Proposal penelitian evaluasi kinerja struktur

106
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia terletak di pertemuan antara plat tektonik Australia, Eurasia, Philippines dan Pasific yang bertemu di kepulauan Maluku. Hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi sismotektonik di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, maka sebagian besar wilayah Indonesia terutama yang padat penghuni adalah rawan gempa. Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia yang terletak pada lintasan patahan yang memang rawan gempa. Menurut Kepala Badan Geologi Bambang Dwiyanto, wilayah Yogyakarta terletak di atas patahan (sesar) yang masih aktif. Pergeseran sesar inilah yang berpotensi menimbulkan gempa bumi. Selain pulau Jawa merupakan zona subduksi. Kondisi tanah di wilayah Yogyakarta terdiri dari endapan kuarter berupa endapan alluvial, endapan alluvial pantai, endapan batu gamping, serta endapan gunung api yang bersifat urai lepas. Endapan itu belum terkonsolidasi serta memperkuat efek goncangan dan getaran gempa bumi (sinar Harapan, 2006) Akibatnya, ketika terjadi gempa bumi potensi terjadinya kerusakan bangunan cukup tinggi dan mengakibatkan presentasi jumlah korban besar. Peristiwa gempa di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu merupakan peristiwa yang bersejarah bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Menurut data dari Dinas Kimpraswil tercatat per tanggal 14 Desember 2007, gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta menyebabkan banyaknya korban jiwa dan harta benda. Lebih dari 5.048 orang tewas, luka berat lebih dari 19.000 orang, cacat tetap lebih dari 1.500 orang, 296 orang diantaranya lumpuh. Lebih dari 400.000 rumah rusak, 176.000 rumah roboh total/rusak berat. Bangunan dan fasilitas pendidikan tercatat 2.375 unit bangunan rusak, 45 unit kantor pemerintah rusak berat/roboh dan beberapa fasilitas umum, tempat wisata serta tempat usaha masyarakat mengalami kerusakan (Dinas Kimpraswil, 2007

description

Proposal penelitian evaluasi kinerja struktur dengan metode pushover analisis

Transcript of Proposal penelitian evaluasi kinerja struktur

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

    Indonesia terletak di pertemuan antara plat tektonik Australia, Eurasia,

    Philippines dan Pasific yang bertemu di kepulauan Maluku. Hal tersebut

    berpengaruh terhadap kondisi sismotektonik di Indonesia. Dengan kondisi tersebut,

    maka sebagian besar wilayah Indonesia terutama yang padat penghuni adalah

    rawan gempa. Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia yang

    terletak pada lintasan patahan yang memang rawan gempa. Menurut Kepala Badan

    Geologi Bambang Dwiyanto, wilayah Yogyakarta terletak di atas patahan (sesar)

    yang masih aktif. Pergeseran sesar inilah yang berpotensi menimbulkan gempa

    bumi. Selain pulau Jawa merupakan zona subduksi. Kondisi tanah di wilayah

    Yogyakarta terdiri dari endapan kuarter berupa endapan alluvial, endapan alluvial

    pantai, endapan batu gamping, serta endapan gunung api yang bersifat urai lepas.

    Endapan itu belum terkonsolidasi serta memperkuat efek goncangan dan getaran

    gempa bumi (sinar Harapan, 2006) Akibatnya, ketika terjadi gempa bumi potensi

    terjadinya kerusakan bangunan cukup tinggi dan mengakibatkan presentasi jumlah

    korban besar.

    Peristiwa gempa di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006

    yang lalu merupakan peristiwa yang bersejarah bagi masyarakat Indonesia,

    terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Menurut data dari Dinas Kimpraswil tercatat

    per tanggal 14 Desember 2007, gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta menyebabkan

    banyaknya korban jiwa dan harta benda. Lebih dari 5.048 orang tewas, luka berat

    lebih dari 19.000 orang, cacat tetap lebih dari 1.500 orang, 296 orang diantaranya

    lumpuh. Lebih dari 400.000 rumah rusak, 176.000 rumah roboh total/rusak berat.

    Bangunan dan fasilitas pendidikan tercatat 2.375 unit bangunan rusak, 45 unit

    kantor pemerintah rusak berat/roboh dan beberapa fasilitas umum, tempat wisata

    serta tempat usaha masyarakat mengalami kerusakan (Dinas Kimpraswil, 2007

  • 2

    dalam Bawono, 2009). Begitu juga yang terjadi pada gempa Padang tanggal 30

    September 2009, bahwa bangunan yang rusak akibat gempa bukan hanya bangunan

    nonengineered saja melainkan bangunan bangunan engineered seperti gedung

    perkantoran, gedung pendidikan, bahkan gedung rumah sakit atau gedung fasilitas

    kesehatan lainnya. Berikut adalah contoh bangunan bangunan runtuh dibeberapa

    kota akibat gempa :

    Gambar 1.1 Bangunan fasilitas pendidikan yang runtuh akibat gempa

    Yogyakarta 2006.

    Gambar 1.2 Bangunan fasilitas umum yang runtuh akibat gempa

    Padang 2009.

  • 3

    Gambar 1.3 Bangunan Masjid yang runtuh akibat gempa

    Aceh 2013.

    Gambar 1.4 Bangunan Masjid yang runtuh akibat gempa

    Banyumas 2014.

    Bangunan - bangunan gedung mempunyai factor keutamaan yang

    bergantung pada tingkatan penting atau tidaknya suatu bangunan. Pada saat itu telah

    berkembang suatu konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based

    design) yang merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Ditinjau

    dari fungsinya, suatu bangunan akan mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda

    untuk fungsi yang berbeda dengan parameter tingkat kinerja atau level of

  • 4

    performance bangunan setelah terkena terkena gempa. Dengan berpedoman pada

    performance based design, maka bangunan dievaluasi sesuai dengan tingkatan

    kinerja pada bangunan tersebut.

    Menurut FEMA 302 (1997) berdasarkan fungsi bangunan dapat

    digolongkan menjadi tiga kelompok kegunaan atau seismic use group, yaitu

    kelompok III, II, dan I. Kelompok kegunaan III, yaitu bangunan bangunan dengan

    fasilistas penting (lifeline facilities) yang sangat dibutuhkan pada masa tanggap

    darurat sesaat setelah terjadi gempa, atau bangunan - bangunan yang berisi bahan

    bahan berbahaya dengan jumlah yang besar. Bangunan bangunan yang termasuk

    dalam daftar lifeline facilities untuk prioritas dilakukan evaluasi terhadap bahaya

    gempa adalah bangunan yang digunakan untuk rumah sakit, pemadam kebakaran,

    gedung markas besar polisi, pusat siaga tanggap darurat, pusat pembangkit listrik,

    hangar pesawat, pusat komunikasi, dan fasilitas pengolahan air minum. Kelompok

    kegunaan III ini harus memiliki tingkat kinerja fully operational yaitu harus dapat

    beroperasi secara penuh setelah terjadi gempa. Kelompok kegunaan II memiliki

    tingkat kinerja immediate occupancy , yaitu harus dapat tetap beroperasi walaupun

    tidak secara penuh, kerusakan struktur bangunan ringan, sehingga aman untuk

    langsung di huni kembali, antara lain adalah gedung pendidikan, penjara,

    perkantoran, pusat perawatan dll. Kelompok kegunaan I, yaitu bangunan yang tidak

    termasuk pada kelompok kegunaan III dan II. Kelompok kegunaan I memiliki

    tingkat kinerja life safety dan collapse prevention setelah terjadi gempa.

    Dari hasil tinjauan lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar

    bangunan-bangunan nonengineered dan engineered rusak berat dan runtuh karena

    bangunan-bangunan tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi (Satyarno,

    2007). Secara umum kerentanan bangunan ditentukan oleh kekuatan, kekakuan,

    redaman, dan daktilitas yang dimiliki (FEMA 172, 1992), yang secara dominan

    ditentukan oleh kualitas bahan, kekuatan yang disediakan, kualitas pendetailan

    struktur, dan konfigurasi bangunannya (Satyarno, 2010).

    Kerentanan bangunan juga dipengaruhi karena desain spektra bangunan

    tersebut tidak memenuhi peraturan yang terbaru, biasanya ini terjadi pada bangunan

    bangunan lama karena pada saat melakukan desain menggunakan peraturan lama

    atau pada saat itu. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kinerja struktur

  • 5

    khususnya pada bangunan-bangunan lama sebelum tahun terbitnya peraturan

    terbaru 2012, banyak terdapat perbedaan antara peraturan 2002 dengan peraturan

    2012. Sehingga bangunan lama yang tidak memenuhi peraturan terbaru 2012 dan

    dari evaluasi kegempaan secara rinci diketahui bahwa bangunan tersebut

    mempunyai kerentanan karena tidak dapat memenuhi kinerja yang disyaratkan

    sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya, maka perlu dilakukan suatu

    tindakan dalam rangka mitigasi (Satyarno, 2010). Beberapa macam pilihan

    tindakan yang dapat dilakukan pada bangunan yang rentan karena tidak bisa

    memenuhi kinerja yang diharapkan apabila dilanda gempa. Tindakan yang pertama

    adalah melakukan perbaikan atau retrofitting, yang kedua merubah fungsi

    bangunan dari kelompok bangunan III menjadi II atau I. Jika bangunan tidak

    memenuhi bahkan kelompok kegunaan I dan tidak dilakukan perbaikan karena

    dirasa tidak ekonomis maka gedun tersebut sebaiknya diruntuhkan atau demolished

    untuk digani dengan yang baru (Satyarno, 2010). Jika hal ini dilakukan pada setiap

    bangunan yang ada di Yogyakarta khususnya maka seluruh bangunan akan menjadi

    jelas status kerentanannya khususnya bangunan-bangunan yang penting yang

    termasuk dalam kelompok kegunaan III.

    Perbandingan spektra desain SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002 mana

    spektra desain SNI 2012 diambil berdasarkan perangkat lunak desain spektra

    Indonesia, yang dapat dilihat pada situs http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain

    _spektra_indonesia_2011/. Dalam SNI Gempa 2002, walaupun notasi Sds dan Sd1

    tidak dikenal, diambil padanan: a) bagian datar nilai C pada SNI Gempa 2002

    sebagai Sds, dan b) angka pada bagian lengkung di T = 1 detik pada SNI Gempa

    2002 sebagai nilai Sd1. Dengan pendekatan padanan ini maka khusus untuk tanah

    lunak dalam SNI 2002 nilai SDS akan sama dengan SD1. Perbandingan spektra

    desain dilakukan untuk 15 kota besar di Indonesia untuk kondisi klas situs SC

    (tanah keras), SD (tanah sedang), SE (tanah lunak) dibandingkan dalam suatu grafik

    untuk melihat peubahannya (Arfiadi dan Satyarno, 2013).

  • 6

    Gambar 1.5 Perbandingan spektral percepatan desain pada periode

    pendek untuk tanah keras (Arfiadi dan Satyarno, 2010).

    Untuk klas situs SC (tanah keras) nilai-nilai SDS untuk 15 kota besar

    ditunjukkan pada Gambar 1.1. Tampak bahwa ada kota-kota yang, dengan

    berlakunya SNI Gempa 2012, nilai spectra respons percepatan pada perioda

    pendek SDS bertambah besar ada pula yang menjadi kecil. Nilai SDS SNI Gempa

    2012 untuk 10 kota yang lain lebih besar dari nilai SDS SNI Gempa 2002.

    Pertambahan nilai yang terbesar terjadi untuk kota Semarang dan Palu yang

    bertambah menjadi 2,18 kali nilai pada SNI Gempa 2002. Setelah itu kota

    Yogyakarta, Surabaya dan Bandung naik berturut-turut menjadi 1,79; 1,68 dan 1,64

    kali. Kota lainnya yaitu Banda Aceh, Jayapura, Padang, Surakarta dan Jakarta naik

    berturut-turut menjadi 1,5; 1,43; 1,28; 1,22 dan 1,14 kali SDS SNI Gempa 2002

    (Arfiadi dan Satyarno, 2013).

    Berikut adalah peta gempa maksimum menurut SNI 2012 yang

    dipertimbangkan risiko tertarget (MCER) parameter-parameter gerak tanah Ss, dan

    S1, kelas situs SB. Peta Gempa SNI 2012 ini lebih rinci dan detail untuk setiap

    lokasi.

  • 7

    Gambar 1.2 Parameter nilai percepatan respon spektral gempa MCER risiko-

    tertarget pada periode pendek teredam 5 persen.

    Dalam penelitian ini kami menggunakan sample gedung perkuliahan di

    salah satu Universitas Swasta Yogyakarta. Spektrum respons yang dimiliki pada

    lokasi objek ini setelah kita memasukkan koordinat lokasi objek penelitian pada

    http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/ adalah sebagai

    berikut :

    Gambar 1.3 Respons spektrum lokasi objek penelitian (sampel gedung

    perkuliahan disalah satu Universitas Swasta Yogyakarta)

  • 8

    Gedung ini didesain menggunakan peraturan SNI 2002 yang menetapkan bahwa

    gedung pendidikan masuk dalam kelompok kegunaan II atau kategori resiko

    immediate occupancy, yaitu tingkat kinerja bangunan-bangunan kelompok

    kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa tetap beroperasi walaupun tidak

    secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada kerusakan sebagian yang terjadi pada

    bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta arsitektural dengan kerusakan struktur

    bangunan ringan sehingga aman untuk langsung dihuni kembali Tingkat kinerja

    bangunan-bangunan kelompok kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa

    tetap beroperasi walaupun tidak secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada

    kerusakan sebagian yang terjadi pada bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta

    arsitektural dengan kerusakan struktur bangunan ringan sehingga aman untuk

    langsung dihuni kembali. Secara struktural bangunan-bangunan kelompok

    kegunaan II seharusnya mempunyai respon plastis yang kecil.

    Kerusakankerusakan yang terjadi dapat segera diperbaiki agar bangunan dapat

    kembali beroperasi secara penuh (FEMA 302, 1997). Pada permasalahan ini

    gedung akan dievaluasi kembali secara struktural menggunakan peraturan SNI

    2012 kemudian membandingkan antara keduanya apakah desain level kinerja pada

    gedung tersebut masih memenuhi desain level kinerja bangunan dengan

    menggunakan peraturan SNI 2012, yaitu kelompok kegunaan IV atau kategori

    resiko fully operational yang mengandung pengertian harus bisa tetap beroperasi

    secara penuh setelah terjadi gempa, yaitu tidak ada kerusakan yang terjadi pada

    bagian struktur, mekanikal, elektrikal, serta arsitektural bangunan. Secara struktural

    bangunan-bangunan kelompok kegunaan IV seharusnya mempunyai respon elastik

    pada saat terjadi gempa dan bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitekturalnya

    dirancang sesuai dengan persyaratan agar tetap operasional. Level kinerja

    berdasarkan kelompok kegunaannya atau seismic use group menurut SNI 2012

    dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini.

  • 9

    Tabel 1.1 Kategori risiko bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa

  • 10

    1.2 RUMUSAN MASALAH

    Sesuai dengan fungsi bangunan yang termasuk kategori fully operational

    atau kelompok kegunaan IV, akan dilakukan evaluasi terhadap struktur bangunan

    sampel gedung perkuliahan di salah satu Universitas Swasta Yogyakarta :

    1. Bagaimana hasil evaluasi secara rapid visual screening pada bangunan sesuai

    dengan FEMA 154 dan FEMA 310?

    2. Apakah gedung ini mampu memenuhi level kinerja fully operational sesuai

    dengan kategori resiko pada peraturan SNI 1726 2012?

    3. Dimana prediksi letak kerusakan yang dapat terjadi pada struktur serta

    alternatif tindakan manakah yang paling tepat yang akan dipilih untuk kondisi

    kerusakan struktur pada gedung ini?

    4. Apakah penelitian ini bisa dijadikan langkah mitigasi bencana yang

    diterapkan pada setiap bangunan tua di Yogyakarta?

    1.3 TUJUAN PENELITIAN

    Tujuan dari penelitian diuraikan sebagai berikut ini :

    1. Evaluasi struktur bangunan dengan menggunakan (RVS) Rapid Visual

    Screening sesuai FEMA 154 dan FEMA 310 pada kondisi existing terhadap

    bahaya gempa.

    2. Mengetahui apakah setelah terkena gempa bumi gedung perkuliahan ini

    memenuhi level kinerja bangunan menurut kategori resiko pada peraturan

    SNI 1726 2012.

    3. Mengetahui daerah yang mengalami sendi plastis, serta alternatif tindakan

    yang paling tepat agar bangunan tetap memenuhi level kinerja yang

    disyaratkan sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya.

    4. Menetapkan konsep langkah mitigasi bencana yang diterapkan pada setiap

    bangunan tua di Yogyakarta dengan menggunakan acuan penelitian ini.

  • 11

    1.4 BATASAN PENELITIAN

    Untuk memberikan arah dalam melaksanakan penelitian dan agar tidak

    terjadi pengembangan masalah menjadi lebih komplek, maka dilakukan

    pembatasan pembatasan sebagai berikut ini :

    1. Bangunan yang diteliti adalah sampel gedung perkuliahan disalah satu

    Universitas Swasta Yogyakarta yang beralamat di Condongcatur, Depok,

    Sleman, Yogyakarta.

    2. Komponen yang akan dievaluasi pada RVS adalah komponen struktur dan

    sebagian komponen non-struktur. Kemudian pada analisis linier dan non-

    linier hanya akan dievaluasi pada bagian komponen struktur saja.

    3. Penelitian difokuskan untuk evaluasi kinerja pada kondsisi existing

    terhadap gempa bumi. Yaitu demand capacity ratio (DCR), drift ratio dan

    level performance bangunan.

    4. Pondasi dan kondisi tanah tidak dievaluasi.

    5. Denah bangunan disesuaikan denah structural drawing pada gedung sampel

    perkuliahan yang menjadi objek penelitian.

    6. Elemen struktur mutu bangunan meliputi :

    a. mutu Beton pada kolom dan balok (fc) = 20 Mpa,

    b. mutu Beton pada pelat (fc) = 25 Mpa, dan

    c. mutu baja tulangan (fy) = 400 MPa.

    7. Analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

    a. Gedung dianalisis secara 3 dimensi.

    b. Tumpuan yang digunakan dalam pemodelan numerik adalah sendi.

    c. Pemodelan numerik dibuat sebagai open frame.

    d. Balok dan kolom diasumsikan sebagai frame

    e. Plat lantai dimodelkan shell.

    f. Pembebanan yang digunakan dalam analisis sesuai pada PPPURG 1987

    g. Tidak dilakukan peninjauan redistribusi momen.

    h. Daktilitas bangunan dianggap elastik, dengan faktor reduksi gempa (R)

    = 8.

    i. Jumlah tingkat yang dianalisis adalah 5 tingkat.

    j. Gaya lateral yang ditinjau adalah beban gempa horizontal.

  • 12

    k. Pengaruh beban angin hanya diperhitungkan pada atap.

    l. Analisis linier (Tier 2) dan non linier (Tier 3) struktur menggunakan

    program SAP2000 versi 14.

    m. Analisis yang digunakan pada Tier 2 adalah analisis linier dengan level

    pembebanan yang digunakan dalam analisis adalah elastik dan jenis

    perilaku material bersifat linier.

    n. Analisis linier yang dilakukan dalam evaluasi adalah analisis linier

    statik dan jenis perilaku material bersifat linier.

    o. Analisis yang digunakan pada Tier 3 adalah analisis non linier.

    p. Analisis non linier yang dilakukan dalam evaluasi adalah analisis non

    linier statik (pushover analysis).

    q. Lokasi gedung di wilayah gempa 4 jenis tanah sedang (sesuai SNI 03-

    1726-2012).

    r. Analisis statik pushover yang digunakan sesuai prosedur pada ATC-40

    dan FEMA 356 yang telah built-in dalam program SAP2000.

    s. Analisis momen- curvature balok dan kolom sebagai input dalam

    properti sendi untuk mendefinisikan perilaku non linier dilakukan

    secara auto pada program SAP2000.

    t. Analisis kapasitas momen penampang balok dan kolom menggunakan

    program Aplikasi rekayasa konstruksi dengan visual basic 6.0

    Analisis dan Desain Penampang Beton Bertulang sesuai SNI 03-2847-

    2013.

    8. Peraturan yang digunakan adalah sebagai berikut.

    a. Evaluasi menggunakan pedoman FEMA 310 Handbook for the Seismic

    Evaluation of Building- A prestandard.

    b. Evaluasi secara rapid visual screening juga mengacu pada FEMA 154-

    Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazard : A

    Handbook.

    c. Evaluasi kinerja struktur mengacu pada ATC-40 dan FEMA 345-

    Prestandard and Commentary for The Seismic Rehabilitation of

    Buildings.

  • 13

    d. Evaluasi komponen non-struktur mengacu pada FEMA 302- NEHRP

    Recommended Provisions for Seismic Regulation for New Buildings

    and Other Structures dan FEMA 356- Prestandard adn Commentary

    for The Seismic Rehabilitation of Buildings.

    e. Perhitungan dan analisis beban gempa mengacu pada Tata Cara

    Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-

    1726-2012).

    f. Kombinasi pembebanan mengacu pada Tata Cara Perhitungan Struktur

    Beton Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2012).

    g. Analisis penampang balok dan kolom mengacu pada Tata Cara

    Perhitungan Struktur Beton Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2013).

    h. Pembebanan pada analisis menagcu pada Tata Cara Perencanaan

    Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2012).

    1.5 MANFAAT PENELITIAN

    Dengan adanya penelitian ini diharapkan:

    1. Hasilnya dapat dijadikan masukan dalam evaluasi bangunan dalam mitigasi

    bencana gempa bumi secara cepat (visual) dengan menggunakan metode

    RVS.

    2. Untuk mengetahui apakah bangunan ini memenuhi desain level kinerja

    (performance based design) sesuai dengan peraturan SNI 2012.

    3. Hasil evaluasi dapat menjadikan acuan dalam perencanaan perbaikan,

    perkuatan, dan rehabilitasi struktur agar mampu bertahan pada saat terjadi

    gempa.

    4. Mendapatkan langkah mitigasi bencana gempa yang diterapkan pada

    bangunan bangunan tua di Yogyakarta.

  • 14

    1.6 DEFINISI OPERASIONAL

    Definisi umum dari operasional yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah sebagai berikut.

    1. Kinerja Struktur,

    Kinerja Struktur didapat dari kombinasi antara level kinerja struktur dan

    nonstruktur. Sasaran kinerja bangunan terdiri dari kejadian gempa rencana

    (hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance

    level) dari banfunan terhadap kejadian gempa tersebut. Menurut FEMA 273

    (1997) kategori level kinerja struktur antara lain adalah sebagai berikut :

    a) Operasional Level

    b) Immediate Occupancy Level

    c) Life Safety Performance Level

    d) Collapse Prevention Level

    Pada peneleitian ini, jenis bangunan yang digunakan dalam evaluasi

    dikategorikan sebagai Operational Level (OL).

    2. Kekuatan Struktur,

    Kekuatan Struktur adalah kemampuan atau kapasitas struktur bangunan

    dalam menerima beban, baik beban struktur itu sendiri maupun beban

    gempa. Pada penelitian ini, dilakukan cek kekuatan struktur antara lain kuat

    lentur balok dan kolom (momen nominal dan momen kapasitas), gaya geser

    kolom dan balok, dan memperhitungkan Demand Capacity Ratio (DCR)

    dari kekuatan struktur yang tersedia bangunan tersebut.

    3. Immediate Occupancy,

    Immediate Occupancy adalah kondisi level bangunan dimana pada saat

    terjadi gempa terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut

    tidak terlalu berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama

    dengan kondisi sebelum gempa. Kondisi komponen nonstruktur masih

    berfungsi dan berada atau tersedia ditempatnya. Paad level ini, bangunan

    masih bisa digunakan tanpa terganggu pada masalah perbaikan kerusakan

  • 15

    bangunan tersebut. Risiko dari korban yang terjadi pada level kinerja ini

    sangat kecil.

    4. Kerusakan struktur,

    Kerusakan Struktur dapat dideteksi sedini mungkin karena suatu kerusakan

    dapat merembet, memicu, dan memperparah kerusakan lainnya. Pada

    umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama masa

    layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap

    kerusakan akibat berbagai hal. Beberapa penyebab kerusakan antara lain

    adalah karena :

    a) masalah durability akibat material yang kurang baik,

    b) kesalahan perencanaan dan pelaksanaan,

    c) lingkungan agresif yang belum diantisipasi saat perencanaan,

    d) overloading akibat kenaikan beban karena perubahan fungsi/pemakaian

    bangunan,

    e) kenaikan life-span,

    f) penyebab khusus dan beban berlebih seperti gempa, banjir, kebakaran,

    dan

    g) Life-span yang berbeda-beda antara bahan-bahan struktur dan non

    struktur.

    Pada penelitian Tesis ini akan dievaluasi kemungkinan kerusakan yang

    dapat terjadi pada suatu struktur akibat beban gempa.

    5. Faktor Daktilitas

    Daktilitas adalah kemampuan bangunan untuk merubah kekakuannya dan

    menyerap energi gempa untuk tetap menjaga integrasi struktur. Fungsi

    daktilitas untuk menjaga integrasi bangunan agar penghuni dapat

    menyelamatkan diri.

    Nilai faktor daktilitas suatu bangunan gedung () di dalam perencanaan

    struktur bangunan gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak

    boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas maksimum m yang

  • 16

    dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur

    bangunan gedung.

    6. Faktor Reduksi Beban Gempa

    Faktor reduksi beban gempa yaitu rasio antara beban gempa maksimum

    akibat pengaruh gaya gempa rencana pada struktur gedung elastik penuh

    dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur

    gedung daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut

    (). Faktor reduksi (R) digunakan untuk mempresentasikan pengaruh

    adanya daktilitas ketika terjadi gempa. Jika R semakin besar nilainya maka

    gaya gempa dasar rencana menjadi lebih kecil karena dianggap strukturnya

    lebih daktail. Oleh karena itu di dalam penelitian ini bangunan dianggap

    dalam kondisi elastis agar gempa dasar rencana yang dihasilkan menjadi

    lebih besar sehingga bangunan dapat di desain lebih aman terhadap gempa.

  • 17

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kinerja struktur

    bangunan terhadap gaya gempa. Beberapa penelitian menggunakan analisis

    pushover untuk memprediksi kinerja struktur terhadap gempa.

    2.1 PENELITIAN TERDAHULU

    Satyarno (2000), dalam penelitiannya menggunakan analisis pushover

    untuk memperkirakan resiko yang terjadi pada bangunan-bangunan tua pada suatu

    wilayah dengan karakteristik wilayah kegempaan tinggi. Bangunan yang dievaluasi

    diasumsikan terletak pada tiga kota di New Zealand dengan kondisi tanah yang

    berbeda yaitu tanah keras, sedang, dan lunak. Pada bangunan-bangunan lama (older

    building) memiliki resiko kerusakan yang lebih besar akibat gempa jika

    dibandingkan dengan bangunan-bangunan baru. Evaluasi dilakukan dengan

    menggunakan metode berbasis kekuatan (force-based method) atau metode

    berbasis perpindahan (displacement-based method) yang disarankan oleh NZNSEE

    (1996), dimana beban gempa ditentukan dari respon spectrum. Pada metode

    berbasis kekuatan, bangunan diharapkan mempunyai kinerja yang memuaskan

    selama gempa terjadi sama dengan spectrum respon jika daktilitas yang ada lebih

    besar daripada daktilitas yang dibutuhkan. Dalam metode berbasis perpindahan

    (displacement), bangunan diharapkan mempunyai kinerja yang memuaskan selama

    gempa terjadi sama dengan spectrum respon jika kapasitas perpindahan lebih besar

    daripada perpindahan yang dibutuhkan. Jika kapasitas terhadap beban gempa lebih

    kecil dibanding kebutuhannya, maka tahapan lebih lanjut yaitu dengan

    mengestimasi kala ulang gempa (return period) dimana struktur akan berkinerja

    secara memuaskan, sehingga penentuan aksi yang tepat bias dibuat. Parameter yang

    digunakan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi bangunan antara lain:

  • 18

    1. Periode getar alami, Ti (Fundamental period)

    2. Kapasitas geser dasar, Vbase (Base shear capacity)

    3. Periode efektif struktur, Teff (Effective period)

    4. Kapasitas daktilitas struktur, (Structures ductility capacity)

    5. Kapasitas displacement lateral struktur, u (Structures lateral

    displacement capacity)

    Hasil evaluasi menggunakan analisis pushover menunjukan bahwa bangunan

    memiliki daktilitas yang sangat terbatas karena terjadi mekanisme respon yang

    tidak diinginkan yaitu kegagalan geser pada balok dan terjadi sendi plasitis pada

    kolom. Bangunan yang berada pada tanah keras dan sedang memberikan hasil yang

    lebih baik daripada bangunan yang berada di tanah lunak. Kemudian penelitian

    dilanjutkan dengan melakukan retrofitting pada daerah kritis dengan menambahkan

    tulangan geser dengan diameter 8 mm dengan jarak 100 mm dan dibandingkan

    dengan penambahan tulangan diameter 10 mm dengan jarak 100 mm, detail

    tulangan longitudinal/pokok tetap seperti semula. Hasil analisis menunjukan bahwa

    penambahan tulangan geser diameter 8 mm dengan jarak 100 mm pada beberapa

    tempat tidak memadai untuk gempa dengan periode 450 tahun. Sebaliknya dengan

    tulangan geser diameter 10 mm dan jarak 100 mm cukup efektif dalam

    meningkatkan kapasitas seismic bangunan untuk gempa dengan periode 450 tahun.

    Ginsar dan Lumantarna (2004), mengatakan arah metode perencanaan

    tahan gempa beralih dari pendekatan kekuatan (force based) menuju pendekatan

    kinerja (performance based) dimana struktur direncanakan terhadap beberapa

    tingkat kinerja. Untuk mengetahui kinerja struktur, karena saat menerima beban

    gempa besar struktur akan mengalami pelelehan, maka dibutuhkan analisis

    nonlinier yang sederhana tetapi cukup akurat.

    Jamal (2011) Dalam Penelitian Evaluasi Kinerja Struktur Gedung Kuliah

    Umum Prof. Dr. Sardjito Universitas Islam Indonesia. Dalam penelitian ini

    dilakukan evaluasi bangunan berdasarkan FEMA 154, FEMA 356, ATC-40, dan

    SNI 03-1726-2002 sebagai pedoman penelitian. Untuk permodelan struktur dan

  • 19

    analisis beban dorok statik nonlinier (Pushover) dilakukan menggunakan program

    SAP2000. Pada penelitian ini, analisis pushover dilakukan permodelan dengan

    tumpuan Sendi di fondasi, tumpuan jepit di pondasi dan penambahan jepit yang

    terletak di sloof.

    Dari hasil analisis nonlinier yang menggunakan analisis pushover dan

    Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996), diperoleh bahwa rasio simpangan

    struktur (structural-drift ratio) yang terjadi masih lebih kecil dari batas simpangan

    yang disyaratkan oleh FEMA 356 dan ATC-40 untuk level Immediate Occupancy,

    yaitu 1%. Oleh karena itu, level kinerja struktur untuk periode ulang gempa 500

    tahun adalah Immediate Occupancy. Pada saat kinerja struktur tercapai, terjadi

    plastifikasi dan kegagalan geser pada sebagian elemen struktur. Pada daerah

    tumpuan balok, persentase nilai DCR antara 0-1 sebesar 22,6%, antara 1-1,5

    sebesar 22,1%, antara 1,52 sebesar 19,5% dan nilai DCR > 2 sebesar 35,9%. Pada

    daerah dalam sendi plastis kolom, persentase nilai DCR antara 0-1 sebesar 37,4%,

    1-1,5 sebesar 13,7%, antara 1,52 sebesar 17,3% dan nilai DCR > 2 sebesar 31,7%.

    Plastifikasi banyak terjadi di elemen kolom pada tingkat 1. Sehingga dapat di

    prediksi bahwa kerusakan akan terjadi di beberapa elemen kolom di tingkat 1.

    Selain itu, juga terjadi kerusakan pada dinding pasangan bata (masonry) di seluruh

    tingkat bangunan.

    Zahrudin (2010) dalam penelitian Evaluasi Kinerja Bangunan Jogja

    Internasional Hospital Terhadap Risiko Gempa. Penelitian ini dilakukan di daerah

    Yogyakarta teraptanya di rumah sakit JIH bertujuan untuk melakukan evaluasi

    dengan standari FEMA 154 (2002), FEMA 310 (1998), memprediksi level kinerja

    (performance level) sesuai ATC-40 (1996) dan FEMA 356 (2000), serta

    memberikan rekomendasi dan saran-saran perbaikan dalam rangka mitigasi

    terhadap risiko bencana. Permodelan bangunan menggunakan SAP2000 dengan

    pendekatan pembebanan sesuai PPPURG 1987 dan beban horisontal (beban gempa)

    sesuai SNI 03-1729-2002.

    Dari hasil analisis linier pada struktur bangunan JIH baik statik maupun

    dinamik menghasilkan nilai Deman Capacity Ratio (DCR) lebih besar dari 2,

    sehingga perlu dilakukan analisis non linier untuk mengetahui level kinerja struktur.

  • 20

    Permodelan struktur infill walls pada analisis dinamik linier memberikan kontribusi

    kekuatan cukup besar dibandingkan dengan permodelan struktur open frame.

    Analisis statik nonlinier (pushover) berdasarkan metode spektrum kapasitas ATC

    40 (1996) menghasilkan target simpangan sebesar 0.279 m dan 0.263 m akibat

    beban lateral arah X dan Y. Berdasarkan metode koefisien perpindahan FEMA 356

    (2000) menghasilkan target simpangan sebesar 0.064 dan 0.080 m akibat beban

    lateral arah X dan Y. Level kinerja bangunan yang dihasilkan dari analisis statik

    nonlinier (pushover) untuk struktur immediate occupancy level yang berarti struktur

    masih dapat digunakan setelah gempa terjadi, sedangkan komponen nonstruktur

    yang berupa dinding pasangan bata mengalami kerusakan.

    Pranata (2006) Dalam penelitian Evaluasi Kinerja Gedung Beton

    Bertulang Tahan Gempa dengan Pushover Analysis, dilakukan evaluasi kinerja

    terhadap tiga gedung beton bertulang menggunakan pushover analysis dan analisis

    inelastik dinamik riwayat waktu (inelastic dynamic time history analysis). Evaluasi

    kinerja dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan target peralihan. Parameter

    ini yang akan digunakan dalam menentukan kriteria kinerja struktur. Beberapa

    metode yang digunakan adalah : SNI 03-1726-2002 sebagai syarat peralihan, ATC-

    40 sebagai metoda capacity spectrum, kemudian FEMA 356 dan FEAM 440

    sebagai metode displacement coefficient. Dalam penelitian ini analisis beban

    dorong menggunakan program ETABS dan analisis riwayat waktu menggunakan

    DRAIN-2D. Pada analisis riwayat waktu, beban gempa yang digunakan adalah El

    Centro 1940, Bucharest 1977, Florest 1992, dan Pacoima Dam 1971.

    Dari hasil analisis, dibandingkan hasil target peralihan dari empat metoda

    yang digunakan yaitu ATC-40, FEMA 356, FEMA 440, dan SNI 1726-2002 yang

    menunjukan bahwa kinerja batas yltimit menurut SNI 1726-2002 lebih besar

    daripada target peralihan yang dihitung menurut ATC-40, FEMA 356, dan FEMA

    440. Kemudian dari hasil pushover analysis menurut riwayat waktu, peralihan yang

    diakibatkan oleh gempa EL Centro, Pacoima dan Flores belum melampaui target

    peralihan (pushover analysis). Sedangkan gempa bucharest telah melampaui target

    peralihan. Dari hasil analisis Gaya Geser Dasar vs Peralihan yang dinyatakan dalam

    kurva, menunjukkan bahwa gempa El Centro, Flores, dan Pacoima nilai

    maksmimum envelope peralihan belum melampaui target peralihan sesuatu hasil

  • 21

    dari analisis beban dorong, sedangkan untuk gempa Bucharest sudah melampaui.

    Kesimpulan dari hasil analisis didapatkan bahwa Gempa El Centro, Pacoima dan

    Flores apabila dibandingkan dengan analisis beban dorong, hasil peralihan, drift

    dan rotasi sendi plastis yang terjadi jauh lebih kecil, maka analisis beban dorong

    cukup rasional dan dapat diandalkan untuk evalusi perliku seismik.

    Afandi (2010) dalam skripsi berjudul Evaluasi Kinerja Seismik Struktur

    Beton Dengan Analisis Pushover Menggunakan SAP2000 (Studi Kasus : Gedung

    Rumah Sakit di Surakarta), dalam penelitian ini dilakukan evaluasi bangunan pada

    bangunan rumah sakit yang terdiri dari 5 lantai dan 2 lantai basement dengan

    dinding geser untuk mengetahui pola keruntuhan gedung setelah dianalisis dengan

    pushover dan perilaku gedung apakah linier atau menjadi nonlinier. Kriteria kinerja

    seismik struktur bangunan ditentukan menggunakan code ATC-40 dan kemudian

    untuk mengetahui pola keruntuhan bangunan sehingga diketahui joint-joint yang

    mengalami kerusakan dan mengalami kehancuran. Setelah dilakukan analisis

    mengunakan program SAP2000, gedung yang termasuk dalam level kinerja

    immediate Occupancy terdapat kerusakan pada struktur dimana kekuatan dan

    kekakuannya hampir sama dengan kondisi sebelum gempa dan gedung dapat

    digunakan kembali. Dari kurva arah Y memberikan gambaran perilaku struktur dari

    tahap kondisi elastis, in-elastis kemudian mengalami keruntuhan yang ditunjukkan

    kurva dengan penurunan tajam, kemudia konsep desai\n strong column weak beam

    telah dipenuhi yang ditunjukkan terbentuknya sendi plastis diawali dari elemen

    balok yang kemudian pada saat mencapai performance point mayoritas elemen

    balok terbentuk sendi plastis kemudian pada bagian elemen balok mencapai kondisi

    batas in-elastis.

  • 22

    2.2 KEASLIAN PENELITIAN

    Penelitian mengenai evaluasi kinerja gedung terhadap gempa saat ini sudah

    cukup banyak mengingat intensitas gempa yang terjadi di wilayah Indonesia

    semakin mengingkat dan berkembang. Penelitian tersebut dikukan dengan

    menggunakan program SAP2000 dan ETABS dengan berbagai jenis permodelan

    pada kinerja struktur bangunan.

    Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya plagiarisme

    antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan. Sepengetahuan

    penulis, penelitian evaluasi kinerja bangunan sampel gedung perkuliahan disalah

    satu Universitas Swasta Yogyakarta yang beralamat di Condongcatur, Depok,

    Sleman, Yogyakarta. belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya.

    Keaslian pada penelitian ini yaitu pada :

    1. fungsi dan model bangunan,

    2. pemakaian code/pedoman yang menggunakan SNI terbaru, yaitu SNI 2012.

    Pada penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan SNI 1991 dan SNI

    2002. Perbedaan antara SNI 2012 dengan SNI sebelumnya terlihat jelas

    pada kategori bangunan dan nilai faktor keutamaan bangunan, dan

    3. metode evaluasi lebih bervariasi seperti metode RVS dengan FEMA 154

    dan FEMA 310, metode deman vs capacity, dan membandinkan hasil

    analisis nonlinier pada SAP terhadap perhitungan manual berdasarkan

    FEMA 356.

    Peneltian ini diharapkan dapat digunakan untuk perbaikan dan melengkapi dari

    penelitian sebelumnya sehingga keaslian penelitian ini dapat dijaga.

  • 23

    BAB III

    LANDASAN TEORI

    Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang digunakan sebagai

    pedoman dasar pada penulisan tesis ini. Landasan teori pada penelitian ini antara

    lain adalah Teori Evaluasi dan Mitigasi Bangunan Gedung Terhadap Bencana

    Gempa, Filosofi Bangunan Tahan Gempa, Theory Capacity Design, Desain Kinerja

    Struktur Tahan Gempa (Performance Based Design), Jenis Respon Struktur,

    Prosedur Evaluasi Kekuatan Struktur Bangunan Existing Mengacu pada FEMA

    310, Rapid Visual Screening (RVS), Evaluasi Tahap 2, Evaluasi Analisis Statik

    Non Linier, dan Sendi Plastis.

    3.1 TEORI EVALUASI DAN MITIGASI BENCANA GEMPA PADA

    BANGUNAN GEDUNG

    3.1.1 Teori Evaluasi

    Menurut Wirawan (2010), Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai

    suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu obyek dengan

    menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan suatu tolak ukur untuk

    memperoleh suatu kesimpulan. Untuk memperoleh informasi yang tepat dalam

    kegiatan evaluasi dilakukan melalui kegiatan pengukuran. Pengukuran merupakan

    suatu proses pemberian skor atau angka-angka terhadap suatu keadaan atau gejala

    berdasarkan aturan-aturan tertentu. Dengan demikian terdapat kaitan erat antara

    pengukuran (measurement) dan evaluasi (evaluation) kegiatan pengukuran

    merupakan dasar dalam kegiatan evaluasi.

    Menurut Yunalia Muntafi (2012), Perancangan bangunan terhadap beban

    gempa setelah tahun 2000-an mulai menggunakan perancangan bangunan berbasis

    kinerja. Dalam hal ini, perancangan tidak hanya berdasarkan gaya-gaya yang

    bekerja tetapi juga memperhatikan besarnya deformasi yang terjadi untuk

    mengurangi kerusakan pada komponen non struktur. Di sisi lain, bangunan-

    bangunan lama yang telah dirancang dengan peraturan perencanaan sebelum tahun

  • 24

    2000-an, belum menggunakan sistem perencanaan berbasis kinerja. Pada

    umumnya, gaya gempa yang digunakan dalam desain bangunan relatif kecil dengan

    nilai reduksi beban gempa R yang relatif besar (maksimum 8,5). Seiring waktu,

    intensitas gempa dapat dikatakan semakin besar, bahkan hasil dari rencana peta

    hazard gempa Indonesia 2010 menunjukkan sebagian besar wilayah di Indonesia

    mengalami kenaikan nilai PGA (g). Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi

    terhadap bangunan-bangunan yang didesain sebelum tahun 2000-an.

    Seiring berjalannya operasional suatu bangunan gedung, maka diperlukan

    evaluasi terhadap existing building tersebut yang menyangkut kelayakan keamanan

    serta kenyamanan dari segi teknis. Terjadinya alih fungsi bangunan, faktor umur

    bangunan, perubahan lingkungan bahaya kebakaran, dan perubahan beban beban

    luar seperti gempa atau penambahan alat atau mesin, akan berakibat berubahnya

    kinerja bangunan secara langsung (Santosa B, 2012).

    Menurut Wiryanto Dewobroto (2006), keamanan dan keselamatan

    bangunan tidak hanya bergantung pada tingkat kekuatan, tetapi juga pada tingkat

    deformasi dan energi terukur pada kinerja struktur. Trend terbaru perencanaan

    maupun evaluasi bangunan terhadap gempa saat ini adalah perencanaan berbasis

    kinerja yang dikenal dengan Performance Based Earthquake Engineering (PBEE).

    Konsep perencanaan berbasis kinerja merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan

    aspek layan. Konsep PBEE dapat digunakan untuk mendesain bangunan baru

    (Performance Based Seismic Design) maupun mengevaluasi bangunan yang sudah

    ada (Performance Based Seismic Evaluation). Dalam perkembangannya, analisis

    statik nonlinier yang lebih dikenal dengan istilah pushover analysis merupakan

    pilihan yang menarik dalam mengevaluasi bangunan karena menggunakan konsep

    PBEE sehingga dapat diketahui kinerja seismik strukturnya. Prosedur pushover

    analysis sesuai konsep PBEE telah ada pada dokumen ATC-40 (capacity spectrum

    method) serta FEMA 356 dan FEMA 440 (displacement coefficient method).

    Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama

    masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap

    kerusakan akibat berbagai hal. Setiap kerusakan diusahakan dapat dideteksi sedini

    mungkin, sebab suatu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah

    kerusakan lainnya. Beberapa penyebab kerusakan antara lain (Triwiyono, 2005).

  • 25

    1. Masalah durability akibat material yang kurang baik

    2. Kesalahan perencanaan dan pelaksanaan

    3. Lingkungan agresif yang belum diantisipasi saat perencanaan

    4. Overloading akibat kenaikan beban karena perubahan fungsi/pemakaian

    bangunan

    5. Kenaikan life-span

    6. Penyebab khusus dan beban berlebih: gempa, banjir, kebakaran

    7. Life-span yang berbeda-beda antara bahan-bahan struktur dan non struktur.

    Evaluasi kinerja bangunan dapat dijadikan sebagai landasan perlu

    dilakukannya perbaikan kinerja bangunan atau justru diperlukan bangunan baru,

    karena kinerja bangunan lama yang tidak memungkinkan lagi secara teknis

    digunakan untuk mengantisipasi kinerja akibat fungsi baru atau perubahan beban.

    Hal ini bisa muncul akibat terjadinya perubahan standar tata cara desain bangunan,

    seperti bangunan pada saat desain menggunakan Pedoman Perencanaan Ketahanan

    Gempa untuk Rumah dan Gedung SKBI 1987, maka perlu dievalusi ketahanan

    gempanya berdasarkan SNI 03-1726-2012 tentang Standar Perencanaan Ketahanan

    Gempa untuk Gedung.

    Evaluasi bangunan dapat dilakukan dengan dua metode yakni penyelidikan

    secara visual, configuration check, strength check, dan performance based design.

    1. Penyelidikan secara visual

    Evaluasi bangunan existing secara visual merupakan tahapan awal yang

    harus dilakukan apakah bangunan tersebut layak untuk dilakukan penyelidikan

    lebih lanjut atau tidak. Penyelidikan secara visual atau bisa disebut dengan Rapid

    Visual Screening (RVS) ini dapat mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh

    FEMA 154 dan FEMA 310, penyelidikan dilakukan dengan melakukan cek struktur

    dan non struktur.

    2. Configuration check

    Configuration check adalah tahapan lanjutan dari penyelidikan secara visual

    pada bangunan. Cek konfigurasi bangunan dilakukan pengamatan pada bentuk

    bangunan apakah bangunan tersebut berbentuk reguler atau irreguler, terdapatnya

  • 26

    kolom pendek, soft story, bangunan bersebelahan, dan set back pada bentuk

    bangunan tersebut. Misalnya, bangunan perlu di evaluasi apabila memiliki denah

    yang irreguler (tidak beraturan) karena diduga akan terdapatnya momen puntir.

    Gambar 3.1 Plan Irregularity bangunan

    (Sumber : FEMA 154)

    Cek konfigurasi dilakukan dengan pengecekan secara cepat (quick check),

    dilakukan untuk mengetahui potensi kelemahan pada bangunan. Hasil dari quick

    check kemudian dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam FEMA 310

    (1998). Beberapa parameter yang dicek antara lain kekakuan tingkat, tegangan

    geser balok dan kolom pada struktur beton, dan gaya aksial kolom akibat gaya

    guling.

    3. Strength check

    Cek kekuatan bangunan dilakukan dengan melakukan analisis struktur

    bangunan baik dengan analisis linier statik elastik maupun analisis linier statik

    dinamik elastik. Dari hasil analisis tersebut, maka akan dilakukan cek demand

    capacity ratio dari hasil kapasitas momen, gaya geser, serta gaya aksial dari elemen-

    elemen pada bangunan tersebut.

    4. Performance based design

    Saat ini perencanaan struktur untuk bangunan tahan gempa sudah mulai

    populer digunakan perencanaan yang berbasis kinerja (Performance Based Seismic

    Design) dimana kinerja struktur dijadikan sebagai sasaran perencanaan. Pada

  • 27

    perencanaan ini disyratkan suatu level kinerja yang diinginkan. Lever kinerja

    tersebut menurut FEMA 356 (2000), adalah sebagai berikut:

    a) Operational Performance Level

    b) Immediate Occupancy Level

    c) Life Savety Level

    d) Collpse Prevention Level

    Dengan membandingkan antara kapasitas struktur dan tuntutan kinerja,

    analisis kinerja dapat dilakukan. Demand atau tuntutan kinerja merupakan

    representasi dari pergerakan tanah akibat gempa sehingga parameter yang

    digunakan adalah perpindahan struktur, sedangkan kapasitas struktur merupakan

    representasi dari kemampuan struktur untuk memikul seismic demand. Kinerja

    struktur akan diperoleh jika kapasistas struktur lebih besar dari pada seismic

    demand.

    Matrik Desain Tujuan Batas Kinerja seperti yang ditunjukan pada Gambar

    3.2 dibawah, yang telah diusulkan untuk bangunan oleh Vision 2000 Committee

    dan sekarang ini telah digunakan secara luas oleh para komunitas pakar kegempaan

    (Bertero dan Bertero, 2002).

    Gambar 3.2. Matrix hubungan Level desain gempa dengan Level Kinerja

    Bangunan.

    (sumber : Bertero, R.D dan Bertero, V.V, 2002)

  • 28

    Evaluasi kinerja struktur bangunan dapat dilakukan dengan perhitungan

    analisis struktur dengan bantuan program analisis struktur seperti SAP2000 dan

    ETABS. Tahapan evaluasi ini berpedoman pada SNI 03-1726-2012, FEMA 356,

    dan ATC-40. Evaluasi bangunan atau pemeriksaan bangunan pasca bencana

    dilakukan dengan beberapa tahapan yang nanti diperlukan untuk kebutuhan data

    dan akan mengemukakan permasalahan yang ada pada bangunan tersebut, berikut

    adalah tahapan-tahapan pemeriksaan bangunan:

    1) Pemeriksaan dengan melakukan pengamatan visual terhadap bagian-bagian

    bangunan yang mengalami gejala kerusakan, kemudian akan dicatat jenis

    kerusakan, tingkat kerusakan, dan pola kerusakannya.

    2) Setelah pengamatan visual, maka dilakukan pengelompokkan jenis

    kerusakan berdasarkan bagian apa saja yang rusak dan bagian apa saja yang

    tidak rusak, bagian yang mengalami kerusakan akan ditandai agar

    memudahkan utnuk pemeriksaan selanjutnya.

    3) Dari berbagai pengamatan kerusakan sebelumnya, akan ditetapkan metode

    pemeriksaan yang nantinya akan dilakukan dengan melihat kondisi dan

    situasi daerah yang mengalami kerusakan. Sangat memungkinkan

    dilakukannya re-design bangunan jika diperlukan.

    Setiap pemeriksaan bangunan gedung diperlukan untuk menentukan tingkat

    keandalan struktur bangunan eksisting. Pada pemeriksaan sampai pada tahap

    pemeriksaan detil, tingkat keandalan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi struktur.

    Penentuan tingkat keandalan diperoleh melalui tahap evaluasi struktur setelah

    mengetahui kualitas bahan bangunan eksisting. Kualitas bahan bangunan eksisting

    dilakukan melalui serangkaian pengujian baik destruktif maupun non destruktif.

    Dari hasil pengujian dapat diketahui kualitas bahan beton baik mengenai kuat tekan

    beton, kualitas homogenitas beton, dan kualitas baja tulangan. Data kualitas bahan

    beton bertulang eksisting kemudian diguanakan sebagai input dalam analisis

    struktur bangunan. Hasil akhir dari analisis struktur diperlukan untuk mengetahui

    apakah setiap komponen struktural eksisting masih mampu memikul beban

    rencana.

  • 29

    3.1.2 Mitigasi Bencana Gempa Pada Bangunan Gedung

    Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko

    bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

    kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008

    Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri adalah

    peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

    dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

    faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban

    jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

    Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir,

    longsor, badai tropis, dan lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya:

    a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;

    b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;

    c. pengembangan budaya sadar bencana;

    d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;

    e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;

    Salah satu dari kegiatan mitigasi bencana adalah perencanaan dan

    identifikasi. Perencanaan dalam mitigasi bencana gempa pada bangunan gedung

    dimaksudkan bahwa gedung yang direncanakan harus memenuhi kriteria desain

    sesuai dengan peraturan yang berlaku baik itu dari segi Force Based Design

    maupun Performance Based Seismic Design sehingga bangunan tersebut sesuai

    dengan fungsi kegunaannya. Setelah bangunan tersebut teridentifikasi level

    kinerjanya maka pemantauan resiko bencana dapat dilakukan.

    Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama

    masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap

    kerusakan akibat berbagai hal. Setiap kerusakan diusahakan dapat dideteksi sedini

    mungkin, sebab satu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah

    kerusakan lainnya. Beberapa penyebab kerusakan antara lain (Triwiyono, 2005).

    Identifikasi untuk level kinerja bangunan dimaksudkan agar bangunan tersebut

    dapat disesuaikan dengan kegunaannya. Sehingga apabila terjadi bencana gempa

    bumi dapat diinformasikan apakah bangunan tersebut dapat langsung dipakai tanpa

  • 30

    mengalami kerusakan struktur dan non struktur (level fully operational),

    mengalami kerusakan struktur dan non struktur ringan namun masih bisa langsung

    dihuni kembali (level immediate occupancy), atau mengalami kerusakan parah

    sehingga bangunan tidak layak untuk dihuni kembali pasca gempa bumi (level Near

    Collapse atau Collapse Prevention).

    3.2 FILOSOFI BANGUNAN TAHAN GEMPA

    Struktur / bangunan tahan gempa adalah struktur yang tahan (tidak rusak

    dan tidak runtuh) apabila terlanda gempa. Bukan struktur yang semata-mata sudah

    diperhitungkan (dalam perencanaan) dengan beban gempa (beban horizontal)

    (Kardiyono, 2008). Adapun prinsip-prinsip disain filosogi bangunan tahan gempa

    adalah (ATC 1978, Key, Murty 2002, Widodo 2007):

    1. Pada gempa kecil (light, atau minor earthquake) yang sering terjadi, maka

    struktur utama bangunan harus tidak rusak dan berfungsi dengan baik.

    Kerusakan kecil yang masih dapat ditoleransi pada elemen non struktur

    masih diperbolehkan

    2. Pada gempa menengah (moderate earthquake) yang relative jarang terjadi,

    maka struktur utama bangunan boleh rusak/retak ringan tetapi masih dapat

    diperbaiki. Elemen non struktur dapat saja rusak tetapi masih dapat diganti

    dengan yang baru

    3. Pada gempa kuat (strong earthquake) yang jarang terjadi, maka bangunan

    boleh rusak tetapi tidak boleh runtuh total (totally collapse). Kondisi seperti

    ini juga diharapkan pada gempa besar (great earthquake), yang tujuannya

    adalah melindungi manusia/penghuni bangunan secara maksimum.

  • 31

    3.3 THEORY CAPACITY DESIGN

    Pada saat terjadi gempa, suatu struktur mengalami getaran gempa dari

    lapisan tanah di bawah dasar bangunannya secara acak dalam berbagai arah.

    Apabila struktur tersebut sangat kaku atau dengan kata lain mempunyai waktu getar

    alami T, yang mendekati nol detik, maka besarnya gaya inersia F yang timbul akibat

    gempa dan yang bekerja pada titik massa adalah

    F = m x ag . (3.1)

    dimana :

    - m : massa bangunan

    - ag : percepatan getaran gempa

    Dalam hal ini struktur memberikan respon percepatan yang sama besar

    dengan percepatan getaran gempa pada tanah di dasar bangunan. Namun umumnya

    struktur-struktur bangunan mempunyai nilai kekakuan lateral yang beraneka ragam

    dan dengan demikian memiliki waktu getar alami, T yang berbeda-beda pula. Oleh

    karenanya respon percepatan maksimum struktur tidak selalu sama besar dengan

    percepatan getaran gempa. Gambar 3.3 memperlihatkan respon percepatan

    maksimum berbagai struktur berderajat kebebasan tunggal yang terletak di atas

    suatu lapisan tanah dan mengalami getaran gempa tertentu. Kurva- kurva diatas

    lazim disebut sebagai spektrum respon percepatan yang merupakan hasil idealisasi

    atau smothing dari respon sesungguhnya yang biasa berbentuk tidak teratur.

    Tampak dalam Gambar 3.3 suatu struktur dapat mengalami gaya inersia gempa

    yang beberapa kali lebih besar dari berat bangunannya (sebesar

    1.0 mg dengan m : massa bangunan dan g : percepatan gravitasi). Mengingat

    kemungkinan besarnya gaya inersia gempa yang bekerja pada titik pusat massa

    bangunan, maka telah diterima sebagai suatu kenyataan, bahwa tidaklah ekonomis

    untuk merencanakan struktur-struktur umum sedemikian kuatnya, sehingga tetap

    berperilaku elastis saat dilanda gempa kuat.

  • 32

    Gambar 3.3. Spektrum Respon Percepatan Elastis Struktur dengan Berbagai

    Waktu Getar Alami dan Tingkat Damping

    Berbagai peraturan perencanaan bangunan terhadap gempa, termasuk

    pedoman perencanaan yang berlaku di Indonesia menetapkan suatu taraf beban

    gempa rencana yang menjamin suatu struktur agar tidak rusak oleh gempa-gempa

    kecil atau sedang, tetapi saat dilanda gempa kuat yang jarang terjadi, struktur

    tersebut mampu berperilaku daktail dengan memencarkan energi gempa dan

    sekaligus membatasai beban gempa yang masuk ke dalam struktur. Seperti

    diilustrasikan pada Gambar 3.4 saat terjadi gempa kuat struktur yang direncanakan

    berperilaku elastis harus dapat memikul beban gempa sebesar OA. Bila struktur

    ternyata mampu berperilaku daktail dengan membentuk sendi plastis, maka taraf

    pembebanan gempa cukup ditentukan sebesar OB yang beberapa kali lebih kecil

    dari OA. Berbagai peraturan perencanaan bangunan terhadap gempa, termasuk

    pedoman perencanaan yang berlaku di Indonesia menetapkan suatu taraf beban

    gempa rencana yang menjamin suatu struktur agar tidak rusak oleh gempa-gempa

    kecil atau sedang, tetapi saat dilanda gempa kuat yang jarang terjadi, struktur

  • 33

    (a).Respon dengan Defleksi

    Maksimum Sama

    (b).Respon dengan Energi

    Potensial Sama

    tersebut mampu berperilaku daktail dengan memencarkan energi gempa dan

    sekaligus membatasai beban gempa yang masuk ke dalam struktur. Seperti

    diilustrasikan pada Gambar 3.4 saat terjadi gempa kuat struktur yang direncanakan

    berperilaku elastis harus dapat memikul beban gempa sebesar OA. Bila struktur

    ternyata mampu berperilaku daktail dengan membentuk sendi plastis, maka taraf

    pembebanan gempa cukup ditentukan sebesar OB yang beberapa kali lebih kecil

    dari OA.

    Gambar 3.4. Respon Struktur Berperilaku Elastis dan Elastoplastis saat Terjadi

    Gempa Kuat (a).

    Serangkaian hasil analisis dinamis menunjukkan bahwa struktur daktail dengan

    waktu getar alami T yang relatif panjang cenderung untuk memiliki respon

    elastoplastis dengan defleksi maksimum yang sama besar dengan defleksi

    maksimum respon elastisnya. Besarnya faktor pembatasan beban gempa R sama

    dengan besarnya daktilitas struktur , yang merupakan rasio antara defleksi

    maksimum maks dan defleksi saat leleh pertama y, sedangkan struktur dengan

    waktu getar alami, T yang relatif pendek cenderung berperilaku elastoplastis

    dengan energi potensial yang sama besar dengan energi potensial respon

  • 34

    elastisnya. Besarnya faktor beban R, dalam hal ini sama dengan (2 1).

    Dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa, terbentuknya sendi-sendi

    plastis, yag mampu memencarkan energi gempa dan membatasi besarnya beban

    gempa yang masuk ke dalam struktur harus dikendalikan sedemikian rupa agar

    struktur berperilaku memuaskan dan tidak sampai runtuh saat terjadi gempa kuat.

    Pengendalian terbentuknya sendi-sendi plastis pada lokasi-lokasi yang telah

    ditentukan lebih dahulu dapat dilakukan secara pasti terlepas dari kekuatan dan

    karakteristik gempa. Filosofi perencanaan seperti ini disebut dengan Konsep

    Desain Kapasitas. Untuk menghadapi gempa kuat yang mungkin terjadi dalam

    periode tertentu, misalnya 500 tahun, maka mekanisme keruntuhan suatu portal

    rangka terbuka beton bertulang dipilih sedemikian rupa sehingga memencarkan

    energi gempa terjadi secara memuaskan dan keruntuhan yang bersifat katastropik

    dapat dihindarkan. Gambar 3.5 memperlihatkan dua mekanisme yang khas dapat

    terjadi pada portal-portal rangka terbuka.

    (a). Sendi Plastis pada Balok Tidak Menyebabkan Keruntuhan (Mekanisme

    Keruntuhan yang Diinginkan)

  • 35

    (b). Sendi Plastis pada Kolom Tidak Menyebabkan Keruntuhan Lokal pada Satu

    Tingkat (Mekanisme Keruntuhan yang Tidak Diinginkan)

    Gambar 3.5. Mekanisme Khas yang Dapat Terjadi pada Portal Rangka Terbuka

    Mekanisme goyang dengan pembentukan sebagian besar sendi plastis pada

    balok-balok lebih dikehendaki daripada mekanisme dengan pembentukan sendi

    plastis yang terpusat hanya pada ujung-ujung kolom suatu lantai (soft story

    mechanism), karena beberapa alasan sebagai berikut :

    1. Pada mekanisme pertama (Gambar 3.5.a) pemencaran energi gempa

    terjadi di dalam banyak unsur, sedangkan pada mekanisme kedua

    (Gambar 3.5.b) pemencaran energi terpusat pada sejumlah kecil kolom-

    kolom struktur

    2. Pada mekanisme pertama, bahaya ketidakstabilan akibat efek P- jauh

    lebih kecil dibandingkan dengan yang mungkin terjadi pada mekanisme

    kedua (soft story mechanism)

    3. Daktilitas kurvatur dituntut pada balok untuk menghasilkan daktilitas

    struktur terentu, misalnya = 5.2 untuk struktur dengan daktilitas penuh,

    dimana terjadi redistribusi gaya-gaya secara luas.

    Guna menjamin terjadinya mekanisme goyang dengan pembentukan

    sebagaian besar sendi plastis pada balok, Konsep Desain Kapasitas diterapkan

    untuk merencanakan agar kolom-kolom lebih kuat dari balok-balok portal (strong

  • 36

    column-weak beam). Keruntuhan geser pada balok yang bersifat getas juga

    diusahakan agar tidak terjadi lebih dahulu dari kegagalan akibat beban lentur pada

    sendi-sendi plastis balok setelah mengalami rotasi-rotasi plastis yang cukup besar.

    Pada prinsipnya, dengan konsep desain kapasitas, elemen-elemen utama

    penahan beban gempa dapat dipilih, direncanakan dan didetail sedemikian rupa,

    sehingga mampu memencarkan energi gempa dengan deformasi inelastis yang

    cukup besar tanpa runtuh, sedangkan elemen-elemen lainnya diberi kekuatan yang

    cukup, sehingga mekanisme yang telah dipilih dapat dipertahankan pada saat terjadi

    gempa kuat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar mekanisme ni dapat

    dijamin tercapai adalah :

    1. Faktor peningkatan kuat lentur balok sebagai elemen utama pemencar energi

    gempa. Mengetahui secara tepat kuat lentur daerah sendi plastis balok, yang

    sengaja direncanakan sebagai bagian yang lemah, merupakan hal yang sangat

    penting untuk memastikan kolom-kolom lebih kuat dan kegagalan getas akibat

    beban geser tidak terjadi lebih awal dari terbentuknya sendi-sendi plastis

    dengan deformasi lentur yang cukup besar.

    Namun kenyataannya sangatlah sulit untuk memperkirakan secara cukup akurat,

    kuat lentur balok saat mengalami deformasi inelastis akibat gempa kuat. Umumnya

    kuat lentur akibat balok dapat dipastikan lebih besar dari kuat nominalnya. Faktor-

    faktor penyebab meningkatnya kuat lentur balok secara garis besar dapat

    ditunjukkan sebagai berikut :

    a. Kuat leleh aktual tulangan baja (fy) umumnya lebih besar dari nilai nominalnya

    yang ditentukan dalam standar tata cara perencanaan.

    b. Pengaruh strain hardening pada tulangan baja tidak diperhiungkan dalam

    perencanaan seperti diilustrasikan pada Gambar 3.6.

    c. Kemungkinan bertambah besarnya tegangan tekan dan regangan tekan

    maksimum beton akibat adanya pengekangan yang baik seperti terlihat pada

    gambar 3.7.

  • 37

    Gambar 3.6. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan Baja

    Gambar 3.7. Hubungan Tegangan Regangan Tekan Beton Dengan dan Tanpa

    Pengaruh Pengekangan.

    Guna memperhitungkan adanya kemungkinan peningkatan kuat lentur penampang

    balok di daerah sendi plastis, SNI 03-2847-2002 menentukan faktor penambahan

    kekuatan (over strength factor) o sebesar 1.25 untuk fy < 400 Mpa dan o sebesar

    1.4 untuk fy > 400 Mpa. Selanjutnya kapasitas lentur penampang balok dapat

    diperkirakan sebesar

    M kap, b = o Mnak, b

    Dimana :

    Mnak,b : kuat lentur nominal balok yang dihitung berdasarkan luas tulangan

    yang sebenarnya ada pada penampang yang ditinjau.

  • 38

    2. Faktor pengaruh beban dinamis pada kolom

    Pada mekanisme daktail yang dikehendaki untuk portal rangka terbuka,

    sebagian besar sendi plastis terjadi pada ujung-ujung akhir bentang balok. Bila

    daerah sendi plastis ini sudah direncanakan penulangannya, maka momen kapasitas

    balok dapat diperhitungkan sebagai momen rencana yang bekerja pada kolom.

    Masalahnya, penentuan besarnya bagian momen rencana yang harus diterima oleh

    kolom sebelah atas dan kolom sebelah bawah balok tidak mudah dilakukan. Pola

    pembagian momen dari hasil analisis elastis akibat beban statik ekuivalen hanya

    benar bila yang dominan ialah ragam pertama vibrasi struktur. Namun, akibat

    terjadinya plastifikasi pada sebagian besar pada sebagian besar elemen-elemen

    struktur, maka ragam-ragam vibrasi yang lebih tinggi menjadi cukup dominan,

    sehingga pola distribusi momen yang diperoleh dari hasil analisis elastis akan

    mengalami perubahan yang cukup besar. Adapun nilai kuat lentur kolom harus

    memenuhi persamaan sebagai berikut :

    M e 6

    5 M g

    Dimana :

    M e : Jumlah momen pada pusat hubungan balok kolom, sehubungan dengan

    kuat lentur nominal kolom yang merangka pada hubungan balok kolom

    tersebut.

    M g : Jumlah momen pada pusat hubungan balok kolom, sehubungan dengan

    kuat lentur nominal balok-balok yang merangka pada hubungan balok

    kolom tersebut.

    Perlu pula diketahui, bahwa meskipun penampang kolom mungkin menjadi lebih

    besar kebutuhan tulangan memanjang bertambah sebagai konsekuensi penerapan

    persamaan diatas., namun dengan adanya jaminan tidak akan terbentuknya sendi

    plastis pada ujung0ujung kolom di atas lantai dasar, beberapa keuntungan dapat

    diperoleh antara lain :

    a. Kolom yang lebih sulit diperbaiki daripada balok, kini dilindungi dengan

    tingkat keamanan yang lebih tinggi terhadap bahaya kerusakan.

  • 39

    b. Penyambungan tulangan longitudinal kolom sebenarnya dapat dilakukan segera

    di atas lantai berikutnya, tidak perlu lagi di rencanakan di tengah- tengah kolom.

    c. Karena respon inelastik bolak-balik tidak terjadi pada daerah ujung kolom,

    maka kontribusi beton terhadap kuat geser penampang dapat diperhitungkan,

    sehingga kebutuhan tulangan geser (sengkang atau spiral) menjadi lebih sedikit

    d. Tuntutan daktilitas pada daerah ujung kolom di atas lantai dasar menjadi sangat

    kecil, bahkan dapat diabaikan, sehingga tidak lagi diperlukan sengkang atau

    spiral untuk pengekangan daerah sendi plastis kolom dan ini berarti tingkat

    kerapatan tulangan di daerah pertemuan balok kolom dapat berkurang secara

    drastis.

    e. Pencegahan terhadap lelehnya tulangan longitudinal kolom menyebabkan

    pertemuan balok kolom berperilaku lebih baik.

    f. Sedikit lebih besarnya penampang kolom justru memperbaiki

    pengangkuran tulangan lentur balok yang seringkali sulit terpenuhi di daerah

    pertemuan balok kolom.

    3. Redistribusi Momen

    Dari hasil superposisi momen akibat beban gravitasi dan momen akibat

    beban lateral akan diperoleh momen tumpuan (negatif) yang bertambah besar dan

    momen lapangan (positif) yang relatif jauh lebih kecil. Di samping itu, dapat pula

    terjadi perbedaan momen pada muka tumpuan balok di samping kanan dan kiri

    kolom interior. Tidak berimbangnya momen lentur di daerah tumpuan dan lapangan

    seringkali dapat menyebabkan tinggi balok tidak dimanfaatkan secara optimal

    untuk memperoleh kuat lentur yang diperlukan. Momen tumpuan yang terlalu besar

    dan adanya perbedaan momen tumpuan balok di samping kiri dan kanan kolom

    interior dapat mengakibatkan diperlukannya tulangan lentur pada balok secara

    berlebihan dari yang benar-benar dibutuhkan. Hal ini mengingat bahwa balok

    sebenarnya mampu meredistribusi momen melalui aksi inelastis. Tulangan lentur

    balok yang berlebihan membawa konsekuensi pada pembesaran momen rencana

    kolom dan pondasi. Guna mengatasi masalah-masalah tersebut dapat digunakan

    teknik redistribusi momen dalam proses perencnaan dengan tujuan :

  • 40

    a. Mengurangi besarnya momen maksimum tumpuan dan mengalihkan ke

    lapangan, sehingga didapatkan distribusi kekuatan lentur yang lebih rata.

    b. Menyamakan momen akibat beban gempa bolak-balik yang bekerja pada balok

    menerus di kiri dan kolom interior.

    c. Memanfaatkan secara penuh tulangan lentur positif di daerah tumpuan yang

    jumlahnya disyaratkan minimum 50% dari jumlah tulangan lentur negatif,

    sehingga perencanaan menjadi lebih ekonomis.

    d. Mengurangi besarnya momen yang masuk dalam kolom

    Tujuan melakukan redistribusi momen adalah :

    1. Prinsip keseimbangan statis terpenuhi.

    2. Kemampuan portal dalam menahan beban lateral tidak berubah.

    3. Tidak terjadi sendi plastis pada ujung-ujung kolom di atas lantai dasar.

    Di samping itu perlu pula diperhatikan pembatasan besar momen yang boleh

    diredistribusi sebab redistribusi momen yang terlalu jauh berbeda dari hasil analisis

    elastik struktur dapat mengakibatkan retak yang berlebihan pada struktur saat

    struktur dilanda gempa kecil dan SNI 03-2847-2002 menyatakan nilai maksimum

    redistribusi momen adalah :

    (1

    ) 20% . (3.2)

    dimana : - < 0.5 b

    : rasio tulangan tarik

    : rasio tulangan tekan

    b : rasio tulangan tarik dalam kondisi seimbang (balance)

    b = 0.85 1

    (

    600

    600+)

    4. Kualitas Pendetailan

    Konsep desain Kapasitas hanya akan berhasil menjamin struktur untuk

    berperilaku memaskan saat terjadi gempa kuat apabila disertai dengan pendetailan

  • 41

    yang baik pada elemen-elemen struktur dan join-joinnya. Daerah- daerah sendi

    plastis perlu didetail secara khusus agar mampu derdeformasi secara inelastis cukup

    besar sesuai dengan daktilitas yang dituntut. Namun daerah-daerah di luar sendi

    plastis harus diusahakan agar sedapat-dapatnya tetap elastis, tergantung dari

    intensitas gempa yang terjadi. Pada daerah- daerah di luar sendi plastis ini tidak

    perlu dilakukan pendetailan khusus.

    Sumber utama pemencaran energi suatu portal beton bertulang rangka

    terbuka adalah sendi-sendi plastis pada balok-balok di seluruh lantai dan pada

    penampang kolom terbawah yang berhubungan dengan pondasi. Ragam

    keruntuhan portal dapat dilihat pada Gambar 3.8.

    Gambar 3.8. Mekanisme Plastis yang Diharapkan Terjadi Dari Suatu Portal

    Rangka Terbuka Bertingkat Tinggi dan Daerah-daerah Elastis yang Memerlukan

    Perhatian Khusus

    Sedangkan respon dari penampang-penampang lainnya seperti penampang

    tengah bentang, kolom-kolom di atas kolom-kolom dasar dan join balok kolom

    harus masih dalam keadaan elastis. Perencanaan dengan ragam keruntuhan yang

    telah ditentukan dan tempat-tempat sumber pemencaran energi yang telah dipilih,

    sedangkan penampang-penampang lainnya direncanakan lebih kuat dari sendi-

    sendi plastis yang dapat terjadi, disebut Perencanaan Kapasitas atau Capacity

    Design.

  • 42

    3.4 DESAIN KINERJA STRUKTUR TAHAN GEMPA (PERFORMANCE

    BASED DESIGN)

    Setelah struktur beton bertulang tahan gempa didesain sesuai dengan SNI

    03-2847-2002 dengan tingkat daktilitas tertentu, maka perlu diperiksa dengan

    analisis pushover untuk verifikasi desain. Analisis pushover adalah analisis lateral

    statik non linier dimana struktur dibebani oleh gaya lateral (untuk

    mempresentasikan gaya gempa) dengan distribusi sesuai dengan asumsi design,

    sampai struktur runtuh akibat gaya lateral tersebut. Beban lateral diberikan secara

    bertahap (incremental) sehingga proses urutan sendi plastis pada struktur dapat

    terbentuk secara bertahap pula. Urutan terjadinya sendi plastis merupakan verifikasi

    dalam desain. Pada umumnya sendi plastis pada balok terbentuk terlebih dahulu

    dan urutan terakhir adalah sendi plastis pada kolom dasar, sehingga daktilitas

    maksimum struktur tercapai. Bila ternyata perilaku struktur tidak seperti yang

    diharapkan pada desain maka desain struktur harus diulang sedemikian rupa

    sehingga terjadi proses iterasi pada desain sampai iterasi konvergen. Hasil akhir

    dari analisis pushover adalah berupa plot anatara Gaya Geser Dasar (Base Shear)

    dan deformasi atap struktur (Xroof).

    Pada peraturan SNI 03-1726-2003 besaran yang harus diverifikasi antara lain :

    1. Daktilitas Struktur ()

    2. Faktor Reduksi Gempa (R)

    3. Faktor kuat lebih f1, f2, . Faktor f1, f2, diperlukan untuk mendesain pondasi

    agar pondasi harus tetap berperilaku elastis selama sendi plastis terbentuk pada

    kolom dasar.

    Parameter yang diperiksa sesuai dengan ketentuan SNI 03-1726-2002 adalah

    parameter pada saat struktur pada kondisi tepat sebelum runtuh. Kondisi ini tidak

    selalu berhubungan dengan gempa kuat rencana. Pada saat gempa kuat rencana

    terjadi, struktur dapat mengalami baik kondisi under predict atau over predict.

    Under predict berarti struktur sudah runtuh pada saat gempa kuat rencana terjadi

    karena masalah under design, sedangkan over predict terjadi sebaliknya yaitu

    struktur over design. Untuk mengetahui parameter struktur dengan mekanisme

    pembentukan sendi plastis pada saat terjadinya gempa kuat rencana, perlu

    dikembangkan Metoda Kinerja Struktur yang merupakan state-of-the art.

  • 43

    Desain Kinerja Struktur adalah proses kontrol desain untuk mengetahui

    kinerja struktur pada saat gempa kuat rencana terjadi dimana struktur tidak

    boleh, mengalami under design. ATC-40 dan NEHRP membagi kinerja struktur

    dalam beberapa kategori sesuai dengan parameter rasio antara deformasi atap

    struktur terhadap tinggi total struktur pada titik performance point. Performance

    point adalah titik potong antara Demand Spectrum sebagai representasi dari

    spektrum gempa kuat dan Capacity Spectrum sebagai representasi dari perilaku

    kekakuan dan kekuatn struktur atau disebut dengan istilah kurva kapsitas (Capacity

    curve), seperti yang terlihat pada Gambar 3.9.

    Gambar 3.9. Performance Point

    Capacity curve dihitung berdasarkan hasil dari analisis pushover yang

    dimodifikasi dari sistem Multi Dgree of Freedom System menjadi Single Degree

    of Freedom System. Baik ATC-40 dan NEHRP membagi kinerja struktur seperti

    Tabel 3.1 dan Gambar 3.10. Dengan mengetahui kinerja struktur maka proses

    iterasi menuju desain yang ekonomis dapat dilakukan sampai konvergen

  • 44

    Tabel 3.1. Deformation Limit ATC 40

    Interstory Drift

    Limit

    Performance Level Immediate Occupancy

    (elastis)

    Damage Control

    Life

    Safety

    Structural Stability (Collapse Prevention Stage)

    Max. Total Drift

    0.01

    0.01-0.02

    0.02 0.33

    Vi

    Pi

    Max. Inelastic Drift 0.005 0.005-0.015 No limit No limit

    * Vi : Lateral Load (Story Shear) ; Pi : Ultimate Axial Load

    Gambar 3.10. Klasifikasi Kinerja Struktur Daktail

    Kinerja bangunan didapat dari kombinasi antara level kinerja struktur dan

    nonstruktur. Sasaran kinerja bangunan terdiri dari kejadian gempa rencana

    (hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level)

    dari banfunan terhadap kejadian gempa tersebut. Menurut FEMA 273 (1997)

    kategori level kinerja struktur dijelaskan dalam Tabel 3.2 sebagai berikut.

  • 45

    Tabel 3.2 Kategori Level Kinerja Struktur FEMA 273 (1997)

    Kategori Keterangan

    S-1 Immadiate Occupancy level

    S-2 Damage Cantrol Performance Range (extends between Life

    Safety and Immadiate Occupancy performance Level

    S-3 Life Safety Performance Level

    S-4 Limited Safety Performance Range (extends between Life Safety

    and Collapse Prevention Level)

    S-5 Collapse Prevention Level

    Sedangkan untuk kategori level kinerja nonstruktur, dibedakan menjadi 4

    kondisi dalam Tabel 3.3 sebagai berikut.

    Tabel 3.3 Kategori Level Kinerja Nonstruktur FEMA 273 (1997)

    Kategori Keterangan

    N-A Operational Performance Level

    N-B Immadiate Occupancy Performance Level

    N-C Life Safety Performance Level

    N-D Hazard Rduced Performance Level

    Dari kategori level kinerja struktur dan nonstruktur, didapatkan hubungan

    antara level kinerja struktur yang dinotasikan angka dengan level kinerja

    nonstruktur yang dinotasikan dengan huruf. Level kinerja tersebut diuraikan

    sebagai berikut ini (FEMA 273, 1997).

    1. Operasional Level (1-A)

    Pada level ini bangunan tidak ada kerusakan berarti pada struktur dan

    nonstruktur. Bangunan masih berfungsi meskipun terdapat beberapa

    kerusakan kecil seperti kerusakan pada instalasi listrik, jaringan air, dan

    beberapa utilitas lainnya. Kondisi level kinerja bangunan seperti ini

    ditunjukan pada Gambar 3.11 (a),

  • 46

    2. Immediate Occupancy Level (1-B)

    Terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut tidak terlalu

    berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama dengan

    kondisi sebelum gempa. Kondisi komponen nonstruktur masih berfungsi

    dan berada atau tersedia ditempatnya. Pada level ini, bangunan masih bisa

    digunakan tanpa terganggu pada masalah perbaikan kerusakan bangunan

    tersebut. Risiko dari korban yang terjadi pada level kinerja ini sangat kecil.

    Kondisi level kinerja bangunin seperti ini ditunjakan pada Gambar 3.11 (b),

    3. Life safety Level (3-C)

    Pada level ini bangunan mengalami kerusakan pada struktur dan kekakuan

    berkurang dari kondisi struktur sebelum mengalami kerusakan, tetapi masih

    memiliki kemampuan yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen

    nonstruktur mengalami kerusakan dan tidak berfungsi lagi. Bangunan dapat

    digunakan kembali apabila sudah dilakukan perbaikan pada bagian struktur

    yang mengalami kerusakan, tetapi perbaikan yang dilakukan dapat

    dianggap tidak praktis secara ekonomi. Kondisi bangunan pada level ini

    seperti ditunjukan pada Gambar 3.11 (c).

    4. Structural Stability/Collapse Preventian (5-E)

    Kondisi bangunan mengalami kerusakan yang cukup parah baik komponen

    struktur maupun nonstruktur. Bangunan secara keseluruhan hampir

    mengalami keruntuhan akibat kekuatan struktur dan kekakuannya

    berkurang banyak. akibat rusak atau runtuhnya material sangat

    memungkinkan terjadinya korban jiwa, dan bangunan mengalami kerugian

    yang cukup besar secara ekonomi. Kondisi level kinerja bangunan ini

    ditunjukan seperti Gambar 3.11 (d).

    Apabila struktur menghalami gempa dengan beban gempa yang lebih kecil

    dari gempa rencana, maka elemen struktur masih dalam kondisi elastik. Setelah titik

    leleh pertama beban gempa terus ditingkatkan hingga elemen struktur dalam

    kondisi plastis. Setelah batas maksimum kekuatan struktur terlewati, jika beban

    gempa terus bertambah, maka struktur mengalami degradasi hingga tidak mampu

    lagi menahan beban gempa, tetapi masih mampu menahan beban gravitasi. Apabila

    beban ditingkatkan maka struktur akan runtuh. Dari penjelasan masing-masing

  • 47

    level kinerja bangunan akibat beban gempa dan simpangan struktur dapat

    diilustrasikan pada Gambar 3.11.

    Gambar 3.11 Performance Level (FEMA 451, 1997 dalam PBE Design)

    Hubungan antara level kinerja struktur dengan simpangan (drift) pada

    elemen vertikal dari sistem pemikul beban lateral berupa struktur rangka beton

    bertulang (concrete frames) dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai simpangan pada

    tabel tersebut merupakan nilai-nilai tipikal yang diberikan untuk menjelaskan

    respon struktur keseluruhan yang sesuai dengan berbagai level kinerja struktur.

    Tabel 3.4 Batasan simpangan untuk level kinerja struktur (FEMA 356,2000)

    Level Kinerja Struktur Drift (%) Keterangan

    Immidiate Occupancy 1,0 Transient

    Live Safety 2,0

    1,0

    Transient

    Permanent

    Collapse Prevention 4,0 Transient atau permanent

    (a) Operasional

    (b) Immediate Occupancy

    (d) Collapse

    Prevention

    (c) Life Safety

  • 48

    Gambar 3.12 Simpangan pada atap dan rasio simpangan pada atap (ATC-

    40,1996)

    Sementara itu, ATC-40 (1996) memberikan batasan deformasi untuk

    berbagai level kinerja struktur gedung seperti ditunjukkan pada Tabel 3.5.

    Simpangan total maksimum didefenisikan sebagai simpangan antar tingkat pada

    perpindahan titik kinerja. Simpangan inelastis maksimum didefenisikan sebagai

    bagian dari simpangan total maksimum dibawah titik leleh.

    Tabel 3.5 Batasan drift untuk berbagai level kinerja struktur (ATC-40, 1996)

    Batasan simpangan

    antar tingkat

    Level kinerja struktur

    Immediate

    Occupancy

    Damage

    Control Live Savety

    Structural

    stability

    Simpangan total

    Maksimum 0,01 0,01-0,02 0,02 0,33Vi/Pi

    Simpangan inelastis

    maksimum 0,005 0,005-0,015

    Tidak

    dibatasi

    Tidak

    dibatasi

    Level kinerja struktur secara kualitatif dapat dijelaskan pada Gambar 3.11.

    Dalam gambar terlihat bahwa level kinerja struktur diwakili oleh suatu kurva

    hubungan antara gaya geser dasar dengan perpindahan pada titik kontrol (titik berat

    distribusi gaya lateral). Selain itu, ditunjukkan juga bagaimana prilaku keruntuhan

    struktur secara menyeluruh terhadap pembebanan lateral. Kurva tersebut diperoleh

    dari hasil analisa statik non linier atau analisis pushover.

    Konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design)

    merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Konsep tersebut dapat

  • 49

    digunakan untuk perencanaan bangunan baru maupun rehabilitasi bangunan yang

    sudah berdiri dengan mempertimbangkan resiko keselamatan (life), kesiapan pakai

    (occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat

    gempa yang akan terjadi.

    Aspek tahanan berkaitan dengan tingkatan ancaman bencana (hazard level)

    pada suatu bangunan, yakni earthquake design level. Sedangkan aspek layan

    berkaitan dengan performance level dalam perencanaan berbasis kinerja dapat

    diilustrasikan pada gambar matriks desain tujuan batas kinerja, yang telah diusulkan

    untuk bangunan menurut FEMA 356 (2000) pada Gambar 3.13.

    Gambar 3.13 Matriks rehabilitation objectives, hubungan tingkat resiko gempa

    dengan level kinerja bangunan (FEMA 356, 2000)

    Penjelasan sasaran rehabilitasi pada Gambar 3.13 adalah sebagai berikut :

    k + p = basic safety objective

    k + p + a, c, l, b, f, j atau n = enhanced objective

    o atau m atau n = enhanced objective

    k atau p = limited objective

    c, g, d, h, l = limited objective

  • 50

    Setiap kolom pada matrik pada Gambar 3.13 menggambarkan sasaran

    rehabilitasi. Dari matrik pada Gambar 3.13, dapat dilihat bahwa arti pentingnya dari

    target kinerja suatu bangunan sesuai dengan filosofi bangunan tahan gempa yakni

    menjaga struktur maupun non struktur tetap utuh pada gempa yang sering terjadi

    (gempa kecil), bagian struktur dan nin struktur boleh rusak ringan tetapi bias

    diperbaiki pada gempa yang relative kadang terjadi (gempa sedang), dalam tingkat

    kinerja life safety dapat dijamin keamanannya tetapi biaya untuk perbaikan

    mungkin lebih besar pada gempa sedang dan bangunan tidak boleh runtuh total

    (totally collapse) pada gempa yang jarang terjadi ( gempa kuat).

    3.4.1 Hazard Level

    Tingkat resiko berbahaya (hazard level) merupakan ancaman dari luar yang

    dapat memberikan dampak terhadap struktur bangunan.Secara umum, bahaya

    digambarkan sebagai parameter ukuran kemungkinan terhadap sesuatu hal yang

    melampaui ambang batas pada suatu periode waktu tertentu. (Widodo,2008).

    Ancaman yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah getaran gempa

    bumi. Jadi seismic risk/hazarad level didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya

    gempa dengan intensitas dan periode ulang tetentu selama suatu masa layan

    bangunan (N tahun), hubungan antara resiko gempa, masa layan bangunan dan

    periode ulang kejadian gempa dapat dirumuskan pada persamaan 3.3 sebagai

    berikut :

    Po = 1 {1 1

    TR}

    N ...................................................................(3.3)

    Keterangan ;

    Po = resiko gempa

    TR = periode ulang gempa

    N = masa layan bangunan

    Contoh perhitungan resiko gempa untuk periode ulang gempa dan masa

    layan bangunan tertentu menurut Persamaan 3.3, dapat dilihat pada Tabel 3.6.

  • 51

    Tabel 3.6 Probability of exceedence

    N

    Life time

    (Year)

    TR (Retrun periode of earthquake)

    (Year)

    5 10 20 50 100 200 500 1000 2500

    10 89 65 40 18 10 5 2 1 0.4

    30 100 96 79 45 26 14 6 3 1

    50 100 99 92 64 39 22 10 5 2

    100 100 100 99 87 63 39 18 10 4

    Dari Tabel 3.6 terlihat bahwa dengan peridode ulang gempa yang sama dan

    penggunaan masa layan bangunan semakin lama maka probabilitas resiko

    kerusakan yang terjadi semakin besar dan begitu juga sebaliknya.

    Pebedaan fungsi bangunan berpengaruh pada penentuan sasaran rehabilitasi

    suatu bangunan sehingga akan berpengaruh terhadap periode ulang gempa rencana

    yang digunakan. Pada saat ini peraturan internasional untunk bangunan tahan

    gempa menggunakan peta hazard kegempaan dengan resiko terlampaui

    (Probability of exceedence) sebesar 10% dan 2% selama masa layan bangunan 50

    tahun atau periode ulang gempa 475 tahun dan 2475 tahun. Peta hazard kegempaan

    merupakan peta kontur/zonasi percepatan tanah maksimum pada suatu wilayah.

    Peta hazard kegempaan pada SNI 1726-03-2002 menggunakan periode ulang

    gempa 500 tahun.

    3.5. JENIS RESPON STRUKTUR

    Pada analisis struktur terdapat beberapa jenis respon struktur yang harus

    pahami. Pada pembebanan dinamik, jenis respon struktur tergantung dari banyak

    aspek, yaitu (1) level pembebanan dan (2) jenis material. Level pembebanan terdiri

    dari elastic dan in elastic (plastis).Sedangkan jenis material yaitu linier dan non

    linier. (Widodo, 2007).

  • 52

    Beberapa jenis respon struktur antara lain seperti terlihat pada Gambar 3.14

    sebagai berikut.

    Gambar 3.14 Jenis respon struktur (Widodo, 2007)

    3.6. PROSEDUR EVALUASI KEKUATAN STRUKTUR BANGUNAN

    EXISTING MENGACU PADA FEMA 310

    Menurut FEMA 310 (1998), prosedur evaluasi kekuatan strutur bangunan

    existing meliputi 3 tahapan yaitu screening phase (Tier 1), evaluation phase (Tier

    2), dan detailed phase (Tier 3). Berikut adalah penjelasan dari tahapan evaluasi

    kekuatan struktur bangunan menurut FEMA 310 (1998).

    3.6.1 Tier (Tahap) 1: Screening Phase

    Pada tahap screening dilakukan secara cepat (Rapid visual screening-RVS)

    untuk mendapatkan potensi kelemahan bangunan. Prosedur RVS ini telah

    diformulasikan untuk menidentifikasi, menginventaris, dan merangking gedung-

    gedung yang berpotensi terhadap resiko gempa. Prosedur RVS dapat dijalankan

    relatif cepat dan tidak mahal untuk membuat daftar gendung-gedung yang

    berpotensial beresiko tanpa biaya yang mahal dari detail analisis kegempaan

    masing-masing gedung.

    Prosedur RVS ini didisain untuk digunakan tanpa perhitungan analisis

    kinerja struktur. Prosedur RVS tersebut menggunakan sebuah system penilaian

    yang dibutuhkan pengguna untuk (1) mengidentifikasi system tahanan beban lateral

    pada struktur primer dan (2) mengidentifikasi komponen sekunder pada gedung

    yang dapat merubah perkiraan kinerja akibat gempa pada sistem tahanan beban

    lateral.

  • 53

    Screening phase ini dapat mengacu pada pedoman FEMA 154 (2002) yakni

    evaluasi struktur dengan rapid visual screening (RVS) serta dapat dilakukan

    screening lebih detail dengan melakukan eheklis evaluasi tier 1 sesuai FEMA 310

    (1998). Formulir harus diisi dengan lengkap untuk mengetahui kelemahan

    (deficiencies) dan untuk melakukan evaluasi lanjutan yang perlu dilakukan. Proses

    pada tahap satu dapat dilihat pada Gambar 3.15 dan Gambar 3.16.

    3.6.2 Tier (Tahap) 2: Evaluation Phase

    Pada tahapan dua, terdiri dari dua analisis yakni (1) analisis secara lengkap

    pada bangunan terhadap deficiencies yang diidentifikasi pada tahap (tier) 1 atau 2

    analisis pada deficiencies saja. Pada tahap 2 juga dilakukan analisis dan evaluasi

    kemampuan sistem gaya lateral yang terjadi pada bangunan. Analisis struktur pada

    tahapan ini adalah analisis linear elastik baik statik maupun dinamik. Pada tahapan

    ini struktur dianggap masih pada kondisi elastik. Analisis kinerja komponen

    dilakukan sesuai prosedur FEMA 356 (2000).

    3.6.3 Tier (Tahap) 3: Detailed Evaluation Phase

    Jika diidentifikasi terdapat deficiencies (kelemahan) pada tahap 2, maka

    dilakukan evaluasi pada tahapan 3. Evaluasi detail terdiri dari analisis dengan

    metode non linier untuk analisis statik dan dinamik pada struktur bangunan

    tersebut. Kinerja dapat dievaluasi dengan membangingkan gaya yang akan terjadi

    dengan kapasitas yang dimiliki oleh struktur tersebut. Pada analisis non linear ini

    menempatkan struktur pada kondisi pasca elastik (inelastic). Analisis yang akan

    digunakan adalah analisis nonlinear inelastic.

  • 54

    Gambar 3.15 Tahapan proses evaluasi (FEMA 310, 1998)

  • 55

    Gambar 3.16 Tahap proses evaluation (FEMA 310, 1998)

  • 56

    3.7. RAPID VISUAL SCREENING (RVS)

    3.7.1 RVS dengan pada FEMA 154 (2002)

    Rapid Visual Screening (RVS) menurut FEMA 154 (2002) dapat diterapkan

    relatif cepa