PROSA
-
Upload
christopher-williams -
Category
Documents
-
view
98 -
download
6
Transcript of PROSA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia kesusastraan mengenal prosa sebagai salah satu bentuk sastra. Karya sastra
terdiri atas tiga macam, yaitu, prosa, puisi, dan drama. Adapun dalam makalah ini masalah
utama yang akan dibahas adalah sastra prosa khususnya pemahaman akan unsur-unsur prosa.
Prosa adalah jenis sastra yang menggunakan bahasa bebas, panjang dan tidak terikat
dalam pengungkapannya. Secara garis besar, struktur prosa dibagi menjadi dua bagian, yaitu
struktur intrinsic (dalam) dan struktur ekstrinsik (luar).
Struktur instrinsik merupakan unsur yang berasal dari dalam karya sastra, yaitu unsur-
unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur
(plot), pusat pengisahan, latar, dan lain-lain.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya
sastra yang turut mempengaruhi sastra tersebut, misalnya faktor sosial politik, keagamaan,
dan tata nilai yang dianut masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud prosa?
2.
C. Tujuan
Kata prosa berasal dari bahasa latin “prosa” yang artinya “terus terang”. Jenis tulisan prosa
biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat
digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media
lainnya.
Prosa ialah karya sastra dalam bentuk bahasa yang terurai tidak terikat oleh rima, ritma, jumlah
baris dan sebagainya, bisa juga diartikan suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena
variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan
arti leksikalnya atau bisa juga diartikan sebagai hasil karya sastra lisan dan tulisan yang panjang,
baik yang berbentuk cerita ataupun bukan cerita.
Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis:
Prosa naratif
Prosa deskriptif
Prosa eksposisi
Prosa argumentatif
Adapun unsur-unsur instrik dalam prosa yaitu:
1. Tema adalah tentang apa prosa tersebut berbicara.
2. Amanat atau pesan yaitu nasehat yang hendak disampaikan kepada pembaca.
3. Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk cerita.
4. Perwatakan atau karakteristik atau penokohan adalah cara-cara pengarang
menggambarkan watak pelaku.
5. Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan diri.
6. Sudut pandang orang pertama adalah pengarang sebagai pelaku.
7. Sudut pandang orang ketiga adalah pengarang tidak menjadi pelaku.
8. Latar atau seting adalah gambaran atau keterangan mengenai tempat, waktu, situasi atau
suasana berlangsungnya peristiwa.
9. Gaya bahasa adalah corak pemakaian bahasa
Prosa juga dibagi dalam dua bagian yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah prosa
bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat sedangkan prosa baru ialah prosa yang
dikarang bebas tanpa aturan apa pun.
A. Prosa Lama
Prosa lama merupakan karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan
barat. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan, disebabkan
karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke
indonesia, masyarakat menjadi akrab dengan tulisan, bentuk tulisan pun mulai banyak dikenal.
Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam
rentetan sastra indonesia mulai ada. Adapun bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah :
1) Hikayat
Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri
kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang
dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam
hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Contoh : Hikayat Hang Tuah, Kabayan,
si Pitung, Hikayat si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja
Budiman.
2) Sejarah
Sejarah (tambo), adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu
peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain
berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja
ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh : Sejarah Melayu karya datuk Bendahara
Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.
3) Kisah
Kisah, adalah cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke
tempat lain. Contoh : Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abdullah ke Jedah.
4) Dongeng
Dongeng, adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Dongeng sendiri banyak ragamnya, yaitu
sebagai berikut :
a) Fabel, adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambang pengajaran moral
(biasa pula disebut sebagai cerita binatang). Contoh : Kancil dengan Buaya, Kancil dengan
Harimau, Hikayat Pelanduk Jenaka, Kancil dengan Lembu, Burung Gagak dan Serigala, Burung
bangau dengan Ketam, Siput dan Burung Centawi, dan lain-lain.
b) Mite (mitos), adalah cerita-cerita yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap sesuatu
benda atau hal yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib. Contoh : Nyai Roro Kidul, Ki Ageng
Selo, Dongeng tentang Gerhana, Dongeng tentang Terjadinya Padi, Harimau Jadi-Jadian,
Puntianak, Kelambai, dan lain-lain.
c) Legenda, adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat
atau wilayah. Contoh : Legenda Banyuwangi, Tangkuban Perahu, dan lain-lain.
d) Sage, adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian,
kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang. Contoh : Calon Arang, Ciung Wanara,
Airlangga, Panji, Smaradahana, dan lain-lain.
e) Parabel, adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan
menggunakan ibarat atau perbandingan. Contoh : Kisah Para Nabi, Hikayat Bayan Budiman,
Bhagawagita, dan lain-lain.
f) Dongeng jenaka, adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas atau cerdik dan
masing-masing dilukiskan secara humor.
5) Cerita Berbingkai
Cerita berbingkai, adalah cerita yang didalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh
pelaku-pelakunya. Contoh : Seribu Satu Malam
B. Prosa baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya
Barat. Bentuk-bentuk prosa baru adalah sebagai berikut:
1) Roman
Roman adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala
suka dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-kanak
sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Roman mengungkap adat atau aspek
kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak
digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku
dalam cerita tersebut. Berdasarkan kandungan isinya, roman dibedakan atas beberapa macam,
antara lain sebagai berikut:
a) Roman transendensi, yang di dalamnya terselip maksud tertentu, atau yang mengandung
pandangan hidup yang dapat dipetik oleh pembaca untuk kebaikan. Contoh: Layar Terkembang
oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, Darah Muda oleh Adinegoro.
b) Roman sosial adalah roman yang memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat.
Biasanya yang dilukiskan mengenai keburukan-keburukan masyarakat yang bersangkutan.
Contoh: Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis St. Sati, Neraka Dunia oleh Adinegoro.
c) Roman sejarah yaitu roman yang isinya dijalin berdasarkan fakta historis, peristiwa-
peristiwa sejarah, atau kehidupan seorang tokoh dalam sejarah. Contoh: Hulubalang Raja oleh
Nur St. Iskandar, Tambera oleh Utuy Tatang Sontani, Surapati oleh Abdul Muis.
d) Roman psikologis yaitu roman yang lebih menekankan gambaran kejiwaan yang mendasari
segala tindak dan perilaku tokoh utamanya. Contoh: Atheis oleh Achdiat Kartamiharja, Katak
Hendak Menjadi Lembu oleh Nur St. Iskandar, Belenggu oleh Armijn Pane.
e) Roman detektif merupakan roman yang isinya berkaitan dengan kriminalitas. Dalam roman
ini yang sering menjadi pelaku utamanya seorang agen polisi yang tugasnya membongkar
berbagai kasus kejahatan. Contoh: Mencari Pencuri Anak Perawan oleh Suman HS, Percobaan
Seria oleh Suman HS, Kasih Tak Terlerai oleh Suman HS.
2) Novel
Novel berasal dari Italia. yaitu novella yang berarti ‘berita’. Novel adalah bentuk prosa baru yang
melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting, paling menarik, dan yang
mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perobahan nasib
pelaku. lika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek
daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Contoh: Ave Maria oleh Idrus, Keluarga Gerilya
oleh Pramoedya Ananta Toer, Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer, Ziarah oleh Iwan
Simatupang, Surabaya oleh Idrus.
3) Cerpen
Cerpen adalah bentuk prosa baru yang menceritakam sebagian kecil dari kehidupan pelakunya
yang terpenting dan paling menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan
telapi hat itu tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Contoh: Radio Masyarakat oleh
Rosihan Anwar, Bola Lampu oleh Asrul Sani, Teman Duduk oleh Moh. Kosim, Wajah yang
Bembah oleh Trisno Sumarjo, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis.
4) Riwayat
Riwayat (biografi), adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup
pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang lain sejak kecil hingga
dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa, Prof. Dr. B.I
Habibie, Ki Hajar Dewantara.
5) Kritik
Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan
memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yang sifatnya objektif dan
menghakimi.
6) Resensi
Resensi adalah pembicaraan / pertimbangan / ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya
bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema,
alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu
tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
7) Esai
Esai adalah ulasan / kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi
penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang
budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi
penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.
PROSA
A. Prosa dan Unsur-Unsurnya
1. Pengertian Prosa dan Jenis-Jenisnya
Definisi dari prosa itu sendiri ialah karangan bebas yang tidak terikat oleh banyaknya baris,
banyaknya suku kata, serta tak terikat oleh irama dan rimanya seperti dalam puisi. Sehingga
prosa dapat dibedakan menjadi prosa lama dan prosa baru.
a. Prosa Lama
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Ialah yang mengisahkan tentang kehidupan raja-raja dewa-dewa. Dalam hikayat biasanya
melukiskan kesaktian atau kehebatan pelakunya.
1) Cerita-cerita Panji
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di
pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
2) Cerita Berbingkai
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan.
Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini
menjadi cerita yang bersusun-susun.
3) Tambo
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan
hal-hal yang tidak masuk akal.
4) Dongeng
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang
benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka
Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba,
Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung,
Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam.
Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
b. Prosa Baru
Bila dalam prosa lama kita dibawa pada alam khayal atau santai, namun dalam prosa baru kita
dibawa pada peristiwa-peristiwa yang kita hayati dan alami tiap hari.
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
1) Roman
Ialah cerita yang melukiskan sesuatu kehidupan manusia, baik perbuatan lahir maupun peristiwa-
peristiwa batinnya.
2) Novel
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak
hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari
hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman
beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
3) Cerpen
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis
(pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut
tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
4) Kisah
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan
tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
5) Biografi dan Otobiografi
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
6) Esai
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan
obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis
esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
2. Prosa Naratif dan Unsur-Unsurnya
Bagian ini membahas unsur-unsur prosa naratif/narasi (kisahan). Dalam buku berjudul
Membaca Sastra prosa narasi didefinisikan sebagai semua teks/karya rekaan
yang tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sedereran peristiwa.
Ke dalam kelompok ini dapat dimasukkan roman/novel, cerita pendek, dongeng, catatan harian,
otobiografi, biografi, anekdot, lelucon, roman dalam bentuk surat-menyurat (epistoler), cerita
fantastik maupun realistik.
Pada dasarnya prosa naratif dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur instrinsik meliputi segala unsur yang membangun dari dalam karya sastra itu sendiri.
Unsur yang membangun dari dalam antara lain: a) plot, b) penokohan dan perwatakan, c) sudut
pandang (point of view), d) latar atau setting, dan e) tema.
Unsur ekstrinsik adalah segala unsur dari luar karya sastra yang turut membangun sebuah karya
sastra. Dalam buku yang berjudul Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi dikatakan
bahwa segi ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar karya sastra, namun amat
mempengaruhi karya sastra tersebut. (1988: 45).
Rene Wellek dan Austin Warren mengatakan, bahwa unsur ekstrinsik karya sastra adalah keadaan
subyektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang
kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur biografi pengarang akan turut
menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik yang lain adalah psikologi, baik
yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca,
maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti
ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan
unsur ekstrinsik pula. Ada juga unsur ekstrinsik yang berupa pandangan hidup suatu bangsa,
berbagai karya seni yang lain dan sebagainya. (1991: 75-135).
Unsur-unsur pembangun prosa naratif dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Unsur Intrinsik
1) Tema
Jika kita membaca cerita fiksi misalnya novel, sering terasa bahwa pengarang tidak sekedar ingin
menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja, namun ada konsep sentral yang dikembangkan
dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita karena akan mengemukakan suatu
gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasari suatu cerita karya sastra itu yang biasa disebut
tema. Dengan adanya tema membuat karya sastra lebih penting dari pada bacaan hiburan.
Mochtar Lubis menyatakan bahwa suatu cerita pendek harus mempunyai dasar (tema). Dasar
inilah yang paling penting dari seluruh cerita, jika tidak mempunyai dasar tidak ada artinya sama
sekali dan atau tidak berguna (1986: 18). Supaya mendapat gambaran yang jelas tentang
pengertian tema, penulis akan mengutip pendapat para ahli. M. Saleh Saad menyatakan, “Tema
adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang. Di
dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-cita pengarang, bagaimana ia melihat persoalan
itu.” (1989: 118). Pendapat ini sesuai dengan pendapat M.S. Hutagalung yang menyatakan,
“Tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat utama dalam cerita.” (1987: 77). Jakob
Sumardjo dan Saini KM juga menyatakan, “Tema adalah ide sebuah cerita.” (1996: 56).
Adapun Suhariyanto menyatakan, “Tema disebut juga dasar cerita yakni pokok permasalahan
yang mendominasi suatu karya sastra dari halaman akhir.” (1982: 28). Sedangkan Aminuddin
menyatakan, “Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita hingga berperanan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.” (1985: 25). Lebih
lanjut Hartono dan Rahmanto menyatakan tema adalah merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (1986: 142).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan
hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat
“mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk unsur
intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang
ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema itu pun
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas
dan abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, hal itu haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Tema menurut Stanton (1965: 21) yaitu tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus
menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema menurutnya kurang
lebih bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Tema ada
yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk
memberikan saksi sejarah, atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat
yang tidak disetujui. Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih,
ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya.
Pengarang yang baik mempunyai tema yang universal dan mempunyai kesanggupan untuk
menjabarkan tema tersebut menjadi sub-sub yang menyangkut kehidupan pribadi. Meskipun
pengarang tersebut sanggup menulis detil-detil kehidupan yang kecil, namun yang penting bukan
detil itu sanggup mengirimkan kilau yang indah dan memberi kesan bahwa kilau-kilau ini tidak
terjadi oleh detil saja, namun oleh keseluruhan (Budi Darma, 1984: 68-69).
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa tema adalah inti persoalan, pokok
pembicaraan merupakan dasar penceritaan serta merupakan patokan dalam menggerakkan cerita
dari awal sampai akhir.
Tema tidak perlu selalu berwujud moral atau ajaran moral, tema hanya bisa terwujud
pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Tema yang akan dijadikan dasar penciptaan karya
sastra biasanya diambil dari hal-hal yang menarik bagi seorang pengarang yang bersumber pada
pengalaman kehidupannya, misalnya kisah kehidupan manusia yang penuh konflik,
kesengsaraan, cinta baik itu nama manusia maupun dirinya sendiri. Konflik inilah yang
menimbulkan persoalan-persoalan yang menarik untuk diangkat dan dijadikan bahan cerita.
Pengarang yang baik mampu menemukan tema hakiki manusia. Ia mempunyai kekuatan mata
seperti rontgen yang dapat menembus tubuh manusia dan seperti televisi kuat yang dapat
menangkap gambar-gambar dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara
masyarakat, dan lagi bagaikan memiliki indera tambahan yang mampu menangkap getaran
masyarakat yang menderita (Budi Darma, 1984: 69). Mochtar Lubis menyatakan bahwa wilayah
pengarang luas sekali, seolah-olah tanpa batas. Wilayah yang paling baik adalah menjelajah ke
“ruang dalam” manusia sendiri, artinya kepada batin manusia yang memiliki berbagai
permasalahan kehidupan (1980: 182).
Dalam cerita novel yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang
menggunakan dialog-dialog dengan tokoh-tokoh, jalan pikiran, perasaan, kejadian-kejadian, dan
setting cerita.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana
penggolongan itu dilakukan. Pengkategorian tema yang akan dibahas berikut ini ada tiga macam
antara lain: 1) yang bersifat tradisional dan nontradisional, 2) dilihat dari tingkat pengalaman
jiwa menurut Shipley, dan c) dari tingkat keutamaannya.
Penggolongan tema tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu”
saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk
cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai tema yang bersifat
tradisional itu, misalnya:
(1) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan
(2) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga
(3) tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik
ala ketara).
(4) cinta yang sejati menuntut pengorbanan
(5) kawan sejati adalah kawan di masa duka
(6) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan
(7) atau (seperti pepatah-pantun) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan
sebagainya.
Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan
masalah kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972: 66).
Tema nontradisional adalah tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca, karena bersifat
melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai
reaksi afektif yang lain.
b) Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subyek
wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley
membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan.
Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada
tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya efektifitas fisik daripada
kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang
bersangkutan.
(2) Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra
tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas, suatu
aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual
manusia mendapat penekanan kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa
penyelewengan dan pengkhianatan suami istri, atau skandal-skandal seksual yang lain.
(3) Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang
merupakan tempat aksi interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam,
mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi obyek pencarian tema.
Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan,
kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai
masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik
sosial.
(4) Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai
makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut”
pengakuan atas hak individualitas-nya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia
pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia
terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa
masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada
umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas
biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.
(5) Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tinggi, yang belum tentu setiap manusia
mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah
masalah hubungan manusia dengan sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah
yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Karya sastra yang
bersifat kontemplatif (ketafakuran) pun dapat dikategorikan ke dalam tema tingkat ini.
c) Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema utama atau tema pokok cerita, atau tema mayor artinya makna pokok cerita dasar atau
gagasan dasar umum karya itu, Menentukan tema pokok atau tema utama sebuah cerita pada
hakikatnya merupakan aktifitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, di antara sejumlah
makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Makna pokok cerita
tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita, bukan makna
yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna pokok cerita bersifat
merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu.
Tema tambahan atau tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna tambahan. Makna tambahan itu
bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Bahkan
sebenarnya, adanya koherensi yang erat antar berbagai makna tambahan inilah yang akan
memperjelas makna pokok cerita. Jadi, makna-makna tambahan itu, atau tema-tema minor itu,
bersifat mempertegas eksistensi makna utama, atau tema mayor.
1) Tokoh
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami
peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh
berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral
dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan
perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.
b) Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan
perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh
bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a) Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral
(protagonis atau antagonis).
b) Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam
peristiwa cerita.
c) Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar
cerita saja.
Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu
a) Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak
saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama
sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b) Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh
ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.
2) Penokohan
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada
beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a) Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan
watak tokoh secara langsung.
b) Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran,
percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan
fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c) Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai
pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu
a) Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam
situasi kritis.
b) Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang
tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
c) Melalui penggambaran fisik tokoh.
d) Melalui pikiran-pikirannya
e) Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling
mendukung.
3) Alur
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat
tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a) Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis
kejadian disebut alur linear
b) Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat
disebut alur kausal.
c) Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada
beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola
umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah
a) Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangkasangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b) Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c) Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement)
Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa
cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam
urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis
kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya,
maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang
berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan
regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu
proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan
adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.
Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan.
Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan
mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak
konflik antartokoh cerita.
Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan
peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu
diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah
a) faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan,
tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya
sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b) Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung
ditebak/dikenali oleh pembaca.
c) Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita
menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau
digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau
menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.
Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang
dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu
kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya
tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur
berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur,
yaitu
a) alur berdasarkan urutan waktu
b) alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c) alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri
sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur
bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur
linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal.
Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur
datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks
sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya
semakin lama semakin menanjak atau rumit.
4) Latar (Setting)
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan
suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis
(termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh,
waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional
tokoh.
Macam Latar
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui
panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan
sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
Fungsi Latar
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras
5) Sudut Pandang (Point Of View)
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang
ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita
terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan
akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral
dalam cerita tersebut.
b. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi
tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh
pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut
juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua
tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi
komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
b. Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan
atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya
melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada
prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu
ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu
sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a) Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai
pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b) Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak
memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat
oleh pengarang.
c) Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d) Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh
kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a) Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang
digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b) Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap
pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c) Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan
pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang
impersonal (di luar cerita).
Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan
merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang.
Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan
ada empat, yaitu
a) Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b) Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c) Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d) Pengarang serba tahu.
6) Gaya Bahasa
Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai
gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh
oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah dengan menggunakan perbandingan,
menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah
sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas. Nada pada karya
sastra merupakan ekspresi jiwa.
7) Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada para pembaca melalui
karyanya, yang akan disimpan rapi atau disembunyikan pengarang dalam keseluruhan cerita.
b. Unsur Ekstrinsik
Selanjutnya dalam uraian ini penulis akan menguraikan salah satu unsur ekstrinsik saja yaitu
berupa faktor sejarah. Obyek karya sastra adalah realitas, apabila realitas itu berupa peristiwa
sejarah maka karya sastra dapat:
1) Mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajinatif dengan maksud untuk
memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang.
2) Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran,
perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah.
3) Seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah
peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Karya sastra yang menyajikan peristiwa sejarah sebagai bahan, dapat berupa puisi atau prosa.
Dalam peristilahan ilmu sejarah, peristiwa sejarah sering dicakup dalam istilah fakta sejarah.
Dalam hal ini fakta sejarah mempunyai arti kembar, yaitu: “a thing done, an
action, deed, event” (artinya tindakan, aksi, perbuatan, peristiwa,
pertandingan, perlombaan). Termasuk di sini perbuatan-perbuatan tunggal seperti baris-berbaris,
penarikan bendera, pembacaan naskah Proklamasi, yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945,
atau nama umum bagi peristiwa sejarah itu, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, fakta
sejarah dapat berupa “a particular truth” (kebenaran fakta) misalnya
menurunnya kemakmuran Indonesia pada akhir abad ke-19 fakta yang merupakan generalisasi
dari sejumlah sejarah fakta-fakta khusus yang menunjukkan gejala umum.
Peristiwa sejarah sebagai bahan baku diolah secara berbeda oleh tulisan sejarah dan oleh karya
sastra. Dalam tulisan sejarah, bahan baku ditulis sejarah itu telah diproses melalui prosedur
tertentu. Dari sumber-sumber sejarah sejarawan harus melakukan kritik, intrepretasi, dan sintesa
sampai ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah. Bagi sejarawan, fakta sejarah merupakan
apa yang disebut oleh William James (dalam Psikologi) seperti: “irreducable
and stubborn facts”. Bahkan sejarawan dituntut untuk hanya
mengemukakan “apa yang sesungguhnya terjadi”. Sejarawan
harus bertolak dan selalu kembali kepada fakta dalam usahanya untuk merangkai peristiwa
sejarah menjadi kesatuan yang utuh. Dengan bahan-bahan itu sejarawan mencari system
of interaction yaitu hubungan antara fakta-fakta secara memadu.
Karya sastra mempunyai pendekatan lain. Peristiwa sejarah dapat menjadi pangkal tolak bagi
sebuah karya sastra, menjaadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggungjawabkan terlebih
dahulu. Peristiwa sejarah, situasi, kejadian, perbuatan, cukup diambil dari khasanah
accepted bagi hal-hal dari masa lampau atau dari commonsense (pikiran sehat) bagi
peristiwa-peristiwa kontemporer (Kuntowijoyo, 1987: 127-130).
B. Pembelajaran Apresiasi Prosa
Pembelajaran prosa yang ditawarkan antara lain sebagai berikut: (1) Membaca cerita pendek atau
novel dan mendiskusikan cara penyampaian pesan atau amanat yang terdapat dalam karya sastra
tersebut. (2) Membahas konflik yang terdapat dalam cerita pendek atau novel/ roman.
Kegiatan awal yang dilakukan guru adalah mempersiapkan cerpen atau novel yang akan
digunakan sebagai bahan pembelajaran apresiasi prosa. Pada kegiatan tersebut guru menandai
bagian mana yang akan didiskusikan dengan siswanya, apakah alur, tema, tokoh, sudut pandang,
atau amanat dalam prosa tersebut. Selain itu guru harus memperhitungkan waktu yang tersedia
dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Hal lain yang penting adalah adanya gagasan pokok yang
akan disampaikan kepada siswa yang merupakan acuan ke arah pembentukan moral mereka.
Gagasan pokok tersebut ibarat niat guru dalam membelajarkan siswa di dalam pembentukan
moral, pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran sastra di dalam
kurikulum.
Selain persiapan guru, persiapan siswa juga diperlukan. Mengingat membaca cerpen
memerlukan waktu yang cukup lama, diperlukan dulu membaca di luar jam tatap muka di kelas
(misalnya dengan tugas membaca di rumah). Pada waktu membaca, siswa ditugasi memberi
tanda pada bagian-bagian yang perlu dipertanyakan, atau memberi tanda bagian yang menarik
perhatiannya di dalam cerpen yang dibacanya.
Setelah guru dan siswa mempunyai kesiapan untuk pembelajaran cerpen, di kelas berlangsung
kegiatan diskusi tentang cerpen tersebut. Hal ini tentunya guru sudah mempersiapkan rambu-
rambu dalam kegiatan diskusi tersebut. Rambu-rambu tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Peristiwa cerita, dapat dimulai dengan cara mengajukan pertanyaan berikut:
a. Peristiwa apa yang dikemukakan pengarang untuk mengawali ceritanya?
b. Apa peristiwa selanjutnya?
c. Adakah hubungan antara peristiwa-peristiwa tersebut?
2. Tokoh dan penokohan, diskusi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Melihat para tokoh, siapa tokoh utama, bawahan atau tambahan?
b. Mengapa disebut sebagai tokoh utama atau tambahan?
c. Dari sudut fungsiya, siapakah yang disebut sebagai tokoh protagonist dan antagonis?
d. Mengapa disebut tokoh protagonis dan antagonis?
e. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, adakah tokoh seperti itu?
3. Latar (waktu, tempat, dan suasana), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Di mana peristiwa itu terjadi?
b. Kapan peristiwa itu terjadi?
c. Berapa lama peristiwa itu berlangsung?
d. Pada suasana apa peristiwa itu terjadi?
4. Sudut pandang, diskusi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Dari sudut pandang siapa peristiwa itu diceritakan pengarang?
b. Bukti-bukti apa yang memperlihatkan sudut pandang tersebut?
5. Tema, kegiatan diskusi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Apa tema cerita?
b. Di bagian mana tersirat tentang tema?
c. Apa yang menjadi bukti bahwa tema tersurat dalam cerita?
6. Amanat, dapat didiskusikan sebagai berikut:
a. Apakah amanat yang ada dalam cerita?
b. Apakah amanat tersebut secara tersurat atau tersirat?
c. Apakah amanat tersebut dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari?
7. Kesan
Apa kesan siswa tentang cerita yang didiskusikan merupakan pertanyaan untuk membangkitkan
perasaan siswa terhadap isi cerita. Kelancaran diskusi tentang kesan yang dipelajari sangat
tergantung pada aktivitas yang dilancarkan guru dalam menggiring pertanyaan-pertanyaan yang
membangkitkan apresiasi siswa. Pertanyaan yang diajukan tidak hanya pertanyaan yang bersifat
kognitif, tetapi juga pertanyaan yang bersifat afektif dan psikomotor.
B. Ekspresi Prosa
1. Menulis Prosa
Menulis buku harian merupakan upaya pembiasaan agar kita memiliki kompetensi keterampilan
menulis. Awalnya mungkin kita hanya menulis catatan penting, seperti agenda kerja atau agenda
kegiatan sehari-hari. Hal itu merupakan langkah awal yang baik. Kegiatan itu dapat kita
lanjutkan dengan mencatat peristiwa penting, misalnya gempa bumi, tabrak lari, atau pencurian.
Peristiwa tersebut dapat kita kembangkan dengan melibatkan imajinasi kita sehingga tokohnya
diberi karakter tertentu, peristiwanya dijalin lebih memikat, dan latarnya dirinci secara detil.
Apabila kegiatan ini masih dianggap sulit, kita dapat melakukan kegiatan menulis secara
sederhana, yaitu menarasikan pengalaman yang telah kita lakukan dari bangun tidur hingga
ketika akan tidur kembali.
Beberapa kegiatan yang telah kita lakukan dalam menulis puisi dapat kita manfaatkan juga untuk
kepentingan menulis prosa, khususnya cerpen. Kegiatan yang dimaksud adalah mendeskripsikan
objek konkret secara emotif dan menulis cerpen berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi, atau
karya sastra lainnya.
Para sastrawan acap kali menggunakan fakta cerita dalam sejarah atau mitologi sebagai teks
dasar karyanya. Misalnya novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangun Wijaya
memunculkan tokoh-tokoh nyata ketika zaman revolusi kemerdekaan, seperti Amir Syarifudin.
Seno Gumira Ajidarma memunculkan tokoh-tokoh wayang dalam novel Kitab Omong Kosong,
atau Hermawan Aksan memunculkan kembali tokoh Diah Pitaloka, Puteri Sunda yang menjadi
martir dalam perang yang tidak seimbang antara Kerajaan Pajajaran dan Majapahit, yang dikenal
dengan Perang Bubat. Mari kita perhatikan salah satu penggalan cerpen karya Putu Wijaya
berjudul “Bisma”. Resi Bisma yang dalam mitologi pewayangan dihormati, disegani, dan
dijunjung tinggi oleh pihak Kurawa dan Pandawa karena sebagai sesepuh Kerajaan Astina,
dalam novel tersebut dimunculkan secara ganjil dan lucu.
Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu
pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua
tampak agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih
sudah kisut, akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul
pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Namun, satu hal yang perlu kita cermati, Hal yang dilakukan sastrawan bukanlah untuk
menjiplak karya yang sudah ada, melainkan untuk mereaksi, menanggapi, atau melakukan dialog
dengan karya-karya sebelumnya. Bahkan, cara ini menarik minat para pakar sastra sehingga
memunculkan kajian sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dan intertekstualitas.
Menulis prosa pun dapat kita lakukan dengan cara memperhatikan konvensi yang terdapat dalam
sebuah karya prosa. Jika cara ini yang kita pilih, maka kita harus mempehatikan hal-hal berikut:
1) Tentukanlah tema cerpen berdasarkan persoalan yang Anda kuasai, kemudian konkretkan
tema tersebut dengan judul yang menarik dan sesingkat mungkin, misalnya tidak lebih dari lima
kata.
2) Sadarilah bahwa cerpen yang konvensional selain menyertakan judul dan pengarangnya harus
juga dilengkapi aspek formal cerpen lainnya, yaitu adanya narasi dan dialog tokoh.
3) Kembangkanlah tema ke dalam unsur-unsur cerpen, seperti fakta cerita (alur, tokoh, dan
latar), sarana cerita (sudut pandang, penceritaan, dan gaya bahasa).
4) Padukanlah unsur-unsur cerpen dengan memperhatikan kaidah alur, yaitu peristiwa disusun
secara logis dan kronologis, menghadirkan suspense ‘rasa ingin tahu’ membuat surprise ‘kejutan’
dan menjalin seluruh unsur cerpen sehingga tampak utuh.
2. Membacakan Prosa dan Paduan Baca Prosa
Ekspresi prosa biasanya dilakukan dengan membacakan cerpen atau dongeng, baik oleh sendiri
maupun oleh beberapa orang yang disebut dengan paduan baca cerpen. Selain itu, ekspresi prosa
dapat dilakukan dengan mendramatisasi cerpen.
Dalam membacakan cerpen, kita dapat juga mengikuti teknik seperti dalam membacakan puisi.
Pertama, cerpen kita baca dalam hati. Langkah pertama ini bertujuan agar kita dapat mengakrabi
cerpen sehingga maknanya dapat kita selami. Langkah kedua adalah dengan membacakan cerpen
secara nyaring. Kita upayakan agar setiap kata dalam kalimat, setiap kalimat dalam paragraf, dan
setiap paragraf dalam cerpen tersebut dapat kita hidupkan dengan alat artikulasi kita. Dalam
langkah kedua ini kita dapat mencoba untuk mengucapkan narasi dan dialog-dialog cerpen sesuai
dengan karakter masingmasing. Pembaca pun dapat berlanjut ke langkah yang ketiga, yaitu
memperhatikan kapan intonasi ditekan, tempo diperlambat atau dipercepat, volume suara
diperkecil atau diperbesar, dan nada direndahkan atau ditinggikan. Agar pembacaan tidak
berubah-ubah, pembaca dapat menandai bagian-bagian yang mendapat penekanan tersebut
dengan menggunakan alat tulis, misalnya tinta warna dan penggaris. Dengan demikian,
pembacaan cerpen dapat diulang-ulang hingga sampai pada langkah yang keempat, yaitu
pembacaan cerpen yang estetis. Namun, tentu saja untuk sampai pada pembacaan cerpen yang
estetis diperlukan latihan berulang-ulang. Oleh sebab itu, membaca kritis harus dilakukan,
misalnya kita tidak perlu ragu untuk meralat atau merevisi bagian-bagian yang sudah kita tandai.
Hal serupa dengan langkah membacakan cerpen dapat juga kita lakukan dalam paduan baca
cerpen, namun dengan pembagian tugas yang jelas. Misalnya, siapa yang akan menjadi narator
dan siapa yang akan menjadi tokoh-tokoh dalam cerpen.
3. Mendongeng dan Mendramatisasi Prosa
Mendongeng atau bercerita dapat menjadi kegiatan ekspresi prosa yang mengasyikkan sebab
juru dongeng biasanya bertutur tanpa teks sehingga ia pun dapat memanfaatkan raut muka,
gerak-gerik, dan anggota tubuhnya untuk memperkuat karakter tokoh-tokoh dongeng. Bahan
dongeng dapat berupa cerita rakyat, seperti mite, legenda, fabel, dan cerita jenaka.
Apabila juru dongeng atau pendongeng di daerah nusantara bercerita dengan bahasa daerah dan
khazanah daerah masing masing, maka kita dapat memanfaatkan cerita rakyat se-Nusantara yang
telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia sehingga sastra-sastra daerah itu dapat dikenal
lebih luas dalam skala nasional.
Apabila mendongeng dilakukan secara perseorangan, dramatisasi prosa dapat dilakukan secara
berkelompok. Seperti halnya dramatisasi puisi, dramatisasi prosa pun harus mengikuti kaidah-
kaidah yang terdapat dalam drama.
Misalnya, apabila kita akan mendramatisasi cerpen atau cerita rakyat, kedua karya itu harus
dialihkan terlebih dahulu ke dalam naskah drama. Misalnya, narasi cerpen diubah menjadi
petunjuk pemanggungan sehingga yang dialog tokoh-tokohnya tampak menonjol. Berikut ini
akan dikutip sebuah penggalan teks cerpen, kemudian dialihkan ke dalam teks drama.
Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya, ”Kenapa Nenek menangis ?” Diangkatnya
kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan itu agak lama, dan suaranya yang
gemetar dan tua itu berkata, “Kalaulah cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.” Dia berhenti
sebentar, dihapusnya air matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini ?” tanyanya kemudian.
“Ya.”
“Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan Nenek itu berkata, “Kuburan-
kuburan disini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini, kau bersihkanlah kuburanku balk-
baik, Nak.”
“Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.” Kata penjaga kuburan itu.
“Benar, saya masih akan lama hidup ?”
“Benar Nek.”
(Motinggo Boesje dalam Hoerip, 1979c: 136)
PANGGUNG MENYERUPAI TEMPAT PERKUBURAN. TAMPAK DI SEBUAH
NISAN SEORANG NENEK SEDANG DUDUK, MENUNDUK, DAN
MERENUNGI BATU NISAN ITU. PENJAGA KUBURAN MENDEKATI NENEK
PENJAGA KUBURAN : Kenapa Nenek menangis ?
NENEK : (memandang penjaga kuburan, suaranya gemetar)
Kalaula cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.
(menghapus air mata)
Engkau sendiri bekerja di sini?
PENJAGA KUBURAN : Ya.
NENEK : Sepantasnya engkau masuk surga, Nak!
(penjaga kuburan duduk di semen kuburan dekat Nenek)
Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini,
kau bersihkanlah kuburanku baik-baik, Nak.
PENJAGA KUBURAN : Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.
NENEK : Benar, saya masih akan lama hidup ?
PENJAGA KUBURAN : Benar, Nek.
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Beranda
Langganan: Entri (Atom)
My Favorite Team
Manchester United
didukung oleh
Laman
Beranda
Kumpulan Sinopsis
Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono
KUMPULAN PUISI WS RENDRA
Materi tentang Puisi
Materi Prosa
Pengikut
Arsip Blog
2011 (4)
o Desember (4)
Universitas Negeri Malang
Arek Sastra UM offering D angkatan 2010
Foto-foto Arek Sastra UM offering D angkatan 2010
Dunia Sastraku
Mengenai Saya
Hasan_Nugroho
Lihat profil lengkapku
Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.