POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL...

84
POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU SERENTAK DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: AHMAD FADOLIY NIM : 11150480000040 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2020 M

Transcript of POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL...

Page 1: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILU SERENTAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AHMAD FADOLIY

NIM : 11150480000040

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 2: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

i

POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILU SERENTAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AHMAD FADOLIY

NIM : 11150480000040

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 3: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

ii

POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILU SERENTAK DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AHMAD FADOLIY

NIM: 11150480000040

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. J. M. MUSLIMIN, M.A.

NIP. 196808121999031014

MUFIDAH, S.H.I., M.H.

NIP. 2101018604

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 4: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

iii

Page 5: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,
Page 6: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

v

ABSTRAK

Ahmad Fadoliy, NIM: 11150480000040, POLITIK HUKUM PENERAPAN

PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU

SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi

Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020 M/ 1441 H.

Penelitian ini membahas mengenai politik hukum pembentukan presidential

threshold dengan presentase 20% dan relasi antara penerapan hukum presidential

threshold dalam penyelenggaraan Pemilu serentak. Untuk mendalami kajian

tersebut maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana

politik hukum penetapan 20% presidential threshold pada pemilu serentak di

Indonesia? 2. Bagaimana relasi politik hukum dan penerapan hukum presidential

threshold dalam Pemilu serentak di Indonesia?. Dengan tujuan mengetahui politik

hukum dalam penetapan presidential threshold yang mencapai 20% di rapat Dewan

Perwakilan Rakyat. 2. Mengetahui hubungan atau relasi pembentukan presidential

threshold terhadap penerapan hukum Pemilu serentak di Indonesia.

Metode penelitian ini merupakan metode penelitian hukum normatif

empiris, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan secara historis. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian hukum normatif empiris dengan menggunakan msetode

pengumpulan data secara kepustakaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; a. Penetapan presidential

threshold pada undang-undang No. 7 tahun 2017 memiliki karakteristik hukum

yang otoriter karena tujuan dibentuknya presidential threshold dengan presentase

tinggi adalah mempersempit partisipasi partai politik kecil dan menciptakan sistem

pencalonan semi tunggal dalam Pemilu serentak. b. Politik hukum penetapan

presidential threshold memiliki banyak unsur kepentingan yang bertolak belakang

dengan tujuan awal ditetapkannya presidential threshold, seperti memperkuat

sistem presidensil dan memperkuat sistem demokrasi.

Kata kunci : Politik Hukum, Presidential threshold, Pemilu Serentak.

Pembimbing Skripsi : Dr. J. M. Muslimin, M.A. dan Mufidah, S.H.I., M.H.

Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2019.

Page 7: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

v

KATA PENGANTAR

رحمن الرحيمبسم الله ال

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat iman,

jasmani dan rohani. Tiada henti kepadaNya penulis meminta agar selalu diberi

kesehatan, kemudahan, kesabaran dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Berkat kasih sayang, petunjuk dan rahmat-Nya penulis dapat megolah data menjadi

kata, menjadi kalimat dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari

kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini. Tidak lupa

shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Makhluk Istimewa yakni Nabi

Muhamad SAW. Yang telah membawakan cahaya kesempurnaan akhlak bagi umat

manusia.

Skripsi yang berjudul “POLITIK HUKUM PENERAPAN

PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU

SERENTAK DI INDONESIA” penulis susun dalam rangka memenuhi dan

melengkapi persyaratan mencapai gelar sarjana Hukum (S.H) pada program studi

Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Dengan kerendahan hati penulis bahwa tidak akan sanggup melewati segala

hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa

adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam

kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa

terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.

Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 8: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

vi

3. Dr. J. M. Muslimin, M.A. dan Mufidah, S.H.I., M.H. Pembimbing Skripsi

yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing

peneliti dalam menyelesaikan skripsi, sehingga dapat diselesaikan dengan

baik.

4. Babeh Ayub dan mommy Sumiyati, kedua orang tua peneliti yang

senantiasa tiada henti-hentinya memberikan edukasi, semangat, dan banyak

hal lagi dalam setiap kehidupan peneliti terkhusus pada proses penyelesaian

tugas akhir ini.

5. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini secara langsung

maupun tidak langsung yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Hanya ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya yang dapat peneliti

sampaikan, semoga Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan kalian

semua.

Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan

Alhamdulillahirabbil ‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin. Sekian dan

terimakasih.

Jakarta, 14 Juni 2020

Ahmad Fadoliy

Page 9: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... Error! Bookmark not

defined.

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7

D. Metode Penelitian ............................................................................ 7

E. Sistematika Pembahasan ............................................................... 10

BAB II POLITIK HUKUM DALAM BINGKAI DEMOKRASI DAN ......... 12

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN..................................................................... 12

A. Kerangka Konseptual .................................................................... 12

1. Politik Hukum ............................................................................. 12

2. Presidential Threshold ................................................................ 15

3. Pemilu Serentak .......................................................................... 17

B. Kerangka Teori .............................................................................. 23

1. Demokrasi ................................................................................... 23

2. Teori Kepentingan Politik ........................................................... 26

3. Konfigurasi Politik ...................................................................... 28

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................... 31

BAB III POLITIK HUKUM PEMILU SERENTAK DAN PRESIDENTIAL

THRESHOLD ............................................................................................. 33

A. Politik Hukum Penetapan Pelaksanaan Pemilu Serentak di

Indonesia ........................................................................................ 33

B. Politik Hukum Penetapan 20% Presidential Threshold di

Indonesia ........................................................................................ 39

Page 10: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

viii

C. Karakteristik Hukum UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ..... 43

BAB IV POLITIK HUKUM DAN PENERAPAN PRESIDENTIAL

THRESHOLD DALAM PEMILU SERENTAK................................... 47

A. Otoriterianisme dalam Politik Hukum dalam Presidential

Threshold ........................................................................................ 47

B. Relasi Politik Hukum dan Penerapan Hukum Presidential

Threshold ........................................................................................ 54

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 64

A. Kesimpulan .................................................................................... 64

B. Rekomendasi .................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 66

Page 11: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi

dalam pelaksanaan pemerintahannya. Sistem demokrasi secara konseptual

menghedaki adanya pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini

sesuai dengan nafas konstitusi pada Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menegaskan secara normatif bahwa

kedaulatan penuh berada di tangan rakyat dan dilaksanakan lebih jauh oleh undang-

undang.

Transformasi kedaulatan rakyat tersebut salah satunya dapat dilihat dalam

pelaksanaan pemilihan umum. Pemilihan umum yang dilaksanakan dengan baik

merupakan bentuk partisipasi rakyat secara langsung, di mana dalam pelaksanaanya

pemilihan umum dijalankan dengan asas langsung, bebas, umum, rahasia, jujur, dan

adil. Pemilu yang merupakan perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat harus

dilaksanakan dengan transparan dan adil agar tercapainya demokrasi yang baik

secara prosedural dan substansial.1.

Untuk itulah pemilihan umum merupakan salah satu komponen penting

perwujudan dari kedaulatan rakyat2, karena kedaulatan (sovereigniteit) merupakan

nilai esensial dari demokrasi yang sejalan dengan perintah konstitusi.3 Secara

filosofis demokrasi dan pemilu memiliki relasi yang sangat kuat, karena pemilu

menjadi salah satu perpanjangan tangan dari kehidupan politik. Demokrasi dan

1 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta: Fajar

Media Press, 2011), h. 1. 2Ibnu Tricahyo, Pengaturan Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Dalam Rangka

Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Demokratis, (Malang: Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya, 2007), h. 1. 3Dominik Zaim, The Sovereignty Paradox The Norms and Politics of International Statebuilding,

(New York: Oxford University, 2007), h. 7.

Page 12: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

2

Pemilu merupakan suatu hal yang erat kaitannya, prosesi pemilihan umum menjadi

salah satu perwujudan sarana kehidupan politik bagi warga negara. Hal ini sesuai

degan pendapat Robert A Dahl dalam omnus opusnya yang berjudul Polyarchy:

Participation and Oposition, bahwa pemilu sangat penting untuk dilaksanakan

sebagai sebuah perwujudan demokrasi, karena pemilu merupakan bentuk yang

nyata bahwa negara telah melakukan cara atau upaya untuk mencapai negara

demokasi secara substansial4. Atas dasar hal tersebut pelaksanaan pemilu harus

diselenggarakan dengan baik sesuai dengan amanat UUD 1945.5

Di Indonesia sistem pemilu selalu mengalami dinamika yang pesat dalam

perkembangan kebijakan. Lebih lanjut menurut Jimly Asshidiqie pemilihan umum

harus dilaksanakan secara berkala, hal ini dikarenakan oleh beberapa sebab, yaitu

pertama, pendapat masyarakat terhadap kebijakan pemilu selalu berubah-ubah

sesuai dengan tuntutan waktu. Hal ini dikarenakan perkembangan secara socio-

cultural selalu menuntut adanya perubahan yang sesuai dengan keadaan terbaru.

Kedua, ada aspek yang mempengaruhi secara internal dan eksternal. Secara

eksternal hal ini dipengaruhi oleh perubahan dunia internasional dan secara internal

adalah perubahan kehendak dan kondisi politik dalam negara itu sendiri. Ketiga,

dipengaruhi oleh faktor demografi atau bertambahnya jumlah penduduk dewasa

yang sudah memiliki hak politik secara konstitusional. Keempat, pemilihan umum

diadakan secara teratur sebagai proses pergantian kekuasaan.6

Pelaksanaan pemilhan umum pada mulanya ditujukkan untuk mimilih

anggota legislatif yaitu (DPR, DPD, dan DPRD). Pasca amandemen UUD 1945 ke

4 terjadi perubahan terhadap sistem kelembagaan yang awalnya presiden ditunjuk

oleh MPR menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Demokrasi secara

langsung ini sesuai dengan ungkapan Abrahan Lincoln “government of the people,

4Ramlan Surbakti, dkk. Merancang Sistem Politik Demokratis: Menuju pemerintahan

Presidensial yang Efektif (Kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan, 2011), h. 4. 5Jenedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 45. 6Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: BIP,

2008), h. 752.

Page 13: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

3

by the people, and for the people”7. Amandemen tersebutlah yang menggambarkan

secara ensial mengenai demokrasi secara langsung dan merupakan konsekuensi

logis dari negara demokrasi itu sendiri.8

Praktik pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dimulai

pada tahun 2004 hingga 2014 dilakukan secara berkala atau dilaksanakan setelah

adanya pemilihan legislatif. Hal ini dimungkinkan adanya tenggang waktu yang

tercipta untuk menjadikan hasil pemilihan legislatif (parlementary threshold)

menjadi acuan /tiket utuk mengajukkan calon presiden dengan ambang batas yang

telah ditentukkan.

Presidential threshold merupakan ambang batas perolehan suara yang harus

dicapai oleh partai politik untuk mengajukkan calon presiden dalam pemilihan

umum. Hal tersenut secara normatif dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 222 Undang

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa pasangan

calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang

memenuhi persyaratan perolehan kursi di DPR paling sedikit 20% arau memperoleh

suara sah nasional sebanyak 25% pada pemilihan legislatif. Dengan adanya

mekanisme berkala tersebut dapat terjaminnya poros pengusung yang seimbang

antara petahana dan oposisi, sehingga ketika pemerintahan berjalan, tidak akan

bersifat salah satu lembaga lebih dominan dan menegasikan sistem check and

balances.9

Selain adanya pemilu yang berkala agar tercipatanya kondisi politik yang

stabil, diciptakan juga mekanisme ambang batas pencalonan presiden atau

presidential threshold yang sudah digunakan pada Pemilu tahun 2014. Namun,

menjadi suatu permasalahan jika pemilu yang berkala tersebut menjadi serentak dan

7 Sunil Bastian dan Robin Luckham, Can Democracy be Designed?, The Politics of Institutional

Choice in Conflict-torn Societies, (London & Newyork: Zed Books, 2003), h. 15. 8 Jacob Oetama, Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1999-2001, (Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2001), h. 88. 9 J Jeremy Wisnewski (Ed), Review Journal of Political Phylosophy Volume 11, (Newcastle:

Cambridge Scholars Publishing, 2014), h. 14.

Page 14: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

4

menggunakan threshold yang tinggi dalam pencalonan presiden. Hal ini akan

berdampak pada intensitas politik dan tarik menarik kepentingan dalam pemilu akan

terjadi, bahkan akan berdampak pada mundurnya kualitas demokrasi dalam pemilu.

Ketentuan ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-

XI/2013 yang secara rasio decedendinya menghendaki pemilu legislatif

dilaksanakan secara serentak bersamaan dengan pemilu presiden. Pelaksanaan

putusan tersebut selanjutnya diejawantahkan dalam Pasal 222 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 2017 menimbulkan kotradiksi secara normatif karena saling

berbenturan yang akhirnya menibulkan permsalahan baru.

Permasalahan-permasalahan tersebut adalah pertama, diselenggarakannya

pemilu secara serentak yang menggunakan konsep presidential threshold yang

tinggi akan menimbulkan ketidakpastian dari mana persentase presidential

threshold untuk mengajukkan calon presiden akan diambil. Jika penentuan ambang

batas pencalonan tersebut adalah berdasarkan pemilihan legislatif tahun sebelumnya

maka akan mengdiskreditkan kemungkinan partai baru atau partai yang sebelumnya

tidak masuk untuk bisa masuk ke dalam parlemen.

Kedua, permasalahan yang akan timbul jika ambang batas yang tinggi

diterapkan dengan pemilu serentak adalah dimungkinkannya koalisi yang dominan

terhadap partai yang calon presidennya memenangkan pemilihan presiden. Dalam

artian hilangnya oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan, karena jika pemilu

serentak akan secara otomatis partai-partai akan memilih berkoalisi dengan partai

yang menang tersebut. Ketiga, konsep ini akan memberikan dampak terpecah

belahnya pendukung yang terbagi hanya pada dua kubu saja. Hal ini dikarenakan

dengan adanya ambang batas yang tinggi secara mutatis mutandis akan menciptakan

2 calon presiden saja dalam kontestasi pemilu. Lebih jauh lagi, intesitas atau

pressure terhadap fanatisme pendukung tidak dipecah dan difokuskan terhadap dua

calon presiden saja. Padahal disinilah peran penting bagi hukum sebagai alat yang

Page 15: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

5

harus bisa menerjemahkan situasi politik dan kepentingan menjadi gagasan yang

baik untuk pembangunan demokrasi.10

Permasalahan tersebut bertentangan dengan semangat keadilan pemilu

(electoral justice)11, di mana secara prinsip setiap orang berhak untuk mengusung

calon dengan hak-hak setara (candidacy right) 12 . Untuk itulah berdasarkan

problematika-problematika yang telah disebutkan sebelumnya, Peneliti ingin

membahas lebih dalam mengenai politik hukum penetapan presidential threshold

serta relasinya dengan penerapan hukum presidential threshold dalam

penyelenggaran Pemilu serentak di Indonesia. Penelitian tersebut diangkat dan

dibahas ke dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “POLITIK HUKUM

PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILU SERENTAK DI INDONESIA”.

10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h.

10. 11 Benjamin Relly, Democracy in Decided Societiesn : Electoral Engineering for Conflict

Management, (New York : Cambridge University Press, 2001), h. 35. 12 Fadli, Ramadhanil, “Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Pemilu 2019”,

https://rumahpemilu.org/ambang-batas-pencalonan-presiden-dan-pemilu-2019/ diakses pada 5 juli

2019.

Page 16: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

6

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah :

a. Sistem pemilu di Indonesia masih memiliki banyak permasalahan karena

presidential threshold tidak cocok digunakan dalam Pemilu serentak

b. Terbentuknya presidential threshold 20% menimbulkan banyak polemik

seperti menutup ruang bagi partai politik kecil dalam penyelenggaraan Pemilu

c. Terciptanya ketidakseimbangan demokrasi dengan adanya presidential

threshold yang mencapai 20%

d. Presentase presidential threshold yang tinggi menyebabkan tingginya

intensitas politik karena hanya tersedia 2 pilihan Presiden

e. Adanya suatu kepentingan partai politik penguasa dengan dibentuknya

presidential threshold tinggi pada pelaksanaan Pemilu serentak

2. Pembatasan Masalah :

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, serta banyaknya

pemaparan terkait identifikasi masalah, untuk mempermudah pembahasan dalam

penulisan skripsi ini, peneliti membatasinya pada permasalahan yang terjadi

terkait keputusan yang menentukan diberlakukannya presidential threshold

dalam pelaksanaan pemilu serentak.

Pembatasan masalah dalam skripsi ini lebih memfokuskan pada proses

pembuatan aturan tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat atau politik hukum

terbentuknya aturan tersebut dan relasi politik hukum dengan penerapan hukum

presidential threshold dalam penyelenggaraan Pemilu serentak.

3. Perumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang telah

dijabarkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah yaitu: Politik

Hukum Penerapan presidential threshold dalam Penyelenggaraan Pemilu

Serentak di Indonesia. Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka

pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:

Page 17: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

7

a. Bagaimana politik hukum penetapan 20% presidential threshold pada pemilu

serentak di Indonesia?

b. Bagaimana relasi politik hukum dan penerapan hukum presidential threshold

dalam Pemilu serentak di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bentuk politik hukum dalam penetapan presidential

threshold yang mencapai 20% di rapat Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Untuk mengetahui hubungan atau relasi pembentukan presidential threshold

terhadap penerapan hukum Pemilu serentak di Indonesia.

2. Manfaat penelitian ini adalah :

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu dibidang politik hukum dan membuktikan

secara nyata bahwasannya disetiap pembuatan suatu peraturan atau Undang-

Undang terdapat adanya suatu kepentingan yang dapat mempengaruhi hasil

dari pembuatan Undang-Undang tersebut.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan, dengan adanya penelitian ini mampu mengurangi adanya

penyalahgunaan kewenangan para penguasa atau elit politik dalam

penggunaan jabatannya terkait pembuatan peraturan atau Undang-Undang.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif empiris atau suatu

metode penelitian hukum yang menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil

dari perilaku manusia, baik perilaku verbal yang didapat dari wawancara maupun

Page 18: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

8

perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung.13 Penelitian

empiris juga digunakan untuk mengamati hasil dari perilaku manusia yang

berupa peninggalan fisik maupun arsip.14 Pendekatan penelitian ini

menggunakan beberapa pendekatan untuk menganalisis permasalahan yaitu:

a. Pendekatan historis (historical approach) yaitu pendekatan yang dilakukan

dengan menganalisa argumentasi perdebatan yang terjadi dalam rapat

panitia khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu, hal tersebut

dilakukan untuk memahami dasar argumentasi serta pemikiran para Pansus

yang melandasi terbentuknya undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum khususnya yang berkaitan dengan pembentukan

presidential threshold dengan besaran angka 20%. Pendekatan historis ini

ditujukkan agar lebih memahami tujuan serta isi argumentasi suatu objek

yang diteliti.

b. Pendekatan Undang-undang (statute approach) yaitu pendekatan dengan

menggunakan undang-undang yang berkaitan dengan pemilihan umum dan

aturan dalam pembuatan undang-undang.

2. Bahan Hukum

a. Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah UUD 1945, Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, risalah rapat panitia

khusus (PANSUS) RUU penyelenggaraan Pemilu dan risalah sidang

DPR terkait undang-undang Pemilu.

b. Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah semua publikasi secara online

maupun terbitan penerbit tentang dokumen-dokumen sejarah. Publikasi

13 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Peresada, 2006),

h. 24. 14 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2004), h. 134.

Page 19: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

9

mengenai dokumen-dokumen dibidang politik dan hukum tentang

pemilihan umum dan presidential threshold, jurnal-jurnal hukum, kamus

hukum, maupun komentar-komentar atau pandangan hukum tentang

presidential threshold. Penelitian kepustakaan dalam data sekunder ini

dilakukan dengan cara riset dan menggutip pendapat yang dapat

mendukung penelitian ini.

c. Tersier

Yaitu bahan berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai tambahan

atau pelengkap dari bahan primer maupun sekunder, yaitu kamus maupun

ensiklopedia dan bahan dari inernet.

3. Tekhnik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan studi dokumentasi sedangkan alat penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen terhadap bahan

pustaka. Pencarian data dilakukan dengan cara mencari bahan-bahan hukum,

baik dengan penelusuran kepustakaan maupun melalui penelusuran internet.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Setelah data diperoleh, maka yang dilakukan selanjutnya adalah mengolah

data, melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1) Seleksi data, yaitu pemerikasaan data untuk mengetahui apakah data

tersebut sudah lengkap sesuai dengan keperluan penelitian.

2) Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan bidang atau pokok

bahasan agar mempermudah dalam menganalisisnya.

3) Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga mempermudah dalam

menganalisisnya.

Teknik analisis dari penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang

menjelaskan secara historis dan perbandingan argumentasi dalam beberapa fraksi

dan mendapatkan kesimpulan dengan metode deduktif, artinya memaparkan hal

Page 20: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

10

bersifat umum terhadap permasalahan lalu akan menuju kepada permasalahan

konkret.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan Buku Pedoman Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, yang masing-

masing bab tersebut terdiri dari sub-bab yang memperjelas permasalahan yang

menjadi topik permasalahan.

Pada bagian pertama peneliti membahas mengenai pendahulan yaitu meliputi

latar belakang permasalahan; identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah;

tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metode penelitian; dan sistematika

penelitian.

Selanjutnya, pada bagian kedua menjelaskan mengenai kajian pustaka yang

berisi teori-teori yang digunakan untuk menganalisis data dan permasalahan dalam

penelitian. Kajian pustaka pada bab ini terdiri dari kerangka konseptual dan

kerangka teori. Kajian pustaka yang baik akan membantu peneliti dalam membuat

hipotesis dalam permasalahan. Selain itu, pada bab ini juga terdapat review studi

terdahulu yang dijadikan acuan agar tidak terjadi duplikasi dalam penelitian.

Kemudian pada bagian ketiga, penulis memaparkan data yang berkaitan tentang

pembahasan penetapan presidential threshold 20% serta menjelaskan data politik

hukum yang terjadi dalam pembuatan hukum terkait presidential threshold 20%.

Tentunya pada bab ini akan membahas bagaimana karakteristik dari undang-undang

No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pada bagian keempat, di jelaskan mengenai politik hukum dari fraksi-fraksi yang

mentapkan pt 20% di parelemen, serta menganalisis hubungan politik hukum

dengan penerapan hukum presidential threshold di Pemilu serentak. Pada bab ini

juga akan menjelaskan bagaimana dampak yang muncul dari penerapan presidential

threshold 20% yang diselenggarakan dalam pelaksanaan Pemilu serentak.

Page 21: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

11

Pada bagian terakhir adalah penutup berisikan kesimpulan dan rekomendasi

penulis. Pada bab ini merupakan penarikan kesimpulan dari hipotesis-hipotesis di

awal yang berujung pada substansi bab kelima ini.

Page 22: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

12

BAB II

POLITIK HUKUM DALAM BINGKAI DEMOKRASI DAN

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

A. Kerangka Konseptual

1. Politik Hukum

Politik hukum adalah proses pembentukan kebijakan yang terjadi dalam

lembaga negara yang berwenang membentuk kebijakan dan peraturan, guna

mencapai tujuan yang diharapkan dan dikehendaki negara. Proses pembentukan

tersebut nantinya akan menghasilkan suatu produk kebijakan dan peraturan yang

bertujuan untuk kepentingan masyarakat1. Sunaryati Hartono berpandangan

terkait politik hukum dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul Politik

Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Dalam buku tersebut politik

hukum dilihat sebagai sebuah alat atau jalan mewujudkan cita-cita bangsa yang

disampaikan dan dituangkan dalam pembentukan hukum nasional melalui

pemerintah2. Lebih dalam lagi Abdul Hakim G Nusantara memfokuskan politik

hukum menjadi politik hukum nasional, menurutnya politik hukum nasional

adalah upaya pemerintahan suatu negara yang ingin menerapkan secara nasional

suatu kebijakan hukum (legal policy)3.

Politik hukum nasional memiliki beberapa karakteristik diantaranya

konsistensi pelaksanaan hokum yang ada, revitalisasi hukum yang bertujuan

mengganti hukum yang dianggap usang dengan hukum yang menyesuaikan

zaman, mempertegas fungsi lembaga hukum serta adanya pembinaan anggota,

1Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana,

(Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 20. 2Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:

Alumni, 1991), h. 1. 3 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006), h.30.

Page 23: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

13

dan menekankan pandangan pengambil kebijakan menjadi kesadaran hukum di

masyarakat. Berdasarkan faktor-faktor tersebut telah menjelaskan secara nyata

yang mencakup ketentuan berlakunya politik hukum dan proses pembuatan serta

pembaruan hukum, hal ini menjadi suatu penciptaan hukum yang berlandaskan

dan berdimensi terhadap sebuah konsep hukum yaitu ius constitutum, ius

constituendum4.

Secara esensial, ada beberapa landasan atau poin penting yang menjadi

dasar terlaksananya pembangunan politik hukum nasional. Pertama landasan

yang berdasarkan norma kehidupan berbangsa dan bernegara serta hukum yang

berjiwa Pancasila (landasan idiil). Kedua adalah landasan operasional, landasan

ini memiliki bebrapa ciri yaitu:

1. Hukum yang memberikan keadilan dan kesejahterakan, maksudnya hukum

itu harus dijadikan alat atau sarana pembaruan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dalam pembentukan hukum

haruslah harmonis serta menyesuaikan dengan konsep negara

kesejahteraan, karena pada dasarnya hukum adalah untuk manusia5.

2. Terciptanya demokrasi yang kuat karena hukum, disini diartikan hukum

dibentuk untuk memperkokoh demokrasi dan harus berlandaskan konsep

yang mementingkan keberlangsungan demokrasi serta berpola pikir

membumikan idealisme demokrasi pada kehidupan politik, oleh karena itu

diperlukan pondasi hukum yang berpegang teguh terhadap tujuan

demokrasi dengan dukungan muatan moral yang kuat.

3. Hukum yang menjamin hak-hak dasar warga negara. Maksudnya adalah

hukum yang dibentuk harus mementingkan hak asasi manusia.

4. hukum bertujuan merkokoh NKRI. Dalam pembentukan hukum

terciptanya NKRI yang semakin kuat adalah landasan dasar yang harus ada

4Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum,...h. 31. 5 Satjipto Rahardjo, menggagas Hukum Progresif Indonesia, (Semarang: Kerjasama

Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 2006), h. 1.

Page 24: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

14

dalam perancangan pembuatan peraturan perundang-undangan.

5. Hukum yang berbhineka tunggal ika, dalam pembentukan hukum harus

memperhatikan berbagai macam perbedaan, seperti keberagaman sosial

budaya serta banyaknya kelompok-kelompok yang ada, dengan tetap

berpegang pada dasar negara dan keutamaan persatuan bangsa.

6. Hukum diciptakan guna melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia.

Melihat landasan-landasan pokok yang ada harusnya menjadikan sebuah

pedoman dalam setiap politik hukum pembuatan aturan yang nantinya akan

berlaku bagi tercipta atau tidaknya tujuan negara yang seharusnya. Karena proses

pembuatan hukum sangatlah berpengaruh terhadap arah pemerintahan dan

menjadi penentu bagi pembangunan negara secara nasional. Jika proses politik

hukum tidak memenuhi unsur serta landasan-landasan pokok yang seharusnya,

dikhawatirkan akan menjadi hal yang justru bukan untuk pembangunan negara

melainkan kehancuran negara itu sendiri. karena pada dasarnya politik hukum

adalah alat penunjang negara (pemerintah, DPR, dan sebagainya) pada

pembentukan hukum, dalam hal ini pemerintah berperan sebagai pelaksana

politik dan birokrasi serta aspek personel dari negara yang bersifat pra-

birokratik, birokratik, dan post-birokratik6.

Keikutsertaan negara pada hukum maksudnya adalah dalam hal penciptaan

hukum, ini diartikan negara memiliki kewajiban dalam pemeliharaan keadilan

dan ketertiban. Keikutsertaan negara selanjutnya adalah pada pelaksanaan

hukum, hal ini mewajibkan negara membentuk alat-alat sebagai pelaksanaan dan

penegakan hukum menurut ketentuan yang telah ditetapkan negara.

Keikutsertaan selanjutnya adalah pada berkembangnya hukum, yaitu kesadaran

masyarakat menjadi dasar pembentukan hukum, dalam hal ini negara berusaha

meyakinkan kesadaran masyarakat pada perkembangan hukum yang seharusnya,

6Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive

Law (London: Harper & Row, Publisher New York Hargestown, San Fransisco, 1978), h.22.

Page 25: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

15

sehingga antara negara dan masyarakat dapat melaksanakan perkembangan

hukum yang tercipta7.

2. Presidential Threshold

Presidential threshold8 merupakan aturan yang dibentuk oleh lembaga

yang berwenang yang menjadi suatu acuan dalam pencalonan presiden, acuan

tersebut berupa batasan yang didapatkan dari dukungan DPR, dukungan yang

didapatkan berbentuk hasil perolehan suara (ballot) atau hasil perolehan kursi

(seat). Batasan tersebut wajib didapatkan oleh partai politik atau gabungan partai

politik agar bisa mencalonkan Presiden pada penyelenggaraan Pemilu.

Ketentuan Presidential threshold pada dasarnya tidak terkandung dalam

Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena kandungan pasal tersebut

menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh

partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan

Pemilu”, sebenarnya presidential threshold adalah ketentuan tambahan yang

digunakan sebagai bagian dari syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

guna mengatur dan membatasi partai politik dalam mengusung perwakilannya

dalam penyelenggaraan Pemilu. Karena partai politiklah yang menjadi

penghubung antara warga negara (the citizens) dengan pemerintahan (the state).

Apabila dikaji secara komprehensif, kebijakan presidential threshold

sebenarnya berkaitan dengan kebijakan parlementary threshold atau ambang

batas parlemen sebagai penyempurnaan dari electoral threshold9. Pemberlakuan

presidential threshold merupakan kebijakan yang bertujuan kepada penguatan

sistem presidensil dengan cara penyederhanaan partai politik. Hal ini bertujuan

menciptakan stabilitas antara pemerintah dengan lembaga legislatif agar tidak

menemukan kesulitan bagi pemerintah dalam mengambil arah kebijakan.

7Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional

2015-2019,…h. 67. 8 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu

Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009), h. 19. 9Janedri M. Ghaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Pres, 2012), h. 33.

Page 26: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

16

Melalui putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 mahkamah konstitusi menilai

penerapan presidential threshold bukanlah kebijakan yang dapat menggerus

eksistensi Parpol, justru penerapan presidential threshold adalah upaya nyata

dalam optimalisasi demokrasi. Mahkamah konstitusi pun menilai Presidential

threshold tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 194510 karena pada

hakikatnya presidential threshold tidak menderogasi prinsip kedaulatan rakyat,

dan tidak tebang pilih karena hal tersebut berlaku bagi semua Parpol. Menurut

Mahkamah Konstitusi pula melalui putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 ketentuan

presidential threshold itu sendiri dianggap sebagai kebijakan hukum terbuka

(open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang. Open legal policy sendiri

dimaknai sebagai kewenangan penuh pembentuk Undang-Undang dalam

menentukan kebijakan hukum11.

Walaupun penerapan presidential threshold merupakan open legal policy,

hal tersebut tidaklah menafikan akan tercederainya demokrasi. Penerapan

presidential threshold akan menjadi unsur penting betapa kebebasan masyarakat

untuk dipilih tidak terpenuhi. Pada penerapannya presidential threshold harus

selalu diiringi dengan prinsip-prinsip demokrasi terutama pada penentuan

presentase yang akan ditetapkan, presentase tersebut harus memperhatikan

seluruh lapisan masyarakat antara golongan mayoritas dan minoritas, serta harus

memperhatikan banyaknya keragaman seluruh lapisan masyarakat di Indonesia,

sehingga dalam penentuannya tidak ada golongan atau kelompok tertentu yang

merasa dirugikan demi terciptanya unsur demokrasi yang dalam hal ini adalah

pemenuhan aspirasi politik masyarakat12. Penentuan presentase presidential

threshold harus selalu memperhatikan keseimbangan antara politik hokum yang

10I Dewa Made Putra Wijaya, “Mengukur Derajat Demokrasi Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden”, Jurnal IUS, Vol. II Nomor

6 Desember 2014, h. 563. 11Mardian Wibowo, “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka

dalam Pengujian Undang-Undang”, (Jurnal Konstitusi, Volume 12 Nomor 2, Juni 2015), h. 211. 12I Dewa Made Putra Wijaya, “Mengukur Derajat,…h. 564.

Page 27: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

17

bertujuan untuk penyempurnaan sistem presidensil dengan adanya perlindungan

yang bertujuan menjaga keragaman politik di masyarakat. Penentuan presentase

presidential threshold harus dilakukan berdasarkan asas-asas demokrasi yang

seharusnya tanpa memikirkan kerugian atau keuntungan yang akan didapatkan

Parpol13.

3. Pemilu Serentak

Harris G. Warren berpandangan bahwasannya Pemilu merupakan hak

setiap warga negara untuk menentukan arah tujuan negara selanjutnya dengan

cara menetapkan siapa yang pantas membawa negara serta memimpin negara

kedepannya, dengan harapan arah negara selanjutnya sesuai dengan kehendak

warga negara itu sendiri. Lebih lanjut lagi A. Sudiharto menjelaskan bahwa

Pemilu merupakan wujud nyata pelaksanaan demokrasi serta menjadi wadah

keterlibatan rakyat dalam perwujudan cita-cita negara14.

Diselenggarakan dan dilaksanakannya pemilu adalah sebagai wadah atau

wahana bagi masyarakat mengontrol pemerintah. Terpenuhinya perwujudan

demokrasi dengan pelaksanaan Pemilu yang baik bertujuan untuk memberikan

sepenuhnya mandat atau suara rakyat kepada para perwakilan di parlemen pada

setiap pengambilan kebijakan15. Hal tersebut adalah suatu perwujudan

pemenuhan hak yang sama antara masyarakat dengan pemerintahan. Dalam hal

ini memang rakyat tidak terlibat secara langsung terkait pengambilan keputusan,

tetapi melalui pelaksanaan Pemilu suara rakyat secara penuh telah diwakilkan

kepada perwakilan yang dipilih oleh rakyat itu sendiri pada pengambilan

keputusan atau kebijakan politik. Hal ini merupakan bentuk pemerintahan

demokrasi perwakilan (representative/indirect democracy).

13I Dewa Made Putra Wijaya, “Mengukur Derajat,…h. 565. 14Ramlan surbakti, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2008), h. 461. 15David Held, dalam Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, (Bandung: Humaniora RI, 2008),

h. 65-66.

Page 28: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

18

Demokrasi perwakilan (representative democracy) itu sendiri menurut

Held adalah perwujudan manifestasi politik yang tidak dapat dihindarkan

keberadaannya pada perkembangan politik negara modern. Seiring berjalannya

waktu mulai menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat (public trust) kepada

perwakilannya di pemerintahan (elected official) membuat fungsi dari demokrasi

perwakilan itu sendiri semakin tergerus, hal tersebutlah yang membuat

pentingnya sebuah rujukan baru dalam setiap pengambilan keputusan atau

kebijakan penting yang nantinya akan berdampak bagi masyarakat itu sendiri.

Rujukan penting yang baik adalah demokrasi yang melibatkan masyarakat

seperti demokrasi langsung (direct democracy) atau demokrasi partisipatoris

(partisipatory democracy) seperti demokrasi yang diterapkan di zaman Yunani

kuno bisa menjadi rujukan yang sesuai16.

Direct democracy atau partisipatory democracy menurut Morlino

memiliki beberapa poin penting yaitu, dalam setiap proses pembuatan dan

pelaksanaan kebijakan-kebijakan, keterlibatan masyarakat atau partisipasi publik

merupakan gagasan yang sangat penting, dan tugas wakil rakyat hanya sebatas

menyampaikan kehendak publik itu sendiri17. Poin penting tersebut sesuai

dengan pandangan yang seharusnya bahwa demokrasi bukan hanya berbicara

tentang prosedur dan isi (procedur and content), tetapi demokrasi yang baik itu

harus melihat hasil (result) yang diciptakan oleh prosedur dan isi pada

pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Pandangan tersebut sering menjadi hal yang

berkaitan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Karenanya

partisipasi publik selalu ditekankan sebagai

“the practice of consulting and involving members of the public in the

agenda setting, decision making, and policy forming activities or

organizations and institutions responsible for policy development” 18.

16Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Paska Orde Baru,

(Jakarta: Kencana), 2010, h. 109. 17 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia,…h. 110. 18Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia,…h. 110.

Page 29: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

19

Dengan demikian prosedur secara konteks dan inteks yang diterapkan secara baik

akan berdampak pada kebijakan publik yang benar pula (good policy making).

Esensi-esensi dari demokrasi tersebut juga terejawantahkan dalam pemilu

di Indonesia yang dijalankan dengan asas demokrasi secara langsung (direct

democracy). Pelaksanaan pemilu secara substansial tidak terlepas dari

pelaksanaan politik nasional, hal ini juga ditegaskan oleh Joseph Schumpeter

yang memaknai demokrasi sebagai metode politik, di mana demokrasi

merupakan pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan

politik di dalam mana, individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan

suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui

perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. “kehendak

rakyat” bukanlah penggerak demokrasi melainkan merupakan hasil proses

politik19. Kehendak politik tersebut akhirnya membawa pemilu di Indonesia

bersifat dinamis. Hal ini dapat dilihat pada perkembangannya yang dimulai pada

pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada masa Orde lama ketika

Presiden Soekarno menjabat dengan keikutsertaan empat partai besar yakni PNI,

NU, PKI dan Masyumi serta beberapa partai kecil lainnya seperti Partai Katholik,

Parkindo dan PSII20. Setelah masa pemilihan umum Orde Lama, pemilihan

umum yang selanjutnya diadakan pada tahun 1971 ketika Orde Baru dengan

keiskusertaan sepuluh partai21. Setelah serangkain pemilu yang ‘dikuasai’ oleh

Orde Baru dengan hanya mengizinkan tiga partai yakni PPP, PDI dan Golkar.

Fase reformasi membawa Indonesia pada Pemilu 1999, dimana partai

dikembalikan pada fungsi awalnya.

Kemudian diadakan kembali pada 2004 dengan perkembangan pada pola

pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung. Setelah pelaksanaan pemilu

dengan sistem pemilihan presiden langsung, maka pada tahun 2009, diadakan

19David Held, dalam Suyatno, Menjelajahi Demokrasi,…h. 39-40. 20Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 307.

21Kemenkumham, “Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan

Umum 2014”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 Nomor 4, (Desember 2014), h. 509.

Page 30: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

20

kembali sistem Pemilu yang sama dengan perbaikan pada beberapa kekurangan

pada Pemilu sebelumnya. Selanjutnya, Pemilu diadakan pada April 2014 untuk

pemilihan legislatif pusat dan daerah dan pada bulan Juli 2014 untuk pemilihan

Presiden dengan berbagai perbaikan sebagai hasil dari evaluasi terhadap Pemilu

sebelumnya termasuk pada 2009, yang ternyata memendam banyak persoalan.

Terakhir, Pemilu diadakan pada tahun 2019, dan pada Pemilu ini banyak sekali

polemik yang muncul. Pasca dikeluarkannya putusan MK Nomor 14/PUU-

XI/2013, menimbulkan konsekuensi tersendiri terkait dengan upaya

penyerentakan pelaksanaan Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden di tanah air. Sebagaimana diketahui bahwa kedua rezim Pemilu tersebut

selama ini digelar secara terpisah (selalu didahului dengan pelaksanaan Pemilu

Legislatif) dan berada di bawah naungan yang berbeda pula. Oleh sebab itu,

upaya penyerentakan Pemilu tersebut membutuhkan langkah lanjutan, agar

kemudian tujuan pelaksanaan Pemilu serentak yang dilaksanakan pada tahun

2019 tersebut dapat berkontribusi besar dalam rangka membangun kualitas

demokrasi yang lebih baik.

Model Pemilu serentak Indonesia ini memiliki karakteristik tersendiri jika

dibandingkan dengan negara demokrasi lainnya. Sebagai negara dengan struktur

pemerintahan yang berjenjang, pemilu Indonesia pun diadakan pada hampir

semua level dalam struktur kekuasaan baik pada tingkat eksekutif maupun

legislatif. Mulai dari pemilu tingkat presiden sebagai kepala negara, hingga

kepada kepala desa yang memerintah pada tingkat terbawah dalam stuktur

eksekutif. Begitu pula dengan lembaga legislatif yang dipilih pada tingkat daerah

dan pusat. Berdasarkan sistem administrasinya, pemerintahan daerah di

Indonesia dibagi menjadi 34 provinsi yang terdiri atas 508 kabupaten (pedesaan)

dan kota (perkotaan), 6.994 kecamatan, dan 81.253 kelurahan (perkotaan) dan

Page 31: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

21

desa (pedesaan) 22 . Pemilu Indonesia dianggap sebagai kegiatan kepemiluan

paling kompleks di dunia, Pemilu Indonesia yang kompleks tidak lepas dari

eksistensi partai politik. Indonesia sendiri sejak awal berdirinya telah mengenal

partai sebagai wadah perjuangan melawan kolonialisme. Ada berbagai macam

partai dengan berbagai macam basis ideologi, dari religius, nasionalis bahkan

komunis23. Eksistensi partai yang beragam tersebut terus ada hingga kini dimana

Indonesia menganut sistem multi partai.

Dalam ranah teoritis, konsep Pemilu serentak adalah suatu kebijakan politk

untuk melakukan penggabungan pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pemilu

eksekutif dalam satu hari H pemungutan suara. Dalam konteks perbandingan

(comparative) sistem politik yang berkembang, konsep Pemilu serentak hanya

dikenal di negara-negara penganut sistem pemerintahan presidensil. Sebab,

dalam sistem ini, baik anggota legislatif maupun pejabat eksekutif dipilih melalui

Pemilu. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, dimana pemilu

legislatif dengan sendirinya menghasilkan pejabat eksekutif. Sebab, Parpol atau

koalisi Parpol yang memenangi Pemilu menguasai mayoritas kursi parlemen

sehingga bisa membentuk pemerintahan. Sebagaimana diutarakan oleh Didik

Supriyanto24 bahwa gagasan Pemilu serentak mampu mengatasi politik dinasti

dengan dasar argumentasi.

Pertama, bila Pemilu legislatif dan Pemilu eksekutif dilaksanakan

bersamaan, setiap orang (termasuk petahana dan kerabatnya) memiliki peluang

terbatas untuk mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan yang

hendak digapai, antara anggota legislatif atau jabatan eksekutif, baik yang terpilih

maupun yang tidak berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan.

22 Rumah Pemilu, “Gambaran Singkat Pemilihan Umum 2014”,

http://www.rumahpemilu.org/in/read/4030/Gambaran-Singkat-Pemilihan-Umum-2014-di-

Indonesia, diakses pada 10 Maret 2020. 23Kemenkumham, “Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia,…h. 509. 24 Didik Supriyanto, “Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak”,

http://www.kompas.com/read/2013/03/21/02251623/Cegah-Politik-Dinasti-dengan-Pemilu-

Serentak, diakses pada tanggal 10 Maret 2020.

Page 32: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

22

Bandingkan dengan situasi saat ini, pada saat Pemilu legislatif setiap orang

memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang satu atau dua tahun kemudian,

mereka yang sudah mendapat kursi parlemen maupun yang gagal bergerak ke

arena eksekutif berebut kursi kepala daerah dalam Pilkada. Bagi pemilik kursi

parlemen yang gagal bisa kembali menduduki kursinya, sedangkan yang berhasil

akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang bisa jadi adalah kerabatnya.

Kedua, penggabungan Pemilu legislatif dan Pemilu eksekutif memaksa partai-

partai politik membangun koalisi sejak dini. Mereka sadar, keterpilihan calon

pejabat eksekutif yang mereka usung akan memengaruhi keterpilihan calon-

calon anggota legislatif.

Hal ini mendorong partai-partai akan membangun koalisi besar sehingga

pasca Pemilu menghasilkan blocking politic di satu pihak, terdapat koalisi besar

yang memenangi jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen, di pihak

lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok

minoritas parlemen sehingga mau tidak mau menjadi oposisi. Dengan demikian

melalui gagasan Pemilu serentak diharapkan menjadikan suatu upaya untuk

membangun kualitas demokrasi yang terkonsolidasi sehingga secara otomatis

akan berdampak pada menguatnya sistem Presidensil di Indonesia.

Pada intinya Pemilu merupakan perwujudan dari negara atas kedaulatan

rakyat banyak, dan Indonesia pada Pemilu 2019 memiliki konsep Pemilu yang

berbeda dari biasanya yaitu Pemilu serentak, yang mana Pemilu serentak atau

yang disebut dengan concurrent elections didefinisikan sebagai sistem Pemilu

yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu yang bersamaan25.

Lebih spesifiknya Pemilu serentak adalah pelaksanaan pemilihan legislatif

dengan pemilihan presiden dan wakil presiden diadakan dalam waktu yang

bersamaan atau bisa disebut juga secara serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan

25Benny Geys, Explainning Voter Turnout: A Review Of Aggregate- Level Research,

(Electoral Studies 25, 2006), h. 652.

Page 33: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

23

putusan Mahkamah konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/ 2013 tentang pemilu

serentak, diterapkannya aturan ini bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan

negara dalam pelaksanaan Pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi

peserta Pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan

kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja

pemerintah.

B. Kerangka Teori

1. Demokrasi

sebagai paham mayoritas yang dianut oleh berbagai negara di dunia.

Seperti hasil penelitian Amos J. Peaslee, pada tahun 1950, sebanyak 90 % negara

menganut prinsip kedaulatan rakyat (people power) terbukti dari 83 konstitusi

negara-negara yang diperbandingkan, terdapat 74 negara yang Paradigma sistem

pemerintahan dan politik modern, telah menasbihkan demokrasi sebagai suatu

konsep ideal.26. Konsep demokrasi juga diterjemahkan oleh Ni‟matul Huda

sebagai asas dan sistem yang paling baik di dalam sistem politik dan

ketatanegaraan.27. Dalam perkembangan tata negara modern, secara superior

demokrasi menjelma konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan

rakyat.28.

Esensinya, demokrasi merupakan metode politik atau sebuah mekanisme

untuk mencari pemimpin politik melalui pemilihan yang dipilih secara langsung

oleh warga Negara29. Kesempatan atau ruang untuk memilih pemimpin-

pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi. Jadi

26Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),

h. 141. 27Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h.

259. 28Amos J. Peaslee, Constitutions of Nation, Vol. I, Concord, The Rumford Press, New

Heaven, 1950, h. 8. 29David Lechman, Democracy and Development in Latin America, (Cambridge: Polity

Press, 1989), h. 23.

Page 34: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

24

secara tersirat dapat diungkap bahwa makna demokrasi adalah metode dalam

penataan kelembagaan untuk mencapai pada keputusan politik, dimana

kontestasi pemilihan atau meraih suara ditujukan untuk meraih kekuasaan untuk

selanjutnya dapat mengambil keputusan politik.

Pada dasarnya, proses kompetisi untuk mencapai kekuasaan tersebut

tetaplah dibingkai oleh etika normatif yang mengarah pada terjadinya equlibrium

sosial. Kesantunan politik dan etika politik dalam paham demokrasi harus tetap

dijaga. Mengingat konsep liberalisasi dalam paham ideologi demokrasi harus

diartikan sebagai sebuah masyarakat yang bebas dan tetap bertanggung jawab.

Masyarakat diatur dalam skema aturan main yang jelas sehingga pameo homo

homini lupus (si kuat tidak menindas si lemah) tidak akan tercipta. Konsepsi Ini

memerlukan hukum yang mengatur segala bentuk aturan main, baik dalam sosio-

politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Substansi aturan main tersebut hendaknya menjamin adanya ruang dan

kesempatan yang sama bagi setiap warga negara dalam menjalankan

kehidupanya. Rumusan aturan yang kemudian dikonstruksi dalam sebuah hukum

tersebut seyogyanya dihormati oleh segenap aktor sosial dalam segala tingkat

dan kapasitas. Dengan kata lain, sejalan dengan asas equality before the law maka

setiap insan baik itu penguasa, pemerintah, pengusaha dan rakyat seluruhnya

tunduk dan patuh pada hukum (aturan main). Maka secara mutatis mutandis,

setiap warga negara yang menyimpang dari hukum atau mencoba memanipulasi

aturan main dapat dilakukan penegakan hukum melalui lembaga peradilan tanpa

pandang bulu.

Berbicara terkait demokrasi, kita juga perlu membicarakan nilai-nilai yang

terkandung dalam demokrasi itu sendiri, secara komprehensif Henry B. Mayo

mengklasifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam sistem demokrasi, antara

Page 35: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

25

lain:30 pertama, demokrasi adalah sistem dengan ciri menyelesaikan masalah

dengan damai dan melembaga serta menggunakan paksaan sedikit mungkin.

Demokrasi, sejatinya merupakan satu-satunya sistem yang mengakomodir

sahnya ekspresi politik dari pertikaian kepentingan dan pendapat, tetapi mengatur

penyelesaiannya secara damai (kompromi) yang melembaga melalui

perundingan politik, sebagai alternatif dari penyelesaian berdasarkan kekerasan

atau dekrit seperti dalam skema pemerintahan diktator.

Kedua, demokrasi adalah sistem yang mengakui dinamisnya masyarakat

yang dapat selalu berubah. Karena itu, proses perkembangan teknologi dan

industri dunia modern, berdasarkan nilai demokrasi, tidak dapat dilakukan lewat

“operasi darurat” atau cara-cara yang dipaksakan, despotis, dan dikerahkan dari

pusat secara ketat karena ketidaksabaran, seperti yang terjadi pada kebanyakan

negara-negara berkembang. ketiga, dinamisnya pergantian peimpin dalam tempo

yang teratur dan damai lewat Pemilihan umum yang jujur dan adil serta

kompetitif.

Keempat, nilai keanekaragaman, maksudnya demokrasi dalam hal ini

melihat keanekaragaman bukan saja sebagai sesuatu yang ada dan sah, tetapi

sebagai sesuatu yang baik sebagaimana kebebasan. Untuk itu diperlukan

masyarakat yang saling memahami serta mengerti berbagai macam bentuk

keanekaragaman. Kelima, demokrasi memiliki pandangan yang terbuka bahwa

tidak terdapat nila-nilai yang dapat ditarik sampai pada batas yang mutlak. Dalam

masyarakat demikian, karena posisinya sama, kesempatan untuk prakarsa dan

pengembangan bakat paling tidak kondisi yang memungkinkan diberikan.

Keenam, demokrasi menjunjung tinggi supremasi keadilan sebagai inti dari

moralitas politik. Demokrasi merupakan sistem terbaik untuk menegakkan

keadilan, hal ini karena diskriminasi kebebasan tidak diperkenankan. Demokrasi

30Henry. B. Mayo, Nilai-nilai Demokrasi, dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Masalah

Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 1975), h. 159-196.

Page 36: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

26

memberikan kesempatan yang adil pada tiap-tiap masyarakat agar mengajukan

perwakilan dan cara-cara damai apabila diperlukan penyelesaian pertikaian

politik akan melahirkan keadilan relatif. Partisipasi rakyat berarti memperluas

jumlah orang yang akan diliputi keadilan dan karena kontrol rakyat sebagai

esensi demokrasi kemudian akan mendatangkan pemerintahan yang

bertanggungjawab.

2. Teori Kepentingan Politik

Kepentingan politik adalah kepentingan yang dibuat oleh manusia dalam

mengatur hubungan antara satu sama lain31. Dalam interaksi antara satu sama

lain, kepentingan politik diwadahi dalam suatu sistem politik. Kepentingan

dalam setiap sistem dapat dijelaskan sebagai input dan output. Input itu sendiri

merupakan tuntutan serta aspirasi masyarakat dan juga dukungan dari

masyarakat, input ini kemudian diolah menjadi kebijakan dan aturan.

Gabriel A. Almond menegaskan bahwa kepentingan politik memiliki relasi

yang kuat dengan proses politik yang dimulai dengan masuknya tuntutan yang

diartikulasikan dan diagregasikan oleh parpol, sehingga kepentingan-

kepentingan khusus itu menjadi suatu usulan kebijakan yang lebih umum, dan

selanjutnya dimasukkan ke dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan

oleh badan legislatif dan eksekutif32.

Dengan demikian, kepentingan politik erat kaitannya dengan aktivitas

infrastruktur politik seperti kelompok penekan dan partai politik maupun

suprastruktur politik seperti eksekutif dan legislatif. Menurut Abercrombie, Hill,

dan Turner, studi tentang proses politik berfokus pada aktivitas-aktivitas partai

dan kelompok-kelompok kepentingan, organisasi-organisasi internal, sifat

31 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2007), h. 15. 32 Almond dalam Hijri S Yana, Politik Pemekaran Di Indonesia, (Malang: UMM Press,

2016), h. 21.

Page 37: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

27

pembuatan keputusan politik, serta peran dan latar belakang para politisi33.

Kepentingan politik muncul akibat dari adanya Kelompok kepentingan

(interest group), hal tersebut seringkali di defenisikan sebagai, a group of

persons who share a common cause, which puts them into political competition

with other groups of interests34. Berdasarkan definisi tersebut fungsi kelompok

kepentingan terbatas pada agregasi dan artikulasi kepentingan saja. Mereka

merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki tujuan bersama yang secara

aktif berusaha mempengaruhi pemerintahan35. Dengan kata lain, tujuan mereka

hanyalah berusaha untuk “mempengaruhi” proses pengambilan kebijakan

pemerintah agar sesuai dengan keinginan kelompok yang diwakilinya.

Karena itu, jika dibandingkan dengan fungsi partai politik maka agak

berbeda dan lebih sempit. Seperti halnya didefinisikan oleh Giovanni Sartori,

partai politik sebagai, any political group that presents at elections, and is

capable of placing through elections, candidates for public offices36.

Berdasarkan definisi tersebut, partai politik sesungguhnya secara sengaja

bertujuan untuk mendudukkan wakil-wakilnya dalam pemerintahan, atau meraih

jabatan-jabatan dalam pemerintahan.

Kelompok kepentingan pada hakikatnya dapat dibagi menjadi dua, yakni37:

kelompok kepentingan privat dan kelompok kepentingan publik. Kelompok

kepentingan privat adalah kelompok kepentingan yang berusaha

memperjuangkan kepentingan-kepentingan anggota-anggota yang diwakilinya

33 Abercrombie, Hill, dan Turner dalam Sukmana Oman, Konsep dan Teori Gerakan

Sosial, (Malang: Intrans Publishing, 2016), h. 179. 34 M Benditt Theodore, “The Concept of Interest in Political Theory”, Political Theory,

No. 3, August 1975, h. 34. 35 K. Janda, J. Berry, & J. Goldman, The Challenge of Democracy, (Boston: Houghton

Mifflin, 1997), h. 42. 36Giovanni Sartori, Parties and Party Systems, (New York: Cambridge University Press,

1984), h. 64. 37 Mohammad Maiwan, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan

Kedudukannya dalam Sistem Politik, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Vol. 15, No. 2, April

2016, h. 77.

Page 38: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

28

(golongan tertentu) dalam konteks kehidupan umum seperti: Pengacara, dokter,

akuntan, dosen, guru, hakim, pengacara, serta golongan professional lain,

termasuk juga para pekerja atau buruh. Juga dalam konteks ini adalah

kepentingan produsen atas bidang-bidang usaha tertentu. Sementara kelompok

kepentingan yang bersifat publik adalah kelompok kepentingan yang lebih

berorientasi mempengaruhi pemerintah agar melakukan tindakan tertentu yang

menguntungkan kepentingan umum secara menyeluruh, ketimbang anggotanya.

Dalam prakteknya ada berbagai macam tipe kelompok kepentingan yang

beroperasi dalam masyarakat, yang mana mereka berusaha mempengaruhi

kebijakan pemerintah. Sebagai pemain non pemerintah, mereka dapat berupa:

Kelompok professional, persatuan buruh, pedagang, pengusaha, organisasi

keagamaan, persatuan pedagang, organisasi-organisasi persatuan mahasiswa,

lembaga-lembaga pemikiran, asosiasi cendekiawan atau pakar, asosiasi

perusahaan, universitas, organisasi berbasis etnik, daerah, keturunan (wangsa),

dan lain-lain38. Contoh dari jenis kelompok kepentingan ini adalah gerakan-

gerakan sosial yang mengadvokasi isu-isu lingkungan, pendidikan,

pertambangan, perempuan, ketenagakerjaan, korupsi, kekerasan, perdagangan

manusia, konsumen dan sebagainya.

3. Konfigurasi Politik

Kofigurasi politik adalah kehendak politik yang ada dan mempengaruhi

putusan terhadap pembuatan regulasi. Pembentukkan regulasi ini berada dalam

ranah lembaga legislatif yang eksistensinya tidak terlepas dari kehendak politik

yang bermacam-macam. Pada konsep pembuatan hukum secara prosedural

dibentuk berdasarkan kepentingan politik dari bermacam-macam fraksi yang ada

38 Mohammad Maiwan, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan, … h. 79.

Page 39: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

29

di DPR yang berpengaruh terhadap karakteristik produk-produk hukum.39

Secara faktual pada hakikatnya setiap norma hukum adalah transformasi

dari konfigurasi politi tertentu sehingga karakteristik dan sifatnya akan

berpengaruh terhadap kualitas suatu produk hukum.40 Untuk itulah pembuatan

peraturan harus bertujuang kepada hukum yang ideal dan sesuai dengan amanat

konstitusi.

Lebih lanjut menurut Nonet dan Selznik karakteristik hukum terbagi

mejadi dua jenis yaitu, produk hukum yang bersifat responsif (otonom) dan

produk hukum yang bersifat represif (ortodoks).41 Disisi lain Mahfud MD

mengutip pendapat Daniel S Lev menjelaskan tiga pola terhadap relasi antara

politik dan hukum.42 Pertama, politik dan hukum das-sollen. Pemikiran ini

berpedoman pada anggapan bahwa politik mendominasi (determinan) atas

hukum. Artinya hukum sebagai ius constitutum sebagai landasan awal bagaimana

seharusnya poltiik dilakukan atau dengan kata lain keberadaan hukum lebih

mendahului keberadaan politik. Hal ini beranjak dari pemikiran kaum positivis

yang menggap bahwa seharusnya politik harus berjalan sesuai dengan aturan

hukum.

Kedua, politk dan hukum das sein. Pemikiran ini beranjak dari pengakuan

bahwa hukum determinan atas politik. Menurut Mahfud MD hukum adalah

perwujudan akhir dari kehendak politik yang selalu tarik menarik, baik secara

fomralitas sampai dominasi oleh politicl willing dari kekuasaan politik yang

besar.43 Untuk itulah kepemtingan politik akan selalu memberikan pengaruh

terhadap sebuah produk hukum. Ketiga, politik dan hukum das-sollen-sein.

39Lintje Anna Marpaung, “Pengaruh Konfigurasi Politik Hukum Terhadap Karakter

Produk Hukum”, (Jurnal Pranata Hukum, Vol. 7. Nomor 1, Januari 2012), h. 2. 40 Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh

Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UGM, 1993), h. 4. 41Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive

Law,… h. 71. 42 Daniel s lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta, LP3ES: 2013), h. 37. 43 Daniel s lev, Hukum dan Politik di Indonesia,… h. 39.

Page 40: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

30

Pemikiran ini berpandangan bahwa politik dan hukum tidak ada yang saling

mendominasi, kedua belah aspek tersebut tidak saling tarik menarik.

Jenis-jenis tersebut membentuk suatu skema dengan membedakan

konfigurasi politik dengan karakteristik suatu produk hukum. Konfigurasi politik

ini hadir sebagai perwakilan suatu struktur, pandangan politik serta sistem politik

yang keberadaanya adalah bukti bahwa negara tersebut menganut sistem politik-

demokratis atau otoriter.44 Negara yang menganut sistem politik yang demokratis

dapat dilihat dari penerapan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, dan

adanya partisipasi rakyat. Hal ini akan memberikan konsekuensi seacara logis

bahwa hukum akan bersifat responsif.45 Sedangkan negara yang memiliki sistem

politik yang otoriter akan berdampak pada struktur politik yang bersifat fasis-

konservatif, artinya sikap politik yang selalu diambil adalah top to down sehingga

akan membatasi kebebasan rakyat untuk berpendapat atau dalam artian struktur

politik yang dibangun bersifat konservatif dan ortodoks.46 Kedua skema tersebut

tidak bersifat mutlak karena bisa saja sistem politik yang demokratis

menghasilkan karakter hukum yang ortodoks baik secara formil dan materil

dalam suatu aturan.47

Dalam rangka untuk mencapai esensi sejati dari hukum dan mencapai

kesejahteraan rakyat, perumusan aturan melalui sistem legislasi yang bersifat

wajib.48 Untuk itulah praktik penyelenggaraan pemerintah harus menciptakan

kualitas hukum nasional dalam mencapai tujuan hukum yaitu kepastian,

keadilan, dan kemanfaatan. Tujuan-tujuan inilah yang menjadi tanggung jawab

44Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,…h. 67. 45 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxford University

Press, 1960), h. 70. 46Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, (Jakarta: Rajawali,

1986), h. 399-400. 47 Syahriza Alkohir Anggoro, Politik Hukum: Mencari Sejumlah Penjelasan, Jurnal

Cakrawala Hukum, Vol. 10 No. 1, Juni 2019, h. 83. 48J. Rakhmat, Ketimpangan dan Agama Madani: Belajar dari Rousseu, Prakata dalam JJ

Rousseu, perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h.

47-51.

Page 41: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

31

anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemerintah).

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu, terdapat beberapa

kajian yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Skripsi ditulis oleh Lytha Dayanara 49 Relevansi sistem dalam model

penyelenggaraan Pemilu serentak. Isi dari skripsi ini adalah membahas tentang

relevansi dari sistem di dindonesia terhadap diadakannya pemilu serentak.

Perbedaan skripsi ini peneliti membahas tentang politik hukum atau kepentingan-

kepentingan yang menyebabkan timbulnya aturan mengenai presidential

threshold pada penyelenggaraan Pemilu serentak. Adapun persamaan pada

penulisan ini adalah sama-sama membahas persoalan terkait presidential

threshold.

2. Buku ditulis oleh Mirza Nasution 50 Politik Hukum dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Buku ini membahas tentang keadaan politik hukum,

sistem hukum serta politik perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Perbedaan pada buku ini peneliti lebih mengkhususkan terhadap politik hukum

yang timbul dalam pembuatan aturan terkait presidential threshold. Persamaan

yang saling terkait dalam penelitian kali ini adalah mengenai politik hukum yang

ada di Indonesia.

3. Jurnal ditulis oleh Ayon Diniyanto 51 Mengukur dampak penerapan

Presidential Threshold di Pemilu serentak tahun 2019. Jurnal ini membahas

tentang dampak penerapan presidential threshold yang dilaksanakan pada

pemilu serentak, dijelaskan bahwa Indonesia pertama kalinya mengadakan

49Lytha Dayanara, Relevansi Sistem Dalam Model Penyelenggaraan Pemilu Serentak,Skripsi

S1 Kearsipan Fakultas Hukum, UNNES Semarang, 2017. 50Mirza Nasution, Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Medan:

Puspantara, 2015). 51Ayon Diniyanto, Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di Pemilu Serentak

Tahun 2019, (Semarang: Jurnal UNNES, 2018).

Page 42: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

32

pemilu serentak, dalam jurnal ini juga menegaskan hal-hal negatif yang akan

terjadi apabila diadakan pemilu secara serentak. Perbedaan pada skripsi ini

adalah peneliti lebih menanggapi terkait dampak yang ditimbulkan dari

penyalahgunaan politik hukum dalam pembuatan aturan terkait presidential

threshold.Persamaan yang terkandung dalam penelitian kali ini terdapat dalam

hal terkait dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan presidential threshold

dalam Pemilu serentak.

Page 43: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

33

BAB III

POLITIK HUKUM PEMILU SERENTAK DAN PRESIDENTIAL

THRESHOLD

A. Politik Hukum Penetapan Pelaksanaan Pemilu Serentak di Indonesia

Perdebatan merupakan babak awal dari proses politik yang bergulir dalam

setiap isu krusial, di mana keputusan tentang isu-isu krusial ini menjadi elemen

penting bagi keberlangsungan partai politik dalam Pemilu berikutnya. Tarik

menarik kepentingan pada sejumlah isu krusial yang akan mendapatkan perhatian

khusus menjadi bukti bahwa kuatnya persaingan kekuasaan antar fraksi sejak awal

pembahasan di tingkat Pansus. pada awalnya, Rapat Kerja Pansus Ke-4 pada tanggal

13 Februari 2017, isu krusial didasarkan dari DIM yang disusun oleh DPR maupun

dari pemerintah yang disepakati sejumlah 16 isu. Kemudian, krusial ini bertambah

menjadi 18 isu krusial ketika Anggota Pansus fraksi partai Golkar menyampaikan

pandangannya tentang urgensi isu gender pada pembahasan. Penambahan isu

krusial ini terjadi pada Rapat Kerja Ke-4 pada tanggal 13 Februari 2017. Terakhir,

setelah melakukan lobi lintas fraksi disepakati untuk cluster isu krusial pada rapat

kerja ke-5, pada tanggal 16 Februari 2017, dari 18 isu krusial menjadi 5 isu krusial

untuk mempermudah pembahasan dan mempertajam kajiannya.

Terkait dengan 5 isu krusial1 tersebut pertama adalah pembahasan mengenai

sistem pemilu legislatif, dalam hal ini pemerintah mengambil sikap dengan

mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas melalui Pasal 138 ayat 2 dan 3

RUU Pemilu. Sistem proporsional terbuka (Proporsional Representasi System)

merupakan pertimbangan untuk mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi

1 Indah Mutiara Kami, Sudah Disahkan, Ini 5 Isu Krusial di UU Pemilu, http://m.detik.com,

diakses pada 9 mei 2020.

Page 44: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

34

dukungan massa untuk kemenangan mereka2. Hal tersebut dapat dikategorikan

sebagai terobosan, di mana sistem ini belum pernah dipraktekan pada sepanjang

Pemilu di Indonesia. Kedua terkait ambang batas parlemen (parliamentary

threshold), menurut pemerintah dalam rapat Pansus, salah satu tujuan pemberlakuan

aturan ini adalah untuk menciptakan sistem multipartai yang sederhana, perdebatan

yang muncul terkait dengan logika pemerintahan bukanlah jumlah Parpol peserta

Pemilu yang harus dibatasi melainkan jumlah ideal kekuatan Parpol yang perlu

diberdayakan dan dirampingkan di DPR.

Ketiga, ambang batas presiden (presidential threshold), isu ini adalah

membahas mengenai ambang batas bagi Parpol yang ingin mengusung calon

presiden. Keempat mengenai penataan Dapil (daerah pemilihan), terkait

pembahasan isu ini ada satu poin penting yang muncul, yaitu mengenai penataan

Dapil yang terjadi dalam Pemilu 2019 adalah Dapil Magnitude, maksudnya adalah

jumlah Dapil di Pemilu 2019 dapat bertambah jika ada perubahan angka ambang

batas alokasi kursi atau district magnitude3. Kelima konversi suara menjadi kursi,

perdebatan terkait konversi suara meliputi dua pilihan sistem umum yang berlaku di

dunia yaitu kuota hare yaitu metode pengkonversian suara menjadi kursi dengan

menggunakan rumus, total jumlah suara sah dibagi dengan Jumlah alokasi kursi

yang harus diisi, untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui metode ini, maka

ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan dan saint lague artinya bahwa setiap

partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang

ditentukan, partai yang tidak memenuhi ambang batas tak akan diikutsertakan dalam

penentuan kursi di DPR. Dari 5 poin tersebut dijadikan satu kesimpulan

bahwasannya pelaksanaan Pemilu dilakukan secara serentak.

2 Abd. Halim, The impact of proportional open system to political behavior:case study the

community Sumenep Madura in an election legislative 2014, (jurnal umm, Volume 9, Nomor 2), h.1. 3Sholehudin Zuhri, Political Process in the Forming of Election Regulation: an Analysis on

Power Struggle in the Formulation of Act No. 7/2017 About Election, (Jurnal Wacana Politik, Vol.

3, No. 2, 2018), h. 101.

Page 45: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

35

Poin-poin tersebut menjadi Raison D’atre atas penentuan final pembahasan

RUU Pemilu. Pembahasan tersebut sejatinya terjadi pada saat rapat Pansus RUU

Pemilu dengan agenda memutuskan rekomendasi Pansus yang nantinya hasil

keputusan tersebut akan dibawa pada rapat paripurna untuk pengesahan. Namun,

Rapat Pansus RUU Pemilu DPR pada Kamis malam tanggal 13 Juli 2017 kembali

gagal mengambil keputusan atas 5 isu krusial tersebut, padahal 5 isu krusial tersebut

sudah pernah mengalami kegagalan mencapai suatu keputusan sejak bulan April

20174.

Setelah memasuki fase akhir pembahasan RUU Pemilu, isu-isu krusial yang

menjadi perdebatan panjang dalam rapat Pansus mengenai penyelenggaraan Pemilu

serentak, pada gilirannya kini mampu memetakan dukungan politik fraksi di DPR

ke dalam lima paket isu. Lima isu krusial tersebut menjadi fokus pada penetapan

RUU Pemilu karena pembahasannya tidak mencapai kesepakatan di tingkat Pansus.

Lima isu krusial tersebut ditawarkan oleh pansus dalam 5 paket yang dapat dijadikan

pilihan bagi partai politik di DPR antara lain:

Tabel 1. Paket isu dalam rapat paripurna5

4 Sholehudin Zuhri, Political Process in the Forming of Election Regulation: an Analysis on

Power Struggle in the Formulation of Act No. 7/2017 About Election,… h. 102. 5 Sumber: Risalah Rapat Kerja Pansus RUU Pemilu, data setelah diolah.

PAKET A PAKET B PAKET C PAKET D PAKET E

Presidential

threshold: 20-25

persen

Presidential

threshold: 0

persen

Presidential

threshold: 10-15

persen

Presidential

threshold: 10-15

persen

Presidential

threshold: 20-25

persen

Parliamentary

threshold: 4

persen

Parliamentary

threshold: 4

persen

Parliamentary

threshold: 4

persen

Parliamentary

threshold: 5

persen

Parliamentary

threshold: 3,5

persen

Sistem Pemilu:

terbuka

Sistem

Pemilu:

terbuka

Sistem Pemilu:

terbuka

Sistem Pemilu:

terbuka

Sistem Pemilu:

terbuka

Dapil magnitude DPR: 3-10

Dapil magnitude

DPR: 3-10

Dapil magnitude DPR: 3-10

Dapil magnitude DPR: 3-8

Dapil magnitude DPR: 3-10

Konversi suara:

sainte lague

murni

Konversi

suara: quoata

hare

Konversi suara:

quota hare

Konversi suara:

sainte lague

murni

Metode konversi

suara: quota hare

Page 46: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

36

Dari perdebatan yang terjadi di rapat Pansus sebenarnya sudah ada 5 Fraksi

yang memilih Paket A, yaitu fraksi PDIP, fraksi Golkar, fraksi PPP, fraksi partai

Nasdem dan fraksi partai Hanura. Sedangkan 4 fraksi lainnya yaitu fraksi partai

Gerindra, fraksi partai Demokrat, fraksi PAN, fraksi PKB dan fraksi PKS belum

memutuskan satu diantara 5 paket yang ditawarkan Pansus RUU Pemilu. Akhirnya

Pansus sepakat keputusan tentang 5 paket isu sistem Pemilu ini untuk dibawa ke

sidang paripurna DPR. Dengan melihat peta politik suara fraksi-fraksi ini, jika

dilakukan voting atau pengambilan suara, kemungkinan besar pemenangnya adalah

Paket A, dengan hitungan sebagai berikut:

Tabel 2. Peta Dukungan Politik Rapat Paripurna RUU Pemilu (Sebelum Scors)6

NO PENDUKUNG PAKET A KURSI MENOLAK PAKET A KURSI

1 PDI Perjuangan 109 Partai Gerindra 73

2 Partai Golkar 91 Partai Demokrat 61

3 PPP 39 PAN 48

4 Partai Nasdem 36 PKB 47

5 Partai Hanura 16 PKS 40

JUMLAH 291 JUMLAH 269

Dari data yang sudah dipaparkan, dengan perolehan 291 suara pada kelompok

pemilih paket A, sebenarnya pendukung opsi presidential threshold 20% jumlah

kursi di DPR atau 25% dari perolehan suara sah telah memenangkan pertarungan

dan memiliki kesimpulan bahwasannya paket A adalah pilihan yang akan akan

diterapkan pada Pemilu serentak. Hal ini mengindikasikan bahwasannya

mekanisme yang digunakan pada Pemilu serentak tidak jauh berbeda dengan

mekanisme yang diterapkan pada pelaksanaan Pemilu 2009 dan 2014. Perbedaan

terkait mekanisme penentuannya hanya pada parliamentary threshold yang

memiliki bobot 3,5%, sedangkan bobot yang ada pada paket A naik menjadi 4%,

dan perbedaan lainnya yang muncul adalah penggunaan kembali metode konversi

sainte lague murni, hal tersebut sama seperti mekanisme yang digunakan pada

Pemilu 2009, sedangkan pada Pemilu 2014 menggunakan metode konversi suara

6 Sumber: Keputusan KPU No. 416/Kpts/KPU/2014, data setelah diolah.

Page 47: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

37

quota hare, dalam metode quota hare penghitungannya adalah menggunakan rumus

V (vote/total suara sah) dibagi S (seat/jumlah alokasi kursi), kemudian jumlah suara

partai politik di suatu dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi, apabila

masih ada kursi yang belum terbagi, maka dilakukanlah tahapan lagi dengan cara

mendistribusikan kursi yang belum terbagi kepada partai-partai yang memiliki sisa

suara terbanyak secara berurutan.

Pada dasarnya opsi penentuan presidential threshold 20% jumlah kursi di

DPR atau 25% dari perolehan suara sah juga ditawarkan pada opsi Paket E, namun

di opsi paket E memiliki suatu perbedaan yang terletak pada parliamentary

threshold yang penentuannya naik menjadi 4% pada Paket A dan tetap 3,5% pada

Paket E, perbedaan selanjutnya ada pada sistem saint lague murni pada Paket A

sedangkan pada paket E yang digunakan untuk konversi suara adalah sistem quota

hare. Sebelumnya fraksi PDIP dengan suara terbanyak di parlemen lebih

menginginkan penerapan metode konversi suara dengan menggunakan metode

quota hare dan cenderung memilih Paket E, namun kuatnya pilihan fraksi Golkar

pada metode konversi suara saint lague murni, menjadikan fraksi PDIP melalui

mediasi pemerintah melunak untuk tergabung memilih Paket A.

Paket A yang awalnya dicanangkan dan ditawarkan menjadi opsi oleh

pemerintah memiliki banyak dukungan dari fraksi-fraksi di parlemen hampir

dipastikan menang. Meskipun belum menjadi keputusan resmi, namun Menteri

Dalam Negeri menyambut baik bertambahnya dukungan terhadap paket A yang

mendapatkan dukungan politik baru dari fraksi PPP dan fraksi partai Hanura, di

mana semula paket A hanya didukung oleh fraksi PDIP, fraksi Golkar dan fraksi

partai Nasdem. Hal ini berkesimpulan bahwa diantara 560 kursi di DPR, 291 kursi

atau lebih dari lima puluh persen di luar dukungan dari pemerintah memilih

mekanisme untuk mengatur Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu

menggunakan paket A. Pada saat bersamaan masih ada fraksi yang belum

mengerucut pada satu pilihan politik, yaitu fraksi partai Demokrat yang masih

bersikukuh dengan penolakan opsi yang terdapat di paket A, sedangkan fraksi partai

Page 48: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

38

Gerindra, fraksi PKB, fraksi PKS dan fraksi PAN suaranya masih terpecah antara

pilihan Paket C dan Paket D. Apabila semua fraksi ini bergabung hanya dalam satu

keputusan, tetap saja suara yang diperoleh belum bisa mengalahkan suara yang

didapat oleh para pendukung paket A. Terlebih apabila fraksi PKB menyeberang

dan ikut memilih Paket A, yang mana dalam sejarah kebiasaan fraksi PKB selalu

mendukung pemerintah dalam pembuatan kebijakan.

Proses perdebatan dan komunikasi politik yang dilakukan secara maraton

yang berjalan panjang masih tetap tidak menemukan titik temu dan belum

memberikan hasil yang jelas terkait penggunaan mekanisme diterapkan terkait

Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, maka sesuai dengan mekanisme

yang berlaku sidang kemudian di scors untuk melakukan lobi. Konsesi politik yang

dilakukan melalui lobi tetap tidak berhasil dilakukan sehingga setelah sidang

paripurna kembali dibuka, keputusan terkait pilihan paket tidak didapatkan. Namun,

seiring dengan lamanya scoursing rapat, berhasil merubah peta politik yang ditandai

dengan masuknya suara fraksi PKB yang ikut serta memilih paket A. Berubahnya

peta polittik ini diakui oleh fraksi-fraksi di DPR bukan hasil dari komunikasi yang

dilakukan dalam mekanisme lobi, tetapi terdapat arahan dari elit partai kepada

masing-masing fraksi di DPR terkait sikap dan dukungan politiknya terhadap isu

krusial yang tidak menemui titik temu ini. Dengan demikian fraksi hanya menunggu

arahan dan keputuasan dari elit partai. Bergabungnya fraksi PKB terhadap

dukungan paket A, maka hitungannya:

Tabel 2. Peta Dukungan Politik Rapat Paripurna RUU Pemilu (Sesudah Scors)7

NO PENDUKUNG PAKET A KURSI MENOLAK PAKET A KURSI

1 PDI Perjuangan 109 Partai Gerindra 73

2 Partai Golkar 91 Partai Demokrat 61

3 PPP 39 PAN 48

4 NASDEM 36 PKS 40

5 Partai Hanura 16

6 PKB 47

JUMLAH 338 JUMLAH 222

7 Sumber: Keputusan KPU No. 416/Kpts/KPU/2014, data setelah diolah.

Page 49: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

39

Setelah proses panjang pengambilan suara akhirnya kemenangan tertuju pada

pendukung paket A yang awalnya di kepalai oleh fraksi PDIP. Merasa mendapatkan

dukungan politik dari enam fraksi di DPR terkait dengan banyaknya fraksi yang

memilih paket A, fraksi PDIP mengusulkan voting dilakukan karena rapat sudah

memakan banyak waktu dan sudah banyak memutuskan banyak hal. Langkah fraksi

PDIP ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai bentuk kemenangan politik setelah

berhasil menyatukan dukungan politik partai pendukung pemerintah, di mana dalam

pembahasan di tingkat Pansus sikap dan pandangan politiknya sering kali berbeda.

Sedangkan sikap fraksi PAN yang mendukung paket B dapat dikatakan tidak

berbanding lurus dengan fraksi pendukung pemerintah lainnya. Sikap politik yang

berbeda dengan pemerintah lainnya juga sering kali ditunjukkan oleh fraksi PAN

dalam beberapa kasus sebelumnya. Sebagai contoh dalam kasus penolakan Perppu

ormas yang dikeluarkan pemerintah, di mana fraksi PAN satu-satunya fraksi koalisi

pemerintah yang menolak Perppu ormas yang dikeluarkan pemerintah itu. Kondisi

seperti ini memang lazim terjadi dalam eksistensi dukungan politik dalam sistem

presidensial, karena dukungan politik tidak bersifat permanen, tetapi lebih pada

kalkulasi kepentingan.

B. Politik Hukum Penetapan 20% Presidential Threshold di Indonesia

Pembahasan mengenai ambang batas presiden (Presidential Threshold) yang

diterapkan pada Pemilu serentak merupakan pembahasan yang paling menyedot

perhatian seluruh fraksi di DPR. Karena sampai batas waktu DPR menggelar sidang

paripurna untuk menyepakati RUU Penyelenggaraan Pemilu, pembahasan

mengenai Presidential Threshold telah mengalami beberapa kali gagal mencapai

keputusan. Penyebab dari kegagalan pencapaian keputusan tersebut adalah

banyaknya tarik menarik kepentingan, seluruh fraksi masih belum sepakat soal

besaran angka Presidential Threshold yang nantinya digunakan pada Pemilu

Presiden 2019. Tidak tercapainya keputusan tersebut bukanlah tanpa sebab,

melainkan banyaknya perbedaan pendapat serta kepentingan dari masing masing

Page 50: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

40

fraksi. Jika ditelaah lebih mendasar dan lebih dalam tak tercapainya keputusan

tersebut karena masing-masing fraksi memiliki kepentingan yang saling berbeda.

Sebelum RUU tentang Pemilu dirapatkan dalam rapat paripurna bersama

seluruh anggota DPR, RUU tersebut dibahas terlebih dahulu pada rapat yang

dihadiri oleh panitia khusus (Pansus). Dalam rapat Pansus terkait RUU Pemilu

tersebut dihadiri oleh masing-masing perwakilan dari tiap fraksi, tiap fraksi

diwakilkan oleh beberapa anggota fraksi dengan jumlah yang berfariasi dari tiap

fraksi, selain dihadiri oleh perwakilan tiap fraksi yang sudah ditetapkan menjadi

anggota Pansus, rapat ini juga dihadiri oleh beberapa perwakilan dari pemerintah,

yaitu Menteri dalam negeri (MENDAGRI) beserta jajarannya, Menteri hukum dan

hak asasi manusia (MENKUMHAM) beserta jajarannya, Menteri keuangan

(MENKEU) beserta jajarannya. Selain dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah,

rapat ini dihadiri pula oleh anggota dewan perwakilan daerah (DPD). Lebih jelasnya

dalam bagan berikut:

Ir. H. M. Lukman Edy, M.Si

Ketua/ F-PKB

6 perwakilan F-PDIP

Anggota

5 perwakilan F-Golkar

Anggota

3 perwakilan F-Gerindra

Anggota

1 Perwakilan F-PKB

Anggota

2 perwakilan F-PKS

Anggota

2 perwakilan F-PPP

Anggota

MENDAGRI

Undangan

MENKUMHAM

Undangan

MENKEU

Undangan

DPD

Undangan

1 perwakilan F-Nasdem

Anggota

1 perwakilan F-Hanura

Anggota

2 perwakilan F-Demokrat

Anggota

2 perwakilan Fraksi-PAN

Anggota

Ir. H. Ahmad Riza Patria, MBA

Wakil/ F-Gerindra

Dr. Benny K. Harman

Wakil/F-Demokrat

Drs. Uli Sintong Siahaan, M.Si.

Sekertariat Pansus

H. Yandri Susanto, S.Pt

Wakil/F-PAN

Page 51: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

41

Dalam bagan tersebut sudah jelas bahwasannya Pansus pembahasan mengenai

RUU Pemilu berisikan 30 anggota perwakilan dari tiap fraksi partai yang ada di

DPR. Pada Pansus pembahasan RUU ini diketuai oleh perwakilan dari fraksi PKB

yang didampingi oleh beberapa wakil yaitu dari fraksi Gerindra, fraksi Demokrat

dan fraksi PAN. Selain ketua dan wakil-wakilnya, Pansus ini juga memiliki anggota

yaitu dari fraksi PDIP 6 orang yaitu (Arif Wibowo), (H. R. Erwin Moeslimin

Singajuru, S.H., M.H.), (Triemedya Panjaitan, S.H., M.H.), (Diah Pitaloka, S.Sos.),

(Esti Wijayati), dan (Drs. Sirmadji, M.Pd.), fraksi Golkar 5 orang yaitu (Rambe

Kamarul Zaman, M.Sc., M.M.), (Agung Widyantoro, S.H., M.Si.), (Dr. Ir. Hetifah

Sjaifudin, M.P.P.), (H. Ahmad Zacky Siradj), dan (Agun Gunanjar Sudarsa, M.Si.),

fraksi Gerindra 3 orang yaitu (Ir. Endro Hermono, M.B.A.), (H. Moh Nizar Zahro,

S.H.), (Supratman, S.H., M.H.), fraksi Demokrat 2 orang yaitu (Didik Mukrianto,

S.H.), (Ir. Fandi Utomo), fraksi PAN 2 orang yaitu ( H. Totok Daryanto, S.E.), (Viva

Yoga Mauladi, M.Si.), fraksi PKB 1 orang yaitu (Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz,

S.Th.I.), fraksi PKS 2 orang yaitu (Drs. Al Muzzammil Yusuf, M.Si.), (Sutriyono,

S.Pd.,M.Si.), fraksi PPP 2 orang yaitu (Dr. H. Mz. Amirul Tamim, M.Si.), (Ahmad

Baidhowi), fraksi Nasdem 1 orang yaitu (Johnny G. Plate, S.E), fraksi Hanura 1

orang yaitu (Rufinus Hotmaulana Hutahuruk).

Dengan banyaknya perwakilan anggota dari berbagai macam fraksi dalam

rapat RUU Pemilu tersebut, penetapan terkait presidential threshold menjadi

pembahasan yang diwarnai banyaknya perdebatan, hal itu timbul karena adanya

perbedaan kepentingan dari tiap fraksi. kepentingan tiap fraksi dalam penetapan

presidential threshold tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan, yaitu

persentase ambang batas 20-30 persen, 0% atau tidak ada ambang batas dan

golongan yang mengambil jalan tengah yaitu 10-15 persen.

Klasifikasi pertama yang menghendaki adanya ambang batas yang tinggi

dengan kisaran 20-30 persen disampaikan oleh fraksi partai Golkar, dalam hal ini

fraksi partai Golkar menginginkan besaran persentase presidential threshold 20-25

persen, hal ini juga sama dengan permintaan fraksi partai PDI-P yang menginginkan

Page 52: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

42

besaran presentasenya mencapai 20-25 persen dan besaran presentase tersebut

diikuti juga oleh beberapa fraksi seperti fraksi partai Hanura dan fraksi partai

Nasdem. Alih-alih mengikuti keempat partai tersebut dengan besaran yang sesuai

dengan permintaan dari pemerintah yaitu 20-25 persen, fraksi partai PPP justru

meninginkan besaran presentase presidential threshold dengan besaran yang lebih

tinggi yaitu 30%, maka dari itu fraksi partai PPP masuk ke dalam golongan

klasifikasi yang menginginkan kisaran presentase yang tinggi yaitu 20-30 persen

presidential threshold.

Selanjutnya pada klasifikasi kedua yang tidak menginginkan adanya ambang

batas atau 0% presidential threshold. Fraksi yang mengambil sikap dalam

klasifikasi ini terlebih dahulu adalah fraksi partai Gerindra, dalam hal ini fraksi

partai Gerindra memantapkan diri bahwasannya apabila pemilu diadakan serentak

maka ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tidak relevan

digunakan. Selain fraksi partai Gerindra, fraksi yang tidak menginginkan adanya

ambang batas dalam penyelenggaraan Pemilu serentak adalah fraksi PKS, hal

tersebut diaminkan juga oleh perwakilan dari fraksi Demokrat, ketiga fraksi ini

sama-sama tidak menyetujui adanya presidential threshold atau 0% ambang batas

jika pelaksanaan Pemilu diselenggarakan secara serentak.

Klasifikasi yang ketiga adalah klasifikasi golongan fraksi yang memilih

besaran presidential threshold berada di tengah-tengah antara klasifikasi yang

pertama dengan klasifikasi yang kedua. Fraksi-fraksi pada golongan ini tidak

menginginkan besaran ambang batas yang mencapai 20-30 persen, karena

menurutnya ambang batas tersebut terlalu besar, golongan ini tidak menghendaki

juga apabila Pemilu Presiden tidak menggunakan besaran ambang batas, karena

ditakutkan kualitas Presiden yang didapatkan kurang memadai untuk sekelas

Presiden. Pada klasifikasi ini ada 2 fraksi yaitu fraksi PAN dan fraksi PKB, kedua

Page 53: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

43

partai tersebut menginginkan besaran ambang batas pada Pemilu Presiden pada

kisaran 10-15 persen. Untuk lebih jelasnya tertera pada bagan berikut8:

C. Karakteristik Hukum UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu

Karakteristik hukum dapat ditentukan ketika pembahasan mengenai aturan

tersebut dibuat. Hal ini juga berlaku pada pembahasan mengenai pemilu serentak

dan penetapan presidential threshold sebesar 20 %. Pada pembahasan tersebut dapat

ditentukan bahwa karakteristik hukum Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilu adalah bersifat otoriter. Hal ini berdasarkan beberapa sebab, yaitu:

Pertama, berlakunya fenomena cottail effect atau inkonsistensi dalam

pemilihan presiden yang menyebabkan partai-partai sering berpindah haluan dalam

mengusung presiden. Pada pemilu putaran pertama partai akan mengusung/atau

mendukung calon presiden yang dikehandakinya sesuai dengan keuntungan partai

pendukung dan partai pengusung. Hal ini terperparah dengan berlakunya pemilu

8 Risalah rapat pansus (data setelah diolah), h. 264-420.

Page 54: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

44

serentak, dikarenakan pemilu legislatif yang seharusnya menjadi penyeimbang

kekuasaan eksekutif menjadi tidak stabil. Instabilitas tersebut terjadi karena banyak

partai politik secara rasional dan otomatis akan memilih presiden dengan potensi

menang yang lebih besar. Sehingga parlemen akan bersifat otoriter karena kebijakan

yang dibuat adalah mayoritas partai pemenang presiden.

Jika banyak partai dapat duduk di parlemen maka kemungkinan terdapatnya

partai dominan juga semakin kecil dan terjadi fragmentasi yang tinggi

(multipartism). Dengan demikian konsensus dalam proses pengambilan putusan di

parlemen akan menjadi lebih sulit ( suara pileg yang digunakan lagi). Dalam kondisi

demikian, kemungkinan presiden yang berkuasa dengan dukungan kursi parlemen

kecil juga semakin tinggi (minority president). Fakta yang disampaikan Negretto9

menyebutkan bahwa kemungkinan partai presiden menikmati dukungan mayoritas

di parlemen cenderung turun seiring dengan meningkatnya partai-partai yang

mendapat kursi di parlemen. Data yang dimiliki Negretto dari pemerintahan yang

terbentuk di negara-negara Amerika Latin dalam rentang waktu 1978-2002

menunjukkan bahwa dari 80 presiden terpilih secara demokratis hanya 26 presiden

(32%) yang berhasil mendapat dukungan sejajar di parlemen (mendapat kursi

parlemen yang besar pula majority president)10. Fragmentasi kepartaian memang

memiliki hubungan erat dengan terciptanya kondisi presiden minoritas (minority

president).11

Kedua, (calon yang diinginkan hanya 2 atau tunggal/ tidak demokratis).

Pengusungan calon presiden dengan presidential threshold sebesar 20%

memberikan konsekuensi logis yang dapat mengusung hanya dua pasang calon saja.

Hal ini juga akan semakin terperparah apabila partai-partai mayoritas hanya ingin

9 Gabriel L. Negretto Minority Presidents and Democratic Performance in Latin America,

(Latin American Politics and Society, Volume 48, Number 3, 2006), h. 64. 10 Gabriel L. Negretto, Minority Presidents and Democratic Performance,… h. 65. 11 Fitra Arsil, “Pemilu Serentak Tetap Punya Masalah” Disampaikan dalam Diskusi Terbuka

“Pemilihan Umum Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat

Studi Hukum Tata Negara FHUI dan Djokosoetono Research Centre FHUI pada tanggal 17 Februari

2014 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Page 55: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

45

berkoalisi dengan sesama partai mayoritas, karena pada dasarnya untuk mencapai

ambang batas 20% merupakan hal yang sulit bagi partai-partai dengan suara

minoritas, hal ini nantinya menjadi penyebab ketidakmampuan parati-partai dengan

suara minoritas mengajukan calon presiden pada Pemilu. Besarnya angka

presidential threshold bisa menjadikan penyelenggaraan Pemilu hanya

menghadirkan dua pasangan calon, hal yang lebih dikhawatirkan justru

penyelenggaraan Pemilu hanya diisi oleh satu pasangan calon atau calon tunggal.

Ketiga, hilangnya partisipasi partai politik kecil. Melihat dari besaran

presidential threshold 20% membuktikan bahwasannya terdapat suatu upaya untuk

oligarki kekuasaan partai politik mayoritas melalui suara perwakilan fraksi di

parlemen, karena besaran presidential threshold membuat partai-partai minoritas

dan partai-partai baru mustahil mengikuti kontestasi Pemilu Presiden dan hal ini

merupakan suatu upaya penguatan yang dilakukan oleh kelompok partai-partai

mayoritas dengan memberikan tekanan yang lebih besar terhadap partai-partai

minoritas dan partai-partai baru dengan menggunakan beban presidential threshold

tinggi guna mempertahankan kekuasaan mereka melalui oligarki partai politik.

Oligarki melalui partai politik ini sejalan dengan pendapat Winters yang

menyatakan bahwasannya sumber kekuasaan oligarki bukanlah hanya berasal dari

kekayaan materil, menurutnya sumber kekuasaan oligarki juga berasal dari empat

sumber daya kekuasaan, diantaranya adalah kekuasaan hak politik, kekuasaan

jabatan resmi dalam pemerintahan dan organisasi, kekuasaan pemaksaan dan

kekuasaan mobilisasi. Keempat hal tersebut Ketika dipegang secara terkonsentrasi

dan eksklusif nantinya akan menghasilkan elite12.

Dinamika yang muncul dalam rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu

memang terlihat pasif dari kepentingan, karena dalam pengambilan keputusannya

berlindung dibawah payung demokrasi dengan menggunakan pengambilan suara

dari masing-masing perwakilan fraksi. Jika ditelaah secara lebih mendalam,

12 Jeffrey A. Winters, Oligarki terj, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 1.

Page 56: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

46

dinamika rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu memilki banyak kepentingan,

terutama kepentingan bagi partai-partai penguasa atau mayoritas, hal ini sepaham

dengan pengertian oligarki yang dijelaskan oleh Winters yang termasuk ke dalam

kategori oligarki penguasa kolektif, karena pada dasarnya oligarki jenis ini memiliki

kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki norma atau

aturan main. Dalam oligarki penguasa kolektif ini, para oligarki bekerja sama untuk

mempertahankan kekayaan atau kekuasaannya dan memerintah suatu komunitas13.

Hal tersebut memperkuat alasan bahwasannya karakteristik hukum UU No. 7 Tahun

2017 bersifat otoriter.

13 Jeffrey A. Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, (Prisma: Vol. 33 No. 1 Tahun

2014), h. 17.

Page 57: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

47

BAB IV

POLITIK HUKUM DAN PENERAPAN PRESIDENTIAL THRESHOLD

DALAM PEMILU SERENTAK

A. Otoriterianisme dalam Politik Hukum dalam Presidential Threshold

Pembahasan mengenai presidential threshold dalam rapat panitia khusus

RUU Penyelenggaraan Pemilu memiliki unsur kepentingan dari masing-masing

fraksi. Penetapan presidential threshold didominasi oleh fraksi yang menginginkan

batas pencalonan dengan persentase tinggi. Terbukti dalam risalah rapat tersebut

terdapat 6 fraksi yang sepakat dengan usulan pemerintah sebesar 25% bahkan ada

yang mecapai batasan sebesar 30%. Sisanya 3 fraksi menginginkan tidak ada

batasan dalam pencalonan presiden atau 0% dan satu fraksi menginginkan ambang

batas 10%.

Secara konstekstual kesepakatan tersebut dapat dilihat pada beberapa

perdebatan yang terjadi dalam rapat Rapat Kerja ke-6 pada Jumat, 17 Februari 2017,

pada perdebatan tersebut terdapat satu poin penting yang harus diperhatikan, dari

perwakilan fraksi yang hadir, mayoritas fraksi menyuarakan suara yang sama terkait

presentase presidential threshold, mayoritas fraksi memberikan keputusan yang

sama terkait hal tersebut, yaitu menyetujui usulan dari pemerintah. Fraksi Partai

Golkar (H. Rambe Kamarul Zaman, M. Sc.,M.M.) fraksi Golkar menyatakan

sikap untuk sepakat dengan pemerintah dengan besaran presentasi 20-25%. Dalam

pandangannya Golkar menganggap bahwa pemilu serentak merupakan perintah

langsung dari konstitusi sehingga harus ditetapkan syarat dan standarnya oleh

legislatif (open legal policy). Bahkan menurut Golkar dalam penetapan presidential

threshold tidak ada permasalahan yang krusial antara presidential threshold dengan

pemilu serentak.

. “Kita sepakat dengan pemerintah ukurannya 20% dan 25%, ...UUD juga

pasal 6A menyatakan kenapa ada kata gabungan, kata gabungan itu menandakan

Page 58: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

48

harus ada persyaratan daripada calon presiden. Oleh karena persyaratan

pasangan calon presiden oleh partai politik ditetapkan melalui UU di pasal pemilu

makanya itu adalah policy yang harus kita putuskan... Jadi saya kira sikap fraksi

partai golkar tetap ada dan kita mendukung pemerintah 20% dan 25% akumulasi

suara untuk pencalonan itu. Jadi saya kira bukan atas dasar karena serentak gitu

tidak ada lagi korelasinya bukan, bukan tetap ada korelasinya urusan serentak pun

ini pemilu yang kita lakukan adalah sebenarnya itu kehendak UUD1”

Selanjutnya pada Fraksi PPP (DR. H. Mz. Amirul Tamim, M.Si.) dalam

political viewnya memberikan dua opsi secara konseptual, yaitu presidential

threshold dengan presentase 0% dan 25-30%. Hal ini dikarenakan jika

menginginkan setiap partai dapat mengajukkan calonnya masing-masing harus

berdasarkan ketentuan secara normatif untuk setiap partai berhak mengajukkan

calon presiden. Disatu sisi jika presentase presidential threshold ditetapkan 25-30%

maka konsepnya secara normatif adalah setiap partai yang memiliki kursi di DPR

berhak mengajukkan calon presiden. Artinya untuk menggunakan presidential

threshold partai-partai harus memenuhi ketentuan parliemantary threshold atau

suara sah partai secara nasional.

“Kalau partai yang ikut Pemilu dan belum duduk di DPR berarti kita

perlukan presidensial threshold untuk pemilihan Presiden. Nah kalau itu PPP tentu

dua puluh lima, tiga puluh. Artinya dua puluh lima kursi di DPR ya atau gabungan

kursi atau tiga puluh persen suara. Nah itu untuk kalau partai baru tidak ikut. Tetapi

kalau seluruh partai berhak mengajukan ya berarti logikanya nol persen, nol persen

kecuali memang ada klausal bahwa setiap partai berhak mengajukan Calon

Presiden yang mempunyai kursi di DPR nah itu mungkin bukan nol, tapi kalau

seperti ini bahwa serentak ikut dan semua mempunya hak ya nol. Oleh sebab itu

PPP ada dua, ya nol dengan dua puluh lima tiga puluh2”

1 Risalah Rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu.

2 Risalah Rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Page 59: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

49

Pandangan selanjutnya disampaikan oleh F-PKB (Dra. Hj. SITI

MASRIFAH, MA) yang dimaknai secara gramatikal bahwa fraksi FKB

menganggap jika ketentuan presidential threshold terlalu tinggi dan memberikan

dampak kepada tidak mampunya partai baru untuk mengikuti konstetasi pemilu

presiden, maka tidak bisa menyalahkan putusan Mahkamah Konstitusi.

“Jika gitu ya, jika dimungkinkan bertempur bahwa ini tidak dianggap tidak

menyalahi hasil dari Keputusan MK maka PKB berpendapat bahwa setuju dengan

usul pemerintah hanya paling sedikit thresholdnya mengikuti parlementary

threshold, ya3.”

Untuk sikap yang dinyatakan oleh Fraksi Partai Nasdem (Drs. T.

Taufiqulhadi, M.Si.) memberikan pandangan sepakat dengan pemerintah yaitu

25% tanpa memberikan dalil secara ratio logis atau argumentasi yang dapat

dipertanggungjawabkan. “Kalau Nasdem sepakat dengan pemerintah, jadi menurut

kami bahwa paling sedikit dua puluh persen ya dari jumlah kursi DPR atau

memperoleh dua puluh lima persen dari suara sah nasional. Seperti pemerintah

itulah sikap dari Nasdem 4 ”. Sikap yang sama tanpa adanya argumentasi juga

dilakukan oleh F-PDIP (ARIF WIBOWO) dan F-Hanura (Rufinus Hotmaulana

Hutahuruk) untuk langsung sepakat dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

pemerintah, yaitu 25%.

Berdasarkan sikap dan argumentasi fraksi-fraksi tersebut, secara keseluruhan

menyepakati usulan dari pemerintah. Kesepakatan oleh beberapa aktor pembentuk

peraturan tersebut secara konseptual dapat dikategorikan sebagai politik hukum

pembentukkan regulasi. Sebelum adanya aturan secara tertulis, terdapat niatan

secara politis untuk mencapai suatu tujuan. Secara lebih jelas mengenai kesepakatan

sebelum pembentukkan aturan dapat dilihat pada pendapat Spencer A. Overton

mengenai political law, yaitu:

3 Risalah Rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. 4 Risalah Rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Page 60: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

50

“Some problems involve the structure of institutions that regulate

political activity such as allocating responsibility among federal, state,

and local officials and between different branches and agencies within

each level of government; varying standards (or a lack of standards)

stemming from decentralization (for example, different localities

resolving similar disputes or multiple federal agencies investigating

the same set of allegations); delegating discretion to private actors

such as political parties (for example, by allowing them to challenge

voters at the polls); agency capture; and review of agency decisions.

Other challenges stem from rulemaking and adjudication, such as the

adequacy of notice and process, the clarity and administrability of

legal directives, and the balance between consistency and flexibility in

decisionmaking.”5

Dalam pandangannya Overton mengemukakkan secara universal bahwa ada

faktor yang menentukkan sebuah kebijakan legal. Faktor tersebut dapat dilihat dari

kondisi kultural sebuah wilayah ataupun kehendak partai-partai politik yang

memiliki kepentingan masing-masing. Faktor-faktor tersebut akan membentuk

standar regulasi yang bervariasi sesuai dengan kepentingan dibalik pembentukkan

kebijakan tersebut6.

Lebih jauh lagi, menurut Michael Bayles hubungan politik dan hukum dapat

disederhanakan menjadi 3 faktor, yaitu :7

(i.) a legal order can be empirically dependent upon a political order,

a view held by all people who believe effectiveness is a necessary

condition for the existence of a legal system (ii.) a legal order can be

normatively dependent upon a political order or a political order that

meets certain moral conditions such as consent or an internal morality.

(iii) either an empirical or normative relationship can be the basis for

an analytic relationship, so that the concept of a legal system logically

depends on an effective or moral political order.

Faktor pertama secara empiris memungkinkan untuk terjadinya relasi antara

hukum dan politik melalui perintah politik (polical order)8. Perintah politik tersebut

5 Spencer Overton, Political Law, The George Washington Law Review Vol. 81 No. 6

November 2013, h. 1790. 6 Spencer Overton, Political Law, The George Washington Law Review,... h. 1791. 7 Michael D. Bayles, Politics and Law, 1982. Universidad Nacional Autónoma de México -

Instituto de Investigaciones Jurídicas, h. 139.

8 Michael D Bayles, Political Law, ..., h. 139-140.

Page 61: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

51

diadakan oleh individu ataupun kelompok yang beranggapan bahwa keefektifan

merupakan hal yang diperlukan dalam keberadaan sistem hukum. Faktor kedua

beranggapan bahwa perintah hukum secara normatif tergantung dengan perintah

politik, artinya secara legal-formal aturan yang dibentuk adalah sesuai dengan

moral yang diingkan oleh perintah politik anggota legislatif. Faktor ketiga, baik

secara keefektifan dan moralnya dapat menjadi basis untuk menentukkan

pembentukkan kebijakan9.

Dalam pembahasan mengenai penetapan presidential threshold pada rapat

terbatas tahun 2017 jelas bahwa dominasi partai yang menginginkan adanya

persentase sebesar 20% memiliki relasi dalam hal memperkuat posisi salah satu

calon presiden, baik secara efektifitas maupun moral karena secara fungsional tugas

anggota parlemen adalah semata-mata demi kepentingan masyarakat10.

Kesepakatan penetapan presidential threshold oleh 6 fraksi tersebut secara

sistematis tujuannya sama, yaitu untuk menciptakan over power candidate dalam

pemilihan umum presiden11. Hampir tidak ada perdebatan secara substansial pada

penetapan presidential threshold. Hal ini dikarenakan secara garis besar fraksi-

fraksi yang dominan memilih persentase tinggi mengehendaki adanya penguatan

sistem presidensil dan partai politik yang kecil tidak bisa serta merta bisa

mengusung pasangan calon presiden. Menurut fraksi-fraksi yang sepakat

presidential threshold 20% menginginkan filterisasi yang tinggi (high standart)12

dalam pemilu, padahal standar tersebut memiliki kepentingan politik bagi calon

petahana.

9 Dennis Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, ed: Terjemahan, (Jakarta; Yayasan obor

Indonesia. 2002), h. 141-140. 10 Dennis Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, … h. 142. 11 Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, (Ed.), Presidentialism and Democracy in

Latin America, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 444. 12 International IDEA, Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum Pedoman

Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, (Stockholdm: Bulls Tryckeri, 2002), h. 8.

Page 62: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

52

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bruce Cain “A narrow focus on election

law prompts us to overlook nonelection governance issues, such as pay-to play

rules, government transparency, lobbying regulation, and legislative ethics

committees”13. Artinya dalam urusan kebijakan Pemilu hal yang paling riskan

terjadi adalah adanya supply and demand antara penguasa dan pemilik kepentingan.

Jika kita melihat tujuan pemilu berdasarkan proses dan hasilnya, menurut

PERLUDEM tujuan pemilu adalah (i) memudahkan pemilih dalam memberikan

suara, (ii) menyederhanakan jadwal penyelenggaraan, (iii) menghemat dana negara,

dan (iv) menyeimbangkan beban penyelenggara. Sedangkan jika dilihat dari sisi

hasilnya, tujuan pemilu adalah (i) meningkatkan partisipasi dan kontrol pemilih

terhadap calon terpilih, (ii) menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang

efektif, (iii) menyederhanakan sistem kepartaian di DPR dan DPRD, serta (iv)

memperkuat dan mendemokrasikan partai politik. Tujuan-tujuan tersebut harus

ditulis dalam penjelasan undang-undang sehingga terbaca sebagai desain pemilu

yang akan memudahkan perumusan pasal dan ayat.14

Sedangkan secara normatif tujuan dari pengaturan pemilu dapat kita lihat

pada pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yaitu:

Pengaturan Penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk:

a. memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;

b. mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;

c. menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;

d. memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengarahan

pemilu; dan

e. mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.

13 Bruce E. Cain, Teaching Election Law to Political Scientists, SAINT LOUIS

UNIVERSITY LAW JOURNAL Vol. 56 No. 3 Spring 2012, h. 725-731. 14 https://perludem.org/wp-conten/plugins/downloadattachments/includes/download.php?id

=794 h. 3, diakses pada 19 Mei 2020.

Page 63: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

53

Berdasarkan tujuan-tujuan pemilu tersebut, dalam penentuan presidential

threshold tidak menggambarkan esensi tujuan adanya regulasi pemilu tersebut. Hal

ini justru menimbulkan intrik dan problematika secara terstruktur dan masif. Mulai

dari tahapan awal pencalonan yang tidak proporsional dikarenakan model pemilu

serentak yang menggunakan split ticket tidak bisa memberikan suguhan calon

pemimpin yang seharusnya bisa dimunculkan lebih banyak. Dari segi efektifitas

justru tidak tercipta dikarenakan pasca dilaksanakan pemilu justru situasi politik

bersifat destruktif dan intesitas politik menjadi sangat tinggi.

Selanjutnya pada tataran sistem pemerintahan presidensil, hal yang

diinginkan adalah adanya keseimbangan antara parlemen dan lembaga eksekutif.

Padahal secara esensial sistem presidensil di Indonesia mengehendaki adanya

pemerintahan yang seimbang dan saling kontrol (check and balances)15. Secara

faktual penerapan presidential threshold justru menimbulkan unbalance

government karena posisi eksekutif lebih dominan dalam menjalankan

pemerintahan. Kondisi di parlemen yang seharusnya menjadi watch tool rakyat

malah menjadi satu arah dengan kebijakan presiden16. Bahkan terkesan tidak

memihak rakyat sebagai konstituennya. Hal ini juga disebabkan oleh pemilu

serentak yang memberikan jeda yang sangat singkat untuk membentuk koalisi

dalam pemerintahan. Sehingga secara otomatis partai-partai akan ikut pada partai

pengusung yang memiliki parlementary threshold tinggi dan calon petahana yang

memiliki elektabilitas diatas rata-rata.

Berdasarkan hal tersebut menjawab suatu pola hubungan politik hukum yang

muncul pada pembentukan presentase presidential threshold yang diterapkan pada

penyelenggaraan pemilu serentak. Tingginya presentase presidential threshold

mejadi suatu tolak ukur bahwasannya aturan tersebut memiliki original intens yang

15 Dinoroy Marganda Aritonang, Penerapan Sistem Presidensil di Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Mimbar Hukum Vol. 22, No. 2, Juni 2010, h. 406. 16Tim Penulis Kerja untuk Rakyat, Buku Panduan Anggota Legislatif, (Depok: Pusat Kajian

Politik Departemen Ilmu Politik UI, 2009), h. 41.

Page 64: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

54

berlawanan dengan aturan hukum yang bersifat responsif. Karena pada proses

pembentukannya empat pijakan dasar seperti pijakan ideologis, pijakan normatif,

pijakan konstitusional dan pijakan moral17 lebih condong kepada intrik politik yang

lebih mengutamakan kepentingan elite pemerintahan daripada kepentingan

masyarakat yang seharusnya menjadi nilai utama dalam pembentukan hukum yang

bersifat responsif. Berdasarkan kacamata politik hukum, tidak terpenuhinya nilai-

nilai yang terkandung dalam pembentukan hukum yang bersifat responsif

menunjukan suatu variabel bahwasannya pembentukan hukum tersebut bersifat

konservatif atau ortodoks, hal tersebut berkaitan dengan variable lain yaitu sistem

politik yang bersifat otoriter.

B. Relasi Politik Hukum dan Penerapan Hukum Presidential Threshold

Dinamika yang terjadi dalam menetapkan undang-undang No. 7 Tahun 2017

menimbulkan banyak polemik di masyarakat, salah satunya adalah poin yang

membahas tentang penetapan besaran angka presidential threshold yang mencapai

20%. Polemik yang timbul bukan hanya karna besaran angka presidential threshold

tersebut, karena sejatinya besaran angka tersebut sama dengan besaran angka

presidential threshold pada Pemilu 2014, polemik yang timbul sejatinya karena

besaran angka presidential threshold yang mencapai 20% tersebut digunakan

bersamaan dengan diselenggarakannya Pemilu serentak, dalam penetapan

presidential threshold dengan besaran angka 20% dan digunakan dalam

pelaksanaan pemilu serentak ada beberapa poin yang harus diperhatikan, karena hal

tersebut nantinya akan memiliki dampak yang negatif bagi keberlangsungan

pemerintahan Indonesia, poin-poin tersebut adalah:

1. Penetapan presidential threshold telah ditentukan sebelum diadakannya rapat

mengenai presidential threshold.

17 Bernard Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2011), h. 53.

Page 65: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

55

2. Penetapan presidential threshold memiliki intensitas yang tinggi antara dua

golongan koalisi.

3. Terdapat inkonsistensi political wealing (kehendak politik) dalam penetapan

presidential threshold.

Berdasarkan poin-poin yang telah dipaparkan tersebut terdapat suatu upaya

sistematis dan masif agar ketentuan presidential threshold dengan besaran angka

yang mencapai 20% menjadi suatu muatan dalam rapat RUU penyelenggaraan

Pemilu dan nantinya dapat digunakan menjadi suatu acuan dalam pelaksanaan

penyelenggaraan Pemilu serentak, hal tersebut mengkoneksikan adanya suatu

kepentingan yang termuat dalam penyusunan RUU penyelenggaraan Pemilu. Jika

ditelaah lebih dalam terdapat fakta-fakta yang saling berkaitan.

Pertama terkait penetapan presidential threshold yang telah ditentukan

sebelum diadakannya rapat pembahasan mengenai RUU penyelenggaraan Pemilu,

dalam hal tersebut terdapat sebuah konsekuensi logis bahwasannya besaran angka

terkait presidential threshold sudah memiliki keputusan diluar dari penyelenggaraan

rapat. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwasannya dalam proses penetapan besaran

angka presidential threshold tersebut tercipta sebuah dinamika pengambilan

keputusan yang menarik, dari 10 fraksi yang ikut serta dalam rapat RUU

penyelenggaraan Pemilu terdapat 6 fraksi yang menyetujui besaran angka

presidential threshold mencapai 20%, diantara fraksi-fraksi yang menyepakati

besaran angka tersebut diantaranya adalah fraksi Golkar, fraksi PDIP, fraksi PPP,

fraksi Hanura, fraksi Nasdem, dan fraksi PKB, sedangkan 4 fraksi lainnya menolak

besaran angka presidential threshold yang mencapai 20% tersebut, 4 fraksi tersebut

adalah fraksi Gerindra, Fraksi PKS, fraksi Demokrat, dan fraksi PAN. Hal tersebut

mendefinisikan bahwasannya terdapat dua golongan, antara golongan pro

presidential threshold 20% dengan golongan kontra presidential threshold 20%.

Partai Golkar, PDIP, PPP, partai Hanura, partai Nasdem, dan PKB yang dalam

rapat penetapan RUU penyelenggaraan Pemilu masuk dalam klasifikasi golongan

pro dengan presidential threshold 20% memantapkan diri untuk berkoalisi dengan

Page 66: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

56

PDIP menjadi pengusung salah satu calon peserta Pemilu 2019, pengambilan sikap

tersebut ditandai dengan diadakannya sebuah deklarasi yang dilaksanakan pada hari

kamis tanggal 9 Agustus 2018 di Jl. HOS Tjokroaminoto, menteng, Jakarta Pusat18,

deklarasi tersebut menunjukkan sebuah ketegasan bahwasannya partai-partai

tersebut menjadi partai-partai yang tergabung atau partai-partai yang berkoalisi

untuk menetapkan calon peserta Pemilu 2019. Sedangkan partai Gerindra, PAN,

PKS, dan Demokrat yang termasuk ke dalam golongan kontra presidential threshold

20% pada penetapan RUU penyelenggaraan Pemilu membentuk sebuah koalisi

berbeda dari golongan pro presidential threshold 20%.

Dinamika persaingan yang berisikan kepentingan yang terjadi dalam

penetapan presidential threshold 20% hingga menghasilkan dua golongan yang

berbeda dan saling memiliki kepentingannya masing-masing berlanjut ke dalam

kontestasi Pemilu presiden 2019. Setelah bertarung dalam penetapan jumlah

presidential threshold di ranah legislasi yang terjadi pada rapat RUU

penyelenggaraan Pemilu, kedua golongan tersebut bertarung kembali pada pesta

demokrasi yaitu kontestasi Pemilu presiden 2019 yang bertujuan untuk menduduki

kekuasaan dalam ranah pemerintahan pada periode 2019-2024.

Kedua, Penetapan presidential threshold memiliki intensitas persaingan yang

tinggi antara dua golongan koalisi, terciptanya intensitas persaingan yang tinggi

tersebut nantinya akan menimbulkan sebuah konflik yang berdampak kepada

konflik sosial di masyarakat, hanya adanya dua pasangan calon yang bersaing dalam

kontestasi demokrasi dalam hal ini Pemilu presiden nantinya akan menimbulkan

kondisi dukungan dari masyarakat hanya terbagi menjadi dua pilihan saja, hal

tersebut dapat berakibat pada munculnya sifat fanatisme dari masing-masing

kelompok pendukung calon yang akan bersaing memperebutkan kursi kekuasaan

tertinggi di Indonesia.

18https://nasional.kompas.com/read/19565481/kubu-jokowi-bernama-koalisi-indonesia-kerja

diakses pada 20 Mei 2020.

Page 67: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

57

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh PUSKAPOL UI,

penelitian yang dilakukan tersebut mendapatkan hasil bahwasannya ada beberapa

temuan riset yang sangat penting untuk menjadi perhatian serius, hal ini menjadi

perhatian khusus dan serius yang bukan saja berasal dari kedua tim paslon tetapi

juga para pemangku kepentingan dalam Pemilu 2019 antara lain:

1. Konteks kontestasi saat Pemilu 2019 merupakan residu dari tajamnya polarisasi

politik dan politisasi isu-isu identitas yang terjadi selama Pilpres 2014 dan

Pilgub DKI Jakarta 2017, dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi

dan polarisasi yang terus dipertahankan dan dirawat.

2. Desain elektoral yang menetapkan adanya presidential threshold yang tinggi

turut meningkatkan intensitas polarisasi politik, karena secara politis hanya

membuka peluang munculnya dua kandidat.

3. Fenomena industri konsultan politik, influencer, dan buzzer dalam kampanye

digital pasangan calon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu

dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut

memperburuk polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas. Kita dapat

melihat secara nyata setiap isu-isu non-programatik terus direproduksi dan

diglorifikasi oleh cyber army masing-masing golongan pendukung pasangan

calon presiden dan wakil presiden.

4. Keserentakan Pemilu 2019 menyebabkan lebih dominannya isu pilpres dan

meminggirkan perhatian terhadap Pileg, baik DPR RI, DPD, maupun DPRD

Provinsi dan Kab/Kota.

5. Sebagai sumber informasi publik media justru cenderung memiliki preferensi

terhadap isu-isu non programatik dalam pemberitaannya19.

Akibat yang timbul karena tingginya intensitas politik yang disebabkan oleh

hanya tersedianya dua pasangan calon ini menjadikan tercederainya proses

19 Puskapol UI, Press Release Politik Identitas dalam Kampanye Pemilu 2019, (Depok:

Puskapol UI), 2019.

Page 68: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

58

demokrasi, terlebih pada masa sebelum Pemilu dilaksanakan atau masa kampanye.

Hal ini dapat terlihat pada Laporan Pengawas Pemilu dalam tahapan kampanye 2014

berkaitan dengan laporan penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu seperti

adanya laporan bahwa tim kampanye paslon menghina paslon lain di Povinsi Papua,

dan black campaign yang terjadi di Provinsi DIY, Kota Kendari, Provinsi Jawa

Barat, dan Kabupaten Ciamis20.

Begitupun dengan kasus kampanye hitam melalui penyebaran Tabloid Obor

Rakyat di beberapa tempat dan pesantren yang terbit pertama kali pada Mei 2014

berjudul “Capres Boneka” dengan karikatur Jokowi sedang mencium tangan

Megawati Soekarnoputri, dan Tabloid tersebut juga menyebut Jokowi sebagai

keturunan Tionghoa dan kaki tangan asing. Hingga pada akhirnya kejaksaaan

menetapkan pimpinan redaksi dan penulis tabloid Obor Rakyat sebagai terdakwa

dengan sanksi kurungan penjara selama delapan bulan21. Hal tersebut diakibatkan

karena hanya tersedia dua pasangan calon pada Pemilu 2014.

Pada tahapan pelaksanaan Pemilu 2019, hanya tersedianya dua pasangan

calon tersebut masih menjadi faktor utama penyebab tercederainya proses

demokrasi. Intensitas politik tinggi tersebut masih tetap menimbulkan adanya suatu

permasalahan yang masih belum terselesaikan dari Pemilu 2014. Hanya adanya dua

pasangan calon yang tersedia membuat fanatisme masyarakat pendukung pasangan

calon sangat mudah ikut tergiring opini upaya black campaign yang dilakukan tim

pemenangan dari masing-masing pasangan calon. walaupun pada dasarnya black

campaign atau ujaran kebencian dalam hal kampanye telah memiliki payung hukum

yang kuat.

Terkait black campaign tersebut telah diatur dalam Pasal 280 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu mengatur tentang

20 Bawaslu RI, Laporan Hasil Pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014,

(Jakarta: Bawaslu RI, 2014), h.133. 21 Aditya Perdana dan Delia Wildianti, Narasi Kampanye dan Media Sosial dalam Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, Jurnal Bawaslu DKI Jakarta (PUSKAPOL LP2SP FISIP

UI), h. 24.

Page 69: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

59

larangan pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu yang mempersoalkan dasar

negara, UUD 1945, menghina dalam hal SARA, hingga menghasut serta mengadu

domba perseorangan ataupun masyarakat.

Pasal 280 tersebut diperkuat dengan ketentuan pidana yang tertera dalam

Pasal 521, berdasarkan pasal tersebut setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim

kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan

kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun dan denda paling banyak Rp.

24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Dengan adanya aturan yang kuat

terkait black campaign tersebut, praktek pelaksanaan black campaign masih tetap

berjalan.

Menurut laporan Bawaslu pada tahun 2019, Bawaslu menemukan fakta

terkait hal-hal penting yang menjadi perhatian. Fakta-fakta ini menyimpan

kerawanan nasional yang menyita perhatian publik dalam beberapa bulan terakhir,

sepanjang tahapan tersebut dalam beberapa bulan sebelum diadakannya Pemilu

2019, terdapat lima fakta nasional pada update kerawanan Pemilu 2019, yaitu:

1. Hak pilih

2. Kampanye dengan ujaran kebencian

3. Logistik pemilu

4. Netralitas ASN

5. politik uang22

Berikut besaran angka yang muncul berdasarkan fakta nasional terkait

kerawanan Pemilu 2019:

22 BAWASLU 2019, Laporan Kinerja Pemilu 2019, Menegakkan Keadilan Pemilu:

Memaksimalkan Pencegahan, Menguatkan Pengawasan, h.45

Page 70: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

60

(BAWASLU)

Ketiga, terdapat inkonsistensi political wealing (kehendak politik) dalam

penetapan presidential threshold, jika kita telusuri secara mendasar dan mendalam,

ditetapkannya presidential threshold dengan besaran angka 20% memiliki

kepentingan politik yang terkandung secara pasif. Berdasarkan perdebatan yang

terjadi dalam penyusunan RUU Penyelenggaraan Pemilu terdapat inkonsistensi

substansi argumentasi dari para perwakilan fraksi yang tergabung dalam panitia

khusus (Pansus) Penyelenggaraan Pemilu.

Merujuk pada dinamika perdebatan yang terjadi dalam rapat Pansus

Penyelenggaraan Pemilu, substansi argumentasi dari para perwakilan fraksi terdapat

inkonsistensi kehendak, dari semua perwakilan fraksi pada hakikatnya menolak

secara nyata apabila pelaksanaan Pemilu hanya menunjuk satu calon atau bisa

disebut dengan calon tunggal, tetapi pada dasarnya beberapa perwakilan fraksi

Page 71: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

61

menginginkan besaran angka presidential threshold mencapai 25-30%, jika ditelaah

lebih dalam penerapan presidential threshold dengan besaran angka 25-30% sama

halnya dengan menghendaki bahwasannya Pemilu presiden 2019 dengan calon

tunggal, hal tersebut saling berkaitan antara perolehan suara pada pemilihan

Legislatif 2014 dengan koalisi yang muncul pada Pemilu 2019, berikut pemaparan

peneliti terkait hasil pemilihan Legislatif pada Tahun 2014 dengan koalisi partai

politik pada kontestasi Pemilu 2019:

Hasil Pileg 201423

Pada Pileg yang diselenggarakan pada Tahun 2014 presentase terbanyak

dimenangkan oleh PDIP dengan presentase sebesar 18,95%, disusul pada posisi

kedua yaitu Golkar dengan presentase sebesar 14,75%, lalu Gerindra dengan

11,81%, Partai Demokrat 10,19%, PKB 9,04%, PAN 7,59%, PKS 6,79%, Nasdem

6,72%, PPP 6,53%, Hanura 5,25%, sedangkan yang tidak lolos ke parlemen terdiri

dari 2 partai yaitu PBB dengan perolehan suara 1,46% dan PKPI dengan perolehan

suara 0,91%.

Untuk menjadikan bahan tolak ukur yang saling berkesinambungan terkait

pembuatan presentase presidential threshold, berikut peneliti akan memaparkan

data terkait koalisi partai politik pada Pemilu 2019:

23 Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Data koalisi Parpol 2019104

Page 72: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

62

Data koalisi Parpol 201924

Berdasarkan data hasil Pileg 2014 dan data koalisi partai politik pada Pemilu

2019 memperkuat alasan peneliti bahwasannya inkosistensi terkait tidak

menginginkan calon tunggal tetapi angka pada presidential threshold mencoba

diusahakan pada angka 25-30% merupakan upaya nyata keinginan terjadinya calon

tunggal pada Pemilu 2019. Jika kita analisis secara lebih mendalam, partai-partai

yang menginginkan presidential threshold 25-30% walaupun akhirnya tersepakati

20% adalah PDIP, Golkar, PPP, PKB, Hanura, dan Nasdem pada Pemilu 2019

akhirnya bergabung menjadi satu koalisi pengusung Jokowi-ma’ruf amin.

Dari fakta dan data yang telah dipaparkan peneliti, hal tersebut berkaitan

dengan teori Bagir Manan yang menyebutkan bahwasannya policy behind the legal

policy 25 , karena pada dasarnya dalam pembuatan dan pengesahan RUU

penyelenggaraan Pemilu terdapat intrik politik yang lebih mengutamakan

kepentingan elite partai daripada kepentingan masyarakat, dari data-data yang telah

24 Sumber: Litbang Kompas, diolah dari KPU.

25 Shidarta (ed.), Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan Eksistensi dan

Implikasi), (Jakarta: HuMa dan Epistema Insititute, 2012), h. 81.

Page 73: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

63

dipaparkan tersebut membuktikan bahwasannya ada suatu kebijakan dibalik

kebijakan hukum dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu terkhusus pada

pembahasan terkait presentase presidential threshold yang mencapai 20%. Hal

tersebut terjadi mengingat betapa pentingnya perebutan kursi di tingkat eksekutif

Betapa pentingnya kekuasaan dalam ranah eksekutif membuat

penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu

Anggota Lembaga Perwakilan, menurut Mahkamah Konstitusi ditemukan fakta

politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan

dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih calon Presiden

terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik

terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya

roda pemerintahan di kemudian hari26. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada

kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan

jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka

panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada

partai-partai politik sehingga dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan

kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Dengan

demikian penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan

tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat,

sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan

jangka panjang atau kepentingan tersebut hanya berdasarkan kepada kemanfaatan

yang diperoleh oleh golongan tertentu.

26 Nanik Prasetyoningsih, Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan

Demokrasi Indonesia, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 2, Desember 2014, h. 248.

Page 74: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

64

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Politik hukum presidential threshold memiliki karakteristik hukum yang otoriter.

Hal ini dikarenakan dalam pembahasan di rapat Pansus RUU Penyelenggaraan

Pemilu terkait pembentukan presidential threshold, fraksi-fraksi yang ada dalam

rapat Pansus tersebut bukannya menghendaki adanya penguatan demokrasi atau

penguatan sistem presidendil justru mengkerdilkan demokrasi. Dalam

pembahasan rapat pansus tersebut juga terdapat kepentingan politik penguasa

untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki partai penguasa. Politik hukum

penetapan presidential threshold juga bertentangan dengan asas tujuan Pemilu

yang efektif dan proporsional karena dengan adanya presidential threshold

dengan persentase tinggi yang mencapai 20% menciptakan kesenjangan hak

politik atau hak demokrasi antara partai dengan suara mayoritas dengan partai

suara minoritas.

2. Adanya relasi politik hukum terhadap penerapan hukum presidential threshold

dalam Pemilu serentak Mengakibatkan dampak yang buruk bagi sistem Pemilu

dan demokrasi di Indonesia. Hal ini dapat tergambarkan berdasarkan beberapa

hal: pertama besaran angka presidential threshold yang telah ditentukan sebelum

diadakannya rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu mengenai presidential

threshold. Kedua besarnya presentase presidential threshold hingga 20%

menimbulkan tingginya intensitas politik. Hal tersebut muncul sebagai akibat

dari sedikitnya jumlah calon yang bisa ikut serta dalam kontestasi Pemilu

Presiden. ketiga terdapat inkonsistensi political wealing (kehendak politik)

dalam rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu terkait penetapan presentase

presidential threshold.

Page 75: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

65

B. Rekomendasi

1. Revisi undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan Pemilu yang

berkaitan dengan Pemilu serentak dan presentase presidential threshold yang

mencapai 20%. Presentase presidential threshold yang mencapai 20% dikurangi

menjadi 5-10%, pengurangan presentase tersebut membuka peluang terciptanya

lebih banyak pilihan calon terbaik dalam kontestasi Pemilu presiden.

2. Membentuk aturan terkait koalisi. Dalam hal ini dibuat suatu pelembagaan

koalisi sebelum diselenggarakan Pemilu. Adanya suatu aturan khusus yang

mengikat terkait pelembagaan koalisi, membuat para pihak yang berkoalisi tidak

mudah berpindah koalisi. Ketika suatu koalisi menjadi bagian dari oposisi,

koalisi tersebut akan menjadi bagian dari pengawasan kinerja dan sikap

pemerintah. Hal tersebut dapat menyeimbangkan suara antara kepentingan yang

ada di eksekutif dan parlemen terkait dalam pembentukan undang-undang,

karena sistem pengawasan berjalan efektif dan sejatinya undang-undang yang

diciptakan demi kemaslahatan serta kepentingan masyarakat bukan golongan

tertentu.

Page 76: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

66

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,

2004.

Abercrombie, Hill, dan Turner dalam Sukmana Oman, Konsep dan Teori Gerakan

Sosial, Malang: Intrans Publishing, 2016.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2000.

Almond dalam Hijri S Yana, Politik Pemekaran Di Indonesia, Malang: UMM Press,

2016.

Arsil, Fitra, Pemilihan Umum Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” Jakarta:

Djokosoetono Research Centre FHUI, 2014.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

…, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: BIP, 2008.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional

2015-2019, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012.

Bastian, Sunil dan Robin Luckham, Can Democracy be Designed?, The Politics of

Institutional Choice in Conflict-torn Societies, London & Newyork: Zed Books,

2003.

BAWASLU 2019, Laporan Kinerja Pemilu 2019, Menegakkan Keadilan Pemilu:

Memaksimalkan Pencegahan, Menguatkan Pengawasan, 2019.

BAWASLU 2014, Laporan Hasil Pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Tahun 2014, Jakarta: Bawaslu RI, 2014.

Page 77: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

67

Bayles, Michael D, Politics and Law, Universidad Nacional Autónoma de México -

Instituto de Investigaciones Jurídicas, 1982.

Benjamin, Relly, Democracy in Decided Societiesn : Electoral Engineering for

Conflict Management, New York : Cambridge University Press, 2001.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2002.

…, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Dahrendorf, Ralf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Jakarta: Rajawali,

1986.

Dayanara, Lytha, Relevansi Sistem Dalam Model Penyelenggaraan Pemilu

Serentak,Skripsi S1 Kearsipan Fakultas Hukum, UNNES Semarang, 2017.

Diniyanto, Ayon, Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di Pemilu

Serentak Tahun 2019, Semarang: Jurnal UNNES, 2018.

Geys, Benny, Explainning Voter Turnout: A Review Of Aggregate- Level Research,

Electoral Studies 25, 2006.

Ghaffar, Janedri M, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Pres, 2012.

Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:

Alumni, 1991.

Held, David, dalam suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Bandung: Humaniora RI, 2008.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2005.

Page 78: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

68

International IDEA, Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum Pedoman

Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Stockholdm: Bulls Tryckeri,

2002.

Janda, K, J. Berry, & J. Goldman, The Challenge of Democracy, Boston: Houghton

Mifflin, 1997.

Lechman, David, Democracy and Development in Latin America, Cambridge: Polity

Press, 1989.

Mainwaring, Scott dan Matthew Soberg Shugart, (Ed.), Presidentialism and

Democracy in Latin America, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

Marijan, Kacung, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Paska Orde Baru,

Jakarta: Kencana, 2010.

Mayo, Henry B, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University

Press, 1960.

…, Nilai-nilai Demokrasi, dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Masalah Kenegaraan,

Jakarta: Gramedia, 1975.

MD, Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Demokrasi, Jakarta:

LP3ES, 2006.

…, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik

terhadap Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: UGM, 1993.

…, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Rajawali Pers, 2014.

Nasution, Mirza, Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Medan:

Puspantara, 2015.

Page 79: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

69

Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward

Responsive Law, London: Harper & Row, Publisher New York Hargestown, San

Fransisco, 1978.

Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta:

Fajar Media Press, 2011.

Oetama, Jacob, Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1999-2001, Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2001.

Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu

Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009.

Perdana, Aditya dan Delia Wildianti, Narasi Kampanye dan Media Sosial dalam

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, Bawaslu DKI Jakarta,

PUSKAPOL LP2SP FISIP UI, 2019.

Puskapol UI, Press Release Politik Identitas dalam Kampanye Pemilu 2019, Depok:

Puskapol UI, 2019.

Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam

Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru, 1985.

…, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang: Pustaka Pelajar IAIN

Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 2006.

Rakhmat, J, Ketimpangan dan Agama Madani: Belajar dari Rousseu, Prakata dalam

JJ Rousseu, perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik, Jakarta: Dian

Rakyat, 2010.

Risalah Rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Page 80: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

70

Sartori, Giovanni, Parties and Party Systems, New York: Cambridge University Press,

1984.

Shidarta (ed.), Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan Eksistensi

dan Implikasi, Jakarta: HuMa dan Epistema Insititute, 2012.

Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum

Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983.

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Peresada,

2006.

Surbakti, Ramlan, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2008.

Surbakti, Ramlan, dkk. Merancang Sistem Politik Demokratis: Menuju pemerintahan

Presidensial yang Efektif, Kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan, 2011.

Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006.

Thompson, Dennis, Etika Politik Pejabat Negara, ed: Terjemahan, Jakarta; Yayasan

obor Indonesia, 2002.

Tim Penulis Kerja untuk Rakyat, Buku Panduan Anggota Legislatif, Depok: Pusat

Kajian Politik Departemen Ilmu Politik UI, 2009.

Tricahyo, Ibnu, Pengaturan Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Dalam Rangka

Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Demokratis, Malang: Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, 2007.

Winters, A Jeffrey, Oligarki terj, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Page 81: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

71

Wisnewski, J Jeremy (Ed), Review Journal of Political Phylosophy Volume 11,

Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2014.

Zaim, Dominik, The Sovereignty Paradox The Norms and Politics of International

Statebuilding, New York: Oxford University, 2007.

Jurnal

Aritonang Dinoroy Marganda, Penerapan Sistem Presidensil di Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Mimbar Hukum Vol. 22, No. 2, Juni 2010.

Cain, Bruce E, Teaching Election Law to Political Scientists, Saint Louis University

Law Journal Vol. 56 No. 3, 2012.

Halim, Abd, The impact of proportional open system to political behavior:case study

the community Sumenep Madura in an election legislative 2014, jurnal umm,

Volume 9, Nomor 2, 2017.

Kemenkumham, Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan

Umum 2014, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 4, Desember 2014.

Maiwan, Mohammad, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kekuasaan dan

Kedudukannya dalam Sistem Politik, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Vol. 15,

No. 2, April 2016.

Marpaung, Lintje Anna, Pengaruh Konfigurasi Politik Hukum Terhadap Karakter

Produk Hukum, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 7, No. 1, Januari 2012.

Negretto, Gabriel L, Minority Presidents and Democratic Performance in Latin

America, Latin American Politics and Society, Vol. 48, No. 3, 2006.

Page 82: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

72

Overton, Spencer, Political Law, The George Washington Law Review Vol. 81 No. 6

November 2013.

Peaslee, Amos J, Constitutions of Nation, Vol.I, Concord, The Rumford Press, New

Heaven, 1950.

Prasetyoningsih, Nanik, Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan

Demokrasi Indonesia, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 2, Desember 2014.

Theodore, M Benditt, The Concept of Interest in Political Theory, Political Theory,

No. 3, August 1975.

Wibowo, Mardian, Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka

dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No 2, Juni 2015.

Widiarto, Aan Eko, Mengukur Kualitas Legislasi Dalam Perspektif Legisprudence,

Makalah disampaikan dalam Konferensi Negara Hukum, Hotel Bidakara tahun

2012.

Wijaya, I Dewa Made Putra, Mengukur Derajat Demokrasi Undang-Undang Nomor

42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Jurnal

IUS, Vol. II, No. 6 Desember 2014.

Winters, Jeffrey A, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, Prisma: Vol. 33 No. 1 Tahun

2014.

Zuhri, Sholehudin, Political Process in the Forming of Election Regulation: an

Analysis on Power Struggle in the Formulation of Act No. 7/2017 About Election,

Jurnal Wacana Politik, Vol. 3, No. 2, 2018.

Web

Page 83: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

73

Didik Supriyanto, “Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak”,

http://www.kompas.com/read/2013/03/21/02251623/Cegah-Politik-Dinasti-

dengan-Pemilu-Serentak.

Fadli, Ramadhanil, “Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Pemilu 2019”,

https://rumahpemilu.org/ambang-batas-pencalonan-presiden-dan-pemilu-

2019/.

https://nasional.kompas.com/read/19565481/kubu-jokowi-bernama-koalisi-indonesia-

kerja.

https://perludem.org/wpconten/plugins/downloadattachments/includes/download.php

?id=794.

Indah Mutiara Kami, Sudah Disahkan, Ini 5 Isu Krusial di UU Pemilu,

http://m.detik.com.

Rumah Pemilu, “Gambaran Singkat Pemilihan Umum 2014”,

http://www.rumahpemilu.org/in/read/4030/Gambaran-Singkat-Pemilihan-

Umum-2014-di-Indonesia.

Page 84: POLITIK HUKUM PENERAPAN PRESIDENTIAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875...SERENTAK DI INDONESIA, Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara,

74