Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

29
PROBLEMATIKA NASIONALISME AKIBAT DARI GLOBALISME Oleh: SUTANTO, SKM, M.AP Matrikulasi Pasca Sarjana Kajian Strategis Ketahanan Nasional Lemhannas RI-Universitas Gadjah Mada A. Pendahuluan 1. Latar belakang Kemerosotan nasionalisme memiliki banyak bentuk dan semuanya berbahaya. Bahaya terbesar dari sebuah ”negara-bangsa” yang tengah ditimpa kebangkrutan nasionalismenya ialah jika kesetiaan tertinggi pemerintah tidak lagi kepada negara dan bangsanya, melainkan lebih kepada mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya. Dengan begitu prinsip-prinsip nasionaslime dilanggar, kekayaan negara digerogoti, sementara hak dan kebutuhan dasar rakyat dibiarkan terbengkalai. Saat ini banyak yang percaya bahwa rasa nasionalisme bangsa benar-benar sedang sakit. Bahkan, ”negara-bangsa” itu sendiri tengah mengalami sekarat dan seolah tidak 1

description

Kemerosotan nasionalisme memiliki banyak bentuk dan semuanya berbahaya. Bahaya terbesar dari sebuah ”negara-bangsa” yang tengah ditimpa kebangkrutan nasionalismenya ialah jika kesetiaan tertinggi pemerintah tidak lagi kepada negara dan bangsanya, melainkan lebih kepada mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya. Dengan begitu prinsip-prinsip nasionaslime dilanggar, kekayaan negara digerogoti, sementara hak dan kebutuhan dasar rakyat dibiarkan terbengkalai. Saat ini banyak yang percaya bahwa rasa nasionalisme bangsa benar-benar sedang sakit. Bahkan, ”negara-bangsa” itu sendiri tengah mengalami sekarat dan seolah tidak diperlukan lagi. Dari tahun ke tahun kesadaran nasionalisme merosot tajam, hanya ada dalam upacara, pidato-pidato, dan semakin merosot ke dalam retorika ’prosaik’ tanpa solusi masalah masa kini. Apakah ini merupakan pengaruh dari era globalisasi sekarang ini?Silahkan membaca dan mengkritisnya. Mungkin tulisan saya ada yang salah atau perlu penambahan bahkan koreksi. Kami akan menerima dengan tangan terbuka. Terima kasih. Penulis

Transcript of Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

Page 1: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

PROBLEMATIKA NASIONALISME AKIBAT DARI GLOBALISME

Oleh: SUTANTO, SKM, M.AP

Matrikulasi

Pasca Sarjana Kajian Strategis Ketahanan Nasional

Lemhannas RI-Universitas Gadjah Mada

A. Pendahuluan

1. Latar belakang

Kemerosotan nasionalisme memiliki banyak bentuk dan

semuanya berbahaya. Bahaya terbesar dari sebuah ”negara-bangsa”

yang tengah ditimpa kebangkrutan nasionalismenya ialah jika kesetiaan

tertinggi pemerintah tidak lagi kepada negara dan bangsanya, melainkan

lebih kepada mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya.

Dengan begitu prinsip-prinsip nasionaslime dilanggar, kekayaan

negara digerogoti, sementara hak dan kebutuhan dasar rakyat dibiarkan

terbengkalai. Saat ini banyak yang percaya bahwa rasa nasionalisme

bangsa benar-benar sedang sakit. Bahkan, ”negara-bangsa” itu sendiri

tengah mengalami sekarat dan seolah tidak diperlukan lagi.1 Dari tahun ke

tahun kesadaran nasionalisme merosot tajam, hanya ada dalam upacara,

pidato-pidato, dan semakin merosot ke dalam retorika ’prosaik’ tanpa

solusi masalah masa kini.2

1 Lihat misalnya Kenichi Ohmae, The End of The Nation State. The Rise of Regional Economies (New York, London and Tokyo: The Free Press, 1995). 2 Lihat misalnya, hasil survey ‘jajak pendapat’ Kompas (18 Agustus 2007), berjudul ”Nasionalisme di atas Papan Global”, menunjukkan kecederungan ini. Sejumlah indikator (a.l. “kebanggaan menjadi orang Indonesia”, “rasa memiliki”) dan lain-lain, digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran ”nasionalisme” dan hasilnya amat merisaukan karena merosot tajam dibadingkan dengan survey serupa (2002) sampai 80,8% dalam hubungannya dengan kepemimpinan bangsa dan makin lemahnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari (72,9%). Meskipun gambaran ini bukan kesimpulan definitif, melainkan indikatif, kondisinya memang sudah mencemaskan.

1

Page 2: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

Pada saat satu abad ”Hari Kebangkitan Nasional” (Harkitnas),

diperingati secara besar-besaran tahun lalu di Stadion Bung Karno. Tak

hanya lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi juga cukup unik,

dan agaknya baru pertama kali terjadi. Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menginstruksikan agar peringatan 100 Tahun Harkitnas

diperingati sepanjang tahun 2008. Ada juga kegiatan inti lainnya. Di tiap-

tiap provinsi diinstruksikan mengumpulkan ”tanah” dan ”air” dalam jumlah

tertentu, kemudian dibawa oleh masing-masing delegasi daerah ke

Jakarta. Semuanya, mulai dari pengambilan ”tanah” dan ”air” di daerah,

demikian penyambutan di Jakarta penuh dengan upacara. Begitulah tiap

bulan sepanjang tahun, kalender Indonesia ditandai tanggal ”merah”.

Sebagian besar berkenaan dengan hari bersejarah. Umumnya diperingati

dengan serangkaian upacara. Para pegawai negeri melakukan apel

bendera, sambil mengulang-ulang kegiatan lainnya: lagu kebangsaan,

pembacaan teks Pancasila, berdoa, dan berziarah ke makam pahlawan.

Pada moment itu, peringatan bersejarah merupakan gudang mengenang

’kebesaran’ masa lampau dan pidato resmi yang diedarkan secara

nasional mengulang-ulang kisah sejarah, dengan retorika yang makin

merosot ke dalam kata-kata tanpa solusi masalah masa kini.

Ada apa dengan nasionalisme Indonesia? Apakah kita perlu

merumuskan suatu nasionalisme dalam konteks kekinian? Adakah

kemerosotan nasionalisme ke-Indonesiaan dewasa ini berkaitan erat

dengan kuatnya kekuatan tarik menarik antara globalisasi internasional di

satu pihak dan primordialisasi lokal di lain pihak? Apakah

etnonasionalisme betul-betul merupakan ancaman terhadap nasionalisme

ke-Indonesiaan di masa depan? Apakah isu-isu kedaulatan, kemandirian,

otonomi, dan kepribadian dalam konteks globalisme dewasa ini,

menyiratkan adanya kekuatan baru (”neo-imperialisme”/”neokolonialisme”)

yang tengah mengancam kemerdekaan nation-state NKRI dewasa ini?

Apakah globalisasi yang terjadi berdampak terhadap menurunnya rasa

2

Page 3: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

nasionalisme atau bahkan sebaliknya? Dikarenakan globalisasi dianngap

sebagai ancaman global dalam pembangunan misalnya ancaman sosial

ekonomi, konflik antar negara, konflik internal, Senjata nuklir biologi, kimia

radiologi, terorisme dan kejahatan lintas negara (TOC). Banyak sekali

muncul pertanyaan yang timbul jika kita bicara tentang hal ini.

2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diambil

rumusan masalah yakni apa problematika nasionalisme jika dihadapkan

dengan globalisme yang melanda dunia

B. Pembahasan

1. Pengertian nasionalisme

Nasionalisme menurut wikipedia adalah satu paham yang

menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam

bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas

bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap

negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political

legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya",

debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber

dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola

pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup

bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu,

naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka

untuk mempertahankan negerinya, tempat hidup dalam menggantungkan

diri.

3

Page 4: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada kegiatan

perpolitikan dan ketentaraan. Adapun bentuk-bentuk dari nasionalisme

adalah sebagai berikut:

a. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)

adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh

kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak

rakyat"; "perwakilan politik".

b. Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana

negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis

sebuah masyarakat.

c. Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme

organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme

etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semula

jadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat

romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada

perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah

tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.

d. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme

dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya

bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras

dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang

menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur

ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras

minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok.

Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat

Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah

banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis

Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC

karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.

e. Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme

kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme

etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih

4

Page 5: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan

suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip

masyarakat demokrasi.

f. Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana

negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.

Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah

dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di

Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan

agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang

diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.

Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama

hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok

tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia

dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan

nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan

teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham

yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara

merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme

kerap dikaitkan dengan kebebasan.

2. Pengertian globalisme

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah

universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali

sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi

mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses

sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa

seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,

mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi

5

Page 6: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya

masyarakat.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek

yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang

memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang

ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling

mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan

ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak

mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar

terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-

bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan

orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin

berkembangnya fenomena globalisasi di dunia:

a. Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar

negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia

b. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu.

Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi

satelit dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi

demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa

semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari

budaya yang berbeda.

c. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang

berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari

pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh

perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam

World Trade Organization (WTO).

d. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan

media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita

6

Page 7: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

dan olah raga internasional). Saat ini, kita dapat mengkonsumsi

dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal

yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang

fashion, literatur, dan makanan.

e. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang

lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah

membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru

bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan

dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam

sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan

selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan

ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu,

Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi

sosial.

Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan

globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu:

a. Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah

kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana

orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya

bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa

kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun

demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai

konsekuensi terhadap proses tersebut.

b. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan

baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa

globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan

bertanggung jawab.

c. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi

adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya

7

Page 8: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang

memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen

dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa

dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang

globalisasi (antiglobalisasi).

d. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah

terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah

mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan.

Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah

fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah

kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau

evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.

e. Para transformasionalis berada di antara para globalis

dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah

sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga

berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal

keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa

globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan

yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan,

yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka

menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal

tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

Adapun reaksi masyarakat di dunia ada yang pro namun

ada juga yang kontradiksi. Pendukung globalisasi (sering juga disebut

dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat

dunia.

Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang

dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu

negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling

menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah

8

Page 9: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan

transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang

dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada

produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi)

sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk

kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan

produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk

memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan

penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga

sebaliknya.

Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah

adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu

negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam

negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi

barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para

pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut,

mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas

sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan

meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat

dan begitu seterusnya.

Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia

dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya

mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada

suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang

mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian

menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana

mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan

sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat

kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa

mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor,

9

Page 10: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka --

mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.

Sedangkan gerakan Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang

umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan

kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-

lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi

Perdagangan Dunia (WTO).

"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan

sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum

yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun

juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap

ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka

mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia

ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.

Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak

istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan

Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah

lainnya. Jadi globalisasi dapat menyentuh di seluruh aspek

kehidupan masyarakat bail ekonomi, budaya, politk, ilmu dan

tehnologi dan masih banyak lagi.

3. Nasionalisme diantara terpaan globalisme

Globalisasi itu bukanlah gejala unik yang hanya terjadi sekarang.

Ia sudah terbentuk lewat ”sistem dunia”, bahkan sejak 5000 tahun lalu,

ketika interaksi antara berbagai belahan dunia sudah dimungkin.3 Hanya

saja memasuki milenium ke-3, globalisasi semakin kencang dan meluas,

sehingga dapat dilihat beberapa perubaan mendasarnya. Jika globalisasi

3 Lihat kritik Andre Gunder Frank terhadap “sistem dunia” Wallerstein, “A Theorerical Introduction to 5000 Yerasr of World System History”, dalam Review, Vol. XIII, No. 2 (Spring 1990), 155-250.

10

Page 11: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

di masa lalu, khususnya yang masuk lewat jaringan kolonialisme dan

imperialisme lebih berorientasi pada persekutuan politik dan dominasi

ekonomi kapitalis negara, globalisasi abad ke-21, merupakan hadir dalam

bentuk kerja-sama-kerja sama regional yang interdependent lewat apa

yang oleh Ohmae (1995) disebut ”the Four I’s” ― industri, investasi,

teknologi informasi dan individual consummers.

Terobosan ”Empati” lambat laun mengaburkan batas-batas

antarnegara, ketika lalu lalang ide-ide dan praktek berkembang lewat

media ”maya”. Akibatnya konsep ”negara modern” ciptaan abad lalu

menjadi usang dan digantikan oleh ”masyarakat sejagad”, yang menjadi

acuan baru dalam hubungan di dunia internasional.

Dalam hubungan ini, pertanyaannya ialah bagaimanakah nasib

nasionalisme akibat gencarnya serangan globalisasi abad ini? Sejalan

dengan kajian-kajian yang mutakhir tentang nasionalisme, antara lain,

seperti yang dikerjakan oleh Ernest Gelner (1992), Ben Anderson (1992),

Eric Hobsbaum (1992), Godedesn (1990), Ohmae cenderung memandang

nasionalisme semacam ”artefak kebun bunga di rumah kaca” (artifact of

hothouse flower). Bagi Hobsbaum nasionalisme adalah temuan akal-

akalan dari imajinasi politik kaum borjuis. Dalam analisis selanjutnya diat

menyatakan bahwa nasionalisme hadir lebih duluan dari pada bangsa.

Bukan bangsa yang membuat negara, melainkan sebaliknya,

nasionalisme ― Nations do not make states and nasionalisms but the

other way round.4

Setelah ”negara-bangsa” terbentuk, nasionalisme cenderung

ditinggalkan. Bagi Anderson, ”negara-bangsa” sebagai komunitas politik

yang dibayangkan inherent di dalam batas-batas geografis dan adanya

kedaulatan yang konkret. Negara-bangsa dibayangkan seperti halnya

dengan semua komunitas politik yang lebih luas, memiliki ikatan ”geo-

4 Eric J. Hobsbaum, Nations and Nationalism since 1780. Programme, Myth, Rality (Cambrdige: Cambrdige University Press, 1992), hal. 10.

11

Page 12: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

politik” yang melampaui batas-batas pedesaan dengan sentimen

primordialisme lokal karena ada bangsa-bangsa lain yang terletak di luar

batas-batas geografis yang jelas antara dirinya dengan the others.

Negara-bangsa dibayangkan berdaulat karena menggantikan

rezim yang sebelumnya (dalam konteks Indonesia negara kolonial) yang

menindas. Ini dibayangkan sebagai ”komunitas’ karena adanya solidaritas

dan persaudaraan (comradeship) horizontal yang mendalam sesama

saudara-saudara sebangsa dam setanah air. Pada titik ini nasionalisme

adalah bentukan pengalaman sejarah.5

Sejauh berkenaan dengan dampak globalisasi terhadap

nasionalisme ”negara bangsa” dewasa ini kita mungkin bisa mendukung

pandangan beberapa ahli, yang mengatakan bahwa pada akhirnya

globalisasi akan terbukti hanyalah sosok kekar yang menipu, kreasi

negara-negara kapitalis yang dipajang di etalase dunia. Sukses mereka

di beberapa belahan dunia dewasa ini hanyalah ”angat-angat tahi ayam”

dan barangkali juga merupakan sebuah ”respon pelarian” terhadap

merosotnya kohesi sosial dan politik dalam peradaban negara-negara

kapitalis modern tahap akhir.

Politik identitas jualan negara-negara kapitalis dan seruan mereka

akan ”hukum dan ketertiban” dunia lebih merupakan keluhan penyakit

ketimbang diagnosis atau terapi untuk kemaslahatan ”masyarakat dunia”.6

Klaim mereka sebagai bagian warga komunitas dunia yang hendak

menyeragamkan (homogenisasi) nilai-nilai universal berwajah

”marketisme” di atas entitas bangsa, bahasa, ras, etnik, nasionalitas yang

berbeda-beda, hanyalah ilusi.

5 Ben Anderson, Imagined Community. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (London: Verso, 1992), hal. 6-7. 6 Hobsbaum, Nations and Nationalism …., hal. 177.

12

Page 13: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

Sebab pada kenyataan acuan mereka sebenarnya lebih ditujukan

kepada seruan atau propaganda keluar, sementara untuk mereka sendiri,

ke dalam, mereka tetap resistensi dengan perbedaan yang datang dari

unsur luar lingkungan mereka sendiri. Di dunia di mana di mana jumlah

mereka tidak lebih selusin di samping 180 negara-negara di dunia, klaim

mereka yang kelihatan masuk akal, tak hanya tidak disukai, tetapi juga

bisa ”self-destructive”.7

Mengutip pendapat Barnet dan Cavanagh (1993: 162), bahwa

ledakan nasionalisme pasca Perang Dingin sebenarnya juga

membuktikan kegagalan eksperimen nasionalisme para pemimpin

nasional yang mengusung interdependensi sistem globalisme di negera

mereka. Termasuk di antaranya Indonesia di masa Orde Baru, yang

pernah mengusung topeng ”kebangkitan nasionalisme II’ (1996).8

Eksperimen nasionaslisme baru semacam itu justru telah menimbulkan

kekecewaan rakyat yang telah memilih mereka.9 Mengapa bisa demikian?

Karena tangan para pemimpin yang telah terikat dengan mesin kapital

global ini di satu pihak menciptakan ’ketergantungan’ dan di lain pihak

tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat mereka. Yang benar-

benar diuntungkan oleh ikatan-ikatan global semacam itu, termasuk dalam

transaksi hutang, hanyalah pejabat pada rezim yang berkuasa manakala

inkam mereka meningkat dari tahun ke tahun. Pernyataan Presiden

Soeharto saat masih berkuasa dalam menanggapi globalisasi, bahwa

”senang tidak senang, mau tidak mau” proses itu harus dimasuki, memiliki

banyak arti. Dalam satu dan lain hal boleh jadi ditafsirkan lemahnya

kedaulatan negara karena semakin didikte oleh kekuatan luar. Lebih

7 Ibid. 8 Pada pertengahan 1990-an, rejim Orde Baru Soeharto lewat tangan Mesesneg Murdiono dan Lemhanas (1996), pernah melakukan suatu rekayasa ulang tentang kebangkitan nasionalisme kedua, tetapi semua itu adalah topeng belaka karena gagasan yang dimunculkan ahistoris dan sebuah lamunan asal jadi (idle imagination) yang tidak jelas agendanya dan juga tidak ada pergerakan yang mewadahinya. Ulasan kritis mengenai ini terdapat dalam esei Mochtar Pobottinggi, “Topeng Kebangkitan Nasional” dalam bukunya Suara Waktu (Jakarta: Erlangga), hal. 161ff. 9 Richard Barnet and John Cavanagh, “A Global Economy: Some Implications and Concequences” dalam B. Mazlish & R. Buultjens (eds.), Conceptualizing Global History. Boulder: Westview Press, 1993), hal. 14-18.

13

Page 14: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

penting lagi karena eksperimen nasionalisme versi globalisme itu

essentially memoryless, kata Smith.10

Frustrasi rakyat negara-negara yang telah terjerat erat-erat ke

dalam sistem globalisme seperti itu malahan berbalik dengan menguatnya

nasionalisme alternatif dengan pelbagai istilah sejenis: micronasionalism,

militant nationaslism atau apa yang disebut dengan etnonasionalisme.

Inilah yang terjadi di bekas negara Yugoslavia seperti juga di Indonesia

pasca jatuhnya Orde Baru, tatkala meletusnya konflik etnik di berbagai

daerah.11 Etnonasionalisme merupakan guratan ekspektasi yang

dikecewakan karena merasa dianak-tirikan, tetapi kekayaan mereka

dikuras mirip rezim kolonial. Sentimen nasionalisme etnik pada gilirannya

menolak diperintah oleh pusat, the others, dan sebaliknya menghedaki

agar sadel kekuasaan berada di tangan putra daerah sendiri. Pengalaman

ini sudah berlangsung sejak tahun 1950-an dan kembali terulang dalam

rezim Orde Baru.

Sejauh berkenaan dengan gejala etnonasionalisme dewasa ini

kita mungkin tidak perlu terlalu merisaukannya. Pada hemat saya, di

Indonesia khususnya tidak ada yang namanya nasionalisme etnik yang

genuine, kecuali sentimen loyalitas primordial lokal akibat diperlakukan

tidak adil. Pemunculannya hanya sementara, kabur sifatnya, tetapi lama-

lama akan menjadi lemah dan bimbang manakala ”cetak-biru” Indonesia

Merdeka” benar-benar dijalankan dengan spirit nasionalisme ke-

Indonesiaan yang telah dirintis sejak satu abad lalu.

Bahaya paling besar agaknya bukan datang dari kiri atau dari

kanan; dari sentimen etnonasionalisme lokal, atau dari fenomena

globalisme internasional, melainkan justru dari tengah, yaitu dari dalam

tubuh rezim birokratik itu sendiri. Rezim birokratik yang mengidap

10 Dikutip dari Tafik Abdullah, “Nasionalisme Indonesia. Dari Asal Usul ke Prospek Masa Depan”, dalam Jurnal Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (LIPI) No. 8 (1998), hal. 19. 11 Cornelis Lay (ed.), Nasionalisme Etnositas. Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan (Jakarta: kerja sama penerbit DIAN/ Intefidei & Kompas, 2001).

14

Page 15: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

narsistik, cenderung meneruskan tradisi buruk birokrasi kolonial dalam arti

orientasinya pada power culture dan bukan pada service cultur. Namun

sebaliknya warisan terbaik birokrasi kolonial, yaitu watak

profesionalfimenya, keteraturan, dan ketelatenanannya (zakelijk) dalam

perencanaan dan mengurus setiap inci persoalan justru tidak diteruskan.12

Bertolak dari pemaparan di atas, berikut ini beberapa catatan

mengenai problematika nasionalime Indonesia kontemporer, yang

mungkin bisa menjadi bahan pemikiran lebih lanjut untuk menyusun

agenda pemikiran ke depan:

a. Nasionalisme bentukan sejarah awal abad ke-20

berkembang menurut dialektika sejarahnya. Karena itu tidak perlu

ada perumusan ulang terhadap nasionalisme dalam konteks

kekinian karena nasionalisme tanpa memori sejarah akan

kehilangan rohnya. Seperti halnya dengan ideologi nasional itu

sendiri, Pancasila. Kecuali kalau pijakan “negara bangsa” ke

depan bukan lagi Indonesia yang diperjuangkan oleh para bapak

pendiri bangsa ini di masa lalu. Yang lebih dibutuhkan agaknya

adalah kemampuan bangsa untuk menjawab tantangan zaman

dengan tetap berpijak pada landasan nilai-nilai hakiki dari

nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah dirumuskan dalam

”cetak-biru” Indoensia Merdeka itu sebagaimana termaktub dalam

Pembukaan UUD 1945 itu.

b. Masalahnya sekarang ialah bahwa titik kronis nasionalisme

Indonesia dewasa ini justru berasal dari dalam, tatkala

dominannya institusi negara dalam mendefinisikan nasionalisme

berserta isinya. Dalam hubungan ini setidaknya ada tiga prinsip

12 Mestika Zed, “Birokrasi, Birokrat & Kultur Pejabat Indonesia: Upaya Pemahaman tentang Tipologi Aparatur Negara dan Strategi Pengembangannya ke Depan,” Makalah pada Seminar, ”Peningkatan Kompetensi Widyasawara dalam Membangun Budaya Kerja Menuju Lembaga Diklat yang Berstandar Internasional”, Litbang Pemda Sumatera Barat, Padang, Rabu, 29 Oktober 2008.

15

Page 16: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

yang penyebab terjadinya distorsi nilai nasionalisme akibat

intervensi berlebihan dari negara.

1) Prinsip Prinsip kedaulatan (sovereignty) yang

menjadi taruhan motivasi dan sentimen nasionalisme untuk

tidak dijajah dan didikte oleh unsur luar kini diam-diam

dirasakan hasirnya neo-kolonialisme baru tatkala negara

tidak berdaya melindungi rakyat dari ancaman luar.

2) Prinsip persatuan (integrity) yang menjadikan

sebuah negara-bangsa tetap utuh sebagai sebuah entiti

politik sebagaimana yang diamanahkan oleh nasionalisme,

yakni bahwa kepentingan tertinggi dari tiap individu dan

kelompok adalah pada negara, dimentahkan tatkala

kepentingan-kepentingan individu atau kelompok lebih

menonjol.

3) Identitas (identity) kebangsaan yang disimbolkan

dengan ”Bhineka Tunggal Ika”. Politik identitas kita yang

terbentuk dalam simbol-simbol kekhasan sebuah bangsa,

baik ke dalam maupun keluar, dalam arti berbeda dengan

bangsa lain, seringkali ditafsirkan secara sempit, sehingga

yang muncul adalah penyeragaman yang dengan

sendirinya melanggar prinsip-prinsip multikultural.

c. Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, dari inlader

bermental anak jajahan yang rendah diri, ”bangsa kuli dan kuli

bangsa-bangsa, menjadi bangsa yang mandiri, dan memiliki

kesadaran komunitas, sejauh ini, tampaknya masih jauh

panggang dari api. Kebijakan pendidikan kita selama ini bukan

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan

mencerdaskan intelek individu-individu dengan skill yang tinggi,

tetapi minus filosofi pendidikan yang meletakkan nilai-nilai

kesadaran diri, kemerdekaan, dan kreativitas untuk kebajikan

semua. Itulah energi nasionalisme yang makin hilang tatkala

universitas-universitas kita yang makin komersil hanya ditujukan

16

Page 17: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

untuk mencetak calon-calon buruh tingkat tinggi dengan selera

borjuis yang kurang peduli akan nasib bangsanya. Pendidikan

adalah ibu peradaban dan ini haruslah menjadi pusat perhatian

utama jika peradaban manusia Indonesia masa depan adalah

peradaban yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan

peradaban imitatif dan konsumtif.

d. Adalah pemenuhan serta jaminan negara akan kebutuhan

hak-hak dasar dan/atau hak-hak asasi warga-negara. Hanya

dengan pemenuhan dan jaminan demikian yang bisa meyakinkan

rakyat apakah mereka sebagai anak bangsa ini sudah merdeka

atau masih terjajah. Inilah pula sesungguhnya terjemahan aktual

Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya iklusif pandangan hidup

Pancasila dan akan tetap menjadi rujukan yang valid dan progresif

untuk dibawa memasuki abad ke-21.

e. Baik globalisasi maupun etnosentrisme lokal bukanlah

ancaman utama terhadap kebangkrutan nasionalisme, meskipun

dapat menyediakan amunisi bagi self-destructive terhadap

negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia. Globalisasi kini

nyaris diperlakukan sebagai mantra kemajuan sehingga ada

pernyataan bahwa kita mau tidak mau harus menerimanya.

Globalisasi sebagai pengganti mantra ”modernisasi” di masa lalu

justru hanyalah sebuah ilusi yang akan membuatnya menjadi

kotak Pandora bagi bangsa yang lemah daya saingnya. Fakta

bahwa Indonesia termasuk ranking bawah dalam daya saingnya di

Asia, apalagi di dunia tidak bisa dinafikan.13 Namun,

kecenderungan ini masih bertahan pada rezim-rezim yang lebih

kemudian. Pada gilirannya akan juga akan menjadi ”boomerang”

terhadap melemahkan kedaulatan (sovereignty) yang menjadi

prinsip sebuah negara-bangsa untuk tidak dijajah dan didikte oleh

13 Fakta-fakta mengenai ini telah dikemukakan dalam makalah saya, Mestika Zed, ”Membangun Optimisme Baru dalam Membangkitkan Daya Saing Bangsa Dari Segi Sosial Ekonomi”, Makalah disiapkan untuk diskusi berkala dalam rangka memperingati ”Satu Abad Kebangkitan Nasional”, diselenggarakan oleh Jurusan Manajemen FE UNP, Padang, Rabu, 28 Mei 2008.

17

Page 18: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

bangsa lain. Kini ketika nasionalisme dilucuti dari berbagai

jurusan, dan dalam pelbagai macam bentuk, makin banyak orang

Indonesia tidak peduli, kehilangan rasa bangga dan rasa memiliki

bersama terhadap tanah-airnya.

Pada akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling

penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka

dan penuh martabat sejalan dengan sentimen nasionalisme yang telah

dibina oleh the founding fathers di masa lalu. Teknologi tentu tidak bisa

langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang

merdeka itu. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan

banyak hal yang menggelikan, dan sekaligus menyedihkan, cerminan

pikiran dan sukma pemakainya.

Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti halnya

kegamangan dan konservatisme politik—kultural sebagian besar mereka

yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-

kemungkinan teknologis tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia.

Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah pergi, sudah gulung tikar,

tetapi perangai kekuasaan, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi

penguasa pribumi membuat wajah Indonesia di zaman Belanda dan

Jepang, kembali muncul di era kemerdekaan.

Kalau masih ada yang bertanya atau menegasikan nasionalisme

tidak diperlukan lagi, karena zaman sudah berbeda, sehingga tidak tahu

merumuskan ”siapa musuh kita?”, itu artinya generasi sekarang gagal

membaca tanda-tanda zaman dan dengan demikian juga merumuskan

persoalan bangsanya.. Dengan demikian, harapan akan masa depan

yang lebih baik hanya ilusi apabila negeri ini dibiarkan jatuh ke dalam

kedunguan (ignorance), atau ke tangan mereka yang mengaku sebagai

pemimpin, tetapi sebenarnya mereka tengah menjerumuskan bangsa di

luar jalur yang telah digariskan oleh bapak bangas di masa lalu.

18

Page 19: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

C. Penutup

1. Kesimpulan

a. Globalisme yang ada membawa dampak positif maupun

negatif terhadap nasionalisme bangsa Indonesia. Dampak

positif adalah terciptanya rasa kebanggaan sebagai bangsa

Indonesia akibat terbukanya kemudahan–kemudahan

informasi tehnologi sehingga kita mampu melihat kebesaran

negara kita. Dampak negatif terjadi apabila kita tidak siap

menyikapi secara positif dengan mempersiapkan sumber daya

manusia dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan di segala

sektor bidang kehidupan.

b. Menurunnya rasa nasionalisme di negara kita inti

permasalahan berasal dari menurunnya tingkat kesejahteraan

rasa aman penduduk di seluruh pelosok tanah air.

c. Peningkatan pembangunan di segala bidang dengan

memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar manusia

dengan melaksanakan asas pemeraatan merupakan agenda

pokok yang harus dipenuhi sesegera mungkin.

d. Diperlukan peningkatan penerapan dasar-dasar kehidupan

sebagai bangsa Indonesia yang kuat dalam menyikapi

datangnya arus globalisasi, sehingga kita tetap pada jati diri

sebagai bangsa Indonesia yang selalu update dengan

perkembangan jaman namun tidak kehilangan identitas diri.

e. Globalisasi ditandai dengan kemajuan 3T (Telekomunikasi,

Transportasi dan Trasvel/touurism) di dunia yang menjadi tiada

batas akan berpengaruh dalam nilai-nilai kehidungan

berbangsa dan bernegara.

f. Nasionalisme yang sehat dan dewasa makin mendesak

dibangkitkan kembali. Jika ini bisa dibangun kembali,

globalisasi atau primordialisasi lokal segencar apa pun

19

Page 20: Problematika Nasionalisme Akibat Dari Globlalisme

mengintainya, takkan mungkin bisa menggoyahkan

nasionalisme Indonesia, apalagi hendak menghapuskan hal-

hal sarat makna (the meaningful) di dalamnya.

2. Saran

Secara sederhana dapat disarankan sebagai berikut :

a. Tumbauhkan rasa nasionalisme melalui kearifan lokal, sehingga

kebijakan pengembangan kearifan lokal bukan sebagai wahana

perpecahan namun justru memperkuat rasa persatuan dan

kesatuan ddengan mengoptimalkkan potensi lokal yang ada.

b. Pemenuhan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan

berbangsa dan bernegara

c. Pemerataan hasil pembangunan yang mampu meningkatakan

taraf hidup rakyat terutama dengan pemenuhan kebutuhan dasar

manusia yakni sandang pangan papan sehingga penanggulangan

kemiskinan akan terwujud.

d. Mencapai pendidikan dasar untuk semua

e. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

f. Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu

dan anak, memerangi penularan HIV, malaria dan penyakit

menular lainnya serta memastikan kelestarian lingkungan hidup

g. Membangun kemitraan global untuk pembangunan

20