Proposal 16 Tambahan

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007). Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya autisme ini antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti timbal, merkuri, kadmium, spasma infantil, rubella kongenital, sklerosis tuberosa, lipidosis serebral, dan anomali kromosom X rapuh. Selain itu anak penderita autisme memiliki masalah neorologis dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, pons, hipotalamus, hipofisis, medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf penglihatan atau saraf pendengaran dan gejala umum yang bisa diamati pada anak autis adalah gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak mata, komunikasi 1

description

tpp

Transcript of Proposal 16 Tambahan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang

berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya

sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.

Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan

orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda,

echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype,

rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam

lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).

Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya autisme ini

antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti

timbal, merkuri, kadmium, spasma infantil, rubella kongenital, sklerosis tuberosa, lipidosis

serebral, dan anomali kromosom X rapuh. Selain itu anak penderita autisme memiliki

masalah neorologis dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak,

pons, hipotalamus, hipofisis, medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf penglihatan

atau saraf pendengaran dan gejala umum yang bisa diamati pada anak autis adalah gangguan

pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak mata,

komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi diri, mengamuk (temper tantrum), tindakan

agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik stereotipik

(Safaria, 2005).

Saat ini kasus autisme pada anak (autisme infantile) semakin banyak sehingga

menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat terutama orangtua (Danuatmaja, 2003).

Dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir ini jumlah penyandang autisme semakin

meningkat di seluruh dunia. Perkiraan jumlah kelahiran di Indonesia tahun 1997 yaitu 4,6

juta per tahun. Jumlah penyandang autisme akan bertambah per tahunnya sebanyak 2,15%

dari 4,6 juta atau 9600 anak. Perbandingan anak laki-laki dan wanita penyandang autisme

adalah empat banding satu. Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak mengalami

autisme. Tahun 1987 di dunia, prevalensi anak autis diperkirakan 1 berbanding 5.000

kelahiran. Sepuluh tahun kemudian tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 anak mengalami

1

autisme per 500 kelahiran dan tahun 2000, naik jadi 1:150 dan pada tahun 2001 perbandingan

menjadi 1 berbanding 100 kelahiran (Sutadi, 1997).

Karena cukup tingginya angka kejadian anak autis di Indonesia, maka kami selaku

mahasiswa Fakultas Kedokteran ingin lebih mendalami mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan penyakit tersebut guna mendapatkan gambaran mengenai patofisiologinya sehingga

dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap kasus autis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa defiisi penyakit Autis?

2. Apa saja penyebab penyakit Autis pada anak?

3. Apa saja tanda dan gejala penyakit Autis pada anak?

4. Bagaimana penatalaksanaan dan terapi penyakit Autis?

5. Bagaimana kompetensi dokter umum dalam menangani kasus Penyakit Autis?

1.3 Tujuan Penelitian

Setelah melakukan tugas pengenalan profesi ini, diharapkan mahasiswa mampu :

1. Mengetahui definisi penyakit Autis.

2. Mengetahui penyebab penyakit Autis pada anak.

3. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Autis pada anak.

4. Mengetahui penatalaksanaan dan terapi penyakit Autis.

5. Mengetahui kompetensi dokter umum dalam menangani kasus Penyakit Autis.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai Penyakit Autis pada anak.

2. Menambah pengalaman dalam mengobservasi pasien anak penderita Autis.

3. Mengingkatkan skill Mahasiswa dalam menganamnesis suatu gejala sehingga

dapat menentukan kemungkinan penyakit yang diderita oleh pasien.

2

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Autisme

Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang

berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya

sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.

Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan

orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda,

echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype,

rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam

lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu gangguan

perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim

(extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan

patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya.

Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan

kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan

dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan pembalikan kata gantinya sendiri,

biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ”kamu”.

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas dan

gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas

dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung

pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu.

Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan yang

sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi biasanya diperkirakan ada 3-4/10.000 anak. Gangguan ini adalah jaug lebih

lazim pada laki-laki daripada wanita (3 - 4 : 1). Beberapa sistemik, infeksi, dan neurologis

3

menunjukkan gejala-gejala seperti autistik atau memberi kecendrungan penderita pada

perkembangan gejala autistik. Juga ditemukan peningkatan yang berhubungan dnegan kejang

(Behrman, dkk, 1999).

2.3 Gejala Autisme

Diantara gelaja—gejala dan tanda-tanda yang paling penting adalah kemampuan

komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak atau kurang berkembang, kelainan pada pola

berbicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial yang

abnormal, tiadanya empati, dan ketidakmampuan untuk berteman. Sering juga

memperlihatkan gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang

sempit dan keasyikan dengan bagian-bagian tubuh. Anak autistik menarik diri dan sering

menghabiskan waktunya untuk bermain sendiri. muncul perilaku ritualistik, yang

menceriminkan kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap dan dapat

diramalkan. Ledakan amarah dapat menyertai gangguan rutin. Kontak mata minimal atau

tidak ada. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda dan

menggosok permukaan dapat menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap

beberapa rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon

terkejut terhadap suara-suara keras yang mendadak menunjukkan menurunnya sensitivitas

pada rangsangan lain. Jika berbicara memperlihatkan ekholalia, pembalikan kata ganti

pronomial), berpuisi yang tak berujung pangkal, dan bentuk-bentuk bahasa aneh lainnya

dapat menonjol (Behrman, dkk, 1999).

Intelegensi dengan ujung psikologi konvensional biasanya jatuh pada kisaran retardasi

secara fungsional; namun, defisit dalam kemampuan berbicara dan sosialisasi membuatnya

sulit memperoleh estimasi yang tepat dari potensi intelektual anak autistik. Dalam tes

nonverbal yang dilakukan, beberapa anak autistik hasilnya cukup memadai, dan mereka yang

kemampuan bicaranya berkembang dapat memperagakan kapasitas intelektual yang

memadai. Adakalanya anak autistik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan

bakat orang dewasa terpelajar yang idiot (Behrman, dkk, 1999).

Meskipun mula-mula digambarkan sebagai penyakit sosial, kebanyakan riset telah

memfokuskan pada defisitkogniti dan komunikatif pada autisme. Dan terutama, pada tipe-

tipe defisit pemprosesan kognitifyang paling nampak pada situasi emosional. Ciri khas anak

autistik adalah defisit dalam keteraturan verbal, abstraksi, memori rutin, dan pertukaran

4

verbal timbal balik. Anak autistik juga menunjukkan defisit dalam pemahamannya mengenai

apa yang mungkin dirasakan atau dipikirkan orang lain, apa yang disebut kekurangan “teori

berpikir” (Behrman, dkk, 1999).

Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme dan

ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :

a. Isolasi sosial

Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu

keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat

pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain

tidak pernah ada.

b. Kelemahan kognitif

Sebahagian besar (± 70 %) anak autis mengalami retardasi mental (IQ < 70)

tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan

kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan

hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi

mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama

sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari

lingkungan sosial.

c. Kekurangan dalam bahasa

Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya

mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa

yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan

TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis

menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai

orang kedua ”kamu” atau orang ketiga ”dia”. Intinya anak autime tidak dapat

berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan

normal.

d. Tingkah laku stereotip

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus-menerus

tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain

sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya

kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga

mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan mengggigit jari. Walaupun

5

sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk

melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis

juga tertarik pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya, pada

roda mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan

dan kebiasaan yang monoton.

2.4 Penyebab Autisme

Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada

pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis,

fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti

Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm,

epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001).

Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk

menjelaskan penyebab autisme, yaitu :

a. Perspektif Psikodinamika

Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya

penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu

merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya

berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak responsif. Anak kemudian

meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun di dunia, sehingga anak

menciptakan ”benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari

penderitaan dan kekecewaan.

b. Perspektif Biologis

1) Pendekatan biologis

Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain, antara 11

pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang dyzygotik (DZ) kembar,

ditemukan satu pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4

dari 11 diantaranya adalah gen autisme. Sedangkan pada DZ, tidak ada.

Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak didioagnosa sebagai autisme,

hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi.

1) Pendekatan kromosom

6

Kromosom yang dapat menyebabkan autisme yaitu sindrom fragile X dan

kromosom XXY, namun kromosom XXY ini tidak menunjukkan hubungan

yang sekuat sindrom fragile X.

2) Pendekatan biokimia

Anak-anak autis memiliki kadar serotonin dan dopamine yang sangat tinggi.

Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar dopamine yaitu seperti

phenotiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme.

3) Gangguan bawaan dan komplikasi

Ada 2 penyebab autisme yaitu, virus herpes dan rubella. Autisme yang

berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan

faktor genetik.

4) Pendekatan neurological

a) Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat

dibuktikan dengan adanya beberapa gejala berikut :

b) Karakteristik anak autis seperti gangguan perkembangan bahasa,

retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang

rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap stimulus sensori, menentang

stimulus auditory dan visual) berhubungan dengan fungsi sistem saraf

pusat.

c) Sistem saraf menunjukkan abnormalitas seperti, gangguan otot, alat

koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif.

d) Memiliki electroencephalogram (EEG) yang abnormal. Penelitian ERP

menunjukkan tidak adanya respon memperhatikan objek atau stimulus

bahasa.

e) Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem lymbik otak

yang sangat berpengaruh terhadap kognisi, memori, emosi dan tingkah

laku. Sistem lymbicnya lebih kecil dan bergumpal dibeberapa area,

bagian dendrit saraf anak autisme lebih pendek dan kurang lengkap.

c. Perspektif Kognitif

1) Ornitz, dkk (1974) mengatakan bahwa gangguan pada anak autis disebabkan

karena adanya masalah dalam mengatur dan menyatakan input terhadap alat

perasa. Contohnya, memberi respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi

terhadap suara.

7

2) M. Rutter (1971) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu dimana anak

autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak autis juga mengalami

gangguan bahasa seperti aphasia yaitu kehilangan kemampuan memakai atau

memahami kata-kata yang disebabkan karena kerusakan otak. Tetapi dalam

perspektif ini menyatakan bahwa anak autis tidak memberi respon

disebabkan adanya masalah perseptual.

3) Loovas, dkk (1979) mengatakan bahwa anak autis sangat overselektif dalam

memperhatikan sesuatu. Anak autis hanya dapat memproses dan merespon

satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan

perceptual.

4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu dalam pikiran. Misalnya, tidak

dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari suatu

objek.

2.5 Kriteria Diagnostik Autisme

Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria

diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:

a. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari

(1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3) :

1. Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan

setidak-tidaknya dua dari hal berikut :

b) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non

verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur

untuk mengatur interaksi sosial.

c) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat

menurut tahap perkembangan.

d) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi

kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti

dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).

e) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.

2. Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidak-

tidaknya satu dari hal berikut :

8

a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa

(tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam

alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau mimik).

b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan

kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan

orang lain.

c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau

bahasa yang aneh.

d) Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan

atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.

3. Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap,

ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu

dari hal berikut :

a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang

berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.

b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang

spesifik.

c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau

mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari

keseluruhan tubuh).

d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek

b. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut,

dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang

digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.

c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau

Childhood Disintegrative Disorder.

Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 :

1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas

autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada

orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan.

Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang dan berat tidak

berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan

hasil yang optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang

9

autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam

membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).

2.6 Perkembangan Anak Autisme

Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat

dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode perkembangan

yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler dan masa prasekolah dan kanak-

kanak tengah.

1. Masa infant dan toddler

Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus autisme

sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya dengan

perkembangan anak normal.

10

Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis pada masa infant

dan toddler

11

2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah

a. Faktor afektif-motivasional

Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah

pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak

autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara

afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama

dengan orang tersebut.

b. Reciprocity

Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam

interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup

mereka.

1. Kesulitan penerimaan

Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto atau rekaman suara, mungkin

karena kesulitan kognitif dalam memproses stimulus sosial yang kompleks. Anak

autis memahami penyebab dari emosi setidaknya pada level-level sederhana.

Misalnya: mereka memahami hubungan antara situasi dan affect. Orang merasa

senang saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.

2. Kesulitan ekspresif

Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah yang biasanya muncul pada

anak normal usia 2-3 tahun. Mereka juga mengalami kekurangan dalam ekspresi

wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya modulasi dalam aspek ekspresif

dari suara yang memberikan kesan kaku.

12

2.7 Tingkat Kecerdasan Anak Autis

Pusponegoro (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak autis dibagi mejadi

3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Low Functioning (IQ rendah)

Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ rendah),

maka dikemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan

untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang lain.

b. Medium Functioning (IQ sedang)

Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang),

maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini masih

bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita autis.

c. High Functioning (IQ tinggi)

Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ ”tinggi”),

maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam

pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.

2.8 Pengobatan

Berbagai tindakan terapeutik telah dianjurkan untuk menangani dan menatalaksana

anak-anak autistik, namun keberhasilannya terbatas. Terapi perilaku dengan pemanfaatan

keadaan yang sedang berlaku dilaporkan meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku

destruktif dan agresi sering dapat diubah dengan manajemen perilaku. Neuroleptik telah

menunjukkan harapan dalam mengurangiperilaku mencelakakan diri sendiri, yang

kelihatannya mengarah pada perilaku agresi, stereotipik, dan penarikan diri dari pergaulan

sosial. Antagonis opiat yang kuat, baru-baru ini terbukti mengubah masalah-masalah

perilaku, penarikan diri dan stereotipik. Model penanganan harian dengan menggunakan

permainan, terapi kemampuan berbicara dan latihan antarperorangan terstruktur juga

menampakkan harapan (Behrman, dkk, 1999).

Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan

memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme

adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan

akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan

setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda (Muhardi, 2009).

13

1) Applied Behavioral Analysis (ABA)

ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain

khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus

pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias

diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia (Muhardi,

2009).

2) Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa.

Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau

kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun

mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan

orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong (Muhardi,

2009).

3) Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.

Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang

benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain

sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-

otot halusnya dengan benar (Muhardi, 2009).

4) Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik

mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya

lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi

dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya

dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya (Muhardi, 2009).

5) Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi

dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan

berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis

14

sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-

teman sebaya dan mengajari cara-caranya (Muhardi, 2009).

6) Terapi Bermain

Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar

bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan

interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-

teknik tertentu (Muhardi, 2009).

7) Terapi Perilaku.

Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman‐temannya seringkali tidak memahami

mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, mereka banyak yang

hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk.

Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut

dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak

tersebut untuk memperbaiki perilakunya (Muhardi, 2009).

8) Terapi Perkembangan

Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai

terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat

perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya.

Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan

ketrampilan yang lebih spesifik (Muhardi, 2009).

9) Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal

inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui

gambar-gambar, misalnya PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa

video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi (Muhardi,

2009).

10) Terapi Biomedik

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat

Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih

15

melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya

gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu

anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua

hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan.

Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang

komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis) (Muhardi, 2009).

2.9 Prognosis

Ini harus berhati-hati. Beberapa anak terutama mereka yang mengalami gangguan

bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marginal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi,

hidup dalam masyarakat, namun untuk beberapa anak, penempatan lama pada institusi

merupakan hasil akhir. Hubungan antara autisme dan skizofrenia tidak jelas. Kasus dimana

anak autistik kemudian berkembang menjadi skizofrenia telah dilaporkan, namun jarang.

Prognosis yang lebih baik adalah terkaitan dengan intelegensi yang lebih tinggi., kemampuan

bicara fungsional, dan kurangnya gelaja-gejala dan perilaku aneh. Gejala-gejala sering

berubah karena anak-anak tumbuh semakin tua. Kejang-kejang dan mencelakakan diri sendiri

semakin lazim dengan perkembangan usia (Behrman, dkk, 1999).

2.10 Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak autis

Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak. Sementara menurut

Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), orangtua

adalah ayah dan ibu kandung. Jadi, dari definisi diatas, maka dapat dismpulkan bahwa orang

tua yang memiliki anak autis adalah ayah dan ibu yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri

autisme.

Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal terjadi pada

diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat, mencari pengobatan keman-

mana, serba khawatir terhadap masa depan anaknya dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini

ditegaskan kembali oleh Williams dan Wright (2004) yang mengatakan bahwa keluarga akan

melalui serangkaian emosi saat dikatakan anak mereka autis. Ini bervariasi pada setiap

keluarga, dan setiap keluarga punya perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa keluarga

telah melalui proses diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama waktu

16

konsultasi. Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit waktu untuk

memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada beberapa anak, diagnosis lebih

mudah dibuat pada saat anak berusia dini dan pada beberapa, diagnosisnya sulit karena

masalahnya lebih ringan. Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana orangtua akan

memikirkan langkah ke depan apa yang harus mereka lakukan.

Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki respon dan perasaan

berbeda saat anak mereka didagnosa menderita autisme. Beberapa reaksinya adalah sebagai

berikut :

a. Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan mengetahui bagaimana

mencari bantuan ahli.

b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika mereka melakukan

hal yang salah selama kehamilan atau pengasuhannya.

c. Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum lahir dan saat

mereka masih kecil tidak terpenuhi.

d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut akan masa depan

anak-anak mereka dan harus mengubah harapan akan masa depan anaknya.

e. Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi sebanyak mungkin

dan mencari keluarga lain untuk berbagi pengalaman. Walaupun ada beberapa

keluarga yang mungkin menghindar dari informasi dan mencoba tidak

memperdulikannya.

Penyesuaian diri adalah proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku

yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal,

ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara

tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu

berada (Schneider, 1964).

Orangtua yang memiliki anak autis diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan

baik sehingga orangtua harus memiliki beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik,

yaitu (Schneider, 1964):

1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality)

sehingga mampu mengontrol emosi yang berlebihan dan dalam menghadapi

permasalahan emosinya akan tetap tenang dan tidak panik.

17

2. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological mechanisms)

sehingga dalam menyelesaikan masalah individu menggunakan pemikiran yang

rasional dan mengarah langsung pada permasalahan.

3. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of the sense of personal

frustration) sehingga individu mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak

menjadi cemas dan frustasi.

4. kemampuan untuk belajar (ability to learn) yaitu pengetahuan yang diperoleh dari

hasil belajar dapat dipergunakan untuk mendukung dan mengatasi permasalahan

yang dihadapi.

5. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience) sehingga dapat

membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain dan

pengalaman-pengalaman tersebut dapat memberikan sumbangan dalam

pemecahan masalah yang dihadapi

6. Sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes) yaitu mampu

menghadapi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

7. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self

direction) yaitu individu dapat mengarahkan dirinya dan mempertimbangkan

masalah secara rasional.

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat

memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Berdasarkan baik atau

buruknya penyesuaian diri orangtua dengan anak autis, dapat dikemukakan dua bentuk

penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu :

1. Penyesuaian diri yang buruk dimana orangtua menerima kehadiran anak autis

secara pasif dan tidak mengoptimalkan kemampuan dirinya dan anak tersebut

untuk mengatasi masalah yang muncul.

2. Penyesuaian diri yang baik dimana orangtua dapat menerima keterbatasan-

keterbatasan dari anak sehingga akan tercipta hubungan baik antara anak dengan

dirinya. Salah satu prinsip penting dari penyesuaian diri yang baik pada orangtua

anak autisme yaitu membuat tujuan yang realistis yang berhubungan dengan

kemampuan anaknya atau hubungan diantara mereka dan berusaha mencapai

tujuan tersebut secara bersama-sama.

3. Adapun penyesuaian diri yang tidak baik menurut Schneiders (1969) adalah

penyesuaian diri yang menyimpang dari kenyataan yang ditandai dengan

ketidakmampuan mengendalikan emosi bila menghadapi masalah, menjadi panik

18

sehingga tindakan yang diambil tidak sesuai dengan kenyataan, menggunakan

pertahanan diri yang berlebihan dan menyimpang dari kenyataan sehingga

memungkinkan terjadinya kecemasan, frustasi dan konflik.

2.11 Kompetensi Dokter Umum

Tingkat Kemampuan 2

Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan

laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk pasien secepatnya ke

spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya

Tingkat Kemampuan 3

3b. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan

laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi

pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).

19

BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat Pelaksanaan

Bina Autis Mandiri

3.2 Waktu Pelaksanaan

Hari dan Tanggal :

Jam :

3.3 Subjek Tugas Mandiri

Penderita autis di Bina Autis Mandiri

3.4 Langkah Kerja

1. Membuat proposal.

2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing TPP.

3. Mengobservasi kasus autisme pada anak di Bina Autis Mandiri

4. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

5. Membuat laporan hasil TPP dari data yang sudah didapatkan.

3.5 Pengumpulan data

Melakukan observasi langsung terhadap penderita autis di Bina autis Mandiri

20

3.6 Pengolahan data

Analisis deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakukan dengan cara

membandingkan teori dan data di lapangan

Palembang, Desember 2012

Pembimbing

dr. Patricia Wulandari

21

BAB IV

PENUTUP

Proposal ini disusun sebagai usaha melakukan penyelenggaraan kegiatan Tugas

Pengenalan Profesi (TPP) supaya mahasiswa dapat mengamati lebih awal dan secara

langsung pada penderita autis di Bina Autis Mandiri.

Demikianlah proposal kami, semoga proposal ini menjadi bahan pertimbangan dan

perhatian dr. Patricia Wulandari selaku pembimbing Tutorial 2 dalam mendukung kegiatan

Tugas Pengenalan Profesi (TPP) yang kami laksanakan dalam rangka meningkatkan Sumber

Daya Manusia sekaligus untuk memenuhi tugas pada blok XVI ini.

22

DAFTAR PUSTAKA

Acocella, dkk. (1996). Abnormal Psychology (7th ed). New York : Mc Graw Hill.

American Psychiatric Association. (2004). Diagnostic & Statistical Manual of mental

Disorders IV - TR (4th ed). Washington : APA.

Behrman, dkk. (1999). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol. 1 (ed. 15). Jakarta : EGC

Danuatmaja, B. (2003). Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta : Puspa Swara

Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta.

Lazarus, R. S. (1969). Pattern of Adjustment. Tokyo : Mc. Graw Hill

Lumbantobing, S. M. (2001). Anak dengan Gangguan Mental Terbelakang. Jakarta : FK UI

Muhardi, Agus. (2009). Autisme: Memahami Perilaku anak-anak. Lubuk Linggau: Artikel

Autis Awerness

Poerwadarminta, W, J, S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pusponegoro HD. (2002). Autisme : Bagaimana Mengenal dan Menegakkan Diagnosis.

Dalam : Trihono PP, Purnawati S, Syarif DR, Hegar B, Gunardi H, Oswari H, dkk.,

penyunying. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Safaria, T. (2005). Autisme : Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua.

Yogyakarta : Graha Ilmu.

Schneiders, A. A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt,

Renehart & Winston.

Sutadi, R. dkk. (2003). Penatalaksanaan Holistik Autisme (ed. pertama). Jakarta : FK UI

Suryana, A. (2004). Terapi Autisme: Anak Berbakat dan Anak Hiperaktif. Jakarta: Progres.

Wenar, Charles. (1994). Developmental Psychopathology : From Infancy Through

Adolescence (3th ed). New York : Mc Graw Hill.

Widihastuti, S. (2007). Pola Pendidikan Anak Autis: Aktivitas Pembelajaran di Sekolah Autis

Fajar Nugraha. Yogyakarta: CV. Datamedia.

William, C. dan Wright, B. (2004). How To Live With Autism and Asperger Syndrome.

Jakarta: Dian Rakyat.

Yusuf, E. A. (2003). Autisme : Masa Kanak. Medan : USU Digital Libarary

23

LAMPIRAN

24