Problematika Umat Islam Dan Alternatif Solusinya
-
Upload
driya-primasthi -
Category
Documents
-
view
257 -
download
1
Transcript of Problematika Umat Islam Dan Alternatif Solusinya
Problematika Umat Islam Dan Alternatif Solusinyaby Herm on Wednesday, June 9th, 2010
PendahuluanCeritanya, tahun 1400 H dalam rangka simposium peran imigran Muslim di Amerika, diundanglah tokoh-tokoh
Muslim dari berbagai negara termasuk Indonesia-yang waktu itu dihadiri Muh Nastir. Dari sana kemudian para
tokoh ini memanfaatkan moment tersebut untuk berbincang-bincang tentang dunia Islam. Kemudian muncullah
kesepakatan untuk menajikan abad ke 15 Hijriah ini sebagai abad kebangkitan Islam. Hal ini dilihat dari kondisi
Islam dunia saat itu memang sangat tertinggal. Maka dimulailah abad kebangkitan Islam itu dengan tekad
bersama untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan segala kemampuan dan usaha yang dimiliki.
Saat ini, setelah 20 tahun seruan itu dikumandangkan kondisi umat Islam belumlah seperti yang diharapkan
sebagai sesuatu yang benar-benar bangkit. Umat Islam dunia masih saja dalam kondisi keterpurukan. Mekipun
telah beberapa orang, kelompok dan organisasi yang mulai bangkit dan menyerukan hal yang sama sambil
menyeadarkan umat islam dan berkarya untuk membuktikan hal itu. Hingga saat ini praktis bisa dikatakan bahwa
umat Islam memang masih sebagai sesuatu yang belum berarti (secara politis) bagi dunia.
Kompleksitas Problem
Kebanggaan yang dapat ditampilkan bagi umat Islam saat ini masih sangat sedikit sekali. Paling-paling negara
Arab yang kaya dengan minyak, itupun karena keberuntungan takdir saja bahwa cadangan minyak terbesar
dunia ada disana. Tentang hal yang lain sangat sulit untuk mencarinya. Dibidang ekonomi masyarakat Muslim
dunia sama sekali tidak bisa diandalkan. Sampai sekarang sistem yang dipakai tetap saja kapitalisme dengan
segala konsekuensinya. Negara-negara Muslim yang memang sudah miskin semakin miskin saja dengan
kapitalisme yang dibanggakan Amerika. Sistem perekonomian Islam yanng menjanjikan keadilan itu tidak
mencul sama sekali. Padahal beberapa abad sistem ini dipakai dan pernah terbukti keampuhannya. Sistem bank
konvensional (riba) masih menjadi pilihan utama masyarakat dunia. Belum lagi dengan kemiskinan negara-
negara Muslim yang menyebabkan mereka harus berhutang pada negara-negara kapitalis. Yang pada gilirannya
juga akan mempersulit mereka. Bahkan untuk sekedar membayar bunga hutang.
Dari segi politik juga demikian. Amerika dengan PBB sebagai tunggangannya praktis menguasai seluruh negara
didunia tidak terkecuali negara Muslim. Dengan kekuatan persenjataan dan teknologi tinggi, secara politis
Amerika telah menjadi polisi dunia. Begitu pula kelompok-kelompok pertahanan dan plitik seperti NATO yang
lumayan represif terhadap Islam. Dipentas dunia, negara-negara Muslim sendiri tidak punya kekuatan jika
dibanding mereka. Organisasi negara-negara Islam seperti OKI tidak bisa berbuat banyak menghadapi PBB dan
NATO. Bahkan sekedar turun berperan serta dalam menentukan harga dan kuota minyak – yang negara-negara
Arab sangat berkepentingan terhadap hal itu- tidak mampu dilakukan. Fakta-fakta masih terpingirkannya peran
Islam dalam dunia internasional ditambah lagi dengan intervensi yang berlebihan terhadapap negara-negara
Muslim Arab dan ketidak jelasan sikap mengenai Palestina, Kashmir, Bosnia, Cechnya, dan Pakistan. Campur
tangan pihak luar yang bisanya sangat ditentukan oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi selalu saja
membersamainya. Ismail Raji al Faruqi menjelaskan kondisi umat ini:
Dunia Ummah Islam saat ini berada pada anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Didalam abad ini, tidak ada
kaum lain yang mengalami kekalahan dan kehinaan seperti yang dialami kaum Muslimin. Kamum Muslimin telah
dikalahkan, dibantai, dirampas negeri dan kekayaannya, dirampas kehidupan dan harapannya.[1]
Saat ini kondisi umat Islam terpecah belah kedalam 50-an negara. Kolonialisme telah berhasil melakukan hal itu.
Dan dari sana selalu saja memunculkan friksi antar umat Islam sendiri mengenai batas wilayah yang lebih sering
menimbulkan peperangan berkepanjangan daripada kepahaman dan persaudaraan.
Amerika sangat berkepentingan dengan negara Muslim (khusunya Arab) guna kepentingan ekonomi karena
ladang minyaknya, sekaligus memuaskan ambisi politiknya. Fathy Yakan mengatakan:
Selama ini Amerika Serikat membidikkan matanya pada dunia ketiga, khususnya negara-negara Timur Tengah.
Washhington mencari jalan memulai melaksanakan poltik perluasan yang bertujuan untuk dapat menjamah
ladang-ladang minyak, menghantam segala apa yang disebut dengan gerakan-gherkan teror, menyebarkan
pangkalan-pangkalan perang dibeberapan negara kawasan itu. Alasan yang dipakai adalah untuk menjaga
keamanan.[2]
Bagaimanapun umat Islam telah berhasil dikelabuhi oleh berbagai gerakan pemBaratan yang berakibat ada
semacam trend dikalangan umat Islam untuk meniru Barat dan merasa asing serta phobi pada Islam sendiri.
Dari segi sosial budaya umat Islam lebih menyukai meniru Barat dalam banyak hal seperti model berpakaian,
cara bergaulan, bahasa dan simbol-simbol budaya lainnya. Kemudian ini juga berlanjut dengan menganggap
baik segala apa yang berasal dari Barat dan sebaliknya menganggap yang dari Islam itu jelek dan ketinggalan
jaman. Hal ini cukup lama dirasakan sehingga keagungan Islam sendiri semakin tidak dirasakan, bahkan oleh
umat Islam sendiri.
Umat Islam pernah memimpin dalam hal ilmu pengetahuan. Ilmuan Islam telah menemukan banyak hal,
kemudian ilmu itu disusun dalam buku-buku pengetahuan yang senantia dikembangkan melalui penelitian-
penelitian. Ilmuan besar seperti Abu Sina, al FArabi, Ibn Khaldun dll membuktikan bahwa Islam pernah
memimpin kejayaan ilmu pengetahuan. Namun seiring dengan kemunduran Islam, para ilmuan Islam pun
semakin sedikit dan malah sumber-sumberi ilmu pengetahuan dalam ribuan buku dihancurkan dan sebagian
diambil pihak Barat untuk dikembangkan. Akhirnya kemudian yang mengalami perkembangan pesat ilmu
pengetahuan justru bukan golongan Islam. Sehingga saat ini seolah-olah bahwa semua ilmu pengetahuan itu
berasal dari Barat. Meskipun harus diakui bahwa perkembangan lebih lanjut ilmu tersebut, sehingga mencapai
struktur yang baik dan mendalam memang berasal dari sana. Karena memang kajian, penelitian serta
pengembangan ilmu pengetahuan memang sangat giat dilakukan di Barat. Sedangkan negara Muslim sendiri
tidak serius terhadap hal itu sehingga senantiasa tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu
dan metodologi yang dikeluarkan juga merupakan produk Barat yakni sekulerisme. Yang kemudian
menghilangkan unsur ketauhidan dalam ilmu pengetahuan.
Teknologi kemudian juga mengikuti pola yang sama. Karena pada prinsipnya science today is technology
tomorrow, sedangkan bangsa Muslim memang sangat kurang penguasaan konsep keilmuan disamping tidak
ada uang dan tidak memiliki perhatian untuk pengembangan ilmu menjadi teknologi. Maka semakin lengkaplah
ketertinggalan umat Islam.
Industri yang berkembang dan dimiliki oleh negara Muslim sebenarnya adalah industri yang tidak lebih untuk
sekedar memenuhi kebutuhan yang kebanyakan tidak pokok. Itupun selalu saja bahwa bahan-bahan baku harus
diimpor dari negara-negara kapitalis. Industri yang didirikan dan mendapat bantuan asing memang tidak pernah
bisa memandirikan negara Muslim. Karena tetap saja ada ketergantungan pada negara Barat.
Jika mau ditelusuri kebelakang, ada banyak faktor yang menyebabkan permasalahan yang begitu kompleks
terjadi dengan umat Islam. Yang secara garis besar berupa faktor eksternal dan internal.
1. Gazwul Fikri
Yang dimaksud dengan invasi pemikiran (Ghazwul Fikri) adalah usaha suatu bangsa untuk menguasai pemikiran
bangsa lain (kaum yang diinvasi), lalu menjadikan mereka (kaum yang diinvasai) sebagai pengikut setia
terhadap setiap pemikiran, idealisme, way of life, metode pendidikan, kebudayaan, bahasa, etika, serta norma-
norma kehidupan yang ditawarkan kaum penginvasi.[3] Invasi pemikiran jelas-jelas bermaksud merusak tatanan
masyarakat Islam, mengganti norma dan budaya Islam dengan Barat dan menjauhkan umat Islam dengan
diennya sendiri. Garis besar langkah kerja meraka adalah; (1) Merusak Islam dari segi aqidah, ibadah, norma
dan akhlak; (2) Memecah dan memilah kaum Muslimin di muka bumi dengan sukuisme dan nasionalisme
sempit; (3) Menjelek-jelekkan gambaran Islam; (4) Memperdayakan bangsa Muslim dengan menggambarkan
bahwa segala kemajuan kebudayaan dan peradaban dicapai dengan memisahkan bahkan menghancurkan
Islam dari masyarakat.[4]
Yang terkait dengan ghazwul fikri ini antara lain adalah Zionisme, Orientalis dan kristenisasi. Ketiga hal in
sebenarnya berbeda dan belum tentu saling terkait satu sama lain. Zionisme[5] merupakan gerakan politik dari
sebuah etnis Yahudi ekstrim, yang bertujuan mendirikan negara bagi bangsa Yahudi di Palestina, sebagi batu
loncatan untuk meraih apa yang mereka cita-citakan, yaitu menguasai dunia dan menciptkan pemerintahan
Yahudi Raya. Pencetus gerakan ini adalah Theodore Hertzel, seorang wartawan Austria keturunan Yahudi.
Langkah untuk mendirikan Negara Yahudi telah dilakukan 2 kali dengan mengirim utusan ke Sultan Abdul Hamid
II, sultan Islam di Turki Utsmani untuk meminta wilayah Palestina. Namun ditolak mentah-mentah. Kemudian
sejak itu orang Yahudi bekerja keras untuk merongrong Kesultanan Turki dan menghapuskan khilafah Islamiyah
dari muka Bumi. Gerakan ini sangat giat menyebarkan fitnah kepada umat Islam, merusak kesucian akidah
Islamiah, memunculkan keraguan dan penyerangan melalui media-media yang sangat banyak mereka kuasai.
Orientalisme adalah kajian yang dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap negara-negara timur (khususnya
Islam) mengenai budaya, sejarah, agama, sosial, ekonomi, politik dan segala hal yang terkait dengannya[6].
Gerakan ini muncul sejak keberhasilan pasukan Islam mengasai Dunia Barat, ketika saat itu Barat masih
tenggelam dalam jaman kegelapan. Mereka ingin mempelajari sebab-sebab kemenangan Islam, seluk beluk
Islam dan permasalahan yang ada didalamnya. Motivasi mereka adalah motivasi imperialisme, menjauhkan
umat dari Islam, juga motivasi ekonomi. Yang bertujuan untuk menciptakan keraguan kepada Islam serta
membangkitkan Nasionalisme dan etnisme.
Kristenisasi secara bahasa adalah upaya untuk mengkristenkan orang lain dan menyebarkan ajaran kristen
keberbagai negara. Namun tujuan mereka sebenarnya bukan cuma menjadikan orang masuk agama kristen,
tapi malah yang utama adalah mengeluarkan orang Islam dari keIslamannya.[7]
2. Sekulerisme
Pemisahan dengan sangat dikotomis antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama memang merupakan
bagian dari upaya untuk menghilangkan peran agama dalam masyarakat dan memunculkan keraguan akan
kebenaran agama. Sekulerisme menjadi sesuatu yang dianggap baik oleh Barat karena secara historis ia terlahir
dari perlawanan atas kejumudan pemikiran gereja diabad pertengahan.
Pemahaman seperti ini masih banyak berada dalam kepala umat Islam. Muh Natsir mengungkapkan
penentangannya kepada orang yang pro sekuler yang menganggap bahwa Kemajuan Turki karena mereka
memisahkan agama dari kehidupan.
Kemal Pasha cs sekali-kali bukan mendapat kemenangan sesudahnja mereka melemparkan hukum-hukum
Agama, melainkan sebaliknja, mereka lembaprkan hukum-hukum agama sesudahnja kemenangan dan kekuatan
ada ditangan mereka.[8]
Sekulerisme berdampak cukup serius kepada umat Islam, selain hilangnya kepahaman akan syumuliataul
Islamjuga menjadikan agama hanya sebatas ritual-ritual semata. Agama yang merupakan sumber terbesar dari
energi serta aspirasi dan merupakan pemandu menuju kehidupan yang bermakna diatas bumi ini menjadi begitu
berubah. Agama hanyalah urusan akhirat. Dan yang menyebar justru kemudian hal-hal yang menyangkut
dengan mistik, takhayul, dll. Demikian Ai Syariati mengungkap dampak negatif dari sekulerisasi ini[9].
Mereka menganggap bahwa agama memainkan peranan negatif dalam masyarakat karena mendorong rakyat
untuk mengabaikan kehidupan aktual dan material mereka. Unsur-unsur tersembunyi dan reaksioner sejalan
dengan tangan-tangan asing yang tak terlihat memanfaatkan kesimpulan yang keliru ini dan menggunakan
kekerasan untuk melayan rakyat dan orang-orang yang tercerahkan.
3. Kapitalisme, materialisme, metode ilmiah-positifisme dan modernisasi
Hal-hal diatas muncul dan menjadi masalah besar bagi umat Islam sebagai salah satu produk ghazwul fikri.
Berawal dari temuan metode ilmiah dan pengembangan iptek yang bersumberkan pada paradigma material
kemudian berlanjut dengan kapitalisme, yang merasuki sistem pembangunan dan ekonomi umat Islam. Hal ini
tidak menyebabkan kecuali semakin terpuruknya umat Islam secara ekonomi dan politik. Maka yang terjadi
sekarang adalah imperialisme epistemologi[10] oleh Barat kepada umat Islam. Keterbelakangan pada banyak
hal menyebabkan umat Islam terpaksa mengikuti pola ini sadar atau tidak untuk tetap bisa bertahan hidup.
Rayuan mereka pada pembesar kaum Muslimin adalah dengan memberikan pinjaman/hutang dan sebagai
imbalannya mereka memperoleh hak investasi ekonomi dan memasok negara Muslim dengan harta dan proyek
ekonomi melalui perusaan dan kemudian mengendalikan prilaku ekonomi seperti yang mereka kehendaki. Dan
setelah itu mereka leluasa mengubah aturan-aturan seperti pendidikan, hukum, pemerindatan sampai pada
peradaban[11].
Bahkan kemudian mereka memasukkan unsur-unsur merusak seperti WTS, tempat-tempat hiburan, film,
diskotek, telenovela. Yang kemudian ditiru justru oleh umat Islam sendiri.
Manusia yang sering menggambarkan dirinya sebagai orang-orang modern yang kini mendominasi peradaban
dunia, adalah jenis manusia yang mengabdikan diri dan hidupnya untuk materi atau materialime, sebuah bentuk
paganisme yang juga telah ada sejak dahulu. Karena itu aspek-aspek peradaban yang diangun, seperti hukum,
politik, ekonomi, etika dan bahwkan kesadaran sosial pun bercorak materialisme. Karena itu semua produk
peradaban yang ada senantiasa memperbudak dan menindas.[12]
4. Ancaman berupa sanksi ekonomi, perdagangan maupun politik (hubungan luar negari).
Hal ini lebih mengerikan lagi. Sudah mengarah kepada menimbulkan rasa ketakutan yang berlebihan kepada
pihak Barat, khususnya Amerika dengan PBB nya. Sehingga banyak menghalangi tindakan ataupun sikap umat
Islam menanggapi sebuah permasalahan maupun isu. Karena apabila macam-macam saja dengan Amerika dan
cs-nya, alamat negara tidak akan tentram dalam waktu yang lama. Secara psikologis bangsa-bangsa Muslim
memang masih terjajah.
1. Runtuhnya Khilafah
Keruntuhan Daulah Islamiyah melalui pembubaran Khalifah oleh Mustapa Kamal tanggal 3 Maret 1924,
kemudian diikuti oleh pemisahan agama dan negara dan model-model sekuler lainnya telah merusakkan dan
mencabik-cabik umat Islam. Setelah itu seolah-olah Islam benar-benar telah hancur dan tidak akan pernah
seperti itu lagi. Dan langkah ini malangnya kemudian seolah menjadi preseden bagi umat Islam untuk mulai
meninggalkan ajarannya.
Dengan begitu dia telah mencerai beraikan paji-panji Islam yang menjadi tempat bersatu kaum Muslimin sejak
empat belas abad yang lalu. Kini merekapun berpecah belah dan menyebar pada jalan yang berbeda-beda
laksana domba di malam hujan. Lalu akhirnya kawanan serigala menerkam kelompok yang tercerai berai itu.
Demikian ‘Abdullah ‘azzam menceritakan kehancuran Khilafah Islamiyah[13]. Sebenarnya kehancuran ini bukan
semata-mata karena faktor luar, tapi karena memang telah terbangun kebobrokan yang besar disana sehingga
memang mencenderungkannya kepada kehancuran. Dalam risalah Hari Ini dan Kemarin, Hasan al Banna
mengatakan bahwa ada 7 faktor penghancur eksistensi Daulah Islamiyah. Yakni, (1) Pergolakan politik,
fanatisme kesukuan, perebutan kekuasanan dan ambisi terhadap kedudukan. (2) Pertentangan agama dan
mazhab. (3) Tenggelam dalam aneka bentuk kemewahan dan kenikmatan. (4) Terjadinya transformasi
kekuasaan kepada bangsa non Arab yang belum mengeyam Islam dengan penghayatan yang benar. (5)
Mengabaikan ilmu-ilmu terapan, ilmu kauniyah. (6) Banyak penguasa yang lengah oleh kekuasaannya, tertipu
oleh kekuatannya dan tidak memperhatikan perkembangan sosial. (7) Tertipu oleh tipu daya musuh-musuhnya,
kagum dan taklid terhadap apa yang mereka perbuat.[14]
2. Perpecahan Umat Islam dan kurang ukhuwah
Dijadikannya negara Muslim menjadi banyak dan kecil-kecil menjadikan umat Islam selalu dalam keadalaan
berpecah belah. Sehingga negara Muslim lebih banyak disibukkan dengan perebutan batas negara dan
munculnya paham sukuisme dan nasionalisme sempit.
Diungkapkan Fathi Yakan[15]
Sampai saat ini semua peranan bangsa Arab dan Islam hanya berada di pinggiran. Hampir tidak diperhitungkan
dalam menghadapi percaturan tatanan dunia baru. Perpecahan bangsa Arab dan Islam, tidak adanya proyek
Arab atau islam yang berskala internasional, menjadikan semua proyek Arab dan Islam hanya bersifat lokal dan
sektarian. … permasalahan pasetina, selalu tunduk pada kebijaksanaan politik nasional dan kepentingannya
sehingga tidak memiliki dimensi Arab, apalagi dimensi Islam
3. Fanatisme Mazhab
Bahkan hingga sekarangpun umat Islam masih sering terjebak dengan pembahasan permasalah Mazhab yang
notabene adalah permasalahan furu’ (cabang). Yang lebih sering perbedaan ini menimbulkan perpecahan, walau
banyak yang mengikuti mazhab dengan taklid bukan ‘ala bashira. Pada kajian-kajian keislaman kemudian juga
lebih membahas permasalahan perbedaan mazhab dan seringnya mengarah pada menjelekkan mazhab yang
lain. Seolah surga hanya untuk mazhabnya sendiri. Perdebatan qunut dan tidak qunut justru kadang lebih sering
dilakukan meski sudah tahu bahwa itu tidak akan selesai kecuali dengan menimbulkan ‘luka’, apalagi
permasalahan presiden wanita. Hal ini kemudian menjadikan umat Islam tidak mau bekerja sama untuk
menegakkan Islam. Justru lebih senang bergaul dengan orang sekuler atau non Islam. Ini jelas tidak
menguntungkan Islam. Padahal perbedaan semacam ini adalah sebuah keniscayaan. Yang harus dilakukan
justru adalah berhimpun bukan berpecah-belah.
4. Pluralisme Gerakan
Sebenarnya banyaknya gerakan Islam bisa menjadi suatu sinergi dakwah jika saja semua elemen itu memiki visi
bersama dan melakukan gerakan dengan landasan kebersamaan, profesionalisme dan spesifikasi gerakan.
Namun karena tidak ada misi bersama, yang terjadi saat ini adalah masing-masing gerakan bekerja nafsi-
nafsiyang kadang-kadang overleap sehingga tidak optimal. Bahkan banyak yang bertentangan secara diametral
sehingga justru malah menghasilkan resultan yang lebih kecil karena saling melemahkan. Dan malangnya,
kadang bukannya fastabiqul khairat malah saling menyikut, saling menyalahkan dan mengkafirkan. Lihatlah
bagaimana Salafy begitu sering menghujat Hizbut Tahrir, Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, begitu juga sebaliknya.
Atau kalau di Indonesia bagaimana NU, Muhammadiyah, dan Persis. Boro-boro untuk maju bersama, malah
sibuk dengan mencari kesalahan orang lain.
5. Tingkat Intelektualitas
Keterpurukan ekonomi biasanya memang dibersamai dengan kurangnya intelektual di sana. Kepengarangan
ilmiah dari negara-negara Muslim tidak ada yang mencapai 0.3% dari seluruh karya ilmiah dunia. Bahkan jika
digabungkan pun jumlahnya juga tidak mencapai 0.5%. dari seluruh dunia yagn menghasilkan 352.000 karya
ilmiah, negara-negara Muslim hanya 3.300, sedangkan Israel 6.100 buah.[16]
Yang sangat terkait dengan itu adalah pendidikan. Tingkat pendidikan dunia Islam masih sangat
memprihatinkan. Sistem pendidikan dinegara Muslim selama ini adalah sistem yang mengadopsi Barat yang
penuh dengan sekulerisme dan menimbulkan keraguan pada umat Islam tentang ajaran agamanya. Disekolah
justru para pemuda Islam diasingkan dengan ajaran Islam. Kepala mereka diisi dengan pemikiran-pemikiran
Barat. Pemuda Islam tidak diajarkan bagaimana sejarah masa lampau dan kejayaan agamanya. Malah diberikan
keraguan terhadap kesempurnaan Islam melalui kebohongan-kebohongan dan membelokan sejarah. Bangsa
Barat medirikan instritut-institut kebudayaan mereka. Hal ini bertujuan melepaskan pemuda Muslim dari warisan
budaya Islam dan mengagungkan apa saja yang berbau Barat. Meremehkan agama dan minder dengan
identitas keIslamannya. Mereka yakin bahwa semua yang datang dari Barat adalah sesuatu yang baik dan ideal.
[17]
6. Salah persepsi yang terhadap Ajaran Islam
Dampak lain dari keberhasilan sekulerisasi dan keminderan dengan identitas Islam adalah merosotnya
pemahaman Muslim terhadap konsep Islam sendiri. Kesempurnaan (syamil mutakammil) Islam tidak dikenal lagi.
Sehingga terjadi kerancuan dan kekaburan makna dan persepsi terhadap ajaran Islam. Tentang Jihad seolah-
olah diartikan sebagai perperangan. Seolah Islam disebarkan dan berkembang dengan semboyan ‘Quran
ditangan kiri dan pedang ditangan kanan’. Yang ternyata justru menakutkan bagi kaum Muslimin sendiri. Begitu
juga dengan konsep dakwah yang seolah berarti seorang yang ceramah kesana kemari sehingga hanya talk
only, no action. Selain itu dakwah seolah otoritasnya ustadz, kyai dan mubaligh saja. Begitu pula kesalahan
persepsi tentang penghargaan terhadap kaum wanita, tentang kenegaraan, tentang ilmu pengetahuan juga
tentang muamalah seperti jual beli dan riba, hukum waris.
7. Kurangnya komitmen melaksanakan ajaran Islam.
“Integritas kultur Islam dan kesatuan way of life Islam terpecah-pecah di dalam diri merekea, di dalam pemikiran
dan aksi mereka, di dalam rumah dan keluarga mereka.”. Jauhnya umat Islam dari kehidupan Islami
menyebabkan ajaran-ajaran Islam menjadi sesatu yang aneh justru bagi kaum Muslimin sendiri.
8. Gap antara kaum terpelajar dan kelas bawah.
Munculnya kaum intelektual Muslim adalah sebuah kemajuan bagi aset pengembalian peradaban. Namun
sayangnya orang-orang intelektual ini masih terlalu melangit. Hanya sibuk dengan diri dan intelektualitasnya saja
tanpa memandang kepada permasalahan konkrit yang dihadapi umat saat ini. Terdapat pula diantara kaum
intelektual ini orang yang telah sadar akan apa yang menimpa umat Islam dan telah memikirkan pula langkah-
langkah yang harus dilakukan. Namun terdapat kegagalan dalam mensosialaisasikan dan mengkomunikasikan
hal itu kepada kebanyakan umat. Intelektual ini gagal menyadarkan umat dengan kesadaran yang telah ia
peroleh. Sehingga terkesan perjuangan elit, bukan perjuangan umat.
a. Kelahiran ikhwanul Muslimin dan Jama’atul Muslimin
Pada tahun 1928, seorang guru sekolah berusia 22 tahun bernama Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul
Muslimin, gerakan paling berpengaruh pada abad kedua puluh yang mengarahkan kembali masyarakat muslim
ke tatanan Islam murni. Al Banna mengubah mode intelektual elite menjadi gejala popular yang kuat
pengaruhnya pada interaksi antara agama dan politik, bukan saja di mesir, namun juga didunia Arab dan Muslim.
[18]
Tujuan ikhwan sebenarnya terbatas pada pembentukan generasi baru kaum beriman yang berpegang pada
ajaran Islam yang benar, dimana generasi tersebut akan bekerja untuk membentuk bangunan umat ini
denganshibghah Islamiyah dalam semua aspek kehidupannya. Dan mengembalikan eksistensi khilafah sebagai
agenda utama dalam manhajnya. “Kendati demikian, Ikhwanul Muslimin juga menyakini bahwa semua itu
membutuhkan banyak persiapan yang harus diwujudkan.”[19]
Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa-dasawarsa terakhir.
Interpretasi Islamnya menajdi fondasi pemikiran kebangkitan Islam kontemporer. Pemikirannya banyak
mempengaruhi para pemikir Islam seperti Sayyid Qutb di Mesir sampai aktivis kebangkitan Islam di Aljazair, Iran,
Malaysia atau Sudan[20]. Jama’at-I Islami (Partai Islam) berdiri pada 26 Agustus 1941 di Lahore merupakan
gerakan religio-politik Islam tertua dari jenisnya[21]. Sejak berdirinya partai ini berjanji akan menciptakan tatanan
yang didambakan dialam temporal ini dan mendorong kaum Muslim untuk memulai revolusi Islam, untuk
membentuk masyarkata dan politik yang seuuai dengan ajaran agama seperti yang diinterpretasikan
maududi[22]. Tujuan jangkan pendek partai ini adalah menjaga kepentingan Islam diarena politik, dan
mengupayakan agar kekuatan sekular tidak melakukan konsolidasi kekuasaan. Gerakanlain yang juga dpat
dijadikan slah satu bentuk kebangkitan Islam adalah Revolusi Iran dengan Khameini[23]
b. Munculnya tokoh-tokoh intelektual pembaharu Islam
Perlawanan terhadap kondisi terpuruk umat Islam yang paling dikenal adalah perjuangan seorang tokoh Muslim
Jamaludi al Afgani (1838/9-1897). Beliau salah satu tokoh yang menyatakan kembali tradisi Muslim dengan cara
yang sesuai dengan berbagai problem penting yang muncul akibat Barat semakin mengusik Timur Tengah
diabad ke 19. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan warisan Islam secara tidak kritis
disatu pihak dan peniruan membabi buta terhadap Barat di lain pihak. Afgani menjadi perintis penafsiran modern,
seperti penggunaan akal, aktivisme politik, serta kekuatan Islam[24].
Al Afghani menyerukan lewat pidatonya seruan anti inggris, yang karenanya ia diusir dari Mesir. Ia juga
mendorong pada pengikutnya tahun 1870-an untuk menerbitkan koran yang disana merka menyebarkan
pemikiran mereka. Pemikiran-pemikiran al Afghani ini kemudian banyak ditiru oleh murid-muridnya seperti
Muhammad ‘Abduh dan juga Ikhwanul Muslimin.
Muhammad ‘Abduh menyadari kemunduruan masyarakat Muslim bila dikontraskan dengan masyarakt eroapa.
Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oelh hegemoni eropa yang mengancam
eksistensi masyarakat Muslim dan juga oleh realitas internal seperti situasi yang diciptakan oleh kaum Muslim
sendiri[25].
Mirip dengan yang dikatakan Afghani, ‘Abduh beranggapan bahwa Eropa bagaimanapun harus dilawan karena
mereka adalah agresor yang ingin merebut negeri bangsa lain. Orang mesir menderita karena tidak
membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta. Untuk
memulai pembaruan, menurut Muh ‘Abduh kita perlu kembali kepada pokok-pokok iman yang dipandang
sebagai Islam yang sebenarnya oleh berbagai mazhab, berbagai kelompok. Dia menyerukan agar digunakan
tradisi yang terbaik dan agar taklid buta dikutuk, karena merintani kemajuan. ‘Abduh membuat tafsir al Quran,
karena baginya prinsip yang menjadi dasar dari kebangkitan bangsa merupakan kepercayaan pokok bahwa
risalah al Quran bersifat universal dan meliputi segalanya. Beliau juga concent dengan isu pendidikan dengan
mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing dan juga mengkritik sekolah yang didirkan
pemerintah. “Katanya, disekoah misionaris siswa dipaksa mempelajari Kristen sedangkan di sekolah pemerintah
sisiwa tidak diajar agama sama sekali.”[26] Nama-nama lain yang kemudian muncul adalah Sayyid Quthb dan Ali
Syariati.
c. Lahirnya para aktivis dakwah yang mentransformasikan nilai Islam kedalam masyarakat secara langsung
Kelahiran perlawanan terhadap usaha Yahudi untuk menguasai Palestina yang kemudian dikenal dengan
Hamas dan intifadhah adalah juga merupakan wujud kesadaran realitas. Mereka dengan kemampuan seadanya
berusaha dengan banyak cara selain untuk menghancurkan musuh juga menyadarkan masyarakat dunia akan
penderitaan Muslim di sana.[27] Di Turki fenomena kebangkitan Islam terwujud dalam semakin bersaingnya para
pelaku ekonomi Islam yang menggunakan syariat Islam, dan kemudian eksisnya partai Politik Islam Reefah yang
sempat memenangkan pemilu meskipun kemudian militer-sekuler menurunkannya. Begitu pula dengn FIS di
Aljazair merupakan perwujudan semakin banyaknya kelompok Islam yang mencoba mentransformasikan nilai-
nilai keislaman kedalam realitasnya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, fenomena mulai bangkitnya kesadaran umat ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh
cendikiawan Muslim, Nurcholis Madjid dan Amien Rais adalah salah dua contohnya. Begitu pula dengan
kelahiran ICMI diawal 80-an dianggap sebagai wujud semakin diseganinya kaum Muslimin Indonesia. Dan
terakhir kemunculan partai partai Islam dalam pemilu 1999, meski saat ini belum memberikan signifikansi yang
besar.
Dalam taraf internasional muncul pula tokoh-tokoh Muslim yang dikenal tidak cuma karena gagasannya terhadap
Islam, tapi juga tidak sedikit karena keahlian dan profesionalitasnya di bidang masing-masing. Sebut saja Ismail
Raji al Faruqi, Ziauddin Sardar, Syed Hossein Nasr, Fazlur Rahman dan Abdus Salam. Bahkan yang terakhir ini
juga meraih nobel fisika. Penokohan dibarengi pula denga munculnya pusat-pusat kajian Islam dan
perkumpulan/organisasi Muslim, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), World Assembly of Muslim
Youth (WAMY), Islamic Federation of Student Organizations, National Hijrah Committee. Belum lagi penerbitan
dan jurnal yang terkait dengan studi-studi keIslaman yang begitu banyak. Yang dengan teknologi juga dengan
mudah didapatkan situs-situs Islam di internet.
- Diskusi-diskusi dikalangan intelektual Muslim juga dihiasi dengan ide-ide besar seperti Islamisasi ilmu
pengetahuan, dan upaya konteksualisasi ajaran Islam dengan mengkomparasikannya dengan konsepsi Barat
seperti demokrasi, gender, sistem perekonomian, parlemen, perbankan dll. Semuanya dengan kesadaran
bersama bahwa hal tersebut dalam rangka membentuk peradaban Islam.
- Maraknya gerakan back to Islam, seperti jilbab, pengkajian Islam (Tekstual maupun kontekstual), bank syariah,
sufi modern. Dan yang sangat serius dalam hal ini lebih banyak kaum muda Muslim. Kesadaran, pemahaman
dan ghirah berIslam ini menjadikan mereka memiliki kebanggaan Islam dan izzah yang tinggi. Dan yang tidak
kalah menonjolnya adlah upaya pembuktian konkrit akan keunggulan Islam sperti menjalanlan sistem perbankan
syariah dan telah terbukti dibeberapa tempat lebih baik dan menguntungkan seperti Malaysia, kepartaian seperti
di turki dan aljazair. Karena memang saat ini umat membutuhkan bukti, tidak sekedar janji-janji dan impian serta
romantisme masa lalu.
Sampai dengan tercapainya cita-cita membentuk peradaban Islam membutuhkan waktu yang lama, bahkan
beberapa generasi. Namun bagaimanapun hal itu harus dimulai sejak sekarang. Dan selain waktu yang lama
juga dibutuhkan pemikiran yang mendalam dan intelektual muslim yang berkualitas. Karenanya upaya ini harus
senantiasa dikontinukan dan harus ada pewarisan ide dan langkah kerja.
Merekayasa pekerjaan untuk membangun kembali peradaban Muslim membutuhkan perumusan baru dalam
pendekatan terhadapa Islam sebagai peradaban. Hanya dnegna mendekati Islam sebagai peradaban masa
depan, kita bisa sungguh-sungguh berbuat adil kepad dien Islam. Lebih dari itu rekonstruksi peradaban Muslim,
secara esensi merupakan suatu proses elaborasi pangadngan dunia Islam. Ia adalah proses pemberian format
dan sekaligus transformasi terus-menerus untuk mengubah fakta-fakta menjadi nilai-nilai; aksi-aksi menjadi
tujuan-tujuan; dan harapan-harapan menjadi kenyataan-kenyataan.[28]
Untuk mencapai tujuan bersama peradaban Islam, sekiranya ada beberapa hal-hal penting sebagai piranti utama
dari peradaban itu.
Islamisasi Pengetahuan
Pada era modern saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan sudah sangat pesat. Namun diakui bahwa itu
semua dikembangkan sangat banyak oleh orang Barat, bukan kaum muslimin. Ilmu pengetahuan seolah menjadi
senjata yang sangat ampuh untuk menaklukkan alam semesta. Begitu strategis peran ilmu pengetahuan ini.
Para intelektual muslim mulai menyadari hal tersebut dan muncullah kemudian upaya islamisasi pengetahuan.
“karena pilar peradaban modern adalah ilmu pengetahuan maka sejumlah pemikir merasa sangat
berkepentingan untuk menelaah kembali ilmu pegetahuansecara kritis. Para pemikir memandang strategis untuk
memberi prioritas yang besar dan utama terhadap pengembangan ilmu demi memcahkan problem diatas.
Kalangan ilmuan Muslim mersaperlu melakukan revitalisasi peradaban (c.q. ilmu pengetahuan) dengancara
langkah: Islamisasi ilmu”[29]. Gagasan Islamisasi ini dipelopri oleh Islamil Raji al Faruqi dengan lontaran
gagasannya melalui Islamization of Knowledge dalam The First International conference of Islamic Thought dan
Islmization of Knoledge (Islamabad, 1982). Ia juga mendirikan The International Institute of Islamic Thought
(1981) di Washington.
Mengenai pemaknaan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang masih dalam perdebatan, tokoh-tokoh yang
memiliki pandangan yang berbeda tentang Islamisasi pengetahuan ini dapat diwakili oleh Islamil Raji al Faruqi,
Ziauddin sardar, Pervez Hoodbhoy, Fazlur Rahman.
Al Faruqi menyatakan bahwa pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akan dlam
diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena itu
diperlukan Islamisasi ilmu dan upaya itu haurs beranjak dari tahudi. Ilm pengetahuan Islami selalu menekankan
adanay kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup[30]
Fazlur Rahman penanggapi ide ini dengan pendapat yang berbeda. Rahman berpendapat bahwa kita tidak perlu
melakukan Islamisasi ilmu. Yang perlu kita lakukan adlah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang
memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Tampaknya Rahman sangat mementingkan untuk
menghasilkna manusia manusia-manusia yang mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup baik dan dengan
begitu sacarakotamatis akan dihasilkan manusia yang mampu menghasilkan karya secara nyata. Ziauddin
Sardar juga sepakan dengan usualan Al Faruqi meski berbeda mengenai langkah-langkahnya. Menurut sardar
langkah yang harus dilakukan adlah dengan membangun pandangan dunia (world view) Islam dengan titik pijak
utama membangaun epistemologi Islam. Sardar justru menghawatirkan dengan langkah Al Faruqi malah adalah
westernisasi Islam, bukan Islamisasi pengetahuan.
Al Faruqi sendiri mengusulkan 12 langkah utnuk Islamisasi ilmu yakni (1) penguasaan disiplin ilmu pengetahuan
modern, (2). survei disiplin ilmu, (3). penguasaan khazanah Islam: sebauah Ontologi, (4). penguasaan khazanah
ilmiah Islam: sebuah sintesa, (5) penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, (6).
penilaian kritis terhadapilmu maodern, 7 penilaiak kritis terhadap khazanah Islam, (8). survei permasalahanyang
diahadapai umat Islam, (9) survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, (10) analisis kreatif dan sintesis,
(11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan (12) penyebarluasan ilmu yang telah
diIslamisasikan itu.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Dr. Thaha Jabir al alwani, beliau menganggap yang diperlukan pada ilmu
pengetahuan saat ini adalah taujih (pengarahan) sehingga sasaran dan tujutan ilmu-ilmu itu diarahkan dengan
arahan yang Islami.
Misalnya semua ilmu pengetahaun dan persoalan pemikiran yang berkaitan dengan objek-objek ilmu alam
fenomena, sifat materi, karakteristik dsb. adalah temasuk masalah bersama antara kita dan sekluruh umat
manusia. Metodenya terlihat jelas dnegan sifat kenetralan yang bersifata ilmiha; karena masalah ilmu alam
didasarkan atas eksperimen yang dapat dilihat dan dirasakan denga kehidupan materi.”[31]
Apapun cara dan langkah serta pemahaman tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, yang jelas yang diinginkan
bersama adalah bahwa umat Islam dapat menguasai ilmu pengetahuan sehingga dengan itu dapat lebih
mensejahterakan umat dan menggukan ilmu pengetahuan untuk kepenitngan kebaikan dan kebahagian umat
manusia. Dan dengan ilmu pengetahuan dapat lebih mendekatkan manusia kepada penciptanya dan lebih
mengetahui tentang hakikat alam semesta, termasuk dirinya. “Ilmu pengetahuan adalah hikmah yang hilang dari
umat Islam, oleh karena itu umat Islam harus mengambilnya dimanapun ditemukan”.
Konsekuensi dari penguasaan ilmu pengetahuan adalah penguasaan teknologi. Hal ini sangat membantu umat
Islam dalam upaya mensejahterkan umat Islam. Tanpa struktur pengetahuan yang baik, teknologi tidak bisa
dikuasai secara penuh, pengalaman dibeberapa negara yang hanya mengcopy teknology bangsa lain hanyalah
menghasilkan teknologi yang senantiasa bergantung pada orang lain. Sendang pengembangan teknologi sendiri
berhenti karena tidak punya landasan keilmuan. Sehingga senantiasa menjadi mengguna teknologi, bukan
pengembang dan senantiasa tertinggal dari negara lain. Kondisi Negara Muslim saat ini masih sangat rendah
penguasaan teknologinya. Hal ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Tapi hal ini menjadi landasan
bagi kemandirian negara Muslim.
Intelektualitas muslim tidak cuma diartikan dengan munculnya muslim berkualitas tinggi. Tapi juga
membutuhkankuantitas yang tidak sedikit. Kuantitas intelektual ini terkait pada lapangan kerja dan tenaga ahli.
Kurangnya tenaga ahli muslim terkadang memaksa untuk tetap saja mengimpor sumber daya dari luar
sedangkan orang pribumi hanyalah buruh kelas rendah dengan gaji yang rendah pula.
Kemandirian ekonomi negara Muslim
Kemandirian ekonomi negara Muslim adalah hal yang seharusnya dijadikan hal penting. Meski saat ini kondisi
perekonomian hampir disemua negara Muslim dalam kondisi memprihatinkan, namun basis-basis bagi
kemandirian itu harus ditanamkan dengan kokoh. Selain iptek yang tak kalah penting adalah pertanian mengarah
pada swasembada, kemudian usaha-usaha bagi pemenuhan kebutuhan primer masyarakat[32]. Hal terakhir ini
sangat penting dalam kemandirian dan independensi negara-negara Muslim. Kita mana mungkin bisa lantang
menyuarakan kebenaran jika itu terkait dan dapat menyinggung perasaan negara donor atau negara tempat
mengimpor bahan pokok. Selain itu pembangunan yang butuh banyak dana dapat dilakukan dengan
kebersamaan sesama negara Muslim. Meski uang negara muslim tidak sebanyak IMF atau World Bank. Tapi hal
ini akan menjamin independensi dan semangat kemandirian negara muslim.
Tugas yang tak kalah penting dan mendesak adalah membentuk pribadi-pribadi yang memiliki loyalitas
yang tinggi kepada Islam yaang berlandaskan atas pengetahuan (‘ala Bashira) yang utuh terhadap ajaran
Islam. Pembentukan syakhsiyah islamiyah ini harus dilakkan secara terus menerus dengan intens, karena
pribadi-pribadi inilah yang akan mengisi, bekerja dan berjuang membangun peradaban muslim. Kepribadian
yang dimaksud adalah juga melingkupi pola fikir dan tingkah laku yang mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai
keislaman secara kaaffah. Dari pribadi-pribadi Islam akan terbentuk keluarga yang islami yang membina
keluarganya secara islami dan melahirkan kader dakwah, dari keluarga ini akan tercipta masyarakat yang islami
dan kemudian akan membentuk kebudayaan Islam dan pada muaranya akan tercipta peradaban Islam.
Menjadi orang yang tercerahkan (dapat menyatu dengan masyarakat menghilangkan gap intelek non intelek).
Dr Ali Syari’ati menyatakan bahwa seorang intelektual haruslah mampu mengkomunikasikan ide dan
keintelektualannya kepada masyarakat, yang dengan itu ia lebih mudah membangun masyarakatnya. Beliau
menyebut orang-orang seperti ini dengan sebutan orang-orang yang tercerahkan.
Siapakah orang yang tercerahkan itu? Pendeknya, orang yang tercerahkan adalah iorang yang sadar akan
‘keadaan kemanusiaan’ (human condition) di masanya, serta setting kesejarahnnya dan kemasyarakatnnya.
Kesadaran semacam ini dengan sendirinya akan memberinya rasa tanggung jawab sosial. Jika kebetulan ia
termasuk kalangan terpelajar, maka ia akan lebih berpengaruh; dan jika tidak, maka kurang pula pengaruhnya.
[33]
Mereka bertujuan untuk memberikan kepada ummatnya suatu keyakainan bersama yang dinamis yang
membantu mereka untuk menacaapai kesadaran diri dan merumuskan cita-cita mereka. Dengan demikian maka
intelektual adalah bukan sekelompok elit seperti menara gading yang bercerita dan berangan-angan tentang
peadaban Islam namun gagal mentransformasikan hal itu kedalam masyarakat dalam bentuk-bentuk yang nyata.
Termasuk diantaranya adalah organisasi gerakan Islam. Organisasi maupun LSM muslim harus mampu
membumi dan menyatu dengan rakyat sehingga gagasan yang muncul bisa dengan cepat tertransfer kedalam
masyarakat Islam. Gerakan Islam bukanlah semata gerakan elit[34].
Membentuk jaringan dan kerjasama antar gerakan dan elemen organisasi Islam. Lembaga, pusat studi dan
kajian serta ormas Islam harus memiliki jaringan yang kuat dan luas sehingga informasi dan ukhuwah dapat
senantiasa terbina. Dari sana kemudian gagasan kemajuan Islam dapat disintesiskan dan kerja serta gerakan
dapat disinergiskan sehingga dakwah bisa lebih optimal. Dari sana kemudian dapat senantiasa dilakukan
kerjasama (lokal, nasional dan internasional) sehingga pengaruh bisa lebih besar lagi. OKI seharusnya bisa lebih
diberdayakan utnuk lebih mengoptimalkan gerakan Islam internasional.
Dengan bekal jaringan dan kerja sama global ini dapat dilakukan upaya-upaya nyata pembumian ajaran Islam
dengan mempraktikkan ajaran Islam secara utuh, tanpa adaptasi produk sekuler. Pendirian bank syariah
misalnya dapat dilakukan dengan kerjasama global dunia Islam sehingga bisa lebih berpengaruh. Begitu pula
sistem perdagangan. Dan dengan mempraktekkan secara nyata ini juga sarana untuk membuktikan kepada
seluruh manusia akan keunggulan ajaran Islam. Umat Islam harus mampu membuktikan bahwa bank syariah
dan sistem perdagangan Islam lebih unggul, menguntungkan dan profesional, melalui persaingan secara sehat
dengan sistem kapitalisme.
Konsentrasi memperbaiki pendidikan juga menghapus sekulerisasi dari akar-akarnya. Islamisasi ilmu juga
harus pula dibarengi dengan upaya memperbaiki kebobrakan sistem pendidikan. Hal ini mutlak dilakukan karena
dari pendidikan inilah generasi muda dibentu. Semua tokoh pembaharu dan penyokong gagasan islamisasi sains
sepakat bahwa perbaikansistem pendidikan adalah hal yang urgen bagi terbentuknya peradaban Islam. Bahkan
Sardar menulis bab khusus bertajuk “merumuskan kembali konsep universitas Islam”. Bagaimanapun sistem
pendidikan masih didominasi oleh pemikiran sekulerisasi. Oleh karena itu perlu usaha keras untuk melakukan
perbaikan sistem.
Ukhuwah Islamiyah, bagaimana menghapuskan perselisihan panjang antar negara Muslim. Jika itu
menyangkuy egoisme, nasionalisme sempit kesukuan, maka persatuan umat Islam tidak akan terwujud. Yang
harus dibangun adalah kesadaran bahwa umat Islam saat ini tengah dalam kondisi terpuruk, oleh karenanya
umat Islam harus berupaya menegakkan kembali izzah Islam dan hal itu membutuhkan banyak energi, oleh
karenanya sangat dibutuhkan persatuan dan persaudaraan dikalangan umat Islam sehingga dapat dibentuk
sinergi. Sehingga negara-negara muslim juga harus berupaya bekerja sama dalam banyak bidang yang itu dapat
lebih mengoptimalkan usaha mengembalikan kejayaan Islam.
Tentu saja bahwa selalu ada saja berbedaan diantara kaum muslimin, baik itu suku, negara, mazhab dll, namun
hendaklah kita bekerjasama dalam hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang berbeda. Karenanya
tidak ada saling jegal dan menjatuhkan antar negara muslim sendiri.
Tindak lanjut dari adanya kesatuan dan kekeluargaan itu adalah harus ada upaya memunculkan kesadaran akan
urgensi gerakan yang kontinu dan kebangkitan kolektif umat itslam. Karenanya forum-forum yang
menghubungkan negara-negara muslim seperti OKI harus betul-betul mampu membangun visi bersama umat
Islam dan menjaga stamina gerakan persatuan dan persaudaraan.
Perlu pula mengembangkan gerakan dan organisasi dakwah berskala internasional yang dalam
pengelolaan dan strukturnya tidak serumit membangaun pola hubungan negara-negara. Gerakan atau
oragnaisasi ini lebih mudah untuk menyatukan visi dan fikrah dakwah dari anggotanya meskipun lintas negara.
Hal ini akan lebih dapat menyatukan umat Islam dalam persaudaraan dan kasih sayang. Telah ada gerakan
dakwah internasional seperti Hizbut Tahrir, Salafy, Ikhwanul Muslimin, Tabligh dll. Gerakan seperti ini relatif lebih
mampu membangun solidaritas dikalangan muslim, membangun perasaan senasip meski beda negara, bahkan
perhatian yang besar terhadap kondisi, penderitaan dan perkembangan muslim ditempat lain. Dan gerakan
semacam ini tidak akan terkendala dengan faham nasionalisme sempit. Pemahaman gerakan ini terhadap
nasionalisme adalah dimana ada kaum muslimin, itulah tanah air Islam. Baik organisasi pergerakan maupun
negara muslim memang harus memiliki misi besar dan bersama yakni menegakkan peradaban Islam dan
penegakan syumuliatul Islam serta mewujudkan daulah Islamiyah ‘alamiyah. Negara maupun
Demikianlah, bahwa dengan kondisi yang terjadi denganumat Islam saat ini, permasalahannya yang kompleks
tidak boleh menjadikan umat berputus asa, malah hal ini menjadi tantangan besar bagi umat, khususnya
intelektual muslim untuk mengupayakan tercipanya kesadaran bersama dan usaha-usaha berbaikan yang
sinergi antar seluruh elemen muslim. Dan hanya dengan bersungguh-sungguh sajalah langkah-langkah menuju
terbentuknya peradaban Islam dan pengembalian kejayaan Islam itu dapat terwujud..
[1] Isma’il Raji al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Pustaka, Bandung, 1995
[2] Fathi Yakan, Globalisasi Telaah dan Peran Islam Terhadap Tatanan Dunia Baru. Pustaka Progresif,
Surabaya, 1993
[3] Nabil bin Abdurrahman al Muhaisy, Virus Fikrah: Melemahkan Ketahanan Ummat”, WALA Press, Jakarta,
1994.. Untuk tulisan yang khusus membahas tentang Ghazwul fikri ini lengkap dengan target, penguasaan dll
lihat Dr Abdul Shabur Marzuq, Ghazwul Fikri Invasi Pemikiran,
[4] Prof. Abdul Rahman H Habanakah, Metode Merusak Akhlak dari Barat, GIP 1995
[5] Dalam buku R Garaudy. “Zionis Sebuah Gerakan Agama dan Politik, GIP, Jakarta, 1995 dibahas dengan
tuntas sepak terjang Yahudi.. Buku lain yang juga mengungkap Zionis selain endnote 3 adalah Ghazi Bin
Muhammad Al Qarni, Menyingkap Konspirasi Kejahatan Yahudi. CIP, 1997. Buku ini mengungkap Yahudi dan
zionis lebih banyak mengacu pada tabiat utamanya yang ada di Al Quran dan Injil. Juga mengungkap tentang
Zionist Sages Protocols, kitab undang-undang Yahudi. Endnote 1 juga membahas zionis (hal 31-42)
[6] Nabil, op. cit.
[7] Di buku virus fikrah dikutipkan pula perkataan samuel Zuwaimer ketua konferensi kristenisasi di Yerussalem
tentang hal ini. (hal 24)
[8] M Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
[9] Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam. Mizan, Bandung, 1989
[10] Dalam buku prosiding simposium Islamisasi Sains (diselenggarakan di Indonesia … LUPA) terdapat sebuah
makalah yang didalamnya ada bab khusus mengenai imperialisme epistemologi
[11] Hasan al Banna menulis artikel khusus “Tirani Materialisme di Negara-negara Muslim”. Dalam rangkaian
buku Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan, Intermedia, Solo, 1998
[12] Buku terbaru Suharsono et al, Pola Transformasi Islam: Refleksi atas Sistematika Nuzulnya Wahyu, Inisiasi
Press, 1999
[13] Beliau menuliskannya dalam Abdullah Azzam, Pelita yang Hilang, Pustaka Al Alaq, Solo, 1993. Diceritakan
keruntuhan Khilafah Islamiyah dan banyak mengangkat Perjalanan hidup dan siap sebenarnya Mustafa Kemal
sampai dengan kematiannya.
[14] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan 2, Intermedia, Solo, 1998 diceritakan tentang Ikhwanul Muslimin
diawal berdirinya dengan pengungkapan tujuan, cara dan sikapnya terhadap apa yang terjadi pada umat.
[15] Dalam Fathi Yakan op. cit. juga dituliskan tentang dimana posisi umat Islam dalam tatanan dunia baru.
[16] Pervez Hoodbhoy, Sains dan Islam: Usaha Memenangkan Rasionalitas, , 1973. Beliau memasukkan banyak
data-data tahun 1983 tentang kondisi intelektualitas Negara Muslim dan dibandingkan dengan seluruh dunia
[17] Lihat Ismail Raji al Faruqi op.cit. ditambahkan sebuah permasalahan lagi, yakni tidak adanya ketajaman
wawasan (vision). “Itulah sebabnya selama hampir 2 abad dengan sistem pendidikan sekular barat, kaum
Muslimin tidak mengahsilkan sesuatu pun juga yang sebanding kreativitas atau kehebatan barat”.
[18] David Commins, “Hasan al Banna”, dalam Ali Rahnema ed., Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan,
Bandung, 1996
[19] Hasan Al Banna op. cit. hal 311. Selain buku tersebut sebenarnya sangat banyak buku yang membicarakan
Ikhwanul Muslimin, baik yang memuji maupun mencela.
[20] John L Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, Mizan, Bandung 1994 menuliskan dampak pemikiran
Maududi pada gerakan Islam di dunia Arab, Afghanistan, Iran dan Malaysia.
[21] Ibid (lagi) hal 115. buku lain yang menceritakan tentang sepakterjang al Maududi dan Jama’ati Islami adalah
“Upaya Al Maududi Memurnikan Ajaran Islam” (LUPA)
[22] Buku tentang Al Maududi lain yang membicarakan tentang negara adalah (kalo’ tidak salah judul) Islam dan
Negara Pemikiran al Maududi, GIP 1995/6
[23] Dalam Ali Rahnema op. cit. juga dibahas nama Khomeini. Dan dalam buku-buku terbitan Mizan juga cukup
banyak tentang Khomeini, Iran dan Syi’ah.
[24] Ali Rahnema op. cit.. dan HAMKA, Said Jamaluddin al Afghani, Bulan Bintang, Jakarta, 1981
[25] Ibid., hal 53
[26] Ibid., hal 59
[27] Ahmad Izzudin, Hamas dan Intifhadhah, GIP, Jakarta, 1993
[28] Ziauddin Sardar mengambil kutipan ini dari ‘Reconstructing the Muslim Civilization’, Afkar Inquiry 1984.
dalam Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, Risalah Gusti, Surabaya, 1998. Sardar juga menggambarkan
peradaban Muslim dengan skema berbentuk bunga, meliputi 7 bidang dalam pusat bunga, lingkaran konsentris
dan daun primer
[29] Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem
Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
[30] Pemikiran Islamisasi pengetahuan Raji al Faruqi dpat ditelaah Ismail Raji al Faruqi juga makalahnya dalam
Internasional Conference of Islamic Thougt and Islamizations of Knowledge.
[31]Thaha Jabir al ‘Alwani, Krisis Pemikiran Modern: Diagnosisi dan Resep Pengobatan,. LKPSI, Jakarta, 1989
[32] Pervez hoodbhoy, op. cit., menunjukkan bagaimana negara-negara Muslim masih sangat tergantung pada
negara barat dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
[33] Dr. Ali Syari’ati, op. cit.
[34] Fathi Yakan, op. cit., juga dibahas tentang gerakan elit dan beberapa kelemahannya.