Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...
Transcript of Potensi Agroforestry Untuk Meningkatkan Pendapatan Kemandirian ...
1
POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN
KEMANDIRIAN BANGSA, DAN PERBAIKAN LINGKUNGAN
Yuyun Yuwariah AS
Guru Besar Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung – Sumedang 21 Jatinangor 40600
ABSTRAK
Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan salah satu penyebab krisis
sumberdaya lahan dan air, telah membawa dampak buruk terhadap berbagai faktor, seperti
semakin menyempitnya luas lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 ha per kepala
keluarga petani, dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, sehingga kesemuanya ini
berpengaruh terhadap ancaman ketahanan pangan. Untuk memantapkan kedaulatan dan
kemandirian pangan yang berdampak pada kemandirian bangsa, Kementerian Kehutanan
juga memberikan akses masyarakat/petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam
pemberdayaan masyarakat setempat, dan hal ini harus menjadi potensi untuk pengembangan
ekonomi. Keadaan ini dapat ditempuh melalui praktek Agroforestry, yang merupakan
teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka
optimalisasi penggunaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas, selain itu juga
bermanfaat untuk menciptakan peluang dalam meningkatkan potensi bagi kesejahteraan
manusia serta pelestarian sumberdaya alam, sebagai pendukung pertanian berkelanjutan.
Produktivitas, diversitas, kemandirian, dan stabilitas, merupakan keunggulan potensi
Agroforestry dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, dan
perbaikan lingkungan.
Kata kunci : Agroforestry, peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, perbaikan
lingkungan.
I. PENDAHULUAN
Krisis sumberdaya lahan dan air, yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya
lahan-lahan produktif usahatani, sehingga menurunkan produktivitas dan pendapatan, serta
meningkatkan kemiskinan. Semua ini berdampak pada kemandirian dan kedaulatan pangan
nasional, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan dan
kerusakan lingkungan. Dilain pihak, penduduk Indonesia diperkirakan masih akan meningkat
dengan laju 1,0 – 1,3 % per tahun, sehingga permintaan akan pangan terutama beras
diperkirakan akan naik sekitar 1,0% per tahun.
Penyebab krisis sumberdaya ini antara lain disebabkan oleh alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian, seperti yang terjadi di Jawa, alih fungsi lahan sawah mencapai
22.000 hektar selama periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar
100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus di Jawa Barat,
sejak tahun 1991, lahan yang terkonversi seluas 10.000 hektar per tahun, dan pada tahun
1996 bertambah menjadi 50.000 hektar per tahun. Selanjutnya konversi lahan telah terjadi
pula secara alami yakni fragmentasi lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 hentar
per kepala keluarga petani (Oteng Haridjaja & Khalil, 2009).
Dampak dari alih fungsi lahan terhadap kerusakan lingkungan adalah penurunan
volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15% sampai di bawah 9%, peningkatan
2
volume aliran permukaan dari sekitar 30% menjadi (40-60)%, dan kecepatan aliran
permukaan dari kurang 0,7 m/detik menjadi lebih dari 1,2 m/detik. Dari studi di DAS
Ciliwung Hulu, diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap
peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai.
Sejauh mana krisis sumberdaya lahan berpengaruh terhadap ketahanan pangan, yang
diilustrasikan oleh Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008 sebagai berikut :
1. Perubahan penggunaan lahan dari lahan basah yang meloloskan air (permeable)
menjadi pemukiman dan industri yang cenderung tidak meloloskan air
(impermeable); pada akhirnya meningkatkan laju erosi dan kerusakan lingkungan
lainnya.
2. Rendahnya penambahan air tanah, menyebabkan menurunnya pasokan air di musim
kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi di musim kemarau justru meningkat.
3. Dampaknya, menurunnya luas daerah layanan irigasi, menurunnya intensitas tanam,
meningkatnya resiko kekeringan, dan penurunan produksi pangan.
4. Penurunan produksi pangan memicu meningkatnya harga pangan (peningkatan harga
beras pada awal 2008 dibandingkan dengan awal 2006 sebesar 217 %, gandum 136%,
jagung 125 %, dan kacang tanah 107%).
Konversi lahan sawah akan tetap berlanjut, baik untuk pembangunan prasarana
ekonomi, peningkatan penanaman komoditas pertanian bernilai tinggi, dan pembangunan
perumahan. Untuk memantapkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berdampak pada
kemandirian bangsa, menjelang Tahun 2050 diperlukan perluasan 2,0 juta hektar lahan
pertanian (FAO, 2010 dan World Bank 2010). Pembukaan lahan pangan baru ini harus
dilakukan pada lahan yang tidak dimanfaatkan atau lahan pertanian yang sudah diberikan izin
pelepasan oleh Kementrian Kehutanan tapi ditelantarkan, selanjutnya diambil alih oleh
negara. Untuk kepentingan pencadangan lahan pangan, yang penting bukan tanah ulayat
penduduk lokal (Faisal Kasryno, dkk 2011). Selain itu Kementrian Kehutanan juga
memberikan akses masyarakat / petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam
pemberdayaan masyarakat setempat sesuai dengan PP 6 tahun 2007, dengan cara (a)
tumpangsari pada awal tegakan (3 tahun pertama), (b) tumpangsari di bawah tegakan
(sepanjang waktu), (c) tanaman kehidupan pada HTI (5% dari luas HTI), dan (d) tumpang
gilir pada HTI.
Kontribusi sektor kehutanan terhadap ketahanan pangan antara lain (1) optimalisasi
pemanfaatan lahan dari kawasan hutan yang sudah dilepas, (2) Integrasi pengembangan
produksi komoditas pangan ke dalam program/kegiatan kehutanan, tanpa mengubah fungsi
kawasan, terdiri dari (a) Intensifikasi produksi pangan melalui (i) tumpangsari tanaman
pangan pada tanaman pokok yang berumur < 3 tahun, (ii) tumpangsari jamu-jamuan, ubi-
ubian pada tanaman pokok yang berumur > 3 tahun, dan (b) Ekstensifikasi produksi pangan,
melalui (i) perluasan lahan untuk kegiatan tumpangsari tanaman pangan dan (ii) perluasan
lahan untuk kegiatan tumpangsari ubi-ubian.
Kontribusi Perum Perhutani untuk mendukung ketahanan pangan adalah : (1) PHBM
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Plus. Berdasarkan data th 2007 diketahui luas areal
201,524 ha, potensi luas tanaman pangan 60,457 ha dan produksi 2.401.999,35 ton (padi,
jagung, kacang-kacangan, dll), (2) Hutan untuk pangan melalui peningkatan produksi kedelai
kerjasama dengan Inkopti (306,7 ha) dan (3) sinergi BUMN untuk peningkatan produksi
kedelai (4, 063 ha).
Dengan melihat informasi dari data tersebut, maka diperlukan terobosan tentang
aplikasi IPTEKS untuk penanganan lahan sempit suboptimal, dan bagaimana pertanian dalam
kawasan hutan dapat dilaksanakan tanpa menyebabkan kerusakan hutan, karena
bagaimanapun sektor pertanian sudah menjadi mata pencaharian dari waktu ke waktu oleh
komunitas masyarakat di sekitarnya, tetapi harus menjadi potensi untuk pengembangan
3
ekonomi. Tampaknya hal ini dapat ditempuh melalui praktek Agroforestry yang merupakan
teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka
optimalisasi penggunaan lahan. Hal ini perlu dikembangkan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi pada ketersediaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas,
Disamping itu juga bermanfaat untuk menciptakan peluang dan meningkatkan potensi bagi
kesejahteraan manusia serta pelestarian sumberdaya alam sebagai pendukung pertanian
berkelanjutan (Sumarwoto, 2013), dan tentunya perlu ditunjang oleh berbagai perangkat
lainnya.
II. AGROFORESTRY SEBAGAI SISTEM
Agroforestry terdiri dari komponen-komponen kehutanan, pertanian dan/atau
peternakan, tetapi Agroforestry sebagai suatu sistem mencakup komponen-komponen
penyusun yang jauh lebih rumit. Agroforestry merupakan suatu sistem buatan (man-made)
dan merupakan aplikasi praktis dari interaksi manusia dengan sumberdaya alam di sekitarnya.
Agroforestry pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan
pemanfaatan lahan dan pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensi-potensi dan
peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian
sumberdaya beserta lingkungannya. Oleh karena itu manusia selalu merupakan komponen
yang terpenting dari suatu sistem Agroforestry. Dalam melakukan pengelolaan lahan,
manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen Agroforestry lainnya. Komponen
tersebut adalah:
1. Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral.
2. Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, tanaman tahunan, tanaman keras), dan
tumbuhan tidak berkayu (herba, palem, bambu, tanaman-tanaman semusim, dll),
binatang (ternak, burung, ikan, serangga dll), dan mikroorganisme.
3. Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumberdaya,
infrastruktur dan pemukiman, permintaan dan penawaran, dan disparitas
penguasaan/pemilikan lahan.
Komponen-komponen ABC (Abiotic, Biotic dan Culture) tersebut di atas tersusun
dalam sistem Agroforestry melalui berbagai cara.
Karakteristik tipikal sistem Agroforestry :
Agroforestry terdiri dari 2 atau lebih jenis tanaman (dan atau hewan) dan paling sedikit salah
satu berupa tanaman berkayu tahunan (woody perennial).
Sistem Agroforestry memiliki dua atau lebih output.
Sistem Agroforestry yang paling sederhana pun secara ekonomi lebih kompleks
daripada sistem monocropping.
Suatu sistem Agroforestry, produknya selalu beraneka ragam dan saling bergantung
antara satu dengan lainnya. Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan spesies tanaman
keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih dari satu tahun. Sistem Agroforestry juga
bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi ekologi dan sosial-ekonomi
setempat.
Aspek-aspek Agroforestry
Agroforestry dalam bentuk dan wujudnya sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek
yaitu aspek ekologi, aspek sosial-budaya, dan aspek ekonomi :
Aspek ekologi yang berpengaruh antara lain tingkat kesuburan tanah, curah hujan,
topografi, altitude, dan lainnya bergantung pada potensi alam yang ada.
4
Aspek sosial-budaya dipengaruhi tingkat kepadatan penduduk, luas pemilikan lahan,
tingkat pendidikan, kebiasaan bertani, agama dan kepercayaan dll.
Aspek ekonomi bergantung pada harga suatu komoditi, pemasaran/aksesibilitas pasar
dan keadaan infra struktur lainnya.
Dengan demikian bentuk-bentuk Agroforestry sangat bergantung pada karakteristik
suatu wilayah, dan/atau bergantung pada kondisi aspek-aspek di atas, sehingga di Indonesia
bentuk-bentuk Agroforestry mungkin berbeda-beda seperti yang ada di Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, NTT, Bali, Irian Jaya, dll.
Bentuk dan Jenis Agroforestry
Pada dasarnya Agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan,
pertanian dan peternakan, di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri
sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Penggabungan tiga komponen
tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :
Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan
kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.)
dengan komponen pertanian.
Agropastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan
pertanian dengan komponen peternakan
Silvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan
kehutanan dengan peternakan
Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan
pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan
Agrisilvikultur : Bentuk Agroforestry tradisional merupakan campuran dari kegiatan
kehutanan dan pertanian pangan, misalnya : Sistem tumpangsari di hutan jati di P.Jawa.
Sistem ini semula dilaksanakan untuk mengurangi biaya penanaman dari pihak pengelola
hutan, tetapi dalam perkembangannya kegiatan tersebut diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk pedesaan di sekitar hutan, dengan tidak mengubah kawasan hutan.
Silvopasture atau ada yang menyebut hutan ternak, adalah bentuk Agroforestry yang
merupakan campuran kegiatan kehutanan dan peternakan. Model ini cocok untuk
dikembangkan di daerah yang penduduknya menggiatkan usaha peternakan, di mana padang
penggembalaan menjadi masalah. Di dalam kawasan hutan, ditanami rumput makanan
ternak.
Farm forestry atau Hutan Kebun, adalah Agroforestry yang kegiatannya merupakan
campuran kegiatan pertanian dan kehutanan di daerah pemukiman (kebun, pekarangan) di
mana tanaman kehutanan bukan merupakan tanaman utamanya. Contoh : Talun (Tegalan dan
Kebun) di Jawa Barat. Pohon-pohonan yang ditanam dari jenis yang cepat tumbuh dan cepat
menghasilkan (quick yielding species).
Jenis-jenis Agroforestry
Sistem Agroforestry sederhana
Sistem Agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan
ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa
ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak
5
lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk
lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi
(kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai
ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada
tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubikayu), sayuran,
rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk Agroforestry sederhana yang paling banyak dijumpai di Jawa adalah
tumpangsari yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum
Perhutani. Petani diberi ijin menanam tanaman pangan di antara pohon-pohon jati muda dan
hasilnya untuk petani, sedangkan semua pohon jati tetap menjadi milik Perhutani (Dirjen
RLPS, Dephut Jakarta, 2008).
Dalam perkembangannya, sistem Agroforestry sederhana ini juga merupakan
campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Contoh: kebun
kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia)
sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai
di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus.
Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah
berpenduduk padat. Perpaduan tersebut misalnya pohon-pohon mangga ditanam di
pematang-pematang sawah di Jatitujuh, Majalengka; pohon-pohon randu ditanam pada
pematang-pematang sawah di daerah Pandaan, Pasuruan; kelapa atau siwalan ditanam
dengan tembakau di Sumenep, Madura; pohon-pohon manggis di pematang sawah di Nepal.
Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami
jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium), atau contoh kasus
penanaman sengon di Jawa. Budidaya menanam kayu sengon (Paraserianthes falcataria) di
lahan penduduk di Jawa berkembang pesat sejalan dengan berkembang pasarnya.
Penyebaran sengon ini dipercepat lagi dengan adanya program penghijauan. Di daerah kapur
selatan dan daerah kering lainnya, jati (Tectona grandis) menjadi primadona masyarakat
untuk ditanam di talun mereka di samping jenis mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling
(Dalbergia latifolia), dan akasia (Acacia auriculiformis). Umumnya pohon tersebut ditanam
bercampur dengan jenis pepohonan lainnya dan membentuk agroforest atau lebih dikenal
sebagai “hutan rakyat”.
Sistem Agroforestry kompleks: hutan dan kebun
Sistem Agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang
tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan
ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon,
juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam
jumlah banyak.
Penciri utama dari sistem Agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan
dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun
hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (Kessler et
al., 1991).
Sistem Agroforestry kompleks dicirikan dengan :
Struktur vegetasi kompleks (tajuk pohon berlapis-lapis);
Jumlah komponen tanaman cukup banyak (ada pohoh tinggi, pohon sedang, semak, dan
tanaman rendah lainnya);
Secara ekologi memiliki fungsi seperti hutan, contoh kebun pekarangan, hutan damar
mata kucing.
6
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem Agroforestry kompleks ini
dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang
letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang
letaknya jauh dari tempat tinggal, contohnya „hutan damar‟ di daerah Krui, Lampung Barat
atau „hutan karet‟ di Jambi, (Kessler et al., 1991).
Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling
terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah
sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak
belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase
kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam
secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga,
beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola
kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan
pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya
amat terbatas karena banyaknya naungan.
Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan
demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan
menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan
intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang demikian ini akan sangat membantu
aktivitas organisme tanah sehingga sifat fisik tanah menjadi lebih baik.
Beberapa Praktek Agroforestry
Di dalam praktek Agroforestry, tentu saja banyak faktor yang turut menentukan
mengenai model mana yang akan diterapkan. Hal ini berkaitan dengan kondisi agroekosistem
setempat, tingginya curah hujan, serangan hama penyakit, dan kendala sosial ekonomi
(termasuk ketersediaan tenaga kerja dan biaya, serta hasil yang ingin dicapai dan permintaan
pasar). Berbagai praktek Agroforestry mencakup antara lain “windbreaks/shelterbelts, alley
cropping (tanam lorong) sistem pohon/rumput, penyangga hutan (pada skala meso), berbasis
pohon (tanaman khusus), dlsb. Dalam makalah ini dikemukakan beberapa contoh praktek
Agroforestry, sebagai berikut :
Windbreaks
Windbreaks (Penahan angin) adalah baris tunggal atau beberapa pohon yang ditanam
untuk melindungi suatu area dari kerusakan karena angin. Windbreaks ditanam di sepanjang
bertiupnya angin pada batas-batas bidang lahan untuk membuat lingkungan yang lebih
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Windbreaks juga dibentuk untuk melindungi dan
meningkatkan lingkungan sekitar rumah, kebun, dan desa. Di daerah Kepulauan Pasifik
windbreaks sangat penting karena sering terjadi badai tropis serta adanya angin laut yang asin
yang terutama sangat mempengaruhi pulau-pulau kecil.
Angin bisa sangat destruktif, terutama bila bercampur dengan suhu tinggi, kondisi
kekeringan, atau udara laut asin. Angin merusak tanaman: angin kuat bisa menyebabkan
batang patah, daun dan buah menjadi rusak.
Angin merusak kelembaban tanaman: ketika angin bertiup menerpa tanaman, udara
sekitarnya mengering, kelembaban akan ditarik dari tanaman melalui transpirasi. Itulah
sebabnya mengapa tanaman menjadi layu dalam angin kencang.
Angin menghisap kelembaban dari tanah, mengeringkan permukaan tanah, menarik
kelembaban dari pori-pori tanah. Angin menghilangkan lapisan atas tanah subur. Bahkan
angin moderat pun dapat menghapus berton-ton soil per tahun dari ladang-ladang selama
7
budidaya dan permanen. Top soil adalah lapisan tanah paling banyak mengandung bahan
organik dan subur.
Windbreaks terdiri dari pohon-pohon “multi-purpose tree species” pilihan, yang
mungkin juga menyediakan berbagai produk untuk keperluan rumah tangga serta untuk
dijual, termasuk pakan ternak, kayu bakar, kayu, tiang, buah, mulsa/kompos, rempah-rempah
dan obat-obatan.
Alley Cropping (Tanam Lorong)
Proses Alley cropping merupakan reinterpretasi fungsional menyeluruh dari konsep
untuk kondisi tropis. Efek menguntungkan dari tanah-pohon pada tanaman pertanian dapat
dilakukan dengan menghubungkan dua komponen dalam waktu, seperti dalam praktek
berurutan rotasi bera, atau dalam ruang, melalui asosiasi simultan pohon dan tanaman
semusim, dapat didefinisikan sebagai pendekatan “zonal” terhadap Agroforestry (Isabel
Carter, 2009), di mana tanaman semusim ditanam di lorong-lorong antara pagar tanaman
pohon atau semak-semak yang mampu membantu siklus unsur hara, tanaman pagar tersebut
terus dipangkas sepanjang musim tanam untuk mengontrol naungan dan kompetisi di bawah
tanah, dan untuk menyediakan pupuk hijau dan bahan mulsa untuk kepentingan tanaman
pertanian. Pakan ternak dan kayu bakar bisa diambil sebagai by product dari sistem, tetapi
tujuan dasar adalah untuk memenuhi “fungsi pelayanan” dalam meningkatkan sistem
pertanian yang efektif efisien.
Alley cropping adalah teknik yang sangat berguna untuk menambah nutrisi tanaman
dan memperbaiki struktur tanah, menyediakan pakan untuk ternak dan melindungi tanah dari
kerusakan karena hujan lebat. Alley cropping adalah cara sederhana dan murah
menggabungkan pohon tumbuh dengan tanaman semusim. Deretan pohon yang cocok
ditanam sekitar 5 meter terpisah, biasanya dengan penyemaian langsung ke dalam tanah pada
awal musim hujan. Di antara deretan pohon, tanaman atau sayuran tumbuh seperti biasa. Di
tanah landai, baris harus ditanam di sepanjang kontur. Alley cropping juga dapat memberikan
beberapa perlindungan saat hujan tidak teratur, membantu untuk menahan aliran permukaan
dan meresapkannya ke dalam tanah (Isabel Carter, 2009).
Bibit pohon yang ditanam berdekatan dalam baris sehingga pohon-pohon muda
membentuk pagar. Lebih baik mencampur beberapa spesies yang berbeda untuk membentuk
pagar. Setelah mencapai tinggi sebahu (1-2 meter tinggi), pohon dipotong / dipangkas sampai
setinggi sekitar 20-30 cm. Daun dapat dibiarkan di tanah membusuk sebagai mulsa dan
menambah nutrisi pada tanah, atau dikumpulkan dan digunakan untuk pakan ternak. Tunggak
sisa pemotongan cepat tumbuh kembali dan pemotongan/pemangkasan bisa diulang selama
bertahun-tahun.
Alley cropping adalah baris penanaman pohon pada jarak lebar dengan tanaman
pendamping tumbuh di lorong-lorong di antara baris. Alley cropping dapat mendiversifikasi
pendapatan pertanian, meningkatkan produksi tanaman dan memberikan manfaat
perlindungan dan konservasi tanaman.
Kebun Pekarangan (Home Garden)
Kebun pekarangan merupakan campuran antara tanaman tahunan, tanaman umur
panjang, dan ternak (termasuk sapi) di pekarangan di sekitar rumah berupa suatu sistem
terpadu dengan batas-batas jelas yang memenuhi fungsi-fungsi ekonomis, biofisik, dan
sociocultural. Sistem kebun pekarangan tertama terkenal di pulau Jawa.
Pada umumnya suatu pekarangan mempunyai struktur yang sama dari tahun ke tahun,
walaupun mungkin ada sedikit variasi musiman. Dua lapisan yang paling rendah (sampai
ketinggian 2 meter) didominasi oleh ubi-ubian, sayur mayur, dan bumbu-bumbu. Ubi kayu
dan ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang paling umum di pekarangan.
8
Lapisan berikutnya (dari dua-lima meter) didominasi oleh pisang, pepaya, dan pohon
buah-buahan yang lain. Lapisan lima sampai sepuluh meter juga didominasi oleh tanaman
buah-buahan dan tanaman perdagangan seperti cengkeh. Sedangkan lapisan tertinggi yang
lebih dari sepuluh meter, didominasi oleh kelapa dan pohon-pohon lainnya, antara lain,
sengon sebagai kayu bangunan dan kayu bakar.
Kebun talun dan kebun pekarangan di Jawa Barat memberikan penghasilan secara
ekonomi yang relatif baik. Selain itu juga sebagai sumber yang baik untuk kalsium, vitamin
A, dan vitamin C.
Kebun Talun
Sistem kebun talun biasanya terdiri dari tiga tahap: kebun, kebun campuran, dan
talun. Tahap pertama, kebun, terjadi apabila petani membuka hutan dan mulai menanam
tanaman tahunan. Tanaman-tanaman ini biasanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani,
dan hanya sebagian dijual sebagai sumber penghasilan.
Pada tahap kebun ini, terdapat tiga lapisan mendatar tanaman tahunan yang
mendominasi : lapisan terendah terdiri atas tanaman merambat yang menutupi tanah dan
hidup di bawah ketinggian 30 cm. Selanjutnya lapisan dari 50 cm sampai 1 m diisi oleh sayur
mayur. Bagian atas lapisan ini diisi oleh jagung, tembakau, ubi kayu, dan tanaman-tanaman
leguminosa merambat yang diberi pendukung batang bambu.
Setelah dua tahun, pohon mulai tumbuh, dan secara bertahap mengurangi tempat untuk
tanaman semusim. Kebun secara bertahap menjadi kebun campuran di mana tanaman
semusim tumbuh di antara tanaman umur panjang yang belum dewasa. Nilai ekonomis kebun
campuran tidaklah setinggi kebun, tetapi nilai biofisiknya meningkat. Sifat kebun campuran
yang terdiversifikasi juga meningkatkan konservasi tanah dan air. Dalam sistem talun erosi
sangat sedikit karena semak-semak dan guguran daun melimpah. Jika semak-semak dan
guguran daun dikurangi, erosi akan meningkat secara nyata.
Dalam kebun campuran tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti talas menempati
ruang di bawah satu meter. Ubi kayu merupakan lapisan kedua dari satu sampai dua meter,
dan lapisan ketiga ditempati oleh pisang dan pepohonan.
Setelah memanen tanaman tahunan di kebun campuran, lahannya mungkin
ditinggalkan selama dua sampai tiga tahun sampai didominasi oleh tanaman umur panjang.
Tahapan ini dikenal sebagai talun dan merupakan puncak perkembangan sistem kebun talun.
Talun didominasi oleh campuran pohon-pohon umur panjang dan bambu, membentuk
tiga lapisan tegak. Pada tahapan talun ini kebun dapat berupa berbagai bentuk seperti kebun
kayu (untuk bahan bangunan dan kayu bakar), bambu dan campuran tanaman umur panjang.
Sistem Tiga Strata
Sistem tiga strata adalah metoda penanaman dan pemanenan rerumputan, tanaman
leguminosa, semak dan pepohonan sedemikian rupa sehingga pakan ternak tersedia
sepanjang tahun. Sistem ini dikembangkan oleh petani di Bali. Lapisan pertama, yang terdiri
dari rerumputan dan tanaman leguminosa, dimaksudkan untuk menghasilkan pakan pada
awal musim penghujan. Lapisan kedua, yang terdiri dari semak-semak, dimaksudkan untuk
menyediakan pakan pada pertengahan dan akhir musim penghujan. Lapisan ketiga yang
terdiri dari pepohonan, dimaksudkan untuk menyediakan pakan pada musim kemarau.
Sistem tiga strata membagi suatu lahan menjadi tiga bagian: (1) inti, (2) selimut, (3)
batas. Inti dipelihara untuk produksi pangan. Areal selimut ditanami penutup tanah, misalnya
: Bafel Grass (Cenchrus ciliaris), Panikum (Panicum maximum), Centrosema (Centrosema
pubescens), Graham stelo (Stylosanthes guyanensis).
Pohon-pohon penghasil pakan ditanam di sekitar batas. Pohon-pohon tersebut
misalnya Bunut (Ficus poacellie), Santen (Lannea coromandelica), dan Waru (Hibiscus
9
tiliaceus). Di antara pohon-pohon ini lamtoro (Leucaena leucocephala) dan atau gamal
(Gliricida sepium) ditanam sebagai semak dengan jarak tanam 10 cm.
Tingkat pemeliharaan hewan dapat bervariasi dari sangat rendah (0,5 ha untuk setiap
ekor sapi) sampai sangat tinggi (0,25 ha untuk setiap ekor sapi) karena ketersediaan pakan
yang meningkat. Sapi yang dipelihara dalam sistem ini tumbuh dengan cepat dan siap
dipasarkan pada umur muda.
III. AGROFORESTRY DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
Untuk memenuhi kebutuhan serta mempertahankan dan mendukung kelangsungan
hidup, manusia dalam hal ini petani harus menggunakan sumberdaya dalam lingkungannya,
termasuk sumberdaya lahan dan air. Pengelolaan sumberdaya lahan erat sekali hubungannya
dengan pengelolaan sumberdaya air, baik ditinjau dari segi penggunaan, penempatan,
maupun dari segi pangawetan. Oleh karena itu pengelolaan yang baik dari kedua sumberdaya
tersebut mutlak dipelukan agar pemanfaatan ganda dapat dipertahankan dan dikembangkan
secara optimum, seimbang dan berkesinambungan (sustainable).
Sistem penggunaan lahan berkelanjutan diantaranya dapat ditempuh melalui praktek-
praktek Agroforestry, karena Agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan berbasis
pertanian dan kehutanan terintegrasi (disengaja), memberikan manfaat ganda yang secara
kolektif memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan agroekosistem. Agroforestry
ditujukan sebagai pelayanan kebutuhan lahan bagi masyarakat dengan mengkonversi lahan
terdegradasi, melindungi tanah sensitif, dan diversifikasi sistem produksi pertanian. Sebagai
bagian dari sistem manajemen lahan berbasis ekologi, praktek Agroforestry dapat
mempertahankan keragaman ekosistem dan proses yang berkontribusi terhadap keberlanjutan
dan kualitas lingkungan jangka panjang.
Agroforestry berasal dari kata “agro” atau pertanian dan kata forest atau hutan.
Produk pertanian bermacam-macam antara lain berupa pangan, obat-obatan, buah-buahan,
produk peternakan, produk perikanan (ikan, udang, kepiting), lebah madu, dan lain-lain.
Adapun forest atau hutan merupakan kesatuan ekosistem berisikan sumberdaya alam hayati
yang didominasi pepohonan. Dengan demikian pengertian Agroforestry mencakup
penggunaan lahan untuk menghasilkan satu atau beberapa produk pertanian dan produk dari
hutan yang diusahakan secara berkelanjutan, atau merupakan istilah kolektif untuk sistem dan
teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu/pohon, perdu, palem, bambu, dll, dengan tanaman
pertanian dan/atau hewan ternak dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau
bergiliran, sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen
yang ada.
Ke dalam Agroforestry termasuk unsur-unsur sebagai berikut : (1) penggunaan lahan
atau sistem penggunaan lahan oleh manusia; (2) penerapan teknologi, (3) komponen tanaman
semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau ikan, (4) waktu bisa bersamaan atau
bergiliran dalam suatu periode tertentu, (5) ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Dari kesemua ini, mencerminkan bahwa praktek Agroforestry mendukung pertanian
berkelanjutan.
Di dalam pelaksanaan Agroforestry : (1) biasanya melibatkan dua atau lebih spesies
tanaman (atau tanaman dan hewan), setidaknya salah satunya merupakan tanaman keras
berkayu, (2) sistem Agroforestry selalu memiliki dua atau lebih output, (3) siklus dari sistem
Agroforestry selalu lebih dari satu tahun (4) sistem Agroforestry yang paling sederhana pun
lebih kompleks secara ekologis (struktural dan fungsional), dan secara ekonomi dibandingkan
“monocropping”. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Agroforestry
adalah : (1) bentuk (model pengelolaan), (2) unsur ekonomi (hasil yang lebih
10
menguntungkan), (3) unsur waktu (daur pendek/panjang, serempak dan atau berurutan), (4)
pelaksanaannya dapat dilakukan di lahan milik dan atau di lahan kawasan hutan negara, (5)
untuk mendapatkan hasil maksimal, dan (6) untuk menuju peningkatan kesejahteraan
masyarakat, (7) sistem Agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-
kondisi ekologi dan sosial ekonomi setempat.
Agroforestry dalam mendukung perbaikan lingkungan dan peningkatan pendapatan
Untuk memahami potensi Agroforestry dalam peningkatan pendapatan dan perbaikan
lingkungan, pada makalah ini akan diungkapkan sejauh mana fungsi spesies tanaman berkayu
(pohon-pohon dan/atau semak belukar) yang sengaja dikombinasikan dengan tanaman
budidaya (tanaman pertanian) dan/atau ternak, yang meliputi : (1) penggunaan lahan intensif,
(2) interaksi biologis yang meningkat, dan (3) manfaat yang dioptimalkan. Kesemuanya itu
harus memberikan jaminan usaha tani yang berhasil dan lingkungan yang lestari
1. Fungsi Spesies Tanaman Berkayu
Dengan memadukan spesies tanaman berkayu (pohon dan belukar) dapat
menyumbang pada kelangsungan sistem usaha tani dengan berbagai cara. Spesies berkayu
bukan hanya memiliki fungsi produktif yang penting (menghasilkan bahan pangan, pakan
ternak, bahan bakar, serat, kayu bangunan, obat-obatan dan pestisida), tetapi juga memiliki
fungsi reproduktif, protektif dan sosial. Produk spesies berkayu dapat dimanfaatkan untuk
konsumsi rumah tangga dan/atau untuk dijual.
Dengan menghasilkan produk, juga cadangan unsur hara dan modal pada saat dan
musim sulit, dan dengan melindungi tanah dan tanaman budidaya dari bahaya aliran radiasi,
air atau angin (penciptaan iklim mikro dan pengendalian erosi), spesies berkayu sangat
diperlukan untuk mengamankan subsistens keluarga di banyak daerah. Dengan memadukan
spesies berkayu, petani dapat mendiversifikasikan output dan menyebarkan kebutuhan input
(misalnya tenaga kerja antar musim). Hal ini akan menurunkan risiko usaha tani.
Spesies-spesies berkayu dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan menyerap unsur
hara dari lingkungan sekitarnya dan dari lapisan tanah yang lebih dalam (pendaurulangan
unsur hara yang merembes melalui pemompaan unsur hara ke atas) dan
mengkonsentrasikannya ke dalam biomassa perenial dan lapisan tanah bagian atas. Juga
dengan meningkatkan kadar bahan organik di dalam lapisan tanah atas, lewat interaksi
dengan mikoriza dan bakteri tanah (pengikatan nitrogen, pelarutan fosfat) dan dengan
menangkap unsur hara dari aliran udara dan air. Spesies-spesies berkayu melakukan peran ini
khususnya selama waktu bera alami dan beberapa spesies tertentu dapat diperkenalkan secara
khusus untuk mengintensifkan masa bera.
Spesies berkayu dapat juga menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen
produktif lainnya, yaitu tanaman budidaya atau hewan, di dalam sistem usaha tani. Mereka
bisa membantu mengendalikan gulma dan beberapa spesies menghasilkan pestisida atau obat-
obatan alami. Beberapa spesies berkayu tertentu dapat dimanfaatkan untuk menurunkan
kebutuhan akan input luar berupa pupuk buatan dan biosida.
Jika sumberdaya tenaga kerja atau modal langka, maka spesies berkayu, dengan input
dan pengelolaan rendah bisa memanfaatkan sumberdaya tersebut secara paling efektif.
Demikian juga, jika banyak terdapat tenaga dan modal, beberapa spesies berkayu tertentu,
misalnya pohon buah-buahan, dapat memanfaatkan sumberdaya paling efektif.
11
Tanaman budidaya dan spesies berkayu dapat saling melengkapi antar satu dengan
lainnya dalam hal ruang (misalnya spesies berkayu tertentu dapat tumbuh pada tempat-tempat
yang tidak cocok untuk tanaman budidaya, seperti lahan yang berbatu, curam, kebanjiran
sewaktu-waktu, asam atau basa; akar beberapa spesies berkayu masuk ke dalam lapisan
tanah yang tidak dimanfaatkan oleh tanaman budidaya), dalam hal waktu (misalnya tanaman
budidaya versus vegetasi lahan bera; penyebaran kebutuhan produk dan tenaga kerja antar
musim) atau fungsi (misalnya diversifikasi produksi; fungsi produktif versus fungsi protektif
dan reproduktif).
Sinergi antara tanaman budidaya dan spesies berkayu dapat diharapkan khususnya
ketika fungsi protektif dan reproduktif spesies berkayu dengan efek positif pada pertumbuhan
tanaman budidaya dikombinasikan dengan satu atau lebih produk-produk yang berguna.
Misalnya perbaikan iklim mikro dan pengendalian erosi dengan penahan angin dapat
menghasilkan produksi per satuan luas yang lebih tinggi (yang mungkin mengkompensasikan
hilangnya hasil panen pada bagian-bagian lahan yang ditempati pohon-pohon), ditambah
produksi kayu, pakan ternak, obat-obatan dari tumbuhan, daging satwa liar dan lain-lain.
Pagar hidup yang menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam, mengikat
nitrogen dan mengendalikan erosi, dapat menyebabkan produksi per satuan luas yang lebih
tinggi dan lebih berkelanjutan, ditambah dengan produksi kayu dan pakan ternak (Coen
Reijntjes et al., 1999).
Tidak semua produk dan fungsi ini dapat dikombinasikan pada satu lahan dan satu
spesies. Beberapa spesies menghasilkan berbagai produk atau memenuhi beberapa fungsi
(spesies multifungsi), namun secara umum kombinasi spesies berkayu harus dicari untuk
mendapatkan kombinasi produk atau fungsi. Setiap spesies memiliki ciri dan manfaat yang
khusus serta memerlukan kondisi ekologi yang khusus pula. Kondisi pertumbuhan dapat
menjadi sedemikian rupa sehingga tidak bisa dihasilkan fungsi-fungsi tertentu. Misalnya di
zona agak kering, pengikatan nitrogen oleh spesies berkayu leguminosa tampaknya menjadi
sangat rendah dan akar-akar berkembang secara horizontal daripada vertikal dimana hanya
lapisan tipis pada permukaan tanah mendapatkan air hujan. Oleh karenanya, fungsi spesies
berkayu dalam mempertinggi kesuburan tanah pada zona agak kering mungkin lebih sedikit
daripada zona yang lebih lembab (Kessler & Breman, 1991).
Pengetahuan ilmiah formal tentang pohon-pohon dan belukar masih sangat terbatas,
khususnya tentang interaksi yang baik antara tanaman budidaya dan hewan. Pertanyaaan-
pertanyaan yang masih memerlukan jawaban termasuk: Tanaman berkayu apa yang paling
baik untuk ditanam bersama dengan tanaman budidaya musiman tertentu? Cara apakah yang
paling efektif untuk memanfaatkan pohon-pohon? Bagaimana cara yang terbaik untuk
mengelola dan memanfaatkan pohon-pohon untuk pakan ternak dan/atau pupuk hijau?
Bagaimana menangani produk-produk pohon dalam pengolahan, penyimpanan, dan
pemasarannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan banyak pertanyaan lainnya
yang lebih terbuka, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan asli setempat serta
penelitian ilmiah lebih lanjut (CTA, 1988).
Di banyak daerah spesies berkayu sedang punah, seringkali disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti kebutuhan lahan yang banyak untuk produksi tanaman budidaya dan ternak;
tekanan yang terus menerus terhadap sumberdaya pohon untuk bahan bakar kayu, arang,
kayu bangunan atau pakan ternak; pergeseran ke arah budidaya tanaman tunggal dan
mekanisasi; ketidakpastian perjanjian persewaan lahan; privatisasi dan nasionalisasi lahan
masyarakat; serta pembatasan kekuasan otoritas tradisional desa. Namun demikian,
peningkatan spesies berkayu dalam situasi pemanfataan lahan lainnya menunjukkan bahwa
12
dalam keadaan tertentu budidaya spesies berkayu dapat menjadi bagian dari suatu respon
yang tepat terhadap tekanan yang semakin meningkat pada sumberdaya petani. Petani
menganggap pertumbuhan pohon sebagai suatu pemanfaatan sumberdaya yang efisien
(Arnold, 1980).
Untuk mempersingkat periode bera, pada lahan-lahan dengan intensitas pertanaman
yang rendah, adalah dengan membiarkan tumbuh atau menanam spesies berkayu yang
mempercepat atau meningkatkan regenerasi kesuburan tanah atau yang memproduksi output
yang bernilai subsistens atau komersial, ataupun kombinasi keduanya. Sebagai contoh,
Acacia senegal di daerah agak kering subsahara Afrika yang mengembalikan kesuburan
tanah dan menghasilkan getah arab, bahan bakar kayu. obat-obatan dan serat; dan palm
babassu (Orbignya speciosa) di Brasilia yang memberikan berbagai macam produk komersial
dan susbsistens, khususnya minyak. Langkah intensifikasi berikutnya adalah
memperkenalkan pohon atau tanaman tumpangsari. Banyak contoh strategi pemberaan yang
terus menerus seperti itu yang bisa ditemukan, misalnya dengan mempertahankan Faidherbia
albida pada daerah pertanian di banyak daerah di Afrika, atau tumpangsari Sesbania sesban
(tanaman leguminosa) dengan jagung di Kenya. Cukup banyak penelitian belakangan ini
diarahkan kepada pengembangan suatu sistem untuk mempersingkat pemberaan yang
dikelola secara lebih intensif yang dikenal dengan budidaya lorong.
Adapun pada pemanfaatan lahan dengan intesitas tinggi, seperti lahan pekarangan
yang ditanami spesies berkayu, bermanfaat untuk menambah output usaha tani. Pemanfaatan
pekarangan juga menyebar tenaga kerja, output dan pendapatan tahunan secara lebih merata.
Pada daerah dataran rendah dengan populasi padat di Jawa Tengah, pembuatan pekarangan
merupakan bentuk dasar usaha tani lahan kering, sementara budi daya dengan irigasi
membentuk komponen utama lain dalam sistem usaha tani (Palte, 1989). Karena bagian lahan
yang dipakai untuk budidaya padi menurun, lahan pekarangan dikelola secara lebih intensif,
menjadi kebun campuran daripada kebun hutan karena tanaman tahunan semakin banyak
ditumpanggilirkan untuk menghasilkan bahan pangan dan pendapatan.
Di daerah tadah hujan faktor utama yang mendorong petani mulai menanam pohon-
pohon adalah rendahnya kebutuhan akan tenaga kerja, biaya operasional tahunan yang
murah, ketahanan yang lebih besar terhadap kemiringan dan oleh karenanya mengurangi
risiko dan ketidakpastian.
Ketika kepemilikian lahan atau produktivitas lahan menurun tajam, pohon-pohon juga
dapat dibudidayakan untuk meningkatkan pendapatan sehingga kebutuhan dasar rumah
tangga dapat dipenuhi dari produksi tersebut.
Karena pohon menghasilkan berbagai macam produk, maka suatu jenis pohon dapat
dieksploitasi baik daun, kayu, kulit, akar, maupun buahnya. Namun demikian, kegunaan yang
berbeda-beda ini sifatnya saling tergantung: semua jenis pohon yang menghasilkan banyak
daun belum tentu buahnya juga banyak. Petani harus memutuskan hasil apa yang lebih
mereka dapatkan dari pohon itu dan produk apa yang lebih mereka sukai. Hal ini menjelaskan
besarnya keanekaragaman metode pengelolaan pohon. Petani yang berupaya untuk
menciptakan naungan cahaya akan memangkas pohon secara berbeda dari petani lain yang
menginginkan hasil daunan yang berlebihan. Praktek –praktek budidaya bisa berbeda
bergantung pada bagaimana pemanfaatan pohon-pohon itu. Namun pada prinsipnya, pohon
harus dipupuk dan dilindungi terhadap efek yang berbahaya dari aliran air dan udara,
binatang, serangga dan penyakit, seperti tanaman budidaya lainnya. Petani yang ingin
memanfaatkan semua peluang yang diberikan tanaman berkayu harus mengelola pohon atau
belukar itu dengan baik. Bila dibiarkan tidak dirawat, spesies berkayu akan menjadi
13
gangguan karena menyaingi produksi tanaman budidaya dan ternak serta dapat menimbulkan
hama.
Beberapa spesies nonkayu seperti herba, tanaman pupuk hijau, dan tanaman penutup
non kayu, dapat memainkan peran pendukung yang penting dalam Agroforestry. Herba dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan pestisida alami dan obat-obatan bagi manusia dan hewan
serta dapat berfungsi sebagai tanaman perangkap atau tanaman umpan. Terlepas dari fungsi
proteksinya, tanaman-tanaman itu dapat menjadi sumber pendapatan yang penting. Tanaman
obat-obatan liar secara tradisional telah dikumpulkan, namun saat ini berada dalam bahaya
kepunahan karena pengambilan yang berlebihan. Petani dapat mulai membudidayakan
tanaman obat-obatan dan mengkombinasikan usaha untuk mendapatkan penghasilan dengan
pelestarian alam.
Pupuk hijau dan tanaman penutup penting untuk pengelolaan dan kesuburan tanah
serta pengendalian erosi, khususnya di daerah lembab. Pupuk hijau dan tanaman penutup
dapat menghasilkan biomassa yang penting dari daunnya, ranting-rantingnya dan akar-
akarnya untuk merangsang kehidupan tanah dan melindungi permukaan tanah. Pupuk hijau
dan tanaman penutup dari golongan leguminosa dapat mengikat nitrogen dalam jumlah cukup
besar dan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur yang penting bagi pertumbuhan tanaman.
Tanaman ini bisa berfungsi secara tidak langsung bila dimanfaatkan sebagai pakan hewan
yang menghasilkan pupuk kandang. Beberapa tanaman pupuk hijau dan tanaman penutup
(misalnya Crotaloria ochroleuca, Tephrosia candida) memiliki daya kerja pestisida yang
bisa dimanfaatkan untuk perlindungan tanaman. Kadangkala tanaman penutup juga berfungsi
sebagai “mulsa hijau atau mulsa hidup”, dengan mengurangi hilangnya air dari tanah yang
ditanami di daerah kering (Coen Reijntjes et al., 1999).
Karena fungsi protektif dan reproduktif spesies herba seperti itu bisa bersaing dalam
jangka pendek dengan fungsi produktif tanaman budidaya, herba itu seringkali diganti
dengan input luar berupa pupuk kimia bila tersedia. Namun, khususnya pada tanah yang
rentan, hal ini bisa mengakibatkan ketidakaktifan biologis, pengasaman, meningkatkan
perembesan, hilangnya struktur tanah dan erosi. Bagi petani dengan akses yang terbatas
terhadap input luar, penanaman spesies herba sangat membantu untuk menjaga usaha taninya
agar tetap produktif, efisien, dan berkelanjutan.
2. Memadukan tanaman berkayu dan ternak
Hewan bisa mempunyai beragam fungsi dalam sistem usaha tani lahan sempit. Hewan
memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan
juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagi mas kawin, untuk pesta upacara dan
sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan sosial. Dalam kondisi suboptimal,
integrasi ternak ke dalam sistem Agroforestry penting, khususnya untuk:
meningkatkan jaminan subsistens dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk
menghasilkan pangan untuk keluarga petani;
memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk
kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik.
Memelihara ternak untuk menjamin subsistensi khususnya pada daerah yang berisiko
tinggi, misalnya pada daerah kering. Ternak berfungsi sebagai penyangga. Seekor hewan
dapat disembelih untuk konsumsi rumah tangga atau dijual untuk membeli bahan pangan
ketika hasil panen tanaman tidak memenuhi keluarga. Ternak menyerupai tabungan dengan
14
anakannya sebagai bunga. Hewan-hewan dijual ketika diperlukan uang tunai untuk tujuan-
tujuan tertentu, termasuk pembelian input untuk budidaya tanaman.
Di daerah suboptimal, pakan ternak terutama diambil dari lahan yang tidak cocok
untuk budidaya tanaman (seperti lahan berbatu, lahan tergenang ) dan lahan yang untuk
sementara tidak ditanami (lahan yang baru dipanen atau bera). Lahan- lahan seperti ini
seringkali berada diantara plot-plot yang ditanami dan dapat dijadikan tempat untuk
menggembalakan dan menambatkan ternak. Tanamannya juga dapat dipotong untuk pakan
ternak.
Memadukan produksi pakan ternak ke dalam rotasi tanaman pangan dapat
meningkatkan keberlanjutan sistem usaha tani, khususnya dengan sistem Agroforestry dengan
melibatkan rumput-rumputan dan tanaman polongan perenial serta belukar dan pepohonan
termasuk di dalamnya. Tanaman-tanaman tahunan ini bisa memanfaatkan unsur hara dan air
dari lapisan tanah yang lebih dalam, memperbaiki kesuburan tanah serta melindungi tanah
selama tidak ada tanaman pangan. Tanaman pakan ternak dapat memiliki peranan penting
dalam alih unsur hara di tingkat usaha tani dengan memberikan kualitas pakan yang lebih
baik. Pada akhirnya, ternak ini akan menghasilkan kualitas kotoran yang lebih baik yang bisa
dimanfaatkan sebagai pupuk. Bagian dari tanaman pakan ternak dapat juga dimanfaatkan
sebagai pupuk hijau atau mulsa. Petani mungkin lebih bersedia untuk menerapkan teknik-
teknik, seperti penyemaian pada lahan bera guna mengembalikan kesuburan tanah atau
mencegah erosi, jika mereka dapat mendapatkan keuntungan ekonomis secara cepat berupa
pakan untuk ternak mereka.
Disamping ternak yang lebih konvensional, seperti sapi, domba, dan kambing, ternak
lain yang kurang konvensional, seperti kelinci, marmot, itik, lebah, dan ulat sutera, juga
berperan penting dalam sistem Agroforestry.
Karena struktur-struktur ini membantu pelestarian sumberdaya alam lahan pertanian
dan karena lokasinya tidak dapat diubah secara mudah, penting untuk menempatkan struktur-
struktur dan lokasi itu sebaik-baiknya. Dengan menggabungkan fungsi-fungsi, misalnya
dengan menanam pepohonan, rerumputan atau tanaman herba multiguna sepanjang garis
kontur atau menanam tanaman yang berfungsi sebagai lajur perlindungan sepanjang batas-
batas lahan, dapat diciptakan suatu infrastruktur yang melestarikan sumberdaya yang melalui
interaksi positif, tidak menurunkan bahkan bisa meningkatkan kemampuan produktif dari
sistem itu.
Kecocokan suatu bagian lahan pertanian dapat berbeda jauh dengan bagian yang
lainnya. Keanekaragaman diperlukan sehingga sumberdaya genetik yang telah disesuaikan
dengan kondisi ekologi khusus dari tempat tertentu (kering, basah, asam atau miskin, iklim
mikro dingin, panas atau berangin dan sebagainya) dapat dimanfaatkan. Juga keterbatasan
tenaga kerja bisa memaksa petani memanfaatkan sumberdaya genetik yang berbeda pada
tempat yang dekat dibandingkan dengan yang jauh dari pekarangan rumah.
Data tentang produktivitas sistem Agroforestry yang kompleks dengan tanaman
pangan, hewan-hewan (termasuk ikan) dan pepohonan langka, terdapat indikasi tentang
pengaruhnya terhadap jaminan usaha tani dan konservasi sumberdaya, dan kenyataannya
bahwa hampir semua sistem pertanian petani lahan sempit asli setempat mengandung
komponen-komponen ini dalam berbagai macam campuran. Ini menunjukkan bahwa para
petani menilai kombinasi komponen-komponen tersebut positif.
15
Tidak semua kombinasi meningkatkan produktivitas karena juga banyak interaksi
negatif antar organisme. Tanaman, pepohonan, hewan-hewan dan manusia bisa bersaing satu
sama lain untuk memperebutkan lahan, energi surya, air, unsur hara, makanan atau tenaga
kerja. Komponen tersebut juga saling mempengaruhi dalam hal negatif (allelopati negatif,
iklim mikro yang tidak mendukung, penularan hama dan sebagainya). Meskipun persaingan
tidak bisa dihilangkan secara menyeluruh namun persaingan ini diminimalkan pada
kombinasi sumberdaya genetik yang baik. Keseimbangan optimal antara aspek positif dan
negatif dari komponen yang berbeda harus ditemukan, misalnya hilangnya ruang versus
pengadaan iklim mikro yang lebih baik atau pengikatan nitrogen. Juga dimungkinkan untuk
memanfaatkan persaingan secara positif, misalnya mendorong pertumbuhan dengan
penggembalaan, pemangkasan atau penanaman secara padat. Evaluasi kombinasi sumberdaya
genetik yang dikembangkan dalam Agroforestry oleh para petani lahan sempit asli setempat
akan meningkatkan pengetahuan tentang interaksi antara berbagai organisme yang berbeda
dan akan memberikan informasi yang berguna untuk memilih campuran yang terbaik.
3. Memanfaatkan tumbuhan dan hewan lokal setempat
Sistem usaha tani lokal setempat mencakup banyak spesies tanaman dan ternak,
varietas dan biakan lokal yang sesuai dengan kondisi khusus setempat. Kebanyakan petani
lahan sempit juga memanfaatkan tumbuhan dan hewan liar. Informasi tentang sumberdaya
genetik asli setempat yang “nonkonvensional” atau “kurang dimanfaatkan” kurang lengkap,
namun cukup untuk menunjukkan bahwa sumberdaya ini memliki suatu peranan kritis dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial petani dalam kondisi agroekosistem suboptimal.
Tumbuh-tumbuhan asli setempat memberikan pakan yang beragam dan bergizi serta
menjadi penting selama musim-musim paceklik. Tumbuhan itu juga dapat memberikan
banyak produk non pangan yang berguna dan merupakan sumber-sumber pendapatan. Karena
tumbuhan itu seringkali tumbuh pada lahan kurang subur atau merupakan bagian dari sistem
Agroforestry, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan asli setempat meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan (FAO, 1988a).
Pohon-pohon utama untuk perdagangan di daerah tropis dan subtropis sudah terkenal,
misalnya kopi, teh, coklat, kelapa, kelapa sawit, karet dan jeruk. Yang masih kurang dikenal
adalah produk dari pepohonan asli setempat bernilai ekonomis, seperti pohon mentega shea
(Butyrospernum parkii syn. Vitellaria paradoxa), prem Marula (Sclerocarya birrea) kacang
belalang Afrika (Parkia biglobosa) dan “maggi lokal”, daun baobab (Adansonia digitata),
rades (Moringa pterygosperma), dan daun pahit (Vernonia amygdalina) yang dimanfaatkan
sebagai sayuran; bumbu dari apel Akee (Blighia sapida), kapok merah (Bombax
buonopozense) dan pala kalabar (Monodora mysristica); serta ramuan obat-obatan untuk
mengobati manusia, hewan dan tumbuhan.
Banyak sekali produk pepohonan asli setempat merupakan pangan setempat yang
bernilai baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Misalnya, sebuah pohon kacang belalang
yang dewasa per tahun biasanya bisa memasok kira-kira 40 kilogram biji. Setelah diolah
melalui proses fermentasi, biji-biji ini memiliki nilai gizi sama dengan 50 ekor ayam dan
memberikan jumlah vitamin dan mineral yang sangat berarti pada suatu periode, ketika bahan
pangan yang lain sering menjadi langka (Coen Reijntjes, dkk, 1999). Pada musim paceklik,
produk pepohonan dan belukar setempat bisa menjadi tumpuan untuk bertahan hidup bagi
banyak keluarga petani.
16
Pepohonan asli setempat bernilai ekonomis jarang “seliar” seperti yang dirasakan oleh
orang luar. Pepohonan ini seringkali merupakan bagian yang menyatu dalam sistem pertanian
setempat: pepohonan ini mungkin dilindungi dan dikelola atau bahkan dengan sengaja
ditanam oleh petani. Faidherbia albida di Afrika dan Prosopic cineraria di India merupakan
contoh-contoh pepohonan asli setempat yang memiliki peranan sentral dalam sistem
penggunaan lahan di daerah tropis semi kering. Pepohonan semacam itu seringkali vital bagi
keberlanjutan pertanian, dan kepunahannya bisa mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi
dan tekanan sosial ekonomi. Khususnya para petani dan perempuan miskin yang
mendapatkan bagian penting bahan pangan dan/atau pendapatan dari pepohonan dan belukar
tersebut mengalami kesulitan bila pepohonan dan belukar itu menjadi langka (Tabel. 3.1).
Tabel 3.1. Sumber pendapatan bagi laki-laki, perempuan dan perempuan miskin di
Uttar Pradesh, India (%).
Pendapatan Hutan dan lahan
umum Lahan pertanian
Kegiatan di luar
pertanian Total
Laki-laki
Perempuan
Perempuan miskin
13
33
45
28
35
34
59
32
21
100
100
100
Sumber: Clarke (1986).
Produktivitas dan jaminan pertanian di daerah tropis bisa ditingkatkan dengan lebih
banyak memanfaatkan spesies-spesies nonkonvensional ini. Ada suatu kebutuhan mendesak
untuk membantu para petani mempertahankan kekayaan keanekaragaman genetik dari
tanaman dan hewan asli setempat yang telah disesuaikan dengan kondisi input rendah, dan
untuk menyediakan sumberdaya genetik ini kepada petani lain yang bekerja di daerah yang
sama iklimnya. Hal yang penting bahwa pengetahuan setempat tentang cara merawat dan
menggunakan sumberdaya genetik ini perlu dilestarikan dan disampaikan kepada petani lain.
4. Mengintegrasikan akuakultur
Golongan hewan yang layak disebut dalan konteks ini adalah ikan dan hewan air
lainnya. Sumberdaya alam yang ada bagi sebuah keluarga petani mungkin termasuk
sumberdaya air, seperti sungai kecil, kolam, dan tanah yang rentan banjir. Budi daya
tumbuhan dan satwa yang hidup di air disebut akuakultur. Memadukan bentuk budidaya ini
dalam suatu sistem usaha tani mengintensifkan pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan melalui penganekaragaman spesies dan daur ulang unsur hara. Memadukan
ikan, hewan-hewan darat, pepohonan, sayuran, dan tanaman budidaya dalam satu usaha tani
merupakan suatu cara memaksimalkan produktivitas per satuan lahan. Hasil sambilan dari
satu bentuk pemanfaatan sumberdaya sering berfungsi sebagai input bagi bentuk-bentuk
lainnya.
Kolam-kolam ikan dapat dibuat di lahan basah dan lahan pekarangan di mana ada
sungai kecil atau mata air di dekatnya. Pohon buah-buahan dan sayuran yang ditanam di
pematang sebelah kolam dapat diairi dengan air kolam yang juga dapat digunakan untuk
hewan air. Pupuk kandang, sisa tanaman budidaya, gulma, daun-daun pepohonan, buah-
buahan dan sayuran busuk dapat menyuburkan kolam. Hasil sambilan dari tanaman budidaya
lainnya, seperti sekam jagung dan padi dapat juga dijadikan pakan ikan. Ikan mengubah sisa
17
tanaman dan hewan menjadi protein kualitas tinggi dan memperkaya lumpur kolam yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan kembali ladang.
Silvofishery atau hutan tambak merupakan campuran kegiatan kehutanan di daerah
pantai (hutan mangrove) dengan kegiatan perikanan. Di dalam hutan bakau (mangrove), para
petani-ikan dapat memelihara ikan, udang, atau kepiting dan sekaligus membantu upaya
merehabilitasi hutannya. Contoh : tumpangsari tambak hutan payau di Cilacap, Jawa Tengah.
Analisis Ekonomi Sistem Agroforestry
Nilai manfaat berupa peningkatan pendapatan bagi petani yang telah mengusahakan
lahannya secara Agroforestry, dapat dianalisis secara ekonomi dengan menggunakan besaran-
besaran benefit cost ratio (BCR), net present value (NPV),dan internal rate of return (IRR).
Untuk melihat sejauh mana Agroforestry dapat meningkatkan pendapatan, pada
makalah ini merujuk pada hasil penelitian Devianti (2015), dan Widyantoro (2013).
1. Penelitian Devianti (2015)
Penelitian dilaksanakan pada lahan milik masyarakat yang telah diusahakan secara
Agroforestry di desa Simpen Kaler, Limbangan Garut, termasuk dalam sub-sub DTA
Cianten, Cipancar. Jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari tanaman hutan jati putih
(gmelina), sebagai tanaman utama, mahoni dan suren (bukan tanaman utama). Selain itu juga
tanaman buah-buahan seperti petai dan alpukat yang merupakan (multipurpose tree species)
atau MPTS. Tanaman semusim yang biasa dilaksanakan petani diantara tanaman jati yaitu
kunyit dan tumpangsari dengan ubi kayu. Data yang diperoleh berasal dari hasil wawancara
dan hasil penelitian eksperimen dengan menggunakan tiga pola tanam semusim di antara
tanaman jati sebagai berikut :
(1) Tumpangsari kunyit+jagung – kacang merah +cabe rawit lokal,
(2) Tumpangsari kunyit+jagung – kacang merah, (3) monocropping cabe rawit lokal.
Analisis ekonomi sistem Agroforesrty terdiri dari biaya investasi dan biaya budidaya.
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat mulai pelaksanaan, dengan nilai
manfaat pada masa akan datang. Biaya investasi digunakan untuk pembelian bibit tanaman
tahunan, tanaman buah-buahan atau MPTS, termasuk biaya penanaman dan pembuatan teras
guludan, selengkapnya pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Biaya investasi Sistem Agroforestry pada Pola Tanam 1,2 dan 3 seluas 1 Ha
No Jenis Investasi Jumlah Harga (Rp) Total Harga
1 Bibit kayu-Hutan:
Jati Putih (Gmelina) 625 pohon 700 43.7500
Mahoni 277 pohon 1350 373.950
Suren 277 pohon 1350 373.950
2 Bibit MPTS
Petai 400 pohon 3500 1.400.000
Alpukat 238 pohon 1600 380.800
3 Pembuatan lubang tanam 214 HOK 35000 7.490.000
4 Penanaman 112 HOK 35000 3.900.000
5 Pembuatan teras Guludan 1724 HOK 35000 60.330.000
Total Investasi 74.686.200
Sumber : BPDAS Cimanuk-Citanduy (2010).
18
Tabel 3.2 menjelaskan biaya investasi yang diperlukan pada penanaman sistem
Agroforestry dengan luas 1 ha pada pola tanam 1, 2, dan 3 terdiri dari jenis dan jumlah
tanaman, serta jumlah hari orang kerja (HOK) untuk penanaman dan pembuatan teras gulud,
yang mempunyai jumlah harga yang beragam. Jati putih sebagai tanaman utama tahunan
yang ditanam pada lahan sehingga kebutuhannya lebih besar dibandingkan suren dan mahoni,
yang digunakan pada pinggir-pinggir lahan. Demikian juga dengan Multipurpose tree species
(MPTS) yang merupakan tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan atau daun-
daunan yang dapat digunakan sebagai makanan atau pakan ternak seperti petai, alpukat.
Pembuatan teras gulud dengan luas lahan 1 ha dibutuhkan 1724 HOK, sedangkan pembuatan
lubang tanam membutuhkan 214 HOK dengan upah kerja sehari sebesar Rp. 35.000,-.
Biaya budidaya yang dimaksud pada kajian ini adalah biaya produksi tanaman
semusim dan pemeliharaan tanaman tahunan, serta perbaikan teras. Berbagai macam biaya
budidaya sistem Agroforestry dengan pola tanam 1, 2, dan 3 bergantung pada jenis tanaman
semusim yang dibudidayakan seperti tertera pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Biaya Budidaya Sistem Agroforestry pada Pola tanam 1,2 dan 3 seluas 1 Ha
Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah+cabe rawit lokal
No Jenis Biaya Budidaya Jumlah Biaya (Rp)
1 Biaya produksi tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 6.118.000
2 Biaya penyulaman tahun ke – 2 242.850
3 Perbaikan teras 500.000
4 Biaya produksi tahun ke - 2 6.360.850
5 Biaya produksi tahun ke - 7 6.860.850
Pola 2 (Tumpangsari : kunyit+ jagung- kacang merah)
No Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp)
1 Biaya Budidaya tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 6.078.000
2 Biaya penyulaman tahun ke- 2 242.850
3 Perbaikan teras 500.000
4 Biaya produksi tahun ke- 2 6.320.850
5 Biaya produksi tahun ke- 7 6.820.850
Pola 3 (monocropping cabe rawit lokal)
No Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp)
1 Biaya produksi tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 12.918.500
2 Biaya penyulaman tahun ke- 2 242.850
3 Perbaikan teras 500.000
4 Biaya produksi tahun ke- 2 13.161.350
5 Biaya produksi tahun ke- 7 13.661.350
Sumber : Hasil wawancara dan BPDAS Cimanuk-Citanduy, 2010.
Pada Tabel 3.3 ditunjukkan berbagai jumlah harga yang beragam dalam biaya
budidaya terdiri dari (1) biaya produsi tanaman semusim yang berbeda antara pola 1, 2 dan 3,
(2) biaya penyulaman tanaman tahunan dan tanaman buah-buahan, dan (3) biaya perbaikan
teras guludan. Antara tahun pertama dan tahun berikutnya terdapat perbedaan biaya seperti
pengeluaran pada tahun 1, 2, 3, 4 dan 6 adalah biaya untuk budidaya tanaman semusim
sebesar Rp. 6. 118.000 pada pola 1, Rp. 6.078.000 (pola 2), dengan biaya terbesar pada pola 3
sebesar Rp. 12.918.500. Pemakaian pupuk pada tahun pertama juga diperuntukkan untuk
semua tanaman baik semusim, kehutanan, dan MPTS. Pada tahun ke- 2 terdapat penambahan
biaya penyulaman tanaman tahunan sebesar Rp. 242.850, sehingga total biaya menjadi
Rp. 6.360.850,- pada pola 1, pola 2 sebesar Rp. 6.320.850,-, dan pada pola 3 sebesar
19
Rp. 13.161.350,- . Hal ini juga terjadi penambahan biaya pemeliharaan pada tahun ke- 7,
yang merupakan biaya untuk perbaikan teras guludan sebesar Rp. 500.000, sehingga total
biaya pada tahun ke -7 menjadi Rp. 6.860.850 pada pola 1, sedangkan pada pola 2, dan 3
sebesar Rp. 6.820.850, dan Rp. 13.661.350.
Biaya investasi yang dikeluarkan pada pola 1, 2, dan 3 adalah sama jumlahnya,
terdapat perbedaan pada biaya budidaya antar pola 1, 2, dan 3, disebabkan setiap komoditi
tanaman semusim mempunyai kebutuhan jumlah bibit dengan harga yang berbeda. Sistem
Agroforestry memberikan dua keuntungan (benefit) yakni produktivitas tanaman semusim
dan produktivitas tanaman kayu kehutanan. Terjadi perbedaan produktivitas dan harga setiap
panen pada tanaman semusim, disebabkan harga jual pada tanaman semusim bergantung
pada harga pasar. Produktivitas dan harga jual tanaman semusim dengan pola tanam 1, 2, dan
3 terlihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Produktvitas Sistem Agroforesrty pada pola 1, 2, dan 3 seluas 1 Ha
Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah+cabe rawit lokal
No Produktivitas Jumlah (Rp)
1 Keuntungan tahun ke 2, 3 27.750.000
2 Keuntungan tahun ke 4 24.500.000
3 Keuntungan tahun ke 5, 6, 7, 8, 9 15.625.000
4 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000
Pola 2 (Tumpangsari : kunyit+ jagung- kacang merah)
1 Keuntungan tahun ke 2, 3 19.850.000
2 Keuntungan tahun ke 4, 5,6 18.500.000
3 Keuntungan tahun ke 7, 8,9 17.050.000
4 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000
Pola 3 (monokultur cabe rawit lokal)
1 Keuntungan tahun ke 2, 3 35.360.000
2 Keuntungan tahun ke 4, 5 32.500.000
3 Keuntungan tahun ke 6, 7 28.600.000
4 Keuntungan tahun ke 8, 9 26.000.000
5 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000 Sumber : Data Diolah (2014)
Tabel 3.4 menunjukkan produktivitas tanaman semusim pada pola 1,2 dan 3 terdapat
harga yang beragam, baik pada tahun yang sama maupun pada tahun berikutnya.
Produktivitas terbesar secara berturut-turut terdapat pada pola 3, 1 dan 2. Tahun ke- 2 dan ke-
3 mempunyai keuntungan sebesar Rp. 27.750.000 pada pola 1, pola 2 sebesar Rp.
19.850.000, dan pada pola 3 sebesar Rp. 35.360.000. Produktivitas pada tahun ke- 2 dan 3
lebih besar bila dibandingkan pada tahun ke-4, yaitu sebesar Rp. 24.500.000 pada pola 1, dan
pola 2 sebesar Rp. 18.500.000, serta pada pola 3 sebesar Rp. 32. 500.000. Pada tahun
berikutnya yaitu tahun ke- 5 dan tahun ke- 6, keuntungan dari tanaman semusim semakin
kecil hanya sebesar Rp. 15. 625.000 (pola1), kemudian pada pola 2 sebesar 17.050.000, dan
pada pola 3 sebesar Rp. 28.600.000. Kecilnya keuntungan pada tahun ke- 5 dan tahun ke- 6
disebabkan tanaman tahunan semakin besar naungannya sehingga cahaya matahari terhalang
yang menyebabkan fotosintesis tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya keuntungan sistem Agroforestry diperoleh dari panen kayu jati putih pada
tahun ke-10, dimana per batang kayu bersih diperoleh volume sebesar 0,4 m3 dengan harga 1
m3 sebesar Rp. 500.000. Harga tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No.
20
22 Tahun 2012. Dengan demikian keuntungan yang didapat dari produksi kayu jati putih
pada pola 1, 2 dan 3, adalah sama yakni sebesar Rp. 125.000.000,-.
Harga pada biaya investasi pada Tabel 3.2 dan keuntungan pada Tabel 3.4 yang
digunakan berdasarkan suku bunga Bank Indonesia sebesar 12%, dan nilai suku bunga ini
berdasarkan pada tahun 2010, pada awal mulai kegiatan sistem Agroforestry. Harga tersebut
dalam analisis ekonomi dapat diartikan nilai saat itu, sehingga pada saat panen jati putih
tahun ke- 10 tentunya menjadi nilai yang akan datang. Untuk hal ini perlu dikaji nilai pada
masa akan datang, berdasarkan analsis ekonomi seperti; NPV, B/C, dan IRR, apakah
didapatkan keuntungan dari investasi sistem Agroforestry ?
Hasil analisis ekonomi sistem Agroforestry dengan luasan satu hektar, pada berbagai
pola tanam (1, 2 dan 3) layak diusahakan dengan parameter analisis NPV, B/C dan IRR
disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 memperlihatkan beberapa indikator seperti; NPV, IRR, B/C ratio sebagai
penilai kelayakan usaha sistem Agroforestry dengan luas 1 ha pada berbagai pola tanam, pada
tingkat suku bunga bank 12 %. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sistem Agroforestry
secara ekonomi dan finansial pada berbagai pola tanam layak diusahakan dengan indikator
penilai NPV, IRR dan B/C lebih besar dari satu. Terlihat nilai NPV, B/C dan IRR terbesar
pada sistem tanam monocropping cabe rawit lokal, dan terkecil pada sistem tanam
tumpangsari pola 2. Penyebabnya harga cabe rawit lokal lebih tinggi dengan masa panen
lebih panjang yaitu 6 bulan bila dibandingkan dengan komoditas lain dalam sistem tanam
tumpangsari pola 1 dan 2.
Berdasarkan Tabel 3. 5, selisih nilai NPV secara finansial pada pola 3 dengan NPV
pada pola 1 sebesar Rp. 8.092.812 dan selisih NPV pada pola 3 dengan pola 2 sebesar Rp.
18.778.890, serta selisih NPV antara pola 1 dengan pola 2 sebesar Rp. 10.686.078. Dapat
dikatakan pola tanam monocropping mempunyai keuntungan lebih tinggi dibandingkan
dengan pola tanam tumpangsari pada pola 1 dan pola 2. Namun demikian jumlah erosi pada
tanam monocropping lebih besar dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari.
Tabel 3.5. Analisis Ekonomi Sistem Aagroforesrty pada pola 1, 2 dan 3 Seluas 1 Ha
Indikator Analisis Ekonomi Analisis Financial Keputusan
(Decision)
Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung-kacang merah+cabe rawit lokal)
NPV
IRR
Net B/C Ratio
Rp. 31.695.473
0.22
1.44
Rp. 31.017.446
0.22
1.43
Layak > 0
Layak > 0
Layak > 0
Pola 2 (tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah)
NPV
IRR
Net B/C Ratio
Rp. 21.009.395
0.17
1,29
Rp. 20.331.368
0.17
1.28
Layak > 0
Layak > 0
Layak > 0
Pola 3 (monocropping cabe rawit lokal)
NPV
IRR
Net B/C Ratio
Rp. 39.788.284
0.15
1.51
Rp. 39.110.257
0.15
1.50
Layak > 0
Layak > 0
Layak > 0
Sumber : Data diolah (2014)
Peningkatan atau penurunan produktivitas dan harga pertanian dan kayu hutan
mempengaruhi keberlanjutan sistem Agroforestry, hal ini berkaitan dengan kenaikan suku
bunga bank. Untuk mengetahui sejauhmana keberlanjutan sistem Agroforestry masih dapat
diusahakan adalah dengan mengkaji internal of return. Kajian in dapat dilakukan dengan cara
21
membandingkan NPV pada suku bunga awal (NPV1) dengan selisih (NPV1) dikurangi
(NPV2) pada suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga awal. Nilai NPV2 didapat dengan
cara trial and error (coba-coba) sampai didapat (NPV < 0).
Hasil analisis menunjukkan sistem Agroforestry dengan pola tanam tumpangsari (pola
1) tidak layak diusahakan lagi pada suku bunga bank 22%, sedangkan pola tanam
tumpangsari (pola 2) tidak layak dilaksanakan pada suku bunga 17% , dan sistem tanam
monocropping (pola 3) pada suku bunga 15%.
2. Penelitian Widyantoro (2013)
Hasil penelitian Widyantoro (2013), mengenai analisis usahatani padi gogo
tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun di desa Temulus, KPH Randu Blatung,
Blora MH 2009/2010, ditunjukkan pada Tabel 3.6 sebagai berikut :
Tabel 3.6. Analisis usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan
2 tahun di Desa Temulus, KPH Randu Blatung, Blora, MH 2009/2010
Uraian
Padi gogo tumpangsari
HTI jati muda umur 1
tahun
Padi gogo tumpangsari
HTI jati muda umur 2
tahun
Biaya tenaga kerja (Rp. 000/ha)
Biaya sarana produksi (Rp. 000/ha)
Total biaya (Rp. 000/ha)
Penerimaan kotor (Rp. 000/ha)
Pendapatan bersih (Rp. 000/ha)
B/C rasio
Titik impas produksi (kg/ha)
Titik impas harga (Rp/kg)
3.090
1.610
4.700*)
11.707
7.007
1,49
2.043
(5.090)
923
(2.300)
2.910
1.570
4.480*)
10.718
6.238
1,39
1.948
(4.660)
961
(2.300) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan produksi dan harga aktual. *)
Hasil penelitian demplot di Ngliron, Randu Blatung, Blora (Sumber : Widyantoro et al., 2012).
Pada posisi harga gabah Rp. 2.300/kg, total pendapatan bersih usahatani padi gogo
tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun mencapai Rp. 7.007.000/ha dengan nisbah input-
output atau B/C rasio sebesar 1,49. Ini berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp. 100 akan
memberikan rata-rata penerimaan sebesar Rp. 149 pada batas penggunaan input tertentu,
dengan kata lain untuk setiap Rp. 100 biaya yang dikeluarkan rata-rata memberikan
keuntungan sebesar Rp. 49. Pada posisi harga gabah yang sama, total pendapatan bersih
usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun mencapai Rp. 6.238.000/ha
dengan B/C rasio sebesar 1, 39.
Hasil analisis titik impas produksi, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda
umur 1 tahun menunjukkan dengan produksi 2.043 kg/ha sudah mampu berada pada kondisi
keuntungan normal. Ini berarti dengan produktivitas padi hanya 40,14% dari produksi
aktualnya, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah tidak merugi
dan tidak untung atau dengan kata lain berada pada titik impas produksi, Demikian pula
usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun, keuntungan normal dicapai
pada tingkat produksi 1.948 kg/ha atau 41,80% dari produksi aktualnya. Interpretasi dari hasil
analisis TIP ini adalah penurunan produktivitas yang bisa ditolerir agar usahatani padi gogo
tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun masih menguntungkan, jika penurunan
22
produktivitasnya masing-masing tidak lebih dari 59,86%, dan 58,20% dari produksi
aktualnya.
Berdasarkan analisis titik impas harga, dengan harga gabah Rp. 923/kg usahatani padi
gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah berada pada kondisi keuntungan
normal. Ini berarti dengan harga gabah hanya 40,13% dari harga aktualnya, usahatani padi
gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah berada pada titik impas harga. Pada
usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun keuntungan normal dicapai
tingkat harga Rp. 961/kg atau 41, 78% dari harga aktualnya.
Secara finansial usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan
umur 2 tahun layak diusahakan petani, karena dengan produksi masing-masing hanya 40,14%
dan 41,80% dari produksi aktualnya, sudah berada pada titik impas produksi, demikian pula
dengan titik impas harga.
IV. PENUTUP
Dari uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa keunggulan
Agroforestry potensinya dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian
bangsa dan perbaikan lingkungan, sebagai berikut :
Simpulan
1) Produktivitas (Productivity) : dari hasil penelitian teruji bahwa total sistem
campuran dalam Agroforestry jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal
tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang
beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun (Sequential system). Adanya
tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis
tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2) Diversitas (Diversity) : Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih pada
sistem Agroforestry menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk
maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian
akibat fluktuasi harga pasar, sedangkan dari segi ekologi dapat (i) meningkatkan
kesuburan tanah (dengan menyerap unsur hara dari lingkungan sekitarnya dan dari
lapisan tanah yang lebih dalam) atau daur ulang unsur hara, (ii) dengan meningkatnya
kadar bahan organik di dalam lapisan tanah bagian atas, melalui interaksi dengan
mikoriza dan bakteri tanah, dapat meningkatkan kelarutan fosfat dan fiksasi N, (iii)
menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen produktif lainnya baik tanaman
budidaya maupun hewan, (iv) pengendalian erosi dengan cara melindungi tanah dan
tanaman dari aliran air atau tiupan angin.
3) Kemandirian (Self-regulation) : Diversifikasi yang tinggi dalam Agroforestry,
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan
sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar.
Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan
banyak input dari luar (a.1. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi
daripada sistem monokultur, dan hal ini berdampak pada kemandirian bangsa.
4) Stabilitas (Stability) : Praktek Agroforestry yang memiliki diversitas dan
produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang
pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan)
pendapatan petani.
Yang tetap harus diingat adalah kombinasi yang benar dari spesies serta praktek
manajemen yang baik, pemahaman dan motivasi masyarakat.
23
Saran
Untuk menjamin sistem usaha tani yang stabil, mampu meningkatkan pendapatan, dan
sekaligus melestarikan lingkungan melalui praktek Agroforestry, baik yang dilaksanakan
pada lahan milik sendiri maupun pada lahan kawasan hutan negara, disarankan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh fungsi produktif, reproduktif, protektif dan atau sosial dalam
praktek Agroforestry, petani perlu ditingkatkan pengetahuan dan pemahamannya
melalui berbagai program pelatihan mengenai fungsi berbagai jenis/spesies tanaman
berkayu, semak belukar, maupun herba yang dapat dipadukan dengan tanaman-
tanaman semusim (pangan dan horti), tanaman obat dan tanaman bioenergi dalam
berbagai variasi pola tanam; ataupun dengan hewan (ternak dan ikan) sesuai dengan
kondisi agroekosistem / wilayah masing-masing (pemanfaatan sumberdaya lokal), dan
sesuai dengan permintaan pasar.
2. Memperluas kapasitas petani untuk pengembangan teknologi berbasis sumberdaya
lokal dengan pola penyuluhan partisipatif.
3. Memberikan berbagai kemudahan, jaminan, dan akses dalam membantu keluarga
petani untuk berkembang (jaminan harga komoditas dan perolehan modal investasi).
4. Mempermudah transportasi produk petani ke berbagai pasar termasuk menciptakan
pasar-pasar lokal yang dapat menarik orang kota datang ke pasar-desa/kecamatan.
5. Pola kemitraan dalam program PHBM, maupun pihak swasta, perlu terbangun lebih
harmonis.
6. Reforma agraria.
V. DAFTAR PUSTAKA
Arnold, J.E.M. 1980. Tree Components in Farming Systems. Unasylva 160 : 35-42.
Clarke, R. 1986. Restoring The Balance : Women and Forest Resources. Rome : FAO/SIDA
Coen Reijntjes, Bertus Haverkort dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. ILEIA. Penerbit
Kanisius Yogyakarta.
Devianti. 2015. Kajian Implikasi Tata Guna Lahan Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk
Jatigede Terhadap Umur Layanan (Life Time) Waduk. Disertasi Universitas
Padjadjaran Bandung.
Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan Jakarta. 2008. Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan
dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Pengadaan Pangan. Prosiding Semiloka
Nasional : Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23 Desember 2008. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Faisal Kasryno, Muhammad Badrun, Effendi Pasandaran. 2011. Land Grabbing. Perampasan
Hak Konstitusional Masyarakat. Yayasan Pertanian Mandiri.
Food and Agriculture Organization. 1988 a. Traditional Food Plants : a resource book for
promoting the explanation and consumption of food plants in arid, semi arid and sub-
humid lands of Eastern Africa. Food and Nutrition Paper 42, Rome; FAO.
Food and Agriculture Organization. 2010. Statistik of FAO. FAO Rome, 2010. Rome
Isabel Carter. 2009. Alley Cropping. Tearfund.
http://tilz.tearfund.org/publications/footsteps+61+70/Alley+cropping. htm.
24
Oteng Haridjaja dan Khalil. 2008. Potensi Pemanfaatan Lahan Sempit. Datar Berair untuk
Pertanian Terpadu. Prosiding Semiloka Nasional : Strategi Penanganan Krisis
Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23
Desember 2008.
Palte, J.G.L. 1989. Upland Farming on Java, Indonesia : A Socioeconomic Study of Upland
Agriculture and Subsistance Under Population Pressure. Utrecht : Geographical
Institute, University of Utrecht.
Sumarwoto. 2012. Budidaya iles-iles Kuning untuk Kesejahteraan Masyarakat, dalam
Budiadi „Permadi‟ D.P., Umi, L.P. (Eds)., Agroforestry Porong, Masa Depan Hutan
Jawa, Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency
(IMHERE), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.
Kessler, J.J dan Breman, H. 1991. Agroforestry in the Sahel and The Savannah Zone of West
Africa. Agroforestry Systems. 13 : 42-46.
Technical Centre for Agroforestry and Rural Cooperation. 1988. Agroforestry : The
Efficiency of Trees in Africa Agrrian Production and Rural Landscapes, Wageningen
: CTA/Terres et Vie/GTZ/ICRAF.
Widyantoro. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Tumpangsari Hutan Tanaman
Industri (HTI) Jati Muda. Prosiding Seminar Nasional : Akselerasi Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi.
World Bank. 2010. Commodity Market Review February. World Bank. Wahington D.C.