Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya,...

110
1 Universitas Indonesia Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Transcript of Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya,...

Page 1: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

1 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 2: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

2 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 3: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

3 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 4: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

4 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 5: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

5 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 6: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

6 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 7: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

7 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 8: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

8 Universitas Indonesia

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 9: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

9 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Perilaku homoseksual bukanlah suatu hal yang baru dalam sejarah kehidupan manusia

karena perilaku ini sendiri sebenarnya telah muncul pada abad-abad sebelumnya,1 dan

belakangan ini menjadi bagian dari kajian para kaum intelektual. Homoseksualitas telah

dikaji dari berbagai sudut pandang, namun dapat dikatakan bahwa penelitian tentang

homoseksualitas berangkat dari satu pijakan yang sama, yaitu melihat homoseksual

sebagai liyan. Identitas homoseksual bersifat tersembunyi dan tertekan karena

homoseksualitas tidak dibenarkan dan sangat bertentangan dengan aturan-aturan

heteroseksual yang selama ini berlaku di masyarakat.

I.1.1. Wacana Pemerintah

Selain karena kelompok homoseksual dilihat sebagai liyan, berbagai macam wacana

tentang homoseksualitas juga melatarbelakangi lahirnya penelitian homoseksual. Dalam

wacana pemerintah, homoseksualitas dipolitisasi oleh kuasa untuk memarginalkan

kelompok ini karena homoseksual dianggap sebagai penyebab utama mewabahnya

penyakit HIV/AIDS. Misalnya saja, di Amerika pada era pemerintahan Presiden Ronald

Reagan dan di Inggris pada pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher, HIV dan

AIDS digunakan sebagai kuasa untuk merepresi kelompok homoseksual tidak hanya

karena mereka dianggap sebagai komunitas yang berpotensi menyebarkan penyakit ini,

melainkan juga secara tidak langsung merupakan dalih bagi kepentingan untuk

menghilangkan komunitas ini.2 Padahal, jika kaitannya dengan penyakit HIV dan AIDS,

1 Dalam “Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?”, disebutkan bahwa banyak

pemimpin pada zaman Yunani dan Romawi Kuno adalah homoseksual, begitu pula pemikir-pemikir besar seperti Socrates dan Plato. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php 2 Disebutkan dalam Weeks bahwa baik pemerintahan Presiden Ronald Reagan di Amerika Serikat, maupun

Pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher di Inggris, sama-sama memusuhi komunitas homoseksual karena komunitas ini berhubungan dengan penyakit AIDS dan HIV. (Weeks, Jeffrey. 2000. “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”. hal 8). Disebutkan pula dalam sumber yang berbeda, bahwa pada 1980-an, ketika penyakit AIDS memakan banyak korban, pemerintahan Reagan mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk menanggulangi situasi ini. Korban terbanyak adalah kaum homoseksual sehingga semakin diyakini bahwa penyakit AIDS berhubungan erat dengan homoseksualitas. (Kinanti, Ruth Sih. 2001. Representasi Homoseksualitas dalam Angels in Amerika. hal 25).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 10: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

10 Universitas Indonesia

tidak tertutup kemungkinan penyakit ini bisa saja diidap dan disebarkan oleh

heteroseksual.3

I.1.2. Wacana Agama

Wacana pemerintah tentang HIV/AIDS bukan satu-satunya cara untuk merepresi

kelompok ini karena identitas homoseksual menjadi semakin terpojok dan tertekan lagi

karena dihakimi berdasarkan sudut pandang agama. Wacana agama menyebutkan bahwa

homoseksual adalah hal yang ditentang dan dilarang atau, dengan kata lain, homoseksual

adalah sebuah dosa, sehingga orang akan berusaha untuk menghindarinya agar tidak

terjerumus ke dalam “dosa” tersebut dan “menghakimi” kaum homoseksual atas nama

agama.

Ketakutan, kebencian, dan kekhawatiran yang tidak rasional4 terhadap kelompok

homoseksual ini akhirnya muncul, sehingga kelompok ini dianggap patut untuk ditakuti

dan dilenyapkan bila perlu.5 Kathryn Woodward (1997) dalam “Concepts of Identity and

Difference” menyebutkan bahwa hal ini terjadi akibat dari pemahaman akan identitas yang

mengacu pada paham essensialis dan non- essensialis yang ia jabarkan ke dalam sepuluh

konsep pengertian menurut Michael Ignatieff. Salah satunya menyebutkan bahwa identitas

terkait dengan kondisi sosial dan material, dalam arti bahwa kelompok masyarakat yang

ditabukan atau dianggap musuh akan menjadi pihak yang secara sosial terasingkan dan

secara material dirugikan (hal.12).

I.1.3. Wacana Akademik

Persoalan homoseksual ini cukup kompleks karena mencakup aspek-aspek lain yang lebih

dari sekadar aspek keagamaan, dalam arti bahwa persoalan ini melibatkan manusianya itu

sendiri sebagai mahluk yang memiliki keterkaitan dengan aspek kultural, biologis, dan

sosiologis sehingga tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang keagamaan saja. Padahal,

3Menurut data penelitian yang diperoleh dari “Fact Sheet:The HIV/AIDS Epidemic in the United States”,

February 2012, disebutkan bahwa dari 24 kota yang terkena penyakit AIDS, ditemukan sebanyak 2% heteroseksual yang terinfeksi HIV. Data ini menunjukkan bahwa tidak hanya homoseksual, tetapi juga heteroseksual berpotensi terkena penyakit ini, khususnya mereka yang tidak berpendidikan, berpendapatan rendah, dan yang tidak bekerja. http://www.kff.org/hivaids/upload/3029-22.pdf 4“Fact Sheets: Sexual Orientation and Identitiy” menyebutkan bahwa kebencian seperti ini disebut sebagai

homophobia, yakni suatu ketakutan atau kebencian yang irasional terhadap kaum homoseksual akibat dari prasangka yang terkonstruksi secara sosial dan kultural (www.siecus,2000). 5 Homoseksual tercatat tujuh kali lipat lebih sering menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisiologis

maupun kekerasan psikologis, daripada heteroseksual (ibid.,hal 2).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 11: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

11 Universitas Indonesia

berdasarkan pada sejumlah penelitian ilmiah, seseorang dengan orientasi seksual seperti ini

disinyalir lahir dari beberapa faktor, antara lain faktor dari dalam dirinya (genetik) dan

faktor di luar dirinya (lingkungan, pilihan), meskipun ini juga tidak sepenuhnya bisa

dikatakan sebagai hal yang akurat (“Fact Sheet: Sexual Orientation and Identity”, 2000).

Seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik6 mengatakan bahwa penelitian terhadap

penyebab keadaan homoseksual sering kali dikaitkan dengan tiga hal, yaitu apakah itu

merupakan keinginan sendiri, pengaruh lingkungan, atau genetik, dan dalam makalahnya

ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi pranatal dan anatomi otak.7

Oleh karena kompleksitas persoalan homoseksual ini demikian unik, maka

ketertarikan para peneliti atau para akademisi untuk mengetahui lebih dalam tentang

masalah ini sudah tak terhitung jumlahnya dan salah satunya dilakukan melalui penelitian

ini. Bingkai kajian budaya terpusat pada masyarakat dengan segala seluk beluknya yang

dikaitkan dengan apa yang menjadi isu dari suatu persoalan budaya, di antaranya identitas,

ras, seksualitas, dan kelas sosial.8 Pada dasarnya, inti kajian budaya ini, antara lain, adalah

untuk lebih menaruh perhatian pada komunitas atau kelompok masyarakat yang

termarginalkan atau kelompok minoritas, dan kelompok homoseksual termasuk salah

satunya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian mengenai kelompok

homoseksual memang telah banyak dilakukan oleh para akademisi, sosiolog, antropolog,

dokter, atau para peneliti dari berbagai bidang kajian ilmu lainnya. Penelitian yang

dilakukan tentang persoalan ini menghasilkan sejumlah pemikiran, teori, dan perspektif

yang beragam sifatnya, bergantung pada tujuan dari masing-masing penelitian, dan dari

6 Dr. Andri, seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik yang juga seorang dosen di Divisi Kesehatan Jiwa

Fakultas Kedokteran UKRIDA, anggota The Academy of Psychosomatic Medicine. 7 Kutipan yang terkait dengan keterangan ini diperoleh dari sebuah makalah yang ditulis oleh Dr. Andri dan

telah dipresentasikan pada Seminar Awam “Homoseksual, Is it OK?”, Minggu, 15 Maret 2009, di Auditorium Museum Bank Mandiri, Jakarta, sebagai berikut: “Hipotesis neurohormonal mengatakan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh hormon yang bekerja di otak pada masa perkembangan pranatal. Kondisi neuroanatomi yang berbeda juga dapat diperlihatkan pada homoseksual dibandingkan dengan heteroseksual. Pada otak terdapat suatu daerah yang disebut interstitial nucleus of anterior hypothalamus ketiga (INAH-3) yang jika daerah tersebut lebih besar, maka ketertarikan individu itu kepada perempuan lebih besar, jika lebih kecil maka ketertarikan kepada laki-laki lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa heteroseksual mempunyai daerah ini sampai 2-3 kali lebih besar dibandingkan homoseksual.” (Andri, 2009. http://www.kabarindonesia.com) 8 Hall, dalam Chris Barker yang berjudul Cultural studies Theory and Practice, mengatakan bahwa kajian

budaya merupakan sebuah formasi diskursif, yakni formasi dalam bentuk ide, citra dan praktek yang dikaji secara terbuka sehingga menghasilkan sebuah pengetahuan dan sikap terkait dengan isu-isu dalam masyarakat (2000, hal.6).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 12: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

12 Universitas Indonesia

sisi mana persoalan homoseksualitas ini dilihat. Sejauh ini, penelitian yang dimaksud

banyak berkaitan dengan penyebab terjadinya kondisi homoseksual9 dan bagaimana

moralitas mereka terkait dengan identitas seksualitas seperti ini.10

Selain itu, Jeffrey

Weeks, dalam artikelnya “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”, menyebutkan

bahwa penelitian terkait juga dengan penyakit HIV dan AIDS karena penyakit ini muncul

sebagai isu sosial yang disinyalir disebabkan oleh kelompok homoseksual.

“Gay studies, especially concerning identity and sexual behavior,

has been an indispensable basis for intellectual work around AIDS,

and for understanding the social aspects of the epidemic. At the

same time, the impact of AIDS has shifted much of the work in

lesbian and gay studies, redirecting it in large towards enquiries

which could illuminate the epidemiology, representations and social,

political, cultural and personal consequences of the syndrome. In

many ways lesbian and gay studies came of age in its work around

the epidemic.” (2000, p.10)

Studi tentang gay, khususnya yang menyangkut identitas dan

perilaku seksual, telah menjadi fondasi penting yang melandasi

kajian intelektual seputar penyakit AIDS untuk memahami aspek-

aspek sosial terkait dengan penyakit tersebut. Dampak AIDS, pada

saat yang sama, telah banyak menggeser fokus kajian studi gay dan

lesbian ke penelitian-penelitian yang akan dapat menyumbang

kepada epidemiologi, representasi dan konsekuensi-konsekuensi

sosial, politis, kultural dan pribadi dari sindrom ini. Dalam berbagai

cara, studi tentang gay dan lesbian berkembang di seputar penyakit

tersebut (2000, hal.10).

Sejumlah penelitian memang sudah banyak dilakukan, namun belum ada

penjelasan atau definisi yang benar-benar akurat tentang homoseksualitas karena untuk

memahami kelompok ini selalu diperlukan sebuah diskusi yang bersifat terbuka. Suatu

penjelasan tentang homoseksual bergantung pada sudut pandang tertentu, dalam arti bahwa

pijakan-pijakan yang melandasi persoalan ini menentukan bagaimana dan dari sudut mana

persoalan ini dipandang.

“At its most basic, lesbian and gay studies is a standpoint

perspective. It is a perspective developed from a particular

9 Salah satu penelitian terkait hal ini saya paparkan pada halaman 6 , yaitu penelitian dari seorang Psikiater

Keminatan Psikosomatik. 10

Homoseksualitas dalam hubungannya dengan moralitas seringkali dilihat dari perspektif agama, misalnya dalam artikel “Homosexuality and Gay Liberation : Alternate Lifestyle or Immorality?” yang mempersoalkan homoseksual sebagai sesuatu yang moral atau imoral dan bagaimana agama (dalam hal ini Kristiani) menjawab persoalan tersebut. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 13: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

13 Universitas Indonesia

position, a particular history of a different culture, which is

committed to the understanding of societal hostility towards

homosexuality. It is concerned with the power of heterosexual

privilige; it is concerned with understanding the ways in which a

hierarchy of sexual values and sexual power is

constructed...”(2000, p.9).

Pada dasarnya, studi tentang lesbian dan gay adalah studi yang

berlandaskan pada suatu perspektif, yakni perspektif yang

berkembang dari satu posisi tertentu, sejarah tertentu dari suatu

kebudayaan yang berbeda, yang bertujuan untuk memahami sikap

negatif masyarakat terhadap homoseksualitas. Studi ini juga

menaruh perhatian pada kuasa heteroseksual serta pemahaman

akan bagaimana hirarki nilai-nilai seksual dan kuasa seksual

dikonstruksi (2000, hal.9).

Singkatnya, kutipan di atas menyatakan bahwa studi homoseksual merupakan

sebuah studi perspektif, yaitu bahwa studi tentang gay dan lesbian ini berkembang dari

perspektif budaya yang menyoroti latar belakang sejarah ketidakadilan kehidupan

kelompok ini di tengah konstruksi kuasa heteroseksual atas nilai-nilai seksualitas di

masyarakat. Oleh karena itu, studi ini berkomitmen untuk bisa menyeimbangkan cara

pandang masyarakat tentang homoseksualitas agar tidak mendiskreditkan identitas seksual

mereka, meskipun masih ditemui ketimpangan perspektif mengenai hal ini. Bagaimanapun

banyaknya penelitian terhadap homoseksual ini telah dilakukan, tetap saja hasilnya tidak

dapat dianggap sebagai sebuah temuan yang pasti. Setiap hasil penelitian memberikan

kontribusi besar bagi studi tentang homoseksual, sehingga pengetahuan mengenai

kelompok ini selalu mengalami perkembangan. Satu hal yang dapat dipastikan adalah

bahwa penelitian dan studi tentang homoseksual sama-sama menyadari akan perlunya

pluralitas dalam masyarakat yang tidak hanya berupa keberagaman latar belakang sosial

dan budaya manusia tetapi juga perbedaan orientasi seksualnya.11

I.2. Permasalahan

Penelitian tentang representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee ini dirasakan

perlu untuk dilakukan karena kaum homoseksual, bila dipetakan berdasarkan

keberadaannya di lingkungan masyarakat, ternyata terbagi ke dalam beberapa lingkungan

11

Para peneliti homoseksual dalam kurun waktu tiga puluh tahun, baik itu dari bidang sejarah, antropologi, sosiologi maupun bidang lainnya, mencoba untuk membuka cara pandang kita dalam memahami homoseksualitas sebagai bagian dari realitas kehidupan supaya tidak terjadi pengucilan terhadap kelompok ini hanya karena identitas seksualitas mereka yang berbeda (Weeks, Jeffrey. 2000. “The Challenge of Lesbian and Gay Studies” 2000. Sandfort, Theo et al. (ed.) Lesbian and Gay Studies An Introductory, hal. 7)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 14: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

14 Universitas Indonesia

tertentu. Salah satunya adalah keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Hal ini

menjadi penting karena, sejauh ini, pemetaan identitas homoseksual berdasarkan

keberadaannya di lingkungan tertentu belum terlihat pada penelitian sebelumnya. Oleh

sebab itu, penelitian representasi homoseksual (teen gay) di lingkungan sekolah dalam

serial TV remaja Glee dilakukan untuk lebih mendalami persoalan ini, yang dilihat dari

teks serial TV dalam menyajikan wacana homoseksual remaja. Berdasarkan pada

penjelasan di atas, diperoleh rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana representasi

remaja homoseksual di lingkungan sekolah dibangun dalam serial TV Glee dan wacana

tentang homoseksualitas apa yang dihasilkan oleh representasi tersebut.

I.3. Tujuan Penelitian

Homoseksual dilihat sebagai kelompok yang termarginalkan akibat adanya hubungan

kekuasaan antara penindas dan yang tertindas. Hubungan kekuasaan ini telah

menyebabkan kelompok homoseksual tertindas dimanapun keberadaannya, termasuk

salah satunya keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Peneliti berasumsi bahwa

kaum homoseksual, khususnya gay di lingkungan sekolah (SMA) yang sebagian besar

merupakan homoseksual usia remaja, kerap mengalami berbagai bentuk penindasan baik

secara fisiologis, psikologis, maupun sosiologis, tidak hanya karena seksualitasnya,

melainkan juga karena karakternya yang dianggap di luar batas kewajaran, namun di dalam

ketertindasannya mereka tetap dapat bercitra positif. Oleh karena itu, guna meninjau lebih

jauh tentang hubungan kekuasaan dalam konteks remaja homoseksual di lingkungan

sekolah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan hipotesis

tersebut melalui tinjauan kritis atas representasi homoseksual dalam serial TV Glee.

I.4. Tinjauan Literatur

Telah disinggung sebelumnya bahwa studi tentang homoseksualitas yang didasarkan pada

penelitian-penelitian terdahulu, memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan

studi ini. Bahkan hingga kini, informasi mengenai homoseksualitas selalu mengalami

perkembangan karena penelitian-penelitian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu,

sehingga dengan sendirinya, berbagai teori, pemikiran, dan perspektif tentang isu ini pun

lahir. Satu hal barangkali yang menjadi perhatian adalah, bahwa penelitian tentang

homoseksualitas tidak bisa dilihat dari satu aspek tertentu saja tanpa melihat aspek-aspek

lain yang turut berperan serta didalamnya, oleh karena itu, penelitian terhadap

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 15: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

15 Universitas Indonesia

homoseksualitas hendaknya selalu disikapi secara terbuka. Terkait dengan keterangan

tersebut, penelitian tentang representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee ini pun

sifatnya tidak lebih dari sekadar menambahkan atau mengembangkan informasi mengenai

homoseksualiatas dari penelitian-penelitian sejenis yang sudah ada.

Berdasarkan pada tinjauan literatur yang telah dilakukan, diperoleh tiga penelitian

tentang homoseksualitas yang ditinjau dari tiga aspek penelitian yang berbeda. Penelitian

tentang homoseksualitas yang pertama, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Magdalena

Surjaningsih Halim dari Universitas Katolik Atma Jaya, yang menyoroti proses identitas

“gay” dalam diri seorang pria homoseksual, didukung oleh penambahan variabel konsep

diri. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif karena sifat

penelitiannya lebih bertujuan untuk mengungkapkan dan menggambarkan berbagai

keunikan dari suatu kasus dan bukan untuk membuat suatu peramalan atau pembuktian.

Sampel penelitian berjumlah empat orang dan penelitiannya sendiri dilaksanakan di Jakarta

dari bulan Desember 2004 sampai dengan Februari 2005, dengan menggunakan metode

pengukuran wawancara terstruktur. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa setiap

pria homoseksual yang memiliki latar belakang yang beragam dan keunikan tersendiri

menjalani proses yang berbeda-beda untuk menemukan jati diri dan identitas

homoseksualnya. Apa yang terjadi pada masing-masing individu, pada akhirnya, akan

memberikan pengaruh dan kemampuan yang berbeda dalam mencapai suatu tahap

pengungkapan identitas seksualnya. Adanya konsep diri yang positif dapat membantu

perkembangan seorang pria homoseksual untuk mencapai tahapan tersebut, dan juga

sebaliknya, dapat mengembangkan konsep diri individu tersebut, sementara pria

homoseksual yang belum mencapai tahap pengungkapan identitas homoseksual tersebut

(coming out process), memiliki kecenderungan untuk tetap dapat merasa puas dengan diri

mereka sendiri secara umum, tetapi tidak merasa puas dengan aspek diri mereka dalam

suatu lingkungan sosial atau masyarakat. Penelitian ini berangkat dari keunikan cara

pandang seorang pria homoseksual terhadap dirinya sendiri dalam suatu lingkungan atau

masyarakat. Ada yang mampu mengakui identitas seksualnya dan ada juga yang tidak.

Dalam penelitian ini, dikatakan bahwa tidak sedikit pria homoseksual yang mampu

mengakui keberadaannya secara terbuka di masyarakat dan menjadikannya seorang

homoseksual sepenuhnya, sementara yang lainnya memilih untuk menyembunyikannya

karena banyaknya kecaman dan tentangan dari suatu lingkungan yang luas akibat dari

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 16: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

16 Universitas Indonesia

homoseksualitas merupakan preferensi seksual yang memang berlawanan dengan

heteroseksual (http://lib.atmajaya.ac.id).

Penelitian tentang homoseksualitas yang berikutnya dilakukan oleh Ariyanto,

alumni Universitas Indonesia, dalam tesis S2 nya. Penelitiannya mengangkat wacana

heteroseksualitas di Indonesia sebagai suatu produksi pengetahuan yang dibangun secara

terus menerus sehingga membentuk sebuah ideologi bahwa heteroseksualitas itu sudah

final, sah dan tidak bisa digugat atau dipersoalkan lagi. Menurutnya, wacana

heteronormativitas ada karena adanya “konspirasi” kuasa-pengetahuan dan pendisiplinan

dengan menjaga dan menghukum, yang pada akhirnya episteme seperti ini menjadi

kebenaran yang diakui meski telah melahirkan banyak tindakan kekerasan terhadap

homoseksual. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa episteme seksualitas di Indonesia

yang tidak menawarkan adanya multiepisteme seksualitas telah melahirkan kekerasan,

penindasan, dan tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak minoritas. Usul yang diajukan

terkait hasil penelitiannya adalah perlunya membangun epistemologi marginal sebagai

epistemologi alternatif sebagai syarat terbentuknya negara yang demokratis.

Homoseksualitas juga diteliti oleh Ruth Sih Kinanti, yang juga merupakan alumni

Universitas Indonesia, dalam tesis S2 nya, mengenai representasi homoseksualitas dalam

Angels in America. Alasan yang melatarbelakangi penelitiannya dapat dikatakan serupa

dengan penelitian-penelitian tentang homoseksualitas pada umumnya dalam tinjauan

literatur ini, yakni adanya berbagai bentuk wacana yang menempatkan kelompok

homoseksual pada tempat tersisih dan berada di luar kehidupan masyarakat. Metodologi

yang digunakan dalam penelitiannya dilakukan secara bertahap, yaitu pengumpulan

informasi, seleksi informasi, dan menentukan korpus penelitian, sedangkan metode

analisisnya adalah dengan menyusun informasi yang diperoleh dan menggambarkannya.

Secara garis besar, dengan mengacu pada queer theory, penelitiannya menguraikan tentang

heteroseksual sebagai pihak yang menguasai, membuat konstruksi homoseksualitas

sebagai pihak yang dikuasai berdasarkan perilaku seksual yang tidak umum, tidak normal,

berdosa, dan tidak masuk akal, sehingga homoseksual ditempatkan pada tempat tersisih

dan tidak dapat digolongkan pada kategori seksual yang dibuat oleh masyarakat.

Berdasarkan kondisi ini, resistensi dilakukan oleh kelompok homoseksual dengan

membuat representasi homoseksualitas tandingan, yakni melalui bidang sastra sebagai

bentuk perjuangan mereka. Perjuangan yang dilakukan tersebut memunculkan wacana-

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 17: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

17 Universitas Indonesia

wacana dalam artikel surat kabar, dan jurnal, baik yang dikeluarkan oleh organisasi gay

maupun yang anti-gay. Wacana-wacana tersebut, menurut penelitiannya, diinternalisasi

oleh tiga drama pendek, yaitu As Is, Safe Sex, dan The Way We Live Now, yang kemudian

dibongkar oleh Angels in America. Ketiga drama pendek yang bertemakan gay tersebut

menampilkan representasi homoseksual sebagai yang liyan, yang berdosa dan yang

mencemari, sementara drama Angels in America, yang dibuat pada dekade yang sama

dengan ketiga drama sebelumnya, menampilkan representasi homoseksual yang berbeda,

yakni lebih berani menampilkan kehidupan, sikap dan kemauan kelompok homoseksual

menuju era queer culture. Era ini dimulai pada 1990 ketika kelompok homoseksual

menampilkan homoseksualitas mereka sebagai identitas seksual. AIDS dan agama

dipolitisasi oleh heteroseksual dalam merepresentasikan homoseksual. Sebaliknya, hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa drama Angels in America merepresentasikan

homoseksualitas baru, yakni sebagai identitas seksual yang diakui dan menjadi

penyelamat, serta dipandang mulia.

Apabila merujuk pada ketiga penelitian sebelumnya yang telah diuraikan di atas,

dapat dilihat bahwa aspek penelitian yang digali tentang homoseksual ditinjau dari sudut

yang berbeda-beda, namun tetap mengacu pada satu landasan berpikir yang sama, yakni

homoseksual sebagai kelompok yang liyan dan termarginalkan akibat wacana-wacana

dominan yang dikonstruksi oleh heteroseksual mengenai homoseksual. Apa yang telah

dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya dalam meneliti homoseksualitas bisa menjadi

rujukan yang dapat digunakan dalam penelitian ini karena masing-masing saling

bersinggungan, namun dalam penelitian ini, variabel konsep diri seorang homoseksual

dalam memandang dirinya sendiri dinilai lebih dapat diterapkan dalam menginterpretasi

teks tokoh homoseksual dan homoseksualitas dalam serial TV Glee secara visual guna

melihat keterkaitannya dengan produksi wacana kuasa-pengetahuan yang dibangun oleh

serial TV ini.

I.5. Landasan Teori

Untuk menjawab permasalahan, teori yang dijadikan landasan adalah teori wacana

Foucault yang berkaitan dengan konsep wacana sebagai bentuk dari relasi kuasa. Merujuk

pada teori wacana Foucault dan relevansinya dengan penelitian ini adalah, serial TV

remaja Glee menghasilkan wacana homoseksualitas di lingkungan sekolah yang dibangun

melalui representasi hubungan kekuasaan antara heteronormativitas dan homoseksual

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 18: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

18 Universitas Indonesia

dalam serial TV tersebut.12

Ketertindasan yang dialami kelompok homoseksual remaja di

lingkungan sekolah adalah akibat dari kebenaran heteronormativitas dalam mewacanakan

homoseksual sebagai orientasi seksual yang menyimpang dan menyalahi aturan, sehingga

menimbulkan praktik pemilah dalam sistem pendidikan yang menempatkan

homoseksualitas di bawah sistem biner, yaitu antara benar dan salah.

Representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee muncul sebagai sebuah

wacana yang pembentukannya tidak lepas dari peran bahasa yang memproduksi makna

homoseksualitas. Hall dalam Representation: Cultural Representations and Signifying

Practices, mengatakan bahwa representasi sangat erat hubungannya dengan bahasa dan

makna yang dilihat dari cara bahasa bekerja dalam memproduksi makna melalui tiga

pendekatan yang terdiri dari reflective approach, intentional approach, dan

constructsionist approach. Dalam reflective approach, makna diasumsikan berada pada

suatu objek, individu, gagasan, atau bahkan pada suatu peristiwa dalam kehidupan nyata,

dan bahasa dalam kaitannya dengan pendekatan ini berfungsi sebagai sebuah cermin yang

merefleksikan makna sebenarnya dari elemen-elemen tesebut. Misalnya, gambar bunga

dua dimensi, melalui bahasa, akan tetap dimaknai sebagai bunga yang sebenarnya

(tanaman bunga) dan bukan bunga yang bermakna lain. Dalam pendekatan berikutnya,

yaitu intentional approach, makna diproduksi oleh si pembicara atau si pengarang yang

memang dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa bahasa di sini berfungsi sebagai

saluran untuk menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki atau dimaksudkan

oleh kedua penghasil makna tersebut. Lalu, dalam pendekatan yang ketiga, yakni

constructionist approach, makna dibangun atas sifat makna yang tidak pernah tetap

(fixed), dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah sistem, termasuk konsep dan

tanda dalam lingkup budaya yang membangun makna tersebut, sehingga makna menjadi

representasi kultural. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa produksi makna melalui

bahasa bergantung pada banyak aspek (1997, hal.24-25).

Keberadaan homoseksual dimanapun lingkungannya terkait juga dengan aspek

karakter, karena homoseksual, khususnya gay, memiliki sifat-sifat yang beragam (maskulin

dan feminin) meskipun jenis kelaminnya adalah laki-laki. Keterkaitan ini dapat dijelaskan

melalui teori gender yang dikemukakan oleh Raewyn Connell, yang secara garis besar

12

“Foucault used the word representation in a narrower sense...what concerned him was the production of knowledge (rather than just meaning) through what he called discourse...relations of power not relations of meaning...” ( Hall, Stuart. (ed.) Representation Cultural Representations and Signifying Practices, hal. 43.).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 19: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

19 Universitas Indonesia

menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas harus dilihat dalam konteks gender dan

bukan generalisasi karakter berdasarkan dikotomi dua jenis kelamin antara laki-laki dan

perempuan yang selama ini telah dikonstruksikan sebagai karakter yang fixed. Kondisi ini

terlihat dalam representasi homoseksual dalam serial TV Glee, sehingga teori ini peneliti

gunakan sebagai salah satu unsur penunjang penelitian.

Merujuk pada penjelasan di atas, kajian atas representasi homoseksual dan wacana

homoseksualitas dalam serial TV Glee akan dilakukan dengan berlandaskan pada teori

representasi berupa tiga pendekatan yang telah disebutkan di atas, terkait dengan bahasa

sebagai elemen yang memproduksi makna. Relevansi antara wacana, dan representasi yang

didukung oleh teori gender akhirnya menjadi penting untuk ditinjau lebih jauh dalam

penelitian ini.

I.7. Metodologi

Metode penelitian yang digunakan adalah metodologi visual dengan melihat film atau

serial TV Glee sebagi sebuah teks berdasarkan cognitive style (how people process and

understand messages) menurut McLuhan.13

Sehubungan dengan penelitian ini, Cognitive

style McLuhan dilakukan dengan menggunakan rasio dalam memahami teks pada serial

TV Glee, yang meliputi auditory sense ratio dan visual sense ratio, atau dengan kata lain,

melihat gambar (adegan) dan mendengarkan percakapan (dialog) dalam serial TV tersebut.

Metode analisis dalam penelitian ini adalah kajian atas strategi representasi oleh film dan

wacana yang dihasilkan oleh teks serial TV Glee. Analisis wacana dalam serial TV

tersebut, mengacu pada teori representasi, teori maskulinitas dan feminitas Conell, serta

teori wacana Foucault. Jawaban bagi permasalahan ini akan disimpulkan dalam tesis ini.

Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa langkah penelitian yang harus ditempuh,

yakni penting bagi peneliti untuk terlebih dahulu merumuskan masalah, lalu mengadakan

studi pustaka guna memperoleh gambaran umum tentang persoalan yang akan dianalisis.

Selanjutnya peneliti mencari atau mengumpulkan data dan informasi yang bisa diperoleh

13

McLuhan menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk dapat mencerna sebuah pesan atau informasi melalui setiap indra yang dimilikinya. McLuhan menyebutnya “sense ratio”, yang melibatkan semua indera untuk bekerja sama agar dapat mencerna suatu pesan di balik tanda-tanda yang muncul. Ketika seluruh indera ini dihadapkan pada sebuah tanda, maka dengan sendirinya indera-indera ini akan saling merespon untuk mencerna pesan tersebut. Bagaimana sebuah pesan itu dimaknai bergantung pada tanda yang dimunculkan dalam representasi melalui media, serta bagaiman rasio indera kita menerimanya. “This sequence thus shapes how a message is processed cognitively. As McLuhan so aptly put it, “the medium is the message” (Danesi, Marcel & Perron, 1999, hal. 276 – 277).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 20: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

20 Universitas Indonesia

dari berbagai macam sumber juga menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan, terlebih

lagi jika penelitian menyangkut analisis wacana. Gillian Rose, dalam Visual

Methodologies,(2001, hal. 142) mengatakan bahwa wacana diartikulasikan melalui

serangkaian bentuk teks, baik teks verbal maupun teks visual (non-verbal), dan praktik

yang amat luas, sehingga pada tahap ini, ketelitian diperlukan untuk menentukan data dan

informasi apa saja yang relevan dengan topik penelitian, namun dengan catatan bahwa

pengumpulan data dan informasi tersebut tetap harus dibatasi. Batasan pengumpulan data

dan informasi ini masuk ke dalam tahap seleksi, ketika data dan informasi yang terkumpul

tersebut tidak semuanya digunakan. Sehubungan dengan penelitian ini, serial TV Glee,

yang terdiri dari sejumlah episode, dikatakan sebagai data yang paling utama, namun

adegan-adegan yang dipertunjukkan pada tiap episode tetap ditentukan melalui seleksi agar

mendapatkan adegan yang nantinya dapat menjawab permasalahan. Adegan-adegan yang

telah diseleksi tersebut terdiri dari gambar (visual) dan percakapan (verbal) yang harus

diinterpretasi melalui suatu proses yang bertahap.

Panofsky, dalam Gillian Rose (2008, hal.144), memaparkan tiga jenis interpretasi

visual yang termasuk dalam Iconography,14

yaitu primary (pre-iconographic), secondary

(iconographic) dan intrinsic (iconological). Pada tahap primary, adegan dalam setiap

episode Glee hanya dilihat sebagai teks yang harus dibaca secara seksama guna

menangkap tanda-tanda yang dipertunjukkan. Lalu pada tahap secondary, tanda-tanda

dibalik tiap adegan serial TV tersebut memiliki makna simbolik yang harus dilihat terkait

dengan representasi homoseksual. Selanjutnya tahap intrinsic, yakni menginterpretasi

keseluruhan adegan, berikut tanda dan makna simboliknya berdasarkan konteks

homoseksual di Amerika. Merujuk pada keterangan ini, peneliti akan menggunakan

metode tersebut dalam menyusun, menganalisis, dan menginterpretasi sehingga pada

akhirnya dapat tercapai suatu rumusan terbaik dari keseluruhan proses penelitian berupa

kesimpulan.

I.8. Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama menyajikan Pendahuluan, yang

terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, 14

Menurut Panofsky, metode Iconography bukan termasuk ke dalam metode ala Foucault, namun karena sama-sama berhubungan dengan intertekstualitas, antara Iconography dan analisis wacana terdapat suatu persamaan sehingga istilah Iconography kini dapat mengacu pada pendekatan terhadap suatu imaji secara visual.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 21: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

21 Universitas Indonesia

metodologi dan sistematika penyajian. Bab kedua berisikan penjelasan mendalam tentang

wacana homoseksualitas dan seksualitas di Amerika. Bab ketiga adalah bab yang berisikan

tinjauan teori, bab keempat merupakan analisis wacana homoseksualitas dalam serial TV

Glee, dan yang terakhir Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh proses penelitian.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 22: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

22 Universitas Indonesia

BAB 2

WACANA HOMOSEKSUALITAS DI AMERIKA

Pada bab sebelumnya telah diuraikan secara garis besar tentang rancangan penelitian

terkait isu homoseksualitas dalam serial TV remaja Amerika Glee. Pada bab ini akan

diulas mengenai wacana homoseksualitas di Amerika lebih mendalam karena merupakan

unsur penunjang penting dalam melakukan analisis selain teori representasi, konsep

wacana dan seksualitas Foucault, serta teori gender Conell yang akan disinggung pada bab

berikutnya.

2.1. Homoseksual dalam Konteks Amerika

Sebagian besar masyarakat di Amerika menanggapi fenomena homoseksual ini sebagai

persoalan moralitas karena penjelasan sering kali dikaitkan dengan perspektif agama, yang

sudah barang tentu tidak bisa diperdebatkan secara ilmiah. Pendapat yang beredar selama

ini adalah gay dan lesbian memiliki nilai religiusitas yang dangkal atau jiwa yang sesat,

sehingga yang dibutuhkan adalah bimbingan rohani. Dengan kata lain, persoalan

homoseksual sama dengan penyimpangan moral yang bertentangan dengan ajaran agama.

Selama ini, kelompok homoseksual, yang ingin membebaskan dirinya dari segala

bentuk diskriminasi di Amerika, hanya menginginkan agar suara mereka mengenai

persamaan hak sebagai manusia diakui, didengar, dan direalisasikan oleh siapapun yang

menjadi oposisi. Keberadaan mereka di masyarakat tidak lebih berbeda dari mereka yang

heteroseksual karena kehidupan yang mereka jalani pada dasarnya sama. Hal ini yang

selalu ingin mereka tekankan, sehingga tidak seharusnya mereka diasingkan dari

kehidupan bermasyarakat hanya karena identitas seksualitas mereka. Kelompok

homoseksual di Amerika menganggap bahwa kehidupan homoseksual yang mereka jalani

merupakan sebuah gaya hidup (alternate lifestyle) dan bukan merupakan suatu perbuatan

yang berkaitan dengan moralitas, sehingga tidaklah mendasar apabila perbedaan orientasi

seksual menjadikan mereka sebagai manusia yang tidak bermoral.

Sebelumnya, perilaku homoseksual diasumsikan sebagai penyakit kejiwaan yang

bisa disembuhkan dengan terapi medis atau dengan pemahaman mendalam mengenai

kerohanian. Setelah menyadari bahwa persoalan homoseksual lebih kompleks daripada

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 23: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

23 Universitas Indonesia

yang diperkirakan selama ini, perubahan terhadap paradigma inipun diberlakukan. Di

Amerika sendiri, homoseksualitas tercatat sebagai salah satu penyakit kejiwaan sebelum

akhirnya dihapus dari daftar tersebut pada 1973 oleh The American Psychiatric

Association.15

Menurut informasi yang peneliti peroleh dari “Good and Gay?: A Moral Context

for Homosexuality”, secara tersirat disampaikan bahwa moralitas lebih terkait dengan

akhlak manusia, yang bergantung pada pembentukan karakter yang diperoleh dari

lingkungan sekitarnya. Biasanya, ini bermula dari lingkungan keluarga, sekolah, dan

kemudian masyarakat. Dengan kata lain, pengalaman hiduplah yang menentukan

moralitas seseorang itu baik atau buruk, yang tercermin dari baik atau tidaknya

hubungannya dengan sesama manusia. Tentu saja, jika pertanyaan “apakah mungkin

seorang Gay memiliki moral yang baik?” ditanyakan pada seorang pemuka agama, maka

jawabannya bisa “mungkin” atau “tidak”.16

Tingginya pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai agama belum tentu bisa

dikatakan bahwa ia memiliki moral yang baik.17

Homoseksual selalu berada dalam konteks

moralitas karena paradigma tentang moralitas adalah sama dengan agama. Nilai-nilai yang

terkandung dalam agama, khususnya kitab suci, disepakati sebagai divine law,yakni hukum

yang berisikan kebenaran hakiki mengenai bagaimana manusia seharusnya menjalankan

kehidupan. Apa yang terdapat dalam kitab suci diyakini sebagai suara Tuhan, sehingga jika

ada salah satu nilai yang dilanggar, maka dipastikan hukumannya adalah dosa dan dinilai

tidak bermoral.

Dapat dikatakan bahwa masyarakat Amerika, yang mayoritas menganut agama

Kristen, memahami konteks homoseksual dari sudut pandang agama. Ajaran agama yang

dianut menjadikan mereka yang heteroseksual membenarkan homoseksualitas sebagai

15

http://www.siecus.org/pubs/fact/fact0006.html, 2000. “Fact Sheet : Sexual Orientation and Identity” 16

http://www.republicoft.com/2007/03/21/good-and-gay-a-moral-context-for-homosexuality/ 17

Saya menemukan hal yang cukup menarik berkaitan dengan keterangan ini, yaitu pada penelitian Setia Yuwana, mahasiswa pascasarjana program studi Antropologi U.I., yang ditulis dalam tesis S2nya berjudul Homoseksualitas di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman dengan Gemblak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang yang berprofesi sebagai warok, warokan, sinoman dan gemblak (para penari yang mengiringi reog Ponorogo) di desa Somoroto. Salah satunya adalah dengan Kontaro, salah satu pengiring tersebut. Berikut kutipannya berdasarkan keterangan Kontaro: “Ketertarikan Kontaro pada sesama jenis kelamin diawali ketika ia rajin belajar membaca Al Quran di masjid besar di kampungnya. Teman-temannya banyak yang mengajak tidur bersama di lantai mesjid maupun di rumah. Bermula dari sekedar berciuman, berpeluk mesra, akhirnya timbul niat untuk melampiaskan nafsu syahwatnya” (1994, hal. 171).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 24: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

24 Universitas Indonesia

tindakan amoral yang harus diluruskan dengan bimbingan rohani, meskipun pada

kenyataannya tidaklah semudah itu untuk bisa mengembalikan homoseksual ke “jalan yang

benar”.18

Tidak banyak yang menyadari bahwa homoseksual adalah persoalan kompleks

yang membutuhkan negosiasi dan pengertian yang mendalam tentang identitas mereka.

Pemahaman masyarakat Amerika mengenai homoseksualitas yang dihubungkan dengan

perspektif agama menyebabkan munculnya homofobia yang “membenarkan” diri mereka

memperlakukan kaum homoseksual dengan tidak baik dan tanpa adanya rasa saling

menghormati serta penghargaan terhadap perbedaan sama sekali.19

Bagaimanapun juga, telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya bahwa

banyaknya kasus homoseksual yang diangkat ke permukaan melalui media

mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran pada pandangan masyarakat, meskipun

masih saja terjadi perdebatan di arena ini. Masyarakat Amerika dalam konteks kekinian

terlihat lebih terbuka terhadap adanya kelompok homoseksual tersebut, yang ditandai

dengan diberlakukannya kebijakan yang melindungi kelompok homoseksual dari

diskriminasi berbasis orientasi seksual. Dari lima puluh negara bagian di Amerika Serikat,

sembilan di antaranya telah memberlakukan kebijakan ini.20

Dalam Vivanews disebutkan

bahwa Presiden Barack Obama menyatakan dukungannya untuk persamaan hak-hak kaum

18 Dalam artikel “Homosexuality and Gay Liberation : Alternate Lifestyle or Immorality?” yang diperoleh

dari situs http://gospelway.com/morality/homosexuality.php dipertanyakan apakah perilaku homoseksual merupakan tindakan yang bermoral atau tidak. Merujuk pada artikel ini, pertanyaan tersebut dijawab dengan berlandaskan pada ajaran agama (kitab suci), yang secara jelas menyalahkan tindakan homoseksual karena setiap pernyataan yang berasal dari perspektif agama diyakini sebagai kebenaran tunggal. Dikatakan bahwa homoseksualitas bertentangan dengan perintah Tuhan karena dianggap sebagai tindakan yang menyerupai perilaku binatang, sehingga sudah barang tentu homoseksualitas dalam perspektif agama adalah tindakan amoral. The New Testament morally opposes homosexuality...homosexuality is contrary to nature, a violation of the natural order ordained by God...for man to join to a man violates God’s order in marriage and sexual mating just as surely as joining to an animal... 19 Dari sumber yang saya peroleh, yaitu “37 responses to discussions : Should Gay be a moral issue or a legal

one?” terdapat beberapa tanggapan responden tentang diskriminasi terhadap homoseksual (gay), yang sebagian besar bernada membela kelompok ini karena, menurut mereka, homoseksualitas bukanlah isu yang berkaitan dengan moralitas.http://blogs.clarionledger.com/jmitchell/2010/06/04/discussion-should-gay-rights-be-a-moral-issue-or-a-legal-one/

20 “Only nine states in the U.S. have legislation protecting lesbian and gay people against discrimination

based on sexual orientation” (www.siecus,2000). Menurut kutipan ini, disebutkan bahwa hanya sembilan negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan untuk melindungi kaum homoseksual dari segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 25: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

25 Universitas Indonesia

homoseksual atau gay di Amerika Serikat. Kendati mendukung hak gay, Obama memilih

netral dalam isu pernikahan sesama jenis (Armandhanu, 2011).21

Pemerintah Amerika diharapkan untuk tidak sekadar memberikan perlindungan dan

ruang bagi mereka untuk bergerak, melainkan juga mengakui keberadaan mereka

sepenuhnya sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat. Jeffrey Levi, mantan

direktur The National Gay & Lesbian Task Force, menyatakan pendapatnya terkait

keterangan ini: “We are no longer seeking just a right to privacy or a right to protection

from wrong. We also have a right...to see government and society affirm our lives”

(Citizen, 5/1997. dalam “Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or

Immorality?”) Selain itu, legitimasi undang-undang pernikahan sesama jenis seperti yang

telah diberlakukan di beberapa negara di Eropa22

merupakan salah satu tujuan Gay Rights

Movement. Bercermin pada keadaan ini, rupanya negara Amerika Serikat yang selama ini

dipahami sebagai negara maju dalam segala hal dan bebas dalam berpikir serta bertindak

tidak demikian adanya jika menyangkut homoseksualitas.

2.2. Dampak Konteks Sejarah Gerakan Sosial Homoseksual di Amerika terhadap

Film

Secara umum, dapat dikatakan bahwa cukup banyak film yang mengangkat masalah

homoseksual, khususnya mengenai gay, ke permukaan, sehingga dapat pula disimpulkan

bahwa isu homoseksualitas yang mungkin saja sebelumnya tabu telah mengalami suatu

pergeseran karena cukup sering diperbincangkan oleh khalayak luas. Hal ini ditandai

dengan maraknya film dan serial TV dengan tema gay, bahkan karya sastra seperti halnya

novel, juga banyak mengangkat tema ini. Selain itu, masyarakat Amerika pun lebih

21

Sebelum berlangsungnya kampanye pemilihan presiden A.S. tahun ini, disebutkan bahwa Presiden Obama memilih netral dalam persoalan pernikahan sejenis, namun hal menarik yang saya temukan terkait keterangan ini adalah di koran Seputar Indonesia, tertanggal 12 Mei 2012, terdapat kolom berita yang menyatakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendukung perkawinan homoseksual melalui Wapres Joseph Biden, yang mengatakan bahwa Obama tidak ada masalah soal perkawinan antara sesama jenis. Lalu di kolom koran yang sama, tertanggal 14 Mei 2012, rivalnya dari Partai Republik, yakni Mitt Romney, menganggap pernyataan Obama sebagai “angin segar” untuk memenangkan dukungan masyarakat Amerika yang menentang homoseksual. Di sini terlihat jelas bahwa homoseksualitas tidak hanya menjadi isu politik untuk kepentingan pemilihan presiden, tetapi juga dipolitisasi untuk kepentingan tersebut. 22

“Dutch government legalized the same sex marriage policy in 2001, Belgium ini 2003 , and Spain in 2005.” (Reksodirdjo. 2006. hal. 33). Ketiga negara di Eropa yang disebutkan dalam kutipan telah lebih dahulu melegalkan pernikahan sesama jenis, sehingga hal ini pula yang ingin diwujudkan oleh aktivis homoseksual di Amerika melalui gerakannya. “The ultimate goal is legalized homosexual marriage” (http://gospelway.com/morality/homosexuality.php)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 26: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

26 Universitas Indonesia

permisif23

dalam menanggapi persoalan homoseksualitas, yang berarti bahwa, baik secara

langsung maupun tidak, mereka mulai menerima fakta adanya sekelompok orang yang

memiliki orientasi seksual berbeda dengan orang kebanyakan yang heteroseksual.

Pergeseran ini juga disebabkan oleh gerakan-gerakan sosial, di antaranya Gay

Liberation, New Social Movement, dan American Gay Rights Movement di Amerika.

Selain menyebabkan terjadinya pergeseran pandangan, kelompok homoseksual yang

tergabung dalam gerakan-gerakan sosial tersebut juga menyuarakan persamaan hak dan

penghormatan atas perbedaan identitas seksualitas mereka di tengah masyarakat

heteroseksual yang mengusung heteronormativitas, seperti yang tertera dalam kutipan

berikut:“Gay men and lesbians joined women and ethnic minorities claiming the equal

citizenship and respect they were denied in what they now defined as „heterosexist‟,

„homophobic‟ culture”(Segal, 1997, hal.206-207). Meskipun demikian, tidak bisa

dipungkiri pula bahwa akan selalu terdapat pro dan kontra berkaitan dengan isu ini.

Keberadaan tokoh remaja gay dalam serial TV Glee, yang diproduksi kurang lebih

pada pertengahan 2010 hingga 2012, juga menandakan bahwa homoseksual sedang

menjadi sorotan di tengah masyarakat Amerika.

2.3. Serial TV Glee dan Konteks Homoseksual di Lingkungan Sekolah di Amerika

Serial TV remaja Amerika Glee mengankgkat isu seputar homoseksualitas tetapi tidak

tergolong film gay yang benar-benar terfokus pada kehidupan gay seperti halnya film layar

lebar Brokeback Mountain. Serial TV ini merupakan drama kehidupan manusia sehari-hari

yang, di antara para tokoh sentral yang disorot, terdapat tokoh remaja gay, sehingga di

permukaan, tampak tidak monoton menonjolkan kehidupan remaja gay tersebut.

Glee adalah serial TV produksi Ryan Murphy Productions, 20th Century Fox

Television yang ber-genre drama komedi. Serial TV ini terdiri dari tiga seasons dan kali

pertama ditayangkan di Star World, salah satu stasiun TV internasional yang hanya dapat

23

Soal permisif ini, menurut Newburn dalam Permissiveness: accounts, discourses and explanations dimaknai oleh dua kelompok, yaitu “conservative – historians” dan “liberal – historians”. Secara sederhana dikatakan bahwa dua istilah ini tidak merujuk pada pengertian permisif sebagai “baik” dan “tidak baik”, atau “setuju” dan “tidak setuju,” melainkan lebih kepada cara dua kelompok ini menyikapi keberadaan kelompok homoseksual. Dengan kata lain, “conservative-historians” jelas menyikapinya dengan menyatakan tidak setuju, sedangkan “liberal-historians” mencoba untuk berpikir dan bersikap terbuka pada keberadaan kelompok homoseksual ( 1997, hal. 105).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 27: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

27 Universitas Indonesia

diakses melalui sistem televisi berbayar (cable TV).24

Ryan Murphy, produser serial TV

ini, dan Kurt Hummel, remaja homoseksual dalam serial TV tersebut, yang diperankan

oleh Chris Colfer, adalah sama-sama homoseksual (gay) dalam kehidupan nyata. Ada

semacam wacana yang hendak dibangun melalui film ini yang mengangkat remaja

homoseksual di lingkungan sekolah melalui media TV. Film ini dikemas dalam bentuk

serial TV yang mengangkat isu homoseksualitas dengan Chris Colfer sebagai salah satu

pemeran tokoh sentral tetapi tampak seperti tidak menonjolkan gay sebagai tema cerita,

melainkan kehidupan para siswa Glee club.

Glee mengisahkan tentang sekelompok siswa SMA Mckinley High School yang

merasa tidak memiliki potensi untuk menjadi terkenal seperti halnya siswa-siswa lain di

sekolah mereka, khususnya yang tergabung di dalam kelompok pemandu sorak

(cheerleader) dan American foot-ball. Akhirnya, mereka yang tidak populer ini (the

loosers) memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok paduan suara dengan cara

masuk menjadi anggota Glee Club, yaitu klub yang diasuh oleh guru bahasa Spanyol

mereka yang bernama William Schuester.

Para siswa loosers ini sebenarnya terdiri dari lima orang, yakni Rachel, Mercedes,

Tina, Artie dan Kurt, namun seiring dengan bertambahnya episode, tokoh lainnya

bermunculan, di antaranya Finn, Santana, Britney, Puck, Quinn, Laura, dan Sam,

kemudian di season ke dua dan ke tiga muncul tokoh Blain, serta tokoh-tokoh lain yang

memainkan peran kecil. Masing-masing tokoh memiliki sifat khasnya sendiri tetapi tetap

mencirikan siswa SMA yang serba labil dalam berpikir, bertindak, dan berkata-kata.

Konsep serial TV ini adalah drama komedi yang dikemas dengan unsur musikal karena

memang pada dasarnya yang hendak ditonjolkan oleh film ini adalah musik dan lagu,

namun bernada sindiran terhadap isu sosial yang terjadi di Amerika, khususnya dalam

konteks lingkungan sekolah di Amerika. Alur ceritanya sederhana namun merefleksikan

kehidupan siswa SMA sehari-hari di lingkungan sekolah.

Dalam hubungannya dengan topik penelitian, homoseksualitas, Kurt dan tokoh

homoseksual lainnya akan menjadi fokus utama karena representasi homoseksual terlihat

dari penyajian tokoh-tokoh homoseksual tersebut. Selama bersekolah di SMA Mckinley,

Kurt hampir setiap hari mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-orang di sekitar

24

Di Indonesia, Glee di Star World bisa ditonton jika berlangganan TV kabel seperti Indovision, Yes TV, Aora TV dan beberapa TV kabel lainnya.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 28: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

28 Universitas Indonesia

lingkungan sekolahnya, khususnya dari siswa-siswa yang tergabung dalam football club,

karena identitas seksualnya dan juga karena ia adalah salah satu anggota Glee Club.25

Keterangan di atas merupakan sedikit gambaran jalan cerita serial TV tersebut yang

merefleksikan keadaan remaja homoseksual di lingkungan sekolah di Amerika. Sejak

terjadinya berbagai pergolakan tentang isu homoseksualitas dan gerakan sosial kelompok

homoseksual dalam menyuarakan aspirasinya, terjadi pergeseran pandangan dan penerapan

regulasi baru di dalam sistem pendidikan sekolah terkait isu ini. Berdasarkan pada

informasi yang diperoleh dari Culture Facts, April 4, 2003, disebutkan bahwa terdapat

2,8% laki-laki dan 1,4% perempuan yang mengakui diri mereka sebagai homoseksual (gay,

lesbian) dan biseksual, sehingga kebijakan baru dianggap perlu untuk diterapkan supaya

dapat meminimalisasi diskriminasi berbasis orientasi seksual, khususnya dalam sistem

pendidikan di Amerika, “Since the early 1990‟s, homosexual activist organizations have

been working for greater access to public schools with the stated purpose of making them

a safer place for young people who have become involved in homosexual behavior.”

(www.16.org/profamily/school_liability_report )

Hal senada dengan penjelasan sebelumnya juga disebutkan oleh Stuart Biegel,

dalam bukunya The Right To be Out: Sexual Orientation and Gender Identity in America‟s

Public Schools, yakni bahwa penerapan peraturan yang menjamin kenyamanan dan

keamanan para siswa sekolah, terutama yang memiliki identitas seksual berbeda,

merupakan hal penting untuk diberlakukan, mengingat bentuk diskriminasi berbasis

orientasi seksual sangat mungkin terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan

antarsiswa.26

2.4. Homoseksualitas dan seksualitas dalam Konteks Serial TV dan Media

non-TV

Televisi saat ini merupakan salah satu perangkat media yang memainkan peran penting

dalam kehidupan masyarakat karena hampir seluruh masyarakat di dunia pada umumnya

memiliki TV. Dapat dikatakan TV adalah salah satu bentuk akses untuk membuka

25

Dalam film ini, Glee Club identik dengan loosers, sehingga mereka yang tergabung dalam klub ini biasanya mendapatkan perlakuan yang tidak baik (bullied), bukan hanya karena Kurt seorang homoseksual. 26

Isu seksualitas, di antaranya homoseksualitas, biseksualitas dan transeksualitas, merupakan arena pertentangan di wilayah publik yang selalu menuai kontroversi, sehingga diperlukan suatu jaminan berupa perubahan terhadap iklim hukum dan iklim budaya dalam menyikapi isu tersebut agar dapat meminimalisasi segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual yang berujung pada kekerasan antar siswa di lingkungan sekolah. (Biegel, 2010 /http://www.h.net.org/reviews/showrev.php?id=32448)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 29: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

29 Universitas Indonesia

cakrawala pengetahuan dan juga sekaligus akses untuk memproduksi pengetahuan, seperti

yang telah diuraikan sebelumnya terkait wacana dan pengetahuan.

Dalam konteks kehidupan manusia sekarang ini, TV menjadi salah satu perangkat

yang masuk ke dalam skala prioritas karena, disadari atau tidak, TV telah memberikan

dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, yang menyebabkan terjadinya

perubahan pada dimensi sosiologis masyarakat, dan cara pandang masyarakat terhadap suatu

fenomena sosial pun menjadi berubah. Perubahan ini terjadi karena TV telah menjadi

penggerak yang berpotensi membentuk kembali persepsi masyarakat melalui tayangan

(program TV) yang disajikannya (Danesi, Marcel & Perron, 1999. hal. 274). Perilaku, gaya

hidup, pola pikir, dan kepribadian, merupakan beberapa aspek dalam ruang lingkup

kehidupan manusia yang dinilai bisa berubah akibat dari dampak yang diberikan oleh TV

begitu kuat. Kuatnya dampak TV terhadap kehidupan manusia menyebabkan masyarakat

pada akhirnya tidak bisa lepas dari kebiasaannya menonton TV sehingga, menurut Danesi

dan Perron dalam Analyzing Cultures An Introduction & Handbook, hal ini disebut sebagai

“TV Culture”, yaitu terjadinya “cultural change” dalam kaitannya dengan perubahan

kehidupan manusia, termasuk pembangunan kesadaran seseorang melalui tayangan film,

iklan, berita, dan tayangan lainnya (1999, hal.274).

Terkait dengan banyaknya tayangan dalam dunia pertelevisian, dapat dipastikan isu-

isu yang diangkat ke permukaan melaui media TV ini menjadi beragam sifatnya, namun

dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka ada baiknya meninjau beberapa isu yang

biasa diangkat dalam serial TV.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang diperoleh dari buku Danesi dan Perron, isu-

isu yang biasa diangkat dalam tayangan TV dari 1960-an sampai dengan awal 1990-an

berkisar pada isu ras, moralitas dan seksualitas, termasuk homoseksualitas. Isu-isu ini bisa

dilihat, misalnya, dalam serial TV Star Trek (1968) yang mengangkat isu ras; lalu The Odd

Couple (1970), yang mengangkat isu moralitas; All in the Family (1971), yang mengangkat

isu homoseksualitas (gay) untuk pertama kali; Roots (1977), yang juga mengangkat isu ras

seperti halnya Star Trek, kemudian L.A. Law (1991), yang mengangkat isu homoseksualitas

(lesbian) untuk pertama kali; dan Seinfeld (1992), yang mengangkat isu seksualitas (1999,

hal.274-275).

Berbeda dengan itu, menurut Robert Bocock dalam Choice and Regulation: Sexual

Moralities, di Inggris persoalan homoseksual menjadi isu pada media TV muncul pada

1957, seiring dengan banyaknya masyarakat yang mulai membuka cara pandang mereka

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 30: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

30 Universitas Indonesia

terhadap kelompok homoseksual. Sejumlah serial TV yang mengangkat isu homoseksualitas

dengan pesat memasuki arus pertelevisian Inggris sehingga menimbulkan pertentangan

antara dua kubu, yaitu “Conservatism” dan “Liberalism”. Kubu “Conservatism”

menghendaki agar diterapkan sebuah peraturan yang membatasi isu homoseksualitas dalam

media, termasuk di dalamnya TV, teater, cinema, majalah, video, dan internet, sementara

kubu “liberalism” lebih mentolerir diangkatnya isu homoseksualitas ke dalam media massa

baik TV maupun non-TV (1997, hal.90-92).

Isu homoseksualitas dalam media non-TV, misalnya surat kabar, cenderung

mengkritisi kelompok homoseksual dibandingkan dengan media massa lainnya. Hal ini,

menurut Newburn (1997, hal.92), disebabkan oleh adanya dewan pers dan kebebasan pers

dalam menyampaikan berita, sehingga surat kabar dengan mudah dapat mengkritisi baik

atau buruknya suatu isu, begitu pun halnya dengan isu homoseksualitas dalam cerita-cerita

fiksi seperti novel. Isu homoseksualitas yang diangkat ke dalam novel cenderung lebih

terbuka atau vulgar dalam penyajiannya, sehingga barangkali sifat “terbuka” inilah yang

menyebabkan cerita mengenai homoseksualitas didramatisasi agar pesan yang ingin

disampaikan tentang isu sangat kompleks ini dapat tersampaikan kepada pembaca.27

Dalam media TV, isu seksualitas, apapun orientasinya, sedikit mengalami kesulitan

dalam hal tayang karena regulasi dalam media TV terkait hal penyiaran telah diatur

sedemikian rupa agar tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan, misalnya di Indonesia

oleh Komisi Penyiaran, sehinggga dengan kondisi yang demikian, media TV memiliki

batasan-batasan tertentu dalam menayangkan atau memberitakan sebuah isu. Dengan kata

lain, media TV secara tidak langsung mengutamakan adanya keseimbangan dalam

menayangkan acara-acaranya, termasuk acara yang berkaitan dengan isu homoseksualitas,

supaya tetap memperoleh slot tayang, yang berarti bahwa isu seksualitas boleh tayang tetapi

27

Dalam novel yang mengangkat isu homoseksual seperti Gaya Gay karya Dann Julian dan Lelaki Terindah karya Andrei Aksana, terlihat detil hubungan antar sesama jenis yang seharusnya “ditabukan”, namun kenyataannya tidak demikian, sehingga sikap seperti ini disimpulkan sebagai tujuan yang memang hendak disampaikan oleh penulis tentang homoseksualitas. Diharapkan agar pembaca, paling tidak, dapat menangkap essensi tentang perilaku ini. Homoseksualitas disikapi sebagai fenomena kompleks yang berproses. Oleh karena itu, setiap bab dalam kedua novel ini tampak ditulis bertahap sesuai dengan proses terjadinya hubungan homoseksual tersebut. Misalnya, dalam Gaya Gay, bab pertama dimulai dengan “Jelous Guy”, lalu bab berikutnya “Malam Pertama”, “G.I. Jane”, “First Lunch”, “Primavera”, “Malam Jahanam” dan seterusnya (Julian, 2011). Kemudian, dalam Lelaki Terindah, bab pertama diawali dengan “When We Met..”, lalu “And Love has just begun...”, “The night we fell in love...”, “A story inside a story...”, “Struggling for what we believed...” dan seterusnya (Aksana, 2004).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 31: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

31 Universitas Indonesia

tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang telah diatur oleh Komisi Penyiaran.28

Bagaimanapun juga, seluruh pergolakan yang terjadi, termasuk pro dan kontra tentang

homoseksualitas dalam media baik TV maupun non-TV, pada intinya merupakan persoalan

yang dihubungkan dengan moralitas seksual di wilayah publik.

28

Kutipan Pasal 49 dari Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia tentang isu homoseksual/lesbian menyebutkan bahwa: “Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian, dengan (salah satu) ketentuannya sebagai berikut : Program tersebut tidak boleh mempromosikan dan menggambarkan bahwa homoseksualitas dan lesbian adalah suatu kelaziman yang dapat diterima oleh masyarakat.” (Kep. Komisi Penyiaran Indonesia No. 009/SK/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia. Diperoleh dari http://diskominfo.kaltimprov.go.id)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 32: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

32 Universitas Indonesia

BAB 3

TINJAUAN TEORI

REPRESENTASI, WACANA, SEKSUALITAS, DAN GENDER

Bab ini akan mengulas tentang teori-teori yang digunakan peneliti dalam melakukan

analisis wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee.

3.1. Representasi

Representasi merupakan salah satu konsep dari aliran posmodernisme selain, di antaranya,

kritik ideologi, anti-positivisme (ketidakpercayaan pada pola pikir ilmiah), pendekatan

semiotik, dan analisis wacana. Teori ini, seperti yang telah disebutkan pada bab

sebelumnya, berkaitan erat dengan bahasa sebagai medium yang menjembatani kita dalam

memaknai sesuatu, memproduksi, dan mengubah makna. Seluruh proses dan produk yang

memberikan tanda khusus pada makna disebut dengan representasi karena representasi

memperlihatkan baik proses maupun produk dari tanda tersebut. Representasi juga bisa

diartikan sebagai sebuah proses pembentukan makna yang berasal dari suatu ideologi yang

bersifat abstrak menjadi bentuk konkret, misalnya ke dalam bentuk dialog, tulisan, video,

film, fotografi, dan sebagainya, sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Adapun representasi tidak pernah

lepas dari cara pandang karena cara pandang inilah yang memberikan makna terhadap

sebuah tanda, contohnya pandangan masyarakat yang menganut sistem matrilineal dalam

memandang laki-laki dan perempuan akan berbeda dengan pandangan masyarakat yang

menganut sistem patrilineal dalam memandang laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain,

representasi terletak pada bagaimana sistem kekerabatan merepresentasikan perempuan

tersebut (Astuti, Fuji dan R.M. Soedarsono, 2006, hal. 2.). Contoh lainnya adalah

pandangan seseorang tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki, akan dengan mudah

terlihat dari caranya memberi hadiah ulang tahun kepada teman-temannya yang laki-laki,

perempuan, dan anak-anak. Produksi makna dibalik cara pandang inilah yang menjadi

representasi, yakni hal-hal praktis yang digunakan untuk mewakili cara pandang tersebut

(Hasan, 2011, hal.67).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 33: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

33 Universitas Indonesia

Hall menyatakan melalui teori representasinya, bahwa representasi mengambil

dimensi praktik pemaknaan yang diproduksi dalam pikiran melalui bahasa, yakni nilai-

nilai, norma, budaya, ideologi, dan kepentingan, dalam pembentukan sebuah diskursus.

Pembentukan diskursus tersebut akan memerankan dua sistem representasi, yaitu mental

representation dan representasi yang bergantung pada perangkat tanda dan bahasa yang

merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Pengertian mental representation bergantung

pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia,

yang dapat merujuk pada pemikiran di luar atau di dalam kepala (Hall, Stuart dalam Hasan,

2011, hal. 66-68).

Dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, Hall

mengatakan bahwa representasi dalam hubungannya dengan bahasa adalah suatu produksi

makna yang dilihat dari cara bahasa bekerja, yaitu melalui tiga pendekatan yang terdiri dari

reflective approach, intentional approach, dan constructsionist approach. Dalam reflective

approach, makna diasumsikan berada pada suatu objek, individu, gagasan atau bahkan

pada suatu peristiwa dalam kehidupan nyata, dan bahasa dalam kaitannya dengan

pendekatan ini berfungsi sebagai sebuah cermin yang merefleksikan makna primer dari

elemen-elemen tesebut. Dalam pendekatan berikutnya, yaitu intentional approach, makna

diproduksi oleh penghasil makna (pembicara atau pengarang) yang memang dilakukan

dengan sengaja, dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah saluran untuk

menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki atau dimaksudkan oleh si

penghasil makna tersebut. Lalu, dalam pendekatan yang ketiga, yakni constructionist

approach, makna dibangun atas dasar kesadaran terhadap sifat makna yang tidak pernah

tetap (fixed), dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah sistem, termasuk konsep

dan tanda dalam lingkup budaya yang membangun makna tersebut, sehingga makna

menjadi sebuah representasi. Representasi yang dimaksud terkait pendekatan ini tidak

lepas dari tanda yang memiliki dimensi materi, antara lain berupa suara/verbal (sound),

citra (image), dan tanda (mark), sehingga representasi merupakan sebuah praktik yang

menggunakan objek material untuk menghasilkan makna (1997, hal.24-25).

Selain hubungan antara representasi dan bahasa, Hall juga menaruh perhatian pada

hubungan representasi dan media. Representasi melalui media, dalam kaitannya dengan

representasi atas yang liyan, ditangkap oleh Hall sebagai sebuah kejanggalan, karena

representasi melalui media, menurutnya, memberikan citra buruk kepada kaum minoritas,

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 34: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

34 Universitas Indonesia

khususnya dalam hal ini, kaum kulit hitam. Ras kulit hitam selalu dilihat melalui imaji-

imaji yang ditampilkan negatif secara visual oleh media. Adanya citra ras kulit hitam

dalam media juga memperlihatkan sebuah representasi yang didasarkan pada perbedaan

melalui tanda-tanda yang dipahami secara inter-tekstual (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal.

232.). Makna pada suatu citra tidak akan berarti tanpa ada konteks yang memberi makna

tersebut, dan makna mengenai suatu citra tidak hanya berdasarkan pada satu konteks,

melainkan terakumulasi dari satu teks ke teks yang lain.

Penting untuk diketahui bahwa hubungan antara representasi dan media juga terkait

dengan regulasi, yang bisa berupa kebijakan pemerintah tentang media, atau bahkan

berupa reproduksi makna, sehingga produksi regulasi tampak sebagai sesuatu yang biasa.

Oleh karena itu, regulasi adalah suatu proses yang dinamis karena merupakan sebuah arena

pertarungan makna, yang juga melibatkan norma-norma, bentuk-bentuk subjektivitas dan

identitas (Thompson, Kenneth. (ed.), 1997, hal. 3). Penjelasan ini sedikit banyak

memberikan gambaran bahwa cara kerja representasi adalah seolah-olah menunjukkan

bagaimana dunia ini berjalan dengan sesungguhnya, khususnya yang bersinggungan

dengan regulasi dan representasi liyan melalui media. Terkait dengan hal ini, Ibnu Hamad

dalam penelitiannya mengenai wacana dan media menyebutkan bahwa produksi isi media

sebagai kegiatan pembentukan wacana, yakni produksi isi media, tidak semata-mata

merupakan suatu kegiatan merepresentasikan realitas, tetapi justru bersifat

mengonstruksikan realitas. Hal ini dikarenakan media dianggap tidak lagi secara murni

melaporkan atau menampilkan apa adanya mengenai suatu realitas, melainkan konstruksi

atas suatu realitas yang bisa berupa ide, orang, benda, atau peristiwa ke dalam struktur

cerita yang bermakna (Hamad, Ibnu. 2008, hal. 338).

3.2. Konsep wacana Foucault

Michel Foucault juga termasuk salah satu pelopor postmodernisme yang menentang

aturan-aturan yang menurutnya bersifat menindas. Ia melihat cara kerja representasi dari

sudut yang lebih mendekati hubungan kekuasaan. Disadari atau tidak, hubungan kekuasaan

terjadi di mana saja karena Foucault melihat hubungan ini tidak hanya terjadi dalam ruang

lingkup besar seperti negara, melainkan terjadi juga dalam ruang lingkup kecil seperti di

dalam keluarga, sehingga ini adalah hubungan kekuasaan yang telah mendominasi

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 35: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

35 Universitas Indonesia

kehidupan manusia sehari-hari.29

Dalam proyeknya, Foucault mencoba untuk memahami

cara manusia berpikir dan memahami dirinya sendiri dalam ruang lingkup sosial

budayanya sehingga menimbulkan sebuah “makna bersama” (shared meaning)

berdasarkan periode yang berbeda-beda. Setiap periode menghasilkan produk pengetahuan

dalam bentuk “makna bersama” yang berbeda pula. Adanya “makna bersama” yang

berbeda ini disimpulkan sebagai suatu produksi pengetahuan daripada sebatas produksi

makna yang berkaitan erat dengan hubungan kekuasaan pada setiap periode dan pada

setiap tataran, atau dengan kata lain, pengetahuan terbentuk dalam suatu ruang waktu

tertentu (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal. 43). Oleh karena itu, Foucault cenderung

menggunakan istilah wacana daripada bahasa, mengingat wacana sendiri adalah bentuk

hubungan kekuasaan yang beroperasi melalui bahasa terkait periodisasi tersebut, dan

bahwa wacana merupakan suatu hal yang penting secara sosiologis karena cara kita

berbicara dan berpikir tentang dunia pada prinsipnya telah membentuk cara kita

berperilaku, sehingga hasilnya berimbas pada dunia yang kita ciptakan dari pemikiran dan

perilaku tersebut. Foucault sangat tertarik pada bagaimana suatu pemikiran dan perilaku

yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan sosial yang dikatakan

sebagai formasi diskursus/wacana (discourse formation) (Johnson, Allan G. hal. 90. dalam

Risna W. Rizal. 2006, hal. 15). Pengetahuan yang memproduksi makna dalam bentuk

wacana sebagai hasil dari formasi diskursus/wacana tersebut diartikan oleh Foucault

sebagai sebuah sistem representasi (discourse as a system of representation) (Hall, Stuart.

(ed.), 1997, hal. 44).

Foucault, dalam Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep

Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (2003, hal.109), menyebutkan bahwa diskursus atau

wacana merupakan suatu upaya untuk melepaskan diri dari ketertindasan karena wacana

dianggap tidak menggambarkan realitas di dunia, sehingga manusia berupaya melepaskan

ketertindasannya dari hubungan kekuasaan tersebut. Foucault juga melihat bahwa wacana

merupakan hal yang tidak bisa hilang dari lingkup masyarakat bagaimanapun kerasnya

upaya manusia itu untuk dapat membebaskan diri dari suatu hubungan kekuasaan. Manusia

29

Terkait dengan keterangan Foucault tersebut, para kritikus kontemporer menyatakan bahwa representasi, baik secara eksplisit maupun implisit, memiliki muatan politik. Politik tidak harus berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan, tetapi merujuk pada semua jenis hubungan kekuasaan. (Childers&Hentzi.1995. The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural Criticism. New York : Columbia University Press. hal. 260. Dalam Ruth Sih Kinanti. 2001. Representasi Homoseksual dalam Angels in America. hal. 58).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 36: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

36 Universitas Indonesia

hanya bisa menyadari bahwa diskursus atau wacana akan selalu berada di tengah-tengah

masyarakat dan akan selalu memberikan dampak pada kesadaran manusia sebagai sebuah

sistem yang, suka atau tidak, harus diterima. Setiap wacana yang terbentuk, seperti yang

telah disebutkan sebelumnya, terkait dengan periodisasi, sehingga bisa dipastikan bahwa

diskursus atau wacana yang muncul mengusung kebenarannya masing-masing dan tidak

dapat diartikan sebagai suatu kebenaran mutlak. Dengan sendirinya, diskursus atau wacana

bukanlah representasi dari realitas yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena beragamnya

pola pikir manusia dalam memaknai suatu kebenaran sehingga menghasilkan berbagai

diskursus atau wacana tersebut. Masih dalam Takwin, Foucault menyatakan hubungan

antara kuasa dan ketertindasan manusia merupakan hubungan yang memunculkan berbagai

persepsi sebagai suatu proses menuju perkembangan peradaban manusia dari waktu ke

waktu. Peradaban dimaksud berhubungan juga dengan pentingnya menyadari keberadaan

yang “liyan”, yakni kesadaran akan hal-hal yang “diasingkan” baik itu berupa benda,

orang, suku, dan budaya. Kesadaran ini penting karena yang “liyan” pada hakikatnya bisa

membantu manusia untuk bisa lebih memahami dan menghargai hidup dengan menyadari

bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah homogen, sehingga merupakan hal

yang wajar apabila kita bersanding dengan pihak-pihak lain yang memiliki pola pikir dan

gaya hidupnya sendiri-sendiri.

Dalam pemikiran Foucault, disebutkan pula bahwa pengetahuan dan hubungannya

dengan kuasa menghasilkan praktik-praktik pemilah yang membedakan antara baik dan

buruk, benar dan salah, tinggi dan rendah, boleh dan tidak boleh, haram dan halal, dan

sebagainya (Takwin, 2003, hal.111). Praktik pemilahan yang disebutkan oleh Foucault

akan diulas lagi dalam penjelasan berikutnya, dikaitkan dengan seksualitas.

3.3. Konsep Seksualitas Foucault

Seksualitas dalam pandangan Foucault erat kaitannya dengan kekuasaan karena seks telah

diatur dengan sedemikian rupa agar menjadi suatu hal yang ditabukan, sehingga ia

menyebutkan bahwa manusia sejak dulu hingga sekarang adalah kaum Victorian. Pada

zaman itu, seksualitas, diartikan sebagai sesuatu yang “dipingit rapi” dan

“dirumahtanggakan”, dalam arti bahwa seksualitas tidak boleh hadir dalam bentuk

tindakan dan wicara. Seksualitas begitu ditekan dalam bentuk larangan yang juga sekaligus

berfungsi sebagai hukum untuk meniadakannya, sehingga seksualitas dapat dikatakan telah

masuk ke dalam suatu hubungan kekuasaan.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 37: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

37 Universitas Indonesia

Larangan bahwa seksualitas tidak boleh hadir dalam tindakan dan wicara, menurut

Foucault, bukanlah sesuatu yang dengan serta merta terjadi begitu saja, namun merupakan

larangan yang memang dibentuk. Seksualitas akhirnya dilihat secara berbeda, dalam arti

bahwa ia dilihat melalui sebuah aturan baru yang diwacanakan.

“Bukankah pewacanaan seks itu disusun sesuai dengan tugas

meniadakan, dari realitas, bentuk-bentuk seksualitas yang tidak

tunduk pada ekonomi ketat reproduksi : menolak berbagai kegiatan

tanpa hasil, mengutuk kenikmatan menyimpang, mengecilkan atau

mengeluarkan berbagai kegiatan yang tidak bertujuan meneruskan

generasi? Di sepanjang sekian banyak wacana, telah dilipatgandakan

hukuman legal bagi penyimpangan kecil-kecilan; keganjilan seksual

disisipkan pada kategori penyakit jiwa; sejak anak-anak hingga

lanjut usia, telah ditetapkan suatu norma perkembangan seksual dan

secara cermat telah diberi ciri segala penyimpangan yang mungkin

ada;...” (Foucault, 2008, hal. 57).

Foucault mengatakan bahwa, hingga abad ke-18, terdapat tiga hal yang dianggap

menguasai kegiatan seksual, yaitu hukum agama, ajaran pastoral Kristen (tokoh agama),

dan hukum perdata. Ketiga elemen ini menetapkan aturan tentang seksualitas dengan

caranya masing-masing, sehingga terjadi suatu pemisahan antara yang halal dan haram.

Pemisahan ini muncul karena seksualitas dilihat sebagai sebuah isu yang perlu diatur agar

tidak menyebabkan penyimpangan-penyimpangan yang menyalahi norma-norma yang

telah ditetapkan. Norma-norma yang telah ditetapkan ini merupakan normativitas

heteroseksual yang dianggap sah, baik, dan memang sepatutnya diterapkan dalam

kehidupan manusia, sehingga muncul pemilah antara yang boleh dan tidak.30

Hukum

agama, ajaran pastoral dan hukum perdata telah bertindak sebagai kuasa yang

mewacanakan norma-norma seksualitas agar terpusat pada kegiatan yang tidak melanggar

hukum.

Aturan-aturan yang mengatur seksualitas sejak dulu hingga memasuki konteks

zaman modern tidak pernah berubah, bahkan menjadi semakin luas, dalam arti bahwa yang

mengatur seksualitas tidak hanya terpusat pada tiga elemen tersebut di atas, tetapi sudah

masuk pada tataran negara, misalnya seksualitas yang diatur di dalam sebuah konstitusi.

30

Heteroseksual menjadi satu bentuk seksualitas yang berorientasi pada kegiatan prokreasi dan dinaturalisasikan sebagai norma-norma yang sah. Tujuan prokreasi adalah untuk memaksimalkan kekuatan, efisiensi, ekonomi tubuh, hubungan pernikahan, dan heteroseksualitas. Foucault tidak setuju dengan pandangan bahwa heteroseksual dianggap paling baik ( Foucault dalam Reksodirjo, 2006, hal. 33).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 38: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

38 Universitas Indonesia

Hal ini menandakan bahwa seksualitas tidak lagi berada di wilayah pribadi karena telah

bersinggungan dengan wacana-wacana kuasa yang dikonstitusikan di wilayah publik.31

Berkaca pada keterangan di atas, pada dasarnya hubungan antara kekuasaan dan seks

menghasilkan suatu wacana tentang seksualitas yang tidak pernah berhenti.

“Saya kira kita semua sepakat untuk mengatakan bahwa wacana

tentang seks, sejak tiga abad yang lalu sampai sekarang, cenderung

semakin banyak jumlahnya daripada semakin langka; walaupun

wacana itu mengandung berbagai tabu maupun larangan, secara

lebih mendasar telah membuat segala penyimpangan seksual jadi

kokoh dan melembaga.” (Foucault, 2008, hal. 75).

Foucault berpendapat bahwa seksualitas dikungkung oleh dunia barat dalam bentuk

hubungan kekuasaan yang, di antaranya, memiliki ciri-ciri pokok berikut: yaitu hubungan

negatif, instansi aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kesatuan perangkat (agen).

Hubungan negatif dalam hal ini merupakan hubungan negatif antara kekuasaan dan seks,

yakni segala sesuatu yang terkait dengan seks dan seksualitas hanya dilihat sebagai hal

yang negatif. Dalam instansi aturan, kekuasaan menentukan seks dengan menempatkannya

di bawah sistem biner, yaitu halal-haram, boleh-terlarang, positif-negatif, yang kemudian

diperjelas dalam bentuk aturan berdasarkan hubungannya dengan hukum. Kekuasaan atas

seksualitas yang telah diatur secara hukum dianggap sebagai kebenaran. Adanya siklus

larangan dalam hubungan antara kekuasaan dengan seks adalah kekuasaan bertindak untuk

memfungsikan hukum larangan berupa ancaman, sementara logika sensor merupakan

logika kekuasaan atas seks untuk menabukannya atau menghilangkannya. Kekuasaan atas

seks tidak lepas dari kesatuan perangkat yang diterapkan di segala tataran, yang terlihat

baik dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil. Agen yang bertindak sebagai

kesatuan perangkat di sini, menurut Foucault, adalah mereka yang membuat aturan itu dan

menerapkannya, mulai dari lingkup keluarga sampai dengan negara, yakni seorang ayah,

guru, pemerintah, lembaga sensor, dan bentuk kuasa lainnya. Aturan dibuat untuk

diterapkan dengan tujuan “menundukkan”, sehingga terjadi hubungan superior dan

inferior, yakni kekuasaan pembuat aturan di satu pihak dan di pihak lain adalah yang harus

mematuhi aturan itu.

Foucault berpandangan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas

terkait dengan wacana, dengan kekuasaan dan pengetahuan memainkan peran di dalamnya.

31

Contohnya, di Indonesia, seksualitas diatur dalam undang-undang pornografi.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 39: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

39 Universitas Indonesia

Akan tetapi, wacana dalam hubungannya dengan relasi kuasa, harus pula dilihat sebagai

sesuatu yang tidak stabil karena sifatnya yang tidak berkesinambungan, sehingga wacana

tentang kekuasaan bukanlah hal yang hakiki. Wacana harus dibayangkan sebagai unsur-

unsur nalar yang dapat bermain dalam aneka ragam strategi (Foucault, 2008, hal. 130-131).

“Wacana menyampaikan dan menghasilkan kekuasaan; wacana

memperkokohnya tetapi sekaligus mengikisnya, memaparkannya,

membuatnya rentan dan memungkinkannya untuk dihambat” (Foucault, 2008, hal. 131).

Dengan kata lain, dalam wacana relasi kuasa, tidak selalu terjadi hubungan

mendominasi dan didominasi, namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu

hubungan yang terkait dengan bentuk-bentuk pengetahuan yang bersifat periodikal

(melihat perubahan dari masa ke masa dalam satu ruang waktu tertentu) dalam berbagai

tataran sosial. Barangkali bisa dikatakan disinilah letak kompleksitas sebuah wacana

tentang seksualitas yang dibentuk namun dapat juga berubah.

3.4. Konsep Gender Connell

Gender sering disalahartikan dengan seks (jenis kelamin), sehingga konsep gender perlu

diperjelas supaya terlihat perbedaannya antara gender dan seks. Menurut Webster‟s New

World Dictionary, gender tidak selalu berhubungan dengan jenis kelamin, “...gender is not

necessarily correlated with sex” (1975, hal. 581), lalu gender juga diartikan sebagai

kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral)

yang menegaskan bahwa gender bukanlah sesuatu yang biologis dan juga bukan kodrat

Tuhan (Hasan, 2011, hal.230). Gender merupakan perbedaan tingkah laku antara laki-laki

dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial. Perbedaan ini tidak dapat dikatakan

sebagai kodrat karena sifatnya dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang panjang.

Perempuan telah dikenal sebagai sosok feminin, yakni lemah lembut, emosional dan

keibuan, sementara laki-laki dikenal sebagai sosok maskulin, yakni kuat, rasional, jantan,

dan perkasa.

Raewyn Connell menyebutkan bahwa maskulinitas selama ini dipahami sebagai

karakter yang sudah fixed oleh Tuhan sebagai kodrat laki-laki sehingga maskulinitas tidak

mungkin mempengaruhi karakter perempuan dan begitu juga sebaliknya. Pemahaman yang

demikian tentang maskulinitas telah mendominasi pemahaman masyarakat tentang laki-

laki. Oleh karena itu, Connell menyebutnya dengan istilah hegemonic masculinity, ia juga

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 40: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

40 Universitas Indonesia

berargumentasi bahwa gender tidak bisa lagi dilihat hanya sebatas perbedaan generalisasi

karakteristik antara laki-laki dan perempuan seperti yang telah disebutkan di atas, namun

harus juga melihat keterkaitan antara keduanya sebagai dua aspek yang dapat

dipertukarkan, dalam arti bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat feminin dan ada

pula perempuan yang memiliki sifat-sifat maskulin, sehingga gender dapat berubah dari

waktu ke waktu. Konsep gender seharusnya mampu mengedepankan fakta bahwa terdapat

keberagaman dalam sifat-sifat laki-laki dan perempuan alih-alih membuat dikotomi hanya

berdasarkan dua jenis kelamin tersebut. Connell juga dengan tegas menyebutkan bahwa,

maskulinitas terkait dengan gender dan terdapat pluralitas dalam maskulinitas yang berarti

bahwa karakter maksulin tidak bisa disebut tunggal, melainkan beragam. Keberagaman

dalam sifat laki-laki (khususnya), menurut Connell dapat mengarah pada bentuk kekerasan

karena maskulinitas tidak hanya berupa karakter yang terkait dengan hubungan personal

dan sosial, namun berhubungan juga dengan kekuasaan yang berakibat pada penindasan

terhadap laki-laki (http://www.raewynconnell.net/p/masculinities_20.html). Dalam sumber

yang berbeda (Alami, 2010), disebutkan bahwa Connell dan peneliti lain yang sependapat

dengannya, mengusulkan agar konsepsi tentang gender perlu diubah agar tidak lagi dilihat

sebagai perbedaan isu antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, melainkan

harus lebih dilihat sebagai relasi gender (gender relations) yang tidak hanya

mencerminkan hubungan personal dan sosial, tetapi juga hubungan kekuasaan dan

simbolik.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 41: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

41 Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISIS WACANA HOMOSEKSUALITAS DALAM ADEGAN DAN DIALOG

SERIAL TV GLEE

4.1. Pengantar

Bab empat ini akan menunjukkan bagaimana serial TV remaja Amerika Glee membangun

wacana homoseksualitas yang ditinjau secara kritis atas representasi homoseksual yang

ditampilkan dalam setiap season nya. Serial TV remaja Glee terdiri dari tiga season yang

masing-masingnya dibagi lagi ke dalam dua puluh dua episode, sehingga secara

keseluruhan episode dalam serial TV ini berjumlah enam puluh enam episode. Episode-

episode tersebut dilihat sebagai teks, baik secara verbal maupun visual, karena pada

prinsipnya teks inilah yang akan menunjukkan bagaimana homoseksual direpresentasikan.

Kajian atas representasi homoseksual dan wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee

dilakukan dengan berlandaskan pada teori representasi berupa tiga pendekatan terkait

dengan bahasa sebagai elemen yang memproduksi makna, yaitu reflective approach,

intentional approach dan constructionist approach, dan didukung juga dengan konsep

wacana dan seksualitas Foucault serta konsep gender Connell.

Pada dasarnya, sejak film seri ini tayang perdana, dapat dikatakan bahwa di antara

isu yang diangkat, homoseksualitas merupakan isu yang paling disorot. Representasi

homoseksual dalam serial TV ini ditampilkan melalui tiga pendekatan yang disebutkan di

atas, yaitu tanda yang merefleksikan realitas tentang homoseksual (reflective approach),

tanda yang dihasilkan sesuai maksud penghasil makna (intentional approach) dan tanda

yang dilihat berdasarkan konteks homoseksual di Amerika serta dalam konteks sekolah di

Amerika (constructionist approach). Akan tetapi, elemen bahasa dalam serial TV ini boleh

dikatakan sebagai elemen paling kuat dalam memproduksi makna homoseksualitas,

sehingga representasi terbentuk dari bahasa tersebut. Melalui tanda-tanda itulah akan

terlihat representasi homoseksual seperti apa yang ditampilkan dalam serial TV ini dan

wacana apa yang dibangun. Dengan demikian, untuk menjawab permasalahan,

pembahasan akan diuraikan berdasarkan serangkaian episode pada tiap musimnya.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 42: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

42 Universitas Indonesia

Glee adalah serial TV remaja Amerika yang mengisahkan tentang sekelompok

siswa underdog dari Mckinley High School. Para tokoh sentralnya adalah Kurt, Rachel,

Mercedes, Artie, Tina, Finn, Quinn, Santana, Brittany, Puck, dan penambahan tokoh baru

di season ke dua dan ke tiga, yaitu Sam, Blaine, Rory serta Joe. Popularitas adalah

segalanya bagi para siswa underdog tersebut agar bisa diakui dan diterima oleh lingkungan

sekolahnya sehingga mereka memutuskan untuk membentuk kelompok paduan suara

dengan mendaftarkan diri sebagai anggota klub Glee di bawah asuhan guru bahasa Spanyol

mereka, Mr. William Schuester. Kelompok paduan suara klub tersebut diberi nama The

New Direction namun perjuangan mereka untuk mencapai puncak popularitas di McKinley

High tidaklah mudah meskipun telah mengikuti berbagai macam kejuaraan paduan suara.

Pada awalnya, tokoh yang masuk klub Glee hanya Kurt, Rachel, Mercedes, Tina dan Artie,

tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah episode, tokoh-tokoh lainnya bermunculan

seperti yang telah disebutkan di atas. Keinginan mereka masuk klub Glee berangkat dari

kesadaran mereka yang merasa tidak memiliki potensi untuk menjadi terkenal seperti

halnya siswa-siswa lain di sekolah mereka, khususnya yang tergabung di dalam kelompok

pemandu sorak (cheerleader) dan kelompok American foot-ball. Tokoh-tokoh ini

digambarkan unik dengan ciri khasnya masing-masing namun tetap mencerminkan siswa-

siswa SMA seperti gambaran remaja pada umumnya, yaitu serba labil dalam berpikir,

bertindak, dan berkata-kata. Serial TV ini menyajikan cerita yang menekankan pada

kehidupan siswa-siswa di lingkungan sekolah. Hal yang menonjol dari serial TV ini juga

terletak pada muatan musik dan lagu serta sindiran-sindiran yang dilihat sebagai kritik

sosial dalam konteks Amerika.

Dalam hubungannya dengan topik penelitian, yakni homoseksualitas, tokoh Kurt,

khususnya, dan tokoh siswa homoseksual lainnya akan menjadi fokus utama karena

mereka merupakan tokoh sentral yang merepresentasikan homoseksual dalam konteks

Amerika, walaupun tokoh Kurt dapat dikatakan lebih sering disorot. Selama bersekolah di

SMA Mckinley, Kurt hampir setiap hari mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-

orang di sekitar lingkungan sekolahnya, khususnya dari siswa-siswa yang tergabung dalam

football club, karena identitas seksualnya dan juga karena ia adalah salah satu anggota

Glee Club. Seiring dengan bertambahnya jumlah episode dari satu season ke season

berikutnya, akan semakin tampak isu homoseksualitas diblow up, walaupun terdapat juga

isu-isu lain yang disinggung, seperti isu perempuan, etnis minoritas dan ras (kulit hitam),

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 43: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

43 Universitas Indonesia

oleh kerena itu keterkaitan antara homoseksualitas dengan isu-isu sosial lainnya boleh

dikatakan sebagai letak keunikan serial TV Glee tersebut.

4.2. Wacana Homoseksualitas dalam Serial TV Glee Season Pertama

Glee season pertama terdiri dari 22 episode, yaitu episode Pilot, Showmance, Acafellas,

Preggers, The Rodes Not Taken, Vitamin D, Throwdown, Mashup, Wheels, Ballads,

Hairography, Mattress, Sectionals, Hell-o, The Power of Madonna, Home, Bad

Reputation, Laryngitis, Dream on, Theatricality, Funk, dan yang terakhir Journey to

regionals. Sepintas, apabila dilihat dari judul-judul yang merupakan teks verbal per

episodenya dalam season pertama ini, sama sekali tidak tampak menunjukkan adanya

homoseksualitas yang diangkat ke permukaan. Serial TV ini tidak akan dianggap

mengedepankan homoseksualitas sebagai tema sentral, namun akan berbeda maknanya

apabila teks dalam serial TV ini dibaca secara menyeluruh, yaitu melalui rasio auditoris

dan visual, karena produksi makna dibalik tanda akan terlihat lebih jelas.

Dalam episode pilot, adegan diawali dengan tokoh Kurt yang dimasukkan ke bak

sampah oleh sekelompok siswa yang tergabung ke dalam foot ball club. Provokator

tindakan ini adalah tokoh Puck, ia dan teman-temannya bisa dikategorikan sebagai siswa

yang populer di sekolah Mckinlley High. Belum disebutkan pada awal episode satu ini

bahwa Kurt adalah siswa yang homoseksual karena identitasnya akan diketahui nanti pada

episode-episode berikutnya. Namun, setelah melihat lebih lanjut, peneliti menangkap

adegan awal ini sebagai sebuah tanda yang diniatkan oleh si penghasil makna (intentional

approach) untuk menyatakan bahwa tokoh homoseksual (Kurt) adalah orang yang masuk

ke dalam kelompok yang termarginalkan dan merupakan inti dari persoalan yang hendak

disampaikan melalui serial TV ini, karena pada akhirnya akan diketahui bahwa yang

mendapatkan perlakuan tidak baik tersebut adalah seorang homoseksual. Dalam episode

ini, selain Kurt, muncul tokoh-tokoh underdog yang lain, yakni Mercedes, Rachel, Tina

dan Arti yang mendaftarkan diri masuk Glee club agar menjadi populer. Dengan kata lain,

populer dalam hal ini dimaknai sebagai tidak termarginalkan. Kelima siswa-siswa tersebut

di atas juga ditangkap sebagai tanda yang merepresentasikan kelompok-kelompok

termarginalkan karena mereka tergabung dalam gerakan sosial kelompok minoritas yang

menuntut keadilan hak,32

yakni tokoh Kurt yang homoseksual, Mercedes yang berkulit

32

Lihat bab 2

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 44: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

44 Universitas Indonesia

hitam, Tina yang asia, Artie yang cacat, dan Rachel yang dibesarkan oleh orang tua yang

homoseksual (memiliki dua orang ayah yang gay). Representasi ini bisa terlihat pada

keterangan berikut : First Kids to sign up Glee Club: 1.) Mercedes, 2). Kurt, 3). Tina,

4).Rachel, 5.)Arti (Glee 1, episode 1).

Berhubung Glee club ini dimasuki oleh siswa-siswa yang underdog, maka dengan

sendirinya sebutan Glee sendiri memiliki makna terpinggirkan, tidak populer dan atau

kelompok untuk pecundang. Adegan awal tersebut di atas telah memperlihatkan adanya

hubungan antara penindas dan yang tertindas, sehingga hubungan seperti ini disebut

sebagai hubungan kekuasaan yang bisa terjadi di mana saja,33

dan dalam kaitannya dengan

serial TV ini, hubungan kekuasaan yang demikian akan banyak ditemukan dalam konteks

sekolah. Tidak lama setelah adegan “dibuangnya” tokoh Kurt ke bak sampah,34

pengenalan

terhadap isu homoseksualitas terlihat juga saat tokoh Rachel yang berjalan di koridor

sekolah pada hari pertamanya menjadi siswa sekolah menengah atas tiba-tiba berkata

tentang dirinya yang bukan seorang homofobia karena ia dibesarkan oleh orang tua yang

gay (Glee 1, episode 1). Adanya tokoh Rachel yang memiliki dua ayah yang gay, dicermati

sebagai suatu pembenaran bahwa tidaklah menjadi masalah bagi sepasang orang tua yang

homoseksual untuk berumahtangga, membesarkan anak dan terikat dalam pernikahan.

Seperti yang telah disebutkan pada bab 2, bahwa legitimasi pernikahan sesama jenis masih

menjadi isu yang kontroversial dalam konteks homoseksual di Amerika, meskipun

beberapa negara bagian sudah melegalkannya. Pembenaran ini, menurut Foucault,

merupakan sebuah produksi makna yang diperlihatkan dalam adegan tersebut sebagai

suatu „kebenaran‟. Adegan-adegan yang disajikan pada awal episode merupakan

representasi melalui intentional approach karena tujuannya adalah untuk mengenalkan isu

apa yang akan menjadi sorotan dalam serial TV ini sesuai dengan maksud penghasil

makna, yang dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film

tersebut.

Selain itu, terdapat adegan yang memperlihatkan homoseksualitas menjadi

persoalan yang diangkat dalam serial TV ini ketika guru bahasa Spanyol yang juga

sekaligus pelatih Glee club mereka, William Schuester, dengan berbagai cara yang bersifat

persuasif, meminta kelompok siswa football untuk ikut serta mendaftar sebagai anggota

33

Foucault melihat cara kerja representasi dari sudut yang lebih mendekati hubungan kekuasaan. 34

Saya menangkap bahwa adegan tokoh Kurt dibuang ke bak sampah terinspirasi oleh penyanyi fenomenal Lady Gaga yang pernah mendapatkan perlakuan serupa (bullied). (Lihat catatan kaki no 52)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 45: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

45 Universitas Indonesia

klub Glee karena menyadari kurangnya peserta dalam klubnya, namun kenyataan yang

diterima adalah klub tersebut sudah sangat dikenal dengan klub pecundang sehingga tidak

ada satupun peserta yang mau mendaftar. Mereka bahkan mengolok-mengolok klub

tersebut dengan mengarang sebuah nama, yaitu dengan mendaftarkan nama “Gaylord

Weiner”. Adapun tokoh Finn yang merupakan salah satu orang dari klub football akhirnya

mau mendaftar karena “hasutan” Mr. Schuester, yang terpaksa melakukannya guna

mendapatkan Finn yang memiliki kualitas suara yang bagus untuk kelompok paduan

suaranya.35

Puck yang provokator dan senang melakukan bullying merupakan sahabat

terdekat Finn dan sama-sama merupakan angota klub football. Ketika ia mengetahui Finn

mendaftar sebagai anggota klub Glee, ia menganggap klub tersebut bukan klub yang

normal dan penuh dengan homoseksual (Glee 1, episode 1). Olok-olok dengan

menyebutkan kata “gay” dalam nama “Gaylord Weiner” tersebut, lalu juga tokoh Finn

yang populer memutuskan untuk ikut klub yang dianggap “homo”, mengindikasikan

bahwa homoseksualitas bukan saja persoalan seksualitas, tetapi juga menjadi persoalan

penting dalam lingkungan remaja sekolah di Amerika.

Dalam episode Showmance, adegan kembali diawali dengan dimasukkannya Kurt

ke bak sampah oleh para siswa football yang populer, tetapi yang menarik dari adegan ini

adalah perkataan yang dilontarkannya sebelum ia “rela” dimasukkan, yaitu “One day,

you‟ll all work for me” (Glee, episode 2). Jika perkataan Kurt dikaitkan dengan konsep

diri seorang homoseksual, seperti yang dilakukan pada penelitian Magdalena Surjaningsih

Halim,36

maka itu menandakan bahwa tokoh Kurt cukup memiliki kepercayaan diri dan

optimistis dalam memandang dirinya sendiri sebagai seorang homoseksual, meskipun ia

belum sepenuhnya come out, 37

yakni bahwa memiliki orientasi seksualitas yang berbeda

bukan tolak ukur untuk menilai kualitas manusia dan untuk bisa berada di tengah-tengah

masyarakat. Homoseksualitas sebagai isu juga semakin terlihat pada dialog antara tokoh

Quinn dan Finn, Quinn protes dengan masuknya Finn menjadi anggota Glee club, karena

ia sudah dikira gay oleh banyak orang di sekolahnya, “People think you‟re gay now Finn,

and you know what that means to me? You‟re a gay beard!” (Glee 2, episode 2). “Gay

beard” yang diucapkan oleh tokoh Quinn, dalam konteks homoseksual di Amerika,

35

Mr. Schuester mengatakan bahwa sebungkus serbuk sejenis obat terlarang yang ditemukannya bersal dari Finn, dan apabila ia tidak ikut bergabung dengan Glee, maka ia akan dilaporkan ke kepala sekolah. Padahal serbuk tersebut milik Mr. Schuester yang diperoleh dari koleganya. 36

Lihat tinjauan literatur pada bab 1 37

Menyatakan secara terbuka bahwa dirinya adalah homoseksual.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 46: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

46 Universitas Indonesia

khususnya di lingkungan sekolah, adalah istilah untuk seorang homoseksual yang

menyembunyikan seksualitasnya dengan menjalin hubungan antar lawan jenis agar

dianggap “normal” dan tidak menyimpang dari aturan heteroseksual. Menjadi “gay beard”

merupakan salah satu cara kelompok homoseksual menekan identitas seksualnya supaya

diakui oleh lingkungan sekitarnya. Selain ucapan yang dilontarkan tokoh Quinn tersebut,

pada saat latihan paduan suara, Mr. Shuester memberikan sebuah lagu disko untuk

dinyanyikan, namun tokoh Mercedes protes dan mengatakan lagu tersebut kuno, dan Kurt

menyetujuinya dengan mengatakan lagunya terlalu “gay”. Melihat gambaran ini, ada ironi

yang muncul dalam tokoh Kurt dengan melabel “gay” pada sebuah lagu, sementara dirinya

adalah seorang gay. Jika kembali pada konsep diri, ketika berada di tengah-tengah

kelompok heteroseksual, Kurt akan menyangkal identitasnya, jadi ia cukup merasa yakin

dengan seksualitasnya yang berbeda sebagai individu tetapi tidak yakin saat berada di

lingkungan heteroseksual. Kondisi ini merupakan tanda adanya pergulatan dalam diri

homoseksual yang selalu dihadapkan pada situasi untuk “memilih” sebuah orientasi

seksual kecuali ia sudah melakukan proses coming out . Hal ini pada kenyataannya

merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh kelompok homoseksual jika seksualitas

harus dijadikan suatu opsi akibat dari heteronormativitas yang sudah dikonstruksikan dan

diterapkan sedemikian rupa dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga nilai-nilai

heteroseksual ini diinternalisasi sebagai sebuah kebenaran, dan oleh karena itu yang

banyak terjadi adalah penyangkalan yang terpaksa atas orientasi seksualitas pada diri

homoseksual. Kebenaran heteronormativitas yang demikian mengakar di masyarakat,

disebutkan dalam teori Foucault sebagai sebuah “makna bersama” yang dianggap sebagai

suatu produksi pengetahuan yang erat kaitannya dengan kekuasaan, dan dalam hal ini,

kekuasaan untuk memarginalkan kelompok homoseksual. Isu yang tidak bisa disikapi

secara terbuka bisa dikatakan menjadikan kelompok homoseksual menuntut keadilan dan

pengakuan akan keberadaan mereka melalui gerakan-gerakan sosial mereka yang

diperjuangkan hingga saat ini.

Dalam episode ini, terdapat pula adegan antara Mr. Schuester dan istrinya, Terry,

yang melontarkan kata „gay‟ ketika mencoba membeli dan melihat-lihat isi rumah idaman

mereka yang baru, “This is where our daughter or our gay son will sleep.” (Glee 1,

episode 2). Dialog-dialog lain juga menyebut kata „gay‟ yang semakin menguatkan adanya

isu homoseksualitas dalam serial TV ini. Adegan lain adalah ketika tokoh Rachel dan Finn

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 47: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

47 Universitas Indonesia

dipanggil oleh kepala sekolah karena diadukan oleh Sue Sylvester, pelatih kelompok

pemandu sorak Cheerios, yang telah menuduh kedua siswa tersebut menggunakan mesin

fotokopi miliknya. Sue mengatakan, “Gay parents are rebellious, there is a study on this.”

(Glee 1, episode 2). Kelakuan Rachel yang demikian dianggap sebagai hasil didikan orang

tua homoseksual secara implisit menunjukkan bahwa pernikahan sesama jenis masih

menjadi polemik di Amerika karena adanya aturan heteroseksual dan agama yang

melarang pernikahan sesama jenis. Berdasarkan sudut pandang keagamaan, selain

dilarangnya pernikahan pasangan sesama jenis, pasangan homoseksual yang mengangkat

seorang anak dianggap tidak akan memberikan perkembangan dan pertumbuhan yang baik

karena norma yang selama ini berlaku adalah seorang anak akan tumbuh dan berkembang

dengan baik apabila lahir dari pasangan heteroseksual, yakni memiliki figur lengkap

seorang ayah dan ibu. Terkait dengan teori Foucault, hal ini juga merupakan sebuah

produksi „kebenaran‟ yang telah dimaknai “secara bersama” oleh heteroseksual dengan

tujuan “mengharamkan” pernikahan sejenis. Paradigma inilah yang hendak ditentang oleh

kelompok homoseksual yang gigih memperjuangkan legalitas pernikahan sesama jenis

agar merata di Amerika, serta secara tidak langsung menyatakan bahwa membesarkan anak

dan mendidiknya dengan baik merupakan hal yang mungkin untuk dilakukan tanpa harus

melahirkan dari pasangan heteroseksual. Apa yang dinyatakan dan diserukan oleh

kelompok homoseksual tentang legalitas pernikahan sesama jenis dan pola pengasuhan

anak tersebut juga merupakan suatu produksi „kebenaran‟ tentang homoseksualitas.

Pada episode Acafellas, film diawali dengan adegan tokoh Mercedes yang

menginginkan seorang kekasih dalam hidupnya setelah melihat banyak teman-teman di

sekolahnya yang berpacaran. Kepedulian dan perhatian Kurt pada Mercedes ditanggapi

oleh Mercedes sebagai sesuatu yang istimewa. Tokoh Rachel dan Tina yang telah

mengetahui seksualitas Kurt berniat memberitahukan Mercedes akan hal tersebut, tetapi

Mercedes memilih untuk tidak memercayainya (Glee 1, episode 3). Tersembunyinya

identitas seksualitas seorang homoseksual menunjukkan kendala yang selalu harus mereka

hadapi untuk bisa berada di tengah-tengah masyarakat heteroseksual yang menimbulkan

ketidaknyamanan bagi diri mereka sendiri, khususnya bila dihadapkan pada situasi yang

melibatkan persoalan cinta karena kemungkinannya sangat kecil untuk bisa menyukai

lawan jenis. Mereka memiliki keinginan untuk bisa mengekspresikan perasaannya dengan

nyaman kepada sesama jenis tanpa harus diatur oleh norma-norma heteroseksual yang

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 48: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

48 Universitas Indonesia

selama ini dianggap benar dan sah. Aturan-aturan inilah yang cenderung menahan

sebagian besar kelompok homoseksual untuk come out, meskipun pada prinsipnya mereka

menyadari bahwa mereka memiliki hak asasi yang sama dengan heteroseksual. Merujuk

pada keterangan ini, diceritakan bahwa tokoh Mercedes mendekati Kurt agar bisa menjalin

hubungan yang lebih dekat dengannya, tetapi Kurt menolak, yang ditandai dengan

pergulatan dalam dirinya antara mengakui seksualitasnya dan menyangkalnya di depan

Mercedes.

KURT: Haven‟t I made it clear? I‟m in love with someone else.38

MERCEDES: Rachel?

KURT: Yes, for several years now.(Glee 1, episode 3)

Perkataan Kurt pada dialog terakhir, yang disertai dengan adegan memalingkan

muka saat mengatakannya, menunjukkan ia masih takut dan malu untuk mengakui

seksualitasnya kepada Mercedes, dalam arti bahwa yang ditakutkan selama ini oleh

homoseksual adalah normativitas heteroseksual tersebut. Proses coming out memang

bukan perkara mudah bagi kelompok homoseksual yang hidup di antara masyarakat

heteroseksual, dan semua bergantung pada individu itu sendiri untuk melakukannya atau

tidak. Konsep diri akhirnya menjadi sangat penting bagi kelompok homoseksual untuk bisa

merasakan kenyamanan sebagai individu seutuhnya, setidaknya mereka tidak merasa

sebagai liyan bagi dirinya sendiri. Apa yang dialami tokoh Kurt merefleksikan keadaan

yang demikian, dan dibutuhkan pemicu untuk dapat mengakui seksualitas dirinya yang

bisa saja datang dari faktor dirinya sendiri atau di luar dirinya. Tokoh Mercedes dapat

dikatakan sebagai pemicu tersebut. Ketika mengetahui Kurt “menyukai” Rachel, ia sempat

kecewa namun akhirnya ia bisa menerima dan mendukung pilihan Kurt. Saat mengetahui

hal yang sebenarnya tentang seksualitas Kurt, Mercedes meminta Kurt untuk mau terbuka,

namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keterbukaan bagi homoseksual bukanlah

hal yang sangat mudah untuk dilakukan.

KURT: Mercedes, I lied to you, I don‟t like Rachel. I‟m gay.39

MERCEDES: Why didn‟t you tell me?

KURT: Because I hadn‟t told anyone before.

38

Saat mengatakan itu, Kurt selalu melihat ke arah Finn, tapi tiba-tiba muncul Rachel di hadapannya sehingga Mercedes menangkap dengan setengah percaya bahwa yang dimaksudkan Kurt adalah Rachel. 39

Kurt menangis ketika mengakui hal ini pada Mercedes yang menandakan betapa sulitnya bagi homoseksual untuk menyatakan secara terbuka tentang seksualitasnya.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 49: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

49 Universitas Indonesia

MERCEDES: You shouldn‟t be ashamed of who you are Kurt, you

should tell people, especially the kids in Glee. The whole point of

the club is to express what‟s really inside you, remember?

KURT: I can‟t, I‟m just not that confident I guess.(Glee 1, episode

3)

Adegan dan dialog di atas, jika meninjau konsep seksualitas Foucault, terkait dengan

aturan yang telah menentukan hukum seks dengan menempatkannya dalam sistem biner,

yaitu halal-haram, benar-salah, boleh-terlarang, serta adanya hukum larangan berupa

ancaman. Sehingga, homoseksual mengalami kesulitan untuk memposisikan

seksualitasnya karena orientasi seksualnya secara hukum termasuk yang dilarang, dan

apabila dilanggar, ancaman berupa sanksi hukum ataupun sosial menjadi konsekuensinya.

Tokoh Kurt pada episode 4, yaitu Preggers, masih belum mau membuka dirinya

kepada siapapun termasuk ayahnya sendiri. Episode ini diawali dengan Kurt berlatih

menari dengan temannya, Tina dan Brittany,40

di kamarnya yang kemudian dipergoki oleh

ayah Kurt, yang mulai curiga akan kelakuan anaknya tersebut. Kurt tampak mengenakan

pakaian yang sangat ketat dan menari seperti perempuan. Penyangkalan masih tetap

dilakukan oleh Kurt, meskipun tanda-tandanya sudah jelas terlihat, seperti pakaian yang

dikenakannya, dan tarian yang dilakukannya. Gambaran ini menyiratkan kembali bahwa

membuka diri bagi seorang homoseksual adalah hal yang sangat sulit karena, disadari atau

tidak, akan timbul konsekuensi yang harus dihadapi oleh mereka di tengah dominasi

wacana dominan heteroseksual mengenai homoseksual (Glee 1, episode 4). Kurt terlanjur

mengatakan kepada ayahnya bahwa ia masuk tim football, dan oleh karena itu, ia

mendatangi Finn untuk meminta saran. Finn tampak telah mengetahui seksualitas Kurt,

tetapi Kurt terus berusaha menyangkalnya dengan membuktikan bahwa ia mampu bermain

football. Football dilihat sebagai cabang olahraga yang merepresentasikan laki-laki

maskulin, sehingga Kurt ingin membentuk citranya agar terlihat sebagai laki-laki maskulin

melalui olahraga tersebut (Glee 1, episode 4). Puck melihat Finn dan Kurt sedang berbicara

berdua di lapangan beberapa menit menjelang pertandingan. Puck berasumsi bahwa Kurt

dan Finn adalah pasangan homoseksual, dan melakukan protes keras terhadap masuknya

Kurt menjadi anggota tim. “So, are you an item41

now or...? He doesn‟t belong here.”

(Glee 1, episode 4). Dari adegan ini, ada asumsi bahwa apabila dua orang sesama jenis

terlihat sedang berdua meskipun mereka sama sekali bukan merupakan pasangan

40

Lagu yang mengiringi tarian mereka adalah lagu Beyonce, Put a Ring on it. 41

Istilah item dalam bahasa gaul di kalangan remaja Amerika berarti sepasang kekasih.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 50: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

50 Universitas Indonesia

homoseksual, akan dianggap sebagai pasangan homoseksual. Dengan kata lain, bukan

merupakan hal yang wajar bagi sesama jenis untuk tampil berdua di publik, akan tetapi

asumsi seperti ini bersifat sangat kultural karena tidak semua menganggapnya demikian,

kecuali kalau tanda-tandanya terlihat dengan jelas.42

Adegan berikut terjadi di ruang

locker, saat Puck melakukan protes keras terhadap Kurt (Glee 1, episode 4). Puck

menyebut nama Lance Bass pada dialognya yang merupakan representasi seorang

homoseksual. Sebelum bubar, Lance Bass adalah salah satu anggota boysband N‟SYNC

yang populer pada era 1990an setelah NKOTB (New Kids on the Block) yang secara

realitas memang seorang homoseksual. Tokoh Puck pada Glee season pertama ini

disajikan sebagai tokoh yang pada awalnya sangat kontra terhadap keberadaan

homoseksual sebagaimana bisa dilihat pada dialog-dialognya yang lain, yang kerap

melontarkan kata-kata yang sifatnya bullying terhadap homoseksual (Glee 1, episode 4).

Pada catatan kaki, telah disebutkan bahwa walaupun terjadi pro dan kontra dalam

kelompok football tentang keberadaan Kurt dan tariannya, keunikan Kurtlah yang ternyata

membawa kemenangan bagi tim football McKinlley High. Peneliti menangkap tanda ini

sebagai sebuah citra positif homoseksual sebagai kaum termarginalkan tetapi mampu

mengekspresikan keunggulan kualitasnya atas kelompok heteroseksual. Olahraga football

yang sangat dilihat sebagai olahraga maskulin disisipi unsur feminin43

yang menyiratkan

secara tidak langsung bahwa apapun bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh manusia tanpa

memandang orientasi seksualnya walaupun gambaran football seperti itu merupakan hal

yang kemungkinan besar tidak bisa terjadi di kehidupan nyata.44

Citra positif dapat

membawa perubahan pada konsep diri seorang homoseksual di lingkungan heteroseksual

agar menjadi lebih optimistis dalam memandang dirinya karena mereka merasa bisa

melakukan apa saja, meskipun secara seksual mereka berbeda.

KURT: Dad, I told you, I told you.

BURT: I‟m really proud of you Kurt.

42

Misalnya di Indonesia, secara kultural, tidak ada asumsi umum yang langsung menganggap pasangan sejenis yang tampil di publik adalah pasangan homoseksual. 43

Dua karakter inilah yang pada prinsipnya ingin ditekankan oleh Connell, bahwa terdapat keragaman karakter pada diri laki-laki. Seluruh pemain dalam tim football tersebut adalah laki-laki, namun karakteristik masing-masing laki-laki yang memainkan permainan tersebut belum tentu sama. Contohnya adalah tokoh Finn dan Kurt yang sama-sama laki-laki, tetapi karakternya berbeda, yakni Finn maskulin dan Kurt feminin. 44

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hamad bahwa gambaran seperti ini merupakan produksi isi media sebagai kegiatan pembentukan wacana melalui film serial TV yang bersifat mengkonstruksikan realitas ke dalam struktur cerita yang bermakna (lihat bab 3).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 51: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

51 Universitas Indonesia

KURT: Dad, I have something to say, I‟m glad you‟re proud of me,

but I don‟t want to lie anymore. Being a part of football and Glee

club have really showed me that I can be anything and what I am

trying to say is... I‟m gay.

BURT: I know.

KURT: Really?

BURT: I know since you were three. What you wanted for your

birthday was a pair of sensible heels. I guess I‟m not totally in love

with the idea but...if that‟s who you are, there‟s nothing I can do

about it, and I love you just as much, ok? Thanks for telling me

Kurt. You‟re sure right?

KURT: Yes, I‟m sure. (Glee 1, episode 4)

Representasi sikap yang terbuka dan menerima, tercermin pada tokoh Burt, yang mencoba

menyikapi homoseksualitas Kurt dengan bijaksana. Seperti yang telah dijelaskan dalam

bab 2, bahwa permisif bukan persoalan setuju dan tidak setuju, namun lebih pada

menyikapi persoalan homoseksualitas secara terbuka, selain karena isu ini memang sangat

kompleks sifatnya. Homoseksualitas juga tidak dapat dengan mudah dikatakan sebagai

persoalan nature or culture, karena untuk dapat menjawabnya, dibutuhkan keterlibatan

banyak aspek. Ada yang menjadi homoseksual karena pengaruh lingkungan dan ada pula

karena faktor biologis, seperti tercermin pada tokoh Kurt, yang telah menyadari orientasi

seksualnya sejak berusia tiga tahun. Kesadaran akan orientasi seksualnya bisa dilihat dari

hadiah ulang tahun yang dimintanya, yaitu berupa sepasang sepatu berhak tinggi. Hadiah

tersebut secara tidak langsung merepresentasikan orientasi seksualnya yang telah terdeteksi

sejak dini. Bagaimanapun juga, yang dapat dipastikan adalah bahwa tidak ada jawaban

yang akurat mengenai penyebab terjadinya homoseksual, namun yang perlu disadari

adalah adanya perbedaan orientasi seksual sebagai satu aspek penting untuk disikapi secara

bijaksana selain perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan.45

Citra positif

homoseksual di lingkungan heteroseksual juga tercermin dalam adegan dan diaolog tokoh

Kurt pada episode 8 berikut. Finn mencoba menyiram wajah Kurt dengan slushie hanya

untuk menunjukkan solidaritasnya dengan teman-temannya di tim football, meskipun

dengan perasaan terpaksa. Kurt, yang mengetahui keterpaksaan Finn, dengan sukarela

menyiram dirinya sendiri agar Finn tetap diterima oleh teman-teman timnya.

KURT: It‟s called taking one for the team. Now get out of here and

think about wether or not your friends in the football club would

have ever done that for you.(Glee 1, episode 8)

45

Dalam bab 3, diuraikan bahwa Foucault sangat menekankan kesadaran akan adanya perbedaan pada setiap tatanan kehidupan, termasuk orientasi seksual yang berbeda.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 52: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

52 Universitas Indonesia

Pada season pertama ini, dapat dikatakan bahwa kata “gay” dan hal-hal yang

mengarah pada sifat gay terdapat di sebagian besar dialog yang diucapkan para tokoh,

meskipun adegan secara visual yang mengarah pada hubungan antar gay masih minim

terlihat. Misalnya, pada episode 5, The Rodhes not Taken, yaitu dialog yang diucapkan

oleh April Rodhes, tokoh perempuan yang berperan sebagai teman lama Mr. Schuester,

yang sama-sama merupakan alumni SMA McKinlley. Ketika bertemu kembali dengan Mr.

Schuester, ia mengatakan pada Mr. Schuester kalau teman kencannya yang bernama Vinny

telah berselingkuh dengan Ralph, seorang laki-laki pemilik restoran cepat saji “Ralph had

an affair with Vinny” (Glee season 1, episode 5). Berdasarkan cerita April, Vinny adalah

laki-laki yang ia sukai ketika masih remaja, tetapi tanpa disangka Vinny akhirnya

berselingkuh dengan Ralph. Kemudian, ada lagi ketika tokoh Rachel membacakan satu

baris dari sebuah drama kepada Finn, “I‟m sleeping with him”(Glee 1, episode 5) yang

merupakan baris kesukaan Mr. Ryerson, salah satu guru di sekolah tersebut. Ini secara

implisit mengindikasikan bahwa ia adalah seorang homoseksual. Lalu, tokoh Puck yang

tiba-tiba menyeletuk pada teman-temannya tentang hubungan tokoh boneka Bert dan

Ernie46

yang lebih dari sekadar teman satu kamar, “I bet you guys thought Bert and Ernie

are just roomates”(Glee 1, episode 5) karena mereka selalu tampil berdua sehingga

menurut Puck, dua tokoh boneka tersebut adalah pasangan homoseksual.

Pada episode 6 dan 7, yaitu Vitamin D dan Throwdown, tanda verbal berupa kata

“gay” dalam dialog antar tokoh tidak ditemukan, tetapi pada episode 6 terdapat adegan

tokoh Kurt yang memilih masuk kelompok perempuan ketika Mr. Schuester membagi

murid-muridnya ke dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan, untuk mengerjakan

proyek sebuah lagu, meskipun akhirnya Kurt diminta oleh gurunya untuk kembali ke

kelompok laki-laki. Adegan ini ditangkap sebagai penekanan bahwa perbedaan manusia

terletak pada faktor biologis, yakni jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, dan

bukan pada orientasi seksual. Seorang homoseksual tetap dilihat berdasarkan jenis

kelaminnya, walaupun ia sepenuhnya menyadari sifat-sifat yang dimilikinya. Ada

homoseksual laki-laki yang tetap dengan maskulinitasnya, dan ada pula yang cenderung

mengarah pada sifat feminin, seperti tokoh Kurt. Menurut konsep gender Connell, apa

yang dilakukan oleh tokoh Mr. Schuester merupakan pembedaan berdasarkan jenis

46

Tokoh boneka yang sangat populer di acara anak-anak Sesame Street yang selalu dipasangkan berdua pada saat tayang.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 53: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

53 Universitas Indonesia

kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, padahal perlu disadari

bahwa sifat seseorang itu beragam yang justru bisa bertolak belakang dengan jenis

kelaminnya, seperti halnya tokoh Kurt menggambarkan seorang homoseksual laki-laki

(gay), tetapi memiliki karakter feminin, sehingga perbedaan dikotomis jenis kelamin laki-

laki dan perempuan perlu dibedakan dengan maskulinitas dan feminitas.

Telah disinggung sebelumnya bahwa diangkat pula sedikit isu kelompok minoritas

dalam serial TV ini, yang bisa ditemui pada episode Throwdown. Dalam perjuangannya,

kelompok homoseksual bergabung dengan gerakan kelompok sosial yang terdiri dari

kelompok perempuan, etnis minoritas dan ras kulit hitam karena merasa menjadi bagian

dari kelompok yang terpinggirkan atau yang liyan. Seperti halnya perempuan, kelompok

ini dianggap sebagai warga kelas dua, yang bisa dilihat pada dialog berikut ketika pelatih

pemandu sorak Cherioos, Sue Sylvester, memanggil nama siswa-siswa anggota Glee yang

tergolong minoritas dengan sebutan yang merepresentasikan hal tersebut yaitu wheels, gay

kid, asian, other asian, Aretha dan Shaff (Glee 1, episode 7). Isu minoritas ini juga terlihat

pada episode 9, Wheels, yaitu pada ucapan tokoh Mercedes saat lagu yang dipilih oleh Mr.

Schuester selalu lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi kulit putih. Mercedes menyebut

Vanilla dan chocolate yang merepresentasikan kulit putih dan kulit hitam (Glee 1, episode

9). Masuknya isu minoritas dalam serial TV ini membentuk satu keterkaitan yang saling

berhubungan karena homoseksualitas sendiri merupakan bagian dari kelompok minoritas

tersebut, sehingga makna itu yang tampaknya ingin disampaikan oleh serial TV ini, yaitu

bahwa homoseksualitas dan minoritas merupakan satu isu.

Di episode 8, Mash Up, terlihat homoseksualitas kembali diangkat melalui dialog-

dialog berikut. Kepemimpinan Finn sebagai kapten tim dipertanyakan sejak ia

memutuskan untuk masuk klub Glee. “Questioning your leadership Finn, like for instance,

you choose to join that homo explosion.” Lalu Azimio, teman satu tim football, merasa

sangat keberatan dengan keputusan Finn yang bergabung dengan Glee club yang

kegiatannya hanya bernyanyi. “Is he working on a coming out of the closet speech or

something?” (Glee 1, episode 8). Sebutan homo explosion, working on a coming out of the

closet speech, dan olok-olok homoseksual lainnya yang terdapat dalam season pertama ini

dari satu episode ke episode lainnya mengarah pada tindakan bullying yang sering diterima

oleh kelompok homoseksual dan tidak menutup kemungkinan diterima juga oleh yang

mentolerir atau menerima keberadaan mereka. Kondisi ini menandakan tingkat kekerasan

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 54: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

54 Universitas Indonesia

yang mereka terima sudah demikian parah hanya karena orientasi seksual mereka yang

berbeda dari heteroseksual, dan di Amerika sendiri kekerasan ini bisa terjadi di lingkungan

manapun baik kekerasan yang bersifat fisiologis maupun psikologis, termasuk di sekolah.

Merujuk pada keterangan ini, terdapat adegan dalam episode ini yang mencerminkan hal

tersebut, yaitu Kurt dan teman-temannya di klub Glee sering kali mendapatkan perlakuan

yang tidak baik seperti dibuang ke bak sampah dan di slushie47

setiap kali berpapasan

dengan kelompok siswa yang populer, sementara Kurt mendapat perlakuan lebih dari itu

karena ia seorang homoseksual. Perlakuan berlebihan yang diterima Kurt menandakan

bahwa bullying sepertinya adalah sesuatu yang wajar dan boleh dilakukan di sekolah oleh

heteroseksual ke homoseksual, tetapi dalam konteks serial TV ini ada hal lain yang ingin

dikonstruksikan dan disampaikan lewat perlakuan tersebut. Peneliti melihat bahwa

perlakuan bullying yang diterima Kurt bukan karena semata-mata ia seorang homoseksual

tetapi karena ia juga anggota Glee club. Disini terlihat ambiguitas pada makna Glee, Glee

club dalam konteks serial TV ini merepresentasikan homoseksual karena sudah dari awal

episode telah di sebutkan bahwa Glee dicap sebagai klub homo explosion sehingga secara

tidak langsung bullying terhadap Kurt dan para anggota klub Glee tetap menunjukkan

kekerasan terhadap homoseksual di lingkungan sekolah yang memang merupakan isu yang

ingin ditekankan dalam film ini.

Kelompok homoseksual menyadari akan seksualitasnya di lingkungan masyarakat

heteroseksual dan konsekuensi yang mereka terima akibat dari orientasi seksualitas mereka

yang berbeda. Tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisiologis dan psikologis tetapi juga

diskriminasi, dan terkadang bentuk diskriminasi yang diterima bisa secara langsung

maupun tidak langsung. Contohnya, ayah Kurt merasa bahwa anaknya didiskriminasi

karena seksualitasnya sehingga lagu Defying Gravity untuk penyanyi solo tidak diberikan

kepada anaknya, melainkan kepada Rachel (Glee 1, episode 9). Setelah melalui

serangkaian perdebatan antara ayah Kurt dengan kepala sekolah, akhirnya disepakati lagu

tersebut dilombakan antara Kurt dan Rachel untuk menentukan siapa yang lebih layak

menyanyikannya. Kualitas vokal Kurt dan Rachel saat menyanyikan lagu tersebut sama-

sama baik, namun Kurt memilih untuk terdengar sumbang pada bagian akhir lagu tersebut

dengan harapan agar ia kalah setelah ia mengetahui ayahnya menerima telepon gelap yang

mengatakan anaknya adalah seorang gay.

47

Istilah Slushie adalah minuman sejenis blended drink yang digunakan oleh kelompok siswa populer untuk menyiram wajah para siswa-siswa Glee club.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 55: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

55 Universitas Indonesia

BURT: I got a call telling my son is a fag.

KURT: It‟s ok dad, I got that a lot of time.

BURT: I don‟t want you to get hurt.

KURT: They gave the part to Rachel. I blew the „F‟, I wanted to

lose.

BURT: What? After I stood up my neck for you?

KURT: Dad, I‟ve known who I was since I was five, I adapted,

being different made me stronger. By the end of the day it‟s gonna

get me out of this cow town. You will never have to deal with that.

BURT: I can handle myself, I can handle just fine.

KURT: No, you can‟t. Not with this, that phone call yesterday was

just the beginning, especially when I get up in front of thousands of

people just to sing a girl‟s song. When I saw you, the night after you

got the call, and were so hurt and so upset, it just kills me. I‟m not

saying I‟m gonna hide inside the closet, I‟m proud of who I am.

(Glee 1, episode 9)

Dari petikan baris dialog di atas, Amerika, yang bisa dikatakan negara maju dalam segala

hal, pada kenyataannya belum modern dalam hal berpikir, mengingat pro dan kotra

terhadap keberadaan homoseksual masih kental terlihat dan terasa. Perasaan tertekan,

kekerasan, dan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh kelompok homoseksual,

sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya dirasakan sebagai sebuah konsekuensi yang

harus mereka terima dalam masyarakat, dimanapun lingkungannya. Ini adalah serangkaian

bentuk konsekuensi yang harus diterima kaum homoseksual akibat wacana

homoseksualitas yang diciptakan oleh mereka yang memiliki kuasa atau kepentingan agar

homoseksualitas tidak hadir dalam tindakan dan wicara. Seperti yang dikemukakan oleh

Foucault dalam konsep seksualitasnya, yakni larangan tentang seksualitas tidak dengan

serta merta terjadi begitu saja, namun karena memang telah dibentuk sebagai sebuah aturan

yang diwacanakan.

Pada episode 10, Ballad, adegan yang ditampilkan adalah adegan Mr. Schuester

menugasi siswa-siswa klubnya untuk menyanyikan sebuah lagu bertemakan balada, yaitu

cerita yang disampaikan lewat lagu. Sebelumnya, Mr. Schuester meminta mereka untuk

menyanyikannya berpasangan, dan nama-nama setiap pasangan ditentukan melalui undian.

Tokoh Finn, yang mendapatkan nama Kurt pada undian tersebut, terpaksa berpasangan

dengan Kurt, yang justru senang dengan hasil undian tersebut. Sebaliknya, Finn merasa

ragu berpasangan dengan laki-laki dan meminta pertimbangan lain kepada Mr. Schuester

tetapi ditolak (Glee 1, episode 10). Adegan ketika Finn berpasangan dengan Kurt saat

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 56: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

56 Universitas Indonesia

berlatih menyanyikan lagu balada memperlihatkan kecanggungan yang terjadi kala seorang

heteroseksual dihadapkan pada seorang homoseksual dalam situasi yang melibatkan

perasaan emosional. Finn mencoba untuk melakukannya tetapi tetap terasa sangat berat

untuk dilakukan. Kekawatiran terhadap asumsi-asumsi negatif akibat heteronormativitas

yang begitu kuat melekat dalam sistem nilai-nilai moral di masyarakat heteroseksual tidak

memberikan ruang bagi homoseksual untuk bergerak bebas menjadi dirinya sendiri. Akibat

dari asumsi ini, dalam hubungannya secara emosional, perasaan mereka dianggap sebagai

hal yang tidak wajar karena berpasang-pasangan yang dinilai baik, sah, dan benar adalah

pasangan antara laki-laki dan perempuan, walaupun dalam kasus Kurt dan Finn, bernyanyi

berpasangan hanyalah sebuah tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa klub.

KURT: Finn, sing to me everything you feel.

FINN: ok, I...I... can‟t sing to a dude.

KURT: You have to try.

KURT: I can‟t, ok! I can‟t! (Glee 1, episode 10)

Meninjau adegan ini, peneliti melihat ada unsur kesengajaan penghasil makna

(intentional approach) dalam memasangkan Kurt dan Finn berdua di episode ini guna

menunjukkan bahwa kesulitan bagi seorang homoseksual untuk berada di tengah

lingkungan heteroseksual tidak hanya terletak pada pengungkapan jati dirinya, tetapi juga

terletak pada pengungkapan perasaannya, seperti yang pernah disinggung sebelumnya pada

adegan Kurt dan Mercedes pada episode awal. Oleh karena itu, untuk lebih menunjukkan

kesulitan tersebut, pada episode ini, pengungkapan perasaan suka Kurt terhadap Finn

ditandai hanya melalui pikirannya yang berbicara, seolah-olah yang bisa dilakukan seorang

homoseksual hanya mengungkapkan perasaannya kepada dirinya sendiri.

KURT: Ok, I‟ll admit it, I‟m madly in love with Finn, I‟ve been

since the first time we met. I don‟t know why I find stupidity

charming. (Glee 1, episode 10)

Petikan baris di atas menggambarkan ungkapan perasaan Kurt pada dirinya sendiri, namun

di saat yang sama penggalan kalimat I find stupidity charming yang ditujukan kepada

tokoh Finn48

kembali menandakan citra positif sekaligus merepresentasikan seorang

homoseksual yang pandai secara intelektual. Sifat positif dan kecerdasan intelektual juga

terlihat pada adegan ketika Finn meminta saran dari Kurt tentang cara berpakaian yang

fashionable karena ia mengetahui bahwa Kurt memiliki pengetahuan dan selera yang

48

Finn digambarkan sebagai tokoh yang secara intelektual tidak terlalu cerdas.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 57: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

57 Universitas Indonesia

tinggi tentang busana. Saran tentang cara berbusana tidak hanya diminta oleh Finn, tetapi

juga oleh pacarnya, Quinn, yang pernah melakukan hal serupa (Glee 1, episode 11).

Pada episode 11, yaitu Hairography, terkait dengan petikan baris di atas, terdapat

adegan saat tokoh Quinn dan Kurt, bekerja sama untuk mencegah agar Finn dan Rachel

tidak saling berhubungan dengan cara membuat Rachel terlihat konyol dalam berbusana.

Mereka melakukan itu karena memiliki tujuan yang sama, yaitu memisahkan Rachel dari

Finn, karena baik Quinn maupun Kurt sama-sama menyukai Finn, dan mereka tahu Rachel

pun menyukai Finn. Perbedaannya adalah Quinn dan Rachel yang perempuan tidak

memiliki batasan untuk bisa menyatakan perasaannya terhadap Finn, sementara bagi Kurt

batasan-batasan itu ada, sehingga bagaimanapun juga, ia tetap hanya bisa

menyembunyikan dan menyangkalnya, namun dengan catatan tindakannya itu harus

memberikan kepuasan bagi dirinya sendiri. Tindakan yang dilakukan Kurt yang bekerja

sama dengan Quinn untuk menjatuhkan Rachel ditangkap oleh peneliti sebagai suatu

bentuk resistensi homoseksual terhadap batasan-batasan yang diterimanya akibat dari

heteronormativitas yang menyatakan bahwa hubungan yang legal dan yang akan selalu

dikukuhkan adalah hubungan antar lawan jenis dan bukan sesama jenis. Ini terlihat pada

baris dialog berikut ketika Rachel menyadari perlakuan yang diterimanya dari Kurt adalah

jebakan karena Kurt menyukai Finn.

RACHEL: You set me up!

KURT: Well, you should be thanking me, your fantacy of running

off with Finn was nothing but a fairy tale.

RACHEL:You like him.. yeah, that‟s, that‟s what this is, and you

were just trying to eliminate the competition.

KURT: I was just helping him understand that you are not a viable

second choice.

RACHEL: You think I‟m a second choice?

KURT: A distant second.

RACHEL: You think I‟m living in a fairytale? If I were second or if

I were the fiftieth, I will still be ahead of you because I‟m a girl!

(Glee 1, episode 11)

Pada satu sisi, nilai-nilai heteroseksual yang menyatakan bahwa pasangan yang sah adalah

antara laki-laki dan perempuan juga terlihat pada baris terakhir yang diucapkan Rachel di

atas, sehingga homoseksual tampak seperti orang yang tidak memiliki harapan untuk bisa

memperoleh pasangan. Meskipun demikian, di sisi lain, yang terjadi anatara tokoh Kurt

dan Rachel pada adegan dan dialog di atas, tidak seluruhnya memperlihatkan hubungan

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 58: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

58 Universitas Indonesia

antara heteroseksual sebagai penindas dan homoseksual sebagai yang tertindas, karena

justru Rachel yang „dijebak‟ oleh Kurt. Kurt disajikan sebagai tokoh yang mengunggulkan

homoseksualitas dan tidak menerima begitu saja segala bentuk penindasan, sehingga

menurut Foucault, dalam relasi kuasa, tidak selalu terjadi hubungan mendominasi dan

didominasi, dalam hal ini antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.

Berada di tengah lingkungan heteroseksual merupakan sebuah tantangan besar bagi

kelompok homoseksual untuk bisa mengekspresikan dirinya, khususnya bagi remaja

homoseksual yang berada di lingkungan sekolah. Meskipun memiliki orientasi seksual

yang berbeda, mereka tetap seperti remaja pada umumnya yang memiliki jiwa yang labil,

dan masih dalam tahap pencarian jati diri. Salah satu proses pencarian jati diri yang

dilakukan oleh remaja biasanya terletak pada keinginan mereka untuk diakui oleh khalayak

luas di lingkungan mereka sendiri. Supaya dapat memperoleh status atau pengakuan

tersebut, cara yang ditempuh adalah melalui organisasi atau bergabung dengan klub-klub

sekolah, seperti tokoh Kurt yang bergabung dengan klub Glee.

Keterkaitan antara homoseksualitas dan minoritas kembali diperlihatkan pada

episode 12, Matress, yakni ketika sekolah McKinlley High tampak ingin memberikan

kesan bahwa sekolah mewadahi eksistensi kelompok siswa minoritas sebagai bentuk

toleransi terhadap keberagaman dengan menunjukkan tanda-tanda seperti tokoh Rachel

yang mengikuti setiap klub yang ada di sekolah tersebut, mulai dari Moslem Student Union

sampai dengan Black Student Union. Bahkan, Rachel mempunyai keinginan untuk

mendirikan klub untuk homoseksual yang disebut dengan Gay-Lesb-All, yang merupakan

singkatan dari The Gay Lesbian Alliance, meskipun pada adegan ini gagasan Rachel

dianggap konyol oleh Kurt, yang ditandai dengan tidak tertariknya Kurt untuk

mendengarkan penjelasan Rachel lebih jauh. Peneliti melihat ketidaktertarikan Kurt

terhadap ide tersebut memiliki makna bahwa homoseksualitas tidak perlu dibesar-besarkan

di lingkungan sekolah dengan membentuk klub karena hanya akan semakin menampakkan

homoseksual sebagai the other. Ketidaktertarikan Kurt juga menunjukkan sebuah sikap

yang tidak mau didominasi, apapun kepentingannya. Klub Glee yang ada di sekolah

McKinlley High merepresentasikan wadah perbedaan tersebut yang ditunjukkan pula oleh

kegigihan tokoh Mr. Schuester dalam memperjuangkan klub asuhannya agar keberadaan

klub dan siswa-siswanya diakui, baik di lingkungan sekolahnya sendiri maupun di luar

lingkungan sekolah. Secara implisit, kegigihan tokoh Mr. Schuester menunjukkan suatu

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 59: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

59 Universitas Indonesia

tindakan yang mampu menyikapi keberadaan kelompok siswa yang tergolong minoritas

secara terbuka tanpa membeda-bedakan. Gambaran sekolah McKinlley High dan klub

Glee adalah representasi sekolah yang menerapkan kebijakan toleransi terhadap perbedaan,

termasuk perbedaan orientasi seksual.

Dalam konteks sekolah di Amerika sendiri, kebijakan agar menghargai perbedaan,

terutama terhadap homoseksual di lingkungan sekolah, masih menjadi persoalan yang

diperdebatkan. Terjadi pro dan kontra antara pihak sekolah dan orangtua mengenai

perlunya penerapan kebijakan tersebut karena persoalan yang justru disorot dan dianggap

memprihatinkan adalah persoalan seksualitas seorang homoseksual, dan bukan kekerasan

yang kerap dialami oleh homoseksual tersebut. Kebijakan ini sedang diperjuangkan oleh

para aktivis homoseksual agar regulasi tentang kekerasan terhadap homoseksual di sekolah

dapat direalisasikan, sehingga hal ini dinilai penting untuk diimplementasikan di

lingkungan sekolah mengingat kekerasan berbasis orientasi seksual sangat mungkin terjadi

di kalangan siswa.49

Melalui representasi klub Glee yang mewadahi perbedaan, tampaknya

film ini sangat ingin menekankan toleransi terhadap perbedaan tersebut yang bisa dilihat

dari ucapan tokoh Quinn, “Sometimes people just need to learn more about diversity. I

learn that in Glee club”.(Glee 1, episode 12). Dari ucapan tokoh Quinn tersebut, tersirat

makna bahwa tampaknya dalam konteks Amerika sendiri, mengakui dan menghargai

perbedaan dapat dikatakan masih belum bisa diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan

masyarakatnya sehari-hari karena perlakuan diskriminatif masih begitu kental terasa,

terutama bagi kelompok homoseksual. Sebagai contoh dapat dilihat dari bentuk

diskriminasi yang mereka terima pada hal-hal tertentu, antara lain, homoseksual tidak

diperbolehkan bekerja pada bidang pendidikan, terutama yang berhubungan dengan anak-

anak, homoseksual tidak diperbolehkan bergabung dengan satuan militer, pasangan

homoseksual tidak diperbolehkan mengadopsi anak, dan homoseksual tidak diperkenankan

membentuk organisasi masyarakat. Amerika, sebagai negara multikultural, menyerukan

toleransi terhadap keberagaman, namun tidak memiliki sikap yang jelas tentang kaum

homoseksual, sehingga peneliti melihat bahwa perbedaan orientasi seksual yang hingga

saat ini masih menjadi perdebatan belum sepenuhnya ditolerir dengan baik. Kata

„diversity‟ sepatutnya dimaknai lebih dari sekadar toleransi terhadap suku, agama, ras, dan

antar golongan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan orientasi seksual telah

49

Lihat Bab 2 pada bagian Serial TV Glee dan konteks homoseksual di lingkungan sekolah di Amerika.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 60: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

60 Universitas Indonesia

menjadi bagian dari aspek-aspek tersebut yang juga membutuhkan sikap toleransi. Oleh

karena itu, sikap multikultural hendaknya diterapkan sejak anak mengenyam pendidikan di

bangku sekolah agar segala macam bentuk perbedaan dapat disikapi dengan baik. Dalam

konsep wacana Foucault, keterangan ini menunjukkan bahwa wacana homoseksualitas di

Amerika telah diciptakan oleh negara sebagai kuasa dan juga sekaligus

mengkomunikasikannya kepada masyarakat.

Pada episode 13, Sectionals, cerita ditekankan pada keseriusan para siswa klub

Glee dalam berlatih untuk memenangkan kejuaraan paduan suara antar sekolah yang juga

menggambarkan bahwa status yang jelas dibutuhkan untuk bisa diakui sebagai „somebody‟

karena selama ini mereka merasa sebagai „nobody‟. Lalu pada episode 14, yaitu Hell-o,

diceritakan bahwa siswa Glee memenangkan kejuaraan sectionals, tetapi walaupun telah

memenangkannya, mereka merasa sebagai pecundang karena harus menghadapi kenyataan

bahwa kemenangan tersebut tidak cukup untuk menaikkan status mereka mejadi populer

dan diakui. Gambaran ini boleh jadi merepresentasikan bahwa kelompok yang

termarginalkan akan tetap dilihat sebagai liyan jika berada di lingkungan yang mayoritas,

baik itu mayoritas dari segi ras, etnisitas, maupun seksualitas. Apapun bentuk pencapaian

yang dicapai, kelompok minoritas atau yang liyan tetap dipandang karena perbedaannya

dan bukan karena kualitasnya sebagai individu. Tanda-tanda homoseksualitas kembali

ditampakkan pada episode 14 ini melalui adegan tokoh Santana dan Britney yang

bergandengan tangan dan mengatakan akan mempertontonkan hubungan intim mereka

pada saat Finn mentraktir mereka makan malam. Hal ini ditangkap sebagai ungkapan

bahwa jumlah siswa homoseksual di lingkungan sekolah perlu mendapat perhatian (Glee 1,

episode 14). Selain itu, kata gay dilontarkan pula oleh pelatih rival McKinlley High, Ms.

Cocron yang mengira Mr. Schuester adalah gay karena dianggap tidak begitu tertarik

ketika diajak berhubungan intim. Padahal ketidaktertarikannya adalah karena ia baru saja

bercerai dari istrinya, Terry (Glee 1, episode 14).

Episode 15, yaitu The Power of Madonna, menekankan soal pentingnya melihat

persamaan yang dimiliki oleh manusia alih-alih mempermasalahkan perbedaan. Madonna

sendiri dimaknai sebagai ikon yang menggambarkan kekuatan lewat lagu-lagunya yang

menjunjung tinggi persamaan hak untuk hidup yang seharusnya bisa dirasakan oleh setiap

individu apapun statusnya, termasuk seksualitasnya, Mr. Schuester mengungkapkan hal ini

kepada siswa-siswa Glee asuhannya (Glee 1, episode 15). Madonna yang dijadikan tokoh

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 61: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

61 Universitas Indonesia

panutan juga dimaknai sebagai representasi dari isu perempuan yang tidak kalah penting

untuk diperhatikan selain homoseksualitas dan minoritas. Merujuk pada keterangan ini,

peneliti melihat adanya hubungan antara isu perempuan, ras dan homoseksualitas yang

diperlihatkan pada episode ini, yaitu saat tokoh Kurt dan Mercedes menawarkan bantuan

untuk menata rambut tokoh Ms. Sue Sylvester agar terlihat seperti Madonna setelah dihina

oleh Mr. Schuester.50

Masing-masing tokoh mewakili satu isu yang bisa dikatakan bahwa

perbedaan dapat membawa suatu perubahan yang baik selama toleransi dan sikap saling

menghargai dijunjung tinggi.

KURT: I think I can help, Mercedes is black, I‟m gay, we can make

a culture. We have to start respecting each other as individuals,

really see each other. (Glee 1, episode 15)

Adegan bantuan tokoh Kurt dan Mercedes sebagai bagian dari kelompok minoritas yang

berbeda generasi dengan tokoh Sue Sylvester menunjukkan suatu bentuk peradaban yang

berhubungan dengan pentingnya menyadari keberadaan yang liyan, sehingga melalui

intentional approach, homoseksualitas dan isu-isu lainnya dibuat bersinggungan dalam

film seri ini. Foucault menyatakan bahwa hubungan antara kekuasaan dan ketertindasan

manusia merupakan hubungan yang memproduksi berbagai pengetahuan sebagai suatu

proses menuju perkembangan peradaban manusia dari waktu ke waktu. Peradaban yang

dimaksud adalah kesadaran manusia akan hal-hal yang „diasingkan‟, baik itu berupa benda,

suku, budaya, agama, dan orang.

Selanjutnya pada episode 16, Home, kembali diperlihatkan adegan tokoh Santana

dan Brittany yang bergandengan tangan. Tanda ini nantinya akan mengarah pada

terungkapnya seksualitas Santana, yang ternyata menyukai sesama jenis (lesbian) dalam

Glee season tiga. Homoseksualitas juga diangkat lagi pada episode ini melalui adegan Kurt

yang kecewa karena ayahnya lebih suka berbincang-bincang dengan Finn daripada dengan

dirinya sejak ayahnya bertemu dan jatuh cinta kepada ibu Finn. Kurt merasa bahwa ia tidak

dilihat sebagai seorang remaja laki-laki pada umumnya yang juga menginginkan jalinan

komunikasi yang baik dengan ayahnya, meskipun ia seorang gay (Glee 1, episode 16).

Peneliti melihat bahwa seorang laki-laki homoseksual yang memiliki sifat-sifat feminin

50

Sue Sylvester digambarkan sebagai tokoh yang keras dan suka melontarkan sindiran-sindiran yang sifatnya cenderung menghina kepada siapapun, khususnya kepada Mr. Schuester. Ia paling senang menghina rambut Mr. Shuester, tetapi ketika rambutnya dihina balik oleh Mr. Schuester, ia terdiam. Situasi inilah yang dilihat oleh Kurt dan Mercedes sehingga mereka memutuskan untuk membantu menata rambutnya.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 62: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

62 Universitas Indonesia

seperti tokoh Kurt, ternyata tidak dapat mewakili „laki-laki‟ sehingga obrolan seputar

„dunia laki‟laki‟ dianggap mustahil untuk diperbincangkan dengannya. Dengan demikian,

terlihat sangat sulit sekali bagi seorang remaja homoseksual seperti Kurt, yang dibesarkan

oleh orangtua heteroseksual yang bertolak belakang dengan karakter anaknya, dalam

menjalin komunikasi yang bersifat „laki-laki‟. Selain itu, ditunjang pula oleh norma-norma

heteroseksual yang sudah demikian mengakar dalam masyarakat, sehingga terasa sulit

untuk diubah meskipun komunikasi yang terjalin adalah hubungan antara orang tua dan

anak. Namun jika berhadapan dengan seorang anak yang homoseksual, tetap saja ia dilihat

berdasarkan orientasi seksualnya yang mencirikan bahwa mereka tetap liyan, sekalipun di

mata seorang heteroseksual yang mentolerir keberadaannya. Penjelasan lainnya mengenai

hal ini berhubungan dengan konsep gender Connell, adegan ayah Kurt yang kesulitan

mengobrol dengan Kurt karena karakternya yang feminin menunjukkan bahwa

maskulinitas selama ini telah disematkan sebagai karakter laki-laki yang dikodratkan oleh

Tuhan. Dalam arti bahwa laki-laki dengan karakter feminin bertentangan dengan kodrat

Tuhan, sehingga tidak mungkin mengajak laki-laki dengan karakter seperti ini untuk

terlibat dalam perbincangan laki-laki. Persepsi inilah yang ingin diubah oleh Connell

melalui teorinya yang menyatakan bahwa maskulinitas bukanlah karakter tunggal, namun

selama ini karakter yang demikian telah menghegemoni di tengah masyarakat sebagai

karakter yang hanya dimiliki oleh laki-laki, padahal memungkinkan bagi laki-laki untuk

memiliki karakter baik maskulin maupun feminin, begitu pula perempuan. Maskulinitas

dan feminitas bukanlah jenis kelamin sehingga karakter-karakter ini dapat dipertukarkan.

Oleh sebab itu, maskulinitas bukan termasuk atribut personal, melainkan lebih pada aspek

sosial.

Dalam episode 17, yaitu Bad Reputation, cerita ditekankan pada siswa Glee yang

sangat menginginkan popularitas di lingkungan sekolahnya melalui pencitraan. Pencitraan

ini dilakukan oleh mereka dengan menciptakan reputasi buruk, dengan harapan agar

mereka terkenal dan memperoleh pengakuan di lingkungan sekolah karena memenangkan

kejuaraan menyanyi sectionals tampaknya tidak sedikitpun mendongkrak popularitas

mereka dan sebutan pecundang masih melekat pada diri mereka. Disini, peneliti

menangkap bahwa pemaknaan terhadap seseorang atau kelompok memberikan pengaruh

yang sangat kuat terhadap sebuah reputasi sehingga sangat sulit untuk mengubah label

tersebut. Keadaan seperti ini, menurut Benny H. Hoed, merupakan realitas sosial yang

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 63: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

63 Universitas Indonesia

terjadi dalam kehidupan sosial kita sehari-hari dari zaman ke zaman yang dilakukan tanpa

sadar dalam memberikan makna tertentu pada hal, lembaga, gagasan atau orang. Istilah

lainnya disebut dengan label sosial, yakni semacam “cap sosial” yang diberikan suatu

lembaga atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya yang sifatnya tidak

terbatas, sehingga kata bisa juga bertindak sebagai medianya (Hoed, Benny H. 2011, hal.

175-176).

Lalu, pada episode 18, Laryngitis, adegan diawali dengan tokoh Puck, yang

mendapat perlakuan yang sama ketika ia melakukan bullying terhadap Kurt, yakni dibuang

ke tempat sampah karena ia mulai kehilangan reputasinya sebagai siswa populer sejak

bergabung dengan klub Glee. Di satu sisi ia kehilangan reputasi, tetapi di sisi lain, ia mulai

melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya ia mencoba untuk

lebih menghargai perbedaan, mengingat ia sendiri adalah orang Yahudi yang dikatagorikan

sebagai bagian dari kelompok minoritas di sekolah tersebut. Lain halnya dengan tokoh

Puck, yang ingin mengubah cara pandangnya, Kurt dalam episode ini malah melakukan hal

sebaliknya, yakni mencoba menyangkal seksualitasnya kembali dengan berusaha menjadi

seorang heteroseksual dengan tujuan menyenangkan ayahnya. “My dad is the most

important thing to me, and I feel I might be loosing him because of my sexuality.”(Glee 1,

episode 18). Penyangkalan ini dilakukan karena ia belum dapat menerima kenyataan

bahwa ayahnya senang dengan keberadaan Finn. Kurt mengubah total penampilannya, dari

flamboyan menjadi sangat „laki-laki‟, dalam arti bahwa ia ingin mengubah dirinya dan

citranya menjadi laki-laki heteroseksual seperti yang dikonstruksikan atau dihegemonikan

selama ini di masyarakat, yaitu jantan, baik dari segi penampilan maupun perilaku. Ia

berpakaian persis seperti ayahnya yang sangat bertolak belakang dengan dirinya yang

fashionable, yakni mengenakan kemeja, celana jeans, topi, dan bersepatu bot. Tidak hanya

itu saja, Kurt pun mencoba menjalin hubungan dengan Brittany,51

dengan harapan agar ia

dipandang sama dengan Finn dan diterima oleh ayanhnya. Lagu yang dibawakannya di

klub Glee pun merepresentasikan penyangkalannya, yakni dengan menyanyikan lagu

Mellencamp dengan suara yang dipaksakan terdengar laki-laki. Tanda-tanda ini terlihat

51

Ketika memaksakan menjalin hubungan dengan Britney, Kurt membawanya ke rumah dan memasang tanda di pintu kamarnya yang berbunyi, “Do not disturb under any circumstances, I’m making out with a girl.” Ia juga menggandeng tangan Brittany dan memperlihatkan perilakunya yang demikian secara terbuka di sekolahnya sambil berteriak, “Hey guys, just holding Britney’s hands!” (Glee 1, episode 18)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 64: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

64 Universitas Indonesia

jelas mencirikan laki-laki yang „sah‟ dan „benar‟, disini pula terlihat konsep diri tokoh Kurt

dalam memandang dirinya mulai goyah.

BURT: Kurt, I‟ve been dealing in sort of a month with you being

gay and everything, and now you‟re telling me that‟s not the case?

You know this thing with you is going to be hard.

KURT: This thing with me? You mean being gay?

BURT: Yeah, being gay. Look, I will fight to death for your right to

love whoever you want, but when you were a little baby in my arms,

did I dream about taking you to baseball games and talking about

girls? Yeah, I did. A lot of fathers do.

KURT: I had no idea how disappointing I was. Just seeing you with

Finn, how easy it is, it breaks my heart.

BURT: Is that why you were pretending to date that daffy

cheerleader and dressing differently, and singing Mellencamp?

(Glee 1, episode 18)

Kondisi yang demikian menjelaskan bahwa konsep diri seorang homoseksual dalam

memandang dirinya pada kenyataannya tidak cukup menjadi jaminan untuk bisa

menentang nilai-nilai heteroseksual yang begitu dominan di masyarakat. Persoalan

seksualitas homoseksual bagaikan sebuah kondisi „tarik-ulur‟ di tengah normativitas

heteroseksual yang memungkinkan kembali terjadinya penyangkalan terhadap

seksualitasnya sendiri. Selain itu, menurut Connell, kondisi ini juga disebabkan lagi oleh

pandangan dikotomis bahwa laki-laki adalah maskulin dan perempuan adalah feminin,

padahal Connell mengatakan maskulinitas bukan berarti laki-laki, begitu juga sebaliknya.

Maskulinitas harus dilihat berdasarkan relasinya dengan gender dan bukan relasinya

dengan jenis kelamin. Apa yang terjadi pada tokoh Kurt yang tiba-tiba mengubah

penampilannya berhubungan dengan maskulinitas yang dihubungkan dengan jenis kelamin

sebagai bentuk dari masculinity hegemony, sehingga ia menganggap laki-laki yang „benar‟

adalah dengan menjadi „laki-laki maskulin‟.

Pada episode 19, Dream on, siswa klub Glee digambarkan tertekan dan pesimis

akan masa depan mereka karena keberadaan mereka di klub tersebut dianggap telah

menjelaskan sepenuhnya tentang masa depan seperti apa yang akan mereka hadapi. Begitu

menjadi anggota klub Glee, mereka sudah dijuluki dengan berbagai macam pelabelan

sehingga hal ini dinilai sebagai citra yang sulit untuk diubah.

Mr. SCHUESTER: Remember high school? You got labels once

you enter your freshmen year, geek, punk, queer. I‟ve seen what

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 65: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

65 Universitas Indonesia

these kids want in Glee club, no labels, no preconsumption, and their

true spirits.(Glee, episode 19)

Merujuk pada keterangan dan kutipan di atas, situasi ini ditangkap sebagai cermin dari

lingkungan sekolah yang ada dalam konteks Amerika. Begitu memasuki tahun ajaran

pertama sebagai siswa SMA, pelabelan sudah harus diterima oleh mereka yang tergolong

„berbeda‟ atau dipandang sebagai „the other‟. Akibatnya, bullying atau tindak kekerasan

terhadap siswa-siswa baru tersebut, baik fisiologis maupun psikologis, kerap harus mereka

hadapi dan terima. Terkait dengan pelabelan tersebut, Benny H. Hoed, mengutarakan pula

bahwa pemberian label sosial berpotensi menghasilkan pemahaman yang belum tentu

benar, sehingga sifatnya dianggap tidak mendidik (Hoed, Benny H. 2011, hal. 176-177).

Menyambung penjelasan sebelumnya, label sosial berdampak pada timbulnya

kekerasan yang tampak direpresentasikan pada episode berikutnya, yaitu episode 20,

Theatricality. Kurt dan teman satu klubnya,Tina, menerima perlakuan kasar dari dua orang

siswa klub foot ball, yaitu Azimio dan Karofsky, yang mendorong mereka hanya karena

mereka berdua sedang berjalan di koridor sekolah sambil mengenakan kostum yang aneh

sebagai tanda ekspresi diri mereka terhadap ikon fenomenal Lady Gaga (Glee 1, episode

20).52

Kekerasan ini timbul sebagai keterkaitan seksualitas Kurt dengan konsep pemikiran

Lady Gaga yang pro LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Questioning).

Kekerasan yang diterima Kurt pada adegan ini dimaknai sebagai suatu protes keras

kelompok heteroseksual tertentu terhadap pemikiran kontroversial Lady Gaga yang gencar

52

Mereka berpakaian ‘aneh’ sebagai bentuk ekspresi mereka terhadap ikon Lady Gaga dan sekaligus merupakan tugas klub yang diberikan oleh Mr. Shuester untuk mengadaptasi gaya theatrical ala Gaga. Saya pun memperoleh informasi yang menjelaskan hubungan antara ikon Lady Gaga dan bullying dalam tulisan Dr. Nova Riyanti Yusuf, SPKJ, yang menerangkan bahwa harus dibedakan terlebih dahulu antara nyentrik dan bejat jika berbicara soal Lady Gaga, karena ‘keanehan’ Lady Gaga berawal dari latar belakang hidupnya yang boleh dikatakan tidak mudah. Lady Gaga semasa kecil dianugerahi bakat yang luar biasa dalam hal memainkan musik dan mencipta lagu sejak usia 4 tahun dan berhasil masuk Tisch School of Arts pada usia 17 tahun, sehingga ia dicap sebagai evangelist karena upayanya mengubah dunia sedikit demi sedikit dengan mendirikan yayasan Born This Way. Namun dibalik kesuksesannya, ia pernah melalui proses hidup sebagai remaja korban bullying yang terus menerus dihina oleh teman-teman sekolahnya sampai pernah merasakan diceburkan ke tong sampah oleh teman-teman sekolah Katoliknya. Latar belakangnya yang demikian, membuat Lady Gaga memahami perasaan menjadi ‘orang aneh’ atau tidak diterima oleh kelompok tertentu, dan menurut pengakuannya, Bullying membekas seumur hidup, sehingga ia merangkul siapa saja yang merasakan kesulitan mengakui jati dirinya, termasuk LGBTQ. Dampak yang mengerikan dari bullying adalah dapat menjurus pada tindakan bunuh diri yang bukan hanya sebuah episode dalam serial TV Glee tetapi juga merupakan sebuah realitas nanar di Indonesia berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2010, yakni 2.399 kasus kekerasan fisik, psikologis dan seksual. Dalam tulisannya, Dr. Nova Riyanti Yusuf juga menghimbau agar terminologi lesbian, gay, bisexual, transgender dan questioning lebih diperhatikan agar mereka tetap menjadi bagian dari hak universal yang tidak lagi membedakan. (2012, hal. 8)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 66: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

66 Universitas Indonesia

menyerukan persamaan hak asasi bagi kaum homoseksual yang selama ini selalu berada

pada posisi tertindas. Tidak semua heteroseksual mampu bersikap permisif dalam

menyikapi perbedaan orientasi seksual karena dianggap telah menyalahi aturan dan kodrat

yang telah digariskan oleh Tuhan, maka dari itu terdapat dua kubu yang mewakili sikap

mereka terhadap perbedaan tersebut, yakni Conservative dan Liberal. Tokoh Azimio yang

gemar melakukan kekerasan terhadap Kurt dapat dikatagorikan sebagai bagian dari kaum

heteroseksual yang berasal dari kubu Conservative, karena sepanjang cerita dari season

yang pertama sampai dengan season yang ke tiga, boleh dikatakan bahwa karakter yang

dimilikinya digambarkan secara konsisten sebagai seorang homophobic, yaitu pembenci

homoseksual.

Setelah kekerasan pertama, Kurt menerima kekerasan berikutnya dari siswa yang

sama dan karena alasan yang sama pula sehingga menyebabkan kostumnya rusak. Kurt

meminta Finn untuk memberitahukan rekan-rekan tim foot ball nya agar menghentikan

kekerasan tersebut, tetapi sebelumnya di toilet sekolah, ketika Finn sedang berias diri

untuk tampil theatrical, ia menerima semacam peringatan dari Azimio dan Karofsky

tentang pilihannya berada di klub Glee dan tinggal bersama Kurt dan ayahnya (Glee 1,

episode 20). Sejak awal, klub Glee telah diidentikkan sebagai klub yang terdiri atas

sekelompok homoseksual, sehingga bagi seorang heteroseksual yang memutuskan untuk

bergabung dengan klub tersebut, secara otomatis diberi label sosial sebagai biseksual oleh

lingkungan McKinley High. Apapun bentuk kegiatan yang dilakukan oleh klub Glee,

dinilai menjurus ke hal-hal yang bersifat feminin, sehingga feminin disini disamakan

dengan gay, padahal kenyataannya, gay tidak selalu berarti feminin. Tokoh Finn adalah

seorang heteroseksual, namun ia berias diri karena tuntutan tugas klubnya, sehingga

karakternya tidak bisa disebut feminin hanya karena ia memakai make up. Namun, yang

perlu dilihat disini adalah, kegiatan „berdandan‟ yang dilakukannya telah dianggap sebagai

kegiatan yang hanya dilakukan oleh perempuan. Oleh sebab itulah, ia mendapat perlakuan

yang tidak baik dari tokoh Azimio dan Karofsky karena para bullyers ini hanya melihatnya

secara dikotomis, bahwa berdandan bukanlah kegiatan laki-laki. Jadi, menurut Connell,

maskulinitas dan feminitas yang dilihat secara dikotomis dapat memicu terjadinya

kekerasan pada laki-laki, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Bagaimanapun,

walaupun seorang gay, ia tetap harus dilihat sebagai seseorang yang berjenis kelamin laki-

laki yang belum tentu berkarakter feminin.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 67: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

67 Universitas Indonesia

Setelah kejadian yang dialami oleh Finn di toilet sekolah, di rumah, Kurt

memintanya untuk menasehati Azimio dan Karofsky supaya menghentikan kekerasan

terhadap dirinya. Sebaliknya, Finn malah menilai tindakan Kurt berlebihan dan berharap

agar Kurt berbaur dengan mengatakan, “Why can‟t you just work harder at blending in?”

(Glee 1,episode 20). Ucapan Finn mencerminkan bagaimana heteroseksual menyikapi

homoseksualitas. Meskipun sudah jelas bahwa pokok persoalannya adalah kekerasan yang

diterima oleh homoseksual akibat dari kebencian yang irasional terhadap keberadaan

mereka, tetap yang dinilai salah adalah seksualitasnya sehingga diasumsikan bahwa sudah

seharusnya kelompok homoseksual patuh dan tunduk pada aturan heteroseksual. Pola pikir

Finn juga mencerminkan sikap yang kurang terbuka pada keberadaan homoseksual, yang

barangkali bisa dikatakan karena pengaruh dari lingkungan tempat mereka tinggal, yaitu

Ohio. Jika meninjau petikan dialog yang diucapkan oleh tokoh Finn, dapat disimpulkan

bahwa Ohio merupakan salah satu negara bagian di Amerika yang belum sepenuhnya

mentolerir keberadaan kelompok homoseksual, seperti halnya New York yang belum lama

ini telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Dalam episode ini diperlihatkan pula adegan

tokoh Burt, ayah Kurt, yang berargumentasi tentang pola pikir Finn yang dinilainya tidak

memahami bagaimana menyikapi homoseksualitas. Argumentasi ini terjadi ketika Kurt

mendekorasi kamar yang akan ditempati mereka berdua menurut seleranya sebagai hadiah

kejutan untuk Finn, tetapi Finn malah sangat keberatan dengan itikad baik Kurt karena,

menurutnya, dekorasi kamar tersebut sama sekali tidak nyaman untuk dirinya yang

heteroseksual (Glee 1, episode 20).

BURT: I know what you meant! What? You think I didn‟t use that

word when I was yout age? You know some kid gets locked in

practice, we‟d tell him to stop being such a fag, shake it off, we

meant it exactly the way you meant it! That being gay is wrong, that

it is some punishable offense. (Glee 1, episode 20)

Perkataan Burt yang menyiratkan bahwa pemberian label sosial terhadap kelompok

tertentu, selalu dilakukan dengan penuh kesadaran karena label diberikan dengan tujuan

untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain, sehingga hal seperti inilah

yang dianggap memicu munculnya istilah liyan terhadap satu kelompok tertentu. Penilaian

Burt mengenai cara pandang Finn terhadap homoseksual juga mencerminkan bahwa

homoseksualitas akan selalu menjadi sebuah pertarungan makna karena homoseksual

dimaknai berdasarkan suatu perspektif yang terbentuk berdasarkan pengalaman, dan

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 68: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

68 Universitas Indonesia

akibatnya ada yang pro dan kontra terhadap isu tersebut. Benny H. Hoed mengatakan

bahwa sifat penafsiran pada sebuah teks atau tanda adalah mengikuti waktu dan

pengalaman atau pengetahuan penafsirnya (Hoed, Benny H. 2011, hal 153). Perdebatan

antara Finn dan Burt juga terjadi karena wacana atau „kebenaran‟ tentang homoseksualitas

dipahami secara berbeda. Foucault mengatakan bahwa wacana dihasilkan dari berbagai

periode historis, sehingga „kebenaran‟ nya tidak pernah tunggal. Seperti halnya yang

terjadi pada tokoh Finn ketika pengalaman yang dialaminya dengan Burt telah mengubah

cara ia memaknai homoseksual. Ia pun berbalik membela Kurt ketika ia hendak dibully

lagi oleh Azimio dan Karofsky dengan mengatakan, “You‟re not hitting anyone.” kepada

Azimio dan Karofsky (Glee 1, episode 20). Adegan ini juga memperlihatkan kembali citra

positif homoseksual yang ditandai dengan ungkapan terima kasih Finn kepada Kurt yang

secara tidak langsung mengajarinya untuk lebih bijaksana dalam menilai seseorang tanpa

harus melihat seksualitasnya. Begitu pula tokoh-tokoh klub Glee yang lain, yang mulai

melihat segala sesuatu terkait homoseksualitas dari sudut pandang yang lebih terbuka, atau

barangkali bisa dibilang bersifat „membela‟ kelompok homoseksual. Adegan ini juga

memperlihatkan bahwa sikap heteroseksual yang tidak melihat perbedaan dapat

mengembalikan konsep diri yang positif terhadap homoseksual agar dapat menerima

keberadaan dirinya kembali.

Selanjutnya, pada episode 21, Funk, cerita lebih ditekankan pada persaingan antara

Carmel High dan McKinlley High dalam hal mempertunjukkan kepiawaian mereka

menyanyi sambil menari untuk memperebutkan kejuaraan di tingkat regional yang akan

disajikan pada episode terakhir. Carmel High dan McKinlley High merepresentasikan dua

kelompok, yaitu the winners dan the loosers, karena memang yang selalu digambarkan

memenangkan perlombaan adalah kelompok paduan suara Vocal Adrenalin dari Carmel

High, sementara untuk mencapai pencapaian itu bagi kelompok paduan suara New

Directions53

dari McKinlley High membutuhkan proses yang tidak mudah.

Di episode terakhir dari season pertama ini, yaitu episode 22 , Journey to regionals

menekankan pada kegiatan lomba paduan suara yang diikuti oleh tiga sekolah, dan dua di

antaranya adalah Carmel High dan McKinlley High. Singkatnya, McKinlley High

menempati posisi terakhir. Mereka belum berhasil memenangkan kejuaraan tersebut, yang

semakin menampakkan bahwa serial TV ini ingin memperlihatkan segala sesuatunya tidak

53

Nama kelompok paduan suara para anggota klub Glee.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 69: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

69 Universitas Indonesia

pernah mudah bagi siswa-siswa klub Glee, dan perjuangan mereka untuk diakui tidak

berhenti pada tahap ini, sehingga serial TV Glee tetap berlanjut pada season dua dan tiga.

Hal ini pula ditangkap sebagai isi produksi media yang produktif dalam membangun

wacana homoseksualitas melaui representasi homoseksual dalam serial TV remaja

tersebut.

4.3. Wacana Homoseksualitas dalam Serial TV Glee Season ke-dua

Pada Glee season ke - dua, jumlah episode yang ditayangkan sama dengan season pertama,

yaitu berjumlah dua puluh dua episode. Adapun judul-judul tersebuat antara lain Audition,

Britney Brittany, Grilled Cheesus, Duets, The Rocky Horor Glee show, Never been

kissed,The Substitute, Furt, Special Education, A Very Glee Christmas,The Sue Sylvester

Shuffle, Silly Love Songs, Come Back, Blame it on the Alcohol, Sexy, Original Song, Night

of Neglect, Born This Way, Rumours, Prom Queen, Funeral, dan New York. Seperti season

sebelumnya, judul-judul tersebut di atas secara keseluruhan tampak tidak

merepresentasikan homoseksualitas, namun dapat dikatakan beberapa di antara judul –

judul itu mulai menampakkan seksualitas sebagai isu dari serial TV ini, yakni Never been

Kissed, Sexy, dan Born This Way. Dua judul yang pertama terlihat dari kata kissed dan

sexy, yang mengarah pada kegiatan dan sifat yang melibatkan seksualitas, sedangkan yang

terakhir terkait dengan pemahaman terhadap ikon fenomenal Lady Gaga, yang menjunjung

tinggi perbedaan dan pro-homoseksual. Tanda-tanda dari judul-judul ini menandakan

bahwa homoseksualitas dalam serial TV ini semakin diangkat dan diperlihatkan disamping

tanda-tanda visual yang juga semakin banyak terlihat, dan oleh karena itu, guna

menangkap isu tersebut secara menyeluruh, tidak bisa dilihat hanya dari judul episodenya

saja, namun dilihat juga melalui setiap episode yang disajikan dalam season yang ke dua

ini.

Pada episode 1, yaitu Audition, adegan diawali dengan seorang reporter sekolah

yang bernama Jacob Ben Israel, yang membawa poster besar dengan tulisan “Glee‟s Big

Gay Summer” ketika mewawancara Mr. Schuester dan para siswa klub Glee. Season ke

dua ini secara tidak langsung merepresentasikan tahun ke dua para siswa klub Glee di

McKinley High setelah season yang pertama. Dilihat dari tulisan poster tersebut, klub Glee

masih diidentikkan dengan klub gay dan masih dilihat sebagai klub untuk para pecundang.

Tidak hanya itu saja, reporter tersebut juga menyebutkan lagu-lagu yang dibawakan klub

Glee sebagai lagu-lagu “100% gay”, dan hanya seorang drag queen (banci) yang mau

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 70: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

70 Universitas Indonesia

mendengarkan lagu-lagu mereka. Ketika mewawancarai Kurt pun, temanya masih seputar

seksualitas. Klub Glee yang sering dihubungkan dengan seksualitas merupakan suatu

kekecewaan yang besar bagi para anggota klub, khususnya bagi Kurt, karena seksualitas,

bagaimanapun juga, secara tidak langsung mengarah pada citra dirinya, dan ini bukanlah

citra yang positif. Kurtpun melampiaskan kekecewaannya pada Jacob agar berhenti

menyudutkan dirinya dan klubnya serta menyerukan kepada para pengguna media internet

agar menghentikan segala bentuk bullying di dunia maya yang ditujukan kepada dirinya

(Glee 2, episode 1). Begitu Kurt selesai mengatakan kekecewaannya, tiba-tiba Azimio

datang dan melempar slushie ke wajahnya. Situasi yang dialami Kurt menggambarkan

kondisi homoseksual yang hampir setiap saat mendapatkan kekerasan, tidak hanya di

dunia nyata tetapi juga di dunia maya berupa kekerasan psikologis. Bullying, khususnya

terhadap remaja homoseksual dalam konteks sekolah di Amerika, memang termasuk

sangat memprihatinkan karena seiring dengan perkembangan teknologi, kekerasan tersebut

telah menembus batas ruang dan waktu, dalam arti bahwa kekerasan terhadap homoseksual

semakin banyak yang bersifat psikologis. Homoseksual tidak dilihat sebagai individu yang

memiliki hak yang sama dengan heteroseksual sehingga segala tindakan yang bersifat

kekerasan seakan-akan dibenarkan. Dalam serial TV ini, slushie yang dilemparkan ke

wajah Kurt dan kekerasan lainnya sebagai bentuk bullying ternyata tidak mendapatkan

tindakan khusus dari pihak sekolah, yang menunjukkan sebuah ironi jika ditafsir dari

kebijakan sekolah yang mewadahi dan mentolerir perbedaan tetapi tidak bertindak ketika

bullying atau kekerasan terjadi. Dalam episode ini tampak isu perempuan dan ras

disinggung kembali agar terhubung dengan homoseksualitas sebagai bagian dari kelompok

minoritas seperti pada season pertama, dengan menyajikan tokoh Beiste, seorang football

coach perempuan yang menggantikan posisi pelatih football di season sebelumnya. Beiste

adalah gambaran sosok perempuan yang tidak ideal menurut pandangan tentang

perempuan pada umumnya. Dimensi fisiologis tokoh Beiste digambarkan bertubuh besar,

seperti laki-laki, dan tidak cantik, terlebih lagi ia seorang pelatih football yang memang

secara realitas dianggap melawan kodrat, sehingga tokoh inipun digolongkan ke dalam

kelompok outsider, sesuai dengan apa yang direpresentasikan oleh klub Glee (Glee 2,

episode 1). Gambaran tokoh Beiste juga merupakan kondisi yang dijelaskan oleh Connell

dalam teorinya bahwa maskulinitas dan feminitas adalah dua karakter yang dapat

dipertukarkan, sehingga perempuan bisa saja memiliki karakter maskulin, dan label

outsider adalah bentuk kekerasan sosiologis yang diterimanya karena karakternya.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 71: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

71 Universitas Indonesia

Sementara itu, isu ras dilihat dari penekanan kata “Asian”, yang sering dilontarkan

untuk tokoh Tina dan Mike Chang yang orang asia, di antaranya Asian summer camp,

Asian couple, Asian kiss. Peneliti menangkap bahwa serial TV ini ingin menunjukkan

adanya persamaan antara homoseksual, perempuan dan kelompok minoritas lainnya jika

menyangkut konstruksi sosial masyarakat terhadap kelompok minoritas tersebut, yakni

segala bentuk penilaian yang dianggap sah dan benar telah melalui kesepakatan sosial

tingkat tinggi sehingga aturan-aturan itulah yang dianggap ideal dan digunakan sebagai

landasan untuk membuat penilaian terhadap liyan.

Pada episode 2, Britney Brittany, terlihat adegan Finn yang di bully lagi oleh

Azimio dan Karaofsky karena keberadaannya di klub Glee. Seragam berupa jaket tim

football McKinlley yang sedang dikenakan Finn tiba-tiba diambil dan dirobek menjadi dua

untuk menandakan bahwa, dengan masuk klub Glee, Finn telah menjadi biseksual.

Kemudian dalam adegan yang berbeda, tokoh Karofsky secara implisit mengatakan Finn

seorang gay karena berpacaran dengan Rachel, sehingga siapapun yang bergabung dengan

klub tersebut dipastikan menjadi homoseksual dan layak mendapatkan perlakuan kasar

oleh mereka yang menganggap dirinya „normal‟(Glee 2, episode 2). Glee telah mendapat

label sosial sebagai tempat berkumpulnya homoseksual sehingga hal positif dalam bentuk

apapun seakan-akan tidak berarti sama sekali. Orientasi seksual yang tidak sesuai dengan

aturan-aturan yang berlaku memberikan dorongan yang sangat besar bagi heteroseksual

dan homofobik untuk bisa berbuat sewenang-wenang.

Walaupun hanya sepintas, sosok selebriti, yaitu penyanyi Britney Spears,

dihadirkan pula dalam episode ini. Bila dicermati, sosoknya terkait dengan isu perempuan

dan seksualitas, dan menurut apa yang disajikan dalam episode ini, ia merepresentasikan

perempuan yang kuat, sensual, tapi tidak terlalu berhasil dalam hidupnya, sehingga bagi

klub Glee, ia bukan termasuk tokoh panutan yang baik. Ironisnya, para siswa Glee berikut

pelatihnya, Mr. Schuester, membawakan satu lagu Britney Spears pada sebuah acara di

sekolah, yang kemudian menimbulkan kerusuhan akibat lagu yang dibawakannya bejudul

Toxic.54

Tokoh Sue menyebut kerusuhan yang ditimbulkan oleh lagu Toxic tersebut

sebagai a Britney Spears sex riot. Pada intinya, jika ditinjau lebih jauh, apa yang ingin

54

Toxic adalah salah satu lagu Britney Spears yang bernada sensual dan dianggap mampu menimbulkan hasrat seksual.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 72: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

72 Universitas Indonesia

ditekankan dalam serial TV ini adalah seksualitas yang selalu menjadi isu di lingkungan

pendidikan dan atau di lingkungan sekolah.

Berikutnya, pada episode 3, Grilled Cheesus, cerita ditekankan pada nilai-nilai

spiritual yang sebetulnya bisa dilihat dari judul episode tersebut. Apabila dilihat secara

visual, maka akan bisa ditangkap makna dibalik kata Grilled Cheesus, yaitu berawal dari

adegan tokoh Finn yang merasa lapar, lalu mencoba untuk membuat roti keju bakar, tetapi

hasilnya sedikit hangus di bagian pinggir roti, dan bagian hangus tersebut membentuk

siluet Yesus. Siluet Yesus pada roti keju tersebut akhirnya disebut oleh Finn sebagai

Grilled Cheesus, cheese untuk keju dan akhiran sus untuk Yesus. Terlihat bahwa

religiusitas merupakan isu penting bagi homoseksual dalam episode ini karena

homoseksualitas selama ini memang selalu dihubungkan dengan masalah moral dan

agama. Seseorang yang menjadi homoseksual dianggap menyimpang dari hukum Tuhan

yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa, yang mengakibatkan kebingungan

bagi homoseksual untuk menentukan pijakan mereka jika berhubungan dengan religiusitas

karena agama dinilai tidak memberikan ruang bagi mereka. Sederhananya, homoseksual

menjadi sulit untuk memiliki keyakinan kepada Tuhan sebagaimana heteroseksual karena

aturan-aturan keagamaan dinilai telah memberi stigma dan menolak keberadaan mereka.

Merujuk pada keterangan ini, ketika Finn mengusulkan kepada teman-teman klub Glee nya

untuk mengusung lagu bertemakan spiritual sebagai tugas klub mereka, Kurt langsung

merasa keberatan. Penyampaian usul dari Finn tersebut terdengar seperti orang yang

hendak membuka identitas seksualnya, yang merupakan salah satu contoh unsur humor

yang disajikan dalam serial TV ini.

FINN: Mr. Schue, I have something to say, something happen to me,

and I can‟t really get into it, but it‟s shaken me to my core.

PUCK: Oh my God! He‟s coming out.

FINN: Why, yes. There‟s a man who‟s sort of recently come into my

life, and that man is Jesus Christ.

PUCK: That‟s way worse.

FINN: And I know they‟re others who dig him, so why don‟t we pay

a tribute to him in music, you know, pay tribute to Jesus.

KURT: Sorry, uh, but if I wanted to sing about Jesus, I‟d go to

church, and the reason I don‟t go to church is because most churches

don‟t think very much of gay people, or women, or science.(Glee 2,

episode 3)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 73: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

73 Universitas Indonesia

Apabila ucapan Kurt pada bagian “Most churches don‟t think very much of gay people, or

women, or science”, dikupas lebih jauh, dapat dikatakan bahwa, gereja dalam

pandangannya, telah mendiskreditkan homoseksual, karena dalam agama, tertera jelas

bahwa homoseksual adalah pelanggaran. Lalu, gereja mendiskreditkan perempuan, karena

perempuan dijadikan warga kelas dua yang tidak sebanding dengan laki-laki, kemudian

gerejapun mendiskreditkan ilmu pengetahuan karena dianggap melanggar kebesaran Tuhan

dan ketentuan alam, contohnya ilmuwan Galileo Galilei yang dijadikan tahanan rumah

oleh gereja hingga akhir hayatnya, hanya karena mengatakan bahwa matahari mengitari

bumi serta bumi itu bulat dan tidak datar (Bellis, 2012). Oleh karena itu, Kurt

mengatakan bahwa Tuhan itu seperti Santa Clause bagi orang dewasa karena mereka

mempercayai sesuatu yang tidak ada.

KURT: ... but I don‟t believe in God. I think God is a kind of, like

Santa Clause for adults. Otherwise, God‟s kind of a jerk, isn‟t he? I

mean, he makes me gay and then has his followers going around

telling me it‟s something that I chose, as if someone would choose

to be mocked every single day of their lives and right now I don‟t

want a heavenly father, I want my real one back.55

(Glee 2, episode

3)

Teman-teman Kurt yang lain mempertanyakan spiritualitas Kurt yang tidak mempercayai

Tuhan hanya karena seksualitasnya, dan terlihat mudah bagi heteroseksual untuk

mempertanyakan hal. Anggapan seperti ini juga dipertanyakan dalam episode ini melalui

dialog antara tokoh Sue dan Ms. Pillsbury, guru Bimbingan Penyuluhan McKinlley High.

Ms. Pillsbury: Don‟t you think that‟s just a little bit arrogant?

SUE: It‟s as arrogant as telling someone how to believe in God, and

if they don‟t accept it, no matter how openhearted or honest their

dissent, they‟re going to hell? Well, that doesn‟t sound very

Christian, does it? (Glee 2, episode 3)

Jelas bahwa, berdasarkan kutipan dialog di atas, persoalan religiusitas merupakan hal yang

kompleks dalam konteks kaum homoseksual karena mereka dinilai tidak lebih dari

sekualitasnya saja, yang disamakan dengan tindakan imoral, padahal seksualitas dan moral

hendaknya dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Dapat dikatakan wajar bagi tokoh Kurt

untuk berpikir demikian dan mempertanyakan Tuhan karena dalam konsep seksualitas

55

Disini deceritakan ayah Kurt terkena serangan jantung dan sedang dirawat di rumah sakit.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 74: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

74 Universitas Indonesia

Foucault disebutkan bahwa hukum agama dan ajaran pastoral Kristen adalah dua dari tiga

hal yang dianggap telah menguasai dan mengatur seksualitas. Selain itu, meminta

seseorang untuk berkeyakinan menurut representasi dalam dialog tersebut dianggap

sebagai sebuah pemaksaan. Dengan kata lain, seseorang yang tidak menganut satu ajaran

tertentu, bagaimanapun baiknya moralitasnya, tetap dinilai tidak bermoral.

Pada episode 4, yaitu Duets, diceritakan ada tokoh baru bernama Sam yang

bergabung dengan klub Glee. Begitu melihatnya, Kurt langsung berasumsi bahwa ia juga

seorang gay hanya dengan melihat gaya rambutnya, sehingga ia mulai tertarik untuk

mengajaknya bernyanyi duet sebagai bagian dari tugas klub Glee, namun keinginanya

tidak terpenuhi karena secara tidak langsung Finn dan ayahnya „melarang‟ Kurt untuk

berduet bersama Sam. Melalui pendekatan yang persuasif, Kurtpun mengurungkan niatnya

berduet dengan Sam (Glee 2, episode 4). Gambaran ini memperlihatkan kuasa

heteronormativitas terhadap homoseksual, yakni seorang laki-laki homoseksual jika

berduet dengan laki-laki heteroseksual, akan meninggalkan dampak buruk yang dapat

merusak reputasi dan citra para heteroseksual, sehingga terlihat jelas bahwa kepentingan

heteroseksual berada di atas kepentingan homoseksual, atau dengan kata lain,

heteroseksual benar dan homoseksual salah. Secara tersirat, homoseksual diharapkan untuk

bisa lebih memahami bahwa seksualitas yang berbeda masih sulit disikapi dengan baik

oleh sebagian besar heteroseksual, terlebih lagi bila berhubungan dengan lingkungan

sekolah, yang barangkali boleh dikatakan belum semua sekolah menetapkan kebijakan

khusus terkait isu ini. Pemahaman remaja yang masih dangkal tentang homoseksualitas

juga menjadi pertimbangan penting mengapa persoalan ini masih sulit dipahami di

kalangan remaja sekolah.

Pada episode 5, The Rocky Horror Glee Show, yang dimunculkan kali pertama

adalah sepasang bibir perempuan dengan latar gelap yang sedang menyanyikan sebuah

lagu. Berdasarkan pada judul episode dan gambar sepasang bibir tersebut, cerita pada

episode ini tampaknya sedikit mengadaptasi cerita musikal The Rocky Horror Show yang

pernah dimunculkan pada tahun 1975, yakni teater musikal khusus dewasa yang para

pemainnya mengenakan kostum „menyeramkan‟ dan dikemas secara komedi tetapi

mengedepankan unsur seksualitas dalam penyajiannya, sehingga materi pada acara tersebut

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 75: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

75 Universitas Indonesia

dianggap tidak layak untuk kalangan yang masih di bawah umur.56

Peneliti melihat bahwa

dimasukkannya adaptasi cerita musikal tersebut pada episode ini adalah untuk

mempertegas bahwa serial TV Glee ini lekat dengan isu seksualitas dan kelompok yang

dilihat sebagai liyan. Refleksi dari keterangan ini terlihat dari petikan dialog Mr. Schuester

berikut.

Mr. SCHUESTER: When I was younger, and they started midnight

shows of Rocky Horror, it wasn‟t for envelope pushers, it was for

outcasts, people on the fringes who had no place left to go, but were

searching for some place, any place where they felt like they

belonged. Sound familiar? The truth is, with that perspective, Rocky

Horror is the perfect show to put on for this club. (Glee 2, episode 5)

Oleh karena itu, Rocky Horror sendiri merepresentasikan klub Glee yang terdiri dari siswa-

siswa underdog yang masih berusaha mencari sense of belonging nya. Menariknya adalah

ketika tokoh Mr. Schuester menyebut kata outcasts, kamera menyorot wajah tokoh Kurt

yang menandakan bahwa outcasts yang dimaksud lebih tertuju kepada kelompok

homoseksual yang juga sekaligus merupakan isu dari serial TV ini.

Tiga episode selanjutnya, yaitu episode 6, 7, dan 8, yang berjudul Never been

kissed, The Substitute, dan Furt, menekankan pada masalah bullying yang terus menerus

dialami oleh tokoh Kurt. Kurt yang sedang berjalan-jalan di koridor sekolah selalu

didorong dengan sangat keras oleh Karofsky yang tampaknya paling memiliki masalah

dengan seksualitas Kurt sejak season pertama. Mr. Schuester yang kebetulan melihat

kejadian bullying tersebut mencoba melakukan pendekatan kepada Kurt, tetapi pendekatan

yang dilakukan oleh Mr. Schuester dirasakan tidak cukup untuk dapat menghentikan

bullying yang dialaminya, begitu pula ketika tokoh Sue Sylvester menjabat sebagai kepala

sekolah sementara di McKinley High, iapun tidak bisa berbuat banyak dalam menangani

56

A story of creation, love, hate, adventure, and, most of all, sex; the story begins in Denton, Ohio as Brad Majors and Janet Weiss, after getting engaged (Dammit Janet), travel to see "the man who began it," but wind up at the castle of Dr. Frank-N-Furter, a transvestite alien from the planet of Transsexual in the galaxy of Transylvania (Sweet Transvestite). And they meet Riff Raff, Magenta, and Columbia which leads to "doing the Time Warp again!" They discover they have been there on a "special night." Frank's creation is to be born! As Rocky has been revealed (Sword of Damocles / I Can Make You A Man), rebel Eddie, Frank's last-recent creation, ponders in on his motorcycle (Hot Patootie-Bless My Soul) whom Frank kills. In comes Dr. Everett Von Scott, he's come for Eddie (Eddie's Teddy) which results in the discovery of Eddie's deceased body. Frank chases Janet and Brad and Dr. Scott chase Frank (Planet Schmanet Janet), which results in everybody (but Frank) getting frozen. Enter the floor show (Rose Tint My World / Don't Dream It / Wild & Untamed Thing) which then turns into the horrifying death of both Frank and Columbia die and the castle's blasting off! Brad, Janet, and Dr. Scott survive and leave with torn clothes and battered bodies. Written by Max. (http://www.imdb.com/title/tt0073629/plotsummary)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 76: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

76 Universitas Indonesia

kekerasan tersebut, karena untuk merumuskan aturan atau kebijakan baru mengenai

kekerasan terhadap homoseksual di sekolah, bukan hal yang mudah dan harus melibatkan

school board dalam pelaksanaannya (Glee 2, episode 8). Dengan kata lain, gambaran ini

menjelaskan bahwa masalah bullying terhadap remaja homoseksual di sekolah belum

direspon dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan tentang kekerasan

terhadap siswa homoseksual masih menjadi persoalan yang mengundang pro dan kontra

dalam konteks sekolah di Amerika. Pada episode ini, kebijakan mengenai kekerasan

terhadap siswa homoseksual yang seharusnya diterapkan di sekolah-sekolah tidak

diperlihatkan secara langsung namun direpresentasikan melalui penyajian sekolah All

Boys School Dalton Academy, yang menerapkan kebijakan „zero- tolerance harassment

policy‟. Kebijakan yang diterapkan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi siswa

homoseksual, melainkan bagi seluruh siswa, baik heteroseksual maupun homoseksual.

Kekerasan dalam bentuk apapun dan kekerasan karena alasan apapun sepatutnya tidak

dibenarkan terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya aman dari segala bentuk

kekerasan. Siswa homoseksual membutuhkan jaminan dari pihak sekolah akan

keselamatan dan keamanan diri mereka melalui kebijakan yang jelas secara hukum, namun

justru yang terjadi adalah pro dan kontra mengenai kebijakan tersebut yang menyebabkan

siswa homoseksual merasakan ketidaknyamanan dalam lingkungan sekolahnya sendiri.

Kondisi seperti ini disajikan melalui tokoh Kurt, yang berkunjung ke sekolah Dalton

Academy dan bertemu dengan tokoh Blaine yang juga gay. Blaine menerangkan soal

kebijakan anti-kekerasan terhadap siswa yang telah diterapkan di sekolahnya. Kurt merasa

aman di sekolah tersebut dan berharap seandainya semua sekolah menerapkan hal yang

sama. Ini juga yang disampaikan oleh Kurt kepada ayahnya ketika Karofsky tidak henti-

hentinya melakukan bullying terhadap dirnya (Glee 2, episode 8). Berkaitan dengan

keterangan ini, diperlihatkan juga bahwa ternyata tokoh Karofsky adalah seorang

homoseksual yang termasuk ke dalam kelompok homoseksual yang closeted atau tertutup

mengenai seksualitasnya. Hal ini diketahui dari tanda visual yang ditunjukkan melalui

reflective approach, yaitu adegan Karofsky mencium Kurt dengan paksa setelah melalui

pertengkaran yang hebat antara keduanya, Gambaran ini juga menunjukkan bahwa terdapat

dua jenis homoseksual, yaitu homoseksual yang terbuka dan yang tertutup mengenai

seksualitasnya. Adegan dua homoseksual (gay) yang berbeda karakter ini juga menegaskan

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 77: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

77 Universitas Indonesia

teori Connell tentang keragaman karakter dalam diri laki-laki meskipun sama-sama

homoseksual. Tokoh Kurt adalah gay yang feminin, sementara tokoh Karofsky adalah gay

yang maskulin, sehingga hal ini menjelaskan bahwa gay tidak bisa digeneralisasikan

sebagai laki-laki feminin.

Pada episode 9 dan 10, Special Education dan A Very Glee Christmas, cerita

ditekankan pada tokoh Kurt, yang sudah pindah dari McKinley High ke Dalton Academy

akibat dari bullying yang diterimanya. Dalam dua episode ini juga ditampilkan tokoh Kurt

yang mulai menyukai tokoh Blaine, semenjak menjalin persahabatan dengannya. Beberapa

tanda visual memperlihatkan hubungan ini, seperti berlari berpegangan tangan dan berduet

bersama. Di sekolah ini juga Kurt menemukan segala sesuatunya berbeda dari sekolah

lamanya, tidak hanya dari kebijakan anti kekerasan yang diterapkan di sekolah tersebut,

tetapi juga kelompok paduan suara yang dimasukinya, sangat jauh berbeda dari klub Glee.

Keberadaan Kurt di kelompok paduan suara Dalton Academy, The Warblers, tidak

dipandang sama seperti keberadaannya ketika berada di klub Glee, karena segala

sesuatunya diputuskan secara sepihak oleh para senior, misalnya dalam memilih lagu apa

yang akan dinyanyikan di sebuah kompetisi. Pada prinsipnya, yang ingin ditekankan pada

dua episode ini adalah rasa aman dan nyaman yang selama ini dicari oleh kelompok

homoseksual yang sekaligus mencerminkan tidak meratanya pemahaman mengenai

pentingnya menerapkan kebijakan anti-kekerasan terhadap siswa homoseksual di sekolah-

sekolah dalam konteks Amerika, karena dalam realitasnya, yang lebih dipersoalkan adalah

seksualitas seseorang alih-alih kekerasan itu sendiri. Dalam teori Foucault, sekolah

bertindak sebagai kesatuan perangkat (agen) yang bertindak sebagai pembuat aturan dan

menerapkannya, namun karena persoalannya adalah homoseksualitas, maka yang terjadi

adalah sekolah melihatnya sebagai penyimpangan seksualitas yang menyalahi peraturan

sehingga dilihat sebagai representasi negatif (hubungan negatif) yang tidak boleh

diberlakukan di sekolah, maka dari itulah, kekerasan berbasis orientasi seksual tidak

ditanggapi dengan baik. Dengan kata lain, telah terjadi pengabaian terhadap regulasi

tersebut.

Kemudian pada episode 11, yakni The Sue Sylvester Shuffle, seperti pada episode-

episode sebelumnya pada season pertama, dikedepankan pentingnya menghargai satu sama

lain, yang ditandai dengan „dipaksanya‟ klub Glee dan klub Football berbaur dalam

memenangkan pertandingan football. Tujuannya adalah untuk membuat mereka,

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 78: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

78 Universitas Indonesia

khususnya anggota klub football, memahami bagaimana rasanya berada di klub Glee yang

selalu dibully, direndahkan, dan dipandang sebagai klub pecundang yang penuh dengan

homoseksual, atau dengan kata lain memahami bagaimana rasanya dipandang sebagai

liyan. “You guys are so afraid of being called geeks, or losers or gay that you settle for

being nothing”(Glee 2, episode 11). Homoseksual dan segala label sosial sangat ditakuti

oleh siswa-siswa sekolah menengah atas di Amerika karena identik dengan pecundang,

yang sebenarnya merupakan ketakutan yang tidak rasional.

Episode 12, The Silly Love Songs memperlihatkan bagaimana seorang

homoseksual mengungkapan rasa sukanya terhadap sesama jenis, namun seperti yang

terlihat pada episode ini, tidak semua homoseksual merasa nyaman dengan membuka

seksualitasnya di wilayah publik karena mereka menyadari konsekuensinya berada di

tengah-tengah masyarakat heteroseksual. Kuasa heteronormativitas memaksa mereka

memilih untuk tetap closeted dan „berpura-pura‟ menjadi heteroseksual agar bisa survive.

Kondisi ini terlihat pada adegan Blaine, yang menyatakan rasa sukanya kepada seorang

laki-laki gay bernama Jeremiah, yang bekerja di sebuah toko baju, tetapi ditolak karena

ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan seksualitasnya yang terbongkar.

JEREMIAH: What the hell were you doing?

BLAINE: What?

JEREMIAH: I just got fired, you can‟t just bust a groove in

somebody elses working place.

BLAINE: But they loved it.

JEREMIAH: Well, my boss didn‟t. Neither did I, no one here knows

I‟m gay. Blaine let‟s just be clear here, you and I got coffee twice,

we‟re not dating. If we were, I get arrested cause you‟re under age.

(Glee 2, episode 12)

Gambaran di atas semakin menandakan bahwa segala sesuatunya tidak pernah mudah bagi

homoseksual untuk mengekspresikan dirinya dan atau bahkan untuk menjadi dirinya

sendiri sebagai individu dengan semua hak universal yang dimilikinya di tengah

lingkungan heteroseksual.

Pada episode 13, yaitu Come back, ditekankan pentingnya membangun citra bagi

seorang siswa sekolah menengah atas supaya bisa dikenali dan mendapatkan

penghormatan dari lingkungan sekolahnya. Homoseksualitas tidak terlalu diperlihatkan

secara visual dalam episode ini, namun secara verbal terlihat dari kata „lesbian‟ dalam

istilah lesbian Bieber hair, yang ditujukan untuk model rambut selebriti Justin Bieber.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 79: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

79 Universitas Indonesia

Selanjutnya, episode 14, yakni Blame it on the Alcohol, mengedepankan banyaknya lagu

remaja dewasa ini yang mengagungkan kebiasaan minum minuman beralkohol sehingga

menjadi suatu persoalan tersendiri dalam konteks sekolah menengah atas di Amerika.

Akan tetapi dibalik persoalan minuman beralkohol tersebut, homoseksualitas sebagai isu

tetap diperlihatkan pada episode ini melalui adegan Rachel yang mencium Blaine ketika

para anggota klub Glee sedang berpesta minuman keras di kediaman Rachel sambil

memainkan permainan spin the bottle.57

Kemudian terdapat adegan Blaine, yang tidur di

kamar Kurt karena mabuk. Blaine tiba-tiba meragukan seksualitasnya karena ciuman

Rachel ketika ia mabuk dan perdebatan yang ia alami dengan Kurt saat ia mengakui

keraguannya tersebut (Glee 2, episode 14). Perdebatan antara Kurt dan Blaine menandakan

bahwa seksualitas bagi seorang homoseksual merupakan hal yang sangat kompleks jika

menyangkut keyakinan akan identitas seksualnya, terlebih lagi bagi homoseksual yang

belum sepenuhnya menyadari orientasi seksualnya. Namun, pada akhirnya tokoh Blaine

sepenuhnya yakin bahwa ia memang seorang homoseksual ketika ia dicium oleh Rachel

untuk kedua kalinya. Tentu saja tampak begitu mudah bagi seorang homoseksual untuk

menyadari seksualitasnya melalui adegan seperti itu dalam serial TV walaupun secara

realitas belum tentu benar adanya, namun yang bisa ditangkap dalam adegan ini adalah

seorang homoseksual akan merasa yakin dengan seksualitasnya jika dihadapkan pada

perempuan yang berfungsi sebagai indikator dalam menentukan orientasi seksualitasnya.

Dalam arti bahwa apabila seorang laki-laki „merasakan‟ sesuatu pada saat dicium, maka ia

seorang heteroseksual, apabila sebaliknya, maka ia seorang homoseksual.

Berikutnya, episode 15, yang berjudul Sexy, menekankan sex education in high

school yang dinilai perlu untuk diterapkan, mengingat sebagian besar remaja sekolah

menengah atas telah mengenal dan melakukan kegiatan tersebut, yang tercermin pada

tokoh Quinn yang hamil pada usia sekolah (Glee season 1). Selain itu, konsep seksualitas

Foucault dalam hubungannya dengan pendidikan seks di sekolah, masuk ke dalam

kekuasaan yang menentukan hukum seks dengan menempatkannya di bawah sistem biner,

yakni benar dan salah. Pemisahan antara benar dan salah ini muncul karena seksualitas

dilihat sebagai sebuah isu yang perlu diatur supaya tidak menyimpang dan menyalahi

norma-norma yang telah ditetapkan. Hukum seks yang ditempatkan di bawah sistem biner

tersebut kemudian diperjelas dalam bentuk aturan pendidikan seks yang dianggap benar,

57

Permainan tersebut mengharuskan korban yang kena tunjuk untuk mencium orang yang memutar botol.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 80: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

80 Universitas Indonesia

yaitu hubungan seks antar heteroseksual, sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian

pada homoseksual yang sebenarnya membutuhkan juga pendidikan seks di sekolah,

mengingat jumlah siswa homoseksual yang tergolong tidak sedikit. Situasi ini tercermin

pada ucapan tokoh Blaine berikut ini.

BLAINE: You know, Dalton doesn‟t even have sex education

classes, and the ones that do, almost never discuss what sex is like

for gay kids. (Glee 2, episode 15)

Pada episode ini juga diperlihatkan tokoh homoseksual perempuan, yaitu Santana yang

mulai menyadari dan yakin tentang seksualitasnya karena ketertarikannya secara seksual

pada sesama jenis (Brittany) lebih besar daripada ketertarikannya kepada lawan jenis (Glee

2, episode 15). Tanda-tanda lesbian ini telah disajikan melalui reflective approach

beberapa kali pada episode-episode sebelumnya antara Santana dengan Brittany, seperti

berpegangan tangan dan melakukan kontak fisik, meskipun Santana masih

menyangkalnya. Disajikannya tokoh lesbian dalam serial TV ini juga memperlihatkan

bahwa homoseksualitas dan jumlah siswa homoseksual yang cukup banyak perlu menjadi

perhatian penting dalam konteks sekolah di Amerika.

Pada episode 16, yakni Originals, digambarkan para siswa klub Glee yang

menghadapi regionals. Rival mereka di kejuaraan menyanyi tersebut adalah kelompok

paduan suara The Warblers (Dalton Academy) dan Aural Intensity. Singkatnya, pada

season ke dua ini, predikat juara akhirnya diraih oleh para anggota klub Glee setelah kalah

pada season sebelumnya, berkat lagu yang dibawakannya sebagai lagu hasil ciptaan

mereka sendiri yang berjudul Looser like me. Lagu tersebut memiliki makna ganda yaitu

yang pertama bermakna „pecundang seperti saya‟ dan makna yang ke dua bisa bermakna

„pecundang menyukai saya‟ sehingga secara umum disimpulkan bahwa makna lagu

tersebut adalah kelompok yang selalu dibully dan dilihat sebagai pecundang justru

memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa bangkit dan bertahan hidup, dan bahkan

disukai. Hal menarik lainnya yang ditangkap dalam episode ini adalah homoseksualitas

yang menjadi bahan perbincangan pada saat penjurian.

SISTER MARY CONSTANCE: That Dalton Academy, is it a gay

school or a school that just appear gay?

ROD REMINGTON: Could I add a dash of Rod to this lady soup?

My hairdresser is a gay and for fifteen years he‟s been with his

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 81: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

81 Universitas Indonesia

partner, also a hairdresser. I see no reason why they shouldn‟t be

allowed to marry and have a family of beautiful wigs.

SISTER MARY CONSTANCE: I liked the duets that the Dalton

boys sang.

TAMMY JEAN ALBERTSON: Oh boys shouldn‟t do a duet, the

last thing we need is to send a message to children that “gay is

okay”! It is not legitimate lifestyle, and last time I checked, it‟s not

in the constitution. (Glee 2, episode 16)

Perdebatan tersebut di atas merefleksikan pro dan kontra terhadap keberadaan

homoseksual yang memang masih berlangsung hingga saat ini, sehingga homoseksual

masih sulit untuk diakui dan diterima sebagai individu yang sama dengan heteroseksual.

Bahkan dalam penjurianpun terlihat diskriminasi terhadap homoseksual. Simbol

keagamaan yang bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh penganut ajaran nasrani

juga ditampilkan pada tokoh Sister Mary Constance yang mengenakan jubah biarawati

tetapi bersifat liberal dalam menyikapi homoseksualitas (Glee 2, episode 16). Seperti yang

sudah disinggung sebelumnya bahwa secara realitas, agama telah memberikan stigma

kepada kaum homoseksual, sehingga kemungkinannya sangat kecil bagi seorang biarawati

untuk dapat menyikapi homoseksualitas secara terbuka.

Dalam episode 17, A Night of Neglect, disamping menyajikan persoalan

homoseksual yang berkaitan dengan episode-episode sebelumnya pada season pertama dan

ke dua, cerita pada episode ini juga memperlihatkan pentingnya sikap saling menghargai di

lingkungan sekolah. Para siswa klub Glee yang bisa dibilang telah memenangkan

kejuaraan paduan suara baik di tingkat sectional dan regional tetap tidak dihargai oleh

lingkungan sekolahnya. Pertunjukkan yang digelar untuk menggalang dana pun tidak

mendapat sambutan yang baik dari para penonton. Mereka direndahkan dan dihina pada

saat pertunjukkan. Dengan kata lain, mereka dibully dengan berbagai macam cara, baik

individual maupun kolektif. Teknologi pun memainkan peran dalam kaitannya dengan

bullying seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada episode pertama, yaitu Audition,

dan juga tercermin pada dialog berikut.

JACOB: Technology has allowed us to be brutally cruel without

suffering any consequences. In the past, if I wanted to tell someone

they sucked, I‟d have to say it to their face which would usually

result in them kicking me in the groin (Glee 2, episode 17).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 82: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

82 Universitas Indonesia

Gambaran ini menunjukkan bahwa peran teknologi berdampak negatif apabila

berhubungan dengan bullying, karena teknologi malah memperluas tindakan kekerasan

tersebut di wilayah publik, meskipun identitas pelaku kekerasan tersembunyi. Namun, hal

inilah yang justru membuat masyarakat semakin tidak peka dengan konsekuensi yang

sangat mungkin bisa terjadi jika menyakiti seseorang secara psikologis. Pengaruhnya bisa

berimbas pada tindakan-tindakan ekstrem yang dapat membahayakan bagi orang yang

dibully ataupun bagi orang yang melakukan bullying tersebut.

Pada Episode 18, yaitu Born This Way, Lady Gaga kembali dijadikan tokoh

panutan yang menginspirasi para siswa Glee karena ikon ini mewakili status outsider yang

disandang oleh para siswa tersebut. Oleh karena itu, inti dari episode ini adalah pentingnya

menjadi diri sendiri meskipun berbeda dari segi fisiologis, psikologis, ataupun orientasi

seksual. Pada episode ini, tokoh homoseksual lainnya, yakni Santana dan Karofsky,

digambarkan semakin menyadari orientasi seksualitasnya sehingga memutuskan untuk

bekerja sama membentuk tim anti-bullying movement yang disebut dengan bullywhip

dengan tujuan untuk menciptakan situasi sekolah yang kondusif, khususnya bagi siswa

homoseksual. Karofsky dengan tulus meminta maaf kepada Kurt yang telah ia bully

selama ini dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi karena mereka memiliki identitas

seksualitas yang sama. Permintaan maaf ini membuat Kurt pindah lagi ke McKinley High

dan bergabung kembali dengan klub Glee. Apa yang direpresentasikan dalam episode ini

melalui tokoh Santana dan Karofsky adalah homoseksual yang mencoba untuk berdamai

dengan seksualitasnya, meskipun mereka belum siap untuk membuka identitas mereka di

wilayah publik (coming out).

Selanjutnya, pada episode 19, Rumours, cerita ditekankan pada berita yang bersifat

gosip. Saat wartawan sekolah, Jacob Ben Israel, mencari berita untuk dimasukkan ke

dalam surat kabar sekolah Muckcracker dengan mewawancarai para anggota Glee, apa

yang disampaikan melalui wawancara tersebut ternyata berbeda dengan yang diberitakan

di surat kabar sekolah sehingga menimbulkan salah pengertian. Misalnya, tokoh Sam yang

tertangkap berkomunikasi dengan Kurt, langsung diasumsikan sebagai gay. Lalu

penggunaan kata playing for another team, yang dilontarkan Santana langsung

dipersepsikan sebagai orang yang masuk ke dalam kelompok homoseksual. Hal ini

menunjukkan bahwa suatu isu atau fakta sangat mungkin untuk diputarbalikkan jika

disampaikan melalui media, khususnya terkait homoseksual. Dapat dikatakan bahwa surat

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 83: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

83 Universitas Indonesia

kabar Muckcracker tersebut merupakan media non-TV yang merepresentasikan

homoseksualitas di kalangan siswa McKinley High yang secara tajam mengkritisi dan

menyatakan secara terbuka tentang isu tersebut, sehingga apa yang ditangkap oleh

pembaca berita diharapkan sesuai dengan yang diberitakan. Media non-TV menurut

Newburn (1997, hal. 92) memang lebih mampu membentuk opini publik dibandingkan

media TV, karena adanya kebebasan pers dalam mencari serta menyampaikan berita yang

terkesan tidak disensor sehingga mudah dipercaya sebagai sebuah fakta. Surat kabar

bahkan mampu mengonstruksikan realitas yang semakin menguatkan opini publik tentang

kebenaran suatu isu. Hal inilah yang menyebabkan salah pengertian antara yang

memberitakan dan yang diberitakan seperti yang direpresentasikan oleh tokoh Sam dan

Santana tersebut.

Pada episode 20, yakni Prom Queen, bullying terhadap tokoh Kurt masih disajikan

meskipun kekerasan tersebut sudah berkurang pada episode ini. Bullying tersebut

ditunjukkan melalui penobatannya sebagai prom queen berdasarkan hasil pemerolehan

suara yang dilakukan secara diam-diam oleh seluruh siswa McKinley High sebagai lelucon

dengan tujuan agar Kurt bersanding dengan Karofsky yang telah lebih dulu dinobatkan

sebagai prom king, padahal Kurt sama sekali tidak mencalonkan dirinya. Gelar Prom

Queen yang diperoleh Kurt merupakan olok-olok yang secara tidak langsung menyatakan

bahwa Prom King and Queen McKinley High adalah sepasang gay, dan ini sangat

menyakitkan bagi Kurt secara psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa homoseksual akan

selalu menjadi yang tertindas bila berhadapan dengan kebencian yang irasional dari para

homofobik. Heteronormativitas yang telah melabel negatif kelompok homoseksual secara

implisit „membenarkan‟ penindasan tersebut. Kurt disandingkan dengan Karofsky dan

diberi gelar prom queen karena ia dilihat sebagai laki-laki yang feminin, sehingga

feminitas itulah yang membuatnya diolok-olok seperti tercermin dalam adegan tersebut.

Hal ini pula yang disebut oleh Connell tentang kekerasan yang ditimbulkan oleh

keragaman karakter laki-laki, khususnya laki-laki dengan karakter feminin, karena

dianggap kontras dengan anggapan bahwa karakter laki-laki seharusnya „maskulin‟.

Pada episode 21, Funeral, cerita ditekankan pada pemakaman adik pelatih

Cheerios, Sue Sylvester, yang meninggal karena penyakit pnemonia sehingga tidak banyak

ditemukan isu seksualitas pada episode ini, namun adiknya yang digambarkan mengidap

downsyndrome jelas mewakili kelompok outsider, seperti halnya para siswa klub Glee.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 84: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

84 Universitas Indonesia

Episode terakhir dari season ke dua ini, yaitu episode 22, dengan judul New York,

menceritakan para anggota Glee yang baru menginjakkan kakinya di New York dalam

rangka mengikuti kejuaraan paduan suara tingkat nasional, tetapi di akhir cerita mereka

masih belum berhasil memenangkannya. Dapat dikatakan bahwa episode ini khususnya,

dan episode-episode sebelumnya, sangat lekat dengan seksualitas. Ditinjau dari judulnya

sendiri, yakni New York, memiliki makna sebagai kota yang disukai kelompok

homoseksual, karena di kota inilah belum lama ini pernikahan sesama jenis diperbolehkan

dan dilegalkan. Meskipun demikian, masyarakat kota New York belum semua dapat

dikatakan menyikapi homoseksualitas secara terbuka, contohnya ketika petugas hotel

mengatakan setiap tim paduan suara yang akan berkompetisi akan dipisah berdasarkan

orientasi seksualnya, dan bukan berdasarkan jenis kelaminnya (Glee 2, episode 22), yang

makin memperlihatkan pemilah antara yang „benar‟ dan yang „salah‟.

4.4. Wacana Homoseksualitas dalm Serial TV Glee Season ke-tiga

Glee season ke tiga terdiri dari dua pulu dua episode yang judul-judulnya adalah The

Purple Piano Project, I am Unicorn, Asian F, Pot o‟ Gold, The First Time, Mash off, I

Kissed a Girl, Hold on to Sixteen, Extraordinary Merry Christmas, Yes or No, Michael,

The Spanish Teacher, Heart, On My Way, The Big Brother, Saturday Night Glee-ver,

Dance with somebody, Choke, Prom-asaurus, Props, Nationals dan terakhir Good Bye,

yang merupakan season finale dari seluruh episode dalam serial TV Glee. Seperti pada

season pertama dan ke dua, selain I Kissed a Girl, judul-judul episode di atas masih tidak

menampakkan adanya isu seksualitas yang diangkat apabila tidak dikaji secara visual, oleh

karena itu, aspek visual tidak pernah lepas dalam kaitannya dengan analisis serial TV ini.

Episode pertama, yaitu The Purple PianoProject, mengawali tahun ke tiga para

siswa Glee di sekolah McKinley High. Adegan diawali lagi dengan wawancara dengan

siswa klub Glee oleh tokoh Jacob Ben Israel, tetapi menariknya, dalam wawancaranya kali

ini, Jacob tidak menanyakan masalah seputar seksualitas, sehingga terlihat semacam twist

yang hendak disajikan dalam episode pertama ini yang tidak sama dengan dua episode

pertama pada dua season sebelumnya. Tokoh Blaine diceritakan pindah ke McKinley High

dari Dalton Academy agar bisa lebih dekat dengan Kurt, dan berawal dari kepindahan

Blaine tersebut ke McKinley High pada season ke tiga ini, akan banyak ditemukan adegan

yang memperlihatkan kedekatan Blaine dan Kurt sebagai sepasang homoseksual. Cerita

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 85: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

85 Universitas Indonesia

dalam episode ini juga menekankan pada kurangnya perhatian pihak sekolah terhadap

bidang kesenian, karena kesenian dianggap tidak memberikan masa depan yang baik bagi

siswa sekolah. Kesenian sendiri dalam serial TV ini direpresentasikan oleh klub Glee, yang

secara implisit berarti siswa yang mengikuti pelajaran kesenian seperti menyanyi dan

menari akan berakhir dengan memperoleh label sosial sebagai pecundang atau gay.

Seperti pada beberapa episode pada season sebelumnya, Tokoh Kurt pada season

ke tiga ini kembali direprsentasikan sebagai tokoh homoseksual yang memiliki citra positif

skaligus memberikan inspirasi bagi siswa McKinley High. Pada episode 2, I am Unicorn,

diceritakan Kurt mencalonkan diri sebagai ketua OSIS di McKinley High dengan tujuan

untuk membawa perubahan pada iklim sekolah tersebut, khususnya yang terkait dengan

kekerasan terhadap siswa di lingkungan sekolah atau bullying. Kurt menilai bahwa segala

macam bentuk kekerasan di sekolah sudah tidak dapat ditolerir lagi mengingat bullying

dapat berdampak buruk pada fisiologis dan psikologis korban. Telah disinggung pula

sebelumnya bahwa keadaan ini juga yang sedang diperjuangkan oleh para aktivis

homoseksual yang ingin mewujudkan lingkungan sekolah yang aman bagi siswa LGBTQ

di Amerika.

KURT: ... But if I win, I think I can make a huge difference at this

school, not just me, but also kids like me. Things can actually

change for them. So whatever it takes, I‟m winning. (Glee 3, episode

3)

Dalam kampanyenya, Kurt menggunakan simbol unicorn yang menyimbolkan kebanggaan

bahwa dirinya berbeda, meskipun sebelumnya ia sempat tidak menyetujui penggunaan

simbol tersebut dan memilih untuk lay low, dalam arti bahwa ia tidak mau terlalu

menonjolkan orientasi seksualnya agar bisa memperoleh dukungan yang banyak dari siswa

yang mayoritas heteroseksual. Pada awalnya, Kurt menganggap simbol unicorn justru

malah semakin mempertegas perbedaan seksualitasnya sebagai homoseksual sehingga

dikahawatirkan mengurangi citranya sebagai pemimpin jika terpilih, namun kepercayaan

dirinya bangkit ketika ayahnya mengungkapkan bahwa tanduk unicorn lah yang membuat

hewan tersebut istimewa dan sekaligus membedakannya dari kuda biasa (Glee 3, episode

2). Bisa dilihat disini bahwa, pada prinsipnya, seorang homoseksual menyadari kontroversi

yang melekat pada dirinya sebagai individu yang „menyimpang‟ dari normativitas

heteroseksual, namun ia bersedia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tempat ia

berada dengan memaknai simbol tersebut dari sudut pandang yang lebih positif. Pada

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 86: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

86 Universitas Indonesia

pidato kampanye Kurt pada episode 6, ia dengan tegas mengecam bullying di sekolah-

sekolah, dan salah satu program anti-kekerasan yang dikemukakannya adalah menghapus

permainan dodgeball yang dinilai brutal.58

Program anti-kekerasan yang dikemukakan oleh

Kurt juga merupakan sebuah citra positif homoseksual yang dilakukan demi kepentingan

orang banyak agar tercipta kondisi sekolah yang aman dari segala bentuk kekerasan atau

ketertindasan antar siswa.

Lima episode pertama pada season 3 ini juga mengangkat homoseksualitas yang

dialami tokoh homoseksual lainnya selain Kurt, yaitu Santana. Digambarkan disini bahwa

tokoh Santana telah menyadari dengan pasti akan seksualitasnya, namun memilih untuk

menyembunyikan identitasnya. Pada awalnya, ia sangat mengalami kesulitan untuk

beradaptasi dengan identitasnya tersebut, sehingga ia cenderung bertingkah laku kasar

secara verbal, yakni senang mengolok-olok orang lain, yang sebenarnya hanya

memperlihatkan kalau ia sedang menutupi ketidaknyamanannya. Tokoh Finn, yang merasa

kesal karena selalu diolok-olok oleh Santana, membuka seksualitas Santana di sekolah

sampai akhirnya diketahui luas oleh publik. Hal ini tentu saja membuat Santana sangat

terpukul, namun pada episode 7, ia akhirnya bisa menerima keterbukaan tersebut berkat

dukungan teman-temannya di klub Glee. Melihat representasi dari adegan-adegan ini,

peneliti dapat mengatakan bahwa dukungan atau pengaruh lingkungan yang baik dapat

mendongkrak keyakinan seorang homoseksual untuk bisa lebih terbuka terhadap dirinya

sendiri. Pada awalnya seorang homoseksual mengalami kesulitan untuk berdamai dengan

dirinya sendiri karena merasa telah melakukan „kesalahan‟ dengan „memilih‟ menjadi

homoseksual. Selama ini, homoseksualitas memang sering kali dihubungkan dengan

penyimpangan seksualitas karena seseorang dianggap dengan penuh kesadaran „memilih‟

menjadi homoseksual, yang pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penilaian sepihak

yang bersifat menyudutkan, serta aturan-aturan yang mengatur seksualitas secara hukum,

disinyalir menjadi penyebab sulitnya homoseksual berdamai dengan dirinya sendiri

sehingga memicu konflik internal dalam diri homoseksual tersebut. Klub Glee yang

direpresentasikan sebagai tempat yang mewadahi dan mentolerir keberagaman, secara

tersirat pula direpresentasikan sebagai tempat dalam skop kecil yang mampu menerapkan

58

Berdasarkan pengamatan peneliti secara visual pada episode 6, Dodgeball adalah sejenis permainan yang dimainkan oleh dua tim dengan saling melempar bola ke tubuh lawan hingga dapat menyebabkan rasa sakit. Pemicu permainan ini bisa saja dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap kubu lawan, sehingga permainan tersebut tidak bisa dinilai sebagai cabang olahraga yang bersaing dengan sehat.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 87: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

87 Universitas Indonesia

kebijakan multikulturalisme dengan baik. Klub ini tidak hanya menerima kelompok

minoritas, tetapi juga merangkul kaum homoseksual, sehingga hal ini pula yang dilihat

oleh peneliti sebagai sebuah sindiran terhadap negara Amerika yang multikultural, namun

masih belum secara maksimal menerapkan kebijakan tersebut, terutama yang menyangkut

homoseksualitas. Sangatlah penting bagi kelompok homoseksual untuk memperoleh

jaminan bahwa mereka diterima, diakui, dan dilindungi sepenuhnya sebagai warga negara

dan bukan sebagai warga kelas dua. Dialog antara Finn dan Santana di bawah ini mewakili

kondisi yang telah diuraikan di atas, yaitu bahwa klub Glee tidak memandang siapapun

yang masuk menjadi anggotanya sebagai warga kelas dua.

FINN: Glee‟s about learning how to accept yourself for who you

are, no matter what other people think, and that‟s the what this

music is all about.59

SANTANA: So wait, I don‟t even get a say in this? Not cool.

FINN: Everybody in this room knows about you, and we don‟t

judge you for it, we celebrate it because it‟s who you are. Look, I

know not everybody outside of this room is as accepting and cool,

but we‟re doing this assignment this week so that you know in this

rotten, stinkin‟ mean world that we live in, you at least have a

group of people who will support your choice to be whoever you

wanna be, that‟s it. (Glee 3, episode 7)

Pernah disinggung sebelumnya bahwa menjadi diri sendiri bagi seorang

homoseksual merupakan perkara yang tidak mudah karena harus berhadapan dengan

berbagai macam konsekuensi yang sebagian besar berseberangan dengan nilai-nilai yang

diyakininya. Tidak dipungkiri kecaman, hinaan, hujatan, dan kekerasan akan selalu

diterima oleh mereka selama wacana mengenai kebenaran aturan heteroseksual diproduksi

terus menerus tanpa dibarengi sikap yang jelas terhadap keragaman seksual, sebagaimana

dikemukakan oleh Ariyanto dalam penelitiannya.60

Jika dikaitkan dengan konsep

seksualitas Foucault „kebenaran‟ aturan heteroseksual diproduksi dengan tujuan

pendisiplinan terhadap berbagai penyimpangan seksualitas agar tidak melanggar dengan

cara menjaga dan menghukum, sehingga lahirlah berbagai macam bentuk kekerasan

tersebut. Oleh karena itu, perlu suatu pengertian yang mendalam bahwa adanya hak-hak

kelompok minoritas yang diakui dan pendewasaan pola pikir terhadap kelompok

59

Tema lagu yang ditugasi untuk klub Glee di episode tersebut adalah membawakan lagu yang bertemakan perempuan (Ladies for ladies) sebagai apresiasi untuk keberanian Santana menerima identitas seksualitasnya. 60

Lihat tinjauan literatur di bab 1.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 88: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

88 Universitas Indonesia

homoseksual khususnya akan sangat membantu mengurangi segala bentuk penindasan dan

kekerasan.

Setelah proses coming out, Santana mendapat perlakuan kurang baik di lingkungan

sekolahnya, dan juga dari neneknya. Apa yang telah diperbuat Santana diasumsikan

sebagai suatu pilihan yang telah ia buat, sehingga dianggap mudah untuk dibuat „normal‟

kembali, begitu pula neneknya yang lebih mementingkan pendapat banyak orang sehingga

tidak mau lagi mengakui keberadaan cucunya (Glee 3, episode 7). Adegan antara Santana

dan lingkungan sekolahnya, serta Santana dan neneknya, mencerminkan bahwa seseorang

menjadi homoseksual masih dilihat dari satu sisi, yaitu sebagai suatu pilihan yang dibuat

dan bukan kondisi yang terjadi karena banyak faktor. Lingkungan sekolahnya serta

neneknya, bila meninjau konsep seksualitas Foucault, telah bertindak sebagai instansi

aturan dan kesatuan perangkat (agen) yang membuat aturan dan menerapkannya sebagai

bentuk larangan terhadap „pilihan homoseksual‟. Perlu adanya pemahaman bahwa tidak

ada penjelasan yang pasti mengenai penyebab seseorang menjadi homoseksual, meskipun

telah lahir berbagai macam persepsi dan teori yang berasal dari sejumlah penelitian,

sehingga boleh dibilang bahwa yang sangat dibutuhkan pada tahap ini adalah sikap dan

pola pikir yang terbuka.

Tokoh baru anggota klub Glee muncul pada episode 4, Pot o‟ Gold, yang bernama

Rory Flanigan asal Irlandia yang datang untuk bersekolah di Amerika. Ia dikira

Leprechaun oleh Brittany, tetapi menurut olok-olok Santana, Leprachaun tidak lebih dari

sekelompok gay yang pekerjaannya membetulkan hak sepatu dan memenuhi tiga

permintaan. Ucapan tokoh Santana memperlihatkan bahwa gay masih dilihat dari satu

sudut, yaitu sebagai „laki-laki yang tidak maskulin‟ karena bekerja membetulkan sepatu,

yang jelas bertentangan dengan teori Connell. Rory juga sering di bully karena logat

Irlandianya yang dianggap aneh oleh siswa McKinley High, sehingga tidak seorang pun

yang mau berteman dengannya, dan ketika ia berkenalan dengan Finn dan memintanya

menjadi temannya, Finn merasa aneh karena tidak umum bagi seorang laki-laki meminta

laki-laki lain jadi temannya. Bisa dipahami bahwa homoseksualitas merupakan isu besar

bagi kaum laki-laki heteroseksual di Amerika karena hubungan antara laki-laki dengan

laki-laki dinilai sebagai hubungan yang tidak umum walaupun bukan dalam konteks

homoseksual. Bahkan hal sederhana seperti meminta seorang laki-laki menjadi teman

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 89: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

89 Universitas Indonesia

dianggap sudah mengarah pada hubungan homoseksual. Dengan kata lain, kekhawatiran

laki-laki heteroseksual terhadap label gay merupakan sebuah kondisi kultural di Amerika.

Pada episode 5, The First Time, digambarkan tokoh Kurt, yang merasa tidak cukup

sensual untuk menarik perhatian kekasihnya, Blaine, sehingga ia merasa satu-satunya cara

untuk menarik perhatiannya adalah dengan melakukan hubungan seksual. Mengamati

judulnya dan isu seksualitas yang disorot secara visual, dapat disimpulkan bahwa yang

ingin ditekankan disini adalah tentang kegiatan hubungan seksual. Dalam konteks remaja

di Amerika, virginity bukan suatu hal yang harus dipertahankan sampai waktunya

menikah, namun lebih pada waktu yang paling tepat untuk melakukannya, dan bila sudah

memasuki usia remaja dewasa, hubungan seksual menjadi sah untuk dilakukan. Ini

merupakan sebuah tanda yang bersifat kultural karena bergantung pada iklim norma-norma

yang berlaku di satu tempat, walaupun di Amerika sendiri banyak juga seruan bahwa

hubungan seksual lebih baik dilakukan setelah menikah terlebih dahulu, tetapi pada

umumnya tidak selalu demikian. Sederhananya, menurut aturan heteronormativitas yang

berlaku adalah bahwa hubungan seksual yang baik, sah, dan benar itu dilakukan antara

laki-laki dan perempuan dewasa, baik dewasa secara fisik maupun psikis. Namun pada

episode ini, disajikan lain, yakni hubungan seksual yang baik dan benar adalah dilakukan

antara sepasang individu dewasa tanpa harus menyebut jenis kelamin tertentu secara

spesifik, yang berarti baik homoseksual maupun heteroseksual boleh melakukannya kalau

sudah cukup umur. Inilah yang ditampilkan secara visual pada episode The First Time

melalui adegan intim antara tokoh Blaine dan Kurt.61

Di satu sisi, adegan yang

dipertontonkan tersebut telah melanggar kebenaran heteronormativitas yang menyatakan

hubungan seksual yang sah adalah antar lawan jenis, namun di sisi lain, dalam hal tayang,

hubungan antar sesama jenis masih tersangkut regulasi penyiaran yang melarang

ditayangkannya hubungan sesama jenis secara vulgar, sehingga pelanggaran terhadap

regulasi penyiaran tidak mungkin dilanggar. Hal ini yang disebut oleh Foucault sebagai

logika sensor, yaitu logika kekuasaan atas seks untuk menabukannya atau

menghilangkannya. Logika kekuasaan atas seks ini terkait dengan isu seksualitas dalam

media TV yang masih di bawah pengaturan komisi penyiaran, yang berarti bahwa isu

seksualitas boleh ditayangkan, tetapi tidak boleh melampaui batasan-batasan yang telah

ditentukan atau dengan kata lain, harus melalui sensor. Maka dari itu, adegan hubungan

61

Adegan yang ditampilkan tidak vulgar, namun cukup jelas untuk menerangkan hubungan yang terjadi antara kedua tokoh homoseksual tersebut adalah hubungan seksual.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 90: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

90 Universitas Indonesia

seksual antar sesama jenis hanya bisa ditampilkan secara simbolis dan membiarkan

penonton menginterpretasikannya sendiri.

Episode 8, Hold on to sixteen, dan episode 9, Extraordinary Christmas, tidak

banyak mengangkat seksualitas pada adegan-adegannya, kecuali sisipan kata „gay‟ yang

disisipkan pada ucapan Santana, yaitu „Little gay elf dentist‟ dan sebutan tokoh Sue pada

tokoh Blaine, yang ia sebut „other gay‟. Episode 8 juga mengisahkan kembalinya tokoh

Sam ke McKinley High setelah sempat pindah mengikuti orang tuanya ke Kentucky. Sam

diminta kembali ke Mckinley High setelah dibujuk oleh Finn dan Rachel sehubungan

dengan perlunya penambahan anggota klub untuk mengikuti kejuaraan sectionals. Sebelum

kembali ke McKinley High, Sam bekerja sebagai penari „striptease‟ laki-laki di sebuah bar

khusus perempuan, dan ia ingin menggunakan kepiawaiannya yang mengarah ke gerakan

sensual tersebut untuk memenangkan sectionals. Sensualitas dianggap lebih menjual oleh

Sam namun ditentang keras oleh Blaine, yang merasa tidak nyaman dengan gerakan

tersebut karena dinilai terlalu „murahan‟. Meninjau adegan ini, penolakan tokoh Blaine

yang gay terhadap gerakan sensual menjadi persoalan tersendiri bagi homoseksual karena

menjadi homoseksual bukan berarti harus sensual. Tokoh Sam yang diceritakan menari di

sebuah bar perempuan pun secara implisit ditangkap oleh peneliti sebagai sebuah

kontradiksi. Biasanya perempuan di media TV selalu direpresentasikan sebagai tokoh yang

menampilkan sensualitas dan menjadi objek tontonan laki-laki, tetapi disini justru

sebaliknya, yaitu laki-laki yang malah ditampilkan sensual dan menjadi objek tontonan

perempuan.

Episode 10, yaitu Yes or No, terlihat seperti sebuah peralihan sementara dari isu

seksualitas yang memang menjadi sorotan utama serial TV ini karena yang disajikan

adalah cerita tentang tokoh Mr. Schuester, yang ingin melamar Ms. Pilsbury, namun yang

mendapat perhatian dalam episode ini tetap para siswa klub Glee, yang dengan segala

kekurangannya mampu menyalurkan kekurangan tersebut menjadi sesuatu yang sangat

positif. Dengan kata lain, klub ini tidak hanya dilihat sebagai representasi tempat yang

mewadahi dan menghargai perbedaan, tetapi juga tempat yang mampu membawa

perubahan terhadap pola pikir yang bersifat narrow minded melalui lagu-lagu yang

dibawakannya sebagai sebuah saluran untuk menyampaikan suatu pesan. Istilah lainnya,

klub Glee direpresentasikan sebagai penyelamat kelompok minoritas dari ketertindasan.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 91: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

91 Universitas Indonesia

Selanjutnya, pada episode 11 yang berjudul Michael, bisa dilihat dari judulnya

bahwa yang menjadi ikon pada episode ini adalah penyanyi legendaris Michael Jackson

(MJ). Apabila ditinjau lebih jauh, hubungannya dengan Glee club adalah „keunikan‟ yang

dimiliki MJ, seperti gaya berpakaiannya, kehidupannya, termasuk operasi plastik yang

sering dilakukannya, dapat dikatakan outside the box dan bisa dikategorikan outsider. MJ

juga semasa hidupnya menyerukan soal anti-kekerasan melalui beberapa lagunya

sebagaimana yang diperjuangkan Kurt, dan teman-teman klubnya. Ironi menarik yang

justru terjadi pada episode ini adalah anti kekerasan yang menjadi simbol Glee hampir

goyah karena peristiwa yang dialami tokoh Blaine ketika Blaine dan teman-teman klubnya

mengadakan adu tari dengan pihak Dalton Academy di sebuah basement yang gayanya

mengadaptasi gaya MJ di video klip lagu Bad. Tokoh baru dari Dalton Academy yang

bernama Sabastian Smythe melempar slushie ke wajah Blaine, yang sebenarnya ditujukan

untuk Kurt karena rasa cemburu. Kecemburuan Sabastian sudah dimulai sejak episode 5,

yaitu The First Time, ketika kali pertama berkenalan dengan Blaine, yang telah memiliki

pacar Kurt. Para siswa Glee hendak melakukan aksi balas dendam akibat kelakuan

Sabastian terhadap Blaine, namun dicegah oleh Mr. Schuester yang mengingatkan tentang

anti-kekerasan yang selalu mereka junjung tinggi. Pada prinsipnya, pertikaian antara tokoh

Sabastian dengan klub Glee adalah konflik antar tiga individu homoseksual yang wajar dan

bisa terjadi juga pada heteroseksual bila menyangkut masalah cinta. Jadi, peneliti

menangkap bahwa makna yang ingin disampaikan melalui representasi ini adalah sebuah

konflik yang biasa terjadi di kalangan remaja tanpa harus memandang seksualitas. Jadi,

homoseksual atau tidak, mereka tetaplah remaja seperti remaja pada umumnya. Akhirnya,

aksi balas dendam tidak jadi dilancarkan melalui kekerasan karena bertolak belakang

dengan prinsip anti kekerasan yang dikampanyekan oleh Kurt.

Lalu, pada episode ini pun, diceritakan juga tentang Kurt, yang bercita-cita

melanjutkan kuliah di New York. Ia mengajukan permohonan sebagai finalis NYADA

(New York Academy for Dramatic Arts), dan hasilnya ia diterima sebagai finalis tersebut

melalui surat yang dikirimkan padanya. Ayahnya merasa sangat bangga pada pencapaian

anaknya tersebut setelah apa yang dialaminya selama ini (Glee 3, episode 11). Gambaran

ini menunjukkan bahwa menjadi individu dengan orientasi seksualitas yang berbeda bukan

penghalang untuk tetap menjalankan hidup sebagaimana mestinya. Seorang homoseksual

ataupun heteroseksual pada prinsipnya sama-sama mampu untuk meraih kesuksesan

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 92: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

92 Universitas Indonesia

karena kesuksesan tersebut bukan ditentukan oleh orientasi seksual melainkan kualitas

individu itu sendiri. Bila dicermati lebih jauh, segala macam label negatif yang ditujukan

kepada homoseksual pada dasarnya adalah pelabelan sepihak akibat dari wacana

heteronormativitas yang diproduksi terus menerus tentang homoseksual yang selalu dinilai

berdasarkan penyimpangan seksualitasnya.

Homoseksualitas tidak terlalu diangkat pada episode 12, yakni The Spanish

Teacher, tetapi menariknya disini adalah dihadirkan bintang tamu Ricky Martin yang

berperan sebagai guru bahasa Spanyol bernama David Martinez. Berdasarkan informasi

yang diperoleh, Ricky Martin adalah seorang homoseksual di kehidupan nyata yang telah

melakukan proses coming out pada 2010. Kehadirannya pada episode ini ditangkap sebagai

sebuah ikon yang menginspirasi homoseksual lainnya yang masih menyembunyikan

identitasnya agar memiliki kekuatan untuk come out.62

Selain itu, candaan tokoh Puck

yang mengatakan bahwa laki-laki heteroseksual yang senang membersihkan alat

reproduksinya berarti adalah seorang gay juga terdapat pada episode ini. Candaan tersebut,

apabila ditinjau lebih jauh, mengandung makna bahwa seorang laki-laki „sejati‟ tidak akan

terlalu memusingkan kebersihan karena biasanya yang menaruh perhatian lebih pada

kebersihan adalah kaum perempuan, dan gay selama ini dilihat sebagai laki-laki „feminin‟

sehingga tidak dianggap sebagai laki-laki „sejati‟. Kembali lagi dikaitkan dengan teori

Connell bahwa laki-laki harus dilihat sebagai individu yang memiliki karakter beragam

dan tidak bisa dengan begitu saja menilai laki-laki dengan karakter feminin itu bukan laki-

laki. Selanjutnya, pada episode 13 yang berjudul Heart, dua ayah tokoh Rachel yang gay

dihadirkan dalam rangka memberikan ucapan selamat kepada anaknya yang berencana

menikahi Finn. Melalui representasi tersebut, episode ini ingin membangun persepsi bahwa

orang tua homoseksual tidak berbeda dari orang tua heteroseksual bila menyangkut soal

perhatian kepada anak. Selain itu, persepsi yang juga ingin dibangun adalah bahwa dua

orang ayah homoseksual mampu membesarkan anak perempuan tanpa adanya figur

seorang ibu. Di samping itu, pada episode ini juga diperlihatkan hubungan antara tokoh

Santana dan Brittany yang semakin intim, yang ditunjukkan dengan ciuman yang mereka

lakukan di publik sekolah, namun kelakuan mereka dipergoki Mr. Figgins, kepala sekolah

McKinley High. Mr. Figgins disajikan sebagai tokoh yang cukup liberal, tetapi karena

62

“Ricky Martin finally came out to the world as a “fortunate homosexual man”. Ia juga mengatakan kelegaannya menjadi diri sendiri, yaitu “I am blessed to be who I am.” Semigran, Aly. (2010).

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 93: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

93 Universitas Indonesia

keluhan siswanya, ia meminta agar Santana dan Brittany tidak melakukannya di depan

umum, khususnya di lingkungan sekolah.

Mr. FIGGINS: Teen lesbians! I must see you in my office right

now!

SANTANA: This is such bull crap! Why can‟t Brittany and I kiss in

public? „Cause we‟re two girls?

Mr. FIGGINS: Please don‟t make this about your sapphic

orientation. This is about Public Displays of Affection. PDA simply

has no place in the sacred halls of McKinlley High. We‟ve had

complaints.

SANTANA: About us? When?

Mr. FIGGINS: Most recently, yesterday, 12:16 pm.

SANTANA: Oh that? Our lips barely even grazed and by the way,

did you get any complaints about that hideous display that started at

12:17 pm? And lasted for several uncomfortabale minutes?63

Mr. FIGGINS: Believe me, I‟d rather see you and Santana kiss than

that so-called Finchel, but if a student files a complaint for a

religious reasons...

SANTANA: Oh, great! So it was some Bible thumper that

complained.

Mr. FIGGINS: Ms. Lopez, I‟m sorry, but I‟m trying to keep this

school from turning into a voltile powder keg.

SANTANA: I‟m sorry too, „cause all I want is to be able to kiss my

girlfriend, but I guess no one can see that because there‟s such an

insane double standard at this school. You should be able to love

whoever you want. (Glee 3, episode 13)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bab 1 bahwa, selama ini, agama diyakini

sebagai tolak ukur untuk mengukur moralitas seseorang, sehingga jika terjadi

penyimpangan moral berarti religiusitas seseorang dinilai rendah, dan menjadi

homoseksual termasuk salah satu dari penyimpangan moral tersebut. Disiniliah letak

kuatnya sebuah relasi kuasa dalam memproduski wacana homoseksual melalui kata

„agama‟, karena agama dengan jelas melarang hubungan sejenis. Bahkan dalam penelitian

Ruth Sih Kinanti, disebutkan bahwa agama (dan AIDS) selalu dijadikan alat politik untuk

mereprsentasikan homoseksualitas.64

Akan tetapi, berbeda dengan itu, serial TV ini ingin

menyajikan sesuatu yang justru kontradiktif terhadap persepsi yang telah dibangun selama

ini tentang homoseksual melalui kacamata agama. Dalam episode Heart ini, diceritakan

beberapa siswa dari klub Glee (Mercedes, Quinn, dan Sam) bergabung dengan kelompok

yang disebut dengan The God Squad yang misinya adalah menyanyi berdasarkan

63

Yang dimaksud disini adalah ciuman yang dilakukan antara Finn dan Rachel. 64

Lihat bab 1, pada bagian tinjauan literatur.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 94: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

94 Universitas Indonesia

permohonan dari pemohon dengan cukup membayar sepuluh dollar. Salah satu tokoh yang

tergabung dalam kelompok ini adalah tokoh baru yang baru dimunculkan pada episode ini

yang bernama Joe. Tokoh Joe disini digambarkan sangat religius, bahkan dapat dikatakan

seorang Kristen yang taat. Saking taatnya, tokoh Joe disebut oleh teman-temannya dengan

sebutan teen Jesus. Saat Santana meminta The God Squad menyanyikan lagu untuk

kekasihnya, Brittany, Joe tampak bingung karena yang biasa memesan lagu dari kelompok

ini adalah pasangan heteroseksual. Permohonan Santana akhirnya didiskusikan oleh

mereka dalam forum tertutup (Glee 3, episode 13). Twist seperti ini hanya bisa ditemukan

dalam tayangan TV karena fakta-fakta sosial yang disajikan seluruhnya bersifat

representasi dari sebuah wacana yang ingin dibangun melalui TV sebagai teks sosial.

Belum tentu dalam realitas, seseorang setaat tokoh Joe akan mempertimbangkan dan

memutuskan satu hal yang sedemikian kompleks, seperti homoseksualitas, dengan mudah

karena bagaimanapun, agama, jika dikaitkan dengan homoseksual, merupakan hubungan

yang sangat pelik. Meskipun demikian, yang harus dilihat disini adalah kontradiksi makna

homoseksualitas dalam sudut pandang agama yang dipersepsikan berbeda, dan ini

tercermin pada baris dialog tokoh Quinn, yang mengatakan “Jesus never said anything

about gay people. That‟s a fact” (Glee 3, episode 13). Dengan menyebut kata „Jesus‟ dalam

dialog tersebut, terlihat semacam pembenaran bahwa menjadi gay tidak dipermasalahkan

oleh agama, sehingga melalui episode ini, diharapkan agar penganut ajaran nasrani lebih

membuka pikiran terhadap kaum homoseksual. Ini pula yang disebut Foucault sebagai

formasi diskursus/wacana, yaitu suatu pemikiran dan perilaku yang terjadi di masyarakat,

dalam hal ini, para tokoh dalam film tersebut, dapat mempengaruhi kehidupan sosial,

dengan kata lain bahwa pemikiran dan perilaku tersebut adalah pengetahuan yang

melahirkan wacana baru tentang wacana homoseksualitas dalam konteks agama.

Pada season tiga ini, para tokoh homoseksual disajikan sudah tidak lagi takut untuk

mengekspresikan keberadaan dirinya sebagai individu, bahkan tokoh Karofsky yang telah

sadar akan perbuatannya pada Kurt mengekspresikan rasa sukanya kepada Kurt, yang

kemudian ditolak karena Kurt telah bersama Blaine. Namun Kurt menjanjikan sebuah

persahabatan yang baik pada Karofsky. Dikisahkan, sejak orientasi seksual Karofsky mulai

diketahui, ia memutuskan untuk pindah dari McKinley High ke sekolah lain. Karofsky

menyatakan rasa sukanya pada Kurt di sebuah restoran pada hari Valentine, yang tanpa

disadari terlihat oleh salah satu temannya di tempat ia bersekolah. Walaupun Karofsky dan

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 95: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

95 Universitas Indonesia

Kurt menyangkal, tampaknya hal itu dimaknai berbeda oleh teman Karofsky tersebut.

Dalam kasus ini, khususnya bagi pasangan homoseksual, terlihat berdua di publik justru

semakin menambah tekanan yang harus mereka hadapi untuk tetap lay low agar tidak

mendapatkan „sanksi sosial‟.

Terkait dengan episode sebelumnya, pada episode 14, On My Way, tokoh Karofsky,

yang terpergok oleh temannya berdua dengan Kurt, mendapat perlakuan yang tidak baik

oleh teman-teman sekolahnya. Ia mendapati lokernya penuh dengan tulisan Fag, dan

homo, bahkan tertulis juga di dunia maya melalui akun Twitter dan Facebook nya.

Perasaan tertekan dan tertindas yang amat sangat menyebabkan Karofsky berniat

mengakhiri hidupnya dengan menggantung dirinya di kamar tidurnya, namun beruntung

nyawanya masih bisa tertolong oleh ayahnya yang tiba tepat waktu, dan iapun dirawat di

rumah sakit. Hal ini merupakan representasi dari apa yang mungkin bisa terjadi pada

homoseksual, khususnya homoseksual remaja, akibat di bully karena seksualitasnya.

Tingkat kematangan psikologis seorang remaja yang masih tergolong labil menyebabkan

keputusan untuk bunuh diri dirasakan sebagai sebuah alternatif yang paling tepat. Tidak

hanya menjadi korban bullying di sekolah, remaja homoseksual juga mendapatkan

perlakuan yang sama dari anggota keluarganya yang tidak mau membuka pikiran untuk

mau memahami seksualitas mereka. Keadaan ini tercermin dalam dialog antara Karofsky

dan Kurt di rumah sakit ketika Kurt datang untuk menjenguknya. Adegan ini juga

menampilkan kembali citra positif homoseksual yang menaruh kepedulian yang sangat

tinggi terhadap sesamanya tanpa perasaan dendam walaupun Kurt pernah di bully oleh

Karofsky.

KAROFSKY: ... and the same thing happen to me, I couldn‟t even

take it for a week. My best friend telling me he doesn‟t want to talk

to me again, my mom telling me I have a desease and maybe I can

be cured. I don‟t know what to do, I can‟t go back to that school.

KURT: Then go to another school. I‟m not going to lie to you, it‟s

not going to be easy, and there‟ll be some days when life just sucks.

(Glee 3, episode 14)

Usaha bunuh diri Karofsky menggemparkan seluruh warga McKinley High karena

Karofsky pernah mengenyam pendidikan di sana sebelum pindah, dan secara implisit kasus

ini merupakan tamparan keras bagi pihak McKinley High yang selama ini sedikit „menutup

mata‟ pada isu homoseksualitas di kalangan remaja. Kontribusi amal yang dilakukan oleh

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 96: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

96 Universitas Indonesia

siswa-siswa Dalton Academy untuk Lady Gaga‟s Born This Way Foundation juga

ditampilkan pada episode ini yang ditangkap sebagai seruan keras terhadap kekerasan atau

bullying terhadap homoseksual. Berkaca pada representasi tersebut di atas, homoseksual

dan bullying di kalangan remaja sekolah bukan hanya merupakan pekerjaan rumah bagi

pihak sekolah, melainkan juga bagi pihak keluarga dan pihak-pihak terkait lainnya,

terutama para orang tua yang memiliki anak-anak remaja yang homoseksual. Berkaca pada

kondisi ini pula, sesuai dengan usul yang diajukan dalam penelitian Ariyanto, yakni

membangun aturan yang mengedepankan keragaman seksualitas sepatutnya dijadikan

pertimbangan agar tidak terjadi penindasan sepihak oleh heteronormativitas.

Sama halnya dengan episode 12, episode 15, The Big Brother, juga tidak terlalu

mengangkat seksualitas karena pada episode ini yang diceritakan adalah kedatangan kakak

Blaine, seorang bintang iklan, ke McKinley High untuk mengajarkan seni acting. Namun

seperti hampir di setiap episode yang disajikan, selalu ada kata „gay‟ yang dilontarkan oleh

para tokoh sentral serial TV ini, yakni seperti ucapan pembukaan “Ladies and Gays” yang

dilontarkan oleh tokoh Sue Sylvester ketika memperkenalkan kakak Blaine kepada seluruh

anggota klub Glee. Lalu pada episode 16, Saturday Night Glee-ver, tokoh Puck

mengatakan, “two dudes in one bed, it‟s like confirmed gay”. Pada episode 16, juga

disinggung mengenai harapan marriage equality bagi kelompok homoseksual. Selain itu,

meskipun sepintas, dihadirkan pula tokoh laki-laki yang ingin bertransformasi menjadi

perempuan atau trans seksual, yang bernama Wayde a.k.a Unique dari Carmel High, yang

tergabung dalam klub paduan suara Vocal Adrenalin. Ia akan berpenampilan seperti

perempuan kalau sudah bernyanyi di atas panggung dengan mengenakan rok dan sepatu

berhak tinggi. Dapat dikatakan bahwa dihadirkannya tokoh trans seksual dalam serial TV

ini adalah untuk menekankan perbedaan antara homoseksual dan trans seksual yang

barangkali kerap diartikan sama. Tokoh Wayde atau Unique datang ke McKinley High

untuk meminta saran dari Kurt dan Mercedes tentang busana yang harus ia kenakan pada

saat kompetisi, apakah sebagai laki-laki atau perempuan, walaupun hatinya lebih memilih

sebagai perempuan. Berhubung The New Direction ingin menjatuhkan Vocal Adrenalin,

Kurt dan Mercedes menyarankan Wayde agar tampil sebagai perempuan, dan atas usul Sue

Sylvester, Wayde diminta mengenakan sepatu berhak tinggi sebagai strategi mereka untuk

menjatuhkan Vocal Adrenalin. Wayde adalah lead vocal kelompok Vocal Adrenalin,

sehingga Vocal Adrenalin diharapkan kalah apabila Wayde mengenakan sepatu berhak

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 97: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

97 Universitas Indonesia

tersebut. Kurt dan Mercedes pada akhirnya menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah

salah dan berniat membujuk Wayde untuk tetap berpenampilan laki-laki, namun Wayde

justru menerima saran pertama mereka untuk tampil sebagai perempuan dan mengenakan

sepatu tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti, perbedaan antara homoseksual dan trans

seksual secara visual pada tokoh Kurt dan Wayde adalah terletak pada cara mereka

memandang dirinya sendiri. Seorang homoseksual tidak mengubah penampilan luarnya

menjadi laki-laki atau perempuan, meskipun secara psikologis dan dari segi karakter,

homoseksual (gay) terbagi ke dalam gay yang maskulin dan feminin, sementara seorang

transeksual mengubah penampilan luarnya, bahkan bila memungkinkan, mengubah jenis

kelaminnya, karena merasa terlahir dengan jenis kelamin yang salah. Contohnya adalah

tokoh Wayde tersebut, yang memiliki sifat-sifat dan jiwa seorang perempuan tetapi

terperangkap dalam tubuh laki-laki, begitupun sebaliknya.

Pada dua episode berikutnya, yaitu episode 17, Dance with somebody, merupakan

episode a tribute to Whitney Houston dalam rangka mengenang almarhumah Whitney

Houston setelah kematian tragis yang menimpanya, meskipun tetap disajikan persoalan

homoseksual seputar tokoh Kurt dan Blaine. Lalu pada episode 18, Choke, diceritakan

sebelumnya tentang tokoh Kurt, yang diterima sebagai finalis untuk masuk NYADA, dan

episode ini, merupakan sambungan dari cerita sebelumnya, yaitu tentang audisinya yang

dilakukan bersama dengan tokoh Rachel. Audisi Kurt berjalan dengan baik, sedangkan

Rachel tidak. Di tengah-tengah audisi, ia lupa sebagian lirik lagunya, sehingga bisa dilihat

melalui adegan ini bahwa homoseksual direpresentasikan unggul sementara heteroseksual

tidak. Episode ini juga sedikit menyinggung lagi isu perempuan dalam kaitannya dengan

kekerasan di rumah tangga yang direpresentasikan oleh tokoh Beiste, yang mengalami

kekerasan fisik oleh suaminya. Secara implisit, episode ini menyerukan stop kekerasan

dalam rumah tangga oleh pihak laki-laki dan sekaligus mengingatkan bahwa

homoseksualitas dan perempuan mewakili isu kelompok minoritas yang kerap menjadi

korban kekerasan. Pada episode 19, Prom-asaurus, dikisahkan pesta prom terakhir para

siswa McKinley High, khususnya bagi siswa senior yang tergabung dalam klub Glee,

seperti tokoh Rachel, Finn, Kurt, Santana, Quinn, dan Puck. Akan tetapi, yang menarik

dari episode ini adalah kekasih Santana, yakni Brittany, menobatkan dirinya sebagai Prom

King, tetapi tidak memperoleh satu vote pun karena ia dilihat sebagai perempuan, sehingga

ia dianggap tidak layak mendapat gelar Prom King, meskipun dalam hal ini, sebagai

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 98: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

98 Universitas Indonesia

seorang lesbian, ia memposisikan dirinya sebagai „laki-laki‟. Berdasarkan gambaran ini,

bisa dikatakan bahwa, bagaimanapun seorang homoseksual memposisikan dirinya,

perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetap dilihat berdasarkan jenis kelaminnya dan

bukan posisinya.

Episode 20, yaitu Props, merupakan sambungan dari isu yang dikemukakan pada

episode 16, yakni Kurt diminta oleh Sue Sylvester untuk mau berpenampilan seperti

Wayde karena, dengan penampilan „perempuan‟ tersebut, Vocal Adrenalin berhasil

memenangkan kompetisi. Menurut Sue, apa yang dilakukan Wayde dianggap sebagai the

unique factor. Kurt dengan tegas menolak usul tersebut karena ia menyadari sepenuhnya

tentang dirinya sendiri, yakni bahwa menjadi gay tidak perlu mengubah penampilan. Kurt

mengatakan,“Being gay doesn‟t mean you cross dress”. (Glee 3, episode 20). Hal ini juga

ikut menegaskan bahwa gay tidak bisa digeneralisasikan sebagai laki-laki feminin, dan

menjadi bagian dari klub Glee yang terdiri dari beragam perbedaan itulah yang dinilai

sebagai the unique factor.

Pada episode 21, Nationals, untuk kedua kalinya kelompok paduan suara klub

Glee, The New Direction, mengikuti lomba paduan suara tingkat nasional dan akhirnya

berhasil memenangkan kejuaraan tersebut dengan menempati posisi pertama, mengalahkan

juara bertahan Vocal Adrenalin. Terlihat memang ini yang dikehendaki sebelum season

finale, yaitu kemenangan klub Glee pada season terakhir dari seluruh rangkaian episode

yang disajikan sejak season pertama. Ditampilkan disini, setelah memenangkan lomba

tingkat nasional tersebut, para anggota klub Glee akhirnya mendapatkan penghormatan dan

penghargaan dari lingkungan sekolahnya yang selama ini memandang mereka tidak lain

hanya siswa minoritas yang tergabung dalam klub dengan label „homo‟ dan identik dengan

pecundang. Pencapaian ini merupakan kesuksesan besar bagi siswa klub Glee tersebut

karena, selain piala kemenangan, penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan

mereka pun mampu mereka peroleh melalui perjuangan panjang. Dengan kata lain, serial

TV ini menyampaikan bahwa segala sesuatu sangat mungkin untuk dicapai oleh siapapun,

apapun statusnya, baik homoseksual, perempuan, etnis minoritas, ras kulit hitam maupun

penyandang cacat.

Pada episode terakhir dari season tiga dan juga dari seluruh season, yaitu episode

22, dengan judul Good bye, merupakan cerita kelulusan para tokoh siswa senior Glee, yang

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 99: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

99 Universitas Indonesia

dimulai dengan tokoh Kurt yang bercerita tentang pengalamannya sejak pertama masuk

McKinley High hingga lulus.

KURT: When I first got to McKinley, I was afraid to make eye

contact. I didn‟t talk about my politics, I didn‟t share what was in

my heart. I was in the closet and those days I was tossed into the

dumpster, but McKinley has made me stronger, the most socially

conscious fashion forward peson, and perhaps I have played some

small parts for making it possible for tadpole gays in Lima to be

themselves in public, not a bad legacy for a person who pretends to

be in lust with Rachel Berry so he wouldn‟t have to date Mercedes

Jones. (Glee 3, episode 22)

Dialog Kurt di atas merepresentasikan proses seorang remaja homoseksual dalam mencari

kekuatan untuk terbuka dengan seksualitasnya dan karakternya meskipun harus

berhadapan dengan konsekuensi berada di lingkungan heteroseksual, yaitu berupa

penindasan. Namun, perjalanan panjang yang dialaminya sebagai seorang remaja

homoseksual di sekolah tersebut justru membentuk dirinya sebagai pribadi yang tangguh

dan mampu memberikan inspirasi bagi siapapun yang berada di posisi yang sama dengan

dirinya. Tokoh Kurt tidak hanya membawa citra positif bagi dirinya sendiri, melainkan

juga bagi lingkungan sekolahnya. Ketika mengungkapkan hal ini, diperlihatkan kondisi

McKinley High yang lebih kondusif, dan diperlihatkan pula sepasang remaja homoseksual

junior yang sedang berjalan melintasi koridor sekolah tanpa harus merasa takut di bully

seperti yang dialami Kurt sebelumnya. Situasi sekolah yang aman seperti ini juga peneliti

tangkap sebagai sindiran dan seruan kepada sekolah- sekolah agar mampu menciptakan hal

yang sama, terutama agar lebih memperhatikan siswa-siswa yang tergolong minoritas.

Kurt juga menyatakan terima kasihnya kepada seluruh teman-temannya di klub Glee,

terutama Mr. Schuester dan teman-temannya yang laki-laki karena telah menerima

keberadaan dirinya dengan baik tanpa memandang seksualitasnya.

KURT: I want to mostly thank the men in the room who have truly

inspired me, who never saw me for the things that made us different,

you only saw me for the ways it was the same. Because in this room,

it doesn‟t matter if you‟re gay or straight, what matters is that we‟re

friends. (Glee 3, episode 22)

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 100: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

100 Universitas Indonesia

Bagi perempuan, barangkali tidak akan terlalu sulit jika menjalin persahabatan dengan

laki-laki homoseksual karena perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak

akan mengundang prasangka-prasangka buruk di masyarakat yang sebagian besar kontra

dengan homoseksual. Oleh karena itu, Kurt, lebih mengkhususkan rasa terimakasihnya

kepada teman-temannya yang laki-laki. Pada kenyataannya, sangat sulit bagi laki-laki

heteroseksual untuk mau berteman dengan laki-laki homoseksual karena kekhawatiran

yang irasional terhadap label gay. Akan tetapi, berbeda dengan para laki-laki yang berada

di klub Glee yang justru sangat terbuka dalam menerima dan memahami seksualitasnya,

sehingga boleh dikatakan bahwa keberadaan Kurt di klub Glee membuka cara pandang

mereka terhadap homoseksual. Bagaimanapun juga, yang ingin ditekankan di sini adalah

lingkungan sekolah memang sepatutnya menjadi tempat terjalinnya hubungan pertemanan

yang baik tanpa harus mempermasalahkan perbedaan. Singkat cerita, seluruh tokoh yang

lulus berakhir dengan akhir yang baik dan memiliki tujuan untuk melanjutkan hidup ke

level berikutnya.

Secara garis besar, serial TV Glee menunjukkan adanya hubungan kekuasaan yang

terjadi dalam konteks remaja dan lingkungan sekolah di Amerika dalam kaitannya dengan

homoseksual dan kelompok minoritas. Dapat dikatakan demikian karena cara kerja dari

representasi yang terlihat dalam setiap episodenya adalah menentang aturan-aturan yang

bersifat menindas akibat hubungan kekuasaan yang telah mendominasi kehidupan manusia

sehari-hari, terutama mengenai seksualitas dan karakter yang diatur agar tidak melanggar

hukum. Seperti yang dinyatakan oleh Foucault, bahwa seksualitas ditempatkan dalam

hukum di bawah sistem biner, yaitu benar-salah, halal-haram, boleh-terlarang, positif-

negatif, yang diperjelas ke dalam bentuk aturan yang disebut dengan heteronormativitas

tersebut, begitu pula dengan maskulinitas dan feminitas pada homoseksual. Sistem biner

telah mengakibatkan lahirnya tindakan kekerasan atau penindasan di lingkungan sekolah

dalam bentuk bullying terhadap kelompok minoritas, khususnya siswa homoseksual, yang

sangat gencar diserukan dalam serial TV ini.

Peran TV sebagai teks sosial juga merupakan aspek yang tidak bisa diabaikan

dalam mengonstruksikan realitas, sehingga TV memiliki kekuatan yang mampu

membangun kesadaran dan membentuk persepsi terhadap suatu isu melalui elemen verbal

dan non-verbal dalam tayangan-tayangannya. Serial TV Glee sendiri termasuk ke dalam

salah satu tayangan yang telah memproduksi makna tentang homoseksualitas melalui

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 101: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

101 Universitas Indonesia

representasi homoseksual pada setiap season nya sehingga terbangunlah wacana tentang

isu tersebut, yang secara tidak langsung membentuk kembali kesadaran dan persepsi kita

tentang homoseksual.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 102: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

102 Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN

Diangkatnya homoseksualitas ke permukaan melalui film bertujuan untuk

membangun kesadaran serta memberikan gambaran pada khalayak luas tentang bagaimana

kelompok homoseksual direpresentasikan dan diwacanakan. Kelompok ini kalau

dipetakan, terbagi ke dalam beberapa kelompok homoseksual yang dilihat dari

keberadaannya di lingkungan tertentu, misalnya keberadaan homoseksual di lingkungan

pekerjaan, atau keberadaan homoseksual di lingkungan rumah tangga. Merujuk pada

keterangan ini, sehubungan dengan latar sekolah yang disajikan dalam serial TV remaja

ini, maka kelompok homoseksual yang disorot dalam serial TV Glee adalah keberadaan

homoseksual di lingkungan sekolah. Homoseksual remaja dalam konteks sekolah di

Amerika sangat identik dengan kekerasan atau bullying yang menunjukkan terjadinya

hubungan kekuasaan di lingkungan sekolah antara penindas dan yang tertindas.

Remaja homoseksual direpresentasikan sebagai yang paling ditindas oleh sistem

kekuasaan di lingkungan sekolah. Hal ini boleh jadi disebabkan homoseksualitas dinilai

sebagai isu yang paling kontroversial dibandingkan isu lainnya, sehingga seksualitas

dilihat lebih ditonjolkan. Isu remaja dan homoseksualitas di sekolah berangkat dari

pengetahuan yang berkembang dalam konteks Amerika tentang remaja homoseksual yang

sering kali menerima kekerasan akibat kebencian irrasional heteroseksual terhadap

homoseksual. Berbeda dengan itu, serial TV ini menyajikan representasi kekerasan

tersebut dari sudut lain, yaitu bahwa kekerasan terhadap remaja homoseksual tidak hanya

dilakukan oleh para remaja heteroseksual yang homofobik, melainkan bisa juga dilakukan

oleh sesama homoseksual yang berada dalam fase „penyangkalan‟, seperti yang

direpresentasikan oleh tokoh Karofsky yang ingin disebut „normal‟ dengan melakukan

bullying terhadap tokoh Kurt. Tidak hanya itu saja, pandangan dikotomis yang menyatakan

bahwa maskulinitas adalah karakter laki-laki dan feminitas adalah karakter perempuan,

telah menjadi pemicu kekerasan di kalangan laki-laki. Feminitas dalam karakter laki-laki

dianggap „melawan‟ kodrat Tuhan sehingga laki-laki dengan karakter feminin lebih

cenderung mengalami kekerasan, bahkan secara umum, dapat dikatakan bahwa kekerasan

terjadi karena keragaman karakter yang dimiliki oleh laki-laki tanpa memandang orientasi

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 103: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

103 Universitas Indonesia

seksualnya. Namun, dalam serial TV ini, representasi kekerasan karena keragaman

karakter tersebut dialami oleh laki-laki homoseksual (gay) yang memiliki karakter feminin.

Kebijakan anti-kekerasan terhadap kekerasan berbasis orientasi seksual di

lingkungan sekolah masih merupakan pro dan kontra, sehingga belum ada kebijakan

sekolah yang menjamin keselamatan dan keamanan remaja homoseksual dari kekerasan

tersebut (bullying). Hal ini karena pokok permasalahan tidak difokuskan pada kekerasan

yang dialami homoseksual, melainkan pada penyimpangan seksualitasnya. Perhatian pihak

sekolah pada kekerasan terhadap remaja homoseksual, khususnya terhadap remaja

homoseksual laki-laki (gay) dengan keragaman karakternya juga menjadi penting karena

maskulinitas dan feminitas selama ini dilihat sebagai atribut personal dan bukan sebagai

relasi gender, sehingga perlu dikembangkan kesadaran akan pemahaman tersebut. Oleh

karena itu, kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa kuasa heteroseksual atas nilai-nilai

seksualitas dan pandangan dikotomis tentang maskulinitas dan feminitas merupakan

hubungan kekuasaan yang menimbulkan kekerasan antar siswa tersebut, siapapun

pelakunya, heteroseksual ataupun homoseksual. Representasi remaja homoseksual yang

kerap menjadi korban kekerasan disajikan dalam serial TV ini sebagai bentuk perlawanan

terhadap aturan-aturan yang bersifat menindas.

Representasi homoseksual dalam film seri ini tetap disajikan sebagai yang

tertindas, namun bercitra positif yang memperlihatkan bahwa di dalam ketertindasannya,

homoseksual merupakan individu yang kuat, unggul dengan kualitas diri yang sangat baik,

alih-alih pesakitan atau pendosa yang selama ini selalu diwacanakan. Selain itu,

homoseksual di sini juga direpresentasikan membawa perubahan positif bagi dirinya,

sesamanya dan lingkungannya menuju peradaban yang mengedepankan kesadaran

terhadap perbedaan orientasi seksual sebagai bagian dari keberagaman, dan bukan sebagai

sesuatu yang berada di luar normativitas. Dengan kata lain, masyarakat harus bisa

menerima dan menghargai sebuah pilihan. Disamping itu, ditekankan pula kesadaran

terhadap pentingnya menyadari keberadaan kelompok minoritas dimanapun

lingkungannya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak bersifat homogen, sehingga

sangatlah wajar apabila terdapat sekelompok individu dengan pola pikir dan gaya hidupnya

masing-masing. Begitu juga dengan maskulinitas dan feminitas sebagai bentuk keragaman

karakter dalam masing-masing individu. Kesadaran ini penting dalam kaitannya dengan

hubungan kekuasaan agar bisa lepas dari segala macam bentuk ketertindasan. Penelitian ini

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 104: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

104 Universitas Indonesia

akhirnya telah membuktikan bahwa kekerasan terhadap remaja homoseksual yang terjadi

di lingkungan sekolah tidak hanya disebabkan oleh seksualitasnya tetapi juga karena

karakter di luar normal yang dimilikinya, namun kekerasan tersebut justru menjadikan

homoseksual sebagai pihak yang bercitra positif. Dengan demikian, wacana

homoseksualitas yang dihasilkan oleh representasi homoseksual dalam serial TV Glee

adalah wacana homoseksualitas yang bertolak belakang dengan kondisi homoseksual yang

selalu diposisikan tertindas dan bercitra negatif.

Sejumlah penelitian tentang homoseksualitas telah berkontribusi besar terhadap

perkembangan studi homoseksualitas yang diharapkan dapat membuka wawasan dan

mendewasakan pola pikir masyarakat tentang kelompok homoseksual. Sebuah penelitian

bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau mengembangkannya berdasarkan

penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Begitu pula harapan peneliti ketika

melakukan penelitian ini, meskipun belum bisa dikatakan telah menghasilkan sesuatu yang

baru karena adanya keterbatasan dalam pelaksanaannya, namun diharapkan penelitian ini

dapat membangun kontinuitas dari penelitian sejenis yang telah ada, terutama yang

berkaitan dengan kesadaran terhadap keragaman seksual dan keragaman karakter. Secara

garis besar sumbangan yang diberikan melalui penelitian ini adalah menyikapi

homoseksualitas dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan menyikapinya sebagai

salah satu bentuk pluralitas yang ada di masyarakat disamping bentuk pluralitas lainnya

seperti etnisitas, ras dan agama. Selain itu, perlu disadari pula bahwa orientasi seksual dan

karakter yang berbeda tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai kualitas seseorang,

apakah itu homoseksual ataupun bukan. Dengan kata lain, homoseksual harus dilihat

sebagai individu yang memainkan peran yang sama di masyarakat alih-alih dilihat sebatas

seksualitasnya. Dengan mengubah cara pandang atau cara kita menyikapi homoseksualitas

tersebut, maka diharapkan supaya anggapan homoseksual sebagai liyan dan segala macam

bentuk penindasan dapat dihilangkan, atau paling tidak dapat diminimalisasi. Lingkungan

pendidikan adalah tempat yang baik untuk memulai suatu perubahan dengan menekankan

pada pentingnya kesadaran untuk menghargai keberagaman termasuk keragaman

seksualitas dan karakter alih-alih menghakiminya, karena penindasan dalam bentuk apapun

dan atas kepentingan apapun tentunya tidak dibenarkan.

Peneliti menyadari bahwa terdapat keterbatasan dalam penelitian ini karena waktu

penelitian yang amat sangat terbatas, mengingat objek yang diteliti adalah serial TV yang

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 105: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

105 Universitas Indonesia

secara keseluruhan terdiri dari enam puluh enam episode. Pada prinsipnya, serial TV Glee

ini adalah drama musikal komedi yang mengangkat isu-isu sosial walaupun

homoseksualitas merupakan isu yang paling disorot, tetapi sehubungan dengan

keterbatasan waktu penelitian serta banyaknya jumlah episode, maka peneliti membatasi

penelitian hanya pada aspek isu sosial, yakni homoseksualitas. Peneliti melihat ada dua

aspek penting dalam film seri ini yang tidak dapat peneliti garap sepenuhnya. Dua aspek

penting tersebut adalah aspek musikalitas, dan aspek komedi, karena dua aspek ini dapat

dikatakan merupakan aspek yang juga menonjol dalam film dan memiliki keterkaitan

dengan isu sosial yang diangkat pada setiap episodenya. Oleh karena itu, dua aspek ini

membuka peluang bagi peneliti-peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lebih

lanjut atas serial TV ini.

.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 106: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

106 Universitas Indonesia

Referensi

Andri. (2009). Psikobiologi Orientasi seksual, Fokus Pada Homoseksual. Makalah

dipresentasikan pada Seminar Awam “Homoseksual, is it OK?”, Auditorium

Museum Bank Mandiri, Jakarta. Oktober 23, 2011. http://www.kabarindonesia.com

Aksana, Andrei. ( 2004). Lelaki Terindah. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama

Alami, Athiqah Nur. (2010). Mengapa Gender Menjadi Isu Penting dalam Hubungan

Internasional? Januari 9, 2013.

http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/176-mengapa-gender-menjadi-

isu-penting-dalam-hubungan-internasional

Armandhanu, Denny. (2011, Juni 24). Obama Dukung Hak-hak Kaum Homoseksual tapi

Obama Memilih Diam Ketika ditanya Soal Perkawinan Sesama Jenis. Vivanews,

Juli 20, 2011. http://dunia.news.viva.co.id/news/read/228989-obama-dukung-hak-

hak-kaum-homoseksual

Ariyanto. (2005). Membongkar Kebenaran Rezim Kuasa Kasus Homoseksual di Indonesia

(Tesis S2). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.

Astuti, Fuji & R.M. Soedarsono. (2006). Perempuan dalam Seni Pertunjukan

Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. Akademika, Jurnal Kebudayaan, hal.2

Bocock, Robert. (1997). “Choice and Regulation: Sexual Moralities”. Kenneth Thompson

(ed.). Media and Cultural Regulation. London: Sage Publications

Barker, Chris. (2000). Cultural studies Theory and Practice. London: Sage publications

Biegel, Stuart. (2010). The Right to Be Out : Sexual Orientation and Gender Identity in

America‟s Public Schools. Desember 11, 2011. http://www.h-

net.org/reviews/showrev.php/id=32448

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 107: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

107 Universitas Indonesia

Childers & Hentzi. (1995). The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural

Criticism. New York: Columbia University Press dalam Ruth Sih Kinanti. (2001).

Representasi Homoseksualitas dalam Angels in America (Tesis S2). Program

Pascasarjana, Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra, UI.

Connell, Raewyn. (n.d.). Masculinities. Januari 9, 2013.

http://www.raewynconnell.net/p/masculinities_20.html

Danesi, Marcel dan Paul Perron. (1999). Analyzing Cultures an Introduction and

Handbook. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press

Fact Sheet : Sexual Orientation and Identity. (n.d.). November 24, 2011.

http://www.siecus.org/pubs/fact/fact0006.html

Foucault, Michel. (2008). La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite. (Rahayu S.

Hidayat, penerjemah) Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Foucault, Michel. (1980). Herculine Barbin: Being the Recently Discovered Memoirs of a

Nineteenth – Century French Hermaphrodite. Sussex: Harvester Press. dalam

Wisnu Adihartono Reksodirjo. (2006). Wacana Homoseksualitas dalam Perspektif

Kontemporer: Suatu Kajian Filsafat dan Hubungan Internasional terhadap

Homoseksualitas di Belanda (Tesis S2). Program Studi Kajian Wilayah Eropa,

Hubungan Internasional Eropa. UI.

Good and Gay?: A Moral Context for Homosexuality. (March 21, 2007). Oktober 23,

2011. http://www.republicoft.com/2007/03/21/good-and-gay-a-moral-context-for-

homosexuality/

Guralnik, David B. (ed.). 1973. Webster‟s New World Dictionary of the American

Language. New York and Cleveland : The World Publishing Company

Halim, Magdalena Surjaningsih. (2005). Proses Pembentukan Identitas dan Konsep Diri

pada Kaum Gay (Homoseksual). Oktober 2, 2012. http://lib.atmajaya.ac.id

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 108: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

108 Universitas Indonesia

Hall, Stuart (ed.). (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying

Practices. London: Sage Publications

Hamad, Ibnu. (2008). “Wacana dan Media : Pergulatan antara Representasi dan

Konstruksi”. Dwi Puspitorini et al (ed.). Kajian Wacana dalam Konteks

Multikultural dan Multidisiplin. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI

Hasan, Sandi Suwardi. (2011). Pengantar Cultural Studies: Sejarah,Pendekatan

Konseptual, & Isu menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Depok: Ar-ruzz

Media

Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu

Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?. (n.d.). November

24, 2011. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php

Homosexual in public schools. (n.d.). Desember 11, 2011.

www.16.org/profamily/school_liability_report.pdf

Julian, Dann. (2011). Gaya Gay. Jakarta: P.T. Pustaka Sinar Harapan

Jhonson, Allan G. (1995). The Blackwell Dictionary of Sociology: a user‟s guide to

sociological language 2nd ed. Blackwell Publishers Ltd. dalam Risna W. Rizal.

(2006). Homoseksualitas dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Jepang: Suatu

Kajian Perkembangan Wacana Sosial dari Jaman Edo ke Meiji hingga Dewasa ini

(skripsi S1). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.

Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia, No. 009/sk/KPI/2004 tentang Pedoman Perilaku

Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia. (n.d.).

Februari, 2012. http://diskominfo.kaltimprov.go.id

Kinanti, Ruth Sih. (2001). Representasi Homoseksualitas dalam Angels in America

(Tesis S2). Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. UI.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 109: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

109 Universitas Indonesia

Mitchell, Jerry. (2010). Discussion: Should Gay Rights be a Moral Issue or a Legal One?

Oktober 23, 2011. http://blogs.clarionledger.com/jmitchell/2010/06/04/discussion-

should-gay-rights-be-a-moral-issue-or-a-legal-one/

Newburn, Tim. (1997). “Permissiveness: accounts, discourses and explanations”. Kenneth

Thompson (ed.). Media and Cultural Regulation. London: Sage Publications

Nugroho, Irawan. (12 Mei, 2012). Perkawinan Sejenis Jadi Isu Poltik Obama. Seputar

Indonesia, hal.11.

Nugroho, Irawan. (14 Mei, 2012). Romney Terbantu Isu Pernikahan Gay. Seputar

Indonesia, hal. 10.

Reksodirdjo, Wisnu Adihartono. (2006). Wacana Homoseksualitas dalam Perspektif

Kontemporer: Suatu Kajian Filsafat dan Hubungan Internasional terhadap

Homoseksualitas di Belanda (Tesis S2). Program Studi Kajian Wilayah Eropa,

Hubungan Internasional Eropa. UI.

Rizal, Risna W. (2006). Homoseksualitas dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Jepang:

Suatu Kajian Perkembangan Wacana Sosial dari Jaman Edo hingga Dewasa ini

(Skripsi S1). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.

Rocky Horor Picture, The. (n.d.). November 30, 2012.

http://www.imdb.com/title/tt0073629/plotsummary

Rose, Gillian. (2001). Visual Methodologies. London: Sage Publications

Sandfort, Theo, et al. (ed.). (2000). Lesbian and Gay Studies An Introductory,

Interdisciplinary Approach. London : Sage Publications.

Segal, Lynne. (1999). “Sexualities”. Kathryn Woodward (ed.) Identity and Difference.

London: Sage Publications

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013

Page 110: Presentasi homoseksual, Ni Made Widisanti Swetasurya, …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334082-T32532-Ni Made Widisanti... · ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi

110 Universitas Indonesia

Semigran, Aly. (2010). Did Ricky Martin‟s Boyfriend Urge Him to Come Out? December

11, 2012. http://www.ivillage.com/ricky-martin-boyfriend/1-a-129941

Takwin, Bagus.(2003). Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato

hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra

Weeks, Jeffrey. (2000). “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”. Theo Sandfort et al

(ed.). Lesbian and Gay Studies An Introductory, Interdisciplinary Approach.

London: Sage Publications

Woodward, Kathryn (ed.). (1997). Identity and Difference. London: Sage Publications

Yusuf, Nova Riyanti. (7 Mei 2012). “Paranoia Gaga”. Seputar Indonesia, hal. 8.

Yuwana, Setia. (1994). Homoseksualitas di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman dengan

Gemblak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo.(Tesis S2).

Program Studi Antropologi, FIB, UI.

Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013