PRAKTIK GADAI SAW AH PETANI DESA SIMPAR...
Transcript of PRAKTIK GADAI SAW AH PETANI DESA SIMPAR...
PRAKTIK GADAI SAWAH PETANI DESA SIMPAR KECAMATAN
CIPUNAGARA KABUPATEN SUBANG DALAM
PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh :
FITRIA NURSYARIFAH
NIM. 1110046100168
K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2015 M./1436 H.
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Fitria NursyarifahNIM : 1110046100168Prodi : Muamalat (Perbankan Syariah)Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan danmempertanggung jawabkannya.
4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atautanpa izin pemilik karya.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karyaini.
Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telahmelalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memangditemukan bukti bahwa saya melanggar pernyataan ini, maka saya bersediamenerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 13 Maret 2015
Penulis
ABSTRAK
Fitria Nursyarifah. 1110046100168. Praktik Gadai Sawah Petani DesaSimpar Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang dalam Perspektif FikihMuamalah. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, FakultasSyariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015M./1436 H. xiii + 86 halaman + 15 lampiran.
Masalah utama skripsi ini adalah bagaimana pemahaman para petani desaSimpar mengenai gadai dalam Islam dan bagaimana praktik gadai sawah yangpara petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah. Tujuan penelitiannyaadalah mengetahui pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalamIslam dan mengetahui praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalamperspektif fikih muamalah.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif danempiris, jenis penelitiannya adalah deskriptif-studi kasus, sumber dan kriteria datayang digunakan adalah primer dan sekunder, pengumpulan data dilakukan dengancara interviu, observasi dan teknik dokumenter, serta teknik analisis yangdigunakan adalah analisis kualitatif.
Kesimpulan skripsi ini adalah mayoritas petani desa Simpar tidakmemahami gadai dalam Islam dan praktik gadai sawah yang biasa terjadi dikalangan petani desa Simpar ada 2 jenis yaitu gadai biasa dan gadai gantung.Ditinjau dari perspektif fikih muamalah kedua akad ini hukumnya tidak sahkarena syarat yang berkaitan dengan sighat (ijab kabul) tidak terpenuhi. Selain itu,praktik gadai sawah tersebut termasuk kegiatan eksploratif karena sangatmenguntungkan penerima gadai dan sangat merugikan penggadai.
Kata kunci : Gadai, sawah, fikih muamalah
Pembimbing : Dr. Hasanuddin, M.AgDaftar pustaka : Tahun 1994 s.d. tahun 2014
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda mulia
Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliaulah kita dapat saling kenal-
mengenal menjalin ukhuwah Islamiyyah.
Selanjutnya, berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini, secara pribadi
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
2. Ketua Program Studi Muamalat, Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag.,
MH. dan sekretaris Program Studi Muamalat, Bapak Abdurrauf, Lc., MA.
3. Bapak Dr. Hasanuddin, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Jaeni, S.E. selaku sekretaris desa Simpar, yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan data-data yang penulis butuhkan.
5. Pengurus perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
bantuannya berupa pinjaman buku-buku baik selama penulisan skripsi
maupun selama penulis menjalankan perkuliahan.
vii
6. Bapak Humaedi, M.A. dan Bapak Drs. Mursyid Shobandiselaku tokoh
agama yang telah meluangkan waktunya dan memberikan pandangan
mengenai gadai.
7. Bapak Suhendi, Bapak Saepuddin, Ibu Tati, Bapak Winata dan Bapak
Ugan selaku pelaku gadai yang bersedia memberikan penjelasan tentang
transaksi gadainya.
8. Orang tua tercinta Ibu Nuraisyah. S, S.Pd.I. dan Bapak Saripudin atas
kasih sayang dan do’a yang tak pernah usai untuk penulis.
9. Aa Supandi, S.S.atas bantuan material maupun spiritualnya.
10. Dan keluarga besar Perbankan Syariah 2010 dan 2011 atas
kebersamaannya dalam perjuangan menuntut ilmu dan menyelesaikan
tugas akhir, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah mendukung
penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdoa semoga mereka
mendapat balasan yang mulia. Dengan segala kelemahan dan kelebihan semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridai setiap langkah kita. Aamiin Ya
Rabbal ‘Aalamiin.
Jakarta, 22 Jumadil Awal 1436 H.13 Maret 2015 M.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................vi
DAFTAR ISI.............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................1
B. Identifikasi Masalah.......................................................3
C. Pembatasan Masalah......................................................4
D. Perumusan Masalah.......................................................4
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................4
F. Metode Penelitian...........................................................5
1. Pendekatan Penelitian..............................................5
2. Jenis Penelitian.........................................................5
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian........................6
4. Teknik Pengumpulan Data ......................................7
5. Subjek dan Objek Penelitian....................................8
6. Teknik Pengolahan Data..........................................9
7. Metode Analisis Data.............................................10
G. Sistematika Penulisan...................................................10
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Akad………………………………………………….12
B. Gadai dalam KUH Perdata…………………………...14
C. Gadai dalam Perspektif Fikih Muamalah…………….15
ix
1. Pengertian...............................................................15
2. Dasar Hukum.........................................................17
3. Rukun dan Syarat...................................................18
4. Hukum Akad..........................................................21
5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai...........................23
6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang
Gadai......................................................................24
7. Bertambahnya Barang Gadai.................................25
8. Resiko Kerusakan Barang Gadai...........................26
9. Penjualan Barang Gadai.........................................26
10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai..............27
11. Riba dalam Gadai...................................................34
12. Pembiayaan Barang Gadai.....................................34
13. Pengambilalihan Barang Gadai..............................34
14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai.........35
15. Pembatalan Akad Gadai.........................................37
16. Berakhirnya Akad Gadai........................................38
D. Kerangka Konsep.........................................................39
E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu..............................39
BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
A. Letak Geografis............................................................45
B. Keadaan Topografis.....................................................46
x
C. Keadaan Demografis....................................................47
1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin.............47
2. Jumlah Penduduk Menurut Usia............................47
3. Jumlah Penduduk Menurut Agama........................48
4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian.......48
5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan....50
D. Sarana dan Prasarana....................................................51
1. Sarana.....................................................................51
2. Prasarana Kesehatan...............................................51
3. Prasarana Pendidikan.............................................52
4. Prasarana Ibadah....................................................52
5. Prasarana Umum....................................................53
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Identitas Sumber Data..................................................55
B. Pemahaman Petani terhadap Gadai dalam Hukum
Islam.............................................................................56
C. Tata Cara Gadai Sawah Petani Desa Simpar...............56
D. Pendapat Tokoh Agama...............................................63
E. Analisis Fikih Muamalah terhadap Praktik Gadai Sawah
Petani Desa Simpar......................................................65
1. Tujuan Akad...........................................................65
2. Lama Waktu Perjanjian..........................................65
xi
3. Rukun dan Syarat...................................................66
4. Hak dan Kewajiban dalam Gadai...........................68
5. Penambahan Utang dan Penambahan Barang
Gadai......................................................................68
6. Bertambahnya Barang Gadai.................................70
7. Resiko Kerusakan Barang Gadai...........................70
8. Penjualan Barang Gadai.........................................70
9. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai..............71
10. Riba dalam Gadai...................................................73
11. Pembiayaan Barang Gadai.....................................73
12. Pengambilalihan Barang Gadai..............................74
13. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai.........74
14. Pembatalan Akad Gadai.........................................74
15. Berakhirnya Akad Gadai........................................75
16. Aspek Keadilan dalam Akad..................................75
17. Analisis Ekonomi terhadap praktik gadai sawah
petani desa Simpar……………………………….75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................81
B. Saran.............................................................................82
DAFTAR PUSTAKA................................................................................84
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin.................................47
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia................................................47
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Agama............................................48
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...........................49
Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan........................50
Tabel 3.6 Sarana.........................................................................................51
Tabel 3.7 Prasarana Kesehatan .................................................................51
Tabel 3.8 Prasarana Pendidikan.................................................................52
Tabel 3.9 Prasarana Ibadah........................................................................53
Tabel 3.10 Prasarana Umum......................................................................53
Tabel 4.1 Identitas Sumber Data................................................................52
xiii
DAFTAR ILUSTRASI
Ilustrasi 2.1 Kerangka Konsep...................................................................39
Ilustrasi 4.1 Gadai Sawah Biasa.................................................................58
Ilustrasi 4.2 Gadai Sawah Gantung............................................................61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk muamalat yang diperbolehkan
dalam Islam, ia merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya manakala dalam keadaan susah dengan cara
meminjam uang dan menyerahkan jaminan, karena manusia sebagai makhluk
sosial tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahkan
menurut pakar fikih kasus gadai pertama dalam Islam dilakukan sendiri oleh
Rasulullah SAW yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya untuk
membeli gandum kepada seorang Yahudi di Madinah. Di sisi lain gadai juga
bisa menjadi sarana beribadah yaitu tolong menolong dalam kebaikan
manakala ada orang lain yang sedang kesusahan, dengan cara meminjamkan
uang dan menerima barang jaminannya.
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi pedoman bagi
umatnya baik dari segi akidah, akhlak, maupun syariah. Termasuk masalah
gadai telah diatur di mana dalam pelaksanaannya diharamkan adanya unsur
riba dan kezaliman.
Dalam Islam, gadai telah diatur mulai dari syarat dan rukunnya, tata
caranya, hak dan kewajiban para pihak yang bergadai hingga hukum
pengambilan manfaat atas barang gadai.
2
Para petani dan buruh tani desa Simpar yang jumlahnya mencapai 25
persen dari total penduduk desa Simpar 1 sering melakukan transaksi gadai
sawah. Penulis telah mengamati ada beberapa penerima gadai (murtahin) yang
melakukan pemanfaatan/penggarapan sawah gadai secara berlebihan yaitu
tanpa mengenal batas waktu hingga penggadai (rahin) mampu membayar
pinjamannya. Dalam hukum Islam hal ini dapat dianggap sebagai riba dan
kezaliman. Pemanfaatan sawah gadai secara berlebihan tersebut bisa terjadi
karena kurangnya pemahaman para pelaku gadai mengenai hukum Islam, atau
mereka telah mengetahui dan memahami hukum Islam namun eggan
melaksanakannya, kendati masyarakat desa Simpar seluruhnya beragama
Islam dan 0,3 persennya merupakan tokoh agama.2
Umat Islam berkewajiban mempelajari ilmu tentang segala sesuatu yang
akan dilakukannya agar terhindar dari hal-hal yang haram. Sebagaimana
disebutkan dalam kitab Taʻlimul Mutaʻallim:
ل كان ما یقع لھ في حالھ فى أي حاعلم یفترض على المسلم طلب
Artinya: “Orang muslim wajib mempelajari ilmu yang diperlukan untukmenghadapi tugas/kondisi dirinya, apapun wujud tugas/kondisiitu”.3
Namun hal ini cenderung diabaikan oleh orang muslim terutama masyarakat
awam, termasuk oleh masyarakat desa Simpar khususnya dalam transaksi
gadai sawah.
1 Data Lapangan 2015.2 Ibid.3 Syekh Zarnuji, Taʻlimul Mutaʻallim (t.t., Pustaka Islamiyah, t.th.), h.4.
3
Melihat kondisi tersebut, nampaknya ada permasalahan mendasar yang
membutuhkan perhatian dan penelitian serta dibuatkan pemecahan
masalahnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan
judul “PRAKTIK GADAI SAWAH PETANI DESA SIMPAR
KECAMATAN CIPUNAGARA KABUPATEN SUBANG DALAM
PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH”
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dapat diidentifikasi
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai?
2. Apa tujuan para petani melakukan gadai sawah?
3. Apakah para petani memahami hukum Islam mengenai gadai?
4. Apakah praktik gadai para petani sudah memenuhi syarat dan
rukunnya?
5. Apakah praktik gadai para petani mengandung riba dan kezaliman?
6. Kepada siapa para petani menggadaikan sawahnya?
7. Digunakan untuk apa hasil gadai sawahnya?
8. Apakah gadai sawah memberikan keuntungan atau kerugian bagi
mereka?
4
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan gadai sawah mempunyai cakupan yang luas, tetapi dalam
penelitian ini pembahasannya dibatasi dengan hal-hal berikut ini:
1. Praktik gadai sawah dibatasi pada kegiatan praktik gadai sawah yang
dilakukan petani desa Simpar kecamatan Cipunagara kabupaten
Subang.
2. Hukum gadai sawah dibatasi pada hukum gadai sawah dalam fikih
muamalah.
3. Waktu penelitian dilakukan pada Januari-Februari 2015.
D. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai dalam Islam?
2. Bagaimana praktik gadai sawah para petani dalam perspektif fikih
muamalah?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman para petani mengenai gadai
dalam Islam.
2. Untuk mengetahui praktik gadai sawah para petani dalam perspektif
fikih muamalah.
5
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fikih
muamalah khususnya tentang gadai di kalangan masyarakat.
2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam
rangka pemikiran dan khazanah ekonomi syariah khususnya dalam
bidang fikih muamalah.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini termasuk pendekatan normatif dan empiris,
dimana praktik gadai sawah petani desa Simpar dianalisis berdasar norma-
norma Islam tentang gadai.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi level analisis, penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif, yakni penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-
gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat,
mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian
deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling
hubungan dan menguji hipotesis.4
Selain itu ditinjau dari masalah penelitian yang diselidiki, teknik dan
alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian
dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian studi kasus. Menurut
4 Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, cet. II (Jakarta: PT BumiAksara, 2007), h. 47.
6
Maxfield penelitian studi kasus adalah penelitian tentang status subjek
penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari
keseluruhan personalitas.5 Dalam hal ini penulis menyelidiki pemahaman
dan praktik gadai sawah para petani secara sistematis dan akurat di desa
Simpar.
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Sumber data primer yang terdiri dari :
(1) Narasumber, yakni orang yang dijadikan subjek penelitian,
dalam hal ini adalah para petani yang melakukan gadai sawah dan
tokoh agama.
(2) Informan, yakni orang yang memberikan informasi
mengenai situasi dan kondisi objektif daerah yang diteliti, dalam
hal ini adalah perangkat desa.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan yaitu dokumen-dokumen
yang ada di kantor desa yang menggambarkan keadaan wilayah dan
masyarakat desa Simpar.
Adapun kriteria data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang berupa:
5 E.N. Maxfield, “The Case Study”, dalam Moh. Nazir, ed., Metode Penelitian, cet. VII(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 57.
7
a. Data primer
Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh dari hasil
wawancara dan observasi yang penulis lakukan terhadap penggadai,
penerima gadai, tokoh agama dan perangkat desa.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan adalah data hasil dari penelusuran
penulis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi tentang
keadaan wilayah dan masyarakat desa Simpar.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan berikut :
a. Wawancara/interviu
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data)
kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau
direkam dengan alat perekam (tape recorder). 6 Penulis melakukan
wawancara terhadap penggadai, penerima gadai, tokoh agama dan
perangkat desa dengan mengacu pada pedoman wawancara yang telah
dibuat dan menggunakan alat bantu perekam (recorder).
b. Observasi
Menurut Arikunto observasi merupakan suatu teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti
6 Irawan Soehartono, ed., Metode Penelitian Sosial, cet. VII (Bandung: PT RemajaRosdakarya, 2008), h. 68.
8
serta pencatatan secara sistematis. 7 Penulis melakukan pengamatan
terhadap penggadai dan penerima gadai yang melakukan penggarapan
sawah dengan menggunakan metode observasi non partisipan dimana
penulis tidak terlibat dalam aktivitas penggarapan sawah, hanya
sebagai pengamat independen. Instrumen yang digunakan adalah
daftar pengecekan pragmen perilaku orang yang diobservasi.
c. Teknik Dokumenter
Teknik dokumenter yaitu cara mengumpulkan data melalui
peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori,
pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian.8 Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan
data yang bersumber dari arsip Pendataan Profil Desa Simpar dan
buku-buku serta kitab-kitab fikih yang membahas tentang gadai.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan akad
gadai sawah seperti penggadai dan penerima gadai, juga pihak terkait
seperti perangkat desa dan tokoh agama. Adapun objek dalam penelitian
ini adalah praktik gadai sawah yang dilakukan petani desa Simpar.
Data penelitian dalam Skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara
dengan 8 orang narasumber yang terdiri dari 2 orang penggadai, 3 orang
7 Imam Gunawan, ed., Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h.143.
8 Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, h. 191.
9
penerima gadai, 2 orang tokoh agama dan 1 orang perangkat desa. Sampel
pelaku gadai dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu dipilih
berdasar pertimbangan tertentu.9 Hal yang penulis pertimbangkan adalah
seringnya melakukan akad gadai sawah sehingga penulis memilih petani
yang sering melakukan gadai sawah di dusunnya masing-masing. Sampel
dipilih 5 orang (1 orang setiap dusun), diharapkan 1 orang tersebut dapat
merepresentasikan dusunnya masing-masing, karena pada umumnya para
petani melakukan gadai sawah dengan cara yang sama sebab sudah
menjadi budaya yang turun temurun.
6. Teknik Pengolahan Data
Data diolah dengan tahapan-tahapan siklus dan interaktif berikut ini :
a. Reduksi Data
Menurut Sugiyono reduksi data adalah kegiatan merangkum,
memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan
mencari tema dan polanya. 10 Pada tahap ini penulis melakukan
penyederhanaan terhadap hasil wawancara (transkrip), observasi dan
teknik dokumenter sebelum dilakukan paparan data.
b. Paparan Data
Pada tahap ini penulis memaparkan data yang telah disederhanakan
hingga menjadi sekumpulan informasi yang tersusun.
9 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, cet. IV (Jakarta:LP3ES, 2011), h. 169
10 Imam Gunawan, Metode Peneltian Kualitatif, h. 211.
10
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Pada tahap akhir ini, penulis menyampaikan keputusan terakhir
dari sekumpulan informasi yang tersusun untuk menjawab fokus
penelitian.
7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif,
menurut Bogdan & Biklen analisis kualitatif adalah proses pelacakan dan
pengaturan secara sistematis transkip wawancara, catatan lapangan dan
bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman
terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya
kepada orang lain.11 Dalam hal ini setelah penulis melakukan penelitian,
maka hasil temuannya dianalisis berdasarkan hukum gadai dalam Islam
dalam bentuk kalimat (tidak dengan cara menghitung).
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub bab.
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11 Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, h. 217.
11
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
Sub bab pertama pada bab ini membahas tentang gadai dalam
perspektif fikih muamalah, Sub bab kedua membahas kerangka konsep,
dan sub bab ketiga membahas tinjauan (review) studi terdahulu.
BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
Bab ini membahas letak geografis, keadaan topografis, keadaan
demografis, sarana dan prasarana desa Simpar.
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini menggambarkan identitas sumber data, pemahaman petani
terhadap gadai sawah dalam hukum Islam, tata cara gadai sawah petani
desa Simpar, pendapat tokoh agama dan analisis fikih muamalah
terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
Adapun teknik penulisan Skripsi ini mengacu pada “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta” tahun 2012.
12
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Akad
Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Secara terminologi, akad memiliki
arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti
umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki sendiri, seperti
kehendak wakaf, membebaskan hutang, talak, dan sumpah, maupun yang
membutuhkan pada kehendak dan pihak yang melakukannya seperti jual beli,
sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus akad
adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak
syariah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek
akad.1
Akad adalah kontrak antara dua belah pihak, akad mengikat kedua belah
pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu. Dalam akad, term dan condition-nya sudah ditentukan secara
rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak
yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka
ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
1 Wahbah al-Zuhaili “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, dalam Saepuddin Arif dan Ah.Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,2011), h. 26.
13
Akad ada 2 macam yaitu:
1. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian
yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi
ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam
rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam Bahasa
Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat
kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada
pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT bukan
dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut
boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya
(cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad
tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari
akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah,
wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.
2. Akad Tijarah
Akad tijarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala
macam perjanjian menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.
14
Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, dan sewa-
menyewa.2
B. Gadai dalam KUH Perdata
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata, Gadai merupakan suatu hak yang
diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan
yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang
berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.3 Diserahkannya
jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan tersebut akan dikuasai oleh
pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai ditebusnya jaminan
tersebut oleh penggadai.
Gadai dalam KUH Perdata ialah penguasaan atas barang gadai tanpa
adanya pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang
disebutkan dalam KUH Perdata, pemegang gadai hanya berkuasa dan
berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa
adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.
2 Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi IV (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 70.
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
15
Dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak berhak memanfaatkan barang
gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. 4
pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban menjaga barang
yang digadaikan itu.
Ketika penggadai tidak mampu membayar tebusan barang gadai dalam
waktu yang telah disepakati maka pemegang gadai akan melakukan lelang,
hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang yang dipinjam
penggadai dari pemegang gadai.
Waktu lamanya penggadaian telah ditentukan maksimal 7 tahun. Jika telah
lebih dari 7 tahun, maka tanah pertanian yang digadaikan harus dikembalikan
kepada pemilik tanah pertanian tersebut (penggadai) tanpa menuntut uang
tebusan. Hal ini dikarenakan selama 7 tahun penerima gadai telah mengelola
dan menikmati hasil panen dari sawah tersebut.5
C. Gadai dalam Perspektif Fikih Muamalah
1. Pengertian
Gadai (rahn) secara bahasa artinya bisa al-tsubût dan al-dawâm yang
artinya tetap, atau ada kalanya berarti al-habsu dan al-luzûm yang artinya
menahan. 6 Sedangkan menurut istilah, para ulama fikih mendefinisikan
gadai sebagai berikut :
4 Ibid.5 Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrarian.6 Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid VI, cet. I, Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 106.
16
a. Ulama Malikiyyah mendefinisikan dengan “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”.
Menurut mereka, harta yang dapat dijadikan barang jaminan
(agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta
yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang
jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga
penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai
jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya
(setifikat sawah).7
b. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan dengan “menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang itu), baik seluruhnya
maupun sebagiannya”.8
c. Ulama Hanabilah mendefinisikan dengan “menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar
utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya
itu”.9
7Al-Dardir, “Al-Syarh al-Saghir bi Syarh al-Sawi”, dalam Nasrun Haroen, FiqihMuamalat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.
8Ibnu ʻAbidin, “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar”, dalam Nasrun Haroen, FiqihMuamalat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.
9Syamsuddin Muhammad Ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, ed., Mughni al-Muhtajilâ maʻrifah maʻânî alfadz al-minhaj, juz II, cet. II (Beirut: Dar al-Khatab al-Ilmiyah, 2009), h.151.
17
d. Ulama Syafiʻiyyah mendefinisikan dengan “menjadikan suatu
benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar utang”.10
Definisi yang diungkapkan ulama Hanafiyyah, Hanabilah dan
Syafiʻiyyah mengandung pengertian bahwa harta yang boleh dijadikan
jaminan utang hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat
sebagaimana dikemukakan ulama Malikiyyah, sekalipun sebenarnya
manfaat menurut mereka termasuk dalam pengertian harta.11
2. Dasar Hukum
Hukum gadai adalah mubah, berdasarkan:
a. Alquran
...صلىوإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرھان مقبوضة
Artinya:“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidakmendapatkan seorang penulis, maka hendaklah adabarang jaminan yang dipegang”...(QS. al-Baqarah /2:283)
b. Hadits
د ثنا مسد ثنا عبد الواحد : حد ثنا الأعمش قال : حد ھن والقبیل : حد تذاكرنا عند إبراھیم الر
لف، فقال إبراھیم ثنا الأسود عن عائشة رضي الله عنھا: في الس الله ىل ص أن النبي : حد
.علیھ وسلم اشترى من یھودي طعاما إلى أجل ورھنھ درعھ
10Ibid.11Nasrun Haroen, Fiqih Muamalat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.
18
Artinya: “Musaddad menyampaikan kepada kami dari AbdulWahid bahwa al-Aʻmasy berkata:“kami dan Ibrahimpernah membahas tentang hukum gadai dan jaminandalam akad pemesanan”. Lalu Ibrahim berkata: “al-Aswad menyampaikan kepada kami dari Aisyah bahwaNabi SAWpernah membeli makanan dari orang Yahudisecara tangguh dan menggadaikan baju besinya kepadaorang tersebut”. (HR. Bukhari)12
c. Ijmak ulama ahli fikih sepakat akan diperbolehkannya akad gadai,
baik dalam keadaan hâdir (berada di tempat) maupun safar (dalam
perjalanan).13
d. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dalam Fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 telah menetapkan
bahwapinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn dibolehkan.14
3. Rukun dan Syarat
Rukun-rukun gadai yaitu :
a. Orang yang berakad (penggadai [rahin] dan penerima gadai
[murtahin])
b. Ijab dan kabul (sighat)
c. Utang (marhun bih)
d. Harta yang dijadikan jaminan (marhun)
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun gadai hanyalah ijab dan
12Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, ed., Shahih Bukhari, jilid I, cet. I,Penerjemah Masyhar dan Muhammad Suhadi (Jakarta: Almahira, 2011), h. 566.
13Ibnu Qudamah, Ed., al-Mughni, Jilid VI, penerjemah Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam,2009), h. 26.
14Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, ed., Himpunan Fatwa KeuanganSyariah (Jakarta: Erlangga, 2014), h.738.
19
kabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya
akad gadai ini, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh penerima
gadai. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan
jaminan, dan utang, menurut ulama Hanafiyyah hanya termasuk syarat-
syarat gadai bukan rukunnya.15
Adapun syarat-syarat gadai para ulama fikih menyusunnya sesuai
dengan rukun gadai itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat gadai
adalah sebagai berikut :
a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur
ulama adalah orang yang telah balig dan berakal. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyyah kedua belah pihak yang berakad tidak
disyaratkan balig, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu
menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad
gadai asal mendapat persetujuan dari walinya.
b. Syarat terkait dengan ijab dan kabul, ulama Hanafiyyah
berpendapat bahwa akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila
akad itu dibarengi dengan syarat tertentu maka syaratnya batal
sedangkan akadnya sah. Misalnya, penggadai mensyaratkan
apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar,
maka jaminan itu diperpanjang 1 bulan. Sementara, jumhur ulama
mengatakan bahwa apabila syarat itu ialah syarat yang mendukung
15Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Masʻud al-Kasani al-Hanafi, Badâ’iussanâiʻ fî tartîbisyarâiʻ, juz VI, cet. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 204.
20
kelancaran akad, maka dibolehkan, tetapi apabila syarat itu
bertentangan dengan tabiat akad gadai, maka syaratnya batal.
Perpanjangan gadai 1 bulan dalam contoh syarat di atas termasuk
syarat yang tidak sesuai dengan tabiat gadai. Karenanya syarat
tersebut dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan misalnya, demi
sahnya akad gadai, pihak penerima gadai meminta agar akad itu
disaksikan oleh 2 orang saksi.
c. Syarat yang terkait dengan utang yaitu (1) merupakan hak yang
wajib dikembalikan kepada penerima gadai, (2) utang itu boleh
dilunasi dengan jaminan, dan (3) utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan,
menurut ulama fikih syarat-syaratnya adalah (1) barang jaminan itu
boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) berharga dan
boleh dimanfaatkan, (3) jelas dan tertentu, (4) milik sah penggadai,
(5) tidak terkait dengan hak orang lain, (6) merupakan harta utuh,
dan (7) bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya .16
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fikih sepakat bahwa
akad gadai baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan secara
hukum telah berada di tangan penerima gadaidan uang yang dibutuhkan
telah diterima penggadai. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak
seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang
diberikan kepada penerima gadai, cukup sertifikatnya saja. Syarat ini oleh
16Ibnu Rusyd, ed., Bidayatul Mujtahid, jilid II, cet. I, Penerjemah Abu Usamah FakhturRokhman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.539.
21
para ulama disebut qabd al-marhun bi al-hukm (barang jaminan dikuasai
secara hukum oleh penerima gadai). Syarat ini menjadi penting karena
dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah menyatakan “fa rihânun
maqbûdah” (barang jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]).
Apabila jaminan itu telah dikuasai oleh penerima gadai, maka akad
gadaibersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu utang
terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat
dilunasi, barang jaminan dapat dijual untuk membayar utang. Apabila
dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib
dikembalikan kepada penggadai. 17 Untuk al-qabd ini para ulama juga
mengemukakan beberapa syarat yaitu :
a. Al-qabd harus atas seizin penggadai.
b. Kedua pihak yang melakukan akad gadai cakap bertindak hukum
ketika terjadinya al-qabd.
c. Barang itu tetap di bawah penguasaan penerima gadai. Syarat
ketiga ini dikemukakan oleh Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Hanabilah, sesuai dengan tuntutan al-Baqarah ayat 283 (fa rihânun
maqbûdah).18
4. Hukum Akad
Hukum akad gadai ada 2 yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah.
Akad gadai yang sah adalah akad yang memenuhi syarat-syaratnya.
17Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, h.159.
18Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Masʻud al-Kasani al-Hanafi, Badâ’iussanâiʻ fî tartîbisyarâiʻ, h. 208.
22
Sedangkan akad gadai yang tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya.
Menurut Ulama Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah ada 2 yaitu
akad yang bâtil (batal) dan akad yang fâsid (rusak). Akad yang batal
adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan
asal akad, seperti pihak yang menggadaikan tidak memiliki kelayakan dan
kompetensi melakukan akad contohnya orang gila dan dungu. Sedangkan
akad yang rusak adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang
berkaitan dengan sifat akad, contohnya barang gadai tertempeli oleh selain
barang gadai. Seperti menggadaikan rumah yang di dalamnya terdapat
barang-barang milik penggadai, namun barang-barang itu tidak termasuk
barang gadaian.
Menurut ulama selain Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah hanya ada
1 macam yaitu akad yang batal/rusak, yakni akad yang tidak memenuhi
syarat-syarat sah gadai yang mereka tetapkan dengan perbedaan pendapat
diantara mereka dalam sebagian syarat-syarat tersebut.
Akad gadai yang sah hanya mengikat 1pihak, yaitu hanya bagi
penggadai saja, oleh karena itu penggadai tidak memiliki hak untuk
membatalkan dan menganulirnya, karena baginya akad gadai adalah akad
jaminan utang. Adapun penerima gadai memiliki hak untuk
membatalkannya kapan saja, karena akad gadai baginya adalah untuk
kemaslahatan dan kepentingan dirinya. Akad gadai menurut seluruh
fukaha belum memiliki konsekuensi hukum apa-apa kecuali dengan
23
adanya al-qabd.19
5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai
a. Hak Penerima Gadai
(1) Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila penggadai
tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
(2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang
telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang gadai.
(3) Selama pinjaman belum dilunasi, penerima gadai berhak
menahan barang gadai yang diserahkan oleh penggadai.
b. Kewajiban Penerima Gadai
(1) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau
merosotnya barang gadai yang diakibatkan oleh kelalaiannya.
(2) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan sendiri.
(3) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada penggadai
sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
c. Hak penggadai :
(1) Penggadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali
setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.
(2) Penggadai berhak menuntut ganti rugi atasrusaknya atau
hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan kelalaian
penerima gadai.
19Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 206.
24
(3) Penggadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang
gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya
lainnya.
d. Kewajiban penggadai :
(1) Penggadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya
dalam waktu yang telah ditentukan.
(2) Penggadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai
miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentukan penggadai
tidak dapat melunasinya.20
6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai
a. Penambahan Utang
Penambahan utang berartipenggadai meminjam uang lagi kepada
penerima gadai dengan jaminan yang sama. Ada 2 pendapat tentang
hal ini, pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Muhammad, Ulama
Hanabilah dan salah satu versi pendapat Imam Syafiʻi adalah tidak
boleh karena tambahan tersebut merupakan akad gadai baru, atau
karena hal ini berarti menggadaikan barang yang telah digadaikan,
padahal menggadaikan barang yang telah digadaikan hukumnya tidak
boleh, karena barang yang telah digadaikan keseluruhannya telah
terikat dengan utang yang pertama.Kedua, pendapat Imam Malik, Abu
Yusuf, Abu Tsaur, al-Muzani dan Ibnul Mundzir yang
menyatakanboleh. Karena seandainya penggadai memberi tambahan
20 Buchari Alma, Manajemen Bisnis Syariah, cet. I(Bandung: Alfabeta, 2009) h. 33-34.
25
jaminan lagi, maka itu boleh, begitu juga jika penggadai meminta
tambahan utang lagi, makaboleh. Karena tambahan di dalam utang
berarti menghapuskan akad gadai yang pertama dan mengadakan akad
gadai yang baru lagi dengan utang kedua tersebut, dan hal ini adalah
boleh berdasar kesepakatan para ulama.
b. Penambahan Barang Gadai
Penambahan barang gadai adalah memberikan jaminan lagi
disamping jaminan yang telah ada dengan utang yang sama, hal ini
menurut jumhur ulama diperbolehkan karena itu merupakan bentuk
tambahan penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad
gadai.21
7. Bertambahnya Barang Gadai
Ada 2 ketentuan untuk barang gadai yang bertambah:
a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anak binatang
yang jadi dan lahir sesudah barang digadaikan tidak termasuk
barang gadaian, tetapi tetap menjadi milikpenggadai. Maka jika
barang gadaihendak dijual oleh penerima gadai, tambahannya tidak
boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut digadaikan.
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan seperti tambahan gemuk,
tambahan besar, dan anak-anak yang ada di dalam kandungan
adalah termasuk barang gadai. Begitu juga dengan bulu binatang
yang jika di waktu menggadaikan sudah waktunya dipotong tetapi
21Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 228.
26
tidak dipotongnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk
barang gadai. Tetapi jika diwaktu menggadaikan belum waktunya
dipotong, maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk
barang gadai; penggadai berhak memotong dan mengambil bulu itu
apabila tiba waktu memotongnya22.
8. Resiko Kerusakan Barang Gadai
Menurut ulama Hanafiyyah penerima gadai harus menanggung resiko
kerusakan atau kehilangan barang gadai yang dipegangnya, baik barang
gadai hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya. Sedangkan
menurut Ulama Syafiʻiyyah penerima gadai menanggung resiko
kehilangan atau kerusakan barang gadaibilabarang gadaiitu rusak atau
hilang karena disia-siakan olehnya.23
9. Penjualan Barang Gadai
Apabila disyaratkan barang gadai dijual ketika batas waktunya tiba,
maka syarat ini sah dan penerima gadai berhak menjualnya. Pendapat ini
berbeda dengan pendapat Imam Syafiʻi yang menetapkan atas tidak
sahnya syarat ini. Dan jika barang gadai kembali ke tangan penggadai
dengan kehendak penerima gadai, maka akad gadainya batal.24
Jika di dalam akad gadai disyaratkan bahwa barang gadai harus dijual
kepada penerima gadai ketika tiba waktu pelunasan utang, maka akad
22Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. XXVII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994),h.311.
23Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, edisi pertama (Jakarta: Predana MediaGrup, 2010), h. 271.
24Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid V, cet. I, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin(Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 248.
27
gadai tersebut tidak sah, karena adanya tempo waktu. Akad jual belinya
juga tidak sah karena digantungkan pada masa (ada taʻliqnya)25.
10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai
a. Pengambilan manfaat oleh penggadai
Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat
barang gadai oleh penggadai:
(1) Ulama Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penggadai tidak
boleh memanfaatkan barang gadai kecuali atas izin penerima gadai.
Karena al-habsu adalah tertetapkan untuk penerima gadai secara
terus menerus yang berarti peggadai dilarang mengambil kembali
barang gadai. Namun jika pemanfaatan terhadap barang gadai tidak
sampai melepaskan pemegangan penerima gadai terhadap barang
gadai, maka diperbolehkan.
(2) Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah menetapkantidak boleh bagi penggadai
memanfaatkan barang gadai.Mereka juga menetapkan bahwa
apabila penerima gadai memberikan izin kepada penggadai maka
akad gadai menjadi batal. Karena pemberian izin tersebut dalam hal
ini dianggap sebagai bentuk pelepasan hak penerima gadai terhadap
barang gadai.
25Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifâyatul Akhyâr fî Halli Ghâyatil Ikhtishâr,jilid II, cet. I, Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Maʻruf Asrori (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset,1997), h. 64.
28
Namun dikarenakan kemanfaatan-kemanfaatan barang
gadai adalah milik penggadai, maka ia boleh menjadikan penerima
gadai sebagai wakilnya dalam memanfaatkan barang gadai untuk
dirinya, agar kemanfaatan-kemanfaatan barang gadai tidak tersia-
siakan. Oleh karena itu, menurut sebagian ulama Malikiyyah
apabila penerima gadai ternyata menyia-nyiakan kemanfaatan
barang gadai, maka ia menanggung denda biaya sewa standar
selama penyia-nyiaan tersebut. Karena berarti dia telah merugikan
penggadai. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa
penerima gadai tidak menanggung denda, karena ia memang tidak
berkewajiban memanfaatkan barang gadai untuk kepentingan
penggadai. Sedangkan sebagian ulama lainnya lagi mengatakan
bahwa penerima gadai menanggung denda kecuali jika penggadai
mengetahui bahwa dirinya diperbolehkan memanfaatkan barang
gadai dengan cara seperti di atas, namun ia tidak mengingkari
penyia-nyiaan yang dilakukan penerima gadai tersebut.
(3) Ulama Syafiʻiyyah
Ulama Syafiʻiyyah mengatakan bahwa penggadai boleh
memanfaatkan barang gadai dengan semua bentuk pemanfaatan
yang tidak menyebabkan berkurangnya barang gadai. Karena
kemanfaatan barang gadai, perkembangan, dan apa-apa yang
dihasilkan oleh barang gadai adalah milik penggadai dan statusnya
tidak ikut terikat dengan utang.Hal tersebut didasarkanpada hadits:
29
د بن مقاتل ثنا محم ، عن : أخبرنا عبدالله بن المبارك: حد عبي أخبرنا زكریاعن الش
الظھر یركب بنفقتھ : ((الله علیھ وسلم ىصل قال رسول الله : نھ قال أبیھریرة رضي الله ع
وعلى الذي یركب ویشرب قتھ إذا كان مرھوناإذا كان مرھونا، ولبن الدر یشرب بنف
))النفقة
Artinya:“Muhammad bin Muqatil menyampaikan kepada kamidari Abdullah bin al-Mubarak yang mengabarkan dariZakaria, dari al-Syaʻbi dari Abu Hurairah bahwaRasulullah SAW bersabda: “Hewan yang sedangdigadaikan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas biayapemeliharaan (yang dikeluarkan). Hewan yang sedangdigadaikan boleh diminum susunya sebagai imbalan atasbiaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Setiap yangmenunggangi hewan gadaian dan meminum susunyaharus mengeluarkan biaya pemeliharaan.” (HR.Bukhari)26
(4) Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat seperti ulama Hanafiyyah,
yaitu tidak boleh bagi penggadai memanfaatkan barang gadai
kecuali dengan izin atau persetujuan penerima gadai.Kemanfaatan
barang gadai dibiarkan dan tidak diambil-meskipun itu dibenci oleh
agama-apabila penggadai dan penerima gadai tidak bersepakat atas
diizinkannya penggadai memanfaatkan barang gadai.Pendapat ini
juga didasarkan atas kaidah bahwa semua kemanfaatan,
perkembangan, dan hal-hal yang dihasilkan oleh barang gadai ikut
tergadaikan.27
b. Pengambilan manfaat oleh penerima gadai
Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat
26Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h.567.27Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.192.
30
barang gadai oleh penerima gadai:
(1) Ulama Hanafiyyah
Menurut Ulama Hanafiyyah penerima gadai tidak boleh
memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin penggadai.Karena
penerima gadai hanya memiliki hak al-habsu saja bukan
memanfaatkan.Dan apabila penggadai memberi izin kepada
penerima gadai, sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa
penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak.
Sebagian lagi melarangnya secara mutlak, karena hal itu sama
dengan riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin
atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang
mengandung syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengklasifikasi
apabila di dalam akad disyaratkan penerima gadai boleh
memanfaatkan barang gadai, maka tidak bolehkarena itu adalah
riba. Namun jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh
karena hal itu berarti adalah tabarru` (derma) dari penggadai untuk
penerima gadai.
(2) Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah mengklasifikasi apabila utang
dikarenakan akad jual beli atau sejenisnya (akad pertukaran) dan
penggadai mengizinkan kepada penerima gadai untuk
memanfaatkan barang gadai atau penerima gadai mensyaratkan ia
boleh memanfaatkan barang gadai, maka hal itu diperbolehkan
31
dan pemanfaatan tersebut harus ditentukan batas waktunya dengan
jelas agar tidak mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan) yang
bisa merusak akad sewa. Karena ini adalah bentuk jual beli dan
sewa, dan ini diperbolehkan. Namun apabila utangdalam bentuk
pinjaman (qard), maka tidak diperbolehkan karena termasuk
kategori pinjaman utang yang menarik kemanfaatan.Begitu pula
jika penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan
barang gadai secara cuma-cuma (tanpa disyaratkan oleh penerima
gadai) maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori hadiah
midyân yang dilarang oleh Rasulullah SAW.
(3) Ulama Syafiʻiyyah
Ulama Syafiʻiyyah secara garis besar berpendapat seperti
Ulama Malikiyyah, yaitu penerima gadai tidak boleh
memanfaatkan barang gadai berdasarkan hadits yang menyatakan
bahwa barang gadaian tidak boleh menjadi milik orang yang
memberi pinjaman.
Apabila utang berupa qard dan penerima gadai
mensyaratkan sesuatu yang merugikan pihak penggadai, misalnya
apa-apa yang dihasilkan oleh barang gadai atau pemanfaatan
barang gadai adalah untuk penerima gadai, maka syarat tersebut
tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat akad gadai
tersebut juga tidak sah. Hal ini didasarkan pada haditsyang
menyatakan bahwa setiap syarat yang tidak terdapat di dalam
32
Kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak sah.Alasan lain
atas tidak sahnya syarat tersebut adalah karena bertentangan
dengan apa yang dikehendaki oleh akad gadai, sama seperti
mensyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai.
Adapun jika utangdikarenakan akad jual beli secara tidak
tunai dan kemanfaatan tersebut ditentukan atau diketahui, maka
sah mensyaratkan kemanfaatan barang gadai untuk penerima gadai.
Karena itu adalah suatu bentuk penggabungan antara akad jual beli
dengan akad sewa, dan hal itu diperbolehkan.
(4) Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah mengklasifikasi apabila barang gadai
berupa hewan kendaraan atau hewan perah, maka penerima gadai
boleh memanfaatkannya dengan syarat menaikinya atau memerah
susunya disesuaikan dengan kadar nafkah dan biaya kebutuhan
barang gadai yang dikeluarkan oleh penerima gadai. Meskipun
penggadai tidak mengizinkan hal tersebut.
Namun untuk barang gadai selain hewan dansesuatu yang
tidak butuh pembiayaan untuk memberi makan, maka penerima
gadai sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa
seizin penggadai. Karena barang gadai, kemanfaatan-
kemanfaatannya, dan apa yang dihasilkannya adalah milik
penggadai. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang boleh
mengambilnya tanpa seizin penggadai.
33
Apabila penggadai mengizinkan penerima gadai untuk
memanfaatkan barang gadai, ulama Hanabilah mengklasifikasi:
pertama, jika pemanfaatan tersebut tanpa imbalan (cuma-cuma)
sedangkan utang berupa qard (pinjaman), maka tidak boleh karena
termasuk pinjaman utang yang menarik kemanfaatan dan hal itu
diharamkan. Dan jika penerima gadai memanfaatkannya, maka
harus dihitung sebagai bagian dari pembayaran utang penggadai.
Namun apabila penggadaian dikarenakan utang selain qard, maka
boleh. Meskipun disertai unsur al-muhâbâh dalam biaya sewa
(maksudnya, hal itu dilakukan dengan tujuan tersembunyi untuk
membujuk dan mengambil hati orang yang bersangkutan).
Kedua, Jika pemanfaatan tersebutdengan imbalanajrul
mitsli (biaya sewa standar)maka boleh baik utang berupa qard
maupun yang lainnya. Karena di sini berarti penerima gadai tidak
memanfaatkan atas dasar qard, akan tetapi atas dasar ijarah (sewa).
Namun jika ada unsur al-muhâbâh di dalamnya, maka tidak boleh
jika utang berupa qard, dan jika utang bukan qard, maka boleh.
Hadits yang dijadikan dasar oleh Ulama Hanabilah sama
dengan hadits yang dijadikan dalil oleh Ulama Syafiʻiyyah di atas.
Menurut mereka, susunan kata “al-zahru yurkabu” dan “laban al-
darriyusyrabu” memang dalam bentuk berita, namun mengandung
arti kalimat insyâ`seperti pada ayat :
قلى...ة اع ض الر م ت ی ن أ اد ر أ ن م ل صلى ن ی ل ام ك ن ی ل و ح ن ھ د لا و أ ن ع ض ر ی ات د ال و ال و
34
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakanpenyusuan”.(QS. al-Baqarah/2 : 233)28
11. Riba dalam Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya
saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila :
a. Dalam akad gadai ditentukan bahwa penggadaiharus memberikan
tambahan kepada penerima gadaiketika membayar utangnya.
b. Ketika akad ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan.
c. Bila penggadai tidak mampu membayar utang hingga waktunya
tiba, kemudian penerima gadai menjual barang gadaidan tidak
memberikan kelebihan harga barang gadai kepada penggadai.29
12. Pembiayaan Barang Gadai
Biaya barang gadai, baik biaya pemeliharaannya maupun biaya
pengembaliannya menjadi tanggungan penggadai. Apabila penerima gadai
mengeluarkan biaya untuk barang gadai dengan izin hakim ketika
penggadai tidak ada di tempat atau enggan mengeluarkan biaya, maka itu
menjadi utang yang harus dibayar oleh penggadai kepada penerima
gadai.30
13. Pengambilalihan Barang Gadai
Islam menghapus tradisi orang-orang Arab yang apabila penggadai
28Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali al-Sayis, Perbandingan Madzhab dalamMasalah Fiqih, Penerjemah Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), h. 315.
29Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.111.30Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h.246.
35
tidak mampu membayar utangnya, maka barang gadai lepas dari
kepemilikannya dan menjadi hak milik penerima gadai.31 Dalam Hadits
Muawiyah bin Abdullah bin Jaʻfar disebutkan bahwa seorang laki-laki
menggadaikan sebuah rumah di Madinah sampai batas waktu yang
ditentukan, ketika batas waktunya habis dan penerima gadai berkata
“rumah ini menjadi milikku”, maka Rasulullah SAWbersabda:
ثنا د بن حمید حد ثنا إبراھیم بن المختار : محم ، عن : حد ھري عن إسحاق بن راشد، عن الز
ھن : ((الله علیھ وسلم قال ىسعید بن المسیب، عن أبي ھریرة أن رسول الله صل ))لا یغلق الر
Artinya:“Muhammad bin Humaid menyampaikan kepada kami dariIbrahim bin al-Mukhtar, dari Ishaq bin Rasyid, dari al-Zuhri,dari Saʻid bin al-Musayyib, dari Abu Hurairah bahwa RasulullahSAW bersabda: “barang gadaian tidak boleh menjadi milik(orang yang memberi pinjaman).” (HR. Ibnu Majah) 32
14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai
Jika terjadi perselisihan antara penggadai dan penerima gadai, maka
ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang pokok utang
atau tentang jumlah barang gadai, maka yang dibenarkan adalah
pihak penggadai.
b. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang penerimaan
barang gadai dan barang tersebut berada di tangan penggadai, maka
yang dibenarkan adalah penggadai. Namun, jika barang tersebut
berada di tangan penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah
31Ibid., h. 247.32Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, ed., Sunan Ibnu Majah,
cet. I, Penerjemah Saifuddin Zuhri(Jakarta: Almahira, 2013), h. 436.
36
penerima gadai.
c. Jika penggadai menuduh penerima gadai telah menggasab barang
gadai dan penggadai mengaku bahwa ia tidak memberikan izin
kepada penerima gadai dalam penerimaan barang tersebut, maka
menurut qaul sahihyang dibenarkan adalah ucapan penggadai.
Sebab, pada asalnya izin penerimaan barang tersebut tidak ada, dan
pada asalnya ketetapan akad gadai juga tidak ada.
d. Seandainya penggadai mengaku “saya menyerahkan barang gadai
itu untuk sewa menyewa, untuk pinjam meminjam, untuk titipan”.
Maka yang dibenarkan adalah pengakuan penggadai, menurut qaul
asah yang telah disahkan oleh Imam Syafiʻi.
e. Jika penggadai menyatakan kepada penerima gadai: “Ya, saya
memberi izin kepadamu untuk menerima barang gadaian ini, tetapi
sebelum kamu menerima barang itu saya menarik kembali izin
saya”. Maka menurut qaul sahih, yang dibenarkan adalah penerima
gadai.
f. Jika penggadai menyatakan bahwa penerima gadaimengakui
dirinya telah menerima barang gadai itu, kemudian penerima gadai
menyanggah kepada penggadai: “pengakuan saya itu tidak
sebenarnya”. Maka penggadai berhak menuntut sumpah dari
penerima gadai tentang pengakuan tersebut.
g. Jika penerima gadai memberi izin terhadap penjualan barang gadai,
ternyata kemudian barang itu dijual, lalu penerima gadai mencabut
37
kembali izinnya dengan menyatakan “saya mencabut kembali izin
saya sebelum barang itu dijual”. Di pihak lain, penggadai
menyatakan “kau mencabut izinmu setelah barang ini terjual”.
Maka menurut qaul asahyang dibenarkan adalah pengakuan
penerima gadai.
h. Jika penggadai mengingkari sama sekali pencabutan kembali oleh
penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai.
i. Barang siapa mempunyai tanggungan 2 utang, salah satu utang
tersebut berstatus gadaian, lalu ia membayar salah satu utangnya
dengan mengatakan ”saya membayar kepada pihak yang
berpiutang untuk utang saya yang berstatus gadaian”. Menurut
qaulsahih ucapan orang tersebut dibenarkan dengan bersumpah
terlebih dahulu, sebab dia sendiri yang lebih tahu tentang niatnya.33
15. Pembatalan Akad Gadai
Penarikan kembali/pembatalan akad gadai bisadilakukan dengan
ucapan ataupuntindakan. Tindakan yang menyebabkan batalnya akad
gadai adalah menggunakan barang gadaidalam bentuk perbuatan yang
dapat menghilangkan status kepemilikan, seperti memerdekakan budak
gadaian, menjual barang gadai, menjadikannya sebagai maskawin atau
upah kerja, meggadaikannya lagi kepada pihak lain atau menghibahkannya
kepada pihak lain.34
33Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifâyatul Akhyâr Fii Halli Ghâyatil Ikhtishâr,h. 66.
34Ibid., h.61.
38
16. Berakhirnya Akad Gadai
Akad gadai selesai/berakhir karena beberapa hal berikut ini:
a. Diserahkannya barang gadai kepada penggadai.
b. Terlunasinya seluruh utang yang ada.
c. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh
penggadai atas perintah hakim atau yang dilakukan oleh hakim
ketika penggadai menolak untuk menjual barang gadai.
d. Terbebaskannya penggadai dari utang dengan cara apapun,
misalnya dengan akad hiwalah, dimana penggadai sebagai muhil
dan penerima gadai sebagai muhal.
e. Pembatalan akad gadai dari pihak penerima gadai atau dengan kata
lain, penerima gadai membatalkan akad gadai yang ada, walaupun
pembatalan tersebut hanya sepihak.
f. Menurut ulama Malikiyyah, akad gadaibatal apabila sebelum
terjadi al-qabd, penggadai meninggal dunia atau jatuh pailit, atau
para pihak yang berpiutang lainnya selain penerima gadai menagih
penggadai.
g. Hancurnya barang gadai.
h. Para pihak melakukan pentasarufan terhadap barang gadai dengan
meminjamkannya, menghibahkanya atau mensedekahkannya.35
35Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 231.
39
D. Kerangka Konsep
Berikut beberapa hal yang dijadikan landasan peneliti dalam memecahkan
masalah yang telah diuraikan sebelumnya:
Ilustrasi 2.1
Kerangka Konsep
E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu
Sepanjang pengamatan penulis, berikut penelitian terdahulu yang
membahas gadai di kalangan masyarakat :
1. Pada tahun 2011 telah ditulis skripsi atas nama Sarki (Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan judul “Praktik
Gadai diperbolehkan dalam Islam
Praktik gadai sawahpara petani
Pemahaman parapetani tentang gadai
Hasil Penelitian
Pendapat Tokoh Agama
Analisis Fikih Muamalah
Kesimpulan
40
Gadai di Kalangan Masyarakat Desa Argapura Kecamatan Cigudeg
Kabupaten Bogor dalam Perspektif Hukum Islam”.Penelitian ini
bertujuan menganalisis praktik gadai yang dilakukan masyarakat desa
Argapura dalam kerangka hukum Islam. Penelitian ini menggunakan
penelitian pustaka dan lapangan, teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumenter dan studi
pustaka. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 3 jenis gadai yang
sering dilaksanakan masyarakat desa Argapura yaitu gadai kendaraan,
pepohonan, dan tanah (sawah dan kebun), namun tidak ada data yang
valid mengenai barang dan jumlah gadai di desa tersebut. Dan hasil
analisisnya menyatakan bahwa praktik gadai di desa Argapura
mengandung riba dan haram untuk diteruskan karena beberapa hal,
yakni para penerima gadai di desa Argapura bermaksud mencari
keuntungan, tidak terdapat ketentuan waktu kecuali penggadaidapat
melunasi pinjamannya, dan penerima gadai dapat mengambil manfaat
dari barang gadai dengan sepuas-puasnya walaupun tidak
mengeluarkan biaya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis
berdasarkan hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti
oleh Sarki adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan masyarakat
desa Argapura, sedangkan penulis fokus pada praktik gadai sawah
yang dilakukan para petani desa Simpar.
41
2. Pada tahun 2012 telah ditulis pula skripsi atas nama Kuroh (Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul“Analisis Hukum
Islam terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai (Persepsi Ulama Salem
terhadap Praktik Gadai Sawah di Desa Banjaran, Salem, Brebes)”.
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis persepsi ulama
kecamatan Salemterhadap pemanfaatan sawah gadai yang
dilaksanakan di desa Banjaran, kecamatan Salem, kabupaten Brebes.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research, menggunakan
teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara.Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primerberupa hasil wawancara dengan para ulama, penggadaidan
penerima gadai. Sementara sumber data sekunder berupa dokumen,
buku, catatan dan sebagainya. Metode analisis data yang digunakan
adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada 2 kelompok ulama Salemyang
memiliki persepsi berbeda tentang pemanfaatan sawah gadai. Pertama,
kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai
oleh penerima gadai yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut
diperbolehkan dan tidak termasuk ke dalam kegiatan eksploratif.
Kedua, kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah
gadai oleh penerima gadai di desa Banjaran tersebut tidak
diperbolehkan meskipun hasil yang diperoleh hanya sedikit saja,
karena kegiatan pinjam-meminjam yang mensyaratkan adanya
42
pengambilan manfaat dapat dikategorikan sebagai riba. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti
praktik gadai dan dianalisis berdasarkan hukum Islam, perbedaannya
adalah Kuroh hanya memfokuskan pada pemanfaatan sawah gadai di
desa Banjaran, sedangkan penulis meneliti seluruh aspek yang
berhubungan dengan praktik gadai sawah di desa Simpar.
3. Pada tahun 2013 juga telah ditulis skripsi atas nama Nurhabibah
(Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) dengan judul “Analisis
Dampak Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani
Muslim (Studi di Desa Karang Patri Kecamatan Pebayuran Kabupaten
Bekasi)”.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisisdampak perekonomian di kalangan petani muslim yang
menggadaikan sawahnya. Variabel yang menjadi fokusnyaadalah
pendapatan petani sebelum menggadaikan sawah (X1) dan pendapatan
petani sesudah menggadaikan sawah (X2). Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari hasilpenyebaran kuesioner dan wawancara
dengan pihak terkait. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
uji validitas dan uji reliabilitas yang menggunakan aplikasi SPSS 17,
juga menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui besar perbedaan
suatu data sebelum dan sesudah menggadaikan sawah yang kemudian
diberi ranking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada dampak
penurunan perekonomian pada petani muslim yang menggadaikan
sawahnya. Uji wilcoxonmenunjukkan bahwa nilai z hitung ≥ z tabel
43
yaitu 5,510 ≥ 1,645 sehingga hipotesis nol ditolak, hal ini terjadi
karena ketika petani menggadaikan sawahnya, mereka umumnya
mengalami penurunan perekonomian. Tidak hanya dilihat dari
pendapatan yang turun secara finansial, tetapi juga perpindahan
pekerjaan petani yang menggadaikan sawahnya menjadi buruh tani,
TKI, dan sebagainya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah meneliti para petani muslim yang melakukan
gadai sawah. Adapun perbedaannya adalah Nurhabibah menganalisis
dampak perekonomian yang timbul di kalangan para petani desa
Karang Patri setelah menggadaikan sawahnya dengan metode
kuantitatif, sedangkan penulis menganalisis kesesuaian praktik gadai
sawah para petani desa Simpar dengan fikih muamalah menggunakan
metode kualitatif.
4. Terakhir, pada tahun 2014 telah ditulis skripsi atas nama Syahrul
Munir Abdul Hakim (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)
dengan judul“Aplikasi Gadai Masyarakat Muslim (Studi pada
Masyarakat RW. 03 Kelurahan Cirendeu Kecamatan Ciputat
Timur)”.Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi aplikasi gadai di
kalangan masyarakat muslim RW. 03 kelurahan Cirendeu kecamatan
CiputatTimur kota Tangerang Selatan, disertai dengan analisis
kesesuaian aplikasi gadai tersebut dengansyariat Islam. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif.
Metodeanalisis yang digunakan adalah analisis statistik desktriptif dan
44
deskriptif analisis. Dengan statistik deskriptif, data disajikan dalam
bentuk tabel dan uraian mengenai hal-hal yang terdapat dalam aplikasi
gadai. Deskriptif analisis memberikan gambarandan informasi
terhadap fakta aplikasi gadai, juga memberikan penilaian berdasarkan
pendapat ulama fikih. Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa dalam
transaksi gadai masyarakat muslim kelurahan Cirendeu terdapat hal-
hal yang sejalan dengan pendapat ulama fikih seperti rukun dan syarat-
syarat gadai, penyerahan barang gadai, tanggung jawab rusaknya
barang gadai dan berakhirnya gadai. Adapula yang bertentangan
dengan pendapat ulama fikih seperti imbalan dan pemanfaatan barang
gadai. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis berdasarkan
hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti oleh Syahrul
Munir Abdul Hakim adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan
masyarakat RW. 03 kelurahan Cirendeu, sedangkan penulis fokus pada
praktik gadai sawah yang dilakukan para petani desa Simpar.
46
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
A. Letak Geografis
Secara geografis desa Simpar merupakan bagian dari kecamatan
Cipunagara kabupaten Subang provinsi Jawa Barat dengan batas-batas
wilayah:
1. Sebelah utara : desa Sukadana, kecamatan Compreng
2. Sebelah selatan : desa Jati, kecamatan Cipunagara
3. Sebelah barat : desa Kamarung, kecamatan Pagaden
4. Sebelah timur : desa Kosambi, kecamatan Cipunagara
Luas wilayah desa Simpar adalah 835,415 ha yang terdiri dari:
1. Luas pemukiman : 145,716 ha
2. Luas persawahan : 614,800 ha
3. Luas kuburan : 2,474 ha
4. Luas pekarangan : 68,483 ha
5. Luas taman : 2,526 ha
Adapun jarak desa Simpar dari pusat pemerintahan adalah:
1. Jarak dari kantor desa ke dusun terjauh : 3 km
2. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan: 7 km
3. Jarak dari ibukota kabupaten : 18 km
4. Jarak dari ibukota provinsi : 80 km
5. Jarak dari ibukota : 170 km
47
Desa Simpar terdiri dari 5 dusun yaitu dusun Simpar, Kacepet, Babakan,
Kunir, dan Lampegan yang terbagi ke dalam 12 RW dan 31 RT dengan
pembagian sebagai berikut:
1. Dusun Simpar terdiri dari 3 RW yaitu RW 01 s/d RW 03, dan terdiri
dari 8 RT yaitu RT 01 s/d RT 08.
2. Dusun Kacepet terdiri dari 2 RW yaitu RW 04 s/d RW 05, dan terdiri
dari 14 RT yaitu RT 09 s/d RT 13.
3. Dusun Babakan terdiri dari 1 RW yaitu RW 06 dan terdiri dari 4 RT
yaitu RT 14 s/d RT 17.
4. Dusun Kunir terdiri dari 3 RW yaitu RW 07 s/d RW 10 dan terdiri dari
9 RT yaitu RT 18 s/d RT 27.
5. Dusun Lampegan terdiri dari 2 RW yaitu RW 11 s/d RW 12 dan terdiri
dari 4 RT yaitu RT 28 s/d RT 31.
B. Keadaan Topografis
Keadaan topografis desa Simpar adalah sebagai berikut:
1. Ketinggian dari permukaan laut : 24 m
2. Banyaknya curah hujan : 2000 mm/th
3. Jumlah bulan hujan : 6 bulan
4. Kelembapan : 3%
5. Suhu rata-rata harian : 28-33 celcius
6. Tinggi tempat dari permukaan laut : 24 mdl
48
C. Keadaan Demografis
Desa Simpar memiliki penduduk sebanyak 4.668 jiwa per-tahun 2014
dengan perincian sebagai berikut:
1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut jenis
kelamin:
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
2. Jumlah Penduduk Menurut Usia
Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut usia:
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Menurut Usia
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 2.254
2 Perempuan 2.414
Jumlah 4.668
No Usia Jumlah
1 0-9 751
2 10-19 695
3 20-29 721
4 30-39 659
49
Sumber: Data Lapangan 2015
3. Jumlah Penduduk Menurut Agama
Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut agama:
Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Menurut Agama
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut
mata pencaharian:
5 40-49 659
6 50-59 523
7 60-69 364
8 70 + 296
Jumlah 4.668
No Agama Jumlah
1 Islam 4.668
2 Kristen -
3 Hindu -
4 Budha -
5 Aliran kepercayaan lain -
Jumlah 4.668
50
Tabel 3.4
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani 700
2 Buruh tani 484
3 Buruh migran 172
4 PNS 59
5 Pengrajin industri rumah tangga 5
6 Pedagang keliling 34
7 Peternak 20
8 Montir 5
9 Perawat 2
10 Pembantu rumah tangga 5
11 Pensiunan TNI/POLRI 8
12 Pengusaha kecil dan menengah 4
13 Dukun kampung terlatih 2
14 Jasa pengobatan alternatif 6
15 Karyawan perusahaan swasta 197
16 Karyawan BUMN 10
17 LSM 4
18 Tidak/belum bekerja 2.951
Jumlah 4.668
51
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut tingkat
pendidikan:
Tabel 3.5
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Usia 3-6 tahun belum masuk TK 98
2 Usia 3-6 tahun sedang TK 192
3 Usia 7-18 tidak pernah sekolah 13
4 Usia 7-18 sedang sekolah 765
5 Usia 18-56 tidak pernah sekolah 55
6 Usia 18-56 pernah SD tetapi tidak tamat 234
7 Tamat SD sederajat 835
8 Usia 12-56 tahun tidak tamat SMP 316
9 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 487
10 Tamat SMP/sederajat 827
11 Tamat SMA/sederajat 523
12 Tamat D1/sederajat 109
13 Tamat D2/sederajat 65
14 Tamat D3/sederajat 72
15 Tamat S1 77
52
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
D. Sarana dan Prasarana
1. Sarana
Berikut adalah tabel data mengenai sarana yang ada di desa Simpar:
Tabel 3.6
Sarana
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
2. Prasarana Kesehatan
Berikut adalah tabel data mengenai prasarana kesehatan yang ada di
desa Simpar:
Tabel 3.7
Prasarana Kesehatan
Jumlah 4.668
No Sarana Jumlah
1 Kantor desa 1
2 Jalan desa 6,1 km
3 Jalan kabupaten 2,3 km
No Prasarana Jumlah
1 Pustu (Puskesmas pembantu) 1
53
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
3. Prasarana Pendidikan
Berikut adalah tabel data mengenai prasarana pendidikan yang ada di
desa Simpar:
Tabel 3.8
Prasarana Pendidikan
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
4. Prasarana Ibadah
Berikut adalah tabel data mengenai prasarana ibadah yang ada di desa
Simpar:
2 Posyandu 6
3 Polindes (Poliklinik desa) 1
No Prasarana Jumlah
1 Perpustakaan desa -
2 Gedung PAUD 2
3 Gedung TK 2
4 Gedung SD 4
5 Gedung SMP 3
6 Gedung SMA 2
7 Gedung perguruan tinggi -
54
Tabel 3.9
Prasarana Ibadah
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
5. Prasarana Umum
Berikut adalah tabel data mengenai prasarana umum yang ada di desa
Simpar:
Tabel 3.10
Prasarana Umum
No Prasarana Jumlah
1 Masjid 4
2 Musala 43
3 Gereja -
4 Pura -
5 Vihara -
6 Prasarana ibadah lainnya -
No Prasarana Jumlah
1 Olahraga 5
2 Sanggar -
3 Balai pertemuan 3
4 Sumur desa -
5 Pasar desa -
6 Prasarana umum lainnya -
55
Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014
55
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Identitas Sumber Data
Identitas sumber data berdasar peran, alamat, usia, dan pendidikan terakhir
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Identitas Sumber Data
No Nama Peran Alamat UsiaPendidikan
Terakhir
1 Saepudin Penggadai Simpar 44 SMA
2 Tati Penggadai Kacepet 40 SD
3 Suhendi Penerima gadai Babakan 62 PGA
4 Winata Penerima gadai Kunir 51 SD
5 Ugan
Suganda
Penerima gadai Lampegan 45 SMA
6 Mursyid
Shobandi
Tokoh agama Babakan 58 S1
7 Humaedi Tokoh agama Kunir 39 S2
8 Jaeni Perangkat desa Simpar 43 S1
Sumber : Data Lapangan 2015
56
B. Pemahaman Petani terhadap Gadai dalam Hukum Islam
Pemahaman para petani mengenai aturan gadai dalam Islam masih sangat
minim, mereka hanya memahami bahwa gadai adalah transaksi meminjam
uang dengan jaminan dimana 1 pihak membutuhkan uang dan 1 pihak lagi
membutuhkan jaminan,1 dan gadai yang sesuai dengan ajaran Islam adalah
gadai yang barang jaminannya jelas/ada,juga tidak ada bunga ketika
mengembalikan pinjaman.2Jadi transaksi gadai sudah dianggap sebagai suatu
transaksi yang bertujuan mencari keuntungan, bukan lagi tolong menolong
seperti tujuan gadai dalam Islam.
Pemahaman yang minim tersebut muncul selain karena mayoritas para
petani berlatar belakang pendidikan SD dan SMP 3 dan hanya mendapat
pendidikan agama dari pengajian di masjid, hal tersebut juga timbul karena
kurangnya dakwahpara tokoh agama mengenai tata cara bermuamalah yang
sesuai dengan ajaranIslam, khususnya mengenai gadai. Hal yang sering
disampaikan dalam khutbah/ceramah merekahanya seputar ibadah dan akidah
saja.
C. Tata Cara Gadai Sawah Petani Desa Simpar
Akad gadai sawah yang sering terjadi di kalangan petani desa Simparpada
umumnya dilaksanakan antar individu, jarang sekali dilaksanakandi lembaga
keuangan. Desa Simpar sendiri belum memiliki lembaga keuangan, adapun
1Wawacara Pribadi dengan Winata. Subang, 3 Februari 2015.2Wawancara Pribadi dengan Tati. Subang, 2 Februari 2015.3Pendataan Profil Desa Simpar menunjukkan bahwa 17,8 % masyarakat berlatar
belakang pendidikan SD, dan 17,7 % berlatar belakang SMP.
57
lembaga keuangan yang sering memberikan pembiayaan UMKMkepada
masyarakat yaitu Koperasi Galih Artha milik swasta yang berlokasi di dusun
Kunir, dan UPK (Unit Pengelola Kecamatan) yang berlokasi di kecamatan
Cipunagara.
Tata cara gadai sawah yang sering dilakukan para petani tidak merujuk
pada aturan tertentu, baik itu Undang-Undang ataupun fikih Islam. Tata cara
yang diperlihara adalah budaya yang berlaku di kalangan masyarakat yang
sejak lama dilaksanakan secara turun temurun.
Biasanya akad gadai diawali dengan calon penggadai (pihak yang
membutuhkan uang) atau orang kepercayaannya datang kepada calon
penerima gadai dan menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang dengan
menggadaikan sawahnya, jika penerima gadai mempunyai cukup uang untuk
dipinjamkan dan telah mengetahui kualitas sawah yang akan digadaikan, maka
terjadilah kesepakatan. Biasanya akad ini disepakati dengan tulisan
(menggunakan kwitansi dan materai).4
Ada 2 jenis praktik gadai sawah yang sering dilakukan petani desa Simpar,
yaitu:
1. Gadai biasa
Gadai biasa adalah akad gadai dimana penggadai (pemilik sawah)
meminjam uang kepada penerima gadai dengan perjanjian sawah
digarap oleh penerima gadai, dan hasilnya dinikmatioleh penerima
gadai sepenuhnya. Umumnya perjanjian disepakati 1tahun, namun jika
4Wawancara Pribadi dengan Jaeni. Subang, 27 Januari 2015.
58
dalam tempo 1 tahun penggadai belum bisa mengembalikan
pinjamannya, maka penerima gadai melanjutkan penggarapan sawah
sampai penggadai bisa membayar pinjamannya, atau
dipindahtangankan kepada orang lain atas izin penggadai. Mekanisme
gadai biasa dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini:
Ilustrasi 4.1
Gadai sawah biasa
b. Memberi pinjaman uang
e. Membayar utang
a. Meminjam uang
d.Menggarap sawah
f. Mengembalikan sawah
c. Menyerahkan sawah
Keterangan:
a. Penggadai/orang kepercayaanya dating kepada calon penerima
gadai menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang
dengan jaminan sawah (gadai sawah).
Utang
PenerimaGadai
Sawah
Penggadai
59
b. Setelah luas sawah, besar pinjaman, dan lama perjanjian
disepakati, maka penerima gadai menyerahkan pinjaman uang
kepada penggadai.
c. Penggadai secara otomatis mengizinkan penerima gadai untuk
menggarap sawahnya sesuai dengan waktu yang disepakati.
d. Penerima gadai menggarap sawah hingga penggadai bisa
mengembalikan pinjamannya.
e. Penggadai membayar seluruh utangnya kepada penerima gadai
jika telah mampu.
f. Penerima gadai menyerahkan sawah untuk digarap kembali
oleh penggadai.
Contoh penggadai sawah biasa adalah ibuTati, ia menggadaikan
sawahnya kepada bapak Dimyati seluas 1 ha dan menerima pinjaman
sebesar Rp.70.000.000,- dengan perjanjian selama2 tahun. Akad ini
baru berjalan selama 7 bulan dan sawah digarap oleh bapak Dimyati
serta seluruh hasilnyadinikmati olehnya.5
Contoh penerima gadai biasa adalah bapak Suhendi, ia menggarap
sawah seluas 350 bata (4900 m2)6, dan meminjamkan uang kepada
bapak Sanusi sebesar Rp. 44.000.000,-akad ini sudah berjalan selama 7
tahun,karena bapak Sanusi belum bisa membayar utangnya.7
5Wawancara Pribadi dengan Tati. Subang, 2 Februari 2015.6Observasi dilakukan pada 4 Februari 2015, Pukul 10.007Wawancara Pribadi dengan Suhendi. Subang, 3 Februari 2015.
60
Contoh penerima gadai biasa lain adalah bapak Winata, ia
menggarap sawah seluas 150 bata (2100 m2)8, dan meminjamkan uang
kepada bapak Atang sebesar Rp. 31.000.000,- akad ini sudah berjalan
selama 6 bulan.9
2. Gadai gantung
Gadai gantung adalah akad gadai dimana penggadai (pemilik
sawah) meminjam uang kepada penerima gadai dengan perjanjian
sawah tetap digarap oleh penggadai dan setiap tahun penggadai harus
membayar uang sewa kepada penerima gadai (atas dasar asumsi bahwa
penerima gadai menyewakan sawah kepada penggadai) yang nilainya
telah disepakati sebelumnya sampai penggadai bisa membayar pokok
pinjamannya. Jika penggadai tidak mampu membayar uang sewa
kepada penerima gadai, maka sawah diambil alih (digarap) oleh
penerima gadai sampai penggadai bisa membayar uang sewa.
Perjanjian awal umumnya disepakati 1tahun.10Berikut adalah ilustrasi
mekanisme gadai gantung :
8Observasi dilakukan pada 4 Februari 2015, Pukul 14.009Wawancara Pribadi dengan Winata. Subang, 3 Februari 2015.10Wawancara Pribadi dengan Jaeni. Subang, 27 Januari 2015
61
Ilustrasi 4.2
Gadai sawah gantung
b. Memberi pinjaman uang
f. Membayar utang
g. Menerima pembayaran a. Meminjam uang
e. Menerima uang sewa
c. Menggarap sawah
d. Membayar uang sewa
Keterangan :
a. Penggadai/orang kepercayaanya dating kepada calon penerima
gadai menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang
dengan jaminan sawah (gadai sawah).
b. Setelah luas sawah, besar pinjaman, dan lama perjanjian
disepakati, maka penerima gadai menyerahkan pinjaman uang
kepada penggadai.
c. Penggadai tetap menggarap sawah miliknya.
Utang
PenerimaGadai
Sawah Penggadai
Uang Sewa
62
d. Penggadai menyerahkan uang sewa tahun pertama kepada
penerima gadai (dipotong dari pinjaman) dan selanjutnya
membayar uang sewa setiap tahun hingga ia bisa
mengembalikan pinjamannya.
e. Penerima gadai menerima pembayaran uang sewa.
f. Penggadai membayar seluruh utangnya kepada penerima gadai
jika telah mampu.
g. Penerima gadai menerima pembayaran utang tersebut dan
secara otomatis hilanglah kewajiban penggadai untuk
membayar uang sewa setiap tahun.
Contoh penerima gadai gantung adalah bapak Ugan Suganda, ia
meminjamkan uang kepada bapak Cecep sebesar Rp. 350.000.000,-
dengan jaminan sawah seluas 3,5 bau (2,45 ha)tetapi hanya
menyerahkan pinjaman sebesar Rp. 280.000.000,- karena Rp.
70.000.000,-nya dianggap sebagai uang sewa tahun pertama yang
harus dibayar tunai oleh bapak Cecep kepadanya. Maka selamabapak
Cecep belum bisa membayar pokok hutangnya, setiap tahun ia harus
membayar uang sewa sebesar Rp. 70.000.000,-. Jika bapak Ceceptidak
bisa membayar uang sewa, maka sawah digarap oleh bapak Ugan
Suganda sampai ia bisa membayar uang sewa. Akad gadai berakhir
63
jika bapak Cecep bisa membayarseluruh pinjamannya yaitu Rp.
350.000.000,-.11
D. Pendapat Tokoh Agama
Berikut hasil wawancara penulis dengan tokoh agama mengenai
pandangannya terhadap praktik gadai sawah yang sering dilaksanakan para
petani desa Simpar:
1. Gadai biasa
Ketua MUI Desa Simpar menyatakan kurang setuju terhadap praktik
gadai ini, karena jika mengacu pada hukum Islam pada prinsipnya barang
yang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima gadai, adapun
barang gadai tertentu boleh dimanfaatkan dengan syarat ada izin dari
penggadai. Walaupun dalam akad gadai biasa ini rukunnya terpenuhi dan
penggadai mengizinkan penerima gadai untuk menggarap sawahnya tanpa
batasan waktu, akan tetapi izin tersebut dinilai sebagai izin terpaksa/
tuntutan, karena jika ia tidak mengizinkan penerima gadai menggarap
sawahnya maka ia tidak akan mendapat pinjaman.
2. Gadai gantung
Menurut ketua MUI Desa Simpar akad ini jelas tidak diperbolehkan.
Karena barang yang ada dalam gadaian disewakan lagi kepada pemiliknya,
hal ini bertentangan dengan tabiat akad gadai itu sendiri. Bahkan kadang
ada masyarakat yang melakukan akad gadai ini sawahnya tidak ada/samar,
11Wawancara Pribadi dengan Ugan Suganda. Subang, 4 Februari 2015.
64
ia hanya ingin meminjam uang dengan hillah gadai dan rela membayar
uang sewa setiap tahun.
Akad gadai sawah yang sering dilakukanpetani desa Simpar memang
menjadi permasalahan karena ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam dan
cenderung merugikan penggadai. Hal ini juga pernah di-bahtsul masa`il-kan di
MUI tingkat Kabupaten Subang, namun mayoritas ulama masih membolehkan
akad gadai biasa, karena jika dilihat secara syarʻi masih ada izin dari
penggadai.12
Adapun saran tokoh agama terhadap praktik gadai sawah yang sering
dilakukan petani desa Simpar adalah:
1. Perjanjian sebaiknya dilakukan secara tertulis.
2. Barang yang sudah digadaikan hendaknya tidak digadaikan/disewakan
kembali.
3. Perjanjian yang telah dibuat oleh penggadai dan penerima gadai
hendaknya tidak dilanggar.
4. Barang gadaian hendaknya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
5. Barang gadaian hendaknya milik sah penggadai.
6. Untuk barang jaminan sawah, lebih baik menggunakan akad sewa.13
12Wawancara Pribadi dengan Humaedi. Subang, 2 Februari 2015.13Wawancara Pribadi dengan Mursyid Shobandi. Subang, 2 Februari 2015.
65
E. Analisis Fikih Muamalah terhadap Praktik Gadai Sawah Petani Desa
Simpar
1. Tujuan Akad
Gadai sawah di kalangan petani desa Simpar biasanya dilakukan dalam
hal qard (pinjaman uang). Tujuannya ada yang bersifat produktif misalnya
untuk membeli sawah seperti yang dilakukan oleh ibu Tati, ada pula yang
bersifat konsumtif misalnya untuk biaya kebutuhan sehari-hari, biaya
sekolah anak, hingga renovasi rumah seperti yang dilakukan oleh bapak
Saepudin.Tujuan-tujuan tersebut dibenarkan dalam perspektif fikih
muamalah, karena tidak terdapat hal-hal yang diharamakan oleh Allah
SWT.
2. Lama Waktu Perjanjian
Kesepakatan waktu akad gadai sawah yang menjadi budaya di desa
Simpar adalah 1 tahun. Dalam akad gadai biasa, selama 1 tahun tersebut
penerima gadai bisa menggarap sawah dan setelah itu penggadai harus
membayar utangnya. Namun jika penggadai belum bisa membayar utang,
maka penerima gadai melanjutkan penggarapan sawah hingga penggadai
bisa membayar utangnya. Begitu pula dalamakad gadai gantung, jika
dalam tempo 1 tahun penggadai belum bisa membayar utangnya, maka
penggadai harus terus membayar uang sewa kepada penerimagadai
hinggaia bisa mengembalikan pokok pinjamannya kepada penerima gadai.
Hal ini tidak dibenarkan dalam perspektif fikih muamalah karena terdapat
66
ketidakjelasan (gharar) dalam waktu yang disepakati untuk penggarapan
sawah dan pembayaran uang sewa.
3. Rukun dan Syarat
Dari segi rukun, praktik gadai sawah petani desa Simpar sudah sesuai
dengan konsep fikih muamalahbaik dalam akad gadai biasa maupun gadai
gantung. Karenaada penggadai, penerima gadai, ijab kabul, utang, dan
harta yang dijadikan jaminan.
Adapun dari segi syarat, kesesuaiannya dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Syarat terkait orang yang berakad sudah terpenuhikarena para
pelaku gadaimemiliki kecakapan hukum (balig dan berakal).
b. Syarat yang berkaitan dengan sighat tidak terpenuhi karena dalam
perjanjian gadai biasa disyaratkan penerima gadai harusmenggarap
sawah dan menikmati seluruh hasilnya. Begitu pula dalam gadai
gantung, disyaratkan penggadai harus membayar uang sewa
kepada penerima gadai. Hal ini bertentangan dengan tabiat akad
gadai karena hak kepemilikan sawahtetap ada pada penggadai, dan
penerima gadai tidak berhak menggarapnya sebab sawah bukanlah
sejenis kendaraan/hewan tunggangan yang membutuhkan biaya
pemeliharaan. Penerima gadai juga tidak berhak menyewakannya
karena bukan milik sahnya mengingatsalah satu syarat barang yang
67
disewakan adalah dimiliki oleh orang yang menyewakan (mu`jir)
atau orang yang memiliki kekuasaan penuh untuk akadsewa.14
c. Syarat yang berkaitan dengan utang sudah terpenuhi baik dalam
gadai biasa maupun gadai gantung karena merupakan utang yang
jelas dan wajib dikembalikan kepada penerima gadai,
walaupuntidak disepakati utang tersebut boleh dilunasi dengan
jaminan (sawah).
d. Syarat yang terkait dengan jaminan sudah terpenuhi baik dalam
akad gadai biasa maupun gadai gantung, karena barang jaminan itu
boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, berharga dan
boleh dimanfaatkan, jelas dan tertentu, milik sah orang yang
berutang, tidak terkait dengan hak orang lain, merupakan harta
utuh dan bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
e. Dalam hal syarat sempurna akad gadai yang dilakukan petani desa
Simpar tidak memenuhi syarat sempurna baik gadai biasa maupun
gadai gantung, karena dalam gadai biasa ketika penggadai
menerima pinjaman, sawah tidak dikuasai secara hukum oleh
penerima gadai, yang terjadi adalah penguasaan secara penuh
untuk menggarap dan menuai hasilnya. Begitu pula dalam gadai
gantung, dimana ketika penggadai menerima pinjaman, sawah
tidak hanya dikuasai secara hukum oleh penerima gadai, yang
14Ibnu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, FiqihMuamalah, cet. I (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 161.
68
terjadi adalah penerima gadai menyewakan sawah tersebut kepada
penggadai.
4. Hak dan Kewajiban dalam Gadai
Kedua akad gadai sawah yang sering dilakukan petani desa Simpar
tidak memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak karena beberapa
hal berikut ini:
a. Penerima gadai tidak diperkenankan menjual sawah ketika
penggadai belum mampu membayar pinjamannya dalam tempo
yang disepakati, dan tidak berhak mendapat penggantian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan sawah.
b. Dalam gadai biasa, penerima gadai menggunakan barang gadaian
untuk kepentingan sendiri yaitu menggarap sawah danseluruh
hasilnya dinikmati olehnya.
c. Penggadai tidak berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan atau
kehilangan barang gadai (sawah) apabila hal itu disebabkan
kelalaian penerima gadai. Penggadai juga tidak menerima hasil
penjualan barang gadai karena memang tidak disepakati adanya
penjualan sawah.
d. Penggadai tidak merelakan penjualan sawahapabila dalam waktu
yang telah ditentukania tidak dapat melunasi utangnya.
5. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai
Penambahan utang biasanya terjadi dalam akad gadai biasa
ketikapenerima gadai membutuhkan uang sementara penggadai belum
69
mampu membayar utangnya. Dalam keadaan seperti ini, biasanya
dilakukan oper gadai yaitu penerima gadai menyerahkan sawah kepada
penerima gadai kedua untuk digarap atas izin penggadai, utang penggadai
kepada penerima gadai pertama dibayar oleh penerima gadai kedua,
danpenerima gadai kedua memberi tambahan pinjaman kepada penggadai.
Seperti yang dilakukan oleh bapak Saepudin yang meminjam uang Rp.
10.000.000,- kepada bapak Dedeng dan dalam tempo 1 tahun ia belum
bisa membayar utangnyasementara bapak Dedeng membutuhkan uang,
akhirnya bapak Ujang membayarkan utangnya kepada bapak Dedeng
sebesar Rp. 10.000.000,- dan meminjamkan uang kepada bapak Saepudin
sebesar Rp. 10.000.000,- total utang bapak Saepudin menjadi Rp.
20.000.000,- 15 Jika mengacu kepada pendapat Imam Abu Hanifah,
Muhammad, Ulama Hanabilah dan salah satu versi pendapat Imam
Syafiʻi hal ini tidak diperbolehkan karena berarti merupakan akad gadai
baru atau karena berarti menggadaikan barang yang telah digadaikan
padahal barang yang telah digadaikan keseluruhannya telah terikat dengan
utang pertama. Sedangkan jika mengacu pada pendapat Imam Malik, Abu
Yusuf, Abu Tsaur, al-Muzani dan Ibnul Mundzir hal tersebut
diperbolehkan karena menambah jaminan itu boleh, maka menambah
utang juga boleh.
Adapun penambahan sawah untuk utang yang sama sangat jarang
terjadi di kalangan petani desa Simpar karena untuk menebus sawah yang
15Wawancara Pribadi dengan Saepudin. Subang, 2 Februari 2015.
70
telah digadaikanpun terasa berat, apalagi menambah sawah gadaian untuk
utang yang sama.
6. Bertambahnya Barang Gadai
Tambahan padi dari sawahnya termasuk tambahan terpisah yang
seharusnyamenjadi milik penggadai. Dalam akad gadai biasa padi menjadi
milik penerima gadai, hal ini tidak sejalan dengan konsep fikih muamalah.
Sedangkan dalam akad gadai gantung, padi menjadi milik penggadai, hal
ini sejalan dengan konsep fikih muamalah.
7. Resiko Kerusakan Barang Gadai
Dalam akad gadaibiasa resiko kerusakan sawah seperti kekeringan,
kebanjiran, dan terkena hama ditanggung oleh penerima gadai, hal ini
sejalan dengan konsep fikih muamalah. Sebaliknya, pada akad gadai
gantungresiko kerusakan sawah ditanggung oleh penggadai, hal ini tidak
sesuai dengan konsep fikih muamalah.
8. Penjualan Barang Gadai
Penjualan sawah gadaian jarang sekali terjadi di kalangan petani desa
Simpar karena dalam akad gadai biasapara penerima gadai sudah merasa
diuntungkan dengan hasil sawah yang mereka garap, hal itu menyebabkan
mereka tidak menuntut penggadai untuk membayar utangnya dengan
segera kecuali dalam keadaan terdesak. Begitu pula dalam akad gadai
gantung, penerima gadai sudah merasa diuntungkan dengan uang sewa
yang ia terima setiap tahun.
71
9. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai
Dalam akad gadai biasa pengambilan manfaat/penggarapan sawah
dilakukan oleh penerima gadai atas izin penggadaidan disyaratkan di awal
akad, hal ini dapat dianalisis berdasarkan pendapat beberapa ulama
berikut:
a. Ulama Hanafiyyah
Menurut sebagian ulama Hanafiyyah praktik tersebut
diperbolehkan secara mutlak. Sebagian lagi berpendapat tidak
boleh secara mutlak, karena hal itu sama dengan riba atau
mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan
tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang mengandung
syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengatakan tidak boleh karena
pemanfaatan tersebut disyaratkan di awal akad, dan itu termasuk
riba.
b. Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah berpendapat tidak boleh karena utang
dalam bentuk pinjaman (qard), maka termasuk kategori pinjaman
utang yang menarik kemanfaatan.
c. Ulama Syafiʻiyyah
Ulama Syafiʻiyyah berpendapat tidak boleh karena utang
berupaqard dan penerima gadai mensyaratkan pemanfaatan
tersebut yang berarti merugikan pihak penggadai. Selain itu,
menurut Ulama Syafiʻiyyah syarat ini tidak sah karena
72
bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh akad gadai dan
menurut pendapat yang lebih kuat, akad gadai tersebut juga
menjadi tidak sah.
d. Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat tidak boleh karena:(1)
barang gadaian bukan hewan dan merupakan sesuatu yang tidak
butuh pembiayaan untuk memberi makan (2) pemanfaatan tersebut
tanpa imbalan (cuma-cuma) (3) utang berupa qard. Selain itu,
menurut Ulama Hanabilah pemanfaatan tersebut seharusnya
dihitung sebagai bagian dari pembayaran utang yang ada.
Dalam akad gadai gantung pengambilan manfaat/penggarapan sawah
dilakukan oleh penggadai atas izin penerima gadai dan disyaratkan di awal
akad, berikut analisis berdasar pendapat beberapa ulama :
a. Ulama Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hal ini
diperbolehkan karena ada izin dari penerima gadai.
b. Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah menetapkan tidak boleh. Mereka juga
menetapkan bahwa izin yang diberikan penerima gadai kepada
penggadai menyebabkan akad gadai menjadi batal, karena
pemberian izin tersebut dalam hal ini dianggap sebagai bentuk
pelepasan hak penerima gadai terhadap barang gadai.
73
c. Ulama Syafiʻiyyah
Ulama Syafiʻiyyah berpendapat boleh karena kemanfaatan
barang gadai, perkembangan, dan apa-apa yang dihasilkan oleh
barang gadai adalah milik penggadai dan statusnya tidak ikut
terikat dengan utang.
d. Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat seperti Ulama Hanafiyyah
yaitu boleh karena ada izin dari penerima gadai. Pendapat ini juga
didasarkan kaidah bahwa semuakemanfaatan, perkembangan,
danhal-hal yang dihasilkan oleh barang gadai ikut tergadaikan.
10. Riba dalam Gadai
Dalam praktik gadai biasa syarat yang disepakati adalah penerima
gadai menggarap sawah milik penggadai hingga penggadai bisa membayar
pinjamannya. Sedangkan dalam praktik gadai gantung disepakati bahwa
penggadai harus membayar uang sewa kepada penerima gadai setiap tahun
hingga penggadai bisa mengembalikan pokok pinjamannya. Kedua hal ini
sama dengan pinjaman yang mensyaratkan manfaat (walaupun dalam akad
gadai gantung dianggap sebagai uang sewa), dan pinjaman yang
mendatangkan manfaat adalah riba.
11. Pembiayaan Barang Gadai
Dalam akad gadai biasa, biaya penggarapan sawah menjadi tanggung
jawab penerima gadai karena sawah digarap oleh penerima gadai, hal ini
74
tidak sesuai dengan konsep fikih muamalah karena seharusnya
penggadailah yang bertanggung jawab terhadap pembiayaan barang gadai.
Dalam akad gadai gantung biaya penggarapan sawah ditanggung oleh
penggadai karena sawah digarap oleh penggadai. Hal ini sesuai dengan
konsep fikih muamalah.
12. Pengambilalihan Barang Gadai
Praktik gadai sawah yang terjadi di kalangan petani desa simpar tidak
mensyaratkan pengambilalihan sawah oleh penerima gadai manakala
penggadai tidak mampu membayar utangnya. Oleh karena itu tidak pernah
terjadi pengambilalihan sawah oleh penerima gadai. Hal ini sudah sejalan
dengan konsep fikih muamalah.
13. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai
Para petani desa Simpar yang melakukan akad gadai sawah jarang
sekali berselisihan karena mereka sudah bersepakat, saling rida dan
mengadakan perjanjian tertulis dengan jelas.
14. Pembatalan Akad Gadai
Pembatalan akad gadai sawah di kalangan petani desa Simpar biasanya
terjadi karena penggadai terlebih dahulu menggadaikan sawahnya kepada
pihak lain atau karena penerima gadai melihat sawah yang akan
digarapnya kualitasnya dinilai kurang bagus. Seperti yang dialami oleh
bapak Saepudin yang batal menggadaikan sawahnya karena calon
penerima gadai membatalkan akad gadai ketika melihat sawahnya yang
75
kualitasnya dinilai kurang bagus. 16Hal ini dibenarkan dalam perspektif
fikih muamalah.
15. Berakhirnya Akad Gadai
Akad gadai sawah biasa maupun gadai gantung berakhir ketika
penggadai bisa membayar utangnya, hal ini dibenarkan dalam perspektif
fikih muamalah.
16. Aspek Keadilan dalam Akad
Praktik gadai sawah yang dilakukan petani desa Simpar baikakad
gadai biasa maupun akad gadai gantung keduanya merugikan salah satu
pihak yaitupenggadai. Terdapat kezaliman terhadapnya, karena ia
dirugikan baik dalam akad gadai biasa yang harus kehilangan haknya
untuk menggarap sawah miliknya, juga dalam akad gantung yang harus
membayar uang sewa sawahnya sendiri. Hal ini tidak dibenarkan dalam
perspektif fikih muamalah meskipun kedua belah pihak saling rida. Karena
kerelaan para pihak tidak dapat menghalalkan sesuatu yang dilarang oleh
Agama.
17. Analisis Ekonomi terhadap Praktik Gadai Sawah Petani Desa
Simpar
Analisis ekonomi terhadap praktik gadai sawah yang sering dilakukan
para petani desa Simpar dapat dilihat dalam tabel berikut ini:17
16Wawancara Pribadi dengan Saepudin. Subang, 2 Februari 2015.17 Asumsi harga padi perkilogram Rp. 4000, per-Februari 2015 di desa Simpar.
77
1Biaya dari awal menanam sampai panen meliputi sewa traktor, benih, pupuk, upah buruh tani, dan sewa alat penggiling untuk memisahkan padi dengan daunnya(panen).
2 Dua kali panen dalam 1 tahun.3 Khusus akad gadai gantung, dan besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan para pelaku gadai.
NoNama
penggadai
Nama
penerima
gadai
Sawah yang
digadaikan
Uang
pinjaman
(Rp)
Hasil
panen
Hasil panen
dalam Rupiah
(Rp)
Biaya
pra-panen1
(Rp)
Hasil bersih
per-panen
(Rp)
Hasil bersih
per-tahun
(Rp)2
Uang
sewa per-
tahun (Rp)3
1 Saepudin Dedeng100 bata
(1.400 m2)10.000.000 1 ton 4.000.000 1.274.000 2.726.000 5.452.000
2 Tati Dimyati1 hektare
(10.000 m2)70.000.000 7 ton 28.000.000 8.918.000 19.082.000 38.164.000
3 Sanusi Suhendi350 bata
(4.900 m2)44.000.000 3,5 ton 14.000.000 4.459.000 9.541.000 19.082.000
4 Atang Winata150 bata
(2.100 m2)31.000.000 1,5 ton 6.000.000 1.911.000 4.089.000 8.178.000
5 Cecep Ugan. S3,5 bau
(24.500 m2)350.000.000 17,5 ton 70.000.000 22.295.000 47.705.000 95.410.000 70.000.000
78
78
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa:
1. Bapak Dedeng yang meminjamkan uang Rp. 10.000.000 kepada Bapak
Saepudin dengan jaminan sawah 100 bata (1.400 m2) mendapat tambahan
uang Rp. 5.452.000 atau 55% setiap tahun dari hasil panen sawah milik
bapak Saepudin.
2. Bapak Dimyati yang meminjamkan uang Rp. 70.000.000 kepada Ibu Tati
dengan jaminan sawah 1 hektare (10.000 m2) mendapat tambahan uang
Rp. 5.452.000 atau 55% setiap tahun dari hasil panen sawah milik ibu Tati.
3. Bapak Suhendi yang meminjamkan uang Rp. 44.000.000 kepada Bapak
Sanusi dengan jaminan sawah 350 Bata (4.900 m2) mendapat tambahan
uang Rp. 19.082.000 atau 43% setiap tahun dari hasil panen sawah milik
ibu Tati.
4. Bapak Winata yang meminjamkan uang Rp. 31.000.000 kepada Bapak
Atang dengan jaminan sawah 150 Bata (2.100 m2) mendapat tambahan
uang Rp. 8.178.000 atau 26% setiap tahun dari hasil panen sawah milik
Bapak Atang.
5. Bapak Ugan Suganda yang meminjamkan uang Rp. 350.000.000 kepada
Bapak Cecep dengan jaminan sawah 3,5 Bau (24.500 m2) mendapat
tambahan (uang sewa) Rp. 70.000.000 atau 20% setiap tahun dari hasil
panen sawah milik Bapak Cecep.
Jika dibandingkan dengan kredit mikro di bank konvensional yang suku
bunganya rata-rata sebesar 18,7 % per-tahun maka perbandingannya dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
79
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jika para penggadai mengambil kredit
di bank konvensional maka:
1. Bapak Saepudin yang meminjam uang Rp. 10.000.000 harus membayar
bunga Rp. 1.870.000 per tahun.
2. Ibu Tati yang meminjam uang Rp. 70.000.000 harus membayar bunga Rp.
13.090.000 per tahun.
3. Bapak Sanusi yang meminjam uang Rp. 44.000.000 harus membayar
bunga Rp. 8.228.000 per tahun.
4. Bapak Atang yang meminjam uang Rp. 31.000.000 harus membayar
bunga Rp. 5.797.000 per tahun.
5. Bapak Cecep yang meminjam uang Rp. 350.000.000 harus membayar
bunga Rp. 65.450.000 per tahun.
No Nama penggadaiUang pinjaman
(Rp)
Suku bunga per-
tahun18,7% (Rp)
1 Saepudin 10.000.000 1.870.000
2 Tati 70.000.000 13.090.000
3 Sanusi 44.000.000 8.228.000
4 Atang 31.000.000 5.797.000
5 Cecep 350.000.000 65.450.000
80
Sementara dari sisi penerima gadai dapat dibandingkan dengan deposito 1
tahun, pada bank konvensional rata-rata suku bunga deposito adalah 7% maka
pendapatan para penerima gadai jika mengivestasikan uang mereka dalam bentuk
deposito adalah sebagai berikut:
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jika para penerima gadai
mendepositokan uangnya di bank konvensional maka:
1. Bapak Dedeng yang mendepositokan uang Rp. 10.000.000 akan menerima
bunga Rp. 700.000 per tahun.
2. Bapak Dimyati yang mendepositokan uang Rp. 70.000.000 akan
menerima bunga Rp. 4.900.000 per tahun.
3. Bapak Suhendi yang mendepositokan uang Rp. 44.000.000 akan
menerima bunga Rp. 3.080.000 per tahun.
No Nama penerima gadaiUang yang
didepositokan (Rp)
Suku bunga per-
tahun 7% (Rp)
1 Dedeng 10.000.000 700.000
2 Dimyati 70.000.000 4.900.000
3 Suhendi 44.000.000 3.080.000
4 Winata 31.000.000 2.170.000
5 Ugan. S 350.000.000 24.500.000
81
4. Bapak Winata yang mendepositokan uang Rp. 31.000.000 akan menerima
bunga Rp. 2.170.000 per tahun.
5. Bapak Ugan Suganda yang mendepositokan uang Rp. 350.000.000 akan
menerima bunga Rp. 24.500.000 per tahun.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa praktik gadai sawah yang sering dilakukan
petani desa Simpar dapat dikategorikan sebagai kegiatan eksploratif, karena
penerima gadai meraup untung yang banyak dari hasil penggarapan sawah gadai
bahkan lebih tinggi dari pada suku bunga deposito yang berlaku di bank
konvensional. Sebaliknya, penggadai sangat dirugikan bahkan lebih rugi
dibandingkain jika mengambil kredit di bank konvensional. Bunga dalam bank
kovensional dan hasil garapan sawah gadai keduanya sama dengan tambahan dari
pinjaman uang, dan setiap tambahan dari pinjaman uang adalah riba, sedangkan
riba diharamkan oleh Allah SWT sesuai dengan kaidah fikih:
كل قرض جر نفعا فھو ربا
Artinya: “Setiap qard yang mendatangkan manfaat adalah riba”
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan pembahasan dan analisis pada bab sebelumnya terhadap
permasalahan yang diteliti, maka dapat diambil beberapa kesimpulan berikut
ini:
1. Petani desa Simpar memiliki pemahaman yang sama tentang gadai
yaitu meminjam uang dengan jaminan. Namun, mayoritas dari mereka
tidak memahami aturan gadai dalam Islam, mereka melaksanakan akad
gadai hanya berdasar budaya yang berlaku secara turun temurun.
Faktor utamanya adalah latar belakang pendidikan dan pendidikan
agama yang rendah, kurangnya dakwah tokoh agamapun menjadi
faktor pendukung yang mempengaruhi hal ini. Selain itu gadai di
kalangan para petani ini tidak dipahami sebagai akad tabarru`, tetapi
sebaliknya yaitu akad tijâri yang memang bertujuan untuk mengambil
keuntungan.
2. Praktik gadai sawah yang biasa terjadi di kalangan petani desa Simpar
ada 2 jenis yaitu gadai biasa dan gadai gantung. Jika ditinjau dari
perspektif fikih muamalah, maka dalam kedua akad ini ada hal-hal
yang sesuai dan ada pula hal-hal yang tidak sesuai dengan konsep fikih
muamalah. Dalam akad gadai biasa hal-hal yang sesuai adalah tujuan
akad, rukun, syarat orang yang berakad, syarat utang, syarat barang
82
jaminan, penambahan utang, resiko kerusakan barang gadai,
pembatalan akad, dan berakhirnya akad. Adapun hal-hal yang tidak
sesuai diantaranya yaitu lama waktu perjanjian, syarat sighat, syarat
sempurna, hak dan kewajiban pihak yang bergadai, pemanfaatan
barang gadai, pembiayaan barang gadai, dan aspek keadilan dalam
akad. Dalam akad gadai gantung hal-hal yang sesuai yaitu tujuan akad,
rukun, syarat, syarat utang, syarat barang jaminan, bertambahnya
barang gadai, pembiayaan barang gadai, pembatalan akad, dan
berakhirnya akad. Sedangkan hal-hal yang tidak sejalan adalah lama
perjanjian akad, syarat sighat, syarat sempurna, hak dan kewajiban
pihak yang bergadai, resiko kerusakan barang gadai, pemanfaatan
barang gadai, dan aspek keadilan dalam akad. Secara keseluruhan
kedua akad ini hukumnya tidak sah karena ada salah satu syarat yang
tidak terpenuhi yaitu syarat yang berkaitan dengan sighat (ijab kabul).
3. Praktik gadai sawah di kalangan petani desa Simpar dapat
dikategorikan sebagai kegiatan eksploratif karena sangat merugikan
penggadai dan sangat menguntungkan para penerima gadai.
B. Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan yang tercantum di atas, maka ada
beberapa saran yang perlu penulis sampaikan yaitu:
83
1. Kepada para petani, untuk lebih memahami hukum Islam mengenai
gadai dan mengaplikasikannya dalam akad gadai sawah yang biasa
dilaksanakannya.
2. Jika para petani bermaksud mengambil keuntungan dari hasil
penggarapan sawah yang bukan miliknya, hendaknya akad yang
dipakai adalah akad sewa.
3. Kepada tokoh Agama, untuk menyampaikan pembahasan mengenai
muamalat khususnya gadai secara mendetail yang sesuai dengan
syariat Islam.
84
DAFTAR PUSTAKA
ʻAbidin, Ibnu “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar”. Dalam Nasroen Haroen.Fiqih Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Ed. Shahih Bukhari, jilid I,cet. I. Penerjemah Masyhar dan Muhammad Suhadi. Jakarta: Almahira,2011.
Al-Dardir “Al-Syarh al-Saghir bi Syarh al-Sawi”. Dalam Nasroen Haroen. FiqihMuamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Hanafi, Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani. Badâ’iussanâiʻ fîtartîbi syarâiʻ, juz VI, cet. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar. Kifâyatul Akhyâr Fî Jalli GhâyatilIkhtishâr, jilid II, cet. I. Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma’rufAsrori. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1997.
Alma, Buchari. Manajemen Bisnis Syariah, cet. I. Bandung: Alfabeta, 2009.
Al-Quran.
Al-Syarbaini, Syamsuddin Muhammad Ibn Muhammad al-Khatib, Ed. Mughni al-Muhtaj ilâ maʻrifah maʻânî alfadz al-minhaj, juz II, cet. II. Beirut: Dar al-Khatab al-Ilmiyah, 2009.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid VI, cet. I. PenerjemahAbdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
_________ “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”. Dalam Saepuddin Arif dan Ah.Azharuddin Lathif. Kontrak Bisnis Syariah. Jakarta: Fakultas Syariah danHukum UIN Jakarta, 2011.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Ed. Himpunan FatwaKeuangan Syariah. Jakarta: Erlangga, 2014.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalat, Edisi Pertama. Jakarta: PredanaMedia Grup, 2010.
Gunawan, Imam, Ed. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Haroen, Nasrun. Fiqih Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
85
Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi IV. Jakarta:Rajawali Pers, 2011.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu, Ed. Sunan IbnuMajah, cet. I. Penerjemah Saifuddin Zuhri. Jakarta: Almahira, 2013.
Maxfield, E.N. “The Case Study”. Dalam Moh. Nazir, ed. Metode Penelitian, cet.VII. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Observasi dilakukan pada 4 Februari 2015. Pukul 10.00.
Observasi dilakukan pada 4 Februari 2015. Pukul 14.00.
Pendataan Profil Desa Simpar 2014.
Qudamah, Ibnu, Ed. Al-Mughni, jilid VI. Penerjemah Misbah. Jakarta: PustakaAzzam, 2009.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, cet. XXVII. Bandung: Sinar Baru Algensindo,1994.
Rusyd, Ibnu “Bidayatul Mujtahid”. Dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin. FiqihMuamalah, cet. I. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif HidayatullahJakarta, 2011.
__________, Ed. Bidayatul Mujtahid, jilid II, cet. I. Penerjemah Abu UsamahFakhtur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, jilid V, cet. I. Penerjemah Abdurrahim danMasrukhin. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai, cet. IV.Jakarta: LP3ES, 2011.
Soehartono, Irawan, Ed. Metode Penelitian Sosial, cet. VII. Bandung: PT RemajaRosdakarya, 2008.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Syaltout, Syaikh Mahmoud dan Syaikh M. Ali al-Sayis. Perbandingan Madzhabdalam Masalah Fiqih. Penerjemah Ismuha. Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgrarian.
86
Wawancara Pribadi dengan Humaedi. Subang. 2 Februari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Jaeni. Subang. 27 Januari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Mursyid Shobandi. Subang. 2 Februari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Saepudin. Subang. 2 Februari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Suhendi. Subang. 3 Februari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Tati. Subang. 2 Februari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Ugan Suganda. Subang. 4 Februari 2015.
Wawacara Pribadi dengan Winata. Subang. 3 Februari 2015.
Zarnuji, Syekh. Taʻlimul Mutaʻallim. t.t., Pustaka Islamiyah, t.th.
Zuriah, Nurul. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, cet. II. Jakarta: PTBumi Aksara, 2007.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA KEPADA PETANI
1. Siapa nama anda?
2. Berapa usia anda?
3. Apa pendidikan terakhir anda?
4. Dari mana anda mendapat pendidikan agama?
5. Dalam transaksi pinjam meminjam dengan jaminan sawah, anda bertindak sebagai
apa? Penggadai/Penerima gadai?
6. Gadai sawah biasanya dilakukan dalam hal apa? Pinjaman uang / jual beli?
7. Biasanya siapa yang terlebih dahulu menawarkan?
8. Kepada siapa biasanya anda menggadaikan sawah? Tetangga/kerabat?
9. Gadai sawah dilakukan secara individu atau kelompok?
10. Apakah pernah melakukan gadai sawah kepada lembaga keuangan? Dimana?
11. Apa yang anda pahami mengenai gadai?
12. Apakah anda memahami aturan gadai dalam islam? Bagaimana?
13. Berapa luas sawah yang anda gadaikan? / Berapa uang yang anda pinjam?
14. Untuk keperluan apa anda meminjam uang?
15. Bagaimana akadgadai tersebut disepakati? secara lisan/tulisan?
16. Adakah syarat-syarat yang disepakati ketika akad? Sebutkan!
17. Berapa lama waktu yang disepakati dalam akad gadai sawah ini?
18. Apa yang dikuasai oleh penerima gadai? Sertifikat sawah atau sawahnya?
19. Apakah pernah terjadi penambahan pinjaman? / Apakah pernah terjadi penambahan
sawah yang digadaikan?
20. Apakah pernah terjadi kebakaran / bencana alam yang menyebabkan sawah rusak?
Siapa yang bertanggung jawab?
21. Apakah pernah sawah gadaian tersebut dijual? Kepada siapa? Mengapa dijual?
22. Digunakan untuk apa hasil penjualan sawah itu?
23. Jika digunakan untuk membayar utang kepada murtahin, apakah hasil penjualannya
lebih/kurang untuk membayar utang? Bagaimana jika lebih/kurang?
24. Sawah yang digadaikan digarap/dimanfaatkan oleh siapa?apa alasan menggarap
sawah tersebut? Hasil penen padi menjadi milik siapa? Apakah bagi hasil? Bagaimana
Jika gagal panen?
25. Adakah batas waktu maksimal menggarap sawah?
26. Berdasarkan pengetahuan anda, apakah pemanfaatan sawah gadaian oleh
rahin/murtahin itu dibenarkan oleh agama Islam?
27. Dan menurut anda apakah gadai yang anda lakukan sudah sesuai aturan islam?
28. Apakah ketika mengembalikan utang kepada murtahin ada kelebihan yang
disyaratkan (Bunga)?
29. Selama sawah digadaikan siapa yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaannya?
30. Bagaimana cara pelunasan hutang? Diangsur/cash? Bagaimana jika telat angsuran?
31. Jika jatuh tempo telah tiba dan rahin belum mampu membayar utangnya, apa yang
dilakukan?
32. Apakah pernah terjadi perselisihan antara rahin dan murtahin? Bagaimana
penyelesaiannya?
33. Apakah pernah terjadi akad gadai sawah ini dibatalkan? Bagaimana prosesnya?
34. Bagaimana proses berakhirnya akad pinjam meminjam dengan jaminan sawah ini?
35. Apakah anda pernah mendegar seorang kiyai atau khotib menyampaikan tausiyah
mengenai gadai?
PEDOMAN WAWANCARA KEPADA PERANGKAT DESA
1. Bagaimana Kondisi agama masyarakat Desa Simpar? Menurut anda, apakah merekamemahami hukum islam tentang gadai?
2. Bagaimana praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat Desa Simpar?3. Bagaimana mekanisme terjadinya gadai sawah?4. Apakah ada lembaga yang menyediakan layanan gadai di Desa Simpar?
PEDOMAN WAWANCARA KEPADA TOKOH AGAMA
1. Siapa nama anda?2. Berapa usia anda?3. Apa yang anda pahami tentang hukum gadai dalam Islam?4. Apa pendapat anda mengenai kalimat “rihân maqbûdah” dalam QS. al-Baqarah ayat
283?5. Apakah anda pernah membahas tentang gadai dalam khutbah jumat atau ceramah
agama?6. Menurut pengetahuan anda, bagaimana hukum pemanfaatan sawah gadaian oleh
rahin/murtahin?7. Apa pendapat anda mengenai praktik gadai sawah yang terjadi di kalangan
masyarakat desa Simpar? Sah/tidak? Sesuai hukum islam/tidak?8. Apa saran anda terhadap masyarakat desa Simpar dalam melakukan transaksi gadai
sawah?9. Apa pendapat anda mengenai bunga dalam gadai?10. Menurut anda, apakah masyarakat memahami hukum gadai dalam Islam?
LEMBAR PENGAMATAN (OBSERVASI)
PENGGARAPAN SAWAH OLEH PELAKU GADAI
Nama :
Peran :
Hari/tanggal :
No Aspek yang dinilai Ya Tidak1 Melakukan penggarapan sawah