PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI … · Izinkan penulis dengan rendah hati...
Transcript of PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI … · Izinkan penulis dengan rendah hati...
PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI
KECAMATAN LIBURENG, KABUPATEN BONE
S K R I P S I
SUHARMITA DARMIN
O 111 10 127
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI
KECAMATAN LIBURENG, KABUPATEN BONE
SUHARMITA DARMIN
O 111 10 127
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Judul Skripsi : Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone
Nama : Suharmita Darmin
NIM : O 111 10 127
Disetujui Oleh,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc Drh. Meriam Sirupang
NIP. 19860720 201012 2 004
Diketahui Oleh
Dekan Fakultas Kedokteran Ketua Program Studi
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs Prof.Dr.Drh. Lucia Muslimin M.Sc
NIP.19551019 198203 1 001 NIP.19480307 197411 2 001
Tanggal Lulus : 19 November 2014
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Suharmita Darmin
Nim : O 111 10 127
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil
dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, November 2014
Suharmita Darmin
ABSTRAK
SUHARMITA DARMIN. O11110127. Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi
Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Dibimbing oleh FIKA YULIZA
PURBA dan MERIAM SIRUPANG.
Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Paramphistomum sp. Penyakit tersebut dapat mempengaruhi produktivitas sapi
Bali. Penelitian dengan metode deskripsi ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten
Bone. Sampel feses diambil dari 100 ekor sapi Bali dan dipilih secara rambang
proporsional pada setiap desa. Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Juni sampai
16 Juli 2014. Pengambilan feses dilakukan per rektal. Feses diperiksa dengan uji
sedimentasi untuk mendekteksi keberadaan telur Paramphistomum sp.
berdasarkan morfologinya. Prevalensi dihitung dengan membagi sampel positif
dengan jumlah sampel yang diperiksa dikalikan 100%. Hasil penelitian
menunjukkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone adalah 57%.
Kata Kunci: prevalensi, paramphistomiasis, Libureng, Bone
ABSTRACT
Prevalence of Paramphistomiasis on Bali Cattle in Libureng Sub-district, Bone
Regency. Suvervised by FIKA YULIZA PURBA and MERIAM SIRUPANG.
Paramphistomiasis is a disease caused by infection of Paramphistomum sp.
The disease can be affecting productivity of Bali cattle. A description study was
conducted to determine the prevalence of paramphistomiasis in Bali cattle of
Libureng sub-district, Bone regency. Faecal samples were collected from 100
cattle and were selected with proporsional random sampling in each village.
Research was done at June 29th
until July 16th
2014. Faecal samples were
collected from the rectal of Bali cattle in Libureng sub-district, Bone regency.
Faecal were examined by sedimentation method to detect eggs of
Paramphistomum sp. on the basis of their morphology. Prevalance was calculated
by dividing positive of sample with the total sample of examined then multiplied
100%. The result showed that prevalence paramphistomiasis in bali cattle of
Libureng sub-district, Bone regency were 57%.
Key words: paramphistomiasis, prevalence, Libureng, Bone
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin atas segala nikmat iman, islam, cinta,
kesempatan, kesehatan serta kekuatan yang telah diberikan oleh Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berbentuk skripsi ini
sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Shalawat beriring salam untuk
tuntunan dan suri tauladan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat
beliau yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai islam yang sampai saat ini
dapat dinikmati oleh seluruh manusia di berbagai penjuru dunia.
Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan
mendapat gelar sarjana dari Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Hasanuddin. Judul skripsi ini adalah “Prevalensi
Paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten
Bone”.
Dalam proses perjalanan panjang hingga berada pada titik akhir penulisan
skripsi ini. Penulis telah banyak mendapat dukungan, semangat dan bantuan dari
berbagai pihak. Izinkan penulis dengan rendah hati menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua, Mama Hj. Hardiana dan Bapak Darmin, S.Pd yang selalu
melimpahkan kasih sayang tak terhingga, suntikan semangat setiap saat,
dukungan tak kenal lelah dan pengorbanan tanpa bisa terbalas dengan apapun
dan sampai kapanpun. Kepada adik-adikku Waiz Al Qarni dan Darussalam
Al Qadar serta My Big Family yang selalu menjadi penyemangat. Semoga
karya kecil ini dapat menghadirkan senyum terindah di wajah kalian. I Love
you more than you’ll ever know...♥
2. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.Bs selaku Dekan Fakultas Kedokteran
3. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan
4. Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan Drh. Meriam Sirupang selaku dosen
pembimbing skripsi atas segala bimbingan, arahan serta dukungan yang telah
diberikan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Drh. Dini Kurnia Ikliptikawati, M.Sc dan Drh. Waode Santa Monica,
M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan.
6. Penasehat Akedemik Drh. A. Magfira Satya Apada serta seluruh dosen dan
staf Program Studi Kedokteran Hewan yang telah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan studi.
7. Hamsari Aswar for all (time, experience, support, motivate, energy, idea and
so on). Belajar banyak hal darimu ri’ and I’ll always remember you this way.
See you in another life boss .
8. Sahabat-sahabatku Ainin, Wulan, Nana dan Ety. Kita telah menjalani beribu
episode hidup yang telah tercatat di skenarioNya, ntah itu peran antagonis
atau protagonis, menangis atau tertawa, susah atau senang. Jazakumullah atas
persahabatan tulusnya. Happy together with you..!!
9. My best partner Anna Anggriana dan Zainal suka duka telah dilewati
bersama selama pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga
penyusunan skripsi. Eka Syafrisal, Ryan Payung dan Muh. Aqhsar
Marsani yang telah banyak menguras tenaga dalam pelaksanaan penelitian.
10. Teman-teman V-GEN 10 mulai dari pojok kiri, kanan dan belakang sampai
yang merasa terpojokkan. Semangat melangkah rekan-rekan CADOHE,
tantangan dan masalah Veteriner sedang menanti KITA. Selamat berjuang
calon terkuat penghuni surga “Insya Allah”. Man jadda wa jadda..!!
11. Saudara(i)ku “KAMIKASE 09” yang selama ini sudah menjadi keluarga
kecilku dan telah banyak membantu penulis dalam segala hal. Terspesial buat
sahabat sehati Musdar Liani Mustafa, Karmila dan Suprianto.
12. Saudara seperjuanganku SMP Negeri 2 Watang Pulu Tersomething for my
beloved neighbour Rooney serta SEPEROS Smaeli & KKN 85 Mangalle.
13. Dinas Peternakan Bone “Kecamatan Libureng”, khususnya Drh.Agus Riadi,
Andi Rustam, bapak Firdaus dan bapak Imam Desa Ceppaga.
14. Seluruh Staf Laboratorium Parasitologi BBVET Maros.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah ikut
menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk penulis.”Jika perjalanan hidup
kuceritakan di halaman ini, entah berapa banyak lembaran kertas yang akan
habis hanya untuk menulis ucapan terima kasihku☻”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun agar dalam penyusunan karya berikutnya dapat lebih
baik. Akhir kata, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi setiap jiwa yang
bersedia menerimanya. Amiin ya rabbal alamain.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
“Dalam menapaki perjalanan hidup menggapai ridho Ilahi
Ku lukis sederetan ceritaku di persinggahan samudera kasihNya
Biarlah angan dan impian berlari menulusuri jejak berandaku
Ku hanyutkan perjuanganku pada sungai kecil yang mengalir dari sudut mata
Seulas senyum yang telah lama bersembunyi kembali menyapa cahayaNya
Ku hantarkan serangkaian aksara hingga menjelma menjadi cerita indah
Lewat persembahan seuntai karya kecil dari jemari ini
Untuk KALIAN yang tertulis dalam catatan hati disetiap doa’ku
Sebagai bingkai ungkapan terima kasih ♥”
Makassar, November 2014
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Parepare, Sulawesi Selatan pada
tanggal 08 April 1991 dari pasangan Bapak Darmin, S.Pd
dan Ibu Hj. Hardiana. Penulis merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah
dasar pada tahun 2003 di SD Negeri 2 Lainungan dan pada
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP
Negeri 2 Watang Pulu hingga lulus pada tahun 2006.
Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada
tahun 2009 di SMA Negeri 5 Unggulan Parepare.
Pada tahun 2010 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di
Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
(PSKH-FK UNHAS) melalui Jalur Non Subsidi (JNS). Semasa menjadi
mahasiswa PSKH-FK UNHAS penulis pernah aktif dalam kegiatan eksternal dan
internal kampus, yaitu di Organisasi Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan
(HIMAKAHA PSKH-FK UNHAS) periode 2013/2014, anggota Himpunan Minat
dan Profesi Ternak Besar dan Unggas periode 2013/2014 dan Ikatan Alumni
Smaeli (Katalis) serta mengikuti berbagai kepanitiaan di dalam dan di luar
kampus.
Tugas akhir berupa skripsi dengan judul Prevalensi Paramphistomiasis pada
Sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, berhasil diselesaikan penulis
dengan bimbingan dari Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan Drh. Meriam Sirupang.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Hipotesis Penelitian 3
1.6 Keaslian Penelitian 3
1.7 Kerangka Konsep 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Paramphistomiasis 5
2.1.1 Etiologi 5
2.1.2 Siklus Hidup 6
2.1.3 Epidemiologi 7
2.1.4 Patogenesis 7
2.1.5 Gejala Klinis 8
2.1.6 Diagnosa 8
2.1.7 Pengendalian dan Pencegahan 10
2.1.8 Pengobatan 10
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Paramphistomiasis pada Ternak 10
3 METODOLOGI PENELITIAN 12
3.1 Lokasi dan Waktu 12
3.2 Materi Penelitian 12
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling 12
3.2.2 Bahan 13
3.2.3 Alat 13
3.3 Metode Penelitian 13
3.3.1 Desain Penelitian 13
3.3.2 Pengambilan Feses 13
3.3.3 Pengujian Laboratorium 13
3.3.4 Analisa Data 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
5 KESIMPULAN DAN SARAN 21
5.1 Kesimpulan 21
5.2 Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 25
DAFTAR TABEL
1. Hasil perhitungan jumlah sampel dalam setiap desa di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone 15
2. Distribusi paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng,
Kabupaten Bone 17
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka konsep penelitian 4
2. Paramphistomum sp. 6
3. Telur Paramphistomum sp. 6
4. Siklus hidup Paramphistomum sp. 7
5. Infeksi Paramphistomum sp. pada rumen (a) dan retikulum (b) 9
6. Paramphistomum sp. melekat pada usus kecil 9
7. Mikroskopik Paramphistomum sp. melekat pada lapisan
usus kecil 9
8. Hasil pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi 16
9. Telur Paramphistomum sp. pada hasil penelitian dan literatur 16
10. Sistem pemeliharaan di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone 18
11. Hospes antara (siput) yang ditemukan di areal kandang sapi warga 19
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil pemeriksaan Paramphistomum sp. pada sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone 25
2. Dokumen Penelitian 27
3. Data Spesimen 29
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil
domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki
keunggulan berupa kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan
pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi. Tingginya impor daging
dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dapat dijadikan
pendorong untuk memperbaiki produktivitas dan pengelolaan sapi Bali.
Kemurnian bangsa sapi Bali sebagai cadangan plasma nutfah sangat diperlukan
untuk perkembangan peternakan di masa mendatang (Ditjennak, 2002).
Penyakit parasitik merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan
produktivitas ternak. Parasit bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan memakan
jaringan tubuh, mengambil nutrisi yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan, pertumbuhan yang
lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian hospes. Ternak yang terinfeksi
parasit biasanya mengalami kekurusan dan akibatnya ternak mempunyai nilai jual
yang rendah (Khan et al., 2008).
Peternak sapi di Indonesia kurang memperhatikan masalah penyakit
parasitik. Mereka masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan
sapi mencari makan sendiri (sistem gembala) bahkan ada yang sama sekali tidak
dikandangkan (sistem tradisional). Pemeliharaan sapi dengan kedua sistem inilah
yang dapat meningkatkan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak
(Harminda, 2011).
Muzani et al. (2010) mengemukakan bahwa sebagian besar sapi yang
dipelihara secara tradisional terserang penyakit parisitik. Akibat yang ditimbulkan
tergantung dari jenis parasit, jumlah parasit, umur sapi dan kondisi pakan.
Berdasarkan morfologinya, cacing pada sapi dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
trematoda, cestoda dan nematoda.
Salah satu penyakit parasitik yang penting pada ternak sapi adalah
paramphistomiasis. Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Paramphistomum sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas
trematoda dari famili Paramphistomidae (Mage et al., 2002). Paramphistomum
sp. disebut juga sebagai cacing hisap karena pada saat menempel, cacing ini
menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh hospesnya (Subronto and
Tjahajati, 2001). Infeksi Paramphistomum sp. dalam jumlah sedikit tidak
menimbulkan gejala klinis pada ternak, tetapi pada infeksi yang berat dapat
menimbulkan gastroenteritis dan menyebabkan kematian cukup tinggi, terutama
pada ternak muda (Melaku and Addis, 2012).
Hasil penelitian mengenai infeksi Paramphistomum sp. di Indonesia pernah
dilaporkan oleh Beriajaya and Soetedjo (1979) pada sapi yang dipotong di Rumah
Potong Hewan (RPH) Ujung Pandang dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Beriajaya et al. (1981) melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di
Aceh sebanyak 94.5%, di Sumatera Barat 99.5%, di Lampung sebanyak 69.84%,
di Jawa 41.6%, di Sulawesi Selatan 53.23%, di Kalimanatan Selatan 56%, di Nusa
Tenggara Barat 80% dan di Nusa Tenggara Timur 32.27%. Yasa (2013)
2
melaporkan bahwa prevalensi paramphistomiasis di Kecamatan Ujungjaya,
Sumedang adalah 18.52%, sedangkan penelitian Nofyan et al. (2008)
menunjukkan prevalensi paramphistomiasis sebesar 32.30% pada sapi di daerah
Palembang.
David et al. (2013) menyatakan bahwa hasil pemeriksaan terhadap 60
lambung sapi yang berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) Andalas dan Biau
kota Gorontalo, terdapat 54 ekor sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp.
sehingga hasil penelitian tersebut dapat dilakukan kajian lebih lanjut mengenai
tingkat infeksi Paramphistomum sp. pada sapi yang dipelihara di masyarakat
Indonesia. Kabupaten Bone pernah juga dilaporkan 57 dari 195 sampel feses sapi
Bali yang diambil dari 2 kecamatan mengandung Paramphistomum sp. Cacing
tersebut merupakan golongan cacing trematoda yang paling banyak menginfeksi
dibandingkan dengan cacing trematoda lainnya (Wirawan, 2011).
Umumnya paramphistomiasis merupakan penyakit parasitik subklinik
sehingga diagnosanya lebih sulit. Infeksi Paramphistomum sp. dapat didiagnosa
melalui pemeriksaan feses dengan menggunakan metode sedimentasi sedangkan
untuk mengetahui derajat infeksi dapat diperoleh dari perhitungan telur tiap gram
feses (EPG) dengan asumsi ada korelasi positif antara jumlah parasit internal dan
telur yang diproduksi oleh cacing-cacing tersebut (Subekti et al., 2007).
Akibat tingginya tingkat infeksi Paramphistomum sp. dan kurangnya
pelaporan terhadap kasus tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Berdasarkan Badan Pusat Statistika
(2013), populasi sapi Bali di Kecamatan Libureng merupakan populasi sapi
terbesar di Kabupaten Bone. Selain itu, di kabupaten ini pernah dilaporkan
kejadian paramphistomiasis.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa prevalensi
paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya prevalensi
paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengidentifikasi telur Paramphistomum sp. pada feses sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone
2. Untuk mendiagnosa paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng,
Kabupaten Bone.
3
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu
Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi mengenai besarnya prevalensi
paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone.
1.4.2 Manfaat Aplikasi
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun
program pencegahan dan pengendalian paramphistomiasis pada sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone sehingga kerugian akibat parasit ini bisa
ditangani lebih lanjut oleh peternak dan instansi yang berwenang.
1.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali
di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone sebesar 50%.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone belum pernah dilakukan. Penelitian
prevalensi paramphistomiasis di Indonesia pernah dilakukan. Namun, tujuan dan
lokasinya yang berbeda. Nofyan et al. (2008) pernah melaporkan prevalensi
paramphistomiasis pada sapi di daerah Palembang, sedangkan Purwanta et al.
(2009) mengemukakan adanya kejadian paramphistomiasis pada sapi di
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Yasa (2013) melaporkan tingkat prevalensi
paramphistomiasis pada sapi potong di Kecamatan Ujungjaya, Sumedang.
4
1.7 Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
SAPI
Feses
Identifikasi karakteristik telur
Analisis Data
Warna
Bentuk
Dinding
Operculum
NEGATIF
POSITIF
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paramphistomiasis
Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Paramphistomum sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda.
Paramphistomum sp. hidup di dalam rumen, retikulum, usus, saluran empedu atau
kandung kemih hewan yang diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen
menjadi terganggu sehingga pakan tidak dapat dicerna dengan sempurna
(Hamdan, 2014).
Paramphistomiasis juga merupakan salah satu penyakit ekonomi yang dapat
merugikan masyarakat. Kerugian ekonomi yang dtimbulkan adalah pertumbuhan
sapi terhambat, rusaknya jaringan/organ dan sapi kekurusan karena kurangnya
nafsu makan (Suryana, 2006). Keberadaan Paramphistomum sp. sering diabaikan
pada ternak meskipun cacing ini memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan dan
produktivitas ternak itu sendiri (Murtiyeni et al., 2009).
2.1.1 Etiologi
Paramphistomiasis pada sapi dapat disebabkan oleh satu atau lebih cacing
dari genus Paramphistomum sp., misalnya P. cervi, P. microbothrioides, P.
liorchis, P. ichikawi, P. gotoi, dan Calicophoron sp. atau Ceylonocotyle sp.
maupun Cotyledophoron sp. Ada 2 spesies Paramphistomum sp. yang telah
ditemukan di Indonesia, yaitu P. cervi dan P. (Gygantocotyl) explanatum. Salah
satu jenis yang sering terdapat pada sapi adalah Paramphistomum cervi
(Subronto, 2007).
Hewan yang diserang Paramphistomum sp. sebagai hospes definitif, yaitu
hewan ternak (kerbau, sapi, domba, kambing) dan ruminansia lain. Cacing muda
Paramphistomum sp. berpredeliksi di dalam usus halus dan akan bermigrasi ke
dalam rumen dan retikulum setelah dewasa. Daerah penyebaran Paramphistomum
sp. adalah daerah yang memiliki suhu udara 25-30 0C dengan kelembaban kira-
kira 85% (Kamaruddin et al., 2005).
Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, berbentuk
pipih, seperti Fasciola sp. dan Eurythrema sp. Cacing ini mempunyai batil isap di
bagian perut (ventral sucker) yang disebut asetabulum, dan di bagian mulut ada
batil isap mulut yang kecil (oral sucker). Paramphistomum sp. memiliki saluran
pencernaan yang sederhana dan juga testis yang bergelambir, terletak sedikit di
bagian anterior ovarium. Cacing dewasanya berukuran panjang sekitar 5-13 mm
dan lebar 2-5 mm, seperti pada Gambar 2 (Michel and Upton 2006), sedangkan
ukuran telur Paramphistomum sp. panjangnya 113-175 mikron dan lebar 73-100
mikron dan berwarna sedikit kuning muda transparan, seperti pada Gambar 3
(Lukesova, 2009).
6
Gambar 2. Paramphistomum sp. (Michel and Upton, 2006)
Gambar 3. Telur Paramphistomum sp. (Lukesova, 2009)
Perbedaaan karakteristik antara telur Paramphistomum sp. dan Fasciola sp.
adalah telur Fasciola sp. berkulit kuning, sel embrional dan operkulum tidak jelas,
ukuran telur yaitu panjang 118,8-158 mikron dan lebar 66-105 mikron, sedangkan
morfologi telur Paramphistomum sp. transparan, sel embrional dan operkulum
yang jelas, dinding berwarna jernih (transparan), sering terdapat tonjolan kecil di
ujung posterior dan ukuran telur Paramphistomum sp. lebih besar daripada telur
Fasciola sp. dengan panjang 113-175 mikron dan lebar 73-100 mikron (Purwanta
et al., 2009).
2.1.2 Siklus Hidup Kelangsungan hidup Paramphistomum sp. memerlukan siput sebagai hospes
antara. Dua famili siput penting yang bertindak sebagai hospes antara cacing ini
adalah Planorbidae dan Lymneaeidae. Infeksi pada hospes definitif terjadi pada
saat ternak memakan rumput atau meminum air yang mengandung metaserkaria.
Menurut Javed et al. (2006), metaserkaria mampu bertahan hidup di rerumputan
sampai 12 minggu tergantung dari kondisi lingkungan. Metaserkaria masuk ke
dalam saluran pencernaan, ekskistasi, dan keluar cacing muda. Cacing muda
menembus mukosa usus, bermigrasi ke rumen dalam waktu 4-6 minggu setelah
infeksi dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa bertelur di dalam
rumen dan retikulum. Telur Paramphistomum sp. keluar bersama feses dan
terjatuh di tempat yang basah dan lembab. Telur Paramphistomum sp.
memerlukan waktu minimal 4 minggu pada suhu 17 ºC untuk berkembang
menjadi mirasidium dan mencari siput yang cocok sebagai hospes antara, seperti
ditunjukkan pada Gambar 4 (Lloyd et al., 2007).
7
Gambar 4. Siklus hidup Paramphistomum sp. (Lloyd et al., 2007)
2.1.3 Epidemiologi
Paramphistomiasis tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi tertinggi
terjadi pada daerah beriklim tropis dan subtropis, seperti Asia, Afrika, Australia,
Eropa timur dan Rusia (Melaku and Addis 2012). Kejadian paramphistomiasis
banyak terjadi di bagian dunia dengan curah hujan yang tinggi dan di padang
rumput yang basah, hal ini berkaitan dengan siklus hidup cacing tersebut. Infeksi
Paramphistomum sp. pada ternak biasa terjadi pada akhir musim hujan dan awal
musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan optimal telur menjadi
mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan di dalam tubuh
siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Pelepasan serkaria
pada hospes antara dimulai awal musim kemarau dengan curah hujan yang masih
cukup tinggi dan menurun seiring makin rendahnya curah hujan (Subronto, 2007).
Prevalensi paramphistomiasis di Indonesia hampir sama dengan fasciolosis.
Beriajaya et al. (1981) melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di
beberapa bagian Indonesia, yaitu di Aceh 94.80%, di Sumatera Barat 99.50%, di
Lampung 69.84%, di Jawa 41.60% dan di Nusa Tenggara Barat 80.00%.
Penelitian Darmono et al. (1983) melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada
sapi di Bali adalah sebesar 88.89%. Paramphistomiasis pada sapi juga dilaporkan
di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan adalah sebesar 66.7%
(Siswansyah et al., 2006). Selain itu, Tantri et al. (2013) melaporkan kejadian
paramphistomiasis sebanyak 18.75% pada sapi (Bos sp.) di RPH Kota Pontianak,
Kalimantan Barat.
2.1.4 Patogenesis
Infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua fase, yaitu fase intestinal dan
fase ruminal. Pada fase intensital, cacing muda menyebabkan pendarahan,
bengkak serta merah di dalam duodenum dan abomasum. Hal ini dapat
menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infeksi massal, pertumbuhan
cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat lebih lama. Pada fase
ruminal, cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen yang menganggu
kapasitas resorbsi (Kamaruddin et al., 2005).
8
Cacing muda Paramphistomum sp. yang menembus masuk ke dalam
submukosa akan menyebabkan peradangan usus, nekrosis sel dan erosi vili-vili
mukosa. Cacing muda dalam jumlah banyak yang berada di dalam usus halus
dapat menyebabkan kematian pada sapi. Cacing dewasa yang berada di dalam
rumen dan retikulum akan menghisap bagian permukaan mukosa sehingga
menyebabkan kepucatan pada mukosa. Papilla rumen pada sapi yang terinfeksi
Paramphistomum sp. akan mengalami degenerasi sehingga perubahan tersebut
mengakibatkan gangguan kerja rumen dan makanan tidak dapat dicerna dengan
sempurna (Subronto, 2007).
2.1.5 Gejala Klinis
Gejala klinis akibat paramphistomiasis pada fase intestinal, yaitu adanya
peradangan usus yang ditandai dengan diare yang berbau busuk. Sapi yang
terinfeksi akan menjadi lemah, depresi, dehidrasi dan anoreksia. Selain itu, sapi
mengalami hipoproteinemia yang ditandai dengan oedema submandibular dan
mukosa mulut kelihatan pucat. Kemungkinan sapi akan mengalami kematian
dalam waktu 15-20 hari setelah gejala klinis teramati. Paramphistomiasis fase
ruminal dapat menyebabkan penyakit kronik yang berupa kekurusan, anemia,
bulu kusam serta produktivitas menurun (Subronto, 2007).
Cacing dewasa yang melekat pada dinding rumen menyebabkan sedikit atau
tidak ada tanda-tanda klinis, terutama pada sapi dewasa. Migrasi proksimal cacing
dewasa dapat menyebabkan ulserasi dan tanda-tanda klinis termasuk diare dan
kematian pada hewan muda (Roger and David 2011).
2.1.6 Diagnosa
Diagnosa paramphistomiasis pada ternak dapat dilakukan dengan melihat
gejala klinis yang timbul, pemeriksaan feses, deteksi antibodi dalam serum dan
deteksi antigen dalam serum maupun feses ternak yang terinfeksi. Metode
pemeriksaan feses yang dapat digunakan adalah metode sedimentasi, metode
filtrasi, metode kombinasi filtrasi-sedimentasi dan metode kombinasi filtrasi-
sedimentasi-sentrifugasi feses. Deteksi antibodi dan antigen pada ternak yang
terinfeksi dapat dilakukan dengan menggunakan uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbant Assay) (Shabih and Juyal 2006).
Diagnosa paramphistomiasis melalui pemeriksaan feses bertujuan
mengetahui keberadaan telur dan larva cacing. Perubahan populasi cacing dalam
lambung sapi dapat diketahui dengan menghitung total telur per gram feses (EPG)
secara rutin (Subronto and Tjhajati 2001).
Infeksi Paramphistomum sp. pada sapi dapat diketahui ketika pemeriksaan
postmortem ditemukan cacing di dalam rumen dan retikulum. Sapi yang terinfeksi
Paramphistomum sp. dalam jumlah sedikit akan ditemukan beberapa ekor saja,
sedangkan sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. dalam jumlah banyak akan
terlihat permukaan rumen dan retikulum dipenuhi Paramphistomum sp. sehingga
rumen tersebut terlihat berwarna merah muda atau merah kecoklatan, seperti pada
Gambar 5 (David et al., 2010).
9
Gambar 5. Infeksi Paramphistomum sp. pada rumen (a) dan retikulum (b)
(David et al., 2010)
Paramphistomum sp. yang berhabitat di usus halus akan menempel pada
lapisan usus, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Dalam jumlah banyak, cacing
dapat merusak dan menyebabkan peradangan usus akut sehingga infeksi ini dapat
mengakibatkan kematian. Perubahan histopatologi pada usus halus yang dilewati
cacing muda akan memperlihatkan daerah-daerah yang mengerut (strangulasi) dan
mukosa terlihat nekrosis, seperti terlihat pada Gambar 7 (Llyod et al., 2007).
Gambar 6. Paramphistomum sp. melekat pada usus kecil
(Llyod et al., 2007)
Gambar 7. Mikroskopik Paramphistomum sp. melekat pada lapisan
usus kecil (Llyod et al., 2007)
10
2.1.7 Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian penyakit parasitik terutama yang disebabkan oleh cacing
Paramphistomum sp. tidak hanya dilakukan dengan pengobatan ternak yang
terinfeksi, tetapi juga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya reinfeksi pada
ternak (Melaku and Addis 2012). Pencegahan paramphistomiasis dapat dilakukan
dengan memberikan obat pembunuh siput, pengeringan parit dan menutup
genangan air (Morgan, 2003).
Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum sp. dengan
pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber
infeksi untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di
padang rumput. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan
menghindarkan ternak dari penggembalaan di padang rumput ketika musim hujan
(Llyod et al., 2007).
2.1.8 Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua bagian,
yakni pengobatan yang ditujukan untuk membunuh cacing dewasa di dalam
rumen dan pengobatan yang ditujukan untuk membunuh cacing muda bila terjadi
suatu ledakan penyakit (outbreak) (Gandahusada et al., 2000).
Obat-obat yang dapat digunakan untuk membunuh Paramphistomum sp.
adalah meniclopholen (niclofolan®, bilevon
®), mensonil (niclosaminde
®,
yomeson®
) dan resorentel (terenol®
) (Subronto, 2007).
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Paramphistomiasis pada Ternak
Paramphistomiasis umumnya menyerang ternak ruminansia terutama sapi
dan kerbau. Tingkat infeksi cacing tergantung dari derajat infeksi dan daya tahan
tubuh ternak terhadap penyakit (Tuasikal and Suhardono, 2006). Menurut Raza et
al. (2009), paramphistomiasis pada ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain umur ternak, jenis kelamin, jenis ternak, penggunaan anthelmintika,
pendidikan dan status ekonomi peternak, serta manajemen ternak. Manajemen
pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
infeksi cacing pada ternak (Purwanta et al., 2009).
Daerah yang memiliki suhu 25-30 0C membantu pertumbuhan telur-telur
cacing menjadi larva yang infektif bagi hospes definitif dan merupakan kondisi
optimum berlangsungnya penularan lewat padang rumput. Banyaknya vegetasi
pada lahan penggembalaan, menjadikan daerah tersebut lembab dan lama dalam
menyimpan air sehingga memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan
siklus hidupnya. Hasil penelitian dari 9 jenis parasit gastrointestinal yang
menginfeksi paling banyak adalah Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. yang
keduanya termasuk kelas trematoda (cacing daun). Kejadian kedua jenis parasit
cacing ini disebabkan oleh pengambilan sampling dilakukan pada daerah yang
basah atau pakan yang diberikan berasal dari lahan persawahan sehingga
memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan hospes perantara
(siput air) (Sugama and Suyasa 2011).
11
Melaku and Addis (2012) menyatakan bahwa prevalensi paramphistomiasis
yang lebih tinggi pada ternak betina diduga disebabkan ternak betina umumnya
dipelihara lebih lama sebagai induk untuk breeding sehingga resiko paparan oleh
Paramphistomum sp. akan lebih besar. Selain itu, ketidakstabilan imunitas ternak
betina pada masa bunting, melahirkan dan laktasi diduga dapat berpengaruh
terhadap infeksi cacing dan kondisi tubuh yang buruk pada ternak akan
memperparah paramphistomiasis.
Sapi dewasa (usia >12 bulan) memiliki prevalensi paramphistomiasis lebih
tinggi dibandingkan dengan sapi yang lebih muda (usia<12 bulan). Tingginya
kejadian paramphistomiasis pada hewan dewasa diduga berkaitan dengan
frekuensi penggembalaan yang lebih sering sehingga meningkatkan peluang
terinfeksi metaserkaria Paramphistomum sp., sedangkan tingginya prevalensi
pada ternak yang digembalakan diduga berkaitan dengan tingginya tingkat
kontaminasi lapangan penggembalaan, potensi biologi yang tinggi dari siput
sebagai hospes perantara dan pemberian anthelmintik yang tidak tepat, serta
kurangnya tindakan pengendalian (Yasa, 2013).
Menurut Abidin (2002), konsumsi pakan hijauan yang tercemar
metaserkaria dapat menyebabkan tingkat infeksi cacing yang cukup tinggi. Sapi
yang diberi pakan dengan ¾ bagian jerami menderita paramphistomiasis cukup
tinggi. Infeksi ini terjadi dikarenakan metaserkaria pada batang padi umumnya
tersebar di sepertiga bagian bawah batang padi atau pada bagian bawah sekitar 10-
15 cm dari tanah.
Pemberian anthelmintika pada ternak mutlak diperlukan dalam
pengendalian infeksi cacing. Pada umumnya sebagian besar ternak sudah diberi
anthelmentik. Akan tetapi, masih banyak yang terinfeksi Paramphistomum sp.
Efektivitas pemberian anthelmintika dipengaruhi oleh ketepatan dosis, sprektrum
anthelmintika dan cara pemberian (Pfukenyi et al., 2006). Tingginya prevalensi
paramphistomiasis pada ternak yang diberi anthelmintika diduga berkaitan dengan
kurangnya pengetahuan peternak terhadap penggunaan anthelmintik (Yasa, 2013).
Selain itu, Purwanta et al. (2009) berpendapat bahwa peternak hanya akan
memberi anthelmintika jika ternaknya menunjukkan gejala klinis terinfeksi
cacing.
Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak
sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit pada ternak.
Selain itu, sanitasi kandang yang buruk dapat menyebabkan imunitas tubuh hewan
menurun. Melaku and Addis (2012) mengatakan bahwa infeksi
Paramphistomum sp. pada ternak akan lebih tinggi kejadiannya pada hewan
ternak dengan imunitas yang rendah. Sebagian besar kandang sapi yang sudah
dilakukan pembersihan secara teratur, tetapi masih ditemukan ternak sapi yang
terinfeksi Paramphistomum sp. Infeksi ini terjadi pada saat ternak digembalakan
di tempat penggembalaan atau melalui pakan yang mengandung metaserkaria.
12
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2014 sampai 16 Juli 2014.
Pengambilan sampel dilaksanakan di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone.
Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar
Veteriner (BBVET) Maros.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
Populasi penelitian adalah semua sapi Bali yang terdapat di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone sebanyak 32.410 ekor (BPS, 2013). Kecamatan
Libureng dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki jumlah populasi sapi
yang paling tinggi di Kabupaten Bone.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 ekor sapi Bali yang
tersebar di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Besaran sampel ditentukan
dengan asumsi tingkat kejadian paramphistomiasis sebesar 50% dan tingkat
kepercayaan 90%. Besaran sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Selvin, 2004) :
𝒏 =𝟒 𝑷(𝟏 − 𝑷)
𝑳𝟐
Keterangan : n = Besaran sampel feses sapi yang diambil
P = Asumsi dugaan tingkat kejadian paramphistomiasis (50%)
L = Tingkat kesalahan 10% (0.1)
n = 4(0.5)(1-0.5)
(0.1)2
n = (2)(0.5)
0.01=
1
0.01
n = 100 ekor
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah rambang proporsional
dengan mengambil sampel dalam setiap desa yang terdapat di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone. Setiap desa ditentukan jumlah sampel yang akan
diambil dengan cara membagi jumlah populasi per desa dengan jumlah populasi
per kecamatan kemudian dikalikan dengan jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian.
n =4P(1-P)
L2
13
3.2.2 Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah feses, kapas, air,
methylene blue dan formalin 10%.
3.2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik,
coolbox, refrigerator, timbangan, object glass, cover glass, mikroskop, sentrifus,
tabung plastik sentrifus bertutup yang mempunyai skala ukuran volume 30 ml,
saringan teh, mortar, gelas ukur, pipet pastuer, sendok pengaduk dan botol pot
plastik.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang
memberikan gambaran atau uraian mengenai prevalensi paramphistomiasis pada
sapi Bali. Keberadaan telur Paramphistomum sp. dalam feses dideteksi dengan
menggunakan metode sedimentasi, sedangkan untuk mengetahui angka prevalensi
paramphistomiasis menggunakan rumus prevalensi.
3.3.2 Pengambilan Feses
Pengambilan feses dilakukan secara per rektal, sebanyak kurang lebih 4
gram setiap ekor sapi. Feses segar dimasukkan ke dalam kantong plastik bersama
dengan kapas yang telah diberi formalin untuk mencegah menetasnya telur selama
pengangkutan dan penyimpanan. Setiap spesimen diberi label yang memuat
keterangan nama sapi, waktu pengambilan dan catatan lain yang dianggap perlu.
Setelah itu, spesimen dibawa dengan menggunakan coolbox dari tempat
pengambilan sampel, kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator selama ± 3 hari
sampai dilakukan pemeriksaan di laboratorium.
3.3.3 Pengujian Laboratorium
Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi digunakan untuk
mengidentifikasi telur trematoda (Paramphistomum sp.) di dalam feses karena
telur trematoda yang relatif besar dan berat dibandingkan dengan telur nematoda.
Feses ditimbang sebanyak 2 gram dan dicampur dengan sedikit air kemudian
diaduk sampai merata dengan menggunakan mortar. Setelah campuran homogen,
lalu disaring menggunakan saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan
ke dalam tabung sentrifus. Setelah itu, tabung sentrifus diseimbangkan kemudian
disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Jika sentrifus tidak bisa
digunakan, campuran tersebut didiamkan selama 20-30 menit. Proses selanjutnya,
supernatan dibuang sementara sedimennya dibiarkan mengendap. Sedimen yang
berada pada permukaan dan dasar tabung masing-masing diambil dengan pipet
pastuer dan diletakkan di atas object glass yang berbeda (jika terlalu keruh
ditambahkan 1 tetes air dan diaduk), kemudian ditambahkan 1 tetes larutan
methylene blue lalu dicampur secara merata dan ditutup dengan cover glass.
Selanjutnya, kedua object glass tersebut diperiksa menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100 x (Urquhart et al., 2000).
14
3.3.4 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis secara
deskriptif. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini
(Budiharta, 2002) :
Keterangan: F : Jumlah sampel positif
N : Total jumlah sampel yang diperiksa
Prevalensi = F
N × 100%
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kejadian paramphistomiasis di Kecamatan Libureng,
Kabupaten Bone telah dilakukan penelitian mulai tanggal 29 Juni 2014 sampai 16
Juli 2014. Sebanyak 100 sampel feses dikumpulkan secara rambang proporsional
dengan mengambil sampel dalam setiap desa. Sampel diambil pada 20 desa yang
terdapat di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Setiap desa ditentukan jumlah
sampel yang diambil dengan cara membagi jumlah populasi per desa dengan
jumlah populasi per kecamatan kemudian dikalikan dengan jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian (100 ekor). Hasil perhitungan jumlah sampel dalam
setiap desa di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, disajikan pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Jumlah sampel dalam setiap desa di Kecamatan Libureng, Kabupaten
Bone
No Desa Populasi Jumlah Sampel
1 Baringeng 2063 6
2 Tompobulu 1682 5
3 Ponre-ponre 1836 5
4 Laburasseng 1589 5
5 Tappale 1735 5
6 Polewali 1196 3
7 Suwa 480 2
8 Pitumpidange 1129 4
9 Wanuawaru 1150 4
10 Ceppaga 1994 6
11 Mattiro walie 2685 8
12 Mario 1882 6
13 Poleonro 1947 6
14 Tanabatue 1073 3
15 Swadaya 1547 5
16 Binuang 1291 4
17 Mattiro deceng 1305 4
18 Bune 3095 10
19 Mallinrung 1754 6
20 Mattiro bulu 977 3
Jumlah 32410 100
Pemeriksaan feses dilakukan dengan menggunakan metode sedimentasi di
Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros. Hasil
pemeriksaan tersebut dapat diidentifikasi telur Paramphistomum sp. yang nampak
di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, seperti pada Gambar 8.
16
Gambar 8. Hasil pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi (panah merah:
telur Paramphistomum sp.)
Telur Paramphistomum sp. dengan morfologi berkerabang tipis dan agak
menebal di bagian ujung operkulum dengan warna blastomer kuning cerah dan
tidak terlalu padat serta ukuran yang relatif besar. Secara umum morfologi ini
hampir sama dengan telur Paramphistomum sp. menurut literatur, seperti yang
terlihat pada Gambar 9. (Lukesova, 2009). Telur cacing yang mempunyai
persamaan dengan Paramphistomum sp. adalah Fasciola sp. sehingga adanya
telur cacing ini akan mempersulit dalam pemeriksaan. Telur Paramphistomum sp.
mempunyai kulit telur transparan dan menyerap warna bila diwarnai dengan
methylen blue sehingga akan nampak berwarna biru sedang sel-selnya agak lebih
besar bila dibandingkan dengan telur Fasciola sp. sedangkan telur Fasciola sp.
kulit telur berwarna kuning dengan operkulum pada salah satu ujung telur dan sel-
sel embrional yang kurang jelas. Telur Fasciola sp. tidak menyerap warna
methylen blue sehingga tetap berwarna kuning. Perbandingan telur
Paramphistomum sp. dari hasil penelitian dengan literatur dapat dilihat pada
Gambar 9 berikut ini.
Gambar 9. A) Telur Paramphistomum sp. (hasil penelitian) dan B) Telur
Paramphistomum sp. sesuai literatur (Lukesova, 2009) Keterangan: (a) Operkulum (b) Blastomer berwarna kuning cerah dan tidak terlalu
padat memenuhi rongga telur
A
B
a a
b
b
17
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium dari seluruh jumlah sampel
maka dapat diketahui distribusi kejadian paramphistomiasis pada sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone pada tabel berikut:
Tabel 2.Distribusi paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng,
Kabupaten Bone
No Desa Jumlah
Sampel
Paramphistomum sp.
Positif Negatif
1 Baringeng 6 2 4
2 Tompobulu 5 3 2
3 Ponre-ponre 5 4 1
4 Laburasseng 5 4 1
5 Tappale 5 5 0
6 Polewali 3 2 1
7 Suwa 2 1 1
8 Pitumpidange 4 1 3
9 Wanuawaru 4 3 1
10 Ceppaga 6 3 3
11 Mattiro walie 8 4 4
12 Mario 6 4 2
13 Poleonro 6 3 3
14 Tanabatue 3 2 1
15 Swadaya 5 2 3
16 Binuang 4 2 2
17 Mattiro deceng 4 2 2
18 Bune 10 3 7
19 Mallinrung 6 4 2
20 Mattiro bulu 3 3 0
Tabel 2 di atas dapat dilihat dari 100 sampel feses yang diambil pada 20
desa yang terdapat di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, sebanyak 57 ekor
sapi Bali positif paramphistomiasis. Prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali
di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone dihitung dengan menggunakan rumus
seperti di bawah ini:
Prevalensi = F
N×100%
Keterangan:
F : Jumlah sampel positif paramphistomiasis (57)
N : Total jumlah sampel yang diperiksa (100)
Prevalensi paramphistomiasis =57
100×100%
Prevalensi paramphistomiasis = 57%
18
Berdasarkan perhitungan di atas maka diperoleh hasil bahwa prevalensi
paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone dapat
dikatakan cukup tinggi yaitu sebesar 57%. Angka tersebut hampir sama dengan
hasil penelitian Beriajaya et al. pada tahun 1981 di Sulawesi Selatan yaitu sebesar
53.23%, tetapi berbeda dengan penelitian Wirawan (2011) yang melaporkan
kejadian paramphistomiasis di Kabupaten Bone dengan angka prevalensi lebih
rendah yaitu sebesar 29.23% serta Wirawan (2011) juga pernah melaporkan
kejadian paramphistomiasis pada sapi Bali di Kabupaten Barru yaitu sebesar
31.16%. Purwanta et al. (2009) melaporkan kejadian paramphistomiasis yang jauh
lebih rendah yaitu sebesar 1.31% pada sapi di Kabupaten Gowa.
Prevalensi paramphistomiasis pada sapi disetiap wilayah berbeda-beda.
Perbedaan tingkat prevalensi dapat disebabkan oleh perbedaan geografis yang
mempengaruhi keberadaan siput sebagai hospes antara dan daya tahan
metaserkaria di lingkungan serta teknik diagnosa (Mage et al., 2000). Selain
geografis, prevalensi paramphistomiasis pada ternak juga dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain manajemen pemeliharaan ternak, umur ternak, jenis
kelamin ternak, penggunaan anthelmintik, pendidikan dan status ekonomi
peternak (Raza et al., 2009).
Sistem pemeliharaan ternak adalah salah satu faktor yang berpengaruh
dalam kejadian penyakit parasitik pada hewan ternak. Umumnya sistem
pemeliharaan sapi di kecamatan ini masih bersifat tradisional yaitu digembalakan
secara terus menerus (Gambar 10) sehingga diduga mempunyai peluang untuk
terinfeksi Paramphistomum sp. relatif tinggi. Menurut Melaku and Addis (2012)
bahwa tingginya tingkat prevalensi pada ternak yang digembalakan diduga
berkaitan dengan tingginya tingkat kontaminasi lapangan pengembalaan dan
potensi biologi yang cukup tinggi dari siput sebagai hospes antara.
Gambar 10. Sistem pemeliharaan di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone Sumber: Dokumentasi Pribadi 2014
Menurut Melaku and Addis (2012) bahwa infeksi Paramphistomum sp.
pada sapi juga dipengaruhi oleh umur. Prevalensi paramphistomiasis lebih rendah
pada ternak muda karena disebabkan oleh frekuensi pemberian pakan rumput
19
pada ternak muda lebih rendah dibandingkan ternak dewasa sehingga
kemungkinan terinfeksi metaserkaria akan lebih kecil, sedangkan penelitian
Darmono (1983) menunujukkan ternak ruminansia yang sudah dewasa atau
pernah mengalami infeksi cacing dewasa di dalam rumennya akan kebal terhadap
infeksi baru (reinfeksi). Penelitian ini tidak difokuskan pengamatan pada umur
karena pengambilan sampel sapi umumnya berumur lebih dari 1 tahun.
Infeksi Paramphistomum sp. umumnya terjadi saat sapi sebagai hospes
definitif memakan rumput atau jerami yang mengandung metaserkaria (Abidin,
2002). Metaserkaria adalah larva infektif yang akan menembus dan memakan
jaringan dari dinding usus kecil kemudian bermigrasi kedalam rumen (Njoku and
Nwoko, 2009). Kelangsungan hidup serta penyebaran Paramphistomum sp.
bergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa) sebagai hospes antara.
Metaserkaria berasal dari serkaria yang keluar dari siput. Mirasidium akan mati
apabila tidak menemukan siput, walaupun metaserkaria tahan terhadap kondisi
kering. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan
kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair
(Kusumamiharja, 1992). Siput sebagai hospes antara yang berhabitat pada
lingkungan yang berair dengan vegetasi yang baik seperti di sekitar aliran sungai,
danau, sawah, kolam dan daerah berawa. Areal sekitar kandang sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone sempat ditemukan beberapa siput, seperti
yang terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Hospes antara (siput) yang ditemukan di areal kandang sapi warga Sumber: Dokumentasi Pribadi 2014
Sapi yang tidak sehat akan terlihat jelas pada feses sapi yang diperiksa.
Akan tetapi, sapi yang positif pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya gejala
klinis seperti halnya sapi yang terinfeksi paramphistomiasis seperti diare yang
berbau busuk, depresi dan mengalami gastrointestinal. Kondisi fisik antara sapi
terinfeksi dan tidak terinfeksi di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone sukar
untuk dibedakan. Sebagaimana dilaporkan Roger and David (2011) yang
menyatakan bahwa cacing dewasa Paramphistomum sp. yang melekat pada
dinding rumen menyebabkan sedikit atau tidak ada tanda-tanda klinis.
20
Salah satu gejala klinis ternak yang terinfeksi Paramphistomum sp. adalah
memiliki Body Condition Score (BCS) dalam kategori kurus (1–3) (Melaku and
Addis 2012). Selain BCS kurus, pada penelitian ini juga ditemukan sapi dengan
BCS optimum (5–7) mengalami paramphistomiasis diduga sampel tersebut
terinfeksi Paramphistomum sp. masih tergolong dalam infeksi ringan sehingga
akibat yang ditimbulkan belum terlihat. Javed et al. (2006) menyatakan bahwa
ternak yang terinfeksi Paramphistomum sp. umumnya mengalami infeksi ringan
dan tidak menunjukkan gejala klinis.
Cacing muda Paramphistomum sp. yang terdapat di dalam usus halus
merupakan faktor yang penting dalam patogenisitas dari paramphistomiasis ini.
Mukosa rumen dari sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. terlihat kepucatan
atau anemik akibat gigitan cacing dewasa. Perubahan akibat gigitan ini
kemungkinan akan bisa menyebabkan gangguan terhadap kerja rumen, sehingga
akibat infeksi Paramphistomum sp. bila dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi
cukup serius, sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Javed et al., 2008).
Selain itu, Infeksi parasit ini dapat juga menyebabkan kerusakan jaringan dan
organ, menurunnya produksi susu, daging dan kulit serta lambatnya pertumbuhan
ternak (Anosike et al., 2005)
Pemberian anthelmintik pada ternak mutlak diperlukan dalam pengendalian
cacing parasit. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa sebagian besar peternak
sapi di Kecamatan Libureng tidak pernah memberi anthelmintik kepada
ternaknya, diduga peternak memberikan anthelmintik ketika sapi mereka
mengalami penyakit cacingan. Purwanta et al. (2009) menyatakan bahwa peternak
hanya akan memberi anthelmintik jika ternaknya menunjukkan gejala klinis
kecacingan.
21
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi paramphistomiasis pada
sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone sebesar 57%.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk perlu dilakukan penelitian
lanjutan terhadap kejadian paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang
mempengaruhinya sebagai bahan untuk merancang program pengendalian
paramphistomiasis di daerah tersebut.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z. 2002. Penggemukan sapi potong. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Anosike JC, Opara MN, Okoli CG, Okoli IC. 2005. Prevalance of parasitic
helminthes among ruminants in Etiti Area of Imo State, Nigeria. Animal
Production Research Advances. 1(1): 13-19.
Beriajaya, Soetedjo R. 1979. Laporan inventarisasi parasit cacing pada ternak
di RPH Ujung Pandang dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan [Laporan
Penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian Penyakit Hewan.
Beriajaya, Soetedjo R, Adiwinata G. 1981. Beberapa aspek epidemiologi dan
biologi Paramphistomum di Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional II.
1981 Jun 24-27, Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Statistika Peternakan Sulawesi Selatan Tahun
2013. Sulawesi Selatan (ID): BPS.
Budiharta S. 2002. Kapita selekta epidemiologi veteriner. Yogyakarta (ID):
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada.
Darmono. 1983. Parasit cacing Paramphistomum sp. pada ternak ruminansia dan
akibat infestasinya. Bogor: Balai Penelitian Penyakit Hewan. Wartazoa. 1:
(2).
Darmono, Adiwinata G, Djayasasmita M. 1983. Paramphistomiasis pada sapi Bali
I [Laporan Penelitian]. Bogor: Balai Penelitian Penyakit Hewan.
David RN, Siswatiana RT, Tri Ananda EN. 2013. Investigasi keberadaan cacing
Paramphistomum sp. pada lambung sapi yang bearasal dari Tempat
Pemotongan Hewan di Kota Gorontalo. Jurnal Peternakan. Fakultas Ilmu
Pertanian Universitas Negeri Gorontalo.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2002. Mengenal sapi Bali. Jakarta
(ID): Ditjennak.
Gandahusada, Pribadi SW, Herry DI. 2000. Parasitologi kedokteran. Jakarta (ID):
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Hamdan A. 2014. Paramphistomiasis pada ternak ruminansia. Pusat Dokumentasi
dan Informasi Ilmiah: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (akan
diterbitkan).
Harminda D. 2011. Infestasi parasit cacing Neoascaris vitulorum pada ternak sapi
pesisir di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang [Skripsi]. Sumatera
Barat: Fakultas Peternakan, Universitas Andalas.
Javed KU, Akhtar T, Maqbool A, Aness A. 2006. Epidemiology of
paramphistomiasis in buffaloes under different managemental conditions at
four districts of Punjab Propince Pakistan. Irianian J Vet Res. 7(3): 68-73.
Javed KU, Akhtar T, Maqbool A, Masood S. 2008. Epidemiological studies of
paramphistomosis in cattle. Veterinarski Arhiv. 78(3): 243-251.
Kamaruddin M, Fahrimal Y, Hambal M, Hanafiah M. 2005. Buku Ajar
Parasitologi Veteriner. Banda Aceh (ID): Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Syah Kuala.
Khan MK, Sajid MS, Khan MN, Iqbal Z, Iqbal MU. 2008. Bovine fasciolosis:
prevalence, effects of treatment on productivity and cost benefit analysis
infive districts of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci. 87: 70–75.
23
Kusumamiharja S.1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan
piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor.
Lloyd J, Joe B, Stephen L. 2007. Stomach fluke (paramphistomes) in ruminants.
Primefact. 452: 1-4.
Lukesova D. 2009. Atlas of Livestock Parasites Digitized Collection of
Microscopical Preparations. Institute of Tropics and Subtropics: Czech
University of Life Sciences Prague, Czech Republic.
Mage C, Bourgne C, Toullieu JM, Rondelaud D, Dreyfuss G. 2002. Fasciola
hepatica and Paramphistomum daubneyi: changes in prevalences of
natural infections in cattle and in Lymnaea truncatula from central
Franceover the past 12 years. Vet Res. 33: 439–447.
Melaku S, Addis M. 2012. Prevalence and intensity of Paramphistomum in
ruminants slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Glob
Vet. (8)3: 315-319.
Michel K, Upton SJ. 2013. Animal and human parasite images. [terhubung
berkala]. http://www.kstate.edu /parasitology /625 tutorials/index.html. [23
Februari 2014].
Morgan BB. 2003. Veterinary Helminthology. Minneapolis: Burger Publishing
Company.
Murtiyeni, Juarini E, Manurung J. 2009. Penyakit parasit pada ternak ruminansia
[Laporan Penelitian]. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.
Muzani A, Tanda SP, Luh Gde SA. 2010. Petunjuk praktis manajemen
pencegahan dan pengendalian penyakit pada ternak sapi. NTB (ID): Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian.
Nofyan E, Mustaka K, Rosdiana I. 2008. Identitas jenis telur cacing parasit usus
pada ternak sapi (Bos sp.) dan kerbau (Bubalus sp.) di rumah potong
hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-11.
Njoku TRF, Nwoko BEB. 2009. Prevalance of paramphistomiasis among sheep
slaughtered in some selected abattoirs in imo state, Nigeria. Science World
Journal. (4): 4.
Pfukenyi DM, Mukaratirwa S, Willingham AL, Monrad J. 2006. Epidemiological
studies of Fasciola gigantica infections in cattle in the highveld and
lowveld communal grazing areas of Zimbabwe. Onderstepoort J Vet Res.
73: 37–51.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran
pencernaan (gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.
Putratama R. 2009. Hubungan kecacingan pada ternak sapi di sekitar Taman
Nasional Way Kambas dengan kemungkinan kejadian kecacingan pada
badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Suaka Rhino Sumatera
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Raza MA, Murtaza S, Bachaya HA, Hussain A. 2009. Prevalence of
Paramphistomum cervi in ruminants slaughtered in district Muzaffar Garh.
Pakistan Vet J. 29(4): 214-215.
Roger B, David W. 2011. Color Atlas of Diseases and Disorders of Cattle Third
Edition. Mosby Elsevier.
24
Selvin S. 2004. Statistical analysis of epidemiology data. London (UK): Oxford
University Pres.
Shabih HS, Juyal PD. 2006. Diagnosis of paramphistomosis in domestik animal in
Punjab (INDIA). Proceedings of The 11th International symposium on
veterinary an Economic [internet]. Tersedia pada: www.sciquest.org.nz.
Siswansyah D, Tarmudji D, Ahmad SN, Wasito. 1989. Survey penyakit parasit
menular pada ternak sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kalimantan Selatan [Laporan Penelitian]. Banjarbaru: Balai Penelitian
Veteriner.
Subekti S, Mumpuni SM, Kusnoto. 2007. Ilmu penyakit nematoda veteriner.
Surabaya (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.
Subronto. 2007. Ilmu penyakit ternak II (mamalia) manajemen kesehatan ternak
parasitisme gastrointestinal dan penyakit metabolisme. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press.
Subronto, Tjahajati I. 2001. Ilmu penyakit ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Sugama IN, Suyasa IN. 2011. Keragaan infeksi parasit gastrointestinal pada sapi
Bali model kandang simantri [Laporan Penelitian]. Bali: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian.
Suryana. 2006. Tinjauan aspek penyakit dan upaya penanggulangannya pada
ternak ruminansia besar di Kalimantan Selatan. Lokakarya Nasional
Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis. Kalimantan
Selatan: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Pros. hlm. 144-150.
Suweta IGP. 1982. Kerugian ekonomi oleh cacing hati pada sapi Bali sebagai
implikasi interaksi dalam lingkungan hidup pada ekosistem pertanian di
Bali [Disertasi]. Bandung: Universitas Padjajaran
Tantri N, Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan intensitas telur cacing
parasit pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota
Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont. 2(2): 102-106.
Tuasikal BJ, Suhardono. 2006. Pengaruh infeksi Fasciola gigantica (cacing hati)
iradiasi terhadap gambaran darah kambing (Capra hircuslinn). JITV.
11(4): 317-323
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2000. Veterinary
Parasitology. 3rd. Edn, Longman Scientific Technology UK. PP: 64-71.
Wirawan PH. 2011. Laporan kegiatan survey internal dan eksternal parasit
(Kabupaten Barru, Poso, Bone dan Sigi) [Laporan Penelitian]. Maros:
Balai Besar Veteriner Maros.
Yasa NF. 2013. Prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko paramphistomosis
pada peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Sumedang
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
25
LAMPIRAN
1. Hasil pemeriksaan Telur Paramphistomum sp. pada sapi Bali di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone
No Kode
Waktu Penelitian
Nama Desa Hasil Pengambilan
sampel
Pemeriksaan
feses
1. 001 29/06/2014 2/07/2014 Pitumpidange +
2. 002 29/06/2014 2/07/2014 Pitumpidange -
3. 003 29/06/2014 2/07/2014 Pitumpidange -
4. 004 29/06/2014 2/07/2014 Pitumpidange -
5. 005 29/06/2014 2/07/2014 Wanuawaru -
6. 006 29/06/2014 2/07/2014 Wanuawaru +
7. 007 29/06/2014 2/07/2014 Wanuawaru +
8. 008 29/06/2014 2/07/2014 Wanuawaru +
9. 009 29/06/2014 2/07/2014 Suwa +
10. 010 29/06/2014 2/07/2014 Suwa -
11. 011 29/06/2014 2/07/2014 Polewali +
12. 012 29/06/2014 2/07/2014 Polewali -
13. 013 29/06/2014 2/07/2014 Polewali +
14. 014 30/06/2014 2/07/2014 Mattiro bulu +
15. 015 30/06/2014 2/07/2014 Mattiro bulu +
16. 016 30/06/2014 2/07/2014 Mattiro bulu +
17. 017 30/06/2014 2/07/2014 Mallinrung +
18. 018 30/06/2014 2/07/2014 Mallinrung +
19. 019 30/06/2014 2/07/2014 Mallinrung -
20. 020 30/06/2014 2/07/2014 Mallinrung +
21. 021 30/06/2014 2/07/2014 Mallinrung +
22. 022 30/06/2014 2/07/2014 Mallinrung -
23. 023 30/06/2014 2/07/2014 Ceppaga +
24. 024 30/06/2014 2/07/2014 Ceppaga +
25. 025 30/06/2014 2/07/2014 Ceppaga +
26. 026 13/07/2014 15/07/2014 Ceppaga -
27. 027 13/07/2014 15/07/2014 Ceppaga -
28. 028 13/07/2014 15/07/2014 Ceppaga -
29. 029 30/06/2014 2/07/2014 Tappale +
30. 030 30/06/2014 3/07/2014 Tappale +
31. 031 30/06/2014 3/07/2014 Tappale +
32. 032 30/06/2014 3/07/2014 Tappale +
33. 033 30/06/2014 3/07/2014 Tappale +
34. 034 30/06/2014 3/07/2014 Laburasseng +
35. 035 30/06/2014 3/07/2014 Laburasseng +
36. 036 30/06/2014 3/07/2014 Laburasseng +
37. 037 30/06/2014 3/07/2014 Laburasseng -
38. 038 30/06/2014 3/07/2014 Laburasseng +
39. 039 30/06/1204 3/07/2014 Mario +
40. 040 30/06/2014 3/07/2014 Mario -
26
No Kode
Waktu Penelitian
Nama Desa Hasil Pengambilan
sampel
Pemeriksaan
feses
41. 041 30/06/2014 3/07/2014 Mario +
42. 042 30/06/2014 3/07/2014 Mario -
43. 043 30/06/2014 3/07/2014 Mario +
44. 044 30/06/2014 3/07/2014 Mario +
45. 045 30/06/2014 3/07/2014 Ponre-ponre -
46. 046 30/06/2014 3/07/2014 Ponre-ponre +
47. 047 30/06/2014 3/07/2014 Ponre-ponre +
48. 048 30/06/2014 3/07/2014 Ponre-ponre +
49. 049 30/06/2014 3/07/2014 Ponre-ponre +
50. 050 12/07/2014 15/07/2014 Swadaya +
51. 051 12/0720/14 15/07/2014 Swadaya +
52. 052 12/07/2014 15/07/2014 Swadaya -
53. 053 12/07/2014 15/07/2014 Swadaya -
54. 054 12/07/2014 15/07/2014 Swadaya -
55. 055 12/07/2014 15/07/2014 Binuang +
56. 056 12/07/2014 15/07/2014 Binuang -
57. 057 12/07/2014 15/07/2014 Binuang -
58. 058 13/07/2014 15/07/2014 Binuang +
59. 059 13/07/2014 15/07/2014 Tompo bulu +
60. 060 13/07/2014 15/07/2014 Tompo bulu -
61. 061 13/07/2014 15/07/2014 Tompo bulu +
62. 062 13/07/2014 15/07/2014 Tompo bulu +
63. 063 13/07/2014 15/07/2014 Tompo bulu -
64. 064 13/07/2014 15/07/2014 Baringeng -
65. 065 13/07/2014 15/07/2014 Baringeng -
66. 066 13/07/2014 15/07/2014 Baringeng -
67. 067 13/07/2014 15/07/2014 Baringeng +
68. 068 13/07/2014 15/07/2014 Baringeng +
69. 069 12/07/2014 15/07/2014 Baringeng -
70. 070 12/07/2014 15/07/2014 Mattirodeceng +
71. 071 12/07/2014 15/07/2014 Mattirodeceng -
72. 072 12/07/2014 15/07/2014 Mattirodeceng +
73. 073 12/07/2014 15/07/2014 Mattirodeceng -
74. 074 12/07/2014 15/07/2014 Bune -
75. 075 12/07/2014 15/07/2014 Bune -
76. 076 12/07/2014 15/07/2014 Bune -
77. 077 12/07/2014 16/07/2014 Bune -
78. 078 12/07/2014 16/07/2014 Bune -
79. 079 12/07/2014 16/07/2014 Bune -
80. 080 12/07/2014 16/07/2014 Bune +
81. 081 12/07/2014 16/07/2014 Bune +
82. 082 12/07/2014 16/07/2014 Bune -
83. 083 12/07/2014 16/07/2014 Bune +
84. 084 12/07/2014 16/07/2014 Mattirowalie -
85. 085 12/07/2014 16/07/2014 Mattirowalie +
27
No Kode
Waktu penelitian
Nama Desa Hasil Pengambilan
sampel
Pemeriksaan
feses
86. 086 12/07/2014 16/07/2014 Mattirowalie +
87. 087 12/07/2014 16/07/2014 Mattirowalie -
89. 089 13/07/2014 16/07/2014 Mattirowalie -
90. 090 13/07/2014 16/07/2014 Mattirowalie +
93. 093 13/07/2014 16/07/2014 Tana batue +
94. 094 13/07/2014 16/07/2014 Tana batue +
95. 095 13/07/2014 16/07/2014 Poleonro -
96. 096 13/07/2014 16/07/2014 Poleonro +
97. 097 13/07/2014 16/07/2014 Poleonro +
98. 098 13/07/2014 16/07/2014 Poleonro -
99. 099 13/07/2014 16/07/2014 Poleonro -
100. 100 13/07/2014 16/07/2014 Poleonro +
2. Dokumen penelitian
Foto 1. Sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone
Foto 2. Pengambilan feses secara rektal
28
Foto 3. Pengujian laboratorium dengan metode sedimentasi
Foto 4. Hasil pemeriksaan dibawah mikroskop
.
1
3. Data spesimen
Propinsi : Sulawesi Selatan
Kabupaten : Bone
Kecamatan : Libureng
Pemeriksaan : Paramphistomum sp. (Uji Sedimentasi)
No
Pemilik & Alamat Identitas Ternak Obat cacing
Kondisi tubuh Manaj./TK
Waktu
Pengambilan
sampel
Pemilik Alamat K Umur J B Prnh Blm
1. Firdaus Pitumpidange 001 1,5 thn √ - - √ Kurus dikandangkan 29/06/14
2. Firdaus Pitumpidange 002 2 thn √ - - √ - dikandangkan 29/06/14
3. Firdaus Pitumpidange 003 1 thn √ - - √ Kurus dikandangkan 29/06/14
4. Firdaus Pitumpidange 004 1 thn √ - - √ Kurus digembalakan 29/06/14
5. Adi Wanuawaru 005 4 thn √ - √ - - dikandangkan,
dedak+rumput 29/06/14
6. Adi Wanuawaru 006 4 thn √ - √ - - dikandangkan,
dedak+rumput 29/06/14
7. Adi Wanuawaru 007 5 thn √ - √ - - dikandangkan,
dedak+rumput 29/06/14
8. Adi Wanuawaru 008 5 thn √ - √ - - dikandangkan,
dedak+rumput 29/06/14
9. A.Mihdas Suwa 009 4 thn √ - - √ Kurus dikandangkan 29/06/14
10. A.Mihdas Suwa 010 4 thn - √ - √ Kurus dikandangkan 29/06/14
11. Abbas Polewali 011 8 thn - √ √ - - dikandangkan 29/06/14
12. Abbas Polewali 012 6 thn - √ √ - Kurus, bunting dikandangkan 29/06/14
13. Abbas Polewali 013 2,5 thn - √ √ - Bunting dikandangkan 29/06/14
2
14. Mahmud Mattiro bulu 014 2,5 thn - √ - √ - dikandangkan 30/06/14
15. Sudding Mattiro bulu 015 8 thn - √ - √ - dikandangkan 30/06/14
16. Edar Mattiro bulu 016 8 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
17. Rusdi Mallinrung 017 1,6 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
18. Rusdi Mallinrung 018 1,8 thn √ - - √ Kurus digembalakan 30/06/14
19. Rusdi Mallinrung 019 1,3 thn √ - √ - - dikandangkan 30/06/14
20. Ria Mallinrung 020 2,5 thn - √ √ - - dikandangkan 30/06/14
21. Limung Mallinrung 021 4 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
22. H.Saleng Mallinrung 022 3 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
23. Rosnia Ceppaga 023 3 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
24. Rosnia Ceppaga 024 4 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
25. Nurdin Ceppaga 025 2,5 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
26. Lamma Ceppaga 026 3 thn - √ - √ - Liar 13/07/14
27. Junaida Ceppaga 027 1,5 thn - √ - √ - Liar 13/07/14
28. Wania Ceppaga 028 2 thn - √ - √ - Liar 13/07/14
29. Muslimin Tappale 029 2,5 thn √ - - √ Kurus digembalakan 30/06/14
30 Muslimin Tappale 030 2,5 thn √ - √ - - digembalakan 30/06/14
31. Muslimin Tappale 031 2,5 thn √ - - √ Encer,kurus digembalakan 30/06/14
32. Mumin Tappale 032 2,5 thn - √ - √ - digembalakan 30/06/14
33. Mira Tappale 033 2 thn - √ √ - - digembalakan 30/06/14
34. Maduing Laburasseng 034 3 thn - √ - √ - digembalakan 30/06/14
35. Rusia Laburasseng 035 5 thn - √ - √ - digembalakan 30/06/14
36. Rusia Laburasseng 036 3 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
37. Rusia Laburasseng 037 1,5 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
38. Rusia Laburasseng 038 2,5 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
39. Azis Mario 039 3 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
40. Azis Mario 040 3 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
3
41. Amiruddin Mario 041 3 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
42. Jumain Mario 042 3 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
43. Jumain Mario 043 4 thn - √ - √ Bunting digembalakan 30/06/14
44. Jumain Mario 044 1,5 thn √ - - √ Kurus digembalakan 30/06/14
45. Sudirman Ponre-ponre 045 6 thn - √ - √ Bunting dikandangkan 30/06/14
46. Sudirman Ponre-ponre 046 4 thn - √ - √ - dikandangkan 30/06/14
47. Kalla Ponre-ponre 047 2 thn √ - - √ - digembalakan 30/06/14
48. Kalla Ponre-ponre 048 2 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
49. Kalla Ponre-ponre 049 2 thn √ - - √ - dikandangkan 30/06/14
50. Arifin Swadaya 050 2 thn √ - - - - dikandangkan 12/07/14
51. Arifin Swadaya 051 2 thn √ - - - Bunting dikandangkan 12/07/14
52. Ismail Swadaya 052 3 thn √ - √ - - digembalakan 12/07/14
53. Ismail Swadaya 053 6 thn - √ √ - - digembalakan 12/07/14
54. Ismail Swadaya 054 2 thn √ - - - Bunting digembalakan 12/07/14
55. Nurdin Binuang 055 4 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
56. Nurdin Binuang 056 4 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
57. Nurdin Binuang 057 2 thn √ - - √ Kurus digembalakan 12/07/14
58. Nurdin Binuang 058 2 thn √ - - √ Kurus digembalakan 12/07/14
59. Ambo Tompo bulu 059 2 thn √ - - √ Kurus digembalakan 13/07/14
60. Ambo Tompo bulu 060 2 thn √ - - √ - digembalakan 13/07/14
61. Iwati Tompo bulu 061 4 thn - √ - √ Kusam digembalakan 13/07/14
62. Iwati Tompo bulu 062 6 thn - √ - √ - digembalakan 13/07/14
63. Iwati Tompo bulu 063 6 thn - √ - √ - digembalakan 13/07/14
64. Amir Baringeng 064 2 thn √ - - √ - dikandangkan 13/07/14
65. Amir Baringeng 065 1,5 thn √ - - √ - dikandangkan 13/07/14
66. Amir Baringeng 066 2 thn √ - - √ - dikandangkan 13/07/14
67. Sardi Baringeng 067 4 thn √ - - √ - Lapangan 13/07/14
4
68. Sardi Baringeng 068 3 thn - √ - √ - Lapangan 13/07/14
69. Sardi Baringeng 069 3 thn - √ - √ - Lapangan 13/07/14
70. Dahlan Matirodeceng 070 4 thn √ - - √ Kurus digembalakan 12/07/14
71. Dahlan Matirodeceng 071 4 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
72. Dahlan Matirodeceng 072 3 thn √ - - √ Kurus digembalakan 12/07/14
73. Dahlan Matirodeceng 073 3 thn √ - - √ Diare encer digembalakan 12/07/14
74. Kamarudi Bune 074 1,5 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
75. Kamarudi Bune 075 1,5 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
76. Nursia Bune 076 2 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
77. Nursia Bune 077 2 thn √ - - √ - dikandangkan 12/07/14
78. Ilanna Bune 078 2 thn √ - - √ - digembalakan 12/07/14
79. Ilanna Bune 079 4 thn - √ - √ - digembalakan 12/07/14
80. A.Karin Bune 080 6 thn - √ - √ - digembalakan 12/07/14
81. A.Karin Bune 081 6 thn - √ - √ - digembalakan 12/07/14
82. A.Karin Bune 082 2 thn √ - - √ - digembalakan 12/07/14
83. A.Karin Bune 083 4 thn - √ - √ - digembalakan 12/07/14
84. Yunus Mattirowalie 084 5 thn - √ - √ - digembalakan 12/07/14
85. Yunus Mattirowalie 085 5 thn - √ - √ Kusam digembalakan 12/07/14
86. Yunus Mattirowalie 086 6 thn - √ - √ Kurus digembalakan 12/07/14
87. Yunus Mattirowalie 087 2 thn - √ - √ - digembalakan 12/07/14
88. Lia Mattirowalie 088 4 thn √ - - √ - Jalan 12/07/14
89. Lia Mattirowalie 089 4 thn √ - - √ - Jalan 13/07/14
90. Jala Mattirowalie 090 6 thn - √ - √ - Liar 13/07/14
91. Jala Mattirowalie 091 6 thn - √ - √ - Liar 13/07/14
92. Lampa Tana batue 092 2 thn √ - - √ - Lapangan 13/07/14
93. Lampa Tana batue 093 3 thn - √ - √ Kurus Lapangan 13/07/14
94. Lampa Tana batue 094 2,5 thn - √ - √ - Lapangan 13/07/14
5
95. H.Darwis Poleonro 095 4 thn √ - - √ Kurus digembalakan 13/07/14
96. H.Darwis Poleonro 096 2 thn - √ - √ - digembalakan 13/07/14
97. H.Darwis Poleonro 097 2 thn - √ - √ Kurus digembalakan 13/07/14
98. Arwin Poleonro 098 3 thn √ - - √ - digembalakan 13/07/14
99. Arwin Poleonro 099 4 thn √ - - √ - digembalakan 13/07/14
100 Arwin Poleonro 100 2 thn √ - - √ Kurus, kusam digembalakan 13/07/14