PROSES Skiripsi Bab 1 , 2, 3, Dan 4

90
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di Dunia. Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2008, DM diderita oleh 246 juta penduduk dunia, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 380 juta penduduk pada tahun 2025. Kejadian diabetes mellitus tersebut selain terjadi pada manusia juga sering terjadi pada hewan, menurut Center for Disease Control and Prevention (CDCP) t ahun 2008 di Amerika terdapat sekitar 1 dari 500 anjing dan 1 dari 200 kucing didiagnosis terjangkit diabetes mellitus. Faktor resiko diabetes melitus pada anjing dan kucing adalah usia, obesitas, sterilisasi, dan jenis kelamin. Lebih dari 50% kucing penderita diabetes berumur diatas 10 tahun , sehingga usia menjadi

description

ihih

Transcript of PROSES Skiripsi Bab 1 , 2, 3, Dan 4

47BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDiabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di Dunia. Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2008, DM diderita oleh 246 juta penduduk dunia, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 380 juta penduduk pada tahun 2025. Kejadian diabetes mellitus tersebut selain terjadi pada manusia juga sering terjadi pada hewan, menurut Center for Disease Control and Prevention (CDCP) tahun 2008 di Amerika terdapat sekitar 1 dari 500 anjing dan 1 dari 200 kucing didiagnosis terjangkit diabetes mellitus. Faktor resiko diabetes melitus pada anjing dan kucing adalah usia, obesitas, sterilisasi, dan jenis kelamin. Lebih dari 50% kucing penderita diabetes berumur diatas 10 tahun , sehingga usia menjadi faktor resiko yang paling penting (Panciera et al, 1990).

1Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dan ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin dan atau gangguan kerja insulin (Rizal, 2008). Hiperglikemia adalah kondisi dimana tingginya kadar gula dalam darah yang dapat disebabkan karena jumlah insulin yang dihasilkan sel pankreas kurang dari jumlah yang dibutuhkan (Inzucchi, 2005 dalam Irawan, 2009). Pada penderita Diabetes mellitus, hiperglikemia dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada hati, ginjal, dan pembuluh darah (Garnita, 2012). Gangguan metabolisme lipid pada diabetes menyebabkan adanya kelainan pada sel-sel hati. Kondisi diabetes mellitus menyebabkan hati untuk menggunakan sumber energi lain seperti peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid akan menghasilkan senyawa radikal bebas yang dapat merusak sel hati. Terjadi degenerasi dan nekrosa sel hati yang diamati melalui gambaran histopatologi hati tikus model diabetes mellitus tipe 1 (Nurlaili, 2010).Pada penderita diabetes melitus yang hiperglikemia kronis akan menyebabkan peningkatan aktifitas TNF-. TNF - alpha (TNF-) adalah sitokin proinflamasi yang paling poten. Sitokin diketahui memegang peranan patogenik dalam penyakit inflamasi kronik terjadi pada banyak penyakit patologis seperti kanker, penyakit jantung, dan Diabetes Mellitus. Menurut penelitian oleh Thomas (1999), TNF- secara langsung berperan pada kerusakan sel pankreas dalam studi yang dilakukan secara in vitro isolasi pulau langerhans. Peningkatan TNF- menghambat aktifitas tirosine kinase pada reseptor insulin penderita Diabetes Mellitus (Dixon, 2004). Peningkatan kadar TNF- berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah penderita Diabetes Mellitus, sehingga TNF- dapat berfungsi sebagai biomarker inflamasi dan sebagai indikator penyakit diabetes mellitus (Rajarajeswari et al, 2011).Biaya pengobatan untuk penyakit diabetes mellitus masih tergolong mahal. Di Amerika serikat diperkirakan bahwa pengeluaran kesehatan pada penderita diabetes mellitus adalah 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan penderita DM. Pengeluaran akan lebih besar pada penderita DM yang mengalami komplikasi dengan penyakit kardiovaskular. (Ariza et al., 2010). Pengobatan alternatif lain sangat diperlukan untuk penderita DM. Pengembangan penelitian tentang tanaman hipoglikemi sangat dibutuhkan untuk pengobatan alternatif DM. Menurut Ahmad, (2012) salah satu tanaman hipoglikemi yang sudah terbukti secara ilmiah menjadi obat tradisional DM adalah Ruellia tuberosa L.(Pletekan).Ruellia tuberosa L. (Pletekan) merupakan tanaman tropis yang tersebar di seluruh Asia Tengara. Dalam pengobatan herbal, Ruellia tuberosa L. telah digunakan sebagai anti diuretik, antidiabetes, antipiretik, analgesik, dan antihipertensi (Chwan et al, 2006 ; Fu-an et al, 2006). Menurut Ullah et al, (2012) ekstrak metanol dari daun pletekan memiliki aktivitas hipoglikemi (penurunan gula darah) pada kelinci yang diinjeksi alloxan monohydrate (150 mg/kg). Penurunan gula darah diperoleh dari fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan yang mengandung flavoinoid dan triterpenoid.Kandungan flavoinoid bioaktif dari Ruellia tuberosa L. adalah betulin (Chwan et al, 2006). Betulin merupakan senyawa turunan lupana, dengan struktur pentasiklik triterpenoid. Betulin secara signifikan dapat meningkatkan toleransi glukosa dan resistensi insulin (De Melo et al., 2009). Betulin memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, inhibitor enzim pencernaan, dan antihiperlipidemi. Betulin dapat berperan sebagai antioxidan dan antiinflamasi pada sel hati saat terjadi kerusakan hati (Agnieszka et al, 2011).

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai efek pemberian ekstrak daun dan batang pletekan (Ruellia tuberossa L) yang diberikan secara sonde lambung sebagai terapi diabetes melitus tipe 1 pada model tikus (Rattus novergicus) hasil induksi mLD STZ terhadap ekspresi TNF- pankreas dan tingkat keparahan dari kerusakan jaringan hati melalui gambaran histopatologinya.1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan berikut :1. Apakah pemberian ekstrak daun dan batang pletekan (Ruellia tuberossa L) sebagai terapi diabetes melitus pada model tikus (Rattus novergicus) hasil induksi mLD STZ dapat menurunkan ekspresi TNF- pada pankreas ?2. Apakah pemberian ekstrak daun dan batang pletekan (Ruellia tuberossa L) sebagai terapi diabetes melitus pada model tikus (Rattus novergicus) hasil induksi mLD STZ dapat memperbaiki jaringan hati yang diamati pada gambaran histopatologi hati ?1.3 Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini dibatasi pada :1. Hewan model diabtes mellitus yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) Percobaan (UPHP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan umur 2.5 bulan dan berat badan antara 130 150 gram sebanyak 18 ekor.2. Pembuatan keadaan diabetes mellitus pada hewan model tikus dilakukan dengan cara injeksi mLD STZ secara intraperitonial dengan dosis mLD-STZ 20 mg/kg BB per hari selama 5 hari berturut turut.3. Ekstrak Ruellia tuberossa L didapatkan dengan ekstraksi dengan cara maserasi dan pemekatan4. Terapi fraksi n-heksan ekstrak metanol sebanyak 450 mg/kg BB yang dilarutkan dengan minyak jagung selama 10 hari (10 hari berturut-turut dosis tunggal). Pemberian terapi dilakukan dengan cara diinjeksikan sesuai dengan berat badan tikus putih DM.5. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekspresi TNF- yang diukur menggunakan immunohistokimia dan kerusakan organ Hati menggunakan pewarnaan HE.1.4 Tujuan Penelitian2.1. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak daun dan batang pletekan (Ruellia tuberossa L) sebagai terapi diabetes melitus pada model tikus (Rattus novergicus) hasil induksi mLD STZ dapat menurunkan ekspresi TNF- pada pankreas.2.2. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak daun dan batang pletekan (Ruellia tuberossa L) sebagai terapi diabetes melitus pada model tikus (Rattus novergicus) hasil induksi mLD STZ dapat memperbaiki jaringan hati yang diamati pada gambaran histopatologi hati.1.5 Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang manfaat senyawa bioaktif dari ekstrak daun dan batang Reullia tuberossa L sebagai agen anti diabetes sehingga dapat dijadikan dasar terapi alternatif untuk menurunkan kadar glukosa darah pada hewan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes melitus (DM)2.1.1 DefinisiDiabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya (John, 2006). Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah (WHO, 2006).2.1.2 Etiologi

7 Diabetes Mellitus (DM )dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2 dan DM dalam kehamilan. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun). Sel pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul (Rachmawati, 2007).DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin (Danny et al, 2005). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel . Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini (Soegondo, 2007).DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM, kegemukan dan glikosuria (Soegondo, 2007).Diabetes melitus merupakan gangguan endokrin yang paling sering terjadi. Kondisi ini terjadi karena kerusakan sel pankreas, sehingga insulin tidak terbentuk dan mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. Gejala gejala akut yang pada penderita DM diakibatkan oleh efek insulin yang tidak adekuat, karena insulin adalah satu satunya hormon yang berfungsi menurunkan gula darah. Gejala klinis diabetes melitus antara lain : poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan gula darah sewaktu 200 mg/dL dan gula darah puasa 126mg/dL. Peningkatan gula darah (hiperglikemia) merupakan salah satu indikator utama penyakit diabetes melitus (Smeltzer, 2001).2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 1Diabetes mellitus tipe 1 merupakan diabetes mellitus yang diperantarai oleh degenerasi sel beta langerhans pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotocin, aloxan), atau secara genetik (wolfram syndrome) yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Dari sekian banyak jenis sel pankreas hanya sel beta yang dihancurkan oleh sistem imun. Kerusakan sel beta dapat diperantai oleh proses autoimun. Sel beta peka terhadap efek toksik dari beberapa sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF ), interferon , dan interleukin 1 (IL-1). Mekanisme dari proses kematian sel Beta belum diketahui dengan pasti, namun proses ini dipengaruhi oleh pembentukan metabolit nitric oxide (NO), apoptosis dan sitotoksisitas dari sel T CD8+. Petanda destruksi imun yang dapat diperiksa adalah autoantibody islet cell, autoantiboy insulin, autoantibody glutamic acid decarboxylase (GAD65). Satu atau lebih antibodi tersebut terdeteksi pada 80-85% penderita hiperglikemia saat awal deteksi. Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah kegagalan dari self-tolerance sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh defek delesi klonal pada sel T self-reactive pada timus, defek pada fungsi regulator atau resistensi sel T efektor terhadap supresi sel regulator. Hal hal tersebut membuat sel T autoreaktif bertahan dan siap untuk merespon terhadap self-antigens. Aktivasi awal dari sel tersebut terjadi pada nodus limfe peripankreatik sebagai respon terhadap antigen yang dilepaskan dari sel Pulau Langerhans yang rusak. Sel T yang teraktivasi bergerak ke pancreas kemudian merusak sel . Populasi sel T yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut adalah TH1 cells (merusak dengan mensekresi sitokin seperti IFN- and TNF-) dan CD8+ CTLs.Menurut Lawrence dalam Nugroho (2006), pada tikus DM 1, kadar glukosa darah sangat tinggi tetapi tubuh tidak dapat memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi. Oleh karena itu energi diperoleh melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring dengan kondisi tersebut, terjadi perangsangan lipolisis serta peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah. Dalam hal ini terjadi peningkatan produksi asetil-KoA oleh hati, yang pada gilirannya diubah menjadi asam asetoasetat dan pada akhirnya direduksi menjadi asam - hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Pada kondisi normal, konsentrasi benda-benda keton relatif rendah karena insulin dapat menstimulasi sintesis asam lemak dan menghambat lipolisis. Hanya dibutuhkan kadar insulin yang kecil untuk menghambat lipolisis.2.2 Hewan coba Tikus (Rattus novergicus) Model Diabetes MelitusDiabetes melitus merupakan suatu penyakit endokrin yang terjadi karena tidak seimbangnya kemampuan tubuh menggunakan makanan secara efisien. Kondisi ini disebabkan oleh rusaknya autoimun pada sel di pankreas yang mengakibatkan berkurangnya produksi insulin hingga menjadi abnormal yang menghasilkan resistensi terhadap kerja insulin. Hal ini dapat menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat, sehingga dapat menyebakan berbagai kerusakan dalam jaringan tubuh (Zahtamal dkk, 2007).Tikus yang digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian yaitu tikus Rattus norvegicus strain wistar.Sistem klasifikasi tikus Rattus norvegicus menurut Armitage (2004) adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Tikus Putih strain Wistar (Rattus norvegicus) (Gultom, 2003)

Kingdom : AnimaliaFilum : ChordataKelas : MammaliaOrdo : RodentiaSubordo: MyomorphaFamili : MuridaeGenus : RattusSpesies : Rattus norvegicusGalur : Wistar

Hewan coba merupakan hewan yang sengaja dipelihara yang digunakan untuk sebagai hewan model untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan penelitian. Tikus putih (Rattus norvegicus) umum digunakan sebagai hewan model diabetes melitus dikarenakan memiliki beberapa keunggulan yaitu sistem metabolismenya yang hampir sama dengan manusia (terutama metabolisme glukosa), sehingga memudahkan dalam melakukan penelitian (Ress and Alcolado, 2005). Rattus norvegicus memiliki ciri antara lain rambut tubuh berwarna putih dan mata yang merah, panjang tubuh total 440 mm, panjang ekor 205 mm, bobot Rattus norvegicus pada usia dewasa adalah sekitar 250-500 gram (Sirois, 2005). 2.3. Ruellia tuberossa L (Pletekan)Ruellia tuberossa L bernama lain pletekan, pletikan, ceplikan (Jawa), minnieroot, watercannon berupa semak yang berasal dari Amerika yang telah lama ternaturalisasi di Jawa (Becker et al, 1965). Morfologi tanaman batang segiempat tumpul, helaian daun bentuk memanjang hingga bulat telur terbalik dengan tepi daun bergigi, mahkota berwarna ungu cerah, kelopak bunga berbentuk segitiga (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Tanaman Ruellia tuberossa L (Ullah, 2011)

Tanaman Ruellia tuberossa L secara taksonomi mempunyai klasifikasi sebagai berikut :Kingdom: Plantae (tumbuhan)Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)Divisio: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)Class: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)Subclass: AsteridaeOrdo: ScrophularialesFamili: AncanthaceaeGenus: RuelliaSpecies: Ruellia tuberose LRuellia tuberrossa L secara tradisional digunakan untuk pengobatan sebagai diuresis, antidiabetes, antipiretik, antihipertensi, antiinflamasi dan bahan antidot. Berdasarkan uji aktivitas ektrak etil asetat daun pletekan signifikan menurunkan gula darah dan ekstrak heksana cukup baik menurunkan kadar gula darah pada dosis pemberian 100 dan 150 mg/kg BB terhadap kelinci diabetes yang diinduksi aloksan (Ullah et al, 2011). Ekstrak air daun R. tuberossa L. berpengaruh terhadap SGOT, SGPT dan gambaran histologis hepar tikus diabetes (Ardiani dan Lestriana, 2008). Ekstrak 50% hidroetanol dari R.tuberrosa L dosis 500mg/kg BB tidak hanya mengontrol tingkat lipid peroksida tetapi juga membantu meningkatkan potensi antioksidan. Bersifat non toksik pada dosis 5000 mg/ Kg BB pada tikus dan kelinci yang diinduksi aloksan (Ullah et al 2011; M.Rajan et al, 2012). 2.3.1 Kandungan Ruelia tuberrosa L.Studi fitokimia dari fraksi etil asetat menunjukkan adanya triterpenoid dan flavanoid, sedangkan n-heksan menunjukkan fitosterol berupa betulin (Ullah et al 2011). Kemungkinan mekanisme penurunan aktivitas kadar gula darah disebabkan kandungan flavanoid dan fitosterol. Flavanoid bertindak sebagai quenching free radical, sedangkan fitosterol kemungkinan bertindak merangsang sekresi insulin. Fitosterol contohnya beta sitosterol dapat merangsang sekresi insulin (Ivorra et al, 1990).Menurut Chwan Fwu-Lin (2006) dari 12,5 Kg simplisia bagian batang dan daun pletekan, menghasilkan ekstrak metanol pletekan (ekstraksi panas pada 50 C) yang mengandung 5 flavanoid yaitu: cismaritin (1, 54,2 mg), cirsimarin (2, 195 mg), cirsiliol 4-glucoside(3, 252 mg), sorbifolin(4, 0,7 mg), pedalitin(5, 0,5 mg), dan beberapa senyawa lain yaitu terpenoid berupa betulin (fitosterol) (6, 487 mg), asam vanilat (7, 4,2 mg), dan indole-3-karboxaldehid (8, 0,8 mg). Struktur senyawa seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur flavanoid dan metabolit sekunder lainnya pada ekstrak metanol pletekan.2.3.2 BetulinMenurut Sabastian et al, (2008) dalam Dyah dkk, (2014). Betulin, merupakan kelompok pentasiklik triterpen, turunan lupana dan salah satu fitosterol. Kelarutan betulin pada fasa air kecil (0,08 g/ml), namun memiliki bioavibilitas dan tidak bersifat toksik sehingga dapat digunakan untuk terapi. Pada tikus yang diinjeksi betulin intraperitoneal (60, 180, 540 g/Kg. B.B), konsentrasi betulin pada plasma sebesar 0,13 g/ml. Injeksi betulin (30, 100, 300 g/Kg.BB) lewat subkutan anjing menunjukkan konsentrasi plasma betulin yang sebesar 0,33 g/ml.Betulin berperan sebagai antioxidan pada hepatic stellate cell (HSC) yang aktif. HSC yang aktif, merupakan model sel yang terlibat pada fibrosis hati saat terjadi kerusakan hati. Pada HSC tikus yang terativasi oleh etanol, beberapa penandanya adalah dilepaskannya Reactive Oxygen Species (ROS), dan sinyal intraseluler Nuclear Faktor-B (NF- B). HSC yang diinkubasi dengan 1M betulin menunjukkan penurunan ROS berupa anion superoksida (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2) yang signifikan dibanding kontrol (Agnieszka et al, 2011). Menurut Rajarajeswari et al, (2011) terjadi peningkatan TNF pada penderita Diabetes Mellitus. Peningkatan TNF ini dapat menyebabkan penurunan insulin karena sel beta peka terhadap efek toksik dari beberapa sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF ). Selain sebagai antioksidan, betulin dapat meningkatkan kadar insulin dalam darah dengan berperan sebagai inhibitor produksi sitokin TNF alpha dan NF- B sinyal tranduksi (Agnieszka et al, 2011).Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh Diabetes Mellitus adalah kerusakan hati. Terjadi peroksidasi lipid, yang akan memproduksi radikal bebas. Tanda biokimia dari kerusakan hati adalah dengan meningkatnya kegiatan dari beberapa enzim seperti serum transaminase pyruvat glutamate dalam darah. Senyawa betulin pada ekstrak 3,2 mg R.tuberrosa L diindikasi dapat meminimalkan tingkat serum transaminase oxaloacetat glutamate dan serum transaminase pyruvat glutamate serum tikus DM dan secara histologis tidak terjadi kerusakan pada sel hati.2.4. Aksi Streptozotosin pada sel pankreas hewan cobaStreptozotocin (Gambar 2.4) merupakan N-nitroso derivate D-glucosamine dipakai secara luas untuk menginduksi model hewan coba diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2, disintesis dari Streptomycetes achromogenes. Beberapa penelitian menggunakan STZ untuk menginduksi IDDM dengan dosis rendah tunggal (40-60 mg/kg BB), atau dosis tinggi, tetapi penggunaan STZ dosis rendah kurang dari 40 mg/kg BB tidak efektif (Katsumata et al, 1992). STZ juga dapat diberikan dalam dosis rendah ganda (Multiple low dose).

Gambar 2.4 struktur STZStreptozotocin menembus sel melalui transporter glukosa (GLUT 2), intraseluler melalui nitrosourea akan menyebabkan alkilasi DNA melalui aktivitas poly ADP ribosilasi yang mengakibatkan penekanan NAD+ dan ATP seluler. Selanjutnya peningkatan defosforilasi ATP yang menghambat sekresi dan sintesis insulin serta akan memacu peningkatan substrat untuk reaksi katalis xanthine oxidase yang akan menghasilkan radikal superoksidase, menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Metabolisme STZ juga menghasilkan NO (Nitric Oxide) melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP serta mengakibatkan oksigen reaktif yang memiliki kontribusi dalam kerusakan sel (Nugroho, 2006). Pembentukan anion superoksida dan peningkatan aktivitas xanthine oksidase akan menghambat siklus kreb dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria, akibatnya produksi ATP mitokondria terbatas menyebabkan pengurangan secara drastis nukleotida sel beta pankreas yang berujung pada kerusakan sel tersebut (Nugroho, 2006). Sel yang mengalami nekrosis, meningkatkan respon proinflamasi dari makrofage dan menginduksi reaksi imun dengan melepaskan sitokin pro inflamasi seperti TNF alpha. Pada DM tipe 1, keabdormalan sistem imun dipicu oleh kematian sel secara nekrosis, kemudian menyebabkan kematian sel secara apoptosis.Apoptosis sel pankreas menyebabkan defisiensi insulin yang mendorong hiperglikemi. Kondisi ini menurunkan kemampuan jaringan untuk menggunakan glukosa, sehingga menimbulkan gangguan metabolisme lemak dan protein (Je et al, 2001). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa diabetes yang diinduksi STZ pada kelinci ditandai dengan kelebihan asam lemak di serum. Asam lemak dikonversi di hati menjadi phospolipid dan kolesterol. Senyawa ini ditransfer ke darah dalam bentuk lipoprotein. Tingginya serum lipid yang abnormal pada penderita diabetes disebabkan peningkatan mobilisasi asam lemak dari deposit lemak peripheral, mengingat insulin dapat menghambat hormon sensitif lipase (enzim yang menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak (Bopanna et al, 1997).2.5. Hubungan TNF dengan Diabetes mellitusTumor nuclear faktor dibentuk atas 212 asam amino diatur pada homotrimers yang stabil dengan berat molekul 51 kDal. TNF- adalah suatu sitokin yang bersifat pleiotropik, yang sebagian besar dihasilkan oleh monosit, makrofag dan sel T. Seperti sitokin proinflamasi yang lain, ekspresi dan sintesa dari TNF- tidak hanya dihasilkan oleh sel-sel hematopoetik saja. Selanjutnya, sel intrinsik ginjal, termasuk sel mesangial, glomerulus, endotel, dendrit, sel tubulus ginjal, juga dapat menghasilkan sitokin ini. Selain itu, penelitian pada saat ini memperlihatkan bahwa, TNF- dapat disimpan di dalam sel dalam bentuk proaktif, dan enzim yang dapat merubah TNF- secara cepat dapat meningkatkan kadar TNF- yang aktif (Navarro et al, 2008). Meningkatnya kadar TNF- terdapat pada keadaan inflamasi akut dan kronik (Popa et al., 2007).Tumor nuclear factor - mempunyai kemampuan besar terhadap efek proinflamasi pada atherosklerosis, penyakit metabolik dan kelainan inflamasi seperti obesitas dan resistensi insulin yang juga merupakan faktor resiko terhadap CVD. Keterlibatan TNF- dalam patogenesis diabetes mellitus tipe 1 didukung dengan efek toksik terhadap sel pulau langerhans. Selain itu, kadar TNF- dalam sirkulasi berhubungan dengan penurunan kadar insulin dalam darah (Kleemann et al., 2008). Studi in vitro dan in vivo pada tikus dan mencit menunjukkan bahwa efek merusak dari makrofag pada sel- dapat dimediasi melalui produksi TNF- dan IL (Arnush et al., 1998 ; Dahlen et al., 1998).Rangsangan endotoxin yang mengandung lipopolisakarida pada makrofag akan mengekspresikan sitokin proinflamasi (TNF-, IL-1, IL-6) yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Ekspresi sitokin proinflamasi tersebut juga dapat terjadi akibat stimulasi dari interferon- (IFN ) yang dikeluarkan sel TH-1 (Guntur, 2004). Pada saat terjadi ikatan antara diabetogenik dengan sel pankreas, sel T berperan dalam kematian sel pankreas. Sel T CD 8+ dapat merusak sel pankreas melalui MHC class 1 dengan sitotoksisitas. Sel CD 4+ dan CD8+ memproduksi sitokin seperti IFN yang menginduksi ekspresi reseptor kematian FAS (yang dikenal CD95) dan produk chemokine dari sel . Aktifasi dari FAS oleh FASl (FAS ligand) yang menginisiasi apoptosis sel . Produk chemokin yang dihasilkan sel merekrut sel mononuklear ke dalam target, sehingga meningkatkan inflamasi. IFN dapat mengaktifkan makrofag dan menginduksi peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti Interleukin- 1a dan Tumor Necrosis Factor alpha (TNF ). Peningkatan ekspresi TNF diduga memperburuk stress imun pada sel , dimana sel sangat peka terhadap toksisitas TNF (Ahrens, 2011). Il- 1a dan TNF juga diinduksi oleh ekspresi Reactive Oxygen Spesies (ROS) termasuk Nitric oxide yang dapat menimbulkan kerusakan sel (Lehuen et al, 2010 ), sehingga dapat memperburuk penurunan produksi insulin pada penderita Diabetes Mellitus tipe 1.2.6. Struktur dan Fungsi HatiHati terletak di bawah diafragma kanan dan dilindungi bagian bawah tulang iga kanan. Lobus kiri hati berada didalam epigastrium, tidak dilindungi oleh tulang iga. Hati normal mempunyai struktur kenyal dengan permukaan yang licin (Chandrasoma, 2005). Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks.Menurut Pandjaitan dkk, (2007) setiap lobulus hati dibagi lagi menjadi lobulus yang merupakan unit fungsional. Setiap lobulus merupakan bentuk heksagonal yang terdiri dari lembaran sel hati yang berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hati terdapat kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatica. Sinusoid dibatasi oleh sel kupffer yang merupakan sistem retikuloendotel (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Histologi normal hati (Geneser, 2004)Hati memegang peranan penting pada metabolisme karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan memproduksi energi. Zat tersebut dikirim kehati melalui vena porta setelah diabsorpsi oleh usus (Hushada, 2004). Hati dan otot menyimpan glukosa sebagai glikogen. Sementara jaringan adipose mengubah glukosa menjadi lemak. Hati merupakan pusat kunci pengelolaan bahan bakar karena hanya sel-sel hati yang sensintif terhadap glukagon. Secara normal glukagon mulai mempunyai pengaruh sebelum glukosa darah turun lebih rendah dari titik pasang. Pada kenyataannya, segera setelah glukosa dikeluarkan dari darah, glukagon akan memberi sinyal ke sel-sel hati untuk meningkatkan hidrolisis glikogen, mengubah asam lemak dan asam amino menjadi glukosa dan memulai pelepasan glukosa secara perlahan-lahan ke sirkulasi (Chatila et al, 1996).Fungsi hati sebagai sistem buffer glukosa darah sangat penting. (Guyton, 1985). Salah satu fungsi hati yang penting adalah menjaga homeostasis glukosa. Hati merupakan organ yang dapat memenuhi kebutuhan glukosa di jaringan dalam tubuh. Hati juga mengubah glukosa dan fruktosa dalam makanan menjadi glikogen dan disimpan atau glukosa yang berlebihan dalam hati diubah menjadi lemak. Selain itu glikogen yang ada dapat diubah oleh sel hati menjadi glukosa jika dibutuhkan dan mengubah asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis) (Pandjaitan dkk, 2007).Selama tidak ada asupan makanan diantara asam-asam amino yang ditransport dari otot ke dalam hati, alanin yang paling dominan dan menghasilkan siklus glukosa alanin yang menyebabkan daur glukosa dari hati ke otot dengan pembentukan piruvat yang diikuti dengan transaminasi menjadi alanin, kemudian alanin ditransport ke hati dan diikuti oleh glukoneogenesis menjadi glukosa kembali. Energi yang diperlukan untuk sintesis glukosa di hati dari piruvat berasal dari oksidasi asam-asam lemak (Chatila et al, 1996).Hati mempunyai peranan penting sebagai alat penimbun berbagai jenis zat dalam tubuh, maka perubahan pada zat-zat tertentu dapat mempengaruhi fungsi hati (Pandjaitan dkk, 2007). Fungsi hepar dapat terganggu apabila ada gangguan proses metabolisme karena adanya senyawa bersifat racun. Hepar tikus merupakan salah satu organ utama yang digunakan sebagai indikator penelitian tentang pengaruh bahan kimia maupun toksin (Tricklebank, 1994 dalam Rusdi dkk, 2007).

2.7. Histopatologi Hati pada Diabates MellitusPenyakit hati mungkin timbul karena adanya diabetes mellitus atau diabetes mellitus yang timbul akibat penyakit hati. Penderita diabetes mudah mengalami hiperlipidemia (kadar lemak tinggi), sedangkan penderita penyakit hati yang lemaknya tinggi juga cenderung mengidap diabetes. Selain itu gula dan lemak bisa menyebabkan komplikasi pada jantung, otak, dan pembuluh darah. Penderita diabetes sering mempunyai trigliserida yang tinggi dan bisaanya disertai dengan kolesterol HDL yang rendah (Groop et al, 2007).Gangguan metabolisme lipid pada diabetes menyebabkan adanya kelainan pada sel-sel hati. Patogenesis kelainan pada sel hati ini muncul karena adanya resistensi insulin yang dihasilkan oleh lipolisis. Lipolisis ini akan meningkatkan sirkulasi asam lemak bebas yang kemudian diambil oleh hati. Asam lemak dihati ini akan menyebabkan pembentukan radikal bebas akibat peroksidasi lipid (Tolman et al, 2006).Salah satu manifestasi klinis akibat gangguan metabolisme lemak adalah perlemakan hati, dimana dalam keadaan normal lemak dihati hanya 5% dari berat seluruh hati. Sebagian besar lemak dihati dalam bentuk trigliserida, fosfolipid, asam lemak, kolesterol, dan ester-kolesterol. Perlemakan hati adalah keadaan dimana lemak dihati melebihi 5% dari beratnya hati (Heslet, 2004).Pada tubuh penderita Diabetes mellitus terjadi stress oksidatif yang menyebabkan radikal bebas dalam tubuh meningkat. Radikal bebas ini dapat merusak berbagai jaringan tubuh seperti sel hati (Umniyah, 2007). Hati adalah organ yang potensial mengalami kerusakan karena merupakan organ pertama setelah saluran pencernaan yang terpapar oleh bahan yang bersifat toksik. Proses metabolisme oleh hati akan mendetoksifikasi bahan tersebut, tetapi proses tersebut dapat menghasilkan metabolit yang bersifat lebih toksik dari bahan dasarnya (Handajani, 2008). Menurut Hussain (2008), keadaan hepar pada diabetes mellitus akan mengalami degenerasi dan peradangan vena sentral (Gambar 2.6). Degenerasi adalah perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas yang non fatal dan perubahan-perubahan tersebut masih dapat pulih (reversible), tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih, akhirnya megakibatkan kematian sel (nekrosis). Degenerasi ditunjukkan dengan adanya sel hati yang berwarna lebih gelap. Hal ini disebabkan oleh peningkatan degradasi glikogen dan glukoneogenesis karena pemanfaatan glukosa terhambat (Nurlaili, 2010). Menurut Panjaitan (2007), kerusakan hepatosit diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan kematian sel. Peningkatan enzim dalam darah disebabkan oleh kerusakan hati yang parah dan disertai nekrosis, sehingga enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel.

Gambar 2.6 Kerusakan Hepar Dengan Perbesaran 400 Kali (1. Degenerasi, 2. Vena sentral, 3. Sinusoid, 4. Peradangan, 5. Sel hati) (Nurlaili, 2010).

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

TikusStreptozotocin

ROS

Kerusakan sel Pankreas Keterangan :Peningkatan:Penurunan:Terapi ekstrak pletekan:Induksi streptozotocin:Variabel tergantung:Variabel bebas:Menghambat :

Sekresi insulin & sintesis insulin

Ekstrak PletekanTikus DM 1

ROS

TNF Kerusakan Sel PankreasSekresi insulin & sintesis insulin

Gula darah

NO Peroksidasi lipid

Kerusakan sel Hati

Histopatologi hati

26Gambar 3.1. Kerangka Konseptual

Streptozotocin (STZ) yang di induksikan pada tikus model dapat membangkitkan oksigen reaktif yang dapat menyebabkan peningkatan ROS (Reactive Oxygen Species). Peningkatan ROS dapat menyebabkan kerusakan sel pankreas. Kerusakan sel beta pankreas dapat mengaktivasi poli ADP-ribosilasi yang kemudian mengakibatkan penekanan NAD+ seluler, yang selanjutnya terjadi penurunan jumlah ATP sehingga terjadi penghambatan sekresi insulin serta sintesis insulin yang menyebabkan tikus model menderita DM 1 (Nugroho, 2006). Penurunan NAD+ mengakibatkan penurunan ATP sehingga terjadi kematian pada sel - pankreas. Kematian sel dapat berupa nekrosis dan apoptosis (Okamoto, 2002). Sel yang mengalami nekrosis, meningkatkan respon proinflamasi dari makrofag dan menginduksi peningkatan sitokin proinflamasi TNF .Apoptosis sel pankreas menyebabkan defisiensi insulin yang mendorong hiperglikemi. Kondisi ini menurunkan kemampuan jaringan untuk menggunakan glukosa, sehingga menimbulkan gangguan metabolisme lemak dan protein (Je et al, 2001. Kondisi diabetes mellitus menyebabkan tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi akibat defisiensi insulin sehingga tubuh mencari sumber energi lain, antara lain dengan peroksidasi lipid. Proses peroksidasi lipid, selain menghasilkan energi juga menghasilkan produk sampingan, yaitu radikal bebas. Bila proses ini berlangsung secara terus-menerus, jumlah radikal bebas yang terbentuk semakin banyak. Jumlah radikal bebas yang tinggi dalam tubuh menyerang biomakromolekul yang merupakan komponen dinding sel. Akibatnya, fungsi dinding sel menurun sehingga menimbulkan kerusakan sel hati berupa degenerasi dan nekrosa (Halliwell, B. and J.M.C. Gutteridge, 1999).Pada diabates melitus terjadi stress oxydatif yang disebabkan oleh peningkatan ROS dalam tubuh dan antioksidan yang tidak aktif. ROS dapat bereaksi dengan makromolekul seluler dan meningkatkan peroksidasi lipid. Proses peroksidasi lipid ini menghasilkan senyawa radikal bebas (NO). Peningkatan NO dalam hati menyebabkan degenerasi sel hati dan nekrose (Ronco and de Alvarez, 2002). NO akan berikatan dengan dinding sel hati yang kemudian akan merespon makrofag untuk mengekspresikan sitokin proinflamasi (TNF-, IL-1, IL-6) yang akan menimbulkan reaksi inflamasi (Guntur, 2004). Peningkatan TNF dalam darah akan memperburuk stress imun pada sel , dimana sel sangat peka terhadap toksisitas TNF . Terjadi kerusakan sel pankreas dan malfungsi kelenjar endokrin pankreas, sehingga sekresi dan sintesis insulin menurun (Ahrens, 2011). Ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak pletekan (Ruellia tuberosa L) yang didalamnya mengandung senyawa fitosterol Betulin. Betulin merupakan suatu bahan aktif yang memiliki fungsi untuk aktivitas antioksidan, antiinflamasi, inhibitor enzim pencernaan, dan antihiperlipidemi. Betulin sebagai anti oksidan dapat menghambat peningkatan ROS yang berupa anion superoksida (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Betulin yang dapat menurunkan konsentrasi H2O2 menunjukkan bahwa mekanisme aksi antioksidan betulin didapat melalui kemampuan reduksinya. Betulin juga dapat menangkap radikal superoksida sehingga menghambat terbentuknya singlet oksigen dan radikal hidroksil (Agnieszka et al, 2011).Penurunan ROS akan menghambat kerusakan sel pankreas, sehingga terjadi peningkatan sekresi dan sintesis insulin (Rajan et al, 2012). Peningkatan sintesis dan sekresi insulin menyebabkan penurunan gula dalam darah yang mengakibatkan menurunkan proses peroksidasi lipid dalam hati. (Romagnoli and Gomez-Cabrera, 2010). Penurunan peroksidasi lipid ini diduga mengakibatkan radikal bebas yang dihasilkan semakin menurun, sehingga mencegah kerusakan sel hati. Tingkat keparahan kerusakan hati akibat peningkatan peroksidasi lipid dapat diamati berdasarkan gambaran histopatologi hati.Aktifitas Betulin sebagai antioksidant dapat menurunkan kadar NO hasil peroksidasi lipid di hati, sehingga dapat mencegah penurunan kadar TNF dalam darah. Betulin juga berperan sebagai inhibitor produksi sitokin TNF alpha dan sinyal tranduksi NF- B, sehingga dapat meningkatkan kadar insulin dalam darah. Penurunan kadar TNF dalam darah akan memacu regenerasi sel pankreas (Agnieszka et al, 2011). 3.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah ada, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah sebagai berikut :1. Betulin pada ektrak daun pletekan (Ruellia tuberosa L) dapat menghambat peningkatan kadar TNF pada tikus Rattus norvegicus diabetes mellitus tipe 1.2. Betulin pada ektrak daun pletekan (Ruellia tuberosa L) dapat mengurangi tingkat keparahan dari kerusakan hati pada tikus Rattus norvegicus diabetes mellitus tipe 1 yang diamati berdasarkan gambaran histopatologinya.

31BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

314.1 Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Januari 2014 di Laboratorium Kimia Organik, Laboratorium Biokimia, dan Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya Malang serta pembuatan preparat di Laboratorium Patologi Klinik RS Dr. Soetomo Surabaya.4.2 Alat dan Bahan Penelitian4.2.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah , bak pemeliharaan hewan coba 20 x 30 x 40 cm, gunting, pinset, spuit 30 cc, sonde yang dipasang diujung spuit, plastik bedah, multi-channel pipette, vortex (Guo Huq Touch Mayer), tabung mikrotube eppendorf 1,5 mL, rak tabung, mikropipet (20 - 1000 L), tabung propilen, pengangas air, neraca analitik (Mettler Lotedo AL 204) 4 digit belakang koma, sentrifuge, spektrofotometri UV-Vis, kamera digital, gelas kimia, maserator, rotari evaporator, seperangkat alat destilasi, tabung reaksi, rak tabung, pipet volume 1,3,5 ml, corong pisah, labu takar 10,50,100ml, batang pengaduk, botol semprot, pipet tetes, tip 200l, tip 1000 l, sarung tangan, glucostick one touch ultra dan glukometer digital (One Touch Lifescan), kertas saring, oven, penjepit (block holder), botol sampel, tisu, masker, alumunium foil, plastik Wrap, spidol marker, botol kaca, skalpel dan alat bedah, pisau mitokrom Braun no.21, plastik cetik, kertas label, termometer 0-1000C, cawan petri, mortar dan pestle, freezer suhu -20 oC, kulkas 4 oC, hot plate, mikropipet, timer. 4.2.2 BahanBahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ruellia tuberossa L, tikus putih jantan (Rattus norvegicus) strain Wistar umur 2 bulan dengan berat rata-rata 81-128 gram sebanyak 18 ekor (tiap kandang 6 ekor tikus), aquades, metanol, n-hexan, Streptozotocin (MLD-STZ), NaCl fisiologis (0,9%), PBS-azida (phosphate buffer saline-azida), PBS pH 7, pati, buffer sitrat pH 4.5, 3.5-dinitrosalicylic acid (DNS), Alkohol 70%, HCl 1M. 4.3 Tahapan PenelitianSkema kerja pada penelitian ini dapat dilihat dengan tahapan penelitian sebagai berikut :1.Rancangan penelitian dan persiapan hewan coba2.Pembuatan senyawa bioaktif ekstrak Ruellia tuberossa L dan fraksi n-heksan4.Penentuan kadar glukosa darah dengan glukometer5.Pembuatan larutan Strepzotocin (STZ) dan injeksi intraperitonial (i.p) pada hewan coba6. Terapi hewan coba DM dengan ekstrak Ruellia tuberossa L7.Pengamatan gula darah pada tikus DM terapi8.Pembedahan hewan coba dan isolasi organ hati serta pankreas.9.Pembuatan preparat immunohistokimia pankreas10.Pembuatan preparat histopatologi hati11.Pengukuran kadar TNF pankreas12. Pengamatan histopatologi hati13. Analisis data4.4 Prosedur Kerja4.4.1 Rancangan Penelitian dan Persiapan Hewan cobaPenelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus putih jantan (Rattus norvegicus) strain wistar yang digunakan mempunyai berat badan 130-150 g dengan umur 2,5 bulan sebanyak 18 ekor. Hewan coba dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok (I) tikus kontrol negatif yaitu kelompok tikus tanpa perlakuan kelompok (II) tikus kontrol positif yaitu kelompok tikus diabetes mellitus 1 tanpa diberi terapi ekstrak pletekan, dan kelompok (III) tikus diabetes mellitus 1 diterapi ekstrak pletekan dengan dosis 450 mg/ Kg BB. Masing masing kelompok perlakuan terdiri dari enam ekor tikus sebagai ulangan.Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : Variabel bebas: Streptozotocin dan ekstrak metanol batang dandaun pletekanVariabel tergantung: Ekspresi TNF pankreas dan histopatologi hatiVariabel kendali: Berat badan tikus, umur tikus, dan jenis kelamintikus, suhu, pakan.

Penelitian ini digunakan adalah 3 kelompok perlakuan, sehingga jumlah sampel tikus masing-masing kelompok dapat dihitung berdasarkan rumus (Notoatmojo, 2002): Keterangan: n = jumlah sampel, dan p = kelompok perlakuan. Tiap kelompok digunakan 6 tikus. Adapun ketiga kelompok perlakuan yaitu:1. Kelompok I, kelompok kontrol tikus normal2. Kelompok II, kelompok tikus DM, diinjeksi MLD-STZ dosis 20 mg/Kg B.B sebanyak 5 kali yang dilakukan berturut-turut3. Kelompok III, kelompok tikus DM dengan treatment frasi n-Heksan ekstrak metanol batang dan daun pletekan dosis 450 mg/Kg B.B./hari selama 10 hari. Pada penyiapan hewan coba, tikus yang digunakan mempunyai berat badan 130-150 g dengan umur 2,5 bulan sebanyak 18 ekor yang dibagi dalam tiga kelompok. Kondisi tikus dalam keadaan sehat yang ditandai oleh gerakan aktif, dan mata cemerlang. Tikus dipelihara dalam kandang di laboratorium Biologi Molekuler. Kotakan kandang berukuran 20 x 30 x 40 cm pada temperatur 253C dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap. Kandang diberi alas berupa sekam padi agar kandang tidak lembab. Sebelum percobaan, tikus diaklimatisasi selama 1 minggu. Selama percobaan, tikus ditangani sesuai etical guidelines yang dikeluarkan oleh komite etik.

4.4.2Pembuatan senyawa bioaktif ekstrak Ruellia tuberossa L dan fraksi n-heksanDiambil 4 pucuk daun teratas beserta batang pletekan yang diperoleh di sekitar kecamatan Lawang-Malang, kemudian diidentifikasi di jurusan Biologi Universitas Brawijaya. Daun dibersihkan, setelah itu dikeringkan pada suhu ruang dengan menghindari panas matahari langsung (dried in shade) selama 5 hari atau sampai kering. Daun pletekan yang telah kering kemudian diblender untuk memperkecil ukurannya.Serbuk Pletekan kering ( 500 g) diekstraksi menggunakan pelarut metanol (3 L x 3) selama 72 jam. Ekstrak metanol dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah. Ekstrak metanol pekat ditimbang dan dicatat. Ekstrak metanol kental dilarutkan dalam air dan dipartisi dengan n-heksan (1:1) menggunakan corong pisah, dilakukan beberapa kali ekstraksi cair-cair dengan n-heksan hingga betulin terekstraksi optimal. Fraksi n-heksan diambil, dipekatkan dengan vakum rotary evaporator dan di catat beratnya. Kandungan betulin dari fraksi n-heksan di konfirmasi dengan LC-MS. Ekstrak kental dari fraksi n-heksan dapat disimpan pada botol coklat pada temperature 4C untuk pengujian selanjutnya.4.4.3Penentuan kadar glukosa darah dengan glukometerProses pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sebanyak 3x, yaitu sebelum injeksi Multiple Low Dose-Streptozotocin (MLD-STZ) sebagai data kadar glukosa darah awal, setelah injeksi MLD-STZ bagi kelompok tikus DM (B) dan DM-terapi (C) sebagai data glukosa darah untuk memastikan bahwa hewan coba telah mengalami DM, setelah terapi ekstrak Ruelia tuberossa L, atau sebelum pembedahan sebagai data kadar glukosa akhir. Darah tikus putih yang akan diukur glukosa darahnya didapat dari pemotongan ujung ekor (vena lateralis). Pengukuran glukosa darah mengggunakan kit glucometer. Alat di set kodenya sesuai dengan kode glucostick yang digunakan, selanjutnya darah yang didapatkan diteteskan pada stick yang terhubung dengan glucometer dibiarkan selama 60 detik dan dibaca skala yang terlihat pada layar, skala pengukuran yang terbaca dalam satuan mg/dL. Pengukuran glukosa darah dilakukan setelah tikus dipuasakan 12 jam. Uji dilakukan pada hari ke-0, hari ke-1, hari ke-5 dan hari ke- 10 selama periode terapi.4.4.4Pembuatan larutan Strepzotocin (STZ) dan injeksi intraperitonial (i.p) pada hewan coba.Streptozotocin (STZ) sebanyak 100 mg dilarutkan pada 3 ml buffer sitrat pH 4.5 kemudian divortex hingga homogen. Larutan STZ stok disimpan pada suhu 4C. Larutan STZ stok digunakan untuk injeksi dengan dosis volume pengambilan yang disesuaikan dengan berat badan tikus. Campuran larutan dimasukkan dalam tabung eppendorf dan siap untuk diinjeksikan.Digunakan dosis 20 mg/kg BB sebanyak 5 kali yang dilakukan berturut-turut. Tikus diposisikan menghadap kearah frontal hingga terlihat bagian abdomenya. Pada bagian atas abdomen tikus disemprot dengan ethanol 70%, kulit dicubit hingga terasa bagian ototnya, spuit dimasukkan pada bagian abdomen dan dicoba digerakkan, apabila terasa berat maka sudah masuk pada daerah intraperitonial. Setelah yakin pada daerah intraperitonial maka STZ segera dimasukkan secara perlahan. Selanjutnya abdomen tikus di semprot dengan etanol 70% kembali. Setelah dilakukan injeksi 5 hari berturut-turut, dilakukan inkubasi selama 7-14 hari dalam kandang, dan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah setelah injeksi. Tikus dinyatakan DM apabila kadar glukosa darahnya diatas 200 mg/dL.4.4.5Terapi hewan coba DM dengan ekstrak Ruellia tuberossa LSetelah kelompok tikus kelompok II, dan III dinyatakan DM, maka tikus diterapi. Tikus kelompok I dan II diberi minyak jagung sebanyak 2 ml. Tikus DM kelompok III diterapi dengan fraksi n-heksan ekstrak metanol sebanyak 2 ml (dengan dosis 450mg / Kg BB) yang telah dilarutkan dengan minyak jagung selama 10 hari (10 hari berturut-turut dosis tunggal). Pemberian terapi dilakukan dengan cara oral (sonde). Volume agen terapi yang diinjeksikan sebanyak 2 ml berdasarkan ukuran rata-rata lambung tikus putih.4.4.6Pengamatan gula darah pada tikus DM terapiPengukuran gula darah dilakukan untuk mengetahui perkembangan gula darah pada tikus DM terapi dengan cara pemotongan ujung ekor (vena lateralis). Pengukuran glukosa darah mengggunakan kit glucometer. Alat di set kodenya sesuai dengan kode glucostick yang diguanakan,selanjutnya darah yang didapatkan diteteskan pada stick yang terhubung dengan glucometer dibiarkan selama 60 detik dan dibaca skala yang terlihat pada layar, skala pengukuran yang terbaca dalam satuan mg/dL.

4.4.7 Pembedahan hewan coba dan pengambilan organ hati dan pankreasSebelum dilakukan pembedahan tikus dibunuh dengan cara dislokasi leher. Skalpel dan alat bedah disiapkan untuk membantu mengambil organ usus. Setelah tikus mati, hewan coba diletakkan pada nampan bedah dan ditata pada posisi ventral diatas. Diambil pankreas yang terletak terletak di antaraduodenum danhati yang terletak dibawah diafragma kanan. Kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis dan direndam dalam PBS-azida dan diberi label kemudian disimpan dalam suhu 4oC.4.4.8Metode immunohistokimia TNF- pankreasOrgan pankreas yang telah memadat dalam blok paraffin. Bagian dipotong dengan menggunakan microtome. Pankreas diiris dengan ukuran 5 m. Potongan preparat dikeringkan diletakkan diatas hot plate 38-40 C sampai kering 40 C selama 24 jam. Pengukuran ekspresi TNF- dilakukan dengan. menggunakan metode imunhistokimia. Pertama slide preparat dicuci dengan PBS pH 7,4 selanjutnya ditetesi dengan 3% H2O2 selama 20 menit. Kemudian preparat dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali Preparan diblok dengan 5% FBS (Fetal Bovine Serum) selama 1 jam kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali. Preparat kemudian diinkubasi dengan antibody primer anti rat TNF- selama semalam pada suhu 4oC, kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali. Dilakukan inkubasi pada preparat dengan antibody sekunder anti rabbit biotin (Santa Cruz) selama 1 jam pada suhu ruang, dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali dan ditetesi dengan SA-HRP (Strep avidin- Horse Radin Peroxidase) untuk diinkubasi selama 40 menit. Selanjutnya preparat dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali ditetesi dengan DAB (Diamino Benzidine) dan diinkubasi selama 10 menit kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali. Counterstaining dilakukan menggunakan Mayer Hematoxylen selama 10 menit, cuci dan keringkan. Preparat di mounting dengan entellan dan ditutup dengan cover glass. Preparat positif mengekspresikan TNF- apabila terdapat warna coklat pada preparat. Selanjutnya dilakukan penghitungan persen ekspresi TNF- dengan menggunakan program Axiovision.4.4.9Pembuatan preparat histopatologi hatia) FiksasiJaringan hati dimasukan ke dalam larutan paraformaldehid (PFA) 4% untuk proses fiksasi. Proses fiksasi ini bertujuan untuk mengawetkan dan mengeraskan jaringan.b) DehidrasiDehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan air dari dalam jaringan yang telah difiksasi dengan menggunakan etanol secara bertingkat dari konsentrasi 70% sampai dengan konsentrasi absolut. c) Penjernihan (Clearing) Proses penjernihan merupakan proses yang bertujuan untuk menggantikan tempat etanol dalam jaringan dengan suatu larutan yang dapat berikatan dengan parafin. Larutan yang digunakan adalah xylol. Jaringan dipindahkan dari alkohol absolut ke larutan penjernih (xylol). Penjernihan dilakukan dalam xylol I (1 jam), xylol II (1 jam), dan xylol III (30 menit pada suhu kamar dan 30 menit pada inkubator). d) EmbeddingProses embedding merupakan proses yang bertujuan untuk mengeluarkan clearing agent dari jaringan kemudian diganti dengan paraffin. Embedding ini dilakukan dengan cara jaringan hati dimasukkan ke dalam parafin cair yang telah disiapkan didalam suatu wadah dan dibiarkan hingga memadat.e) Pemotongan (Sectioning) dan Penempelan pada Gelas ObjekProses pemotongan dimulai dengan memotong jaringan hati dengan blog paraffin dengan menggunakan mikrotom setebal 4 mikron, secara melintang. Kemudian irisan diletakkan pada poly-1-lysin slide. Selanjutnya potongan yang terpilih dikeringkan dengan cara diletakkan di atas hot plate 38-40 C hingga kering. Setelah itu preparat disimpan di dalam inkubator pada temperatur 38-40 C dan preparat siap diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin.f) Pewarnaan Hematoksilin-EosinPewarnaan Hematoksilin Eosin dilakukan dengan menggunakan zat pewarna hematoksilin bertujuan untuk memberi warna biru pada inti sel (basofilik) serta eosin yang merupakan counterstaining hematoksilin, berfungsi untuk memulas sitoplasma sel serta jaringan penyambung dan memberikan warna merah muda. Langkah pertama yaitu dengan memasukan preparat pada larutan xylol I, II, dan III selama masing-masing 5 menit, kemudian dimasukan pada alkohol bertingkat dimulai dari alkohol absolut, 95%, 90%, 80% dan 70% secara berurutan masing-masing selama 5 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan air mengalir selama 15 menit serta dilanjutkan dengan aquades selama 5 menit. Selanjutnya sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama 10 menit, lalu dicuci dengan air mengalir selama 30 menit dan air aquades selama 5 menit. Setelah itu sediaan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 5 menit, lalu dicuci dengan air mengalir selama 10 menit dan air aquades selama 5 menit. Setelah sediaan diwarnai, sediaan dimasukan pada alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama beberapa detik, dan dilanjutkan dengan alkohol 100% I, II dan III masing-masing 2 menit. Setelah itu dilakukan proses Clearing dengan xylol I, II dan III selama 3 menit dan ditutup dengan gelas penutup (Dewi, 2011).4.4.10Pengamatan Histopatologi HatiPengamatan histopatologi hati yaitu dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX51 dengan perbesaran 400x. Gambar histopatologi diambil dengan menggunakan kamera setelah diperoleh gambar preparat yang di inginkan. Pengamatan histopatologi yang diamati yaitu perubahan jaringan hati berupa adanya kerusakan endotel disekitar tunika intima.4.4.11Analisa DataPada percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang mana tikus diberi enam perlakuan dan masing masing perlakuan dengan tiga ulangan. Analisa data histopatologi dilakukan secara kualitatif deksriptif sedangkan untuk kadar trigliserida dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan perlakuan nyata, maka perbedaan nilai tengah diuji dengan pembandingan berganda uji Tukey atau Beda Nyata Jujur (BNJ) = 0.05%.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A. R. 2012. Isolasi dan Elusidasi struktur Antioksidan dan Penghambatan Enzim Xantin Oksidase Ekstrak Daun Pletekan (Ruellia tuberosa L.) [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. DepokAhrens, B. 2011. Antibodies in metabolic diseases. New Biotechnology. Philadelphia. 28, 530-537.Agnieszka S. C., K. Plewka, J. Daniluk, and M. Kandefer-Szersze. 2011. Betulin and betulinic acid attenuate ethanol-induced liver stellate cell activation by inhibiting reactive oxygen species (ROS), cytokine (TNF-, TGF-) production and by influencing intracellular signaling. Toxicoogy, 280(3) :152-163.Ardiani, Fdan W. Lestriana. 2008.Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Ceplikan (Reullia Tuberosa L) Terhadap Kadar Sgot Dan Sgpt Serta Gambaran Histologis Hepar Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Diabetes Mellitus [Thesis]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.Ariza, M.A., G.V. Varsha, and J.L. Rosenzweig. 2010. The Economic consequences of diabetes and cardiovaskular disease in the United States. Springer. USA. 1-10.Armitage, D. 2004. Rattus Norvegicus. Animal Diversity Web. University of Michigan of Zoology. Michigan.Arnush M., A. L. Scarim, M. R Heitmeier, C. B. Kelly,and J. A. Corbett. 1998. Potential role of resident islet macrophage activation in the initiation of autoimmune diabetes. J. Immunol. 160, 26842691.

43Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 2008. Riset Kesehatan Dasar : Laporan Nasional 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.Bopanna, K.N., J. Kannan, G. Sushma, R. Balaraman and S.P. Rathod. 1997. Antidiabetic and antihyperlipidaemic effects of neem seed kernel powder on alloxan diabetic rabbits. Indian J. Pharmacol. 29: 162-167.Chatila, R., and A.B West. 1996. Hepatomegaly and abnormal liver test due to glycogenosis in adults with diabetes. Journal of Hepatology. Baltimore. 75:327333.Chandrasoma P. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.Center for Disease Control and Prevention. 2008. Diabetes Statistics:Diagnosed Diabetes Mellitus Rates Increase to 24 million from 21 million. http://www.nanasdiabetes.com/diabetes-statistics.php [20 Agustus 2014].Chwan-Fwu L, Yu-Ling H, Lee-Ying C, Shuenn-Jyi S, Chien-Chih C. 2006. Bioactive flavonoids from Ruellia tuberosa. J Chinese Med. China.Dannis L., L., Dan, B., Eugene, L., Stephen, J., Jameson and Harrison. 2005. Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill. New York.Dahlen E., K. Dawe, L. Ohlsson, and G. Hedlund. 1998. Dendritic cells and macrophages are the first and major producers of TNF- in pancreatic islets in the nonobese diabetic mouse. J. Immunol. 160, 35853593.De Melo, C.L., M.G. Queiroz., A.C. Arruda Filho, A.M. Rodrigues, D.F. de Sousa, J.G. Almeida, O.D. Pessoa, E.R. Silveira, D.B. Menezes, T.S. Melo, F.A. Santos, and V.S. Rao. 2009. Betulinic acid, a natural pentacyclic triterpenoid, prevents abdominal fat accumulation in mice fed a high-fat diet. J Agric Food Chem. Spain. 57(19) : 8776-8781. Dixon D., R. Goldberg, N. Schneiderman, and Delamater. 2004. Gender differences in TNF-alpha levels among obese vs non obese Latino children. European journal of clinical nutrition. 58 : 696-699

Dyah R.W., E. P.Utomo, danC., Mahdi. Molecular modeling ofRuellia tuberosaL compounds as a-amylase inhibitor: anin silicocomparation between human and rat enzyme model. Fakultas Matematika dan Ilmu Alam. Universitas Brawijaya. Fauci H. 2008. Harrison's : Principles of Internal Medicine. 17th edition. McGraw-Hill, inc. USA.Fu-An C, An-Bang W, Pochuen S, Daih-Huang K, Chi-Ying H. 2006. Evaluation of the antioxidant activity of Ruellia tuberosa. Food Chem.Garnita, D. 2012. Faktor resiko diabates melitus di Indonesia (analisa data sakerti 2007). Fakultas kesehatan masyarakat universitas indonesia. Depok.Geneser. 2004. Buku Teks Histologi. Gramedia. Jakarta.Guntur H, 2004. The Role Cytokine of the Pathogenesis of SIRS-SEPSIS. Perspektif Masa Depan Imunologi-Infeksi. Sebelas Maret University Press: 21-37.Guyton, A. C. 1985. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.Groop P.H., M. C. Thomas,V. Mills, S. Thomas, C. Forsblom, M. R. Taskinen, and G. Viberti. 2007. HDL Composition Predicts New-Onset Cardiovascular Disease In Patients With Type 1 Diabetes. Brief report. Diabetes care vol 30.Handajani, Fitri. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus lam) Pada Kadar SGPT Dan - GT Tikus Putih (Rattus novergicus) yang Diinduksi Parasetamol Dosis Tinggi, Tunggal Penelitian Eksperimental Laboratoris. http://[email protected]. [22 Agustus 2014].Halliwell, B. and J.M.C. Gutteridge. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine, 3rd edn. Clarendon Press. Oxford.Heslet, L. 2004. Kolesterol : Yang Perlu Anda Ketahui. Terjemahan : Adiwiyoto, A. Megapoin. Jakarta.Hushada, Y. 2004. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Gaya Baru. JakartaHussain, M. 2008. Biochemical and Histomorphological Study of Streptozotocin Induced Diabetes Mellitus in Rabbits. Pakistan Journal of Nutrition 7 (2): 359-364.Irawan, R. 2009. Hubunggan perilaku dan prevalensi Diabetes mellitus pada Masyarakat Ternate tahun 2008 [Skripsi]. Fakultas kedokteran Indonesia. Jakarta.Jawi I.M, W.P. Sutirta, dan H. Saputra. 2007. Gambaran histologis hepar serta kadar SGOT dan SGPT darah mencit yang diberikan alkohol secara akut dan kronis. Dexa Media. 1(20) : 23-26Je H.D., Shin C.Y., Park H.S, Huh I.H., and Sohn U.D. 2001. The comparison of vitamin C and vitamin E on the protein oxidation of diabetic rats. J. Auton. Pharm. 21: 231-36. John, M.F. 2006. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru. Cermin Dunia Kedokteran Jakarta. 127 : 37 40.Kleemann R., S. Zadelaar, and T. Kooistra. 2008. Cytokines and atherosclerosis: a comprehensive review of studies in mice. Cardiovascular Research 79, 360376.Lehuen A., J. Diana., P. Zaccone, and A. Cooke. Immune Cell Crosstalk in Type 1 Diabetes. Institut National de la Sant et de la Recherche Mdicale (INSERM) U986. Paris France.Maitra A, and A. K., Abbas. 2005 The endocrine system. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-7. Elsevier Saunders. Philadelphia.Navarro-Gonzalez J.F., and Mora-Fernandez C. 2008. The Role of Inflammatory Cytokines in Diabetic Nephropathy. J Am Soc Nephrol. 19: 433442.Nugroho, A. E. 2006. Animals Models Of Diabetes mellitus: Pathology and Mechanism Of Some Diabetogenics. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi Dan Toksikologi, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.Nurlaili, E. 2010. Pengaruh Ekstrak Biji Klabet (Trigonella Foenum-Graecum Linn.) Terhadap Kadar Transaminase (GPT dan GOT) dan Gambaran Histologi Pada Hepar Mencit (Mus Musculus) Yang Terpapar Streptozotocin. [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (Uin) Maulana Malik Ibrahim Malang.Panjaitan R.G.P., E. Handharyani, Chairul, Masriani, Z. Zakiah, dan W. Manalu. 2007. Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida Terhadap Fungsi Hati Dan Ginjal Tikus. Program Studi Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Tanjungpura.Panciera, D.L., Thomas, C.B., Eicker, S.W., Atkins, C.E., 1990. Epizootiologic patterns of diabetes mellitus in cats: 333 cases (1980_/1986). J. Am. Vet. Med. Assoc. 197, 1504 1508.Popa C., M.G. Netea, M. van Riel, M. van der Meer, and A.F Stalenhoef. 2007. The role of TNF-a in chronic inflammatory conditions, intermediary metabolism, and cardiovascular risk. J Lipid Res 48: 751762.Rachmawati, A.M., U. Bahrun, B. Rusli dan Hardjoeno. 2007. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium Diagnostik. Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin. Makasar. Halaman : 167-82.Rajarajeswari D., K. Ramalingam, M. Krishnamma and T.S. Krishna. Association Of Tnf- With Obesity In Type2- Diabetes Mellitus. Department Of Biochemistry, Narayana Medical College And Hospital. Nellore. India.Rajan M, V.Kishor Kumar, Satheesh Kumar, Kotam Reddy Swathi, Sangam Haritha. 2012. Antidiabetic, antihyperlipidaemic and hepatoprotective activity of methanolic extract of Ruellia tuberossa Linn leaves in normal and alloxan induced diabetic rats. Jurnal of Chemical and Pharmaceutical Research. 4(6): 2860-2868.Ress, D.A., and J.C., Alcolado. 2005. Animal Models of Diabetes Mellitus. Diabetic Medicine. 22: 359-370.Rizal, N.B. 2008. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian PJK pada Penderita DM tipe 2 di RSUP DR. M. Djamil Padang [Karya Ilmiah]. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Andalas Padang. Padang.

Romagnoli, M. and Gomez-Cabrera, M.C. 2010. Xanthine oxidase-induced oxidative stress causes active- tion of NF-kappaB and inflammation in the liver of type I diabetic rats. Free Radical Biology and Medicine. 49 : 171-177. Ronco, M.T. and de Alvarez, M.L. 2002. Modulation of balance between apoptosis and proliferation by lipid peroxidation (LPO) during rat liver regeneration. Mo- lecular Medicine. 8, 808-817.Rusdi, U.D., W. Widowati dan E.T. Marlina. 2007. Efek Ekstrak Kayu Secang , Vitamin E Dan Vitamin C Terhadap Status Antioksidan Total (SAT) pada Mencit yang Terpapar Aflatoksin. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran.Saif Ullah, Durre Shahwar, Mobasher Ahmad Semi Ullah, Naeem Ahmad, Muhammad Akmal Khan. 2011. Hypoglycemic Activity of Ruellia tuberose Linn (Acanthaceae) in Normal and Alloxan-Induced Diabetic Rabit. Iranian Journal of Pharmaceutical Sciences. Pakistan. 7(2): 107115.Sirois, M. 2005. Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures. Elsevier Mosby.St. Louis. Missouri. USA.Smeltzer, S. C., and B.G., Bare. 2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth (Vol. 2). EGC. Jakarta.Soegondo, S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.Thomas, H. E., R. Darwiche, J. A. Corbett, T. W. Kay. 1999. Evidence that cell death in the nonobese diabetic mouse is Fas independent. J. Immunol. 163: 1562Tolman K.G., V. Fonseca, A. Dalpiaz and MengH. Tan. 2006. Spectrum Of Liver Disease in Type 2 Diabetes And Management Of Pattient With Diabetes And Liver Disease http://care.diabetesjournals.org/cgi/content/full/ 30/3/734 [20 Agustus 2014].Tricklebank, K. A. 1994. Ultrastructure of fish liver : An early warning of of pollution. Proceeding of the First Australian Ecotoxicology Conference.Umniyah. I. N. 2007. Pengaruh Pemberian Teh Hijau (Camellia sinensis (L.)Kuntza) Terhadap kadartransaminase Pada Hepar Mencit (Mus musculus) Diabetes. [Skripsi]. Jurusan Biologi UIN. Malang.World Health Organization (WHO). 2012. Diabetes Melitus http:// www.who.int/mediacentre/ factsheet/fs138/en, [10 Agustus 2014].World Health Organisation (WHO). 2006. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group. World Health Organisation. Geneva Switzerland. S5-36.Zahtamal, F., Chandra, dan T., Restuasturi. 2007. Faktor- faktor risiko pasien diabetes melitus [Skripsi]. Universitas Riau. Riau..

Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian

Pakan 10 hariPakan dan sonde terapi 10 hariInduksi Streptozotocin20 mg/kg BB 5 hariIsolasi PankreasIsolasi HatiPembedahan tikusKelompok II (Tikus DM 1)Proses Diabetes Mellitus tipe 1 (14 hari)Kelompok III (Tikus DM 1 + terapi ekstrak pletekan dosis 450 mg/kg BB)Kelompok I (Tikus kontrol tanpa perlakuan)Pengambilan Fasting blood Glukosa darah hari ke-0, hari ke-1, hari ke-5, hari ke-10Adaptasi 7 hariHewan Coba Tikus (Rattus Norvegicus) JantanPengukuran ekspresi imunohistokimia TNF- pankreasPreparat imunohistokimia pankreas pada parafin blokAnalisis dataPreparat Histopatologi Hati dengan pewarnaan HE

Lampiran 2. Pembuatan senyawa bioaktif ekstrak Ruellia tuberossa L dan fraksi n-heksan

Ruellia tuberossa L

Diambil 4 pucuk daun teratas beserta batang pletekan Dicuci bersih dan dipotong kecil-kecil Dikeringkan dalam suhu ruang selama 5 hari Serbuk Ruellia tuberossa L keringDiblender Diambil sebanyak 500 g Diekstraksi dengan metanol (3L x 3) selama 72 jam Dipekatkan dengan rotary evaporator Ditimbang dan dicatat Ekstrak pekat dilarutkan dalam air Dipartisi dengan n-heksan (1:1) menggunakan corong pisah hingga betulin terekstraksi optimal Diambil fraksi n-heksan dan dipekatkan dengan rotory evaporator Ekstrak dismpan dalam botol gelap pada temperature 4C BetulinDitimbang dan dicatat

Lampiran 3. Diagram Kerja Penelitian3.1 Pembuatan larutan STZ dan injeksi STZ

100 gram STZ

0. Dilarutkan dalam 3 mL buffer sitrat pH 4,50. Divortex hingga homogen

Larutan STZ

0. Diinjeksikan pada tikus dengan dosis 20 mg/kg BB sebanyak 5 hari berturut-turut0. Tikus diposisikan terlentang hingga terlihat bagian abdomennya0. Pada bagian abdomen tikus disemprotkan alkohol 70%0. Diinjeksikan larutan STZ0. Diinkubasi selama 2 minggu

Tikus DM

3.2 Pembedahan dan isolasi organ hati dan pankreas

Tikus PutihHati dan pankreas dalam PFA 4 %

Dibunuh dengan dislokasi leherDiletakkan diatas nampan bedah posisi ventralDilakukan pembedahan menggunakan gunting bedahDiambil pankreas dan hatiDiletakkan pada cawan petri berisi NaCl fisiologis 0,9 %Dibersihkan Dipindahkan dan disimpan dalam larutan PFA 4 %

Lampiran 3.3 Pembuatan Preparat Hati

Hati dalam PFA 4 %Hati hasil dehidrasi dengan etanolHati dalam blok parafinPreparat siap pewarnaan

Diambil dan direndam dalam etanol 70% selama 24 jamDimasukkan pada etanol 80% selama 2 jamDimasukkan pada etanol 90% selama 20 menitDimasukkan pada etanol 95% selama 20 menit Dipindahkan dalam etanol absolut selama 3 x 20 menit

Dimasukan dalam larutan xylol I selama 60 menit pada suhu ruangDimasukkan dalam larutan xilol II selama 60 menit pada suhu 60 -63CDimasukkan dalam larutan xilol III selama 30 menit pada suhu ruang dan 30 menit pada suhu incubatorDicelupkan pada parafin cair selama 3 x 60 menit pada suhu 56-58C

Diiris seukuran 4 mIrisan diambil dan dipindahkan dalam air hangat dengan suhu 38- 40CIrisan diletakkan pada poly-1-lysin slideDikeringkan diatas hot plate dengan suhu 38 40C selama 24 jamDisimpan di inkubator dengan suhu 38-40C

Lampiran 4. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Preparat HatiPreparat Hematoksilin EosinPreparat Hati

Dimasukkan dalam xylol tingkat I, II, III masing masing 5 menitDimasukkan dalam etanol bertingkat etanol absolut, 95%, 80%, dan 70% masing masing selama 5 menitDicuci dengan air mengalir selama 15 menitDirendam dalam akuades steril selama 5 menit

Diwarnai dengan Hematoksilin selama 10 menit atau sampai diperoleh hasil terbaikDicuci dengan air mengalir selama 30 menitDibilas dan direndam dengan akuades selama 5 menitDiwarnai dengan Eosin selama 5 menitDicuci kembali dengan air mengalir selama 10 menitDicuci air dengan akuades selama 5 menitDimasukkan dalam etanol 70% selama 5 detikDimasukkan dalam etanol 80% selama 5 detikDimasukkan dalam etanoi 90% selama 5 detikDimasukkan dalam etanol 95% selama 5 detikDimasukkan kedalam etanol absolut 3 x 2 menitDimasukkan dalam larutan xilol 3 x 3 menitDikering anginkan dan ditutup dengan cover glassDimounting dengan menggunakan entellan Ditutup dengan cover glass

Lampiran 5. Pengukuran ekspresi TNF- pankreas dengan metode imunohistokimia

Preparat pankreas

dicuci dengan PBS pH 7,4ditetesi dengan 3% H2O2 selama 20 menitdicuci tiga kali dengan PBS pH 7,4 selama 5 menitdiblok dengan 5% FBS (Fetal Bovine Serum) selama 1 jamdicuci tiga kali dengan PBS ph 7,4 selama 5 menit

Preparat pankreasdiinkubasi dengan antibody primer anti rat TNF- selama semalam pada suhu 4oC

dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali.diinkubasi pada preparat dengan antibody sekunder anti rabbit biotin (Santa Cruz) selama 1 jam pada suhu ruang,dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kaliditetesi dengan SA-HRP (Strep avidin- Horse Radin Peroxidase) diinkubasi selama 40 menit. dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kaliditetesi dengan DAB (Diamino Benzidine)diinkubasi selama 10 menitdicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit tiga kali.Counterstaining dilakukan menggunakan Mayer Hematoxylen selama 10 menit, cuci dan keringkan.

Penghitungan ekspresi TNF- pankreas dengan AxiovisionDi mounting dengan entellan dan ditutup dengan cover glass.

Lampiran 6. Penghitungan Dosis dan Pengenceran Ekstrak Pletekan

Penghitungan dosis ekstrak pada tikus kelompok 3 dengan berat badan tikus adalah 181, 188, 180, 179, 189, dan 193 gram, serta tiap ekor tikus disonde dengan ekstrak sebanyak 2 ml adalah sebagai berikut :Dosis yang diberikan 450 mg/Kg BB tikus.

BB tikus kelompok 3= 181 + 188 + 180 + 179 + 189 + 193 = 1110 gram

= 499, 5 mgJadi ekstrak pletekan yang diberikan pada tikus kelompok 3 adalah 0,5 gram ekstrak yang dilarutkan pada 12 ml minyak jagung

Ekstrak pletekan

Ditimbang sebanyak 499,5 mgDimasukkan ke dalam labu ukurDitambah minyak jagung hingga volume menjadi 12 mlDiaduk hingga homogen

Hasil