Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif ...
Transcript of Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif ...
El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Volume 6, Nomor 1, April 2020
e-ISSN : 2503-314X; p-ISSN: 2443-3950
https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih
36
Accepted:
Januari 2019
Revised:
Februari 2020
Published:
Maret 2020
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
Muhamad Wildan Fawa’id Institut Agama Islam Negeri Kediri, Indonesia
email: wildanfawa’[email protected]
Nur Huda Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri, Indonesia
email: [email protected]
Abstract
Indonesia is an agrarian country. About 13% of the total land area in Indonesia
is used for agriculture. Then, about 5% of them are located on Java Island,
approximately 7.1 million hectares the area of this agricultural land in its
management is more managed by the community, with a variety of akad done.
Starting from rent for a season, a year even buy. For people who are farmed but
do not have farmland, to buy will feel heavy, because the price of land will
continue to crawl up from year to year. The solution is the lease. Like a rental in
general, tenants only have the right to make use of not selling. But according to
some Ahaadeeth rented farmland was not allowed by the prophet. But using the
analytical descriptive method of the study replied that the lease of farmland
forbidden by the prophet was rent by paying using the harvest. But no one can
guarantee this land can be harvested or not. From here comes speculation,
whereas in Islam we are forbidden for speculation. So the rental of land is
allowed because as long as paying rent using money, not agricultural products.
So the element of speculation and harm can be eliminated
Keywords: Land lease, agriculture, Islamic economic law
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
37
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
Abstaksi
Indonesia merupakan negara agraris. Sekitar 13% dari total luas lahan di
Indonesia digunakan untuk pertanian. Lalu, sekitar 5% di antaranya berada di
Pulau Jawa, luasnya sekitar 7,1 juta hektare1 Luas lahan pertanian ini dalam
pengelolaannya lebih banyak di kelola oleh masyarakat, dengan berbagai
macam akad yang dilakukan.Mulai dari sewa untuk semusim, setahun bahkan
beli. Bagi masyarakat yang berjiwa tani namun tidak memiliki lahan pertanian,
untuk membeli akan terasa berat, karena harga tanah akan terus merangkak naik
dari tahun ke tahun. Solusinya adalah sewa. Layaknya sewa pada umumnya,
penyewa hanya berhak memanfaatkan tidak berhak menjual. Namun menurut
beberapa hadits menyewa lahan pertanian tidak diperbolehkan oleh Nabi. Tapi
dengan menggunakan metode deskriptif analitik penelitian ini menjawab bahwa
sewa lahan pertanian yang dilarang oleh Nabi adalah sewa dengan membayar
menggunakan hasil panen. Padahal tidak ada seorangpun yang bisa menjamin
lahan ini bisa dipanen atau tidak. Dari sini munculah spekulasi, padahal dalam
Islam kita dilarang untuk spekulasi. Sehingga sewa tanah diperbolehkan karena
asalkan membayar sewanya menggunakan uang, bukan hasil pertanian.
Sehingga unsur spekulasi dan merugikan bisa dihilangkan
Kata Kunci: sewa lahan, pertanian, hukum ekonomi islam
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berinteraksi
antara satu dengan yang lain. Dari interaksi soaial ini timbul hubungan timbal
balik yang akan tercapai sebuah tatanan hidup yang kompleks dan memerlukan
aturan hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia dikenal dengan
istilah muamalat.2
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan
dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu
untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, terdapat
aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan.
Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan
1 Rizky Alika, Akademisi dan DPR Sebut Infrastruktur Gerus Lahan Pertanian, Katadata.co.id,
diakses 08 Januari 2020 2 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta : UUI
Press, 2004), 11-12.
38 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.3
Sebagai makhluk sosial manusia saling membutuhkan satu dengan yan lain,
sebagaimana yang diperintahkan-Nya, Allah menyuruh umat manusia untuk
saling tolong-menolong antar sesama, sesuai dengan firman Allah SWT, yakni:
Salah satu bentuk konkrit tolong menolong adalah dengan melakukan transaksi
perniagaan, karena manusia juga tidak dapat terlepas dari kegiatan ekonomi
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Indonesia merupakan negara Agraris yang luasnya 7,1 juta hectare.
Sehingga salah satu mata pencaharian rakyat Indonesia adalah bertani. Pertanian
adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk
menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk
mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang
termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau
bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan
ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan
mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti
pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti penangkapan
ikan atau eksploitasi hutan. 4 Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai
sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena
sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan
pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai
wilayah Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja di sektor
pertanian tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari jumlah penduduk bekerja
124,01 juta jiwa pada tahun 2018.5
Memiliki lahan pertanian merupakan idaman setiap petani. Namun
keterbatasan dana membuat masyarakat memilih pekerjaan lain yang lebih
menjanjikan. Bisa menjadi kuli, tukang bangunan, peternak dan buruh tani.
Namun bagi masyarakat yang memiliki uang yang lebih mereka lebih memilih
menyewa lahan pertanian untuk digarap dan dijadikan mata pencaharian utama.
Sewa menyewa sebenarnya sudah bukan hal yang aneh di masyarakat, karena
sudah dilakukan ratusan tahun lamanya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah
3 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 47. 4 Safety and health in agriculture. International Labour Organization. 1999. ISBN 978-92-2-
111517-5. Diakses tanggal 08 Januari 2019. 5 Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, www.bps.go.id, diakses tanggal 08 Januari
2019
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
39
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
apakah sewa menyewa lahan yang selama ini dipraktekkan di masyarakat ini
sudah sesuai dengan hukum Islam, yang merupakan agama mayoritas masyarakat
Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara yang di tempuh untuk
melaksanakan penelitian. Metode yang di gunakan peneliti adalah metode
kualitatif, Metode kualitatif berusaha memahami persoalan secara keseluruhan
(holistik) dan dapat mengungkapkan rahasia dan makna tertentu. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan penelitian
deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan,
menggambarkan dan menguraikan suatu masalah secara obyektif dari obyek
yang diselidiki tersebut. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki6.
Dalam kaitannya dengan tinjauan hukum Islam, maka dalam penelitian ini
mengunakan pendekatan normative, yaitu suatu pendekatan terhadap suatu
masalah yang ada yang bertolak ukur pada hukum Islam untuk memperoleh
kesimpulan bahwa sesuatu yang diteliti tersebut sesuai atau tidak dengan
ketentuan syari’at atau kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
Pembahasan
Sewa Menyewa dalam Islam
Sewa-menyewa dalam bahasa Arab disebut “al-ijārah”, Menurut
pengertian hukum Islam sewa-menyewa itu diartikan sebagai suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.7 Kata “menyewa” berasal
dari kata “sewa” yang mendapat awalan “me” sehingga menjadi sebuah kata
6 S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung : Trasito.1998 ), 73 7 Chairuman Pasaribu dan Surawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta : Sinar
Grafika,1996), 53
40 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
“menyewa” yang memiliki arti “memakai (meminjam, menampung) dengan
membayar uang sewa”.8
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda
mendefenisikanijarah, antara lainadalah sebagai berikut:
1. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah “ Akad untuk membolehkan
pemilikan manfaatyang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang
disewakan dengan imbalan.”
2. Menurut Malikiyah bahwa ijarah adalah “ Nama bagi akad-akad untuk
kemanfaatan yangbersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat
dipindahkan.”
3. Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud
denganijarahadalah “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk
memberi danmembolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”.
4. Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan
ijaraha dalah“ Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
Orang yang menyewakan disebut dengan mu'ajir. Sedangkan orang yang
menyewa disebut dengan musta'jir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan
ma'jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut
disebut ujrah. Dari beberapa pengertian ijarah (sewa) tersebut diatas dapat
dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara
para ulama dalam mengartikan ijarah (sewa), dari definisi tersebut dapat diambil
intisari bahwa ijarah atau sewa menyewa adalah akad atas manfaat dengan
imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu
barang (bukan barangnya). Dari segi imbalannya ijarah ini mirip dengan jual beli,
tetapi keduanya berbeda karena dalam jual beli objeknya benda, sedangkan
dalam ijarah objeknya adalah manfaat dari benda.9
Dasar kebolehan sewa -menyewa adalah firman Allah SWT. Sebagai
berikut disebutkan :
8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), 1057. 9 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Penerjemah Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, Judul Asli:
Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, Cet. I (Jakarta: Al-Mahira, 2010), 37.
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
41
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang Kuat lagi dapat dipercaya", Berkatalah dia (Syu'aib):
"Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka
itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak
memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk
orang- orang yang baik"11.
Ayat di atas menerangkan bahwa sewa-menyewa telah disyariatkan dan
dijadikan landasan dalam mempekerjakan seseorang bahwa orang yang baik di
sewa atau di jadikan pekerja yaitu orang yang kuat fisik maupun akal. Lebih
lanjut bahwa prinsip dalam sewa menyewa atau mempekerjakan seseorang
adalah orang yang pandai menjaga amanah dan berpengetahuan baik menyangkut
tugas atau pekerjaan yang akan di embannya.
Dan juga diperkuat dengan hadits
(
Artinya : Dari Ibnu Umar RA, berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
berikanlah upah pekerjaan sebelum keringatnya kering. (riwayat Ibnu
Majah).12
Hadis di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan sewa-menyewa
terutama yang memakai jasa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan, upah
atau pembayaran harus segera diberikan sebelum keringatnya kering,
10 QS. al Qashash (28) : 26 – 27 11 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah (Bandung: PT Penerbit J-ART, 2005), 559. 12 Sohari Sahrani, Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa dan Umum (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), 167
42 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
maksudnya, dalam hal pembayaran upah harus disegerakan dan langsung, tidak
boleh ditunda-tunda pembayarannya.
Islam memberikan aturan tentang kejelasan dalam suatu perniagaan,
kejelasan mengenai akad jual-beli itu yaitu batal atau sahnya suatu akad. Selain
rukun dan syarat-syarat akad yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian, juga
harus dipenuhi beberapa kualifikasi yang sesuai ketentuan syariah, salah satunya
yaitu bebas dari garar, maysir dan riba. Sesuatu yang mengandung unsur garar,
maysir dan riba dikhawatirkan menimbulkan berbagai masalah. Makanya dalam
kegiatan muamalat yang terpenting adalah akad. Tujuan akad adalah maksud
bersama yang dituju dan hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan
akad tercapai. Berbeda akad maka berbeda pula akibat hukumnya. Akibat hukum
akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad” (hukm al-‘aqd).13 Mengapa
Islam begitu getol menegaskan perihal akad, karena berhubungan dengan apa
yang akan kita makan atau konsumsi. Makanan yang kita konsumsi adalah
makanan yang halalan dan thoyyiban, tidak hanya sekedar baik barangnya,
namun juga halal cara memperolehnya, bukan dari mengambil harta orang lain
secara batil.14
Praktek Sewa Menyewa Lahan Pertanian di Masyarakat
Praktek sewa menyewa yang dilaksanakan di masyarakat hari ini adalah,
antar penyewa dan pemilik lahan bertemu lalu membuat kesepakatan untuk
menyewakan lahan pertaniannya. Kemudian disepakati harga sewanya berapa
untuk berapa lama periode sewanya. Selama disewakan, pemilik tidak berhak
untuk melakukan intervensi kepada penyewa lahan, begitu pula saat gagal panen
tidak ada hubungannya dengan pemilik lahan, mau rugi ataupun untung, harga
sewa tidak berubah. Sewa menyewa ini dibayarkan dengan uang di depan,
kadang juga di angsur sampai beberapa kali. Selama masa sewa penyewa tidak
boleh membatalkan perjanjian di tengah jalan, begitu pula pemilik lahan tidak
boleh menyewakan lahan selama lahan masih disewa oleh orang lain. Sewa
menyewa berbeda dengan akad-akad mukhabarah, muzaroah dan masaqoh.
Berikut table perbedaannya.
13 Ruslan Abd. Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, ASAS, Vol.
2, No. 2, Juli 2010. 14 QS. An-Nisaa (4) : 29.
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
43
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
Tabel 1. Perbedaan akad-akad pertanian yang dikenal dalam Fiqh Muamalah
Nama Akad Pengertian Benih Hasil
Mukhabarah Kerja sama antara pemilik sawah atau
ladang dan penggarap dengan bagi hasil
menurut perjanjian.
Pemilik
lahan
Sesuai
perjanjian
Muzaroah Kerja sama antara pemilik sawah atau
ladang dengan penggarap, dengan
pembagian hasil menurut perjanjian.
Pengelola Sesuai
perjanjian
Musaqoh Paroan kebun, tanaman atau buah-buahan,
dimana pemilik kebun menyerahkan
kepada orang lain untuk memeliharanya.
Pengelola Sesuai
perjanjian
Sewa Lahan pertanian disewa oleh pengelola
lahan.
Penyewa Penyewa
Ketiga bentuk akad menjelaskan bahwa model sewa menyewa lahan tidak
dikenal dalam dunia Islam. Mukhabarah dan Muzaraah lebih seperti kerja sama
(musyrakatah) antara pemilik lahan dan pengelola lahan dengan imbal jasa
berupa keuntungan hasil panen, sedangkan Musaqoh lebih pada upah. Sedangkan
sewa menyewa benih dari penyewa dan hasil hanya dinikmati penyewa, pemilik
lahan hanya menikmati uang sewa semata.
Praktek Sewa Menyewa Lahan Pertanian di Masyarakat Menurut Hukum
Islam
1. Larangan menyewakan lahan pertanian
Artinya: “Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia
menggarap dan menanaminya. Dan bila ia tidak bisa
menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka
hendaknya ia memberikannya kepada saudaranya sesama
muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan tanah
tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215
dan Muslim hadits nomor 1536]
2. Mensyari’atkan Kerja Sama Yang Saling Menguntungkan:
44 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan
dalam bentuk musaqaah atau muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini,
kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang mereka, dan kemudian di
saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian. Adanya
kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu berikut ini:
:
Artinya: Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam “Bagilah ladang kurma kami menjadi dua bagian, satu
bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami
Muhajirin.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau
menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian
mempercayakan kepada kami urusan ladang kalian, dan
selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati
hasilnya.” Spontan kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini
dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada petunjuk
ini.” [Bukhari hadits no. 2200]
Dalam kedua hadits di atas menunjukkan bahwa kita lebih baik untuk
bekerjasama menggunakan akad mukhabarah, muzaraah daripada dengan akad
sewa bila kita tidak mampu mengurus lahan itu sendiri. Namun kita perlu pahami
asbabul wurud kenapa Rasulullah SAW melarang untuk menyewakan lahan
pertanian, yaitu :
1. Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena
menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk Anda. Karena itu,
terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi
bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka. Oleh karena itu, sebagian
ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian.
Mungkin salah satu hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna
memeratakan ketahanan pangan.15
15 Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul
Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
45
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
2. Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota
Madinah, sangat memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa
membawa serta harta kekayaannya. Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan
bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan dampak
sosial yang berat.
3. Membayar sewa menggunakan hasil panen rawan spekulasi karena bisa saja
petani panen bisa saja tidak. Untuk itu membayar dengan uang lebih
disarankan karena tidak ada pihak yang dirugikan.
Dari sini jelas sudah bahwa pelarangan Rasulullah SAW sesuai dengan
kondisi masyarakat pada waktu itu. Dan tidak bisa hadits ini dimaknai secara
langsung tanpa memahami asbabul wurud hadits tersebut. Bila hadits pelarangan
ini digunakan maka hal ini juga akan berlaku pada sewa kios dan ruko untuk
usaha, karena sewa lahan pertanian dan ruko atau kios tidak ada bedanya, yang
diambil adalah manfaatnya bukan bendanya.16
Kepastian Dan Kejelasan Masa Sewa Dan Nilai Sewa.
Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran
harta kekayaan. Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus
Anda wujudkan padanya. Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang
pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara ini, masing-masing pihak
mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Nilai sewa atau
masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam.
Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang
dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya
tidak dapat ditentukan. Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
16 Cindi Kondo, Tanggung Jawab Hukum Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Toko
(Ruko), Lex Privatum, Vol.I/No.3/Juli/2013.
46 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
Artinya: Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’
bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa
berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak
mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari
bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan
beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba,
ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian
yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak. Kala itu tidak ada
penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam
ini dilarang. Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang
pasti, maka tidak mengapa.17
Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa:
1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang
serupa, maka insya Allah tidak mengapa.
2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang
tersebut maka ada dua kemungkinan:
Kemungkinan Pertama: Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang
tertentu. Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati
bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang
sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij
di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan.
Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat
dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan.
Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga
keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam.
Kemungkinan Kedua: Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).
Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan
dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam
ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun banyak dari ulama yang melarangnya,
pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
17 [Muslim hadits no. 1547]
Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam
47
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
1. Hukum asal setiap akad adalah halal.
2. Tidak ada dalil yang melarang
Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad
ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah
dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah
substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya.
Penutup
Hukum asal dari muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarang.
Pelarangan menyewakan lahan pertanian oleh Nabi SAW, lebih karena kondisi
masyarakat Madinah pada saat itu yang dalam keadaan kesusahan untuk
bertahan hidup dan ketidak jelasan bagi hasil yang didapatkan dalam pengelolaan
lahan tersebut. Bila dua hal itu bisa dihilangkan maka bentuk pelarangan ini tidak
berlaku lagi. Karena sewa lahan pertanian juga sama dengan sewa ruko untuk
usaha, yang diambil adalah manfaatnya bukan bendanya. Bila hadits pelarangan
ini dimaknai langsung tanpa melalui telaah-telaah pustaka maka yang terjadi
adalah semua sewa menyewa lahan pertanian dan ruko yang terjadi pada
masyarakat hari ini adalah haram karena dilarang oleh Rasulullah SAW.
Daftar Pustaka
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).
Yogyakarta : UUI Press, 2004.
Chairuman Pasaribu dan Surawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam
(Jakarta : Sinar Grafika,1996.
Cindi Kondo, Tanggung Jawab Hukum Dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Rumah Toko (Ruko), Lex Privatum, Vol.I/No.3/Juli/2013.
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah (Bandung: PT Penerbit J-
ART, 2005)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
48 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda
El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020
Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, www.bps.go.id, diakses
tanggal 08 Januari 2019
Rizky Alika, Akademisi dan DPR Sebut Infrastruktur Gerus Lahan Pertanian,
Katadata.co.id, diakses 08 Januari 2020
Ruslan Abd. Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh
Muamalah, ASAS, Vol. 2, No. 2, Juli 2010.
S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung :
Trasito.1998.
Safety and health in agriculture. International Labour Organization. 1999. ISBN
978-92-2-111517-5. Diakses tanggal 08 Januari 2019.
Sohari Sahrani, Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa dan Umum. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Penerjemah Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, Judul Asli: Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, Cet. I (Jakarta: Al-
Mahira, 2010).
Copyright © 2020 Journal El Faqih: Vol. 6, No. 1, April 2020, e-ISSN: 2503-314X; p-ISSN:
2443-3950
Copyright rests with the authors
Copyright of Journal El Faqih is the property of Journal El Faqih and its content may not be
copied or emailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express
written permission. However, users may print, download, or email articles for individual use.
https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih