Proposal Penelitian Tim TNC Utama
-
Upload
prianter-jaya-hairi -
Category
Documents
-
view
490 -
download
0
Transcript of Proposal Penelitian Tim TNC Utama
Proposal Penelitian
PERAN DIPLOMASI INDONESIA
DALAM MENGATASI KEJAHATAN TRANSNASIONAL
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kejahatan transnasional bukanlah fenomena baru dalam hubungan internasional.
Akan tetapi munculnya kejahatan transnasional tidak dapat dipisahkan dari era globalisasi
saat ini. Karena itu, kejahatan transnasional seringkali disebut sebagai sisi negatif dari
globalisasi.1 PBB memperkirakan uang yang didapat dari kegiatan kejahatan transnasional itu
mencapai 1,1 trilyun dolar AS per tahun, dengan pendapatan terbesar berasal dari
perdagangan obat-obatan terlarang yang mencapai 400 milyar dolar AS pertahun.2 Angka 400
milyar dolar AS tersebut sama artinya dengan 8 persen dari total perdagangan barang
internasional. Angka 400 milyar dolar AS itu juga lebih tinggi dari nilai perdagangan minyak
dunia dalam setahun tetapi masih lebih rendah dari perdagangan gelap senjata internasional.
Sementara dari praktek-praktek pencucian uang, sebuah kajian memperkirakan uang yang
beredar mencapai 2% sampai 5% dari perekonomian dunia, atau setara dengan 590 miliar
dolar AS hingga 1,5 trilyun dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi kejahatan
transnasional telah berhasil dalam melakukan kegiatannya diluar struktur kewenangan dan
kekuatan politik dunia.3
Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan transnasional
antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Globalisasi yang disertai
dengan kemajuan teknologi komunikasi yang pesat menyebabkan hubungan antarbangsa,
antarmasyarakat dan antarindividu semakin dekat, saling tergantung dan saling
mempengaruhi sehingga tercipta suatu dunia tanpa batas (borderless world). Sejalan dengan
hal itu fenomena kejahatan transnasional terus mengemuka merambah ke berbagai penjuru
1 Peng Wang dan Jingyi Wang, “Transnational Crime: Its Containment through International Cooperation”, Asian Social Science, Vol. 5, No. 11, 2009, hal. 25. 2 “Transnational Crime: A Threat to International Peace and Security”, dalam http://www.pctc.gov.ph/updates/tcthreat.htm, diakses 25 Januari 2008.3 Alan Dupont, “Transnational Crime, Drugs, and Security in East Asia,” Asian Survey, Vol..XXXIX, No.3, Mei-Juni 1999, hal. 449.
1
dunia.4 Berbagai bentuk kejahatan transnasional semakin berkembang pesat dan telah
diidentifikasi sebagai ancaman keamanan. Aktifitas seperti terorisme, peredaran obat-obatan
gelap, illigal logging dan penyelundupan manusia misalnya, merupakan praktik-praktik yang
sangat mengabaikan dan mengancam keamanan manusia yang pada gilirannya akan
mengancam keamanan negara. Seperti misalnya drug trafficking saat ini telah mengalami
perubahan yang signifikan. Indonesia yang pada awalnya dulunya sebagai tempat transit
sekarang berkembang menjadi daerah produksi.
Kejahatan transnasional terutama yang beroperasi di perbatasan seperti obat-oabatan
terlarang, peyelundupan senjata, atau perdaganagn perempuan dan anak, merupakan ancaman
terhadap kedaulatan nasional khususnya di bidang politik dan ekonomi. Didalam sistem
politik internasional, perbatasan merupakan pemisah antara satu negara dengan negara
lainnya yang memiliki sistem hukum dan politik yang berbeda, demikian pula dengan tingkat
kemajuan ekonomi dan budaya politiknya. Kejahatan transnasional, karena sifatnya yang
terlarang dan lintas batas, akan mengabaikan semua bentuk-bentuk kedaulatan negara dan
perbatasan tersebut. Atau dengan kata lain, kejahatan transnasional tidak lagi
memperhitungkan kedaulatan atau batas yurisdiksi suatu negara, wilayah, perbatasan, tetapi
lebih memperhatikan kelancaran arus barang, orang, dan perdagangan gelap yang
memberikan penghasilan uang pada mereka. Dalam bentuknya yang paling ekstrim,
kejahatan transnasional bukan hanya merupakan ancaman tetapi juga merupakan musuh bagi
suatu negara. Seperti misalnya, dalam upaya untuk mempertahankan kegiatan bisnisnya yang
illegal atau terlarang, pihak-pihak yang terikat dalam kejahatan transnasional itu akan
menggunakan kekuatan senjata yang dimilikinya untuk melawan aparat keamanan.
Lebih jauh lagi, kejahatan transnasional juga terkait dengan persoalan korupsi dan
pencucian uang dalam jumlah besar dalam upaya mempertahankan dan memelihara
kegiatannya yang terlarang. Sekali lagi, cara-cara seperti akan mengancam stabilitas dan
keamanan negara. Korupsi diantara para pejabat negara terutama diantara aparat penegak
hukum sudah pasti akan menciptakan ketidakjelasan dalam upaya penegakan hukum yang
pada gilirannya akan memperlemah negara tersebut secara politik, ekonomi dan sosial, dan
tentu saja akan mempengaruhi keamanan nasional karena akan mempengaruhi kondisi sosial
masyarakat. Demikian pula dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengontrol
terjadinya penyelundupan senjata, orang dan obat-obatan terlarang, akan sangat
membahayakan keamanan negara tersebut. Kerawanan perbatasan yang mudah ditembus oleh 4 Mely Cabalero-Anthony, “Challenging Change: Non Traditional Security, Democracy and Regionalism”, dalam Donald K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS Publishing, Singapura, 2009, hal. 193-194.
2
berbagai bentuk kejahatan transnasional seperti itu akan membuat sistem internasional yang
didasarkan pada perbatasan negara menjadi tidak penting. Atau dengan kata lain,
kompleksitas kegiatan organisasi kejahatan transnasional bukan hanya merusak keamanan
nasional tetapi juga sistem internasional.
Dengan perkembangannya yang sedemikian itu, kejahatan transnasional dewasa ini
dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Kejahatan
transnasional bukan hanya menjadi ancaman bagi keamanan negara tetapi juga dapat
mengganggu keharmonisan hubungan antara negara. Beberapa peristiwa yang terkait dengan
kondisi geografi setempat seperti hilangnya tapal batas, turut membantu suburnya
perkembangan kejahatan transnasional di perbatasan. Meskipun perbatasan telah dijaga
secara ketat tetapi dengan keterlibatan masyarakat di perbatasan membuat para penjahat
transnasional selalu mendapatkan jalur alternatif untuk melakukan aksinya. Karenanya
kejahatan transnasional telah berkembang menjadi ancaman terhadap keamanan nasional dan
stabilitas internasional dan dapat mengganggu masalah sosial di perbatasan dan
pembangunan ekonomi. Ada 4 alasan yang dapat menjelaskan tentang hal ini, yaitu5,
pertama, ruang lingkup kejahatan transnasional telah meningkat secara dramatis seiring
dengan berkembangnya globalisasi ekonomi dunia; kedua, semakin berkembangnya
globalisasi ekonomi telah turut menyuburkan berkembangnya bisnis kejahatan transnasional,
ketiga, kejahatan transnasional tumbuh dan berkembang berkat ketidakmampuan negara dan
organisasi intermasional dalam mengambil tindakan bersama untuk mengatasinya, keempat,
kejahatan transnasional biasanya lahir dari situasi dalam negeri yang penuh dengan konflik.
Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang terorganisir, melibatkan para pelaku
dan perencana di dalam dan luar negeri. Seperti yang dikatakan Phil Williams bahwa
kejahatan transnasional. “is a crime undertaken by an organization based in one state but
committed in several host countries, whose market conditions are favourable, and risk of
apprehension is low”.6 Ciri khusus kejahatan transnasional adalah lingkup kejahatannya
meliputi dua negara atau lebih, sehingga penanganannya selalu harus melibatkan negara lain.
Kejahatan ini menimbulkan kerugian sangat besar bagi negara, kelompok, bahkan individu.
Karena itu, hampir seluruh negara memandang perlu untuk selalu berkomunikasi dan saling
5 Monica Serrano, “Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?”, dalam Mats Berdal and Monica Serrano, eds.Lynne Rienner Publishier, 2002, hal. 2.6 Phil Williams, “Transnational Criminal Organizations and International Security,” Survival, 36, No. 1, Spring 1994, hal. 96.
3
tukar informasi, baik dalam taraf penyelidikan maupun lainnya dalam menemukan dan
menuntaskan kejahatan transnasional7.
Indonesia termasuk negara yang telah menjadi obyek kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional di tahun 2010 ini meningkat sekitar 10,46 persen. Data di Mabes
Polri menunjukkan untuk tahun 2009, jumlah kejahatan transnasional mencapai 17.511 kasus,
sedangkan di tahun 2010 meningkat menjadi 19.342 kasus atau meningkat 1.831 kasus.8
Berdasarkan data yang dimiliki Polri, untuk kasus trafficking atau people smuggling
misalnya, pada 2009 lalu terjadi 422 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun
2008 yang jumlahnya mencapai 230 kasus. Selain itu, penyelundupan senjata api (sen-pi)
juga mengalami kenaikan dari 16 kasus pada 2008 menjadi 25 kasus pada 2009 lalu. Ini
belum termasuk illegal logging, mining, dan fishing. Khusus untuk illegal logging, yang
berhasil diungkap selama 2009 mencapai 426 kasus dengan barang bukti berbagai batang
kayu berkualitas dan peralatan berat lainnya. Untuk illegal mining, kasus yang ditangani
selama 2009 mencapai 138 kasus.
Kasus-kasus berbentuk kejahatan transnasional ini tidak sulit ditemukan, terutama di
daerah-daerah terpencil dan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Sebagai
negara kepulauan, sedikitnya ada sembilan daerah atau wilayah yang berbatasan langsung
dengan negara-negara tetangga, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara,
Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan
Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk ribuan pulau terluar lainnya yang tidak berpenghuni.
Tak bisa dihindari, luasnya wilayah yang menjadi prioritas pengamanan dibandingkan
sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini personel keamanan yang bertugas menjaga
wilayah kerap kali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya.
Luasnya wilayah yang ditangani dan harus dijaga tak cukup hanya dengan penempatan
personel keamanan, baik TNI maupun Polri. Jumlah personel Polri yang hanya 400.000
personel tak akan mampu menangani seluruh luas wilayah Indonesia yang mencapai
191.9440 kilometer persegi atau sekitar 3.977 mil dengan 33 daerah provinsi yang memiliki
populasi mencapai 230 juta penduduk.
7 United Nations Office on Drugs and Crime, The Globalization of Crime: A Transnational Organized Crime Threat Assessment, United Nations Publication, Vienna, 2010, hal. 19.
8 “Kejahatan Transnasional Meningkat”, dalam
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/12/29/kejahatan-transnasional-meningkat”, di akses 31 Desember 2010.
4
B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian
Ratifikasi United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC)
oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 12 Januari 2009 melalui Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi) menunjukkan perwujudan komitmen Indonesia dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Sesuai
Pasal 38 ayat (1) UNCTOC, ketentuan-ketentuan dalam UNCTOC mulai berlaku dan
mengikat Indonesia 90 hari setelah penyerahan instrumen ratifikasi. Dengan penyerahan
instrumen tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan secara lebih luas kerjasama internasional
dalam hal melakukan upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas semua bentuk
kejahatan bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang
terorganisasi.
Masalah kejahatan yang berbentuk transnasional telah menjadi ancaman serius bagi
negara seperti Indonesia yang memiliki posisi geografis yang strategis bagi suburnya
pertumbuhan jenis-jenis kejahatan lintas batas tersebut. Karena itu, sebagai negara asal
maupun transit bagi operasi tindak kejahatan transnasional, Indonesia dituntut untuk terus
meningkatkan upaya-upaya dalam menekan kejahatan lintas batas tersebut melalui suatu
format kerjasama dengan negara-negara tetangga secara komprehensif. Tantangan utama
yang dihadapi dalam memberikan respon cepat terhadap jenis kejahatan seperti ini adalah
bagaimana membuat perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara kunci baik secara bilateral
maupun multilateral dan mengembangkan kerjasama teknis dalam pemberantasan terorisme,
bajak laut, pencucian uang, cyber crime, penyelundupan dan perdagangan manusia dan
senjata serta lalu lintas obat-obat terlarang (illicit drug/drug trafficking). Karena itu yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana diplomasi Indonesia dalam
mengatasi kejahatan Transnasional? Dengan permasalahan seperti yang yang menjadi
pertanyaan penelitian adalah:
1. Mengapa kejahatan transnasional menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan
masyarakat internasional?
2. Mengapa kejahatan transnasional bisa terjadi di Indonesia?
3. Bagaimana upaya Indonesia menggalang kerjasama Internasional dalam mengatasi
kejahatan transnasional tersebut?
5
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Latar belakang muncul kejahatan transnasional hingga menjadi ancaman terhadap
keamanan masyarakat internasional;
2. Kejahatan transnasional yang terjadi di Indonesia;
3. Upaya diplomasi Indonesia dalam mengatasi kejahatan transnasional mengingat
masih tingginya tingkat kejahatan transnasional di Indonesia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi anggota Dewan maupun
alat kelengkapan Dewan, yang membidangi masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan
transnasional.
D. Kerangka Pemikiran
Pada awalnya, satu-satunya faktor yang paling mendorong munculnya kejahatan
transnasional adalah uang dan keuntungan material lainnya.9 Akan tetapi, ketika globalisasi
membawa hubungan antarnegara berkembang nyaris tanpa batas, terminologi organisasi
kejahatan transnasional menjadi lebih sulit didefinisikan. Definisi yang dulu biasa digunakan
untuk merumuskan dasar hukum bagi perjanjian internasional kini sudah tidak dapat
digunakan lagi. Seperti misalnya kejahatan di dunia maya (cyber crime) yang juga
diklasifikasikan sebagai organisasi kejahatan transnasional hanya karena kegiatannya yang
lintas batas negara. Dalam konteks yang demikian, dapat dikatakan bahwa kejahatan
transnasional juga dapat dilakukan oleh individu, tidak harus oleh organisasi. Kesulitan
dalam pendefinisian kejahatan transnasional juga muncul ketika orang memasukkan
“kejahatan krah putih” (white-collar crime) sebagai kejahatan transnasional, dengan
pemikiran bahwa kejahatan seperti itu dilakukan melalui sebuah kegiatan binis yang legal
tetapi dapat menciptakan kejahatan yang bersifat lokal maupun transnasional. Karena itu,
pendefinisian kejahatan transnasional kemudian tergantung pada ide atau persepsi yang
berkembang pada saat itu.
Dalam ilmu hubungan internasional pun pemahaman tentang kejahatan transnasional
belum mempunyai keseragaman. Sebuah pendapat menyatakan bahwa didalam hubungan
9 Dr. Louise I. Shelley (et.al), Methods and Motives: Exploring Links between Transnational Organized Crime & International Terrorism, NCJRS, USA, 23 Juni 2005, hal. 14
6
internasional, kejahatan transnasional dipahami dalam 3 pendekatan, yaitu:10 realist, liberal
institutionalist, dan constructivist. Pendekatan realist melihat kejahatan transnasional sebagai
fenomena sosial yang dapat dilakukan siapa saja baik penjahat maupun bukan penjahat
denganancaman hukum yang sudah ditentukan pemerintah melalui perangkat perundang-
undangan yang dimilikinya. Kedua pelaku harus dihukum karena perbuatannya itu
menimbulkan kerugian. Pendekatan Liberal institutionalism lebih melihat kejahatan
transnasional dari sisi hukum dengan mendifiniskan kejahatan sebagai perbuatan apapun
yang menurut negara telah melanggar hukum. Sedangkan pendekatan constructivist lebih
menekankan pada interaksi individu dengan realitas yang ada di sekitarnya. Setiap interaksi
yang terjadi akan memiliki dampak pada pendefinisian tingkah laku seseorang apakah
tingkah laku itu normal atau menyimpang.
Dalam penelitian ini pemahaman tentang kejahatan transnasional akan mengacu pada
definisi yang diberikan PBB. PBB telah mendefinisikan kejahatan transnasional sebagai
“offences whose inception, prevention and/or direct or indirect effects involved more than
one country.”11 Sedangkan penggunaan istilah Transnational Organized Crimes (TOC)
merujuk pada UN Convention against Transnational Organized Crime12 atau yang juga
dikenal dengan Konvensi Palermo dan ketiga protokolnya yang menjadi acuan masyarakat
internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional. Kejahatan yang memenuhi
karakteristik TOC13 adalah dilakukan dilebih dari satu negara; dilakukan di satu negara
namun bagian penting seperti persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengendalian
dilakukan di negara lain; dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal yang
terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; dilaksanakan di satu negara tetapi
berdampak pada negara lain. Karena itu, kejahatan transnasional memiliki jangkauan
internasional karena pelakunya berasal dari berbagai negara dan melibatkan banyak negara.
10 Yuliya Zabielyna, “Transnational Organized Crime in International,” hal 12-13, dalam http://www.cejiss.org/assets/pdf/articles/vol3-1/Zabyelina-Transnational_Organized_Crime.pdf, diakses 1 November 2010.11 Gerhard O.W. Mueller, “Transnational Crime: Definitions and Concepts,” dalam Phil Williams and Dimitri Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, Vol. 4, No. 3 & 4 (Autumn/Winter 1998), hal. 18.12 Untuk mengetahui Konvensi Palermo dan ketiga Protokolnya, lihat http://www.unodc.org/palermo/convmain.html. 13 Pasal 3 ayat 2 TOC antara lain menyebutkan: “2. For the purpose of paragraph 1 of this article, an offence is transnational in nature if:
(a) It is committed in more than one State;(b) It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State;(c) It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; or(d) It is committed in one State but has substantial effects in another State”.
7
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations
Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang diadopsi pada tahun 2000
menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara
terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan manusia, penyelundupan migran
serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang
erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun
karakteristiknya sangat berbeda.14 Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak
dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir
dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait narkoba sebelum
disepakatinya UNTOC.
Di tingkat regional, negara-negara ASEAN juga telah merumuskan kesepakatan
dalam upaya memerangi kejahatan transnasional. Dalam Joint Communique of the Fourth
ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) yang dihasilkan di Bangkok,
8 Januari 2004, menyebutkan 8 jenis kejahatan transnasional dalam lingkup kerjasama
ASEAN yaitu: perdagangan gelap narkoba, perdagangan manusia, perampokan di laut,
penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme, kejahatan ekonomi internationaldan
kejahatan di dunia maya.15 Untuk kawasan Asia Tenggara, sebenarnya masih terdapat
berbagai kejahatan transnasional lainnya yang perlu ditangani secara bersama dalam
kerangka multilateral, seperti kejahatan pencurian dan penyelundupan obyek-obyek budaya,
perdagangan organ tubuh manusia, dan kejahatan di bidang lingkungan. Karena itu ketika
berlangsung KTT ASEAN ke-16 di Hanoi, 8-9 April 2010, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono secara khusus mengangkat isu kejahatan transnasional yang mendesak untuk
dilakukan kerjasama efektif pada tingkat regional. Adanya kesepakatan-kesepakatan
internasional ini menunjukkan bahwa kejahatan transnasinal telah menjadi masalah bersama
masyarakat internasional dan karenannya perlu ditanggulangi secara internasional pula.
Meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai konsep dan definisi atas beberapa
kejahatan tersebut, secara umum kejahatan ini merujuk secara luas kepada non-violent crime
yang pada umumnya mengakibatkan kerugian finansial. Semakin beragam dan meluasnya
tindak kejahatan lintas negara tersebut telah menarik perhatian dan mendorong negara-negara
14 Berbeda dengan teroris, kejahatan transnasional antara lain tidak mempunyai ideologi, struktur organisasi, berkelanjutan, menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, keanggotaannya terbatas. Untuk lengkapnya lihat, J.O. Finckenauer J.O.(2005) “ Problems of Definition: What Is Organized Crime?” Trends in Organized Crime, 2005, hal. 63-8315 Isi dekalarasi itu menyebutkan “3. We recognise the increasing trend of acts of terrorism and other forms of transnational crime, including illicit drug trafficking, arms smuggling, money laundering, sea piracy, international economic crime, cyber crime and trafficking in persons in the region”
8
di dunia melakukan kerjasama untuk menanggulangi kejahatan tersebut di tingkat bilateral,
regional dan multilateral. Kemajuan luar biasa dalam komunikasi, transportasi dan teknologi
telah membuat sebuah kejahatan dengan cepat berkembang menjadi transnasional atas dasar
kepentingan yang sama yaitu mencari keuntungan finansial dan material lainnya.
Organisasi kejahatan transnasional kini telah berkembang sebagai salah satu aktor non
negara yang juga perlu diperhatikan dengan seksama dalam hubungan internasional
kontemporer. Aktor ini secara luas digambarkan sebagai “consists of organizations that have
durability, hierarchy and involvement in a multiplicity of criminal activities”.16 Selain itu,
salah satu karakteristik utama lainnya dari organisasi ini adalah wilayah operasinya yang
bersifat trasnasional. Dalam kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir ini organisasi
kejahatan telah berkembang semakin luas, makin menyebar dalam bertindak, dan
jangkaunnya lebih transnasional. Tidak seperti terorisme, kejahatan transnasional melakukan
kegiatannya di negara yang lemah penegakkan hukumnya atau di negara yang kemampuan
birokrasi dapat diperalat.17 Karena itu kejahatan transnasional cenderung untuk aktif di
negara-negara yang memberi peluang besar pada mereka untuk beraksi dengan resiko yang
rendah.
Respon pemerintah negara terhadap kejahatan transnasional sejauh ini belum
meperlihatkan kesamaan pada tingkat internasional meskipun telah ada Konvensi PBB
tentang kejahatan transnasional. Kondisi ini terjadi karena tantangan yang dihadapi suatu
negara tidak ada yang sama atau identik di semua negara. Akan tetapi akhir-akhir ini telah
mulai terlihat adanya konvergensi dalam penanganan masalah kejahatan transnasional. Hal
ini terjadi karena ada beberapa negara demikian juga dengan beberapa organisasi
internasional yang telah berhasil mengkoordinasikan sikap yang harus mereka lakukan serta
masing-masing negara telah melengkapi diri dengan perangkat perundang-undangan yang
dapat menghukum setiap pelaku kejahatan transnasional di negaranya. Namun, diluar itu
semua upaya melawan kejahatan transnasional tetap merupakan pekerjaan yang tidak mudah
dilakukan. Penggunaan kekuatan bersenjata untuk mengatasi tantangan yang diberikan oleh
para pelaku kejahatan transnasional sejauh ini belum memberikan hasil seperti yang
diharapkan, sebab tidak mungkin petugas keamanan akan selalu berjaga-jaga di sepanjang
perbatasan.
16 Peter Reuter, Disorganized Crime: Illegal Markets and the Mafia, MIT Press, Cambridge, 1983, hal. 75.17 P. Williams ‘Transnational Organized Crime and the State’, dalam R. B. Hall and T. J. Biersteker (eds), The Emergence of Private Authority in Global Governance, Cambridge University Press, Cambridge, 2002. pp. 161-82.
9
Masalah terbesar dalam mengatasi kejahatan transnasional adalah adanya disparitas
atau kesenjangan antara pendekatan yang berbasis sistemik dengan mengandalkan perangkat
hukum dengan siapa yang harus memburu para pelaku tersebut.18 Perdebatan ini muncul
karena di satu sisi, fungsi dari kekuatan bersenjata dan kekuasaan negara dibatasi perbatasan
nasional. Di lain sisi, fungsi dari kejahatan transnasional berada dalam tataran regional atau
global, dimana ada negara yang lemah dalam memerangi kejahatan transnasional ini bahkan
cenderung memberikan perlindungan (safe havens) kepada pelaku kejahatan transnasional.
Pelaku kejahatan transnasional akan selalu memanfaatkan celah yang muncul dari globalisasi
secara maksimum. Dengan melihat kondisi yang demikian itu, kebijakan pemerintah terhadap
para pelaku kejahatan transnasional ini dapat dilakukan melalui dua cara, pertama dengan
memperkuat lingkungan di dalam negeri agar kebal dari kejahatan transnasional, kedua
adalah dengan menciptakan kerjasama dengan negara lain.
Kerjasama dengan negara lain dapat dibangun melalui sarana diplomasi yang dimiliki
setiap negara berdaulat. Diplomasi menurut Barry C. Hughes mempunyai tiga fungsi utama
yaitu: sebagai representasi, pelaporan, dan negosiasi.19 Representasi berarti bahwa pemerintah
suatu negara akan selalu mengkomunikasikan kebijakan politik luar negerinya agar negara
lain memahami apa yang menjadi perhatian dan tujuan dari politik luar negara bersangkutan.
Meskipun setiap negara secara normal memiliki diplomat untuk menjelaskan semuanya,
tetapi pemerintah yang bersangkutan tetap merasa perlu untuk memberikan penjelasan
langsung untuk menghindari kesalahpahaman. Keberadaan perwakilan diplomatik suatu
negara tidak pernah terlepas dari fungsi pelaporan yang dilakukan oleh dinas intelejennya.
Pelaporan ini bersifat rahasia karena menyangkut perkembangan terakhir dari negara yang
ditempatinya, baik itu menyangkut ekonomi, sosial, politik dan militer. Dari pelaporan ini
biasanya pemerintah suatu negara mengambil keputusan menyangkut hubungan kedua
negara. Negosiasi merupakan fungsi ketiga dari diplomasi dan menjadi yang terpenting
karena merupakan aktifitas utama seorang diplomat. Fungsi terpenting dari negosiasi ini
adalah mencapai kesepakatan antara dua atau lebih negara. Dalam negosiasi ini peran dan
kemampuan seorang diplomat menjadi kunci dari keberhasilan negosiasi karena terkait
dengan kemampuan persuasi. Karena itu sering dikatakan bahwa diplomasi merupakan
18 Anna Jonsson, “Combating Transnational Organized Crime: Technical and Legal Assistance”, dalam Frank Shanty and Pastit Paban Mishra (eds.), Organized Crime: From Trafficking to Terrorism, ABC-CLIO Inc., Santa Barbara, California, 2008, hal. 375.19 John T Rourke, International Politics on the World Stage, Second Edition, Dushkin Publishing Group, 1989, hal. 316-318.
10
kombinasi antara seni dan ketrampilan untuk mendapatkan kesamaan pendapat antara dua
pihak atau lebih yang memiliki posisi berbeda.
Diplomasi pada dasarnya merupakan diskusi atau proses perundingan yang dilakukan
secara verbal dengan tujuan untuk mempengaruhi atau mengubah posisi lawan bicara.
Diplomasi juga dapat berarti sebagai sebuah perundingan tentang suatu masalah yang sedang
dihadapi dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang dapat diterima oleh semua pihak.
Karena itu, diplomasi sering disebut sebagai seni karena setiap situasi yang dihadapi
memerlukan kemampuan dalam hal membujuk atau mempengaruhi namun pada saat yang
bersamaan juga harus bersikap tegas.20 Lebih luas lagi, diplomasi seringkali digunakan
sebagai upaya untuk memelihara komunikasi terbuka diantara pihak-pihak yang memiliki
berkepentingan yang berbeda dengan harapan bahwa perbedaan pandangan ataupun
perselisihan diantara kedua belah pihak dapat diselesaikan secara damai.
Didalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi dibidang
informasi dan komunikasi, diplomasi tidak lagi digunakan sebagai ujung tombak perundingan
dengan negara lain tetapi juga untuk menjelaskan kepentingan nasional ke luar negeri. Di
samping itu, diplomasi kini juga berfungsi untuk mengkomunikasikan apa yang terjadi di luar
negeri ke dalam negeri. Seperti masalah perubahan iklim saat ini yang ternyata mempunyai
hubungan dengan penebangan pohon secara besar-besaran di Indonesia. Sebaliknya isu
korupsi yang menjadi isu internasional kini diadopsi oleh pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki birokrasi di Indonesia agar bebas dari korupsi. Pendekatan yang bersifat
intermistik semacam ini menuntut diplomasi harus mampu menjelaskan kepada masyarakat
isu-isu yang berkembang di dalam negeri maupun yang di luar negeri secara seimbang sebab
baik isu yang berkembang di dalam negeri maupun isu internasional mempunyai saling
keterkaitan.
Sebagai sebuah proses perundingan yang bersifat formal, diplomasi yang dilakukan
pemerintah dapat berlangsung secara bilateral antara dua negara atau multilateral melibatkan
banyak negara, dan dapat berlangsung secara regional atau global melalui organisasi
internasional antar-pemerintah (IGO). Misalnya ketika pemerintah Indonesia dan Malaysia
membicarakan masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di Malaysia,
perundingan ini merupakan contoh diplomasi resmi yang dilakukan secara bilateral.
Sedangkan ketika negara-negara ASEAN berkumpul untuk membicarakan masalah asap di
kawasan Asia sebagai akibat kebakaran hutan di Indonesia, maka itu adalah contoh dari 20 Jennifer Aiken and Eric Brahm. "Diplomacy", Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005, dalam http://www.beyondintractability.org/essay/Diplomacy--Intro/>.
11
diplomasi resmi yang dilakukan di tingkat kawasan. Di samping itu, semua bentuk
perundingan resmi yang berada dibawah naungan PBB merupakan contoh diplomasi resmi
yang dilakukan secara global.
Secara tradisional diplomasi merupakan metode atau cara dalam melakukan hubungan
antarnegara melalui diskusi dan negosiasi yang dilakukan oleh kepala negara atau pejabat
yang berkompeten dalam rangka memajukan kepentingan nasional masing-masing negara.
Diplomasi yang dilakukan pemerintah, pada dasarnya merupakan proses komunikasi yang
dilakukan secara resmi dalam mengambil keputusan dengan lawan bicara.21 Namun sejalan
dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara-negara di dunia, diplomasi saat ini
tidak hanya melibatkan pemerintah saja tetapi juga telah melibatkan kalangan non
pemerintah.22 Karena itu dalam pandangan Melissen, diplomasi juga berarti “the mechanism
of representation, communication and negotiation through which states and other
international actors conduct their business”.23 Definisi yang diberikan oleh Melissen ini
memperlihatkan bahwa pelaku diplomasi bukan hanya monopoli negara atau pemerintah saja
tetapi juga bisa dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Pelibatan kalangan informal ini
dibutuhkan karena tidak selalu perundingan yang dilakukan oleh pemerintah berlangsung
secara efektif. Tidak jarang perundingan yang dilakukan pemerintah mengalami deadlock
karena masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dalam kondisi seperti ini,
dialog tidak resmi yang dilakukan kalangan informal akan sangat membantu terutama untuk
memelihara suasana dialogis diantara para pihak.
Namun semakin luasnya representasi dan partisipasi kelompok kepentingan yang
berbeda juga membawa resiko.24 Di satu sisi akan mendorong terjadinya demokratisasi proses
politik pada tingkat nasional dan global namun di lain sisi juga akan membuat diplomasi dan
hubungan internasional menjadi rawan terfragmentasi dan menjadi konflik terbuka karena
terlalu banyak negara dan aktor bukan negara yang harus berhadapan karena memiliki tujuan
yang berbeda.
II. Metodologi Penelitian
A. Metode Analisis Data
21 Susan Allen. "Track I Diplomacy." Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Juni 2003 <http://www.beyondintractability.org/essay/track1_diplomacy/>.22 Raymond Saner and Lichia Yiu, “International Economic Diplomacy: Mutations in Post-modern Times”, Netherland Institute of International Relations, makalah, tanpa tahun, hal.323 Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999, hal. xvi-xvii.24 Raymond Saner and Lichia Yiu, ibid.
12
Penelitian tentang kejahatan transnasional ini merupakan penelitian lapangan (field
research) dengan menekankan pada pengumpulan bahan, termasuk dengan melakukan
berbagai wawancara dengan informan yang relevan dan kompeten, dan melakukan berbagai
kegiatan observasi di lapangan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang kejahatan
transnasional dan permasalahan yang harus dihadapi dan diatasi melalui analisis data primer
dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui
wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data
sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat
penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas
permasalahan di atas.
B. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk
mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh
data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh
data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan pihak-pihak
yang terkait dan survei lapangan.
C. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Bali. Dipilihnya
Jakarta, karena merupakan pusat pemerintahan. Informan yang akan diwawancarai adalah
instansi pemerintah seperti Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Narkotika (BNN),
Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, serta sejumlah LSM
yang mempunyai perhatian terhadap kejahatan transnasional di Indonesia. Di Jakarta, tim
penelitian juga akan akan mengadakan Focal Group Discussion (FGD) dengan pakar yang
terkait dengan topik penelitian yang dijadwalkan akan diadakan pada bulan Maret dan
September 2011.
Dipilihnya Provinsi Kepulauan Riau karena merupakan salah satu daerah perbatasan
di Indonesia yang sangat rawan terhadap terjadinya tindak kejahatan transnasional. Kejahatan
transnasional di kawasan ini meliputi gugusan Kepulauan Riau dan pesisir Selat Malaka yang
berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Aksi-aksi kejahatan transnasional di
kawasan ini dikenal sebagai jaringan Riau. Sulitnya pengawasan kejahatan transnasional di
Kepulauan Riau karena banyaknya pelabuhan “tikus” di kawasan itu. Padahal pelabuhan
13
“tikus” itu menjadi gerbang masuk bagi kejahatan transnasional. Dengan kondisi geografis
Kepri yang berbatasan laut dengan Singapura dan Malaysia yang merupakan jalur laut
internasional yang padat, serta wilayah Batam, Bintan dan Karimun menjadi prioritas
pengawasan lantaran daerah tersebut merupakan kawasan free trade zone, maka Kepulauan
Riau menjadi kawasan yang strategis bagi kegiatan kejahatan transnasional. Penelitian di
Kepulauan Riau akan diadakan dari tanggal 8 Mei sampai 14 Mei 2011. Selama di Provinsi
Kepulauan Riau, wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait seperti Polda Kepri,
Kanwil Bea Cukai, Kanwil Dephukham, Kantor Pengawasan dan Pelayanan BC, Kejaksaan
Tinggi Kepri, BI Kepri, Dinas, Kehutanan, BNP, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, LSM
Gerakan Anti Trafficking, Pemda Kepri, KPP Pratama Tanjung Pinang, BP3A, Lembaga
Perlindungan Anak, BPPKB.
Penelitian di Provinsi Bali akan diadakan tanggal 3-9 Juli 2011. Dipilihanya provinsi
Bali sebagai obyek penelitian karena terkait dengan posisi provinsi ini sebagai salah satu
daerah tujuan wisata yang paling diminati oleh turis mancanegara. Dengan posisi seperti itu
para pelaku kejahatan akan selalu memanfaatkan Provinsi Bali sebagai transit atau daerah
operasi dari berbagai tindak kejahatan transnasonal, seperti penyelundupan barang, transaksi
narkoba, people smuggling, human trafficking, dan bentuk kejahatan lainnya. Peningkatan
pariwisata yang dibarengi dengan terbukanya transportasi global di provinsi ini, baik darat,
laut, maupun udara, sudah barang tentu akan bedampak terhadap peningkatan segala bentuk
gangguan kamtibmas yang mungkin akan terjadi. Selama di Provinsi Bali wawancara akan
dilaksanakan dengan pihak-pihak terkait seperti Pempro Bali, Dinas Kehutanan, Polda Bali,
BNP, Kanwil Dephukham, Kanwil BC, KPP BC, Lembaga Perlindungan Anak, BP3A,
BPPKB, Kejaksaan Tinggi, BI, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kanwil Pajak.
Wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan para informan di Jakarta,
Kepulauan Riau dan Bali, dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
Adapun rincian jadwal penelitian adalah sebagai berikut:
No Uraian Kegiatan Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Spt Okt
1 Studi pustaka & pengumpulan data sekunder Rͯ × × × × × × × ×2 Penyusunan Proposal Penelitian & instrumen
penelitian× × ×
3 FGD rancangan proposal ×4 FGD Hasil Penelitian ×5 Penelitian Lapangan × ×6 Pengumpulan dan pengolahan data × × × × ×7 Penyusunan draft laporan penelitian × × × ×8 Finalisasi laporan penelitian x x x
14
III. Organisasi Penelitian
Pengarah : Dra. Winantun Ningtyastiti, M.SiPenanggungjawab: Drs. Poltak Partogi nainggolan, MAKetua : Drs. Humphrey Wangke, M.SiWakil Ketua : Drs. Simela Viktor, M.SiSekretaris : Rizki Roza, S.IP, M.SiAnggota : Sita Hidriyah, S.IP, M.Si Marfuatul Latifah, SH, LLM Niken Paramita, SE, M.Ak
Venty Eka Satya A.Md., SE, M,SiSekretariat : Sutrisno, Panji dan Musbiyatun
IV. Anggaran penelitian
Anggaran penelitian didasarkan pada Standar Biaya khusus (SBK) bidang kajian/penelitian kelompok. Indikator keluaran dari penelitian ini adalah tersusunnya laporan hasil penelitian. Rincian anggaran penelitian yang dibutuhkan dalam rangka biaya perjalanan dinas dan biaya operasional tercantum dalam lampiran.
Daftar Pustaka
15
Anna Jonsson, “Combating Transnational Organized Crime: Technical and Legal Assistance”, dalam Frank Shanty and Pastit Paban Mishra (eds.), Organized Crime: From Trafficking to Terrorism, ABC-CLIO Inc., Santa Barbara, California, 2008.
Peng Wang dan Jingyi Wang, “Transnational Crime: Its Containment through International Cooperation”, Asian Social Science, Vol. 5, No. 11, 2009.
“Transnational Crime: A Threat to International Peace and Security”, dalam http://www.pctc.gov.ph/updates/tcthreat.htm, diakses 25 Januari 2008.
Alan Dupont, “Transnational Crime, Drugs, and Security in East Asia,” Asian Survey, Vol..XXXIX, No.3, Mei-Juni 1999.
Mely Cabalero-Anthony, “Challenging Change: Non Traditional Security, Democracy and Regionalism”, dalam Donald K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS Publishing, Singapura, 2009.
Mats Berdal and Monica Serrano, eds., “Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?”, , Lynne Rienner Publishier, 2002.
Phil Williams, “Transnational Criminal Organizations and International Security,” Survival, 36, No. 1, Spring 1994.
United Nations Office on Drugs and Crime, The Globalization of Crime: A Transnational Organized Crime Threat Assessment, United Nations Publication, Vienna, 2010.
Kejahatan Transnasional Meningkat”, dalam http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/12/29/kejahatan-transnasional-meningkat”, di akses 31 Desember 2010.
Dr. Louise I. Shelley (et.al), Methods and Motives: Exploring Links between Transnational Organized Crime & International Terrorism, NCJRS, USA, 23 Juni 2005.
Yuliya Zabielyna, “Transnational Organized Crime in International,” hal 12-13, dalam http://www.cejiss.org/assets/pdf/articles/vol3-1/Zabyelina-Transnational_Organized_Crime.pdf, diakses 1 November 2010.
Gerhard O.W. Mueller, “Transnational Crime: Definitions and Concepts,” dalam Phil Williams and Dimitri Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, Vol. 4, No. 3 & 4 (Autumn/Winter) 1998.
Konvensi Palermo dan ketiga Protokolnya, lihat http://www.unodc.org/palermo/convmain.html.
J.O. Finckenauer J.O.(2005) “ Problems of Definition: What Is Organized Crime?” Trends in Organized Crime, 2005.
Peter Reuter, Disorganized Crime: Illegal Markets and the Mafia, MIT Press, Cambridge, 1983.
P. Williams ‘Transnational Organized Crime and the State’, dalam R. B. Hall and T. J. Biersteker (eds), The Emergence of Private Authority in Global Governance, Cambridge University Press, Cambridge, 2002.
Jennifer Aiken and Eric Brahm. "Diplomacy", Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005, dalam http://www.beyondintractability.org/essay/Diplomacy--Intro/.
Susan Allen. "Track I Diplomacy." Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Juni 2003, dalam http://www.beyondintractability.org/essay/track1_diplomacy>.
John T Rourke, International Politics on the World Stage, Second Edition, Dushkin Publishing Group, 1989, hal. 316-318.
Transnational organized crime: an imminent threat to the nation-state?(Transcending National Boundaries) dalam http://www.highbeam.com/doc/1G1-16714046.html. Diakses 25 Januari 2011.
16
Ralf Emmers, “Comprehensive Security and Resilience in South East Asia: ASEAN’S Approach to Terrorism and Sea Piracy”, Working Paper No. 132, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura, 10 Juli 2007, dalam http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP132.pdf
Panduan Pertanyaan:
A. Umum
1. Mengapa di daerah ini kegiatan kejahatan transnasional sering terjadi?2. Bagaimana dampak kegiatan kejahatan transnasional di daerah ini?3. Apa upaya yang dilakukan daerah ini dalam mengatasi kejahatan transnasional? 4. Apakah kerjasama Indonesia dengan negara-negara tetangga untuk mengatasi kejahatan
transnasional ini telah cukup efektif?5. Apakah kejahatan transnasional ini berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di
daerah ini?6. Dari mana saja pelaku kejahatan transnasional di daerah ini?7. Apakah pemerintah Indonesia telah cukup mengantisipasi kegiatan kejahatan transnasional
di daerah anda?8. Menurut anda, bagaimana seharusnya upaya yang dilakukan Indonesia untuk mengatasi
kejahatan transnasional di daerah perbatasan?
B. Kejahatan Transnasional dan Penegakkan Hukum
1. Menurut anda, apakah peraturan hukum yang ada telah cukup sebagai pedoman dalam upaya pencegahan dan penanggulangan Kejahatan Transnasional?
2. Apa kendala dalam penerapan peraturan hukum tersebut?3. Menurut anda, apakah masyarakat sudah cukup mengenal Kejahatan Transnasional baik
dari jenis, modus operandi, bahaya yang ditimbulkan, serta upaya apa saja yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan Kejahatan Transnasional (melek Kejahatan Transnasional)
4. Dalam penerapan hukum pidana terdapat tindakan Penal maupun tindakan non-penal dalam upaya menghadapi tindak pidana. Perlukan digunakan upaya non-penal seperti penyuluhan mengenai bahaya kejahatan transnasional, kebijakan yang berorientasi pada penyediaan lapangan kerja sehingga angka kemiskinan dapat dikurangi, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan Transnasional.
C. Penyelundupan Barang
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan banyaknya aktifitas penyelundupan di daerah ini?
2. Berapa angka penyelundupan barang baik yang masuk maupun keluar yang terdata setiap tahunnya di daerah ini?
3. Kelompok barang apa saja yang paling banyak diselundupkan?4. Apa tindakan yang dilakukan pemda dalam mencegah terjadinya penyelundupan barang?5. Berapa besar kerugian yang dapat diperkirakan akibat aktifitas penyelundupan barang
tersebut setiap tahunnya?6. Apa saja dampak sosial dari aktifitas penyelundupan barang, baik yang masuk maupun
yang keluar?
17
D. Penyelundupan Limbah B3
1. Dinas/badan apa yang diberikan tanggung jawab dalam mengelola limbah B3 di tingkat Propinsi?
2. Apakah terdapat peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan limbah B3?3. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengelola limbah B3 di
tingkat propinsi?a) Pengawasanb) Pemberian izin
4. Dinas/badan/pihak apa yang dilibatkan dalam pengelolaan limbah B3?5. Bagaimana pendapat pemerintah daerah tentang wewenang daerah dalam mengimpor
limbah/sampah dalam rangka pemenuhan bahan baku sektor industri?6. Apakah kegiatan mengimpor limbah/sampah pernah atau rutin terjadi di daerah anda?7. Bagaimana pendapat pemerintah daerah tentang wewenang daerah dalam mengimpor
limbah B3 dengan tujuan menyediakan jasa pengolahan/pengurugan/pemanfaatan limbah B3?
8. Apakah pemerintah daerah pernah mendapatkan penawaran dari pihak asing (luar negeri) untuk menerima limbah B3 (impor) dengan imbalan tertentu?
9. Apakah kegiatan mengimpor limbah B3 pernah terjadi di daerah anda?10. Apabila pernah, modus apa yang biasanya digunakan?
a) Mencampurkan limbah B3 dengan bahan lain (sampah kertas, skrap, dll)b) Memalsukan dokumen barangc) Limbah B3 diimpor secara legald) lainnya…
11. Apabila pernah, pengolahan/pemanfaatan apa yang dilakukan terhadap limbah B3 yang di impor?
12. Tindakan pencegahan apa yang dilakukan untuk menghindari penyeludupan limbah B3?
E. Indonesia dan Kejahatan Transnasional
1. Bagaimana perkembangan kejahatan transnasional dalam tahun-tahun terakhir, khususnya di kawasan Asia Tenggara? Adakah kecenderungan meningkat?
2. Bagaimana perkembangan kejahatan transnasional di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir? Adakah kecenderungan meningkat?
3. Apa faktor eksternal dan internal yang mendorong terjadinya kejahatan transnasional di Indonesia?
4. Bagaimana modus operandi dari setiap kejahatan transnasional yang terjadi di Indonesia?5. Bagaimana juga dengan kejahatan transnasional yang terjadi di wilayah perbatasan
Indonesia dengan negara-negara tetangga? Kejahatan transnasional apa yang sering terjadi? Adakah kecenderungan meningkat?
6. Sejauhmana pengaruh kondisi wilayah perbatasan terhadap terjadinya kejahatan transnasional?
7. Upaya-upaya apa saja yang telah dan akan dilakukan oleh Indonesia untuk mengatasi kejahatan transnasional? Adakah kebijakan khusus dan terpadu untuk mengatasi kejahatan transnasional?
8. Pihak-pihak mana saja yang harus dilibatkan dalam penanganan kejahatan transnasional di Indonesia? Sejauhmana pelaksanaan koordinasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan kejahatan transnasional tersebut?
18
9. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Indonesia dalam mengatasi kejahatan transnasional?
10. Bagaimana kerja sama internasional yang dilakukan Indonesia, khususnya dengan negara-negara tetangga di kawasan dalam mengatasi kejahatan transnasional? Apakah kerja sama tersebut berjalan dengan baik? Kalau masih ada kekuarangan atau kendala, kekurangan atau kendala apa yang masih harus dibenahi?
11. Terkait dengan kejahatan transnasional di wilayah perbatasan, upaya-upaya apa saja yang telah dan akan terus dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara tetangga dalam mengatasi kejahatan transnasional?
12. Kesepakatan-kesepakatan apa saja yang pernah dibuat oleh Indonesia dan negara-negara tetangga untuk mengatasi kejahatan transnasional?
13. Bagaimana peran Kementerian Luar Negeri selama ini dalam mengatasi kejahatan transnasional? Apakah perlu ada kesepakatan-kesepakatan baru diantara negara-negara tetangga untuk meningkatkan kerja sama dalam mengatasi kejahatan transnasional?
F. Koordinasi Antar Pemerintah
1. Bagaimana bentuk koordinasi lintas instansi dalam memerangi korupsi, terutama yang bersifat lintas negara? Apakah sudah dilaksanakan secara efektif?
2. Apakah koordinasi tersebut telah mencapai sasaran yang diinginkan? Seberapa luas lingkup dari koordinasi tersebut?
3. Apakah kendala yang dihadapi dalam menghadapi tugas pemberantasan korupsi?4. Bagaimana bentuk kendala tersebut?5. Apa upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kendala-kendala tersebut?6. Bagaimana harapan ke depan dalam melakukan koordinasi lintas instansi agar tercipta
sinergi yang baik?7. Bagaimana bentuk peraturan yang menjadi dasar hukum agar lintas instansi menjadi
lebih efektif?
19