Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan...

32
LAPORAN PENELITIAN Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No. IX/MPR/2001) 2015 PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI Gedung DPR RI Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta 10270 Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H. Lidya Suryani W., S.H., M.H Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn. Harris Y.P. Sibuea, S.H., M.Kn. Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Transcript of Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan...

Page 1: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

LAPORAN PENELITIAN Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No. IX/MPR/2001)

2015

P U S A T P E N G K A J I A N P E N G O L A H A N D A T A D A N I N F O R M A S I S E K R E T A R I A T J E N D E R A L D P R R I

G e d u n g D P R R I N u s a n t a r a I L t . 2 J l . J e n d . G a t o t S u b r o t o J a k a r t a 1 0 2 7 0

Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.

Lidya Suryani W., S.H., M.H

Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.

Harris Y.P. Sibuea, S.H., M.Kn.

Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Page 2: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

EXCECUTIVE SUMMARY

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR No. IX/MPR/2001) memuat

politik hukum sebagai arah kebijakan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber

daya alam ke depan. Pembentukan TAP MPR No. IX/MPR/2001 ini didasarkan pada

beberapa permasalahan dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam, yaitu:

pertama, pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama

ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai

konflik. Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan

sumber daya agraria/sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.

Ketiga pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan,

dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan

menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan

konflik.

TAP MPR No. IX/MPR/2001 ini harus ditempatkan sebagai sandaran hukum

utama bagi proses pelembagaan upaya penyelesaian permasalahan agraria. Untuk itu,

MPR menindaklanjutinya dengan memberikan rekomendasi kepada Presiden dan DPR

untuk melaksanakan TAP MPR No. IX/MPR/2001 dan menugaskan pada Presiden untuk

(1) menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara

proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukum sampai dengan implementasinya,

(2) bersama dengan DPR membahas Undang-Undang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam yang akan berfungsi sebagai undang-undang pokok,

dan (3) membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk menyusun

kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam guna

menyelesaikan sengketa agraria dan sumber daya alam agar memenuhi rasa keadilan

Page 3: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga

berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi.1

TAP MPR No. IX/MPR/2001 tetap dapat menjadi acuan dalam pengelolaan agraria

dan sumber daya alam dengan alasan, pertama substantif TAP MPR No. IX/MPR/2001

memiliki substansi politik hukum yang masih sangat relevan dengan persoalan yang

dihadapi saat ini. Kedua, secara legal formal, TAP MPR No. IX/MPR/2001 termasuk TAP

MPR yang tetap diakui keberadaannya sampai diganti dengan Undang-Undang,2

sehingga termasuk dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang mencantumkan

kembali Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.

Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3)

UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Implementasi pembaruan agraria ini tidak terbatas

pada pelaksanaan distribusi tanah dan sumber daya alam lainnya tetapi harus disertai

dengan pengadaan infrastruktur penunjang agar sumber-sumber agraria dapat dikelola

secara produktif dan berkelanjutan.3 Dalam implementasinya, substansi politik hukum

pembaruan agraria dan sumber daya alam dituangkan dalam berbagai undang-undang

yang terkait dengan agraria dan sumber daya alam seperti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan), Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (UU Kehutanan), Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UU PPLH). Dengan demikian maka sudah seharusnya berbagai produk hukum

1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas

Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 dan Tap MPR No. 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR untuk menyampaikan saran atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2003.

2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/S.

3 Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), Naskah Akademik Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaan di Indonesia, Jakarta: 2014, hal. 7.

Page 4: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

tersebut dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya agraria dan

sumber daya alam yang tertuang dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 tersebut.

Namun fenomena dan fakta yang terjadi menunjukkan bahwa implementasi dari

undang-undang sektoral tersebut menimbulkan permasalahan regulasi di bidang

agraria dan sumber daya alam yang memicu munculnya masalah agraria di kalangan

masyarakat dan berkembang menjadi konflik. Konflik agraria dan sumber daya alam ini

muncul sebagai dampak dari lahirnya undang-undang sektoral yang telah

mendegradasi UUPA, tidak sinkron satu sama lain, dan saling tumpang tindih.4 Selain

itu, masalah agraria di Indonesia secara garis besar dikarenakan konsentrasi

kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan sumber-sumber agraria (tanah, hutan,

tambang, perairan) kepada segelintir orang dan korporasi baik swasta asing, domestik

maupun badan usaha milik negara (BUMN).

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun permasalahan hukum dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana pelaksanaan

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam baik dalam peraturan

perundang-undangan maupun dalam implementasinya harus sejalan dengan TAP MPR

No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Apakah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan

sumber daya agraria/sumber daya alam sudah sesuai dengan arah pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam?

2. Apakah struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber

daya agraria/sumber daya alam telah terakomodasi dalam berbagai produk hukum

(undang-undang) setelah pembentukan Tap MPR No. IX/MPR/2001?

3. Bagaimana peranan daerah dan peran serta masyarakat menuju ke arah

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam?

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan tumpang tindih pengaturan,

struktur penguasaan, kualitas sumber daya alam, aspek peran serta masyarakat, pola

4 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan.

Page 5: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

kepemilikan agraria yang adil telah terakomodasi dalam berbagai produk hukum

(undang-undang) setelah pembentukan TAP MPR No. IX/MPR/2001.

Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk: pertama, mengkaji dan menganalisa

kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber

daya agraria/sumber daya alam dengan arah Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam. Kedua, melakukan pengkajian terhadap struktur penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam telah

terakomodasi dalam berbagai produk hukum (undang-undang) setelah pembentukan

Tap MPR No. IX/MPR/2001. Ketiga, mengetahui peranan daerah dan peran serta

masyarakat terkait dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta dapat digunakan sebagai

masukan bagi DPR RI dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

pengawasan terkait political will di bidang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber

daya alam.

D. KERANGKA TEORI

a. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Legislasi

Teori pembentukan legislasi yang akan digunakan adalah teori politik-biro (bureau-

politics) atau teori politik organisasi (organizational politics). Teori bureau-political

memandang pembuatan kebijakan (policy making) yang juga dapat diartikan secara luas

mencakup pembentukan peraturan (law making) tidak sekadar sebagai hasil dari

proses rasional kehendak pemegang kekuasaan politik di mana bagian-bagian atau

faktor-faktor yang bekerja di dalamnya dapat diidentifikasi satu persatu, namun juga

tidak semata-mata sebagai proses yang muncul dari dan terbentuk oleh dinamika

masyarakat (society driven) dengan nuasa kehendak politik dibaliknya. Sebaliknya teori

ini juga memandang proses perumusan kebijakan sebagai perbenturan antara ragam

sektor (biro) dalam administrasi pemerintahan. Masing-masing bagian pemerintahan

yang berbeda-beda ini akan berupaya memasukan urusan mengurus persoalan di atas

ke dalam lingkup kewenangan mereka. Sehingga mereka sendirilah yang dapat

memonopoli urusan mendefinisikan, mendiagnosa, dan mengajukan solusi atas

Page 6: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

persoalan yang muncul. Banyak rancangan legislasi menjadi bukti adanya persaingan

dan perseteruan antara pelbagai biro (dalam) administrasi pemerintahan.5

Adanya ketidakharmonisan dan tumpang tindihnya peraturan perundang-

undangan di bidang agraria dan sumber daya alam, menunjukkan adanya

ketidakharmonisan antar-kementerian terkait. Ketidakharmonisan dan tumpang tindih

peraturan perundang-undangan tersebut menyebabkan konflik-konflik sering muncul.

Teori bureau-political juga menegaskan bahwa tidak tepat jika hanya untuk

memberi perhatian sepenuhnya pada kementerian (birokrasi pemerintahan) sebagai

“kekuatan keempat”6 dan begitu saja menerima argumen bahwa kompetisi internal di

dalam setiap kementerian (birokrasi) merupakan satu-satunya kunci untuk memahami

proses pembentukan legislasi. Di beberapa negara dapat kita temukan adanya rentang

yang luas dari dan keragaman agen-agen negara yang berada lebih dekat dengan pusat

kekuasaan politik daripada kementerian yang ada, seperti: sekretaris kabinet, badan

pusat legislasi nasional, dan komite pusat dari partai-partai politik. Pusat kekuasaan

ideologis, budaya atau religius juga mungkin besar pengaruhnya. DPR sebagai lembaga

legislatif dan komisi-komisi di dalamnya serta juga partai-partai politik juga turut

memainkan peran penting. Demikian pula, peran dari politisi perseorangan,

administrator (pegawai negeri) dan juga warga negara biasa tidak dapat

dikesampingkan begitu saja dalam proses mendorong suatu rancangan legislasi.7

Dalam penelitian ini, teori bureau-political digunakan sebagai pisau analisis untuk

menjawab pertanyaan penelitian pertama yaitu mengenai persoalan tumpang tindih

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya

agraria/sumber daya alam dan bagaimana agar peraturan perundang-undangan

ataupun kebijakan serta kepentingan sektoral antar kementerian terkait dapat sesuai

dengan arah pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan TAP

MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam.

5 J.M. Otto, W.S.R. Stoter, dan J. Arnscheidt, Using Legislative Theory to Improve Law and Development

Project, dalam Lawmaking For Development. Explorations into the Theory and Practice of International Legislative Projects, Edited by: J. Arnscheidt, B. van Rooij, J.M. Otto, Leiden University Press, 2008, hal. 60.

6 Pada 1971, Crince LeRoy mempublikasikan analisis revolusioner (pada waktu itu) perihal peran dan pengaruh korps pegawai negeri. Ia selanjutnya berkesimpulan bahwa korps pegawai negeri ini dalam kenyataan mewujudkan diri sebagai kekuatan ke-empat dalam negara demokratis – di samping kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisiil. Lihat Crince LeRoy (1971).

7 J.M. Otto, W.S.R. Stoter, dan J. Arnscheidt, Using Legislative Theory…, loc.cit.

Page 7: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

b. Teori Sistem Hukum

Politik hukum, baik dari sisi proses pembentukan, substansi, maupun penegakan

hukum dapat dipahami secara komprehensif apabila dianalisis dengan teori sistem

hukum. Lawrence M. Friedman dalam bukunya ”The Legal System: A Social Science

Perspective” mengemukakan bahwa sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan

hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: struktur (structure), substansi (substance),

dan budaya hukum (legal culture).8

Sedangkan pemikiran tentang substansi hukum secara teoritis akan melahirkan

beberapa substansi hukum yang bersifat otonom, represif, dan responsif sebagaimana

dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick.

Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga karakter hukum, yaitu (1)

law as the servant of repressive power, (2) law as a differentiated institution capable of

taming repression and protecting its own integrity, and (3) law as a facilitation of

response to social need and aspirations.9 Ketiga hal ini dikenal dengan development

theory of law yang terdiri dari hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif.

Oleh karena itu, salah satu analisis penting dalam penelitian ini adalah apakah

peraturan pembaruan yang ada sebagai implementasi dari TAP MPR No. IX/MPR/2001

memiliki karakter yang otonomi, represif, ataukah responsif.

c. Teori Penegakan Hukum

Dalam penelitian ini, pemikiran Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor penegakan

hukum akan menjadi pisau analisisnya. Tidak hanya faktor yuridis, faktor non-yuridis

yang mempengaruhi struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

sumber daya agraria/sumber daya alam akan menjadi kajian dalam penelitian ini.

Soerjono Soekanto mengemukakan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum baik berdampak positif atau negatif, yaitu faktor hukum itu sendiri

(ketentuan peraturan perundang-undangan); faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak

yang membentuk maupun yang menerapkan seperti polisi, jaksa, dan hakim; faktor

sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, seperti sumber daya manusia;

8 Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, New York & London: W.W. Norton & Company,

1984, hal. 5. 9 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, New Jersey:

Transaction Publishers, 2001, p. 14.

Page 8: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

dan faktor kebudayaan, seperti kebiasaan masyarakat.10

Dalam konteks penelitian ini, faktor-faktor tersebut meliputi: ketentuan peraturan

perundang-undangan terkait dengan agraria dan sumber daya alam, faktor penegak

hukum, faktor masyarakat yaitu bagaimana peran serta masyarakat terkait dengan

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta faktor kebudayaan

berkaitan pandangan masyarakat terhadap pembaruan agraria dan pengelolaan sumber

daya alam.

E. METODE PENELITIAN

a. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang Politik Hukum Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam (Studi terhadap Implementasi TAP MPR NO. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Peraturan Peraturan Perundang-

Undangan) merupakan penelitian sosio-legal. Dengan demikian, penelitian tentang

Politik Hukum Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mencakup

penelitian normatif, yaitu suatu penelitian yang melakukan analisis terhadap norma-

norma yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai agraria dan sumber daya alam. Dalam konteks penelitian yuridis normatif,

maka penelitian ini merupakan penelitian terhadap sistematika, asas-asas hukum, serta

sinkronisasi vertikal dan horizontal peraturan mengenai agraria.11

Penelitian ini juga merupakan penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian mengenai

bagaimana pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan normatif mengenai agraria dan

pengelolaan sumber daya alam, terutama mengenai faktor-faktor hukum dan non-

hukum yang mempengaruhi struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam. Penelitian ini menggunakan

10 Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,

2008, hal. 5. 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali

Presss, 1985, hal 14. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji mengemukakan bahwa penelitian normatif atau penelitian kepustakaan mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal, penelitian terhadap perbandingan hukum, dan penelitian sejarah hukum. Namun kami berpendapat bahwa penelitian hukum normatif tidak dapat diidentikkan dengan penelitian kepustakaan, karena suatu penelitian normatif dapat dilakukan pula dengan wawancara terhadap beberapa narasumber yang sangat memahami asas, sistematik, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.

Page 9: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

pendekatan yuridis, yaitu pendekatan dalam memahami hukum dari kaidah normatif

aturan hukum tersebut, merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini karena yang

menjadi objek penelitian adalah peraturan perundang-undangan terkait dengan agraria

dan pengelolaan sumber daya alam. Selain pendekatan yuridis, juga akan dilakukan

pendekatan kebijakan legislasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

termasuk peraturan daerah yang terkait agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

b. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data sekunder (secondary data)

melalui penelitian kepustakaan dan data primer (primary data) melalui penelitian

lapangan.

a) Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau disebut Unobtrusive

Research12 yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka13 yang berarti bahwa

penelitian dilakukan terhadap bahan-bahan atau materi yang sudah ada yaitu

dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tertier.

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat,14 bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas.15 Bahan hukum sekunder adalah bahan

hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.16 Sedangkan

bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk ataupun

12 Early Babbie, The Practice of Sosial Research, Belmont, CA. Wadsworth Publishing Company, Eight

edition, 1998, hal. 308-325. 13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif..., loc.cit. 14 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1997., hal. 116. Dalam bukunya, Bambang Sunggono menyebutkan bahwa bahan hukum primer terdiri dari: a) norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; b) Peraturan dasar, yaitu: UUD NRI Tahun 1945; Ketetapan MPR/S; c) Undang-undang dan perda, yaitu: Undang-undang atau perpu; Peraturan pemerintah; Keputusan presiden; Keputusan menteri; dan Peraturan daerah; d)Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat; e) Yurisprudensi; f) Traktat; g) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya KUHP (WvS) dan KUHPerdata (BW).

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-5, 2009, hal. 141.

16 Ibid., hal. 117. Bahan hukum sekunder misalnya rancangan undang-undang (RUU), rancangan peraturan pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.

Page 10: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus

(hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.17

Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah undang-

undang dan peraturan daerah yang terkait dengan agraria dan pengelolaan sumber

daya alam, yaitu antara lain: UU Minerba, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU PPLH.

Sedangkan bahan hukum sekunder antara lain adalah hasil penelitian/karya ilmiah,

dan buku-buku ilmiah mengenai agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

b) Data primer

Penelitian ini juga menggunakan data primer sebagai pendukung data sekunder.

Data primer merupakan data yang hanya dapat diperoleh dari sumber asli atau

pertama. Metode pengumpulan data berkaitan dengan penelitian empiris untuk

mendapatkan data primer adalah melalui wawancara. Wawancara dilakukan

kepada:

1) Pakar hukum agraria dan pakar hukum;

2) Pejabat Pusat di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional;

3) Pejabat daerah di dinas terkait (Bappeda Provinsi, DPRD Provinsi, Kanwil

Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, Dinas Perkebunan, Dinas

Kehutanan, Dinas Tata Ruang, Dinas Pertanian, Dinas Energi dan Sumber Daya

Mineral); dan

4) Masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Selain dengan wawancara, pengumpulan data secara langsung juga dilakukan

dengan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD).

c. Analisis Data

Kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif,

yaitu analisis yang menguraikan data penelitian menjadi komponen-komponen

melalui rangkaian kata-kata dan/atau gambar. Analisis kualitatif lebih menekankan

analisis terhadap kualitas data daripada kuantitas data itu sendiri untuk

mengungkapkan karakternya yang khas, pengertiannya, konteks sosialnya, dan

relasinya satu sama lain melalui deskripsi dan interpretasi.

17 Ibid.

Page 11: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

d. Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.

Yogyakarta) pada tanggal 7-13 Mei 2015 dan Provinisi Jawa Timur (Jatim)pada

tanggal 11-17 Agustus 2015. Kedua provinsi ini dipilih karena memiliki

karakteristik dan kompleksitas masalah agraria yang beragam dan berbeda satu

sama lain, baik untuk sektor pertanahan, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan

pertambangan.

II. ANALISIS

A. HARMONISASI DAN SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AGRARIA/SUMBER DAYA ALAM DENGAN ARAH

PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

1. Agraria

Politik hukum agraria nasional bertujuan untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan

nasional sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Politik

hukum ini ditegaskan kembali dalam kebijakan hukum sebagaimana yang tertuang

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Legal policy tersebut menyatakan bahwa

”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Political will tersebut

ditindaklanjuti dengan dibentuknya legal policy berupa UUPA, yang pada awal

pembentukannya dimaksudkan untuk berlaku sebagai undang-undang pokok (lex

generalis) bagi pengaturan lebih lanjut secara materiilnya yang berhubungan dengan

obyek agraria sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun

1945.

Politik hukum agraria nasional tersebut dilakukan untuk pertama kalinya dengan

merombak tatanan ekonomi politik agraria nasional dengan membentuk Panitia Negara

Agraria untuk membahas UUPA. UUPA ini memberikan dasar-dasar pokok (prinsip

pokok) dalam hukum agraria nasional, yaitu:

1. Nasionalisme. Mengakhiri politik hukum agraria kolonial.

2. Hak menguasai dari negara. HMN (tafsir MK: bukan memiliki tetapi negara

merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan

pengurusan (betuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan

pengawasan (toezichthundeddaad).

Page 12: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

3. Unifikasi Hukum Agraria Nasional.

4. Bersandar pada Hukum Adat. UUPA disusun dengan berdasarkan pada Hukum Adat

dan kesatuan-kesatuan masyarakat adat diakui oleh negara.

5. Tanah Memiliki Fungsi Sosial. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan

kegunaannya dan sifatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan negara serta

tidak dibenarkan hanya utk kepentingan ekonomi.

6. Landreform. Negara berkewajiban melakukan penataan ulang struktur agraria.

7. Kesetaraan gender. Tak membedakan hak laki-laki dan perempuan.

8. Tanah untuk penggarap. Tanah pertanian bagi petani (penggarap).

9. Kelestarian lingkungan. Pengusahaan atas tanah dan sumber daya alam tidak

merusak lingkungan hidup.

10. Usaha bersama. Pengusahaan gotong-royong & bersama.

11. Lintas sektor. Cakupan kebijakan, perencanaan peruntukan dan implementasi

melintasi sekat-sekat sektor agraria.

12. Perencanaan agraria.

13. Kepastian Hukum

Penjabaran lebih lanjut dari UUPA yang berkaitan dengan sumber daya alam selain

tanah tersebut tidak segera dibuat oleh penyelenggara negara untuk melengkapi UUPA.

Di satu sisi muncul beberapa undang-undang sektoral yang dibuat sering dengan

diberlakukannya kebijakan ekonomi yang fokus pada pertumbuhan ekonomi bukan

pada pemerataan ekonomi. Undang-undang sektoral tersebut semakin bertentangan

dengan UUPA karena tidak merujuk pada UUPA selaku peraturan pokok dan landasan

operasional bagi pengelolaan sumber daya alam. Undang-undang sektoral ini juga

bertentangan dengan Konstitusi meskipun pembentukannya langsung merujuk ke UUD

NRI 1945 tanpa mengindahkan UUPA, karena hampir semua undang-undangan sektoral

yang berkaitan dengan sumber daya alam pernah dimohonkan pengujiannya ke

Mahkamah Konstitusi dan sebagian besar dari permohonan tersebut dikabulkan.

Kondisi ini menempatkan UUPA bukan lagi sebagai lex generalis bagi pengaturan

sumber daya alam melainkan sederajat dengan undang-undang sektoral lainnya. Ini

berarti bahwa fungsi UUPA ini semakin tereduksi dengan lahirnya berbagai undang-

undang sektoral bidang agraria (sumber daya alam) yang lahir untuk kepentingan

pembangunan dan UUPA hanya dipahami sebagai lex specialis yang hanya mengatur

sektor pertanahan. Ini disebabkan terdapat perbedaan antara UUPA dengan undang-

Page 13: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

undang sektoral yang berkaitan dengan orientasi; keberpihakan; pengelolaan dan

implementasinya; perlindungan hak asasi manusia; pengaturan good governance;

hubungan orang dengan sumber daya alam; dan hubungan negara dengan sumber daya

alam.18

2. Perkebunan

UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan merupakan UU pengganti dari UU No. 18

Tahun 2004 dengan judul yang sama. UU No. 18 Tahun 2004 dianggap sudah tidak

sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan tidak dapat memberikan keuntungan

yang optimal bagi masyarakat. Pergantian secara resmi dilakukan tanggal 17 Oktober

2014. Artinya, hingga saat ini UU No. 39 Tahun 2014 telah berumur lebih dari satu

tahun.

Memasuki usia 1 tahun ini, UU No. 39 Tahun 2014 menghadapi judicial review di

mahkamah konstitusi. Beberapa pasal dianggap telah melanggar ketentuan HAM dalam

konstitusi seperti: Pasal 55 yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih batas tanah

termasuk potensi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. Tidak hanya

bertentangan dengan konstitusi, sejumlah pasal juga dinilai telah menciptakan ketidak

pastian hukum seperti: Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) terkait ketidakjelasan tanah mana

yang akan diberikan oleh perusahaan untuk memfasilitasi pembangunan 20% kebun

masyarakat. Beberapa pasal juga saling kontradiktif, misalnya antara pasal 42 dengan

Pasal 16 sehingga memberikan peluang perusahaan untuk tidak perlu memiliki HGU

cukup dengan izin usaha perkebunan sudah dapat menjalankan usaha perkebunan.

Kondisi ini akan semakin mempermudah terjadi konflik akibat tidak jelasnya

batas-batas pemilikan tanah, kemudahan pemberian izin, dan tidak jelasnya status dari

masyarakat adat. Ketidakjelasan aturan juga akan memberikan peluang untuk bagi

masyarakat yang mengelola perkebunan digugat karena dianggap telah melakukan

pelanggaran hukum. Keberadaan pasal yang kontradiktif juga akan memunculkan

ketidakadilan karena dapat terjadi perbedaan perlakuan akibat adanya ketentuan yang

saling bertentangan. Bahkan memberikan peluang bagi pengusaha untuk melakukan

18 Maria Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, Abdullah Aman Damai, Pengaturan Sumber Daya

Alam di Indonesia, antara yang Tersurat dan Tersirat,Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM berkerja sama dengan Gadjah Mada University Press, 2011.

Page 14: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

pembakaran hutan akibat perusahaan merasa bebas dari ancaman pencabutan atau

pembatalan HGU.19

3. Lingkungan

Dalam perspektif hukum lingkungan, kesejahteraan yang menjadi tujuan politik hukum

nasional tidak cukup hanya dilandaskan pada prinsip negara hukum dan demokrasi,

tetapi juga harus dilandaskan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan. Prinsip ini

harus menjadi arahan dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan. Jika

tidak, maka kesejahteraan yang dicapai tidak akan mampu bertahan lama karena

sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu elemen pembangunan tidak dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berlandaskan pada argumentasi ini maka secara

konseptual politik hukum lingkungan dapat dirumuskan sebagai arah kebijakan hukum

yang ditetapkan oleh negara untuk mencapai tujuan dan sasaran dari pengelolaan

lingkungan hidup. Tujuan dan sasaran tersebut adalah agar lingkungan tidak rusak atau

tercemar dan tetap terjaga kelestarian fungsinya untuk memelihara kelangsungan daya

dukung dan daya tampung lingkungan dalam rangka mencapai tujuan negara. Jika

fungsi ini terganggu, maka lingkungan akan rusak atau tercemar, SDA akan menipis

bahkan habis, yang pada akhirnya kesejahteraan rakyat yang menjadi salah satu tujuan

negara tidak akan tercapai secara berkelanjutan.20

Mencegah dan menghadapi kondisi lingkungan yang kualitasnya cenderung

semakin menurun maka politik hukum lingkungan tidak dapat diabaikan baik dalam

pembentukan maupun penegakannya. Beberapa negara yang memiliki sumber daya

alam yang besar justru menghadapi ”resource curse hypothesis” karena politik hukum

pengelolaan lingkungan hidup yang tidak tepat. 21

Salah satu prinsip pokok UUPA adalah tentang kelestarian lingkungan. Namun

sayangnya prinsip ini tidak dijalankan. Demikian pula dalam salah satu dasar

pembentukan TAP MPR No. IX/MPR/2001 antara lain adalah adanya permasalahan

penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh pengelolaan agraria dan sumber

daya alam. Prinsip pokok lainnya yang juga terkait dengan prinsip ini adalah bahwa

19 Hilman Rasyid, UU Perkebunan Digugat karena Berikan Peluang Pembakaran Hutan secara Bebas,

http://www.rmol.co/read/2015/10/27/222308/UU-Perkebunan-Digugat-karena-Berikan-Peluang-Pembakaran-Hutan-Secara-Bebas-, diakses tanggal 29 Oktober 2015.

20 Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan. Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 6.

21 Ibid., hal. 7.

Page 15: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan

ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung

dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.

Sebelum dan sesudah dibentuknya TAP MPR No. IX/MPR/2001 terdapat beberapa

undang-undang yang terkait dengan lingkungan seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam penegakan hukum lingkungan,

Penjelasan umum atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa penegakan hukum pidana lingkunga

tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan

hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum

administratif dianggap tidak berhasil. Namun asas ultimum remedium tersebut hanya

berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran

baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU

PPLH. Dengan demikian untuk tindak pidana lainnya (selain dalam Pasal 100) tidak

berlaku asas ultimum remedium. Artinya penegakan hukum terhadap tindak pidana

selain dalam Pasal 100 berlaku asas premium remedium (mendahulukan penegakan

hukum melalui sarana hukum pidana).

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997

menyatakan bahwa sebagai penunjang hukum administratif, berlakunya ketentuan

hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana

hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi

administratif dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan

hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat

perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan

masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang

lingkungan hidup berdasarkan undang-undang ini menganut asas ultimum remedium.

Sebelum berlakunya UU No. 23 Tahun 1997 terdapat UU No. 4 Tahun 1982

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No. 4

Tahun 1982 terdapat pengaturan mengenai ganti kerugian dan biaya pemulihan (yang

dapat dimasukan sebagai sanksi administratif) dan sanksi pidana. Namun, undang-

undang ini tidak secara tegas menentukan mengenai subsidiaritas sanksi pidana atas

sanksi administratif.

Page 16: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Sedangkan UU lainnya yang terkait dengan lingkungan hidup, seperti: UU No. 5

Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA), UU No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Perpu No. 1

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.

7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air22, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral Dan Batubara, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan,dan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, semua UU tersebut

memuat sanksi pidana dan beberapa juga memuat sanksi administratif. Namun,

beberapa UU yang memuat sanksi administratif dan sekaligus sanksi pidana tidak

memuat ketentuan yang menegaskan subsidiaritas sanksi pidana atas sanksi

administratif.

KUHP juga memuat pasal-pasal yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana di

bidang lingkungan hidup, yaitu tindak pidana yang menyebabkan kebakaran, peletusan,

dan banjir, yang diatur dalam Pasal 187–Pasal 189.23 Di dalam Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), seluruh pengaturan tindak pidana

lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tersebar di beberapa undang-undang

sektoral dimasukkan di dalam pasal-pasal RUU KUHP. Artinya pembentuk UU

menghendaki penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup melalui hukum pidana.

Dengan kata lain, hal ini sejalan dengan arah kebijakan UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dengan demikian maka sudah seharusnya berbagai produk hukum tersebut dapat

menyelesaikan permasalahan di bidang lingkungan. Namun dalam praktek

ketidakharmonisan dan tidak adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan di

bidang lingkungan hidup menyulitkan dalam penegakan hukumnya. Beberapa

permasalahan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup

seperti sampai seberapa jauh konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak

pidana lingkungan. Dalam hal ini timbul masalah apakah korporasi mencakup pula

22 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 menghapus keberadaan seluruh pasal

dalam UU No. 7 Tahun 2004 yang diajukan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dkk. UU ini dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD NRI Tahun 1945. Dengan dibatalkannya keberadaan UU tersebut, MK menghidupkan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan undang-undang baru.

23 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2002, hal. 133.

Page 17: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

organisasi yang tidak berbentuk badan hukum (legal entity). Permasalahan lainnya

adalah bagaimana kedudukan tindak pidana lingkungan dalam sistem hukum pidana.

Apakah tindak pidana lingkungan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri

(suigeneris) atau tergantung pada bidang hukum lain.24

4. Pertambangan

Pengelolaan sumber daya alam mineral didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Salah satu permasalahan penting yang

terkait dengan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan di bidang pertambangan pasca

TAP MPR No IX/2001 adalah dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah

diterimanya sebagian gugatan atas Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba)

Nomor 4 tahun 2009, putusan tersebut tidak mengurangi kewenangan pemerintah

pusat dalam menentukan wilayah pertambangan. "Hasil Putusan MK atas pengajuan

judicial review UU Minerba oleh Bupati Kutai Timur hasilnya "dikabulkan sebagian"

yaitu Pemerintah tetap berwenang menetapkan WP, WUP, WIUP, yang dulunya "setelah

berkoordinasi dengan pemerintah daerah" harus diartikan "Penetapaan Pemerintah

atas WP, WUP, WIUP adalah setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah." Dengan

demikian tidak mengurangi kewenangan (pemerintah) pusat.

Dalam amar putusan tersebut, pernyataan pasal 6 ayat 1 huruf e, pasal 9 ayat 2,

pasal 14 ayat 1, dan pasal 17 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba diubah sebab

bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945.Dalam amar putusan, disebutkan bahwa pasal 9 ayat 2 diubah menjadi "WP

(Wilayah Pertambangan) sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh

pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia."

Putusan MK dalam Perkara 10/PUU-XII/2014 mengenai pengujian terhadap UU

No. 4 Tahun 2009 memperkuat peran pemerintah dalam bidang pertambangan.

Putusan ini didasarkan pada dalil para pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 102

dan Pasal 103 UU Minerba dalam implementasinya telah menimbulkan ketidakpastian

hukum dan ketidakadilan karena kesewenangan-wenangan Pemerintah dalam

mengambil kebijakan dan menyusun regulasi. Terhadap dalil pemohon tersebut,

24 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan penerbit Universitas

Diponegoro, 2002, hal. 193.

Page 18: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Mahkamah berpendapat bahwa sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk

sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan

pengaturan terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah fungsi pengaturan oleh negara dapat

dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Presiden atau melalui

kewenangan regulasi oleh Pemerintah, yang salah satunya adalah pengaturan melalui

pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Pasal 102 dan Pasal 103

UU Minerba telah mengatur mengenai kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan

(IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah

sumber daya mineral dan batubara dan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil

pertambangan di dalam negeri. Hal itu dinilai oleh Mahkamah sebagai salah satu cara

untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral

di dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Selain itu, Pasal 102 dan

Pasal 103 UU Minerba juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya

manusia Indonesia dalam industri pertambangan. Untuk melakukan pengaturan lebih

lanjut, Mahkamah berpendapat Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan

negara, dapat menetapkan Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian rumusan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) justru untuk melindungi sumber daya

mineral dan batu bara, sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun

1945.

B. PENGATURAN MENGENAI STRUKTUR PENGUASAAN, PEMILIKAN,

PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AGRARIA/SUMBER DAYA

ALAM DALAM BERBAGAI PRODUK HUKUM (UNDANG-UNDANG) SETELAH

PEMBENTUKAN TAP MPR NO. IX/MPR/2001

1. Agraria

Setelah dikeluarnya Tap MPR No. IX/MPR/2001, beberapa mandat yang diberikan

oleh UUPA belum dilaksanakan sejak pembentukannya sampai saat ini, antara lain:

a. Peraturan tentang hubungan hukum antara orang dan tanah untuk mencegah

pemerasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUPA;

b. Peraturan tentang monopoli pemerintah dalam usaha agraria sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UUPA;

Page 19: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

c. Peraturan tentang badan-badan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21

ayat (2) UUPA;

d. Peraturan tentang terjadinya hak milik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22

ayat (1) UUPA;

e. Peraturan tentang pengawasan transaksi-transaksi hak milik sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA;

f. Peraturan tentang akibat-akibat kehilangan syarat-syarat sebagai pemilik

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA;

g. Peraturan tentang hak guna air dan hak ruang angkasa sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2).

Belum dilaksanakan sepenuhnya UUPA tersebut mengakibatkan (1) terjadi pluralisme

sistem penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berdampak

pada sistema pendaftaran tanah; (2) terjadi ketimpangan sistem penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi perorangan, kelompok masyarakat,

perusahaan, dan negara; (3) fungsi ruang dan pemanfaatannya belum didasarkan pada

asas keadilan, transparansi, kelestarian lingkungan sehingga belum mampu

memberikan kepastian hukum.

Lahirnya berbagai undang-undang yang materi pokoknya sumber daya alam

melahirkan permasalahan regulasi dan juga permasalahan yang berkaitan dengan

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Persoalan ini

menyebabkan timbul ketimpangan struktur agraria, yaitu:

a. Terjadinya penutupan dan penghilangan akses masyarakat terhadap tanah/SDA,

yang berakibat lebih jauh pada hilangnya wilayah hidup, mata pencaharian, harta

benda bahkan jiwa;

b. Terjadinya penyempitan ruang hidup rakyat di pedesaan berakibat lebih jauh pada

menurunnya kemandirian masyarakat petani dan terjadinya transformasi dari

petani menjadi tenaga kerja upahan;

c. Terjadinya konflik berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang kronis

yang mendorong migrasi penduduk desa ke wilayah baru atau wilayah perkotaan

menjadi golongan miskin perkotaan;

d. Meluasnya konflik agraria ke bentuk-bentuk konflik lain, seperti: konflik etnis,

konflik agama, konflik antar kampung/desa, konflik antar ‘penduduk asli’ dan

pendatang; dan

Page 20: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

e. Merosotnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah dan parlemen, bahkan

Negara.

Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya konflik agraria yang besifat struktural,

kronis, dan berdampak meluas, karena didukung dengan tidak adanya koreksi atas

putusan-putusan pejabat publik terkait ijin pengelolaan tanah/SDA; tak ada

kelembagaan otoritatif dan lintas sektor; dan protes masyarakat yang disikapi dengan

kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi.

Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan penyempurnaan UUPA dengan

mereposisi atau mengembalikan UUPA sebagai lex generalis atau penyempurnaan UUPA

dengan melalui undang-undang sektoral sebagai lex specialis. Reposisi UUPA dilakukan

berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, dengan mengembalikan

rohnya sebagai undang-undang induk bidang agraria dan sumber daya alam, sehingga

undang-undang sektoral akan mengikuti ketentuan dalam UUPA. Jika hal ini yang

dilakukan maka, undang-undang terkait sumber daya agraria harus (1)

mempertahankan falsafah dan tujuan UUPA; penajaman; (2) prinsip-prinsip UUPA, dan

penyelarasannya dengan prinsip-prinsip dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001; (3) obyek

yang diatur: bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

(harmonisasi pengaturan SDA/hukum di bidang SDA, sebagai sistem/lex generalis),

dengan melakukan pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan di bidang

sumber daya alam yang meliputi tanah, hutan, tambang, air, kelautan, dan lain-lain

sebagai sub-sistem dalam UUPA dan berfungsi sebagai lex specialis.25 Penyempurnaan

UUPA melalui undang-undang sektoral yang bersifat lex specialis dilakukan dengan

membuat undang-undang sektoral, yang berfungsi untuk melengkapi UUPA dan

meluruskan tafsir UUPA sehingga undang-undang sektoral ini berkedudukan sebagai

sub-sistem pengaturan terkait dengan sumber daya agraria secara sektoral (lex

specialis), dengan materi muatan berupa obyek pengaturan bidang-bidang agraria,

melengkapi pengaturan bidang-bidang agraria dalam UUPA, dan memperjelas

penafsiran dalam UUPA.26

25 Maria S.W. Sumanrdjono, disampaikan dalam Focus Discussion Group Penelitian Politik Hukum

Pembaruan Agraria, Yogyakarta, 8 Mei 2015. 26 Ibid.

Page 21: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

2. Perkebunan

DIY merupakan daerah dengan potensi perkebunan. Perkebunan di Yogyakarta

umumnya dilakukan dalam wilayah yang sangat luas pada daerah sultan dan

pakualaman ground. Saat ini sedang diinventarisasi terkait sultan dan pakualaman

ground. Ke depannya dengan berlakunya UU Keistimewaan Yogya maka pengaturan

tentang struktur penguasaan, pemilkan, penggunaan dan pemanfaatan tanah-tanah

perkebunan ini bergantung pada sultan.

Di Jawa Timur penguasaan perkebunan dikuasai oleh perusahaan perkebunan dan

militer. Mengenai penguasaan tanah oleh militer ini telah menimbulkan sejumlah

konflik antara militer dengan masyarakat dan berbuntut pada sejumlah pelanggaran

HAM. Sengketa tanah yang melibatkan militer di Jawa Timur mencapai 25, 72%.27 Dari

hasil wawancara dengan Pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur diketahui bahwa

Pemda sendiri kesulitan menghadapi konflik yang melibatkan unsur militer didalamnya.

3. Lingkungan

Politik hukum pengelolaan lingkungan mengalami perubahan mendasar dalam

amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan mendasar

tersebut adalah melalui konstitusionalisasi norma hukum lingkungan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut meliputi dua hal, yaitu: (1) dimasukkannya

prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atas lingkungan hidup; dan (2)

penegasan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dalam penyelenggaraan

perekonomian nasional. Penambahan pasal dan ayat tersebut menunjukkan kuatnya

keinginan pemimpin negara (the founding leaders) untuk memberikan jaminan

perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat serta dan kewajiban mencegah dampak negatif berupa pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan akibat aktivitas perekonomian nasional. Kedua pasal

tersebut merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan

hidup di dalam konstitusi.28

27 R. Herlambang Perdana Wiratraman, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat: Studi Konflik

Penguasaan Tanah oleh Mliter & Kekerasan terhadap Petani di Jawa Timur, Makalah pada konverensi internasional “Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, Jakarta, 11-13 Oktober 2004.

28 Pan Mohamad Paiz, 2009, dalam Muhammad Akib, 2013, op. cit., hal. 75.

Page 22: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Ketentuan HAM yang semula sangat minim-tidak diatur dalam bab tersendiri dan

hanya terdiri dari enam pasal- kini telah diatur dalam bab tersendiri (bab XA) yang

terdiri dari sepuluh pasal (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J). Jika ketentuan tersebut

dirinci, maka dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah memuat sekitar 45 butir

perlindungan HAM. Kini perumusan HAM menjadi lengkap dan menjadikan UUD NRI

Tahun 1945 merupakan salah satu UUD yang paling lengkap memuat perlindungan

terhadap HAM.29

Salah satu materi HAM yang termaktub dalam perubahan tersebut adalah hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatu dalam Pasal 28H ayat (1).

Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Demikian pula dalam UUPLH, UULH 1997, dan UULH 1982 juga memuat hak-hak

setiap orang dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Tetapi jika dinabdingkan

antara ketiganya, UUPLH memuat hak-hak lebih banyak daripada UULH 1997 dan UULH

1982. Ada delapan hak yang dikuai dalam UUPLH, yaitu: (1) hak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia, (2) hak mendapatkan pendidikan

lingkungan hidup, (3) hak akses informasi, (4) hak akses partisipasi, (5) hak

mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang

diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, (6) hak untuk

berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (7) hak untuk

melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup, dan (8) hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam

memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Diantara kedelapan hak tersebut terdapat hak substantif dan hak prosedural. Hak

atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak substantif, sedangkan hak

akses informasi, akses partisipasi, hak untuk berperan dalam perlindungan dan

pengelolaan lingkungan termasuk ke dalam hak-hak prosedural. Perkembangan penting

dan baru adalah hak yang dirumuskan dalam Pasal 66 UUPPLH, yaitu hak setiap orang

untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana. Penegasan pengakuan atas

keberadaan hak untuk tidak dituntut dilatarbelakangi olrh adanya kasus warga yang

29 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, 2009, dalam Muhammad Akib, 2013, op.

cit., hal. 83.

Page 23: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

melaporkan terjadinya pencemaran lingkungan justru kemudian dituntut atau digugat

balik oleh pihak yang diduga telah melakukan pencemaran.30

Selain mengakui adanya hak-hak, UUPPLH juga meletakkan atau menciptakan

kewajiban-kewajiban hukum bagi setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup.

UUPPLH menciptakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

a) Kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67).

b) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang terkait dengan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan

tepat waktu (Pasal 68 huruf b).

c) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup (Pasal

68 huruf c).

d) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menaati ketentuan baku mutu lingkungan

hidup (Pasal 68 huruf c).

Ketidakmampuan atau kegagalan untuk memenuhi kewajiban tanpa alasan-alasan yang

secara objektif menurut hukum dapat diterima, tentu dapat mengakibatkan lahirnya

pertanggungjawaban hukum dalam lapangan hukum perdata ataupun hukum pidana

bagi subjek hukum yang tidak mampu atau gagal memenuhi kewajiban-kewajiban

tersebut.31

4. Pertambangan

Untuk bidang pertambangan, kewenangan pertambangan menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 berada di kabupaten, sedangkan menurut UU Pemda 2014 yaitu

kewenangan pertambangan diserahkan ke provinsi. Ketika kewenangan pertambangan

berada di kabupaten, pemerintah kabupaten mengalami kendala karena fasilitasi dalam

tata ruang nasional memasukkan kawasan kars itu sebagai kawasan lindung, sehingga

belum bisa menerbitkan ijin namun pertambangan kars itu terus berjalan tanpa ijin. Di

wilayah pertambangan kars itu tidak ada ijin pertambangan, tidak ada ijin reklamasi,

dan tidak ada ijin apapun karena UU Tata Ruang sangat moderat, dimana setiap institusi

yang mengeluarkan perijinan atas kawasan tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp

2 Miliar dan pidana kurungan selama 3 tahun. Ini mengakibatkan institusi yang

30 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 65. 31 Ibid., hal. 69.

Page 24: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

berwenang dalam perijinan tersebut tidak berani bergerak, tetapi karena hal itu banyak

dilakukan dengan mengatasnamakan pertambangan rakyat yang kemudian berupaya

terus melakukan pertambangan. Kendala ini merupakan problem tata ruang yang dalam

pemahaman di daerah belum bisa sinkron. Misalnya kalau ada tata ruang nasional

dengan skala 1:12.000.000 itu tidak memberi ruang apapun di tingkat bawah. Ini

berarti tidak ada perlindungan di tingkat bawah yang diberikan oleh rencana tata ruang

nasional.Hal ini agak berbeda dengan pemahaman orang hukum yang lebih mengacu

pada aturan dan amanat dari pusat, sedangkan pemahaman orang teknis apabila dalam

skala tersebut masih terdapat spots yang bisa dilakukan aktivitas pertambangan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

menegaskan dalam Pasal 14 (1) bahwa Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang

kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah

Pusat dan Daerah provinsi. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa urusan

Pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya

kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. Sedangkan ayat (3)

menyatakan Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang

berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah

Pusat. Di samping itu, dikatakan dalam ayat (4) bahwa urusan Pemerintahan bidang

energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas

bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.

Politik hukum yang menempatkan kewenangan urusan di bidang sumber daya alam

kepada pemerintah pusat yang juga tercermin dalam kewenangan pemerintah provinsi

secara positif dapat dilihat sebagai bentuk kontrol pemerintah pusat terhadap

eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh pemerintahan kabupaten/kota.

C. PERANAN DAERAH DAN PERAN SERTA MASYARAKAT MENUJU KE ARAH

PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

1. Agraria

Pasal 2 UUPA mengatur hak menguasai negara, yang kemudian diperluas ruang

lingkupnya oleh Mahkamah Konstitusi. Hak menguasai negara ini merupakan

penjabaran dari amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang harus

dijalankan oleh Pemerintah selaku penyelenggara negara, baik Pemerintah Pusat

Page 25: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

maupun Pemerintah Daerah.32 Penjelasan Bagian Ketiga UUPA juga menjelaskan bahwa

Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang mempunyai peranan yang sangat

penting. Ini berarti bahwa UUPA memberikan amanat kepada Pemerintah Daerah, baik

di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa harus berperan

penting terhadap pelaksanaan perombakan hukum agraria menuju terwujudnya tujuan

hukum agraria nasional berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, UUPA, dan

Tap MPR No. IX/MPR/2001.

Peran serta pemerintah daerah di bidang agraria dalam lingkup UUPA juga

didasarkan pada UU Pemda 2014 mengenai pembagian kewenangan urusan

pemerintahan konkuren, baik yang bersifat wajib maupun pilihan yang meliputi

penataan ruang, pertanahan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan, pertanian,

kehutanan, serta energi dan sumber daya mineral. Atas dasar kedua undang-undang

tersebut, pemerintah daerah wajib berperan serta dalam pelaksanaan pembaruan

agraria sebagaimana yang ditentukan dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 dan UUPA.

Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan menetapkan kebijakan daerah

berdasarkan pada kebutuhan dan potensi agraria yang dimiliki daerahnya. Kewenangan

ini dapat diselenggarakan oleh provinsi, kabupaten/kota berdasarkan asas

pembantuan, dan dengan cara menugasi desa. Atas dasar itu, Pemerintah Daerah

sepenuhnya berperan untuk mengendalikan sumber daya agraria di daerahnya agar

tidak terjadi konflik pemanfaatan potensi sumber daya agraria serta terwujud keadilan

dan kesejahteraan rakyat. Peran penting pemerintah daerah ini diwujudkan dengan

membuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah

maupun peraturan kepala daerah. Legal policy di daerah tersebut mengacu pada politik

hukum agraria nasional yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

dan UUPA, yang ditegaskan kembali dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001. Pemerintah

Daerah juga harus ikut serta melakukan sinkronisasi antar-sektor agraria di daerahnya,

untuk melaksanakan amanat Tap MPR No. IX/MPR/2001.

Dalam hal ini, masyarakat juga dituntut untuk ikut berperan serta. Peran

masyarakat tersebut di antaranya:

a. menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagaimana yang dituangkan dalam UUPA,

khususnya yang berkaitan dengan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,

dan pemanfaatan ruang dan sumber daya agraria;

32 Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Peraturan Dasar Agraria.

Page 26: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

b. mencegah terjadinya konflik agraria;

c. mendukunga program administrasi kependudukan dan administrasi pertanahan

dengan memberikan data yang sebenarnya dan melakukan pendaftaran terhadap

asetnya yang berhubungan dengan bidang-bidang agraria seperti tanah, hutan, dan

kebun;

d. melaksanakan perbuatan hukum dengan mengacu pada UUPA dan peraturan

pelaksanaannya.

2. Perkebunan

Peranan daerah dalam menangani permasalahan agraria dan pengelolaan Sumber Daya

Alam di bidang perkebunan sangatlah minim. Hal ini dikarenakan secara aturan saja,

mereka tidak mengetahui telah ada UU baru berkaitan dengan perkebunan dalam

menjawab permasalahan penelitian mereka cenderung masih menggunakan UU No. 18

Tahun 2004. Hal ini terlihat dari wawancara dengan pemerintah daerah provinsi Jawa

Timur dan Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Sumber Daya Mineral Pemda DIY.

Masyarakat juga tidak memiliki pengetahuan tentang UU Perkebunan 2014. Hal ini

terlihat dari wawancara dengan perwakilan KPA di Yogyakarta yang mesaih merujuk

pada UU perkebunan yang lama. KPA sebagai LSM yang mewakili masyarakat saja tidak

memiliki pengetahuan yang baik tentang UU Perkebunan 2014 apalagi masyarakat

secara umum.

3. Lingkungan

Dalam UUPPLH tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tetapi

kewenangan pemerintah yang dibedakan atas pemerintah, pemerintah provinsi,

pemerintah kabupaten/kota. Perubahan konsep ini tampaknya didasarkan pada

pertimbangan bahwa konsep negara lebih luas karena mencakup pemerintah, teritorial,

dan warga negara. Negara dijalankan oleh pemerintah sebagai sebuah organisasi

kekuasaan negara. Kewenangan pemerintah pada tiga tingkatan diformulasikan lebih

rinci, yaitu meliputi, antara lain: menetapkan kebijakan nasional; menetapkan norma,

standar, prosedur, dan kriteria; menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai

RPPLH nasional; menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;

menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;

menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;

Page 27: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

mengembangkan standar kerjasama, mengoordinasikan dan melaksanakan

pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; menetapkan dan

melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,

keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa

genetik; menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak

perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; menetapkan dan melaksanakan

kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; menetapkan dan melaksanakan

kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut; menetapkan dan melaksanakan

kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas

negara; melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan

nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah; melakukan pembinaan dan

pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan

perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; mengembangkan dan

menerapkan instrumen lingkungan hidup; mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja

sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;

mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;

menetapkan standar pelayanan minimal; menetapkan kebijakan mengenai tata cara

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat

hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

mengelola informasi lingkungan hidup nasional; mengoordinasikan, mengembangkan,

dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; memberikan

pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; mengembangkan sarana dan

standar laboratorium lingkungan hidup; menerbitkan izin lingkungan; menetapkan

wilayah ekoregion; dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.

Sedangkan mengenai kewenangan pemerintah provinsi diatur dalam Pasal 63 ayat

(2) yang meliputi, antara lain yaitu: menetapkan kebijakan tingkat provinsi;

menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; metapkan dan melaksanakan

kebijakan mengenai RPPLH provinsi; menetapkan dan melaksanakan kebijakan

mengenai Amdal dan UKL-UPL; menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan

emisi gas rumah kaca pada tingkay provinsi; mengembangkan dan melaksanakan

kerjasama dan kemitraan; mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan

Page 28: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

peraturan kepala daerah kabupaten/kota, melakukan pembinaan dan pengawasan

ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan

lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup; mengembangkan dan menerapkan instrumen

lingkungan hidup; mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian

perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa; melakukan

pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang

program dan kegiatan; melaksanakan standar pelayanan minimal; menetapkan

kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan

lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; mengelola informasi lingkungan

hidup tingkat provinsi; mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi

ramah lingkungan hidup; memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan

penghargaan; menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan melakukan

penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

Selanjutnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan Pasal 63 ayat

(3) meliputi antara lain, yaitu: menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; menetapkan dan

melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; menetapkan dan

melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; menyelenggarakan

inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat

kabupaten/kota; mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;

mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; memfasilitasi

penyelesaian sengketa; melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung

jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan

peraturan perundang-undangan; melaksanakan standar pelayanan minimal;

melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum

adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; mengelola informasi

lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; mengembangkan dan melaksanakan

kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; memberikan

pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; menerbitkan izin lingkungan pada

Page 29: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

tingkat kabupaten/kota; dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada

tingkat kabupaten/kota.

Kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

yang dirumuskan secara terinci sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 63 UUPPLH

tersebut pada dasarnya tidak tepat. Semestinya rumusan normatif dalam tingkatan

undang-undang bersifat abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingin

dijangkau. Selain itu, penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang

tidak perlu atau berlebihan dan tidak efisien, misalkan penyebutan kewenangan

penegakan hukum. Tanpa penyebutan kewenangan penegakan hukum , pemerintah

sudah semestinya memiliki kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu

sudah inheren dengan pemerintah.33

Sedangkan mengenai peranserta dalam pengelolaan lingkungan dapat dilakukan,

antara lain, dengan cara-cara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 65 ayat (2), ayat

(3), ayat (4), dan ayat (5), yaitu: mengajukan usulan dan keberatan atau menyampaikan

pengaduan kepada pejabat yang berwenang. Selain peranserta masyarakat juga dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 70 UUPPLH, yaitu melakukan pengawasan, pemberian sara,

pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan penyampaian informasi atau laporan.

Dengan demikian, secara normatif UUPPLH sudah sejalan dengan atau mengadopsi

Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 yang menekankan pentingnya demokratisasi dan

peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.34

Lothar Grundling, sebagaimana telah dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri,

mengemukakan mengenai beberapa manfaat dari adanya peranserta masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup yaitu: memberikan informasi kepada pemerintah,

meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah,

mencegah terjadinya pengajuan gugatan oleh masyarakat, dan mendemokratisasikan

pengambilan keputusan.35

4. Pertambangan

Penelitian ini jelas menunjukan pemerintah daerah telah mengambil peran dalam

pengelolaan sumber daya alam antara lain dari segi regulasi, DPRD bersama

33 Takdir Rahmadi, 2014, op. cit., hal. 75. 34 Takdir Rahmadi, 2014, op. cit., hal. 67. 35 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Lingkungan, 1986, dalam Takdir Rahmadi, 2014, op. cit., hal. 68.

Page 30: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Pemerintah Daerah menetapkan berbagai peraturan daerah untuk melindungi sumber

daya alam dari kegiatan eksploitasi yang merusak atau berpotensi merusak lingkungan,

di antaranya Perda No 02 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Air, Perda Nomor 05 Tahun

2012 tentang RTRW, Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Zona Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, Perda Nomor 02 Tahun 2013 tentang Tahura S. Surya; Perda Nomor 11 Tahun

2013 tentang Pencabutan Perda Nomor 06 Tahun 2004 tentang Pengadaan Tanah;

Perda Nomor 12 Tahun 2007 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis di Provinsi

Jawa Timur; Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air, Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Air

Tanah, Perda Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana Zonasi Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2012-2032.

Sedangkan dalam implementasi peraturan daerah, dengan mengambil contoh

provinsi jawa Timur misalnya, Gubernur Jawa Timur telah menjatuhkan sanksi teguran

tertulis kepad PT Tjiwi Kimia dan PT Alu Aksara Pratama karena kegiatan pembuangan

limbahanya yang berpotensi mencemari sungai. DPRD Jawa Timur (Komisi A)

menerima banyak pengaduan dari masyarakat terkait kekgiatan eksploitasi

sumberdaya alam yang berpotensi atau telah mencemarkan lingkungan dan kemudian

menindaklanjuti para pihak untuk dipanggil ke DPRD.

Beberapa permasalahan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jawa Timur

adalah:

Pertama, sengketa antar daerah dalam hal kepemilikan sumber daya alam,

misalnya sengketa kepemilikan gunung kelud antara Pemkab Blitar dengan Pemkab

Kediri atau sengketa kepemilikan pulau Galang antara Pemkot Surbaya dan Pemkab

Gresik. Kedua, konflik Perusahaan pengelolaa sumber daya alam dengan buruh,

misalnya di PT Exxon Mobile di Bojonegoro, Konflik masyarakat sekitar dengan

pengelola sumber daya alam, misalnya konflik masyarakat dengan perusahaan tambah

di Jember. Kendala-kendala yang dihadapi daerah Jawa Timur dalam pelaksanaan TAP

MPR No IX/MPR/2001 antara lain: Kendala dari segi hukumnya sendiri. Undang-

Undang Agraria dan Sumber Daya Alam yang jumlahnya sangat banyak seringkali

meteri muatannya saling bertentangan satu sama lain dan hanya terfokus pada masing-

masing sumber daya alam. Padaghal tiap sumberdaya alam saling terkait, misalnya

tambang mineral dan batu bara sangat terkait dengan tanah dan hutan. Jadi, UU Agraria

dan UU sumber daya alam yang ada harus saling bersentuhan dan tidak bisa berdiri

Page 31: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

sendiri. Kendala dari segi kapasitas pelaksana, sumber pendanaan dan sarana

prasarana, dan kendala dari masyarakat.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

UUPA sebagai landasan pokok dan pegangan operasional untuk menjalankan program

pembaruan agraria nasional. Namun, UUPA ini belum dilaksanakan dengan sepenuhnya

karena masih ada beberapa amanat UUPA yang belum ditindaklanjuti dengan peraturan

perundang-undangan lain sebagai peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, lahir

beberapa undang-undang yang mengatur sektor-sektor agraria yang menyimpang dari

konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan UUPA sebagai peraturan pokok

bidang agraria. Ini merupakan konsekuensi logis dari kelemahan UUPA yang tidak

mengatur secara detail setiap sektor agraria dan terkesan hanya menitikberatkan pada

pengaturan mengenai tanah.

Sumber daya alam bidang perkebunan telah terdapat UU baru tentang

perkebunan yaitu UU No. 38 Tahun 2014 menggantikan UU No. 18 Tahun 2004. Adapun

tujuan pergantian diantaranya adalah untuk menangani sengketa perkebunan,

pembatasan PMA, dan pembangunan sarana dan prasarana perkebunan. Tujuan ini

tentunya sejalan dengan Tap MPR No. IX/MPR/2001, akan tetapi muatan pasal-pasal

dalam UU Perkebunan mengandung beberapa kelemahan yaitu bertentangan dengan

HAM, adanya ketidakjelasan aturan dan tumpang tindih dari aturan hukum. Kelemahan

materi hukum dari UU Perkebunan 2014 ini tentunya berdampak pada penegakan

hukum. Berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

perkebunan, masing-masing daerah penelitian memiliki karakter tersendiri terutama

untuk Yogya yang harus disesuaikan dengan aturan tentang UU Keistimewaan DIY.

Adapun peran pemerintah daerah dan masyarakat dibidang perkebunan sangatlah

minim hal ini terlihat dari kurangnya pengetahuan aparat pemerintah daerah dan LSM

sebagai perwakilan dari masyarakat tentang UU Perkebunan 2014.

B. Saran dan Rekomendasi

1. Saran

Pemerintah daerah dan masyarakat harus responsif terhadap pelaksanaan program

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah daerah dapat

Page 32: Politik Hukum Pembaruan Agraria (Studi terhadap Tap MPR No ... · Pembaruan agraria ini dilakukan untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) ... Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

mendorong Pemerintah Pusat agar segera melaksanakan pembaruan agraria

sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001; melakukan

pendampingan-pendampingan terhadap masyarakat dengan didasarkan pada perda

yang mengaturnya sehingga akan tercapai adanya pengakuan kearifan lokal dalam

masyarakat tersebut; melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang berkonflik untuk

mengambil jalan dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak (miskin).

Masyarakat juga harus dilibatkan dalam program pembaruan agraria karena:

a. Untuk mencegah masuknya nama-nama yang tidak berhak ke dalam daftar

penerima tanah dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab;

b. Untuk memberikan data yang baik sesuai nama penggarap dan administrasi

kependudukan; dan

c. Untuk mencegah konflik di antara masyarakat.

2. Rekomendasi

Segala peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh undang-undang yang berkaitan

dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk UU Perkebunan harus

segera untuk diundangkan sehingga tercipta kepastian hukum, dapat menjadi sarana

sosialisasi peraturan, menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam membuat

peraturan daerah.

Berkaitan dengan kondisi UUPA saat ini, maka perlu segera dilakukan

penyempurnaan UUPA dengan mereposisi atau mengembalikan UUPA sebagai lex

generalis atau penyempurnakan UUPA sebagai lex specialis.

==========