PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan...
Transcript of PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ...digilib.unila.ac.id/23449/2/TESIS FULL.pdfBandar Lampung dan...
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAMRUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN
KONSEP HUKUM PROGRESIF(Studi Kasus Pada Polsek Natar)
(TESIS)
Oleh
Shinta Desy Anjani
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDIMAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG2016
ABSTRACT
LAW ENFORCEMENT OF CRIMINAL ACTS OF DOMESTIC VIOLENCE
BY USING THE CONCEPT OF LEGAL PROGRESSIVE
(Study Of Cases In The Natar Police)
BY
SHINTA DESY ANJANI
Violence in the household usually fell on his wife or child who according to the
social construction of some communities is considered as a class two. In the
implementation of the law enforcement against perpetrators of criminal acts of
domestic violence in general is stiff. Most law enforcement officials reduced the
understanding that upholding the law is similar to enforce the law. Understanding
this has implications that the law the center of attention. In fact, the law enforcement
can’t just be seen from a glass eye of law, but it should be seen as a whole by
involving all the elements that there is some kind of moral, behavior, and culture.
The problem in this thesis is how law enforcement and constraints facing the police
in the case of domestic violence in the Natar Police.
The method used in this research is done with legal normative, namely, by actually
doing an analysis of the problem through the approach towards the principles of law
and refers to the norms of law contained in the legislation. Furthermore, the juridical
empirical is done by way of conducting field research by looking at the fact that
there is.
The results, and discussions showed that the completion of the criminal case
Domestic violence on the stage of the investigation in the police is performed by
applying legal progressive. Investigators trying to get out of of school legalistic
positivistic in pursuit of legal certainty. But in practice there are obstacles of the rule
of law that govern the process of mediation penal in the criminal case, and the
attitude of the diskresi by individual member of the police and law enforcement
officers who are always clinging to the principle of legalistic the formal cause of the
investigator at the expense of a sense of justice and the benefits in the community.
Finally the author gave advice to the rest of the police who are in the entire staff to
always put forward legal progressive in measures of investigation especially for the
case domestic violence and the establishment of the rules that govern the limits of
the implementation of the legal progressive through mediation penal in his actions.
keyword : Domestic Violence, The Investigator, Legal Progressive
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM PROGRESIF
(STUDI KASUS PADA POLSEK NATAR)
Oleh
Shinta Desy Anjani
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak yang menurut
konstruksi sosial sebagian masyarakat dianggap sebagai warga kelas dua. Pada
pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana KDRT pada umumnya
bersifat kaku. Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa
menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang.
Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat
perhatian. Padahal, masalah penegakkan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca
mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua
unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Permasalahan dalam tesis ini
adalah bagaimanakah penanganan dan kendala yang dihadapi polisi dalam kasus
kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan pendekatan
yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pendekatan yuridis
empiris yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan
melihat kenyataan yang ada.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyelesaian perkara pidana
khusus pada perkara KDRT pada tahap penyidikan di Polsek Natar dilakukan dengan
menerapkan hukum progresif. Penyidik mencoba keluar dari ajaran legalistik
positivistik yang selama ini selalu mengejar kepastian hukum. Namun dalam
pelaksanaannya terdapat hambatan berupa tidak adanya aturan hukum yang
mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana, dan sikap
penyimpangan diskresi yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian serta aparat
penegak hukum yang selalu berpegang pada asas legalistik formal menyebabkan
penyidik mengenyampingkan rasa keadilan dan kemanfaatan yang ada di
masyarakat.
Akhirnya penulis memberi saran kepada seluruh penyidik Polri yang berada
diseluruh jajarannya agar selalu mengedepankan hukum progresif dalam melakukan
langkah-langkah penyidikan khususnya untuk perkara KDRT dan pembentukan
aturan yang mengatur batasan-batasan penerapan hukum progresif melalui mediasi
penal dalam melakukan tindakannya.
Kata Kunci : Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penyidik, Konsep Hukum Progresif
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAMRUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM
PROGRESIF(Studi Kasus Pada Polsek Natar)
(TESIS)
Oleh
SHINTA DESY ANJANI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarMAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Program Studi Magister HukumFakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDIMAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir dari keluarga sederhana, pada tanggal 18 Desember 1992 di BandarLampung dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak JujuJuanda Abdullah dan Ibu Suprihatun, S.E.
Pendidikan pertama penulis ditempuh di SD Negeri 1 Rajabasa Raya, Bandar Lampungdan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah 3Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikandi SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan dan lulus pada tahun 2010. Dengan mengikutijalur SNMPTN penulis di terima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun2010 dan menyelesaikan Strata satu (S1) pada tahun 2014.
Kemudian Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Program Pasca Sarjanapada program studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, danpenulis menyelesaikan Strata dua (S2) pada tahun 2016.
MOTO
Sesuatu yang dilakukan dengan kekerasan maka hasilnyatidak akan baik
“ jika seseorang bergerak kearah mimpi-mimpinya, ia akanbertemu dengan kesuksesan yang tidak diharapkan dalam
keadaan biasa.”(Henry David Thoreau)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan pujisyukur kepada Allah SWT, atas Rahmat Hidayah
serta Inayah-NYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati dalam setiap
perjuangan dan jerih payah, ku persembahkan sebuah karya ilmiah ini kepada:
Ayahanda Juju Juanda Abdullah dan Ibunda Suprihatun,S.E yang kusayangi,
dan kucintai, ucapan terima kasih tak terhingga untuk setiap pengorbanan
kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilan ku. Adikku
Nanda Dwiyana serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih
sayang do’a dan dukungannya.
Para Sahabat tercinta dan seluruh rekan seperjuangan yang selama ini selalu
menemani, memberikan dukungan dan do’a untuk keberhasilanku, terima kasih
atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama.
Almamaterku tercinta
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah serta hinayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul:
“Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan
Menggunakan Konsep Hukum Progresif (Studi Kasus Pada Polsek Natar)”. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Magister Hukum di
Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaiakan karena partisipasi banyak pihak. Oleh
karena itu dengan kerendahan hati dan rasa hormat, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
3. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas
Lampung.
4. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Lampung dan selaku dosen pembahas I, atas masukan dan saran untuk
kesempurnaan tesis ini.
5. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing I, atas pengarahan,
dukungan dan motivasi dengan penuh perhatian, semangat dan kesabaran demi
kesempurnaan karya ilmiah berupa tesis ini.
6. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing II, atas bimbingan, perhatian,
pengertian dan ketelitian dalam penulisan karya ilmiah berupa tesis ini.
7. dan Bapak Dr. Budiono, S.H.,M.H. selaku dosen pembahas II , atas masukan dan
sarannya kepada penulis dalam menyempurnakan tesis ini.
8. Para Narasumber dari Polsek Natar dan LSM DAMAR atas partisipasinya dengan
memberikan masukan dan informasi dalam pelaksanaan penelitian tesis ini.
9. Bapak dan ibu dosen Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung
yang telah memberikan ilmu selama penulis menjalani perkuliahan.
10. Seluruh staf Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
11. Rekan-rekan Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung, atas
persahabatan dan motivasi yang diberikan dalam masa perkuliahan serta dalam
penyelesaian karya ilmiah ini.
12. Ayahandaku Juju Juanda Abdullah dan ibundaku Suprihatun, S.E tercinta atas kasih
sayang, perjuangan, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu
mengiringi setiap nadiku dan menanti keberhasilanku.
13. Adindaku Nanda Dwiyana, atas semangat dan doanya untuk keberhasilanku dalam
menyelesaikan tesis ini.
14. Erik Riyandi, Amd, atas perhatian, motivasi dan waktu yang diluangkan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Sahabat-sahabatku yang telah menanti keberhasilanku.
16. Almamaterku tercinta Universitras Lampung
17. Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan
Tesisini.
Semoga Tesisini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, Bangsa
dan Negara. Para Mahasiswa, Akademisi, Serta pihak-pihak lain yang membutuhkan
terutama bagi penulis. Saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat di harapkan.
Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Juli 2016
Penulis
SHINTA DESY ANJANI
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN Hlm
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ............................................................. 8C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 9D. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 10E. Metode Penelitian ....................................................................................... 18F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 22
II. TINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian Penegakan Hukum ................................................................... 23B. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ............................................ 28C. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ..................................... 30D. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ....................... 32E. Teori Penegakan Hukum, Teori Keadilan dan Hukum Progresif .............. 35F. Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Pemikiran Mengenai
Hukum Pidana ............................................................................................ 47
III. HASIL PENELITIANA. Penegakan Hukum Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada
Polsek Natar ................................................................................................. 68B. Kendala dalam Penegakan Hukum Kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga dengan Hukum Progresif ................................................................ 100
IV. PENUTUPA. Simpulan ....................................................................................................... 105B. Saran ............................................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umumnya masyarakat beranggapan bahwa lingkungan di luar rumah lebih
berbahaya dibandingkan dengan di dalam rumah. Anggapan tersebut bisa
jadi terbentuk karena kejahatan yang banyak diungkap dan dipublikasikan
adalah kejahatan yang terjadi di luar lingkungan rumah, sedangkan rumah
dianggap sebagai tempat yang aman bagi anggota keluarga dan orang-orang
yang tinggal di dalamnya, tempat anggota keluarga dan orang- orang yang
tinggal di dalamnya dapat berinteraksi dengan landasan kasih, saling
menghargai, dan menghormati. Masyarakat tidak menduga bahwa ternyata
rumah dapat menjadi tempat yang paling mengerikan bagi anggota keluarga.
Kekerasan, apapun bentuk dan derajat keseriusannya, ternyata dapat terjadi di
dalam rumah di antara orang-orang yang seharusnya saling mengasihi dan
menghargai. Orang yang seharusnya dapat menjadi tempat untuk saling berbagi
dan berlindung ternyata justru menjadi sumber penyebab terjadinya
penderitaan.1
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak yang
menurut konstruksi sosial sebagian masyarakat dianggap sebagai warga kelas
1 Rita Selena Kolibonso, Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga, JurnalPerempuan No. 26, 2002, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm. 8
2
dua.2 Dalam bangunan keluarga menurut kultur masyarakat tertentu, laki-laki
akan ditempatkan pada posisi sebagai kepala keluarga yang dapat
menentukan ke arah mana keluarga itu akan dibangun. Dengan kata lain
dalam masyarakat tersebut laki-laki dianggap sebagai manusia yang superior,
menguasai atau mendominasi, serta tulang punggung keluarga sehingga
dalam relasi sosial laki-laki akan lebih dominan. Berbeda dengan laki-laki,
perempuan pada umumnya sering dikonstruksikan sebagai manusia yang inferior,
tergantung pada status laki-laki, dan tidak berdaya, sehingga harus menuruti
dan menerima apapun kemauan dan perlakuan dari laki-laki (termasuk dalam
hal ini adalah suaminya).
Menurut Mansour Fakih, bias gender3 antara laki-laki dan perempuan tersebut
termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, antara lain:
marginalisasi, subordinasi,4 dan pembentukan stereotip atau pelabelan negatif,
kekerasan,5 beban kerja lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran
gender.
Berdasarkan pendapat Mansour Fakih dan Ita F. Nadia tersebut nampak
bahwa masih timpangnya kesetaraan gender dalam relasi laki-laki dan
perempuan sebagai suami dan istri dalam rumah tangga tersebut dapat menjadi
salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
khususnya oleh suami terhadap istrinya.
2 Kompas, Selasa, 1 Agustus 2006, hlm. 133 Ita F. Nadia, Ketidakadilan Gender Sebagai Akar Diskriminasi, Makalah dalam rangkaLustrum VI/Dies Natalis XXX AKS Tarakanita Yogyakarta, 8 Maret 1997, hlm.. 14 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim PeradilanAgama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008, hlm. 165 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Ibid, hlm. 20
3
Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan jenis ini sangat sulit diungkap karena:6
1. Pada umumnya orang menganggap bahwa kekerasan terhadap istri
adalah hal yang lumrah.
2. Kekerasan oleh suami terhadap istri dianggap sebagai masalah internal, baik
oleh orang luar maupun oleh orang di dalam keluarga itu sendiri.
3. Pelaku dan korban menutup-nutupi peristiwa tersebut dengan berbagai
alasan.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh
cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan
kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat
persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah
semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum
harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang seyogyanya dapat diterima
oleh semua insan yang ada di dalamnya.
Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan
hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan
hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya. Penegakan hukum melalui
sistem peradilan pidana saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak,
bahkan dunia internasional menilai lembaga pengadilan Indonesia sangat buruk,
terutama yang dilakukan oleh elemen-elemen penegak hukum mulai dari polisi,
jaksa, hakim sampai para petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP)
6 Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan:Tinjauan Psikologis (dalam:Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 283
4
Peradilan merupakan hal yang menunjuk pada segala aktivitas pengadilan dalam
menjalankan fungsinya yakni penegakan hukum dan penegakan
keadilan.7 Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan
fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran
dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana rekayasa social (social
engineering) bagi masyarakat. Kenyataannya malah menimbulkan anarkhi sosial
yang berkepanjangan. Tidak sedikit polisi yang bertindak tidak dengan hati
nurani, tapi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, tidak jarang pula
jaksa, hakim yang memeras dan merubah perkara hanya demi mendapatkan
keuntungan yang bersifat materi. Putusan- putusan pengadilan sering tidak
diterima masyarakat. Keadaan-keadaan seperti itu diperparah dengan perilaku
oknum aparat penegak hukum yang kurang terpuji dan melakukan perbuatan yang
mencoreng diri dan lembaganya sendiri. Kasus suap yang terjadi di
hakim Agung. Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa penegakan hukum di
Indonesia memang sedang dihadapkan pada masalah besar.
Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan
hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini
membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian.
Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata
undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua
unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu
orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.
7 Sidik Sunaryo. Sistem Peradilan Pidana. Penerbit UMM Press, Malang, 2005, hlm. 56.
5
Sistem peradilan pidana dalam hukum progresif harus menjadi ruh dalam
penegakan hukum pidana khususnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Karena , “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Gagasan ini
merupakan antitesa dari karakteristik sistem peradilan pidana yang masih
“mengkultuskan” hukum modern, sehingga dianggap tidak mampu lagi
mendatangkan keadilan bagi pencari keadilan. Kebanyakan dari polisi, jaksa
dan hakim masih menjadikan aturan-aturan formal sebagai patokan di dalam
menyelesaikan suatu perkara. Jika gagasan ini diterapkan, akan ada cara pandang
baru dalam penegakan hukum di Indonesia, yang tidak hanya bertolak pada
aturan-aturan formal, tapi juga melihat hal-hal yang di luar itu.
Polri untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam
menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas
dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri
demi kepentingan umum. Oleh karena itu, secara tidak langsung diskresi
kepolisian dapat dikatakan sebagai salah satu penerapanan hukum progresif dalam
penyelesaian perkara pidana. Tak heran apabila Satjipto Raharjo berpendapat
bahwa polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum
progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi
pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya.8
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun
2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
8 Satjipto Rahardjo, Membagun Polisi Sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, PTKompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm.262.
6
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui, kasus kekerasan
dalam rumah tangga semakin marak dan terus meningkat, seperti contoh kasus
KDRT di Provinsi Lampung. Data yang terhimpun pada 2015, tercatat 63 korban
KDRT, sedangkan per 1 mei 2016 kasus KDRT yang sudah dilaporkan tercatat
48.9
Salah satu contoh adalah kasus yang dilaporkan di Kantor Kepolisian Sektor
Natar pada Oktober 2009 yaitu ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil
kemudian melaporkan ke posko bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya
(dipukuli) hingga berakibat muka dan bibirnya memar semua. Karena tidak terima
atas perlakuan suaminya, ibu Astuti melaporkan suaminya ke Polsek Natar dan
malam itu juga suaminya langsung dijemput dan ditahan oleh Polsek Natar.
Setelah 6 hari ditahan di polsek, ibu Astuti merasa tidak tega melihat suaminya
dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya dengan syarat sang suami tidak
mengulangi perbuatannya kembali melakukan KDRT.10
Substansi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sangat berpihak kepada
perempuan. Akan tetapi permasalahan muncul ketika undang-undang ini
diterapkan tekstual. Beberapa akibat yang muncul adalah perceraian, kehilangan
nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan
lain-lain. Tidak hanya itu, permasalahan lain yang muncul adalah bahwa
9 http://nyokabar.com, diakses pada 20 Januari 201610 http://umulkhtmh.blogspot.co.id/2015_10_01_archive.html, diakses pada 20 Januari 2016
7
ketakutan istri di ceraikan suami terbukti membawa pengaruh keengganan
seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang
berwajib dalam hal ini polisi. Sehingga penyelesaian perkara KDRT menurut
hemat penulis menuai banyak permasalahan yang harus dicari solusinya.
Melihat fenomena kendala yang terjadi dalam penyelesaian perkara kekerasan
dalam rumah tangga sebagaian besar para korban kekerasan enggan melaporkan
kekerasan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan penyelesaian yang ditawarkan
oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 merupakan win-lose
solution artinya tidak membawa suatu hasil dari maksud ditegakkannya hukum
yaitu mendapatkan keadilan. Artinya ketika undang-undang itu dilaksanakan dan
pelaku kekerasan dalam rumah tangga dikenakan sanksi maka keutuhan keluarga
jadi korban. Sebagai contoh, seorang istri yang diperlakukan kasar oleh suami
yang masuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga, ketika perkara
tersebut dilaporkan banyak kemungkinan akan mengakibatkan perceraian.
Menurut hemat penulis dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga apabila
diterapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 secara tekstual dan
beranggapan positivistik legalistik maka akan mengakibatkan permasalahan yang
lebih besar. Oleh karena hukum pidana dalam hal ini UU Nomor 23 Tahun 2004
digunakan sebagai alternatif terakhir apabila penyelesaian-penyelesaian masalah
hukum dengan jalur diluar hukum pidana (non penal) sudah tidak dapat
menyelesaikan dengan win-win solution.
Polisi sebagai penegak hukum apabila perlu menjadi mediator penyelesaian
masalah dengan win-win solution. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum
8
progresif karena dalam fungsi hukum yang paling ideal adalah menyelesaikan
masalah tanpa masalah dan mencari keadilan. Polri harus lebih dapat bijak dalam
menentukan suatu perkara untuk dapat atau tidaknya maju ke pengadilan. Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa bagi polisi, menjalankan hukum pidana tidak seperti
menarik garis lurus antara dua titik, tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan
kemanusiaan.11 Polisi-polisi yang mempersepsikan perpolisian bukan sekedar
sebagai pelaksana komando undang undang, menjalankan tugasnya dengan
memanfaatkan institusi diskresi, dimana ia dapat memilih antara meneruskan
prosesnya secara hukum atau menghentikannya. Untuk memilih menghentikan
atau tidak memperkarakan seseorang membutuhkan suatu visi yang lebih
kompleks daripada sekedar menerapkan hukum saja.12
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
a. Bagaimanakah penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga pada
Polsek Natar?
b. Apakah yang menjadi kendala dalam penegakan hukum kasus kekerasan
dalam rumah tangga dengan hukum progresif?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum
Pidana terutama tentang konsep progresif dalam penyelesaian kasus KDRT.
11 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 261.12 Ibid, hlm. 227.
9
Penelitian dilakukan di wilayah hukum Kepolisisan Sektor Natar Lampung
Selatan terhadap data pada tahun 2015-2016
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis:
a. Penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.
b. Kendala dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan
hukum progresif.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis diharapkan dapat menambah wawasan dalam memberikan
argumentasi dan memahami mengenai konsep progresif dalam penyelesaian
kasus KDRT.
b. Secara Praktis diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
penegak hukum khususnya pihak kepolisian dalam penerapan hukum
progresif dalam penyelesaian perkara KDRT.
10
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Alur piker pada penulisan tesis ini digambarkan sebagai berikut:
Tindak Pidana KDRT
Undang-Undang
Penyidik/Polsek
Non Penal Penal
Progresif
Bagaimanakahpenegakan hukumkasus kekerasan dalamrumah tangga padaPolsek Natar
Apakah yang menjadikendala dalampenegakan hukumkasus kekerasan dalamrumah tangga denganhukum progresif
1. Konsep Hukum Progresif;2. Teori Alternative Dispute
Resolution
Teori faktor-faktor yangmempengaruhi penegakanhukum
Kesimpulan
11
2. Kerangka Teoretis
Teori yang digunakan penulis sebagai pisau analisis dalam menjawab
permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah:
a. Teori Hukum Progresif
Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif dapat dijabarkan
sebagai berikut:13
1. Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalahbaik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yangkuat. Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.
2. Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan kebahagiaanmanusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses menjadi.Oleh karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan masyarakatdisegala lapisan.
3. Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi inimenimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup. Hukum progresifmemberontak terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukumyang progresif.
4. Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasandengan menolak status quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnyamerasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asa, serta aksiyang tepat untuk mewujudkannya.
Secara sederhana sistem peradilan pidana merupakan suatu sarana
penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling
berkaitan. Secara eksplisit, pengertian sistem peradilan pidana itu
menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam
peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice system).14
13 Mahmud Kusuma. Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi LemahnyaHukum Indonesia. AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm. 60.14 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cetk. Pertama, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro, Semarang, 1995, hlm. 1.
12
Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu
terdapat kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang
lain, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.
Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa
penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi
penjaga status quo dari hukum. Polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak
hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak
ada legitimasi lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga
pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum
yang menjadi “majikannya”.
Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai
pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi
menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi
patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali
dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal
lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-
undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat
kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut
dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat
kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis
yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.15
15 Satjipto Rahardjo. Op.Cit, hlm. 30-31.
13
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari
masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang
ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan
peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada
masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban
terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep
inilah yang kemudian dikenal dengan community policing.16
Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham
formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau
konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigm
polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu
sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain;
mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan
akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan
melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga
Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan,
frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam
sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika
hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan
konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang
dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum.
16 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 33.
14
Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus
bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai
sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam
menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan
dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan
pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenangan formal yang diberikan
tidak otomatis memberi kekuasaan kepada badan badan untuk
mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi
legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.17 Jika konsep
ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan
untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat
diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan
yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan.
Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang
harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.
b. Teori Alternative Dispute Resolution
Tujuan Alternative Dispute Resolution adalah terwujudnya “Win-win
solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di
Indonesia masih menganut sifat “Win-lose solution”. Dalam artikel yang dibuat
oleh Adrianus Meliala mengatakan bahwa“masyarakat (khususnya tingkat lokal)
sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan
17 Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir. Penerbit Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 45-46
15
perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang
atau melanggar pidana”,18 mengandung arti bahwa upaya penerapan Alternative
Dispute Resolution sudah mendapatkan pembenaran oleh para pakar
pidana. Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian dilakukan upaya
koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif dalam penyelesaian sengketa,
maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang
Implementasi polmas dengan menerapkan ADR oleh petugas polmas. Sedangkan
pendapat pakar hukum lainnya yaitu menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan
bahwa:19
“Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative ataupilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase(negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketigayang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketatersebut”.
Penekanan konsep ADR yang membedakan dengan konsep ADR yang
dikemukakan Adrianus Meliala di atas adalah tidak selalu ada intervensi dan
bantuan pihak ketiga yang independen dalam penyelesaian sengketa pidana. Pakar
hukum lainnya adalah konsep ADR menurut Philip D. Bostwick yang mengatakan
bahwa:20
“A set of practices and legal techniques that aim :a) To permit legal disputes to be resolved outsidethe courts for the benefit of all
disputants.b) To reduce the cost of conventional ligitation and the delay to which it is
ordinary subjected.
18 Adiranus E. Meliala, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya diIndonesia”, dikutip dari http:/www.adrianusmeliala.com,2007.19 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar,PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI), Jakarta, 2002, hlm.17.20 Adiranus E. Meliala, Loc.Cit
16
c) To prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to thecourts.”
(Sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan:a) Menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan para
pihak.b) Mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa
terjadi.c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.)
Ketiga pendapat pakar hukum di atas dapat diartikan bahwa konsep Alternative
Dispute Resolution (ADR) yaitu merupakan model atau mekanisme penyelesaian
sengketa pidana yang berlaku pada sekelompok orang /masyarakat khususnya
tingkat lokal, berupa sekumpulan prosedur atau mekanisme agar memperoleh
putusan akhir dan mengikat para pihak, secara umum tidak selalu dengan
melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen, dan tujuannya
demi keuntungan para pihak, efisiensi biaya dan waktu, serta mencegah sengketa
jalur pengadilan.
c. Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana
merupakan teori berikutnya yang digunakan sebagai salah satu sarana
perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila tidak ada
atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:21
1) Faktor hukumnya sendiri.2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun yang menerapkan hukum.3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
21 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta,1983, hlm. 5.
17
5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasasang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2. Konseptual
a. Tindak pidana, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa
melanggar larangan tersebut22. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada
unsur-unsur sebagai berikut:
1) Perbuatan (manusia);
2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat
formil);
3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Syarat formil harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam
Pasal 1 KUHP. Syarat materiil itu harus ada juga, karena perbuatan itu harus
pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
boleh atau tak patut dilakukan. Kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab
dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal
tersebut melekat pada orang yang berbuat.
b. Kekerasan adalah sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain.23
c. Kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
22 Sudarto. Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang, 1990, hlm. 4323 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusat PembinaanPengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta, 1992, hlm. 485.
18
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.24
d. Manifestonya paradigma hukum progresif, sebagaimana Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa:25
“Apabila hukum itu bertumpu pada “peraturan dan perilaku”, maka hukum
yang progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan
demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih menentukan
daripada peraturan yang ada”.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan,
yaitu:
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normati adalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk
untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas dalam ketentuan baik masalah
perundangan, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan
permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan
pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.
24 Guse Prayudi. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press, Yogyakarta,2008, hlm. 20.25 Mahmud Kusuma, Op.Cit, hlm. 177.
19
b. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada misalnya
dalam prilaku hukum, kepatuhan hukum dan lainnya yang terdapat di lingkungan
masyarakat serta penegak hukum.
2. Sumber dan Jenis Data
Untuk menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini diperlukan
bahan hukum sebagai bahan analisis. Bahan hukum yang diperlukan meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan proses dan langkah-langkah
sebagai berikut: Pengumpulan data/bahan-bahan yang akan diteliti dan yang akan
membantu kita dalam penelitian. Hal ini meliputi:
a. fakta (misalnya rangkaiall peristiwa dan/atau perbuatan yang membentuk
masalah atau peristiwa atau objek hukum yang akan diteliti);
b. norma yang terdapat dalam kitab undang-undang, dan berbagai peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi atau hukum kebiasaan);
c. pendapat para ahli.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
yang dimaksud diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah: peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan permasalahan yaitu Undang-Undang Nomor 1
20
Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang kemudian disingkat dengan KUHP, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
kemudian disingkat dengan KUHAP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah.
b. Bahan hukum sekunder.
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan
dengan penyampingan perkara pidana, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-
laporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak dan media elektronik.
c. Bahan hukum tersier.
Yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di
luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang
diperlukan dalam penulisan tesis ini.
3. Penentuan Narasumber
Penentuan narasumber dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling, yang berarti dalam menentukan narasumber disesuaikan dengan tujuan
yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap masalah yang hendak
dicapai. Adapun yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini:
a. Kepala Kepolisian Sektor Natar Lampung Selatan 1 orangb. Penyidik pada Polsek Natar 1 orangc. LSM DAMAR 1 orangd. Akademisi FH Unila 2 orang+
Jumlah 5 orang
21
4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penulis melakukan serangkaian kegiatan dalam pengumpulan data, yang meliputi:
1. Studi pustaka, yaitu pengumpulan terhadap data sekunder dengan mencatat,
mengutip serta menelaah buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan
materi penelitian kemudian menyusunnya sebagai kajian data.
2. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan secara
lisan kepada responden dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara
terbuka dan terarah dengan sebelumnya mempersiapkan pertanyaan terlebih
dahulu.
3. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dengan jalan mencatat
atau merekam data-data yang ada pada lokasi penelitian yang berkaitan
dengan pokok materi yang dibutuhkan.
Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai
berikut:
a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh
mengenai kelengkapan dan kejelasan dari data.
b. Klasifikasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian.
c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh satu
sama lain untuk memudahkan kegiatan analisis.
22
5. Analisis Data
Bahan hukum dalam penelitian ini merupakan suatu proses penguraian secara
sistematis dan konsisten terhadap semua bahan-bahan hukum yang diperoleh
dalam pengumpulan bahan hukum. Dalam melakukan analisis bahan hukum,
penulis menggunakan cara berpikir induktif, deduktif, dan komparatif. Fakta-fakta
konkret tersebut digunakan untuk menyusun kesimpulan umum, berwujud
konsep-konsep atau proposisi-proposisi dari fakta tersebut. Cara berpikir deduktif
dilakukan dengan bertitik tolak pada hal-hal yang abstraks untuk diterapkan pada
proposisi-proposisi konkret.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terisi uraian tentang Latar Belakang Masalah yang mendasari pentingnya
diadakan Penelitian, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi Tinjauan konsep dan teori yang mendeskripsikan tentang teori dan
konsep hukum progresif, kekerasan dalam rumah tangga, dan penegakan hukum.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang penegakan hukum dan kendalanya dalam kasus
kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.
BAB IV PENUTUP
Berisi uraian tentang kesimpulan dan saran.
23
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penegakan Hukum
Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu oleh para
penstudi hukum adalah apa yang dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor
yang mempengaruhi untuk menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern,
hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social
engineering). Roscoe Pound26 menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana
rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-
badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini
adalah masyarakat dan peradilan di Amerika Serikat.
Fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai
sarana pendorong pembaharuan masyarakat.27 Sebagai sarana untuk mendorong
pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan
oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi
masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan
peraturan perundang-undangan itu.
26 Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, 1989, hlm, 7.27 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat yang Sedang Membangun,Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978, hlm. 11.
24
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto
Rahardjo28 merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini
yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses
penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaanya oleh para pejabat penegak
hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa
keberhasilan ataupun kegagalan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya
sebenarnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu
dibuat.29
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,30 dipengaruhi
oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.
Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam
proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum. Keempat, faktor masyarakat yakni lingkungan sosial di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan,
yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
28 Satjipto Rahardjo.Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 24.29 Ibid, hlm. 25.30 Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum. BPHN & Binacipta, Jakarta,1983, hlm. 15.
25
Satcipto Rahadjo31membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses
penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang
agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka
satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses
penegakan hukum. Pertama, unsur pembuat undang-undang cq. lembaga legislatif.
Kedua, unsur penegakan hukum cq. Polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga unsur
lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain Jerome
Frank,32 juga berbicaratentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses
penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya,
juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman33 melihat bahwa keberhasilan penegakan
hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem
hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen
struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance)
dan komponen budaya hukum (legal culture). struktur hukum (legal structure)
merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. substansi
hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang
dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku
yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture)
merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan
31 Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm.23,24.32 Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm. 122.33 Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977,hlm. 6-7.
26
dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangannya, Friedman34
menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak
hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan
adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,35
konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang
ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini
menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warna Negara terhadap hukum
dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukkan perkara, dan signifikansi
hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di
luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum.
Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak
tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama
dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah
diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan,
yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial
yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal
dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,36
atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmdja disebutkan sebagi hukum
yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.
34 Lawrence M, Friedman. American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, andhow it affects our daily lives. W.W. Norton & Company, New York, 1984,hlm. 16.35 Roger Cotterrell. The Sociology Of Law An Introduction. Butterworths, London, 1984, hlm. 25.36 Roscoe Pound. Op.Cit, 1989, hlm. 51.
27
Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai
hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat
demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar
kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk
dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif
terdapat di dalam masyarakat yang menjujung tinggi semangat demokrasi.
Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu
sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat
pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam
masyarakat.37
Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono38 melihat
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep
hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini. Karakter hukum positif dalam
wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh
suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat
dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri.
Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan
visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang
demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.
37 Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. Hukum dan PerkembanganSosial (Buku I). Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 483.38 C.F.G. Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni,Bandung, 1991, hlm. 53.
28
Menurut Gardinerbahwa pembentuk undang-undang tidak semata-mata
berkewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki
kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan
masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian tidak lagi
semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului
perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh39 menegaskan bahwa
masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan
pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari
pembentuk undang-undang.
B. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Guse Prayudi, kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.40
Istilah “kekerasan” dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.41
Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
39 Roeslan Saleh. Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan. BinaAksara, Jakarta, 1979, hlm. 12.40 Guse Prayudi. Op.Cit, hlm. 20.41 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Loc.Cit, hlm. 485.
29
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Terminologi kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan
suatu batasan yang menuju kepada kekerasan yang terjadi dalam kokus rumah
tangga atau biasa dikenal sebagai “keluarga”. Memang tidak ada keseragaman
pengertian kecuali kokus dan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi, sehingga
pelaku dan korban merupakan area yang sangat terbuka, dalam arti kata siapapun
yang dapat dikategorikan sebagai anggota keluarga atau tinggal dalam lingkup
rumah tangga adalah pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelaku atau korban
kekerasan domestik ini atau kekerasan dalam rumah tangga.42
KDRT dapat menimpa siapapun baik itu isteri, suami maupun anggota keluarga
yang lain. Akan tetapi istilah KDRT dalam banyak literatur mengalami
penyempitan makna, yaitu hanya mencakup penganiayaan suami terhadap isteri.
Hal itu disebabkan oleh lebih banyak korban KDRT dialami oleh pihak isteri
dibandingkan pihak suami dan anggota keluarga yang lain. Sementara oleh kaum
Feminis kekerasan terhadap kaum perempuan (isteri) didefinisikan sebagai setiap
tindakan kekerasan variabel maupun fisik. Pemaksaan atau ancaman pada nyawa
yang dirasakan pada seseorang perempuan apakah masih anak-anak atau dewasa
yang sudah menyebabkan kerugian fisik atau psikologis penghinaan atau
42Elli Nur Hayati. Panduan Untuk Pendampingan korban Kekerasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta,1995, hlm. 3.
30
perampasan kekuasaan yang menghilangkan subdominasi perempuan.Kekerasan
yang dialami perempuan dalam perilaku kekerasan yang diterima berupa agresi
fisik berupa menampar, memukul dan menonjok.
Kekerasan menurut Johan Galtung terbagi menjadi tiga bagian yaitu:43
1. Kekerasan kultural yaitu melegetamasi terjadinya kekerasan struktural dankekerasan langsung serta menyebabkan kekerasan dianggap wajar saja terjadi(diterima) sebagian masyarakat.
2. Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematisyang disertai mekanisme yang mengahalangi terbentuknya kesabaran sertamenghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasidan penindasan, seperti ketidakdilan, kebijakan yang menindas.
3. Kekerasan langsung yaitu kekerasan yang terlihat secara langsung dalambentuk-bentuk kejadian atau perbuatan-perbuatan, sehingga kekerasan jenisini sangat mudah diidentifikasi karena menifestasi dari kekerasan kultural danstruktural.
Kekerasan yang dialami seorang isteri, misalnya, karena masih kuatnya budaya
paternalistik dan pemahaman budaya Jawa yang keliru, di mana seorang isteri
harus tunduk kepada suami, seperti dicerminkan pepatah swarga nunut neraka
katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Hal itu mengakibatkan kekerasan yang
diterima isteri dari suaminya atau dari keluarganya dalam rumah tangga dianggap
sebagai urusan domestik. Tidak perlu diketahui masyarakat.
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dapat berupa kekerasan fisik atau
psikis, selain itu dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif
(menelantarkan), dan pelanggaran seksual yang sering terjadi adalah kombinasi
43I. Marsana Windku. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Kanisius,Yogyakarta,1992, hlm. 8.
31
dari berbagai bentuk walaupun hanya dapat saja muncul dalam satu bentuk
diatas. Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (isteri) dalam rumah
tangga tersebut mencakup:44
1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakran sampaipengrusakan vaginal (kekerasan seksual) dan yang tidak langsunatau displacement dapat berupa memukul meja, pintu, memecahkan gelas,piring, vas bunga dan berlaku kasar. Menurut Frirze yang dimaksud dengankekerasan seksual yang dipaksakan oleh suami terhadap isteri, meskipuntidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang dibaliknya. SementaraHasbianto mendifinisakan sebagai pemaksaan dalam melakukan hubunganseksual, pemaksaan selera seksual dan pemaksaan seksual tanpamemperhatikan kepuasan isteri.
2. Kekerasan psikis. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannyakarena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu rumahtangga hal ini dapat berupa tidak diberikan kasih saying pada isteri agarterpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan jiwaseseorang. Identifikasi akibat yang muncul pada kekerasan psikis lebih sulitdiukur daripada kekerasan fisik. Kekerasan psikis dapat berupa ucapan kasar,jorok, meremehkan, menghina mengdiamkan, menteror baik langsungmaupun tidak, berselingkuh dan ditinggal pergi.
3. Penelantaran perempuan dari segi ekonomi, kesehatan, kebutuhan-kebutuhan.Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhanhidup pada seseorang yang memiliki keberutngan kepada pihak lain,khususnya dalam lingkungan rumah tangga kurang menyediakan saranaperawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yangsesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran.Namun, harus hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuanekonomi” dengan “penelantaran yang disengaja”. Bentuk kekerasan jenis inimenonjol khususnya terhadap anak karena anak belum mampu mengurusdirinya sendiri.
4. Pelanggaran seksual. Pengertian pelanggaran seksual adalah setiap aktivitasseksual yang dilakukan oleh orang dewasa dan perempuan. Pelanggaranseksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan.Pelanggaran seksual dengan unsur penindasan dan menimbulkan perlukaandan berkaitan dengan trauma emosi yang dalam bagi perempuan.
44http://www.fanind.com/2013/08/4-jenis-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html, diakses padatanggal 20 Januari 2016.
32
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga Pasal 5, kekerasan dalam rumah tangga meliputi empat macam yaitu,
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga.
C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Secara garis besar faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
disebabkan oleh dua faktor yaitu:45
1. Faktor internal adalah faktor penyebab dari dalam diri si pelaku, seperti
tingkat amosional, gangguan kejiwaan dan lain-lain.
2. Faktor eksternal adalah faktor penyebab dari luar si pelaku seperti tekanan
ekonomi, lingkungan, perselingkuhan dan lain-lain.
Richard. D and Levy. C. menyatakan bahwa faktor internal timbulnya kekerasan
terhadap isteri adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak
kekerasan, hal ini dapat berupa:
1. Sakit mental;2. Pecandu alkohol;3. Kurangnya komunikasi;4. Penyelewengan seks;5. Citra diri yang rendah;6. Frustasi;7. Perubahan situasi dan kondisi;8. Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Elli N. Hasbianto mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab terjadinya KDRT yaitu:
45 Fathul Djanah. Kekerasan Terhadap Isteri. LKIS, Yogyakarta, 2003, hlm. 36.
33
1. Budaya patriarki artinya: budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior
dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan
mengontrol perempuan.
2. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama artinya: sering ajaran agama yang
menempatkan laki-laki sebagai pembolehan mengontrol dan menguasai
isterinya.
3. Pengaruh mode artinya: anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan yang
ada ayah suka memukul atau kasar kepada ibunya, cendrung akan meniru
pola tersebut kepada pasangannya.
Berdasarkan ketiga faktor diatas ditumbuh suburkan dan didukung oleh kenyataan
bahwa sikap komunitas cenrung mengabaikan persoalan kekerasan dalam rumah
tangga karena terdapat keyakinan bahwa hal itu merupakan urusan dalam suatu
rumah tangga. Sedangkan jika ditinjau dari lingkup rumah tangga maka hal-hal
yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga atau faktor-faktor yang
menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam hal ini kekerasan
pada isteri diantaranya:
1. Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan
Kekerasan yang terjadi dalam adalah sebuah penyimpangan budaya akan tetapi
terhadap batasan suami bahwa kekerasan yang dilakukan suami pada lingkup
keluarga, maka masyarakat luas tidak berani ikut campur.
2. Kekurangan komunikasi antar suami-isteri
Kesetaraan dalam komunikasi dipengaruhi oleh penguasaan sumber-sumber
ekonomi, sosial, budaya yang meliputi keluarga. Posisi isteri yang lemah (karena
34
tidak dimunculkan kemandirian dalam dirinya), pada saat ia meyampaikan
kekesalannya pada suami yang lebih dari padaya, justru akan membuat sang
suami berinterpretasi yang salah, dimana hal tersebut memicu terjadinya kesalah
pahaman dan berakhir dengan pemukulan.
3. Adanya penyelewengan
Penyelewengan yang biasanya dilakukan para suami pada saat dinas keluar kota
dan lain-lain, pada saat diketahui si isteri, biasanya isteri tidak menerima dan
menuntut pemutusan hubungan dengan wil (wanita idaman lain) suami, akan
tetapi biasanya hal itu tidak dihiraukan suami, justru suami melakukan tindak
kekerasan seperti memukul dan menyakitkan hati isteri.
4. Citra diri yang rendah dan frustasi
Citra diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu
mencukupi kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si isteri yang
lebih darinya, memudah timbulnya salah penerimaan dalam diri suami terhadap
segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini pula akan
mempermudah timbulnya tindakan pemukulan atau kekerasan lainnya sebagai
pelampiasan.
5. Kekerasan dipahami sebagai upaya penyelesaian masalah
Kekerasan dipandang sebagai saranan jitu dalam menyelesaikan permasalahan
dengan isteri dari pada melakukan pembicaraan secara baik-baik dengan mereka.
Terkadang tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanya pemahaman yang
salah atas Q.S. An-Nisa’ : 34, berupa diperbolehkannya pemukulan dilakukan
sebagai hukuman bagi isteri yang nusyuz. Makna kata “pemukulan” dalam ayat
35
tersebut diisyaratkan dari kata “wadhribuhunna” yang memiliki pengertian secara
leksikal “pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban sebagai seorang isteri”.
C. Teori Penegakan Hukum, Teori Keadilan dan Hukum Progresif
1. Teori Penegakan Hukum Pidana
G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa politik kriminal harus rasional, jika
tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the
responses to crime. (Criminal Policy is the rational organization of the social
reaction to crime). Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditunjuk dengan :
a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application),
b. Pencegahan tanpa Pidana (Prevention Without Punisment) dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (Influencing views of society on crime and
punishment/mass media).
Menurut Goldstein, upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu:46
a. Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana subtantive (substantive law ofcrime). Penegakan hukum pidana secara total tidak mungkin dilakukan, sebabpara penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yangantara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan,penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadihukum pidana substantive sendiri memberikan batasan-batasan, misalnyadibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan.Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area dimanpenegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruanglingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of noEnforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakniFull Enforcement.
b. Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapioleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanyaketerbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasidana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions.
c. Actual Enforcement
46 Barda Nawawi Arief.1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT.Citra Aditya Bakti,Bandung, hlm.48.
36
Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat padakenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam halini para pengusaha maupun masyarakat.
Berdasarkan upaya penegakan hukum yang dikemukakan oleh Goldstein di atas,
maka untuk menganalisis tesis ini menggunakan upaya yang ketiga, yaitu Actual
Enforcement. Hal ini dikarenakan kenyataan atau peristiwa yang ada di lapangan
melibatkan banyak orang, baik masyarakat umum, pengusaha, pemerintah dan
penegak hukum.
2. Teori Keadilan
Berbagai teori keadilan telah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Perbagai
pandangan mengenai keadilan banyak diungkapkan oleh para pakar dari berbagai
generasi. Menurut Plato, keadilan dapat terwujud manakala negara dipimpin oelh
para aristokrat (filusuf). Negara yang dipimpin oleh penguasa yang cerdik, pandai,
dan bijaksana akan melahirkan keadilan yang sempurna. Oleh karena itu, tanpa
hukum sekalipun, jika negara dipimpin oleh para aristokrat maka akan tercipta
keadilan bagi masyarakat. Namun dengan tidak dipimpinnya negara oleh para
aristokrat, keadilan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya hukum. Dalam
kondisi inilah menurut Plato hukum dibutuhkan sebagai saran untuk
menghadirkan keadilan dalam kondisi ketidak adilan.47
Ada beberapa pengertian keadilan menurut Aristoteles, diantaranya:48
a. Keadilan berbasis kesamaanKeadilan ini bermula dari prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehinggakeadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam pengertian kesamaan.Kesamaan ini ada dua, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.Keadilan numerik ini berprinsip pada persamaan derajat bagi setiap orang di
47Bernard, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, GentaPublishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 40-41.48 Ibid. hlm. 45-46.
37
depan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberikan setiap orangapa yang menjadi haknya.b. Keadilan distributifKeadilan distributif ini identik dengan keadilan proporsional. Keadilan distributifberpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar kecilnya jasa. Jadi keadilantidak didasarkan pada persamaan, melainkan proporsionalitas, misalnya seorangprofesor yang bekerja pada instansi tertentu berhak atas gaji yang lebih besardibanding dengan seorang yang hanya lulusan SLTA yang bekerja pada instansiyang sama.c. Keadilan korektifFokus pada keadilan ini adalah pembetulan sesuatu yang salah, misalnya jikaterjadi suatu kesalahan yang berdampak pada kerugian bagi orang lain, makaharus diberikan kompensasi bagi yang dirugikan tersebut. Jadi keadilan korektifini merupakan standar umum untuk memulihkan akibat dari suatu kesalahan.
Sedangkan menurut Hans Kelsen, suatu tata sosial adalah tata yang adil.
Pandangan ini bermakan bahwa tata tersebut mengatur perbuatan manusia dengan
tata cara yang dapat memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. Keadilan
adalah kebahagiaan sosial yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai individu,
dan berusaha untuk dicarinya dalam masyarakat. Oleh karena itu bisa dikatakan
bahwa kerinduan manusia kepada keadilan pada hakikatnya adalah kerinduan
terhadap kebahagiaan. Keadilan ini hanya dapat diperoleh dari tatanan. Menurut
Kelsen, tatanan hukum yang dapat memberikan keadilan adalah tatanan hukum
positif, yang dapat bekerja sistematis.49 Dengan demikian, keadilan menurut
Kelsen ini merupakan keadilan yang sudah tertuang dalam tatanan yang
dipositifkan.
Senada dengan Kelsen, Thomas Hobbes berpandangan bahwa keadilan sama
dengan hukum positif yang dibuat oleh penguasa. Pandangan ini mengandung
konsekuensi bahwa norma hukum positif adalah satu-satunya alat untuk menilai
49 Anthon F. Susanto, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Reks dan Model Pembacaan, GentaPublishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 89.
38
baik-buruk, adil-tidak adil. Sebagai legitimasi dari penguasa, Hobbes
mengeluarkan teori kontrak sosial yang menyatakan bahwa masyarakat telah
melakukan kesepakatan/ kontrak untuk menyerahkan kedaulatannya pada
penguasa. Tidak jauh berbeda dengan Hobbes, Imanuel Kant memperkenalkan
konsepnya dengan keadilan kontraktual. Sebagaimana Hobbes, Kant juga
berpandangan bahwa sebagai dasar pembentukan hukum disebabkan oleh
rawannya hak pribadi untuk dilanggar. Namun bedanya, jika menurut Hobbes
yang berdaulat adalah kekuasaan, maka Kant berpendapat yang berdaulat adalah
hukum dan keadilan. Secara singkatnya, prinsip keadilan Kant ini dapat
dirumuskan bahwa seseorang bebas untuk berekspresi dan melakukan tindakan
apapun, asalkan tidak menggangu hak orang lain.50
3. Keadilan Restoratif
Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani kejahatan hampir seluruhnya
selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukanlah solusi terbaik dalam
menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan”
yang ditimbulkannya masih bisa direstorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak”
dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya
penghilangan stigma dari individu pelaku. Paradigma penghukuman tersebut
dikenal sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang
telah ditimbulkannya kepada korban, keluarga, dan juga masyarakat.
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif
pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan
50 Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius,Yogyakarta, 2009 , hlm. 45-46.
39
pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan
hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut.
Kata restorative dapat diartikan sebagai obat yang menyembuhkan atau
menyegarkan. Sedangkan restorative justice dimaknai sebagai penyelesaian suatu
tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk
bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam
menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana
mengatasi implikasinya di masa datang.
Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah “sebuah konsep pemikiran
yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan
pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.”51
Restorative justice dapat diimplementasikan dalam penyelesaian perkara melalui
Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR adalah tindakan memberdayakan
penyelesaian alternative di luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih
mengedepankan win-win solution, dan dapat dijadikan sarana penyelesaian
sengketa melalui proses pengadilan.
Penyelesaian perkara melalui mekanisme di luar pengadilan saat ini semakin
lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih
mampu menjangkau rasa keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum
berpendapat bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan
untuk menyelesaikan perkara pidana karena pada asasnya perkara pidana tidak
51 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm.65.
40
dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar peradilan. Penyelesaian perkara
pidana dalam restorative justice dapat dicontohkan dalam bentuk mediasi penal,
karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat signifikan dalam
proses penegakan, walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal system.
Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan dari cita-cita
hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is
justice), dan asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber
hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Perumusan kaidah hukum untuk
penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita
hukum dan asas hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus
mengacu pada nilai-nilai keadilan , nilai kepastian dan kemanfaatan. Sedangkan
norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan landasan filosofis,
yuridis, dan sosiologis.
Polri sebenarnya sudah selangkah lebih maju dalam penerapan konsep restorative
justice melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution(ADR). Melalui Surat
Telegram Reskrim (STR) Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei
2011 tentang Pedoman Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri, Reskrim Polri
berkehendak untuk menerapan ADR dalam penyelesaian perkara pidana. Hanya
sayang, kebijakan tersebut ditunda dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri No.
ST/209/IX/2011, tanggal 6 September 2011, tentang Penangguhan Penerapan
ADR di jajaran Reskrim Polri, yang isinya berbunyi: “mengingat substansi dan
materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi
anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus
diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan
41
sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang
dirancang oleh Mabes Polri”.
4. Hukum Progresif
Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang
lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif
adalah bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak
pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang
sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum
di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.52
Pemikiran progresif mengenai hukum di Indonesia sebenarnya sudah timbul
setelah jaman kemerdekaan yang merupakan bentuk penolakan terhadap Kitab
Undang Undang Hukum Pidana yang dituangkan dalam Undang Undang No. 1
thn 1946. Beberapa pakar hukum pada saat itu mengganggap bahwa KUHP
adalah produk hukum kolonial Belanda yang seharusnya disesuaikan dengan
norma dan budaya masyarakat Indonesia. Moeljatno dalam sambutan pada kuliah
umum di FKIP Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 7 Maret 1964
menjelaskan bahwa:
Janganlah para petugas yang pekerjaannya dalam atau bersangkutan denganbidang hukum tadi, sadar atau tidak sadar meneruskan begitu saja teori-teori danpraktek-praktek hukum yang dahulu pernah diajarkan dan dipraktekkan di zamanHindia Belanda sejak berpuluh-puluh tahun. Seakan-akan dalam bidang hukumjalannya sejarah bangsa Indonesia sejak berkuasanya pemerintah Hindia Belandahingga sekarang berlangsung terus secara tenang dan tentram; seakan-akan teoridan praktek hukum dari zaman yang silam itu merupakan naluri atau harta pusaka
52 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol.1/ No.1/ April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 3.
42
bagi kita, yang sedapat mungkin harus dipelihara sebaik-baiknya, tanpa perubahandan penggantian.53
Moeljatno berdasarkan pemikirannya tersebut, menolak beberapa pasal dalam
KUHP yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi dengan budaya yang ada di
Indonesia seperti pasal perkelahian tanding (pasal 182 s/d pasal 186 KUHP),
pasal-pasal yang bersangkutan dengan perdagangan budak belian (pasal 324 s/d
pasal 327 KUHP), pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (pasal 154
KUHP), dan pasal tentang pelarangan pengemis dan gelandangan (pasal 504 dan
pasal 505 KUHP). Moeljatno menggap bahwa hukum pidana harus dibangun
secara progresif untuk dapat menyelaraskan dengan revolusi yang saat itu sedang
berlangsung. Cara hukum progresif menurut Moeljatno dapat dilihat dari
pendapatnya yang mengatakan bahwa:
Revolusi dalam bidang tata hukum menghendaki penghapusan dari segala halyang sifatnya lapuk dan usang untuk diganti dengan yang segar bermanfaat danprogresif, maka jalan pikiran yang yuridis formal tadi hendaknya diganti dengandengan yang yuridis materiil dalam arti kata bahwa kata-kata yang dipakai dalamperaturan hendaknya ditafsirkan sehingga makna peraturan menjadi sesuai sekalidan seirama dengan dinamika dan progresitivitas masyarakat dimana peraturantadi diharapkan memberi manfaatnya.54
Seiring berjalannya waktu, Satjipto Rahardjo mencetuskan gagasan hukum
progresif yang merupakan bentuk keprihatinan terhadap keadaan hukum di
Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi
penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an
sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosa kata hukum di Indonesia , pada
Orde Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering
53 Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Jurnal Hukum Pidana Fak Hukum UNDIP, Jakarta, PT.Bina Aksara, 1985, hlm. 28.54 Ibid., hlm. 34.
43
karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia
hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari
kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi
dalam menjalankan hukum. Lalu Satjipto Rahardjo mengajukan pernyataan, apa
yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?55
Berdasarkan perenungan terhadap semua hal, dan kejadian tersebut Satjipto
Rahardjo merasakan ada stagnasi dalam praktik dan teori hukum. Maka beliau
mengajukan suatu gagasan untuk memilih cara yang menolak keadaan status quo,
melainkan secara progresif melakukan pembebasan dan hal tersebut dirumuskan
ke dalam gagasan dan tipe “Hukum Progresif”. Maksim utama hukum progresif
adalah bahwa “hukum untuk manusia” dan bukan “manusia untuk hukum”, dalam
arti hukum tidak dipandang sebagai suatu institusi yang mutlak dan final,
melainkan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dapat mengabdi kepada
manusia. Karena pusat hukum progresif adalah pada manusia, maka menurut
Satjipto Rahardjo, maka hukum progresif harus mampu mengikuti perkembangan
jaman serta mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar-dasar yang
ada didalamnya.56 Konsep hukum progresif sangat dekat atau memiliki titik
singgung dengan beberapa aliran hukum, atau teori hukum sebelumnya.
Adapun teori-teori yang memiliki hubungan dengan Hukum progresif adalah
sebagai berikut:
a. Teori tentang Sociological Jurisprudence
55 Faisal, Op. Cit. hlm. 70.56 Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 67.
44
Penggagas aliran Sociological Jurisprudence adalah Roscoe Pound, Eugen
Ehrlich, Benyamin Cardozo, dan Kantorowics. Aliran ini berkembang di
Amerika, dengan inti pemikirannya bahwa hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa
hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.57 Artinya hukum
positif itu hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat.
Penganut aliran ini menekankan kepada kenyataan hukum daripada apa yang
diatur secara formal dalam undang undang. Pound berpendapat bahwa bagi para
ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih mempertimbangkan fakta-fakta
sosial dalam pekerjaannya, apakah itu pembuatan hukum atau penafsiran serta
penerapan peraturan-peraturan hukum. Pound menganjurkan agar perhatian lebih
diarahkan pada efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin
hukum.58
Aliran ini juga bertujuan untuk memberi dasar ilmiah pada proses penentuan
hukum. Dasar ilmiah ini berupa cara mengenai pemahaman hukum dalam
lingkungan sosial yang sangat penting untuk dapat menghasilkan hukum yang
efektif secara sosiologis. Oleh karenanya hukum harus berkembang sesuai dengan
kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan
masyarakat yang bersangkutan. Konsep dasar ini merupakan gagasan untuk
menjelaskan konsep hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a
57 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2001, hlm. 6658 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif IlmuHukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Nasution, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 29
45
tool of social engineering) dengan usaha untuk mengubah atau merombak sistem
hukum sebelumnya.59
b. Teori tentang Realisme Hukum
Realisme hukum adalah suatu aliran yang dimulai di Amerika Serikat dengan
penggagas John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan Karl
Lirerllyn. Realisme hukum adalah suatu studi tentang hukum sebagai suatu yang
benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang hukum sekedar hukum sebagai
sejumlah aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak
pernah dilaksanakan. Menurut penganut aliran ini, sifat normatif hukum harus
dikesampingkan. Karena bagi mereka, hukum pada hakikatnya adalah pola
perilaku (pattern of behaviour) dari hakim di dalam persidangan. Hakim harus
selalu melakukan pilihan, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang
akan dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului ditemukan atau
digarapnya peraturan-peraturan hukum yang menjadi landasannya.60
Oliver Wendel Homes salah satu pelopor aliran ini berpendapat bahwa kehidupan
hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the actual life of law has not been
logic: it has been experience). Pemikiran Holmes ini senada dengan pemikiran
John Chipman Gray, yang menolak perundang-undangan sebagai satu-satunya
sumber hukum dan sebagai basis utama analisis penganut aliran hukum positif .
Tugas hakim tidak semata-mata menerapkan aturan dalam perundang-undangan
59 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Karya,Bandung, 1989, hlm. 84-8560 Antonius Sudirman, Op.Cit., hlm 30.
46
terhadap kasus konkret, tetapi tugas hakim adalah membentuk hukum (judge-
made law).61
Konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapi experience, maka hukum
tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari
tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya
hukum. Pemahaman realisme hukum bahwa hukum tidak hanya terbatas pada teks
atau dokumen hukum tersebut, tetapi harus mempertimbangkan norma-norma
sosial yang ada di masyarakat, sehingga tujuan sosial dapat tercapai.
c. Teori Hukum Responsif
Digagas oleh Nonet dan Selznick, yang berpendapat bahwa hukum seyogyanya
bisa difungsikan sebagai fasilitator untuk memenuhi keadilan dan kepentingan
publik, dan karenanya harus mengedepankan stantial justice daripada prosedural
justice.62 Lahirnya hukum responsif dilatarbelakangi dengan munculnya masalah-
masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran
lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda
Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum pada saat itu ternyata tidak cukup
mengatasi keadaan tersebut. Padahal hukum dituntut untuk bisa memecahkan
solusi atas permasalahan tersebut.
Nonet dan Selznick berpendapat bahwa hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada
logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan yurisprudensi saja tidak cukup,
tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan nilai-nilai sosial. Sifat responsif
dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami
61 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 60.62 Mahrus Ali, Ibid., hlm. 68
47
dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Pembuatan dan
penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingnya
merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial lebih besar yang dilayaninya.63
Untuk mempermudah memahami hukum progresif, Yudi Kristiana menyusun
karakteristik dasar hukum progresif berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang telah
disebutkan di atas serta aliran/ teori yang mendukungnya. Karakterikstik hukum
progresif tersebut dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas
asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter dalam tabel sebagai berikut:64
Asumsi 1. Hukum untuk manusia bukan sebaliknya.2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final
tetapi selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making)TujuanHukum
Kesejahteraan dan kebaikan manusia
Spirit 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, cara dan teori yangselama ini dipakai (mendominasi)
2. Pembebasan terhadap kultur penegak hukum (administrationof justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambathukum dalam menyelesaikan persoalan.
Progresifitas 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia danoleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untukmenjadi (law in making).
2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baiklokal, nasional, maupun global.
3. Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi,suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat,sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yangberujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.
Karakter 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik beratkajian hukum yang semula menggunakan optik hukummenuju perilaku.
2. Hukum progresif selalu sadar menempatkan kehadirannyadalam hubungan erat dengan manusia, meminjam istilahnyaNonet dan Selznick bertipe responsif
3. Hukum progresif berbagi paham dengan aliran realismehukum karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum
63 Nonet dan Selznick, Hukum Responsif, Huma, Jakarta, 2003, hlm. 5864 Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan PenuntutanTindak Pidana Korupsi, LHSP, Yogyakarta, 2009, hlm. 38.
48
itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosialyang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanyahukum.
4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan aliransociological yurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkajihukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapikeluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan aliran hukumalam, karena perduli terhadap hal-hal yang “meta-juridical”
6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legalstudies namun cakupannya lebih luas.
E. Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Pemikiran Mengenai HukumPidana
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan
bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem
hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan
lebih mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang
dikebiri oleh Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk
menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik
koma yang terdapat dalam UU sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang
menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi.
Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi
keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang
dirumuskan dalam pasal-pasal. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu
digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa
49
kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir
atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim
sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi
PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari
tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum yang
terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan
yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan
makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum.
UUD (ujung-ujung duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan
dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan.
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat
hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut
benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar
dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan
dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini.
Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum
papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan
hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan
hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara
final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada
50
dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus
menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke
dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-
lain. Inilah hakikat hukum yang selalu dalam proses menjadi. Dalam konteks yang
demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika
kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum
kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme kepastian hukum, status quo
dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang
selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada
kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang
final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan,
melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian
hukum.
Penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana sesuai dengan
aliran General Detterence. Ketika suatu perkara pidana dapat diselesaikan dengan
perdamaian, maka penjatuhan pidana terhadap pelaku tidak perlu dilaksanakan
lagi. Efek jera kepada para pelaku lebih dirasakan ketika mereka harus menjalani
proses penahanan di kepolisian. Walaupun tidak menjadi terdakwa dan
mendapatkan putusan pengadilan, penahanan di kepolisian sudah memberi
pelajaran bagi para pelaku. Pandangan General Detterence sejalan dengan teori
Rehabilitasi yang menyatakan bahwa pelaku adalah orang yang memerlukan
pertolongan dan harus diperbaiki untuk dapat kembali bersosialisasi dengan
masyarakat.
51
Adanya batasan-batasan dalam penerapan hukum progresif seperti dalam
kejahatan yang meresahkan masyarakat sesuai dengan pandangan Special
Detterence, yang menyatakan bahwa penjatuhan hukuman merupakan mekanisme
yang harus dibuat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindakan serupa
di kemudian hari. Dalam pandangan ini, penjatuhan sanksi pidana memberikan
efek penjeraan dan penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan
seorang yang telah dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan
yang sama, sedangkan tujuan penangkalan merupakan sarana menakut-nakuti bagi
penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Tujuan akhir yang diharapkan
adalah bagaimana dengan pemidanaan yang diberikan tercipta situasi kamtibmas
yang kondusif sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
Indonesia.
Mengenai batasan untuk mengkategorikan kasus-kasus yang bisa diselesaikan
dengan menerapkan keadilan restoratif/ mediasi penal memang tidak ada aturan
secara tertulis. Menurut penulis, disinilah titik dimana penyidik dapat menerapkan
hukum progresif. Hukum progresif tidak diperlukan lagi apabila pada nantinya
ada suatu peraturan hukum tertulis yang menyatakan bahwa kasus yang sudah ada
perdamaian tidak dapat dilanjutkan ke proses pengadilan. Kewenangan diskresi
yang dimiliki penyidik dapat digunakan untuk memilah kasus yang akan
diteruskan ke pengadilan atau tidak.
Mengenai batasan tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan mediasi
penal, sebenarnya Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
52
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana. Perma tersebut
telah merubah batasan dalam perkara-perkara Tindak Pidana Ringan yang
semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp
2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Batasan sebesar Rp 250,-
merupakan batasan yang disusun berdasarkan kondisi perekonomian Tahun
1960-an yang tentunya bila dikonversi dengan kondisi perekonomian Tahun
2000-an seperti sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan Tindak Pidana Ringan sesuai dengan KUHP
adalah kejahatan terhadap harta benda merupakan bentuk penyerangan
terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan
milik petindak), kejahatan terhadap harta benda yang sifatnya ringan atau
dapat dikatakan Tindak Pidana Ringan dimuat dalam buku II KUHP yaitu:
Pasal 364 (Pencurian Ringan), Pasal 373 (Penggelapan Ringan), Pasal
379(Penipuan Ringan), Pasal 384 (Penipuan ringan oleh penjual), Pasal
407(Pengrusakan Ringan) dan Pasal 482 (Penadahan Ringan).
Pasal 2 Perma Nomor 2 Tahun 2010 mengatur prosedur yang harus dilakukan
hakim dalam menyidangkan Tindak Pidana Ringan, yaitu sebagai berikut:65
a. Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan,penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikannilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara danmemperhatikan Pasal 1 di atas.
b. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), Ketua Pengadilansegera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili danmemutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diaturdalam Pasal 205-210 KUHAP.
65 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan TindakPidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana.
53
c. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, KetuaPengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjanganpenahanan.
Pelaksanaan Perma Nomor 2 Tahun 2010, sebenarnya sangat mendukung
penerapan Hukum Progresif di Indonesia. Penyidik Polri dapat mengupayakan
mediasi penal sebelum berkas dimajukan ke pengadilan. Ketentuan Tindak
Pidana Ringan dengan kerugian di bawah nominal Rp. 2.500.000,00 seolah
memecah kebuntuan KUHP yang selama ini tidak mengikuti perkembangan
perekonomian Indonesia sehingga pasal mengenai Tindak Pidana Ringan seperti
tidak berfungsi.. Akan tetapi menurut pengamatan penulis Perma ini belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan di Sistem Peradilan Indonesia. Hanya beberapa
pengadilan yang sudah mengadopsi ketentuan ini dalam beracara. Pengadilan
Negri Tanjung Karang juga belum melaksanakan Perma tersebut secara optimal.
Hal ini dikarenakan sosialisasi yang belum sampai ke seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu mengingat masih berupa Peraturan Mahkamah Agung, ketentuan ini
belum mengikat sampai kepolisian dan kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan
cenderung masih berpegang pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP dan
KUHAP.
Munculnya pandangan atau pemikiran keadilan restoratif tidak dapat dilepaskan
dari eksistensi pandangan atau pemikiran yang sebelumnya telah mendominasi
pembentukan dan penerapan aturan hukum pidana, khususnya mengenai pidana
dan pemidanaan, yaitu pandangan atau pemikiran retributif (retributivisme).
Menurut Sri Wiyanti Eddyono, dalam pandangan retributif penyelesaian kasus
dilakukan dengan penghukuman terhadap si pelaku. Adapun asumsi-asumsi
54
yang dipakai didasarkan pada asumsi hukum yang netral. Karena prinsip
netralitas dan objektifitas hukum menjadi pertimbangan yang dominan,
maka keadilanpun ditimbang secara netral dan objektif.66 Dalam
retributivisme tidak terdapat tempat bagi pandangan-pandangan pribadi,
terutama dari korban, mengenai pidana dan pemidanaan. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena menurut teori retributif tindak pidana atau kejahatan diberikan
pengertian sebagai perbuatan melawan (hukum) negara. Sebagai konsekuensinya
maka negara, yang merepresentasikan diri sebagai korban tindak pidana,
mempunyai kewenangan mutlak untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana
kepada pelaku. Adapun kerugian dan penderitaan para korban sudah dianggap
tercermin dalam ancaman sanksi pidana terhadap pelaku.
Di kalangan ahli hukum pidana, retributif dikenal sebagai teori yang
pertama kali muncul untuk memberikan argumentasi mengenai perlu dan
pentingnya sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana. Bahkan oleh
Mirko Bagaric dan Kumar Amarasekara dikatakan bahwa retributivism has
been the dominant theory of punishment in the Western world for the past
few decades.67 Sampai sekarangpun teori retributif seringkali muncul
mengemuka dalam setiap pembicaraan mengenai pidana dan pemidanaan,
khususnya ketika orang mencoba memberikan jawaban dari pertanyaan:
mengapa hukum (sanksi) pidana dibutuhkan atau perlu digunakan dalam
penanggulangan tindak pidana ? Bahkan menurut Sholehuddin, meskipun jenis
66 Sri Wiyanti Eddyono, Keadilan Untuk Perempuan Korban, Kompas, Senin, 17 Desember2007, hlm 3667 Mirko Bagaric and Kumar Amarasekara, The Errors of Retributivism, dalam http://www.Austlii.edu.au/cgi-bin/sinodisp/aujournals/UNSWL3/1999/6html?query=papers, diakses tanggal7 Juni 2016.
55
sanksi pidana yang bersumber dari teori retributif memiliki kelemahan dari segi
prinsip proporsionalitas tanggung jawab pelaku, retributivisme tidak mungkin
dihilangkan sama sekali.68 Begitu pula pendapat Gerber dan Mc Anany
yang mengatakan, bahwa meskipun teori retributif tidak lagi populer, teori ini
tidak tersingkirkan seluruhnya. Bahkan dalam hari-harinya yang paling buruk,
masyarakat mengakui bahwa sejauh apapun sanksi bergerak ke arah rehabilitasi,
tetap saja harus ada pemidanaan.69
Teori retributif di dalamnya terdapat prinsip bahwa pemidanaan
merupakan suatu keharusan karena orang telah melakukan tindak pidana.
Berasal dari prinsip tersebut tampak terlihat bahwa pemidanaan dalam
pandangan retributif merupakan pembalasan atas tindak pidana yang
diperbuat oleh pelaku. Meskipun demikian, menurut Immanuel Kant
retributisme berbeda dengan pembalasan dendam karena dalam retributisme
hukuman bukan merupakan suatu fungsi subjektif dimana fihak korban dapat
bertindak sendiri untuk menghukum pelaku. Penghukuman dalam hal ini harus
dilakukan oleh pengadilan.70 Robert Nozick dan Ten, seperti yang dikutip
oleh Mirko dan Kumar, juga mengatakan bahwa pembalasan dalam teori
retributif berbeda dengan pembalasan dendam. Mereka mengatakan bahwa:
1. Pembalasan dalam teori retributif berkaitan dengan / dibatasi oleh kesalahanpelaku tindak pidana, sedangkan balas dendam tidak ;
2. Pembalasan dalam teori retributif merupakan batas maksimal daripemidanaan, sedangkan balas dendam tidak ada batasnya;
3. Balas dendam bersifat kasuistik dan dapat berbeda kadarnya dalam situasi
68 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System danImplementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hml. 2869 Rudolph J. Gerber and Patrick D. Mc Anany, Philosophy of Punishment (dalam : TheSociology of Punishment, John Wiley and Sons Inc., New York, 1970, hlm. 35870 Immanuel Kant, The Doctrine of Virtue (translate by MJ. Gregor), University of PennsylvaniaPress, Pennsylvania, 1964, hlm. 130
56
atau peristiwa yang sama;4. Pembalasan dalam teori retributif hanya dikenakan pada pelaku tindak
pidana, sedangkan balas dendam dapat mengenai / terjadi pada orang yangtidak bersalah yang kebetulan mempunyai hubungan dengan sasaran;
5. Dalam kasus balas dendam, pelaku pembalasan dendam (korban tindakpidana) memperoleh kepuasan atas penderitaan orang lain, sedangkan dalampembalasan menurut teori retributif kepuasan korban tindak pidana ataspemidanaan bukan merupakan pertimbangan yang utama;
6. Karena tergantung pada individu pembalas, maka balas dendam bersifatpersonal; sedangkan pembalasan menurut teori retributif lebih bersifatumum.
Terlepas dari teori yang mendasarinya, penggunaan sanksi pidana sebagai
sarana untuk menyelesaikan kasus menurut pandangan retributisme dalam
perkembangannya mulai ditentang oleh ahli hukum pidana itu sendiri dengan
memunculkan berbagai pendapat atau pemikiran mengenai penggunaan sarana
alternatif dalam penanggulangan tindak pidana . Salah satu pandangan atau
pemikiran yang mencoba memberikan alternatif lain dalam upaya penyelesaian
kasus-kasus pidana tersebut adalah keadilan restoratif. Pemikiran alternatif ini
disebut dengan istilah keadilan restoratif karena memusatkan perhatiannya pada
upaya restorasi atau memperbaiki/memulihkan kondisi atau keadaan yang rusak
sebagai akibat terjadinya tindak pidana. Adapun yang akan
direstorasi/diperbaiki/dipulihkan adalah korban, pelaku tindak pidana, serta
kerusakan-kerusakan lain akibat tindak pidana dalam masyarakat. Secara
filosofis upaya perbaikan/penyembuhan tersebut dilakukan tidak dengan
melihat ke belakang, yaitu tindak pidana yang telah terjadi, sebagai dasar
pembenarannya. Restorasi/perbaikan/penyembuhan tersebut dilakukan agar
dimasa yang akan datang dapat terbangun suatu masyarakat yang lebih baik.
Selain istilah keadilan restoratif, istilah-istilah lain juga dipakai untuk menunjuk
pada ide yang sama mengenai cara atau sarana alternatif dalam penanggulangan
57
tindak pidana tersebut, seperti: ”relational justice, positive justice,
reintegrative justice, communitarian justice, dan redemptive justic ”.71
Pemikiran mengenai keadilan restoratif muncul pertama kali dikalangan para ahli
hukum pidana sebagai reaksi atas dampak negatif dari penerapan hukum (sanksi)
pidana dengan sifat represif dan koersifnya.72 Hal ini tampak dari pernyataan
Louk Hulsman yang mengatakan, bahwa sistem hukum pidana dibangun
berdasarkan pikiran: ”hukum pidana harus menimbulkan nestapa”. Pikiran
seperti itu menurut Hulsman sangat berbahaya. 73 Oleh karena itu Hulsman
mengemukakan suatu ide untuk menghapuskan sistem hukum pidana, yang
dianggap lebih banyak mendatangkan penderitaan daripada kebaikan,
dan menggantikannya dengan cara-cara lain yang dianggap lebih baik. Pengertian
umum keadilan restoratif pertama kali dikemukakan oleh Barnett ketika ia
menunjuk pada prinsip-prinsip tertentu yang digunakan oleh para praktisi hukum
di Amerika dalam melakukan mediasi antara korban dengan pelaku tindak
pidana. Tetapi perkembangan pemikiran mengenai keadilan restoratif itu sendiri
secaara ideologis sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari munculnya gerakan
abolisionis yang ingin menggantikan hukum pidana dengan sarana lain
dalam penanggulangan kejahatan serta munculnya ilmu baru, yaitu
viktimologi.
71 Eric Hoffer, Retributive and Restorative Justice, http://www.homeoffice.gov.UK/rds/prg.pdf/crrs 10.pdf, diakses tanggal 4 Januari 2008 (lihat juga: Tony F.Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html, diaksestanggal 6 Juni 2016.72 Oleh Melani pendekatan restoratif Justice (keadilan pemulihan) untuk menyelesaikankejahatan seringkali diperlawankan dengan pendekatan Retributive Justice (keadilanberdasarkan balas dendam) (Melani, Restorative Jusice, Kurangi Beban LP,http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/23/opini/2386329.htm, diakses tanggal 6 Juni 2016)73 LHC. Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana ! Menuju Swa Regulasi (diterjemahkan oleh :Wonosusanto), Forum Studi Hukum Pidana, Surakarta, 1988, hlm.. 67
58
Pada umumnya suatu kejahatan akan menimbulkan korban pada orang/pihak
lain, sehingga dalam konteks ini korban dan pelaku bagaikan dua sisi dari sebuah
mata uang, oleh karena itu dapat dipahami apabila kemunculan viktimilogi,
sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang korban tersebut juga berpengaruh
terhadap konsep dan teori-teori pencegahan kejahatan. Konsep dan teori
pencegahan kejahatan yang semula lebih bersifat offender oriented kemudian
mulai memperhatikan kepentingan korban dalam hal itu. Adanya pertimbangan-
pertimbangan viktimologis dalam upaya pencegahan kejahatan dapat lebih
memberikan rasa keadilan pada korbannya. Apabila dalam pendekatan
retributif sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan“
kesalahan pelaku pada negara, maka dengan mempelajari hakikat korban dan
penderitaannya, viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk menggali
kemungkinan bagi dirumuskan dan diterapkannya sanksi yang lebih bersifat
“pembayaran atau penebusan“ kesalahan pelaku kepada korbannya, misalnya
dengan memberikan ganti kerugian atau santunan dan perbaikan atas kerusakan
yang ditimbulkan sebagai akibat tindak pidana yang terjadi. Di samping sebagai
perwujudan dari tanggung jawab hukum, sanksi yang berorientasi pada
pemulihan korban tersebut sedikit banyak juga akan menggugah tanggung
jawab moral pelaku terhadap korbannya.
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih terperinci mengenai
keadilan restoratif, berikut ini dikutip pendapat beberapa orang ahli tentang hal
tersebut :
1. Tony F. Marshall
59
Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk
memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan
masyarakat, dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum.74
Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memecahkan masalah kejahatan tersebut,
keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat;b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat
(termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengankebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosialyang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan;
c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidakdapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinyaketerlibatan secara personal
d. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-faktapenting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus;
e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparatdengan masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitasdan efisiensi cara penyelesaian kasusnya;
f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antarapara pihak.
2. John Braithwaite
Secara singkat John Braithwaite memberikan pengertian keadilan restoratif
sebagai pemulihan korban.75Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan pemulihan korban tersebut terdiri dari:
a. Restore property loss;b. Restore injury;c. Restore sense of security;d. Restore dignity;e. Restore sense of empowerment;f. Restore deliberative democracy;g. Restore harmony based on a feeling that justice has been done;h. Restore social support.
3. Mark Umbreit
74 Tony F. Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html.75 John Braithwaite, Restorative Justice and Better Future, http://www.aic.gov.au/rjustice/other.html, diakses tanggal 6 Juni 2016
60
Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark
Umbreit, keadilan restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman
mengenai kejahatan dan viktimisasi yang sangat berbeda dibanding dengan
paham retributif. 76 Pada paham retributif, negara dianggap sebagai pihak
yang paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena itu, dalam proses
pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang pasif.
Sedangkan dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami sebagai
konflik antar individu. Oleh karena itu, mereka yang terkait lebih langsung
dengan terjadinya kejahatan, yaitu korban, pelaku dan masyarakat, harus diberi
kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam upaya penyelesaian konflik
tersebut.
4. Cornier
Cornier, seperti yang dikutip oleh Brian Tkachuk, memberikan pengertian
keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan untuk menegakkan keadilan yang
difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan yang ditimbulkan
oleh kejahatan.77 Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan restoratif ini
mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan
memberikan kesempatan kepada para pihak, yaitu korban; pelaku; dan
masyarakat, untuk mengidentifikasi dan menentukan kepentingan mereka yang
terkait dengan akibat kejahatan, mengupayakan penyelesaian yang bertujuan
menyembuhkan, perbaikan dan reintegrasi, serta pencegahan penderitaan di masa
76 Mark Umbreit, Restorative Justice Through Victim-Offender Mediation : :A Multi-Site Assessment, http://www.wcr.sonoma.edu/v1n1/umbreit.html, diakses tanggal 6 Juni201677 Brian Tkachuk, Criminal Justice Reform : Lessons Learned Community Involvement andRestorative JusticeRapprteur’s Report, (dalam http://www.aic.gov.au/rjustice/ other.html, diaksestanggal 6 Juni 2016
61
datang.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam keadilan
restoratif, pelaku; korban; dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang
berkepentingan dalam penyelesaian tindak pidana, di samping negara sendiri.
Keterlibatan pihak-pihak tersebut, khususnya pelaku; korban; dan masyarakat,
dalam penyelesaian tindak pidana dianggap bernilai tinggi. Selain itu, cara
pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan
pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban
dan pelaku dapat melakukan rekonsiliasi konflik dan menyelesaikan kerugian
mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Meskipun
demikian, keterlibatan korban dalam proses pemidanaan perlu diatur secara hati-
hati supaya tidak menimbulkan viktimisasi sekunder yang akan menambah berat
penderitaan korban setelah yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat
tindak pidana.
Sebagai suatu pemikiran yang dimunculkan untuk menentang pendekatan
retributif dalam penggunaan hukum pidana guna penanggulangan tindak
pidana, prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh keadilan restoratif berbeda
dengan prinsip- prinsip yang dikemukakan dalam keadilan retributif. Berikut
ini paparannya seperti yang dikemukakan oleh para ahli :
1. Howard Zehr
Howard Zehr, seperti yang dikutip oleh Mark Umbreit, menjelaskan
perbedaan prinsip-prinsip dalam keadilan restoratif dengan prinsip-prinsip
62
dalam keadilan retributif dengan paparan sebagai berikut:78
Keadilan Retributif Keadilan Restoratif
Kejahatan didefinisikan sebagaipelanggaran thd (hukum) negara
Kejahatan didefinisikan sebagaipelanggaran antar perseorangan
Fokusnya adalah penentuankesalahan dan melihat ke belakang(pada apa yang telah diperbuatpelaku)
Fokusnya adalah pemecahanmasalah, penentuan tanggungjawab dan kewajiban serta melihatke masa depan
Posisi para pihak salingberlawanan dan menekankan padaproses hukum
Posisi para pihak adalah untukberdialog dan menekankan padaproses negosiasi
Mengenakan penderitaan untukpemidanaan dan pencegahan
Restitusi sebagai sarana untukmemperbaiki kedua belah pihak;tujuannya adalah untukrekonsiliasi/pemulihan
Keadilan diberi pengertian secarakaku menurut hukum
Keadilan didefinisikan menuruthak yang muncul karenaketerkaitannya dengan pihak lain
Kejahatan dilihat sebagai konflikantara individu melawan negara
Kejahatan dilihat sebagai konflikantar individu
Penderitaan warga masyarakat(korban) digantikan denganpenderitaan warga masyarakat yanglain (pelaku)
Perbaikan atau pemulihan padakerusakan/penderitaan wargamasyarakat
Masyarakat tidak terlibat secaraaktif dalam proses hukum karenasudah diwakili oleh negara.
Masyarakat sebagai fasilitatordalam proses pemulihan
Mendorong (semangat ) persaingandengan mengedepankan nilai-nilaiindividualistik
Mendorong semangat salingtolong menolong
Penyelesaian konflik dilakukan olehnegara kepada pelaku (korbandiabaikan dan pelaku bersifat pasif)
Dalam upaya pemecahan masalah,peran korban dan pelaku diakui(hak/kepentingan korban diakuidan pelaku didorong bertanggungjawab untuk memenuhinya)
78 Mengenai hal ini juga dikatakan oleh Michael Cavadino dan James Dignan sebagai berikut: “retributivism looks backwards in time, to the offence. It is the fact that the offender has committeda wrongful act which deserves punishment, not the future consequences of the punishment, thatis important to the retributist. (Michael Cavadino and James Dignan, The Penal System : AnIntroduction, SAGE Publications, California, 1992, hlm. 38)
63
Pertanggungjawaban pelakudiwujudkan dengan pemidanaan
Pertanggungjawaban pelaku diberipengertian sebagai akibat yangdisadari dari perbuatan salahnyadan pelaku dibantu untukmemutuskan bagaimana segalasesuatunya dibuat menjadi baikkembali
Perbuatan salah hanya diberibatasan menurut hukum denganmengabaikan dimensi moral, sosial,ekonomi atau politik
Perbuatan salah dipahami dalamkeseluruhan konteksnya, baikmoral, ekonomi, dan politik
Pertanggungjawaban pelakudiberikan kepada negara danmasyarakat secara abstrak
Pertanggungjawaban pelakuditujukan kepada korban
Reaksi terhadap konflik difokuskanpada perbuatan pelaku yang telahlalu
Reaksi terhadap konflikdifokuskan pada penderitaanyang ditimbulkan oleh perbuatanpelaku
Stigma kejahatan tidak dapatdihilangkan
Stigma kejahatan dapatdihilangkan melalui tindakanpemulihan
Tidak ada dorongan (terhadappelaku) untuk menyesaliperbuatannya dan (terhadap korban)untuk mengampuni pelaku
Munculnya penyesalan padapelaku dan pengampunan darikorban dimungkinkan
Penyelesaian konfliktergantung/didominasi oleh aparatpenegak hukum
Penyelesaian konflik dilakukandengan melibatkan para pihak(korban, pelaku, dan masyarakat)
2. Mark Umbreit
Menurut Mark Umbreit keadilan restoratif berpijak pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:79
a. Keadilan restoratif lebih terfokus pada upaya pemulihan bagi korbandaripada pemidanaan terhadap pelaku.
b. Keadilan restoratif menganggap penting peranan korban dalam prosesperadilan pidana.
c. Keadilan restoratif menghendaki agar pelaku mengambil tanggung jawablangsung kepada korban.
79Laurence M. Newell, A Role for ADR in the Criminal Justice System ?,http://www.aic.gov.au/rjustice/newell/ presentation.pdf, diakses tanggal 6 Juni 2016.
64
d. Keadilan restoratif mendorong masyarakat untuk terlibat dalampertanggungjawaban pelaku dan mengusulkan suatu perbaikan yang berpijakpada kebutuhan korban dan pelaku.
e. Keadilan restoratif menekankan pada penyadaran pelaku untuk maumemberikan ganti rugi sebagai wujud pertanggungjawaban atasperbuatannya (apabila mungkin), daripada penjatuhan pidana.
f. Keadilan restoratif memperkenalkan pertanggungjawaban masyarakatterhadap kondisi sosial yang ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan.
3. Daniel W. van Ness
Untuk menegaskan bahwa keadilan restoratif secara prinsip berbeda dengan
keadilan retributif, Van Ness, seperti yang dikutip oleh Mudzakkir, mengatakan
bahwa keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa prinsip sebagai berikut:80
a. Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan kerugian padakorban, masyarakat, dan pelaku itu sendiri.
b. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukanrekonsiliasi di antara pihak-pihak sambil memperbaiki kerugian yangditimbulkan oleh kejahatan.
c. Proses peradilan pidana harus dapat memfasilitasi partisipasi aktif parakorban, pelanggar, dan masyarakat. Tidak semestinya peradilan pidanadidominasi oleh negara dengan mengesampingkan yang lainnya.
Adapun nilai-nilai yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif
dengan penyelenggaraan peradilan pidana adalah:81
a. Penyelesaian konflik (conflict resolution) yang mengandung muatanpemberian ganti kerugian (kompensasi) dan pemulihan nama baik.
b. Menciptakan rasa aman yang mengandung muatan perdamaian danketertiban.
4. Gerry Johnstone
Secara tidak langsung Johnstone dalam pernyataannya mengenai perbedaan
antara “restorative sentenc “ dengan tipe/jenis pemidanaan yang lainnya, telah
80 Mudzakkir, Viktimologi : Studi Kasus di Indonesia, Makalah pada Penataran Nasional HukumPidana dan Kriminologi ke XI Tahun 2005, Surabaya, 14-16 Maret 2005, hlm. 25
81 Ibid, Mudzakkir
65
mengemukakan prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagai berikut:82
a. The offender may be required to take part in meeting with the victim (or avictim representative) and, perhaps, other people affected fairly directly bythe crime, such as members of the victim’s and even the offender’s ownfamily. In such meeting, offenders are required to listen respectfully whilethose harmed by their behavior describe how they have been affected by it.Offenders are also expected to answer any questions their victim may have.Hence, restorative sentences are distinctive in that they may requireoffenders to meet face to face with those affected by their behavior, and toengage in constructive, respectful dialogue with them.
b. The offender may be expected to apologize and under take a reparativetask.Hence, restorative sentences differ from other sentences in which offendersare expected to “ pay for “their crimes by undergoing pain. In restorativejustice, offenders make amends for their crime through positive acts intendedto benefit their victim(s).
c. The precise way in which the offender will make amends is determined, notby professional sentencers, but by the victims and offenders and otherparticipants in the restorative “ conference “. The aim is to have all partiesagree upon what should be done about the matter.
Berdasarkan uraian mengenai keadilan restoratif tersebut di atas dapat dikatakan,
bahwa pengertian keadilan restoratif pada prinsipnya merupakan suatu
pendekatan untuk melakukan respon secara sistematik terhadap tindak pidana
yang terjadi dengan fokus utama untuk memperbaiki kerusakan/memulihkan
penderitaan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut tanpa meninggalkan
perhatian yang seimbang antara kepentingan korban, pelaku dan masyarakat.
Keadilan restoratif di dalamnya juga terkandung pemikiran bahwa penyelesaian
tindak pidana dilakukan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat.
Paparan mengenai prinsip-prinsip keadilan restoratif tersebut di atas juga
menunjukkan bahwa sanksi/bentuk pertanggungjawaban pelaku yang
berorientasi pada pemulihan/rehabilitasi atas penderitaan/kerugian korban akibat
82 Gerry Johnstone, How, and in What Terms, Should Restorative Justice be Conceived ? (dalam:Howard Zehr and Barb Toews, Critical Issues in Restorative Justice, Criminal Justice Press,New York, 2004, hlm. 6
66
dari tindak pidana lebih mendapatkan tempat dalam pandangan keadilan
restoratif dibandingkan dalam pandangan retributif. Meskipun demikian
penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus
kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia perlu mempertimbangkan
karakteristik tertentu yang ada dalam hubungan kerumahtanggaan (misalnya
adanya prinsip kesatuan harta kekayaan setelah perkawinan dilangsungkan serta
adanya hak, kewajiban dan tangung jawab tiap-tiap anggota keluarga
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang perkawinan) serta adanya
prinsip-prinsip keadilan yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana
terkandung dalam Pancasila.
Pengertian dan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh
para ahli tersebut di atas apabila dikaitkan dengan penyelesaian tindak pidana
melalui jalur hukum pidana (penal policy), khususnya yang berkaitan dengan
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, menurut pemikiran penulis
mengandung 2 (dua) substansi pokok, yaitu:
1. Keadilan restoratif berkaitan dengan pemikiran mengenai sanksi
yang dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana (hukum materiil). Dari
paparan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi-sanksi
dalam keadilan restoratif harus bersifat/bertujuan untuk:
a. Menyembuhkan/ merehabilitasi/memulihkan penderitaan yang dialami
oleh korban sebagai akibat dari adanya pelanggaran hukum dari pada
sanksi yang bertujuan untuk memenjarakan pelaku. Dengan mengacu
pada pendapat John Braithwaite,83 maka sanksi dalam keadilan restoratif
tersebut harus berorientasi pada pemulihan penderitaan korban dalam
83 John Braithwaite, Log.Cit
67
hal:
1) Memulihkan kerugian harta benda;
2) Memulihkan penderitaan fisik;
3) Memulihkan rasa aman;
4) Memulihkan harkat/martabat;
5) Memberdayakan korban;
6) Memulihkan sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan bersama;
7) Memulihkan harmoni yang didasarkan pada perasaan bahwakeadilan telah ditegakkan;
8) Memulihkan dukungan sosial.
b. Merehabilitasi pelaku, serta dapat mengintegrasikan kembali pelaku
dalam kehidupan bermasyarakat yang baik. Dengan kata lain sanksi
yang dikenakan kepada pelaku tidak bertujuan untuk membalas,
melainkan untuk menyelesaikan konflik dengan menggugah rasa
tanggung jawab langsung pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya.
c. Menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Keadilan restoratif berkaitan dengan cara/metode penyelesaian tindak pidana
(hukum formil). Berkaitan dengan hal ini, keadilan restoratif
memperkenalkan beberapa model penyelesaian tindak pidana, antara lain:
Victim-offender reconciliation/mediation programs; Family group
conferencing programs; Victim-offender panels; Victim assistance
programs; Prisoner assistance programs; Community crime prevention
programs.84
84 Ibid
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penanganan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Polsek Natar
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum
yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum
dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi
antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang
berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,
penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan
hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam
penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas
kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai
perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU
PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana
penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak
sikorban. Suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana
aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk
mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada
pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana.
69
Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai
delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa
kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada
publik.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga
sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum
hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara
yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam
undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang
yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah
bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan
kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang
muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena
suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain. Berdasarkan
kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang
keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sangat sulit untuk mencapai
keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan,
faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi
hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan
dengan kehidupan rumah tangga itu. Perumusan tindak pidana kekerasan dalam
70
rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana
aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan
pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra
produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri. Oleh karena
itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir
dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan
UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum
administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum
administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk
mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif
berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah
tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia
yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak
mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU
PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung
pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya
meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia.
Berikut adalah salah satu contoh kasus KDRT yang terjadi di wilayah hukum
Kepolisian Sektor Natar Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan keterangan
yang penulis peroleh dari Kantor Polsek Natar, sebagai berikut:
71
Beberapa hari sebelum kejadian KDRT terjadi, ibu asuti diberi magic-com yang
sudah rusak oleh majikannya. Ibu astuti lalu berinisiatif memperbaiki magic-com
tersebut karena merasa memerlukannya. Namun biaya reparasi magic-com nya
kurang meski sebenarnya sudah diberi uang oleh majikannya sebesar Rp. 20.000,-
Biaya perbaikan seluruhnya Rp. 30.000. majikan ibu astuti pernah mengatakan
bahwa jika uang untuk biaya perbaikannya kurang maka ibu Astuti bisa meminta
lagi kekurangannya kepada pihak majikan. Namun karena malu, Ibu astuti
kemudian meminta uang kepada suaminya.
Pada tanggal 22 Oktober 2009, karena suaminya tidak memiliki uang tambahan
tersebut, suami langsung marah-marah dan memukuli ibu astuti dengan alasan
tidak bilang terlebih dahulu kepadanya kalau hendak memperbaiki magic-com
tersebut.
Ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil kemudian melaporkan ke posko
bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya (dipukuli) hingga berakibat muka dan
bibirnya memar semua. Karena tidak terima atas perlakuan suaminya, ibu astuti
melaporkan suaminya ke polsek natar dan malam itu juga suaminya langsung
dijemput dan ditahan oleh polsek natar. Setelah 6 hari ditahan di polsek, Ibu astuti
merasa tidak tega melihat suaminya dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya
dengan syarat sang suami tidak mengulangi perbuatannya kembali melakukan
KDRT.
Berdasarkan kronologis kasus di atas, terlihat bahwa telah terjadi kekerasan dalam
rumah tangga terhadap ibu astuti. bentuk kekerasan yang diterima ibu astuti
adalah kekerasan fisik yang mengakibatkan muka dan bibirnya memar semua.
72
Suami ibu Astuti dapat dijerat dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
dengan pasal 44 ayat 1 UUPKDRT dengan ancaman hukuman pidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah atau Pasal 44 ayat 4
yang menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Respon positif ditunjukkan oleh Polsek Natar yang segera menindaklanjuti
laporan ibu Astuti dengan melakukan penangkapan terhadap suaminya. Pada
kasus ibu Astuti, ia meminta posko Bantuan Hukum masyarakat untuk memediasi
kasus KDRT yang dialaminya. Ia ingin mencabut laporannya dikepolisian dan
berdamai dengan suaminya. Untuk itu langkah hukum yang diambil oleh GS dan
paralegal yang terlibat adalah :
1. Menggali kronologis kasus secara lebih detail sehingga dapat dianalisis
apakah kasusnya dapat didamaikan (sesuai keinginan korban) atau sebaliknya
kasusnya tetap dilanjutkan ke proses hukum.
2. Memberitahukan kepada ibu astuti akan hak-haknya sebagai korban KDRT
dan berbagai kemungkinan atas konsekuensi-konsekuensi yang harus
ditanggungnya jika kasusnya distop atau diteruskan ke proses hukum
selanjutnya. Diantaranya adalah jika kasusnya distop dan didamaikan, bukan
tidak mungkin suaminya akan mengulang kembali tindak kekerasan yang
dilakukannya. Dan jika kasusnya tetap dilanjutkan, maka bisa saja suaminya
mendapatkan hukuman penjara dan ia beserta anak-anaknya harus siap secara
73
fisik, mental dan ekonomi karena tidak ada lagi yang akan bertanggungjawab
terhadap keluarganya.
3. Paralegal selaku pendampingan ibu Astuti memberikan tenggang waktu
kepada ibu Astuti dan keluarga untuk berfikir dan mengambil keputusan
apakah ia akan melanjutkan kasusnya atau tidak.
4. Setelah waktu yang ditentukan habis, paralegal mendatangi ibu Astuti untuk
menanyakan keputusan yang diambilnya. Karena ibu Astuti memutuskan
untuk mencabut laporannya maka paralegal akhirnya mengambil langkah-
langkah pencabutan laporan di kepolisian.
5. Ibu Astuti dengan ditemani oleh paralegal dan keluarganya mendatangi
Polsek Natar untuk mencabut laporannya. Sesuai dengan saran pihak terkait
dan tokoh, maka dibuatlah perdamaian antara ibu astuti dan suaminya. Dalam
perdamaian tersebut pihak suami berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya kembali dan siap ditahan jika ia mengulangi tindak kekerasan
yang dilakukannya.
Pada kasus ibu Astuti di atas, pilihan perdamaian dilakukan karena pihak korban
berkeinginan kuat untuk berdamai dengan pelaku. Dengan melapor ke polisi, dan
ditahannya pelaku, korban berharap pelaku menjadi jera dan tidak mengulang
perbuatannya lagi. Selain itu, tindak KDRT yang dilakukan oleh suami ibu astuti
baru pertama kalinya dilakukan dan akibat yang ditimbulkan tidak sampai
menggangu aktivitas sehari-hari ibu Astuti.
Meski demikian Gender Specialist (GS) tetap mengingatkan bahwa walaupun
baru pertama kali dilakukan bukan tidak mungkin siklus kekerasannya akan terus
74
berulang . Ibu Astuti harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi
sebagai konsekuensi pilihannya untuk berdamai. Gender Specialist (GS),
Fasilitator Posko (fasko) dan paralegal tidak dapat memaksa ibu Astuti untuk
melanjutkan kasusnya karena semua keputusan dikembalikan kembali kepada
korban setelah korban diberikan arahan alternative penyelesaian kasus beserta
segala konsekuensinya.
Menurut keterangan dari Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo
bahwa langkah yang diambil pihak penyidik kepolisian terkait dengan kasus
tersebut adalah sebagai berikut:71
1. Penyidik di Polsek Natar menyadari bahwa hukum bukanlah sebagai sesuatu
yang final. Hukum harus dapat mengikuti dinamika kehidupan manusia.
Ketika penyidik selalu mengutamakan kepastian hukum, maka rasa keadilan
dan kemanfaatan manusia tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu penyidik
mencoba lebih mengerti akan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam suatu pelaporan. Penyidik berusaha
mengenyampingkan kepastian hukum untuk dapat memenuhi keinginan dari
pihak pelapor maupun terlapor ketika sudah sepakat untuk melakukan
perdamaian dan tidak lagi menempuh jalur hukum sebagaimana mestinya.
2. Penyidik mencoba memahami bahwa hukum hanyalah alat dari tujuan
manusia yaitu untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia.
Untuk mencapainya penyidik lebih mendahulukan keadilan substansif
daripada keadilan prosedural. Penyidik menyadari apabila hanya mengejar
keadilan prosedural, maka banyak perkara pidana yang seharusnya dapat
71
Hasil wawancara pada tanggal 26 Juni 2016
75
diselesaikan dengan perdamaian akan tetap dilanjutkan ke proses pengadilan,
akan tetapi rasa keadilan dan kemanfaatan tidak akan dirasakan oleh pihak
pelapor maupun terlapor. Hal ini dapat kita lihat dari langkah-langkah yang
dilakukan penyidik dalam menghadapi kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Penyidik mempertimbangkan unsur kemanusiaan, ketika suami
sebagai pencari nafkah hidup keluarga harus menjalani hukuman, maka istri
dan anak-anaknya akan terlantar. Apabila terjadi perceraian, maka masa
depan anak akan terancam, dan nantinya bukan tidak mungkin akan
menimbulkan kejahatan-kejahatan baru di masyarakat. Dengan melakukan
mediasi, diharapkan kehidupan keluarga akan harmonis kembali, dan masa
depan anak dapat menjadi tanggung jawab bersama kedua orangtuanya.
Apabila dilihat dari segi peraturan, hukum di Indonesia belum sepenuhnya dapat
mengikuti perkembangan perilaku atau kebudayaan masyarakat Indonesia. Di
sadari bahwa Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia
adalah produk hukum dari jaman kolonial Belanda. Berkembangnya kebudayaan
masyarakat Indonesia sampai saat ini belum dapat diadopsi sepenuhnya dalam
KUHP yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. KUHP belum mengatur tentang
proses pencabutan laporan dalam delik biasa apabila pihak pelapor dan terlapor
sudah berdamai, padahal hal tersebut merupakan perilaku masyarakat Indonesia
yang berkembang sampai saat ini. Penyidik menerapkan hukum progresif dengan
mencoba menggerakkan peraturan dengan perilaku yang berkembang di
masyarakat, sehingga diharapkan peraturan akan berubah menjadi hukum positif
seperti yang diinginkan masyarakat.
76
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu
membebaskan diri dari tipe, cara berpikir , asas dan teori hukum yang legalistik-
positivistik. Penyidik di Polsek Natar sudah melaksanakan hal tersebut dengan
tidak terjebak dalam cara berpikir yang legalistik-positivistik, melainkan mencoba
langkah-langkah kreatif dan inovatif dengan melakukan mediasi terlebih dahulu,
memanggil kedua belah pihak dengan melibatkan keluarga dan unsur
pemerintahan sehingga tercapainya kata mufakat yang berbuah kepada keadilan
yang substantif daripada keadilan prosedural. Kreativitas yang dilakukan penyidik
dalam penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa merupakan suatu
terobosan hukum untuk menghindari ketimpangan hukum. Terobosan hukum
inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui
bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum
yang membuat bahagia.72
Penerapan hukum progresif dengan teori tujuan hukum Gustav Radbruch. Gustav
mengajarkan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit),
kemanfaatan (zweckmaeszigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).73
Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam
menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua
adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum.
Proses penyelesaian kasus menurut keadilan restoratif tidak lagi menjadi
monopoli kewenangan aparat penegak hukum melainkan ada keterlibatan secara
aktif di antara para pihak. Jadi dalam konstruksi keadilan restoratif korban (dan
72
Satjipto Rahardjo, Menuju Produk Hukum Progresif, Makalah disampaikan dalam diskusi
yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Januari 2004. 73
Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 3.
77
masyarakat), di samping pelaku, dipandang sebagai bagian dari konflik dan
dengan demikian tujuan serta proses penyelesaian kasus/konflik dilakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak tersebut. Apabila
penyelesaian konflik/kasus diharapkan untuk memberikan/menegakkan
keadilan, maka keadilan yang diterima para pihakpun (termasuk korban) dapat
dirasakan lebih substantif.
Fakta bahwa KDRT terjadi di antara orang-orang yang memiliki relasi khusus
yang pada umumnya dianggap sangat dekat, baik karena perkawinan maupun
hubungan darah. Adanya relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat
dekat tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2
UUPKDRT. Pasal 1 angka 1 UUPKDRT merumuskan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut ketentuan-ketentuan dalam UUPKDRT satu-satunya penyelesaian
menurut jalur hukum pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah
dengan menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku. Dengan kata lain, satu-satunya
bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah
dengan menjalani sanksi pidana.
Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa
pemidanaan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan
akibat yang tidak mengenakkan/tidak menyenangkan bagi korbannya yang
78
tidak lain merupakan anggota keluarga (atau dianggap sebagai anggota)
pelaku sendiri, misalnya : antara pelaku dan keluarganya (yang juga merupakan
korban) hidup terpisahkan oleh tembok penjara, nafkah korban akan terganggu,
dan terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.
Penjatuhan sanksi pidana
kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga akan memelihara suasana
konflik antara pelaku dengan korbannya yang tidak lain adalah keluarganya
sendiri (atau orang yang menurut aturan hukum harus dianggap sebagai
keluarga). Terpeliharanya suasana konflik tersebut jelas akan mempersulit
tercapainya salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, yaitu memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera. Padahal oleh Satjipto Rahardjo juga dikatakan bahwa hukum
mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat.74
Fakta bahwa korban atau keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga
yang telah melaporkan perkaranya kepada aparat penyidik lebih sering memilih
untuk menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan dengan tidak melanjutkan
proses penyelesaian kasusnya menurut jalur hukum pidana. Pilihan cara
penyelesaian perkara oleh korban tersebut dilakukan dengan mencabut laporan
yang telah dibuatnya. Penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan
restoratif pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan harmoni
antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat.
Harmonisasi kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat yang menjadi
74
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, KOMPAS, Jakarta, 2007, hlm. 11, 22.
79
tujuan penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan restoratif tersebut
sesuai dengan salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d UUPKDRT.
Dikaitkan dengan penyelesaian kasus melalui jalur hukum pidana, maka dapat
dikatakan bahwa prinsip-prinsip keadilan restoratif berkaitan dengan 2 (dua) hal
pokok, yaitu: pertama, berkaitan dengan sanksi yang dapat dikenakan terhadap
pelaku; dan kedua, berkaitan dengan proses penyelesaian perkaranya. Berkaitan
dengan hal itu, maka kajian restoratif terhadap peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di
Indonesia akan difokuskan pada aturan- aturan hukum yang mengancamkan
sanksi pidana pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan aturan-aturan
hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara pidana kekerasan dalam
rumah tangga.
Seperti undang-undang perlindungan anak, UUPKDRT sebenarnya juga
telah mengakomodasi ide keadilan restoratif sebagaimana dapat dilihat dari
Pasal 10 dan Pasal 39, tetapi diakomodasinya ide keadilan restoratif
tersebut tidak diletakkan dalam konteks penyelesaian kekerasan dalam rumah
tangga menurut jalur hukum pidana.
Prisip-prinsip keadilan restoratif pada dasarnya berkaitan dengan 2 (dua) hal,
yaitu : pertama, berkaitan dengan kebijakan hukum pidana materiil (khususnya
berkaitan dengan kebijakan mengenai sanksi pidana); dan kedua, berkaitan
dengan kebijakan hukum pidana formil (khususnya berkaitan dengan cara
penyelesaian kasus).
80
Sesuai dengan ide dasarnya, jenis sanksi dalam keadilan restoratif merupakan
sanksi yang dapat mewujudkan tanggung jawab pelaku terhadap pemulihan
penderitaan korban. Hal ini berbeda dengan jenis sanksi pidana yang didasarkan
pada ide/pemikiran retributif. Dalam pemikiran retributif, sanksi pidana
dikenakan terutama sebagai wujud tanggung jawab pelaku terhadap negara
atau merupakan suatu pembalasan atau pengimbalan yang dilakukan oleh negara
atas kesalahan pelaku. Meskipun dalam perkembangan pemikiran mengenai
pemidanaan lalu muncul pemikiran-pemikiran baru untuk lebih memperhatikan
unsur kemanusiaan dalam penerapan sanksi pidana, hal itu tetap tidak merubah
tujuan utama dari penerapan sanksi pidana berdasar ide retributif.
Berdasarkan paparan mengenai kecenderungan dunia internasional, khususnya
mengenai dirumuskannya jenis sanksi ganti kerugian, dapat dikatakan bahwa
kewajiban pelaku untuk memberikan kompensasi atau restitusi atau ganti rugi
tersebut kepada korban merupakan pencerminan/perwujudan dari ide keadilan
restoratif. Perumusan sanksi ganti rugi dalam aturan hukum mengenai
kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menurut pemikiran penulis tidak
cocok untuk diterapkan mengingat hal- hal sebagai berikut:
1. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 dan dihubungkan dengan
Pasal 2 UUPKDRT dapat ditegaskan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga terjadi di antara anggota keluarga sendiri.
Hubungan kekeluargaan di antara pelaku dan korban pada kekerasan dalam
rumah tangga pada dasarnya dilandaskan pada cinta kasih, hormat-
menghormati
dan pada pokoknya suatu hubungan paguyuban yang tidak
memperhitungkan untung rugi. Dengan demikian akan dirasa janggal jika
kemudian ada perhitungan ganti rugi sebagai salah satu sarana untuk
81
menyelesaikan konflik di antara mereka. Dengan dimasukkannya orang yang
bekerja membantu rumah tangga (disebut juga sebagai pembantu rumah tangga)
dan menetap dalam rumah tangga sebagai anggota keluarga, maka pembentuk
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 telah melakukan penegasan bahwa orang
yang bekerja membantu rumah tangga, selama ia menetap dalam rumah tangga
tersebut, diberi kedudukan sebagai anggota keluarga sama seperti anggota
keluarga yang lain. Oleh karena itu hubungan kekeluargaan yang menjadi
basis hubungan dalam rumah tangga diharapkan lebih menonjol dibandingkan
hubungan pekerjaan antara majikan dengan orang yang bekerja padanya.
2. Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya merupakan pengingkaran dari
sesuatu yang menjadi landasan hubungan kekeluargaan tersebut di atas, serta
pengingkaran terhadap tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing
anggota keluarga. Oleh karena itu, menurut penulis, sanksi yang cocok untuk
dikenakan kepada pelaku seharusnya juga merupakan sanksi yang, di satu sisi,
merupakan sanksi yang merepresentasikan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab
pelaku dalam hisup kerumahtanggaan, serta di sisi lain, merupakan sanksi yang
berkorelasi dengan kebutuhan untuk merehabilitasi korban.
3. Dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia pada umumnya terjadi
penyatuan harta kekayaan.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Dengan demikian maka akan dirasa janggal apabila ganti
rugi, yang menurut ide keadilan restoratif merupakan perwujudan tanggung
jawab pelaku terhadap korban, dijalankan oleh pelaku dengan menggunakan
82
harta yang juga merupakan harta korbannya. Meskipun di antara pelaku dan
korban dimungkinkan adanya penguasaan harta bawaan yang terpisah satu sama
lain, kejanggalan juga akan terasa karena ganti rugi yang diberikan oleh pelaku
tersebut pada akhirnya juga akan menjadi harta bersama antara pelaku dan
korban.
Keberadaan keluarga/rumah tangga di tengah-tengah masyarakat tersebut
menurut penulis juga mengandung konsekuensi bahwa penyelesaian konflik
dalam rumah tangga harus juga memperhatikan perasaan keadilan masyarakat
serta kepentingan masyarakat untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum.
Berkaitan dengan adanya pertimbangan untuk juga tetap memperhatikan rasa
keadilan masyarakat serta kepentingan masyarakat akan terciptanya ketertiban
umum tersebut, maka pengancaman sanksi pidana penjara, sebagai pidana
pokok yang pada umumnya diancamkan pada setiap tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga (khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat
berat atau matinya korban serta kekerasan seksual bukan di antara suami-isteri),
dianggap masih sesuai. Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan
pemulihan korban sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban pelaku sekaligus
beraspek rehabilitatif bagi pelaku sendiri, perlu dirumuskan sanksi pidana
yang bertitik tolak dari pelaksanaan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab
pelaku dalam hidup berumah-tangga/berkeluarga, misalnya : sanksi yang
mewajibkan pelaku untuk memberikan nafkah dan kewajiban untuk melakukan
perawatan atau pemeliharaan terhadap anggota keluarga sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
83
Terkait dengan adanya ancaman sanksi pidana denda sebagaimana
dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan dalam kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam UUPKDRT, menurut
Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR tidak sesuai
diancamkan/diterapkan terhadap semua jenis kekerasan dalam rumah tangga
sehingga harus dihapus dengan alasan sebagai berikut:75
1. Aspek perlindungan kepentingan masyarakat dan rehabilitasi terhadap
pelaku dalam pidana denda tidak begitu terasa sebagaimana tampak pada
pidana penjara.
2. Karena pidana denda itu merupakan pembayaran/penyerahan sejumlah
uang kepada negara, maka pidana denda tidak beraspek pada upaya
pemulihan penderitaan korban. Bahkan pidana denda dapat semakin
memberatkan ekonomi keluarga pelaku, termasuk didalamnya adalah
kemungkinan menambah beban ekonomi korban.
Hal tersebut dapat
terjadi karena, pada umumnya, kekerasan dalam rumah tangga terjadi di
antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau terjadi
di antara orang-orang yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.
3. Sekalipun dalam pidana denda ada segi positifnya, yaitu dapat
dihindarkannya stigmatisasi atau prisonisasi bagi pelaku, segi positif dari
pidana denda tersebut hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang secara
ekonomi telah berkelebihan/orang-orang kaya. Sedangkan bagi pelaku
yang secara ekonomi tidak mampu, sehingga tidak dapat membayar denda,
kemungkinan terjadinya stigmatisasi tetap akan ada karena hakim dapat
75
Hasil wawancara pada tanggal 24 Mei 2016
84
menentukan adanya pidana kurungan pengganti denda.
Dalam pidana denda, negara “ memaksa “ pelaku untuk menyerahkan sejumlah
uang (sebagai denda) kepada negara. Apabila di antara pelaku dan korbannya
terdapat kesatuan harta benda, sebagaimana lazimnya dalam satu keluarga, maka
denda yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada negara tersebut mau tidak
mau juga akan membebani korbannya. Dengan kata lain korban yang sudah
mengalami penderitaan akibat dari tindak kekerasan juga dipaksa untuk
menanggung beban dari pidana yang dijatuhkan pada pelaku. Beban yang juga
harus ditanggung oleh korban (yang juga merupakan anggota keluarga dari
pelaku) tersebut jelas akan menambah kesulitan bagi hidup yang bersangkutan,
padahal seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo pencari keadilan tidak
hanya berkepentingan agar hukum ditegakkan, yang lebih penting adalah
mereka ingin dibantu keluar dari kesulitannya.76
Penerapan aturan hukum yang
justru menambah kesulitan/penderitaan korban menurut penulis juga tidak sesuai
dengan tujuan akhir dari kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu
kesejahteraan sosial.
Menurut ketentuan KUHAP, penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah
tangga pada dasarnya akan menghadap-hadapkan pelaku melawan aparat
penegak hukum, sedangkan korban hanya akan berperan sebagai saksi. Dengan
kata lain, pihak yang terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian pidana
menurut KUHAP tersebut adalah aparat penegak hukum dan pelaku, sedangkan
korban diberi peran yang pasif. Proses penyelesaian tindak pidana menurut
KUHAP, yang pada dasarnya masih dijiwai oleh pemikiran retributif tersebut,
76
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 95
85
juga berlaku bagi kekerasan dalam rumah tangga.
Berbeda dengan proses penyelesaian tindak pidana yang bersifat retributif, proses
penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasari oleh ide
keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban
secara aktif. Meskipun demikian, menurut pemikiran penulis, dilibatkannya
korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut
tidak dilakukan untuk semua kasus, melainkan hanya untuk kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga tertentu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga
yang menimbulkan penderitaan fisik atau psikis yang bersifat ringan, kekerasan
seksual di antara suami dan istri, dan penelantaran rumah tangga. Adapun dasar
pertimbangan dari pemikiran tersebut adalah:
a. Kepentingan negara/masyarakat untuk menjaga atau memelihara
kepentingan umum serta menjaga perasaan keadilan masyarakat dalam
pemidanaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan
akibat-akibat yang bersifat berat atau matinya korban dianggap lebih
besar dibandingkan dengan kepentingan individu untuk tetap
mempertahankan keberlangsungan rumah tangganya.
b. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang
berakibat berat atau matinya korban lebih sulit atau bahkan tidak dapat
dipulihkan apabila dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga
yang berakibat ringan atau penelantaran keluarga.
c. Kepentingan korban atau keluarga korban agar perkara-perkara kekerasan
dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan
serta kekerasan seksual di antara suami-istri tidak dituntut menurut hukum
86
pidana dianggap lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara
atau kepentingan umum agar perkaranya itu dituntut. Hal itu tersirat
dengan dirumuskannya kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan
akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual di antara suami-
istri tersebut sebagai tindak pidana aduan (Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53
UUPKDRT).
d. Ancaman pidana penjara terhadap kekerasan fisik atau psikis yang
berakibat ringan tersebut termasuk dalam kategori pidana perampasan
kemerdekaan yang singkat. Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2)
UUPKDRT merumuskan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan. Dari segi jangka waktunya, ancaman pidana penjara yang
dirumuskan di dalam kedua pasal tersebut termasuk kategori pidana
perampasan kemerdekaan yang singkat. Perumusan/pengancaman sanksi
pidana, termasuk pidana perampasan kemerdekaan singkat dalam Pasal 44
ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT tersebut secara filosofis bertolak
belakang dengan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang
dirumuskan dalam Pasal 4 ( antara lain adalah untuk memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera). Di samping itu menurut Barda
Nawawi Arief dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan
kembali manfaat penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana
untuk menanggulangi kejahatan, terutama masalah efektifitasnya.77
Dengan
kata lain, penggunaan pidana penjara/pidana perampasan kemerdekaan,
khususnya pidana perampasan kemerdekaan yang singkat, mengandung
77 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994, hlm. 46
87
kelemahan.78
e. Tindak pidana penelantaran keluarga pada hakikatnya merupakan
pengingkaran dari tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku terhadap
keluarganya.
Mengacu kepada cara-cara alternatif penyelesaian tindak pidana menurut
ide keadilan restoratif yang dikemukakan oleh David Miers, sikap aparat
penyidik yang memperbolehkan dicabutnya laporan korban untuk kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan akan diselesaikan secara
kekeluargaan di antara korban dan pelaku, serta sifat komunalnya dan prinsip-
prinsip kekeluargaan yang ada pada masyarakat Indonesia, kiranya model
penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga (khususnya kekerasan
yang berakibat ringan, kekerasan seksual di antara suami/istri serta
penelantaran keluarga) yang tepat adalah mediasi yang dilakukan oleh aparat
penyidik.
Adapun mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga tertentu tersebut dilakukan tidak hanya di antara pelaku dan korban,
melainkan dilakukan dengan sedikit modifikasi, yaitu dengan melibatkan
keluarga dekat dari pelaku dan korban serta tokoh-tokoh masyarakat atau agama
yang disegani oleh para pihak. Model mediasi seperti itu pada dasarnya mirip
dengan family group conferencing programs. Model mediasi yang
dimodifikasi tersebut juga dirasa sesuai dengan inti yang terkandung dalam
Pancasila (yang merupakan cita hukum bangsa dan negara Indonesia), yaitu
78
Schaffmeister, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana Di Waktu Luang (terjemahan oleh :
Tristam Pascal Moeliono) PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 15-16
88
musyawarah mufakat atau kekeluargaan serta sesuai dengan ciri khas hukum
nasional Indonesia, yaitu terkandungnya asas kekeluargaan.
Penyidik di Polsek Natar dalam menyelesaikan perkara pidana yang tergolong
delik biasa, menerapakan teori tujuan hukum menurut Gustav Radbruch. Penyidik
mencoba memahami keadilan apakah yang sebenarnya diinginkan oleh pelapor
dan terlapor. Prioritas pertama adalah keadilan yang diharapkan dari pihak-pihak
yang terkait, setelah timbul keadilan, tentunya akan memberi manfaat kepada
kedua belah pihak, dan terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.
Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa
penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status
quo dari hukum. polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan
sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi
lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga
pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum
yang menjadi “majikannya”.
Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai
pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi
menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi
patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali
dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal
lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-
undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat
kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut
89
dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat
kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis
yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.79
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari
masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang
ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan
peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada
masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban
terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep
inilah yang kemudian dikenal dengancommunity policing.80
Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham
formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau
konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan
paradigma polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah
manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak
antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan;
menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran”
dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari
warga Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan
kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
79
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan
Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 30-31 80
Ibid hlm, 33
90
Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam
sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika
hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan
konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang
dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum.
Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus
bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai
sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam
menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan
dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan
pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenangan formal yang diberikan
tidak otomatis memberi kekuasaan kepada badan badan untuk
mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi
legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.81
Jika konsep
ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan
untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat
diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan
yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan.
Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang
harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.
81
Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46
91
Penerapan Teori tentang tujuan hukum menurut Gustav Radbruch dapat dilihat
dari penyelesaian kasus KDRT dengan korban ibu Astuti di Polsek Natar,
penyidik mengambil kebijakan untuk tidak melanjutkan penyidikan ke jaksa
penuntut umum. Langkah yang diambil penyidik ini menurut Teori Keadilan
adalah dengan mendahulukan prioritas keadilan. Dengan mendahulukan keadilan
dan kemanfaatan otomatis kepastian hukum akan dikesampingkan karena kasus
penganiayaan atau KDRT tergolong delik biasa yang tetap harus diproses
walaupun sudah ada perdamaian dan pencabutan laporan. Ketidakselarasan antara
penerapan keadilan dan kemanfaatan dengan kepastian hukum dalam penerapan
hukum memang tidak dapat dihindari. Penyidik dituntut untuk cermat dan
bijaksana dalam menentukan prioritas yang didahulukan. Untuk memahami ini
diperlukan penyidik yang mempunyai hati nurani yang peka terhadap keinginan
masyarakat dan kreatif serta inovatif sesuai dengan apa yang diasumsikan dalam
hukum progresif.
Penulis menganalisis bahwa penerapan hukum progresif dalam penyelesaian
perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar dilakukan dengan beberapa metode
atau cara yaitu sebagai berikut:
1. Menerapkan mediasi penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative, hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan Kanit Reskrim Polsek Natar, bahwa
ketika menghadapi adanya pencabutan laporan pada perkara pidana yang
tergolong delik biasa, penyidik harus mengambil langkah-langkah dengan
menerapkan restorative justice. Hal ini dilakukan dengan memediasi pihak-
pihak yang terlibat, dan mencoba merestorasi “kerusakan” yang ditimbulkan
akibat suatu perbuatan pidana. Upaya untuk memperbaiki “kerusakan”
92
tersebut diiringi dengan upaya untuk memperbaiki hubungan antara korban
dengan terlapor dan masyarakat. Hubungan dengan masyarakat diperbaiki
dengan melibatkan unsur pemerintahan setempat seperti Ketua RT, RW,
Lurah, maupun Bhabinkamtibmas. Mekanisme penyelesaian dengan keadilan
restoratif dapat menempatkan posisi masyarakat bukan hanya sebagai
penonton saja, melainkan dapat berperan aktif dalam memantau atas
pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara
pidana.
Mediasi dengan menerapkan keadilan restoratif ini disebut juga dengan
mediasi penal. Mediasi penal terkadang memang berada di luar ketentuan
Legal System. Alasan penyidik Polsek Natar menerapkan mediasi penal
adalah mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan baik dari korban
dan terlapor, sehingga terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.
Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari
penyelesaian perkara pidana di luar sistem yang tidak diakui oleh hukum
formal yang berlaku, keadilan restoratif telah menjadi suatu kebutuhan dalam
masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan budaya masyarakat
Indonesia yang lebih mementingkan musyawarah dan mufakat untuk
memecahkan suatu persoalan, akan tetapi hal tersebut belum termuat dalam
KUHP dan KUHAP yang masih didominasi oleh peninggalan budaya
kolonial.
Penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif
merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan hukum progresif karena
93
pada dasarnya yang didahulukan adalah kepentingan masyarakat. Penyidik
mencoba menempatkan hukum agar lebih dapat menyesuaikan apa yang
diinginkan oleh masyarakat, sehingga tujuan hukum secara hakiki dapat
tercapai yaitu untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
2. Menerapkan diskresi kepolisian. Sebagaimana kita ketahui bahwa tugas polisi
sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam
jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau
memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau
tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya pemilahan
perkara oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan
perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak.
Penyidik di Polsek Natar dalam melakukan penyidikan kasus pidana seperti
yang telah dicontohkan sebelumnya selalu mempertimbangkan untuk
memajukan kasus yang sedang ditanganinya ke pengadilan. Penyidik
cenderung untuk memediasikan kasus-kasus yang dinilai kerugiannya kecil
dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pada situasi seperti ini, penyidik
menggunakan kewenangan diskresi kepolisian dalam penyidikan.
Penulis menganalisis alasan penerapan diskresi kepolisian dalam
penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar adalah sebagai
berikut:
a. Adanya perdamaian dari pelapor dan terlapor.
Penyidik pada saat melaksanakan tahapan-tahapan penyidikan sering
sekali berhadapan dengan situasi dimana kedua belah pihak sudah saling
94
memaafkan, mengganti kerugian yang ditimbulkan, serta mencabut
laporan di kepolisian. Pencabutan laporan dalam kasus-kasus yang
tergolong bukan delik aduan (delik biasa) sebenarnya tetap dapat
dilanjutkan oleh penyidik, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang
tidak meresahkan masyarakat umum, dan kerugian yang ditimbulkan
kecil, penyidik Polsek Natar mengambil kebijaksanaan untuk tidak
melanjutkan perkara tersebut ke proses pengadilan berikutnya. Langkah
diskresi ini dilakukan penyidik dengan mengedepankan asas keadilan dan
kemanfaatan, walaupun terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.
b. Apabila penyidikan tetap dilanjutkan akan menimbulkan potensi gangguan
terhadap kamtibmas yang lebih besar.
Langkah yang diambil penyidik Polsek Natar merupakan salah satu alasan
dilakukannya diskresi kepolisian menurut Satjipto Rahardjo. Satjipto
berpendapat bahwa sifat tugas kepolisan yang mendesak dan mendadak,
mengharuskan polisi untuk cepat dan tepat dalam bertindak. Apabila
polisi lambat dalam bertindak, maka dalam bilangan detik dapat terjadi
aneka peristiwa, kecelakaan, bunuh diri, dan bukan tidak mungkin dapat
terjadi kerusuhan massal. Jadi keleluasaan dan kelonggaran diperlukan
bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal.
Diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan
(course of action) yang akan dilakukan.82
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa:
“Setiap pejabat kepolisian yang berkualifikasi menyelidik dan menyidik
82
Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 261.
95
dalam rangka melaksanakan tugas di bidang peradilan pidana karena
kewajibannya diberi wewenang oleh undang undang”. Mengingat wewenang
kepolisian untuk melaksanakan tindakan-tindakan kepolisian tidak mungkin
diatur secara terperinci maka dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) angka 4 dan
Pasal 7 Ayat (1) huruf j dinyatakan bahwa “polisi berwenang karena
kewajibannya melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.” Maksud dari tindakan lain disini adalah tindakan dari penyelidik atau
penyidik untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal, dan
termasuk dalam lingkungan jabatannya dan atas pertimbangan yang layak
berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati hak asasi manusia.
Dengan demikian tindakan lain ini seperti tindakan penyidik berupa diskresi
kepolisian boleh diambil selama masih dalam jalur yang ditentukan oleh
hukum itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) tersebut polisi dapat mengambil tindakan lain
pada saat penyidikan selain yang telah disebutkan pada aturan perundang-
undangan tersebut selama demi kepentingan tugas-tugas kepolisian.
Sekalipun polisi telah diberi kewenangan oleh undang undang untuk
mengambil tindakan lain tersebut, tetap saja polisi harus bisa untuk
mempertanggungjawabkan atas segala tindakan dan keputusan yang telah
diambil di dalam melaksanakan tugasnya. Hal demikian dimaksudkan agar
polisi tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, mengingat
96
kewenangan untuk melakukan tindakan lain oleh polisi pada saat penyidikan
tersebut demikian luasnya.
Penyidik sebenarnya tidak perlu ragu dalam menerapkan hukum progresif. UUD
1945 mengatur bahwa hukum adat tetap berlaku bagi masyarakat setempat.
Ketentuan yang mengatur pelaksanaan hukum adat terdapat pada peraturan
peralihan UUD 1945 Pasal 11 diatur bahwa: “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakannya yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Hukum adat masih berlaku dalam penyelesaian
masalah di masyarakat dengan melakukan musyawarah untuk mencapai kata
mufakat. UUD 1945 secara hirarkis lebih tinggi daripada KUHP dan KUHAP
yang merupakan suatu undang-undang. Oleh karena itu menurut Supriyadi,
hukum adat dapat dijadikan dasar untuk menerapkan hukum progresif dalam
penyelesaian perkara pidana, walaupun tidak diatur dalam KUHP maupun
KUHAP.
Penegakan hukum menurut Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR
adalah terciptanya perdamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Oleh karena
itu penegakan hukum harus bersifat flexibel. Ketika sudah ada perdamaian antara
kedua belah pihak, penyidik dapat mengambil kebijakan untuk tidak meneruskan
ke kejaksaan dan pengadilan. Penerapan hukum progresif dapat dilaksanakan
melalui mediasi penal dengan berpegang terhadap prinsip-prinsip Keadilan
Restoratif.83
83
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016.
97
Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo menyatakan alasan perlunya
penerapan hukum progresif dalam menyelesaikan perkara pidana pada tahap
penyidikan. Hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana
karena hal ini diperlukan untuk mengakomodasi keinginan dari pihak-pihak yang
terlibat sebagai korban maupun terlapor. Dengan adanya perdamaian dan saling
mengganti kerugian yang ditimbulkan, tujuan hukum dari segi kemanfaatan dan
keadilan dapat tercapai.84
Heni Siswanto selaku Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung
menyatakan bahwa mengenai alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam
penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan. Heni menjelaskan bahwa
hukum progresif perlu diterapkan mengingat proses penyidikan oleh penyidik
yang dilakukan selalu berkaitan dengan proses selanjutnya dalam sistem peradilan
pidana. Jaksa penuntut umum dan hakim tidak bisa menolak perkara yang sudah
dilimpahkan oleh penyidik. Perdamaian sebagai hasil dari mediasi penal pada
tahap penuntutan maupun persidangan hanya dapat digunakan untuk
memperingan hukuman yang akan diberikan, tidak menjadi dasar bagi jaksa atau
hakim untuk membebaskan terdakwa karena hakim dalam memutuskan suatu
perkara selalu berdasarkan undang undang. Oleh karena itu, apabila semua
perkara dilimpahkan penyidik ke jaksa maupun hakim maka akan terjadi
penumpukan perkara. Penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan dapat
mengurangi beban hakim dalam memutuskan perkara yang masuk ke
pengadilan.85
84
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016 85
Hasil wawancara tanggal 14 April 2016.
98
Heni juga berpendapat bahwa penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan
diperlukan untuk menghindari perceraian pada kasus KDRT. Korban KDRT
ketika melapor ke kepolisian belum tentu mempunyai niat untuk bercerai, akan
tetapi ketika penyidik memproses perkara tersebut tanpa melakukan mediasi
terlebih dahulu maka dapat menyebabkan perceraian. Orang tua dari suami atau
istri akan timbul gengsi atau pi’il dalam adat Lampung, sehingga kemungkinan
untuk perceraian akan semakin besar. Heni menyarankan kepada penyidik agar
dalam menangani kasus KDRT dapat menerapkan hukum progresif dengan
melakukan mediasi terlebih dahulu sehingga terjadi perdamaian antara suami
istri.86
Menurut analisis penulis, pelaksanaan diskresi kepolisian oleh penyidik Polsek
Natar dengan mengenyampingkan perkara merupakan suatu bentuk penerapan
hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Tindakan lain yang diambil
penyidik tersebut adalah suatu bentuk pembebasan dari ajaran legalistik formal
yang berlaku. Walaupun keluar dari asas kepastian hukum, namun tindakan ini
diambil untuk memenuhi tujuan hukum lain berupa kemanfaatan dan keadilan
bagi pihak-pihak yang terlibat, sehingga hukum dapat mengakomodir kebutuhan
masyarakat akan hukum itu sendiri.
Penulis berpendapat bahwa hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian
perkara pidana di tahap penyidikan. Beban sub sistem dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia sudah cukup berat. Beban untuk melakukan pembinaan
86
Ibid.
99
kepada narapida dan menjadikan mereka dapat kembali bermasyarakat bukanlah
hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu adanya sinergitas antara sub sistem dalam
sistem peradilan pidana untuk dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana
yang cukup berat selama ini. Titik yang paling mungkin diterapkan hukum
progresif adalah pada tahap penyidikan. Penyidik harus berupaya untuk
melakukan mediasi pada kasus-kasus tertentu sehingga tidak semua perkara
masuk ke proses peradilan selanjutnya. Untuk itulah diperlukan keberanian dan
kecerdasan seorang penyidik untuk dapat menerapkan hukum progresif yang
mengedepankan aspek keadilan dan kemanfaatan daripada aspek kepastian hukum
dalam suatu penyelesaian perkara pidana.
Tindakan yang diambil penyidik untuk tidak melanjutkan perkara ketika sudah
ada perdamaian menurut penulis adalah suatu tindakan yang menolak keadaan
status quo yang selama ini selalu berpegang pada asas legalitas hukum. Penyidik
mencoba keluar dari kebuntuan hukum dengan menerapkan hukum progresif. Hal
ini sesuai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo bahwa setiap kali ada masalah
dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan
manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Maka
hukum tidak menjadi suatu yang final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law
as process, law in the making) dalam rangka menuju hukum yang berkeadilan,
yakni hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli
terhadap rakyat.
100
B. Kendala dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
dengan Hukum Progresif
Menurut Listiyono Dwi Nugroho selaku Kapolsek Natar menyatakan bahwa
kewenangan diskresi yang diambil penyidik juga harus diawasi oleh atasan
penyidik karena pada tahap inilah akan muncul kemungkinan terjadinya
penyimpangan yang dilakukan penyidik. 87
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, penulis menganalisis hambatan
penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sesuai yang dikemukakan Soerjono
Soekanto. Menurut Soerjono, masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-
faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:88
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Menurut analisis penulis, berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
menurut Soerjono Soekanto, hambatan yang ditemukan dalam penerapan hukum
progresif adalah pada faktor hukumnya sendiri dan pada faktor penegak hukum.
87
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016 88
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 5
101
Faktor hukumnya adalah tidak ada peraturan atau undang undang yang mengatur
secara pasti tentang penerapan hukum progresif terutama dalam pelaksanaan
mediasi penal. Faktor penghambat yang lain adalah dari faktor penegak hukumnya
sendiri. Adapun uraian analisis penulis adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya payung hukum yang mengatur penerapan hukum progresif
dalam penyelesaian perkara pidana.
Hambatan ini merupakan hambatan utama bagi penyidik untuk dapat
menerapkan hukum progresif dalam bentuk mediasi penal pada penyelesaian
perkara pidana yang tergolong delik biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa asas
legalitas hukum masih dijunjung tinggi dalam hukum pidana di Indonesia.
Bentuk penyelesaian perkara melalui mediasi penal sebenarnya tersirat dalam
Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang mengatur tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara
pengadilan sipil.
Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 pada intinya menghapus
keberadaan peradilan adat sebagai salah satu peradilan yang bertugas
menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat Indonesia. Penghapusan
peradilan adat menyebabkan pengadilan negri sajalah yang berkuasa untuk
memeriksa dan memutus segala perkara baik pidana maupun perdata. Nasib
peradilan adat berbanding terbalik dengan hakim peradilan desa. Pasal 1 ayat
(3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 menyatakan bahwa:
“Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi
hak kekuasaan yang sampai saat ini telah diberikan kepada hakim-hakim
perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke
102
Organisatie.”89
Peradilan desa mengutamakan proses mediasi dalam
penyelesaian permasalahan-permasalahan yang ada di desa. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa bentuk mediasi penal dalm peradilan desa masih
diakui oleh peraturan perundang-undangan akan tetapi wadahnya dihapuskan.
Seiring berjalannya waktu, tidak ada undang undang atau peraturan
pemerintah yang mengatur tentang peradilan desa, sehingga pelaksanaannya
diserahkan kembali kepada budaya yang ada di masyarakat desa.
Penerapan hukum progresif melalui mediasi penal sebenarnya juga diatur
dalam Rancangan Undang Undang KUHP Tahun 2013 Pasal 145 huruf d
yang menyatakan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika terjadi
penyelesaian di luar proses. Menurut penulis mediasi penal adalah salah satu
bentuk dari penyelesaian perkara di luar proses peradilan, akan tetapi RUU
KUHP tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan pemerintah, DPR, dan
praktisi hukum sehingga sampai dengan saat ini belum dapat disahkan
menjadi suatu undang undang.
Tidak adanya undang undang yang mengatur tentang penerapan hukum
progresif melalui mediasi penal menyebabkan penyidik harus menjalankan
kewenangan diskresi yang dimilikinya. Batasan perkara pidana yang dapat
diselesaikan tergantung pada sifat “pencelaan” terhadap suatu perbuatan di
mata masyarakat. Penyidik tetap harus melanjutkan perkara-perkara yang
menurut masyarakat tercela walaupun sudah ada perdamaian antara korban
dan tersangka. Oleh karena itu diskresi yang diambil penyidik tetap harus
89
Republik Indonesia, Undang Undang Darurat (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Tindakan Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan
Acara Acara Pengadilan Sipil.
103
dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
umum.
2. Terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang dilakukan penyidik
dalam mengambil langkah-langkah penyelesaian perkara pidana.
Tidak diaturnya proses mediasi penal dalam hukum pidana dapat dijadikan
alasan penyidik untuk tetap dapat melanjutkan perkara walaupun sudah ada
perdamaian. Celah hukum ini dapat dijadikan alasan penyidik untuk meminta
sejumlah imbalan kepada tersangka. Penyidik mempunyai alasan yang kuat
untuk tetap dapat melanjutkan perkara sehingga mau tidak mau tersangka
memenuhi permintaan dari penyidik sebagai persyaratan agar perkaranya
tidak dilanjutkan ke proses selanjutnya.
3. Aparat penegak hukum masih memegang teguh pada asas legalistik formal.
Pemahaman aparat penegak hukum yang masih rigid berpegang pada
pendekatan legalistik formal terkadang menghalangi penerapan progesif pada
tahap penyidikan. Penyidik cenderung memilih jalan “aman” untuk tetap
melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian untuk menghindari
adanya komplain di kemudian hari. Keputusan penyidik untuk tetap
melanjutkan perkara tersebut sebenarnya bertentangan dengan isi hati nurani
penyidik yang tetap memperhatikan rasa keadilan dan kemanfaatan
masyarakat. Penyidik dihadapkan pemahaman aparat penegak hukum lainnya
seperti jaksa dan hakim yang masih berpegang teguh pada asas legalistik
formal. Institusi Polri sendiri masih berpegang teguh pada asas legalitas
formal, sehingga apabila ada keluhan terhadap langkah-langkah yang diambil
104
penyidik, bidang pengawasan penyidikan ataupun bagian Propam(profesi dan
pengamanan) akan menganggap bahwa penyidik telah melakukan
penyimpangan ketika penyidik tidak melaksanakan langkah-langkah sesuai
yang diatur dengan undang undang. Bayangan seperti ini mengakibatkan
keraguan bagi seorang penyidik untuk menerapkan hukum progresif dalam
penyelesaian perkara pidana.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka menurut penulis bahwa penerapan hukum
progresif dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan penyidik tidak selalu
berjalan mulus. Penyidik perlu jeli dalam mengambil kebijakan yang akan diambil
sehingga pada nantinya tidak akan ada komplain/ keluhan dari pihak manapun.
Diskresi yang diambil penyidik juga harus mempertimbangkan kepentingan
masyarakat pada umumnya yang di dalamnya terdapat norma-norma budaya dan
agama yang tidak dipisahkan.
IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Penyelesaian perkara pidana khusus pada perkara KDRT pada tahap penyidikan
di Polsek Natar dilakukan dengan menerapkan hukum progresif. Penyidik
mencoba keluar dari ajaran legalistik positivistik yang selama ini selalu mengejar
kepastian hukum. Sesuai dengan teori tujuan hukum, penyidik mencoba lebih
mementingkan keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Penyidik berusaha
menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan
manusia, bukan sebaliknya karena terbentur oleh prosedur hukum yang ada,
tujuan hukum yang diingankan manusia tidak tercapai. Penerapan hukum
progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polresta Bandar
Lampung dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan melakukan mediasi
penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative dan menerapkan diskresi
kepolisian.
2. Hambatan yang dihadapi dalam penerapan hukum progresif adalah tidak adanya
aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara
pidana. Hal ini menyebabkan penyidik dianggap melakukan penyimpangan
apabila tidak melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian. Tidak
106
adanya undang undang yang mengatur tentang penerapan hukum progresif
menyebabkan penyidik harus menjalankan kewenangan diskresi yang
dimilikinya. Diskresi yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan umum.
Hambatan selanjutnya yaitu terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang
dilakukan penyidik dalam mengambil langkah-langkah penyelesaian perkara
pidana. Kewenangan diskresi kepolisian yang begitu besar akan menimbulkan
kerawanan terjadinya penyimpangan yang dilakukan penyidik dalam mengambil
keputusan untuk tidak memajukan suatu perkara apabila ada perdamaian.
Penyidik tetap dapat memajukan suatu perkara walaupun sudah ada perdamaian
dalam perkara pidana yang tergolong delik biasa. Celah hukum ini dapat
dimanfaatkan penyidik untuk meminta sejumlah imbalan kepada pihak-pihak
yang berperkara.
Hambatan terakhir berupa aparat penegak hukum yang selalu berpegang pada
asas legalistik formal menyebabkan penyidik mengenyampingkan rasa keadilan
dan kemanfaatan yang ada di masyarakat. Kekhawatiran akan anggapan
melakukan penyimpangan dari bagian pengawasan penyidikan maupun bagian
Profesi dan Pengamanan (Propam) dari internal Polri menyebabkan timbulnya
keraguan penyidik untuk menerapkan hukum progresif dalam rangka
penyelesaian perkara pidana.
107
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, maka penulis mempunyai
saran-saran sebagai berikut:
1. Polri agar menekankan kepada seluruh penyidik yang berada di seluruh
jajarannya agar selalu mengedepankan hukum progresif dalam melakukan
langkah-langkah penyidikan khususnya untuk perkara KDRT. Penyidik sebisa
mungkin melakukan mediasi dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat yang
terlibat sehingga proses penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan
dapat terlaksana sebelum melangkah ke proses peradilan selanjutnya.
2. Perlu adanya suatu aturan yang mengatur batasan-batasan penerapan hukum
progresif melalui mediasi penal sehingga penyidik mempunyai landasan hukum
yang kuat dalam melaksanakan tindakannya. Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana hendaknya dapat
ditingkatkan lebih tinggi menjadi undang undang sehingga sifatnya lebih
mengikat bagi aparat penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Abdul Kodir, Faqihuddin dan Ummu Azizah Mukarnawati. 2008. Referensi BagiHakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Komnas Perempuan, Jakarta.
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.
Atma Sasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,C.V. Mandar Maju, Bandung.
----------. 1996. Perbandingan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung.
Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.
Djanah, Fathul. 2003. Kekerasan Terhadap Isteri. LKIS, Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gosita, Arief. 1983. Masalah Korban Kejahatan, C.V. Akademika Pressindo,Jakarta.
Gunadi,Ismu. 2011. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2). PT.Prestasi Pustakaraya, Surabaya.
Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
Hartono. 2012. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui PendekatanHukum Progresif. Sinar Grafika, Jakarta.
Hayati, Elli Nur. 1995. Panduan Untuk Pendampingan korban Kekerasan.Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif, TerapiParadigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. AntonyLib, Yogyakarta.
Loqman, Loebby. 2002. Pidana dan Pemidanaan. Datacom, Jakarta.
Marlia, Milda. 2007. Marital Rape : Kekerasan Seksual Terhadap Istri.Pustaka Pondok Pesantren, Yogyakarta.
Marpaung, Leden. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 2. SinarGrafika, Jakarta.
Moeljatno. 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara,Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra AdityaKarya, Bandung.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cetk. Pertama, BadanPenerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif Dalam PenanggulanganKejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang.
----------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Huklum Pidana. PT. CitraAditya Bakti, Bandung.
----------. 2001. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan PenanggulanganKejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (cetakan ketiga edisirevisi), Citra Aditya Bakti, Bandung
----------. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru). Prenada Media Group, Jakarta.
----------. 2010. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Persidangan.Pustaka Magister, Semarang.
Poerwandari, Kristi. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan:TinjauanPsikologis (dalam: Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita.Alumni, Bandung.
Prayudi, Guse. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. MerkidPress, Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.Refika Aditama, Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. PustakaPelajar, Yogyakarta.
----------. 2007. Membedah Hukum Progresif. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
----------. 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Penerbit Kompas, Jakarta.
----------. 2007. Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial danKemasyarakatan. Penerbit Kompas, Jakarta.
Rukmini, Mien. 2009. Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog. Edisi I Cetakan ke-2. PT. Alumni, Bandung.
Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam RumahTangga. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Shochib, Moh. 2010. Pola Asuh Orang Tua, dalam Membantu AnakMengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PenegakanHukum. Rajawali, Jakarta.
----------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.
Soeroso, Moerti Hadiati. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalamPerspektif Yuridis-Viktimologis. Sinar Grafika, Jakarta.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.
Sudiarti Luhulima, Achie (penyunting). 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk TindakKekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, PusatKajian Wanita dan Gender. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sunaryo, Sidik. 2005. Sistem Peradilan Pidana. Penerbit UMM Press, Malang.
Sutedjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Cetakan Ketiga. PT. RefikaAditama, Bandung.
Windku, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung.Kanisius, Yogyakarta.
2. Jurnal, Kamus, Makalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1992. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusatPembinaan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan danKebudayaan. Jakarta.
F. Nadia, Ita, 1997, Ketidakadilan Gender Sebagai Akar Diskriminasi, Makalahdalam rangka Lustrum VI/Dies Natalis XXX AKS Tarakanita,Yogyakarta.
Hassan, Fuad, 2001, Ikhtiar Meredam “ Kultus Kekerasan “, dalam : JurnalPerempuan No. 18, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Irianto, Sulistyowati, 1999, Kekerasan Terhadap Perempuan dan HukumPidana (Suatu Tinjauan Hukum Berperspektif Feminis), JurnalPerempuan Edisi 10, Februari-April
Kolibonso, Rita Selena, 2002. Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam RumahTangga, Jurnal Perempuan No. 26. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta
3.Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalamRumah
4.Majalah dan Website
http://nyokabar.com
http://pelitaekspres.com/news/read/5707
http://umulkhtmh.blogspot.co.id/2015_10_01_archive.html
http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html
http://www.fanind.com/2013/08/4-jenis-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html
Kompas, Selasa, 1 Agustus 2006