Presus Dr. Suryono Gtcs Aida

49
PRESENTASI KASUS GENERAL TONIC CLONIC SEIZURE Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian Stase Ilmu Penyakit Syarafdi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang Diajukan Kepada : dr. TH Suryono, Sp. S Disusun Oleh : Aida Yulia Amany (20100310091) SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF 1

description

presus GTCS

Transcript of Presus Dr. Suryono Gtcs Aida

PRESENTASI KASUS

GENERAL TONIC CLONIC SEIZURE

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian

Stase Ilmu Penyakit Syarafdi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :

dr. TH Suryono, Sp. S

Disusun Oleh :

Aida Yulia Amany

(20100310091)

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

1

PRESENTASI KASUS

a. IDENTITAS

Nama : Tn. I S

Usia : 68 tahun

Alamat : Bayanan, Mertoyudan, Magelang

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Status : Menikah

b. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Pasien kontrol epilepsi dan post SNH

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Syaraf RSUD Tidar Magelang pada tanggal 22 Oktober 2015

untuk kontrol epilepsi dan post SNH. keluhan kejang ataupun penurunan kesadaran

selama 1 bulan ini di sangkal. Keluhan kelemahan anggota gerak disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hospitalisasi (+) pada tahun 2010 dan 2012. Pada tahun 2010 pasien

pernah tiba tiba kehilangan kesadaran saat sedang menyupir mobil, menurut

keluarga pasien sempat kejang saat kejadian. Setelah kejadian pasien tidak sadar

dan dirawat di RSUD Tidar selama 10 hari. Pasien mengatakan bahwa diberi tahu

dokter pasien mengalami stroke. Dan rutin kontrol ke poli syaraf sejak kejadian

tersebut. Post kejadian tidak ada kelemahan anggota gerak maupun kesulitan

berkomunikasi. Pada tahun 2012 pasien masuk ke RS karena KLL, pasien

menabrak mobil yang sedang berhenti. Pasien mengaku tidak ingat persis saat

kejadian dan ketika sadar sudah berada di RS.

Riwayat trauma kepala (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat penyakit DM (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

2

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa. Riwayat stroke (+), riwayat

hipertensi, diabetes dan penyakit jantung disangkal.

c. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Napas : 20x/menit

Suhu : 36,6oC

Status gizi : sedang

Status Internus

KEPALA

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : tak ditemukan kelainan

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Leher : KGB tak teraba

PARU

Inspeksi : gerakan simetris kiri=kanan

Palpasi : fremitus kanan=kiri

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler N, ronkhi(-), wheezing(-)

JANTUNG

Inspeksi : ictus tidak terlihat

Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LCMS RIC V

Perkusi : Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V

Kanan : linea sternalis dextra

Atas : RIC II

Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)

ABDOMEN

Inspeksi : tak tampak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tak teraba

Perkusi : timpani

3

Auskultasi : bising usus (+) Normal

Corpus vertebrae : tidak ada kelainan

Genitalia : tidak diperiksa

Status Neurologis

1.Kesadaran

Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)

2.Tanda Rangsangan selaput otak

Kaku kuduk : - Kernig :-

Brudzunsky I :- Brudzunsky II:-

Laseque :-

3.Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Muntah proyektil :-

Sakit kepala progresif :-

4.Nervus Kranialis :

Nervus I : penciuman baik

Nervus II : visus 6/6 ODS,pupil isokhor, diameter 3mm/3 mm,

reflek cahaya +/+

Nervus III,IV,VI : ptosis (-),gerakan bola mata bebas ke segala arah,

Nervus V : buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+),

menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan (+),

refleks kornea(+)

Nervus VII : raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata

+/+, mengerutkan dahi (+),plica nasolabialis ki=ka

Nervus VIII : fungsi pendengaran baik, Nistagmus (-)

Nervus IX&X : Refleks muntah (+), ,uvula ditengah

Nervus XI : dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kanan

Nervus XII : deviasi lidah (-), tremor (-),atrofi papil lidah (-),

fasikulasi (-)

5 .Koordinasi :

Cara berjalan : dalam batas normal

Romberg test :-

Rebound phenomen: -

4

Tes tumit lutut :-

Tes supinasi pronasi:-

Disartria :-

6 .Motorik : ekstermitas superior dan inferior

Dekstra Sinistra

Pergerakan : aktif aktif

Kekuatan : 555 555

555 555

Tonus : eutonus eutonus

7 .Sensorik :Sensibilitas halus dan kasar baik kiri dan kanan

8 .Fungsi otonom

Miksi : neurogenik bladder (-)

Defekasi : baik

Sekresi keringat:baik

9.Reflek fisiologis

Biseps :++/++

Triseps :++/++

Patella : ++/++

Achiles :++/++

10 .Reflek Patologis

Babinski :-/- Gordon :-/-

Chaddock:-/- schaffer:-/-

Oppeinheim:-/- hoffmen trommer -/-

1 1 .Fungsi luhur : reaksi emosi baik, fungsi bicara:bicara lancar

d. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tak dilakukan

e. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Kejang tonik klonik, post SNH

5

Diagnosis topik : Serebral

Diagnosis etiologi : Idiopatik

f. TATA LAKSANA

- Depakote ER 1 x 500mg

- Vit B6 2 x 1

- Miniaspi 1 x 80mg

- Neurodex 1 x 1

TINJAUAN PUSTAKA

6

1. Definisi Epilepsi

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang

muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat

lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara

paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan

berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa

dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik

sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu

penyakit otak akut (“unprovoked”).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan

sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan

cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut

sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan

sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom

(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari

letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga

dikenal bermacam jenis epilepsi.

2. Etiologi Epilepsi

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.

Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak

ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik

dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West

syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan

4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka

kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat

mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid

(hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,

sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat

menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap

wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen

7

dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.

Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.

Epilepsi mungkin disebabkan oleh:

– aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak

– gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma

otak pada saat lahir atau cedera lain

– pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,

trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital

pada otak, atau infeksi

– pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsy idiopatik, sedangkan

pada anak umur 5-6 tahun disebabkan karena febris

– pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala

maupun tumor

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu

menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi,

minum alkohol, atau mengalami cidera.

2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir

ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

4. tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada

anak-anak.

5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

8. kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena

ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan

pada anak

Faktor pencetus

Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :

8

a. kurang tidur

b. stress emosional

c. infeksi

d. obat-obat tertentu

e. alkohol

f. perubahan hormonal

g. terlalu lelah

h. fotosensitif

3. Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi menurut Etiologi

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan

kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan

keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.

2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada

jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau

adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada

masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum

kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,

fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,

uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Klasifikasi Umum

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun

1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun

1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan

epilepsi):

1. Serangan parsial

a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

- Dengan gejala motorik

- Dengan gejala sensorik

- Dengan gejala otonom

- Dengan gejala psikis

9

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

- Gangguan kesadaran saat awal serangan

c. Serangan umum sederhana

- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

2. Serangan umum

a. Absens

b. Absens (Lena)

c. Mioklonik

d. Klonik

e. Tonik

f. Atonik (Astatik)

g. Tonik-klonik

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang

lengkap).

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi

karena hanya ada dua kategori utama, yaitu

- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir

di otak.

- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada

kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989

1. Berkaitan dengan letak fokus

a. Idiopatik

- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro tem

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

b. Simptomatik

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

2. Umum

10

a. Idiopatik

- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi Absans pada anak

- Epilepsi Absans pada remaja

- Epilepsi mioklonik pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga

- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak

b. Simptomatik

- Sindroma West (spasmus infantil)

- Sindroma Lennox Gastaut

3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)

- Serangan neonatal

4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol

- Berkaitan dengan obat-obatan

- Eklampsia

- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung

terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh

dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan

alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan,

karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan

sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali

bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang

dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman

elektroensefalografi (EEG).

3. Patofisiologi

11

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik

dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam

keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan

lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi

kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron

akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam

mekanisme pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s

inhibitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya

dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic

seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak

yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut

sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok

kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi

seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok

neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik

menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.

Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata

memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron

penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat.

Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak.

12

Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai

tempat di otak.

- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan

bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling

terkait:

• Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel

untuk menimbulkan bangkitan.

• Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

• Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus

epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari

sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,

stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat

terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan

akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,

hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama

dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah

meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus

dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.

Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike

menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti.

Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron.

(karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata

serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan

tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls

dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang

berkepanjangan disebut status epileptikus.

13

4. Manifestasi Klinis

Epilepsi umum :

1. Major :

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).

a. Primer

b. Sekunder

Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan

bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal

tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu

atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik

selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus

epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat

sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap

sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.

Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga

aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot

berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.

Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang

dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang

klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si

sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit.

Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatip seperti berkeringat,

midriasis pupil, refleks cahaya negatip, mulut berbuih dan sianosis. Kejang

berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai

koma. Kira-kira 4 - 5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak

diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai

setahun sekali.

2.Minor

a. Petit mal.

Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum

yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada

anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang

berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih

14

dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata.

Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan

dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak

ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi

pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :

1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.

2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.

3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.

4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3

per detik.

b. Bangkitan mioklonus

Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan

yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar

diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka

terhadap rangsang sensorik.

c. Bangkitan akinetik

Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot

dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan

kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus

dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-

Gastaut.

d. spasme infantile

Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul

pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti

belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas

seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan

pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan

ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,

miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

15

Epilepsi parsial (20% dari seluruh kasus epilepsi).

a) Bangkitan motorik.

Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu

atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita

seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari

tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi

klinik ini disebut Jacksonian marche

b) Bangkitan sensorik

Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks

sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis

memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi

abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada

bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks

motorik sehingga terjadi kejang-kejang.

c) Epilepsi lobus temporalis.

Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang

khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus

epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan

pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut

dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,

dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan

psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.

Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:

1. Kesadaran hilang sejenak.

2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara

sadar dan mimpi(twilight state).

3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan

automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi

dan automatisme yang mungkin timbul :

a.Halusinasi dengan automatisme pengecap.

b.Halusinasi dengan automatisme membaca.

4. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

16

5. Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan

melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan

radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang

berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah

serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang

sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan

informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,

ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekwensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,

gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-

sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit

sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota

tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

17

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum

pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding

seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang

lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai

gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran

EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak

3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG

gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara

serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang

mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi

sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara

fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang

kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat

untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta

bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi

parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan

maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI

bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri

18

6. Tata Laksana

Obat-obat anti epilepsi

Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.

Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan

terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat

terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun

demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan

pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya

kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi).

Tentang OAE yang akan dipilih, didasarkan atas aspek farmakologiknya,

sudah ada standar tertentu sebagai pedoman umum untuk diterapkan di klinik.

Dalam praktek tidak jarang dijumpai penyimpangan yang telah diperoleh perlu

dikombinasikan dengan sebaik-baiknya. Akhirnya semuanya tadi akan membentuk

kearifak kita dalam menghadapi setiap kasus epilepsy.

Di Indonesia telah telah tersedia berbagai jenis OAE dengan berbagai merk

dagang dengan harga yang cukup lebar. Fenitoin dalam bentuk bahan baky

mempunyai harga yang paling murah, kemudian disusul harga fenobarbital. Obat-

obat jadi dengan merk dagang tertentu pada umumnya cukup mahal.

Bagaimanapun factor harga perlu dipertimbangkan. Program jangka panjang, dosis

obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan

factor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal

penting untuk serangan.

Harga obat murah dikaitkan dengan obat generik. Obat generik terdapat

masalah yang perlu diperhatikan. Khususnya fenitoin, maka harus

dipertimbangkan:

a. Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum

b. Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan

efek samping dan hilangnya kemanjuran obat.

c. Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang

tertentu

d. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat

e. Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep yang

pertama, kedua, dan seterusnya

f. Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita

19

g. Motivasi penderita untuk menerima obat generic

Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah

a. Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih

b. Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang

OAE tadi secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai

kemungkinan yang dapat timbul sehubungan dengan obat yang akan

diminum. Disamping itu efek OAE terhadap kondisi tertentu perlu

dimengerti, contoh pada anak-anak, wanita yang sedang atau merencanakan

hamil.

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :

1. Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis

epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan

meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada

kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.

Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai penderita epilepsi yang

menurut penilaian masyarakat penyakit tersebut adalah penyakit kutukan.

Sangat disayangkan apabila penderita sinkop yang berulang, diterapi

dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang

baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah coba-

coba dalam terapi epilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi

Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien

dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan.

Keputusan ini seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi

keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian pengobatan.

Setelah kejang pertama

Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko

terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non

epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang

mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan

glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik

20

dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah

psikogenik dapat diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan

epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko pengobatan dan manfaat

pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi benigna dengan

“spikes” di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat

karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya

sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika

terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk tumor

otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa).

Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan

ragu-ragu untuk memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan

mempertimbangkan dilakukannya tindakan bedah.

Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab

spesifik seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan

setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga

kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly

treat dan probably treat.

A. Treat :

1. Jika didapatkan lesi struktural :

a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik

b. Malformasi arteriovenosa

c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika

2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :

a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)

b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam

pada masa kanak-kanak)

21

d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat

e. Todd’s postical paresis

f. Status epileptikus

B. Possibly :

Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.

Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai

keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat

antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya

hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai

kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami

bangkitan kedua.

C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :

a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik

d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)

e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna

dengan “spikes” sentrotemporal.

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu

ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan

pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya

alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi,

dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah

pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi

benigna dengan “spikes” sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang

22

pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya.

Kejang akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang

mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka

kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir

tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan

pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien.

Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika

terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam

nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan

tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek.

Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama.

Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan

setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.

3. Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien

a) Tipe serangan

Tabel modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan First-line Second-line/

add on

Third line/

add on

Parsial simple &

kompleks dengan

atau tanpa

general sekunder

Karbamazepine

Fenitoin

Fenobarbital

Okskarbazepin

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin

Asam valproat

Levetiracetam

Zonisamid

Pregabalin

Tiagabin

Vigabatrin

Felbamat

Pirimidon

Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat

23

Karbamazepine

Fenitoin

Fenobarbital

Okskarbazepin Levetiracetam

Zonisamid

Pirimidon

Mioklonik Asam valproat Topiramat

Levetiracetam

Zonisamid

Lamotrigin

Clobazam

Clonazepam

Fenobarbital

Absence (tipikal

dan atipikal)

Asam valproat

Lamotrigin

Etosuksimid Levetiracetam

Zonisamid

Atonik Asam valproat Lamotrigin

Topiramat

Felbamat

Tonik Asam valproat

Fenitoin

Fenobarbital

Clonazepam

Clobazam

Epilepsy absence

juvenil

Asam valproat

Etosuksimid

Clonazepam

Epilepsy

mioklonik

juvenil

Asam valproat

Fenobarbital

Clonazepam

Etosuksimid

b) karakteristik pasien

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus

dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk

obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin

efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak

24

bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat

pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur.

4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu

Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling

rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang

terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).

Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan

dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian

memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah

evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis.

Dosis awal :

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi

untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya

terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini

cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi.

Beberapa cara pemberian dosis awal :

˗ Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik

Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan

dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin,

pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada

penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek

samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai

dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu

tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi

selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat

ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali

dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.

˗ Pemberian obat mulai dari dosis terapetik

25

Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti

gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga

terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang

direkomendasikan.

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat Dosis awal

(mg/hari)

Dosis yang

paling

umum

(mg/hari)

Dosis

maintenance

(mg/hari)

Frekuensi

pemberian

(kali/hari)

Efek samping

Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi,

distres lambung, penglihatan

kabur, vertigo, hiperglikemia,

anemia makrositik

Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress

lambung, sedasi, penglihatan

kabur, konstipasi, ruam kulit

Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi, diplopia,

hiponatremia, ruam kulit

Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam, sindrom

steven-johnson, nyeri kepala,

pusing, penglihatan kabur

Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia, kelelahan,

anoreksia, pusing, batu ginjal,

leukopenia

Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB ↓, konstipasi,

diare, gangguan tidur

Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB ↓ , anoreksia, nyeri

kepala, insomnia, hepatotoksik

Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB ↓,

konstipasi, mulut kering, sedasi,

anoreksia

26

Clobazam 10 20 10-40 1-2

Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri

kepala, vertigo, sinkop

Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung

Pirimidon 125 500 250-1500 1-2

Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi,

langkah terhuyung, nyeri kepala,

eksaserbasi kejang generalisata

Vigabatrin 500-

1000

3000 2000-4000 1-2

Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,mulut kering,

penglihatan kabur, mialgia,

penambahan berat, kelelahan

Pregabalin 150 300 150-600 2-3

Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik

Levetiracetam 1000 2000-3000 1000-4000 2

5. Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah

diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat

antiepilepsi kedua harus segera dipilih.

b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun

efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.

Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai

berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range

dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara

bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis

obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau

dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai

monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut

dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.

c) Monoterapi

27

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan

epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah

dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat

dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80%

pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa

ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai

dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe

epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama.

Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi

dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan

tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995).

Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di

antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League

Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep

monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang

jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya

mekanisme terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai

perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE

dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang penting dalam

manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang mendapat

obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping

minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan

memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang

mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah\: (1)

klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2)

pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4)

ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan

baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya

bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan

letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi

merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain

hari."

28

Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi.

Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin

merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu

kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target

(Gram, 1995).tc "Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran

penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan

satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai

target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu

OAE untuk tiap target (Gram, 1995)."

d) Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995)

mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan

sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan

vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-

pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat.

Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi

bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi

bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,

sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.

Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam

farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode

of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena

efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,

misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter.

Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang

berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai

kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan

pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan

kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan

menggunakan obat-obat yang:

(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda;

(2) efek samping relatif ringan;

(3) indeks terapi lebar, dan

29

(4) interaksi obat terbatas atau negatif.

Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek

samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali

6. Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

a. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat

b. Menentukan dan mengobati penyebab

c. Mengobati serangan :

- Menilai perlunya terapi obat :

- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang

reversible

- Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui

dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)

- Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah

banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko

tinggi.

- Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai

- Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur, stress

emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)

- Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi

stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat

antiepilepsi.

d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :

- Hentikan kejang

- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien

- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.

Terapi operatif

Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil

sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa

terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter

makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus

temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami

30

operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.

Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi,

dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

Penghentian pengobatan

Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan

memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya

menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk

memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat

dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi

memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya)

dan prognosis epilepsy.

Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat

kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah

adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi

tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,

parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan

epilepsy Jackson.

Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada

umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan

secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian

jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada

penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Longman. Willkinson. Epilepsy : Diagnosis and Mangement. Oxford Handbook Of Clinical Medicine ed 8. 2010

2. Henry, Thomas MD. 2015. Epilepsy Board Review Manual for Hospital Physician. Diunduh dari: http://www.turner-white.com/brm/burol.htm

3. Richardson, Mark. Classification of Epilepsy. Diunduh dari: https://www.epilepsydiagnosis.org/index.html.

4. David, Ko MD. Medscape, 2015. Epilepsy and Seizure. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1184846-clinical

5. Arifputra, Andy. Epilepsi. Kapita Selekta Kedoktean. Edisi ke-4. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

6. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC, Jakarta. 2006

32