PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN … · (1) keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya...
-
Upload
nguyenthien -
Category
Documents
-
view
256 -
download
3
Transcript of PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN … · (1) keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya...
PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA
DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR SEBUAH KAJIAN FOLKLOR
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Joko Nugroho
NIM : 004114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
i
PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA
DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR SEBUAH KAJIAN FOLKLOR
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Joko Nugroho
NIM : 004114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
ii
iii
iv
Motto
Tumandang marang Rogo
Kasunyatan ing Jiwo
(Penulis)
v
Halaman Persembahan
Kupersembahkan untuk Dia
vi
vii
ABSTRAK Nugroho, Joko. 2006. Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklor. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas tentang Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklor. Judul ini dipilih karena ketertarikan penulis terhadap peziarah yang datang untuk meminta berkah di Petilasan Sri Aji Jayabaya, bahkan ada yang tinggal hingga bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks sejarah dan budaya Kota Kediri, (2) mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, (3) mendeskripsikan proses ritual tirakatan malam 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, serta (4) melacak dan menjelaskan fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri. Penelitian ini menggunakan pendekatan folklor sebagai pendekatan utama, sedangkan pendekatan analisis sastra, deskriptif historis, dan, etnografi sebagai pendekatan tambahan. Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi adalah teori proses ritual dan upacara keagamaan, serta fungsi-fungsi proses ritual. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: teknik studi pustaka, teknik observasi, teknik wawancara, serta teknik perekaman dan pengarsipan. Nara sumber dalam penelitian ini adalah juru kunci dan peziarah. Tempat penelitian adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Hasil penelitian mengenai proses dan fungsi ritual ini menunjukkan bahwa (1) keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung sejarah raja Jayabaya yang memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M.. (2) proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya memang sudah mengalami beberapa pergeseran, namun tidak mengurangi tingkat kesakralannya, (3) proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento pada akhirnya diyakini sebagai tradisi ritual masyarakat setempat, dan (4) Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki empat fungsi, yaitu: (i) fungsi spiritual dalam membina hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya, (ii) fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah dan kontrol sosial bagi masyarakat Desa Menang, (iii) fungsi ekonomis, dengan dibukanya Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah ternyata berakibat pada penambahan pendapatan masyarakat Desa Menang, dan pedagang lain yang berjualan di sana, (iv) fungsi politik untuk mendapatkan simpati masyarakat luas (v) fungsi kultural selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu: fungsi spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis.
viii
ABSTRACT Nugroho, Joko. 2006. Ritual Process and Function of Tirakatan in Petilasan Sri Aji Jayabaya in Menang Village, Kediri City, East java: A Folklor Study. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
This study discuses about the ritual process and function of Tirakatan of
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Menang Village, Kediri City, East Java: A Folklore Study. This topic is chosen because (1) the special study about this ritual has never been done before. (2) Folklore studies in Indonesia in recent days are still limited.
The aims of this study are (1) to describe historical and cultural context of Kediri region, (2) to describe ritual processes of Tirakatan Jumat Legi and Selasa Kliwon at Petilasan Sri Aji Jayabaya, Menang, Kediri, East Java, (3) to describe ritual process of Tirakatan malam 1 Suro at that place, and (4) teaching and explaining the ritual process function of Tirakatan at that place. This Study use folklore approach as the main approach besides literature analysis, describtive historical approach, and ethnography. The theoretical frameworks for this study are theories of ritual process, religious ritual, and functions of ritual process. This study uses the method of library research, observation, interview, and data recording. The informants are the key-keeper and the pilgrims. This study took place at the Petilasan Sri Aji Jayabaya. This study arrived at some conclutions as follows (1) the Petilasan Sri Aji Jayabaya existence supported by the history of King Jayabaya that ruled Kadiri (Kediri) Kingdom between 1135 -1157 AD. (2) the ritual process have been modified, but it does not decrease the sacral value of the ceremony. (3) the ritual process of 1 Suro at the Petilasan Sri Aji Jayabaya that pioneered by Yayasan Hondodento is recently believed as ritual tradition of the people of the community. (4) Petilasan Sri Aji Jayabaya has four main functions. (i) spirirtual function as the relation between the pilgrims and God, (ii) social function as social interaction process between the pilgrims and social control for the people of Menang Village (iii) Petilasan Sri Aji Jayabaya, as tourism object, is actually increasing gave economical benefit for the people of Menang Village and the traders, (iv) political function to get sympathy from major people, (v) the cultural function has always been attached to other categories of function, such as: spiritual function, social function, economic function, and political function.
ix
KATA PENGANTAR
Pujian penuh syukur pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul fungsi dan proses ritual di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur melaui tinjauan : teori
foklor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat dalam kepada:
• Dekan Fakultas Sastra Dr. Fr.B.Alip. M.Pd.,MA dan Ketua Jurusan Sastra
Indonesia Drs. B.Rahmanto, M.Hum yang telah berkenan memberikan
surat ijin penelitian.
• Dosen pembimbing I Drs. Yoseph Yapi.Taum, M.Hum dan S.E. Peni Adji,
S.S., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan masukan, koreksi bahasa, dan keleluasaan berproses
bagi penulis dalam menyusun skripsi.
• Dosen pembimbing akademis, Dra. Fr. Tjandra, M.Hum atas kemudahan
dalam bimbingan KRS selama penulis kuliah.
• Seluruh Dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah mendidik penulis selama belajar di jurusan Sastra Indonesia
dengan tekunnya.
• Mbak Nik berdua, mbak Ros, dan seluruh Staf Pengajaran dan
Administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas
kesabarannya menghadapi kebandelan penulis.
• Seluruh Staf Perpustakaan atas bantuan, pelayanan, dan kesabarannya
melayani pengembalian buku yang sering tidak tepat waktu.
x
• Bapak Heri Santoso yang telah memperkaya pengetahuan penulis tentang
sejarah Indonesia dan atas revisi penerjemahan Bahasa Jawa Kromo ke
Bahasa Indonesia yang memusingkan padahal bahasa Ibu penulis sendiri.
• Para nara sumber penelitian baik juru kunci, tetua desa Menang, dan
semua peziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya atas waktu dan kesabaran
menanggapi pertanyaan penulis yang bertubi-tubi.
• Bapak Bardi yang berkenan meminjamkan salinan manuskrip Babad
Kediri yang telah lama penulis cari selama ini. Selamat atas diterbitkannya
buku Babad Kediri.
• Bapak Loo Jit Long dan Ibu Saminah yang telah membesarkan dan
mendidik penulis dengan penuh kasih sayang. Terima kasih juga untuk
Mas Gun sekeluarga atas perhatian saat penulis kuliah. Kalian adalah
keluarga terhebat yang pernah penulis miliki.
• Valentina Yasis Poerwandri Anindita yang mengingatkan penulis untuk
segera lulus karena umur yang sudah mulai merenta di Sastra Indonesia.
• Dita yang selalu memberi dorongan dan Ernes yang selalu terganggu tidur
malamnya karena penulis harus begadang tiap hari.
• Mimi atas pinjaman printernya, lewat Anez.
• Kawan-kawan begadang, Anez, Hepi, Brindel, Hendi, Ernes, Toni,
Ginting, dan Muji atas transfer ilmunya selama ini.
• Teman-teman Gassika yang semburat ke seleruh pelosok tanah air, kalian
selalu ada di otakku, “One for all – All for One”.
xi
• Teman-teman di Sindo dan Bengkel Sastra yang telah memperkaya
wawasan penulis dalam bidang jurnalistik dan teater.
• Kelik, Ami, Hendro, Santi, Fifa, Ani, Sigit, Retno, Yeni, Eko, dan semua
teman Sastra Indonesia angkatan 2000 lainnya yang telah atau belum lulus.
• Bapak Wanto sekeluarga yang berkenan memberi tempat berteduh selama
penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
• Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas curahan ide,
wacana, dan, dukungan baik secara langsung ataupun tidak kepada
penulis, terima kasih banyak dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam
mencantumkan nama.
Semoga karangan yang sederhana ini akan ada gunanya, terlebih dapat
bermanfaat untuk menambah gairah tulisan-tulisan tentang kekayaan folklor di
Indonesia. Jika terdapat berbagai kelemahan dalam tulisan ini merupakan
tanggungjawab penulis.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..…………………………………………………......... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.………………………......... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.………………………................... iii
HALAMAN MOTTO.………………………................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN.………………………................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .………………………………..….. vi
ABSTRAK.…………………………………………………………..……… vii
ABSTRACT.…….………………………………………................................. viii
KATA PENGANTAR..……………………………………..………………. ix
DAFTAR ISI.…………………………………………...…………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xvii
BAB I PENDAHULUAN………………………...…………………………
1.1 Latar Belakang………………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah…....……….………………………………………
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………….………
1.4 Manfaat Penelitian…..……………………………………………….
1.5 Tinjauan Pustaka………………...……………………………………
1.6 Landasan Teori……………………………………………………….
1.6.1 Folklor………………………….………………………………
1.6.2 Teori Proses Ritual dan Upacara Keagamaan…….……………
1
1
5
6
6
7
9
9
11
xiii
1.6.3 Fungsi-fungsi Proses Ritual…………………………..………..
1.7 Metode Penelitian……………………………………………….……
1.7.1 Lokasi dan Nara Sumber Penelitian………………………..…
1.7.2 Pendekatan……………………………………………………..
1.7.3 Metode………………………………………...……………….
1.7.4 Teknik Penelitian………………………………………………
1.7.4.1 Teknik Pengumpulan Data…………………………...
1.7.4.1.1 Teknik Studi Pustaka…….......…………….
1.7.4.1.2 Teknik Observasi…………………………..
1.7.4.1.3 Teknik Wawancara………………………...
1.7.4.1.4 Teknik Perekaman dan Pengarsipan……….
1.7.4.2 Teknik Analisis Data………………………………...
1.7.5 Instrumen Penelitian…………………………………………...
1.8 Sistematika Penyajian………………………………………………...
BAB II KONTEKS BUDAYA DAN SEJARAH KEDIRI..........................
2.1 Pengantar..............................................................................................
2.2 Topografi dan Demografi kota Kediri..................................................
2.3 Mitos dan Sejarah Kota Kediri.............................................................
2.3.1 Mitos di Kota Kediri...................................................................
2.3.1.1 Prabu Kelono Sewandono..............................................
2.3.1.2 Totok Kerot.....................................................................
2.3.1.3 Muksanya Raja Jayabaya..……………………………..
2.3.1.4 Dewi Kilisuci..................................................................
16
18
19
19
19
20
20
21
22
25
27
28
29
29
31
31
31
34
34
35
36
38
40
xiv
2.3.2 Sejarah Kota Kediri....................................................................
2.4 Sejarah Sri Aji Jayabaya.......................................................................
2.5 Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya………….
2.5.1 Petilasan Sri Aji Jayabaya Sebelum dipugar....……… ……….
2.5.2 Petilasan Sri Aji Jayabaya Setelah dipugar………..…………...
BAB III PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT LEGI DAN SELASA
KLIWON DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA
MENANG KOTA KEDIRI…………………………….................
3.1 Pengantar……………………………………………………………..
3.2 Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…..……………...
3.2.1 Tempat Upacara………...……………………………………...
3.2.2 Saat Upacara…………………………………………………...
3.2.3 Benda Upacara………….……………………………………...
3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……………...
3.3 Pelaksanaan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…..…………..
3.3.1 Proses Ritual Pribadi…………………………………………...
3.3.1.1 Tempat Upacara……………………………………...
3.3.1.2 Saat Upacara…………………………….…………...
3.3.1.3 Benda Upacara…………………………..…………...
3.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara…....
3.3.2 Proses Ritual Syukuran………………………………………...
3.3.2.1 Tempat Upacara……………………………………...
3.3.2.2 Saat Upacara…………………………………………
41
47
50
51
53
58
58
58
59
60
61
63
64
64
64
65
66
67
71
72
72
xv
3.3.2.3 Benda Upacara………………………………..……...
3.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……
3.4 Rangkuman……………………………………………………… …..
BAB IV PROSES RITUAL 1 SURO ATAU MUHHARAM DI
PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA
KEDIRI……………………………………………………………
4.1 Pengantar……………………………………………………………..
4.2 Persiapan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam……………………...
4.2.1 Tempat Upacara…………………………...…………………...
4.2.2 Saat Upacara…………………………………………………...
4.2.3 Benda Upacara…………………………………………………
4.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……………...
4.3 Pelaksanaan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam…………………...
4.3.1 Proses Ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya…………………...
4.3.1.1 Tempat Upacara……………………………………...
4.3.1.2 Saat Upacara………………………….……………...
4.3.1.3 Benda Upacara………………………..……………...
4.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……
4.3.2 Proses Ritual Di Sendang Tirtokamandanu……………………
4.3.2.1 Tempat Upacara……………………………………...
4.3.2.2 Saat Upacara…………………………………………
4.3.2.3 Benda Upacara……………………………………….
4.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……
73
77
84
86
86
87
87
88
90
92
93
94
96
97
97
101
106
106
106
107
107
xvi
4.4 Rangkuman…………………………………………………………...
BAB V FUNGSI PROSES RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN SRI
AJI JAYABAYA DESA PAMENANG KEDIRI………………...
5.1 Pengantar……………………………………………………………..
5.2 Fungsi Spiritual……………………………………………………….
5.3 Fungsi Sosiologis……………………………………………………..
5.4 Fungsi Ekonomis……………………………………………………..
5.5 Fungsi Politis………………………………………………………....
5.6 Fungsi Budaya.....................................................................................
Rangkuman…………………………………………………………...
BAB VI PENUTUP……………………………………………...…………
6.1 Kesimpulan..………………………………………………………….
6.2 Saran………………………………………………………………….
110
112
112
112
115
116
119
122
125
127
127
129
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PENULIS
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : DAFTAR PERTANYAAN
LAMPIRAN 2 : DAFTAR NARA SUMBER
LAMPIRAN 3 : FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT
LEGI DAN SELASA KLIWON
LAMPIRAN 4 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN
PRIBADI JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
LAMPIRAN 5 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN
SYUKURAN JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
LAMPIRAN 6 : FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL 1 SURO
LAMPIRAN 7 : FOTO ALAT MUSIK DALAM PROSES RITUAL 1 SURO
LAMPIRAN 8 : FOTO PROSES RITUAL PEMBUKAAN DAN
PEMBERANGKATAN PERARAKAN BENDA PUSAKA
LAMPIRAN 9 : FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA MENUJU
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 10 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO DI
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 11 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA
DI PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 12 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL CAOS DAHAR DI
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 13 : FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA MENUJU
SENDANG TIRTO KAMANDANU
xviii
LAMPIRAN 14 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO DI
SENDANG TIRTOKAMANDANU
LAMPIRAN 15 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA
DI SENDANG TIRTO KAMANDANU
LAMPIRAN 16 : FOTO PEZIARAH YANG BEREBUT AIR SENDANG DAN
BUNGA KANTHIL DI SENDANG TIRTOKAMANDANU
LAMPIRAN 17 : RANGKAIAN KEGIATAN ZIARAH 1 SURO 1939 DI DESA
MENANG
LAMPIRAN 18 : SEJARAH SRI AJI JAYABAYA YANG DIBACAKAN
PADA PROSES RITUAL 1 SURO
LAMPIRAN 19 : DENAH PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 20 : DENAH SENDANG TIRTOKAMANDANU
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi di era globalisasi dewasa ini tidak menghambat
kehidupan kebudayaan dan tradisi lisan di Indonesia. Hal ini terbukti dari masih
banyaknya tempat-tempat yang dianggap keramat dan didatangi orang untuk
berziarah. Tempat-tempat ziarah yang dianggap keramat itu dapat berupa sebuah
gua, daerah gunung berapi, petilasan (makam leluhur atau orang suci), pohon
besar, dan masih banyak lagi. Kedatangan peziarah mengunjungi tempat-tempat
tersebut didorong berbagai macam alasan. Ada yang bertujuan untuk mencari
kekayaan, sukses dalam pekerjaan, jodoh, menikmati suasana hening, dan masih
banyak alasan lain dari tujuan peziarah tersebut.
Berbagai macam alasan peziarah mendatangi tempat-tempat yang
dianggap keramat itu sebenarnya memiliki hubungan erat dengan emosi
keagamaan yang dimilikinya. Menurut Koentjaraningrat (1967: 218), emosi
keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah
menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran
itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang
lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religius.
Perilaku manusia yang serba religius ini mendorong mereka untuk
mendatangi tempat-tempat keramat yang dianggap sebagai tempat besemayamnya
arwah leluhur atau dewa-dewi, juga kekuatan-kekuatan gaib yang ada pada benda
2
tertentu, yang kebetulan tersimpan di tempat keramat itu. Maka tempat-tempat
keramat itu pada saat-saat tertentu dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan,
seperti upacara-upacara persembahan kepada “Yang Maha Kuasa”.
Tempat-tempat keramat yang dipercaya bersemayam tokoh leluhur yang
pada masa hidupnya memiliki kharisma merupakan salah satu tempat favorit
untuk didatangi peziarah, terlebih jika tokoh itu dimitoskan oleh pendukungnya
dan dijadikan sebagai panutan perilaku kelompok orang tertentu. Tempat keramat
yang didukung oleh keberadaan mitos yang kharismatis itu akan menjadi tempat
ziarah dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah yang dilakukan ini pada
hakikatnya menyadarkan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang
hanya mampir ngombe1. Ziarah ke tempat-tempat keramat maksudnya sangat
bervariasi dan salah satunya adalah untuk memperoleh restu leluhur yang
dianggap telah lulus dalam ujian hidup (Subagya, 1981: 141).
Salah satu tempat ziarah yang kharismatik adalah Petilasan Sri Aji
Jayabaya yang terletak di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri,
sekitar delapan kilometer arah utara dari pusat Kota Kediri. Kota Kediri berada di
sebelah selatan Propinsi Jawa Timur. Selain Petilasan Sri Aji Jayabaya, di kota ini
masih ada banyak tersimpan cerita dan tradisi lisan lainnya. Cerita dan tradisi
lisan di Kota Kediri masih terlihat lestari, hal ini ditandai dengan banyaknya
kegiatan-kegiatan religi dan kepercayaan masyarakat terhadap mitos serta hal-hal
gaib.
1 Mampir ngombe merupakan bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti singgah untuk minum. Dalam kehidupan di dunia ini kebanyakan orang Jawa percaya bahwa manusia menjalani hidup seperti halnya singgah untuk minum saja.
3
Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dipercaya orang menjadi tempat
muksanya2 Sri Aji Jayabaya, yaitu raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar
tahun 1135 – 1157 M.. Jayabaya sangat dikenal masyarakat Indonesia oleh karena
ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia) dari segala
aspek. Ramalan Jayabaya yang sampai hari ini dianggap masih tetap relevan dan
aktual bagi sebagian masyarakat Jawa, bisa disejajarkan dengan Nostradamus,
"peramal" dari daratan Eropa.
Tidak mengherankan jika situs yang dipagari tembok - bangunan baru -
setinggi lima meter, dengan luas sekitar 25 meter persegi, dapat menjadi medan
magnet bagi ribuan manusia pada setiap 1 Sura atau Muhharam. Tiap menjelang 1
Sura, masyarakat dari dalam dan luar Kota Kediri berbondong-bondong memadati
Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk meminta berkah.3
Tradisi lisan yang berkembang di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini bermula
dari mimpi Warsodikromo (1860), tentang sebuah gundukan tanah yang telah
menjadi rawa, di sana dulu pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu
Sri Aji Jayabaya. Atas petuah dalam mimpi itu penduduk mengadakan pencarian
terhadap petilasan atau makam tersebut. Akhirnya, dengan dibantu oleh seorang
ahli metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil
diketemukan. Letaknya di bawah naungan pohon kemuning. Dan mulai saat itu
tempat yang dulunya hanya sebuah gundukan tanah, mulai ramai didatangi
pengunjung untuk berziarah (Hondodento 1989: 8).
2 Muksa berarti orang yang meninggal dan hilang bersama jasadnya 3 Lihat juga http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/03-/daerah/dari25.htm
4
Pada tahun 1975, keluarga besar Hondodento memugar petilasan Sri Aji
Jayabaya yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang
Tirtokamandanu. Bangunan Pamoksan Sri Aji Jayabaya yang dipugar meliputi,
Loka Muksa4, Loka Busana5, serta Loka Makuta6. Sebelumnya banyak juga di
antara peziarah yang datang dan ingin memugar, namun belum ada satu pun dapat
menyelesaikan pemugaran tersebut. Pemugaran yang dilakukan oleh keluarga
besar Hondodento ini menjadikan Pamoksan Sri Aji Jayabaya makin ramai
didatangi orang-orang untuk berziarah.
Setelah keluarga besar Hondodento berhasil memugar Pamoksan Sri Aji
Jayabaya dan dilanjutkan dengan pemugaran Sendang Tirtokamandanu, sekitar
satu kilo dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sendang ini konon digunakan untuk
memandikan putra-putri raja Jayabaya sebelum mengunjungi pamuksan.
Sendang Tirtokamandanu dan Pamoksan Sri Aji Jayabaya sekarang tidak
hanya dipadati peziarah menjelang 1 Sura atau Muhharam saja, tetapi setiap
malam Jumat Legi dan Selasa Kliwon juga ramai oleh kedatangan peziarah yang
kebanyakan berasal dari luar Kota Kediri. Mereka datang dengan berbagai macam
permintaan, ada yang meminta agar cepat mendapat jodoh, dagangan sukses,
sembuh dari sakit, dan ada juga yang hanya ingin menikmati suasana sunyi.
Setiap harinya ada saja peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya
selain hari Jumat Legi, Selasa Kliwon, dan tanggal 1 Suro, bahkan terdapat
beberapa orang yang tinggal bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah dan hanya
bermukim di sekitar pendopo pamuksan atau sendang dengan perbekalan 4 Tempat Sri Aji Jayabaya muksa 5 Lambang tempat busana diletakkan 6 Lambang tempat mahkota diletakkan
5
seadanya. Keperluan sehari-hari untuk makan dan minum mereka menunggu
kiriman dari saudara-saudaranya yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap
hari Jumat Legi atau Selasa Kliwon. Kejadian-kejadian tersebut mempertebal
keingintahuan peneliti untuk mendalami keberadaan proses ritual dan fungsi
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa
Timur.
Melalui teori folklor, penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan
sebagai berikut: (1) konteks budaya dan sejarah Kota Kediri, (2) proses ritual
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang, Kota Kediri, (3) proses ritual 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, (4) fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.
Peneliti berharap dengan kajian terhadap proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya ini dapat memberikan informasi lebih dalam tentang
keberadaan salah satu tradisi lisan yang ada di masyarakat Kota Kediri, Propinsi
Jawa Timur, dan sebagai wujud pelestarian satu dari sekian banyak tradisi lisan
yang masih ada di negara Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, masalah-masalah yang ingin dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah konteks budaya dan sejarah Kota Kediri?
6
1.2.2 Bagaimanakah proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?
1.2.3 Bagaimanakah proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?
1.2.4 Apa fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang, Kota Kediri?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri
yang meliputi:
1.2.1 mendeskripsikan konteks budaya dan sejarah Kota Kediri,
1.2.2 mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri,
1.2.3 mendeskripsikan proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri,
1.2.4 melacak dan menjelaskan fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dalam bidang folklor, dapat menambah khazanah bacaan studi tentang
proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota
Kediri.
7
1.4.2 Dalam bidang wisata, studi ini dapat memperkenalkan salah satu lokasi
wisata ziarah yang ada di Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini membahas Petilasan Sri Aji Jayabaya berkenaan dengan
proses ritual tirakatan yang ada di sana. Nama Jayabaya memang tidak asing bagi
masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku dan media cetak
yang menuliskan tentang keberadaan Jayabaya terlebih tentang ramalan-
ramalannya, baik itu dihubungkan dengan politik (ratu adil) atau pun keberadaan
alam Indonesia, seperti buku Ramalan Sakti Prabu Jayabaya: Membuka Tabir
Tanda-tanda Jaman. Dalam buku ini secara garis besar berisi tentang isi ramalan
Jayabaya yang dihubungkan dengan fenomena politik dan alam yang terjadi di
Indoneisia (Purwadi, 2003). Soesetro dan Zein Al Arief (1999) juga menulis
tentang ramalan Jayabaya yang dikaitkan dengan fenomena reformasi politik di
Indonesia dalam bukunya yang berjudul Membuka Tabir Ramalan Jayabaya Di
Era Reformasi.7
Banyaknya tulisan mengenai Jayabaya terlebih tentang ramalan-
ramalannya, hanya sedikit yang ditemui oleh peneliti, buku atau artikel yang
menuliskan keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kebanyakan media cetak
menulis berita atau artikel secara sepintas menyebutkan keberadaan Petilsan Sri
Aji Jayabaya. tulisan itupun berkenaan dengan kegiatan proses ritual 1 Suro yang
diadakan oleh Yayasan Hondodento. Seperti dalam kutipan berikut: “Labuhan
7 Lihat juga http://www.ikapi.or.id/portal/template/DetilLacak/id/879
8
yang diselenggarakan oleh Yayasan Hondodento itu merupakan salah satu
rangkaian dalam upacara ziarah dan ritual yang dilakukan pada bulan Suro.
Sebelumnya telah dilakukan di Komplek Candi peninggalan Prabu Jayabaya di
daerah Mamenang Kediri”.8
Hingga saat ini peneliti hanya menemukan satu buku tentang keberadaan
Petilasan Sri Aji Jayabaya. Buku itu ditulis dan diterbitkan oleh Yayasan
Hondodento dengan judul Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Secara garis
besar isi buku ini mengenai hal ihwal pemugaran Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirto Kamandanu di desa Menang. Jadi buku ini lebih banyak
mengungkapkan tentang arsitektur bangunan dan dampak pemugaran dari
Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu bukan tentang proses
ritual atau upacara keagamaan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Peneliti juga pernah menemukan satu judul artikel tentang petilasan Sri Aji
Jayabaya. Judul artikel itu adalah Pamoksan Sri Aji Jayabaya ing Menang.9
Artikel ini ditulis oleh Suwarsono dalam majalah Jaya Baya. Majalah Jaya Baya
adalah salah satu media cetak yang ada di Surabaya yang menggunakan Bahasa
Jawa. Artikel ini berbicara tentang sejarah singkat dan daya tarik Petilasan Sri Aji
Jayabaya bagi peziarah.
Perbedaan penelitian Proses Dan Fungsi Ritual Tirakatan Di Petilasan Sri
Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur Sebuah Kajian
Foklor ini adalah melanjutkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian ini
akan mendeskripsikan secara terperinci tentang sejarah, proses ritual, dan fungsi 8 lihat juga http://www.indomedia.com/bernas/042001/10/UTAMA 9 Lihat juga hHttp://anulib.anu.edu.au/sasi/new/search_detailed.php?sn=156&in=3020&an=62530
9
proses ritual bagi pendukungnya. Jadi dalam penelitian ini tidak lagi berisi tentang
arsitek dan daya tarik Petilasan Sri Aji Jayabaya saja namun berusaha
mendeskripsikan tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri AJj Jayabaya
secara mendalam.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Folklor
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 2).
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1984: 21) berdasarkan tipenya folklor
dibagi menjadi tiga kelompok : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor
sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) floklor bukan lisan (non verbal
folklore)
(1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a)
bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional,
(d) pertanyaan rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat.
(2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor ini adalah
kepercayaan rakyat dan permainan rakyat.
10
(3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan,
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk folklor ini
dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang berupa material atau yang bukan
material.
Dalam penelitian ini akan digunakan teori folklor sebagian lisan yang
berbentuk kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga
disebut sebagai “takhyul” atau kini lebih dikenal sebagai folk belief (Danandjaja,
1984: 153).
Dundes dalam Danandjaja (1984: 155) mendefinisikan folk belief sebagai
ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat;
beberapa dari syarat-syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat
sebab.
Takhyul mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga
kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga
alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Bruvand dalam Danandjaja, 1984:
153).
Lebih lanjut Danandjaja (1984), menambahkan bahwa takhyul
menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya diwariskan
melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang
terdiri dari tanda-tanda (sigus) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan
akan ada akibatnya (result) (Danandjaja, 1984: 154).
11
Berdasarkan maknanya, takhyul dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a)
hubungan asosiasi dan (b) ilmu gaib atau magic. Takhyul tersebut dapat dijelaskan
melalui contoh takhyul berikut ini
(1) Jika mendengar suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat).
(2) Jika kita memandikan kucing (sebab), maka akan turun hujan (akibat).
Takhyul dalam contoh (1) adalah berdasarkan hubungan sebab akibat menurut
hubungan asosiasi. Sedangkan takhyul yang kedua, yaitu perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “akibat”, adalah yang kita
sebut ilmu gaib atau magic (Danandjaja, 1984: 154).
Teori folk belief sebagai ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat
dan satu atau lebih akibat digunakan untuk menjelaskan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya dalam hubungannya dengan tanda-tanda atau sebab-
sebab terciptanya tempat-tempat, alat-alat, waktu, dan orang yang memimpin
upacara. Dan juga untuk menjelaskan akibat yang muncul setelah dilakukannya
upacara keagamaan.
1.6.2 Teori Proses Ritual dan Upacara Keagamaan
Menurut Koentjaraningrat (1967: 218) emosi keagamaan atau religious
emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi
seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin
hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi
keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi.
12
Kelakuan serba religi menurut tata kelakuan yang baku, disebut upacara
keagamaan atau religious ceremonies atau rites. Menurut Van Gennep dalam
Koentjaraningrat (1985: 32) proses ritual dan upacara keagamaan secara universal
pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat
kehidupan sosial antara warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena selalu ada
saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya
akan timbul kelesuan dalam masyarakat. Kelesuan inilah yang menyebabkan
manusia membuat upacara keagamaan.
Senada dengan Van Gennep, Robertson Smith mengatakan bahwa upacara
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat
pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, mempunyai fungsi
sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi
atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan
upacara itu secara sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya
melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk
berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan
keagamaannya secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap melakukan
upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial (Koentjaraningrat 1985: 24).
Proses ritual atau ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI,
1989: 844). Sedangkan tirakatan adalah mengasingkan diri ke tempat yang sunyi
(di gunung, dsb) (KBBI, 1989: 1061). Jadi pengertian proses ritual tirakatan
adalah tata cara dalam upacara keagamaan dengan cara mengasingkan diri ke
tempat yang sunyi. Pengertian ini digunakan peneliti sebagai dasar untuk
13
menganalisis tata cara dalam proses ritual tirakatan 1 Suro, Jumat Legi dan Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Menurut Koentjaraningrat, (1967: 230-234) tiap-tiap upacara keagamaan
dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat
upacara, (b) saat-saat upacara, (c) benda-benda upacara, (d) orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara.
(a) Tempat-tempat upacara yang keramat itu adalah biasanya suatu tempat
yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi oleh barang siapa yang
tidak berkepentingan. Malahan mereka yang mempunyai kepentingan
tidak boleh sembarangan berada di tempat upacara. Mereka harus berhati-
hati dan harus memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan.
(b) Saat-saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan
gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat itu biasanya saat yang
berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta.
(c) Benda-benda dan alat-alat upacara merupakan perlengkapan yang dipakai
dalam hal menjalankan upacara-upacara keagamaan. Alat-alat upacara
yang amat lazim di mana-mana adalah patung yang mempunyai fungsi
sebagai lambang dari dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tujuan
dari upacara.
(d) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara adalah orang-orang
yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi ahli dalam hal
melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan.
14
Disamping empat komponen upacara keagamaan, Koentjaraningrat
menambahkan unsur-unsur dari upacara keagamaan, yaitu : (a) bersaji, (b)
berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan menyanyi, (f) berpawai,
(g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i) intoxikasi, (j) bertapa, (k) bersamadi.
Secara singkat unsur-unsur itu dijelaskan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut :
(a) Bersaji, meliputi perbuatan-perbuatan upacara yang biasanya diterangkan
sebagai perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makanan, benda-benda,
atau lain-lainnya kepada dewa, roh-roh nenek moyang, atau makhluk halus
lainnya, tetapi yang di dalam praktek jauh lebih komplek dari pada itu.
(b) Berkorban merupakan suatu perbuatan pembunuhan binatang-binatang
korban, atau manusia, secara upacara.
(c) Berdoa adalah suatu unsur yang ada dalam banyak upacara keagamaan di
dunia. Doa itu pada mulanya adalah rupa-rupanya suatu ucapan dari
keinginan manusia yang diminta dari para leluhur, dan juga ucapan-ucapan
hormat dan pujian kepada leluhur itu.
(d) Dasar pemikiran dari perbuatan makan bersama adalah rupa-rupanya
mencari hubungan dengan dewa-dewa dengan cara mengundang dewa
pada suatu pertemuan makan bersama.
(e) Jalan pikiran yang ada tentang menari dan menyanyi adalah rupa-rupanya
memaksa alam bergerak.
(f) Berpawai atau dalam bahasa asing procession, merupakan juga suatu
perbuatan yang amat umum dalam banyak religi di dunia. Pada pawai-
pawai itu sering dibawa benda-benda keramat, seperti patung-patung
15
dewa, lambang-lambang totem, benda-benda pusaka yang sakti, dan
sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-
benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal
manusia dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui oleh pawai itu.
(g) Memainkan seni drama seringkali mempunyai arti sebagai suatu upacara
agama, kalau yang dimainkan itu suatu cerita suci dari mitologi atau dari
kitab-kitab suci.
(h) Dasar yang ada pada perbuatan berpuasa bisa bermacam-macam, misalnya
membersihkan diri atau meguatkan batin dengan penderitaan
(i) Intoxikasi terdiri dari perbuatan-perbuatan untuk memabukkan atau
menghilangkan kesadaran diri para pelaku upacara. Dengan demikian
maka para pelaku upacara sering melihat bayangan-bayangan atau
khayalan-khayalan.
(j) Bertapa ada dalam agama-agama dan religi-religi yang mempunyai
konsepsi bahwa rohani itu lebih penting dari jasmani. Demikian ada
pendirian bahwa kalau hasrat-hasrat jasmani dari manusia itu bisa ditekan,
maka jiwa akan menjadi lebih bersih dan suci.
(k) Bersamadi adalah berbagai macam perbuatan serba religi yang bertujuan
untuk memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-
hal yang suci (Koentjaraningrat, 1967: 240-247).
Teori proses ritual yang terdiri dari empat komponen dan sebelas unsur ini
digunakan peneliti untuk mendeskripsikan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri
Aji Jayabaya. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pengurangan dan
16
penggunaan teori-teori lain yang akan mendukung pendeskripsian tentang
keberadaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang,
Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur ini.
1.6.3 Fungsi-fungsi dalam Proses Ritual
Fungsi proses ritual secara umum terbagi menjadi empat, yaitu fungsi
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Proses ritual sebagai fungsi spiritual
yaitu usaha manusia dalam berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara manusia
berkomunikasi melalui upacara-upacara keagamaan baik untuk memohon
keselamatan, menjaga keseimbangan kosmos, bahkan pembinaan hubungan baik
dengan para leluhur dan Tuhannya (Rostiyati, 1994 :106-107).
Proses ritual memiliki fungsi spiritual juga berhubungan erat dengan
emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat
(1967: 218) emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa
yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka
waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik
saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong
manusia untuk berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis
pada segala sesuatu yang bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut,
seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan.
Sebagai fungsi sosiologis, upacara keagamaan memiliki penjelasan-
penjelasan sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat kehidupan
sosial antara warga masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama terkadang
17
tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi hanya
melakukannya karena mereka menganggap melakukan upacara itu sebagai suatu
kewajiban sosial saja (Rostiyati, 1994 :111-112).
Menurut Endraswara (2005: 229-231) prinsip ekonomis orang Jawa untuk
meraih kabegjan (keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar.
Orang Jawa khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak
langsung akan membuat roda ekonomis lancar. Demikian halnya dengan fungsi
ekonomis yang ada dalam proses ritual tirakatan di petilasan Sri Aji Jayabaya,
selain erat hubungannya dengan dibukanya sebagai obyek ziarah dan wisata yang
secara ekonomis langsung dapat dirasakan oleh penduduk setempat, juga
berhubungan dengan perilaku ekonomis yang diwarnai dengan ritual-ritual.
Kepercayaan akan ritual-ritual ini menyebabkan penduduk setempat mendatangi
petilasan Sri Aji Jayabaya dan meminta pertolongan agar roda perekonomianya
selalu berjalan dengan lancar.
Proses ritual berfungsi politis ini berkaitan dengan mesianistik atau sang
pembebas. Mesianistik ini dengan cara menggunakan kepercayaan masyarakat
terhadap sosok sang pembebas atau orang Jawa menyebutnya sebagai “Ratu
Adil”. Lantaran kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat, maka banyak tokoh politik
yang memiliki visi populis dengan menggunakan paham mesianistik untuk
memperoleh dukungan rakyat. Gerakan mesianistik berupa ratu adil ini sangat
dirasakan di Indonesia pada akhir abad ke-20.10 Selanjutnya menurut Endraswara
(2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik
10 Lihat juga http://www.kompas.com/-kompas-cetak/utama/1109/00.htm
18
dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya meraih kekuasaan. Kekuasaan
dalam masyarakat Jawa ini sangat terkait dengan konsep kasekten (kesaktian)
seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh kewibawaan seorang
pemimpin.
Pengertian budaya atau kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat (KBBI,
1989: 1061). Meluasnya pengertian budaya ini membuat peneliti harus membatasi
fungsi budaya dalam penelitian ini. Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di
sini tidak diartikan berdiri sendiri, melainkan akan melekat pada kategori-kategori
fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual, sosiologis,
ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya dalam proses
ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis, budaya
sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya.
Teori fungsi proses ritual tirakatan ini digunakan untuk menjelaskan
fungsi makna religius, sosiologisl, ekonomis, politis, dan budaya dari proses ritual
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa
Timur.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah proses atau langkah-langkah yang akan
dilakukan peneliti untuk mencapai kebenaran ilmiah. Dalam bagian ini akan
dijelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan peneliti dalam menganalisis
19
proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota
Kediri.
1.7.1 Lokasi dan Nara Sumber Penelitian
1.7.1.1 Lokasi penelitian ini berada di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang
Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
1.7.1.2 Nara sumber penelitian adalah juru kunci dan peziarah yang datang ke
Petilasan Sri Aji Jayabaya.
1.7.2 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan Folklor sebagai pendekatan
utama. Akan tetapi pendekatan analisis sastra, histografi, dan etnografi juga
dimungkinkan pula sebagai pendekatan tambahan, khususnya dalam menganalisis
teks mitos, sejarah, dan budaya Kota Kediri.
1.7.3 Metode
Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.
Menurut KBBI, (1989: 228) arti deskriptif adalah bersifat pemaparan atau
penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci. Sedangkan kualitatif
menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1989: 3) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
20
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi metode
penelitian deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian dengan cara
pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci
terhadap data yang berupa “kata-kata tertulis” atau “lisan” dari orang-orang
dengan perilaku yang dapat diamati peneliti.
1.7.4 Teknik Penelitian
Teknik penelitian menjelaskan tentang proses pengumpulan data di
lapangan yang meliputi studi pustaka, observasi, wawancara, dan perekaman serta
pencatatan. Proses pengumpulan data ini diakhiri dengan menganalisis data yang
sudah di dapat di lapangan.
1.7.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode
dan tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti.
Dapat disebutkan antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus,
analisis terhadap karya (tulisan, film, karya seni lain), analisis dokumen, analisis
catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup, dan lain sebagainya
(Poerwandari, 1998: 61).
Menurut Endraswara, metode pengumpulan data dalam folklor dapat
dilakukan melalui dua cara. Pertama, inventarisasi melalui seluruh judul tulisan
sastra lisan di media massa, baru dikaji secara keseluruhan. Kedua, melalui
21
inventarisasi secara langsung di masyarakat (Endraswara, 2005: 210). Lebih
mendalam Taum (2002), menambahkan bahwa pengumpulan data penelitian
kualitatif tradisi atau sastra lisan, berisi tentang, teknik-teknik wawancara,
pengamatan, perekaman, pencatatan, dan pengarsipan yang diperlukan untuk
mendapatkan data sastra lisan dari tempat penelitian (Taum, 2002: 88).
Dalam penelitian ini akan digunakan penggabungan kedua cara
pengumpulan data yaitu melalui inventarisasi seluruh judul tulisan sastra lisan di
media massa dan inventarisasi langsung di masyarakat dengan wawancara dan
observasi di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
1.7.4.1.1 Teknik Studi Pustaka
Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, rapat, dan sebagainya
(Arikunto, 1993: 234). Lebih lanjut Taum (2002), mengatakan studi pustaka dapat
berupa buku-buku di perpustakaan atau koleksi pribadi dan teman mengenai
kolektif suatu suku bangsa yang akan menjadi sasaran studi (Taum, 2002: 86).
Teknik kepustakaan ini dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret dan
menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian yaitu proses ritual
dan kepercayaan orang jawa khususnya masyarakat Kediri terhadap keberadaan
Petilasan Sri Aji Jayabaya.
22
1.7.4.1.2 Teknik Observasi
Komaruddin, (1974: 97) berpendapat bahwa observasi akan menghasilkan
deskripsi yang khusus tentang apa yang telah terjadi, dari peristiwa-peristiwa
sejarah, atau hasil dari peristiwa-peristiwa. Cara ini digunakan untuk mendukung
hasil wawancara untuk memperoleh gambaran utuh tentang proses ritual tirakatan
masyarakat Jawa di petilasan Sri Aji Jayabaya.
Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (1989: 137-138) menjelaskan
beberapa alasan mengapa observasi atau pengamatan dilakukan dalam penelitian,
yaitu pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung
di lapangan. Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang
terjadi pada keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti
mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional
maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat, sering terjadi
keraguan pada peneliti tentang data yang di dapat, apakah ada yang “menceng”
atau bias. Maka untuk mengecek keakuratan data tersebut ialah dengan jalan
memanfaatkan pengamatan. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti
mampu memahami situasi-situasi yang rumit atau kompleks. Keenam, dalam
kasus-kasus tertentu di mana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan,
pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Secara metodologis penggunaan pengamatan memiliki empat tujuan
sebagai berikut: pertama, pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari
segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya.
23
Kedua, pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dunia sebagaimana
yang dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena
dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan
dan anutan para subjek pada keadaan waktu itu. Ketiga, pengamatan
memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek
sehingga memungkinkan pula sebagai peneliti menjadi sumber data. Keempat,
pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama,
baik dari pihaknya maupun dari pihak subjek (Guba dan Lincoln dalam Moleong,
1989: 138).
Menurut Patton dalam Moleong (1989), peranan peneliti sebagai pengamat
memiliki lima karakteristik sebagai berikut: pertama, ditinjau dari segi peranan
pengamat yang diamati. Peranan pengamat itu ialah pada latar pengamat berperan
serta penuh, pengamatan sebagian, atau pengamatan oleh orang luar.
Kedua, ditinjau dari segi gambaran peranan peneliti terhadap yang lainnya.
Pada pengamatan terbuka, subjek mengetahui persis bahwa pengamatan sedang
dilakukan oleh seorang pengamat. Pada situasi lainnya, pengamat hanya diketahui
oleh sebagian, sedangkan sebagian lainnya tidak mengetahui. Situasi lain lagi,
yaitu pada pengamatan tertutup, subjek sama sekali tidak mengetahui kehadiran
pengamat dan tidak mengetahui bahwa sedang diadakan pengamatan.
Ketiga, berkenaan dengan gambaran maksud pengamat terhadap lainnya.
Pada sisi yang satu, kepada seluruh subjek diberitahukan maksud dan tujuan
pengamatan. Penjelasan tentang maksud barangkali hanya diberitahukan kepada
sebagian subjek, dan yang lainnya tidak diberitahukan. Pada pengamatan tertutup
24
itu tidak diberitahukan sama sekali. Masih ada lagi yang lainnya, yaitu dengan
sengaja peneliti memberitahukan maksudnya, tetapi secara tersamar atau
disembunyikan atau barangkali maksudnya diputarbalikkan.
Keempat, dimensi ini berkenaan dengan lamanya pengamatan dilakukan.
Pengamatan dilakukan hanya pada saat-saat yang singkat. Di pihak lain
pengamatan dilakukan untuk jangka waktu yang lama.
Kelima, fokus suatu pengamatan. Di satu sisi fokus studi untuk keperluan
pengamatan sangat sempit. Di pihak lain fokus studi itu secara meluas, yaitu dari
segi pandangan keutuhan (holistik) jadi mencakup seluruh latar dengan unsur-
unsurnya (Patton dalam Moleong, 1989: 141-142).
Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai orang luar dan subjek sama
sekali tidak mengetahui bahwa sedang diadakan pengamatan. Peneliti
memberitahukan maksud dan tujuannya, tetapi secara tersamar atau
disembunyikan telah melakukan pengamatan. Lamanya pengamatan dilakukan
dalam untuk jangka waktu yang lama. Fokus studi dilakukan secara meluas, yaitu
dari segi pandangan keutuhan (holistik) jadi mencakup seluruh latar dengan
unsur-unsurnya. Peneliti di sini telah melakukan observasi awal di Petilasan Sri
Aji Jayabaya untuk selanjutnya peneliti akan melakukan observasi pada saat
wawancara berlangsung. Observasi ini akan diwujudkan dalam catatan lapangan
yang dapat menambah pemahaman peneliti terhadap situasi yang dialami oleh
subjek ketika diwawancara.
25
1.7.4.1.3 Teknik Wawancara
Wawancara sebagai suatu proses tanya-jawab lisan, yaitu dua orang atau
lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan
mendengarkan dengan telinga sendiri suaranya. Metode ini merupakan alat
pengumpul informasi yang langsung tentang beberapa jenis data sosial, baik yang
terpendam (latent) maupun yang memanifes (Hadi, 1979: 192).
Peneliti melakukan wawancara orientasi kancah dengan menggunakan
pertanyaan tak terstruktur. Pertanyaan biasanya tidak disusun terlebih dahulu,
malah disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dari responden.
Pelaksanaan tanya-jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari (Guba
dan Lincoln dalam Moleong, 1989: 152). Patton dalam Moleong, (1989: 148)
menambahkan bahwa wawancara jenis ini pertanyaan yang diajukan sangat
bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya
dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai.
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai
aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar untuk mencocokkan
apakah aspek-aspek relevan tersebut telah ditanyakan atau belum. Dengan
pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut
akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan
pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Tidak ada
pertanyaan-pertanyaan standar yang mengatur pendalaman atas jawaban
responden. Hal ini tergantung peneliti dalam mengungkap apa yang perlu
diungkap untuk melengkapi data penelitiannya tersebut. Selain tergantung
26
terhadap apa yang perlu diungkap, pendalaman terhadap pertanyaan pada
pendekatan ini tergantung pada respon yang diberikan oleh responden. Metode
wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mewawancarai nara
sumber yang dipilih oleh peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang
kepercayaan masyarakat terhadap proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji
Jayabaya.
Nara sumber menurut Spradley dalam Taum (2002: 87) mengatakan
bahwa informan adalah seorang pembicara asli (native speaker) yang merupakan
sumber informan, secara harfiah, mereka menjadi guru bagi peneliti. Informan
dalam penelitian ini meliputi dua bagian yaitu juru kunci dan peziarah. Juru kunci
sebagai informan dalam penelitian ini merupakan orang yang bahasa ibunya
adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli pulau Jawa, dengan alasan juru
kunci merupakan pewaris dari tradisi lisan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Suseno
(1984) menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa
Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa, yaitu
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan peziarah adalah orang-orang yang
datang ke petilasan Sri Aji Jayabaya untuk mengikuti proses ritual tirakatan dan
bukan pewaris asli tradisi lisan tersebut. Peziarah ini ada yang merupakan
masyarakat sekitar atau dari luar Desa Menang.
Peneliti membatasi jumlah informan dalam penelitian ini adalah 15
(sepuluh) orang. Juru kunci sebanyak 4 orang (2 juru kunci Pamuksan Sri Aji
Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu), sedangkan peziarah dibatasi sebanyak
10 orang (masyarakat sekitar maupun dari luar Desa Menang), dan tua Desa
27
Menang sebanyak 1 orang.. Pembatasan informan ini didasarkan atas pendapat
Moleong, (1989) yang mengatakan bahwa dalam hal tertentu informan perlu
direkrut seperlunya dan diberitahu tentang maksud dan tujuan penelitian. Agar
peneliti memperoleh informan yang benar-benar memenuhi persyaratan dan bila
perlu mengetes informasi yang diberikannya, apakah benar atau tidak. Jadi,
informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang suatu peristiwa yang
menjadi latar penelitian (Moleong, 1989: 97-98). Peneliti berharap dengan teknik
pemilihan sampel seperti ini dapat lebih mengungkapkan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
1.7.4.1.4 Teknik Perekaman dan Pengarsipan
Perekaman dan pencatatan digunakan untuk mendapatkan data utama dari
penelitian. Perekaman dengan menggunakan tape recorder perlu disesuaikan
dengan suasana. Teknik pencatatan bisa digunakan untuk mentranskripsikan hasil
rekaman menjadi bahan tulis dan mencatat berbagai aspek yang berkaitan dengan
suasana penceritaan dan informasi-informasi lain yang dipandang perlu selama
melakukan wawancara dan pengamatan. Untuk melengkapi data-data lapangan,
peneliti dapat pula mempergunakan kamera foto untuk mengabadikan kegiatan
penuturan ataupun ritual-ritual lain yang menyertai penuturan tersebut (Taum,
2002: 88-89)
Pengarsipan dalam penelitian ini menggunakan dua langkah, yakni:
Pertama, cheking data (pemeriksaan) oleh informan kembali, yaitu dengan cara
menunjukkan display data kepada informan untuk diperiksa kebenarannya.
28
Kedua, konsultasi ahli, artinya peneliti dapat menyerahkan data kepada anggota
lain atau ahli (dosen pembimbing). Dari kedua langkah tersebut pengarsipan
dalam penelitian ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Bahan Folklor: klasifikasi, masyarakat, tanggal, bulan, tahun rekaman, dan
bahasa cerita tesebut.
(b) Teks yang sudah ditranskripsikan: teks asli dan terjemahannya.
(c) Kolofon: keterangan tentang waktu, tempat, dan pelaku pencatatan.
(d) Keterangan sekitar bahan: berbagai catatan etnografis, keterangan tentang teks
yang kurang jelas, penilaian dan interpretasi peneliti sendiri.
1.7.4.2 Teknik Analisis Data
Data-data yang sudah diperoleh kemudian dijabarkan dengan
menggunakan teknik analisis kualitatif. Dalam manganalisis data menurut
Endraswara, menggunakan cara gunting lipat, artinya suatu saat ada informasi
yang kurang relevan digunting, yang kurang layak ditampilkan dilipat
(Endraswara, 2005: 211). Secara garis besar analisis data dalam penelitian ini
melalui proses pengorganisasian, koding, dan analisis data. Organisasi data
dilakukan sebagai langkah awal analisis dan pengolahan data. Melalui
pengorganisasian data, data akan diorganisasi dengan rapi, sistematik dan
lengkap. Langkah berikutnya yaitu pengkodingan.
Langkah pertama dalam koding adalah open coding, yaitu membuka diri
agar memperoleh variasi data yang lengkap. Kemudian memperdalam analisis
dengan melakukan axial coding yaitu pengorganisasian kembali data-data yang
29
telah terklarifikasi rapi. Peneliti lalu melakukan hubungan antar kategori, agar
tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Terakhir melakukan display coding yaitu
memaparkan kategori dan analisis deskriptif secara mendalam. Analisis data yang
mendalam ini kemudian dihubungkan dengan teori folklor dan proses ritual
keagamaan. Selanjutnya analisis data ini akan dipaparkan secara terperinci dalam
bentuk deskriptif kualitatif. Sebagai catatan hasil penelitian di sini tidak
membatasi atau memaksakan kategori-kategori data ke dalam teori yang sudah
ditentukan.
1.7.5 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan sebuah daftar pertanyaan untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Instrumen tersebut terlampir dalam penelitian ini.
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I berisi
pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan perihal latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan sistematika pnyajian. Bab II berisi konteks sejarah dan
budaya Kota Kediri. Bab III berisi proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri. Bab IV berisi
proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang Kota Kediri. Bab V berisi fungsi proses ritual tirakatakan di Petilasan Sri
Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri. Bab VI merupakan bab penutup yang
30
berisi kesimpulan dan saran. Selain itu terdapat pula Daftar Pustaka dan
Lampiran.
31
Bab II
KONTEKS BUDAYA DAN SEJARAH KEDIRI
2.1 Pengantar
Uraian mengenai konteks Kediri ini akan mencakup Topografi dan
Demografi kota Kediri, Mitos dan Sejarah kota Kediri, Sejarah Raja Jayabaya,
dan Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Uraian mengenai
hal ini penting untuk mengetahui konteks dan jalinan Proses Ritual Tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya kota Kediri propinsi Jawa Timur.
2.2 Topografi dan Demografi kota Kediri
Kota Kediri berada di ketinggian 67 m di atas permukaan air laut dan
terletak antara -111.05 s/d -112.03 Bujur Timur dan -7.45 s/d -7.55 Lintang
Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Gampengrejo, sebelah
timur berbatasan dengan kecamatan Wates dan Gurah, sebelah selatan berbatasan
dengan kecamatan Kandat dan Ngadiluwih, sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan Grogol dan Semen. Luas wilayah kota Kediri mencapai 63,40 Km2
terbelah sungai Brantas yang mengalir dari selatan ke utara menjadi dua wilayah
barat sungai dan timur sungai.
Secara administratif, kota kediri yang mempunyai luas wilayah 63,40 km²
terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Mojoroto, kecamatan Kota dan
kecamatan Pesantren. Wilayah barat sungai secara keseluruhan termasuk dalam
wilayah kecamatan Mojoroto; 24,6 km², dan timur sungai sebagian termasuk
32
dalam wilayah kecamatan Kota, 14,9 km² dan kecamatan Pesantren 23,9 km²
(BPS, 2005: 1-2).
Jumlah penduduk kota kediri pada tahun 2004 telah mencapai 241.170
jiwa, bertambah 191 jiwa dari tahun 2003. Perkembangan penduduk kota Kediri
tahun 2004 dibanding tahun 2003 adalah sebesar 0,08 persen di mana
perkembangan penduduk perempuan relatif lebih besar dibandingkan penduduk
laki-laki, yaitu 118.371 jiwa untuk perempuan dan 122.799 jiwa untuk laki-laki.
Angka petambahan alami, yang merupakan selisih antara jumlah yang lahir
dengan yang meninggal di kota Kediri tahun 2004 mencapai 923 jiwa. Jumlah
penduduk yang pindah atau keluar meninggalkan kota Kediri lebih banyak
dibandingkan yang datang ke kota Kediri. Hal ini dapat diketahui dari angka
migrasi netto yaitu selisih penduduk yang datang dikurangi yang pindah, di mana
tahun 2004 mencapai negatif 732 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk kota kediri
pada tahun 2004 telah mencapai 3.804 jiwa per km². Apabila dirinci menurut
kecamatan, maka kecamatan kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk paling
tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya yaitu mencapai 5.737 jiwa per
km², sedangkan kecamatan mojoroto mencapai 3.505 jiwa per km² dan 2.906 jiwa
per km² untuk kecamatan pesantren (BPS, 2005: 40-42).
Jumlah pencari kerja pada tahun 2004 meningkat sebanyak 1.266 orang
dari 2.632 orang pada tahun 2003. Jumlah pencari kerja pada tahun 2004
sebanyak 3.898 orang dengan persentase perempuan adalah 57 persen dan 43
persen adalah laki-laki. Peningkatan jumlah pencari kerja yang mencapai 48,1
persen pada periode 2003-2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah
33
penempatan tenaga kerja atau yang diterima kerja yang mencapai 442 orang di
tahun 2004 (BPS, 2005: 58).
Besaran upah minimum kota Kediri terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dengan besarnya inflasi, yaitu 361.250 rupiah pada tahun 2002
meningkat sebesar 31,36 persen dibanding tahun 2001, pada tahun 2003 mencapai
415.000 rupiah, meningkat sebesar 14,86 persen dan tahun 2004 mencapai
480.000 rupiah, meningkat sebesar 15,66 persen (BPS, 2005: 62-63).
Pada tahun 2004 di kota kediri jumlah sekolah dasar (SD) sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMU) mengalami
penurunan karena pada tahun 2004 ada beberapa sekolah yang dimerger.
Penurunan jumlah sekolah dari tahun 2003 hingga 2004 mencapai 7 sekolah. Hal
ini berpengaruh pada penurunan jumlah murid SD dan SMU, sedangkan murid
SMP mengalami peningkatan. Penurunan jumlah murid sekolah dari tahun 2003
hingga 2004 mencapai 347 murid. Sedangkan tenaga pengajar juga mengalami
penurunan dari tahun 2003 hingga 2004 sebanyak 11 guru. (BPS, 2005: 65).
Menurut Badan Pusat Statistik kota Kediri tahun 2004 jumlah pemeluk
agama di kota Kediri diperinci sebagai berikut: Islam 215.102, Kristen 16.097,
Katholik 7.402, Hindu 817, dan Budha 1.752 (BPS, 2005: 141). Jumlah
keseluruhan pemeluk agama dan jumlah penduduk di kota Kediri adalah sama
yaitu 241.170 orang, namun menurut kenyataan di lapangan, masih banyak
masyarakat kota Kediri yang menganut suatu aliran kepercayaan tertentu. Hal ini
senada dengan pendapat Mulder dalam Suseno (1984), yang memperkirakan
bahwa 3% sampai 5% semua orang Jawa menjadi bagian dalam salah satu
34
organisasi kebatinan (Suseno, 1984: 13). Kedudukan aliran kepercayaan di kota
Kediri sudah mengalami akulturasi dengan kelima agama yang berkembang baik
di Indonesia. Contohnya aliran kepercayaan Paguyuban Ngesti Tunggal
(Pangestu) yang cukup besar penganutnya di kota Kediri ini, para penganutnya
selain menganut agama tertentu mereka juga menjalankan kewajiban sebagai
anggota paguyupan.
Melihat jumlah penduduk, sekolah yang dimerger, pencari kerja, besaran
upah minimum, dan banyaknya penduduk yang keluar dari kota Kediri ini
tentunya akan mendukung pelestarian proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan
Sri Aji Jayabaya.
2.3 Mitos dan Sejarah Kota Kediri
Mitos di sini berisi tentang beberapa contoh mitos yang masih dipercaya
dan melekat pada kehidupan sehari-hari masyarakat Kediri. Sedangkan sejarah
kota Kediri menjabarkan penemuan penggunaan kata Kediri atau Kadiri pertama
kali dalam sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti batu atau lempengan emas
dan sumber tertulis lainnya.
2.3.1 Mitos di Kota Kediri
Menurut Endraswara (2005: 163) mitos disebut juga mite (myth). Mite
adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh
empunya cerita. Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji atau
sebaliknya (ditakuti). Baik tokoh mite yang dipuji maupun yang ditakuti
35
implikasinya selalu muncul dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang
disebut ada kalanya juga sering dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan.
Pemahanan atas cerita yang bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi
sebuah keyakinan yang berlebihan dan mempengaruhi pola pikir masyarakat
kearah takhyul. Sehingga, tidak jarang masyarakat menganggap keramat suatu
mitos. Mite biasanya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia, maut,
binatang, topografi, gejala alam, dan sebagainya.
Dalam masyarakat Jawa, dikenal berbagai macam cerita rakyat. Artinya,
ragam cerita prosa seperti mitos, legenda, dan dongeng yang berkembang di
masyarakat. Dalam cerita-cerita rakyat itu, banyak yang berbau dongeng.
Pemahaman mereka atas dongeng pun lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita
yang tokohnya dominan manusia mereka pahami sebagai cerita rakyat
(Endraswara, 2005: 163).
Demikian juga kebanyakan cerita rakyat atau mitos yang ada di kota
Kediri yang menceritakan tentang tokoh manusia di antaranya Prabu Kelono
Sewandono (sejarah kuda lumping sesuai dengan cerita Panji Asmorobangun),
Totok Kerot, Muksanya Raja Jayabaya, dan Cerita Dewi Kilisuci.
2.3.1.1 Prabu Kelono Sewandono
Alkisah, Pujonggo Anom melaporkan permintaan Dewi Songgolangit
yang tidak lain adalah Dewi Sekartaji kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena
sulitnya permintaan sang pujaan hati, akhirnya keduanya bersemedi mohon
36
petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Di ujung semedinya, Sang Dewata
mengabulkan permohonan keduanya sehingga dalam waktu singkat Prabu Kelono
Sewandono dapat memenuhi patemboyo (sayembra) Dewi Sekartaji.
Dilain pihak, Prabu Singobarong yang juga menaruh hati pada Sang Dewi,
murka karena merasa dilangkahi, maka ditantanglah Prabu Kelono Sewandono.
Dengan Pecut Kyai Samandiman, Prabu Kelono Sewandono unggul dalam
peperangan dan sebagai tanda penghormatan, bersama Singo Kumbang yang
berwujud seekor babi hutan, Prabu Singobarong mengabdikan dirinya sebagai
penari untuk melengkapi patemboyo yang diajukan Dewi Sekartaji. Lihat juga
(http://www.kotakediri.go.id/news/search/index.php)
2.3.1.2 Totok Kerot
Pada zaman kerajaan Kadiri diperintah oleh Prabu Jayabaya, datanglah
seorang raksasa perempuan yang dikenal dengan nama dewi Totok Kerot. Seluruh
penduduk merasa ketakutan, karena raksasa itu setiap hari memakan hewan ternak
milik mereka. Awalnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan raksasa
perempuan itu. Namun kemudian penduduk yang merasa resah memberanikan diri
untuk mengeroyok raksasa itu. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh, tetapi
belum mati, lalu Senopati Tunggul Wulung bertanya kepadanya, “Di mana tempat
tinggalmu?” Jawab raksasa itu, “Rumahku di Lodoyong (Lodaya), di tepi laut
selatan,”. Kemudian Tunggul Wulung bertanya lagi katanya, “Apa maksudmu
masuk ke daerah kami?” Raksasa itu pun menjawab dengan lantang katanya,
“Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”
37
Semua perkataan raksasa perempuan itu disampaikan Tunggul Wulung
kepada Sang Prabu Aji Jayabaya. Kemudian Sang Prabu mendatangi tempat
raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu Jayabaya bertanya lagi
kepada raksasa itu tentang maksud kedatangannya ke Kadiri? Sekali lagi raksasa
itu menjawab “Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”
Kemudian Sang Prabu berkata, ”Kalau memang benar demikian kehendakmu
dewata tak mengizinkan. Tetapi saya akan memberi tahu kepadamu, kelak setelah
aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat
kerajaan Kadiri ada orang yang mengangkat diri menjadi raja. Kerajaan itu beribu
kota di Prambanan. Nama raja itu Prabu Prawatasari, dialah yang akan menjadi
jodohmu.”
Sebelum Prabu Jayabaya melanjutkan sabdanya, raksasa itu
menghembuskan napas terakhir. Sang Prabu merasa sangat heran hati, lalu
memberi perintah kepada Tunggul Wulung sebagai berikut: pertama desa di
sebelah selatan Mamenang diberi nama Gumurah. Sebab ketika penduduk desa
mengeroyok raksasa perempuan itu dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak
sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk yang dalam bahasa Jawa dikatakan
gumurah atau gumerah.
Kedua, raja memerintahkan agar dibuat patung yang serupa dengan
raksasa perempuan yang baru meninggal ini, sedang wajahnya hendaklah dipahat
serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Totok
Kerot. Desa tempat patung itu dinamakan desa Nyaen. Tinggi patung itu empat
belas kaki atau sekitar 300 cm. Bola matanya sebesar alas cawan atau lepek
38
(bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Hingga sekarang patung raksasa
perempuan atau Totok Kerot itu masih ada dan terletak di dusun Kunir desa
Bulupasar kecamatan Gurah sekitar 8 (delapan) Km di timur kota Kediri. Terdapat
banyak versi tentang Cerita Totok Kerot ini sedangkan dalam penelitian ini
diambil dari kisah Babad Kadiri atau Cerita Kediri.11
2.3.1.3 Muksanya Raja Jayabaya
Raja Jayabaya dipercaya oleh mayarakat tidak meninggal dunia,
melainkan muksa, yaitu sukma dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara
bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang yang telah mencapai
tataran muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan dharmanya
selama hidup di dunia. Hal ini berarti bahwa raja Jayabaya dianggap telah
mencapai tingkat jiwa tertinggi hingga dianggap muksa atau layak menempati
nirwana (Yudoyono, 1984: 39).
Alkisah semasa hidup raja Jayabaya mempunyai seorang permaisuri yang
bernama dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, raja Jayabaya mempunyai putera
empat orang. dewi Pramesti, dewi Pramuna, dewi Sasani dan raden Jayaamijaya.
Di saat kehamilan dewi Pramesti telah berumur 9 (sembilan) bulan, selama tujuh
hari beliau merasakan kesakitan yang tidak kunjung berhenti. Oleh karenanya,
raja Jayabaya beserta permaisuri masuk ke sanggar pamujaan untuk memohon
petunjuk dewata. Kemudian raja Jayabaya mendapat bisikan yang mengatakan “
11 Perlu diketahui bahwa tulisan Babad Kadiri dan tulisan Kalam Wadi ini termasuk ceritera “Padalangan”. Jadi ada ketidaksamaan dengan tulisan yang ada di Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi, apalagi tulisan Babad Demak. Yang memperbaiki dan menyempurnakan kalimat adalah Mangun Wijaya alih bahasa oleh Ny. Siti Halimah Suparno.
39
Hei… prabu Jayabaya, ketahuilah bahwa cucumu tidak mungkin akan lahir bila
kamu tidak melepaskan kedudukanmu sebagai titisan dewa Wisnu. Apabila hal ini
terjadi berkepanjangan, maka akan merusakkan segalanya.” (Yudoyono, 1984: 39-
40).
Tanggap akan maksud bisikan tersebut raja Jayabaya segera memanggil
seluruh perwira dan kerabat kerajaan. Dalam pertemuan itu raja Jayabaya
menceritakan kembali wahyu yang dibisikkan dewata kepadanya. Setelah usai
memaparkan segalanya raja Jayabaya kemudian melakukan ritual “ngraga sukma”
(melepaskan sukmanya) sebagai titisan dewa Wisnu. Tidak lama kemudian dari
rahim dewi Pramesti lahirlah bayi laki-laki. Bayi tersebut kemudian diberi nama
raden Anglingdarma oleh raja Jayabaya. Tiba-tiba cahaya terang memancar dari
tubuh bayi hingga menyilaukan semua yang hadir di situ. Setelah cahaya itu
meredup jasad raja Jayabaya seakan ikut meredup dan menghilang. Raja Jayabaya
muksa, kembali kealam kelanggengan. Suatu pertanda bahwa beliau telah
sempurna dalam menjalankan dharmanya selama hidup di dunia (Yudoyono,
1984: 40).
Cerita mitos ini sangat memberpengaruhi terhadap proses ritual tirakatan
di petilasan Sri Aji Jayabaya. Hal ini terlihat jelas dari doa-doa yang dihantarkan
kepada Tuhan selalu lewat perantara Sri Aji Jayabaya dan juga pujian-pujian yang
menyatakan keluhuran namanya. Lebih terperinci dapat dilihat dalam Bab III dan
Bab IV.
40
2.3.1.4 Dewi Kilisuci
Mitologi masyarakat Kediri mengatakan bahwa nama Kediri berasal dari
nama kedi yang artinya mandul atau tidak berdatang bulan dan dikaitkan dengan
Rara Kilisuci yang bertapa di gua Selamangleng (kaki gunung Klotok di sebelah
barat kota Kediri). Mitologi tersebut disinggung pula dalam makalah Bapak
Sunarto Timur mengenai etimologi Kadiri yang dihubungkan dengan semacam
kakografi, yaitu berdasarkan kalimat sang rara kêdi ring daha, perkataan kêdi
diartikan: mandul, tidak berdatang bulan. Di dalam bahasa Jawa Kuna kêdi berarti
orang dikebiri, bidan, dukun (Kartoadmodjo, 1985: 40).
Walaupun Rara Kilisuci sebagai orang yang mandul namun mempunyai
pribadi yang tinggi, mampu melaksanakan segala sesuatu tanpa pertolongan orang
lain, atau dhiri yang berarti dapat berdikari. Rara Kilisuci juga tidak mau
berhubungan dengan lelaki, tak mau bersuami atau wadat dalam bahasa Jawa.
Setelah lama bertapa di gua selomangleng akhirnya Rara Kilisuci pun menjadi
Dewi Kilisuci yang menjaga ketentraman hidup pada masyarakat di kota Kediri.
Babad Kediri juga menuliskan bahwa dalam perjalanan waktu, banyak
wanita di Kediri yang meniru perbuatan Rara Kilisuci yang dhiri atau angkuh itu,
merasa mampu melakukan pekerjaan apapun juga, termasuk pekerjaan kaum
lelaki. Tetapi mereka hanya menirukan angkuhnya saja, bukan meniru pribadi
yang tidak berhubungan dengan pria dan rela mengorbankan kesenangan duniawi
dengan menjadi pendeta yang suci. Perbuatan Rara Kilisuci itu tidak hanya
ditirukan kaum wanita, tetapi kaum lelaki juga ikut-ikutan menjadi angkuh atau
sombong dan dhiri, namun memiliki sifat seperti wanita. Karenanya bila seorang
41
pria dari kediri berperang, jika yang menantang perang orang Kediri, maka orang
Kediri ini akan menang. Tetapi bila yang menyerbu orang luar atau orang asing
terlebih dahulu, orang Kediri biasanya kalah. Sebab wanita itu bila di tempat lain
dihormati, tetapi bila di rumah selalu mengalah. Cerita Dewi Kilisuci ini diambil
dari buku Babad Kediri.
2.3.2 Sejarah Kota Kediri
Bertentangan dengan mitologi kota Kediri tentang penyebutan kata kêdi
yang dikaitkan dengan Rara Kilisuci, Kartoadmodjo (1985: 41) mengatakan,
bahwa nama Kediri tidak ada kaitannya dengan kêdi maupun tokoh Rara Kilisuci
(Rara Kapucangan) yang dikatakan di dalam dongeng bertapa di gua
Selamangleng (kaki gunung Klotok di dekat Kêdiri). Kalimat sang rara kêdi ring
daha kemudian di eja dan dibaca sang rara Kêdiri (i)ng Daha. Dengan demikian
kata Kêdiri berasal dari kata diri (adeg) mendapat awalan ka (di, ter). Dalam
bahasa Jawa Kuna angdiri (mangdiri) berarti: berdiri, menjadi raja. Selain itu
Kêdiri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau
berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan kêdiri dengan perempuan,
apalagi dengan kêdi kurang beralasan.
Menurut Soedarmo dalam Kartoadmodjo (1985: 42), kata kediri dan
kendiri dalam kamus Melayu sering menggantikan kata sendiri. Sedangkan
mengenai perubahan pengucapan Kadiri menjadi Kêdiri dikatakannya, bahwa hal
itu menunjukkan kepada kita adanya paling tidak dua buah gejala, pertama gejala
usia tua, dan kedua gejala informalisasi. Dalam bahasa Jawa, dan juga bahasa-
42
bahasa lain di Austronesia sebelah barat perubahan suatu bunyi menjadi pêpêt
seringkali terjadi karena dua hal tersebut.12
Sejarah Kediri menurut Babad Kadiri yang ditulis oleh Mas Ngabehi
Purbowijaya, seorang Beskal I Kediri pada jaman Belanda, yang dibantu Ki
Dermakanda, seorang dalang, mengatakan bahwa mula-mula daerah Kediri
berupa hutan belantara di tepi sungai Brantas yang belum berpenghuni. Kemudian
datang dua bersaudara kakak-beradik membuka daerah tersebut untuk dijadikan
pemukiman. Kedua orang ini adalah “Kyai Daha” dan adiknya bernama “Kyai
Daka”. Lama-kelamaan diikuti oleh orang lain sehingga menjadi suatu daerah
yang ramai. Keduanya lalu diangkat sebagai sesepuh desa. Dalam Babad Kediri
secara garis besar berisi tentang uraian pertama kali pembukaan daerah yang
bernama Kadiri. Sayang sekali dalam manuskrip ini tidak disertakan tahun-tahun
pendirian daerah yang bernama Kadiri. Terlebih menurut beberapa sumber
manuskrip ini hanyalah cerita pedalangan belaka. Selain dari sumber mitos dan
Babad Kediri sebenarnya nama Kadiri juga terdapat di dalam berbagai karya
sastra (manuskrip) Jawa Kuna lainnya, misalnya: Kitab Samaradahana,
Nagarakrtagama, Pararaton, dan Calon Arang.
Selanjutnya Kartoadmodjo (1985: 46-47), mengatakan nama Kadiri
pertama kali disebutkan di dalam prasasti batu Hariñjing B yang berangka tahun
843 S. (25 Maret 921 M) dari daerah Pare (Kêdiri). Prasasti Hariñjing dipahat
pada sebuah batu utuh (monolith) berukuran tinggi termasuk alas padmãsana
(bantalan teratai) 1.18 cm (tanpa padmãsana: 1.03 cm). Tulisan Jawa Kuna
12 Disebut dalam tanggapan Dr. Soepomo Poedjosoedarmo berjudul: Tanggapan Terhadap Makalah Drs. M.M. Sukarto K. Atmojo: Sekitar Masalah Sejarah Kadiri Kuna.
43
melingkar di bagian depan (recto), belakang (verso) dan kedua belah sisi samping
kanan dan kiri. Ternyata prasasti batu Harinjing ini terdiri dari tiga buah prasasti,
namun ketiga-tiganya saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan serta
mengenai masalah yang sama. Untuk memudahkan pembahasan maka disebut
prasasti Hariñjing A berangka-tahun 726 S. (25 Maret 804 M), Hariñjing B
berangka tahun 843 S. (19 September 921 M.) dan Hariñjing C berangka-tahun
849 S. (7 Maret 927 M.).
Mengingat prasasti Hariñjing A, B, dan C dipahat pada sebuah batu
tunggal (monolith), demikian pula ketiga-tiganya berkisar sekitar tokoh
Bhagawanta Bari dari desa Culanggi yang telah berjasa membuat tanggul dan kali
di Hariñjing, maka prasasti Hariñjing merupakan sumber yang penting berkaitan
dengan timbulnya Kadiri. Selain penyebutan nama tempat Kadiri, baik Hariñjing
B maupun Hariñjing C menyebutkan sang dewata lumah i kwak (sang raja betahta
di Kwak), yang letaknya dapat diperkirakan sama dengan nama dukuh Kuwak
(Kal. Ngadirejo, dekat pemandian Tirtoyoso) di kota Kediri sekarang ini.
Demikian pula nama-nama tempat (desa) di dalam prasasti Hariñjing A, B, dan C
menunjukkan beberapa persamaan. Karena itu meskipun nama Kadiri tidak
disebut dalam prasasti Hariñjing B, tetapi dapat dibayangkan bahwa nama itu juga
sudah dikenal pada jaman prasasti Hariñjing A ditulis. Sebagai contoh misalnya
prasasti Hariñjing A menyebut nama desa Paradah, dan sampai sekarang pun di
daerah Pare, masih terletak sebuah dusun di dekat kali Srinjing bernama Bogor
44
Paradah13 (Kal. Siman, Kec. Kepung, Kab. Kediri). Dengan demikian meskipun
nama Kadiri baru tersurat di dalam prasasti Hariñjing B, tetapi nama itu pasti
sudah ada sebelumnya, karena nama Kadiri tidak akan muncul secara mendadak.
Maka itu cukup beralasan apabila nama Kadiri harus dicari sebelum tahun 921 M.
(Hariñjing B) atau pada tahun 804 M. (Hariñjing A). Pendek kata kita tidak hanya
melihat apa yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat. Prasasti Hariñjing A
ditulis pada tahun 726 Ś., tanggal 11 bagian paro-terang bulan Caitra (Kêsanga),
paringkêlan Haryang, Wagai, Somawãra (Senin). Menurut perhitungan Damais
unsur penanggalan tanggal 11 Caitra 726 Ś., Ha Wa So bertepatan dengan tanggal
25 Maret 804 M.14 (Kartoadmodjo 1985: 79-80).
Kartoadmodjo (1985: 46), menambahkan bahwa di dalam prasasti
Hariñjing B disebutkan nama Kwak yang sebenarnya nama Kwak ini sudah di
kenal di dalam prasasti Kwak I dan Kwak II yang terdapat di Jawa Tengah dan
keduanya bertarikh 801 Ś. (27 Juli 879 M.), maka dugaan bahwa nama Kadiri
sudah dikenal di Jawa Tengah bukannya tidak beralasan sama sekali.
Selanjutnya prasasti Śri Mahãdewi berangka tahun 938 Ś. yang menurut
perhitungan sementara Kartoadmojo, (1985: 82) menetapkan tarikh Masehi
prasasti Śri Mahãdewi adalah tanggal 7 Juni 1015 M. dan merupakan prasasti
13 Nama Bogor Paradah dapat dikembalikan kepada Paradah yang memang merupakan sebuah sima pada jaman dahulu, dan kedudukan sima tersebut masih tertinggal pada nama Siman. Ada dua buah prasasti yang disebut Paradah I dan Paradah II. Menurut Damais Paradah I angka tahunnya bertepatan dengan 24 Maret 934 M. (EEI.IV. hlm.121) dan Paradah II bertepatan dengan 10 Juli 943 M. (EEI. IV. Hlm.60-61). 14 Angka tahun yang tertera 706 tetapi kemudian dihitung kembali oleh Damais dan sampai pada kesimpulan bahwa yang benar harus 726 Saka. Kekeliruan itu mungkin terjadi karena Harinjing rupa-rupanya ditulis pada jaman Pu Ketudhara (C) untuk memperingati tahun 921 M. (B) dan tahun 804 M. (A). pendek kata unsure penanggalannya Damais menetapkan bahwa angka tahun yang benar ialah 726 Saka (804 M.) Lihat EEI. IV. Hlm. 187-189. Juga unsur Haryang, Wagai, Canaiscara (HA WA CA) diperbaiki oleh Damais menjadi Haryang, Wagai, Soma (HA WA SO). Jadi bukannya Canaiscara (Saptu) melainkan Soma (Senin).
45
turunan (tinulad). Mungkin tokoh Śri Mahãdewi ini sama dengan Śri Wijaya
Mahãdewi yang semula menjadi raja putri di Bali. Menurut Damais yang
didukung oleh Goris menuturkan bahwa Śri Wijaya Mahãdewi sama dengan Śri
Iśãnatunggawijaya, putri Pu Sindok. Dengan demikian sekembalinya Śri
Mahãdewi dari Bali, ia tetap menjadi seorang raja putri yang mempunyai
kekuasaan cukup besar dan bertahta di Kadiri (siniwi ring kadiri). Pendek kata
apabila pada tahun 921 M. (prasasti Hariñjing B) Kadiri masih merupakan sebuah
desa (daerah) kecil, maka pada tahun 1015 M. (prasasti Śri Mahãdewi) Kadiri
telah berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar. Hal ini membuktikan
bahwa Kadiri yang semula hanya merupakan daerah kecil yang terus berkembang
dan mampu menjawab tantangan jaman (challenge and response), sehingga dapat
menjadi kota, negara atau kerajaan yang besar, dan dikenal hingga waktu
sekarang.
Menurut surat Keputusan Bupati Kepada Daerah Tingkat II Kediri tanggal
22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, pada pasal 1
berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 M. ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri”. Pada
pasal 3 berisi tentang peringatan pertama Hari Jadi Kediri yang akan dilaksanakan
pada tanggal 25 Maret 1985. Keputusan penetapan ini berdasarkan pada makalah
Drs. M.M. Soekarto Kartoatmodjo yang berjudul Sekitar Masalah Sejarah Kadiri
Kuna.
Pada tahun 2002 terjadi perubahan penetapan Hari Jadi Kediri dari tanggal
25 Maret 804 M. menjadi tanggal 27 Juli 879 M.. Perubahan penetapan ini
didasarkan pada prasasti Kwak I dan Kwak II, yaitu berlandaskan pada
46
penyebutan daerah bernama Kwak. Prasasti Kwak berupa lempengan tembaga
yang ditemukan di sebuah desa di Magelang, Jawa Tengah (Jateng). Meskipun
ditemukan di Magelang namun prasasti itu mengacu pada nama lokal Kediri, hal
ini yang menjadi dasar penentuan awal keberadaan kota Kediri. Yang menjadi
pertanyaan adalah dalam penentuan hari jadi kota Kediri menurut prasasti Kwak
ini diberlakuan pengambilan suara terbanyak oleh DPRD kota Kediri. Keputusan
dengan pengambilan suara terbanyak ini dipertanyakan oleh Guru besar
Anthropologi Ragawi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Dr Teuku Jacob
katanya, “jika ada dua pendapat yang sama kuat, maka harus diadakan penelitian
ulang untuk menentukan mana yang paling layak dipilih. Tidak bisa divoting.
Karena, misalnya ada 10 orang yang melakukan voting, sembilan memilih A dan
satu memilih B, belum tentu yang satu ini keliru. Bisa jadi justru dia yang benar
dan oleh karenanya perlu dilakukan penelitian ulang"15.
Semua pendapat di atas sebenarnya memiliki dasar yang kuat mengenai
awal berdirinya kota Kediri. Namun dalam penelitian ini akan mengambil
penentuan hari jadi kota Kediri berdasarkan bukti prasasti Hariñjing A yang
berangka-tahun 726 Ś. (25 Maret 804 M). Pemilihan tentang penemuan pertama
kali kata kediri ini didasarkan atas pemanfaatan hasil penelitian historiografi yang
dilakukan oleh Kartoadmodjo yang kemudian pada tanggal 22 Januari 1985
disahkan oleh pemerintah daerah kabupaten Kediri sebagai hari jadi kota Kediri.
Dalam prasasti Hariñjing A selain bukti penyebutan nama tempat (Kedhiri atau
Kadhiri), juga mampu menimbulkan rasa bangga (pride) pada masyarakat. Rasa
15 Lihat juga http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0207/27/jatim/pene37.htm
47
bangga ini tidak semata-mata berkiblat pada tokoh seorang raja, tetapi juga dapat
bertumpu pada seorang pemimpin daerah seperti Bhagawanta Bari. Pada saat ini
masyarakat Kediri juga patut berbangga karena prasasti Hariñjing A merupakan
penemuan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (sejauh belum
ditemukan sebuah prasasti yang lebih tua). Maka jika menurut prasasti Hariñjing
A (25 Maret 804 M.) usia kota Kediri di tahun 2007 sudah mencapai 1203 M.
2.4 Sejarah Sri Aji Jayabaya
Jayabaya adalah seorang tokoh raja yang memerintah di Kadiri antara
tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M. Sampai sekarang hanya tiga buah prasasti
batu yang dikenal dari raja Jayabaya, yaitu prasasti Hantang tahun 1057 S. (7
September 1135 M.), prasasti Talan tahun 1058 S. (24 Agustus 1136 M.) dan
prasasti dari desa Jepun tahun 1066 S. (7 Juli 1144 M.).
Keistimewaan prasasti Hantang yaitu dengan terdapatnya tulisan kwadrat
(mirip huruf tebal, blokletters) yang besar melintang di tengah cap kerajaan
berupa narasingha16 dan berbunyi pangjalu jayati, yang artinya Pangjalu menang.
Semula oleh Brandes kalimat ini dibaca sang jalma wiyati. Kalimat pangjalu
jayati itu mungkin sekali berkaitan dengan istilah panuwal di dalam prasasti itu
sendiri yang dapat ditafsirkan sebagai perang sauradara atau perang perebutan 16 Narasingha yaitu inkarnasi dewa Wisnu yang keempat sewaktu menolong umat manusia dengan cara membunuh Hiranyakaśipu yang dikatakan tidak dapat dibunuh oleh manusia maupun binatang. Dan tidak dapat mati baik siang maupun malam hari. Akhirnya Wisnu menjelma menjadi makhluk setengah manusia (nara) dan setengah binatang (singha) dan Hiranyakaśipu dibinasakan pada waktu senja (antara siang dan malam hari). Sepuluh inkarnasi dewa Wisnu disebut daśāwatāra, yaitu : 1. Matsyawatāra (Ikan), 2. Kurmawatāra (Penyu), 3. Waharawatāra (Beruang), 4. Narasinghawatāra (Setengah Orang Setangah Singa), 5. Wamanawatāra (Cebol), 6. Parasuramawatāra (Rama bersenjatakan kapak), 7. Ramawatāra (suami Sinta dalam Ramayana), 8. Kresnawatāra (dalam Mahabarata), 9. Budhawatāra, 10. Kalkinawatāra.
48
tahta. Di dalam Jawa Kuna panuwal (dari kata suwal) juga berarti: pembalasan
atau penyerangan kembali. Lebih-lebih jika diingat bahwa pada masa
pemerintahan Sang Mapanji Jayabhaya telah digubah kakawin Barathayuddha
pada tahun 1079 S. (6 September 1157 M.) oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
yang menguraikan kisah perang saudara atau perang perebutan tahta antara
Kaurawa dan Pandawa. Para Kaurawa memperoleh pusat kerajaan Hastinapura
yang lama, sedang para Pandawa memperoleh daerah yang semula berupa hutan
(jenggala) dan mendirikan ibu kota baru bernama Indraprastha. Dalam peperangan
yang dahsyat itu para Pandawa akhirnya memperoleh kemenangan dan bertahta
turun-temurun di Hastinapura (Kartoadmodjo, 1985: 26-27).
Prasasti Talan berisi tentang penduduk desa Talan yang datang
berbondong-bondong kepada raja memperlihatkan sebuah prasasi yang ditulis di
atas daun lontar (ripta) dengan cap garudamukha dan yang telah mereka terima
dari Bhatãra Guru (raja Airlangga) pada tahun 916 Ś. (27 Februari 1040 M.),17
sekarang mohon supaya ditulis kembali pada batu (linggopala). Karena raja
Jayabhaya semata-mata merupakan penjelmaan dewa Wisnu dan selalu menjaga
keselamatan dunia (sãksãi wisnwangśa satata sakalajagatpãlaka), lagi pula
penduduk Talan telah memperlihatkan kesetiaannya (srstabhakti) kepada raja,
maka permohonan itu dikabulkan dengan mendapat tambahan anugerah raja
Jayabhaya sendiri (Kartoadmodjo 1985: 29).
17 Menurut pendapat Buchari dalam Kartoadmodjo, (1985: 29)
49
Selanjutnya prasasti itu menetapkan desa Talan yang masuk wilayah
Panumbangan (thãni watêk panumbangan)18 menjadi sebuah sima dan dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak (iuran).19 Sayang sekali prasasti Talan yang
menarik itu tidak menjelaskan apakah jasa penduduk Talan kepada Bathara Guru
(Airlangga) sehingga memperoleh anugerah prasasti di atas ripta dengan cap
garudamukha dan apa pula jasa mereka kepada raja Jayabhaya (selain kesetiaan)
sehingga memperoleh anugerah prasasti pada batu (linggopala) dengan cap
narasingha.
Prasasti dari desa Jepun belum pernah diterbitkan secara lengkap. Tetapi
transkripsi (alih aksara) 9 (sembilan) baris bagian permulaan telah diberikan oleh
Damais. Angka tahunnya tidak jelas, tetapi Damais menduga 1066 Ś. (7 Juli 1144
M.). Isi lengkapnya belum diketahui pula secara jelas, tetapi menyebutkan nama
raja Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha
Parakrama Digjayottungga-dewanama, yang merupakan nama penobatan Raja
Jayabhaya. Sesuai dengan prasasti Hantang dan Talan, prasasti dari desa Jepun
juga berisi permohonan kepada raja supaya diberi anugerah berupa prasasti batu
dengan cap kerajaan narasingha (Kartoadmodjo 1985: 29-30).
Sedangkan karya sastra di masa itu sangat berkembang dengan pesat dan
pujangga yang terkenal di masa itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, karya-
karya mereka meliputi Kakawin Hariwangsa, Gatotkacasraya, dan
Bharatayudha. Di antara karya sastra itu yang banyak menyinggung keberadaan
18 Nama desa Panumbangan sekarang menjadi Plumbangan (Jawa Timur) 19 Tetapi meskipun mendapat kebebasan membayar pajak, kewajiban mereka mungkin malah bertambah. Artinya segala keperluan desa harus dibiayai sendiri. Tentu saja status (kedudukan) sima merupakan kebanggaan tersendiri bagi semua warga desa.
50
Sri Aji Jayabaya adalah Bharatayudha. Kitab ini berupa kakawin dalam bahasa
Jawa Kuna yang ditulis oleh dua orang pujangga besar pada masa pemerintahan
Raja Jayabaya, yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Ceritera kitab Kakawin Bharatayudha merupakan pengabdian peristiwa
sejarah peperangan antara dua keluarga satu keturunan (Kediri dan Jenggala).
Dalam kakawin ini Raja Jayabaya digambarkan sebagai Batara Kresna yang
peranannya ditonjolkan dari awal sampai akhir. Sri Kresna adalah salah satu
bentuk penjelmaan atau titisan dewa Wisnu yang diturunkan ke dunia untuk
mendampingi para Pandawa melawan Kurawa. Penonjolan Sri Kresna ini
bertalian dengan sejarah Raja Jayabaya yang berhasil mengalahkan saudara-
saudaranya sendiri di kerajaan Jenggala. Kakawin Bharatayudha ini benar-benar
dimaksudkan untuk memperingati perang yang dilakukan oleh Raja Jayabaya.
2.5 Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya
Konteks sejarah akan membahas masalah sejarah penemuan hingga proses
pemugaran wilayah petilasan yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirtokamandanu.20 Sedangkan konteks sosial dan budaya merupakan
pembahasan kehidupan budaya masyarakat sekitar petilasan setelah dilakukan
pemugaran oleh Yayasan Hondodento.
20 Dalam kenyataan dilapangan penyebutan petilasan dan pamuksan adalah sama-sama menunjuk pada Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Untuk menghindari kerancuan di dalam penelitian ini akan memisahkan istilah petilasan dan pamuksan itu sendiri. Petilasan di sini diartikan sebagai keseluruhan wilayah yang meliputi: wilayah Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu.
51
2.5.1 Petilasan Sri Aji Jayabaya Sebelum di pugar
Melihat jauh ke belakang tentang keberadaan petilasan Sri Aji Jayabaya di
desa Menang bermula dari jaman kerajaan Airlangga. Pada prasasti Wurara 1211
Ś. (21 November 1289 M.) dituliskan bahwa raja Airlangga dengan terpaksa harus
membagi kerajaannya oleh karena kedua anak Airlangga saling memperebutkan
tahta kerajaan. Sumber lainnya adalah kitab Nãgarakŗtãgama yang digubah oleh
pujangga Prapanca dan kitab Calon Arang. Pembagian wilayah tersebut dilakukan
oleh seorang pendeta bernama Ãryya Bharãd. Kedua kerajaan itu adalah Pangjalu
(juga disebut Kadiri atau Mamenang) yang beribu kota Daha dan Janggala
mempunyai pusat kerajaan Kahuripan (Kartoadmodjo 1985: 12-13).
Perkembangan selanjutnya menurut prasasti Malênga yang berangka tahun
974 Ś. (1025 M.) kerajaan Pangjalu ditaklukkan oleh kerajaan Janggala. Setelah
nama Pangjalu seakan-akan lenyap dari percaturan sejarah, kemudian muncul
kembali di dalam prasasti Padlêgan I yang berangka tahun 1038 Ś. (1117 M.)
yang berasal dari raja Śri Bãweswara. Kemudian prasasti Hantang tahun 1057 S.
(7 September 1135 M.) yang ditulis oleh raja Jayabaya memuat tentang kata
Pangjalu mayati atau Panjalu menang. Kalimat Pangjalu jayati ini mungkin sekali
berkaitan erat dengan kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh saat raja Jayabaya berkuasa. Setelah Pangjalu mengambil alih
kekuasaan Janggala sangat dimungkinkan bahwa pusat kerajaan berpindah ke
Daha dan penyebutan nama lain dari Pangjalu yaitu Kadiri dan Mamenang dapat
muncul kembali. Menurut uraian di atas sangat dimungkinkan bahwa Petilasan Sri
Aji Jayabaya memang berada di desa Menang sekarang ini.
52
Penemuan petilasan Sri Aji Jayabaya bermula dari mimpi Warsodikromo
pada tahun 1860. Mimpi menceritakan tentang sebuah areal gundukan tanah yang
telah menjadi rawa dan kadangkala diselingi semak belukar dan di sana dulu
pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu Sri Aji Jayabaya. Ceritera
dalam mimpi tersebut kemudian diteruskan dari telinga ke telinga penduduk
sekitar. Atas petunjuk itu seluruh penduduk secara bergotong-royong mengadakan
pencarian petilasan tersebut. Akhirnya dengan dibantu oleh seorang ahli
metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil
diketemukan. Letaknya di bawah naungan sebuah pohon kemuning, pohon ini
menurut cerita juga hasil peninggalan Sri Aji Jayabaya sendiri. Jadi usianya sudah
ratusan tahun (Hondodento, 1989: 8-9).
Sejak saat itu tempat yang tidak begitu luas di tengah rawa-rawa mulai
ramai dikunjungi orang. Banyak peziarah merasa terharu dan bahagia. Terharu
karena melihat keadaan petilasan yang tidak sepadan dengan keagungan Sri Aji
Jayabaya serta bahagia karena berkesempatan mengunjungi Pamuksan Sri Aji
Jayabaya. Maka banyak di antara peziarah yang berkeinginan memugar tempat
tersebut tetapi tidak ada seorangpun yang berhasil menyelesaikannya. Beberapa
orang pernah memprakarsai pemugaran areal tersebut, namun meninggal dunia
ketika baru memasuki tahap awal. Akhirnya Pamuksan Sri Aji Jayabaya dianggap
sebagai tempat yang wingit atau keramat.
53
Paguyuban Keluarga Besar Hondodento21 Yogyakarta sempat melihat
keadaan petilasan yang berpagar bambu dan di dalamnya terdapat seonggok tanah
bernisan, di tengah gundukan tanah yang bersemak belukar. Di situ juga terlihat
sejumlah batu bata merah, baik dalam keadaan berserakan maupun terjajar rapi
mengelilingi onggokan tanah tersebut hingga menyerupai makam. Hal ini
merupakan tanda bahwa ada beberapa pihak yang telah berusaha memugar,
namun tidak berlanjut atau gagal.
2.5.2 Petilasan Sri Aji Jayabaya Setelah di pugar
Keluarga Besar Hondodento dengan bantuan masyarakat sekitar telah
berhasil merubah pamuksan Sri Aji Jayabaya menjadi monumen spiritual yang
megah secara bergotong-royong. Proses pemugaran memakan waktu lebih kurang
satu tahun, yaitu sejak peletakan batu pertama pada tanggal 22 Februari 1975
Sabtu Pahing sampai dengan tanggal 17 April 1976 Sabtu Pahing saat diresmikan
dan diserahkan hasil pemugaran kepada Pemerintah Daerah kota Kediri atau
secara keseluruhan selama 420 hari. Luas tanah yang dipugar meliputi + 1650 m2,
yang penggunaannya atas persetujuan pihak pimpinan desa melalui musyawarah.
Hal ini ditetapkan dalam surat keputusan desa Menang, tertanggal 20
Februari1975, model “E” Nomer 24 (Hondodento, 1989: 10-11).
21 Beberapa orang Yogyakarta menyebut Honggodento. Hondodento adalah sebuah paguyuban aliran kepercayaan yang salah satu kegiatannya adalah memugar tempat-tempat sejarah untuk melestarikan nilai-nilai budaya negara Indonesia. Berkecimpungnya yayasan Hondodento dalam pemugaran Petilasan Sri Aji Jayabaya dilandasi oleh kepercayaan akan keluhuran Sri Aji Jayabaya dan ramalannya. Bukan tanpa alasan jika pencarian dan pemugaran petilasan Sri Aji Jayabaya inipun dilakukan oleh yayasan Hondodento. Tentang ramalan Sri Aji Jayabaya lihat Pethikan Jongko Joyoboyo yang ditulis oleh Ridwan Soebandhie.
54
Pamoksan Sri Aji Jayabaya ini terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu Loka
Muksa (tempat Sri Aji Jayabaya muksa), Loka Busana (lambang tempat busana
diletakkan, sebelum muksa), serta Loka Makuta (lambang tempat mahkota
diletakkan, sebelum muksa). Bentuk bangunan merupakan hasil konsultasi segi
tiga, yaitu: dari rancangan berupa gambar yang dibuat oleh Keluarga Besar
Hondodento dikonsultasikan ke alam astral melalui perantara Pak Plered (sebagai
medium) kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya (sebagai pemberi izin). Isi petunjuk
Sri Aji Jayabaya mencakup letak tempat, bentuk, dan bahan bangunan, seperti:
letak Loka Makuta berada di luar pagar sebagai lambang bahwa jaman kerajaan
sudah berakhir. Bentuk untuk semua bangunan adalah harus tanpa atap atau
langsung terkena sengatan sinar matahari serta curahan air hujan. Bahan untuk
Loka Muksa harus dari batu gunung Merapi (Jawa Tengah) yang diukir oleh
manusia. Sedangkan untuk bahan baku dari semua bangunan disesuaikan dengan
kemajuan teknologi sekarang, yaitu: diperhitungkan daya tahan bangunan bisa
mencapai umur ratusan tahun (Hondodento, 1989: 12-13).
Bentuk Loka Muksa yang terdiri dari bangunan lingga dan yoni yang
diatasnya menyatu dengan sebuah batu manik berlubang tembus. Seluruh
bangunan itu dikelilingi pagar beton bertulang yang tembus pandang dan
dilengkapi dengan tiga pintu. Bentuk bangunan lingga dan yoni mempunyai
pengertian laki-laki dan perempuan, lahir dan batin, raga dan jiwa, atau satu tetapi
sebenarnya terdiri dari dua bagian. Batu manik yang bentuknya seperti mata
berarti kewaskitaan atau penglihatan dan berlubang tembus artinya mampu
melihat jauh ke depan. Bila digabungkan akan memiliki makna penglihatan yang
55
mampu meneropong jauh ke depan tentang segala sesuatu yang akan terjadi
ratusan tahun mendatang seperti tertuang dalam Ramalan Jayabaya. Bangunan
pagar dengan tiga pintu bermakna tingkatan hidup manusia, yaitu: lahir, dewasa,
dan mati (Hondodento, 1989: 13-15).
Selanjutnya pemugaran dilakukan di Sendang Tirtokamandanu yang
terletak di Timur Laut + 500 meter dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sebelum di
pugar sendang ini bernama Sendang Kolosonyo yang artinya “air untuk menolong
yang sakit”. Setelah di pugar oleh Yayasan Hondodento sendang ini berubah
nama menjadi Sendang Tirtokamandanu yang artinya “air kehidupan”. Konon
sendang ini dahulu digunakan oleh keluarga raja Jayabaya untuk menyucikan diri
sebelum mendatangi pamoksan. Proses pemugaran yang dilakukan oleh Yayasan
Hondodento ini dimulai pada tanggal 26 April 1980 hingga akhir tahun 1988 saja.
Kemudian pemugaran di atas tanah seluas + 2.016 m2 dilanjutkan oleh
pemerintah daerah Kediri dan penduduk setempat desa Menang. Pemugaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah Kediri, meliputi: pintu gerbang utama, jalan
lingkar, koni agung dan koni pengapit, serta sarana pancuran air. Sedangkan dari
swadaya masyarakat telah dibangun dua buah gapura masuk sinar kinasih pada
awal tahun 2005 dan hingga saat ini masih dalam perbaikan.
Pemugaran Sendang Tirtokamandanu yang dilakukan oleh Yayasan
Hondodento adalah bangunan kolam pemandian yang terdiri atas tiga bagian,
yaitu: bagian utama yang dilengkapi patung Syiwa Harihara dan Ganesya, bagian
tambahan berupa dua kolam pemandian dan tempat ganti pakaian untuk pria dan
wanita. Bangunan lainnya berupa pendopo, tempat untuk mengambil air dari
56
sendang, halaman khusus (tempat semadi) yang dilengkapi gapura, dan gapura
utama. Semua bangunan tersebut berada di dalam pagar tembus pandang yang
dilengkapi dengan empat patung dewa, yaitu Batara Indra, Bayu, Wisnu, dan
Brahma. Secara keseluruhan, konsepsi ini merupakan perpaduan antara gaya
bangunan Jawa dan Bali (Hondodento, 1989: 20).
Dikenalnya Petilasan Sri AJi Jayabaya sebagai obyek ziarah dan kegiatan
ritual oleh masyarakat luas - hingga menyebar ke luar pulau Jawa - akan menarik
minat wisata masyarakat ke Petilasan Sri Aji Jayabaya, terutama pada saat
penyelenggaraan upacara ziarah 1 Suro dengan segala rangkain kegiatan ritualnya.
Dampak positif dari pembangunan Petilasan Sri AJi Jayabaya terhadap kehidupan
sosial masyarakat setempat, yaitu meluasnya lingkup pergaulan masyarakat dalam
menerima dan memanfaatkan kunjungan para tamu yang merupakan para
wisatawan baik domestik maupun asing. Dengan demikian terjadi perkembangan
wawasan sosial masyarakat dalam tata pergaulan regional, nasional bahkan
internasional, tanpa meninggalkan tata nilai luhur warisan nenek moyang serta
tradisi setempat (Hondodento, 1989: 23-24). Setelah tahun 2000 hingga sekarang
kegiatan 1 Suro tidak begitu memikat banyak peziarah lagi, terbukti dengan
semakin menurunnya jumlah wiasatawan baik asing maupun domestik untuk
mengikuti ritual 1 Suro di desa Menang. Keterlibatan secara langsung pihak
Hondodento dan Pemerintah Daerah Kota Kediri juga semakin memudar.
Menurut pendapat juru kunci dahulu yayasan Hondodento datang dan disertai
Sultan Hamengkubuwono X, sedangkan Walikota Kediri selalu hadir selaku tuan
57
rumah, namun sekarang baik Sultan Hamengkubuwono X dan Walikota Kediri
jarang menghadiri proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini.
Selain usaha melestarikan warisan budaya proses ritual ziarah 1 Suro oleh
Keluarga Besar Hondodento, masyarakat sekitar juga mengusahakan pembinaan
seni dan budaya lokal yang berkesinambungan melalui latihan dan pementasan.
Sampai saat ini terdapat tiga kesenian yang berkembang di desa Menang kota
Kediri, yaitu kesenian kuda lumping, pencak silat, dan kesenian karawitan
(Hondodento, 1989: 25).
58
BAB III
PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KEDIRI
3.1 Pengantar
Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercaya masyarakat Kediri menjadi tempat
muksanya raja Jayabaya. Jayabaya adalah seorang raja yang memerintah kerajaan
Kediri sekitar tahun 1135 – 1157 M yang dikenal masyarakat Indonesia oleh
karena ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia)
dari segala aspek. Kepercayaan ini yang kemudian mendukung kemunculan
proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Kedatangan peziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya didorong berbagai
macam tujuan, seperti: cepat mendapatkan jodoh, sukses dalam pekerjaan,
ketetraman dalam menjalani hidup, dan masih banyak alasan lain lagi. Proses
ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya dan
berbagai macam tujuan peziarah tersebut akan diuraikan di bawah ini.
3.2 Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon
Persiapan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini
meliputi tempat upacara, saat upacara atau pemilihan waktu, benda upacara, dan
orang yang melakukan upacara. Persiapan-persiapan tersebut dijelaskan di bawah
ini.
59
3.2.1 Tempat Upacara
Persiapan yang dilakukan pada tempat proses ritual ini terdiri dari Sendang
Tirtokamandanu dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Persiapan di Sendang
Tirtokamandanu meliputi pembersihkan tempat penampungan air sendang yang
digunakan peziarah untuk membersihkan diri atau mandi. Tempat penampungan
air ini dibuat menyerupai kamar mandi pada umunnya, sedangkan kolam
pemandian seperti disebutkan di dalam Bab II tidak lagi digunakan untuk mandi.
Hal ini dikarenakan banyak peziarah yang merasa risih atau malu jika harus
membersihkan diri terlebih mandi di tempat terbuka seperti di kolam pemandian
Sendang Tirtokamandanu. Tempat lain yang dipersiapkan di wilayah Sendang
Tirtokamandanu adalah tempat semadi yang digunakan peziarah berdoa setelah
membersihkan diri dan bagian pendapa yang digunakan untuk peziarah menanti
giliran membersihkan diri.
Di Pamuksan Sri Aji Jayabaya persiapan dilakukan seperti halnya di
Sendang Tirtokamandanu, yaitu dengan cara membersihkan wilayah pamuksan
yang terdiri dari Loka Muksa, Loka Busana, dan Loka Makota. Setelah semua
tempat dalam keadaan bersih, dilanjutkan dengan pemasangan kain berwarna
kuning di sekeliling pagar beton Loka Muksa hingga tertutup seperti tembok.
Penutupan ini bertujuan untuk menambah kesakralan peziarah dalam berdoa di
Loka Muksa. Pembersihan juga dilakukan di pendapa yang digunakan peziarah
untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa terlebih jika ada peziarah
memakai pendapa untuk tempat menginap.
60
3.2.2 Saat Upacara
Tahun 1933 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo
mengganti konsep penanggalan Jawa dari sistem penanggalan Matahari menjadi
sistem penanggalan Bulan. Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau
Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram. Sejarah
perubahan ini berkaitan proses ritual 1 Suro dan akan di bahas lebih mendalam
pada Bab proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kediri.
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama
yaitu penampakan bulan, namun kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski
mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti
aturan penanggalannya. Hal ini terlihat pada konsep hari pasaran yang terdiri dari
lima hari Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage yang merupakan wujud unsur-
unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah. Secara astronomis,
kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah
astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem
penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari
fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun
astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam itu
sendiri, seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai
mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa
atau kerancuan dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.22
22 Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm
61
Menurut penanggalan Jawa, pergantian hari dimulai pada pukul 18.00.
Jadi hari Jumat dalam penanggalan Jawa sama dengan hari Kamis dalam
penanggalan Masehi. Hal ini dikarenakan penanggalan Jawa yang menggunakan
sistem penampakan bulan, bukannya sistem penampakan matahari seperti pada
penanggalan Masehi. Jadi jika dalam penanggalan masehi pergantian hari dihitung
mulai pukul 00.00 dalam penanggalan Jawa dimulai pukul 18.00.
Pemilihan hari Jumat Legi untuk melaksanakan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercayai merupakan hari baik untuk meminta berkah
kepada Sang Hyang Widi melalui perantara Sri Aji Jayabaya. Dan pemilihan hari
Selasa Kliwon selain merupakan hari baik juga dikeramatkan oleh sebagian
masyarakat Kota Kediri, khususnya di wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya ini.
3.2.3 Benda Upacara
Persiapan benda upacara ini terdiri dari anglo, sesaji bunga, dan makanan
untuk ritual syukuran. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan sebelum
dipakai dalam proses ritual Jumat Legi dan Selasa Kliwon, selalu dibersihkan
dahulu dari sisa-sisa abu arang maupun dari gumpalan kemenyan yang menempel.
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menyikat tungku hingga bersih. Sesaji
bunga terdiri dari bunga sekar telon dan kemenyan. Sesaji bunga ini bisa dibeli di
sekitar wilayah petilasan atau dibawa peziarah dari di rumah masing-masing.
Bunga yang digunakan untuk sesaji ini harus dalam keadaan segar atau minimal
dipetik pada pagi hari.
62
Peziarah yang akan mengadakan syukuran selain membawa sesaji bunga
juga mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk acara makan bersama. Proses
ritual syukuran (dengan cara makan bersama) merupakan upaya peziarah dalam
menjalin hubungan dengan Sri Aji Jayabaya sendiri pada suatu perjamuan makan
bersama. Undangan kepada Sri Aji Jayabaya ini dimaksudkan agar segala
permintaan peziarah dapat direstui oleh Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya.
Selanjutnya makanan untuk upacara makan bersama ini akan disebut
sebagai sesaji makanan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mempersiapkan sesaji makanan. Pertama, sebelum memulai memasak sesaji
makanan terlebih dahulu dilakukan doa dengan mengucap “Bismillah, sak perlu
unjuk caos dahar kagem Sri Aji Jayabaya” yang artinya kurang lebih “Bismillah,
sesaji makan ini digunakan untuk persembahan kepada Sri Aji Jayabaya”
(wawancara dengan Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa
Menang. Direkam pada hari Kamis, 15-9-2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang). Dalam doa di atas terlihat bahwa makanan
tersebut merupakan bentuk sesaji dalam proses ritual syukuran. Cara memasak
makanan untuk acara syukuran terdapat sebuah pantangan, yaitu bahan baku dan
dalam proses memasak tidak boleh dicicipi terlebih dahulu. Alasan yang
mendasarinya adalah karena acara makan bersama bermakna mengundang roh
nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) ke dalam sebuah perjamuan makan bersama.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa roh nenek moyang hanya memakan rasa
dan aroma dari makanan tersebut maka secara kuantitas wujud makanan tidak
akan berkurang namun rasa dan aromanya akan memudar dan hilang (menjadi
63
hambar). Jadi jika di dalam mepersiapkan sesaji makanan untuk proses ritual
syukuran dicicipi terlebih dahulu maka orang yang mempersiapkan dianggap telah
berani mendahului roh nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) dan sesaji makanan itu
diangga tidak layak untuk dijadikan sesaji makanan.
3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara
Persiapan yang dilakukan oleh juru kunci adalah berdoa secara pribadi di
Loka Muksa memohon izin kepada Sri Aji Jayabaya untuk melaksanakan
tugasnya dalam memimpin proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon.
Persiapan yang dilakukan peziarah, yaitu: meminta izin kepada juru kunci yang
ada di Sendang Tirtokamandanu untuk melakukan ritual pembersihan diri sebelum
mendatangi pamuksan. Membersihkan diri ini dikaitkan dengan kegiatan mandi di
Sendang Tirtokamandanu. Selanjutnya peziarah berdoa di tempat semadi yang ada
di Sendang Tirtokamandanu bersama juru kunci sendang. Setelah melakukan
persiapan di Sendang Tirtokamandanu peziarah diperbolehkan datang ke
Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kedatangan peziarah ke pamuksan dengan membawa
bunga untuk sesaji, baik bunga yang dibawa dari rumah maupun yang telah dibeli
di sekitar wilayah petilasan. Terakhir peziarah meminta izin kepada juru kunci
yang ada di pamuksan untuk melakukan proses ritual tirakatan pribadi di Loka
Muksa Sri Aji Jayabaya.
64
3.3 Pelaksanaan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon
Pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di
Petilasan Sri Aji Jayabaya meliputi dua bagian, yaitu: proses ritual pribadi dan
bancakan23. Proses ritual pribadi dilakukan oleh peziarah sendirian di Loka
Muksa, namun dalam perjalanan waktu peziarah lebih senang meminta bimbingan
juru kunci dalam melakukannya. Proses ritual bancakan atau syukuran merupakan
ungkapan terima kasih seorang peziarah yang diwujudkan dengan acara makan
bersama. Makan bersama ini mengikutsertakan peziarah lain yang hadir di
Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Proses ritual syukuran ini diadakan di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan dipimpin oleh seorang juru kunci.
3.3.1 Proses Ritual Pribadi
Proses ritual tirakatan secara pribadi ini merupakan kegiatan nyekar atau
mengunjungi makam leluhur dan dilakukan di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya..
Mengunjungi makam leluhur ini sering disertakan doa-doa permohonan yang
ditujukan kepada Tuhan melalui Sri Aji Jayabaya. Proses ritual pribadi pada hari
Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini akan dijelaskan
lebih mendalam di bawah ini.
3.3.1.1 Tempat Upacara
Sendang Tirtokamandanu merupakan tempat untuk persiapan proses ritual
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Maka Sendang Tirtokamandanu di dalam
23 Bancakan adalah nama lain yang digunakan oleh masyarakat Kediri untuk mengantikan istilah upacara ungkapan syukur yang diwujudkan dengan acara makan bersama.
65
pelaksanaan proses ritual tirakatan tidak digunakan sama sekali. Namun ada juga
beberapa peziarah yang menggunakan Sendang Tirtokamandanu sebagai tempat
untuk melakukan semadi. Hal ini tergantung pada peziarah secara pribadi.
Wilayah pamuksan yang digunakan untuk proses ritual pribadi Jumat Legi dan
Selasa Kliwon adalah bagian Loka Muksa dan pendapa. Loka Busana dan Loka
Makuta tidak digunakan secara langsung melainkan sebagai simbol saja. Loka
Muksa merupakan tempat utama untuk kegiatan proses ritual pribadi pada hari
Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Dan pendapa pamuksan berfungsi sebagai tempat
untuk menunggu giliran berdoa jika di Loka Muksa masih dipadati oleh peziarah
lain yang melakukan proses ritual pribadi. Terkadang pendapa ini juga digunakan
sebagai tempat untuk menginap atau begadang oleh peziarah seusai melakukan
proses ritual pribadi.
3.3.1.2 Saat Upacara
Proses ritual pribadi di Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini seharusnya dimulai
pada sore hari pukul 18.00. Namun dalam kenyataannya banyak di antara peziarah
yang menganggap bahwa suasana paling sakral adalah pada malam hari di saat
banyak orang sedang nyenyak tertidur atau sekitar pukul 00.00-02.00 WIB.
Menurut mereka suasana hening dan khitmat ini akan menambah kekuatan magis
dari doa-doa permohonan yang ditujukan kepada Sang Hyang Widi melalui
perantara Sri Aji Jayabaya. Maka tidak mengherankan jika pada jam-jam tersebut
Loka Muksa dipadati oleh peziarah yang ingin berdoa.
66
3.3.1.3 Benda Upacara
Benda upacara dalam proses ritual tirakatan pribadi ini memiliki makna
yang beraneka ragam. Makna-makna tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Tungku untuk membakar kemenyan ini memiliki makna simbolis sebagai
wahana atau sarana dalam memantapkan permohonan dan permintaan yang
berupa doa atau mantra. Kemenyan yang dibakar selain sebagai sarana untuk
keharuman pada waktu berdoa juga memiliki maksud mengantarkan mantra atau
doa-doa peziarah.
Kain samir atau kain sutera berwarna kuning yang digunakan untuk
menutup pagar beton Loka Muksa melambangkan kemakmuran dan ketentraman
hidup manusia. Warna kuning juga melambangkan berbuah. Hal ini dihubungkan
dengan padi menguning di sawah. Kata menguning menunjukkan suatu harapan
adanya keberhasilan yang akan mendatangkan rejeki bagi manusia.
Bunga sekar telon meliputi bunga melati, kenanga, dan mawar. Sekar telon
ini melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat
manusia yang serba tiga. Sifat hidup manusia itu, meliputi hidup, yang
menghidupi, yang membuat hidup. Dan kodrat manusia terdiri dari tiga, yaitu:
lahir, berkembang biak, dan mati.
Bila sekar telon diartikan secara terpisah akan memiliki makna, sebagai
berikut: bunga melati adalah bunga yang harum baunya. Ini melambangkan bahwa
orang itu harus dapat menjaga keharuman namanya sendiri. Bunga melati juga
melambangkan kesucian. Jadi seseorang itu harus melakukan sesuatu yang baik
dan menjauhi tindakan yang jahat agar namanya tetap harum dan suci. Kecuali itu
67
melati dihubungkan dengan kata lathi yang dalam bahasa Indonesia berarti bibir.
Bibir sebagai senjata utama manusia hendaknya dapat dikendalikan dengan tepat.
Bunga mawar dihubungkan dengan kata tawar yang mengandung makna
menawar atau menolak semua hambatan atau godaan yang tidak diinginkan,
sehingga apa yang dicita-citakan dapat terwujud. Bunga kenanga diartikan sebagai
ketentraman hidup manusia. Secara keseluruhan sekar telon memiliki makna,
bahwa di dalam sifat hidup dan kodrat yang serba tiga itu manusia diwajibkan
menjaga keharuman namanya dengan menawar atau menolak semua godaan agar
mendapatkan ketentraman di dalam menjalani hidup.
Sesaji bunga selanjutnya adalah bunga kanthil. Bunga kanthil ini
disebarkan di sekitar Loka Muksa sebelum proses ritual tirakatan berlangsung
oleh juru kunci yang bertugas. Bunga kanthil memiliki arti katut atau dalam
bahasa Indonesia bermakna ikut. Sehingga pengertian ini mengacu pada
keberhasilan sesuatu yang diharapkan peziarah. Kata kanthil biasa dipakai dalam
kekanthilan kebahagiaan, kekanthilan rejeki, kekanthilan jodoh dan sebagainya.
3.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara
Setelah peziarah melakukan persiapan di Sendang Tirtokamandanu dan
meminta izin untuk berdoa di Loka Muksa, kemudian peziarah bersama juru kunci
memasuki Loka Muksa Sri Aji Jayabaya. Sebelum memasuki wilayah Loka
Muksa, peziarah bersujud sambil menggabungkan tangan di tengah dada
kemudian mengangkat tangan tersebut hingga di atas kepala, posisinya seperti
sedang menyembah. Kegiatan bersujud ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu
68
pada anak tangga pertama, anak tangga terakhir, dan di depan pintu Loka Muksa.
Hal ini dimaksudkan sebagai permintaan izin peziarah atau mengetok pintu
dahulu supaya diperbolehkan mengunjungi makam Sri Aji Jayabaya. Untuk juru
kunci, hanya melakukan sujud ini saat berada di depan pintu masuk Loka Muksa
saja.
Selanjutnya juru kunci dan peziarah duduk berhadapan di antara bangunan
Loka Muksa dan pintu masuk. Pertama-tama juru kunci akan menanyakan maksud
dan tujuan yang menuntun peziarah datang pada hari Jumat Legi atau Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Maksud dan tujuan peziarah ini
selanjutnya akan disebut dengan permohonan peziarah. Tanya jawab antara juru
kunci dan peziarah tersebut seperti contoh (rekaman suara Bapak Misri, laki-laki,
55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dengan Bapak Wisnu Pamuksan
adalah peziarah. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho,
di Loka Muksa) di bawah ini.
Juru kunci: “Asmonipun panjenengan sinten lan wonten keperluan menopo?” Peziarah: “Nami kulo Wisnu Pamungkas. Kulo kagungan usaha pabrik roti Mbah. Kalian nyuwon keslametan kagem sak keluarga sedoyo”. Terjemahannya: Juru kunci: “Nama anda siapa dan ada keperluan apa?” Peziarah: “Nama saya Wisnu Pamungkas. Saya mempunyai usaha pabrik roti Mbah. Dan juga minta doa keselamatan untuk seluruh keluarga”.
Jawaban peziarah di sini memang tidak menjelaskan permohonannya secara rinci,
namun juru kunci mengetahui bahwa yang diinginkan adalah kesuksesan dalam
menjalankan usaha dan minta keselamatan dan kesehatan bagi seluruh
keluarganya.
Setelah peziarah menjelaskan permohonannya, juru kunci akan memulai
proses ritual pribadi ini. Juru kunci akan menghaturkan doa pembuka yang inti
69
dari isinya adalah meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya. Doa pembukaan tersebut
seperti contoh dalam (rekaman suara Bapak Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci
pamuksan, Desa Menang dan penyebutan nama Wisnu Pamuksan adalah peziarah.
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa)
di bawah ini.
“Ngaturaken sembah sungkem kagem Gusti Agung, nyuwun kalepatan, meniko Bapak Wisnu Pamungkas saking Nganjuk nyuwun pandungo ingkang wilujeng” Terjemahannya: “Menghaturkan sembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Agung, mohon maaf, di sini Bapak Wisnu Pamungkas dari Kota Nganjuk memohon doa penuh berkah”.
Doa pembukaan yang dihaturkan oleh juru kunci ini bertujuan memintakan izin
peziarah kepada Tuhan Yang Maha Agung melalui Sri Aji Jayabaya. Jadi salam
Gusti Agung memiliki dua makna, yaitu: ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Agung dan Sri Aji Jayabaya.
Kemudian juru kunci akan mengucapkan mantra yang berisi doa
permohonan peziarah itu sendiri. Pengucapkan doa permohonan ini sesekali
diselingi dengan menaburkan kemenyan oleh juru kunci ke dalam anglo.
Kemenyan yang terbakar akan mengeluarkan bau harum dan menciptakan asap
tebal. Asap tebal yang tertiup angin ke atas ini dipercaya sebagai penghantar doa-
doa permohonan peziarah kepada Sang Hyang Widi lewat perantara Sri Aji
Jayabaya. Doa atau mantra tersebut seperti contoh dalam (rekaman suara Bapak
Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dan penyebutan
nama Wisnu Pamuksan adalah peziarah. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus
2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa) di bawah ini.
“Sowanipun Bapak Wisnu Pamungkas ing Jumat Legi meniko wonten mriki kagungan kerso usaha pabrik roti inggih pinaringono lancar. Sowanipun Bapak Wisnu Pamungkas nyuwun tambahi pangestunipun kagem keslametan keluarganipun sedanten inggih
70
pinaringono katentreman. Bapak Wisnu Pamungkas anggenanipun usaha menopo mawon inggih pinaringono sukses sak susesipun. Inggih pinaringono katah slamet kagem Bapak Wisnu Pamungkas sak keluarga sedanten. Inggih pinaringono laris usahanipun mboten wonten bedo menopo-menopo. Inggih pinaringono katah rejekinipun. Sowanipun putro wayah betho caosan kormat sekar telon, dipun caosaken kagem sultan kanjeng ingkang moho agung. Nyuwon diparingi pangestu bok bileh sak garwo putro meniko wonten usaha menopo ke mawon pinarengono lancar lan sukses sak suksesipun mboten wonten sambi kolo menopo ke mawon. Bapak Wisnu Pamungkas sak putro wayah pinaringono katah keslametan mboten wonten rubedho menopo-menopo. Bapak Wisnu Pamungkas pinarengono lancar kagem usahanipun. Putro wayah kegungan usaha pabrik roti pinaringono langgeng. Pinaringono gampang gampil usahanipun. Wontenipun Bapak Wisnu Pamungkas dateng mriki nyuwon wangsulan pandungo ingkang wilujeng anggenanipun kagungan usaha menopo ke mawon sageto sukses. Sowanipun putro wayah dugi ing mriki dinten Jemuah Legi mugi-mugi sedoyo panyuwune Bapak Wisnu Pamungkas kinabulan. Panyuwune Bapak Wisnu Pamungkas menawi usaha pabrik roti meniko mboten wonten bedo menopo-menopo. Inggih mugi-mugi pinaringono gampang gampil pados usahanipun. Putro wayah pinaringono langgeng, sak garwo putro paringono slamet. Pinarengono katah rejeki. Pinarengono slamet sak keluarganipun. Inggih Gusti rama ageng penyuwunipun rubedho menopo-menopo. Inggih menopo wonten kalepatan panyuwunipun mugi-mugi diparingi welas asih ingkang ageng”. Terjemahannya: “Kedatangan Bapak Wisnu Pamungkas pada hari Jumat Legi di sini karena memiliki keinginan agar usaha pabrik roti bisa berjalan dengan lancar. Kedatangan Bapak Wisnu Pamungkas juga meminta agar diberikan keselamatan dan ketentraman bagi seluruh keluarganya. Bapak Wisnu Pamungkas bila memiliki usaha apa saja diberikan kesuksesan-kesuksesan. Berikanlah banyak keselamatan untuk Bapak Wisnu Pamungkas dan seluruh keluarganya. Berikanlah kelancaran dalam menjalankan usaha dan jauhkanlah dari halangan apa saja. Berikanlah banyak berkah melimpah. Kedatangan Bapak Wisnu Pamungkas24 dengan membawa sesaji sekar talon, dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Agung. Mohon direstui apabila anak cucu memiliki usaha apa saja diberikan kelancaran dan kesuksesan dan tidak ada rintangan apapun juga. Bapak Wisnu Pamungkas beserta keluarga berilah banyak keselamatan dan tidak ada godaan apa-apa. Bapak Wisnu Pamungkas berikanlah kelancaran dalam menjalankan usahanya. Peziarah berikanlah kelanggengan dalam menjalankan usaha pabrik rotinya. Berilah kemudahan dalam usahanya. Adapun Bapak Wisnu Pamungkas datang ke sini meminta diberikan doa penuh berkah agar dalam menjalankan usaha apapun juga dapat sukses. Kedatangan peziarah di sini pada hari Jumat Legi, semoga semua permintaan Bapak Wisnu Pamungkas terkabulkan. Permintaan Bapak Wisnu Pamungkas apabila dalam menjalankan usaha pabrik rotinya itu tidak ada hambatan apapun juga. Semoga diberikan kelancaran dan kemudahan dalam usahanya. Peziarah minta diberikan kelanggengan dan kepada keluarganya diberikan keselamatan. Berikanlah banyak keuntungan. Berilah keselamatan bagi seluruh keluarganya. Tuhan Yang Maha Agung janganlah Engkau beri godaan apapun juga. Dan apabila ada kesalahan dalam permintaannya semoga Engkau berikan belas kasihMu yang sebesar-besarnya”.
Pengucapkan mantra ini, juru kunci selalu mengulang-ulang permohonan
peziarah. Pengulangan-pengulangan ini memiliki makna sebagai pemantapan doa
24 Putro wayah bila diartikan menurut teks memiliki arti anak cucu atau keturunan. Namun dalam penelitian ini putro wayah diartikan sebagai peziarah atau dalam contoh teks ini Bapak Wisnu Pamungkas, sebab di dalam masyarakat Jawa makna keturunan itu berarti luas dan terkadang tidak memandang hubungan darah. Peziarah di sini dianggap sebagai anak cucu atau keturunan Sri Aji Jayabaya.
71
permohonan peziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya kepada Tuhan Yang Maha
Agung. Setelah doa permohonan dihaturkan, peziarah akan mengucapkan terima
kasih kepada juru kunci, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini.
Peziarah : “Matur nuwun Mbah”. Juru kunci : “Inggih”. Artinya: Peziarah : “Terima kasih Mbah”. Juru kunci : “Iya” (penutur Bapak Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dengan Bapak Wisnu Pamungkas. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa).
Selesai berdoa dengan bimbingan juru kunci, proses ritual dilanjutkan
dengan menaburkan bunga sekar telon di sekitar bangunan Loka Muksa Sri Aji
Jayabaya. Kemudian peziarah akan mencari tempat untuk melakukan doa secara
pribadi. Terakhir peziarah akan mencari bunga kanthil yang ada di sekitar
bangunan Loka Muksa untuk dibawa pulang. Tujuan membawa pulang bunga
kanthil adalah supaya permohonan peziarah di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya bisa
terwujud. Hal ini dihubungkan dengan makna bunga kanthil, yaitu: kekanthilan
(keikutan) kebahagiaan, rejeki, jodoh, dan sebagainya. Maka peziarah berharap
semua permintaannya dapat ikut bersama bunga kanthil yang dibawanya pulang.
3.3.2 Proses Ritual Syukuran
Proses ritual bancakan atau syukuran merupakan ungkapan terima kasih
seorang peziarah kepada Sri Aji Jayabaya karena permohonannya telah
dikabulkan. Namun tidak sedikit peziarah yang mengadakan proses ritual
syukuran ini untuk memantapkan permohonan agar cepat terkabulkan. Ungkapan
terima kasih dalam proses ritual syukuran ini diwujudkan dengan acara makan
72
bersama-sama peziarah lain yang datang di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Proses
ritual syukuran Jumat Legi dan Selasa Kliwon tersebut akan dijelaskan lebih
mendalam di bawah ini.
3.3.2.1 Tempat Upacara
Pendapa yang digunakan untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa
(dalam proses ritual pribadi) ternyata juga berfungsi sebagai tempat untuk
mengadakan proses ritual syukuran. Pendapa pamuksan ini memiliki luas 32 m²
dan dilengkapi dua jalan masuk tanpa pintu. Bentuk bangunan pendapa pamuksan
ini seperti bentuk pendapa-pendapa di Jawa pada umunya, yaitu beratap seperti
halnya rumah dan bertembok keliling hanya setinggi satu meter saja.
3.3.2.2 Saat Upacara
Walaupun proses ritual tirakatan secara umum dimulai pada pukul 18.00,
namun kebanyakan peziarah yang mengadakan syukuran akan datang lebih awal
atau sekitar pukul 15.00. Menurut pendapat mereka jika proses ritual syukuran
diadakan lebih awal, permohonan peziarah dapat disampaikan lebih jelas oleh juru
kunci dengan tidak tergesa-gesa. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan tenaga
juru kunci yang hanya dua orang saja, sedangkan banyaknya peziarah yang
mengantri mencapai puluhan orang setelah pukul 18.00. Namun tidak semua
peziarah yang mengadakan syukuran berpendapat sama, buktinya ada beberapa
orang yang memang memilih malam hari dengan alasan proses ritual syukuran
seharusnya dilaksanakan setelah pukul 18.00 atau pada hari Jumat Legi bukannya
73
Kamis Kliwon. Hal ini dihubungkan dengan pergantian hari dalam penanggalan
Jawa yang dimulai pada pukul 18.00.
3.3.2.3 Benda Upacara
Pendapa pamuksan ini dilengkapi dengan dua meja yang memiliki panjang
+ 3 meter dan lebar + 1 meter. Meja ini berfungsi sebagai tempat untuk
meletakkan sesaji makanan dalam proses ritual syukuran. Beberapa sesaji
makanan tersebut meliputi:
Nasi biasa beserta lauk pauknya ini, melambangkan keberuntungan dan
permohonan agar semua pihak yang terlihat dalam upacara dapat selamat dan
dikaruniai banyak rejeki.
Nasi gurih lengkap dengan lauk pauknya, melambangkan keselamatan dan
kesejahteraan Nabi Muhammad SAW sekeluarga dan para sahabatnya.
Nasi kabul atau kuning lengkap dengan lauk pauknya ini melambangkan
harta kekayaan, dengan sesaji makanan seperti ini diharapkan akan semakin
bertambah banyak kekayaan yang dimiliki peziarah.
Nasi golong (nasi yang dibentuk bulat-bulat) beserta lauk pauknya ini,
mengandung makna supaya semua peziarah mempunyai tekad yang bulat
(golong), sehingga segala apa yang dicita-citakan akan dapat terlaksana dengan
baik.
Tumpeng dan nasi golong beserta lauk pauknya, melambangkan kebulatan
tekad atau permintaan peziarah ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tumpeng yang berbentuk kerucut memiliki makna tujuan doa yang tertuju pada
74
Yang Satu, yaitu Tuhan. Nasi golong berbentuk bulat-bulat sebagai lambang dari
kebulatan tekad atau permohonan peziarah.
Tumpeng gundul, yaitu tumpeng tanpa nasi golong. Tumpeng gundul
dengan lauk pauknya ini, melambangkan hilangnya keruwetan yang merongrong
pikiran peziarah.
Seekor ayam kemanggang25 ini, melambangkan bahwa pelbagai makanan
yang disajikan itu selezat daging ayam.
Ketan towo mengandung makna pengiriman doa kepada arwah leluhurnya
agar selalu dekat dengan Tuhan serta pengampunan atas segala dosa-dosa dan
kesalahannya.
Sesaji berupa jambe, badhek,26 dan pisang raja sesisir. Jambe atau kelapa
yang masih kecil ini, melambangkan pertumbuhan anak yang semakin sempurna.
Badhek ini melambangkan perbuatan manusia itu hendaknya sedang-sedang saja,
jangan melampaui batas, seperti halnya badhek jika diminum secukupnya akan
menjadi jamu namun jika diminum terlalu banyak akan berakibat tidak baik atau
bahkan membuat sakit. Dan pisang raja sesisir melambangkan kemuliaan seorang
raja. Bila digabungkan antara jambe, badhek, dan pisang raja sesisir ini memiliki
arti, bahwa jalan hidup manusia dari kecil hingga dewasa sebaiknya jangan
melampaui batas agar perbuatannya dipenuhi kemuliaan seorang raja.
Jenang sengkolo terdiri dari: dua piring jenang merah putih, dua piring
jenang merah, dan dua piring jenang putih. Dua piring jenang merah putih ini
25 Ayam kemanggang ini adalah masakan berupa ayam yang di masak dengan cara di panggang secara utuh dan hanya di buang bagian usus dan lambung (jeroan) saja. 26 Badhek merupakan minuman yang berasal dari sari tape singkong atau singkong yang diberi ragi dan mengandung alkohol. Dalam penyajian sesaji makanan ini, badhek akan dibungkus dengan plastik.
75
melambangkan penghormatan pada air penghidupan yang berasal dari kedua
orang tua yang melahirkan. Dua piring jenang abang melambangkan suatu
harapan agar kedua orang tuanya memaafkan kesalahan anaknya yang
mengadakan ritual (tekad hidup, kelangsungan hidup manusia). Dan dua piring
jenang putih melambangkan harapan kepada orang tuanya supaya anaknya
didoakan dalam melaksanakan proses ritual (kesucian hati, kesucian hidup
manusia). Maka dalam jenang sengkolo memiliki makna bahwa manusia
hendaknya menghormati orang tuanya dengan meminta maaf dan minta didoakan
agar terhindar dari sengkolo atau bencana dalam menjalani hidup.
Buah-buahan melambangkan persembahan untuk dewa-dewi.
Sesaji keleman terdiri dari pendeman dan jajan pasar. Pendeman (pala
kependem) atau hasil bumi yang berasal dari dalam tanah ini melambangkan,
bahwa manusia itu diumpamakan seperti tanah, maksudnya tanah diinjak-injak,
diberi kotoran dan sebagainya tidak pernah marah atau sakit hati, tetapi malahan
memberi rizki atau rejeki berupa hasil bumi. Jadi manusia diibaratkan seperti
tanah, berbuat baik kepada sesamanya (kejelekan hendaknya dibalas kebaikan).
Jajan pasar melambangkan, agar peziarah yang hidupnya dari berdagang akan
berhasil dengan sukses. Kecuali itu jajan pasar juga melambangkan, bahwa sesaji
yang dipersembahkan sudah lengkap.
Bila sesaji di atas ada yang tidak dapat dipenuhi oleh peziarah yang
mengadakan proses ritual syukuran maka cukup ditambahkan dengan artha tindih.
Artha tindih ini berupa uang sebanyak Rp. 100,- (seratus rupiah). Uang ini
76
memiliki makna sebagai tumbasan (tukonan) atau sarana untuk membeli
kekurangan dari chaos dahar atau sesaji makanan.
Sekarang ini banyak peziarah yang tidak ingin direpotkan dengan berbagai
macam masakan tersebut di atas. Banyak peziarah yang memilih mewujudkan
sesaji makanan itu berupa hasil produksinya sendiri, seperti: roti, tahu, gethuk
pisang, maupun nasi beserta lauk pauk secukupnya saja. Sebagai pelengkap akan
diberikan artha tindih untuk membeli kekurangan dalam sesaji makanan tersebut.
Hal ini menunjukkan adanya pergeseran bentuk sesaji makanan. Menurut juru
kunci pergeseran bentuk sesaji makanan ini tidak semata-mata dikarenakan
peziarah tersebut kurang mampu atau tidak ingin direpotkan, sebab ada beberapa
bahan baku dari sesaji makanan itu tidak dijual di pasar (Wawancara dengan
Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa Menang. Direkam pada hari
Kamis, 15 Septempber 2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan Sri Aji Jayabaya
Desa Menang).
Sesaji makanan di atas ada yang dibawa dari rumah atau memesan dari
masyarakat di sekitar Petilasan Sri Aji Jayabaya. Cara memesan sesaji makanan
ini adalah peziarah menyerahkan sejumlah uang untuk membeli bahan makanan
yang diperlukan dan mengganti tenaga pemasak sesaji makanan. Bila uang yang
diserahkan tidak mencukupi untuk membeli bahan baku maka terdapat beberapa
pengurangan dalam penyajian, seperti: berbagai macam nasi di atas akan dijadikan
satu, jenang akan disajikan di lepek kecil, dan masih banyak cara lagi. Jadi hampir
tidak ada pergeseran dari sesaji makanan jika memesan pada penduduk sekitar,
kecuali uang yang diserahkan benar-benar kurang untuk membeli bahan baku.
77
3.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara
Peziarah sebelum mengadakan proses ritual syukuran terlebih dahulu
melaksanakan proses ritual pribadi di Loka Muksa. Setelah proses ritual pribadi,
peziarah dan juru kunci bersama-sama menuju pendapa untuk memulai proses
ritual syukuran bersama-sama dengan peziarah lain yang ada di pendapa. Namun
banyak juga peziarah yang tidak melakukan proses ritual pribadi dan langsung
pada pelaksanaan proses ritual syukuran. Hal ini dikarenakan sebagian besar
peziarah yang mengadakan syukuran menganggap bahwa proses ritual pribadi dan
syukuran adalah sama saja. Selain oleh karena kepadatang Loka Muksa setelah
jam 18.00 oleh pengunjung yang menjadikan peziarah yang mengadakan
syukuran malas untuk melakukan proses ritual pribadi terlebih dahulu.
Proses ritual syukuan ini diawali dengan salam pembuka dari juru kunci
dan disahut oleh semua peziarah yang mengikuti proses ritual syukuran. Salam
pembuka tersebut seperti dalam contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki,
57 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11
Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di
bawah ini.
Juru kunci : “Poro Bapak soho Ibu ingkang wonten ing pendopo agung mriki assalamualaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. Peziarah : “waalaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. Juru kunci : “Matur sembah suwun kagem sederek sedoyo ingkang sampun dateng wonten pendopo agung mriki. Ingkang sepuh nyuwun pandungo ingkang wilujeng, ingkang enem inggih nyuwun pandungo ingkang wilujeng”. Peziarah : “Inggih”. Terjemahannya: Juru kunci : “Para Bapak dan Ibu yang ada di pendopo agung ini assalamualaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. Peziarah : “waalaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. Juru kunci : “Terima kasih untuk semua orang yang telah datang di pendopo agung ini. Yang tua minta didoakan agar selamat, yang muda juga minta didoakan agar selamat”. Peziarah : “Iya”.
78
Setelah salam pembuka dihaturkan, juru kunci akan melanjutkan dengan
doa-doa permohonan dari peziarah yang mengadakan syukuran. Doa-doa
permohonan ini juga untuk mendoakan sesaji makanan agar pantas untuk
dihaturkan kepada Sri Aji Jayabaya. Doa permohonan tersebut seperti dalam
contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 57 tahun, juru kunci pamuksan,
Desa Menang dan penyebutan nama Bapak Subandi adalah peziarah. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri
Aji Jayabaya) di bawah ini.
Juru kunci: “Mulo ingkang kagungan hajat meniko putro wayah Bapak Subandi putro wayah saking bojonegoro”. Peziarah: “Inggih”. Juru kunci: “Hajatipun Bapak Subandi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi27 meniko wilujengan caos kormat sekul suci ulam sari sak uborampenipun meniko dipun caosaken dumateng gusti dalem Sri Aji Jayabaya. Kabeh sak putri sak putro wayah sumonggo kalian kerabatipun nyuwon pandungo dumateng ing pamenang mriki”. Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Kolo meniko Bapak Subandi panyuwonipun sampun kinabulan boten wonten rubedo menopo-menopo. Kagem sak keluargamenipun Bapak Subandi sak perlu betho sekul suci ulam sari sak uborampenipun sedoyo dipun caosaken dumateng gusti prabu Sri Aji Jayabaya”. Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Nggih binten woten kelepatan, kekirangan menopo ke mawon, Bapak Subandi nyuwun pangapuntenipun dumateng asmonipun kanjeng Sri Aji Jayabaya”. Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih mugi-mugi panyuwunanipun lan anggenanipun wilujengan Bapak Subandi meniko dipun sekseni poro bapak soho ibu keaturan rawuh dumateng pendopo agung mriki”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih sekul suci ulam sari sak uborampenipun meniko inggih caos kormat, ingkang dipun kormati gusti kajeng Muhammad rassul asalo sak garwo putro sekabat sekawan abubakar, usman, umar lan gusti baginda Ali”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Pramilo dipun ngaweruhi inggih Bapak Subandi sak keluarganipun dipun wangsulan pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah: “Inggih”
27 Doa syukuran ini dilaksanakan pada sore hari pukul 15.30, maka juru kunci menyebut hari Kemis (Kamis) Kliwon/Jemuah (Jumat) Legi. Karena pada pukul 15.30 masih terhitung hari Kamis Kliwon menurut penanggalan Jawa padahal doa syukuran ini ditujukan untuk proses ritual tirakatan Jumat Legi, maka juru kunci menyebutkan kedua hari tersebut secara bersamaan. Tujuannya adalah menunjukan jika sekarang masih hari Kamis Kliwon dan proses ritual syukuran ini untuk keperluan tirakatan Jumat Legi-an.
79
Juru kunci: “Mugi-mugi sedoyo panyuwunipun Bapak Subandi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi, mugi-mugi gusti saget nginabulaken”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Bapak Subandi meniko anggenanipun kagungan kewajiban rintenan sak garwo putro Bapak Subandi pinarengono selamet, wilujeng, tentrem, lan ayem sedantenipun”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Dumateng lelampahanipun sampun boten wonten rubedo menopo-menopo. Bapak subandi sak garwo putronipun manggiho raharjo inggih ngantos sak lami-laminipun”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih sederek sedoyo, poro bapak soho ibu kinaturan rawuh wonten pendopo agung mriki”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih pisang ayu, suruh ayu, badhek setetes, kelopo enom meniko inggih caos kormat ingkang dikormati mbok Siti Fatimah sami panutanipun Ibu Subandi. Kabeh dipun kaweruhi, Ibu Subandi inggih nyuwun tambahi pangestu”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih Ibu Subandi meniko anggenanipun momong putro wayah lan anggenanipun disambi nyambut damel pinarengono gampang gampil. Bapak Subandi lan Ibu Subandi anggenanipun pados sandang wonten bumi bojonegoro sak wilayahipun pinarengono gangsar inggih pinarengono rejeki ingkang agung”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Pinarengono kathah berkah dipun sandang kinten Bapak Subandi sak garwo putro wayahipun inggih ngantos sak lami-laminipun.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih mugi-mugi shalawatipun poro bapak soho ibu kinaturan rawuh dumateng pendopo agung mriki”
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih ketan towo meniko caos kormat Bopo Adam, Bopo Kuoso/Angkoso, lan Ibu Bumi. Mulo dipun paringi caos kormat kagem Bopo Adam, Bopo Angkoso, lan Ibu Pertiwi inggih disuwuni pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Tumpeng meniko ngaweruhi kiblat papat limo pancer ingkang mamori, utawi sederekipun papat kalima pancer. Mulo dicaosi kakormatan inggih Bapak Subandi sak putro wayah sami nyambut damel sampun mboten wonten rubedo menopo-menopo ngantos laminipun”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Ngaweruhi guru danyang cikal bakal dusun menang mriki kalian ngaweruhi guru danyang cikal bakal ingkang bakali bumine Bojonegoro kiblat sekawan gangsal dipun minggahi. Mulo dicaosi kakormatan inggih disuwuni pandungo ingkang wilujeng.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Ngrantos dipun ngaweruhi mugi-mugi ingkang sanjang tuo menopo ingkang dados panyuwune Bapak Subandi ingkang sampun kinabulan inggih ngantos sak lami-laminipun.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih sebapipun poro bapak soho ibu kulo aturi rawuh ing pendopo mriki, inggih ngaweruhi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi Bapak Subandi wilujengan caos dahar sekul suci ulam sari sak uborampenipun dipun caosaken dumateng adep sanjung gusti kanjeng sinuhun Sri Aji Jayabaya kakung soho putri sak putro wayah puniko Bapak Subandi inggih nyuwun wangsulan pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah: “Inggih”
80
Juru kunci: “Janten Arum ngaweruhi kaki waluyo jati, nyai ngawulo jati, kadine madhep nyaine karep. Siji teguh, loro kuat, telu papat eling slamet28. Mugi gusti Allah tansah kinabulono menopo dipun suwun Bapak Subandi sak keluarganipun enggalo kinabulan”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih Bapak Subandi meniko anggenanipun nyambut damel usaha menopo kemawon pinarengono lancar, pinarengono sukses ngantos sak suksesipun. Anggenanipun usaha Bapak Subandi pinarengono katah rejekinipun”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci : “Inggih Bapak Subandi sak keluarganipun pinaringono katah kesehatanipun ngantos sak lami-laminipun. Inggih mugi-mugi shalawatipun/doa-doa poro bapak soho ibu kinaturan rawuh sedanten dumateng pendopo agung mriki”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Inggih ngaweruhi anggenanipun urusan griyo, pinarengono slamet wilujeng sak ubenge griyo, pinaringono slamet wilujeng sak njawinipun griyo. Tebihno saking menopo kemawon inggih sambi kolo Bapak Subandi anggenanipun nggriyo manggiho raharjo ngantos sak lami-laminipun”.
Peziarah: “Inggih” Juru kunci: “Sak aturan maleh Bapak Subandi ingkang wilujengan caos dahar sekul suci ulam sari meniko, bok bileh wonten kalepatan caos dahar menopo ke mawon, Bapak Subandi nyuwun pangapunten dumateng asmonipun gusti dalem kanjeng sinuhun Sri Aji Jayabaya. Soho putri sak putro wayah anggenanipun wonten kalepatan menopo kemawon nyuwun pangapunten”.
Peziarah: “Inggih” Terjemahannya:
Juru kunci: “Adapun yang memiliki permintaan atau ujup adalah Bapak Subandi yang berasal dari Bojonegoro”
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Ujup dari Bapak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi itu mengadakan syukuran sesaji makanan nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya itu diunjukkan kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Seluruh anak cucu dan kerabatnya minta didoakan di Pamenang29.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Pada saat ini permintaan Bapak Subandi telah terkabulkan dan tidak ada halangan yang berarti. Bagi seluruh keluarganya, Bapak Subandi memiliki keperluan membawa nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya disajikan kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Apa bila ada kesalahan, kekurangan apa saja, Bapak Subandi minta maaf sebesar-besarnya kepada nama Sang Prabu Sri Aji Jayabaya.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Semoga permintaan di dalam mengadakan syukuran Bapak Subandi yang disaksikan oleh para bapak dan ibu yang datang di pendapa agung ini.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya ini disajikan kepada Nabi Muhammad SAW dan kerabatnya Abubakar, Usman, Umar dan Yang Terhormat Baginda Ali.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Diberi sesaji ini agar Bapak subandi dan keluarga mendapatkan jawaban doa penuh berkah.
Peziarah: “Iya”
28 Kalimat ini sebenarnya berbunyi siji teguh, loro kuat, telu eling, lan papat slamet, tetapi dalam doa ini dipersingkat menjadi siji teguh, loro kuat, telu papat eling slamet. 29 Pamenang ini dihubungkan dengan Pamuksan Sri Aji Jayabaya bukannya Desa Pamenang atau Menang.
81
Juru kunci: “Semoga segala permintaan Pak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi, dengan kehendakNya dapat mengabulkannya.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Bapak Subandi punya kewajiban mengadakan syukuran agar seluruh keluarga Bapak Subandi diberikan keselamatan, berkah, ketentraman, dan nyaman kesemuanya”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Pada saat perjalanannya sudah tidak ada godaan apa saja. Bapak subandi dan keluarganya dipenuhi kesejahteraan hingga selama-lamanya”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Untuk itulah para bapak dan ibu diharapkan kedatangannya di pendapa agung ini”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Adapun pisang raja, daun suruh, badhek satu tetes, kelapa muda itu sesaji yang disajikan Ibu Siti Fatimah30 yang menjadi panutan Ibu Subandi. Semua diberitahu dan Ibu Subandi minta diberikan berkah”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Ibu Subandi di dalam mengasuh keluarga dan sambil bekerja diberikan kemudahan. Pak Subandi dan Ibu Subandi di dalam mencari nafkah di Kota Bojonegoro dan sekitarnya diberikan kelancaran dengan berkah melimpah”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Berikanlah banyak berkah yang diperoleh Bapak Subandi dan seluruh keluarganya hingga selama-lamanya.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Semoga para bapak dan ibu yang diharapkan datang mendoakannya di pendapa agung ini”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Ketan tak berasa ini merupakan sesaji kepada Bapa Adam, Bapa Angkasa, dan Ibu Pertiwi. Oleh karenanya diberikan sesaji kepada Bapa Adam, Bapa Angkasa, dan Ibu Pertiwi semoga memberikan doa penuh berkah”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Tumpeng ini memberi pengertian pada kiblat papat limo pancer (empat kiblat lima menjadi pusat)31 atau juga sederekipun papat kalima pancer (saudaranya empat yang ke lima menjadi pusat)32. Maka diberikan sesaji agar Bapak Subandi dan seluruh keluarga dalam bekerja tidak mendapatkan halangan apa saja sampai selamanya”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Memberitahu kepada Guru yang mengawali Desa Menang ini dan memberitahukan Guru awal yang mengawali Kota Bojonegoro di atas empat dan lima kehidupan. Maka diberi sesaji juga dimintakan doa penuh berkah”.
30 Ibu Siti Fatimah ini memilik dua makna, yaitu Siti Fatimah nama dari ibu nabi Isa dan tanah. Jadi dalam doa ini memiliki arti bahwa semestinya ibu Subandi mampu mencontoh kehidupan Siti Fatimah (ibu nabi Isa) dan tanah yang selalu memberikan kesuburan bagi setiap tanaman. 31 Kiblat papat limo pancer memiliki arti bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan itu harus melalui empat cara atau jalan. Empat kiblat ini diasosiasikan dengan empat mazhab dalam agama Islam yaitu mazhab Safei, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Keempat mazhab ini merupakan jalan yang dapat ditempuh oleh seorang muslim agar sampai pada kehidupan yang menyenangkan di akherat (limo pancer). Tujuan dari kehidupan manusia adalah mencapai kelanggengan atau keabadian hidup di surga. 32 Sederekipun papat kalima pancer ini memiliki makna bahwa kelahiran setiap insan ciptaan Tuhan selalu disertai empat unsur saudara,yaitu: (1) Kakang kawah, warna putih yang bertugas melindungi seluruh jasad manusia. (2) Adi ari-ari, warna kuning dan bertugas melindungi langkah-langkah hidup. (3) Arinta rah, warna merah, bertugas mengarahkan kelakuan baik. (4) Arinta puser, warna hitam dan bertugas melindungi suara. Dan yang ke lima adalah diri manusia itu sendiri.
82
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Berharap semoga yang dituakan ini agar segala permintaan Pak Subandi yang sudah terkabulkan dapat bertahan hingga selama-lamanya.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Maka itu para bapak dan ibu, saya harapkan kedatangannya di pendapa ini, agar syukuran Bapak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi dengan membawa sesaji makanan nasi gurih dan lauk pauk beserta perlengkapannya yang disajikan kehadirat Sang Prabu Sri Aji Jayabaya memohon supaya seluruh keluarga Bapak Subandi diberikan jawaban doa penuh berkah”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Jika seorang lelaki mengetahui/menginginkan kehidupan sejati, maka seorang istri haruslah menuruti dengan kesejatian pula, seperti satu : keteguhan, dua : kekuatan, tiga : kesadarandan, dan empat : keselamatan. Semoga permintaan Bapak Subandi beserta keluarganya segera dikabulkan oleh Tuhan”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Bapak Subandi di dalam bekerja apa saja diberikan kelancaran, berikanlah kesuksesan-kesuksesan. Di dalam bekerja, Bapak Subandi, berikanlah banyak mendapatkan berkah”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Bapak Subandi dan seluruh keluarga diberikan banyak kesehatan hingga selama-lamanya. Semoga para bapak dan ibu yang diharapkan datang mendoakannya di pendapa agung ini”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Di dalam urusan rumah, berilah keselamatan di sekitar rumah dan di luar rumah. Jauhkanlah dari bahaya apa saja, Bapak Subandi dalam berumah tangga, dapat memperoleh kesejahteraan hingga selama-lamanya”.
Peziarah: “Iya” Juru kunci: “Satu haturan lagi Bapak Subandi yang syukuran sesaji makanan nasi gurih dengan lauk pauknya ini, jika ada kesalahan sesaji makanan berupa apa saja, Bapak Subandi minta pengampunan kepada nama Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Dan juga kepada semua orang yang ada di sini mempunyai kesalahan apapun juga minta minta pengampunannya”.
Peiarah: “Iya”
Doa juru kunci ini selalu disahut dengan kata nggih oleh semua peziarah yang
ikut. Nggih dalam bahasa indonesia bisa berarti menyetujui atau meng-iya-kan. Isi
dari doa ini berupa penjelasan kedatangan peziarah dan doa permohonannya
dalam mengadakan syukuran.
Setelah doa permohonan peziarah diucapkan, juru kunci melanjutkan
dengan acara berdoa bersama yang diawali dengan ajakan seperti dalam contoh
(rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 57 tahun, juru kunci pamuksan, Desa
Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di
Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di bawah ini.
83
Juru kunci: “Mbok bileh wonten kekirangan atur kulo soho bapak poro ibu kulo aturi njejuruk ‘Amin’ kabul slamet”. Terjemahannya: Juru kunci: “Dan jika terdapat kekurangan hatur saya semua yang hadir di sini, marilah kita haturkan kata ‘Amin’ agar terkabulkan keselamatan”. Ajakan juru kunci di atas diteruskan dengan doa yang diawali dengan
tatacara Islam dan dilanjutkan doa wajib yang telah diajarkan turun-temurun
seperti dalam contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 56 tahun, juru
kunci pamuksan, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh
Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di bawah ini.
Juru kunci: “Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin”.33 Peziarah: “Amin…” Juru kunci: “Allahumma selamet bumi ingkang maringi rejeki. Jagat ingkang maringi kuat. Bumi pratolo ingkang nglebur doso. Sabdo purno ing ponco bolo resik”. Peziarah: “Amin…” Juru kunci: “Purno ing ponco bolo, urip kito ing dino rahayu, kito ing dino pithu”. Peziarah: “Amin…” Juru kunci: “Selamet kito kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bumi seng maringi rejeki, jagat seng maringi selamet. Umur panjang tanpo walangan. Sumber mengo banyu mili, anggenanipun katah panyembah wonten ingkang ngrahmati. Peziarah: “Amin…” Juru kunci: Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin”. Juru kunci dan Peziarah: “Amin…” Terjemahannya Juru kunci: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah seru sekalian alam”. Peziarah: “Amin…” Juru kunci: “Ya Allah berilah keselamatan kepada bumi yang memberikan berkah. Jagat yang memberikan kekuatan. Bumi tempat kami berpijak yang meleburkan segala dosa. Sabda yang membersihkan lima bencana”. Peziarah: “Amin…” Juru kunci: “Setelah terselesaikan kelima bencana besar, ke tujuh hari yang kita lalui akan dipenuhi dengan kemakmuran”.34 Peziarah: “Amin…” Juru kunci: “Sumber keselamatan kita kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bumi akan memberikan rejeki, jagat akan memberikan keselamatan. Umur yang panjang tidak mendapat halangan. Saat sumber terbuka maka air mengalir tiada henti, jika banyak berdoa akan dibeikan limpahan rahmad”. Peziarah: “Amin…”
33 Bila secara lengkap doa tersebut akan berbunyi “Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin. Allahumma shalli’ala sayyidina muhammadin wa’alaali saiyyidina muhammadin. Wa asyhaduanna muhammadar rasullulloh hirrobil ‘alamin”. 34 Kalimat ini bukan mengambil dari ajaran Hindu tentang lima bencana besar, melainkan doa yang dirangkai oleh juru kunci sendiri.
84
Juru kunci: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Tuhan”. Juru kunci dan Peziarah: “Amin…”
Ungkapan doa yang diawali dengan tata cara agama Islam ini untuk mewakili
peziarah yang beragama Islam, sedang yang beragama lain dapat mengikuti
ataupun berdoa sendiri. Keseluruhan doa ini mengutip dari doa-doa di dalam
agama Islam namun tidak secara lengkap atau dapat dikatakan doa-doa dalam
bahasa Arap ini merupakan ungkapan spontanitas dari juru kunci.
Setelah doa dihaturkan, makanan yang dijajarkan dengan rapi di meja,
kemudian dibungkus satu-satu dan dibagi-bagikan secara merata kepada semua
peziarah yang mengikuti proses ritual syukuran untuk disantap bersama-sama.
3.4 Rangkuman
Proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji
Jayabaya meliputi tahap persiapan dan pelaksanaan.
1. Tahap persiapan ini dilakukan pada tempat upacara, saat upacara atau
pemilihan waktu, benda upacara, dan orang yang melakukan upacara.
Semua persiapan ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan
harus memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan.
2. Tahap pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa
Kliwon ini terbagi dalam dua bagian, yaitu proses ritual tirakatan
pribadi dan syukuran. Proses ritual pribadi dilakukan oleh peziarah
dengan bimbingan juru kunci. Proses ritual bancakan atau syukuran
merupakan ungkapan terima kasih seorang peziarah yang diwujudkan
dengan acara makan bersama dengan peziarah lain yang datang di
85
pamuksan Sri Aji Jayabaya. Walaupun terdapat beberapa pergeseran
tentang sesaji makanan dan tata cara ternyata tidak mengurangi
kesakralan proses ritual tirakatan itu sendiri. Hingga sekarang proses
ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon masih dirasakan
sebagian besar masyarakat Kediri sebagai kebutuhan untuk membina
hubungan baik kepada Sri Aji Jayabaya, leluhur, maupun sesama
peziarah yang datang.
86
BAB IV
PROSES RITUAL 1 SURO ATAU MUHHARAM
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA KEDIRI
4.1 Pengantar
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini diprakarsai oleh
Yayasan Hondodento setelah proses pemugaran wilayah pamuksan terselesaikan.
Proses ritual ziarah ini dilakukan secara adat keraton Yogyakarta. Hingga saat ini
Yayasan Hondodento masih berperan sebagai penyelenggara proses ritual
peringatan tahun baru Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kemudian dalam
perjalanan waktu oleh pendukung atau masyarakat sekitar wilayah Petilasan Sri
Aji Jayabaya dipercaya sebagai tradisi ritual setempat.
Disamping proses ritual ziarah 1 Suro, Yayasan Hondodento juga
mengadakan upacara labuhan di bulan Suro, tepatnya tanggal 15 Suro, di pantai
Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka tidak mengherankan jika
antara proses ritual tahun baru Suro memiliki hubungan yang erat dengan upacara
labuhan di pantai Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun
kepercayaan penduduk sekitar Petilasan Sri Aji Jayabaya menganggap bahwa
eratnya hubungan proses ritual di bulan Suro ini dikarenakan terdapat hubungan
darah antara raja-raja di kerajaan Kediri dan Mataram (sekarang Keraton
Yogyakarta Hadiningrat). Pendapat penduduk Desa Menang ini didukung juga
oleh juru kunci Sendang Tirtokamandanu yang mengatakan bahwa “kerajaan
Kediri merupakan cikal bakal atau asal mula dari kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa
87
sampai yang terakhhir adalah kerajaan Mataram Islam atau kalau sekarang disebut
sebagai keraton Yogyakarta Hadiningrat” (penutur Bapak Suraten, laki-laki, 56
tahun, juru kunci Pamuksan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang. Direkam pada hari
Rabu, 4 Mei 2005, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang
Tirtokamandanu)..35
4.2 Persiapan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam
Persiapan proses ritual 1 Suro atau Muhharam ini berhubungan dengan
tempat upacara, saat upacara atau pemilihan waktu, benda upacara, dan orang
yang melakukan upacara. Persiapan-persiapan tersebut akan dijelaskan di bawah
ini.
4.2.1 Tempat Upacara
Persiapan tempat upacara dilakukan satu hari sebelum perayakan proses
ritual tanggal 1 Suro. Hal ini meliputi pemasangan umbul-umbul berwarna merah-
putih disepanjang jalan masuk menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kemudian
pemasangan janur di pintu masuk pamuksan dan dilanjutkan dengan pembersihan
(dengan cara mencuci) seluruh bagian bangunan dari lumut yang menempel.
Pembersihan ini, meliputi: wilayah pendapa, Loka Muksa, Loka Busana, dan
Loka Mahkota. Setelah keempat tempat bersih, kemudian di lantai Loka Muksa
dan pendapa dipasangkan karpet berwarna merah sebagai alas duduk para pelaku
proses ritual 1 Suro. Selanjutnya, pembersihan dilakukan dengan cara doa-doa
35 Pendapat juru kunci ini didasarkan atas buku yang berjudul Sang Prabu Sri Adji Djojobojo karangan Yudoyono dan sekaligus menjadi buku panduan ziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
88
oleh juru kunci. Doa-doa ini bertujuan meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya agar
proses penyucian Loka Muksa dapat berjalan dengan lancar. Persiapan terakhir di
pamuksan adalah penutupan pintu masuk untuk aktivitas umum, hingga
menjelang acara proses ritual peringatan tahun baru Suro dilaksanakan.
Sedangkan di Sendang Tirtokamandanu persiapan dilakukan dengan
memasang pagar yang terbuat dari bambu dengan hiasan janur disepanjang jalan
masuk gerbang utama. Kemudian dilanjutkan dengan membersih bagian-bagian
yang meliputi: pendapa, sumber air suci, pelataran depan, dan tempat untuk
semadi. Setelah itu dilakukan doa-doa, meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya agar
proses penyucian Sendang Tirtokamandanu dapat berjalan dengan baik. Terakhir
dilakukan penutupan wilayah Sendang Tirtokamandanu untuk aktivitas umum.
4.2.2 Saat Upacara
Pemilihan tanggal 1 Suro merupakan peringatan pergantian penanggalan
Saka Hindu Jawa menjadi penanggalan Jawa. Sebab sebelum tahun 1633 Masehi
masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan
Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun
konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India.
Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M., Raja Mataram
Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem
penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat
dibaca dalam buku Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis
dalam bahasa Jawa. Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu
89
Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem
Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan
berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak
termasuk daerah Mataram.
Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian
tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah
tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan
tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1,
melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian
seperti nama bulan (month)36 dan hari (day)37. Yang semula menggunakan bahasa
Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan
kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.
Perbedaan kalender Jawa dengan kalender Masehi dan Hijriah selain
terdapat pada konsep mingguan atau pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon,
Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon)38 juga terdapatnya siklus delapan
tahunan yang disebut windu yang merupakan konsep penanggalan khas Jawa.
36 Penyesuaian bulan ini menggunakan bahasa yang mirip bahasa Arab, seperit: Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar. Lihat juga Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm 37 Penyesuaian nama hari disebut juga sebagai Saptawara, yaitu: Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukro (Jumat), Tumpah (Sabtu), dan Dite atau Radite (Minggu). Masing-masing hari tersebut memiliki neptu dina atau nilai hari, misalnya: Soma bernilai 4. Lebih lanjut lihat (Ensiklopedi, 1975: 284) 38 Pawukon berasal dari kata wuku adalah perhitungan waktu yang berjumlah 30 wuku dan setiap wuku lamanya 7 hari. Wuku-wuku tersebut ialah Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, dan Watugunung. Lihat juga (Ensiklopedi, 1975: 82-88)
90
Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip,
Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Kalender Jawa lebih tepat disebut
sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah.39
Pemilihan tanggal 1 Suro ini sebagai peringatan pada pergantian tahun
yang dilakukan oleh Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo dan untuk
menjaga kelestariannya. Proses ritual 1 Suro 1939 tahun Alip di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kota Kediri bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006.
Pelaksanaan proses ritual ini dimulai pada pukul 08.00 dengan tujuan agar tidak
berbenturan dengan jadwal pelaksanaan ritual penyucian pusaka yang diadakan
oleh keraton Yogyakarta di pantai Parangtritis. Hal ini ditegaskan oleh Bapak
Priyo yang mengatakan “rangkaian ritual ziarah di bulan Suro ini mempunyai dua
parayaan, yaitu: peringatan tahun baru Suro (tanggal 1 Suro) di Petilasan Sri Aji
Jayabaya dan upacara labuhan di pantai Parangkusumo Yogyakarta. Karena
mengikuti tatacara keraton Yogyakarta Hadiningrat maka waktu pelaksanaannya
juga disesuaikan supaya jadwalnya tidak berbenturan” (penutur Bapak Suraten,
laki-laki, 56 tahun, juru kunci Sendang Tirtokamandanu, Desa Menang. Direkam
pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang
Tirtokamandanu).
4.2.3 Benda Upacara
Persiapan benda upacara ini terdiri dari anglo dan kemenyan, sesaji bunga,
peralatan tetabuhan, dan busana.
39 Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm
91
a. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan
Tungku untuk membakar kemenyan atau anglo terdiri dari dua macam,
yaitu: tungku untuk proses ritual perarakan dan tungku untuk berdoa di Pamuksan
Sri Aji Jayabaya serta Sendang Tirtokamandanu. Tungku untuk doa di pamuksan
dan sedang ini dibersihkan dahulu dari sisa-sisa kemenyan yang menempel
dengan cara menyikat seluruh bagian tungku. Dua tungku untuk perarakan
dibersihkan dengan cara menyikat dan menyepuh seluruh bagian tungku.
Menyepuh dalam KBBI (1988: 920), berarti menuakan warna emas dengan
campuran sendawa, tawas, dsb. Jadi dengan disepuh,40 warna keemasan dari
tungku untuk kemenyan akan telihata lebih mengkilap. Kedua tungku untuk
proses ritual perarakan ini memang dipersiapkan khusus untuk proses ritual 1
Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
b. Sesaji Bunga
Persiapan untuk sesaji bunga, yaitu penduduk setempat Desa Menang
memetik bunga mawar dan melati pada pagi hari. Sesaji bunga ini kemudian
dikumpulkan di pendapa Desa Menang sebelum proses ritual pembukaan
berlangsung.
c. Peralatan Tetabuhan atau Alat Musik yang di Pukul
Peralatan tetabuhan ini sebelum digunakan dalam acara proses ritual 1
Suro terlebih dahulu disepuh dan nadanya disesuaikan. Tujuan menyepuh ini agar
alat musik terlihat lebih mengkilat dan suaranya menjadi nyaring. Membenarkan
40 Digosok menggunakan kain yang diberi campuran sendawa.
92
nada berfungsi agar semua alat musik ini senada dan menjadi merdu untuk
didengarkan.
d. Busana
Busana proses ritual 1 Suro yang disiapkan oleh panitia adalah busana
untuk proses perarakan yang terdiri dari: busana barisan Subo Manggolo Putri,
Pembawa Bunga, Pembawa Payung dan Pembawa Tungku. Selain itu busana ini
disiapkan oleh masing-masing pelaku proses ritual, sebab merupakan koleksi
pribadi mereka.
4.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara
Orang yang memimpin proses ritual 1 Suro atau juru kunci
mempersiapkan diri sejak satu hari sebelum acara ziarah tahun baru Suro
diadakan. Setelah penyucian tempat upacara, juru kunci berkumpul dan
melakukan penyucian diri di Loka Muksa untuk membersihkan batin mereka
masing-masing. Demikian juga juru kunci yang ada di Sendang Tirtokamandanu.
Penyucian ini dilakukan dengan cara bersemadi dari pukul 18.00 – 19.00.
Bersemadi ini bertujuan untuk meminta petunjuk dan restu dari Sri Aji Jayabaya
agar juru kunci sebagai pemimpin proses ritual dapat menjalankan tugas dengan
sebaik-baiknya. Setelah semadi acara dilanjutkan dengan tirakatan atau begadang
bersama peziarah yang sudah datang.
Sedangkan orang yang melakukan proses ritual 1 Suro dibagi menjadi tiga,
yaitu: peziarah aktif, peziarah pasif, dan penonton. Peziarah aktif adalah mereka
yang mengikuti proses ritual dari awal hingga akhir atau mereka yang ikut dalam
93
barisan perarakan. Peziarah aktif ini terdiri dari penduduk setempat Desa Menang
dan perwakilan dari Yayasan Hondodento. Peziarah pasif adalah mereka yang
hanya mengikuti proses ritual 1 Suro hanya di Pamuksan Sri Aji Jayabaya atau di
Sendang Tirtokamandanu saja. Biasanya peziarah pasif ini terdiri dari orang-orang
yang sudah berusia lanjut dan berasal dari luar Desa Menang. Sedangkan peziarah
sebagai penonton ini adalah mereka mengikuti jalannya proses ritual 1 Suro dari
awal hingga akhir namun tidak ikut langsung menjadi pelaku ritual. Sebagai
penonton bukan berarti tidak mengikuti proses ritual namun lebih disebabkan
karena keterbatasan tempat di pamuksan.
Persiapan yang dilakukan oleh peziarah aktif adalah merias diri dan
memakai busana yang dibutuhkan untuk proses ritual perarakan. Persiapan ini
dilakukan sejak pukul 04.00, baik penduduk setempat Desa Menang atau
perwakilan Yayasan Hondodento. Sedangkan persiapan peziarah pasif dilakukan
sendiri-sendiri atau ada juga yang menyiapkan sehari sebelum pelaksanaan
dengan mengikuti acara tirakatan bersama juru kunci.
4.3 Pelaksanaan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam
Pelaksanaan proses ritual peringatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya meliputi tiga bagian pokok, yaitu: proses ritual perarakan, proses
ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, dan tabur bunga di Sendang
Tirtokamandanu. Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya berpusat di Loka
Muksa, sedangkan di Sendang Tirtokamandanu berpusat di pelataran depan.
Proses ritual tersebut akan dijabarkan di bawah ini.
94
4.3.1 Proses Ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini diawali dengan acara
pembukaan di pendapa Desa Menang yang terdiri dari: laporan ketua panitia,
sambutan kepala Desa Menang, dan sambutan dari perwakilan Pemerintah Daerah
Kota Kediri41. Acara pembukaan ini diakhiri dengan penyerahan tongkat Kyai
Bimo42 dari pihak Yayasan Hondodento kepada juru kunci pamuksan. Kemudian
proses ritual dilanjutkan dengan acara pemberangkatan perarakan tongkat Kyai
Bimo oleh perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur43. Proses ritual
perarakan pusaka Kyai Bimo dimaksudkan supaya kesaktian yang memancar dari
pusaka itu dapat memberi pengaruh baik kepada yang melihat maupun tempat
tinggal penduduk Desa Menang.
Barisan proses ritual perarakan, terdiri dari: barisan pertama adalah barisan
Subo Manggolo Putri berjumlah lima orang. Syarat barisan Subo Manggolo Putri
adalah lima orang yang masih gadis dan pada saat proses ritual 1 Suro
berlangsung tidak sedang mengalami datang bulan atau menstruasi. Sebab barisan
Subo Manggolo Putri merupakan cermin dari kesucian proses ritual 1 Suro itu
sendiri.
41 Dahulu perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri selaku undangan Yayasan Hododento untuk mengikuti proses ritual 1 Suro dan menyambut kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang selalu ikut berziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap perayaan tahun baru Suro. Namun sekarang kedatangan perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri ini didasarkan atas kepedulian terhadap warisan budaya sebagai tempat ziarah dan pariwisata. 42 Tongkat Kyai Bimo ini adalah pusaka milik keraton Yogyakarta. Sebelum dibawa ke Petilasan Sri Aji Jayabaya pusaka ini telah disucikan dalam proses ritual penyucian pusaka di Parang Tritis. 43 Dahulu perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur selaku undangan Yayasan Hododento untuk mengikuti proses ritual 1 Suro dan menyambut kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang selalu ikut berziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap perayaan tahun baru Suro. Namun sekarang kedatangan perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur ini didasarkan atas kepedulian terhadap warisan budaya sebagai tempat ziarah dan pariwisata.
95
Barisan kedua adalah pembawa tungku, berjumlah empat orang remaja
putra yang terdiri dari: dua orang pembawa kemenyan dan dua orang pembawa
tungku perarakan. Tugas barisan ini adalah untuk memberi keharuman suasana
proses ritual yang sedang berlangsung.
Barisan ketiga adalah barisan tabur bunga, berjumlah sepuluh orang yang
terdiri dari: anak-anak setingkat Sekolah Dasar. Tugas dari barisan ini adalah
menaburkan bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan di Sendang
Tirtokamandanu pada saat proses ritual tabur bunga. Di antara barisan tabur bunga
terdapat sepuluh remaja putra yang bertugas sebagai pembawa payung. Barisan
pembawa payung merupakan anak-anak setingkat Sekolah Lanjutan Tahap
Pertama. Tugas barisan ini adalah memayungi atau membuat suasana sejuk bagi
barisan penabur bunga.
Barisan keempat adalah barisan pendamping, berjumlah dua orang yang
terdiri dari: Kepala Desa Menang yang sedang menjabat dan istri atau anaknya.
Dan dalam proses ritual 1 Suro yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006
ini Kepala Desa Menang didampingi oleh anaknya. Tugas barisan ini adalah
mendampingi dan mengayomi barisan perarakan yang ada di depannya.
Barisan kelima adalah barisan pembawa pusaka, berjumlah satu orang.
Tugasnya adalah menjaga pusaka saat proses ritual perarakan berlangsung.
Barisan terakhir adalah barisan pengawas, berjumlah tiga orang juru kunci
dan satu orang tetua dari Desa Menang. Tugas barisan ini mengawasi jalannya
perarakan dan proses ritual tahun baru Suro dari awal hingga akhir. Di belakang
96
barisan pengawas ini merupakan barisan peserta yang terdiri dari: panitia proses
ritual 1 Suro, perwakilan Yayasan Hondodento, dan peziarah secara umum.
4.3.1.1 Tempat Upacara
Tempat upacara dalam proses ritual 1 Suro ada dua bagian, yaitu: pendapa
Desa Menang dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kegunaan pendapa Desa Menang
sebagai proses ritual pembukaan dan juga pemberangkatan barisan perarakan
menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Sedangkan di Pamuksan Sri Aji Jayabaya
tempat yang digunakan adalah Loka Muksa, Loka Busana, Loka Mahkota,
halaman pamuksan, dan pendapa. Di depan Loka Muksa digunakan juru kunci dan
tetua Desa Menang untuk memimpin jalannya proses ritual 1 Suro. Sedangkan
Loka Muksa digunakan untuk proses ritual caos dahar atau sesaji makanan.44
Tempat proses ritual tabur bunga berada di sebelah Loka Busana yang sudah
disediakan sepetak tanah yang berbentuk persegi panjang. Loka Mahkota
digunakan hanya untuk proses ritual sesaji makanan saja. Peziarah aktif
menggunakan halaman pamuksan untuk duduk dan menunggu giliran
melaksanakan tugas-tugas mereka. Pendapa pamuksan digunakan peziarah pasif
untuk mengikuti jalannya proses ritual 1 Suro. Sedangkan peziarah sebagai
penonton diperkenankan mengikuti proses ritual dari luar pagar wilayah
pamuksan. Sebab setelah barisan perarakan masuk ke dalam wilayah pamuksan,
pintu gerbang segera ditutup.
44 Sesaji makanan ini tidak berupa bermacam-macam makanan seperti dalam Bab III, namun berwujud bunga melati dan mawar. Sesaji makanan berbentuk bunga ini diperuntukkan Sri Aji Jayabaya untuk mengenang keharuman namanya.
97
4.3.1.2 Saat Upacara
Pelaksanaan proses ritual 1 Suro di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dimulai
sekitar + pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 12.00 WIB. Proses ritual ini
diadakan setelah proses ritual perarakan benda pusaka Kyai Bimo dari balai Desa
Menang menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya.
4.3.1.3 Benda Upacara
Benda upacara ini dibagi atas beberapa bagian, seperti tungku untuk
kemenyan, sesaji bunga, alat musik, dan pakaian. Semua perlengkapan proses
ritual ini akan dijelaskan di bawah ini.
1. Tungku untuk membakar kemenyan
Tungku utama berada di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang
Tirtokamandanu untuk proses ritual tabur bunga. Sedangkan kedua tungku untuk
perarakan digunakan untuk mendampingi proses ritual perarakan benda pusaka
dari balai Desa Menang hingga tiba di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Tungku untuk
mengiringi perarakan ini harus tetap dalam keadaan menyala sepanjang
perjalanan. Sedangkan tungku utama dinyalakan pada pagi hari sebelum upacara
pembukaan dimulai, walaupun penggunaannya menunggu kedatangan barisan
perarakan.
Pemilihan kemenyan ini harus yang terbaik, sebab kemenyan ini dipakai
juga sebagai caos dahar atau sesaji makanan untuk Sri Aji jayabaya. Kemenyan
untuk proses ritual perarakan selain berguna sebagai sarana keharuman juga
berguna untuk memberi makan kepada makhluk halus sepanjang perjalanan.
98
Dengan diberi makanan berupa kemenyan ini diharapkan makhluk halus tersebut
tidak menggangu jalannya proses ritual perarakan. Sedangkan kemenyan di
pamuksan selain untuk sarana keharuaman saat berdoa juga berfungsi sebagai
pengantar doa atau mantra pada saat proses ritual 1 Suro di pamuksan sedang
berlangsung.
2. Sesaji bunga
Sesaji bunga dalam proses ritual 1 Suro ini adalah bunga melati dan
mawar. Bunga melati merupakan bunga yang harum baunya. Bunga melati juga
melambangkan kesucian. Bunga melati ini diartikan sebagai pencerminan
keharuman dan kesucian nama Sri Aji Jayabaya.
Bunga mawar dihubungkan dengan kata tawar yang mengandung makna
menawar atau menolak hambatan atau godaan yang tidak diinginkan. Bunga
mawar ini dilambangkan sebagai penolak hambatan dan godaan saat mengadakan
proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
3. Alat musik
Alat musik ini terdiri dari: kenong, kempul, dan kendang. Kenong ini jika
ditabuh atau dipukul bunyinya nong – nong – nong. Kalau dicocokkan dengan
bahasa Jawa yaitu Nong – nung – ning, maka maksudnya Nong kana – Nung kono
– Ning kene ( Di sana – Di situ – Di sini). Kempul, kalau dipukul suaranya akan
berbunyi Pung, pung-pung bunyi seperti ini diartikan dengan kumpul-kumpul.
Kendang, alat ini jika ditabuh akan kedengaran Ndang ndang-tak, Ndang-ndang
tak suara seperti ini mengandung makna cepat-cepat. Ndang (enggal-enggal,
cepat-cepat). Ndang tak (yen di tak enggal-enggal padha tumandang) kalau
99
diperintah cepat-cepat dilaksanakan. Jadi dalam alunan musik ini memiliki makna
sebagai berikut: wahai orang-orang yang di sana, di situ, dan di sini marilah
semua berkumpul cepat-cepat. Makna yang terkandung dalam alunan musik ini
dihubungkan dengan berkumpul untuk melaksakan proses ritual 1 Suro di
Petilasan Sri Aji Jayabaya.
4. Pakaian
Barisan Subo Manggolo yang terdiri dari lima remaja putri ini memakai
rias wajah berupa wedak gahdung45 dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan
di bawah kelopak mata. Rambut digelung konde46 dengan hiasan di atasnya
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas mengenakan kebayak panjang
tanpa kuthubaru47dan diganti dengan kancing baju biasa. Kebaya tanpa memakai
kuthubaru ini mempunyai makna bahwa pemakainya belum pernah mempunyai
suami atau anak. Pakaian bagian bawah adalah kain batik panjang dan tidak
mengenakan alas kaki.
Barisan kemenyan berjumlah empat orang ini pada bagian kepala
mengenakan udeng atau ikat kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung48
berwarna kuning dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian
bawah adalah kain batik tanpa mengenakan alas kaki.
45 Wedak gahdung atau wedak teles adalah bedak yang terbuat dari bahan beras. 46 Gelung konde merupakan jenis sanggul yang dibentuk dengan cara mengikat seluruh rambut ke belakang dipuntir mulai dari atas hingga ke bawah. Kemudian dibentuk dua bulatan yang menindih sebagian antara yang satu dengan yang lain. Masing-masing sisi dikencangkan dengan tusuk konde (biasanya terbuat dari logam) dengan cara menyelipkannya di tengah-tengah sanggul. 47 Kuthubaru adalah kancing yang berbentuk bulat-bulat berwarna emas. 48 Wakthung merupakan singkatan dari krowak di buthung atau krowak di punggung yang artinya baju yang berlubang di bagian punggung. Adapun bentuk dari pakaian wakthung ini merupakan baju kebesaran Solo.
100
Barisan tabur bunga yang terdiri dari sepuluh orang ini memakai rias
wajah berupa wedak gahdung dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan di
bawah kelopak mata. Rambut diberikan gelung konde dengan hiasan di atasnya
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas digunakan kemben atau kain
berwarna emas dengan motif pelangi yang dibalutkan pada badan remaja putri
tersebut. Pada leher dikenakan kalung yang terbuat dari kain dengan motif
disesuaikan dengan kemben. Pakaian bagian bawah adalah kain panjang batik dan
tidak mengenakan alas kaki.
Barisan pembawa payung yang berjumlah sepuluh orang ini memakai
udeng mondolan49 pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung
berwarna hitam dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian
bawah adalah kain batik panjang dan tidak mengenakan alas kaki.
Barisan pendamping, yaitu kepala Desa Menang dan seorang pendamping.
Kepala Desa Menang ini memakai udeng atau ikat kepala pada bagian kepala.
Pakaian bagian atas adalah baju wakthung berwarna hitam dengan tiga buah
kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian bawah adalah kain batik dan
mengenakan selop50 untuk alas kaki. Dan pendampingnya memakai rias wajah
berupa wedak gahdung dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan di bawah
kelopak mata. Rambutnya diberikan gelung konde dengan hiasan di atasnya
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas digunakan kebayak berwarna
49 Cara memakai udeng mondoloan adalah rambut digelung dan dimasukkan ke dalam ikat kepala, sehingga membentuk benjolan di belakang kepala. 50 Alas kaki selop adalah sepatu yang dibuat dari bahan beludru pada bagian depannya tertutup dengan hak tidak terlalu tinggi.
101
kuning. Pakaian bagian bawah adalah jarik atau kain batik dan mengenakan selop
untuk alas kaki.
Barisan pembawa pusaka yang berjumlah satu orang ini memakai udeng
mondolan pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung
berwarna biru dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian
bawah adalah kain batik dan tidak mengenakan alas kaki.
Barisan pengawas yang terdiri dari juru kunci dan tetua Desa Menang
memakai udeng mondolan pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju
wakthung berwarna hitam dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan.
Pakaian bagian bawah adalah kain batik tanpa mengenakan alas kaki.
Barisan peserta yang terdiri dari: panitia proses ritual 1 Suro, perwakilan
Yayasan Hondodento, dan peziarah secara umum ini kebanyakan pada pakaian
bagian atas mengenakan kebayak dan selendang untuk wanita sedangkan baju
wakthung untuk pria. Sedangkan bagian bawah tetap mengenakan jarik dan
memakai selop untuk alas kaki.
4.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara
Setelah sampai di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, kemudian ketiga juru kunci
dan tetua Desa Menang maju hingga berada di depan pintu masuk Loka Muksa.
Acara dilanjutkan dengan unjuk atur atau doa pembukaan. Doa pembukaan proses
ritual ini dipimpin oleh tetua dari Desa Menang seperti dalam kutipan di bawah
ini.
“Sak uro ura uri kaluhuran dalem Gusti Moho Agung. Ingkang sur mantep suryo kaping 29 Agustus 1472 keluarga Hondodento sampun hanidik. Ingkang kalejengipun kabantu kalian kelompok rohani Sumber Karanganyer ing Plered Ngayogyokarto. Keperluanipun
102
kepareng dalem Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, kagungan dalem Luko Mukso kapugar ngantos rampung, ing suryo 17 april 1976 utawi 17 mulud 1908 Alip. Sedoyo ingkang sami marang was wonten ngarso kadetan mugi angsal berkah kaagus saking ingkang kamoho kraos. Lestari soho saget tho amiludho kito sedoyo kajenge lungo nis ing sambi kolo, soho saget tho ambaling suci, kaluhuran, lan mulyo. Mugi kaluhuran, kawicaksanaan soho puncaraning Sang Prabu Sri Aji Jayabaya sandoyonono soho murah katatanan dateng kito sedoyo. Nitahipun dateng nusa, bangsa, serto negari Republik Indonesia ingkang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Mugi ing samangke toto, titi, tentrem, karto raharjo, adil, poro wartos, kados pangayomanipun kawulo dalih krom magrok. Mugi Gusti ingkang Moho Kraos hamijapono Menang Suryo kaping 31 januari 2006 Panitia Ziarah Desa Menang soho Yayasan Hondodento kalepatanipun satrio kawulo”. Terjemahannya: “Puja dan puji keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung. Yang pada tanggal 29 Agustus 1427 keluarga Hondodento telah berdiri. Dalam perjalanannya sudah dibantu oleh kelompok kepercayaan rohani Sumber Karanganyar di Plered Yogyakarta. Keperluannya di sini supaya diperkenankan oleh Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, agar Loka Muksa dapat dipugar dan sudah selesai, pada tanggal 17 April 1976 atau 17 Mulud 1908 Alip. Semua yang telah diberikan itu semoga mendapatkan berkah yang agung dari Sang Dewata. Semoga lestari dapat menauingi kita semua dan supaya pergi semua bahaya, maka terciptalah kesucian, keluhuran, dan kemulyaan. Semoga keluhuran, kebijaksanaan yang terpancar dari Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dengan kemurahannya dapat menaungi kita semua. Titahnya merahmati nusa, bangsa, serta negara republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Semoga semua penataan, ketentraman, kesejahteraan, adil, dan makmur, menjadi pelindung manusia. Semoga Tuhan Yang Maha Tahu memberikan berkatNya. Menang tanggal 31 Januari 2006 Panitia Ziarah Desa Menang dan Yayasan Hondodento memohon maaf sebesar-besarnya.” (penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun, tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa).
Dalam doa pembukaan ini lebih menekankan pada sejarah berdiri Petilasan Sri Aji
Jayabaya dan dilanjutkan dengan ijin untuk memulai proses ritual peringatan
tahun baru Suro. Ternyata dalam doa pembukaan ini tidak hanya untuk proses
ritual semata melainkan juga bertujuan untuk mendoakan seluruh negara
Indonesia.
Doa pembukaan di atas kemudian dilanjutkan doa bersama dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan peziarah yang mengikuti
proses ritual 1 Suro ini tidak semuanya dapat mengerti bahasa Jawa. Pergeseran
bentuk doa yang dipimpin oleh juru kunci ini seperti dalam kutipan di bawah ini.
103
Ya Tuhan Yang maha mulia dengan segala kerendahan hati kami panjatkan puji syukur kehadiratMu karena atas RidhoMu hari ini Seloso Pon 31 Januari 2006 kami dapat berkumpul dipusat wilayah petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dalam rangka ziarah dan peringatan tahun baru Jawa 1 suro tahun Alip 1939. Ya Allah Ya Tuhan Maha Pengasih dan Pengampun ampunilah dosa kami dan dosa-dosa para pahlawan dan leluhur kami serta terimalah jasa dan pengorbanan jiwa raganya yang telah mereka persembahkan untuk meraih kejayaan bangsa dan negara kami. Berilah mereka ketempat yang sebaik-baiknya di sisiMu sesuai dengan dharma bhaktinya. Ya Allah Ya Tuhan yang maha arif dan bijaksana berikanlah kepada kami dan pemimpin kami kekuatan, keteguhan, petunjuk, dan tuntunanMu sebagaimana telah engkau berikan kepada para pemimpin dan leluhur kami. Perkenankanlah kami dan generasi penerus kami mewarisi sifat-sifat budi pekerti para pahlawan dan leluhur kami dalam memelihara, mengisi kemerdekaan bangsa dan negara kami yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ya Allah ya Tuhan Yang maha Agung berkatilah hidup kami kini dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, lahir dan batin, baik di dunia maupun dikemudian. Hindarkanlah kami dari segala mara bencana dan mara petaka, mudahkanlah jalan yang kami tempuh dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Ya Allah Yang Maha Mengetahui, jadikanlah upacara ziarah ini sebagai sarana untuk membangkitkan semangat generasi penerus kami dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa. Sekalipun mendorong ketulusan jiwa bagi kami dan generasi penerus kami untuk meneruskan dharma bhakti para pahlawan dan leluhur kami dalam mengabdikan diri kepadaMu, kepada bangsa, dan negara kami Republik Indonesia. Ya Allah ya tuhan yang maha kuasa kepadaMulah kami menyembah dan berserah diri serta kepadaMulah kami memohon pertolongan. Ya Allah Ya Tuhan yang maha pengasih dan penyayang kabulkanlah doa kami. Amin Ya Robbil Alamin”. (penutur Bapak Suraten, laki-laki, 64 tahun, tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa).
Doa dalam proses ritual tanggal 1 Suro ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Esa untuk mengenang keberadaan Sri Aji Jayabaya. Doa ini juga menitikberatkan
kepada peringatan raja Jayabaya sebagai ksatria karena keberanian dan
ketangguhannya dalam berperang. Hal ini dihubungkan dengan kakawin
Baratayudha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Harapannya agar
sikap ksatria raja Jayabaya ini dikenang baik sekarang maupun masa mendatang.
Setelah berdoa proses ritual dilanjutkan dengan tabur bunga yang
dilakukan oleh barisan pembawa bunga. Tabur bunga dilakukan di sebelah Loka
Busana yang sudah disediakan sepetak tempat yang cukup luas untuk menabur
bunga. Tata cara menaburkan bunga pertama-tama, keenam belas remaja putri
maju berdua-dua dan bersujud di depan Loka Busana.
104
Kedua, keenam belas remaja putri itu membentuk barisan berjajar di depan
tempat tabur bunga yang dilanjutkan dengan bersujud secara bersama-sama di
depan tempat menabur bunga. Ketiga, keenam belas remaja putri itu maju berdua-
dua lagi. Di depan tempat menabur bunga bersujud sembah dan memulai acara
menabur bunga. Cara menabur bunga, yaitu: menaburkan bunga yang dibawanya
dengan berjalan jongkok mengitari tempat yang sudah disediakan. Keempat,
setelah selesai kedua orang itu kembali ke tempat semula dan dilanjutkan
temannya yang lain. Setelah menabur bunga berdua-dua, ke enam belas remaja
putri tesebut kembali berjajar dan bersujud bersama-sama. Kelima, ke enam belas
remaja putri itu kembali ketempat duduk semula. Cara kebalikan dengan saat akan
memulai proses ritual menaburkan sesaji bunga, yaitu: berjalan berdua-dua,
kemudian sembah sujud di depan Loka Busana, dan kembali ketempat duduk
mereka semula.
Acara dilanjutkan dengan caos dahar yang diawali oleh kepala Desa
Menang dan anaknya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan wakil dari Yayasan
Hondodento, dan peziarah yang lainnya. Proses ritual caos dahar ini dilakukan di
Loka Muksa secara bergiliran. Dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan caos
dahar di halaman Loka Busana dan Loka Mahkota. Tatacara caos dahar di Loka
Muksa untuk kepala desa, perwakilan Yayasan Hondodenton, dan peziarah adalah
sujud sambil merapatkan tangan di depan dada kemudian mengangkatnya sampai
di atas kepala. Hal ini dilakukan pada anak tangga pertama, anak tangga terakhir,
dan di depan pintu Loka Muksa. Setelah itu dilanjutkan dengan berdoa secara
pribadi dan menaburkan sesaji bunga di sekeliling Loka Muksa. Saat proses ritual
105
caos dahar berlangsung, dibacakan juga sejarah Sri Aji jayabaya. Teks sejarah Sri
Aji Jayabaya ini bisa dilihat dalam lampiran sejarah raja Jayabaya.
Proses ritual berikutnya adalah peletakan dan pemberkatan pusaka
Tongkat Kyai Bimo di depan pintu masuk Loka Muksa yang dilakukan oleh juru
kunci. Pemberkatan ini bertujuan untuk meminta berkah kepada Sri Aji Jayabaya,
supaya pusaka Tongkat Kyai Bimo dapat berguna dalam menjaga keamanan
negara Indonesia. Sebelumnya pusaka ini juga sudah disucikan pada malam tahun
baru Suro di pantai Parangtritis oleh keraton Yogyakarta.
Selanjutnya doa unjuk lengser atau doa penutup yang dilakukan oleh tetua
Desa Menang, seperti dalam rekaman di bawah ini.
“Poro sederek, panitia ziarah desa Menang soho yayasan Hondodento sedoyo, anggehipun upocoro Agung 1 Suro tahun Alip sampun paripurno. Ingknag meniko kito sami badhe lengser saking petilasan Sri Aji Jayabaya. Pangesti mugi Gusti Ingkang Moho Agung tansah minaringono pangayoman kito sami wilujrng langkah kito”. Terjemahannya: “Para semua peserta, panitia ziarah desa Menang dan yayasan Hondodento, bahwa upacara Agung 1 Suro tahun Alip sudah selesai. Saat ini kita semua akan pulang dari petilasan Sri Aji Jayabaya. Semoga Tuhan Yang Maha Agung memberikan naungan dan berkah kepada kita ”. (penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun, tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa).
Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini diakhiri dengan pengambilan
pusaka Tongkat Kyai Bimo dan dilanjutkan perarakan menuju Sendang
Tirtokamandanu.
Setelah barisan perarakan meninggalkan wilayah pamuksan, peziarah pasif
dan penonton berdesak-desakan masuk wilayah pamuksan dan saling berebutan
mengambil bunga-bunga yang telah ditaburkan di sebelah Loka Busana oleh
keenam belas remaja putri tadi. Bunga ini dipercaya oleh sebagian besar peziarah
106
sebagai pembawa berkah, bahkan ada juga yang menggunakannya untuk
mengobati penyakit tertentu.
4.3.2 Proses Ritual Di Sendang Tirtokamandanu
Setelah proses ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya selesai
kemudian perarakan dilanjutkan menuju ke Sendang Tirtokamandanu. Perarakan
ini berjalan sambil diiringi alunan musik dan mempawaikan benda pusaka
Tongkat Kyai Bimo disepanjang jalan menuju wilayah Sendang Tirtokamandanu.
4.3.2.1 Tempat Upacara
Tempat upacara di Sendang Tirtokamandanu, meliputi: pelataran depan
dan tempat semadi. Pelataran depan digunakan sebagai tempat duduk peziarah
aktif dan pasif. Tempat semadi dijadikan sebagai tempat proses ritual tabur bunga
yang dilakukan oleh barisan tabur bunga. Di luar pagar Sendang Tirtokamandanu
digunakan oleh peziarah sebagai penonton untuk menyaksikan jalannya proses
ritual 1 Suro di Sendang Tirtokamandanu.
4.3.2.1 Saat Upacara
Pelaksanaan proses ritual yang diadakan di Sendang Tirtokamandanu
antara pukul 12.30 hingga pukul 14.30 WIB. Proses ritual ini dilaksanakan setelah
proses ritual perarakan dari pamuksan datang di Sendang Tirtokamandanu.
107
4.3.2.3 Benda Upacara
Benda upacara di sini dapat dilihat pada benda upacara dalam proses ritual
1 Suro di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan baik
di dalam penggunaan, makna, dan, fungsi benda upacara antara proses ritual di
Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan di Sendang Tirtokamandanu.
4.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara
Proses ritual di Sendang Tirtokamandanu diawali dengan unjuk atur atau
doa pembukaan, seperti dalam rekaman di bawah ini.
“Kaluhuran dalem Gusti Moho Agung, mugi lestari saget amiludho kito sedoyo kajenge lungo nis ing sambi kolo, soho saget tho ambaling suci kaluhur lan mulyo. Inggih ziarah ing Sendang Tirtokamandanu mugi Sang Prabu Sri Aji Jayabaya saget ngrahmat kagem kito sedoyoi. Terjemahannya: “Keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung, dan semoga kelestarian dapat menauingi kita semua supaya kita terhindar dari semua cobaan dan mendapatkan kesucian, keluhuran, dan kemulyaan. Dalam ziarah di Sendang Tirtokamandanu ini semoga Sang Prabu Sri Aji Jayabaya memberikan rahmadnya untuk kita semua. (penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 64 tahun, tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang Tirtokamandanu).
Doa pembukaan ini dilakukan sebagai sarana meminta izin kepada Sri AJi
Jayabaya agar proses ritual tahun baru Suro di Sendang Tirtokamandanu dapat
berjalan dengan lancar.
Proses ritual dilanjutkan dengan tabur bunga yang dilakukan oleh barisan
pembawa bunga. Tabur bunga dilakukan di tempat semadi yang sebelumnya telah
disediakan sepetak tempat cukup luas untuk menabur bunga. Tata cara
menaburkan bunga pertama-tama, keenam belas remaja putri maju berdua-dua
dan bersujud di gapura tempat semadi. Kedua, keenam belas remaja putri itu
108
membentuk barisan berjajar di depan tempat tabur bunga yang dilanjutkan dengan
bersujud secara bersama-sama di depan tempat menabur bunga itu. Ketiga,
keenam belas remaja putri itu maju berdua-dua lagi ke depan tempat menabur
bunga dan bersujud sembah kemudian memulai acara menabur bunga. Cara
menabur bunga, yaitu: bunga yang dibawa ditaburkan dengan berjalan jongkok
mengitari tempat yang sudah disediakan tersebut. Keempat, setelah selesai kedua
orang itu kembali ke tempat semula dan dilanjutkan temannya yang lain berdua-
dua secara bergiliran. Setelah menabur bunga berdua-dua, keenam belas remaja
putri tesebut kembali berjajar dan bersujud bersama-sama. Kelima, keenam belas
remaja putri itu kembali ketempat duduk semula. Caranya merupakan kebalikan
dari permulaan proses ritual menabur sesaji bunga, yaitu: berjalan berdua-dua,
kemudian bersembah sujud di gapuran tempat semadi, dan kembali ketempat
duduk mereka semula.
Setelah acara menabur sesaji bunga selesai, seharusnya terdapat ritual
pengalungan bunga pada patung Ganesha. Namun ritual pengalungan pada
peringatan tahun baru Suro 1939 atau tepatnya tanggal 31 Januari 2006 ini tidak
dilakukan. Menurut pendapat juru kunci Sendang Tirtokamandanu mengatakan
“dahulu memang ada ritual pengalungan bunga pada patung Ganesha, namun
sekarang ritual tersebut tidak dilakukan lagi. Pengalungan bunga pada patung
Ganesha itu bukan suatu keharusan, tetapi upacara perarakan dan tabur bunga saja
yang merupakan acara wajib dari ritual ziarah 1 Suro ini”. (penutur Bapak Priyo,
laki-laki, 59 tahun, juru kunci Sendang Tirtokamandanu, Desa Menang. Direkam
109
pada hari Rabu, 4 Mei 2005, oleh Joko Nugroho, di wilayah Sendang
Tirtokamandanu).
Oleh karenan ritual pengalungan bunga pada patung Ganesa tidak ada
maka acara dilanjutkan dengan unjuk lengser atau doa penutup yang dipimpin
oleh juru kunci Sendang Tirtokamandanu, seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Sedoyo kaluhuran dalem Gusti Moho Agung. Ziarah peringatan 1 Suro ing Petilasan Sri Aji Jayabaya sampaun pamungkasan. Mugi rahmad saking puncaraning Sang Prabu Sri Aji Jayabaya katatanan dateng kito sedoyo ngantos sak lami-laminipun. Menang tanggal 31 Januari 2006. Menawi wonten kalepatanipun panitia ziarah Desa Menang soho Yayasan Hondodento pangapuntenipun ingkan ageng”. Terjemahannya: “Segala keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung. Ziarah peringatan 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya sudah selesai. semoga rahmad yang terpancar dari Sang Prabu Sri Aji Jayabaya menaungi kita semua hingga selama-lamanya. Menang tanggal 31 Januari 2006 Jika ada kesalahan panitia ziarah Desa Menang dan Yayasan Hondodento memohon maaf sebesar-besarnya.” (penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun, tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang Tirtokamandanu).
Setelah pembacaan doa penutup di Sendang Tirtokamandanu para peziarah aktif
ini kembali ke pendapa Desa Menang untuk mengadakan acara ramah tamah atau
makan bersama. Dan untuk peziarah pasif dan penonton akan membubarkan diri
masing-masing. Namun tidak sedikit dari peziarah pasif dan penonton setelah
selesai akan saling berebut mengambil air sendang dan bunga yang sudah
ditaburkan oleh keenam belas remaja putri untuk dibawa pulang. Dengan
membawa pulang bunga atau air sendang, peziarah berharap akan mendapatkan
berkah yang melimpah. Terkadang bunga dan air sendang yang dibawa pulang ini
diberikan kepada orang yang sakit untuk diminumkan dengan tujuan agar orang
sakit itu segera sembuh.
110
Tujuan ritual diadakan di Sendang Tirtokamandanu selain untuk
mengenang keagungan Sri Aji Jayabaya juga memiliki arti sebagai permintaan
agar air yang muncul dari sendang senantiasa dapat memberi kehidupan kepada
penduduk sekitar. Hal ini berhubungan dengan arti dari nama sendang, yaitu
sumber kehidupan.
3.5 Rangkuman
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya meliputi tahap persiapan
dan pelaksanaan.
1. Tahap persiapan ini dilakukan di pendapa Desa Menang dengan urutan
acara laporan ketua panitia, sambutan kepala Desa Menang, sambutan
dari perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri, penyerahan Tongkat
Kyai Bimo, dan pemberangkatan perarakan Tongkat Kyai Bimo. Selain
itu ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu persiapan pada
tempat upacara, saat upacara atau pemilihan waktu, benda upacara, dan
orang yang melakukan upacara. Persiapan tempat, pemilihan waktu,
dan sesaji ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan harus
memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. Persiapan
yang dilakukan peziarah dan juru kunci adalah tirakatan atau begadang
bersama sehari sebelum proses ritual 1 Suro digelar. Pagi harinya
semua pelaku ritual yang terlibat merias diri masing-masing dan
mengenakan busana yang dibutuhkan untuk proses ritual perarakan.
111
2. Tahap pelaksanaan proses ritual 1 Suro ini terbagi dalam tiga bagian,
yaitu proses ritual perarakan, ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji
Jayabaya, dan ritual tabur bunga di Sendang Tirtokamandanu. Proses
ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya berpusat di Loka Muksa,
sedangkan di Sendang Tirtokamandanu berpusat di pelataran depan.
Perarakan Tongkat Kyai Bimo ini dilakukan dengan berjalan dari
pendapa Desa Menang, berhenti di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirtokamandanu untuk berdoa, kemudian kembali lagi ke
pendapa Desa Menang. Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya,
meliputi: (1) unjuk atur atau doa pembukaan, (2) doa bersama dengan
menggunakan bahasa Indonesia, (3) ritual tabur bunga di sebelah Loka
Busana, (4) caos dahar atau sesaji bunga di Loka Muksa, (5) peletakan
dan pemberkatan pusaka Tongkat Kyai Bimo, (6) unjuk lengser atau
doa penutup. Proses ritual di Sendang Tirtokamandanu, meliputi: (1)
unjuk atur atau doa pembukaan, (2) ritual tabur bunga di tempat
semadi, (3) unjuk lengser atau doa penutup.
112
BAB V
FUNGSI PROSES RITUAL TIRAKATAN
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA PAMENANG KEDIRI.
5.1 Pengantar
Pelaksanaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya masih
berlangsung sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa petilasan tersebut
masih memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Sebab jika proses ritual
itu tidak memiliki fungsi maka proses ritual tersebut tidak akan dapat bertahan
lama. Bab V ini penulis akan mengkaji secara cermat fungsi-fungsi yang dimiliki
Petilasan Sri Aji Jayabaya.
5.2 Fungsi Spiritual
Proses ritual memiliki fungsi spiritual berhubungan erat dengan emosi
keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1967:
218) emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada
suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu
hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja
untuk kemudian menghilang lagi.
Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia untuk berlaku serba
religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala sesuatu yang
bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut, seperti: tempat, waktu, benda-
benda, dan orang-orang yang bersangkutan. Tempat kramat itu seperti Petilasan
113
Sri Aji Jayabaya yang menjadi media spiritual atau tempat bermukimnya roh
lehuhur (Sri Aji Jayabaya). Waktu yang keramat itu misalnya Jumat legi dan
Selasa kliwon yang dianggap sebagai hari baik oleh masyarakat Jawa. Benda-
benda keramat itu misalnya tungku untuk membakar kemenyan yang digunakan
peziarah sebagai sarana untuk mengantarkan mantra atau doa-doa mereka kepada
Tuhan. Orang-orang yang melakukan juga menjadi keramat jika melakukan
proses ritual atau upacara keagamaan. Kelakuan serba religi ini terlihat dalam
kutipan di bawah ini.
“Pak Santoso adalah seorang peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk meminta keselamatan dalam menjalani hidup. Setelah berdoa di Loka Muksa kemudian Pak Santoso membawa pulang bunga kanthil dan sebuah mainan kecil (manik)51 yang dianggapnya sebagai wangsit”. (penutur Bapak Santosa, laki-laki, 62 tahun, wiraswasta, Kota Jombang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Kelakuan serba religi ini telah merubah bunga kanthil dan sebuah mainan kecil
yang biasa saja menjadi memiliki sebuah kesakralan tertentu.
Proses ritual ini juga sebagai upaya manusia dalam mencari keselamatan
dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Alam kosmos itu terdiri dari
komponen yang bersifat materi (alam nyata) dan dan non-materi (alam gaib).
Komponen yang bersifat materi terdiri dari masyarakat (interaksi manusia) dan
alam sekitar (gunung, sungai, laut, dan lain sebagainya). Sedangakan komponen
yang bersifat non-materi terdiri dari alam kelanggengan (alam gaib positif) dan
alam lelembut (alam gaib negatif). Dengan melakukan proses ritual manusia
51 Manik dalam KBBI (1994: 627), berarti butir kecil-kecil (dari merjan, karang, plastic, dan sebagainya) berlubang dan cocok untuk perhiasan (kalung).
114
berharap mendapatkan ketentraman, keseimbangan batin dan akhirnya dapat
singgah di alam kelanggengan.
Kedatangan seseorang ke tempat yang dianggap keramat dengan
mengadakan proses ritual merupakan suatu upaya manusia untuk membina
hubungan baik dengan roh leluhur, dewa-dewa, ataupun Tuhannya. Demikian
juga dalam proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan Sri Aji Jayabaya dijadikan
peziarah untuk memohon sesuatu. Permohonan tersebut seperti dalam kutipan di
bawah ini.
“Saya ini baru sembuh dari sakit darah tinggi. Makanya sekarang mengadakan bancakan (syukuran) ini untuk merayakan kesehatan saya. Terlebih juga minta supaya diberi kesehatan selama-lamanya oleh Tuhan”. (penutur Bapak Madi, laki-laki, 73 tahun, petani, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dalam kutipan di atas selain peziarah tersebut mensyukuri kesembuhannya juga
meminta kesehatan selama-lamanya. Hal ini menandakan bahwa membina
hubungan baik dengan roh leluhur, dewa-dewa, dan Tuhan didasarkan pada
ungkapan syukur dan permohonan-permohonan manusia. Peziarah yang datang ke
Petilasan Sri Aji Jayabaya ada juga yang dikarenakan kewajiban, seperti dalam
kutipan berikut:
“Bapak riyen nate kesupe mboten mriki lami sanget. Lha pikiran kulo mboten sekeco ngoten, sampe gerah lami mas, pitung wulan yen ora salah. Terus bapak kelingan lak lali dereng mriki niki. Sak sampune waras, inggih kulo mriki maleh nyuwun pangapunten kalian Ingkang Moho Agung. Inggih sampe dinten niki kok pun mboten wonten alangan menopo niku sakit-sakitan maleh, yen masuk angin kan yo biasa tho Mas.” Artinya: “Bapak dulu pernah lupa tidak datang ke sini (Petilasan Sri Aji Jayabaya) lama sekali. Kemudian pikiran saya tidak enak, sampai-sampai sakit lama sekali, tujuh bulan kalau tidak salah. Setelah bapak ingat kalau belum sempat datang ke sini ini (Petilasan Sri Aji Jayabaya). Setelah sembuh, ya saya ke sini lagi minta ampun kepada Yang Maha Agung. Ya sampai hari ini tidak pernah ada halangan apakah itu sakit-sakitan lagi, kalau masuk angin itukan biasa tho Mas.
115
(penutur Bapak Pandi, laki-laki, 44 tahun, wiraswasta, Kota Bojonegoro. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dari kutipan di atas tampak bahwa jika tidak melakukan prose ritual di Petilasan
Sri Aji Jayabaya pikiran menjadi tidak enak (mboten sekeco) hingga berakibat
pada keadaan sakit sampai tujuh bulan lamanya. Keadaan sakit ini berarti
digambarkan sebagai mendapatkan bencana atau halangan dari Tuhan. Makanya
peziarah memiliki kewajiban untuk melakukan proses ritual di Petilasan Sri Aji
Jayabaya agar hatinya tenang dan tidak mendapatkan halangan dari roh leluhur
atau Tuhan.
5.3 Fungsi Sosiologis
Proses ritual memiliki fungsi sosial jika dihubungkan dengan kehidupan
dan interaksi antar pendukungnya. Sesungguhnya proses ritual memiliki
penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan juga berciri
sosiologis, yaitu sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat
kehidupan sosial antara warga masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama
terkadang tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi
hanya melakukannya karena mereka menganggap melakukan upacara itu sebagai
suatu kewajiban sosial saja. Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Setiap Jumat Legi saya ikut nyekar makam Sri Aji Jayabaya Mas…. Selain nyekar ya biar bisa ngobrol sama teman-teman sekampung. Rasanya kalau tidak ikut nyekar itu tidak enak dilihat sama tetangga atau teman-teman yang lain”. (penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
116
Kedatangan Mas Jamri ini disebabkan oleh kewajiban sosial penduduk setempat
Desa Menang. Jadi sifat proses ritual di sini sebagai pengendali sosial (social
control) dan Petilasan Sri Aji Jayabaya dianggapnya sebagai media untuk
melakukan hubungan sosial dengan masyarakat yang lain.
Saat wawancara dengan Mas Jamri berlangsung, dia juga sempat bertanya
kepada peziarah lain yang berasal dari luar desa Menang. Pertanyaan itu seperti
dalam kutipan di bawah ini.
Mas Jamri: “Mas, sampun lami mboten dugi mriki? Sibuk menopo kemawon?” Peziarah lain: “Meniko Mas, sibuk ngurusi nggriyo”. Artinya: Mas Jamri: “Mas, sudah lama tidak datang ke sini? Sedang sibuk apa saja?” Peziarah lain: “Itu Mas, sedang sibuk mengurus rumah”. (penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dari percakapan tersebut penulis tidak dapat mengerti tentang arah pertanyaan
dan maksud jawaban, namun terlihat di sini bahwa interaksi sosial tidak hanya
dilakukan antara penduduk sekitar Desa Menang saja, melainkan dilakukan
penduduk sekitar dengan peziarah dari luar. Jadi yang dimaksud dengan proses
ritual berfungsi sebagai interaksi sosial di sini bukan hanya dari penduduk
setempat melainkan seluruh pendukung dari proses ritual di Petilasan Sri Aji
Jayabaya itu sendiri.
5.4 Fungsi Ekonomis
Petilasan Sri Aji Jayabaya juga memiliki fungsi ekonomis tidak
terpisahkan dengan pembukaan Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai obyek wisata.
Banyaknya pendatang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya dimanfaatkan masyarakat
117
sekitar untuk berjualan dan mencari nafkah. Tidak hanya itu, penduduk sekitar
Desa Menang juga ada yang membuka jasa parkir dan akomodasi. Seperti halnya
Bapak Supardi yang memanfaatkan hari Jumat Legi dan Selasa Kliwon untuk
membuka jasa parkir dan menjual bunga di depan rumahnya, katanya:
“Bagi saya Petilasan Sri Aji Jayabaya itu memberi berkah. Sebab selain dapat memarkir kendaraan yang ingin berziarah ke sini, saya juga bisa menjual bunga. Kalau parkir kendaraan yang ramai itu biasanya pada hari Jumat Legi dan tanggal 1 Suro. Kalau menjual bunga yang ramai pada hari Jumat Legi, pasti laris Mas”. (penutur Bapak Supardi, laki-laki, 52 tahun, wiraswasta, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa dibukanya Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai
tempat wisata telah dimanfaatkan oleh penduduk Desa Menang untuk kegiatan
ekonomi. Ternyata tidak hanya penduduk sekitar Desa Menang yang
memanfaatkan obyek ziarah dan wisata Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Seorang
pedagang dari luar juga memanfaatkannya untuk berjualan, khususnya pada
proses ritual peringatan tahun baru Suro, seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Saya inikan pedagang celengan keliling yang di mana ada keramaian di situ saya berdagang. Pada perayaan tahun baru Suro di sini (Petilasan Sri Aji Jayabaya) banyak diadakan pertunjukan-pertunjukan, makanya ramai sekali oleh pendatang. Jelas ini adalah berkah untuk saya sebagai pedagang keliling, sebab dengan banyaknya orang yang datang dagangan saya menjadi semakin laris”. (penutur Umah, laki-laki, 24 tahun, wiraswasta, Kota Kediri. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Petilasan Sri Aji Jayabaya tidak hanya dirasakan oleh penduduk setempat,
melainkan pendagang dari luar Desa Menang juga akan berbodong-bondong
memanfaatkan keramaian orang untuk menjual barang dagangannya di sana. Hal
ini bisa dilihat pada saat Suroan banyak pedagang kaki lima yang berjualan di
sekitar wilayah petilasan.
118
Proses ritual memiliki fungsi ekonomi juga berkaitkan dengan permintaan-
permintaan peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya. Menurut
Endraswara (2005: 229-231) prinsip ekonomi orang Jawa untuk meraih kabegjan
(keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar. Orang Jawa
khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak langsung
akan membuat roda ekonomi lancar. Apalagi, jika pelaku ekonomi menjalankan
mistik kejawen tulen, maka segala perilaku ekonomis akan diwarnai dengan
ritual-ritual. Paling tidak, landasan yang menonjol adalah prinsip bahwa rezeki
merupakan peparinge Pangeran (pemberian Tuhan) yang telah digariskan atau
diatur oleh Tuhan. Kepercayaan ini menyebabkan orang Jawa gemar mendatangi
tempat-tempat keramat yang biasanya terdapat makam leluhur yang pantas
dimintai tolong agar ekonominya lancar. Yang dilakukan di tempat itu adalah
berdoa, nyekar, dan bersemedi agar diberikan kemudahan dalam menjalankan
perekonomian mereka. Demikian pula peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji
Jayabaya banyak di antara mereka yang meminta agar dagangan laris, seperti
dalam kutipan di bawah ini.
“Kulo dateng mriki nyuwun bantuan kalian Eyang menawi sadeyan celengan saget lancar. Sadeyan meniko wonten musimipun Mas, kadang sepi kadang inggih rame. Inggih mugi-mugi pengayomanipun Eyang saget maringi kelancaran usaha kulo”. Artinya: “Saya datang ke sini minta bantuan kepada Eyang (Sri Aji Jayabaya) semoga dalam berjualan celengan dapat lancar. Berjualan itu ada musimnya, terkadang sepi terkadang juga ramai. Ya semoga karunia Eyang dapat memberikan kelancaran usaha saya”. (penutur Ibu Suparmi, laki-laki, 55 tahun, wiraswasta, Kecamatan Semen (Kota Kediri). Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Peziarah sebagai pelaku ekonomi di sini melakukan proses ritual dalam rangka
mencari pelarisan (agar dagangan laris terjual). Pelarisan di sini tidak sama
119
dengan mencari pesugihan (kekayaan) semata, melainkan lebih mendasarkan pada
kabegjan yang dimintakan kepada Tuhan.52
5.5 Fungsi Politis
Menurut Endraswara (2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa
adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya
meraih kekuasaan. Kekuasaan dalam masyarakat Jawa ini sangat terkait dengan
konsep kasekten (kesaktian) seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh
kewibawaan seorang pemimpin. Cara memperoleh kekuasaan kasekten ini sering
dilakukan melalui semedi di tempat-tempat keramat.
Proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang memiliki fungsi politik
dihubungkan dengan sikap mesianistik atau orang Jawa sering menyebutnya
sebagai ratu adil53. Oleh sebab keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini secara
historis diperkuat oleh legenda raja Jayabaya yang diceritakan tidak meninggal
dunia melainkan muksa. Maka dengan datang dan bersemedi di petilasan ini, ada
juga seseorang yang berharap mendapatkan wahyu sebagai ratu adil. Gerakan
mesianistik yang ramai dibicarakan pada akhir abad ke-20 ini diperkuat dengan
ideologi milenaristik54 yaitu akan hadirnya jaman emas di abad ke-21 yang
dimulai dengan kehadiran ratu adil atau Imam Mahdi di akhir abad ke-20. Seperti
gerakan Muhammad Arif yang menyandang nama Romo Bung Karno di Malang
pada tahun 1998.
52 Bandingkan dengan Endraswara (2005) 53 Menurut KBBI (1994: 821), ratu adil berarti tokoh yang diharapkan (diidealkan) menjadi pembebas kesengsaraan 54 Ideologi milenaristik adalah gerakan mengulang kembali masa-masa kejayaan yang telah lampau.
120
Kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat Jawa, maka banyak tokoh politik
yang memiliki visi populis55 dengan menggunakan paham ini untuk memperoleh
dukungan dari rakyat. Maka yang paling awal digarap menjadi pengikut adalah
masyarakat yang frustasi dan tidak rasional, atau ada yang mengistilahkan
masyarakat paranoid.56 Penyebab frustasi bisa macam-macam seperti kemiskinan
yang menindih, ketakutan, konflik. Lapisan masyarakat bawah menjadi sasaran
empuk karena rendahnya tingkat berpikir secara rasional.
Seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), yang mengatakan bahwa Ir.
Soekarno datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa Menang Kota Kediri
Propinsi Jawa Timur dengan disaksikan banyak orang. Setelah berdiam atau
bersemadi di petilasan selama sekitar tujuh menit mengaku telah menerima wahyu
kedaton, wahyu kenegaraan. Hal ini juga dikatakan oleh Amat Radjo cucu
Warsodikromo, juru kunci petilasan waktu itu, bahwa Ir. Soekarno sebelum dan
sesudah menjadi presiden Republik Indonesia sering berziarah ke Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Kedatangan Ir. Soekarno ini dengan maksud untuk meminta restu dan
bimbingan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dalam menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin negara. Sejak saat itu Ir. Soekarno dimitoskan sebagai ratu adil dan
memiliki kasekten atau kesaktian luar biasa seperti HOS Tjokroaminoto, guru
politik Ir. Soekarno. Bahkan di mata Samsuri, Ir. Soekarno tidak mati melainkan
55 Visi populis adalah pandangan yang berpaham pada untuk menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Lihat juga KBBI (1994: 782 dan 1120). 56 Menurut KBBI (1994: 730) paranoid diartikan sebagai penyakit jiwa; penyakit yang membuat orang berpikir aneh-aneh yang bersifat khayalan. Jadi masyarakat paranoid adalah orang-orang yang sedang dihantui pikiran aneh-aneh yang bersifat khayalan.
121
masih hidup di Hutan Purwo Banyuwangi. Muhammad Arief mengaku titisan Ir.
Soekarno itu berganti nama dengan sebutan Romo Bung Karno.57
Selain Ir. Soekarno, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga
memanfaatkan proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya sebagai sarana politik.
Melalui acara Bedah Bumi Nusantara, Gus Dur yang telah menjadi mantan
Presiden Republik Indonesia datang sebagai tamu kehormatan. Dan para
undangan yang hadir adalah Sultan Kanoman dari Kesultanan Cirebon, Sultan
Salahuddin XII bersama permaisurinya, Putri Mawar, serta perwakilan dari
Kesultanan Surakarta Hadiningrat, Kesultanan Jogjakarta, Kerajaan Bali dari Puri
Ubud. Serta para tokoh lintas agama, antara lain Bikkhu Dhama Sutta Tera (Ketua
Umum Sangha Tera-vada Indonesia atau perwakilan agama Budha), Bunsu Ny
Titis Subodro (perwakilan Khonghucu), Soeparno (perwakilan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), H Kuncoro (perwakilan agama
Islam), sedangkan tokoh agama Katolik, Kristen Protestan dan Hindu berhalangan
hadir waktu itu.58
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa keberadaan proses ritual di
Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi politik. Bung Kano di sini jelas-jelas
mengatakan telah mendapatkan wahyu kedaton atau wahyu kenegaraan,
sedangkan Gus Dur secara tidak langsung ingin menarik simpati masyarakat yang
datang dalam upacara bedah bumi nusantara. Dengan mengadakan atau ikut dalam
proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dihadiri oleh ribuan peziarah itu
seorang tokoh politik berharap akan memperoleh dukungan dari masyarakyat luas.
57 Lihat juga http://www.kompas.com/kompas-cetak/utama/1109/00.htm 58 Lihat juga http://www.knightsps.co.id/27122003/01d.phtml+petilasan+sri+aji+jayabaya/id
122
Sebenarnya proses ritual sebagai sarana berpolitik dalam masyarakat Jawa
sangatlah wajar, asalkan dalam memimpin bangsa mengikuti jejak raja-raja Jawa
terdahulu. Menurut Endraswara (2005: 237), terdapat delapan sifat pemimpin
yang baik, yaitu: (1) galing (burung merak) lambang kekuasaan, (2) banyak
(angsa) lambang kesucian, (3) dalang (kijang) lambang kepandaian, (4) sawung
(jago) lambang keberanian, (5) ardawalika (naga) lambang tanggung jawab, (6)
kacumas (sapu tangan emas) lambang kebersihan, (7) kutuk (sebangsa ikan)
lambang keindahan, dan (8) saput (kota perluasan) lambang kesiapan. Jadi saat
seseorang itu memiliki kekuasaan selayaknya punya kesucian, kepandaian,
keberanian, tanggung jawab, kebersihan, keindahan, dan kesiapan sebagai tokoh
pemimpin.
5.6 Fungsi Budaya
Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di sini melekat pada kategori-
kategori fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual,
sosiologis, ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya
dalam proses ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis,
budaya sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya.
Proses ritual memiliki fungsi budaya spiritual masih berhubungan erat
dengan emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Maka seseorang itu
akan berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala
sesuatu, seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan.
Budaya spiritual menurut emosi keagamaan akan menciptakan tata cara saat
123
berada di tempat kramat seperti yang berlaku di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang
menjadi media spiritual atau tempat bermukimnya roh lehuhur (Sri Aji Jayabaya).
Budaya spiritual juga menjadikan Jumat legi dan Selasa kliwon acuhan ketetapan
sebagai hari baik untuk menghaturkan segala permohonannya di Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Begitupun dengan benda-benda dan para pendukungnya akan menjadi
keramat jika melakukan semua tata cara dalam proses ritual tirakatan di Petilasan
Sri Aji Jayabaya.
Proses ritual memiliki fungsi budaya sosial jika dihubungkan dengan
kehidupan dan interaksi antar pendukungnya. Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Setiap Jumat Legi saya ikut nyekar makam Sri Aji Jayabaya Mas…. Selain nyekar ya biar bisa ngobrol sama teman-teman sekampung. Rasanya kalau tidak ikut nyekar itu tidak enak dilihat sama tetangga atau teman-teman yang lain”. (penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Kedatangan Mas Jamri ini disebabkan oleh kewajiban sosial penduduk setempat
Desa Menang. Kewajiban sosial ini membuat Mas Jamri merasa malu jika tidak
datang di Petilasan Sri Aji Jayabaya pada Jumat legi dan Selasa kliwon. Maka
proses ritual ini tidak semata-mata menjadi pengendali sosial semata namun telah
menciptakan budaya sosial malu.
Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi budaya ekonomis tidak
terpisahkan dengan pembukaan Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai obyek wisata.
Banyaknya pendatang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya membuat masyarakat sekitar
berbudaya serba ekonomis dengan cara membuka jasa parkir, jasa akomodasi,
berjualan bunga, hingga jasa menyewakan kamar mandi. Ternyata tidak hanya
masyarakat sekitar Desa Menang seorang pedagang dari luar juga
124
memanfaatkannya untuk berjualan, khususnya pada proses ritual peringatan tahun
baru Suro karena banyaknya orang yang datang untuk mengikuti perayaan
tersebut.
Menurut Endraswara (2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa
adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya
meraih kekuasaan. Kekuasaan dalam masyarakat Jawa ini sangat terkait dengan
konsep kasekten (kesaktian) seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh
kewibawaan seorang pemimpin. Cara memperoleh kekuasaan kasekten ini sering
dilakukan melalui semedi di tempat-tempat keramat.
Proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang memiliki fungsi budaya
politik dihubungkan dengan sikap mesianistik atau orang Jawa sering
menyebutnya sebagai ratu adil. Seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), yang
mengatakan bahwa Ir. Soekarno datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa
Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur dengan disaksikan banyak orang.
Setelah berdiam atau bersemadi di petilasan selama sekitar tujuh menit mengaku
telah menerima wahyu kedaton, wahyu kenegaraan. Selain Ir. Soekarno, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memanfaatkan proses ritual di Pamuksan Sri
Aji Jayabaya sebagai sarana politik melalui acara Bedah Bumi Nusantara. Kedua
contoh di atas menunjukkan fungsi budaya politis dalam proses ritual di Petilasan
Sri Aji Jayabaya karena bersifat populis dengan memanfaatkan budaya
mesianistik yang ada dalam masyarakat Jawa.
125
5.7 Rangkuman
Proses ritual Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi spiritual,
sosiologis, ekonomis, politis, dan budaya ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan
secara nyata. Sebab proses ritual berfungsi spiritual ini terdapat juga perilaku
sosial antar peziarah. Dalam fungsi ekonomi juga terdapat interaksi sosial dan
fungsi spiritual sebab di dalam permohonan kelancaran usaha termuat juga mantra
atau doa. Bahkan fungsi politik di sini berpengaruh juga pada fungsi sosial
(mengajak orang bersatu), ekonomi (kejayaan), dan spiritual karena berkaitan
dengan kasekten (kesaktian), wahyu dari ilahi, dan kepercayaan masyarakat
terhadap ratu adil. Terlebih fungsi budaya yang akan selalu menempel pada
fungsi-fungsi lain dalam proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Makanya kelima fungsi proses ritual di sini saling berkaitan satu dengan lainnya,
walaupun dalam kenyataannya fungsi spirituallah yang sangat dominan. Hal ini
oleh Franz Magnis Suseno disebut sebagai pandangan hidup orang Jawa.
Menurut Suseno (2001: 82), bahwa pandangan hidup orang jawa tidak
dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu
dengan lainnya, melainkan bahwa realita itu dilihat sebagai suatu kesatuan
menyeluruh. Pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap
religius dan bukan religius, sebab di dalam sikap religius terdapat interaksi-
interaksi sosial. Demikian pula sikap religius memiliki relevansi terhadap
perkembangan ekonomi dan hakekat menguasai (politik). Bagi orang Jawa
pandangan itu bukan suatu pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai
sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah-masalah
126
kehidupan. Tolok ukur arti pandangan hidup orang Jawa ini adalah nilai
pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu: ketenangan,
ketentraman, dan keseimbangan batin.
127
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan uraian di depan, penulis menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung oleh sejarah raja
Jayabaya yang memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M.
hingga tahun 1157 M.. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi peziarah
dari luar kota maupun masyarakat Kota Kediri untuk berkunjung.
Hubungan historis antara sejarah Jayabaya dan keberadaan proses ritual
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini terlihat dalam doa-doa yang
selalu berpusat pada keagungan dan kebesaran nama raja Jayabaya.
2. Pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini
walaupun sudah mengalami beberapa perubahan, seperti wujud sesaji
makanan dan urutan ritual, ternyata tidak mengurangi kesakralan proses
ritual itu sendiri. Proses ritual tirakatan ini selain dipakai untuk meminta
berkah dan memohon keselamatan kepada Tuhan melalui perantara Sri Aji
Jayabaya juga sebagai sarana membina hubungan baik di antara peziarah.
3. Proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya
yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento ini pada akhirnya diyakini
sebagai tradisi ritual setempat masyarakat sekitar Desa Menang dan Kota
128
Kediri. Buktinya hingga saat ini proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di
Petilasan Sri Aji Jayabaya masih dilaksanakan.
4. Analisis fungsi yang dimiliki oleh Petilasan Sri Aji Jayabaya, penulis
menemukan adanya lima fungsi, yakni: (1) keberadaan Petilasan Sri Aji
Jayabaya sebagai tempat proses ritual memiliki fungsi spiritual dalam
membina hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara
Sri Aji Jayabaya. (2) Petilasan Sri Aji Jayabaya dan proses ritual tirakatan
memiliki fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah
dan kontrol sosial bagi masyarakat Desa Menang. (3) dibukanya Petilasan
Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah tentu akan didatangi banyak
orang dan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan penduduk sekitar
untuk berjualan, membuka penginapan, jasa parkir, dan lain sebagainya.
Hal ini berakibat pada penambahan pendapatan masyarakat Desa Menang.
Hal yang sama dirasakan oleh pedagang lain yang berjualan di sekitar
wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya pada peringatan tahun baru Suro. (4)
Petilasan Sri Aji Jayabaya ternyata juga dapat dijadikan simbol dan sarana
untuk kepentingan politik. Hal ini dilakukan dengan menghadiri upacara
ritual yang sudah ada maupun mengadakan ritual pribadi di Petilasan Sri
Aji Jayabaya dengan mengundang banyak orang agar memperoleh simpati
masyarakat luas (5) Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan yang
selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu fungsi
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana
fungsi budaya dalam proses ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya
129
spiritual, budaya ekonomis, budaya sosiologis, dan budaya politis bagi
pendukungnya.
5. Penelitian ini telah membuktikan bahwa media tutur kata dalam takhyul
atau folk belief yang terdiri dari tanda-tanda dan sebab-sebab menciptakan
sebuah akibat. Akibat ini oleh Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam
empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat upacara, (b) saat-saat upacara,
(c) benda-benda upacara, (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin
upacara. Demikian halnya yang terjadi dalam proses ritual di Petilasan Sri
Aji Jayabaya. Teori unsur-unsur dalam proses ritual dalam penelitian ini
ada yang kurang relevan. Unsur tersebut adalah bekorban. Terdapat pula
unsur-unsur proses ritual yang tidak secara langsung terlibat dalam proses
ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya, yaitu : unsur menari dan menyanyi
serta memainkan seni drama. Sebab unsur-unsur ini diadakan terpisah dari
proses ritual namun masih merupakan satu rentetan acara. Penambahan
unsur-unsur proses ritual di Petiladan Sri Aji Jayabaya adalah latar
belakang alunan musik atau backsound untuk mengiringi jalannya proses
ritual.
B. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan penelitian
tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Dalam bidang
tradisi lisan perlu diadakan penelitian lebih mendalam tentang proses ritual pada
hari-hari biasa dan proses ritual Bedah Bumi Nusantara. Demikian pula
130
disarankan untuk dilakukan kajian yang mendalam tentang munculnya
kepercayaan-kepercayaan rakyat (folk belief) mengenai Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Dalam bidang psikologi perlu diadakan penelitian lanjut tentang alasan
dan motivasi peziarah datang di Petilasan Sri Aji Jayabaya, baik datang untuk
mengikuti tirakatan satu hari saja maupun yang tinggal di wilayah petilasan
hingga bertahun-tahun lamanya. Oleh karena keterbatasan waktu yang dimiliki
peneliti, maka dalam tulisan ini hanya memuat proses ritual tirakatan pada hari
Jumat Legi serta Selasa Kliwo serta tanggal 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1993 Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi
Rivisi III. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa; Warisan Abadi Budaya Leluhur.
Yogyakarta: Narasi.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 7. 1989. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Hadi, Sutrisno. 1979. Metodologi Research. Jilid II. Terjemahan R.G. Soekadijo.
Jakarta: Erlangga.
Hendro, Setyanto. 2000. Kalender Jawa Didownload dari:
http://www.babadbali.com/-pewarigaan/kalender-jawa.htm
Hondodento, Yayasan 1989. Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Yogyakarta:
Yayasan Hondodento.
Hudijono, Anwar. 2000. Kini Kaliyuga?. Didownload dari
http://www.kompas.com/-kompas-cetak/utama/1109/00.htm
Jandra, dkk. 1990. Perangkat/Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis
Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kartoadmodjo, Sukarto. 1985. Harijadi Kediri. Kediri: Lembaga Javanologi -
Universitas Kadiri.
Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Komaruddin, P. 1974. Metode Penulisan Skripsi dan Tesis. Bandung: Angkasa.
Kusumo. W. Sardono. 2002. Didownload dari: http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0209/03/daerah/dari25.htm
Mahadewa, Soemadidjojo, 1975. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna,
Yogyakarta: Soemadidjojo Mahadewa.
Moleong, Lexi J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja
Karya.
Moeliono, M. Anton, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Moerany, dkk. 1987. Pakaian Adat Tradisional Daerah Jawa Timur. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pecut Kyai Samandiman Beraksi!. 2007. Didownload dari:
http://www.kotakediri.go.id/news/search/index.php?misc=search&subacti
on=showfull&id=1185767116&archive=&cnshow=news&start_from=&
Penetapan Hari Jadi Kediri Layak Dipertanyakan. 2002. Didownload dari:
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0207/27/jatim/pene37.htm
Poerwandari, E. Kristi. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ribuan Orang Rebutan Sesaji Labuhan 15 Suro. 2000. Didownload dari:
http://www.indomedia.com/bernas/042001/10/UTAMA/10uta4.htm
Rostiyati. A, dkk 1994. Fungsi Upacara Tradisional pada Masyarakat
Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS kota Kediri, 2005. Kota Kediri
Dalam Angka 2004. Kediri: Badan Pusat Statistik Kota Kediri.
Soebandhie, Ridwan.1991. Pethikan Jongko Joyoboyo. Yogyakarta (sebagai
bagian dari buku panduan ziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya).
Soesetro, D & Zein Al Arief. 1999. Membuka tabir Ramalan Jayabaya Di Era
Reformasi. Didownload dari: http://www.ikapi.or.id/portal/template/-
DetilLacak/id/879
Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan
Yayasan Cipta Loka Caraka.
Sunarko, Gatot. Bedah Bumi Nusantara di Pamuksan Jayabaya. Di download
dari:
http://www.knightsps.co.id/27122003/01d.phtml+petilasan+sri+aji+jayaba
ya/id
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filasafat Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suwarsono, L. 2000. Pamoksan Sri Aji Jayabaya ing Pamenang. Didownload
dari:
http://anulib.anu.edu.au/sasi/new/search_detailed.php?sn=156&in=3020&
an=62530
Taum, Yoseph Yapi, 2002. Hakikat dan Metodologi Penelitian Sastra Lisan.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma.
Yudoyono, Bambang, 1984. Sang Prabu Sri Adji Djojobojo 1135-1157. Jakarta:
PT. Karya Unipress
Wijaya, Mangun. Babat Kadiri alih bahasa Siti Halimah Suparno (koleksi Pak
Bardi Dosen Sejarah IKIP Kediri tidak dipublikasikan).
LAMPIRAN
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN Nama Nara Sumber : Jenis Kelamin : Usia : Tempat tinggal : Pekerjaan : 1. Daftar pertanyaan untuk juru kunci A. Pertanyaan untuk proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon
a. Menurut anda, siapakah Sri Aji Jayabaya itu dan apa hubungan petilasan ini dengan Sri Aji Jayabaya?
b. Bagian petilasan Sri Aji Jayabaya mana saja yang dipakai sebagai tempat ritual tirakatan?
c. Bagaimana cara mempersiapkan Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk ritual Jumat Legi dan Selasa Kliwon?
d. Apa yang anda lakukan sebelum, sedang, dan setelah tirakatan di sini? e. Seperti apakah urutan persiapan dan pelaksanaan ritual yang benar untuk
peziarah itu? f. Mengapa memilih waktu ritual itu pada hari Jumat Legi dan Selasa Kliwon? g. Makna apa yang terkandung dalam hari-hari tersebut? h. Bagaimana cara merawat anglo atau tungku untuk membakar kemenyan
sebelum memulai proses ritual? i. Apakah makna dan fungsi anglo atau tungku untuk membakar kemenyan
dalam ritual? j. Apakah maksud dan fungsi dari pemasangan kain kuning lembayung pada
dinding Loka Muksa? k. Sesaji bunga itu terdiri dari macam bunga apa saja dan apa maksudnya? l. Sesaji makanan itu terdiri dari macam makanan apa saja dan apa
maksudnya? m. Adakah doa-doa tersendiri dalam menyiapkan sesaji bunga dan makanan? n. Apakah makna yang terkandung dalam sesaji bunga dan makanan tersebut? o. Mantra atau doa-doa seperti apa dalam ritual tirakatan? p. Apakah maksud yang terkandung dalam doa-doa tersebut? q. Kebanyakan dengan tujuan apa orang melakukan tirakatan di Petilasan Sri
Aji Jayabaya?
B. Pertanyaan untuk proses ritual 1 Suro
a. Bagaimana persiapan yang dilakukan di kantor Desa Menang? b. Bagaimana persiapan yang dilakukan pada jalan-jalan untuk perarakan
benda pusaka? c. Bagaimana cara mempersiapkan wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya? d. Mengapa memilih tanggal 1 Suro? e. Apa makna yang terkandung di dalam tanggal 1 Suro tersebut? f. Menurut anda apakah pemilihan tanggal 1 Suro ini memiliki arti tersendiri? g. Apa hubungan peringatan malam 1 Suro di sini dengan Gerebeg Mulud di
Yogyakarta? h. Bagaimana cara merawat dan mempersiapkan anglo sebelum memulai
proses ritual? i. Apakah makna dan fungsi anglo dalam ritual 1 Suro tersebut? j. Persiapan seperti apa yang harus anda lakukan? k. Persiapan yang benar untuk peziarah ritual 1 Suro itu seperti apa? l. Bentuk sesaji itu berupa apa saja? m. Sesaji bunga itu terdiri dari macam bunga apa saja dan apa maksudnya? n. Adakah doa-doa tersendiri dalam menyiapkan sesaji bunga? o. Bagaimanakah cara menaburkan sesaji bunga tersebut? p. Apakah ada doa-doa saat menaburkan bunga? q. Mantra atau doa-doa seperti apa dalam ritual tanggal 1 Suro? r. Apa fungsi kepala Desa Menang dan perwakilan-perwakilan ( dari Pemda
tingkat I dan II serta Yayasan Hondodento) yang datang waktu itu? 2. Daftar pertanyaan untuk peziarah secara umum
a. Apa yang anda ketahui tentang Sri Aji Jayabaya? b. Menurut anda, apa hubungan petilasan ini dengan Sri Aji Jayabaya? c. Apa yang anda lakukan sebelum, sedang, dan setelah tirakatan di sini? d. Apa yang pernah didapatkan setelah mengikuti tirakatan di sini? e. Apa yang biasa anda mohon dalam doa di sini? f. Kepada siapa anda memohon doa tersebut? g. Apakah fungsi ritual tirakatan menurut anda?
Lampiran 2
DAFTAR NARA SUMBER
Nama Nara Sumber : Bpk. Misri Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 75 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Juru kunci Pamuksan Sri Aji Jayabaya Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Kamdari Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 57 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Juru kunci Pamuksan Sri Aji Jayabaya Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Suraten Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 56 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Juru kunci Sendang Tirtokamandanu Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Poyo Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 55 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Juru kunci Sendang Tirtokamandanu Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Sumadi Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 76 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Petani Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Ibu Murni Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 53 th Tempat tinggal : Madiun Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Wisnu Pamungkas Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 55 th Tempat tinggal : Nganjuk Pekerjaan : Pengusaha Roti Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Subandi Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 50 th Tempat tinggal : Bojonegoro Pekerjaan : Wiraswasta Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Pandi Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 44 th Tempat tinggal : Bojonegoro Pekerjaan : Wiraswasta Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Madi Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 73 th Tempat Tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Petani Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Ibu Suparmi Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 55 th Tempat tinggal : Semen Kabupaten Kediri Pekerjaan : Wiraswasta Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Mas Jamri Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 16 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Pelajar Nama Pewawancara : Joko Nugroho
Nama Nara Sumber : Bpk. Supardi Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 52 th Tempat tinggal : Desa Menang Pekerjaan : Wiraswasta Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Bpk. Santosa Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 62 th Tempat tinggal : Jombang Pekerjaan : Wiraswasta Nama Pewawancara : Joko Nugroho Nama Nara Sumber : Umah Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 24 th Tempat tinggal : Kota Kediri Pekerjaan : Wiraswasta Nama Pewawancara : Joko Nugroho
Lampiran 3
FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL TIRAKATAN
JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
PETUGAS SEDANG MEMBERSIHAN LOKA MUKSA
PEZIARAH YANG MENUNGGU GILIRAN UNTUK MANDI
Lampiran 4
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN PRIBADI
JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
PETUGAS SEDANG MENGAWASI ANTRIAN PEZIARAH
ANTRIAN PEZIARAH DALAM PROSES RITUAL TIRAKATAN PRIBADI
Lampiran 5
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN SYUKURAN
JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
PROSES RITUAL SYUKURAN
PEMBAGIAN MAKANAN DALAM PROSES RITUAL SYUKURAN
Lampiran 6
FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL 1 SURO
MEMBENTUK JANUR MENJADI RUMBAI-RUMBAI
MEMASANG JANUR UNTUK HIASAN GERBANG PAMOKSAN
Lampiran 7
FOTO ALAT MUSIK DALAM PROSES RITUAL 1 SURO
ALAT MUSIK DALAM PROSES RITUAL 1 SURO
Lampiran 8
FOTO PROSES RITUAL PEMBUKAAN DAN PEMBERANGKATAN
PERARAKAN BENDA PUSAKA
PEMBUKAAN PROSES RITUAL 1 SURO
PEMBERANGKATAN PERARAKAN KE PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
Lampiran 9
FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA
MENUJU PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
PERARAKAN MELEWATI SALAH SATU JALAN DI DESA MENANG
PROSES RITUAL PERARAKAN DI DEPAN PAMUKSAN
Lampiran 10
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO
DI PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
PROSES RITUAL 1 SURO DI PENDOPO
PROSES RITUAL 1 SURO DI LOKA MUKSA
Lampiran 11
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA 1 SURO
DI PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
BARISAN PENABUR BUNGA
PROSES RITUAL TABUR BUNGA DI PAMUKSAN
Lampiran 12
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL CAOS DAHAR 1 SURO
DI PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
CAOS DAHAR YANG DILAKUKAN OLEH JURU KUNCI
CAOS DAHAR OLEH PERWAKILAN HONDODENTO
Lampiran 13
FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA MENUJU
SENDANG TIRTOKAMANDANU
PERSIAPAN PERARAKAN MENUJU SENDANG TIRTO KAMANDANU
PERARAKAN TIBA DI SENDANG TIRTO KAMANDANU
Lampiran 14
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO
DI SENDANG TIRTOKAMANDANU
PELAKSANAAN RITUAL DI SENDANG TIRTO KAMANDANU
PERSIAPAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA
Lampiran 15
FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA
DI SENDANG TIRTOKAMANDANU
PENABUR BUNGA AKAN MEMASUKI TEMPAT SEMADI
PROSES RITUAL TABUR BUNGA DI SENDANG TIRTOKAMANDANU
Lampiran 16
FOTO PEZIARAH YANG BEREBUT AIR SENDANG
DAN BUNGA KANTHIL DI SENDANG TIRTOKAMANDANU
PEZIARAH BEREBUT BUNGA KANTHIL
PEZIARAH BEREBUT AIR SENDANG TIRTO KAMANDANU
Lampiran 17
RANGKAIAN KEGIATAN ZIARAH 1 SURO 1939 DI DESA MENANG
I. Tanggal 28 Januari 2006
Campursari/Orkes Rebana Jayabaya Bertempat di Rumah Bapak Kepala Desa Menang
II. Tanggal 29 Januari 2006 1. Pagelaran wayang kulit berjudul Tumurune Betari Sri oleh Ki Dalang
Samijan dari Nganjuk. Bertempat di Sendang Tirtokamandanu. Sumbangan dari yayasan Cinta Tani Sejahtera, Selorejo, Kota Ngantang, Kabupaten Malang.
2. Orkes Keroncong-Paguyuban Sabtu Pahing. Bertempat di Balai Desa Menang.
III. Tanggal 30 Januari 2006
Pagelaran wayang kulit berjudul Pendadaran Murid Sukolimo/Astra Darma Karya/Bimo Suci merupakan Parade Dalang (banyak dalang) dan sebagai dalang utama adalah Ki Dalang Samijan dari Nganjuk. Bertempat di Balai Desa Menang. Persembahan dari Paguyuban Sabtu Pahing.
IV. Tanggal 31 Januari 2006 Rangkaian acara pada tanggal 1 Suro 1939 (tahun Alip) yang bertepatan dengan hari Selasa Pon 31 Januari 2006, sebagai berikut: 1. Pukul 08.00 s/d 08.30 Wib : Tata barisan di depan kantor Desa Menang 2. Pukul 08.30 s/d 08.45 Wib : Laporan ketua panitia perayaan 1 Suro 3. Pukul 08.45 s/d 08.50 Wib : Laporan ketua umum 4. Pukul 08.50 s/d 09.00 Wib : Penyerahan Tongkat Kyai Bimo 5. Pukul 09.00 s/d 09.10 Wib : Prosesi pemberangkatan perarakan benda
pusaka. 6. Pukul 09.10 s/d 10.00 Wib : Iring-iringan menuju Pamuksan Sri Aji
Jayabaya 7. Pukul 10.00 s/d 12.00 Wib : Ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji
Jayabaya 8. Pukul 12.00 s/d 12.30 Wib : Perarakan menuju Sendang Tirtokamandanu 9. Pukul 12.30 s/d 13.30 Wib : Ritual tabur bunga di Sendang
Tirtokamandanu 10. Pukul 13.30 s/d 14.30 Wib : Perarakan kembali ke balai Desa Menang.
V. Tanggal 05 Februari 2006 Pagelaran Jaranan Samboyo Putro bertempat di Sendang Tirtokamandanu
Lampiran 18
SEJARAH SRI AJI JAYABAYA YANG DIBACAKAN
PADA PROSES RITUAL 1 SURO
1. Pendahuluan. Bahan-bahan sejarah mengenai kerajaan kediri dan khususnya tentang
Raja Sang Prabu Sri AJi Joyoboyo masih sedikit ditemukan. Namun demikian dari bahan-bahan yang ada dapat dikatakan bahwa dari raja-raja yang memerintah kerajaan Kediri yang paling besar dan masyur adalah Raja Sang Prabu Sri AJi Joyoboyo. Kemasyuran namanya masih berkumandan hingga saat ini baik karena sifat-sifat kepemimpinannya maupun karya-karyanya yang lahir semasa pemerintahannya. Sebuah karya luar biasa yang menyangkut pengaruh terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah sebuah karya yang di kenal dengan Jangka Joyoboyo. Di desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri berdiri tegak menumen spiritual yang megah, yaitu Luko Mukso Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Wilayah monument tersebut merupakan pusat wilayah petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Lokasi petilasan ini hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan bekas wilayah keratin kerajaan Kediri di masa lampau. Dan salah seorang rajanya adalah Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo yang menjalani moksa, yaitu jiwa dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara bersama-sama. Tempat mukso ini merupakan tempat yang mempunyai nilai tertinggi di wilayah keraton. Karena berlatar belakang nilai sejarah yang sedimikian tinggi. Tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh orang dari segenap penjuru tanah air baik untuk kepentingan ziarah maupun lainnya. Dengan demikian hal ini merupakan suatu keuntungan tersendiri bagi masyarakat desa Menang, maupun desa sekitarnya demi perkembangan wisata budaya maupun penungkatan kesejahteraan. 2. Asal-usul kerajaan Kediri
Sampai kini orang percaya bahwa timbulnya kerajaan Kediri adalah akibat pembagian kerajaan Air Langga menjadi dua, Kediri dan Jenggala yang diwariskan kepada dua putranya. Salah satu sumber yang mengungkapkan hal tersebut diantaranya adalah kitab Negara krtagama karya mpu prapanca 1365. Kediri dahulu juga disebut Daha atau Gelang-gelang, dalam sumber berita Cina Taha atau Kalang. Kata Kediri bermula dari kata Kadiri yang berubah ucap atau lafal karena gejala usia yang tua dan informalitas. Demikian pula kata pejalu berasal dari kata panjalu. Secara semantic kata Kediri sama dengan penjalu dan jalu artinya laki-laki, taji, bersenjata keris dan lingga, sehingga jalu punya makna tegak, diri, Kediri. Dhaha atau dhahana adalah ibu kota kerajaan Kediri. Andhaha sama dengan pang dhaha berarti penguasa, memimpin sehingga Kediri atau dhaha adalah tempat atau kedudukan pemimpin berdiri tegak. Penjalu sama dengan pejantan sama dengan pembawa senjata penghancur musuh pemberi kemakmuran dan pemberi benih. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa kerajaan dhaha atau Kediri lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan kerajaan jenggala dengan ibu kota kahuripan atau juana. Bahwa dengan kemajuan,
kekayaan, dan kemakmuran kerajaan memberikan kesempatan untuk berkembangnya kebudayaan adalah wajar. Sebaliknya tingginya kebudayaan, terutama hasil kesusasteraan dan seni pada umumnya pada masa Kediri membuktikan adanya ketenangan politik, kesejahteraan dan kemakmuran Negara. Gambaran kerajaan Kediri oleh mpu sdah dan mpu panuluh diucapkan hapatir hautir ngadep syukur nan bebandaran. Panjang punjung, panjang ucapane punjung kawibawane. Toto-temtrem kerto-raharjo gemah-ripah loh jinawi. Semuanya itu mengandung arti sosial idea bahwa kerajaan Kediri sedemikian teratur, tentram, orang bekerja sama, orangnya ramah-tamah, berjiwa kekeluargaan dan tanahnya subur. Nampak di sini bahwa cita-cita masyarakat adil dan makmur sudah ada sejak jaman Kediri. Bukankah ini sama atau identik dengan apa yang sudah kita perjuangkan, masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. 3. Kemasyuran sang prabu Sri Aji Joyoboyo
Keberadaan Kerajaan Kediri tidak dapat dilepaskan dari kemasyuran kepemimpinan yang memerintah. Berdasarkan bukti sejarah berbentuk tulisan kuno atau prasasti raja yang memerintah Kediri dan paling besar atau tinggi puncarannya adalah Sang Mapanji Joyoboyo dan secara lengkap bernama atau berprefiseto Sri Maharaja Sang Apanji Jayabhaya Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama. Yang artinya adalah Yang termulya raja agung Jayabaya, yang termulya tuan dari keadilan, titisan sang hyang Wisnu, yang tidak tercela, yang kuat, yang berani seperti singa, yang memenangkan dunia, dengan nama Uttungga. Beliau memerintah antara tahun 1135 sampai 1157 Masehi atau prasati Hantang tahun 1135 M., dan prasasti Talan (24 Agustus 1136 M.). Dalam kitab Baratayudha, mpu sedah dan mpu panuluh memberi pujian Sang Prabu Sri AJi Joyoboyo adalah seorang Pandito Ratu dan memberi ibu kotanya menang. Mengandung maksud, sebagai tanda sejarah bahwa seorang raja yang paling perkasa, selalu menang dalam perang dan menang dalam menghadapi segala mara bahaya. Sebagai mana bunyi tulisan semacam semboyan pada prasasti Ngantang 1057 S. (1135 M.) yang berbunyi Panjalu Jayati yang artinya Panjalu Menang. Raja hidup penuh degan keprihatinan, beliau harus hidup lebih menderita dari rakyatnya yang menderita. Beliau harus sanggup mengendalikan hawa nafsu, harus dapat mengendalikan atau menaklukkan dirinya sendiri atau memenangkan segala yang kurang baik. Sebagai seorang raja yang memiliki penginderaan jauh ke depan beliau mampu meramalkan kejadian-kejadian sampai tahun 2100 Masehi. Ramalan itu dalam bahasa jawa sekarang disebut jangka joyoboyo atau wahyu joyoboyo. Ramalan tersebut digemari bangsa Indonesia atau jawa khususnya karena ramalan adalah bagian dari hidupnya dan mempunyai nilai tinggi dalam kehidupan rakyat. Disamping di kenal dengan ramalan juga dikenal dengan sebagai raja yang sangat memperhatikan kesenian dan kebudayaan. Berbagai alat tetabuhan atau gamelan khas jawa, karya-karya sastra termasyur dan wayang dinyatakan sebagai awal mula diciptakannya wayang purwa. Menurut seorang ahli gamelan Kertojoyodipuro, raja Joyoboyo mempunyai pusaka gamelan ponggang yang berasal dari kadewataan. Ternyata bentuk wayang purwa dan gamelan ini
merupakan langkah perintisan dan kemudian menjadi bentuk wayang purwa dan gamelan seperti yang dapat kita lihat sekarang ini. 4. Titisan Dewa Wisnu
Dari berbagai sumber sejarah dan prasasti-prasasti yang ditemukan tampak jelas bahwa kepercayaan hindu masih kuat melekat dan merupakan agama kerajaan Kediri. Pemujaan kepada dewa Siwa dan Wisnu tercermin dalam isi yang tergores pada peninggalan-peninggalan sejarah yang mengabadikan peristiwa serta gelaran-gelaran penobatan yang disandang oleh raja Joyoboyo. Misalnya dalam prasasti Hantang atau Ngantang 1057 S. tertulis gelar raja Jayabaya yang intinya kurang lebih berarti raja joyoboyo adalah titisan dewa wisnu. Juga Nampak pada materai narasingha, singa berbadan manusia merupakan satu diantara avatara-avatara dewa Wisnu. Demikian pula terdapat pada kitab Baratayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang merupakan pengabdian peristiwa sejarah yaitu peperangan antara dua keluarga satu keturunan Kediri dan Jenggala khususnya kemenangan dan keperkasaan raja Joyoboyo. Raja Joyoboyo digambarkan sebagai batara kresna yang peranannya ditonjolkan dari awal sampai akhir. Padahal sri kresna adalah salah satu bentuk penjelmaan atau titisan dewa Wisnu. Pengidentikan raja Joyoboyo dengan Sri Kresna terdapat pada Pupuh (II/4 52). 5. Tugas Raja Jayabaya
Raja jayabaya mempunyai tugas : a. memberantas dan menumpas segala bentuk angkara murka lahir dan batin. b. Membangun kehidupan manusia c. Membangun bangsa dan Negara d. Membangun dan mangayomi rakyatnya.
Berkat penjelmaan dewa Wisnu itulah maka raja Joyoboyo berhasil membinasakan musuhya termasuk pengendalian hawa nafsu yang ada pada dirinya. 6. Muksa
Dari berbagai cerita rakyat dan sejarah, raja sang prabu Sri Aji Jayabaya dinyatakan tidak meninggal dunia. Melainkan muksa, yaitu dengan meraga sukma atau sukma dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu, seorang yang telah mencapai tataran muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan dharmanya selama hidup di dunia. Raja Sang Prabu Sri Aji Jayabaya telah sampai pada tataran tersebut. 7. Kesimpulan
Dengan memperhatikan kebesaran dan keagungan serta pencapaian tatanan kesempurnaan. Demikian pula dengan melihat peristiwa demi peristiwa yang melibatkan raja joyoboyo dalam memimpin kerajaan Kediri menjadi sebuah kerajaan yang masyur. Maka raja joyoboyo dicintai dan tetap dikenang oleh seluruh rakyat dan mereka menyebutnya Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Oleh karena itu kita akan tetap mengenang sepanjang jaman dari watak, budi pekerti,
pribadi dan kepemimpinannya dan dapat ditiru dan dijadikan panutan bagi siapapun yang bercita-cita luhur. Agar dapat di kenang dan dapat dijadikan panutan dan suri tauladan. Maka tempat atau Loka Moksa di bangun dengan tujuan memuliakan keluhuran sang prabu sri aji joyoboyo, sebagai raja besar dan tersohor agar di kemudian hari dapat di kenang oleh anak-cucu kita atau generasi penerus. Bahwasannya nenek moyang kita adalah bangsa yang luhur. Bentuk bangunan monumen inti merupakan perpaduan nilai-nilai rasional dan irrasional. Di mana yang bersifat batiniah bersumber dari dawuh-dawuh sang prabu sri aji joyoboyo yang diterima oleh almarhum Ki Wiryodikarso dan almarhum Bapak Suharjo yang memberikan gambaran pokok tentang bentuk bangunan. Dan yang bersifat lahirian adalah usaha pewujudannya dengan cara teknik dengan teknologi sekarang. Sebagai realisasi tujuan tersebut di atas maka setiap tanggal 1 Suro kita mengadakan ziarah dan sekaligus memperingati awal tahun baru jawa di pusat wilayah petilasan sang prabu sri aji joyoboyo. Dengan ziarah 1 suro dimaksudkan untuk mengenang sang prabu sri aji joyoboyo sebagai putra Indonesia yang diberi anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai raja yang besar, arif, bijaksana, dan mulia. Kita mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga dapat di beri sepercik anugerah Tuhan yang pernah diberikan kepada beliau. Agar dengan demikian kita dapat menyadari apa yang dapat kita perbuat dalam era pembangunan ini dan apa yang dapat kita bhaktikan untuk kejayaan bangsa Negara Indonesia. Dan dalam menyambut atau mengormati sang baurekso dilaksanakan sebagaimana orang Jawa khususnya, yaitu tidak dilakuakan dengan pesta-pesta, melainkan laku yang bernilai keprihatinan. Ziarah 1 suro dan tanggap wakso merupakan salah satu bentuk kebudayaan Jawa sebagai upaya untuk mengadakan kontak dan komunikasi dengan para leluhur. Agar jalan hidupnya menjadi terang dan sebagai sarana mawas diri dalam mengisi perjalanan hidupnya. Dengan laku upacara seperti yang dilaksanakan hari ini kita akan semakin dapat menghayati nilai-nilai keluhuran yang diperbuat dan diwariskan oleh sang prabu sri aji joyoboyo. Potensi spiritual yang kita serap dan kita hayati dapat kiranya menjadi kekuatan hidup agar menjadi tangguh, tanggong, dan tahan uji dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini. Kita menyadari bahwa menghormati dan menghargai jasa-jasa pahlawan dan tokoh besar yang telah tiada merupakan kewajiban bangsa Indonesia. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa pahlawannya. Dari hasil pengamatan pelaksanaan upacara ziarah 1 suro sejak mula pertama hingga yang ke-26 kalinya dilakukan ternyata mendapat sambutan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa upacara tersebut telah merupakan milik rakyat yang lama-kelamaan akan mempunyai nilai yang bersifat nasional. Hal ini bermakna :
1. Betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. mengenang sejarah leluhur dan para pahlawan 3. melestarikan nilai-nilai budaya tradisi sendiri. 4. melakukan mawas diri.
Sebagai salah satu unsur dalam meningkatkan disiplin nasional yang tetap berbijak pada budaya bangsa dalam menghadapi pengaruh globalisasi. Walaupun hanya sekali setiap tahun dilaksanakan, namun upacara ziarah 1 suro dapat berpengaruh pada sector pariwisata, ekonomi, sosial, dan budaya yang akan
memberikan dampak posotif terhadap peningkatan pendapatan daerah pada umumnya dan khususnya pendapatan rakyat serta kesejahteraan rakyat. Sebagai akhir dari uraian tentang sang prabu sri aji joyoboyo, perlu kiranya diketahui bahwa merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan petilasan sang prabu sri aji joyoboyo adalah sebuah bangunan bersejarah sendang tirto kamandanu yang lokasinya berjarak + 500 meter arah barat laut petilasan. Saat ini sendang Tirtokamandanu masih dalam tahap proses pemugaran. Dan di sendang Tirtokamandanu telah di pasang 6 buah patung yaitu
1. patung ganhesa 2. patung vihara, yaitu perpaduan antara siwa dan wisnu 3. patung wisnu 4. patung brahma 5. patung indra 6. patung bayu
Keenam patung dikerjakan seniman Bali dan seniman Jawa. Dibuat dari batu yang berasal dari gunung Merapi di Jawa Tengah. Ke enam patung tersebut melambangkan perdamaian dan keadilan serta dipersembahkan kepada Ibu Pertiwi agar Indonesia tetap dapat menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Di samping itu pemerintah daerah tingkat I propinsi Jawa Timur dengan APBD tahun 1991/1992 telah membangun kompleks sendang berupa pintu gerbang utama. Demikian pula pada tahun anggaran 1995/1996 pemerintah pusat memberikan dana dari APBD kepada Kabupaten Kediri sebanyak 150 juta untuk pembangunan dan penataan lingkungan sendang Tirtokamandanu. Dan dengan swadaya masyarakat saat ini telah dibangun dua buah gapura sinar kinasih. Dalam hal ini perhatian pemerintah pusat atau daerah kabupaten Kediri cukup besar yaitu dengan anggaran tahun 1994/1995 telah di bangun sarana jalan lingkar dengan anggaran tahun 1995/1996 sebesar 150 juta di bangun koni agung dan koni pengapit, serta sarana pancuran air. Untuk tahun-tahun mendatang diharapkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tingkat 2 kabupten Kediri dapat terus memberikan bantuannya untuk membangun candi bentang. Semoga Tuhan yang maha Kuasa selalu memberi kesejahteraan dan kebahagiaan di hari kemudian.
Menang 1 Suro tahun Alip 1939 atau 31 Januari 2006.
Lampiran 19
DENAH PAMOKSAN SRI AJI JAYABAYA
U
B T
S
KETERANGAN :
A. Loka Muksa B. Loka Busana C. Pendopo D. Loka Makota E. Ruang Jaga Juru Kunci F. Gudang G. Pintu Masuk
D
B
A
C
F E
G
L2
JALAN LINGKAR
H A
B2
B2
J
I
K
C
L4
B B1
B B1
G
L3
E
D
F
L2
Lampiran 20
DENAH SENDANG TIRTOKAMANDANU
U
B T
S
L1
KETERANGAN A. Sumber Tirtokamandanu yang diatasnya dibangun patung lingga B. Kamar mandi pria dan wanita
B1 Kolam mandi pria dan wanita B2 Ruang ganti pria dan wanita
C. Tempat Semadi. D. Tempat Mengambil Air Suci. E. Tempat Berdoa. F. Patung Siwa. G. Patung Gono/Ganesha. H. Pelataran Depan. I. Pendopo Sendang Tirtokamandanu. J. Gapura Utama Sendang Tirtokamandanu. K. Pintu Masuk Sendang Tirtokamandanu. L. Empat Patung
L1. Patung Dewa Bayu L2. Patung Dewa Indra L3. Patung Dewa Wisnu L4. Patung Dewa Brahma
BIOGRAFI PENULIS
Joko Nugroho, lahir di kota Kediri Jawa Timur,
tanggal 09 Mei 1980. Anak kedua dari pasangan
Loo Jiet Long dan Saminah. Sekarang tinggal di
Jln. Cendana Gg II/5b Kediri-Jawa Timur dan
berdomisili di Jln. Gejayan Jembatan Merah
III/`140 Cepit, Condongcatur, Yogyakarta. Gemar
membaca dan menulis sejarah Indonesia khususnya
Jawa. Pernah terlibat di Bengkel Sastra Indonesia dan majalah Sindo Sastra
Indonesia. Pernah menerbitkan Antologi Puisi Awal saat menjadi mahasiswa.
Menyelesaikan S1 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra pada tahun 2007. Telp: +62817463768, E-mail: