Proposal Skripsi (Mulya).docx

19
UNIVERSITAS INDONESIA AKIBAT PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 54 PK/AG/2008) PROPOSAL SKRIPSI MULYA HARYADI 1006661790

Transcript of Proposal Skripsi (Mulya).docx

UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 54 PK/AG/2008)

PROPOSAL SKRIPSI

MULYA HARYADI1006661790

FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUMKEKHUSUSAN HUKUM TENTANG PRAKTISI HUKUMDEPOK11FEBRUARI 2013Universitas Indonesia

BAB 1PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib dan tenteram. Dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan adanya upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman[footnoteRef:1]. Dengan jaminan bahwasannya kekuasan kehakiman tersebut merdeka atau bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan[footnoteRef:2]. [1: H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. viii.] [2: Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Penjelasan Umum.]

Pada hakikatnya penegakkan hukum merupakan titik krusial dalam supremasi hukum dan keadilan sekarang ini. Namun, ternyata penegasan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia setelah perubahan keempat, dalam pelaksanaannya masih menemui kendala di lapangan. Sehingga makna proses penegakan hukum mulai sirna, dan mungkin saja pada akhirnya warga masyarakat menjadi apatis tentang penegakan hukum (khususnya terkait proses penyelesaian perkara di peradilan, karena proses yang berbelit-belit), yang membuat indentitas negara Republik Indonesia sebagai negara hukum pelan-pelan akan hilang kewibawaannya.Perlu diketahui bahwa jajaran peradilan adalah institusi terakhir dalam penegakan hukum[footnoteRef:3]. Adapun jajaran peradilan tersebut dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman (secara tersirat adalah institusi peradilan) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. [3: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan Putusan Peradilan Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2005), hlm. iii.]

Terlepas bagaimana bekerjanya suatu proses penegakkan hukum, sebenarnya pada setiap manusia terjadi perubahan, baik itu berupa perubahan ke arah yang positif atau ke arah yang negatif. Hal ini dapat didasarkan atas kenyataan manusia yang mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Seringkali keperluan penegakan hukum searah serta berpadanan satu sama lain, sehingga kerjasama tujuan manusia untuk memenuhi keperluan itu akan lebih mudah dan lekas tercapai. Akan tetapi, seringkali kepentingan-kepentingan itu berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama[footnoteRef:4]. Dalam hal ini orang atau golongan yang kuat menindas orang atau golongan yang lemah untuk menekankan kehendaknya[footnoteRef:5]. [4: Taufik Rahayu S., Problematika Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali (PK) Pada Perkara Perceraian di Peradilan Agama http://badilag.net/artikel/9658--problematika-upaya-hukum-luar-biasa-peninjauan-kembali-pk-pada-perkara-perceraian-di-peradilan-agama--oleh--taufik-rahayu-syam--311.html, diunduh 27 Januari 2014.] [5: CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 33.]

Dari ketidakserasian tersebut, keberadaan hukum sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Karena hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, yang harus memperhatikan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilannya[footnoteRef:6]. Bukan semata-mata mementingkan kehendak pribadi di atas kepentingan umum. Maka untuk menghindarkan gejala tersebut, masyarakat mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat[footnoteRef:7]. [6: Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), cet. 2, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hlm. 160] [7: Retnowulan Sutantion dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. 11, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 1.]

Pada umumnya kita semuanya melaksanakan hukum, baik itu yang disadari atau yang tidak disadari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hanya dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau sengketa, pelaksanaan atau penegakkan hukum itu diserahkan kepada penguasa, dalam hal ini kekuasaan kehakiman. Karena dalam hal ada perselisihan atau pelanggaran, hukum pelaksanaan atau penegakkannya merupakan monopoli kekuasaan kehakiman.Kekuasaan kehakiman melalui lembaga peradilannya, merupakan tempat orang-orang mencari keadilan. Dalam sebuah negara hukum, diharuskan adanya lembaga peradilan yang tidak memihak supaya sendi-sendi hukum yang ada dapat ditegakan secara adil. Masyarakat yang merasa dilanggar hak-nya oleh orang lain, dapat mengajukan gugatan kepada lembaga peradilan untuk mendapatkan hak-haknya itu kembali.Salah satu lembaga peradilan adalah Badan Peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Agama, yang utuh ditandai dengan dapat mengeksekusi putusannya sendiri[footnoteRef:8]. Sebagai sub sistem pelaksana kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama hanya menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam. [8: H. A. Mukti Arto, Loc. Cit. ]

Upaya perbaikan dari pihak yang merasa tidak terima atas suatu putusan yang dijatuhkan Peradilan Agama, karena putusannya tersebut dirasa tidak benar, sehingga berakibat merugikan dirinya, dalam praktek hukum acara peradilan agama dikenal dengan istilah upaya hukum. Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu, untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan[footnoteRef:9], dan/atau untuk melawan putusan hakim (sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan), karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. K. Wantjik Saleh menyatakan pendapat bahwa: [9: Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 186.]

Hakim adalah manusia biasa yang lemah yang tidak dapat terhindar dari kekeliruan/kesalahan. Selain itu, mungkin pula terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuan hakim, baru kemudian muncuk sesuatu yang beru yang dapat dijadikan sebagai bukti[footnoteRef:10]. [10: K. Wantjik Saleh, Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap, cet. 1, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 13.]

Perihal upaya hukum ini, dalam prakteknya tergolong kepada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dilakukan atas putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan upaya hukum luar biasa, adalah upaya hukum yang dilakukan atas putusan yang dalam keadaan sebaliknya, yakni atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap[footnoteRef:11]. Contoh upaya hukum luar biasa adalah uapaya hukum peninjauan kembali. [11: Taufiq Hamami, Hukum Acara Perdta Agama, (Jakarta: PT Tatanusa, 2004), hlm. 279.]

Letak sifat luar biasa upaya Peninjauan Kembali, karena memeriksa dan mengadili atau memutus putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Padahal pada asasnya, setiap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, mutlak bersifat final. Tidak bisa diganggu gugat lagi. Pada diri putusan sudah terkandung segala macam kekuatan hukum yang mutlak kepada para pihak, serta telah mempunyai kekuatan eksekutorial yang mutlak pula[footnoteRef:12]. [12: Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ed. 2, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 362.]

Pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata (termasuk lingkungan peradilan agama) diatur dalam Pasal 66-77 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Sedangkan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu, yakni bukti baru dan/atau kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum.Upaya hukum peninjauan kembali tersebut berlaku pada semua perkara baik dalam sengketa perkara perdata (maupun pidana). Tentu dalam perkara perdata termasuk di dalamnya sengketa perkawinan dalam hal perceraian, baik putusan perceraian yang diputus oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum maupun oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Namun, walaupun pihak berperkara mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, menurut ketentuan yang berlaku pada Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 (sebagaian telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009) tentang Mahkamah Agung bahwa: Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jika seorang suami telah mendapatkan keputusan Pengadilan Agama yang amarnya mengizinkan suami untuk mengucapkan ikrar thalak di muka sidang, maka suami tersebut tidak terhalang untuk mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya meskipun isterinya melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Sementara jika seorang isteri telah diputuskan hubungan perkawinannya dengan suaminya oleh pengadilan dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka tentu tidak ada halangan bagi bekas isteri untuk menikah lagi dengan pasangan baru, tentu akan sulit mengembalikan bahwa kedua belah pihak harus kembali rukun sebagai suami isteri akibat dari adanya putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh suaminya. Dalam kenyataan dapat ditemukan suatu fakta bahwa seorang isteri yang gugatan cerainya dikabulkan kemudian setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan selesai masa iddahnya, ia menikah lagi dengan laki-laki lain dan bahkan ia telah hamil; jika mantan suami mengajukan permohonan peninjauan kembali dan permohnannya tersebut dikabulkan maka berarti mantan isteri pemohon peninjauan kembali harus kembali menjadi isterinya dalam status isteri orang lain dan telah mengandung dengan suami barunya itu[footnoteRef:13]. [13: Susilawetty, Problematika Pelaksanaan Upaya Hukum, Peninjauan Kembali Perkara Perceraian Pada Peradilan Agama http://www.pa-pekalongan.go.id/index.php/component/content/article/13-halaman-muka/kabar-gembira1/212-problematika-pelaksanaan-upaya-hukum-peninjauan-kembali-perkara-perceraian-pada-peradilan-agama, diunduh 27 Januari 2014.]

Dalam perkara perceraian di pengadilan, pasangan suami isteri yang diputuskan perkawinannya merupakan pihak dalam perkara sehingga mereka dapat membela dan mempertahankan hak-haknya sampai upaya hukum luar biasa berupa Peinjauan Kembali. Adapun putusan Peninjauan Kembali mempunyai dua alternatif utama yaitu: permohonan peninjauan kembali dikabulkan atau ditolak. Jika permohonan peninjauan kembali ditolak maka putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak menimbulkan persoalan. Namun jika permohonan peninjauan kembali dikabulkan, akan terjadi persoalan yang akan berbenturan tidak hanya dengan fakta sebagaimana dijelaskan di atas, namun juga akan berbenturan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam maupun ketentuan lainnya tidak pernah memaksakan pasangan suami isteri telah bercerai dibatalkan perceraiannya dan bekas pasangan suami isteri yang sudah tidak saling mencintai dipaksakan untuk tetap sebagai pasangan suami isteri.Persoalan tersebut adalah akibat hukum daripada konsekuensi putusan peninjauan kembali yang membatalkan putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap. Akibat hukum tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya terkait asas monogami, terkait pemaksaan terhadap sepasang suami isteri yang tidak saling cinta untuk dipaksakan bersatu kembali, terkait pembatalan perkawinan bagi suami atau isteri yang telah menikah lagi setelah bercerai, namun perceraiannya itu batal karena putusan peninjauan kembali, dan terkait masalah mekanisme rujuk antara suami dan isteri yang telah bercerai sesuai peraturan yang ada, terutama mengenai adanya pelangkah.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang tersebut sebelumnya, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:1.2.1 Bagaimana ketentuan hukum tentang perceraian yang sudah sah dilaksanakan menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dibatalkan berdasarkan upaya hukum penijauan kembali?1.2.2 Bagaimana akibat hukum yang timbul dengan adanya putusan peninjauan kembali yang membatalkan suatu putusan pada perkara perceraian?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan UmumSecara umum penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengkaji hukum acara peradilan agama terutama pada bagian upaya hukum luar biasa peninjauan kembali, mengenai akibat hukum dari pelaksanaan putusan yang membatalkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.1.3.2 Tujuan KhususSecara khusus penulisan ini bertujuan untuk:1. Menjelaskan upaya hukum luar biasa dalam hukum acara peradilan agama khusus mengenai peninjauan kembali;2. Mendeskripsikan akibat perceraian setelah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;3. Menjelaskan akibat hukum yang terjadi apabila terdapat putusan peninjauan kembali yang membatalkan putusan sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap;4. Memberikan informasi kepada Mahakamah Agung sebagai bahan pertimbangan, bahwa peninjauan kembali terhadap perkara perceraian sulit untuk diterapkan apabila permohonan tersebut dikabulkan.

1.4 Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya multitafsir maupun kerancuan definisi, dan untuk menyelaraskan pandangan, maka dijelaskan definisi operasional terhadap istilah-istilah yang ada dalam penulisan skripsi ini. Definisi tersebut antara lain untuk istilah:1.4.1 Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum.[footnoteRef:14] [14: Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 39]

1.4.2 Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam[footnoteRef:15] [15: Indonesia, Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU No. 50 Tahun 2009, LN No. 159 Tahun 2009, TLN No. 5078, Pasal 1 angka 1.]

1.4.3 Upaya hukum peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa (request civil) yang merupakan upaya untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya[footnoteRef:16]. [16: Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 359-360.]

1.4.4 Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[footnoteRef:17]. [17: Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, Pasal 1.]

1.4.5 Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut talak atau furqah, yang jika disimpulkan artinya adalah membuka ikatan membatalkan perjanjian[footnoteRef:18]. [18: Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 103.]

1.4.6 Monogami adalah sistem yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu[footnoteRef:19]. [19: Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/monogami diunduh 14 Februari 2014]

1.4.7 Rujuk adalah kembali hidup sebagai suami isteri antara laki-laki dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raji selama masih dalam masa iddah tanpa pernikahan bain[footnoteRef:20]. [20: Soemiyati, Op.Cit., hlm. 125.]

1.5 Metode Penelitian

Bentuk metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif[footnoteRef:21] yaitu, penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis, yang difokuskan terhadap pemaparan akibat peninjauan kembali terhadap perkara perceraian, terutama terkait kemungkinan yang terjadi apabila dilangsungkannya upaya hukum luar biasa, mengingat adanya ketentuan bahwa harus berkekuatan hukum tetap dan ketentuan tidak menangguhkan eksekusi. Apabila dilihat dari sifatnya, penelitian untuk skripsi ini bersifat eksplanatoris, yakni penelitian yang mana pengetahuan tentang suatu masalah sudah cukup, namun pengetahuan tersebut digunakan untuk menguji hipotesa-hipotesa tertentu. [21: Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10.]

Dalam penelitian kepustakaan yang menjadi alat pengumpulan data yang utama adalah studi dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan mengkaji data-data sekunder. Data sekunder adalah data yang pada umumnya telah ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made), bentuk maupun isinya telah ditetapkan oleh peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat[footnoteRef:22]. [22: Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 24.]

Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dapat digolongkan dalam:1.5.1 Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia. Di dalam penelitian ini, peraturan perundang-undangan yang akan digunakan diantaranya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement), RV (Reglement op de Rechtsvordering), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).1.5.2 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah;1.5.3 Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, atau kamus.Alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah studi dokumen ditambah wawancara dengan narasumber untuk melengkapi data yang terkumpul. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan dinyatakan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.[footnoteRef:23] [23: Mamudji, op.cit., hlm. 67. ]

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab dengan pokok bahasannya masing-masing. Bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:BAB 1: PENDAHULUANBab ini membahas mengenai latar belakang penulisan, pokok permasalahan, tujuan penulisan, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.BAB 2: UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PADA HUKUM ACARA PERADILAN AGAMABab ini membahas mengenai tinjauan umum hukum acara peradilan agama, upaya hukum luar biasa peninjauan kembali, asas-asas dalam upaya hukum peninjauan kembali, ketentuan formil dan materiil upaya hukum peninjauan kembali, dan putusan peninjauan kembali serta eksekusinya.

BAB 3: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIANBab ini membahas mengenai ketentuan perkawinan secara umum, putusnya perkawinan menurut peraturan perundang-undangan khusus pada perceraian, arti perceraian, sebab-sebab perceraian, tata cara perceraian, akibat perceraian, dan mekanisme rujuk.BAB 4: AKIBAT PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PERCERAIAN Bab ini membahas mengenai putusan peninjauan kembali yang membatalkan perceraian ditinjau dari asas-asas peninjauan kembali, asas-asas perkawinan, dan eksekusi putusan perceraian. Bab ini juga membahas mengenai kasus yang ada dalam putusan No. 54 PK/AG/2008, mengenai dikabulkannya permohonan peninjauan kembali yang membatalkan putusan percerian terhadap para pihak.BAB 5: PENUTUPBab ini berisi kesimpulan mengenai pembahasan-pembahasan dalam bab-bab sebelummnya. Bab ini juga berisi saran-saran penulis berkaitan dengan hasil penelitian yang dituliskan dalam skripsi ini.