebab utama tertinggalnya industri anggrek di Indonesia antara lain kurangnya penyediaan bibitbermutu untuk mendukung pengembangan agribisnis skala ekonomi. Selama ini penyediaan bibitbermutu masih dipenuhi dari impor. Biaya impor yang sangat tinggi sehingga menyebabkan hargabibit anggrek menjadi mahal. Oleh karena itu perlu digalakkan penelitian perbanyakan anggrekkomersial untuk mendukung penyediaan bibit anggrek di dalam negeri pada masa mendatang.

Peningkatan permintaan bunga anggrek memacu para petani untuk meningkatkan kualitas hasildan kuantitas produksi. Di sisi lain upaya peningkatan produksi anggrek membutuhkan bibit bermutuprima dalam jumlah memadai. Bibit anggrek umumnya diperbanyak melalui kultur in vitro, sehinggamodifikasi media sangat diperlukan untuk meningkatkan multiplikasi maupun pembesaran bibitdalam waktu yang relatif singkat.

Page 190: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek DendrobiumUtami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

178178│

Di dalam kultur in vitro anggrek medium dasar yang umum digunakan ialah media yangmengandung unsur hara makro dan mikro, karbohidrat dan protein, asam amino basa nitrogen, zatpengatur tumbuh, persenyawaan organik kompleks, bahan pemadat, air, dan arang aktif. Penambahanbahan-bahan lain ke dalam media dasar telah banyak dilakukan untuk menginduksi pertumbuhankultur yang maksimal. Salah satu cara untuk mendapatkan bibit anggrek yang berkualitas yaitudengan penambahan bahan organik komplek ke dalam media tumbuh, antara lain air kelapa, pisang,mengkudu, minyak ikan, dan pepton (Widyastoety et al. 1997).

Agar pertumbuhan bibit planlet berkembang cepat diperlukan pengaturan kerapatan jumlahplanlet setiap botol yang digunakan dalam pembesaran planlet agar tumbuh optimal. Kerapatanplanlet berhubungan erat dengan persaingan planlet terhadap penyerapan unsur hara, cahaya, suhu dankelembaban dapat mempengaruhi pertumbuhan planlet. Oleh karena itu dalam penelitian inidilakukan perlakuan kerapatan planlet dalam media organik untuk pembesaran planlet. Pertumbuhanplanlet dengan ukuran besar diharapkan akan lebih kuat bertahan saat dilakukan aklimatisasi

Anggrek mempunyai karakteristik pertumbuhan yang sangat lambat, sehingga diperlukanperlakuan khusus dalam teknologi pembibitan untuk memacu pertumbuhannya. Komposisi mediaregenerasi planlet Dendrobium mempengaruhi pertumbuhan organ jaringan dan planlet Dendrobium.Media dasar Vacin dan Went yang dimodifikasi dengan penambahan beberapa bahan organik tertentudapat meningkatkan pertumbuhan plantlet Dendrobium. Menurut Boris & Hubel dalam Arditti &Ernst (1993) penambahan vitamin dan bahan organik ke dalam media kultur dapat merangsangpertumbuhan jaringan dan organ plantlet Anggrek. Sel-sel tanaman yang dikulturkan umumnya dapatmensintesis sendiri vitamin yang dibutuhkan, tetapi dalam jumlah yang tidak cukup untukmemperbaiki pertumbuhan. Menurut Arditti & Ernst (1993) larutan media untuk kultur jaringananggrek mengandung 4 kelompok komponen, yaitu: (1) unsur makro dan mikro dalam bentuk garam,(2) sumber energi dalam bentuk gula, biasanya sukrosa (3) vitamin dan hormon, serta (4) senyawakomplek seperti air kelapa, pisang, mengkudu, Fish Emulsion, pepton. Air kelapa mengandung unsur-unsur hara, vitamin, zat pengatur tumbuh, gula dan mineral (Tulecke et al. 1961) Air kelapa dapatmerangsang pembelahan sel dan menstimulir proses diferensiasi serta pembentukan plbs dan plantlet.Vitamin dapat diperoleh dari bahan-bahan organik seperti air kelapa dan buah-buahan (mengkudu,pisang, dan tomat). Vitamin berperan dalam proses pertumbuhan sebagai katalisator dalam prosesmetabolisme.

Pemberian bubur pisang, ubi kayu, toge, dan mengkudu dapat menunjang pertumbuhan tinggiplantlet. Hal ini disebabkan karena kandungan nutrisi bahan organik pada pisang, ubi kayu, dan taogeterutama karbohidrat merupakan bahan dasar untuk menghasilkan energi dalam proses respirasi danbahan pembentuk sel-sel baru (Widyastoety & Bahar 1995).

Menurut Oey (1992) buah pisang mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, serat, mineralseperti kalsium, fosfor, dan ferro, serta vitamin C, B6, A, Tiamin, Riboflavin, dan Niacin. Arditi(1993) menyatakan bahwa pada buah pisang terdapat hormon tumbuh yang menyerupai auksin dangiberilin. Demikian pula daun dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan oksigen yang kuatyang mengandung senyawa terpenoid yang membantu proses sintesis organik dan mengaktifkanprotein, sedangkan pepton dan Fish emulsion mengandung asam amino sebagai sumber nitrogenorganik yang dapat merangsang pertumbuhan jaringan (Widiastoety 2010).

Pemberian Manitol sebagai sumber karbon pengganti gula/sukrosa dalam media kultur didugadapat mengatasi cekaman/stress pada pertumbuhan planlet saat dilakukan aklimatisasi. Manitolberperan dalam meningkatkan tekanan osmotik, tekanan osmotik yang terlalu tinggi mengakibatkankematian sel-sel akibat terjadinya lisis atau pecahnya dinding sel, dan akhirnya terjadi gangguanseperti terhambatnya pengambilan zat hara, pembengkakan sel-sel dan berakibat terjadinya gangguanpertumbuhan (Ganda Wijaya 1998).

Dalam penelitian ini akan diuji pengaruh perlakuan kerapatan planlet dalam media organikterhadap pertumbuhan planlet dendrobium dan kemampuan aklimatisasi.

Page 191: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek Dendrobium

Utami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│179

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kebun Percobaan Pasar Minggu, Balai PenelitianTanaman Hias mulai Bulan April 2011 sampai dengan Maret 2012. Plantlet yang digunakan ialahplantlet anggrek Dendrobium hasil silangan Balithi (NS 001/10) dengan ukuran tinggi 1,5–2,0 cm,jumlah daun 2–3 dan tanpa akar. Rancangan percobaan yang digunakan ialah acak kelompok faktorialdengan dua faktor perlakuan dan empat ulangan, masing-masing 3 botol setiap perlakuan. Faktorpertama ialah kerapatan tanam planlet terdiri dari jumlah planlet 5, 10, 15, dan 20 planlet per botol.Faktor kedua ialah tiga macam media plantlet masing-masing adalah:1. Vacin & Went + Pisang 75 g/l + Air Kelapa 150 cc/l + gula pasir 20 g/l (kontrol)2. Fish Emulsion 0,2% + Pisang 75 g/l + Air Kelapa 150 cc/l +gula pasir 20g/l + daun mengkudu

100g/l3. Vacin & Went + Pisang 75 g/l + Air Kelapa 150 cc/l+ Manitol 30 g/l.

Penanaman plantlet ke dalam media padat yang telah diberi perlakuan, dilakukan secara aseptik.Botol kultur berukuran 250 ml diisi dengan larutan media organik sesuai perlakuan sebanyak 50 ml.Setiap botol ditanami 5,10,15, dan 20 plantlet sesuai perlakuan yang diamati dan diukur sampai akhirpenelitian. Selanjutnya botol kultur yang telah berisi plantlet, diletakkan di atas rak-rak kultur yangdiberi penerangan cahaya lampu TL 40 watt yang dipasang di atas botol-botol kultur pada ketinggian40-50 cm dengan suhu ruangan berkisar antara 22 sampai dengan 25°C. Pengamatan dilakukan pada 6bulan setelah sub kultur.

Peubah yang diamati ialah tinggi plantlet, panjang plantlet, jumlah akar, dan jumlah daun,prosentase plantlet yang tumbuh dan skoring vigor. Tinggi plantlet diukur mulai dari pangkal batangsampai ujung daun yang terpanjang kemudian dilakukan perhitungan rerata tinggi plantlet pada setiapperlakuan. Panjang akar diukur mulai dari pangkal akar yang berbatasan dengan batang sampai ujungakar dan dihitung rerata panjang akar pada setiap perlakuan. Jumlah akar dan jumlah daun pada setiapplantlet dihitung dan dilakukan perhitungan rerata jumlah akar dan daun pada setiap perlakuan.Persentase tumbuh plantlet setiap botol dihitung menggunakan rumus:

aP = x 100 %

NP = Persentase plantlet yang tumbuh.a = Jumlah plantlet yang tumbuh sehat.N = Jumlah plantlet yang ditanam sesuai perlakuan kerapatan.

Pengamatan Vigor tanaman dilakukan dengan metode scoring, dengan kriteria tampilanketegaran plantlet yang sehat secara visual.

Nilai 9–10 bagi plantlet yang sehat dan tumbuh seragam, daun tebal warna hijau segar.Nilai 7–8 bagi plantlet yang tumbuh cukup baik.Nilai 5–6 bagi plantlet yang tumbuh sedang-sedang / kurus dan kurang berkembang.Nilai 3–4 bagi plantlet yang tumbuh kerdil dan kurang baik.Nilai 1–2 bagi plantlet yang tidak tumbuh atau mati.

Data pengamatan dilakukan pada semua planlet perlakuan per unit, pengukuran peubahdilakukan 6 bulan setelah sub kultur perlakuan. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik,perbedaan antara perlakuan diuji menggunakan uji jarak berganda duncan pada taraf 5%.

Page 192: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek DendrobiumUtami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

180180│

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi TanamanHasil pengamatan terhadap tinggi plantlet Dendrobium dilakukan setelah 6 bulan sub kultur

disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis statistik, tinggi tanaman maksimum terdapat padaplantlet yang ditanam pada media Manitol dengan kerapatan jumlah plantlet 10 per botol, mencapai9,9 cm dan secara statistik berbeda sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan media dankerapatan jumlah plantlet per botol sangat mempengaruhi pertumbuhan tinggi plantlet Dendrobium.

Jumlah DaunHasil pengamatan terhadap jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar disajikan pada Tabel 1.

Hasil analisis statistik jumlah daun meningkat nyata pada plantlet yang ditanam pada media manitoldengan kerapatan jumlah plantlet 10 botol mencapai 5,6 helai daun per tanaman. Penggunaan manitolsebagai sumber karbon pengganti gula/sukrosa ternyata mampu meningkatkan jumlah daun plantletDendrobium.

Jumlah AkarBerdasarkan analisis statistik didapatkan bahwa jumlah akar plantlet yang tertinggi ditemukan

pada Media Pisang dengan kerapatan jumlah plantlet 5 per botol terdapat 5,8 akar per planlet. Hal inimenunjukkan bahwa media pisang merangsang pertumbuhan akar dengan nyata, dengan kerapatanjumlah 5 plantlet per botol memberi peluang pertumbuhan akar berkembang secara optimal. Mediapisang mengandung karbohidrat tinggi yang mampu menghasilkan energi bagi pertumbuhan plantletyang optimal.

Tabel 1. Tinggi plantlet, jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar setelah 6 bulan penanamanPerlakuan Tinggi plantlet Jumlah daun Jumlah akar Panjang akar

Med. Pisang (5) 9,4 ab 5,0 ab 5,2 ab 10,0 b

Med. Pisang (10) 9,3 ab 4,4 abc 3,7 cd 13,4 a

Med. Pisang (15) 8,4 ab 4,0 bc 4,7 bc 10,8 ab

Med. Pisang (20) 7,9 b 4,4 abc 4,4 bcd 10,0 b

Med. Manitol (5) 7,9 b 3,4 c 5,7 ab 11,7 ab

Med. Manitol (10) 9,9 a 4,5 abc 4,0 cd 10,9 ab

Med. Manitol (15) 9,4 ab 5,6 a 3,9 bc 11,5 ab

Med. Manitol (20) 8,0 ab 3,9 bc 4,4 bcd 11,1 ab

Med. FE + MK (5) 4,8 cd 3,9 bc 4,0 cd 4,9 c

Med. FE + MK (10) 6,0 c 5,5 a 6,2 a 6,2 c

Med. FE + MK (15) 3,5 d 3,7 bc 3,0 d 3,8 c

Med. FE + MK (20) 4,4 cd 3,8 bc 3,1 d 3,8 c

KK (CV), % 14,3% 19,6% 20,7% 17,9%

*) Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT

Panjang Akar

Data tabel 1. Menunjukkan bahwa akar yang terpanjang tampak pada perlakuan plantlet yangditanam pada media Pisang dengan kerapatan 10 plantlet per botol 13.4 cm, dan media Manitoldengan kerapatan 5 plantlet per botol menghasilkan panjang akar 11,7 cm nyata meningkat dibandingperlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan panjang akar bisa menjadi optimal bilaruang gerak tumbuh dan persaingan hara dari media masih memadai. Dengan kerapatan jumlahplantlet 5 – 10 plantlet per botol pertumbuhan plantlet masih dapat berkembang dengan sangat baik.

Persentage Tumbuh PlanletPersentase tumbuh plantlet dihitung dari total plantlet yang hidup sehat dibagi planlet yang

ditanam sesuai perlakuan kerapatan dikali 100%, pada tabel 2 menunjukkan bahwa pada umumnya

Page 193: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek Dendrobium

Utami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│181

semua plantlet dapat tumbuh pada ke 3 macam media yang dicoba namun, pada media manitoldengan kerapatan 5 plantlet per botol menunjukkan prosentase pertumbuhan yang sangat baik (235%).Pada umumnya prosentase tumbuh cukup baik pada media Manitol dan pisang, namun demikiansecara umum kerapatan tumbuh plantlet yang semakin tinggi cenderung menurunkan prosentasetumbuhnya. Persaingan serapan hara maupun ruang tumbuh dalam kultur mengakibatkan plantletberkembang kurang optimal. Seiring dengan pertambahan kerapatan jumlah plantlet dalam botol, 5-10plantlet per botol persentase tumbuh sangat optimal, sedangkan kerapatan plantlet 15-20 plantlet perbotol menurunkan prosentase tumbuhnya. Selain serapan hara dan ruang tumbuh kondisi lingkunganjuga berpengaruh seperti suhu ruang, kelembaban, dan cahaya ruangan.

Skoring VigorSkoring vigor dilakukan setelah 6 bulan dalam subkultur, dengan kriteria tampilan ketegaran

plantlet secara visual, yang diharapkan ialah jumlah dan bentuk daun tebal, warna hijau tua (tidakpucat), kokoh, tinggi plantlet optimal dengan jumlah akar sehat yang banyak dan panjang, dan warnaakar putih. Bagi penampilan ketegaran plantlet yang sehat dengan vigor yang kokoh dan kecepatantumbuh sangat baik diberikan nilai skoring 9-10, sedangkan plantlet yang tumbuh baik nilaiscoringnya 7–8, selanjutnya plantlet yang tumbuh namun kurang berkembang nilainya 5–6. Nilai 3–4diberikan pada plantlet yang kerdil/tumbuhnya kurang baik, sedangkan nilai 1–2 bagi plantlet yangmati atau tidak tumbuh.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan media manitol dengan kerapatan jumlahplantlet 5 per botol berpengaruh nyata terhadap penampilan scoring vigor (8.8). Hal ini menunjukkanbahwa perlakuan media manitol dengan kerapatan 5 plantlet per botol memberikan hara yang cukupbagi pertumbuhan yang optimal bagi plantlet Dendrobium. Keadaan ini membuat plantlet tidak perlubersaing untuk mendapatkan hara yang cukup dengan ruang tumbuh yang memadai. Secara umumpenampilan vigor plantlet cukup baik pada perlakuan media manitol dan pisang, namun demikianpada media Fish emulsion + mengkudu pertumbuhan plantlet tidak berkembang optimal dan plantlettumbuh lambat dan kerdil. Diduga media Fish emulsion + mengkudu kurang menyediakan hara yangcukup bagi pertumbuhan plantlet dibanding media pisang dan manitol yang menggunakan mediadasar Vacin & Went yang sudah baku, dan sudah teruji.

Tabel 2. Hasil Pengamatan persentase tumbuh planlet dan scoring vigor Plantlet Dendrobium setelah6 bulan sub kultur

Perlakuan % Tumbuh Plantlet(Percentage Growth Plant )

Scoring Vigor

Med. Pisang (5) 205 ab 8,6 a

Med. Pisang (10) 168 ab 8,6 a

Med. Pisang (15) 168 ab 8,3 a

Med. Pisang (20) 143 ab 8,3 a

Med. Manitol (5) 235 a 8,8 a

Med. Manitol (10) 190 ab 8,4 a

Med. Manitol (15) 127b 8,4 a

Med. Manitol (20) 153 ab 8,1 a

Med. FE + MK (5) 127 b 4,4 c

Med. FE + MK (10) 130 b 6,6 b

Med. FE + MK (15) 138 b 4,5 c

Med. FE + MK (20) 176 ab 5,1 c

KK (CV), % 35,5 11,7Skoring : 1 – 2 tidak baik / tidak tumbuh; 3 – 4 kurang baik / kerdil; 5 – 6 cukup baik; 7 – 8 baik; 9 – 10 sangat baik

Page 194: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek DendrobiumUtami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

182182│

KESIMPULAN

1. Plantlet yang terbaik tumbuh pada kombinasi media Vacin dan Went padat yang ditambahManitol 30gr/l + Pisang 75 gr/l dan air kelapa 150 ml/l dan berisi 5 plantlet per botol, porsentasetumbuh 235%, scoring vigor 8,8 tampak berbeda nyata dibanding perlakuan dengan media FishEmulsion + Mengkudu (prosentase tumbuh, 127% dan skoring vigor 4,4).

2. Pada dasarnya plantlet dapat tumbuh pada ketiga macam media Manitol, Pisang, Fish Emulsiondan Mengkudu. Namun prosentase tumbuhnya plantlet berbeda nyata. Prosentase tumbuh padamedia Manitol 235% dan pisang 205% tampak nyata lebih baik dibanding media Fish Emulsion +Mengkudu 127%.

3. Kerapatan jumlah plantlet dalam setiap botol 5, 10, 15, dan 20 juga berpengaruh terhadapkecepatan tumbuh plantlet. Pada media Manitol perlakuan kerapatan 5 dan 10 plantlet tumbuhlebih baik dan lebih cepat. (Scoring vigor 8,8 dan persentage tumbuh 235% dibanding perlakuandengan kerapatan 15 dan 20 plantlet per botol ( skoring Vigor 8,4 dan persentage tumbuh 127).

PUSTAKA

1. Adiputra, I Gede Ketut 2009, Aklimatisasi bibit Anggrek pada Awal pertumbuhannya diluarkultur jaringan, Laporan Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Bali.

2. Arditti, J & Ernst, R 1993, Micropropagation of orchid, J. Willey & Sons, Inc., New York.

3. Ganda Wijaya, D 1998, ‘Pengaruh sukrosa dan glutamine pada kultur anter Solanum’, J. IlmiahBiologi. vol. 4, hlm. 98-102.

4. Gamborg, OG & Syluck, JP 1981, Nutrition media and charateristik of plant cell and tissueculture ; Method and application in agriculture, Academic Press, New York.

5. Lindsey, R & Jones, MGK 1990, Plant biotehnology in agriculture, Prentice Hall EnglewoodCliffs, New Jesrey.

6. Oey, NK 1992, Daftar analisis bahan makanan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Utami, PK & Ginting, B 2007, ‘Media untuk meningkatkan induksi dan pertumbuhan plbsAnggrek Dendrobium’, J. Hort., (Edisi Khusus), no. 1, hlm. 32-37.

8. Tulecke, Weinstein, LH, Rutner, A & Laurencot, HJ 1961, ‘Biochemical Composition of coconutwater as related to its use in plant tissue culture’, Plant. Res. Inc., vol. 21, pp. 115-26.

9. Vacin, E & Went, FW 1949, ‘Some pH changes and nutrient solutions’, Bot. Gaz., vol. 110, pp.605 -13.

10. Widiastoety, D & Farid A. Bahar (1995), ‘Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhananggrek Denrobium’, J. Hort., vol. 5, no. 4, hlm. 72-5.

11. Widiastoety, D, Prasetio, W & Solvia, N 2000, Pengaruh naungan terhadap produksi tigakultivar bunga anggrek Dendrobium, J. Hort., vol. 9, no. 4, hlm. 302

12. Widiastoety, D 2003, Menghasilkan anggrek silangan, Penebar Swadaya.

13. Widiastoety, D & Nurmalinda 2010, ‘Pengaruh suplemen non sintetik terhadap pertumbuhanplanlet anggrek Vanda’, J. Hort.,vol. 20, no. 1, hlm. 60-6.

14. Widiastoety, D, Kusumo, S & Syafni, 1997, ‘Pengaruh tingkat ketuaan air kelapa dan jenis kelapaterhadap pertumbuhan plantlet anggrek Dendrobium’, J. Hort., vol. 7, no. 3, hlm. 768-72.

Page 195: Prosiding BUKU 1

Pembesaran dan Pengaturan Kerapatan Plantlet dalam Media Organik untuk Meningkatkan Keberhasilan AklimatisasiPlanlet Anggrek Dendrobium

Utami, P.K, Prasetya, J, Sutrisno, N, Santi, A dan Widiastoety, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│183

Lampiran

Gambar 1. Kultur Planlet Dendrobium umur 6 bulan yang optimal ditanam pada media Vacin &Went dengan penambahan Manitol, dengan kerapatan 10 planlet per botol,menghasilkan planlet terbaik dengan persentase tumbuh 235% dan scoring vigor 8,8

Gambar 2. Kultur Planlet Dendrobium umur 6 bulan yang terbaik ditanam pada media Vacin & Wentdengan penambahan Pisang, dengan kerapatan 5 planlet per botol, menghasilkan planletdengan persentase tumbuh 205% dan scoring vigor 8,6.

Page 196: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

184184│

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitroAnthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)

Rachmawati, F. dan D. PramanikBalai Penelitian Tanaman Hias Segunung

Jl. Raya Ciherang PO. Box 8 Sindanglaya, Pacet, Cianjur 43253Email : [email protected]/[email protected]

ABSTRAK. Inisiasi kalus merupakan tahap penting dalam teknik perbanyakan Anthurium secara in vitro. Salahsatu faktor esensial yang mempengaruhi tahap ini adalah komposisi media yang dilengkapi zat pengatur tumbuh.Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan inisiasi kalus 5 klon harapan anthurium dan mendapatkanmedia inisiasi kalus yang paling potensial untuk diaplikasikan pada klon-klon harapan anthurium tersebut.Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Kaca, Balai penelitian Tanaman HiasSegunung dari Bulan Januari hingga Desember 2007. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun muda danpetiol dari 5 klon harapan anthurium ( Hib.FA-4; Hib.FA-6; Hib.FA-11; FR-1; FR-2), sedangkan limakomposisi media inisiasi kalus yang diujicobakan adalah: KA-1 = Winarto and Texera (WT) + 1.5 mg/l TDZ +0.01 mg/l NAA; KA-2 = WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.02 mg/l NAA; KA-3 = WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.75 mg/lBAP + 0.02 mg/l NAA + 0.25 mg/l 2,4-D; KA-4 = WT + 0.5 mg/l TDZ + 0.1 mg/l BA + 0.2 mg/l NAA danKA-5 = WT + 0.5 mg/l TDZ + 1 mg/l kinetin + 1.5 mg/l 2,4-D. Hasil penelitian menginformasikan bahwa KlonHib FA-4 merupakan klon yang memiliki kemampuan inisiasi kalus terbaik dibandingkan keempat klon lainnyadan media KA-2 merupakan media yang paling potensial untuk menginisiasi kalus klon-klon anthurium yangdiujicobakan.

Kata kunci: Anthurium; inisiasi kalus ; klon; kultur in vitro; media

ABSTRACT. Rachmawati, F. dan D. Pramanik. 2013. Improvement of Callus Initiation Medium ofAnthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre) in vitro propagation. Callus initiation is the importantstage of Anthurium in vitro propogation. The essential factors affected this stage were medium compositionsupplemented with plant gowth regulator. The objectives of this researh are to investigate the capabillity ofcallus initiation of 5 Anthurium potential clones and the most potential medium for callus initiation. Thisresearch was conducted at the Tissue Culture Laboratory, Indonesian Ornamental Crops Researh Institute,Segunung, Cianjur, West Java, from January to December 2007. The explants used in this research were youngleaf and petiole of 5 Anthurium potential clones (Hib.FA-4; Hib.FA-6; Hib.FA-11; FR-1; FR-2), fivecompositions medium for callus initiation were used: KA-1 = WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.01 mg/l NAA; KA-2 =WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.02 mg/l NAA; KA-3 = WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.75 mg/l BAP + 0.02 mg/l NAA + 0.25mg/l 2,4-D; KA-4 = WT + 0.5 mg/l TDZ + 0.1 mg/l BA + 0.2 mg/l NAA and KA-5 = WT + 0.5 mg/l TDZ + 1mg/l kinetin + 1.5 mg/l 2,4-D. The results of this study revealed that clone Hib Fa-4 was the best responsivegenotype in callus initiation, while KA-2 medium was the best suitable medium for callus induction .

Keywords: Anthurium; callus initiation; clone; in vitro culture; médium

Perbanyakan anthurium secara in vitro adalah teknologi perbanyakan massal yang palingpotensial dikembangkan untuk tujuan komersial. Teknik perbanyakan ini mampu memperbanyaktanaman dalam jumlah besar, berkualitas dan seragam dalam waktu yang relatif singkat dibandingperbanyakan secara konvensional yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan menghasilkanpertumbuhan yang tidak seragam. Oleh karena itu teknik perbanyakan ini potensial untukdikembangkan berkaitan dengan produksi benih anthurium.

Inisiasi kalus merupakan tahap penting yang perlu diperhatikan dalam teknik perbanyakancepat secara in vitro pada beberapa jenis tanaman. Tingkat keberhasilan pada tahap inisiasi kalus inisangat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti komposisi media, zat pengatur tumbuh, usia jaringan,genotipe tanaman donor dan faktor pertumbuhan fisik (terang/gelap) (Geier, 1986). Salah satu faktoryang paling esensial adalah kehadiran zat pengatur tumbuh dalam media kultur. Kombinasi mediadasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat akan meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses

Page 197: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│185

morfogenesis dan organogenesis.Zat pengatur tumbuh dalam kultur in vitro tanaman sangat penting, yaitu untuk mengontrol

organogenesis dan morfogenesis dalam pembentukan dan perkembangan tunas dan akar sertapembentukan kalus. Ada dua golongan zat pengatur tumbuh tanaman yang sering digunakan dalamkultur in vitro, yaitu sitokinin dan auksin. Penggunaan zat pengatur tumbuh tersebut tergantung padaarah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas pada umumnyadigunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau pembentukan kalus digunakan auksin.Namun demikian sering pula dibutuhkan keduanya tergantung pada ratio sitokinin terhadap auksinatau sebaliknya. Adanya salah satu zat pengatur tumbuh tertentu dapat meningkatkan daya aktivitaszat pengatur tumbuh lainnya. Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk masing-masing tanaman tidak sama karena tergantung pada genotipe serta kondisi fisiologi jaringan tanaman(George and Sherington, 1984; Geier, 1986; George, 1993; Lestari, 2011).

Beberapa hasil penelitian menginformasikan bahwa kombinasi sitokinin dan auksin seringdigunakan dan berhasil untuk inisiasi kalus pada perbanyakan anthurium, misalnyamengkombinasikan 1.0-4.0 mg/l 2,4-D dengan 0.33-1.0 mg/l kinetin (Kuehnle et al., 1992),mengkombinasikan 4,4 µM BA dan 0,36 µM 2,4-D (Kuehnle dan Sugii, 1991; Sreelatha et al., 1998),mengkombinasikan 4.4 µM BA dan 0.9 µM 2,4-D (Teng, 1997), meningkatkan konsentrasi 2,4-D dari6.75µM menjadi 18µM (Hamidah et al., 1997), menggunakan 1 mg/l 1 mg/l BA dan 0.1 mg/l 2,4-Dpada eksplan daun (Maholthra et al., 1998). Keller et al. (1986) menggunakan media MS ditambah 2mg/l Kinetin untuk induksi kalus pada eksplan daun dan Rosario (1998) menggunakan 5 ppm BA.Sementara Viegas et al. (2007) mengkombinasikan 0.08 mg/l 2,4-D, 1 mg/l BAP dan 1 mg/l 2ip danAtak and Celik (2009) menggunakan 0.6 mg/l 2,4-D dan 1 mg/l BA untuk menginduksi kalus darieksplan daun.

Selain itu, TDZ yang merupakan salah satu senyawa phenylurea sintetik (Huettemen danPreece, 1993), yang bertindak sebagai sitokinin sintetik yang kuat (Mok et al., 1982) telah banyakdigunakan untuk meregenerasi beberapa tanaman rekalsitran dan species tanaman yang sulit untukdiregenerasi (Singh dan Syamal, 2001) juga memberikan pengaruh yang signifikan pada inisiasi kalusanthurium (Rachmawati et al., 2007; Winarto dan Rachmawati, 2007; Winarto et al., 2011). Hasilpenelitian tahun 2006 memberikan informasi bahwa klon-klon harapan anthurium Balithi memilikirespon yang berbeda dan sangat bervariasi baik pada media inisiasi kalus maupun media regenerasiyang diuji cobakan. Media MI-3 (WT + 0.5 mg/l TDZ + 0.1 mg/l BA + 0.2 mg/l NAA) yangmerupakan pengembangan dari media untuk kultur anther anthurium paling responsif dalammenginisiasi kalus pada semua klon harapan anthurium yang diujicobakan (Rachmawati et al., 2006).

Pada penelitian ini komposisi media tersebut dikembangkan lagi untuk diaplikasikan padaperbanyakan secara in vitro klon-klon harapan anthurium hasil silangan Balithi lainnya. Modifikasikomposisi media bertujuan untuk memberikan hasil yang lebih optimal. Dari penelitian ini diperolehinformasi mengenai komposisi media yang sesuai untuk inisiasi kalus masing-masing klon harapananthurium yang diujicobakan ketika dikultur pada media artificial.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Kaca, Balai PenelitianTanaman Hias Segunung dari Bulan Januari hingga Desember 2007. Bahan tanaman yang digunakanadalah daun dan petiol muda dari 5 klon harapan anthurium (Hib.FA-4; Hib.FA-6; Hib.FA-11; FR-1; FR-2), sedangkan lima komposisi media inisiasi kalus yang diujicobakan adalah: KA-1 = WT + 1.5mg/l TDZ + 0.01 mg/l NAA; KA-2 = WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.02 mg/l NAA; KA-3 = WT + 1.5 mg/lTDZ + 0.75 mg/l BAP + 0.02 mg/l NAA + 0.25 mg/l 2,4-D; KA-4 = WT + 0.5 mg/l TDZ + 0.1 mg/lBA + 0.2 mg/l NAA dan KA-5 = WT + 0.5 mg/l TDZ + 1 mg/l kinetin + 1.5 mg/l 2,4-D. Setiapperlakuan terdiri atas 10 botol kultur sebagai ulangan yang masing-masing berisi 1 eksplan daun danatau 3 botol kultur sebagai ulangan yang berisi 3-4 eksplan petiol. Dengan demikian digunakan ± 50eksplan untuk masing-masing klon harapan anthurium.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

Page 198: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

186186│

Persiapan Media. Komposisi media inisiasi kalus terdiri dari media dasar yangdikombinasikan dengan 5 taraf kombinasi zat pengatur tumbuh. Media dasar yang digunakan adalahmedia Winarto and Teixeira (WT) (Winarto et al., 2011) yang mengandung 3% sukrosa dan 0.3%gelrite dengan pH 5.8. Perbedaan komposisi media terletak pada kombinasi dan konsentrasi zatpengatur tumbuh yang digunakan. Media disterilisasi dengan cara diautoclave pada tekanan 15 psiselama 15 menit.

Persiapan dan Sterilisasi Eksplan. Eksplan yang digunakan adalah daun muda yang barumembuka dan tangkai daunnya (petiol) (Gambar 1). Sterilisasi dilakukan dengan cara eksplan darilapang diberi pra-perlakuan dengan direndam dalam air mengalir selama ± 30 menit; 1% larutandeterjen selama ± 45 menit dan 1% benlate+agreft selama ± 30 menit sambil dishaker, kemudiandibilas dengan air destilata 4-5x. Selanjutnya dilakukan sterilisasi secara aseptik di dalam laminer airflow cabinet, dengan cara eksplan direndam alkohol 70% selama 5 menit, 5% dan 2.5% NaOClmasing-masing 10 menit dan 5 menit, dan terakhir dibilas dengan aquadest steril 4-5x.

Gambar 1. Kriteria eksplan untuk perbanyakan in vitro anthurium.A.1. daun menggulung, A.2. daunsebagian membuka, dan A.3 daun membuka sempurna; B. Bagian eksplan yangdigunakan.(Critheria of explant for anthurium in vitro propogation. A.1. leaf on swollenstage; A.2. half part of leaf is open; and A.3 leaf is full open )

Penanaman Eksplan. Eksplan dipotong ± 1-1.5 cm untuk daun dan ± 0.5-1 cm untuk petiol.Bagian pinggiran daun dibuang, kemudian daun dipotong menjadi beberapa bagian (Gambar 2).Potongan eksplan dilukai dibanyak bagian terutama dibagian tulang daun untuk merangsang inisiasikalus. Eksplan kemudian ditanam pada media dengan posisi terbalik dan sedikit ditekan.

Gambar 2. A. Potongan eksplan (daun dan petiol) anthurium yang siap dikultur; B. Posisi eksplandaun pada saat ditanam pada medium inisiasi dan C. Posisi eksplan petiol pada saatditanam pada medium inisiasi. (A. Part of explants (leaf and petiole) of anthurium readyfor culture; B. Leaf explant possition in initiation medium, and C. Petiole eksplantpossition in initiation medium)

Inkubasi kultur. Kultur diinkubasi gelap pada suhu 24±10C hingga kalus terbentuk.Selanjutnya kalus dibiarkan terlebih dahulu hingga ukuran kalus cukup besar (± 1 bulan), barukemudian dipindahkan ke kondisi terang dengan periodisitas penyinaran 12 jam terang selama ± 2bulan.

A B

1 2

daun

petiol

3

A B C

Page 199: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│187

Pengamatan. Peubah pengamatan yang digunakan adalah: 1. tingkat kontaminasi (%); 2.Potensi tumbuh eksplan (%); 3. waktu pembentukan kalus/ inkubasi gelap (minggu); 4. keberhasilaninisiasi kalus (%) ; 5. diameter kalus (cm); 6. banyaknya kalus pada awal inisiasi; 7. jenis kalus(Friable/non-friable); 8. warna kalus dan 9. pertumbuhan kalus. Data yang disajikan adalah data rata-rata hasil pengamatan yang diikuti dengan nilai standar deviasinya.

HASIL DAN PEMBAHASANOptimasi media untuk inisiasi awal berperan penting dalam mencapai keberhasilan kultur in

vitro, oleh karena itu seleksi media dan optimalisasi media terseleksi menjadi salah satu faktorpenentu. Seleksi media untuk induksi kalus pada kultur in vitro anthurium telah dilakukan dalambeberapa tahap. Hasil penelitian tahun 2006 menginformasikan bahwa Media MI-3 (WT + 0.5 mg/lTDZ + 0.1 mg/l BA + 0.2 mg/l NAA) yang merupakan pengembangan dari media sebelumnya palingresponsif dalam menginisiasi kalus pada semua klon harapan anthurium yang diuji. Selanjutnya padapenelitian ini media tersebut dikembangkan lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal dalammenginisiasi kalus klon-klon anthurium lainnya.

Hasil penelitian pada tahap ini juga menunjukan bahwa lima klon harapan anthurium yangdiujicoba (Hib.FA-4; Hib.FA-6; Hib.FA-11; FR-1; FR-2) memiliki respon yang berbeda ketikadikultur pada media inisiasi kalus, ini ditunjukkan hampir pada semua peubah yang digunakan dalampenelitian ini. Data hasil penelitian disajikan pada Tabel 1-7.

Tabel 1. Tingkat kontaminasi rata-rata (%) 5 klon anthurium pada medium inisiasi kalus (Average ofcontamination rates (%) of 5 Anthurium clones in callus initiation medium)

(Klon)(Clones)

Tingkat Kontaminasi (%)(Contamination Rates (%))

Daun(Leaf)

Petiol(Petiol)

Hib. FA-4 41.33±1.22 48.33±1.06Hib. FA-6 44.67±2.06 48.33±1.65Hib. FA-11 39.67±1.74 49.00±2.55FR-1 40.00±2.00 41.33±1.67FR-2 45.67±3.03 44.33±2.85

Keterangan : Pengamatan tingkat kontaminasi dilakukan 2 minggu setelah kultur dan dihitung terhadap jumlah totaleksplan yang dikultur (50 eksplan per klon) pada semua media perlakuan. (Contamination rate observatedafter 2 week in culture and count by total of cultured explants (50 explant per clones)in all medium)

Tabel 2. Potensi tumbuh rata-rata (%) 5 klon anthurium pada medium inisiasi kalus. ( Average ofgrowth potensial (%) of 5 Anthurium clones in callus initiation medium)

(Klon)(Clones)

Potensi Tumbuh (%) (Growth Potential (%))Daun (Leaf) Petiol (Petiol)

Hib. FA-4 91.33±2.03 80.67±3.07Hib. FA-6 85.33±3.55 86.00±4.51Hib. FA-11 82.67±2.65 77.33±1.67FR-1 72.33±3.06 70.67±3.33FR-2 80.00±2.00 81.33±1.55

Keterangan : Potensi tumbuh eksplan dihitung berdasarkan persentase eksplan bengkak/tetap segar setelah 1 bulan kultur.(Growth potensial count by explant swollen /keep fresh after 1 month in the culture )

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat kontaminasi dari semua klon anthurium yangdigunakan masih cukup tinggi yaitu rata-rata berkisar antara 40-50%. Secara umum eksplan petiol

Page 200: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

188188│

menunjukan tingkat kontaminasi yang lebih tinggi dibandingkan pada eksplan daun hampir padasemua klon yang diujicobakan. Tingginya kontaminasi ini diduga kuat karena adanya kontaminasilaten yang disebabkan oleh bakteri, yang menurut Norman dan Alvarez (1994), Duffy (2000) danAnonim (2001) disebabkan oleh bakteri Xanthomonas axonopodis pv. dieffenbachiae.

Potensi tumbuh eksplan merupakan respon awal yang dapat diamati ketika eksplan dikulturpada medium artificial. Respon awal pertumbuhan eksplan dimulai dengan terlihatnya potonganeksplan berwarna hijau segar dan membesar/ membengkak karena mampu menyerap nutrisi. Untukeksplan daun sebelum terjadi inisiasi kalus setelah daun membengkak biasanya daun menggulung(Gambar 3A, 4A-B, 6A-B, dan 7A). Sedang pada eksplan petiol biasanya pembengkakan terjadi padabagian ujung yang dilukai (Gambar 3C, 5A-B, dan 7C). Berdasarkan hasil penelitian inimenunjukkan bahwa kelima klon harapan anthurium memiliki respon awal (eksplan tetap segar danmembengkak) yang berbeda ketika dikultur pada medium artificial yaitu berkisar antara 70-90%(Tabel 2). Klon Hib FA-4 memiliki persentase potensi tumbuh rata-rata tertinggi yaitu 91.33%untuk jenis eksplan daun. Sedangkan untuk potensi tumbuh rata-rata eksplan petiol tertinggi dimilikioleh Klon Hib FA-6 yaitu 86.00 %. Dari kelima klon potensi tumbuh rata-rata terendah baik untukeksplan daun maupun petiol dimiliki oleh Klon FR-1.

Gambar 3. Inisiasi dan pertumbuhan kalus klon Hib. FA-4. A-B: eksplan daun dan C-D: eksplanpetiol.(Callus growth and initiation of Hib. FA-4 clone. A-B: leaf explant and C-D :petiole explant)

Gambar 4 . Inisiasi dan pertumbuhan kalus klon Hib. FA-6. (Callus growth and initiation of Hib. FA-6)

Gambar 5 . Inisiasi dan pertumbuhan kalus klon Hib. FA-11. (Callus growth and initiation Callusgrowth and initiation of Hib. FA-11)

A B C D

A B C

A B C

Page 201: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│189

Gambar 6. Inisiasi dan pertumbuhan kalus klon FR-1. (Callus growth and initiation of Hib. FA-1)

Gambar 7 . Inisiasi dan pertumbuhan kalus klon FR-2. A-B: eksplan daun dan C-D: eksplan petiol.(Callus growth and initiation of Hib. FA-2 clone. A-B: leaf explant and C-D : petioleexplant)

Pada Tabel 3-7 dapat dilihat bahwa kelima klon menunjukan respon lanjutan yang cukupbervariasi pada masing-masing media yang diujicobakan. Klon Hib FA-4 memiliki respon terbaikpada media inisiasi baik untuk eksplan daun maupun petiol. Hal ini dapat dilihat dari waktu inisiasikalusnya yang lebih cepat (6-6.5 minggu) dengan keberhasilan inisiasi kalus tertinggi (30-33%), jugaterlihat dari banyaknya kalus yang terbentuk pada awal inisiasi dan pertumbuhan kalusnya yang cepat(Gambar 3). Respon yang hampir sama ditunjukkan oleh Hib FA-6 dan Hib FA-11 (Gambar 4 dan5). Respon terjelek dimiliki oleh Klon FR-1 baik pada eksplan daun maupun petiol.

Tabel 3. Respon eksplan 5 klon anthurium pada medium inisiasi kalus setelah 2 bulan inkubasi gelap.(Explant response of 5 Anthurium clones in callus initiation medium after 2 weeks darkincubation).

(Klon)(Clones)

Jenis Eksplan (Typeof explant)

Medium Inisiasi Kalus (KA)(Callus initiation medium (KA))

KA-1 KA-2 KA-3 KA-4 KA-5

Hib. FA-4Daun +++ +++ ++ +++ ++Petiol - +++ ++ - -

Hib. FA-6Daun ++ +++ - ++ -Petiol - - - - -

Hib. FA-11Daun - - - - -Petiol +++ +++ +++ ++ -

FR-1Daun +++ +++ + +++ +Petiol + + + + +

FR-2Daun ++ +++ + ++ +Petiol + ++ + + +

Keterangan: - = eksplan kering kecoklatan (mati) (browning explant)+ = eksplan segar tetapi belum menunjukkan respon (fresh explant but not yet response) ++ =

eksplan mulai bengkak (explant starting to swollen)+++ = eksplan mulai inisiasi kalus (explant starting callus initiation)

A B C

A B DC

Page 202: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

190190│

Tabel 4. Waktu inisiasi kalus (minggu) 5 klon harapan anthurium. (Period of callusinitiation (week) of 5 anthurium potential clones)

Klon(Clones)

Jenis Eksplan(Type ofexplants)

Medium Inisiasi Kalus (KA)(Callus initiation medium (KA))

KA-1 KA-2 KA-3 KA-4 KA-5

Hib. FA-4Daun 7.00±1.40 6.00±0.70 8.50±0.70 7.00±1.00 8.00±1.400Petiol - 6.50±0.70 7.00±1.40 - -

Hib. FA-6Daun 8.00±0.00 6.50±0.70 - 7.50±2.10 -Petiol - - - - -

Hib. FA-11Daun - - - - -Petiol 7.50±0.70 6.00±1.40 7.50±0.7 8.00±1.40 -

FR-1Daun 7.00±0.00 7.00±0.70 - 7.50±0.70 -Petiol - - - - -

FR-2Daun 8.00±1.40 6.00±0.70 - 8.50±1.40 -Petiol - 8.00±0.70 - - -

Keterangan : Waktu inisiasi kalus dihitung mulai eksplan dikultur hingga awal kalus terbentuk setelah kulturdiinkubasi gelap. (Callus Initiation period were count by the first cultured explant until firstinitiation callus in dark incubation)

Waktu inisiasi kalus sangat bervariasi untuk setiap klon anthurium yaitu berkisar 6-8minggu pada media terbaik dengan keberhasilan inisiasi kalus berkisar antara 16-33%. Hasilini lebih baik dibandingkan hasil penelitian tahun sebelumnya, dimana waktu inisiasikalusnya berkisat antara 2-3 bulan dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah (6-18%)(Rachmawati et al, 2007). Ini menunjukkan bahwa pengembangan media yang dilakukanmenunjukkan respon positif.

Tabel 5. Keberhasilan inisiasi kalus (%) 5 klon harapan anthurium pada media inisiasi kalus.(Callus initiation (%) of 5 anthurium potential clones in callus initiation medium).

(Klon)(Clones)

JenisEksplan(Type ofexplant)

Medium Inisiasi Kalus (KA)(Callus initiation medium (KA))

KA-1 KA-2 KA-3 KA-4 KA-5

Hib. FA-4Daun 26.70±0.58 30.00±1.00 26.70±0.58 23.30±0.58 20.00±1.00Petiol - 33.30±0.58 30.00±0.00 - -

Hib. FA-6Daun 26.70±0.58 33.00±0.60 - 26.70±0.58 -Petiol - - - - -

Hib. FA-11Daun - - - - -Petiol 26.70±0.58 30.00±1.00 26.70±0.58 23.30±0.58 -

FR-1Daun 23.30±0.58 23.30±0.58 - 20.00±0.00 -Petiol - - - - -

FR-2Daun 23.30±0.58 26.70±0.58 - 20.00±1.00 -Petiol - 16.70±0.58 - - -

Keterangan : Inisiasi kalus (%) dihitung berdasarkan rata-rata jumlah total eksplan yang membentuk kalusterhadap jumlah total eksplan yang dikultur pada masing-masing media perlakuan (10 eksplan /klon/medium) di ulang 3 kali. (callus initiation (%) count by total initiation callus per totalexplant in callus initiation medium (10 explant/clone/medium))

Page 203: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│191

Tabel 6. Skor kalus yang terbentuk pada awal inisiasi 5 klon anthurium pada masing-masing mediainisiasi kalus yang diujicobakan. (The number of first initiation callus of 5 anthurium clonesin initiation medium)

(Klon)(Clones)

Jenis Eksplan (Typeof explant)

Medium Inisiasi Kalus (KA)(Callus initiation medium (KA))

KA-1 KA-2 KA-3 KA-4 KA-5

Hib. FA-4Daun ++ +++ ++ ++ +Petiol - +++ ++ - -

Hib. FA-6Daun +++ +++ - ++ -Petiol - - - - -

Hib. FA-11Daun - - - - -Petiol ++ +++ ++ ++ -

FR-1Daun + ++ - + -Petiol - - - - -

FR-2Daun ++ +++ - + -Petiol - + - - -

Keterangan : -: tidak ada inisiasi kalus; + : inisiasi kalus 25% dari bagian eksplan; ++: inisiasi kalus 50% daribagian eksplan; dan +++: inisiasi kalus 75% dari bagian eksplan. (-: no callus initiation; +:25% callus initiation from part of explant; ++: 50% callus initiation from part of explant; and+++: 75% callus initiation from part of explant)

Banyaknya kalus yang terbentuk pada awal inisiasi kalus bervariasi untuk masing-masing kultivar/klon, umumnya kalus muncul pada setiap bagian yang dilukai (Gambar 3dan 7). Terdapat dua jenis kalus yang dihasilkan yaitu kalus friabel (kalus remah dan mudahdiregenerasikan menjadi tunas) dan kalus non-friabel (kalus masif/kompak dan sangat sulitdiregenerasikan menjadi tunas). Untuk warna kalus yang dihasilkan umumnya pada awalinisiasi kalus berwarna kuning dan setelah beberapa bulan dalam kondisi terang biasanyakalus berubah menjadi hijau.

Tabel 7. Diameter kalus (cm) setelah 1 bulan inkubasi terang 5 klon anthurium pada medium inisiasikalus. (Callus diameter (cm) after 1 month incubation in light condition of 5 anthuriumclones in initiation medium)

(Klon)(Clones)

JenisEksplan(Type ofexplant)

Medium Inisiasi Kalus (KA)(Callus initiation medium (KA))

KA-1 KA-2 KA-3 KA-4 KA-5

Hib. FA-4Daun 0.61±0.12 0.90±0.16 0.65±0.15 0.56±0.13 0.18±0.08Petiol - 0.35±0.09 0.18±0.08 - -

Hib. FA-6Daun 0.58±0.16 0.64±0.14 - 0.43±0.17 -Petiol - - - - -

Hib. FA-11Daun - - - - -Petiol 0.44±0.14 0.55±0.15 0.58±0.16 0.35±0.09 -

FR-1Daun 0.26±0.13 0.43±0.17 - 0.18±0.08 -Petiol - - - - -

FR-2Daun 0.43±0.14 0.65±0.15 - 0.26±0.07 -Petiol - 0.21±0.08 - - -

Page 204: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

192192│

Tabel 8. Jenis, warna, dan tipe pertumbuhan kalus pada media inisiasi kalus terbaik. (Type, colour,and growth of callus in the best initiation medium).

(Klon)(Clones)

Jenis kalus( Type of callus)

Warna kalus(Colour of callus)

Pertumbuhan kalus(Growth type of callus)

Hib. FA-4 remah kuning cepatHib. FA-6 remah kuning cepatHib. FA-11 remah kuning cepatFR-1 remah kuning lambatFR-2 masif kuning sedang

Pada penelitian ini secara umum respon terbaik dari kelima klon terdapat pada eksplan yangdikultur pada media KA-2 (WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.02 mg/l NAA) diikuti oleh media KA-4 ( WT +0.5 mg/l TDZ + 0.1 mg/l BA + 0.2 mg/l NAA) dan KA-1 (WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.01 mg/l NAA).

Melihat hasil di atas dapat diketahui bahwa kemampuan regenerasi eksplan dari klon-klonanthurium yang digunakan sangat dipengaruhi oleh media tumbuh. Faktor penting media tersebuttidak hanya terletak pada komposisi dan konsentrasi hara makro, mikro, vitamin, jenis dan konsentrasisucrosa, maupun pH nya, tetapi juga komposisi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang adadidalamnya (Gosal and Grewal; 1991; Bajaj, 1991). Penggunaan zat pengatur tumbuh tergantungpada arah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas pada umumnyadigunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau pembentukan kalus digunakan auksin.Namun demikian sering pula dibutuhkan keduanya tergantung pada ratio sitokinin terhadap auksinatau sebaliknya. Adanya salah satu zat pengatur tumbuh tertentu dapat meningkatkan daya aktivitaszat pengatur tumbuh lainnya (George and Sherington, 1984; Geier, 1986; George, 1993; Lestari,2011). Salah satunya adalah penggunaan tipe urea sitokinin seperti thidiazuron atau TDZ (N-phenil-N’-1,2,3-thidiazol-5-y urea) berpengaruh besar terhadap keberhasilan kultur in-vitro anthurium. Zatpengatur tumbuh ini diduga menjadi faktor penentu keberhasilan inisiasi kalus. Penambahan TDZdengan konsentrasi tertentu yang dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh lainnya pada semuamedia inisiasi kalus terbukti meningkatkan kapasitas pembentukan kalus anthurium pada penelitianini. Hasil ini membuktikan bahwa TDZ memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuaninisiasi kalus pada kultur in-vitro anthurium. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa TDZ seringdigunakan untuk induksi embryogenesis dan organogenesis pada banyak tanaman, baik tunasadventif maupun tunas aksiler dan telah banyak digunakan untuk meregenerasi beberapa tanamanrekalsitran dan species tanaman yang sulit untuk diregenerasi (Chen dan Chang, 2000; Murch danSaxena, 2001; Zhang et al., 2001; De Gyves et al., 2001; Das et al., 1998; dan Singh dan Syamal,2001),

Peran TDZ dalam perbanyakan in vitro anthurium diduga berkaitan dengan kemampuannyadalam meningkatkan pembelahan sel eksplan, melalui kemampuannya menjaga dan meningkatkanakumulasi auxin dalam sel eksplan, memodifikasi metabolisme sitokonin dan auksin endogen danmeningkatkan akumulasi dan translokasi auksin dalam jaringan tanaman. Auksin yang terakumulasikhususnya pada daerah yang dilukai selanjutnya akan menjadi sinyal penting dalam aktivitas danpengaturan pembelahan sel, pemanjangan dan dediferensiasinya (Murthy et al., 1995; Murch danSaxena, 2001). Diduga pengaruh yang hampir sama juga ditemukan dalam kultur in vitro anthurium,dimana kehadiran TDZ dalam media meningkatkan akumulasi dan peran NAA dan auksin endogendalam menginduksi pembentukan kalus. Respon hormon ini dalam kultur jaringan juga sangatdipengaruhi oleh konsentrasinya (Nhut et al., 2001).

KESIMPULAN

1. Klon Hib FA-4 memiliki respon terbaik pada media inisiasi kalus dengan waktu inisiasi kalustercepat (6-6.5 minggu) dan keberhasilan inisiasi kalus tertinggi (30-33%).

2. Media inisiasi kalus terbaik adalah KA-2 ( WT + 1.5 mg/l TDZ + 0.02 mg/l NAA), diikuti oleh

Page 205: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│193

media KA-4 (WT + 0.5 mg/l TDZ + 0.1 mg/l BA + 0.2 mg/l NAA) dan KA-1 (WT + 1.5 mg/lTDZ + 0.01 mg/l NAA).

UCAPAN TERIMA KASIH

Pelaksana penelitian ini mengucapkan terima kasih kepada Sdr/i Dr. Drs. Budi Winarto, MS,Ir. Yoyo Sulyo,MS, Nina Marlina, Euis Rohayati, Supenti, Dedi Rustandi, Iwan dan Laily Qodriyahyang telah membantu proses penelitian mulai sejak persiapan, pelaksanaan dan pengambilan data.

PUSTAKA

1. Anonim 2001, ’Bacterial diseases of Anthurium, Dieffenbachiae, Philodendron and Syngonium’,Report on Plant Disease, vol. 616, pp. 1-6.

2. Atak, C & Celik, O 2009, ‘ Micropropagation of Anthurium andreanum from leaf explants’,Pak. J. Bot., vol. 41, no. 3, pp. 1155-1161.

3. Bajaj 1991, ‘Automated micropropagation for en masse production of plants’, In: Biotechnologyin agriculture and forestry, Vol. 17, ‘High-tech and micropropagation I’, (Ed.) Bajaj, YPS, pp.1-12, Berlin-Heidelberg, Springer-Verlag.

4. Chen, JT & Chang, WC 2000, Efficient plant regeneration through somatic embryogenesis fromcallus cultures of Oncidium (Orchidaceae)’, Plant Science, vol. 160, pp. 87-93.

5. Das, DK, Prakash, NS & Sarin, NB 1998, ‘An efficient regeneration system of black gram(Vigna mungo L.) trough organogenesis‘, Plant Science, vol. 134, pp. 199-206.

6. De Gyves, EM, Sparks, CA, Fieldsend, AP, Lazzeri, PA & Jones, HD 2001, ‘High frequencyof adventitious shoot regeneration from commercial cultivars of evening primrose (Oenotheraspp) using thidiazuron ‘, Ann. Appl. Biol., vol. 138, pp. 329-332.

7. Duffy, B 2000, ‘Survival of the Anthurium blight patogen Xanthomonas axonopodis pv.dieffenbachiae, in field crop residues’, European Journal of Plant Pathology, vol. 106, pp. 291-295.

8. Geier, T 1986, ‘Factor affecting plant regeneration from leaf segments of Anthuriumscherzerianum Schott (Araceae) cultured in vitro’, Plant Cell, Tiss. and Org. Cult.,vol. 6, pp.115-125.

9. George, EF & Sherington, PD l984, ‘ Plant propagation by tissue culture. handbook anddirectory of commercial laboratories. Exegetic. England. 709 pp.

10. _________ 1993, ‘Plant propagation by tissue culture’, Part 1. The Technology Exegetic.England. pp. 1361.

11. Gosal, SS & Grewal, HS 1991, ‘Tissue culture propagation: problems and potentials’, In:Horticulture-new technologies and applications. (Eds.). Prakash, J & and Pierik, RLM, pp: 197-200, Netherlands, Kluwer Academic Publishers.

12. Hamidah, M , Karim, AGA & Debergh, P 1997, ‘ Somatic embryogenesis and plant regenerationin Anthurium scherzerianum’, Plant Cell, Tiss. and Org. Cult., vol. 48, pp. 189-193.

13. Huetteman, CA & Preece, JE 1993, ‘ Thidiazuron: a potent cytocinin for woody plant tissueculture’, Plant Cell, Tiss. and Org. Cult., vol. 38, pp.105-119.

14. Keller, ERJ, Brehmer , M & Hofer, E 1986, ‚Achiv fur Gartenbau‘, In: Parthasarathy, VA,Bose, TK & Das, P (Eds.), Biotechnology of horticultural crops’, vol. 3, pp 198-213, NayaProkash, India.

Page 206: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

194194│

15. Kuehnle, AR & Sugii, N 1991, ‘Induction of tumors in Anthurium andraeanum L. byAgrobacterium tumefaciens’, Hort Science, vol. 26, no. 10, pp. 1325-1328.

16. ___________, Chen , FC & Sugii N 1992, ‘Somatic embryogenesis and plant regeneration inAnthurium andraeanum L. hybrids’, Plant Cell Reports, vol. 11, pp. 438-442.

17. Lestari, EG 2011, ‘Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kulturjaringan’, Jurnal AgroBiogen, vol. 7, no. 1, pp.63-68.

18. Malhothra, S, Puchooa, D & Goofoolye K 1998, ‘Revue Agricole et Sucriere de I’lleMauricw’, vol. 77, pp. 25-32. In: Parthasarathy, VA, Bose, TK & Das, P (Eds.), ‘Biotechnology of horticultural crops’, vol. 3. Pp. 198-213. Naya Prokash. India.

19. Mok, MC, Mok, DWS, Dixon, SC, Amstrong, DJ & Shaw, G 1982, ‘Cytocinin structure-activity relationships and the metabolism of N6-adenosine-8-14C in phaseolus callus tissues’,Plant Physiol., vol. 70, pp.173-178.

20. Murch, SJ & Saxena, PK 2001, ‘Molecular fate of thidiazuron and its effects on auxin transportin hypocotyls tissues of Pelargonium x hortorum Bailey’, Plant Growth Regulation, vol. 35, pp.269-275.

21. Murthy, BNS, Murch, SJ & Saxena PK 1995, ‘Thidiazuron induced somatic embryogenesis inintact seedling of peanut (Arachnis hypogaea L.): endogenous growth regulator levels andsignificance of cotyledons’, Physiologia Plantarum, vol 94, pp. 268-276.

22. Nhut, DT, Lie, LV & Van, KTT 2001, ‘Manipulation of the morphogenetic pathways of Liliumlongiflorum transverse thin cell layer eksplant by auxin and cytokinin’, In Vitro CellDeveleopment and Biology-Plant, vol. 37, pp. 44-49.

23. Norman & Alvarez 1994, ‘Latent infections of iv vitro anthurium caused by Xanthomonascampestris pv. dieffenbachiae.’, Plant Cell, Tissue and Organ Culture, vol. 39, pp. 55-61.

24. Rachmawati, F, Budiarto, K, Sulyo, Y & Kurniasih, D 2006, ‘Perbanyakan cepat secara in vitrolima klon harapan Anthurium’, Laporan Tahunan Program DIPA, Balai Penelitian TanamanHias, Puslitbang Horti, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Segunung.

25. ______________, Winarto, B & Purwito, A 2007, ‘Inducement to shoot regeneration on callusfrom anther culture of Anthurium andreanum Linden ex André cv. Tropical’, J Hort., vol. 2, pp.107-117.

26. Rosario, TL 1998, ‘Cut flower production in Philippines’,<http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/005/AC452E/AC452E00.HTM>.

27. Singh, SK & Syamal, MM 2001, ‘A short pre-culture soak in thidiazuron or forchlorfenuronimproves axillary shoot proliferation in rose micropropagation’, Scientia Horticulturae, vol. 91,pp. 169-177.

28. Sreelatha, US, Nair, R & Rajmohan, K 1998, In: Parthasarathy, VA, Bose, TK & Das,P (Eds.),‘Biotechnology of horticultural crops’, vol. 3, pp. 198-213. Naya Prokash. India.

29. Teng, WL 1997, ‘ Regeneration of Anthurium adventitious shoots using liquid or raft culture’,Plant Cell, Tissue and Organ Culture, vol. 49, pp.153-156.

30. Viégas, J, da Rocha, MTR, Ferreira-Moura, I, Corrêa, MGS, da Silva, JB, dos Santos , NC &Teixeira da Silva, JA 2007, ‘ Anthurium andraeanum (Linden ex André) culture: in vitro and exvitro’, Floriculture and Ornamental Biotechnology, vol.1,no. 1, pp. 61-65.

31. Winarto, B & Rachmawati , F 2007, ‘ Preliminary study of anther culture of anthurium’, JHort., vol. 17, no. 2, hlm. 127-137.

Page 207: Prosiding BUKU 1

Pengembangan Media Inisiasi Kalus Pada Perbanyakan In vitro Anthurium (Anthurium andraeanum L. ex Andre)Rachmawati, F. dan D. Pramanik

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│195

32. __________, Rachmawati, F & Teixeira da Silva, JA 2011, ‘New basal media for half-antherculture of Anthurium andreanum Linden ex Andre´ cv. Tropical’, Plant Growth Regulator. DOI10.1007/s10725-011-9622-x.

33. Zhang, CL, Chen, DF, Elliott, MC & Slater, A 2001, ‘Thidiazuron-induced organogenesis andsomatic embryogenesis in sugar beet (Beta vulgaris L.)’, In Vitro Cell Development andBiology-Plant, vol. 37, pp. 305-310.

Page 208: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

196196│

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Workingpada Tanaman Buah-Buahan di Indonesia

Sugiyatno, ABalai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Jl. Raya Tlekung No. 1 Junrejo, Batu 65301

ABSTRAK. Teknik top working dikembangkan untuk menyeragamkan atau mengganti varietas tanaman buah-buahan yang ada di lapang dengan varietas baru sesuai selera konsumen. Prinsip dasar dari teknik ini samadengan perbanyakan melalui penyambungan/penempelan pada umumnya yaitu memadukan antara batangbawah dengan batang atas, hanya yang membedakan pada top working ialah batang bawah berupa pohon yangbesar. Di Indonesia, pada awalnya teknik top working banyak diterapkan pada tanaman hias antara lain padatanaman beringin, bougenvile, adenium, kembang sepatu dan lantana, namun saat ini sudah banyakdikembangkan pada tanaman buah-buahan. Tujuan dari tulisan ini ialah mereview kegiatan penelitian topworking dan penerapannya pada tanaman buah-buahan di Indonesia yang dilakukan mulai tahun 1993 sampaidengan 2010. Lokasi penelitian yang direview berada di Provinsi Jawa Timur, meliputi daerah Batu, Malang,Pasuruan, Probolinggo, dan Trenggalek. Hasil review menunjukkan bahwa penelitian top working telahdilakukan pada tanaman alpukat, apel, anggur, durian, dan mangga melalui teknik top working secara okulasi,sambung kulit, sambung samping, dan sambung celah. Masing-masing komoditas menghasilkan persentasekeberhasilan top working yang cukup bervariasi sesuai dengan teknik top working yang diterapkan. Top workingpada tanaman alpukat di Pasuruan, menghasilkan persentase keberhasilan 89% untuk sambung kulit dan 60%untuk sambung celah. Pada tanaman anggur di Probolinggo, teknik top working secara sambung celah yangdilakukan pada percabangan menghasilkan respon pertumbuhan tanaman terbaik yaitu persentase keberhasilan33,3%, panjang tunas 91,1 cm dan jumlah daun 34 helai. Top working mangga di Pasuruan dengan okulasidikombinasikan dengan pemotongan batang pokok 100 cm dan memberikan pengairan akan menghasilkanpersentase keberhasilan 66,7%, lebih tinggi dibandingkan 16,7% untuk sambung celah dan 33,3% untuksambung samping. Pada tanaman apel di Batu, top working secara okulasi menghasilkan persentase keberhasilan80%. Sedangkan di Trenggalek, tanaman durian yang di top working secara sambung kulit tingkatkeberhasilannya mencapai 65%. Tanaman hasil top working akan berbuah setelah 2-5 tahun kemudian. Ditingkat petani, teknik top working telah dikembangkan juga pada tanaman manggis, jambu, jeruk, dan sirsak.Teknik top working akan mampu merubah wajah buah-buahan nasional jika dilakukan secara serentak,terencana, dan massal.

Katakunci: Buah-buahan; Top working

ABSTRACT. Sugiyatno, A 2013. Review of Research and Application of Top Working Techniqueon Fruit Crops in Indonesia. Top working technique was developed to make uniform and replace the varieties offruit trees in the field with new varieties of consumer taste. The basic principle of this technique is the same asthe propagation through grafting/oculation in general by combining the rootstock with the scion, but thedifference in top working is the use of big tree for the rootstock. At the beginning, in Indonesia, top workingtechnique was mostly applied on ornamental plants, such as banyan, bougenvile, adenium, hibiscus and lantana;however, it is now widely developed in the fruit trees. The purpose of this paper is to review the researchactivities of top working and its application on fruit crops in Indonesia conducted from 1993 to 2010. Researchlocation which was reviewed was in East Java province, covering an area of Batu, Malang, Pasuruan,Probolinggo and Trenggalek. The review indicates that top working research has been conducted on avocado,apples, grapes, durian and mango by top working techniques in oculation, bark grafting, side grafting and cleftgrafting. Each commodity produced percentage variation of top working success according to top workingtechniques applied. Top working on avocado plants in Pasuruan, resulted in a success percentage of 89% forbark grafting and 60% for cleft grafting. On grapevines in Probolinggo, top working cleft grafting made onbranching plants produce the best growth response is the percentage of success of 33.3%, 91.1 cm long shootsand number of leaves 34 pieces. Mango top working in Pasuruan by oculation combined with cutting the mainstem of 100 cm and provided irrigation would result in success percentage of 66.7%, was higher than 16.7% forside grafting. On apple plant in Batu, top working by oculation resulted in success percentage of 80%. While inTrenggalek, top working on durian crop by bark grafting resulted in success rate of 65%. Top working cropswill bear fruits after 2-5 years later. At the farmer level, top working techniques have also been developed onmangosteen, guava, citrus and soursop. Top working techniques will be able to change the "face" of nationalfruits if it is done simultaneously, planned and massive.

Keywords: Fruits; Top working

Page 209: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│197

Teknik top working dikembangkan untuk menyeragamkan atau mengganti varietas tanamanbuah-buahan yang ada di lapang dengan varietas baru sesuai selera konsumen. Prinsip dasar dariteknik ini sama dengan perbanyakan penyambungan/penempelan pada umumnya yaitu memadukanantara batang bawah dengan batang atas, hanya yang membedakan pada top working adalah padabatang bawahnya yang sudah berujud pohon besar (Sugiyatno & Supriyanto 2001, Sugiyatno 2006).Batang bawah yang digunakan dapat berasal dari sebuah pohon yang memiliki perakaran yang kuatdengan diameter batang antara 5-30 cm. Batang bawah yang terlalu besar dan tua tidak dikehendakikarena akan menyulitkan pekerjaan (Hartmann & Kester 1983).

Pada mulanya teknik ini banyak diterapkan pada tanaman hias yaitu pada tanaman beringin,bougenvile, adenium, bunga sepatu, lantana, dan lain-lain namun saat ini sudah banyak dikembangkanuntuk tanaman buah-buahan antara lain pada tanaman jambu, jeruk, alpukat, mangga, durian,manggis, apel, sirsak, dan anggur. Tanaman akan menghasilkan buah antara 2 sampai 5 tahun setelahtop working sesuai dengan komoditasnya. Buah yang dihasilkan relatif seragam dalam hal ukuran,bentuk dan rasa, sesuai induknya dan berproduksi secara kontinyu setiap tahun. Teknik ini dapatmemperbaiki pertumbuhan tanaman tetapi tidak dapat menyembuhkan tanaman yang sedang sakit(Hartmann & Kester 1983).

Di Amerika, teknik top working sudah dilakukan sejak tahun 1989 pada tanaman alpukat(Anonim 1989) bahkan pada tanaman jeruk sudah ditulis sejak tahun 1954 (Hume 1954). DiIndonesia, penelitian top working pertama kali dilakukan pada 1993 di Pujon, Malang pada tanamanalpukat, kemudian teknik ini berkembang ke daerah lain dan sudah diterapkan oleh petani pada buah-buahan mangga, anggur, jambu, jeruk, manggis, dan durian (Sugiyatno 2009).

Pemerintah sangat mendukung diseminasi teknik top working ini sampai di masyarakat,sehingga pada tahun 2011 teknik top working ditetapkan menjadi program nasional untuk pemantapanareal, seiring dengan program perluasan areal terutama dalam rangka pengembangan jeruk berwarnakuning di Indonesia. Target yang akan dilakukan ialah dengan mengganti tanaman jeruk yang sudahada dengan kualitas dan produktifitas yang rendah diganti dengan varietas jeruk baru berkualitasberwarna kuning (Kuntarsih 2011).

Teknik top working dapat dilakukan secara bark grafting/sambung kulit, cleft grafting/sambungcelah (Sugiyatno 2006) maupun okulasi, masing-masing cara akan memberikan respon yang berbedapada tanaman. Cara sambung kulit dan okulasi diterapkan pada batang bawah yang kulit batangnyamudah dikelupas (diameter batang <10 cm), sedangkan cara sambung celah diterapkan pada batangbawah yang kulit batangnya susah dikelupas (diameter batang >10 cm).

Keberhasilan teknik top working ditentukan oleh faktor-faktor kondisi tanaman, carapenyambungan, saat penyambungan, ketrampilan pelaksana, dan kebersihan alat (Sugiyatno 2009).Kondisi tanaman memegang peranan penting dalam keberhasilan teknik top working, pada kondisitanaman yang sehat dan subur maka akan menghasilkan keberhasilan top working yang tinggi,sedangkan pada umur tanaman yang berbeda juga akan mempengaruhi keberhasilan top working.

Tujuan dari tulisan ini ialah mereview kegiatan penelitian top working dan penerapannya padatanaman buah-buahan di Indonesia terutama di wilayah Jawa Timur.

PROSEDUR PELAKSANAAN

Review kegiatan penelitian top working dan penerapannya pada tanaman buah-buahandilakukan mulai tahun 1993 sampai tahun 2010 di Provinsi Jawa Timur, meliputi daerah Batu (sentraapel), Malang (sentra alpukat), Pasuruan (sentra mangga), Probolinggo (sentra anggur), danTrenggalek (sentra durian). Materi tanaman yang digunakan berasal dari petani dan dari kebunpercobaan lingkup Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura yang berada di Jawa Timur.Umur tanaman bervariasi untuk masing-masing komoditas yaitu antara 8 sampai 40 tahun.

Page 210: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

198198│

HASIL REVIEW

Hasil Penelitian Top WorkingTeknik Top Working Tanaman Alpukat

Penelitian dilakukan pada tahun 1993 dan 1994 di desa Kedungrejo, Pujon, Malang, JawaTimur dikebun milik petani. Penelitian dengan mengkombinasikan antara cara top working (sambungcelah dan sambung kulit) dengan varietas alpukat (Hijau Panjang dan Merah Bundar). Hasil penelitianmenunjukkan bahwa persentase keberhasilan top working secara sambung kulit ialah 89%, sedangkansambung celah ialah 60%. Respons pertumbuhan tanaman yang terbaik dihasilkan oleh kombinasiantara top working secara sambung kulit pada varietas alpukat Merah Bundar (Sugiyatno et al. 1994).Penelitian top working pada alpukat merupakan penelitian top working pertama di Indonesia, sehinggapada awalnya pelaksanaan top working ini mengalami hambatan yaitu keberhasilan top working yangrendah dan petani merasa enggan jika tanaman alpukatnya yang sudah besar harus di top working.Namun melalui pengenalan karakter tanaman dan iklim setempat serta sosialisasi ke masyarakat, padaakhirnya teknik top working berhasil dengan baik.

Selain itu, kendala lain yang tidak diduga sebelumnya yaitu respon pertumbuhan tanaman yangcukup pesat sehingga tanaman yang diharapkan bentuknya pendek ternyata pertumbuhannyameninggi seperti tanaman yang berasal dari biji sehingga menyulitkan pemeliharaannya, hal inidikarenakan dukungan yang cukup kuat dari batang bawah yang sudah berujud pohon yang besarterhadap batang atasnya. Untuk mengatasi hal ini, maka pada penelitian top working alpukatberikutnya di Puspo, Pasuruan pada tahun 1998, pertumbuhan tanaman dikendalikan denganpemangkasan tunas. Dengan pemangkasan tunas pola 1-3-9 ternyata mampu menghasilkanpertumbuhan tanaman paling baik untuk diameter batang atas, panjang cabang utama, diametercabang utama, dan lebar tajuk (Sugiyatno et al 2000). Tanaman yang dipangkas akan mempunyaitajuk berbentuk elepsoid dan pendek sehingga memudahkan untuk panen.

Gambar 1. Teknik top working pada tanaman alpukat

Teknik Top Working Tanaman AnggurPenelitian dilakukan di Kebun Percobaan Banjarsari, Probolinggo, Jawa Timur pada tahun

1994. Perlakuan dengan mengkombinasikan antara cara top working (sambung celah, sambungsamping, sambung miring, takik, dan chip budding) dengan posisi penyambungan (batang pokok danpercabangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik top working secara sambung celah yangdilakukan pada percabangan menghasilkan respon pertumbuhan tanaman terbaik yaitu persentasekeberhasilan 33,3%, panjang tunas 91,1 cm, dan jumlah daun 34 helai. Teknik sambung celahmerupakan teknik terbaik untuk penyambungan anggur, dengan sambung celah jaringan kambiumbatang atas dan batang bawah lebih banyak disatukan (Yuniastuti, et al. 1997).

Page 211: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│199

Gambar 2. Teknik top working pada tanaman anggur

Teknik Top Working Tanaman ManggaPenelitian top working mangga dilakukan di Kebun Percobaan Pandean, Bangil, Jawa Timur

pada tahun 1994. Penelitian dengan mengkombinasikan antara cara top working (sambung celah,sambung sisip, dan okulasi) dengan pengairan (diairi dan tidak diairi). Hasil penelitian menunjukkanbahwa top working mangga dengan okulasi dikombinasikan dengan pemotongan batang pokok 100cm dan memberikan pengairan 2 minggu sekali akan menghasilkan persentase keberhasilan 66,7%,lebih tinggi dibandingkan 16,7% untuk sambung celah, dan 33,3% untuk sambung samping. Adanyapengairan ternyata mendukung tersedianya air di dalam tanah yang dapat berfungsi membantutranslokasi unsur hara ke bagian tanaman serta membantu penyembuhan luka akibat pelukaansehingga mempercepat pertautan batang atas dengan batang bawah (Yuniastuti et al. 2000).

Teknik Top Working Tanaman ApelPenelitian top working apel dilakukan di Batu, Pujon, Poncokusumo, dan Nongkojajar (Jawa

Timur) pada tahun 2003. Penelitian dengan mengkombinasikan antara cara top working okulasidengan varietas harapan batang atas tanaman apel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa top workingapel secara okulasi menghasilkan persentase keberhasilan 80% (Suhariyono et al. 2004). Padaumumnya perbanyakan pada tanaman apel dilakukan secara okulasi, keunggulan dari teknik ini ialahmudah dilakukan, persen keberhasilannya tinggi serta efisien dalam menggunakan sumber matatempel. Pada tanaman apel hasil top working, kecepatan berbuahnya tanaman sangat bergantungdengan kondisi batang atasnya. Pada ranting mata tempel generatif, tanaman apel hasil top workingdapat berbuah setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan ranting vegetatif akan berbuah setelah 2tahun.

Gambar 3. Teknik top working pada tanaman apel

Page 212: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

200200│

Teknik Top Working Tanaman DurianPenelitian top working durian dilakukan di Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur pada tahun 2009

di kebun milik petani. Penelitian dilakukan untuk mengetahui respon keterampilan petani tehadapteknik top working. Hasil penelitian menunjukkan bahwa top working secara sambung kulit tingkatkeberhasilannya mencapai 65% (Pratomo et al. 2010). Jika dibandingkan dengan teknik top workingpada tanaman alpukat dan apel yang mencapai 80%, keberhasilan top working durian ini relatifrendah. Faktor ketrampilan pelaksana sangat menentukan keberhasilan top working sehingga denganmeningkatkan ketrampilan pelaksana akan meningkatkan juga keberhasilan top working.

Bagi petani di Watulimo, teknik top working durian ini selain bertujuan untuk menggantivarietas yang ada dengan varietas yang baru, secara komersial dimanfaatkan petani untukmenyediakan benih durian top working. Artinya bahwa saat ini petani menjual benih durian bukandari perbenihan umumnya (batang bawah kecil di lapang/polybag) tetapi penyediaan benih batangbawah dilakukan di lapang, setelah batang bawah tumbuh besar (tinggi ± 100 cm) maka batang bawahlangsung di top working sehingga benih yang dihasilkan benih top working. Harga benih top workingyang dijual dapat laku antara 10-20 kali lipat dibandingkan benih di polybag umumnya. Selain durian,di Watulimo juga telah dilakukan top working pada manggis.

Gambar 4. Teknik top working pada tanaman durian

Penerapan Teknik Top Working di IndonesiaProvinsi Jawa Timur menjadi pelopor pertama penerapan teknik top working di Indonesia, lebih

dari 20 kabupaten/kota di Jawa Timur telah menerapkan teknik ini pada tanaman buah-buahan.Teknik top working telah dilakukan pada tanaman alpukat di desa Krisik Kabupaten Blitar (DinasPertanian Provinsi Jawa Timur 2002). Kemudian di Desa Sumberagung Kabupaten Blitar teknik topworking dilakukan pada tanaman durian (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2003). Pada tahun2004, di Desa Sukorejo Kabupaten Bondowoso, Desa Ranuyoso Kabupaten Lumajang, dan DesaSegaran Kabupaten Probolinggo telah dilakukan top working pada tanaman nangka, alpukat, dandurian (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2004). Di desa Sobih, Kabupaten Bangkalan, DesaJatirejo Kabupaten Jombang, dan Desa Penanggungan Kabupaten Mojokerto telah dilakukan topworking durian sebanyak 200 pohon (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2005). Sebanyak 500pohon durian di Desa Bareng Kabupaten Nganjuk, Desa Karangan Kabupaten Jombang, dan DesaPlumpung Kabupaten Magetan telah dilakukan top working secara sambung kulit, sambung celah, dansambung tunas (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2007). Tahun 2008 di Desa Suluk, KabupatenMadiun, Desa Pegantenan Kabupaten Pamekasan, Desa Sobih Kabupaten Bangkalan, dan DesaJogorogo Kabupaten Ngawi pohon durian dan rambutan telah dilakukan top working secara sambungcelah, sambung kulit, dan okulasi (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2008). Di Desa Selokerto

Page 213: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│201

Kabupaten Malang sebagian tanaman jeruk manis telah diganti dengan jeruk keprok Batu 55 karenaharga jual jeruk keprok hampir 3 kali lipat jeruk manis

Dari propinsi Jawa Timur, teknik ini berkembang ke daerah lain. Yaitu di Bogor, sebagiantanaman durian lokal diganti durian Monthong. Di kabupaten Sambas, Pontianak tanaman jeruk SiamPontianak telah diganti menjadi jeruk keprok Terigas, tanaman berbuah setelah 2 tahun. Dan didaerah lain yang belum didokumentasikan. Tanaman hasil top working akan berbuah setelah 2-5tahun kemudian. Teknik top working akan mampu merubah “wajah” buah-buahan nasional jikadilakukan secara serentak, terencana dan massal.

Gambar 5. Teknik top working pada tanaman manggis

Gambar 6. Teknik top working pada tanaman jeruk

Gambar 7. Teknik top working pada tanaman jambu

Page 214: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

202202│

KESIMPULAN

1. Teknik top working pada tanaman buah-buahan dapat dilakukan secara penyambungan (grafting)dan penempelan (okulasi).

2. Respon pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman hasil top working dipengaruhi oleh jenisbuah yang dilakukan top working.

3. Keberhasilan teknik top working untuk merubah wajah buah-buahan nasional agar berjalandengan baik apabila dilakukan secara serentak, terencana, dan massal.

PUSTAKA

1. Anonim 1989, Propagating avocados, Principles and technique of nursery and field grafting,Division of Agriculture and Natural Resources, University of California.

2. Dinas Pertanian Propvnsi Jawa Timur 2002, Laporan pelaksanaan klonalisasi pohon indukbuah-buahan (Top Working).

3. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2003, Laporan sosialisasi klonalisasi buah-buahan tahunanggaran 2003.

4. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2004, Laporan pengembangan klonalisasi buah-buahantahun anggaran 2004.

5. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2005, Laporan klonalisasi tanaman buah-buahan melaluitop working tahun anggaran 2005.

6. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2007, Laporan gerakan klonalisasi tanaman buah (durian)melalui top working.

7. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, 2008. Laporan Pelaksanaan Klonalisasi Tanaman Buah-buahan Melalui Top Working. 17 hal.

8. Hartmann, HT & Kester, DE 1983, Plant Propagation, Principles and Practices 4 th, Prentice HallInc. Englewood Cliffs, New York, pp. 435-40.

9. Hume, HH 1954, The Cultivation of Citrus Fruits, The Mac Millan Company, pp. 192-98.

10. Kuntarsih, S 2011, Program rehabilitasi jeruk keprok, Prosiding Worshop Rencana AksiRehabilitasi Jeruk Keprok Soe yang Berkelanjutan untuk Substitusi Impor.

11. Pratomo, AlG, Sugiyarto, M & Rosmahani, L 2010, Kaji terap teknologi klonalisasi durianunggul di watulimo, trenggalek, Prosiding Seminar Nasional Hortikultura 2010, PerhimpunanHortikultura Indonesia, pp. 58-9.

12. Sugiyatno, A, Supriyanto, A & Setiono 1994, Pengaruh cara top working terhadap pertumbuhanbeberapa varietas alpukat, Laporan Akhir Penelitian Tahun 1993/1994 Sub Balai PenelitianHortikultura Tlekung (belum publikasi).

13. Sugiyatno, A, Supriyanto, A, Saraswati, DP, Supriyono, B & Harijanto 1998, PengkajianKlonalisasi Tanaman Alpukat Rakyat dengan Teknik Penyambungan Pohon Dewasa, ProsidingSeminar Hasil Penelitian dan Pengkajian Sistim Usahatani Jawa Timur, Pusat Sosial Ekonomi,hlm. 347-56.

14. Sugiyatno, A, Hardiyanto, Supriyanto, A & Saraswati, DP 2000, Pemangkasan bentuk padatanaman alpukat hasil penyambungan pohon dewasa/top working, Prosiding Seminar NasionalPengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan Nasional,hlm. 252-57.

Page 215: Prosiding BUKU 1

Review Hasil Penelitian dan Penerapan Teknik Top Working pada Tanaman Buah-Buahan di IndonesiaSugiyatno, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│203

15. Sugiyatno, A & Supriyanto, A 2001, Teknologi sambung dini dan penyambungan pohon dewasapada tanaman alpukat, Petunjuk Teknis Rakitan Teknologi Pertanian, pp. 89-90

16. Sugiyatno, A 2006, ‘Teknologi mengganti varietas alpukat di lapang melalui top working, IptekHortikultura, vol. 2, hlm. 7-11.

17. Sugiyatno, A 2009, Teknologi top working pada tanaman buah-buahan, Naskah Siaran Radio diRadio Pertanian Ciawi, pp. 4-5.

18. Suhariyono, Sugiyatno, A & Supriyanto, A 2004, Perbaikan varietas unggul apel melalui topworking, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pertanian BPTP Papua.

19. Yuniastuti, S, Widjajanto, DD, Suryadi, A & Srihastutik, E 1997, ‘Teknik top working padaanggur dengan menggunakan beberapa varietas batang atas’, J. Hort., vol. 7, no. 1, hlm. 530-35

20. Yuniastuti, S, Purbiati, T, Widjajanto, DD & Wahyudi, 2000, ‘Pengaruh pengairan, ketinggianpemotongan batang pokok, dan teknik penyambungan terhadap keberhasilan top workingmangga’, J. Hort., vol. 10, no. 2, hlm. 106-11.

Page 216: Prosiding BUKU 1
Page 217: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│205

BAGIAN 3.

PROTEKSI

Page 218: Prosiding BUKU 1

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)Sihombing, D dan Handayati, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

206│

206│

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap MalamTerhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)

Sihombing, D dan Handayati, WBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km 4 Malang

e-mail : [email protected]

Abstrak. Salah satu hama utama pada tanaman sedap malam adalah kutu dompolan dapat menyebabkankerusakan yang berat. Tujuan percobaan adalah untuk mengetahui ketahanan beberapa genotip sedap malamterhadap hama kutu dompolan. Percobaan telah dilaksanakan di rumah plastik Kebun Percobaan SegunungBalai Penelitian Tanaman Hias (1100 m dpl), sejak Pebruari sampai November 2007. Percobaan ditata dalamrancangan acak kelompok dengan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah 9 genotip sedap malam yaitu kultivarCianjur, Pasuruan Semiganda, Pasuruan Tunggal, klon no. 28, 75, 219, 297, 301 dan 309. Hasil percobaanmenunjukkan bahwa semua genotip yang diuji disenangi kutu dompolan sebagai tempat makan,berkembangbiak dan berkoloni, kecuali kultivar Pasuruan Tunggal. Hasil pengamatan lebih lanjut menunjukkanbahwa peningkatan populasi kutu dompolan dipengaruhi oleh jumlah daun dan jumlah anakan per rumpun.Hanya kultivar Pasuruan Tunggal dikategorikan sebagai tanaman yang tahan, sementara genotip lainnyadikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan terhadap serangan hama kutu dompolan.

Kata kunci : sedap malam, genotip, hama, kutu dompolan, Dismycoccus brevipes, ketahanan tanaman

Abstract. D. Sihombing and W. Handayati. 2012. Preliminary study resistance of Polianthus tuberosegenotype to mealybugs (Dismycoccus brevipes). Mealybugs is an important pest on Polianthes tuberosa andcaused severe damage. The aim of the study was to find out of some genotype resistance of Polianthes tomealybug. The experiment was conducted at plastic house of Segunung Experiment Garden of IndonesianOrnamental Crops Research Institute (1100 m above sea levels), from February to November 2007. Theexperiment was arranged in a randomized block design with three replications. As treatment were 9 genotypesof Polianthes i.e. clone no. 28, 75, 219, 297, 301 and 309, Cianjur, Pasuruan Semi Double and Pasuruan Singlecultivar. The result showed that except for Pasuruan Single cultivar, all genotypes tested were use by themealybug for feeding, regeneration and colonization. Mealybug population increase affected by young emergeplant number. Pasuruan Single cultivar was the only resistant plant, meanwhile the others genotype wascategorized as a very susceptible plant to mealybug.

Keywords : Polianthes tuberosa, genotype, pest, mealybugs, Dismycoccus brevipes, plant resistence

Salah satu hama penting tanaman sedap malam adalah kutu dompolan (Dismycoccusbrevipes). Hama tersebut telah menyebar luas di daerah sentra produksi bunga sedap malam diCianjur Jawa Barat dan menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Intensitas serangan mencapai 100% dan menyebabkan kegagalan panen (Sihombing et al 2007). Hal tersebut terjadi karena serangankutu dompolan yang tinggi dimulai saat tanaman berumur 2 bulan dan menyebabkan tanaman tidaksempat memasuki stadia generatif. Di samping itu, kutu dompolan tidak hanya menyerang bagiantanaman di atas permukaan tanah, tetapi juga menyerang bagian umbi di dalam tanah. Sebenarnyakeberadaan hama tersebut pada sedap malam telah dilaporkan pada beberapa tahun sebelumnya, tetapitidak menimbulkan kerusakan ekonomi, sehingga hanya digolongkan sebagai hama sekunder(Sihombing dan Djatnika, 1999).

Berdasarkan informasi dari beberapa petani sedap malam di daerah Bangil dan RembangPasuruan dan Banyuwangi Jawa Timur bahwa hama kutu dompolan atau bahasa daerah setempatdisebut dengan nama hama cabuk, juga telah berubah menjadi hama penting dan menimbulkankerusakan yang sangat parah pada tanaman sedap malam. Hama tersebut umumnya tumbuh danberkembang biak dengan pesat pada musim kemarau yang panjang dan saat itu air irigasi tidaktersedia (Kusmanto, Khodir – Pasuruan; Amninah-Banyuwangi, komunikasi pribadi).

Page 219: Prosiding BUKU 1

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)Sihombing, D dan Handayati, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│207

Hama kutu dompolan pada umumnya dikendalikan oleh para petani dengan insektisida yangdiaplikasikan secara intensif dan dosis tinggi serta ditambah dengan detergen. Sementara menurutSihombing et al. (2007) bahwa beberapa bahan jenis insektisida berbahan aktif seperti alfametrin +klorfenafir dan dimetoat efektif terhadap hama tersebut. Namun dalam beberapa aplikasi terakhir olehpetani sedap malam menunjukkan bahwa efektifitas dari insektisida tersebut mulai menurun. Haltersebut diduga karena hama kutu dompolan yang ada sekarang merupakan keturunan yang telahresisten terhadap insektisida tersebut. Di samping itu, apabila serangan sudah lanjut dan sudahmencapai bagian umbi, maka tindakan pengendalian dengan insektisida tidak efektif dan hanya akanmembuang-buang biaya. Oleh karena itu, perlu dicari cara pengendalian yang lebih efektif dan tepatsasaran. Salah satu alternatif pengendalian adalah penggunaan varietas resisten atau tahan.

Informasi mengenai resistensi tanaman sedap malam terhadap hama kutu dompolan belumdikaji dan belum pernah dipublikasikan. Untuk memperoleh gambaran resistensi sedap malam terkiniperlu dilakukan pengujian terhadap kultivar-kultivar lokal maupun terhadap genotip hasil persilangan.

Tanggapan tanaman atau reaksi berupa ekspresi terhadap serangan hama tergantung darikepekaan atau resistensi tanaman. Resistensi tanaman terhadap hama dibedakan menjadi tiga kategoriyaitu non-preferensi (non-acceptance), antibiosis dan toleransi (Painter, 1951). Tipe non-preferensiditunjukkan oleh hama yang tidak menyukai suatu tanaman sebagai sumber makanan danbereproduksi dan atau menyelesaikan siklus hidupnya. Sementara tanaman yang tidak disukaiditunjukkan oleh ketidakhadiran hama tersebut, intensitas serangan dan kerusakan. yang rendah.Selanjutnya Kaakeh dan Dutcher (1990) mengemukakan bahwa perbedaan tingkatan non-preferensisetiap jenis tanaman atau kultivar tergantung dari morfologi tanaman, jaringan vaskular daun ataukandungan senyawa kimiawi tanaman. Keteguhan jaringan tanaman nampaknya sangat berperanpenting dalam menekan infestasi suatu hama. Pada tanaman sedap malam sifat non-preferensi inanghama kutu dompolan ditunjukkan oleh tingkat populasi dan intensitas serangan yang rendah. Sifattersebut dimiliki oleh genotip tanaman yang tahan terhadap serangan hama kutu dompolan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ketahanan beberapa genotip sedap malamterhadap hama kutu dompolan.

BAHAN DAN METODE

Percobaan telah dilaksanakan di rumah plastik Kebun Percobaan Segunung, Balai PeneltianTanaman Hias (1100 m dpl) sejak Pebruari sampai November 2007. Percobaan ditata dalamrancangan acak kelompok dengan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah 9 genotip sedap malam yaituklon no. 28, 75, 219, 297, 301 dan 309, kultivar Cianjur, Pasuruan Semiganda, Pasuruan Tunggal,

Media tanam yang terdiri dari tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1: 1 dimasukkandalam polibeg (diameter 30 cm). Benih sedap malam berukuran sedang (1,5 – 2,5 cm) telah diseleksimenurut Tejasarwana et al. (2007). Benih ditanam di dalam polibag sedalam 2 cm dibawahpermukaan media tanam. Setelah umur 2 bulan setelah tanam, dipupuk dengan NPK (15:15:15)dengan dosis 2 g/polibeg. Untuk pemeliharaan dilakukan penyiraman secara berkala danpengendalian gulma sesuai dengan kondisi pertanaman.

Pada penelitian ini, infestasi hama kutu dompolan tidak dilakukan, tetapi dibiarkan tumbuh danberkembang secara alami. Pengamatan populasi dilakukan setelah semua genotip terserang hamakutu dompolan.

Peubah yang diamati meliputi : populasi kutu dompolan, intensitas kerusakan, pertumbuhantanaman, tebal daun dan kutikel, jumlah dan diameter stomata.

Intensitas kerusakan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

%100)(

ZxN

nxvI

Page 220: Prosiding BUKU 1

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)Sihombing, D dan Handayati, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

208│

208│

dimana : I = intensitas kerusakan ; n = nilai skoring pengamatan populasi kutu dompolan sebagaiberikut 0 = tidak ada populasi, 1 = 1 – 10 ekor/tanaman, 2 = 11 –20 ekor/tanaman, 3 = 21 – 30ekor/tanaman, 4 = 31 – 40 ekor/tanaman, 5 = 41 – 60 ekor/tanaman, 6 = 61 – 80 ekor/tanaman, 7 =80 – 100 ekor/tanaman, 8 = > 100 ekor/tanaman ; v = jumlah sampel tanaman dengan kategoriserangan yang sama ; Z = jumlah seluruh seluruh tanaman; N = nilai skor tertinggi

Selanjutnya berdasarkan intensitas kerusakan tersebut tingkat ketahanan genotip sedap malamterhadap hama kutu dompolan ditentukan sebagai berikut :

Intensitas kerusakan (%) Tingkat ketahanan0

1 – 56 – 1011 – 2021 - 3031 – 50

> 50

ImunSangat tahan

TahanModerat tahanAgak rentan

RentanSangat rentan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan Populasi Kutu DompolanData yang disajikan pada Tabel 1 berupa hasil pengamatan setelah semua genotip

yang diuji diserang oleh hama kutu dompolan. Serangan kutu dompolan diawali denganpopulasi yang rendah berkisar antara 3 ekor sampai 92,4 ekor. Pada pengamatan berikutnyamenunjukkan fenomena yang berbeda. Pada beberapa genotip terjadi peningkatan populasi,tetapi pada genotip Pasuruan single menunjukkan kejadian sebaliknya. Pengamatan terakhirmenunjukkan kejadian yang hampir sama. Populasi kutu dompolan tertinggi ditemukan padaklon no 219, 309 dan kultivar Cianjur dengan kerapatn populasi berturut-turut 131,4, 110,2dan 113,4 ekor per tanaman. Populasi terendah ditemukan pada kultivar Pasuruan Tunggaldengan rerata 9,8 ekor per tanaman. Dengan demikian setiap genotip memiliki tanggap yangberbeda terhadap serangan hama kutu dompolan. Kecuali kultivar Pasuruan Tunggal,tampaknya semua genotipe merupakan inang yang sesuai untuk pertumbuhan danperkembangbiakan kutu dompolan. Salah satu faktor yang menentukan kesesuaian inangadalah nilai nutrisi dan kandungan zat penolak aktivitas yang berperan dalam berbagai prosesfisiologi yang berhubungan dengan pertumbuhan larva, lama hidup dan keperidian suatuserangga (Kogan, 1975).

Gambar 1. Perkembangan populasi kutu dompolan pada beberapa genotipe sedap malam(Population growth of mealybugs on some Polianthes genotype)

0

20

40

60

80

100

120

140

1 2 3 4 5 6 7 8

Popu

latio

n To

tal

Pengamatan ke

No. 28

No. 75

No. 219

No. 297

No. 301

No. 309

Page 221: Prosiding BUKU 1

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)Sihombing, D dan Handayati, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│209

2. Intensitas Kerusakan TanamanPada tabel 1 dapat dilihat perkembangan intensitas serangan hama kutu dompolan

yang menunjukkan perbedaan yang nyata di antara genotipe yang diuji. Pada awalpengamatan nampak bahwa intensitas serangan tertinggi ditunjukkan oleh klon no. 297, 219,75 dan kultivar Cianjur berturut-turut yaitu 70,00 %; 67,50 % dan 62,50 %. Sementaraintensitas serangan terendah ditunjukkan oleh kultivar Pasuruan Tunggal yaitu sebesar 5 %.Perkembangan intensitas serangan kutu dompolan tersebut pada pengamatan berikutnyamenunjukkan fenomena yang sama. Sampai akhir pengamatan menunjukkan bahwa intensitasserangan terendah ditunjukkan oleh kultivar Pasuruan Tunggal. Menurut Jager et al, (1997),apabila kultivar mempunyai ukuran reaksi yang sama, maka tingkat kerusakan cenderungtergantung pada keadaan lingkungan.

Berdasarkan intensitas kerusakan tersebut, jika dikaji lebih lanjut nampak bahwasemua genotip memiliki tingkat ketahanan yang rendah terhadap kutu dompolan, kecualikultivar Pasuruan Tunggal yang memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi. Tingkatketahanan tersebut diduga dipengaruhi kondisi fisik tanaman. Genotip Pasuruan Tungal yangdikategorikan tahan memiliki penampilan permukaan daun yang lebih mengilap dibandingvarietas lainnya. Diduga keadaan permukaan daun tersebut tidak disukai oleh hama tersebutuntuk melakukan aktivitas makan dan berkembang biak..

Tabel 1. Intensitas serangan kutu dompolan pada beberapa genotipe sedap malam (Attackingintensity of mealybugs on some Polianthe genotype)

Clone no./Cultivars

No. observation Resintancelevels to

1 2 3 4 5 6 7 8 mealybug28 25,00 60,00 42,50 45,00 37,50 60,00 60,00 62,50 Sangat rentan

(verysucceptible)

75 67,50 55,00 42,50 40,00 47,50 50,00 50,00 55,00 Sangat rentan(verysucceptible)

219 67,50 75,00 52,50 50,00 65,00 82,50 90,00 80,00 Sangat rentan(verysucceptible)

297 70,00 72,50 47,50 55,00 60,00 60,00 65,00 75,00 Sangat rentan(verysucceptible)

301 57,50 62,50 52,50 42,50 57,50 45,00 62,50 57,00 Sangat rentan(Very succeptible

309 42,50 65,00 47,50 37,50 75,00 77,50 80,00 82,50 Sangat rentan(very succeptible

Cianjur 62,50 60,00 52,50 57,50 95,00 92,50 67,50 95,00 Sangat rentan(verysucceptible)

PasuruanTunggal(PasuruanSingle)

5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 Tahan(resistant)

PasuruanSemi Ganda(PasuruanSemi Double)

45,00 50,00 30,00 32,50 47,50 42,50 45,00 47,50 Rentan(succeptible)

3. Hubungan beberapa karakter tanaman dengan perkembangan populasi kutu dompolanDiduga beberapa karakter tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan

populasi kutu dompolan seperti jumlah anakan, tebal daun, tebal kutikula, diameter dan jumlah

Page 222: Prosiding BUKU 1

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)Sihombing, D dan Handayati, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

210│

210│

stomata. Jumlah anakan per rumpun menunjukkan perbedaan nyata diantara genotip yang diuji.Jumlah anakan terbanyak dimiliki oleh genotipe no. 297 dan 309. Sementara jumlah anakan palingsedikit dimiliki oleh kultivar Pasuruan. Jika ditelaah lebih lanjut nampak bahwa karakter jumlahanakan per rumpun menunjukkan korelasi positif dengan intensitas serangan kutu dompolan. Jikajumlah anakan bertambah, maka maka populasi dari kutu dompolan akan makin meningkat.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setiap genotip yang diuji memiliki tebal daun yangberbeda. Genotipe yang memiliki daun paling tebal adalah klon no. 309, Pasuruan Tunggal dan klonno. 219 dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Sementara daun yang lebih tipis justru dimilikioleh klon no. 75.

Pengamatan selanjutnya pada tebal kutikel menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyatadengan diantara genotip yang diuji. Kutikel yang lebih tebal terdapat pada klon no. 219 dan 309.Kutikel yang paling tipis dimiliki oleh klon 297. Sebenarnya kutikel merupakan permukaan daunyang paling luar dan bereaksi langsung dengan serangan hama kutu dompolan. Berdasarkan hasiltersebut di atas dapat dikemukakan bahwa ketebalan daun tidak berpengaruh terhadap tingkatpopulasi dan intensitas serangan kutu dompolan.

Tabel 2. Rerata jumlah anakan/tanaman, tebal daun, tebal kutikel, jumlah stomata dan diameterstomata (Mean of shoot number/plant, leaf thickness, cuticle thicknes, number of stomataand diameter of stomata)

Klon no./Kultivar (Cloneno./ Cultivar)

Observed parameters

Jumlah anakan/tanaman (Shootnumber/plant)

Tebal daun(Leaf thickness(µm))

Tebal kutikel(Cuticlethickness (µm)

Jumlahstomata(Number ofstomata)

Diameter stomata)Diameter of stomata(µm))

28 6,80 cd 147,31 abc 4,42 bc 9,20 ab 18,00 abc75 11,40 abcd 111,92 d 4,42 bc 9,40 a 18,54 abc

219 7,60 bcd 133,08 bcd 5,39 a 6,20 d 16,31 cd

297 21,60 a 157,69 ab 4,38 c 8,60 abc 16,62 bcd301 15,60 abc 161,54 a 5,00 bc 9,80 a 18,69 ab

309 18,40 ab 117,31 d 5,19 a 9,00 ab 16,31 cdCianjur 16,80 abc 143,46 abc 4,42 bc 7,20 bc 18,62 abc

Pasuruan Single 4,20 d 158,08 ab 4,38 c 6,60 cd 15,62 d

Pasuruan SemiDouble

12,40 abc 131,92 cd 4,38 c 9,80 a 19,47 a

Menurut Kaakeh dan Dutcher (1994) bahwa tingkatan preferensi setiap jenis tanaman ataugenotip tergantung dari morfologi tanaman, jaringan vaskular daun atau kandungan senyawa kimiatanaman. Keteguhan jaringan tanaman, juga sangat berperan penting dalam menekan infestasiserangan hama.

Tabel 3. Korelasi beberapa karakter penting tanaman/daun sedap malam dengan populasi danintensitas serangan kutu dompolan (Correlation of some important plant/leaf characters ofPolianthe tuberosa with population and attacking intensity of mealybugs).

Jumlahanakan(shootnumber)

Tebaldaun(leafthickness)

Tebal kutikel(cuticlethickness)

Jumlahstomata(stomatanumber)

Diameterstomata(stomatadiameter)

Rerata kutu dompolan 0,47 -0,33 0,35 -0,21 0.12Intensitas serangan 0,62 -0,31 0,46 0,27 0,25

Page 223: Prosiding BUKU 1

Studi Pendahuluan Ketahanan Beberapa Genotip Sedap Malam Terhadap Hama Kutu Dompolan (Dismycoccus brevipes)Sihombing, D dan Handayati, W

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│211

KESIMPULAN

1. Populasi dan intensitas serangan kutu dompolan pada semua genotipe tinggi, kecuali padakultivar Pasuruan Tunggal yang rendah

2. Semua genotip yang diuji tidak tahan terhadap hama kutu dompolan, kecuali kultivarPasuruan Tunggal.

3. Jumlah anakan berkorelasi positif dengan intensitas serangan kutu dompolan

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nandang dan Asep Samsudin, teknisi padaBalai Penelitian Tanaman Hias, atas bantuannya untuk pengamatan dan pengumpulan data.

PUSTAKA

1. Foster, J.E. 1985. The Use of Resistant Varieties for Pest Management. Dept. ofEntomology. Purdue University. West Lafayette. 23p

2. Kaakeh, W dan J.D. Dutcher.1994. Probing behavior and density of M. persicae, M.caryellaand M. caryaefaliae (Homoptera : Aphididae) on pecan cultivars. J. Econ. Entomol. 87 (4) :951 - 956

3. Kogan, M. 1975. Pant resistance in pest management. Introduction to Insect PestManagement. Ed. R.L. Metcalf and W.H. Luckman. Pp 103 – 146. Jhon Wiley and Sons. Newyork. 587p.

4. Jager, C. M. RPT. Butot, MEC. Uiterdijk and E.van der Meijden. 1997. Enironmentalinfluencis on feeding damage caused by western flower thrips (Thysanoptera: Thripidae) onchrysanthemum. J. Econ. Entomol. 90 (1) : 188 – 194.

5. Painter, R.H. 1951. Insects Resistance in Crops Plants. Machmillan Co. New York. 520p

6. Tejasarwana, R. A., A. Wasito dan R.W. Prasetio. 2004. Pengaruh ukuran umbi benih danlama penyimpanan terhadap produksi bunga sedap malam. J. Hort 14 (Edisi Khusus) : 326 -333

7. Sihombing, D. dan Djatnika, 1999. Status hama pada sedap malam. J. Hort. 9 (1) : 34 - 39

8. -----------------, Y. Sulyo, W. Nuriani dan E. Silvia. 2007. Identifikasi dan penanggulanganledakan hama kutu dompolan di daerah cianjur. J. Hort. Edisi Khusus No. 1 : 55 - 60

Page 224: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

212│

212│

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5

Wulandari, AW dan Duriat, ASBalai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung 40791

Email : [email protected]

ABSTRAK. Tanaman tomat rentan terhadap berbagai penyakit seperti layu, busuk daun, nematoda dan viruskomplek yang kesemuanya berdampak pengurangan hasil panen. Di antara penyakit tanaman yang mengganggutanaman tomat, patogen virus penyebab penyakit yang sulit dikendalikan karena belum ada obatnya, sementarapenular alaminya cukup banyak. Efikasi vaksin Carna-5 untuk imunisasi tanaman tomat terhadap serangan virusmosaik ketimun (CMV) cukup menggembirakan. Pada cabai penggunaan vaksin Carna-5 selain dapat menekanserangan CMV juga dapat menekan virus kentang PVY pada cabai. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahuipengaruh penggunaan vaksin Carna-5 terhadap pertumbuhan, insiden virus, dan hasil panen. Penelitiandilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) pada bulan Juni sampai Oktober 2008. Rancanganpercobaan dengan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Varietas tomat yang digunakan ialahArthaloka. Hasil pnelitian menunjukkan : (1) Waktu inokulasi dan konsentrasi vaksin sampai 10-3 secara umumtidak mempengaruhi tinggi tanaman tomat, (2) Inokulasi pada umur tanaman lebih muda membuat dayaperlindungan tanaman lebih kuat (3) Hasil panen tanaman yang divaksinasi tidak berbeda dengan tanaman sehat(kontrol).

Katakunci: Lycopersicum esculentum; Vaksin CARNA-5; Cucumber Mosaic Virus (CMV); Vaksinasi

ABSTRACT. Wulandari, AW and Duriat, AS 2013. CMV-2 Control of Virus In Tomato ProcessingVarieties with Carna-5 Vaccine. Tomato plants susceptible to various diseases such as wilt, blight, nematodes,and viruses all affect the reduction of complex crop. Among the plant diseases that interfere with tomato plants,pathogenic viruses that cause disease are difficult to eradicate because there is no cure, while transmittingnatural enough. Efficacy of Carna-5 vaccines for immunization against virus attacks tomato plants cucumbermosaic (CMV) is quite encouraging. On the chili use of Carna-5 vaccines in addition to CMV can suppress theattack can also press the potato virus PVY on peppers. The research objective were to investigate the use ofeffect Carna-5 vaccines on the growth, the incidence of virus, and tomato crops. Research conducted at theBalitsa in the month of June to October 2008. Randomized experimental design with the randomized blockdesign factorial with repeated three times. Tomato varieties used Arthaloka. The results indicated that: (1)Vaccine inoculation time and concentration to 10-3 generally does not affect the height of tomato plants, (2)Inoculation at a younger age of the plant to make power plants more robust protection, and (3). Crop yields arevaccinated not different from healthy plants (control).

Keywords: Lycopersicum esculentum; Vaccine Carna-5; Cucumber Mosaic Virus (CMV); Vaccination

Tomat sebagai komoditas sayuran mempunyai peran ganda, yaitu selain sebagai sumber gizidan bahan baku industri, juga dapat meningkatkan pendapatan dibandingkan komoditas panganlainnya. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011), produksi tomat pada tahun 2011 sebesar 950.385 tmeningkat 0,94% dari tahun 2010.

Tanaman tomat rentan terhadap berbagai penyakit seperti layu, busuk daun, nematoda dan viruskomplek yang kesemuanya berdampak pengurangan hasil panen. Di antara penyakit tanaman yangmengganggu tanaman tomat, patogen virus penyebab penyakit yang sulit dikendalikan karena belumada obatnya, sementara penularan alaminya cukup banyak (serangga, hewan lain termasuk manusia).

Cucumber Mosaik Virus diketahui mempunyai kisaran inang yang luas dan dikenal sebagaipenyebab penyakit virus utama pada komoditi penting termasuk tomat di Indonesia. Mengingat bahwavirus tanaman ialah suatu quasispecies, sedangkan tanaman inang ialah merupakan faktor seleksialami dalam menentukan varian dalam quasispecies tersebut, maka isolat-isolat virus yang terdapatpada inang tertentu mempunyai karakter yang berbeda dengan isolat hasil seleksi oleh inang lain.Oleh karena itu, pengetahuan mengenai peta isolat virus yang menjadi sasaran dalam pengendalianialah merupakan faktor penentu keberhasilan pengendalian tersebut (Suastika et al. 2003).

Page 225: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│213

Penyakit virus mosaik pada tanaman tomat dapat disebabkan oleh virus secara tunggal ataupungabungan. Umumnya penyakit mosaik disebabkan oleh gabungan beberapa virus, yaitu CMV, PVY,dan TMV. Partikel CMV berbentuk bulat. Virus mosaik ditularkan secara mekanik dan denganperantaraan vektor kutudaun persik (Myzus persicae) dan Aphids gosypii. Gejala bervariasi tergantungpada strain virus dan kultivar tanaman. Pada tanaman tomat gejala diawali dengan menguning dankerdil. Daun menunjukkan gejala mottle mirip gejala tobacco mosaic virus (TMV). Gejalakarakteristik adalah bentuk daun seperti tali sepatu (shoestring-like) yang dapat dikacaukan dengangejala TMV, yaitu malformasi daun (fern-leaf) (Gambar 1). Lebih dari 49 famili tanaman terdiri daritanaman budidaya, tanaman hias, gulma, tanaman tahunan, dan semak, antara lain : wortel, seledri,ketimun, melon, squash, kacang-kacangan, selada, cabai, bayam, tanaman hias (anemone, candytuft,viola, zinnia, columbine, dahlia, delphinium, geranium, petunia, dan phlox), pisang, ixora, danmarkisa (Direktorat Perlindungan Hoirtikultura 2012).

Gambar 1. Gejala serangan virus CMV pada tanaman tomat

Untuk pengendalian CMV, proteksi silang yang dilakukan menggunakan isolat-isolat CMVyang melemah karena kehadiran satelit Carna-5 (Waterworth et al. 1979, Kaper 1984). Genompartikel CMV terdiri atas 3 spesies RNA dan kadang-kadang RNA ketiga pecah dua menjadi RNA 3dan 4. Vaksin CARNA-5 merupakan kepanjangan dari cucumber mosaic virus associated RNA 5,yaitu RNA ke-5 yang berasosiasi dengan RNA CMV untuk perbanyak diri (multiplikai).

Efikasi vaksin Carna-5 untuk imunisasi tanaman tomat terhadap serangan virus mosaik ketimun(CMV) cukup menggembirakan (Gallitelli et al. 1991, Yusril 1996, Duriat 1997), sedangkan padacabai penggunaan Carna-5 selain dapat menekan serangan CMV juga dapat menekan virus kentang Yatau PVY pada cabai. Proteksi tanaman dengan Carna-5 juga dicoba pada tomat prosesing untukmelindungi terhadap serangan virus kompleks.

Jadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan vaksin CARNA-5terhadap pertumbuhan, insiden virus, dan hasil panen buah tomat.

BAHAN DAN METODELokasi percobaan ialah kebun percobaan Balai Tanaman Sayuran (1250 m di atas permukaan

laut) selama 4 bulan (Juni-Oktober 2008). Rancangan percobaan acak kelompok dalam pola faktorial.Faktor-1 adalah umur tanaman untuk diinokulasi 10 dan 17 hari setelah semai. Faktor-2 adalahkonsentrasi vaksin CARNA-5 :10-2, 5 x 10-2, 5 x 10-3, 10-3 dan kontrol (0). Varietas tomat yangdigunakan adalah Arthaloka. Populasi tanaman per kombinasi perlakuan 100 tanaman dengan jaraktanam 50 x 60 cm. Pemupukan, penyiangan, penyiraman, dan pemeliharaan mengikuti petunjukbudidaya tomat (Nurtika et al. 1997). Pestisida yang digunakan ialah Daconil (2g/l) atau Ridomil

Page 226: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

214│

214│

(2g/l) dan Decis (2g/l) atau Atabrom (2cc/l) yang digunakan secara bergantian disesuaikan denganserangan hama dan penyakit yang ada. Data penunjang dari mikroplot yang menggunakan perlakuanyang sama kemudian disuperinfeksi dengan CMV-2 (virus ganas).

Pengamatan dilakukan seminggu sekali dengan parameter : pertumbuhan tanaman, gejala virusyang nampak, perbanyakan vaksin pada tanaman, hama-penyakit lain dan produksi buah tomat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbanyakan VaksinUntuk mengetahui efikasi vaksin setiap kali inokulasi dilakukan pengujian dengan tanaman

indikator Chenopodium quinoa yang diikuti dengan uji Elisa menggunakan antiserum CMV sepertipada Tabel 1.

Reaksi pada tanaman indikator terlihat baik sekali dari inokulum yang diinokulasikan padatanaman tomat berumur 10 hari. Reaksi pada uji Elisa terlihat hasil positif pada tanaman tomat yangdiambil dari lapangan, sedangkan dari inokulum yang digunakan untuk menginokulasi pada umur 17hari tidak terlihat bereaksi dengan tanaman indikator, namun bereaksi pada uji Elisa. Sehingga bisadisimpulkan bahwa vaksin dapat berkembang pada tanaman tomat.

Tabel 1. Efektifitas sumber inokulum

Perlakuan Reaksi pada C. quinoaUji Elisa

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 310 h, CARNA 10 -1

10 h, C 5 x 10-2

10 h, C 5 x 10-3

10 h, C 10-3

10 h, tanpa CARNA17 h, CARNA 10-1

17 h, C 5 x 10-2

17 h, C 5 x 10-3

17 h, 10-3

17 h, tanpa CARNA

++++++------

-------+-+

-+++---++-

-+++-+--+-

Keterangan : + = Terjadi reaksi. Jumlah + menunjukkan kekuatan reaksi, - = Tidak bereaksi

Pertumbuhan TanamanPada awalnya inokulasi terjadi stres pada tanaman, pertumbuhan menjadi terhambat terutama

pada tanaman yang diinokulasi pada umur 10 hari setelah tanam, sedangkan pada umur inokulasi 17hari hampir tidak ada perbedaan tinggi tanaman di antara perlakuan kecuali pada konsentrasiCARNA-5 5 x 10-3 tanamannya lebih rendah. Keadaan ini berjalan sampai umur pengamatan 25 hari,selanjutnya sejak waktu pengamatan 32 hari tanaman tumbuh seragam dan tidak ada perbedaanantarperlakuan (Tabel 2).

Keadaan ini menunjukkan bahwa antara waktu inokulasi pada umur 10 hari atau 17 hari, danantarperlakuan konsentrasi vaksin pada akhirnya tidak memperlihatkan perbedaan nyata.

Page 227: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│215

Tabel 2. Pengaruh inokulasi Carna-5 dan umur inokulasi terhadap tinggi tanaman cabai/Effect ofinoculation Carna-5 and inoculation time to plant height chili

PerlakuanHari setelah tanam (cm)

14 25 32 39 46U1K1U1K2U1K3U1K4U1K5

18,0 cde18,9 abcd15,4 e16,9 de18,7 bcd

24,8 abcd26,0 abcd22,5 d24,5 bcd25,5 abcd

41,7 a45,0 a40,5 a46,7 a47,3 a

57,0 ab61,7 ab52,1 b62,3 a58,9 ab

74,3 a79,2 a71,5 a82,3 a78,5 a

U2K1U2K2U2K3U2K4U2K5

21,9 a21,6 ab16,5 de20,7 abc21,9 a

28,2 ab28,8 a23,2 cd27,0 abc28,4 ab

47,3 a47,9 a42,4 a45,6 a48,0 a

65,9 a66,5 a63,7 a62,3 a66,2 a

82,0 a77,9 a77,6 a73,7 a78,9 a

CV (%) 7,5 8,13 9,4 7,9 9,2Keterangan : Rerata yang diikuti hurup yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata di antara perlakuan menurut UJBD Duncan

pada taraf 5 %.

Namun bila mempelajari perkembangan vaksinnya sendiri, inokulasi pada umur tanaman lebihmuda tetap lebih baik seperti laporan Duriat et al. (1991) atau Kaper et al. (1980), bahwa tanamanyang lebih muda sangat responsif dan penyebaran virus atau vaksin menjadi lebih merata. Sehinggapada waktu tanaman tomat dipindahkan ke lapangan dalam keadaan terproteksi terhadap seranganCMV yang lebih ganas. Pertumbuhan tanaman yang diinokulasi dengan vaksin secara statistik tidakberbeda walaupun angka datanya lebih tinggi dari perlakuan lain.

Gejala Serangan VirusInokulasi vaksin pada umur yang lebih tua (17 hari) menunjukkan insiden gejala virus yang

lebih rendah, sedangkan perlakuan konsentrasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 3).Insiden virus pada perlakuan vaksinasi angkanya lebih tinggi daripada kontrol. Hal ini menunjukkanbahwa tanaman yang diberi vaksin sedikit menimbulkan gejala karena diberi virus walaupun sudahdilemahkan menjadi vaksin.

Tabel 3. Pengaruh inokulasi Carna-5 dan umur inokulasi terhadap insiden tanaman terinfeksi virus

Perlakuan umurHari setelah tanam

27 34 41 4810 hari (U1)17 hari (U2)CARNA-5:10-1 (K1)5 x 10-2(K2)5 x 10-2(K2)10-3 (K4)Kontrol (K0)

1,06 a0,13 b

1,16 a0,53 ab0,18 b0,54 ab0,58 ab

0,76 a0,55 a

1,64 a0,17 a0,35 a0,74 a0,37 a

1,33 a0,41 a

1,27 a0,88 a0,56 a1,12 a0,52 a

1,21 a0,36 a

0,72 a1,07 a0,77 a0,78 a0,58 a

Kombinasi perlakuan Beda nyata Beda nyata Tidak nyata Tidak nyata

Vaksin dapat bekerja dengan baik yang diperlihatkan oleh data penunjang di mana semuaperlakuan diberi superinfeksi CMV-2 yang lebih ganas (Tabel 4).

Page 228: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

216│

216│

Tabel 4. Insiden virus dan intensitas serangan pada tanaman tomat yang telah diinokulasi vaksinCarna-5 dan disuperinfeksi dengan CMV-2

PerlakuanInsiden Virus (Hari) Intensitas Virus (Hari)

41 48 41 4810 h, C-5 10-1

10 h, C-5 5 x 10-2

10 h, C-5 5 x 10-3

10 h, C5 10-3

10 h, Kontrol

00000

0000

11,11

00000

0000

33,3317 h, C-5 10-1

17 h, C-5 5 x 10-2

17 h, C-5 5 x 10-3

17 h, C5 10-3

17 h, Kontrol

00000

14,2812,5012,5011,1111,11

00000

33,3333,3333,3333,3333,33

Inokulasi vaksin pada umur 10 hari memperlihatkan perlindungan yang lebih baik setelahsuperinfeksi dengan CMV-2, namun perlakuan kontrol memperlihatkan insiden virus, sedangkan padaperlakuan inokulasi 17 hari semua perlakuan vaksinasi memperlihatkan respons terinfeksi terhadapsuperinfeksi sebanyak 33%.

Hasil penelitian Rahardjo et al. (2005 dan 2008), bahwa tanaman krisan yang diberi perlakuanvaksin dapat memproteksi CMV dengan pertumbuhan tanaman dan hasil bunga yang normal.Serangan Hama dan Penyakit Lain

Insiden hama (kutudaun, trips, ulat pemakan daun) dan penyakit (layu, busuk daun) pada daunatau batang tidak begitu menonjol, insidennya di bawah 0,1%. Yang cukup menonjolpenyerangannya ialah penyakit bercak daun Alternaria solani. Namun penyakit ini pun dapat diatasidengan penyemprotan fungisida, sedangkan serangan hama pada buah (bolong atau gigitan) sertapenyakit (bercak kering atau bercak busuk) disajikan pada Tabel 5.

Hasil PanenHasil panen pada tiap perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 5). Serangan hama penggerek buahmerata pada semua petak percobaan (tidak ada perbedaan yang nyata) dengan kisaran antara 0,9-1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perlakuan dengan serangan hamapenggerek buah (Helicoverpa armigera). Serangan penyakit pada buah (antraknos dan busuk) cukupproporsional bergantung pada jumlah buah per petak. Semakin banyak jumlah buah, maka semakintinggi serangan penyakitnya dengan kisaran antara 3,3%–6,1%. Pada perlakuan inokulasi umur 10hari, persentase buah yang terserang penyakit cenderung lebih rendah.

Tabel 5. Pengaruh pemberian Carna-5 dan umur inokulasi terhadap jumlah dan berat buah tomat pervariabel pengamatan hasil panen/ The impact of Carna-5 and age of inoculation on tomatofruit number and weight of observations per variable yields

Perlakuan Buah Sehat Terserang Hama Terserang Penyakit JumlahBuah Total

Berat BuahTotal (kg)Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat

U1K1U1K2U1K3U1K4U1K5U2K1U2K2U2K3U2K4U2K5

1876 a1967 a1793 a1726 a2074 a2078 a1989 a2077 a1955 a2044 a

154 a158 a148 a155 a169 a172 a168 a168 a152 a173 a

25,7 a22,7 a18,7 a24,3 a27,3 a33,0 a32,3 a32,7 a30,0 a29,3 a

1,8 ab1,6 b1,3 b1,2 b2,1 ab2,2 ab2,4 ab2,1 ab2,0 ab2,7 b

76,7 ab69,3 b78,3 ab104,0 ab101,3 ab131, 3 ab101,0 ab115,3 ab130,7 a135,0 a

3,4 b3,3 b3,5 b5,5 ab4,8 ab6,7 a4,6 ab5,2 ab6,6 a6,5 a

1968,42059,01890,01854,32202,62224,32122,32225,02115,72208,3

159,2162,9152,8161,7175,9180,9175,0175,3160,6182,2

Keterangan : Rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara perlakuanmenurut UJB Duncan pada taraf 5%

Page 229: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│217

Serangan hama penggerek buah merata pada semua petak percobaan (tidak ada perbedaan yang nyata)dengan kisaran antara 0,9% - 1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perlakuandengan serangan hama penggerek buah (Helicoverpa armigera). Serangan penyakit pada buah(antraknose dan busuk) cukup proposional tergantung pada jumlah buah per petak. Semakin banyakjumlah buah semakin tinggi serangan penyakitnya dengan kisaran antara 3,3% – 6,1%. Padaperlakuan inokulasi umur 10 hari, persentase buah yang terserang penyakit cenderung lebih rendah.Hal ini mungkin dapat diterangkan dengan Tabel 3 di mana inokulasi umur 17 hari tidak memberikandaya proteksi yang lebih menyeluruh, sehingga ukuran buahnyapun menjadi lebih kecil karenamemang tanamannya diinfeksi ulang dengan virus yang lebih ganas (CMV-2).Menurut laporan Purbadi et al. (1995), bahwa pemberian vaksin CMV pada tanaman cabai dapatmencegah terjadinya penurunan hasil akibat serangan PVY, tidak berpengaruh pada pertumbuhan danhasil tanaman yang sehat. Hal yang sama dilaporkan oleh Hasriadi (2005), infeksi tunggal CMV-satRNA yang mengandung satelit RNA pada tanaman cabai tidak menurunkan kualitas dan kuantitashasil panen.

KESIMPULAN

Dari uraian pembahasan dapat disimpulkan bahwa :1. Waktu inokulasi dan konsentrasi vaksin sampai 0 – 3 tidak mempengaruhi tinggi tanaman tomat

secara umum.2. Inokulasi pada umur tanaman lebih muda membuat daya perlindungan tanaman lebih kuat.3. Hasil panen tanaman yang divaksinasi tidak berbeda dengan tanaman sehat (kontrol), jadi vaksin

walaupun dibuat dari virus yang dilemahkan tidak menyebabkan kehilangan hasil yang serius.

PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi sayuran di Indonesia. Diunduh tanggal 17 Juni 2012<http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1& daftar=1&id_subyek=55&notab=20>.

2. Chung-Chi Hu, Yau-Heiu Hsu and Na-Sheng Lin. 2009. Satellite RNAs and Satellite Viruses ofPlant. Diunduh tanggal 17 Juni 2012 <http://www.mdpi.com/1999-4915/1/3/1325/htm>.

3. Duriat, A.S. Biological Control of Cucumber Mosiac Virus (CMV). An Important DiseaseCausing Agent of Horticultural Crops in Indonesia. Final Report of USAID Project. Grantnumber : PSTC.936-5542.5.254.

4. Duriat, A.S., Y. Sulyo, R. Sutarya, A. Muharam, E. Korlina dan A.A. Asandhi. 1992. Evaluasipenggunaan Vaksin Carna-5 pada Tanaman Cabai. Bul. Panel. Hort. Vol. XXII (4): 4 – 50.

5. Duriat, A.S., Muharam, A., Jumanto, H., Laksminiwati, P., Gunaeni, N., dan Sulastrini, I. 1997.Pengendalian Virus Mosaik Ketimun (cucumber Mosaic Virus = CMV) Pada Cabai Dan TomatMelalui Proteksi Silang Pengarang. Diunduh tanggal 17 Juni 2012 <http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/ searchkatalog/byId/115977>.

6. Gallitelli D, Vovlas C, Martelli G, Montasser M.S., Tousignant M.E., Kaper J.M. 1991. Satellite-mediated protection of tomato against cucumber mosaic virus. II. Field test under naturalepidemic conditions in southern Italy. Diunduh tanggal 17 Juni 2012<http://ukpmc.ac.uk/abstract/AGR/ IND91011232/reload =0; jsessionid=Pk59sLWPdiEopNSYvOqt.0>.

7. Hanson P, J.T. Chen, C.G. Kuo, R. Morris dan R.T. Opena. 2012. Budidaya dan produksi benihtomat diterjemahkan dan disarikan serta dilengkapi oleh Iteu M. Hidayat.<http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/index.php? bawaan=teknologi/ isi_teknologi&id_menu=4&id_submenu=19&id=51>

Page 230: Prosiding BUKU 1

Pengendalian Virus CMV-2 pada Varietas Tomat Prosesing dengan Vaksin Carna-5Wulandari, AW dan Duriat, AS

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

218│

218│

8. Hasriadi Mat Akin. 2005. Kepatogenan satelit RNA yang berasosiasi dengan Cucumber MosaicVirus (CMV-satRNA) pada tanaman cabai. J. HPT. Tropika. Vol. 5 (1) : 37-41. ISSN 1411-7525.

9. Nurtika, N., dan Zaenal, A. 1997. Budidaya tanaman tomat. Dalam : Teknologi produksi tomat.Balai Penelitian Tanaman Sayuran : 62-80. ISBN : 979-8304-14-4.

10. Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2012. Mosaic Virus. Diunduh tanggal 17 Juni 2012.<http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=276&Itemid=166>

11. Purbadi dan Y. Sulyo. 1995. Pengaruh inokulasi vaksin CMV terhadap indeks serangan PVMVdan PVY pada tanaman cabai (Capsicum annuum, L). Bul.Penel.Hort. Vol. XXVII No. 4 : 103-113.

12. Rahardjo, I.B. dan Y. Sulyo. 2005. Proteksi silang untuk pengendalian virus mosaik mentimunpada krisan. J. Hort. 15 (2) : 129-134.

13. Rahardjo, I.B. E. Diningsih dan Y. Sulyo. 2008. Teknik proteksi silang untuk pengendalian CMVpada krisan. J. Hort. 18 (1) : 62-68.

14. Suastika, G., dan Hidayat, S.H. 2003. Keragaman Sifat Biokimia Isolat-Isolat Tomat CucumberMosaic Virus (CMV) di Indonesia dan Eksplorasi Rna Satelit (Satrna) Protektif. Diunduh tanggal17 Juni 2011 <http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/5836>.

Page 231: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa

Riska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│219

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp.cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadap Pisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa

Riska1), Jumjunidang1), Hermanto, C1) dan Molina, AB2)

1) Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Jl. Raya Solok-Aripan Km 7 Solok, Sumatera Barat2) Bioversity International 3F Khush Hall, IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines

ABSTRAK. Patogen Fusarium oxysporum f. sp.cubense (Foc) terdiri dari beberapa ras, masing-masing rasmemiliki strain/Vegetative Compatibility Group (VCG) yang berbeda dengan tingkat virulensi yang berbedapula. Pisang kelompok Cavendish dilaporkan tahan terhadap Foc ras 1 namun rentan terhadap ras 4. Virulensimasing-masing strain/VCG Foc dalam ras 1 dan ras 4 pada pisang Cavendish masih sedikit dilaporkan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui virulensi beberapa VCG isolat Foc ras 1 dan ras 4 terhadap pisangkelompok Cavendish di rumah kasa. Penelitian dilakukan di laboratorium penyakit dan rumah kasa BalaiPenelitian Tanaman Buah Tropika Solok, dari bulan Januari sampai Oktober 2009. Rancangan yang digunakanadalah acak kelompok dalam pola faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan, masing-masing perlakuan terdiri dari10 tanaman. Sebagai faktor pertama adalah 8 VCG Foc dalam ras 1 dan ras 4 dan Faktor kedua adalah varietaspisang dalam kelompok Cavendish. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan virulensiantara Foc kelompok ras 1 dengan Foc kelompok ras 4 pada kedua varietas pisang kelompok Cavendish,virulensi patogen terhadap pisang Cavendish berhubungan dengan VCG isolat Foc. Isolat Foc VCG 0120/5,0123, 0126 dan 01218 menyebabkan serangan ringan pada pisang Ambon hijau dan Randah. Isolat Foc VCG0124/5 menyebabkan serangan parah dan sangat parah berturut-turut pada Ambon hijau dan Randah. Isolat FocVCG 0121, 01213/16 menyebabkan serangan sangat parah pada Ambon hijau dan Randah, sebaliknya isolat FocVCG 01219 menyebabkan serangan ringan. Hasil penelitian ini mendorong kajian lebih lanjut tentang biologipatogen dalam rangka memperoleh teknik pengendalian yang tepat.

Kata kunci : Pisang, Fusarium oxysporum f. sp. cubense, Vegetative compatibility Group

ABSTRACT. Riska, Jumjunidang, Hermanto, C and Molina, AB. 2012. Virulence of several VCG ofFusarium oxysporum f. sp. cubense Isolates Race 1 and Race 4 on Banana Cavendish Subgroup in ScreenHouse. Pathogen of Foc has several races and each race have different strains or VCGs with different level ofvirulence. Banana Cavendish subgroup was reported resistant to Foc race 1, but not for race 4. Reports on thevirulence of each strain/VCGs Foc grouped in race 1 and race 4 on banana Cavendish subgroups was limited.The objective of the experiment was to study variation of virulence of several VCGs Foc isolates race 1 and race4 on banana Cavendish subgroup in screen house. The research was conducted in the Protection laboratory andscreen house Indonesian Tropical Fruit Research Institute (ITFRI) Solok, from Januari to October 2009. Theexperiment was arranged in randomized block in factorial pattern with 3 replications, each treatment consisted of10 plants. The first factor was 8 VCGs of Foc and the second factor was banana variety in Cavendish subgroup.The results indicated that isolates of Foc VCGs 0120/15, 0123, 0126 and 01218 caused slightly infection onAmbon hijau and Randah variety. Isolate of Foc VCGs 0124/5 caused severe and highly severe infection onAmbon hijau and Randah variety, respectively. Isolates of Foc VCGs 0121 and 01213/16 caused highly severeinfection on Ambon hijau and Randah variety. In contrast, slightly infection on varieties which was caused byisolates of Foc VCGs 01219. This result suggests that further study on biology of pathogens to find out the bestcontrol should be carried out intensively.

Keywords : Musa sp. Fusarium oxysporum f. sp. cubense, vegetative compatibility group

Pisang merupakan tanaman buah utama di Indonesia, baik dalam hal produksi, luaspertanaman maupun sebarannya. Komoditas ini ditemukan hampir di seluruh pelosok nusantaradengan jenis dan varietas yang sangat beragam. Namun dalam budidayanya ditemukan beberapaorganisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang menjadi kendala dalam produksi. Salah satunya adalahpenyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f. sp. cubense (E.F. Smith) (Foc).Tidak hanya di Indonesia, dilaporkan juga bahwa patogen ini menjadi faktor pembatas utama produksidi beberapa negara penghasil pisang dunia seperti Australia, Asia, Afrika Tengah dan Selatan (Viljoen

Page 232: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah KasaRiska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

220│

220│

2002, Hwang & Ko 2004, Ploetz 2006, Thangavelu et al. 2011). Menurut Ploetz (1990) patogen inipertama kali teridentifikasi oleh Bancroft di Queensland Australia pada tahun 1876 dan dilaporkanberkembang di Amerika Tropika (Costa Rica dan Panama) pada tahun 1890, sehingga kemudianpenyakit layu fusarium lebih dikenal sebagai layu Panama (Stover 1962). Di Indonesia sendiripenyakit layu fusarium telah berkembang sejak tahun 1990 (Nasir et al. 2005) dan beberapa laporandan hasil penelitian menyebutkan telah terjadi serangan parah/berat layu fusarium di beberapa daerahdiantaranya adalah di Halmahera, Sumatra dan Jawa (Ploetz & Pegg 2000, Nasir et al. 2005). Nasir &Jumjunidang (2002) juga melaporkan kasus serangan yang terjadi di perkebunan pisang komersial diNusantara Tropical Fruits (NTF), dimana Foc pertama kali terdeteksi pada bulan Februari 1993 dandalam beberapa bulan saja terjadi peningkatan serangan yang sangat tajam, bahkan pada tahun 2002tercatat tanaman yang dieradikasi mencapai 1.700.000 tanaman. Kemudian dari hasil survey terbaruHermanto et al. (2011) dan Jumjunidang et al. (2012) di 16 propinsi di Indonesia dilaporkan bahwaFoc masih merupakan kendala utama dalam produksi dan patogen ini telah tersebar dari provinsiNanggroe Aceh Darussalam sampai Papua.

Sampai saat ini telah banyak metode yang dikembangkan dalam mempelajari danmengelompokkan patogen Foc. Diantaranya berdasarkan patogenisitasnya pada jenis/genom pisangyang diserangnya Foc dikelompokkan ke dalam 4 ras fisiologis, Foc ras 1 hanya menyerang pisangGros Michel atau pisang Ambon (genom AAA), Raja (AAB) dan IC2 (AAAA), kemudian ras 2menyerang pisang Bluggoe atau Saba Kuning (ABB) dan beberapa pisang Jamaika tetraploid(AAAA), serta Foc ras 4 yang paling virulen, Foc ini dapat menyerang pisang Cavendish dan semuajenis pisang yang diserang oleh Foc ras 1 dan ras 2 (Buddenhagen 1990; Ploetz 2001; Nasir et al.2003; Ploetz 2006). Ada beberapa kelemahan dalam hal pengelompokan Foc berdasarkan ras, antaralain karena perkembangan penyakit sangat tergantung dari interaksi antara patogen dan genotiptanaman dan serangan patogen Foc juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Moore et al.1993). Sementara pengelompokan berdasarkan vegetative com group saat ini lebih banyak digunakan,karena berdasarkan analisis vegetative compatibility group (VCG) ini isolat patogen Foc yang beradadalam VCG yang sama akan terkelompok dalam klon yang sama, walaupun berasal dari geografisyang berbeda (Leslie 1990). Kemudian karakterisasi dengan metode ini dapat mengklarifikasi strainFoc dengan sangat rinci, sehingga menekan bias pengelompokkan Foc berdasarkan virulensinyaterhadap jenis pisang berbeda (ras) serta uji resistensi pisang (Correll et al. 1987; Leslie 1990). Sampaisaat ini di seluruh dunia telah terdata 21/24 VCG Foc, 15 di antaranya ditemukan di Asia (Ploetz &Correll 1988; Moore et al. 1993; Pegg et al. 1995; Katan 1999) dan menurut Bentley et al. (1998),selain 21 VCG yang sudah ada, ditemukan 14 kelompok VCG Foc baru. Berdasarkan hasil penelitianHermanto et al. (2011) di Indonesia telah teridentifikasi 10 kelompok VCG Foc dan Foc VCG01213/16 yang dikenal sebagai Foc ras 4 tropika (TR4) merupakan kelompok yang ditemukan palingdominan.

Pada awal terjadinya outbreak layu fusarium di Amerika Tropika jenis pisang yang terserangadalah kelompok Gros Michel (Stover 1962), dan untuk mengatasi masalah penyakit ini pisang GrosMichel ini diganti dengan jenis Cavendish, varietas ini diyakini lebih tahan terhadap serangan Foc(Bentley et al. 1998). Selanjutnya beberapa hasil penelitian di beberapa negara melaporkanditemukannya Foc ras 4 yang sangat virulen terhadap pisang jenis Cavendish ini yang lebih dikenaldengan Foc ras 4 tropika (Daly & Walduck 2006) dan beberapa negara yang melaporkan adanyaserangan berat TR4 pada pisang Cavendish seperti Taiwan, Malaysia, Afrika Selatan, pulau Canarydan Australia (Ploetz et al. 1990, Bentley et al. 1998) dan beberapa perkebunan pisang Cavendish diIndonesia seperti di Lampung dan Halmahera juga dilaporkan musnah oleh Foc TR4.

Pisang jenis Cavendish saat ini termasuk jenis yang paling disukai oleh konsumen luar negeri,permintaan pisang dunia terhadap jenis ini sangat besar yang meliputi 80% dari permintaan total dunia(Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura 2005). Di Indonesia sendiri pisangCavendish ini telah tersebar pada beberapa sentra produksi pisang seperti Nanggroe Aceh Darussalam,Sumatera Barat, Lampung, Maluku, Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat(Deptan 2005). Jenis Cavendish di Indonesia antara lain ialah green ripen Cavendish/Ambon hijau(sinonim pisang Ambon Lumut di Jawa Barat) dan Dwarf Cavendish/pisang Randah (sinonim pisangBadak di Jawa Barat). Pada beberapa laporan dan hasil penelitian disebutkan bahwa pisang jenis

Page 233: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa

Riska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│221

Cavendish hanya rentan terhadap Foc ras 4 dan tahan terhadap Foc ras 1, namun terhadap VCG yangmana dari Foc ras 4 atau ras 1 tersebut belum ada laporan yang rinci, padahal menurut (Ploetz 1990;Pegg et al. 1994) Foc ras 4 terdiri atas beberapa VCG diantaranya adalah VCG 01213/16, 0121 dan01219, begitu juga dengan Foc ras 1 dengan VCG yang termasuk dalam ras ini diantaranya ialah VCG0123, 0124/5, 0126 dan VCG 01218. Hasil penelitian terbaru bahkan melaporkan bahwa Foc ras 1VCG 0120/15 ditemukan menyerang Cavendish di Jawa Barat (Hermanto et al. 2011, Jumjunidang etal. 2012b), VCG 0124/5 menyerang sampai 44% pertanaman pisang Cavendish di India (Thangaveluet al. 2011), sebaliknya hasil penelitian Hermanto et al. (2011b) menunjukkan bahwa Foc ras 4 VCG01219 justru virulensinya lebih rendah pada beberapa varietas pisang dibandingkan Foc ras 1 VCG0124/5 pada uji rumah kasa. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dilakukanlah penelitian ini yangbertujuan untuk mengetahui dengan lebih jelas dan rinci mengenai virulensi setiap VCG Foc padamasing-masing ras terhadap pisang jenis Cavendish yang ada di Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium penyakit dan rumah kasa Balai Penelitian TanamanBuah Tropika Solok, dari bulan Januari sampai bulan Oktober 2009. Percobaan disusun dalamRancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan, masing-masing perlakuan terdiri dari 10 tanaman. Sebagai faktor pertama adalah 8 VCG Foc dalam ras 1 danras 4: A1=VCG 0120/15, A2=0123, A3=0124/5, A4=0126, A5=01218, A6=0121, A7=01213/16 danA8=01219. Faktor kedua adalah varietas pisang dalam kelompok Cavendish yaitu V1=Ambon hijaudan V2=Randah.

Isolat Foc yang digunakan adalah isolat koleksi Balitbu Tropika yang telah dikonservasidalam bentuk kertas saring steril. Isolat Foc diisolasi ke media PDA dan diinkubasi selama 7-10 hari.Inokulum yang digunakan berupa suspensi konidia dengan kerapatan 106 konidia/ml. Benih pisangAmbon hijau dan Randah yang digunakan sebagai pisang uji berasal dari perbanyakan kultur jaringandengan tinggi ±15 cm (daun 5 – 6 lembar). Metode inokulasi Foc yang digunakan ialah metodeperendaman akar (root dip- technigue), dimana akar tanaman direndamkan selama 5 menit dalamlarutan inokulum, setelah itu benih pisang ditanam pada pot plastik volume 250 ml dengan teknikdouble cup (Muhammed et al. 1999), dimana pot bagian bawah telah berisi larutan nutrisi (Hyponextm)dan pot atas berisi pasir steril.

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :1. Masa inkubasi, diamati mulai sehari setelah perlakuan sampai dengan munculnya gejala awal

serangan Foc berupa penguningan pada pinggir helaian daun tua yang diikuti oleh daun yanglebih muda.

2. Persentase tanaman terserang, dihitung pada akhir pengamatan (2 bulan setelah perlakuan)dengan menggunakan rumus:

Persentase tanaman terserang = Jumlah tanaman terserang tiap perlakuan x 100%Jumlah tanaman yang diamati

3. Indeks keparahan penyakit pada daun, yaitu dengan menghitung jumlah daun layu pada tanamanperlakuan. Kemudian dilakukan skoring kerusakan berdasarkan skala Mohammed et al. (1999)yaitu: skoring 1=tidak ada gejala pada daun (tanaman sehat), skoring 2=sedikit perubahan warnadan/atau penguningan pada daun bagian bawah, skoring 3=perubahan dan atau penguningan daunpada keseluruhan daun bagian bawah, skoring 4=penguningan pada semua daun, skoring5=tanaman mati. Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 3 bulan setelah perlakuan.

4. Indeks keparahan penyakit pada bonggol, dilakukan pada akhir pengamatan yaitu dua bulansetelah perlakuan. Bonggol dibersihkan dan seluruh akar dibuang, bonggol dipotong secaramelintang pada bagian leher, selanjutnya dilakukan skoring kerusakan bonggol berdasarkan Jones(1994) yaitu : skoring 1=tidak ada bintik hitam pada jaringan bonggol, skoring 2=ada bintik hitam

Page 234: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah KasaRiska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

222│

222│

yang menutupi < 1/3 dari jaringan bonggol, skoring 3=ada bintik hitam yang menutupi 1/3 darijaringan bonggol, skoring 4=ada bintik hitam yang menutupi 1/3-2/3 dari jaringan bonggol,skoring 5=ada bintik hitam yang menutupi > 2/3 dari jaringan bonggol sampai seluruh jaringanbonggol dan skoring 6=terdapat bintik hitam pada seluruh jaringan bonggol sampai bonggolbusuk dan mati. Indeks keparahan penyakit pada daun dan bonggol dihitung dengan rumus:

I = ∑ nilai skoring x jumlah tanaman dari setiap nilai skoringjumlah tanaman

Tabel 1. Kriteria Penilaian virulensi isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense berdasarkan persentaseserangan, indeks keparahan penyakit pada daun dan bonggol (category of Virulence of Focisolates based on percentage of wilted plant, leaf and corm disease severity index).

Penilaian virulensi patogen(Category of virulence)

Kriteria (Criteria)

Persentase serangan(Percentage of wiltedplants) (%)

Indeks keparahanpenyakit pada daun(Leaf disease severityindex)

Indeks keparahanpenyakit pada bonggol(Leaf disease severityindex)

Tidak ada serangan (nosymptom)

0 1 1

Ringan (Slightly) ≤ 40 >1-2 >1-2Parah (Severe) >40 – 80 >2-3 >2-4Sangat parah(highly severe) > 80 >3 >4

Data dianalisis secara sidik ragam, apabila hasil yang didapatkan berbeda nyata, dilakukan ujilanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa delapan VCG isolat Foc dalam ras 1 dan ras 4memperlihatkan virulensi yang beragam terhadap pisang Ambon hijau dan Randah, perbedaanvirulensi Foc tersebut dapat dilihat diantaranya ialah berdasarkan persentase serangan penyakit olehpatogen. Dari tabel 2 terlihat bahwa terdapat interaksi antara delapan isolat Foc VCG ras 1 dan ras 4dengan pisang Ambon hijau dan Randah, delapan VCG isolat Foc tersebut mampu menyebabkantanaman pisang Ambon hijau dan Randah terserang penyakit dengan nilai 16.67-100 %. Persentaseserangan isolat-isolat Foc VCG ras 1 dan ras 4 tidak berbeda nyata antara pisang Ambon hijau danRandah, namun berbeda nyata antara VCG isolat Foc yang diuji. Pada pisang Ambon hijau, isolat Focras 1 VCG 0124/5 dapat menyebabkan persentase tanaman terserang paling tinggi (96.67%) dan tidakberbeda nyata dengan isolat Foc ras 4 VCG 01213/16 (TR4) dan VCG 0121 dengan nilai berturut-turut 95.83 dan 85%, sedangkan isolat Foc ras 1 VCG 01218 menyebabkan persentase tanamanterserang paling rendah yaitu 33.33% dan tidak berbeda nyata dengan yang diakibatkan isolat Foc ras1 VCG 0120/15, 0123, 0126 dan Foc ras 4 VCG 01219 dengan nilai berkisar antara 34.73-47.5%.Pada pisang Randah, isolat Foc ras 4 VCG 0121 menyebabkan persentase tanaman terserang palingtinggi (100%) dan tidak berbeda nyata dengan isolat Foc ras 4 VCG 01213/16 dan ras 1 VCG 0124/5,0126 dan VCG 0120/15 dengan nilai 66.67-96.67%, sedangkan isolat Foc ras 1 VCG 01218menyebabkan persentase tanaman terserang paling rendah yaitu 16.67%, dan tidak berbeda nyatadengan yang diakibatkan isolat Foc ras 4 VCG 01219 dan ras 1 VCG 0123 dengan nilai seranganberturut-turut 23.33 dan 37.78% (Tabel 2). Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yangmenyakini bahwa Foc ras 1 tidak menyerang pisang Cavendish di daerah tropik dan jenis pisang inihanya diserang oleh Foc ras 4 (Moore et al. 1993, Bentley et al. 1998), kenyataannya dalam penelitianskala rumah kasa ini selain Foc ras 4, Foc ras 1 juga mampu menyerang pisang Cavendish denganpersentase serangan yang beragam, bahkan Foc ras 1 VCG 0124/5 persentase serangannya terhadappisang Ambon hijau dan Randah sangat tinggi dengan nilai yang tidak berbeda dengan Foc VCG01213/16 dari kelompok ras 4 tropika.

Page 235: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa

Riska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│223

Tabel 2. Masa inkubasi dan persentase serangan penyakit pada tanaman pisang Ambon hijau danRandah (Subgrup Cavendish) oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG ras 1 dan ras 4,3 bulan setelah inokulasi (Incubation period and percentage of wilted plant on bananaAmbon Hijau and Randah (cav.subgroup) by Foc VCGs race 1 and race 4, 3 months afterinoculation).

Varietas

(Variety)

VCG Foc Ras 1 VCG Foc Ras 4

0120/15 0123 0124/5 0126 01218 0121 01213/16 01219

Masa Inkubasi Penyakit (Hari) (Incubation period) (Days)

Ambon hijau 14.8 a

A

34.42 a

A

13.37a

A

22.32 a

A

29.07a

A

12.37 a

A

12.57 a

A

16.48 a

A

Randah 56.5 b

B

47.78 ab

A

21.6 a

A

25.16a

A

80.25b

B

22.17 a

A

23.13 a

A

46.92ab

A

KK/CV =51.62%

Persentase Serangan (%) (Percentage of wilted plants)

Ambon hijau 38.33 a

A

40.27 a

A

96.67c

A

47.5 ab

A

33.33a

A

85 bc

A

95.83 c

A

34.73 a

A

Randah 66.67bc

A

37.78ab

A

96.67c

A

83.33 c

A

16.67a

A

100 c

A

96.67 c

A

23.33 a

A

Kk/ CV 30.66%Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka pada lajur yang samayang diikuti oleh huruf besar berbeda tidak nyata menurut BNT pada taraf nyata 5 %.*) Rata-rata masa inkubasi ddidapatkan dari jumlah tanaman yang terserang**)Sebelum dianalisis data ditransformasi dengan arcsin √x

Adanya variasi virulensi isolat Foc terhadap tanaman dapat juga dinilai dari masa inkubasipenyakit. Dari tabel 2 terlihat bahwa delapan VCG isolat Foc ras 1 dan ras 4 yang diinokulasikan padapisang Ambon hijau tidak berbeda nyata dengan nilai 12.37-34.42 hari. Sedangkan pada pisangRandah masa inkubasi penyakit tercepat ditemukan pada tanaman yang diinokulasi dengan isolat Focras 1 VCG 0124/5, 0126, 0123 dan Foc ras 4 VCG 0121, 01213/16 dan 01219 dengan nilai 21.6-47.78hari, dan berbeda nyata dengan perlakuan isolat Foc ras 1 VCG 01218, 0120/15 dan ras 4 VCG 01219dengan nilai 56.5-80.25 hari. Dari tabel 2 juga terlihat bahwa masa inkubasi oleh isolat VCG 01218dan 0120/15 relatif sama pada pisang Ambon hijau, namun berbeda terhadap pisang Randah denganmasa inkubasi penyakit yang lebih panjang. Walaupun Foc ras 4 merupakan strain yang mampumenyerang semua varietas pisang (Su et al. 1986; Stover & Buddenhagen 1986; Ploetz & Pegg 1997),bahkan dinyatakan bahwa ras 4 tropika adalah strain yang paling ganas yang menyerang pisang didaerah tropik (Daly & Walduck 2006), pada penelitian ini masa inkubasi oleh Foc ras 4 VCG 01219pada Ambon hijau tidak berbeda nyata dengan VCG Foc lain yang diuji , namun pada pisang Randahjustru masa inkubasinya lebih panjang dan tidak berbeda nyata dengan VCG isolat Foc ras 1. Kondisiini menunjukkan bahwa interaksi antara masing-masing VCG Foc tersebut dengan tanaman inangsangat spesifik, seperti yang dikemukakan oleh Su et al. (1986) dan Ploetz (1990) bahwa hubunganvirulensi suatu strain/VCG Foc dengan inang (varietas pisang) sangat spesifik, bahkan dalampenelitian ini masih terdapat variasi virulensi masing-masing VCG isolat Foc dalam satu kelompokpisang.

Page 236: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah KasaRiska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

224│

224│

Tabel 3. Indeks keparahan penyakit pada daun, dasar bonggol dan leher bonggol tanaman pisangAmbon hijau dan Randah yang terserang oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG ras 1dan ras 4, 3 bulan setelah inokulasi (Disease severities index on leaf and corm of bananaAmbon Hijau and Randah (cav. Subgroup) inoculated artificially with several VCGsFusarium oxysporum f.sp. cubense race 1 and race 4 at screen house stage after 3 month).

Varietas

(variety)

VCG Foc Ras 1 VCG Foc Ras 4

0120/15 0123 0124/5 0126 01218 0121 01213/16 01219

Indeks keparahan penyakit pada daun (Leaf disease severity index)

Ambon hijau 1.47 1.60 2.92 1.51 1.33 3.73 4.4 1.39

Randah 1.93 1.84 4.17 2.46 1.17 3.83 3.77 1.37

Indeks keparahan penyakit pada dasar bonggol (Corm base disease severity index)

Ambon hijau 4.33 5.51 5.58 3.12 2.96 6 6 4.02

Randah 2.10 2.17 3.07 2.37 1.5 5.63 4.93 1.4

Indeks keparahan penyakit pada leher bonggol (Corm neck disease severity index)

Ambon hijau 1.57 1.29 4.09 1.27 1.11 5.38 5.9 1.48

Randah 1.47 1.41 3.73 1.8 1 4.93 4.63 1.2

Selain dari persentase serangan dan masa inkubasi penyakit, variasi virulensi patogen Focjuga dapat dilihat dari tingkat keparahan penyakit pada tanaman, pengukuran keparahan penyakittersebut dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah/proporsi tanaman yang sakit atau bagiantanaman yang sakit dengan jumlah seluruh tanaman yang sakit. Pada Tabel 3 terlihat keparahanpenyakit yang disebabkan oleh Foc Ras 4 kecuali VCG 01219 pada daun (LDSI) dan pada bonggol(CDSI) baik leher maupun dasar bonggol lebih tinggi dibandingkan dengan serangan Foc ras 1 kecualidengan VCG 0124/5, baik pada Ambon hijau maupun pada Randah. Berdasarkan parameter persentasetanaman terserang serta indek keparahan penyakit pada daun dan bonggol maka diperoleh penilaiankategori virulensi dari masing-masing isolat terhadap varietas pisang yang diuji seperti ditampilkanpada Tabel 4. Pisang Ambon hijau dan Randah terserang ringan oleh isolat Foc VCG ras 1 0120/15,0123, 0126, 01218 dan Foc ras 4 VCG 01219, dan selanjutnya terserang parah sampai sangat paraholeh Foc ras 4 VCG 01213/16, 0121 dan Foc ras 1 VCG 0124/5.

Page 237: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa

Riska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│225

Tabel 4. Penilaian serangan beberapa VCG isolat Foc dalam ras 1 dan ras 4 terhadap pisang AmbonHijau dan Randah (Attack assessment of several VCGs Foc isolates VCGs ras 1 and race 4on banana ambon Hijau and Randah) .

Varietas(variety) VCG Foc

Persentaseserangan(Percentageof wiltedplant)

Indek keparahanpenyakit pada …(Disease severity indexof..)

Penilaian serangan(Assesment of)

Daun(Leaf)

Bonggol(Corm)

Ambon

hijau

Ras 1

0120/5 38.33 1.47 1.57 Ringan (slightly infection)

0123 40.27 1.60 1.29 Ringan (slightly infection)

0124/5 96.67 2.92 4.09 Parah (severe)

0126 47.5 1.51 1.27 Ringan? (slightly infection)

01218 33.33 1.33 1.11 Ringan (slightly infection)

Ras 4

0121 85 3.73 5.38 Sangat parah (highly severe)

01213/16 95.83 4.4 5.9 Sangat parah (highly severe)

01219 34.73 1.39 1.48 Ringan (slightly infection)

Randah

Ras 1

0120/5 66.67 1.93 1.47 Ringan? (slightly infection)

0123 37.78 1.84 1.41 Ringan (slightly infection)

0124/5 96.67 4.17 3.73 Sangat parah (highly severe)

0126 83.33 2.46 1.8 Ringan? (slightly infection)

01218 16.67 1.17 1 Ringan (slightly infection)

Ras 4

0121 100 3.83 4.93 Sangat parah (highly severe)

01213/16 96.67 3.77 4.63 Sangat parah (highly severe)

01219 23.33 1.37 1.2 Ringan (slightly infection)

Serangan isolat Foc VCG ras 1 terhadap varietas Ambon hijau dan Randah (Cav.subgroup)pada penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain akibat kondisi tanaman yang stresdan pengujian dilakukan di tingkat rumah kasa. Su et al. (1986) juga menegaskan bahwa pada kondisilingkungan yang buruk, Foc ras 1 dapat menyerang pisang Cavendish. Selain itu Correll (1991)menyatakan bahwa pengujian patogenesitas yang dilakukan di rumah kasa sangat dipengaruhi olehtemperatur udara, metode inokulasi dan juga umur tanaman, sehingga respon tanaman terhadappatogen seringkali tidak konsisten. Namun hal lain dilaporkan oleh Nasir & Jumjunidang (2003) danJumjunidang et al. (2012) bahwa di Indonesia Foc ras 1 VCG 01218 dan ras subtropika 4 (VCG0120/15) ditemukan menyerang Cavendish di lapang dan Fourie et al. (2009) juga menemukan bahwaisolat Foc VCG 01220 yang termasuk dalam kelompok Foc ras 1 dapat menyerang Cavendish. DiAustralia, O neil menemukan isolat Foc VCG 0124 pada pertanaman pisang Cavendish yang

Page 238: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah KasaRiska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

226│

226│

dinyatakan hanya terserang oleh Foc ras 4, bahkan di India Thangavelu et al. (2010) melaporkanbahwa terjadi serangan berat oleh Foc VCG 0124/5 pada pertanaman pisang Cavendish yangdibudidayakan dengan baik. Sehingga kemungkinan lain penyebab terjadinya keragaman danperubahan virulensi isolat Foc adalah akibat adanya co-evolusi antara patogen Foc dan inang/pisang(Bentley et al. 1995) mengingat Indonesia merupakan salah satu negara center of origin pisang.Fourie et al. (2009) juga memperkuat teori co-evolusi ini berdasarkan hasil analisis DNA beberapaisolat Foc yang dilakukannya, terdapat beberapa isolat Foc ditemukan lebih dekat keeratannya denganFusarium dari forma spesialis lain dibandingkan dengan isolat Foc sendiri dan selanjutnya darianalisis tersebut dinyatakan bahwa patogen Foc baru bisa muncul berasal dari Fo patogen dan nonpatogenik.

KESIMPULAN1. Tidak terdapat perbedaan virulensi antara Foc kelompok ras 1 dengan Foc kelompok ras 4 pada

kedua varietas pisang kelompok Cavendish, virulensi patogen terhadap pisang Cavendishberhubungan dengan VCG isolat Foc

2. Isolat Foc VCG 0120/5, 0123, 0126 dan 01218 menyebabkan serangan ringan pada pisang Ambonhijau dan Randah. Isolat Foc VCG 0124/5 menyebabkan serangan parah dan sangat parah berturut-turut pada Ambon hijau dan Randah. Isolat Foc VCG 0121, 01213/16 menyebabkan serangansangat parah pada Ambon hijau dan Randah, dan sebaliknya isolat Foc VCG 01219 menyebabkanserangan ringan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepadaACIAR CP/2005/136 yang telah mendanai penelitian ini.

PUSTAKA

1. Bentley, S, Pegg, KG, & Dale, JL 1995, ‘Genetic variation among a world-wide collection ofisolates of Fusarium oxysporum f. sp. cubense analysed by RAPD-PCR fingerprinting’, Mycol.Res. vol. 99, pp. 1378-1385.

2. Bentley, S, Pegg, KG, Moore, NY, Davis, RD & Buddenhagen, IW 1998, ‘Genetic variationamong vegetative compatibility groups of Fusarium oxysporum f. sp.cubense analyze by DNAfingerprinting’ J. Phytopath. vol. 88, pp. 1283-1293.

3. Buddenhagen, IW 1990, ‘Banana breeding and Fusarium wilt. In: Fusarium Wilt of Banana’, R.C. Ploetz, (Ed), The American Phytopathological Society, St. Paul, MN, pp. 107-113.

4. Correll, JC, Klittich, CJR, & Leslie, JF 1987, ‘Nitrate non utilising mutants of Fusariumoxysporum and their use in vegetative compatibility tests’, Phytopathol., vol. 77, pp. 1640-1646.

5. Correll, JC 1991, ’The relationship between formae specialis, races and vegetative compatibilitygroup in Fusarium oxysporum, Phytopathology, vol. 81. pp. 1061-1064.

6. Daly, A & Walduck G 2006,’Fusarium Wilt of Bananas (Panama disease) (Fusarium oxysporumf. sp. cubense)’. Agnote. vol. I51, 5 p.

7. Departemen Pertanian 2005, ‘Prospek dan arah pengembangan agribisnis pisang’, Badan LitbangPertanian, Jakarta, 30 hlm.

8. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura 2005, ‘Roadmap Pisang Pasca Panen,Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pisang’, Jakarta, 14 hlm

Page 239: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah Kasa

Riska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│227

9. Fourie, G, Steenkamp, ET, Gordon, TR & Viljoen, A 2009, ‘Evolutionary relationship among theFusarium oxysporum f. sp. cubense vegetative compatibility group’, Applied and environmentalof microbiology, vol. 75, no. 4, pp. 470-4781.

10. Hwang, SC, & Ko WH 2004, ‘Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wilt acquiredthrough somaclonal variation in Taiwan’, Plant Disease, vol. 88, pp. 580-588.

11. Hermanto, C, Sutanto, A, Jumjunidang, Edison, HS, Danniels, JW, O’Neil, W, Sinohin, VG,Molina, AB, & Taylor, P 2011, ‘Incidence and Distribution of Fusarium Wilt Disease inIndonesia’, In Van den Bergh, I, Smith, M, Swennen, R, Hermanto, C. (Eds), Proc. InternationalISHS-Promusa Symposium on Global Perspective on Asian Challenges. ISHS Acta Horticulture,828 p.

12. Jones, DR 1994, ‘Technical Guidelines for IMTP Phase II: Fusarium Wilt Sites’, In: TheImprovement and Testing of Musa: a Global Partnership, Proceedings of the first conference ofthe international Musa Testing Program, helt at FHIA, Honduras. INIBAP, pp. 279-286.

13. Jumjunidang, Riska & Soemargono, A 2012, ‘Identification and distribution of fusariumoxysporum f. sp. cubense isolates through analysis of vegetative compatibility group in LampungProvince, Indonesia’, ARPN Journal of Agricultural and Biological Science, vol. 7, no. 4, pp.279-284.

14. Jumjunidang, Hermanto, C, Edison HS, Sinohin, VG, & Molina, AB 2012b, ‘Variability of VCGsFoc and banana variety affected in West Java Indonesia’ (inpress)

15. Katan, T 1999, ‘Current status of vegetative compatibility groups in Fusarium oxysporum’.Phytoparasitica, vol. 27, pp. 51-64.

16. Leslie, JF 1990, ‘Genetic exchange within sexual and asexual population of genus Fusarium’, InFusarium wilt of Banana (Ploetz, RC, Eds.) APS Press St. Paul, MN, USA, pp. 37-48.

17. Leslie, JF 1990. ‘Genetic exchange within sexual and asexual populations of the genusFusarium’, In Fusarium wilt of banana, APS Press. St. Paul, MN, pp. 55-62.

18. Mohamed, AA, Mak, C, Liew, KW, & Ho, YW 1999, ‘Early Evaluation of Banana Plants atNursery Stage of Fusarium Wilt Tolerance’. In: Molina, AB, Nik Masdek, NH & Liew KW(Eds.) Banana Fusarium Wilt Management: Towards Sustainable Cultivation, Proceedings of TheInternational Workshop on Banana Fusarium Wilt Diseases. Malaysia. INIBAP, pp. 174-185.

19. Moore, NY, Pegg, KG, Allen, RN & Irwin, JAG 1993, ‘Vegetative compatibility and distributionof Fusarium oxysporum f. sp. Cubense in Australia’, Austr. J. Expt. Agric., vol. 33, pp. 792-802.

20. Nasir, N, & Jumjunidang 2002, ‘Strategi jangka pendek menahan laju perluasan seranganpenyakit layu pisang’, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengendalian PenyakitLayu Pisang: Mencegah kepunahan, mendukung ketahanan pangan dan agribisnis. Padang 22-23Oktober 2002.

21. Nasir, N, & Jumjunidang 2003, ‘Karakterisasi ras Fusarium oxysporum f. sp. cubense denganmetode Vegetative Compability Group test dan identifikasi kultivar pisang yang terserang’, J.Hort., vol. 13. no. 4, hlm. 276-284.

22. Nasir, N, Jumjunidang & Riska 2005, ‘Deteksi dan pemetaan distribusi F. oxysporum f.sp.cubense pada daerah potensial pengembangan agribisnis pisang di Indonesia’, J. Hort., vol. 5, no.1, hlm. 50-57.

23. Pegg, KG, Moore, NY & Sorensen, S 1994, ‘Variability in population of Fusarium oxysporum f.sp. cubense from Asia/Pasific Region’: Jones DR (Ed), The improvement and Testing of Musa: aGlobal Parthership, Proceeding of 1st global conference of the International Musa testingprogram, held at FHIA, Honduras, INIBAP, April 27th -30th, pp. 70-84.

Page 240: Prosiding BUKU 1

Virulensi beberapa Vegetative Compatibility Groups Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Ras 1 dan Ras 4 terhadapPisang Kelompok Cavendish di Rumah KasaRiska, Jumjunidang, Hermanto, C dan Molina, AB

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

228│

228│

24. Pegg, KG, Shivas, RG, Moore, NY & Bentley, S 1995, ‘Characterization of a unique populationof Fusarium oxysporum f. sp. cubense causing Fusarium wilt in Cavendish bananas at Carnavorn,Western Australia’, Austr. J. Agric. Res., vol. 46, pp. 167-178.

25. Ploetz, RC & Buddenhagen, IW 1986, ‘Banana breeding: Polyploidy, disease resistance andproductivity’, Fruits, vol. 41, pp. 175-191.

26. Ploetz, RC 2006, ‘Fusarium wilt of banana is caused by several pathogens referred to asFusarium oxysporum f. sp. cubense’, Phytopathology, vol. 96, pp. 653-656.

27. Ploetz, RC, & Correll, JC 1988, ‘Vegetative compatibility among races of Fusarium oxysporumf. sp. cubense’, Plant Dis., vol. 72, pp. 325-328.

28. Ploetz, RC & Pegg, KG 2000, ‘Fungal diseases of the root, corm and pseudostem’, In: Jones DR(Ed.) Diseases of banana, abaca, and enset, CABI Publishing, pp. 143-172.

29. Ploetz, RC & Pegg, KG 1997, ‘Fusarium wilt of banana and Wallace’s line: Was the diseaseoriginally restricted to his Indo-Malayan region?’, Austr. Plant Pathol., vol. 24, pp. 38-43.

30. Ploetz, RC 1990, ‘Variability in Fusarium oxysporum f. sp. cubense’,. Can. J. Bot., vol. 68, pp.1357-1363.

31. Stover, RH 1962, ‘Studies on Fusarium wilt of banana. VIII. Differentiation of clones by culturalinteractions and volatile substances’, Can. J. Bot., vol. 40, pp. 1467-1471.

32. Su, HJ, Hwang, SC & Ko, WH 1986, ‘Fusarial wilt of Cavendish bananas in Taiwan’, Plant Dis.,vol. 70, pp. 814-818.

33. Thangavelu, R, & Mustafa, MM 2010, ‘First report on the occurrence of a virulent strain offusarium wilt pathogen (Race 1) infecting Cavendish (AAA) group on bananas in India’, PlantDisease, vol. 94, no 11, pp. 1379.

34. Thangavelu, R, Kumar, KM, Devi, PG & Mustaffa, MM 2011, ‘Genetic diversity of Fusariumoxysporum f. sp. cubense isolates of India by Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) analysis’.Mol. Biotechnol., vol. 51, pp. 203-211.

35. Viljoen, A 2002, ‘The status of Fusarium wilt (Panama disease) of banana in South Africa’, SouthAfrica J. Sci., vol. 98. pp. 341-344.

Page 241: Prosiding BUKU 1

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan Akibat Serangan AntraknosaKrestini, E H dan Kusandriani, Y

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│229

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan AkibatSerangan Antraknosa

Krestini, E H dan Kusandriani, YBalai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung 40391

ABSTRAK. Colletotrichum sp. merupakan salah satu penyebab penyakit penting pada cabai dengan bentukkerusakan timbulnya pembusukan pada buah (antraknosa) dan bisa menyerang pada waktu prapanen atau pascapanen. Penelitian ini bertujuan mengetahui besarnya luas serangan antraknosa pada buah cabai hijau (belummasak penuh) dan merah matang (cabai tua) yang pada akhirnya diharapkan menjadi salah satu informasialternatif teknik pemanenan buah cabai agar dapat meminimalkan kerusakan akibat serangan antraknosa.Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang pada bulanJanuari 2012. Rancangan yang dipakai adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) denganmenggunakan empat varietas cabai terdiri dari delapan perlakuan dan diulang sepuluh kali. Hasil dari penelitianini menunjukkan bahwa luas serangan antraknosa pada keempat varietas buah cabai hijau lebih kecildibandingkan dengan luas serangan pada keempat varietas cabai merah walaupun secara statistik tidak semuaperlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata.

Katakunci: Antaraknosa, cabai, varietas

Abstract. Krestini, E.H and Kusandriani, Y. 2013. Early Harvesting Of Green Chili as Alternative ToMinimizing Damage ff Anthracnose Attacks. Anthracnose (Colletotrichum sp) is one of the important disease inthe form of chili with the onset of decay in fruit damage and can strike at pre-harvest or post-harvest. This studyaims to determine the amount stricken broad area of anthracnose attacks on green chilies (not yet fully ripe) andred ripe (old chili), which in turn is expected to become one of the alternative information for chilies harvestingtechniques to minimize damage from anthracnose attack. The research was conducted at the PhytophatologyLaboratory of Indonesia Vegetables Research Institute in Lembang at January 2012. The design used wasRandomized Completely Block Design (RCBD) using four varieties of chili consisted of eight treatments andrepeated ten times. The results of this study indicate that the area of anthracnose attacks on the four varieties ofgreen chilies are samller than an attack on the four varieties of red peppers although all treatments showed nostatistically significant differences.

Key words: anthracnose, chili, variety___________________________________________________________________________

Cabai merupakan salah satu produk holtikultura penting, konsumsi cabai rata-rata pendudukIndonesia adalah 5,21 Kg/kapita/tahun. Luas panen cabai pada Tahun 2010 sebesar 233.904 ha denganproduksi rata-rata sebesar 5,89 ton/ha (BPS, 2011). Salah satu kendala utama dalam budidaya tanamancabai adalah penyakit antraknosa. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. inisering menimbulkan kerugian besar bahkan gagal panen. Penyakit ini tidak hanya menyerangpertanaman cabai dilapangan tetapi dapat juga menimbulkan kerugian pada saat pasca panen. Penyakitini bisa menyerang semua bagian tanaman termasuk pada bagian batang dan daun walaupun seranganpada bagian tanaman tersebut tidak menimbulkan masalah yang berarti bagi tanaman tetapi daribagian batang dan daun inilah penyakit antraknosa menginfeksi buah. Buah yang terserang antraknosaakan memperlihatkan gejala awal adanya bercak yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair.Lama-kelamaan seiring dengan kematangan buah, bercak ini akan berubah menjadi coklat kehitam-hitaman dan membusuk. Kerusakan pada buah berupa busuk buah yang dapat mengakibatkanrendahnya mutu dan penurunan hasil panen (Rusli dkk., 2000).

Serangan antraknosa pada bagian buah adalah hal yang paling penting diperhatikan karena bisamenurunkan nilai secara ekonomis. Penggunaan bahan kimiawi dan menanam varietas tahanmerupakan salah satu upaya untuk mengurangi kerugian akibat serangan penyakit ini, penggunaanbahan kimia yang terus menerus dan berlebihan mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan dandampak negatif terhadap kesehatan lingkungan. Penggunaan varietas tahan suatu saat bisa patahketahanannya oleh karena itu perlu dicari alternatif lainnya. Penelitian ini tujuannya mengetahuibesarnya luas serangan antraknosa pada buah cabai hijau (belum masak penuh) dan merah matang

Page 242: Prosiding BUKU 1

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan Akibat Serangan AntraknosaKrestini, E H dan Kusandriani, Y

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

230│

230│

(cabai tua) sehingga pada akhirnya diharapkan menjadi salah satu informasi alternatif teknikpemanenan buah cabai agar dapat meminimalkan kerusakan akibat serangan antraknosa.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman SayuranLembang pada bulan Januari 2012, dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak(RKLT) dengan delapan perlakuan yaitu empat perlakuan terdiri dari empat varietas cabai dimanabuahnya diambil yang masih hijau dan empat perlakuan lagi terdiri dari empat varietas cabai yangsama dengan buah yang sudah matang (merah), setiap perlakuan diulang sepuluh kali. Perlakuandilakukan dengan cara inokulasi suspensi spora dengan konsentrasi spora sama (5x10-5 sel spora/ml)yang diinokulasikan kepada setiap buah cabai pada empat titik masing-masing sebanyak 1 mµ. Cabaiyang telah diinokulasi, ditempatkan di atas penyangga pada wadah tertutup yang dibawahnya telahdiberi sedikit air kemudian disimpan di suhu ruang. Setelah perlakuan, dilakukan pengamatan dari satuhari setelah inokulasi (HSI) sampai lima HSI. Pengamatan Luas serangan penyakit antraknosadihitung berdasarkan serangan pada masing masing perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengansidik ragam, bila berbeda nyata diuji lanjut BNJ pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbedaan luas serangan antara buah cabai hijau dan cabai merah pada empat varietas cabai bisadilihat pada grafik dibawah ini.

Grafik 1. Luas Serangan C. acutatum Pada Cabai Hijau dan Cabai Merah

Pada grafik 1 terlihat keempat varietas yang diuji luas serangan antraknosa pada jenis cabaihijau lebih kecil dibandingkan luas serangan pada cabai merah. Tingkat serangan antraknosa padavarietas empat paling tinggi baik untuk cabai hijau maupun pada cabai merah yaitu 2,61 mm2 dan 5,86 mm2 sedangkan luas serangan paling kecil terlihat pada varietas dua dengan nilai 0,292 untuk cabaihijau dan 1,322 untuk cabai merah.

Luas serangan antraknosa pada keempat varietas cabai yang diuji menunjukkan nilai yangberbeda antar varietas, karena ketahanan terhadap penyakit pada suatu tanaman dikendalikan oleh genyang terbawa oleh masing – masing varietas. Ketahanan masing-masing varietas tanaman terhadapsuatu penyakit tanaman berbeda-beda dan biasanya terekspresikan ke dalam morfologi tanaman yangakan mendukung terjadinya mekanisme ketahanan terhadap penyakit tersebut. Sesuai dengan Yunasfi(2002) yang menyatakan bahwa ketahanan dapat terjadi karena kemampuan tanaman untukmembentuk struktur-struktur tertentu yang tidak menguntungkan, seperti pembentukan lapisankutikula yang tebal, pembentukan jaringan dengan sel-sel yang berdinding gabus tebal segera setelah

0

1

2

3

4

5

6

1 2 3 4

Cabai Hijau

Cabai Merah

Page 243: Prosiding BUKU 1

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan Akibat Serangan AntraknosaKrestini, E H dan Kusandriani, Y

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│231

patogen memasuki jaringan tanaman atau adanya produksi bahan-bahan toksik didalam jaringan yangcukup banyak sebelum atau sesudah patogen memasuki jaringan tanaman, sehingga patogen matisebelum dapat berkembang lebih lanjut dan gagal menyebabkan penyakit.

Pada keempat varietas cabai yang diinfeksi antraknosa menunjukkan perbedaan ketahanan, halini diduga ada kaitannya dengan kandungan bio kmia pada buah cabai. Mekanisme ketahananbiokimia terhadap antraknosa diduga berkaitan dengan kandungan fenol, enzim aktif (ortho dihydroxyphenol, peroxidase, poliphenol oxidase, dan phenylalanine ammonia-lyase) (Prasath, 2008)kandungan kapsaisin dan fruktosa (Tenaya, 2001).

Tabel 1. Interaksi Antara Cabai Hijau dan MerahPerlakuan 4 HSA 5 HSA

Cabai Hijau 1.29b 3.94b

Cabai Merah 2.89a 7.51a

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 1 tampak bahwa luas serangan pada cabai merah lebih tinggi bila dibandingkandengan luas serangan antraknosa pada cabai hijau dan secara hasil uji statistik berbeda nyata. Hal inididukung oleh pendapat ((Kim et al, 1989;. Sangchote et al, 1998) dalam Oanh., et al, 2003) yangmenyatakan antraknosa pada umumnya menyerang buah merah atau matang meskipun penyakit inibisa juga menyerang pada semua fase buah (Pae, 2005). Semangun (2004) juga mengemukakan bahwaperkembangan bercak karena antraknosa lebih cepat terjadi pada buah yang lebih tua. Suryaningsih etal., 1996 juga mengemukakan bahwa antraknosa cenderung pertamakali menyerang pada buah yangtelah matang.

Hasil uji statistik pada Tabel 2 terlihat pada empat HSA cabai merah empat, luas seranganantraknosanya berbeda nyata dengan ketiga varietas cabai merah dan semua cabai hijau dengan nilailuas serangan 5,86 mm2. Pada lima HSA juga terlihat cabai merah empat, luas serangannya berbedanyata dengan semua perlakuan dengan nilai luas serangan paling tinggi yaitu 13,46 mm2 sedangkancabe merah satu, dua dan tiga tidak berbeda nyata dengan cabai hijau, tiga dan empat. Cabai hijausatu dan dua berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan mempunyai nilai luas serangan lebih rendahdibanding dengan perlakuan lain yaitu 2.12 mm2 pada cabai hijau satu dan 1.76 mm2 untuk cabaihijau dua.

Tabel 2. Luas Serangan Antraknosa Pada Masing-Masing Perlakuan

PerlakuanPengamatan pada

4 HSA 5 HSACabai Hijau 1 0.59c 2.12cd

Cabai Hijau 2 0.29c 1.76d

Cabai Hijau 3 1.67bc 5.12bc

Cabai Hijau 4 2.61b 6.78b

Cabai Merah 1 1.72bc 6.33b

Cabai Merah 2 1.32bc 5.70b

Cabai Merah 3 2.66b 5.57b

Cabai Merah 4 5.86a 13.46a

Perbedaan luas serangan pada buah cabai merah (matang) dan cabai hijau dipengaruhi olehperubahan kandungan kimia, diduga terdapat hubungan antara kandungan rasa pedas dan rasa manisyang mempengaruhi berbedanya luas serangan pada cabai hijau dan cabai merah, dimana cabai merahpada umumnya mempunyai rasa lebih pedas dibandingkan dengan cabai hijau. Hal ini didukung olehpendapat Tenaya, (2001) yang mengemukakan bahwa serangan antraknosa pada buah cabai merahlebih parah dibandingkan dengan buah yang belum masak (masih hijau), karena buah cabai merah atau

Page 244: Prosiding BUKU 1

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan Akibat Serangan AntraknosaKrestini, E H dan Kusandriani, Y

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

232│

232│

masak selain mengandung glukosa dan sukrosa, juga mengandung fruktosa yang diduga mempunyaiperan sebagai pemicu perkembangan antraknosa dibandingkan dengan cabai hijau yang hanyamengandung sukrosa dan glukosa. Rubatzky dan Yamaguchi, 1997 juga mengemukakan bahwaterdapat kandungan karbohidrat yang berbeda antara buah cabai hijau dan merah, hal inimempengaruhi perkembangan cendawan karena karbohidrat sangat diperlukan untuk perkembangancendawan (Agrios, 1997)

Buah yang matang mengandung karbohidrat lebih tinggi dibanding dengan buah yang masihhijau (muda) (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Menurut Agrios, 1997 karbohidrat sangat diperlukanuntuk perkembangan cendawan.

Luas serangan antraknosa yang lebih kecil pada cabai hijau bisa dijadikan sebagai salah satualternatif waktu panen cabai yang tepat untuk menghindari dan meminimalkan kerugian yang lebihbesar akibat serangan antraknosa, hal ini bisa dilakukan terutama kalau terjadi serangan antraknosa.Menurut Nurhartuti, 1994 buah cabai yang masih muda dan berwarna hijau banyak digunakan sebagaisayuran.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa panen pada saat cabai masih hijau dapatdijadikan alternatif untuk menghindari dan meminimalisir kehilangan hasil yang lebih besar akibatserangan antraknosa.

PUSTAKA

1. Agrios G.N. 1997. Plant Pathology. 4th Ed. Academic Press. Inc. New York USA. 502p.

2. Badan Pusat Statitik. 2011. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai, 2009. www.bps.go.id.Diakses Tanggal 09 Maret 2011.

3. Nurhartuti dan Asgar, Ali. 1994. Kualitas Bahan Baku Dan Hasil Olahan Cabai Di TingkatIndustri Komersial Dan Rumah Tangga Di Bandung. Bul.Penel. Hort. Vol.XXVI No.2 .Hal 142-149

4. Oanh, LTK., Vichai Korpraditskul1 and Chainarong Rattanakreetakul. 2003. A Pathogenicity ofAnthracnose Fungus, Colletotrichum capsici on Various Thai Chilli Varieties. Department ofPlant Pathology, Kasetsart University, Kamphaeng Saen Campus, Nakhon Pathom 73140,Thailand. Page 1-6.

5. Pae, Do-Ham, Young Chae, Tien-Chen Wang, Liwayway M. Engle, and S. Shanmugasundaram.2005. Selection of new breeding materials with resistance to antracnose in capsicum annuum.J.Kor.Soc.Hort.Sci.46(1) : 10-12.

6. Prasath, D. and V. Ponnuswami. 2008. Screening of chilli (Capsicum annuum L.) genotypesagainst Colletotrichum capsici and analysis of biochemical and enzymatic activities in inducingresistance. Indian. J. Genet. 68 (3) : 344-346.

7. Rubatzky, V.E. and M. Yamaguchi. 1997. World vegetables. Principles, Production, andNutritive Values. Second Edition. Chapman and Hall. New York.p.843

8. Rusli, I., A. Muchtar, E. Rusdi dan Aryawaita. 2000. Reaksi tanaman cabai merah lokasi SumatraBarat terhadap penyakit antraknosa. Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan PengkajianPertanian di Padang, 21-22 Maret 2000

9. Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia, Gajah MadaUniversity Press, Yogyakarta. 835 hal.

10. Suryaningsih, E. Sutarya, R. Dan A.S. Duriat. 1996. Teknologi Produksi Tanaman Cabai. Balitsa,Lembang. Bandung.

Page 245: Prosiding BUKU 1

Pemanenan Buah Cabai Hijau Sebagai Alternatif Meminimalkan Kerusakan Akibat Serangan AntraknosaKrestini, E H dan Kusandriani, Y

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│233

11. Tenaya, I. M. N. 2001. Pewarisan Kandungan Fruktosa dan Kapsaisin Serta Aktivitas EnzimPeroksidase Pada Tanaman Hasil Persilangan Cabai Rawit dengan Cabai Merah. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agritof Vol 20, No., 2, Juni 2001: 80 Hal

12. Yunasfi. 2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan penyakit yangdisebabkan oleh jamur. USU digital library : 1-13

13. Prasath, D. and V. Ponnuswami. 2008. Screening of chilli (Capsicum annuum L.) genotypesagainst Colletotrichum capsici and analysis of biochemical and enzymatic activities in inducingresistance. Indian. J. Genet. 68 (3) : 344-346.

Page 246: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah KasaJumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

234│

234│

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadapFusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapa Vegetative Compatibility Groups

di Rumah Kasa

Jumjunidang, Hermanto, C, Riska, dan Sutanto, A.Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika

Jl. Raya Solok-Aripan Km 7, Solok Sumatera Barat 27301

ABSTRAK. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika telah melepas tiga varietas unggul baru (VUB) pisangdengan keunggulan masing-masing. Dalam menunjang keberhasilan pengembangan varietas unggul barutersebut perlu diketahui informasi tentang respon ketahanannya terhadap beberapa VCG Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon ketahanan tiga VUB pisang terhadapbeberapa VCG Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) di rumah kasa. Penelitian dilakukan di laboratoriumproteksi tumbuhan dan rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Solok, dari bulan Januari sampaiDesember 2011. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok dalam pola faktorial, dengan 2 faktor dan 3ulangan, masing-masing perlakuan terdiri dari 10 tanaman. Faktor pertama adalah 3 VUB pisang : V1=Ketan 01,V2=Kepok tanjung dan V3=Raja kinalun. Faktor kedua adalah 7 VCG Foc : A1=VCG 0120/15, A2=0123,A3=0124/5, A4=0126, A5=01218, A6=01213/16 dan A7=01219. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tigavarietas unggul baru (VUB) pisang yaitu Ketan 01 (AAB), Kepok tanjung (ABB/BBB) dan Raja kinalun (ABB)menunjukkan respon ketahanan yang bervariasi (sangat tahan – sangat rentan) terhadap isolat Foc dari berbagaiVCG dalam ras 1 dan ras 4. Ketahanan tiga varietas unggul baru (VUB) pisang tidak berhubungan dengankelompok ras dari patogen Foc tapi dipengaruhi oleh masing-masing VCG dari isolat Foc tersebut. VUB Kepoktanjung (ABB/BBB) rentan dan sangat rentan terhadap semua VCG Foc, varietas Ketan 01 (AAB) memberikanrespon tahan terhadap semua VCG Foc yang diuji kecuali dengan VCG 0124/5 (ras 1) dan VCG 01213/16 (ras 4tropik) dengan respon rentan. Raja kinalun (ABB) memberikan respon tahan dan sangat tahan terhadap semuaVCG Foc kecuali dengan isolat Foc VCG 0124/5 (ras 1) responnya sangat rentan. Hasil penelitian inibermanfaat sebagai rujukan dalam upaya pengembangan varietas unggul baru (VUB) pisang di Indonesia.

Kata kunci : Pisang, Ketahanan, VCG, Fusarium oxysporum f. sp. cubense, Varietas Unggul Baru

ABSTRACT. Jumjunidang, Hermanto, C, Riska, and Sutanto, A 2012. Response of Three New SuperiorQuality of Banana to several VCGs of Fusarium oxysporum f. sp.cubense in Screen House. IndonesianTropical Fruits Research Institute (ITFRI) has released three New Superior Quality Varieties (NSQV) bananaswith their respective advantages. In supporting the successful of new variety development is necessary to knowinformation of the response of resistance variety to Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) in several VCGs.The aim of this research was to determine the three NSQV bananas resistance response against several VCGs ofFoc in screen house test. The experiment was conducted in plant protection laboratory and screen houseIndonesian Tropical Fruits Research Institute Solok, from January to December 2011. The design used wasrandomized block in factorial pattern, with two factors and three replications. Each treatment consisted of 10plants. The first factor was three New superior varieties, namely: V1=Ketan 01, V2=Kepok tanjung andV3=Raja kinalun. The second factor was seven Foc VCGs, namely: A1=VCGs 0120/15, A2=0123, A3=0124/5,A4=0126, A5=01218, A6=01213/16 and A7=01219. The results revealed showed that the three new superiorquality varieties, namely Ketan 01 (AAB), Kepok tanjung (ABB/BBB) and the Raja Kinalun (ABB) showedvarying resistance responses (highly resistant-highly susceptible) to VCGs of Foc isolates in race 1 and race 4.Resistance of three new superior quality varieties of bananas was not associated with a group of pathogenic Focin race, but was influenced by each of the VCGs of Foc isolates. Kepok (ABB/BBB) variety was susceptible andhighly susceptible to all VCGs of Foc isolates tested, Ketan 01 (AAB) variety was resistant to all VCGs of Focisolates tested, except Foc VCGs 0124/5 (race 1) and VCGs 01213/16 (Tropical race 4), the response of it wassusceptible. Raja kinalun (ABB) variety was resistant and highly resistant to all isolates, except Foc VCGs0124/5 (race 1), the response of it was highly susceptible. This information is expected to support thedevelopment of new superior quality varieties of bananas in Indonesia.

Keywords : Musa sp., Virulence, Fusarium oxysporum f. sp. cubense, VCG, New Superior Quality of Banana.___________________________________________________________________________

Page 247: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah Kasa

Jumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│235

Pisang merupakan salah satu komoditi buah unggulan di Indonesia. baik dalam hal produksi,luas pertanaman maupun sebarannya. Pada tahun 2011, produksi pisang Indonesia diperkirakanmencapai 5,9 juta ton dan menjadi kontributor utama terhadap produksi buah unggulan secara nasionaldengan persentase mencapai (33.12%) dibanding buah-buahan lainnya (BPS 2011). Besarnya prospekpengembangan pisang di Indonesia juga didukung oleh ketersediaan lahan yang sesuai. Sekitar 20 jutaha lahan potensial untuk pengembangan pisang di Indonesia telah didata oleh Pusat Penelitian Tanahdan Agroklimat yang tersebar di empat pulau yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua(Djohar 1999).

Salah satu faktor penghambat produksi pisang adalah penyakit layu fusarium yang disebabkanoleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F.Smith) Snyd. & Hans. (Foc) yangdikenal dengan penyakit layu Panama (Stover 1957; Stover 1972; Moore et al. 1993; Pegg et al.1996). Patogen ini menyerang semua kultivar pisang komersial bahkan juga menyerang pisang liar(Simmonds 1966, Buddengen 1995, Nasir et al. 2003, Hermanto et al. 2011). Penyebarannya telahterjadi sejak 50 tahun yang lalu di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropis Amerika (Hwang & Ko2004). Di Indonesia, penyakit ini diketahui telah menyebar luas di hampir seluruh daerah penanamanpisang di Sumatera, Jawa bahkan sampai ke Papua (Hermanto et al. 2011). Sampai dengan tahun1997, Foc telah menghancurkan sekitar 5000 ha perkebunan pisang komersil di Indonesia (Nasir et al.2003), bahkan diperkirakan kerusakan lebih luas terjadi di lahan tradisional dibandingkan arealkomersil (Daryanto 2002; Nasir et al. 2003). Laporan terbaru hasil survei Balitbu Tropika di 15propinsi di Indonesia pada tahun 2007/2008, kerusakan yang diakibatkan oleh Foc masih terjadisampai sekarang dan telah menyebar hampir ke seluruh propinsi di Indonesia serta menyerangberbagai jenis pisang (Hermanto et al. 2011).

Sampai saat ini telah ditemukan 21 VCG Foc di dunia, 15 di antaranya ada di Asia (Ploetz &Correll 1988; Moore et al. 1993; Pegg et al. 1995; Vicente 2004), bahkan menurut Bentley et al.(1998), selain 21 VCG yang sudah ada ditemukan 14 kelompok VCG Foc baru. Berdasarkan hasilpenelitian Hermanto et al. (2011) di Indonesia telah diidentifikasi 10 kelompok VCG Foc yangmenyerang berbagai kultivar pisang.

Tingginya keragaman genetik pisang di Indonesia memberikan peluang bagi Indonesia dalammendapatkan dan memanfaatkan jenis pisang yang berindikasi tahan terhadap penyakit ini.Sebagaimana yang telah dilaporkan, Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman genetikpisang, baik pisang segar, olahan dan pisang liar. Lebih dari 300 jenis pisang terdapat di Indonesia(Sutanto 2006). Balitbu Tropika telah melepas tiga varietas unggul baru pisang, yaitu varietas Ketan01 (ABB), varietas Raja kinalun (ABB) dan varietas Kepok tanjung (ABB/BBB). Masing-masingvarietas ini mempunyai keungugulan. Varietas Ketan 01 termasuk jenis pisang olahan, meskipundemikian varietas ini cukup disukai dan berindikasi tahan terhadap layu fusarium (Jumjunidang &Riska 2011), Raja kinalun juga berindikasi tahan terhadap layu fusarium di lapangan (Edison, Kom.Pribadi), keunggulan varietas Kepok tanjung adalah karakternya yang tidak memiliki bunga jantan(jantung) sehingga berpeluang lebih kecil dihinggapi serangga vektor penyakit layu bakteri. Dalamupaya pengembangan varietas unggul baru ini, perlu diketahui respon ketahanannya terhadap Foc dariberbagai VCG mengingat di Indonesia ditemukan 10 VCG Foc (Hermanto et al. 2011). Tujuanpenelitian adalah untuk mengetahui respon ketahanan tiga varietas unggul baru pisang terhadappatogen Foc dengan berbagai VCG.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di laboratorium Proteksi Tanaman dan rumah kasa Balai PenelitianTanaman Buah Tropika Solok dari bulan Juni sampai bulan Desember 2011. Rancangan percobaanyang digunakan ialah acak kelompok dalam pola faktorial dengan 3 ulangan, setiap perlakuan terdiriatas 10 tanaman. Sebagai faktor pertama adalah 3 Varietas Unggul Baru (VUB) pisang, yaitu:V1=Ketan 01 (AAB), V2= Kepok tanjung (ABB/BBB) dan V3= Raja kinalun (ABB). Faktor keduaadalah 7 VCGs Foc, yaitu: F1=VCG 0120/15, F2=VCG 0121, F3=0124/5, F4=VCG 0126, F5=VCG01213/16, F6=VCG 01218 dan F7=VCG 01219.

Page 248: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah KasaJumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

236│

236│

Isolat Foc dengan beberapa VCG yang digunakan ialah koleksi Balai Penelitian TanamanBuah (Balitbu) Tropika Solok yang telah dikonservasi dalam bentuk kertas saring steril. Untukpersiapan inokulum, masing-masing isolat diperbanyak pada media Potato Dextose Agar (PDA)selama 7-10 hari. Inokulum yang digunakan berupa suspensi konidia dengan kerapatan 106

konidia/ml. Kerapatan konidia dihitung dengan menggunakan Haemositometer. Benih pisang yangdigunakan dalam pengujian berasal dari perbanyakan kultur jaringan dengan tinggi ±15 cm (5–6 helaidaun). Inokulasi Foc dilakukan dengan menggunakan teknik perendaman akar (dipping root -technigue). Akar tanaman yang telah dicuci bersih direndam selama 5 menit dalam larutan inokulum.Setelah itu benih pisang ditanam pada pot plastik volume 250 ml dengan teknik double cup (Mohamedet al. 1999), dimana pot bagian bawah telah berisi larutan nutrisi (Hyponextm) dan pot atas berisi 200ml pasir steril (Gambar 1.). Bagian bawah pot sebelah atas (pot media pasir) dipelihara untuk selalumenyentuh permukaan larutan nutrisi.

Gambar 1. Teknik double cup yang digunakan pada penelitian (Double cup technique used in theexperiment)

Peubah yang diamati dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :1). Masa inkubasi, diamati mulai sehari setelah perlakuan sampai dengan munculnya gejala awal

serangan Foc berupa penguningan pada pinggir helaian daun tua yang diikuti oleh daun yang lebihmuda.

2). Persentase tanaman terserang, dihitung pada akhir pengamatan (2 bulan setelah perlakuan) denganmenggunakan rumus:

P = %1002

1

T

T

P = Persentase tanaman terserang, T1 = Jumlah tanaman terserang tiap perlakuan dan T2 =Jumlah tanaman yang diamati

3). Indeks keparahan penyakit pada daun. Dihitung jumlah daun layu pada tanaman perlakuan.Kemudian dilakukan skoring kerusakan berdasarkan skala Mohamed et al. (1999) yaitu: skala1=tidak ada gejala pada daun (tanaman sehat), skala 2=daun bagian bawah sedikitmenguning/bergejala, skala 3=sebagian besar daun bagian bawah menguning/bergejala, skala4=semua daun menguning/bergejala dan skala 5=tanaman mati. Pengamatan dilakukan setiapminggu sampai 2 bulan setelah perlakuan.

4). Indeks keparahan penyakit pada bonggol, dilakukan pada akhir pengamatan, yaitu dua bulansetelah perlakuan. Bonggol dibersihkan dan seluruh akar dibuang, kemudian bonggol dipotongsecara melintang pada bagian leher bonggol. Selanjutnya dilakukan skoring kerusakan bonggolberdasarkan skala Jones (1994), yaitu : skala 1=tidak ada bintik hitam pada jaringan bonggol,

Page 249: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah Kasa

Jumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│237

skala 2= ada bintik hitam yang menutupi < 1/3 dari jaringan bonggol, skala 3=ada bintik hitamyang menutupi 1/3 dari jaringan bonggol, skala 4=ada bintik hitam yang menutupi 1/3-2/3 darijaringan bonggol, skala 5=ada bintik hitam yang menutupi > 2/3 dari jaringan bonggol dan skala6=terdapat bintik hitam pada seluruh jaringan bonggol sampai bonggol busuk/tanaman mati.Indeks keparahan penyakit pada daun dan bonggol dihitung dengan rumus:I = ∑ (nilai skala x jumlah tanaman dari setiap nilai skala)

jumlah tanaman

Data dianalisis secara sidik ragam, apabila hasil yang didapatkan berbeda nyata, dilakukan uji lanjutLSD pada taraf nyata 5%. Dilakukan penilaian respon ketahanan tanaman berdasarkan persentaseserangan, indek keparahan penyakit pada daun (LDSI) dan bonggol (CDSI) seperti pada Tabel 1.

Table 1. Kategori ketahanan tanaman pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense berdasarkanpersentase serangan, indek keparahan penyakit pada daun dan bonggol (Category ofresistance of banana to Fusarium oxysporum f. sp. cubense base on persentage of wiltedplant, leaf and corm disease severity index)

Persentaseserangan

(Percentage ofwilted plant)

Indeks keparahan penyakit(Disease severity Index) Kategori ketahanan

(Category of resistance)Daun (Leaf) Bonggol (Corm)

0 1 1 Sangat tahan (Highly resistant)≤20 >1-2 >1-2 Tahan (Resistant)

>20-50 >2-3 >2-3 Moderat tahan (Moderately resistant)>50-75 >3-4 >3-5 Rentan (Susceptible)

>75 >4 >5 Sangat rentan (Highly susceptible)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 varietas unggul baru (VUB) pisang yang diujimemperlihatkan respon ketahanan yang berbeda terhadap isolat Foc dengan berbagai vegetativecompatibility group (VCG). Perbedaan ketahanan tersebut diantaranya ialah berdasarkan persentasetanaman terserang dan masa inkubasi penyakit. Data pada Tabel 2 dan Tabel 3 memperlihatkan bahwaterdapat pengaruh interaksi terhadap peubah persentase serangan dan masa inkubasi penyakit antaraperlakuan varietas pisang dengan isolat Foc dari berbagai VCG dalam kelompok ras 1 dan ras 4.Pisang Kepok tanjung (ABB/BBB) yang diinokulasi dengan beberapa VCG Foc dari kelompok ras 1dan ras 4 menyebabkan persentase serangan yang sangat tinggi dan tidak berbeda nyata sesamanyadengan nilai 95,83-100%. Masa inkubasi penyakit pada varietas Kepok tanjung (ABB/BBB) jugalebih cepat dan tidak berbeda nyata antar VCG yaitu 9,89-13,93 hari. Persentase serangan penyakitpada varietas Ketan 01 sangat beragam dengan nilai 5,33-96,67%. Foc VCG 0124/5 (ras 1) dan VCG01213/16 (ras 4 tropik) menyebabkan persentase serangan paling tinggi yaitu 96,67% dan 75,43% danmasa inkubasi yang cepat masing-masing 11,78 % dan 13,01%. Sementara pada varietas Raja kinalun(ABB), beberapa VCG isolat Foc tidak mampu menyebabkan penyakit, gejala layu hanya diakibatkanoleh Foc VCG 0124/5 (96,3%), VCG 01213/16 (56,67%) dan VCG 0123 (36,67%).

Page 250: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah KasaJumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

238│

238│

Tabel 2.Persentase serangan penyakit layu oleh beberapa VCG Fusarium oxysporum f. sp. cubensepada 3 Varietas Unggul Baru (VUB) pisang, 2 bulan setelah inokulasi (Percentage of wiltedplant by several VCGs of Fusarium oxysporum f. sp. cubense on 3 New Superior Quality ofBanana, 2 months after inoculation).

Varietas Pisang(Banana variety)

VCG FocKetan 01

(AAB)Kepok tanjung

(ABB/BBB)Raja kinalun

(ABB)

...... Persentase Serangan (Percentage of wilted plant (%)*)....

0120/15 Ras 1 20 bB

96.67 aA

0 cB

0123 Ras 1 5.33 bC

100 aA

36.67 bB

0124/5 Ras 1 96.67 aA

100 aA

96.3 aA

0126 Ras 1 15.83 bB

100 aA

0 cB

01218 Ras 1 15.88 bB

95.83 aA

0 cB

01213/16 Ras 4 75.43 aB

100 aA

56.67 bC

01219 Ras 4 27.5 bB

96.67 aA

0 cC

Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf besar yang sama, dan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecilyang sama tidak berbeda nyata menurut LSD taraf 5% (Means followed by the same capital letters within the same row andfollowed by the same small letters within the same coloums are not significantly different at 5% level of LSD).*) Sebelum dianalisis data ditransformasi dengan √x (before analyzed the data transformed with √x)

Tabel 3. Masa inkubasi penyakit layu Fusarium oleh beberapa VCG Fusarium oxysporum f. sp.cubense pada 3 Varietas Unggul Baru (VUB) pisang (Incubation period by several VCGs ofFusarium oxysporum f. sp. cubense on 3 New Superior Quality of Banana)

Varietas Pisang(Banana variety)

VCG Foc

Ketan 01(AAB)

Kepok tanjung(ABB/BBB)

Raja kinalun(ABB)

...... Masa Inkubasi (hari) (Incubation Period) (day)....

0120/15 Ras 1 20.56 bA

10.72 aA

0123 Ras 1 51.33 aA

10.7 aB

76.33 aA

0124/5 Ras 1 13.01 bA

11.47 aA

14.18 cA

0126 Ras 1 40.83 aA

13.79 aA

01218 Ras 1 35.67 aA

13.93 aA

01213/16 Ras 4 11.78 bA

9.89 aA

46.34 bA

01219 Ras 4 11.06 bA

11.27 aA

Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf besar yang sama, dan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecilyang sama tidak berbeda nyata menurut LSD taraf 5% (Means followed by the same capital letters within the same row andfollowed by the same small letters within the same coloums are not significantly different at 5% level of LSD).Ket (not):Data masa inkubasi adalah rata-rata dari tanaman yang terserang (Data of incubation period is average of wilted

plant)≈ : tanaman tidak terserang (healty plant).

Page 251: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah Kasa

Jumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│239

Berbeda dengan hasil penelitian ini, informasi sebelumnya ketiga VUB pisang yang diujidinyatakan berindikasi tahan terhadap Foc. Pada pengujian di lahan yang endemis terhadap Foc VCG01213/16 (TR4) pisang Ketan 01 menunjukkan respon yang sangat tahan terhadap VCG ini(Jumjunidang & Riska 2011), demikian juga dengan varietas Kepok (ABB/BBB) dan Raja kinalun(ABB). Terjadinya hasil yang berbeda ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain adanyaperbedaan kondisi lingkungan, cara inokulasi/infeksi dan kondisi inang (Correll 1991). Menurut Su etal (1986) dan Viljoen (2002) pada kondisi lingkungan yang kurang sesuai/stres tanaman pisang yangdinyatakan tahan dapat memperlihatkan gejala penyakit oleh suatu VCG Foc, dalam hal ini, penelitiandilakukan terhadap tanaman pisang yang masih kecil dan sebelum diinokulasi dengan inokulum Foctanaman dicabut dari media tumbuh sehingga banyak perakaran yang rusak.

Tabel 4. Indeks keparahan penyakit pada daun dan bonggol oleh beberapa VCG Fusarium oxysporumf. sp. cubense pada 3 Varietas Unggul Baru (VUB) pisang, 2 bulan setelah inokulasi (Leafand corm disease severity index of several VCGs of Fusarium oxysporum f. sp. cubense on 3New Superior Quality of Banana, 2 months after inoculation).

Varietas pisang(Banana variety)

VCG Foc

Ketan 01(AAB)

Kepok tanjung(ABB/BBB)

Raja kinalun(ABB)

Indeks keparahan penyakit pada.. (Disease severity index on..)

Daun(Leaf)

Bonggol(Corm)

Daun(Leaf)

Bonggol(Corm)

Daun(Leaf)

Bonggol(Corm)

0120/15 Ras 1 1.19 1.16 2.92 4.48 1 1.030123 Ras 1 1.08 1 3.95 5.41 1.4 1.17

0124/5 Ras 1 2.25 3.33 4.033 5.83 4.44 5.370126 Ras 1 1.24 1 2.93 3.97 1 1.03

01218 Ras 1 1.11 1.06 2.62 4.21 1 101213/16 Ras 4 2.25 3.01 2.58 4.09 1.63 1.68

01219 Ras 4 1.19 1.08 3.02 4.99 1 1

Selain peubah persentase serangan dan masa inkubasi penyakit, respon ketahanan tanamanterhadap patogen Foc juga dapat dilihat dari tingkat keparahan penyakit yang ditimbulkannya. PadaTabel 4 terlihat keparahan penyakit pada daun dan bonggol yang disebabkan oleh isolat Foc denganberbagai VCG dari kelompok ras 1 dan ras 4 pada ketiga varietas pisang sangat beragam. Tidakterlihat hubungan atau perbedaan yang jelas antara kelompok ras Foc dengan keparahan penyakit(daun dan bonggol) pada ketiga VUB pisang yang diuji. Masing-masing strain/VCG memberikanrespon keparahan penyakit yang berbeda pada setiap varietas pisang. Sejalan dengan peubahpersentase serangan dan masa inkubasi penyakit, pada varietas Kepok tanjung keparahan penyakit(daun dan bonggol) juga sangat tinggi. Pada varietas Ketan 01, serangan parah hanya disebabkan olehFoc VCG 0124/5 (ras 1) dan VCG 01213/16 (ras 4 tropik), sementara pada varietas Raja kinalunhanya Foc VCG 0124/5 (ras 1) yang menyebabkan serangan parah. Menurut Bentley et al. (1998) danSu et al. (1986), berdasarkan pengelompokan ras yang merujuk pada patogenisitas terhadapgenom/varietas pisang tertentu dinyatakan bahwa Foc ras 4 adalah ras yang paling ganas karenamampu menimbulkan penyakit pada semua varietas pisang yang diserang oleh Foc ras 1 dan ras 2.Pada penelitian ini justru terlihat hal yang sebaliknya, Foc ras 4 VCG 01219 mempunyai virulensiyang rendah (keparahan penyakit rendah) pada varietas Ketan 01 dan Raja kinalun, sementara Foc ras1 VCG 0124/5 virulensinya (keparahan penyakit) sangat tinggi terhadap ketiga varietas yang diuji.

Berdasarkan parameter persentase tanaman terserang serta indeks keparahan penyakit padadaun dan bonggol maka diperoleh penilaian kategori ketahanan dari VUB pisang terhadap beberapaisolat Foc dengan berbagai VCG dalam kelompok ras 1 dan 4 seperti Tabel 5. VUB Kepok tanjung(ABB/BBB) reaksinya rentan dan sangat rentan terhadap semua VCG Foc yang diuji, varietas Ketan01 (AAB) memberikan respon tahan terhadap semua VCG Foc yang diuji kecuali dengan VCG 0124/5(ras 1) dan VCG 01213/16 (ras 4 tropik) dengan respon rentan. Sementara Raja kinalun (ABB)

Page 252: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah KasaJumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

240│

240│

memberikan respon tahan dan sangat tahan terhadap semua VCG Foc yang diuji kecuali dengan isolatFoc VCG 0124/5 (ras 1) responnya sangat rentan.

Tabel 5. Kategori ketahanan 3 Varietas Unggul Baru (VUB) pisang terhadap beberapa VCG Fusariumoxysporum f.sp.cubense berdasarkan persentase serangan, indeks keparahan penyakit padadaun dan bonggol (Category of resistance of 3 New Superior Quality of Banana to VCGs ofFusarium oxysporum f. sp. cubense based on percentage of wilted plant, leaf and cormdisease severity index).

VUB pisang(New

potentialvariety)

VCG Foc

Persentaseserangan

(Percentage ofwilted plant)

Indeks keparahan penyakitpada daun (disease severity

index) Kategori ketahanan(Category of resistance)

Daun (Leaf) Bonggol(Corm)

Ketan 01(AAB)

0120/15 20 1.19 1.16 Tahan (Resistant)0123 5.33 1.08 1 Tahan (Resistant)

0124/5 96.67 2.25 3.33 Rentan (Susceptible)0126 15.83 1.24 1 Tahan (Resistant)

01218 15.88 1.11 1.06 Tahan (Resistant)01213/16 75.43 2.25 2.93 Rentan (Susceptible)

01219 27.5 1.19 1.08 Tahan (Resistant)

Kepoktanjung(ABB/BBB)

0120/15 96.67 2.92 4.48 Rentan (Susceptible)0123 100 3.95 5.41 Sangat rentan (Highly

susceptible)0124/5 100 4.033 5.83 Sangat rentan (Highly

susceptible)0126 100 2.93 3.97 Rentan (Susceptible)

01218 95.83 2.62 4.21 Rentan (Susceptible)01213/16 100 2.58 4.09 Sangat rentan (Highly

susceptible)01219 96.67 3.02 4.99 Rentan (Susceptible)

Raja kinalun(ABB)

0120/15 0 1 1.03 Sangat tahan (Highly resistant)0123 36.67 1.4 1.17 Tahan (Resistant)

0124/5 96.3 4.44 5.37 Sangat rentan (Highlysusceptible)

0126 0 1 1.03 Sangat tahan (Highly resistant)01218 0 1 1 Sangat tahan (Highly resistant)

01213/16 56.67 1.63 1.68 Tahan (Resistant)?01219 0 1 1 Sangat tahan (Highly resistant)

Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga VUB pisang yang diujilebih rentan terhadap Foc VCG 0124/5 (ras 1) dibandingkan terhadap Foc VCG 01213/16 (ras 4tropik). Terjadinya hal yang demikian dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah telahterjadinya co- evolusi pada Foc VCG 0124/5 tersebut yang menyebabkan terjadinya pergeseranvirulensi dari patogen ini. Dugaan ini diperkuat dengan beberapa laporan hasil penelitian, di SumateraBarat, Foc ras 1 VCG 01218 ditemukan menyerang Cavendish (Nasir & Jumjunidang 2003), Fourieet al. (2009) juga manemukan fakta bahwa isolat Foc VCG 01220 yang termasuk dalam kelompokFoc ras 1 dapat menyerang Cavendish. Bahkan Thangavelu et al. (2011) melaporkan bahwa di Indiaditemukan serangan berat Foc VCG 0124/5 pada Cavendish di lapangan.

KESIMPULAN

1. Tiga varietas unggul baru (VUB) pisang yaitu Ketan 01 (AAB), Kepok Tanjung (ABB/BBB) danRaja Kinalun (ABB) menunjukkan respon ketahanan yang bervariasi (sangat tahan – sangat rentan)terhadap isolat Foc dari berbagai VCG dalam ras 1 dan ras 4.

2. Ketahanan tiga varietas unggul baru (VUB) pisang tidak berhubungan dengan kelompok ras daripatogen Foc tapi dipengaruhi oleh masing-masing VCG dari isolat Foc tersebut.

Page 253: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah Kasa

Jumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│241

3. Varietas unggul baru (VUB) Kepok tanjung (ABB/BBB) rentan dan sangat rentan terhadap semuaVCG Foc, varietas Ketan 01 (AAB) memberikan respon tahan terhadap semua VCG Foc yangdiuji kecuali dengan VCG 0124/5 (ras 1) dan VCG 01213/16 (ras 4 tropik) dengan respon rentan.Raja kinalun (ABB) memberikan respon tahan dan sangat tahan terhadap semua VCG Foc kecualidengan isolat Foc VCG 0124/5 (ras 1) responnya sangat rentan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepadaACIAR CP/2005/136 yang telah mendanai penelitian ini.

PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, Statistik tanaman buah-buahan dan sayur-sayuranIndonesia, Jakarta, Biro Pusat Statistik Indonesia, 56 hlm.

2. Bentley, S, Pegg, KG, Moore, NY, Davis, RD & Buddenhagen, IW 1998, ‘Geneticvariation among vegetative compatibility groups of Fusarium oxysporum f. sp.cubenseanalyze by DNA fingerprinting’ J. Phytopath. vol. 88, pp. 1283-1293.

3. Buddenhagen, IW 1995, ‘Bananas: a world overview, problems and opportunities, InProceeding first national industry conference, Australia, pp. 32-38

4. Correll, JC 1991, ’The relationship between formae specialis, races and vegetativecompatibility group in Fusarium oxysporum, Phytopathology, vol. 81, pp.1061-1064.

5. Daryanto 2002, ‘Langkah penanggulangan penyakit layu pisang di Indonesia, makalahdisampaikan pada Seminar Nasional Pengendalian Penyakit Layu Pisang: mencegahkepunahan, mendukung ketahanan pangan dan agribisnis, Padang, 22-23 Oktober 2002.

6. Djohar, HH 1999, ‘Potential and land suitability for banana estate development’,Indonesian Agricultural Research and Development Journal, vol. 14, no. 3&4, hlm. 49-54

7. Hermanto, C, Sutanto, A, Jumjunidang, Edison, HS, Danniels, JW, O’Neil, W, Sinohin,VG, Molina, AB, & Taylor, P 2011, ‘Incidence and Distribution of Fusarium WiltDisease in Indonesia’, In Van den Bergh, I, Smith, M, Swennen, R, Hermanto, C. (Eds),Proc. International ISHS-Promusa Symposium on Global Perspective on AsianChallenges. ISHS Acta Horticulture, pp. 828.

8. Hwang, SC, & Ko WH 2004, ‘Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wiltacquired through somaclonal variation in Taiwan’, Plant Disease, vol. 88, pp. 580-588.

9. Jones, DR 1994, ‘Technical Guidelines for IMTP Phase II: Fusarium Wilt Sites’, In: TheImprovement and Testing of Musa: a Global Partnership, Proceedings of the firstconference of the international Musa Testing Program, helt at FHIA, Honduras. INIBAP,pp. 279-286.

10. Jumjunidang & Riska 2011, ‘Respon ketahanan pisang varietas Ketan 01 dan Barangan dilahan endemis Foc VCG 01213/16 (TR4)’, Prosiding Seminar Nasional Program danStrategi Pengembangan Buah Nusantara, pp. 204-211.

11. Mohamed, AA, Mak, C, Liew, KW, & Ho, YW 1999, ‘Early Evaluation of Banana Plantsat Nursery Stage of Fusarium Wilt Tolerance’. In: Molina, AB, Nik Masdek, NH & LiewKW (Eds.) Banana Fusarium Wilt Management: Towards Sustainable Cultivation,

Page 254: Prosiding BUKU 1

Respon Ketahanan Tiga Varietas Unggul Baru (VUB) Pisang terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense dengan beberapaVegetative Compatibility Groups di Rumah KasaJumjunidang, Hermanto,C, Riska, dan Sutanto, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

242│

242│

Proceedings of The International Workshop on Banana Fusarium Wilt Diseases.Malaysia. INIBAP, pp. 174-185.

12. Moore, NY, Pegg, KG, Allen, RN & Irwin, JAG 1993, ‘Vegetative compatibility anddistribution of Fusarium oxysporum f. sp. Cubense in Australia’, Austr. J. Expt. Agric.,vol. 33, pp. 792-802.

13. Nasir, N, & Jumjunidang 2003, ‘Karakterisasi ras Fusarium oxysporum f. sp. cubensedengan metode Vegetative Compability Group test dan identifikasi kultivar pisang yangterserang’, J. Hort., vol. 13. no. 4, hlm. 276-284.

14. Pegg, K.G., N. Y. Moore and S. Bentley. 1996. Fusarium wilt of banana in Australia; areview. Austr. J. Agric. Res. 47:637-650.

15. Pegg, KG, Shivas, RG, Moore, NY & Bentley, S 1995, ‘Characterization of a uniquepopulation of Fusarium oxysporum f. sp. cubense causing Fusarium wilt in Cavendishbananas at Carnavorn, Western Australia’, Austr. J. Agric. Res., vol. 46, pp. 167-178.

16. Ploetz, RC, & Correll, JC 1988, ‘Vegetative compatibility among races of Fusariumoxysporum f. sp. cubense’, Plant Dis., vol. 72, pp. 325-328.

17. Simmonds, NW 1966, ‘Bananas’, Longmans, London, 211 pp.

18. Stover, RH 1957, ‘Ecology and pathogenecity studies with two widely distributed type ofFusarium oxysporum f. sp. cubense’, (Abst). J. Phytophat. vol. 47, hlm 535.

19. Stover, RH 1972, ‘Fusarial wilt (Panama disease) of bananas and other Musa species’,Commomwealth Mycological Institute, Surrey, UK,117 p.

20. Sutanto, A 2006, ‘Characterization In National Collections: Present Status And ConstraintsIn Indonesia’, Taxonomic Advisory Group Meeting, Cameroon, 6 pp.

21. Su, HJ, Hwang, SC & Ko, WH 1986, ‘Fusarial wilt of Cavendish bananas in Taiwan’,Plant Dis., vol. 70, pp. 814-818.

22. Thangavelu, R, Kumar, KM, Devi, PG & Mustaffa, MM 2011, ‘Genetic diversity ofFusarium oxysporum f. sp. cubense isolates of India by Inter Simple Sequence Repeats(ISSR) analysis’. Mol. Biotechnol., vol. 51, pp. 203-211.

23. Vicente, LP 2004,’Fusarium wilt (Panama disease) of bananas: Un apdating review of thecurrent knowledge on the disease and its causal agent’, XVI Reunion InternacionalAcrobat, pp. 1-15.

24. Viljoen, A 2002, ‘The status of Fusarium wilt (Panama disease) of banana in SouthAfrica’, South Africa J. Sci., vol. 98. pp. 341-344.

Page 255: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Perkembangbiakan Parasitoid Tamarixia radiata WatsYunimar, S. Wuryantini, dan Dwiastuti, ME

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│243

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap PerkembangbiakanParasitoid Tamarixia radiata Wats

Yunimar, S. Wuryantini, dan Dwiastuti, MEBalai Penelitian Tanaman jeruk dan Buah Subtropika, Jl. Raya Tlekung No. 1, Junrejo, Batu

ABSTRAK. Penelitian Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Perkembangbiakan parasitoid T. radiatadilaksanakan di Laboratorium Entomologi Lolitjeruk Tlekung pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2004.Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok terdiri 4 perlakuan dengan 10 ulangan. Uji pembedadengan DMRT 5%. Perlakuan yang dimaksud yaitu : Intensitas cahaya 20-30% (A), Intensitas cahaya 50-60%(B), Intensitas cahaya 70-80% (C) dan Intensitas cahaya 100% (D) sebagai kontrol. Hasil uji menunjukkan rata-rata nimfa terparasit perlakuan A (Intensitas cahaya 20–30%) tidak berbeda dengan perlakuan B (intensitascahaya 50-60%) dan perlakuan C (70–80%) dan perlakuan D (100%) tidak berbeda. Persentase jadi imago antaraperlakuan A, B dan C tidak berbeda namun berbeda dengan perlakaun D. Intensitas cahaya tidak berpengaruhterhadap lama hidup imago T. radiata, namun mempengaruhi jumlah jantan betina atau sex ratio keturunannya.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengelolaan perbanyakan masal parasitoid T. radiatasebagai pengendali hayati vektor CVPD.

Katakunci: Tamarixia radiata; Intensitas cahaya; Perkembangbiakan

ABSTRACT. Yunimar, S. Wuryantini, Dwiastuti, ME. 2013. Influence of Light Intensity to Propagationof parasitoid T. radiata. This research conducted at Entomological Laboratories of Tlekung Research Instituteof Citrus and Subtropical Horticulture (Lolitjeruk Tlekung) on May until August 2004. Research compiled inRandomize Block Design, consist of 4 treatment with 10 multiplication. Distinguishing test with DMRT 5%.Such the treatments were : Light intensity 20-30% (A), Light intensity 50-60% (B), Light intensity 70-80% (C)and Light intensity 100 % (D) as control. Result of the test showed that parasite nymph mean of treatment of A(Light intensity 20-30%) was not differ from treatment B (light intensity 50-60%) and treatment of C (70-80%)and treatment of D ( 100%) were not differ. Percentage become imago between treatment of A, B and of C notdiffer but it was differ from D. Light intensity did not have an effect on to longevity of T. radiata imago, butinfluence the sex ratio of progeny. Result of this research can be used as reference for mass rearing ofparasitoid T. radiata as biological controller agents for CVPD vector.

Keywords: Tamarixia radiate; Light intensity; Propagation__________________________________________________________________________________

Parasitoid Tamarixia radiata merupakan salah satu musuh alami yang prospektif untukmengendalikan vektor penyakit CVPD yaitu Diaphorina citri. CVPD merupakan penyakit pentingpada jeruk saat ini masih perlu mendapatkan perhatian yang serius. Salah satu cara untuk mencegahtersebarnya penyakit CVPD adalah mengendalikan serangga vektornya yaitu D. citri. Pengendalianserangga vektor ini merupakan salah satu bagian dari program pengelolaan tanaman jeruk yang sehatyaitu “Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat” (PTKJS).

Diaphorina citri sebagai hama utama pada tanaman jeruk dapat merusak tanaman dengan duacara, yaitu sebagai hama dengan memakan langsung tanaman melalui stilet dengan menghisap cairantanaman sehingga dapat menyebabkan distorsi dan kadang-kadang menimbulkan kematian pada pucuktanaman dan tunas akibat toksin yang dikeluarkan melalui salivanya dan sebagai vektor dariLiberobacter asiaticus yang menyebabkan penyakit serius pada jeruk yaitu CVPD. D. citri jugamerupakan hama yang sangat cepat berkembang biak karena jumlah telurnya yang banyak,generasinya tumpang tindih, sehingga peningkatan populasinya berlangsung sangat cepat . D. citrijuga memproduksi embun madu yang dapat menyebabkan embun jelaga berkembang danmenimbulkan kerusakan pada daun, sehingga daun rontok dan mati (Majorie & Ru Nguyen, 1998).

Pengendalian hama yang umum dilakukan oleh petani jeruk sampai saat ini adalah denganpestisida. Sebagai upaya untuk mencegah dampak negatif yang disebabkan penggunaan pestisida yangcenderung meningkat dari tahun ke tahun, maka perlu digalakkan alternatif pengendalian denganmenggunakan musuh alami, salah satunya dengan parasitoid. Berdasarkan laporan Tan Yu Qing dalamM. Istianto et al. (1992) menunjukkan bahwa populasi D. citri dilapang dapat dikendalikan oleh

Page 256: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Perkembangbiakan Parasitoid Tamarixia radiata WatsYunimar, S. Wuryantini, dan Dwiastuti, ME

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

244│

244│

musuh alami antara lain adalah parasitoid nimfa D. citri yaitu Tamarixia radiata. Di propinsi Fujian(China) T. radiata memparasit hingga 62,5% dan didaerah Jingsan persentase T. radiata memparasitD. citri mencapai 37 – 87,5%. Sedangkan di Indonesia berdasarkan hasil eksplorasi Nurhadi andWhittle (1988) di beberapa daerah pertanaman jeruk di Jawa timur ditemukan parasitoid T. radiatapada koloni nimfa D. citri yang tingkat parasitismenya pada kondisi lapang mencapai 61,62–89,84%.T. radiata berkembang biak dengan baik pada suhu 15–32°C dengan suhu optimal 25°C, namunkemampuan adaptasi terhadap fluktuasi suhu udara di lapang rendah. (Ching-Chin Chien, et al, 1993).Berdasarkan laporan tersebut, terbukti T. radiata mempunyai prospek yang baik sebagai alternatifpengendalian sehingga perlu adanya penelitian lebih jauh mengenai potensi dan kemampuanberadaptasi dari parasitoid tersebut.

Perbanyakan parasitoid T. radiata secara masal di rumah kasa sudah menunjukkan hasil yangoptimal, namun masih ada beberapa hal yang harus dipelajari lebih mendalam di antaranya mengenaitoleransi terhadap lingkungan salah satunya intensitas cahaya, sehingga potensi individunya dapatberkembang dengan maksimal. Dengan demikian diharapkan parasitoid T. radiata mampu menjadialternatif pengendali serangga vektor CVPD yang ramah lingkungan.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh intensitas cahaya terhadap perkembangbiakanparasitoid T. radiata.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik Tlekungmulai bulan Mei sampai Agustus 2004. Kegiatan dimulai dengan perbanyakan inang untuk parasitoidT. radiata yaitu D. citri. Tanaman inang yang digunakan untuk memperbanyak hama dan parasitoidadalah kemuning (Murraya sp.) D. citri pada tanaman kemuning hasil perbanyakan pada stadia nimfainstar 3–5 ditempatkan pada kondisi intensitas cahaya sesuai dengan perlakuan.

Uji Ketahanan parasitoid terhadap intensitas cahaya ini disusun dalam Rancangan AcakKelompok terdiri 4 perlakuan dengan10 ulangan. Uji pembeda dengan DMRT 5%. Perlakuan yangdimaksud yaitu:1. Intensitas cahaya 20-30%2. Intensitas cahaya 50-60%3. Intensitas cahaya 70-80%4. Intensitas cahaya 100 %

Parasitoid T. radiata diperlakukan setiap pasang pada tempat atau sangkar terpisah sesuaidengan perlakuannya. Nimfa instar 3–5 dengan jumlah minimal 10 ekor pada tiap tunas yang disangkar plastik dimasukkan dalam sangkar perlakuan kemudian diinvestasi dengan imago parasitoid T.radiata. Pada perlakuan tersebut parsitoid T. radiata dipindah setiap hari ke sangkar yang berisi nimfaD. citri yang lain, demikian seterusnya sampai mati. Peubah yang diukur adalah biologi T. radiatameliputi umur imago, jumlah nimfa terparasit, persentase jadi imago, dan rasio jantan betina.

Perlakuan dan pengamatan dilakukan selama satu generasi sampai imago parasitoid betina yangdiinvestasi mati dan nimfa yang menjadi mangsa parasitoid telah terparasit dan kemudian keluarmenjadi imago parasitoid yang waktunya antara ± 10–14 hari setelah investasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rerata nimfa terparasit dan persentase imago T. radiata yang disajikan pada Tabel 1. Dari hasiltersebut menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan pada intensitas cahaya 20–30%dan 50–60% dengan perlakuan intensitas cahaya 70–80% dan 100%. Rerata nimfa terparasit tertinggisebesar 7,000 ekor/hari dengan persentase imago T. radiata yang muncul sebesar 94,86% terlihat padaintensitas cahaya 20–30%. Jumlah nimfa terparasit tidak berbeda nyata antara perlakuan intensitascahaya 20–30% dan 50-60%, tetapi rerata nimfa terparasit menurun pada intensitas cahaya yangsemakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas cahaya dapat mempengaruhi kemampuanparasitasi dari parasitoid, sehingga berpengaruh terhadap jumlah telur yang diletakkan. Pengaruhintensitas cahaya yang terjadi pada kemampuan parasitoid memparasit nimfa D. citri kemungkinandisebabkan karena perbedaan suhu yang terjadi akibat adanya perbedaan intensitas cahaya. Semakin

Page 257: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Perkembangbiakan Parasitoid Tamarixia radiata WatsYunimar, S. Wuryantini, dan Dwiastuti, ME

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│245

tinggi suhu menunjukkan semakin rendahnya kemampuan T. radiata untuk memparasit nimfa D. citridan kondisi optimum untuk perilaku parasitoid dalam memparasit nimfa terjadi pada intensitas cahaya20 - 60%, dengan kisaran suhu antara 30–33oC dan kelembaban 50–68%.

Tabel 1. Pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah nimfa terparasit dan persentase imago yangmuncul

Perlakuan Intensitas Rerata nimfa terparasit(ekor/hari)

Persentase jadi imago

20 – 30 %50 – 60 %70 – 80 %

100 %

7,000 A6,271 A3,037 B2,043 B

94,86 A93,19 A79,94 A59,05 B

Keterangan: setiap lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Intensitas cahaya berpengaruh besar terhadap perilaku serangga dan respon masing-masingspesies serangga berbeda terhadap cahaya tersebut. Beberapa spesies serangga aktif selama jam-jampenuh cahaya matahari dan beberapa spesies serangga yang lain aktif pada saat cahaya redup yaitupagi dan sore hari (Atkins, 1976). Cahaya berpengaruh terhadap fisiologi dan perilaku serangga. Beck(1980) menyatakan bahwa fisiologi serangga yang dipengaruhi oleh cahaya meliputi prosesmetabolisme, proses perkembangan, pigmentasi dan sistem syaraf. Perilaku serangga yangdipengaruhi oleh cahaya meliputi gerak, makan, kawin dan peletakan telur.

Tabel 2. Pengaruh intensitas cahaya terhadap lama hidup dan kelamin T. radiata yang muncul

Perlakuan Intensitascahaya

Lama hidup(hari)

Jumlah Jantan(ekor)

Jumlah betina(ekor)

20–30%

50–60%

70–80%

100%

11,700 A

11,700 A

11,300 A

11,200 A

23,800 A

20,200 AB

11,400 BC

6,600 C

61,40 A

52,20 A

21,90 AB

9,90 B

Keterangan: setiap lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa, intensitas cahaya tidak berpengaruh nyata terhadap lamahidup namun berpengaruh nyata terhadap jenis kelamin atau sex rasio T. radiata yang muncul menjadidewasa. Semakin tinggi intensitas cahaya maka jumlah individu yang dihasilkan semakin kecil. Adabeberapa faktor yang mempengaruhi sex ratio parasitoid di antaranya ialah tingkat perkawinan dantemperatur yang tinggi (Waage et al. 1985). Perbedaan jumlah betina yang muncul mungkindisebabkan karena perbedaan suhu yang terjadi karena adanya perbedaan intensitas cahaya. Suhuoptimum pada pembentukan jenis kelamin betina tertinggi terjadi pada intensitas cahaya 20–60%dengan kisaran suhu 30–330C. Suhu optimum untuk pembentukan betina pada famili Encyrtidaeadalah 300C (Mani & Krishna Moorthy 1992).

Data Tabel 2. menunjukkan jumlah betina lebih banyak dibandingkan kelamin jantan. Hal inimungkin disebabkan ketersediaan inang untuk keturunan jantan lebih kecil dibandingkan keturunanbetina. Sex ratio tergantung pada ketersediaan inang dan ukuran inang tersebut. Karena biasanyabetina akan meletakkan telur jantan pada inang yang lebih kecil. Menurut Chien dan Ku (1991)meskipun beberapa instar nimfa D. citri sesuai untuk peletakan telur T. radiata namun parasitoidtersebut lebih menyukai meletakkan telurnya pada nimfa instar ke 5 karena dapat menghasilkanketurunan yang ukuran tubuhnya lebih besar, daya tahan hidupnya lebih tinggi, jumlah betina yangdihasilkan lebih banyak dan umur imagonya lebih panjang. Oleh karena itu untuk mengoptimalkanperbanyakan masal T. radiata perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi sepertiketersediaan inang, kualitas inang dan juga faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan intensitascahaya.

Page 258: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Perkembangbiakan Parasitoid Tamarixia radiata WatsYunimar, S. Wuryantini, dan Dwiastuti, ME

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

246│

246│

KESIMPULAN

1. Perlakuan intensitas cahaya 20–30% dan 50–60% mampu meningkatkan kemampuan parasitasiparasitoid nimfa Tamarixia radiata sebesar 6,271–7,000 ekor per hari dengan persentase jadiimago sebesar 93,19–94,86%.

2. Intensitas cahaya tidak berpengaruh terhadap lama hidup imago T. radiata, namun mempengaruhijumlah jantan betina atau sex ratio keturunannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada Sdr. Catur Wulandari yang telah banyakmembantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

PUSTAKA

1. Atkins, MD 1976, Insect Perspective, Mac Millan Publishing Co. Inc. New Delhi. 519 p.

2. Beck, SD 1980, Insect Photoperiodism, Academic Press, Inc. London, 387 p.

3. Chien, CC, Chu, YI & Ku, HC 1991, ‘Parasitic Strategy, Morphology and Life History ofTamarixia radiata (Hymenoptera : Eulophidae)’, Chinese J. Entomol., vol. 1, pp. 264-81.

4. Evans, EW, & Englan, S 1996, ‘Indirect interactions in biological control of insectts: pest andnatural enemies in alfalfa’, Ecol. Appl.,vol. 6, pp. 920-30.

5. Heimpel, G E, Rosenheim, JA & Kattari, D 1997, ‘Adult feeding and lifetime reproductive succesin the parasitoid Aphytis melinus’, Entomol. Exp. Appl., vol. 83, pp. 305-15.

6. Mani, M & Krishnamoorthy, A 1992, ‘Influence of constant temperatures on the developmentalrate, progeny production, sex ratio and adult longevity of the grape mealbuu parasitoid, Anagyrusdactylopii (Hymenopthera: Encyrtidae)’, Insect Science Application, vol. 13, pp. 697-703.

7. Mc. Farland and Hoy, Majorie a. 2001, Survival of Diaphorina citri (Homoptera: Psyllidae), andits two parasitoids, Tamarixia radiata and Diaphorencyrtus aligarhensis under different relativehumudities and temperature regimes, Department of Entomology and Nematology, Universitas ofFlorida.

8. McKinney, TR, & Pass, BC 1977, ‘Olfactometer studies of host seeking in Bathyplectescurculionis Thoms (Hymenopthera: Ichneumonidae)’, J. Kans. Entomol. Soc., vol. 50, pp.108-12.

9. Istianto, M, Endarto, O, Andayani, S & Setyobudi, L 1992, ‘Evaluasi potensi parasitoid individuTamarixia radiata terhadap nimfa Diaphorina citri Kuw’, J. Hort., vol. 2, no. 4, hlm. 35-7.

10. Nurhadi & Whittle, AM 1988, ‘Parasites of CVPD vektor (D. citri Kuw.) in East Java, withreference to the prospect of biological control’, Penel. Hort.,vol. 3(3):65-72.

11. Nurhadi, Nirmala, FD & Santoso, I 1990, ‘Bionomi vektor CVPD, D. citri Kuw’, Penel. Hort.,vol. 5, no. 1, hlm. 9-15.

12. Tan Yu Qing 1988, A. Preliminary Survey of the parasite complex of D. citri Kuw. (Homopthera:Psyllidae) in Fujian dalam B. Aubert, Ke Chung and C. Gonzales (eds), Proceeding of the 2 ndFAO-UNDP Regional Workshop LIPA Philipines, pp. 10-15.

13. Yuhua, X, Xu Changfan, & Jing Yao, 1987, Population dynamic of Diaphorina citri in Fuzhouon Murraya paniculata, In regional Workshop on Citrus Greening Huanglungbin Disease, FAO-UNDP Coordinator in Fuzhou, pp. 60-62

Page 259: Prosiding BUKU 1

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun Jeruk Kabupaten Karo Sumatera UtaraNasution, I. A, Indarwatmi, M, Kuswadi, A.N, Rusli, dan Ginting, R

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│247

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun JerukKabupaten Karo Sumatera Utara

Nasution, I. A1), Indarwatmi, M1), Kuswadi, A.N1), Rusli2) dan Ginting, R2)

1)Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi-Badan Tenaga Nuklir NasionalJl.Lebak Bulus Raya no 49 Pasar Jumat – Jakarta Selatan

2)Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura-Sumatera UtaraJl. A.H. Nasution No 4 Gedung Johor-Medan

ABSTRAK. Lalat buah merupakan salah satu hama penting yang menyerang tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran. Telah dilaporkan bahwa serangan lalat buah di kebun jeruk di Kab.Karo menyebabkan gagal panensampai 50 %. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi serangan hama ini. Atraktan metil eugenol dapatdigunakan menarik sebanyak mungkin lalat buah jantan untuk menurunkan populasi baik dalam konsep maleannihilation (Teknik Pemusnahan Jantan) atau untuk dipadukan dengan Teknik Serangga Mandul (TSM).Tujuan percobaan ini ialah mengetahui keefektifan penggunaan dispenser particle board yang telah ditetesiatraktan metil eugenol dan insektisida dalam menangkap lalat buah jantan dan membunuhnya. Dispenser dariparticle board yang berukuran 5x5x2 cm ditetesi 5 cc metil eugenol yang mengandung insektisida, dipasang dikebun jeruk seluas 1 ha di Desa Mulawari, Kecamatan Tiga Panah,Kabupaten Karo dengan kerapatan 10dispenser/ha. Percobaan ini di lakukan dari bulan April sampai dengan Desember 2011. Dari pengamatan yangdilakukan bahwa particle board yang berisi metil eugenol sampai bulan ke 8 masih dapat menangkap lalat buahjantan.

Katakunci: Lalat buah; Male annihilation; Teknik serangga mandul; Atraktan metil eugenol

ABSTRACT. Indah A. Nasution, Indarwatmi, M, Kuswadi, AN, Rusli and Ginting, R 2013, The use ofParticle board to Catch Fruit Fly in Citrus Orchard, Karo Regency, North Sumatra Provinci. Fruit fly isone of the important pests that attack fruit trees and vegetables. It has been reported that the attack of fruit fliesin citrus orchards in Karo Regency cause crop failures of up to 50%. Various ways have been done to addressthis pest. Attractant methyl eugenol can be used attract male fruit flies as much as possible for the purpose oflowering the population in both the male concept of annihilation technique (MAT) or for combined with sterileinsect technique (SIT). Dispenser of particle board sized 5 x 5 x 2 cm etched with 5 cc of methyl eugenol-containing insecticide, is installed in an area of 1 ha citrus orchard in the village of Mulawari, District TigaPanah, Karo regency, North Sumatra Province with a density of 10 dispensers / ha. This experiment is done fromApril to December 2011. From the observations made that the particle board containing methyl eugenol up to 8months can still catch the male fruit flies.

Keywords: Fruit flies; Male annihilation; Sterile insect technique; Methyl eugenol attractant

Lalat buah merupakan suatu spesies serangga yang banyak menyerang tanaman buah-buahandan sayur-sayuran di dunia termasuk Indonesia. Spesies lalat buah (famili Tephritidae) yang menjadihama tanaman mencapai 4.500 spesies, dan terdapat 20 spesies dari genus Bactrocera merupakanhama penting pada buah-buahan dan sayuran di Asia (Vijaysegaran, 1998). Bactrocera spp. memilikiinang yang cukup banyak seperti: jeruk, mangga, pepaya, belimbing , nangka, alpokat, pisang, tomat,apel, nenas, pear, aprikot, terong, jambu, dan melon.

Kehilangan hasil akibat serangan lalat buah di Indonesia cukup besar, d a p a t me n c a p a i1 0 0 % j i k a t i d a k d i l a k u ka n p e n ge n d a l i a n s e c a r a t e p a t . Hal ini disebabkan karenastadia yang merusak adalah larva yang menyerang langsung pada buah tanaman. Serangan lalat buahpada buah jeruk di Kabupaten Karo dilaporkan sudah mencapai titik kritis (50–90% gagal panen) yangsetara dengan kerugian sekitar Rp. 1 triliun.

Komoditas hortikultura memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Buah dan sayur-sayuran yangberkualitas dan bebas racun pestisida juga sangat dituntut oleh konsumen karena kesadaran hidupsehat yang semakin tinggi. Sebab itu, pengembangan industri hortikultura yang berhasil akan sangatditentukan oleh bagaimana kita mengatasi masalah hama lalat buah.

Page 260: Prosiding BUKU 1

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun Jeruk Kabupaten Karo Sumatera UtaraNasution, I. A, Indarwatmi, M, Kuswadi, A.N, Rusli, dan Ginting, R

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

248│

248│

Pengendalian lalat buah dapat menggunakan male annihilation technique (MAT) atau teknikpenghilangan jantan (TPJ). Metil eugenol merupakan atraktan yang sering digunakan untukmengendalikan lalat buah Bactrocera sp. dalam pengendalian dengan TPJ. Dengan TPJ akanmenyebabkan kekacauan perkawinan antar serangga. Metil Eugenol sangat dibutuhkan oleh lalat jantanuntuk dikonsumsi. Zat ini bersifat volatile atau menguap dan melepaskan aroma wangi dengan radiusmencapai 20-100 m, tetapi jika dibantu oleh angin jangkauan bisa mencapai 3 km. Metil eugenoldapat dibuat secara langsung dari beberapa tanaman seperti tanaman cengkeh, kayu putih, daunsereh wangi, dan selasih (Kardinan, 2003).

Prinsip dari Teknik Penghilangan Jantan pada lalat buah adalah pemasanganperangkap yang berisi atraktan berbahan aktif metil eugenol dicampur dengan insektisidaditetesi pada kapas atau bahan lain sebagai penampung metil eugenol. Karena aroma yangkuat dari metil eugenol akan menyebabkan serangga jantan akan datang dan menempelkemudian akan mati karena telah memakan insektisida.

Penggunaan atraktan merupakan cara pengendalian hama lalat buah yang ramahlingkungan, karena baik komoditas yang dilindungi maupun lingkungannya t i d a kt e r k o n t a mi n a s i o l e h a t r a k t a n . S e l a i n i t u a t r a k t a n i n i t i d a k me m b u n u h seranggabukan sasaran (serangga berguna seperti lebah madu, serangga penyerbuk atau musuh alamihama), karena bersifat spesifik, yaitu hanya memerangkap hama lalat buah, sehingga tidak adarisiko atau dampak negatif dari penggunaannya. Namun ada pula yang berpendapat atraktankurang baik untuk upaya pengendalian lalat buah karena hanya menangkap seranggajantan saja (Primatani, 2006).

Kabupaten Karo merupakan sentra produksi jeruk di daerah Indonesia yang terkenal dengansebutan “Jeruk Medan” dan produknya telah menyebar di seluruh daerah di Indonesia terutama pulauJawa. Dampak serangan hama lalat buah yang menyerang perkebunan jeruk di Kabupaten Karo initidak hanya merusak citra dan kualitas produk jeruk itu sendiri, tapi juga mengganggu proses eksporke pasar luar negeri.

Tujuan percobaan ini ialah mengetahui keefektifan penggunaan dispenser particle board yangtelah ditetesi atraktan metil eugenol dan insektisida dalam menangkap lalat buah jantan danmembunuhnya. Percobaaan berlokasi di kebun jeruk, Desa Mulawari, Kecamatan Tiga Panah,Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Particle board merupakan bahan yang murah dan mudah diperoleh karena dapatmempergunakan bahan-bahan bekas dari perabotan rumah tangga yang sudah tidah terpakai. Bahanini mudah menyerap air dan sulit untuk menguap sehingga atraktan metil eugenol yang ditetesi padabahan ini akan bertahan lebih lama dibandingkan kapas yang selama ini digunakan oleh petani.Caranya lebih mudah karena hanya dengan menggantungnya di pohon dengan kawat kemudian dapatbertahan sampai beberapa bulan.

BAHAN DAN METODA

Potongan kayu particle board sebagai dispenser berukuran 5 x 5 x 2 cm ditetesi atraktan yangberbahan aktif metil eugenol sebanyak 5 ml ditambah insektisida malation sebanyak 0,5 ml. Dipasangdi kebun jeruk seluas 1 ha, di desa Mulawari, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo dengankerapatan 10 buah/ha. Kemampuan dispenser dalam membunuh lalat buah jantan diamati dengan caramemasang dua buah dispenser per ha sebagai sample, yang dipasang di kebun di dalam perangkapyang terbuat dari botol air mineral ukuran 2 liter. Sebagai pembanding dipasang dispenser kapas yangditetesi metil eugenol ditambah insektisida yang juga dimasukkan dalam botol air mineral. Lalat buahjantan yang tertarik karena aroma yang kuat dari metil eugenol akan datang dan menempel di particleboard, beberapa saat akan mati setelah bersentuhan dengan campuran metil eugenol denganinsektisida.

Banyaknya lalat buah jantan yang tertangkap dihitung setiap minggu, mulai dari minggu ke-1Bulan April sampai minggu ke-2 Desember 2011. Kemampuan dispenser menangkap lalat buah jantanakan semakin menurun, maka setelah minggu ke-15 dipasang dispenser baru di kebun, untukdibandingkan dengan dispenser lama yang tetap dipasang di kebun.

Page 261: Prosiding BUKU 1

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun Jeruk Kabupaten Karo Sumatera UtaraNasution, I. A, Indarwatmi, M, Kuswadi, A.N, Rusli, dan Ginting, R

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│249

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengamatan yang telah dilakukan di kebun jeruk, Desa Mulawari, Kecamatan Tiga Panah,Kabupaten Karo, lalat buah jantan yang tertarik dan menempel pada dispenser particle board beberapasaat akan mati setelah bersentuhan dengan campuran metil eugenol ditambah insektisida. Dengandemikian populasi lalat jantan akan berkurang, sehingga berdampak dengan tingkat keberhasilanpanen buah yang berkualitas.

Atraktan metil eugenol hanya menangkap lalat buah jantan saja. Kemampuan dispenser particleboard memperangkap lalat buah jantan dalam satu perangkap per minggu bisa mencapai ratusanbahkan ribuan ekor. Pengendalian lalat buah dengan menggunakan teknik penghilang jantan (TPJ)dapat dipadukan dengan pengendalian dengan teknik serangga mandul (TSM) atau sterile insecttechnique (SIT) yang merupakan teknologi yang sedang digalakkan oleh Pusat Aplikasi TeknologiIsotop dan Radiasi- Badan Tenaga Nuklir Nasional. Kedua teknologi ini merupakan teknologi yangaman dan ramah lingkungan karena produk yang dihasilkan bebas dari residu pestisida dan tidakmencemari lingkungan.

Gambar 1. Partikel board berisi metil eugenol + insektisida di kebun jeruk, Desa Mulawari, Kec. TigaPanah,Kab.Karo

Gambar 1 menunjukkan particle board berisi atraktan metil eugenol + insektisida yang digantung, pengaplikasiannya mudah dan ketahanannya sampai mencapai lebih dari 8 bulan. Percobaaanyang sama telah dilakukan di kebun mangga di daerah Cirebon dengan volume metil eugenol yangberbeda untuk satu dispenser particle board (10 ml), hasilnya menujukkan bahwa dispenser particleboard juga bertahan sampai lebih dari minggu ke-16 (Nasution 2006).

Dari grafik 1 dapat dilihat bahwa ketahanan dispenser particle board sampai mencapai mingguke-36 atau sampai bulan ke-8 masih dapat menangkap lalat buah jantan. Dibandingkan denganpenggunaan kapas sebagai dispenser, daya tangkap particle board jauh lebih besar. Pada kapas setiapdua minggu harus ditetesi metil eugenol, sedangkan untuk perticle board penetesannya hanya satu kalisaja untuk 8 bulan atau lebih.

Pada minggu ke-15, untuk melihat penurunan daya tangkap particle board dipasang particleboard baru (B), ternyata daya tangkap particle board yang lama (A) hampir tidak berbeda dengandaya tangkap particle board yang baru bahkan pada minggu ke-30 daya tangkap yang lama mencapaititik tertingginya (290 ekor/perangkap) sedangkan particle board B titik tertinggi (289ekor/perangkap) tercapai pada minggu ke-18.

Jumlah tangkapan lalat buah jantan dengan menggunakan perangkap particle board di kebundaerah Kabupaten Karo, dilihat dari grafiknya tidak menunjukkan pola yang jelas. Titik tertinggiterjadi sekitar bulan Nopember, di saat buah jeruk sedang banyak (masa panen) baik pada particleboard A maupun B.

Page 262: Prosiding BUKU 1

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun Jeruk Kabupaten Karo Sumatera UtaraNasution, I. A, Indarwatmi, M, Kuswadi, A.N, Rusli, dan Ginting, R

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

250│

250│

0

50

100

150

200

250

300

350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

Jumlah lalat buah jantanyang tertangkap/minggu

(ekor)The number of male fruit

flies captured / week(tail)

Minggu ke-Week

A

B

C

289

Keterangan: A. Particle board yang dipasang pada minggu minggu 1 (bulan April 2011), B. Particle board yang dipasangpada minggu ke-15 (Juli 2011), C. Kapas yang ditetesi metil eugenol + insektisida setiap 2 minggu sekali

Grafik 1. Jumlah tangkapan lalat buah jantan per minggu (ekor) pada dispenser particle board dankapas yang berisi metil eugenol dan insektisida di kebun jeruk, Desa Mulawari, Kec. TigaPanah, Kabupaten Karo

KESIMPULAN

Atraktan yang berbahan aktif metil eugenol yang ditetesi pada particele boardyang dicampur dengan insektisida dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalatbuah dengan cara menarik lalat buah jantan untuk datang karena aroma yang kuat dari metil eugenolkemudian terbunuh karena telah memakan inseketisida Penggunaan atraktan denganmenggunakan bahan metil eugenol dengan dicampur insektisida merupakan carapengendalian yang ramah lingkungan dan telah terbukti efektif.

Dari percobaaan yang telah dilakukan di kebun jeruk seluas 1 ha, di Desa Mulawari,KecamatanTiga Panah, Kabupaten Karo bahwa male annihilation technique (teknik penghilanganjantan) lalat buah dengan menggunakan papan particle board sebagai dispenser berukuran 5 x 5 x 2cm yang telah ditetesi atraktan yang berbahan aktif metil eugenol ditambah insektisida malation,dapat bertahan sampai bulan ke-8. Penggunaan papan particle board dapat menggantikan kapas yanghanya bertahan sampai 2 minggu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kepada Bupati Kabupaten Karo, Kepala Dinas PertanianKabupaten Karo serta jajaran staf yang telah bersedia bekerja sama dalam melakukan penelitian ini.Kepada Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional dan Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop danRadiasi-BATAN dan tak lupa kepada rekan-rekan di Kelompok Pengendalian Hama yang juga telahbanyak membantu.

PUSTAKA

1. Anonim 2012, Lalat buah serang jeruk di Merek Raya, <http://www.metrosiantar.com/index.php/Metro-Siantar/lalat-buah-serang-jeruk-di-merek-raya>,diakses tanggal 18 Mei 2012.

290

Page 263: Prosiding BUKU 1

Penggunaan Papan Particle board untuk Menangkap Lalat Buah di Kebun Jeruk Kabupaten Karo Sumatera UtaraNasution, I. A, Indarwatmi, M, Kuswadi, A.N, Rusli, dan Ginting, R

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│251

2. Anonim l2012, Lalat buah, hama utama hortikultura, <http://www.suaramerdeka. com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/11/152097/>, diakses tanggal 10 April 2012.

3. Anonim, Petani jeruk Sumut keluhkan lalat buah, <http://www.antaranews.com/berita/306169/>.

4. Anonim 2012, Lalat buah jeruk Karo sudah sekarat, <http://www.sinabungjaya.com/?p=28641>.

5. Kalshoven, LGE 198, The Pest of Crops in Indonesia, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta.

6. Nasution, Indah, A & Kuswadi, AN 2006, Dispenser metil eogenol toksik untuk penurunanpopulasi lalat buah jantan Bactrocera carambolae (Drew & Hancock) di kebun mangga,Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial, Bogor, 5Oktober 2004.

7. Kuswadi, AN, Himawan, T, Darmawi, Indarwatmi, M & Nasution, IA 1999, Pemantauan danpengendalian populasi lalat buah Bactrocera carambolae (Drew & Hancocl) dengan metileugenol dalam rangkapenerapan teknik serangga mandul, Prosiding Seminar Nasional PEI,Bogor, hlm. 293-300.

8. Kardinan , A 2003, Tanaman pengendal i la la t buah , PTAgroMedia Pustaka, Jakar t .

9. Tan, K.H., R. Nishida and Y.C. Toong. 2002. Floral synomone of a wild orchid Bulbophyllumcheiri, lures Bactrocera fruit flies for pollinatio.Journ. Of Chemical Ecology. XXVIII (6)

:1172.Warthen, J.R. 2002.Volatile Potential Attractants from Ripe Coffee Fruit for FruitFly. USD Subtropical Agriculture Research, Weslaco, USA.6pp

10. Anonim 2006, Aplikasi Penggunaan Atraktan Nabati. oleh: Prima Tani, Warthen, J.R. 2002.Volatile Potential Attractants from Ripe Coffee Fruit for Fruit Fly. USDA Subtropical AgricultureResearch, Weslaco, USA, pp. 6, <http://primatani.litbang.deptan.go.id>, diakses tanggal 4 Mei2010.

11. Kusnaedi. 1999. Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Jakarta: Tanindo Press.

12. Vargas, Roger I. Jaime, Pinero, C, Ronald F .L Mau, John D. Stark, Mark Hertein, Agenor MafraNetto, Reginald Coler & Anna Getchelt 2009, ‘Attraction and Mortality of oriental fruit flies toSPLAT-MAT- methyl eugenol with spinosad.D01: 10.1111/j.1570-7458.2009.00953,x.2009.@The Authors Entomologist Experimental of Applicate’, Journal compilation @2009 TheNetherlands Entomogist Society, vol. 131, pp. 286-90.

13. Hancock, Osborne, DIR, Broughton, S & Gleeson, P, 2000, Eradication of Bactrocera papayae(Diptera : Tephritidae) by Male Annhilation and Protein Baiting in Queensland, Australia, In Tan,KH (Edit), Area wide control of fruit flies and otther pests, Univ. Sains Malaysia, Pulau Pinang,pp. 38-88.

Page 264: Prosiding BUKU 1

Wilt Desease Intensity of Cayenne Plants in the Use of Plastic Mulch and Straw Mulch in Dry Agro-Ecosystem ZonePustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

252│

252│

Wilt Desease Intensity of Cayenne Plants in the Use of Plastic Mulch and Straw Mulchin Dry Agro-Ecosystem Zone

Pustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, AYogyakarta Assessment Institute of Agricultural Technology

Email: [email protected]

ABSTRACT. Cayenne pepper that was cultivated in Selopamioro District, Bantul Regency by utilizing rainwater ponds has a high yield potential and high received by consumers in Yogyakarta Special Province.Selopamioro District has a dry agro-ecosystem zone, therefore the use of water ponds and water-useefficiency by suppressing high evaporation of ground water is one technology that is required by farmers. Hencethe introduction of mulching beds technology using either silver-black plastic mulch or straw mulch wasconducted in April to July 2012 with Randomized Completely Block Design and three replications. The resultsshowed that the plastic mulch cause Phytophthora root rot and Fusarium wilt disesase on cayenne was severe, sothese diseases became one of the main constraints on a silver-black plastic mulching technology. While the useof approximately 10 tons per hectare straw mulch reduced wilt disease up to 5% lower than silver-black plasticmulch.

Key words: Cayenne; wilt disease; root rot; mulching.

ABSTRAK. Pustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, A, 2013. Intensitas Penyakit Layu padaTanaman Cabai Rawit pada Penggunaan Mulsa Plastic dan Mulsa Jerami di WilayahAgroekosistem Kering. Tanaman cabai rawit yang dibudidayakan di Kecamatan Selopamioro KabupatenBantul dengan memanfaatkan air embung tadah hujan memiliki potensi hasil tinggi dan daya terima konsumensangat tinggi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan Selopamioro merupakan daerah denganagroekosistem lahan kering, sehingga pemanfaatan air embung dan efisiensi penggunaan air dengan caramenekan tingginya evaporasi air tanah merupakan salah satu teknologi yang sangat diperlukan petani. Olehkarena itu dilakukan introduksi teknologi pemulsaan bedengan, baik menggunakan mulsa plastik hitam perakmaupun mulsa jerami yang dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2012 dengan desain Rancangan AcakKelompok Lengkap tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik ternyatamenyebabkan intensitas penyakit layu fusarium dan busuk akar phytophthora menjadi tinggi, sehingga keduapenyakit ini menjadi salah satu kendala utama pada teknologi pemulsaan plastik hitam perak. Berbeda denganpenggunaan mulsa jerami setebal kurang lebih 10 ton per hektar mampu mengurangi persentase kejadianpenyakit layu 5% lebih rendah dibandingkan mulsa plastik hitam perak.

Kata Kunci: Cabai rawit; Penyakit Layu; Mulsa Plastik Hitam Perak; Mulsa Jerami.

The growth of cayenne plants was influenced by good cultivation technique. The use of silverblack plastic mulch gave many advantages such as suppressing weed growth, stabilizing soil moistureand soil temperature, and minimizing evaporation of nutrients and water. Using plastic mulch is asimple, safe, and effective alternative to toxic, costly soil fumigants and to the lengthy crop rotationsneeded to control many damaging soil-borne pathogens. In addition, this procedure may provide goodweed control, improve soil tilth, and increase availability of essential plant nutrients. It becomes analternative way to control the pathogen. Moreover, use of soil fumigants for disease control is oftenundesirable due to their residual toxicity in plants and soils, unfavorable effects on humans andanimals, complexity of treatments, high cost of chemicals, and increasing interest in and demand fororganic agriculture.

However, in soil that simultaneously planted with Solanaceae plant along years, the use ofmulch was considering increase soil borne pathogen attack in cayene pepper. It is related to theincrease of soil moisture and the decrease of soil temperature that could enlarge many pathogensdevelopment in soil. Fusarium sp. and Phytophora sp. are major soil-borne pathogen of manyeconomically important crop plants. They are soil-borne pathogens. Effective control is a seriouschallenge to farmers. A long rotational cropping (more than 4-6 years) is not a useful method tocontrol the pathogens which can live in the soil for long periods of time (Randall et al, 2012). Whensoil temperature decreased and soil moisture increased, depending on soil type, season, location, soil

Page 265: Prosiding BUKU 1

Wilt Desease Intensity of Cayenne Plants in the Use of Plastic Mulch and Straw Mulch in Dry Agro-Ecosystem ZonePustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│253

depth and other factors, fungal pathogen becomes extended. Some fungal pathogens affected by soilmicro climate was Verticillium spp. (wilt), Fusarium spp. (several diseases), and Phytophthoracinnamomi (Phytophthora root rot), and bacterial pathogens such as Streptomyces scabies (potatoscab), Agrobacterium tumefaciens (crown gall), and Clavibacter michiganensis (tomato canker). Italso affects soil populations of different plant parasitic nematodes, especially Meloidogyne spp. (root-knot) and Pratylenchus thornei (root lesion), Pratylenchus (root lesion) and Xiphinema (dagger)nematodes. Whilst increasing soil temperature reduced Phytophthora blight on potato in SouthSulawesi (Asaad et al, 2012) and Phytopthora capsici crown rot in Piper nigrum (Wahyuno, 2009).

In this assessment, decreasing water evaporation of dry agro ecosystem soil using plasticmulch or straw mulch in order to minimize water consumption from water ponds during dry season indry land agro-ecosystem zone, was also expected could suppress soil-borne pathogen infection oncayenne pepper.

METHODThe assessment of Wilt Disease and Root Rot Intensity of Cayene Pepper in the Use of Plastic

Mulch and Straw Mulch in Dry Agro-ecosystem Zone was conducted from April to July 2012 atNawungan I, Selopamioro Village, Imogiri District, Bantul Regency. Cayenne pepper was planted inRandomized Completed Block Design with three treatments and three replications. The treatmentswere: 1. Without Mulch, 2. Silver Black Plastic Mulch, and 3. Straw mulch. Each treatment consistedof forty plants that were planted in 7 m2 of seedbed and replicated in three blocks. Plants werefertilized using NPK Mutiara 500 kg/ha, Urea 600 kg/ha, and KCl 60 kg/ha, based on the Center ofVegetables Research (Balitsa) recommendation. To suppress soil borne pathogens infection,Trichoderma sp. (106-9 cell spores/gram) as microbial fungicide was applied to the soil at the sametime with the application of 20 ton/ha of organic fertilizer, a week before seedlings transplantation.Wilt disease, other diseases and plant growth were observed once in two weeks on four sample plantsper treatment per replication. Percentage of wilted plants was recorded from all plants in the treatmentplot then observed in laboratory for further identification of the pathogen. To assess the plant growth,plant height and trunk diameter were recorded.

RESULTS AND DISCUSSIONResults showed that percentage of wilted plants increased within two weeks, except plants that

was cultivated without mulch (Table 1). Furthermore, the lowest percentage of wilted plant was foundin Without Mulch treatment. Two weeks after planting, the wilted plant was only 0.833%, while atfour weeks and six weeks after planting, wilted plant were only 1.667%. The percentage of wiltedplant did not increase from week 4th to 6th. In contrast, the highest percentage of wilted plant wasfound in plastic mulch treatment. In this treatment, percentage of wilted plant at two weeks afterplanting was 7.500% then increased sharply at the fourth week (30.000%) and sixth week (34.167%).Meanwhile, in Straw Mulch treatment, 6.667% plants showed wilting symptom at two weeks afterplanting, then increased to 25.833% at four weeks after planting and 29.167% at six weeks afterplanting. In contrast, regarding previous research by Asaad et al. (2010), Phytophthora leaf blight ofpotato decreased in combination of plastic mulch and PHT. It is likely caused by soil wateringinterval in our assessment was too frequent, so that temperature in soil covered by plastic mulch was 2°C lower than soil covered by straw and 3 °C lower than soil without mulch.

Table 1. Percentage of wilted plants (%) at 2, 4, and 6 weeks after planting.

Treatments Percentage of Wilted Plants (%)

2 wap 4 wap 6 wap

Without Mulch 0.833 1.667 1.667

Straw Mulch 6.667 25.833 29.167

Plastic Mulch 7.500 30.000 34.167

Wilted plants showed attack symptom of both Fusarium sp. and Phytophthora sp. Fusariumwilt symptoms begin as slight vein clearing on outer leaflets and drooping of leaf petioles. Lower

Page 266: Prosiding BUKU 1

Wilt Desease Intensity of Cayenne Plants in the Use of Plastic Mulch and Straw Mulch in Dry Agro-Ecosystem ZonePustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

254│

254│

leaves do not begin to wilt until roots and the base of the stem have already started to decay. Wiltingof the entire plant soon follows. If the main stem is cut, dark, chocolate-brown streaks may be seenrunning lengthwise through the stem. This discoloration often extends upward for some distance and isespecially evident at the point where the petiole joins the stem. Microscopic observation showed thatFusarium sp. was found in the wilted plants.

Root rot caused by Phytopthora sp.was also found. It attacked the roots, stems, leaves, andfruit, depending upon which stage plants are infected. Early infected plants are quickly killed, whilelater-infected plants show irreversible wilt. Often a number of plants in a row or in a roughly circularpattern will show these symptoms at the same time. Fungus-infected seedlings damped off at the soilline. Stem lesions can occur at the soil line and at any level on the stem. Stems discolor internally,collapse, and may become woody in time (Figure 3A). Lesions may girdle the stem, leading to wiltabove the lesion, or plants may wilt and die because the fungus has invaded the top branches beforethe stem lesions are severe enough to cause collapse. Leaves first show small dark green spots thatenlarge and become bleached, as though scalded. If the plant stems are infected, an irreversible wilt ofthe foliage occurs. Spores of Phytophthora sp. was also found in infected plant.

Plants agronomy performance showed that the greatest development of plant height fromweek 2nd to 6th was found in plants that cultivated without mulch (Table 2). At six weeks afterplanting, height development of plants without mulch was 41.583 cm, while in plants with plasticmulch and plants with straw mulch was 33.975 cm and 31.438 cm, respectively. Distinction fromresearch result by Hamdani (2009) and Mahmood et al. (2002), silver black plastic mulch increasedplant height due to the increase of soil temperature above 22 °C and alleviate soil moisture up to 62-65.5%. It is likely that in this assessment, low soil temperature (in average 21 °C) and high moisturedue to frequent interval of soil watering suppressed plant growth with plastic mulch.

Table 2. The development of plant height from two weeks after planting to six weeks after planting.

TreatmentsPlant height (cm)

2 wap 4 wap 6 wap 2-6 wapWithout Mulch 14.167 30.550 55.750 41.583Straw Mulch 13.292 28.942 44.783 31.438Plastic Mulch 12.917 27.900 46.892 33.975

The development of trunk diameter in plants without mulch was greater than plants with strawmulch and plastic mulch, whilst the least trunk diameter was found in plants with plastic mulch (Table3). From week 4th to 6th, trunk diameter development of plants without mulch, plants with strawmulch, and plants with plastic mulch was 0.496, 0.397, and 0.386 cm, respectively.

Table 3. The development of trunk diameter from four weeks after planting to six weeks after planting.

Treatments

Trunk Diameter (cm)

4 wap 6 wap 4-6 wap

Without Mulch 0.387 0.883 0.496

Straw Mulch 0.409 0.806 0.397

Plastic Mulch 0.452 0.838 0.386

Numbers of fruit in plants without mulch was greater than plants with straw mulch and plasticmulch, whilst the least numbers of fruit was found in plants with plastic mulch (Table 4).

Table 4. Numbers of fruit at six weeks after planting.

Treatments Numbers of fruit at 6 wap

Without Mulch 15.08

Straw Mulch 8.33

Plastic Mulch 7.00

Page 267: Prosiding BUKU 1

Wilt Desease Intensity of Cayenne Plants in the Use of Plastic Mulch and Straw Mulch in Dry Agro-Ecosystem ZonePustika, A B., Fibrianty, and Iswadi, A

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│255

Other diseases that found in this assessment were Cercospora sp. and Alternaria sp. Thelargest percentage of leaves infected by Cercospora sp. was found in plants covered with straw mulch(4.000%), whilst in plants covered by plastic mulch was 3.333%. The least percentage of Cercosporainfected plants was found in plants without mulch (Table 5). Moreover, similar result was found in thepercentage of plants infected by Alternaria sp. In plants cultivated with plastic mulch, Alternariainfection reached 12%, whilst in plants cultivated with straw mulch was 6.333%, and in plants withoutmulch was only 3.667% (Table 6). It is probably caused by the high air humidity above straw andplastic mulch (below plants canopy). This micro climate probably suitable for Cercospora andAlternaria development.

Table 5. Percentage of plants infected by Cercospora sp.

TreatmentsPercentage of Plants Infected by Cercospora sp. (%)

2 wap 4 wap 6 wap

Without Mulch 1.000 1.000 1.333Straw Mulch 4.000 4.000 4.000Plastic Mulch 3.333 3.333 3.333

Table 6. Percentage of plants infected by Alternaria sp.

Treatments

Percentage of Plants Infected by Alternaria sp. (%)

2 wap 4 wap 6 wap

Without Mulch 0.000 1.000 3.667

Straw Mulch 0.000 6.000 6.333

Plastic Mulch 0.000 11.000 12.000

CONCLUSION

1. Cayenne plants cultivation without mulch performed the best growth, including the largest heightand largest trunk diameter.

2. Cayenne pepper that was cultivated without mulch produced the largest numbers of fruit.3. Percentage of wilted plants caused by Fusarium sp. and Phytophthora sp. in straw mulch was 5%

lower than plastic mulch.4. Percentage of Alternaria and Cercospora leaf spot in straw and plastic mulch was greater than

plants without much.

REFFERENCE

1. Asaad M., Warda and BA. Lologau. 2010. Kajisn Pengendlian Terpadu Hama dan PenyakitUtama pada Kentang Tropika di Sulawesi Selatan. Prosiding seminar ilmiah dan pertemuan PEIdan PFI komisariat daerah Sulawesi Selatan. 27 Mei 2010. p 298-307.

2. Hamdani, J.S. 2009. Pengaruh jenis mulsa terhadap pertumbuhan dan hasil tiga kultivar kentang(Solanum tuberosum L.) yang ditanam di dataran medium. J. Agron. Indonesia 37 (1): 14-20.

3. Mahmood M., k. Farroq, A. Hussain and R. Sher. 2002. Effect of mulching on growth and yieldof potato crop. Asian J. Of Plant Sci. 1(2): 122-133.

Page 268: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central JavaSutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

256│

256│

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly TransmittedGeminiviruses on Farmer’s Field in Kaliori, Rembang-Central Java

Sutoyo1) and Paul A. Gniffke 2)

1)Assessment Institute for Agricultural Technology (AIAT)- Central Java,Bukit Tegalepek Sidomulyo, P.O. Box 101, Ungaran. 50501. Tel: 024 6924 965,

Fax: 024 6924 966. Email: [email protected])AVRDC-The World Vegetable Center, P.O.Box 42, Shanhua, Tainan 74199, Taiwan

ABSTRACT. Chili pepper (Capsicum annum L.) is one of the important vegetables widespread grown byfarmers in Indonesia. Several main factors limiting the chili pepper cultivation in the field among others areAnthracnose and Whitefly transmitted geminiviruses/yellow leaf curl diseases. In the efforts to control thediseases in the fields using both of fungicides and insecticides often do not effective, spend a lot of money, andgive negative effects to environment as well as human health. For those reasons, this experiment aimed to obtainchili pepper lines/varieties resistant to Anthracnose and or Whitefly transmited geminiviruses and have highyield potential. The experiment was carried out in Meteseh Village, Kaliori Subdistrict of Rembang-Central Javaon February to August 2010. The experiment used 25 chili pepper lines/varieties of AVRDC (The WorldVegetables Center, Taiwan) collection. Each line/variety was planted in a bed measuring of 10 m x 1.2 m with aplanting distance of 50 m x 60 m and distance among the beds of 0.5 m. Every five number of testedlines/varieties were interspersed with comparison varieties (TM-999 and Taro). For every block/replication ofexperiment was surrounded by border plants planted one week early. The experiment used three replication andnatural inoculum sources of the diseases. The experiment was cultivated by the integrated crops management.Results showed that there were five lines/varieties of which had resistance to Anthracnose (the infection lessthan 5%), namely PP-0537-7558, 0836-6717-1, 0836-6715-1, 0707-7514-B dan 0737-7732-B, besides, therewere 10 lines/varieties had low infection of Whitefly transmitted geminiviruses. From this experiment, therewere two lines/varieties of which resistant to Anthracnose and Whitefly transmitted geminiviruses, had highyield potential and favored by farmers/consumers, namely PP-0537-7558 and 0737-7651-B. The line/variety ofPP-0537-7558 has a good opportunity to be cultivated in a continuous raining condition whereas otherlines/varieties have a lot of damaged fruits due to the Anthracnose.

Keywords: chili pepper’s lines/varieties, anthracnose, whitefly transmitted gemini viruses (WTG), high yieldpotential, farmer’s field.

ABSTRAK. Sutoyo dan Paul A. Gniffke. 2013. Ketahanan Varietas / Galur cabe terhadap Antraknosdan Whitefly Transmitted Gemini Viruses di Lahan Petani di Kaliori, Rembang – Jawa Tengah. Tanamancabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran penting yang dibudidayakan secara luasoleh petani di Indonesia. Beberapa faktor pembatas utama dalam budidaya tanaman cabai di lapangan antara lainadalah penyakit Antraknose dan penyakit Virus kuning. Dalam upaya pengendalian penyakit Antraknose danVirus kuning di lapang baik dengan menggunakan fungisida maupun insektisida sering kali tidak memberikanhasil yang efektif dan membutuhkan biaya yang mahal serta memberikan dampak negatif terhadap lingkungandan kesehatan manusia. Untuk itu telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan galur/varietascabai yang tahan terhadap penyakit Antraknose dan atau penyakit Virus kuning serta dapat berproduksi tinggi dilapang. Penelitian dilakukan di Desa Meteseh, Kaliori, Rembang – Jawa Tengah dari bulan Pebruari – Agustus2010. Penelitian dengan menggunakan 25 nomor galur/varietas cabai koleksi dari AVRDC (The WorldVegetable Center, Taiwan). Tiap galur/varietas cabai ditanam pada bedengan berukuran 10 m x 1,2 m denganmenggunakan jarak tanam 50 cm x 60 cm dan jarak antar bedeng 0,5 m. Setiap lima nomor galur/varietasdiselingi dengan varietas pembanding (TM-999 dan Taro). Pada setiap blok/ulangan pertanaman cabai dikelilingidengan varietas border yang ditanam satu minggu lebih awal. Penelitian dengan menggunakan tiga kali ulangan.Sumber inokulum penyakit dilakukan secara alami dan budidaya tanaman dilakukan secara terpadu. Hasilpenelitian didapat ada 5 galur/varietas cabai yang tahan terhadap penyakit Antraknose (infeksi kurang dari 5%),yaitu PP-0537-7558, 0836-6717-1, 0836-6715-1, 0707-7514-B dan 0737-7732-B, juga didapat ada 10 galur yangmempuyai infeksi rendah terhadap penyakit Virus kuning. Dari hasil penelitian ini didapat 2 galur/varietas cabaiyang tahan terhadap penyakit Antraknose dan Virus kuning yang mempunyai potensi hasil tinggi dan disukaioleh petani/konsumen yaitu galur/varietas PP-0537-7558 dan 0737-7651-B. Galur/varietas PP-0537-7558mempunyai potensi yang bagus untuk dibudidayakan pada kondisi hujan terus menerus di mana varietas lainmempunyai banyak buah busuk karena Antraknose.

Katakunci: galur/varietas cabai, penyakit antraknose, penyakit virus kuning, potensi hasil tinggi, lahan petani

Page 269: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central Java

Sutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│257

Chili is one of the important vegetable commodities and it is widely cultivated by farmers inIndonesia, ranging from lowlands to highlands (Setiawati et al., 2003). Chili plants generally producedas a result of agriculture to the farmer's income sources that can be sold directly in both local andurban markets, and can also be consumed directly by households. In the cultivation of chili plants, thelevel of productivity in the field often encounter many obstacles by pests and diseases (Ali, 2006).Some of the factors limiting the level of productivity in the chili cultivation in the field among othersare Anthracnose disease caused by Colletotrichum spp., (Suryaningsih et al., 1996) and Whiteflytransmitted geminiviruses/yellow leaf curl disease caused by Geminivirus, spread by whitefly, Bemisiatabaci Genn (Sulandari, 2006), those can reduce the number and quality of crop production, which inturn will lower the economic value of the crops. In an effort to control the disease by fungi andviruses, the use of chemical pesticides often do not provide effective results and spend an expensivecost and bear the risk of negative impacts both the environment and humans. In addition, farmers alsolost knowledge in the application of the management of plant diseases which are more wise andenvironmentally friendly.

From the results of survey (Luther et al., 2007; Maryono and Bhattarai, 2009) note that themajor diseases of the most dominating in chili crop production center in Central Java, Magelang-Brebes-Rembang, were Anthracnose and WTG diseases. From the results of this survey revealed thatthe Anthracnose on chilli plants, especially in the rainy season, can cause the loss between 10-80% inBrebes, 25-100% in Rembang, and 80-100% in Magelang. While the WTG diseases on chili crop,especially in the dry season, can cause yield losses of 10-100% in Magelang, 10-30% in Rembang,and 1-5% in Brebes. While the change of seasons are usually the two main disease are presentsimultaneously with a high variation of disease intensity.

Commercial chili pepper varieties on the market which are tolerant/resistant either toAnthracnose or WTG diseases are still rare. Some commercial chili pepper varieties stated resistant toAnthracnose disease, during the rainy season with a fairly intensive chemical control in endemic areas,growers are assessed fairly well managed to harvest only about 30% of the total harvest. Whilefungicides recommended for controlling Anthracnose disease are often less effective. Meanwhile, thecontrol by the use of chemical insecticides to suppress insect vector of WTG disease are also often lesseffective, so that the integrated control with the main components of resistant varieties have a verygood prospect approach in an integrated disease management in the field (Suryaningsih et al., 1996;Duriat and Muharam, 2003; Sulandari, 2006).

Several germplasm sources of resistance to strains Anthracnose disease in Indonesia havebeen identified by IVEGRI and AVRDC, in which these germplasm may be able to be crossed withcommercial and local varieties of chili pepper preferred by consumers to obtain new resistant varietiesto the disease, which produce high yield and preferred by consumers. Several varieties of chili peppersthat are resistant to the WTG disease has also been identified in India, but the confirmation of the levelof resistances and usefulness to the conditions in Indonesia still needs to be further studied, so thatresistant germplasm may be useful in overcoming optimally problems of WTG disease. Therefore, oneof the objectives of this study is to obtain varieties/lines that are resistant to Anthracnose or WTGdisease in the field, and they, agronomic, can produce high yield and favored by farmers/consumers.

MATERIALS AND METHOD

A total of 25 lines/ varieties of peppers from AVRDC - The World Vegetable Center, Taiwanhad been tested their resistance to Anthracnose and WTG diseases on farmers field in Meteseh, Kaliori- Rembang. The trial was carried out from February to August 2010, using natural sources ofinoculum/diseases. Two curly red hybrid chili varieties preferred by most farmers, the TM-999 andTaro, used as a comparison varieties. The TM-999 was also used as border plants around the testplants grown in one week earlier than the tested plants.

Each line/variety tested was planted in beds measuring 10 m x 1.2 m with the distance betweenbeds about 0.5 m and planting distance used was 50 cm x 60 cm. Each planting of 5 numberslines/varieties interspersed with the comparison varieties. Cultivation using black silver plastic mulch,used compost equivalent to 10 tones/ha and the N, P, K chemical fertilizers equivalent to 150 kg N/ha,120 kg P2O5/ha and 90 kg K2O/ha, respectively. The compost and one third of P fertilizer was applied

Page 270: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central JavaSutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

258│

258│

as basal fertilizers and the other chemical fertilizers were applied as a succeeding fertilizers at the ageof 3, 6, and 9 weeks after planting (Setiawati, 2003; Sunarni and Muharam, 2003). Observations weremade of population living plants, plant height, the percentage of harvested fruit infected byAnthracnose, the percentage of plants infected with WTG disease.

In addition to the preference test was also done by the experienced farmers/consumers chilipepper, against the form of fruit, plant performance, and market acceptability. For the assessment ofeach line/variety is distinguished from 1-5, using the scores;

1 = dislike,2 = rather dislike,3 = moderately like,4 = like,5 = like very much.

RESULTS AND DISCUSSION

Population and plant height.Of the 25 number lines/varieties tested, there were 5 numbers that plant populations were not

more than 10 plants, while 20 line numbers/other varieties that could be tested using 3 replications.From the observations made on plant height at age of 130 days after planting (DAP) appeared almostthe plant height of all lines/varieties were more or less equal to the plant height of comparisonvarieties (plant height of TM-999= 61.10 cm and Taro = 45.00 cm), except lines of C04871 and 0735-5696-1 which only had a plant height of about 23 cm.

Percentage of Anthracnose Disease.From the observations of percentage the infected fruits caused by Anthracnose observed from

the first harvesting until the 10th harvesting as shown in table 1. From these observations the resultsobtained showed that there were 5 numbers lines/varieties that have the percentage of Anthracnosedisease, equal to 5% or less, i.e. lines number 0836-6715-1, 0836-6717-1, PP0537-7558 (lines no. 11and no. 19), 0707-7514-B and the line number 0737-7732-B. Both the comparison varieties, TM-999and Taro, also had a percentage Anthracnose disease less than 5%. TM-999 variety had Anthracnosedisease of 1.2% and Taro variety had Anthracnose disease of 3.9%.

Page 271: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central Java

Sutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│259

Table 1. Percentage of chili pepper fruits that infected by Anthracnose diseases, total fruit numberwere observed from the first harvest to the 10th harvest */.

No. Line/variety code Percentage ofAnthracnose, from the 1st

– 10th harvest

The average number of total fruitsfrom 10 plants

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.

0836-6741-10836-6741-20735-5696-10836-6708-10836-6708-20836-6715-10836-6717-10836-6719-10836-6729-10737-7732-BPP0537-7558

PBC1490735-5677-10704-4728-1

34,633,532,911,16,93,32,1

14,915,85,41,4

12,764,218,3

14641447297

134813091253971

10771452744

111411021720274

15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.

C04851C04871C04872

0503-3743-2PP0537-75580707-7540-B0737-7651-B0707-7512-B0707-7514-B0737-7641-B0735-5696-1

6,323,80 **/5,90,2

12,69,3

15,73,7

40,422,3

47529428

6711164317

2230421702

1338260

26.27.

TM-999 (comparison)Taro (comparison)

1,23,9

33971770

Note: */ Average of 3 replications**/ Plants were died after second harvest.

From the results of this trial, line no. PP0537-7558 has an average percentage Anthracnosedisease of 0.8%, lower than the percentage of Anthracnose disease on TM-999. Besides, spots on lineno. PP0537-558 caused by the Anthracnose were not developed compared to those on TM-999.

Percentage of WTG Disease.From the observations of WTG disease since the first month up to the 6th month there were 11

numbers lines/varieties obtained of population that were still free from WTG virus attacks. In table 2are presented the results of observations of WTG diseases from the 3rd month to the 6th. The elevenlines/varieties that WTG disease-free were lines/varieties no. 0836-6741-1, 0836-6741-2, 0836-6708-2, 0836-6719-1, 0836-6729-1, PP0537-7558 (2 numbers), PBC149, 0735-5677-1, 0707-7540-B,0707-7512-B.

Page 272: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central JavaSutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

260│

260│

Table 2. The number of WTG infected plants per population in the lines/varieties trials, theobservations from the 3rd to the 6th month.

No. Line/variety code Month observations..the 3rd the 4th the 5th the 6th

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.

0836-6741-10836-6741-20735-5696-10836-6708-10836-6708-20836-6715-10836-6717-10836-6719-10836-6729-10737-7732-BPP0537-7558

PBC1490735-5677-10704-4728-1

00

2/200000000000

3/4

00

3/200000000000

3/4

00

4/200000000000

3/4

00

6/203/40

02/383/38

00

2/16000

3/415.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.

C04851C04871C04872

0503-3743-2PP0537-75580707-7540-B0737-7651-B0707-7512-B0707-7514-B0737-7641-B0735-5696-1

3/300

1/1200

1/2600

2/282/20

3/30

-(death)1/12

00

1/2600

3/284/20

3/30-

1/1200

1/260

2/124/288/20

3/31/20

-1/12

00

13/260

3/128/289/20

26.27.

TM-999 (comparison)Taro (comparison)

1/400

2/400

5/400

10/404/40

Condition WTG disease intensity that occur on the field, when the trial on going, were variedbetween low to moderate intensity, it can be seen from the results of WTG infections acquired in thevariety of TM-999, which in general conditions in endemic areas, at the harvesting stadia usuallyinfection occurs between 50-80%, but on the test the results showed that the highest infection onlyreached 25%. At the beginning stadia of the test, it was expected to the WTG Virus infection would bemore severe than that in infection of Anthracnose disease, because the testing took place through thedry months, but what happens on the field on the contrary, almost every day of rain, wet and humid, asin the conditions of the rainy season, so it was possible the WTG vector, Bemisia tabaci, might noteffective in transmitting the disease. Condition of continuous rain, wet and humid occur interspersedheat occasionally and it made the environment become more conducive for Anthracnose diseasedevelopment so that the Anthracnose disease occurred more severe than the prediction before and theWTG diseases was less developed in the field. From the results of these observations it was known theline/variety that had low percentage of WTG, low Anthracnose intensity and had high yield potential,i.e. line no. PP0537-7558.

Yield.From Table 1, the results of harvest data collection from the first harvest to the 10th harvest

known there were 15 numbers/lines that have a high fruit yield potential, more than 1000 pieces ofchili fruits per 10 plants, i.e. lines/varieties no. 0836-6741-1, 0836-6741-2, 0836-6708-1, 0836-6708-2, 0836-6715-1, 0836-6719-1, 0836-6729-1, PP0537-7558 (2 numbers), PBC149, 0735-5677-1, 0737-7651-B, 0737-7641-B, including the comparison varieties TM-999 and Taro.

Of the 15 lines/varieties that have high yield potential and that have a high resistance to theAnthracnose infection were no. 0836-6715-1 and PP0537-7558, and includes two varieties ofcomparison. While the lines/varieties that have high yield potential as well as have a moderateresistance (5-10% infection) of the Anthracnose disease were no. 0836-6708-2, and 0737-7651-B.Lines/varieties that have high yield potential and rather moderate resistance (11-15% infection) againstthe Anthracnose disease were no. 0836-6708-1, 0836-6719-1, 0836-6729-1, and PBC149.

Page 273: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central Java

Sutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│261

Farmer/Consumer‘s Preferences.To test the preference of farmers/consumers, it had been presented by 20 farmers/ consumers

who had an experience of consumers preferences at least 5 years in chili cultivation to provide a directassessment on the field of trial at the fruiting stadia, by observing the appearance of plants, fruit shapeand market opportunities of various types of chili peppers that were being observed. Criteria forassessment of fruit shape by comparing the ideal shape of chili peppers as big, curly chili or cayennepepper.

Table 3. The results of preference assessments of farmers/consumers chili peppers to the testedlines/varieties, the characteristics of the assessment of fruit shape, the appearance of plantsand market acceptance.

No. Line/variety code Average scores on

Fruit shape Appearance Marketacceptance

Average &ranking

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.

0836-6741-10836-6741-20735-5696-10836-6708-10836-6708-20836-6715-10836-6717-10836-6719-10836-6729-10737-7732-BPP0537-7558

PBC1490735-5677-10704-4728-1

3,433,292,712,143,144,003,712,713,863,433,712,433,292,43

2,002,141,712,432,712,573,003,292,712,864,432,294.002,29

4,004,003,433,003,143,142,573,433,433,713,862,434,002,43

3,14 (13)2,62 (14)2,62 (18)2,53 (19)3,00 (17)3,24 (12)3,09 (16)3,14 (15)3,33 (9)

3,33 (10)4,00 (5)

2,38 (22)3,76 (6)

2,38 (21)15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.

C04851C04871C04872

0503-3743-2PP0537-75580707-7540-B0737-7651-B0707-7512-B0707-7514-B0737-7641-B0735-5696-1

2,711,711,572,003,711,434,293,433,293,571,89

2,431,571,431,574,711,434,573,002,862,711,14

2,431,141,712,294,002,574,864,294,003,712,57

2,52 (20)1,48 (27)1,57 (26)1,95 (23)4,14 (4)

1,81 (25)4,57 (3)3,57 (7)3,38 (8)

3,33 (11)1,86 (24)

26.27.

TM-999 (comparison)Taro (comparison)

5,004,86

5.004,71

5,004,86

5,00 (1)4,81 (2)

Appearance/performance was assessed from potential chili plants to produce high yield and favored byconsumers, while market acceptance was assessed from the potential of lines/varieties to interest theconsumers to buy that chili.

From the results of preference test, it was obtained the average value of each assessed criteria,as well as the overall average values as listed in Table 3. From the test results of these preferencesstudy that the comparison variety TM-999 in the first place with an average full score (score 5) andvariety of Taro took second place with an average score of 4.81. Then followed varieties/linesconsecutively occupies from the next five most preferred, i.e. lines/varieties no.0737-7651-B, PP0537-7558 (2 numbers), 0735-5677-1, 0707-7512-B, and lines/varieties no. 0707-7514-B.

CONCLUSIONS AND RECOMMENDATION

From the results of this resistance testing lines/varieties of chili peppers against theAnthracnose and WTG diseases, in Kaliori-Rembang, it can be concluded several things:

1. Lines/varieties which had low infection of Anthracnose disease, equal to or less than 5%, i.e.lines no. 0836-6715-1, 0836-6717-1, PP0537-7558 (line no. 11 or no.19), 0707-7514-B andline no.0737-7732-B.

Page 274: Prosiding BUKU 1

Resistance of Chili Pepper Lines/Varieties to Antracnose and Whitefly Transmitted Geminiviruses on Farmer’s Field inKaliori, Rembang-Central JavaSutoyo and Gniffke, P.A.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

262│

262│

2. Naturally the time of testing, the WTG infections that occur in the field varies from low tomoderate, the condition was found to be lines/varieties that were not infected with WTG untilthe end of the observation, namely: 0836-6741-1, 0836-6741-2, 0836 - 6708-2, 0836-6719-1,0836-6729-1, PP0537-7558, PBC149, 0735-5677-1, PP0537-7558, 0707-7540-B,-B 0707-7512. For this, it is necessary for continued testing of these lines/varieties in areas having highintensity of the WTG disease.

3. Five lines that meet high-level preferences (fruit shape, the appearance of plants and marketacceptance), i.e. lines no.0737-7651-B, PP0537-7558, 0735-5677-1, 0707-7512-B, and lineno.0707-7514-B.

4. Lines that have high yield potential, Anthracnose and WTG disease resistance, as well as meetthe favors (preferences) of farmers/consumers, namely;a. PP0537-7558 (line 11 or line 19)b. 0737-7651-B (line no. 21).

5. It is suggested that line PP0537-7558 can be tested further to be released into the communityto fill the utilization of opportunities when a lot of chili farming failed due to Anthracnosedisease, such as in wet conditions during anomaly seasons.

ACKNOWLEDGEMENT

Thanks to Dr. Anna Dibiyantoro, Indonesian Site Manager of AVRDC-The WorldVegetables Center (through the ACIAR Project no: CP/2004/048), for her help in implementation ofthis research.

REFERENCES

1. Ali, Mubarik. 2006. Chili Food Chain Analysis: Setting Research Priorities in Asia. TechnicalBulletin No. 38. AVRDC – The World Vegetable Center, Shanhua, Taiwan. 253 pages.

2. Duriat, A.S., and A. Muharam. Pengenalan Penyakit Penting pada Cabai dan PengendaliannyaBerdasarkan Epidemiologi Terapan. Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu CabaiMerah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang, Jawa-Barat. 54 pages.

3. Luther, Greg, M. Palada, T.C. Wang, A. Dibiyantoro, J. Maryono, M. Ameriana, Sutoyo, and D.Bimantoro. 2007. Chili Integrated Disease Management Rapid Rural Appraisal in Central Java,Indonesia. The RRA Report on IDM for Anthracnose, Phytophthora blight and WhiteflyTransmitted Geminiviruses in Chilli Pepper in Indonesia. AVRDC – The World VegetableCenter, Shanhua, Tainan – Taiwan. 54 pages.

4. Maryono, J., and M. Bhattarai. 2009. Chili Production Practices in Central Java, Indonesia.Baseline Report on: Integrated Disease Management (IDM) for Anthracnose, Phytophthora blightand Whitefly Transmitted Geminiviruses in Chili Pepper in Indonesia. AVRDC – The worldVegetable Center, Shanhua, Tainan – Taiwan. 75 pages.

5. Setiawati, W., A. Muharam, H. Ridwan, and A. Dimyati. 2003. Pedoman Umum Penelitian danPengkajian Perbaikan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Cabai Merah. Pusat Penelitian danPengembangan Hortikultura. 31 pages.

6. Sulandari, S. 2006. Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai di Indonesia. Jurnal PerlindunganTanaman Indonesia Vol.12(1): 1-12.

7. Sunarni, N., dan A. Muharam. 2003. Budidaya Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 12 pages.

8. Suryaningsih, E., R. Sutarya and A.S. Duriat. 1996. Penyakit Tanaman Cabai Merah danPengendaliannya. In: Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. pp:64-84.

Page 275: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│263

BAGIAN 4.

PASCAPANEN

Page 276: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode SimpanWaluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

264│

264│

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 padaRuang Simpan dan Kemasan yang Berbeda Selama Periode Simpan

Waluyo, NBalai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu No. 517 Lembang, Bandung 40791

ABSTRAK. Kendala produksi tanaman yang dihadapi oleh negara-negara tropis seperti Indonesia adalahkurangnya benih varietas unggul. Hal ini disebabkan oleh suhu dan kelembaban tinggi, sehingga mempercepatkemunduran benih. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kemunduran benih cabai merah varietas Tanjung-2setelah disimpan selama 1 dan 4 tahun menggunakan kemasan berbeda. Penelitian disusun dalam rancanganacak lengkap pola faktorial terdiri atas dua faktor yaitu suhu (suhu ruang (21-260C) dan suhu dingin (4-50C))dan kemasan (kertas, botol kaca, plastik dan alumunium foil) dengan ulangan empat kali. Hasil penelitian padaperiode simpan 1 tahun menunjukkan bahwa benih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengan kemasankantong kertas memiliki daya perkecambahan terendah dibandingkan perlakuan lainnya dan tidak ada interaksiantara suhu ruang simpan dan kemasan benih terhadap panjang hipokotil dan laju pertumbuhan kecambah.Benih cabai yang disimpan pada suhu ruang memiliki panjang hipokotil lebih rendah dibandingkan benih yangdisimpan pada suhu rendah. Pada periode simpan 4 tahun terdapat interaksi antara suhu ruang simpan dankemasan benih terhadap variabel kemunduran benih. Benih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengankemasan kantong kertas, dan plastik klip pada periode simpan 4 tahun semua benih mati.

Kata kunci: Ruang simpan; Kemasan; Benih cabai

ABSTRACT. Waluyo, N 2013. Deterioration of Pepper Seed (Capsicum annuum L.) Varieties Tanjung-2at Different Room Storage Temperature and Types of Packages During Storage Period. Crop productionin tropical countries like Indonesia is limited by high quality of seeds. High temperature and humidity in thisregion accelerate the seed deterioration. This study was aimed to determine the deterioration of pepper seedsvariety Tanjung-2 after storage for 1 (one) and 4 (four) years using different seed packaging. Treatments werearranged in Factorial Completed Randomized Design consisting of two factors that were temperature (roomtemperature, 21-26o C and low temperature, 4-5oC) and packaging types (paper bags, glass bottles, plastic clipsand aluminum foil bags) with four replicates. The results showed that pepper seeds stored in paper bag at roomtemperature for one year had significant low germination and germination rate compared to other treatments.There were no interaction between storage temperature and seed packaging type on the length of hypocotyls andrate of seedling growth. Pepper seeds stored at room temperature had shorter hypocotyls than those stored at lowtemperature. After storage for 4 years, there were interaction between storage temperature and seed packagingtype on seed deterioration. Pepper seeds stored in paper bags and plastic clips at room temperature for 4 yearswere unable to grow.

Keywords: Storage; Packaging; Peppers seed

Kemunduran benih merupakan proses penurunan mutu secara berangsur-angsur dan komulatifserta tidak dapat balik kembali (irreversible) akibat perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktorinternal. Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan penurunan dayaberkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan pemunculan kecambah dilapangan (field emergence), terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatnyakepekaan terhadap lingkungan ekstrim yang akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman. Faktor-faktor internal dan eksternal memengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan. Faktor internalmencakup sifat genetik, daya tumbuh dan vigor, kondisi kulit serta kadar air benih awal. Faktoreksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu, dan kelembaban ruang simpan.

Suhu ruang simpan berperan dalam mempertahankan viabilitas benih selama penyimpanan.Keadaan ini dipengaruhi oleh kadar air benih, suhu dan kelembaban nisbi ruangan. Faktor yangmenentukan kualitas dan daya simpan benih cabai di tempat penyimpanan benih (gudang benih) ialahkadar air benih dan suhu ruang penyimpanan. Untuk penyimpanan benih jangka menengah (18–24bulan), suhu yang diperlukan ialah 16–200C dan kelembaban 50%.

Page 277: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode Simpan

Waluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│265

Benih jagung yang disimpan selama 3 bulan pada ruang terkendali (suhu 180C dan kelembaban45%), memiliki daya berkecambah sangat baik dibandingkan dengan dalam ruang yang tidakterkendali (suhu 22–250C dan kelembaban 75–85%). Suhu dan kelembaban yang lebih tinggi dalamruang yang tidak terkendali merupakan faktor eksternal yang dapat mempercepat laju kemunduranbenih (Azizah et al. 2009). Kadar air awal, suhu ruang simpan, periode simpan benih, dan varietasberpengaruh terhadap daya simpan benih. Benih jagung yang disimpan pada kadar air awal dengansuhu ruang simpan yang lebih rendah menunjukkan penurunan mutu yang lebih rendah (Arief et al.2010).

Pemilihan jenis kemasan yang baik harus disesuaikan dengan tipe benih, suhu dan kelembabanruang simpan, kadar air awal, lama simpan dan tujuan akhir penyimpanan. Berbagai macam bahanyang dapat digunakan untuk menyimpan benih untuk penyimpanan jangka pendek,misalnyadigunakan kain katun, goni, kertas, dan material komposit, seperti kertas berlapis dan plastik klip, atauplastik polietilen. Untuk penyimpanan jangka pendek umumnya digunakan yang berpori (McCormack2004).

Plastik klip merupakan bahan pengemas benih yang bersifat resisten terhadap kelembaban,tahan pecah dan tahan sobek. Hasil penelitian Oskouie dan Divsalar (2011) menunjukkan bahwa dayaberkecambah benih caisin yang disimpan dalam tiga lapis kantong kertas dan empat lapis kantongkertas memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang disimpan dalam plastikpropilen, kertas dengan lapisan propilene dan kain linen.

Kemasan kaleng dan botol kaca yang tertutup dapat mencegah pertukaran gas dan kelembaban.Kemasan ini dapat melindungi benih dari kelembaban, serangga, tikus, banjir, dan kerusakan mekaniklainnya, sehingga dapat digunakan untuk penyimpanan jangka panjang (McCormack 2004).Alumunium foil merupakan kemasan simpan kedap uap air dan gas yang tahan terhadap pengaruhkelembaban dari luar kemasan sehingga dapat melindungi mutu fisik dan fisiologis benih.

Oladiran & Gunbiade (2000) menyimpan benih cabai yang baru dipanen pada tiga jeniskemasan, yaitu alumunium foil, kantong plastik dan kantong kertas selama 4 minggu pada suhu 300Cdan kelembaban udara 90%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih cabai telah mengalamipenurunan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah benih. Namun penurunan dayaberkecambah dan kecepatan berkecambah benih yang dikemas dalam plastik lebih tinggidibandingkan yang disimpan pada alumunium foil. Hasil penelitian Xuefeng et al. (2009)menunjukkan bahwa kemasan alumunium foil merupakan kemasan terbaik untuk menyimpan benihcabai dibandingkan kemasan kertas dan plastik. Benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 8 dan10% dalam kantong plastik polietilen dan kantong alumunium foil dapat mempertahankan mutu yangtetap tinggi selama penyimpanan 6 bulan (Tatipata et al. 2004). Kadar air yang aman untukpenyimpanan benih cabai dalam kemasan kedap ialah tidak lebih dari 4,5%. Penyimpanan benih yangberkadar air tinggi dapat menimbulkan resiko terserang cendawan. Daya berkecambah yang baik danmasa hidup benih cabai masing-masing adalah sebesar 2 dan 7 tahun jika benih tersebut disimpanpada pada kondisi yang baik (McCormack 2004). Benih bersifat higroskopis, sehingga dapatmengalami kemunduran tergantung dari tingginya faktor-faktor kelembaban relatif udara dan suhulingkungan dimana benih disimpan.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kemunduran benih cabai setelah disimpan danmengetahui tempat penyimpanan dan kemasan yang tepat untuk mempertahankan mutu benih cabaitetap tinggi selama penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Uji Benih Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada tahun2006 sampai dengan 2010. Bahan yang digunakan adalah benih cabai varietas Tanjung-2 yangdipanen tahun 2006 di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, kemasan yang dipergunakan untukpenyimpanan benih cabai ialah kantong kertas, botol kaca, plastik klip, dan kantong alumunium foil.

Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap, yang terdiri atas dua faktor dengan ulanganempat kali. Faktor pertama ialah suhu ruang simpan, terdiri atas dua tingkat suhu berbeda yaitu suhuruang (21-260C), dan suhu suhu rendah(4-50C). Faktor kedua ialah empat jenis kemasan yaitu,kantong kertas, botol kaca, plastik klip, dan kantong alumunium foil.

Page 278: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode SimpanWaluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

266│

266│

Penelitian dimulai dari penyediaan 128 g benih cabai dari buah cabai yang dikeluarkan bijinyasecara manual menggunakan cutter, kotorannya dibersihkan, disimpan pada baki, kemudiandikeringkan di dalam ruang pengering dengan suhu 320C selama 5 hari. Setelah kering, benihdibersihkan dan dilakukan sortasi. Kemudian benih dikemas sesuai perlakuan yaitu dalam kantongkertas, botol kaca, plastik klip, kantong alumunium foil, masing-masing kemasan perlakuan diisibenih sebanyak 8 g. Setelah dikemas, benih disimpan pada suhu ruang (21-260C) dan suhu rendah (4-50C) selama 1 dan 4 tahun. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap variabel kemunduran benihdengan cara melakukan uji daya berkecambah benih, kecepatan berkecambah benih, panjanghipokotil, dan laju pertumbuhan kecambah.

Parameter yang diamati, yaitu:1. Daya berkecambah benih

Benih dari setiap perlakuan dikecambahkan dengan metode UDK (Uji Diatas Kertas).Pengamatan dilakukan pada hari ke-7 (first day count) dan hari ke-14 (last day count) terhadapkecambah normal, abnormal, benih segar tidak tumbuh, dan benih mati. Daya berkecambah benihialah jumlah kecambah normal hasil pengamatan hari ke-7 dan hari ke-14 dibagi jumlah benihyang diuji dikali 100% (ISTA 2007).

2. Kecepatan berkecambah benihUji kecepatan berkecambah diukur per etmal (per 24 jam). Benih dari setiap perlakuan

dikecambahkan dengan metode UDK. Pengamatan dilakukan pada hari ke-7 sampai dengan harike-14 terhadap kecambah normal, abnormal, benih segar tidak tumbuh, dan benih mati. Kecepatanberkecambah benih dihitung dengan metode dari Association of Official Seed Analysts (AOSA1983).

Kecepatan berkecambah benih (%/Etmal) =Σ( % +⋯+ % ) (1)

Keterangan: %kn1 = % jumlah kecambah normal pada First Day Count%knn = % jumlah kecambah normal pada Last Day CountEtmal = waktu pengamatan (1 etmal = 24 jam)

3. Panjang hipokotilPanjang hipokotil kecambah normal dari hasil pengujian daya berkecambah benih pada hari

ke-14 diukur panjang hipokotil menggunakan mistar.

4. Uji laju pertumbuhan kecambahBenih dari setiap perlakuan dikecambahkan dengan metode UDK. Pengamatan dilakukan

pada hari ke-14 terhadap kecambah normal. Kecambah normal dikeringkan dalam oven dengansuhu 800C selama 24 jam kemudian ditimbang. Laju pertumbuhan kecambah (mg/kecambah)merupakan bobot kering kecambah normal dibagi dengan jumlah kecambah normal (AOSA 1983).

Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji ragam (α = 5%) rancangan acak lengkap denganpola faktorial dan uji nilai tengah dengan uji tukey menggunakan Assistat versi 7.6 beta tahun 2011.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Berkecambah BenihHasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan

terhadap parameter daya berkecambah benih pada periode simpan benih1 tahun (Tabel 1). Benih yangdisimpan pada suhu ruang dengan kemasan kantong kertas memiliki daya berkecambah paling rendahdibandingkan perlakuan lainnya. Benih yang disimpan pada suhu ruang menggunakan kantong kertasmemiliki daya berkecambah yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhurendah. Benih yang disimpan pada suhu rendah menggunakan botol kaca juga memiliki dayaberkecambah yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu ruang. Benih

Page 279: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode Simpan

Waluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│267

yang disimpan pada suhu ruang dengan kemasan plastik klip dan alumunium foil tidak menunjukkanperbedaan nyata dengan benih yang disimpan pada suhu rendah.

Tabel 1. Pengaruh suhu ruang simpan dan jenis kemasan terhadap daya berkecambah benih (%) padaperiode simpan 1 dan 4 tahun

Suhu ruang simpanDaya berkecambah benih (%) setelah benih disimpan pada kemasan

Kantong kertas Botol kaca Plastik klip Kantong alumunium foilPeriode simpan 1 tahunSuhu ruang(21-260C)

72,50bC

94,00aA

85,25aB

91,25aA

Suhu rendah(4-50C)

91,25aA

89,00bA

87,50aA

89,00aA

Periode simpan 4 tahunSuhu ruang(21-260C)

0,00bC

77,25bB

0,00bC

88,75aA

Suhu rendah(4-50C)

87,50aA

84,25aA

85,75aA

83,50bA

Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (huruf besar) dan pada baris yang sama (huruf kecil) tidak berbedanyata dengan Uji Tukey pada 0,05.

Terjadi interaksi antara ruang simpan dan kemasan terhadap daya berkecambah benih padaperiode simpan benih 4 tahun (Tabel 1). Benih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengan kemasankantong kertas dan plastik klip pada periode simpan benih 4 tahun memiliki daya berkecambah yanglebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu ruang dengan kemasan botol kacadan alumunium foil serta benih yang disimpan pada suhu rendah dengan menggunakan semuakemasan. Benih yang disimpan pada suhu ruang dengan menggunakan semua kemasan kecualikantong alumunium foil memiliki daya berkecambah yang lebih rendah dibandingkan dengan benihyang disimpan pada suhu rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Malaker et al. (2008) benihgandum yang disimpan di kulkas memiliki daya berkecambah lebih tinggi dibandingkan dengan benihyang disimpan pada suhu ruang dengan kemasan kantong plastik polietilen, kaleng dan kendi. Benihyang disimpan selama 1 tahun pada kemasan kantong kertas pada suhu ruang memiliki dayaberkecambah 72.50%. Nilai daya berkecambah ini tidak memenuhi standar laboratorium kelas benihdasar cabai yaitu sebesar 80%. Benih yang disimpan selama 4 tahun yang disimpan pada suhu ruangdengan kemasan kertas dan plastik klip tidak mampu berkecambah, semua benih mati. Benih yangdisimpan pada botol kaca memiliki daya berkecambah 77.25% dan nilai daya berkecambah ini masihmasih memenuhi standar laboratorium benih kelas benih sebar yaitu sebesar 75%.

Viabilitas benih lebih cepat turun jika disimpan pada suhu ruang dengan menggunakan kertasdan plastik klip. Hal ini disebabkan kantong kertas dan plastik klip merupakan kemasan berpori yangcocok untuk penyimpanan jangka pendek serta suhu ruang yang fluktuatif sehingga respirasi benihlebih cepat, akibatnya viabilitas benih lebih cepat turun. Respirasi menggunakan substrat daricadangan makanan dalam benih, sehingga cadangan makanan berkurang untuk pertumbuhan embriopada saat benih dikecambahkan.

Kemampuan benih untuk berkecambah bergantung dari tersedianya energi bebas yangdihasilkan dari proses respirasi dan senyawa seperti asam amino, protein dan lemak untuk sintesis sel-sel penyusun organ kecambah yang meliputi akar dan pucuk. Semakin tinggi ketersediaan senyawatersebut semakin tinggi pula kemampuan benih untuk berkecambah, berarti benih tersebut memilikiviabilitas yang tinggi.

Kecepatan Berkecambah BenihTabel 2 menunjukkan terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan terhadap

parameter kecepatan berkecambah pada periode simpan benih 1 tahun. Benih yang disimpan padasuhu ruang dalam kemasan kantong kertas memiliki kecepatan berkecambah yang paling rendahdibanding perlakuan lainnya. Benih yang disimpan pada suhu ruang menggunakan kantong kertas

Page 280: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode SimpanWaluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

268│

268│

memiliki kecepatan berkecambah yang lebih rendah dibandingkan dengan yang disimpan pada suhurendah. Benih yang disimpan pada suhu rendah dengan menggunakan botol kaca memiliki kecepatanberkecambah lebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu ruang. Benih yangdisimpan pada suhu ruang dengan kemasan plastik klip dan alumunium foil tidak berbeda nyatadengan yang disimpan pada suhu dingin.

Terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan terhadap kecepatan berkecambah benihpada periode simpan benih 4 (empat) tahun. Benih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengankemasan kantong kertas dan plastik klip pada periode simpan benih 4 tahun memiliki kecepatanberkecambah yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Benih yang disimpan padasuhu ruang dengan menggunakan semua kemasan kecuali kantong alumunium foil memiliki kecepatanbekecambah yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu rendah.

Benih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengan kemasan kantong kertas dan plastik klipmemiliki vigor paling rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian benihcaisin yang dikemas dalam kertas dan plastik pada ruangan yang diberi air conditioner dan disimpandi dalam kulkas dapat dipertahankan vigornya sampai dengan 15 minggu, sedangkan kemasan kertaspada kondisi kamar hanya mampu mempertahankan viabilitasnya sampai 3 minggu (Rahayu danWidjayati 2007). Tabel 1 dan 2 menunjukkan vigor benih cabai menurun seiring dengan menurunnyaviabilitas benih.

Tabel 2. Pengaruh suhu ruang simpan dan jenis kemasan terhadap kecepatan berkecambah benih(%/Etmal) pada periode simpan 1 dan 4 tahun

Suhu ruang simpanKecepatan berkecambah benih (%) setelah benih disimpan pada kemasan

Kantong kertas Botol kaca Plastik klip Kantong alumunium foil

Periode simpan 1 tahunSuhu ruang(21-260C)

6,93bC

10,50aA

9,04aB

9,63aB

Suhu rendah(4-50C)

10,09aA

9,46bAB

8,99aB

9,04aB

Periode simpan 4 tahunSuhu ruang(21-260C)

0,00bC

8,33bB

0,00bC

10,29aA

Suhu rendah(4-50C)

10,36aA

9,96aAB

9,93aAB

9,52bA

Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (huruf besar) dan pada baris yang sama (huruf kecil) tidak berbedanyata dengan Uji Tukey pada 0,05.

Panjang HipokotilTabel 3 menunjukkan tidak terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan benih

terhadap panjang hipokotil pada periode simpan 1 tahun. Benih cabai yang disimpan pada suhu ruangmemiliki panjang hipokotil yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhurendah pada periode simpan 1 tahun. Panjang hipokotil pada penyimpanan 1 tahun dan kemasan tidakberbeda nyata.

Tabel 3. Pengaruh suhu ruang simpan dan jenis kemasan terhadap panjang hipokotil (cm) padaperiode simpan 1 tahun

Perlakuan Panjang Hipokotil (cm)Suhu ruang simpanSuhu ruang 21-260C) 1,81aSuhu rendah (4-50C) 1,64b

KemasanKantong kertas 1,74aBotol kaca 1,78aPlastik klip 1,73aKantong alumunium foil (Alumunium foil bags) 1,68a

Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji Tukey pada 0,05.

Page 281: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode Simpan

Waluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│269

Tabel 4 menunjukkan terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan terhadap panjanghipokotil pada periode simpan 4 tahun. Benih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengan kemasankantong kertas dan plastik klip pada periode simpan 4 tahun memiliki panjang hipokotil yang lebihrendah dibandingkan dengan benih cabai yang disimpan dengan perlakuan lainnya. Panjang hipokotilbenih cabai yang disimpan pada suhu ruang dengan kantong kertas dan plastik klip berbeda nyatalebih rendah dibandingkan benih yang disimpan pada suhu rendah sedangkan benih yang disimpanpada suhu ruang dengan kemasan botol kaca dan alumunium foil tidak berbeda nyata dengan benihyang disimpan pada suhu dingin.

Pendeknya hipokotil dapat disebabkan oleh perombakan fosfolipid. Fosfolipid ini penting untukmetabolisme membran dan berfungsi sebagai suatu cadangan energi dan cadangan fosfor bagipertumbuhan semai (Gardner et al. 1991). Menurut Tatipata et al. (2004)benih kedelai yangmengalami kemunduran dapat dicerminkan oleh menurunnya kadar fosfolipid, protein membran,fosfor anorganik mitokondria, aktivitas spesifik suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase sertalaju respirasi.

Tabel 4. Pengaruh suhu ruang simpan dan jenis kemasan terhadap panjang hipokotil (cm) padaperiode simpan 4 tahun

Suhu ruang simpanPanjang hipokotil setelah benih disimpan pada kemasan (cm)

Kantong kertas Botol kaca Plastik klip Kantong alumunium foil

Suhu ruang(21-260C)

0,00bB

1,70aA

0,00bB

1,67aA

Suhu rendah(4-50C)

1,58aA

1,66aA

1,60aA

1,51aA

Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (huruf besar) dan pada baris yang sama (huruf kecil) tidak berbedanyata dengan Uji Tukey pada 0,05.

Laju Pertumbuhan KecambahTabel 5 menunjukkan tidak terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan benih

terhadap laju pertumbuhan kecambah pada periode simpan selama 1 tahun. Pada perlakuan suhuruang simpan dan kemasan menunjukkan tidak beda nyata pada parameter laju pertumbuhankecambah pada periode simpan 1 tahun. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan kecambah padaperiode simpan 1 tahun tidak dipengaruhi oleh suhu ruang simpan dan kemasan.

Tabel 6 menunjukkan terjadi interaksi antara suhu ruang simpan dan kemasan terhadap lajupertumbuhan kecambah pada periode simpan 4 tahun. Benih cabai yang disimpan pada suhu ruangdengan kemasan kantong kertas dan plastik klip pada periode simpan 4 tahun memiliki lajupertumbuhan kecambah yang lebih rendah dengan penyimpanan benih cabai yang disimpan pada suhuruang dengan kemasan botol kaca dan kantong alumunium foil serta yang disimpan pada suhu rendahdengan menggunakan semua kemasan. Menurut Gardner et al. (1991), kekuatan semai (lajupertumbuhan) menurun dengan cepat sejalan dengan lamanya penyimpanan benih. Hal iniditunjukkan dengan semai dari benih lama mempunyai mitokondria yang sedikit per satuan bobotdibandingkan mitokondria semai dari biji yang baru. Berkurangnya mitokondria menyebabkan lajurespirasi berkurang sehingga energi yang diperlukan untuk pertumbuhan juga berkurang.

Tabel 5. Pengaruh suhu ruang simpan dan jenis kemasan terhadap laju pertumbuhan kecambah(mg/Kecambah) pada periode simpan 1 tahun

Perlakuan Laju pertumbuhan kecambahSuhu Ruang simpanSuhu ruang (21-260C) 2,08Suhu rendah (4-50C) 2,15

KemasanKantong kertas 2,18Botol kaca 2,05Plastik klip 2,04Kantong alumunium foil 2,21

Page 282: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode SimpanWaluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

270│

270│

Berdasarkan Tabel 1, 2 ,4 dan 6 benih yang disimpan pada suhu ruang dan suhu rendah denganmenggunakan kemasan kantong alumunium foil dan pada penyimpanan suhu rendah denganmenggunakan kemasan kantong kertas, botol kaca, dan plastik klip parameter kemunduran benihcabai paling lambat turunnya dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena kemasanalumunium foil yang kedap dapat menekan perubahan kadar air benih sehingga respirasi benih lebihlambat. Hal ini sesuai dengan penelitian benih kacang panjang yang disimpan pada kemasanalumunium foil perubahan kadar airnya dapat lebih ditekan dibandingkan plastik polietilen (Suryati etal.2012). Pada suhu rendah respirasi berjalan lebih lambat dibandingkan pada suhu ruang yangsuhunya berfluktuasi.

Tabel 6. Pengaruh suhu ruang simpan dan jenis kemasan terhadap laju pertumbuhan kecambah(mg/Kecambah) pada periode simpan 4 tahun

Suhu ruang simpanLaju pertumbuhan kecambah (mg/Kecambah) setelah benih disimpan pada

kemasanKantong kertas Botol kaca Plastik klip Kantong alumunium foil

Suhu ruang(21-260C)

0,00 bB

2,45 aA

0,00 bB

2,56 aA

Suhu rendah(4-50C)

2,48 aA

2,51 aA

2,63 aA

2,62 aA

Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (huruf besar) dan pada baris yang sama (huruf kecil) tidak berbedanyata dengan Uji Tukey pada 0,05.

KESIMPULAN

1. Kemunduran benih cabai dipengaruhi oleh periode simpan, suhu dan kemasan. Semakin lamadisimpan, kemunduran benih semakin tinggi dan suhu rendah dapat memperlambat kemunduran.

2. Mutu benih cabai dapat dipertahankan selama penyimpanan jika disimpan pada suhu ruang (21-260C) harus dipilih kemasan yang kedap air dan gas; dan pada suhu rendah (4-50C) dapatdigunakan semua jenis kemasan.

PUSTAKA

1. AOSA 1983, The Seed vigor test committee of association of official seed analysts, Seed vigorTesting Handbook, Washington D.C.

2. Arief, R, Mursalim, Zakaria, B & Saenong, S 2010, ‘Analisis hubungan mutu benih jagungdengan produktivitas’, Jurnal Penelitian Tanaman Pangan, vol. 29, no. 2, hlm. 104-15

3. Azizah, E, Kadapi, M, Sumadi & Ruswandi, D 2009, ‘Identifikasi mutu fisik dan fisiologis benihjagung setelah periode simpan pada berbagai suhu dan kelembaban’, Zuriat, vol. 20, no. 1, hlm.45-54.

4. Gardner, FP, Pearce, RB & Mitchel, RL 1991, Fisiologi tanaman budidaya. Terjemahan HerawatiSusilo, UI-Pres, Jakarta.

5. ISTA 2007, International rules for seed testing edition 2007, International Seed TestingAssociation, Switzerland.

6. Malaker, PK, Mian, IH, Bhuiyan, KA, Akanda, AM & Reza, MMA 2008, ‘Effect of storagecontainers and time on seed quality of wheat’, J.Agril Res. Vol. 33, no. 3, hlm. 469-77, diunduh21 Juni 2012. <http.//www.banglajol.info/index.phb/BJAR>.

7. Mc Cormack, JH 2004. Seed processing and storage, Jeff McCormack co, diunduh 25 Oktober2011, <http://www.syngentafoundation.org>.

8. Oladiran, JA & Gunbiade, SA 2000, ‘Germination and seedling development from pepper(Capsicum annum L.) seeds following storage in different packaging materials’ Seed Sci. AndTechnol, vol. 28, no. 2, hlm. 413-20.

Page 283: Prosiding BUKU 1

Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Varietas Tanjung-2 pada Ruang Simpan dan Kemasan yangBerbeda Selama Periode Simpan

Waluyo, N

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│271

9. Oskouie, B & Divsalar, M 2011, ‘The Rape seed deteriotion at different storing packages duringstorage period’, ARPN Journal of Agricultural and Biological Science, vol.6, no. 7: 1-7, diunduh29 Mei 2012. <http://www.arpnjournals.com>.

10. Rahayu, E & Widajati, E 2007, ‘Pengaruh kemasan, kondisi ruang simpan dan periode simpanterhadap viabilitas benih caisin (Brassica chinensis L.)’, Buletin Agronomi, vol. 35, no. 3, hlm.191-96.

11. Suryati, N, Yuliani, F, Budiarti, S & Yuniar L, ‘Pengaruh tingkat kadar air dan jenis kemasanterhadap daya simpan benih kacang panjang (Vigna sinensis)’, diunduh 4 Juni 2012.<Http://www.google.co.id/search?Sourceid/navclient&ie/UTF-8&rlz/1T4ACGW_enid405id405&/daya+ simpan+benih+kacang+panjang+nyi+suryati.

12. Tatipata, A, Yudono, P, Purwantoro, A & Mangoendidjojo, W 2004, ‘Kajian aspek fisiologi danbiokimia deteriorasi benih kedelai dalam penyimpanan’, Ilmu Pertanian, vol 11, no. 2, hlm. 76-87.

13. Xuefeng, L, Wenying W, Zhanbing, B, Xiang Jan, N 2009, ‘Three types of package on the effectsof pepper seed germination’, Chiness Agricultural Science Bulletin.18, diunduh 20 Juni 2012.<http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-ZNTB200918073.htm>.

Page 284: Prosiding BUKU 1

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI JakartaRamdhan, T, Aminah, S dan Yanis, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

272│

272│

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI Jakarta

Ramdhan, T, Aminah, S dan Yanis, MBalai Pengkajian Teknologi Pertanian JakartaJalan Ragunan No. 30 Pasarminggu Jakarta

ABSTRAK. Pada tahun 2010, produksi jambu biji di Jakarta sebanyak 776 ton (http://bps.go.id). Data tersebuttentu saja belum termasuk ratusan bahkan ribuan ton jambu biji yang datang dari luar Jakarta. Dengan pasokanyang besar tersebut, maka jambu biji menjadi relatif murah. Oleh karena itu, pengolahan jambu biji menjadiproduk olahan yang diminati konsumen sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah buah tersebut. Buahjambu memiliki daging buah yang tebal dan aroma yang kuat sehingga sangat cocok untuk diolah menjadiproduk yang berbasis puree (bubur buah) seperti leder (fruit leather). Berdasarkan data dan fakta tersebut, BalaiPengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta telah melakukan kajian pembuatan leder jambu biji, yangdimulai pada Juni – September 2010. Kajian tersebut bertujuan untuk mengembangkan teknologi produksi lederbuah (fruit leather) jambu biji yang efisien, mudah dan murah serta menghasilkan produk yang disukaikonsumen. Pengkajian difokuskan pada proses produksi dikaitkan dengan kualitas dan kesukaan konsumen.Proses produksi yang dikaji adalah 1). bahan pengisi, yaitu kontrol (tanpa bahan pengisi), agar, dan tepung berasketan (0,75%; 1%) dan 2). Kajian formulasi (gula, asam sitrat). Rancangan percobaan yang digunakan adalahRancangan Acak Lengkap. Pengamatan dilakukan terhadap atribut mutu organoleptik tekstur, warna, rasa,aroma dan penampakan keseluruhan/overall. Suhu pengeringan (oven) yang digunakan dalam kajian ini yaitu750C selama 4-5 jam. Berdasarkan hasil kajian diperoleh leder terpilih adalah leder dengan perlakuanpenambahan air 100% dari total puree tanpa tambahan bahan pengisi agar maupun tepung beras ketan.Karakteristik leder terpilih adalah: dapat diangkat utuh sesuai bentuk cetakan, tekstur permukaan kasar (adanyabintik-bintik kecil merata di seluruh permukaan leder), tanpa retak, warna merah merata, ketebalan merata (0,1cm dihasilkan dari 300 g puree + 300 ml air pada cetakan berukuran 30 x 30 cm), tekstur kenyal. Sedangkanformula terbaik adalah leder dengan penambahan air 100%, gula 10% dan asam sitrat 0.1 % (dari total pureejambu biji) dengan rata-rata nilai kesukaan (hedonik) dengan skala 7 terhadap rasa, kekenyalan tekstur, rasajambu biji dan penampilan umum secara beruturut-turut sebesar 5,7; 5,3; 5,8 dan 4,9.

Katakunci: Jambu biji; Produk olah; Puree

ABSTRACT. Ramdhan, T, Aminah, S and Yanis, M 2013. In 2010, production of guava in Jakarta as muchas 776 tons (http://bps.go.id). The data certainly does not include hundreds or even thousands of tons of guavawhich come from outside Jakarta. With a large supply, it becomes relatively cheap guava. Therefore, theprocessing of guava into products that fulfill consumers demand is necessary to increase the value-added fruit.The fruit has a thick flesh and strong flavor so it is suitable to be processed into puree-based products (fruitpulp) as fruit leather. Based on the data and the fact so that Jakarta Assesment Institute for AgriculturalTechnology (BPTP Jakarta) had conducted studies on the processing of guava leather from June to September2010. The assesment was aimed to develop an efficient, easy and inexpensive production technology of guavaleather which could produce products that are preferred by consumers. The assessment focused on theproduction processes associated with quality and consumer preferences. Production processes that wereexamined are 1). filler material, namely the control (no fillers), agar (seaweed) and glutinous rice flour (<1%)and 2). formulation studies (sugar, citric acid). Experimental design using a Completely Randomized Design.Observations made on the organoleptic quality attributes, were texture, color, flavor/ aroma and overallappearance. The temperature of drying (oven) used in this study were only 750C for 4-5 hours because that wasthe lowest temperature that can be achieved by using a gas stove oven, whereas when using temperatures above750C then leather would be burnt. The results of the study showed that the best leather obtained by the additionof water treatment 100% of the total puree without the addition of filler materials. Selected leathercharacteristics were: it could be removed intact according to the mold shape, rough surface texture (there aresmall spots evenly across the surface of leather), without cracking, red patchy, uneven thickness (0.1 cm puree isproduced from 300 g + 300 ml water in the mold measuring 30 x 30 cm), chewy texture when bitten. While thebest formula was the addition of water 100%, sugar 10% and citric acid 0.1% (of total guava puree) with anaverage value of 7 scale preference (hedonic) test for elasticity texture, taste, flavor and general appearancewere 5.7; 5.3; 5.8, and 4.9, respectively.

Keywords: Guava; Puree-base products; Fruit leather

Page 285: Prosiding BUKU 1

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI JakartaRamdhan, T, Aminah, S dan Yanis, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│273

Jambu Biji (Psidium guajava linn) berasal dari Amerika Tengah, jambu ini mempunyai dagingbuah lunak dan tebal, rasanya manis dan berbiji. Beberapa jenis jambu biji yang diunggulkan antaralain Jambu Pasar Minggu, Jambu Bangkok, Jambu Palembang, Jambu sukun, Jambu apel, jambu sari,jambu merah dan jambu merah getas. Sentra penanaman buah jambu biji terbesar antara lain di DKIJakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah. Pada tahun 2010, produksi jambu biji di DKI Jakarta sebanyak 776ton (http://bps.go.id). Data tersebut belum termasuk ratusan bahkan ribuan ton pasokan jambu bijiyang datang dari luar Jakarta. Pasokan yang besar tersebut, berpengaruh secara langsung pada hargajambu biji, dengan demikian harga jambu biji menjadi relatif murah.

Kandungan nutrisi pada jambu biji sangat baik, jambu biji mengandung vitamin C tinggi dancukup mengandung vitamin A. Dibandingkan dengan buah-buahan lainnya seperti jeruk manis yangmempunyai kandungan vitamin C 49 mg/100 gram bahan, kandungan vitamin C jambu biji 2 kalilipat. Vitamin C ini sangat baik sebagai zat antioksidan. Sebagian besar vitamin C jambu bijiterkonsentrasi pada kulit dan daging bagian luarnya yang lunak dan tebal. Selain kaya akan vitamin C,jambu biji juga kaya serat, khususnya pektin (serat larut air) (http://ipteknet.id/ind/warintek).Kandungan gizi per 100 gram buah jambu biji terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Buah Jambu Biji per 100 gramKandungan Jumlah

KaloriAir

KarbohidratProteinLemak

KalsiumBesi

FosforVitamin AVitamin B1Vitamin C

4986

12.20.90.314

1.12825

0.0287

KalgrgrmggrmgmgmgSImgmg

Sumber : http: //infodunia-4u.blogspot.com

Jambu biji merah memiliki potensi komersial baik sebagai buah segar maupun produk olahan.Namun sebagian besar produksi buah jambu biji merah di dunia, masih dikonsumsi dalam bentukbuah segar (Chopda dan Barrett, 2001). Salah satu produk olahan yang dapat dibuat dari jambu bijiadalah leder jambu biji (guava leather). Bagi masyarakat Indonesia, leder buah (fruit leather)merupakan produk yang relatif baru sehingga belum banyak diketahui dan dikembangkan olehindustri produk olahan skala besar maupun skala kecil. Produk olahan tersebut memiliki peluangpasar yang tinggi, dan cocok untuk dikembangkan oleh industri kecil karena cara produksinya yangmudah dan murah.

Leder buah (fruit leather) telah berkembang di Amerika dan Eropa. Leder buah adalah produkbubur buah yang dikeringkan (oven) berbentuk lembaran tipis dan relatif renyah sehingga menjadisnack buah-buahan pengganti keripik yang digoreng. Leder buah dapat dibuat dari berbagai macamjenis buah-buahan, salah satunya adalah jambu biji. Produk ini memiliki daya simpan yang cukuplama sehingga dapat menjadi makanan alternatif bagi konsumen yang memiliki pertimbangankesehatan tertentu, khususnya bagi mereka yang tidak boleh mengkonsumsi lemak dan kalori yangtinggi. Selain itu, produk ini menjadi pilihan utama bagi anak yang kurang suka makan buah segarkarena nilai gizinya relatif tidak berubah dari buah segarnya.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam produksi leder buah adalah panas yang cukup, baiksuhu maupun waktu dan bahan pengisi, sehingga menghasilkan produk dengan tingkatkekenyalan/kerenyahan yang dapat diterima oleh konsumen. Kerusakan yang paling umum terjadiadalah proses pencoklatan non enzimatis yaitu produk gosong serta mudah pecah/rusak. Kajian ini

Page 286: Prosiding BUKU 1

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI JakartaRamdhan, T, Aminah, S dan Yanis, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

274│

274│

bertujuan untuk mengembangkan teknologi produksi leder buah jambu biji (guava leather) yangefisien, mudah dan murah serta menghasilkan produk disukai yang konsumen.

BAHAN DAN METODE

Kajian ini dilaksanakan di Jakarta pada Bulan Juni sampai dengan Bulan September 2010.Kajian ini difokuskan pada proses produksi dikaitkan dengan kualitas dan kesukaan konsumen.Bahan kajian yang digunakan adalah buah jambu biji, gula, agar, tepung beras ketan dan asam sitrat.Proses produksi yang dikaji adalah 1). bahan pengisi, yaitu kontrol (tanpa bahan pengisi), agar, dantepung beras ketan (0,75%; 1%) dan 2). Kajian formulasi (gula, asam sitrat). Rancangan percobaanmenggunakan Rancangan Acak Lengkap. Pengamatan dilakukan terhadap atribut mutu organoleptikdengan 7 skala hedonik, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5(agak suka), 6 (suka) dan 7 (sangat suka). Parameter organoleptik yang diamati adalah tekstur, warna,rasa, aroma dan penampakan keseluruhan/overall.

Proses pembuatan leder jambu biji (guava leather) adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Skema pembuatan leder jambu biji

Suhu pengeringan (oven) yang digunakan dalam kajian ini hanya satu yaitu 750C selama 4-5jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkajian difokuskan pada proses produksi yang dikaitkan dengan kualitas dan kesukaankonsumen. Proses produksi yang akan dikaji adalah:1. Bahan pengisi, yaitu kontrol (tanpa bahan pengisi), agar serbuk, dan tepung beras ketan (0,75% ;

1%)2. Penambahan gula dan asam sitrat

puree jambu biji

Tambahkan puree dengan air, gula dan asam sitrat

Tuang ke loyang ukuran 30 x 30 cm

Panggang pada suhu 70 o C selama 5 jam

Keluarkan loyang kemudian didinginkan

Taburkan leder dengan gula halus

Pengemasannn

Dipanaskan

Jambu biji

diblender

Page 287: Prosiding BUKU 1

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI JakartaRamdhan, T, Aminah, S dan Yanis, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│275

Proses pembuatan leder jambu biji dilakukan dengan tahapan pada gambar 1, Prosespengeringan pada pembuatan leder jambu biji menggunakan oven kompor gas dengan suhu 750C danlama pengeringan selama 5 (lima) jam. Leder jambu biji kontrol (tanpa bahan pengisi) berhasil keringdengan baik, yaitu dicirikan dengan dapat diangkatnya keseluruhan leder tanpa patah pada suhupengeringan 750C selama 5 jam. Leder dengan penambahan agar serbuk baik dengan konsentrasi0,75% maupun 1% dari total puree jambu biji yang digunakan, mengalami gagal matang bahkansetelah lebih dari 8 jam. Selain gagal matang, bahan tersebut juga mengalami retak-retak ataupemisahan bahan menjadi beberapa belahan yang tebal di bagian tengah dan tipis di bagiansisi/pinggir. Setelah lebih dari 8 jam bagian sisi yang tipis mulai gosong sedangkan bagian yang tebaltidak matang walaupun setelah 10 jam. Sama halnya seperti leder dengan pengisi agar serbuk, lederdengan penambahan tepung beras ketan baik dengan konsentrasi 0,75% maupun 1% dari total pureejambu biji yang digunakan, mengalami retak-retak namun dapat matang merata setelah 5 jam. Namun,leder ini mudah patah ketika diangkat sehingga tidak bisa menjadi berupa lembaran dan tidak adatekstur kenyal ketika digigit. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa leder terpilih adalah leder tanpabahan pengisi.

Karakteristik selengkapnya dari leder terpilih adalah: dapat diangkat utuh sesuai bentukcetakan, tekstur permukaan kasar (ada bintik-bintik kecil merata di seluruh permukaan leder), tanparetak, warna merah merata, ketebalan merata (0.1mm), tekstur kenyal ketika digigit, hal ini sesuaidengan Andress dan Harrison (1999) yang menyatakan bahwa leder buah adalah lembaran yangsangat tipis yang berbasis puree yang dikeringkan dan menghasilkan produk dengan tekstur yangkenyal.

Bahan tambahan yang digunakan adalah gula dan asam sitrat, selanjutnya dilakukan formulasiuntuk menghasilkan leder dengan rasa yang disukai oleh konsumen. Dalam hal ini dilakukan 4perlakuan formula, yaitu:

Tabel 1. Formulasi leder jambu biji

Formula % Air % Gula Pasir % Asam Sitrat1 100 10 02 100 10 0,13 100 15 0,14 100 15 0

Keterangan: % bahan berbasis berat puree yang digunakan

Ketiga formula tersebut kemudian diuji secara organoleptik terhadap atribut mutu penampilansecara umum, rasa, rasa jambu biji dan tekstur. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan 60 orangpanelis dengan 7 skala hedonik, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4(netral), 5 (agak suka), 6 (suka) dan 7 (sangat suka).

Tabel 2. Hasil Organoleptik leder jambu bijiFormula Penampilan Rasa Rasa Jambu Biji Tekstur

1 5,03a 5,52a 5,36b 4,89bc

2 5,07a 5,72a 5,75a 5,33ab

3 4,98a 5,56a 5,74a 5,15ab

4 4,56b 4,57b 4,69c 4,52c

Keterangan: huruf yang berbeda pada satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 95% berdasarkan uji Duncan

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa secara umum panelis memberikan tingkat kesukaan yangagak lebih rendah pada formula 4 dibandingkan 3 formula yang lain untuk semua atribut mutu yangdiujikan. Hal tersebut menandakan bahwa penambahan gula 15% pada formula 4 terlalu banyaksehingga memberikan rasa yang terlalu manis, hal ini sesuai dengan studi yang dihasilkan oleh Jaindan Nema (2007), yang menyatakan bahwa kualitas organoleptik (seperti warna, rasa, tekstur danpenerimaan secara umum) dari leder jambu biji menurun seiring dengan penambahan gula. Selain itu,dari Tabel 2 diketahui bahwa ketiga formula (1, 2 dan 3) memiliki nilai tingkat kesukaan yang tidak

Page 288: Prosiding BUKU 1

Kajian Pembuatan Leder Jambu Biji (Guava Leather) di DKI JakartaRamdhan, T, Aminah, S dan Yanis, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

276│

276│

berbeda nyata untuk atribut mutu penampilan secara umum, rasa dan tekstur atau kekenyalan. Khususuntuk atribut mutu rasa jambu, formula 1 berbeda dari formula 2 dan 3. Meskipun hanya berbeda padasatu atribut mutu, namun perbedaan tersebut menjadi penting terkait rasa khas dari produk yaitu rasajambu biji. Dengan demikian, formula 2 dan 3 dapat dipilih menjadi formula terbaik yang dapatdikembangkan lebih lanjut. Lebih dari itu, karena formula 3 menggunakan gula yang lebih banyaksedangkan hasilnya tidak berbeda nyata dari formula 2 yang menggunakan gula lebih sedikit. Olehkarena itu, formula terbaik dari hasil kajian ini adalah formula 2. Penambahan asam sitrat diperlukanuntuk menambah citarasa buah yang selalu mengandung rasa asam.

KESIMPULAN

Berdasarkan kajian leder jambu biji, diperoleh hasil bahwa leder terpilih adalah leder formula 2,yaitu leder dengan penambahan air 100% dari total puree tanpa tambahan bahan pengisi agar serbukmaupun tepung beras ketan. Karakteristik leder terpilih adalah dapat diangkat utuh sesuai bentukcetakan, tekstur permukaan kasar (ada bintik-bintik kecil merata di seluruh permukaan leder), tanparetak, warna merah merata, ketebalan merata (0,1 cm) dan tekstur yang kenyal.

PUSTAKA

1. Andress, EI & Harrison, JA 1999, So easy to preserve, 4th edn. Athens, University of GeorgiaCooperative Extension Service.

2. Anonimous 2009, Kandungan dan manfaat jambu biji, diunduh 20 Juni 2012 <http://infodunia-4u.blogspot.com>.

3. Anonimous 2005, Tanaman obat indonesia, jambu biji, diunduh 21 Juni 2012<http://ipteknet.id/ind/warintek>.

4. Biro Pusat Statistik 2009, diunduh 20 Juni 2012 <http://bps.go.id>.

5. Chopda, CA & Barrett, DM 2001, Optimation of guava juice and powder production.Departement of Food Science and Technology. University of California, Davis.

6. Jain, PK & Nema, PK 2007, ’Processing of pulp of various cultivars of Guava (Psidiumguajava, L.) for leather production’, Agricultural Engineering International : the CIGREjournal, Manuscript FP 07 001, vol. 9, August, 2007.

Page 289: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│277

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu SariBuah Salak Manonjaya

Suyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, SBalai Besar Litbang Pascapanen Pertanian

Jl Tentara pelajar 12 BogorEmail: [email protected]

08158839047

Abstrak. Sari buah salak dibuat dari salak Manonjaya berasal dari Tasikmalaya Jawa Barat., denganpengenceran 1:4, penambahan gula, asam sitrat, vitamin C dan potasium sorbat. Perlakuan yang diterapkanpada tahap pertama adalah kontrol, blansing dan penambahan vitmin C, perendaman daging buah dalam sodiummeta bisulfit 1000 ppm sebelum blansing dan penambahan vitamin C, perendaman dalam sodium meta bisulfit2000 ppm sebelum blansing dan penambahan vitamin C. Perlakuan tahap kedua adalah penambahan bahanpenstabil CMC. Karagenan, kombinasi CMC dan karagenan, serta kontrol.. Penelitian bertujuan untukmemperbaiki warna dan mengurangi terjadinya pengendapan yang terjadi pada pembuatan sari buah salak.Manonjaya. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan perendaman daging buah salak dalamlarutan 1000 ppm Sodium meta bisulfit (KMS) selama 30 menit sebelum diblansing dan penambahan vitaminC kedalam sari buah dapat memperbaiki warna sari buah dari coklat menjadi putih. Perlakuan penambahanbahan penstabil CMC 1,5 g dan karagenan 1,5 gram dapat mengurangi pengendapan. Tinggi endapan danporsentasi endapan terkecil, rasanya disukai, kandungan TPT 15oBrik, total asam 0,13%, vitamin C 53,14mg/100 g kekentalan 98 CP

Kata kunci: salak, sari buah, mutu

Abstract. Suyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S 2013. Effect of Sodium Meta Bisulfite, Vitamin C, andstabilizers for the quality juice of Manonjaya snack fruit. Snake fruit juice is made from snake Manonjayafruit from Tasikmalaya in West Java, with 1:4 dilution, the addition of sugar, citric acid, vitamin C andpotassium sorbate. Treatment applied at the first stage is the control, blanching and addition vitmin C, soakingmeat in sodium meta bisulfite 1000 ppm before blanching and addition of vitamin C, immersion in 2000 ppmsodium meta bisulfite before blanching and addition of vitamin C. The second stage treatment is the addition ofstabilizers CMC. Carrageenan, a combination of CMC and carrageenan, as well as control. The research aims toimprove color and reduce the occurrence of precipitation that occurs in the manufacture of cider fruits.Manonjaya. Research using completely randomized design. Treatment of fruits soaking meat in a solution of1000 ppm, sodium meta bisulfite (KMS) for 30 minutes before the addition of vitamin C diblansing and juiceinto the juice can improve the color from brown to white. Treatment of the addition of stabilizers CMC 1.5 gand 1.5 g carrageenan can reduce precipitation. High sediment and sediment porsentasi least, it feels like, TPT15oBrik content, total acid 0.13%, 53.14 mg/100 g vitamin C viscosity of 98 CP.

Key word : snack fruit, juice, quality

Salak termasuk buah tropika yang digemari karena rasanya yang khas, produksinya padatahun 2009 sebesar 829.014 ton (Anonimous,2010). Sentra produksi buah salak tersebar diseluruhwilayah Indonesia, diantaranya adalah Tasikmalaya (Jawa Barat.) Jenisnya banyak diantaranyaadalah salak Bali, salak pondoh, salak Padang Sidempua, (Sumatera Utara), salak Erekang (Sulawesi)dan salak Manonjaya (Tasikmalaya Jawa Barat). Rasa buah salak beragam mulai dari manis, manisasam sampai agak sepat. Buah salak Manonjaya termasuk jenis yang mempunyai rasa manis sedikitasam dan sepat.

Salak banyak mengandung mineral dan antioksidan yang bermanfaat untuk kesehatan. Setiap100 g buah salak mengandung total dietary fiber 71,3±0,4 mg, soluble dietary fiber 22,8,3±0,3mg, insouble dietary fiber 48,3±0,5 mg, protein 33.17±0,2 mg, lemak 41,25±0,4 mg , karbohidrat711,32±0,6 mg dan pektin larut dalam air 13,91,01±0,8 mg ( Gorienstein et al,2009). Kandunganbioaktive dan antioksidan salak terdiri dari poly phenol ( 8,15±0,4 mg GAE), 2.2 azino bis(3 ethyl-benzothiazoline-6-sulfonic acid) diaminium salt 20,99±0,9 µMTE,1 diphenyl-2-picrythydrazyl

Page 290: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

278│

278│

11,28±0,5 µMTE, flavonoit 0,38±0,02 mg dan vitamin C 13,98±0,7 mg (Gorienstein et al,2009).Luximonn-Ramma et al (2003) dan Shui and Leong (2005) melaporkan bahwa buah salakmengandung antiokasidan yang excellennt dan alami, lebih tinggi dibanding buah kiwi . Kandunganantioksidan pada buah kiwi dilaporkan sebanyak 2,19 mg GAE/g (Tavarini et al,2008) , 2,94 ,(Jeonget al 2007), 2,06 (Amodio et al.2007).

Pengolahan buah salak masih terbatas pada manisan, asinan, dodol dan keripik, belum banyakyang memanfaatkan buah salak menjadi minuman sari buah yang sangat cocok untuk Indonesia yangberiklim tropis. Kandungan tanin pada buah salak menghasilkan warna sari buah salak kecoklatan,sehingga kurang menarik. Kombinasi perlakuan Kalium Meta Bisulfit dan vitamin C dapatmemperbaiki warna manisan apel dan sari buah apel selama dalam penyimpanan akibat reaksienzimatis (Suyanti et al 1998). Elisabeth Sitorus et al 1999).

CMC (Carboxyl methyl Cellulose) banyak digunakan pada industri kertas dan makanan.sebagai bahan penstabil. Kombinasi CMC dan pati digunakan untuk coating pada custrad dessert(Rene et al.2009). pear dan peach, untuk mempertahan kesegaran buah (Hasan dan Nurhan 2004).Penambahan CMC kedalam sari buah jeruk siem mampu menekan rasa pahit pada sari buah yangdihasilkan (Setyajid et al,2010), serta dapat digunakan sebagai bahan penstabil pada pembuatan saribuah nenas (Suyanti dan Sabari, 1991). Penggunaan CMC dan claudifier juga dapat mengurangiterjadinya pemisahan. Penggunaan CMC, pektin, claudifier, agar agar dan karagenan sudah biasadigunakan sebagai bahan penstabil (Meyer,1971). Bahan penstabil seperti CMC dan pektin yangditambahkan dalam pembuatan sari buah berfungsi mempertahankan kestabilan suspensi agar partikelpadatan tetap terdispersi merata ke seluruh bagian medium pendispersi dan tidak terjadipenggabungan partikel padatan yang ada. Penambahan bahan penstabil juga dapat memperbaikiwarna, cita rasa, dan konsistensi sari buah (Broto,1990).

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penngaruh penambahan SodiumMeta Bisulfit danCMC yang dapat memperbaiki warna dan pengendapan pada pembuatan sari buah salak Manonjaya.

BAHAN DAN METODA

Salak yang digunakan dalam penelitian adalah salak Manonjaya yang berasal dariTasikmalaya Jawa Barat,. dengan tingkat ketuaan buah komersial. Buah salak yang digunakan dipilihyang tidak busuk dan bebas dari kerusakan mekanis maupun mikrobiologis.. Buah salak setelahdikupas,, dihilangkan bijinya dan dicuci menggunakan air bersih. Daging buah salak kemudian diolahmenjadi sari buah dengan pengenceran 1 bagian bubur buah dan 4 bagian air., disaring dan setiap 1 lsari buah ditambahkan gula sebanyak 125 g, asam, sitrat 1 g, CMC 1 g dan potassium sorbat 0,4 g .Setelah dilakukan pengadukan sampai semua larut , sari buah dipasturisasi pada suhu 70oC selama10 menit dan dikemas menggunakan kemasan gelas plastik.. Penelitian dilakukan dua tahapmenggunakan rancangan acak lengkap.

Penelitian tahap 1Penelitian tahap pertama dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki tampilan sari buah salakterutama warnanya. Penelitian menggunakan perlakuan sebagai berikut :

1. Kontrol . Buah salak setelah dikupas, dan dibuang bijinya, dicuci, daging buah dicuci,dihancurkan menggunakan blender menjadi bubur buah selanjutnya dibuat menjadi sari buah .

2. Perlakuan blansing . Buah salak setelah dikupas dan dibuang bijinya, dicuci, daging buahdiblansing dengan cara dikukus selama 15 menit, dihancurkan menjadi bubur buahmenggunakan blender, selanjutnya dibuat sari buah. Pada pembuatan sari buah ditambahkanvitamin C sebanyak 0,5 g/l sari buah

3. Perlakuan kombinasi perendaman dalam larutan sulfite dan blansing.. Buah salak setelahdikupas dan dibuang bijinya, dicuci, direndam dalam larutan sodium meta bisulfit 1000 ppmselama 30 menit, daging buah kemudian diblansing dengan cara dikukus selama 15 menit,

Page 291: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│279

dihancurkan menjadi bubur buah menggunakan blender selanjutnya dibuat sari buah. Padapembuatan sari buah ditambahkan vitamin C 0,5 g/l sari buah

4. Perlakuan perendaman dalam larutan sulfite dan blansing.. Buah salak setelah dikupas dandibuang bijinya, dicuci, direndam dalam larutan sodium meta bisulfit 2000 ppm selama 30menit, daging buah kemudian diblansing dengan cara dikukus selama 15 menit, dihancurkanmenjadi bubur buah menggunakan blender kemudian dibuat sari buah. Pada pembuatan saribuah ditambahkan vitmin C 0,5 g/l sari buah

Pengamatan dilakukan terhadap warna, secara fisual dan menggunakan alat chromameter, ujiorganoleptik meliputi warna, aroma, rasa dan kesukaan menggunakan skoring nilai 1-5, analisa kimiameliputi kadar TPT, asam dan Vitamin C.

Penelitian tahap ke IIPenelitian tahap kedua bertujuan untuk memperbaiki kestabilan sari buah salak Manonjaya

menggunakan perlakuan terbaik tahap pertama dan penambahan bahan penstabil berupa CMC,karagenan dan kombinasi CMC dan karagenan.Perlakuan yang digunakan sebagai berikut:

1. Perlakuan penambahan CMC 1 g, karagenan 0 g2. Perlakuan penambahan CMC 1 g dan karagenan 0,5 g3. Perlakuan penambahan CMC 0 g dan karagenan 1 g4. Perlakuan penambahan CMC 0,5 g dan karagenan 1 g5. Perlakuan penambah an CMC 1 g dan karagenan 1 g6. Perlakuan penambahan CMC 1,5 g dan caragenan 1,5 g7. Perlakuan penambahan CMC 1 g dan karagenan 2 g8. Perlakuan penambahan CMC 0 g dan karagenan 2 g9. Perlakuan penambahan CMC 0 g dan karagenan 1,.5 g10. Perrlakuan penambahan CMC 0 g dan Karagenan 0 g (Kontrol)

Pengamatan dilakukan terhadap warna secara fisual dan menggunakan alat chromameter,analisa kadar TPT menggunakan alat hand refraktometer , asam total menggunakan metode titrasidengan NaOH dan vitmin C menggunakan metode titrasi dengan larutan Iod, uji organoleptikmenggunakan skore 1-5 dan uji kekentalan (viskositas).Pennilaian uji organoleptik menggunakan skoring tes 1-5. :

Warna1=sangat tidak menarik,2=agak menarik,3=cukup menarik,4=menarik,5=sangat menarik,Aroma1=sangat tidak kuat,2=agak kuat,3=cukup kuat,4=kuat,5=sangat kuatRasa1=sangat tidak enak,2=agak enak,3=cukup enak,4=enak,5=sangat enakKekentalan1=sangat tidak kental,2=agak kental,3=cukup kental,4=kental,5=sangat kentalKesukaan1=sangat tidak suka,2=agak suka,3=cukup suka,4=suka,5=sangat suka

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan ulangan sebanyak 3 kali.

HASIL DAN PEMBAHASANPenelitian tahap pertamaPengaruh antioksidan terhadap warna sari buah salak Manonjaya

WarnaPerlakuan blansing dan penambahan vitamin C pada pembuatan sari buah salak Manonjaya

dapat memperbaiki warna sari buah dari putih kecoklatan (kontrol) menjadi agak putih. Perendaman

Page 292: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

280│

280│

daging buah salak kedalam larutan sodium meta bisulfit selama 30 menit sebelum diblansing,menghasilkan warna sari buah salak menjadi lebih putih dibanding dengan hanya perlakuan blansing,maupun kontrol. Dari hasil pengamatan warna menggunakan alat chromameter, diperoleh hasil bahwaperlakuan blansing maupun perendaman dalam larutan sodium meta bisulfit sebelum blansingmenghasilkan nilai L menjadi lebih kecil dibanding kontrol, demikian pula untuk nilai a. Sedangkanuntuk perlakuan blansing dan perendamam dalam potasium meta bisulfit (KMS) menghasilkan nilai bmenjadi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hasil pengamatan warna disajikan dalam tabel 1berikut.

Tabel 1; Pengaruh perendaman dalam Sodium meta bisulfit, blansing dan penambahan vitamin Cterhadap warna sari buah salak Manonjaya

Perlakuan Warna fisual Warna chromameterL a b Hoe

KontrolBlansing +Vit CS1000+Vit CS2000+Vit C

CoklatCoklat mudaPutihPutih

40,731,7735,4646,19

13,2113,1012,4510,02

1,811,7410,9011,15

187.76221.88221.22228.07

Kandungan kimiaPerlakuan penambahan vitamin C kedalam pembuatan sari buah salak Manonjaya, selain dapatmemperbaiki warna juga meningkatkan kandungan vitaim C. Penambahan vitamin C sebanyak 0,5 guntuk setiap liter sari buah salak Manonjaya dapat meningkatkan kandungan vitamin C dari 23,9mg/100 g menjadi 44,11-57,186 mg/100 g. Kandungan TSS sari buah salak Manonjaya 15-16o Brikdan kadar asam total 0,144-0,159 %. (Tabel 2)

Tabel 2 Pengaruh sulfit dan vitamin C terhadap kandungan kimia sari buah salak ManonjayaPerlakuan TSS

(%)Total asam(%)

Vitamin C(mg/100 g)

KontrolBlansing +vit CS1000+Vit CS2000+Vit C

16151516

0,1440.1820,1930,159

23.9044,1154.14057.186

Uji organoleptik

Tabel 3 : Pengaruh antiokasidan terhadap uji organoleptik salak manonjaya

Perlakuan Warna Aroma Rasa Kesukaan

KontrolBlansing+vit CKMS 1000 ppm+vit CKMS 2000 ppm+vitC

2,002,503,504,00

3,002,502,003,00

2,503,003,003,00

3,003,003,003,00

Nilai Kruskal Wallis (H)P-value

7,990,04

1,700,64

1,490,68

1,500,68

Hasil uji organoleptikSari buah salak yang diberi perlakuan blansing dan perendaman dalam larutan Kalium meta

bisulfit (KMS) menghasilkan penilaian oleh panelis untuk warna lebih menarik dibandingkan dengankontrol (Tabel 3). Perlakuan perendaman daging buah salak sebelum diblansing kedalam larutanpotasium meta bisulfit (KMS) 1000 ppm dan 2000 ppm , tampaknya tidak menimbulkan after tastesehingga rasanya dinilai lebih enak dibandingkan kontrol walaupun secara uji kruskal wallismenunjukkan tidak berbeda nyata. Perlakuan perendaman dalam larutan potasium meta bisulfit

Page 293: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│281

tampaknya sedikit berpengaruh terhadap aroma sari buah salak. Nilai aroma sari buah salak yangdihasilkan sedikit dibawah kontrol dan lebih tinggi dibandingkan perlakuan blansing. (Gambar 1)

Gambar 1: Pengaruh perlakuan blansing dan perendaman dalam larutan sodium meta bisulfit (KMS)terhadap uji organoneptik sari buah salak Manonjaya.

Keterangana= warna,b=aroma c=rasa dan d=kesukaanA=Kontrol,B=Blansing+vit C,C=Sulfit 1000 ppm+vit C,D=sulfitt 2000 ppm+vit C.

Penelitian Tahap II

PengendapanPerlakuan penambahan CMC dan karagenan kedalam sari buah salak berpengaruh terhadap

kestabilan/pengendapan. Sari buah salak Manonjaya yang tanpa diberi penambahan CMC dankaragenan setelah dikemas dan disimpan pada suhu dingin selama 1 bulan, tinggi larutan endapantertinggi (7,15 cm) dibanding perlakuan lainnya, dengan jumlah volume pengendapan 85,06%.Perlakuan penambahan CMC dapat menekan volume pengendapan menjadi 44,01% dan tinggiendapan menjadi 3,4 cm. Penambahan karagenan juga dapat menekan volume pengendapan menjadi52,26 % dengan tinggi endapan 4,5 cm. Semakin tinggi konsentrasi karagenan yang ditambahkansemakin kecil volume maupun tinggi pengendapan. (39,58% dan 2,98 cm). Kombinasi perlakuanpenambahan CMC 1,5 g dan karagenan 1,5 g /l sari buah menghasilkan kestabilan yang paling baik.Porsentase volume pengendapan terkecil (37,57%) demikian pula tinggi endapannya terkecil ( 2,66cm) (Tabel 4, Gambar 1 , Gambar 2 dan gambar 3).

0

2

4

a b c d

skore

Pengamatan

Pengaruh blansing dan perendaman dalamSodium meta bisulfit terhadap hasil ujiorganoleptik sari buah salak Manonjaya

ABCD

Page 294: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

282│

282│

Gambar 2: Pengaruh bahan penstabil terhadap porsentase pengendapan sari buah salak Manonjaya

Tabel 4. Pengaruh bahan penstabil terhadap porsentase volume pengendapanNo Perlakuan Porsentase volume endapan (%)

1 CMC 1 g karagenan 0 g 44,017 cd

2 CMC 1 karagenan 0,5 40,000 d

3 CMC 0 karagean 1 52,087 b

4 CMC 0,5 karagenan 1 g 63,330 a

5 CMC 1 g karagenan 1 g 54,313 b

6 CMC 1,5 g karagenan 1,5 g 37,980 d

7 CMC 1 g karagenan 2 g 48,960 bc

8 CMC0 karagenan 2 20,407 e

9 CMC 0 Karagenan 1.5 38,727 d

10 Kontrol 85,04

0

50

100

%pengendapan

perlakuan

Pengaruh bahan penstabil terhadapporsentase pengendapan pada sari buah

salak Manonjaya1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Page 295: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│283

Gambar 3 : Pengaruh bahan penstabil terhadap tinggi endapan sari buah salak Manonjaya

Keterangan1=CMC 1 g karagenan 0 g2=CMC 1 g karagenan 0,5 g3=CMC 0 g karagenan 1 g4=CMC 0,5 g, karagenan 1 g5=CMC 1 g karagenan 1 g6=CMC 1,5 g karagenan 1,5 g7=CMC 1 g karagenan 2 g8=CMC 0 g karagenenan 2 g9=CMC 0 g karagenan 1,5 g10=CMC 0 g karagenan 0 g

Kandungan Kimia

Kandungan kadar TPT sari buah salak Manonjaya berkisar antara 14,2-15.00 o Brik, total asam 0,119-0,154 % dan vitamin C 37,69-88,11 mg/100 g. Data kandungan kimia sari buah salak Manonjayadisajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh bahan penstabil terhadap kandungan kimia sari buah salakManonjaya

No Perlakuan TPT(oBrik)

Asam total(%)

Vitamin C(mg/100g)

1 CMC 1 g karagenan 0 g 14.4 0,127 88,112 CMC 1 karagenan 0,5 14.2 0,158 71,373 CMC 0 karagean 1 14.4 0,122 37,694 CMC 0,5 karagenan 1 g 14.2 0,130 36,525 CMC 1 g karagenan 1 g 14.0 0,119 43,146 CMC 1,5 g karagenan 1,5 g 15.0 0,135 53,147 CMC 1 g karagenan 2 g 15.0 0,131 38,438 CMC0 karagenan 2 15.0 0,125 35,209 CMC 0 Karagenan 1.5 14.6 0,151 54,3410 CMC 0 karagenan 0 14.0 0,154 55,13

0

2

4

6

8

tinggi endapan(cm)

Perlakuan

Pengaruh bahan penstabil terhadap tinggi endapan saribuah salak Manonjaya

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Page 296: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

284│

284│

KekentalanPerlakuan penambahan CMC dan karagenan berpengaruh terhadap kekentalan sari buah yangdihasilkan . Semakin tinggi konsentrasi karagenan dan CMC yang ditambahkan semakin kental saribuah yang dihasilkan .Kekentalan tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan CMC 1 g dankaragenan 2 g. Sari buah dengan kekentalan tertinggi kurang disukai oleh penelis. Panelis lebihmenyukai sari buah dengan kekentalan 28,4 cp yaitu sari buah yang diberi perlakuan CMC sebanyak1 g/l. Walaupun kekentalan disukai namun warna sari buah yang dihasilkan kurang disukai . Hasilpengamatan kekentalan sari buah salak disajikan dalam gambar 4

Gambar 4: Pengaruh bahan penstabil terhadap nilai kekentalan sari buah salak ManonjayaKeterangan1=CMC 1 g karagenan 0 g2=CMC 1 g karagenan 0,5 g3=CMC 0 g karagenan 1 g4=CMC 0,5 g, karagenan 1 g5=CMC 1 g karagenan 1 g6=CMC 1,5 g karagenan 1,5 g7=CMC 1 g karagenan 2 g8=CMC 0 g karagenenan 2 g9=CMC 0 g karagenan 1,5 g10=CMC 0 g karagenan 0 g

Hasil uji organoleptikPerlakuan penambahaan bahan penstabil (CMC dan Karagenan) kedalam pembuatan sari

buah salak Manonjaya menghasilkan penilaian panelis untuk warna sari buah agak menarik sampaimenarik dan nilainya lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa perlakuan). Tampaknya perlakuanpenggunaan karagenan dinilai panelis memberikan warna sari buah lebih menarik dibandingkanpenggunaan CMC. Hal ini ditunjukan dengan nilai yang diberikan oleh panelis lebih tinggidibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 8). Kombinasi perlakuan penambahan CMC 0 g dankaragenan 1 dan 2 g menghasilkan nilai aroma paling rendah yaitu 2,5 dibanding perlakuan lainnya.Perlakuan penambahan CMC dan karagenan tampaknya tidak mempengaruhi rasa sari buah yangdihasilkan. Rasa sari buah dinilai enak hampir sama dengan kontrol (tanpa penambahan CMC dankaragenan). Perlakuan penambahan CMC 1 g dan karagenan 2 g memberikan kekentalan paling tinggi(4,0) dibanding perlakuan lainnya. Panelis rata rata menyukai sari buah salak Manonjaya, baik yangdiberi perlakuan maupun tanpa perlakuan. hasil pengamatan organoleptik disajikan dalam tabel 8.

0

100

200

300

400

500

kekentalan

CP

Pengaruh bahan penstabil terhadap kekentalan saribuah salak Manonjaya 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Page 297: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│285

Tabel 8: Pengaruh CMC dan karagenan terhadap hasil uji organoleptik sari buah salak Manonjaya

Perlakuan Warna Aroma Rasa Kekentalan Kesukaan

1=CMC 1 g karagenan 0 g2=CMC 1 g karagenan 0,5 g3=CMC 0 g karagenan 1 g4=CMC 0,5 g, karagenan 1 g5=CMC 1 g karagenan 1 g6=CMC 1,5 g karagenan 1,5 g7=CMC 1 g karagenan 2 g8=CMC 0 g karagenenan 2 g9=CMC 0 g karagenan 1,5 g10=CMC 0 g karagenan 0 g

2,503,503,003,503,002,003,503,003,002,50

3,003,502,503,003,003,003,002,503,003,00

4,004,004,004,004,003,503,503,503,504,00

5,002,002,503,003,003,004,003,002,003,00

4,004,003,004,003,503,004,003,003,503,50

Nilai Kruskal Wallis (H)P-Value

8,800,46

7,100,63

9,630,38

29,910,001

4,430,88

KESIMPULAN

1. Warna sari buah salak Manonjaya dapat diperbaiki dengan merendam daging buah salakdalam larutan sodium meta bisulfit 1000 ppm selama 30 menit sebelum blansing.danpenambahan vitaim C

2. Perlakuan penambahan bahan penstabil CMC dan karagenan kedalam pembuatan saribuah salak dapat mengurangi pengendapan yang terjadi.

3. Perlakuan kombinasi perlakuan penambahan CMC 1,5 g dan karagenan 1,5 gmenghasilkan porsentse pengendapan dan tinggi endapan terkecil (37,57% dan 2,66 cm.

PUSTAKA

1. Anonimous.2010. Data statistic Hortikultura. Badan Pusat Statistik Indonesia.

2. Amodio 2007M.L, Colleli,G. Hassey,J.K,Kader, AA,2007. A comparative study of compotitionand post harvest performace of organically and conventionally grown kiwi fruit. Journal of theScience of Food and Agriculture 87,1228-1236

3. Broto,W.1990. Penggunaan bahan penstabil pada pembuatan sari buah sawo (Achras sapota L).Penel Hort 5(1):16-21

4. Elisabeth Sitorus, Suyanti dan Syaifullah, 1999. Studi pembuatan sari buah dengan memakai apelvarietas Anna. Buletin Pascapanen Hortikultura vol 2 no 1 (66-74)..

5. Luximon Ramma, Bahorun T,,Crozier,A., 2003.antioksidant action andphenolic and vitamin Ccontent of common Mauritian exotic fruits. Journal of the Science of Fiood nd Agricultural83,496-502.

6. Jeong,C.H.Llee W.J, Bae S.H, Choi, S.C.2007. Chemical components antioxidant activity ofKorean gold kiwifruit Han’guk Sikp’um Yongyang Kwahak Hoechi 36,839-865

7. Hasan Togrul and Nurhan Arslan.2004. Extendeing self life of peach and pear by using CMCfrom suger beet pulp cellulose as a hypophylic polymer in emulsions. Food Hydrocolloids 8:215-236.

Page 298: Prosiding BUKU 1

Pengaruh Sodium Meta Bisulfit, Vitamin C, dan Bahan Penstabil Terhadap Mutu Sari Buah Salak ManonjayaSuyanti , Arif, A.B, dan Prabawati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

286│

286│

8. Maqbool Ahmad, M Ismail, M.asharf Chaundry, and bahtiar Hussain.1988. effect of differentpreservatives on the retention of natural and added ascorbic acid in orange squash. PakistanJ.Agric Res vol 9 no 7.

9. Majid Suhail Hashmi, Sahib Alam, Ayaha Riaz and Abdul sattar Shah. 2007. Studies onmicrobial and sensory quality of mango pulp storage with chemical preservaties Pakistan Journalof Nutrition 6(1) 85-88.

10. Mian Malik, Abdul Ghafoor, Mohamad Saleem and Mohamad Mustaq Ahmad. 1994.Preservation of watermelon squash using benzoate dan potassium metabisulphyt. Pak.J.AgricSci.vofiber net work. l 31 n0 1 58-60.

11. Meyer,1971. Meyer,1971. Food chemistry .reinhold publishing Co.New York. p 93.

12. Tavarini ,S., DegiInnocenti,E.,Remorini,D.,Massai,R., Guidi,I.,2008. Antioxsidant capacityascorbic acid, total phenols and carotenoid change during harvest and after storage of Harvardkiwi fruit. Food Chemistry 107,282-288

13. O.P.Chanchan, dheer Singh, S.M. Tyagi, and D.K.Balyan.2002. Studies on preservation ofsugarcane Juice. International Journal of Food Properties 5(1), 217-229.

14. Pedram fatehi, Rattana Kititerakum,Yonghao NI, Huining Xiao. 2010. Synergy of CMC andmodified chitosan on strength properties of cellulosic fiber network. Carbohydrate Polymer s80,208-214.

15. Rene A de Wijk, Christian Kapper, Peter Borsboom and Jon F Prinz.2009. Persistence oralcoating CMC and starch based custard deserts. Food Hydrocolloid s 24 :896-900

16. Sheila Gorinstein, R.Haurienkit, S.Poovarodom, Young Seo Park,S.Verasilp, M. Suhaj, KyungSik Ham, Buk Gu Heo, Ja Young Cho, Hong Gi Jang.2009. The comparative characteristics ofsnake and kiwi fruits.Food Chemical Toxicology.47,1884-1991.

17. Suyanti , Elisabeth Sitorus. Dan Syaifullah,1998.Pengaruh asam ascorbat , sodium meta bisulfitdan varietas terhadap mutu buah apel kering. Buletin Pascapanen Hortikultura, volume 1 no2(10-15)

18. Suyanti dan Sabari SD.1991. Pengaruh pengenceran sari buah, penambahan gula, asam sitrat,tingkat kematangan dan bahan penstabil terhadap mutu sari buah nenas. Hort.30:18-21

19. Setyadjit , Lani kasigit, Suyanti, Wisnu Broto, Ridwan Thahir dan Dewi zsetyaningsih, 2010.Kinerja enzim nariginase dan CMC dalam mengurangi tingkat kepahitan jus jeruk siam (Citrusnobilis L)..J.penelitian Pascapanen vol 7 no 1(32-42).

20. Safed Akhtar, M Riaz, A. Ahmad and A.Nisar. 2010. Physico chemical, microbiologycal andsensory stability of chemically preserved mango pulp. Pak.J.Bot. 42(2)883-862.

21. Tavarini ,S., DegiInnocenti,E.,Remorini,D.,Massai,R., Guidi,I.,2008. Antioxsidant capacityascorbic acid, total phenols and carotenoid change during harvest and after storage of Harvardkiwi fruit. Food Chemistry 107,282-288

Page 299: Prosiding BUKU 1

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible FilmPurwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│287

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas denganEdible Film

Purwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, MBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, YogyakartaE-mail: [email protected]

Telepon : 0812 278 5724

ABSTRAK. Bahan pengemas pangan saat ini sebagian besar berupa plastik yang tidak ramah lingkungankarena sulit terurai sehingga menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Selain itu dapat mengkontaminasiproduk pangan yang dikemas yang menimbulkan efek negatif bagi kesehatan. Oleh karena itu perludikembangkan bahan pengemas primer yang renewable, ramah lingkungan, tidak mengkontaminasi produkpangan serta bisa meningkatkan mutu fisik produk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkatpreferensi konsumen terhadap dodol salak yang telah dikemas dengan edible film. Penelitian ini dilaksanakanpada bulan Februari – November 2011 di laboratorium pasca panen dan alsintan BPTP Yogyakarta. Pembuatanedible film menggunakan rancangan acak lengkap 2 faktor, yaitu : Faktor 1, variasi konsentrasi pati ubi kayu,yaitu : 3%, 4% dan 5% dan faktor 2, variasi jenis plasticizer, yaitu: gliserol, sorbitol dan lilin lebah. Edible filmyang telah dihasilkan digunakan untuk mengemas dodol salak dan dilakukan uji preferensi konsumen dengan ujisensoris secara hedonic scale meliputi warna, tekstur, bau dan kesukaan secara keseluruhan. Dari hasil ujipreferensi konsumen diketahui bahwa dodol salak yang paling disukai secara keseluruhan adalah dodol salakyang dikemas dengan edible film dengan konsentrasi pati ubi kayu 5% dan jenis plasticizer sorbitol, yaitudengan nilai kesukaan 3,8 dan tingkat penerimaan panelis 85%.

Kata kunci: edible film, dodol salak, preferensi konsumen.

ABSTRACT. Purwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M 2013. Consumer Preferences of ZalaccaTaffy Packed With Edible Film. Present food packaging materials are mostly plastic that is notenvironmentally friendly because it is difficult to decompose, causing environmental pollution. Moreover, it cancontaminate food products are packaged to have a negative effect on health. Hence necessary to developprimary packaging materials are renewable, environmentally friendly, does not contaminate food products andcan improve the physical quality of the product. The objective of this study was to determine the level ofconsumer preferences for taffy zalacca that has been packed with edible films. The research was conducted fromFebruary to November 2011 in the laboratory postharvest and machinery of AIAT Yogyakarta. Preparation ofedible films using a complete randomized block design two factors,: the first factor concentration of variationcassava starch,: 3%, 4% and 5% and the second factor, variation of plasticizer types, glycerol, sorbitol and beeswax. Edible films have been produced is used to package taffy zalacca and consumer preference test conductedby the hedonic scale sensory tests include color, texture, odor and overall preferences. From the test results ofconsumer preferences known that the most preferred taffy zalacca overall is a taffy zalacca are packed withedible films of cassava starch concentration of 5% sorbitol and type of plasticizer, ie with a value of 3.8preferences panelists and 85% acceptance rate.

Key words: consumer preferences, zalacca taffy, edible film__________________________________________________________________________

Pengemasan produk pangan merupakan bagian yang penting dari tahapan penanganan panganbaik untuk buah, sayur, dan makanan siap saji. Ada tiga tingkatan bahan pengemas makanan, yaitu:pengemas primer, sekunder dan tersier. Pengemas primer adalah pengemas yang bersentuhan secaralangsung dengan bahan makanan, pengemas sekunder adalah pengemas yang tidak bersentuhanlangsung dengan bahan makanan sebagai pembungkus pengemas primer. Sedangkan pengemas tersieradalah pengemas yang digunakan untuk membungkus kumpulan pengemas sekunder. MenurutAnonim (2009a) penggunaan pengemas primer perlu memperhatikan beberapa persyaratan sebagaiberikut: 1. Non toksik (Tidak menghasilkan racun atau bahan-bahan berbahaya akibat reaksi yangditimbulkan selama bersentuhan dengan makanan). 2. Pelindung (Pengemas tersebut bisa melindungi

Page 300: Prosiding BUKU 1

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible FilmPurwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

288│

288│

bahan makanan dari kontaminasi mikroorganisme, kotoran, serangga). 3. Penahan, artinya bahanpengemas tersebut dapat menahan bahan yang dikemas dari benturan, gesekan, dan tekanan yangdapat merusak bahan yang dikemas secara fisik.

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas makanan telah mendominasi masyarakat,dikarenakan sifatnya yang fleksibel, ringan dan kuat. Tetapi setelah diketahui bahwa plastikmerupakan salah satu bahan yang sulit di daur ulang (tidak ramah lingkungan), dan diduga berasaldari hasil daur ulang bahan yang berbahaya seperti pestisida, logam-logam berat, kotoran dansebagainya (Anonim, 2009a), maka penggunaan plastik sebagai kemasan pangan mulaidikurangi/dihindari. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan yaitu menggunakan bahandasar yang dapat didaur ulang untuk pembuatan edible film. Keuntungan utama dari edible filmadalah dapat dimakan bersama-sama dengan bahan makanan yang dikemasnya, dapat meningkatkannutrien, menambah karakter sensori dan menambah kualitas antimikrobia (Guilbert dkk., 1996).

Edible film dapat dibuat dari berbagai macam polosakarida, protein dan lemak. Edible filmyang dibuat dari polisakarida seperti pati harganya murah dan dalam ukuran besar, seperti pati ubikayu yang ketersediaannya di Indonesia cukup besar, yaitu 892,907 ton ubi kayu untuk produksi dariDIY (BPS RI, 2009).

Keunggulan pati sebagai bahan utama edible film adalah sebagai pembatas oksigen yang baik,karena struktur yang kompak tetapi mempunyai kelarutan yang rendah (McHugh dan Krochta, 1994),juga memiliki kelemahan antara lain mudah mengalami hidrasi, menggembung dengan cepat danmudah sobek. Untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan modifikasi dengan penambahan asam lemak,hidroksipropil (Jokay, 1967). Asam lemak yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam stearat,sedangkan sebagai plastizicer adalah gliserol, sorbitol dan lilin lebah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap makanan siap sajiyaitu berupa dodol salak yang dikemas dengan menggunakan pengemas primer berupa edible filmyang terbuat dari pati ubi kayu dengan plastizicer gliserol, sorbitol dan lilin lebah.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah ubi kayu yang diperoleh dari Sleman Yogyakarta. CMC, asamstearat, sorbitol, gliserol, lilin lebah diperoleh dari Laboratorium CHEMIX Pratama Yogyakarta.Dodol salak diperoleh dari KWT Candi, Turi, Sleman, Yogyakarta.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - November 2011 di Laboratorium Pascapanen DanAlsintan BPTP Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian terdiri dari : pembuatan pati ubi kayu, pembuatanlembaran edible film, pengemasan dodol salak dan uji organoleptik pada dodol salak yang telahdibungkus edible film. Uji organoleptik dilakukan menggunakan metode kesukaan (hedonic scale)dengan skala 1(sangat tidak suka) hingga 5 (sangat suka) (Resurreccion, 1998). Data yang diperolehdiuji dengan uji Duncan.

Pembuatan edible filmPenelitian dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap (Scheaffer et al., 1990) dengan 2 (dua)faktor dan 2 (dua) ulangan. Faktor pertama persentase pati (3%, 4%, dan 5%), faktor kedua jenisplasticizer (15% (b/v) gliserol, 2% (b/v) sorbitol dan 0,3% (b/v) lilin lebah).

Page 301: Prosiding BUKU 1

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible FilmPurwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│289

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan edible film pada bahan aplikasi menurut metode Ketser danFennema (1986) yang telah dimodifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji organoleptik merupakan uji untuk mengetahui kesukaan dan penerimaan konsumenterhadap edible film yang dihasilkan, dengan pengamatan dan pengukuran secara indrawi, yangmenyatakan suka atau tidaknya dan menerima atau tidaknya panelis terhadap sifat-sifat fisik bahan.Hasil uji organoleptik tersaji pada Tabel 1.

Disuspensi (sesuai perlakuan)

Suspensi pati ubikayu

Dimixer, disaring kemudian dipanaskan suhu 70oCselama 15’ sambil diaduk

Penambahan plastizicer sesuaiperlakuan, 1,5% (b/v) asam stearat,dan 1% (b/v) CMC

Bahan aplikasi (Dodol salak)terkemas edible film

Dipindahkan pada plat

Dikeringkan dengan oven suhu 50oC

Lembaran edible film (basah)

Bahan aplikasi(Dodol salak)

Lembaran edible film (kering)

Larutan edible film panas

Pati ubikayu

Page 302: Prosiding BUKU 1

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible FilmPurwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

290│

290│

Tabel 1. Nilai kesukaan panelis terhadap warna, tekstur dan aroma dari edible film pati ubikayu dengan perlakuan plastizicer gliserol, sorbitol dan lilin lebah

Perlakuan Warna Tekstur Aroma Keseluruhan

Pati ubi kayu 3% + gliserol 3,10a 2,40a 3,70a 3,10a

Pati ubi kayu 4% + gliserol 3,05a 2,45a 3,70a 3,10a

Pati ubi kayu 5% + gliserol 3,20a 2,62a 3,67a 3,20a

Pati ubi kayu 3% + sorbitol 3,75c 3,40b 3,35a 3,60ab

Pati ubi kayu 4% + sorbitol 3,85c 3,45b 3,50a 3,80b

Pati ubi kayu 5% + sorbitol 3,85c 3,55b 3,45a 3,62ab

Pati ubi kayu 3% + lilin lebah 3,20b 3,60b 3,35a 3,475ab

Pati ubi kayu 4% + lilin lebah 3,30b 3,55b 3,25a 3,425ab

Pati ubi kayu 5% + lilin lebah 3,30b 3,65b 3,25a 3,45ab

-* : Huruf yang sama pada kolom sama menandakan tidak beda nyata dengan Uji Duncan, dengan taraf signifikan 95%

WarnaWarna memegang peranan penting dalam produk makanan, karena jika warna suatu makanan

tidak menarik atau lazim, meskipun kandungan gizinya lengkap akan mengurangi penerimaankonsumen terhadap produk (Winarno, 1991).

Hasil uji organoleptik terhadap warna dodol salak yang dilapisi edible film secara statistikmenunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan penambahan plasticizer gliserol,sorbitol dan lilin lebah, tetapi tidak berbeda nyata dengan adanya perlakuan penambahan pati (padajenis plasticizer yang sama, misal pada jenis plasticizer gliserol, penambahan pati 3%, 4% dan 5%menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata). Panelis lebih menyukai warna dodol salak yangdilapisi edible film dengan plasticizer sorbitol dengan nilai kesukaan 3,85. Hal ini terjadi karenawarna dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer sorbitol palingmendekati warna plastikjenis PE, warna dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer gliserol sama seperti dodolsalak tidak diberi pelapis, sedangkan warna dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizerlilin lebah seperti dodol dibungkus kertas wajik.

TeksturHasil uji organoleptik terhadap tekstur dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer

gliserol secara statistik perbedaan yang nyata antara tekstur dodol salak yang dilapisi edible filmdengan plasticizer sorbitol dan lilin lebah. Panelis lebih menyukai tekstur dodol salak yang dilapisiedible film dengan plasticizer lilin lebah dengan nilai kesukaan 3,65. Hal ini terjadi karena teksturdodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer lilin lebah paling mendekati tekstur plastikjenis PE, tekstur dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer gliserol bersifat lengket.

AromaAroma merupakan salah satu faktor penentu kualitas produk makanan (Kartika et al., 1988).

Hasil uji organoleptik terhadap aroma/bau dodol salak yang dilapisi edible film secara statistikmenunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara aroma dodol salak yang dilapisi ediblefilm dengan plasticizer gliserol, sorbitol dan lilin lebah. Hal ini terjadi karena memang semua ediblefilm tersebut tidak berbau.

Page 303: Prosiding BUKU 1

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible FilmPurwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│291

Kesukaan secara keseluruhanUntuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk secara utuh dan untuk menentukan

kualitas produk maka dilakukan penilaian gabungan sebagai penilaian kesukaan secara keseluruhan.Hasil uji organoleptik kesukaan keseluruhan terhadap dodol salak yang dilapisi edible film secarastatistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara dodol salak yang dilapisi ediblefilm dengan plasticizer gliserol, sorbitol dan lilin lebah. Panelis lebih menyukai dodol salak yangdilapisi edible film dengan plasticizer sorbitol dengan nilai kesukaan 3,8. Hal ini terjadi karena secarakeseluruhan dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer sorbitol paling mendekati plastikjenis PE, dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer gliserol sama seperti dodol salaktidak diberi pelapis, sedangkan dodol salak yang dilapisi edible film dengan plasticizer lilin lebahseperti dodol dibungkus kertas wajik.

Tabel 2. Persentase Tingkat Penerimaan Panelis terhadap edible film pati ubi kayu denganperlakuan plastizicer gliserol, sorbitol dan lilin lebah

Perlakuan Warna

(%)

Tekstur

(%)

Aroma

(%)

Keseluruhan

(%)

Pati ubi kayu 3% + gliserol 45 20 75 45

Pati ubi kayu 4% + gliserol 45 25 70 40

Pati ubi kayu 5% + gliserol 50 35 80 45

Pati ubi kayu 3% + sorbitol 80 70 50 65

Pati ubi kayu 4% + sorbitol 85 65 60 80

Pati ubi kayu 5% + sorbitol 85 65 60 85

Pati ubi kayu 3% + lilin lebah 55 75 60 55

Pati ubi kayu 4% + lilin lebah 55 70 70 50

Pati ubi kayu 5% + lilin lebah 50 65 55 55

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa persentase tingkat penerimaan panelis sesuai dengan nilaikesukaan panelis. Misal secara keseluruhan nilai kesukaan panelis terhadap dodol salak yang dilapisiedible film dengan plasticizer sorbitol paling tinggi yaitu 3,8, maka persentase tingkat penerimaanpanelispun paling tinggi yaitu 85%, demikian juga pada warna, tekstur dan aroma.

PUSTAKA

1. Anonim. 2009a. Lembaga Kesehatan Madani. http://layanankesehatahmadani.blogspot.com/.Diakses tanggal 19 November 2010

2. BPS RI. 2009. Luas Panen, Produktivitas, Dan Produksi Ubi Kayu MenurutProvinsi.www.bps.go.id/tab/sub/view.php?tabel=1&daftar=1&idi_subyek=53&notab=15.Diakses tanggal 19 November 2010.

3. Guilbert, S., Gontard, N., dan Gorris, L.G.M. (1996). Prolongation of the shelf-life of perishablefood products using biodegredable films and coatings. Lebensmittel-Wissenchaft und-Technologie 29: 10-17

4. Jokay, L., Nelson, G.E., dan Powell, E.C. 1967. Amylaceouscoatings for foods. Food Technol.21:1064-1066

5. Kartika, B. H. Pudji dan S. Wahyu. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangandan Gizi. Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 304: Prosiding BUKU 1

Preferensi Konsumen Terhadap Dodol Salak yang Dikemas dengan Edible FilmPurwaningsih, Wanita, Y.P dan Kobarsih, M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

292│

292│

6. Kester, J.J. dan Fennema, O.R. (1986). Edible films and coatings: A review. Food Technology12:47-59

7. McHugh, T.B., dan Krochta, J.M. (1994). Permeability properties of edible film. Dalam:Krochta, J.M., Baldwin, E.A. and Nisperos-Carriedo, M.O. (eds). Edible Coating and Films toImprove Food Quality. Technomic Publication Company, Inc. Lancaster, U.S.A.

8. Resurreccion, A.V.A., 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. AspenPubliser, Inc, Maryland.

9. Scheaffer, R.L., W. Mendenhall and Lyman Ott, 1990. Elemantary survey Sampling. PWS-KENT Publishing Co., Boston.

10. Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 305: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│293

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan PerlakuanPerendaman dan Lama Penyimpanan

Sunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, EBalai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12, Cimanggu Bogor 16114

ABSTRAK. Buah rambutan selain dimakan sebagai buah segar dapat juga diolah menjadi buah kalengan ataumanisan buah. Pengawetan semacam ini dapat memperpanjang masa simpan buah rambutan sampai di luarmusim. Manisan adalah salah satu bentuk makanan olahan yang banyak disukai oleh masyarakat. Rasanya yangmanis bercampur dengan rasa khas buah sangat cocok untuk dinikmati di berbagai kesempatan. Manisan keringadalah produk olahan yang berasal dari buah-buahan dimana pemasakannya dengan menggunakan gulakemudian dikeringkan. Produk ini mempunyai beberapa keuntungan diantaranya bentuknya menjadi lebihmenarik, lebih awet, volume serta bobotnya menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dalam pengangkutan(Kalie, 1994). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik mutu fisikokimia manisan keringbuah rambutan dengan lamanya waktu penyimpanan (0, 2, dan 4 minggu). Penelitian ini dilakukan denganmenggunakan tiga variasi perlakuan lama perendaman (1, 2, dan 3 malam). Larutan yang digunakan untukperendaman adalah larutan gula 40%, asam sitrat 0,2%, natrium benzoat 0,05% dan kalium sorbat 0,05%.Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik dan kimia. Sifat fisik meliputi : warna, rasa, dan kesukaan. Sedangkansifat kimia meliputi : kadar air, kadar abu, total asam, pH, vitamin C, total fenol, serta residu sulfit. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan manisan kering buah rambutan maka kadar totalasam, vitamin C, kadar air, kadar abu, residu sulfit, total fenol dan pH semakin menurun. Sedangkan perlakuanlama perendaman dalam larutan gula tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Pengamatan yang dilakukanmasing-masing perlakuan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 menghasilkan nilai sebagai berikut : kadar totalasam pada penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berkisar antara 1,235 – 1,274%, kadar vitamin C berkisarantara 51-60%, kadar air berkisar antara 7,45 – 21,22%, kadar abu berkisar antara 0,32 – 2,10%, pH berkisarantara 4,5 – 3,6% dan kadar fenol berkisar antara 0,36 x 10-4 gram sampai 9,88 x 10-4 gram.

Katakunci : Sifat fisika kimia; Buah kering; Rambutan

ABSTRACT. Sunarmani, Setyadjit dan Sukasih, E 2013. Physicochemical character analysis of drysweet of rambutan fruit with soaking and storage time treatment. Rambutan fruit is eaten not only as freshfruit can also be processed into canned fruit or fruit preserves. This preservation can extend the shelf life oframbutan fruit until the off-season. Sweets are one of the many forms of processed foods favored by the public.Sweet taste mixed with the distinctive fruit flavors is perfect to be enjoyed in a variety of occasions. Is candieddried processed products derived from fruits where ripening by using sugar then dried. This product has someadvantages such as the shape becomes more attractive, more durable, volume and weight becomes smaller,making it easier to transport (Kalie, 1994). The purpose of this study was to determine the quality of thephysicochemical characteristics of dried candied fruit rambutan with the length of storage time (0, 2, and 4weeks). This research was conducted using three variations of long immersion treatment (1, 2, and 3 nights).The solution used for immersion is a solution of 40% sugar, 0.2% citric acid, sodium benzoate and potassiumsorbate 0.05% 0.05%. Data were collected for physical and chemical properties. Physical properties include:color, taste, and preferences. While the chemical properties include: moisture content, ash content, total acid,pH, vitamin C, total phenol, and sulfite residues. The results showed that the longer the storage of dried candiedfruit rambutan the levels of total acid, vitamin C, moisture content, ash content, residual sulfite, total phenolsand pH decreases. While the treatment of long immersion in a solution of sugar does not give significantlydifferent results. Observations were made of each treatment at weeks 0, 2nd, and 4th produce the followingvalues: total acid levels on storage weeks 0, the 2nd and 4th ranges from 1.235 to 1.274%, vitamin C levelsranged from 51-60%, water content ranged from 7.45 to 21.22%, ash content ranged from 0.32 to 2.10%, pHranged from 4.5 to 3.6% and phenol ranged from 0.36 x 10-4 to 9.88 x 10-4 grams grams.

Keywords: Physical properties of chemical; Dried fruit; Rambutan

Page 306: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

294│

294│

Buah rambutan (Nephelium lappaceum) adalah tanaman tropis yang tergolong kedalamkelompok lerak-lerakan atau yang disebut dengan Sapindaceae. Buah ini berasal dari Asia Tenggara,disebut buah rambutan karena buahnya memiliki banyak rambut. Saat ini buah rambutan banyakditemukan di seluruh wilayah di Asia Tenggara dan beberapa tempat di Afrika, Karibia, dan AmerikaTengah.

Tumbuhan ini menyukai suhu tropika hangat (rata-rata 25o). Tingginya dapat mencapai 8 meterdengan diameter tajuk mencapai 4 meter. Tumbuhan ini menghasilkan bunga setelah usia 7 tahun jikaperbanyakannya dilakukan dari biji, dan dapat berbunga setelah usia 2 tahun jika perbanyakannyadilakukan secara vegetatif. Buah rambutan terbungkus oleh kulit yang memiliki rambut di bagianluarnya (eksokarp). Warna buahnya hijau ketika masih muda, lalu berangsur kuning hingga merahketika masak/ranum. Endocarp berwarna putih dan menutupi daging buah.

Dari survey yang telah dilakukan terdapat 22 jenis rambutan baik yang berasal dari galur murnimaupun hasil okulasi atau penggabungan dari dua jenis dengan galur yang berbeda. Ciri-ciri yangmembedakan setiap jenis rambutan dilihat dari sifat buah (dari daging buah, kandungan air, bentuk,warna kulit, panjang rambut). Dari sejumlah jenis rambutan diatas hanya beberapa varietas rambutanyang digemari orang dan memiliki nilai ekonomis relatif tinggi, diantaranya: 1) Rambutan Rapiah, 2)Rambutan Aceh Lebak Bulus, 3) Rambutan Cimacan, 4) Rambutan Binjai, 5) Rambutan Sinyonya(Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan danTeknologi).

Gambar 1. Buah Rambutan

Kandungan dan Manfaat Buah RambutanRambutan adalah salah satu tanaman multi guna, mulai dari batang, daun, bahkan kulitnya

bisa kita manfaatkan. Rambutan ternyata memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan tubuh. Buahrambutan kaya akan protein, besi, fosfor, lemak, karbohidrat, vitamin C dan berbagai macam lainnya.Selain itu pada kulitnya juga ditemukan tanin dan saponin yang bermanfaat bagi kesehatan.

Page 307: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│295

Tabel 1. Kandungan Gizi Rambutan per 100 gram Buah Rambutan

Kandungan Zat Gizi Kadar

EnergiAirProteinLemakKarbohidrat totalSeratKarbonKalsiumFosforZat besiNatriumKaliumTiaminRiboflavinNiasinVitamin C

64 kalori82 mg1 mg

0,1 mg16,5 mg1,1 mg0,4 mg20 mg15 mg1,9 mg1 mg64 mg

O,01 mg0,06 mg0,4 mg53 mg

Teknologi Pengolahan Buah RambutanKesegaran buah ini tidak berlangsung lama setelah panen. Hal ini disebabkan karena kulit buah

ditumbuhi banyak rambut bertekstur lunak dan mengandung air. Selain itu pada kulit dan rambutnyaterdapat banyak lentisel sehingga proses transpirasi dan respirasi pada buah menjadi tinggi(Mahisworo, et al. 1991).

Buah rambutan selain dimakan sebagai buah segar dapat juga diolah menjadi buah kalenganatau manisan buah. Pengawetan semacam ini dapat memperpanjang masa simpan buah rambutansampai di luar musim. Manisan adalah salah satu bentuk makanan olahan yang banyak disukai olehmasyarakat. Rasanya yang manis bercampur dengan rasa khas buah sangat cocok untuk dinikmati diberbagai kesempatan. Manisan kering adalah produk olahan yang berasal dari buah-buahan dimanapemasakannya dengan menggunakan gula kemudian dikeringkan. Produk ini mempunyai beberapakeuntungan diantaranya bentuknya menjadi lebih menarik, lebih awet, volume serta bobotnya menjadilebih kecil sehingga mempermudah dalam pengangkutan (Kalie, 1994).

Pada produk manisan buah, jumlah gula yang digunakan tergantung pada jenis dan varietasbuah ataupun selera individu sendiri. Gula yang ditambahkan dapat berupa bentuk kering atau sirupdengan konsentrasi tertentu. Apabila gula ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasiyang tinggi (minimal 40% padatan terlarut), maka sebagian dari air yang ada pada buah menjadi tidaktersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan tersebutberkurang sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Dengan demikian dapatmemperpanjang masa simpan dari bahan pangan tersebut. Meskipun demikian produk-produk panganberkadar gula tinggi dapat juga mengalami kerusakan akibat aktivitas khamir dan kapang yangtermasuk dalam kelompok mikroorganisme yang relatif mudah rusak oleh panas seperti pada prosespasteurisasi (Kimball, 1999).

Proses perendaman dalam larutan gula dibagi menjadi cara lambat dan cara cepat. Pada caralambat, perlakuan perendaman dalam larutan gula memerlukan waktu yang lama. Konsentrasi gulapada awalnya 30%, kemudian buah direndam selama 24 jam dan selanjutnya konsentrasi guladitingkatkan menjadi 40% dan kemudian buah direndam lagi selama 24 jam. Demikian seterusnyahingga konsentrasi gula mencapai 70%. Setelah itu buah direndam selama 3 minggu dan dikeringkan.Sedangkan pada cara cepat proses penambahan konsentrasi gula dapat disingkat menjadi beberapajam saja dengan mempertahankan larutan gula pada suhu 140-150°F (60-65°C). Kenaikan konsentrasigula dilakukan setiap 3-4 jam sekali sampai mencapai konsentrasi sekitar 68%. Pada umumnya

Page 308: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

296│

296│

penambahan gula ini dapat pula dikombinasikan dengan teknik lainnya seperti pengasaman (tingkatkeasam yang rendah), pasteurisasi, penyimpanan suhu rendah, pengeringan, pembekuan ataupenambahan bahan kimia seperti SO2, asam benzoat dan lain-lain.

Pengeringan ialah proses penurunan air sampai kadar air setimbang dengan keadaan udara disekelilingnya atau sampai kadar air dimana mutu sampel tersebut dapat dipertahankan dari seranganjamur, aktivitas serangga, dan enzim. Pengeringan biasanya dilakukan dengan metode oven. Metodeini memiliki beberapa kelemahan yaitu bahan lain ikut menguap dan masih memungkinkan air terikatkuat pada bahan.

BAHAN DAN METODE

Rambutan yang digunakan untuk produksi manisan buah adalah rambutan jenis Lebakbulus.Buah rambutan segar sebanyak 50 kg dikupas lalu dibagi kedalam dua tempat, masing-masing berisi20 kg dan 30 kg buah rambutan. Buah rambutan 30 kg dibuang bijinya, kemudian direndam dalamlarutan asam sitrat 1% selama 60 menit untuk mencegah pencoklatan. Kemudian dibilas dengan airmasak. Selanjutnya buah rambutan direndam dalam larutan CaCl2 10% selama 60 menit. Setelah itudiangkat dan direndam dalam larutan natrium metabisulfit 1% selama 60 menit. Terakhir dicucidengan air masak dan setelah itu ditiriskan. Buah rambutan dengan biji dibagi ke dalam 9 wadah, laludirendam dalam air gula 40%, asam sitrat 0,2%, natrium benzoat 0,05% dan kalium sorbat 0,05%.

Buah rambutan diberikan perlakuan perendaman berbeda, yaitu selama 1, 2, dan 3 malam.Setelah direndam buah rambutan ditiriskan dan ditimbang bobotnya kemudian dikeringkan dalamoven bersuhu 50o hingga kering. Untuk perlakuan perendaman selama 2 malam larutan perendamditambah lagi dengan larutan gula 20%. Begitu pula dengan perendaman selama 3 malam, padamalam ke-3 larutan gula ditambahkan lagi sebanyak 20%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah RambutanSebelum buah rambutan mendapatkan perlakuan, bobot awal buah rambutan dengan biji pada

masing-masing ulangan sebesar 0,94 kg. Pada perendaman selama satu malam bobot buah rambutandengan biji menjadi 0,8533 kg. Bobot buah rambutan menjadi berkurang dikarenakan kandungan airpada rambutan menyusut sekitar 0,0867 kg akibat dari proses pada saat penimbangan danperendaman. Pada perendaman selama dua malam bobot buah rambutan dengan biji menjadi 0,8000kg. Bobot buah rambutan menjadi berkurang dikarenakan kandungan air pada rambutan menyusutsekitar 0,14 kg. Pada perendaman selama tiga malam bobot buah rambutan dengan biji menjadi0,7800 kg. Bobot buah rambutan menjadi berkurang dikarenakan kandungan air pada rambutanmenyusut sekitar 0,16 kg.

Begitupun dengan buah rambutan tanpa biji. Sebelum buah rambutan mendapatkan perlakuan,bobot awal buah rambutan dengan biji pada masing-masing ulangan sebesar 0,44 kg. Padaperendaman selama satu malam bobot buah rambutan dengan biji menjadi 0,4312 kg. Bobot buahrambutan menjadi berkurang dikarenakan kandungan air pada rambutan menyusut sekitar 0,0088 kgakibat dari proses pada saat penimbangan dan perendaman. Pada volume larutan gula saatperendaman pun mengalami penyusutan.Semakin lama direndam bobot buah rambutan dan volumelarutan gula semakin berkurang.Hal ini dikarenakan pada saat perendaman rambutan menyeraplarutan gula sehingga volumenya menjadi berkurang.

Page 309: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│297

Tabel 1 Hasil perendaman larutan gula pada buah rambutan

Sampel Perlakuan Bobot setelahdirendam (kg)

Sisa volume larutangula (mL) Penambahan gula (mg)

Rambutan dengan biji Satu malam 0,8533 1370 -Dua malam 0,8000 1418 283,1333

0,6867 1314 -Tiga malam 0,7800 1449 289,7333

0,6533 1203 240,66670,5667 1117 -

Rambutan tanpa biji Satu malam 0,4312 687 -Dua malam 0,4180 707 141,3333

0,3667 463 -Tiga malam 0,4203 690 138

0,3800 607 121,33330,3800 453 -

Analisis Total AsamTotal asam untuk masing-masing perlakuan menghasilkan nilai yang berbeda. Perbedaan nilai

total dipengaruhi oleh penambahan asam sitrat dan kandungan buah rambutan.Nilai total asammanisan rambutan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 berada pada rentang 1,235%-1,274%. Nilai totalasam pada minggu ke-0 lebih besar dibandingkan minggu ke-2 dan ke-4. Hal ini mengindikasikanbahwa semakin lama waktu penyimpanan, maka total manisan akan semakin menurun.

Tabel 2. Analisis total asam

Sampel PerlakuanMinggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD

Dengan

biji

1 malam 1,265 0,00234 0,185 1,270 0,00312 0,213 1,267 0,00234 0,185

2 malam 1,276 0,00623 0,301 1,270 0,00467 0,232 1,269 0,00467 0,232

3 malam 1,276 0,00623 0,301 1,269 0,00544 0,298 1,268 0,00297 0.198

Tanpa biji 1 malam 1,273 0,00467 0,232 1,269 0,00389 0,198 1,261 0,00389 0,198

2 malam 1,271 0,00444 0,208 1,269 0,00544 0,298 1,254 0,00167 0,176

3 malam 1,270 0,00389 0,198 1,268 0,00623 0,301 1,234 0,00128 0,157

Gambar 2. Grafik hasil analisis total asam rambutan dengan biji

1.255

1.260

1.265

1.270

1.275

1.280

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Page 310: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

298│

298│

Gambar 3. Grafik hasil analisis total asam rambutan tanpa biji

Analisis Vitamin C

Tabel 3. Hasil analisis vitamin C

Sampel PerlakuanMinggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD

Dengan biji 1 malam 59,696 0,0811 0,136 57,437 0,0509 0,156 54,255 0,0454 0,185

2 malam 59,949 0,0905 0,232 56,407 0,0489 0,146 53,369 0,0367 0,162

3 malam 60,827 0,0847 0,200 55,670 0,0444 0,138 52,856 0,0297 0.148

Tanpa biji 1 malam 58,889 0,0796 0,122 54,889 0,0389 0,132 52,674 0,0289 0,138

2 malam 57,695 0,0544 0,167 54,322 0,0444 0,128 52,388 0,0250 0,126

3 malam 58,956 0,0623 0,181 54,356 0,0323 0,121 51,859 0,0228 0,120

Nilai vitamin C manisan rambutan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 berada pada rentang 60%-51%.Kadar vitamin C pada minggu ke-0 lebih besar dibandingkan minggu ke-2 dan ke-4. Hal inimengindikasikan bahwa semakin lama waktu penyimpanan, maka kadar vitaminC manisan akansemakin menurun. Vitamin C untuk masing-masing perlakuan menghasilkan nilai yang berbeda.Perbedaan nilai vitamin C dipengaruhi oleh penambahan asam sitrat.

Gambar 4. Grafik hasil analisis vitamin C rambutan dengan biji

1.200

1.220

1.240

1.260

1.280

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

48.00050.00052.00054.00056.00058.00060.00062.000

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Page 311: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│299

Gambar 5. Grafik hasil analisis vitamin C rambutan tanpa biji

Analisis Kadar AirTabel 4. Data hasil analisis kadar air

Sampel PerlakuanMinggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD

Dengan biji 1 malam 21,53 0,6317 2,9342 21,28 0,0721 0,3388 18,92 0,0857 0,4531

2 malam 18,68 0,4187 2,2414 19,46 1,4090 7,2408 17,64 0,2371 1,3445

3 malam 17,48 0,1402 0,8019 18,34 0,8746 4,77 17,64 0,4833 2,7402

Tanpa biji 1 malam 12,12 0,2043 1,6859 15,91 0,8850 5,5629 12,86 0,3462 2,6920

2 malam 11,04 0,8146 7,3787 12,83 0,3649 2,8446 10,98 0,7146 6,5084

3 malam 8,81 1,2186 13,8320 8,56 0,2212 2,5846 8,62 0,1332 1,5455

Nilai kadar air manisan rambutan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 berada pada rentang 22,22 -7,45%. Nilai kadar air buah rambutan yang menguap pada minggu ke-0 lebih besar dibandingkanminggu ke-2 dan ke-4. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama waktu penyimpanan, makakadar air manisan akan semakin menurun. Pada buah rambutan dengan biji, kadar air yang menguaplebih banyak. Namun, pada beberapa data kadar air minggu ke-2 dan ke-4 lebih besar dari padaminggu ke-0.

Gambar 6. Grafik hasil analisis kadar air rambutan dengan biji

Gambar 7. Grafik hasil analisis kadar air rambutan dengan biji

48.00050.00052.00054.00056.00058.00060.000

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

05

10152025

minggu-0 minggu-2 minggu-3

1 malam

2 malam

3 malam

0

5

10

15

20

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Page 312: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

300│

300│

Analisis Kadar Abu

Tabel 5. Data hasil analisis kadar abu

Sampel PerlakuanMinggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD

Dengan biji 1 malam 2,01 0,0758 3,7725 0,5802 0,0406 7,0099 0,3994 0,0650 8,7677

2 malam 2,03 0,0570 2,8083 0,3844 0,0582 8,0977 0,3659 0,0455 6,7988

3 malam 1,94 0,0264 1,3608 0,3874 0,0450 6,7856 0,3462 0,0544 7,3459

Tanpa biji 1 malam 1,67 0,0400 2,3952 0,3585 0,0650 8,7677 0,3673 0,0758 3,7725

2 malam 1,63 0,0360 2,2119 0,3462 0,0455 6,7988 0,3361 0,0570 2,8083

3 malam 1,53 0,0264 1,7292 0,3275 0,0544 7,3459 0,3308 0,0264 1,3608

Gambar 8. Grafik hasil analisis kadar abu rambutan dengan biji

Gambar 9. Grafik hasil analisis kadar abu rambutan tanpa biji

Analisis pHNilai pH manisan rambutan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 berada pada rentang 4,5-3,6.

Nilai pH pada minggu ke-0 lebih besar dibandingkan minggu ke-2 dan ke-4. Hal ini mengindikasikanbahwa semakin lama waktu penyimpanan, maka pH manisan akan semakin menurun. pH untukmasing-masing perlakuan menghasilkan nilai yang berbeda. Perbedaan nilai pH dipengaruhi olehpenambahan asam sitrat.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

0

0,5

1

1,5

2

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Page 313: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│301

Tabel 6 Analisis pH manisan rambutan

SampelPerlakuan Minggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSDDengan biji 1 malam 4,62 0,0264 0,573 4,44 0,0400 0,901 4,40 0,0701 1,593

2 malam 4,55 0,0353 0,777 4,46 0,0212 0,476 4,35 0,0418 0,9613 malam 4,53 0,0264 0,584 4,44 0,0255 0,574 4,37 0,0264 0,604

Tanpa biji 1 malam 4,62 0,0418 0,905 4,47 0,0264 0,592 4,39 0,0600 1,3672 malam 4,50 0,0316 0,703 4,43 0,0360 0,814 4,36 0,0552 1,1973 malam 4,44 0,0400 0,901 4,41 0,0430 0,975 4,36 0,0701 1,593

Gambar 10. Grafik hasil analisis pH rambutan dengan biji

Gambar 11. Grafik hasil analisis pH rambutan tanpa biji

4,2

4,3

4,4

4,5

4,6

4,7

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Page 314: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

302│

302│

Analisis Total FenolNilai total fenol manisan rambutan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 berada pada rentang 9,88

x 10-4gram - 0,36 x 10-4gram.Kadat total fenol pada minggu ke-4 lebih besar dibandingkan mingguke-0 dan ke-2. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama waktu penyimpanan, maka total fenolmanisan akan semakin meningkat. Fenol pada sampel tidak begitu berbahaya karena yang terkandungmasih jau dari batas bahaya.

Tabel 7. Data analisis total fenol

Sampel PerlakuanMinggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD

Dengan biji 1 malam 2,80 x 10-4 1,62 x 10-4 57,86 2,55 x 10-4 1,62 x 10-4 57,86 4,63 x 10-4 0,75 x 10-4 16,31

2 malam 2,02 x 10-4 1,41 x 10-4 69,80 2,53 x 10-4 1,41 x 10-4 69,80 3,04 x 10-4 1,59 x 10-4 52,23

3 malam 1,07 x 10-4 0,61 x 10-4 57,77 2,28 x 10-4 0,61 x 10-4 57,77 6,43 x 10-4 4,98 x 10-4 77,45

Tanpa biji 1 malam 2,54 x 10-4 2,23 x 10-4 87,91 2,59 x 10-4 2,23 x 10-4 87,91 7,31 x 10-4 0,64 x 10-4 8,84

2 malam 2,38 x 10-4 0,71 x 10-4 30,04 2,38 x 10-4 0,71 x 10-4 30,04 7,32 x 10-4 1,08 x 10-4 14,79

3 malam 0,98 x 10-4 0,64 x 10-4 65,35 0,98 x 10-4 0,64 x 10-4 65,35 7,09 x 10-4 0,76 x 10-4 10,72

Gambar 12. Grafik hasil analisis total fenol rambutan dengan biji

Gambar 13. Grafik hasil analisis total fenol rambutan tanpa biji

Analisis Residu SulfitKadar residu sulfit manisan rambutan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 berada pada

rentang 7,8 x 10-3- 8,15 x 10-3. Kadar residu sulfit pada minggu ke-0 lebih besardibandingkan minggu ke-2 dan ke-4. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama waktupenyimpanan, maka residu sulfit manisan akan semakin menurun. Residu sulfit untukmasing-masing perlakuan menghasilkan nilai yang berbeda.

0

2

4

6

8

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

0

2

4

6

8

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Page 315: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│303

Tabel 8. Hasil data analisis residu sulfit

Gambar 14. Grafik hasil analisis residu sulfit rambutan dengan biji

Gambar 15. Grafik hasil analisis residu sulfit rambutan tanpa biji

KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan manisan kering buah rambutanmaka kadar total asam, vitamin C, kadar air, kadar abu, residu sulfit, total fenol dan pH semakinmenurun. Sedangkan perlakuan lama perendaman dalam larutan gula tidak memberikan hasilyang berbeda nyata. Pengamatan yang dilakukan masing-masing perlakuan pada minggu ke-0, ke-2, dan ke-4 menghasilkan nilai sebagai berikut : kadar total asam pada penyimpanan minggu ke-0,

7,7

7,8

7,9

8

8,1

8,2

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

7,7

7,8

7,9

8

8,1

8,2

minggu-0 minggu-2 minggu-4

1 malam

2 malam

3 malam

Sampel PerlakuanMinggu-0 Minggu-2 Minggu-4

Rerata SD %RSD Rerata SD %RSD Rerata SD %RSDDengan

biji1 malam 8,08 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3601 7,87 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,360

18,08 x 10-3 0,0291 x

10-30,3601

2 malam 8,08 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3601 7,85 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3601

8,06 x 10-3 0,0300 x10-3

0,3722

3 malam 8,12 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3583 8,12 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3583

8,1 x 10-3 0,0500 x10-3

0,6172

Tanpa biji 1 malam 8,08 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3601 8,08 x 10-3 0,0291 x 10-3 0,3601

7,87 x 10-3 0,0291 x10-3

0,3601

2 malam 8,06 x 10-3 0,0300 x 10-3 0,3722 8,06 x 10-3 0,0300 x 10-3 0,3722

7,85 x 10-3 0,0291 x10-3

0,3601

3 malam 8,1 x 10-3 0,0500 x 10-3 0,6172 8,1 x 10-3 0,0500 x 10-3 0,6172

8,12 x 10-3 0,0291 x10-3

0,3583

Page 316: Prosiding BUKU 1

Analisis Sifat Fisikokimia Manisan Kering Buah Rambutan dengan Perlakuan Perendaman dan Lama PenyimpananSunarmani, Setyadjit, dan Sukasih, E

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

304│

304│

ke-2 dan ke-4 berkisar antara 1,235 – 1,274%, kadar vitamin C berkisar antara 51-60%, kadar airberkisar antara 7,45 – 21,22%, kadar abu berkisar antara 0,32 – 2,10%, pH berkisar antara 4,5 –3,6% dan kadar fenol berkisar antara 0,36 x 10-4 gram sampai 9,88 x 10-4 gram.

2. Manisan rambutan kering yang paling disukai oleh panelis ialah pada perlakuan perendamandalam larutan gula selama 3 malam (tanpa biji). Sedangkan pada rambutan dengan biji, manisankering yang paling disukai adalah pada perlakuan perendaman dalam larutan gula selama 2malam.

PUSTAKA

1. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan danTeknologi 2000, Rambutan TTG budidaya pertanian, Jakarta.

2. Kalie, B 1994, Rambutan varietas unggul, Kanisius, Yogyakarta.

3. Kimball, DA 1999, Citrus processing a complete guide, second edition, Maryland: ApenPublisher.

4. Mahisworo, Susanto, K & Anung, A 1991, Agribisnis tanaman perkebunan, Penebar Swadaya,Jakarta.

5. Rohmayanti, T 2011, Studi Analisis Mutu dalam Proses Pembuatan Manisan Kering BuahRambutan, Laporan Praktek Lapangan, Departemen Biokimia, Fakultas MIPA, IPB, Bogor.

Page 317: Prosiding BUKU 1

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra ProduksiAmiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│305

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra Produksi

Amiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, SBalai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Jl Tentara Pelajar 12, Cimanggu, Bogor

ABSTRAK. Hingga kini mutu buah sukun yang diproduksi oleh petani kecil kurang memuaskan. Penurunanmutu buah sukun diduga berkaitan dengan kurangnya keseragaman diameter buah, warna buah, dan sebagainya.Tujuan penelitian ialah untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik mutu buah sukun komersial disentra produksi. Mutu buah sukun sangat ditentukan oleh diameter buah sukun dan kesegaran buah. Buah sukundipanen dari daerah Ciputat (Jawa Barat), Yogyakarta (DI. Yogyakarta), Kepulauan Seribu (Daerah KhususIbukota), dan Bone (Sulawesi Tenggara) untuk diamati karakteristik fisiknya (diameter buah, berat buah, warnakulit, dan warna daging). Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah sukun yang ditanam tidak sama. Buahsukun dari daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Ibu Kota adalah tipe buah sukun bentuknyabulat. Buah sukun asal Cilacap yang ditanam di Kepulauan Seribu mempunyai berat 1,63 ± 0,36 kg dan sukunyang berasal dari Bone mempunyai berat 1,04 ± 0,15 kg dengan bentuk bulat lonjong. Kandungan air, abu,lemak, protein, karbohidrat dan daya cerna pati dipengaruhi oleh jenis buah sukun. Kandungan serat panganhampir sama untuk semua jenis sukun. Kandungan daya cerna pati yang < 50%, sangat baik untuk dikonsumsibagi mereka yang senang melakukan diit, penderita diabetis, dan obesitas.

Kata kunci: Buah sukun; Klimaterik; Mutu

ABSTRACT. Amiarsi, D, Suyanti, and Widowati, S 2013. Physical and Chemical Characteristic ofBreadfruit (Artocarpus communis) Fruit in Production Centre. The aim of the study was to develop qualitycharacteristics of fresh Artocarpus communis were freshly harvested at farmer in production centre.Arthocarpus communis quality was affected by the fruits size and freshness. Arthocarpus communis fruit werefreshly harvested at farmer in Ciputat (West Java), Yogyakarta (DI. Yogyakarta, Thousand Islands (DKI.Jakarta), and Bone (Souhteast Sulawesi) for analized Arthocarpus communis for physical appearance (weight,diameter, color skin, and color pulp). The result showed that the grown breadfruit is not the same, breadfruitfromDI. Yogyakarta, West Jawa, and Capital region is the round type. Cilacap original breadfruit planted in theThousand Islands has a weight of 1.63 ± 0.36 kg and breadfruit from Bone has a weight of 1.04 ± 0.15 kg with arounded oval shape. Moisture content, ash, fat, protein, carbohydrates and starch digestibility is affected by thetype of breadfruit. The fiber content of food is almost the same for all types of breadfruit. The digestibility ofstarch content of <50% was very good for diet, people with diabetes and obesity.

Keywords : Breadfruit; Arthocarpus communis; Climacteric; Quality

Tanaman sukun (Arthocarpus communis Forst) berasal dari daerah Pasifik dan Asia Tropikayang berkembang di Malaysia dan Indonesia, dan merupakan makanan pokok serba guna (Zerega etal, 2004) yang menjadi komponen penting untuk mencegah erosi, degradasi lahan (Ragone & Raymor,2009). Tanaman ini dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat antara 600-1500 m dpl, pada tanahbertekstur remah, banyak mengandung humus, mempunyai aerasi dan drainase yang baik, serta kayabahan organic serta pH optimal antara 6-7 dan membutuhkan cahaya matahari penuh (Mariska et al.,2004, Koswara 2006). Di Indonesia terdapat jenis sukun tanpa biji dan sukun dengan biji (Rincon etal. 2005). Buah sukun mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh manusia, sepertikarbohidrat, protein, lemak, vitamin A, B1, C serta mineral. Dalam 100 gram buah sukun mengandungkarbohidrat 28,2%, protein 1,3 g dan mineral kalsium 21 mg, fosfor 59 mg, zat besi Direktorat Gizi1989).

Sampai saat ini belum banyak laporan penelitian tentang buah sukun dan sejauh ini belumdiperoleh informasi yang jelas mengenai kesegaran buah sukun. Permasalahan yang sering dijumpaipetani, adalah buah mudah rusak secara mekanik dan harga murah saat panen raya. Kebanyakankonsumen kurang memperhatikan penampilan buah sukun yang dibelinya. Konsumen golonganekonomi lemah lebih banyak memilih mutu yang harganya terjangkau, sebaliknya produsen ataupenghasil buah sukun memasarkan buah belum mempertimbangkan faktor mutu. Kenyataan ini dapatmerugikan konsumen maupun produsen, maka diperlukan adanya keseragaman komponen mutu.

Komponen mutu yang diperlukan, berupa ukuran atau diameter buah, keseragaman ukuran,bentuk buah, penampilan, warna dan kesegaran buah. Komponen mutu sangat diperlukan, karena

Page 318: Prosiding BUKU 1

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra ProduksiAmiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

306│

306│

dapat digunakan sebagai pedoman, baik bagi petani produsen maupun konsumen dan sebagai dasartransaksi jual beli antara petani produsen dengan pedagang perantara, pedagang pengumpul, danekspotir sehingga mempunyai kepastian terhadap mutu yang diinginkan. Dengan demikian buah sukunmempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Nilai ekonomi yang tinggi dari buah sukun diarahkan sebagaibahan baku industri tepung (George et al. 2007) dan kemungkinan untuk ekspor (Suarni 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter fisik dan kimia buah sukun komersial disentra produksi.

BAHAN DAN METODA

Buah sukun sebagai bahan penelitian diambil dari daerah sentra produksi di Ciputat (Jawa Barat),Yogyakarta (DI. Yogyakarta), Kepulauan Seribu (Daerah Khusus Ibukota), dan Bone (SulawesiTenggara) pada bulan Juli sampai November 2009. Buah sukun dipanen pagi hari pada tingkat ketuaankomersial (menurut petani), dengan ciri fisik kulit buah berwarna hijau kecoklatan untuk buah sukunasal Yogjakarta, Ciputat, dan Kepulauan Seribu, sedangkan warna kuning untuk buah sukun yangberasal dari daerah Bone. Setelah dipanen buah dikemas dan diangkut ke Laboratorium Balai BesarLitbang Pascapanen Pertanian Bogor untuk diamati.Pengamatan dilakukan terhadap:

a. Sifat fisik meliputi- Berat buah (g), setiap buah ditimbang satu per satu- Diameter kuncup besar (mm), diambil pada bagian diameter besar dan diukur pada bagian

pangkal, tengah, dan ujung buah menggunakan jangka sorong.- Warna buah (kulit dan daging) diamati secara visual yaitu dengan melihat buah bagian luar dan

dalam yang selanjutnya dicocokkan dengan color chart.

b. Sifat kimia, meliputi:Analisis kimia yang dilakukan terhadap kandungan proksimat meliputi kadar air dan abu

(AOAC 2006), lemak (AOAC 2006), protein metode mikro kjedahl (Ferdiaz et al. 1989), karbohidrat(AOAC 2006), kadar serat pangan (ASP et al. 1983), dan daya cerna pati in vitro.Contoh buah yang digunakan untuk karakteristik fisik sebanyak 25 buah dari tiap-tiap sentra produksidan hasilnya dihitung nilai rerata, kemudian ditabulasi dan dihitung dengan standar deviasi.Pengamatan analisis buah sukun dilakukan dengan cara visual pada semua 25 buah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat fisikHasil pengamatan analisis karakteristik secara visual di sentra produksi buah sukun asal

daerah Ciputat (Jawa Barat), Yogyakarta (DI. Yogyakarta), Kepulauan Seribu (Daerah Khusus Ibukota), danBone (Sulawesi Tenggara) disajikan pada Tabel 1.

Sukun asal YogyakartaBerdasarkan Tabel 1, buah sukun di Yogyakarta terdapat dua jenis sukun, yaitu sukun lokal

dan jenis sukun yang berasal dari Cilacap. Sukun lokal berbentuk bulat lonjong, warna kulit waktumuda hijau, setelah tua kuning dan warna daging buah agak kekuningan, sedangkan sukun asalCilacap berbentuk bulat, ukuran buahnya lebih besar dibanding sukun lokal, warna kulit buah hijausaat masih muda dan hijau kecoklatan setelah tua, daging buah putih sampai putih kekuningan. Sukunlokal banyak ditanam didaerah Kulonprogo. Sukun Cilacap yang ditanam di daerah Yogyakarta seringdisebut sukun bangkok, mungkin karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan dengan sukunlokal. Penanganan sukun lokal agak berbeda dengan suku asli Cilacap. Sukun lokal buahnyadibungkus dipohon sehingga warna kulitnya mulus tidak bergetah, sedang sukun asal Cilacap tidakdibungkus. Bentuk sukun lokal sama dengan sukun yang berasal dari Bone demikian pula carapenanganannya. Berat sukun asal Yogyakarta 1,32 ± 0,16 kg dengan lingkar tinggi 45,5 ± 0,8 cm dan

Page 319: Prosiding BUKU 1

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra ProduksiAmiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│307

lingkar lebar 45,55 ± 2,0 cm. Berarti rasio lingkar tinggi dan lingkar lebar 0,998 (mendekati 1berbentuk bulat).

Sukun asal BoneSukun Bone warna kulitnya kuning dan warna daging buah putih kekuningan. Penanganan

sukun Bone sama dengan sukun lokal yang berasal dari Yogyakarta. Sebulan setelah berbungadilakukan pembungkusan di pohon dengan anyaman yang terbuat dari daun lontar yang disebutkambesi. Bentuk sukun Bone bulat lonjong dengan ukuran lingkar tinggi lebih besar (47,43 ± 2,2 cm)dibanding lingkar lebar (39,28 ± 3,3 cm) atau rasio lingkar tinggi dan lingkar lebar 1,21 (bentuk bulatlonjong). Berat buah 1,04 ± 0,15 kg. Hasil pengamatan fisik sukun Bone sama dengan hasilpengamatan Suismono et al. (2003), warna kulit kuning dan warna daging putih kekuningan.

Tabel 1. Karakteristik fisik buah sukun dari beberapa daerah sentra produksi

Asal Daerah

Karakteristik

Berat(kg)

DiameterTinggi(cm)

Diameter lebar(cm)

WarnaKulit

WarnaDaging

Yogyakarta 1,32 ± 0,16 45,5 ± 0,8 45,55 ± 2,0 Hijau-coklat Putih-kuning

Ciputat 1,39 ± 0,19 46,7 ± 0,2 45,95 ± 0,1 Hijau-coklat Putih –kuning

Bone 1,04 ± 0,15 47,43 ± 2,2 39,28 ± 3,3 Hijau-coklat Kuning

Kep. SeribuLokal

1,24 ± 0,31 49,78 ± 5,4 43,05 ± 3,8 Hijau Putih

Kep. Seribu asalCilacap

1,63 ± 0,36 51,35 ± 4,2 46,1 ± 32,4 Hijau-coklat Putih -kuning

Sukun CiputatBila dilihat dari bentuk dan ukurannya, jenis sukun asal Ciputat hampir sama dengan sukun

asal Yogyakarta, yaitu berat 1,39 ± 0,19 kg, ukuran lingkar tinggi (46,7 ± 0,2 cm) dan ukuranlingkar lebar (45,95 ± 0,1 cm). Warna kulit buah hijau kecoklatan dan warna daging buah putihkekuningan. Penanganan sukun asal Ciputat sama dengan sukun asal Yogyakarta yaitu buah tanpapembungkusan dipohon.

Sukun Kepulauan SeribuDi Kepulauan Seribu terdapat dua jenis sukun yang ditanam, yaitu sukun lokal Kepulauan

Seribu dan sukun asal Cilacap. Jenis sukun lokal bentuknya bulat lonjong dengan berat 1,24 ± 0,31kg, ukuran lingkar tinggi 49,78 ± 5,4 cm, lingkar lebar 43,05 ± 3,8 cm, dan ratio lingkar tinggi danlebar 1,16 (bentuk bulat lonjong). Bentuk sukun asal Cilacap yang ditanam di Kepulaun Seribu bulatdengan berat 1,63 ± 0,36 kg, lingkar tinggi 51,35 ± 4,2 cm, lingkar lebar 46,1 ± 32,4 cm, rasio lingkartinggi dan lingkar lebar 1,11 (bentuk bulat). Warna kulit hijau dan warna daging putih kekuningan.

Kandungan ProksimatSukun tergolong buah klimaterik dan kandungan kadar air yang tinggi menyebabkan buah

sukun tidak tahan lama setelah dipanen. Setelah 4-5 hari dipanen, buah sudah tidak layak lagi untukdikonsumsi. Kadar air buah sukun berkisar antara 62,84-70,13%. Dari hasil pengamatan, buah sukunasal Yogyakarta mempunyai kadar air terendah (62,84%) dibandingkan dengan jenis sukun asaldaerah lainnya, sedangkan tertinggi diperoleh pada sukun lokal yang berasal dari Kepulauan Seribu(70,13%). Sukun asal Yogyakarta mempunyai kandungan kadar abu dan kadar karbohidrat tertinggi(1,37 dan 33,24%), sedangkan jenis sukun lainnya berkisar antara 0,66-0,98% dan 27,52-32,42%.

Page 320: Prosiding BUKU 1

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra ProduksiAmiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

308│

308│

Tabel 2 : Kandungan proksimat buah sukun dari beberapa daerah sentra produksi

Asal daerahKandungan proksimat

Kadar Air(%)

Abu(%)

Lemak(%)

Protein(%)

Karbohidrat(%)

Energi(kkal)

Yogyakarta 62,84 a 1,37 b 0,39 a 2,17 a 33,24 a 154,050

Ciputat 69,80 a 0,66 a 0,57 a 1,60 a 27,36a 94,940

Bone 67,94 a 0,72 a 0,57 a 1,40 a 26,64 a 92,579

Kep. SeribuLokal

70,13 a 30,98 a 0,53 a 0,85 a 27,52a 79,080

Kep. Seribuasal Cilacap

66,81 a 0,84 a 0,59 a 1,10 a 30,67 a 87,698

Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata taraf 5% pada uji bedaDuncan

Sukun tergolong buah-buahan berkadar lemak rendah. Kandungan lemak pada buah sukunberkisar antara 0,39-0,59%. Kandungan lemak terkecil pada buah sukun asal Yogyakarta (0,39%)dan terendah pada sukun lokal yang berasal dari Kepulauan Seribu. Kandungan protein buah sukunberkisar antara 0,85-2,44%. Kandungan protein terendah pada buah sukun lokal dari KepulauanSeribu dan tertinggi pada buah sukun asal Ciputat (2,44%). Buah sukun mempunyai nilai energiberkisar antara 79,080-154,050 kkal untuk setiap 100 g buah sukun. Jumlah kalori terendah terdapatpada buah sukun lokal yang berasal dari Kepulauan Seribu dan tertinggi pada buah sukun asalCiputat. Dibandingkan dengan nasi, nilai energi buah sukun lebih rendah (180 untuk nasi dan 79,080-154,05 untuk sukun). Nilai energi buah sukun hampir sama dengan umbi umbian seperti ubi jalar,ganyong (Anonimous, 2008).

Kadar Serat Pangan dan Daya Cerna PatiSerat pangan memegang peran penting dalam memelihara kesehatan individu. Oleh karena

itu, serat pangan merupakan salah satu komponen pangan fungional yang dewasa ini mendapatperhatian masyarakat luas. Serat pangan berbentuk karbohidrat komplek yang banyak terdapatdidalam dinding sel tumbuhan. Serat pangan tidak dapat dicerna dan diserap oleh pencernaan manusiatetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan, pencegahan berbagaipenyakit, dan komponen penting dalam terapi gizi. Komponen ini meliputi polisakarida yang tidakdapat dicerna, seperti selulose, hemiselulose, oligosakarida, pektin, gum, waxse (Sadesai 2003,Astawan dan Wesdiyati 2004).

Serat pangan total meliputi serat pangan yang larut air (SPL) dan serat pangan yang tidak larutair (SPTL). Fungsi serat pangan larut terutama adalah memperlambat kecepatan pencernaan dalamusus, memberikan rasa kenyang yang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa ke dalamdarah, sehingga insulin yang dibutuhkan untuk menstranfer glukosa kedalam sel-sel tubuh dan diubahmenjadi energi semakin sedikit. Fungsi utama serat pangan tidak larut adalah mencegah timbulnyaberbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan saluran pencernaan antara lain wasir dankanker usus besar (Eckel 2003, Astawan & Wesdiyati 2004). Kandungan kadar serat pangan padabuah sukun berkisar antara 2,14-2,41%. Hasil analisis kandungan kadar serat pangan disajikan dalamTabel 3 berikut.

Tabel 3. Kandungan kadar serat pangan dan daya cerna pati

Jenis sukun Serat pangan(%)

Daya Cerna pati(%)

Yogyakarta 2,41 a 26,66 a

Ciputat 2,33 a 24,94 a

Bone 2,33 a 28,25 b

Kep. Seribu Lokal 2,41 a 25,87 a

Kep. Seribu asal Cilacap 2,15 a 24,74 a

Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata taraf 5% pada uji bedaDuncan

Page 321: Prosiding BUKU 1

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra ProduksiAmiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│309

Daya Cerna PatiDaya cerna pati in vitro dari buah sukun berkisar antara 24,74-28,25% dan tidak berbeda nyata

antar varietas, kecuali sukun yang berasal dari Bone. Hasil tersebut menunjukkan bahwa buah sukunmempunyai daya cerna pati yang rendah (<50%) sehingga sangat baik dikonsumsi bagi penderitadiabetes, yang sedang melakukan diit dan individu yang mengalami obesitas.

KESIMPULAN

1. Buah sukun asal Yogyakarta, Ciputat dan Kepulauan Seribu asal Cilacap memunyai kesamaanbentuk yaitu bulat;

2. Buah sukun asal Bone dan sukun lokal asal Kepulauan Seribu mempunyai kesamaan bentuk yaitubulat lonjong;

3. Penanganan buah sukun asal Bone dibungkus menggunakan keranjang dari lontar sehingga kulitbuah mulus dan berwarna kuning setelah tua;

4. Kandungan kimia (air, abu, lemak, protein, karbohidrat, daya cerna pati) dipengaruhi olehperolehan asal sukun;

5. Daya cerna pati yang < 50%, sehingga sangat baik untuk dikonsumsi bagi mereka yang seangmlakukan diit, penderita diabetis dan obesitas

PUSTAKA

1. Astawan & Wesdiyati 2004, Diet sehat dengan makanan berserat, Tiga serangkai PustakaMandiri.

2. Asp.N.G,C.G.Johanson, Halmer, H & Siljestrom.1983, ‘Rapki enzimatic assay on insoluble andsoluble dietery fiber. J.Agric Food Chem., no. 31, pp. 476-82

3. AOAC (Assosiation of Official Analytical Chemist) 2006, Official Methods of Analytical of TheAssociation of Official Analytical Chemist, Washington DC

4. Koswara, S 2006, Sukun sebagai cadangan pangan alternatif. Ebookpangan. Com.

5. Mariska, I., Supriati, Y & Hutami, S 2004, ‘Mikropopagasi sukun (Arhtocarpus communis Forst).Tanaman sumber karbohidrat alternatif’, Kumpulan makalah seminar hasil penelitian Balai BesarBiogen, hlm. 180-87

6. Mahmud.M.K., Hermana, Zulfianto, N.A., Apriyantono, R.R, Ngadiarti, I, Hartati, B, Bernadus& Tinexcelly 2008, Tabel Komposisi Pangan Indonesia(TKPI), Penerbit PT Elex mediaKomputindo, Jakarta

7. Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI 1989, Daftar komposisi bahan makanan, Jakarta.

8. Eckel 2003, ‘A New Look at Dietary Protein in diabetes’, Am. J. Clin .Nutr., no. 78, pp. 671-2.

9. Goerge, C., Mcgruder, R., & Torgenson, K 2009, ‘Determination of optimal surface area tovolume ratio for thin layer drying of breadfruit Arthocarpus altilis, Int. J. for Service Learning inEngineering, no. 2, pp. 76-88.

10. Ragone, D. & Raynor, W.C. 2009. Breadfruit and its traditional cultivation and use on pohnpei.In: Balick, M.J. (Ed), Ethnobotany of Pohnpei: Plant, People, and Island Culture, University ofHawaii Press & New York Botanical Garden Press, New York, NY. USA, pp 63-88.

11. Rincon, A. Marieta, Padilla & Fanny, C 2005, Physicochemical Properties of Pereadfruit(Artocarpus altilis) starch from Margarita Island, Venesuela.

12. Suismono, Widowati, S., Nugraha, S., Suyanti, Rahmawati, Kun Tanti, Titik Jafar, Suarni danSuhardjo 2003, ‘Penelitian Teknologi Pengolahan Tepung Sukun’, Balai Penlitian PascapanenPertanian.

Page 322: Prosiding BUKU 1

Karakter Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Sukun di Sentra ProduksiAmiarsi, D, Suyanti, dan Widowati, S

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

310│

310│

13. Suarni 2003, ‘Tepung sukun: Teknologi prosesing dan pemanfaatannya sebagai bahan pangan’,Proseding penerapan teknologi tepat guna dalam mendukung agribisnis, hlm. 349-354.

14. Zerega, N.J.C., Ragone, D. & Motley, T.J. 2004, ‘Complex origins of breadfruit (Artocarpusaltilis, Moraceae): implication for human migrations in Oceania’, Am. J. of Botany no.91,pp.:760-66.

Page 323: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│311

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong Alpinia

Sunarmani dan Amiarsi, DBalai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor.

Telp/fax: 0251-321762

ABSTRAK. Bunga potong Alpinia setelah dipetik mempunyai umur kesegaran yang relatif singkat (5 hari).Untuk memperpanjang umur kesegaran bunga potong perlu dilakukan perlakuan holding. Tujuan penelitian iniialah mendapatkan formula larutan holding yang tepat guna memperpanjang umur kesegaran bunga potongAlpinia. Perlakuan holding terdiri dari 3 tahap. Tahap I menentukan konsentrasi gula (0%, 5%, 10%, 15%, 20%,25%, dan 50%). Tahap II menentukan jenis dan konsentrasi germisida AgNO3 (0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30ppm); Asam Benzoat (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm) dan thiabendazole (0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm).Taraf III kombinasi terseleksi dari tahap I dan tahap II (a) kontrol, (b) gula pasir 15%, (c) gula pasir 15% +AgNO3 30 ppm, (d) gula pasir 15% + asam benzoat 50 ppm, (e) gula pasir 15% + thiabendazole 10 ppm, (f) gulapasir 15% + AgNO3 30 ppm + asam benzoat 50 ppm, (g) gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm + thiabendazole 10ppm. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial dengan tiga ulangan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan holding dengan larutan gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm + asamsitrat 20 ppm (pH 3-4) memberikan hasil terbaik dengan masa kesegaran bunga potong mencapai 13 hari (9 harilebih lama dibanding kontrol), dengan kemekaran 22,16% dan kelayuan 5,40%.

Katakunci: Alpinia bunga potong; formula larutan holding

ABSTRACT. Sunarmani, and Amiarsi, D 2013. The Influence of Holding Solution on The Freshness ofCut Alpinia Ambient Temperature. Alpinia cut flowers harvested from th field has relatively vaselife (5days)). The objective of this research was to obtain the appropriate composition of holding solution to prolongvaselife of Alpine flowers. There were 3 steps of holding treatment such as selection of sugar concentration (0%,5%, 10%, 15%, 20%, 25%, and 50%); sellection the type and concentration of germicide AgNO3 (0 ppm, 10ppm, 20 ppm, 30 ppm); Benzoat Acid (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm) and thiabendazole (0 ppm, 10 ppm,20 ppm, 30 ppm). The last steps was sellection combination for the best from first and second step such as (a)control, (b) sugar 15%, (c) sugar 15% + AgNO3 30 ppm, (d) sugar 15% + benzoat acid 50 ppm, (e) sugar 15% +thiabendazole 10 ppm, (f) sugar 15% + AgNO3 30 ppm + benzoat acid 50 ppm, (g) sugar 15% + AgNO3 30 ppm+ thiabendazole 10 ppm. Research was arranged in completely randomized design with three replications. Theresult indicated that holding solution of 15% sugar + 30 ppm AgNO3 + citric acid 20 ppm (pH 3-4) was the besttreatment with vaselife of 13 days (9 days longer than control), could increase the bud opening 22,17% and hadlow wilted that was 5.40%.

Keywords: Alpinia cut flower; Holding solution

Alpinia purpurata terdiri dari dua jenis yaitu jungle king dan jungle queen. Jungle kingmerupakan bunga Alpinia sp berwarna merah (red ginger), sedangkan Jungle Quein berwarna merahmuda (pink ginger). Bunga potong Alpinia sp. merupakan salah satu komoditas hortikultura yangberpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman hias karena selain dapat diperoleh sepanjang tahun,jenis bunga ini juga banyak diminati oleh konsumen International. Di Indonesia bunga Alpinia banyakterdapat di daerah Pulau Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Tidore,Maluku, dan Ambon. Pembudidayaan bunga Alpinia sp. di Indonesia belum banyak dilakukan, karenajenis bunga ini khususnya belum banyak dikenal oleh masyarakat.

Bunga potong yang dipasarkan tentunya harus mempunyai mutu yang baik. Salah satu mutuyang diharapkan adalah vaselife (masa kesegaran) bunga potong yang cukup lama. Masa kesegaranbunga adalah salah satu faktor penting untuk menentukan nilai ekonomis bunga potong selainkeindahan penampilan, warna yang menarik, serta aroma yang harum. Untuk mendapatkan manfaatyang maksimal dari bunga potong sebagai penghias ruangan maupun rangkaian bunga, makaperlakuanpada pascapanen perlu dilakukan. Salah satunya ialah perlakuan perendaman bunga potongdalam larutan holding yang berperan sangat besar dalam menjaga kesegaran bunga potong baik selamatransportasi dan penyimpanan maupun selama peragaan.

Page 324: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

312│

312│

Larutan holding yang digunakan untuk memperpanjang masa kesegaran bunga potong Alpiniapada dasarnya terdiri dari tiga komponen utama yaitu gula, asam, dan germisida. Karbohidrat ataugula adalah sumber nutrisi utama bunga potong dan sumber energi yang diperlukan untukkelangsungan proses metabolisme (Amiarsi et al. 1999, Yulianingsih et al. 2000, Mattiuz et al. 2005,Sjaifullah et al. 2001, Amiarsi et al. 2003, Yulianingsih et al. 2006). Di pihak lain gula jugamerupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme atau jasad renik yang dapatmenghambat penyerapan larutan yang diperlukan bunga potong selama keragaan. Selain itu jasadrenik juga dapat memproduksi etilen dan racun yang mendorong proses kelayuan bunga potong lebihcepat. Untuk mengendalikan jasad renik ini digunakan germisida, seperti perak nitrat, hidroquinon,thiabendazole, silver thiosulfat dan alluminium sulfat (Yulianingsih et al. 2000, Amiarsi et al. 2003,Yulianingsih et al. 2006). Germisida berfungsi untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme padalarutan holding, khususnya pada pangkal tangkai bunga potong yang dapat menyumbat prosespenyerapan larutan holding, sehingga berdampak pada kelayuan bunga potong.

Salah satu germisida ialah perak nitrat merupakan suatu bahan organik yang berbentuk kristal,tidak berwarna, dan tidak berbau. Asam sitrat selain berfungsi sebagai bakterisida juga digunakanuntuk menurunkan pH larutan. Tingkat keasaman yang tinggi (pH 3,0-4,5) dapat meningkatkanpenyerapan larutan oleh bunga potong (Amiarsi et al. 2003, Yulianingsih et al. 2006). Penggunaanbenzyladenin 200 mg/l dengan cara penyemprotan dapat meningkatkan masa kesegaran bunga 1,9 kalilipat dibandingkan kontrol, yaitu mencapai 30 hari (Paull & Chantrachit 2001). Matiuzz et al. (2005)mengemukakan bahwa penggunaan larutan pulsing benzyladening + sukrosa dan sukrosa + asam sitratpada bunga Alpinia purpurata menghasilkan masa kesegaran yang lebih lama dibandingkan kontrol.

Dengan perlakuan larutan perendam yang tepat pada bunga potong Alpinia purpurata Red,diharapkan dapat memperoleh formula larutan perendam (holding) yang tepat dalam upayamemperpanjang masa kesegaran bunga potong Alpinia purpurata red selama peragaan.

Tujuan penelitian ialah memperoleh formula larutan perendam (holding) yang tepat untukmemperpanjang masa kesegaran bunga potong Alpinia.

BAHAN DAN METODE

Bunga yang digunakan dalam penelitian ini ialah bunga Alpinia purpurata berwarna merahmuda (pink ginger) yang diperoleh dari Perkebunan Winasari, Ciapus, Bogor pada Bulan Juli 2003sampai Maret 2004. Tingkat kemekaran bunga Alpinia purpurata Pink Ginger yang digunakan ialah40-50%. Bunga yang akan dipergunakan untuk penelitian disortasi untuk memisahkan antara bungayang baik dengan yang rusak. Bunga yang terpilih dihilangkan daun bunganya, kemudian tangkaibunga dipotong serong (<45o) dengan panjang tangkai 40 cm diukur dari kuntum bunga yang palingbawah.

Pengujian pengaruh perlakuan holding terhadap masa kesegaran bunga potong Alpinia,dilakukan dalam 3 tahap sebagai berikut:

Tahap I : Penentuan konsentrasi nutrisi sukrosa yang tepat (gula pasir) dengan konsentrasi 0, 5, 10,15, 20, 25, dan 30%.

Tahap II: Penentuan jenis dan konsentrasi germisida yang ditambahkan pada larutan sukrosa hasilterseleksi penelitian tahap I, yaitu AgNO3: 0, 10, 20, dan 30 ppm; asam benzoat : 0, 50, 100, 150ppm; thiabendazole: 0, 10, 20, 30 ppm.

Tahap III: Kombinasi yang terbaik dari hasil terseleksi pada penelitian tahap I dan tahap II, yaitu: (a)kontrol, (b) gula pasir 15%, (c) gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm, (d) gula pasir 15% + asam benzoat50 ppm, (e) gula pasir 15% + thiabendazole 10 ppm, (f) gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm + asambenzoat 50 ppm, (g) gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm + thiabendazole 10 ppm.

Page 325: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│313

Pada tahap I dan tahap II setiap hari dillakukan pengamatan terhadap masa kesegaran danpersentase kelayuan, sedangkan pada tahap II dilakukan terhadap:a. Masa Kesegaran (vaselife/hari)

Masa kesegaran bunga potong merupakan umur relatif (hari) bunga potong dalam keadaan tetapsegar dan indah setelah dipotong dari induknya. Akhir umur kesegaran bunga potong Alpiniatercapai pada saat 15% braktea layu, dan bunga masih dalam keadaan segar dan kokoh.

b. Jumlah larutan terserapPengamatan dilakukan dengan mengukur perubahan volume larutan setiap hari. Hasil pengukuranvolume hari pertama dikurangi dengan hasil pengukuran hari ini, demikian seterusnya hingga hariterakhir yaitu besarnya pengurangan larutan tersebut (larutan yang diserap).

c. Persentase Kemekaran BungaKemekaran bunga ditunjukkan dengan bertambahnya diameter bunga, perhitungan pertambahankemekaran pada bunga potong Alpinia dilakukan dengan menggunakan diameter terbesar bunga.Kemekaran bunga potong Alpinia purpurata pink ginger dihitung dengan membandingkanpertambahan diameter bunga dengan diameter bunga awal.

Kemekaran kuncup = A/B x 100%di mana :A = Pertambahan diameter kemekaran braktea;B = Diameter bunga awal.

d. Persentase Kelayuan BungaPengamatan terhadap kelayuan bunga dilakukan dengan cara menghitung seluruh jumlah brakteayang layu dibandingkan dengan total jumlah braktea. Persentase kelayuan bunga ini dihitungdengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Persentase Kelayuan Bunga = A/B x 100%di mana:A = Jumlah braktea yang layuB = Jumlah keseluruhan braktea bunga

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini ialah rancangan acak lengkap polafaktorial dengan tiga ulangan dan lima populasi. Analisis data menggunakan analisis keragaman danuntuk melihat signifikansi antar perlakuan, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata duncan pada taraf5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Berbagai Konsentrasi Sukrosa terhadap Masa Kesegaran dan Persentase KelayuanBunga

Data masa kesegaran dan kelayuan bunga pada berbagai konsentrasi sukrosa teknis (gula pasir)disajikan pada Tabel 1. Data dalam Tabel I menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi gula pasir 15%memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibanding dengan perlakuan konsentrasi gula pasir lainnya.Kisaran masa kesegaran bunga pada semua perlakuan antara 4,17-7,50 hari. Masa kesegaran terlamadiperoleh dari perlakuan konsentrasi gula pasir 15% yaitu 7,50 hari, dimana kondisi bunga masih segardan baik. Penggunaan nutrisi gula pasir 15% dapat memperpanjang kesegaran bunga 2,67 hari lebihlama dari kontrol yang hanya dapat bertahan selama 4,83 hari. Kisaran persentase kelayuan bungapada semua perlakuan antara 8,26-19,88%. Persentase kelayuan bunga terendah (8,26%) dihasilkandari perlakuan larutan gula dengan konsentrasi 15%, sedang persentase kelayuan bunga tertinggi(19,88%) dihasilkan dari perlakuan larutan gula dengan konsentrasi 25% dimana kondisi bunga sudahrusak, tidak segar, cacat, dan tekstur petalnya lunak.

Page 326: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

314│

314│

Tabel 1. Pengaruh berbagai konsentrasi gula pasir terhadap masa kesegaran dan persentasekelayuan bunga potong Alpinia purpurata pink ginger selama peragaan pada suhu ruang.

Perlakuan Masa kesegaran/hari Kelayuan bunga %

Gula pasir %051015202530

4,83 a

4,17 a

5,00 a

7,50 b

4,33 a

4,50 a

4,67 a

19,31 c

19,11 ab

18,26 ab

8,26 a

19,13 ab

19,88 ab

18,55 ab

Keterangan : Angka rerata perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata padataraf 5% Duncan Multiple Range Test.

Perendaman bunga pada larutan gula pasir yang lebih tinggi dari konsentrasi 15 % ternyatamemiliki masa kesegaran dan persentase kelayuan yang lebih rendah dari kontrol. Hal ini disebabkankarena dengan semakin tingginya konsentrasi gula pasir maka proses osmosisnya akan semakin kecilsehingga larutan gula pasir tidak dapat terserap dengan baik oleh tangkai bunga. Perendaman bungapada larutan gula pasir dengan konsentrasi yang tepat akan mampu memperpanjang masa kesegaranbunga setelah dipotong dari induknya karena reaksiya dengan O2 akan menghasilkan C6H12O6 + O H2O + CO2 + Energi. Energi ini akan digunakan bunga untuk melakukan aktivitas metabolismeselanjutnya, dan memelihara fungsi mithokondria, memperbaiki keseimbangan air dengan mengaturtranspirasi dan menambah daya penyerapan ke atas. Selain itu penggunaan larutan gula pasir dengankonsentrasi tinggi dalam larutan holding merupakan subtrat yang sangat baik bagi pertumbuhanmikroorganisme. Timbulnya mikroorganisme pada larutan holding akan membentuk lapisan lendirpada tangkai bunga sehingga menyebabkan penyumbatan dan menghambat proses penyerapan gulasebagai sumber nutrisi bunga potong. Terhambatnya penyerapan larutan akan mengakibatkankelayuan bunga karena kekurangan air. Pada tahap penelitian ini terbukti bahwa larutan konsentrasigula pasir 15% merupakan komponen kombinasi perlakuan yang dapat digunakan sebagai perlakuanuntuk penelitian pada tahap kedua.

Pengaruh Berbagai Jenis dan Konsentrasi Germisida terhadap Masa Kesegaran dan PersentaseKelayuan Bunga

Pada penelitian tahap kedua (Tabel 2) disajikan hasil penelitian terbaik dari tahap pertamadengan menambahkan jenis dan konsentrasi germisida. Hasil analisis tentang masa kesegaran bungapotong Alpinia purpurata pink ginger menunjukkan bahwa dari ketiga jenis dan konsentrasi germisidayang memberikan tanggapan tertinggi, diperoleh dari perlakuan bunga potong yang diberipenambahan AgNO3 30 ppm; asam benzoat 50 ppm; dan thiabendazole 10 ppm ke dalam larutanholding dibanding kontrol, yaitu memberi masa kesegaran bunga potong masing-masing mencapai11,33; 10,17; dan 8,17 ppm. Persentase kelayuan bunga potong Alpinia purpurata pink ginger yangterendah diperoleh dari perlakuan bunga potong yang diberi penambahan AgNO3 30 ppm; asambensoat 50 ppm; thiabendazole 10 ppm ke dalam larutan holding, yaitu memberi persentase kelayuanbunga potong masing-masing ialah 9,88; 12,49; dan 16,38%.

Lamanya masa kesegaran bunga potong Alpinia purpurata Pink Ginger yang direndam dalamlarutan holding disebabkan oleh pertambahan germisida AgNO3 yang berfungsi sebagai bakterisidadan anti etilen, sehingga kesegaran bunga potong Alpinia purpurata Pink Ginger dapat tetapdipertahakan. Selain itu, penggunaan AgNO3 sangat memegang peranan penting dalam prosespencegahan pertumbuhan bakteri, karena dengan adanya senyawa perak nitrat dapat mengkoagulasidan mengendapkan protein yang terdapat dalam sitoplasma bakteri. Sedang masa kesegaran bungapotong terendah diperoleh dari perlakuan perendaman bunga dalam larutan AgNO3 0 ppm dan larutanAgNO3 10 ppm yaitu hanya dapat dipertahankan masa kesegarannya selama 7,50 hari.

Penambahan asam benzoat 50 ppm ke dalam larutan holding memberi pengaruh nyata terhadapmasa kesegaran bunga potong Alpinia purpurata Pink Ginger. Lamanya masa kesegaran bunga potongAlpinia purpurata Pink Ginger yang direndam dalam larutan asam benzoat 50 ppm disebabkan olehadanya senyawa asam dengan tingkat konsentrasi yang optimum bagi bunga potong Alpinia purpurata

Page 327: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│315

Pink Ginger sehingga dapat mengganggu mekanisme kerja bakteri. Pada sel bakteri terdapat membransel yang hanya dapat dilalui oleh senyawa asam yang tidak terdisosiasi. Oleh karena itu penggunaanasam benzoat dalam suasana asam sangat sesuai untuk dapat melewati membran sel bakteri tersebut.Penggunaan senyawa asam dalam suasana basa atau netral akan menyebabkan asam–asam organikterurai menjadi ion–ion pembentuknya. Dalam membran sel bakteri terdapat cairan yang disebutdengan sitoplasma yang memiliki kecenderungan pH netral, yaitu antara 6,8 sampai dengan 7,2, padakondisi pH tersebut sitoplasma bakteri yang selalu netral dapat diganggu oleh penambahan asam ataubasa sehingga aktivitas metabolismenya tidak dapat berlangsung dengan baik dan akhirya bakteritersebut mati dan tidak dapat tumbuh dengan baik dalam larutan holding. Dengan demikian asambenzoat merupakan bakterisida dan sangat baik digunakan dalam larutan holding karena dapatmempertahankan pH larutan dan larutan holding dapat dengan mudah terserap dalam jaringan bungapotong. Sedangkan penambahan thiabendazole ke dalam larutan holding merupakan germisida yangberfungsi sebagai fungisida dan memiliki sifat sebagai chelating agent sehingga dapat mengikatsenyawa-senyawa logam dalam larutan yang dapat merugikan bagi bunga potong. Terbukti bahwaperlakuan bunga potong Alpinia purpurata Pink Ginger yang diberi penambahan AgNO3 30 ppm;asam benzoat 50 ppm; dan thiabendazole 10 ppm ke dalam larutan holding adalah merupakankombinasi perlakuan larutan perendam holding terbaik untuk penelitian selanjutnya.

Tabel 2. Pengaruh berbagai jenis dan konsentrasi germisida terhadap masa kesegaran dan persentasekelayuan bunga potong Alpinia selama peragaan pada suhu ruang.

Perlakuan Masa kesegaran/hari Kelayuan bunga %AgNO3, ppm

0102030

Asam Benzoat, ppm050100150

Thiabendazole, ppm0102030

7,50 a

7,50 a

7,67 a

11,38 a

7,50 ab

10,17 c

8,83 bc

6,00 a

7,50 a

8,17 a

5,33 a

6,17 a

19,02 b

16,73 b

18,26 b

9,28 a

19,02 b

12,49 a

17,97 b

20,40 b

19,02 ab

16,38 a

23,95 c

21,05 bc

Keterangan: Angka rerata perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata padataraf 5% Duncan Multiple Range Test

Pengaruh berbagai larutan holding terhadap mutu bunga potongHasil analisis statistik tentang masa kesegaran, kemekaran bunga, kelayuan bunga, dan jumlah

larutan terserap selama peragaan dalam suhu ruang menunjukkan bahwa berbagai perlakuanperendaman berpengaruh nyata terhadap masa kesegaran, kemekaran bunga, kelayuan bunga, danjumlah larutan terserap (Tabel 3). Namun interaksi antar jenis larutan tidak memberikan pengaruhyang nyata terhadap masa kesegaran, kemekaran bunga, kelayuan bunga, dan jumlah larutan terserapbunga potong Alpinia. Data dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa masa kesegaran bunga potong Alpiniapada semua perlakuan dengan berbagai macam larutan holding ialah 4,50-13,17 hari. Larutan holdingyang mengandung gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm + asam sitrat (pH 3,5) memberikan masakesegaran bunga terlama yaitu mencapai 13,17 hari dan terendah (8,33 hari) dihasilkan dari perlakuanyang mengandug gula pasir 15% + AgNO3 30 ppm. Lamanya masa kesegaran bunga potongdisebabkan karena AgNO3 selain berfungsi mencegah pertumbuhan mikroorganisme, juga berfungsisebagai anti etilen.

Penambahan asam benzoat dalam larutan holding ternyata mampu memperpanjang masakesegaran bunga potong Alpinia (10,17 hari). Asam benzoat merupakan bahan kimia yang memilikikemampuan untuk mempertahankan pH dan sangat efektif bila ditambahkan dalam larutan asam kuatdibandingkan dalam larutan netral atau basa.

Page 328: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

316│

316│

Penggunaan larutan holding yang mengandung komponen gula pasir 15% + asam sitrat 20 ppmpH 3-4) mampu memperpanjang vaselife bunga. Hal ini disebabkan karena asam sitrat dalam larutanholding berfungsi untuk menurunkan pH sampai tercapai pH 3,5-4,5 dimana kisaran pH tersebutmerupakan kondisi optimal bagi bunga untuk menyerap air dari lingkungannya juga berfungsi untukmencegah pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Winarno dan Laksmi (1974), asam sitrat dapatbersifat sebagai chelating agent atau sequestran yaitu senyawa yang dapat mengikat logam–logamdivalent, seperti Mg, Mn, dan Fe yang mungkin terdapat dalam air yang digunakan untuk larutanholding. Asam sitrat sebagai chelating agent dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan komplitsehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh yang kurang baik dari logam.

Data hasil pengamatan persentase kemekaran bunga dengan penambahan berbagai jenis dankonsentrasi bahan kimia pada semua perlakuan selama peragaan pada suhu ruang berkisar antara 8,97-28,90%. Persentase kemekaran tertinggi (28,9%) dihasilkan dari perlakuan perendaman bunga potongAlpinia dalam larutan yang mengandung gula 15%, tidak memberikan pengaruh yang nyata denganpenambahan larutan yang mengandung gula 15 % + AgNO3 30 ppm + thiabendazole 10 ppm; gula15% + AgNO3 30 ppm + asam benzoat 50 ppm; gula 15% + asam benzoat 50 ppm; gula pasir 15% +AgNO3 30 ppm. Gula pasir merupakan sumber nutrisi dan memiliki kemampuan untuk memekarkankuncup bunga, sehingga bunga dapat terus melakukan proses metabolismenya walaupun telahdipotong dari induknya. Persentase kemekaran terendah dihasilkan dari kontrol dan gula pasir 15% +thiabendazole 10 ppm, yaitu masing-masing 10,24% dan 8,97%. Persentase kelayuan bunga potongAlpinia purpurata Pink Ginger dengan penambahan berbagai jenis dan konsentrasi bahan kimia padasemua perlakuan selama peragaan pada suhu ruang berkisar antara 5,40-19,40%. Dari semuaperlakuan, persentase kelayuan bunga tertinggi (19,40%) dihasilkan dari perendaman bunga potongtanpa perlakuan (kontrol), sedangkan persentase kelayuan terendah (5,40%) dihasilkan dari perlakuanperendaman yang mengandung gula pasir 15 % + AgNO3 30 ppm. Persentase kelayuan bungatertinggi pada bunga potong Alpinia dalam larutan tanpa perlakuan disebabkan karena tidak adanyasumber nutrisi dan germisida, walaupun jumlah larutan terserap cukup tinggi karena tidak ada sumbernutrisi yang dapat digunakan untuk melangsungkan proses kehidupannya. Penambahan AgNO3 30ppm memberikan persentase kelayuan yang terendah, hal ini membuktikan bahwa AgNO3 dapatmempertahankan kesegaran bunga potong Alpinia.

Jumlah larutan terserap pada semua perlakuan larutan holding selama masa peragaan pada suhuruang berkisar antara 21,67-3,24 ml/tangkai. Perendaman tangkai bunga dalam larutan yangmengandung gula pasir 15% dan tanpa perlakuan memiliki jumlah larutan terserap yang cenderunglebih rendah (21,67 ml/tangkai dan 23,18 ml/tangkai) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal inidisebabkan karena ketidakadanya komponen germisida dalam larutan holding, sehinggamikroorganisme dengan mudah tumbuh dan berkembang dalam larutan holding. Tumbuhnyamikroorganisme akan mempengaruhi proses metabolisme pada tangkai bunga, yang ditandai denganmenurunnya kemampuan untuk menyerap larutan sehingga bunga potong mengalami dehidrasi danakhirnya layu.

Page 329: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│317

Tabel 3. Pengaruh berbagai perlakuan terhadap masa kesegaran, persentase kemekaran, persentasekelayuan dan jumlah larutan terserap bunga potong Alpinia selama peragaan pada suhuruang.

Perlakuan Masa kesegaran/hari

Kemekaran bunga%

Kelayuanbunga %

Larutan terserap%

- Kontrol, suhu ruang (27-30oC)/Untreated, at 27-30oC

- Gula pasir, suhu ruang (27-30oC)/Sugar, at 27-30oC

- Gula pasir + AgNO3 30 ppm,suhu ruang (27-30oC)/sugar +AgNO3 30 ppm, at 27-30oC

- Gula pasir + asam benzoate 50ppm, suhu ruang (27-30oC)/Sugar

+ asam benzoate 50 ppm, at 27-30oC

- Gula pasir + thiabendazole 10ppm, suhu ruang (27-30oC)/sugar

+ thiabendazole 10 ppm, at 27-30oC

- Gula pasir+AgNO3 30 ppm+asamBenzoate 50 ppm, suhu ruang

(27-30oC)/sugar+AgNO3 30 ppm+asam benzoate 50 ppm, at 27-30oC

- Gula pasir + AgNO3 30ppm+thiabendazole 10 ppm, suhuruang (27-30oC) / sugar + AgNO3

30 ppm + thiabendazole 10 ppm,at 27-30oC

4,50 a

8,33 b

13,17 d

12,50 cd

9,17 bc

12,00 bcd

11,00 bcd

10,24 a

28,93 b

22,16 b

25,25 b

8,97 a

28,81 b

28,13 b

19,40 d

9,91 c

5,40 a

6,68 ab

10,58 c

5,78 a

9,40 bc

23,18 a

21,63 a

32,47 a

32,73 a

33,24 a

32,40 a

33,20 a

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan formula larutan perendam (holding)yang mengandung gula pasir 15 % + AgNO3 30 ppm + asam sitrat 20 ppm (pH 3.5) selama masaperagaan pada suhu ruang, mampu memperpanjang masa kesegaran bunga potong Alpinia 13,17 hari(9 hari lebih lama dibanding kontrol), dengan kemekaran 22,16%.

PUSTAKA

1. Amiarsi, D, Sjaifullah, & Yulianingsih 1999, ’Komposisi terbaik untuk larutan perendaman bungaanggrek potong Dendrorium Sonia Deep Pink’, J. Hort., vol. 9, no. 1, hlm. 45-51.

2. Amiarsi, D, Yulianingsih, Murtiningsih, & Sjaifullah 2002, ’Penggunaan larutan perendampulsing untuk mempertahankan kesegaran bunga mawar potong Idole dalam suhu ruangan’, J.Hort., vol. 12, no. 3, hlm. 178-83.

3. Conrado, LL, Shanahan, R & Eisinger, W 1980, ,A new solution for carnation bud opening, withpromising improvemwnts due to a quarternary-amonium compound’, Acta Horticulturae, vol. 114,pp. 183-89.

4. Mattiuz, CFM, Rodrigues, TJD, Pivetta, KFL, & Mattiuz, BH 2005, Water relations cutinflorescences of Alpinia purpurata treated with seven pulsing solutions’, Acta Horticulturae, vol.683, pp. 363-68.

5. Nowak, J & Rudnicki 1990, Postharvest handling and storage of cut flowers, florist greens andpottes plants, Timber Press, Portland, Oregon.

6. Paull, RE & Chantrachit, T 2001, ‘Benzyladenine and the vaselife of tropical ornamentals’,Postharvest Biology and Technology, vol. 21, no. 3, pp. 303-10.

Page 330: Prosiding BUKU 1

Formula Larutan Holding untuk Mempertahankan Mutu Bunga Potong AlpiniaSunarmani dan Amiarsi, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

318│

318│

7. Sjaifullah,Yulianingsih, & Amiarsi, D 2001, ’Pengaruh larutan perendaman dalam pengemasandan pengangkutan bunga anggrek Dendrorium Whoch Sien Potong’, J. Hort., vol. 11, no. 4, hlm.269-74.

8. Yulianingsih, Amiarsi, D & Sjaifullah 2000, ’Penggunaan larutan perendam dalam menjagakesegaran bunga potong anggrek Dendrorium Sonia Deep Pink’, J. Hort., vol. 9, no. 4, hlm. 314-19.

9. Yulianingsih, Amiarsi, D & Sabari, S 2006, ’Formula larutan pulsing untuk bunga potongAlpinia’, J. Hort., vol. 16, no. 3, hlm. 253-57.

10. Zagory, D & Reid, MS 1986, ‘Evaluation the role of vase microorganisme in the postharvest lifeof cut flowers’, Acta Horticulturae, vol. 181, no. 207-17.

Page 331: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│319

BAGIAN 4.

SOSIAL EKONOMI

Page 332: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

320│

320│

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar Internasional

Sayekti, A, L.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura

Jl. Ragunan no.29A Pasarminggu Jakarta Selatan 12540

ABSTRAK. Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang neraca perdagangannya defisit dari tahunke tahun. Impor jeruk Indonesia terus mengalami kenaikan terutama untuk jeruk mandarin. Hal ini disebabkankarena pertumbuhan produksi jeruk dalam negeri tidak mampu mengimbangi perkembangan permintaan jeruksehingga ketergantungan terhadap impor jeruk tidak dapat dielakkan. Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis daya saing komoditas jeruk Indonesia di pasar internasional. Data yang digunakan dalam penelitianini adalah data sekunder dari tahun 2007 sampai 2010. Sedangkan metode yang digunakan adalah mengukurdaya saing komoditas jeruk Indonesia. Ukuran – ukuran daya saing yang digunakan adalah RevealedComparative Advantage (RCA) dan Constant Market Share Analysis (CMSA). Hasil analisis menunjukkanbahwa komoditas jeruk Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif sebagai jeruk ekspor di pasarinternasional kecuali untuk HS 080530. Selain itu dari hasil CMSA tidak ada satupun HS yang memiliki dayasaing. HS 080530 juga tidak dapat dikembangkan meskipun responsif terhadap permintaan dunia. Dalam upayameningkatkan daya saing jeruk, diperlukan upaya peningkatan kualitas, sarana dan prasarana serta spesialisasipada varietas tertentu.

Katakunci: Jeruk; Perdagangan; Daya saing; Pangsa pasar; Keunggulan komparatif

ABSTRACT. Sayekti, A.L. 2013. Competitiveness Analysis Of Citrus In The International MarketCommodities. Citurs is one horticultural commodity trade balance deficit from year to year. Indonesia citrusimports have continued to rise, especially for mandarin oranges. This is because the growth of the domesticcitrus production to keep pace with demand growth so that the dependence on imported orange juice can not becircumvented. This study aims to analyze the competitiveness of Indonesia citrus commodities in theinternational market. The data used in this study are secondary data from 2007 to 2010. While the methods usedis to measure the competitiveness of Indonesian citrus commodities. Size - the size of competitiveness that isused is Revealed Comparative Advantage (RCA) and Constant Market Share Analysis (CMSA). The analysisshowed that citrus commodity Indonesia does not have a comparative advantage as citrus exports in theinternational market except for HS 080 530. In addition, from the results of CMSA none HS withcompetitiveness. HS 080 530 also can not be developed despite responsive to global demand. In an effort toimprove the competitiveness of citrus, efforts are needed to improve the quality, facilities and infrastructure andspecialization in certain varieties.

Keywords: Citrus; Trade; Competitiveness; Market share; Comparative advantage

Potensi ekonomi jeruk di Indonesia memegang peranan yang cukup besar terhadappendapatan nasional. Pada tahun 2010, Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga yangberlaku dari subsektor hortikultura diproyeksikan mencapai Rp 88,851 triliun, dimana kontribusi dariproduk buah-buahan sebesar Rp 46,721 triliun atau sekitar 52,6% dari total PDB subsektorhortikultura (Ditjen Hortikultura, 2004). Dengan semakin meningkatnya populasi penduduk diIndonesia sendiri yang diperkirakan akan mencapai 231.996.600 jiwa pada tahun 2010, secaraotomatis permintaan jeruk juga akan meningkat. Pengembangan agribisnis jeruk pada lima tahunmendatang diarahkan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri baik untuk buah segar maupun bahanbaku industri sehingga dapat dijadikan substitusi impor, dan nantinya diharapkan dapat mengisipeluang pasar ekspor yang sebenarnya masih cukup besar.

Potensi pengembangan agribisnis jeruk yang cukup menjanjikan ini ternyata belum diikutidengan pemenuhan kepuasan konsumen jeruk baik di dalam negeri sendiri maupun di luar negeri.Permintaan konsumen terhadap produk yang berkualitas termasuk jeruk semakin meningkat sehinggajika permintaan konsumen tersebut tidak dapat dipenuhi maka produk jeruk impor akan semakinmerajai di pasar dalam negeri. Perkembangan impor jeruk dari tahun ke tahun semakin meningkatyaitu 18,77% per tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 dengan neraca perdagangan

Page 333: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│321

ekspor-impor mencapai 515.952 ton pada tahun 2010 sehingga Indonesia merupakan negarapengimpor jeruk terbesar kedua di ASEAN setelah Malaysia (Ditjen Hortikultura, 2010).

Volume impor jeruk yang sangat besar dibandingkan dengan ekspor jeruk sangatmengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era pasar bebas. Globalisasi ekonomi yangmensyaratkan penghapusan berbagai macam trade barrier sehingga tidak ada batasan antar negaraakan semakin memudahkan masuknya produk-produk dari luar negeri ke Indonesia, termasuk produk-produk pertanian seperti jeruk. Perjanjian perdagangan bebas regional ternyata memiliki efek yangberbeda, dapat bersifat positif atau negatif (Sayekti, 2009). Keikut-sertaan Indonesia dalam AFTA(ASEAN Free Trade Area) dan berkembang menjadi ACFTA (Asean-China Free Trade Area)mensyaratkan untuk membuka perdagangan bebas, artinya tidak ada lagi hambatan perdagangandiantara negara-negara tersebut baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif. Jika sebelumnya tarif imporyang diberlakukan adalah tarif MFN (Most Favoured Nation), maka saat ini tarif yang diberlakukanuntuk komoditas normal menjadi berbeda dengan tarif yang dikenakan untuk negara-negara lainnyayang tidak tergabung. Artinya tarif antar negara anggota ACFTA harus dikurangi bahkan dihapuskan.

Implementasi ACFTA diharapkan dapat menciptakan trade creation karena semakin luasnyapeluang produk-produk pertanian Indonesia mengisi pasar China yang memiliki potensi pasar sangatbesar dengan jumlah penduduknya yang tinggi. Produk pertanian harus memiliki daya saing tinggi danmampu bertahan serta berkembang sehingga ekspor Indonesia ke China dan ke negara-negara ASEANakan meningkat. Hal ini diharapkan mendorong pertumbuhan produksi dalam negeri, meningkatkanpendapatan petani, kesempatan kerja dan devisa negara. Sementara itu produk pertanian yangmemiliki daya saing rendah akan terancam eksistensinya sehingga produksi dalam negeri danpendapatan petani-petani di negara ASEAN akan turun (Hadi, P.U dan S. Mardianto, 2004). Chinamerupakan produsen produk-produk hortikultura yang mempunyai daya saing tinggi, komoditas jerukmerupakan salah satunya. Jeruk merupakan salah satu komoditas yang bea masuk impornya telahdiratifikasi. China merupakan negara asal impor jeruk terbesar di Indonesia untuk produk segar,bahkan mencapai 49 persen dalam volume dan 51 persen dalam nilai pada tahun 2006 (Pusat Data danInformasi Pertanian, 2009). Peningkatan impor jeruk dari China yang semakin meningkat dari tahunke tahun menjadi ancaman bagi kelangsungan usahatani jeruk di Indonesia. Harga jeruk impor relatifmurah karena didukung dengan dayasaing produk hortikultura China yang tinggi karena tingginyaefisiensi ekonomi serta infrastruktur yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kinerjaperdagangan dan daya saing komoditas jeruk Indonesia di pasar internasional.

METODOLOGI

Jenis dan Sumber DataData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari tahun 2007 sampai

dengan 2010. Data diperoleh dari Direktorat Jenderal Hortikultura, Pusat Data dan InformasiKementrian Pertanian, Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan, International Trade Centre(ITC) dan lain – lain.

Analisis DataAnalisis daya saing dilakukan dengan menggunakan pendekatan matematis terhadap ukuran

daya saing komoditas di pasar internasional. Ukuran – ukuran daya saing yang digunakan adalahRevealed Comparative Advantage (RCA) dan Constant Market Share Analysis (CMSA).

Page 334: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

322│

322│

a. Revealed Comparative Advantage (RCA)RCA merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan

komparatif komoditas suatu negara di pasar dunia. Dalam analisis ini akan dihitung RCA daribeberapa negara pengekspor jeruk ke Indonesia sehingga keunggulan komparatifnya dapatdibandingkan. Secara matematis RCA dirumuskan sebagai berikut:

ijtjt

ijtitt

XXRCA WW

....................................... (1)

Dimana:Xijt : Nilai ekspor komoditi i oleh negara j pada

tahun tXjt : Nilai ekspor negara j pada tahun tWit : Nilai ekspor dunia komoditas i pada tahun tWt : Nilai ekspor dunia pada tahun t

Jika hasil perhitungan:RCA > 1 maka negara tersebut untuk komoditas yang dimaksud memiliki keunggulan komparatifRCA < 1 maka negara tersebut untuk komoditas komoditas yang dimaksud tidak memiliki

keunggulan komparatif

b. Constant Market Share Analysis (CMSA)CMSA merupakan model analisis untuk melihat daya saing ekspor jeruk di pasar

internasional. Perhitungan CMSA terdekomposisi pada 3 kriteria sesuai dengan kriteria yangdigunakan Kemendag (2011). Perhitungan CMSA dalam penelitian ini menggunakan hasilperhitungan yang telah dilakukan oleh Kemendag (2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Perdagangan Komoditas Jeruk Indonesia

Jeruk merupakan salah satu komoditas utama sub sektor hortikultura. Namun pada dasawarsaterakhir, neraca perdagangan jeruk Indonesia secara keseluruhan terus mengalami defisit perdaganganbaik dalam volume maupun dalam nilai. Jika dibandingkan dengan produksi jeruk nasional, imporjeruk sebenarnya tidak terlalu besar, rata-rata dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 hanyasebasar 3,16 persen. Namun jika dilihat dari tren dan nilai impor (Tabel 1) hal ini sangatmenghawatirkan mengingat nilainya mencapai 686.780.293 US$, suatu nilai yang sangat besar. Trenimpor dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 mencapai 18,77 persen dengan defisit neracaperdagangan sebesar 515.952.005 US$ atau setara dengan Rp 4,8 trilyun. Adanya jeruk impor sampaidi pedagang-pedagang kaki lima seharusnya menjadi perhatian perhatian pemerintah, karena hal inimenunjukkan ketidak terbatasan impor jeruk yang masuk ke Indonesia, terutama impor dari China.

Dalam perdagangan dunia, jeruk dikelompokkan menjadi beberapa kode HarmonizedStandard (HS), yaitu mulai dari 0805 untuk jeruk secara umum dan masing-masing jenisdikelompokkan ke dalam kode HS 080510,080520,080530,080540, 080550, 080590. Secarakeseluruhan, ekspor jeruk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan (Tabel 2). Jikadilihat dari masing-masing kelompok, penurunan yang paling signifikan adalah HS 080530. Padahaluntuk jenis ini, Indonesia adalah eksportir utama sampai dengan tahun 2010 (Tabel 3). Sementara itu,untuk HS 080590, ekspor Indonesia sebenarnya trennya sudah naik, namun menurun kembali padatahun 2011.

Page 335: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│323

Tabel 1. Neraca Perdagangan Jeruk Indonesia, tahun 2007-2011

Keterangan: nilai di dalam tanda ( ) menunjukkan nilai negatifSumber: Direktorat Jendral Hortikultura

Tabel 2. Ekspor Jeruk Indonesia, tahun 2007-2011

Code Product label

Exportedvalue in

2007(000US$)

Exportedvalue in

2008(000US$)

Exportedvalue in

2009(000US$)

Exportedvalue in

2010(000US$)

Exportedvalue in

2011(000US$)

'080590 Citrus fruits, fresh or dried, nes 38 118 158 236 188

'080550 Fresh or dried lemons "Citruslimon, Citrus limonum" andlimes "Citrus

0 0 0 0 43

'080510 Oranges, fresh or dried 54 33 0 2 8

'080520 Mandarins(tang&sats)clementines&wilkgs &sim citrushybrids,fresh/drid

5 2 9 0 1

'080530 Lemons and limes, fresh ordried

468 369 140 48 0

'080540 Grapefruit, fresh or dried 0 1 0 0 0

‘0805 Total citurs fruit, fresh or dried 565 523 307 286 240

Sumber: International Trade Centre (ITC) berdasar Biro Pusat Statistik

Untuk HS 080530, dari data yang ada pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa komoditas inisebenarnya merupakan potensi untuk dikembangkan karena pasar internasional untuk komoditas inisangat tipis. Ekspor dunia bisa dibilang hanya dari Indonesia sampai dengan tahun 2010 meskipuntrennya terus menurun dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2011 tidak ada lagi ekspor Indonesia.

Sementara itu, untuk impor jeruk Indonesia masih didominasi oleh jeruk yang berasal dariChina, dan kecenderungannya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun2011, impor dari China telah mencapai 153.398.000 US$ (Tabel 4). Hal ini perlu mendapat kajiankhusus mengingat Indonesia telah menyepakati perjanjian perdagangan dengan China dalam skemaACFTA sehingga dapat diketahui apakah kenaikan impor jeruk dari China tersebut merupakan bagiandari dampak ACFTA. Selain dari China, lonjakan impor yang menghawatirkan adalah impor dariPakistan pada tahun 2011. Kenaikannya sangat tajam jika dibandingkan dengan tahun-tahunsebelumnya. Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena adanya perjanjian perdagangan Indonesia-Pakistan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengkaji sejauh mana efektifitas perjanjian-perjanjianperdagangan yang dilakukan Indonesia, terutama untuk komoditas pertanian yang berupa komoditasmentah karena nilai tambahnya untuk petani masih rendah.

TahunVolume (Ton) Nilai (US $) Impor vs

produksi(%)

Ekspor vsImpor (US$)Produksi Ekspor Impor Ekspor Impor

2006 16.171.130 262.358 427.484,3 144.492.469 337.516.726 2,64 (193.024.257)

2007 17.116.622 157.620 502.156,1 93.652.260 449.163.864 2,93 (355.511.338)

2008 18.027.889 323.888 501.769,9 234.867.444 473.985.519 2,78 (239.118.075)

2009 18.653.900 211.492 640.460,3 161.923.203 625.932.971 3,43 (464.009.768)

2010 15.894.890 186.036 692.668,8 170.828.288 686.780.293 4,36 (515.952.005)

Rerata 16.775.171 235.615 529.658,3 159.304.414 467.908.399 3,16

Reratakenaikan (%)

1,03 (17,15) 9,45 (7,57) 18,77

% terhadapProduksi

1,40 3,16

Page 336: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

324│

324│

Tabel 3. Ekspor Jeruk Indonesia HS 080530, tahun 2007-2011

ExportersExported value

in 2007(000US$)

Exported valuein 2008

(000US$)

Exported valuein 2009

(000US$)

Exported valuein 2010

(000US$)

Exported valuein 2011

(000US$)

World 854 371 140 50 t.a.d

Indonesia 468 369 140 48 0

Viet Nam 0 0 0 2 t.a.d

Ukraine 15 0 0 0 t.a.d

Samoa 1 0 0 0 0Saint Vincent and theGrenadines 1 2 0 0 t.a.d

Sao Tome and Principe 1 0 0 t.a.d t.a.d

Swaziland 215 t.a.d t.a.d t.a.d t.a.dKeterangan : t.a.d : tidak ada dataSumber : International Trade Centre (ITC) berdasar Biro Pusat Statistik

Tabel 4. Impor Jeruk Indonesia Berdasar Negara Asal, tahun 2007-2011

ExportersImported value

in 2007(000US$)

Imported valuein 2008

(000US$)

Imported valuein 2009

(000US$)

Imported valuein 2010

(000US$)

Imported valuein 2011

(000US$)

Total Impor 92.111 117.020 183.162 168.976 192.312

China 70.527 95.720 163.278 143.913 153.398

Argentina 4.543 3.645 3.668 9.217 10.538

Australia 4.337 5.143 6.132 4.815 7.317

Pakistan 2.899 1.730 234 761 6.243Sumber: International Trade Centre (ITC) Biro Pusat Statistik

Dayasaing Komoditas Jeruk Indonesia

1. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

Keunggulan komparatif perdagangan komoditas jeruk Indonesia diukur dengan revealedcomparative advantage (RCA). Ukuran RCA didasarkan pada konsep keunggulan komparatifRicardian (Moenius, 2006). RCA mengukur pangsa ekspor suatu negara dalam kelompok industriyang sama dengan negara eksportir lainnya, sehingga banyak digunakan untuk mengukur keunggulankomparatif (Serin and Sivan, 2008). Dalam analisis ini, akan dibandingkan nilai RCA beberapa kodeHS jeruk Indonesia dengan negara produsen utama lainnya di pasar dunia. Semakin tinggi nilai RCA,maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi. Sedangkan jika nilai RCAlebih kecil dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif.

Tabel 5. Nilai RCA Indonesia dan negara pemasok utama jeruk di Indonesia HS 0805, tahun2007-2010

Tahun Indonesia China Argentina Australia Pakistan

2007 0,008 0,330 9,128 1,725 2,960

2008 0,006 0,469 12,129 1,069 3,680

2009 0,003 0,602 6,691 1,197 4,830

2010 0,002 0,525 7,208 0,851 6,659

Seperti diuraikan sebelumnya, pangsa ekspor Indonesia di pasar internasional sangatlah kecil.Hal ini terlihat dari nila RCA Indonesia dibandingkan dengan negara-negara pemasok utama jeruk diIndonesia yang nilainya kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memang tidak memiliki

Page 337: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│325

keunggulan komparatif di pasar internasional. Sementara itu, China, sebagai pemasok utama jeruk diIndonesia dan salah satu ekportir utama di dunia ternyata memiliki nilai RCA yang juga kurang dari 1.Hal ini karena China memang merupakan negara yang ekspornya selain jeruk sangat tinggi sehingganila pembaginya dalam perhitungan RCA sangat besar yang menghasilkan nilai akhir RCA kecil.China memang merupakan salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Sementara itu, nilaiRCA negara pemasok selain China menunjukkan nilai yang cukup besar karena memang jerukmerupakan salah satu andalan ekspor negara tersebut. Rata-rata nilai RCA paling tinggi ditunjukkanoleh Argentina, disusul oleh Pakistan.

Jika dilihat dari masing-masing HS, nilai RCA Indonesia (Tabel 6) yang nilainya sangat tinggiadalah HS 080530 yaitu jenis Lemons and limes, fresh or dried karena memang merupakan eksportirutama dunia sampai dengan tahun 2010. Oleh karena itu, jika Indonesia ingin meningkatkan neracaperdagangan jeruk Indonesia, maka salah satu jenis jeruk yang dapat mendongkrak adalah kelompokHS 080530. Iklim Indonesia memang terbatas untuk pengembangan jenis keprok yang berkulit kuning,yang banyak disukai oleh konsumen Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika perhatianpemerintah difokuskan untuk meningkatkan ekspor kelompok HS 080530 yang kebutuhanagroekosistemnya lebih cocok di Indonesia. Sementara untuk HS yang lain nilainya masih di bawah 1,bahkan untuk HS 080510, 080520 dan 080550 nilainya sangat kecil sehingga dianggap nol yangartinya tidak memiliki daya saing di pasar internasional.

Tabel 6. Nilai RCA Indonesia dan negara pemasok utama jeruk di Indonesia HS 0805, tahun2007-2010

TahunKode HS

80510 80520 80530 80540 80550 80590

2007 0 0 66,49 0 0 0,07

2008 0 0 116,08 0,000144 0 0,17

2009 0 0 105,73 0 0 0,34

2010 0 0 91,45 0 0 0,27

2. Constant Market Share Analysis (CMSA)

Constant market share analysis (CMSA) merupakan metode yang dapat digunakan untukmenganalisis daya saing sebuah produk atau beberapa produk pada beberapa pasar tujuan ekspor(Rifin, 2010). Untuk analisis CMSA jeruk digunakan hasil perhitungan dari Kementerian Perdagangan(Kemendag). Dalam perhitungannya, Kemendag (2011) menggunakan dekomposisi CMSA menjadi 3kriteria yaitu competitiveness effect, initial specialization dan adaptation. Hasil perhitunganKemendag terhadap beberapa produk jeruk yaitu kode HS 080510, 080520, 080540, 080550 dan080590 tidak dapat disajikan karena nilainya sangat kecil dengan tujuan tujuan pasar yang dianalisisadalah ASEAN yang merupakan pasar utama ekspor jeruk Indonesia. Hal ini mengidentifikasikanbahwa komoditas dengan HS tersebut memang tidak memiliki peranan dalam perdagangan dunia.Sementara itu untuk HS 080530 meskipun nilainya sangat kecil tapi masih dapat ditampilkan padaTabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Nilai CMSA Indonesia dengan negara ASEAN untuk HS 080530

Kriteria NilaiCompetitiveness -0.000000001

( HS " pilihan " tidak berdaya saing )Initial -0.000000005

( HS " pilihan " tidak dapat dikembangkan )Adapt 0.000000003

( HS " pilihan " responsive terhadap permintaan dunia )Sumber: Kementerian Perdagangan , 2011 (diolah)

Page 338: Prosiding BUKU 1

Analisis Daya Saing Komoditas Jeruk di Pasar InternasionalSayekti, A, L

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

326│

326│

Dari hasil analisis CMSA untuk HS 080530 pun menunjukkan bahwa komoditas tersebut tidakmemiliki daya saing di pasar ASEAN dan tidak dapat dikembangkan meskipun sebenarnya komoditastersebut responsif terhadap permintaan pasar ASEAN. Hal ini sesuai dengan pendapat Athanasoglou,et al., (2010) yang menyatakan bahwa ukuran daya saing dengan metode CMSA sangat terkait denganfaktor harga dan non harga seperti kualitas produk, pelayanan aktivitas ekspor, waktu dan lain-lain.Secara umum, komoditas jeruk Indonesia belum memiliki daya saing akibat rendahnya kualitasyang dimiliki serta belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi permintaan pasar. Jadi, untukmeningkatkan daya saing ekspor, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas buah sesuai dengankondisi permintaan pasar dunia, khususnya negara-negara yang menjadi tujuan ekspor jeruk Indonesia.

KESIMPULAN

Kinerja perdagangan komoditas jeruk Indonesia mengalami defisit dari tahun ke tahun. Defisittersebut juga terus mengalami tren yang meningkat dari tahun ke tahun yang menunjukkan kinerjaperdagangan jeruk Indonesia terus menurun. Komoditas jeruk Indonesia juga tidak memilikikeunggulan komparatif sebagai eksportir jeruk di pasar internasional kecuali untuk HS 080530.Dengan demikian, dalam upaya meningkatkan daya saing komoditas jeruk diperlukan upayapeningkatan kualitas, sarana dan prasarana penunjang serta spesialisasi pada jenis tertentu yangpotensial di pasar internasional dan sesuai dengan agroekologi Indonesia.

PUSTAKA

1. Athanasoglou, P., C. Backinezos and E.A. Georgiou 2010, ‘Export performance, competitivenessand commodity composition’, MPRA Paper No. 31997, http://mpra.ub.uni-muenchen. de/31997/

2. Hadi, P.U dan S. Mardianto 2004, ‘Analisis Komparasi Dayasaing Produk Ekspor PertanianAntar Negara ASEAN dalam Era Perdagangan Bebas AFTA’, J Agro Ekonomi, vol 22, no 1, hlm.46-73.

3. International Trade Centre [Intracen] 2011, ‘Trade map-International Trade Statistics’,http://www.trademap. org/tradestat/Country_SelProduct_TS.aspx. Diakses tanggal 11 Mei 2012.

4. Kementerian Perdagangan [Kemendag] 2011, ‘Constant Market Share Analysis (CMSA)’http://www.kemendag.go.id/addon/depdag_cmsa/. Diakses tanggal 30 Desember 2011.

5. Moenius, J 2006, ‘Measuring Comparative Advantage: A Richardian Approach’, School ofBusiness, University of Redlands.

6. Pusat Data dan Informasi Pertanian 2009, ‘Impor Jeruk Pernegara Asal’, Jakarta: Pusat Data danInformasi Pertanian, Kementrian Pertanian.

7. Rifin, A 2010, ‘Export Competitiveness of Indonesia’s Palm Oil Product’, Trends in AgricultureEconomics, vol 3, no 1, hlm. 1-8.

8. Sayekti, A.L 2009, ‘Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional terhadap KinerjaPerdagangan Jagung’, Tesis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

9. Serin, V. and A. Civan 2008, ‘Revealed Comparative Advantage and Competitiveness. A CaseStudy for Turkey towards the EU’, Journal of Economic and Social Research, vol 10, no 2, hlm.25 - 41.

Page 339: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk Nasional

Kiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│327

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk BuahJeruk Lokal dan Impor Sebagai Dasar Pengingkatan Daya Saing Jeruk Nasional

Kiloes, A MPusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura

Jl. Ragunan no.29A Pasarminggu Jakarta Selatan 12540Email: [email protected]

ABSTRAK. Membanjirnya jeruk impor mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli jeruk sehinggamenurunkan daya saing jeruk lokal. Perlu dilakukan suatu kajian untuk menganalisa atribut-atribut dari jeruklokal apa aja yang perlu diperbaiki agar sesuai dengan keinginan konsumen. Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk mengidentifikasi atribut buah jeruk yang dianggap paling penting bagi konsumen, membandingkanpersepsi konsumen terhadap beberapa atribut produk jeruk lokal dan impor, dan menentukan prioritas atributyang harus ditingkatkan performanya. Survey online dilakukan terhadap 94 responden ibu rumah tangga yangtinggal di Jakarta. Responden dikumpulkan melalui jejaring sosial facebook dengan teknik snowball sampling.Kuesioner disebarkan menggunakan bantuan google.docs. Hasil survey menunjukan bahwa responden menilaibahwa atribut kesegaran adalah atribut yang paling penting dari tujuh atribut yang ada, diikuti dengan atributrasa, harga, warna, tekstur, aroma, dan ukuran. Dari skor persepsi konsumen diperoleh bahwa atribut rasa,kesegaran, dan aroma dari jeruk lokal lebih unggul bersaing dibandingkan jeruk impor. Sedangkan atribut harga,ukuran, warna, dan tekstur masih kalah bersaing dibandingkan jeruk impor. Secara keseluruhan berdasarkananalisis sikap Fishbein jeruk impor masih lebih unggul bersaing dibandingkan jeruk lokal. BerdasarkanImportance Performance Analysis prioritas atribut jeruk lokal yang harus ditingkatkan performanya adalah hargadan warna.

Kata kunci: Kepentingan, Persepsi; Atribut produk; Analisis sikap Fishbein; Importance-Performance Analysis

ABSTRACT. Kiloes, A.M. 2013. Assesment of Consumers Attitude and Perception Toward the SomeAttributes of Local and Imported Citrus as a Basis of Enhancing National Citrus Competitiveness. Therecent amount of imported citrus has raised some concerns affecting consumers’ buying decisions that may havereduced the local citrus competitiveness. A study that explains consumer’s needs regarding what kind of thecitrus attributes that have to be improved is required. The aims of this study were to characterize some importantattributes as perceived by consumers, to compare the consumer’s perceptions about some attributes of local andimported citrus, and to identify specific local citrus attributes that should be improved. An online survey wasconducted to 94 housewives who live in Jakarta. Respondents were collected through facebook social networkand the snowball sampling technique. Questionnaires were distributed using google.docs. The results show thatthe respondents rate the freshness as the most important attribute out of seven examined attributes. It is followedby taste, price, color, texture, aroma, and size. Consumers perceive that the flavor, freshness, and aroma of thelocal citrus are more competitive than those of imported citrus. Meanwhile, the other attributes of local citrussuch as, price, size, color, and texture are less competitive than those of imported citrus. Nonetheless, theFishbein attitude analysis suggested that imported citrus is still more competitive than local citrus. Furthermore,the Importance Performance Analysis shows that the priority attributes of local citrus that should be improvedare price and color.

Keywords: Importance; Perception; Product Attributes; Fishbein attitude analysis Importance-performanceanalysis.

Saat ini Indonesia sudah memasuki era perdagangan bebas dimana Indonesia harus bersaingdengan negara lain termasuk dalam memasarkan produknya, bahkan di negara sendiri. Produk-produkIndonesia harus siap menghadapi tantangan berbagai macam produk yang masuk dari luar negeridengan segala keunggulan yang ditawarkan.

Persaingan antar produk menjadikan konsumen memiliki posisi yang semakin kuat dalam tawarmenawar (Sumarwan, 2004). Bagi konsumen adanya perdagangan bebas memberikan keleluasaanuntuk memilih produk mana yang paling disukai atau yang tidak disukai untuk dikonsumsi.

Page 340: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk NasionalKiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

328│

328│

Banyaknya produk yang ditawarkan akan memberi kemudahan konsumen untuk memilih produk yangsesuai dengan selera dan kebutuhan. Selain itu produk dengan kualitas terbaik dan harga yang palingmurah tentu akan banyak diminati oleh konsumen.

Produk hortikultura juga termasuk produk yang harus ikut bersaing dengan produk-produkhortikultura dari luar negeri. Sudah beberapa tahun ini banyak produk buah-buahan dan sayur-sayuranimpor dari luar negeri masuk dan bersaing dengan produk lokal. Jeruk juga merupakan salah satuproduk hortikultura yang harus bersaing dengan jeruk impor asal luar negeri karena merupakan buahyang digemari baik dalam bentuk olahan maupun segar. Buah jeruk juga dikonsumsi berbagai lapisanmasyarakat dari yang berpendapatan rendah hingga tinggi, terutama karena merupakan sumbervitamin C yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu jeruk juga dapat mencegah beberapa penyakitberbahaya seperti kanker, diabetes, dan masalah kesehatan lain (Boyer and Liu, 2004; Silalahi, 2002dalam ISAFRUIT Forum, 2008)

Indonesia merupakan negara penghasil jeruk terbesar keenam didunia setelah Brazil, USA,Mexico, India, dan China (FAO, 2010), dengan sentra produksi terbesar di Sumatera Utara. Namunselama ini Indonesia masih saja banyak mengimpor jeruk dari luar. Indonesia merupakan negarapengimpor jeruk terbesar kedua di ASEAN setelah Malaysia (Badan Litbang Pertanian, 2005). Angkaimpor jeruk tahun 2010 sebesar 192.814 ton meningkat 59 % dari tahun 2007 sebesar 114.231 ton(BPS, 2011). Besarnya angka impor jeruk mengakibatkan membanjirnya jeruk impor di pasaran.Tidak hanya di pasar swalayan, tapi juga sudah merambah hingga ke pasar-pasar tradisional hinggapedagang kaki lima (Husni, Purwito, Mariska, dan Sudarsono, 2010).

Dari angka tersebut, impor jeruk didominasi oleh jenis jeruk keprok atau mandarin, sementaraagribisnis jeruk nasional yang ditanam di tanah air sebanyak 70-80% didominasi oleh jeruk siam(Badan Litbang Pertanian, 2005). Melimpahnya jeruk impor dikhawatirkan dapat mempengaruhikeputusan konsumen dalam membeli jeruk sehingga dapat mengalahkan daya saing jeruk lokal dinegeri sendiri. Sebab ketersediaan produk merupakan salah satu yang mempengaruhi minat konsumendalam membeli produk (Kotler, Ang, Leong, dan Tan, 2000). Sedangkan konsumsi jeruk Indonesiadiproyeksikan akan terus meningkat hingga 34,5% pada tahun 2015 (Direktorat Jenderal BinaProduksi Hortikultura, 2004).

Untuk meningkatkan daya saing jeruk lokal di negara sendiri salah satu yang dapat dilakukanadalah membangun agribisnis jeruk nasional dengan memperhatikan keinginan konsumen. Untuk ituperlu diadakan suatu kajian untuk menilai, mengukur, dan menafsirkan keinginan, sikap dan perilakukonsumen (Kotler, 1996). Survai ini yang bertujuan untuk mengetahui atribut apa yang dianggappaling penting oleh konsumen dalam membeli jeruk, membandingkan persepsi konsumen terhadapatribut-atribut produk buah jeruk lokal dan impor, dan menganalisis atribut mana yang harusdiprioritaskan untuk diperbaiki performanya. Diharapkan hasil survai ini dapat dijadikan referensiuntuk pengambilan kebijakan arah agribisnis jeruk lokal Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Februari hingga April 2012. Data yang digunakan berupadata sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari publikasi-publikasi ilmiah, BPS, dan lain-lain.Data primer diperoleh dari hasil survai menggunakan kuesioner yang disebarkan secara online.

Objek dari penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang tinggal di Jakarta. Pemilihanresponden ibu-ibu rumah tangga dilakukan dengan pertimbangan bahwa ibu-ibu rumah tangga diIndonesia bertanggung jawab dalam belanja pangan, mengatur menu keluarga, mendistribusikanmakanan, dan langsung berperan dalam pemeliharaan anak (Suhardjo, 1989). Selain itu tingkatpengetahuan ibu yang baik akan mempermudah pelaksanaan tanggung jawabnya dalam pemilihanpangan untuk keluarganya (Harper, Deaton, dan Driskel, 1986).

Sebanyak 94 orang responden ibu rumah tangga dijaring menggunakan bantuan mediajaringan sosial facebook dengan metode snowball sampling. Penggunaan snowball sampling dalamjejaring sosial facebook ini dapat menghemat waktu dan biaya serta berguna untuk menjaring sampelyang sulit dicapai (Bhutta dalam Couper, 2011). Penggunaan snowball sampling ini akanmenimbulkan kepastian bahwa sampel yang diambil merupakan ibu rumah tangga karena merupakanrekomendasi dari ibu rumah tangga sebelumnya yang mereka kenal. Dengan menggunakan snowball

Page 341: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk Nasional

Kiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│329

sampling seorang responden ibu rumah tangga dapat merekomendasikan orang lain yang juga iburumah tangga untuk mengisi kuesioner.

Kuesioner yang disebarkan berisi pertanyaan-pertanyaan tentang karakteristik responden,tingkat kepentingan responden terhadap atribut-atribut jeruk, dan tingkat persepsi konsumen terhadapatribut-atribut jeruk lokal maupun impor. Karakteristik responden yang dikumpulkan berupa usia,jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran setiap bulannya.

Atribut-atribut yang dikaji dalam survey ini berjumlah tujuh atribut dari delapan atribut yangdikemukakan oleh Sumarwan (2004) yang terdiri dari kesegaran, rasa, harga, warna, tekstur, aroma,dan ukuran. Sebenarnya ada satu atribut lagi yaitu kandungan vitamin, namun karena akan sulit bagiresponden untuk menentukan kandungan vitamin dari suatu produk tanpa menggunakan alat pengukurmaka atribut kandungan vitamin tidak digunakan.

Responden diberi kuesioner dengan pertanyaan yang mewakili atribut-atribut produk untukkepentingan dan persepsinya. Untuk memudahkan responden digunakan skala likert yang menunjukanskala sangat tidak penting hingga penting untuk mengukur kepentingan, dan sangat tidak setuju hinggasangat setuju untuk mengukur persepsi. Selain kepentingan dan persepsinya juga ditanyakan mengenaiseperti apa kualitas dari masing-masing atribut yang disukai oleh responden.

Untuk melihat jeruk mana yang memiliki skor sikap paling tinggi digunakan alat analisis sikapfishbein (Sumarwan, 2004). Model atribut sikap fishbein digambarkan dengan formula sebagaiberikut:

=Dimana:Ao = sikap terhadap buah jerukbi = kekuatan kepercayaan bahwa produk memiliki atribut iei = evaluasi terhadap atribut in = jumlah atribut yang dimiliki buah jeruk

Untuk mengetahui atribut produk dari buah jeruk mana yang harus diprioritaskan pengembangannyadigunakan analisis Kepentingan dan Kinerja atau Importance Performance Analysis. Analisis inimenggunakan diagram kartesius yang terdiri dari dua sumbu X dan Y dimana sumbu X akan mewakilinilai kepentingan dan sumbu Y akan mewakili persepsi konsumen. Nilai rata-rata kepentingan danpersepsi dari seluruh atribut akan menjadi titik koordinat rata-rata yang akan membagi diagrammenjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah kuadran dengan nilai kepentingan tinggi dan nilaipersepsi yang tinggi, kuadran kedua adalah kuadran dengan nilai kepentingan tinggi dan nilai persepsiyang rendah, kuadran ketiga adalah kuadran dengan nilai kepentingan rendah dan nilai persepsi tinggi,dan kuadran keempat adalah kudran dengan nilai kepentingan rendah dan nilai persepsi rendah.Atribut yang harus diprioritaskan pengembangannya adalah atribut yang berada di kuadran dua(Martilla, J. and James J dalam Kitcharoen, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil survey menunjukkan bahwa karakteristik dari responden ibu rumah tangga yang menjadi objekdari survey ini beragam. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Usia 32 tahun adalah usia yang palingbanyak ditemui dari seluruh responden yang ada. Pendidikan dan pekerjaan yang paling banyakditemui berturut-turut adalah S1 dan sebagai karyawan. Sedangkan jumlah anggota keluarga termasukdiri responden sendiri paling banyak ditemui berjumlah empat orang.

Page 342: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk NasionalKiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

330│

330│

Tabel 1. Karakteristik Responden. (Respondents Characteristics

Karakteristik Responden(Respondents Characteristics)

Frekuensi(Frequency)

%

Usia (Age),tahun (year)

< 2526-3031-3536-4041-4546-50

2243918101

2,1325,5341,4919,1510,64

0Pendidikan (Education) SD (elementary school)

SMP (Junior High School)SMA (High School)Diploma (Diploma)S1S2 / S3

01

2714504

01,04

28,1314,5852,084,17

Pekerjaan (Occupation) Hanya ibu rumah tangga(only housewife)Ibu rumh tangga merangkap karyawan(housewife and employee)Ibu rumah tangga merangkap wiraswasta (housewifeand enterpreneur)Ibu rumah tangga merangkap pelajar/mahasiswa(housewife and student)

28

40

25

1

29,79

42,55

26,60

1,06

Jumlah anggota keluarga(Number of family member)

2345>5

92338222

9,5724,4740,4323,402,13

Pengukuran Kepentingan Terhadap Atribut Buah JerukDari perhitungan terhadap hasil survey diperoleh bahwa atribut kesegaran adalah atribut yangdianggap paling penting oleh konsumen, seperti dapat dilihat pada tabel 2. Diikuti oleh atribut-atributlainnya seperti rasa, harga, warna, tekstur, aroma, dan ukuran. Disini berarti dalam membeli buahjeruk, konsumen terlebih dahulu melihat kesegaran dari buah tersebut sebelum melihat atribut lainnya.Dalam membeli dan memilih konsumen akan lebih mementingkan kondisi kesegaran dari jerukdibandingkan atribut yang lainnya.

Tabel 1. Nilai tingkat kepentingan dari beberapa atribut produk buah jeruk. Importance value of someproduct attributes of citrus

Atribut (Attributes) Kepentingan (Importance)

Harga 4,531914894

Rasa 4,925531915

Ukuran 3,712765957

Warna 4,468085106

Kesegaran 4,957446809

Aroma 4,276595745

Tekstur 4,329787234

Rata-rata 4,457446809

Atribut ukuran dinilai oleh konsumen sebagai atribut paling rendah tingkat kepentingannyadibandingkan atribut-atribut yang lain. Hal ini berarti dalam membeli jeruk konsumen tidak terlalumementingkan berapa ukuran jeruk yang ingin dibelinya apakah jeruk tersebut berukuran besar ataukecil.

Page 343: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk Nasional

Kiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│331

Pengukuran Persepsi Konsumen Terhadap Atribut-Atribut Produk Buah JerukPersepsi konsumen adalah proses bagaimana stimulus-stimulus dasar sperti cahaya, warna,

dan suara diseleksi, diorganiasasikan, dan diinterpretasikan. Persepsi yang dibentuk oleh seorangindividu dipengaruhi isi memori dan pengalaman yang tersimpan dalam memori (Solomon, 1996).Begitu pula persepsi konsumen teradap atribut-atribut produk buah jeruk. Hasil suvey persepsikonsumen terhadap beberapa atribut produk buah jeruk lokal dan impor menunjukkan hal yangberbeda antara jeruk lokal dan impor. Beberapa atribut dari jeruk lokal dinilai oleh konsumen lebihunggul dari jeruk impor sementara beberapa atribut jeruk lokal yang lainnya diniliai oleh konsumenmasih kalah dibandingkan jeruk impor. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan persepsi konsumen terhadap beberapa atribut produk buah jeruk lokal danimpor. Comparation between comsumers perception of local and imported citrus.

Atribut (Attributes)Persepsi Konsumen Terhadap Jeruk

Lokal (Consumers perception about localcitrus)

Persepsi Konsumen Terhadap JerukImpor (Consumers perception about

imported citrus)

Harga 3,074468085 4,074468085

Rasa 3,606382979 3,510638298

Ukuran 3,276595745 3,829787234

Warna 3,053191489 4,436170213

Kesegaran 3,446808511 3,127659574

Aroma 3,457446809 3,361702128

Tekstur 3,446808511 3,478723404

Rata-rata 3,337386018 3,688449848

Atribut harga jeruk lokal dinilai oleh konsumen masih kalah dibandingkan jeruk impor.Konsumen menilai bahwa mereka lebih sering menemukan jeruk impor yang harganya jauh lebihmurah dibandingkan jeruk lokal. Sebagai contoh salah satu responden mengemukakan bahwa jerukimpor asal China di pasar swalayan dapat dibeli dengan harga Rp. 1.400 / 100 gr atau Rp. 14.000 / kg.Sementara jeruk medan dijual dengan harga Rp. 24.000 / kg. Harga yang hampir dua kali lipatnya inijelas-jelas menunjukkan bahwa jeruk lokal Indonesia kalah dari segi harga dibandingkan jeruk impor.Beberapa responden juga menemukan bahwa di pasar swalayan terdapat jeruk medan yang harganyamurah tetapi jeruk medan tersebut memiliki kualitas yang jelek. Berdasarkan keterangan yangdiperoleh dari responden, kebanyakan responden bersedia untuk membayar maksimal Rp. 15.000 –20.000,- / kg jeruk yang mereka beli.

Atribut rasa dari buah jeruk lokal dinilai oleh konsumen lebih unggul dibandingkan jerukimpor. Beberapa responden mengemukakan bahwa rasa yang disukai adalah rasa jeruk yang manissegar atau manis agak sedikit bercampur asam. Sedangkan jeruk impor terutama yang berasal dariChina dinilai oleh beberapa konsumen rasanya cenderung manis namun agak tawar. Beberaparesponden lagi menilai beberapa jenis jeruk memiliki rasa yang menarik seperti jeruk sunkiest dariAmerika.

Berdasarkan penilaian konsumen terhadap atribut ukuran, jeruk impor lebih ungguldibandingkan jeruk lokal. Meskipun atribut ukuran merupakan atribut yang dianggap kurang begitupenting oleh konsumen (Tabel 1). Namun ukuran produk juga merupakan hal yang sangat pentingkarena akan membentuk persepsi konsumen terhadap buah-buahan terutama bagi konsumen yangmembiasakan gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi buah-buahan (Pollard, Dally, dan Binns, 2008).Konsumen mengemukakan bahwa saat dilihat di pasar atau supermarket, jeruk impor terlihat lebihseragam dalam hal ukuran dibandingkan jeruk lokal yang kadang ukurannya tidak seragam. Beberaparesponden juga menilai bahwa jeruk lokal ukurannya lebih terlihat kecil-kecil dibandingkan jerukimpor.

Atribut warna dari jeruk impor dinilai oleh konsumen lebih unggul dibandingkan jeruk lokal.Beberapa konsumen menilai bahwa warna yang paling mereka sukai adalah warna jingga. Jeruk lokalIndonesia kebanyakan berasal dari golongan jeruk siam yang berwarna hijau atau hijau bercampurkuning atau oranye. Jeruk impor terutama jeruk yang berjenis keprok atau mandarin memiliki warna

Page 344: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk NasionalKiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

332│

332│

jingga yang cerah. Bahkan beberapa responden mengemukakan bahwa jeruk asal Australia dan jeruksunkiest dari Amerika memiliki warna jingga terang yang sangat menarik dipandang mata.

Atribut kesegaran dari jeruk lokal dinilai oleh responden lebih unggul dibandingkan jerukimpor. Atribut kesegaran ini juga merupakan atribut yang dianggap paling penting oleh responden.Responden beranggapan bahwa meskipun jeruk impor terlihat segar namun kesegarannya tersebutkurang terjamin karena telah melewati waktu yang lama dari sejak panen hingga sampai ke pasar.Bahkan beberapa responden juga mempercayai informasi-informasi yang telah beredar sebelumnyayang mencurigai jeruk-jeruk impor diberi pengawet sehingga bisa tahan lebih lama. Jeruk impor asalChina sangat terlihat kesegarannya tidak terjamin menurut beberapa orang responden. Mereka melihatbahwa sebagian jeruk yang dijual baik itu di pasar tradisional atau di pasar swalayan sudah ada yangdalam kondisi hampir busuk.

Dari segi aroma, menurut persepsi konsumen jeruk lokal dinilai lebih unggul dibandingkanjeruk impor. Beberapa responden menilai bahwa jeruk lokal memiliki aroma asam khas yang tajammenusuk hidung. Sedangkan jeruk impor tidak memiliki aroma tajam tersebut.

Atribut tekstur buah dari jeruk impor dinilai oleh responden lebih memiliki keunggulandibandingkan jeruk lokal. Responden menilai tekstur kulit buah lokal kadang terlihat burik. Sedangkanjeruk impor tekstur kulit buahnya terlihat mulus tanpa ada burik. Namun ada beberapa responden jugayang menilai bahwa pada jeruk impor yang berasal dari China tekstur kulit buahnya kasar. Haltersebut dikarenakan kondisi jeruk impor yang mereka lihat dalam keadaan hampir busuk.

Analisis Sikap Fishbein Terhadap Jeruk Lokal dan ImporUntuk membandingkan keunggulan antara jeruk lokal dan jeruk impor secara keseluruhan

digunakan analisis sikap fishbein seperti dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Analisis sikap fishbein terhadap jeruk lokal dan jeruk impor. Fishbein attitude analysis oflocal and imported citrus.

Atribut(Attributes)

Kepentingan(Importance)

persepsi jeruk lokal (local citrusperception)

persepsi jeruk impor (importedcitrus perception)

Harga 4,531914894 3,074468085 4,074468085

Rasa 4,925531915 3,606382979 3,510638298

Ukuran 3,712765957 3,276595745 3,829787234

Warna 4,468085106 3,053191489 4,436170213

Kesegaran 4,957446809 3,446808511 3,127659574

Aroma 4,276595745 3,457446809 3,361702128

Tekstur 4,329787234 3,446808511 3,478723404

Sikap 104,0425532 114,0319149

Sikap responden terhadap jeruk lokal memiliki nilai sebesar 104,025532. Sedangkan sikapresponden terhadap jeruk impor sebesar 114,0319149. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwaresponden secara keseluruhan menilai jeruk impor masih lebih unggul dibandingkan jeruk lokal.

Merumuskan Atribut yang Perlu Ditingkatkan PerformanyaAnalisis sikap fishbein menunjukkan bahwa jeruk impor dinilai oleh konsumen masih lebih

unggul dibandingkan jeruk lokal. Dari persepsi konsumen juga dinilai bahwa atribut harga, ukuran,warna, dan tekstur masih kalah dibandingkan jeruk impor. Ini berarti menurut persepsi konsumen,atribut-atribut tersebut harus ditingkatkan performanya untuk dapat menyaingi jeruk impor, minimalatribut-atribut tersebut sama dengan jeruk impor.

Atribut-atribut dengan tingkat kepentingan yang tinggi dan tingkat performa yang rendahharus diprioritaskan peningkatannya. Berdasarkan analisis kepentingan dan performa, atribut warnadan harga merupakan atribut yang harus diprioritaskan perbaikan performanya. Hal tersebut dapatdilihat pada gambar 1.

Atribut harga merupakan salah satu atribut jeruk lokal yang masih kalah dibandingkan jerukimpor. Atribut harga dapat diperbaiki dengan memperbaiki dan meningkatkan efisiensi jalurpemasaran dan distribusi jeruk dari sentra produksi hingga ke tangan konsumen. Melalui efisiensi

Page 345: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk Nasional

Kiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│333

jalur pemasaran tidak hanya harga yang murah akan diterima oleh konsumen tetapi juga kelayakanharga yang diterima oleh petani juga akan tercapai (Suherty, Fanani, dan Muhaimin, 2009)

Atribut warna dapat diperbaiki dengan mengembangkan varietas jeruk yang memiliki warnajingga seperti jeruk impor. Beberapa varietas jeruk memiliki warna seperti jeruk impor seperti jerukSo’e, jeruk keprok batu 55, dan lain-lain. Selain itu juga perlu dikembangkan teknologi untukmenciptakan warna kulit jeruk yang jingga seperti yang ada pada jeruk impor.

Gambar 1. Analisis Kepentingan dan Performa terhadap beberapa atribut produk buah jeruklokal.Importance performance analysis about some of product attributes of local citrus

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:1. Atribut kesegaran adalah atribut yang dianggap paling penting oleh konsumen dalam membeli

jeruk, diikuti oleh atribut rasa, harga, warna, tekstur, aroma, dan ukuran.2. Dari analisis persepsi konsumen terhadap atribut-atribut produk buah jeruk diperoleh bahwa

atribut rasa, kesegaran, dan aroma dari jeruk lokal lebih unggul bersaing dibandingkan jerukimpor. Sedangkan atribut harga, ukuran, warna, dan tekstur masih kalah bersaing dibandingkanjeruk impor. Secara keseluruhan berdasarkan analisis sikap fishbein jeruk impor masih lebihunggul bersaing dibandingkan jeruk lokal.

3. Atribut-atribut prioritas yang perlu diperbaiki performanya adalah atribut harga dan atribut warnadari buah jeruk.

PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Pengembangan AgribisnisJeruk. Departemen Pertanian.

2. Couper, Mick P. 2011. The Future of Modes of Data Collection. Public Opinion Quarterly Vol.75, No. 5, PP. 889-908. Oxford University Press.

3. Harper LJ, BJ Deaton, & JA Driskel. 1985. Pangan, Gizi, dan Pertanian (Suhardjo, penerjemah).UI Press, Jakarta.

4. Husni, A, Agus Purwito, Ika Mariska, dan Sudarsono. 2010. Regenerasi Jeruk Siam MelaluiEmbriogenesis Somatik. Jurnal AgroBiogen 6(2): 75-83.

harga

rasa

ukuran

warna

kesegaran

aroma

tekstur

rata-rata

3

3,1

3,2

3,3

3,4

3,5

3,6

3,7

3,5 3,7 3,9 4,1 4,3 4,5 4,7 4,9 5,1

Page 346: Prosiding BUKU 1

Penilaian Sikap dan Persepsi konsumen Terhadap Beberapa Atribut Produk Buah Jeruk Lokal dan Impor Sebagai DasarPengingkatan Daya Saing Jeruk NasionalKiloes, A M

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

334│

334│

5. ISAFRUIT Forum. 2008. Increasing Fruit Consumptionto Improve Health. Scripta HorticulturaeNumer 8. International Study for Horticultural Sciences, Belgium.

6. Kitcharoen, Krisana. 2004. The Importance Performance Analysis of Service Quality inAdministrative Departments of Private Universities in Thailand. ABAC Journal Vol. 24 No. 3

7. Kotler, Philip; Ang, Swee Hoon; Leong, Siew Meng; Tan, Chin Tion (2000). ManajemenPemasaran: Perspektif Asia, Buku 1, Yogyakarta: Penerbit Andi.

8. Pollard, Christina, M., Alison M. Daly, and Colin W Binns. 2008. Consumer Perceptions of Fruitand Vegetables Serving Sizes. Public Health Nutrition: 12 (5), P: 637-643.

9. Solomon, Michael R. 1996. Consumer Behavior. Prentice Hall International. New Jersey.

10. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DirektoratJenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

11. Suherty, L, Zaenal Fanani, A. Wahib Muhaimin. 2009. Analisis Efisensi Pemasaran Jeruk (StudiKasus di Desa Karang Dukuh, Kecamataan Belawang, Barito Kuala, Kalimantan Selatan).Agritek Vol. 17 No. 6

12. Sumarwan, Ujang. 2004. Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya. Ghalia Indonesia, Bogor.

Page 347: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│335

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassae

Nurmalinda, Herlina, D dan Hayati, N, Q.Balai Penelitian Tanaman Hias

Jl. Raya Ciherang, Pacet-Cianjur

ABSTRAK. Tapeinochillus ananassae merupakan salah satu jenis tanaman hias tropis yang berpotensi dijadikansebagai bunga potong. Namun demikian belum banyak pengusaha yang membudidayakan tanaman ini secaraluas, karena berbagai alasan, mulai dari pengadaan bibit bermutu, teknologi budidaya, pasca panen sampai padapemasarannya. Untuk merangsang para petani/pengusaha mengembangkan tanaman tropis ini, perlu dilakukanpengkajian lebih lanjut mengenai analisis finansial produksi Tapeinochilus ananassae dan prospek pasarnya.Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sistim budidaya Tapeinochilus ananassae secarafinansial serta untuk mengetahui prospek pasar tanaman tersebut. Untuk mengetahui analisis financialTapeinochilus ananassae dilakukan penelitian lapang di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman HiasSegunung (+ 1100 m dpl) yang dimulai dari Januari 2005-Juli 2008. Tapeinochilus ananassae ditanam dalamrumah paranet hitam 55 %. Pemeliharaaan tanaman (pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, penyiraman,dan penyiangan) disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap penggunaaninput produksi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis R/C ratio. Selain itu, untuk mengetahuiprospek pasar Tapeinochilus ananassae, dilakukan studi preferensi konsumen di Bali dan di DKI Jakarta bulanOktober tahun 2005, dengan responden penelitian para perangkai bunga dan floris. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa, investasi awal untuk usahatani bunga tropis seluas 350 m2 cukup tinggi, terutama untukpembuatan rumah sere, yaitu sekitar Rp 14.975.425,-, dan variabel tahun pertama sekitar Rp 4.772.900,-. Biayavariabel tertinggi dikeluarkan untuk pembelian bibit. R/C ratio tahun pertama masih dibawah satu, sedangkanR/C rasio tahun kedua bernilai 6,46 yang berarti penerimaan usahatani mulai bernilai positif. Sedangkan hasil ujipreferensi konsumen menunjukkan bahwa Tapeinochilus ananassae tersebut disukai oleh konsumen antara(florist) karena sangat eksotik, bentuk bunganya menarik dan warnanya cerah sehingga bagus untuk dijadikanrangkaian tropis.

Kata kunci: Analisis finansial, Prospek pasar, Tanaman hias tropis, Tapeinochilus ananassae.

ABSTRACT. Nurmalinda, D. Herlina, dan Nur Qomariah Hayati. 2013. Financial Analisis and MarketProspetc of ”Tapeinochilus ananassae”. Tapeinochilus ananassae is potential to be developed as a cut flower.However, that cultivar have not been developed in big scale, because of there is not good planting material,production technology, marketing, and etc. To support developing of tropical floriculture was done researchabout financial analisis and market prospetc of ”Tapeinochilus ananassae”. The culture technique research wasdone on January 2005-December 2007 in research area of Institute for Ornamental Plant Research Segunung (+1100 m at sea level). Tapeinochilus ananassae was planted in black paranet (55%). Irigating, Fertilizing,spraying and so on have been done based on plant condition. Data analisis was done by tabulated and R/C ratioanalysis. Investation cost for tropical flower is higher enough, especialy for green house. Cost for green housewas about Rp 39.970.500,-, and variable cost was about Rp 12.120.000,-. The advantage on first and secondyear is still negative. On third year, R/C ratio was 2,27, it means that the farm has get positive advantage.Consumer preference that be carried out in Bali and DKI showed that consumers are interested on Tapeinochilusananasae because of the flower is exotic and its colour is very attractive.

Keywords: Financial analysis, Marketing prospect, Tropical flower, Tapeinochilus ananassae

Indonesia adalah negara tropis yang kaya keragaman floranya. Berbagai jenis flora tersebuttelah dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai tanaman hias komersial, seperti: berbagaikultivar/spesies dari famili Orchidaceae, Zingiberaceae, Araceae, Costaceae, Palmae, dsb. Beberapakultivar bahkan sudah masuk dalam komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional, misalnya:dari famili Araceae: Anthurium, Aglaonema, Singonium, Philodendron dan Caladium; dari familiOrchidaceae: Dendrobium, Philodendron, Vanda, dsb; dari famili Palmae: Woodtya bifurcata,

Page 348: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

336│

336│

Livingstona, dsb. Di pusat perdagangan bunga Alsmeer (Belanda), penjualan berbagai jenis tanamanhias tropis menduduki tingkat penjualan yang cukup tinggi dan semenjak tahun 1994, walaupun dalamjumlah yang masih sedikit (0,2 %), tanaman hias tropis Indonesia sudah masuk dalam statistikflorikultura dunia untuk jenis daun potong (Satsijati et. al., 2001).

Selain yang tersebut di atas spesies/kultivar tanaman hias tropis dari famili Zingiberaceaejuga cukup potensial untuk dikembangkan, seperti a.l.: Tapeinochillus ananassae, Zingiber spectabiledan Alpinia purpurata. Tanaman dari famili Zingiberaceae ini dikenal juga sebagai Ginger (Amiarsi,2008). Di Indonesia banyak ditemukan di daerah-daerah luar Jawa, seperti: Kalimantan, Sulawesi,Ternate, Tidore, Maluku dan Ambon (Soejono, 1992 dalam Sunarmani et. al., 2011). Pada saat ini,jenis-jenis tanaman tropis tersebut sudah mulai dilirik konsumen-konsumen tanaman hias yang ada dikota-kota besar seperti: Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar, misalnya konsumen hotel, rumahtangga, floris dan perangkai bunga. Tanaman hias tersebut tidak hanya digunakan sebagai tanamanhias taman, tetapi juga diambil bunganya sebagai bunga potong. Sebagai tanaman hias, pertanamannya dihargakan sebesar Rp 40.000,- – Rp 50.000,-, sedangkan sebagai bunga potong pertangkai bunga dihargakan sebesar Rp 4000,- - Rp 5.000,-. Hasil penelitian Satsijati et al (2001) jugamenunjukkan bahwa tiga kultivar Alpinia, tiga kultivar Etlingera, dua kultivar Zingiber dan duakultivar Tapeinochilus mempunyai warna, bentuk braktea yang berbeda dan tersusun indah.

Untuk pasaran luar negeri, tanaman tropis masih terbuka luas untuk dikembangkan, karenamasih sedikitnya petani/pengusaha yang mengusahakan produk tersebut. Menurut Tjia (2002), kurangtersedianya produk bunga tropis di dunia internasional disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) tanaman inihanya tumbuh di daerah tropis, sehingga jauh dari pusat pemasaran bunga dunia, oleh karenanyabiaya pengapalan menjadi faktor pembatas dalam pemasarannya; (2) tidak banyak produsen bungatropis yang dikenal baik dan konsisten dengan standar kualitas oleh komunitas internasional; (3)belum ada penelitian dasar tentang bunga-bunga tropis. Penelitian-penelitian di universitas-universitascendrung pada tanaman yang sudah dikenal baik, sehingga tidak ada justifikasi untuk tanaman-tanaman yang belum diketahui kelayakan ekonominya.

Untuk mengangkat bunga tropis sebagai bunga potong yang dapat diandalkan, pada BursaTeknologi Hortikultura (17 Juli 2002) di ruang Anggrek Gelora Bung Karno Jakarta, telah dilakukanpraevaluasi potensi tanaman hias tropis produk bunga potong yang terdiri dari 20 kultivar tanaman.Hasil praevaluasi menunjukkan ada 10 kultivar yang dipilih responden sebagai bunga yang bagus danmempunyai prospek untuk dikembangkan (Satsijati et al, 2001 dalam Nurmalinda et al, 2004).Kesepuluh kultivar tersebut adalah: (1) Tapeinochilus ananassae; (2) Calathea crotalifera (orange);(3) Costus sp; (4) Calathea crotalifera (merah); (5) Calathea burle-marxii green ice; (6) Costus“Eskimo Kiss”; (7) Alpinia purpurata (pink); (8) Alpinia purpurata (merah); (9) Costus speciosus(hijau); dan (10) Etlingera elatior pink.

Berdasarkan gambaran di atas, maka untuk merangsang petani/pengusaha untukmengembangkan tanaman hias tropis, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisissistim budidaya, serta prospek pasar Tapeinochillus ananassae.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung (+ 1100 mdpl), pada bulan Januari 2005-Desember 2007. Tapeinochilus ananassae ditanam di lahan dengannaungan menggunakan net hitam kerapatan 55 %. Luas areal penanaman adalah 350 m2, denganjumlah tanaman sebanyak 192 tanaman. Pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan,pengendalian hama dan penyakit, penyiangan serta pemangkasan daun. Penyiraman dilakukan sesuaidengan kebutuhan tanaman, penyiangan dilakukan berdasarkan kondisi herba yang tumbuh,pengendalian hama dan penyakit dilakukan berdasarkan gejala yang timbul, serta pemupukan diulangberdasarkan kondisi pertumbuhan tanaman.

Pengamatan dilakukan terhadap penggunaan input produksi (jumlah dan harga), jumlah danharga output produksi. Analisis data yang berkaitan dengan penggunaan input dan output produksidilakukan dengan menggunakan analisis R/C ratio (Rasio penerimaan terhadap biaya). R/C ratiomerupakan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Apabila Nilai R/C ratio sama dengansatu berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan untuk input produksi akan memberikanpenerimaan sama dengan satu rupiah, ini berarti usahatani yang dilakukan pulang pokok atau tidak

Page 349: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│337

untung dan tidak rugi. Apabila nilai R/C ratio lebih dari satu berarti setiap satu rupiah biaya yangdikeluarkan untuk input produksi akan memberikan penerimaan yang lebih besar dari satu dan iniberarti usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan. Apabila nilai R/C ratio kurang dari satuberarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan untuk input produksi akan memberikan penerimaanyang kurang dari satu dan ini berarti usahatani yang dilakukan mengalami kerugian.

Untuk mengetahui bagaimana prospek pasar Tapeinochilus ananassae telah dilakukan ujipreferensi terhadap bunga potong Tapeinochilus ananassae di Bali dan di DKI Jakarta pada bulanOktober tahun 2007. Atribut yang diuji adalah panjang tangkai, warna bunga, diameter bunga,diameter tangkai dan ketahanan bunga. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbanganbahwa Bali dan DKI Jakarta merupakan daerah konsumen bunga potong yang cukup besar diIndonesia. Pada penelitian yang dilakukan di Bali, responden penelitian adalah para perangkai bungadan floris sebanyak 15 orang, dan pada penelitian di DKI Jakarta responden penelitian adalah florisbunga (floris hotel dan floris non hotel) sebanyak 20 orang. Pemilihan responden penelitian didasarkanpertimbangan bahwa perangkai bunga dan floris menggunakan bunga dalam bentuk satuan danmerekalah yang memadumadankan bunga hingga menjadi sebuah rangkaian yang menarik untukdipandang. Analisis data dilakukan secara kuantitatif berdasarkan persentase.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistim Budidaya kultivar Tapeinochilus ananassaeTanaman ditanam pada ketinggian 1100 m dpl, menggunakan net hitam dengan kerapatan 55 %.

Untuk menjaga kelembaban, di sekitar tanaman diberikan mulsa jerami, yang berfungsi sebagai bahanorganik yang dibutuhkan tanaman, juga untuk menghindari cipratan kotoran dari tanah yang bisamengotori braktea. Oleh karena itu, apabila mulsa jerami sudah membusuk jadi tanah perluditambahkan lagi mulsa jerami baru. Agar tanaman bisa berproduksi optimal perlu dilakukanpemupukan intensif, dengan menjaga nilai EC tanah sekitar 1 (satu). Pupuk NPK digunakan sebagaisumber unsur hara anorganik pada tanaman.

Penyakit yang banyak dijumpai pada tanaman ini adalah Xanthomonas sp yang sering menjadipenyebab kerusakan pada daun, sedangkan hama yang sering mengganggu tanaman adalah belalang,hama ulat serta siput. Serangan hama belalang dan ulat pada pucuk daun dan batang-batang muda,menyebabkan daun menjadi berlubang-lubang serta menimbulkan bekas berupa garis-garis padabagian bawah braktea. sedangkan serangan siput menyebabkan braktea menjadi kotor karena lendirdan kotoran ditinggalkan di sekitar braktea. Hama dan penyakit ini diatasi dengan menggunakanpestisida yang ada di pasaran.

Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara pemisahan rumpun, cabang udara sekunder,tersier, ataupun kwarter, serta melalui stek batang. Dengan penanaman 3 (tiga) bibit dalam satulobang, serta dengan memberikan kondisi lingkungan yang optimal, tanaman ini berbunga (keluarnyabraktea) pada umur 9 bulan. Tapeinochilus ananassae dapat dipanen pada saat ukuran braktea masihkecil yaitu mulai dari diameter kurang dari 5 cm sampai diameter lebih dari 10 cm dan panjangtangkai braktea mulai dari 20 cm sampai dengan lebih dari 100 cm, tergantung pada kebutuhanperangkai bunga atau dekorator.

Selain tersebut di atas, hasil pengamatan menunjukkan bahwa mulai dari tanaman berbunga(umur 9 bulan) sampai umur 13 bulan setelah tanam, pada setiap rumpun akan muncul bunga minimal1 tangkai per bulan dan mulai umur 14 bulan setelah tanam, jumlah bunga yang muncul meningkat 2sampai 3 tangkai per bulan. Dengan bertambahnya umur tanaman, jumlah rumpun tanamanpun ikutbertambah, demikian juga halnya dengan jumlah bunga.

Adapun bunga yang dipanen dapat diklasifikasikan atas 4 kelas, yaitu Large (L), Medium (M),Small (S) dan Extra Small (XS). Dari jumlah total bunga yang dapat dipanen selama 22 bulan,persentase terbesar adalah campuran kelas L dan M, yaitu sekitar 41 persen, kemudian diikuti kelas Ssebanyak 40 persen dan sisanya kelas XS (19%).

Analisis Input-OutputBiaya Investasi

Biaya investasi yang dikemukakan disini terdiri dari biaya pembuatan rumah lindung,pembelian peralatan yang digunakan, serta biaya operasional tahun pertama yang terdiri dari

Page 350: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

338│

338│

pembelian bibit, sekam dan jerami, pupuk, serta pestisida. Perincian biaya investasi tersebut akandikemukakan dalam penjelasan di bawah ini.

Biaya pembuatan rumah lindung dan pembelian peralatanSeperti yang dikemukakan pada pembahasan terdahulu bahwa kultivar tanaman ini ditanam di bawahrumah lindung dengan naungan menggunakan net hitam kerapatan 55 %. Untuk pembuatan rumahsere diperlukan berbagai bahan bangunan seperti yang terlihat pada tabel 1. Dari tabel terlihat bahwabiaya pembuatan rumah lindung cukup besar, yaitu sekitar Rp 9.702.525,- untuk luasan 350 m2 atausekitar 27.721,-/m2. Besarnya pembuatan rumah lindung ini dipengaruhi oleh bahan bangunan yangdiperlukan untuk pembuatan kerangka rumah lindung. Kerangka rumah lindung yang digunakandalam penelitian ini adalah kerangka besi yang harganya cukup tinggi. Akan tetapi, untuk menghematbesarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan rumah lindung dapat disiasati denganmenggunakan kerangka rumah lindung yang terbuat dari bambu atau kayu. Bila yang digunakanrumah lindung dengan kerangka bambu, besar biaya untuk pembuatan rumah lindung adalah sekitarRp 23.962,-/m2 (Nurmalinda, 2005). Dari perhitungan di atas, besar biaya investasi awal yang bisadihemat adalah sekitar Rp 3.759,-/m2. Namun demikian kendalanya rumah sere dengan kerangkabambu memiliki daya tahan yang tidak begitu lama, hanya sekitar 3 tahun, sedangkan kerangka besibisa bertahan lebih dari 15 tahun dengan pemeliharaan yang cukup baik. Menurut salah seorangpengusaha bunga di wilayah Bogor, kerangka rumah lindung dari besi bisa tahan sampai 20 tahun,bahkan lebih dan yang perlu diganti setiap 3-5 tahun sekali hanya net saja. Kalau diperhitungkansecara lebih rinci, untuk jangka panjang rumah lindung dengan kerangka besi akan lebih murahdibandingkan dengan kerangka bambu.

Tabel 1. Kebutuhan bahan untuk rumah lindung untuk luasan 350 m2No. NAMA BAHAN JUMLAH HARGA

(RP/Satuan)T O T A L

A. Bahan Utama1. Besi siku panjang 110 batang 47.500 5.225.0002. Kawat 33 kg 10.000 330.0003. Semen 6,7 zak 30.000 201.0004. Pasir 0,66 truk 150.000 99.0005. Batu kali 0,66 truk 150.000 99.0006. Net 55 % 400 m2 6.000 2.400.0007. Besi plat 3 cm 8 batang 17.000 136.0008. Paku pipit 0,33 dus 50.000 16.5009. Kawat las 1,67 dus 50.000 83.500

10. Benang 1,67 pak 7.500 12.52511. Gergaji besi / Resibon - 50.000 50.00012. T O T A L A 8.652.525

Biaya Las 350 m2 3.000 1.050.000B. TOTAL A + B 9.702.525

Sumber: Data primer (diolah), 2007

Selain rumah lindung, yang perlu disediakan dalam kegiatan usaha adalah peralatan. Peralatanyang digunakan dalam usahatani ini adalah handsprayer, cangkul, parang, ember, kored dan gunting.Umur ekonomis dari masing-masing peralatan tersebut berbeda. Dalam perhitungan, besar biaya yangdikeluarkan untuk pembelian alat adalah sebesar Rp 500.000,-.

Bila dilihat perhitungan di atas, besar investasi untuk pembuatan rumah lindung dan pembelianperalatan cukup besar. Namun demikian, dalam analisa usahatani, pengeluaran untuk investasi setiaptahunnya adalah biaya susutnya saja. Untuk rumah lindung dengan kerangka besi ini dan daya tahansekitar 15 tahun biaya penyusutan per tahun (ditambah dengan paranet), adalah sebesar Rp 966.835,-,sedangkan biaya penyusutan untuk peralatan adalah sebesar Rp 131.971,- (tabel 2).

Page 351: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│339

Tabel 2. Umur ekonomis dan biaya penyusutan rumah lindung dan peralatan lainnya

No. Rumah Plastik danPeralatan

Jumlah UmurEkonomis (Th)

Nilai Awal Nilai Akhir Penyusutan

1. Rumah plastic- Kerangka rumah

lindung- Net

1 paket15

5

7.302.525

2.400.000

0

0

486.835

480.000

2. Handsprayer 1 buah 7 300.000 30.000 38.5713. Cangkul 1 buah 5 40.000 4.000 7.2004. Parang 2 buah 5 50.000 5.000 9.0005. Ember 2 buah 1 20.000 0 20.0006. Kored 2 buah 5 40.000 4.000 7.2007. Gunting 2 buah 3 50.000 0 50.000

T O T A L 1.098.806

Biaya Variabel tahun pertamaPada tahun pertama usaha perlu pembelian bibit tanaman yang akan dikembangkan

selanjutnya. Investasi awal untuk pembelian bibit cukup besar karena harga bibit Tapeinochilusananassae, yaitu sekitar Rp 5.000,-/tanaman. Untuk pemeliharaan, dilakukan pemupukan danpengendalian hama dan penyakit secara intensif. Selain itu, karena tanaman ini perlu dijagakelembabannya, maka di sekitar tanaman perlu diberi sekam dan jerami. Oleh karena itu investasiawal untuk pembelian bibit, pupuk, pestisida, sekam dan jerami serta biaya tenaga kerja cukup besar,yaitu sekitar Rp 4.772.900,- (Table 3). Total biaya investasi usahatani tanaman hias tropis denganrumah sere kerangka besi ini adalah sebesar Rp 14.975.425,-. Biaya ini terdiri dari pembuatan rumahsere, pembelian alat dan biaya variabel tahun pertama.

Tabel 3. Biaya variable tanaman hias tropis kultivar Tapeinochilus ananassae Tahun Pertama (350m2)

No. NAMA BAHAN JUMLAH HARGA(RP/Satuan)

TOTAL NILAI(Rp)

1. Bibit Tapeinochilus a. 192 batang 15.000 2.880.000

2. Pupuk Kompos Kandang Kapur NPK Top soil

185 kg185 kg

3,5 karung17 kg

1,3 botol

3.0003.000

10.0003.200

25.000

550.000550.000

35.00054.40032.500

Total 1.221.9003. Sekam dan Jerami 0,3 truk 150.000 45.0004. Pestisida

Decis Curacron Agrept Benlate

0,3 liter0,3 liter

0,2 kg0,2 kg

290.000180.000350.000300.000

87.00054.00070.00060.000

Total 271.0005. Tenaga kerja

Pengolahan tanah Pemupukan dasar Penanaman Penyiangan Pengendalian HPT Penyiraman Pemangkasan daun

8,0 HOK1,5 HOK1,0 HOK5,0 HOK8,0 HOK8,0 HOK4,0 HOK

10.00010.00010.00010.00010.00010.00010.000

80.00015.00010.00050.00080.00080.00040.000

Total 355.000TOTAL BIAYA 4.772.900

Sumber: Data primer (diolah), 2006

Page 352: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

340│

340│

Pada tahun kedua karena tidak ada lagi pembelian bibit, besar biaya variabel yang dikeluarkanmengalami penurunan, yaitu menjadi sekitar Rp 781.167,-, namun tahun ke-3 kembali mengalamipeningkatan yaitu menjadi Rp 1.826.334,-. Terjadinya peningkatan pengeluaran biaya variabel tahunke-3 ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan pestisida dan meningkatnya biaya tenaga kerja.Peningkatan biaya pestisida selain karena semakin intensifnya pengendalian hama dan penyakit, jugatanaman semakin besar sehingga diperlukan jumlah pestisida yang lebih banyak dari sebelumnya.Sedangkan peningkatan biaya tenaga kerja disebabkan karena intensifnya pengendalian hama danpenyakit, serta semakin banyaknya bunga yang dipanen. Pada tahun kedua belum semua tanamanyang dipanen setiap bulan, sedangkan pada tahun ketiga panen dilakukan setiap bulannya, dan iniotomatis memerlukan jumlah hari kerja yang lebih banyak dari waktu sebelumnya.

Analisis biaya dan pendapatan usahatani tanaman tropis kultivar Tapeinochilus ananassaeBesarnya biaya yang dikeluarkan untuk suatu usahatani ditentukan oleh biaya tetap dan biaya

variable. Biaya tetap merupakan biaya yang akan selalu dikeluarkan untuk melakukan usaha,walaupun usaha tersebut tidak lagi dilakukan, misalnya biaya untuk bangunan, kendaraan, danperalatan, sedangkan biaya variable merupakan biaya yang dikeluarkan berdasarkan besarnya usahayang dilakukan, misalnya biaya untuk bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja (Ameriana, 1988;Nurmalinda et al, 1991; Soetiarso dan Majawisastra, 1993; dan Soetiarso, 1994).

Dalam usahatani tanaman hias tropis ini, biaya tetap yang diperhitungkan adalah biayapenyusutan rumah sere, peralatan dan biaya lahan. Besar biaya tetap yang dikeluarkan setiap tahunadalah sekitar Rp 1.373.806,-, yang terdiri dari biaya penyusutan dan sewa lahan. Sedangkan besarbiaya variable yang dikeluarkan per tahun bervariasi dan terbesar pada tahun pertama. Besarnya biayavariable pada tahun pertama ini lebih disebabkan karena besarnya biaya bibit yang dikeluarkan, yaitusekitar 60,34 persen dari total biaya variable tahun pertama, kemudian diikuti oleh biaya pupuk danmulsa, biaya tenaga kerja dan biaya pestisida (tabel 4). Besarnya biaya bibit disebabkan karena masihterbatasnya pengusaha bibit yang mengusahakan bibit tanaman tropis yang bermutu, sehingga hargaper bibit masih relatif mahal. Terbatasnya pengusaha bibit tanaman tropis juga dipengaruhi olehbelum banyaknya permintaan terhadap bunga tropis ini terutama untuk bunga potong. Hal ini bukankarena kurangnya minat konsumen terhadap bunga potong ini, tetapi masih terbatasnya keberadaanbunga ini di pasaran, kalaupun ada kualitasnya masih rendah.

Berdasarkan analisis yang dilakukan (tabel 4), terlihat bahwa bunga baru mulai berproduksipada akhir tahun pertama, yaitu Juli 2006, sebanyak 161 tangkai, oleh karena itu penerimaan usahapada tahun pertama masih negatif. Pada tahun kedua yaitu bulan Juli 2007, jumlah bunga yangdihasilkan adalah 4.591 tangkai dan tahun ketiga, yaitu sampai bulan Juli 2008, jumlah bunga yangdihasilkan adalah sebanyak 7.800 tangkai. Untuk tanaman ini dengan pemeliharaan yang intensifdiperkirakan dapat berproduksi dengan baik sampai 10 tahun, dengan pemeliharaan dan pemupukanyang cukup.Berdasarkan perhitungan usahatani, pada tahun pertama penerimaan usahatani masih bernilai negatif.Penerimaan usaha baru bernilai positif pada tahun kedua penanaman. Dari analisis R/C rasio, tahunpertama nilai R/C rasio masih dibawah 1 artinya belum didapatkan keuntungan usaha. Pada tahunkedua R/C rasio baru bernilai positif dengan nilai 6,46 dan R/rasio tahun ketiga 7,53. Dari analisisterlihat bahwa dari hasil penerimaan tahun kedua sudah bisa menutupi nilai penerimaan negatif tahunpertama.

Page 353: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│341

Tabel 4. Biaya dan Penerimaan usahatani tanaman hias tropis kultivar Tapeinochilus ananassaetahun pertama (350 m2)

No. I T E M Tahun ke 1 Tahun ke 2 Tahun ke 3 Tahun 1 – 3

I. Biaya Tetap Penyusutan rumah

plastic danperalatan

Lahan

1.098.806

275.000

1.098.806

275.000

1.098.806

275.000

3.296.418

825.000Total Biaya Tetap 1.373.806 1.373.806 1.373.806 4.121.418

II. Biaya Variabel Bibit Pupuk Sekam Pestisida Tenaga Kerja

2.880.0001.221.900

45.000271.000355.000

0176.167

0325.667279.333

0825.000

0554.667446.667

2.880.0002.223.067

45.0001.151.3341.081.000

Total Biaya Variabel 4.772.900 781.167 1.826.334 7.380.401TOTAL BIAYA 6.146.706 2.154.973 3.200.140 11.501.819

III. Penerimaan 563.500 16.068.500 27.300.000 43.932.000IV. Pendapatan Bersih - 5.583.206 13.913.527 24.099.860 32.430.181V. R/C ratio 0.09 6,46 7,53 3,82

Display bunga tropis kultivar Tapeinochilus ananassaeBunga tropis yang didisplay adalah Tapeinochillus ananasae dan Alpinia purpurata. Di bawah

ini akan disajikan hasil display yang dilakukan di Bali dan DKI Jakarta.

Display bunga tropis di BaliHasil peragaan menunjukkan bahwa sebagian responden (56%) menyatakan bahwa

Tapeinochilus ananassae dan Alpinia purpurata pink sama-sama disukai oleh konsumen atau dengankata lain tidak ada yang lebih dominan diantaranya. Namun demikian 44 % responden menetapkanTapeinochilus ananassae sebagai pilihan pertama. Adapun alasan yang dikemukakan adalah karenaTapeinochilus ananassae mempunyai warna merah yang kuat dan cerah, bentuk bunganya besar danunik, serta untuk rangkaian tropical sangat exotic dengan tangkai bunga yang kokoh. SedangkanTapeinochilus ananassae dan Alpinia purpurata pink ditetapkan oleh 44 % reponden sebagai pilihankedua dengan alasan bahwa walaupun Alpinia purpurata pink sangat cantik digunakan untukrangkaian, namun bunganya relatif lebih cepat layu (Tabel 5). Untuk rangkaian, ketahanan bungamerupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hal ini berkaitan dengan lamanyabunga tersebut dipajang. Hasil penelitian Reid (2005) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa,rendahnya kualitas bunga potong (bunga kurang segar) menyebabkan konsumen lebih banyakmenggunakan tanaman hias berbunga dan berdaun indah untuk mempercantik rumah mereka.Sedangkan hasil penelitian Yulianingsih et al (1997) menunjukkan bahwa untuk memperpanjangketahanan simpan bunga dapat diperpanjang sampai 17 hari dengan menggunakan larutan Davisdengan komposisi 25 ppm AgNO3 + 10 % Sukrosa + 75 ppm asam sitrat.

Tabel 5. Pilihan responden terhadap tanaman hias tropisNo. Jenis Tanaman Hias Pilihan I

(%)Pilihan II

(%)Lain-lain

(%)1. Tapeinochilus ananassae 44 - 562. Alpinia purpurata pink - 44 56Sumber: Data Primer (diolah), 2006

Bila dilihat dari fungsi bunga tersebut dalam rangkaian 89 % responden menempatkanTapeinochillus anannasae sebagai bunga utama, hanya 55 % yang menempatkan sebagai bungapelengkap, dan sebaliknya dengan Alpinia purpurata pink. Dengan diameter bunga yang agak besarTapeinochilus ananassae lebih cocok ditempatkan sebagai bunga utama berbeda dengan Alpiniapurpurata pink yang lebih cocok ditempatkan sebagai bunga pelengkap. Namun demikian, menurut

Page 354: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

342│

342│

sebagian responden Alpinia purpurata pink juga bisa ditempatkan sebagai bunga utama. Sebagaibunga utama ataupun bunga pelengkap (filler), kriteria bunga yang diinginkan konsumen dapat dilihatpada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Kriteria bunga yang diinginkan konsumen sebagai bunga utama dan bungaPelengkap

No. Kriteria yangdiinginkan

Tapeinochilus ananassae Alpinia purpurata pinkBungaUtama

BungaPelengkap

BungaUtama

BungaPelengkap

1.2.3.4.5.

Panjang TangkaiWarnaDiameter (D) BungaD. Tangkai BungaKetahanan Bunga

20-200 cmMerah tua8-10 cm1-2 cm6-10 hari

10-200 cmMerah tua5-10 cm1-2 cm7 hari

60-100 cmmerah, pink6 cm2 cm7 hari

60-100 cmmerah, pink6 cm2 cm7 hari

Sumber: Data Primer (diolah), 2006

Dari tabel di atas terlihat bahwa Tapeinochilus ananassae sebagai bunga utama panjang tangkai yangdiinginkan sedikit berbeda dengan bunga pelengkap. Untuk bunga utama, panjang tangkai bunga yangdiinginkan adalah 20-200 cm dengan diameter bunga 8-10 cm dan diameter tangkai bunga 1-2 cm,sedangkan sebagai bunga pelengkap panjang tangkai bunga yang diinginkan adalah 10-200 cm dengandiameter bunga 5-10 cm dan diameter tangkai bunga 1-2 cm. Sedangkan untuk Alpinia purpurata,baik sebagai bunga utama maupun sebagai bunga pelengkap, kriteria bunga yang diinginkan adalahsama, yaitu dengan panjang tangkai bunga 60-100 cm, diameter bunga 6 cm dan diameter tangkaibunga 2 cm. Panjang atau pendeknya tangkai bunga yang diinginkan lebih dipengaruhi oleh bentukrangkaian yang akan dibuat. Untuk rangkaian besar diperlukan bunga dengan tangkai yang lebihpanjang dan sebaliknya dengan rangkaian kecil, tangkai bunga yang diinginkan akan relatif lebihpendek. Hasil penelitian Sunarmani et al (2011) menunjukkan bahwa Alpinia yang diinginkanresponden adalah bunga dengan kriteria bunganya besar, tebal, warna merah cabe dan cerah,tangkainya panjang demikian pula bunganya panjang dan tahan lama dalam peragaan serta tidak adasemut.

Display bunga tropis di DKI JakartaHasil display yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta menunjukkan bahwa semua responden

(100 %) menyukai bunga tropis dan bagus digunakan untuk rangkaian. Sebelumnya mereka sudahmengenal bunga tropis lain dari famili Zingiberaceae, yaitu yang disebut dengan ”kecombrang”.Tanaman yang sering terlihat di pasaran adalah Tapeinochilus ananassae dan Zingiber spectabile,sedangkan Alpinia purpurata jarang terlihat. Kedua jenis yang pertama dibawa oleh supplier yangdatang ke floris, namun volumenya masih sedikit.Dalam sebuah rangkaian, ketiga jenis bunga tersebut dapat digunakan untuk rangkaian kecil, sedangdan besar, namun secara umum responden (90 %) menyatakan sampai saat ini bunga ini baru dipakaisebagai aksesoris saja dan hanya satu responden (10 %) yang menyatakan dapat dipakai sebagaiaksesoris ataupun sebagai bunga utama dalam rangkaian. Namun demikian, menurut semua respondenbunga ini prospeknya cukup bagus, karena bisa dijadikan sebagai bunga pengganti dalam rangkaiandan menjadi rangkaian eksotis yang banyak disukai oleh turis-turis asing.

Adapun kriteria bunga Tapeinochilus ananassae yang diinginkan untuk rangkaian adalah sbb(Tabel 7):

Tabel 7. Kriteria bunga yang diinginkan konsumen sebagai bunga utama dan bunga pelengkapNo. I t e m Kriteria yang diinginkan

1.2.3.

Panjang TangkaiUkuran BungaKetahanan Bunga

> 40 cm8-10

> 7 hariSumber: Data Primer (diolah), 2006

Page 355: Prosiding BUKU 1

Analisis Finansial dan Prospek Pasar Tanaman Hias Tropis Tapeinochilus ananassaeNurmalinda, Herlina , D. dan Hayati, N. Q.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│343

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:1. Tanaman tropis ini bisa ditanam mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Pada awal

penanaman perlu diberi naungan. Untuk menjaga kelembaban, di sekitar tanaman diberikan mulsajerami. Pemupukan diberikan tergantung dari nilai EC tanaman, nilai EC yang baik adalahsekitar 1.

2. Hasil display menunjukkan bahwa, bunga tropis ini pada dasarnya disukai oleh konsumenperangkai bunga karena bentuk bunganya yang menarik dan warnanya cerah sehingga bagusuntuk dijadikan rangkaian tropis nan eksotis. Namun demikian bunga ini masih sulit dijumpai dipasaran.

3. Investasi awal untuk usahatani bunga tropis seluas 350 m2 cukup tinggi, terutama untukpembuatan rumah sere, yaitu sekitar Rp 14.975.425,-, dan biaya variabel tahun pertama sekitarRp 4.772.900,-, dengan biaya variable tertinggi untuk pembelian bibit. R/C rasio tahun pertamamasih bernilai kurang dari satu (0,09), sedangkan R/C rasio tahun kedua meningkat menjadi 6,46dan R/C rasio tahu ketiga sebesar 7,53. Penerimaan positif tahun kedua sudah bisa menutupibiaya usahatani tahun pertama.

PUSTAKA

1. Ameriana, M. 1991. Analisa usahatani bawang putih di Kec. Pacet, Kab. Cianjur. Bul. Penel.Hort. XXI (2): 88-93. Lembang, Bandung.

2. Amiarsi, D. 2008. Memperpanjang Masa Kesegaran Bunga Potong Alpinia purpurata. IptekHort. (4): 34-38

3. Nurmalinda, W. G. Koter, R. Majawisastra dan R. Suherman. 1991. Analisa “cost-benefit”bawang merah (Allium ascalonicum L.) musim hujan di Kab. Brebes. Bul. Penel. Hort. XX(EK): 3-13. Lembang, Bandung.

4. Nurmalinda, D. Herlina dan Satsijati. 2004. Studi Diagnostik Eksploratif PerkembanganTanaman Hias Potensial. Journal Hort. 14 (EK): 442-453

5. Satsijati, D. Herlina dan Purbadi. 2001. Praevaluasi potensi tanaman hias terkoleksi. Laporanhasil penelitian TA 2001.

6. Soetiarso, T. A. dan R. Majawisastra. 1993. Analisis biaya dan pendapatan usahatani bawangmerah di Pacet. Bul. Penel. Hort. XXVI (1): 43-53. Lembang, Bandung.

7. Soetiarso, T. A. 1994. Analisis usahatani cabai merah di tingkat petani. Bul. Penel. Hort.XXVI (2): 72-83. Lembang, Bandung.

8. Sunarmani, Nurmalinda dan D. Amiarsi. 2011. Preferensi Konsumen Bunga Potong SegarAlpinia . 21 (1):60-67.

9. Tjia, B. 2002. Potential of Tropical Flowers Still to be Realised. FlowerTech 5 (3): 12-14.

10. Yulianingsih, Dwi Amiarsi dan Sjaifullah. 2000. Penggunaan larutan perendam dalam menjagakesegaran bunga potong anggrek Dendrobium Sonia deep pink. Jurnal Hort. 9(4): 312-319.

Page 356: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

344│

344│

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota PontianakPropinsi Kalimantan Barat

Puspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, TBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat

Email: [email protected]

ABSTRAK. Bunga anggrek potong merupakan komoditas yang memiliki masa depan yang baik jika dilihat daripermintaan yang semakin meningkat secara nasional. Di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat berkembangbudidaya anggrek potong “Vanda Douglas”. Usaha budidaya anggrek potong ini sudah ada sejak 20 tahun yanglalu yaitu sekitar tahun 1980 oleh etnis Tionghoa. Terdapat 2 saluran pemasaran yang sudah berlangsung selamaini yaitu petani - konsumen dan petani - toko bunga – konsumen. Harga eceran di tingkat petani adalah Rp 3.000/tangkai dan harga eceran di toko bunga adalah Rp 5.000/ tangkai. Hasil analisis menunjukkan margin pemasaranpada saluran pemasaran 1 adalah Rp 1.630/ tangkai dan margin pemasaran pada saluran pemasaran 2 adalah Rp2.543/ tangkai.

Kata Kunci : Anggrek potong, Vanda Douglas, Pemasaran, Margin pemasaran

ABSRACT. Puspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T 2013. Marketing and Marketing Margin of VandaDouglas Orchid in Pontianak, West Kalimantan. Orchid cut flowers is a commodity that has a very goodpromising future as indicated by continuous national increasing demand. “Vanda Douglas” cut orchid is alsocultivated in Pontianak, West Kalimantan province. Cut Orchid cultivation has been there since 20 years ago,

developed initially by Chinese ethnic. There are two short marketing channels for this crop: (1) farmers –consumers and (2) farmers – flower shop – the consumer. Retail prices at the farm level is Rp 3.000/ stalk and at

the flower shop is Rp 5.000 / stalk. Margin analysis shows that the marketing margin in the 1st channel is Rp1.630/ stalk and marketing margin in the 2nd channel is Rp 2.543/ stalk.

Keywords : cut orchid, Vanda Douglas, marketing, Marketing margin

Tanaman hias mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanaman hias ini dapatmenambah keasrian lingkungan dimana manusia itu berada. Sejak sepuluh tahun terakhir permintaanakan tanaman hias meningkat pesat dari tahun ke tahun terutama di kota-kota besar. BerdasarkanDirektorat Jenderal Hortilkultura (2009) volume ekspor tanaman hias Indonesia pada tahun 2003sampai dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ekspor komoditastanaman hias mengalami peningkatan sebesar 4.194.111 kg dari tahun sebelumnya, dengan nilaiUSD 15.027.410. Pada tahun 2006 volume ekspor tanaman hias justru mengalami penurunan, namunmemiliki nilai ekspor lebih tinggi dari tahun sebelumnya dengan harga rata-rata tertinggi USD1,08/kg. Dari data ini menunjukkan sisi permintaan ekspor bunga-potong yang tinggi dan memilikikecenderungan meningkat.

Salah satu jenis tanaman hias yang dikembangkan untuk pasar domestik dan ekspor adalahanggrek. Anggrek termasuk kelompok tanaman hias yang mempunyai kelebihan dari jenis bungalainnya, kelebihannya adalah spektrum yang luas pada warna, bentuk, ukuran, tekstur dan banyaknyavariasi. Laju pertumbuhan anggrek pada tahun 2007-2008 paling tinggi jika dibandingkan dengantanaman hias krisan, mawar, dan sedap malam yaitu sebesar 61,42 persen sehingga komoditasanggrek dapat memberi prospek pasar yang cerah di masa mendatang (Direktorat JendralHortikultura, 2009)

Sekitar 25 persen (± 5000) spesies tanaman anggrek dunia ada di Indonesia dan sekitar 90persen induk-induk silangan anggrek yang paling digemari dan dikomersilkan di dunia berasal dariIndonesia. Melihat besarnya potensi jenis tanaman anggrek yang ada, Indonesia berpeluang besaruntuk mengembangkan usaha peranggrekan secara komersial.

Anggrek juga memiliki peluang yang besar dalam proses pengembangan agribisnis. Prospekpengembangan anggrek juga dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor anggrek pada tahun 2008 (1.710 kg dengan nilai US $ 12.085 ) bila dibandingkan dengan nilai impor anggrek ( 100 kgdengan nilai US $ 50 ) (Ditjen Hortikultura, 2008 ). Dengan kata lain anggrek memiliki potensi pasar

Page 357: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│345

internasional yang tinggi. Anggrek yang disukai sebagian besar masyarakat adalah jenisDendrobium ( 34 % ), diikuti oleh Oncidium Golden Shower ( 26 % ), Cattleya ( 20 %), Vanda ( 17% ), serta anggrek lainnya ( 3 % ). ( Litbang Deptan, 2007)

Peluang bisnis anggrek di Indonesia cukup menjanjikan. Hal ini terlihat dari setiap fase dalamperkembangan anggrek yang dapat dijadikan usaha dimulai dari mengadakan silangan untukmenciptakan kultivar baru sampai menghasilkan tanaman pot anggrek hias berbunga atau produksibunga potong. Kegiatan lain yaitu merangkai anggrek menjadi karangan bunga atau krans yangdilakukan oleh toko atau kios bunga anggrek (Sutiyoso, 2003).

Luas panen anggrek secara nasional pada tahun 2000 adalah 950.739 m2 dengan produksimencapai 3.260.858 tangkai dan produktivitas 3,43 tangkai/ pohon. Sementara di Kalimantan Baratpada tahun 2008 luas panen anggrek mencapai 49.294 m2, produksi 551.072 tangkai, danproduktivitasnya 11,17 tangkai/m2 (Ditjen Hortikultura dan Tanaman Hias, 2009). Kota Pontianaksendiri berdasarkan data Urusan Pangan Kota Pontianak, 2011, budidaya anggrek pada tahun 2010luas tanamnya mencapai 6.200 m2 dengan produksi 50.550 tangkai.

Di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat berkembang budidaya anggrek potong “Vandadouglas”. Usaha budidaya anggrek potong ini sudah ada sejak 20 tahun yang lalu yaitu sekitar tahun1980 yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Untuk mendukung perkembangan anggrek di KalimantanBarat dan Kota Pontianak khususnya maka di Kota Pontianak, tepatnya di Kelurahan Siantan Hulutelah dibangun “Orchid Center” yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Dinas Pertanian,Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak. Sesuai dengan fungsinya dalam mendukung perkembangananggrek di daerah, maka “Orchid Center” juga dilengkapi dengan laboratorium kultur jaringan.Adapun kegunaan dan manfaat dari laboratorium kultur jaringan adalah untuk menghasilkan bibitanggrek dalam jumlah banyak, relative singkat dan tahan terhadap hama penyakit.

BAHAN DAN METODE

Lokasi PenelitianPenelitian dilakukan di Kelurahan Siantan Hulu, Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat

Metode Pengumpulan DataMetode yang digunakan dalam pengumpulan data, sebagai berikut :1. Observasi yaitu peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap proses penyelenggaran

kegiatan pada obyek penelitian.2. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab kepada petani dan pedagang bunga

anggrek Vanda Douglas.

Teknik Pengumpulan DataPopulasi dalam penelitian ini adalah petani anggrek “Vanda Douglas sebanyak 2 orang,

pedagang eceran anggrek “Vanda Douglas” dalam hal ini adalah juga petani yang memiliki kios bungayang terletak di dekat kebun usahataninya di Kelurahan Siantan Hulu, Kota Pontianak dan TokoBunga di Kota Pontianak. Pemilihan sampel (responden) dilakukan dengan cara purposive yaitu 2sampel petani anggrek “Vanda Douglas”. Toko Bunga yang menjual angrek “Vanda Douglas” di KotaPontianak ada 2 yaitu Toko Bunga “Trees” dan Toko Bunga Cadillac.

Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder adalah studi kepustakaan melalui dokumen,terbitan, ataupun publikasi dari instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Urusan Pangan , BadanPusat Statistik.

Page 358: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

346│

346│

Analisis DataMargin, Biaya Pemasaran, dan Keuntungan

Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif, ditabulasi, dan dianalisa secara kuantitatifdengan menghitung margin pemasaran, biaya pemasaran, keuntungan dan efisiensi, denganmenggunakan rumus (Rasyaf, 1995) sebagai berikut:- Rumus margin pemasaran:

............................................................................M = He- Hp [1]Keterangan :

M = Margin pemasaranHp = Harga pada produsenHe = Harga eceran

- Biaya pemasaran :.........................................................................Hp = He – M [2]..........................................................................Hp = He – Π [3]

.........................................................................Mark up = Hp x 100 % [4]He

Keterangan :Hp = Harga pada produsenHe = Harga eceranП = Besar keuntungan yang diterima oleh para pelaku pasar

- Keuntungan :.........................................................................M = B + П [5]

Keterangan:B = Biaya pemasaran/satuan barangП = Besar keuntungan yang diterimaoleh para pelaku pasarEfisiensi PemasaranUntuk mengetahui efisiensi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat digunakan rumus:EP = Biaya pemasaran

Nilai produk yang dipasarkan

Keterangan :Jika EP > 1 berarti tidak efisienJika EP < 1 berarti efisien

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik respondenKarakteristik responden (petani anggrek “Vanda Douglas”) di Kota Pontianak, Propinsi

Kalimantan Barat ditampilkan pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1 umur kedua responden petani anggrek“Vanda Douglas” adalah 40 tahun dan 32 tahun. Umur tersebut tergolong umur produktif. Denganumur yang masih produktif diharapkan dapat mendukung keberhasilan usaha yang dilakukan.

Page 359: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│347

Tabel 1. Karakteristik responden Petani anggrek “Vanda Douglas” di Kelurahan Siantan Hulu,Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak. (Characteristics of Respondents FarmersOrchid “Vanda Douglas” in The Village Siantan Hulu, Northern District of Pontianak,Pontianak)

No RespondenNo.

Respondent

Umur(th)Age

(year)

PendidikanEducation

Luas lahan(ha)

Land area(hectares

Pengalamanusaha(th)

Experience(year)

Tanggungankeluarga

(jiwa)Dependents

(person)1 40 - 0,25 15 52 32 SD 0,3 10 7

Sumber : Data Primer, 2012 (Sources: Primary Data, 2012)

Dari segi pendidikan petani anggrek “Vanda Douglas” memiliki tingkat pendidikan formal SDdan tidak sekolah. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap sikap dalam menerima inovasi baru.Kondisi tingkat pendidikan formal yang rendah perlu dipacu dengan pendidikan non formal yangdapat meningkatkan ketrampilan dan wawasan yang mendukung pengembangan usaha. Pendidikannon formal dapat dilakukan melalui penyuluhan, praktek demplot dan sebagainya yang dapatmeningkatkan ketrampilan petani.

Pengalaman usaha petani adalah 10 tahun dan 15 tahun. Pengalaman usaha berpengaruhterhadap sikap dalam menghadapi masalah dalam usaha. Sementara jumlah tanggungan keluargamenggambarkan banyaknya anggota keluarga yang selain sebagai tanggungan juga berpotensi sebagaitenaga kerja keluarga.

Saluran Pemasaran Anggrek “Vanda Douglas”Proses penyaluran hasil produksi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pasca

produksi barang oleh suatu perusahaan atau industri (Irawan dan Wijaya, 2001). Berdasarkan hasilobservasi dan wawancara dengan responden di Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara,Kota Pontianak dalam memasarkan anggrek “Vanda Douglas” diketahui ada 2 macam saluranpemasaran dari petani anggrek “Vanda Douglas” hingga sampai ke konsumen. Kedua saluran tersebutadalah:

a. Saluran Pemasaran 1

Saluran pemasaran ini dilakukan antara petani anggrek “Vanda Douglas” di Kelurahan SiantanHulu dengan konsumen. Petani dalam hal ini juga memiliki kios bunga dimana kios bunga tersebutselain menjual anggrek “Vanda Douglas” yang merupakan hasil panen petani itu sendiri, juga menjualbunga lain yang didatangkan dari Jakarta. Bunga yang dijual ada yang dalam bentuk pertangkai danadapula dalam bentuk rangkaian bunga yang dirangkai dengan bunga lain.

b. Saluran Pemasaran 2

Pada saluran pemasaran 2 ini, toko bunga biasanya mendatangi petani untuk membeli bungadalam bentuk borongan. Toko bunga yang biasa berlangganan pada petani anggrek “Vanda Douglas”di Kelurahan Siantan Hulu adalah toko bunga yang berada di Kota Pontianak yaitu toko bunga“TREES” dan toko bunga “CADILLAC FLORIST’

Petani konsumen

Petani Toko Bunga Konsumen

Page 360: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

348│

348│

Analisis Tataniaga/ Pemasaran Anggrek “Vanda Douglas”a. Analisis Biaya

Biaya pemasaran adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pergerakan barang dari tanganprodusen sampai konsumen akhir atau setiap biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran(Rasyaf, 1995). Besar kecilnya biaya pemasaran berbeda untuk masing masing lembaga pemasaranyang bersangkutan. Dalam penelitian ini penulis membandingkan besarnya biaya pemasaran yangdikeluarkan dalam setiap saluran pemasaran berdasarkan pada proses penyaluran anggrek “VandaDouglas” dari produsen di Kelurahan Siantan Hulu sampai ke konsumen. Biaya pemasaran yang akandianalisis adalah biaya pemasaran yang dikeluarkan responden selama proses pemasaran produkberlangsung. Untuk mengetahui biaya pemasaran dapat dilhat pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya Pemasaran Anggrek “Vanda Douglas” Pada Setiap Lembaga Pemasaran di KelurahanSiantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak (“Vanda Douglas” OrchidMarketing Costs for Each Marketing Channel in The Upper Village, Northern District ofPontianak, Pontianak)

No Saluran PemasaranMarketing Channels

Jumlah(Rp/tangkai)Number(Rp/stem)

Ke (To)DariFrom

Toko Bunga(Rp/tangkai)Florists (Rp/stem)

Konsumen(Rp/tangkai)Consumer(Rp/stem)

1 Produsen/ Producer 400 200 6002 Toko Bunga/ Florists - 600 600

Sumber : Data Primer Diolah, 2012 (Sources : Primary Data Processed, 2012)

Gambar. 1a. Kebun Anggrek “Vanda DouglasDi Kelurahan Siantan Hulu, KotaPontianak

Gambar.1b. Bunga Anggrek“Vanda Douglas”

Pada saluran pemasaran 1 dimana produsen langsung memasarkan produknya kepadakonsumen terdapat biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh produsen yaitu sebesar Rp 200/ tangkai.Biaya ini adalah biaya angkut dan bongkar muat bunga dari kebun ke kios tempat penjualan bunga.Adapun harga jual eceran anggrek “Vanda Douglas” di kios bunga milik petani adalah Rp 3.000/tangkai Sementara pada saluran pemasaran 2 terdapat biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh tokobunga sebesar Rp 400/ tangkai dari toko bunga ke konsumen dan Rp 600/tangkai dari toko bunga kekonsumen sehingga total biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh toko bunga adalah Rp 1.000/tangkai. Harga anggrek “Vanda Douglas di toko bunga adalah Rp. 5.000/ tangkai

Page 361: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│349

b. Margin dan Keuntungan PemasaranUntuk menentukan saluran mana yang lebih efektif dapat dilihat pada margin pemasaran pada

tiap-tiap pelaku pasar. Margin dan keuntungan pemasaran anggrek “Vanda Douglas” pada setiaplembaga pemasaran dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan tabel 3 tersebut tampak bahwa jumlahmargin pemasaran pada saluran pemasaran 1 adalah Rp 1.630/tangkai dan margin pemasaran padasaluran pemasaran 2 adalah Rp 2.543/tangkai. Hal ini berimplikasi pada jumlah keuntungan yangdiperoleh dimana pada saluran pemasaran 1 adalah Rp 1.430/ tangkai dan pada saluran pemasaran 2adalah Rp 1.543/ tangkai.

Tabel 3. Margin dan Keuntungan pemasaran Anggrek “Vanda Douglas” Pada Setiap LembagaPemasaran di Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak(Marketing margin and profit margin of Orchids “Vanda Douglas” in Every SiantanInstitute of Marketing in The Upper Village, Northern District of Pontianak, Pontianak)

Lembaga PemasaranMarketing Agencies

Rata2 Margin (Rp/tangkai)Average Margin (Rp/stem)

Keuntungan (Rp/tangkai)Profit (Rp/stem)

Saluran 1Channel 1

Saluran 2Channel 2

Saluran 1Channel 1

Saluran 2Channel 2

Produsen/ Producer 1.630 1.500 1.430 1.100

Toko Bunga/ Florists 1.043 443

Jumlah/ Number 1.630 2.543 1.430 1.543

Sumber : Data Primer Diolah, 2012 (Sources : Primary Data Processed, 2012)

c. Efisiensi PemasaranEfisiensi pemasaran pada tiap lembaga pemasaran dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan

tabel tersebut tampak bahwa saluran pemasaran 1 lebih efisien daripada saluran pemasaran 2 yangditunjukkan oleh nilai jumlah efisiensinya dimana pada saluran pemasaran 1 jumlah nilai efisiensipemasarannya lebih rendah yaitu 0,06 sementara pada saluran pemasaran 2 adalah 0,153. Saluranpemasaran 1 yang lebih pendek dari saluran pemasaran 2 ternyata lebih efisien. Hal ini dipengaruhioleh adanya biaya yang dikeluarkan dan nilai penjualan dari anggrek “Vanda Douglas” tersebut.

Tabel 4. Efisiensi Pemasaran Anggrek “Vanda Douglas” di Kelurahan Siantan Hulu, KecamatanPontianak, Kota Pontianak (Marketing Efficiency Orchid “Vanda Douglas” in the VillageSiantan Hulu, District of Pontianak, Pontianak)

LembagaInstitute

Efisiensi pemasaranMarketing Efficiency

KeteranganInformation

Saluran 1Channel 1

Saluran 2Channel 1

Produsen/ Producer 0,06 0,133 1 & 2 efisienToko Bunga/Florists

0,12 Efisien

Jumlah 0,06 0,153 EfisienSumber : Data Primer Diolah, 2012 (Sources : Primary Data Processed, 2012)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian Pemasaran dan Margin Pemasaran di Kelurahan Siantan Hulu, KotaPontianak dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pola distribusi pemasaran anggrek “Vanda Douglasyaitu: (1) saluran pemasaran dari petani anggrek “Vanda Douglas” ke konsumen, dan (2) saluranpemasaran dari petani “Vanda Douglas” ke toko bunga. Saluran pemasaran pertama yang lebih pendekterbukti lebih efisien dan memberikan margin dan keuntungan yang lebih besar terhadap produsenatau petani anggrek “Vanda Douglas”.

Page 362: Prosiding BUKU 1

Pemasaran dan Margin Pemasaran Anggrek Vanda Douglas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan BaratPuspitasari, M, Dewi, D, O, dan Purba, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

350│

350│

PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah PengembanganAgribisnis Anggrek. Jakarta

2. Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2011, Laporan Tahunan Dinas Urusan Pangan KotaPontianak Tahun 2011, Pontianak.

3. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura 2002, Acuan Pedoman Stadar Mutu AnggrekDendrobium Bunga Potong,Direktorat Jenderal BinaProduksi Hortikultura, Jakarta.

4. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Data Base Ekspor-Impor Anggrek. Jakarta; DirektoratJenderal Hortikultura

5. Direktorat Jenderal Hortikultura dan Tanaman Hias. 2009. Profil Tanaman Hias. Jakarta;Direktorat Jenderal Hortikultura.

6. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias diIndonesia. Jakarta

7. Irawan dan Wijaya, 2001, Saluran Pemasaran, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.

8. Rasyaf. M, 1995, Memasarkan Hasil Peternakan, Penebar Swadaya, Jakarta

9. Sutiyoso, Yos 2003, Peluang Bisnis Anggrek, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Page 363: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│351

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di Indonesia

Setyawati, TBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa TimurJln. Raya Karangploso Km 4, PO. Box 188. Malang. 65101

[email protected]

ABSTRAK. Studi ini bertujuan untuk mengkaji kecepatan dan pola pertumbuhan produksi beberapa jeniskomoditas buah – buahan di Indonesia dengan memakai data serial waktu, meliputi data produksi, luas arealpanen dan produktivitas yang terdokumentasi secara periodik mulai tahun 1970 – 2010. Jenis buah-buahan yangdisertakan dalam analisis meliputi 11 komoditas yaitu : Alpokat, Duku, Durian, Mangga, Rambutan, Jambu biji,Jeruk,Nenas, Pepaya, Pisang dan Sawo. Hasil analisis menunjukkan pola pertumbuhan produksi buah dicirikanoleh pertumbuhan yang meningkat kecuali jambu biji. Faktor dominan sumber pertumbuhan produksi sebagianbesar komoditas buah (Alpokat, Durian, Jambu biji, Jeruk dan Nenas) adalah peningkatan produktivitas kecualiduku adalah areal panen dan pada Mangga, Pepaya, Pisang , Rambutan dan Sawo oleh keduanya. Indikator inimemberikan gambaran perlunya strategi percepatan pertumbuhan produksi buah-buahan berbasis inovasiteknologi. Merespon indikasi pola produktivitas hasil yang rendah, adanya kegiatan penelititian yangberorientasi peningkatan daya hasil dan penekanan ketahanan terhadap cekaman lingkungan dan hama penyakitperlu mendapat perhatian.

Katakunci : Buah-buahan; pertumbuhan produksi; pertumbuhan produktivitas; pertumbuhan areal panen.

ABSTRACT. Setyawati, T 2013. Production Growth Pattern of Some Fruits Crops in Indonesia. Thisobjectives of this study were to examine the pace and production growth pattern of some selected fruit inIndonesia using time series of data includes data on production, area harvested and productivity are documentedon a periodic basis beginning in 1970 - 2010 . Types of fruits are included in the analysis were 11 commodities:Avocados, Duku, Durian, mango, rambutan, guava, Citrus, pineapple, papaya, banana and sapodilla. Theanalysis showed a growth pattern characterized by the growth of fruit production increased except guava. Whileproduction growth for Avocado, Durian, Guava, Pineapple and Citrus, have been dominantly productivity,except duku by harvested area and Mango, Pawpaw, Banana, Rambutan and Sapodila by productivity andharvested area.This indicator suggets the importance of strategy approach of more giving development ofacceleration of growth of fruits production base on extension of planted area and technological innovation. Thisindicator depict the importance of strategy acceleration of growth of fruits production base on extension of arealplant and technological innovation. These imply the need for strengthening the fruits development strategicapproach in which the production growth relies more on the advanchementmof tehnological innovation.

Keywords: Fruits; Production growth; Productivity growth: Harvested area growth

Pengembangan komoditas hortikultura sebagai sumber pertumbuhan baru perekonomianmasyarakat di sektor pertanian akhir-akhir ini terus mendapat perhatian dari berbagai pihak, karenaadanya kecenderungan dan pergeseran pertanian tanaman pangan khususnya yang berbasis padi padalahan-lahan yang kurang produktif secara perlahan berkembang kearah pengusahaan komoditasekonomis yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi petani dan keluarganya. Salah satu komoditastersebut adalah buah-buahan, karena mempunyai potensi dan banyak keunggulan kompetitifnya,diantaranya kandungan vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia.

Indonesia merupakan wilayah dengan kondisi geografis yang sangat potensial untuk berbagaijenis tanaman buah-buahan. Di setiap wilayah dengan masing-masing kondisi topografi, iklim danekologinya mempunyai potensi buah yang beragam. Buah-buahan tropis Indonesia ada yang bersifatsemusim, dua musim (annual) dan tahunan (perennial), namun didominasi tanaman buah tahunan.Pada umumnya buah-buahan tahunan berbuah tergantung pada musim atau kondisi iklim. Biasanyamusim panen jatuh pada musim hujan sesudah kemarau panjang, sementara pada musim kemaraujarang ada tanaman buah tahunan yang berbuah lebat. Hal inilah yang menyebabkan adanya musimpanen buah raya, kecil/sela atau susulan dan paceklik, akibatnya pada saat panen buah raya terjadibuah melimpah dan harganya turun karena daya simpan buah-buahan tropis sangat pendek sementarateknologi penyimpanan dan olahan buah masih jarang dilakukan.

Page 364: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

352│

352│

Usaha pembuahan di luar musim (off season) belum banyak berhasil untuk buah-buahantahunan kecuali pada beberapa tanaman buah diantaranya belimbing, jeruk atau jambu air dan padatanaman mangga (Arumanis dan Manalagi) dan durian dapat berbuah di luar musim. Hal inilah yangmenjadikan buah Indonesia belum memiliki daya saing terhadap impor buah dari negara lain sepertiChina yang beredar pesat setiap saat di masyarakat dengan buah Apel dan Pear nya. Sementara ituproduksi buah-buahan dalam negeri sebenarnya menunjukkan peningkatan yang cukup drastis daritahun ke tahun seperti terlihat pada Tabel 1, namun karena ketersediaannya tergantung musimmenyebabkan pangsa pasar buah-buahan dari Indonesia di pasar dunia masih kecil yaitu urutan ke 29dari 52 negara pemasok dan di dalam negeripun Indonesia termasuk sebagai negara net importir buah.

Tabel 1. Rata-rata Produksi Sebelas (11) Jenis Buah-buah Tahun 1970-2010 di Indonesia

No. Jenis TanamanRata-rata tahun1970-‘1980 (ton)

Rata-rata tahun1970-‘1980 (ton)

Rata-rata tahun1970-‘1980 (ton)

Rata-rata tahun1970-‘1980 (ton)

1. Alpokat 43.520 60.327 115.855 239.822

2. Duku/langsat 58.967 69.822 85.413 189.3453. Durian 157.653 161.076 223.753 620.1834. Jambu Biji 165.242 283.277 260.145 218.6525. Jeruk 165.889 448.054 502.858 1.985.0136. Mangga 317.833 427.155 694.925 1.665.5687. Nenas 140.862 353.754 418.119 1.142.4068. Pepaya 216.905 268.184 382.155 687.4509. Pisang 1.564.544 1.854.750 2.729.254 5.528.58910. Rambutan 194.945 130.959 278.189 731.96411. Sawo 54.298 45.973 54.228 102.133Sumber : Departemen Pertanian dan Badan Pusat Statistik

Dari sisi konsumsi dikemukakan bahwa untuk mencapai masyarakat sehat, disarankan makanbuah minimum 32,6 kg buah/kapita/tahun , sementara itu jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220juta jiwa, berarti dalam satu tahun membutuhkan lebih 7 juta ton buah dengan mutu dan waktu yangsesuai dengan selera konsumen, namun pada kenyataannya pergeseran konsumsi buah-buahanmasyarakat Indonesia sangat lamban dan konsumsi per kapitanya masih mengikuti pola lama yaitumengutamakan konsumsi karbohidrat (makan berat) dulu baru buah.

Di sektor produksi seperti dikemukakan Anugrah (2009) pengusahaaan tanaman buahkhususnya pada pengusahaan mangga belum sepenuhnya memberikan insentif yang optimal kepadapetani. Hal ini didukung oleh beberapa kajian yang dilakukan Agustian et al. (2005); Saptana et al.(2005); Iswariyadi et al. (1995); Kusumo et al. (1989) menunjukkan bahwa bahwa selama periodepenelitian keuntungan dari kegiatan pengusahaaan mangga lebih banyak dinikmati oleh sebagianbesar pelaku di tingkat pedagang atau pelaku pemasaran secara umum. Padahal komoditas manggamerupakan salah satu tanaman buah yang diusahakan secara komersial, hal inilah yang menjadikansulitnya menarik investor di sub sektor buah-buahan.

Sementara itu pada tahun 2010, Kementrian Pertanian mentargetkan produksi buah-buahanIndonesia mencapai 18.853.058 ton, dan pada tahun yang sama diproyeksikan produktivitas buah-buahan Indonesia mampu mencapai rata-rata 23,2 ton per hektar.

Dengan adanya hal di atas tulisan ini bertujuan mengkaji kecepatan dan pola pertumbuhanproduksi 11 jenis buah-buahan yang meliputi Alpokat, Durian, Duku, Mangga, Rambutan, JambuBiji, Jeruk, Nenas, Pepaya, Pisang dan Sawo pada tahun 1970-2010 di Indonesia.

MATERI DAN METODE

Kajian pola pertumbuhan produksi 11 jenis tanaman buah-buahan ini menggunakan datatahunan luas panen, produksi dan produktivitas buah-buahan pada periode 1970-2010. Data sekunderdikompilasi dari publikasi Kementrian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. Jenis buah-buahan yangdikaji datanya adalah Alpokat, Durian, Duku, Mangga, Rambutan, Jambu Biji, Jeruk, Nenas, Pepaya,Pisang dan Sawo

Analisis data menggunakan regresi secara linier dan kuadratik. Analisis regresi denganmenggunakan data serial waktu digunakan untuk membandingkan perkembangan ataupun

Page 365: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│353

perubahannya. Analisis trend menggunakan data serial waktu yang lebih panjang dapat mengurangisensitivitas terhadap cuaca dan lebih memungkinkan untuk menangkap perubahan hasil per satuan luasyang diinduksi oleh teknologi serta penyebab-penyebab acak (Luttrell dan Gilbert 1976; Hamblin danKyneur, 1993).

Analisis Trend hasil per Satuan Luas/produktivitasData tahunan produktivitas buah dianalisis dengan menggunakan model trend linier dan

trend kuadratik. Model linier yang digunakan untuk menganalisis trend hasil tanaman per satuan luas(Calderini dan Slafer 1998, Hafner 2003, Krause 2007) didefinisikan sebagai berikut:

Yit = α0 + α1 ti ............................ (1)

ti adalah indeks waktu (1 untuk tahun 1970, 2 untuk 1971, dst), Yit adalah hasil per satuan luaskomoditas i untuk tahun t. α 0 = konstanta/ intersep, dan α 1 = perubahan tahunan hasil per satuan luas.Pada model ini, pertumbuhan tahunan hasil persatuan luas diasumsikan konstan selama periodeanalisis.Untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya pertumbuhan tahunan absolut hasil per satuan luasyang melambat (slowing down), model kuadratik sebagai berikut juga digunakan.

Yit = β 0 + β 1 ti + β2 ti2 ............................ (2)

t i2 adalah kuadrat indeks waktu, β 0 = konstanta/intersep, β 1 = adalah trend linier. Koefisien β2 jika

bernilai negatif mengindikasikan adanya pertumbuhan hasil per satuan luas yang melambat. Padamodel ini, pertumbuhan tahunan hasil per satuan luas diasumsikan linier.

Dalam penelitian ini, model linier ditolak jika model kuadratik memiliki kesesuaian yanglebih baik dan koefisien β2 signifikan. Estimasi regresi dilakukan dengan metode Ordinary LeastSquares (OLS)

Analisis Tingkat Pertumbuhan Produksi, Luas Panen dan ProduktivitasAnalisis tingkat pertumbuhan dapat mengungkapkan faktor dominan penentu pertumbuhan

produksi, apakah peningkatan areal panen atau produktivitas (Webster dan Williams, 1988). Untukkeperluan tersebut pendekatan estimasi yang digunakan adalah fungsi pertumbuhan dengan formulasisebagai berikut :

Yit = β0eβ1t

i+ β 2ti2 Uit .....................(3)

Di mana : Yit = produksi/arealpanen/produktivitas komoditas i pada tahun tti = indeks waktu (ti = 1,2,3,4 ...dst)Uit = simpanganTransformasi logaritma dari kedua sisi persamaan (3) menghasilkan :Log Yit = log β0 + β1 ti + β2 ti

2 + log Uit .............(4)

Koefisien pertumbuhan β1 dan β2 diestimasi dengan meregresikan log Yit untuk t = 1,2,3 ..n.Signifikansi statistik dan besaran kedua koefisien tersebut dapat memberikan gambaran mengenaikecepatan dan pola pertumbuhan produksi berdasarkan batasan interpretasi sebagai berikut: Jika β2 secara statistik tidak berbeda nyata (koefisien ti memiliki nilai t hitung < t tabel, maka

pertumbuhan produksi selama periode waktu analisis dikatagorikan bersifat konstan dantingkat pertumbuhan produksi rerata selama periode tersebut adalah sebesar β1

Jika β2 secara statistik berbeda nyata ( koefisien t1 memiliki nilai t hitung > t tabel, makabesaran β2 < 0 mengindikasikan adanya pertumbuhan produksi yang bersifat menurun,sedangkan besaran β2 >0 mengindikasikan adanya pertumbuhan produksi yang bersifatmeningkat. Informasi menyangkut faktor dominan pendorong pertumbuhan produksi(peningkatan areal panen atau produktivitas) dapat ditelusuri melalui model partisi sebagaiberikut :Qit = AitYit ..................(5)

Page 366: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

354│

354│

Di mana :Qit = produksi total komoditas i pada tahun tAit = areal panen total komoditas i pada tahun tYit = produktivitas komoditas i pada tahun t

Transformasi logaritma dari kedua sisi persamaan dan dideferensisasi terhadap t menghasilkanpersamaan

Log Qit = log Ait + log Yit .............(6).

Persamaan (6) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan produksi sama dengan tingkat pertumbuhanareal panen dan tingkat pertumbuhan hasil per satuan luas. Persamaan ini diturunkan dari identitaspada persamaan (5) yang menyatakan bahwa produksi total sama dengan areal panen dikalikan denganhasil per satuan luas. Ketiga tingkat tersebut dapat diestimasi dengan meregresikan log Qit; log Ait; danlig Yit terhadap t dan t2.Berdasarkan kontribusi relatif, maka informasi menyangkut faktor dominan pendorong pertumbuhan(peningkatan areal panen atau produktivitas) dapat diperoleh.

Jika pola pertumbuhan produksi didominasi oleh peningkatan areal panen (kontribusi arealpanen lebih besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), beberapa implikasi yang tersiratadalah :1. Strategi dan kegiatan yang berhubungan dengan inovasi teknologi/penelitian yang ada belum dapat

memacu pola pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas, atau program penyuluhanbelum berjalan optimal, terutama dikaitkan dengan proses transfer teknologi di tingkat petani.

2. Peningkatan produksi dimungkinkan oleh adanya insentif akibat kebijakan pemerintah yang berasaldari subsidi terhadap harga masukan dan luaran, maupun penyediaan infrastruktur pemasaran yangditujukan agar kebijakan harga tersebut secara operasional berjalan efektif, sehinggamemungkinkan adanya kestabilan profitabilitas relatif dari komoditas yang diusahakan (Adiyoga,2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis regresi secara linier dan kuadratik pertumbuhan luas panen , produksi danproduktivitas 11 jenis buah-buahan di Indonesia tahun 1970-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 367: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│355

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Linier dan Kuadratik Perkembangan Luas panen , Produksi danProduktivitas 11 Jenis Buah-buahan di Indonesia, Tahun 1970-2010

TANAMAN LUAS PANEN PRODUKSI HASIL / SATUAN LUAS

(PRODUKTIVITAS)

α β1 β2 α β1 β2 α β1 β2

Alpokat 231,60*** 1.164*** -22.19*** 5,70*** -1,09*** 161,83*** 2,64*** -3,31*** 0,14***

Duku/langsat

98,91 - 718,9*** 19,47*** 3,48*** -2,78*** 149,08*** 1,58*** 1,95*** -0,009***

Durian 567,75*** - 202,87*** 18,35*** 1,26*** -1,62*** 687,48*** 2,26*** -2,56*** 0,16***

Jambu Biji - 839,9*** 4,045*** -116,3*** 485,5 1,592** -367,5** 4,503*** -4,23*** 0,21***

Jeruk 526,36** 1,55* -24,4* 5,13*** -5,35*** 2,50*** 8,23*** -6,17*** 0,34***

Mangga 2,56*** -4,41*** 165,9*** 3,87*** -3,06*** 1,65*** 2,10*** -0,19*** 0,06***

Nenas - 529,64 3,12** -86,95** 3,01*** -2,58*** 1,33*** 26,49*** -28,75*** 1,32***

Pepaya -790,42*** -847,8*** 1,37*** 1,24*** -2,6*** 357,78*** 19,86*** -17,94*** 1,19***

Pisang -5,65*** -1,56*** 236,1*** 1,07*** -6,59*** 4,13*** 16,39*** 14,19*** 0,05***

Rambutan 1,88*** 1,53*** 8,26*** 1,54*** -2,15*** 879,2*** 1,20*** -2,00*** 0.08***

Sawo -197,86* 769,79*** -23,04*** 1,185*** -3,01*** 99,84*** 3,41*** -0,48*** 0,09***

Keterangan: α = koefisien regresi perubahan tahunan model linierβ1 = Koefisien regresi perubahan tahunan model kuadratikβ2 = Koefisien regresi trend kuadrat indeks waktu* = Signifikan pada taraf kepercayaan 90%

** = Signifikan pada taraf kepercayaan 95%*** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Tabel 2 menunjukkan bahwa model linier dapat memenuhi kriteria pemilihan untuk sembilanjenis buah-buahan dari sebelas jenis buah yang dipilih. Dua diantaranya yang tidak memenuhi kriteriapemilihan adalah Duku dan Nenas, karena tidak signifikan secara statistik. Secara linier pertumbuhanluas panen yang negatif terjadi pada tanaman buah-buahan Jambu Biji, Pepaya, Pisang dan Sawo,dengan besaran masing-masing sekitar 839.900 Ha (Jambu biji), 847.400 Ha (Pepaya) , 5.650 Ha(Pisang) dan 197.860 Ha (Sawo) pada periode tahun 1970-210.Sedang pada analisis kuadratik terlihatAlpokat, Jambu biji, Jeruk, Nenas dan Sawo menunjukkan pertumbuhan negatif . Trend negatif secarakonsisten diungkap pada tanaman Jambu Biji dan Sawo. Pada trend linier besaran perlambatan luaspanen tanaman jambu Biji dan sawo lebih besar dibanding pada model kuadratik. Pertumbuhan luaspanen positif secara konsisten terjadi pada tanaman Durian, Mangga dan Rambutan.

Dari sisi produksi, secara linier perlambatan tingkat produksi tidak dapat diungkap padakeseluruhan tanaman buah-buahan, demikian juga pada analisis secara kuadratik tidak terlihatpenurunan produksi kecuali pada tanaman Jambu Biji. Estimasi produktivitas buah-buahan jangkapanjang tidak menunjukan adanya penurunan produktivitas kecuali pada tanaman duku/langsat yangdianalisis secara kuadratik. Walaupun selama periode pengamatan areal panen banyak mengalamipenurunan, namun kompensasi produktivitas yang meningkat tetap dapat menjaga kestabilan produksi.Rangkuman dari hasil analisis di atas perlu dicermati kesinambungan peningkatan produktivitas,mengingat perluasan areal tanam kemungkinan kecil dapat tercapai. Informasi menyangkut faktordominan pendorong pertumbuhan produksi (peningkatan areal panen atau peningkatan produktivitas)dapat ditelusuri pada Tabel 3.

Page 368: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

356│

356│

Tabel 3 juga memberikan gambaran kontribusi pertumbuhan areal panen dan produktivitasterhadap pertumbuhan produksi. Pertumbuhan produksi Alpokat, Jambu Biji, Durian, Jeruk dan Nenasberasal dari adanya pertumbuhan produktivitas sebesar 1%, sedang pada duku pertumbuhan produksidisebabkan karena adanya peningkatan areal panen. Selanjutnya pada tanaman Mangga, pepaya,Pisang, Rambutan dan Sawo pertumbuhan produksi dikendalikan oleh areal panen dan produktivitas.Pada tanaman Jambu Biji, walaupun terjadi penurunan areal panen, namun adanya kompensasipeningkatan produktivitas masih dapat mendorong pertumbuhan produksi.Walaupun menunjukkanpertumbuhan produksi yang positif, namun angka pertumbuhan kecil kecuali nenas sebesar 4,39%,yang didukung kenaikan produktivitas 1%.

Tabel 3. Pertumbuhan Produksi, Areal Panen dan Produktivitas 11 Jenis Buah-buahan diIndonesia Tahun 1970-2010

TANAMAN PERTUMBUHANPRODUKSI

PERTUMBUHANAREAL PANEN

PERTUMBUHANPRODUKTIVITAS

Alpokat 0,00*** 0,00*** 0,01***

Duku/langsat 0,00*** 0,01*** 0,00***

Durian 0,01*** 0,00*** 0,01***

Jambu Biji 0,00** -0,02*** 0,01***

Jeruk 0,00*** 0,00** 0,01***

Mangga 0,01*** 0,01*** 0,01***

Nenas 4,39*** 0,00*** 0,01***

Pepaya 0,00*** 0,00*** 0,00***

Pisang 0,00** 0,00*** 0,00***

Rambutan 0,00*** 0,01*** 0,01***

Sawo 0,00* 0,01*** 0,01***

Keterangan: * = Signifikan pada taraf kepercayaan 90%**= Signifikan pada taraf kepercayaan 95

***= Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Berdasarkan data global perdagangan dunia, Indonesia hanya membeli tidak lebih darim 0,6%ekspor buah dunia. Negara- negara Asia Tenggara seluruhnya, juga hanya membeli 2% dari ekspordunia. Pengimpor buah terbesar adalah negara-negara Uni Eropa (43%), Amerika Serikat (16%),negara-negara di sekitar Uni Eropa (6%), Federasi Republik Rusia (5%), Jepang (4%), dan negara-negara lain sebesar 24%.

Besarnya peluang pasar ekspor buah-buahandunia dan menghadapi era pasar bebas Indonesiadiharuskan dapat menyajikan produk buah-buahan yang mampu bersaing dengan buah impor,disamping itu adanya penduduk Indonesia yang terus meningkat dan pendapatan per kapita jugakesadaran akan gizi juga meningkat, maka produksi buah-buahan di Indonesia perlu ditingkatkankeberadaannya.

KESIMPULAN

1. Secara statistik model linier trend jangka panjang 1970-2010 dapat menangkap adanya indikasiperlambatan luas panen pada Jambu Biji, Pepaya, Pisang dan Sawo, sedang secara kuadratikperlambatan luas panen terjadi pada Alpokat, Jambu Biji Jeruk, Nenas dan Sawo. Trend negatif luaspanen secara konsisten diungkap pada jambu Biji dan sawo. Pada trend linier besaran perlambatanluas panen tanaman jambu Biji dan sawo lebih besar dibanding pada model kuadratik. Pertumbuhanluas panen positif secara konsisten terjadi pada tanaman Durian, Mangga dan Rambutan.

Page 369: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│357

2. Dari sisi produksi, secara linier perlambatan tingkat produksi tidak dapat diungkap pada keseluruhantanaman buah-buahan, demikian juga pada analisis secara kuadratik tidak terlihat penurunan produksikecuali pada tanaman Jambu Biji.

3. Estimasi produktivitas buah-buahan jangka panjang tidak menunjukan adanya penurunanproduktivitas kecuali pada tanaman duku/langsat yang dianalisis secara kuadratik.

4. Pertumbuhan produksi Alpokat, Jambu Biji, Durian, Jeruk dan Nenas disebabkan adanyapertumbuhan produktivitas sebesar 1%, sedang pada duku pertumbuhan produksi disebabkan karenaadanya peningkatan areal panen. Selanjutnya pada tanaman Mangga, pepaya, Pisang, Rambutan danSawo pertumbuhan produksi dikendalikan oleh areal panen dan produktivitas. Pada tanaman JambuBiji, walaupun terjadi penurunan areal panen, namun adanya kompensasi peningkatan produktivitasmasih dapat mendorong pertumbuhan produksi.Walaupun menunjukkan pertumbuhan produksi yangpositif, namun angka pertumbuhan kecil kecuali nenas sebesar 4,39%, yang didukung kenaikanproduktivitas 1%.

PUSTAKA

1. Adiyoga,W. 2009. Analisis Trend hasil Per satuan luas Tanaman Sayuran Tahun 1969-2006 diIndonesia. Jurnal hortikultura 19(4) 2009: Jakarta. Hal 484-499.

2. Agustian A, A.Zulham, Syahyuti, H. Tarigan, A. Supriatna, Y. Supriyatna dan T. Nurasa. 2005.Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya Terhadap Kinerja UsahaKomoditas Sayuran dan Buah. Laporan Akhir penelitian Proyek/Bagian Proyek PengkajianTeknologi Pertanian Partisipatif. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian.Bogor.

3. Anugrah, I.S. 2009. Mendudukkan Komoditas Mangga Sebagai Unggulan Daerah Dalam SuatuKebijakan Sistem Agribisnis : Upaya Menyatukan Dukungan Kelembagaan Bagi EksistensiPetani. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7 No. 2 Juni 2009. Hal 189-211.

4. Iswariyadi A. Supriati, V.T. Manurung, M. Rahmat, A. Djauhari. 1993. Penelitian AgribisnisBuku V. Mangga. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor

5. Calderini, D.F. and G.A. Slafer. 1998. Changes in Yield and Yield Stability in wheat During 20th

Century. Field Crops re. 57(3):335-347

6. Duvick, D.N. and K.G. Cassman.1999. post Green revolution Trends inYield potential ofTemperate Maize in North-Central United States. Crop. Sci. 39 ; 1622-1630

7. Evans, L.T.1997. Adapting and improving Crops: The Endless Task. Philosophycal Transactionsof the Royal Society london. Biol Sci. 352(1536):901-906

8. Hafner, S. 2003. Trends in Maize, rice and Wheat Yieds for 188 Nations Over the Past 40 Years;A prevalence of Linier Growth. Agric. Ecosys and Environ, 97(1)275-283.A Bayesian Approach.101st Seminar of the European Association of Agricultural economics, Berlin. Germany 18 p

9. Hamblin,A. And G.Kyneur. 1993. Trends in Wheat Yield and Soil Fertility in Australia.mJ.Royal soc. Western Aust.71:77-81

10. Kusumo, S. Ismiyati, H. Sunaryono, R. Riati. 1989. Produksi Mangga di Indonesia. Pusatpenelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta.

11. Krause, J. 2007. Agricultural Yield Expectations Under Climate Change – A Bayesian Approach.101st Seminar of the European Association of Agricultural Economics, Berlin, germany. 18 p.

12. Luttrel,C.B. and R.A. Gilbert.1976. Crops Yields. Random, Cyclical,or Bunchy. Amer.J. agric.Econ.58(3):521-531

13. Saptana, E. H. Lestari, K.S. Indraningsih, Ashari, S Friyanto Sunarsih, V. Darwis. 2005.Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Usaha yang Berdaya Saing di Kawasan Sentra

Page 370: Prosiding BUKU 1

Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Buah-Buahan di IndonesiaSetyawati, T

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

358│

358│

Produksi Hortikultura. Laporan Akhir penelitian Proyek/Bagian Proyek Pengkajian TeknologiPertanian Partisipatif. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian. Bogor.

14. Webster,J.P.G. and N.T. Williams.1988. Change in Cereal production and Yield Variability onfarms in South East england. J.Agric. Econ. 39(3):324-336.

Page 371: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,Papua

Wamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│359

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit VarietasUnggul Baru Kentang di Jayawijaya, Papua

Wamaer, DBPTP Papua, Jl. Yahim, Sentani, Jayapura

email: [email protected]

ABSTRAK. Di Papua, perbenihan kentang merupakan masalah krusial dalam pengembangan kentang. Untuk ituperlu pemahaman mendalam mengenai budaya masyarakat Papua dan lingkungan obyektifnya, jika inginmerancang kelembagaan yang berfungsi dalam pengembangan suatu komoditas unggulan. Dengan demikiankajian ini bertujuan untuk menghasilkan model kelembagaan perbenihan VUB kentang untuk percepatanpengembangan usaha agribisnis dan agroindustri kentang di wilayah-wilayah sentra produksi kentang di ProvinsiPapua. Kajian ini menggunakan pendekatan kelembagaan masyarakat lokal Papua, untuk mengintroduksi 3varietas unggul baru kentang (Cipanas, Mergahayu dan Merbabu) dalam klas benih G0 dari Balitsa Lembanguntuk dikembangkan di Wamena. Hasil kajian menunjukkan bahwa petani penangkar (suku Dani) yang sudahcukup berpengalaman dalam membudidayakan tanaman kentang, sangat tertarik untuk terus mengembangkan 3VUB yang diintroduksi. Dari hasil penangkaran G0, terdapat perbedaan produksi G1 dari ketiga varietastersebut, dimana Cipanas dari 200 umbi menghasilkan 941 umbi, Merbabu 17 dari 200 umbi hanyamenghasilkan 254 umbi, sedangkan Mergahayu dari hanya 100 umbi menghasilkan 536 umbi. Secara ekonomipenangkaran terhadap 3 VUB kentang ini masih menguntungkan untuk dikembangkan, karena analisis R/Cmenunjukkan Cipanas (5,37), Mergahayu (3,03) dan Merbabu 17 (1,40) berada skala pengembangan ekonomiyang layak. Merbabu 17, produksinya rendah, karena bibit kekeringan saat ditanam akibat faktor pengangkutandari Lembang ke Wamena. Petani penangkar telah menyiapkan tempat penyimpanan benih kentang,kelembagaan penangkaran yang dibangun melalui pengkajian, diharapkan dapat didukung dan dikembangkanoleh Dinas Pertanian.

Katakunci: Kelembagaan perbenihan, VUB kentang, suku Dani

ABSTRACT. Wamaer, D 2013. Institutional Assesment to Support Improvement of New Variety ofPotatoes Seed Production in Jayawijaya, Papua. In Papua, seed potatoes are the crucial issues in thedevelopment of the potato. For that, we need to understand the Papuan and their environment, especially toestablish agricultural institutions on order to develop commodities. This study aims to produce the model ofcertified seed institutions in order to develop agribusiness of potatoes in Papua Province. The institutionalapproach was used in local communities to introduce three new varieties of G0 seed class of potatoes (Cipanas,Margahayu, and Potato). This study showed that farmers from Dani Tribes are experienced in cultivatingpotatoes. They are tend to continue cultivating the three certified seed. The breeding of G0 and G1 aredifference from common cultivation, whereas 200 bulbs of Cipanas produce 941 tubers, 200 bulbs of Merbabu17 produce 254 tubers and 100 bulbs of Margahayu produced of 536 tubers. Farmers earned very high profitfrom potato cultivation. The revenue and cost ratios of Cipanas is 5,37, Margahayu is 3,03, and Merbabu 17 is1,4.

Pendekatan kelembagaan merupakan upaya strategis yang berpeluang memacu pengembanganagribisnis komoditas unggulan daerah dan nasional. Oleh karena itu menurut Sokoy (2006) perlupemahaman mendalam mengenai budaya masyarakat Papua dan lingkungan obyektifnya, jika inginmerancang suatu model kelembagaan baru di Papua. Hal ini dikatakan strategis karena berkaitan eratdengan berbagai kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat khususnyadinamika kelembagaan ekonomi tradisional yang sangat berpengaruh nyata dalam proses evolusisosial masyarakat (Suradisastra, 1997). Pendekatan ini dapat pula digunakan untuk mengembangkankelembagaan perbenihan masyarakat lokal di Papua, terkait dengan pengembangan perbenihantanaman kentang.

Di satu pihak terdapat potensi dan variasi sumberdaya alam yang melimpah dengan berbagaikomoditas pertanian unggulan daerah Papua yang dapat dikembangkan untuk merevitalisasipembangunan pertanian mendukung perekonomian daerah, tetapi dengan tingkat teknologi pertanianyang relatif kurang tersedia, sehingga ketepatan strategis pembangunan berwawasan agribisnis masih

Page 372: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,PapuaWamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

360│

360│

kurang optimal. Revitalisasi pertanian, menurut Las dan Mulyani (2006) bertujuan meningkatkanketahanan pangan, mensejahterakan petani dan meningkatkan devisa tanpa mengabaikan kelestarianlingkungan. Hal itu dilakukan untuk menjawab tantangan utama pembangunan pertanian, seperti terusmeningkatnya kebutuhan produksi pangan, sempitnya penggunaan lahan pertanian, tingginya lajukonversi lahan, besarnya gap antara produktivitas pertanaman komoditas pertanian denganpotensinya, serta lemahnya kelembagaan pertanian (perkreditan, lembaga input, pemasaran danpenyuluhan), sehingga belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agribisnisdan agroindustri pedesaan. Oleh karena itu boleh jadi pembenahannya dapat dilakukan melaluianalisis pemodelan kelembagaan untuk penguatan kelembagaan.

Analisis kelembagaan pada dasarnya adalah suatu proses mengkaji bagaimana tatanankelembagaan mempengaruhi tingkah laku pemanfaatan sumberdaya dan semangat para penggunasumberdaya untuk berkoordinasi, bekerjasama dan berkontribusi dalam perumusan, implementasi danevaluasi terhadap pemanfaatan sumberdaya (Syahyuti, 2003; Oakerson, 1992 dalam Lewaherilla,2009; Pakpahan, 1989), yang secara khusus terkait dengan kelembagaan perbenihan.

Di sini Komoditas unggulan pertanian Papua tercatat sebanyak 40 komoditas diantaranyaterdapat 37 komoditas nasional termasuk komoditas kentang yang berpeluang untuk dikembangkanberbasis agribisnis dan agroindustri yang memerlukan pendekatan dan transformasi kelembagaan(Suradisastra, 1997; Sudaryanto dan Pranadji, 2006), agar terjadi keberlanjutan dan kemerataan.Kelembagaan perbenihan kentang dengan rakitan teknologi mampu meningkatkan produksi kentang diLumajang, Jawa Timur (Prahardini, et al., 2009).

Varietas unggal baru (VUB) kentang yang dikembangkan menurut Soplanit (2009) antara lainCIP-393371,6; CIP-392657,8; CIP-389746,2; Amudran; Manohara N5; Merbabu 17 (4 klon asalBALITSA Lembang) dan AD 19 (DEA) yang dihasilkan Laboratorium Biotek Institut PertanianBogor dengan kisaran produksi 9 – 27 ton/ha. Seringkali pengembangan agribisnis dan agroindustri diwilayah pedesaan Papua terkendala karena karekteristik pelaku yang khas, dan kurang dukungankelembagaan ekonomi pendukung di tingkat pedesaan, di lain pihak keberadaan kearifan lokal adatbudaya yang sudah melembaga secara turun temurun, karena belum terlihat perannya dalammendorong penguatan kelembagaan, maka sering dianggap kurang penting atau dianggapmenghambat kemajuan pengembangan pertanian pedesaan. Padahal ada kemungkinan denganmemahami kelembagaan lokal tersebut dapat dijadikan pintu masuk bagi pengembangan suatukelembagaan baru (Sokoy, 2006; Suradisastra, 2006), seperti misalnya kelembagaan perbenihankentang.

Sedangkan dalam pengembangan kentang, perbenihan kentang merupakan masalah krusial diWamena. Wamaer (2009) menyatakan bahwa bibit merupakan salah satu faktor penghambatpengembangan kentang di wilayah ini. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi kentang yang saatini sedang digalakkan pemerintah daerah setempat akan sangat ditentukan oleh benih yang akandigunakan. Selain itu belum semua varietas yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian dikenal olehpetani, padahal varietas-varietas tersebut mempunyai potensi, baik produksi, rasa dan ketahananterhadap hama dan penyakit serta berumur pendek. Masih banyak petani belum menggunakan benihunggul berlabel disebabkan antara lain ketersediaan benih di tingkat lapangan masih terbatas. Dan jugamasih banyak permasalahan di tingkat penangkar, diantaranya, sulit mendapatkan benih berlabel ungu,calon benih tidak lolos seleksi atau pemasaran benih yang tidak jelas dan masalah modal investasi,sehingga keberlanjutan penangkaran sulit dilanjutkan. Hal ini tentu memerlukan pemecahan melaluiupaya mendorong terciptanya investasi modal bagi pengembangan sistem perbenihan kentang.

Dinas TPH Papua (2008) mengungkapkan beberapa masalah perbenihan kentang di tingkatlapangan antara lain: harga jual bibit di tingkat petani penangkar sangat rendah, selain itu petanipenangkar sulit mendapatkan benih sumber, kekurangan modal, dan sebagian besar petani penangkartidak mempunyai peralatan memadai untuk mendukung perbanyakan benih/bibit.

Pengkajian ini bertujuan untuk menghasilkan model dan kelembagaan perbenihan VUBkentang untuk percepatan pengembangan usaha agribisnis dan agroindustri kentang di wilayah-wilayah sentra produksi kentang di Provinsi Papua.

Page 373: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,Papua

Wamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│361

BAHAN DAN METODE

Introduksi Varietas Unggul Baru KentangUntuk pengembangan kelembagaan perbenihan bibit unggul kentang diintroduksi 3 VUB dari

Balitsa (Balai Penelitian Sayur) Lembang, yaitu Cipanas, Merbabu 17, dan Mergahayu.

Tabel 1. Varietas, jumlah bibit, klas benih dan jenis kentang asal Balitsa Lembang

Sumber: Data Primer

Ketiga varietas unggul baru tersebut di atas, karena jumlahnya yang terbatas, maka ditanamdalam areal yang hanya seluas 26 m x 20 m, atau 8 m x 20 m untuk tiap varietas, jarak tanam yangdigunakan adalah 70 cm x 20 cm.

Waktu dan Lokasi PengkajianPengkajian dilaksanakan selama 6 bulan (Mei – Oktober 2011) dilaksanakan dalam 1 musim

tanam. Lokasi pengkajian ditentukan secara sengaja pada wilayah sentra produksi kentang di daerahPegunungan Tengah Provinsi Papua. Pemilihan dilakukan berdasarkan daerah yang telah ditetapkansebagai lokasi penangkaran kentang oleh Dinas Pertanian Provinsi maupun Kabupaten Jayawijaya.Karena BBI (Balai Benih Induk) Hortikultura Provinsi Papua berada di Kabupaten Biak Numfor, yangberada daerah pesisir.

Teknik Pemilihan Petani KoperatorPemilihan petani secara sengaja terhadap petani kentang yang pada umumnya menjadi

penangkar bibit kentang, serta petani kentang lainnya. Untuk tiap lokasi dipilih minimal 30 petanisebagai responden dan 3 orang penangkar yang masing-masing mengusahakan kurang lebih 1 ha lahanpenangkaran bibit kentang serta beberapa orang sebagai informan kunci yang berasal dari tokohmasyarakat dan petugas pemerintah.

Data dan Informasi yang diperlukana. Data /Informasi Primer:

- Kuantitatif : luas lahan untuk penangkaran, produksi benih kentang, jenis kentang yangdigunakan, input yang digunakan, jumlah produksi benih dijual dan dikonsumsi, hargabenih, harga kentang, dan lain-lain.

- Kualitatif : tanggapan petani penangkar dan petani di sekitarnya terhadap muatan inovasiteknologi kentang yang selama ini disuluhkan, metode penyuluhan yang digunakan, danlain-lain.

b. Data /Informasi Sekunder:- Kuantitatif produksi bibit kentang dari penerapan teknologi konvesional penangkaran bibit

kentang, input terutama bibit kentang dengan teknologi ikutannya.- Informasi kebijakan, strategi dan program pengembangan kentang.

Metode Analisis DataUntuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelembagaan perbenihan VUB kentang

digunakan metode analisis deskriptif. Faktor-faktor yang berperan dalam kelembagaan perbenihanmeliputi: luas lahan untuk penangkaran, produksi bibit kentang, jenis kentang yang dikembangkan,input yang digunakan, jumlah produksi dijual, jumlah produksi dikonsumsi, harga bibit, harga hasilkentang dan lain-lain.

No. Varietas Jumlah bibit (knol) Klas Benih Jenis kentang

1. Cipanas 200 G0 Sayuran2. Merbabu 17 200 G0 Sayuran3. Mergahayu 100 G0 Kentang Goreng dan

Kripik

Page 374: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,PapuaWamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

362│

362│

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Produksi 3 Varietas Unggul Baru Kentang Asal Lembang

Dari jumlah benih yang didatangkan dari Balitsa Lembang (Tabel 1), hasil produksi setelahdiperbanyak penangkar dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil yang ditunjukkan Tabel 2, dinilai dalamsatuan umbi yang menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan produksi umbi dari ketiga VUBkentang tersebut, jika diasumsikan bahwa satu knol itu sama dengan satu umbi. Dengan demikianterjadi peningkatan hasil untuk ketiga VUB kentang tersebut, Cipanas 200 umbi meningkat menjadi941 umbi, Merbabu 200 umbi menjadi 254 umbi, dan Mergayu 100 umbi menjadi 536 umbi. Terlihatbahwa dari ketiga VUB tersebut Merbabu 17 menunjukkan peningkatan yang kurang tinggi dibandingCipanas dan Mergahayu, hal ini disebabkan karena umbi Merbabu 17 yang ditanam banyak yang matikarena kekeringan setelah ditanam akibat terlambat ditanam setelah pengiriman dari Lembang.

Tabel 2. Keragaan hasil 3 VUB asal Balitsa Lembang Tahun 2011 di Wamena

No. Uraian Cipanas Merbabu Mergahayu

1 Jumlah umbi bedeng 1 172 42 85

2 Jumlah umbi bedeng 2 240 42 122

3 Jumlah umbi bedeng 3 244 86 150

4 Jumlah umbi bedeng 4 166 55 97

5 Jumlah umbi bedeng 5 119 29 82

Total umbi 941 254 536

Berat umbi (kg)/Varietas 43.1 8.7 6.5

1 Berat umbi sampel 1 (gr) 500 (6) 450 (7) 250 (7)

2 Berat umbi sampel 2 (gr) 1000 (11) 360 (8) 200 (14)

3 Berat umbi sampel 3 (gr) 650 (9) 450 (4) 200 (13)

4 Berat umbi sampel 4 (gr) 700 (9) 350 (6) 150 (8)

5 Berat umbi sampel 5 (gr) 800 (13) 450 (9) 150 (7)

Jumlah berat umbi sampel (gr) 3650 (48) 2060 (34) 950 (49)

Rata -rata berat umbi sampel (gr) 730 (9.6) 412 (6.8) 190 (9.8)Angka dalam kurung menunjukkan jumlah umbi kentang

Analisis Ekonomi Perbenihan KentangUntuk mengetahui tingkat keekonomian dari usaha penangkaran benih yang dilaksanakan

petani tersebut di atas, maka terasa perlu diuraikan analisis ekonominya (Tabel 3). Secara ekonomidalam pengelolaan perbenihan, hasil G1 dari GO 3 VUB kentang asal Lembang tersebut, CIPANASmemiliki nilai keekonomian lebih tinggi dibanding Merbabu 17 dan Mergahayu, karena menunjukkannilai R/C lebih tinggi.

Page 375: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,Papua

Wamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│363

Tabel 3. Analisis Ekonomi Perbenihan VUB Kentang Asal Balitsa di Wamena Tahun 2011

No Uraian Jumlah Nilai

1. CIPANASa. Produksi (knol) 3.650b. Nilai produksi (Rp) 36.500.000c. Biaya (Rp)

- Saprodi dan tenaga kerja (Rp/ha) 6.800.000c. R/C 5,37

2 MERBABU 17a. Produksi (knol) 2.060b. Nilai produksi (Rp) 20.600.000c. Biaya (Rp)

- Saprodi dan tenaga kerja (Rp/ha) 6.800.000d. R/C 3,03

3 MERGAHAYUa. Produksi (knol) 950b. Nilai produksi (Rp) 9.500.000c. Biaya (Rp)

- Saprodi dan tenaga kerja (Rp/ha) 6.800.000d. R/C 1,40

Keterangan : Harga benih klas G1, Rp 10,000/knol, sedangkan harga benih di Balitsa Klas G0 Rp 25.000/knol

Model Perbenihan KentangModel yang saat ini sedang dibangun dapat digambarkan seperti bagan 1.

Gambar 1: Bagan Alir VUB dari Sumber Teknologi ke Stakeholders dan Beneficier

Dari sisi pembinaan kelembagaan perbenihan kentang, maka model yang telah dibangundalam kegiatan ini dapat menjadi pilihan dalam pengelolaan perbenihan kentang di KabupatenJayawijaya.

Kelembagaan Perbenihan KentangUntuk pengembangan VUB kentang berdasarkan model yang ingin dibangun di atas, maka

kelambagaan penangkar perlu diperkuat dengan model pembinaan kelembagaan seperti Bagan 2. Halini dapat dilakukan melalui pelatihan (teknis budidaya dan agrbisnis), studi banding, magang dan lain-lain.

BalitsaLembang

Balai Benih/DinasPertanian(Prov./Jayawijaya)

Penangkar

BPTP Papua

Petani/Keltan/Gapoktan

Page 376: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,PapuaWamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

364│

364│

Gambar 2. Bagan Alir Pembinaan dari BPTP Papua dan Kepada Penangkar/Petani/Keltan/Gapoktan Strategi Pengembangan Perbenihan VUB Kentang

Dari kajian ini diperlukan strategi pengembangan bibit kentang di Wamena sebagai sentrapengembangan kentang di Papua, bibit kentang dapat dipasok langsung dari Balitsa Lembang, JawaBarat. Hal ini dapat memungkinkan dibangunnya suatu model dan kelembagaan perbenihan varietasunggul baru kentang, termasuk juga pemetaan sentra pengembangan perbenihan kentang, yang dapatmendukung peningkatan produksi kentang di Wamena yang dalam pengembangannya dapat diperluasdi Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Dengan telah terjalinnya hubungan dengan Balitsa,pengembangan VUB kentang dapat terjamin peningkatan dan keberlanjutan produksi kentang.

KESIMPULAN

1. Tiga varietas unggul baru kentang (Cipanas, Merbabu 17, dan Mergahayu) dalam klas G0masih dikembangkan satu petani penangkar dalam bentuk benih klas G1 dan G2. Secaraekonomi benih kentang yang dikembangkan, jika dijual dengan harga yang cukupkompetitif (Rp 10.000/knol), maka akan cukup menguntungkan bagi penangkar denganR/C untuk masing-masing varietas unggul, Cipanas (5,37), Mergahayu (3,03) danMerbabu 17 (1,40).

2. Model dan kelembagaan benih (penangkar benih) yang dibangun akan memiliki sumberbenih dari Balitsa, sedangkan dalam hal pembinaan akan dilakukan BPTP Papua danBalai Benih (Distan Prov. Papua dan Kab. Jayawijaya).

SARAN

Perlu adanya upaya pembinaan yang secara terus menerus dan berkesinambungan dariinstansi teknis baik lembaga penelitian maupun dinas instansi terkait, agar ketersediaan benihkentang unggul yang berkualitas, dapat tersedia secara kontinu di tingkat petani.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada PEMDA Papuamelalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua yang telah membiayaipenelitian ini melalui Dana Otonomi Khusus Papua. Semoga hasil penelitian ini dapat ikutmendorong percepatan pemanfaatan inovasi teknologi pertanian untuk kesejahteraan petanikentang di Provinsi Papua.

BPTP/Balai Benih

Penangkar 1 Penangkar 2 Penangkar 3

Kelompok Tani/Gapoktan

Page 377: Prosiding BUKU 1

Kajian Kelembagaan Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Bibit Varietas Unggul Baru Kentang di Jayawijaya,Papua

Wamaer, D

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│365

PUSTAKA

1. Dinas TPH Papua. 2008. Grand Design Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua Tahun2008 – 2012. Kerjasama Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua dengan BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Papua.

2. Las, Irsal dan Anny Mulyani. 2006. Potensi Sumber Daya Lahan Untuk PengembanganKomoditas Pertanian di Provinsi Papua Mendukung Revitalisasi Pertanian. Dalam J. Limbongan,M. Syukur, A. Malik, A. W. Rauf, dan M. Nggobe. Prosiding Seminar Nasional. Kerjasama BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Papua dan Pemerintah Provinsi Papua, Jayapura, 24 – 25 Juli2006.

3. Lewaherilla, N. 2009. Kajian Pelaku dan Kelembagaan Agribisnis Komoditas Unggulan di Papua.Proposal Penelitian Untuk TA. 2010. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.

4. Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif EkonomiInstitusi. Prosiding Patanas: Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan TeknologiPertanian. Pusat Penelitian Agroekonomi, Bogor.

5. Prahardini, P.E.R., A.G. Pratomo, Harwanto dan Wahyunindyawati. 2009. Pengkajian PerbenihanKentang di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008,Lembang, 20 – 21 Agustus 2008. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan PengembanganPertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.

6. Sokoy, F. 2006. Mempertimbangkan Unsur Kebudayaan Dalam Proses Alih Teknologi Pertanian.Dalam J. Limbongan, M. Syukur, A. Malik, A. W. Rauf, dan M. Nggobe. Prosiding SeminarNasional. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua dan Pemerintah Provinsi Papua,Jayapura, 24 – 25 Juli 2006.

7. Soplanit, A. 2009. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan Kentang (Solanumtuberosum L) di Provinsi Papua. Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang, 20 –21 Agustus 2008. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, PusatPenelitian dan Pengembangan Hortikultura.

8. Sudaryanto, Tahlim dan Tri Pranadji. 2006. Transformasi Kelembagaan Untuk Percepatan AdopsiInovasi Teknologi Pertanian Pada Masyarakat Papua. Dalam J. Limbongan, M. Syukur, A. Malik,A. W. Rauf, dan M. Nggobe. Prosiding Seminar Nasional. Kerjasama Balai Pengkajian TeknologiPertanian Papua dan Pemerintah Provinsi Papua, Jayapura, 24 – 25 Juli 2006.

9. Suradisastra, K. 1997. Peran Pemerintah dalam Pemacuan Industrialisasi Pertanian. Dalam T.Sudaryanto, T. Pranadji, A. H. Taryoto, dan I W. Rusastra. Prosiding Industrialisasi, RekayasaSosial, dan Peranan Pemerintah. Buku II. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

10. ____________. 2006. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian AgroEkonomi, Volume 26, No. 2, Desember 2006: 82 – 91.

11. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalamPenelitian Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Bogor.

12. Wamaer, D. 2009. Analisis Faktor-Faktor Penghambat Pengembangan Kentang di Wamena,Jayawijaya, Papua. Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang, 20 – 21 Agustus2008. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian danPengembangan Hortikultura.

Page 378: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

366│

366│

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.)In East Java, Indonesia

Arsanti, I. W.

Pusat Penelitian dan Pengembangan HortikulturaJl. Ragunan no 29A Jakarta 12540, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

Abstrak. Komoditas hortikultura memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satukomoditas hortikultura utama adalah bawang merah (Allium ascalonicum L.), di mana permintaan terhadapkomoditas tersebut cukup tinggi sementara produksi dalam negeri mengalami penurunan yang cukup drastiskarena membanjirnya impor. Paper ini bertujuan untuk melakukan evaluasi saluran distribusi komoditas bawangmerah sebagai bagian dari manajemen rantai pasok. Penelitian dilakukan di salah satu sentra produksi bawangmerah yaitu Nganjuk, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat saluran distribusiutama, di mana panjang pendeknya saluran distribusi akan menentukan harga, tingkat keuntungan, biaya danmargin pemasaran. Pasar bawang merah merupakan pasar oligopsoni. Sebagian besar petani menjual bawangmerah kepada pedagang pengumpul (85%). Di samping itu petani juga menjual produknya kepada pedagangbesar (5%) dan pengecer (10%). 75% produksi bawang merah selanjutnya di jual oleh pedagang pengumpul kepedagang besar di kota lain, 25% lainnya di jual di Pasar Induk Sukomoro, Nganjuk. Selanjutnya pedagangbesar mendistribusikan produknya ke pasar tradisional, supermarket maupun industri bawang goreng.

Kata kunci: bawang merah, distribusi, penawaran

Abstract. Idha Widi Arsanti. Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, Indonesia. InIndonesia, horticultural commodities are of promising prospect for economic development. One of the importanthorticultural commodities is shallots (Allium ascalonicum L.). There is a high demand or shallot in Indonesia and14% of the whole consumption was imported in 2010. On the other hand, possibilities exist to export thiscommodity. In 2010, 7% of the shallot production in Indonesia was exported. However, shallots in Indonesia arestressed by serial issues with low production, fluctuating prices in domestic market, underdeveloped marketingsystem, various export barriers and increasing amount of imported shallots. This study was an attempt in part, toevaluate the distribution channels of shallots as part of the SCM. The present study was conducted in mainshallot producing centre in Nganjuk. The results suggested that there are four main distribution channels ofshallots. The form of distribution channels influences the price, the rate of profitability, costs and marketingmargin. Market of shallots is not perfectly integrated and is considered to be oligopsony. Farmers sell shallots tolocal collectors (85%), traditional wholesaler (5%), and the local retail market (10%). 75% of the shallotproduction is sent by collectors to other cities. The other 25% of the shallots bought by collectors is marketed towholesalers at the central market in Nganjuk. From the wholesalers, shallots are sold to supermarketwholesalers, directly to supermarkets, food processors and traditional markets.

Keywords: shallots, distribution, supply

Indonesia is agriculture based country and agriculture has important roles as labour’semployment, providing wider job opportunities, and maintaining abundance of biodiversity andhuman resources for agricultural development. Horticultural commodities are of promising prospectfor economic development because of crop’s benefit in term of demand, varieties, value added andproduct diversity. One of the important horticultural commodities is shallot (Allium ascalonicum L.)There is a high demand for shallot in Indonesia but 14% of the whole consumption was imported in2010. On the other hand possibilities exist for the export of this commodity, as in 2010 7% of theproduction in Indonesia was exported (BPS, 2010). However, shallots in Indonesia are stressed byserial issues with low production, fluctuating prices in domestic market, underdeveloped marketingsystem, various export barriers and increase of imported shallots (Arsanti, 2008). There are someperspective researches in order to improve the productivity of shallots through growing of True Seed

Page 379: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│367

Shallots (Everaarts and Hilman, 2011). To overcome some of these problems generally, thegovernment of Indonesia has been conducting the Horticulture Agribusiness Development Program,especially in Supply Chain Management (SCM).

This study was an attempt in part, to evaluate the distribution channels of shallots as part ofthe Supply Chain Management. Moreover, this study provides the policy implication in marketingsystem as one of the way to solve the problems of shallots in Indonesia.

MATERIALS AND METHODS

For a more realistic assessment, this study used primary and secondary data evaluated byquantitative and descriptive analyses. The present study was conducted in main shallot producingcentre in Nganjuk, East Java, by distributing questionnaires to the farmers and sellers in 2011.

The study site were purposively selected based on: (1) the high potentialities in natural andhuman resources, (2) accessibility to infrastructures and facilities for vegetable production andmarketing, (3) possibilities to grow as centres of vegetable business. In each vegetable growing area,the two villages were further selected. These two villages are located in the same watershed with thesame physical agro-ecological conditions. In each village, 25 farmer households were representinglow and large land ownerships. Moreover, 25 marketing enterprises were interviewed.

In addition, secondary data for national, provincial, district and sub-district levels werecollected from concerned Central, Provincial and Indonesian Statistics Agency (BPS). As theanalytical tools descriptive statistic, cross tabulation analyses, graphs, pictures and diagraminterpretations were employed in this study. The data was analysed using tabulation and descriptiveanalysis.

RESULTS AND DISCUSSION

Region and Respondents Description

Nganjuk Regency is located in the western part of East Java Province. This regency isconsidered as the agricultural areas, which has highest monthly rainfall in January (398 mm) and thelowest one in September (27 mm). Nganjuk is one of the production centre of vegetables, especiallyshallot. With a land area of 166.177 ha, 38.15% or 63.375 ha is used as arable and permanentcropland (MoA, 2010). About 35.1% or 22.328 ha of cropland are shallot cultivation areas (MoA,2010). As a priority commodity, shallot has been cultivated in 16 subdistricts in Nganjuk, namelySawahan, Ngetos, Berbek, Loceret, Pace, Tanjunganom, Kertosono, Gondang, Baron, Sukomoro,Nganjuk, Bagor, Wilangan, Rejoso, Ngluyu, and Lengkong.

Shallot production can be further differentiated according to wet-season and dry-seasoncropping, distance from market, and extent of commercialization (Darmawan and Pasandaran, 2000).Shallot production is highest in the dry-season in March to April (harvested before the wet season ofJuly-August), and lowest in the hottest part of the rainy season, when prices are consequently higher(Darmawan and Pasandaran, 2000).

The majority of Nganjuk agricultural households (MOA, 2010) farms have less 2 ha. In2010, 80% of farms are only about 0.35 ha (Sayaka, 2009). The number of farms < 2 ha, and sectorpercentage have increased since then. Farmland is being lost to urban encroachment, and ownershipand inheritance issues can complicate access, but renting is relatively cheap.

Respondents are between 35-65 years old and educated for 6 years (basic school). They arecategorized as relatively not progressive respondents. Beside shallots, most of the farmers are alsocultivating paddy rice in monoculture cropping patterns.

Production, Productivity and Harvested Area of Shallots in Nganjuk

Aside from peaks in 2006, production of shallots in Nganjuk grew steadily between 2000and 2006. However, after 2007 the shallot production decreases very fast (Figure 1). The growthaveraging of shallots in Nganjuk is about 14% per year (Table 1). It was followed by the harvestedareas which had positive growth averaging 17% per year. From 2000 to 2009, the area harvested inEast Java fluctuated between 20,922 and 26,358 ha, and production fluctuated between 181,490 and

Page 380: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

368│

368│

233,098 ton with slightly positive mean annual growth rates for both (Figure 1) (BPS, 2010). Thenegative growth of productivity is caused by the decrease of harvested areas of shallots. In 2013,vegetable production was estimated at 400,000 ton (BPS, 2010). The trend of shallot harvested areawas relatively the same as its production (Figure 2).

Supply Chain of Shallots in Nganjuk – an Overview

The results indicated that there are four main distribution channels in Nganjuk, East Java.The form of distribution channels influences the price, the rate of profitability, costs and marketingmargin. Market of shallots is not perfectly integrated and is considered to be oligopsoni. Challots aremarked by many farmers who have a relatively weak bargaining position. Farmers are tending to bethe price taker.

Farmers sell shallots to local collectors (85%), traditional wholesaler (5%), and the localretail market (10%) (Figure 3). 75% of the shallot production is sent by collectors to the other cities.The other 25% of the shallots was bought by collector and is marketed to wholesalers at the centralmarket in Nganjuk. From the wholesalers, shallot is sold to supermarket wholesalers, directly tosupermarkets, food processors, dry shallot wholesalers and traditional markets.

Half the shallot production is sent by collectors to other cities. The collectors from region ofNganjuk send shallots to the cities in East Java and Central Java. While collectors from the region ofSurabaya send often the shallots to East Java. The other 50% of the shallots bought by collector ismarketed to wholesalers at the central market in Nganjuk.

From the wholesaler in central market, shallots are sold to supermarket wholesaler (2.5%),directly to supermarket (5%), food processor (10%), to dry shallot wholesaler (20%), inter-city traders(25%) and traditional market (38%). The wholesaler from Nganjuk trades to most of eastern Java,including the cities of Surabaya, Malang, and Madiun.

The total amount of shallots marketed through central market is about 2-3 ton per day.Processor purchased increased volumes form the wholesale market when prices are low regularlybuying from wholesalers. Supermarkets, whether in Nganjuk or any other cities, procure shallotseither directly from the wholesaler (5%) in central market or from specialized supermarket wholesaler(2.5%). The traditional wholesalers supply about 50-150 kg per day of fresh small shallot tosupermarket and 100-250 kg per day of large shallots. Traditional wholesaler also suppliessupermarket wholesaler with premium grade shallot (2.5%), with about 50-100 kg per day used by thesupermarkets.

Value Chain Analysis of Shallots

Some value chain maps of shallots could be seen in Figure 4. They are based on the mostcommon channels that farmers use to sell their harvests and are a basis for comparison of traditionaland modern chains. Out of four chains, one chain is going to a traditional market, two chains aregoing to supermarket and one chain is going to a food industry. The following subsection is analysis ofvalue added distribution and cost for each different chain by type of shallots (Figure 5).

Chain 1 – Shallots to Traditional Retailers

The farmer sells shallots to a local collector at the field without grading. The collector thenmakes an offer to several wholesalers at central market. After price agreement, the collector sends theshallots to the wholesale market. The whole chain creates a value added of 0.436 USD per kg ofshallots and the total cost spent to create the value added is 0.73 USD per kg. From the total valueadded, the farmer receives the highest share, 38% and spends the highest share on the cost side (84%).Shallot farmers spend most of that cost on labour and other inputs to create the product. However, onthe marketing channel to a traditional market, there is little cost spent to create a value added. Hencethe value added created is small.

Page 381: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│369

Chain 2 - Shallots to Supermarket

The farmer sells ungraded shallots to a local collector. The collectors then grades and sell thehighest quality shallots to a wholesaler. The wholesaler supplies only the highest quality to thesupermarket. This second chain for shallots creates value added of 0.49 USD per kg for a total costspends to create the value added at 0.83 USD per kg. From the total value added created, the farmerreceives the highest share of value added (38%). The small shallot farmer spends most of the cost onlabour (66%) and other inputs to create the product. In this chain the collector and wholesaler performvalue added activities such as sorting, grading, and packaging. As a result, the chain creates highervalue added than chain 1.

Chain 3 - Shallot to Supermarket, through Speciality Wholesaler

This chain creates value added of 0.45 USD per kg of shallots for a total cost of 0.76 USD perkg. From the total value added created, the speciality wholesaler receives the highest share of valueadded (38% of the chain cost), mostly spent on the cost of selling/delivery (68%). Specialitywholesaler of shallots requires the traditional wholesaler to perform some marketing function to createvalue added such as sorting, grading and packaging as requested by the supermarket. The farmer alsogains a high share of value added (the second highest in this chain at 37%). The total value added ofshallots in this chain is 3% higher than value added created by the channel to traditional market (chain1).

Chain 4 - Shallot to Food Processing

Most of food industry companies that process shallots in Nganjuk are small and mediumenterprises (SME). The industries procure shallots from wholesalers in Nganjuk or close by regenciesrather than direct from farmers. The industries do not require high quality shallots since shallots areusually processed with other materials and used only as source of spice, mostly for fried shallots.Hence, issues such as consistency, continuity and product quality are not a major issue for the SMEfactories that use shallots in East Java. Besides, the industry demand for shallots at present is stillconsidered small.

The chain for the food industry creates a value added of 0,44 USD per kg of shallots for a totalcost of value added of 0.79 USD per kg. From the total value added, the farmer and the food processorreceives the highest share of value added (30% and 50% respectively). The farmer has to spend 0,13USD per kg (30% of the chain cost) to create such an added value which mostly is spent on labour(67%) and other inputs to create the product. The industry, on the other hand, has spent the secondhighest share on cost (14%) of 0.11 USD per kg to produce fried shallots. Total value added of shallotsto a food industry is only 3% higher than value added created by the channel to traditional market.

CONCLUSIONS

The analysis of the four value chains shows that the highest value added chain is a channelto supermarket through supermarket wholesalers (chain 2). Consistently, farmers received the highestreturn by supplying to the supermarket (chain 2 and 3) compared to other channels. The lowest valueadded chain is a channel to traditional markets. In conclusion, value chain to supermarket gives thehighest return to farmers because it contains value creation activities, such as applying efficienttechnology in cultivation and conducting post-harvest handling. But it is also important to solve theproblem of imported shallots and fluctuating price.

The Horticulture Agribusiness Development Program has been established since 2009 inseveral shallot production centres. In this program, the government has been trying to improve qualityand productivity using ‘Good Agricultural Practices’ FAO (2008), SCM and Facilitation of IntegratedInvestigation Horticulture (FATIH). However, the SCM of shallot in Nganjuk still need continuityimprovement. There is a need to assist farmers to link to more dynamic markets such as a channel tosupermarket and food industry. Technical assistant to farmers is also needed on more efficientcultivation technologies, e.g. as described from Everaarts A.P. and Y. Hilman (2011) in order toincrease the productivity. Another important activity is to improve the post-harvest technology.

Page 382: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

370│

370│

LITERATURE CITED

1. Arsanti, I.W. 2008. Evaluation of Vegetable Farming Systems in upland areas of Indonesia.Dissertation. Humboldt University of Berlin, Berlin, Germany

2. Darmawan, D.A. and E. Pasandaran. 2000. Indonesia. In: M. Ali (ed.). Dynamics of vegetableproduction, distribution and consumption in Asia. AVRDC Publication 00-498. Shanhua, Tainan:AVRDC. pp. 139-171. http.//www.avrdc.org/pdf/ dynamics/Indonesia.pdf

3. Everaarts A.P. and Y. Hilman 2011. HORTIN-II Co Innovation Programme

4. Towards cost effective, high quality value chains, Final Report of the HORTIN-II programme(2007-2010), Lelystad, The Netherlands, Jakarta, Indonesia

5. FAO 2008. Good Agricultural Practices? http://www.fao.org/prods/ gap/index_en.htm

6. Indonesian Statictics Agency (BPS). 2010. Horticulture Statistic. Badan Pusat Statistik (BPS),Jakarta, Indonesia

7. Ministry of Agriculture (MoA). 2010. Horticulture Statistic. Dirjen PPHP KementerianPertanian, Jakarta, Indonesia

8. Sayaka, D. and Yana, S. 2009. Kemitraan Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes JawaTengah. Proceeding of National Seminar: Peningkatan Daya Saing Agribisnis berorientasiKesejahteraan Petani. Indonsian Centre for Agriculture Socio Economic and Policy Studies,Bogor, Indonesia

Tables

Table 1. Production, Harvested Area and Productivity for Shallots, East Java and Nganjuk, 2005-2009

Year Production (ton) Harvested Area (ha) Productivity (ton/ha)

East Java Nganjuk East Java Nganjuk East Java Nganjuk

2005 233,098 78,205.50 25,531 5,739 9.13 13.63

2006 232,953 100,307.00 25,798 7,453 9.03 13.46

2007 228,083 86,551.20 24,982 5,500 9.13 15.74

2008 181,517 80,346.30 20,922 6,370 8.68 12.61

2009 181,490 97,653.96 26,358 9,337 6.89 10.46

Trend 0.23% 14% 2,2% 17%Source: BPS, 2010

Page 383: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│371

Figures

Fig. 1. Trend in Shallot Production, Fig. 2. Trend in Shallot Harvested Area,Nganjuk, 2000-2009; Source: BPS, 2010 East Java, 2000-2009;Source: BPS, 2010

Fig. 3. Marketing Channel of Shallots in NganjukSource: primary data, 2011

0

50.000

100.000

150.000

200020022004200620080

10.000

20.000

30.000

2000 2002 2004 2006 2008

5%

38%

20%

10%

25%

49,9%

100%

2,5%

50%

5%

85%

10%

FarmerCollector Traditional

Wholesaler

IntercityTrader

FoodIndustry

ProcessedWholesaler

SupermarketSupermarketWholesaler

LocalRetail

Farmer

TraditionalRetailer

Page 384: Prosiding BUKU 1

Supply Chain of Shallot (Allium ascalonicum L.) In East Java, IndonesiaArsanti, I. W.

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

372│

372│

Fig. 4. Value Chain Map of Shallots in NganjukSource: primary data, 2011

Chain 1Total VS

Cost0.436

Value Added (VA) USD/kg

Chain 2Total VS

Cost0,49 Value

Added (VA) USD/kg

Chain 3Total VS

Cost0,45

Value Added (VA) USD/kg

Chain 4Total VS

Cost0,44

Value Added (VA) USD/kg

Figure 5. Cost and Value Added of Shallots Chains in NganjukSource: primary data, 2011

84%Farmer38%

6%Collector

15%

1%Wholesaler25%

9%Supermarket22%

74%Farmer38%

6%Collector

15%

10%Wholesaler31%

10%Supermarket16%

81%Farmer37%

6%Collector

16%

4%Wholesaler38%

10%Supermarket9%

76%Farmer30%

6%Collector

17%

4%Wholesaler50%

14%Industry3%

Page 385: Prosiding BUKU 1

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│373

LAMPIRAN

Page 386: Prosiding BUKU 1

Partisipan Peserta Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura NasionalLembang 5 Juli 2012

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

374│

374│

Daftar Partisipan yang Hadir dalam Seminar Nasional Pekan Inovasi TeknologiHortikultura Nasional, Lembang, 5 Juli 2012

No Nama Peserta Instansi

1 Kuntoro Boga Andri BPTP Jawa Timur2 Putu Bagus Daroini BPTP Jawa Timur3 Idha Widi Arsanti Puslitbang Hortikultura4 Yeyen Prestyaning Wanita BPTP Jogjakarta5 Meinarti Norma S BPTP Jawa Tengah6 Ade Suprihati PT. Selektani Horticultura7 Sortha Simatupang BPTP Sumatera Utara8 F. Irena Napitupulu IPB9 Besman Napitupulu BPTP Sumatera Utara10 A. Soemargono Balitbu Tropika11 Ellina Mansyah Balitbu Tropika12 Iteu M. Hidayat Balitsa13 Warsidi Pusat PVT14 P. Nainggolan BPTP Sumatera Utara15 Muh. Tahir Ditjen. Hortikultura16 Sukarjo BPTP Sulawesi Tengah17 Mutia Erti D Balitjestro18 Yunimar Balitjestro19 Otto Endarto Balitjestro20 Budi Marwoto Balithi21 Sulusi Prabawati Puslitbang Hortikultura22 Arry Supriyanto Balitjestro23 Mahargono Kobarsih BPTP Jogjakarta24 Purwaningsih BPTP Jogjakarta25 Nurjanani BPTP Sulawesi Selatan26 Suwandi Balitsa27 Saleh Mokhtar BPTP Kalimantan Tengah28 Yulianto BPTP Kalimantan Tengah29 Hasmi Bandjar BPTP Jawa Barat30 Neneng Nana Siti Jaenab SMKN 2 Subang31 Sinta Fatmawati SMKN 2 Subang32 Yenyen Restiyan SMKN 2 Subang33 Siusi Ramdhaniati BPTP Jawa Barat34 Sri Olyndriana Dewi BPTP Jawa Barat35 Bebet Nurbaeti BPTP Jawa Barat36 Ani Suryani BPTP Jawa Barat37 Ratna Sari BPTP Jawa Barat38 Fyannita Perdhana BPTP Jawa Barat39 Darmawan BPTP Jawa Barat40 Budi Winarto Balithi41 Kiki Kusyaeri Hamdani BPTP Jawa Barat42 Agung Iswadi BPTP Jogjakarta43 Juniarti P. Sahat Balitsa

Page 387: Prosiding BUKU 1

Partisipan Peserta Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura NasionalLembang 5 Juli 2012

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│375

No Nama Peserta Instansi

44 Astri W. Wulandari Balitsa45 Joko Pinilih Balitsa46 Baswarsiati BPTP Jawa Timur47 E. Heni K Balitsa48 Hadis Jayanti Balitsa49 Maretsum Ditjen PPHP50 Tutik Setyawati BPTP Jawa Timur51 Lasmini BPBHAT Pasir Banteng52 Saefudin BPBHAT Pasir Banteng53 Donald Sihombing BPTP Jawa Timur54 Agus Sudrajat PTP Nusantara VIII55 Yulimasni BPTP Sumatera Barat56 Lizia Zamzami Balitjestro57 Emi Budiyati Balitjestro58 Oka Ardiana B Balitjestro59 Zainuri Hanif Balitjestro60 Buyung Al-Fanshuri Balitjestro61 Hasim Ashari Balitjestro62 Agus Sugiatno Balitjestro63 Tri Handayani Balitsa64 Asih K K Balitsa65 Neni Gunaeni Balitsa66 Eko Srihartanto BPTP Jogjakarta67 Fajri Widiati Balitsa68 Rimta Terra Rosa Pinem Ditjen. Hortikultura69 Valentina Theresia Ditjen. Hortikultura70 Endang Kantikowati Universitas Bale Bandung71 Tien Turmuktini Universitas Winaya Mukti72 Bambang Sutanto PT. Pupuk Kujang73 Sukarman Ditjen. Hortikultura74 Subandi Ditjen. Hortikultura75 Titiek Maryati S BPTP Jawa Barat76 Sri Muatiani BPTP Jawa Barat77 Lilik Harsanti BATAN78 Ita Dwimahyani BATAN79 Sasanti Widiarsih BATAN80 Yulidar BATAN81 Cahyaniati Ditjen. Hortikultura82 Hayan Balithi83 W. Nuryani Balithi84 Evi S. Balithi85 Wijaya Murti I BATAN86 Panca Jarot Santoso Balitbu Tropika87 Rofik Sinung Basuki Balitsa88 Nikardi G. Balitsa

Page 388: Prosiding BUKU 1

Partisipan Peserta Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura NasionalLembang 5 Juli 2012

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,Lembang, 5 Juli 2012

376│

376│

No Nama Peserta Instansi

89 Ineu Sulastrini Balitsa90 Benamehuli Ginting Balithi91 V. Jaka Prasetya Balithi92 Adhitya Marendra Kiloes Puslitbang Hortikultura93 Nurmalinda Balithi94 Apri Laila Sayekti Puslitbang Hortikultura95 Djoko Mulyono Puslitbang Hortikultura96 M. Jawal Anwarudin Syah Puslitbang Hortikultura97 Zuraida Yursak BPTP Banten98 Indra Fuadi Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Riau99 Adnan BPTP NTB100 NLP Indriyani Balitbu Tropika101 Anggraeni Santi Balithi102 Jumjunidang Balitbu Tropika103 Sunyoto Balitbu Tropika104 Heni SP Rahayu BPTP Sulteng105 Alberth Soplanit BPTP Papua106 Hanudin Balithi107 Nurmalita W Balitsa108 Muflihani Yanis BPTP DKI Jakarta109 Syarifah Aminah BPTP DKI Jakarta110 Sutoyo BPTP Jawa Tengah111 Fitri Rachmawati Balithi112 Pudji K. Utami Balithi113 Taufikurahman Nasution LIPI114 Yohanes Geli Bulu BPTP NTB115 Kusmana Balitsa116 Kuswandi Balitbu Tropika117 Makful Balitbu Tropika118 Rismawita Sinaga Balitsa119 Melia Puspitasari BPTP Kalimantan Barat120 Tommy Purba BPTP Kalimantan Barat121 Catur Hermanto Balitbu Tropika122 Riska Balitbu Tropika123 Demas Wamaer BPTP Papua124 Fauzia Syarif LIPI125 Ning Wikan Utami LIPI126 Titi Juhaeti LIPI127 Peni Lestari LIPI128 Afrizal Malik BPTP Papua129 Yusdar Hilman Puslitbang Hortikultura130 AK Karjadi Balitsa131 Yosi Zendra Joni Balitbu Tropika132 Sri Hadiati Balitbu Tropika133 Nirmala F. Devy Balitjestro

Page 389: Prosiding BUKU 1

Partisipan Peserta Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura NasionalLembang 5 Juli 2012

No Nama Peserta Instansi

134 Farida Yulianti Balitjestro135 Yeni Meldia Balitbu Tropika136 Abdi Hudayya Balitsa137 Arif Anshori BPTP Jawa Tengah138 Rismarini Zuraida BPTP Kalimantan Selatan

139 Ir. Dwi Amiarsi BB Pascapanen

140 Ir. Sunarmani, MS BB Pascapanen

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Le

Page 390: Prosiding BUKU 1

Partisipan Peserta Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura NasionalLembang 5 Juli 2012

No Nama Peserta Instansi

134 Farida Yulianti Balitjestro135 Yeni Meldia Balitbu Tropika136 Abdi Hudayya Balitsa137 Arif Anshori BPTP Jawa Tengah138 Rismarini Zuraida BPTP Kalimantan Selatan

139 Ir. Dwi Amiarsi BB Pascapanen

140 Ir. Sunarmani, MS BB Pascapanen

Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikulturadalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,

Lembang, 5 Juli 2012│377

141 Muh. Afif Juradi BPTP Sulawesi Tengah