POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang...

168
1 POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI INDONESIA Sebuah Tinjauan Kritis Robertus Robet

Transcript of POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang...

Page 1: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

1

POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI

INDONESIA

Sebuah Tinjauan Kritis

Robertus Robet

Page 2: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

2

Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia: Sebuah Refleksi Kritis

© 2008 ELSAM

Editor Bahasa: Erasmus Cahyadi

Editor Isi: Eddie Sius Riyadi

Cetakan Pertama: Agustus 2008 Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbitan ini dimungkinkan atas kerja sama antara ELSAM dan ICTJ Jakarta Penerbit: ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail: [email protected]; Web-site: www.elsam.or.id

Page 3: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

3

Kata Sambutan Agung Putri

Saudari-saudara, warga republik yang kami hormati.

Dalam rangka mendirgahayukan momen peringatan hari berdirinya Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang ke-15, di antara pelbagai kegiatan seremonial yang

konvensional maupun progresif, ELSAM menerbitkan dua buku. Buku yang pertama,

yang ditulis oleh Robertus Robet, mengangkat sebuah subjek khusus dan besar yang

fenomenal dalam lebih dari dua dekade di pelbagai belahan dunia dan satu dekade di

Indonesia, yaitu “keadilan transisional” (transitional justice). Sebenarnya, ELSAM telah

banyak mempublikasikan subjek ini sebelumnya dalam seri buku bertajuk “seri

transitional justice” yang kurang lebih terdiri dari 8 judul, jurnal DIGNITAS (dua edisi),

buletin ASASI, dan pelbagai briefing paper dan position paper. Yang membedakan buku

yang ditulis Robertus Robet dibanding beberapa terbitan kami sebelumnya adalah bukan

sekadar soal perspektif yang digunakan, tetapi terutama soal penempatan posisi ELSAM

di dalamnya.

Dari segi perspektif, Robet melihat persoalan transisi politik bukan sebagai suatu

keniscayaan demokratisasi melainkan sebuah kontingensi. Kontingensi ini tampak bukan

sekadar dalam pertarungan Realpolitik melainkan juga dalam kontestasi gagasan

normatif. Karena itu, politik hak asasi manusia juga bersifat kontingen. Dalam

kontingensi seperti itulah ELSAM mau tidak mau dengan segala daya dan

kemampuannya berupaya memainkan perannya. Peran itu terasa sulit dilakoni di samping

karena realitas Realpolitik baik di tingkat birokrasi dan mesin politiknya maupun di

tingkat civil society yang tidak terkonsolidasi dengan baik, juga karena pertarungan

gagasan itu – tidak seperti di Afrika Selatan dan Amerika Latin – kurang didukung oleh

kalangan akademisi yang mumpuni.

Page 4: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

4

Buku kedua, yang ditulis oleh Abdul Manan, sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah

biografi ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin”

ELSAM tetapi lebih menyorot pada beberapa gagasan-gagasan, program-program dan

agenda besar yang diusung ELSAM, yang secara signifikan berkontribusi pada

perkembangan demokrasi, penegakan keadilan, dan pengakuan terhadap hak asasi

manusia di Indonesia. Terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan yang dijumpai

Elsam dalam pergulatannya mempromosikan HAM, buku ini mengangkat beberapa

pengalaman faktual tentang keberhasilan ELSAM dalam advokasi kasus-kasus

pelanggaran HAM di Indonesia, advokasi kebijakan, dan penyelenggaraan pendidikan

publik berupa pelatihan dan kursus hak asasi manusia bagi para human rights defenders.

Tidak kurang dari itu, buku kedua ini juga menyoroti soal peran ELSAM dalam

menginisiasi, mendukung, meneruskan, dan merawat beberapa gagasan besar dan penting

seperti gerakan studi hukum kritis dan kaitannya dengan gagasan “negara hukum

demokratis” (rule of law), hak atas penentuan nasib sendiri (right to self-determination)

dan hak-hak masyarakat adat, keadilan transisional (termasuk di dalamnya adalah soal

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

Apa maksud dari penerbitan kedua buku tersebut? Lebih dahulu lagi, apa maksud kita

merayakan hari jadi ELSAM? Bukanlah karena kelatahan kita melakukan ini, melainkan

karena kita mau sejenak memetik momen kontemplatif dan reflektif di tengah banalitas

aksi keseharian kita. Peringatan hari lahir adalah momen kultural untuk merenungi

kebermaknaan diri dan merebut kembali otentisitas yang sempat menguap bersama

keringat aksi kita. Sejarah perdaban berkisah – bahkan sampai pada zaman audiovisual

sekarang ini – bahwa tidak ada hal lain yang lebih membawa kita ke kontemplasi tentang

makna kehadiran kita di dunia ini ketimbang berenang dalam arus kata-kata. Biarkan kata

itu menghampiri kita, dan sejenak berhentilah kita berkata-kata. Biarkan kita diam,

jangan ada kata terucap. Biarkan kata-kata itu yang berkata.

Demikianlah. ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu dalam

keheningan, lalu kemudian mendengarkan untaian kata dari kedua buku tersebut. Seorang

pembaca yang sejati adalah seorang yang mampu berhening dan membiarkan arus kata-

Page 5: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

5

kata dari sebuah buku menghampirinya bahkan menyerbunya, lalu tiba giliran dia untuk

menilai, merenung, mengkritik, merekomendasikan, meniati, dll. Pembaca yang sejati

adalah seorang yang selalu memposisikan dirinya sebagai “sang pemula” dalam

menghadapi sesuatu. Ketertarikannya adalah sensasi ketertarikan sang pemula.

Ketertarikan sang pemula adalah ketertarikan tanpa beban, tanpa pretensi, tanpa praduga,

tanpa penghakiman.

Saudari-saudara sesama warga republik mungkin sudah memiliki prapengetahuan tentang

ELSAM, termasuk gagasan-gagasannya, program dan agendanya, kekurangan dan

kelebihannya. Tetapi, bersikap sebagai “sang pemula” akan membawa Anda pada sebuah

realitas lain yang mungkin tidak akan pernah Anda dapatkan kalau Anda sudah selalu

memiliki prapengetahuan dan praduga. Sikap sang pemula adalah sikap yang kita

butuhkan sekarang ini untuk membangun sebuah konsolidasi masyarakat sipil untuk

kembali menegakkan dan merebut kembalinya politik. Sikap sang pemula adalah sikap

sang demokrat sejati, sang republikan berkeutamaan, seorang negarawan yang handal dan

setiawan.

Akhir kalam, semoga kehadiran kedua buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan

hari lahir ELSAM yang ke-15 ini menggugah kita untuk sejak saat ini saling “hadir”

sebagai “sang pemula” yang otentik, penuh ketertarikan, penuh pesona, dan penuh

ketakterdugaan. Republik ini sudah muak dengan banalitas. Republik ini merindu agen-

agen progresif, penuh pesona, dan kreatif. Semoga.

Jakarta, 14 Agustus 2008

Dra. Agung Putri, M.A.

(Direktur Eksekutif ELSAM)

Page 6: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

6

Kata Sambutan Asmara Nababan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, biasa disingkat ELSAM, kami dirikan 15

tahun yang lalu dalam semangat untuk turut memperjuangkan dan mencapai visi

terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan

menghormati hak asasi manusia. Visi tersebut masih sangat relevan hingga sekarang,

karena meskipun rejim otoriter telah diganti dengan rejim demokrasi namun berbagai

ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlangsung, bahkan

pelanggaran berat hak asasi manusia masa lampau tidak atau belum dapat diselesaikan.

Untuk memperjuangkan dan mencapai visi tersebut, kami telah merumuskan misi sebagai

sebuah organisasi non-pemerintah (ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik

hak sipil, politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. Misi

ini dilakukan melalui serangkaian program dan tindakan yang saling berkaitan dan

berkesinambungan, muali dari riset, pelatihan, pengembangan jaringan, hingga advokasi

kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami masyarakat dan, tentu saja, kebijakan

publik yang berdampak terhadap hak asasi manusia, dalam 15 tahun terakhir ini.

Dalam rangka perayaan ulang tahun ELSAM yang ke-15, sekaligus bersamaan dengan

peringatan 10 tahun reformasi, juga 100 tahun kebangkitan nasional dan 63 tahun

kemerdekaan Indonesia, serta 60 tahun Deklarasi Universal HAM, kami menerbitkan

buku yang merekam ideal yang kami perjuangkan serta bagaimana pengalaman ELSAM

dalam memperjuangkannya. Tentu maksud dari buku ini tidak untuk gagah-gagahan,

namun jauh melampaui itu semua, yang utama kami maksudkan tetap sebagai salah satu

usaha berkontribusi bagi gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Melalui buku ini, kami

bermaksud berbagi wawasan dan pengalaman ELSAM dalam memperjuangkan hak asasi

manusia di Indonesia. Ini bukan buku yang bercerita tentang kisah sukses, tetapi

Page 7: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

7

memaparkan berbagai masalah-masalah, peluang, tantangan, serta hambatan yang

dihadapi dalam kurun 15 tahun dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

Dengan rasa gembira kami menyambut penulisan dan penerbitan buku ini, yang telah

merespon dan menjawab maksud kami untuk berbagi wawasan dan pengalaman tersebut.

Apa yang ingin kami bagikan ini ditulis dan diterbitkan dalam dua buku yang berbeda

namun saling berhubungan. Kedua buku ini ditulis oleh penulis yang berkomitmen dan

dari luar ELSAM, untuk mendukung objektivitas, namun dengan tetap memanfaatkan

dokumen-dokumen resmi ELSAM serta mewawancarai sejumlah pihak, khususnya dari

lingkungan para pendiri, pengurus, dan aktivis ELSAM, selain memanfaatkan informasi

dari media massa serta pemerhati ELSAM.

Buku pertama, berjudul “Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia” ditulis

oleh Sdr. Robertus Robet, aktivis muda yang energik sekaligus sekretaris jendral

Perhimpunan Pendidik Demokrasi (P2D). Buku ini merekam ideal yang diperjuangkan

ELSAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

khususnya yang terjadi di masa lalu, secara berkeadilan dalam konteks masa transisi

politik pasca-Soeharto. Buku kedua, berjudul “Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam

Memperjuangkan HAM” ditulis oleh Sdr. Abdul Manan, wartawan muda penuh

komitmen sekaligus sekretaris jendral Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Buku ini

merekam pengalaman ELSAM sebagai sebuah ornop yang memperjuangkan hak asasi

manusia di Indonesia dengan berbagai problem dan tantangan yang dihadapi, dari masa

pendiriannya hingga kini, sejak dominannya wacana pembangunan di bawah rejim

otoriter hingga reformasi dan transisi demokrasi.

Kami berterima kasih kepada Sdr. Robertus Robet dan Sdr. Abdul Manan yang telah

menjawab dan merealisasikan maksud kami dengan meluangkan waktu – dalam berbagai

kesibukannya – serta perhatian dan komitmennya bagi penulisan kedua buku yang sangat

berharga ini. Juga haturan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah

mendukung dan memungkinkan kedua buku ini disusun dan terbit.

Page 8: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

8

Akhir kata, kami berharap kedua buku ini dapat berguna bagi para pembaca dan

mencapai maksud kami untuk berbagi wawasan dan pengalaman dalam upaya kita

bersama untuk memperjuangkan hak asasi manusia demi mencapai Indonesia yang lebih

beradab, demokratis, dan berkeadilan.

Selamat membaca.

Jakarta, 17 Agustus 2008

Asmara Nababan

(Ketua Badan Pengurus Perkumpulan ELSAM)

Page 9: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

9

Daftar Isi:

Kata Sambutan

Daftar Isi

Pendahuluan: Politik Hak Asasi Manusia dan Emansipasi

Bab 1: Relasi antara Negara dan LSM dan Fragmentasi Keagenan

Pengantar

Asal Usul dan Mistifikasi

Diskursus Normatif

Fragmentasi dan Pergeseran Keagenan Politik

Penutup: Apa yang Tersisa?

Bab 2: Kritik Atas Logika Transisi di Indonesia

Pengantar

Pembakuan Transisi yang Mematikan Politik

Demokrasi sebagai Perjumpaan yang Partikular dan Universal

Kondisi-Kondisi Diskursif Hak Asasi Manusia di Indonesia

Batas-Batas Ekuivalen Politik

Kesimpulan

Bab 3: Ketegangan dan Dinamika dalam Diskursus Politik Transisi

Pengantar

Akar Kekejaman: Munculnya Negara Otoritarian

Konfigurasi Politik Wacana KKR

Menolak KKR: Mengharapkan Ada Eichmann di Jakarta?

Penutup

Bab 4: Pertarungan Merebut Kebenaran Masa Lalu

Page 10: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

10

Pendahuluan

Sejarah Kekerasan Orde Baru

Pertarungan Memperebutkan Masa Silam di Era Pasca-Orde Baru

Masa Depan Indonesia ada di Masa Lalu

Penutup: Tentang Kebenaran Politik

Page 11: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

11

Pendahuluan:

Politik Hak Asasi Manusia dan Emansipasi

Ada paradoks dalam perkembangan hak asasi manusia belakangan ini. Paradoks itu

tampak dari dua kecenderungan yang sepertinya saling menihilkan. Di satu sisi, orang

mengakui kemajuan-kemajuan dalam legalisasi norma-norma serta instrumen hak asasi

dengan berbagai ratifikasi konvenan hak-hak sipil dan politik serta kovenan hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya. Juga diakui makin berkembangnya diskursus mengenai hak

asasi itu sendiri yang diikuti dengan intensitas yang makin tinggi untuk membasiskan

segala urusan di bawah payung hak. Selain itu, pada saat yang sama seiring dengan

menguatnya isu hak, praktik politik juga secara perlahan mulai lebih berorientasi pada

demokrasi dan cara-cara damai, sebagaimana terlihat dalam isu “reformasi” berbagai alat

represi Negara serta efisiensi birokrasi. Namun demikian, di sisi yang lain, pada saat yang

sama makin banyak juga orang yang resah dengan meluasnya berbagai bentuk konflik

dalam masyarakat, intoleransi, dominasi dan pernyataan kebencian di ruang publik serta

ketidakpuasaan sejumlah korban atas penyelesaian kejahatan kemanusiaan di masa lalu.

Ketidakpuasaan ini juga bisa ditambah dengan kenyataan bahwa di saat kita menikmati

kebebasan sipil dan demokrasi, pada saat yang sama kerja-kerja lembaga HAM semacam

Komnas-HAM, misalnya, dianggap lebih buruk ketimbang kerja lembaga yang sama di

masa politik otoritarian. Demokrasi tidak hanya menginstalasikan berbagai kemajuan,

pada saat yang sama – di atas kemajuan itu – ia juga mentransparansikan berbagai

persoalan dalam perjuangan dan pelembagaan hak asasi. Demokrasi telah merelatifkan

segala jenis perjuangan yang semula dianggap prinsipil beserta peralatan institusionalnya.

Page 12: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

12

Dulu, di masa otoritarianisme, hak asasi – dalam hal ini terutama hak kebebasan politik –

merupakan isu paling subtansial. Dengan itu, di bawah legitimasi melawan

otoritarianisme, kita mempunyai kebiasaan untuk mempersatukan hak asasi dan

demokrasi menjadi satu kesatuan. Itu terjadi karena memang secara konkret keduanya

absen dalam kepolitikan otoritarianisme, sehingga mempersatukan keduanya dalam satu

nafas tuntutan perjuangan sebagai imajinasi politik menjadi relevan untuk menggantikan

otoritarianisme.

Setelah rejim otoritarian runtuh, demokrasi menjadi arena di mana segala norma, nilai

dan ideologi diinstalasikan di atasnya. Akibatnya, di jaman demokrasi ini, hak asasi

secara normatif telah dipisahkan dengan demokrasi dan direlatifkan setidaknya dengan

isu hak-hak yang lain kalau bukan oleh ideologi-ideologi politik yang relatif “baru”.

Pemisahan ini kemudian juga diikuti dengan pemisahan aktor-aktor pengusungnya; dulu

lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga advokasi serta gerakan mahasiswa

dianggap sebagai satu-satunya tiang penyangga civil society, tetapi sekarang orang

berbicara mengenai partai dan komisi-komisi sebagai tiang utama perjuangan

kepentingan. Ini diikuti dengan makin banyaknya orang-orang yang dulunya aktivis hak

asasi manusia beralih profesi dan “naik kelas” menjadi aktivis partai dan anggota di

komisi-komisi.

Keadaan ini memperlihatkan satu kecenderungan asimetris yakni bahwa, di satu sisi,

sebagai imajinasi emansipasi yang berjasa mendobrak politik otoritarian, hak asasi terus

dianggap sebagai nilai perjuangan substantif, sementara pada arah yang lain, seiring

dengan penjamakan kekuasaan dalam demokrasi, berbagai bentuk pengelolaan dan

peralatan pengorganisasiannya justru semakin terfragmentasi. Dengan kata lain, dewasa

ini terjadi diskrepansi yang mendalam antara imajinasi esensial hak asasi dengan cara

memperjuangkannya. Diskrepansi inilah yang menghasilkan suatu keadaan yang

membingungkan dalam hak asasi kita dewasa ini: semakin banyak ayat-ayat HAM

diakomodasi, semakin kuat pula ketidakpuasaan orang terhadap kondisi perlindungan dan

jaminan hak asasi di Indonesia.

Page 13: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

13

Dalam situasi paradoksal ini, banyak pejuang hak asasi bersikap gamang sehingga sering

kali mereka mengambil sikap yang sama dengan berbagai kelompok yang sejak dulu

memang telah bersikap sinis terhadap demokrasi. Kekecewaan para korban dan penggiat

advokasi terhadap keadaan seperti itu membawa mereka kepada semacam tuduhan

fatalistik bahwa demokrasi dan kebebasan bukan lain hanya sejenis “alat” saja dari

kepentingan borjuasi asing. Ditambah dengan keadaan di mana Negara relatif lemah,

sementara lembaga judikatif dan legislatif dipenuhi oleh korupsi, sinisme terhadap

demokrasi dengan gampang diarahkan menjadi kebencian terhadap demokrasi. Di sini

para aktivis HAM dengan gampang berpotensi menjadi satu deret dengan para

pendukung Soeharto dan kaum fundamentalis. Orang terperangkap dalam suatu keadaan

"memaki-maki demokrasi” sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki

itu adalah buah dari demokrasi. Dengan kata lain, dalam praktik dan pengalaman saat ini

di Indonesia kita menemukan adanya kebingungan yang mengarah kepada destruksi

akibat pemisahan antara hak asasi dengan demokrasi.

Di titik ini – untuk menghindari kekecewaan dan destruksi yang lebih parah – kita perlu

membangun kesadaran yang baru, tidak hanya mengenai makna yang terpisah-pisah dan

khusus antara demokrasi dan hak asasi, tetapi juga tentang praktik dan konsepsi yang

menjembatani keduanya yakni: politik. Persoalan ini dapat dirumuskan dalam satu

formulasi sebagai: bagaimana politik hak asasi dijalankan dalam tatanan demokrasi?

Hak asasi manusia, sebagaimana kita mengerti dari perjuangannya sepanjang sejarah –

baik perjuangan dalam arti praktik advokasi “non-legal” sehari-hari dalam wujud

perlawanan para korban maupun dalam arti legaliasasi dan diplomasinya – pada dasarnya

bukan lain adalah imajinasi universalitas yang tanpa batas mengenai keadilan dan

martabat manusia. Ia bisa dirumuskan dalam hukum, pasal dan ayat-ayat, namun ia tidak

akan pernah selesai dan terpuaskan dalam “fullness” melalui ayat-ayat, konvensi dan

diplomasi itu. Ia akan terus berkembang seiring dengan tuntutan dan perilaku dari jaman

ke jaman. Sementara demokrasi bukan lain adalah fasilitas yang memberikan

kemungkinan bagi segala nilai dan imajinasi untuk mengungkapkan dirinya: baik

imajinasi universal semacam hak asasi maupun imajinasi lain yang bertentangan dengan

Page 14: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

14

hak asasi dan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, di dalam demokrasi, hak asasi

memang memiliki segi-segi substansial, namun di sisi yang lain ia juga tetap merupakan

“contested political imaginary” yang bersifat “cair” dan tetap harus berhadapan dengan

musuh-musuhnya sendiri.

Di titik ini, untuk “mengamankan” hak asasi, kita membutuhkan pandangan dan konsepsi

yang lebih fundamental tentang hak asasi dan politik. Selama ini dalam paraktik dan

kebiasaan lama, kita selalu memandang hak asasi manusia hanya sebatas sebagai hukum

semata-mata. Kita biasanya melupakan basis dan pengandaian utama hak asasi manusia

yakni politik itu sendiri.

Pentingnya politik dalam hak asasi manusia dapat dilihat dalam logika fungsional hak

asasi manusia itu sendiri. Hak asasi dapat berfungsi sebagai hak asasi hanya apabila ia

memenuhi prasyarat yakni bahwa pertama secara normatif ia bersifat fundamental dan

universal; kedua, ia berada dalam jaminan suatu institusi politik umum; ketiga, ia menjadi

bagian dari sistem hukum institusi kenegaraan itu. Artinya, hak asasi selalu bertautan

dengan idealisasi, negara dan proses kewargaan di dalamnya. Singkatnya, hak asasi

manusia selain berdiri sebagai norma universal, ia juga mesti selalu dipikirkan dengan

mengandaikan adanya kapabilitas Negara dan kepolitikan umum yang dinamis dan

mendukungnya, serta politik dan hukum kewargaan yang progresif baik dalam rupa

partisipasi warga maupun dalam rupa akomodasi dalam konstitusi. Tanpa ketiga unsur

ini, jelas hak asasi akan mandeg. Hak asasi tanpa politik dan citizenship tidak akan

pernah berfungsi menjadi hak asasi.

Hak-hak kaum minoritas misalnya, sebelum ia dikenal melalui normativitasnya saat ini,

pada mulanya ia berakar dalam perjuangan emansipasi kelompok-kelompok kulit

berwarna di berbagai belahan dunia dalam menghadapi praktik-praktik imperialisme,

perbudakan serta rasisme dan kebijakan yang diskriminatif. Begitu juga hak-hak kaum

buruh yang berakar dalam perjuangan persamaan dan kesejahteraan serta pergolakan

revolusioner terutama di Eropa menjelang dan dalam masa Revolusi Industri. Hak-hak

kesamaan di hadapan hukum yang kini secara universal diakui dalam konstitusi berbagai

Page 15: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

15

negara juga memiliki akar yang panjang dalam sejarah perjuangan dan revolusi di negara-

negara terutama Perancis. Sementara hak-hak sipil dan politik yang lebih terperinci

mengenai jaminan bebas dari ancaman siksaan, penghancuran kebudayaan, memiliki akar

yang kuat dalam trauma Holocoust selama Perang Dunia II.

Akar kejadian dari kemunculan hak-hak itu memang kini menjadi sejarah, namun

demikian meski secara tekstual ia telah dirumuskan sebagai hak, persoalan-persoalan

dalam pemenuhan dan perjuangan untuk mencapainya masih terus terjadi di berbagai

belahan lain di muka bumi, bahkan di Negara-negara maju di mana hak-hak itu sendiri

pernah secara gemilang dilahirkan. Di Amerika Serikat, misalnya, meski ia merupakan

tempat di mana beragam hak-hak kebebasan dijunjung tinggi dan dirumuskan, tidak

berarti sekarang rakyatnya tidak memerlukan lagi perjuangan hak asasi. Meluasnya peran

dan kontrol Negara dalam kehidupan sipil belakangan ini menunjukkan bahwa Negara itu

pun masih mempunyai masalah dan rakyatnya tetap perlu memperjuangkan pendirian-

pendirian yang fundamental atas kebebasannya. Dengan kata lain, sekali lagi, kita mesti

menyadari bahwa hak asasi bisa menjadi hak asasi manusia hanya dengan mengandaikan

suatu perjuangan politik.

Begitupun dalam kasus “reformasi” dan demokrasi di Indonesia, hak asasi tidak akan

berhenti atau “penuh” hanya karena rejim Soeharto sudah dijatuhkan, ia juga tidak akan

menjadi lebih mudah setelah demokrasi mekar. Ini tentu saja berakar dari kenyataan

bahwa hak asasi itu sendiri memang adalah imajinasi yang tiada habis-habisnya, yang

sama tak terbatasnya dengan harapan dan cita-cita manusia mengenai good life dan good

society. Selain itu adalah fakta bahwa di dalam demokrasi itu juga dimungkinkan

tumbuhnya kekuatan-kekuatan politik yang beraneka ragam, menghasilkan lawan-lawan

dan tantangan baru bagi hak asasi sendiri. Di titik ini, menjadi penting untuk menghindari

segala godaan untuk puas pada kehadiran bebagai bentuk pembakuan hak asasi ke dalam

hukum dan terikat pada modus-modus institusionalisasinya yang lama.

Di sini menjadi beralasan bagi buku ini untuk memulai sebuah upaya membuka

kesadaran “subjektif” dari para aktor yang selama ini bergiat dalam advokasi hak asasi

Page 16: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

16

dengan mengungkapkan bagaimana aktor utama hak asasi dan demokrasi terbentuk

secara diskursif dalam suatu kepolitikan yang dinamis. Dengan menjelaskan bagaimana

“LSM” yang selama ini mengklaim dirinya pelopor juga ternyata terus berubah dan

dikenai relasi serta kontradiksi dari jaman ke jaman, maka diharapkan para aktivis LSM

sekarang bisa memahami dirinya sebagai produk dari suatu sejarah dan peristiwa politik.

“Citra diri” yang dimiliki yaitu sebagai pejuang juga terus berubah dan bergerak ke

berbagai arah sebagaimana tampak dalam pergeseran fungsi-fungsi keaktoran dan

keagenan sekarang. Menyadari dan berkehendak untuk mengubah dunia di luar sana

harus juga diikuti kesadaran bahwa “aku” sendiri terus berubah. Paparan ini tidak

dimaksudkan untuk mendorong suatu perelatifan yang mengarah pada oportunisme

politik bagi LSM-LSM, melainkan untuk memberikan dasar pertimbangan baru bagi

kemungkinan pembentukan, rekonstruksi bagi model-model pengorganisasain baru yang

lebih memadai.

Upaya ini dilanjutkan dalam bab dua buku ini yang memberikan semacam refleksi

teoretis melalui kritik terhadap paradigma transisi yang konvensional. Bab mengenai

“kritik terhadap logika transisi” bermaksud untuk menunjukkan kekeliruan dalam

paradigma perubahan di Indonesia yang terlalu mengandalkan model dan trajektori yang

baku. Pembakuan dalam skenario-skenario perubahan yang “objektif” ini mengakibatkan

keterbatasan imajinasi dalam perubahan sekaligus mematikan aspirasi perubahan yang

luas dan tak terbatas ke dalam skema-skema hukum dan institusi formal belaka. Buku ini

juga melihat adanya kemungkinan bahwa perubahan yang diskematisasi dalam

penggalan-penggalan tahap yang sudah jadi itu secara “ideologis” berimplikasi bagi

pemandulan gerakan sosial yang semula menjadi motor perubahan dan menjadikannya

lebih sebagai perjuangan dalam koordinat prosedur dan institusional. Dari situ, melalui

kritiknya, bagian ini bermaksud mengajukan suatu cara pandang yang membebaskan hak

asasi dari keterbatasan perjuangan legal-objektifnya dan mengembalikan hak asasi

sebagai perjuangan emansipasi.

Upaya untuk mengembalikan hak asasi sebagai proyek emansipasi yang bersifat politis

dilanjutkan melalui paparan dalam dua bab berikutnya, yaitu bab tiga dan empat. Dalam

Page 17: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

17

bab tiga disajikan semacam peta umum mengenai persoalan serta posisi-posisi keagenan

dalam politik transisi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan politik perebutan

“ingatan” di Indonesia. Dengan memahami “ingatan dan sejarah” sebagai wilayah yang

diperebutkan oleh berbagai kelompok dalam demokrasi, maka jelas ditunjukkan bahwa

“ingatan” itu sendiri adalah sebuah arena politik ketimbang sekadar arena hukum.

Akibatnya, di sini hukum itu sendiri harus dipahami bukan lain hanya sekadar

kepanjangan tangan kekuasaan politis semata yang saling berkontestasi untuk mengusai

“kesadaran/ketaksadaran” publik akan sejarah kemanusiaan itu sendiri.

Kenyataan ini yang kemudian secara lebih konkret ditunjukkan dalam ironi perselisihan

dalam tubuh para aktor sendiri dalam mendefinisikan makna kebenaran dalam politik

ingatan, antara yang berpaku terus pada trajektori legal transisionis dalam model

pengadilan di satu sisi dan model non-pengadilan (KKR) di sisi yang lain. Kegagalan

dalam cara pandang transisionis terbukti secara telak terutama dalam kebangkrutan

skenario legalis, di mana pengadilan-pengadilan hak asasi yang diadakan untuk

mengadili beberapa kejahatan hak asasi di masa lalu ternyata memang hanya berhenti

pada “mengadili” untuk kemudian malah membebaskan dan meloloskan sejumlah

terdakwa. Kebangkrutan ini makin diperdalam dengan kepercayaan buta kepada

mekanisme hukum sebagai satu-satunya mekanisme untuk menyelesaikan perkara yang

sesungguhnya perkara politik dalam kasus dibatalkannya UU KKR dalam judicial review

yang ironisnya diajukan oleh sejumlah korban dan LSM. Kegagalan ini tidak hanya

membuktikan semacam “kenaifan” politik dan absennya pemahaman akan “yang politik”

dalam persoalan hak asasi manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa pembakuan

transisionis memang tidak dapat dipakai apabila hak asasi tetap mau diusung sebagai

agenda politik emansipasi.

Namun demikian, buku ini juga tidak mau berhenti pada kritik yang mengesankan

fatalisme. Buku ini mau menekankan pada supremasi yang politis dalam

memperjuangkan hak asasi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dibukanya di

masa depan. Oleh karena itu, pada bagian penutup, buku ini mengajak kita untuk melihat

persoalan politik ingatan dan sejarah sebagai bagian dari politik kebenaran. Dengan itu ia

Page 18: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

18

bermaksud membuka lagi kesadaran bahwa sejauh hak asasi dimengerti sebagai politik

emansipasi maka seluruh kegagalan legal yang terjadi sebelumnya bukanlah sebuah titik

final yang mengakhiri segala upaya.

Kini di jaman di mana advokasi hak asasi bisa lebih gampang mendekat ke para politisi

dan para aktivis bisa “relatif mudah” masuk ke komisi-komisi maka semestinya politik

hak asasi tetap berpeluang dan bisa dilakukan secara lebih matang. Yang terpenting di

sini – sebagaimana dikemukakan dalam bab penutup – pada akhirnya memang adalah

fidelity, keyakinan dan kesetiaan dalam harapan mengenai suatu misteri bahwa

emansipasi masih mungkin ada lagi.

Page 19: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

19

Bab 1

Relasi antara Negara dan LSM dan Fragmentasi Keagenan

Pengantar

Satu dasawarsa lalu, banyak pihak mendeklarasikan jaman ini sebagai jaman hak asasi

manusia. Deklarasi ini bermula datang dan seiring dengan optimisme orang akan matriks

kepastian sejarah yang sama yang digaungkan oleh pemikir politik kontemporer

mengenai kepastian akan demokrasi dengan “civil society” sebagai soko-gurunya. Dari

sini, muncul kombinasi yang diagungkan: nilai-nilai universalitas hak asasi di satu sisi

dengan keagenan politik civil society di sisi yang lain. Dalam politik Indonesia Orde Baru

masa itu, kedua kekuatan ini bertumpu pada satu tubuh kepolitikan yang juga sempat

dianggap primadona pada jamannya yakni Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM.

Dari sini boleh dikatakan muncul triadic politik alternatif yang menjadi formula bagi

perjuangan demokrasi Indonesia era Orde Baru: hak asasi-civil socity dan LSM.

Kini, setelah rejim Orde Baru jatuh dan demokrasi dicapai serta diinstalasikan sebagai

pranata dalam tubuh Negara, primadona itu kini nyaris kehilangan gincu, bedak dan daya

tariknya. Dulu dalam suasana otoritarian kekerasan dibuat oleh Negara dan keadilan tidak

mendapatkan tempat, hak asasi dipinggirkan dan diharamkan dari hukum nasional dan

konstitusi, sementara partisipasi dan kesadaran politik ditekan sama sekali. Kini dalam

era demokrasi yang strukturnya dibangun oleh topangan LSM, donor dan mantan

penguasa, semua yang semula ditolak oleh Negara Orde Baru kini diambil alih sebagai

milik Negara demokratis atau pemerintahan reformasi yang baru.

Page 20: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

20

Untuk hak asasi manusia Negara menyediakan komisi nasional hak asasi manusia, untuk

korupsi Negara menyediakan KPK, untuk kecelakaan dan penyelewengan hukum Negara

menyediakan bermacam-macam komisi, untuk keadilan, partisipasi, kritik, dinamisasi

dan perubahan politik Negara mendorong beranak-pinaknya partai politik dan organisasi-

organisasi masyarakat. Singkatnya, apa yang semula merupakan fasilitas politis yang

dimiliki secara ekslusif oleh LSM kini beralih menjadi milik Negara. Bukan hanya itu,

peralihan dalam instasalsi ideal kepolitikan ini juga kemudian diikuti dengan pergeseran

sekutu terpentingnya: lembaga donor menjadi lebih tertarik untuk mendanai kegiatan

lembaga-lembaga atau komisi-komisi pemerintah ketimbang LSM.

Dari sini komponen triadik hak asasi-civil socity-LSM pada akhirnya dilepaskan satu

demi satu. Hak asasi kini sudah jadi hak yang konstitusional, sementara civil society –

setelah menguatnya era partai-partai – adalah konsep usang yang memang nyaris tidak

diperlukan lagi. Akibatnya, yang jadi pertanyaan kemudiana adalah apa yang tersisa

untuk LSM? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting bagi kita untuk menelusuri secara

singkat perjalanan LSM.

Asal Usul dan Mistifikasi

Pada tahun 1985, dilakukan sebuah survei mengenai pemetaan masalah “LPSM-LPSM”

[Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat] Indonesia. Survei itu tergolong sangat

serius karena disokong oleh lebih dari 10 LSM terbesar di Indonesia pada era itu plus

dukungan dari Asia Foundation; dipimpin oleh Adi Sasono selaku Ketua Steering

Committee, sementara risetnya sendiri dipimpin oleh Fachry Ali. Semangat ber-LSM

jaman itu dengan segera bisa ditangkap dengan memperhatikan sebuah paragraf dari

laporan survei tersebut yang menegaskan posisi unik sebagai berikut:

Pada masa kolonial LPSM Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dari gerakan

politik yang beroposisi terhadap pemerintah Hindia belanda. Dimensi

pengembangan masyarakat tetap hadir pada LPSM seperti pada masa itu yaitu

berupa pengembangan akan harga diri masyarakat banyak sebagai suatu bangsa. SI

atau SDI boleh dilihat sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap

Page 21: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

21

politiknya, yang tentu saja sedikit berbeda dengan Muhammadiyah yang sudah

sejak berdirinya, tetap konsisten dengan pengembangan masyarakat.1

Adalah antusiasme yang luar biasa berlebihan ketika survei ini dengan cara simplistis

membentangkan cara pikir transhistoris dalam meletakkan relasi dan peran LSM. Dengan

menyebut peran pada masa kolonial, pendirian dalam survei memasang sejumlah

kekaburan mengenai pertama bahwa seolah-olah LPSM (dengan istilah dan definisi yang

seteknis-teknisnya) telah ada dan dikenal di masa kolonial. Kedua, bahwa apa yang

disebut sebagai LPSM itu berciri aktivitas dalam rangka “pengembangan harga diri

masyarakat banyak sebagai suatu bangsa”. Dan ketiga, bahwa SI dan SDI boleh dilihat

sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap politiknya. Penggambaran ini jelas

mengaburkan antara gerakan kemerdekaan menentang kolonialisme, baik yang

menggunakan politik identitas (seperti SI) maupun bukan (pra-negara modern lokal)

dengan konsern di dalam politik kewargaan dalam berhadapan dengan kuasa negara

modern dan pasar. Hal kedua yang juga dikaburkan di sini adalah aspek historitas dan

latar belakang sosial pembentukan LSM itu.

Sama sekali berbeda dengan seting kolonial, di mana isu dominan yang muncul adalah

tanah air dan kemerdekaan sebagai komunitas bangsa. Dalam seting awalnya di masa

Orde Baru, peran dan kedudukan dari apa yang dikenal sekarang sebagai LSM senantiasa

dikaitkan atau bahkan diletakkan sebagai bagian dari konsep lain yang lebih kompleks

dan canggih yakni konsep civil society. Kerangka ini telah menghasilkan pendasaran

yang sangat kuat bagi pembentukan karakter politik maupun definisi konseptual lembaga-

lembaga ini yakni sangat berbasis kelas menengah, memiliki ideologi yang beragam

dalam arti renggang, luwes dan memasang jarak dengan institusi dan aparat negara.

Untuk bisa menjelaskan pembentukan asal-usul semacam ini kita mesti melihat dua

kecenderungan; yang pertama adalah pembentukan diskursus LSM sebagai entitas yang

tumbuh dalam dan mempengaruhi proses politik dan perubahan sosial di Indonesia yang

1 Fachry Ali, Rasmi dan Ali Mustafa (1985), “Laporan Hasil Survey Pemetaan Masalah LPSM-

LPSM Indonesia”, dokumen ini merupakan hasil riset yang dsponsori oleh 15 organisasi LP3ES, Bina Swadaya, Bina Desa, Yayasan Indonesia Sejahtera, LSP, PKBI, WALHI, LBH, Yayasan Lembaga Konsumen, BK3, PPA, P3M, CUSO dan Asia Foundation, hlm. 14.

Page 22: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

22

khas, dan kedua adalah kekuatan politik normatif sebagaimana yang disampaikan oleh

organisasi dan pendirian sejumlah aktivis pembela hak asasi manusia di era awal Orde

Baru, dan ketiga adalah kita mesti kembali ke ide kritik ekonomi politik pembangunan di

masa tahun 70-an awal di mana masa ini ditunjuk oleh banyak kalangan sebagai masa

awal munculnya LSM, yang kemudian mewarisi karakter dan pendirian kepada yang ada

sekarang.

Semula banyak kalangan lebih suka menggunakan ornop (organiasai non-pemerintah)

untuk menamai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang melakukan aktivitas-

aktivitas sosial-politik penyadaran masyarakat dan kritik terhadap pemerintah. Istilah ini

disukai karena beberapa alasan: pertama, karena ia mencerminkan otonomi dan

demarkasi dengan kekuasaan, dan kedua karena ia mengesankan kritik dan alternatif

langsung dari kebijakan pemerintah. Namun justru karena potensi watak demikianlah,

maka pemerintah kemudian tidak menyukai istilah ini. Akibatnya para aktivis ornop

sendiri pada waktu itu, untuk menghindari pertentangan dengan pemerintah, memutuskan

untuk tidak meneruskan pemakaian istilah ini.

Di masa kini pemerintah lebih akrab menyebut lembaga-lembaga ini dengan LSM

(Lembaga Swadaya Masyarakat). Penggunaan istilah LSM ini sebenarnya kurang tepat

karena ia dipakai secara sangat overlapped, hendak menyebut siapa saja yang berada di

luar pemerintah baik itu serikat buruh, kelompok-kelompok paguyuban tani, kelompok

studi, yayasan-yayasan yang mengurus HAM di kota-kota ataupun kelompok-kelompok

paguyuban kedaerahan dan profesi yang kurang resmi serta lembaga-lembaga bantuan

hukum. Semuanya dicampur-adukkan di dalam satu istilah.

Ismid Hadad mencoba memberikan pembedaan yaitu dengan memisahkan antara apa

yang disebutnya dengan kelompok primer (kelompok-kelompok tani, paguyuban-

paguyuban di komunitas dan serikat-serikat rakyat) dan kelompok sekunder (kelompok

yang membantu pendirian dan pengembangan kelompok primer). Kelompok primer

inilah yang lebih tepat disebut sebagai LSM sementara kelompok sekunder yang

bertindak sebagai fasilitator atau mediator atau perantara disebut sebagai LPSM.

Page 23: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

23

Dari pembagian ini, secara sosiologis terdapat satu hal penting yakni soal otentisitas.

Implisit di dalam pembagian ini, Hadad menegaskan bahwa LSM memiliki keterkaitan

yang organik dengan kepentingan-kepentingan masyarakat yang sesungguhnya. Jadi di

sini tidak ada aspek representasi; LSM adalah presentasi langung dari kepentingan

rakyat banyak. Dengan demikian jelaslah bahwa organisasi-organisasi yang bertebaran di

perkotaan yang dihuni oleh para sarjana lulusan universitas meskipun bergembar-gembor

dengan kegiatan tani dan buruh tidak dapat disebut sebagai LSM karena tidak ada petani

dan buruh sungguhan di situ, atau dengan kata lain tidak ada otentisitas aktor, yang ada

adalah si sarjana yang pandai membuat proposal dan program. LPSM memang adalah

kategori yang secara fungsional paling pas buat kalangan kedua ini.

Namun demikian, tidak semua orang segera sepakat dan menerima pengistilahan ini.

Mungkin karena istilah LPSM ini apabila kita blejeti secara jujur maka sebenarnya

dengan gampang kita bisa memahami bahwa istilah LPSM itu adalah sebuah penghalusan

dari istilah calo atau broker, yang tentu saja sangat tidak nyaman bagi para aktivis LSM

itu sendiri.

Namun demikian, bahasa politik dan hukum Orde Baru sendiri pada waktu itu telah

terlanjur mendefiniskan kelompok-kelompok ini dengan istilah tunggal yakni LSM.

Terutama di masa-masa akhirnya, Orde Baru kerap menyebut siapa saja yang mengkritik

pandangan dan kebijakannya dengan sebutan LSM.2 Jadi dengan begitu istilah LSM

bukan lagi sekadar sebutan yang dipakai untuk organisas-organisasi di luar pemerintah

melainkan lebih merupakan tuduhan dari pemerintah kepada kelompok-kelompok yang

menentang dirinya. Dari sini barulah muncul semacam identitas balik, di mana pada

akhirnya para aktivis itu kemudian juga menerima dan mulai mendefinsikan diri mereka

sebagai LSM secara lebih kuat.

2 Penyebutan semacam ini juga berlaku terhadap organisasi-organisasi yang menyebut dirinya

sebagai partai oposisi seperti misalnya PRD di masa lalu yang meski mendeklarasikan dirinya sebagai partai, kerap disebut sebagai LSM. Begitu juga dengan gerakan mahasiswa yang jelas-jelas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa sering juga disebut sebagai LSM.

Page 24: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

24

Dengan demikian terjadi pergeseran aspek otentisitas dalam makna swadaya

sebagaimana disebut oleh Hadad pada bagian muka. Kalau sebelumnya LSM itu

sebenarnya digunakan untuk menyebut aktivitas kelompok-kelompok masyarakat bawah

maka kini para sarjana kota yang ketiban pulung menyandang istilah ini. Pemerintah

lebih tertarik untuk bertengkar dengan para sarjana dan aktivis kota ketimbang petani,

dan para aktivis kota ini juga merasa nyaman disebut sebagai “masyarakat swadaya”,

sehingga keduanya rupanya menjalin kesepakatan diam-diam untuk menggunakan istilah

LSM ini tidak lagi kepada petani dan buruh tetapi kepada yayasan-yayasan yang

beroperasi di ibu kota provinsi yang bekerja dengan press conference, riset dan studi.

Dari sinilah sebenarnya terjadi proses substitusi dari apa-apa yang seharusnya dilakukan

dan menjadi wilayah grass root menjadi apa-apa yang diatasnamakan oleh kelompok

menengah di atasnya di ibu kota provinsi. Substitusi kepentingan ini berlaku secara

sangat kuat. Dari sini pula klaim-klaim politik LSM itu kemudian dibasiskan dan

diperkuat.

Diskursus Normatif

Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah pemberangusan kehidupan politik secara umum

pasca-1965, negara Orde Baru yang tampil sebagai pemenangnya nyaris mendominasi

seluruh aspek kehidupan sosial dan politik pada waktu itu. Keadaan ini sedikitnya

disokong pula oleh semacam sikap reseptif dari politisi maupun intelektual yang anti

terhadap rejim Soekarno yang hidup di jaman itu. Kritik dan independensi yang mereka

gaungkan untuk menghadapi dan menjatuhkan Soekarno yang dituduh sebagai diktator

pada waktu itu, rupanya tidak dapat secara serta merta dan lancar digunakan untuk

menilai praktik politik rejim baru sesudahnya. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri

bahwa satu-satunya politik yang berlaku pada saat itu adalah “politik” sebagaimana yang

dimiliki dan dikendalikan oleh rejim Soeharto.

Sisa terakhir dari politik yang masih dimiliki oleh kalangan non-state pada waktu itu

hanyalah sejenis normative politics yang sangat terbatas, yang bersimpul pada isu dan

Page 25: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

25

tuntutan yang juga sangat normatif, dalam beberapa hal bahkan metafisis (dalam kasus

Yap Thiam Hien misalnya yang pendirian-pendirian kemanusiaannya sedemikian rupa

bercampur dan didasari oleh pandangan-pandangan religiositasnya) yakni isu hukum dan

hak asasi manusia. Di dalam isu inilah kelompok-kelompok yang nanti disebut sebagai

civil society atau non-state actor ini hadir dan melaksanakan sejumlah aktivitas untuk

melakukan kritik dan kontrol (meski sangat minim) terhadap praktik pelaksanaaan kuasa

Orde Baru pada waktu.

Di wilayah normatif inilah tampil dua orang yang sangat bersemangat dan berpengaruh

yakni: Yap Thiam Hien dan HJC. Princen. Kedua orang ini adalah pelopor pemberani

yang membuka jalan untuk tampilnya politik hak asasi manusia yang subtil dan sangat

ideal di masa itu. Pada tahun 1966 seperti mendahului dan memancang fondasi, Princen

mendirikan kantor Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia yang sangat berperan

dalam mengawasi praktik-praktik penahanan dan pemenjaraan para pendukung Soekarno

oleh Orde Baru. Di sinilah Princen menjadi salah satu yang pertama dalam memberikan

dasar-dasar praksis untuk menjaga apa yang dikenal orang sebagai “hak-hak dan

kebebasan sipil”.

Sementara di masa di mana Orde Baru masih menikmati suasana paginya, Yap Thiam

Hien dengan lantang telah berteriak:

… melihat seakan-akan “Orde Lama” semuanya des duivels dan “Orde Baru”

segalanya der engelen bukan saja penglihatan yang kabur, melainkan juga secara

implisit, tanpa disadari, mengakui diri sendiri sebagai anak setan (Yap, 1966).3

Dari segi politik, Yap adalah bagian dari salah satu pemenang pada waktu itu, karena ia

pun anti-PKI dan anti-Soekarno. Namun berbeda dengan pendukung Orde Baru lainnya,

sikap Yap menentang Soekarno dan PKI rupanya lebih dimotivasi oleh rasionalitas dan

ideal tertentu ketimbang kepentingan politik dan perebutan kuasa semata. Ini terbukti dari

fakta bahwa rasionalitas dan moralitas itu masih ia teruskan untuk menghadapi potensi

Page 26: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

26

kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, sehingga kemudian sama seperti Princen, pada

akhirnya ia pun harus berhadapan dan mengalami represi oleh rejim yang ikut ia dirikan.

Merelatifkan watak dan eksistensi dari Orde Baru dan Orde Lama menjelaskan hal

terpenting dari suatu pendirian politik yang go beyond interest, nyaris resi. Dengan

mengatakan “Orde Lama bukanlah iblis dan Orde Baru bukan pula malaikat” telah

ditegaskan pentingnya suatu arena di luar politik yang lebih inti dan fundamental yaitu

faktor kesadaran manusia dan kebebasan serta otonomi individu dalam memandang dan

menjinakkan politik itu sendiri. Sikap ini yang mestinya dipakai untuk mengatasi sistem

kuasa apa pun.

Di sini jarak atau demarkasi otomatis menjadi penting: “tidak Orde Lama tidak pula Orde

Baru”. Dari sikap semacam inilah diwariskan gagasan yang mulai memilah-milah mana

kuasa mana ideal; mana negara dan mana bukan negara; mana pejuang moral dan mana

yang politik; mana yang discourse of ethics dan mana yang discourse of power.4 Inilah

salah satu etik atau semacam stand point yang hingga kini masih dipakai oleh LSM di

Indonesia untuk menunjukkan “kemurnian” pendiriannya. Sehingga dengan demikian,

kritik dan gugagatan mereka terhadap negara selain didasarkan atas perbedaan dan

aspirasi prinsip dalam memandang kehidupan politik yang demokratis juga didasarkan

atas semacam “pandangan hidup” bahwa “ber-LSM” berarti harus menjaga jarak dan

hidup terpisah dari tujuan dan ruang lingkup kuasa negara.

Inilah salah satu tradisi dan gagasan penting yang dipakai oleh banyak LSM sepanjang

Orde Baru untuk menilai diri mereka satu sama lain. Di titik ini, posisi ini nyaris

menggambarkan figur intelektual yang dibayangkan oleh Benda, yang mengganggap

rasionalitas dan kemanusiaan harus diletakkan di atas apa yang disebutnya political

passion, karena menurutnya politik, bagaimanapun, selalu melibatkan uang dan

3 Dipetik dari Pledoi Pembela Kedua dalam kasus Dr. Subandrio. Dikutip dari Yap Thiam Hin

(1998), Negara, HAM dan Demokrasi (ed. Daniel Hutagalung), Jakarta: YLBHI, hlm. 216. 4 Dengan pembedaan itu, Yap meletakkan dirinya paralel dengan pendirian discourse of ethics dari

Habermas, keduanya tiba pada kesepakatan untuk melihat politik sebagai perwujudan tertinggi dari moralitas dan kebebasan dasar. Untuk istilah Habermas ini lihat dalam Simon Chambers (1995),

Page 27: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

27

kekuatan.5 Dua hal yang by nature sangat bertentangan dengan pendirian LSM yang mau

mengambil jarak dengan kekuasaan apa pun.

Dengan dasar pendirian yang sangat normatif dan moralis semacam ini maka tidak

mengherankan juga apabila konsep civil society yang kemudian berkembang dalam tema

advokasi LSM di Indonesia menjadi konsepsi yang sangat homogen. Dipakai untuk

menjelaskan semua pihak yang berada di luar negara dan tetap menjaga batas itu dapat

disebut sebagai civil society. Di sini gambaran mengenai pertarungan dan perubahan

politik beserta aktor-aktornya memang menjadi sangat sederhana; terbatas pada

dialektika dan relasi state dan society dalam pengertian dan definisi yang paling luas.

Akibatnya gagasan dan pandangan yang partikularistik dalam artian perhatian kepada

entitas-entitas yang lebih kecil seperti entitas gender, kelas dan kultur memang tidak

dilihat secara khusus.

Akibatnya jelas, secara politik konsepsi ini sangat menekankan peran kaum profesional,

golongan menengah dan intelektual kota sebagai motor utama penggerak. Di sini menjadi

sangat masuk akal bahwa kemudian dari segi aktor LSM-LSM itu banyak sekali dipimpin

dan digerakkan oleh para sarjana hukum dan para lulusan universitas mantan aktivis

gerakan mahasiswa. Sementara dari segi ide(ologi) gerakan LSM yang muncul kemudian

sangat berpusat pada ide-ide liberal mengenai kebebasan dan peran negara yang minim

dalam politik.

Jumlah CSO’s di Indonesia (tahun 2000)

Category Number of Organisations

Think tanks and research organisations 41

Student and youth Association/Alumni groups 36

Humanitarian and walfare groups 305

Business/Professional asss., cahmbers of trade and 555

“Discourse and Democratic Practise” dalam K. White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 233-255.

5 Julien Benda (1969), The Treason of the Intellectual, New York: Norton Place Publication.

Page 28: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

28

commerce

Union and Labour Groups 20

Media and Journalist Associations 17

Legal organisations, advocacy, and monitoring groups 36

Women Organisation 38

Environment groups 18

Leisure Organisations, cultural foundation and clubs 109

Religius Organisations 58

TOTAL 1.322

Sumber: UNSFIR berdasarkan MASINDO (2000) Association and NGO’s Guide 2000.6

Tabel di atas meski tidak secara langsung menunjuk LSM, namun fakta dan gambaran

umum yang ditampilkannya mempertegas pandangan sebelumnya yang menyebutkan

bahwa gerakan LSM sangat berwatak kelas menengah. Dari 1.322 organisasi yang ada

hanya 20 organisasi yang merupakan organisasi buruh. Dari jumlah itu tidak ada

organisasi petani dan kaum grass root yang lainnya. Absennya peran dan keberadaan

kelompok-kelompok grass root itu memperjelas beberapa kemungkinan yakni pertama

bahwa paling tidak hingga tahun 2000, yakni 2 tahun setelah jatuhnya rejim Soeharto,

memang tidak terbentuk suatu persekutuan politik yang memadai di kalangan grass root;

dan yang kedua, kalaupun ada maka persekutuan-persekutuan itu memang harus dicari

dan ditemukan dalam cerita dan selubung yang lebih besar yakni selubung politik kelas

menengahnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah proses substitusionalisme yang

dimainkan oleh organisasi-organisasi yang lebih menonjol, besar dan vokal terhadap

organisasi grass root yang ada.

Dari Normativitas Hukum ke Normativitas Pembangunan

Jadi tidak dapat dipungkiri, setuju ataupun tidak, salah satu faktor pembentuk karakter

LSM selama Orde Baru yang utama adalah semacam idealisme untuk melakukan

evaluasi normatif terhadap negara. Karenanya di titik ini hukum dan diskursus HAM

kemudian memang menjadi instrumen utama untuk dijadikan sandaran evaluasi itu.

Page 29: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

29

Posisi semacam itu tentu saja dapat dengan mudah dipahami. Sebagai rejim yang baru

terbentuk, Orde Baru membawa persoalan hukum dan kemanusiaan yang kompleks dan

mengerikan: pembantaian jutaan orang, pemberangusan partai-partai dan organisasi

politik, penahanan dalam kamp-kamp tahanan dan penghilangan orang. Dengan demikian

“adalah normal” apabila perhatian orang harus berkisar pada wilayah penataan dan

perbaikan wajah politik dari rejim yang baru terbentuk itu. Dengan kata lain,

mengencangnya dan tampilnya isu HAM dan hukum (hak-hak sipil dan politik) yang

segera memang mengikuti atau boleh dikatakan paralel dengan rejimentasi politik yang

terbentuk pada masa itu.

Barulah setelah masa-masa “pembangunan” ekonomi dan sosial berjalan dan rejim politik

yang terbentuk makin memiliki kekuatan nyata untuk melakukan kontrol dan penindasan

terhadap pembangkang, maka isu HAM dan tuntutan terhadap keadilan menurun dengan

sendirinya. Isu HAM tenggelam dan makin dipinggirkan dalam wacana politik Orde Baru

pada akhir 60-an itu, sementara isu “negara hukum” yang biasanya memang hanya

berfungsi sebagai suplemen dari isu HAM tampil dalam bentuk yang sangat low profile;

karitatif, prosedural, nyaris sama sekali tidak memiliki daya kritik yang memadai

terhadap praktik kekuasaan yang terpusat.

Maka seiring dengan mengencangnya pembangunan kapitalisme Orde Baru yang

tercermin dalam menguatnya peran negara sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan

industri, tuntutan-tuntutan politik yang normatif sekalipun makin mundur ke belakang.

Pada titik ini, negara yang makin kuat mulai menjalankan strategi baru dalam berelasi

dengan masyarakat. Implikasi dari pembesaran kekuasan negara itu sangat terlihat dari

cara bagaimana orang pada jaman ini menilai diri dan perananan LSM serta relasinya

dengan negara.

6 Dikutip kembali dari Iwan Gardono Sujatmiko (2001), “Wacana Sivil Society di Indonesia”,

Masyarakat Jurnal Sosiologi, Edisi 9, 2001.

Page 30: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

30

Ada dua perkembangan penting. Yang pertama, munculnya psikologi subordinat dalam

mendefinisikan peran LSM. Ismid Hadad salah satu yang menjadi tokoh LSM pada

waktu itu menuliskan dan ia mempercayai bahwa untuk menjawab “tantangan Repelita V

yakni bagaimana secara efektif memperbaiki nasib 55 juta rakyat yang masih berada di

bawah garis kemiskinan” selayaknya pemerintah bekerja sama dengan LSM yang

memiliki kemampuan untuk menjangkau golongan miskin.7 Pada titik ini Hadad

kemudian menganjurkan agar LSM sendiri pun mendefinisikan dirinya dalam tingkat

harmonisasi tertentu dengan pemerintah. Konsisten dengan harmonisasi itu, ia pun

meletakkan fungsi LSM dalam tiga kategori yang sangat moderat yakni pertama fungsi

yang komplementer yakni menjalankan proyek-proyek yang tidak dapat digarap oleh

pemerintah; kedua fungsi subsider yakni melakukan peran tambahan untuk melengkapi

proyek pemerintah; dan ketiga fungsi perantara yaitu memediasi komunikasi antara

lembaga birokrasi dengan grass root. Jadi dengan demikian fungsi LSM di sini benar-

benar ditempatkan selaku kepanjangan tangan pemerintah.

Dalam situasi dan modus hubungan yang sangat subordinatif bercampur dengan kerelaan

banyak orang kemudian mengusulkan untuk mengganti istilah ornop yang sering dipakai

waktu itu sebagai terjemahan bebas dari istilah Inggris non-governmental organisation

(NGO) karena istilah “non-pemerintah” di situ dianggap terkesan oposan, terkesan

organisasi tandingan dan pengganti pemerintah. Inferioritas ini rupanya juga seiring dan

seirama dengan keinginan pemerintah sendiri mengingat hal yang sama juga ditekankan

oleh Emil Salim yang waktu masih menjabat sebagai Menteri Negara Kependudukan dan

Lingkungan Hidup. Emil Salim menegaskan bahwa istilah ornop itu lebih berakar pada

tradisi Eropa yang berkesan “against the establishment” sementara di Indonesia peran

NGO “by nature tidak berakar dan tidak berorientasi pada sikap anti-pemerintah.”8

Karakter semacam ini juga disepakati oleh tokoh seperti Dawam Rahardjo ketika ia

memaparkan peran tokoh Dr. Sutomo. Dawam menyebut Dr. Sutomo sebagai pelopor

LSM di Indonesia. Menurut Dawam, berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya

7 Ismid Hadad (1983), “Menampilkan Potret Pembangunan Berwajah Swadaya Masyarakat”,

Prisma, No 4, April 1983, hlm. 3-25.

Page 31: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

31

yang secara tegas berkonfrontasi dengan penjajah, Sutomo malah memilih aktivitas-

aktivitas yang “non-radikal” dan “non-politik” seperti meningkatkan pendidikan dan

kesadaran rakyat dan memperbaiki kondisi sosial ekonomi”.9

Sikap dan pilihan reseptif yang berkembang pada masa itu kemudian memang

mendorong kepada suatu penyakit umum yang diderita oleh kebanyakan orang Indonesia

ketika itu yakni phobia politik. Tidak hanya orang Indonesia, Geoffrey B Hainsworth

yang menempatkan LSM sebagai pihak terhormat dan mentereng yakni sebagai kekuatan

ketiga antara pasar dan negara pun menderita phobia dan menganjurkan untuk phobia

yang sama:10

Kecurigaan terhadap LPSM oleh pejabat-pejabat tertentu mungkin

merupakan hambatan yang lebih sulit disingkirkan guna meluruskan

pelaksanaan operasi di tempat-tempat tertentu dan sehubungan dengan

jenis-jenis fungsi tertentu LPSM harus jauh-jauh menghindari masalah

“politik” dan ia harus berhati-hati mengenai “pemolitikan” kepentingan

kelompok yang dikaitkan dengan mereka.11

Adalah sulit untuk dimengerti bagaimana mungkin orang yang sama yang mengatakan

LSM sebagai “gerakan ketiga” dari pasar dan negara, yang di tingkat jargon hanya tipis-

tipis saja perbedaaanya dengan slogan-slogan untuk gerakan politik seperti Manifesto

Komunis, menganjurkan sebuah praksis yang sangat bertolak belakang dan ironis

“menghindar masalah politik”. Bagaimana mungkin institusi ketiga setelah pasar dan

negara bisa menolak terhindar dari politik? Bukankah dari nama dan posisinya sendiri

pun sudah nama dan posisi yang sangat politis?

8 Lihat wawancara Emil Salim dalam Prisma, No 4, April 1983, hlm. 66. 9 M. Dawam Raharjo (1988), “Dokter Soetomo: Pelopor LSM?”, Prisma No 7, Tahun 1988, hlm.

11-24. 10 Geoffrey. B Hainsworth (1983), “Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan Perataan

Pembangunan”, Prisma No 4, April 1983, hlm. 38-53. 11 Hainsworth, ibid., hlm. 55.

Page 32: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

32

Jadi jelas sebenarnya di sini, ada semacam kekaburan antara sikap intelektual tentang apa

dan bagaimana peran LSM seharusnya dengan perhitungan akan berbahayanya

kekuasaan negara pada waktu itu yang sangat otoriter.

Namun demikian isu “pemolitikan” dan anjuran untuk “jauh-jauh menghindari masalah

politik” itu tidak semuanya didengar dan diikuti oleh semua orang di jaman itu. Di tahun

yang sama, bertentangan dengan Hainsworth dan Hadad, Abdul Hakim yang waktu itu

menjabat sebagai Manajer Eksekutif LBH Indonesia berpendirian berbeda, dan nyaris

seperti mendeklarasikan sebuah partai politik ia menulis:

Golongan militer dan birokrat merupakan kelompok-kelompok sosial yang

terorganisir secara rapi dan mempunyai visi dan ideologi yang relatif

homogen, yaitu ide persatuan nasional. Ideologi persatuan nasional ini

memberikan legitimasi penting bagi naiknya golongan militer dan birokrat

ke panggung kekuasaan politik … Dalam pada itu, kelompok-kelompok

sosial di luar sektor negara umumnya merupakan kelompok sosial yang

kurang terorganisir secara rapi dan secara ideologis tercerai berai.12

Di sini jelas dalam pendirian Hakim, bahwa politik dan perjuangan politik tidak mungkin

disingkirkan dalam aktivitas LSM, bahkan politik menjadi state of nature LSM dalam

pendiriannya, karena ketimpangan dalam akses terhadap kekuasaan antara golongan

penguasa (militer dan birokrat) dengan golongan diluar negara.

Kesenjangan akses tehadap kekuasan inilah yang menurut Hakim melahirkan problem

dasar keadilan. Untuk itu ia kemudian mengusulkan suatu isu yang sama sekali berbeda

dengan diskursus LSM di jaman itu yakni apa yang disebutnya dengan Pembangunan

Hukum yang responsif-progresif yakni “cara untuk mendorong dan mempercepat proses

emansipasi sosial masyarakat di lapis bawah”.13 Dengan demikian di luar usulan dan

ajakan agar LSM bertindak reseptif, menjadi kepanjangan tangan program pembangunan

12 Lihat dalam Abdul Hakim G. Nusantara (1983), “Mencari Strategi Pembangunan Hukum”,

Prisma No. 4 April 1983, hlm. 58.

Page 33: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

33

negara, Hakim justru datang dengan istilah baru yang berbeda dengan wacana dominan

per-LSM-an pada waktu itu.

Melengkapi pendiriannya yang sangat politis dalam melihat peran LSM, ia kemudian

menegaskan keperluan-keperluan baru untuk mencapai emansipasi itu yakni dengan:

pertama, menciptakan kondisi yang memungkinkan kelompok bawah dapat

mengorganisasikan perjuangannya; kedua, memperbesar akses masyarakat bawah ke

lembaga-lembaga peradilan; ketiga, ornop harus meningkatkan peranannya untuk

“menyadarkan hak-hak masyarakat” dan “merencanakan program litigasi baru yang

diarahkan untuk merangsang munculnya “jurisprudensi baru yang responsif-progresif;

keempat, bersama pemerintah membantu masyarakat bawah untuk membangun

organisasi yang mandiri sebagai alat perjuangan kepentingan; kelima, diberlakukannya

peradilan tata usaha negara; keenam, meneliti seluruh keputusan-keputusan peradilan.

Pendirian-pendirian ini menegaskan sisa-sisa kekuatan kritik yang masih ada dari

normative politics yang muncul di era awal Orde Baru. Hanya berbeda dengan Yap dan

Princen yang benar-benar berpatok pada gagasan moralis mengenai hukum dan HAM,

bagi Hakim, hukum dan HAM itu memang mengalami sejumlah perubahan yang

menjadikan ideal normatif itu menjadi lebih radikal dan struktural. Namun jelas,

kehadiran ini membuktikan fakta lain yakni bahwa subordinasi di bawah pembangunan

kapitalisme Orde Baru tidak pula sepenuhnya menguasai LSM di Indonesia di awal 80-an

itu.

Ruang dalam kerenggangan kuasa Orde Baru itu sendiri kemudian makin menemukan

tempatnya yang lebih kondusif sebagai akibat krisis minyak yang terjadi di pertengahan

tahun 1980-an yang memaksa negara untuk mulai membuka sumber-sumber dan

investasi ekonomi lain. Sehingga dengan itu keterikatan dengan faktor internasional

memang menjadi lebih intens sehingga struktur dan relasi ketergantungan Indonesia

dengan lembaga-lembaga keuangan dunia pun semakin terbentuk secara matang. Di titik

inilah faktor baru masuk dalam relasi LSM dan negara yakni faktor internasional atau

13 Nusantara, ibid., hlm. 62.

Page 34: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

34

faktor international community yang pada gilirannya nanti akan sangat menentukan dan

memberikan dimensi baru dalam ketegangan hubungan antara LSM dengan rejim Orde

Baru.

Pada titik ini, dengan perubahan pada aras ekonomi politik nasional dan internasional

tersebut, memang muncul kebutuhan dan tuntutan baru dalam melihat masalah dan

subjek advokasi. Di sini anjuran-anjuran untuk “menjauhi politik” bisa juga dimaksudkan

sebagai upaya untuk mengajak LSM agar lebih terfokus pada isu-isu kerakyatan yakni

keadilan sosial dan kemiskinan. Sehingga dalam beberapa hal “menjauhi politik” dalam

anjuran ini, bisa pula dilihat sebagai anjuran untuk tidak terlibat dalam “politik elite” atau

politik di wilayah infrastruktur negara. Pada titik ini, arus utama yang memang muncul

seiring dengan derasnya wacana pembangunan yang juga dikencangkan oleh pemerintah

adalah wacana mengenai “empowerment” dan gerakan pendidikan penyadaran serta

pendampingan masyarakat, terutama dalam kerangka melihat relasi-relasi yang

memproduksi ketimpangan dalam masyarakat. Kecendrungan ini secara tepat kemudian

dirumuskan oleh Hanmann sebagai berikut:

Kebutuhan reorientasi pembangunan dari yang bersifat top-down ke arah grass

root membutuhkan peran LSM. Di sini meskipun tetap meletakkan peran LSM di

dalam kerangka paradigma pembangunan, Hannam menyebutkan bahwa efek

politik dari peran ini dengan sendirinya pun akan tampak bahwa “kalau kelompok

swadaya terbentuk maka kaum miskin akan lebih terorganisir, lebih sadar akan

perubahan dan tatanan sosial.14

Sebagai kelanjutannya, pada momen ini LSM mendapatkan sandaran ideologisnya yang

kedua setelah “normative politics” sebelumnya. Di luar wacana negara hukum dan

HAM, isu mengenai kemiskinan dan perubahan struktural mulai masuk ke dalam wacana

dominan perjuangan LSM di Indonesia.

14 Lihat dalam Peter Hanmann (1988), “Pengembangan Bentuk Pembangunan Alternatif:

Pengalaman LSM di Indonesia”, Prisma No. 4, Tahun 1988, hlm. 3-14.

Page 35: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

35

Dari sinilah subject matter LSM itu mulai bergeser atau paling kurang menemukan

dimensi terbarunya yakni dimensi ekonomi-politik. Seiring dengan itu, kecendrungan ini

sendiri bertepatan dengan keadaan-keadaan baru di dalam gerakan sosial lainnya di

Indonesia seperti gerakan mahasiwa yang mulai membawa isu-isu kerakyatan dengan

modus komite-komite aksi pembelaan rakyat terutama petani pada masa itu, ditambah

dinamika baru intelektual di kampus-kampus yang terorganisir di dalam kelompok-

kelompok studi dengan ide-ide dan perspektif yang lebih radikal. Pada titik ini benih-

benih untuk tumbuhnya kekuatan politik baru muncul, kombinasi dari keterorganisiran

dan pencarian aktor-aktor perubahan baru serta ideologi perubahan.

Potensi inilah yang dilihat oleh pengamat semacam Liddle dan Eldridge. Eldridge, secara

optimistik tiba pada kesimpulan dan harapan yang sama dengan Arief Budiman bahwa –

dalam kalimat Arief – “LSM telah menjadi saluran yang absah bagi partisipasi sosial dan

politik yang sebelumnya telah dibendung oleh pemerintah.”15 Dengan kata lain LSM

pada erea 80-an itu telah berhasil bergerak go beyond normative politics yang dominan di

era awal Orde Baru dan menghadirkan tantangan tersendiri terutama pada praktik

pembangunan kapitalisme Orde Baru.

Tantangan ini, tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh negara. Pada tahun 1985 keluar

Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang mengenakan kontrol ketat terutama

dalam hal asal-usul pendanaan bagi LSM. Sementara pada tahun 1990 keluar lagi

Instruksi Mendagri No. 8 tahun 1990 (inmendagri) tentang Pembinaan LSM. Inmendagri

tersebut meminta dilakukannya inventarisasi dan pembinaan terhadap semua LSM di

bawah Departemen dalam Negeri serta diberlakukannya kontrol dengan melarang LSM

terlibat politik harus memelihara ideologi persatuan dan melaporkan dirinya ke

pemerintah.

15 Arief Budiman sebagaiman dikutip dalam Philip Eldridge (1989), “LSM dan Negara”, Prisma

No. 7, Tahun 1989.

Page 36: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

36

Perkembangan dan perubahan ini dengan sendirinya menghadirkan warna dan karakter

baru dalam relasi LSM dan Negara di Indonesia secara umum, Eldridge merangkum

ketegangan itu di dalam tabel sebagai berikut:

Matriks: Model LSM Orientasi 1

Kerja Sama Tingkat

Tinggi: Pembangunan

Akar Rumput

2

Politik Tingkat Tinggi:

Mobilisasi Akar

Rumput

3

Penguatan di Tingkat

Akar Rumput

Kerja sama dengan

program-program

pemerintah

Ya Terbatas Tidak

Pembangunan atau

Mobilisasi

Pembangunan Mobilisasi Mobilisasi

Panetrasi Struktur

Negara

Menengah Tinggi Rendah

Hubungan antara

Kelompok-kelompok

kecil dengan LSM

Setengah bergantung Dukungan Timbal

balik

Otonomi

Oreientasi terhadap

Struktur Negara

Akomodatif Perubahan

Diambil dari Eldridge (1989).

Dalam sudut pandang empiris, kategori yang dikembangkan Eldridge di atas tampak

cukup mencerminkan pemetaan posisi dan aspirasi LSM di Indonesia terutama dalam

relasinya dengan negara. Namun demikian, penggambaran semacam ini boleh dibilang

sangat ditentukan oleh cara pandang Eldridge yang melihat posisi dan relasi itu dalam

kacamata dan sudut pandang LSM sebagai aktor utama. Pendekatannya sangat

institusional-behavioralistik. Akibatnya, dengan pendekatan semacam ini, Eldridge

kurang bisa menjelaskan sebab-sebab dan latar belakang mengapa relasi semacam itu

tercipta. Terbentuknya relasi yang panetratif, non-akomodatitf atau non-penetratif atau

akomodatif di dalam LSM yang berbeda-beda dalam banyak hal tidak ditentukan semata-

mata oleh pilihan otonom yang berakar watak genuine LSM itu sendiri, melainkan lebih

Page 37: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

37

banyak ditentukan oleh model mobilisasi dan penerapan kuasa politik rejim Orde Baru

serta watak ideologis dari LSM yang dimaksud.

Dengan demikian, Eldridge di sini kurang memperhatikan aspek-aspek terpenting dalam

politik korporatis negara Orde Baru pada waktu itu serta model-model akomodasinya

terhadap lingkungan di luar struktur negara. Akibatnya, ia cenderung untuk

menghomogenkan watak dan dinamika LSM yang berbeda-beda itu ke dalam sebuah

relasi umum yang non-politis dan non-ideologis. Dilupakan fakta bahwa cara LSM yang

berbeda dalam merespon kebijakan negara juga sangat menentukan terhadap bagaimana

negara merespon tantangan LSM-LSM itu sendiri; artinya harus ditegaskan fakta mana

saja kolaborator dan mana saja penantang otoritarianisme.

Namun demikian, keterbatasan analisis Eldridge ini tentu saja dapat dipahami mengingat

setting analisis tahun 80-an di mana gejolak dan protes kelompok-kelomppok sosial yang

menantang kebijakan negara sendiri pun masih sangat minim. Secara kasar memang bisa

dimengerti bahwa watak LSM secara umum pada era itu memang masih dipengaruhi oleh

diskursus pembangunan dan perpanjangan tangan negara.

Dominasi diskursus pembangunan Orde Baru ini bergeser dan mengalami tantangan yang

signifikan dan memasuki tahap yang kurang dibayangkan oleh analisis Eldridge, baru

terjadi pada akhir 80-an dan awal 90-an. Pada saat itu, aktor pendobrakan terhadap

diskursus pembangunan Orde Baru bertambah makin luas dengan melibatkan kelompok-

kelompok masarakat baru seperti buruh yang menyatu dengan gerakan mahasiswa serta

keterlibatan komunitas internasional yang makin intens dalam isu hak asasi manusia di

Indonesia.16

16 Di awal tahun 90-an harus juga dicatat peran dari kelompok advokasi dan studi yang berbasis

pada kepentingan perempuan yakni Kelompok KALYANAMITRA. Meskipun pada era itu kelompok itu tidak secara langsung dan terbuka menyampaikan program dan aktivitas yang menyampaikan tantangan terbuka terhadap negara (sebagaimana LSM HAM lainnya) namun kelompok ini memberikan sumbangan yang besar, dan yang sangat dini bagi terbentuknya kelompok-kelompok advokasi perempuan pada jaman sesudahnya. Pada masa itu salah satu kegiatan KALYANAMITRA yang menonjol di publik adalah program kampanye menentang perkosaan, selain pengorganisasin studi dan diskusi kritis bahkan cenderung subversif di era itu.

Page 38: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

38

Salah satu batu penjuru yang memperlihatkan secara gamblang pendobrakan itu adalah

dengan munculnya kasus Kedung Ombo di tahun 1989. Perlawanan masyarakat terhadap

kasus ini memperlihatkan tiga hal penting: yaitu pertama adalah bahwa perlawanan itu

secara radikal membalik paradigma kemitraan LSM dengan pemerintah yang pada

awalnya dikesankan sebagai hubungan suka sama suka; kedua, kasus itu juga

menjungkirbalikan paradigma pembangunan Orde Baru yang sangat bergantung pada

fasilitasi dan saran-saran Bank Dunia dan IMF dan; ketiga, kasus ini menjadi pengantar

bagi kemunculan relasi dan pertemuan antara LSM dengan aktor lama perubahan politik

di Indonesia, yaitu gerakan mahasiwa. Dari kasus ini, pengalaman dan kekuatan baru

tumbuh dalam diri LSM di Indonesia. Kritik mereka terhadap lembaga-lembaga

pembangunan dunia yang intens dan keras dalam kasus itu mengantarkan mereka ke

dalam pertautan yang lebih intens dengan lembaga-lembaga internasional, sementara di

dalam negeri persekutuan yang mereka jalin dengan komite aksi dan kelompok-

kelompoik mahasiswa memberikan tenaga baru bagi mereka dalam merespon kebijakan-

kebijkan sosial politik Orde Baru pada waktu itu.

Dari Jaman Pembangunan ke Jaman Hak

Pada tahun 1993, tahun di mana Komnas HAM didirikan, beberapa peristiwa dan debat

penting mengenai LSM sedang hangat-hangatnya berlangsung di media masa.

Ketua Komisi X DPR Markus Wauran, anggota FPP DPR Jusuf Syakir, dan Wakil

Ketua Komisi II DPR Soetardjo Soerjogoeritno secara terpisah di sini kemarin

menegaskan keberadaan LSM yang berorientasi pada kepentingan donatur jelas

melanggar ketentuan Instruksi Mendagri 8/1990. Karena itu mereka minta

Mendagri segera turun tangan.17

Lebih jauh lagi artikel yang sama menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

17 Media Indonesia, 24 Juni 1993.

Page 39: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

39

… tidak ada pihak yang melarang LSM menerima bantuan luar negeri tapi yang

diharapkan [adalah] mereka tidak bekerja demi kepentingan pemberi dana, bukan

menelanjangi negeri sendiri.18

Dana dan donor asing merupakan isu paling sensitif sekaligus paling sering diangkat

dalam setiap konflik dan ketegangan antara negara versus LSM di Indonesia, bahkan

hingga 10 tahun terakhir setelah tahun 1993 itu. Dari isu ini tampak satu hal yang pasti

yakni bahwa ketidakmampuan LSM dalam mengelola dan menggalang dana untuk

dirinya sendiri merupakan the weakest link yang paling diminati untuk dipakai oleh

pemerintah untuk menghantam karakter LSM. Di kalangan pemerintah, terdapat dua

pandangan simultan yakni pertama bahwa hidup LSM bergantung pada donor asing dan

sekaligus – karena itu – pemerintah asing bisa memperalat LSM-LSM tersebut untuk

menancapkan kepentingannya di Indonesia. Menghantam donor asing – yang pada

konteks itu merupakan satu-satunya sumber hidup LSM – jelas merupakan semacam

senjata pamungkas untuk menekan dan mematikan LSM. Yang jadi pertanyaanya di sini

adalah mengapa dan bagaimana mungkin soal donor asing ini dikaitkan dengan LSM?

Pertautan politik antara LSM dan pihak asing sebenarnya telah disinyalir dan dihadapi

oleh rejim Soeharto dan pada waktu itu diantisipasi dengan menerbitkan UU No. 8/ 1985

yang mengharuskan laporan dan kontrol ketat terhadap penggunaan dana asing oleh

LSM. Namun demikian, kekhawatiran dan “kejengkalan” rejim terhadap LSM dan donor

asing dalam konteks itu memang bisa dirujuk dari figur yang memperlihatkan himpitan

kepentingan antara isu-isu yang dibawa oleh LSM yang paralel dengan tuntutan sejumlah

pemerintah asing.

Sebagaimana diketahui, peran dan intervensi lembaga-lembaga pembangunan asing

sebenarnya telah diterima dan bahkan demikian marak di era 80-an. Ini tampak dari

demikian kuatnya wacana pembangunan dan peran bank dunia, IGGI dan yang lainnya

dalam panorama pembangunan ekonomi Orde Baru. Namun demikian pada era tersebut,

bantuan dan hubungan dengan lembaga asing itu masih berjalan dalam satu skenario

18 Media Indonesia, 24 Juni 1993.

Page 40: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

40

semata-mata yakni bantuan atau asistensi pembangunan untuk Indonesia. Artinya dimensi

menjadi tujuan memang adalah pembangunan kapitalisme Orde Baru itu sendiri. Dimensi

inilah yang kemudian berubah ketika Indonesia memasuki era 90-an, yang semula

sepenuhnya ekonomi tanpa syarat politik; kini dukungan itu berubah. Dimensi sosial dan

politik mulai masuk sebagai bagian dalam prasyarat bantuan ekonomi internasional itu,

salah satunya adalah dimensi hak asasi manusia. Atas kehadiran dimensi baru ini, rejim

Soeharto ternyata sama sekali tidak menduga dan tidak memiliki kesiapan untuk

melakukan strategi akomodasi yang seperti apa dan bagaimana untuk menghadapinya.

Oleh karenanya tidak mengherankan apabila ia kemudian mengambil satu-satunya jalan

yang paling kuno dan konservatif yakni kembali kepada pertahanan dan pangkuan

mekanisme strategi partikularisme: ideologi nasional, kepentingan nasional, budaya

nasional, ideologi Pancasila yang dipertentangkan dengan ideal HAM yang dianggap

sebagai ide barat dan asing.

Dimensi baru yang mempertautkan ekonomi dan HAM ini tampak dan menjadi demikian

nyata sebagian justru sebagai akibat dari sejumlah kebijakan nasional Indonesia. Salah

satu dan yang paling menonjol adalah politik keamanan yang opresif di Timor Timur

yang tampak pada Peristiwa Pembantaian di Santa Cruz, Dili 12 Desember 1991 yang

menewaskan sekitar 271 orang.19 Peristiwa itu secara berbalik boleh dikatakan telah

memakan kerapihan politik luar negeri Orde Baru, karena sebagai kesudahannya reaksi

internasional yang demikian besar memaksa Orde Baru untuk mulai memperhatikan

HAM.20 Sebagai reaksinya pemerintah pada waktu itu membentuk semacam tim yang

dipimpin oleh sejumlah perwira militer untuk meneliti pelanggran HAM di sana.21

Momen lain yang juga dapat dirujuk untuk menilai sikap dan psikologi Orde Baru yang

demikian sensitif terhadap kepentingan asing dalam kaitannya dengan HAM dan LSM

bisa dirujuk lagi dalam peristiwa pembubaran kelompok negara-negara donor yang

tergabung dalam IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) karena J.P. Pronk

19 http://www.etan.org/timor/SantaCRUZ.htm. 20 Di tahun yang sama juga Indonesia untuk pertama kalinya bersedia dan diterima menjadi

anggota Komisi Tinggi HAM PBB.

Page 41: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

41

mantan Menteri Pembangunan dan Kerja sama Belanda dianggap terlalu campur tangan

dalam persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia.22

Selain itu salah satu yang juga paling penting dalam pembentukan psike-politik Orde

Baru terhadap HAM dan isu “kepentingan asing” adalah juga tekanan pemerintah dan

parlemen Amerika Serikat yang secara terang-terangan mulai mengaitkan ekonomi

dengan praktik perlindungan HAM. Ini muncul dalam isu seputar pencabutan fasilitas

GSP (Generalised System of Preferences) yakni pengurangan bea masuk untuk produk-

produk Indonesia ke Amerika Serikat. Isu dan ancaman pencabutan GSP ketika itu

berkaitan dengan isu perlindungan hak-hak buruh dan praktik buruh anak di Indonesia.23

Bukan kebetulan juga, bahwa di sepanjang tiga tahun terakhir yakni dari 1990 hingga

1993, gejolak perburuhan di Indonesia memang meningkat secara drastis, yang ditandai

dengan meningkatnya jumlah pemogokan buruh dari tahun ke tahun, sebagai contoh

angka pemogokan yang terjadi di tahun 1993 untuk Jabotabek saja (219) berjumlah lebih

tiga kali lipat dari jumlah pemogokan di tahun 1991 (61 kasus).24 Jadi, memang di sini

terdapat sinergi yang luar biasa antara resistensi terhadap kebijakan perindustrian di

21 Dari sini, konon wacana HAM itu bergulir sedemikian rupa sehingga titik klimaksnya adalah

terbentuknya Komnas HAM pada tahun 1993, yang dilahirkan melalui sebuah keputusan presiden. 22 Aspek-aspek yang lebih rinci mengenai hubungan tekanan internasional dan politik akomodasi

Orde Baru dalam isu HAM, lihat dalam Cornelius Lay dan Pratikno (2002), Komnas Ham 1993-1997: Pergulatan dalam Otoritarianisme, Yogyakarta: Fisipol UGM.

23 Dua tahun kemudian, yaitu di tahun 1995, isu mengenai GSP ini diperluas terutama oleh Human Right Watch yang menyebut halangan-halangan kebebasan berserikat, keterlibatan tentara dalam konflik perburuhan selain isu buruh anak sebagai salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh Perwakilan Dagang Amerika. Lihat Petisi Human Rights Wacth, 14 Juni 1995. Lihat juga dalam http://www.hartford-hwp.com/archives/54b/019.html. Ancaman pencabutan GSP ini segera direspon oleh pemerintah melalui penegasan Menteri S.B. Joedono dalam Media Indonesia, 9 Agustus 1993 yang mengatakan bahwa memang masih terdapat perusahaan yang belum memperlakukan buruhnya dengan baik namun, perusahaan Indonesia tidaklah seburuk sebagaimana yang dibayangkan oleh pihak asing tersebut. Lihat juga dalam, http://www.greenleft.org.au/back/1993/112/112p15a.htm.

24 Untuk ini lihat dalam Nugroho Katjasungkana dan Teten Masduki (1993), “Buruh, Negara, Demokratisasi,” dalam Mulyana W. Kusumah dkk. (penyunting), Demokrasi antara Represi dan Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Jakarta: YLBHI. Dalam artikel tersebut digambarkan peningkatan intensitas pemogokan dari tahun ke tahun sebagai berikut:

Tahun Jumlah Pemogokan 1988 39 1989 19 1990 61 1991 114 1992 251 1993 (Jabotabek) 219

Page 42: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

42

Indonesia yang dilakukan oleh buruh dan LSM-LSM perburuhan dengan perubahan-

perubahan kebijakan luar negeri pemerintahan Eropa dan Amerika.

Dalam sudut pandang pemerintah, tentu saja mereka dengan segera bisa menunjuk

keterlibatan LSM sebagai sebab dan sumber yang meniupkan isu buruh dan HAM hingga

mampir di meja perwakilan dagang Amerika dan forum-forum Internasional. Dengan

demikian, dua “kebencian” tumpah sekaligus: satu kepada LSM sebagai pihak dari dalam

yang – sesuai istilah dalam Media Indonesia waktu itu “menelanjangi negeri sendiri” –

dan tentu saja pihak asing. Pada titik ini tercipta sejenis kombinasi yang aneh dari politik

kambing hitam Orde Baru terhadap LSM atau siapa saja yang dianggap bertentangan

dengan kepentingannya, di mana kadang-kadang sesorang atau LSM bisa dituduh sebagai

“komunis” atau PKI di suatu saat, sementara di saat yang lain pihak yang sama bisa juga

dituduh sebagai antek asing atau pro-Barat.

Fakta ini sebenarnya mengindikasikan dua hal, yaitu pertama jelas bahwa memang dalam

posisi politik, LSM sebenarnya sangat lemah karena dengan gampang dia bisa menjadi

target tuduhan dan stigmatisasi politik apa pun; kadang komunis kadang agen asing,

hingga sekarang. Kedua adalah terbukanya tabir yang lebih penting tentang sikap

ideologis dan pragmatisme Orde Baru, yakni bahwa sebenarnya dalam praktik, Orde

Baru lebih tunduk kepada kepentingan-kepentingan pragmatisnya dalam mengakumulasi

kekuasaan dan uang ketimbang menjalankan suatu proyek ideologi tertentu yang

sistematis dan menyeluruh. Jadi sangat berbeda dengan fasisme Nazi, di mana kekejaman

dilangsungkan paling tidak atas nama doktrin sosial tertentu, meskipun kekejaman Orde

Baru ada pada tingkat slogan yang dinyatakan sebagai “demi menjaga kemurnian

Pancasila” tetapi sejatinya kekejaman itu dilakukan tanpa pamrih ideologi apa pun.

Kekejaman Orde Baru adalah kekejaman telanjang dari kepentingan segelintir rejim yang

dibungkus oleh kebohongan dan hantu ideologi. Ini yang selama bertahun-tahun

terpancang sebagai rejim yang membodohi dan menguasai jutaan orang.

Page 43: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

43

Dalam kerangka ini, sikap Orde Baru yang anti terhadap LSM sebenarnya lebih

disebabkan oleh aktivitas mereka yang mengganggu kepentingan-kepentingan yang lebih

jauh dari akumulasi kekuasan dan uang rejim pada waktu itu. Bukan karena alasan

ideologi tentang “pihak asing” “barat” sebagaimana yang biasa disebutkannya.

Hal lain yang juga memperkuat dugaan di atas adalah fakta bahwa sesungguhnya

kebanyakan kritik dan gugatan LSM terhadap pemerintah dilandaskan atas argumen dan

tuntutan yang sangat normatif dan berbasis hak, bahkan dari kelompok-kelompok

opsosisi yang sering dituduh kiri dan Marxis sekalipun. Ini tampak dalam isu-isu

dominan mengenai hak upah, hak berserikat, hak menyatakan pendapat, hak mimbar di

kampus, dan hak asasi manusia di Timor Timur. Jadi meskipun metode gugatannya

dilakukan dalam aktivitas yang tampak radikal seperti melalui pemogokan, unjuk rasa

dan orasi-orasi publik, namun isi dan tema pokok dari gugatannya tetaplah – secara

ideologis – bersifat sangat moderat. Sehingga memang sangat sulit untuk menemukan

kenyataan yang berarti yang bisa menghubungkan kegitan LSM dengan “ideologi

komunisme”.

Hal lain yang juga harus dikemukakan di sini untuk melihat watak LSM di masa itu

adalah bahwa kebanyakan gugatan mereka di era awal 1990-an lebih banyak merupakan

reaksi atas kebijakan-kebijakan dan prilaku represif aparat pemerintah yang dianggap

melanggar prinsip dan hukum-hukum yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Ini kelihatan

dari kasus-kasus HAM yang muncul di tahun 1993 yang kebanyakan adalah kasus

kekerasan Negara.25

Dengan demikian sulit juga untuk membenarkan tuduhan pemerintah bahwa tuntutan

LSM pada masa itu didasari oleh kepentingan ataupun sikap ideologis tertentu: entah itu

dari kiri entah itu dari Barat, karena sikap demikian itu lahir lebih atas dasar reaksi

kemanusiaan yang spontan terhadap segala kekejaman politik yang tumbuh pada waktu

itu. Dengan demikian harus dikemukakan di sini bahwa pada awalnya dan dari dasarnya:

25 Sebagaiman dikutip dari Hendardi dan Benny K. Harman (1993), “Orde Baru dan

Pembungkaman Pers”, dalam Mulyana W. Kusumah dkk. (penyunting), ibid. hlm. 2-16.

Page 44: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

44

pilihan dan sandaran LSM pada isu HAM sama sekali bukan disebabkan atas dorongan

dan sikap ideologis dan politis tertentu, misalnya saja liberalisme, melainkan lebih karena

dorongan pragmatis yakni karena hanya melalui isu dan himbauan HAM sajalah

kekejaman negara bisa dilawan waktu itu. Jadi tegasnya, alasan isu HAM dipilih sebagai

wahana perjuangan kepentingan bukan karena LSM di Indonesia pada waktu itu

menganut paham liberal terlebih dahulu, tetapi karena isu itu masih relatif lebih gampang

dicerna oleh rejim yang bekuasa.26 Orang-orang seperti almarhum Marsinah dan kawan-

kawan tentu tidak mengerti istilah-istilah semacam liberalisme, “apa itu kepentingan

barat” ataupun GSP, mereka bahkan mungkin tidak perduli semua itu. Yang mereka tahu

bahwa upah rendah, hidup susah, harus protes. Dengan kata lain sikap politik LSM dan

kebanyakan aktivis pada waktu itu memang lebih bersifat “spontan” nyaris anti-

fondasional.

Dengan sumber-sumber rujukan dan koalisi baru itu, secara perlahan makin lebarlah jarak

antara LSM dan Negara. Apabila dulu LSM menerima saja “posisi” sebagai partner dan

perpanjangan program pembangunan nasional, kini mereka bergerak menjauh dari negara

dengan identifikasi diri yang sama sekali lain: civil society. Di sini kehendak yang paling

radikal dalam istilah “non-pemerintah” muncul lagi, tidak dalam istilah tetapi justru

dalam praktik. Di sini pula diskursus lama tentang resi di era awal Orde Baru dulu,

muncul lagi, kali ini dengan penafsiran dan klaim politik yang lebih luas; bukan lagi

sekadar kelas menengah, pengacara melainkan juga meliputi kelompok-kelompok yang

lebih beragam: buruh, kaum miskin kota, petani, mahasiswa, ibu-ibu dan anak.

Dari pemaparan di atas, kita melihat secara jelas bahwa konsepsi dan relasi LSM dengan

negara berubah dari ke waktu sesuai dengan strategi resistensi dan akomodasi yang

mereka mainkan bersama-sama. Dalam kerangka ini, meski kecenderungan dominan bisa

kita identifikasi namun tetap saja kita tidak dapat menggeneralisasi karakter LSM-LSM

26 Istilah dan rumusan ini diambil dari gagasan Judith N. Skhlar tentang “putting cruelty first” dan

Liberalism Without Foundation. Bagi Shklar ada dua jenis Liberalisme: yang pertama adalah yang metafisik yang mencari pendasaran-pendasaran filosofis terus menerus; yang kedua adalah liberalisme yang lebih pragmatis yang bekerja untuk mencari dan menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan konkret seperti kekejaman dan kekerasan. Lihat dalam Skhlar, Judith N. Skhlar dan Yack Bernard (eds.) (1996),

Page 45: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

45

ke dalam kompartemen-kompartemen yang baku sebagaimana dilakukan oleh Eldridge

ataupun Corten. Pada titik ini dengan memahami tantangan, karakter negara Orde Baru,

serta karakter dasar LSM yang sangat berorientasi kosmopolitan di satu sisi sementara di

sisi lain mengklaim pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya sangat lokal dan kasuistik, kita

mendapatkan kenyataan bahwa justru karena hendak secara tegas menetapkan batas

hubungannya dengan wilayah negara, maka LSM justru tidak pernah dapat benar-benar

lepas dari relasi, negosiasi maupun kontradiksi dengan negara. Kritik dan gugatan mereka

dalam suara yang paling radikal sekalipun sekali lagi dalam banyak hal justru

memperlihatkan keterkaitan dan aspirasi mereka terhadap negara.

Dengan kata lain meskipun pada level tertentu, secara politik dan ideologi mereka bisa

mendatangkan tantangan yang signifikan terhadap praktik kekuasaan yang kejam dan

menindas, namun di sisi yang lain, di saat yang sama, peran ini tidak dapat diteruskan

dalam kerangka yang lebih luas dan radikal mengingat batasan-batasan sruktural yang

mereka ciptakan sendiri dalam peran-peran mereka dan dari pilihan independensi mereka.

Pilihan untuk bersikap lebih otonom terhadap Negara, menggiring mereka untuk mencari

sandaran lain yakni kepada donor asing dan komunitas internasional mengingat lemahnya

politik kelas pada masa itu. Pilihan ini, untuk sesaat mendatangkan manfaat dan

efektivitas, karena beberapa tahun kemudian kombinasi tekanan dunia internasional,

krisis ekonomi serta gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan Soeharto dari

kekuasaanya. LSM-LSM yang sebelumnya dalam banyak hal kurang berpengaruh secara

langsung terhadap dinamika penjatuhan Soeharto pada hari-hari “reformasi” itu,

mendapatkan kembali perannya yakni dalam mengisi isi ideal dari “era transisi”.

Fragmentasi dan Pergeseran Keagenan Politik

Setelah era gegap gempita penjatuhan Soeharto redup, kepolitikan sesudahnya dimaknai

sebagai sebidang ruang yang pasti yang hanya bisa diperbarui melalui penataan norma

dan institusionalisasi. Ini berlangusng terutama setelah hampir semua pihak bersikap

Liberalism Without Illusions: Essays on Liberal Theory and the Political Vision of Judith N. Skhlar University of Chicago Press: Chicago.

Page 46: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

46

kompromistis terhadap sisa kekuasaan Soeharto dan menerima pemerintahan B.J.

Habibie, untuk kemudian ikut berkompetisi di pemilu yang ditawarkan pemerintahan

Habibie. Penerimaan itu secara dramatis menginterupsi gairah reformasi yang

sebebenarnya masih memiliki energi untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang

lebih berarti.

Konsensus dan moderasi yang tercipta kemudian terasa makin kuat manakala dunia

internasional yang pada masa Soeharto terkesan lebih dekat kepada kalangan LSM, mulai

mengubah pendiriannya dan melihat pentingnya menjaga stabilitas dan “konsolidasi

demokrasi” terkawal di tangan pemerintah. Dari situ dukungan mereka terhadap pemilu

serta pemerintahan Habibie menjadi faktor yang kuat bagi perubahan relasi LSM dan

Negara kemudian.

Gejala ini secara halus pertama-tama dapat dilihat dalam perubahan kebijakan para donor

terhadap LSM dan pemerintah. Apabila sebelumnya – pada masa Soeharto – banyak

LSM dapat mengakses secara langsung ke lembaga-lembaga donor di negara-negara

donor tertentu, tetapi kini para donor mulai bertindak secara lebih efisen sambil

mendesakkan agenda kerja sama yang tegas antara LSM dan pemerintahan pasca-

Soeharto. Ini kelihatan dari terbentuknya lembaga “Partnership” yang bertindak selaku

“konsorsium” dari dana-dana negara donor terutama negara-negara Eropa.

Pembentukannya menandai tidak hanya pergeseran pola relasi LSM dengan sekutu awal

mereka (komunitas internasional) tetapi juga perubahan dalam sikap dan otonomi mereka

terhadap pemerintah. Apabila dahulu dana diberikan dalam kerangka kritik terhadap

pemerintah maka dengan Partnership dana negara donor diberikan dalam kerangka

“kemitraan” yang mengharuskan kerja sama LSM dan pihak-pihak pemerintah terkait.

Partnership sendiri dibentuk dengan kepemimpinan yang terdiri dari sejumlah pejabat

negara dengan para elite LSM.

Gejala lain yang harus disinggung di sini adalah begitu pemerintahan baru diterima, maka

secara tidak langsung diterima pula logika politik transisionis di mana secara mudah

sejarah politik kemudian dibelah antara masa lalu dengan masa kini. Setelah pembelahan

Page 47: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

47

itu, politik transisi segera diminta mengambil bentuk. Dalam upaya yang terburu-buru itu,

kelompok-kelompok kerja sama baik LSM maupun segenap pihak di kalangan

pemerintah mengambil model-model transisi yang telah tersedia. Ini menghasilkan

pembakuan ganda; pembakuan pertama adalah ketika perubahan politik dibakukan

sebagai penggalan transisi; pembakuan kedua adalah dalam rangka mengisi penggalan

transisi itu Indonesia mengambil model yang sudah baku dari pengalaman Negara lain.

Ini yang kemudian melahirkan semacam objektifikasi politik reformasi yang memiliki

implikasi-implikasi penting yakni: terjadinya pergeseran dari keagenan yang berbasis

kelas ke keagenan partai; dari keagenan yang pluralistik ke keagenan yang tunggal

humanitarian (dari keagenan yang plural seperti buruh petani, mahasiswa menjadi

korban); pergeseran dalam relasi LSM-negara; pergeseran dalam ideal HAM dengan

komunitas internasional.

Fragmentasi dan Relativisme Politis

Pergeseran dalam keagenan politik yang paling penting dan drastis terjadi seiring dengan

pertumbuhan partai politik. Pada mulanya penamaan civil society sebenarnya lebih

berfungsi sebagai penampung dari beragam aspirasi politik tetapi yang mengerucut pada

satu hal, yakni kritik terhadap Orde Baru. Dengan demikian civil society pada dasarnya

lebih merupakan semacam diskursus yang memberikan identitas umum dan demarkasi

politik yakni bagi mereka yang berada di luar garis Orde Baru.

Munculnya beragam partai politik menghapus garis demarkasi itu sekaligus memberikan

identitas baru. Dari sini sebenarnya qua konsep civil society memang sudah mulai

bangkrut. Orang yang semula tergabung dalam sistem identifikasi oposisional terhadap

Orde Baru menggantikan sistem identifikasi menjadi anggota atau warga dari partai

tertentu. Dengan itu horizon keterlibatan politik juga berubah, apabila semula horizon

kepolitikan itu langsung mengarah pada tubuh kekuasaan negara dalam artian yang luas,

maka kini, setelah menjadi anggota partai, horizon politik mengalami keterbatasan akibat

institusionalisasi dan administrasi di dalam partai; ia bukan lagi warga dari politik

oposisi, ia sekarang warga dari partai tertentu. Akibatnya referensinya terhadap politik

Page 48: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

48

pun menjadi berubah. Apabila semula ia bisa mengambil sikap langsung pada kekuasaan

negara maka di dalam partai sikap yang sama harus diperhitungkan ulang karena perlu

memperhatikan sistem kekuasaan dalam partai.

Perubahan ini juga secara relatif menghasilkan gerak kembali kepada ideologi dalam

bentuk partikularitasnya. Dari sini tubuh civil society itu terfragmentasi ke dalam tubuh

kepolitikan yang lebih beragam dan pejal sekaligus. Dalam gerak kembali dan

fragmentasi itu; permusuhan bergeser menjadi persaingan. Dari satu front (civil society)

yang bermusuhan dengan front Soeharto bergeser menjadi persaingan antara beragam

partai dan kelompok politik. Dengan itu, fragmentasi dan ideologisasi sekaligus juga

berarti konsensualisasi. Sejak saat itu, konsep musuh politik bergeser dan digantikan

menjadi pesaing politik.

Dengan demikian pada akhirnya pluralitas ideologis ini sekaligus juga secara unik dan

paradoks menghasilkan relativisme politik. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi

perdebatan mengenai bagaimana politik transisi disusun. Dalam keadaan di mana konsep

“musuh” telah ditiadakan, maka politik dan aspirasi yang radikal diusir dari gelanggang

politik transisi. Relativisme ini juga berlaku bagi cara pandang kebanyakan mengenai

“masa lalu” dan “masa depan” Indonesia. Satu contoh, misalnya, Soeharto direlatifkan

secara unik dengan “mengurangi jasa” tetapi sekaligus dilakukan dengan “mengurangi

bobot kejahatannya” di masa lalu, sehingga akibatnya tak ada satu hal pun yang bisa

dikenakan kepadanya.

Pergeseran dari Keagenan Sosial ke Keagenan Humanitarian

Pergeseran atau gerak fragmentasi ke partai dan ideologi partai secara sosial

mengakibatkan terserapnya komponen-komnponen dalam civil society itu ke dalam

gugus identitas baru yang merelatifkan peran mereka sebelumnya. Akibatnya, muncul

kebingungan untuk menandai mereka yang dahulu berada di dalam marjin civil society

tapi kini berada di dalam partai politik. Untuk mengatasi itu, metabolisme politik dan

Page 49: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

49

sosial di dalam tubuh LSM-LSM menghasilkan suatu proses selektif yang nyaris alamiah

dengan hadirnya kategori keagenan yang baru yakni korban.

Istilah korban menandai sebuah sistem keagenan yang didefinisikan secara residual yakni

dikenakan kepada mereka yang dahulu pernah bersama-sama di dalam civil society,

menjadi korban kekerasan negara sekaligus tetap untuk bergerak di luar sistem

identifikasi partai politik. Dengan demikian, pengalaman kekerasan secara tidak sengaja

dijadikan patokan bagi “keberanggotaan” mereka di dalam tubuh keagenan politik yang

baru.

Kecenderungan ini mendapatkan penguatan sosialnya terutama juga setelah tragedi

kerusuhan Mei menjelang kejatuhan Soeharto. Kerusuhan itu menghasilkan suatu

landscape yang masif mengenai korban manusia yang secara gampang dihanguskan

dalam konflik politik yang juga secara getir dan telanjang terpampang dalam pemahaman

politik orang Indonesia. Dari sini, kejadian itu menegaskan kenyataan yang sering terjadi

dalam sejarah politik Indonesia yakni bahwa politik dan perubahan sekaligus harus

menjadi trauma bagi semua pihak.

Tragedi Mei itu dikonstruksi dalam masivitas yang hampir setara dengan kejadian 65

yang mulai dilupakan, sehingga dengan itu ia secara politis dan sosial bersifat produktif

dalam mentransformasi seluruh sejarah dan persoalan kekerasan negara yang menumpuk

dan terakumulasi menjadi fakta yang tersaji dalam kekinian politik transisi. Dengan itu ia

memberikan warna dan makna baru bagi sejarah kekerasan di Indonesia.

Dalam hal pembentukan identitas politik, rekonstruksi historis ini memang relatif

berhasil. Ini terbukti dari semakin masuk dan terserapnya seluruh eksponen sosial selama

masa reformasi ke dalam sistem penandaan ini, yaitu yang semula bergerak dalam sistem

identifikasi yang beragam yakni sebagai gerakan buruh, gerakan petani, mahasiswa, dan

intelektual mulai berubah dan masuk ke dalam sistem identifikasi yang tunggal yakni:

korban. Terlebih bagi kelompok-kelompok politik korban kekerasan Orde Baru tahun

1965, dalam kondisi di mana partai politik dan fragmentasi ideologis yang terjadi secara

Page 50: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

50

politis bersikap diskriminatif terhadap mereka, maka mereka tidak bisa memasuki sistem

identifikasi primordialnya atau masuk ke dalam partai politik mereka sendiri (PKI

misalnya), sehingga identifikasi politik sebagai korban menjadi satu-satunya sistem

identifikasi yang bisa mereka gunakan untuk memperjuangkan hak-hak politik mereka.

Akibat lebih lanjut dari pergeseran dan penunggalan ke dalam sistem identifikasi selaku

korban ini adalah bergesernya basis dari peran aktor politik yang ada. Aktor-aktor yang

semula berbasis secara sosial dan ekonomi-politik berubah menjadi berbasis hak atau

humanitarian. Dari sini, dapat kita nilai bahwa proses ini secara pas bersesuaian dengan

kecenderungan konsensualisasi dan normativisasi politik transisi yang memang sejak

awal dikencangkan oleh elite-elite kekuasaan baru bersama-sama dengan para Negara

donor.

Dengan demikian reformasi, fragmentasi keagenan dan re-ideologisasi politik yang

berlangsung dirancang dalam alur besar sebagai mistar politik yang mendorong

konsensus normatif serta institusionalisasi. Di sini, sejak awal, persoalan dan tuntutan

politis yang lebih radikal seperti keadilan memang mulai ditumpulkan.

Dengan itu, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa penunggalan identifikasi ke

dalam identitas korban itu tidak bermanfaat atau salah. Sebagaimana ditegaskan pada

bagian sebelumnya, proses ini harus dipahami sebagai implikasi politis dari pencarian

diskursus politik yang bisa dijadikan pegangan bersama setelah sandaran pada diskursus

civil society kehilangan makna politisnya. Selain itu, kehadirannya juga mesti dipahami

sebagai akibat dari kenyataan pahit akan ketiadaan suatu politik radikal yang benar-benar

terorganisir. Lebih jauh lagi, identifikasi ini sendiri memang menjadi mutlak diperlukan

manakala perubahan politik yang ada telah terlanjur didefinisikan dalam matriks transisi

yang baku. Kehadiran korban diperlukan supaya objetifikasi normatif agenda transisi ini

menjadi genap. Dengan demikian, kemunculan diskursus politik ini harus dipahami

sebagai “yang bisa dari apa yang mungkin ada”.

Penutup: Apa yang Tersisa?

Page 51: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

51

Objektifikasi politik transisi berikut seluruh matriks keagenannya, pada akhirnya juga

berakibat dalam perubahan pola hubungan LSM dan Negara secara umum. Perubahan ini

berlangsung oleh karena normativitas transisionis itu kini menjadi kompartemen yang

terbangun dalam koordinat institusionalisasi kepolitikan reformasi yang menjamin

keberadaan baik negara maupun masyarakat. Hak asasi misalnya sudah bukan lagi tema

dalam norma yang dimiliki secara ekslusif oleh LSM tetapi juga oleh negara, terlepas dari

kenyataan bahwa dalam praktik negara lebih kerap mengingkarinya.

Lebih jauh lagi, institusionalisasi itu sendiri mengandaikan adanya penerimaan bahwa

reformasi bahkan perubahan politik secara umum memang sejatinya harus terlokalisasi di

dalam tubuh, dan oleh, negara. Akibatnya, dalam keadaan dan latar belakang di mana

kekuatan-kekuatan di dalam negara tidak banyak berubah, maka agenda institusionalisasi

itu tidak berada di tangan normativitas reformasi yang paling moderat sekalipun. Dengan

kata lain, reformasi dan institusionalisasi boleh dibilang memiliki sifat “menjebak”

karena ia mengambil alih agenda kepolitikan reformasi itu, memoderasikannya dan

mengatur irama serta arahnya.

Dalam keadaan itu, ditambah dengan makin tergerusnya basis legitimasi sosial akibat

kemunculan beragam partai politik, maka pilihan-pilihan politik buat LSM menjadi

sangat terbatas. Dengan itu, betapapun ia memiliki sikap yang keras terhadap negara pada

saat yang sama ia juga tetap mesti tunduk pada pola permainan dan konsensus dengan

negara.

Dengan perubahan dan pergeseran ini, maka meskipun LSM bisa terus menerus

menghidupkan dan mereproduksi klaim lamanya selaku “fasilitator” masyarakat, namun

dalam kenyataan ia sudah tidak lagi memegang dan mengendalikan peran itu. Perubahan

dalam format donor yang disertai ketidaksiapan LSM sendiri dalam mengatur serta

membangun masyarakat basis yang mampu mengurus dirinya secara otonom, ditambah

dengan tawaran yang lebih nyata dari partai politik menjadikan klaim dan basis keagenan

politiknya menjadi tergerus. Sebagian LSM menghadapi gejala ini dengan menaikkan

Page 52: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

52

volume dan frekuensi kritik untuk tetap berarti, sebagian lagi mengubah orientasi dengan

mencoba merogoh kekosongan “hegemonik” pada lubang kekuasaan politik yang oleh

karena pragmatisme yang ekstrem sama sekali kosong intelektualitas. Sebagian lagi

berubah menjadi lembaga-lembaga konsultan pembangunan dan pemilihan umum.

Sebagian lagi banting stir jadi pebisnis bendera partai. Sebagian lagi, sambil menutupi

diri dari kegagalan, membangun organisasi “meradikalisasi diri sendiri” sedemikian rupa

sambil mengutuk dunia tanpa henti.

Selain itu, gejala terakhir yang juga menimbulkan efek penting bagi orientasi LSM dan

pergeseran keagenan politiknya adalah dalam soal perang Irak, isu terorisme dan

fundamentalisme. Kecenderungan dalam konservatisme neoliberal yang memunculkan

berbagai ketegangan baru di dunia, telah melahirkan respon yang berbeda-beda di

berbagai tempat. Dalam konteks Indonesia, terjadi fragmentasi dan gerak kembali kepada

ideologi yang berjalan secara timpang karena hanya diisi oleh artikulasi politik Islam,

pragmatisme dan nasionalisme kuno. Respon terhadap konservatisme neoliberal terutama

terartikulasi dalam politik Islam.

Dari segi idea, kenyataan semacam ini pada dasarnya mendatangkan tantangan ganda

bagi segelintir LSM yang kini masih tersisa. Ia seperti terpojok pada dua pilihan yang

sangat terbatas: berpihak dan meneruskan kerja samanya dengan negara-negara donor

tradisional yang dulu membantunya tetapi yang tangannya juga berdarah dalam perang

Irak atau menolaknya dengan implikasi dan kemungkinan berpihak pada kelompok

fundamentalisme agama?

Di dalam ancaman kehilangan peran dan kekosongan keagenan politik, sejumlah LSM

merespon dengan mengambil bentuk ekspresi politik yang ganjil. Radikalisme yang

disuguhkan kepada diri sendiri mendorong sebagian LSM mengambil pilihan untuk

melakukan koalisi-koalisi setengah hati dengan fundamentalisme agama. Di sini, demi

menjaga identitas, ia mengorbankan esensi politik ideologisnya. Dari sini, kenyataan

bahwa terdapat kebingungan dalam merumuskan sistem identitas baru dalam politik

demokratis yang telah berubah menjadi sangat jelas terpampang.

Page 53: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

53

Bab 2

Kritik Atas Logika Transisi di Indonesia27

Pengantar

Hampir seluruh instalasi kepolitikan yang menjadi aspirasi demokratis di masa otoritarian

telah didirikan di masa kini: partai politik yang bebas dan beragam, pers yang merdeka,

hak asasi manusia serta komisi-komisi negara yang bahkan jumlahnya sudah berlebihan.

Bagi sebagian pihak, demokrasi sendiri bahkan sudah dianggap mulai “membosankan”

sehingga dengan itu mereka sudah mulai beranjak meninggalkan demokrasi dan

mengajukan beragam keinginan baru. Semangat, aspirasi dan dinamika perubahan

seakan-akan sudah tidak diperlukan. Hari-hari reformasi nyaris tinggal kenangan,

semacam the good old days yang manis tapi lapuk.

Kelapukan itu dengan segera dapat dikonfirmasi dengan seluruh realitas hukum dan

politik hukum yang mengisi tahun-tahun belakangan ini, di mana hampir seluruh

peralatan hukum yang selama ini dijejalkan sebagai prosedur yang bisa menjamin

keadilan transisional telah habis terpakai: UU Partai Politik, Pemilu dan Amendemen

Konstitusi. Tanda fenomenal dari keusangan masa reformasi kemudian dapat dilihat

dalam tiga peristiwa, yaitu: pertama, dibentuknya peradilan hak asasi manusia untuk

kasus Timor Leste yang dianggap sukses dengan membebaskan seluruh pejabat Indonesia

dari tuntutan; kedua, dicabutnya Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

27 Bentuk dasar naskah ini pernah diterbitkan dengan judul “Dari Transisi ke Kontingensi: Hak

Asasi Manusia di Era Pasca-Soeharto” dalam Jurnal Dignitas, Vol. III, No. 1, Tahun 2005, hlm. 191-217.

Page 54: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

54

dan; ketiga, tentu saja kematian Soeharto yang sebelumnya telah dilapangkan dengan

pencabutan tuntutan hukum terhadapnya oleh Kejagung.

Masa lalu sudah dikubur, memori tragedi ditutup besi hukum. Pada akhirnya yang tersisa

adalah rayuan untuk semata-mata memandang “ke depan” dan melupakan sejarah.

Seluruh proses dan mekanisme penutupan sejarah serta pengingkaran terhadap keadilan

transisional itu bersifat resmi, sah, karena dilakukan melalui jalan hukum yang

konstitusional yang sesuai dengan tuntutan reformasi itu sendiri. Bahkan dalam hal

pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi, hal itu tampak tragis

dan menyedihkan justru sebagian sebagai akibat manuver sejumlah korban sendiri dan

egotisme segelintir legalis di LSM-LSM yang lebih banyak berfikir demi kepentingan

isu-isu mereka sendiri tanpa mempertimbangkan segi-segi politis dan sensitivitas dari isu

pembantaian tahun 1965.

Dengan kata lain, yang terjadi saat ini adalah kita dibujuk untuk menerima saja tatanan

demokrasi tanpa kritik dan pengingkaran terhadap Orde Baru. Inilah demokrasi without a

cause, demokrasi tanpa pendasaran emansipatif. Di titik inilah sesungguhnya kita

kemudian menemukan deadlock terbesar dalam demokrasi kita, yakni bahwa ia – sebagai

sintesis – dipaksa untuk hidup dalam imperatif yang sama dengan yang mestinya

menjadi tesisnya; sintesis diperosotkan sebagai tesis. Ini yang membuat demokrasi

sekarang tetaplah bukan atau belum demokrasi, karena secara “moral” ia tidak pernah

dimurnikan dari musuh-musuh lamanya.

Maka kini, yang jadi persoalan adalah dalam keadaan di mana seluruh peralatan politik

demokratis yang disediakan dalam matriks transisi itu sudah habis dan menguap, apa

yang masih bisa dilakukan untuk mengisi cause dalam demokrasi sekarang? Sejauh mana

sebuah kepolitikan dengan basis emansipasi masih dimungkinkan?

Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan dua strategi. Yang pertama adalah secara

epsitemik kita mesti mengubah cara pandang terhadap perubahan politik, dalam hal ini

kita harus menolak cara pandang transisionis yang melihat perubahan politik sebagai

Page 55: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

55

bongkahan-bongkahan periode besar: otoritarianisme-transisi-demokrasi-konsolidasi

demokrasi dan sebagainya. Yang kedua, sejauh yang hendak diusahakan politik, maka

yang normatif dan transendental mesti dinomorduakan.

Pembakuan Transisi yang Mematikan Politik

Pandangan dominan mengenai proses demokratisasi dan hak asasi manusia di Indonesia

berpusat pada kombinasi dua tesis besar yakni tesis universalis dan tesis transisionis-

mekanis. Tesis universalis yang berkembang dalam era pasca-otoritarian di Indonesia

pada dasarnya merupakan kombinasi dari ide liberal dan libertarian yakni pandangan

demokrasi dan hak asasi manusia yang menganggap standpoint “the primacy of the

universal over the particular” sebagai sumber utama dan sarana penumbangan kekuasan

politik otoritarian plus anggapan bahwa salah satu tujuan pokok dan objektif dari politik

alternatif otoritarian adalah sedemikian rupa meminimalisasi kapasitas sosial, politik

negara karena dianggap di masa lampau ia merupakan sumber segala bentuk perampasan

hak-hak dan kebebasan individual. Jadi yang satu menekankan universalitas dan yang

satunya menekankan kebebasan individual.

Namun terlepas dari perbedaan penekanan mengenai peran negara dalam distribusi dan

keadilan (negara minimum, versus negara regulasionis), liberal maupun libertarian, sama-

sama bersepakat pada pandangan mengenai individu sebagai pembawa hak-hak dan

mandat hukum yang universal serta tertinggi dan mengabaikan sama sekali kekuatan dari

praksis politik diferensial kolektif (misalnya gerakan buruh, petani, gerakan perempuan,

mahasiswa) di dalam ruang sosial yang mengisi bentuk politik dari ideal universal

tersebut.

Tesis transisionis melihat perubahan politik dan perjuangan HAM sebagai proses dan

prosedur yang baku yang dapat digambarkan dalam model pentahapan politik yang pasti

nyaris matematis, dan terstandardisasi yakni dari non-demokrasi-transisi-dan demokrasi

penuh. Pandangan semacam ini, sangat dipengaruhi oleh gagasan Huntington mengenai

konsolidasi demokrasi dari negara-negara yang mengalami gelombang demokrasi ketiga.

Page 56: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

56

Menurutnya, pada fase ini terdapat problem-problem khusus seperti masalah reformasi

politik militer, mengatasi masalah kekejaman di masa lalu dan pendirian kebudayaan

politik demokratis. Melalui pengamatan itu, Huntington melihat adanya semacam pola-

pola besar dalam gelombang demokrasi. Pola-pola ini yang kemudian cenderung untuk

dijadikan model baku perubahan politik dunia ketiga.

Dalam penerapannya, model dan pembakuan proses politik ini secara apriori meramalkan

bahwa proses-proses dalam politik pasca-otoritarian akan secara naturalistik memang

mengarah kepada pembentukan kepolitikan yang baru yang dengan itu mengandaikan

kebenaran adanya “demokrasi yang penuh” itu memang tersedia secara politik apabila

kita berhasil mengkonsolidasi democratic security.28 Politik dilihat dalam penggalan-

penggalan periodik atau masa antara dari situasi perubahan politik dari masa otoritarian

dan/atau kediktatoran menuju ke arah demokrasi.29 Jadi di dalam pengertian transisi ada

asumsi mengenai tahapan dan spasi dari suatu tipe rejim otoritarian menuju ke arah

“partial democracy” dan kemudian demokrasi penuh.

Trajektori baku transisi ini tergambarkan dalam penjabaran yang lebih rinci melalui

model yang dibangun oleh Pinkney di bawah ini yang untuk beberapa hal memang

melanjutkan saja paparan dari transisionis semacam Huntington.

Tabel: Basis Kelemahan Rejim Otoritarian dan Kemungkinan Pembentukan

Rejim Transisi

TITIK LEMAH REJIM OTORITARIAN

ARAH DAN MODEL TRANSISI YANG MUNGKIN

KONSEKUENSI YANG MUNGKIN TERJADI BAGI

28 Lihat dalam Samuel P. Huntington (1991), Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Grafiti

Pers. 29 Apabila kita mengikuti cara pandang Huntington maka transisi dalam konteks gelombang

demokrasi di seluruh dunia bisa dipetakan dalam tiga tahapan sesuai dengan tiga gelombang demokrasi yang pernah terjadi yakni transisi yang melahirkan gelombang demokratisasi pertama yang terjadi dalam periode 1828-1826 yang secara historis berakar pada Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika; kemudian transisi menuju gelombang demokratisasi kedua dalam kurun 1943-1962, dan yang terakhir adalah gelombang demokrasi ketiga yang dimulai pada tahun 1974 yang dimulai pada masa jatuhnya kediktatoran di Portugal. Lihat dalam Samuel P. Huntington (1991), ibid., hlm. 15-28.

Page 57: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

57

TERJADI REJIM TRANSISI

Aliran-aliran dan perbedaan

dalam tubuh militer otoritarian

Pengunduran diri secara

bertahap dan sistemik

Berkelanjutannya peran militer disertai menguatnya

peran elite sipil.

Keputusan dan kebijakan yang

tidak populer dan tidak efektif

Pengunduran rejim yang

terjadi secara lebih cepat.

Berlanjutnya peran militer,

pembersihan petinggi-petinggi

politik, dilanjutkan oleh peran

elite sipil.

Rejim yang tidak efektif secara

umum.

Mundur di bawah tekanan

permanen

Rejim pengganti menghadapi

warisan permasalahan yang

membuatnya tetap lemah

sedemikian rupa; berlanjutnya

kekuasaan elite sipil dan

peran militer.

Disintegrasi politik dan

administrasi.

Pengunduran secara cepat. Berlangsungnya kekuasan

elite sipil dan militer; namun

rejim demokratis yang

terbentuk hanya memiliki kapasitas yang terbatas.

Disintegrasi ekonomi Pengunduran cepat. Berlangsungnya kekuasan

elite sipil dan militer; namun

rejim demokratis yang

terbentuk hanya memiliki

kapasitas yang terbatas.

Perubahan sosial yang tidak

terkendali.

Variatif Peran militer ataupun elite sipil

yang besar sementara

kapasitas rejim demokratis

yang terbentuk bervariasi

dengan persoalan sosial dan

ekonomi.

Sumber: Pinkney, Robert.(1993), Democracy in the Third World, Buckingham:

Philadelphia, Open University Press, hlm. 160.

Tabel Pinkney mempraktikkan logika linear perubahan politik yang secara keliru

mengasumsikan demokrasi dan sejarah politik sebagai barang padat yang tidak bisa

berubah. Dalam matriks ini, instabilitas dan perubahan dimaknai sebagai semata-mata

Page 58: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

58

kemungkinan dalam otoritarianisme. Sementara dengan otoritarianisme yang dirujuk

adalah bentuk formalnya saja. Kesalahan terbesar dari tabel Pinkney ini adalah bahwa ia

sama sekali tidak mampu mencakup kenyataan misalnya: pertama, instabilitas yang justru

menjadi gejala umum dan ciri utama dalam demokrasi; kedua kemungkinan bahwa

meskipun bentuk formalnya telah dijatuhkan, otoritarianisme masih bisa hidup dalam

bentuk-bentuk tubuh politik yang non-formal.

Inkonsistensi yang sama sebenarnya juga telah ada di dalam pandangan Huntington

mengenai gelombang-gelombang demokrasi, misalnya ketika ia mengajukan Argentina

dan Italia sebagai negara-negara yang mengalami “first long wave democratization” pada

periode antara 1828-1926. Namun demikian setelah terbukti ketika Argentina jatuh –

bahkan dua kali – dalam kediktatoran dan Italia jatuh ke dalam fasisme, Huntington

secara “gampangan” menamakan kejatuhan demokrasi ini sebagai gelombang balik saja.

Ketimbang memikirkan ulang kelemahan dialektis dalam standardisasi teoretisnya dan

mengakui bahwa demokrasi pada substansinya selalu terbuka dan karenanya tidak dapat

dikonseptualisasi secara tertutup, ia malah “menambal” kelemahan itu dengan

menamakan secara sederhana gejala kejatuhan demokrasi itu sebagai “reverse wave”.

Pada titik ini argumen transisionsis ini mencoba menghadirkan semacam ilusi mengenai

sesuatu yang disebut sebagai “demokrasi lengkap dan lestari” yang bisa dicapai apabila

masa transisi berhasil dilampaui dan demokrasi berhasil “dikonsolidasi”. Sebagai

akibatnya, dengan landasan ilusif semacam itu, transisionis biasanya bernegosiasi dengan

pendekatan institusional yang meletakkan agenda politik terbatas pada urusan prosedural

dan penataan infrastruktur formal pasca-otoritarianisme. Dengan begitu, demokrasi bagi

transisionis adalah demokrasi dalam pengertian yang sangat terbatas: normatif,

institusionalis dan sangat prosedural.

Salah satu penerapan pandangan transisionis dapat dilihat misalnya dalam sodoran

mereka mengenai “pola dan isi dari transisi politik”, yang di dalam Huntington

dielaborasi dalam konsepnya mengenai konsolidasi demokrasi, yakni bahwa dalam

rangka memperkuat demokrasi maka diperlukan upaya penanganan terhadap kejahatan.

Page 59: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

59

Pandangan ini juga gagal memahami bahwa bahkan di negeri-negeri di mana lembaga-

lembaga demokrasi yang ada telah dianggap paripurna sekalipun dan telah berdiri lebih

awal, demokrasi masih menghadapi tantantangan-tantangan nyata yang mensyaratkan

pertarungan yang fundamental secara tersendiri sebagaimana terlihat dalam kasus

Perancis di tahun 2002, di mana demokrasi Perancis dan masa depan Perancis sebagai

negeri kebebasan dan hak asasi manusia terancam oleh kemunculan neo-fasisme yang

diwakili oleh munculnya pemimpin neo-fasis Le Pen. Contoh lain yang bisa diungkap di

sini adalah pengalaman demokrasi Amerika yang kini harus menghadapi tantangan global

dan pertanyaan serta kritik mendasar mengenai demokrasi, keadaban publik dan hak asasi

manusia, sebagai akibat kebijakan agresi dan unilateral dari pemimpin politik mereka

sendiri.

Di titik ini, jelas bahwa gagasan yang melihat politik sebagai sebuah fase mekanis di

mana demokrasi dinyatakan sebagai barang jadi yang bisa dipetik secara apriori adalah

ilusi besar. Transisionis melupakan fakta bahwa untuk dapat benar-benar demokratis,

maka demokrasi harus membawakan dirinya sebagai “tidak lengkap”. Sebab kondisi-

kondisi yang memungkinkan demokrasi itu sendiri pada saat yang sama juga selalu

menghasilkan kondisi-kondisi yang merintangi pemenuhan demokrasi itu secara penuh.

Sebagai contoh, toleransi dan kebebasan yang dimungkinkan oleh demokrasi pada

praktiknya juga memberikan kemungkinan untuk hidupnya paham-paham dan partai

yang tidak sepenuhnya menyetujui demokrasi pluralis. Artinya, di hadapan realitas politik

ini setiap agen selalu memegang kewajiban dan mandat politik untuk senantiasa hidup

dalam situasi keterbukaan. Justru, persis manakala muncul niat untuk menutup celah

dalam demokrasi, maka demokrasi akan menjadi bukan demokrasi lagi melainkan

totalitarianisme.

Demokrasi sebagai Perjumpaan yang Partikular dan Universal

Apabila kita melihat demokrasi dan hak asasi manusia sebagai imajinasi terluas dari

pergulatan dan perjuangan politik umat manusia maka dengan mudah kita bisa

Page 60: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

60

memeriksa kesalahan-kesalahan klaim politik transisionis. Yang utama adalah mereka

gagal menafsirkan dan memperoleh pengertian mengenai apa makna dari “the political”

atau “yang politis” yang melibatkan agen-agen sosial, proses “rantai kesadaran” dari

agen-agen30 yang terus berubah dari waktu ke waktu.

Misalnya, dalam konteks penumbangan rejim-rejim otoritarian di dunia ketiga.

Kehancuran dan perlawanan terhadap totaliterianisme di negara-negara dunia ketiga tidak

pertama-tama disebabkan oleh adanya seperangkat ide transendental tentang hak

universal yang secara lengkap dipegang oleh beragam kelompok masyarakat kelas bawah

yang ditindas. Melainkan pengalaman konkret partikular dalam penindasan, disakiti,

dihancurkan martabatnya yang membuat mereka kemudian mencari penalaran

instrumental untuk menghadapi sang rejim. Dengan demikian cakrawala imajinatif dalam

penindasan yang spesifiklah yang menuntun mereka. Bukan pertama-tama pelaksanaan

ide universalitas itu yang mendobrak kekuasan rejim politik itu, melainkan pertemuan

pengalaman penindasan dalam horizon kebersamaan itulah yang menjadi alas bagi

resistensi.

Pengalaman bersama dalam ruang sempit totaliterian inilah yang kemudian membentuk

rantai kesadaran (chains of equivalence) dari aktor-aktor yang berbeda ini. Rantai inilah

yang kemudian secara politik berhasil mengangkat dan mengekspresikan kesamaan serta

mentransendensi beragam identitas partikular dari setiap agen (kaum minoritas, buruh,

petani, mahasiswa, perempuan) ke dalam suatu political demand yang memiliki dimensi

universal. Jadi di dalam proses transendsensi inilah kemudian aspek partikular dari sosial

itu dinegasikan.

Dengan begitu, universalitas (persamaan, kebebasan, dll.) hanya bisa relevan apabila

didefiniskan dan diisi dengan dan dalam kekuatan dari yang partikular. Universalitas

memang memiliki peran tetapi itu hanyalah sebatas sebagai sebuah “tempat kosong”

yang mempersatukan perangkat-perangkat tuntutan equivalensial dari keberagaman agen-

30 Mengenai konsepsi ini lihat dalam Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985), Hegemony and

Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics, London: Verso.

Page 61: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

61

agen sosial di masyarakat. Ia adalah semata-mata “political imaginary” yang hanya

bermanfaat apabila berhasil dipetik dari dunia ide yang dibawa keluar dari buntalan

mitosnya dan untuk selanjutnya diisi dengan praksis politik yang konkret.

Determinasi partikular terhadap yang universal bisa dijelaskan dengan cara yang berbeda

dengan mengambil contoh gerakan perempuan di abad ketujuh-belas sebagaimana

diungkap Laclau dan Mouffe. Menurut mereka, hanya apabila dari momen di mana

democratic discourse atau dalam kasus ini kita sebut saja sebagai political imaginary

(misalnya equality, justice) tersedia untuk mengartikulasikan bentuk-bentuk resisten yang

berbeda-beda terhadap subordinasi maka kondisi-kondisi yang memungkinkan

perlawanan terhadap ketidakadilan menjadi mungkin.

Dari pengalaman gerakan perempuan, keduanya meyakinkan bahwa persamaan dan

kesataraan sebagai democratic discourse yang berdimensi muncul menjadi penantang

segala bentuk ketidakadilan dan subordinasi hanya dengan melalui beberapa proses.

Pertama adanya relasi subordinasi di mana agen (dalam hal ini misalnya perempuan atau

budak) berada di bawah kendali putusan pihak lain (misalnya tuan dan majikan ataupun

suami dalam hubungan keluarga). Pada kondisi ini, ketegangan dan resistensi tidak secara

otomatis muncul. Yang muncul dalam setiap relasi subordinasi adalah biasanya

bekerjanya proses differential position atau the logic of difference. Dalam pengertian

Laclau dan Mouffe dijelaskan sebagai proses identifikasi di mana antara agen satu

dengan yang lain dalam hal ini antara “suami” dengan perempuan, budak dan majikan

dibuka secara jelas. Kondisi ini kemudian berubah menjadi relasi opresi di mana situasi-

situasi subordinasi kemudian bertransformasi menjadi situasi antagonistik sebagai akibat

adanya penafsiran dan pasokan atas makna dari subordinasi. Di titik ini peran poltical

imaginary menjadi signifikan dalam memberikan demarkasi dan identitas politik antara

the oppressor vis-á-vis the oppressed. Kondisi yang ketiga adalah relasi dominasi, di

mana sebagai akibat dari penguatan political imaginary, hubungan-hubungan subordinasi

yang mendasari opresi itu kemudian secara jelas bisa dilihat dan dinilai oleh pihak

ataupun agen-agen yang berada di luar situasi-situasi subordinasi itu. Relasi dominasi

adalah relasi subordinasi yang telah mengalami transendensi dan penafsiran dari pihak

Page 62: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

62

ketiga. Proses inilah yang kemudian memungkinkan pembentukan chains of equivalence

dan perjuangan perempuan menghadapi ketidakadilan menemukan artikulasinya yang

hegemonik dan universal.

Sekali lagi, yang mau ditegaskan di sini adalah kenyataan bahwa “seting universal” atau

katakanlah prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan dan persamaan harus terlebih

dahulu di-imposed sebagai matriks imajinasi sosial atau sebagai instrumen konstitutif

dalam proses artikulasi politik dari aktor-aktor yang plural dan partikular, setelah itu

barulah ia menjadi berarti dalam perubahan politik yang diinginkan.

Dengan demikian apa yang disebut sebagai universal sebenarnya harus diartikan sebagai

relative universality, karena realisasinya sangat ditentukan oleh suatu tindakan politik.

Momentum universalitas adalah sesuatu yang unachievable, ia selalu memprasyaratkan

tindakan pemenuhan. Di titik ini democratic discourse ataupun HAM itu sendiri haruslah

dimengerti sebagai totalitas antara ideal dan tindakan. Keduanya berelasi dalam suatu

proses dialektik yang tiada habis-habisnya. Upaya orang untuk memberi definisi politik,

perluasan makna maupun pemenuhannya terus berkembang dan berubah seiring dengan

situasi-situasi dan tantangan yang ada. Demokrasi, hak asasi manusia serta segala jenis

ideal politik yang pernah disusun orang sebagai political imaginary hingga kini masih

terus menjadi isu dambaan betapapun orang telah berusaha mencapainya; mengubah dan

membetulkan sistem kemasyarakatan, menjatuhkan dan membangun suatu rejim politik,

tetap saja ia tidak akan pernah mencapai situasi fullness.

Demokrasi dan hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan Lefort31 adalah “momen

kosong” atau “penanda kosong” di dalam Laclau, yang untuk mencapi makna politik

terbaiknya diperlukan upaya agar mencapai efektivitasnya bagi perjuangan emansipasi.

Ini bisa secara empiris dilihat dari apa yang dirumuskan orang mengenai hak asasi

manusia pada era pasca-Perang Dunia Ketiga sebagai hasil refleksi atas perang dan

kebiadaban fasisme, bukan masih menjadi ideal dan terus berubah hingga sekarang;

31 Claude Lefort (1988), Democracy and Political Theory, Cambridge: Polity Press.

Page 63: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

63

bahkan ia makin variatif dengan kehadiran jenis-jenis hak baru mulai hak-hak

perempuan, hak-hak minoritas dan masyarakat adat.

Dengan posisi semacam ini maka jelaslah bahwa demokrasi dan perjuangan hak asasi

manusia, sebagai bagian dari suatu perjuangan politik, berjalan sebagai suatu pengalaman

yang terus menerus terbuka dan undecidable. Apa yang universal tampil untuk kemudian

menegasikan identitas partikular. Namun demikian, isi dan pembentukan makna di

dalamnya terjadi hanya melalui dan di dalam pertarungan politik untuk hegemoni, di

mana tuntutan partikular diuniversalisasikan dan tuntutan yang lainnya dimarjinalkan.

Salah satu contoh yang dengan sangat baik digambarkan oleh Laclau adalah mengenai

kembalinnya Peron di tahun 1973. Sebagaimana diketahui setelah kudeta militer tahun

1955, rejim Peron tersingkir dari panggung politik Argentina. Selanjutnya Argentina

dikuasi oleh kuasi rejim militer dan pimpinan politik sipil yang sama sekali tidak

memiliki kapabilitas untuk memenuhi tuntutan-tuntutan rakyat melalui institusi

kepolitikan yang ada. Dengan demikian terjadilah serial suksesi kepemimpinan yang

justru makin lemah legitimasinya dan makin menanggung beban kumulatif kekecewaan

politik rakyat.

Di sinilah kemudian tuntutan politik ini berubah menjadi “the logic of difference” di

mana kelompok-kelompok partikular seperti gerakan buruh, kaum miskin dan

tunawisma, pengangguran bertemu dalam artikulasi yang sama. Pada titik inilah

kemudian dihasilkan momen universalitas, di mana kelompok-kelompok kepentingan

yang berbeda berada dalam suatu wilayah diskursif yang sama – dipersatukan oleh

kepentingan dan tuntutan politik – bukan dipersatukan oleh prinsip metafisik “original

position” ala liberal. Di titik inilah the logic of difference bertransformasi menjadi “the

logic of equivalence”. Proses ini berlangsung sepanjang 10 tahuh lebih yakni antara tahun

1960-an hingga tahun 70-an, sementara Peron sendiri pada saat itu, masih berada dalam

pengasingannya di Madrid. Seiring dengan dan dalam proses de-institusionalisasi yang

kencang inilah kemudian aspirasi Peronis terus berkembang dan mengisi dari jauh

kebuntuan politik yang terjadi saat itu. Peronisme pada akhirnya menjadi satu-satunya

Page 64: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

64

pilihan logis yang memperasatukan barisan popular, ia dengan kata lain menjadi

(counter) hegemonic block yang potensial menggantikan rejim politik yang ada saat itu.

Pada akhirnya di tahun 1973, setelah kemenangan dalam pemilu, Peron kembali ke

Argentina, kali ini bukan sebagai buangan tetapi sebagai presiden yang terpilih

kembali.32 Ia bukan lagi empty signifier atau political imaginary, dia telah menjadi the

eal.

nengah yang tidak pernah dapat dipenuhi

ecara memuaskan oleh rejim politik yang ada.

tan politik ini mungkin saja

erkembang dan membentuk chains of equivalence baru.

r

Kemungkinan dan analisis sejenis bisa juga diajukan untuk konteks Indonesia. Politik

pasca-Soeharto, sebagaimana yang telah berlangsung hingga saat ini sama sekali tidak

memiliki jaminan untuk mencegah kembalinya politik dan aspirasi “Soehartois” atau

katakanlah Orde Baru. Kemungkinan ini, paling tidak bisa terjadi akibat sejumlah faktor.

Pertama, karena konsekuensi politik dari kehadiran kondisi demokrastis sendiri yang

mengharuskan untuk memberikan toleransi kepada perbedaan dan aspirasi politik, bahkan

terhadap Orde Baru sekalipun. Kedua adalah fakta bahwa perubahan-perubahan dan

praktik kekuasan yang berlangsung justru makin menurunkan kualitas dan legitimasi

politik demokratis yang telah diraih sebagaimana terlihat dalam berbagai kasus

penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, seiring dengan dua

kecendrungan di atas, di tingkat yang lain, pada saat yang sama, terdapat tuntutan

partikular dari kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seperti buruh, petani

penggarap, kaum miskin perkotaan dan kelas me

s

Kombinasi dari faktor-faktor tersebut pada tahap yang lebih jauh berkemungkinan

mendeinstitusionalisasikan rejim dan pranata demokratis yang ada, untuk kemudian

menghasilkan sejenis ruang vacuum yang mendelegitimasikan kepemimpinan politik

demokratis apa pun. Sementara pada saat yang sama political demands dari beragam

kepentingan dan agen seperti gerakan buruh, petani, mahasiswa, kamum miskin dan tuna

wisama, kelompopk-kelompok agama, kelas menengah dan terpelajar, terus menerus

tumbuh dan membesar tanpa dapat dibendung. Tuntu

b

32 Lihat dalam Ernesto Laclau (1996), Emancipation(s), London, New York: Verso, hlm. 54-55.

Page 65: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

65

Selain itu dalam situasi di mana partai-partai politik yang ada sama sekali tidak mampu

memberikan jawaban dan akomodasi yang memadai, maka adalah wajar apabila

kemudian massa popular ini kemudian kembali mancari dan melihat Orde Baru sebagai

faktor dan alternatif. Dalam situasi kekosongan semacam itu, “Soehartois” yang pandai

dan teruji akan dengan mudah memanfaatkan situasi ini untuk membentuk hegemonic

lock baru dan kembali ke panggung politik.

an dirinya kembali dari “the empty signifier” dari the “ancient regime”

enjadi the real.

engan dominant discourse mengenai “melemahkan TNI

erarti melemahkan NKRI”.

kelompok politik konservatif yang sedang menguat, yang hanya bisa diselesaikan oleh

b

Situasi-situasi seperti ini sesungguhnya telah mulai berlangsung dan terjadi di depan

mata. Yang kurang dalam proses antagonistik ini adalah upaya “Soehartois” untuk

menemukan titik artikulasi atau pembentukan discourse dominan, yang bisa

mempersatukan seluruh kekuatan politik yang ada dalam suatu political frontier untuk

menghadapi rejim politik saat ini. Apabila ia berhasil menemukan dan membentuk

kesatuan artikulatif ini, maka secara politik ia memiliki kesempatan dan kekuatan untuk

mentransformasik

m

Karenanya di sini sekali lagi hendak ditegaskan, demokrasi bukanlah dan tidak pernah

akan menjadi “barang jadi” atau sesuatu yang “fullness” dan decidable, sehingga dapat

diramalkan dan difasekan sebagai sebuah “historical neccessity”. Demokrasi adalah

“floating signifier” yang terus menerus bergerak seiring dengan tindakan dan pertarungan

politik yang mengisi di dalamnya. Dengan situasi ini, hak asasi manusia pun sangat

bergantung dari proses pertarungan sejenis. Dalam konteks di mana ideal mengenai

“national security” dan “organic state” masih demikian kuat, maka perjuangan hak asasi

manusia yang bertujuan memulihkan hak-hak korban dan menghukum para pelaku, akan

dengan segera berhadapan d

b

Di sini, impunity hanya merupakan reflkeksi dari artikulasi kepentingan militer dan

Page 66: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

66

suatu pertarungan politik baru dengan kekuatan yang memadai.33 Ini hanya sekadar

ilustrasi dari perbedaan implikasi teoretis yang mungkin antara transisionis yang

menganggap demokrasi sebagai fase dengan finalitas ilusif dengan gagasan politik yang

melihat demokrasi lebih sebagai “political imaginary”.

Kondisi-Kondisi Diskursif34 Hak Asasi Manusia di Indonesia

Berlandaskan pemahaman dan kritik teoretis di atas maka dengan segera kita bisa

memposisikan HAM sebagai bagian dari sebuah democratic discourse mengingat

perjuangan HAM merupakan bagian inheren dalam perjuangan demokrasi itu sendiri.

Ideal-ideal dalam perjuangan HAM adalah sekaligus ideal-ideal dalam perjuangan

demokrasi. Dalam konteks Indonesia, apabila kita hendak secara lebih mendalam melihat

sejauh mana relasi HAM dengan tantangan terbarunya maka ada baiknya terlebih dahulu

memetakan “discursive conditions” dari perjuangan HAM di Indonesia.

Untuk itu kita bisa melihatnya melalui sejumlah faktor.

Faktor pertama adalah pembentukan negara dan rejim politik dalam kaitannya dengan

dinamika kapitalisme pinggiran di negara-negara dunia ketiga. Faktor ini membantu kita

untuk melihat sejauh mana pembangunan kapitalis di negara-negara dunia ketiga yang

kebanyakan didukung oleh rejim-rejim otoritarian berpengaruh terhadap pembentukan

dan keberlangsungan watak negara dan kemudian persoalan-persolan demokrasinya.

Banyak pengamat mendefinisikan ketegangan sosial dan politik yang berlangsung hingga

kini merupakan hasil dari berlanjutnya pertentangan antara kepentingan-kepentingan dan

33 Dalam konteks ini kaum transisionis yang – dengan segala hormat – saat ini gigih

memperjuangkan keberlangsungan impunity melalui kritik legal prosedural, gagal melihat dan merefleksikan pengalaman politik bahwa militer dan kepentingan militer hanya bisa dihadapi dan dihadang melalui pertarungan politik yang konkret, sebagaimana tercermin dari pengalaman pertarungan gerakan mahasiswa sepanjang 1998-2000 yang berhasil mengalahkan politik militer dalam RUU Keadaan Bahaya pada waktu itu.

34 Untuk detail tentang hal ini lihat dalam James Putzel (1997), “Why Has Democratisation been a weaker impulse in Indonesia and Malaysia than in the Philiphines?” dalam Potter (eds.), ibid., hlm. 240-269.

Page 67: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

67

perebutan antara faksi-faksi politik-modal domestik berhadap-hadapan dengan faksi-faksi

politik-modal yang bermaksud meletakkan kembali penataan ekonomi di bawah

bimbingan kekuatan-kekuatan multinasional.35 Gejala dan ketegangan ini sebenarnya

telah berlangsung semenjak menjelang jatuhnya Soeharto.

Untuk itu dalam beberapa hal yang substansial, jatuhnya Soeharto harus diartikan sebagai

penyingkiran tiran binaan modal asing yang telah dianggap makin lamban dan inefisien

(korup) serta makin condong menyeret ekonomi dan penataan modal ke tangan

lingkungan-lingkungan terdekatnya sendiri terutama keluarga. Keberatan ini tampak

misalnya dari protes Bank Dunia dan WTO sebagai akibat dari kebijakan industri

otomotif menjelang era kepemimpinan Soeharto yang memangkas pajak dan

diskriminatif demi melapangkan jalan perusahan golongan pemodal kroni untuk

mengelola bisnis tersebut. Ini hanya salah satu contoh. Hal lain yang juga krusial

menyangkut perubahan ini adalah bahwa para pimpinan badan keuangan dunia melihat

ketidakmampuan rejim itu untuk secara sungguh-sungguh memusnahkan inefisiensi

dalam ekonomi akibat korupsi dan “politik palak”, sebagaimana tersebut dalam

rekomendasi Bank Dunia tahun 1997.

Dengan demikian, kejatuhan Soeharto dan dimulainya era pasca-Soeharto di satu sisi

dapat dilihat sebagai implikasi dari ketidakmampuannya untuk memperbarui dan

menyegarkan model pembangunan kapitalis di Indonesia. Artinya dari sudut ini, tidak

heran apabila kelanjutan perubahan sosial dan politik di Indonesia di kemudian hari amat

ditentukan oleh model-model asistensi lembaga-lembaga dan rejim modal Internasional.

Dari sini menjadi jelas, bahwa terlepas dari sejumlah aspirasi dan radikalisme yang

sempat berkembang dan menjadi atmosfir di sepanjang tahun-tahun penjatuhan rejim

Orde Baru tersebut, agenda utama perubahan tetaplah dipegang di bawah kendali dan

kepentingan untuk tetap mempertahankan model pembangunan kapitalis di Indonesia.

35 Untuk ini lihat dalam tulisan Robert Imam (2003) dalam I. Wibowo, Francis Wahono,

Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat.

Page 68: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

68

Di sini politik-ekonomi dan struktur korupsi yang dibangun dan diwariskan oleh

pembangunan kapitalisme era Soeharto dianggap lebih sebagai “tumor”. Soeharto di

masa akhir kekuasanya adalah penyakit akut bagi ekspansi dan penataan baru

kapitalisme, sehingga untuk itu ia harus dioperasi dan dipotong sehingga tidak merusak

keseluruhan tatanan fisik yang ada, dioperasi tanpa perlu mematikan si pasien secara

permanen. Hal ini terbukti ketika pada masa-masa sesudah penjatuhannya, Indonesia

makin bergerak jauh dari mimpi-mimpi kaum radikal mengenai tatanan masyarakat

alternatif. Sebaliknya, makin hari ia justru makin jauh terlibat dan terjebak dalam struktur

ketergantungan.

Pada titik ini, implikasi politik yang terjadi adalah bahwa agenda perubahan politik

ataupun proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia berjalan dan berada dalam

suatu discourse yang sangat terbatas bahkan dalam hal yang fundamental masih sangat

bersifat konservatif . Keterbatasan ini tampak dari tidak terakomodasinya tuntutan aktor-

aktor polititk grass root seperti gerakan buruh dan petani untuk terciptanya struktur yang

memungkinkan perluasan keadilan. Sebaliknya, setting agenda pasca-Soeharto kembali

menyodorkan agenda modernis tentang pembangunan ekonomi yang sama sekali tutup

mata terhadap kegagalan kebijakan tersebut di masa lalu dan mengabaikan keterkekangan

kelompok-kelompok petani dan buruh dalam relasi sosial ekonomi yang tidak adil dan

eksploitatif di bawah model kebijakan tersebut. Lebih dari itu, pergolakan dan tuntutan

otentik gerakan petani dan buruh di masa-masa “reformasi” itu secara tragis diberangus

tidak hanya melalui peralatan hukum dan keamanan yang represif tetapi juga melalui

mekanisme arbitrase dan appraisal yang disponsori oleh lembaga-lembaga donor melalui

makelar mereka yang tersebar di lemabaga-lembaga swadaya masyarakat domestik

(LSM).

Menguatnya seting modernis ini semakin mencolok ketika satu demi satu rejim politik

yang muncul pada era sesudahnya, sama sekali tidak memperlihatkan upaya untuk

mengubah secara signifikan kebijakan ekonomi-politik yang diwariskan olehnya,

khusunya dalam relasinya dengan kapitalisme. Ini terlihat dari absennya kebijakan sosial

alternatif yang memperkuat dan melindungi golongan miskin. Sebaliknya, proses

Page 69: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

69

ketergantungan ini bergerak ke arah yang lebih parah dengan lahirnya sejumlah kebijakan

dan kecenderungan untuk memprivatisasikan secara vulgar dan primitif tidak hanya

perusahaan-perusahaan milik negara, tetapi juga “institusi-institusi yang berfungsi

menjamin kepentingan publik yang luas seperti sekolah, kesehatan atau rumah sakit,

listrik dan air. Lebih dari itu, pergerakan ke arah modernisasi-neoliberal ini juga makin

tampak dari paradigma dan argumen yang berkembang dalam usulan perubahan pasal-

pasal ekonomi dalam konstitusi Indonesia, yang bukannya makin diarahkan untuk

memberikan perlindungan kepentingan publik dari ekspansi pasar tetapi malah justru

meminta keterlibatan pasar dalam segi-segi yang lebih luas. Dari hari ke hari, karakter

social state makin digerus dan dilemahkan.

Dengan demikian, pada titik ini bisa dengan segera terlihat bahwa orientasi perubahan

politik yang berlangsung selama kurun waktu akhir 90-an ini sangat ditentukan oleh

pandangan mengenai “minimum state” yang melihat negara sebagai setan besar.

Reformasi dan demokrasi di Indonesia dimengerti dan dikonstruksi sebagai perlucutan

secara radikal kapasitas politik dan sosial serta ekonomi negara, sebagai satu-satunya cara

untuk memperluas kebebasan politik. Di sini, dalam konteks hak asasi manusia, reformasi

dan demokrasi di Indonesia sebenarnya begitu terpaku pada perluasan negative liberty,

sangat membatasi diri pada isu-isu civil and political rights.

Bahkan dalam beberapa hal tampak kecenderungan untuk mengkontraskan antara

preferensi terhadap isu civil liberties dengan partisipasi dan perlusan keadilan sosial.

Pengkontrasan ini tampak dari pemikiran dan praktik untuk – misalnya dalam

pengalaman reformasi Indonesia – membuat demarkasi yang rigid, misalnya antara

gerakan mahasiswa dengan gerakan buruh dan gerakan rakyat miskin lainnya. Hal ini

secara nyata tampak dari misalnya upaya untuk melokalisir dan manjadikan kampus-

kampus sebagai satu-satunya domain politik reformasi dan membentengi kampus dari

keterlibatan pihak ketiga seperti buruh, petani dan kaum miskin. Sebagai akibatnya

tuntutan perluasan keadilan sosial sama sekali tidak masuk dalam agenda perubahan.

Implikasi ideologis dari praktik ini adalah ia telah mendaur ulang gagasan klasik yang

melihat bahwa ide-ide kebebasan bertolak belakang secara tegas dengan ide-ide keadilan

Page 70: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

70

dan persamaan. Akibatnya, isu civil liberties dianggap incompatible dengan penguatan

emansipasi.

Dari sudut pandang teoretis, pembedaan secara rigid antara isu civil liberties dengan

partisipasi ini sebenarnya berakar dari ortodoksi politik liberal yang menganggap bahwa

ide-ide partisipasi dan equality yang pada awalnya banyak digemakan oleh sosialisme

dianggap sama sekali bertentangan dengan ideal demokrasi (yang dalam konsensus

ortodoks diidentikkan dengan liberal). Ortodoksi ini sama sekali buta terhadap sejumlah

perkembangan dan pergeseran, baik dari pendukung sosialisme misalnya seperti Laclau

dan Mouffe (1999)36 ataupun Miliband (1994)37 yang justru secara gigih membela ideal

demokrasi pluralis, maupun pergeseran yang ditunjukkan oleh liberal semacam Rawls

(2000)38 yang secara komprehensif mencoba mengkampanyekan liberalisme dalam

semangat yang lebih egaliterian.

Juga dalam sejumlah perubahan, isu-isu dalam civil liberties seperti kebebasan berpolitik,

oposisi, pers bebas, meski sering kali diletakkan sebagai prioritas utama dalam suatu

momen – misalnya dalam keperluan menantang politik represif negara otoritarian – bisa

berfungsi untuk dijadikan sebagai landasan awal yang kuat untuk perjuangan politik lebih

lanjut dengan isu-isu perluasan keadilan yang lebih luas. Dalam pengalaman ini sering

kali penjatuhan rejim otoritarian melalui artikulasi ideal civil liberties sering kali menjadi

prasyarat untuk tumbuhnya tuntutan partisipasi dan equality dalam perubahan sosial yang

lebih struktural.

Segi lain yang juga penting dikemukan di sini adalah fakta historis bahwa dalam masa

gejolak, terjadi juga penciptaan demarkasi politik antara kampus/gerakan mahasiswa vis-

à-vis gerakan popular seperti buruh, petani dan kaum miskin lainnya merefleksikan

reproduksi ideologi elitisme Orde Baru yang melihat rakyat banyak dan partisipasi

popular sebagai ancaman terhadap kekuasaan dan kedamaian politik. Dengan demarkasi

ini gagasan mengenai kemungkinan perubahan politik apa pun akan selalu diletakkan

36 Lihat dalam Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1999), op. cit. 37 Ralph Miliband (1994), Socialism For A Sceptical Age, Cambridge: Polity Press.

Page 71: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

71

dalam suatu jalur “normal”, elitis dan tertutup. Jelaslah bahwa sejak awal perubahan

politik pasca Soeharto memang dilakukan dalam suatu “konsensus umum” untuk meng-

exclude-kan gerakan rakyat. Pada titik inilah, suka atau tidak suka, konsensus elitisme ini

sebenarnya secara ideologis cocok dengan kepentingan dan agenda pembaruan yang

didorong oleh kapitalisme internasional untuk mendorong perubahan yang tidak radikal

dan terbatas di Indonesia.

Faktor Kedua adalah faktor struktural, menyangkut aspek historis yang menentukan

pembentukan struktur kuasa dalam, antara negara dan masyarakat serta implikas relasi-

relasi tersebut dalam pilihan-pilihan strategis aktor-aktor. Struktur kuasa di sini dilihat

dalam pandangan Bob Jessop sebagai kapasitas para aktor untuk mentransformasikan

lingkungan sosial dan politik.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa krisis dan perubahan politik serta kejatuhan

Soeharto tidak dapat dikatakan sebagai hasil inversi dari dalam yang memunculkan suatu

tatanan sosial alternatif. Kejatuhan Soeharto juga dipengaruhi oleh sinergi antara koreksi

kapitalisme internasional yang mengusung ide reformasi ekonomi, politik oposisi dengan

agenda yang sangat terbatas yakni suksesi dan tuntutan yang gradual serta krisis

legitimasi dalam tubuh rejim itu sendiri. Dengan kata lain arah dan agenda perubahan

politik di Indonesia juga banyak diwarnai oleh sebab-sebab atau fator-faktor dalam

struktur ekonomi internasional, yang akarnya telah mendistorsi secara historis melekat

pada setiap upaya perubahan di Indonesia.

Ketergantungan dan distorsi ini, bisa dijelaskan melalui pemahaman atas pembentukan

struktur kapitalisme di Indonesia yang ditanamkan oleh kolonialisme Eropa. Sebagimana

diketahui sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia ditandai oleh beberapa ciri. Pertama,

pengintegrasian struktur ekonomi kolonial ke dalam struktur ekonomi internasional

melalui jalur perdagangan Eropa Tengah. Kedua, bahwa kolonialisme Belanda tidak

pernah membangun suatu fundasi industrialiasi yang mapan. Yang dibangun Belanda

adalah struktur perekonomian esktraktif seperti perkebunan, kehutanan dan tambang

38 Lihat dalam John Rawls (2002), A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Pers.

Page 72: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

72

dengan menghancurkan sektor dan kehidupan pertanian tradisional demi memenuhi

tuntutan permintaan perdagangan eksport internasional. Ketiga, bahwa dalam kerangka

mempertahankan hegemoni kolonialnya, Belanda sendiri membangun semacam

faksionalisasi dalam penataan modal di era itu beriringan dengan politik segregasi rasial

yang dikembangkannya yakni dengan membagi-bagi penguasaan modal atas identitas

etnis.

Sebagai akibat dua jenis kebijakan itu, lahir problem struktural dalam sistem dan corak

kapitalisme di Indonesia yakni tidak terintegrasinya sektor agraria dengan sektor industri

sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Eropa kebanyakan, di mana industri

merupakan kelanjutan ataupun evolusi dari perkembangan sektor agraris.

Inkompatibilitas antara sektor agraris dan industri ini melahirkan semacam “kantong”

sosial yang kosong dalam struktur sosial di Indonesia yakni sektor informal dan

kelebihan angkatan kerja yang berlimpah. Inilah yang juga kemudian menjadi salah satu

faktor penentu dalam dinamika kapitalisme di Indonesia. Selain itu, akibat model

kolonial yang tidak hanya menghancurkan petani dan buruh (kelas) tetapi juga

menghancurkan basis-basis ekonomi domestik (faksi modal domestik) yang menjadi

pesaingnya, maka sistem kapitalisme yang diwariskan oleh Belanda adalah sekaligus

kapitalisme yang rasis. Selain itu, ketiadaan kekuatan borjuasi domestik yang diakibatkan

oleh politik adu-dombanya, di kemudian hari mewariskan distorsi baru dalam

pembentukan negara modern di Indonesia.

Ketika kekuasan kolonial itu pergi, ketiadaan kekuatan ekonomi dan gerakan sosial yang

kuat dalam formasi pasca-kolonial mengundang keterlibatan dan kehadiran intensif

kekuatan-kekuatan politik seperti tentara, golongan priyayi dan intelektual. Inilah awal

yang nyata dari fakta dan penjelas dimulainya ketiadaan gerakan dan politik kelas di

Indonesia. Sebaliknya, politik dalam artian negara sudah sejak awalnya berada dalam

genggaman antara golongan tentara, priyai, intelek serta kekuatan asing. Ini pulalah yang

menjelaskan mengapa kapitalisme yang tumbuh di Indonesia adalah kapitalisme yang

dikawal oleh kediktatoran bukannya demokrasi sebagaimana di negara-negara Eropa.

Page 73: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

73

Implikasi politik dari perkembangan ini sangat jelas: yakni bahwa negara modern yang

terbentuk beserta struktur kepolitikannya secara substansial sangat bergantung pada

pendefinisian peran dan kedudukan tentara – ini yang menjadi awal klaim historis tentara

dan justifikasi mereka untuk bercokol dalam politik dan kontrol. Selain itu negara yang

terbentuk juga menjadi sangat berwatak teknokratis dan birokrasi yang tumbuh sebagai

aparatur dari negara modern tersebut berwatak feodalistik. Ini merupakan benih dan cikal

bakal budaya otoritarianisme di Indonesia.

Melalui penjelasan ini, dengan segera kita bisa mengetahui bahwa sumber-sumber

problem demokrasi dan hak asasi manusia kita di masa kini sangatlah akut dan melekat

pada sejarah pembentukan negara modern dan kapitalisme di Indonesia itu sendiri. Ini

pula yang menjadikan agenda demokrasi dan pilihan-pilihan strategis politik demokrasi

di Indonesia menjadi begitu terbatas yakni antara ikut serta kepada kepentingan-

kepentingan kekuatan asing sebagai kelanjutan hegemoni kolonial ataukah bertekuk lutut

di bawah kekuasaan despotis militeristik yang mengandalkan pesona populis dan

nasionalistik atau kesantunan hipokrasi si priyai. Di titik ini, militer dengan klaim

pemegang kesatuan identitas nasional serta kapitalisme internasional yang didukung oleh

perangkat idelogi pembangunan modernis menjadi pihak yang terus menentukan dalam

politik. Mereka merupakan penanda penting dalam pertarungan mengisi makna hak asai

manusia di Indonesia.

Faktor ketiga adalah keterbatasan ideal politik. Proses perubahan yang dialami oleh

Indonesia dikawal dan dipicu oleh suatu gagasan politik yang sederhana dan terbatas,

yakni reformasi. Reformasi adalah discourse dominan yang memang secara politik

berhasil membentuk semacam antagonisme baru dalam politik antara yang “pro-

reformasi” dan “pro-Soeharto”. Reformasi menjadi semacam titik artikulatif dari segenap

politik oposisi yang ada terhadap rejim politik Soeharto. Reformasi memang berhasil

mengikat dan menjadi chains of equivalence dari kelompok-kelompok yang beragam

mulai dari golongan muda, mahasiswa, pelajar ibu-ibu, kelompok Islam, tentara bahkan

birokrat di dalam tubuh pemerintahan sendiri. Sebagai hasilnya, gerakan reformasi

Page 74: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

74

berhasil mengukuhkan dirinya sebagai semacam hegemonic block yang meggantikan

bangunan kuasa rejim politik Soeharto.

Semenjak saat itu seluruh gerakan politik yang terlibat dalam proses transisi menjadikan

reformasi sebagai sumber normatif baru untuk mengukur dan mengevaluasi perjalanan

kekuasaan di masa-masa sesudahnya hingga kini. Dalam konteks kejatuhan Soeharto,

reformasi adalah discourse yang pertama-tama diajukan oleh IMF dan negara-negara

donor sebagai proposal untuk mengatasi krisis ekonomi yang baru melanda. Proposal ini

diajukan paling tidak dalam salah satu rekomendasi dari negara-negara G8.39 Dalam

penafsiran ini, tentu reformasi dimengerti dan dimaksudkan dalam kerangka yang sangat

terbatas yakni perubahan kebijakan ekonomi ala IMF. Jadi reformasi pada awalnya

adalah memang istilah untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia era Soeharto di bawah

bimbingan IMF.

Pergeseran discourse reformasi dari discourse ekonomi semata-mata menjadi discourse

politik baru terjadi setelah adanya tuntutan yang lebih radikal menyatakan bahwa

reformasi dalam arti perubahan kebijakan ekonomi saja tidak cukup, tetapi reformasi

harus diartikan pertama-tama sebagai perubahan politik yang lebih luas. Sebagai jalan

keluar dari krisis – menurut mereka – reformasi haruslah diperluas untuk mengarah

kepada reformasi ekonomi, sosial dan politik.40 Pendirian ini tentu saja mengundang

reaksi yang keras dari tubuh rejim politik itu sendiri. Hartono yang ketika itu adalah

Menteri dalam Negeri, misalnya bersikeras mendesak untuk tidak digunakannya istilah

reformasi karena terkesan radikal.41 Ia sekaligus juga meminta untuk dilakukan

pembatasan terhadap meluasnya discourse itu untuk “jangan utak-atik kepemimpinan

nasional”.42 Permintaan ini tampaknya kemudian direspon dari dalam sendiri, melalui

pernyataan Wiranto yang waktu itu menjabat sebagai Pangab dengan mulai mengajukan

discourse baru mengenai reformasi ketika ia mengatakan bahwa “ABRI mendukung

39 Kompas, 17 Mei 1998. 40 Republika, 19 April 1998. 41 Republika, 19 April 1998. 42 Media Indonesia, 18 April 1998.

Page 75: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

75

reformasi yang konstitusional, gradual dan konseptual”.43 Namun demikian, terlepas dari

ketegangan yang ada, reformasi telah terlanjur menjadi hegemoni yang mempersatukan

seluruh tuntutan politik di masa itu. Ia menjadi titik artikulatif dari berbagai macam

kepentingan dan keagenan politik yang berbeda-beda: IMF, tentara, mahasiswa,

intelektual, agamawan. Hingga pada akhirnya reformasi menjadi political frontier yang

berhasil mengalahkan rejim politik Soeharto.

Perjalanan discourse ini kemudian juga berubah seiring output politik yang muncul,

kejatuhan Soeharto mengubah formasi chains of equivalence yang sebelumnya terbentuk

dan menyatu menjadi mulai terpecah antara mereka yang menerima pengangkatan

Habibie dan antara mereka yang kemudian menolak pewarisan kekuasaan semacam itu.

Di sini reformasi terbelah dalam dua artikulasi baru yakni antara discourse “reformasi

damai” yang banyak didukung oleh kalangan politik Islam yang masih menghendaki

reformasi namun terlebih dahulu menerima Habibie di satu sisi vis-à-vis discourse

“reformasi total” yang melihat politik dalam teori derivatif yakni bahwa karena Habibie

menerima pewarisan politik dari Soeharto maka otomatis Habibie adalah sama dengan

pendahulunya sehingga harus ditolak.

Yang jelas, semenjak saat itu, reformasi sendiri sebagai discourse telah mulai diserap

sebagai bagian dari instrumentasi politik dan ideal terbatas rejim politik baru yang

berkuasa. Perlahan-lahan reformasi kemudian mulai dilepaskan dari keterkaitannya

dengan gerakan politik di luar negara. Pada titik ini aspek artikulatifnya mulai

dilenyapkan. Dan seiring dengan proyek institusionalisasi dan formalisasi politik yang

kemudian berlangsung, reformasi sebagai political frontier kemudian redup; ia tinggal

menjadi bagian dari retorika kosong kepolitikan pasca-Soeharto. Ia memang berhasil

menjadi titik pijak penggulingan rejim politik Soeharto, namun dalam banyak hal yang

substansial ia tidak berkemampuan untuk melakukan pembaruan yang signifikan dan

memadai.

43 Republika, 19 April 1998.

Page 76: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

76

Pada akhirnya terbukti bahwa political frontier yang terbentuk dan bertumpu pada

reformasi memang sangat menekankan dan melulu mengarah pada reformulasi elite

politik. Sehingga setelah proses itu berlalu, terdapat kepercayaan untuk menyerahkan

penataan politik yang terbentuk kepada prosedural politik formal yang berorientasi

modernis. Proses kepolitikan pada era pasca-Soeharto ini secara mentah diarahkan pada

legalitas dan dilepaskan atau bahkan dihindarkan dari upaya untuk melanjutkan

pertarungan politik dan pembentukan frontier baru. Sebagai akibatnya, kepolitikan yang

terbentuk sama sekali gagal merepresentasikan kebutuhan-kebutuhan dan isu-isu yang

mendasar dalam masyarakat seperti keadilan dan kesetaraan. Hal lain yang kemudian

terpinggirkan sebagai akibat dari kuatnya formalisasi politik adalah partisipasi politik

yang emansipatoris.

Ini adalah salah satu sebab mengapa dalam proses perubahan ini, banyak kelompok pada

akhirnya memilih untuk kembali pada ideal lama mengenai politik komunal. Formulasi

dan pembakuan politik yang berlangsung secara intens, menutup secara abortif

pergulatan dan konflik sosial yang tercermin dari krisis demi krisis sebelumnya. Inilah

yang mengakibatkan konflik-konflik tersebut pada akhirnya lebih memilih jalan komunal.

Batas-Batas Ekuivalen Politik

Dengan melihat discursive conditions di atas maka kita bisa melihat beberapa faktor yang

sangat menentukan dalam pembentukan dan pertarungan democratic discourse dan hak

asasi manusia di Indonesia pada era pasca-Soeharto.

Pertama adalah bahwa pergulatan demokrasi dan hak-hak asasi manusia di Indonesia

sangat ditentukan oleh ketegangan-ketegangan dalam pembangunan kapitalisme di

Indonesia; yang sangat bergantung pada regulasi kapitalisme internasional, negara yang

intervensionis, disertai dengan kelemahan-kelemahan struktural dalam tubuh industri

nasional dan aktor-aktor dalam gerakan sosialnya. Ketegangan ini juga melibatkan

persaingan warisan kolonial antara faksi-faksi bisnis domestik yang selain selalu lemah

berhadapan secara politik dengan negara juga termakan secara akut dalam persaingan

Page 77: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

77

dengan isu etnisitas. Oleh karenanya, tidak heran bila hingga saat ini pun pembangunan

kapitalis di Indonesia masih terus dibayang-bayangi oleh persoalan rasial selain soal-soal

ketimpangan lainnya.

Kedua adalah bahwa sebagai akibat dari situasi-situasi di atas, perubahan politik rejim

Soeharto sebenarnya hanya berhasil memuaskan kebutuhan demokratis yang sangat

terbatas yakni pada isu-isu seputar kebebasan politik dan institusionalisasi infrastuktur

politik yang baru. Kepentingan untuk mencapai kebebasan yang maksimum pada tahap

tertentu memang sangat bermanfaat dan efektif untuk menjadi democratic discourse

dalam upaya menggantikan rejim politik otoritarian, namun pada tahap selanjutnya

keterbatasan isu ini menjadi relatif ringkih terutama dari agenda neoliberal yang

dikencangkan oleh kapitalisme internasional. Orientasi pasar yang radikal yang disertai

dengan tindakan permanen untuk memangkas peran-peran negara lebih banyak

dimanfaatkan oleh korporasi-korporasi yang bermaksud menguasai sumber daya secara

privat. Pada titik ini, meski perluasan kebebasan berhasil diraih namun perluasan

keadilan gagal diakomodasi.

Ketiga, dengan kegagalan perluasan keadilan dan tertutupnya negara dari akses

partisipasi popular, krisis dan konflik sosial gagal memanfaatkan perubahan yang ada

untuk menghasilkan “negosisasi” dan rekonsiliasi, dan berlanjut dalam bentuk-bentuk

konflik dan kekerasan komunal. Di sinilah gerakan sosial di Indonesia dimanipulasi, di

mana arah dan tujuan gerakan mereka diubah sedemikian rupa sehingga gagal mencapai

target yang sebenarnya dan mengalir dalam konflik dan tragedi di antara mereka sendiri,

sebagaimana terjadi dalam banyak kasus kerusuhan sosial di berabagai tempat di

Indonesia di masa-masa krisis hingga masa pasca Soeharto ini.

Keempat, manipulasi logika perubahan sosial yang mendasar terjadi dalam bentuk

menguatnya politik agama dan fundamentalisme agama. Gerakan konservatif ini bukan

hanya menunda gerak demokrasi ke arah yang lebih progresif, ia bahkan telah diarahkan

untuk melawan dan membunuh demokrasi. Ini yang membuat demokrasi Indonesia tidak

Page 78: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

78

pernah menemukan formatnya yang matang sehingga aspirasi-aspirasi dalam wilayah

sosial tidak pernah juga bisa dituntaskan secara maksimal.

Keenam, dari segi keagenan, formasi politik pasca-Soeharto ditandai secara jelas dan

pertama-tama oleh perubahan relasi kuasa yang semula sangat bersifat monolitik dan

sentralistik, berpusat pada negara menjadi tersebar dalam gugus politik baru yang

beragam. Penyebaran relasi kuasa ini dengan sendirinya melahirkan keagenan baru dalam

kepolitikan Indonesia baik dalam tubuh negara sendiri maupun dalam wilayah society.

Salah satu realitas muncul – untuk menunjukkan fenomena ini – adalah berperannya

raja-raja kecil, bekas-bekas birokrat, laskar-laskar dan bentuk-bentuk paramiliter dalam

kepolitikan nasional yang memperlihatkan fakta bahwa negara tidak lagi menjadi

pemegang otoritas represif satu-satunya. Dengan demikian, apabila kita menerima logika

bahwa emansipasi selalu mengikuti di mana kuasa bermuara, maka pembebasan dari

politik agama, rasisme, pelecehan terhadap kebebasan perempuan, intoleransi menjadi

agenda yang sangat penting di masa pasca-Soeharto ini.

Kesimpulan

Dengan realitas ketegangan dan kontradiksi ini, maka jelaslah bahwa setiap transisi

secara mendasar mencerminkan situasi-situasi dialektis di mana demokrasi lebih banyak

berlaku sebagai continuum relative justice yang menempatkan pembaru secara terpaksa

harus tetap hidup bersama dengan kekuatan-kekuatan yang berasal dari rejim lama dan

dipaksa untuk berada dalam situasi ketidakstabilan yang ringkih sebagai akibat dari

berlangsungnya strategi kontestasi dan antagonisme yang terus menerus satu sama lain.

Oleh karena itu, demokrasi tidak berperan dan tidak akan dapat dilekatkan dengan istilah

“transisi”, demokrasi adalah kontingensi: sensitif terhadap perubahan, sangat bergantung

pada tindakan dan bergerak seiring manuver-manuver politik yang dilakukan setiap agen.

Refkleksi antagonistik berbagai kekuatan dalam transisi sebenarnya bahkan implisit

diakui misalnya oleh deskripsi transisionis semacam Hayner (1994) yang ketika

menjelaskan karakter, cara kerja serta respon rejim politik yang ada dari komisi-komisi

Page 79: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

79

kebenaran di berbagai negara, secara tidak langsung justru membuktikan bahwa proses

politik dari rejim otoritarian tidak pernah dapat digambarkan dalam suatu model yang

seragam dan baku, setiap negara bergulat masing-masing dengan tantangan dan

kontradiksi politik yang muncul secara khusus.44 Ataupun penjelasan awal dari Graeme

Simpson mengenai perbedaan kerja antara komisi kebenaran di Afrika Selatan dengan

Chili maupun Jerman Pasca-PD II sebagai akibat dari konteks dan warna kepolitikan

yang berbeda antara keduanya.45 Perbedaan ini sebenarnaya secara jelas mengindikasikan

aspek partikular dari klaim perjuangan universal hak asasi manusia.

Pandangan yang sama juga bisa kita perlakukan di Indonesia dengan melihat kegagalan

upaya penyelesaian sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jelas tampak

bahwa persoalan ini adalah soal bagaimana mengambil bagian dalam pertarungan politik

yang terus menerus, yang hingga kini pun masih belum bisa terselesaikan. Periode yang

disebut orang sebagai periode transisi – kalaupun ada – mungkin telah berlalu lama dari

sekarang dengan meninggalkan peroblem-problem kepolitikan “transisinya” yang masih

terus membayang dan menantang di depan mata kita. Ini sekali lagi membuktikan bahwa

transisi sebenarnya bukanlah suatu konsep yang tepat untuk menunjukkan keadaan

demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia tidak dapat

diperiodesasikan dan disebut dalam penggalan. Ia meta-stable untuk pergulatan terus

menerus. Ia tidak mengenal rekonsiliasi melainkan antagonisme.

Dengan situasi ini maka jelaslah setiap upaya perjuangan demokrasi dan hak asasi

manusia mensyaratkan suatu situasi “awas” yang permanen. Ia membutuhkan sensibilitas

mutlak. Sensibilitas ini tersebar dalam dua kebutuhan: sensibilitas dalam arti memahami

faktor dan agen-agen baru yang plural dan partikular di satu sisi, serta sensibilitas dalam

arti stamina untuk terus menerus bersedia menghadapi tantangan baru di sisi yang lain.

44 Lihat dalam Priscilia B. Hayner (1994), “Fifteen Truth Commissions - 1974 to 1994: A

Comparative Study”, Human Rights Quarterly, Vol. 16. No. 4. 45 Lihat dalam Graeme Simpson (tanpa tahun) “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika

Selatan: Beberapa Pelajaran Untuk Masyarakat dalam Transisi”, paper tanpa tahun dan penerbit.

Page 80: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

80

Dalam kebutuhan sensibilitas baru ini, ada baiknya juga kita bersiap untuk memasuki

suatu democratic discourse yang baru yang menghendaki kita untuk secara tegas

membangun suatu demarkasi baru dengan posisi keagenan yang juga baru. Di sini

sensibilitas kontingensi ini sangat berguna misalnya untuk memahami gejala

komunalisme dan fundamentalisme yang berkembang belakangan ini yang disatu sisi

memang mungkin saja dihasilkan oleh politik komunal domestik, namun di sisi yang lain

pembiakan fundamentalisme ini sendiri juga harus dipahami sebagai respons terhadap

ekspansi globalisasi neoliberal. Universalitas konvensional tidak memiliki kepekaan

untuk melihat gejala ini sebagai respon terhadap persoalan yang lebih besar, dan

cenderung memberi label pada gejala ini sebagai gejala keterbelakangan semata-mata. Di

sini mau tidak mau kita harus sepakat dengan apa yang disebut oleh Johan Galtung

dengan autisme politik neoliberal, yang melihat kemunculan-kemunculan fanatisme,

regionalisme dan sebagainya semata-mata sebagai kesalahan para penganutnya dan

dilepaskan sama sekali dari peran kesalahan politik Barat di banyak negara dunia ketiga.

Sensibilitas ini pada gilirannya mendorong kita untuk mencari dasar baru dalam rangka

splitting the difference, menyisihkan agen-agen lama yang usang yang dahulu mungkin

saja pernah bersekutu dalam chains of equvalence lama dalam menjatuhkan Soeharto

(neoliberal, fundamentalis, rasis). Yang kedua, mencari suatu artikulasi hegemonik baru

yang mampu mempersatukan kelompok-kelompok sosial baru, mentransformasi

kepentingan dan aspirasi partikular untuk dijadikan ground gerakan yang berwatak

solidaritas baru. Sehingga dengan demikian, di satu sisi perjuangan HAM sendiri dapat

melepaskan diri dari ikatan tradisionalnya dengan hipokrasi “politik double standard”

negara-negara adikuasa, sementara di sisi lain ia juga mampu mentransformasi ideal

partikular yang berkembang di tingkat domestik untuk memasuki isu dan front yang lebih

luas. Di sini kita harus memilih dan menentukan strategi baru untuk mempertemukan

keprihatinan lokal yang ada dengan modus solidaritas global yang saat ini berpotensi

besar dalam menantang dominasi globalisasi neoliberal. Dengan mentransformasikan dua

kecenderungan ke dalam suatu political frontier yang baru, perjuangan HAM di

Indonesia tidak hanya akan menyumbang pada upaya perlindungan dan pemenuhannya di

Page 81: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

81

tanah air tetapi juga menyumbang pada pembentukan solidaritas dan keadilan global

yang baru.

Juga dengan fakta bahwa sementara agen-agen yang mengklaim sebagai sumber normatif

konvensional gagasan HAM seperti PBB dan Amerika Serikat tengah mengalami krisis

besar di dalam dirinya, maka sebenarnya perjuangan HAM di Indonesia dan di seluruh

dunia sebenarnya ditantang untuk memasuki arena baru. Kita diberi kesempatan untuk

merumuskan dan mendefiniskan agenda perjuangan HAM itu dalam suatu discourse yang

lebih matang dan otonom. Di sini pula terletak kesempatan baru untuk negara-negara

pasca-kolonial seperti Indonesia untuk mentransformir dasar-dasar moralitas HAM yang

sebelumnya lebih banyak diwarnai oleh pengalaman dan trauma perang dunia kedua,

menjadi HAM dengan dasar-dasar dan moralitas dari pengalaman serta pengharapan

perjuangan demokrasi emansipatif di Indonesia sendiri.

Page 82: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

82

Bab 3

Ketegangan dan Dinamika dalam Diskursus Politik Transisi

Pengantar

Untuk menghadapi, mengubah dan benar-benar hijrah dari politik otoritarian, suatu

masyarakat membutuhkan peralatan yang kompleks dan tak terbatas. Pengalaman

perubahan politik di berbagai negara memperlihatkan bahwa sebuah transisi yang paling

radikal sekalipun, baik negara-negara pasca-kolonial seperti Amerika Latin, Afrika dan

Asia, maupun di negara-negara Eropa Timur tidak pernah bisa menemukan formulasi dan

bentuk yang tuntas, penuh dan absolut. Sensasi perubahan radikal muncul pada

momentum tertentu, biasanya pada saat di mana rejim otoritarian mencapai titik

terlemahnya. Namun sesudahnya impian demokrasi harus segera dikonkretkan ke

hadapan pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat itu membangun dirinya secara

lebih baik dan menegasikan watak lamanya? Artinya demokrasi dan perubahan politik

ternyata tidak dapat diselesaikan sekali jalan pada momen itu juga.

Hal ini sebenarnya normal terjadi, sejauh kita berhasil dalam memahami karakter-

karakter pokok perubahan politik. Biasanya momentum yang hadir dalam pertarungan

politik “transisi” memang berhasil mengubah salah satu pilar dari bangunan sosial

struktur otoritarian yang ada, yakni dalam segi aktor atau agen. Namun demikian struktur

sosial dan politik otoritarian bukanlah bangunan yang berdiri di atas fondasi tunggal. Hal

tersebut hidup dan direproduksi oleh pertalian yang kompleks dari relasi-relasi kuasa

yang terjalin antara para aktor dan institusi. Hal itu juga diperkuat oleh reproduksi non-

material lainnya seperti: ideologi, kebudayaan dan bahkan mentalitas tertentu. Artinya

Page 83: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

83

aktor hanyalah salah satu tampilan dari struktur ini. Di luar itu, otoritarianisme atau apa

pun namanya masih bisa bekerja dalam mekanisme dan relasi yang kokoh. Penjatuhan

sebuah rejim otoritarian – meski bahkan diakhiri dengan menghukum secara mutlak sang

rejim dan keluarganya sekalipun (sebagaimana terjadi di Rumania ) – tidak secara serta

merta mengakhiri bangunan otoritarian secara keseluruhan. Dengan kata lain penggantian

sebuah rejim otoritarian – apakah melalui cara transplacement, replacement ataupun

transformasi sebagaimana dimodelkan oleh mimpi Huntington – sama sekali tidak

menjamin perubahan watak yang lebih mendasar dari suatu susunan kepolitikan

otoritarian. Susunan kepolitikan baru dari rejim-rejim pasca-otoritarian menyediakan

pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai bagaimana menyusun batasan-batasan antara

peradaban politik baru dengan politik lama? Bagaimana mempertahankan kemajuan dan

memperluas secara terus-menerus keadilan yang substansial?

Menjawab persoalan-persoalan di atas, Indonesia menempuh jalan yang tidak

meyakinkan. Untuk menjawab pertanyaan tentang meneruskan demokrasi dan

memperluas keadilan, Indonesia menjawab dengan rutinitas pemilu multi-partai, slogan

antikorupsi, otonomi daerah dan ketidakjelasan program ekonomi. Sementara untuk

menjawab persoalan demarkasi otoritarianisme dan demokrasi dikembangkanlah wacana

“how to deal with the past?”, sebagai semacam rumusan baku persoalan transisi.

Rumusan ini seakan-akan menjadi semacam simpul yang mempertautkan segala masalah

pasca-otoritarian dan dianggap dapat memberikan arah untuk menyeret perjalanan

kepolitikan ke arah demokrasi yang sebenarnya.

Dari pertanyaan inilah kemudian publik Indonesia disodorkan pada dua paket

mekanisme, yakni bahwa kejahatan kemanusiaan rejim otoritarian di masa lalu

diselesaikan melalui sebuah mekanisme politik dalam Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi ataukah diselesaikan melalui jalur peradilan. Cara yang pertama didasarkan

pada pengalaman negara-negara pasca-kolonial di Amerika Latin dan Afrika. Sementara

cara yang kedua lebih banyak didasarkan pada pengalaman-pengalaman pasca-perang

dunia kedua dan pengalaman negara-negara bekas Eropa Timur. Pertanyaannya di sini

adalah apakah benar atau sejauh manakah dua mekanisme ini – baik komisi kebenaran

Page 84: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

84

ataupun peradilan dan penghukuman – memang mampu benar-benar memberikan

semacam fondasi baru yang mengukuhkan demarkasi politik dari yang lama ke arah

peradaban politik yang baru?

Untuk menjawab pertanyaan ini dua hal mesti tersedia di sini. Pertama adalah gambaran

yang tepat mengenai persoalan latar belakang dan karakter-karakter dasar dari apa yang

disebut sebagai kepolitikan lama itu – yang kejam, otoriter, korup, despotis. Kedua

adalah kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki, baik komisi kebenaran maupun

peradilan dan penghukuman dalam menghadapi dan menjawab pertanyaan yang

bersumber dari latar belakang dan karakter-karakter dari soal kekejaman serta

otoritarianisme yang pertama di atas. Keduanya harus diperbandingkan sedemikian rupa

untuk meneliti kompatibilitas antara satu dengan yang lainnya.

Akar Kekejaman: Munculnya Negara Otoritarian

Eropa adalah salah satu tempat di dalam sejarah di mana drama dan tragedi kemanusiaan

terpenting dan terdahsyat pernah berlangsung. Sebelum Karl Marx mengungkap

kehancuran manusia akibat kapitalisme dan industrialiasasi awal, Eropa sebelumnya telah

mengalami abad-abad penuh peperangan yang panjang dan bertubi-tubi, dominasi

kegelapan monarki absolut, inkuisisi gereja Katolik, hingga fasisme modern NAZI dan

belakangan pergolakan di Eropa Timur. Negeri-negeri kecil di belahan batas mediterania

seperti Turki dan Yunani telah pula mencicipi tragedi yang sama: perang perbatasan

berlarut-larut, bahkan di Yunani perang saudara antara golongan kiri dan golongan kanan

yang didukung Amerika, memecah belah dan memakan korban yang besar di negara itu.

Pengalaman-pengalaman dalam menempuh tragedi demi tragedi inilah yang barangkali

membuat Eropa, terutama Eropa Tua (Jerman, Perancis, Belgia) memiliki sikap skeptis

terhadap perang-perang baru yang belakangan ditawarkan oleh negara semacam Amerika

Serikat dan Inggris dalam kasus Afghanistan dan Irak.

Bukan hanya itu, perjalanan sejarah panjang juga yang barangkali menghantarkan Eropa

berada dalam semacam kepekaan yang sangat tinggi terhadap kekerasan. Ada semacam

Page 85: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

85

refleksi umum yang telah mengkristal, yang memberikan sejenis moralitas tertentu untuk

memandang modus-modus kekejaman sebagai bukan bagian yang patut dari kehidupan

masyarakat manusia.

Refleksi semacam ini tercermin tidak hanya dalam pandangan politik orang Eropa secara

umum, tetapi juga tampak dari pembangunan pemikiran sosial dan politik di kalangan

intelektual Eropa hingga masa kini. Habermas misalnya, pernah menegaskan bahwa

pandangan sosial intelektual di Eropa pasca-Perang Dunia Kedua memang dipengaruhi

secara sangat kental oleh tragedi Holocoust. Tragedi itu memberikan dimensi baru yang

benar-benar berarti bagi kebanyakan orang Eropa yang tercermin dari bagaimana

kemudian mereka memandang politik, negara dan kekuasaan, serta tentang bagaimana

membentengi masyarakat terhadap bahaya kekejaman dan keberulangan kekotoran

semacam itu, sambil terus tetap menjaga kebebasan dan pluralisme.46 Refleksi ini yang

memberi petunjuk kepada kita bagaimana Eropa dalam hal substansial sebenarnya telah

menemukan akar kekerasan dalam dirinya dan berupaya untuk keluar dari belitan akar

itu. Seperti generasi muda Yunani sekarang yang berhasil memandang politik dan

perbedaan ideologi secara lebih “santai” sebagai hasil dari kesadaran dan pengetahuan

bahwa banyak saudara dan keluarga mereka di masa lalu telah terbunuh sia-sia akibat

perang saudara yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat dalam rangka

membantai golongan kiri di sana. Pengetahuan ini mendatangkan ketenangan

(rekonsiliasi) dan kedamaian umum, karena akarnya telah diketahui dan dilampaui.

Intelektual di Indonesia masih meraba-raba dan kesulitan untuk mampu menjejakkan

semacam fondasi dan refleksi baru dalam kepolitikan di Indonesia sekarang agar bisa

keluar dari rantai kekerasan dan belenggu kekejaman di masa silam. Sementara generasi

baru di Indonesia, belum bisa setenang dan sesantai kawan muda segenerasinya di

Yunani. Salah satunya disebabkan karena ketidakberhasilan kita di sini dalam

melepaskan diri dari belitan akar kekejaman masa lalu. Namun di luar kegelisahan itu,

dalam kerangka mencari batas dan pusaran akar kekejaman, ada dua tulisan penting yang

46 Untuk ini lihat dalam Detlef Hoster, Habermas: An Introduction, Philadelphia: Penndridge

Books, 1992.

Page 86: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

86

mesti dibahas di sini. Yang satu berasal dari pendapat sejarawan Asvi Warman Adam dan

yang satu lagi berasal dari ilmuwan politik Daniel Dhakidae.

Dalam menelusuri akar kekejaman masa lalu, Asvi mengemukakan argumen yang sangat

penting. Ia mengajukan kemungkinan cara pandang pertama yakni cara pandang anti-

fondasional, bahwa dalam penelusuran ini tidak penting untuk mencari “akar” atau

pendasaran dari rangkaian kasus-kasus kekejaman yang telah terjadi. Di sini diandaikan

bahwa kekejaman itu lebih didasarkan atas alasan-alasan faktual yang contingent, tidak

berada dalam suatu struktur relasi tertentu, dan oleh karenanya yang ada hanya kasus-

kasus kekejaman, tidak ada akar kekejaman. Cara pandang yang kedua yakni cara

fondasional, justru melihat sebaliknya, diasumsikan bahwa kekejaman ini berakar pada

suatu praktik dan struktur rejim politik tertentu. Oleh karena itu, penelusuran akar

kekejaman itu harus seiring dengan pembentukan suatu rejim yang spesifik.47

Bertolak dari dua pandangan ini, Asvi sendiri kemudian mengajukan usulan untuk

melihat kekejaman itu melalui penggabungan sudut kasus per-kasus dan rangkaian

sekaligus. Ditilik dari usulan ini, sebenarnya Asvi secara tidak langsung meletakkan

dirinya pada argumen yang pertama (non-fondasional), sebab dengan mencampurkan

cara pandang yang menekankan rentetan kasus dengan yang fondasional, maka

sebenarnya Asvi telah meletakkan aspek yang fondasional sebagai bagian dari rentetan

kasus-kasus belaka. Dengan begitu secara tidak langsung ia sedikit merelatifkan asumsi

akan adanya dan penulusuran mengenai akar kekejaman di Indonesia.

Namun yang menarik adalah apabila diperhatikan secara teliti, sesungguhnya terdapat

kejanggalan kecil dalam alasan mengapa ia tiba pada usulan untuk menghindari

pencarian akar kekejaman itu. Kejanggalan itu adalah bahwa di titik ini, ia tidak

mengemukakan argumen konseptual atau historis untuk mendukung usulan dan

pilihannya itu. Yang dilakukannya adalah mengajukan alasan yang dilandasi oleh

47 Lihat dalam Asvi Warman Adam, “Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah

Periodisasi dan Cara Pengungkapannya”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi (eds.), Pencarian Keadilan di Masa Transisi, Jakarta: ELSAM, 2003, hlm. 229-251.

Page 87: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

87

pertimbangan yang lebih bersifat pragmatis dan strategis-politis. Asvi mengemukakan

bahwa:

Jadi, kalau memang tidak bisa diawali dari tanggal 1 Oktober 1965 sebagai akibat

respons politik dari kalangan gerakan politik Islam garis keras dan militer, maka

dapat muncul pada tanggal 5 Juli 1959. Sepanjang periode 5 Juli 1959 sampai

Oktober 1965 itu juga terjadi tindak pelanggaran HAM, yang antara lain dilakukan

oleh kelompok kiri. Jadi, PKI dan underbouw-nya melakukan aksi sepihak dan

lain-lain dengan menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan persoalan yang

dihadapi oleh Taufik Ismail dan kawan-kawannya di kalangan budayawan.48

Dengan argumen ini, maka sebenarnya Asvi bukan lagi menempatkan usulannya dalam

dua pilihan sebelumnya (kasus per-kasus dan non-fondasional ataupun fondasional), ia

justru sebenarnya mendasarkan argumennya pada posisi yang lain lagi, yakni argumen

kuasa (power). Pilihannya untuk menolak mencari akar kekejaman ke dalam sebuah rejim

politik didasarkan atas pandangan relativisme bahwa “toh ada sedikit-sedikit kekejaman

yang sama di rejim-rejim yang lain, meski kekejaman tahun 1965 memang berat, tetapi di

tahun sebelumnya golongan kiri juga melakukan pelanggaran HAM”, sehingga dengan

begitu tantangan dan penolakan dari sementara pihak menjadi patut dipertimbangkan.

Kedua, Asvi lebih memberatkan aspek “balancing of power”, yang tampak dari

kalimatnya yang menyatakan “akibat respons politik dari kalangan gerakan politik Islam

garis keras dan militer”. Jadi kekhawatiran bahwa apabila ditetapkan tahun 1965, tahun

awal Orde Baru sebagai awal untuk menelusuri akar dari kekejaman seterusnya, maka

kelompok politik Islam garis keras dan militer akan menentang sedemikian rupa,

sementara dua kekuatan ini adalah kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh

dalam eksistensi politik Indonesia kontemporer.

Asvi sendiri kemudian tidak menjelaskan secara eksplisit mengapa kedua kelompok ini

mesti menentang? Apakah karena lebih didasarkan pada perseteruan politik-ideologis

semata-mata sehingga kalau pengungkapan dimulai pada tahun 1965 maka akan dirasa

kurang fair? Ataukah karena alasan lain, yakni kekhawatiran akan kebenaran yang

Page 88: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

88

terungkap yang akan menguak siapa-siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab

terhadap tragedi 65 itu dan apa motif sebenarnya?

Dari sini Asvi agaknya kembali kepada argumen perimbangan lagi. Ia akhirnya

mengusulkan agar pencarian akar kekejaman itu dimulai sejak lahirnya Dekrit Presiden 5

Juli 1959 dan berakhir pada bulan Mei 1998. Untuk ini ia berargumen bahwa pilihan ini

diambil karena:

Pertama, pada tahun dikeluarkannya Dekrit Presiden itu menandai Demokrasi

Terpimpin di mana kekuasaan mulai memusat pada negara, bukan pada rakyat.

Kedua, diperlukan adanya ketulusan dari berbagai elemen nasional untuk

menekankan pentingnya rekonsiliasi sebagai bukan ajang balas dendam.49

Dengan dua argumen ini, maka pada akhirnya Asvi sekali lagi menegaskan dua hal, yakni

bahwa akar kekejaman itu dapat dicari dari titik di mana di Indonesia terbentuk praktik

kekuasaan otoritarian. Kedua, proses pencarian dan pendefinisian akar kekejaman itu

sakarang harus dilakukan dengan memperhitungkan aspek power yang bekerja dalam

kelompok-kelompok politik yang ada hingga sekarang di Indonesia. Dengan demikian

bagi Asvi penemuan kembali akar kekejaman itu sejak pagi-pagi sekali adalah penemuan

yang sudah dinegosiasikan atau direkonsiliasikan. Di titik ini harus diterima pandangan

realis bahwa sejarah sekali lagi lebih ditentukan oleh relasi dan konfigurasi kuasa yang

konkret dalam masyarakat daripada sekadar perjalanan fakta yang murni dan tak

tersentuh.

Namun sekali lagi, penunjukkan ini bukan tanpa masalah. Walaupun barangkali benar

bahwa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno memenuhi kriteria tipikal sebagai

sebuah rejim otoritarian, namun mempersamakan rejim ini dengan sebuah rejim bengis di

bawah Soeharto tentu akan mendatangkan masalah dan pertanyaan tersendiri.

48 Ibid., hlm. 236. 49 Lihat Asvi Warman Adam dalam Kasim dan Riyadi, ibid., hlm. 236-237.

Page 89: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

89

Barangkali benar ada sejenis kepemimpinan politik yang menuju kepada otoritarianisme

di dalam Demokrasi Terpimpin, tapi dari sudut relasi dan dampak-dampak kuasa yang

lebih luas jelas terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dan mendasar antara era

Soekarno dan Soeharto. Di dalam Demokrasi Terpimpin memang benar terdapat

kekerasan dan pelanggaran kebebasan dasar seperti pemberangusan partai politik dan

aspirasi kebudayaan. Namun demikian Soekarno dan Demokrasi Terpimpin bukanlah

golongan yang memulai sebuah tradisi pembantaian massal dan pembunuhan politik. Jadi

di titik ini, apabila dipersamakan akan mendatangkan masalah tersendiri terutama dalam

segi kebenaran konseptualisasi politik. Namun demikian dengan argumennya yang

kedua, Asvi memang menganjurkan kita untuk tidak terlampau ketat dengan kategorisasi

kerangka konseptual mengenai rejim dan tipe rejim politik tersebut. Dengan argumen

kedua itu ia sepertinya lebih menyarankan untuk memulai rekonsiliasi itu bahkan dari

konsep sehingga meski dari segi kedahsyatan, tragedi 65 memang adalah tragedi yang

banyak memakan korban, namun toh dia menganjurkan untuk mencari akar kekejaman

itu bukan hanya dari situ tetapi dari tahun 1959.

Argumen mengenai tahun 1959 dan akar kekejaman ini, secara tidak langsung ditolak

oleh Daniel Dhakidae. Seperti menjawab Asvi, Dhakidae menegaskan kenyataan historis

dan watak politik yang melatar belakangi alasan-alasan Dekrit 5 Juli itu. Di mana di

dalam kasus ini, Soekarno tidak dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindakan

yang otoriter. Karena menurut Dhakidae:

… lahirnya Dekrit 5 Juli 1959 pada dasarnya karena Presiden Soekarno mendapat

pengaruh dan tekanan yang hebat dari kalangan militer … Kendati dengan Dekrit

Presiden, namun itu bukan berarti pula kemenangan Bung Karno sebagai

pemimpin negara atas rakyatnya. Memang Bung Karno bersikap sangat keras

terhadap kekuatan militer DI/TII. Namun kekerasan Bung Karno lebih karena

tekanan kalangan Angkatan Darat.50

50 Dhakidae dalam Kasim dan Riyadi, ibid., hlm. 267-268.

Page 90: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

90

Jadi berbeda dengan Asvi, Dhakidae tidak melihat 5 Juli 1959 sebagai titik awal

munculnya negara otoritarian yang menjadi akar pertama kekejaman di Indonesia.

Meskipun di situ Dhakidae memang mengisyaratkan bahwa benar terlihat adanya pihak

utama yang memang telah mulai bertindak mengawali kecenderungan-kecenderungan

otoritarian yakni militer. Sehingga dengan itu, implisit dikatakan olehnya bahwa

sebenarnya tidak ada persoalan pertentangan dan alasan ideologis atau paling tidak

alasan-alasan perbedaan politik dan aspirasi ideologis di dalam masyarakat bukan

merupakan latar belakang yang paling kuat dalam menyebabkan munculnya

pemberangusan dan kekerasan politik terhadap golongan Islam pada waktu itu. Bukan

Soekarno yang berkehendak melakukan pemberangusan politik itu, melainkan militer.

Akibatnya, dengan sendirinya Dhakidae memang lebih mengajak kita untuk mencari titik

awal yang lain, bukan di tahun 1959.

Untuk menentukan secara cermat kapan dan di mana akar kekejaman dimulai ia

kemudian mengajukan 5 kriteria untuk menentukannya. Pertama, bahwa kekejaman itu

dilakukan dalam cara yang sistematis, dilakukan dalam intensitas tinggi, dilakukan

dengan target yang dipilih untuk keperluan politik tertentu. Kedua, kekejaman itu

dilakukan oleh state apparatus yang didukung oleh sayap-sayap organ di bawahnya

(institusionalized crime). Ketiga, bersifat massive consequences against the people

melibatkan pelaku dan korban yang massal. Keempat, menghasilkan asymetric relations

between the perpetrators and victims, di mana penghancuran pertama dilakukan oleh

negara dengan dukungan kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat, sementara

sesudah proses ini kekuatan yang kemudian muncul di dalam tubuh negara digunakan

untuk menghancurkan kekuatan masyarakat lain secara umum. Kelima, kejadian tersebut

berhubungan dengan isu keadilan dan hukum.

Jadi berbeda dengan Asvi yang lebih tertarik untuk menetapkan garis dalam spektrum

periodisasi historis, dan memang hanya selintas memberikan indikasi politik mengenai

munculnya praktik otoritarian sebagai akar kekejaman, Dhakidae memberikan semacam

bantuan kategorisasi politik yang jauh lebih memadai untuk menentukan kapan dan di

Page 91: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

91

mana akar kekejaman itu dimulai. Terlepas bahwa mungkin ukuran ini dibuat dalam

suatu strartegi berfikir post factum.

Namun demikian, sebelum berangkat lebih jauh dengan katagorisasi Dhakidae ini, ada

beberapa persoalan substansial yang perlu kita bahas dari apa yang dipaparkannya.

Pertama, agaknya Dhakidae mempersamakan “cara dan teknis kekejaman” yang

disebutnya pertama sebagai identik dengan cara dan teknik kekejaman yang dilakukan

oleh Nazi. Namun apabila kita perbandingkan dengan kenyataan tahun 65, identifikasi ini

akan menghadapi satu soal yang serius. Teknik dan cara kekejaman yang dilakukan oleh

Nazi yang sistematis, memilih dan terencana itu dilakukan oleh sebuah rejim politik yang

telah berdiri secara utuh dan kokoh. Jadi praktik fasis itu diproduksi oleh aparat di dalam

sebuah rejim yang terkonsolidasi, sementara dalam tragedi 65 – meski jumlah korban

yang muncul menyerupai kedahsyatan holocaust – kekejaman dan kekejian itu tidak

dilakukan oleh sebuah rejim yang tengah berkuasa dalam hal ini rejim Soekarno. Justru

yang menjadi korban dari kekejaman sistematis itu adalah rejim politik itu sendiri.

Artinya, dari sudut pelaku, kurang tepat apabila dikatakan bahwa aparat dari suatu rejim

yang terkonsolidasilah yang melakukan semua itu. Dengan begitu, kategori pelaku di sini,

dalam konteks 65 haruslah dicari dalam relasi-relasi yang lebih kompleks dan luas yang

melibatkan penalaran sejarah dan geopolitik internasional pada waktu itu.

Kedua, dengan penjelasan Dhakidae itu, kita bisa mengambil sedikit kesimpulan

mengenai praktik dan sejarah politik di Indonesia. Kekejaman dan kegilaan fasistik

muncul tidak sebagai semacam praktik yang didasarkan atas semacam ideologi organis

ala fasisme Hitler, melainkan lebih didasarkan atas semacam “pilihan rasional” pragmatis

untuk keperluan menghancurkan sebuah rejim dan golongan politik. Artinya di sini

terjadi semacam ketidaksesuaian antara ideologi politik (misalnya untuk melaksanakan

Pancasila secara murni dan konsekuen) yang dibangun untuk melegitimasi kegilaan itu

dengan praktik politiknya sendiri (pembantaian dan pemenjaraan secara sewenang-

wenang). Selain itu kenyatan ini memaparkan kepada sejenis fakta yang penting, yakni

bahwa ternyata dalam hal tertentu para pelaku dan inisiator pembantaian 65 telah

mempraktikkan kekejaman yang lebih sadis dari Nazi sendiri, karena bahkan Nazi

Page 92: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

92

membutuhkan sejenis legitimasi ideologis yang rapih dan ketat untuk bisa melakukan

pembantaian itu, semantara di Indonesia kekejaman luar biasa seperti itu terjadi “hanya

demi” memenuhi kebutuhan memusnahkan sebuah rejim politik.

Dengan demikian pada titik ini, makna terpenting dari mencari akar pelaku adalah:

pertama, melakukan pelacakan dari mana dan bagaimana “teknik dan cara” serta

teknologi kekejaman fasisme itu diturunkan dan “diidealkan” dalam benak orang

Indonesia pada waktu itu. Para transmitor dan inisiator dari teknik kebiadaban inilah yang

mestinya dilihat sebagai pelaku utama. Kedua adalah melacak alasan, kepentingan serta

motif dari pelaku-pelaku. Di titik ini, persoalan mengenai siapa pelaku harus melampaui

hubungan-hubungan pelaku di tingkat aparat negara, dan menyentuh aspek keterlibatan

kekuatan-kekuatan asing yang bermain dalam konteks geopolitik penjatuhan Soekarno

pada waktu itu. Di titik ini, sangat masuk akal untuk meneliti kemungkinan bahwa

inisiator utama dari pemusnahan secara sistematis terhadap golongan kiri di Indonesia

harus dilihat dalam konteks perang dingin, di mana pihak luar yang sering disebut-sebut,

seperti CIA, menyumbangkan peran cukup sentral dalam membangun inisiatif-inisiatif

dan bantuan kepada pihak militer di dalam negeri untuk melakukan pembantaian-

pembantaian itu.

Namun demikian, dengan meneliti kriteria Dhakidae yang pertama (metode dan cara

fasis) dengan kriterianya yang kedua (institutionalised crime), maka memang sekali lagi

kita melihat sejenis inkonsistensi, karena dalam konteks Indonesia metode dan cara fasis

itu tidak secara merta dilakukan oleh sebuah institutionalised crime yang diorganisir oleh

rejim penguasa, melainkan justru diorganisir untuk menghancurkan sebuah rejim yang

berkuasa. Namun demikian inkonsistensi dapat dengan segera dipahami apabila sekali

lagi, dua ciri itu kita letakkan dalam konteks kesejarahan yang konkret. Dalam pandangan

ini, pengalaman tahun 1965 memang memperlihatkan bahwa penggunaan metode dan

teknik fasis dilakukan sebagai sebuah langkah lanjut untuk menghabisi dan

memusnahkan kekuatan golongan-golongan politik tertentu. Hebatnya, itu digunakan

bukan oleh perintah dari rejim yang secara de facto berkuasa, namun dilakukan oleh

unsur-unsur politik yang menentang rejim yang berkuasa. Inilah yang oleh Dhakidae

Page 93: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

93

disebut sebagai simpul yang pertama dari kejahatan kemanusiaan di Indonesia, yakni di

mana banyak kekuatan politik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, tiba pada

kesepakatan yang brutal untuk menggunakan kekejaman tertinggi menghabisi lawan

politik. Di simpul pertama ini, korban utama adalah golongan kiri dan pengikut

Soekarno.

Kalau sekiranya semua kriteria di atas kita pakai untuk membedah dan

mengklasifikasikan seluruh tindak pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, maka

dengan sendirinya tidak satu pun peristiwa yang bisa menyamai apa yang telah

dikerjakan oleh rejim politik Orde Baru sejak Oktober 1965 … Peristiwa tersebut

tidak saja telah melahirkan ketegangan kehidupan sosial-politik. Lebih dari itu,

terdapat pula implikasi yang berupa serangkaian pembunuhan massal terhadap

orang-orang berhaluan politik komunis …51

Selanjutnya, metode dan teknik ini serta pengalaman menggunakannya pada simpul

pertama kemudian mengalami sejenis objektifikasi. Itu menjadi sui generis yang dipakai

secara simultan oleh penguasa baru untuk menghabisi lagi lawan-lawan berikutnya.

Inilah simpul kedua yang disebut oleh Dhakidae dan yang menjadi korbannya kali ini

adalah golongan Islam di dalam Orde Baru.

Dengan keberhasilan berbagai penghancuran lawan-lawan politiknya itu, Orde Baru

kemudian bergerak dalam suatu tatanan kepolitikan yang makin kuat dan terkonsolidasi.

Dari sini rejimentasi dari sebuah proyek otoritarian makin jelas dan terbentuk secara

makin solid. Di titik inilah proyek pembangunan dan politik keamanan Orde Baru

terbentuk dan memakan korban berikutnya: DOM di Aceh, kejahatan kemanusiaan di

Papua, kasus-kasus pembunuhan buruh dan petani, penghilangan orang, dan lain-lain.

Inilah yang disebut dengan simpul ketiga.

Dengan penelusuran konseptual ini, Dhakidae menghantarkan kita kepada pemahaman

dan sistematika yang lebih terpadu dan masuk akal. Dengan cara ini, ia mengajak kita

untuk tidak dengan serta merta menyerah pada kompromi dan strategi pragmatis demi

Page 94: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

94

menjaga perimbangan kepolitikan dengan golongan politik Islam dan militer. Dalam

strategi Dhakidae, pihak Islam politik harus diajak justru karena mereka sendiri pada

gilirannya merupakan korban yang menempati simpul kedua dalam misteri kejahatan

Orde Baru. Sementara, keterlibatan mereka seputar kasus 65 harus dilihat keterkaitannya

dengan propaganda dan inisiatif-inisiatif adu domba militer. Di titik ini, penjelasan

Dhakidae memberikan batasan-batasan yang lebih jelas dan correct, karena dengan itu ia

mengajak kita untuk menghindar dan menyerah untuk menegosiasikan kebenaran dalam

sejarah politik dengan keadaan politik saat ini. Selain itu jelas di dalam Dhakidae, bahwa

dengan menyebut simpul pertama untuk tragedi 65 maka ia menegaskan pertama bahwa

praktik fasistik yang diikuti oleh munculnya Orde Baru merupakan awal dan akar dari

kekejaman dan kejahatan kemanusiaan dalam sejarah politik Indonesia sepanjang masa.

Sekarang persoalannya adalah apabila kita setuju dengan Dhakidae, maka pertanyaan

yang harus kita jawab adalah sejauh mana makna, kekuatan dan motif dalam

pertanyaan “how to deal with the past” itu mampu berhadapan dan menyelesaikan

problem seberat itu? Mampukah sebuah komisi kebenaran atau bahkan sederet peradilan

HAM, atau apa pun namanya, menyelesaikan sebuah “masa lalu” bernama praktik

fasisme dan rejim otoritarian? Bagaimana itu mungkin?

Pemahaman dan analisis umum yang berlaku dan dilakukan pada masa-masa di mana

pemerintahan Soeharto masih berkuasa menegaskan suatu sikap yang jauh lebih jelas dan

dalam hal yang substansial jauh lebih benar dan bermanfaat, yakni sikap yang

menyatakan bahwa fasisme dan atau otoritarianisme pada masa itu adalah musuh yang

harus dilawan. Mengenai cara melawannya, massa pada waktu itu menawarkan sejenis

sikap oposisi yang substantif dan sangat politis. Di sinilah sebenarnya titik yang

terpenting itu berada. Di masa itu terdapat semacam sikap dan perlawanan yang nyaris

instingtif tentang politik, semacam naluri yang memperjelas posisi bahwa jalan politik

51 Dhakidae dalam Kasim dan Riyadi, ibid., hlm. 256.

Page 95: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

95

alternatif adalah satu-satunya pilihan untuk melawan praktik otoritarianisme ataupun

fasisme Orde Baru.52

Politik dan kesadaran politik semacam ini yang makin kabur di dalam masa transisi ini.

Ketika orang meletakkan fasisme sebagai bagian dari serangkaian upaya untuk “how to

deal with the past”, orang benar-benar meletakkannya ke dalam kompartemen

memorabilia, diperlakukan semacam situs dan barang antik. Dari sini kemudian yang

terjadi adalah ancaman konkret yang sebenarnya masih bertahan dianggap telah benar-

benar berlalu. Ini adalah ironis, karena di saat mereka mencoba meletakkan semua itu

sebagai masa lalu, pada saat yang sama fasisme itu sendiri terus hidup dan makin

menguat. Artinya, ada sejenis mistifikasi di mana bahasa yang dipakai ternyata tidak

secara tepat menggambarkan realitas politik yang ada.

Kesulitan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam otoritarianisme dan fasisme

Soeharto sebenarnya menandaskan bahwa senyatanya fasisme dan otoritarianisme itu

bukanlah sesuatu yang terletak di kompartemen memori belakang atau di masa lalu, sama

sekali bukan. Ia adalah tantangan masa kini. Dari segi figur, memang mungkin kita tidak

lagi harus berhadapan dengan sang Der Führer atau Soeharto sendiri, tetapi fasisme

sebagai ideal politik untuk segolongan orang, entah orang baru ataupun pengikut lama,

rupanya masih menjadi primadona dan pilihan politik yang masuk akal. Dalam dimensi

saat ini bahkan itu bisa jadi tidak lagi sekadar semacam “praktik yang dipetik secara

instrumental dan pragmatis”, itu bahkan bisa saja telah bertranformasi menjadi semacam

cita-cita politik dengan sokongan kekuatan ideologi yang lebih tersistematisasi.

Namun yang mengherankan, gejala dan kondisi-kondisi semacam ini tidak dihadapi

dengan semangat dan metode sebagaimana ia dihadapi di masa Soeharto dulu, yakni

melalui politik oposisi yang radikal. Yang dipakai orang saat ini adalah eksperimen

melalui dua jalan: yang pertama adalah jalan pengadilan dan yang kedua adalah sebuah

eksperimen baru yakni dengan jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini dapat dilihat

52 Mengenai penamaan rejim fasis untuk Orde Baru lihat dalam Daniel Dhakidae, Cendekiawan

dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Page 96: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

96

paling tidak dari kesimpulan Komnas HAM atau yang lebih dikenal dengan “Prinsip-

prinsip Surabaya”53 mengenai “mekanisme merealisasikan keadilan di dalam masa

transisi”, yang seperti sebuah litani menderetkan rapalan-rapalan berikut sebagai

“mekanisme merealisasikan keadilan”:

1. Menguak kebenaran

2. Pengakuan

3. Penghukuman

4. Pemulihan korban

5. Mekanisme hukum, peradilan HAM ad hoc.

6. Mekanisme non-legal, komisi keberanan dan rekonsiliasi

7. Berdasarkan standard hukum internasional

8. Hukum nasional yang sesuai dengan HAM universal.

Jelas, implisit dalam mekanisme ini hanya terdapat dua jalan utama saja sebenarnya:

jalan pengadilan dan jalan non-pengadilan: peradilan atau Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi.

Konfigurasi Politik Wacana KKR

Sampai pada titik ini, gambaran-gambaran kabur dari jalan peradilan dan penghukuman

ini menghantarkan keyakinan banyak orang untuk memilih dan melirik sebuah paket

transisi yang satu lagi yakni Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Salah satu

inisiator utama dan pendukung produksi gagasan tentang paket ini adalah ELSAM. Pada

mulanya inisiatif tentang KKR tidak terformulasikan dalam sebuah paket yang lengkap

yang di dalamnya dimensi perlindungan dan jaminan HAM itu dilekatkan. Di sini, pada

awalnya, isu tentang KKR lebih merupakan inisiatif para elite politik pada era transisi

awal yang disampaikan secara sepotong-potong dan lebih dalam nuansa serta kegunaan

politik yang kabur dan berubah-ubah. Sehingga bahkan dalam penyebutannya pun sering

53 Untuk ini lihat dalam bagian akhir dari sebuah buku yang merupakan rangkuman dari seminar

lokakarya Komnas HAM tahun 2001 yang berjudul Keadilan dalam Masa Transisi, Jakarta: Komnas

Page 97: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

97

kali ia berubah-ubah sedemikain rupa dari “rekonsiliasi” menjadi “rembug nasional”,

kemudian berubah lagi menjadi “rujuk nasional”, lalu kembali ke “rekonsiliasi” lagi.

Perubahan-perubahan nama ini mengindikasikan pergeseran dalam konsepsi para

inisiatornya masing-masing, yang di dalam hal ini jelas-jelas merepresentasikan

pandangan dan kepentingan politik yang berbeda-beda satu sama lain.

Ungkapan rekonsiliasi yang diletakkan dalam kerangka pemenuhan sebuah politik

transisi yang lengkap disuarakan secara keras oleh Nurcholis Madjid, Wiranto dan Abdul

Hakim Garuda Nusantara. Pernyataan itu sendiri sebenarnya lebih merupakan reaksi

lanjutan dari ungkapan yang sama yang sebelumnya telah lebih dahulu dilontarkan oleh

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan Uskup Belo.54 Hal yang sama dinyatakan

juga oleh Romo Mangunwijaya. Namun pada waktu, orientasi yang diajukan oleh Gus

Dur, Megawati, Bello dan Mangunwijaya terfokus pada masalah-masalah yang

menyangkut persoalan-persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh pola kekuasaan

negara dalam hubungannya dengan Timor Timur dan Irian Jaya pada waktu itu.

Ide ini kemudian berkembang dalam wacana publik pada waktu itu dan mulai menyeret

pemikiran orang ke arah mekanisme dalam kerangka konsepsional yang lebih jelas. Dari

sini, harian Kompas kemudian menegaskan penggunaan istilah rekonsiliasi nasional, dan

Nurcholis, Abdul Hakim serta Wiranto makin memperkuat penggunaan istilah ini. Dalam

konteks pemikiran di masa itu memang tampak jelas bahwa wacana rekonsiliasi nasional

sejak awal diletakkan dalam kerangka pemenuhan suatu kebutuhan politik integratif

yakni dengan membebankan kepadanya tugas – sebagaimana Nurcholis – untuk

menghapus politik balas dendam. Sementara Wiranto meletakkannya dalam kerangka

untuk “membangun kembali satu visi dan menghindari saling salah menyalahkan.”

Sementara menurut Abdul Hakim, rekonsiliasi ini penting untuk “menjamin persatuan

dan kesatuan dan kredibilitas rejim pasca-Orde Baru melalui mekanisme

pertanggungjawaban hukum.”55 Pendapat-pendapat ini kemudian diperkencang lagi oleh

HAM, 2001.

54 Suara Merdeka, 18 Juli 1998. 55 Kompas, 31 Agustus 1998.

Page 98: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

98

harian yang sama dengan mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution dengan ide

perlunya dibentuk sebuah lembaga Komite Rekonsiliasi Nasional.56

Dari sini dengan segera kita bisa melihat bahwa inisiatif rekonsiliasi sejak awal telah

menarik minat dari berbagai kepentingan politik. Tampaknya masing-masing pihak telah

menaruh motif dan kemauannya masing-masing atas sebuah mekanisme nasional yang

sama. Jadi perebutan kepentingan untuk mengisi wacana dan institusi ini berikutnya

memang telah dimulai, bahkan sebelum wacananya disampaikan secara lengkap dan

utuh. Tidak heran apabila, panglima TNI pada waktu itu (Wiranto), dengan segera

menyatakan minat dan dukungan yang kuat untuk upaya itu. Di sini jelas ia berbicara

dengan sudut kepentingan militer pada waktu itu. Bukan hanya itu, orang seperti Budi

Hardjono, yang pada waktu itu – meski sudah masuk masa Habibie – masih menikmati

posisinya selaku ketua fraksi PDI dukungan Soeharto di DPR, juga menyambut inisiatif

tersebut. Tentu saja dengan buru-buru menambahkan harapan bahwa “agar rekonsiliasi

tercapai, Habibie diharapkan merangkul semua kelompok oposan di tengah

masyarakat.”57 Orang seperti Budi Hardjono – dan Harmoko pada saat yang sama – telah

bisa membaca dan memposisikan secara cerdik inisiatif transisi ini untuk keuntungan dan

perlindungan politik di pihaknya dari serbuan kelompok oposisi yang makin jelas tampil

dalam mimpi buruk Budi Hardjono. Di sini apa yang dimaksudnya sebagai oposan tidak

lain adalah Megawati, orang yang ia khianati sebelumnya.58

Dalam konfigurasi awal ini, pembentukan wacana rekonsiliasi itu sendiri masih sangat

kabur. Orang seperti Hakim yang sudah pasti memiliki pengetahuan lengkap mengenai

gagasan rekonsiliasi sebagai paket politik transisi belum juga secara detail menjabarkan

motif utama dari sebuah inisiatif rekonsiliasi dalam era transisi. Justru, gambaran yang

lebih jelas dalam arti memberikan akses kepada publik untuk secara lebih terbuka

56 Kompas, 1 September 1998. 57 Republika, 2 September 1998. 58 Namun demikian selain menampilkan konfigurasi dari berbagai kepentingan dan aktor-aktor,

tetap saja ada sejenis die hard yang demi menjaga kepentingan penguasa dukungannya ia secara membabi buta tidak berfikir lagi dalam cara yang lebih cerdik dan elegan sebagaimana Wiranto ataupun Budi Hardjono. Salah satunya adalah A. A. Baramuli yang bicara atas nama ketua DPA mengatakan bahwa “tak cukup alasan Rekonsiliasi Nasional”, alasannya DPR, ABRI, DPA, Parpol, dll. sudah cukup mencerminkan beragam aspirasi dalam masyarakat. Untuk ini lihat dalam Republika, 1 September 1998.

Page 99: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

99

meneliti kekuatan politik dari mekanisme ini datang dan dibuka oleh seorang mantan

Jenderal Orde Baru, Rudini, ketika setelah menegaskan permintaan agar Habibie

memprakarsai Rekonsiliasi Nasional ia menyatakan bahwa:

proses rekonsiliasi dapat diwujudkan lewat pendekatan politik dan hukum.

Pertama, pendekatan politik, misalnya tentang kejadian di masa lalu yang

dilakukan ABRI. ABRI kan waktu itu disuruh menumpas gerombolan. Ini kan

secara politik benar ... (kedua) pendekatan hukum … tidak dipungkiri ada oknum

yang menyimpang. Mereka ini bisa dikenakan proses hukum.

Dengan ini, Rudini secara tidak langsung telah memberikan dimensi how to deal with the

past dan dimensi pelaku sekaligus, meski tentu saja di dalam Rudini ini dilakukan di

dalam motif mempertahankan impunitas. Namun dari usulan sekaligus pledoi prematur

singkatnya itu, kita sebenarnya sudah bisa menilai bahwa aspek pokok dari sebuah

proyek transisi dalam mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi sedikit telah

terungkap.

Pemerintah Habibie memang segera merespon inisiatif-inisiatif tersebut dengan

membentuk “Tim Rekonsiliasi Nasional” bersama-sama dengan Komnas HAM.59 Namun

demikian jangan dikira bahwa tim ini dibentuk dalam sebuah kerangka kerja

sebagaimana yang kita pahami sebagai sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Rejim

Habibie sejak awal telah meletakkan keperluan transisi itu dalam kerangka yang sangat

terbatas dan memang lebih dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan

Orde Baru dan tentara terlebih dahulu. Ini tampak dari pernyataan Muladi, yang pada

waktu itu menjabat sebagai menteri kehakiman di kabinet Habibie, yang menampik

kemungkinan rekonsiliasi termasuk “perlakuan terhadap mantan presiden” (Soeharto

masksudnya), dan menyerahkan keanggotaan tim tersebut kepada seorang Menko

Polkam.60 Walaupun dari sudut Komnas HAM, sempat dikemukakan juga kemungkinan

59 Pembentukan tim ini merupakan hasil pertemuan antara Habibie dengan Komnas HAM yang

pada waktu itu diwakili oleh Marzuki Darusman, pada tanggal 4 September 1998. Dalam susunan keanggotaan, di sini diambil dari pemerintah (Menko Polkam, Menkeh, Mendagri dan Menhan/Pangab) dan Komnas HAM, Kompas, 5 September 1998.

60 Republika, 5 September 1998.

Page 100: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

100

dan orientasi untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM, yang disebut-sebut

secara gencar adalah dalam kasus Aceh saja.

Namun demikian memang menjadi makin lebih jelas adanya dua kecenderungan dalam

ide tentang tim ini. Kecenderungan yang pertama adalah yang lebih hendak mengadopsi

pikiran dan rumusan transisional yang merujuk pada pengalaman negara-negara transisi

lainnya dalam menuntaskan kejahatan kemanusiaan di masa lalu, sehingga dengan

demikian pembongkaran kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim di

masa lalu menjadi hal yang paling penting dilakukan oleh komisi ini. Kecenderungan ini

tampaknya ditekankan oleh figur Marzuki Darusman dan Asmara Nababan di Komnas

HAM yang pada saat itu memang banyak berhubungan dengan kalangan LSM.

Sementara kecenderungan kedua lebih menekankan kepada tujuan-tujuan integratif yang

mengandaikan bahwa blanket amnesty memang semestinya diberlakukan kepada para

pelaku sebagaimana tercermin dalam pikiran-pikiran pimpinan tentara dan kabinet

Habibie pada waktu itu. Dua kecenderungan inilah yang tampak mengental dan menjadi

ganjalan utama untuk segera berdirinya tim rekonsiliasi ini.61

Namun demikian di luar perbedaan kecenderungan ini, situasi politik yang serba ringkih

pada waktu itu rupanya kemudian turut memberikan dimensi baru dan tafsiran lain bagi

rejim Habibie, yang kemudian memiliki kecurigaan tertentu terhadap niat dan usulan

sejumlah kalangan untuk melibatkan tokoh-tokoh nasional di dalam tim ini. Keterlibatan

ini rupanya dilihat dalam kerangka dan kebutuhan politik yang sangat lain: yakni

ancaman terhadap kekuasaan. Ini secara lugas diungkap oleh Marzuki Darusman sebagai

berikut:

… Rekonsiliasi yang dicita-citakan … agaknya tak mungkin dilaksanakan dalam

waktu dekat. Hal ini terjadi karena belum ada persamaan persepsi antara

masyarakat dan pemerintah … Menurut pemerintah untuk mencapai rekonsiliasi

adalah dengan cara menentramkan keadaan. Selanjutnya menerima apa yang

terjadi saat ini sebagai sebuah kenyataan lalu secara bersama-sama mencari

61 Media Indonesia, 17 Oktober 1998.

Page 101: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

101

pemecahannya dengan dasar kenyataan yang ada. Sedangkan arti rekonsiliasi yang

beredar di masyarakat ditangkap pemerintah adalah upaya untuk mengubah

pemerintahan dengan membentuk suatu pemerintahan sementara atau

presidium.62

Bukan hanya Habibie sebenarnya yang menafsirkan rekonsiliasi sebagai jalan untuk

tujuan kekuasan politik. Kwik Kian Gie dari PDIP rupanya juga menafsirkan ide itu

dalam stand point yang sama meski dengan posisi kepentingan yang berbeda dengan

Habibie, ketika dia mengatakan “saya tidak tahu maksud rekonsiliasi nasional … yang

paling penting adalah Pemilu seadil-adilnya.”63 Jadi dua seteru ini, baik Habibie maupun

Kwik melihat kemungkinan bahwa rekonsiliasi sebagai ancaman terhadap prospek

kekuasaan politik kelompok masing-masing. Habibie takut tim rekonsiliasi itu akan

dipelintir menjadi presidium yang mengambil alih kekuasaanya, sementara Kwik

khawatir akan kemungkinan terjadinya distribusi kekuasan dengan keberadaan tim

rekonsiliasi ini, sementara Kwik berkeyakinan kalau di Pemilu nanti kelompoknya tentu

akan dominan dan menentukan dalam distribusi kekuasan itu. Jadi, implisit di dalam

kekhwatiran Habibie maupun Kwik, tim rekonsiliasi ini akan menggerus jatah kekuasan

yang mungkin mereka peroleh. Di titik inilah kemudian ide dan wacana rekonsiliasi ini

kemudian makin kabur. Ujungnya, ketika tafsiran politik atas mekanisme ini makin

mengental, maka kemudian wacana ini pun bergeser dari rekonsiliasi nasional menjadi

rembug nasional, yang mengindikasikan menguatnya orientasi bagi-bagi kekuasaan

antara elite politik pada waktu itu.64

Indikasi ini tidak dapat dibantah mengingat bahkan tokoh-tokoh seperti Gus Dur dan

Nurcholis Madjid yang merupakan inisiator awal wacana rekonsiliasi ikut serta dalam

pergeseran wacana ini. Mereka sama sekali tidak berupaya untuk mempertahankan

maksud dan makna otentik di dalam konsepsi rekonsiliasi nasional yang mereka ajukan,

malahan turut mencair dengan keterbelakangan dan kebuntuan konseptual rejim politik

pada waktu. Dari sinilah juga kemudian pergeseran wacana itu makin mengencang dan

62 Merdeka, 19 Oktober 1998. 63 Merdeka, 7 September 1998.

Page 102: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

102

bercampur-campur bahkan sempat berubah lagi dari rembug nasional menjadi dialog

nasional. Di sini keperluan sebagaimana diinginkan dalam pandangan transisionis makin

menjauh dan menghilang.

Upaya untuk memunculkan kembali wacana ini dalam dimensi yang lebih utuh kemudian

muncul kembali melalui sebuah artikel di Kompas tepat pada hari HAM Internasional

tahun 1998 yang ditulis oleh Abdul Hakim. Di sini Abdul Hakim menegaskan tiga hal

penting: pertama, keharusan untuk meletakkan rekonsiliasi di dalam perspektif HAM

yang utuh; kedua, untuk itu rekonsiliasi harus diarahkan dalam kerangka menyelesaikan

pelanggaran berat HAM dan kebijakan politik yang menyertainya yang dilakukan oleh

rejim Orde Baru; dan ketiga, bahwa upaya itu tidak mungkin dilakukan oleh rejim

Habibie, dan untuk itu rekonsiliasi yang berperspektif HAM itu harus menunggu lahirnya

pemerintahan baru dari hasil pemilu yang demokratis agar bisa terwujud.65 Dengan

artikel ini, Abdul Hakim tidak hanya mengingatkan publik untuk kembali kepada

kebutuhan awal dari sebuah rejim transisi yang “normal” serta mengangkat kembali

wacana rekonsiliasi. Lebih dari itu, dengan ini Abdul Hakim juga memberikan dimensi

baru dalam perdebatan orang pada waktu itu mengenai makna rekonsiliasi, yakni dimensi

HAM dan akuntabilitas negara. Oleh Hakim penafsiran yang sangat terbelakang

mengenai rekonsiliasi nasional sebelumnya diseret ke dalam rujukan yang lebih

konsepsional dan bertanggung jawab.

Dari paparan itu kita bisa memahami bahwa memang sejak jauh-jauh hari wacana

rekonsiliasi dan KKR memang telah dikepung oleh konfigurasi berbagai kepentingan

politik, yang di sisi lain justru menunjukkan posisi strategis dari mekanisme ini. Dalam

konfigurasi ini kita bisa memperhatikan sejumlah kencenderungan. Pertama,

kecenderungan untuk meletakkan rekonsiliasi nasional dalam tujuan integratif-impunitif,

yakni demi stabilitas dan tanpa melalui proses pertanggungjawaban apa pun (blanket

amnesty) sebagaimana kita lihat dalam kemauan rejim Habibie dan tokoh tentara Orde

64 Munculnya wacana Rembug Nasional dikeluarkan oleh Lemhanas melalui ketuanya pada waktu

itu Agum Gumelar, Kompas, 24 November 1998. 65 Untuk ini lihat artikel Abdul Hakim G. Nusantara, “Rekonsiliasi dalam Perspektif HAM”,

dalam Kompas, 10 Desember 1998.

Page 103: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

103

Baru. Kecendrungan kedua, integratif-impunitif terbatas, adalah rekonsiliasi dalam tujuan

persatuan dan perdamaian, dengan pengungkapan masalah-masalah di masa lampau tapi

sangat terbatas dan sangat bergantung serta dipengaruhi oleh gagasan-gagasan dan

komitmen-komitmen antara elite politik yang ada. Kecenderungan ini tampak dalam

pikiran tokoh seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid dan Frans Seda. Kecenderungan ketiga

adalah integratif-punitif, rekonsiliasi nasional dalam skema Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi dengan tujuan penyelesaian dan pertanggunjawaban kejahatan kemanusiaan

di masa lampau, sebagaimana diinginkan sejumlah tokoh LSM dan sebagian figur

Komnas HAM. Kecenderungan keempat, legalis-punitif, adalah menolak sama sekali

rekonsiliasi karena menganggapnya sebagai benteng kekebalan bagi para pelaku

pelanggran HAM.66 Mereka yang menolak KKR ini terbagi ke dalam dua pemikiran lagi,

yakni yang menganjurkan proses judisial melalui peradilan HAM sebagai jalan

penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, sementara yang lain menganjurkan untuk

dibentuknya Komisi Kebenaran dan Keadilan yang dianggap akan lebih memberikan

dimensi punitive dan keadilan bagi korban, ketimbang KKR yang mengesankan amnesti

dan kompromi.

Dengan konfigurasi itu maka jelaslah bahwa upaya pendefinisian makna dan isi

rekonsiliasi nasional itu dengan sendirinya mencerminkan pertarungan politik yang lebih

kompleks dan melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan yang beragam. Pertarungan

ini memperlihatkan bahwa perumusan ideal transisi dalam konteks Indonesia, sedikit

banyak masih memperlihatkan keterlibatan dari rejim lama. Ini mempertegas fakta bahwa

perubahan politik di Indonesia tidak secara radikal berhasil menghancurkan kekuatan

rejim otoritarian, sehingga berbagai ganjalan dalam penyusunan agenda politik pasca-

Soeharto sendiri menjadi harga yang harus dibayar. Kenyataan betapa inisiatif ini

senyatanya sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang ada, makin terbukti dengan

jelas ketika pada masa-masa berikutnya pertarungan politik semakin memanas. Wacana

ini dengan sendirinya kembali hilang dari perdebatan umum.

66 Untuk yang menolak salah satunya datang dari sikap PBHI yang diwakili oleh Hendardi dan

Arbi Sanit yang melihat rekonsiliasi sebagai mekanisme untuk impunitas dan pengawetan totaliter, Suara

Page 104: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

104

Wacana ini baru terangkat lagi ke permukaan setelah terbentuk pemerintahan baru di

bawah Gus Dur, yaitu dimulai dari usulan Fraksi Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya

TAP MPR tentang Rekonsiliasi Nasional,67 yang kemudian, pada bulan Maret 2000

disetujui oleh fraksi-fraksi MPR. Hal itu dilanjutkan dengan pernyataan permintaan maaf

Presiden Gus Dur pada waktu itu atas keterlibatan Banser dalam pembantaian 65,

pembebasan tapol dan napol, dan dilanjutkan dengan pembuatan RUU mengenai Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi yang melibatkan sejumlah tokoh LSM di dalamnya. Dalam

masa-masa itu, presiden sendiri pun bahkan menyempatkan diri untuk berkunjung ke

Afrika Selatan dan melakukan pembicaraan khusus mengenai pengalaman KKR di

negara tersebut.68

Namun demikian, di masa keperisidenannya yang singkat, ia juga tidak dengan segera

berhasil menginstitusionalisasikan wacana ini menjadi sebuah komisi, sehingga apa yang

banyak ia gaungkan di masa awalnya dulu juga gagal terbentuk di dalam

pemerintahannya. Justru salah satu yang berhasil dilakukan di jaman itu adalah perangkat

dan mekanisme judisial – yang belakangan nanti dianggap menjadi alternatif dari KKR –

dalam rupa peradilan HAM ad hoc yang di masa itu akan dipakai untuk mengadili para

pelaku kejahatan kemanusiaan di Timor Leste. Meskipun demikian, wacana ini makin

mendapatkan bobot yang lengkap dan bentuk serta perspektif HAM yang dulu diminta

oleh Abdul Hakim secara perlahan makin terpenuhi.

Tepat ketika Hakim menyatakan bahwa model Afrika Selatan adalah yang paling ideal

untuk Indonesia,69 pada saat yang hampir bersamaan Gus Dur bertemu dengan Komisi

Kebenaran Afrika Selatan. Di titik ini, wacana KKR makin mendapatkan format dan

rujukan yang kian lengkap dibandingkan dengan rujukan-rujukan sebagaimana diajukan

oleh para inisiatornya di era Habibie. Semenjak saat itu istilah rekonsiliasi dirujuk secara

lebih cermat dengan diawali dengan wacana kebenaran, karenanya komisi yang diusulkan

kemudian pun tidak lagi disebutkan dengan nama yang campur baur dengan kepentingan

Pembaruan, 9 September 1998.

67 Kompas, 8 Desember 1999. 68 Kompas, 10 April 2000. 69 Republika, 15 Maret 2000.

Page 105: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

105

politik spesifik dan tanpa visi sebagaimana sebelumnya (Dewan Rekonsiliasi,

Rekonsiliasi Nasional, dsb.), tapi makin disebutkan dengan mendekati rujukan

pengalaman dan konsepsi yang lebih jelas yakni Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pada titik ini, dimensi kebenaran diterima dalam konfigurasi wacana ini. Dari titik ini

orang kemudian menunggu RUU KKR yang sedang dibuat oleh pemerintah untuk

melihat wujud konkret dari lembaga itu. Namun, belum sempat RUU tersebut keluar,

Indonesia kembali disibukkan dengan pertarungan politik antar elite kekuasan, akibatnya

wacana ini kembali tenggelam sampai akhirnya kepresidenan Gus Dur diakhiri.

Menolak KKR: Mengharapkan Ada Eichmann di Jakarta?

Berakhirnya masa pemerintahan Gus Dur tidak menghentikkan perjalanan wacana ini

untuk menuju pembentukan diri yang makin solid dan konkret. Pada tanggal 29 Maret

2003, Abdul Hakim telah menjabat ketua Komnas Ham menyampaikan permintaan agar

pemerintah segera mengajukan RUU KKR kepada DPR. Beberapa bulan dari permintaan

itu, pemerintah menyampaikan RUU tersebut dan DPR akhirnya membentuk sebuah

Panitia Khusus untuk RUU ini. Dari sini perjalanan wacana KKR dimulai lagi, dan kali

ini konfigurasi politik yang terbentuk serta kehendak kuasa di dalamnya telah makin

terformulasi dalam debat kalimat-kalimat pasal di dalam RUU itu. Kali ini perhatian

tercurah tidak pada konfigurasi wacana yang kompleks yang berasal dari kepentingan

elite politik beragam sebagaimana sebelumnya.

Pada titik ini terdapat perdebatan di dua tingkatan: yang pertama adalah perdebatan

antara mereka yang menginginkan KKR untuk lebih berfungsi dalam kerangka

penegakan HAM yang substansial dan punitif tanpa meninggalkan pentingnya aspek

peradilan HAM, dengan mereka yang menginginkan KKR bekerja dalam kerangka yang

sangat terbatas integratif-impunitif. Di sini terdapat LSM-LSM seperti ELSAM, sejumlah

wakil-wakil korban dan sejumlah figur di Komnas HAM. Yang kedua adalah debat yang

terjadi di kalangan LSM sendiri yang sebagian menunjukkan debat yang kabur, yakni

antara mereka yang mempertentangkan KKR dengan peradilan HAM dan menghendaki

jalan justisia untuk penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, dengan mereka yang

Page 106: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

106

melihat KKR bisa dikombinasikan dengan peradilan HAM, sehingga KKR tidak perlu

dipertentangkan dengan peradilan HAM.

Untuk debat yang pertama, kita bisa melihat pertentangan dalam konfigurasi politik di

belakang wacana KKR. Ini merupakan kelanjutan pertarungan yang telah dimulai pada

masa Habibie, yang lebih mencerminkan kehendak perubahan versus kehendak para

pelaku yang bertahan di belakang birokrasi dan kekuasaan militer yang masih ada di

pemerintahan dan DPR. Arena debat ini terfokus pada materi RUU yang ada. Yang satu

mengharapkan KKR benar-benar bekerja dalam kerangka yang luas sehingga mampu

menjangkau dan membersihkan akar kekejaman di dalam sejarah politik Indonesia,

sementara lawan-lawannya menghendaki KKR dengan kerja yang sangat terbatas.

Dalam debat yang kedua, mereka yang menolak KKR melihat bahwa dalam perdebatan

yang pertama (antara ELSAM dan pemerintah-DPR) konfigurasi pertarungan itu

memperlihatkan kemungkinan bahwa pihak pelaku akan lebih punya peluang

memenangkan pertarungan ini. Ini ditandai dengan sejumlah indikator: Pertama,

gagalnya usulan untuk mencabut TAP MPR tentang pelarangan Marxisme-Leninisme,

gagalnya pencabutan TAP MPR yang melarang ajaran-ajaran Soekarno, tidak adanya

upaya dari pemerintah untuk merehabilitasi korban 65 dan nama baik mantan presiden

Soekarno. Indikasi-indikasi ini memcerminkan masih kuatnya kekuatan konservatif yang

tidak mengehendaki kebenaran sejarah terungkap, dan akar kekejaman itu diurai. Indikasi

kedua adalah gejala yang tampak dari kegagalan peradilan HAM yang sudah berlangsung

serta terbenturnya upaya komnas HAM untuk menyeret pelaku kejahatan kemanusiaan

dalam kasus Tri Sakti, Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998. Semua itu mengindikasikan

absennya kondisi yang memungkinkan kerja KKR dilakukan saat ini. Dengan argumen

itu maka mereka melihat sulit untuk mengubah RUU KKR agar lebih berpihak pada

korban, dan akhirnya mereka menuntut agar DPR menunda pembahasan RUU ini di

DPR.70

70 Pendapat ini disampaikan oleh aktivis seperti alamarhum Munir dari Imparsial dan Usman

Hamid dari Kontras, serta sejumlah aktivis orang hilang di Ikohi, Kompas, ibid.

Page 107: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

107

Namun demikian, dari sikap demikian itu kelompok ini kemudian “melompat” dari

argumen kritik ke kesimpulan yang abolisionis yang ekstrem, yakni menolak KKR.

Dengan sikap ini, kita sulit memahami posisi dasar mereka. Yang mana yang

sesungguhnya mereka tolak? Apakah ide tentang KKR ataukah RUU-KKR dari

pemerintah itu? Ini menjadi tidak jelas. Namun demikian pada akhirnya semua lebih

terang ketika mereka kemudian muncul dengan argumen bahwa peradilan HAM-lah yang

lebih memadai untuk penyelesaian kejahatan di masa lalu. Dengan demikian bisa

disimpulkan bahwa yang mereka tolak adalah keduanya, yaitu baik RUU-nya maupun ide

tentang KKR-nya sekaligus.

Dari mereka yang meminta peradilan HAM untuk kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di

masa lalu, sulit bagi kita untuk mendapatkan argumen yang relatif lengkap yang bisa

memberikan pandangan tentang di mana kemungkinan dari mekanisme itu bisa dipakai

untuk secara efektif menyelesaiakan akar kekejaman di Indonesia.

Ada beberapa keraguan yang bisa disampaikan di sini. Pertama adalah keraguan yang

berbasis pada fakta-fakta empiris tentang pengalaman peradilan HAM ad hoc yang telah

berlangsung yakni peradilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM di Timor Leste dan

Kasus Tanjung Priok, serta berbagai kegagalan dan kerapuhan mekanisme pra-peradilan

yang telah dilakukan oleh Komnas HAM selama ini. Kedua adalah keraguan konseptual

mengenai sejauh mana cara ini cukup memadai untuk menangani sebuah kejahatan dari

rejim neo-fasis dan menghantarkan sebuah transisi yang benar-benar transisi dari rejim

tersebut, sebagaimana yang diminta oleh para pendukung paham legalis ini sendiri.

Dari pengalaman empirik yang ada, telah bisa kita ukur dengan jelas kapasitas dari

sebuah jalan legal dalam menghadapi ampas dari sebuah rejim fasis. Yakni bahwa pada

saat yang terakhir para pendukung jalan legal ini harus terpaksa memuaskan diri sendiri

dalam ekspresi minimalis dengan mengatakan bahwa “minimum ada jenderal yang

dibawa ke pengadilan” soal dihukum atau tidak itu urusan lain.71

71 Terdapat kesulitan untuk menunjukan wakil-wakil atau juru bicara untuk pikiran ini, mengingat

dalam perdebatan di Indonesia banyak pihak berpendapat hanya melalui media dan sangat kurang bahan-

Page 108: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

108

Ekspresi semacam ini mengisyaratkan sejumlah hal. Pertama, bahwa dalam situasi di

mana perubahan politik dalam masa transisi dianggap tidak mampu menghasilkan

keadilan yang mutlak dari hasil gelora momentum gerak perubahan yang spontan, di

mana masyarakat luas tidak berhasil menghukum secara langsung para penjahat HAM

dari rejim Soeharto, maka upaya yang tersedia untuk meraih kembali keadilan itu adalah

melalui jalan menghukum para pelaku. Untuk itu satu-satunya jalan yang masuk akal

adalah melalui peradilan. Dengan kata lain peradilan dianggap sebagai substitusi

sekaligus kompensasi dari kegagalan penghukuman politik. Kedua, ada anggapan bahwa

keberadaan sebuah mekanisme yang menghasilkan penghukuman paling minimum

sekalipun yang diatur oleh sebuah hukum positif telah dianggap cukup untuk

memberikan bukti-bukti kualitatif bahwa masa lalu, dan pelaku kejahatan di masa lalu

telah berhasil ditaklukkan. Jadi ada sejenis mental victory yang berhasil didapat. Yang

menjadi target utama pada titik ini memang adalah psikologi politik umum. Diharapkan

akan datang semacam rasa jera dan sekaligus pengakuan akan hukum dan politik baru

dari para pelaku (dengan bersedia diadili dan dihukum). Ketiga, cara umum untuk

penundukkan pelaku kejahatan HAM adalah dengan mengkriminalisasikan yang

bersangkutan, dengan harapan bahwa setelah proses ini berlangsung, publik yang lebih

luas akan terseret pada moralitas baru yang ditimbulkan oleh hukum tersebut. Dari sini

kalangan ini kemudian berharap bahwa kriminalisasi ini akan dengan sendirinya menjadi

nilai normatif baru yang dianut oleh suatu masyarakat.

Dengan demikian, pandangan legalis ini menganggap dan mempercayai bahwa: pertama,

pemerintahan-pemerintahan yang terbentuk pasca-rejim otoritarian itu memang memiliki

bahan tertulis yang mempresentasikan posisi pikiran legalis ini secara jernih. Mengenai KKR di Indonesia misalnya, banyak pihak yang menyampaikan pikiran yang kurang jernih dalam membedakan KKR dan RUU KKR. Banyak tulisan yang menyamaratakan kedua hal yang sangat berbeda ini; sehingga kadang kala menjadi meragukan, apa yang sebenarnya mereka kritik. Apakah menolak RUU-nya? Ataukah mekanisme KKR secara umum yang mereka tolak untuk dipakai di Indonesia? Salah satunya misalnya dari apa yang di tulis oleh Usaman Hamid, “Mengapa RUU KKR Harus Ditolak?” dalam Berita Kontras, No 8/VIII/2003. Namun demikian dari argumen yang ambivalen sekalipun, implisit terdapat sebuah hal yang jelas, yakni bahwa penulis yang bersangkutan menempatkan mekanisme judisial sebagai langkah pokok yang tidak dapat disubtitusikan. Ini dapat kita tafsirkan ketika Usman menulis “…logika yang dibangun dari penegasan prinsip hukum ne bis in idem dan hubungan KKR yang substitutif dengan pengadilan ad hoc

Page 109: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

109

kapasitas dan kemauan yang sederajat dengan kaum legalis untuk memusnahkan politik

otoritarian yang berasal dari rejim sebelumnya, sehingga dengan itu mereka juga percaya

bahwa peradilan HAM yang dibentuk oleh rejim ini akan berlangsung dan memang

secara moral dan secara hukum memiliki kelengkapan dan kapasitas yang memadai, yang

keputusan-keputusannya bisa menghasilkan norma dan moralitas baru untuk

masyarakatnya. Kedua, pandangan ini juga mengandaikan bahwa setelah peradilan itu

berlangsung maka otomatis si pelaku dengan seluruh atribut dan kekuatan yang berasal

dari latar belakang politiknya di masa lalu akan dengan sendirinya bertransformasi

menjadi manusia baru seiring dengan transformasi normatif yang dilakukan oleh

peradilan tersebut. Ini yang mereka sebut sebagai masyarakat dengan moralitas baru.

Inilah mimpi utama transisionis-legalis di Indonesia.

Keinginan yang tersirat dalam argumen semacam ini sebenarnya sangat terbatas jika

dibandingkan dengan argumen dari tokoh legalis semacam Aryeh Neier, yang di dalam

konteks perdebatan di Indonesia, dalam beberapa hal dijadikan rujukan oleh para legalis.

Dalam kesempatan ini ada baiknya kita sampirkan guru kaum legalis dalam perdebatan

ini. Dengan nuansa normativitas yang nyaris radikal, Neir menegaskan bahwa:

To those who hold such views, the respect for the right of each person inherent in

such an accounting is central to a democratic society. Some leaders of nations

currently undergoing “transition to democracy” are impatient with the demands of

past victims and their families and see these an obstacle to “national

reconciliation” and to their hopes to build stable democratic governments. They

fear that those who might be brought to account for their past abuses may later

take revenge. Such fears are often understandable; but to that extend that society

or government dismisses the principle of accountability as unnecessary, it

undermines its possibilities of becoming a true democracy, in which citizens can

feel confident that their rights are firmly protected.72

HAM, menurut saya sangat kental dengan keinginan menutup peluang adanya upaya penuntutan.” Ini salah satu argumen tertulis yang menunjukkan superioritas jalan peradilan di atas jalan yang lain.

72 Aryeh Neier, “What Should be Done About the Guilty?”, dalam Neil J. Kritz (ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon With Former Regimes, Washington: United States Institute of Peace, 1995.

Page 110: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

110

Jadi Neier, seiring dengan pandangan politik para legalis sebelumnya, juga mempercayai

bahwa rejim-rejim politik transisi memiliki keinginan dan dianggap harus merasa

berkewajiban untuk menghukum para pelaku. Basis utama dan satu-satunya dari

keyakinan Neier ini – juga keyakinan banyak transisionis-legalis di Indonesia – adalah

keyakinan akan niat baik dan kesadaran dari pimpinan politik untuk membangun sebuah

tatanan “true democracy” yang mampu memberikan kepastian dan jaminan hak-hak

terhadap warga negaranya. Neier mengandaikan bahwa transisi politik pasca-otoritarian

itu senantiasa berjalan mulus, dan bahwa rejim politik yang terbentuk sebagai rejim baru

mesti merupakan pembalikan yang total dan signifikan atas rejim sebelumnya, atau

setidaknya harus bersikap demikian dalam pandangan ini.

Dengan begitu bagi Neier, hak-hak korban tidak dapat dikompensasikan dan

dinegosiasikan dengan apa pun, termasuk dengan isu kestabilan demokrasi sekalipun. Ini

kalau para pimpinan rejim baru benar-benar menghendaki suatu demokrasi yang sejati:

To demand accountabilitry , especially so far as exposing the truth is concerned, is

to insist that people not be sacrified for the greater good; that their suffering

should be disclosed, and the responsibility of the state and its agents for causing

that suffering be made clear.73

Sebagaimana para pendukungnya di Indonesia, pertanggungjawaban dan penghukuman

terhadap pelaku dan negara menjadi mutlak bagi Neier. Dan di titik ini anjuran Neier

mengenai akuntabilitas itu dibaca dan diterjemahkan dalam konteks yang lebih praktis,

yakni dengan meneruskannya kepada mekanisme peradilan sebagai ekspresi tertinggi dari

upaya akuntabilitas dan penghukuman terhadap para pelaku. Dengan kata lain peradilan

dan penghukuman menjadi sartu-satunya ekspresi dari akuntabilitas politik tersebut. Di

sinilah Neier mengilhami transisionis legalis di Indonesia.

73 Lihat Neier, ibid., hlm. 182.

Page 111: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

111

Yang menjadi masalah di sini adalah, kalau soal menghukum seberat-beratnya para

pelaku, jangankan Neier maupun para legalis di Indonesia, hampir semua pihak yang

tidak menghendaki neo-fasisme dan menginginkan masa depan yang lebih baik juga tentu

sangat menyetujui dan menginginkan semua itu berlangsung. Hanya soalnya, perubahan

politik yang konkret terjadi tidak selamanya mulus sebagaimana diasumsikan Neier.

Moralitas politik yang terbentuk pun tidak pula segagah dan selengkap sebagaimana yang

diharuskannya. Dalam pengalaman perubahan politik di Indonesia, keharusan-keharusan

Neier sayangnya tidak memiliki basis sosial dan politik yang cukup kuat untuk

mewujudkannya menjadi aktual. Tanpa kekuatan dan basis politik ini, jalan keluar yang

dianjurkannya yakni dengan akuntabilitas melalui sebuah peradilan terhadap pelaku

kejahatan, sungguh malah akan menjadi sebuah tragedi kecil-kecilan yang lain

sebagaimana yang kita jumpai dalam kasus-kasus peradilan HAM di Indonesia sekarang

ini: lepasnya para petinggi militer yang bertanggung jawab secara komando dalam

kerusakan dan tragedi kemanusiaan yang hebat di Timor Leste dari jangkauan peradilan

HAM sejak awal mula, dan dihukumnya sejumlah pelaku-pelaku lapangan, lepasnya dan

ketiadaan tanggung jawab komando para mantan pimpinan tentara dalam kasus

pembantaian Tanjung Priok, dan pembantaian 27 Juli di kantor PDI.

Ternyata, bukannya norma dan moralitas baru yang berhasil ditumbuhkan dari peradilan

tersebut. Yang terjadi justru impunitas terselubung dan kriminalisasi yang salah alamat.

Kegagalan menyingkap, menemukan dan menghukum para pelaku kejahatan yang

sebenarnya telah mengakibatkan berlangsungnya kambing hitam yang dirasionalkan.

Kambing hitam yang memuaskan semua pihak – termasuk para legalis yang mengatakan

“yang penting pernah ada jenderal diadili” tersebut. Bukan hanya itu, peradilan dalam

sistem yang kacau, di mana tangan-tangan pemuja sang Der Führer bekerja dalam

kesigapan yang tidak dibayangkan oleh para aktivis HAM, justru balik menghantam para

korban sendiri. Sebagaimana tampak dalam peradilan HAM kasus kejahatan

kemanusiaan di Timor Leste, di mana para pelaku dan peradilan tersebut membangun

kesan bahwa seakan kejahatan kemanusiaan di tempat itu lebih pada akibat dari konflik

dan kekerasan antara orang Timor sendiri.

Page 112: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

112

Demikian pula dalam peradilan kasus 27 Juli dan Tanjung Priok, di mana para prajurit

dan perwira rendahan dipasang sebagai taruhan para pimpinan tentara. Tidak ada yang

berubah dari sini. Peradilan-peradilan yang telah berlangsung tersebut ternyata jauh dari

mimpi-mimpi kaum legalis. Yang lebih parah lagi, bisa disaksikan dalam kasus-kasus

lain yang sudah keburu dibantai oleh para pelaku sebelum lagi masuk ke pengadilan:

kasus Semanggi dan kasus Kerusuhan Mei 1998. Di sini belum lagi sempat bermimpi,

para legalis sudah dibangunkan oleh getirnya keterbelakangan politik yang memaksa

mereka untuk menyaksikan kenyatan betapa para pelaku “yang mereka letakkan di bawah

kolong balai-balai masa lalu” ternyata tetap jaya dan jauh lebih berkuasa dari apa yang

mereka bayangkan.

Dari pengalaman-pengalaman peradilan ini, pelaku-pelaku kejahatan di Indonesia

sungguh jauh berbeda dari apa yang difantasikan dan digambarkan oleh Hannah Arendt74

mengenai Eichmann, yang dikonsepsikan dalam istilah the banality of evil. Di sini para

pelaku itu sungguh mentereng dengan dikelilingi oleh para pengawalnya masing-masing.

Dirayakan setiap ucapannya dengan dukungan sorak para anak buah dan atasan: sama

sekali tidak banal. Si pelaku bahkan membangun sebuah imaji tentang kuasa yang baru,

yang membuat para hakim dan jaksa di pengadilan-pengadilan itu gagal membangun

sebuah tuntutan yang memadai dan takut untuk mengeksekusi para pelaku sesuai dengan

lembaran-lembaran hukum di meja mereka. Para pelaku di sini sungguh tidak

menunjukkan figur-figur orang biasa sebagaimana Eichmann di pengadilan Yerusalem:

mereka jelas malah memperlihatkan kuasa yang nyaris beyond dari hukum sang hakim.

Ini makin dibuktikan dengan fakta betapa kebanyakan dari mereka justru saat ini masih

aktif dalam dinas-dinas kemiliteran bahkan memiliki posisi yang makin baik di situ.

Di titik ini, legalis-punitif tiba pada ujung yang absurd. Di satu sisi mereka menolak KKR

karena melihat absennya kondisi yang kondusif untuk sebuah KKR yang terbaik. Namun

di sisi lain mereka menganjurkan jalan peradilan HAM – yang sebenarnya secara politik

jauh lebih tidak kondusif. Di satu sisi mereka menginginkan keadilan yang paripurna bagi

korban, sementara di sisi lain jalan yang mereka pilih adalah jalan yang dibuat oleh

74 Untuk ini lihat Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, New York: Viking Press, 1965.

Page 113: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

113

konspirasi para pelaku kejahatan itu sendiri. Di satu sisi mereka memimpikan keadilan

yang hanya bisa datang dari jalan pengadilan, sementara pengadilan yang sudah ada

justru mendatangkan impunitas dan kambing hitam. Di satu sisi, kritik dan penolakan

mereka terhadap KKR memang mencerminkan tawaran untuk sikap yang terkesan lebih

radikal, namun demikian pilihan mereka kepada jalan hukum semata-mata membuat

radikalisme itu terbelenggu di dalam ruang kosong.

Namun demikian, lepas dari situasi itu, ada sesuatu yang memang benar dalam indikasi

legalis-punitif, ketika mereka secara implisit melihat adanya hal yang sifatnya

“kompromistis” di dalam KKR. Namun demikian kompromi itu sendiri bukan datang

tanpa alasan, para pendukung KKR berpendapat bahwa:

KKR merupakan strategi dalam menghadapi transisi dari rejim politik otoritarian

ke rejim politik demokratis; ia dibentuk dalam rangka menjaga stabilitas demokrasi

yang masih rapuh.75

Di dalam argumen itu tertera jelas dua hal yakni: pertama, bahwa out put dari perubahan

politik pasca-Soeharto memang secara riil tidak memungkinkan terjadinya perubahan

yang radikal dan dengan itu situasi negosiatif memang adalah harga yang harus dibayar;

kedua, harga itu dibayar demi menjaga kepentingan yang lebih luas, yakni nasib

demokrasi itu sendiri. Argumen ELSAM ini secara persis mengulang kembali apa yang

dikemukakan oleh inisiator mashur KKR dari Chile, Jose Zalaquett, ketika ia mengatakan

bahwa:

Saya menjadi semakin yakin bahwa memang tidak mungkin untuk menyusun

pedoman-pedoman yang ketat. Kita semua ingin bersandar pada daftar mengenai

apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi dalam jenis

situasi yang seperti ini, hal itu tidaklah bisa dilaksanakan. Anda harus juga melihat

keadaan-keadaan aktual yang dihadapi dalam kerja pemerintahan yang baru

terbentuk tersebut. Kadang dalam situasi tertentu, hal itu bisa merupakan

kemenangan total, sebagaimana yang terjadi di Jerman dan Jepang setelah Perang

Page 114: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

114

Dunia. Dalam kasus tersebut, anda dapat mengejar keadilan tanpa tangan anda

terikat. Sekalipun demikian, masih ada jenis situasi transisional yang lain … di

negara-negara yang tidak satu pihak pun memperoleh kemenangan mutlak.76

Argumen ini secara persis sebenarnya membuka selubung mistifikasi dari apa yang

disebut sebagai transisi. Di dalam transisi memang tidak tersedia sejenis pembalikan total

ataupun benih-benih baru bagi kelanjutan perubahan yang radikal seketika. Justru ketika

orang bersepakat dengan istilah transisi maka sebenarnya ia harus dengan segera

bersepakat pada realitas yang menegaskan bahwa momentum perubahan radikal dan

keadilan mutlak itu justru telah lewat. Karena kalau yang terjadi adalah keadilan mutlak

dan perubahan yang radikal maka kita tidak akan membutuhkan lagi yang namanya

transisi. Realitas ini yang dibuka oleh argumen Zalaquett dan ajakan ELSAM ketika

menawarkan untuk mencari jalan keluar melalui KKR ini.

Namun demikian, legalis-punitif juga sedikit keliru kalau menyangka bahwa pilihan

orang terhadap KKR dengan sendirinya membawa orang itu untuk mengabaikan atau

tidak menyetujui mimpi keadilan melalui jalan pengadilan. Di sini sekali lagi Zalaquett

menegaskan bahwa:

Two considerations … must be balanced-the ethical principles that ought to be

pursued, and actual political opportunities and constraints that ought to be taken

into account. By balancing these factors, ethical principles can be realised to the

fullest possible extent ... It is amidst such complex and changing circumstanbce

that political leaders must obey the call to act responsibily. Since there is no

blueprint to direct their actions, the must rely on good judgment. Responsibility

also requieres taking into account the accomplishment and failures of other

countries that have faced similar challenges.77

75 ELSAM, Briefing Paper, No.1, Juli 2000, hlm. 10. 76 Wawancara Jose Zalaquett dalam Daan Bronkhorst, Menguak Masa Lalu Merenda Masa

Depan: Komisi Kebenaran di Berbagai Negara, Jakarta: ELSAM, 2002, hlm. 7-8. 77 Lihat Jose Zalaquett, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of

New Democracies Confronting Past Human Rights Violations” dalam Neil J. Kritz (Ed), Transitional

Page 115: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

115

Sementara itu, mengikuti Zalaquett, ELSAM sendiri – yang sering kali secara implisit

dituduh sebagai promotor buta jalan KKR ini – juga menegaskan cara yang mereka

usulkan dengan istilah “Jalan Ketiga”, yakni pandangan untuk menggabungkan antara

dua mekanisme sekaligus, yakni KKR dan pengadilan. Yang dimaksud dengan Jalan

Ketiga adalah “kombinasi antara jalan pengadilan dan pengungkapan kebenaran”.78 Jalan

Ketiga di sini berbeda dengan Jalan Ketiga Desmond Tutu. Jalan Ketiga dalam gagasan

Uskup Agung itu tampak diposisikan sebagai pengganti dari pengadilan; merupakan

bentuk penghindaran dari dua jalan ekstrem antara pengadilan (model Nuremberg) dan

amnesti umum (blanket amnesty). Berbeda dengan Jalan Ketiga yang diusulkan Desmond

Tutu (yang cenderung mengambil jalan pengampunan kolektif dan menjauhi pengadilan),

Jalan Ketiga yang diusulkan ELSAM masih melihat pengadilan sebagai unsur penting

dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu.

Selain berbasis pada pandangan kontekstual mengenai ketidaklengkapan syarat-syarat

untuk berlangsungnya sebuah keadilan yang mutlak, KKR menurut ELSAM justru

memiliki keunggulan-keunggulan yang – dalam konteks penyelesaian masalah kejahatan

HAM di masa lalu – mampu menjangkau akar persoalan secara lebih sistemik dan

struktural. Daya jangkau serta potensi terbangunnya relasi sosial baru di dalam KKR ini,

dianggap oleh ELSAM mampu memberikan efek pembaruan yang lebih signifikan

ketimbang jalan peradilan semata-mata. Mengutip Paul van Zyl, Ifdhal mengatakan:

Pengadilan dalam hal ini pengadilan pidana, dirancang untuk menegakkan hukum

positif atau tata keadilan yang sudah ada. Bukan dirancang untuk membangun

kembali tata keadilan yang sudah diluluhlantakkan di masa rejim otoritarian…

pengadilan memiliki efek penjelas yang terbatas; ia hanya menyorot kesalahan

individual bukan sistem keseluruhan.79

Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Washington DC: US Institute of Peace Press, 1995, hlm. 206.

78 Lihat dalam Ifdhal Kasim, “‘Jalan Ketiga’ Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu”, dalam Kasim dan Riyadi (ed.), op. cit., hlm. 28-29.

79 Ibid., hlm. 31.

Page 116: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

116

Dengan demikian apa yang hendak dicapai oleh sebuah Komisi Kebenaran memang jauh

lebih kompleks dibanding dengan apa yang hendak dicapai oleh sebuah peradilan. Di

dalam komisi kebenaran, sejak awal disadari eksistensi dari “the social” dan bahwa target

utama dari kerja pengungkapan kebenaran adalah terutama untuk membongkar kembali

semua lepitan dan sejarah hitam dari “the social” itu. Sehingga dengan demikian, yang

ingin dicapai di sini bukan lagi sekadar “kebenaran faktual” apalagi kebenaran material

semata-mata, melainkan semacam pelurusan dan penyegaran kembali dalam tubuh “the

social” itu, sehingga apa pun yang tumbuh di dalamnya apakah itu ekonomi, politik

ataupun hukum bisa menjadi lebih sehat untuk masa depan. Di titik ini dalam beberapa

hal sebuah komisi kebenaran memang terkesan akan lebih berorientasi pada komitmen

dan konsensus ketimbang penghukuman, walaupun di sini tidak ditutup kemungkinan

bahwa komitmen dan konsensus itu sendiri dicapai setelah proses punitif dilakukan.

Di titik inilah kemudian debat yang lebih rawan menjadi lebih terbuka. Orientasi pada

komitmen dan konsensus tersebut tidak dapat tidak membawa pemikiran ini ke dalam

kemungkinan untuk membicarakan amnesti untuk pelaku. Ifdhal Kasim dari ELSAM

mengemukakan:

Amnesti tidak terelakkan atau merupakan necessary evil dalam konteks transisi

politik, khususnya di negara yang proses transisinya dikendalikan oleh kekuatan-

kekuatan politik rejim yang lalu. Ibarat memakan buah simalakama, pilihannya

adalah menyelamatkan demokrasi (tetapi harus memberikan amnesti) atau

mengajukan ke pengadilan dengan risiko kembali ke sistem politik otoritarian?80

Namun demikian amnesti yang dimaksud di sini bukanlah amnesti yang diberikan dalam

kerangka memenuhi kebutuhan si pelaku semata-mata, ataupun diberikan secara buta

demi menambal kelemahan dalam politik transisi yang ada. Sebagaimana Zalaquett,

ELSAM kemudian memperjelas syarat amnesti ini dengan kriteria sebagai berikut:

1. Bukan amnesti umum dan bukan self amnesty (blanket amnesty)

80 Lihat dalam Ifdhal Kasim, Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti?, ELSAM: Briefing

Paper, No. 2, Tahun I, Agustus 2000.

Page 117: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

117

2. Diberikan setelah kebenaran ditegakkan.

3. Tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

4. Sesuai dengan keinginan rakyat.81

Namun demikian, yang juga problematik dalam usulan ELSAM ini adalah ketika ia juga

secara lugas mengadopsi syarat ke empat yakni “sesuai dengan keinginan rakyat”

sebagaimana yang diajukan Zalaquett. Istilah sesuai dengan keinginan rakyat di sini

apabila tidak diperjelas akan menimbulkan penafsiran yang salah dalam konteks

Indonesia, mengingat kalimat sedemikian memang sering kali digunakan oleh penguasa

dalam kebutuhan menghimpun legitimasi.

Di dalam Zalaquett “sesuai dengan keinginan rakyat” mengacu pada aspirasi korban yang

kolektif, yang mungkin saja setelah melewati masa panjang dalam sistem politik di mana

mereka hidup kemudian, sistem itu telah memberikan sejumlah keleluasan dan

pengobatan luka masa lalu secara tersendiri, sehingga membongkar kembali kejahatan di

masa lalu justru dikhawatirkan akan mencederai kembali situasi mental mereka. Di titik

ini penguasa harus dengan cermat membaca situasi mental ini. Bagi Zalaquett, sebuah

tuntutan hukum yang buta terhadap kemungkinan iritasi ini di dalam hal tertentu justru

hanya akan lebih mempertontokan arogansi dari sebuah sikap etis tertentu.82

Namun demikian sekali lagi, sebagaimana kekecewaan kaum legalis akibat tragedi

peradilan HAM Timor Timur dan Tanjung Priok, optimisme ELSAM serta para

pendukung KKR lainnya tampaknya juga mesti diturunkan dan menghadapi tembok yang

sama dalam situasi-situasi sekarang ini. Sebagaimana arena peradilan, arena KKR ini pun

sudah pasti tidak akan menjadi arena yang dibiarkan dimainkan “seenaknya” oleh para

transisionis dan kalangan demokrat. Sudah pasti kalangan dan kekuatan yang tidak

menyukai pengungkapan kebenaran dan tragedi masa lalu akan dengan segera berupaya

mengisi arena tersebut. Dengan fakta bahwa kekuatan mereka jauh menjangkau ke dalam

akses kekuasaan birokrasi, seperti perundangan-undangan dan rekruitmen anggota

81 Ibid., hlm. 9. 82 Lihat dalam Jose Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former

Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Neil J. Kritz (ed.), op. cit., hlm. 3-31.

Page 118: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

118

komisi, maka jelas mekanisme KKR ini pun harus siap menjadi ajang baru bagi

impunitas massal pelaku kejahatan kemanusiaan di masa lalu.

Keyakinan yang diagungkan oleh kelompok-kelompok pendukung KKR seperti ELSAM

misalnya, senyatanya masih merupakan asumsi-asumsi yang belum lagi dihadapkan pada

realitas pertarungan yang sebenarnya, ketika komisi itu terbentuk dan bekerja dengan

karakter serta orang-orang di dalamnya. Hal yang jelas telah terjadi – apabila melihat

undang-undang tentang KKR – adalah bahwa sudah pasti KKR tidak akan dapat

menghukum pelaku bahkan dalam tingkat yang paling ringan sekalipun.

Perdebatan ini menghasilkan dua jenis ekstrem; ekstrem yang satu berpijak pada argumen

realis yang lebih dibasiskan pada situasi-situasi konkret politik transisi era pasca-

Soeharto. Sementara yang satu lagi berpijak pada argumen normatif yang berbasiskan

nilai-nilai ideal mengenai mana salah-mana benar. Namun demikian posisi dan argumen

konseptual bukan tujuan pokok di sini. Yang menjadi sasaran dari dua jalan itu adalah

mengenai signifikansi dari keduanya dalam menjangkau akar kejahatan di masa lalu,

sehingga dengan itu di tahap berikut ia mampu membersihkan watak neo-fasis dalam

kepolitikan di Indonesia.

Di titik ini baik legalis-punitif maupun para realis di belakang ide KKR dalam hal yang

substansial akhirnya terjebak pada dua hal yakni: pertama, pada kebanyakan argumen

kaum transisionis, yang menganggap akar kekejaman dan struktur neo-fasis bisa

dihancurkan entah dengan pertama-tama penerapan sangsi hukum dan penegakan

moralitas tertentu, maupun dengan ajakan untuk membentuk komitmen dan konsensus

bersama. Yang kedua, baik para idealis (legalis punitif) maupun para realis pendukung

KKR, pada akhirnya keduanya harus sama-sama tepekur berhadapan dengan kuasa yang

lebih besar di atas ide normatif keadilan mereka masing-masing. Di bawah kuasa ini,

mereka terjerat dalam setting yang telah sedemikian rupa dipersiapkan, entah dalam

sidang-sidang dan peradilan yang semu, entah dalam sebuah komisi kebenaran yang

belum-belum sudah diselewengkan arah dan orientasinya.

Page 119: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

119

Selain itu, pada dasarnya kaum transisionis kebanyakan hanya berfikir tentang bagaimana

transisi demokrasi dilakukan dengan resep-resep baku yang pernah ada. Mereka

menganggap bahwa neo-fasisme adalah gejala umum, dan karena itu resep-resep yang

pernah ada pun bisa diberlakukan secara umum. Dalam melihat sumber permasalahan,

kebanyakan kaum transisionis berhenti pada faktor-faktor internal dan domestik dari

kemunculan sebuah rejim otoritarian. Tidak heran apabila daftar mereka hanya menderet

pihak-pihak seperti misalnya: golongan militer, agen-rahasia dan kelompok-kelompok

sipil binaan rejim otoritarian di masa lalu. Di sini kebanyakan kaum transisionis baik

yang pro-KKR maupun yang anti KKR sering kali buta terhadap faktor historis

pembentukan sebuah rejim otoritarian dan neo-fasis di negara-negara dunia ketiga, serta

keterlibatan negara-negara adikuasa yang menyokong pembentukan watak rejim

semacam itu sebagai faktor yang penting.

Mereka yang percaya pada komisi kebenaran, akan puas pada kebenaran faktual tentang

kekerasan di masa lampau, tetapi mereka sudah buru-buru menyerah untuk terus melacak

tentang mengapa politik kekerasan itu terjadi. Sementara, mereka yang berkeras pada ide

peradilan HAM memimpikan peradilan ala Nuremberg yang mengadili penjahat perang

Nazi terjadi di Indonesia. Mereka ini lupa bahwa peradilan semacam itu hanya mungkin

terjadi setelah perang panjang yang menghancurkan Nazi dan memusnahkan Hitler

dimenangkan oleh sekutu.

Dalam kesadaran ini, salah satu cara terbaik yang disediakan oleh pengalaman dan akal

sehat untuk mempertahankan imaji tentang demokrasi dan masyarakat baru itu adalah

dengan segera sadar dari keterpesonaan yang kadaluarsa terhadap momentum itu. Di titik

ini pencarian yang lebih utama adalah pertama-tama merinci dan mencari akar penyebab

kemunculan neo-fasisme, despotisme serta segala kekejaman politik lainnya. Tanpa

penyelesaian ke akar ini, jelas kita tidak akan pernah berhasil menyentuh apalagi

mengubah watak dan infrastruktur politik despotis yang kita lawan.

Di sini mentalitas transisionis sejenis ini mengandaikan beberapa hal penting yakni:

pertama, bahwa masa lalu yakni otoritarianisme telah dilihat sebagai semacam fosil, tapi

Page 120: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

120

fosil yang mengganggu pemandangan kita terhadap masa depan, sehingga untuk itu ia

mesti didefinisikan terlebih dahulu untuk kemudian ditempatkan di sebuah tempat

tersendiri. Di titik ini ada sejenis pemahaman yang membenarkan diskontinuitas dari

pertarungan politik. Kedua, dalam pertanyaan itu diasumsikan juga bahwa masa lalu

lebih merupakan pencerminan dari perilaku para aktor semata-mata, sehingga apabila

dipertajam pertanyaan itu akan menjadi “apa yang harus dilakukan terhadap pejabat-

pejabat rejim lama yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan?”. Ketiga, dalam

hubungan yang lebih konkret, mentalitas transisi semacam ini hanya melihat faktor dan

aktor-aktor di dalam tubuh negara sebagai penyebab dari kemunculan kejahatan

kemanusiaan, sementara faktor-faktor internasional yang sering melatar belakangi konflik

dan kejahatan di dalam lingkungan domestik sama sekali tidak dilihat. Keempat,

mentalitas transisi mengandaikan dan memimpikan bahwa segala persoalan transisi dan

kekejaman masa lalu, serta pembelajaran politik baru, dapat diselesaikan oleh semacam

kerja hukum dan kepanitiaan ad hoc.

Dengan demikian mentalitas transisi ini mengalami kesulitan: pertama, cenderung gagal

untuk melihat keperluan kontinuitas dari pergulatan membangun demokrasi; kedua, itu

juga gagal memahami keadilan dalam kerangka dan kebutuhan yang lebih luas, karena

keadilan dianggap lebih sebagai hubungan dan perimbangan pemulihan hubungan para

aktor. Akibatnya pencarian dan perjuangan keadilan dalam kerangka politik transisi di

sini gagal menempatkan kebutuhan perombakan struktur dan relasi yang melahirkan

ketidakadilan itu di dalam agenda kepolitikannya. Kelemahan ketiga adalah dalam

konteks sejarah negeri-negeri yang mengalami otoritarianisme, mentalitas transisi ini

gagal menjangkau keterlibatan pihak-pihak lain di luar panggung-panggung yang mereka

sediakan. Implisit dalam pandangan mereka, aktor satu-satunya dalam politik transisi itu

adalah apa yang disebut sebagai korban dan semata-mata korban. Mereka lupa bahwa

demokrasi dan masyarakat baru juga perlu mengajak dan meminta dukungan dari

kalangan yang lebih luas yakni warga negara lain.

Penutup

Page 121: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

121

Dengan meninjau keadaan di atas, maka jelaslah bahwa sejauh kita mau jujur di hadapan

realitas politik yang ada saat ini, maka sebuah kesimpulan kelam mesti dirumuskan di

sini. Yang pertama adalah bahwa dengan melihat baik kegagalan peradilan HAM ad hoc

di Indonesia serta invalidnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka jelaslah dapat

dikatakan bahwa proyek transisi demokrasi kita memang tidak dapat kita tutup dengan

mulus dan sukses sebagaimana yang banyak dikehendaki dan diniatkan oleh kalangan

reformis di Indonesia. Gagalnya dua proyek akhir transisionis, lebih jauh lagi sebenarnya

menggambarkan juga sebuah titik jenuh yang lain dari segala perjuangan yang

menggunakan momen dan diskursus HAM dan demokrasi.

Harus dikatakan inilah saatnya kita mengatakan tutup buku terhadap medan dan strategi

transisionis. Konsepsi demokrasi dan hak asasi yang diusung kaum transisionis memang

telah sangat bermanfaat dan berjasa besar dalam menghantarkan perjuangan

membebaskan diri dari belenggu otoritarian, namun demikian di hadapan persoalan-

persoalan terbaru sekarang ini, strategi – apalagi yang sangat menekankan aspek hak dan

legal – kaum reformis mesti mulai berupaya mencari cara-cara dan strategi baru untuk

melanjutkan upaya perubahan dan pembenahan masyarakat menuju yang lebih baik.

Kegagalan baik pengadilan HAM maupun KKR harus menjadi fondasi baru untuk sebuah

keyakinan akan pentingnya sebuah politik baru demokrasi di Indonesia.

Page 122: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

122

Bab 4

Pertarungan Merebut Kebenaran Masa Lalu83

Pendahuluan

Bab ini akan membahas perjuangan mengungkap kebenaran (truth seeking) terhadap

masa lalu demi pembebasan politik Indonesia saat ini dan masa depan. Pengungkapan

kebenaran di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dari upaya untuk menuntaskan

kasus pelanggaran HAM masa lalu selain dari unsur pengadilan terhadap pelaku dan

rekonsiliasi. Reformasi 1998 telah menggulirkan wacana pengungkapan kebenaran masa

lalu demi menghormati para korban yang telah menderita akibat politik kekerasan yang

dilakukan oleh rejim Orde Baru.

Pengungkapan kebenaran meliputi berbagai aktivitas seperti penyelidikan kasus

kekerasan di masa lalu, oral history, penerbitan otobiografi dan biografi para korban

kekerasan masa lalu, maupun historiografi baru mengenai berbagai peristiwa kekerasan

di masa lalu. Penyelidikan terhadap kasus kekerasan di masa lalu bisa dilakukan oleh

negara, aktivis ham maupun paguyuban korban. Penyelidikan oleh Negara telah dimulai

sejak jaman pemerintahan Habibie. Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF) dibentuk untuk

menyelidiki peristiwa kerusuhan Mei 1998. Tak lama berselang, pemerintah juga

membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dalam kasus DOM Aceh.

Setelah itu, negara memberi wewenang penuh kepada Komnas HAM sebagai lembaga

Negara yang bertugas untuk menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM. Komnas

HAM kemudian membentuk tim penyelidikan ad hoc untuk menyelediki sejumlah kasus

83 Bab ini merupakan bab sisipan yang ditulis oleh Hendrik Boli Tobi, peneliti di P2D.

Page 123: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

123

pelanggaran HAM masa lalu, seperti KPP HAM Timor Timur, KPP Abepura, KPP TSS

(Trisakti, Semanggi I dan II), KPP Tanjung Priok, KPP Penculikan dan Kerusuhan Mei

1998. Penyelidikan juga dilakukan oleh sejumlah organisasi non-pemerintahan dan

paguyuban korban. Paguyuban korban seperti Lembaga Penelitian Korban Pembunuhan

pernah melakukan aktivitas penyelidikan tentang peristiwa 1965 sampai pada penggalian

kuburan massal para korban.84

Oral history berperan penting dalam mengungkap kekerasan di masa lalu. Meski

dipandang kurang ilmiah dibandingkan dengan sejarah tulisan, tetapi oral history mulai

banyak diperhatikan oleh berbagai kalangan termasuk oleh para sejarawan.85 Dalam

konteks sejarah tentang kekerasan, oral history mempunyai peran yang penting berkaitan

dengan ketiadaan informasi mengenai nasib para korban yang tak mendapat tempat

dalam sejarah resmi. Selain itu, oral history membantu para korban yang punya kesulitan

dalam menceritakan kegetiran hidup mereka akibat trauma berkepanjangan. Salah satu

karya oral history yang menghadirkan suara para korban adalah buku berjudul Tahun

yang Tak Pernah Berakhir yang diterbitkan oleh Elsam dan ISSI (2004).

Situasi politik yang lebih terbuka pasca-reformasi 1998 memberi ruang bagi para korban

untuk mulai berani menulis tentang pengalaman hidup mereka. Kisah para korban dari

peristiwa 1965 seperti Sulami, Hasan Raid, Achmadi Moestahal, Siauw Giok Thjan,

Kolonel A. Latif, M.F. Siregar hadir sebagai narasi para korban yang telah dihilangkan

dalam sejarah resmi Orde Baru.

Pasca-reformasi, terbukanya ruang kebebasan politik memberikan peluang bagi

pengembangan penulisan sejarah di Indonesia. Historiografi baru mulai marak dilakukan

seiring dengan adanya penemuan bukti-bukti baru dan keberagaman metodologi sejarah.

84 Lihat Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-Upaya

Pencarian Keadilan Dalam Masa Transisi di Indonesia, Jakarta: Elsam, 2004. 85 Oral history mulai dikenal dalam bidang sejarah, ketika pada tahun 1847, sejarawan Perancis,

Jules Michelet (professor ilmu sejarah di École Normale dan kepala kurator sejarah di Lembaga Arsip Negara) menulis kisah hidupnya dalam kaitannya dengan revolusi Perancis. Lihat, Paul Thompson, The Voice of the Past: Oral History, third edition, New York: Oxford University Press, 2000.

Page 124: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

124

Historiografi baru menjadikan sejarah lebih kaya. Orang semakin memahami terjadinya

suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu dan keterkaitannya dengan situasi sekarang.

Berbagai aktivitas diatas adalah bagian dari upaya masyarakat termasuk para korban

untuk mengungkap kebenaran di masa lalu. Tetapi, pengungkapan kebenaran tidak hanya

mencakup aktivitas di atas karena pengungkapan kebenaran jauh lebih kompleks dari

sejumlah aktivitas yang dipaparkan di atas. Dalam konteks teori transisi demokrasi,

pengungkapan kebenaran bersama dengan pengadilan dan rekonsiliasi adalah bagian

yang tak terpisahkan dari perjuangan suatu negara untuk menyelesaikan persoalan

pelanggaran HAM masa lalu.

Dalam konteks Indonesia yang baru saja keluar dari sistem politik otoritarian, telah

terjadi sejumlah perubahan positif dalam politik HAM, misalnya negara telah

meratifikasi sejumlah konvenan internasional mengenai HAM seperti Konvenan Anti

Penyiksaan, Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvenan Hak-Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya. Ada perubahan yang lebih baik dalam penanganan konflik di Aceh

dan Papua. Ada pemilu yang bebas, ada keragaman asas partai politik, serta makin

menguatnya kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat.

Di balik tingkat kemajuan politik HAM pasca-Orde Baru, penyelesaian pelanggaran

HAM masa lalu belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Model pengadilan lebih

sering menjadi alat impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM. Model rekonsiliasi

gugur sebelum jauh berkembang. Pengungkapan kebenaran juga belum menunjukkan

hasil yang menggembirakan.

Menurut para penganut konsep transisi demokrasi, situasi di atas adalah ciri khas dari

negara-negara yang baru beralih dari struktur politik otoritarian atau totaliter menuju

struktur politik yang demokratis tanpa melalui revolusi. Kelompok lama yang otoriter

sesungguhnya tidak keluar dari arena politik yang baru. Mereka masih memiliki kekuatan

politik yang mampu mempengaruhi pemerintahan baru. Situasi inilah yang disebut

sebagai transisi demokrasi.

Page 125: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

125

Ada beberapa problem dalam konsep transisi demokrasi. Pertama, argumen transisi

didasarkan pada logika linear, yaitu dari politik otoritarian/totaliter ke transisi demokrasi

kemudian menuju ke demokrasi. Argumen yang linear mengabaikan bahwa mungkin saja

keadaan politik dalam tahapan transisi demokrasi itu tidak menuju pada politik demokrasi

tetapi justru bisa berbalik ke politik yang lain.

Kedua, keringkihan ada pada situasi transisi bukan pada demokrasinya. Di balik argumen

ini, ada pengandaian bahwa kalau sudah masuk ke dalam situasi yang demokratis, tidak

ada lagi bahaya dari kelompok lama yang otoriter. Padahal, demokrasi bukanlah suatu

barang jadi atau konsep yang final. Demokrasi justru adalah suatu “ruang kosong”

(meminjam istilah Claude Lefort) yang diperebutkan terus menerus oleh semua pihak

bahkan pihak yang anti demokrasi sekalipun. Jadi, prinsip demokrasi adalah kontingensi.

Ketiga, Argumen tentang demokrasi yang ringkih membuat kita bisa terperangkap dalam

suatu sikap menerima atau lebih tepatnya mengalah demi keselamatan proyek transisi

demokrasi. Karena kita tahu bahwa para pelaku pelanggaran HAM masa lalu masih

punya kekuasaan yang besar, kita terpaksa berkompromi demi keselamatan demokrasi

yang baru mulai tumbuh. Kita lupa bahwa perjuangan meruntuhkan Orde Baru adalah

perjuangan politik yang sesungguhnya terjadi, bukan suatu kompromi politik dengan

penguasa dan para pendukung rejim Orde Baru.

Keempat, fokus kekhawatiran dari kaum transisionis adalah adanya ancaman rejim lama

untuk mengambil alih atau membalikkan proses demokrasi yang telah dicapai. Tetapi

ancaman sesungguhnya bukan terletak pada ancaman fisik dari rejim lama tetapi justru

rejim lama menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang terbentuk dalam situasi

politik yang lebih demokratis.

Kelima, dari konsep transisi demokrasi muncul istilah transitional justice. Istilah ini juga

punya problem. Muncul pertanyaan, apakah justice itu hanya berlaku pada situasi

transisi? Pertanyaan berikutnya, kalau sudah demokrasi apakah tidak ada lagi transitional

Page 126: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

126

justice? Apakah benar, ada keadilan yang khas dalam situasi transisi yang berbeda

dengan konsep keadilan lainnya?

Berangkat dari kritik terhadap konsep transisi demokrasi, kita perlu cermat dalam

menempatkan perjuangan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi yang

tepat yaitu perjuangan politik tanpa henti dalam situasi yang baru yaitu demokrasi.

Kelompok lama yang otoriter jelas tidak dengan suka rela akan tunduk begitu saja.

Mereka justru menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang ada dalam demokrasi,

bukan dengan ancaman kudeta seperti yang dikhawatirkan oleh penganut konsep transisi

demokrasi, mereka akan menggunakan segala cara untuk menghalangi upaya pencarian

keadilan bagi rakyat Indonesia, khususnya para korban.

Kita perlu menyadari bahwa demokrasi bukanlah konsep yang final. Situasi politik

Indonesia pasca Orde Baru memang lebih kondusif, tetapi perjuangan menegakkan

keadilan tak pernah berhenti. Pada titik inilah kita perlu meletakkan perjuangan merebut

sejarah masa lalu dalam kerangka perang ingatan. Pertarungan antara ingatan dari

kelompok yang tak ingin masa lalu diungkap berhadapan dengan ingatan para korban

yang ingin mengungkap pelanggaran HAM di masa lalu.

Memaknai masa lalu bukan sekadar membuat konsensus antara ingatan seperti yang

diinginkan oleh Akihiro Matsuno dan Asvi Warman Adam ketika mereka membicarakan

tentang perlunya sejarawan Indonesia dan Timor Timur untuk bersama-sama menulis

sejarah mereka. Mereka berharap tidak ada penulisan sejarah yang bertolak belakang oleh

sejarawan dari kedua negara agar tidak berdampak buruk bagi hubungan Indonesia

dengan Timor Leste.86

Memaknai sejarah masa lalu jelas adalah pertarungan politik untuk masa kini dan masa

depan. Pengungkapan masa lalu memiliki implikasi yang luas. Ketika para korban mulai

bercerita tentang penderitaan mereka, ketika para sejarawan membuat narasi baru tentang

suatu peristiwa kekerasan di masa lalu, para pelaku mulai merasa terganggu. Para pelaku

86 Lihat Asvi Warman Adam, Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2004.

Page 127: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

127

jelas tidak menghendaki masa lalu diungkap. Mereka akan mempertahankan versi

sejarahnya agar bisa lepas dari tanggung jawab sebagai pelaku pelanggaran HAM masa

lalu. Hasil dari perang ingatan antara korban dan pelaku sangat bergantung pada kekuatan

yang dimiliki oleh para pecinta demokrasi melawan kelompok lama yang otoriter dalam

alam demokrasi saat ini.

Sebelum masuk dalam pembicaraan mengenai pertarungan merebut masa lalu di era

pasca-Orde Baru, kita perlu lebih dahulu mengenali dan memahami bagaimana akar

politik kekerasan di Indonesia. Akar kekerasan itu dimulai dari sejarah berdirinya Orde

Baru.

Sejarah Kekerasan Orde Baru

Kemenangan Orde Baru atas pemerintahan Seokarno diawali oleh pembunuhan massal

pada tahun 1965-1966. Sejak awal, kekuasaan Orde Baru telah berlumuran darah. Politik

kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kekuasaan Orde Baru. Sejarah Orde Baru

tak lain adalah sejarah kekerasan itu sendiri.

Pembunuhan massal dimulai dari operasi militer di bawah pimpinan Kopassus ke daerah-

daerah yang dianggap menjadi basis PKI. Jejak yang ditinggalkan oleh operasi militer

penuh dengan darah. Sungai berubah warna menjadi merah, muncul lubang-lubang

raksasa tempat mayat bergeletakkan, udara dipenuhi dengan bau anyir dan kematian.

Virus kekerasan juga menulari kelompok masyarakat di daerah-daerah. Kekerasan yang

telah dimulai oleh militer menjadi contoh bagi kelompok-kelompok masyarakat yang anti

dengan PKI untuk memulai penyerangan terhadap mereka yang dituduh menjadi anggota

atau simpatisan PKI.

Setelah berhasil mengkonsolidasi politik dan keamanan, rejim Orde Baru menyadari

pentingnya membangun legitimasi sejarah demi keberlangsungan kekuasaannya.

Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan ABRI dan Kepala Pusat Sejarah ABRI adalah

tokoh utama yang berupaya menciptakan sejarah rejim Orde Baru. Nugroho memulai

Page 128: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

128

kerjanya dengan menerbitkan sebuah buku berjudul 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1

Oktober-10 November.87 Tak lama kemudian, Mayor Jendral Suwarto (komandan

Seskoad) mengirim Nugroho dan Ismael Saleh ke AS untuk bertemu dengan Guy Pauker,

seorang analis Indonesia dari Rand Corporation. Dengan bimbingan dari Pauker,

Nugroho dan Ismael Saleh kemudian menulis buku berjudul “The Coup Attempt of the

‘30 September Movement’ in Indonesia”.88

Penjelasan resmi Orde Baru atas peristiwa 1965 telah dilakukan oleh Nugroho, tetapi itu

tidaklah cukup. Rejim Orde Baru perlu membuat narasi sejarah yang diharapkan akan

diterima oleh rakyat Indonesia dan bertahan selama mungkin. Ada empat narasi utama

yang dibangun oleh rejim Orde Baru yaitu pertama, Orde Baru berhasil menyelamatkan

dan mempertahankan Pancasila. Kedua, Orde Baru adalah representasi dari kekuatan

melawan komunisme. Ketiga, Orde Baru adalah Orde Pembangunan yang bertujuan

untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Keempat tentang Dwi Fungsi ABRI. Keempat

narasi ini saling berkelindan. Orde Baru telah menyelamatkan Pancasila dari

penyelewengan komunis. Dengan pembangunan, Orde Baru bisa menghilangkan bibit-

bibit komunisme yang selalu menggunakan isu kemiskinan. Dwi Fungsi ABRI menjaga

keberlangsungan seluruh bangunan Orde Baru.

Adapun empat narasi sejarah utama Orde Baru adalah sebagai berikut:

1. Penyelamat dan Penjaga Pancasila

Militer pimpinan Soeharto berhasil mematahkan G-30-S dan menumpas anggota dan

simpatisan PKI yang dianggap bertanggung jawab atas G-30-S dalam pembunuhan

massal 1965-1966. Bagi rejim Orde Baru, G-30-S dan PKI mempunyai rencana untuk

mengganti ideologi negara, yaitu Pancasila dengan paham komunisme. Militer berhasil

87 Katherine E. McGregor, “Legacy of a Historian in the Service of an Authoritarian Regime,”

dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), Beginning to Remember: The Past in The Indonesian Present, Singapore: Singapore University Press, 2005, hlm. 216.

88 Katherine E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past, Singapore: NUS Press, 2007, hlm. 66.

Page 129: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

129

mengalahkan G-30-S pada tanggal 1 Oktober 1965. Tanggal 1 Oktober, oleh rejim Orde

Baru dijadikan sebagai hari Kesaktian Pancasila.

Pada tahun 1969, rejim Orde Baru mendirikan sebuah monumen di Lubang Buaya yang

menjadi tempat dikuburnya korban G-30-S. Monumen itu diberi nama Monumen

Kesaktian Pancasila. Lagi-lagi kata Kesaktian Pancasila digunakan. Menurut Klaus

H.Schreiner,89 Monumen Pancasila Sakti menjadi situs ingatan yang penting dalam

sejarah Orde Baru. Selain sebagai simbol kekuasaan dan intepretasi yang resmi, Lubang

Buaya juga menjadi tempat yang melukiskan trauma dalam kisah pembunuhan para

jenderal. Sesuai dengan konsep Pierre Nora tentang fungsi dari situs ingatan, Lubang

Buaya menjadi tempat menyimpan sejarah masa lalu dan sekaligus memicu ingatan para

pengunjung dan rakyat Indonesia tentang keberhasilan Orde Baru menyelamatkan

Pancasila.

Rejim Orde Baru selanjutnya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang

tunggal. Negara menjadi satu-satunya pemegang otoritas yang berwenang menetapkan

mana nilai yang Pancasilais dan mana yang bukan. Penataran P4 adalah implementasi

dari ideologisasi Pancasila. Tujuan dari P4 adalah menciptakan manusia-manusia

Pancasilais. Sebagai satu-satunya pemegang otoritas atas Pancasila, rejim Orde Baru

menganggap semua kebijakannya didasarkan pada Pancasila. Dengan itu, Orde Baru

menyamakan dirinya dengan Pancasila. Konsekuensinya adalah apabila ada

ketidakpuasan, kekecewaan dan penolakan terhadap Negara maka pihak tersebut

dianggap sebagai anti-Pancasila.

2. Anti-komunisme

Rejim Orde Baru merepresentasikan komunisme dengan segala sesuatu yang jahat.

Komunisme dianggap bertanggung jawab atas entitas yang jahat seperti khianat,

89 Klaus H. Schreiner, “Lubang Buaya: Histories of Trauma and Sites of Memory,” dalam Mary

Zurbuchen (ed.), Beginning To Remember: The Past In The Indonesian Present, Washington: University of Washingthon Press, 2005. Scheiner menggunakan pemikiran dari Sejarawan Perancis, Pierre Nora tentang lieux de mémoire (sites of memory atau situs ingatan).

Page 130: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

130

berontak, serakah dan yang juga tak kalah penting adalah atheis. Sebagai lawannya, rejim

Orde Baru mengindetikkan diri dengan yang baik seperti setia, taat aturan, adil dan

bersandar pada prinsip Ketuhanan.

PKI meski telah dikalahkan dan ditumpas pada 1965-1966, oleh Orde Baru dihidupkan

kembali sebagai hantu yang selalu mengancam kehidupan rakyat Indonesia. Berbagai

hantu komunisme telah “dibangunkan kembali” seperti bahaya laten komunisme,

komunis gaya baru (KGB), organisasi tanpa bentuk (OTB), kiri baru. Hantu itu tak selalu

muncul setiap saat. Hantu itu hadir menakuti-nakuti dan mengancam rakyat ketika sang

penguasa hantu (rejim Orde Baru) membutuhkannya. Namun demikian, efek dari hantu

itu hadir setiap saat dalam kehidupan rakyat Indonesia.

3. Pembangunan

Pembangunan menjadi narasi sejarah yang sangat penting bagi keberlangsungan

kekuasaan Orde Baru. Pembangunan menjadi batas antara masa lalu dan masa kini

sekaligus menjanjikan penghidupan yang lebih baik di masa depan. Dengan merujuk

situasi pemerintahan Soekarno di masa lalu yang penuh dengan kekacauan politik dan

tingkat perekonomian yang sangat buruk, Orde Baru menciptakan citra sebagai orde yang

stabil di bidang politik dan maju di bidang ekonomi.

Pembangunan adalah ideologi Orde Baru untuk memenuhi citranya sebagai orde yang

ingin memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pasar dalam negeri di buka untuk

investasi asing, IMF dan World Bank diundang untuk memberikan pinjaman, para

teknokrat lulusan Barkeley University merumuskan rencana pembangunan. Strategi

pembangunan yang dipilih adalah trickle down effect (teori menetes ke bawah), yaitu

mendorong terciptanya kelompok-kelompok usaha raksasa dalam negeri yang diharapkan

akan meneteskan sebagian kemakmurannya bagi rakyat.

Bagi rejim Orde Baru, pembangunan membutuhkan tingkat politik yang stabil sebagai

prasyarat. Lagi-lagi merujuk pada masa lalu, rejim tak menginginkan liberalisasi politik.

Page 131: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

131

Rejim menolak adanya oposisi. Politik kalau perlu disederhanakan sehingga tak tercipta

rivalitas politik. Politik juga harus disterilkan dari kekuatan rakyat melalui konsep massa

mengambang.

Adanya pinjaman dalam jumlah besar, tingkat investasi yang tinggi, strategi

pembangunan yang tepat, dan politik yang stabil telah mendatangkan hasil. Statistik

ekonomi menunjukkan tingkat perekonomian yang tinggi, bangunan-bangunan fisik

menjulang menjangkau langit, para konglomerat berkerumun di sekitar istana dan jalan

Cendana berbagi jatah pembangunan. Tingkat perekonomian yang terus beranjak naik

makin memperkuat legitimasi kekuasaan rejim Orde Baru. Meskipun demikian, selalu

ada penentangan terhadap pembangunan. Penentangan dari rakyat dipandang rejim Orde

Baru sebagai musuh pembangunan yang harus disingkirkan. Pembangunan harus jalan

terus meskipun ada korban. Adanya korban hanyalah ekses di lapangan bukan kesalahan

pada konsep pembangunannya. Di depan pembangunan, korban tak mempunyai nilai apa-

apa.

4. Dwi Fungsi ABRI

ABRI adalah komponen utama dari rejim Orde Baru. ABRI menjadi garda depan yang

mengalahkan G-30-S/PKI. ABRI juga mencitrakan diri sebagai penyelamat dan penjaga

Negara ini, karena itu ABRI berhak untuk memimpin politik Indonesia. ABRI juga terus

mengingatkan akan peran pentingnya dalam sejarah berdirinya Negara ini. Masa lalu

menjadi basis legitimasi peran ABRI di masa kini dan akan datang. Seminar AD ke-2

pada tahun 1966 di Seskoad menghasilkan suatu konsep penting yaitu Dwi Fungsi ABRI.

Konsep ini adalah pengembangan lebih lanjut dari konsep kelompok Suwarto (komandan

Seskoad) mengenai “misi sipil” Angkatan Darat (AD). AD harus berfungsi sebagai

“agency” untuk keamanan nasional, “agency” untuk nation building, “agency” untuk

national growth dan national prosperity. 90

90 R.E. Olson, Soeharto: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2001, hlm. 155-

156.

Page 132: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

132

Dwi Fungsi ABRI berarti ABRI mempunyai fungsi pertama sebagai alat negara di bidang

pertahanan dan keamanan, dan fungsi kedua adalah Sosial-Politik. Dwi Fungsi ABRI

menjadi legitimasi ABRI untuk mengurus semua hal di negeri ini. Pada jaman Orde Baru,

sebagian besar jabatan publik dipegang oleh militer. Di bidang pertahanan keamanan,

tugas ABRI adalah mengamankan kedaulatan wilayah dan juga keberlangsungan politik

di negeri ini.

Ketika ada gangguan terhadap politik nasional, gangguan terhadap pembangunan, ABRI

tampil ke depan menyingkirkan setiap pihak yang dipandang negara sebagai musuh.

Dengan menggunakan pendekatan keamanan, ABRI mengkontrol secara ketat aktivitas

rakyat Indonesia. Dengan pendekatan keamanan, ABRI berhak bertindak keras terhadap

pihak-pihak yang menjadi korban dari pembangunan, dan pihak-pihak yang

berseberangan secara politik dengan pemerintahan Orde Baru.

Pertarungan Memperebutkan Masa Silam di Era Pasca-Orde Baru

Kekuasaan Orde Baru akhirnya runtuh juga pada tahun 1998. Legitimasi sejarah yang

telah dibangun selama 32 tahun tak cukup menolong keruntuhannya. Penyelamat

Pancasila itu malah menyelewengkan nilai luhur dari Pancasila yang telah dirumuskan

oleh para pendiri bangsa. Hantu komunisme tak lagi menakutkan para mahasiswa.

Pembangunan justru menghasilkan krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak 1997.

Rakyat tak lagi takut menghadapi pendekatan keamanan ABRI, kaum sipil tak rela

segalanya dipimpin oleh ABRI.

Dominasi sejarah Orde Baru telah hilang, kini muncul keragaman sejarah baru. Sejarah

ditulis kembali dalam keragaman metodologi. Ingatan tentang kepahlawanan Orde Baru

kini diganti oleh ingatan tentang dosa-dosa Orde Baru. Para korban yang dulu tersingkir

dari panggung politik Indonesia kini hadir kembali mementaskan cerita-cerita baru

tentang penderitaan di masa silam dan harapan di masa depan.

Page 133: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

133

Demokrasi telah membawa nilai-nilai baru seperti penghormatan terhadap kemanusiaan,

kebebasan dan kesetaraan politik serta keadilan ekonomi. Demokrasi mengundang semua

pihak untuk memasuki dan mengisi makna dari demokrasi. Karena semua pihak boleh

masuk dan mengisi demokrasi, maka para korban yang dulunya dipinggirkan di jaman

Orde Baru kini bebas untuk mengekspresikan dan melaksanakan keinginan mereka.

Tetapi juga pada saat yang bersamaan, kelompok lama yang otoriter di jaman Orde Baru

juga tak dilarang untuk memaknai demokrasi. Demokrasi memungkinkan pihak-pihak

yang berseberangan secara politik untuk bersaing dalam merebut demokrasi. Tak

mengherankan, dalam demokrasi saat ini muncul pertarungan politik antara kekuatan-

kekuatan yang dulu berseberangan, di mana pengungkapan kebenaran masa lalu

merupakan salah satu wacana yang diperebutkan.

Para korban dan pejuang kemanusiaan berjuang untuk mengungkap masa lalu yang tak

adil dan berharap para korban akan mendapat keadilan dan menjadi pembelajaran yang

penting bagi kehidupan politik masa kini dan masa depan. Kelompok-kelompok lama

yang otoriter juga menganggap penting masa lalu, tetapi dengan motif yang berbeda.

Bagi kelompok ini, pengungkapan kebenaran di masa lalu akan mengancam keberadaan

mereka saat ini dan di masa depan. Karena itu mereka akan berusaha dengan sekuat

mungkin menghalangi pengungkapan kebenaran di masa lalu.

Kita bisa melihat bagaimana pertarungan antara kedua kelompok untuk memperebutkan

masa lalu dalam uraian atas sejumlah isu di bawah ini:

1. Peristiwa 1965

Pertarungan narasi 1965:

Hadirnya Narasi Para Korban dan Historiografi Baru Mengenai 1965

Sejak rejim Orde Baru berakhir, muncul kecenderungan baru dalam penulisan sejarah

masa lalu. Rejim Sejarah (meminjam istilah Ruti G.Teitel) yang telah bertahan selama 32

Page 134: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

134

tahun, kini mulai digugat. Kebenaran sejarah yang menjadi legitimasi kekuasaan Orde

Baru mulai digugat. Gugatan sejarah itu tidak saja berasal dari para sejarawan, tetapi juga

berasal dari para korban Orde Baru yang mulai menuliskan pengalaman penderitaannya.

Hadirnya narasi sejarah yang baru menggugat kebenaran sejarah yang selama ini dikuasai

oleh para pemenang politik. Rejim politik Orde Baru yang menang dalam kemelut politik

1965 menciptakan rejim sejarahnya demi keberlangsungan kekuasaannya. Monumen

Pancasila Sakti, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Buku Sejarah Nasional Indonesia

(SNI), adalah representasi rejim sejarah Orde Baru.

Para korban Orde Baru menghadirkan kembali masa lalu tetapi dari sudut pandang orang

yang kalah, orang yang trauma dan orang yang telah lama bisu. Mereka tidak hanya

bercerita tentang peristiwa-peristiwa besar, atau tentang kepahlawanan mereka. Mereka

juga bercerita tentang peristiwa-peristiwa kecil, peristiwa yang dekat dalam kehidupan

mereka, tentang derita dan kesenyapan hidup mereka.

Pada saat yang bersamaan, para sejarawan membuat historiografi baru mengenai

peristiwa 1965. Menurut Gerry van Klinken, ada empat arus historiografi di era pasca-

Orde Baru: (1) arus nasionalis ortodoks; (2) historiograsi sosial pada level nasional; (3)

historiografi ethno-nasionalis; dan (4) sejarah lokal.91 Sejarawan Asvi Warman Adam

menggunakan istilah pelurusan sejarah. Menurut Asvi, sejarah merupakan dialektika

antara masa lampau dengan masa sekarang. Dialog itu tidak berkesudahan antara

sejarawan dan sumber yang dimilikinya. Bila ditemukan data baru, sejarah itu bisa

mengalami revisi.92

Adanya historiografi baru membawa dampak yang luar biasa dalam penulisan sejarah di

era pasca-Orde Baru. Apa yang terjadi di era 1965 khususnya soal gerakan pada tanggal

30 September, dan tindakan dari ABRI pimpinan Soeharto adalah peristiwa yang menjadi

objek penelitian dan penulisan historiagrafi yang baru. Salah satu buku tentang peristiwa

91 Gerry van Klinken, “The Battle for History After Soeharto,” dalam Mary S. Zurbuchen (ed.),

The Past In The Indonesian Present, Singapore: Singapore University Press, 2005, hlm. 237.

Page 135: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

135

1965 adalah buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal karangan John Roosa.93 John

menemukan sebuah bukti baru yang sangat penting berkenaan dengan G-30-S, yaitu

dokumen yang ditulis oleh Brigadir Jendral Suparjo (salah satu wakil komandan G-30-S).

Penemuan dokumen itu telah mempengaruhi John dalam memikirkan kembali tentang

kerumitan dan kemisteriusan dari gerakan 1965 dan kaitannya dengan pembunuhan

massal yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Para Penentang

Pada tahun 1999, Departemen Pendidikan membuat suatu proyek penulisan sejarah yang

dipimpin oleh sejarawan Anhar Gonggong (seorang pengikut Nugroho Notosusanto).94

Tujuan dari proyek ini adalah memberi arahan kepada para guru sejarah (tingkat dasar

dan menengah) untuk mengatasi perbedaan versi tentang sejarah. Tugas dari proyek ini

adalah mengakhiri ketidakpastian dan konsekuensi negatif yang akan mengancam

kebersamaan.

Bulan Agustus 2007, Depdiknas dan Kejaksaan Agung mengadakan sweeping dan

penarikan dari toko-toko buku atas sejumlah buku-buku pelajaran sejarah yang tidak

mencantumkan PKI dalam G-30-S/PKI. Di beberapa tempat, polisi bersama para guru

membakar ratusan buku pelajaran sejarah yang dianggap tidak sesuai dengan versi

sejarah resmi. Alasan yang dikemukan adalah adanya berbagai versi sejarah terutama

mengenai peristiwa G-30-S/PKI 1965 telah membingungkan para siswa dan orang

tuanya.

Pada waktu yang hampir bersamaan juga terjadi sweeping terhadap buku-buku umum

yang dianggap mengandung ajaran Marxisme-Leninisme. Toko Buku Ultimus di

Bandung diserang sebuah kelompok pemuda. Acara seminar tentang Marxisme

internasional di Bandung dibubarkan, dan seorang pembicara dari luar negeri dideportasi.

92 Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Tride, 2004. 93 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta:

Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. 94 Van Klinken (2005), hlm. 242.

Page 136: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

136

Di salah satu daerah di Jawa Tengah, kelompok-kelompok Islam membubarkan

pertemuan para korban 1965.

Sweeping, pembakaran dan pelarangan terhadap peredaran buku-buku pelajaran sejarah,

buku-buku kiri, serangan terhadap aktivitas ilmiah dan kebudayaan yang dituduh kiri

adalah bentuk dari perang ingatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang anti

terhadap komunisme. Bagi kelompok-kelompok itu, keragaman penulisan sejarah tidak

hanya menimbulkan ketidakpastian terhadap sejarah yang telah diyakini selama tiga

dasawarsa. Keberagaman sejarah dianggap berpotensi mengancam dan menghancurkan

fondasi kebenaran dan legitimasi kekuasaan yang selama ini dipegang oleh kelompok

tersebut.

Pertarungan di wilayah kebudayaan:

Prahara Budaya

Pada tahun 1995, terbit sebuah buku berjudul Prahara Budaya. Buku ini ditulis oleh dua

budayawan Manikebu,95 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail.96 Pokok dari buku ini adalah

memberi gambaran tentang situasi yang terjadi di masa lalu, khususnya serangan dari

pihak Lekra terhadap budayawan Manikebu.

Politik ingatan dari kedua penulis ini sangat jelas, yaitu menghadirkan masa silam versi

mereka guna menghadapi makin populernya karya-karya Pramudya Ananta Toer di mata

generasi muda. Pada level politik nasional, rejim Orde Baru juga menghadirkan hantu

komunisme gaya baru. Tak henti-hentinya, pemerintah mengingatkan masyarakat untuk

waspada terhadap gerakan komunisme gaya baru.

95 Istilah Manikebu memang agak problematik. Istilah ini dipakai oleh kelompok-kelompok yang

anti dengan kubu penanda tangan Manifesto Kebudayaan untuk menghina. Manikebu sering diasosiakan sebagai maninya kerbau. Namun demikian istilah ini terpaksa dipakai untuk menggambarkan perbedaan antara kedua kubu budayawan pada dasawarsa 1960-an.

96 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK, Bandung: Mizan, 1995.

Page 137: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

137

Dalam sebuah diskusi di FISIP UI sekitar tahun 1995, Taufik Ismail mendapat reaksi

negatif dari para mahasiswa. Para mahasiswa mempersoalkan nafsu membalas dendam

Taufik terhadap budayawan Lekra yang telah menjadi korban rejim Orde Baru. Beberapa

hari kemudian, seorang pengajar FISIP UI menulis di sebuah harian nasional mengenai

adanya gerakan kiri baru di kampus UI.

Polemik Hadiah Magsasay untuk Pramudya Ananta Toer

Pemerintah Filipina menganugerahkan hadiah Magsasay kepada Pramudya Ananta Toer.

Hadiah Magsasay adalah penghargaan yang prestisius bidang kebudayaan di tingkat Asia

Tenggara. Penghargaan diberikan kepada Pram atas dedikasi dan sumbangannya di

bidang kebudayaan dan kemanusiaan. Pemberian hadiah Magsasay kepada Pram

mendapat reaksi yang beragam di dunia kebudayaan Indonesia. Sejumlah budayawan

termasuk budayawan Manikebu yang dulunya menjadi lawan polemik Lekra mengecam

pemberian hadiah Magsasay kepada Pram.

Para budayawan seperti Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Rendra, Ikranegara, dll., secara

gencar mengingatkan masyarakat tentang apa yang dilakukan Pram di masa silam. Bagi

mereka, Pram bertanggung jawab penuh atas nasib budayawan Manikebu yang tertindas

pada jaman Orde Lama. Mereka menuntut pemerintah Filipina mencabut kembali hadiah

Magsasay buat Pram. Mochtar Lubis yang pernah memperoleh hadiah Magsasay malah

mengembalikan hadiah Magsasay ke pemerintah Filipina.

Sebaliknya, sekitar ratusan budayawan muda mendukung Pram. Termasuk di dalamnya

adalah budayawan Goenawan Muhammad yang dulunya berseberangan dengan Pram.

Para budayawan yang dimotori oleh Jaringan Kerja Budaya menganggap Pram sangat

pantas memperoleh hadiah Magsasay atas karyanya yang monumental, Tetralogi Bumi

Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Goenawan Muhammad dan Lekra

Page 138: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

138

Goenawan Muhammad (GM) adalah seorang budayawan yang unik. GM adalah seorang

penandatangan Manifesto Kebudayaan pada dasawarsa 1960-an. Pada jaman itu, GM

berhadap-hadapan dengan kubu Lekra. Setelah rejim Orde Baru berkuasa, budayawan

Lekra tersingkir dari panggung kebudayaan Indonesia. Ketika budayawan Lekra tampil

kembali ke panggung, tidak seperti rekan-rekannya di kubu Manikebu, GM justru

menyambut dengan baik. Dalam polemik mengenai pemberian hadiah Magsasay terhadap

Pramudya Ananta Toer, GM berbeda dengan rekan-rekan Manikebunya. GM memilih

bergabung dengan budayawan lainnya yang mendukung Pramudya Ananta Toer.

Bentuk penghargaan GM terhadap karya budayawan Lekra juga ditunjukkan melalui

sejumlah tindakan. Ketika Sanggar Bumi Tarung mengadakan pameran seni rupa ke-2 di

Galeri Nasional Indonesia pada tanggal 19-29 Juni 2008, GM menyambut gembira

melalui tulisannya di Kompas.

2. Kerusuhan 27 Juli 1996 dan Penculikan Para Aktivis Pro-Demokrasi

Campur tangan yang besar dari rejim Orde Baru terhadap aktivitas partai politik di

Indonesia telah menimbulkan gejolak dalam tubuh PDI. Kekhawatiran rejim akan

popularitas Megawati Soekarno Putri telah mendorong rejim mengambil kebijakan untuk

mencampuri urusan internal PDI.

Rejim mendorong kembali bekas ketua PDI Soerjadi untuk menandingi karisma dari

Megawati. Ujung dari campur tangan pemerintah adalah diselenggarakannya Konggres

Medan yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang baru mengganti

Megawati. Mayoritas anggota PDI tetap mendukung kepemimpinan Mega. Sebagian

kelompok pro-demokrasi yang bersimpati terhadap Mega turut bergabung. Aliansi

anggota PDI dan kelompok pro-demokrasi lainnya memusatkan kekuatan di markas PDI

di Menteng.

Page 139: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

139

Pemerintah semakin marah atas perlawanan kelompok pendukung dan simpatisan Mega,

memutuskan untuk bertindak lebih jauh dengan mendorong kubu Soerjadi dan dibantu

oleh ratusan preman menyerang markas PDI. Dalam serangan itu, jatuh banyak korban.

Penyerangan terhadap markas PDI malah memperbesar masalah. Rakyat melampiaskan

kemarahannya kepada tindakan yang tidak adil oleh para penyerang dengan membakar

sejumlah kantor dan fasilitas umum. Kerusuhan meledak di sebagian wilayah Jakarta

pada tanggal 27 Juli 1996.

Setalah kerusuhan 27 Juli 1996, pemerintah Orde Baru mencari kambing hitam baru yaitu

PRD, sebuah organisasi massa di bawah pimpinan Budiman Soejadmiko. Pemilihan PRD

sebagai kambing hitam berkaitan dengan upaya rejim menghadirkan kembali hantu

komunisme dalam peristiwa 27 Juli 1996. Hantu komunisme dilekatkan pada PRD yang

menurut rejim mempunyai agenda politik kekiri-kirian mirip dengan PKI di masa lalu.

Tak cukup dengan mengkambinghitamkan PRD, rejim Orde Baru terus mengejar dan

menangkap para aktivis PRD. Sebagian pengurus PRD ditangkap dan dipenjarakan, tetapi

ternyata juga berjalan operasi penculikan paksa terhadap sejumlah aktivis PRD, aktivis

pro-demokrasi lainnya dan aktivis partai politik. Operasi penculikan dilakukan oleh

sebuah grup dalam kopassus yang bernama Tim Mawar. Penculikan para aktivis ini

segera mendapat reaksi keras dari sejumlah organisasi dan pejuang kemanusiaan. Kontras

di bawah pimpinan Munir adalah lembaga kemanusiaan yang paling berani dan aktif

mengkampanyekan pembebasan para aktivis yang diculik. Karena kerasnya perjuangan

menuntut pembebasan aktivis yang diculik, militer melepaskan sejumlah aktivis pro-

demokrasi tetapi sebagian aktivis tetap tak jelas nasibnya. Militer tak memberi jawaban

atas nasib para aktivis yang diculik tetapi belum dibebaskan. Setelah reformasi,

perjuangan para korban dan aktivis kemanusiaan untuk menuntut penyelesaian kasus 27

Juli 1996 dan penculikan paksa aktivis pro-demokrasi makin gencar. Kampanye terus

dilakukan agar rakyat terus mengingat akan kejamnya politik Orde Baru.

Dalam penyelesaian kasus 27 Juli 1996, derasnya tuntutan akan penyelidikan dan proses

hukum terhadap para pelaku tak menggerakan hati pemerintahan Megawati untuk

Page 140: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

140

mengadili para pelaku. Mega yang menjadi korban dalam penyerangan kantor PDI

memilih diam dan malah mendukung Sutiyoso sebagai gubernur DKI. Padahal, Sutiyoso

disinyalir turut bertanggung jawab atas peristiwa penyerangan kantor PDI.

Dalam kasus penculikan paksa, ada pengadilan terhadap tim Mawar tetapi sebagian besar

bebas. Proses hukum ternyata tak berhasil memperoleh informasi mengenai jalannya

operasi penculikan dan juga tak berhasil mengorek keterangan tentang bagaimana nasib

korban penculikan yang belum dibebaskan sampai saat ini.

3. Trisakti, Semanggi I dan II, dan Kerusuhan Mei

Penderitaan rakyat Indonesia semasa Orde Baru telah mendorong radikalisasi gerakan

rakyat. Kelompok-kelompok mahasiswa dan para pejuang HAM adalah garda depan dari

gerakan reformasi 1998. Rejim Orde Baru semakin khawatir melihat perkembangan dari

gerakan pro-demokrasi di Indonesia.

Mahasiswa yang telah didepolitisasi melalui konsep NKK/BKK bangkit kesadarannya

akan penderitaan rakyat akibat tindakan represif Orde Baru dan pembangunan yang tak

berpihak pada nasib mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Gerakan mahasiswa masa

lalu juga menjadi inspirasi bagi mahasiswa di tahun 1997-1998 untuk melawan

kekuasaan Orde Baru yang otoriter. Mahasiswa teringat para pendahulunya seperti

gerakan mahasiswa 1966, 1974, 1978, kelompok-kelompok studi dan aksi di era 1980-an

yang berani mengatakan tidak kepada penguasa yang lalim.

Aksi mahasiswa menjalar dari kampus ke kampus, dari kota ke kota bahkan sampai

menyeberang lautan ke seluruh pelosok Indonesia. Melintasi kampus negeri dan swasta,

melintasi latar belakang ekonomi mahasiswa. Semuanya serempak meneriakkan yel-yel

reformasi, turunkan harga, dan menuntut Presiden Soeharto mundur. Pada 12 Maret

1998, mahasiswa universitas Trisakti mengadakan aksi di depan kampusnya di Grogol.

Aksi yang semula berjalan damai ternyata berujung duka. Empat mahasiswa tewas

Page 141: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

141

diterjang peluru aparat. Kematian empat mahasiswa itu segera mendatangkan simpati dan

kemarahan yang luas dari masyarakat.

Situasi politik yang memanas pasca-penembakan di Trisakti dan psikologi massa yang

marah dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk makin memanaskan situasi politik

nasional. Kelihatan seperti spontanitas massa yang marah akibat tragedi Trisakti, tetapi

kerusuhan yang terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan di hampir seluruh wilayah

Jakarta menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di balik

kerusuhan Mei 1998. Dari segi sasaran, ada korban utama yaitu kelompok masyarakat

keturunan Tionghoa dan masyarakat miskin yang terperangkap dalam gedung-gedung

yang terbakar. Dari segi jenis kelamin, perempuan adalah korban terbanyak. Mereka

dianiaya, diperkosa dan bahkan dibunuh.

Naiknya Wakil Presiden Habibie untuk menggantikan Presiden Soeharto yang mundur

tidak berarti bahwa situasi politik menjadi lebih baik. Mahasiswa menolak mengakui

kepemimpinan Habibie yang dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rejim

Orde Baru. Penolakan ini diekspresikan melalui aksi-aksi mahasiswa yang telah memilih

keluar kampus untuk berdemonstrasi. Dalam aksi demonstrasi di depan kampus

Atmajaya, tentara menyerang dengan menggunakan peluru tajam ke arah mahasiswa.

Akibatnya sejumlah mahasiswa tewas tertembak. Wawan, mahasiswa Atmajaya yang

menjadi relawan kesehatan hendak menolong para korban malah jatuh tersungkur akibat

tertembak dan akhirnya meninggal. Tragedi ini kemudian dikenang sebagai tragedi

Semanggi I.

Masalah kekerasan oleh militer di kampus Atma Jaya belum diselesaikan, jatuh korban

lagi di lokasi yang berdekatan. Kali ini yang menjadi korban adalah Yun Hap, seorang

mahasiswa UI yang bersama teman-temannya di Posko Teknik UI mengadakan aksi

mahasiswa menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Peristiwa

penembakan justru terjadi ketika situasi tengah cooling down. Mahasiswa yang baru

selesai aksi sedang beristirahat di jalur hijau jalan Sudirman. Tak lama berselang melintas

truk tronton yang berisi pasukan tentara dan dari tronton itu, meletus tembakan ke

Page 142: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

142

berbagai arah. Akibatnya, Yun Hap tewas tertembak. Ini dikenal sebagai tragedi

Semanggi II.

Pengungkapan kebenaran atas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dilakukan oleh

Komnas HAM. Proses hukum juga dilakukan atas sejumlah prajurit yang dianggap

terlibat dalam peristiwa penembakan di Trisakti. Mahasiswa Trisakti pada awalnya

menyambut positif, tetapi perlahan-lahan meredup setelah proses persidangan

menunjukkan hasil yang sangat mengecewakan. Mahasiswa dan aktivis kemanusiaan

lainnya berupaya untuk memperjuangkan kasus TSS supaya dijadikan sebagai kasus

pelanggaran HAM berat. Para wakil di DPR dipercayakan untuk menentukan kasus TSS,

tetapi hasilnya sungguh mengecewakan. DPR memutuskan bahwa peristiwa TSS bukan

pelanggaran HAM berat. Keputusan politik DPR telah mendorong Kejaksaan Agung

untuk menolak menindaklanjuti hasil laporan Komnas HAM.

Sirnalah harapan para orang tua korban yang meninggal. Orang tua Wawan sangat sedih

karena anak mereka satu-satunya tidak mendapat keadilan. Demikian juga dengan orang

tua dan keluarga dari para korban yang tewas. Dalam pengungkapan kebenaran masalah

kerusuhan Mei 1998, muncul sejumlah problem. Berkembang suatu opini bahwa para

korban yang tewas terbakar adalah para penjarah, karena itu kasus itu tak perlu diungkap.

Persoalan lain adalah sulitnya tim investigasi mendapat informasi dari para korban,

khususnya perempuan yang menjadi korban pemerkosaan.

4. Aceh dan Papua

Aceh:

Di dunia ini, hanya ada satu kisah tentang orang yang memancing dengan linangan

air mata, yaitu di daerah Idi Cut. Dengan linangan air mata, warga yang tinggal di

sekitar sungai Arakundoe, Aceh Timur memancing. Yang dipancing bukan ikan,

tetapi mayat-mayat yang dibenamkan di sungai Arakundoe yang dalam dan deras

arusnya.

Page 143: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

143

Tanggal 26 Maret 1999, Presiden Habibie mengunjungi Aceh. Dalam kunjungan itu,

Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh dan keluarga korban Daerah

Operasi Militer (DOM). Wiranto sebagai Menhankam/Pangab juga mengunjungi Aceh

dan berjanji akan mengakhiri DOM dan memulai perdamaian di Aceh. Habibie

membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus DOM Aceh di bawah pimpinan Hari

Sabarno. Dalam bekerja, TPF melakukan pertemuan dengan para korban. Berbagai

organisasi sosial di Aceh juga mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para korban.

Dalam suatu pertemuan publik di Idi Cut, seorang ibu membawa anaknya yang masih

berusia 10 tahun. Sebelum pertemuan, anak itu bertanya kepada ibunya, “Ibu, untuk apa

kita ke sana (pertemuan publik)? Nanti kita dilempar ke sungai Arakundoe.” Anak ini

adalah salah satu korban dalam tragedi di Idi Cut pada tanggal 2 Februari 1999, dan

mengalami trauma sejak saat itu. Ketika dia melihat seorang prajurit berpakaian loreng,

anak itu pasti menangis ketakutan.97 Dalam pertemuan dengan perempuan-perempuan

Aceh yang telah kehilangan suaminya (karena meninggal atau hilang selama masa

DOM).

Permintaan maaf yang dilakukan Habibie, pembentukan TPF dan jaminan dari Wiranto,

ternyata tak cukup menghalangi aksi kekerasan oleh pasukan di Aceh. Pada tanggal 3

Mei 1999, Yonif 113 melakukan penyerangan terhadap rakyat yang sedang berkumpul di

daerah Simpang KKA, Kruleng Geukueh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Dalam

penyerangan itu, jatuh korban 65 orang meninggal, 10 orang hilang dan ratusan lainnya

terluka. Dalam peristiwa itu seorang anak kecil berusia 7 tahun bernama Saddam Husein

turut menjadi korban yang tewas.98 Menurut Kontras, kekerasan terus berlangsung di

Aceh. Kontras mencatat dari tahun 1999 sampai 2002, korban meninggal sebanyak 524

orang, 1720 kasus penghilangan paksa dan 1577 penangkapan sewenang-wenang.99

Habibie meski telah membentuk TPF, tetapi ternyata tidak menindaklanjuti hasil laporan

TPF. Menkopolkam Feisal Tanjung malah pernah menyatakan bahwa peristiwa

97 Fikar W. Eda dan S. Setya Dharma, Sebuah Kesaksian: Aceh Menggugat, Jakarta: Sinar

Harapan, 1999. 98 Ibid.

Page 144: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

144

pembantaian di Aceh tidak terkait dengan masalah HAM. Feisal Tanjung juga

menyatakan bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Aceh merupakan karangan belaka.100

Menurut pandangan sejumlah mantan pimpinan militer tentang hasil laporan TPF,

jatuhnya korban di Aceh patut disesali, tetapi jangan menghalangi politik ke depan.

Mantan direktur Bais, Letjen Arie Sudewo menyatakan bahwa dalam suatu operasi

militer, tak terhindarkan jatuhnya korban. Korban di Aceh tidak hanya berkaitan dengan

operasi militer Indonesia, tetapi bisa juga korban dari operasi DI/TII, G-30-S.

Menurutnya, lebih baik kita berpikir ke depan. Menurut Theo Syafei, ada upaya

sistematis untuk membuat rakyat semakin berani dan kemudian menghujat ABRI karena

ekses-ekses yang terjadi. Theo berharap agar masyarakat tidak menggeneralisir persoalan

yang terjadi di Aceh.101

Sampai saat ini, meskipun situasi politik di Aceh semakin damai berkat perjanjian damai

di Helsinki, tetapi tidak berarti bahwa pengungkapan kebenaran di masa lalu menjadi

lebih baik. Laporan TPF tinggal menjadi catatan sejarah, karena para pelaku tak tersentuh

oleh hukum.

Papua:

Selama 35 tahun proses pembangunan di tanah Papua, ia tak ubahnya dijadikan

ideologi dan kebijakan yang dipaksakan. Membuat orang Papua merasa terbuang

di tanahnya. Tidak heran bila ujung-ujungnya pembangunan di tanah Papua ini

justru dilihat sebagai penjajahan. Akibatnya, ramai-ramailah mereka minta

merdeka. (Pendeta Herman Saut)

Tanah Papua, tanah yang luas, kaya dan indah. Tanah yang indah tetapi menyimpan

gejolak dan derita. Tiap tahun, Keuskupan Jayapura membuat laporan tentang kondisi

99 Kontras, Aceh, Damai Dengan Keadilan : Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: Kontras,

2006. 100 Eda dan Dharma (1999), hlm. 157. 101 Ibid., hlm. 215.

Page 145: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

145

kemanusiaan di Aceh. Laporan itu berjudul Memoria Passionis (ingatan akan

penderitaan) menunjukkan simpati dari pihak Gereja terhadap nasib rakyat Papua.

Seperti Aceh dan Timor Timur, rejim Orde Baru menggunakan pendekatan keamanan

untuk menjamin kedaulatan NKRI atas wilayah Papua. Pendekatan keamanan yang

awalnya digunakan untuk menghabiskan kekuatan Organisasi Papua Merdeka (OPM),

berubah menjadi operasi yang ditujukan ke masyarakat sipil yang dianggap menjadi

simpatisan OPM. Dari waktu ke waktu, korban terus berjatuhan. Pembunuhan Arnold Ap

(antropolog dan kurator di Museum Daerah Irian Jaya) menunjukkan kebijakan Orde

Baru yang selalu mencurigai aspirasi rakyat Papua termasuk aktivitas memelihara dan

memajukan kebudayaan Papua seperti yang dilakukan oleh Arnold AP.

Ketika situasi politik nasional menjadi lebih demokratis, rakyat Papua mulai aktif

memperjuangkan kepentingan mereka. Pada tanggal 26 Februari 1999, 100 tokoh Papua

(Tim 100) berangkat ke Jakarta untuk berdialog dengan Presiden Habibie. Dalam dialog

itu, Tim 100 mengungkapkan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Keinginan sebagian rakyat Papua untuk merdeka tidaklah mengherankan. Berbagai

kebijakan pembangunan dan pendekatan keamanan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru

telah memupuk kekecewaan yang sangat besar terhadap Indonesia. Rakyat Papua marah

karena tanah-tanah ulayatnya dirampas demi pertambangan, lokasi transmigrasi, peluang

kerja hanya terbatas bagi rakyat Papua yang berpendidikan, sektor ekonomi dikuasai oleh

para pendatang.102 Akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan mendorong perluasan

dari gerakan menuntut kemerdekaan.

Sikap politik pemerintah Indonesia berbeda-beda sejak dari jaman pemerintahan Habibie.

Dalam pemerintahannya yang singkat, Habibie tidak banyak mengambil kebijakan

terhadap rakyat Papua, kecuali bertemu dengan tim 100. Di era Gus Dur, ada perubahan

kebijakan yang lebih positif terhadap aspirasi rakyat Papua. Gus Dur melalui pendekatan

budaya memulai pengakuan atas identitas ke-Papua-an. Dengan mengganti nama Irian

102 Rodd McGibbon, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change, and the Papua

Conflict, Washington: East-West Center Washington, 2004.

Page 146: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

146

Jaya menjadi Papua, Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui identitas orang Papua

dan memulai pendekatan baru terhadap rakyat Papua.

Sikap politik pemerintahan Megawati telah menyebabkan kekecewaan bagi rakyat Papua.

Megawati membuat kebijakan pemekaran wilayah Papua. Rakyat Papua kecewa karena

janji Mega untuk meningkatkan status otonomi khusus tidak terlaksana. Pemerintahan

SBY diharapkan akan membawa perubahan dalam relasi pusat dan Papua. Dalam

sejumlah pernyataannya, SBY akan mendahulukan solusi politik daripada militer, politik

yang akomodatif daripada represi. Pada tanggal 22 Desember 2004, SBY mendirikan

Majelis Rakyat Papua.103

Kebijakan militer di Papua sesungguhnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan

meski telah ada perubahan politik nasional. Obsesi akan keutuhan NKRI telah membuat

militer selalu mencurigai aspirasi rakyat Papua. Berbagai laporan pelanggaran HAM oleh

lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan di Papua menunjukkan bahwa rakyat Papua

masih menjadi korban di wilayahnya sendiri. Pembunuhan Theys Eluay, Ketua Dewan

Presidium Papua menunjukkan TNI belum meninggalkan pola-pola militer pada jaman

Orde Baru. Meskipun ada kecaman terhadap pembunuhan Theys, TNI mengganggap para

pelaku telah menjalankan tugas negara. Bahkan, Jendral Ryamizard Ryacudu (KSAD

jaman pemerintahan Megawati) menggelari para pembunuh Theys sebagai pahlawan

yang melaksanakan tugas bangsa.104

Ketidakkonsistenan dan ketidakberpihakan pemerintah pusat terhadap rakyat Papua telah

membuka mata rakyat Papua akan bayang-bayang politik Orde Baru yang masih

menggelayuti perjalanan rakyat Papua ke depan. Kebijakan Megawati yang menolak

pandangan rakyat Papua yang menentang pemekaran berlatar belakang kecurigaan

pemerintahan Megawati atas konsekuensi dari status otonomi khusus (otsus) di Papua.

Menurut John Ibo (ketua DPRD Papua), Megawati dan BIN telah mendapat laporan dari

103 Richard Chauvel, Constructing Papuan Nasionalism: History, Etnicity, and Adaptation,

Washington: East-West Center Washington, 2005, hlm. 88. 104 Richard Cauvel and Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and

Policies, Washington: East-West Center Washington, 2004.

Page 147: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

147

kelompok elite politik Papua bahwa otsus akan mempersiapkan kemerdekaan untuk

Papua. Ada celah-celah dalam UU No.21/2001, khususnya mengenai pengakuan akan

bendera Papua, lagu kebangsaan Papua. Padahal bendera dan lagu adalah bagian dari

representasi kultur bangsa Papua.105 Kecurigaan terhadap atribut-atribut identitas Papua

seperti bendera dan lagu mengingatkan kita akan kekhawatiran rejim Orde Baru atas

aktivitas Arnold A.P., yang memajukan identitas Papua melalui lagu dan tari rakyat

Papua. Masa lalu itu belum mau pergi.

5. Tanjung Priok 1984

Kasus kekerasan di Tanjung Priok adalah ekspresi dari kebijakan rejim Orde baru yang

selalu curiga pada kebangkitan politik Islam di Indonesia. Peristiwa Tanjung Priok

(September 1984) terjadi sebagai akibat dari akumulasi ketegangan antara rejim Orde

Baru dengan kelompok Islam. Upaya rejim Orde Baru untuk menjadikan Pancasila

sebagai asas tunggal bagi semua organisasi politik dan organisasi massa di seluruh

Indonesia, telah mendapat penolakan yang luas dari kelompok-kelompok Islam.

Ketegangan ini terus mewarnai relasi Orde Baru dengan kelompok-kelompok Islam

sebelum terbentuknya ICMI.

Kejadian Tanjung Priok bermula ketika seorang tentara dituduh mengotori kesucian

sebuah mesjid di sebuah tempat di Tanjung Priok. Insiden berkembang menjadi tindakan

kekerasan militer yang membubarkan secara paksa aksi warga Tanjung Priok yang

menuntut pelaku pengotoran tempat ibadah itu dihukum. Dalam peristiwa itu, jatuh

korban ratusan orang meninggal dan luka-luka. Lanjutan dari peristiwa itu adalah

penangkapan beberapa tokoh Islam yang kemudian divonis penjara.

Terhadap peristiwa itu, Soeharto menyatakan:

105 Sefnat Momao, Papua dalam Bayang-Bayang Pemekaran vs Otsus: Rakyat Papua Hendak

Dibawa ke Mana?, Yogya: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004.

Page 148: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

148

Nyatanya yang jadi alasannya waktu itu (insiden Tanjung Priok) ialah mengenai

Pancasila. Yang bersangkutan menentang ditetapkannya Pancasila sebagai satu-

satunya asas dalam ketatanegaraan kita.

Setelah reformasi, sejumlah tokoh yang menjadi korban dari peristiwa Tanjung Priok

mulai menuliskan narasinya sendiri tentang peristiwa itu. Mereka menentang versi Orde

Baru mengenai sebab dan kronologi peristiwa Tanjung Priok. Komnas HAM membentuk

tim investigasi atas kasus Tanjung Priok dan menyebutkan sejumlah nama petinggi

militer seperti Benny Murdani dan Tri Soetrisno.

Pengadilan di tingkat pertama atas Tanjung Priok telah menghukum sejumlah prajurit dan

komandannya, yaitu dari komandan Regu III, Yon Arhanudse 06 beserta 10 anak

buahnya, kemudian Komandan Distrik Militer (Kodim) 0502/Jakarta Utara, Kepala Seksi

operasi Kodim 0502, dan mantan komandan PM Kodam V Jaya. Tetapi pada tingkat

banding semua terdakwa dibebaskan. Hasil pengadilan sangat mengecewakan para

korban dan keluarganya.

Saat ini berkembang wacana tentang islah di mana warga Tanjung Priok terbelah menjadi

dua kelompok, yaitu kelompok yang setuju dengan islah dan kelompok yang menolak

islah.

6. Timor Timur

Timor Timur telah merdeka. Tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia. Meskipun

demikian, pengungkapan kekerasan oleh rejim Orde Baru di masa lalu tetap berjalan.

Politik bumi hangus, pembentukan laskar sipil bersenjata pro-Indonesia, tak mampunya

TNI dalam mempertahankan situasi damai di Timor Timur menjelang dan pasca-jajak

pendapat 1999 telah menimbulkan reaksi yang keras dari dunia internasional.

Pemerintah Indonesia merespon tuntutan dunia internasional dengan mengadakan

pengadilan HAM ad hoc atas kasus kekerasan di Timor Timur dan memberi wewenang

Page 149: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

149

kepada Komnas HAM untuk mengadakan investigasi atas kasus kekerasan di Timor

Timur. Hasil pengadilan (sampai ke tingkat banding) ternyata membebaskan seluruh

pimpinan dan prajurit TNI dan Polri. Yang terhukum hanya satu tokoh sipil yaitu Eurico

Guterres (wakil panglima PPI). Hasil pengadilan sangat ironis karena kesalahan hanya

ditimpakan kepada seorang tokoh sipil.

Komnas HAM membentuk KPP Timor Timur untuk mengadakan investigasi atas kasus

kekerasan di Timor Timur. Hasil laporan KPP Timor Timur dipuji banyak kalangan

aktivis kemanusiaan. Laporan KPP Timor Timur justru mendatangkan friksi politik di

tubuh Komnas HAM. Aisyah Amini, seorang anggota Komnas HAM mengecam laporan

KPP terutama soal keputusan KPP mengumumkan nama-nama para petinggi TNI dan

Polri yang terlibat dalam kekerasan di Timor Timur. Dan ternyata Aisyah Amini tidak

sendirian. Ia didukung oleh sejumlah anggota Komnas HAM yang punya latar belakang

militer, Polri dan birokrat.106

Hasil pengadilan HAM ad hoc Timor Timur yang sangat mengecewakan mendorong

Komisi HAM PBB memutuskan untuk mengirim Tim Ahli untuk mengadakan investigasi

lebih mendalam mengenai kasus kekerasan di Timor Timur. Tim Ahli akhirnya

merekomendasikan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengadakan pengadilan

internasional terhadap para pelaku pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia yang

semakin khawatir dengan perkembangan investigasi memutuskan untuk bekerja sama

dengan pemerintah Timor Leste. Pada saat yang sama, pemerintah Timor Leste juga

mempunyai kebutuhan untuk menjalin hubungan baik dengan Indonesia.

Bertemunya kedua kepentingan dari kedua negera berujung pada pembentukan Komisi

Keadilan dan Persahabatan (KKP). Sejak awal, KKP telah mengisyaratkan bahwa hasil

laporan KKP tidak akan diteruskan ke proses hukum. KKP tidak akan merekomendasikan

adanya pengadilan internasional atas kasus kekerasan yang dulu pernah terjadi di Timor

Timur. Setelah berkali kali mengalami perpanjangan masa kerjanya, KKP berhasil

106 Cornelis Lay, Pratikno, dkk., Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi Politik,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Page 150: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

150

merampungkan laporan akhirnya pada bulan Juli 2008. Pada intinya laporan ini

menyebutkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan di Timor

Timur.

Respons terhadap hasil laporan KKP cukup beragam. Presiden menyambut baik laporan

KKP dan menyerukan perlunya semua pihak untuk belajar dari kesalahan di masa lalu.

Ketua DPR, Agung Laksono juga menyambut baik dan mendesak pemerintah untuk

menindaklanjuti laporan KKP. Sejumlah organisasi kemanusiaan di Indonesia memuji

keberanian KKP untuk menyebut para pelaku pelanggaran HAM berat. Selain itu tidak

adanya rekomendasi untuk diadakannya amnesti juga mendapat pujian.

Reaksi yang lain berasal dari tokoh-tokoh militer yang disebutkan sebagai pelaku

kekerasan. Meskipun mereka tidak setuju dengan laporan KKP, tetapi karena tidak

adanya rekomendasi pengadilan membuat mereka tidak menanggapi secara keras. Justru

suara keras penolakan berasal dari dua anggota DPR dari Fraksi PDIP yaitu Permadi dan

Sutradara Ginting. Menurut keduanya, Indonesia harus menolak laporan KKP karena

tidak berdasar pada fakta dan bersifat memojokkan Indonesia di dunia internasional.

Tanggapan yang lain justru tidak menyoroti pada kebenaran dari laporan tetapi motif dari

pengumuman laporan oleh KKP yang dikaitkan dengan makin dekatnya pemilihan

presiden 2008. Paling tidak ada dua nama bakal calon presiden Indonesia yang tersangkut

dalam peristiwa Timor Timur, yaitu Wiranto dan Prabowo. SBY juga dituding

memanfaatkan faktor waktu dalam menerima dan mengumumkan hasil laporan KKP.

Masa Depan Indonesia ada di Masa Lalu

Walter Benjamin, seorang filsuf dan budayawan dari aliran teori kritis menempatkan

masa lalu dari orang-orang yang menderita sebagai sumber inspirasi bagi upaya

pembebasan di masa kini dan masa depan.107 Masa lalu bagi Benjamin bukanlah sudah

lewat atau telah mati. Masa lalu justru punya daya hidup bagi manusia untuk merealisir

Page 151: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

151

tujuan-tujuannya. Benjamin mengambil contoh tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah

gambaran yang ditentukan oleh kegagalan dan ke-tidaksampai-an untuk meraih

kebahagiaan di masa lalu. Kebahagiaan adalah tuntutan dan potensi masa lalu yang

belum dipenuhi, dan karenanya harus dipenuhi.108

Pemikiran Benjamin ini penting untuk kita kembangkan dalam usaha mempertahankan

semangat dalam mengungkapkan kebenaran di masa lalu. Di tengah situasi politik yang

transaksional yang dipraktekkan oleh para politisi yang saling melakukan politik dagang

sapi, bertahannya politik yang hanya mengejar kepentingan pribadi, kita berharap bahwa

kekuatan para korban tidaklah redup. Sampai saat ini, ingatan akan penderitaan para

korban di masa lalu tetap menjadi sumur inspirasi yang tak habis-habisnya bagi upaya

kemanusiaan mengungkap masa lalu demi pembebasan di masa kini dan masa depan.

Sampai saat ini, Komnas HAM masih meneruskan upayanya untuk mengungkap

kebenaran dalam empat peristiwa di masa lalu, yaitu peristiwa 1965, Petrus, DOM Aceh

dan Papua. KKP telah menyelesaikan laporan akhirnya. Meski ada kekurangan, tetapi

secara keseluruhan hasil laporan itu sangatlah positif bagi pengungkapan kebenaran masa

lalu.

Syarikat (Masyarakat Syantri untuk Advokasi Rakyat) tak kenal menyerah, berusaha

menjembatani golongan-golongan yang seakan-akan tak terjembatani, yaitu antara eks-

tapol 1965 dengan kelompok santri NU.109 Dua kelompok ini pada masa lalu saling

berhadap-hadapan dalam politik nasional dan lokal.

Kontras masih setia dengan tugasnya sebagai lembaga kemanusiaan yang berjuang untuk

melawan politik kekerasan di Indonesia dan mendampingi korban dan keluarganya.

Elsam dan PUSdEP masih setia dengan studi dan advokasinya mengenai wacana

pengungkapan masa lalu dan rekonsiliasi. Bagaimana dengan para korban? Sampai saat

107 Pemikiran Walter Benjamin diambil dari tulisan G.P. Sindhunata, “Memoria Passionis Walter

Benjamin dan Teologi Politik,” dalam Budi Susanto (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.

108 Ibid., hlm. 207. 109 Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi

Pasca-Soeharto, Jakarta: Elsam, 2004, khususnya uraian tentang Syarikat dan aktivitasnya.

Page 152: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

152

ini, para korban peristiwa 1965 masih tetap bersemangat meraih keadilan. Tubuh renta

tak menghalangi mereka untuk terus berjuang. LPKP dan Pakorba masih tetap semangat

mengumpulkan rekan-rekan sesama korban. Para seniman dan budayawan eks-Lekra

masih terus berkarya sampai saat ini.

Para korban di Aceh masih terus berjuang memperoleh keadilan meski situasi di Aceh

sudah lebih damai. Bagi mereka, situasi damai seharusnya tak menghalangi upaya

mencari keadilan. Orang-orang Papua berpaling ke masa lalu, jauh sebelum Papua

menjadi wilayah Indonesia. Sebagian orang Papua masih punya ingatan tentang hidup

yang lebih damai di masa lalu. Kepercayaan pada koreri (pembebasan dalam konteks

kepercayaan orang Papua) akan dicapai di masa depan.110

Keluarga korban penculikan masih menyimpan harap akan kembalinya aktivis pro-

demokrasi yang diculik. Sampai saat ini orang tua dari salah seorang aktivis yang diculik

tidak mengunci pintu kamar anaknya. Orang tua itu berharap anaknya akan kembali

keharibaan mereka, entah kapan mereka tidak tahu. Mereka tidak ingin kalau anaknya

pulang, anaknya tak bisa masuk ke rumah yang terkunci. Demikian juga dengan istri dari

Wiji Tukul yang merindukan untaian kata-kata indah yang mengalir lewat puisi dari

suaminya tercinta. Para mahasiswa masih tetap memperjuangkan keadilan dalam

peristiwa TSS. Demikian juga dengan keluarga korban dan korban dari kerusuhan Mei

1998. Keluarga korban Tanjung Priok masih tetap berharap akan datangnya keadilan,

walaupun islah telah mulai dilakukan.

Basis etis dari penderitaan korban di masa lalu masih ada. Basis etis ini membutuhkan

tindakan politik yang tak kenal henti. Memperebutkan masa lalu tidak saja menyangkut

persoalan etis tetapi juga persoalan pertarungan politik merebut demokrasi. Dalam politik

yang lebih demokratis saat ini, kelompok-kelompok lama yang otoriter tidak hanya

mengandalkan pada kekuatan fisik seperti pada jaman Orde Baru. Mereka justru

menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang demokratis. Tidak mengherankan,

representasi mereka ada di DPR, Pengadilan dan MA, Kejaksaan Agung, pemerintah

110 Enos H. Rumansara, Kargoisme, makalah tidak diterbitkan, 2007.

Page 153: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

153

bahkan di Komnas HAM sekalipun. Berbagai kemandekan dalam upaya pengungkapan

kebenaran justru melalui mekanisme yang ada dalam sistem demokrasi.

Para korban dan pecinta kemanusiaan perlu memahami dan meletakkan perjuangan

mengungkap kebenaran di masa silam sebagai perjuangan politik yang riil seperti yang

pernah dilakukan oleh gerakan reformasi. Jelas, perjuangan mengungkap kebenaran di

masa lalu bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Perjuangan ini membutuhkan energi

yang besar dan strategi yang tepat. Energi sesungguhnya telah kita punyai yaitu

penderitaan para korban. Strategi perjuangan membutuhkan kecermatan kita untuk

memahami bagaimana cara kerja kelompok lawan.

Pada akhirnya, demokrasi menjadi wahana bertarungnya politik yang menghendaki

pengungkapan kebenaran di masa lalu berhadapan dengan politik yang menghalangi dan

menghilangkan pengungkapan kebenaran di masa lalu. Pertarungan itu ada di berbagai

lokasi, mulai dari Pemerintah, DPR, Pengadilan dan Kejaksaan serta dalam agenda

perjuangan aktivis kemanusiaan serta kelompok korban.

Page 154: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

154

Penutup

Tentang Kebenaran Politik

Dengan berakhirnya hampir seluruh peralatan legal transisionis, maka secara umum

politik hak asasi dan demokrasi mengalami tiga keadaan yakni pertama normalisasi,

yakni keadaan di mana fakta-fakta dan kesan yang semestinya dan sebelumnya tidak

benar, ganjil, tidak menyenangkan dan tidak dapat ditolerir (misalnya pembantaian

massal, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan) pada akhirnya dianggap menjadi normal

serta diterima untuk ditelan dalam rutinitas. Normalisasi ini tidak hanya akan merusak

sendi-sendi kemanusiaan mereka yang pernah menjadi korban, tetapi yang lebih luas lagi

ia juga merusak sendi-sendi kemanusiaan mereka-mereka yang sama sekali bukan pelaku

dan bukan korban karena dengan itu setiap orang didorong masuk ke dalam kebohongan

massal untuk menerima kedurjanaan.111

Yang kedua adalah makin kuatnya modus pengingkaran akan kebenaran (states of

denial). Seiring dengan menguatnya normalisasi secara umum, mereka-mereka yang

dahulu terlibat sebagai pelaku dalam tindak kedurjanaan kemanusiaan juga akan makin

mudah untuk melakukan berbagai upaya untuk lari dari tanggung jawab masa lalu dengan

berbagai cara seperti membangun kerja sama strategis dengan berbagai institusi, aktor

untuk menutupi sejarah dan mengukuhkan lagi keistimewaan politik mereka di dalam

masyarakat (collution and cover up).

Yang terakhir adalah makin kuatnya dislokasi dan atomisasi politik. Apabila dalam

proses pengingkaran, memori korban dirampok dan ditenggelamkan dalam berbagai

Page 155: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

155

rutinitas dan perkara oleh para pelaku secara langsung, maka dalam dislokasi politik,

memori dan sejarah kejahatan secara tidak langsung justru dilunturkan sendiri oleh para

korban dan pendukungnya melalui proses-proses yang kita sebut saja sebagai “pengalihan

dari kebenaran” secara tidak langsung. Ini terjadi misalnya dalam berbagai kejadian di

mana para korban didorong untuk lebih mementingkan perbedaan-perbedaan atribut dan

simbolik yang tidak penting di kalangan mereka ketimbang berkonsentrasi pada

pengungkapan kebenaran itu sendiri. Dalam beberapa hal upaya yang terlampau keras

untuk mengukuhkan otoritas dan pandangan moral hukum tertentu menjadikan kelompok

menjadi “fanatik” hanya pada satu cara dan ekslusif terhadap yang lain, sehingga

menjadikan kebenaran sebagaimana dalam dirinya bukan yang diluar sana. Ini bisa

membuat para korban secara politik dan sosial kemudian terpecah-pecah, sementara para

pimpinanya bisa makin terserap ke dalam rutinitas politik mainstream.

Ujung dari keadaan ini adalah bahwa demokrasi kita menjadi demokrasi yang secara

ironis ditandai dengan gejala apa yang disebut oleh Stanley Cohen sebagai tired of truth.

Yang jadi persoalan besar adalah, oleh karena pemahaman kita mengenai demokrasi

terlanjur sangat dipengaruhi oleh pandangan baku transisionis dan normatif maka

keadaan kekurangan akan kebenaran ini cenderung bisa segera diterima sebagai semacam

ciri atau bahkan “kondisi alamiah atau takdir politik” dari kelemahan perubahan politik di

Indonesia. Dengan itu, kita menerima demokrasi sambil mengabaikan tujuan-tujuan

kebenaran yang sebelumnya memberikan pendasaran bagi demokrasi itu sendiri. Keadaan

ini memberikan kita imperatif yang dapat dirumuskan: terima demokrasinya tapi tolak

pendasaran kebenarannya!

Sejak awal, tulisan ini mengajak kita untuk mengubah terlebih dahulu pandangan kita

mengenai transisi dan demokrasi. Yakni bahwa demokrasi bukanlah penggalan dalam

sebuah skenario perubahan yang pasti dan terstandardisasi secara normatif. Tulisan ini

dengan berbasis pada pandangan Laclau dan Mouffe serta Lefort menekankan bahwa

supaya ada ruang bagi segala kemungkinan maka demokrasi harus didefinisikan terlebih

111 Untuk pengertian dan proses ini secara lebih mendalam dan ekstensif lihat dalam Stanley

Cohen (2002), States of Denial: Knowing About Atrocities and Suffering, Cambridge: Polity Press, hlm. 51-

Page 156: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

156

dahulu sebagai keterbukaan atau “ruang kosong” menurut Lefort. Lantas, dari sini baru

kemudian menjadi penting pula untuk mengubah pandangan kita mengenai kebenaran

dan prosedur kebenaran yakni dari yang normatif-transendental menjadi yang politis.

Bagaimana ini dipahami?

Selama ini Paham Kebenaran yang menjadi dasar dari pandangan hak asasi secara umum

adalah kebenaran yang transendental normatif. Paham Kebenaran ini berpegang pada

gagasan dasar bahwa dunia dan manusia memiliki sebuah intrinsic nature dan esensi

seperti misalnya kebebasan dan otonomi. Pandangan mengenai “adanya esensi” ini yang

secara apriori dipakai sebagai standard untuk membangun kategori-kategori mengenai

sifat-sifat dan keadaan-keadaan manusiawi dan tindakan-tindakan manusia termasuk

politik, sosial dan ekonomi. Intinya, oleh karena manusia dan dunia sudah terlebih

didefinisikan sebagai A maka cara bertindak, cara membangun relasi dengan sesama dan

dunia mesti disesuaikan dengan definisi awal ini. Dengan demikian, yang disebut sebagai

kebenaran adalah selalu mengandaikan adanya seperangkat norma objektif yang mesti

dipancang sebagai dasar konsensus bersama yang menjadi dasar tindakan. Sesuatu

disebut benar apabila berada dalam terang kesesuain dengan kategori dan standardisasi

norma-norma tersebut.

Cara kerja gagasan hak asasi manusia secara jelas mengacu pada sistem kebenaran

semacam ini. Hak asasi manusia mengandaikan adanya semacam esensi terlebih dahulu

mengenai manusia yakni bahwa “manusia itu dilahirkan dalam kebebasan” dan bahwa

kebebasannya tidak dapat direnggut atas nama apa pun. Esensi ini yang menjadi sumber

dari kategori normatif yang kemudian diturunkan darinya ke dalam hukum yang

melindungi kebebasan dan hak-hak hidup. Dari sini ia kemudian terstandardisasi menjadi

rujukan. Selain itu, oleh karena kategori dan esensi yang diajukannya ini menjangkau

manusia secara umum maka ia sekaligus juga memiliki klaim universal di dalamnya.

Dari penalaran ini maka misalnya apabila seorang anggota korban pembantaian tahun

1965 menuntut kebenaran maka argumen yang mesti disuguhkan kepadanya adalah

75.

Page 157: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

157

karena menurutnya apa yang terjadi kepadanya tidak sesuai dengan esensi dasarnya

sebagai manusia sebagaimana diasumsikan dalam konsensus mengenai manusia secara

umum dan tidak sesuai dengan pandangan serta kategori normatif yang diturunkan dari

esensi itu. Di sini kebenaran benar-benar berarti sebagai kesesuaian terhadap hukum

selaku penjabaran kategori transendental mengenai manusia. Oleh karena itu, lebih jauh

lagi, strategi atau prosedur utama yang dipilih sebagai jalan untuk mencapai kebenaran

adalah strategi hukum. Apabila dalam suatu keadaan hukum mengenai itu belum ada atau

buruk, maka upaya itu akan diarahkan pada pembuatan hukum atau perbaikan hukum

terlebih dahulu.

Sebagaimana telah diungkapkan dalam bab-bab sebelumnya, wawasan semacam inilah

kiranya yang mendasari politik hak asasi manusia pasca-Soeharto di Indonesia. Yang

menjadi persoalan adalah wawasan ini sangat kurang memperhatikan “tindakan” di luar

kategori esensialnya yang justru sering lebih berperan dalam membentuk hukum. Selain

itu, kepercayaan buta kepada hukum juga sering kali salah, karena banyak hukum tidak

dibentuk berdasarkan kemauan atau motif untuk benar-benar menjabarakan kategori

normatif transendental universal melainkan lebih sebagai saluran dari berbagai

kepentingan saja.

Inilah yang secara kental terlihat dalam antusiasme bahkan pemberhalaan terhadap

peradilan hak asasi manusia yang dilanjutkan dengan kebingungan dan fatalisme

manakala kemudian peradilan tersebut ternyata bukannya menetapkan keadilan dan

mengukuhkan kebenaran normatif tetapi malah justru membebaskan para tersangka

utamanya. Begitu juga dengan yang terjadi dalam kekonyolan amendemen Undang-

Undang KKR ke Mahkamah Konstitusi yang demi rigiditas normatif melupakan segi-

segi mendasar dalam lingkungan politik yang konkret. Akibatnya, kini setelah UU itu

dibatalkan secara hukum bukannya kepuasaan akan keadilan yang muncul melainkan

kekosongan akan kebenaran.

Di sini, para pejuang HAM yang begitu bersemangat bergegas dalam hafalan akan pasal-

pasal dalam berbagai konvensi membeku dalam legalitas yang mereka bangun sendiri.

Page 158: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

158

Buruknya, kegagalan akibat kepercayaan buta kepada hukum ini tidak kunjung

menyadarkan orang untuk melihat segi politis di luar atau yang mengendalikan

mekanisme hukum itu; seberapa jauh kekuatan mereka sendiri? Seberapa jauh kekuatan

kelompok-kelompok yang tidak setuju? Seberapa kuat mereka mempengaruhi opini

publik? Sejauh mana pengorganisasian mereka mampu mendesakkan agenda dan

tuntutan itu. Pada titik ini, dalam kasus pembatalan UU KKR misalnya, ironi terjadi

manakala penggunaan forum Mahkamah Konstitusi itu secara paralel mempertemukan

para pejuang hak asasi ini dengan musuh-musuhnya sendiri yang rupanya sama-sama

tidak menghendaki UU tersebut. Momen hukum itu rupanya mengekuivalenkan mereka

dan kompetitornya. Pada titik ini, sebenarnya sejak awal sudah bisa dibaca bahwa

pengejaran terhadap kebenaran normatif bisa sangat menjebak apabila tidak

diperlengkapi dengan kesadaran yang lebih penting yakni kesadaran akan yang politis.

Dengan itu, maka tidak pelak lagi, dalam suasana kekalahan yang tragis kebenaran

historis yang demikian kompleks dan unik telah digantungkan pada sekeping prosedur.

Kegagalan dari prosedur itu sendiri sudah dianggap sebagai tiang gantungan dari

kebenaran yang diperjuangkan. Akan tetapi – ini yang menjadi poin krusial di sini –

apakah dengan kegagalan di medan hukum maka kebenaran “transisional” sudah benar-

benar mampus dan tidak dimungkinkan lagi? Pada titik ini kita menemukan kebesaran

dari “yang politik”. Politik selalu menyediakan kemungkinan dan keleluasaan baru

bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun supaya kebenaran selalu memiliki

peluang untuk muncul.

Namun demikian untuk membangkitkan kembali kebenaran dari kubur normatifnya

dibutuhkan satu syarat yakni merontokkan kategori dan prosedur normatif dan

memperlakukannya sebagai salah satu cara atau alat saja dari yang politis. Dengan

demikian normativitas dan hukum tidak boleh dianggap sebagai ujung atau tujuan dari

kebenaran. Mengapa? Karena kebenaran sendiri memang tidak memiliki finalitas!

Bagaimana ini dijelaskan?

Page 159: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

159

Filsuf kontemporer Perancis Alain Badiou pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah

sesuatu yang mengambil tempat dari waktu ke waktu. Kebenaran adalah sesuatu yang

“dibuat”; ia dideklarasikan, dikomposisikan dan dijunjung oleh subjek yang “dipanggil”

dan ditundanya. Dengan demikian ia bukan seperangkat kategori normatif yang menjadi

penggaris untuk mengukur dan menciptakan prosedur bagi tindakan manusia. Baik

kebenaran dan manusia bersifat okasional dan terkecuali; keduanya berjumpa dalam

kejadian. Setiap kebenaran tidak dapat dirujuk kembali kepada kerangka objektif apa

pun, baik yang dianggap sebagai penyebabnya maupun yang dianggap sebagai tujuannya.

Dengan demikian di sini diandaikan bahwa “setiap subjek meyakini sesuatu tanpa

mengetahui mengapa.” Inilah yang oleh Badiou disebut dengan fidelity.

Kebenaran akan Kebenaran semacam ini dapat dibuktikan secara lebih baik dalam

momen politik. Sebagai contoh dalam konteks perubahan politik di Indonesia, sebelum

tahun 1998 tidak ada satu pun pihak baik di dalam negeri maupun para pengamat di luar

negeri yang percaya bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaanya. Banyak orang

memang bisa melihat gejala dan tanda-tanda krisis ekonomi, tetapi kehebatan para pakar

dan analis itu tetap tidak mampu memprediksi kejatuhan Soeharto. Namun demikian,

persis ketika dinamika reformasi itu kemudian menjatuhkan Soeharto maka pada saat

itulah momen kebenaran itu terkuak. Pada titik ini hanya manusia-manusia yang memiliki

fidelity kepada peristiwalah – yakni mereka yang secara tekun, meski di dalam bahaya,

terus meyakini bahwa pada saatnya Soeharto akan jatuh – yang mampu menangkap dan

berjumpa dengan kebenaran.

Dengan demikian di sini Kebenaran hanya bisa dialami dalam perjumpaan yang khas

yakni di dalam kejadian yang bersifat singular dengan mensyaratkan kesetiaan akan

peristiwa itu sendiri. Kebenaran justru adalah segala hal yang meleset dari perkiraan dan

standardisasi objektif metafisis. Oleh karena itu, dalam mempelajari gejala perubahan

politik di tempat lain, misalnya pengalaman “transisi demokrasi” di Afrika Selatan,

meskipun kita mengetahui dan merasakan segi universal dari pergulatan rakyat Afrika

Selatan dalam membebaskan dirinya dari Apartheid namun tidak dengan serta merta

pengalaman yang sama secara sama dapat kita alami di sini, karena meskipun pergulaan

Page 160: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

160

itu universal namun pengalaman Kebenaran yang dialami di sana pada saat yang sama

juga bersifat singular bagi mereka. Ia tidak dapat dikualifikasi sebagai pola objektif. Ia

hadir sebagai anugrah bagi mereka yang percaya akan keadilan yang selama ini ditindas

di Afrika.

Kebenaran selalu diproduksi dalam situasi tertentu yang spesifik. Setiap kebenaran

singular selalu memiliki akarnya di dalam kejadian (event). Sesuatu mesti terjadi dulu,

supaya yang baru ada. Dengan demikian, kebenaran hanya merekah melalui proklamasi

penuh militansi dari orang yang memiliki fidelitas kepada kejadian. Di titik ini orang

tersebut berubah menjadi subjek dalam nama kejadian. Di sini meskipun setiap orang

dapat menjadi subjek, namun oleh karena kebanyakan individu biasa hidup dalam

objektivitas rutinitas (rejim re-presentasi), maka hanya orang yang memiliki fidelitas

untuk mengintervensi dan menemukan tindakan baru yang dapat disebut sebagai subjek.

Di sini pula, mereka yang sebelumnya dikalahkan, dihancukan martabatnya dalam

penjara-penjara Orde Baru, disingkirkan dari hak-haknya oleh karena mereka meyakini

perjuangan itu dan terus mengupayakan maka kebenaran itu “muncrat” ke hadapan

mereka. Di sinilah yang semula korban dan yang kalah bertransfromasi menjadi subjek

politik baru. Dengan demikian, seorang pemenang politik tidak diukur pertama-tama dari

kemenangan dalam pengadilan-pengadilan yang memperkarakan perbuatan Negara

melainkan mereka yang terus setia meskipun kalah di saat ini.

Oleh karena itu, kebenaran (vérité), manusia dan kejadian adalah keseluruhan aspek

dalam satu proses: kebenaran mengada melalui subjek yang memproklamasikannya dan

dalam kerangka itu, ia menjadi subjek dalam fidelitasnya kepada kejadian. Filosof Slavoj

Žizĕk mereformulasikannya dengan adagium “our path toward truth, coincide with truth

itself. Dengan demikian maka manusia, kebenaran dan situasi tidak dapat dipastikan

melalui pengetahuan yang mapan atau melalui hukum serta kategori normatif terlengkap

sekalipun. Dari sini manusia dalam perjumpaan dengan kebenaran adalah manusia yang

sangat ekslusif dalam artian ia singular tetapi sekaligus juga universal; manusia dengan

kualitas semacam Lenin, Mandela serta siapa pun yang saat ini masih terus berjuang.

Page 161: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

161

Yang juga terpenting di sini adalah dengan mendefinisikan manusia sebagai potensi bagi

sebuah situs (evental site) dari kebenaran yang diyakini dan ternyatakan maka politik

menjadi pendasaran dan cakrawala yang lebih luas. Politik menjadi cakrawala yang tidak

berhingga yang mengundang manusia untuk menemukan jawaban-jawaban dari dunia

yang belum ternamai.

Politik tidak pernah bisa dimapankan dalam sebongkah periodesasi rejim, karena politik

yang otentik hanya berdiang dalam kehendak untuk mengubah koordinat situasi

ketakmungkinan. Oleh karena itu, menjadi jelas pula bagi kita apa makna keadilan dan

ketidakadilan. Kita tidak pernah bisa memaknai keadilan karena sesungguhnya ia adalah

konsepsi filsafat saja dari ketidakadilan. Sebaliknya ketidakadilanlah yang dapat kita

pahami yakni melalui pengamatan terhadap akibat-akibatnya yakni penderitaan manusia

dan revolusi sebagai gerakan untuk melawanya. Keadilan dengan demikian juga adalah

momen yang segera menguap dan tak terpahami.112 Ia hanya bisa dimaknai dalam susah

payah perjuangan nyata.

Pada titik ini, dalam pengalaman Indonesia, upaya untuk menemukan Kebenaran

memang sudah kehilangan momentum apabila ia hanya dinilai dalam kacamata

transisionis dan normatif. Namun demikian, sejauh kita bersandar pada fidelitas maka

bibit Kebenaran itu sebenarnya masih terus tertanam dalam potensi kemanusiaan kita

sendiri. Di sini yang jadi soal bukanlah menang atau kalah dalam suatu pertarungan rutin

prosedural yang dangkal, melainkan pada kehendak untuk terus melampaui yang dangkal

tapi menjengkelkan itu. Persis sebagaimana dikatakan dalam bagian akhir Bumi Manusia

ketika Minke tertunduk dan mengatakan, “Kita kalah, Ma.” Yang terus dijawab oleh sang

Nyai “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

112 Lihat dalam Alain Badiou (2005), Meta Politics, London dan New York: Verso, hlm. 96.

Page 162: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

162

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman, “Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah Periodisasai

dan Cara Pengungkapannya”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre (eds.),

Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Jakarta: ELSAM, 2003, hlm. 229-251.

Adam, Asvi Warman, Pelurusan Sejarah Indonesia, Tride, Yogyakarta, 2004

Adam, Asvi Warman, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2004

Ali, Fachry, Rasmi dan Mustafa, Ali (1985), Laporan Hasil Survei Pemetaan Masalah

LPSM-LPSM Indonesia, dokumen ini merupakan hasil riset yang dsponsori oleh

15 organisasi LP3ES, Bina Swadaya, Bina Desa, Yayasan Indonesia Sejahtera,

LSP, PKBI, WALHI, LBH, Yayasan Lembaga Konsumen, BK3, PPA, P3M,

CUSO dan Asia Foundation.

Badiou, Alain, 2005, Meta Politics, London dan New York: Verso.

Benda, Julien, 1969, The Treason of The Intellectual, New York: Norton Place

Publication.

Berita Kontras, No 8/VIII/2003.

Bronkhorst, Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di

Berbagai Negara, Jakarta: ELSAM, 2002, hlm. 7-8.

Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik

Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta: Elsam, 2004

Cauvel, Richard and Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and

Policies, East-West Center Washington, 2004.

Chambers, Simon, 1995, “Discourse and Democratic Practise” dalam K. White (ed.), The

Cambridge Companion to Habermas, Cambridge: Cambridge University Press,

hlm. 233-255.

Chauvel, Richard, Constructing Papuan Nasionalism : History, Etnicity, and Adaptation,

East-West Center Washington, 2005

Page 163: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

163

Cohen, Stanley, 2002, States of Denial: Knowing About Atrocities and Suffering,

Cambridge: Polity Press.

Dhakidae, Daniel, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Hutagalung, Daniel (ed.), 1998, Negara, HAM dan Demokrasi, Jakarta: YLBHI.

Eda, Fikar W, & S. Setya Dharma, “Sebuah Kesaksian: Aceh Menggugat,” Sinar

Harapan, 1999.

Eldridge, Philip, 1989, “LSM dan Negara,” Prisma No 7, Tahun 1989.

ELSAM, Briefing Paper, No. 1, Juli 2000, hlm. 10.

Farid, Hilmar & Rikardo Simarmata, Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-Upaya

Pencarian Keadilan Dalam Masa Transisi di Indonesia, Jakarta: Elsam, 2004

Hadad, Ismid, 1983, “Menampilkan Potret Pembangunan Berwajah Swadaya

Masyarakat,” Prisma, No 4, April 1983, hlm. 3-25.

Hainsworth, Geoffrey. B, 1983, “Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan

Perataan Pembangunan,” Prisma No 4, April 1983, hlm. 38-53.

Hanmann, Peter 1988, “Pengembangan Bentuk Pembangunan Alternatif: Pengalaman

LSM di Indonesia,” Prisma No.4, Tahun 1988, hlm. 3-14.

Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, New York: Viking Press, 1965.

Hayner, Priscilia B, 1994, “Fifteen Truth Commissions - 1974 to 1994: A Comparative

Study” dalam Human Rights Quarterly, vol 16. No 4.

Hendardi dan Benny K. Harman, 1993, “Orde Baru dan Pembungkaman Pers,” dalam

Mulyana W. Kusumah dkk. (penyunting), Demokrasi antara Represi dan

Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Jakarta:

YLBHI.

Huntington, Samuel. P, 1991, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Grafiti Pers.

Imam, Robert, 2003, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme,

Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat.

Kasim, Ifdhal, (2000), “Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti?,” ELSAM Briefing

Paper, No. 2, Tahun I, Agustus 2000.

Page 164: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

164

Kasim, Ifdhal “‘Jalan Ketiga’ Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di

Masa Lalu”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi (eds.), Pencarian Keadilan di

Masa Transisi, Jakarta: ELSAM, 2003.

Katjasungkana, Nugroho dan Teten Masduki (1993), “Buruh, Negara, Demokratisasi,”

dalam Muklyana W. Kusumah dkk. (penyunting), Demokrasi antara Represi dan

Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, YLBHI:

Jakarta.

Kontras, Aceh, Damai dengan Keadilan?: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Kontras,

2006.

Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe, 1985, Hegemony and Socialist Strategy: Toward A

Radical Democratic Politics, London: Verso.

Laclau, Ernesto, 1996, Emancipation(s), London, New York: Verso.

Lay, Cornelius dan Pratikno, 2002, Komnas HAM 1993-1997: Pergulatan dalam

Otoritarianisme, Yogyakarta: Fisipol UGM.

Lefort, Claude, 1988, Democracy and Political Theory, Cambridge: Polity Press.

McGibbon, Rodd, 2004, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change, and the

Papua Conflict, East-West Center Washington.

McGregor, Katherine E, “Legacy of a Historian in the Service of an Authoritarian

Regime,” dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), Beginning to Remember: The Past in

The Indonesian Present, Singapore University Press, Singapore, 2005

McGregor, Katherine E, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of

Indonesia’s Past, NUS Press, Singapore, 2007.

Miliband, Ralph, 1994, Socialism For A Sceptical Age, Cambridge: Polity Press.

Moeljanto, D.S & Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK,

Mizan, 1995.

Momao, Sefnat, Papua Dalam Bayang-Bayang Pemekaran vs Otsus: Rakyat Papua

Hendak Dibawa Kemana?, Yogya: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004.

Neier, Aryeh, “What Should be Done About the Guilty?”, dalam Neil J. Kritz (ed.),

Transitional Justice: How emerging Democracies Reckon with Former Regimes,

Washington: United States Institute of Peace, 1995.

Page 165: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

165

Nusantara, Abdul Hakim G, 1983, “Mencari Strategi Pembangunan Hukum,” dalam

Prisma No. 4 April 1983, hlm. 58.

Nusantara, Abdul Hakim G., “Rekonsiliasi dalam Perspektif HAM”, dalam Kompas, 10

Desember 1998.

Olson, R.E, Soeharto: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2001.

Paul Thompson, The Voice of the Past: Oral History, third edition, New York: Oxford

University Press, 2000.

Pratikno, Cornelis Lay, dkk., Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi

Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Putzel, James, 1997, “Why Has Democratisation Been a Weaker Impulse in Indonesia

and Malaysia than in the Philiphines?” dalam Potter, Goldblatt, Kiloh dan Lewis

(eds), Democratization, Cambridge: Open University Press dan Polity Press.

Raharjo, M. Dawam, 1988, “Dokter Soetomo: Pelopopr LSM?”, Prisma No 7.

Komnas HAM, 2001, Keadilan dalam Masa Transisi, Jakarta: Komnas HAM.

Rawls, John, 2002, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Pers.

Rumansara, Enos H., “Kargoisme,” makalah tidak diterbitkan, 2007

Roosa, John, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto,

Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.

Schreiner, Klaus H., “Lubang Buaya: Histories of Trauma and Sites of Memory,” dalam

Mary Zurbuchen (ed.), Beginning To Remember: The Past in the Indonesian

Present, University of Washingthon Press, 2005.

Simpson, Graeme (tanpa tahun) “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan:

Beberapa Pelajaran Untuk Masyarakat dalam Transisi,” paper tanpa tahun dan

penerbit.

Sindhunata, G.P., “Memoria Passionis Walter Benjamin dan Teologi Politik,” dalam

Budi Susanto (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta:

Kanisius, 1994.

Skhlar, Judith N. dan Yack Bernard (eds.), 1996, Liberalism Without Illusions: Essays on

Liberal Theory and The Political Vision of Judith N. Skhlar, Chicago: University

of Chicago Press.

Page 166: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

166

Sujatmiko, Iwan Gardono, 2001, “Wacana Sipil Society di Indonesia”, MASYARAKAT

Jurnal Sosiologi, Edisi 9, 2001.

van Klinken, Gerry, The Battle for History After Soeharto, dalam Mary S.Zurbuchen

(ed.), Beginning To Remember: The Past In The Indonesian Present, Singapore:

Singapore University Press, 2005.

Zalaquett, Jose (1995), “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The

Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”

dalam Neil J. Kritz (ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies

Reckon with Former Regimes, Washington DC: US Institute of Peace Press, 1995

Zalaquett, Jose (1995), “Confronting Human Rights Violations Committed by Former

Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Neil J.

Kritz (Ed), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with

Former Regimes, Washington DC: US Institute of Peace Press, 1995.

Daftar Harian:

Kompas

Republika

Media Indonesia

Republika

Suara Pembaruan

Merdeka

Situs Internet:

http://www.etan.org/timor/SantaCRUZ.htm

http://www.hartford-hwp.com/archives/54b/019.html.,

http://www.greenleft.org.au/back/1993/112/112p15a.htm.

Page 167: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

167

Tentang Penulis

Robertus Robet lahir di Tanjungkarang, 16 Mei 1971. Menyelesaikan pendidikan S-1 di

Jurusan Sosiologi FISIP UI dan S-2 dalam bidang “Twentieth Century Political Thought

and Theory” di University of Birmingham, Inggris. Sehari-hari aktif sebagai Sekretaris

Jenderal P2D dan dosen tetap Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Ini

merupakan buku ketiganya setelah masing-masing yang pertama dan kedua

Republikanisme dan Keindonesiaan: Sebuah Pengantar (2007), Kembalinya Politik:

Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek (2008, ditulis bersama

Bagus Takwin, Daniel Hutagalung, Eddie Sius Riyadi dan Tony Doludea).

Page 168: POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI … ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin” ... ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu

168

PROFIL ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia. Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Sekretaris: Ifdhal Kasim, S.H.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H., Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M., Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana, M.A., Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M., Johny Simanjuntak, S.H., Raharja Waluya Jati, Mustafsirah Marcoes, M.A., Fransisca Ery Seda, Ph.D., Dra. Agung Putri, M.A., Ester Rini Pratsnawati. Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif: Dra. Agung Putri, M.A. Deputi Direktur Bidang Program: A.H. Semendawai, S.H., LL.M. Deputi Direktur Bidang Urusan Internal: Otto Adi Yulianto, S.E. Staf: Atnike Nova Sigiro, S.Sos., M.Sc., Betty Yolanda, S.H., Elisabeth

Maria Sagala, S.E., Ester Rini Pratsnawati, Adyani Hapsari Widowati, Ikhana Indah, S.H., Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H., LL.M., Maria Ririhena, S.E., Mariah, Triana Dyah P., S.S., Yuniarti, S.S., Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M., Amiruddin, S.S., M.Si., Eddie Sius Riyadi, Elly Pangemanan, Ignasius Prasetyo J., S.E., Ignasius Taat Ujianto, Khumaedi, Kosim, Paijo, Sentot Setyosiswanto, S.Sos., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Zani.

Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email: [email protected], atau [email protected]; Website: www.elsam.or.id