PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan...

124
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM PROGRESIF (Studi Kasus Pada Polsek Natar) (TESIS) Oleh Shinta Desy Anjani PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2016

Transcript of PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan...

Page 1: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAMRUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN

KONSEP HUKUM PROGRESIF(Studi Kasus Pada Polsek Natar)

(TESIS)

Oleh

Shinta Desy Anjani

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDIMAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG2016

Page 2: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT OF CRIMINAL ACTS OF DOMESTIC VIOLENCE

BY USING THE CONCEPT OF LEGAL PROGRESSIVE

(Study Of Cases In The Natar Police)

BY

SHINTA DESY ANJANI

Violence in the household usually fell on his wife or child who according to the

social construction of some communities is considered as a class two. In the

implementation of the law enforcement against perpetrators of criminal acts of

domestic violence in general is stiff. Most law enforcement officials reduced the

understanding that upholding the law is similar to enforce the law. Understanding

this has implications that the law the center of attention. In fact, the law enforcement

can’t just be seen from a glass eye of law, but it should be seen as a whole by

involving all the elements that there is some kind of moral, behavior, and culture.

The problem in this thesis is how law enforcement and constraints facing the police

in the case of domestic violence in the Natar Police.

The method used in this research is done with legal normative, namely, by actually

doing an analysis of the problem through the approach towards the principles of law

and refers to the norms of law contained in the legislation. Furthermore, the juridical

empirical is done by way of conducting field research by looking at the fact that

there is.

The results, and discussions showed that the completion of the criminal case

Domestic violence on the stage of the investigation in the police is performed by

applying legal progressive. Investigators trying to get out of of school legalistic

positivistic in pursuit of legal certainty. But in practice there are obstacles of the rule

of law that govern the process of mediation penal in the criminal case, and the

attitude of the diskresi by individual member of the police and law enforcement

officers who are always clinging to the principle of legalistic the formal cause of the

investigator at the expense of a sense of justice and the benefits in the community.

Finally the author gave advice to the rest of the police who are in the entire staff to

always put forward legal progressive in measures of investigation especially for the

case domestic violence and the establishment of the rules that govern the limits of

the implementation of the legal progressive through mediation penal in his actions.

keyword : Domestic Violence, The Investigator, Legal Progressive

Page 3: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM PROGRESIF

(STUDI KASUS PADA POLSEK NATAR)

Oleh

Shinta Desy Anjani

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak yang menurut

konstruksi sosial sebagian masyarakat dianggap sebagai warga kelas dua. Pada

pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana KDRT pada umumnya

bersifat kaku. Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa

menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang.

Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat

perhatian. Padahal, masalah penegakkan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca

mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua

unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Permasalahan dalam tesis ini

adalah bagaimanakah penanganan dan kendala yang dihadapi polisi dalam kasus

kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan pendekatan

yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui

pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pendekatan yuridis

empiris yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan

melihat kenyataan yang ada.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyelesaian perkara pidana

khusus pada perkara KDRT pada tahap penyidikan di Polsek Natar dilakukan dengan

menerapkan hukum progresif. Penyidik mencoba keluar dari ajaran legalistik

positivistik yang selama ini selalu mengejar kepastian hukum. Namun dalam

pelaksanaannya terdapat hambatan berupa tidak adanya aturan hukum yang

mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana, dan sikap

penyimpangan diskresi yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian serta aparat

penegak hukum yang selalu berpegang pada asas legalistik formal menyebabkan

penyidik mengenyampingkan rasa keadilan dan kemanfaatan yang ada di

masyarakat.

Akhirnya penulis memberi saran kepada seluruh penyidik Polri yang berada

diseluruh jajarannya agar selalu mengedepankan hukum progresif dalam melakukan

langkah-langkah penyidikan khususnya untuk perkara KDRT dan pembentukan

aturan yang mengatur batasan-batasan penerapan hukum progresif melalui mediasi

penal dalam melakukan tindakannya.

Kata Kunci : Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penyidik, Konsep Hukum Progresif

Page 4: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAMRUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM

PROGRESIF(Studi Kasus Pada Polsek Natar)

(TESIS)

Oleh

SHINTA DESY ANJANI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarMAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister HukumFakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDIMAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG2016

Page 5: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar
Page 6: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar
Page 7: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar
Page 8: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir dari keluarga sederhana, pada tanggal 18 Desember 1992 di BandarLampung dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak JujuJuanda Abdullah dan Ibu Suprihatun, S.E.

Pendidikan pertama penulis ditempuh di SD Negeri 1 Rajabasa Raya, Bandar Lampungdan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah 3Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikandi SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan dan lulus pada tahun 2010. Dengan mengikutijalur SNMPTN penulis di terima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun2010 dan menyelesaikan Strata satu (S1) pada tahun 2014.

Kemudian Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Program Pasca Sarjanapada program studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, danpenulis menyelesaikan Strata dua (S2) pada tahun 2016.

Page 9: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

MOTO

Sesuatu yang dilakukan dengan kekerasan maka hasilnyatidak akan baik

“ jika seseorang bergerak kearah mimpi-mimpinya, ia akanbertemu dengan kesuksesan yang tidak diharapkan dalam

keadaan biasa.”(Henry David Thoreau)

Page 10: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan pujisyukur kepada Allah SWT, atas Rahmat Hidayah

serta Inayah-NYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati dalam setiap

perjuangan dan jerih payah, ku persembahkan sebuah karya ilmiah ini kepada:

Ayahanda Juju Juanda Abdullah dan Ibunda Suprihatun,S.E yang kusayangi,

dan kucintai, ucapan terima kasih tak terhingga untuk setiap pengorbanan

kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilan ku. Adikku

Nanda Dwiyana serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih

sayang do’a dan dukungannya.

Para Sahabat tercinta dan seluruh rekan seperjuangan yang selama ini selalu

menemani, memberikan dukungan dan do’a untuk keberhasilanku, terima kasih

atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama.

Almamaterku tercinta

Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Page 11: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah serta hinayah-

Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul:

“Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan

Menggunakan Konsep Hukum Progresif (Studi Kasus Pada Polsek Natar)”. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Magister Hukum di

Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaiakan karena partisipasi banyak pihak. Oleh

karena itu dengan kerendahan hati dan rasa hormat, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

3. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas

Lampung.

4. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Lampung dan selaku dosen pembahas I, atas masukan dan saran untuk

kesempurnaan tesis ini.

5. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing I, atas pengarahan,

dukungan dan motivasi dengan penuh perhatian, semangat dan kesabaran demi

kesempurnaan karya ilmiah berupa tesis ini.

6. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing II, atas bimbingan, perhatian,

pengertian dan ketelitian dalam penulisan karya ilmiah berupa tesis ini.

7. dan Bapak Dr. Budiono, S.H.,M.H. selaku dosen pembahas II , atas masukan dan

sarannya kepada penulis dalam menyempurnakan tesis ini.

8. Para Narasumber dari Polsek Natar dan LSM DAMAR atas partisipasinya dengan

memberikan masukan dan informasi dalam pelaksanaan penelitian tesis ini.

9. Bapak dan ibu dosen Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung

yang telah memberikan ilmu selama penulis menjalani perkuliahan.

10. Seluruh staf Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung yang telah

memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

Page 12: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

11. Rekan-rekan Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung, atas

persahabatan dan motivasi yang diberikan dalam masa perkuliahan serta dalam

penyelesaian karya ilmiah ini.

12. Ayahandaku Juju Juanda Abdullah dan ibundaku Suprihatun, S.E tercinta atas kasih

sayang, perjuangan, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu

mengiringi setiap nadiku dan menanti keberhasilanku.

13. Adindaku Nanda Dwiyana, atas semangat dan doanya untuk keberhasilanku dalam

menyelesaikan tesis ini.

14. Erik Riyandi, Amd, atas perhatian, motivasi dan waktu yang diluangkan kepada

penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

15. Sahabat-sahabatku yang telah menanti keberhasilanku.

16. Almamaterku tercinta Universitras Lampung

17. Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan

Tesisini.

Semoga Tesisini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, Bangsa

dan Negara. Para Mahasiswa, Akademisi, Serta pihak-pihak lain yang membutuhkan

terutama bagi penulis. Saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat di harapkan.

Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan

perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2016

Penulis

SHINTA DESY ANJANI

Page 13: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN Hlm

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ............................................................. 8C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 9D. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 10E. Metode Penelitian ....................................................................................... 18F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 22

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian Penegakan Hukum ................................................................... 23B. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ............................................ 28C. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ..................................... 30D. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ....................... 32E. Teori Penegakan Hukum, Teori Keadilan dan Hukum Progresif .............. 35F. Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Pemikiran Mengenai

Hukum Pidana ............................................................................................ 47

III. HASIL PENELITIANA. Penegakan Hukum Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada

Polsek Natar ................................................................................................. 68B. Kendala dalam Penegakan Hukum Kasus Kekerasan dalam Rumah

Tangga dengan Hukum Progresif ................................................................ 100

IV. PENUTUPA. Simpulan ....................................................................................................... 105B. Saran ............................................................................................................. 107

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umumnya masyarakat beranggapan bahwa lingkungan di luar rumah lebih

berbahaya dibandingkan dengan di dalam rumah. Anggapan tersebut bisa

jadi terbentuk karena kejahatan yang banyak diungkap dan dipublikasikan

adalah kejahatan yang terjadi di luar lingkungan rumah, sedangkan rumah

dianggap sebagai tempat yang aman bagi anggota keluarga dan orang-orang

yang tinggal di dalamnya, tempat anggota keluarga dan orang- orang yang

tinggal di dalamnya dapat berinteraksi dengan landasan kasih, saling

menghargai, dan menghormati. Masyarakat tidak menduga bahwa ternyata

rumah dapat menjadi tempat yang paling mengerikan bagi anggota keluarga.

Kekerasan, apapun bentuk dan derajat keseriusannya, ternyata dapat terjadi di

dalam rumah di antara orang-orang yang seharusnya saling mengasihi dan

menghargai. Orang yang seharusnya dapat menjadi tempat untuk saling berbagi

dan berlindung ternyata justru menjadi sumber penyebab terjadinya

penderitaan.1

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak yang

menurut konstruksi sosial sebagian masyarakat dianggap sebagai warga kelas

1 Rita Selena Kolibonso, Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga, JurnalPerempuan No. 26, 2002, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm. 8

Page 15: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

2

dua.2 Dalam bangunan keluarga menurut kultur masyarakat tertentu, laki-laki

akan ditempatkan pada posisi sebagai kepala keluarga yang dapat

menentukan ke arah mana keluarga itu akan dibangun. Dengan kata lain

dalam masyarakat tersebut laki-laki dianggap sebagai manusia yang superior,

menguasai atau mendominasi, serta tulang punggung keluarga sehingga

dalam relasi sosial laki-laki akan lebih dominan. Berbeda dengan laki-laki,

perempuan pada umumnya sering dikonstruksikan sebagai manusia yang inferior,

tergantung pada status laki-laki, dan tidak berdaya, sehingga harus menuruti

dan menerima apapun kemauan dan perlakuan dari laki-laki (termasuk dalam

hal ini adalah suaminya).

Menurut Mansour Fakih, bias gender3 antara laki-laki dan perempuan tersebut

termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, antara lain:

marginalisasi, subordinasi,4 dan pembentukan stereotip atau pelabelan negatif,

kekerasan,5 beban kerja lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran

gender.

Berdasarkan pendapat Mansour Fakih dan Ita F. Nadia tersebut nampak

bahwa masih timpangnya kesetaraan gender dalam relasi laki-laki dan

perempuan sebagai suami dan istri dalam rumah tangga tersebut dapat menjadi

salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,

khususnya oleh suami terhadap istrinya.

2 Kompas, Selasa, 1 Agustus 2006, hlm. 133 Ita F. Nadia, Ketidakadilan Gender Sebagai Akar Diskriminasi, Makalah dalam rangkaLustrum VI/Dies Natalis XXX AKS Tarakanita Yogyakarta, 8 Maret 1997, hlm.. 14 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim PeradilanAgama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008, hlm. 165 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Ibid, hlm. 20

Page 16: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

3

Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan jenis ini sangat sulit diungkap karena:6

1. Pada umumnya orang menganggap bahwa kekerasan terhadap istri

adalah hal yang lumrah.

2. Kekerasan oleh suami terhadap istri dianggap sebagai masalah internal, baik

oleh orang luar maupun oleh orang di dalam keluarga itu sendiri.

3. Pelaku dan korban menutup-nutupi peristiwa tersebut dengan berbagai

alasan.

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh

cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan

kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat

persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah

semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum

harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang seyogyanya dapat diterima

oleh semua insan yang ada di dalamnya.

Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan

hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan

hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya. Penegakan hukum melalui

sistem peradilan pidana saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak,

bahkan dunia internasional menilai lembaga pengadilan Indonesia sangat buruk,

terutama yang dilakukan oleh elemen-elemen penegak hukum mulai dari polisi,

jaksa, hakim sampai para petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP)

6 Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan:Tinjauan Psikologis (dalam:Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 283

Page 17: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

4

Peradilan merupakan hal yang menunjuk pada segala aktivitas pengadilan dalam

menjalankan fungsinya yakni penegakan hukum dan penegakan

keadilan.7 Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan

fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran

dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana rekayasa social (social

engineering) bagi masyarakat. Kenyataannya malah menimbulkan anarkhi sosial

yang berkepanjangan. Tidak sedikit polisi yang bertindak tidak dengan hati

nurani, tapi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, tidak jarang pula

jaksa, hakim yang memeras dan merubah perkara hanya demi mendapatkan

keuntungan yang bersifat materi. Putusan- putusan pengadilan sering tidak

diterima masyarakat. Keadaan-keadaan seperti itu diperparah dengan perilaku

oknum aparat penegak hukum yang kurang terpuji dan melakukan perbuatan yang

mencoreng diri dan lembaganya sendiri. Kasus suap yang terjadi di

hakim Agung. Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa penegakan hukum di

Indonesia memang sedang dihadapkan pada masalah besar.

Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan

hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini

membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian.

Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata

undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua

unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu

orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.

7 Sidik Sunaryo. Sistem Peradilan Pidana. Penerbit UMM Press, Malang, 2005, hlm. 56.

Page 18: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

5

Sistem peradilan pidana dalam hukum progresif harus menjadi ruh dalam

penegakan hukum pidana khususnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Karena , “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Gagasan ini

merupakan antitesa dari karakteristik sistem peradilan pidana yang masih

“mengkultuskan” hukum modern, sehingga dianggap tidak mampu lagi

mendatangkan keadilan bagi pencari keadilan. Kebanyakan dari polisi, jaksa

dan hakim masih menjadikan aturan-aturan formal sebagai patokan di dalam

menyelesaikan suatu perkara. Jika gagasan ini diterapkan, akan ada cara pandang

baru dalam penegakan hukum di Indonesia, yang tidak hanya bertolak pada

aturan-aturan formal, tapi juga melihat hal-hal yang di luar itu.

Polri untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam

menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas

dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri

demi kepentingan umum. Oleh karena itu, secara tidak langsung diskresi

kepolisian dapat dikatakan sebagai salah satu penerapanan hukum progresif dalam

penyelesaian perkara pidana. Tak heran apabila Satjipto Raharjo berpendapat

bahwa polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum

progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi

pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya.8

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun

2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang

8 Satjipto Rahardjo, Membagun Polisi Sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, PTKompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm.262.

Page 19: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

6

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui, kasus kekerasan

dalam rumah tangga semakin marak dan terus meningkat, seperti contoh kasus

KDRT di Provinsi Lampung. Data yang terhimpun pada 2015, tercatat 63 korban

KDRT, sedangkan per 1 mei 2016 kasus KDRT yang sudah dilaporkan tercatat

48.9

Salah satu contoh adalah kasus yang dilaporkan di Kantor Kepolisian Sektor

Natar pada Oktober 2009 yaitu ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil

kemudian melaporkan ke posko bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya

(dipukuli) hingga berakibat muka dan bibirnya memar semua. Karena tidak terima

atas perlakuan suaminya, ibu Astuti melaporkan suaminya ke Polsek Natar dan

malam itu juga suaminya langsung dijemput dan ditahan oleh Polsek Natar.

Setelah 6 hari ditahan di polsek, ibu Astuti merasa tidak tega melihat suaminya

dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya dengan syarat sang suami tidak

mengulangi perbuatannya kembali melakukan KDRT.10

Substansi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sangat berpihak kepada

perempuan. Akan tetapi permasalahan muncul ketika undang-undang ini

diterapkan tekstual. Beberapa akibat yang muncul adalah perceraian, kehilangan

nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan

lain-lain. Tidak hanya itu, permasalahan lain yang muncul adalah bahwa

9 http://nyokabar.com, diakses pada 20 Januari 201610 http://umulkhtmh.blogspot.co.id/2015_10_01_archive.html, diakses pada 20 Januari 2016

Page 20: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

7

ketakutan istri di ceraikan suami terbukti membawa pengaruh keengganan

seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang

berwajib dalam hal ini polisi. Sehingga penyelesaian perkara KDRT menurut

hemat penulis menuai banyak permasalahan yang harus dicari solusinya.

Melihat fenomena kendala yang terjadi dalam penyelesaian perkara kekerasan

dalam rumah tangga sebagaian besar para korban kekerasan enggan melaporkan

kekerasan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan penyelesaian yang ditawarkan

oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 merupakan win-lose

solution artinya tidak membawa suatu hasil dari maksud ditegakkannya hukum

yaitu mendapatkan keadilan. Artinya ketika undang-undang itu dilaksanakan dan

pelaku kekerasan dalam rumah tangga dikenakan sanksi maka keutuhan keluarga

jadi korban. Sebagai contoh, seorang istri yang diperlakukan kasar oleh suami

yang masuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga, ketika perkara

tersebut dilaporkan banyak kemungkinan akan mengakibatkan perceraian.

Menurut hemat penulis dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga apabila

diterapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 secara tekstual dan

beranggapan positivistik legalistik maka akan mengakibatkan permasalahan yang

lebih besar. Oleh karena hukum pidana dalam hal ini UU Nomor 23 Tahun 2004

digunakan sebagai alternatif terakhir apabila penyelesaian-penyelesaian masalah

hukum dengan jalur diluar hukum pidana (non penal) sudah tidak dapat

menyelesaikan dengan win-win solution.

Polisi sebagai penegak hukum apabila perlu menjadi mediator penyelesaian

masalah dengan win-win solution. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum

Page 21: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

8

progresif karena dalam fungsi hukum yang paling ideal adalah menyelesaikan

masalah tanpa masalah dan mencari keadilan. Polri harus lebih dapat bijak dalam

menentukan suatu perkara untuk dapat atau tidaknya maju ke pengadilan. Satjipto

Rahardjo mengatakan bahwa bagi polisi, menjalankan hukum pidana tidak seperti

menarik garis lurus antara dua titik, tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan

kemanusiaan.11 Polisi-polisi yang mempersepsikan perpolisian bukan sekedar

sebagai pelaksana komando undang undang, menjalankan tugasnya dengan

memanfaatkan institusi diskresi, dimana ia dapat memilih antara meneruskan

prosesnya secara hukum atau menghentikannya. Untuk memilih menghentikan

atau tidak memperkarakan seseorang membutuhkan suatu visi yang lebih

kompleks daripada sekedar menerapkan hukum saja.12

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

a. Bagaimanakah penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga pada

Polsek Natar?

b. Apakah yang menjadi kendala dalam penegakan hukum kasus kekerasan

dalam rumah tangga dengan hukum progresif?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum

Pidana terutama tentang konsep progresif dalam penyelesaian kasus KDRT.

11 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 261.12 Ibid, hlm. 227.

Page 22: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

9

Penelitian dilakukan di wilayah hukum Kepolisisan Sektor Natar Lampung

Selatan terhadap data pada tahun 2015-2016

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis:

a. Penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.

b. Kendala dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan

hukum progresif.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis diharapkan dapat menambah wawasan dalam memberikan

argumentasi dan memahami mengenai konsep progresif dalam penyelesaian

kasus KDRT.

b. Secara Praktis diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi

penegak hukum khususnya pihak kepolisian dalam penerapan hukum

progresif dalam penyelesaian perkara KDRT.

Page 23: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

10

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Alur piker pada penulisan tesis ini digambarkan sebagai berikut:

Tindak Pidana KDRT

Undang-Undang

Penyidik/Polsek

Non Penal Penal

Progresif

Bagaimanakahpenegakan hukumkasus kekerasan dalamrumah tangga padaPolsek Natar

Apakah yang menjadikendala dalampenegakan hukumkasus kekerasan dalamrumah tangga denganhukum progresif

1. Konsep Hukum Progresif;2. Teori Alternative Dispute

Resolution

Teori faktor-faktor yangmempengaruhi penegakanhukum

Kesimpulan

Page 24: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

11

2. Kerangka Teoretis

Teori yang digunakan penulis sebagai pisau analisis dalam menjawab

permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah:

a. Teori Hukum Progresif

Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif dapat dijabarkan

sebagai berikut:13

1. Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalahbaik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yangkuat. Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.

2. Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan kebahagiaanmanusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses menjadi.Oleh karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan masyarakatdisegala lapisan.

3. Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi inimenimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup. Hukum progresifmemberontak terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukumyang progresif.

4. Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasandengan menolak status quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnyamerasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asa, serta aksiyang tepat untuk mewujudkannya.

Secara sederhana sistem peradilan pidana merupakan suatu sarana

penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling

berkaitan. Secara eksplisit, pengertian sistem peradilan pidana itu

menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam

peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana

terpadu (integrated criminal justice system).14

13 Mahmud Kusuma. Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi LemahnyaHukum Indonesia. AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm. 60.14 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cetk. Pertama, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro, Semarang, 1995, hlm. 1.

Page 25: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

12

Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu

terdapat kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang

lain, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.

Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa

penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi

penjaga status quo dari hukum. Polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak

hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak

ada legitimasi lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga

pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum

yang menjadi “majikannya”.

Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai

pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi

menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi

patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali

dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal

lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-

undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat

kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut

dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat

kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis

yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.15

15 Satjipto Rahardjo. Op.Cit, hlm. 30-31.

Page 26: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

13

Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari

masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang

ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan

peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada

masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban

terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep

inilah yang kemudian dikenal dengan community policing.16

Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham

formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau

konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigm

polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu

sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain;

mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan

akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan

melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga

Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan,

frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.

Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam

sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika

hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan

konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang

dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum.

16 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 33.

Page 27: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

14

Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus

bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai

sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam

menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan

dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.

Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan

pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenangan formal yang diberikan

tidak otomatis memberi kekuasaan kepada badan badan untuk

mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi

legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.17 Jika konsep

ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan

untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat

diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan

yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan.

Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang

harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.

b. Teori Alternative Dispute Resolution

Tujuan Alternative Dispute Resolution adalah terwujudnya “Win-win

solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di

Indonesia masih menganut sifat “Win-lose solution”. Dalam artikel yang dibuat

oleh Adrianus Meliala mengatakan bahwa“masyarakat (khususnya tingkat lokal)

sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan

17 Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir. Penerbit Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 45-46

Page 28: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

15

perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang

atau melanggar pidana”,18 mengandung arti bahwa upaya penerapan Alternative

Dispute Resolution sudah mendapatkan pembenaran oleh para pakar

pidana. Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian dilakukan upaya

koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif dalam penyelesaian sengketa,

maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang

Implementasi polmas dengan menerapkan ADR oleh petugas polmas. Sedangkan

pendapat pakar hukum lainnya yaitu menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan

bahwa:19

“Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative ataupilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase(negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketigayang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketatersebut”.

Penekanan konsep ADR yang membedakan dengan konsep ADR yang

dikemukakan Adrianus Meliala di atas adalah tidak selalu ada intervensi dan

bantuan pihak ketiga yang independen dalam penyelesaian sengketa pidana. Pakar

hukum lainnya adalah konsep ADR menurut Philip D. Bostwick yang mengatakan

bahwa:20

“A set of practices and legal techniques that aim :a) To permit legal disputes to be resolved outsidethe courts for the benefit of all

disputants.b) To reduce the cost of conventional ligitation and the delay to which it is

ordinary subjected.

18 Adiranus E. Meliala, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya diIndonesia”, dikutip dari http:/www.adrianusmeliala.com,2007.19 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar,PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI), Jakarta, 2002, hlm.17.20 Adiranus E. Meliala, Loc.Cit

Page 29: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

16

c) To prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to thecourts.”

(Sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan:a) Menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan para

pihak.b) Mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa

terjadi.c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.)

Ketiga pendapat pakar hukum di atas dapat diartikan bahwa konsep Alternative

Dispute Resolution (ADR) yaitu merupakan model atau mekanisme penyelesaian

sengketa pidana yang berlaku pada sekelompok orang /masyarakat khususnya

tingkat lokal, berupa sekumpulan prosedur atau mekanisme agar memperoleh

putusan akhir dan mengikat para pihak, secara umum tidak selalu dengan

melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen, dan tujuannya

demi keuntungan para pihak, efisiensi biaya dan waktu, serta mencegah sengketa

jalur pengadilan.

c. Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana

merupakan teori berikutnya yang digunakan sebagai salah satu sarana

perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila tidak ada

atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:21

1) Faktor hukumnya sendiri.2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun yang menerapkan hukum.3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

21 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta,1983, hlm. 5.

Page 30: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

17

5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasasang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

a. Tindak pidana, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa

melanggar larangan tersebut22. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada

unsur-unsur sebagai berikut:

1) Perbuatan (manusia);

2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat

formil);

3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).

Syarat formil harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam

Pasal 1 KUHP. Syarat materiil itu harus ada juga, karena perbuatan itu harus

pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

boleh atau tak patut dilakukan. Kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab

dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal

tersebut melekat pada orang yang berbuat.

b. Kekerasan adalah sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang

menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan

fisik atau barang orang lain.23

c. Kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

22 Sudarto. Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang, 1990, hlm. 4323 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusat PembinaanPengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta, 1992, hlm. 485.

Page 31: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

18

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah

tangga.24

d. Manifestonya paradigma hukum progresif, sebagaimana Satjipto Rahardjo

mengatakan bahwa:25

“Apabila hukum itu bertumpu pada “peraturan dan perilaku”, maka hukum

yang progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan

demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih menentukan

daripada peraturan yang ada”.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan,

yaitu:

a. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normati adalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk

untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas dalam ketentuan baik masalah

perundangan, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan

permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan

pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.

24 Guse Prayudi. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press, Yogyakarta,2008, hlm. 20.25 Mahmud Kusuma, Op.Cit, hlm. 177.

Page 32: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

19

b. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara

mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada misalnya

dalam prilaku hukum, kepatuhan hukum dan lainnya yang terdapat di lingkungan

masyarakat serta penegak hukum.

2. Sumber dan Jenis Data

Untuk menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini diperlukan

bahan hukum sebagai bahan analisis. Bahan hukum yang diperlukan meliputi

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan proses dan langkah-langkah

sebagai berikut: Pengumpulan data/bahan-bahan yang akan diteliti dan yang akan

membantu kita dalam penelitian. Hal ini meliputi:

a. fakta (misalnya rangkaiall peristiwa dan/atau perbuatan yang membentuk

masalah atau peristiwa atau objek hukum yang akan diteliti);

b. norma yang terdapat dalam kitab undang-undang, dan berbagai peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi atau hukum kebiasaan);

c. pendapat para ahli.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

yang dimaksud diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah: peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan permasalahan yaitu Undang-Undang Nomor 1

Page 33: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

20

Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang kemudian disingkat dengan KUHP, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

kemudian disingkat dengan KUHAP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah.

b. Bahan hukum sekunder.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan

dengan penyampingan perkara pidana, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-

laporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak dan media elektronik.

c. Bahan hukum tersier.

Yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di

luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang

diperlukan dalam penulisan tesis ini.

3. Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber dalam penelitian ini menggunakan metode purposive

sampling, yang berarti dalam menentukan narasumber disesuaikan dengan tujuan

yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap masalah yang hendak

dicapai. Adapun yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini:

a. Kepala Kepolisian Sektor Natar Lampung Selatan 1 orangb. Penyidik pada Polsek Natar 1 orangc. LSM DAMAR 1 orangd. Akademisi FH Unila 2 orang+

Jumlah 5 orang

Page 34: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

21

4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Penulis melakukan serangkaian kegiatan dalam pengumpulan data, yang meliputi:

1. Studi pustaka, yaitu pengumpulan terhadap data sekunder dengan mencatat,

mengutip serta menelaah buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan

materi penelitian kemudian menyusunnya sebagai kajian data.

2. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan secara

lisan kepada responden dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara

terbuka dan terarah dengan sebelumnya mempersiapkan pertanyaan terlebih

dahulu.

3. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dengan jalan mencatat

atau merekam data-data yang ada pada lokasi penelitian yang berkaitan

dengan pokok materi yang dibutuhkan.

Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai

berikut:

a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh

mengenai kelengkapan dan kejelasan dari data.

b. Klasifikasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh satu

sama lain untuk memudahkan kegiatan analisis.

Page 35: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

22

5. Analisis Data

Bahan hukum dalam penelitian ini merupakan suatu proses penguraian secara

sistematis dan konsisten terhadap semua bahan-bahan hukum yang diperoleh

dalam pengumpulan bahan hukum. Dalam melakukan analisis bahan hukum,

penulis menggunakan cara berpikir induktif, deduktif, dan komparatif. Fakta-fakta

konkret tersebut digunakan untuk menyusun kesimpulan umum, berwujud

konsep-konsep atau proposisi-proposisi dari fakta tersebut. Cara berpikir deduktif

dilakukan dengan bertitik tolak pada hal-hal yang abstraks untuk diterapkan pada

proposisi-proposisi konkret.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terisi uraian tentang Latar Belakang Masalah yang mendasari pentingnya

diadakan Penelitian, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi Tinjauan konsep dan teori yang mendeskripsikan tentang teori dan

konsep hukum progresif, kekerasan dalam rumah tangga, dan penegakan hukum.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang penegakan hukum dan kendalanya dalam kasus

kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.

BAB IV PENUTUP

Berisi uraian tentang kesimpulan dan saran.

Page 36: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

23

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum

Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu oleh para

penstudi hukum adalah apa yang dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor

yang mempengaruhi untuk menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern,

hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social

engineering). Roscoe Pound26 menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana

rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-

badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini

adalah masyarakat dan peradilan di Amerika Serikat.

Fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai

sarana pendorong pembaharuan masyarakat.27 Sebagai sarana untuk mendorong

pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan

oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi

masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan

peraturan perundang-undangan itu.

26 Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, 1989, hlm, 7.27 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat yang Sedang Membangun,Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978, hlm. 11.

Page 37: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

24

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto

Rahardjo28 merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan

hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini

yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang

dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat

hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses

penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaanya oleh para pejabat penegak

hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa

keberhasilan ataupun kegagalan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya

sebenarnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu

dibuat.29

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,30 dipengaruhi

oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.

Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam

proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah

mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan

hukum. Keempat, faktor masyarakat yakni lingkungan sosial di mana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan

hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan,

yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam

pergaulan hidup.

28 Satjipto Rahardjo.Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 24.29 Ibid, hlm. 25.30 Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum. BPHN & Binacipta, Jakarta,1983, hlm. 15.

Page 38: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

25

Satcipto Rahadjo31membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses

penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang

agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka

satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses

penegakan hukum. Pertama, unsur pembuat undang-undang cq. lembaga legislatif.

Kedua, unsur penegakan hukum cq. Polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga unsur

lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain Jerome

Frank,32 juga berbicaratentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses

penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya,

juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.

Sementara itu, Lawrence M. Friedman33 melihat bahwa keberhasilan penegakan

hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem

hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen

struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance)

dan komponen budaya hukum (legal culture). struktur hukum (legal structure)

merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. substansi

hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang

dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku

yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture)

merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan

31 Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm.23,24.32 Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm. 122.33 Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977,hlm. 6-7.

Page 39: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

26

dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangannya, Friedman34

menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak

hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan

adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,35

konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang

ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini

menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warna Negara terhadap hukum

dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukkan perkara, dan signifikansi

hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di

luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum.

Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak

tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama

dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah

diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan,

yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial

yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal

dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,36

atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmdja disebutkan sebagi hukum

yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

34 Lawrence M, Friedman. American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, andhow it affects our daily lives. W.W. Norton & Company, New York, 1984,hlm. 16.35 Roger Cotterrell. The Sociology Of Law An Introduction. Butterworths, London, 1984, hlm. 25.36 Roscoe Pound. Op.Cit, 1989, hlm. 51.

Page 40: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

27

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai

hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat

demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya

memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar

kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk

dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif

terdapat di dalam masyarakat yang menjujung tinggi semangat demokrasi.

Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu

sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat

pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam

masyarakat.37

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono38 melihat

bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep

hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini. Karakter hukum positif dalam

wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh

suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat

dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri.

Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan

visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang

demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.

37 Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. Hukum dan PerkembanganSosial (Buku I). Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 483.38 C.F.G. Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni,Bandung, 1991, hlm. 53.

Page 41: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

28

Menurut Gardinerbahwa pembentuk undang-undang tidak semata-mata

berkewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki

kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan

masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian tidak lagi

semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului

perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh39 menegaskan bahwa

masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan

pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari

pembentuk undang-undang.

B. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Guse Prayudi, kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga.40

Istilah “kekerasan” dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau

matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.41

Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap

39 Roeslan Saleh. Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan. BinaAksara, Jakarta, 1979, hlm. 12.40 Guse Prayudi. Op.Cit, hlm. 20.41 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Loc.Cit, hlm. 485.

Page 42: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

29

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga.

Terminologi kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan

suatu batasan yang menuju kepada kekerasan yang terjadi dalam kokus rumah

tangga atau biasa dikenal sebagai “keluarga”. Memang tidak ada keseragaman

pengertian kecuali kokus dan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi, sehingga

pelaku dan korban merupakan area yang sangat terbuka, dalam arti kata siapapun

yang dapat dikategorikan sebagai anggota keluarga atau tinggal dalam lingkup

rumah tangga adalah pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelaku atau korban

kekerasan domestik ini atau kekerasan dalam rumah tangga.42

KDRT dapat menimpa siapapun baik itu isteri, suami maupun anggota keluarga

yang lain. Akan tetapi istilah KDRT dalam banyak literatur mengalami

penyempitan makna, yaitu hanya mencakup penganiayaan suami terhadap isteri.

Hal itu disebabkan oleh lebih banyak korban KDRT dialami oleh pihak isteri

dibandingkan pihak suami dan anggota keluarga yang lain. Sementara oleh kaum

Feminis kekerasan terhadap kaum perempuan (isteri) didefinisikan sebagai setiap

tindakan kekerasan variabel maupun fisik. Pemaksaan atau ancaman pada nyawa

yang dirasakan pada seseorang perempuan apakah masih anak-anak atau dewasa

yang sudah menyebabkan kerugian fisik atau psikologis penghinaan atau

42Elli Nur Hayati. Panduan Untuk Pendampingan korban Kekerasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta,1995, hlm. 3.

Page 43: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

30

perampasan kekuasaan yang menghilangkan subdominasi perempuan.Kekerasan

yang dialami perempuan dalam perilaku kekerasan yang diterima berupa agresi

fisik berupa menampar, memukul dan menonjok.

Kekerasan menurut Johan Galtung terbagi menjadi tiga bagian yaitu:43

1. Kekerasan kultural yaitu melegetamasi terjadinya kekerasan struktural dankekerasan langsung serta menyebabkan kekerasan dianggap wajar saja terjadi(diterima) sebagian masyarakat.

2. Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematisyang disertai mekanisme yang mengahalangi terbentuknya kesabaran sertamenghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasidan penindasan, seperti ketidakdilan, kebijakan yang menindas.

3. Kekerasan langsung yaitu kekerasan yang terlihat secara langsung dalambentuk-bentuk kejadian atau perbuatan-perbuatan, sehingga kekerasan jenisini sangat mudah diidentifikasi karena menifestasi dari kekerasan kultural danstruktural.

Kekerasan yang dialami seorang isteri, misalnya, karena masih kuatnya budaya

paternalistik dan pemahaman budaya Jawa yang keliru, di mana seorang isteri

harus tunduk kepada suami, seperti dicerminkan pepatah swarga nunut neraka

katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Hal itu mengakibatkan kekerasan yang

diterima isteri dari suaminya atau dari keluarganya dalam rumah tangga dianggap

sebagai urusan domestik. Tidak perlu diketahui masyarakat.

B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dapat berupa kekerasan fisik atau

psikis, selain itu dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif

(menelantarkan), dan pelanggaran seksual yang sering terjadi adalah kombinasi

43I. Marsana Windku. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Kanisius,Yogyakarta,1992, hlm. 8.

Page 44: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

31

dari berbagai bentuk walaupun hanya dapat saja muncul dalam satu bentuk

diatas. Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (isteri) dalam rumah

tangga tersebut mencakup:44

1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakran sampaipengrusakan vaginal (kekerasan seksual) dan yang tidak langsunatau displacement dapat berupa memukul meja, pintu, memecahkan gelas,piring, vas bunga dan berlaku kasar. Menurut Frirze yang dimaksud dengankekerasan seksual yang dipaksakan oleh suami terhadap isteri, meskipuntidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang dibaliknya. SementaraHasbianto mendifinisakan sebagai pemaksaan dalam melakukan hubunganseksual, pemaksaan selera seksual dan pemaksaan seksual tanpamemperhatikan kepuasan isteri.

2. Kekerasan psikis. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannyakarena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu rumahtangga hal ini dapat berupa tidak diberikan kasih saying pada isteri agarterpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan jiwaseseorang. Identifikasi akibat yang muncul pada kekerasan psikis lebih sulitdiukur daripada kekerasan fisik. Kekerasan psikis dapat berupa ucapan kasar,jorok, meremehkan, menghina mengdiamkan, menteror baik langsungmaupun tidak, berselingkuh dan ditinggal pergi.

3. Penelantaran perempuan dari segi ekonomi, kesehatan, kebutuhan-kebutuhan.Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhanhidup pada seseorang yang memiliki keberutngan kepada pihak lain,khususnya dalam lingkungan rumah tangga kurang menyediakan saranaperawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yangsesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran.Namun, harus hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuanekonomi” dengan “penelantaran yang disengaja”. Bentuk kekerasan jenis inimenonjol khususnya terhadap anak karena anak belum mampu mengurusdirinya sendiri.

4. Pelanggaran seksual. Pengertian pelanggaran seksual adalah setiap aktivitasseksual yang dilakukan oleh orang dewasa dan perempuan. Pelanggaranseksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan.Pelanggaran seksual dengan unsur penindasan dan menimbulkan perlukaandan berkaitan dengan trauma emosi yang dalam bagi perempuan.

44http://www.fanind.com/2013/08/4-jenis-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html, diakses padatanggal 20 Januari 2016.

Page 45: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

32

Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga Pasal 5, kekerasan dalam rumah tangga meliputi empat macam yaitu,

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah

tangga.

C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Secara garis besar faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

disebabkan oleh dua faktor yaitu:45

1. Faktor internal adalah faktor penyebab dari dalam diri si pelaku, seperti

tingkat amosional, gangguan kejiwaan dan lain-lain.

2. Faktor eksternal adalah faktor penyebab dari luar si pelaku seperti tekanan

ekonomi, lingkungan, perselingkuhan dan lain-lain.

Richard. D and Levy. C. menyatakan bahwa faktor internal timbulnya kekerasan

terhadap isteri adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak

kekerasan, hal ini dapat berupa:

1. Sakit mental;2. Pecandu alkohol;3. Kurangnya komunikasi;4. Penyelewengan seks;5. Citra diri yang rendah;6. Frustasi;7. Perubahan situasi dan kondisi;8. Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah.

Menurut Elli N. Hasbianto mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi

penyebab terjadinya KDRT yaitu:

45 Fathul Djanah. Kekerasan Terhadap Isteri. LKIS, Yogyakarta, 2003, hlm. 36.

Page 46: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

33

1. Budaya patriarki artinya: budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior

dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan

mengontrol perempuan.

2. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama artinya: sering ajaran agama yang

menempatkan laki-laki sebagai pembolehan mengontrol dan menguasai

isterinya.

3. Pengaruh mode artinya: anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan yang

ada ayah suka memukul atau kasar kepada ibunya, cendrung akan meniru

pola tersebut kepada pasangannya.

Berdasarkan ketiga faktor diatas ditumbuh suburkan dan didukung oleh kenyataan

bahwa sikap komunitas cenrung mengabaikan persoalan kekerasan dalam rumah

tangga karena terdapat keyakinan bahwa hal itu merupakan urusan dalam suatu

rumah tangga. Sedangkan jika ditinjau dari lingkup rumah tangga maka hal-hal

yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga atau faktor-faktor yang

menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam hal ini kekerasan

pada isteri diantaranya:

1. Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan

Kekerasan yang terjadi dalam adalah sebuah penyimpangan budaya akan tetapi

terhadap batasan suami bahwa kekerasan yang dilakukan suami pada lingkup

keluarga, maka masyarakat luas tidak berani ikut campur.

2. Kekurangan komunikasi antar suami-isteri

Kesetaraan dalam komunikasi dipengaruhi oleh penguasaan sumber-sumber

ekonomi, sosial, budaya yang meliputi keluarga. Posisi isteri yang lemah (karena

Page 47: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

34

tidak dimunculkan kemandirian dalam dirinya), pada saat ia meyampaikan

kekesalannya pada suami yang lebih dari padaya, justru akan membuat sang

suami berinterpretasi yang salah, dimana hal tersebut memicu terjadinya kesalah

pahaman dan berakhir dengan pemukulan.

3. Adanya penyelewengan

Penyelewengan yang biasanya dilakukan para suami pada saat dinas keluar kota

dan lain-lain, pada saat diketahui si isteri, biasanya isteri tidak menerima dan

menuntut pemutusan hubungan dengan wil (wanita idaman lain) suami, akan

tetapi biasanya hal itu tidak dihiraukan suami, justru suami melakukan tindak

kekerasan seperti memukul dan menyakitkan hati isteri.

4. Citra diri yang rendah dan frustasi

Citra diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu

mencukupi kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si isteri yang

lebih darinya, memudah timbulnya salah penerimaan dalam diri suami terhadap

segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini pula akan

mempermudah timbulnya tindakan pemukulan atau kekerasan lainnya sebagai

pelampiasan.

5. Kekerasan dipahami sebagai upaya penyelesaian masalah

Kekerasan dipandang sebagai saranan jitu dalam menyelesaikan permasalahan

dengan isteri dari pada melakukan pembicaraan secara baik-baik dengan mereka.

Terkadang tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanya pemahaman yang

salah atas Q.S. An-Nisa’ : 34, berupa diperbolehkannya pemukulan dilakukan

sebagai hukuman bagi isteri yang nusyuz. Makna kata “pemukulan” dalam ayat

Page 48: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

35

tersebut diisyaratkan dari kata “wadhribuhunna” yang memiliki pengertian secara

leksikal “pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban sebagai seorang isteri”.

C. Teori Penegakan Hukum, Teori Keadilan dan Hukum Progresif

1. Teori Penegakan Hukum Pidana

G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa politik kriminal harus rasional, jika

tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the

responses to crime. (Criminal Policy is the rational organization of the social

reaction to crime). Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditunjuk dengan :

a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application),

b. Pencegahan tanpa Pidana (Prevention Without Punisment) dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat media massa (Influencing views of society on crime and

punishment/mass media).

Menurut Goldstein, upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3

(tiga) yaitu:46

a. Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana subtantive (substantive law ofcrime). Penegakan hukum pidana secara total tidak mungkin dilakukan, sebabpara penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yangantara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan,penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadihukum pidana substantive sendiri memberikan batasan-batasan, misalnyadibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan.Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area dimanpenegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruanglingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of noEnforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakniFull Enforcement.

b. Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapioleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanyaketerbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasidana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions.

c. Actual Enforcement

46 Barda Nawawi Arief.1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT.Citra Aditya Bakti,Bandung, hlm.48.

Page 49: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

36

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat padakenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam halini para pengusaha maupun masyarakat.

Berdasarkan upaya penegakan hukum yang dikemukakan oleh Goldstein di atas,

maka untuk menganalisis tesis ini menggunakan upaya yang ketiga, yaitu Actual

Enforcement. Hal ini dikarenakan kenyataan atau peristiwa yang ada di lapangan

melibatkan banyak orang, baik masyarakat umum, pengusaha, pemerintah dan

penegak hukum.

2. Teori Keadilan

Berbagai teori keadilan telah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Perbagai

pandangan mengenai keadilan banyak diungkapkan oleh para pakar dari berbagai

generasi. Menurut Plato, keadilan dapat terwujud manakala negara dipimpin oelh

para aristokrat (filusuf). Negara yang dipimpin oleh penguasa yang cerdik, pandai,

dan bijaksana akan melahirkan keadilan yang sempurna. Oleh karena itu, tanpa

hukum sekalipun, jika negara dipimpin oleh para aristokrat maka akan tercipta

keadilan bagi masyarakat. Namun dengan tidak dipimpinnya negara oleh para

aristokrat, keadilan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya hukum. Dalam

kondisi inilah menurut Plato hukum dibutuhkan sebagai saran untuk

menghadirkan keadilan dalam kondisi ketidak adilan.47

Ada beberapa pengertian keadilan menurut Aristoteles, diantaranya:48

a. Keadilan berbasis kesamaanKeadilan ini bermula dari prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehinggakeadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam pengertian kesamaan.Kesamaan ini ada dua, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.Keadilan numerik ini berprinsip pada persamaan derajat bagi setiap orang di

47Bernard, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, GentaPublishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 40-41.48 Ibid. hlm. 45-46.

Page 50: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

37

depan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberikan setiap orangapa yang menjadi haknya.b. Keadilan distributifKeadilan distributif ini identik dengan keadilan proporsional. Keadilan distributifberpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar kecilnya jasa. Jadi keadilantidak didasarkan pada persamaan, melainkan proporsionalitas, misalnya seorangprofesor yang bekerja pada instansi tertentu berhak atas gaji yang lebih besardibanding dengan seorang yang hanya lulusan SLTA yang bekerja pada instansiyang sama.c. Keadilan korektifFokus pada keadilan ini adalah pembetulan sesuatu yang salah, misalnya jikaterjadi suatu kesalahan yang berdampak pada kerugian bagi orang lain, makaharus diberikan kompensasi bagi yang dirugikan tersebut. Jadi keadilan korektifini merupakan standar umum untuk memulihkan akibat dari suatu kesalahan.

Sedangkan menurut Hans Kelsen, suatu tata sosial adalah tata yang adil.

Pandangan ini bermakan bahwa tata tersebut mengatur perbuatan manusia dengan

tata cara yang dapat memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. Keadilan

adalah kebahagiaan sosial yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai individu,

dan berusaha untuk dicarinya dalam masyarakat. Oleh karena itu bisa dikatakan

bahwa kerinduan manusia kepada keadilan pada hakikatnya adalah kerinduan

terhadap kebahagiaan. Keadilan ini hanya dapat diperoleh dari tatanan. Menurut

Kelsen, tatanan hukum yang dapat memberikan keadilan adalah tatanan hukum

positif, yang dapat bekerja sistematis.49 Dengan demikian, keadilan menurut

Kelsen ini merupakan keadilan yang sudah tertuang dalam tatanan yang

dipositifkan.

Senada dengan Kelsen, Thomas Hobbes berpandangan bahwa keadilan sama

dengan hukum positif yang dibuat oleh penguasa. Pandangan ini mengandung

konsekuensi bahwa norma hukum positif adalah satu-satunya alat untuk menilai

49 Anthon F. Susanto, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Reks dan Model Pembacaan, GentaPublishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 89.

Page 51: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

38

baik-buruk, adil-tidak adil. Sebagai legitimasi dari penguasa, Hobbes

mengeluarkan teori kontrak sosial yang menyatakan bahwa masyarakat telah

melakukan kesepakatan/ kontrak untuk menyerahkan kedaulatannya pada

penguasa. Tidak jauh berbeda dengan Hobbes, Imanuel Kant memperkenalkan

konsepnya dengan keadilan kontraktual. Sebagaimana Hobbes, Kant juga

berpandangan bahwa sebagai dasar pembentukan hukum disebabkan oleh

rawannya hak pribadi untuk dilanggar. Namun bedanya, jika menurut Hobbes

yang berdaulat adalah kekuasaan, maka Kant berpendapat yang berdaulat adalah

hukum dan keadilan. Secara singkatnya, prinsip keadilan Kant ini dapat

dirumuskan bahwa seseorang bebas untuk berekspresi dan melakukan tindakan

apapun, asalkan tidak menggangu hak orang lain.50

3. Keadilan Restoratif

Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani kejahatan hampir seluruhnya

selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukanlah solusi terbaik dalam

menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan”

yang ditimbulkannya masih bisa direstorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak”

dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya

penghilangan stigma dari individu pelaku. Paradigma penghukuman tersebut

dikenal sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang

telah ditimbulkannya kepada korban, keluarga, dan juga masyarakat.

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif

pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan

50 Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius,Yogyakarta, 2009 , hlm. 45-46.

Page 52: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

39

pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan

hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut.

Kata restorative dapat diartikan sebagai obat yang menyembuhkan atau

menyegarkan. Sedangkan restorative justice dimaknai sebagai penyelesaian suatu

tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk

bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam

menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana

mengatasi implikasinya di masa datang.

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah “sebuah konsep pemikiran

yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan

pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.”51

Restorative justice dapat diimplementasikan dalam penyelesaian perkara melalui

Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR adalah tindakan memberdayakan

penyelesaian alternative di luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih

mengedepankan win-win solution, dan dapat dijadikan sarana penyelesaian

sengketa melalui proses pengadilan.

Penyelesaian perkara melalui mekanisme di luar pengadilan saat ini semakin

lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih

mampu menjangkau rasa keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum

berpendapat bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan

untuk menyelesaikan perkara pidana karena pada asasnya perkara pidana tidak

51 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm.65.

Page 53: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

40

dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar peradilan. Penyelesaian perkara

pidana dalam restorative justice dapat dicontohkan dalam bentuk mediasi penal,

karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat signifikan dalam

proses penegakan, walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal system.

Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan dari cita-cita

hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is

justice), dan asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber

hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Perumusan kaidah hukum untuk

penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita

hukum dan asas hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus

mengacu pada nilai-nilai keadilan , nilai kepastian dan kemanfaatan. Sedangkan

norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan landasan filosofis,

yuridis, dan sosiologis.

Polri sebenarnya sudah selangkah lebih maju dalam penerapan konsep restorative

justice melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution(ADR). Melalui Surat

Telegram Reskrim (STR) Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei

2011 tentang Pedoman Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri, Reskrim Polri

berkehendak untuk menerapan ADR dalam penyelesaian perkara pidana. Hanya

sayang, kebijakan tersebut ditunda dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri No.

ST/209/IX/2011, tanggal 6 September 2011, tentang Penangguhan Penerapan

ADR di jajaran Reskrim Polri, yang isinya berbunyi: “mengingat substansi dan

materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi

anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus

diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan

Page 54: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

41

sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang

dirancang oleh Mabes Polri”.

4. Hukum Progresif

Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang

lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif

adalah bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak

pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang

sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum

di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan

kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.52

Pemikiran progresif mengenai hukum di Indonesia sebenarnya sudah timbul

setelah jaman kemerdekaan yang merupakan bentuk penolakan terhadap Kitab

Undang Undang Hukum Pidana yang dituangkan dalam Undang Undang No. 1

thn 1946. Beberapa pakar hukum pada saat itu mengganggap bahwa KUHP

adalah produk hukum kolonial Belanda yang seharusnya disesuaikan dengan

norma dan budaya masyarakat Indonesia. Moeljatno dalam sambutan pada kuliah

umum di FKIP Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 7 Maret 1964

menjelaskan bahwa:

Janganlah para petugas yang pekerjaannya dalam atau bersangkutan denganbidang hukum tadi, sadar atau tidak sadar meneruskan begitu saja teori-teori danpraktek-praktek hukum yang dahulu pernah diajarkan dan dipraktekkan di zamanHindia Belanda sejak berpuluh-puluh tahun. Seakan-akan dalam bidang hukumjalannya sejarah bangsa Indonesia sejak berkuasanya pemerintah Hindia Belandahingga sekarang berlangsung terus secara tenang dan tentram; seakan-akan teoridan praktek hukum dari zaman yang silam itu merupakan naluri atau harta pusaka

52 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol.1/ No.1/ April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 3.

Page 55: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

42

bagi kita, yang sedapat mungkin harus dipelihara sebaik-baiknya, tanpa perubahandan penggantian.53

Moeljatno berdasarkan pemikirannya tersebut, menolak beberapa pasal dalam

KUHP yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi dengan budaya yang ada di

Indonesia seperti pasal perkelahian tanding (pasal 182 s/d pasal 186 KUHP),

pasal-pasal yang bersangkutan dengan perdagangan budak belian (pasal 324 s/d

pasal 327 KUHP), pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (pasal 154

KUHP), dan pasal tentang pelarangan pengemis dan gelandangan (pasal 504 dan

pasal 505 KUHP). Moeljatno menggap bahwa hukum pidana harus dibangun

secara progresif untuk dapat menyelaraskan dengan revolusi yang saat itu sedang

berlangsung. Cara hukum progresif menurut Moeljatno dapat dilihat dari

pendapatnya yang mengatakan bahwa:

Revolusi dalam bidang tata hukum menghendaki penghapusan dari segala halyang sifatnya lapuk dan usang untuk diganti dengan yang segar bermanfaat danprogresif, maka jalan pikiran yang yuridis formal tadi hendaknya diganti dengandengan yang yuridis materiil dalam arti kata bahwa kata-kata yang dipakai dalamperaturan hendaknya ditafsirkan sehingga makna peraturan menjadi sesuai sekalidan seirama dengan dinamika dan progresitivitas masyarakat dimana peraturantadi diharapkan memberi manfaatnya.54

Seiring berjalannya waktu, Satjipto Rahardjo mencetuskan gagasan hukum

progresif yang merupakan bentuk keprihatinan terhadap keadaan hukum di

Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi

penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an

sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosa kata hukum di Indonesia , pada

Orde Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering

53 Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Jurnal Hukum Pidana Fak Hukum UNDIP, Jakarta, PT.Bina Aksara, 1985, hlm. 28.54 Ibid., hlm. 34.

Page 56: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

43

karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia

hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari

kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi

dalam menjalankan hukum. Lalu Satjipto Rahardjo mengajukan pernyataan, apa

yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?55

Berdasarkan perenungan terhadap semua hal, dan kejadian tersebut Satjipto

Rahardjo merasakan ada stagnasi dalam praktik dan teori hukum. Maka beliau

mengajukan suatu gagasan untuk memilih cara yang menolak keadaan status quo,

melainkan secara progresif melakukan pembebasan dan hal tersebut dirumuskan

ke dalam gagasan dan tipe “Hukum Progresif”. Maksim utama hukum progresif

adalah bahwa “hukum untuk manusia” dan bukan “manusia untuk hukum”, dalam

arti hukum tidak dipandang sebagai suatu institusi yang mutlak dan final,

melainkan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dapat mengabdi kepada

manusia. Karena pusat hukum progresif adalah pada manusia, maka menurut

Satjipto Rahardjo, maka hukum progresif harus mampu mengikuti perkembangan

jaman serta mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar-dasar yang

ada didalamnya.56 Konsep hukum progresif sangat dekat atau memiliki titik

singgung dengan beberapa aliran hukum, atau teori hukum sebelumnya.

Adapun teori-teori yang memiliki hubungan dengan Hukum progresif adalah

sebagai berikut:

a. Teori tentang Sociological Jurisprudence

55 Faisal, Op. Cit. hlm. 70.56 Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 67.

Page 57: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

44

Penggagas aliran Sociological Jurisprudence adalah Roscoe Pound, Eugen

Ehrlich, Benyamin Cardozo, dan Kantorowics. Aliran ini berkembang di

Amerika, dengan inti pemikirannya bahwa hukum yang baik adalah hukum yang

sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa

hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.57 Artinya hukum

positif itu hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup di dalam

masyarakat.

Penganut aliran ini menekankan kepada kenyataan hukum daripada apa yang

diatur secara formal dalam undang undang. Pound berpendapat bahwa bagi para

ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih mempertimbangkan fakta-fakta

sosial dalam pekerjaannya, apakah itu pembuatan hukum atau penafsiran serta

penerapan peraturan-peraturan hukum. Pound menganjurkan agar perhatian lebih

diarahkan pada efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin

hukum.58

Aliran ini juga bertujuan untuk memberi dasar ilmiah pada proses penentuan

hukum. Dasar ilmiah ini berupa cara mengenai pemahaman hukum dalam

lingkungan sosial yang sangat penting untuk dapat menghasilkan hukum yang

efektif secara sosiologis. Oleh karenanya hukum harus berkembang sesuai dengan

kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan

masyarakat yang bersangkutan. Konsep dasar ini merupakan gagasan untuk

menjelaskan konsep hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a

57 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2001, hlm. 6658 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif IlmuHukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Nasution, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 29

Page 58: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

45

tool of social engineering) dengan usaha untuk mengubah atau merombak sistem

hukum sebelumnya.59

b. Teori tentang Realisme Hukum

Realisme hukum adalah suatu aliran yang dimulai di Amerika Serikat dengan

penggagas John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan Karl

Lirerllyn. Realisme hukum adalah suatu studi tentang hukum sebagai suatu yang

benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang hukum sekedar hukum sebagai

sejumlah aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak

pernah dilaksanakan. Menurut penganut aliran ini, sifat normatif hukum harus

dikesampingkan. Karena bagi mereka, hukum pada hakikatnya adalah pola

perilaku (pattern of behaviour) dari hakim di dalam persidangan. Hakim harus

selalu melakukan pilihan, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang

akan dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului ditemukan atau

digarapnya peraturan-peraturan hukum yang menjadi landasannya.60

Oliver Wendel Homes salah satu pelopor aliran ini berpendapat bahwa kehidupan

hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the actual life of law has not been

logic: it has been experience). Pemikiran Holmes ini senada dengan pemikiran

John Chipman Gray, yang menolak perundang-undangan sebagai satu-satunya

sumber hukum dan sebagai basis utama analisis penganut aliran hukum positif .

Tugas hakim tidak semata-mata menerapkan aturan dalam perundang-undangan

59 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Karya,Bandung, 1989, hlm. 84-8560 Antonius Sudirman, Op.Cit., hlm 30.

Page 59: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

46

terhadap kasus konkret, tetapi tugas hakim adalah membentuk hukum (judge-

made law).61

Konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapi experience, maka hukum

tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari

tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya

hukum. Pemahaman realisme hukum bahwa hukum tidak hanya terbatas pada teks

atau dokumen hukum tersebut, tetapi harus mempertimbangkan norma-norma

sosial yang ada di masyarakat, sehingga tujuan sosial dapat tercapai.

c. Teori Hukum Responsif

Digagas oleh Nonet dan Selznick, yang berpendapat bahwa hukum seyogyanya

bisa difungsikan sebagai fasilitator untuk memenuhi keadilan dan kepentingan

publik, dan karenanya harus mengedepankan stantial justice daripada prosedural

justice.62 Lahirnya hukum responsif dilatarbelakangi dengan munculnya masalah-

masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran

lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda

Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum pada saat itu ternyata tidak cukup

mengatasi keadaan tersebut. Padahal hukum dituntut untuk bisa memecahkan

solusi atas permasalahan tersebut.

Nonet dan Selznick berpendapat bahwa hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada

logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan yurisprudensi saja tidak cukup,

tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan nilai-nilai sosial. Sifat responsif

dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami

61 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 60.62 Mahrus Ali, Ibid., hlm. 68

Page 60: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

47

dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Pembuatan dan

penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingnya

merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial lebih besar yang dilayaninya.63

Untuk mempermudah memahami hukum progresif, Yudi Kristiana menyusun

karakteristik dasar hukum progresif berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang telah

disebutkan di atas serta aliran/ teori yang mendukungnya. Karakterikstik hukum

progresif tersebut dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas

asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter dalam tabel sebagai berikut:64

Asumsi 1. Hukum untuk manusia bukan sebaliknya.2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final

tetapi selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making)TujuanHukum

Kesejahteraan dan kebaikan manusia

Spirit 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, cara dan teori yangselama ini dipakai (mendominasi)

2. Pembebasan terhadap kultur penegak hukum (administrationof justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambathukum dalam menyelesaikan persoalan.

Progresifitas 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia danoleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untukmenjadi (law in making).

2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baiklokal, nasional, maupun global.

3. Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi,suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat,sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yangberujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.

Karakter 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik beratkajian hukum yang semula menggunakan optik hukummenuju perilaku.

2. Hukum progresif selalu sadar menempatkan kehadirannyadalam hubungan erat dengan manusia, meminjam istilahnyaNonet dan Selznick bertipe responsif

3. Hukum progresif berbagi paham dengan aliran realismehukum karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum

63 Nonet dan Selznick, Hukum Responsif, Huma, Jakarta, 2003, hlm. 5864 Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan PenuntutanTindak Pidana Korupsi, LHSP, Yogyakarta, 2009, hlm. 38.

Page 61: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

48

itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosialyang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanyahukum.

4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan aliransociological yurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkajihukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapikeluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.

5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan aliran hukumalam, karena perduli terhadap hal-hal yang “meta-juridical”

6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legalstudies namun cakupannya lebih luas.

E. Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Pemikiran Mengenai HukumPidana

Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan

bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem

hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan

lebih mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang

dikebiri oleh Penguasa.

Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk

menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik

koma yang terdapat dalam UU sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang

menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai

kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi.

Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi

keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.

Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang

dirumuskan dalam pasal-pasal. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu

digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa

Page 62: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

49

kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir

atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.

Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim

sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi

PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari

tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum yang

terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan

yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan

makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum.

UUD (ujung-ujung duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan

dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan.

Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat

hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut

benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar

dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan

dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini.

Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum

papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan

hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan

hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.

Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara

final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada

manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada

Page 63: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

50

dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus

menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat

kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke

dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-

lain. Inilah hakikat hukum yang selalu dalam proses menjadi. Dalam konteks yang

demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika

kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum

kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme kepastian hukum, status quo

dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang

selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada

kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang

final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan,

melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian

hukum.

Penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana sesuai dengan

aliran General Detterence. Ketika suatu perkara pidana dapat diselesaikan dengan

perdamaian, maka penjatuhan pidana terhadap pelaku tidak perlu dilaksanakan

lagi. Efek jera kepada para pelaku lebih dirasakan ketika mereka harus menjalani

proses penahanan di kepolisian. Walaupun tidak menjadi terdakwa dan

mendapatkan putusan pengadilan, penahanan di kepolisian sudah memberi

pelajaran bagi para pelaku. Pandangan General Detterence sejalan dengan teori

Rehabilitasi yang menyatakan bahwa pelaku adalah orang yang memerlukan

pertolongan dan harus diperbaiki untuk dapat kembali bersosialisasi dengan

masyarakat.

Page 64: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

51

Adanya batasan-batasan dalam penerapan hukum progresif seperti dalam

kejahatan yang meresahkan masyarakat sesuai dengan pandangan Special

Detterence, yang menyatakan bahwa penjatuhan hukuman merupakan mekanisme

yang harus dibuat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindakan serupa

di kemudian hari. Dalam pandangan ini, penjatuhan sanksi pidana memberikan

efek penjeraan dan penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan

seorang yang telah dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan

yang sama, sedangkan tujuan penangkalan merupakan sarana menakut-nakuti bagi

penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Tujuan akhir yang diharapkan

adalah bagaimana dengan pemidanaan yang diberikan tercipta situasi kamtibmas

yang kondusif sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat

Indonesia.

Mengenai batasan untuk mengkategorikan kasus-kasus yang bisa diselesaikan

dengan menerapkan keadilan restoratif/ mediasi penal memang tidak ada aturan

secara tertulis. Menurut penulis, disinilah titik dimana penyidik dapat menerapkan

hukum progresif. Hukum progresif tidak diperlukan lagi apabila pada nantinya

ada suatu peraturan hukum tertulis yang menyatakan bahwa kasus yang sudah ada

perdamaian tidak dapat dilanjutkan ke proses pengadilan. Kewenangan diskresi

yang dimiliki penyidik dapat digunakan untuk memilah kasus yang akan

diteruskan ke pengadilan atau tidak.

Mengenai batasan tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan mediasi

penal, sebenarnya Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

Page 65: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

52

Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana. Perma tersebut

telah merubah batasan dalam perkara-perkara Tindak Pidana Ringan yang

semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp

2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Batasan sebesar Rp 250,-

merupakan batasan yang disusun berdasarkan kondisi perekonomian Tahun

1960-an yang tentunya bila dikonversi dengan kondisi perekonomian Tahun

2000-an seperti sekarang ini sudah tidak relevan lagi.

Adapun yang dimaksud dengan Tindak Pidana Ringan sesuai dengan KUHP

adalah kejahatan terhadap harta benda merupakan bentuk penyerangan

terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan

milik petindak), kejahatan terhadap harta benda yang sifatnya ringan atau

dapat dikatakan Tindak Pidana Ringan dimuat dalam buku II KUHP yaitu:

Pasal 364 (Pencurian Ringan), Pasal 373 (Penggelapan Ringan), Pasal

379(Penipuan Ringan), Pasal 384 (Penipuan ringan oleh penjual), Pasal

407(Pengrusakan Ringan) dan Pasal 482 (Penadahan Ringan).

Pasal 2 Perma Nomor 2 Tahun 2010 mengatur prosedur yang harus dilakukan

hakim dalam menyidangkan Tindak Pidana Ringan, yaitu sebagai berikut:65

a. Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan,penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikannilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara danmemperhatikan Pasal 1 di atas.

b. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), Ketua Pengadilansegera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili danmemutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diaturdalam Pasal 205-210 KUHAP.

65 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan TindakPidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana.

Page 66: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

53

c. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, KetuaPengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjanganpenahanan.

Pelaksanaan Perma Nomor 2 Tahun 2010, sebenarnya sangat mendukung

penerapan Hukum Progresif di Indonesia. Penyidik Polri dapat mengupayakan

mediasi penal sebelum berkas dimajukan ke pengadilan. Ketentuan Tindak

Pidana Ringan dengan kerugian di bawah nominal Rp. 2.500.000,00 seolah

memecah kebuntuan KUHP yang selama ini tidak mengikuti perkembangan

perekonomian Indonesia sehingga pasal mengenai Tindak Pidana Ringan seperti

tidak berfungsi.. Akan tetapi menurut pengamatan penulis Perma ini belum

sepenuhnya dapat dilaksanakan di Sistem Peradilan Indonesia. Hanya beberapa

pengadilan yang sudah mengadopsi ketentuan ini dalam beracara. Pengadilan

Negri Tanjung Karang juga belum melaksanakan Perma tersebut secara optimal.

Hal ini dikarenakan sosialisasi yang belum sampai ke seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu mengingat masih berupa Peraturan Mahkamah Agung, ketentuan ini

belum mengikat sampai kepolisian dan kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan

cenderung masih berpegang pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP dan

KUHAP.

Munculnya pandangan atau pemikiran keadilan restoratif tidak dapat dilepaskan

dari eksistensi pandangan atau pemikiran yang sebelumnya telah mendominasi

pembentukan dan penerapan aturan hukum pidana, khususnya mengenai pidana

dan pemidanaan, yaitu pandangan atau pemikiran retributif (retributivisme).

Menurut Sri Wiyanti Eddyono, dalam pandangan retributif penyelesaian kasus

dilakukan dengan penghukuman terhadap si pelaku. Adapun asumsi-asumsi

Page 67: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

54

yang dipakai didasarkan pada asumsi hukum yang netral. Karena prinsip

netralitas dan objektifitas hukum menjadi pertimbangan yang dominan,

maka keadilanpun ditimbang secara netral dan objektif.66 Dalam

retributivisme tidak terdapat tempat bagi pandangan-pandangan pribadi,

terutama dari korban, mengenai pidana dan pemidanaan. Hal tersebut dapat

dimaklumi karena menurut teori retributif tindak pidana atau kejahatan diberikan

pengertian sebagai perbuatan melawan (hukum) negara. Sebagai konsekuensinya

maka negara, yang merepresentasikan diri sebagai korban tindak pidana,

mempunyai kewenangan mutlak untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana

kepada pelaku. Adapun kerugian dan penderitaan para korban sudah dianggap

tercermin dalam ancaman sanksi pidana terhadap pelaku.

Di kalangan ahli hukum pidana, retributif dikenal sebagai teori yang

pertama kali muncul untuk memberikan argumentasi mengenai perlu dan

pentingnya sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana. Bahkan oleh

Mirko Bagaric dan Kumar Amarasekara dikatakan bahwa retributivism has

been the dominant theory of punishment in the Western world for the past

few decades.67 Sampai sekarangpun teori retributif seringkali muncul

mengemuka dalam setiap pembicaraan mengenai pidana dan pemidanaan,

khususnya ketika orang mencoba memberikan jawaban dari pertanyaan:

mengapa hukum (sanksi) pidana dibutuhkan atau perlu digunakan dalam

penanggulangan tindak pidana ? Bahkan menurut Sholehuddin, meskipun jenis

66 Sri Wiyanti Eddyono, Keadilan Untuk Perempuan Korban, Kompas, Senin, 17 Desember2007, hlm 3667 Mirko Bagaric and Kumar Amarasekara, The Errors of Retributivism, dalam http://www.Austlii.edu.au/cgi-bin/sinodisp/aujournals/UNSWL3/1999/6html?query=papers, diakses tanggal7 Juni 2016.

Page 68: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

55

sanksi pidana yang bersumber dari teori retributif memiliki kelemahan dari segi

prinsip proporsionalitas tanggung jawab pelaku, retributivisme tidak mungkin

dihilangkan sama sekali.68 Begitu pula pendapat Gerber dan Mc Anany

yang mengatakan, bahwa meskipun teori retributif tidak lagi populer, teori ini

tidak tersingkirkan seluruhnya. Bahkan dalam hari-harinya yang paling buruk,

masyarakat mengakui bahwa sejauh apapun sanksi bergerak ke arah rehabilitasi,

tetap saja harus ada pemidanaan.69

Teori retributif di dalamnya terdapat prinsip bahwa pemidanaan

merupakan suatu keharusan karena orang telah melakukan tindak pidana.

Berasal dari prinsip tersebut tampak terlihat bahwa pemidanaan dalam

pandangan retributif merupakan pembalasan atas tindak pidana yang

diperbuat oleh pelaku. Meskipun demikian, menurut Immanuel Kant

retributisme berbeda dengan pembalasan dendam karena dalam retributisme

hukuman bukan merupakan suatu fungsi subjektif dimana fihak korban dapat

bertindak sendiri untuk menghukum pelaku. Penghukuman dalam hal ini harus

dilakukan oleh pengadilan.70 Robert Nozick dan Ten, seperti yang dikutip

oleh Mirko dan Kumar, juga mengatakan bahwa pembalasan dalam teori

retributif berbeda dengan pembalasan dendam. Mereka mengatakan bahwa:

1. Pembalasan dalam teori retributif berkaitan dengan / dibatasi oleh kesalahanpelaku tindak pidana, sedangkan balas dendam tidak ;

2. Pembalasan dalam teori retributif merupakan batas maksimal daripemidanaan, sedangkan balas dendam tidak ada batasnya;

3. Balas dendam bersifat kasuistik dan dapat berbeda kadarnya dalam situasi

68 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System danImplementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hml. 2869 Rudolph J. Gerber and Patrick D. Mc Anany, Philosophy of Punishment (dalam : TheSociology of Punishment, John Wiley and Sons Inc., New York, 1970, hlm. 35870 Immanuel Kant, The Doctrine of Virtue (translate by MJ. Gregor), University of PennsylvaniaPress, Pennsylvania, 1964, hlm. 130

Page 69: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

56

atau peristiwa yang sama;4. Pembalasan dalam teori retributif hanya dikenakan pada pelaku tindak

pidana, sedangkan balas dendam dapat mengenai / terjadi pada orang yangtidak bersalah yang kebetulan mempunyai hubungan dengan sasaran;

5. Dalam kasus balas dendam, pelaku pembalasan dendam (korban tindakpidana) memperoleh kepuasan atas penderitaan orang lain, sedangkan dalampembalasan menurut teori retributif kepuasan korban tindak pidana ataspemidanaan bukan merupakan pertimbangan yang utama;

6. Karena tergantung pada individu pembalas, maka balas dendam bersifatpersonal; sedangkan pembalasan menurut teori retributif lebih bersifatumum.

Terlepas dari teori yang mendasarinya, penggunaan sanksi pidana sebagai

sarana untuk menyelesaikan kasus menurut pandangan retributisme dalam

perkembangannya mulai ditentang oleh ahli hukum pidana itu sendiri dengan

memunculkan berbagai pendapat atau pemikiran mengenai penggunaan sarana

alternatif dalam penanggulangan tindak pidana . Salah satu pandangan atau

pemikiran yang mencoba memberikan alternatif lain dalam upaya penyelesaian

kasus-kasus pidana tersebut adalah keadilan restoratif. Pemikiran alternatif ini

disebut dengan istilah keadilan restoratif karena memusatkan perhatiannya pada

upaya restorasi atau memperbaiki/memulihkan kondisi atau keadaan yang rusak

sebagai akibat terjadinya tindak pidana. Adapun yang akan

direstorasi/diperbaiki/dipulihkan adalah korban, pelaku tindak pidana, serta

kerusakan-kerusakan lain akibat tindak pidana dalam masyarakat. Secara

filosofis upaya perbaikan/penyembuhan tersebut dilakukan tidak dengan

melihat ke belakang, yaitu tindak pidana yang telah terjadi, sebagai dasar

pembenarannya. Restorasi/perbaikan/penyembuhan tersebut dilakukan agar

dimasa yang akan datang dapat terbangun suatu masyarakat yang lebih baik.

Selain istilah keadilan restoratif, istilah-istilah lain juga dipakai untuk menunjuk

pada ide yang sama mengenai cara atau sarana alternatif dalam penanggulangan

Page 70: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

57

tindak pidana tersebut, seperti: ”relational justice, positive justice,

reintegrative justice, communitarian justice, dan redemptive justic ”.71

Pemikiran mengenai keadilan restoratif muncul pertama kali dikalangan para ahli

hukum pidana sebagai reaksi atas dampak negatif dari penerapan hukum (sanksi)

pidana dengan sifat represif dan koersifnya.72 Hal ini tampak dari pernyataan

Louk Hulsman yang mengatakan, bahwa sistem hukum pidana dibangun

berdasarkan pikiran: ”hukum pidana harus menimbulkan nestapa”. Pikiran

seperti itu menurut Hulsman sangat berbahaya. 73 Oleh karena itu Hulsman

mengemukakan suatu ide untuk menghapuskan sistem hukum pidana, yang

dianggap lebih banyak mendatangkan penderitaan daripada kebaikan,

dan menggantikannya dengan cara-cara lain yang dianggap lebih baik. Pengertian

umum keadilan restoratif pertama kali dikemukakan oleh Barnett ketika ia

menunjuk pada prinsip-prinsip tertentu yang digunakan oleh para praktisi hukum

di Amerika dalam melakukan mediasi antara korban dengan pelaku tindak

pidana. Tetapi perkembangan pemikiran mengenai keadilan restoratif itu sendiri

secaara ideologis sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari munculnya gerakan

abolisionis yang ingin menggantikan hukum pidana dengan sarana lain

dalam penanggulangan kejahatan serta munculnya ilmu baru, yaitu

viktimologi.

71 Eric Hoffer, Retributive and Restorative Justice, http://www.homeoffice.gov.UK/rds/prg.pdf/crrs 10.pdf, diakses tanggal 4 Januari 2008 (lihat juga: Tony F.Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html, diaksestanggal 6 Juni 2016.72 Oleh Melani pendekatan restoratif Justice (keadilan pemulihan) untuk menyelesaikankejahatan seringkali diperlawankan dengan pendekatan Retributive Justice (keadilanberdasarkan balas dendam) (Melani, Restorative Jusice, Kurangi Beban LP,http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/23/opini/2386329.htm, diakses tanggal 6 Juni 2016)73 LHC. Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana ! Menuju Swa Regulasi (diterjemahkan oleh :Wonosusanto), Forum Studi Hukum Pidana, Surakarta, 1988, hlm.. 67

Page 71: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

58

Pada umumnya suatu kejahatan akan menimbulkan korban pada orang/pihak

lain, sehingga dalam konteks ini korban dan pelaku bagaikan dua sisi dari sebuah

mata uang, oleh karena itu dapat dipahami apabila kemunculan viktimilogi,

sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang korban tersebut juga berpengaruh

terhadap konsep dan teori-teori pencegahan kejahatan. Konsep dan teori

pencegahan kejahatan yang semula lebih bersifat offender oriented kemudian

mulai memperhatikan kepentingan korban dalam hal itu. Adanya pertimbangan-

pertimbangan viktimologis dalam upaya pencegahan kejahatan dapat lebih

memberikan rasa keadilan pada korbannya. Apabila dalam pendekatan

retributif sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan“

kesalahan pelaku pada negara, maka dengan mempelajari hakikat korban dan

penderitaannya, viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk menggali

kemungkinan bagi dirumuskan dan diterapkannya sanksi yang lebih bersifat

“pembayaran atau penebusan“ kesalahan pelaku kepada korbannya, misalnya

dengan memberikan ganti kerugian atau santunan dan perbaikan atas kerusakan

yang ditimbulkan sebagai akibat tindak pidana yang terjadi. Di samping sebagai

perwujudan dari tanggung jawab hukum, sanksi yang berorientasi pada

pemulihan korban tersebut sedikit banyak juga akan menggugah tanggung

jawab moral pelaku terhadap korbannya.

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih terperinci mengenai

keadilan restoratif, berikut ini dikutip pendapat beberapa orang ahli tentang hal

tersebut :

1. Tony F. Marshall

Page 72: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

59

Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk

memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan

masyarakat, dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum.74

Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memecahkan masalah kejahatan tersebut,

keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat;b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat

(termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengankebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosialyang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan;

c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidakdapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinyaketerlibatan secara personal

d. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-faktapenting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus;

e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparatdengan masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitasdan efisiensi cara penyelesaian kasusnya;

f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antarapara pihak.

2. John Braithwaite

Secara singkat John Braithwaite memberikan pengertian keadilan restoratif

sebagai pemulihan korban.75Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud

dengan pemulihan korban tersebut terdiri dari:

a. Restore property loss;b. Restore injury;c. Restore sense of security;d. Restore dignity;e. Restore sense of empowerment;f. Restore deliberative democracy;g. Restore harmony based on a feeling that justice has been done;h. Restore social support.

3. Mark Umbreit

74 Tony F. Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html.75 John Braithwaite, Restorative Justice and Better Future, http://www.aic.gov.au/rjustice/other.html, diakses tanggal 6 Juni 2016

Page 73: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

60

Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark

Umbreit, keadilan restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman

mengenai kejahatan dan viktimisasi yang sangat berbeda dibanding dengan

paham retributif. 76 Pada paham retributif, negara dianggap sebagai pihak

yang paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena itu, dalam proses

pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang pasif.

Sedangkan dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami sebagai

konflik antar individu. Oleh karena itu, mereka yang terkait lebih langsung

dengan terjadinya kejahatan, yaitu korban, pelaku dan masyarakat, harus diberi

kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam upaya penyelesaian konflik

tersebut.

4. Cornier

Cornier, seperti yang dikutip oleh Brian Tkachuk, memberikan pengertian

keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan untuk menegakkan keadilan yang

difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan yang ditimbulkan

oleh kejahatan.77 Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan restoratif ini

mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan

memberikan kesempatan kepada para pihak, yaitu korban; pelaku; dan

masyarakat, untuk mengidentifikasi dan menentukan kepentingan mereka yang

terkait dengan akibat kejahatan, mengupayakan penyelesaian yang bertujuan

menyembuhkan, perbaikan dan reintegrasi, serta pencegahan penderitaan di masa

76 Mark Umbreit, Restorative Justice Through Victim-Offender Mediation : :A Multi-Site Assessment, http://www.wcr.sonoma.edu/v1n1/umbreit.html, diakses tanggal 6 Juni201677 Brian Tkachuk, Criminal Justice Reform : Lessons Learned Community Involvement andRestorative JusticeRapprteur’s Report, (dalam http://www.aic.gov.au/rjustice/ other.html, diaksestanggal 6 Juni 2016

Page 74: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

61

datang.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam keadilan

restoratif, pelaku; korban; dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang

berkepentingan dalam penyelesaian tindak pidana, di samping negara sendiri.

Keterlibatan pihak-pihak tersebut, khususnya pelaku; korban; dan masyarakat,

dalam penyelesaian tindak pidana dianggap bernilai tinggi. Selain itu, cara

pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan

pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban

dan pelaku dapat melakukan rekonsiliasi konflik dan menyelesaikan kerugian

mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Meskipun

demikian, keterlibatan korban dalam proses pemidanaan perlu diatur secara hati-

hati supaya tidak menimbulkan viktimisasi sekunder yang akan menambah berat

penderitaan korban setelah yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat

tindak pidana.

Sebagai suatu pemikiran yang dimunculkan untuk menentang pendekatan

retributif dalam penggunaan hukum pidana guna penanggulangan tindak

pidana, prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh keadilan restoratif berbeda

dengan prinsip- prinsip yang dikemukakan dalam keadilan retributif. Berikut

ini paparannya seperti yang dikemukakan oleh para ahli :

1. Howard Zehr

Howard Zehr, seperti yang dikutip oleh Mark Umbreit, menjelaskan

perbedaan prinsip-prinsip dalam keadilan restoratif dengan prinsip-prinsip

Page 75: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

62

dalam keadilan retributif dengan paparan sebagai berikut:78

Keadilan Retributif Keadilan Restoratif

Kejahatan didefinisikan sebagaipelanggaran thd (hukum) negara

Kejahatan didefinisikan sebagaipelanggaran antar perseorangan

Fokusnya adalah penentuankesalahan dan melihat ke belakang(pada apa yang telah diperbuatpelaku)

Fokusnya adalah pemecahanmasalah, penentuan tanggungjawab dan kewajiban serta melihatke masa depan

Posisi para pihak salingberlawanan dan menekankan padaproses hukum

Posisi para pihak adalah untukberdialog dan menekankan padaproses negosiasi

Mengenakan penderitaan untukpemidanaan dan pencegahan

Restitusi sebagai sarana untukmemperbaiki kedua belah pihak;tujuannya adalah untukrekonsiliasi/pemulihan

Keadilan diberi pengertian secarakaku menurut hukum

Keadilan didefinisikan menuruthak yang muncul karenaketerkaitannya dengan pihak lain

Kejahatan dilihat sebagai konflikantara individu melawan negara

Kejahatan dilihat sebagai konflikantar individu

Penderitaan warga masyarakat(korban) digantikan denganpenderitaan warga masyarakat yanglain (pelaku)

Perbaikan atau pemulihan padakerusakan/penderitaan wargamasyarakat

Masyarakat tidak terlibat secaraaktif dalam proses hukum karenasudah diwakili oleh negara.

Masyarakat sebagai fasilitatordalam proses pemulihan

Mendorong (semangat ) persaingandengan mengedepankan nilai-nilaiindividualistik

Mendorong semangat salingtolong menolong

Penyelesaian konflik dilakukan olehnegara kepada pelaku (korbandiabaikan dan pelaku bersifat pasif)

Dalam upaya pemecahan masalah,peran korban dan pelaku diakui(hak/kepentingan korban diakuidan pelaku didorong bertanggungjawab untuk memenuhinya)

78 Mengenai hal ini juga dikatakan oleh Michael Cavadino dan James Dignan sebagai berikut: “retributivism looks backwards in time, to the offence. It is the fact that the offender has committeda wrongful act which deserves punishment, not the future consequences of the punishment, thatis important to the retributist. (Michael Cavadino and James Dignan, The Penal System : AnIntroduction, SAGE Publications, California, 1992, hlm. 38)

Page 76: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

63

Pertanggungjawaban pelakudiwujudkan dengan pemidanaan

Pertanggungjawaban pelaku diberipengertian sebagai akibat yangdisadari dari perbuatan salahnyadan pelaku dibantu untukmemutuskan bagaimana segalasesuatunya dibuat menjadi baikkembali

Perbuatan salah hanya diberibatasan menurut hukum denganmengabaikan dimensi moral, sosial,ekonomi atau politik

Perbuatan salah dipahami dalamkeseluruhan konteksnya, baikmoral, ekonomi, dan politik

Pertanggungjawaban pelakudiberikan kepada negara danmasyarakat secara abstrak

Pertanggungjawaban pelakuditujukan kepada korban

Reaksi terhadap konflik difokuskanpada perbuatan pelaku yang telahlalu

Reaksi terhadap konflikdifokuskan pada penderitaanyang ditimbulkan oleh perbuatanpelaku

Stigma kejahatan tidak dapatdihilangkan

Stigma kejahatan dapatdihilangkan melalui tindakanpemulihan

Tidak ada dorongan (terhadappelaku) untuk menyesaliperbuatannya dan (terhadap korban)untuk mengampuni pelaku

Munculnya penyesalan padapelaku dan pengampunan darikorban dimungkinkan

Penyelesaian konfliktergantung/didominasi oleh aparatpenegak hukum

Penyelesaian konflik dilakukandengan melibatkan para pihak(korban, pelaku, dan masyarakat)

2. Mark Umbreit

Menurut Mark Umbreit keadilan restoratif berpijak pada prinsip-prinsip

sebagai berikut:79

a. Keadilan restoratif lebih terfokus pada upaya pemulihan bagi korbandaripada pemidanaan terhadap pelaku.

b. Keadilan restoratif menganggap penting peranan korban dalam prosesperadilan pidana.

c. Keadilan restoratif menghendaki agar pelaku mengambil tanggung jawablangsung kepada korban.

79Laurence M. Newell, A Role for ADR in the Criminal Justice System ?,http://www.aic.gov.au/rjustice/newell/ presentation.pdf, diakses tanggal 6 Juni 2016.

Page 77: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

64

d. Keadilan restoratif mendorong masyarakat untuk terlibat dalampertanggungjawaban pelaku dan mengusulkan suatu perbaikan yang berpijakpada kebutuhan korban dan pelaku.

e. Keadilan restoratif menekankan pada penyadaran pelaku untuk maumemberikan ganti rugi sebagai wujud pertanggungjawaban atasperbuatannya (apabila mungkin), daripada penjatuhan pidana.

f. Keadilan restoratif memperkenalkan pertanggungjawaban masyarakatterhadap kondisi sosial yang ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan.

3. Daniel W. van Ness

Untuk menegaskan bahwa keadilan restoratif secara prinsip berbeda dengan

keadilan retributif, Van Ness, seperti yang dikutip oleh Mudzakkir, mengatakan

bahwa keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa prinsip sebagai berikut:80

a. Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan kerugian padakorban, masyarakat, dan pelaku itu sendiri.

b. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukanrekonsiliasi di antara pihak-pihak sambil memperbaiki kerugian yangditimbulkan oleh kejahatan.

c. Proses peradilan pidana harus dapat memfasilitasi partisipasi aktif parakorban, pelanggar, dan masyarakat. Tidak semestinya peradilan pidanadidominasi oleh negara dengan mengesampingkan yang lainnya.

Adapun nilai-nilai yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif

dengan penyelenggaraan peradilan pidana adalah:81

a. Penyelesaian konflik (conflict resolution) yang mengandung muatanpemberian ganti kerugian (kompensasi) dan pemulihan nama baik.

b. Menciptakan rasa aman yang mengandung muatan perdamaian danketertiban.

4. Gerry Johnstone

Secara tidak langsung Johnstone dalam pernyataannya mengenai perbedaan

antara “restorative sentenc “ dengan tipe/jenis pemidanaan yang lainnya, telah

80 Mudzakkir, Viktimologi : Studi Kasus di Indonesia, Makalah pada Penataran Nasional HukumPidana dan Kriminologi ke XI Tahun 2005, Surabaya, 14-16 Maret 2005, hlm. 25

81 Ibid, Mudzakkir

Page 78: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

65

mengemukakan prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagai berikut:82

a. The offender may be required to take part in meeting with the victim (or avictim representative) and, perhaps, other people affected fairly directly bythe crime, such as members of the victim’s and even the offender’s ownfamily. In such meeting, offenders are required to listen respectfully whilethose harmed by their behavior describe how they have been affected by it.Offenders are also expected to answer any questions their victim may have.Hence, restorative sentences are distinctive in that they may requireoffenders to meet face to face with those affected by their behavior, and toengage in constructive, respectful dialogue with them.

b. The offender may be expected to apologize and under take a reparativetask.Hence, restorative sentences differ from other sentences in which offendersare expected to “ pay for “their crimes by undergoing pain. In restorativejustice, offenders make amends for their crime through positive acts intendedto benefit their victim(s).

c. The precise way in which the offender will make amends is determined, notby professional sentencers, but by the victims and offenders and otherparticipants in the restorative “ conference “. The aim is to have all partiesagree upon what should be done about the matter.

Berdasarkan uraian mengenai keadilan restoratif tersebut di atas dapat dikatakan,

bahwa pengertian keadilan restoratif pada prinsipnya merupakan suatu

pendekatan untuk melakukan respon secara sistematik terhadap tindak pidana

yang terjadi dengan fokus utama untuk memperbaiki kerusakan/memulihkan

penderitaan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut tanpa meninggalkan

perhatian yang seimbang antara kepentingan korban, pelaku dan masyarakat.

Keadilan restoratif di dalamnya juga terkandung pemikiran bahwa penyelesaian

tindak pidana dilakukan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat.

Paparan mengenai prinsip-prinsip keadilan restoratif tersebut di atas juga

menunjukkan bahwa sanksi/bentuk pertanggungjawaban pelaku yang

berorientasi pada pemulihan/rehabilitasi atas penderitaan/kerugian korban akibat

82 Gerry Johnstone, How, and in What Terms, Should Restorative Justice be Conceived ? (dalam:Howard Zehr and Barb Toews, Critical Issues in Restorative Justice, Criminal Justice Press,New York, 2004, hlm. 6

Page 79: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

66

dari tindak pidana lebih mendapatkan tempat dalam pandangan keadilan

restoratif dibandingkan dalam pandangan retributif. Meskipun demikian

penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus

kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia perlu mempertimbangkan

karakteristik tertentu yang ada dalam hubungan kerumahtanggaan (misalnya

adanya prinsip kesatuan harta kekayaan setelah perkawinan dilangsungkan serta

adanya hak, kewajiban dan tangung jawab tiap-tiap anggota keluarga

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang perkawinan) serta adanya

prinsip-prinsip keadilan yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana

terkandung dalam Pancasila.

Pengertian dan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh

para ahli tersebut di atas apabila dikaitkan dengan penyelesaian tindak pidana

melalui jalur hukum pidana (penal policy), khususnya yang berkaitan dengan

hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, menurut pemikiran penulis

mengandung 2 (dua) substansi pokok, yaitu:

1. Keadilan restoratif berkaitan dengan pemikiran mengenai sanksi

yang dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana (hukum materiil). Dari

paparan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi-sanksi

dalam keadilan restoratif harus bersifat/bertujuan untuk:

a. Menyembuhkan/ merehabilitasi/memulihkan penderitaan yang dialami

oleh korban sebagai akibat dari adanya pelanggaran hukum dari pada

sanksi yang bertujuan untuk memenjarakan pelaku. Dengan mengacu

pada pendapat John Braithwaite,83 maka sanksi dalam keadilan restoratif

tersebut harus berorientasi pada pemulihan penderitaan korban dalam

83 John Braithwaite, Log.Cit

Page 80: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

67

hal:

1) Memulihkan kerugian harta benda;

2) Memulihkan penderitaan fisik;

3) Memulihkan rasa aman;

4) Memulihkan harkat/martabat;

5) Memberdayakan korban;

6) Memulihkan sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan bersama;

7) Memulihkan harmoni yang didasarkan pada perasaan bahwakeadilan telah ditegakkan;

8) Memulihkan dukungan sosial.

b. Merehabilitasi pelaku, serta dapat mengintegrasikan kembali pelaku

dalam kehidupan bermasyarakat yang baik. Dengan kata lain sanksi

yang dikenakan kepada pelaku tidak bertujuan untuk membalas,

melainkan untuk menyelesaikan konflik dengan menggugah rasa

tanggung jawab langsung pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh

perbuatannya.

c. Menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Keadilan restoratif berkaitan dengan cara/metode penyelesaian tindak pidana

(hukum formil). Berkaitan dengan hal ini, keadilan restoratif

memperkenalkan beberapa model penyelesaian tindak pidana, antara lain:

Victim-offender reconciliation/mediation programs; Family group

conferencing programs; Victim-offender panels; Victim assistance

programs; Prisoner assistance programs; Community crime prevention

programs.84

84 Ibid

Page 81: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penanganan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Polsek Natar

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum

yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum

dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi

antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang

berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,

penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan

hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum

mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam

penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.

Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas

kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai

perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU

PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana

penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak

sikorban. Suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana

aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk

mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada

pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana.

Page 82: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

69

Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai

delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa

kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada

publik.

Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga

sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum

hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara

yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam

undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang

yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.

Permasalahan yang muncul dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah

bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan

kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang

muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena

suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain. Berdasarkan

kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang

keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sangat sulit untuk mencapai

keberhasilan maksimal.

Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan,

faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi

hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan

dengan kehidupan rumah tangga itu. Perumusan tindak pidana kekerasan dalam

Page 83: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

70

rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana

aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan

pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra

produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri. Oleh karena

itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir

dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan

UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum

administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum

administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk

mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif

berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah

tangga.

Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia

yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak

mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU

PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung

pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya

meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan

bermasyarakat di Indonesia.

Berikut adalah salah satu contoh kasus KDRT yang terjadi di wilayah hukum

Kepolisian Sektor Natar Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan keterangan

yang penulis peroleh dari Kantor Polsek Natar, sebagai berikut:

Page 84: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

71

Beberapa hari sebelum kejadian KDRT terjadi, ibu asuti diberi magic-com yang

sudah rusak oleh majikannya. Ibu astuti lalu berinisiatif memperbaiki magic-com

tersebut karena merasa memerlukannya. Namun biaya reparasi magic-com nya

kurang meski sebenarnya sudah diberi uang oleh majikannya sebesar Rp. 20.000,-

Biaya perbaikan seluruhnya Rp. 30.000. majikan ibu astuti pernah mengatakan

bahwa jika uang untuk biaya perbaikannya kurang maka ibu Astuti bisa meminta

lagi kekurangannya kepada pihak majikan. Namun karena malu, Ibu astuti

kemudian meminta uang kepada suaminya.

Pada tanggal 22 Oktober 2009, karena suaminya tidak memiliki uang tambahan

tersebut, suami langsung marah-marah dan memukuli ibu astuti dengan alasan

tidak bilang terlebih dahulu kepadanya kalau hendak memperbaiki magic-com

tersebut.

Ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil kemudian melaporkan ke posko

bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya (dipukuli) hingga berakibat muka dan

bibirnya memar semua. Karena tidak terima atas perlakuan suaminya, ibu astuti

melaporkan suaminya ke polsek natar dan malam itu juga suaminya langsung

dijemput dan ditahan oleh polsek natar. Setelah 6 hari ditahan di polsek, Ibu astuti

merasa tidak tega melihat suaminya dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya

dengan syarat sang suami tidak mengulangi perbuatannya kembali melakukan

KDRT.

Berdasarkan kronologis kasus di atas, terlihat bahwa telah terjadi kekerasan dalam

rumah tangga terhadap ibu astuti. bentuk kekerasan yang diterima ibu astuti

adalah kekerasan fisik yang mengakibatkan muka dan bibirnya memar semua.

Page 85: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

72

Suami ibu Astuti dapat dijerat dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT

dengan pasal 44 ayat 1 UUPKDRT dengan ancaman hukuman pidana penjara

paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah atau Pasal 44 ayat 4

yang menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata

pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama

4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Respon positif ditunjukkan oleh Polsek Natar yang segera menindaklanjuti

laporan ibu Astuti dengan melakukan penangkapan terhadap suaminya. Pada

kasus ibu Astuti, ia meminta posko Bantuan Hukum masyarakat untuk memediasi

kasus KDRT yang dialaminya. Ia ingin mencabut laporannya dikepolisian dan

berdamai dengan suaminya. Untuk itu langkah hukum yang diambil oleh GS dan

paralegal yang terlibat adalah :

1. Menggali kronologis kasus secara lebih detail sehingga dapat dianalisis

apakah kasusnya dapat didamaikan (sesuai keinginan korban) atau sebaliknya

kasusnya tetap dilanjutkan ke proses hukum.

2. Memberitahukan kepada ibu astuti akan hak-haknya sebagai korban KDRT

dan berbagai kemungkinan atas konsekuensi-konsekuensi yang harus

ditanggungnya jika kasusnya distop atau diteruskan ke proses hukum

selanjutnya. Diantaranya adalah jika kasusnya distop dan didamaikan, bukan

tidak mungkin suaminya akan mengulang kembali tindak kekerasan yang

dilakukannya. Dan jika kasusnya tetap dilanjutkan, maka bisa saja suaminya

mendapatkan hukuman penjara dan ia beserta anak-anaknya harus siap secara

Page 86: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

73

fisik, mental dan ekonomi karena tidak ada lagi yang akan bertanggungjawab

terhadap keluarganya.

3. Paralegal selaku pendampingan ibu Astuti memberikan tenggang waktu

kepada ibu Astuti dan keluarga untuk berfikir dan mengambil keputusan

apakah ia akan melanjutkan kasusnya atau tidak.

4. Setelah waktu yang ditentukan habis, paralegal mendatangi ibu Astuti untuk

menanyakan keputusan yang diambilnya. Karena ibu Astuti memutuskan

untuk mencabut laporannya maka paralegal akhirnya mengambil langkah-

langkah pencabutan laporan di kepolisian.

5. Ibu Astuti dengan ditemani oleh paralegal dan keluarganya mendatangi

Polsek Natar untuk mencabut laporannya. Sesuai dengan saran pihak terkait

dan tokoh, maka dibuatlah perdamaian antara ibu astuti dan suaminya. Dalam

perdamaian tersebut pihak suami berjanji tidak akan mengulangi

perbuatannya kembali dan siap ditahan jika ia mengulangi tindak kekerasan

yang dilakukannya.

Pada kasus ibu Astuti di atas, pilihan perdamaian dilakukan karena pihak korban

berkeinginan kuat untuk berdamai dengan pelaku. Dengan melapor ke polisi, dan

ditahannya pelaku, korban berharap pelaku menjadi jera dan tidak mengulang

perbuatannya lagi. Selain itu, tindak KDRT yang dilakukan oleh suami ibu astuti

baru pertama kalinya dilakukan dan akibat yang ditimbulkan tidak sampai

menggangu aktivitas sehari-hari ibu Astuti.

Meski demikian Gender Specialist (GS) tetap mengingatkan bahwa walaupun

baru pertama kali dilakukan bukan tidak mungkin siklus kekerasannya akan terus

Page 87: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

74

berulang . Ibu Astuti harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi

sebagai konsekuensi pilihannya untuk berdamai. Gender Specialist (GS),

Fasilitator Posko (fasko) dan paralegal tidak dapat memaksa ibu Astuti untuk

melanjutkan kasusnya karena semua keputusan dikembalikan kembali kepada

korban setelah korban diberikan arahan alternative penyelesaian kasus beserta

segala konsekuensinya.

Menurut keterangan dari Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo

bahwa langkah yang diambil pihak penyidik kepolisian terkait dengan kasus

tersebut adalah sebagai berikut:71

1. Penyidik di Polsek Natar menyadari bahwa hukum bukanlah sebagai sesuatu

yang final. Hukum harus dapat mengikuti dinamika kehidupan manusia.

Ketika penyidik selalu mengutamakan kepastian hukum, maka rasa keadilan

dan kemanfaatan manusia tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu penyidik

mencoba lebih mengerti akan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan dalam suatu pelaporan. Penyidik berusaha

mengenyampingkan kepastian hukum untuk dapat memenuhi keinginan dari

pihak pelapor maupun terlapor ketika sudah sepakat untuk melakukan

perdamaian dan tidak lagi menempuh jalur hukum sebagaimana mestinya.

2. Penyidik mencoba memahami bahwa hukum hanyalah alat dari tujuan

manusia yaitu untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia.

Untuk mencapainya penyidik lebih mendahulukan keadilan substansif

daripada keadilan prosedural. Penyidik menyadari apabila hanya mengejar

keadilan prosedural, maka banyak perkara pidana yang seharusnya dapat

71

Hasil wawancara pada tanggal 26 Juni 2016

Page 88: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

75

diselesaikan dengan perdamaian akan tetap dilanjutkan ke proses pengadilan,

akan tetapi rasa keadilan dan kemanfaatan tidak akan dirasakan oleh pihak

pelapor maupun terlapor. Hal ini dapat kita lihat dari langkah-langkah yang

dilakukan penyidik dalam menghadapi kasus Kekerasan Dalam Rumah

Tangga. Penyidik mempertimbangkan unsur kemanusiaan, ketika suami

sebagai pencari nafkah hidup keluarga harus menjalani hukuman, maka istri

dan anak-anaknya akan terlantar. Apabila terjadi perceraian, maka masa

depan anak akan terancam, dan nantinya bukan tidak mungkin akan

menimbulkan kejahatan-kejahatan baru di masyarakat. Dengan melakukan

mediasi, diharapkan kehidupan keluarga akan harmonis kembali, dan masa

depan anak dapat menjadi tanggung jawab bersama kedua orangtuanya.

Apabila dilihat dari segi peraturan, hukum di Indonesia belum sepenuhnya dapat

mengikuti perkembangan perilaku atau kebudayaan masyarakat Indonesia. Di

sadari bahwa Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia

adalah produk hukum dari jaman kolonial Belanda. Berkembangnya kebudayaan

masyarakat Indonesia sampai saat ini belum dapat diadopsi sepenuhnya dalam

KUHP yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. KUHP belum mengatur tentang

proses pencabutan laporan dalam delik biasa apabila pihak pelapor dan terlapor

sudah berdamai, padahal hal tersebut merupakan perilaku masyarakat Indonesia

yang berkembang sampai saat ini. Penyidik menerapkan hukum progresif dengan

mencoba menggerakkan peraturan dengan perilaku yang berkembang di

masyarakat, sehingga diharapkan peraturan akan berubah menjadi hukum positif

seperti yang diinginkan masyarakat.

Page 89: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

76

Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu

membebaskan diri dari tipe, cara berpikir , asas dan teori hukum yang legalistik-

positivistik. Penyidik di Polsek Natar sudah melaksanakan hal tersebut dengan

tidak terjebak dalam cara berpikir yang legalistik-positivistik, melainkan mencoba

langkah-langkah kreatif dan inovatif dengan melakukan mediasi terlebih dahulu,

memanggil kedua belah pihak dengan melibatkan keluarga dan unsur

pemerintahan sehingga tercapainya kata mufakat yang berbuah kepada keadilan

yang substantif daripada keadilan prosedural. Kreativitas yang dilakukan penyidik

dalam penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa merupakan suatu

terobosan hukum untuk menghindari ketimpangan hukum. Terobosan hukum

inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui

bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum

yang membuat bahagia.72

Penerapan hukum progresif dengan teori tujuan hukum Gustav Radbruch. Gustav

mengajarkan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit),

kemanfaatan (zweckmaeszigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).73

Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam

menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua

adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum.

Proses penyelesaian kasus menurut keadilan restoratif tidak lagi menjadi

monopoli kewenangan aparat penegak hukum melainkan ada keterlibatan secara

aktif di antara para pihak. Jadi dalam konstruksi keadilan restoratif korban (dan

72

Satjipto Rahardjo, Menuju Produk Hukum Progresif, Makalah disampaikan dalam diskusi

yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Januari 2004. 73

Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 3.

Page 90: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

77

masyarakat), di samping pelaku, dipandang sebagai bagian dari konflik dan

dengan demikian tujuan serta proses penyelesaian kasus/konflik dilakukan

dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak tersebut. Apabila

penyelesaian konflik/kasus diharapkan untuk memberikan/menegakkan

keadilan, maka keadilan yang diterima para pihakpun (termasuk korban) dapat

dirasakan lebih substantif.

Fakta bahwa KDRT terjadi di antara orang-orang yang memiliki relasi khusus

yang pada umumnya dianggap sangat dekat, baik karena perkawinan maupun

hubungan darah. Adanya relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat

dekat tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2

UUPKDRT. Pasal 1 angka 1 UUPKDRT merumuskan bahwa kekerasan dalam

rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut ketentuan-ketentuan dalam UUPKDRT satu-satunya penyelesaian

menurut jalur hukum pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah

dengan menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku. Dengan kata lain, satu-satunya

bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah

dengan menjalani sanksi pidana.

Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa

pemidanaan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan

akibat yang tidak mengenakkan/tidak menyenangkan bagi korbannya yang

Page 91: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

78

tidak lain merupakan anggota keluarga (atau dianggap sebagai anggota)

pelaku sendiri, misalnya : antara pelaku dan keluarganya (yang juga merupakan

korban) hidup terpisahkan oleh tembok penjara, nafkah korban akan terganggu,

dan terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.

Penjatuhan sanksi pidana

kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga akan memelihara suasana

konflik antara pelaku dengan korbannya yang tidak lain adalah keluarganya

sendiri (atau orang yang menurut aturan hukum harus dianggap sebagai

keluarga). Terpeliharanya suasana konflik tersebut jelas akan mempersulit

tercapainya salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga, yaitu memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan

sejahtera. Padahal oleh Satjipto Rahardjo juga dikatakan bahwa hukum

mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan

masyarakat.74

Fakta bahwa korban atau keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga

yang telah melaporkan perkaranya kepada aparat penyidik lebih sering memilih

untuk menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan dengan tidak melanjutkan

proses penyelesaian kasusnya menurut jalur hukum pidana. Pilihan cara

penyelesaian perkara oleh korban tersebut dilakukan dengan mencabut laporan

yang telah dibuatnya. Penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan

restoratif pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan harmoni

antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat.

Harmonisasi kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat yang menjadi

74

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, KOMPAS, Jakarta, 2007, hlm. 11, 22.

Page 92: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

79

tujuan penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan restoratif tersebut

sesuai dengan salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d UUPKDRT.

Dikaitkan dengan penyelesaian kasus melalui jalur hukum pidana, maka dapat

dikatakan bahwa prinsip-prinsip keadilan restoratif berkaitan dengan 2 (dua) hal

pokok, yaitu: pertama, berkaitan dengan sanksi yang dapat dikenakan terhadap

pelaku; dan kedua, berkaitan dengan proses penyelesaian perkaranya. Berkaitan

dengan hal itu, maka kajian restoratif terhadap peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di

Indonesia akan difokuskan pada aturan- aturan hukum yang mengancamkan

sanksi pidana pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan aturan-aturan

hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara pidana kekerasan dalam

rumah tangga.

Seperti undang-undang perlindungan anak, UUPKDRT sebenarnya juga

telah mengakomodasi ide keadilan restoratif sebagaimana dapat dilihat dari

Pasal 10 dan Pasal 39, tetapi diakomodasinya ide keadilan restoratif

tersebut tidak diletakkan dalam konteks penyelesaian kekerasan dalam rumah

tangga menurut jalur hukum pidana.

Prisip-prinsip keadilan restoratif pada dasarnya berkaitan dengan 2 (dua) hal,

yaitu : pertama, berkaitan dengan kebijakan hukum pidana materiil (khususnya

berkaitan dengan kebijakan mengenai sanksi pidana); dan kedua, berkaitan

dengan kebijakan hukum pidana formil (khususnya berkaitan dengan cara

penyelesaian kasus).

Page 93: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

80

Sesuai dengan ide dasarnya, jenis sanksi dalam keadilan restoratif merupakan

sanksi yang dapat mewujudkan tanggung jawab pelaku terhadap pemulihan

penderitaan korban. Hal ini berbeda dengan jenis sanksi pidana yang didasarkan

pada ide/pemikiran retributif. Dalam pemikiran retributif, sanksi pidana

dikenakan terutama sebagai wujud tanggung jawab pelaku terhadap negara

atau merupakan suatu pembalasan atau pengimbalan yang dilakukan oleh negara

atas kesalahan pelaku. Meskipun dalam perkembangan pemikiran mengenai

pemidanaan lalu muncul pemikiran-pemikiran baru untuk lebih memperhatikan

unsur kemanusiaan dalam penerapan sanksi pidana, hal itu tetap tidak merubah

tujuan utama dari penerapan sanksi pidana berdasar ide retributif.

Berdasarkan paparan mengenai kecenderungan dunia internasional, khususnya

mengenai dirumuskannya jenis sanksi ganti kerugian, dapat dikatakan bahwa

kewajiban pelaku untuk memberikan kompensasi atau restitusi atau ganti rugi

tersebut kepada korban merupakan pencerminan/perwujudan dari ide keadilan

restoratif. Perumusan sanksi ganti rugi dalam aturan hukum mengenai

kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menurut pemikiran penulis tidak

cocok untuk diterapkan mengingat hal- hal sebagai berikut:

1. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 dan dihubungkan dengan

Pasal 2 UUPKDRT dapat ditegaskan bahwa kekerasan dalam rumah

tangga terjadi di antara anggota keluarga sendiri.

Hubungan kekeluargaan di antara pelaku dan korban pada kekerasan dalam

rumah tangga pada dasarnya dilandaskan pada cinta kasih, hormat-

menghormati

dan pada pokoknya suatu hubungan paguyuban yang tidak

memperhitungkan untung rugi. Dengan demikian akan dirasa janggal jika

kemudian ada perhitungan ganti rugi sebagai salah satu sarana untuk

Page 94: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

81

menyelesaikan konflik di antara mereka. Dengan dimasukkannya orang yang

bekerja membantu rumah tangga (disebut juga sebagai pembantu rumah tangga)

dan menetap dalam rumah tangga sebagai anggota keluarga, maka pembentuk

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 telah melakukan penegasan bahwa orang

yang bekerja membantu rumah tangga, selama ia menetap dalam rumah tangga

tersebut, diberi kedudukan sebagai anggota keluarga sama seperti anggota

keluarga yang lain. Oleh karena itu hubungan kekeluargaan yang menjadi

basis hubungan dalam rumah tangga diharapkan lebih menonjol dibandingkan

hubungan pekerjaan antara majikan dengan orang yang bekerja padanya.

2. Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya merupakan pengingkaran dari

sesuatu yang menjadi landasan hubungan kekeluargaan tersebut di atas, serta

pengingkaran terhadap tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing

anggota keluarga. Oleh karena itu, menurut penulis, sanksi yang cocok untuk

dikenakan kepada pelaku seharusnya juga merupakan sanksi yang, di satu sisi,

merupakan sanksi yang merepresentasikan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab

pelaku dalam hisup kerumahtanggaan, serta di sisi lain, merupakan sanksi yang

berkorelasi dengan kebutuhan untuk merehabilitasi korban.

3. Dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia pada umumnya terjadi

penyatuan harta kekayaan.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta bersama. Dengan demikian maka akan dirasa janggal apabila ganti

rugi, yang menurut ide keadilan restoratif merupakan perwujudan tanggung

jawab pelaku terhadap korban, dijalankan oleh pelaku dengan menggunakan

Page 95: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

82

harta yang juga merupakan harta korbannya. Meskipun di antara pelaku dan

korban dimungkinkan adanya penguasaan harta bawaan yang terpisah satu sama

lain, kejanggalan juga akan terasa karena ganti rugi yang diberikan oleh pelaku

tersebut pada akhirnya juga akan menjadi harta bersama antara pelaku dan

korban.

Keberadaan keluarga/rumah tangga di tengah-tengah masyarakat tersebut

menurut penulis juga mengandung konsekuensi bahwa penyelesaian konflik

dalam rumah tangga harus juga memperhatikan perasaan keadilan masyarakat

serta kepentingan masyarakat untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum.

Berkaitan dengan adanya pertimbangan untuk juga tetap memperhatikan rasa

keadilan masyarakat serta kepentingan masyarakat akan terciptanya ketertiban

umum tersebut, maka pengancaman sanksi pidana penjara, sebagai pidana

pokok yang pada umumnya diancamkan pada setiap tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga (khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat

berat atau matinya korban serta kekerasan seksual bukan di antara suami-isteri),

dianggap masih sesuai. Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan

pemulihan korban sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban pelaku sekaligus

beraspek rehabilitatif bagi pelaku sendiri, perlu dirumuskan sanksi pidana

yang bertitik tolak dari pelaksanaan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab

pelaku dalam hidup berumah-tangga/berkeluarga, misalnya : sanksi yang

mewajibkan pelaku untuk memberikan nafkah dan kewajiban untuk melakukan

perawatan atau pemeliharaan terhadap anggota keluarga sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 96: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

83

Terkait dengan adanya ancaman sanksi pidana denda sebagaimana

dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan dalam kasus-

kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam UUPKDRT, menurut

Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR tidak sesuai

diancamkan/diterapkan terhadap semua jenis kekerasan dalam rumah tangga

sehingga harus dihapus dengan alasan sebagai berikut:75

1. Aspek perlindungan kepentingan masyarakat dan rehabilitasi terhadap

pelaku dalam pidana denda tidak begitu terasa sebagaimana tampak pada

pidana penjara.

2. Karena pidana denda itu merupakan pembayaran/penyerahan sejumlah

uang kepada negara, maka pidana denda tidak beraspek pada upaya

pemulihan penderitaan korban. Bahkan pidana denda dapat semakin

memberatkan ekonomi keluarga pelaku, termasuk didalamnya adalah

kemungkinan menambah beban ekonomi korban.

Hal tersebut dapat

terjadi karena, pada umumnya, kekerasan dalam rumah tangga terjadi di

antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau terjadi

di antara orang-orang yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.

3. Sekalipun dalam pidana denda ada segi positifnya, yaitu dapat

dihindarkannya stigmatisasi atau prisonisasi bagi pelaku, segi positif dari

pidana denda tersebut hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang secara

ekonomi telah berkelebihan/orang-orang kaya. Sedangkan bagi pelaku

yang secara ekonomi tidak mampu, sehingga tidak dapat membayar denda,

kemungkinan terjadinya stigmatisasi tetap akan ada karena hakim dapat

75

Hasil wawancara pada tanggal 24 Mei 2016

Page 97: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

84

menentukan adanya pidana kurungan pengganti denda.

Dalam pidana denda, negara “ memaksa “ pelaku untuk menyerahkan sejumlah

uang (sebagai denda) kepada negara. Apabila di antara pelaku dan korbannya

terdapat kesatuan harta benda, sebagaimana lazimnya dalam satu keluarga, maka

denda yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada negara tersebut mau tidak

mau juga akan membebani korbannya. Dengan kata lain korban yang sudah

mengalami penderitaan akibat dari tindak kekerasan juga dipaksa untuk

menanggung beban dari pidana yang dijatuhkan pada pelaku. Beban yang juga

harus ditanggung oleh korban (yang juga merupakan anggota keluarga dari

pelaku) tersebut jelas akan menambah kesulitan bagi hidup yang bersangkutan,

padahal seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo pencari keadilan tidak

hanya berkepentingan agar hukum ditegakkan, yang lebih penting adalah

mereka ingin dibantu keluar dari kesulitannya.76

Penerapan aturan hukum yang

justru menambah kesulitan/penderitaan korban menurut penulis juga tidak sesuai

dengan tujuan akhir dari kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu

kesejahteraan sosial.

Menurut ketentuan KUHAP, penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah

tangga pada dasarnya akan menghadap-hadapkan pelaku melawan aparat

penegak hukum, sedangkan korban hanya akan berperan sebagai saksi. Dengan

kata lain, pihak yang terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian pidana

menurut KUHAP tersebut adalah aparat penegak hukum dan pelaku, sedangkan

korban diberi peran yang pasif. Proses penyelesaian tindak pidana menurut

KUHAP, yang pada dasarnya masih dijiwai oleh pemikiran retributif tersebut,

76

Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 95

Page 98: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

85

juga berlaku bagi kekerasan dalam rumah tangga.

Berbeda dengan proses penyelesaian tindak pidana yang bersifat retributif, proses

penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasari oleh ide

keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban

secara aktif. Meskipun demikian, menurut pemikiran penulis, dilibatkannya

korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut

tidak dilakukan untuk semua kasus, melainkan hanya untuk kasus-kasus

kekerasan dalam rumah tangga tertentu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga

yang menimbulkan penderitaan fisik atau psikis yang bersifat ringan, kekerasan

seksual di antara suami dan istri, dan penelantaran rumah tangga. Adapun dasar

pertimbangan dari pemikiran tersebut adalah:

a. Kepentingan negara/masyarakat untuk menjaga atau memelihara

kepentingan umum serta menjaga perasaan keadilan masyarakat dalam

pemidanaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan

akibat-akibat yang bersifat berat atau matinya korban dianggap lebih

besar dibandingkan dengan kepentingan individu untuk tetap

mempertahankan keberlangsungan rumah tangganya.

b. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang

berakibat berat atau matinya korban lebih sulit atau bahkan tidak dapat

dipulihkan apabila dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga

yang berakibat ringan atau penelantaran keluarga.

c. Kepentingan korban atau keluarga korban agar perkara-perkara kekerasan

dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan

serta kekerasan seksual di antara suami-istri tidak dituntut menurut hukum

Page 99: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

86

pidana dianggap lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara

atau kepentingan umum agar perkaranya itu dituntut. Hal itu tersirat

dengan dirumuskannya kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan

akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual di antara suami-

istri tersebut sebagai tindak pidana aduan (Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53

UUPKDRT).

d. Ancaman pidana penjara terhadap kekerasan fisik atau psikis yang

berakibat ringan tersebut termasuk dalam kategori pidana perampasan

kemerdekaan yang singkat. Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2)

UUPKDRT merumuskan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat)

bulan. Dari segi jangka waktunya, ancaman pidana penjara yang

dirumuskan di dalam kedua pasal tersebut termasuk kategori pidana

perampasan kemerdekaan yang singkat. Perumusan/pengancaman sanksi

pidana, termasuk pidana perampasan kemerdekaan singkat dalam Pasal 44

ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT tersebut secara filosofis bertolak

belakang dengan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang

dirumuskan dalam Pasal 4 ( antara lain adalah untuk memelihara keutuhan

rumah tangga yang harmonis dan sejahtera). Di samping itu menurut Barda

Nawawi Arief dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan

kembali manfaat penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana

untuk menanggulangi kejahatan, terutama masalah efektifitasnya.77

Dengan

kata lain, penggunaan pidana penjara/pidana perampasan kemerdekaan,

khususnya pidana perampasan kemerdekaan yang singkat, mengandung

77 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994, hlm. 46

Page 100: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

87

kelemahan.78

e. Tindak pidana penelantaran keluarga pada hakikatnya merupakan

pengingkaran dari tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku terhadap

keluarganya.

Mengacu kepada cara-cara alternatif penyelesaian tindak pidana menurut

ide keadilan restoratif yang dikemukakan oleh David Miers, sikap aparat

penyidik yang memperbolehkan dicabutnya laporan korban untuk kasus-

kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan akan diselesaikan secara

kekeluargaan di antara korban dan pelaku, serta sifat komunalnya dan prinsip-

prinsip kekeluargaan yang ada pada masyarakat Indonesia, kiranya model

penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga (khususnya kekerasan

yang berakibat ringan, kekerasan seksual di antara suami/istri serta

penelantaran keluarga) yang tepat adalah mediasi yang dilakukan oleh aparat

penyidik.

Adapun mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah

tangga tertentu tersebut dilakukan tidak hanya di antara pelaku dan korban,

melainkan dilakukan dengan sedikit modifikasi, yaitu dengan melibatkan

keluarga dekat dari pelaku dan korban serta tokoh-tokoh masyarakat atau agama

yang disegani oleh para pihak. Model mediasi seperti itu pada dasarnya mirip

dengan family group conferencing programs. Model mediasi yang

dimodifikasi tersebut juga dirasa sesuai dengan inti yang terkandung dalam

Pancasila (yang merupakan cita hukum bangsa dan negara Indonesia), yaitu

78

Schaffmeister, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana Di Waktu Luang (terjemahan oleh :

Tristam Pascal Moeliono) PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 15-16

Page 101: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

88

musyawarah mufakat atau kekeluargaan serta sesuai dengan ciri khas hukum

nasional Indonesia, yaitu terkandungnya asas kekeluargaan.

Penyidik di Polsek Natar dalam menyelesaikan perkara pidana yang tergolong

delik biasa, menerapakan teori tujuan hukum menurut Gustav Radbruch. Penyidik

mencoba memahami keadilan apakah yang sebenarnya diinginkan oleh pelapor

dan terlapor. Prioritas pertama adalah keadilan yang diharapkan dari pihak-pihak

yang terkait, setelah timbul keadilan, tentunya akan memberi manfaat kepada

kedua belah pihak, dan terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.

Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa

penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status

quo dari hukum. polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan

sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi

lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga

pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum

yang menjadi “majikannya”.

Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai

pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi

menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi

patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali

dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal

lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-

undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat

kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut

Page 102: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

89

dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat

kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis

yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.79

Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari

masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang

ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan

peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada

masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban

terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep

inilah yang kemudian dikenal dengancommunity policing.80

Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham

formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau

konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan

paradigma polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah

manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak

antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan;

menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran”

dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari

warga Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan

kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.

79

Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan

Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 30-31 80

Ibid hlm, 33

Page 103: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

90

Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam

sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika

hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan

konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang

dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum.

Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus

bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai

sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam

menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan

dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.

Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan

pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenangan formal yang diberikan

tidak otomatis memberi kekuasaan kepada badan badan untuk

mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi

legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.81

Jika konsep

ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan

untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat

diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan

yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan.

Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang

harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.

81

Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46

Page 104: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

91

Penerapan Teori tentang tujuan hukum menurut Gustav Radbruch dapat dilihat

dari penyelesaian kasus KDRT dengan korban ibu Astuti di Polsek Natar,

penyidik mengambil kebijakan untuk tidak melanjutkan penyidikan ke jaksa

penuntut umum. Langkah yang diambil penyidik ini menurut Teori Keadilan

adalah dengan mendahulukan prioritas keadilan. Dengan mendahulukan keadilan

dan kemanfaatan otomatis kepastian hukum akan dikesampingkan karena kasus

penganiayaan atau KDRT tergolong delik biasa yang tetap harus diproses

walaupun sudah ada perdamaian dan pencabutan laporan. Ketidakselarasan antara

penerapan keadilan dan kemanfaatan dengan kepastian hukum dalam penerapan

hukum memang tidak dapat dihindari. Penyidik dituntut untuk cermat dan

bijaksana dalam menentukan prioritas yang didahulukan. Untuk memahami ini

diperlukan penyidik yang mempunyai hati nurani yang peka terhadap keinginan

masyarakat dan kreatif serta inovatif sesuai dengan apa yang diasumsikan dalam

hukum progresif.

Penulis menganalisis bahwa penerapan hukum progresif dalam penyelesaian

perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar dilakukan dengan beberapa metode

atau cara yaitu sebagai berikut:

1. Menerapkan mediasi penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative, hal ini

sesuai dengan hasil wawancara dengan Kanit Reskrim Polsek Natar, bahwa

ketika menghadapi adanya pencabutan laporan pada perkara pidana yang

tergolong delik biasa, penyidik harus mengambil langkah-langkah dengan

menerapkan restorative justice. Hal ini dilakukan dengan memediasi pihak-

pihak yang terlibat, dan mencoba merestorasi “kerusakan” yang ditimbulkan

akibat suatu perbuatan pidana. Upaya untuk memperbaiki “kerusakan”

Page 105: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

92

tersebut diiringi dengan upaya untuk memperbaiki hubungan antara korban

dengan terlapor dan masyarakat. Hubungan dengan masyarakat diperbaiki

dengan melibatkan unsur pemerintahan setempat seperti Ketua RT, RW,

Lurah, maupun Bhabinkamtibmas. Mekanisme penyelesaian dengan keadilan

restoratif dapat menempatkan posisi masyarakat bukan hanya sebagai

penonton saja, melainkan dapat berperan aktif dalam memantau atas

pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara

pidana.

Mediasi dengan menerapkan keadilan restoratif ini disebut juga dengan

mediasi penal. Mediasi penal terkadang memang berada di luar ketentuan

Legal System. Alasan penyidik Polsek Natar menerapkan mediasi penal

adalah mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan baik dari korban

dan terlapor, sehingga terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.

Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari

penyelesaian perkara pidana di luar sistem yang tidak diakui oleh hukum

formal yang berlaku, keadilan restoratif telah menjadi suatu kebutuhan dalam

masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan budaya masyarakat

Indonesia yang lebih mementingkan musyawarah dan mufakat untuk

memecahkan suatu persoalan, akan tetapi hal tersebut belum termuat dalam

KUHP dan KUHAP yang masih didominasi oleh peninggalan budaya

kolonial.

Penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif

merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan hukum progresif karena

Page 106: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

93

pada dasarnya yang didahulukan adalah kepentingan masyarakat. Penyidik

mencoba menempatkan hukum agar lebih dapat menyesuaikan apa yang

diinginkan oleh masyarakat, sehingga tujuan hukum secara hakiki dapat

tercapai yaitu untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

2. Menerapkan diskresi kepolisian. Sebagaimana kita ketahui bahwa tugas polisi

sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam

jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau

memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau

tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya pemilahan

perkara oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan

perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak.

Penyidik di Polsek Natar dalam melakukan penyidikan kasus pidana seperti

yang telah dicontohkan sebelumnya selalu mempertimbangkan untuk

memajukan kasus yang sedang ditanganinya ke pengadilan. Penyidik

cenderung untuk memediasikan kasus-kasus yang dinilai kerugiannya kecil

dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pada situasi seperti ini, penyidik

menggunakan kewenangan diskresi kepolisian dalam penyidikan.

Penulis menganalisis alasan penerapan diskresi kepolisian dalam

penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar adalah sebagai

berikut:

a. Adanya perdamaian dari pelapor dan terlapor.

Penyidik pada saat melaksanakan tahapan-tahapan penyidikan sering

sekali berhadapan dengan situasi dimana kedua belah pihak sudah saling

Page 107: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

94

memaafkan, mengganti kerugian yang ditimbulkan, serta mencabut

laporan di kepolisian. Pencabutan laporan dalam kasus-kasus yang

tergolong bukan delik aduan (delik biasa) sebenarnya tetap dapat

dilanjutkan oleh penyidik, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang

tidak meresahkan masyarakat umum, dan kerugian yang ditimbulkan

kecil, penyidik Polsek Natar mengambil kebijaksanaan untuk tidak

melanjutkan perkara tersebut ke proses pengadilan berikutnya. Langkah

diskresi ini dilakukan penyidik dengan mengedepankan asas keadilan dan

kemanfaatan, walaupun terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.

b. Apabila penyidikan tetap dilanjutkan akan menimbulkan potensi gangguan

terhadap kamtibmas yang lebih besar.

Langkah yang diambil penyidik Polsek Natar merupakan salah satu alasan

dilakukannya diskresi kepolisian menurut Satjipto Rahardjo. Satjipto

berpendapat bahwa sifat tugas kepolisan yang mendesak dan mendadak,

mengharuskan polisi untuk cepat dan tepat dalam bertindak. Apabila

polisi lambat dalam bertindak, maka dalam bilangan detik dapat terjadi

aneka peristiwa, kecelakaan, bunuh diri, dan bukan tidak mungkin dapat

terjadi kerusuhan massal. Jadi keleluasaan dan kelonggaran diperlukan

bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal.

Diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan

(course of action) yang akan dilakukan.82

Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa:

“Setiap pejabat kepolisian yang berkualifikasi menyelidik dan menyidik

82

Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 261.

Page 108: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

95

dalam rangka melaksanakan tugas di bidang peradilan pidana karena

kewajibannya diberi wewenang oleh undang undang”. Mengingat wewenang

kepolisian untuk melaksanakan tindakan-tindakan kepolisian tidak mungkin

diatur secara terperinci maka dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) angka 4 dan

Pasal 7 Ayat (1) huruf j dinyatakan bahwa “polisi berwenang karena

kewajibannya melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.” Maksud dari tindakan lain disini adalah tindakan dari penyelidik atau

penyidik untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan dengan ketentuan

tidak bertentangan dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal, dan

termasuk dalam lingkungan jabatannya dan atas pertimbangan yang layak

berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati hak asasi manusia.

Dengan demikian tindakan lain ini seperti tindakan penyidik berupa diskresi

kepolisian boleh diambil selama masih dalam jalur yang ditentukan oleh

hukum itu sendiri.

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) tersebut polisi dapat mengambil tindakan lain

pada saat penyidikan selain yang telah disebutkan pada aturan perundang-

undangan tersebut selama demi kepentingan tugas-tugas kepolisian.

Sekalipun polisi telah diberi kewenangan oleh undang undang untuk

mengambil tindakan lain tersebut, tetap saja polisi harus bisa untuk

mempertanggungjawabkan atas segala tindakan dan keputusan yang telah

diambil di dalam melaksanakan tugasnya. Hal demikian dimaksudkan agar

polisi tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, mengingat

Page 109: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

96

kewenangan untuk melakukan tindakan lain oleh polisi pada saat penyidikan

tersebut demikian luasnya.

Penyidik sebenarnya tidak perlu ragu dalam menerapkan hukum progresif. UUD

1945 mengatur bahwa hukum adat tetap berlaku bagi masyarakat setempat.

Ketentuan yang mengatur pelaksanaan hukum adat terdapat pada peraturan

peralihan UUD 1945 Pasal 11 diatur bahwa: “Segala badan negara dan peraturan

yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakannya yang baru menurut

Undang-Undang Dasar ini. Hukum adat masih berlaku dalam penyelesaian

masalah di masyarakat dengan melakukan musyawarah untuk mencapai kata

mufakat. UUD 1945 secara hirarkis lebih tinggi daripada KUHP dan KUHAP

yang merupakan suatu undang-undang. Oleh karena itu menurut Supriyadi,

hukum adat dapat dijadikan dasar untuk menerapkan hukum progresif dalam

penyelesaian perkara pidana, walaupun tidak diatur dalam KUHP maupun

KUHAP.

Penegakan hukum menurut Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR

adalah terciptanya perdamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Oleh karena

itu penegakan hukum harus bersifat flexibel. Ketika sudah ada perdamaian antara

kedua belah pihak, penyidik dapat mengambil kebijakan untuk tidak meneruskan

ke kejaksaan dan pengadilan. Penerapan hukum progresif dapat dilaksanakan

melalui mediasi penal dengan berpegang terhadap prinsip-prinsip Keadilan

Restoratif.83

83

Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016.

Page 110: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

97

Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo menyatakan alasan perlunya

penerapan hukum progresif dalam menyelesaikan perkara pidana pada tahap

penyidikan. Hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana

karena hal ini diperlukan untuk mengakomodasi keinginan dari pihak-pihak yang

terlibat sebagai korban maupun terlapor. Dengan adanya perdamaian dan saling

mengganti kerugian yang ditimbulkan, tujuan hukum dari segi kemanfaatan dan

keadilan dapat tercapai.84

Heni Siswanto selaku Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung

menyatakan bahwa mengenai alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam

penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan. Heni menjelaskan bahwa

hukum progresif perlu diterapkan mengingat proses penyidikan oleh penyidik

yang dilakukan selalu berkaitan dengan proses selanjutnya dalam sistem peradilan

pidana. Jaksa penuntut umum dan hakim tidak bisa menolak perkara yang sudah

dilimpahkan oleh penyidik. Perdamaian sebagai hasil dari mediasi penal pada

tahap penuntutan maupun persidangan hanya dapat digunakan untuk

memperingan hukuman yang akan diberikan, tidak menjadi dasar bagi jaksa atau

hakim untuk membebaskan terdakwa karena hakim dalam memutuskan suatu

perkara selalu berdasarkan undang undang. Oleh karena itu, apabila semua

perkara dilimpahkan penyidik ke jaksa maupun hakim maka akan terjadi

penumpukan perkara. Penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan dapat

mengurangi beban hakim dalam memutuskan perkara yang masuk ke

pengadilan.85

84

Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016 85

Hasil wawancara tanggal 14 April 2016.

Page 111: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

98

Heni juga berpendapat bahwa penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan

diperlukan untuk menghindari perceraian pada kasus KDRT. Korban KDRT

ketika melapor ke kepolisian belum tentu mempunyai niat untuk bercerai, akan

tetapi ketika penyidik memproses perkara tersebut tanpa melakukan mediasi

terlebih dahulu maka dapat menyebabkan perceraian. Orang tua dari suami atau

istri akan timbul gengsi atau pi’il dalam adat Lampung, sehingga kemungkinan

untuk perceraian akan semakin besar. Heni menyarankan kepada penyidik agar

dalam menangani kasus KDRT dapat menerapkan hukum progresif dengan

melakukan mediasi terlebih dahulu sehingga terjadi perdamaian antara suami

istri.86

Menurut analisis penulis, pelaksanaan diskresi kepolisian oleh penyidik Polsek

Natar dengan mengenyampingkan perkara merupakan suatu bentuk penerapan

hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Tindakan lain yang diambil

penyidik tersebut adalah suatu bentuk pembebasan dari ajaran legalistik formal

yang berlaku. Walaupun keluar dari asas kepastian hukum, namun tindakan ini

diambil untuk memenuhi tujuan hukum lain berupa kemanfaatan dan keadilan

bagi pihak-pihak yang terlibat, sehingga hukum dapat mengakomodir kebutuhan

masyarakat akan hukum itu sendiri.

Penulis berpendapat bahwa hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian

perkara pidana di tahap penyidikan. Beban sub sistem dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia sudah cukup berat. Beban untuk melakukan pembinaan

86

Ibid.

Page 112: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

99

kepada narapida dan menjadikan mereka dapat kembali bermasyarakat bukanlah

hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu adanya sinergitas antara sub sistem dalam

sistem peradilan pidana untuk dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana

yang cukup berat selama ini. Titik yang paling mungkin diterapkan hukum

progresif adalah pada tahap penyidikan. Penyidik harus berupaya untuk

melakukan mediasi pada kasus-kasus tertentu sehingga tidak semua perkara

masuk ke proses peradilan selanjutnya. Untuk itulah diperlukan keberanian dan

kecerdasan seorang penyidik untuk dapat menerapkan hukum progresif yang

mengedepankan aspek keadilan dan kemanfaatan daripada aspek kepastian hukum

dalam suatu penyelesaian perkara pidana.

Tindakan yang diambil penyidik untuk tidak melanjutkan perkara ketika sudah

ada perdamaian menurut penulis adalah suatu tindakan yang menolak keadaan

status quo yang selama ini selalu berpegang pada asas legalitas hukum. Penyidik

mencoba keluar dari kebuntuan hukum dengan menerapkan hukum progresif. Hal

ini sesuai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo bahwa setiap kali ada masalah

dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan

manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Maka

hukum tidak menjadi suatu yang final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law

as process, law in the making) dalam rangka menuju hukum yang berkeadilan,

yakni hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli

terhadap rakyat.

Page 113: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

100

B. Kendala dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

dengan Hukum Progresif

Menurut Listiyono Dwi Nugroho selaku Kapolsek Natar menyatakan bahwa

kewenangan diskresi yang diambil penyidik juga harus diawasi oleh atasan

penyidik karena pada tahap inilah akan muncul kemungkinan terjadinya

penyimpangan yang dilakukan penyidik. 87

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, penulis menganalisis hambatan

penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana dengan faktor-

faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sesuai yang dikemukakan Soerjono

Soekanto. Menurut Soerjono, masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai

arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-

faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:88

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Menurut analisis penulis, berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hukum

menurut Soerjono Soekanto, hambatan yang ditemukan dalam penerapan hukum

progresif adalah pada faktor hukumnya sendiri dan pada faktor penegak hukum.

87

Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016 88

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 5

Page 114: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

101

Faktor hukumnya adalah tidak ada peraturan atau undang undang yang mengatur

secara pasti tentang penerapan hukum progresif terutama dalam pelaksanaan

mediasi penal. Faktor penghambat yang lain adalah dari faktor penegak hukumnya

sendiri. Adapun uraian analisis penulis adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya payung hukum yang mengatur penerapan hukum progresif

dalam penyelesaian perkara pidana.

Hambatan ini merupakan hambatan utama bagi penyidik untuk dapat

menerapkan hukum progresif dalam bentuk mediasi penal pada penyelesaian

perkara pidana yang tergolong delik biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa asas

legalitas hukum masih dijunjung tinggi dalam hukum pidana di Indonesia.

Bentuk penyelesaian perkara melalui mediasi penal sebenarnya tersirat dalam

Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang mengatur tindakan-tindakan

sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara

pengadilan sipil.

Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 pada intinya menghapus

keberadaan peradilan adat sebagai salah satu peradilan yang bertugas

menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat Indonesia. Penghapusan

peradilan adat menyebabkan pengadilan negri sajalah yang berkuasa untuk

memeriksa dan memutus segala perkara baik pidana maupun perdata. Nasib

peradilan adat berbanding terbalik dengan hakim peradilan desa. Pasal 1 ayat

(3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 menyatakan bahwa:

“Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi

hak kekuasaan yang sampai saat ini telah diberikan kepada hakim-hakim

perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke

Page 115: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

102

Organisatie.”89

Peradilan desa mengutamakan proses mediasi dalam

penyelesaian permasalahan-permasalahan yang ada di desa. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa bentuk mediasi penal dalm peradilan desa masih

diakui oleh peraturan perundang-undangan akan tetapi wadahnya dihapuskan.

Seiring berjalannya waktu, tidak ada undang undang atau peraturan

pemerintah yang mengatur tentang peradilan desa, sehingga pelaksanaannya

diserahkan kembali kepada budaya yang ada di masyarakat desa.

Penerapan hukum progresif melalui mediasi penal sebenarnya juga diatur

dalam Rancangan Undang Undang KUHP Tahun 2013 Pasal 145 huruf d

yang menyatakan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika terjadi

penyelesaian di luar proses. Menurut penulis mediasi penal adalah salah satu

bentuk dari penyelesaian perkara di luar proses peradilan, akan tetapi RUU

KUHP tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan pemerintah, DPR, dan

praktisi hukum sehingga sampai dengan saat ini belum dapat disahkan

menjadi suatu undang undang.

Tidak adanya undang undang yang mengatur tentang penerapan hukum

progresif melalui mediasi penal menyebabkan penyidik harus menjalankan

kewenangan diskresi yang dimilikinya. Batasan perkara pidana yang dapat

diselesaikan tergantung pada sifat “pencelaan” terhadap suatu perbuatan di

mata masyarakat. Penyidik tetap harus melanjutkan perkara-perkara yang

menurut masyarakat tercela walaupun sudah ada perdamaian antara korban

dan tersangka. Oleh karena itu diskresi yang diambil penyidik tetap harus

89

Republik Indonesia, Undang Undang Darurat (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951 tentang

Tindakan Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan

Acara Acara Pengadilan Sipil.

Page 116: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

103

dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan kepentingan

umum.

2. Terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang dilakukan penyidik

dalam mengambil langkah-langkah penyelesaian perkara pidana.

Tidak diaturnya proses mediasi penal dalam hukum pidana dapat dijadikan

alasan penyidik untuk tetap dapat melanjutkan perkara walaupun sudah ada

perdamaian. Celah hukum ini dapat dijadikan alasan penyidik untuk meminta

sejumlah imbalan kepada tersangka. Penyidik mempunyai alasan yang kuat

untuk tetap dapat melanjutkan perkara sehingga mau tidak mau tersangka

memenuhi permintaan dari penyidik sebagai persyaratan agar perkaranya

tidak dilanjutkan ke proses selanjutnya.

3. Aparat penegak hukum masih memegang teguh pada asas legalistik formal.

Pemahaman aparat penegak hukum yang masih rigid berpegang pada

pendekatan legalistik formal terkadang menghalangi penerapan progesif pada

tahap penyidikan. Penyidik cenderung memilih jalan “aman” untuk tetap

melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian untuk menghindari

adanya komplain di kemudian hari. Keputusan penyidik untuk tetap

melanjutkan perkara tersebut sebenarnya bertentangan dengan isi hati nurani

penyidik yang tetap memperhatikan rasa keadilan dan kemanfaatan

masyarakat. Penyidik dihadapkan pemahaman aparat penegak hukum lainnya

seperti jaksa dan hakim yang masih berpegang teguh pada asas legalistik

formal. Institusi Polri sendiri masih berpegang teguh pada asas legalitas

formal, sehingga apabila ada keluhan terhadap langkah-langkah yang diambil

Page 117: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

104

penyidik, bidang pengawasan penyidikan ataupun bagian Propam(profesi dan

pengamanan) akan menganggap bahwa penyidik telah melakukan

penyimpangan ketika penyidik tidak melaksanakan langkah-langkah sesuai

yang diatur dengan undang undang. Bayangan seperti ini mengakibatkan

keraguan bagi seorang penyidik untuk menerapkan hukum progresif dalam

penyelesaian perkara pidana.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka menurut penulis bahwa penerapan hukum

progresif dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan penyidik tidak selalu

berjalan mulus. Penyidik perlu jeli dalam mengambil kebijakan yang akan diambil

sehingga pada nantinya tidak akan ada komplain/ keluhan dari pihak manapun.

Diskresi yang diambil penyidik juga harus mempertimbangkan kepentingan

masyarakat pada umumnya yang di dalamnya terdapat norma-norma budaya dan

agama yang tidak dipisahkan.

Page 118: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Penyelesaian perkara pidana khusus pada perkara KDRT pada tahap penyidikan

di Polsek Natar dilakukan dengan menerapkan hukum progresif. Penyidik

mencoba keluar dari ajaran legalistik positivistik yang selama ini selalu mengejar

kepastian hukum. Sesuai dengan teori tujuan hukum, penyidik mencoba lebih

mementingkan keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Penyidik berusaha

menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan

manusia, bukan sebaliknya karena terbentur oleh prosedur hukum yang ada,

tujuan hukum yang diingankan manusia tidak tercapai. Penerapan hukum

progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polresta Bandar

Lampung dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan melakukan mediasi

penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative dan menerapkan diskresi

kepolisian.

2. Hambatan yang dihadapi dalam penerapan hukum progresif adalah tidak adanya

aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara

pidana. Hal ini menyebabkan penyidik dianggap melakukan penyimpangan

apabila tidak melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian. Tidak

Page 119: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

106

adanya undang undang yang mengatur tentang penerapan hukum progresif

menyebabkan penyidik harus menjalankan kewenangan diskresi yang

dimilikinya. Diskresi yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak

bertentangan dengan kepentingan umum.

Hambatan selanjutnya yaitu terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang

dilakukan penyidik dalam mengambil langkah-langkah penyelesaian perkara

pidana. Kewenangan diskresi kepolisian yang begitu besar akan menimbulkan

kerawanan terjadinya penyimpangan yang dilakukan penyidik dalam mengambil

keputusan untuk tidak memajukan suatu perkara apabila ada perdamaian.

Penyidik tetap dapat memajukan suatu perkara walaupun sudah ada perdamaian

dalam perkara pidana yang tergolong delik biasa. Celah hukum ini dapat

dimanfaatkan penyidik untuk meminta sejumlah imbalan kepada pihak-pihak

yang berperkara.

Hambatan terakhir berupa aparat penegak hukum yang selalu berpegang pada

asas legalistik formal menyebabkan penyidik mengenyampingkan rasa keadilan

dan kemanfaatan yang ada di masyarakat. Kekhawatiran akan anggapan

melakukan penyimpangan dari bagian pengawasan penyidikan maupun bagian

Profesi dan Pengamanan (Propam) dari internal Polri menyebabkan timbulnya

keraguan penyidik untuk menerapkan hukum progresif dalam rangka

penyelesaian perkara pidana.

Page 120: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

107

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, maka penulis mempunyai

saran-saran sebagai berikut:

1. Polri agar menekankan kepada seluruh penyidik yang berada di seluruh

jajarannya agar selalu mengedepankan hukum progresif dalam melakukan

langkah-langkah penyidikan khususnya untuk perkara KDRT. Penyidik sebisa

mungkin melakukan mediasi dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat yang

terlibat sehingga proses penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan

dapat terlaksana sebelum melangkah ke proses peradilan selanjutnya.

2. Perlu adanya suatu aturan yang mengatur batasan-batasan penerapan hukum

progresif melalui mediasi penal sehingga penyidik mempunyai landasan hukum

yang kuat dalam melaksanakan tindakannya. Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan

Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana hendaknya dapat

ditingkatkan lebih tinggi menjadi undang undang sehingga sifatnya lebih

mengikat bagi aparat penegakan hukum.

Page 121: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

DAFTAR PUSTAKA

1. Literatur

Abdul Kodir, Faqihuddin dan Ummu Azizah Mukarnawati. 2008. Referensi BagiHakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Komnas Perempuan, Jakarta.

Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Atma Sasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,C.V. Mandar Maju, Bandung.

----------. 1996. Perbandingan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung.

Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Djanah, Fathul. 2003. Kekerasan Terhadap Isteri. LKIS, Yogyakarta.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gosita, Arief. 1983. Masalah Korban Kejahatan, C.V. Akademika Pressindo,Jakarta.

Gunadi,Ismu. 2011. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2). PT.Prestasi Pustakaraya, Surabaya.

Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

Hartono. 2012. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui PendekatanHukum Progresif. Sinar Grafika, Jakarta.

Hayati, Elli Nur. 1995. Panduan Untuk Pendampingan korban Kekerasan.Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif, TerapiParadigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. AntonyLib, Yogyakarta.

Loqman, Loebby. 2002. Pidana dan Pemidanaan. Datacom, Jakarta.

Marlia, Milda. 2007. Marital Rape : Kekerasan Seksual Terhadap Istri.Pustaka Pondok Pesantren, Yogyakarta.

Marpaung, Leden. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 2. SinarGrafika, Jakarta.

Page 122: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

Moeljatno. 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara,Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra AdityaKarya, Bandung.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cetk. Pertama, BadanPenerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif Dalam PenanggulanganKejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang.

----------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Huklum Pidana. PT. CitraAditya Bakti, Bandung.

----------. 2001. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan PenanggulanganKejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (cetakan ketiga edisirevisi), Citra Aditya Bakti, Bandung

----------. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru). Prenada Media Group, Jakarta.

----------. 2010. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Persidangan.Pustaka Magister, Semarang.

Poerwandari, Kristi. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan:TinjauanPsikologis (dalam: Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita.Alumni, Bandung.

Prayudi, Guse. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. MerkidPress, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.Refika Aditama, Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. PustakaPelajar, Yogyakarta.

----------. 2007. Membedah Hukum Progresif. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

----------. 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Penerbit Kompas, Jakarta.

----------. 2007. Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial danKemasyarakatan. Penerbit Kompas, Jakarta.

Page 123: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

Rukmini, Mien. 2009. Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog. Edisi I Cetakan ke-2. PT. Alumni, Bandung.

Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam RumahTangga. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Shochib, Moh. 2010. Pola Asuh Orang Tua, dalam Membantu AnakMengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PenegakanHukum. Rajawali, Jakarta.

----------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.

Soeroso, Moerti Hadiati. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalamPerspektif Yuridis-Viktimologis. Sinar Grafika, Jakarta.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

Sudiarti Luhulima, Achie (penyunting). 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk TindakKekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, PusatKajian Wanita dan Gender. Universitas Indonesia, Jakarta.

Sunaryo, Sidik. 2005. Sistem Peradilan Pidana. Penerbit UMM Press, Malang.

Sutedjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Cetakan Ketiga. PT. RefikaAditama, Bandung.

Windku, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung.Kanisius, Yogyakarta.

2. Jurnal, Kamus, Makalah

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1992. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusatPembinaan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan danKebudayaan. Jakarta.

F. Nadia, Ita, 1997, Ketidakadilan Gender Sebagai Akar Diskriminasi, Makalahdalam rangka Lustrum VI/Dies Natalis XXX AKS Tarakanita,Yogyakarta.

Hassan, Fuad, 2001, Ikhtiar Meredam “ Kultus Kekerasan “, dalam : JurnalPerempuan No. 18, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

Irianto, Sulistyowati, 1999, Kekerasan Terhadap Perempuan dan HukumPidana (Suatu Tinjauan Hukum Berperspektif Feminis), JurnalPerempuan Edisi 10, Februari-April

Page 124: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar

Kolibonso, Rita Selena, 2002. Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam RumahTangga, Jurnal Perempuan No. 26. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta

3.Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalamRumah

4.Majalah dan Website

http://nyokabar.com

http://pelitaekspres.com/news/read/5707

http://umulkhtmh.blogspot.co.id/2015_10_01_archive.html

http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html

http://www.fanind.com/2013/08/4-jenis-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html

Kompas, Selasa, 1 Agustus 2006