Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

24
1 POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN KEMANDIRIAN BANGSA, DAN PERBAIKAN LINGKUNGAN Yuyun Yuwariah AS Guru Besar Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang 21 Jatinangor 40600 [email protected] ABSTRAK Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan salah satu penyebab krisis sumberdaya lahan dan air, telah membawa dampak buruk terhadap berbagai faktor, seperti semakin menyempitnya luas lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 ha per kepala keluarga petani, dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, sehingga kesemuanya ini berpengaruh terhadap ancaman ketahanan pangan. Untuk memantapkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berdampak pada kemandirian bangsa, Kementerian Kehutanan juga memberikan akses masyarakat/petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam pemberdayaan masyarakat setempat, dan hal ini harus menjadi potensi untuk pengembangan ekonomi. Keadaan ini dapat ditempuh melalui praktek Agroforestry, yang merupakan teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas, selain itu juga bermanfaat untuk menciptakan peluang dalam meningkatkan potensi bagi kesejahteraan manusia serta pelestarian sumberdaya alam, sebagai pendukung pertanian berkelanjutan. Produktivitas, diversitas, kemandirian, dan stabilitas, merupakan keunggulan potensi Agroforestry dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, dan perbaikan lingkungan. Kata kunci : Agroforestry, peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, perbaikan lingkungan. I. PENDAHULUAN Krisis sumberdaya lahan dan air, yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya lahan-lahan produktif usahatani, sehingga menurunkan produktivitas dan pendapatan, serta meningkatkan kemiskinan. Semua ini berdampak pada kemandirian dan kedaulatan pangan nasional, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan dan kerusakan lingkungan. Dilain pihak, penduduk Indonesia diperkirakan masih akan meningkat dengan laju 1,0 1,3 % per tahun, sehingga permintaan akan pangan terutama beras diperkirakan akan naik sekitar 1,0% per tahun. Penyebab krisis sumberdaya ini antara lain disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, seperti yang terjadi di Jawa, alih fungsi lahan sawah mencapai 22.000 hektar selama periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus di Jawa Barat, sejak tahun 1991, lahan yang terkonversi seluas 10.000 hektar per tahun, dan pada tahun 1996 bertambah menjadi 50.000 hektar per tahun. Selanjutnya konversi lahan telah terjadi pula secara alami yakni fragmentasi lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 hentar per kepala keluarga petani (Oteng Haridjaja & Khalil, 2009). Dampak dari alih fungsi lahan terhadap kerusakan lingkungan adalah penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15% sampai di bawah 9%, peningkatan

Transcript of Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

Page 1: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

1

POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN

KEMANDIRIAN BANGSA, DAN PERBAIKAN LINGKUNGAN

Yuyun Yuwariah AS

Guru Besar Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung – Sumedang 21 Jatinangor 40600

[email protected]

ABSTRAK

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan salah satu penyebab krisis

sumberdaya lahan dan air, telah membawa dampak buruk terhadap berbagai faktor, seperti

semakin menyempitnya luas lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 ha per kepala

keluarga petani, dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, sehingga kesemuanya ini

berpengaruh terhadap ancaman ketahanan pangan. Untuk memantapkan kedaulatan dan

kemandirian pangan yang berdampak pada kemandirian bangsa, Kementerian Kehutanan

juga memberikan akses masyarakat/petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam

pemberdayaan masyarakat setempat, dan hal ini harus menjadi potensi untuk pengembangan

ekonomi. Keadaan ini dapat ditempuh melalui praktek Agroforestry, yang merupakan

teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka

optimalisasi penggunaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas, selain itu juga

bermanfaat untuk menciptakan peluang dalam meningkatkan potensi bagi kesejahteraan

manusia serta pelestarian sumberdaya alam, sebagai pendukung pertanian berkelanjutan.

Produktivitas, diversitas, kemandirian, dan stabilitas, merupakan keunggulan potensi

Agroforestry dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, dan

perbaikan lingkungan.

Kata kunci : Agroforestry, peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, perbaikan

lingkungan.

I. PENDAHULUAN

Krisis sumberdaya lahan dan air, yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya

lahan-lahan produktif usahatani, sehingga menurunkan produktivitas dan pendapatan, serta

meningkatkan kemiskinan. Semua ini berdampak pada kemandirian dan kedaulatan pangan

nasional, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan dan

kerusakan lingkungan. Dilain pihak, penduduk Indonesia diperkirakan masih akan meningkat

dengan laju 1,0 – 1,3 % per tahun, sehingga permintaan akan pangan terutama beras

diperkirakan akan naik sekitar 1,0% per tahun.

Penyebab krisis sumberdaya ini antara lain disebabkan oleh alih fungsi lahan

pertanian ke non pertanian, seperti yang terjadi di Jawa, alih fungsi lahan sawah mencapai

22.000 hektar selama periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar

100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus di Jawa Barat,

sejak tahun 1991, lahan yang terkonversi seluas 10.000 hektar per tahun, dan pada tahun

1996 bertambah menjadi 50.000 hektar per tahun. Selanjutnya konversi lahan telah terjadi

pula secara alami yakni fragmentasi lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 hentar

per kepala keluarga petani (Oteng Haridjaja & Khalil, 2009).

Dampak dari alih fungsi lahan terhadap kerusakan lingkungan adalah penurunan

volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15% sampai di bawah 9%, peningkatan

Page 2: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

2

volume aliran permukaan dari sekitar 30% menjadi (40-60)%, dan kecepatan aliran

permukaan dari kurang 0,7 m/detik menjadi lebih dari 1,2 m/detik. Dari studi di DAS

Ciliwung Hulu, diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap

peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai.

Sejauh mana krisis sumberdaya lahan berpengaruh terhadap ketahanan pangan, yang

diilustrasikan oleh Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008 sebagai berikut :

1. Perubahan penggunaan lahan dari lahan basah yang meloloskan air (permeable)

menjadi pemukiman dan industri yang cenderung tidak meloloskan air

(impermeable); pada akhirnya meningkatkan laju erosi dan kerusakan lingkungan

lainnya.

2. Rendahnya penambahan air tanah, menyebabkan menurunnya pasokan air di musim

kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi di musim kemarau justru meningkat.

3. Dampaknya, menurunnya luas daerah layanan irigasi, menurunnya intensitas tanam,

meningkatnya resiko kekeringan, dan penurunan produksi pangan.

4. Penurunan produksi pangan memicu meningkatnya harga pangan (peningkatan harga

beras pada awal 2008 dibandingkan dengan awal 2006 sebesar 217 %, gandum 136%,

jagung 125 %, dan kacang tanah 107%).

Konversi lahan sawah akan tetap berlanjut, baik untuk pembangunan prasarana

ekonomi, peningkatan penanaman komoditas pertanian bernilai tinggi, dan pembangunan

perumahan. Untuk memantapkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berdampak pada

kemandirian bangsa, menjelang Tahun 2050 diperlukan perluasan 2,0 juta hektar lahan

pertanian (FAO, 2010 dan World Bank 2010). Pembukaan lahan pangan baru ini harus

dilakukan pada lahan yang tidak dimanfaatkan atau lahan pertanian yang sudah diberikan izin

pelepasan oleh Kementrian Kehutanan tapi ditelantarkan, selanjutnya diambil alih oleh

negara. Untuk kepentingan pencadangan lahan pangan, yang penting bukan tanah ulayat

penduduk lokal (Faisal Kasryno, dkk 2011). Selain itu Kementrian Kehutanan juga

memberikan akses masyarakat / petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam

pemberdayaan masyarakat setempat sesuai dengan PP 6 tahun 2007, dengan cara (a)

tumpangsari pada awal tegakan (3 tahun pertama), (b) tumpangsari di bawah tegakan

(sepanjang waktu), (c) tanaman kehidupan pada HTI (5% dari luas HTI), dan (d) tumpang

gilir pada HTI.

Kontribusi sektor kehutanan terhadap ketahanan pangan antara lain (1) optimalisasi

pemanfaatan lahan dari kawasan hutan yang sudah dilepas, (2) Integrasi pengembangan

produksi komoditas pangan ke dalam program/kegiatan kehutanan, tanpa mengubah fungsi

kawasan, terdiri dari (a) Intensifikasi produksi pangan melalui (i) tumpangsari tanaman

pangan pada tanaman pokok yang berumur < 3 tahun, (ii) tumpangsari jamu-jamuan, ubi-

ubian pada tanaman pokok yang berumur > 3 tahun, dan (b) Ekstensifikasi produksi pangan,

melalui (i) perluasan lahan untuk kegiatan tumpangsari tanaman pangan dan (ii) perluasan

lahan untuk kegiatan tumpangsari ubi-ubian.

Kontribusi Perum Perhutani untuk mendukung ketahanan pangan adalah : (1) PHBM

(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Plus. Berdasarkan data th 2007 diketahui luas areal

201,524 ha, potensi luas tanaman pangan 60,457 ha dan produksi 2.401.999,35 ton (padi,

jagung, kacang-kacangan, dll), (2) Hutan untuk pangan melalui peningkatan produksi kedelai

kerjasama dengan Inkopti (306,7 ha) dan (3) sinergi BUMN untuk peningkatan produksi

kedelai (4, 063 ha).

Dengan melihat informasi dari data tersebut, maka diperlukan terobosan tentang

aplikasi IPTEKS untuk penanganan lahan sempit suboptimal, dan bagaimana pertanian dalam

kawasan hutan dapat dilaksanakan tanpa menyebabkan kerusakan hutan, karena

bagaimanapun sektor pertanian sudah menjadi mata pencaharian dari waktu ke waktu oleh

komunitas masyarakat di sekitarnya, tetapi harus menjadi potensi untuk pengembangan

Page 3: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

3

ekonomi. Tampaknya hal ini dapat ditempuh melalui praktek Agroforestry yang merupakan

teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka

optimalisasi penggunaan lahan. Hal ini perlu dikembangkan untuk menyelesaikan

permasalahan yang terjadi pada ketersediaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas,

Disamping itu juga bermanfaat untuk menciptakan peluang dan meningkatkan potensi bagi

kesejahteraan manusia serta pelestarian sumberdaya alam sebagai pendukung pertanian

berkelanjutan (Sumarwoto, 2013), dan tentunya perlu ditunjang oleh berbagai perangkat

lainnya.

II. AGROFORESTRY SEBAGAI SISTEM

Agroforestry terdiri dari komponen-komponen kehutanan, pertanian dan/atau

peternakan, tetapi Agroforestry sebagai suatu sistem mencakup komponen-komponen

penyusun yang jauh lebih rumit. Agroforestry merupakan suatu sistem buatan (man-made)

dan merupakan aplikasi praktis dari interaksi manusia dengan sumberdaya alam di sekitarnya.

Agroforestry pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan

pemanfaatan lahan dan pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensi-potensi dan

peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian

sumberdaya beserta lingkungannya. Oleh karena itu manusia selalu merupakan komponen

yang terpenting dari suatu sistem Agroforestry. Dalam melakukan pengelolaan lahan,

manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen Agroforestry lainnya. Komponen

tersebut adalah:

1. Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral.

2. Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, tanaman tahunan, tanaman keras), dan

tumbuhan tidak berkayu (herba, palem, bambu, tanaman-tanaman semusim, dll),

binatang (ternak, burung, ikan, serangga dll), dan mikroorganisme.

3. Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumberdaya,

infrastruktur dan pemukiman, permintaan dan penawaran, dan disparitas

penguasaan/pemilikan lahan.

Komponen-komponen ABC (Abiotic, Biotic dan Culture) tersebut di atas tersusun

dalam sistem Agroforestry melalui berbagai cara.

Karakteristik tipikal sistem Agroforestry :

Agroforestry terdiri dari 2 atau lebih jenis tanaman (dan atau hewan) dan paling sedikit salah

satu berupa tanaman berkayu tahunan (woody perennial).

Sistem Agroforestry memiliki dua atau lebih output.

Sistem Agroforestry yang paling sederhana pun secara ekonomi lebih kompleks

daripada sistem monocropping.

Suatu sistem Agroforestry, produknya selalu beraneka ragam dan saling bergantung

antara satu dengan lainnya. Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan spesies tanaman

keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih dari satu tahun. Sistem Agroforestry juga

bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi ekologi dan sosial-ekonomi

setempat.

Aspek-aspek Agroforestry

Agroforestry dalam bentuk dan wujudnya sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek

yaitu aspek ekologi, aspek sosial-budaya, dan aspek ekonomi :

Aspek ekologi yang berpengaruh antara lain tingkat kesuburan tanah, curah hujan,

topografi, altitude, dan lainnya bergantung pada potensi alam yang ada.

Page 4: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

4

Aspek sosial-budaya dipengaruhi tingkat kepadatan penduduk, luas pemilikan lahan,

tingkat pendidikan, kebiasaan bertani, agama dan kepercayaan dll.

Aspek ekonomi bergantung pada harga suatu komoditi, pemasaran/aksesibilitas pasar

dan keadaan infra struktur lainnya.

Dengan demikian bentuk-bentuk Agroforestry sangat bergantung pada karakteristik

suatu wilayah, dan/atau bergantung pada kondisi aspek-aspek di atas, sehingga di Indonesia

bentuk-bentuk Agroforestry mungkin berbeda-beda seperti yang ada di Pulau Jawa,

Sumatera, Kalimantan, NTT, Bali, Irian Jaya, dll.

Bentuk dan Jenis Agroforestry

Pada dasarnya Agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan,

pertanian dan peternakan, di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri

sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Penggabungan tiga komponen

tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :

Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.)

dengan komponen pertanian.

Agropastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan

pertanian dengan komponen peternakan

Silvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan dengan peternakan

Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan

pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan

Agrisilvikultur : Bentuk Agroforestry tradisional merupakan campuran dari kegiatan

kehutanan dan pertanian pangan, misalnya : Sistem tumpangsari di hutan jati di P.Jawa.

Sistem ini semula dilaksanakan untuk mengurangi biaya penanaman dari pihak pengelola

hutan, tetapi dalam perkembangannya kegiatan tersebut diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan penduduk pedesaan di sekitar hutan, dengan tidak mengubah kawasan hutan.

Silvopasture atau ada yang menyebut hutan ternak, adalah bentuk Agroforestry yang

merupakan campuran kegiatan kehutanan dan peternakan. Model ini cocok untuk

dikembangkan di daerah yang penduduknya menggiatkan usaha peternakan, di mana padang

penggembalaan menjadi masalah. Di dalam kawasan hutan, ditanami rumput makanan

ternak.

Farm forestry atau Hutan Kebun, adalah Agroforestry yang kegiatannya merupakan

campuran kegiatan pertanian dan kehutanan di daerah pemukiman (kebun, pekarangan) di

mana tanaman kehutanan bukan merupakan tanaman utamanya. Contoh : Talun (Tegalan dan

Kebun) di Jawa Barat. Pohon-pohonan yang ditanam dari jenis yang cepat tumbuh dan cepat

menghasilkan (quick yielding species).

Jenis-jenis Agroforestry

Sistem Agroforestry sederhana

Sistem Agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan

ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa

ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak

Page 5: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

5

lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk

lorong/pagar.

Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi

(kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai

ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada

tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubikayu), sayuran,

rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.

Bentuk Agroforestry sederhana yang paling banyak dijumpai di Jawa adalah

tumpangsari yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum

Perhutani. Petani diberi ijin menanam tanaman pangan di antara pohon-pohon jati muda dan

hasilnya untuk petani, sedangkan semua pohon jati tetap menjadi milik Perhutani (Dirjen

RLPS, Dephut Jakarta, 2008).

Dalam perkembangannya, sistem Agroforestry sederhana ini juga merupakan

campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Contoh: kebun

kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia)

sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai

di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus.

Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah

berpenduduk padat. Perpaduan tersebut misalnya pohon-pohon mangga ditanam di

pematang-pematang sawah di Jatitujuh, Majalengka; pohon-pohon randu ditanam pada

pematang-pematang sawah di daerah Pandaan, Pasuruan; kelapa atau siwalan ditanam

dengan tembakau di Sumenep, Madura; pohon-pohon manggis di pematang sawah di Nepal.

Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami

jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium), atau contoh kasus

penanaman sengon di Jawa. Budidaya menanam kayu sengon (Paraserianthes falcataria) di

lahan penduduk di Jawa berkembang pesat sejalan dengan berkembang pasarnya.

Penyebaran sengon ini dipercepat lagi dengan adanya program penghijauan. Di daerah kapur

selatan dan daerah kering lainnya, jati (Tectona grandis) menjadi primadona masyarakat

untuk ditanam di talun mereka di samping jenis mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling

(Dalbergia latifolia), dan akasia (Acacia auriculiformis). Umumnya pohon tersebut ditanam

bercampur dengan jenis pepohonan lainnya dan membentuk agroforest atau lebih dikenal

sebagai “hutan rakyat”.

Sistem Agroforestry kompleks: hutan dan kebun

Sistem Agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang

melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang

tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan

ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon,

juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam

jumlah banyak.

Penciri utama dari sistem Agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan

dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun

hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (Kessler et

al., 1991).

Sistem Agroforestry kompleks dicirikan dengan :

Struktur vegetasi kompleks (tajuk pohon berlapis-lapis);

Jumlah komponen tanaman cukup banyak (ada pohoh tinggi, pohon sedang, semak, dan

tanaman rendah lainnya);

Secara ekologi memiliki fungsi seperti hutan, contoh kebun pekarangan, hutan damar

mata kucing.

Page 6: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

6

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem Agroforestry kompleks ini

dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang

letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang

letaknya jauh dari tempat tinggal, contohnya „hutan damar‟ di daerah Krui, Lampung Barat

atau „hutan karet‟ di Jambi, (Kessler et al., 1991).

Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling

terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah

sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak

belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase

kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam

secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga,

beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola

kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan

pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya

amat terbatas karena banyaknya naungan.

Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan

demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.

Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan

menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan

intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang demikian ini akan sangat membantu

aktivitas organisme tanah sehingga sifat fisik tanah menjadi lebih baik.

Beberapa Praktek Agroforestry

Di dalam praktek Agroforestry, tentu saja banyak faktor yang turut menentukan

mengenai model mana yang akan diterapkan. Hal ini berkaitan dengan kondisi agroekosistem

setempat, tingginya curah hujan, serangan hama penyakit, dan kendala sosial ekonomi

(termasuk ketersediaan tenaga kerja dan biaya, serta hasil yang ingin dicapai dan permintaan

pasar). Berbagai praktek Agroforestry mencakup antara lain “windbreaks/shelterbelts, alley

cropping (tanam lorong) sistem pohon/rumput, penyangga hutan (pada skala meso), berbasis

pohon (tanaman khusus), dlsb. Dalam makalah ini dikemukakan beberapa contoh praktek

Agroforestry, sebagai berikut :

Windbreaks

Windbreaks (Penahan angin) adalah baris tunggal atau beberapa pohon yang ditanam

untuk melindungi suatu area dari kerusakan karena angin. Windbreaks ditanam di sepanjang

bertiupnya angin pada batas-batas bidang lahan untuk membuat lingkungan yang lebih

menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Windbreaks juga dibentuk untuk melindungi dan

meningkatkan lingkungan sekitar rumah, kebun, dan desa. Di daerah Kepulauan Pasifik

windbreaks sangat penting karena sering terjadi badai tropis serta adanya angin laut yang asin

yang terutama sangat mempengaruhi pulau-pulau kecil.

Angin bisa sangat destruktif, terutama bila bercampur dengan suhu tinggi, kondisi

kekeringan, atau udara laut asin. Angin merusak tanaman: angin kuat bisa menyebabkan

batang patah, daun dan buah menjadi rusak.

Angin merusak kelembaban tanaman: ketika angin bertiup menerpa tanaman, udara

sekitarnya mengering, kelembaban akan ditarik dari tanaman melalui transpirasi. Itulah

sebabnya mengapa tanaman menjadi layu dalam angin kencang.

Angin menghisap kelembaban dari tanah, mengeringkan permukaan tanah, menarik

kelembaban dari pori-pori tanah. Angin menghilangkan lapisan atas tanah subur. Bahkan

angin moderat pun dapat menghapus berton-ton soil per tahun dari ladang-ladang selama

Page 7: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

7

budidaya dan permanen. Top soil adalah lapisan tanah paling banyak mengandung bahan

organik dan subur.

Windbreaks terdiri dari pohon-pohon “multi-purpose tree species” pilihan, yang

mungkin juga menyediakan berbagai produk untuk keperluan rumah tangga serta untuk

dijual, termasuk pakan ternak, kayu bakar, kayu, tiang, buah, mulsa/kompos, rempah-rempah

dan obat-obatan.

Alley Cropping (Tanam Lorong)

Proses Alley cropping merupakan reinterpretasi fungsional menyeluruh dari konsep

untuk kondisi tropis. Efek menguntungkan dari tanah-pohon pada tanaman pertanian dapat

dilakukan dengan menghubungkan dua komponen dalam waktu, seperti dalam praktek

berurutan rotasi bera, atau dalam ruang, melalui asosiasi simultan pohon dan tanaman

semusim, dapat didefinisikan sebagai pendekatan “zonal” terhadap Agroforestry (Isabel

Carter, 2009), di mana tanaman semusim ditanam di lorong-lorong antara pagar tanaman

pohon atau semak-semak yang mampu membantu siklus unsur hara, tanaman pagar tersebut

terus dipangkas sepanjang musim tanam untuk mengontrol naungan dan kompetisi di bawah

tanah, dan untuk menyediakan pupuk hijau dan bahan mulsa untuk kepentingan tanaman

pertanian. Pakan ternak dan kayu bakar bisa diambil sebagai by product dari sistem, tetapi

tujuan dasar adalah untuk memenuhi “fungsi pelayanan” dalam meningkatkan sistem

pertanian yang efektif efisien.

Alley cropping adalah teknik yang sangat berguna untuk menambah nutrisi tanaman

dan memperbaiki struktur tanah, menyediakan pakan untuk ternak dan melindungi tanah dari

kerusakan karena hujan lebat. Alley cropping adalah cara sederhana dan murah

menggabungkan pohon tumbuh dengan tanaman semusim. Deretan pohon yang cocok

ditanam sekitar 5 meter terpisah, biasanya dengan penyemaian langsung ke dalam tanah pada

awal musim hujan. Di antara deretan pohon, tanaman atau sayuran tumbuh seperti biasa. Di

tanah landai, baris harus ditanam di sepanjang kontur. Alley cropping juga dapat memberikan

beberapa perlindungan saat hujan tidak teratur, membantu untuk menahan aliran permukaan

dan meresapkannya ke dalam tanah (Isabel Carter, 2009).

Bibit pohon yang ditanam berdekatan dalam baris sehingga pohon-pohon muda

membentuk pagar. Lebih baik mencampur beberapa spesies yang berbeda untuk membentuk

pagar. Setelah mencapai tinggi sebahu (1-2 meter tinggi), pohon dipotong / dipangkas sampai

setinggi sekitar 20-30 cm. Daun dapat dibiarkan di tanah membusuk sebagai mulsa dan

menambah nutrisi pada tanah, atau dikumpulkan dan digunakan untuk pakan ternak. Tunggak

sisa pemotongan cepat tumbuh kembali dan pemotongan/pemangkasan bisa diulang selama

bertahun-tahun.

Alley cropping adalah baris penanaman pohon pada jarak lebar dengan tanaman

pendamping tumbuh di lorong-lorong di antara baris. Alley cropping dapat mendiversifikasi

pendapatan pertanian, meningkatkan produksi tanaman dan memberikan manfaat

perlindungan dan konservasi tanaman.

Kebun Pekarangan (Home Garden)

Kebun pekarangan merupakan campuran antara tanaman tahunan, tanaman umur

panjang, dan ternak (termasuk sapi) di pekarangan di sekitar rumah berupa suatu sistem

terpadu dengan batas-batas jelas yang memenuhi fungsi-fungsi ekonomis, biofisik, dan

sociocultural. Sistem kebun pekarangan tertama terkenal di pulau Jawa.

Pada umumnya suatu pekarangan mempunyai struktur yang sama dari tahun ke tahun,

walaupun mungkin ada sedikit variasi musiman. Dua lapisan yang paling rendah (sampai

ketinggian 2 meter) didominasi oleh ubi-ubian, sayur mayur, dan bumbu-bumbu. Ubi kayu

dan ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang paling umum di pekarangan.

Page 8: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

8

Lapisan berikutnya (dari dua-lima meter) didominasi oleh pisang, pepaya, dan pohon

buah-buahan yang lain. Lapisan lima sampai sepuluh meter juga didominasi oleh tanaman

buah-buahan dan tanaman perdagangan seperti cengkeh. Sedangkan lapisan tertinggi yang

lebih dari sepuluh meter, didominasi oleh kelapa dan pohon-pohon lainnya, antara lain,

sengon sebagai kayu bangunan dan kayu bakar.

Kebun talun dan kebun pekarangan di Jawa Barat memberikan penghasilan secara

ekonomi yang relatif baik. Selain itu juga sebagai sumber yang baik untuk kalsium, vitamin

A, dan vitamin C.

Kebun Talun

Sistem kebun talun biasanya terdiri dari tiga tahap: kebun, kebun campuran, dan

talun. Tahap pertama, kebun, terjadi apabila petani membuka hutan dan mulai menanam

tanaman tahunan. Tanaman-tanaman ini biasanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani,

dan hanya sebagian dijual sebagai sumber penghasilan.

Pada tahap kebun ini, terdapat tiga lapisan mendatar tanaman tahunan yang

mendominasi : lapisan terendah terdiri atas tanaman merambat yang menutupi tanah dan

hidup di bawah ketinggian 30 cm. Selanjutnya lapisan dari 50 cm sampai 1 m diisi oleh sayur

mayur. Bagian atas lapisan ini diisi oleh jagung, tembakau, ubi kayu, dan tanaman-tanaman

leguminosa merambat yang diberi pendukung batang bambu.

Setelah dua tahun, pohon mulai tumbuh, dan secara bertahap mengurangi tempat untuk

tanaman semusim. Kebun secara bertahap menjadi kebun campuran di mana tanaman

semusim tumbuh di antara tanaman umur panjang yang belum dewasa. Nilai ekonomis kebun

campuran tidaklah setinggi kebun, tetapi nilai biofisiknya meningkat. Sifat kebun campuran

yang terdiversifikasi juga meningkatkan konservasi tanah dan air. Dalam sistem talun erosi

sangat sedikit karena semak-semak dan guguran daun melimpah. Jika semak-semak dan

guguran daun dikurangi, erosi akan meningkat secara nyata.

Dalam kebun campuran tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti talas menempati

ruang di bawah satu meter. Ubi kayu merupakan lapisan kedua dari satu sampai dua meter,

dan lapisan ketiga ditempati oleh pisang dan pepohonan.

Setelah memanen tanaman tahunan di kebun campuran, lahannya mungkin

ditinggalkan selama dua sampai tiga tahun sampai didominasi oleh tanaman umur panjang.

Tahapan ini dikenal sebagai talun dan merupakan puncak perkembangan sistem kebun talun.

Talun didominasi oleh campuran pohon-pohon umur panjang dan bambu, membentuk

tiga lapisan tegak. Pada tahapan talun ini kebun dapat berupa berbagai bentuk seperti kebun

kayu (untuk bahan bangunan dan kayu bakar), bambu dan campuran tanaman umur panjang.

Sistem Tiga Strata

Sistem tiga strata adalah metoda penanaman dan pemanenan rerumputan, tanaman

leguminosa, semak dan pepohonan sedemikian rupa sehingga pakan ternak tersedia

sepanjang tahun. Sistem ini dikembangkan oleh petani di Bali. Lapisan pertama, yang terdiri

dari rerumputan dan tanaman leguminosa, dimaksudkan untuk menghasilkan pakan pada

awal musim penghujan. Lapisan kedua, yang terdiri dari semak-semak, dimaksudkan untuk

menyediakan pakan pada pertengahan dan akhir musim penghujan. Lapisan ketiga yang

terdiri dari pepohonan, dimaksudkan untuk menyediakan pakan pada musim kemarau.

Sistem tiga strata membagi suatu lahan menjadi tiga bagian: (1) inti, (2) selimut, (3)

batas. Inti dipelihara untuk produksi pangan. Areal selimut ditanami penutup tanah, misalnya

: Bafel Grass (Cenchrus ciliaris), Panikum (Panicum maximum), Centrosema (Centrosema

pubescens), Graham stelo (Stylosanthes guyanensis).

Pohon-pohon penghasil pakan ditanam di sekitar batas. Pohon-pohon tersebut

misalnya Bunut (Ficus poacellie), Santen (Lannea coromandelica), dan Waru (Hibiscus

Page 9: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

9

tiliaceus). Di antara pohon-pohon ini lamtoro (Leucaena leucocephala) dan atau gamal

(Gliricida sepium) ditanam sebagai semak dengan jarak tanam 10 cm.

Tingkat pemeliharaan hewan dapat bervariasi dari sangat rendah (0,5 ha untuk setiap

ekor sapi) sampai sangat tinggi (0,25 ha untuk setiap ekor sapi) karena ketersediaan pakan

yang meningkat. Sapi yang dipelihara dalam sistem ini tumbuh dengan cepat dan siap

dipasarkan pada umur muda.

III. AGROFORESTRY DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

Untuk memenuhi kebutuhan serta mempertahankan dan mendukung kelangsungan

hidup, manusia dalam hal ini petani harus menggunakan sumberdaya dalam lingkungannya,

termasuk sumberdaya lahan dan air. Pengelolaan sumberdaya lahan erat sekali hubungannya

dengan pengelolaan sumberdaya air, baik ditinjau dari segi penggunaan, penempatan,

maupun dari segi pangawetan. Oleh karena itu pengelolaan yang baik dari kedua sumberdaya

tersebut mutlak dipelukan agar pemanfaatan ganda dapat dipertahankan dan dikembangkan

secara optimum, seimbang dan berkesinambungan (sustainable).

Sistem penggunaan lahan berkelanjutan diantaranya dapat ditempuh melalui praktek-

praktek Agroforestry, karena Agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan berbasis

pertanian dan kehutanan terintegrasi (disengaja), memberikan manfaat ganda yang secara

kolektif memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan agroekosistem. Agroforestry

ditujukan sebagai pelayanan kebutuhan lahan bagi masyarakat dengan mengkonversi lahan

terdegradasi, melindungi tanah sensitif, dan diversifikasi sistem produksi pertanian. Sebagai

bagian dari sistem manajemen lahan berbasis ekologi, praktek Agroforestry dapat

mempertahankan keragaman ekosistem dan proses yang berkontribusi terhadap keberlanjutan

dan kualitas lingkungan jangka panjang.

Agroforestry berasal dari kata “agro” atau pertanian dan kata forest atau hutan.

Produk pertanian bermacam-macam antara lain berupa pangan, obat-obatan, buah-buahan,

produk peternakan, produk perikanan (ikan, udang, kepiting), lebah madu, dan lain-lain.

Adapun forest atau hutan merupakan kesatuan ekosistem berisikan sumberdaya alam hayati

yang didominasi pepohonan. Dengan demikian pengertian Agroforestry mencakup

penggunaan lahan untuk menghasilkan satu atau beberapa produk pertanian dan produk dari

hutan yang diusahakan secara berkelanjutan, atau merupakan istilah kolektif untuk sistem dan

teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan

mengkombinasikan tumbuhan berkayu/pohon, perdu, palem, bambu, dll, dengan tanaman

pertanian dan/atau hewan ternak dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau

bergiliran, sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen

yang ada.

Ke dalam Agroforestry termasuk unsur-unsur sebagai berikut : (1) penggunaan lahan

atau sistem penggunaan lahan oleh manusia; (2) penerapan teknologi, (3) komponen tanaman

semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau ikan, (4) waktu bisa bersamaan atau

bergiliran dalam suatu periode tertentu, (5) ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.

Dari kesemua ini, mencerminkan bahwa praktek Agroforestry mendukung pertanian

berkelanjutan.

Di dalam pelaksanaan Agroforestry : (1) biasanya melibatkan dua atau lebih spesies

tanaman (atau tanaman dan hewan), setidaknya salah satunya merupakan tanaman keras

berkayu, (2) sistem Agroforestry selalu memiliki dua atau lebih output, (3) siklus dari sistem

Agroforestry selalu lebih dari satu tahun (4) sistem Agroforestry yang paling sederhana pun

lebih kompleks secara ekologis (struktural dan fungsional), dan secara ekonomi dibandingkan

“monocropping”. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Agroforestry

adalah : (1) bentuk (model pengelolaan), (2) unsur ekonomi (hasil yang lebih

Page 10: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

10

menguntungkan), (3) unsur waktu (daur pendek/panjang, serempak dan atau berurutan), (4)

pelaksanaannya dapat dilakukan di lahan milik dan atau di lahan kawasan hutan negara, (5)

untuk mendapatkan hasil maksimal, dan (6) untuk menuju peningkatan kesejahteraan

masyarakat, (7) sistem Agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-

kondisi ekologi dan sosial ekonomi setempat.

Agroforestry dalam mendukung perbaikan lingkungan dan peningkatan pendapatan

Untuk memahami potensi Agroforestry dalam peningkatan pendapatan dan perbaikan

lingkungan, pada makalah ini akan diungkapkan sejauh mana fungsi spesies tanaman berkayu

(pohon-pohon dan/atau semak belukar) yang sengaja dikombinasikan dengan tanaman

budidaya (tanaman pertanian) dan/atau ternak, yang meliputi : (1) penggunaan lahan intensif,

(2) interaksi biologis yang meningkat, dan (3) manfaat yang dioptimalkan. Kesemuanya itu

harus memberikan jaminan usaha tani yang berhasil dan lingkungan yang lestari

1. Fungsi Spesies Tanaman Berkayu

Dengan memadukan spesies tanaman berkayu (pohon dan belukar) dapat

menyumbang pada kelangsungan sistem usaha tani dengan berbagai cara. Spesies berkayu

bukan hanya memiliki fungsi produktif yang penting (menghasilkan bahan pangan, pakan

ternak, bahan bakar, serat, kayu bangunan, obat-obatan dan pestisida), tetapi juga memiliki

fungsi reproduktif, protektif dan sosial. Produk spesies berkayu dapat dimanfaatkan untuk

konsumsi rumah tangga dan/atau untuk dijual.

Dengan menghasilkan produk, juga cadangan unsur hara dan modal pada saat dan

musim sulit, dan dengan melindungi tanah dan tanaman budidaya dari bahaya aliran radiasi,

air atau angin (penciptaan iklim mikro dan pengendalian erosi), spesies berkayu sangat

diperlukan untuk mengamankan subsistens keluarga di banyak daerah. Dengan memadukan

spesies berkayu, petani dapat mendiversifikasikan output dan menyebarkan kebutuhan input

(misalnya tenaga kerja antar musim). Hal ini akan menurunkan risiko usaha tani.

Spesies-spesies berkayu dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan menyerap unsur

hara dari lingkungan sekitarnya dan dari lapisan tanah yang lebih dalam (pendaurulangan

unsur hara yang merembes melalui pemompaan unsur hara ke atas) dan

mengkonsentrasikannya ke dalam biomassa perenial dan lapisan tanah bagian atas. Juga

dengan meningkatkan kadar bahan organik di dalam lapisan tanah atas, lewat interaksi

dengan mikoriza dan bakteri tanah (pengikatan nitrogen, pelarutan fosfat) dan dengan

menangkap unsur hara dari aliran udara dan air. Spesies-spesies berkayu melakukan peran ini

khususnya selama waktu bera alami dan beberapa spesies tertentu dapat diperkenalkan secara

khusus untuk mengintensifkan masa bera.

Spesies berkayu dapat juga menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen

produktif lainnya, yaitu tanaman budidaya atau hewan, di dalam sistem usaha tani. Mereka

bisa membantu mengendalikan gulma dan beberapa spesies menghasilkan pestisida atau obat-

obatan alami. Beberapa spesies berkayu tertentu dapat dimanfaatkan untuk menurunkan

kebutuhan akan input luar berupa pupuk buatan dan biosida.

Jika sumberdaya tenaga kerja atau modal langka, maka spesies berkayu, dengan input

dan pengelolaan rendah bisa memanfaatkan sumberdaya tersebut secara paling efektif.

Demikian juga, jika banyak terdapat tenaga dan modal, beberapa spesies berkayu tertentu,

misalnya pohon buah-buahan, dapat memanfaatkan sumberdaya paling efektif.

Page 11: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

11

Tanaman budidaya dan spesies berkayu dapat saling melengkapi antar satu dengan

lainnya dalam hal ruang (misalnya spesies berkayu tertentu dapat tumbuh pada tempat-tempat

yang tidak cocok untuk tanaman budidaya, seperti lahan yang berbatu, curam, kebanjiran

sewaktu-waktu, asam atau basa; akar beberapa spesies berkayu masuk ke dalam lapisan

tanah yang tidak dimanfaatkan oleh tanaman budidaya), dalam hal waktu (misalnya tanaman

budidaya versus vegetasi lahan bera; penyebaran kebutuhan produk dan tenaga kerja antar

musim) atau fungsi (misalnya diversifikasi produksi; fungsi produktif versus fungsi protektif

dan reproduktif).

Sinergi antara tanaman budidaya dan spesies berkayu dapat diharapkan khususnya

ketika fungsi protektif dan reproduktif spesies berkayu dengan efek positif pada pertumbuhan

tanaman budidaya dikombinasikan dengan satu atau lebih produk-produk yang berguna.

Misalnya perbaikan iklim mikro dan pengendalian erosi dengan penahan angin dapat

menghasilkan produksi per satuan luas yang lebih tinggi (yang mungkin mengkompensasikan

hilangnya hasil panen pada bagian-bagian lahan yang ditempati pohon-pohon), ditambah

produksi kayu, pakan ternak, obat-obatan dari tumbuhan, daging satwa liar dan lain-lain.

Pagar hidup yang menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam, mengikat

nitrogen dan mengendalikan erosi, dapat menyebabkan produksi per satuan luas yang lebih

tinggi dan lebih berkelanjutan, ditambah dengan produksi kayu dan pakan ternak (Coen

Reijntjes et al., 1999).

Tidak semua produk dan fungsi ini dapat dikombinasikan pada satu lahan dan satu

spesies. Beberapa spesies menghasilkan berbagai produk atau memenuhi beberapa fungsi

(spesies multifungsi), namun secara umum kombinasi spesies berkayu harus dicari untuk

mendapatkan kombinasi produk atau fungsi. Setiap spesies memiliki ciri dan manfaat yang

khusus serta memerlukan kondisi ekologi yang khusus pula. Kondisi pertumbuhan dapat

menjadi sedemikian rupa sehingga tidak bisa dihasilkan fungsi-fungsi tertentu. Misalnya di

zona agak kering, pengikatan nitrogen oleh spesies berkayu leguminosa tampaknya menjadi

sangat rendah dan akar-akar berkembang secara horizontal daripada vertikal dimana hanya

lapisan tipis pada permukaan tanah mendapatkan air hujan. Oleh karenanya, fungsi spesies

berkayu dalam mempertinggi kesuburan tanah pada zona agak kering mungkin lebih sedikit

daripada zona yang lebih lembab (Kessler & Breman, 1991).

Pengetahuan ilmiah formal tentang pohon-pohon dan belukar masih sangat terbatas,

khususnya tentang interaksi yang baik antara tanaman budidaya dan hewan. Pertanyaaan-

pertanyaan yang masih memerlukan jawaban termasuk: Tanaman berkayu apa yang paling

baik untuk ditanam bersama dengan tanaman budidaya musiman tertentu? Cara apakah yang

paling efektif untuk memanfaatkan pohon-pohon? Bagaimana cara yang terbaik untuk

mengelola dan memanfaatkan pohon-pohon untuk pakan ternak dan/atau pupuk hijau?

Bagaimana menangani produk-produk pohon dalam pengolahan, penyimpanan, dan

pemasarannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan banyak pertanyaan lainnya

yang lebih terbuka, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan asli setempat serta

penelitian ilmiah lebih lanjut (CTA, 1988).

Di banyak daerah spesies berkayu sedang punah, seringkali disebabkan oleh berbagai

faktor, seperti kebutuhan lahan yang banyak untuk produksi tanaman budidaya dan ternak;

tekanan yang terus menerus terhadap sumberdaya pohon untuk bahan bakar kayu, arang,

kayu bangunan atau pakan ternak; pergeseran ke arah budidaya tanaman tunggal dan

mekanisasi; ketidakpastian perjanjian persewaan lahan; privatisasi dan nasionalisasi lahan

masyarakat; serta pembatasan kekuasan otoritas tradisional desa. Namun demikian,

peningkatan spesies berkayu dalam situasi pemanfataan lahan lainnya menunjukkan bahwa

Page 12: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

12

dalam keadaan tertentu budidaya spesies berkayu dapat menjadi bagian dari suatu respon

yang tepat terhadap tekanan yang semakin meningkat pada sumberdaya petani. Petani

menganggap pertumbuhan pohon sebagai suatu pemanfaatan sumberdaya yang efisien

(Arnold, 1980).

Untuk mempersingkat periode bera, pada lahan-lahan dengan intensitas pertanaman

yang rendah, adalah dengan membiarkan tumbuh atau menanam spesies berkayu yang

mempercepat atau meningkatkan regenerasi kesuburan tanah atau yang memproduksi output

yang bernilai subsistens atau komersial, ataupun kombinasi keduanya. Sebagai contoh,

Acacia senegal di daerah agak kering subsahara Afrika yang mengembalikan kesuburan

tanah dan menghasilkan getah arab, bahan bakar kayu. obat-obatan dan serat; dan palm

babassu (Orbignya speciosa) di Brasilia yang memberikan berbagai macam produk komersial

dan susbsistens, khususnya minyak. Langkah intensifikasi berikutnya adalah

memperkenalkan pohon atau tanaman tumpangsari. Banyak contoh strategi pemberaan yang

terus menerus seperti itu yang bisa ditemukan, misalnya dengan mempertahankan Faidherbia

albida pada daerah pertanian di banyak daerah di Afrika, atau tumpangsari Sesbania sesban

(tanaman leguminosa) dengan jagung di Kenya. Cukup banyak penelitian belakangan ini

diarahkan kepada pengembangan suatu sistem untuk mempersingkat pemberaan yang

dikelola secara lebih intensif yang dikenal dengan budidaya lorong.

Adapun pada pemanfaatan lahan dengan intesitas tinggi, seperti lahan pekarangan

yang ditanami spesies berkayu, bermanfaat untuk menambah output usaha tani. Pemanfaatan

pekarangan juga menyebar tenaga kerja, output dan pendapatan tahunan secara lebih merata.

Pada daerah dataran rendah dengan populasi padat di Jawa Tengah, pembuatan pekarangan

merupakan bentuk dasar usaha tani lahan kering, sementara budi daya dengan irigasi

membentuk komponen utama lain dalam sistem usaha tani (Palte, 1989). Karena bagian lahan

yang dipakai untuk budidaya padi menurun, lahan pekarangan dikelola secara lebih intensif,

menjadi kebun campuran daripada kebun hutan karena tanaman tahunan semakin banyak

ditumpanggilirkan untuk menghasilkan bahan pangan dan pendapatan.

Di daerah tadah hujan faktor utama yang mendorong petani mulai menanam pohon-

pohon adalah rendahnya kebutuhan akan tenaga kerja, biaya operasional tahunan yang

murah, ketahanan yang lebih besar terhadap kemiringan dan oleh karenanya mengurangi

risiko dan ketidakpastian.

Ketika kepemilikian lahan atau produktivitas lahan menurun tajam, pohon-pohon juga

dapat dibudidayakan untuk meningkatkan pendapatan sehingga kebutuhan dasar rumah

tangga dapat dipenuhi dari produksi tersebut.

Karena pohon menghasilkan berbagai macam produk, maka suatu jenis pohon dapat

dieksploitasi baik daun, kayu, kulit, akar, maupun buahnya. Namun demikian, kegunaan yang

berbeda-beda ini sifatnya saling tergantung: semua jenis pohon yang menghasilkan banyak

daun belum tentu buahnya juga banyak. Petani harus memutuskan hasil apa yang lebih

mereka dapatkan dari pohon itu dan produk apa yang lebih mereka sukai. Hal ini menjelaskan

besarnya keanekaragaman metode pengelolaan pohon. Petani yang berupaya untuk

menciptakan naungan cahaya akan memangkas pohon secara berbeda dari petani lain yang

menginginkan hasil daunan yang berlebihan. Praktek –praktek budidaya bisa berbeda

bergantung pada bagaimana pemanfaatan pohon-pohon itu. Namun pada prinsipnya, pohon

harus dipupuk dan dilindungi terhadap efek yang berbahaya dari aliran air dan udara,

binatang, serangga dan penyakit, seperti tanaman budidaya lainnya. Petani yang ingin

memanfaatkan semua peluang yang diberikan tanaman berkayu harus mengelola pohon atau

belukar itu dengan baik. Bila dibiarkan tidak dirawat, spesies berkayu akan menjadi

Page 13: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

13

gangguan karena menyaingi produksi tanaman budidaya dan ternak serta dapat menimbulkan

hama.

Beberapa spesies nonkayu seperti herba, tanaman pupuk hijau, dan tanaman penutup

non kayu, dapat memainkan peran pendukung yang penting dalam Agroforestry. Herba dapat

dimanfaatkan untuk menghasilkan pestisida alami dan obat-obatan bagi manusia dan hewan

serta dapat berfungsi sebagai tanaman perangkap atau tanaman umpan. Terlepas dari fungsi

proteksinya, tanaman-tanaman itu dapat menjadi sumber pendapatan yang penting. Tanaman

obat-obatan liar secara tradisional telah dikumpulkan, namun saat ini berada dalam bahaya

kepunahan karena pengambilan yang berlebihan. Petani dapat mulai membudidayakan

tanaman obat-obatan dan mengkombinasikan usaha untuk mendapatkan penghasilan dengan

pelestarian alam.

Pupuk hijau dan tanaman penutup penting untuk pengelolaan dan kesuburan tanah

serta pengendalian erosi, khususnya di daerah lembab. Pupuk hijau dan tanaman penutup

dapat menghasilkan biomassa yang penting dari daunnya, ranting-rantingnya dan akar-

akarnya untuk merangsang kehidupan tanah dan melindungi permukaan tanah. Pupuk hijau

dan tanaman penutup dari golongan leguminosa dapat mengikat nitrogen dalam jumlah cukup

besar dan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur yang penting bagi pertumbuhan tanaman.

Tanaman ini bisa berfungsi secara tidak langsung bila dimanfaatkan sebagai pakan hewan

yang menghasilkan pupuk kandang. Beberapa tanaman pupuk hijau dan tanaman penutup

(misalnya Crotaloria ochroleuca, Tephrosia candida) memiliki daya kerja pestisida yang

bisa dimanfaatkan untuk perlindungan tanaman. Kadangkala tanaman penutup juga berfungsi

sebagai “mulsa hijau atau mulsa hidup”, dengan mengurangi hilangnya air dari tanah yang

ditanami di daerah kering (Coen Reijntjes et al., 1999).

Karena fungsi protektif dan reproduktif spesies herba seperti itu bisa bersaing dalam

jangka pendek dengan fungsi produktif tanaman budidaya, herba itu seringkali diganti

dengan input luar berupa pupuk kimia bila tersedia. Namun, khususnya pada tanah yang

rentan, hal ini bisa mengakibatkan ketidakaktifan biologis, pengasaman, meningkatkan

perembesan, hilangnya struktur tanah dan erosi. Bagi petani dengan akses yang terbatas

terhadap input luar, penanaman spesies herba sangat membantu untuk menjaga usaha taninya

agar tetap produktif, efisien, dan berkelanjutan.

2. Memadukan tanaman berkayu dan ternak

Hewan bisa mempunyai beragam fungsi dalam sistem usaha tani lahan sempit. Hewan

memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan

juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagi mas kawin, untuk pesta upacara dan

sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan sosial. Dalam kondisi suboptimal,

integrasi ternak ke dalam sistem Agroforestry penting, khususnya untuk:

meningkatkan jaminan subsistens dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk

menghasilkan pangan untuk keluarga petani;

memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk

kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik.

Memelihara ternak untuk menjamin subsistensi khususnya pada daerah yang berisiko

tinggi, misalnya pada daerah kering. Ternak berfungsi sebagai penyangga. Seekor hewan

dapat disembelih untuk konsumsi rumah tangga atau dijual untuk membeli bahan pangan

ketika hasil panen tanaman tidak memenuhi keluarga. Ternak menyerupai tabungan dengan

Page 14: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

14

anakannya sebagai bunga. Hewan-hewan dijual ketika diperlukan uang tunai untuk tujuan-

tujuan tertentu, termasuk pembelian input untuk budidaya tanaman.

Di daerah suboptimal, pakan ternak terutama diambil dari lahan yang tidak cocok

untuk budidaya tanaman (seperti lahan berbatu, lahan tergenang ) dan lahan yang untuk

sementara tidak ditanami (lahan yang baru dipanen atau bera). Lahan- lahan seperti ini

seringkali berada diantara plot-plot yang ditanami dan dapat dijadikan tempat untuk

menggembalakan dan menambatkan ternak. Tanamannya juga dapat dipotong untuk pakan

ternak.

Memadukan produksi pakan ternak ke dalam rotasi tanaman pangan dapat

meningkatkan keberlanjutan sistem usaha tani, khususnya dengan sistem Agroforestry dengan

melibatkan rumput-rumputan dan tanaman polongan perenial serta belukar dan pepohonan

termasuk di dalamnya. Tanaman-tanaman tahunan ini bisa memanfaatkan unsur hara dan air

dari lapisan tanah yang lebih dalam, memperbaiki kesuburan tanah serta melindungi tanah

selama tidak ada tanaman pangan. Tanaman pakan ternak dapat memiliki peranan penting

dalam alih unsur hara di tingkat usaha tani dengan memberikan kualitas pakan yang lebih

baik. Pada akhirnya, ternak ini akan menghasilkan kualitas kotoran yang lebih baik yang bisa

dimanfaatkan sebagai pupuk. Bagian dari tanaman pakan ternak dapat juga dimanfaatkan

sebagai pupuk hijau atau mulsa. Petani mungkin lebih bersedia untuk menerapkan teknik-

teknik, seperti penyemaian pada lahan bera guna mengembalikan kesuburan tanah atau

mencegah erosi, jika mereka dapat mendapatkan keuntungan ekonomis secara cepat berupa

pakan untuk ternak mereka.

Disamping ternak yang lebih konvensional, seperti sapi, domba, dan kambing, ternak

lain yang kurang konvensional, seperti kelinci, marmot, itik, lebah, dan ulat sutera, juga

berperan penting dalam sistem Agroforestry.

Karena struktur-struktur ini membantu pelestarian sumberdaya alam lahan pertanian

dan karena lokasinya tidak dapat diubah secara mudah, penting untuk menempatkan struktur-

struktur dan lokasi itu sebaik-baiknya. Dengan menggabungkan fungsi-fungsi, misalnya

dengan menanam pepohonan, rerumputan atau tanaman herba multiguna sepanjang garis

kontur atau menanam tanaman yang berfungsi sebagai lajur perlindungan sepanjang batas-

batas lahan, dapat diciptakan suatu infrastruktur yang melestarikan sumberdaya yang melalui

interaksi positif, tidak menurunkan bahkan bisa meningkatkan kemampuan produktif dari

sistem itu.

Kecocokan suatu bagian lahan pertanian dapat berbeda jauh dengan bagian yang

lainnya. Keanekaragaman diperlukan sehingga sumberdaya genetik yang telah disesuaikan

dengan kondisi ekologi khusus dari tempat tertentu (kering, basah, asam atau miskin, iklim

mikro dingin, panas atau berangin dan sebagainya) dapat dimanfaatkan. Juga keterbatasan

tenaga kerja bisa memaksa petani memanfaatkan sumberdaya genetik yang berbeda pada

tempat yang dekat dibandingkan dengan yang jauh dari pekarangan rumah.

Data tentang produktivitas sistem Agroforestry yang kompleks dengan tanaman

pangan, hewan-hewan (termasuk ikan) dan pepohonan langka, terdapat indikasi tentang

pengaruhnya terhadap jaminan usaha tani dan konservasi sumberdaya, dan kenyataannya

bahwa hampir semua sistem pertanian petani lahan sempit asli setempat mengandung

komponen-komponen ini dalam berbagai macam campuran. Ini menunjukkan bahwa para

petani menilai kombinasi komponen-komponen tersebut positif.

Page 15: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

15

Tidak semua kombinasi meningkatkan produktivitas karena juga banyak interaksi

negatif antar organisme. Tanaman, pepohonan, hewan-hewan dan manusia bisa bersaing satu

sama lain untuk memperebutkan lahan, energi surya, air, unsur hara, makanan atau tenaga

kerja. Komponen tersebut juga saling mempengaruhi dalam hal negatif (allelopati negatif,

iklim mikro yang tidak mendukung, penularan hama dan sebagainya). Meskipun persaingan

tidak bisa dihilangkan secara menyeluruh namun persaingan ini diminimalkan pada

kombinasi sumberdaya genetik yang baik. Keseimbangan optimal antara aspek positif dan

negatif dari komponen yang berbeda harus ditemukan, misalnya hilangnya ruang versus

pengadaan iklim mikro yang lebih baik atau pengikatan nitrogen. Juga dimungkinkan untuk

memanfaatkan persaingan secara positif, misalnya mendorong pertumbuhan dengan

penggembalaan, pemangkasan atau penanaman secara padat. Evaluasi kombinasi sumberdaya

genetik yang dikembangkan dalam Agroforestry oleh para petani lahan sempit asli setempat

akan meningkatkan pengetahuan tentang interaksi antara berbagai organisme yang berbeda

dan akan memberikan informasi yang berguna untuk memilih campuran yang terbaik.

3. Memanfaatkan tumbuhan dan hewan lokal setempat

Sistem usaha tani lokal setempat mencakup banyak spesies tanaman dan ternak,

varietas dan biakan lokal yang sesuai dengan kondisi khusus setempat. Kebanyakan petani

lahan sempit juga memanfaatkan tumbuhan dan hewan liar. Informasi tentang sumberdaya

genetik asli setempat yang “nonkonvensional” atau “kurang dimanfaatkan” kurang lengkap,

namun cukup untuk menunjukkan bahwa sumberdaya ini memliki suatu peranan kritis dalam

memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial petani dalam kondisi agroekosistem suboptimal.

Tumbuh-tumbuhan asli setempat memberikan pakan yang beragam dan bergizi serta

menjadi penting selama musim-musim paceklik. Tumbuhan itu juga dapat memberikan

banyak produk non pangan yang berguna dan merupakan sumber-sumber pendapatan. Karena

tumbuhan itu seringkali tumbuh pada lahan kurang subur atau merupakan bagian dari sistem

Agroforestry, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan asli setempat meningkatkan efisiensi

penggunaan lahan (FAO, 1988a).

Pohon-pohon utama untuk perdagangan di daerah tropis dan subtropis sudah terkenal,

misalnya kopi, teh, coklat, kelapa, kelapa sawit, karet dan jeruk. Yang masih kurang dikenal

adalah produk dari pepohonan asli setempat bernilai ekonomis, seperti pohon mentega shea

(Butyrospernum parkii syn. Vitellaria paradoxa), prem Marula (Sclerocarya birrea) kacang

belalang Afrika (Parkia biglobosa) dan “maggi lokal”, daun baobab (Adansonia digitata),

rades (Moringa pterygosperma), dan daun pahit (Vernonia amygdalina) yang dimanfaatkan

sebagai sayuran; bumbu dari apel Akee (Blighia sapida), kapok merah (Bombax

buonopozense) dan pala kalabar (Monodora mysristica); serta ramuan obat-obatan untuk

mengobati manusia, hewan dan tumbuhan.

Banyak sekali produk pepohonan asli setempat merupakan pangan setempat yang

bernilai baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Misalnya, sebuah pohon kacang belalang

yang dewasa per tahun biasanya bisa memasok kira-kira 40 kilogram biji. Setelah diolah

melalui proses fermentasi, biji-biji ini memiliki nilai gizi sama dengan 50 ekor ayam dan

memberikan jumlah vitamin dan mineral yang sangat berarti pada suatu periode, ketika bahan

pangan yang lain sering menjadi langka (Coen Reijntjes, dkk, 1999). Pada musim paceklik,

produk pepohonan dan belukar setempat bisa menjadi tumpuan untuk bertahan hidup bagi

banyak keluarga petani.

Page 16: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

16

Pepohonan asli setempat bernilai ekonomis jarang “seliar” seperti yang dirasakan oleh

orang luar. Pepohonan ini seringkali merupakan bagian yang menyatu dalam sistem pertanian

setempat: pepohonan ini mungkin dilindungi dan dikelola atau bahkan dengan sengaja

ditanam oleh petani. Faidherbia albida di Afrika dan Prosopic cineraria di India merupakan

contoh-contoh pepohonan asli setempat yang memiliki peranan sentral dalam sistem

penggunaan lahan di daerah tropis semi kering. Pepohonan semacam itu seringkali vital bagi

keberlanjutan pertanian, dan kepunahannya bisa mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi

dan tekanan sosial ekonomi. Khususnya para petani dan perempuan miskin yang

mendapatkan bagian penting bahan pangan dan/atau pendapatan dari pepohonan dan belukar

tersebut mengalami kesulitan bila pepohonan dan belukar itu menjadi langka (Tabel. 3.1).

Tabel 3.1. Sumber pendapatan bagi laki-laki, perempuan dan perempuan miskin di

Uttar Pradesh, India (%).

Pendapatan Hutan dan lahan

umum Lahan pertanian

Kegiatan di luar

pertanian Total

Laki-laki

Perempuan

Perempuan miskin

13

33

45

28

35

34

59

32

21

100

100

100

Sumber: Clarke (1986).

Produktivitas dan jaminan pertanian di daerah tropis bisa ditingkatkan dengan lebih

banyak memanfaatkan spesies-spesies nonkonvensional ini. Ada suatu kebutuhan mendesak

untuk membantu para petani mempertahankan kekayaan keanekaragaman genetik dari

tanaman dan hewan asli setempat yang telah disesuaikan dengan kondisi input rendah, dan

untuk menyediakan sumberdaya genetik ini kepada petani lain yang bekerja di daerah yang

sama iklimnya. Hal yang penting bahwa pengetahuan setempat tentang cara merawat dan

menggunakan sumberdaya genetik ini perlu dilestarikan dan disampaikan kepada petani lain.

4. Mengintegrasikan akuakultur

Golongan hewan yang layak disebut dalan konteks ini adalah ikan dan hewan air

lainnya. Sumberdaya alam yang ada bagi sebuah keluarga petani mungkin termasuk

sumberdaya air, seperti sungai kecil, kolam, dan tanah yang rentan banjir. Budi daya

tumbuhan dan satwa yang hidup di air disebut akuakultur. Memadukan bentuk budidaya ini

dalam suatu sistem usaha tani mengintensifkan pemanfaatan sumberdaya secara

berkelanjutan melalui penganekaragaman spesies dan daur ulang unsur hara. Memadukan

ikan, hewan-hewan darat, pepohonan, sayuran, dan tanaman budidaya dalam satu usaha tani

merupakan suatu cara memaksimalkan produktivitas per satuan lahan. Hasil sambilan dari

satu bentuk pemanfaatan sumberdaya sering berfungsi sebagai input bagi bentuk-bentuk

lainnya.

Kolam-kolam ikan dapat dibuat di lahan basah dan lahan pekarangan di mana ada

sungai kecil atau mata air di dekatnya. Pohon buah-buahan dan sayuran yang ditanam di

pematang sebelah kolam dapat diairi dengan air kolam yang juga dapat digunakan untuk

hewan air. Pupuk kandang, sisa tanaman budidaya, gulma, daun-daun pepohonan, buah-

buahan dan sayuran busuk dapat menyuburkan kolam. Hasil sambilan dari tanaman budidaya

lainnya, seperti sekam jagung dan padi dapat juga dijadikan pakan ikan. Ikan mengubah sisa

Page 17: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

17

tanaman dan hewan menjadi protein kualitas tinggi dan memperkaya lumpur kolam yang

kemudian dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan kembali ladang.

Silvofishery atau hutan tambak merupakan campuran kegiatan kehutanan di daerah

pantai (hutan mangrove) dengan kegiatan perikanan. Di dalam hutan bakau (mangrove), para

petani-ikan dapat memelihara ikan, udang, atau kepiting dan sekaligus membantu upaya

merehabilitasi hutannya. Contoh : tumpangsari tambak hutan payau di Cilacap, Jawa Tengah.

Analisis Ekonomi Sistem Agroforestry

Nilai manfaat berupa peningkatan pendapatan bagi petani yang telah mengusahakan

lahannya secara Agroforestry, dapat dianalisis secara ekonomi dengan menggunakan besaran-

besaran benefit cost ratio (BCR), net present value (NPV),dan internal rate of return (IRR).

Untuk melihat sejauh mana Agroforestry dapat meningkatkan pendapatan, pada

makalah ini merujuk pada hasil penelitian Devianti (2015), dan Widyantoro (2013).

1. Penelitian Devianti (2015)

Penelitian dilaksanakan pada lahan milik masyarakat yang telah diusahakan secara

Agroforestry di desa Simpen Kaler, Limbangan Garut, termasuk dalam sub-sub DTA

Cianten, Cipancar. Jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari tanaman hutan jati putih

(gmelina), sebagai tanaman utama, mahoni dan suren (bukan tanaman utama). Selain itu juga

tanaman buah-buahan seperti petai dan alpukat yang merupakan (multipurpose tree species)

atau MPTS. Tanaman semusim yang biasa dilaksanakan petani diantara tanaman jati yaitu

kunyit dan tumpangsari dengan ubi kayu. Data yang diperoleh berasal dari hasil wawancara

dan hasil penelitian eksperimen dengan menggunakan tiga pola tanam semusim di antara

tanaman jati sebagai berikut :

(1) Tumpangsari kunyit+jagung – kacang merah +cabe rawit lokal,

(2) Tumpangsari kunyit+jagung – kacang merah, (3) monocropping cabe rawit lokal.

Analisis ekonomi sistem Agroforesrty terdiri dari biaya investasi dan biaya budidaya.

Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat mulai pelaksanaan, dengan nilai

manfaat pada masa akan datang. Biaya investasi digunakan untuk pembelian bibit tanaman

tahunan, tanaman buah-buahan atau MPTS, termasuk biaya penanaman dan pembuatan teras

guludan, selengkapnya pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Biaya investasi Sistem Agroforestry pada Pola Tanam 1,2 dan 3 seluas 1 Ha

No Jenis Investasi Jumlah Harga (Rp) Total Harga

1 Bibit kayu-Hutan:

Jati Putih (Gmelina) 625 pohon 700 43.7500

Mahoni 277 pohon 1350 373.950

Suren 277 pohon 1350 373.950

2 Bibit MPTS

Petai 400 pohon 3500 1.400.000

Alpukat 238 pohon 1600 380.800

3 Pembuatan lubang tanam 214 HOK 35000 7.490.000

4 Penanaman 112 HOK 35000 3.900.000

5 Pembuatan teras Guludan 1724 HOK 35000 60.330.000

Total Investasi 74.686.200

Sumber : BPDAS Cimanuk-Citanduy (2010).

Page 18: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

18

Tabel 3.2 menjelaskan biaya investasi yang diperlukan pada penanaman sistem

Agroforestry dengan luas 1 ha pada pola tanam 1, 2, dan 3 terdiri dari jenis dan jumlah

tanaman, serta jumlah hari orang kerja (HOK) untuk penanaman dan pembuatan teras gulud,

yang mempunyai jumlah harga yang beragam. Jati putih sebagai tanaman utama tahunan

yang ditanam pada lahan sehingga kebutuhannya lebih besar dibandingkan suren dan mahoni,

yang digunakan pada pinggir-pinggir lahan. Demikian juga dengan Multipurpose tree species

(MPTS) yang merupakan tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan atau daun-

daunan yang dapat digunakan sebagai makanan atau pakan ternak seperti petai, alpukat.

Pembuatan teras gulud dengan luas lahan 1 ha dibutuhkan 1724 HOK, sedangkan pembuatan

lubang tanam membutuhkan 214 HOK dengan upah kerja sehari sebesar Rp. 35.000,-.

Biaya budidaya yang dimaksud pada kajian ini adalah biaya produksi tanaman

semusim dan pemeliharaan tanaman tahunan, serta perbaikan teras. Berbagai macam biaya

budidaya sistem Agroforestry dengan pola tanam 1, 2, dan 3 bergantung pada jenis tanaman

semusim yang dibudidayakan seperti tertera pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Biaya Budidaya Sistem Agroforestry pada Pola tanam 1,2 dan 3 seluas 1 Ha

Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah+cabe rawit lokal

No Jenis Biaya Budidaya Jumlah Biaya (Rp)

1 Biaya produksi tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 6.118.000

2 Biaya penyulaman tahun ke – 2 242.850

3 Perbaikan teras 500.000

4 Biaya produksi tahun ke - 2 6.360.850

5 Biaya produksi tahun ke - 7 6.860.850

Pola 2 (Tumpangsari : kunyit+ jagung- kacang merah)

No Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp)

1 Biaya Budidaya tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 6.078.000

2 Biaya penyulaman tahun ke- 2 242.850

3 Perbaikan teras 500.000

4 Biaya produksi tahun ke- 2 6.320.850

5 Biaya produksi tahun ke- 7 6.820.850

Pola 3 (monocropping cabe rawit lokal)

No Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp)

1 Biaya produksi tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 12.918.500

2 Biaya penyulaman tahun ke- 2 242.850

3 Perbaikan teras 500.000

4 Biaya produksi tahun ke- 2 13.161.350

5 Biaya produksi tahun ke- 7 13.661.350

Sumber : Hasil wawancara dan BPDAS Cimanuk-Citanduy, 2010.

Pada Tabel 3.3 ditunjukkan berbagai jumlah harga yang beragam dalam biaya

budidaya terdiri dari (1) biaya produsi tanaman semusim yang berbeda antara pola 1, 2 dan 3,

(2) biaya penyulaman tanaman tahunan dan tanaman buah-buahan, dan (3) biaya perbaikan

teras guludan. Antara tahun pertama dan tahun berikutnya terdapat perbedaan biaya seperti

pengeluaran pada tahun 1, 2, 3, 4 dan 6 adalah biaya untuk budidaya tanaman semusim

sebesar Rp. 6. 118.000 pada pola 1, Rp. 6.078.000 (pola 2), dengan biaya terbesar pada pola 3

sebesar Rp. 12.918.500. Pemakaian pupuk pada tahun pertama juga diperuntukkan untuk

semua tanaman baik semusim, kehutanan, dan MPTS. Pada tahun ke- 2 terdapat penambahan

biaya penyulaman tanaman tahunan sebesar Rp. 242.850, sehingga total biaya menjadi

Rp. 6.360.850,- pada pola 1, pola 2 sebesar Rp. 6.320.850,-, dan pada pola 3 sebesar

Page 19: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

19

Rp. 13.161.350,- . Hal ini juga terjadi penambahan biaya pemeliharaan pada tahun ke- 7,

yang merupakan biaya untuk perbaikan teras guludan sebesar Rp. 500.000, sehingga total

biaya pada tahun ke -7 menjadi Rp. 6.860.850 pada pola 1, sedangkan pada pola 2, dan 3

sebesar Rp. 6.820.850, dan Rp. 13.661.350.

Biaya investasi yang dikeluarkan pada pola 1, 2, dan 3 adalah sama jumlahnya,

terdapat perbedaan pada biaya budidaya antar pola 1, 2, dan 3, disebabkan setiap komoditi

tanaman semusim mempunyai kebutuhan jumlah bibit dengan harga yang berbeda. Sistem

Agroforestry memberikan dua keuntungan (benefit) yakni produktivitas tanaman semusim

dan produktivitas tanaman kayu kehutanan. Terjadi perbedaan produktivitas dan harga setiap

panen pada tanaman semusim, disebabkan harga jual pada tanaman semusim bergantung

pada harga pasar. Produktivitas dan harga jual tanaman semusim dengan pola tanam 1, 2, dan

3 terlihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Produktvitas Sistem Agroforesrty pada pola 1, 2, dan 3 seluas 1 Ha

Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah+cabe rawit lokal

No Produktivitas Jumlah (Rp)

1 Keuntungan tahun ke 2, 3 27.750.000

2 Keuntungan tahun ke 4 24.500.000

3 Keuntungan tahun ke 5, 6, 7, 8, 9 15.625.000

4 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000

Pola 2 (Tumpangsari : kunyit+ jagung- kacang merah)

1 Keuntungan tahun ke 2, 3 19.850.000

2 Keuntungan tahun ke 4, 5,6 18.500.000

3 Keuntungan tahun ke 7, 8,9 17.050.000

4 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000

Pola 3 (monokultur cabe rawit lokal)

1 Keuntungan tahun ke 2, 3 35.360.000

2 Keuntungan tahun ke 4, 5 32.500.000

3 Keuntungan tahun ke 6, 7 28.600.000

4 Keuntungan tahun ke 8, 9 26.000.000

5 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000 Sumber : Data Diolah (2014)

Tabel 3.4 menunjukkan produktivitas tanaman semusim pada pola 1,2 dan 3 terdapat

harga yang beragam, baik pada tahun yang sama maupun pada tahun berikutnya.

Produktivitas terbesar secara berturut-turut terdapat pada pola 3, 1 dan 2. Tahun ke- 2 dan ke-

3 mempunyai keuntungan sebesar Rp. 27.750.000 pada pola 1, pola 2 sebesar Rp.

19.850.000, dan pada pola 3 sebesar Rp. 35.360.000. Produktivitas pada tahun ke- 2 dan 3

lebih besar bila dibandingkan pada tahun ke-4, yaitu sebesar Rp. 24.500.000 pada pola 1, dan

pola 2 sebesar Rp. 18.500.000, serta pada pola 3 sebesar Rp. 32. 500.000. Pada tahun

berikutnya yaitu tahun ke- 5 dan tahun ke- 6, keuntungan dari tanaman semusim semakin

kecil hanya sebesar Rp. 15. 625.000 (pola1), kemudian pada pola 2 sebesar 17.050.000, dan

pada pola 3 sebesar Rp. 28.600.000. Kecilnya keuntungan pada tahun ke- 5 dan tahun ke- 6

disebabkan tanaman tahunan semakin besar naungannya sehingga cahaya matahari terhalang

yang menyebabkan fotosintesis tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Selanjutnya keuntungan sistem Agroforestry diperoleh dari panen kayu jati putih pada

tahun ke-10, dimana per batang kayu bersih diperoleh volume sebesar 0,4 m3 dengan harga 1

m3 sebesar Rp. 500.000. Harga tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No.

Page 20: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

20

22 Tahun 2012. Dengan demikian keuntungan yang didapat dari produksi kayu jati putih

pada pola 1, 2 dan 3, adalah sama yakni sebesar Rp. 125.000.000,-.

Harga pada biaya investasi pada Tabel 3.2 dan keuntungan pada Tabel 3.4 yang

digunakan berdasarkan suku bunga Bank Indonesia sebesar 12%, dan nilai suku bunga ini

berdasarkan pada tahun 2010, pada awal mulai kegiatan sistem Agroforestry. Harga tersebut

dalam analisis ekonomi dapat diartikan nilai saat itu, sehingga pada saat panen jati putih

tahun ke- 10 tentunya menjadi nilai yang akan datang. Untuk hal ini perlu dikaji nilai pada

masa akan datang, berdasarkan analsis ekonomi seperti; NPV, B/C, dan IRR, apakah

didapatkan keuntungan dari investasi sistem Agroforestry ?

Hasil analisis ekonomi sistem Agroforestry dengan luasan satu hektar, pada berbagai

pola tanam (1, 2 dan 3) layak diusahakan dengan parameter analisis NPV, B/C dan IRR

disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 memperlihatkan beberapa indikator seperti; NPV, IRR, B/C ratio sebagai

penilai kelayakan usaha sistem Agroforestry dengan luas 1 ha pada berbagai pola tanam, pada

tingkat suku bunga bank 12 %. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sistem Agroforestry

secara ekonomi dan finansial pada berbagai pola tanam layak diusahakan dengan indikator

penilai NPV, IRR dan B/C lebih besar dari satu. Terlihat nilai NPV, B/C dan IRR terbesar

pada sistem tanam monocropping cabe rawit lokal, dan terkecil pada sistem tanam

tumpangsari pola 2. Penyebabnya harga cabe rawit lokal lebih tinggi dengan masa panen

lebih panjang yaitu 6 bulan bila dibandingkan dengan komoditas lain dalam sistem tanam

tumpangsari pola 1 dan 2.

Berdasarkan Tabel 3. 5, selisih nilai NPV secara finansial pada pola 3 dengan NPV

pada pola 1 sebesar Rp. 8.092.812 dan selisih NPV pada pola 3 dengan pola 2 sebesar Rp.

18.778.890, serta selisih NPV antara pola 1 dengan pola 2 sebesar Rp. 10.686.078. Dapat

dikatakan pola tanam monocropping mempunyai keuntungan lebih tinggi dibandingkan

dengan pola tanam tumpangsari pada pola 1 dan pola 2. Namun demikian jumlah erosi pada

tanam monocropping lebih besar dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari.

Tabel 3.5. Analisis Ekonomi Sistem Aagroforesrty pada pola 1, 2 dan 3 Seluas 1 Ha

Indikator Analisis Ekonomi Analisis Financial Keputusan

(Decision)

Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung-kacang merah+cabe rawit lokal)

NPV

IRR

Net B/C Ratio

Rp. 31.695.473

0.22

1.44

Rp. 31.017.446

0.22

1.43

Layak > 0

Layak > 0

Layak > 0

Pola 2 (tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah)

NPV

IRR

Net B/C Ratio

Rp. 21.009.395

0.17

1,29

Rp. 20.331.368

0.17

1.28

Layak > 0

Layak > 0

Layak > 0

Pola 3 (monocropping cabe rawit lokal)

NPV

IRR

Net B/C Ratio

Rp. 39.788.284

0.15

1.51

Rp. 39.110.257

0.15

1.50

Layak > 0

Layak > 0

Layak > 0

Sumber : Data diolah (2014)

Peningkatan atau penurunan produktivitas dan harga pertanian dan kayu hutan

mempengaruhi keberlanjutan sistem Agroforestry, hal ini berkaitan dengan kenaikan suku

bunga bank. Untuk mengetahui sejauhmana keberlanjutan sistem Agroforestry masih dapat

diusahakan adalah dengan mengkaji internal of return. Kajian in dapat dilakukan dengan cara

Page 21: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

21

membandingkan NPV pada suku bunga awal (NPV1) dengan selisih (NPV1) dikurangi

(NPV2) pada suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga awal. Nilai NPV2 didapat dengan

cara trial and error (coba-coba) sampai didapat (NPV < 0).

Hasil analisis menunjukkan sistem Agroforestry dengan pola tanam tumpangsari (pola

1) tidak layak diusahakan lagi pada suku bunga bank 22%, sedangkan pola tanam

tumpangsari (pola 2) tidak layak dilaksanakan pada suku bunga 17% , dan sistem tanam

monocropping (pola 3) pada suku bunga 15%.

2. Penelitian Widyantoro (2013)

Hasil penelitian Widyantoro (2013), mengenai analisis usahatani padi gogo

tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun di desa Temulus, KPH Randu Blatung,

Blora MH 2009/2010, ditunjukkan pada Tabel 3.6 sebagai berikut :

Tabel 3.6. Analisis usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan

2 tahun di Desa Temulus, KPH Randu Blatung, Blora, MH 2009/2010

Uraian

Padi gogo tumpangsari

HTI jati muda umur 1

tahun

Padi gogo tumpangsari

HTI jati muda umur 2

tahun

Biaya tenaga kerja (Rp. 000/ha)

Biaya sarana produksi (Rp. 000/ha)

Total biaya (Rp. 000/ha)

Penerimaan kotor (Rp. 000/ha)

Pendapatan bersih (Rp. 000/ha)

B/C rasio

Titik impas produksi (kg/ha)

Titik impas harga (Rp/kg)

3.090

1.610

4.700*)

11.707

7.007

1,49

2.043

(5.090)

923

(2.300)

2.910

1.570

4.480*)

10.718

6.238

1,39

1.948

(4.660)

961

(2.300) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan produksi dan harga aktual. *)

Hasil penelitian demplot di Ngliron, Randu Blatung, Blora (Sumber : Widyantoro et al., 2012).

Pada posisi harga gabah Rp. 2.300/kg, total pendapatan bersih usahatani padi gogo

tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun mencapai Rp. 7.007.000/ha dengan nisbah input-

output atau B/C rasio sebesar 1,49. Ini berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp. 100 akan

memberikan rata-rata penerimaan sebesar Rp. 149 pada batas penggunaan input tertentu,

dengan kata lain untuk setiap Rp. 100 biaya yang dikeluarkan rata-rata memberikan

keuntungan sebesar Rp. 49. Pada posisi harga gabah yang sama, total pendapatan bersih

usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun mencapai Rp. 6.238.000/ha

dengan B/C rasio sebesar 1, 39.

Hasil analisis titik impas produksi, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda

umur 1 tahun menunjukkan dengan produksi 2.043 kg/ha sudah mampu berada pada kondisi

keuntungan normal. Ini berarti dengan produktivitas padi hanya 40,14% dari produksi

aktualnya, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah tidak merugi

dan tidak untung atau dengan kata lain berada pada titik impas produksi, Demikian pula

usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun, keuntungan normal dicapai

pada tingkat produksi 1.948 kg/ha atau 41,80% dari produksi aktualnya. Interpretasi dari hasil

analisis TIP ini adalah penurunan produktivitas yang bisa ditolerir agar usahatani padi gogo

tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun masih menguntungkan, jika penurunan

Page 22: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

22

produktivitasnya masing-masing tidak lebih dari 59,86%, dan 58,20% dari produksi

aktualnya.

Berdasarkan analisis titik impas harga, dengan harga gabah Rp. 923/kg usahatani padi

gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah berada pada kondisi keuntungan

normal. Ini berarti dengan harga gabah hanya 40,13% dari harga aktualnya, usahatani padi

gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah berada pada titik impas harga. Pada

usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun keuntungan normal dicapai

tingkat harga Rp. 961/kg atau 41, 78% dari harga aktualnya.

Secara finansial usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan

umur 2 tahun layak diusahakan petani, karena dengan produksi masing-masing hanya 40,14%

dan 41,80% dari produksi aktualnya, sudah berada pada titik impas produksi, demikian pula

dengan titik impas harga.

IV. PENUTUP

Dari uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa keunggulan

Agroforestry potensinya dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian

bangsa dan perbaikan lingkungan, sebagai berikut :

Simpulan

1) Produktivitas (Productivity) : dari hasil penelitian teruji bahwa total sistem

campuran dalam Agroforestry jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal

tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang

beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun (Sequential system). Adanya

tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis

tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2) Diversitas (Diversity) : Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih pada

sistem Agroforestry menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk

maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian

akibat fluktuasi harga pasar, sedangkan dari segi ekologi dapat (i) meningkatkan

kesuburan tanah (dengan menyerap unsur hara dari lingkungan sekitarnya dan dari

lapisan tanah yang lebih dalam) atau daur ulang unsur hara, (ii) dengan meningkatnya

kadar bahan organik di dalam lapisan tanah bagian atas, melalui interaksi dengan

mikoriza dan bakteri tanah, dapat meningkatkan kelarutan fosfat dan fiksasi N, (iii)

menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen produktif lainnya baik tanaman

budidaya maupun hewan, (iv) pengendalian erosi dengan cara melindungi tanah dan

tanaman dari aliran air atau tiupan angin.

3) Kemandirian (Self-regulation) : Diversifikasi yang tinggi dalam Agroforestry,

diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan

sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar.

Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan

banyak input dari luar (a.1. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi

daripada sistem monokultur, dan hal ini berdampak pada kemandirian bangsa.

4) Stabilitas (Stability) : Praktek Agroforestry yang memiliki diversitas dan

produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang

pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan)

pendapatan petani.

Yang tetap harus diingat adalah kombinasi yang benar dari spesies serta praktek

manajemen yang baik, pemahaman dan motivasi masyarakat.

Page 23: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

23

Saran

Untuk menjamin sistem usaha tani yang stabil, mampu meningkatkan pendapatan, dan

sekaligus melestarikan lingkungan melalui praktek Agroforestry, baik yang dilaksanakan

pada lahan milik sendiri maupun pada lahan kawasan hutan negara, disarankan beberapa hal

sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh fungsi produktif, reproduktif, protektif dan atau sosial dalam

praktek Agroforestry, petani perlu ditingkatkan pengetahuan dan pemahamannya

melalui berbagai program pelatihan mengenai fungsi berbagai jenis/spesies tanaman

berkayu, semak belukar, maupun herba yang dapat dipadukan dengan tanaman-

tanaman semusim (pangan dan horti), tanaman obat dan tanaman bioenergi dalam

berbagai variasi pola tanam; ataupun dengan hewan (ternak dan ikan) sesuai dengan

kondisi agroekosistem / wilayah masing-masing (pemanfaatan sumberdaya lokal), dan

sesuai dengan permintaan pasar.

2. Memperluas kapasitas petani untuk pengembangan teknologi berbasis sumberdaya

lokal dengan pola penyuluhan partisipatif.

3. Memberikan berbagai kemudahan, jaminan, dan akses dalam membantu keluarga

petani untuk berkembang (jaminan harga komoditas dan perolehan modal investasi).

4. Mempermudah transportasi produk petani ke berbagai pasar termasuk menciptakan

pasar-pasar lokal yang dapat menarik orang kota datang ke pasar-desa/kecamatan.

5. Pola kemitraan dalam program PHBM, maupun pihak swasta, perlu terbangun lebih

harmonis.

6. Reforma agraria.

V. DAFTAR PUSTAKA

Arnold, J.E.M. 1980. Tree Components in Farming Systems. Unasylva 160 : 35-42.

Clarke, R. 1986. Restoring The Balance : Women and Forest Resources. Rome : FAO/SIDA

Coen Reijntjes, Bertus Haverkort dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.

Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. ILEIA. Penerbit

Kanisius Yogyakarta.

Devianti. 2015. Kajian Implikasi Tata Guna Lahan Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk

Jatigede Terhadap Umur Layanan (Life Time) Waduk. Disertasi Universitas

Padjadjaran Bandung.

Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan Jakarta. 2008. Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan

dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Pengadaan Pangan. Prosiding Semiloka

Nasional : Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung

Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23 Desember 2008. Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Faisal Kasryno, Muhammad Badrun, Effendi Pasandaran. 2011. Land Grabbing. Perampasan

Hak Konstitusional Masyarakat. Yayasan Pertanian Mandiri.

Food and Agriculture Organization. 1988 a. Traditional Food Plants : a resource book for

promoting the explanation and consumption of food plants in arid, semi arid and sub-

humid lands of Eastern Africa. Food and Nutrition Paper 42, Rome; FAO.

Food and Agriculture Organization. 2010. Statistik of FAO. FAO Rome, 2010. Rome

Isabel Carter. 2009. Alley Cropping. Tearfund.

http://tilz.tearfund.org/publications/footsteps+61+70/Alley+cropping. htm.

Page 24: Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...

24

Oteng Haridjaja dan Khalil. 2008. Potensi Pemanfaatan Lahan Sempit. Datar Berair untuk

Pertanian Terpadu. Prosiding Semiloka Nasional : Strategi Penanganan Krisis

Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23

Desember 2008.

Palte, J.G.L. 1989. Upland Farming on Java, Indonesia : A Socioeconomic Study of Upland

Agriculture and Subsistance Under Population Pressure. Utrecht : Geographical

Institute, University of Utrecht.

Sumarwoto. 2012. Budidaya iles-iles Kuning untuk Kesejahteraan Masyarakat, dalam

Budiadi „Permadi‟ D.P., Umi, L.P. (Eds)., Agroforestry Porong, Masa Depan Hutan

Jawa, Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency

(IMHERE), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Kessler, J.J dan Breman, H. 1991. Agroforestry in the Sahel and The Savannah Zone of West

Africa. Agroforestry Systems. 13 : 42-46.

Technical Centre for Agroforestry and Rural Cooperation. 1988. Agroforestry : The

Efficiency of Trees in Africa Agrrian Production and Rural Landscapes, Wageningen

: CTA/Terres et Vie/GTZ/ICRAF.

Widyantoro. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Tumpangsari Hutan Tanaman

Industri (HTI) Jati Muda. Prosiding Seminar Nasional : Akselerasi Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi.

World Bank. 2010. Commodity Market Review February. World Bank. Wahington D.C.