Proposal 16 Tambahan
-
Upload
maiia-dwinta-sentani -
Category
Documents
-
view
41 -
download
1
description
Transcript of Proposal 16 Tambahan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang
berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya
sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.
Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan
orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda,
echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype,
rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya autisme ini
antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti
timbal, merkuri, kadmium, spasma infantil, rubella kongenital, sklerosis tuberosa, lipidosis
serebral, dan anomali kromosom X rapuh. Selain itu anak penderita autisme memiliki
masalah neorologis dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak,
pons, hipotalamus, hipofisis, medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf penglihatan
atau saraf pendengaran dan gejala umum yang bisa diamati pada anak autis adalah gangguan
pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak mata,
komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi diri, mengamuk (temper tantrum), tindakan
agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik stereotipik
(Safaria, 2005).
Saat ini kasus autisme pada anak (autisme infantile) semakin banyak sehingga
menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat terutama orangtua (Danuatmaja, 2003).
Dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir ini jumlah penyandang autisme semakin
meningkat di seluruh dunia. Perkiraan jumlah kelahiran di Indonesia tahun 1997 yaitu 4,6
juta per tahun. Jumlah penyandang autisme akan bertambah per tahunnya sebanyak 2,15%
dari 4,6 juta atau 9600 anak. Perbandingan anak laki-laki dan wanita penyandang autisme
adalah empat banding satu. Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak mengalami
autisme. Tahun 1987 di dunia, prevalensi anak autis diperkirakan 1 berbanding 5.000
kelahiran. Sepuluh tahun kemudian tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 anak mengalami
1
autisme per 500 kelahiran dan tahun 2000, naik jadi 1:150 dan pada tahun 2001 perbandingan
menjadi 1 berbanding 100 kelahiran (Sutadi, 1997).
Karena cukup tingginya angka kejadian anak autis di Indonesia, maka kami selaku
mahasiswa Fakultas Kedokteran ingin lebih mendalami mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan penyakit tersebut guna mendapatkan gambaran mengenai patofisiologinya sehingga
dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap kasus autis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa defiisi penyakit Autis?
2. Apa saja penyebab penyakit Autis pada anak?
3. Apa saja tanda dan gejala penyakit Autis pada anak?
4. Bagaimana penatalaksanaan dan terapi penyakit Autis?
5. Bagaimana kompetensi dokter umum dalam menangani kasus Penyakit Autis?
1.3 Tujuan Penelitian
Setelah melakukan tugas pengenalan profesi ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mengetahui definisi penyakit Autis.
2. Mengetahui penyebab penyakit Autis pada anak.
3. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Autis pada anak.
4. Mengetahui penatalaksanaan dan terapi penyakit Autis.
5. Mengetahui kompetensi dokter umum dalam menangani kasus Penyakit Autis.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai Penyakit Autis pada anak.
2. Menambah pengalaman dalam mengobservasi pasien anak penderita Autis.
3. Mengingkatkan skill Mahasiswa dalam menganamnesis suatu gejala sehingga
dapat menentukan kemungkinan penyakit yang diderita oleh pasien.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Autisme
Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang
berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya
sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.
Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan
orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda,
echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype,
rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu gangguan
perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim
(extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan
patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya.
Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan
kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan
dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan pembalikan kata gantinya sendiri,
biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ”kamu”.
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas dan
gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas
dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung
pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu.
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan yang
sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi biasanya diperkirakan ada 3-4/10.000 anak. Gangguan ini adalah jaug lebih
lazim pada laki-laki daripada wanita (3 - 4 : 1). Beberapa sistemik, infeksi, dan neurologis
3
menunjukkan gejala-gejala seperti autistik atau memberi kecendrungan penderita pada
perkembangan gejala autistik. Juga ditemukan peningkatan yang berhubungan dnegan kejang
(Behrman, dkk, 1999).
2.3 Gejala Autisme
Diantara gelaja—gejala dan tanda-tanda yang paling penting adalah kemampuan
komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak atau kurang berkembang, kelainan pada pola
berbicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial yang
abnormal, tiadanya empati, dan ketidakmampuan untuk berteman. Sering juga
memperlihatkan gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang
sempit dan keasyikan dengan bagian-bagian tubuh. Anak autistik menarik diri dan sering
menghabiskan waktunya untuk bermain sendiri. muncul perilaku ritualistik, yang
menceriminkan kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap dan dapat
diramalkan. Ledakan amarah dapat menyertai gangguan rutin. Kontak mata minimal atau
tidak ada. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda dan
menggosok permukaan dapat menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap
beberapa rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon
terkejut terhadap suara-suara keras yang mendadak menunjukkan menurunnya sensitivitas
pada rangsangan lain. Jika berbicara memperlihatkan ekholalia, pembalikan kata ganti
pronomial), berpuisi yang tak berujung pangkal, dan bentuk-bentuk bahasa aneh lainnya
dapat menonjol (Behrman, dkk, 1999).
Intelegensi dengan ujung psikologi konvensional biasanya jatuh pada kisaran retardasi
secara fungsional; namun, defisit dalam kemampuan berbicara dan sosialisasi membuatnya
sulit memperoleh estimasi yang tepat dari potensi intelektual anak autistik. Dalam tes
nonverbal yang dilakukan, beberapa anak autistik hasilnya cukup memadai, dan mereka yang
kemampuan bicaranya berkembang dapat memperagakan kapasitas intelektual yang
memadai. Adakalanya anak autistik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan
bakat orang dewasa terpelajar yang idiot (Behrman, dkk, 1999).
Meskipun mula-mula digambarkan sebagai penyakit sosial, kebanyakan riset telah
memfokuskan pada defisitkogniti dan komunikatif pada autisme. Dan terutama, pada tipe-
tipe defisit pemprosesan kognitifyang paling nampak pada situasi emosional. Ciri khas anak
autistik adalah defisit dalam keteraturan verbal, abstraksi, memori rutin, dan pertukaran
4
verbal timbal balik. Anak autistik juga menunjukkan defisit dalam pemahamannya mengenai
apa yang mungkin dirasakan atau dipikirkan orang lain, apa yang disebut kekurangan “teori
berpikir” (Behrman, dkk, 1999).
Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme dan
ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :
a. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu
keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat
pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain
tidak pernah ada.
b. Kelemahan kognitif
Sebahagian besar (± 70 %) anak autis mengalami retardasi mental (IQ < 70)
tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan
kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan
hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi
mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama
sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari
lingkungan sosial.
c. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya
mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa
yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan
TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis
menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai
orang kedua ”kamu” atau orang ketiga ”dia”. Intinya anak autime tidak dapat
berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan
normal.
d. Tingkah laku stereotip
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus-menerus
tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain
sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya
kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga
mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan mengggigit jari. Walaupun
5
sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk
melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis
juga tertarik pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya, pada
roda mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan
dan kebiasaan yang monoton.
2.4 Penyebab Autisme
Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada
pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis,
fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti
Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm,
epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001).
Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk
menjelaskan penyebab autisme, yaitu :
a. Perspektif Psikodinamika
Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya
penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu
merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya
berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak responsif. Anak kemudian
meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun di dunia, sehingga anak
menciptakan ”benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari
penderitaan dan kekecewaan.
b. Perspektif Biologis
1) Pendekatan biologis
Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain, antara 11
pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang dyzygotik (DZ) kembar,
ditemukan satu pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4
dari 11 diantaranya adalah gen autisme. Sedangkan pada DZ, tidak ada.
Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak didioagnosa sebagai autisme,
hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi.
1) Pendekatan kromosom
6
Kromosom yang dapat menyebabkan autisme yaitu sindrom fragile X dan
kromosom XXY, namun kromosom XXY ini tidak menunjukkan hubungan
yang sekuat sindrom fragile X.
2) Pendekatan biokimia
Anak-anak autis memiliki kadar serotonin dan dopamine yang sangat tinggi.
Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar dopamine yaitu seperti
phenotiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme.
3) Gangguan bawaan dan komplikasi
Ada 2 penyebab autisme yaitu, virus herpes dan rubella. Autisme yang
berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan
faktor genetik.
4) Pendekatan neurological
a) Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa gejala berikut :
b) Karakteristik anak autis seperti gangguan perkembangan bahasa,
retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang
rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap stimulus sensori, menentang
stimulus auditory dan visual) berhubungan dengan fungsi sistem saraf
pusat.
c) Sistem saraf menunjukkan abnormalitas seperti, gangguan otot, alat
koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif.
d) Memiliki electroencephalogram (EEG) yang abnormal. Penelitian ERP
menunjukkan tidak adanya respon memperhatikan objek atau stimulus
bahasa.
e) Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem lymbik otak
yang sangat berpengaruh terhadap kognisi, memori, emosi dan tingkah
laku. Sistem lymbicnya lebih kecil dan bergumpal dibeberapa area,
bagian dendrit saraf anak autisme lebih pendek dan kurang lengkap.
c. Perspektif Kognitif
1) Ornitz, dkk (1974) mengatakan bahwa gangguan pada anak autis disebabkan
karena adanya masalah dalam mengatur dan menyatakan input terhadap alat
perasa. Contohnya, memberi respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi
terhadap suara.
7
2) M. Rutter (1971) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu dimana anak
autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak autis juga mengalami
gangguan bahasa seperti aphasia yaitu kehilangan kemampuan memakai atau
memahami kata-kata yang disebabkan karena kerusakan otak. Tetapi dalam
perspektif ini menyatakan bahwa anak autis tidak memberi respon
disebabkan adanya masalah perseptual.
3) Loovas, dkk (1979) mengatakan bahwa anak autis sangat overselektif dalam
memperhatikan sesuatu. Anak autis hanya dapat memproses dan merespon
satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan
perceptual.
4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu dalam pikiran. Misalnya, tidak
dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari suatu
objek.
2.5 Kriteria Diagnostik Autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria
diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:
a. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari
(1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3) :
1. Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan
setidak-tidaknya dua dari hal berikut :
b) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non
verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur
untuk mengatur interaksi sosial.
c) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat
menurut tahap perkembangan.
d) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi
kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti
dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
e) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
2. Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidak-
tidaknya satu dari hal berikut :
8
a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa
(tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam
alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau mimik).
b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan
kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan
orang lain.
c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau
bahasa yang aneh.
d) Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan
atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
3. Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap,
ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu
dari hal berikut :
a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang
berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang
spesifik.
c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau
mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari
keseluruhan tubuh).
d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
b. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut,
dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang
digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 :
1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas
autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada
orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan.
Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang dan berat tidak
berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan
hasil yang optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang
9
autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam
membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).
2.6 Perkembangan Anak Autisme
Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat
dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode perkembangan
yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler dan masa prasekolah dan kanak-
kanak tengah.
1. Masa infant dan toddler
Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus autisme
sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya dengan
perkembangan anak normal.
10
2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah
a. Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah
pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak
autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara
afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama
dengan orang tersebut.
b. Reciprocity
Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam
interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup
mereka.
1. Kesulitan penerimaan
Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto atau rekaman suara, mungkin
karena kesulitan kognitif dalam memproses stimulus sosial yang kompleks. Anak
autis memahami penyebab dari emosi setidaknya pada level-level sederhana.
Misalnya: mereka memahami hubungan antara situasi dan affect. Orang merasa
senang saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.
2. Kesulitan ekspresif
Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah yang biasanya muncul pada
anak normal usia 2-3 tahun. Mereka juga mengalami kekurangan dalam ekspresi
wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya modulasi dalam aspek ekspresif
dari suara yang memberikan kesan kaku.
12
2.7 Tingkat Kecerdasan Anak Autis
Pusponegoro (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak autis dibagi mejadi
3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Low Functioning (IQ rendah)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ rendah),
maka dikemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan
untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang lain.
b. Medium Functioning (IQ sedang)
Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang),
maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini masih
bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita autis.
c. High Functioning (IQ tinggi)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ ”tinggi”),
maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam
pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.
2.8 Pengobatan
Berbagai tindakan terapeutik telah dianjurkan untuk menangani dan menatalaksana
anak-anak autistik, namun keberhasilannya terbatas. Terapi perilaku dengan pemanfaatan
keadaan yang sedang berlaku dilaporkan meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku
destruktif dan agresi sering dapat diubah dengan manajemen perilaku. Neuroleptik telah
menunjukkan harapan dalam mengurangiperilaku mencelakakan diri sendiri, yang
kelihatannya mengarah pada perilaku agresi, stereotipik, dan penarikan diri dari pergaulan
sosial. Antagonis opiat yang kuat, baru-baru ini terbukti mengubah masalah-masalah
perilaku, penarikan diri dan stereotipik. Model penanganan harian dengan menggunakan
permainan, terapi kemampuan berbicara dan latihan antarperorangan terstruktur juga
menampakkan harapan (Behrman, dkk, 1999).
Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan
memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme
adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan
akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan
setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda (Muhardi, 2009).
13
1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain
khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus
pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias
diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia (Muhardi,
2009).
2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa.
Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau
kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun
mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan
orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong (Muhardi,
2009).
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.
Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang
benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-
otot halusnya dengan benar (Muhardi, 2009).
4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik
mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya
lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi
dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya
dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya (Muhardi, 2009).
5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi
dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan
berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis
14
sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-
teman sebaya dan mengajari cara-caranya (Muhardi, 2009).
6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar
bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan
interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-
teknik tertentu (Muhardi, 2009).
7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman‐temannya seringkali tidak memahami
mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, mereka banyak yang
hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk.
Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut
dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak
tersebut untuk memperbaiki perilakunya (Muhardi, 2009).
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai
terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya.
Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan
ketrampilan yang lebih spesifik (Muhardi, 2009).
9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal
inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui
gambar-gambar, misalnya PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa
video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi (Muhardi,
2009).
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat
Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih
15
melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya
gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu
anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua
hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan.
Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang
komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis) (Muhardi, 2009).
2.9 Prognosis
Ini harus berhati-hati. Beberapa anak terutama mereka yang mengalami gangguan
bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marginal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi,
hidup dalam masyarakat, namun untuk beberapa anak, penempatan lama pada institusi
merupakan hasil akhir. Hubungan antara autisme dan skizofrenia tidak jelas. Kasus dimana
anak autistik kemudian berkembang menjadi skizofrenia telah dilaporkan, namun jarang.
Prognosis yang lebih baik adalah terkaitan dengan intelegensi yang lebih tinggi., kemampuan
bicara fungsional, dan kurangnya gelaja-gejala dan perilaku aneh. Gejala-gejala sering
berubah karena anak-anak tumbuh semakin tua. Kejang-kejang dan mencelakakan diri sendiri
semakin lazim dengan perkembangan usia (Behrman, dkk, 1999).
2.10 Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak autis
Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak. Sementara menurut
Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), orangtua
adalah ayah dan ibu kandung. Jadi, dari definisi diatas, maka dapat dismpulkan bahwa orang
tua yang memiliki anak autis adalah ayah dan ibu yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri
autisme.
Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal terjadi pada
diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat, mencari pengobatan keman-
mana, serba khawatir terhadap masa depan anaknya dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini
ditegaskan kembali oleh Williams dan Wright (2004) yang mengatakan bahwa keluarga akan
melalui serangkaian emosi saat dikatakan anak mereka autis. Ini bervariasi pada setiap
keluarga, dan setiap keluarga punya perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa keluarga
telah melalui proses diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama waktu
16
konsultasi. Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit waktu untuk
memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada beberapa anak, diagnosis lebih
mudah dibuat pada saat anak berusia dini dan pada beberapa, diagnosisnya sulit karena
masalahnya lebih ringan. Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana orangtua akan
memikirkan langkah ke depan apa yang harus mereka lakukan.
Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki respon dan perasaan
berbeda saat anak mereka didagnosa menderita autisme. Beberapa reaksinya adalah sebagai
berikut :
a. Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan mengetahui bagaimana
mencari bantuan ahli.
b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika mereka melakukan
hal yang salah selama kehamilan atau pengasuhannya.
c. Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum lahir dan saat
mereka masih kecil tidak terpenuhi.
d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut akan masa depan
anak-anak mereka dan harus mengubah harapan akan masa depan anaknya.
e. Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi sebanyak mungkin
dan mencari keluarga lain untuk berbagi pengalaman. Walaupun ada beberapa
keluarga yang mungkin menghindar dari informasi dan mencoba tidak
memperdulikannya.
Penyesuaian diri adalah proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku
yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal,
ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara
tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu
berada (Schneider, 1964).
Orangtua yang memiliki anak autis diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan
baik sehingga orangtua harus memiliki beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik,
yaitu (Schneider, 1964):
1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality)
sehingga mampu mengontrol emosi yang berlebihan dan dalam menghadapi
permasalahan emosinya akan tetap tenang dan tidak panik.
17
2. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological mechanisms)
sehingga dalam menyelesaikan masalah individu menggunakan pemikiran yang
rasional dan mengarah langsung pada permasalahan.
3. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of the sense of personal
frustration) sehingga individu mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak
menjadi cemas dan frustasi.
4. kemampuan untuk belajar (ability to learn) yaitu pengetahuan yang diperoleh dari
hasil belajar dapat dipergunakan untuk mendukung dan mengatasi permasalahan
yang dihadapi.
5. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience) sehingga dapat
membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain dan
pengalaman-pengalaman tersebut dapat memberikan sumbangan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi
6. Sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes) yaitu mampu
menghadapi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.
7. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self
direction) yaitu individu dapat mengarahkan dirinya dan mempertimbangkan
masalah secara rasional.
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat
memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Berdasarkan baik atau
buruknya penyesuaian diri orangtua dengan anak autis, dapat dikemukakan dua bentuk
penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu :
1. Penyesuaian diri yang buruk dimana orangtua menerima kehadiran anak autis
secara pasif dan tidak mengoptimalkan kemampuan dirinya dan anak tersebut
untuk mengatasi masalah yang muncul.
2. Penyesuaian diri yang baik dimana orangtua dapat menerima keterbatasan-
keterbatasan dari anak sehingga akan tercipta hubungan baik antara anak dengan
dirinya. Salah satu prinsip penting dari penyesuaian diri yang baik pada orangtua
anak autisme yaitu membuat tujuan yang realistis yang berhubungan dengan
kemampuan anaknya atau hubungan diantara mereka dan berusaha mencapai
tujuan tersebut secara bersama-sama.
3. Adapun penyesuaian diri yang tidak baik menurut Schneiders (1969) adalah
penyesuaian diri yang menyimpang dari kenyataan yang ditandai dengan
ketidakmampuan mengendalikan emosi bila menghadapi masalah, menjadi panik
18
sehingga tindakan yang diambil tidak sesuai dengan kenyataan, menggunakan
pertahanan diri yang berlebihan dan menyimpang dari kenyataan sehingga
memungkinkan terjadinya kecemasan, frustasi dan konflik.
2.11 Kompetensi Dokter Umum
Tingkat Kemampuan 2
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk pasien secepatnya ke
spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya
Tingkat Kemampuan 3
3b. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).
19
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat Pelaksanaan
Bina Autis Mandiri
3.2 Waktu Pelaksanaan
Hari dan Tanggal :
Jam :
3.3 Subjek Tugas Mandiri
Penderita autis di Bina Autis Mandiri
3.4 Langkah Kerja
1. Membuat proposal.
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing TPP.
3. Mengobservasi kasus autisme pada anak di Bina Autis Mandiri
4. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
5. Membuat laporan hasil TPP dari data yang sudah didapatkan.
3.5 Pengumpulan data
Melakukan observasi langsung terhadap penderita autis di Bina autis Mandiri
20
3.6 Pengolahan data
Analisis deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakukan dengan cara
membandingkan teori dan data di lapangan
Palembang, Desember 2012
Pembimbing
dr. Patricia Wulandari
21
BAB IV
PENUTUP
Proposal ini disusun sebagai usaha melakukan penyelenggaraan kegiatan Tugas
Pengenalan Profesi (TPP) supaya mahasiswa dapat mengamati lebih awal dan secara
langsung pada penderita autis di Bina Autis Mandiri.
Demikianlah proposal kami, semoga proposal ini menjadi bahan pertimbangan dan
perhatian dr. Patricia Wulandari selaku pembimbing Tutorial 2 dalam mendukung kegiatan
Tugas Pengenalan Profesi (TPP) yang kami laksanakan dalam rangka meningkatkan Sumber
Daya Manusia sekaligus untuk memenuhi tugas pada blok XVI ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
Acocella, dkk. (1996). Abnormal Psychology (7th ed). New York : Mc Graw Hill.
American Psychiatric Association. (2004). Diagnostic & Statistical Manual of mental
Disorders IV - TR (4th ed). Washington : APA.
Behrman, dkk. (1999). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol. 1 (ed. 15). Jakarta : EGC
Danuatmaja, B. (2003). Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta : Puspa Swara
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta.
Lazarus, R. S. (1969). Pattern of Adjustment. Tokyo : Mc. Graw Hill
Lumbantobing, S. M. (2001). Anak dengan Gangguan Mental Terbelakang. Jakarta : FK UI
Muhardi, Agus. (2009). Autisme: Memahami Perilaku anak-anak. Lubuk Linggau: Artikel
Autis Awerness
Poerwadarminta, W, J, S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusponegoro HD. (2002). Autisme : Bagaimana Mengenal dan Menegakkan Diagnosis.
Dalam : Trihono PP, Purnawati S, Syarif DR, Hegar B, Gunardi H, Oswari H, dkk.,
penyunying. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Safaria, T. (2005). Autisme : Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Schneiders, A. A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt,
Renehart & Winston.
Sutadi, R. dkk. (2003). Penatalaksanaan Holistik Autisme (ed. pertama). Jakarta : FK UI
Suryana, A. (2004). Terapi Autisme: Anak Berbakat dan Anak Hiperaktif. Jakarta: Progres.
Wenar, Charles. (1994). Developmental Psychopathology : From Infancy Through
Adolescence (3th ed). New York : Mc Graw Hill.
Widihastuti, S. (2007). Pola Pendidikan Anak Autis: Aktivitas Pembelajaran di Sekolah Autis
Fajar Nugraha. Yogyakarta: CV. Datamedia.
William, C. dan Wright, B. (2004). How To Live With Autism and Asperger Syndrome.
Jakarta: Dian Rakyat.
Yusuf, E. A. (2003). Autisme : Masa Kanak. Medan : USU Digital Libarary
23