Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf
Transcript of Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf
![Page 1: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/1.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 0
POTRET INDUSTRI MEDIA MASSA DI
INDONESIA DALAM KERANGKA ANALISIS
EKONOMI MEDIA
Aulia Dwi Nastiti | 0906561452 Program Studi Komunikasi Media
Departemen Ilmu Komunikasi
UNIVERSITAS INDONESIA | 2011
![Page 2: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/2.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 1
KERANGKA PEMIKIRAN
Merujuk pada Albarran (2002), ekonomi media didefinisikan sebagai suatu kajian yang
mengkhususkan dirinya pada bagaimana industri media mengelola sumber-sumber daya
yang terbatas (scarce resources) guna memproduksi content yang didistribusikan di antara
masyarakat konsumen sesuai dengan pemenuhan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam praktik, kajian ekonomi media mengaplikasikan tiga kerangka analisis yang bersifat
resiprokal, yaitu market conduct - market structure - market performance. Ketiga kerangka
analisis ini pada intinya terpusat pada penjelasan tentang bagaimana suatu satuan bisnis
dalam industri media menyusun kebijakan harga, kebijakan produk, strategi pemasaran
(market conduct) sebagai respons terhadap struktur pasar (market structure) tertentu,
yaitu kompetisi, konsentrasi dan pemusatan pasar, serta bagaimana kebijakan internal
perusahaan dan kondisi eksternal pasar mempengaruhi kinerja organisasi media tersebut
yang meliputi efisiensi, produktivitas, kualitas produk (market performance), yang pada
akhirnya bisa mempengaruhi struktur pasar kembali.
Gb.1. Bagan Kerangka Analisis Ekonomi Media
Market Structure
Menurut Lin dan Chi (2003), struktur pasar umumnya tergantung pada enam faktor yang
meliputi konsentrasi produser atau penjual (horizontal integration, ownership
concentration, market concentration), integrasi vertikal (vertical integration), differensiasi
produk (product differentiated), barriers to entry (natural barriers – artificial barriers),
struktur biaya (cost structure).
Sedangkan berdasarkan topologi analisis struktur pasar, dalam mengkaji struktur pasar
media massa Indonesia, terdapat dua perangkat analisis yang harus diperhatikan, yaitu
konsentrasi dan barriers to entry. Konsentrasi ini terdiri dari konsentrasi kepemilikan dan
konsentrasi pasar. Dalam konsentrasi kepemilikan, yang patut diperhitungkan adalah
integrasi kepemilikan horizontal (horizontal integration), integrasi antar media (cross-media
intergration), dan integrasi kepemilikan vertikal (vertical intergration). Konsentrasi pasar ini
meliputi konsentrasi pasar audiens dan konsentrasi pasar iklan.
Market Structure
Market Conduct Market Performance
![Page 3: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/3.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 2
Sedangkan untuk barriers to entry terdiri dari penghalang natural yang meliputi natural
barriers atau halangan keuangan dan artificial barriers atau halangan artifisial. Yang
termasuk halangan natural ini adalah structural barriers dan financial barriers. Halangan
struktural ini merupakan konsekuensi dari kondisi konsentrasi pasar, terutama akibat
integrasi vertikal. Terdapat empat macam halangan yang termasuk dalam financial
barriers. Pertama, absolute cost advantages for established firm atau pemanfaatan biaya
mutlak. Contohnya pengurangan biaya peralatan, jaringan pemasaran. Kedua, product
differentiation advantages for established firms atau pemanfaatan biaya differensiasi
produk. Contohnya, pengurangan biaya promosi. Ketiga, economies of scale atau skala
eknomi. Contohnya, pengurangan biaya dan harga per satuan produk. Keempat ialah cost
structure atau struktur biaya, dengan contoh insentif kapital. Untuk halangan buatan atau
artificial barriers, yang termasuk di dalamnya adalah halangan dari segi legal atau
serangkaian regulasi dan halangan dari segi politis atau kebijakan pemerintahan.
Berbagai komponen dalam menganalisis struktur pasar dapat diabstrakasi sebagai berikut
Gb.1. Bagan Komponen Analisis Struktur Pasar
Pengukuran Struktur Pasar
a. Konsentrasi Pasar Diukur dengan menggunakan Rasio Konsentrasi (CR4) atau jumlah market share empat pemain pasar terbesar. Determinan indikator pengukuran rasio konsentrasi ditunjukkan dalam tabel berikut.
Indicator CR4
High concentration ≥ 50 %
Moderate concentration 33% ≤ X < 50%
Low concentration < 33%
Market Structure
Concentrations
Concentration of Ownership
Horizontal Integration
Cross Media Integration
Vertical Integration
Market Concentration
Audience Concentration
Advertiser Concentration
Barriers to Entry
Natural
Financial
Structural
Artificial
Legal
Political
![Page 4: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/4.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 3
b. Persaingan pasar (berkaitan dengan barriers to entry) dalam rangka menentukan bentuk pasar, diukur dengan menggunakan Indeks Herfindahl (HI) atau jumlah perbandingan antara market share setiap perusahaan dengan jumlah pasar secara keseluruhan yang diperoleh dengan rumus:
� = ��� 2��=�
Determinan karakteristik persaingan pasar dapat dilihat dalam tabel berikut.
Nature of Market Structure Range of HI Intensity of Competition
Close to Perfect Competition < 0.2 Fierce, depending on product differentiation
Oligopoly 0.2 ≤ H ≤ 0.7 Fierce or light, depending on the degree of
collusion
Close to Oligopoly > 0.7 Usually light, unless threatened by entry
Kedua komponen pengukuran tersebut (CR4 dan HI) dapat diterapkan pada berbagai unit
analisis. Misalnya berdasarkan audience share yang mengacu pada jumlah audiens, serta
ownership share atau kepemilikan serta ads revenue share dan ADEX (advertising
expenditure) atau jumlah pendapatan dan pembelanjaan iklan yang dihabiskan di media
tersebut.
Market Conduct
Market Conduct mengacu pada proses strategis yang diterapkan dalam internal organisasi
media tersebut. Komponen yang termasuk dalam market conduct antara lain, pricing
behavior (penentuan harga), product / marketing / promotion strategies (strategi
pemasaran), product research and innovation (riset dan inovasi produk), plant investment
(penanaman investasi), juga legal tactics (taktik legal). Dalam menganalisis market
conduct dalam kajian ekonomi media, salah satu unit analisis penting yang digunakan
ialah CPM (cost per miles) sebagai indikator sukses strategi media menarik pengiklan.
Market Performance
Market performance mengacu pada proses yang berkaitan dengan efisiensi dalam rangka
mencapai kondisi perusahaan yang optimal. Kerangka analisis market performance
meliputi berbagai komponen berikut, yaitu production efficiency (efisiensi produksi),
allocative efficiency (efisiensi alokasi biaya), technological progress (perkembangan
teknologi), full employment (operasional tenaga kerja), dan equity (permodalan).
Berdasarkan kerangka analisis ekonomi media yang telah dijabarkan di atas, dapat
dilakukan sebuah kajian terhadap masing-masing industri media massa di Indonesia, yang
akan dipaparkan pada bagian-bagian selanjutnya.
![Page 5: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/5.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 4
INDUSTRI SURAT KABAR
Industri surat kabar di Indonesia merupakan industri yang peka terhadap dinamika struktur
pasar. Pemahaman ini diperoleh dari adanya perubahan mencolok pada peta industri
surat kabar akibat pengaruh perubahan rezim politik dari Orde Baru ke Reformasi.
Sebagai sebuah industri media massa yang diawasi secara ketat pada masa Orde Baru,
pers Indonesia serasa menemukan angin segar kebebasan ketika masa reformasi.
Kebebasan tersebut terwujud dari adanya serangkaian regulasi yang membebaskan
berdirinya media cetak tanpa perlu mendapatkan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan).
Dari perspektif ekonomi media, liberalisasi surat kabar ini berarti sebagai hilangnya barrier
to entry utama yang menghalangi pendirian suatu media cetak. Oleh karena itu, semenjak
reformasi tahun 1998, ratusan surat kabar baru muncul. Jika pada tahun 1997 tercatat 167
surat kabar, pada tahun 2008 jumlah ini berkembang pesat menjadi 515 surat kabar. Atau
dengan kata lain, terjadi kenaikan sebesar 208% dari segi jumlah pemain pasar.
Namun, lain lagi jika bicara mengenai audience share atau dalam terminologi media cetak
disebut readership. Meskipun jumlah pemain pasar atau produsen naik signifikan, jumlah
konsumen atau pembaca surat kabar dari tahun 1998 ke 2008 justru mengalami
penurunan 2,6% sebanyak 300 ribu orang. Berikut disajikan data detail mengenai
readership share surat kabar di Indonesia pada tahun 1997 dan 2007.
Data Readership Surat Kabar Nasional Tahun 1997 dan 2007 (dalam ribu)
Tahun 1997 Tahun 2007
Sumber: AGB Nielsen
No Surat Kabar Jumlah Share
1 Pos Kota 2930 0.31
2 Kompas 2028 0.22
3 Jawa Pos 799 0.09
4 Suara Pembaruan 793 0.09
5 Pikiran Rakyat 754 0.08
6 Media Indonesia 445 0.05
7 Republika 313 0.03
8 Suara Merdeka 310 0.03
9 Memorandum 291 0.03
10 Fajar 265 0.03
11 Surya 243 0.03
12 Waspada 150 0.02
Total 9321 1.00
No Surat Kabar Jumlah Share
1 Kompas 1611 0.18
2 Jawa Pos 1481 0.16
3 Pos Kota 1205 0.13
4 Top Skor 745 0.08
5 Berita Kota 683 0.08
6 Warta Kota 567 0.06
7 Kedaulatan Rakyat 561 0.06
8 Lampu Merah 559 0.06
9 Seputar Indonesia 498 0.05
10 Pikiran Rakyat 404 0.04
11 Media Indonesia 392 0.04
12 Radar Bogor 372 0.04
Total 9078 1.00
![Page 6: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/6.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 5
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah pembaca surat kabar di
Indonesia justru menurun 2,6% dari 9,3 juta di tahun 1997 menjadi sekitar 9 juta di tahun
1997. Oleh karena itu, secara real, kondisi pasar surat kabar di Indonesia kini mengalami
penurunan jumlah, tetapi diiringi peningkatan pemain pasar (sellers up, buyers down).
Penurunan ini merupakan konsekuensi dari perkembangan media baru. Berkembangnya
teknologi kini turut membawa berbagai alternatif media baru. Tak dapat dipungkiri,
masyarakat kini meletakkan preferensinya pada media online yang lebih cepat, praktis,
mudah, dan murah.
Meskipun banyak terdapat pemain baru, dari segi product differentatiation, tidak banyak
terjadi perubahan nama-nama surat kabar yang menguasai pasar nasional. Kompas, Pos
Kota, dan Jawa Pos tetap ada di posisi 3 besar. Pemain baru yang cukup mencuri
perhatian ialah Top Skor. Di tahun 1997, nama Top Skor, tak masuk ke jajaran 10 besar,
tetapi di tahun 2007 Top Skor menggantikan Suara Pembaruan di posisi keempat.
Menariknya, Suara pembaruan justru tak ada dalam daftar 10 teratas di tahun 2007.
Meskipun demikian, liberalisasi surat kabar tetap memunculkan nama-nama media yang
potensial, antara lain Top Skor, Berita Kota, Warta Kota, dan Seputar Indonesia.
Jika dilihat dari segi readership share, industri surat kabar nasional dalam kurun waktu
1997-2007 menunjukkan kecenderungan menurunnya share koran-koran besar. Pos Kota
yang awalnya merebut 31% pasar mengalami penurunan paling drastis menjadi 13%.
Kompas mengalami penurunan sebesar 4% dari awalnya 22% menjadi 18%. Pikiran
Rakyat menurun dari 8% menjadi 4%.
Yang harus menjadi perhatian adalah Jawa Pos yang justru mengalami kenaikan share
pembaca sebesar 7%. Peningkatan share Jawa Pos ini erat kaitannya dengan ekspansi
jaringan Jawa Pos yang memperluas jangkauan koran lokalnya (suplemen Radar dearah)
seiring dengan kemudahan mendirikan media dan peningkatan efisiensi dalam tubuh
internal organisasi media Jawa Pos.
Selain itu, Top Skor juga cukup fenomenal. Sebagai surat kabar baru, Top Skor langsung
mampu merebut pembaca sebesar 8% di tahun 2007. Keberhasilan Top Skor ini
diasumsikan akibat genre yang diambilnya. Dengan genre koran olahraga, Top Skor
mampu membidik target pasar yang spesifik, yaitu para penikmat olahraga.
Dinamika readership share ini menarik untuk menjadi dasar analisis struktur pasar surat
kabar nasional, terutama dari segi tingkat persaingan dan konsentrasi pasar. Dengan
menggunakan perhitungan rasio konsentrasi empat pemain terbesar (CR4) untuk
menunjukkan konsentrasi pasar dan indeks Herfindahl untuk menunjukkan struktur
persaingan, maka diperoleh grafik yang menunjukkan perkembangan struktur pasar surat
kabar nasional sebagai berikut.
![Page 7: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/7.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 6
Konsentrasi Pasar
Grafik di samping menunjukkan bahwa konsentrasi pasar surat kabar nasional di tahun
1997 adalah sebesar 70%. Berdasarkan indikator Albarran (1996), angka konsentrasi
≥50% merepresentasikan tingkat konsentrasi pasar yang tinggi. Artinya, di tahun 1997, pasar surat kabar nasional masih sangat terpusat di beberapa pemain tertentu.
Di tahun 2007, angka konsentrasi pasar surat
kabar nasional turun menjadi 51%. Artinya,
selama kurun waktu 1 dasawarsa dari tahun 1997-
2007, industri surat kabar nasional mulai bergerak
merata. Menurunnya rasio ini merupakan implikasi
menurunnya share koran-koran besar yang
menguasai pasar surat kabar. Meskipun empat
pemain terbesar (CR4) masih sama, penurunan
rasio konsentrasi sebesar 19% menunjukkan
bahwa „kue readership’ mulai terdistribusi secara
lebih merata
Persaingan Pasar
Dipandang dari karakteristik struktur persaingan
pasar yang dikur melalui indeks Herfindahl, hasil
yang terekam dalam grafik di samping
menunjukkan angka di bawah 0,2. Menurut
indikator yang dikemukakan Albarran (1996),
angka indeks H <0,2 berarti struktur pasar
persaingan sempurna. Oleh karena itu, indeks H
pada grafik di samping menjelaskan bahwa
struktur industri surat kabar nasional menujukkan
kecenderungan karakterisktik pasar persaingan
sempurna, baik di tahun 1997 maupun 2007.
Meskipun demikian, tetap terjadi perubahan selama 10 tahun berjalan, yaitu penurunan
indeks H sebesar 0,7 dari 0.18 menjadi 0,11. Penurunan indeks H ini menunjukkan bahwa
pasar telah bergerak ke arah yang lebih bebas. Artinya, persaingan dalam industri surat
kabar nasional di tahun 2007 menjadi lebih ketat dan terbuka. Meningkatnya persaingan
ini disebabkan oleh menigkatnya jumlah pemain di pasar sebagai konsekuensi hilangnya
barrier to entry politis, sedangkan di sisi lain, jumlah konsumen surat kabar nasional
secara keseluruhan menurun. Akibatnya, ruang yang tersisa bagi masing-masing surat
kabar menjadi lebih sempit dan setiap surat kabar lebih berlomba-lomba mencapai
pembacanya.
0%
20%
40%
60%
80%
1997 2007
70%
51%
Co
nce
ntr
ati
on
Ra
tio
Newspaper Market Concentration
0
0.05
0.1
0.15
0.2
1997 2007
0.18
0.11
He
rfin
da
hl I
nd
ex
Newspaper
Market Competitiveness
![Page 8: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/8.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 7
Sejalan dengan kecenderungan
menurunnya readership share koran-
koran besar sebelum dan setelah
reformasi, berdasarkan grafik di samping
dapat diketahui bahwa oplah penjualan
surat kabar besar cenderung mengalami
penurunan dari ketika sebelum reformasi
(1998) dan setelah reformasi (2008).
Koran yang mengalami penurunan oplah
paling signifikan adalah Pos Kota yang
turun 150%. Pengecualian terjadi pada
Media Indonesia dan Pikiran Rakyat
yang justru mengalami kenaikan oplah,
meskipun tak signifikan.
Grafik di atas juga menunjukkan bahwa liberalisasi industri surat kabar Indonesia memiliki
dampak positif terhadap pengembangan koran-koran baru. Terbukti dari beberapa nama-
nama koran yang, meskipun baru, oplah penjualannya patut diperhitungkan karena hampir
menyamai koran-koran yang telah berkiprah sejak lama. Contohnya, Seputar Indonesia
yang mampu menembus angka 385.000 eksemplar secara nasional.
Dipandang dari advertising expenditure share berbagai media di Indonesia, indutri koran di
Indonesia merupakan satu-saunya media yang nilai share iklannya mengalami pergerakan
progresif secara konsisten dari tahun ke tahun selama 2005-2010. Fenomena ini enarik
jika dihadapkan dengan menurunnya pasar pembaca surat kabar di Indonesia dan
kecenderungan menurunnya oplah koran-koran besar di Indonesia. Kenaikan share iklan
koran ini terjadi sebagai konsekuensi dari nilai pembelanjaan iklan di Indonesia secara real
juga cenderung meningkat setiap tahunnya juga diimbangi dengan meningkatnya sirkulasi
koran di Indonesia akibat munculnya banyak koran-koran baru.
Advertising Expenditure Share by Type of Media (%)
MEDIA
TOTAL 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Television 63,7 63,9 61,3 59,0 58,5 58,8
Newspaper 26,9 27,9 31,2 33,8 34,7 34,9
Magazine 3,2 2,8 2,7 2,7 2,5 2,3
Tabloid 1,4 1,2 1,2 1,3 1,2 1,1
Radio 1,9 1,6 1,4 1,3 1,2 1,1
Outdoor 2,8 2,6 2,2 2,0 1,9 1,8
Source : Media Scene, 2008-2009
0 200 400 600
Lampu …Berita Kota
Top Skor
Warta Kota
Seputar …Kedaulatan …
Pikiran …Media …
Jawa Pos
Pos Kota
Kompas
Oplah Penjualan Surat Kabar di Indonesia
1998
2008
Beradasarkan analisis kondisi yang
telah dilakukan, dapat diperoleh
pemahaman bahwa masalah utama
pada industri surat kabar nasional
adalah struktur pasar, terutama dalam
hal barrier to entry serta market share.
Hilangnya barrier to entry merupakan
faktor determinan tumbuhnya industri
surat kabar meski di sisi lain pasar
surat kabar mengalami penurunan
sebagai dampak dari perkembangan
teknologi media baru.
![Page 9: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/9.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 8
INDUSTRI RADIO
Berdasarkan data dari Deparpostel pada tahun 2008, jumlah lembaga penyiaran radio di
seluruh Indonesia ialah 1.642 stasiun. Dari jumlah tersebut, radio yang menyandang Ijin
Stasiun Radio (ISR) hanya 819 stasiun. Organisasi radio di Indonesia terbagi menjadi dua,
yaitu jaringan radio swasta dan jaringan radio komunitas. Jaringan radio swasta bergerak
untuk kepentingan komersial. Sedangkan jaringan radio komunitas biasanya didirikan oleh
suatu komunitas dengan basis kawasan, isu, atau ketertarikan.
Dalam perspektif ekonomi media, industri radio dipandang sebagai industri media yang
memiliki karakteristik khas dalam hal audience. Audiens radio terbatas di ruang wilayah
tertentu sebagai konsekuensi keterbatasan jangkauan jaringannya. Oleh karena itu,
analisis ekonomi industri radio pun juga dilakukan berdsarakan skala lokal. Dalam kajian
kali ini, analisis radio dibatasi pada empat kota dengan pertumbuhan penduduk tertinggi di
Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Makassar, dan Surabaya. Berikut disajikan data
audience share radio di masing-masing kota tersebut.
Radio Audience Share in Jakarta (%) Radio Audience Share in Medan (%)
Radio Audience Share in Makassar (%) Radio Audience Share in Surabaya (%)
Source : Nielsen – Wave 4, 2005-2009
Radio 2005 2006 2007 2008 2009
MOST FM 16,0 21,6 24,7 14,2 18,4
SIMPONI 22,0 18,9 19,9 14,0 14,7
SIKAMONI 19,0 16,4 16,1 11,9 14,2
DANGDUT TPI 8,9 13,9 11,8 8,9 13,1
SUARA MEDAN 12,1 12,8 16,5 13,0 11,7
KARDOPA 8,8 12,7 12,7 14,6 11,4
KISS 19,4 11,6 14,9 10,2 10,4
RRI PRO2 8,6 12,0 16,7 14,0 8,9
CITRA 13,4 13,0 17,5 9,4 8,2
CR4 76,4 70,8 78,8 56,8 60,4
Radio 2005 2006 2007 2008 2009
GEN FM N/A N/A N/A 13,0 12,8
BENS 18,3 20,9 16,7 13,7 11,6
DANGDUT TPI N/A N/A 13,8 14,5 9,9
MEGASWARA 6,6 11,6 10,6 7,8 8,7
ELGANGGA 9,7 6,8 6,3 5,9 7,0
ELSHINTA 7,9 7,1 9,3 7,8 8,0
I-RADIO 9,7 9,5 6,2 6,2 5,0
POP FM N/A 12,7 10,0 7,6 4,9
RKM 8,0 10,7 8,4 9,1 3,7
LESMANA 0,9 1,7 4,0 5,4 3,2
CR4 45,7 55,9 51,1 50,3 43
Radio 2005 2006 2007 2008 2009
GAMASI 42,9 43,6 39,7 28,7 35,2
VENUS 26,0 33,4 29,8 20,5 30,6
TELSTAR 30,8 21,8 27,4 18,3 21,0
MADAMA 14,5 17,9 16,6 13,5 19,9
SONATA 20,1 19,1 14,6 9,9 15,3
PRAMBORS 17,4 14,6 13,4 9,9 14,2
GAMA 4,8 13,5 10,6 10,4 11,6
MAKASAR FM N/A N/A N/A 8,1 11,6
FAJAR 0,0 7,2 5,7 6,0 9,4
SPFM 14,4 7,2 10,3 3,3 6,6
CR4 119,8 117,9 113,5 81 106,7
Radio 2005 2006 2007 2008 2009
SUARA GIRI 43,0 37,0 27,8 22,3 21,9
WIJAYA FM 34,4 30,8 26,3 22,4 15,1
ELVICTOR 7,0 7,0 9,5 9,2 9,4
EBS FM 6,5 8,7 13,7 10,4 8,5
SUZANA 15,6 15,8 13,1 7,4 8,4
MERDEKA 13,9 16,4 13,9 11,2 8,1
MTBFM 10,5 10,2 10,0 10,1 8,1
MEDIA FM 7,9 9,2 5,9 11,0 7,8
M RADIO N/A N/A N/A 8,8 7,3
SUARA SBY 11,0 9,6 8,4 8,2 6,6
CR4 106,9 100 81,7 66,9 54,9
![Page 10: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/10.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 9
Jakarta – Dari tabel tersebut, dapat dilihat industri radio di Jakarta merupakan industri
media yang cukup dinamis dalam hal komposisi nama-nama pemain. Selama kurun waktu
2004-2009, banyak pemain yang bergantian menempati posisi empat teratas. Di antara
berbagai radio tersebut, yang paling konsisten merebut pasar cukup tinggi adalah Radio
Bens. Selama lima tahun berturut-turut, Bens selalu memperoleh tempat di kalangan
emapt besar, bahkan menjadi nomor satu di tahun 2005-2007. Perubahan terjadi pada
tahun 2008 saat Gen FM memasuki pasar radio. Gen yang baru saja berdiri di tahun 2008,
langsung menembus posisi nomor 3 dan naik menjadi nomor 1 di tahun 2009. Nama lain
yang cukup konsisten adalah radio Dangdut TPI, Megaswara, Pop FM, dan RKM.
Medan – Untuk Kota Medan, melalui tabel tersebut, dapat diketahui bahwa dari kurun
waktu 2004-2009, nama-nama radio di Medan relatif tetap dan tidak banyak mengalami
perubahan. Meskipun demikian, audience share pada setiap radio di Medan sangat
dinamis dan cenderung mudah mengalami kenaikan dan penurunan, begitu pula dengan
tingkat konsentrasi pasarnya secara keseluruhan. Meskipun demikian, industri radio di
Medan masih terpusat pada beberapa pemain tertentu. Dua pemain utama di Medan ialah
Most FM dan Radio Simfoni yang selalu menduduki empat besar perolehan pendengar.
Selain kedua redio tersebut, juga terdapat radio lain yang juga memiliki cukup banyak
pendengar, yaitu Sikamoni, Radio Dangdut TPI, Kardopa, KISS FM, dan RRI PRO2.
Makassar – Lain halnya dengan Medan dan Jakarta, industri radio di Makassar jutsru tak
banyak perubahan, baik dari segi audience share per radio, maupun nama-nama pemain
di pasar. Hal ini terjadi karena pilihan pendengar tampaknya telah menetap pada tiga
pemain utama. Radio yang paling menonjol adalah Radio Gamasi yang selama 5 tahun
dari 2004-2009 konsisten memperoleh paling banyak pendengar. Selanjutnya terdapat
Venus dan Telstar yang selalu bergantian menempati posisi kedua dan ketiga. Selain
ketiga radio tersebut, ada juga radio Madama dan Sonata yang juga sering menempati
posisi keempat. Adanya beberapa nama lama yang telah melekat erat ini menyebabkan
tak banyak nama-nama baru muncul di peta industri radio Makassar. Meskipun demikian,
Makassar FM cukup berpotensi karena baru muncul pada tahun 2008 dan langsung
sukses merebut 8% pendengar, bahkan progresif menjadi 11,6% di tahun 2009.
Surabaya - Di industri radio Surabaya, dari segi pemain pasar, terdapat dua radio yang
secara konsisten memperoleh pendengar yang paling banyak, yaitu Suara Giri dan Wijaya
FM. Kedua radio tersebut memiliki tingkat audience share yang tertinggi dan cukup jauh
jika dibandingkan dengan Radio Merdeka dan Radio Suzana yang menempati tempat
ketiga dan keempat. Hal paling mencolok yang terjadi dalam industri radio Surabaya
selama tahun 2004-2009 ialah terjadinya penurunan tingkat konsentrasi yang cukup
secara gradual dengan tingkat penurunan yang cukup siginifikan. Hal ini disebabkan
karena menurunnya audiende share radio-radio besar di Surabaya. Hal ini menunjukkan
bahwa dari tahun ke tahun selama 2004-2009, pasar audience share radio di Surabaya
terdistribusi lebih merata secara konsisten.
![Page 11: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/11.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 10
Berdasarkan keempat tabel audience share di setiap kota di atas, dapat digambarkan
bagaimana perbandingan rasio konsentrasi pasar dan tingkat persaingan di tiap kota.
Persaingan Pasar
Konsentrasi Pasar
Untuk menganalisis tingkat persaingan industri
radio, digunakan unit analisis pembelanjaan
iklan radio. Industri radio yang memiliki tingkat
persaingan tertinggi ditunjukkan oleh pasar
Jakarta (Indeks H paling rendah). Intensitas
persaingan berikutnya secara urut ditempati
oleh Medan dan Surabaya, serta Makasssar.
Hal tersebut dapat dilihat dari indeks H dalam
pasar Jakarta yang selalu berada di bawah 0,2
selama dari tahun 2005-2009. Artinya, industri
radio di Jakarta memiliki karakteristik pasar
persaingan sempurna. Tingkat persaingan di
pasar Jakarta selama lima tahun juga
cenderung menunjukkan stabilitas. Persaingan
persaingan paling ketat terjadi pada tahun
2009. Hal ini akibat nama-nama baru yang
muncul pada tahun 2008 telah lebih matang.
Berbeda dari Jakarta, industri radio di Medan,
Makassar, dan Surabaya, menunjukkan
karakteristik pasar oligopoli (0,2 < HI < 0,7).
Selain itu, di ketiga kota tersebut, tingkat
persaingan industri radio dari tahun ke tahun
selama 2004-2009 bergerak lebih dinamis.
Perkembangan paling dinamis ditunjukkan
oleh pasar di Medan dan Makassar.
Dalam pengukuran konsentrasi, unit analisis
yang digunakan ialah audience share. Dari
keempat kota, rasio konsentrasi yang paling
tinggi ditunjukkan Kota Makassar (CR4
tertinggi), dan diikuti oleh Surabaya, Medan,
dan Jakarta di tempat terakhir.
Selama 2004-2009, tingkat konsentrasi di
pasar Makassar selalu melebihi 100%
kecuali di tahun 2008. Hal ini berarti,
industri radio di Makassar masih sangat
terpusat pada beberapa nama pemain
tertentu. Perubahan cukup mencolok terjadi
dari 2007 ke 2008 di pasar Makassar dan
Surabaya yang mengalami penurunan CR
secara gradual cukup signifikan. Hal ini
berarti dari tahun 2007 ke 2008, pasar di
kedua kota tersebut bergerak lebih merata.
Kadar high concentration ditunjukkan oleh
pasar Makassar, Medan, dan Surabaya. Hal
yang berbeda ditunjukkan pasar Jakarta.
Dengan CR berkisar antara 45%-55%, rata-
rata konsentrasi pasar di Jakarta selama
2004-2009 berada pada tingkat moderate.
Artinya, industri radio di Jakarta memiliki
distribusi pasar yang paling merata.
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
2005 2006 2007 2008 2009
Ind
ek
s H
erf
ind
ah
l
Radio Market Competitiveness
0%
50%
100%
150%
2005 2006 2007 2008 2009
Co
nce
ntr
ati
on
Ra
tio
Radio Market Concentration
Jakarta
Medan
Makassar
Surabaya
![Page 12: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/12.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 11
Berikut merupakan data yang menggambarkan kondisi pasar periklanan dalam industri
radio di Indonesia.
Advertising Expenditure Share by Type of Media (%)
MEDIA
TOTAL 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Television 63,7 63,9 61,3 59,0 58,5 58,8
Newspaper 26,9 27,9 31,2 33,8 34,7 34,9
Magazine 3,2 2,8 2,7 2,7 2,5 2,3
Tabloid 1,4 1,2 1,2 1,3 1,2 1,1
Radio 1,9 1,6 1,4 1,3 1,2 1,1
Outdoor 2,8 2,6 2,2 2,0 1,9 1,8
Source : Media Scene, 2008-2009
Dari segi pasar periklanan atau advertising market, radio memiliki nilai pembelanjaan iklan
(adversiting expenditure – ADEX) paling kecil dibanding jenis media lainnya. Radio hanya
memiliki nilai ADEX yang lebih besar dibanding iklan outdoor atau iklan pada reklame,
baliho, dan media periklanan di ruang terbuka lainnya. Data pada tabel ADEX Share juga
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun selama 2005-2010, nilai iklan yang dibelanjakan
di radio semakin mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Meskipun secara proporsional share iklan radio mengalami penurunan, nilai iklan radio
secara real dari kurun waktu 2005-2010 justru menunjukkan tren peningkatan (lihat grafik).
Hal ini disebabkan oleh kecilnya rate card radio dan minimnya peningkatan jumlah
pendengar radio (tidak sebanding dengan televisi dan koran) sementara nilai real seluruh
iklan yang dibelanjakan di media mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama
2005-2010. Walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2005 ke 2006, nilai iklan
yang dibelanjakan di radio terus meningkat sampai di tahun 2010. Secara keseluruhan
selama lima tahun, pendapatan iklan radio mengalami peningkatan sebesar 15,8%.
Berdasarkan nilai rate card atau harga periklanan radio, dapat diukur CPM (cost per mile)
pada masing-masing radio. CPM menunjukkan efektivitas dan efisiensi biaya yang
dikeluarkan pengiklan iklan di tiap-tiap stasiun radio. Angka CPM diperoleh dari
perbandingan antara rate card dengan jumlah pendengar masing-masing radio. Secara
umum, semakin rendah nilai CPM, semakin efisien pula iklan di radio tersebut. Meskipun
demikian, perlu diperhitungkan nilai real rate card dan jumlah pendengar radio tersebut.
Perhitungan advertising expenditure yang menggambarkan market conduct industri radio
di keempat kota menunjukkan bahwa CPM radio tidak dapat dihitung secara nasional
karena sifat audiens lokal, juga dikarenakan adanya UU Penyiaran yang mengatur
frekuensi siaran tiap-tiap stasiun radio di masing-masing kota. Dengan demikian, kajian
karakteristik pasar radio berdasarkan kerangka analisis ekonomi media hanya dapat
diimplementasikan dalam lingkup lokal.
537527 535
559
593
622
450
500
550
600
650
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Advertising Expenditure Radio
(Rp million)
![Page 13: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/13.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 12
INDUSTRI TELEVISI
Pasar televisi dan iklan Indonesia merupakan pasar yang sangat kompleks dan dipenuhi
dengan persaingan. Persaingan dalam industri televisi Indonesia menjadi semakin ketat
setelah adanya horizontal integration atau integrasi antar stasiun televisi. Integrasi
horizontal ini dilakukan dengan cara mengakuisisi sebagian besar saham di suatu stasiun
televisi sehingga mengubah struktur kepemilikan di dalamnya.
Dalam hal barriers to entry, industri televisi merupakan pasar yang sarat dengan halangan
natural, terutama akibat halangan finansial dan kepemilikan. Diperlukan modal finansial
yang besar untuk memulai pendirian stasiun TV dikarenakan biaya investasi, infrastruktur,
dan operasional yang sangat besar. Selain itu, struktur kepemilikan yang didominasi
pemain-pemain lama yang telah cukup besar menyebabkan pemain baru harus memiliki
mental bersaing yang sangat besar jika ingin memasuki pasar ini. Oleh karena itulah, TV
komunitas dan TV lokal, meskipun secara kuantitas telah cukup banyak, masih belum
dapat diperhitungkan dalam menganalisis industri televisi dalam skala nasional.
Sedangkan untuk artificial barriers, regulasi dalam bidang penyiaran merupakan halangan
yang cukup berat untuk masuk ke dalam industri media massa yang terbesar ini. Terkait
dengan struktur kepemilikan, regulasi dalam bidang penyiaran yang tertuang dalam UU
No.32 Tahun 2002 mengatur bahwa kepemilikan saham asing dalam media penyiaran di
Indonesia dibatasi maksimal 20%. Selain itu, terkait dengan konten, atau produk siaran,
UU Penyiaran juga mengatur sistem pertelevisian Indonesia dalam bentuk berjaringan
secara lokal. Akan tetapi, pada realitanya, kondisi tersebut belum diimplementasikan oleh
stasiun televisi nasional karena adanya konsentrasi modal di pusat. Pembiayaan dan
pendirian stasiun TV lokal baru yang mahal membuat stasiun TV nasional menggandeng
stasiun TV lokal yang telah ada menjadi bagian dalam TV nasional tersebut.
Audience Share Televisi di Indonesia (%)
Kondisi market structure industri televisi di
Indonesia dapat dikaji berdasarkan tabel share
penonton di samping. dapat diketahui sebelas
stasiun televisi yang merupakan TV nasional yang
utama. Data tersebut memperilhatkan bahwa
banyak televisi yang mengalami kenaikan jumlah
penonton, tetapi banyak pula yang mengalami
penurunan. Hal ini menunjukkan audience share
memiliki pergerakan yang dinamis. Meskipun
demikian, terdapat empat stasiun TV besar yang
konsisten menguasai pasar, selama 2008-2009,
yaitu RCTI, SCTV, Trans TV dan Indosiar.
No Televisi 2008 2009
1. RCTI 16.5 17.6
2. SCTV 19.2 16.1
3. Trans TV 13.8 14.8
4. Indosiar 16.3 14.1
5. TPI 10.6 9.0
6. Trans 7 6.1 8.7
7. Global 5.7 6.4
8. ANTV 5.7 5.8
9. TV One 4.2 5.3
10. Metro 1.8 2.2
11. TVRI 0.8 0.6
![Page 14: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/14.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 13
Tingkat Persaingan Konsentrasi Pasar
Berdasarkan perhitungan indeks Herfindahl
yang diperoleh dari audience share, dapat
diketahui bahwa industri televisi Indonesia
mengarah ke struktur pasar persaingan
sempurna (close to perfect competition). Hal
ini terbukti dari indeks H pasar televisi yang
selama dua tahun berada di bawah 0.2.
Karakteristik pasar ini merupakan sebuah
kondisi yang unik jika dihadapkan pada
tingkat kesulitan menembus pasar televisi
nasional. Secara konseptual, pasar
persaingan sempurna memiliki karakteristik
bahwa produsen dan konsumen bebas
keluar-masuk pasar Akan tetapi kebebasan
ini tidak ditemui dalam pasar televisi
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya
barriers to entry yang cukup ketat baik dari
segi natural maupun artifisial.
Dalam industri televisi nasional juga dikenal
terjadinya horizontal integration seperti
MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV),
Bakrie Group (TV One dan ANTV), serta
TransCorp (TransTV dan Trans7). Oleh
karena itu, jika dikaji dari struktur
kepemilikan, maka karakteristik pasar TV di
Indonesia lebih mengarah ke oligopoli.
Perhitungan konsentrasi pasar dilakukan
berdasarkan tingkat audience share pada
empat stasiun televisi terbesar. Dengan
rasio konsentrasi lebih dari 50%, grafik di
atas menunjukkan bahwa pasar televisi di
Indonesia memiliki tingkat konsentrasi
tinggi.
Tingginya tingkat konsentrasi ini diakibatkan
oleh adanya empat stasiun TV yang selama
dua tahun konsisten menguasai pasar
dengan tingkat share yang cukup tinggi,
yaitu RCTI, SCTV, Trans TV, dan Indosiar.
Dari tahun 2008 ke 2009, konsentrasi pasar
televisi di Indonesia mengalami penurunan
meskipun tidak signifikan. Penurunan ini
menunjukkan adanya pemerataan penonton
dalam pasar televisi Indonesia yang ditandai
dengan menipisnya margin audience share
antar stasiun televisi.
Dalam hal struktur biaya, pasar televisi
Indonesia tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan karena differensiasi biaya
hanya bermain di tingkat efisiensi saja.
Sedangkan untuk barriers to entry, lebih
terfokus pada ownership (integration) dan
finansial (kemapanan pemain lama).
65.8%
62.6%
61.0%
62.0%
63.0%
64.0%
65.0%
66.0%
67.0%
2008 2009
Co
nce
ntr
ati
on
Ra
tio
TV Market Concentration
0.133
0.125
0.12
0.122
0.124
0.126
0.128
0.13
0.132
0.134
2008 2009
He
rfin
da
hl
In
de
x
TV Market Competitiveness
![Page 15: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/15.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 14
Setiap stasiun televisi memiliki strategi masing-masing untuk menarik pengiklan. Terjadi
penaikan advertising expenditure dalam pasar televisi Indonesia namun tetap
terkonsentrasi pada 4 pemain utama.
Advertising Expenditure Share by Type of Media (%) Advertising Expenditure Share TV (%)
No. Media 2008 2009
X (jt) (%) X (jt) (%)
1 TV 26.241 59 29.887 58,5
2 Newspaper 15,032 33,8 17.747 34,7
3 Magazine 1,223 2,7 1.292 2,5
4 Tabloid 562 1,3 609 1,2
5 Radio 559 1,3 593 1,2
6 Outdoor 875 2,0 954 1,9
TOTAL ADEX 44.491 100 51.081 100
Source : Media Scene, 2008-2009 Source : Media Scene, 2008-2009
Angka pemasukan iklan untuk berbagai media akan terus meningkat. Peningkatan angka
pemasukan iklan di media televisi karena akses yang dimiliki media televisi terhadap
market. Coverage media televisi mencakup National Wide. Kenaikan angka pemasukan
iklan pada periode 2008-2009 adalah sebesar 14,8%.
Jika dikaji berdasarkan setiap unit stasiun TV, pasar iklan televisi Indonesia mengarah
pada Pasar Persaingan Sempurna (close to perfect competititon) dengan pembeli utama
(main buyer) dari perusahaan telekomunikasi, pemerintah dan iklan politik, korporasi,
rokok, dan kendaraan bermotor. Stasiun televisi utama yang menjadi media primadona
bagi para pengiklan adalah: RCTI, Trans TV, SCTV dan TPI. Kenaikan angka pemasukan
iklan media televisi pada periode 2008-2009 sebesar 13,8%.
Jika dicermati secara berkelompok berdasarkan konglomerasi yang terjadi, maka
sebenarnya pasar iklan di Indonesia mengarah pada pasar oligopoli yang hanya terdiri dari
5 pemain utama. Peringkat pertama dari segi pemasukan iklan diduduki oleh MNC Group
yang membawahi RCTI, Global TV, dan MNC TV, diikuti dengan Surya Citra Media Group
(SCTV dan Indosiar), Trans Corp dengan TransTV dan Trans7, serta Bakrie Group (ANTV
dan TVOne) dan terakhir Media Group. Akan tetapi, kecenderungan oligopoli ini tidak
dapat dibuktikan karena setiap stasiun televisi didirikan atas nama perusahaan yang
berbeda-beda meskipun jika ditelusuri struktur kepemiilikan sahamnya, media-media
tersebut bernaung dalam grup perusahaan yang sama.
No. Stasiun Televisi 2008 2009
1. SCTV 14.3 12.6
2. RCTI 13.8 13.5
3. Trans 12.4 13.1
4. TPI 11.4 10.7
5. Global 9.9 9.3
6. Trans 7 9.6 9.9
7. Indosiar 9.1 9.2
8. ANTV 6.9 8.6
9. TV One 5.8 6.7
10. Metro 4.5 4.1
11. TVRI 0.4 0.3
![Page 16: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/16.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 15
Berdasarkan harga slot iklan (cost of advertisement), dapat diukur CPM (cost per mile)
pada masing-masing stasiun televisi. CPM menunjukkan efektivitas dan efisiensi biaya
yang dikeluarkan pengiklan untuk beriklan selama satuan waktu di masing-masing stasiun
TV. Angka CPM diperoleh dari biaya slot iklan dibagi dengan jumlah penonton masing-
masing stasiun TV. Secara umum, semakin rendah nilai CPM, semakin efisien pula iklan
di stasiun TV tersebut.
Grafik CPM Satasiun TV di Indonesia 2008-2009 (Rp juta)
Berdasarkan grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan jumlah audience yang
relatif tetap, CPM TV swasta di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun
karena belanja iklan di televisi menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dari grafik di
atas, dapat dilihat bahwa dua stasiun TV yang mengalami perubahan CPM cukup
signifikan adalah ANTV dan Metro TV. Untuk ANTV, CPM dari tahun 2008 ke 2009
mengalami peningkatan drastis karena pemasukan iklan di tahun 2009 naik 42,5% dari
Rp1.803.291 juta (2008) menjadi Rp2.569.466 juta (2009). Sedangkan grafik CPM Metro
TV meningkat tajam karena walaupun pemasukan iklannya meningkat, tapi audience size-
nya rendah, bahkan paling rendah di antara stasiun lainnya.
Dalam hal market performance, industri televisi di Indonesia menunjukkan keragaman
dalam hal operasionalisasi tenaga kerja dalam rangka efisiensi dan optimalisasi. Contoh
yang menarik dapat ditemui di stasiun televise yang berada di bawah TransCorp, yaitu
Trans7 dan TransTV. Kedua stasiun TV tersebut menerapkan kebijakan yang cukup khas
terkait dengan produk dan tenaga kerja, yaitu lebih mengutamakan acara dari home
production dan merekrut tenaga kerja fresh-gradute, serta menekankan multi-tasking jobs.
Sementara itu, sebagian besar stasiun TV di Indonesia fokus pada perkembangan teknologi
dan penambahan infrastruktur. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan jangkauan
siaran agar memperoleh penonton (target pasar) lebih banyak.
![Page 17: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/17.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 16
INDUSTRI FILM
Industri film di Indonesia pada dasarnya
merupakan pasar yang sangat
potensial. Hal ini dikarenakan jumlah
target pasar yang besar dengan minat
terhadap film yang cukup tinggi. Akan
tetapi, produksi film dalam negeri
menunjukkan bahwa pasar film nasional
cenderung masih lesu. Hal ini diperkuat
oleh perbandingan jumlah film produksi
nasional dan jumlah film produksi asing
yang diimpor ke Indonesia. Tabel di
samping menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang sangat signifikan
antara jumlah film nasional dan jumlah
film impor yang beredar di bioskop
Indonesia setiap tahunnya.
Namun, dari tabel tersebut, dapat dicermati bahwa film produksi dalam negeri mulai
tumbuh sejak tahun 2002-2009. Dalam kurun waktu 7 tahun, produksi film dalam negeri
terus meningkat sebesar hampir 800%. Artinya, pasar produksi film Indonesia sangatlah
prosepektif dengan angka peningkatan hampir delapan kali lipat sejak perfilman nasional
mulai bangkit di tahun 2002 melalui kemunculan film “Ada Apa dengan Cinta”. Berikut disajikan tabel produksi film Indonesia berdasarkan rumah produksi yang dapat digunakan
sebagai unit analisis untuk mengkaji struktur pasar perfilman di Indonesia.
Jumlah Produksi Film Menurut Rumah Produksi (2007-2009)
No. Rumah Produksi 2007 2008 2009
Jml Film Share (%) Jml Film Share (%) Jml Film Share (%)
1 Starvision Kharisma 5 9,43 6 6.89 8 9.41
2 Multivision Tripar 4 7,55 7 8.05 4 4.70
3 Indika Entertainment 4 7,55 4 4.59 4 4.70
4 MD Pictures 3 5,66 5 5.74 5 5.88
5 Maxima Pictures 3 5,66 5 5.74 7 8.23
6 Rapi Films 2 3,77 3 3.44 5 5.88
7 Kalyana Shira 2 3,77 3 3.44 - -
8 Sinemart 2 3,77 - - 5 5.88
9 IFI - - 3 3.44
10 K2K - - - - 4 4.70
11 Lainlain 28 52,8 51 58.6 43 50.58
Total 53 100 87 100 85 100
0
50
100
150
200
250
300
Jumlah Film Nasional dan Film Impor
di Indonesia
Film Nasional
Film Impor
![Page 18: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/18.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 17
Tingkat Persaingan Konsentrasi Pasar
Dari segi struktur pasar, pasar produksi film
Indonesia pada tahun 2007 - 2009 tak
banyak menunjukkan perubahan dalam
tingkat persaingan. Selama tiga tahun,
indeks H berkisar antara 0.29-0.37. Hal ini
berarti bahwa pasar produksi film di
Indonesia memiliki karakteristik oligopoli.
Kondisi pasar oligopoli ini didominasi
dengan produk pasar (dalam hal ini film)
yang kurang terdifferensiasi dan cenderung
homogen akibat pemain di pasar (rumah
produksi) yang jumlahnya sedikit, yaitu
kurang dari 10. Minimnya rumah produksi
ini diakibatkan karena barriers to entry
dalam memasuki industri produksi film yang
membutuhkan modal finansial yang besar
dibekali dengan skill dan pengalaman.
Kenaikan tipis dari tahun 2007 ke 2008
menunjukkan indikasi bahwa kondisi pasar
semakin ketat dengan adanya kenaikan
jumlah produksi film dari setiap rumah
produksi. Di 2009, penurunan jumlah film
yang diproduksi juga turut memicu turunnya
indeks H yang mengakibatkan pasar
bergerak ke arah yang lebih bebas dari sisi
produksi.
Selama tiga tahun dari 2007-2009, grafik
rasio konsentrasi industri produksi film di
Indonesia selalu menunjukkan angka di
bawah 33% yang berarti tingkat konsentrasi
pasar produksi film Indonesia berada dalam
level low concentration.
Artinya, industri produksi film di Indonesia
tidak terlalu terpusat pada beberapa nama
yang menduduki posisi empat teratas.
Rendahnya rasio konsentrasi ini juga
merepresentasikan perbedaan yang tidak
terlalu signifikan dalam hal jumlah produksi
film pada setiap rumah produksi.
Meskpun demikian tetap terjadi perubahan
rasio konsentrasi selama 2007-2009. Di
tahun 2007 ke 2008, terjadi penurunan CR4
dimana dari 30,19% menjadi 26,42%. Hal
ini sebagai akibat dari kenaikan jumlah
produksi secara keseluruhan dibanding
perkembangan jumlah film yang diproduksi
empat pemain utama. Kenaikan jumlah film
disebabkan prospek bisnis film yang
menguntungkan. Pada tahun 2009, CR4
naik menjadi 29,4%, karena empat pemain
utama menaikkan jumlah produksi filmnya,
terutama Starvision Kharisma
0.31
0.37
0.29
0
0.1
0.2
0.3
0.4
2007 2008 2009
He
rfin
da
hl
In
de
x
Film Market Competitiveness
30.2%
26.4%
29.40%
24.0%
25.0%
26.0%
27.0%
28.0%
29.0%
30.0%
31.0%
2007 2008 2009
Co
nce
ntr
ati
on
Ra
tio
Film Market Concentration
![Page 19: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/19.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 18
Permasalahan fundamental dalam industri perfilman Indonesia sebenarnya terletak dalam
hal distribusi film. Dalam pasar distribusi film di Indonesia, hanya terdapat dua pemain
yang dapat diperhitungkan, yaitu jaringan 21 Cineplex dan jaringan Blitz Megaplex.
Jaringan 21 Cineplex didirikan oleh PT Subentra (Sudwikatmono, Benny Suherman,
Bambang Sutrisno) pada tahun 1987. Pada awal berdirinya, meskipun memiliki beberapa
gedung bioskop sendiri, peran utama PT Subentra hanya sebagai distributor film yang
membeli film-film hasil produksi dan mengedarkannya ke bioskop-bioskop. Karena industri
bioskop dinilai prosepektif, PT Subentra membentuk PT Subentra Twenty One untuk
menegosiasi gedung-gedung bioskop dan mengubah menjadi jaringannya. PT Subentra
juga mendrikan PT Suptan Film yang merupakan importer tunggal film impor di Indonesia.
Film-film yang diimpor hanya boleh diedarkan dan ditayangkan di bioskop jaringan PT
Subentra. Hal inilah yang menyebabkan bioskop kecil tak mampu bertahan dan mati.
Kondisi ini mulai membaik ketika pada tahun 2006 jaringan Blitx Megaplex didirikan oleh
Ananda Siregar dan David Hilman. Gedung bioskop Blitz yang pertama dibangun di Paris
Van Java Mall, Bandung. Karena kekuatan modal, pemasaran yang baik, target pasar
yang spesifik ke kelas atas, serta pelayanan yang eksklusif, Blitz mampu bertahan hingga
sekarang dan menjadi kekuatan alternatif selain 21 Cineplex. Hingga saat ini, Blitz
Megaplex memiliki gedung bioskop di lima spot yang tersebar di Jakarta dan Bandung.
Sebelum Blitz didirikan pada tahun 2006, hanya ada pemain tunggal yang menguasai
pasar distribusi perfilman di Indonesia. Sehingga bisa dikatakan bahwa pasar distribusi
film di Indonesia sebenarnya mengarah kepada pasar monopoli oleh 21 Cineplex. Sampai
sekarang (2011), jaringan 21 Cineplex tetap sangat mendominasi dalam pasar distribusi
film di Indonesia. Hal ini terlihat dari adanya ketidakseimbangan dalam jumlah infrastruktur
perfilman, yaitu gedung bioskop, layar, jumlah kursi penonton. Meskipun demikian, karena
fokus pada eksklusivitas film dan pelayanan, Blitz mampu bertahan dan menjadi pilihan
utama penonton kelas atas. Berikut merupakan data perbandingan infrastruktur antara
jaringan 21 Cineplex dan jaringan Blitz Megaplex yang menunjukkan perbedaan cukup
signifikan serta kecenderungan dominasi jaringan 21 Cineplex di pasar.
Data Bioskop Jaringan 21 Cineplex Data Bioskop Jaringan Blitz Megaplex
No Nama Jml Layar Jml Kursi
1 Blitz Paris van Java
Bandung
9 2.200
2 Blitz GI Jakarta 11 2.997
3 Blitz PP Jakarta 8 1.200
4 Blitz MoI Jakarta 10 1.768
5 Blitz BSD Banten 9 1.800
Total 5 gedung 47 layar 9.965 kursi
Nama Jumlah
Jumlah Gedung 117 gedung
Jumlah 21 81 gedung
Jumlah XXI 29 gedung
Jumlah Layar 489 layar
Jumlah Kursi 94.476 kursi
Jumlah Premiere 7 gedung (524 kursi)
Jumlah Layar 3D 6 layar (1.616 kursi)
![Page 20: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/20.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 19
INDUSTRI ONLINE
Internet merupakan media yang memiliki
pertumbuhan paling cepat dibanding media
lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh
dari video Advance of Technology, untuk
mencapai jumlah pasar 50 juta, internet
hanya membutuhkan waktu 4 tahun.
Sementara radio membutuhkan waktu 38
tahun, dan televisi 13 tahun. Di tahun 1984,
jumlah perangkat internet di seluruh dunia
hanya seribu, jumlah ini meningkat menjadi
sekitar 1 juta perangkat di tahun 1992, dan di
tahun 2008, berkali lipat menjadi 1 milyar.
Pertumbuhan internet yang spektakuler ini juga terjadi di Indonesia. Sebagai media paling
muda di Indonesia, yang baru berusia sekitar 20 tahun, Penetrasi internet di kalangan
pengguna Indonesia telah mencapai lebih dari 30 juta pengguna. Grafik di atas
menunjukkan bahwa tren peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia dengan
angka penetrasi meningkat lebih dari 200% selama 2005-2009 beg. Hal ini menunjukkan
bahwa internet merupakan industri media massa yang paling potensial, terutama jika
dihadapkan pada jumlah pasar yang besar di Indonesia. Tingginya penetrasi pengguna
internet di Indonesia ini dipicu oleh luasnya ekspansi teknologi internet dengan berbagai
kemudahan yang ditawarkan melalui perangkat mobile, dengan harga yang semakin
murah. Selain itu, munculnya berbagai situs jejaring sosial juga menjaring banyak pasar.
Jika penetrasi tersebut di-breakdown
berdasarkan regional seperti pada
tabel disamping, dapat diketahui
bahwa seluruh daerah di Indonesia
mengalami pertumbuhan pengguna
internet cukup signifikan. Angka
pertumbuhan tertinggi terdapat di
Kota Yogyakarta (termasuk Sleman-
Bantul) dan Semarang. Kondisi ini
disebabkan karena tingginya
kebutuhan penggunaan internet di
kedua kota tersebut dibandingkan
jumlah penduduk keseluruhan. Age : 10+, All 9 Major Cities, Use Internet past 1 year
Source : Nielsen – Wave 4, 2005-2009
0
5
10
15
20
2005 2006 2007 2008 2009
8
1112
1517
Urban Internet Penetration (%)
27
11
19
24
14
33
18
17
45
26
19
14
15
3
14
13
3
15
11
11
27
12
13
5
0 10 20 30 40 50
Jakarta
Botabek
Bandung
Surabaya
Gerbangkertasila
Semarang
Medan
Makassar
Yogyakarta
Sleman-Bantul
Denpasar
Palembang
Internet User Penetration by Region (%)
2005 2009
Age : 10+, All 9 Major Cities, Use Internet past 1 year
Source : Nielsen – Wave 4, 2005-2009
![Page 21: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/21.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 20
Grafik di atas menunjukkan penggunaan internet oleh pengguna internet di Indonesia. Oleh pengguna di Indonesia, internet paling banyak digunakan untuk email, online games, music buffering, dan browsing. Selanjutnya, internet juga banyak digunakan untuk chatting dan download. Pemanfaatan internet bagi kegiatan yang sifatnya hiburan dan sampingan ini berkaitan dengan usia pengguna internet di Indonesia yang kebanyakan merupakan generasi muda. Berdasarkan data dari The Nielsen Company (2009), pengguna internet di Indonesia kebanyakan berusia 15-19 tahun sejumlah 33% dan usia 20-29 tahun sejumlah 30 % dari total keseluruhan pengguna internet. Bahkan internet juga telah menyentuh pengguna anak-anak usia 10-14 tahun sebanyak 20%. Tingginya penetrasi internet di kalangan pengguna muda ini disebabkan karakteristik internet yang cenderung murah dan mudah diakses di mana saja, baik melalui komputer juga perangkat mobile.
Jika dilihat berdasarkan situs yang dikunjungi (perhitungan per klik), dapat diketahui sepuluh besar situs yang peling sering dikunjungi oleh pengguna internet di Indonesia. Posisi empat besar ditempati oleh Facebook, Google.com, Google.co.id, dan Blogger.com. Terkait dengan Facebook, data yang dilansir dari Kompas.com (2 Juni 2011) menyatakan bahwa jumlah pengguna Facebook di Indonesia menempati peringkat pertama di dunia tingkat pertumbuhan nomor dua di dunia setelah Brasil. Begitu juga dengan situs Twitter. Pengguna Indonesia merupakan pengguna Twitter yang paling aktif di dunia. Hal ini menunjukkan karakteristik pasar Indonesia yang menyenangi situs jejaring sosial. Tabel tersebut menunjukkan bahwa situs-situs yang banyak diakses oleh pengguna Indonesia sejalan dengan „fungsi‟ yang sering dimanfaatkan, yaitu email (Google dan Yahoo); games dan social networking (Facebook, Twitter, Kaskus); musik, hiburan, dan download (4shared, Youtube); browsing (Google); juga chatting (Facebook dan Yahoo). Yang patut dicermati, dari sepuluh besar situs yang paling sering dikunjungi oleh pengguna Indonesia, hanya Kaskus yang merupakan situs asli Indonesia. Sedangkan jika dilihat berdasarkan situs asli Indonesia, situs asli Indonesia yang paling banyak diminati ialah situs komunitas (Kaskus), portal berita dan hiburan (Kompas, Detik, Vivanews, Okezone, KapanLagi), situs perbankan (BCA Dan Bank Mandiri), dan info produk (Tokobagus), juga situs download (Indowebster).
46
38
37
37
32
30
28
24
22
18
Games
Listen to music
Surfing / Browsing
Chatting
Download
Akses local news
Layanan pendidikan
Info produk
Watch int'l news
Indonesian Users’ Usage of Internet ふ%ぶ TOP 10 VISITED SITES IN INDONESIA
No. GENERAL INDONESIAN SITES
1. Facebook Kaskus
2. Google.co.id Detik.com
3. Google.com Kompas.com
4. Blogger.com Vivanews.com
5. Yahoo KlikBCA
6. Kaskus Tokobagus.com
7. Youtube Okezone
8. Wordpress KapanLagi.com
9. Twitter Bank Mandiri
10. 4shared Indowebster
Age : 10+, All 9 Major Cities, Use Internet past 1 year
Source : Nielsen – Wave 4, 2005-2009
Source : Alexa.com, 3 June 2011
![Page 22: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/22.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 21
Source : Compete.com, 4 May 2011
Konsentrasi Pasar Tingkat Persaingan Berdasarkan tingkat audience share di atas, diperoleh perhitungan rasio konsentrasi empat pemain terbesar dalam pasar yaitu CR4 = 81,2%. Hal ini merepresentasikan tingkat konsentrasi pasar internet di Indonesia berada di level konsentrasi tinggi (high concentration). Artinya, meskipun dari segi jumlah sellers and buyers terdapat ribuan halaman website buatan Indonesia, pasar internet di Indonesia masih terfokus pada beberapa pemain tertentu. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pilihan situs asli Indonesia dan preferensi audience yang sangat besar terhadap situs Indonesia yang tertentu yang telah mapan, yaitu Kaskus, dan portal berita yaitu Detik dan Kompas.
Perhitungan tingkat persaingan pasar yang diperoleh dari unit analisis audience share menghasilkan angka indeks H = 0,27. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa industri internet di Indonesia memiliki karakteristik pasar oligopoli dengan mengarah pada pasar persaingan sempurna. Hal ini berarti dari segi jumlah pemain pasar, persaingan di industri internet cenderung bebas, akan tetapi jika mencermati kemapanan pemain lama dan kapital yang terpusat pada pemain besar, dapat dicermati bahwa industri internet di Indonesia menunjukkan karakteristik oligopoli. Dari segi differensiasi produk, pasar internet Indonesia didominasi oleh situs berita dan komunitas online.
47.33
13.59
13.06
7.04
5.78
4.81
3.31
2.07
2
1.01
Kaskus
Detik.com
Kompas.com
Indowebster
Kapanlagi.com
Vivanews
KlikBCA
Okezone.com
Tokobagus
Bank Mandiri
Unique Visitors Share - 2011 (%)
40.1
17
11.9
9.8
7.1
5.4
4.4
2.3
1.7
0.013
Kaskus
Detik.com
Vivanews
Klik BCA
Kompas.com
Okezone.
Kapanlagi.com
Tokobagus
Indowebster
Bank Mandiri
Daily Ads Revenue Share - 2011 (%)
Audience Share
Audience share ini diperoleh melalui perhitungan unique visitor atau pengunjung dengan berdasarkan IP address, bukan jumlah klik. Unique visitor dipilih agar lebih menggambarkan tingkat kondisi pasar yang sebenarnya dalam industri internet. Jika dilihat berdasarkan unique visitor, maka terjadi perubahan posisi dengan Indowebster menempati posisi keempat dan disusul KapanLagi.com. Berdasarkan angka audience share, dapat dilakukan analisis struktur pasar.
Source: Websetimated.com, 3 May 2011
Advertising Revenue
Dari segi jumlah penerimaan iklan (ads
revenue), dapat diketahui bahwa empat
pemain besar dalam pasar iklan online
adalah Kaskus, Detik.com, Vivanews, dan
KlikBCA. Adanya KlikBCA dalam pemain
utama pasar iklan ditengarai akibat nilai
transaksi setiap pengunjung melakukan
klik. Dalam pasar iklan online, diketahui
bahwa situs berita dan komunitas online
merupakan jenis situs yang paling diminati
oleh para pengiklan.
![Page 23: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/23.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 22
ANALISIS INDUSTRI MEDIA MASSA DI INDONESIA
Market Structure
a. Perubahan Konsumsi Pasar Media (Media Audience Share)
b. Konsentrasi dan Tingkat Persaingan
Jenis
Media
Indikator Karakteristik Barriers to Entry
CR4 Indeks H Konsentrasi Persaingan Natural Artificial
Surat Kabar 51-70% 0.11-0.18 High
Concentration
Close to
Perfect
Competition
Konglomerasi
koran besar
UU Pers
(liberal)
Radio
- Jakarta
- Medan
- Surabaya
- Makassar
- 49.2%
- 68.6%
- 82.2%
- 108%
- 0.08
- 0.20
- 0.24
- 0.38
- Moderate
- High
- High
-High
- Perf. Comp
- Oligopoly
- Oligopoly
- Oligopoly
- Kapital
- Nama besar
- Nama besar
- Nama besar
- UU Penyiaran
- UU Penyiaran
- UU Penyiaran
- UU Penyiaran
Televisi 64.2% 0.13 High
Concentration
Close to
Perfect
Competition
- Konglomerasi
- Modal besar
- Integrasi
- Nama besar
- UU Penyiaran
- Peraturan
Persaingan
Usaha
Film 28.7% 0.32 Low
Concentration Oligoppoly
- Kapital & Skill
- Monopoli
distribusi
- Sensor Film
- UU Perfilman
Internet 81.2% 0.27 High
Concentration Oligopoly
- Nama besar
- Kapital - UU ITE
27 24 23 22 19
44 43 43 41 39
92 92 93 95 94
12 11 13 14 17
8 11 12 1517
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2005 2006 2007 2008 2009
Mass Media Consumption Change (%)
Surat Kabar
Radio
Televisi
Film
Internet
![Page 24: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/24.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 23
c. Struktur Kepemilikan
Konsentrasi
Kepemilikan Jenis Media Nama Media Grup Konglomerasi
Karakteristik
Pasar
Horizontal
Integration
Surat Kabar • Jawa Pos – Radar
• Kompas - Tribun - Warta
Kota
• Jawa Pos Network
• Kompas Gramedia
Close to Perfect
Competition
Radio • Pop FM - Trijaya FM
• FeMale - Gen FM
• Trijaya Group
• Female Network
Close to Perf
Competition -
Oligopoly
TV
• TVOne – ANTV
• RCTI - Global TV - MNCTV
• SCTV - Indosiar
• TransTV – Trans7
• Bakrie
• MNC Group
• Surya Citra Group
• TransCorp
Oligopoly
Film • MD Pictures – Multivision
• 21 - XXI - Platinum
(Bioskop)
• Grup Punjabi
• Jaringan 21
Cineplex
Oligopoly
Monopoly
(before 2006)
Online • Kompas.com -
Tribunnews - Warta
Online
• Kompas Gramedia Oligopoly
Cross-Media
Integration
Koran - TV -
Online - Radio
Seputar Indonesia - RCTI -
Global TV - MNCTV -
Okezone - Trijaya FM -
Radio Dangdut Indonesia -
ARH Indonesia - V Radio
Media Nusantara
Citra (Grup MNC)
Oligopoly
Koran - Online
– Radio
Kompas - Kompas.com -
Sonora
Kompas Gramedia Oligopoly
TV - Online TVOne - ANTV - Vivanews Bakrie Group Oligopoly
TV – Koran MetroTV - Media Indonesia Media Group Oligopoly
TV – Film TransTV - Trans7 –
TransFilm Production
TransCorp Oligopoly
Vertical
Integration
Koran Percetakan -Distribusi
Nasional - Redaksi
Jawa Pos Network Oligopoly
Film Bioskop – Distributor Film –
Importir Film
Jaringan 21 Cineplex Monopoly
(before 2006)
Struktur pasar sebagian besar media di Indonesia menunjukkan tingkat konsentrasi tinggi
dengan karakteristik pasar oligopoli. Perkecualian terjadi pada industri perfilman yang
memiliki konsentrasi rendah dengan struktur pasar oligopoly, dan cenderung monopoli
dalam hal distribusi. Dominasi struktur oligopoli dalam pasar media massa di Indonesia ini
disebabkan oleh struktur kepemilikan dengan tingkat konsentrasi kepemilikan yang tinggi
sebagai konsekuensi integrasi kepemilikan. Berbagai integrasi kepemilikan ini
menyebabkan indutri media massa Indonesia sarat dengan konglomerasi media.
![Page 25: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/25.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 24
Market Conduct
Untuk menganalisis market conduct dalam peta industri media massa di Indonesia,
digunakan kerangka market structure sebagai acuan karena market conduct pada
dasarnya merupakan strategi organisasi media dalam merespon struktur pasar. Tabel di
bawah merupakan perbandingan market conduct berbagai media massa di Indonesia.
Perbandingan Market Conduct Industri Media Massa di Indonesia
Komponen
Struktur
Deskripsi Staretgi / Kebijakan Industri Jenis Media
Barriers to Entry - UU Penyiaran
- UU Monopoli
- UU Pers (Liberalisasi)
- Keterbatasan
Frekuensi Siaran
- Penyelenggaraan Siaran 24 jam
- Pendirian anak perusahaan dgn
nama PT berbeda
- Pendirian surat kabar baru atau
koran daerah sbg anak media
- Pembentukan jaringan di daerah
lain
- TV, Radio
- TV, Distribusi Film
- Surat Kabar
- Radio
Konsentrasi
Kepemilikan
- Konglomerasi media - Konvergensi Media - Surat Kabar, TV, Online
Konsentrasi
Pasar iklan dan
audience
- Adex sesuai rating
audience
- Produksi konten yang diminati
selera pasar
- Film, TV, Online
Market Performance
Berdasarkan kerangka market performance atau performa media, maka dilakukan analisis
untuk mengkategorisasikan industri media massa di Indonesia dalam menjadi empat fase
performance, yaitu intro, growth, maturation, dan decline. Berikut merupakan tabulasi hasil
analisis industri media massa di Indonesia berdasarkan kerangka market performance.
Fase Siklus
Hidup Media
Karakteristik Pasar Jenis Industri
Media Penjualan Laba Audience Barriers
Kompetitor Entry Exit
Awal Masuk
(Intro) Rendah Negatif Inovator Rendah Rendah Terbatas
Online TV
(Media dgn
Konvergensi
Teknologi)
Tumbuh
(Growth)
Tumbuh
Signifikan Tumbuh
Early
Adopters Moderat Moderat
Tumbuh
signifikan
Media Online,
Multimedia
Puncak
(Maturation)
Puncak
Penjualan Tinggi Mayoritas Tinggi Tinggi
Relatif tetap
dan stabil
Buku, Film, TV,
Radio
Penurunan
(Decline) Menurun Turun Laggard Tinggi Tinggi
Cukup
banyak tapi
menurun
Surat Kabar
![Page 26: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/26.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 25
KESIMPULAN ANALISIS
Berdasarkan berbagai data dan hasil analisis berdasarkan kerangka analisis ekonomi
media yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan mengenai indutri media
massa di Indonesia, antara lain:
1. Industri media massa di Indonesia terdiri dari lima jenis media besar, yaitu surat kabar,
radio, televisi, perfilman, dan online dengan masing-masing media memiliki karakteristik
pasar tersendiri. Secara umum, industri media massa di Indonesia merupakan industri
yang strategis dengan tingkat pertumbuhan prospektif. Hal ini disebabkan oleh masifnya
jumlah audience di Indonesia dan tingginya tingkat konsumsi terhadap media. Dari segi
konsumsi audience, industri media massa yang paling stabil adalah industri televisi.
Industri yang mengalami pertumbuhan adalah industri online, dan yang mengalami
penurunan adalah industri surat kabar.
2. Struktur pasar sebagian besar media di Indonesia menunjukkan tingkat konsentrasi
tinggi dengan karakteristik pasar oligopoli. Perkecualian terjadi pada industri perfilman
yang memiliki konsentrasi rendah dengan struktur pasar oligopoly, dan cenderung
monopoli dalam hal distribusi. Dominasi struktur oligopoli dalam pasar media massa di
Indonesia ini disebabkan oleh struktur kepemilikan dengan tingkat konsentrasi
kepemilikan yang tinggi sebagai konsekuensi integrasi kepemilikan. Berbagai integrasi
kepemilikan ini menyebabkan indutri media massa Indonesia sarat dengan
konglomerasi media.
3. Dalam pengukuran market conduct dengan menggunakan unit analisis CPM atau ,
dapat diketahui bahwa biaya periklanan tertinggi ialah di media televisi. Namun, biaya
tinggi ini diimbangi dengan jangkuan audience TV yang juga luas dan massif, sehingga
efisiensi biaya periklanan di TV dinilai cukup efisien. Dalam jangka waktu ke depan,
media yang sebenarnya paling prospektif di Indonesia adalah media online. Hal ini
dilihat dari jumlah penetrasi internet yang terus meningkat
4. Berdasarkan kerangka market performance atau performa media, industri media massa
di Indonesia dapat dikategorisasikan menjadi empat fase pertumbuhan, yaitu intro,
growth, maturation, dan decline. Industri yang memiliki performa paling optimal ialah
industri online karena sedang berada dalam fase tumbuh dan pertumbuhannya sangat
potensial. Industri radio, televisi, dan film berada di level maturation dengan industri
televisi berada di level puncak karena mampu menjangkau audience yang luas.
Sedangkan industri yang berada pada fase decline adalah industri surat kabar.
Penurunan performa surat kabar dipengaruhi oleh faktor perkembangan teknologi yang
memunculkan pesaing berupa alternatif media-media baru yang lebih diminati karena
lebih mudah dan murah.
![Page 27: Potret_Industri_Media_Massa_di_Indonesia_dalam_Kerangka_Analisis_Ekonomi_Media-libre.pdf](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022052701/55cf91bb550346f57b902448/html5/thumbnails/27.jpg)
Analisis Ekonomi Media di Indonesia 26
DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B. (2002). Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts (2nd ed.). Ames: Iowa State University Press.
Albarran, Alan B. (2004). “Media Economics” dalam The SAGE Handbook of Media Studies. New York: SAGE Publications Ltd.
Alexa Website Information. (2011, 3 Mei). http://alexa.com/topsites/countries/id
Compete Website Comparison. (2011, 3 Mei). http://compete.com/m/profiles/_comparison/
?q=facebook.com&q=google.co.id&q=google.com
Media Sece 2008
Media Scene 2009
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. (2010). Media Guide 2010. Jakarta: PPPI.
The Nielsen Company. (2010). Nielsen – Wave 4, 2005-2009, diperoleh dari Materi
Presentasi Herman Darmo dalam Perkuliahan Manajemen Media, Universitas
Indonesia.
Web Value Estimation. (2011, 3 Mei). http://webestimated.com