Pro Kontra

download Pro Kontra

If you can't read please download the document

description

Pro Kontra

Transcript of Pro Kontra

PRO-KONTRA PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAWHukum Memperingati Maulid Nabi.Beberapa hari lagi kita akan memasuki tanggal 12 Rabi'ulawal1434 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 24 Januari 2013. Sebagian besar umat Islam di Indonesia memperingati Maulid Nabi yang dikatakan sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.Sementara sebagian lainnya mempertanyakan dasar hukum atau daliltentang peringatan Maulid Nabi tersebut dan menganggap pelaksanaan kegiatan tersebut mengada-ada tanpa ada perintah baikAl Qur'an maupun sunnah Nabi.Pro kontra peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW semoga menjadi rahmatatas perbedaan dan bukan menjadi perpecahan di kalangan umat Islam, namun tidak ada salahnya kita mengetahui sedikit hal ihwal mengenai hari kelahiran Nabi tersebut dari sudut pandang berbagai sumber.Padatanggal 12 Rabi'ul awal tahun gajah yang bertepatan dengan tanggal 2 Agustus 579 Masehi telah lahir seorang bayi dari rahim Siti Aminah bintiWahab dan dari seorang ayah Abdullah binAbdul Muthalibyang kemudian diberi nama Muhammad.KaumSyiah berbeda pendapat, mereka mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada hariJumat tanggal 17Rabiul awal, sedangkan beberapa ahli hadis berpendapat lain lagi yang menyatakan bahwa NabiMuhammad SAW lahir pada tanggal 9Rabiul awal.Perbedaan pendapat mengenai tanggal kelahiran Nabi ini adalah ijitihad dari para ulama salaf dan khalaf. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menyebutkan secara pasti tanggal berapa beliau lahir, Nabi SAW hanya menyebutkan hari kelahiran beliau.Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab,Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. (HR Muslim)Perlu diketahui bawha perayaan atau peringatan maulidNabi Muhammad SAW adalah masalah furuiyyah atau cabang dan bukan masalah pokokdalam agama Islam, kita sering menyaksikan perbedaan-perbedaanfuruiyyah initerjadi di kalangan umat Islam.Oleh karena ituhendaknyapermasalahan furuiyyah tidak menjadikan perpecahan di kalangan umat Islam, tidak saling menyalahkan dan merasa paling benar apalagi sampai mencaci dan membenciulama yang memiliki pendapat berbeda dalam masalahfuruiyyah ini.Apapun pendapat para ulama yang berbeda tersebut masing-masing mempunyai penafsiran hukum sendiri yang harus kita hormati selama masih berpegang pada Al Qur'an dan Hadits.

Ada dua pendapat tentang perayaan Maulid :Pendapat pertama menyatakan bahwaperayaan Maulid hukumnya bidah atausesuatu yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW.Para ulama yang menyatakan bidah antara lain : SyekhSholeh ibn Utsaimin, Syeikh Albani, Ibn baz serta ulama salafiy atau yang biasa di sebut wahabi lainnya. Mereka menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut pernah di lakukan oleh Rasulullah, atau di anjurkan langsung. Hal ini pun tidak pernah di lakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Adapun dalil mereka adalah Sabda Rasulullah SAW :alaikum bisunnati, wa sunnatil khulafaurrasyidiina mimbadi. Artinya:Berpeganglah kalian kepada sunnah-sunnahku dan sunnah-sunnah khulafa Ar-rasyidinDalil-dalil lainnya tentang bid'ahnya peringatanmaulid adalah:Hadits Nabi SAW : Setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya adalah di nerakaHadits Nabi SAW : Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru di dalam urusan kami (dalam hal ini agama) apa yang tidak darinya, maka amalan tersebut tertolakQiyas : Perayaan maulid seperti perayaan kelahiran Nabi Isa setiap tanggal 25Desember yang selalu di rayakan oleh umat kristianiPerayaan maulid tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah SAW maupun para Sahabatnya. Pendapat ulama yang menyatakan bahwaperayaan Maulid hukumnya adalah boleh namun dengan persyaratan tertentu.Di antara ulama salaf dan khalaf yang membolehkan adalah : ibn Hajar Alasqalani, imam Jalaluddin As-Suyuthi, Dr. Yusuf Qardhawi dan beberapa ulama kontemporer lainnya.Adapundalilyang membolehkan peringatan Maulid adalah :Katakanlah (Muhammad), sebab keutamaan dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian.(QS Yunus, 58)Ayat ini mengarahkan kita untuk bergembira (tapi tidak yang berlebihan)Qiyas : cerita tentang pembebasan budak tsuwaibah olehAbuLahab karena memberi kabar tentang kelahiran Rasulullah SAW. Pada suatu ketika Abbas bin Abdul Muthalib bermimpi tentangAbuLahab, lalu beliau bertanya tentang kondisinya? LaluAbuLahab menjawab : Aku tidak menemui kebaikan sedikit pun, kecuali tatkala aku memerdekakan hambaku Tsuwaibah. Hal inilah yang meringankanku dari siksaan setiap hariSenin (diriwayatkan oleh Imam bukhari dan ibn hajar alasqalani)Kalau seorang yang kafir saja diringankan siksaannya karena bergembira di hari kelahiran Rasulullah SAW, apalagi kaum muslimin.Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya : 107)

Sebagian Perkataan Para ulama tentang perayaan maulid :A. Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi :Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Quran dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bidah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia. (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)B. Ibn Taimiyyah (Guru ibn Qayyim Aljauzi) berkata : Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW akan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bidah yang mereka lakukan. (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

DR. Yusuf Qardhawi adalah salah satu ulama yang membolehkan perayaan maulid akan tetapi beliau tidak membenarkan jika perayaan tersebut diisi dengan hura-hura, berunsurkan syirik, iktilath (campur) antara lelaki dan perempuan, mubazir makanan dan harta, berkurban untuk alam, berdesak-desakan sehingga menyebabkan bentrok, dan hal-hal lainnya yang berten tangan dengan syariat. Namun jika, peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah SAW, mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah swt tegaskan sebagai rahmatan lilalamin.Ketika acara maulid seperti demikian, alasan apa masih disebut dengan bidah? Pernyataan beliau yang dimuat dalam media online pribadi beliau itu juga ditambahkan:Ketika kita berbicara tentang peristiwa maulid ini, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syariat dan sangat dibutuhkan.Untuk mereka yang membidahkan dan mengharamkan maulid harus mengetahui ada di Negara mana mereka berada? Jika berada di Indonesia (contohnya) yang mayoritas pendu duknya merayakan maulid lalu tiba-tiba mereka membidah-bidahkan orang-orang yang merayakan maulid dengan dalih berdawah , apa yang akan terjadi? Umat pun akan lari dari dakwahnya akan tetapi jika mereka meng-ishlah dari dalam dengan cara membenarkan cara perayaan maulid yang tidak bertentangan dengan syariat, bukankah lebih baik?Sebaliknya jika mereka berada di Saudi Arabia atau Negara-negara yang mayoritas pendu duknya tidak merayakan dan pemerintahnya pun melarang, ya sebaiknya jangan di lakukan. Ini yang di namakan fahmu maydan Addawah (atau memahami lapangan dawahnya) Sesungguhnya dawah itu hangat dan memberi kehangatan kepada orang-orang yg terpanggil untuk selalu berada di jalanNya.Salah satu ulama mekkah Syaikh Muhammad bin alawi Al-maliki di kitab (Mafahim yajibu an tusahhah 224-226)beliau berkata :Sesungguhnya perkumpulan (Maulid) ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para dai dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala (ujian), bidah, kejahatan dan berbagai fitnah.Yang harus dan perlu di ingat pula perayaan maulid ini adalah salah satu sarana pengingat kita agar terus menghidupkan sunnah-sunnahnya dan menjauhi apa yang di larang Allah dan rasulNya, menghadiri perayaan maulidpun bukan tolak ukur kecintaan kita kepada Rasulullah SAW akan tetapi sepulang dari acara tsb kita bisa selalu mengingat dan mengamalkan apa-apa yang sudah kita dapati di Seminar/Perayaan Maulid tadi, dan membuat Rasulullah SAW bangga kepada kita.Kecintaan kita kepada Rasulullah SAW adalah wajib, akan tetapi tidak cukup hanya kecintaan semata, lebih dari itu beliau harus lebih anda cintai melebihi segala sesuatu termasuk diri kita sendiri.

Barang siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan mengutamakannya dan berusaha menirunya.Ketaatan dan Ittiba (sikap mengikuti) adalah buah dari Mahabbah (rasa cinta) dan tanpa keduanya cinta tidaklah benar.

Demikian info mengenai Hukum Memperingati Maulid Nabisemoga bermanfaat.

Sumber : Idrus Salim Al Jufr

Lajnah Bahtsul Masail LBM Pondok Pesantren Lirboyo Shalat dengan Mengantongi PonselPedagang Kaki Lima (PKL) dan permasalahannya Maulid Nabi Bukan Amalan BidahPosted on February 4, 2012 by LBM Lirboyo 107

Tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya: 170)

*****

Bulan Rabiul Awwal adalah bulan istimewa bagi kaum muslimin. Di bulan itu, 14 abad yang lalu, lahir seorang anak manusia yang kelak akan menunjuki umat menuju jalan yang benar. Seorang anak manusia yang bukan hanya sebagai pembawa rahmat bagi umat manusia, akan tetapi juga semesta alam. Dialah Muhammad shallallhu alaihi wa sallam, utusan Allah untuk seluruh umat hingga hari Kiamat. Sebagai ekspresi rasa syukur, mayoritas kaum muslimin merayakan kelahirannya dengan peringatan yang dikenal dengan Maulid Nabi. Bentuk perayaan diwujudkan dalam beberapa amalan kebajikan, mulai dari pembacaan Al-Quran, sejarah ringkas kehidupan Nabi, shalawat, syair-syair pujian karya syair seperti Al-Barzanji, Ad-Dibai, Simthud Durar, dan sebagainya dengan harapan sebagai napak tilas keteladanan dari cermin perilaku Nabi yang mulia dalam segala bidang. Hanya saja, ada sebagian kalangan yang tidak setuju dengan amalan ini, dan mengklaimnya sebagai amalan bidah.

Sebenarnya, perdebatan pro kontra seputar Peringatan Maulid Nabi ini telah berlangsung sekian abad silam. Banyak karya tulis disusun khusus untuk menyikapi hal ini. Diantaranya adalah risalah karya Imam As-Suyuthi berjudul Husn al-Maqshid f Amal al-Mawlid. Berikut ringkasan dari paparan beliau.

Peringatan Maulid Nabi, sepanjang dilakukan dalam bentuk perkumpulan jamaah yang diisi dengan membaca Al-Quran, penuturan hadis-hadis atau ayat-ayat terkait kisah kehidupan, kemuliaan dan keteladanan Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam, pemberian shadaqah berupa makanan yang dimakan bersama, lalu bubar, tidak lebih dari itu, pada hakikatnya adalah bidah hasanah, perbuatan baik yang belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallhu anhum. Dengan rangkaian kegiatan semacam ini pelakunya mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat unsur penghormatan dan pengagungan pada Rasullah shallallhu alaihi wa sallam serta merupakan perwujudan kegembiraan dan rasa syukur atas kelahiran beliau.

Kritik atas Amalan Maulid

Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhami as-Sakandari yang populer dengan julukan Al-Fkihni, seorang ulama mutaakhirin Malikiyah, mengajukan klaim bahwa peringatan Maulid merupakan bidah madzmumah atau bidah tercela. Beliau menyusun sebuah karya khusus membahas tentang topik ini, Al-Mawrid fi al-Kalm al ;Amal al-Mawlid.

Penolakan beliau dilandaskan pada alasan bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid ini, dari Al-Quran maupun as-sunnah, tidak juga diriwayatkan adanya ulama panutan umat yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ini. Bahkan, Maulid ini adalah amalan bidah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Penyimpulan ini, masih menurut Syaikh Al-Fkihni, didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum syari ada lima, adakalanya wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh atau haram. Sementara Maulid bukan perbuatan wajib atau mandub, karena tidak ada tuntunan untuk melakukannya, karena syara tidak memberikan izin, tidak juga dilakukan oleh shahabat atau tabiin. Tidak mungkin pula Maulid ini distatuskan mubah, karena bidah dalam agama bukanlah perbuatan mubah menurut kesepakatan muslimin. Dan, pilihannya tiada lain, bahwa Maulid ini status hukumnya adalah makruh atau haram.

Jika dilakukan dengan pembiayaan kantong pribadi, dengan keluarga dan kalangan karib kerabatnya, tanpa mengundang massa untuk makan-makan bersama, dan tak ada unsur menularkan dosa pada mereka, maka bentuk semacam ini hukumnya adalah bidah yang berhukum makruh, karena tidak pernah dilakukan ulama generasi awal. Jika dalam pembiayaan melibatkan massa, sehingga ada unsur ketidakrelaan dan keterpaksaan dalam mengeluarkan harta, maka semacam ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil.

Terlebih lagi jika peringatan Maulid dengan bentuk massal semacam ini dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilth) antara lelaki dan perempuan. Maka amalan Maulid dengan bentuk semacam ini jelas dihukumi haram.

Di akhir paparannya, Syaikh Al-Fkihni mengingatkan, bahwa bulan kelahiran Rasulullah yakni Rabiul Awwal adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan.

Sanggahan Imam As-Suyuthi

Berikut garis besar sanggahan yang diajukan Imam As-Suyuthi :

Pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa tidak diketahui adanya dasar dari pelaksanaan Maulid dari Al-Quran maupun as-sunnah. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa tidak diketahuinya sesuatu bukan berarti tidak adanya sesuatu tersebut. (Begitu juga, tidak diketahui dasar Maulid dari Al-Quran dan as-sunnah, bukan berarti dasar itu tidak ada. Padahal, sejumlah ulama telah mengajukan sekian dalil dari Al-Quran maupun as-sunnah yang melandasi amalan Maulid ini. Lebih lengkapnya dalam paparan selanjutnya)Pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa Maulid adalah amalan bidah yang dikarang-karang oleh orang-orang yang batil berdasar hawa nafsunya. Pernyataan ini disanggah dengan kenyataan bahwa amalan Maulid telah dilakukan oleh seorang pemimpin adil dan alim (sebagaimana dalam awal paparan) dan dihadiri oleh para ulama dan orang-orang shaleh tanpa adanya pengingkaran dari mereka.Pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa Maulid bukan amalan mandub (sunnah) karena hakikat mandub adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syara. Pernyataan ini disanggah dengan paparan sebagai berikut : Bahwa anjuran dalam perbuatan yang mandub adakalanya dengan melalui dasar nash (Al-Quran atau hadis), adakalanya pula dengan melalui qiyas (analogi). Dalam masalah Maulid ini, meski tidak ada nash yang menjelaskannya secara eksplisit, akan tetapi terdapat pola qiyas dari dua sumber nash, sebagaimana paparan selanjutnya.Pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa Maulid bukan perbuatan mubah karena amalan bidah tidak bisa distatuskan mubah menurut kesepakatan ulama. Pernyataan ini tidak bisa diterima. Karena bidah tidak hanya terkhusus pada hukum makruh dan haram saja. Akan tetapi terkadang bidah juga distatuskan mubah, mandub dan wajib. Imam An-Nawawi membagi bidah dalam dua kategori, bidah hasanah (baik) dan qabihah (buruk). Syaikh Izzuddin bin Abdissalam mengklasifikasikan bidah dalam lima model, bidah wajibah (yang wajib), muharramah (yang haram), mandubah (yang sunnah), makruhah (yang makruh) dan mubahah (yang mubah). Dicontohkannya, bidah mandubah misalnya mendirikan pesantren dan madrasah, perbuatan baik yang tidak ada di generasi awal, termasuk diantaranya adalah shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah. Imam Asy-Syafii pun mengajukan pola klasifikasi serupa, dengan membagi bidah dalam kategori dlallah (sesat) dan ghair madzmumah (tidak tercela). Umar bin Khathab ketika mengomentari pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat dengan berjamaah, mengatakan Bidah paling baik adalah ini (yakni tarawih, pent.). Karenanya, pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa bidah tidak bisa distatuskan mubah, adalah pernyataan yang tidak benar, karena jika ditimbang dengan timbangan syara, amaliah Maulid tidak bertentangan dengan Al-Quran, as-sunnah, atsar (tindakan shahabat), ataupun ijma. Karenanya, Maulid bukanlah bidah madzmumah. Karenanya, membagi-bagikan makanan jika dilakukan tanpa ada unsur keharaman (keterpaksaan, akhdz al-ml al wajh al-hay mengambil harta orang lain karena pemberinya malu jika tidak memberi, dan sebagainya) adalah sebuah tindak kebajikan.Pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa peringatan Maulid karena dibumbui dengan permainan alat musik yang melalaikan, percampuran (ikhtilth) antara lelaki dan perempuan, adalah amalan haram. Penyataan ini adalah benar. Akan tetapi keharaman ini munculnya karena dalam tataran praktiknya, terjadi hal-hal keharaman yang dilarang syara, bukan karena amaliah Maulidnya. Andaikan kemungkaran semacam ini (permainan musik yang melalaikan, ikhtilth interaksi fisik lelaki-perempuan dan bentuk kemungkaran lain) terjadi dalam perkumpulan dalam rangka shalat tarawih misalnya, maka kemungkaran-kemungkaran ini adalah perbuatan tercela. Dan status tercela ini tidak sampai mengantarkan vonis penilaian tercela bagi hukum asal perkumpulan dalam rangka shalat Jumat. Berkumpul untuk shalat tarawih adalah tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tindak tercela dan terlarang. Begitu pula dalam masalah Maulid; hukum asal perkumpulan untuk mensyiarkan Maulid adalah sunnah dan merupakan tindak ketaatan, sedangkan aktivitas-aktivitas kemungkaran yang terjadi di dalamnya adalah tercela dan terlarang.Pernyataan Syaikh Al-Fkihni bahwa bulan kelahiran Rasulullah yakni Rabiul Awwal adalah juga bulan wafatnya beliau. Karenanya, kegembiran tak lebih utama daripada kesedihan. Pernyataan ini disanggah dengan paparan berikt : Bahwa kelahiran Nabi adalah nikmat paling agung, sedangkan kewafatan Nabi adalah musibah paling agung. Syariat menganjurkan untuk menampakkan kenikmatan dan menyembunyikan musibah. Contohnya, syariat menganjurkan aqiqah yang berarti menampakkan rasa syukur dan gembira atas anak yang dilahirkan; akan tetapi di saat kematian, syariat tidak menganjurkan untuk menyembelih ataupun yang lainnya, bahkan melarang niyahah meratapi kepergian mendiang. Karenanya, dalam bulan Rabiul Awal, dianjurkan untuk menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasul, bukan menampakkan kesedihan atas wafat beliau.Kupas Tuntas Pro-Kontra Maulid NabiSaw!Senin, 28 April, 2008Posted by Quito Riantori inAbout Wahabism-Salafism,Artikel,Opini.trackback

Sabtu, 24 Maret 2012PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG TAHLILANMaha Suci Allah yang telah menurunkan Al Quran dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Quran tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wataala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah Tahlilan. Termasuk perkara penting yang sering menjadi perdebatan sengit bahkan terkadang menyebabkan putusnya hubungan yaitu berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untukmenyambut orangorang yang datang untuk melayat jenazahnya, dan telah menjadi tradisi kalau keluarga dari orang yang telah meninggal dunia berkumpul dalam satu tempat (di rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.Sebenarnya acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah pada Surah An Nisaa: 59 (artinya) : Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya. Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.

A. Kalangan yang Mendukung TahlilanMadzhab Ahlussunnah wal Jamaah mempergunakan Ijma dan Qiyas kalau tidak menda patkan dalil nash yang shahih (jelas) dari AlQuran dan AsSunnah. Kita tidak dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalildalil yang jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas. Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan RasulNya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan RasulNya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Muadz r.a. ketika beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman. Dari sahabat Muadz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Muadz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Muadz menjawab; dengan Sun nah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Muadz menjawab; saya akan berijtihad dengan pen dapat saya dan saya tidak kembali; Muadz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Muadz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlaiNya."Langkah yang di ambil dari sahabat Muadz r.a. di atas dapat kita jadikan pedoman da lam mengambil suatu langkahlangkah hukum agama apabila kita melihat dan mendapati amalan barubaru yang berkembang di masyarakat.Pengiriman hadiah pahala bagi mayit ini sunnah secara syariat sebagaimana Rasulullah SAW. mencontohkan dan membolehkannya, ketika salah seorang yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya tentang suatu hal sebagaimana teriwayat dalam hadist berikut: Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar maruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha. (Hadits riwayat: Muslim). Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh (Shahih Muslim hadits no.1004).Seorang lakilaki bertanya kepada Rasulullah SAW, Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan? Ujar Nabi SAW, Dapat! [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah] Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si mayit namun jelas sekali kejadian di atas adalah ketika orang tua dari sang lelaki itu telah meninggal, bukan ketika orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan pahalanya bagi orang tua mereka. Jadi jelaslah bahwa sang anak mensedeqahkan harta dari orang tuanyadan mengirim menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah meninggal dunia. Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan AlQuran, doa dan sedeqah adalah dari hadisthadist berikut ini : Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafiiy dan Ad Darquthniy, masingmasing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca Qul Huwallahu Ahad sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur.Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca Al Fatihah, Qul Huwallahu Ahad dan Alhakumut takatsur, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Muminin dan Muminat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat.Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang lakilaki bertanya, Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia? Ujar Nabi SAW, Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sam pai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu be narbenar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benarbenar bergem bira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergem bira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!Diriwayatkan dari Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit. AlBaihaqiy di dalam SyabulIman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Miqal bin Yassar r.a., dan dalam AlJamiushShaghir dan MisykatulMashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa membaca Yasin sematamata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosadosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab AtTadzkirat Bi Ahwali alMauta wa Umur alAkhirat.Haditshadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala baik sedeqah, bacaan Al Quran dan mendoakan bagi mayit.Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika tah lilan (para pelayat / pentakziyah) merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan untuk memuliakan mereka (tamu). Jamuan sederhana (ala kadarnya) ini bisa di kategorikan se bagai sedeqah dari keluarga (shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa di hadiah kan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit). Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mu bah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang ter puji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang di anjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), dengan bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan ge lisah kepada orang lain.Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan da lam Tuhfatul Ahwadziy : Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersa manya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67). Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama harihari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: Seorang mukmin dan seorang munafiq samasama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi. (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)

B. Kalangan yang Menolak TahlilanPada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu. (QS. al-Maidah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam telah sempurna.Segala bentuk bidah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bidah, dan setiap bidah ialah sesat. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. Dan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ,Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak.Hadis riwayat Muslim : Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya. Mereka berkata : Kata-kata terputuslah amalnya menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit. Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan. (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafii rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Quran) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (mengha diahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendoakannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa taala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah doa anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu anhusalah seorang sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata: Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit). (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka. (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam hadistnya: Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka. (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .

PRO KONTRA TAHLILANPANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG TAHLILANMaha Suci Allah yang telah menurunkan Al Quran dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Quran tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wataala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah Tahlilan. Termasuk perkara penting yang sering menjadi perdebatan sengit bahkan terkadang menyebabkan putusnya hubungan yaitu berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untukmenyambut orangorang yang datang untuk melayat jenazahnya, dan telah menjadi tradisi kalau keluarga dari orang yang telah meninggal dunia berkumpul dalam satu tempat (di rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.Sebenarnya acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah pada Surah An Nisaa: 59 (artinya) : Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya. Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.

A. Kalangan yang Mendukung TahlilanMadzhab Ahlussunnah wal Jamaah mempergunakan Ijma dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shahih (jelas) dari AlQuran dan AsSunnah. Kita tidak dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalildalil yang jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas. Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan RasulNya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan RasulNya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Muadz r.a. ketika beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman. Dari sahabat Muadz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Muadz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Muadz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Muadz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Muadz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Muadz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlaiNya."Langkah yang di ambil dari sahabat Muadz r.a. di atas dapat kita jadikan pedoman dalam mengambil suatu langkahlangkah hukum agama apabila kita melihat dan mendapati amalan barubaru yang berkembang di masyarakat.Pengiriman hadiah pahala bagi mayit ini sunnah secara syariat sebagaimana Rasulullah SAW. mencontohkan dan membolehkannya, ketika salah seorang yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya tentang suatu hal sebagaimana teriwayat dalam hadist berikut: Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar maruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha. (Hadits riwayat: Muslim).Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh (Shahih Muslim hadits no.1004).Seorang lakilaki bertanya kepada Rasulullah SAW, Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan? Ujar Nabi SAW, Dapat! [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah] Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si mayit namun jelas sekali kejadian di atas adalah ketika orang tua dari sang lelaki itu telah meninggal, bukan ketika orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan pahalanya bagi orang tua mereka. Jadi jelaslah bahwa sang anak mensedeqahkan harta dari orang tuanyadan mengirim menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah meninggal dunia. Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan AlQuran, doa dan sedeqah adalah dari hadisthadist berikut ini : Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafiiy dan Ad Darquthniy, masingmasing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca Qul Huwallahu Ahad sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur.Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca Al Fatihah, Qul Huwallahu Ahad dan Alhakumut takatsur, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Muminin dan Muminat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat. Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang lakilaki bertanya, Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia? Ujar Nabi SAW, Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benarbenar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benarbenar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!Diriwayatkan dari Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit. AlBaihaqiy di dalam SyabulIman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Miqal bin Yassar r.a., dan dalam AlJamiushShaghir dan MisykatulMashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa membaca Yasin sematamata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosadosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab AtTadzkirat Bi Ahwali alMauta wa Umur alAkhirat. Haditshadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala baik sedeqah, bacaan Al Quran dan mendoakan bagi mayit.Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika tahlilan (para pelayat / pentakziyah) merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan untuk memuliakan mereka (tamu). Jamuan sederhana (ala kadarnya) ini bisa di kategorikan sebagai sedeqah dari keluarga (shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa di hadiahkan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit). Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), dengan bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Mengenai makan di rumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy : Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67). Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama harihari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: Seorang mukmin dan seorang munafiq samasama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi. (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)B. Kalangan yang Menolak TahlilanPada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu. (QS. al-Maidah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam telah sempurna.Segala bentuk bidah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bidah, dan setiap bidah ialah sesat. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. Dan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ,Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak.Hadis riwayat Muslim : Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya. Mereka berkata : Kata-kata terputuslah amalnya menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit. Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan. (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafii rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Quran) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendoakannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa taala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah doa anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu anhusalah seorang sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata: Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit). (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka. (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam hadistnya: Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka. (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .

Buku kecil Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram, yang sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU dan sangat produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar belakangi saat penulis mengisi acara daurah pemantapan Ahlussunnah Waljamaah di salah satu Pesantren di Yogyakarta. Ketika sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf, setebal 14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul Imam Syafii Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan.Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya. Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Quran yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang diharamkam. Tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat al-Quran, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan doa. Inti dari bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa tahlilan, yasinan adalah perbuatan bidah. Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Quran, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah. Buku ini menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian, tahlilan, yasinan, dan menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang bertaziah. Karena dikalangan ulama salaf masih memperselisihkan bahwa, memberikan makanan kepada orang-orang yang bertaziah, ada yang mengatakan makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri tidak ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh hijriah (hal. 13).Menghadiahkan amal kepada orang yang telah meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup adalah dengan media doa, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya. Karena doa pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sedekah. Adapun membaca al-Quran, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan tujuan dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia secara sukarela, ikhlas tanpa imbalan upah, maka hal yang demikian sampailah pahala itu kepadanya. Karena orang yang mengerjakan amalan yang baik atas dasar iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan pahala. Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika meniatkan amalan itu untuk orang lain, maka orang lain itulah yang menerima pahalanya, misalnya menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain sebagainya.Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun baik yang pro maupun yang kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan yasinan. Agar supaya tradisi tahlilan dan yasinan yang sudah akrab ditengah-tengah masyarakat tidak lagi terus dipertanyakan mengenai kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian dan membangun solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana ini, pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan tahlilan, yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bidah. Wallahu alam

Filosofi TahlilSering kita dengar terjadi pro dan kontra tentang tahlilan dalam agama islam. Banyak yang setuju,dan banyak pula yang menganggapnya sebagai suatu ibadah yang dibuat-buat dan dianggap sebagai suatu bid'ah. Akan tetapi menurut saya tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik.Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.Tahlilan berasal dari bahasa Arab tahlil yang berarti ekspresi kesenangan atau ekspresi keriangan. Kata itu bisa juga berarti pengucapan la ilaha illallah. Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu. Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan).Drama Kematian. Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya dilakukan di samping makam dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara Tahlilan dilakukan pada bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 100 hari. Upacara Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari berturut-turut. Ada pula yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan. Tapi saya menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan cerita-cerita eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, misalnya bahwa arwah seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau pada hari ke-40 sejak ia meninggal.NU dan kaum Muslim tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan kematian. Ketika seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya adalah sebuah ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti man rabbuka? (siapa tuhanmu), man nabiyyuka? (siapa nabimu), ma dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya.Tahap alam kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase berikutnya, sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar. Dia dan manusia lainnya, diperintah untuk melewati jembatan lurus (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya seukuran rambut dibelah tujuh.Jembatan itu menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya melebihi permukaan Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang bisa selamat melewati jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti diriwayatkan sebuah hadis, mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan mudah melewati sirathal mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat (jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab ke dalam Neraka Jahanam.Dengan latar belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan kaum Muslim tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, yakni dengan cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa dalam Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan perjalanan orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir. Subkultur Islam. Tentu tidak semua umat Islam meyakini kisah dramatis perjalanan kematian seperti di atas. Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya bahwa orang yang hidup bisa membantu orang yang sudah mati. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan terputus ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan atau membantunya di akhirat sana.Namun, terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena kita harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bidah (mengada-ada). Yang saya saksikan adalah sebuah subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa menjadi kohesi bagi masyarakat kota yang kerap terlena dalam kesibukan masing-masing. mungkin pendapat saya berbeda dengan anda,akan tetapi yang jelas semua amalan diawali dengan niat yang baik.Oleh A Halim FathaniUmat Islam di Indonesia khususnya warga nahdliyin telah mentradisikan tahlil dalam berbagai hajatan, seperti yang biasa dilaksanakan 7 hari, 40 hari, 100 hari, atau 1000 hari dari kematian keluarga/tetangganya. Di kalangan pesantren, santri dan keluarga ndalem biasanya menyelenggarakan acara haul untuk melakukan kiriman doa kepada kiainya yang telah meninggal dunia. Tentang tahlil, sebagian masyarakat kita masih terkotak pada dua kelompok pro dan kontra.Ada yang menganggap bahwa tahlil merupakan tradisi baru, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi saw, mereka menganggap tradisi tahlil sebagai bidah, sehingga tidak selayaknya sebagai seorang muslim untuk mengamalkannya. Sementara, di pihak lain (baca: kaum Nahdliyyin), meski sebagian dari mereka belum tahu persis landasan hukumnya, namun hal ini tidak mengurangi semangatnya untuk mengamalkan tahlil.Tradisi tahlilan merupakan salah satu hasil akulturasi antara nilai-nilai masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam, di mana tradisi ini tumbuh subur di kalangan Nahdliyyin. Sementara ormas-ormas lainnya cenderung memusuhi bahkan berusaha mengikisnya habis-habisan. Seakan-akan tradisi tahlilan menjelma sebagai tanda pembeda apakah dia warga NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lainnya. Terjadinya polemik tentang tahlil tersebut, tentu bisa berdampak pada rusaknya ikatan kekeluargaan antar muslim, seperti saling menuduh dan menyesatkan kelompok lainnya, timbulnya rasa curiga yang berlebihan.Memang, -harus dipahami- tahlil sampai saat ini masih menjadi masalah khilafiyah yang harus diterima dengan lapang dada. Ritual tahlil memang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw, sehingga bukan merupakan bentuk ibadah mahdhah, bukan ibadah khusus. Ritual tahlil ini sekedar amalan baik yang memiliki keutamaan dan faedah. Bila faedah dari amalan tahlil ini dapat menghantarkan umat untuk tergerak menjalankan syariat-syariat yang wajib, bahkan lalu menjadi sarana utama dan pertama juga agar warga tergerak; maka tradisi tahlil tentu dapat menjadi sarana strategi dakwah umat Islam.Tetapi, ada beberapa hal yang menjadi koreksi bagi penganut tradisi tahlil. Adalah mayoritas jamaah yang pro-tahlil ini hanya sedikit yang mengerti pijakan hukum tentang tradisi tahlil. Oleh karenanya, diharapkan dengan terbitnya buku ini dapat menambah referensi tentang tahlil. Sehingga dapat menambah keyakinan dan kemantapan hati dalam setiap mengamalkan tahlil. Karena, jika kita mengamalkan sesuatu yang disertai dengan pemahaman landasan hukum yang kuat dan benar tentu akan dapat membuat hati lebih mantap dan yakin.Melalui buku ini, penulis mengupas secara gamblang terkait tahlil. Bagian awal, diberikan penjelasan beberapa istilah seputar tahlil, yakni zikir, selamatan, kenduri, dan berkat. Istilah tersebut dijelaskan secara detail mulai dari asal katanya hingga landasan hukumnya. Di bagian kedua, penulis memberikan wawasan kepada pembaca terkait dengan amal saleh, meliputi shalat, puasa, sedekah, berdoa, membaca al-Quran, bershalawat kepada Nabi, dan zikir. Untuk mengantarkan pembaca dalam rangka memahami tahlil dan seluk-beluknya, di bagian tiga diuraikan tentang hadiah pahala yang membahas bagaimana menerima pahala amal sendiri, menerima manfaat dari amal orang lain, memeroleh manfaat dari syafaat, menghadiahkan pahala amal, ahli kubur selalu menunggu kiriman, dan berziarah kubur dan manfaatnya.Adapun kerangka atau rangkaian dasar bacaan tahlil dan urut-urutannya dapat dibaca pada bagian empat. Madchan Anies memaparkan ada sembilan bagian pokok dalam tahlil, yaitu 1) tentang hadrah dan al-Fatihah; 2) surat al-Ikhlas, al-Muawwidzatain, dan al-Fatihah; 3) tentang permulaan surat al-Baqarah; 4) tentang surat al-Baqarah 163 dan ayat kursi; 5) tentang ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah; 6) tentang bacaan tarhim dan tabarruk dengan surat Hud 73 dan al-Ahzab 33; 7) tentang shalawat, hasbalah, dan hauqolah; 8) tentang bacaan istighfar, tahlil, dan tasbih; dan 9) tentang doa penutup tahlil. Penulis melengkapi pada bagian empat ini dengan menjabarkan keutamaan kalimat-kalimat suci tersebut dalam setiap bagian tahlil. Sementara di bagian akhir, penulis menambahkan hal-hal yang terkait dengan tahlil, meliputi kenduri (ambengan), membaca surat Yasin, Fidyah, dan Fida atau Ataqah.Kiranya, buku ini perlu juga dibaca bagi pembaca yang merasa kontra terhadap tradisi tahlil. Setidaknya agar mereka membuktikan sendiri bahwa tradisi yang dipraktikkan oleh saudara mereka (baca: warga Nahdliyyin) juga memiliki pijakan dalil syari yang kuat. Walhasil, dengan memahami tahlil berikut landasannya, diharapkan akan tercipta sikap saling pengertian demi terwujudnya penguatan persaudaraan antar sesama. Semoga!

PRO DAN KONTRA TAHLILAN UNTUK ORANG MATISELAMATAN untuk orang mati atau yg biasa di sebut tahlilan memang sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat indonesia ,Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah Tahlilan. namun apakah islam memperbolehkannya ?setahuku tahlilan 7 hari, 30 ,atau 1000 hari itu adalah ajaran dari agama HINDU,kemarin saya mendengar pengajian dari radio, dan ustadnya MANTAN AGAMA HINDU , dan dia mengakui bahwa selamatan untuk orang mati itu adalah ajaran dari agama HINDU.ajaran itu ada dalam kitab hindu ,, saya lupa nama kitabnya , yg isinya kurang lebih seperti ini : "SELAMATLAH BAGI MEREKA ORANG YANG BERKUMPUL LALU MELAKUKAN UPACARA KEMATIAN SAAT 7 HARI,30, ATAU 1000 HARI"Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat pada postingan ini saya akan menjelaskan PRO DAN KONTRA mengenai tahlilan ,INI BEBERAPA PENDAPAT DARI PIHAK YG KONTRAKadang kita melakukan tahlilan hanya ikut ikutan orang lain, tapi dalam islam ibadah itu harus ada dalilnya, jawabannya bisa anda temui pada artikel di bawah ini : Saudaraku, Mari kita simak Hadits Shahih berikut : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajalii, Kami ( yakni para Shahabat semuanya ) memandang/menganggap ( yakni menurut madzhab kami para Shahabat ) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap. Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat ( dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim, bahkan telah di shahihkan oleh jamaah para ulama Mari kita perhatikan ijma/kesepakatan tentang hadits tersebut diatas sebagai berikut : 1. Mereka ijma atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun ulama ( sepanjang yang diketahui penulis-Wallahualam ) yang mendhaifkan hadits tersebut. 2. Mereka ijma dalam menerima hadits atau atsar dari ijma para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorang pun ulama yang menolak atsar ini. 3. Mereka ijma dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijmakan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama Tahlillan atau Selamatan Kematian .Juga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya. (H.R Ath Thabrani)Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam hadistnya: Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka. (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)Mari kita simak dan perhatikan perkataan Ulama ahlul Ilmi mengenai masalah ini : 1. Perkataan Al Imam Asy SyafiI, yakni seorang imamnya para ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) : Aku benci al matam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan . )* )* : ini yang biasa terjadi dan Imam SyafiI menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam SyafiI diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa ditawil atau di Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ? 2. Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni ( Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah ( kesusahan ) diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya, Apakah mayit kamu diratapi ? Jawab Jarir, Tidak ! Umar bertanya lagi, Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, Ya ! Berkata Umar, Itulah ratapan ! 3. Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya : Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : Telah sepakat imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, SyafiI dan Ahmad ) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya ( yakni berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit ) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan taziyah/melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alas an untuk Taziyah telah dijelaskan oleh Imam SyafiI dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya ( perbuatan tersebut ). Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alas an untuk Taziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats ( hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah Bidah. 4. Perkataan Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang Bidahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. 5. Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu Syarah Muhadzdzab : Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Taziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah Bidah . 6. Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah Bidah yang jelek . Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakana shahih. 7. Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Maaad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk taziyah dan membacakan Quran untuk mayit adalah Bidah yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW. 8. Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut menyalahi sunnah. 9. Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para pentaziyah. ( Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139 ) 10. Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para pentaziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain. ( Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal. 93 ). 11. Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy SyafiI ( I/79), Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit. Kesimpulan : 1. Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BIDAH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya imam empat. 2. Akan bertambah bidahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para pentaziyah . 3. Akan lebih bertambah lagi bidahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya. 4. Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Saw kaum kerabat /sanak famili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw ketika Jafar bin Abi Thalib wafat : Buatlah makanan untuk keluarga Jafar ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka ( yakni musibah kematian ). ( Hadits Shahih, riwayat Imam Asy SyafiI ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205 )

NAMUN JUGA ADA PIHAK YG KONTRA mereka berpendapat berdasarkan hadist dari abu huroiroh yang isinya : bahwa kalau ada sekerumunan orang yang berdzikir , maka orang orang itu akan dirubung oleh malaikat dan mereka akan mendapatkan berkah dari para malaikat. Mereka juga berpegang pada suatu hadist yaitu kalau ada perbedaan di antara kita kita lebih baik ikut pada pihak yang kuotanya paling banyak, dan itu cakupannya dalam satu dunia,, padahal dalam dunia ini banyak pihak yg pro terhadap tahlilan,

Fakta Mengejutkan Tentang Tahlilan yang Dianggap Haram Oleh Salafi WahabiPosted by: Ummati in Berita Fakta 483 CommentsWahabi mengharamkan yang halal, tahlilan itu halal dan baikDari sejak kemunculannya di bumi Nusantara Indonesia, Wahabi paling demen mengumbar vonis atas haramnya (bidah) tahlilan. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa tindakannya itu terlalu berlebihan yang bisa berakibat merusak Islam. Bagaimana tidak, bukankah itu berarti Wahabi dan pengikut-pengikutnya mengharamkan yang halal atas tahlilan? Bahkan saking rusaknya pemahaman mereka terhadap Islam, mereka tak segan-segan pamer slogan batil: Pelacur Lebih Mulia daripada Orang-orang Bertahlil (tahlilan). Bahkan demi memperkuat vonis Wahabi atas haramnya tahlilan, mereka dengan gegabah membayar seorang Ustadz dari Pulau Bali untuk membuat klaim bahwa tahlilan adalah tradisi Hindu. Hanya orang-orang bodoh yang bisa dikibuli oleh trik-trik dan rekayasa kebohongan Wahabi. Cara membantah klaim tersebut cukup kita ajukan pertanyaan kepada para pemeluk agama Hindu: Sejak Kapan di agama Hindu Ada Tradisi Tahlilan?. Pastilah mereka para pemeluk agama Hindu akan bengong karena tidak kenal apa itu tahlilan.Untuk lebih mengenal tradisi tahlilan yang diharamkan Wahabi, mari kita simak paparan artikel ilmiyyah tentang fakta-fakta tahlilan berikut ini.Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabiinOleh: Ibnu Abdillah Al-KatibiySiapa bilang budaya berssedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ?Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya. Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang budaya atau tradisi dalam kacamata Syareat di ; http:// wark opmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html atau di ; http:// www. Facebook. com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif&notif_t=group_activity.Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari keme nangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syareat telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik , maka beliau menjawab: Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah : Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat . Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syareat atau hukum Islam.Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabiin.Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan : : Thowus berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut .Sementara dalam riwayat lain : : , Dari Ubaid bin Umair ia berkata: Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari .Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabiin yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-rayi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ; berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut , adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabiin dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)