PORTOFOLIO Vanissa Jiwa Emergency Medis Bedah Medikolegal
-
Upload
fitria-damayanti -
Category
Documents
-
view
72 -
download
2
description
Transcript of PORTOFOLIO Vanissa Jiwa Emergency Medis Bedah Medikolegal
KASUS 1
Topik : Kasus jiwa – tentamen suicide akibat reaksi stress akut
Tanggal (kasus) : 13 Oktober 2013 Persenter : dr. Vanissa
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Helen Morista Endryani
dr. Yuli Astutiandriani Palasara
Tempat presentasi : RST dr. R. Hardjanto
Objektif presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : pasien laki-laki, usia 24 tahun melakukan percobaan bunuh diri akibat gangguan kejiwaan
Tujuan : mengetahui faktor risiko tentament suicide, etiologi, diagnosis gangguan kerjiwaan dan penatalaksanaan
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data pasien : Nama : Tn. D D P Nomor Registrasi : 463526
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosa/ Gambaran Klinis :
Tentament suicide yang dipicu oleh reaksi strees akut.
2. Riwayat Pengobatan :
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien mencoba bunuh diri dengan meminum baygon sebanyak + 200 cc (1/2 botol aqua ukuran sedang). Waktu kejadian tidak diketahui. Saat
ditemukan, pasien dalam keadaan lemas dan mengantuk. Pasien sedang bermasalah dengan pamannya sejak 1 bulan. Pasien merasa kecewa
terhadap pamannya sehingga hubungan dengan ibu pasien tidak sebaik sebelumnya. Pasien tinggal jauh dari kedua orang tuanya dan tinggal
bersama pamannya. Komunikasi pasien dengan ibu pasien diakui hanya sesekali yaitu memberikan ucapan saat hari besar.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat depresi dan gangguan jiwa dalam keluarga disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan :
Karyawan perusahaan
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :
Pasien bekerja di perusahaan. Tinggal di kos bersama teman dan pamannya. Riwayat hubungan dengan lingkungan rumah dan lingkungan kerja baik.
7. Riwayat imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus) :
Daftar Pustaka (diberi contoh, MEMAKAI SISTEM HARVARD,VANCOUVER, atau MEDIA ELEKTRONIK) :
1. Kaplan HI. Sadock BJ.Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry.10th ed.New York: Lippincot Williams & Wilkins.2007.pg:
322:28.
2. American Psychiatric association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV). 4th ed. Washington,DC:American Psychiatric
Association; 2000.
3. Ingram IM. Catatan Kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran.1995. pg: 28:42.
4. Kapita Selekta Kedokteran. 3th ed. Jakarta : Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.pg :189:192.
5. Maslim. Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III: Reaksi Akut Stres. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Atmajaya.2001; pg 53.
HASIL PEMBELAJARAN
1. Bunuh diri merupakan salah satu kegawatan psikiatri dimana, bunuh diri/suicide (percobaan bunuh diri), berasal dari bahasa latin: “tentamen
suicide”, dari bahasa Inggris“ suicide attempt. Percobaan bunuh diri ialah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri
dan dengan disengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akanakibatnya yang mungkin pada waktu sangat singkat.
2. Faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri yaitu jenis kelamin laki laki, semakin bertambahnya usia, ras orang kulit putih, status
perkawinan hidup sendirian, semakin tinggi status sosial seseorang, kesehatan fisik (adanya penyakit), kesehatan mental seperti
penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan mental lainnya, pasien psikiatrik.
3. Pengertian Acute Stress Disorder adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil
dari sebuah peristiwa traumatis dimana seseorang mengalami atau menjadi saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk
mengalami kejadian ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau
mengancam serius, dirasakan cedera serius (biasanya kepada orang lain), atau kematian.
4. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan
berkembang, yaitu adanya trauma masa anak-anak, sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial, sistem
pendukung yang tidak adekuat, kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik, perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi,
persepsi lokus kontrol eksternal, penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan.
5. Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV adalah sebagai berikut:
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini ditemukan:
a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau
kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
a. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
b. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan tidak sadar)
c. derealisasi
d. depersonalisasi
e. amnesia disosiatif (ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatic
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon
kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain,
menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan
kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
6. Penatalaksanaan reaksi stress akut meliputi terapi farmakoterapi benzodiazepin Estazolam 0,5-1 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os,
Lorazepam 1-2 mg per os atau IM dan psikoterapi yang meliputi cognitive therapy, exposure therapy, play therapy, support group therapy dan
terapi bicara.
KASUS 2
Topik : Kasus emergency - intoksikasi baygon
Tanggal (kasus) : 13 Oktober 2013 Persenter : dr. Vanissa
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Helen Morista Endryani
dr. Yuli Astutiandriani Palasara
Tempat presentasi : RST dr. R. Hardjanto
Objektif presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : pasien laki-laki, usia 24 tahun mengalami keracunan baygon
Tujuan : mengetahui toksikologi baygon, cara kerja, gejala keracunan, dan penatalaksanaan keracunan baygon
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data pasien : Nama : Tn. D D P Nomor Registrasi : 463526
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosa/ Gambaran Klinis :
Tentament suicide dengan intoksikasi baygon.
2. Riwayat Pengobatan :
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien meminum baygon sebanyak + 200 cc (1/2 botol aqua ukuran sedang). Waktu kejadian tidak diketahui. Saat ditemukan, pasien dalam
keadaan lemas dan mengantuk. Pasien sedang bermasalah dengan pamannya sejak 1 bulan. Pasien merasa kecewa terhadap pamannya
sehingga hubungan dengan ibu pasien tidak sebaik sebelumnya. Pasien tinggal jauh dari kedua orang tuanya dan tinggal bersama pamannya.
Komunikasi pasien dengan ibu pasien diakui, hanya sesekali yaitu memberikan ucapan saat hari besar.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat depresi dan gangguan jiwa dalam keluarga disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan :
Karyawan perusahaan.
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :
Pasien bekerja di perusahaan. Tinggal di kos bersama teman dan pamannya. Riwayat hubungan dengan lingkungan rumah dan
lingkungan kerja baik.
7. Riwayat imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus) :
Daftar Pustaka (diberi contoh, MEMAKAI SISTEM HARVARD,VANCOUVER, atau MEDIA ELEKTRONIK) :
1. Tintinali, Judith., Kelen, Gabor., Stapczynsky, Stephen. Emergency Medicine : A Comprehensive Study Guide. New York : McGraw.
2. Keith,Stone., Roger,Humphries. Current Diagnosis & Treatment Emergency Medicine. Ed 6. New York : McGraw.
3. Idrieas, AM, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Ed . Pertama, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997, Hal : 259 – 260.
4. Frank, C. Lu, Toksikologi Dasar, Ed. Kedua (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1995, Hal : 328 – 329.
5. Junandi, Purnawan: Kapita Selekta Kedokteran edisi 2, Penerbit Medica Aesculapius FK – UI, Jakarta, 1994, Hal : 196 –197.
6. William Yip Chin – Ling, Pedoman Praktis Kedaruratan Pada Anak (Terjemahan), Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, Hal : 346 – 348.
HASIL PEMBELAJARAN
1. Racun adalah setiap bahan atau zat yang dalam jumlah relatif kecil bila masuk kedalam tubuh akan menimbulkan reaksi kimiawi yang akan
menyebabkan penyakit atau kematian. Baygon termasuk kedalam racun serangga (insektisida). Berdasarkan struktur kimianya insektisida
dapat digolongkan menjadi Insektisida golongan fospat organik (Malathoin, Parathion, Paraoxan, diazinon, dan TEP), insektisida golongan
karbamat (carboryl dan baygon), insektisida golongan hidrokarbon yang diklorkan (DDT endrin, chlordane, dieldrin dan lindane).
2. Insektisida golongan fospat organik dan golongan karbamat dapat dikategorikan dalam antikolinesterase (Cholynesterase inhibator
insectisides), sehingga keduanya mempunya persamaan dalam hal cara kerjanya, yaitu merupakan inhibitor yang langsung dan tidak langsung
terhadap enzim kholinesterase. Racun jenis ini dapat diabsorbsi melalui oral, inhalasi, dan kulit. Masuk ke dalam tubuh dan mengikat enzim
asetil kholinesterase (AChE) sehingga AChE menjadi inaktif maka akan terjadi akumulasi dari asetilkholin.
3. Manifestasi utama keracunan adalah gangguan penglihatan, gangguan pernafasan, dan hiperaktif gastrointestinal. Pada keracunan akut
gejala timbul 30–60 menit dan mencapai maksimum dalam 2–8 jam yang meliputi keracunan ringan (anoreksia, sakit kepala, pusing, lemah,
ansietas, tremor lidah dan kelopak mata, miosis, penglihatan kabur), keracunan sedang (nausea, salivasi, lakrimasi, kram perut, muntah,
hidrosis, bradikardi dan fasikulasi otot), keracunan berat (diare, pin point, pupil tidak bereaksi, sukar bernapas, edema paru, sianosis, kontrol
sfirgter hilang, kejang, koma, dan blok jantung. Gejala keracunan kronis akibat penghambatan kolinesterase akan menetap selama 2–6 minggu
(organofospat). Untuk karbamat, ikatan dengan AChE hanya bersifat sementara dan akan lepas kembali setelah beberapa jam (reversibel).
4. Kriteria diagnosis pada keracunan adalah anamnesa kontak antara korban dengan racun, adanya tanda–tanda serta gejala yang sesuai dengan
tanda dan gejala dari keracunan racun yang diduga, dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut memang racun
yang dimaksud, dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga
serta dari bedah mayat tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain, serta dari analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik, harus dapat
dibuktikan adanya racun serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban secara sistemik.
5. Penanganan general kegawatdaruratan antara lain :
Management airways jaga jalan nafas, bersihkan dari sekret bronkial. Breathing : beri oksigen 100% , bila tidak adekuat lakukan intubasi.
Circulation : pasang IV line, pantau vital sign.
6. Terapi spesifik
a. Bilas lambung (100-200 ml), diikuti pemberian karbon aktif. Direkomendasikan pada kasus yang mengancam.
b. Karbon aktif. Dosis ≥ 12 tahun : 25–100 gr dalam 300-800 ml.
Terapi farmakologi
Atropine :
≥ 12 tahun : 2-4 mg IV setiap 5-10 menit sampai atropinisasi. Dosis pemeliharaan 0,5 mg/30 menit atau 1 jam atau 2 jam atau 4 jam sesuai
kebutuhan. Dosis maksimal 50 mg/24 jam. Pertahankan selama 24-48 jam.
Supportif : Diazepam 5-10 mg IV bila kejang, Furosemide 40-160 mg bila ronki basah basal muncul .
KASUS 3
Topik : Kasus medis – Penyakit Paru Obstruksi Kronis eksaserbasi akut
Tanggal (kasus) : 25 September 2013 Persenter : dr. Vanissa
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Helen Morista Endryani
dr. Yuli Astutiandriani Palasara
Tempat presentasi : RST dr. R. Hardjanto
Objektif presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : pasien perempuan, usia 52 tahun mengalami sesak napas dan napas berbunyi.
Tujuan : mengetahui definisi PPOK, faktor risiko dan diagnosis PPOK
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data pasien : Nama : Ny. R W Nomor Registrasi : 463021
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosa/ Gambaran Klinis :
Penyakit Paru Obstruksi Kronis eksaserbasi akut .
2. Riwayat Pengobatan :
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien mengeluh sesak napas sejak 2 hari yang lalu disertai napas berbunyi dan demam sejak semalam. Pasien batuk berdahak selama 1
minggu, dahak berwarna kehijauan. Riwayat batuk malam hari dan bangun dari tidur karena sesak sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat
merokok selama lebih dari 20 tahun sejumlah 3 batang per hari.
4. Riwayat Keluarga :
Terdapat riwayat darah tinggi dalam keluarga dan kencing manis disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan :
Ibu rumah tangga.
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :
Pasien bekerja di rumah. Sekitar rumah dekat dengan pabrik semen.7. Riwayat imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus) :
Daftar Pustaka (diberi contoh, MEMAKAI SISTEM HARVARD,VANCOUVER, atau MEDIA ELEKTRONIK) :
1. American Thoracic Society. Standards for Diagnosis and Care of Patients with COPD. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine. 1995; 152:S77-S120.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003.
3. Brehm Jm, Celedon JC. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Hispanics. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
November 20, 2007; 177:473-478.
4. Lederer DJ et al.Racial Differences in Waiting List Outcomes in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal of Respiratory
and Critical Care Medicine.November 20, 2007; 177:450-4.
5. National Heart Lung and Blood Institute Diseases and Conditions Index. COPD: What Is COPD. March 2009. Available at
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/Copd/Copd_WhatIshtml. Accessed December 16, 2009.
HASIL PEMBELAJARAN
1. Penyakit paru obstrukstif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel partial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik (batuk kronik berdahak minimal 3 bulan salam setahun.
Sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut tidak disebabkan penyakit lainnya) dan emfisema (pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal disertai kerusakan dinding alveoli) atau keduanya.
2. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
mencatat riwayat merokok perlu diperhatikan riwayat merokok (perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok), derajat berat merokok
dengan index Brinkman yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun (ringan 0-200,
sedang 200-600, berat >600). Selain kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperreaktivitas
bronkus, riwayat infeksi saluran napas berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1 namun umumnya jarang terdapat di Indonesia.
3. Anamnesis meliputi riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di
tempat kerja, riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak misalkan berat badan lahir rendah,
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa
mengi.
4. Pemeriksaan fisik dini dari PPOK umumnya tidak ada kelainan. Namun, pada inspeksi dapat ditemukan pursed-lips breathing, barrel chest,
penggunaan otot banti napas, hipertrofi otot bantu napas, pelebaran sela iga, terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai bila
telah terjadi gagal jantung kanan, serta penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada palpasi fremitus melemah dan sela iga melebar pada
emfisema. Pada perkusi emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Pada auskultasi
suara vesikuler normal atau melemah, terdapat rhonki atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang,
bunyi jantung terdengar jauh.
5. Pink puffer yaitu gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan, dan pernapasan pursed – lips breathing.
Blue bloater yaitu gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer.
Pursed – lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengelurkan retensi CO2 yang terjadi pada
gagal napas kronik.
6. Pada pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan rutin (faal paru: spirometri dan uji bronkodilator), darah rutin: Hb, Ht, leukosit, dan
radiologi thorax PA dan lateral untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Para gambaran radiologi emfisema terdapat gambaran hiperinflasi,
hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung dan pada bronkitis kronik gambaran radiologis normal
atau corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
7. Penatalaksanaan PPOK terbagi atas penatalaksanaan pada eksaserbasi akut dan pada keadaan stabil. Penatalaksaanaan secara umum
bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, serta meningkatkan kulaitas
hidup penderita, yang meliputi:
- Edukasi mengenai pengetahuan akan penyakit, obat-obatan, serta menghindari pencetus (berhenti merokok), penyesuaian aktivitas.
- Obat-obatan yaitu bronkodilator, antiinflamasi, antibiotika, antioksidan, mukolitik, dan antitusif
- Terapi oksigen atas indikasi PaO2 < 60mmHg atau SaO2 < 90%, PaO2 antara 55-59mmHg atau SaO2 > 89% disertai corpulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
- Ventilasi mekanik digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik, atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik.
- Nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
- Rehabilitasi PPOK pada penderita yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai dengan gejala pernapasan berat,
beberapa kali datang ke unit gawat darurat, dan kulitas hidup yang menurun.
KASUS 4
Topik : Kasus bedah – Ca mammae
Tanggal (kasus) : 17 Januari 2014 Persenter : dr. Vanissa
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Helen Morista Endryani
dr. Yuli Astutiandriani Palasara
Tempat presentasi : RST dr. R. Hardjanto
Objektif presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : pasien perempuan, usia 40 tahun terdapat menjolan pada payudara kanan disertai nyeri dan perubahan kulit
Tujuan : mengetahui faktor risiko kejadian ca mammae, tanda dan gejala serta stadium Ca mamme
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data pasien : Nama : Ny. W Nomor Registrasi : 469271
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosa/ Gambaran Klinis :
Ca mammae stadium IV.
2. Riwayat Pengobatan :
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien merasa adanya benjolan pada payudara kanan sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan semakin besar disertai dengan rasa nyeri dan
perubahan kulit di atasnya. Terdapat bekas luka yang sudah mengering dengan riwayat terlepasnya jaringan puting susu saat luka tersebut
bernanah. Nyeri yang dirasakan sekarang disertai dengan keluarnya cairan berwarna putih kekuningan disertai bau busuk. Pasien belum
berobat sebelumnya. Hasil USG pasien menyatakan adanya massa pada hepar yang dicurigai penyebaran dari keganasan. Riwayat sakit
hipertensi +, DM disangkal, benjolan payudara sebelahnya -.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat keganasan pada orang tua ataupun keluarga disangkal, pasien tidak menikah dan tidak memiliki anak, usia haid pertama
11 tahun.
5. Riwayat Pekerjaan :
Patugas laundry.
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :
Pasien bekerja di rumah keponakannya. Terdapat riwayat payudara kanan terkena besi 1 tahun yang lalu.7. Riwayat imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus) :
Daftar Pustaka (diberi contoh, MEMAKAI SISTEM HARVARD,VANCOUVER, atau MEDIA ELEKTRONIK) :
1. Wan desen, 2008. Onkologi klinis. Edisi 2. FK UI.
2. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2005, Tumor ganas. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta.
3. National Breast Cancer Foundation. Stage of Breast Cancer. 2010.
4. Hemant Singhal, MD. Breast Cancer Evaluation. 2009. http://emedicine.com.
HASIL PEMBELAJARAN
1. Faktor risiko pada ca mammae dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor yang dapat diubah seperti riwayat kehamilan, riwayat
menyusui, kontrasepsi oral, hormonal replacement, penggunaan alkohol, obesitas, dan trauma. Faktor yang tidak dapat diubah antara lain
riwayat keluarga yang menderita kanker, genetik, status menstruasi (menarche dan menopause), riwayat tumor jinak dan kanker sebelumnya,
tidak menikah, dan tidak memiliki anak.
2. Tanda dan gejala ca mammae yaitu benjolan pada payudara yang umumnya tidak nyeri dan semakin membesar lalu melekat pada kulit atau
puting susu, erosi atau ulkus puting susu menjadi tertarik ke dalam (retraksi) yang berwarna kemerahan diserta edema hingga kulit terlihat
seperti jeruk (peau d’orange) atau timbul borok yang semakin besar dan dalam, perdarahan puting susu, nyeri ditimbulkan bila benjolan sudah
besar terdapat borok atau metastasis, kemudian timbul pembesaran kelenjar getah bening ketiak dan seluruh tubuh.
3. Stadium Ca mammae adalah
- Stadium 0 (Tis N0 M0) tumor in situ dengan sel-sel tumor berada pada tempatnya di dalam jaringan payudara yang normal.
- Stadium I (T1 N0 M0) tumor dengan garis tengah kurang dari 2 cm dan belum menyebar keluar payudara.
- Stadium IIA (T0-1 N1 M0, T2 N0 M0) tumor dengan garis tengah 2-5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak atau tumor
dengan garis tengah kurang dari 2 cm tapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak.
- Stadium IIB (T2 N1 M0, T3 N0 M0) tumor dengan garis tengah lebih dari 5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak atau
tumor dengan garis tengah 2-5 cm tapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak.
- Stadium IIIA (T0-3 N2 M0) tumor dengan garis tengah kurang dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak disertai
perlengketan satu sama lain atau perlengketan ke struktur lainnya atau tumor dengan garis tengah lebih dari 5 cm dan sudah menyebar ke
kelenjar getah bening ketiak.
- Stadium IIIB (T4 N* Mo) tumor telah keluar payudara yaitu ke dalam kulit payudara atau ke dinding dada atau telah menyebar ke kelenjar
getah bening di dalam dinding dada dan tulang dada.
- Stadium IV (T* N* M1) tumor telah menyebar keluar daerah payudara dan dinding dada misalnya ke hepar, tulang atau paru-paru.
4. Pengobatan ca mammae berdasarkan stadium
- Stadium I dilakukan operasi dan chemotherapy
- Stadium II dilakukan operasi dan dilanjutkan dengan chemotherapy ditambah dengan hormonal
- Stadium III dilakukan operasi dilanjutkan dengan chemotherapy ditambah radiasi dan hormonal
- Stadium IV dilakukan chemotherapy dilanjutkan dengan radiasi dan hormonal
KASUS 5
Topik : Kasus medikolegal – informed consent dan informed refusal
Tanggal (kasus) : 31 Januari 2014 Persenter : dr. Vanissa
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Helen Morista Endryani
dr. Yuli Astutiandriani Palasara
Tempat presentasi : RST dr. R. Hardjanto
Objektif presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : pasien laki-laki, usia 50 tahun mengalami luka robek akibat benturan di kelapa pada kecelakaan lalu lintas
Tujuan : mengetahui bentuk, isi, aturan yang mengatur serta tujuan informed consent dan pihak yang memiliki hak untuk informed refusal
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data pasien : Nama : Tn. A K Nomor Registrasi : 470073
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosa/ Gambaran Klinis :
Vulnus laeratum regio parietalis dextra dan observasi CKR .
2. Riwayat Pengobatan :
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien mengalami kecelakaan saat menyeberang jalan. Pasien disenggol motor dengan kecepatan ± 80 km/jam, dari sisi kanan pasien sehingga
pasien terjatuh dan kepala kiri pasien terbentur trotoar. Perdarahan aktif pada luka robek, pasien tidak sempat pingsan, mual dan muntah
tidak ada. Pasien mengingat dan dapat menceritakan kembali kejadian tersebut. Pasien memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat penyakit
sebelumnya disangkal, riwayat minum alkohol disangkal.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat penyakit darah tinggi.
5. Riwayat Pekerjaan :
Pasien bekerja di bengkel anaknya.
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :
Pasien bekerja di bengkel anaknya membantu mencuci mobil. Pasien tingga bersama istrinya, terpisah dengan anak-anaknya yang
sudah menikah.
7. Riwayat imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus) :
Daftar Pustaka (diberi contoh, MEMAKAI SISTEM HARVARD,VANCOUVER, atau MEDIA ELEKTRONIK) :
1. J, Guwandi, dokter, Pasien dan Hukum, Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
2. J, Guwandi. Rahasia Medis. Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2005, hal : 32.
3. Ratna Suprapti Samil. Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta, 2001, hal : 45.
4. J, Guwandi. Informed Consent dan Irmormed Refusal. Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2003, hal : 2.
HASIL PEMBELAJARAN
1. Definisi informed consent menurut PerMenKes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 bab I ayat 1, persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Informasi yang harus diberikan dokter menurut UU No.29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran pasal 45 ayat 3 sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tinjauan tindakan medis yang
dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis (kemungkinan hasil perawatan)
terhadap tindakan yang dilakukan.
2. Setelah pasien diberi penjelasan maka keputusan untuk menerima atau menolak tindakan perawatan yang ditawarkan dokter mutlak berada di
tangan pasien itu sendiri. Hak untuk menolak perawatan ini disebut dengan informed refusal, namum dalam keadaan seperti ini dokter juga
harus menerangkan secara rinci akibat dari penolakan tersebut. Jika pasien tetap menolak perawatan, maka pasien harus menandatangani
formulir surat penolakan tindakan medis yang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Pasien juga berhak meminta pendapat dokter lain (second
opinion).
3. Menurut Penjelasan pasal 45 UU No.29 tahun 2004 apabila pasien sendiri berada di bawah pengampunan, persetujuan atau penolakan tindakan
medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak kandung atau saudara kandung. Dalam keadaan
gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi
memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
4. Bentuk persetujuan tindakan kedokteran dapat dikategorikan sebagai expression (dengan pernyataan) yaitu secara lisan/oral dan dapat secara
tertulis. Selalin itu, dapat sebagai dianggap diberikan/implied (tersirat) yaitu dalan keadaan biasa atau normal dan dalam keadaan gawat
darurat. Di dalam pasal 5 ayat 1 PerMenKes No.290/2008, isi informasi yang diberikan belum diatur secara rinci, hanya disebutkan “Informasi
yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan baik diagnostik maupun terapeutik”.
5. Dengan telah diinformasikannya tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter, maka selanjutnya pasien dapat mempergunakan haknya
untuk memilih, menyetujui atau menolak tindakan medik tersebut. Jadi, pada hakikatnya hak atas persetujuan tindakan kedokteran ini
merupakan pelaksanaan hak dasar atas pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self
determination) yang keduanya adalah hak pasien atas kesehatan yang harus diakui dan dihormati.
6. Tujuan pelaksanaan persetujuan tindakan medis adalah perlindungan pasien untuk segala tindakan medik yang ditujukan secara fisik dan
mental tanpa sepengetahuan pasien tanpa ada dasar kepentingan medik sebagai penyalahgunaan standard profesi medik yang merugikan
pasien, juga sebagai perlindungan tenaga kesehatan dokter/perawat yang telah melakukan tindakan medik atas dasar standard profesi medik
namun menghadapi adanya akibat yang tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain, maka tindakan medik yang bermasalah itu
memperoleh jaminan perlindungan berdasarkan “risk of treatment” untuk kepentingan kesehatan.
KUMPULAN
PORTOFOLIO
Disusun oleh:
dr. Vanissa
Pembimbing:
dr. Helen Morista Endryani
dr. Yuli Astutiandriani Palasara
INTERNSHIP BALIKPAPAN
RST dr. R. Hardjanto
SEPTEMBER 2013 – AGUSTUS 2014