Politik Desentralisasi Pemerintahan...

80
Project Working Paper Series No. 03 Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa Penulis: Dodik Ridho Nurrochmat Heru Purwandari Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia

Transcript of Politik Desentralisasi Pemerintahan...

Page 1: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

15/07/2016

Project Working Paper Series No. 03

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

Penulis:

Dodik Ridho Nurrochmat

Heru Purwandari

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB

Bekerjasama dengan

Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia

Page 2: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

2

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

Penulis:

Dodik Ridho Nurrochmat

Heru Purwandari

Layout dan Design Sampul :

Dyah Ita M. dan Husain As’adi

Diterbitkan pertama kali, Juni 2006

Oleh

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB

Bekerjasama dengan

Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP

Kampus IPB Baranangsiang

Gedung Utama, Bagian Selatan, Lt. Dasar

Jl. Raya Pajajaran Bogor 16151

Telp. 62-251-328105/345724

Fax. 62-251-344113

Email. [email protected]

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh

isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ISBN: 979 8637 34 8

Page 3: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

3

KATA PENGANTARFormat pengaturan politik yang menyangkut bentuk dan relasi pemerintahandesa dengan supra desa merupakan salah satu persoalan krusial dalam perjalananpolitik bangsa Indonesia. Pergulatan politik yang alot terlihat jelas dari berbagaiproduk politik yang pernah dihasilkan untuk membingkai hubungan pemerintahpusat di Jakarta dengan pemerintah daerah. Sejarah menunjukkan bahwabergulirnya UU No. 5 tahun 1974, UU No. 5 tahun 1979, UU No. 22 tahun1999 dan terakhir UU No. 32 tahun 2004 menunjukkan kuatnya tarik-menarikkepentingan dalam urusan pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa.

Working Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” inimerupakan salah satu karya ilmiah yang diterbitkan Pusat Studi Pembangunan,Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (PSP3-IPB) dalam rangkamendukung terwujudnya tata pemerintahan yang mandiri di tingkat lokal,khususnya di tingkat desa. Fokus kajian ini adalah menginventarisir persoalandan dinamika yang berkembang di tingkat lokal dalam rangka mewujudkanotonomi dan demokratisasi. Kajian ini dirasa penting karena potret perjuanganmencapai tata pemerintahan desa yang mandiri di tingkat lokal merupakanpondasi tercapainya otonomi desa.

Selain mengacu pada landasan teoritis dan normatif, kajian ini juga merujuk padahasil penelitian yang berlokasi di lima provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam,Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua. Sebagai sebuah studi-aksi,penelitian ini tidak hanya memfokuskan pada agenda riset melainkanmempertimbangkan aspek keterlibatan para pihak yang berkepentingan terhadapterciptanya otonomi desa. Dengan demikian, rangkaian studi-aksi ini berupayamenciptakan keterlibatan dan partisipasi publik untuk lebih menjiwai kerangkaotonomi desa yang sedang diperjuangkan.

Keterlibatan aktif para pihak terkait menjadi penting dalam kerangkapengembangan kapasitas daerah untuk mengimplementasikan desentralisasi ditingkat lokal. Demokrasi, pada dasarnya mempersyaratkan adanya partisipasipublik seluas-luasnya, yang diartikan sebagai keterlibatan aktif dan disertaikesadaran kritis warga dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan.Melalui partisipasi inilah, sebuah kebijakan atau keputusan diambil denganmengikutsertakan semua pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuanbersama.

Akhirnya, penulis berharap Working Paper ini tidak hanya bergulir dalamwacana tetapi dapat juga bermanfaat bagi studi-studi selanjutnya serta bergunasebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan.

Bogor, 21 Juni 2006

Penulis

Page 4: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

4

DAFTAR ISI

HalamanKata Pengantar …………………………………………………………... iiiDaftar Isi ………………………………………………………………… ivDaftar Tabel ……………………………………………………………... vi1. POLITIK DESENTRALISASI DI INDONESIA: LATAR

BELAKANG DAN PERMASALAHAN1.1. Latar Belakang ........................................................................ 11.2. Permasalahan dan Tujuan Studi ……………………………........ 21.3. Pengorganisasian Tulisan ……………………………………..... 3

2. KONSEP DAN PRAKTIK POLITIK DESENTRALISASIDALAM PERSPEKTIF SEJARAH2.1. Konsep Desentralisasi dalam Politik Pembangunan ............... 42.2. Praktik Politik Desentralisasi di Masa Pra-Kolonial ............... 62.3 Praktik Politik Desentralisasi di Masa Kolonial ................... 72.4. Praktik Politik Desentralisasi di Masa Awal Kemerdekaan .... 82.5. Praktik Politik Desentralisasi di Masa Orde Baru .................. 92.6. Praktik Politik Desentralisasi Pasca Reformasi ..................... 10

3. TAFSIR DAN POTRET DESENTRALISASIPEMERINTAHAN DESA DI BEBERAPA DAERAH3.1. Peran dan Posisi Politik Pemerintahan Desa .......................... 12

3.1.1. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Desa diKabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe AcehDarussalam ................................................................ 13

3.1.2. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Nagari diKabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat ............. 17

3.1.3. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Desa diKabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat ……………...... 22

3.1.4. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan DesaDinas dan Desa Adat di Kabupaten Tabanan, ProvinsiBali ………………............................................................ 25

3.1.5. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Kampungdi Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua ...... 29

3.2. Komparasi Bentuk dan Sistem Pemerintahan Desa di LimaProvinsi …...……………… 34

4. DESENTRALISASI PEMERINTAHAN DESA: TINJAUANKEBIJAKAN DAN HUKUM4.1 Desentralisasi Sebagai Amanat Konstitusi ............................ 38

Page 5: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

5

4.1.1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan ................... 394.1.2. Komparasi Beberapa Undang Undang yang Mengatur

Pemerintahan Desa .................................................... 424.2 Inkonsistensi dan Gap Implementasi Kebijakan Desentralisasi

Pemerintahan Desa ............................................................ 475. DESENTRALISASI: DOMINASI MAYORITAS DAN

URGENSI KEMITRAAN5.1 Penguatan Domain Politik Ekonomi Pemerintah Daerah ..... 545.2 Dominasi Mayoritas dan Perangkap Homogenitas .............. 575.3 Urgensi Kemitraan untuk Percepatan Penguatan Pemerintahan

Desa .................................................................. 616. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

6.1 Kesimpulan ..................................................................... 646.2 Rekomendasi Kebijakan .................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 71

DAFTAR TABEL

Page 6: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

6

Nomor Teks Halaman

1. Perbedaan Bentuk Pemerintahan “Desa” di Nangroe AcehDarussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua .. 35

2. Komparasi Substansi UU 5/1979, UU 22/1999, dan UU32/2004 ..

43

3. Perbandingan Substansi Undang Undang Pokok KehutananNo. 5 Tahun 1967 dan Undang Undang Kehutanan No. 41Tahun 1999 …

51

4. Rincian Dana Perimbangan Pusat dan Daerah .................. 555. Rincian Distribusi Dana Perimbangan yang Diterima Daerah

..............56

6. Rincian Dana Perimbangan Pusat dan Daerah dari SumberDaya Alam ............................................................ 57

7. Distribusi Penerimaan Daerah dari Dana PerimbanganSumber Daya Alam ............................................................. 57

Page 7: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

7

1 POLITIK DESENTRALISASI DI INDONESIA: LATARBELAKANG DAN PERMASALAHAN

1.1. Latar BelakangTransisi politik pasca gerakan reformasi tahun 1998 mengakibatkan adanyapergeseran peran (role) dan perubahan formasi (reformation) para pelaku politik(political actor) maupun lembaga-lembaga negara (state institutions) dalam rangkamenuju ke satu titik keseimbangan politik yang baru. Faktanya, prosespencapaian keseimbangan politik ini memerlukan waktu yang panjang karenakerasnya tarik menarik berbagai kepentingan yang tidak mudah disatukansehingga (sering) bermuara pada tidak adanya ketidakpastian hukum yangmengakibatkan sulitnya mengimplementasikan berbagai kebijakan negara secarakonsisten, baik pada aras nasional maupun aras lokal.

Pada aras nasional telah terjadi pergeseran tata hubungan kekuasan diantaralembaga-lembaga negara, diantaranya redefinisi hubungan eksekutif, legislatif,dan yudikatif di dalam sistem pemerintahan. Selain membangun hubungan tatakelembagaan yang lebih proposional dan konstruktif dalam praktik kenegaraan,sistem pemerintahan negara yang sentralistik juga dirasa perlu untukdidekonstruksi. Derasnya tuntutan terhadap pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya, sebenarnya adalah puncak ekspresi kegundahan daerah terhadappelaksanaan paradigma pembangunan adil dan merata yang selama lebih dari tigadasawarsa dipatok sebagai ideologi pembangunan Orde Baru. Dalam praktiknya,paradigma ini (hanya) menjadi alat legitimasi atas dominasi pemerintah pusatterhadap distribusi dan alokasi sumber-sumber ekonomi. Kenyataan inisungguh melukai rasa keadilan masyarakat lokal. Betapa tidak, kehidupanmasyarakat di sekitar ladang minyak, di sepanjang pantai nelayan, dan sekelilinghutan yang sumberdayanya dikuras atas nama pembangunan tetap miskin danterpinggirkan.

Realitas pembangunan yang top-down dan sentralistis, sejatinya tak lebih darimonopoli pusat atas penyedotan sumberdaya alam dan mengalirnya arus kapitalke satu titik, Jakarta. Maka ketika angin reformasi berhembus, daerahmeneriakkan haknya menuntut pembagian manfaat yang lebih adil. Praktikpembangunan berasaskan keadilan dan pemerataan yang manipulatif dandiskriminatif, melahirkan tuntutan paradigma pembangunan yang baru yaknipembangunan yang adil dan proporsional. Bukan adil dan merata, karena karenakonsep “pemerataan“ dirasakan telah mencederai rasa keadilan masyarakat lokal.Oleh karena itu, masyarakat lokal dan daerah penghasil selayaknya memperolehdistribusi manfaat terbesar dari pengelolaan sumber ekonomi yang dimilikinya.Artinya, perhatian terhadap aspirasi lokal yang berkeadilan (seharusnya) menjadidasar pijakan pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan pembangunan yanglebih proporsional dan partisipatif.

Page 8: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

8

Pergeseran locus politik ke daerah berjalan seiring dengan menurunnya legitimasipemerintah pusat. Penurunan kredibilitas negara tersebut merupakan sesuatuyang tidak bisa dihindari akibat dari; Pertama, pola pengaturan politik pada masaOrde Baru yang dianggap melakukan marginalisasi, tidak hanya pada warganegara dalam tata hubungan negara dan masyarakat, melainkan juga padakomunitas lokal (masyarakat adat) di daerah. Kedua, terjadinya fragmentasi yangluas pada semua arena institusi kenegaraan pada era pasca Orde Baru akibattajamnya rivalitas antar aktor-aktor politik. Loss of legitimacy dari negara (state)menghasilkan sinisme dan distrust yang meluas pada negara dan institusikenegaraannya (Anonim, 2006).

Kerinduan daerah untuk mendapatkan domain politik dan ekonomi yang lebihbesar sedikit banyak terpenuhi dengan dikeluarkannya Undang UndangPemerintahan Daerah Nomor 22/1999 (yang kemudian diganti dengan UUNomor 32/2004), yang mengamanatkan kepada pusat untuk menyerahkanberbagai kewenangan pemerintahan kepada daerah. Namun demikian,peraturan yang tumpang tindih, maraknya konflik sosial, perencanaanpembangunan yang tidak akurat, kurangnya koordinasi, serta praktik korupsi,kolusi dan nepotisme yang merata di semua strata, mengakibatkan realitas sistemdesentralisasi pemerintahan pada era otonomi daerah di Indonesia semakinmenjauh dari cita-cita pembangunan yang adil dan menyejahterakan.

1.2. Permasalahan dan Tujuan StudiSistem desentralisasi yang menggantikan sistem pemerintahan terpusat diIndonesia tidak selamanya dapat berjalan lurus mulus sebagaimana yangdiharapkan. Hal ini disebabkan karena banyak hal yang selama ini didengungkansebagai keunggulan sistem desentralisasi, sejatinya didasarkan pada asumsiumum yang belum teruji kesahihannya untuk beragam kondisi di daerah.

Beberapa permasalahan yang diduga menjadi faktor penyebab utama yangmempengaruhi keragaman efektivitas pelaksanaan desentralisasi di Indonesiaadalah: (1) perbedaan tafsir konsep dan tujuan desentralisasi pada aras nasionaldan lokal, (2) perbedaan konteks kesejarahan dan hak asal usul desa sertalingkungan makro yang melingkupinya, (3) inkonsistensi kebijakan dan materiperaturan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan desentralisasi, (4)keragaman bentuk, peran, dan kapasitas kelembagaan pemerintahan desa ataunama lain yang setara, dan (5) perbedaan motif dan kemauan politik (political will)otoritas kelembagaan supra desa.

Studi ini dimaksudkan untuk menjawab kelima permasalahan yang didugamenjadi faktor penyebab utama yang mempengaruhi keragaman efektivitasdesentralisasi di Indonesia. Oleh karena itu, tujuan studi ini dirumuskan sebagaiberikut:

Page 9: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

9

1. Memaparkan berbagai konsep dan tujuan desentralisasi dari aspek teori sertapraktik yang berlaku dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia baik padaaras nasional maupun pada aras lokal.

2. Memetakan keragaman bentuk, peran, dan kapasitas kelembagaan desa ataunama lain yang setara berdasarkan pengamatan empiris di beberapa daerahdi Indonesia.

3. Memaparkan perbedaan konteks kesejarahan dan hak asal-usul desatermasuk lingkungan makro yang melingkupinya dari masa ke masa.

4. Menganalisis inkonsistensi kebijakan dan materi peraturan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

5. Menganalisis perbedaan motif dan kemauan politik (political will) otoritaskelembagaan supra desa, serta memaparkan kecenderungan praktik politikdesentralisasi pada aras lokal.

1.3. Pengorganisasian TulisanTulisan ini merupakan rangkuman hasil studi yang tersusun dalam enam bab.Bab pertama memaparkan latar belakang dan permasalahan politik desentralisasidi Indonesia. Bab kedua berisi konsep dan praktik politik desentralisasi diIndonesia dalam perspektif sejarah. Penjabaran tafsir dan praktik politikdesentralisasi di lima provinsi di Indonesia dipaparkan pada bab ketiga.

Bab empat dari tulisan ini menganalisis aspek hukum dan kebijakan yangmendasari pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Sementara itu, bab kelimamenguraikan permasalahan (kecenderungan) dominasi mayoritas dalam praktikpolitik desentralisasi di Indonesia dewasa ini dan menawarkan konsep kemitraandalam rangka membangun sistem pemerintahan desa yang baik.

Bab enam yang merupakan penutup dari tulisan ini berisi kesimpulan dari hasilstudi dan rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi bahan masukandalam memperbaiki arah dan pelaksanaan politik desentralisasi pemerintahandesa di masa mendatang.

Page 10: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

10

2 KONSEP DAN PRAKTIK POLITIKDESENTRALISASI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

2.1. Konsep Desentralisasi dalam Politik PembangunanSejatinya sistem desentralisasi dalam ranah teori bukanlah merupakan suatu halyang baru. Secara substansial, banyak negara telah lama mempraktikkan sistemdesentralisasi dengan berbagai latar belakang dan tujuan (Parker 1995). Adabeberapa konsep yang terkait dengan pelaksanaan sistem desentralisasi yaknidekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi. Dekonsentrasi berartipenyerahan tugas administratif kepada aparat pusat di daerah, dimanakewenangan pengambilan keputusan pada dasarnya tetap dipegang pemerintahpusat, namun lokasi kantornya berada di daerah. Oleh karena itu, ada yangberpandangan bahwa dekonsentrasi tidak dapat dikategorikan dalam sistemdesentralisasi karena sesungguhnya konsep dekonsentrasi hanyalah mendekatkanpelayanan pemerintah pusat kepada publik namun sama sekali tidak adapenyerahan kewenangan kepada otoritas di daerah.

Konsep delegasi diartikan sebagai penyerahan sebagian kewenangan pemerintahpusat kepada lembaga pemerintahan di daerah. Dalam pengertian ini, meskipunsebagian kewenangan telah didelegasikan ke daerah, namun pelaksanaannyadipertanggungjawabkan kepada pemerintah pusat.

Secara mendasar devolusi mempunyai pengertian yang berbeda dengandekonsentrasi maupun delegasi. Devolusi berarti penyerahan sebagiankewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau menurutMeinzen-Dick dan Knoxx (1999) bisa pula kewenangan diserahkan kepadaentitas di daerah (masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat lainnya).Penyerahan kewenangan dalam hal ini termasuk dalam pengambilan keputusandan karenanya pemerintah daerah atau entitas yang diserahi kewenangan harusmempertanggungjawabkannya kepada konstituen (pemilih, publik, anggotamasyarakat).

Terakhir adalah privatisasi yang berarti penyerahan kewenangan kepada sektorswasta atau individu. Karena tidak berkaitan langsung dengan sistempemerintahan seringkali privatisasi tidak dikelompokkan dalam kategoridesentralisasi. Sedikitnya ada tiga aspek penting yang dapat didesentralisasikankepada daerah berdasarkan ruang lingkup kewenangannya yaitu: desentralisasiadministratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi politik. Salah satu isu yangpaling menonjol dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dewasa iniadalah desentralisasi fiskal disamping desentralisasi administratif dan tentu sajayang tidak kalah penting desentralisasi politik.

Desentralisasi administratif berkaitan dengan penyerahan kewenangan kepadalembaga pemerintahan di daerah untuk melaksanakan fungsi pelayanan publik,

Page 11: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

11

sedangkan desentralisasi politik mengacu kepada pelimpahan wewenang kepadadaerah dalam menentukan kebijakan publik. Keputusan politik untukmendevolusikan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah, hanya dapatterlaksana dengan baik jika pemerintah daerah mempunyai kapasitas yang cukupdalam pengelolaan administratif, fiskal, dan politik (Inman dan Rubinfield 1997dalam Litvack et al 1998). Penting ditekankan bahwa implikasi dari relokasikekuasaan dalam pengertian devolusi, bukanlah sekedar pelaksanaan fungsi“konsultasi” tugas-tugas pusat yang dilaksanakan oleh aparat di daerah,melainkan penyerahan sepenuhnya tanggung jawab dan wewenang kepadapemerintah daerah atau entitas di daerah.

Kebijakan otonomi daerah yang merupakan perwujudan politik desentralisasi diIndonesia sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 22/1999 (yangkemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32/2004) merupakan salahsatu landasan terpenting dalam perubahan sistem tata-kelola pemerintahan.Secara konseptual, kebijakan otonomi daerah merupakan sistem pemerintahanyang lebih menghargai partisipasi, kemandirian, kesejahteraan sosial,demokratisme, dan pemberdayaan masyarakat. Konsep desentralisasi yangdiusung Undang Undang Otonomi Daerah dipandang lebih menjamin cita-citapenegakan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung pluralitas, transparansi,akuntabilitas, dan berbasis pada kemampuan lokal. Selain itu, konsep otonomidaerah juga merupakan pijakan dasar (platform) bagi pelaksanaan politikpembangunan yang adil dan menyejahterakan melalui pengelolaan sumberdayaalam dan lingkungan yang berkelanjutan. Melalui otonomi daerah, kerusakan(dan perusakan) sumberdaya alam diharapkan dapat diminimalkan karenapergeseran domain politik-ekonomi pengelolaan sumberdaya alam ke daerah(seharusnya) akan menambah rasa tanggung jawab dan rasa memiliki entitaslokal terhadap sumberdaya alam di wilayahnya.

Sistem desentralisasi bukanlah sebuah konsep magic yang dapat mengubah poladan perilaku politik pemerintahan dan sosial kemasyarakatan dalam sekejap.Sebagai sebuah konsep yang bertujuan untuk mengoreksi sistem sentralisasi yangdipraktikkan selama lebih dari tigapuluh tahun pemerintahan rejim orde barudan paruh terakhir rejim orde lama, pelaksanaan politik desentralisasi yangmenjadi “ruh” otonomi daerah tidak serta merta dapat menyesuaikan diridengan realitas sistem sosial kemasyarakatan di Indonesia. Pada kenyataannya,implementasi konsep otonomi daerah sering tidak kompatibel atau bahkanmenabrak tatanan struktur politik, ekonomi, sosial, dan kultural yang hidup ditengah masyarakat. Praktik korupsi, kolusi dan nepostisme yang juga ikut“terdesentralisasi” dari pusat ke daerah adalah salah satu realitas pahit dari potretburuk pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Demikian halnya dengankerusakan sumberdaya alam yang semakin parah adalah konsekuensi dariideologi pengerukan keuntungan jangka pendek (short-term self interest) daripenguasa daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari setting strategi politik-ekonomi lokal untuk melanggengkan kekuasaan.

Page 12: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

12

Kabupaten yang ditetapkan sebagi locus sentral dari praktik politik desentralisasidi Indonesia yang mengacu pada Undang Undang 22/1999 maupun -kemudianUndang Undang 32/2004- sejatinya bukanlah suatu hal yang terjadi secarakebetulan. Pergulatan panjang mewarnai pembuatan Undang Undang OtonomiDaerah, terutama yang menyangkut locus sentral desentralisasi: provinsi,kabupaten, atau desa. Pemilihan provinsi sebagai locus sentral desentralisasidinilai sangat beresiko secara politik terhadap keutuhan Negara KesatuanRepublik Indonesia, meskipun secara konseptual barangkali paling ideal dantelah banyak dipraktikkan oleh berbagai negara (Nurrochmat, 2005a).Sedangkan meletakkan locus utama desentralisasi pada wilayah pemerintahan“desa” dipandang tidak realistis karena terbatasnya ruang gerak desa secarageografis maupun geopolitik, disamping sangat lebarnya jurang kapasitassumberdaya manusia dan terlalu besarnya keragaman sistem sosial budaya antardesa. Berdasarkan kedua argumen inilah maka peletakan locus sentraldesentralisasi yang (dianggap) paling tepat untuk kondisi Indonesia adalahkabupaten.

Pemberlakuan Undang Undang Pemerintahan Daerah 22/1999 (yang digantidengan Undang Undang 32/2004) secara nyata telah meningkatkan posisi politikkabupaten sebagai locus utama desentralisasi dan secara simultan melemahkanperan politik provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.Dengan kata lain, politik pembangunan tidak lagi mengedepankan asasdekonsentrasi, namun pada saat yang bersamaan memperkuat asas desentralisasi–terutama di kabupaten- yang menempati domain politik ekonomi utama dalamsistem tata kelola pemerintahan di era otonomi daerah. Sementara itu,bagaimana posisi dan peran politik “desa” pasca otonomi daerah masih perludikaji lebih jauh apakah peran “desa” sebagai unit pemerintahan terkecilmengalami penguatan dengan dilaksanakannya otonomi daerah ataukah justruperan “desa” semakin melemah dan secara politik posisinya semakintermajinalkan karena peran politik kabupaten yang sangat dominan sehinggamenafikan peran “desa” sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mandiri.

2.2. Praktik Politik Desentralisasi di Masa Pra-KolonialSecara “de facto” sistem desentralisasi luas bahkan federalisme bukan hal barubagi bangsa Indonesia. Jauh sebelum masa kolonial Belanda, tepatnya padamasa kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, pemerintahan di wilayah“Nusantara” yang merupakan cikal bakal wilayah negara-bangsa Indonesiasesungguhnya merupakan suatu bentuk konfederasi dari kerajaan-kerajaan kecilyang tergabung dalam sebuah kekuasaan satu Kerajaan Besar (big monarchy).Wibawa (2003) menegaskan bahwa kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawahnaungan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan suatu “pemerintahandaerah otonom”, yang dalam batasan tertentu memiliki kedaulatan (sovereignity)untuk melakukan kerjasama dengan kerajaan lainnya. Kerajaan-kerajaan kecil

Page 13: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

13

tersebut kadang-kadang juga terlibat konflik diantara mereka, namun di sisi yanglain mereka juga dapat berkompromi dan melakukan perjanjian kerjasama.

Meskipun secara eksplisit konsep desentralisasi belum dikenal pada masa itu,namun praktik pemerintahan konfederasi pada masa kerajaan Sriwijaya danMajapahit dapat dikatakan telah mengimplementasikan politik desentralisasipada masanya. Dalam hal ini, tampaknya sistem desentralisasi yang dibangunpada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah desentralisasi luas, yangsesungguhnya lebih dekat dengan sistem negara federasi, dimana kerajaan-kerajaan kecil yang tergabung dalam konfederasi adalah semacam “negarabagian” (states) yang memiliki bentuk keterikatan tertentu dengan pusat kerajaan(federal).

2.3. Praktik Politik Desentralisasi di Masa KolonialKonsep otonomi daerah pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonialBelanda melalui ”Decentralisatie Wet” yang dikeluarkan pada tahun 1903 yangmenciptakan Dewan-Dewan lokal, yang mempunyai wewenang untuk membuatperaturan-peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan. Peraturan inidikeluarkan dengan menimbang beberapa alasan, diantaranya:

Untuk meningkatkan efektifitas administrasi pemerintah kolonial di HindiaBelanda.

Tekanan dari kelompok kapitalis Eropa untuk membuka investasi di HindiaBelanda.

Kesulitan dana yang membelit pemerintah kolonial Belanda. Pengaruh isu ”politik etik”.

Sekitar dua dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1922, ”Decentralisatie Wet”diperbaharui dengan terbitnya peraturan yang baru yakni ”Bestuurhervormingswet1922” yang membuka peluang bagi kaum pribumi untuk terlibat dalam urusanpemerintahan (Buising, 2000; Wibawa, 2003). Pemberian kesempatan dalampengelolaan pemerintahan bagi pribumi diikuti dengan kebijakan ”politikescholing” atau pendidikan politik bagi (sebagian) pribumi agar mereka mempunyaikemampuan dalam pengelolaan pemerintahan. Di balik kebijakan yang terkesanmulia ini ada tujuan yang tersembunyi agar kelak kaum pribumi yang terdidikdapat berperan mengelola pemerintahan seberang lautan Hindia Belanda(sebagai negara bagian) dibawah konfederasi Kerajaan Belanda (Kaho, 1997dalam Wibawa, 2003).

Untuk mengatur pedesaan, dikeluarkan ”Inlandische Gemeente Ordonantie” yangkemudian dibedakan bagi pedesaan yang terdapat di Pulau Jawa dan Maduradengan pedesaan yang ada di luar Jawa dan Madura. Bagi desa-desa di Jawa-Madura diberlakukan ”Inlandische Gemeente Ordonantie Stb. 1906 Nomor 83” danbagi desa-desa di luar Jawa-Madura diberlakukan ”Inlandsche Gemeente OrdonatieBuitengewesten, Stb. 1938 Nomor 490 jo Stb. 1938 Nomor 681.”

Page 14: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

14

Meskipun kebijakan desentralisasi yang diberikan pemerintah Hindia Belandamengandung beberapa sisi positif, namun tampaknya tidak ada satupunkebijakan desentralisasi tersebut yang dapat memuaskan rakyat Indonesia.Selain kebijakan desentralisasi pemerintah Hindia Belanda sarat dengan tujuanpolitik tersembunyi, setting politik pada masa itu sangat ”anti desentralisasi”karena dianggap merupakan sebagai perwujudan dari politik pecah belah (”devideet impera”) yang dipraktikkan pemerintah kolonial Belanda. Maraknya pergerakankemerdekaan di berbagai negara Asia semakin mengokohkan keyakinan bahwabentuk negara kesatuan adalah sebuah pilihan yang terbaik. Pergerakankemerdekaan memerlukan sentralisme komando agar perjuangan mencapaikemerdekaan dapat dilakukan secara lebih efektif dan terkoordinir. Keyakinanini semakin mengental dengan adanya deklarasi ”Soempah Pemoeda” yangdikukuhkan pada Kongres Pemuda Indonesia II pada tanggal 28 Oktober 1928.

Di masa pendudukan Jepang politik desentralisasi diterapkan melalui pembagiankekuasaan wilayah Nusantara ke dalam wilayah-wilayah pemerintahan militerkesatuan Angkatan Laut Jepang. Politik desentralisasi pada masa pendudukanJepang ini sama sekali tidak berkaitan dengan isu partisipasi, demokrasi, ataukesejahteraan, namun semata-mata ditujukan untuk menunjang kepentinganJepang dalam perang Asia Timur Raya.

2.4. Praktik Politik Desentralisasi di Masa Awal KemerdekaanKemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diperolehsesaat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Setting geopolitik pada masa ituadalah kepentingan bersama dalam hal pertahanan dan keamanan, tidak hanyadalam rangka menjaga keutuhan negara tetapi juga pertahanan kawasan dariancaman agresi negara lain. Oleh karena itu, sentralisasi komando menjadisangat penting dalam penggalangan sistem pertahanan keamanan bersama baiknegara-bangsa maupun kawasan.

Desentralisasi bukan merupakan konsep yang populer pada periode awalkemerdekaan karena kepentingan pertahanan keamanan bersama serta adanyapandangan bahwa konsep desentralisasi akan dapat mengancam atau setidaknyamelemahkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang UndangNomor 1/1945 adalah peraturan perundang-undangan pertama yangdikeluarkan pada masa kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, otonomidesa hampir tidak ada. Undang Undang Darurat Nomor 1/1951 menyebutkanbahwa hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat dan agama ditangani oleh dualembaga pengadilan yaitu Pengadilan Desa (Dorp Justitie) dan PengadilanSwapraja (Zelfbestuursrechtspraak) yang kemudian menjadi pengadilan negeri.Dengan demikian otonomi desa sebagai entitas hukum adat sangat dibatasi. Halini dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Agung 8 Januari 1958, yangmenyatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak terikat oleh keputusanperaturan adat desa.

Page 15: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

15

Setelah pelaksanaan Pemilihan Umum pertama tahun 1955 dan ditetapkannyamajelis Konstituante, kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 1/1957.Undang Undang ini sedikit membuka ruang otonomi bagi daerah denganmemberikan kewenangan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) untuk memilih Bupati tanpa adanya intervensi pemerintah pusat.Namun otonomi terbatas inipun tidak dapat bertahan lama menyusulmerebaknya pemberontakan PRRI-Permesta dan kegagalan majelis Konstituantemenetapkan Undang Undang Dasar yang baru menggantikan Undang UndangDasar Sementara 1950, yang dijadikan alasan bagi Presiden Sukarno menetapkanDekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan berlakunya kembaliUndang Undang Dasar 1945 dan sekaligus menggulirkan konsep ”DemokrasiTerpimpin”. Berlarut-larutnya kerja dewan konstituante, pertikaian diantarapartai politik, dan maraknya pemberontakan di berbagai daerah dipakai sebagaiargumen pembenar oleh Presiden Sukarno bagi diberlakukannya ”DemokrasiTerpimpin”. Di bawah Demokrasi Terpimpin hampir tidak ada ruang gerakbagi konsep desentralisasi karena seluruh kebijakan hanya dapat dikeluarkan ataskomando pimpinan tertinggi negara.

2.5. Praktik Politik Desentralisasi di Masa Orde BaruKonsep ”Demokrasi Terpimpin” yang diusung oleh Presiden Sukarno, dalampraktiknya tak lebih dari bentuk pemerintahan otoriter yang dibungkus dengannama demokrasi. Di bawah demokrasi terpimpin pemilihan umum tidak pernahdilaksanakan, pertarungan politik dan ideologi tidak kunjung reda bahkansemakin memanas. Kebangkrutan ekonomi dan krisis politik akut adalah hasilyang dituai pemerintahan Sukarno, yang berujung pada pemberontakan dandemonstrasi besar-besaran yang memaksa Presiden Sukarno menyerahkankekuasaannya kepada Jenderal Suharto. Pada tahun 1967 secara resmi Suhartoditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) sebagai pejabatPresiden Republik Indonesia, yang menandai dimulainya babak baru rejimpemerintahan yang menamakan dirinya dengan sebutan ”Orde Baru”.

Pemerintahan Orde Baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum untukmemilih anggota MPR, DPR, dan DPRD pada tahun 1971. Meskipun tidaksepenuhnya demokratis, namun Pemilihan Umum ini berhasil memilih anggotaparlemen sekaligus mengukuhkan Suharto sebagai presiden yang secara ”de jure”dipilih oleh MPR sesuai dengan amanat konstitusi. Tiga tahun kemudian,dikeluarkan Undang Undang Nomor 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah.Melalui Undang Undang ini konsep desentralisasi mulai diperkenalkan kembalidalam praktik penyelenggaraan negara meskipun dalam porsi yang sangat kecil.Di dalam Undang Undang Nomor 5/1974 dikenal dua asas penyelenggaraanpemerintahan negara di daerah, yaitu asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.Dalam kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas perbantuan jauhlebih dominan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini

Page 16: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

16

disebabkan karena rejim Orde Baru sangat menekankan adanya stabilitas politikuntuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 1979, dikeluarkan Undang Undang Nomor 5/1979 tentangPemerintahan Desa. Atas nama stabilitas dan efektifitas pelaksanaanpembangunan, melalui Undang Undang Nomor 5/1979 ini pemerintah OrdeBaru memberangus realitas keragaman adat dan budaya di masyarakat denganmenyeragamkan nama, bentuk, dan sistem pemerintahan otonom terendah dibawah pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia dengan nama, bentuk, dansistem yang sama yaitu ”desa”.

Masalah kelembagaan adat diatur pada masa Orde Baru dengan PeraturanMenteri Dalam Negeri Nomor 11/1984, yang kemudian diganti denganPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3/1997 tentang pemberdayaan danpelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakatdan lembaga adat di daerah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebutditegaskan bahwa:

”dalam usaha melaksanakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat, kebiasaanmasyarakat dan lembaga adat, Pemerintah Daerah dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dan ataulangkah-langkah yang berdayaguna dan berhasil guna dengan berpedoman kepada Peraturan MenteriDalam Negeri ini setelah dimusyawarahkan dengan pimpinan atau pemuka adat di daerah.”

Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini juga diuraikan istilah adat,kebiasaan, lembaga adat dan hukum adat.

2.6. Praktik Politik Desentralisasi Pasca ReformasiBulan Mei 1998 adalah puncak dari gerakan reformasi yang berhembus kencangseiring dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik yang ditandai denganpengunduran diri Presiden Suharto yang mengakhiri berkuasanya rejim OrdeBaru, sekaligus titik awal dimulainya babak baru dalam penyelenggaraanpemerintahan di Indonesia. Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Suharto,mengemban amanat untuk melaksanakan enam agenda reformasi (Hanggonodan Haripramono, 2000), yakni:1. Amandemen Undang Undang Dasar 19452. Penegakan supremasi hukum3. Penghapusan Dwifungsi ABRI4. Demokratisasi5. Pelaksanaan Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme6. Pelaksanaan Otonomi Daerah seluas-luasnya

Amandemen UUD 1945 dilaksanakan dalam empat tahap. Amandemen pertamaterhadap UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, diikuti denganamandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, kemudian amandemen ketigapada tanggal 10 November 2001, dan terakhir amandemen keempat UUD 1945dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2002.

Page 17: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

17

Dibandingkan dengan versi aslinya, UUD 1945 pasca amandemen memberikanlebih banyak ruang bagi pelaksanaan desentralisasi dan kewenangan bagipemerintah daerah (Pasal 18 dan 18A) serta lebih menghargai realitas keragamandan adat di masyarakat (Pasal 18B). Selain itu, pengambilan kebijakan yangmenyangkut pelaksanaan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,pembentukan dan pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, danperimbangan keuangan harus melipatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)yang (dianggap) merupakan representasi berbagai kelompok masyarakat didaerah (Pasal 22D). Pelaksanaan otonomi daerah tetap harus memperhatikankepentingan nasional dan berada dalam koridor Negara Kesatuan RepublikIndonesia (Pasal 1) serta harus dapat menyejahterakan masyarakat (Pasal 33).

Setelah setahun pemerintahan B.J. Habibie, dikeluarkan Undang UndangPemerintahan Daerah Nomor 22/1999 menggantikan Undang Undang Nomor5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 5/1979tentang Pemerintahan Desa. Banyak kalangan menilai Undang Undang 22/1999ini merupakan revolusi dalam penerapan konsep desentralisasi di Indonesia,karena secara substansial melimpahkan sangat banyak kewenanganpemerintahan kepada daerah, khususnya kabupaten. Secara resmi UndangUndang ini mulai diberlakukan mulai 1 Januari 2001 untuk menyiapkanberbagai peraturan pelaksanaannya dan memberikan kesempatan kepada daerahuntuk mempersiapkan diri. Undang Undang yang memberikan otonomi yangluas kepada daerah ini disambut dengan suka-cita di berbagai daerah, namunseringkali juga menimbulkan ekses euforia yang berlebihan.

Pergeseran domain politik dan ekonomi ke daerah, acap menimbulkanketegangan hubungan dengan pemerintah pusat karena kebijakan daerah tidakkompatibel dengan peraturan yang lebih tinggi atau (dianggap) membahayakankepentingan nasional. Selain itu, instruksi vertikal dan koordinasi horisontalsering terganggu karena kabupaten sebagai daerah otonom merasa tidakmemiliki keterkaitan struktural dengan provinsi sebagai perpanjangan tanganpemerintah pusat di daerah dalam konteks Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Berbagai alasan inilah yang melandasi keputusan pemerintah pusatuntuk merevisi Undang Undang 22/1999. Namun, yang terjadi kemudianternyata bukan sekedar revisi melainkan mengganti Undang Undang 22/1999dengan Undang Undang Pemerintahan Daerah yang baru yakni Undang Undang32/2004.

Di satu sisi, banyak kalangan menilai bahwa dikeluarkannya Undang Undang32/2004 adalah set back bagi pelaksanaan konsep desentralisasi di Indonesia dantimbul kekhawatiran untuk kembali ke bentuk pemerintahan tersentralisirdengan baju lain (resentralisasi). Namun di sisi yang lain Undang Undang inidianggap sebagai suatu keharusan untuk mengerem egoisme kedaerahan yangberlebihan, memperbaiki mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah, sertamengatur hubungan antar daerah yang lebih baik.

Page 18: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

18

3 TAFSIR DAN POTRET DESENTRALISASIPEMERINTAHAN DESA DI BEBERAPA DAERAH

3.1. Peran dan Posisi Politik Pemerintahan DesaPolitik desentralisasi yang secara formal dilaksanakan di Indonesia sejak 1Januari 2001 ternyata membawa implikasi yang tidak seragam bagi setiap daerah.Keragaman ini disebabkan karena setiap daerah (cenderung) memiliki tafsir yangberbeda terhadap kebijakan desentralisasi yang digulirkan oleh pemerintah pusattergantung pada kekhasan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setiap daerah,selain tentu saja dipengaruhi pula oleh bias kepentingan penguasa (dan interestgroup lain) di daerah. Perbedaan tafsir terhadap konsep desentralisasi inimenyebabkan terjadinya keragaman praktik penyelenggaraan pemerintahan disetiap daerah. Keragaman bentuk dan sistem pemerintahan juga dapatditemukan dalam praktik pemerintahan ”desa” sebagai sebuah sistempemerintahan terkecil di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sesuai dengan semangat konstitusi negara yang menjunjung tinggi kebersamaandalam realitas keragaman, sebagaimana dijabarkan kemudian di dalam UndangUndang Pemerintahan Daerah (Undang Undang Nomor 22/1999 dan UndangUndang Nomor 32/2004) dan penjabaran detailnya dalam /2004 tentang Desa,dalam batas-batas tertentu negara mengakui adanya perbedaan nama, bentukdan sistem pemerintahan ”desa” sesuai dengan asal usul dan kekhasan daerah.Oleh karena itu, semangat ”de-desanisasi” tumbuh subur di berbagai daerah.Desa sebagai sebuah nama ”seragam” bagi unit pemerintahan terkecil yangdigariskan rejim Orde Baru melalui Undang Undang Pemerintahan Desa Nomor5/1979 mulai ditinggalkan di berbagai daerah untuk kemudian diganti dengannama dan bentuk lain yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi spesifik lokal,baik yang didasarkan pada sejarah asal usul maupun yang digali pada nilai-nilaitradisi yang hidup di masyarakat.

Agenda memperkuat kapasitas desa dengan demikian menjadi penting dalamproses politik dan pemerintahan dalam rangka membangun otonomi desa.Penjelasan (Rozaki, dkk., 2005) tentang upaya tersebut diperkuat denganargumentasi bahwa penguatan kapasitas desa menuju otonomi desa dapatdilakukan melalui beberapa agenda yaitu; pertama, kapasitas regulasi (mengatur).Kapasitas regulasi adalah kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupandesa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa,berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapasitasekstraksi, adalah kemampuan mengumpulkan, mengerahkan danmengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan)pemerintah dan warga masyarakat desa. Ketiga, kapasitas distributif adalahkemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya desa secara seimbang danmerata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Keempat, kapasitas

Page 19: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

19

responsif adalah kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadapaspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalamperencanaan kebijakan pembangunan desa. Kelima, kapasitas jaringan dankerjasama antara berbagai stakeholder dalam rangka mendukung kapasitasekstraktif.

Mengapa agenda penguatan desa menjadi penting, argumentasi merujuk padakeinginan menyusun pondasi desentralisasi dan otonomi desa. Pertama, desamerupakan entitas dan sekaligus basis penghidupan sebagian besar rakyatIndonesia. Kedua, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan jauh lebihbermakna dan kokoh kalau ditopang oleh eksistensi, kemampuan, dankemandirian desa. Ketiga, desentralisasi dan otonomi tidak akan mempunyaimakna otentik jika hanya berurusan dengan pembagian kewenangan, alokasidana, penataan organisasi Pemda, maupun peningkatan PAD. Keempat, prakarsadesentralisasi dan otonomi desa dimaksudkan untuk memperkuat kapasitaskemandirian desa, membuat otonomi daerah berpihak pada rakyat.

Merujuk pada pertimbangan pentingnya kembali pada semangat desentralisasidan otonomi desa, maka praktek pemerintahan lokal di setiap daerah menjadipijakan yang berharga dalam mengkaji potensi otonomi desa yang ingin dicapai.Bagian selanjutnya dalam bab ini akan menyajikan realitas keragaman praktikpemerintahan ”desa” yang dijumpai di provinsi Nangroe Aceh Darussalam,Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua.

3.1.1. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Desa di KabupatenAceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Dalam kajian ini, kabupaten Aceh Besar adalah salah satu lokasi yang diamatisebagai studi kasus. Studi kasus dilakukan di dua desa yakni Desa Babah Jurongdan Desa Cot Geundreut. Kedua desa ini terletak di daerah dataran rendah yangtermasuk kawasan peri-urban dari Banda Aceh. Sebagian besar wilayahnyadidominasi hamparan sawah, kebun dan kawasan rumpun rumbia dan terletakhanya beberapa kilometer saja dari lapangan udara Blang Bintang. Kedekatandengan lapangan udara sipil utama di provinsi Nangroe Aceh Darussalam(NAD) bukan berarti kedua desa ini steril dari dampak konflik bersenjata antarapemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Selama masa pergolakan RI-GAM, bekerja di kantor desapun dianggapberbahaya sehingga tata administrasi desa hampir tidak berfungsi. Pelaksanaanpembangunan juga tersendat karena di berbagai daerah dana Bandes (BantuanDesa) tidak dicairkan pemerintah RI karena adanya kekhawatiran dana Bandestersebut jatuh ke tangan GAM. Oleh karena itu, selama periode konflikbersenjata dapat dikatakan bahwa roda pemerintahan desa di wilayah NADterutama di daerah-daerah rawan konflik tidak pernah dapat berjalan dengannormal. Demikian pula dengan program-program pembangunan desa sulit dapatdilaksanakan dengan baik.

Page 20: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

20

Tidak semua penduduk memiliki sawah atau kebun. Mereka hanyamengandalkan pendapatan dari upah sebagai petani penggarap serta dari hasilternak terutama ternak sapi dan pendapatan dari pekerjaan non-pertanian. Padaumumnya, kebun tidak dimanfaatkan secara komersial tetapi hanya ditanamipohon dan tanaman musiman untuk keperluan sendiri. Apabila mereka memilikisapi, maka biasanya kebun mereka juga ditanami rumput gajah untuk pakanternak. Sebagian kebun juga ditanami sayur mayur untuk dipasarkan dan untukpemenuhan kebutuhan rumah tangga sendiri.

Beberapa daerah cukup banyak ditumbuhi pohon-pohon rumbia. Seperti halnyasawah, kebun rumbia dimiliki secara pribadi. Namun, orang lain dapatmemanfaatkan dengan menyewa dari pemilik. Rumbia ini digunakan sebagaibahan dasar untuk pembuatan atap dan dinding rumbia. Sedangkan sagu rumbiadewasa ini tidak banyak dimanfaatkan lagi untuk konsumsi masyarakat, tetapihanya dipergunakan untuk makanan ayam. Pada umumnya, padi sawah dapatdipanen dua kali dalam setahun, sedangkan sagu dewasa ini tidak banyak lagiditanam.

Tanah negara yang tidak berpenghuni dimanfaatkan oleh beberapa pendudukdesa untuk berkebun dan tempat merumput sapi. Rata-rata penduduk memilikisapi, atau memelihara sapi orang lain. Kompensasi memelihara sapi orang laindilakukan berdasarkan perhitungan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dankebiasaan.

Sebagian masyarakat juga memperoleh sumber pendapatan dari kegiatan non-pertanian seperti membuat atap rumbia. Sumber bahan baku berasal darikawasan pohon rumbia yang dimiliki atau disewa. Pada umumnya kaum laki-lakimenebang daun-daun rumbia dan sedangkan kaum perempuan menganyamatapnya. Membuat atap rumbia walaupun merupakan salah satu sumberpendapatan yang penting, namun tetap merupakan pekerjaan sambilan yanghanya dilakukan apabila sedang tidak banyak aktifitas di sawah.

Kabupaten Aceh Besar, sebagaimana umumnya daerah di provinsi NAD,memiliki sistem budaya dan pemerintahan adat yang khas. Sesungguhnya,kekhasan sistem adat ini telah diakui keberadaannya dalam tatanan pemerintahandaerah sebagai organisasi pemerintahan tingkat desa pada tahun 1977 melaluiSurat Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 1/1977 tentang Struktur OrganisasiPemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar. Namun demikian, SK Bupati inibelum mengatur secara detail fungsi dan kedudukan lembaga adat di dalamtatanan pemerintahan desa. Dengan adanya Undang Undang Nomor 5/1979tentang Pemerintahan Desa maka keberadaan sistem pemerintahan adat di Acehsecara sistematis terpinggirkan. Untuk menjaga agar kelembagaan adat Acehtidak semakin terlupakan, maka pada tahun 1990 pemerintah provinsi DaerahIstimewa Aceh menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 2/1990 tentangPembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakatbeserta Lembaga Adat.

Page 21: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

21

Secara kultural pembagian pemerintahan terkecil di Aceh adalah ”mukim”. Luaswilayah sebuah mukim terkait dengan luas pengaruh atau cakupan jamaah suatuMasjid Jami, yang wilayah teritorialnya dapat mencakup satu atau lebih wilayahdesa. Sebuah mukim dipimpin oleh seorang ”imeum mukim” yang biasanyadipilih secara berdasarkan mufakat di Masjid Jami. Sedangkan desa dipimpinoleh seorang Kepala Desa atau ”Keuchik”. Secara struktural desa tidak memilikihubungan dengan mukim, namun secara fungsional banyak hal yangmenyangkut pengelolaan sumberdaya alam harus berkoordinasi dengan ImeumMukim. Seorang imeum mukim memiliki beberapa perangkat, diantaranya yangterpenting adalah ”Kejeureun Blang”.

Peran dari Kejeureun Blang adalah mengatur air sawah, membuat jadwalkegiatan bersawah dan memimpin ritual-ritual menyangkut budidaya sawah.Kelembagaan Kajeureun Blang ini bertingkat dari Mukim sampai dengan tingkatblok-blok sawah. Biasanya seorang Imeum Mukim sekaligus juga menjadi kepalaKejereun Blang seluruh Mukim. Dalam musyawarah Mukim di Masjid Jami,dipilih Kejeureun Blang dari desa-desa yang dicakup oleh Mukim. KejeureunBlang yang dipilih bebas mengangkat pembantu-pembantunya. Bisa terjadibahwa beberapa desa yang sawahnya saling berkaitan berada dibawah satuKejeureun Blang.

Selain akibat dari penyeragaman pemerintahan desa melalui Undang UndangNomor 5/1979, konflik berkepanjangan RI-GAM juga merupakan salah satufaktor terpenting yang menyebabkan kelembagaan mukim menjadi kurangberfungsi atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Meskipun di beberapadaerah peran Imeum Mukim dan Kejeureun Blang masih cukup kuat, namun dibanyak daerah perannya hampir tidak ada lagi. Pada umumnya, peran dariImeum Mukim yang masih diakui hanyalah terbatas pada permasalahan yangmenyangkut status lahan, misalnya menjadi saksi apabila ada transaksi jual belitanah.

Konflik berkepanjangan juga menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dantersendatnya sosialisasi dan implementasi peraturan perundang-undangan diAceh. Meskipun sistem pengelolaan pemerintahan desa di Indonesia seharusnyamengacu pada Undang Undang Nomor 22/1999 yang kemudian diganti denganUndang Undang Nomor 32/2004, namun hingga sekarang ini praktikpenyelenggaraan Pemerintahan Desa di Aceh masih mengacu pada UndangUndang 5/1979 yang sudah lama tidak berlaku lagi. Perangkat desa tidakmengetahui isi Undang Undang Nomor 22/1999 dan Undang Undang 32/2004karena (menurut mereka) tidak pernah disosialisasikan.

Singkatnya dapat dikatakan bahwa pemerintahan desa tidak berfungsi dengannormal sejak berlangsungnya konflik bersenjata RI-GAM yang berkepanjangan.Kantor desa tidak berani diaktifkan, banyak kantor kecamatan ditinggalkan olehaparatnya. Banyak urusan, misalnya urusan perkawinan, yang diresmikan olehdua aparat, dari pihak RI dan pihak GAM. Dengan kata lain, penyelenggaraanpemerintahan desa di Aceh selama konflik bersenjata tidak pernah dapat

Page 22: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

22

terlaksana secara baik karena terdapat dua struktur pemerintahan desa yangsaling bertentangan yakni RI dan GAM. Walaupun belenggu ketakutan mulailepas semenjak perjanjian damai GAM-RI tanggal 16 Agustus 2005, namunrealitas di lapangan belum dapat sepenuhnya memberikan suasana yang kondusifbagi kehidupan masyarakat sipil. Rasa-saling-curiga di kalangan warga sipil (padamasa lalu) masih terbawa hingga saat ini. Perasaan dan sikap tersebut terbentuksangat dalam, karena besarnya rasa ketakutan dan kekhawatiran yangmenyelimuti setiap warga Aceh semasa konflik. Instabilitas sosio-politik Acehyang membelenggu dinamika sosial masyarakat Aceh ini sangat berimbas padakesemrawutan pengelolaan pemerintahan desa di Aceh hingga sekarang ini.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh sangat kompleks, sehingga setiapprogram penguatan masyarakat sipil harus dilakukan secara hati-hati danbertahap. Sikap apatisme dan tingginya egoisme yang menjangkiti sebagianmasyarakat Aceh adalah buah dari konflik berkepanjangan yang menempatkanmasyarakat sipil sebagai pihak yang serba salah dan selalu terjepit diantara duakekuatan yang menakutkan. Pengalaman buruk selama konflik, ditambah denganhantaman bencana Tsunami yang mendera bumi Aceh akhir tahun 2004 yanglalu menambah panjang deretan masalah yang bermuara pada redupnyakekuatan sipil (civil society) di Aceh. Oleh karena itu, hal yang terpenting dan yangpaling mendesak untuk dilakukan adalah upaya menumbuhkan rasa salingpercaya (trust) di antara masyarakat Aceh, karena tanpa terbangunnya rasa salingpercaya program apapun yang diintrodusir kepada masyarakat Aceh tidak akandapat memperoleh hasil yang memuaskan.

Berkaca pada situasi Aceh yang didera konflik berkepanjangan, kondisi di atasjuga mempengaruhi karakter Pemerintahan Aceh. Selama beberapa tahunterakhir Aceh dinyatakan dalam kondisi darurat akibat konflik dengan GAMsehingga hirarkhi administrasi berada di level Provinsi. Negara menjadi sangatdominan akibat terkendala oleh komunikasi (ulama – pemerintah desa - rakyat).Masa transisi di Aceh pasca perundingan Helsinski menciptakan kegamangantersendiri dalam tata kelola pemerintahan.

Sebuah upaya besar muncul dari elemen masyarakat Aceh dalam bentukmengimplementasikan desentralisasi di tingkat lokal. Perjuangan mewujudkandesentralisasi dilakukan melalui penyusunan RUU Pemerintahan Aceh yangmemungkinkan Aceh dapat menata administrasi pemerintahan serta kehidupankultural warga sesuai dengan semangat lokalitas. Pasca perundingan Helsinski,pemerintah membuka peluang kemandirian bagi Aceh untuk mengurus sendiritata pemerintahannya. Meski demikian, tarik ulur tetap terjadi karena pemerintahtetap berupaya memegang kekang kendali penyusunan RUU Aceh denganmenggulirkan RUU versi pemerintah RI yang disinyalir oleh masyarakat acehtetap mempertahankan cengkeraman kekuasaan pusat. RUU Pemerintah Acehversi pemerintah RI kemudian mendapat kritik yang tajam berupa konseptandingan RUU versi DPRD NAD yang mempunyai semangat berbeda dengansubstansi RUU versi pemerintah RI.

Page 23: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

23

3.1.2. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Nagari di KabupatenSolok, Provinsi Sumatera Barat

Pemerintahan Nagari merupakan perwujudan tata pemerintahan terendah dipropinsi Sumatera Barat yang mencerminkan pola pemerintahan adatMinangkabau. Nagari adalah sebuah kesatuan hukum adat yang berasal dariperkampungan kecil yang dihuni beberapa keluarga dusun dan kemudianberkembang menjadi Taratak. Kemudian Taratak berkembang menjadi sebuahKoto (tempat berkumpulnya beberapa suku/marga) dan terakhir Koto inilahyang menjelma jadi Nagari, yang mana dalam Nagari tersebut telah ada palingtidak empat suku/marga (Amri, 2003). Syarat lain untuk menjadi Nagari adalahmemiliki balai adat, masjid, jalan raya, dan pasar. Beberapa sumber jugamenambahkan syarat perlunya memiliki tempat pemandian umum. Pengakuanpemerintah tehadap Nagari sebagai kesatuan hukum adat dituangkan di dalamPerda Nomor 13/1983.

Tradisi berNagari bagi masyarakat minangkabau di Sumatera Barat telahberlangsung selama berabad-abad. Pada jaman kolonial Belanda, Nagari diakuisebagai unit pemerintahan terkecil dan “dimanfaatkan” untuk memperlancaradministrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda tidakmembabat habis adat istiadat yang berlaku saat itu, namun lebih banyakmengatur struktur kepemimpinannya, terutama dalam hal menentukanpemimpin Nagari pemerintah kolonial Belanda berusaha memilih ataumengarahkan agar yang terpilih adalah orang-orang yang dapat bekerjasama atauminimal tidak menyulitkan pemerintah kolonial Belanda (Amri, 2003).

Kelembagaan Nagari terdestruksi hebat justru pada masa kemerdekaankhususnya pada jaman pemerintahan Orde Baru melalui Undang UndangNomor 5/1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, dan sistem pemerintahan“desa” di seluruh Indonesia. Undang Undang ini dilaksanakan melalui keputusanGubernur Sumbar Nomor 162/GSB/1983 yang mengganti sistempemerintahan Nagari menjadi sistem pemerintahan Desa. Terhitung sejaktanggal 1 Agustus 1983 unit pemerintahan terendah Nagari berubah menjadidesa. Sebanyak 543 Nagari dilebur menjadi 3.133 desa dan 406 kelurahan.Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5/1979 tentangPemerintahan Desa, maka Nagari tidak lagi mengurusi masalah “pemerintahan”.Hubungan Nagari dengan Desa dan Kecamatan sebatas konsultasi.

Pemberlakuan Undang Undang Nomor 5/1979 ternyata tidak serta mertamentransformasikan nama dan bentuk Nagari menjadi “Desa”. Hal inidisebabkan karena Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat mengambilkebijakan bahwa “Desa” di Provinsi Sumatera Barat disetarakan dengan Jorongyakni wilayah teritorial yang merupakan bagian dari Nagari, sehingga pada masaitu jumlah Desa di Provinsi Sumatera Barat sangat besar. Kebijakan ini diambillebih karena alasan ekonomis-pragmatis karena setting distribusi dana dari pusatketika itu (Dana Inpres, Bimas, dan skema bantuan lainnya) pada umumnyadidasarkan pada satuan desa, sehingga semakin banyak jumlah desa yang

Page 24: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

24

dibentuk maka semakin besar pula alokasi dana pembangunan dari pusat yangditerima daerah.

Akibat adanya pemaksaan penyeragaman bentuk kelembagaan pemerintahan“desa”, maka kelembagaan Nagari menjadi tercabik-cabik. Sebuah Nagari dapatterpecah menjadi beberapa desa, yang masing masing berwenang mengurusadministrasi desanya sendiri dan bertanggung jawab langsung kepada kecamatan.Fungsi Nagari sebagai sebuah sistem pemerintahan tidak ada lagi, kecualimengurus masalah adat yang diakomodir dalam wadah KAN (Kerapatan AdatNagari). Egoisme masing-masing “desa” yang muncul seiring ditetapkannyaJorong sebagai “desa” dalam suatu wilayah Nagari berdampak sangat merusaksendi-sendi pemerintahan adat minang karena dalam budaya minang diyakinibahwa “adat salingka Nagari”, maksudnya ketentuan-ketentuan adat berlakudalam batasan Nagari, bukan sebatas Jorong atau Desa. Pemaksaanpenyeragaman pemerintahan “desa” juga mengakibatkan renggangnya ikatansosial masyarakat sehingga menyebabkan sering terjadi sengketa mengenai hartapusaka milik kaum, suku maupun antar desa yang sulit didamaikan secara adat.Dukungan dari perantau terhadap pemerintahan desa rendah, karena secarasosial-budaya mereka cenderung berorientasi kepada Nagari

Berlakunya otonomi daerah tahun 2001 sebagaimana diatur dengan UndangUndang Nomor 22/1999 (yang kemudian diganti dengan Undang UndangNomor 32/2004) memberikan kewenangan kepada daerah untuk menentukannama dan bentuk pemerintahan terendah sesuai dengan asal usul dan budayalokal. Menyikapi peluang ini dan adanya kesadaran bahwa adat istiadat telahdiluluh lantakkan oleh sistem pemerintahan desa, membuahkan tekat dansemangat masyarakat Sumatera Barat untuk kembali ke sistem pemerintahanNagari, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Sumatera BaratNomor 9/2000.

Fokus wilayah penelitian diarahkan di Kabupaten Solok. Kabupaten ini dipilihdengan alasan merupakan kabupaten yang dianggap telah mempunyai konseppelaksanaan desentralisasi di tingkat nagari. Kabupaten Solok adalah kabupatenpertama di Indonesia yang mencanangkan secara resmi kesiapannyamelaksanakan otonomi daerah pada tanggal 4 Januari 2004, yang ditandaidengan kesiapan kelengkapan Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjutdari UU 22/1999.

Pada tahun 2001 di Kabupaten Solok terdapat 82 Nagari, dimana jumlah Nagarikurang dari seperlima dari jumlah desa di Kabupaten Solok sebelum otonomidaerah. Dalam perkembangannya terjadi pemekaran beberapa Nagari sehinggapada tahun 2003 jumlah Nagari di Kabupaten Solok menjadi 86 Nagari. Ditahun itu pula terjadi pemekaran Kabupaten Solok menjadi Kabupaten Solokdan Kabupaten Solok Selatan, sehingga setelah pemekaran kabupaten jumlahNagari yang berada di wilayah Kabupaten Solok adalah 74 Nagari dan sisanyaberada di wilayah Kabupaten Solok Selatan.

Page 25: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

25

Ada beberapa aspek tata pemerintahan “desa” berdasarkan Undang UndangPemerintahan Daerah Nomor 22/1999 maupun Undang Undang Nomor32/2004 yang sesungguhnya kurang kompatibel dengan pola pemerintahanNagari. Beberapa ketentuan di dalam Undang Undang Pemerintahan Daerahmenyiratkan pentingnya keterwakilan teritorial di dalam setiap pengambilankeputusan, misalnya yang tercermin dalam pemilihan anggota Badan PerwakilanDesa (BPD) atau yang di Sumatera Barat dikenal dengan sebutan BadanPerwakilan Nagari (BPN). Dalam hal ini semangat keterwakilan dalam polapemerintahan Nagari sesungguhnya lebih lekat pada konsep “keterwakilankaum” daripada konsep “keterwakilan teritorial” karena konsep pembagianwilayah Nagari sendiri sesungguhnya lebih didasarkan pada batas “geneologis”daripada sekedar batas geografis sebagaimana umumnya terjadi di daerah yanglain.

Di dalam kelembagaan pemerintahan Nagari selain lembaga formal yangdirepresentasikan oleh Wali Nagari dan Badan Perwakilan Nagari (BPN),terdapat lembaga-lembaga non-formal yang diakui keberadaannya danmempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat Nagari, yakni: MajelisTigo Tungku Sajarangan (MTTS), Ampek Jinih, Kerapatan Adat Nagari (KAN),Bundo Kanduang, dan Majelis Ulama Nagari (MUN). Selain itu beberapakalangan juga menyebut Cadiak Pandai dan Pemuda sebagai kelompok tersendiriyang juga perlu mendapatkan perhatian.

Pengamatan terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan Nagari di dualokasi yakni Nagari Paninggahan dan Nagari Simanau menunjukkan hasil yangberbeda. Di Nagari Paninggahan, secara umum tokoh masyarakat menyatakanbahwa bentuk lembaga pemerintahan Nagari pada saat ini masih kurang idealkarena pada dasarnya masih mengacu pada bentuk baku yang bersumber daripusat, sehingga kurang mencerminkan pola pemerintahan “berNagari” yangsebenarnya. Sedangkan di Nagari Simanau, secara umum pendapat yangberkembang menyatakan cukup puas dengan model pemerintahan Nagari saatini karena selain sesuai dengan teritorial asli Nagari Simanau juga karena tugasdan fungsi pemerintahan Nagari (Wali Nagari dan BPN) dan Kerapatan AdatNagari telah jelas dan tidak saling tumpang tindih, sehingga masing-masingdapat memerankan fungsinya secara baik dan bersinergi.

Pada tahun 2001, atas inisiatif pemerintah daerah Kabupaten Solok yangdituangkan melalui Keputusan Bupati, ditetapkan adanya 105 jenis urusan yangdiserahkan kepada Nagari. Salah satu konsekuensi dari desentralisasi 105 jenisurusan adalah desentralisasi pendanaan, sehingga ditetapkan adanya DanaPerimbangan kepada Nagari yang dikenal dengan istilah Dana Alokasi UmumNagari (DAUN). Besarnya DAUN bervariasi antara Rp 75 juta sampai denganRp 100 juta setiap Nagari. Selain DAUN, Nagari juga berhak menikmati DanaBagi Hasil yang besarnya berbeda-beda setiap Nagari. Dalam rangkaperencanaan anggaran (dan sebagai salah satu syarat untuk memperolehDAUN), setiap Nagari diharuskan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja

Page 26: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

26

Nagari (APBNagari). APBNagari dibuat diajukan Wali Nagari atas persetujuanBadan Permusyawaratan Nagari (BPN). Jika BPN tidak menyetujui APBNagarisetelah tiga bulan tahun anggaran berjalan, maka untuk tetap berjalannya rodapemerintahan dan perekonomian Nagari ditetapkan berdasarkan APBNagaritahun sebelumnya. Biasanya dana APBNagari yang berasal dari DAUN dan danabagi hasil baru turun setelah triwulan kedua (bulan April). Percepatan waktupencairan dana APBNagari tidak dapat dilakukan karena DAUN dan dana bagihasil Nagari baru dapat ditetapkan setelah pengesahan APBN, APBD Provinsi,dan APBD Kabupaten.

Pembaharuan tata ekonomi Nagari tidak dapat dipisahkan dari masalahperencanaan pembangunan daerah, yakni:

Rencana Karya Pembangunan Daerah (RKPD), untuk jangka waktu 1 tahun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), untuk jangka

waktu 5 tahun. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), untuk jangka

waktu 20 tahun.

Selain RKPD, RPJMD, dan RPJPD perencanaan pembangunan daerah jugamelekat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten maupunProvinsi yang menjadi dasar pengembangan pembangunan perekonomianwilayah.

Di Kabupaten Solok, ada tiga sasaran utama Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) yakni: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan.Target pertumbuhan ekonomi kabupaten Solok pada tahun 2007 kurang lebih7% pertahun. Untuk mewujudkan target ini, telah disusun konsep pembangunanekonomi kabupaten Solok secara integral yang mengarahkan pembagunankabupaten Solok ke arah industri berbasis pertanian dengan bahan baku lokal,khususnya tanaman pangan/hortikultura. Selain sektor pertanian, sektorpariwisata juga menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi kabupatenSolok.1

Selain itu, untuk meningkatkan investasi di Kabupaten Solok dilakukan berbagaiupaya untuk menarik perantau Minang menanamkan modal dan ikut serta dalampembiayaan pembangunan daerah. Realitasnya, peran asosiasi perantau Minangasal kabupaten Solok sangat besar dan memiliki pengaruh yang kuat dalammenyukseskan pembangunan maupun dalam penentuan kebijakan di daerahkhususnya di Nagari.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) lima tahun ke depan,setiap Nagari diarahkan memiliki lembaga keuangan yang mandiri yang dapatberbentuk Bank Perkreditan Rakyat ataupun bentuk lembaga keuangan lainnyayang sesuai dan akan dibina oleh Bank Nagari serta lembaga terkait. Namundemikian, agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya, maka segala

1 Resume hasil wawancara dengan beberapa pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Solok

Page 27: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

27

peraturan yang menyangkut lembaga ekonomi maupun investasi harus dibuat,misalnya sampai saat ini belum ada suatu aturan yang mengatur tentangmekanisme dan batas investasi dan tata cara dan batas pinjaman Nagari.

Di Nagari Paninggahan, pembangunan ekonomi terlihat berjalan pesat karenaaksesibilitas jalan yang baik dan lokasinya relatif dekat dengan pusatpemerintahan kabupaten Solok. Hal ini didukung oleh tingkat pendidikan rata-rata perangkat Nagari dan masyarakat yang cukup tinggi dan peranan paraperantau yang cukup besar dalam ikut serta membangun Nagari Paninggahan.Kehadiran berbagai lembaga asing maupun lokal dalam berbagai kegiatan diNagari Paninggahan juga sangat berpengaruh dalam penguatan kapasitaskelembagaan Nagari Paninggahan. Namun demikian, penguatan kapasitaskelembagaan formal tampaknya diiringi oleh pengikisan modal sosial di NagariPaninggahan akibat pengaruh modernisasi dan (mungkin) budaya ”ekonomiuang” yang dibawa oleh lembaga-lembaga donor. Sedangkan di Nagari Simanaukarena lokasinya yang relatif jauh dan cukup terisolir membuat pembangunanekonomi berjalan agak lambat. Rendahnya kapasitas SDM dan keterbatasanmodal juga menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi di Nagari Simanau.Masih cukup kuatnya modal sosial harus dapat dijadikan sumber daya yangmenjadi faktor pendorong percepatan pembangunan di Nagari Simanau.

Salah satu kelemahan mendasar pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Baratadalah kurangnya perangkat aturan yang berkaitan dengan aspek ekologi.Penataan kelembagaan pemerintahan dan program yang dicanangkan padaumumnya ditekankan untuk peningkatan ekonomi lokal namun kurangmemperhatikan aspek lingkungan. Kepemilikan lahan komunal menurut adatMinangkabau memiliki sisi positif dalam membentengi dari penguasaan lahanoleh pemilik modal, namun bukan merupakan pertahanan yang efektif daritekanan perubahan penggunaan lahan. Dalam beberapa kasus, tekanan terhadaphutan misalnya, dapat terjadi dalam skala besar karena aktivitas pembukaanlahan perladangan atau perkebunan yang dilakukan secara komunal. Di NagariPaninggahan, terdapat areal perkebunan kopi komunal yang merupakan enclavedari hutan lindung. Hal ini menarik untuk dikaji apakah pemanfaat lahan hutanuntuk perkebunan kopi tersebut juga memperhatikan aspek ekologis (misalnyakopi hanya ditanam dalam pola tumpang sari) ataukah pengelolaannya semata-mata hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi. Selain pengelolaanenclave hutan lindung, hal lain yang menarik untuk dikaji dari kasus NagariPaninggahan adalah bagaimana mekanisme pengelolaan common pool resources yangdalam hal ini adalah berupa pengaturan retribusi debit air danau Singkarak olehbeberapa Nagari di sekitar danau.

Sedangkan di Nagari Simanau, hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalahmekanisme pengelolaan PLTA swadaya. Selain itu, praktik-praktik pembukaanlahan hutan menjadi ladang atau perkebunan yang dilakukan secara komunaljuga perlu dicermati mengingat pembukaan lahan saat ini sudah dilakukan padaareal hutan dengan kelerengan tinggi. Faktanya, dalam lima tahun terakhir

Page 28: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

28

sering terjadi tanah longsor dengan intensitas yang jauh lebih tinggidibandingkan sebelumnya.2 Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dalamsetiap program pendampingan dan pemberdayaan masyarakat.

Semangat me-nagari-kan seluruh satuan komunitas di Sumatera Barat, dalamsatu sisi dianggap sebagai bagian dari upaya memperjuangkan bentuk-bentukotonomi daerah dan menggali budaya lokal masyarakat. Di sisi lain, tindakantersebut pada prinsipnya justru mencerabut tatanan demokrasi mengingat tidaksemua wilayah teritori di Sumatera Barat tepat diterapkan model pemerintahannagari. Hak mengatur wilayah sesuai dengan ciri dan karakter setempat dengandemikian menjadi ternoda.

3.1.3. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Desa di KabupatenCiamis, Provinsi Jawa Barat.

Di Jawa Barat, kajian difokuskan berdasarkan pengamatan di dua desa yaitu diDesa Nasol, Kecamatan Cikoneng dan Desa Gunung Sari, KecamatanSadananya Kabupaten Ciamis. Struktur organisasi dan kelembagaan di keduadesa tersebut mengikuti sepenuhnya perubahan undang-undang yang berlaku.Tidak adanya aturan adat lokal yang khas menjadikan struktur desa sama denganyang digariskan Undang Undang Nomor 32/2004 serta Peraturan PemerintahNomor 72/2005. Dengan demikian, produk hukum di atas menjadi dasarrujukan penting bagi terselenggaranya tata pemerintahan di dua desa kasus.Menarik karena dibandingkan desa lain yang menjadi kajian studi, Jawa Baratmerupakan sebuah wilayah yang menerapkan aturan tata pemerintahan sesuaidengan undang-undang yang ada, tanpa diwarnai peraturan adat yang berlaku.

Kelembagaan lokal yang terbentuk pada umumnya berawal dari adanyakebutuhan terhadap wadah kegiatan masyarakat di tingkat lokal, misalnyaterbentuknya Forum Majelis Silaturahmi Dewan Keluarga Masjid (FMSDKM) diDesa Nasol. Forum ini pada awalnya diinisiasi oleh pihak kecamatan, namunkarena dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu kebutuhan, maka di Desa Nasollembaga ini terbentuk dan berjalan dengan baik. Selain FMSDKM, di bawahstruktur organisasi desa Nasol terdapat pula unit usaha Pengelolaan Sumber AirBersih (PSAB) yaitu suatu unit usaha yang mengelola air bersih untukmasyarakat desa Nasol dan sebagian masyarakat desa tetangganya.

Di kabupaten Ciamis dan di daerah pedesaan provinsi Jawa Barat padaumumnya, Kepala Desa merupakan figur yang menjadi panutan masyarakat(patron), sehingga pada desa yang kepala desanya mampu menjalankanpemerintahan dengan baik, maka pembangunan desa dapat berjalan denganbaik. Hal ini terjadi di Desa Nasol, dimana Kepala Desa yang dalam bahasadaerah disebut Kuwu mampu berperan dengan baik sehingga pemerintahan danpembangunan desa dapat berjalan dengan relatif lancar. Namun hal yangsebaliknya terjadi di Desa Gunung Sari. Di Desa Gunung Sari, Kepala Desatidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik karena lebih mementingkan

2 Informasi dari Focus Group Discussion di Nagari Simanau, Kabupaten Solok (2006)

Page 29: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

29

kegiatan pribadinya di luar desa. Akibatnya, pembangunan desa menjaditerhambat karena berkurangnya kepercayaan (trust) dan penghargaan (respect) darimasyarakat terhadap pemerintahan dan program desa.3

Peraturan yang disusun di tingkat desa (Perdes) umumnya berupa peraturanyang bersifat menjaring dana untuk pembangunan desa seperti Perdes tentangUrunan Desa yang berisi peraturan tentang besarnya urunan (iuran) darimasyarakat untuk dana pembangunan desa yang besarnya biasanya berdasarkankepada iuran PBB yang harus dibayar suatu rumah tangga, misalnya di desaNasol besar iuran adalah 75% dari PBB atau minimal Rp 2.000 untuk setiapkeluarga per tahun.

Dari sisi perekonomian dan partisipasi pembangunan, pada umumnya tingkatswadaya masyarakat desa di Kabupaten Ciamis masih belum terlalu tinggi. Olehkarena itu, sebagian besar dana pembangunan desa masih tergantung kepadaDana Alokasi Umum dari kabupaten yang besarnya Rp 30 juta/tahun. Selain itudana pembangunan desa juga berasal dari dana pembangunan infrastruktur (daridinas teknis) seperti program Raksa Desa dan Program Peningkatan Kecamatan(PPK).

Perencanaan desa secara formal dibuat berdasarkan Musyawarah Perencanaandan Pengembangan (Musrenbang) di tingkat desa yang mengikutsertakanseluruh unsur di tingkat desa (pemerintahan desa, BPD, tokoh-tokohmasyarakat, pemuda dan wanita). Hasil Musrenbang tingkat desa ini akan dibawake Musrenbang tingkat kabupaten untuk dijadikan program dan mendapatpembiayaan dari APBD. Mekanisme ini menunjukkan bahwa ada upayamelibatkan penduduk sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan. Prosesyang semula top down, melalui keterlibatan dan partisipasi masyarakat dapatmenampung aspirasi yang muncul (bottom up).

Berdasarkan Undang Undang Nomor 22/1999, peranan Camat adalah sebagaiperangkat pemerintahan daerah dan bukan lagi sebagai kepala wilayah. Hal inimenyebabkan Kepala Desa (seharusnya) langsung bertanggung jawab terhadapBupati. Namun demikian karena sebagian besar desa di Kabupaten Ciamismasih memandang Camat sebagai ”pupuhu” (sesepuh) yang masih diperlukansebagai fasilitator pemerintahan. Oleh karena itu, Camat masih dapatmemerankan fungsinya sebagai perangkat pengawasan pemerintahan desa.Walaupun demikian pengawasan pemerintahan kabupaten terhadap Desaterkesan masih lemah, paling tidak pada kasus Desa Gunung Sari dimana BadanPerwakilan Desa (BPD) telah menyampaikan keluhan tentang lemahnya kinerjaKepala Desa dan meminta agar ada perhatian dan pengawasan terhadap desanya,ternyata tidak pernah mendapat tanggapan dari pihak kecamatan maupunkabupaten. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal ini dapat terjadi,yaitu: pertama, lemahnya sistem pengawasan dan kurangnya koordinasi aparat di

3 Informasi dari Focus Group Discussion (FGD) di Desa Nasol dan Gunung Sari, Kabupaten Ciamis (2006)

Page 30: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

30

tingkat supra desa; kedua, Kepala Desa memiliki kedekatan hubungan personaldengan aparat supra desa sehingga laporan dari masyarakat diabaikan.

Lemahnya mekanisme pengawasan dari pemerintahan supra desa di KabupatenCiamis (dapat) bermuara pada berkembangnya sikap apatis masyarakat terhadappemerintahan desa karena walaupun Badan Perwakilan Desa serta tokohmasyarakat lainnya telah melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahandesa, namun kewenangan mereka secara formal tidak terlalu kuat sehinggakepala desa yang merasa cukup kuat kedudukannya dapat mengabaikan mereka.Hal inilah yang pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa putus asa dan sikapapatis di kalangan masyarakat terhadap desa.

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di kabupaten Ciamis masih rendahkarena sedikitnya jumlah LSM dan beberapa LSM yang ada juga belumberkembang dengan baik. Barangkali hal ini menjadi salah satu faktor penyebabbelum banyaknya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap isu-isu dipedesaan. Oleh karena itu, sistem pengawasan dan evaluasi dari pihak luar(misalnya LSM) terhadap kinerja pemerintahan desa bisa dikatakan hampir tidakada.

Pada umumnya komunikasi perangkat desa dengan masyarakat dilakukandengan pertemuan-pertemuan tingkat desa dan menghadiri berbagai acara diRT/RW. Dalam konteks pembangunan pedesaan, kontak antara aparatpemerintahan desa dengan masyarakat sangat penting dalam mendorongmasyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kasus Desa Nasolmemperlihatkan Kepala Desa yang dekat dengan masyarakat, sehinggamenjadikan masyarakat juga bergairah dalam mendukung pembangunan desayang pada akhirnya dapat mendorong ke arah kemandirian desa. Sebaliknyakasus desa Gunungsari, dimana kepala desa sering tidak pernah berada di desasehingga kontak dengan masyarakat menjadi kurang. Hal tersebut telahmenurunkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Berdasarkan studi yang difokuskan di dua desa, secara umum ada tiga halterpenting yang perlu dicatat untuk memperbaiki tata-kelola pemerintahan desadi Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat yaitu:

Rendahnya kapasitas perangkat desa dalam administrasi pemerintahan desa, Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan desa,

misalnya tidak adanya peraturan yang jelas tentang prosedur pelayananpublik termasuk biaya yang harus ditanggung masyarakat (biaya pembuatanKTP dan surat keterangan lainnya),

Kurangnya personil penyuluh dan pendamping masyarakat, misalnya tidakadanya penyuluh pertanian (termasuk kehutanan/peternakan/perikanan)yang mampu memperlihatkan contoh nyata dalam pembangunan pertanian(dalam bentuk demplot). Hal ini menyebabkan pembangunan pertanian dipedesaan tidak berkembang dengan baik.

Page 31: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

31

Oleh karena itu rancangan sistem pemberdayaan pemerintahan desa diKabupaten Ciamis hendaknya difokuskan pada upaya perbaikan ketiga haltersebut diatas.

3.1.4. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Desa Dinas danDesa Adat di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali

Di provinsi Bali kajian difokuskan di dua desa yakni Desa Selanbawak,Kecamatan Marge dan Desa Samsam, Kecamatan Kerambitan KabupatenTabanan. Diskursus mengenai sistem pemerintahan desa di Bali tidak dapatdilepaskan dari politik penyeragaman sistem pemerintahan desa yangmenyebabkan marginalisasi desa adat.

Sejatinya marginalisasi desa adat di Bali bukanlah hal yang baru, karena politikmarginalisasi ini telah dimulai sejak jaman pra koloonial. Pada masa itu, perbekelatau punggawa adalah wakil raja di daerah. Hal ini berarti, meskipun desa-desaBali tetap dipimpin oleh para tetua atau bendesa, namun dengan masuknyapengaruh atas (raja) ke desa, maka desa itu mendapat pengawasan dari raja.

Pada tahun 1906-1908, kekuasaan pemerintah Hindia Belanda masuk ke BaliSelatan dan menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa di Bali. Dalampenyelenggaraan pemerintahan di Bali, pemerintahan kolonial Belandamenerapkan dua sistem pemerintahan (Parimartha, 2003), yakni:

Pertama, sistem pemerintahan langsung di bawah Belanda, Kedua, sistem pemerintahan sendiri oleh raja-raja yang disebut dengan

daerah Swapraja.

Dalam penyelengaraan pemerintahan, Pemerintah Belanda memanfaatkanPerbekel sebagai wakilnya untuk mengawasi keadaan di desa. Dengan Perbekelyang diangkat sendiri, Belanda membangun suatu lembaga administrasi ditingkat desa dengan membentuk “desa baru” bentukan pemerintah kolonial.Dengan desa yang baru diharapkan didalamnya akan terdapat 200 orangpenduduk desa yang siap menjalankan tugas-tugas rodi. Dengan demikian, mulaisaat itu muncul dualisme desa yaitu desa adat dan desa dinas. Urusan agama danadat dipegang oleh Desa Adat, sedangkan urusan administrasi pemerintahandilakukan oleh Desa Dinas. Fungsi Desa Dinas adalah dalam lapanganpemerintahan umum, kecuali adat dan agama, sedangkan pengairan/pertaniandikelola oleh Subak. Dengan demikian desa dinas dapat juga dianggap sebagaidesa administratif dalam arti tertentu, karena tugasnya sekedar melaksanakanurusan administrasi pemerintahan (Parimartha, 2003).

Sistem pemerintahan desa di Bali sangat khas dan berbeda dengan kelembagaandesa di daerah lain. Di Bali dikenal adanya dua bentuk desa yakni Desa Adatdan Desa Dinas. Kebijakan otonomi daerah yang membuka peluang bagidaerah untuk menentukan sendiri nama, bentuk, dan sistem kelembagaan

Page 32: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

32

pemerintahan “desa” telah membuka tabir perdebatan di kalangan masyarakatBali tentang bentuk kelembagaan “desa” yang paling sesuai. Sebagian kalanganberpandangan bahwa dengan adanya peraturan yang membolehkan keragamansistem pemerintahan desa sesuai dengan asal usul dan budaya setempat, makasesungguhnya keberadaan Desa Dinas tidak lagi diperlukan karena semua fungsi“desa” dapat dijalankan oleh satu kelembagaan desa yakni Desa Adat. DesaAdat dianggap lebih sesuai karena bentuk ini sesungguhnya merupakanrepresentasi dari budaya dan tradisi masyarakat Bali. Sementara pihak yang lainberanggapan bahwa Desa Dinas tetap diperlukan karena sejatinya Desa Adatdan Desa Dinas memiliki fungsi yang berbeda dan saling mengisi, serta dapatdibedakan secara jelas batasan tugas dan kewenangannya. Fungsi pemerintahanakan berjalan dengan lebih baik dan efektif apabila dilaksanakan oleh lembagadan personal yang memang menguasai bidang tugasnya.

Pandangan bahwa Bali sebenarnya sangat memungkinkan hanya punya satudesa, yaitu desa adat menguat dengan bergulirnya Peraturan Daerah Nomor3/2001 tentang Desa Pakraman, yang mengarah ke satu titik pandang bahwaBali tidak perlu lagi dengan desa dinas. Namun berbeda dengan daerah lainnya,sesungguhnya keberadaan Desa Dinas di Bali bukan hadir tiba-tiba atau adasemata-mata karena adanya keharusan penyeragaman pemerintahan “desa”sebagaimana digariskan Undang Undang Nomor 5/1979. Permasalahannyacukup rumit, karena keberadaan Desa Dinas di Bali juga memiliki pijakan sejarahyang cukup lama dan telah dipraktikkan secara apik dalam kehidupan keseharianmasyarakat Bali selama ini. Menurut Parimartha (2003), perkembangan sejarahmasyarakat Bali menunjukkan bahwa sistem dua desa itu telah ada sejak kerajaanpra-kolonial.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda ingin menggantikan posisi rajaatas desa-desa. Untuk mempengaruhi desa tanpa mengganggu statusnya sebagailembaga tradisional, pemerintah Hindia Belanda merumuskan satu sistem yangmengatur pemerintahan di desa. Kalau sebelumnya perbekel ditugaskan oleh rajadengan imbalan tanah pecatu (tanah jabatan), maka kini perbekel diangkat olehpemerintah Belanda dengan imbalan gaji (Parimartha, 2003).

Pada masa kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal18) memberikan jaminan kepada eksistensi desa-desa yang masih menunjukkankeasliannya. Perubahan terjadi pada masa orde baru. Suatu tatanan yang tidakseimbang terbangun, membawa rasa terdominasi dari yang satu terhadap yanglain dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5/1979 yang atas namastabilitas dan efektifitas pelaksanaan pembangunan, mengatur dan memaksakanpenyeragaman sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia.

Apabila dicermati, paradigma yang melandasi pemberlakuan Undang UndangPemerintahan Desa Nomor 5/1979 sejatinya tidak banyak berbeda denganpraktik seperti yang diterapkan pada masa Kolonial Belanda, setidaknya dilihatpada dua hal yakni: pertama, penerusan politik dualisme desa di Bali yakni desadinas (Keperbekelan) dan desa adat (Desa Pakraman). Desa dinas dijadikan desa

Page 33: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

33

yang menjadi perangkat pemerintahan terendah yang secara kelembagaan beradadi bawah kecamatan, sedangkan desa adat (desa pakraman) tetap mendapatkanpengakuan lewat pasal 18 Undang Undang Dasar 1945.

Implikasi lebih jauh dari dipertahankannya dualisme desa di Bali adalah semakinberkurangnya kewenangan desa adat, yang semula mengatur dalam tiga ranahkewenangan yang meliputi Parahyangan, Palemahan dan Pawongan menjadi hanyamengatur Parahyangan (Keagamaan). Kewenangan pengaturan dua ranah yanglain (Pawongan dan Palemahan) dilakukan oleh desa dinas, karena sebagai unitpemerintahan terendah yang secara formal memiliki legitimasi, desa dinasberwenang mengatur soal kesejahteraan dan pembangunan desa.

Berdasarkan konsep yang diusung Undang Undang Nomor 5/1979, makaKepala Desa (Dinas) adalah penguasa tunggal di desa. Hal ini membawapengaruh pada usaha penyeragaman atas sistem desa di seluruh Bali. Istilah-istilah yang sudah terkenal di Bali seperti: banjar, bale banjar, perbekel diubahdalam rangka penyeragaman sistem desa. Istilah banjar diganti menjadi dusun,bale banjar menjadi balai dusun, perbekel menjadi kepala desa. Juga fungsi-fungsi kepala desa makin luas menerabas fungsi keadatan. Banyak masalah adatditangani oleh kepala desa dinas, sementara tokoh-tokoh adat tidak bisa berkutikkarena desa dinas mendapat legitimasi kuat dari pemerintah (Parimartha, 2003).

Pada tahun 1986 di Propinsi Bali dikeluarkan Perda Nomor 6/1986 tentangkedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukumadat di Provinsi Bali, yang lebih dikenal dengan Perda Desa Adat. Dalam Perdaitu disampaikan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat.Namun selain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, dalam pasal 10 ayat 1disebutkan bahwa Desa Adat sekaligus juga merupakan suatu organisasipemerintahan yang secara tidak langsung berada di bawah Camat. BerdasarkanPerda Desa Adat, pembinaan desa adat dilakukan oleh Gubernur yang dibantuoleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat dan Badan Pembinaan Lembaga Adat.Berdasarkan Perda Nomor 12/1988 tentang pembentukan organisasi dan tatakerja Dinas Kebudayaan, maka Dinas Kebudayaan juga melaksanakan tugaspembinaan terhadap desa adat dan adat-istiadat di daerah Bali.

Seiring dengan tumbangnya pemerintahan orde baru, dan munculnya ordereformasi, dominasi Desa Dinas digugat keras. Di berbagai daerah masyarakatadat bangkit mempertanyakan eksistensinya. Di Bali, pemerintah Desa Dinasdigugat sebagai penyebab dari hancurnya sistem keadatan dan otonomi desaadat. Parimartha (2003) meresahkan munculnya gerakan “arus balik” yangberlebihan dalam memperjuangkan konsep otonomi Desa Adat, apabila padajaman Orde Baru terjadi dominasi dinas atas adat, sekarang ini munculkecenderungan sebaliknya, yakni dominasi desa adat atas desa dinas. Artinya,bandul bergerak dari ekstrem dinas ke ekstrem adat. Oleh karena itu, Perda DesaPakraman yang bertujuan baik yakni untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat Bali, dalam pelaksanaannya perlu dilakukan secara hati-hati

Page 34: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

34

dan bijaksana agar tidak terjebak kesalahan yang sama dengan Orde Baru,penyeragaman!

Sungguhpun wacana penggabungan Desa Dinas dengan Desa Adat atau DesaPakraman terus bergulir, namun realitas yang teramati di dua lokasi yakni diDesa Selanbawak dan Desa Samsam Kabupaten Tabanan menunjukkan bahwahingga kini baik Desa Dinas maupun Desa Adat masih tetap diakui eksistensinyadi dalam kehidupan masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap keberadaandua desa ini menciptakan sistem koordinasi yang efektif antar dua desa.Koordinasi ini terutama terjadi karena pada dasarnya kedua desa memiliki basiswewenang yang berbeda bagi anggota masyarakatnya. Desa adat memilikiwewenang yang kuat dalam mengatur kehidupan religi, sedangkan desa dinasmemiliki kewenangan lebih dalam menjalankan roda pemerintahan. Adanyaperbedaan di atas menciptakan suasana yang kondusif terhadap terciptanyaotonomi desa. Dukungan yang kuat dari masyarakat terhadap dua model desa inimenghasilkan struktur administrasi pemerintahan yang cenderung mantapdengan akses perempuan yang relatif tinggi. Pemerintahan Desa berjalan efektifdengan derajat adaptasi yang tinggi dari struktur tata-pemerintahan adat dengansistem formal. Hukum Adat diterima sebagai pranata yang memandu perilakusehingga mendukung berkembangnya iklim demokrasi.

Masyarakat di kedua desa ini pada umumnya memiliki sumber pendapatan gandadari pertanian dan non-pertanian, meskipun demikian sebagian kecil warga adajuga yang tidak memiliki lahan garapan. Kegiatan pertanian pada umumnyabersawah dan kepemilikan ternak pada umumnya adalah berupa sapi, babi danayam.

Lahan pertanian ada yang dikerjakan sendiri oleh pemilik lahan, namun sebagianbesar digarap oleh orang lain dengan sistem bagi hasil berdasarkan besarnyahasil panen. Banyak pemilik tanah tidak menggarap sendiri lahan miliknyakarena mendahulukan sumber pendapatan non-pertanian, sehingga lahanpertanian yang dimiliki dikerjakan oleh petani penggarap. Biasanya, sistem bagihasil dibayarkan setelah hasil pertanian dikonversi dalam bentuk uang. Istilahlokal yang digunakan untuk perjanjian antara penggarap dan pemilik lahanadalah ’kontrak’ dengan sistem bagi hasil (pada umumnya) sekitar 50:50 denganbiaya produksi ditanggung oleh si penggarap. Pada umumnya, hasil panen perare sawah sekitar 50 – 65 kg gabah kering panen. Bagian bagi pemilik adalah 25kg gabah kering panen. Sedangkan biaya produksi bernilai sekitar 10 kg gabahkering panen.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem kepemilikan tanah di kedua desa iniadalah kepemilikan pribadi. Tanah dapat diperjualbelikan dengan persetujuandari anggota keluarga yang lain. Namun demikian, peran adat masih ada yakniketerlibatan lembaga Subak dalam menandatangani akta jual beli danmendapatkan retribusi. Dalam hal ini, peran lembaga Subak adalah sebagaipengawas jual beli karena lembaga ini harus mengetahui siapa pemilik sawah(lahan) yang baru.

Page 35: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

35

Selain kegiatan pertanian, kegiatan non-pertanian yang biasa dilakukan olehkebanyakan rumah tangga di desa adalah membuat minyak kelapa. Walaupunsebagian besar dipergunakan untuk keperluan sendiri, kegiatan pembuatanminyak kelapa ini mempunyai peran cukup penting karena ampas dari usaha inimerupakan bagian penting dari menu pakan babi peliharaan.

Di dalam sistem pewarisan, lahan pertanian dan barang tetap seperti rumahdiwariskan pada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena anak perempuansetelah menikah (biasanya) meninggalkan rumah, sedangkan laki-laki setelahmenikah akan tetap tinggal dirumah orang tuanya. Dalam hal orangtua hanyamempunyai satu anak dan perempuan, maka anak tersebut akan dianggap anaklaki-laki sehingga ia berhak mendapatan warisan lahan dan rumah serta setelahmenikah seperti halnya anak laki-laki akan tetap tinggal dirumah orangtuanya.

Mengenai pengelolaan pemerintahan desa, hal yang menjadi keluhan utamaadalah kurang sesuainya sistem pengucuran dana APBD yang saat ini diberikandalam tiga tahap. Pada masa sebelumnya, bantuan ke desa sebesar Rp 25 jutasekaligus turun sehingga pemerintah desa dapat melakukan perencanaan secaramenyeluruh kegiatan pembangunan fisik dan kegiatan operasional desa lainnya.Sedangkan dalam tiga tahun terakhir ini, pengucuran dana pembangunan desasebesar Rp 25 juta dilakukan dalam tiga kali termin, sehingga pemerintah desatidak bisa membuat rancangan kegiatan yang komprehensif.

Sebenarnya permasalahan ini sudah sering disampaikan dalam Forum KepalaDesa di kantor kabupaten. Bahkan, sejak tahun 2003, forum sudahmengemukakan masalah bantuan ke pemerintah kabupaten bahwa hendaknyabantuan itu dikeluarkan secara sekaligus, sehingga perencanaan yang dilakukandi tingkat desa dapat dilaksanakan secara lebih baik. Kendala yang lain adalahsumber-sumber pendanaan yang (seharusnya) masuk ke kas desa sepertipungutan-pungutan desa dan pengembalian pajak yang tercantum dalamAnggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), selama tiga tahun terakhir inibiasanya baru turun di akhir tahun, sehingga menyulitkan desa dalammerealisasikan kegiatan pembangunan fisik tepat waktu.

3.1.5. Tafsir dan Potret Desentralisasi Pemerintahan Kampung diKabupaten Jayapura, Provinsi Papua

Setelah melalui tarik-menarik kepentingan yang sangat alot dan menegangkan,akhirnya proses desentralisasi di Provinsi Papua bergulir melalui skema otonomikhusus yang disahkan DPR pada tanggal 23 Oktober 2001. Kebijakan OtonomiKhusus (Otsus) ini telah membawa arah baru bagi penguatan identitas dan hak-hak dasar rakyat Papua, perubahan radikal dalam sistem pemerintahan daerah,format pembangunan daerah yang berbasis lokal, serta pola alokasi pembiayaandaerah yang berpihak pada Papua (Wanggai, 2006).

Secara administratif, sebelum otonomi khusus Provinsi Papua terdiri dari 12Kabupaten dan 2 Kota. Setelah Otonomi Khusus terjadi pemekaran wilayahkabupaten menjadi 27 Kabupaten dengan 2 Kota. Perkembangan ini

Page 36: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

36

menandakan otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat melahirkaniklim yang kondusif bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat denganmenjadikan pemerintahan dekat dengan rakyat.

Setelah pelaksanaan Otonomi Daerah Januari 2001 dan diberikannya statusOtonomi Khusus di provinsi Papua melalui Undang Undang Nomor 21/2001,nama desa sebagai perwujudan bentuk pemerintahan terendah diganti dengannama Kampung, sedangkan Kecamatan namanya diganti dengan istilah Distrik.Alasan penggunaan istilah Kampung dan Distrik adalah karena menyesuaikandengan sejarah asal usul nama desa dan kecamatan sebelum Undang UndangNomor 5/1974 dan Undang Undang Nomor 5/1979. Namun, berbeda denganNagari di provinsi Sumatera Barat yang wilayahnya pada umumnya meliputibeberapa wilayah ex-desa, tidak ada perubahan wilayah teritorial yang berarti dariperubahan nama Desa menjadi Kampung di provinsi Papua. Secara umum,wilayah teritorial Kampung sama dengan wilayah ex-Desa sebelumnya.

Meskipun telah ada perubahan nama Desa menjadi Kampung, namun peraturandaerah yang dikenal dengan sebutan Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) danPerdasus (Peraturan Daerah Otonomi Khusus) belum banyak dihasilkan, selainitu peraturan pelaksana yang berkaitan dengan tata pemerintahan desa(Kampung) di provinsi Papua sampai dengan saat ini masih mengacu padaUndang Undang Nomor 5/1979 dan Undang Undang Nomor 22/1999. Hal initerjadi karena belum adanya aturan operasional yang rinci dari Undang UndangOtsus Papua serta timbulnya berbagai kerancuan menyusul adanya ”dualisme”payung hukum pelaksanaan pemerintahan di Provinsi Papua yakni UndangUndang Nomor 21/2001 dan Instruksi Presiden Nomor 1/2003 untukpercepatan pelaksaaan Undang-Undang Nomor 45/1999 tentang pemekaranpropinsi Papua yang meliputi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian JayaTimur. Selain itu, belum adanya kejelasan pelaksanaan/pengecualian UndangUndang 32/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72/2005 dalam kaitannyadengan Otonomi Khusus di provinsi Papua semakin menambah keruwetanpersoalan hukum di provinsi Indonesia yang paling Timur ini.

Setelah perubahan nama Desa menjadi Kampung, maka dalam realitaskehidupan masyarakat Papua saat ini dikenal 2 macam ”Kampung”, yaitu:

1. Kampung dalam pengertian pemerintahan

Kampung dalam pengertian pemerintahan adalah lembaga pemerintahanterendah yang merupakan perubahan nama dari ”desa”. Dalam kategori iniKepala Kampung tidak lain adalah sebutan baru bagi ”Kepala Desa” di provinsiPapua.

2. Kampung dalam pengertian adat

Kampung dalam pengertian adat adalah sebenarnya istilah ”generik” yang lekatdengan tradisi masyarakat Papua. Sebagai sebuah lembaga adat, Kampungmemiliki wilayah teritorial, rakyat, dan pemimpin yang dikenal dengan sebutan”Kepala Kampung” atau Ondoafi (di beberapa tempat disebut juga dengan

Page 37: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

37

istilah Ondofolo). Wilayah teritorial Kampung Adat dapat sama, lebih besar,atau lebih kecil daripada wilayah teritorial Kampung Pemerintahan.

Studi difokuskan di dua Kampung yakni Kampung Sabron Sari, Distrik SentaniBarat dan Kampung Tabla Supa, Distrik Depapre di Kabupaten Jayapura.Masyarakat di Kampung Sabron Sari adalah masyarakat yang sangat heterogenyang berasal dari beberapa suku asli Papua baik dari daerah pantai maupunpegunungan, dan suku-suku pendatang yang terdiri dari masyarakat transmigrandari Jawa dan pendatang lain dari Sulawesi (Bugis, Buton, Makassar).Komposisi suku asli dan pendatang di Kampung Sabron Sari cukup berimbangdan mereka dapat hidup bersama-sama secara damai dan saling mengisi. Karenakomposisi penduduknya yang heterogen, di Nagari Sabron Sari peran Ondoafi(Kepala Kampung Adat) tidak terlalu dominan.

Kondisi di Kampung Sabron Sari sangat berbeda dengan Kampung Tabla Supayang penduduknya homogen. Di Kampung Tabla Supa yang merupakanperkampungan pantai (petani-nelayan) peran Ondoafi dan aturan adat masihsangat dominan. Secara umum pengaruh pemerintahan adat lebih kuatdibandingkan dengan pemerintahan formal.

Secara garis besar ada tiga lembaga yang berpengaruh di masyarakat Papua yaitu:Adat yang berfungsi mengatur rakyat, Pemerintah yang berfungsi mengaturmasyarakat, dan Gereja yang berfungsi mengatur jemaat. Ketiganya salingbersinergi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di tingkat kampung.

Seperti telah dikemukakan di muka bahwa hal yang paling khas di Papua adalahdiselenggarakannya otonomi khusus Papua. Terkait dengan desentralisasi ditingkat kampung yang menjadi dasar pemerintahan Papua, pasca otonomikhusus desa/kampung yang terbentuk difasilitasi dengan dana otonomi sekaligusdisertakan dalam proses penyusunan program. Dengan demikian, pemerintahdaerah mengikutsertakan desa dalam proses perencanaan. Sayangnyaperencanaan untuk pembangunan di tingkat kampung belum diatur mengingatmasih ada beberapa daerah yang belum memiliki Badan Musyawarah Kampung(Bamuskam), sebagian desa yang lain fungsi BAMUSKAM masih sangat lemah.

Otonomi khusus tidak tegas mengatur bagaimana menyelenggarakanpemerintahan kampung. Karena bentuk dan susunan pemerintahan daerahhanya disebutkan namanya saja. Seperti didalam UU No. 32 maupun UUsebelumnya, pemerintahan kampung didalam struktur pemerintahan daerahtidak ada. Susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Daerah tidakmemperlihatkan struktur pemerintah kampung. Sayangnya, meski upayamenjadikan kampung sebagai ujung tombak pemerintahan sedangdiperjuangkan, kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahankampung menurut Undang-undang Otonomi Khusus tidak dijelaskan secarategas. Peraturan lebih khusus tentang pemerintahan kampung tidak disebutkan.Masih dirasakan berbagai hambatan terutama dalam penyelenggaraanpemerintahan kampung. Hambatan tersebut terutama dalam hal (Kambu, 2006):

Page 38: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

38

Manajemen pemerintahan kampung benar-benar tidak berjalan. Hal tersebutterjadi sejak berlakunya berlakunya UU No. 22/2003 tentang OtonomiDaerah yang menyebabkan tanggungjawab sepenuhnya berada dikabupaten/kota.

Perencanaan tingkat kampung tidak difasilitasi dengan baik. Pemerintahsupra kampung menunggu masukan perencanaan kampung dalam bentukkonsep proposal. Sayangnya masyrakat kampung belum memilikikemampuan untuk merencanakan dan merumuskannya dalam bentukprogram.

Kemampuan atau kapasitas BAMUSKAM lemah, sehingga berbagai fasilitasyang ada dipegang langsung oleh kepala kampung.

Mulai tahun 1999 semua produk-produk hukum atau aturan-aturanpemerintah mengenai penyelenggaraan pemerintahan kampung ataupemerintahan umum ini sampai dengan hari ini itu belum dipegang olehorang kampung.

Perkembangan melibatkan masyarakat kampung mulai tampak ketika KabupatenJayapura bekerjasama dengan lembaga AFP3 (sebuah LSM) pada tahun 2005mula menyusun rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung (RPJMK).Melalui kegiatan penggalian di tingkat kampung, akhirnya dapat disusun RPJMKperiode 2007-20011. Dengan demikian kampung mulai ditempatkan sebagaibasis pembangunan di Papua.

Secara umum beberapa isu penting yang dapat ditangkap dari hasil studi diProvinsi Papua antara lain sebagai berikut:

Pelaksanaan pemerintahan desa di Provinsi Papua sampai dengan saat inimasih banyak mengacu pada Undang Undang Nomor 5/1979 dan Undang-Undang Nomor 22/1999, meskipun sebenarnya kedua Undang Undang inisudah tidak berlaku lagi karena telah diganti denganUndang-Undang Nomor32/2004. Hal ini terjadi karena ambivalensi peraturan perundang-undangan,sebab pada saat yang hampir bersamaan berlaku pula Undang UndangOtonomi Khusus Provinsi Papua Nomor 21/2001. Selain itu, pemahamanaparat terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua,Undang-Undang Nomor 32/2004, dan Peraturan Pemerintah Nomor72/2005 relatif masih rendah.

Walaupun Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua Nomor21/2001 telah diundangkan, namun sampai dengan saat ini belum dapatdiimplementasikan secara menyeluruh karena Majelis Rakyat Papua (MRP)baru terbentuk. Sebagian kalangan menilai bahwa MRP terlalu jauh masukke dalam ranah politik dan cenderung melupakan peran pokoknya sebagai“lembaga adat” yang seharusnya lebih banyak bergerak pada ranahkebudayaan.

Dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah dan tata-pemerintahan desa, ditingkat kampung di Provinsi Papua peranan pemerintahan kampung,

Page 39: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

39

Ondoafi (kesatuan adat), dan gereja dengan berbagai kekuatan, kelemahan,dan keragamannya secara umum masih diakui oleh masyarakat.

Ketidakjelasan pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah (property right)terutama karena perbedaan pandangan hukum positif dan hukum adatterhadap persepsi pemindahtanganan “penguasaan” lahan dalam proses jualbeli tanah mengakibatkan tingginya ketidakpastian dalam pelaksanaanpembangunan khususnya pembangunan infrastruktur dan pengembanganusaha-usaha ekonomi produktif.

Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus di Provinsi Papua, dana pembangunanterus mengalami peningkatan. Nilai APBD provinsi Papua mengalami lonjakanyang signifikan, terutama disebabkan oleh peningkatan nilai Dana OtonomiKhusus (Otsus) dari sekitar Rp 1,9 trilyun pada tahun 2005 menjadi lebih dari2,9 trilyun pada tahun 2006. Demikian pula dengan Dana Alokasi Umum(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) juga meningkat lebih dari tiga kalilipat dari Rp 1,5 trilyun pada tahun 2005 menjadi sekitar Rp 4 trilyun pada tahun2006.4

Pada tahun 2006 sudah ada kesepakatan antara pemerintah provinsi dankabupaten untuk mengalokasikan dana otsus sebesar Rp 1 Milyar per distrik, dandari dana ini dialokasikan sekitar Rp 100 juta untuk program pemberdayaanmasyarakat di setiap kampung dengan proporsi 75% dikelola langsung olehkampung dan 25% dikelola distrik. Penggunaan dana otsus distrik Rp 1 Milyardiatur oleh kepala distrik dan diutamakan untuk pemberdayaan usaha kecilmenengah dan menurut Undang Undang Otonomi Khusus, 30% dari danaotsus diprioritaskan untuk dana pendidikan.

Salah satu kendala utama dalam pembangunan ekonomi di provinsi Papuaadalah ambivalensi peraturan perundang-undangan mengenai status hukum danbatas wilayah provinsi Papua menyusul dikeluarkannya Instruksi PresidenNomor 1/2003 menyangkut percepatan pelakanaan Undang Undang Nomor45/1999 tentang pemekaran propinsi Papua menjadi 3 propinsi. Kebijakanpemerintah pusat ini menyulut perdebatan panjang bahkan konflik ditengah-tengah masyarakat Papua, sebelum Undang-Undang Nomor 21/2001 tentangOtonomi Khusus bagi Provinsi Papua dapat terimplementasikan dengan baik.Selain itu, belum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah yang definif pasca Otsusdan pasca terjadinya pemekaran provinsi serta pemekaran beberapa kabupatenbeberapa tahun terakhir ini menjadi kendala yang cukup berat dalam percepatanpembangunan provinsi Papua. Kendala lainnya adalah sangat rendahnyaaksesibilitas antar wilayah dan beratnya topografi yang menyebabkan sangattingginya biaya pembangunan di provinsi papua (diperkirakan sekitar 10 kalilipat atau bahkan lebih jika dibandingkan dengan biaya pembangunan

4 Informasi dari wawancara dengan pejabat Sekda Provinsi Papua (2006)

Page 40: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

40

infrastruktur di pulau Jawa) karena hampir semua material harus diangkutmelalui udara.5

Dalam aspek ekologi, di Papua belum banyak dilakukan perencanaan secaradetail dan komprehensif. Di beberapa kampung, seperti misalnya di KampungTabla Supa sudah ada peraturan adat yang melarang masuknya kapal-kapalpenangkap ikan asing di sekitar wilayah perarairan mereka. Demikian jugapenggunaan racun dan pukat harimau dilarang keras. Sangsi bagi pelanggar jugatelah ditetapkan mulai dari sangsi adat berupa potong babi sampai dengan sangsidenda puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Kerusakan lingkungan di bumiPapua misalnya yang berkaitan dengan pertambangan sudah banyak disuarakan,namun karena terkait dengan kebijakan pemerintah pusat maka langkahpembenahan secara riil sangat tergantung pada pusat. Sementara itu, informasiyang dapat digali dari masyarakat di Kampung Sabron Sari diketahui bahwaperusakan dan perambahan hutan banyak dilakukan tidak hanya oleh pendatangtetapi juga oleh beberapa kelompok masyarakat dari suku asli Papua tertentuyang dalam membuka lahan untuk ladang maupun pemukiman keluarga besarsulit dikendalikan oleh tokoh adat setempat dan cenderung kurangterkoordinasi. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh, suku-suku yangdisinyalir banyak melakukan perambahan dan perusakan lingkungan adalahsuku-suku yang (konon) di daerah asalnya justru dikenal memiliki kearifantradisional yang ramah terhadap lingkungan. Namun menjadi sebuahpertanyaan, mengapa kearifan tradisional yang dimiliki seolah-olah hanya berlakudi daerah asalnya dan kurang diperhatikan ketika bermigrasi ke daerah lain(sekalipun migrasi dilakukan secara komunal, yang seharusnya lebih mudahuntuk mempertahankan kearifan tradisi komunalnya).

3.2. Komparasi Bentuk dan Sistem Pemerintahan Desa di Lima ProvinsiDiberlakukannya Undang Undang Otonomi Daerah Nomor 22/1999 (yangkemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32/2004) menggantikanUndang Undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa mengakhiri erapenyeragaman terhadap bentuk dan sistem pemerintahan “desa” di seluruhIndonesia. Undang Undang Otonomi Daerah membuka ruang bagi keragamanbentuk dan sistem pemerintahan “desa” atau dengan nama lain sebagai unitpemerintahan terkecil sesuai dengan hak asal usul dan kekhasan daerah.

Oleh karena itu, meskipun tetap ada kerangka umum yang mengaturpemerintahan desa yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72/2005, namunperbedaan bentuk dan sistem pemerintahan “desa” tetap dimungkinkan sesuaidengan kondisi lokalitas. Tabel 1 berikut ini menyajikan beberapa perbedaannama, bentuk, dan sistem pemerintahan “desa” di lima lokasi penelitian:Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua.

5 Resume hasil wawancara dengan anggota DPRD Provinsi Papua (2006)

Page 41: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

41

Tabel 1. Perbedaan Bentuk Pemerintahan “Desa” di Nangroe AcehDarussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua.

Perbedaan NAD Sumbar Jabar Bali PapuaNama resmipemerintahanformal terkecil

Desa Nagari Desa Desa Dinas /Keperbekelan

Kampung

Nama unitpemerintahan“adat” terkecil

Mukim Nagari - Desa Adat /DesaPakraman

Kampung(adat)

Wilayah Adat vsWllayah “Desa”

Satu mukimdapat terdiridari satuatau lebihdesa

AdatselingkarNagari, satuNagarimeliputi satuatau lebih ex-desa

Desa diJabar tidakselaluparaleldenganbataswilayah adat

Satu desapakraman bisaterdiri darisatu atau lebihdesa dinas

Satu kampungbisa lebihbesar ataulebih kecildaripadakampung adat

Nama “KepalaDesa”

KepalaDesa atauKeuchik

Wali Nagari KepalaDesa atauKuwu

Kepala DesaDinas atauPerbekel

KepalaKampung

Nama KetuaAdat

ImeumMukim

Ninik Mamak - Pendeto Ondoafi atauOndofolo

Dasar PenentuanWilayah Adat

Religi(WilayahPengaruhMasjid Jami)

Geneologis(kumpulansuku/marga)

Geografis(bentangalam) danHistoris

Relligi(WilayahpengaruhPura)

Geneologis(suku-suku)dan Historis-Geografis

Lembaga dibawah Desa

Gampoeng Jorong Dusun Banjar Dusun /Kerek

Lembaga “supradesa”

Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Distrik

Lembaga“legislatif desa”

BPD(Bamusdes)

BPN (BadanPermusyawa-ratan Nagari)

BPD(Bamusdes)

BPD Bamuskam

Sumber UtamaDana Desa

PaguAnggarandari Pemda

Dana AlokasiUmumNagari(DAUN)

PaguAnggaranDari Pemda

PaguAnggaran dariPemda

Dana OtsusPembangunanKampung

Lembaga non-struktural yangberpengaruh

Lembagakemukiman(MasjidJami)

KerapatanAdat Nagari(KAN)

Ulama,tokoh yangdituakan

LembagaDesaPakraman

KampungAdat,LembagaGereja

Kepemilikanlahan pribadi(normatif)

Diakui adat Tidak diakuiadat

Diakui adat Diakui adat Tidak diakuiadat

Kepemilikanlahan kolektif

Sebagian Semua Sebagian Sebagian Semua

Praktik sertifikathak milik

Ada Ada Ada Ada Ada

Page 42: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

42

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa otonomi daerah ada beberapa tipe sistempemerintahan desa, yaitu:

1. Dalam sistem pemerintahan terendah terdapat satu unit kelembagaan formalyang lingkup kewenangannya hanya pada masalah kedinasan, misalnyasistem kelembagaan Desa di Jawa Barat.

2. Dalam sistem pemerintahan terendah terdapat satu unit kelembagaan formalyang lingkup kewenangannya meliputi urusan kedinasan dan adat, misalnyasistem pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.

3. Dalam sistem pemerintahan terendah terdapat dua unit kelembagaan formal,yakni unit kelembagaan yang mengurusi masalah kedinasan/pemerintahan(dengan dasar hukum Undang Undang) dan unit kelembagaan adat (dengandasar hukum Peraturan Daerah) yang mengurusi budaya dan adat istiadat,misalnya adanya dua kelembagaan ”desa” di Bali yaitu Desa Dinas(Keperbekelan) dan Desa Adat (Pakraman)

4. Dalam sistem pemerintahan terendah terdapat dua unit kelembagaan formaldan informal, dimana unit kelembagaan formal mengurusi masalahkedinasan (pemerintahan) dan unit kelembagaan non-formal walaupun tidakmemiliki legitimasi formal namun eksistensinya diakui oleh masyarakat.Contoh sistem ini adalah kelembagaan Desa (pemerintahan) dankelembagaan Mukim (sosial budaya) di Aceh serta kelembagaan Kampung(pemerintahan) dan kelembagaan Kampung-Keondoafian (adat) di Papua.

Dari sisi penguasaan hak atas lahan, tidak semua daerah mengakui kepemilikanlahan individual. Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dan Kampung Adat(keondoafian) di Papua sesungguhnya hanya mengenal sistem kepemilikankolektif. Meskipun pada kenyataannya dijumpai pula kepemilikan lahanindividual (dengan sertifikat hak milik) di kalangan masyarakat Minang danPapua, namun sejatinya secara adat kepemilikan lahan individual tidak diakui.

Dari segi batas kewilayahan, dalam studi ini setidaknya ditemukan tiga tipe yangmendasari batas wilayah kelembagaan adat selain sejarah asal usul desa (historis),yaitu:

1. Dasar penentuan wilayah terutama didasarkan pada argumen geografis(bentang alam), yang dapat dijumpai pada kelembagaan ”desa” di Jawa Baratdan desa-desa di Jawa pada umumnya.

2. Dasar penentuan wilayah adat sangat ditentukan oleh aspek geneologis (garisketurunan keluarga/suku) misalnya kelembagaan ”Nagari” pada masyarakatMinang di Sumatera Barat dan kelembagaan ”Kampung-Keondoafian” diPapua.

3. Dasar penentuan wilayah adat sangat dipengaruhi oleh faktor religi (agama),misalnya kelembagaan Mukim di Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari

Page 43: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

43

cakupan pengaruh Masjid Jami dan Desa Adat (Pakraman) di Bali yangsangat dipengaruhi oleh keberadaan Pura.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat keragaman yang cukupbesar dalam sistem pemerintahan terendah di Indonesia, setidaknya teramati dilima provinsi. Oleh karena itu, segala bentuk ”penyeragaman” terhadap sistempemerintahan ”desa” perlu dihindari karena hal ini akan membunuh realitas ke-bhineka-an sistem kelembagaan adat yang diakui dan dipraktikkan olehmasyarakat di nusantara.

Page 44: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

44

4 DESENTRALISASI PEMERINTAHAN DESA:TINJAUAN KEBIJAKAN DAN HUKUM

4.1. Desentralisasi Sebagai Amanat KonstitusiSejatinya sistem desentralisasi merupakan wujud pengakuan dan penghargaanterhadap realitas kemajemukan (plurality) yang ada di dalam negara-bangsaIndonesia. Penghormatan terhadap pluralitas ini terpancar dalam semboyanBhinneka Tunggal Ika yang terpatri gagah dalam lambang negara GarudaPancasila.

Realitas kemajemukan ini juga ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945sebagai konstitusi negara melalui pasal dan ayat yang mengatur tentangpemberian otonomi terhadap pemerintahan daerah. Dalam Undang UndangDasar 1945 Bab VI, Pasal 18 disebutkan bahwa:6

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagiatas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahandaerah, yang diatur dengan undang-undang. **)

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusanpemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan RakyatDaerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **)

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,dan kota dipilih secara demokratis. **)

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang olehundang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **)

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untukmelaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. **)

Pasal 18A(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,

dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang denganmemperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **)

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber dayalainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secaraadil dan selaras berdasarkan undang-undang. **)

Pasal 18B(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus

atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. **)(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-

hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat danprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. **)

6 **) amandemen kedua UUD 1945

Page 45: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

45

Di dalam uraian ayat-ayat pada Pasal 18, 18A, dan 18B diatas jelas dinyatakanbahwa negara memberikan berbagai kewenangan penyelenggaraan negarakepada daerah dan menghormati keragaman dan kekhasan daerah. Dengan katalain, daerah-daerah di Indonesia yang memiliki kekhususan dalam satuanpemerintahan terkecil (terendah) seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari diMinangkabau, Kampung di Papua, dan sebagainya dimungkinkan melaksanakantata pemerintahan terkecil sebagaimana sifat asal-usulnya. Hal ini berarti negaramengakui keberadaan ”kesatuan-kesatuan politik tradisi” yang bersumber darisistem budaya berbagai kelompok masyarakat yang tercakup di dalam teritorialNegara Republik Indonesia.

Pengakuan terhadap realitas keragaman dan kekhasan daerah (seharusnya) tidakhanya terbatas pada ”nama” lembaganya saja (seperti Nagari, Mukim, Kampung,atau Pakraman), tetapi juga aspek-aspek struktur organisasi, mekanisme kerja,peraturan, serta berbagai hak dan kewajiban yang melekat pada kekhasan sistemkelembagaan adat yang mencerminkan sifat ”otonomi” dari unit pemerintahanterkecil. Artinya, setiap kelompok masyarakat (adat) yang memiliki danmempraktikkan tatanan kelembagaan yang khas, berhak melaksanakan tatapemerintahan terendah sesuai dengan sifat kekhususannya yang berbeda dengandaerah lain. Oleh karena itu, idealnya setiap ketentuan yang bersifat intervensidari atas terhadap sistem pemerintahan terendah yang bersifat khas harusdilakukan secara hati-hati dengan pengaturan dari atas seminimal mungkin.Kalaupun ada peraturan ”baru” yang ingin diberlakukan kedalam tatanan adat,pemberlakuan itu seyogyanya tidak merusak sendi-sendi adat, disepakati olehpemangku adat dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat adat.

4.1.1. Hierarki Peraturan Perundang-UndanganDi dalam sistem hukum negara Republik Indonesia dikenal adanya tata urutanperaturan perundang-undangan, yang sampai dengan tahun 2000 mengikuti satuhierarki yang diatur dalam TAP MPRS XX/MPRS/1966 mengenai Tata UrutanPeraturan Peraturan Perundang-undangan dan Bagan Susunan Kekuasaan di dalamNegara RI, sebagaimana urutan berikut ini:

1. Konstitusi / UUD 19452. Ketetapan MPR3. Undang Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang4. Peraturan Pemerintah5. Keputusan Presiden; dan6. Peraturan Pelaksanan lainnya

Kemudian, pada tahun 2000 Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan tataurutan peraturan perundang-undangan baru yang merupakan pedoman dalampembuatan aturan hukum dibawahnya. Berdasarkan Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang SumberHukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan peraturanperunang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

Page 46: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

46

1. Undang-Undang Dasar 1945;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;3. Undang-undang;4. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu);5. Peraturan Pemerintah;6. Keputusan Presiden;7. Peraturan Daerah.

Tata urutan peraturan perundang-undangan kembali mengalami perubahansebagai konsekuensi dari ditetapkannya amandemen keempat Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada tahun 2002. Oleh karenaitu, pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yangmerupakan penjabaran dari perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut UU 10/2004 Pasal 7 (1) adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang3. Peraturan Pemerintah4. Peraturan Presiden5. Peraturan Daerah

Dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang termaktub dalamUU 10/2004 terlihat bahwa beberapa jenis Peraturan Perundang-undanganseolah-olah tidak lagi berada dalam sistem hukum negara RI. Keberadaanperaturan perundang-undangan di luar yang disebutkan secara eksplisit dalamjenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan pada UU 10/2004,dijelaskan pada pasal 7 ayat (4) sebagai berikut:

”Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakuikeberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan olehPeraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 7 ayat (5) bahwa:Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimanadimaksud pada ayat (1).

Ketentuan penyebutan ”peraturan” dijelaskan pada Pasal 56 UU 10/2004, yangmengatur bahwa:

”Surat Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, KeputusanBupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 54 yangsifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dibacaperaturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”

Kadang-kadang timbul kerancuan mengenai penempatan suatu aturan di dalamTata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketidaktepatan penempatan suatuaturan di dalam Peraturan Perundang-undangan dapat dihindari, apabilaperancang peraturan mengacu kepada UU 10/2004, Pasal (8) yang menjelaskan

Page 47: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

47

bahwa materi muatan yang harus diatur dengan ”Undang-Undang” berisi hal-halsebagai berikut:

(a) Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 yang meliputi:

1. Hak-hak asasi manusia2. Hak dan kewajiban warga negara3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian

kekuasaan negara.4. Wilayah negara dan pembagian daerah.5. Kewarganegaraan dan kependudukan6. Keuangan negara.

(b) diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.Sedangkan ”Peraturan Pemerintah” diatur dalam UU 10/2004 Pasal 10 yangmenyebutkan bahwa: materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi yangdiperintahkan untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. UU 10/2004Pasal 11 juga menjelaskan mengenai materi muatan ”Peraturan Presiden”sebagai berikut: materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan olehUndang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Mengenai materi muatan ”Peraturan Daerah” dijelaskan dalam UU 10/2004Pasal 12 bahwa: materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalamrangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, danmenampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut PeraturanPerundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksudmeliputi:

1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsibersama dengan gubernur.

2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerahkabupaten/kota bersama bupati/walikota.

3. Peraturan Desa / peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa ataunama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Sering dijumpai kesalahan di dalam penyusunan kebijakan yakni pencantumanketentuan pidana pada peraturan perundang-undangan yang tidak seharusnyaseperti pada Peraturan Pemerintah atau peraturan pelaksanaan lainnya. Padahal,menurut UU 10/2004 Pasal 14 dinyatakan bahwa: materi muatan mengenaiketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.Berdasarkan ketentuan ini jelas terlihat bahwa pemerintah daerah saat inimemiliki kewenangan yang besar, tidak hanya dalam menjalankan rodapemerintahan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat tetapi lebih dari itupemerintah daerah juga memiliki otoritas dalam penegakan hukum yangtercermin pada tingginya kekuatan politik dan hukum dari suatu PeraturanDaerah.

Page 48: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

48

Pengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,perimbangan keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam, peran DewanPerwakilan Daerah tidak bisa diabaikan. Di dalam UU 10/2004 Pasal 32 ayat (2)disebutkan bahwa:

”Pembahasan rancangan undang-undang ... yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubunganpusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah pengelolaan sumberdayaalam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerahdilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah.”

4.1.2. Komparasi Beberapa Undang Undang yang MengaturPemerintahan Desa

Dasar pijakan tentang pengaturan mengenai desa sejatinya didasarkan padaprinsip: pembagian kekuasaan, demokratisasi, perwujudan kedaulatan rakyat,partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi dalam penyelenggaraanpemerintahan desa, ekonomi kerakyatan, adat-istiadat, sistem nilai masyarakat,kesejahteraan, dan otonomi ”desa”.

Di dalam konsep otonomi ”desa” terdapat enam elemen dasar, yakni:

1. Adanya urusan pemerintahan yang merupakan dasar dari kewenangan desauntuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

2. Adanya kelembagaan yang mampu mewadahi kewenangan yang diserahkankepada/atau yang dimiliki oleh ”desa”.

3. Adanya personil yang mempunyai tugas untuk menjalankan kewenanganatau urusan yang menjadi isi rumah tangga ”desa” yang bersangkutan.

4. Adanya sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan kewenangan.5. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil

rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraanpemerintahn ”desa”.

6. Adanya manajemen pelayanan publik agar fungsi pemerintahan desa dapatberjalan secara efektif dan efisien.

Sebagaimana telah dijabarkan pada pembahasan terdahulu, sejak kemerdekaanNegara Kesatuan Republik Indonesia diterapkan berbagai Undang Undang yangmengatur tentang Pemerintahan Desa. Nuansa setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pemerintahan desa berbeda-beda danpada umumnya dipengaruhi oleh setting geopolitik pada aras lokal dan nasional(bahkan juga lingkungan internasional) pada masa suatu peraturan diberlakukan.Tiga Undang Undang terpenting yang mengatur pemerintahan desa tigadasawarsa terakhir adalah Undang Undang Nomor 5/1979, Undang UndangNomor 22/1999, dan Undang Undang Nomor 32/2004.

Tabel berikut ini menyajikan komparasi substansi Undang Undang Nomor5/1979, Undang Undang Nomor/1999, dan Undang Undang Nomor 32/2004.

Tabel 2. Komparasi Substansi UU 5/1979, UU 22/1999, dan UU 32/2004

Page 49: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

49

No Substansi UU 5/1979 UU 22/1999 UU 32/20041. Nama dan

AsasDisebut UU tentangPokok-PokokPemerintahan Desa.Asas desentralisasi,dekonsentrasi, dan tugasperbantuan yang dalampraktiknya lebihcenderung pada tugasperbantuan.

Disebut UU tentangPemerintahan Daerah.Asas desentralisasi,dekonsentrasi, dan tugasperbantuan yangmengarah pada prinsipdevolusi.

Disebut UU tentangPemerintahan Daerah.Asas desentralisasi,dekonsentrasi, dantugas perbantuan yangkental dengan nuansadelegasi.

2. Batasan”desa”

- Desa adalah sistempemerintahan terkecilyang nama dan bentukkelembagaannyadiseragamkan untukseluruh Indonesia.

- Dengan penyeragamandiharapkan dapatmempermudahkoordinasipemerintahan.Kenyataannya,penyeragamanmematikan kekhasansifat komunitas diIndonesia danmenafikan hak asal usulmasyarakat adat

Desa menjadi kesatuanwilayah dan sistempemerintahan terkecilyang diberikankewenangan mengaturdan mengurus dirisendiri.Menghargai realitaskeragaman dan hak asalusul desa.Berpotensi memicuketegangan hubunganKades dan BPD.Perencanaan danpelaksanaanpembangunan dapattersendat.

Desa adalah sistempemerintahan terkecilyang diberikankewenangan mengatursebagian urusanpemerintahan.Meningkatnya perandan intervensi negaradalam urusan desadan muncul praktikresentralisasi.Realitas keragamanmasih dihargai.Hubungan Kades danBamusdes diharapkanlebih baik sehinggaperencanaan danpelaksanaanpembangunanberjalan lancar.

3. Fungsilembagaperwakilandesa

Lembaga MusyawarahDesa (LMD) sebagaimitra Kepala Desa(Kades). Kades tidakbertanggung jawabkepada LMD.

Badan Perwakilan Desa(BPD) dipilih langsungoleh rakyat. Kadesbertanggung jawabkepada BPD.

BadanPermusyawaratanDesa (Bamusdes)dibentuk dari hasilmusyawarah Desa.Kades tidakbertanggung jawabkepada Bamusdes.

4. Demokrasidan TataPemerintahan

- Desa menjadi daerahyang sangat tergantungpada negara/kabupatendalam menjalankankantata pemerintahannya.

- Menafikan pluralismebudaya danheterogenitas sistempemerintahan lokal.

- Kepala desa berhakmengatur desa tanpamelibatkan masyarakat.

- LMD dapat memberikansaran dan pertimbangankepada Kepala Desa

Muncul ruang demokrasidalam prosespertanggungjawabanKepala Desa kepadaBPD.BPD merupakanrepresentasi rakyatkarena dipilih langsungoleh rakyat.Dalam mengambilkebijakan publik KepalaDesa berkonsultasikepada BPD.

Menunjukkan bahwapemerintahan desaadalah perwakilannegara/kabupaten,selain sebagaipemerintahan yangotonom.Bamusdes adalahrepresentasiketerwakilan golongandi masyarakat.Dalam mengambilkebijakan publikKepala Desaberkonsultasi dengan

Page 50: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

50

No Substansi UU 5/1979 UU 22/1999 UU 32/2004dalam kebijakan publik. Bamusdes, namun

tidak bertanggungjawab kepadaBamusdes.

1. 5. Administrasi Batas administratifditentukan dari atastanpamempertimbangkanpola awal

Pola administrasi desabanyak diwarnai ide dansemangat lokalitas.Kondisi politik lokalsangat mempengaruhikelancaran administrasidan pelayanan.

Upaya standarisasi(resentralisasi)administrasi desa.Mengurangi pengaruhpolitik lokal dalamadministrasi danpelayanan.

2. 6. Kelembagaan Lembaga legislatif(LMD) dan lembagaeksekutif (Kades) beradadi satu tangan sehinggamenutup ruang kontrol.Kades sekaligus sebagaiketua LMD.

- Desa memiliki lembagapengawasan dan kontrolyaitu BPD yang dipilihdari penduduk desa.

- Pembentukan lembagalain lebih aspiratif karenamerujuk pada perdesa(pasal 106).

- Ekses konflikperorangan menjadikonflik lembaga.

- Program desa dapatterhambat.

- Prakarsa pengaturankelembagaan desaberada di tangankabupaten.

- Melemahkan peranmasyarakat sipil,rawan manipulasi dankepentingan elit desa.

- Melemahnya peranlembaga legislatifdesa.

- Program desa lebihterjaminkeberlangsungannya.

7. KeuanganDesa

- Desa sangat tergantungpada kabupaten/kota

- Desa hanya menjadisumber keuangan,namun keputusanpenggunaan tetap beradadi kabupaten

- Desa berhak mengaturkeuangan melaluiAPBDes

- Rujukan pendirianbadan usaha merujukperundang-undangansehingga mempersempitruang inisiatif desa

Mengindikasikan desaperan desa hanyaterbatas pada sumberpungutan untukkepentingankabupaten

8. PrinsipPembiayaan/ AnggaranDesa

- Fungsi mengikutianggaran (Function followsFinance) . PembangunanDesa tergantung daripemberian SubsidiDaerah Otonom danINPRES dari Pusat.

- Anggaran mengikutifungsi (Finance followsfunction). Besarnyapembiayaanpembangunan desasesuai denganfungsi/perencanaanyang telah ditetapkandesa dengan persetujuanBPD.

Anggaran mengikutifungsi (Finance followsfunction). Besarnyapembiayaanpembangunan desasesuai denganfungsi/perencanaanyang telah ditetapkandesa dengankonsultasi Bamusdes.

9. KedudukandanKewenanganKepala Desa

- Hak, kewenangan, dankewajiban kepala desadiatur dari atas, sehinggakepala desa kehilanganotonominya. Hak untukmengatur dan menguruspemerintahan desamenjadi kewenanganpemerintah di atasnya.

Peran kabupaten hanyaberfungsi menerimalaporan, kepala desamemainkan peran yangbesar untuk mengaturkehidupan warganya,sekaligusmempertanggungjawabkan melalui BPD (pasal

- Desa ditempatkansebagai domain politikdan kekuasaankabupaten.Kewenangan desamasih abstrak,memberikan cekkosong kepadakabupaten untuk

Page 51: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

51

No Substansi UU 5/1979 UU 22/1999 UU 32/200499-103). mengatur desa

sesukanya10. Hubungan

dengan supradesa

- Seragam-sentralisasi- Pemerintah

kabupaten/kotamemiliki kekuasaan yangbesar untukmendelegasikan apa sajake desa tanpa berundingdengan orang desa

- Pengaturan hubungandesa-supra desamemberikan kekuasantertiggi kepadakabupaten/kota

- Kabupaten sebagailembaga yang menerimalaporan kepala desa

Kabupatenmemainkan peranyang menguatterhadappemerintahan desa.

11. Kerjasamadesa

Desa tidak dapatmemutuskan dengansiapa akan membangunkerjasama

Kerja sama dibangundengan lebih fleksibel,tanpa harus melaluikabupaten

Prakarsa dalamkerjasama denganpihak ketiga mendapatkontrol (dikendalikan)oleh supra lokal (pasal214)

12. Penghargaanterhadapotonomidesa.

Otonomi Desa hampertidak ada. Peran KepalaDesa sangat dominandan berperan sebagaiperpanjangan tanganpemerintahan supradesa.

Pertumbuhan demokrasidan penghargaanterhadap otonomi desamulai diakui (pengakuanhak asal-usul desa, BPD,terpisahnya legislatif-eksekutif, desa berhakmenolak intervensi supradesa)

- Desa menjadisubordinat darikabupaten. Tidak adakejelasan pembagiandan pemisahankekuasaan di desa,kekuasaan eksekutifuntuk memerintahdan kekuasaanlegislatif untukmengontrol.

13. Civil society Kesadaran politikmasyarakat desa ditekan.Desa menjadi arenadeideologisasi, melaluikooptasi partai Golkar.

Secara umum substansiUU ini memberikanpenghargaan terhadapberkembangnya civilsociety di desa.

UU ini tidakmembahas secaraspesifik civil society didesa, selain lembaga-lembaga yangberhubungan dengannegara.

14. Pembangun-an daninvestasi

- Pembangunan ekonomidirumuskan parateknokrat dan birokratpusat. Keputusanpembangunan daninvestasi ada di tangankepala desa sebagailegislatif sekaliguseksekutif

Pembangunan daninvestasi ke desaditentukan olehkabupaten

Kebijakanpembangunan bersifatstate orienteddibandingkan societyoriented (pasal 215)

Dari tiga Undang Undang di atas dapat dilihat bahwa proses desentralisasimenunjukkan pola umum sebagai berikut:

1. Pola pemerintahan menggunakan sistem yang serupa yakni pemerintahanhierarkis. Dalam sistem pemerintahan hierakis, daerah otonom yang lebihtinggi berhak memberikan pengawasan terhadap daerah yang lebih rendah,dalam seluruh aspek pemerintahan. Konsekuensinya, keputusan politik yangsudah diambil oleh pemerintahan yang lebih rendah, bisa dibatalkan oleh

Page 52: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

52

keputusan pemerintahan di atasnya. Sedikit pengecualian pada masaberlakunya Undang Undang Nomor 22/1999, antara Kabupaten danProvinsi ”seolah-olah” tidak ada hubungan hierarkis sehingga pada masa itusering dijumpai kebijakan kabupaten yang tidak kompatibel dengankebijakan provinsi.

2. Secara umum tidak ada perbedaan yang tegas antara daerah otonom (sebagaipenerapan azas desentralisasi) dengan daerah administratif (sebagaipenerapan azas dekonsentrasi) sehingga sebuah wilayah pemerintahan bisamempunyai dua kedudukan sekaligus; sebagai daerah otonom yangberpemerintahan sendiri dan sebagai daerah administratif yang merupakanrepresentasi kepentingan pemerintah pusat di daerah. Hal ini berimbasdalam kedudukan kepala daerah yang sekaligus sebagai kepala wilayah.

3. Konsep otonomi yang dibangun, terutama oleh Undang Undang Nomor 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 5/1979tentang Pemerintahan Desa adalah konsep otonomi “pemberian”, dimanadaerah otonom menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yangdilimpahkan oleh pemerintah atasannya. Dengan demikian, urusan itusewaktu-waktu bisa ditarik kembali, dengan alasan daerah otonom yangdilimpahkan tidak mampu melaksanakan urusan yang sudah didesentralisasikan.

4. Dalam perspektif demokrasi, ketiga produk politik desentralisasi itu masihmenerapkan pemerintahan kolegial, dimana yang disebut dengan pemerintahdaerah adalah DPRD dan kepala daerah. Konsep pemerintah kolegialtersebut (dapat) menimbulkan kesulitan bagi lembaga perwakilan untukmelakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif karena mereka adalahbagian dari pemerintahan daerah.

Pada saat ini baik Undang Undang Nomor 5/1979 maupun Undang UndangNomor 22/1999 sudah tidak berlaku lagi. Undang Undang yang mengaturpemerintahan desa sekarang ini adalah Undang Undang Nomor 32/2004.Berikut ini adalah substansi Undang Undang Nomor 32/2004 yang menjadipegangan pokok bagi pelaksanaan pengelolaan pemerintahan desa di Indonesia.

1. Dari sisi kerangka hukum kelembagaan, ”desa” atau yang disebut dengannama lain menjadi bagian dari sistem kelembagaan di bawah pemerintahdaerah (kabupaten). Undang Undang ini memberikan kewenangan mutlakkepada pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan terhadap desa

2. Kewenangan di tingkat desa belum didefinisikan dengan jelas, sehinggakewenangan yang diberikan ke desa tergantung dari kewenangan yangdiberikan/didesentralisasikan oleh pemerintahan kabupaten.

3. Sistem dan tata pemerintahan desa berpotensi menimbulkan kemundurandemokratisasi desa (meskipun realitasnya dapat saja berbeda). PenggantianBadan Perwakilan Desa (BPD) menjadi Bamusdes secara umummenunjukkan lemahnya sistem representasi. Bamusdes cenderung lebih

Page 53: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

53

bersifat elitis, meskipun sebenarnya juga memiliki sisi positif yakni(diharapkan) semakin baiknya koordinasi di antara lembaga-lembaga di desa

4. Pengisian sekdes oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan bentukbirokratisasi desa sekaligus mengindikasikan pengawasan/mekanismeperpanjangan tangan pemerintah daerah terhadap pemerintah desa. Namundemikian, pada saat yang bersamaan pengangkatan aparat desa (khususnyaSekdes) sebagai PNS dipandang positif untuk menjamin kesinambungan dankelancaran pemerintahan dan administrasi desa (mengurangi dampak konflikelit politik lokal ke dalam administrasi desa).

4.2. Inkonsistensi dan Gap Implementasi Kebijakan DesentralisasiPemerintahan Desa

Selain secara tersurat tercantum di dalam UUD 1945, eksistensi masyarakat adatjuga diakui di dalam Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5/ 1960. DalamPasal 5 Undang Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa:

"Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat...".

Selanjutnya dalam Undang Undang ini dijelaskan bahwa eksistensi hukum adatdiakui dengan koridor:

"sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional .. sosialisme Indonesia .. unsur-unsuryang bersandar pada hukum agama".

Selain Undang Undang Pokok Agraria, beberapa Undang Undang yang lain jugamengakui eksistensi masyarakat adat diantaranya adalah Undang UndangNomor 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan PembangunanKeluarga Sejahtera. Di dalam Pasal 6 (b) Undang Undang ini disebutkan bahwa:

”hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkankekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hakatas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkanperilaku kehidupan budayanya”.

Namun demikian, peraturan perundang-undangan ternyata tidak konsistendalam memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat. Meskipuneksistensi masyarakat adat diakui secara tegas dalam konstitusi negara serta telahdijabarkan dalam beberapa Undang Undang, dalam praktiknya tidak mudah bagimasyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan terhadap eksistensinya. Realitasyang sangat memprihatinkan terjadi dalam implementasi peraturan perundang-undangan ketika dalam waktu bersamaan beberapa Undang Undang dengansubstansi yang saling berlawanan berlaku di dalam wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia selama bertahun-tahun. Substansi beberapa peraturanperundang-undangan bahkan bertentangan secara diametral dengan semangat”penghargaan” terhadap masyarakat adat dan kekhasan lokal, misalnya: UndangUndang Nomor 11/1967 tentang Pertambangan yang masih berlaku sampai saat

Page 54: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

54

ini dan Undang Undang Pokok Kehutanan Nomor 5/1967 yang berlaku sampaidengan tahun 1999.

Salah satu Undang Undang yang dianggap paling ”destruktif” dalam prosespelemahan otonomi desa adalah Undang Undang Nomor 5/1979 tentangPemerintahan Desa. Meskipun Undang Undang ini masih mengakui keberadaandesa-desa berbasis adat atau kekhasan daerah, namun intervensi negara Negarasangat kuat dalam membatasi otonomi desa. Dalam Undang Undang ini terlihatbahwa Negara meletakkan pengakuan terhadap kekhasan desa dalam kerangkaparadigma politik developmentalisme dengan pola ”penyeragaman” sistempemerintahan sampai dengan unit terendah (Anonim, 2006). Sebagai turunanparadigma developmentalisme dan ”penyeragaman” tersebut, dikeluarkanPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11/1984 tentang pembinaan danpengembangan adat-istiadat di tingkat desa/kelurahan. Dalam Permen Mendagriini terjadi kekaburan batasan antara adat istiadat, kebiasaan dan lembaga adat.Sehingga, adat istiadat diberi pengertian: ”kebiasaan-kebiasaan yang hidup sertadipertahankan di dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sesuai dengan Pancasila”.Selain mengaburkan pengertian adat istiadat, Permen Mendagri ini juga memberiruang seluas-luasnya bagi negara untuk melakukan intervensi pada otonomidesa (adat) melalui instrumen ”pembinaan” dan ”pengembangan” desa. PermenMendagri itu ditindak lanjuti dengan Instruksi Mendagri Nomor 17/1989tentang pembinaan dan pengembangan lembaga adat di wilayah desa/ kalurahanyang berisi instruksi Mendagri kepada Gubernur dan Bupati seluruh Indonesiauntuk melaksanakan Permen Mendagri Nomor 11/1984. Lebih jauh, kuatnyaintervensi negara ini berakibat pada semakin melemahnya posisi tawar desadengan entitas politik-ekonomi supra desa.

Kontroversi Undang Undang Nomor 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah danUndang Undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa ini berakhir setelahdikeluarkannya Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999 (yangkemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32/2004) yang lebih dikenaldengan Undang Undang Otonomi Daerah, yang mengamanatkan kepada pusatuntuk menyerahkan berbagai kewenangan pemerintahan kepada daerah. Namundemikian, ketidakjelasan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintahpusat, provinsi, dan kabupaten/kota tetap menjadi hambatan dalammewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam Undang-Undang32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah, Pasal 10, ayat (3) disebutkan bahwa:

“Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi politik luar negeri; pertahanan;keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.”

Sebagai sebuah aturan umum pasal tersebut kelihatannya cukup jelas, namunmasalah akan muncul ketika harus menjabarkan kewenangan pemerintahandaerah provinsi yang tercantum dalam Pasal 13, ayat (1) dan kewenanganpemerintahan daerah kabupaten/kota dalam Pasal 14, ayat (1).

Page 55: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

55

Kewenangan pemerintah daerah provinsi sebagaimana yang tercantumdalam Pasal 13, ayat (1) meliputi 16 wewenang, yaitu:

a) perencanaan dan pengendalian pembangunan;b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;d) penyediaan sarana dan prasarana umum;e) penanganan bidang kesehatan;f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;g) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota;j) pengendalian lingkungan hidup;k) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;m) pelayanan administrasi umum pemerintahan;n) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

kabupaten/kota; danp) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 14, ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah daerahkabupaten/kota juga memiliki 16 kewenangan yang meliputi:

a) perencanaan dan pengendalian pembangunan;b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;d) penyediaan sarana dan prasarana umum;e) penanganan bidang kesehatan;f) penyelenggaraan pendidikan;g) penanggulangan masalah sosial;h) pelayanan bidang ketenagakerjaan;i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;j) pengendalian lingkungan hidup;k) pelayanan pertanahan;l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;m) pelayanan administrasi umum pemerintahan;n) pelayanan administrasi penanaman modal;o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; danp) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Dari uraian pasal-pasal diatas dapat dilihat bahwa kewenangan pemerintahdaerah provinsi dan kewenangan kabupaten/kota pada dasarnya sama, yangmembedakan hanyalah lingkup luasannya. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:“Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Page 56: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

56

Pemerintah.” Masalah terjadi karena Peraturan Pemerintah sebagai peraturanpelaksana dari Undang-Undang 32/2004 belum tersedia, sehingga dalam banyakhal perbedaan interpretasi terhadap batas kewenangan pemerintah daerahprovinsi dan kapubaten/kota tidak terhindarkan. Oleh karena itu, apabila terjadiketidaksepahaman dalam urusan pembagian urusan pemerintahan maka besarkemungkinan disebabkan karena ketidaklengkapan peraturan pelaksana.

Dari sisi perencanaan pembangunan, tidak ada kesinambungan antara substansiUndang Undang Nomor 22/1999 dan Undang Undang 32/2004. MenurutPeraturan Pemerintah Nomor 25/2004 tentang Sistem PerencanaanPembangunan Nasional (SPPN) yang merupakan penjabaran dari UndangUndang Nomor 22/1999, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah(RPJMD) ditetapkan dengan Peraturan Bupati karena RPJMD merupakanpengejawantahan dari Visi dan Misi Bupati terpilih. Hal ini berbeda denganketentuan dalam Undang Undang Nomor 32/2004 yang menyatakan bahwaRPJMD harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah, bukan Peraturan Bupati.Sementara pihak menilai bahwa penetapan RPJMD dengan Peraturan Daerahdapat berpotensi menimbulkan ambivalensi dalam tata kelola pemerintahankarena RPJMD sesungguhnya tidak lain adalah turunan dari Visi Misi Bupatiterpilih dan bukan produk bersama eksekutif dan legislatif.

Selain di ranah pemerintahan, pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adatdalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan, lebih diakui dengandiberlakukannya Undang Undang Kehutanan Nomor 41/1999 menggantikanUndang Undang Nomor 5/1967.

Dibandingkan dengan Undang Undang Pokok Kehutanan Nomor 5/1967 yanghanya menekankan pada aspek produksi, Undang Undang Kehutanan Nomor41/1999 juga memberi perhatian yang cukup pada aspek konservasi danpartisipasi masyarakat. Tabel 3 berikut ini menyajikan secara lebih detilperbedaan substansi diantara keduanya.

Undang Undang Kehutanan Nomor 41/1999 secara umum menyajikanperangkat aturan yang lebih lengkap dibandingkan dengan Undang UndangPokok Kehutanan Nomor 5/1967 serta lebih memperhatikan hak danpartisipasi masyarakat terutama masyarakat hukum adat dalam pengelolaanhutan. Namun demikian, sebagian kalangan menilai keberpihakan UndangUndang Kehutanan yang baru terhadap masyarakat hukum adat hanyalahsekedar retorika kosong karena beberapa pasal dalam Undang Undang tersebutberpotensi menjadi “pasal karet” yang penafsirannya sangat tergantungkepentingan penguasa. Misalnya dalam pasal 66 (1) dinyatakan bahwamasyarakat hukum adat dapat memperoleh hak-haknya sepanjang diakuikeberadaannya. Hal ini berpotensi menjadi masalah karena penilaian terhadapkeberadaan atau eksistensi masyarakat hukum adat bisa sangat subyektiftergantung bagaimana dan siapa yang memberikan pengakuan, yang dijelaskanpada bagian selanjutnya … “pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukumadat ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

Page 57: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

57

Jadi jelas bahwa ada atau tidaknya hukum adat sangat tergantung dari pengakuan“formal” dari pemerintah daerah. Meskipun disatu sisi hadirnya hukum positifberupa pengakuan “formal” pemerintah mutlak diperlukan jika terjadi sengketadengan pihak ketiga diluar masyarakat hukum adat, namun disisi lain pengakuan“formal” pemerintah terhadap keberadaan hukum adat bisa terdistorsi menjadialat legitimasi penguasa dalam memaksakan kehendaknya atau mengarahkankeputusan sesuai dengan kepentingan kekuasaan (Nurrochmat, 2005b;Nurrochmat, 2005c).

Tabel 3. Perbandingan Substansi Undang Undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967dan Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999.

No. Substansi UUPK 5/1967(Pasal)

UU 41/1999(Pasal)

1. Perencanan kehutanan yang transparan, terpadu, danmemperhatikan aspirasi daerah

- 11

2. Pengelolaan hutan untuk berbagai kepentinganmasyarakat termasuk masyarakat hukum adapt

17 a 8, 34, 37, 67

3. Pengelolaan hutan harus memperhatikan kearifantradisional dan kondisi sosial budaya masyarakat

- 52

4. Peran serta pemerintah pusat, pemerintah daerah,masyarakat, dan perorangan dalam pengawasankehutanan

18 b 60-64, 68, 69

5. Pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenanganpengurusan hutan kepada pemerintah daerah

12 c 66

6. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakatdalam kegiatan kehutanan

- 70

7. Hak masyarakat dalam mengajukan gugatan perwakilanakibat kegiatan kehutanan yang merugikan

- 71-73

8. Penyelesaian sengketa kehutanan - 74-769. Ketentuan pidana 19 d 7810. Insentif bagi para pihak yang berjasa menyelamatkan

kekayaan negara di bidang kehutanan- 79

Catatan:a Pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat, dan perseorangan tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan yang dimaksud UUPKNo. 5 Tahun 1967b Perlindungan hutan diserahkan kepada petugas kehutanan yang diberikan wewenang kepolisian khususc Pemerintah pusat dapat –dengan kata lain bukan suatu keharusan- menyerahkan sebagian kewenangan di bidang kehutanan kepadapemerintah daerahd Sanksi pidana diatur dalam peraturan pelaksanaan

Selain pengaruh tekanan atau intervensi negara melalui instrumen kebijakan danperaturan perundang-undangan, lunturnya adat istiadat atau budaya tradisionaljuga disebabkan oleh penetrasi ”budaya baru” yang hadir lewat sosok”globalisasi”. Tidak seperti perubahan budaya karena intervensi kebijakan yangdatang tiba-tiba, perubahan budaya karena pengaruh ”globalisasi” terjadi secaraperlahan-lahan dan lebih ”alamiah” sehingga seringkali perubahan tersebutterlambat disadari. Keterlibatan (dan pelibatan) tokoh-tokoh adat dalamlembaga-lembaga pemerintahan, misalnya, sedikit banyak mempengaruhiperubahan pola berorganisasi pada masyarakat adat, sehingga (lebih) kompatibeldengan sistem pemerintahan supra-desa. Pengaruh kekuasaan negara dapat jugahadir melalui standarisasi pendidikan, pelayanan kesehatan, program pertanian,

Page 58: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

58

pembinaan aspek religi, pengembangan pariwisata, serta melalui beragam polapelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, konsep desentralisasi bukanlahkonsep ”super” yang kompatibel dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat.Demikian juga anggapan bahwa budaya tradisional dan tatanan adat adalahpilihan hidup yang ”dicintai” masyarakat adalah anggapan yang terlalu simplistikdan digeneralisasi. Faktanya, tekanan ”globalisasi” dan ”ekonomi uang” sangatmempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat yang dalam banyak halmelunturkan nilai-nilai budaya tradisional dan tatanan adat. Pengaruh mediamassa, terutama Televisi sangat mewarnai perilaku masyarakat, terutama generasimuda, yang lebih merasa nyaman memposisikan dirinya sebagai komunitasberbudaya ”nasional” atau bahkan berbudaya ”global” daripada mempraktikkanbudaya adat. Realitas ini lambat laun akan melunturkan ragam budaya daerahmenuju kesamaan identitas budaya yang lebih homogen. Di kalanganmasyarakat Minangkabau misalnya, hadirnya berbagai acara hiburan televisi yanghampir tanpa jeda, menawarkan budaya ”baru” bercengkrama bersama keluargamenikmati layar kaca dan pada saat bersamaan mengikis budaya ”basalimuikkain saruang” bagi pemuda Minang untuk mengaji dan bermalam di Surau.Televisi juga mengajarkan bahasa tunggal ”komersialisme” yang mengusungsemangat konsumtif dan egosistis, mengikis budaya subsisten dan gotongroyong yang pada umumnya dipraktikkan masyarakat tradisional. Pengaruh”ekonomi uang” juga menggeser peran seni dan budaya dari sekedarpencerminan ekspresi jiwa, ritual kepercayaan, atau praktik tata cara adatmenjadi sebuah industri hiburan atau mesin pariwisata yang lebih mementingkankeuntungan komersial. Hal ini dapat dirasakan pada berbagai atraksi budaya diBali dan daerah-daerah lain.

Tanpa disadari, pengaruh buruk juga dapat datang dari niat yang mulia. Beragambantuan untuk korban bencana atau pengentasan kemiskinan misalnya, dapatberujung pada ketergantungan masyarakat terhadap pola subsidi yangmematikan daya juang dan kreativitas. Dalam banyak hal, budaya kerjasamauntuk mengatasi berbagai persoalan di masyarakat sering luntur karena hadirnya”ekonomi uang” yang berwujud bantuan atau subsidi yang diberikan tanpamengkaji dampaknya terhadap budaya masyarakat. Salah satu dampak negatifdari program jaring pengaman sosial pada puncak krisis ekonomi beberapatahun yang lalu adalah runtuhnya semangat gotong royong dan lunturnya dayajuang masyarakat dalam berusaha secara mandiri. Pengaruh ”ekonomi uang”serupa dikhawatirkan terjadi di Aceh dan daerah korban bencana lainnya setelahmembanjirnya beragam bantuan pasca bencana.

Tentu saja, pengaruh ”globalisasi” tidak sepenuhnya buruk. Akuntabilitas,transparansi, dan demokratisasi barangkali dapat disebut sebagai sisi positif dariglobalisasi yang kerap dihadirkan oleh media massa. Demikian juga pengenalanbahasa nasional (dan internasional) juga bernilai positif dalam membukacakrawala anak bangsa terhadap perkembangan di luar desanya. Oleh karena itu,

Page 59: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

59

penting kiranya dicatat bahwa pergeseran budaya tidak sepenuhnya disebabkan(hanya) karena tekanan kebijakan dari atas, namun dapat pula diakibatkan darisuatu proses ”evolusi” yang dilakukan sebagai suatu pilihan yang secara ”sadar”dilakukan oleh masyarakat.

Dengan demikian dapat ditarik benang merah, bahwa ”gap implementasi”kebijakan dapat disebabkan oleh (setidaknya) dua hal, yakni:

Pertama, peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten (inkonsistensikebijakan) sehingga menimbulkan ambivalensi dalam praktikpenyelenggaraan pemerintahan.

Kedua, ketidaksesuaian antara aturan normatif dan realitas dan nilai-nilaiyang diyakini, dipraktikkan, dan berkembang di masyarakat.

Oleh karena itu, agar tidak terjadi gap implementasi yang tajam makainkonsistensi kebijakan harus ditekan serendah mungkin dan materi kebijakanharuslah benar-benar realistis dan mengakar pada nilai-nilai yang diyakini dandipraktikkan masyarakat.

Page 60: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

60

5 DESENTRALISASI: DOMINASI MAYORITAS DANURGENSI KEMITRAAN

5.1. Penguatan Domain Politik Ekonomi Pemerintah DaerahPemberlakuan Undang Undang Otonomi Daerah yang mengamanatkan pusatuntuk melimpahkan berbagai kewenangan pemerintahan kepada daerahmengakibatkan pergeseran locus kekuasaan lebih condong ke daerah. Eksistensidaerah menguat seiring dengan penguatan domain politik ekonominya.

Sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 22/1999, daerah diberikanseluruh kewenangan pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan,keamanan, kehakiman, moneter dan fiskal nasional, serta agama. MeskipunUndang Undang Nomor 22/1999 ini telah diganti dengan Undang Undang32/2004, namun secara substansial kewenangan daerah masih sangat besar yangmencakup 16 jenis kewenangan (lihat Bab 4).

Dalam praktiknya, seringkali tidak dicapai konsensus ke tingkatan manadesentralisasi dilaksanakan. Pemberian kewenangan kepada daerah ataumasyarakat lokal acap dilakukan dalam beberapa hal saja. Fisher et al (2000)membedakan beberapa kemungkinan desentralisasi berdasarkan kepada entitasdimana kewenangan dari pemerintah pusat dilimpahkan, yakni:

Kewenangan diberikan kepada perwakilan kantor pusat di daerah

Tipe pertama ini dikategorikan sebagai dekonsentrasi atau desentralisasi tanpadevolusi. Pada tipe pertama ini, biasanya pemerintah melibatkan partisipasimasyarakat dalam suatu program, misalnya pengelolaan sumberdaya alamdengan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui perwakilankantor pusat di daerah yang dikenal dengan sebutan Kantor Wilayah (Kanwil).Seiring pemberlakuan otonomi daerah, banyak kantor wilayah sektoral (misalnyakehutanan, pertanian, pendidikan, dan sebagainya) dibubarkan karena secarasubstansial tidak lagi sesuai dengan semangat Undang Undang Otonomi Daerahyang lebih mengutamakan asas desentralisasi daripada asas dekonsentrasi.

Kewenangan diberikan kepada otoritas di daerah

Tipe kedua, desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat kepada otoritas didaerah (Bupati). Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuhdalam mengimplementasikan berbagai program yang dirancangnya. Pendekatanini dikategorikan sebagai desentralisasi dengan sebagian muatan devolusi.

Kewenangan diberikan kepada kelompok masyarakat lokal

Tipe ketiga, pemerintah menyerahkan kewenangan –misalnya dalam pengelolaansumberdaya alam- kepada kelompok masyarakat lokal atau individu. Pendekatanterakhir ini adalah tipe desentralisasi dengan devolusi penuh.

Page 61: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

61

Desentralisasi administratif dan politik tidak dapat dipisahkan dari desentralisasifiskal. Oleh karena itu penetapan Undang Undang Pemerintahan DaerahNomor 22/1999 tidak terlepas dari implementasi Undang Undang Nomor25/1999 tentang Perimbangan Keuangan. Demikian pula ketika UndangUndang Nomor 22/1999 diganti dengan Undang Undang 32/2004, makaUndang Undang inipun dilengkapi dengan Undang Undang PerimbanganKeuangan yang baru yaitu Undang Undang Nomor 33/2004.

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan penuhmencari dan mengelola pendapatan daerah sepanjang tidak bertentangan denganperaturan yang lebih tinggi. Kenyataannya, sering terjadi ketidaksesuaian antaraapa yang tertera dalam peraturan perundangan dengan praktik desentralisasifiskal di lapangan. Parker (1995) mengindikasikan bahwa di satu sisi upayadaerah untuk memperoleh pendapatan seringkali menemui hambatan karenakeengganan pemerintah pusat menyerahkan kewenangan fiskal kepada daerahterutama karena adanya pandangan skeptis yang meragukan kapabilitas daerahdalam mengelola keuangan. Namun di sisi lain, jika pemerintah daerahdiberikan kewenangan seluas-luasnya untuk memperoleh pendapatan daerahsecara maksimal tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai akanberpotensi mengganggu kestabilan makro ekonomi. Sehingga, sistemperimbangan keuangan yang baik seyogyanya memberi peluang untukmeningkatkan pendapatan daerah tanpa banyak membuat pembatasan yangtidak perlu, namun di sisi lain harus mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional(Suparmoko dan Nurrochmat, 2005).

Dalam rangka pelaksanan pembangunan nasional, Undang Undang Nomor33/2004 memberikan kesempatan kepada daerah untuk memperolehpendapatan daerah dari berbagai sumber, yang meliputi:

(1) Pendapatan Asli Daerah (PAD)(2) Dana Perimbangan(3) Pinjaman daerah(4) Pendapatan lain yang dibenarkan

Tabel berikut ini menunjukkan pembagian dana perimbangan antara pemerintahpusat dan daerah.Tabel 4. Rincian Dana Perimbangan Pusat dan DaerahNo Sumber penerimaan Pusat

(%)Daerah

(%)1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 902. Biaya pengalihan atas tanah 20 803. Penerimaan negara dari sumberdaya alam (kehutanan,

pertambangan umum dan perikanan)20 80

4. Penerimaan negara dari minyak bumi 85 155. Penerimaan negara dari gas alam 70 306. Dana Reboisasi 60 40

Sumber: Undang Undang 33/2004

Page 62: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

62

Tabel diatas menunjukkan bahwa secara umum daerah memperoleh bagian yangcukup besar dari pemanfaatan sumberdaya alam (sektor kehutanan,pertambangan umum, dan perikanan) yakni sebesar 80% dari penerimaannegara. Proporsi dana perimbangan 80% yang menjadi hak daerah kemudiandidistribusikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah daerah penghasil, dandaerah lain se-provinsi dengan formulasi perimbangan tertentu. Tabel di bawahini merinci secara detil distribusi penerimaan dari sumberdaya alam yangditerima oleh daerah.Tabel 5. Rincian Distribusi Dana Perimbangan yang Diterima Daerah

Sektor Jenis Penerimaan Provinsi(%)

DaerahPenghasil (%)

Daerah lain se-provinsi (%)

Kehutanan 1. Iuran Hak PengusahaanHutan (IHPH)

2. Provisi Sumber DayaHutan (PSDH)

16

16

64

32

-

32

PertambanganUmum

1. Biaya Perolehan Hak2. Pajak Pertambangan

Umum

1616

6432

-32

Perikanan Pajak Usaha Perikanan Didistribusikan secara merata ke seluruhdaerah di Indonesia.

Sumber: Undang Undang 33/2004

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Undang Undang Perimbangan Keuangantelah melimpahkan sejumlah besar dari kewenangan fiskal dan proporsi danaperimbangan yang cukup besar kepada daerah. Bahkan, secara umum dapatdikatakan bahwa proporsi rata-rata dari dana perimbangan yang diterima daerahdari berbagai sumber adalah sekitar 50% dari total penerimaan negara yangdiperoleh dari pemenfaatan sumber daya alam. Proporsi dana perimbangankepada daerah yang rata-rata mencapai 50% dari total penerimaan negara yangberasal dari pengelolaan sumberdaya alam ini relatif tinggi dibandingkan denganperimbangan di negara lain, bahkan dibandingkan di negara-negara maju.

Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, proses devolusi meliputi penyerahantanggungjawab dan wewenang dari pemerintah pusat kepada otoritas di daerahtermasuk lembaga non pemerintah atau kelompok masyarakat dalampengelolaan sumberdaya alam. Devolusi pengelolaan sumberdaya alammencakup “Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat” (CommunityBased Natural Resources Management) apabila kelompok masyarakat lokal diberikanotoritas yang besar dalam pengelolaan sumberdaya alam atau disebut co-management jika pemerintah masih memegang kontrol atas pengelolaansumberdaya alam dan sekaligus juga memberikan sebagian wewenangpengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat lokal (Meinzen-Dick andKnoxx 1999).

Selain mendekatkan pelayanan publik, otonomi daerah juga memberikankesempatan bagi daerah yang kaya sumberdaya alam untuk meraup pendapatansebesar-besarnya (Darusman dan Nurrochmat, 2005). Menurut Undang Undang

Page 63: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

63

25/1999, daerah memperoleh porsi yang cukup besar dari dana perimbangansumberdaya alam khususnya dari sektor kehutanan, pertambangan umum, danperikanan. Tabel berikut ini menunjukkan pembagian dana perimbangan sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan daerah.Tabel 6. Rincian Dana Perimbangan Pusat dan Daerah dari Sumber Daya Alam

Sumber penerimaan Pusat(%)

Daerah(%)

Penerimaan negara dari sumberdaya alam (kehutanan,pertambangan umum dan perikanan)

20 80

Dana Reboisasi 60 40Sumber: UU 33/2004 Pasal 14 (a-d)

Tabel diatas menunjukkan bahwa secara umum daerah memperoleh bagian yangcukup besar dari penerimaan negara sektor kehutanan yakni 80% daripenerimaan dana yang bersumber dari pemanfaatan sumberdaya alam. Danaperimbangan yang diterima daerah kemudian didistribusikan dengan perincianyang disajikan dalam tabel 2 dibawah ini.

Tabel 7. Distribusi Penerimaan Daerah dari Dana Perimbangan Sumber DayaAlam*

Jenis Penerimaan Propinsi(%)

DaerahPenghasil (%)

Daerah lain se-propinsi (%)

1. Iuran tetap (land-rent)2. Royalti (Iuran Eksplorasi dan Ekspoitasi)

1616

6432

-32

*Sumber: UU 33/2004 Pasal 15 dan Pasal 17 (sektor kehutanan dan pertambangan umum)

Peralihan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tidak selamanyaberjalan lurus mulus. Sebagaimana dikatakan oleh Anderson (2000),desentralisasi adalah suatu proses yang rumit dan kelestarian sumberdaya alamtidak dapat dijamin hanya dengan pelaksanaan desentralisasi. Keteganganhubungan pusat dan daerah (mungkin) terjadi akibat keengganan pemerintahpusat menyerahkan kewenangan kepada daerah dan sikap daerah yang terkesanberlebihan dalam menuntut haknya diantaranya dengan menerbitkan berbagaiPeraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Hal inimengakibatkan ketidakpastian hukum yang berpotensi memicu konflik antarapusat dan daerah serta antara kelompok masyarakat menyangkut hak merekauntuk mendapatkan manfaat, akses dan tanggung jawab atas sumber daya alam.

5.2. Dominasi Mayoritas dan Perangkap Homogenitas

Page 64: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

64

Perombakan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi sesuaidengan Undang Undang Otonomi Daerah juga membawa perubahan mendasar,tidak hanya di kabupaten yang merupakan locus utama desentralisasi, tetapi jugamenggeser tatanan pemerintahan otonom di bawahnya yakni “desa”.

Sejalan dengan Undang Undang Nomor 5/1979, pemerintahan terendah diNegara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan di desa dan kelurahan. Sesuaidengan Undang Undang ini Negara hanya mengakui satu bentuk dan sistempemerintahan negara yakni “desa”. Sedangkan bentuk dan sistem pemerintahanterendah selain “desa” sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat, sepertiNagari di masyarakat Minangkabau, Mukim di Aceh, Pakraman di Bali,Kampung di Papua, atau sistem yang berbeda di daerah lain, diperbolehkansepanjang khusus menangani soal adat, agama dan budaya.

Tarik ulur penyusunan RUU Aceh dalam beragam versi menandakan bahwatawaran desentralisasi yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah tetapdalam upaya mempertahankan hegemoni pusat. Keseragaman dan universalitasmenjadi semangat pemerintah pusat dan berupaya diwujudkan denganmengabaikan ciri lokalitas yang telah ada. Kasus perebutan ruang gerak penataanadministrasi kewilayahan ini tentunya bisa dihindari ketika masing-masing pihakdapat melihat substansi yang terkandung dan harapan yang ingin dicapai dalamproduk hukum yang dihasilkan. Disinilah perlunya kesepahaman antar elemenyang berkepentingan agar rakyat tidak menjadi korban.

Setelah berlakunya Undang Undang Nomor 22/1999 (dan kemudian UndangUndang 32/2004) tentang otonomi daerah, maka daerah diberikan ruang yanglebih luas dalam menjalankan sistem pemerintahan “desa” sesuai dengankekhasan daerah. Pasca otonomi daerah, masyarakat lokal beramai-ramaimenghidupkan kembali sistem pemerintahan desa “adat” (tradisional), misalnyasuku Minang di Sumatera Barat saat ini telah kembali pada sistem pemerintahanNagari, Bali berupaya menghidupkan kembali Desa Pakraman, demikian jugaPapua menghidupkan kembali sistem pemerintahan Kampung. Meskipun Perda-Perda tentang sistem pemerintahan terendah telah dibuat berdasarkan kekhasanlokal sudah disahkan di berbagai daerah, tetapi untuk melaksanakannya secarabaik tidaklah mudah dan penuh gejolak. Gejolak ini terjadi karena di tengahmenurunnya legitimasi negara, daerah (peripheri) melakukan reposisi terhadaptata hubungan mereka dengan pusat. Rumusan reposisi inilah kemudianmenghasilkan konflik antara pusat-daerah, baik dalam domain ekonomi,perebutan sumber daya politik serta tentu saja dalam arena kebudayaan.Instrumen yang digunakan oleh daerah untuk memperkuat posisinya bersumberdari: kekuatan fisik, seperti ancaman boikot, kekerasan kolektif serta kekuatansimbolik melalui konstruksi budaya yang berbasisikan pada atavisme (mencaripada sejarah masa lalu) dan indegenisme (kesamaan geneologis) (Anonim, 2006).

Pemberlakuan sistem pemerintahan “khas lokal” dalam melestarikan adat danbudaya daerah yang diakui keberadaannya dan dipraktikkan oleh masyarakatdiharapkan mampu meningkatkan kinerja pemerintahan “desa”, baik dari sisi

Page 65: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

65

efektifitas tugas-tugas pemerintahan maupun fungsi pelayanan masyarakat.Namun demikian, ada kecenderungan penerapan Perda yang “khas lokal”tersebut terjebak menjadi “penyeragaman” budaya sesuai dengan kehendakmayoritas. Tanpa disadari, keinginan masyarakat lokal di berbagai daerah untukmenerapkan sistem pemerintahan lokal sesuai dengan kekhasan daerahnya,ternyata dijawab dengan hadirnya Perda yang memaksakan penyeragamanbentuk sistem pemerintahan “desa” yang tidak didasarkan pada penghargaanterhadap keragaman aspek lokalitas, tetapi lebih mencerminkan bentuk dominasimayoritas. Kecenderungan adanya “pamaksaan” bentuk dan sistempemerintahan di daerah yang diadopsi dari sistem budaya “suku” atau“keyakinan kelompok” mayoritas perlu dihindari karena hal ini sesungguhnyamerupakan bentuk pengulangan dari kesalahan rejim Orde Baru dengan UndangUndang Nomor 5/1979.

Ironisnya, kecenderungan praktik penyeragaman bentuk pemerintahan “desa”ini terjadi di berbagai daerah. Di Sumatera Barat, masyarakat Minang kembali kesistem pemerintahan Nagari setelah Undang Undang Otonomi Daerahmembuka ruang bagi hidupnya tradisi bernagarai. Itu diatur dalam Perda Nomor9 Tahun 2000, bahwa Sumatera Barat kembali ke negari sebagai kesatuan hukumadat. Dengan diberlakukannya Perda ini, seluruh desa “dipaksa” secara bertahapuntuk dialihkan menjadi Nagari. Bentuk penyeragaman ini sesungguhnyaberpotensi menimbulkan masalah karena basis sistem pemerintahan Nagariadalah “geneologis” dengan tatanan kelembagaan khas suku Minang. Padahal,tidak semua warga atau kelompok masyarakat di Sumatera Barat berasal darisuku Minang. Oleh karena itu ketika penyeragaman bentuk Nagari “dipaksakan”berlaku pula untuk suku lain di luar Minang seperti misalnya di daerah-daerahyang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa eks-transmigrasi, maka bentukpenyeragaman sistem pemerintahan Nagari sesungguhnya menjadi alat represiyang membuat “tidak nyaman” bagi suku non-Minang. Argumen yang seringdigunakan seperti kata pepatah “dimana bumi dipijak, dimana langit dijunjung”tidak bisa dijadikan alasan pembenar terhadap bentuk penyeragaman. Demikianjuga dengan kurangnya penghargaan terhadap masyarakat asli Sumatera Barat diPulau Mentawai yang tidak mengenai tatanan pemerintahan Nagari. Benar,bahwa di dalam Perda Nagari “desa-desa” di kepulauan Mentawai dikecualikan.Juga desa-desa yang terbentuk terakhir karena adanya program transmigrasi.Desa-desa dengan ciri demikian tentunya tidak dapat dirangkum dalam satupayung hukum pemerintahan nagari. Meskipun dikecualikan, namun disebutkandi dalam Perda bahwa secara substansial sistem pemerintahan “desa” dikepulauan Mentawai tetap harus mengacu kepada Perda Nagari, yang padakenyataannya Perda ini tidak pernah diikuti dengan terbitnya peraturanpelaksana.

Kecenderungan serupa juga terjadi di daerah lain, misalnya Bali. Di Bali bergulirkeinginan yang kuat untuk melebur atau meniadakan Desa Dinas ke dalam DesaAdat yang disebut dengan sistem pemerintahan Desa Pakraman. Secara sekilas,dikeluarkannya Perda tentang Desa Pakraman pada tahun 2001 terkesan lebih

Page 66: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

66

aspiratif, karena akan memperkuat dan menghargai eksistensi budaya tradisionaldi Bali. Kalau Perda Desa Adat Nomor 6/1986 hanya mengatur warga Bali yangberagama Hindu, Perda Desa Pakraman juga memberikan ruang bagi wargapendatang non-Hindu khususnya di bidang “pawongan” dan “palemahan” (urusan-urusan kemasyarakatan dan pembangunan), sehingga memungkinkan wargapendatang melaksanakan tatanan adat tertentu seperti misalnya menjadi pecalangsebagaimana lazimnya warga Bali.7 Oleh karena itu, Perda ini mempunyai sisipositif yakni memberikan ruang bagi pendatang untuk ikut menjaga lingkunganbaik lingkungan sosial kemasyarakatan maupun ekologis.

Di sisi lain, terbitnya Perda Desa Pakraman ini juga menghadirkan kekhawatiranakan adanya “penyeragaman” terhadap sistem pemerintahan “desa” di Bali.Padahal, penduduk Bali tidak semuanya beragama Hindu. Selain wargapendatang, ada kelompok-kelompok komunitas suku Bali asli di beberapadaerah yang secara historis beragama non-Hindu. Kekhawatiran adanya“penyeragaman” bukan hadir tanpa alasan karena konsep Desa Pakramansendiri sejatinya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pura yang terikat dengantatanan adat dan budaya Hindu. Oleh karena itu, dapat dipahami jika sementarakalangan mencemaskan kehadiran Perda Desa Pakraman sebagai upayapemaksaan untuk penyeragaman sistem pemerintahan “desa” sesuai dengankehendak mayoritas yang berpotensi memberangus realitas keragaman. Namundemikian, DPRD Bali meyakinkan bahwa Perda ini tetap memberikan ruangkeanekaragaman yang ada di desa pakraman, sehingga tidak perlu adakekhawatiran terjadinya penyeragaman. Pemberlakuan Perda Desa Pakramanbukan berarti adanya penyeragaman “desa adat”. Desa adat dengan awig-awignya tetap berjalan sebagaimana biasa. Namun dengan pemberlakuan Perdaini, istilah desa adat yang selama ini dibakukan akan diubah menjadi desapakraman. Perubahan desa adat menjadi desa pakraman tak mesti mengubahawig-awig tetapi cukup melalui perarem. Oleh karena itu Perda Desa Pakramandipandang tidak terlalu mengkhatirkan sepanjang materi Perda sifatnya makrodan hanya merupakan payung bagi peraturan dibawahnya. Sudah semestinya,jika pasal-pasal dalam Perda Desa Pakraman masih mengacu pada awi-awig danjika ada ketentuan atau hal-hal yang baru atau bertentangan awig-awig dapatdibicarakan melalui pasuaran dan pararem. Sebagaimana telah dikemukakandalam pembahasan terdahulu, bagi pendatang atau warga non-Hindu, PerdaDesa Pakraman hanya mengatur masalah “pawongan” dan “palemahan”, sedangkanyang berkaitan dengan masalah “parahyangan” (urusan-urusan keagamaan)dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing.

Tidak hanya Sumatera Barat dan Bali, di Papua setelah berlakunya UndangUndang Otonomi Khusus (Otsus) istilah pemerintahan “desa” diganti menjadipemerintahan Kampung dan Kecamatan diganti dengan Distrik sesuai denganbentuk pemerintahan yang secara historis berlaku di Papua sejak pemerintahanKolonial Belanda. Penggantian sistem pemerintahan “desa” sesuai dengan

7 Keterangan Wakil Ketua Komisi A DPRD Bali (Balipos, 2002)

Page 67: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

67

identitas kedaerahan adalah fenomena yang terjadi di berbagai daerah diIndonesia pasca Otonomi Daerah. Gejala menguatnya identitas kedaerahan inibisa dimaknai dalam tiga kategori (Anonim, 2006), yaitu:

Pertama, gejala penguatan identitas kedaerahan muncul sebagai instrumen“reaksi balik” (resistensi) dari aktor atau lembaga lokal terhadap berbagaiproses sosial-ekonomi-politik yang disodorkan pusat. Sebagai resistensi,fenomena penguatan kedaerahan merupakan reaksi terhadap kehadiran duakekuatan besar, yang bisa saja dibedakan tetapi kehadirannya sering simultanyaitu rejim modernitas dan proses “negaraisasi” (stateization).

Kedua, terjadinya gejala menguatnya identitas kedaerahan bisa dibacasebaliknya yakni sebagai invensi dari modernitas dan Negara. Sebagaisebuah invensi modernitas, maka kedaerahan muncul sebagai kreativitas dariaktor-aktor ”modern” untuk menggunakan tradisi dalam kerangkakepentingan akumulasi kapital (modernitas). Hal yang sama juga dilakukanoleh Negara yang kemudian lebih memanfaatkan tradisi untukkepentingannya sendiri seperti pembangunan, pertumbuhan ekonomi,stabilitas dan sebagainya.

Ketiga, gejala penguatan identitas kedaerahan terjadi karena pengaruhsimultan dari resistensi dan invensi modernitas yang saling menguatkanidentitas kedaerahan. Rejim modernitas ternyata mempunyai kekuatanmengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar-standarkehidupan modern melalui berbagai macam proyek pendisiplinan. Sehingga,modernitas kemudian membawa apa yang disebut homogenisasi "taste ofculture" yang meniadakan keunikan dan keberbedaan. Sehingga, identitaskedaerahan kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melakukanpenolakan terhadap ”penyeragaman" oleh modernitas.

5.3. Urgensi Kemitraan untuk Percepatan Penguatan PemerintahanDesa

Secara umum, tata hubungan pusat dan daerah di Indonesia pasca otonomidaerah menunjukkan kecenderungan sebagai berikut (Anonim, 2006):

Pertama, tata hubungan pusat dan daerah pasca otonomi daerah ternyatabelum sepenuhnya memuaskan daerah, yang mengakibatkan semakinmenguatnya politik identitas kedaerahan.

Kedua, konsep otonomi yang dibangun biasanya bias ekonomi dancenderung kurang memperhatikan penguatan politik dan kebudayaan.

Ketiga, adanya kecenderungan menguatnya konflik antar komunitas adat.Pergeseran domain politik ekonomi dari pusat ke daerah, (berpotensi)mengakibatkan perebutan eksistensi antar komunitas adat. Munculnyafenomena konflik antar desa adat, tidak hanya soal batas wilayah tetapi jugasoal tanah-tanah adat.

Page 68: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

68

Keempat, belum jelasnya tata hubungan negara dengan komunitas yangmenyangkut persoalan otonomi komunitas dan rendahnya kapasitas darikomunitas untuk menghadapi kekuatan supra lokal.

Kelima, persoalan kapasitas dari komunitas untuk menghadapi kekuatansupra lokal (kapitalisme pasar, kelompok keagamaan, entitas politik,penyeragaman budaya).

Keenam, respon dan adaptasi dari komunitas adat terhadap nilai-nilai baru,seperti birokratisasi, governance dan teknokratisasi berbeda-beda.

Seiring dengan melemahnya otoritas pusat, momentum penguatan lembagatradisional atau desa ”adat” justru bisa menimbulkan persoalan demokratisasibaru, yang (bisa) mengarah pada penguatan kembali pemain lama (institusi danaktor politik masa lalu) yang tidak demokratis, baik yang condong padafeodalisme maupun oligarkis. Selain itu, penguatan identitas kedaerahan tanpakoridor yang jelas berpotensi memunculkan sentimen kesukuan yang berlebihan(rasisme) yang mengancam pluralisme maupun multikulturalisme. Ada beberapaisu strategis yang secara umum dapat diangkat dari praktik demokrasi sistempemerintahan desa ”adat” di kelima provinsi (NAD, Sumbar, Jabar, Bali, danPapua):

Pada umumnya pengambilan keputusan atau kebijakan di kelembagaantradisional sangat tergantung pada ketokohan seseorang atau sekelompokorang yang ”kuat” secara ekonomi, politik, atau tradisi. Relasi yang tidakseimbang dalam elemen kelembagaan tradisional ini (dikhawatirkan)berpotensi membentuk rejimitasi baru dalam sebuah sistem pemerintahan”desa” berbasis adat atau tradisi.

Kecenderungan yang terjadi di berbagai daerah adalah munculnya responnegatif terhadap pluralisme (heterogenitas) yang tercermin daridikeluarkannya berbagai Perda yang terkesan condong pada kehendakkelompok mayoritas. Seringkali respon terhadap heterogenitas dilakukandengan mengambil sikap nativisme dan diskriminasi terhadap pendatangatau kelompok-kelompok minoritas, pemaksaan ”penyeragaman” dalamstandar moralitas, ekspresi budaya dan tata hubungan bermasyarakat.

Semakin besarnya potensi konflik kepentingan antara nilai-nilai yang dijagakelembagaan tradisional (adat) dengan kelompok atau individu. Konflikantara kelembagaan tradisional dengan kelompok atau individu dapat terjadidiantaranya menyangkut persoalan bagaimana menempatkan posisikelompok atau individu dalam kolektivisme kelembagaan ”adat”, misalnyamasalah sertifikasi tanah hak milik individual di Sumatra Barat dan Papua.

Lemahnya kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan “desa”tradisional. Dimensi teknokrasi dari kelembagaan ”desa” tradisional masihlemah, yang terlihat dari rendahnya kompetensi lembaga tradisional dalammenjalankan mekanisme kelembagaan secara efektif dan efisien. Hal initercermin dari struktur kelembagaan tradisional seringkali terjebak menjaditerlalu formal namun pada saat yang bersamaan kurang fungsional.

Page 69: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

69

Buruknya akuntabilitas tata kelola kelembagaan ”desa” tradisional. Salah satuyang menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan adalah kurangnyatransparansi dan rendahnya akuntabilitas kelembagaan tradisional dalampenyelenggaraan pemerintahan seiring dengan penguatan domain politikekonomi lembaga tradisional yang secara bersamaan juga semakinmenguatkan otoritas pemuka adat. Ada kecenderungan umum bahwasemakin kuat otoritas “ketokohan” dalam suatu lembaga, semakin sulitprinsip transparansi dan akuntabilitas ditegakkan.

Konsep otonomi desa dalam pengertian ”devolusi” berarti desentralisasipemerintahan desa dengan pemberian kewenangan yang seluas-luasnya. Dalamtata-kelola pemerintahan yang mandiri berbasiskan devolusi, berarti tata-pemerintahan desa harus “relatif bebas” dari campur tangan kekuatanpemerintahan pada hierarkhi otoritas supra desa khususnya pemerintahkabupaten/kota. Secara teoritis desentralisasi dengan konsep devolusi adalahsistem yang ideal menuju terwujudnya kemandirian pemerintahan desa (otonomidesa).

Namun demikian, pengamatan di kelima lokasi studi mengkonfirmasikan realitasyang sebaliknya. Dengan kondisi kelembagaan dan sosial kemasyarakatan saatini, kenyataannya banyak desa yang mengalami kesulitan untuk bisa mengambilalih limpahan kewenangan atas berbagai urusan yang diberikan oleh otoritassupra desa. Hal ini disebabkan karena pelimpahan kewenangan berbagai urusanpemerintahan kepada desa tidak dibarengi dengan disiapkannya berbagaikelengkapan kelembagaan, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia danlemahnya kapasitas kepemimpinan, serta terbatasnya infrastruktur. Dengandemikian, keinginan politik agar desa mampu menjalankan sistem tata-kelolapemerintahannya secara mandiri adalah retorika yang tidak mungkin dapatterwujud tanpa adanya upaya-upaya untuk menyiapkan pra-kondisi secaramemadai. Agar pra-kondisi untuk tercapainya sistem tata kelola pemerintahandesa yang baik (good rural governance system) dapat terwujud, maka diperlukansejumlah upaya membangun keberdayaan desa (rural empowerment).Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencapai pra-kondisi untukterlaksananya good rural governance adalah penataan fungsi kelembagaan, penguatankapasitas organisasional melalui pengembangan kapasitas SDM, danmengembangkan sistem manajemen pemerintahan desa yang efektif dan sesuaidengan karakter geografis, ekologis, dan sosio-kultural desa.

Setting ekologi, sosial, kultural, politik dan ekonomi setiap desa akan sangatmempengaruhi kekhasan tampilan sistem tata-pemerintahan desa, sehinggapenguatan sistem pemerintahan masing-masing desa memerlukan pendekatanyang berbeda-beda. Akselerasi penguatan sistem pemerintahan desa dapatdilakukan dengan adanya pola kemitraan (partnership) berupa dukungankerjasama dan pendampingan dari berbagai pihak yang berkompeten.

Page 70: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

70

Oleh karena itu, penguatan sistem pemerintahan desa dengan pola kemitraan(partnership) adalah sebuah keniscayaan karena tanpa kerjasama kemitraan,mengharapkan kemandirian atau otonomi desa seluas-luasnya pada kondisisistem kelembagaan dan sumberdaya manusia yang sangat lemah sebagaimanakondisi mayoritas desa di Indonesia dewasa ini adalah retorika yang irasional.Pola kemitraan (partnership) diharapkan dapat mendorong adanya berbagaiinovasi dalam membangun sistem tata-pemerintahan desa yang lebih baik danpada akhirnya dapat memberdayakan kapasitas sosial, ekonomi dan politik lokalyang kuat dan mandiri.

Page 71: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

71

6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

6.1. KesimpulanSebagai sebuah konsep pengelolaan pemerintahan, sesungguhnya desentralisasitelah dipraktikkan sejak lama di berbagai negara dengan latar belakang dan motifyang berbeda-beda. Sesuai dengan tingkat kedalaman dan cakupan kewenanganyang didesentralisasikan dari pemerintah pusat kepada daerah, dikenal beberapapripsip desentralisasi yaitu: dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi.Desentralisasi dengan prinsip dekonsentrasi berarti penyerahan tugasadministratif kepada aparat pusat di daerah, dengan kewenangan pengambilankeputusan tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, dekonsentrasidikategorikan sebagai sistem desentralisasi tanpa muatan devolusi. Bahkan,karena praktik dekonsentrasi hanyalah mendekatkan pelayanan pemerintah pusatkepada publik namun sama sekali tidak ada penyerahan kewenangan kepadaotoritas di daerah, sebagian berpendapat bahwa dekonsentrasi tidak dapatdigolongkan ke dalam sistem desentralisasi. Sementara itu, konsep delegasidiartikan sebagai pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat kepadalembaga pemerintahan di daerah. Dalam pengertian devolusi, meskipun sebagiankewenangan telah didelegasikan ke daerah dan dilaksanakan oleh otoritas daerah,tetapi pelaksanaan dari kewenangan tersebut dipertanggungjawabkan kepadapemerintah pusat.

Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling mendasar, dimana (sebagian)kewenangan diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemegang otoritas daerah(misalnya Bupati), atau entitas tertentu di daerah, misalnya masyarakat hukumadat atau kelompok masyarakat lainnya. Penyerahan kewenangan kepadaotoritas atau entitas di daerah mencakup kewenangan dalam pengambilankeputusan. Sedangkan privatisasi berarti penyerahan kewenangan kepada sektorswasta atau individu. Prinsip privatisasi tidak berkaitan langsung dengan sistempemerintahan. Oleh karena itu seringkali privatisasi tidak dikelompokkan dalamkategori desentralisasi.

Berdasarkan ruang lingkup kewenangan yang didesentralisasikan, dikenal tigajenis desentralisasi yaitu: desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, dandesentralisasi politik. Desentralisasi administratif berkaitan dengan penyerahankewenangan administratif kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsipelayanan publik. Desentralisasi fiskal adalah penyerahan sebagian kewenangandalam pengelolaan keuangan dan anggaran kepada pemegang otoritas di daerah,sedangkan desentralisasi politik mengacu kepada pelimpahan wewenang kepadadaerah dalam menentukan kebijakan publik. Desentralisasi politik merupakanpenyerahan kewenangan yang paling mendasar yang mendekati konsep devolusi.Desentralisasi politik akan terlaksana dengan baik jika pemerintah daerahmempunyai kapasitas yang memadai. Dalam hal ini implikasi dari relokasi

Page 72: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

72

kekuasaan dalam pengertian devolusi, bukanlah sekedar pelaksanaan fungsikonsultasi dari tugas-tugas pusat yang dilaksanakan oleh aparat di daerah,melainkan penyerahan sepenuhnya tanggung jawab dan wewenang kepadapemerintah daerah atau entitas di daerah.

Meskipun diskursus mengenai konsep desentralisasi menghangat (kembali) barupada paruh kedua 1970-an, namun sesungguhnya, secara “de facto” sistemdesentralisasi luas bahkan federalisme bukan hal baru bagi bangsa Indonesia.Desentralisasi luas yang mengarah pada bentuk federasi telah diterapkan selamaberabad-abad pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada masaitu, pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit di wilayah “Nusantara” yangmerupakan cikal bakal wilayah negara-bangsa Indonesia sesungguhnyamerupakan suatu bentuk konfederasi dari kerajaan-kerajaan kecil yang tergabungdalam sebuah kekuasaan satu Kerajaan Besar. Dengan kata lain, pada masakerajaan Nusantara pra-kolonial prinsip-prinsip desentralisasi telah diterapkansecara luas sebagai sistem pemerintahan yang eksis di Nusantara.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, konsep desentralisasi pertama kaliditerapkan dengan dikeluarkannya”Decentralisatie Wet 1903”, denganmempertimbangkan beberapa alasan yaitu: untuk meningkatkan efektifitasadministrasi pemerintah kolonial di Hindia Belanda, adanya tekanan darikelompok kapitalis Eropa untuk membuka investasi di Hindia Belanda, kesulitandana yang membelit pemerintah kolonial Belanda, dan pengaruh isu ”politiketik”. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturanbaru yakni ”Bestuurhervormingswet 1922” yang memberi kesempatan kaumpribumi untuk terlibat dalam urusan pemerintahan, dengan agenda tersembunyiagar kaum pribumi yang terdidik dapat berperan mengelola pemerintahanseberang lautan sebagai “negara bagian” dibawah konfederasi Kerajaan Belanda.Pada masa kolonial Belanda, politik desentralisasi kurang dapat diterima kaumnasionalis. Selain kebijakan desentralisasi pemerintah Hindia Belanda saratdengan tujuan politik tersembunyi, setting politik pada masa itu sangat ”antidesentralisasi” karena dianggap merupakan sebagai perwujudan dari politikpecah belah (”devide et impera”) yang dipraktikkan pemerintah kolonial Belanda.Sedangkan politik desentralisasi pada masa pendudukan Jepang dengan adanyapembagian wilayah pemerintahan berdasarkan teritori Angkatan Laut Jepangsama sekali tidak berkaitan dengan isu partisipasi, demokrasi, atau kesejahteraan,namun semata-mata ditujukan untuk menunjang kepentingan Jepang dalamperang Asia Timur Raya.

Setting geopolitik di awal kemerdekaan Republik Indonesia adalah tumbuhnyakesadaran dan kepentingan bersama dalam pertahanan dan keamanan untukmenjaga keutuhan negara mempertahankan diri pertahanan dari ancaman agresinegara-negara penjajah. Oleh karena itu, sentralisasi komando menjadi sangatpenting dan desentralisasi merupakan konsep yang sangat tidak populer karenadikhawatirkan dapat mengancam eksistensi Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

Page 73: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

73

Undang Undang Nomor 1/1945 adalah peraturan perundang-undangan pertamayang dikeluarkan pada masa kemerdekaan, namun tidak banyak mengaturtentang desentralisasi. Dua tahun setelah pemilihan umum pertama tahun 1955,dikeluarkan Undang Undang Nomor 1/1957 yang sedikit membuka ruangotonomi bagi daerah dengan memberikan kewenangan penuh kepada DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih Bupati tanpa adanyaintervensi pemerintah pusat. Namun otonomi terbatas ini hanya bertahan duatahun dan berakhir ketika Presiden Sukarno menetapkan Dekrit Presidentanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan berlakunya kembali Undang Undang Dasar1945 dan sekaligus menggulirkan konsep ”Demokrasi Terpimpin”, yang dalampraktiknya tak lebih dari bentuk pemerintahan otoriter yang dibungkus dengannama demokrasi dan berujung pada kebangkrutan ekonomi dan krisis politikakut yang menjungkalkan pemerintahan Sukarno. Suharto menggantikan posisiSukarno sebagai presiden dan memimpin rejim Orde Baru. Pada tahun 1974pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Undang Undang Nomor 5/1974tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Undang Undang ini konsep desentralisasimulai diperkenalkan kembali dalam praktik penyelenggaraan negara dalambentuk asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Dalamkenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas perbantuan jauh lebihdominan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan karena rejim OrdeBaru sangat menekankan adanya stabilitas politik untuk memacu pertumbuhanekonomi. Pada tahun 1979, dikeluarkan Undang Undang Nomor 5/1979tentang Pemerintahan Desa. Atas nama stabilitas dan efektifitas pelaksanaanpembangunan, melalui Undang Undang Nomor 5/1979 ini pemerintah OrdeBaru memberangus realitas keragaman adat dan budaya di masyarakat denganmenyeragamkan nama, bentuk, dan sistem pemerintahan otonom terendah dibawah pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia dengan nama, bentuk, dansistem yang sama yaitu ”desa”.

Pada tahun 1998 rejim Orde Baru tumbang oleh derasnya gerakan reformasiyang masif mengiringi terjadinya krisis ekonomi dan politik yangberkepanjangan. Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Suharto, mengembanamanat untuk menjalankan gerbong reformasi, diantaranya adalah pemberiandesentralisasi luas kepada daerah. Setelah setahun pemerintahan B.J. Habibie,dikeluarkan Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999menggantikan Undang Undang Nomor 5/1974 tentang Pemerintahan Daerahdan Undang Undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, yang secaradiberlakukan mulai 1 Januari 2001. Undang Undang yang memberikan otonomiyang luas kepada daerah ini disambut dengan suka-cita di berbagai daerah,namun seringkali juga menimbulkan ekses euforia yang berlebihan, yangberujung pada ketegangan hubungan dengan pemerintah pusat karena kebijakandaerah tidak kompatibel dengan peraturan yang lebih tinggi atau (dianggap)membahayakan kepentingan nasional. Alasan inilah yang melandasi keputusanpemerintah pusat untuk merevisi Undang Undang 22/1999. Namun, yangterjadi kemudian ternyata pemerintah bukan sekedar melakukan revisi melainkan

Page 74: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

74

mengganti Undang Undang 22/1999 dengan Undang Undang PemerintahanDaerah yang baru yakni Undang Undang 32/2004. Di satu sisi, banyak kalanganmenilai bahwa dikeluarkannya Undang Undang 32/2004 adalah set back bagipelaksanaan konsep desentralisasi di Indonesia dan timbul kekhawatiran untukkembali ke bentuk pemerintahan tersentralisir dengan baju lain (resentralisasi).Namun di sisi yang lain terbitnya Undang Undang ini dianggap sebagai suatukeniscayaan untuk mengerem egoisme kedaerahan yang berlebihan,memperbaiki mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah, serta mengatursecara jelas hubungan antar daerah.

Terbitnya Undang Undang Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan hukumbagi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia ternyata bukan jaminan bahwadesentralisasi dapat terimplementasikan dengan baik. Selain karenaketidaklengkapan peraturan pelaksana, praktik desentralisasi di Indonesiaberjalan tersendat juga disebabkan karena adanya inkonsistensi, ambivansi, dandisharmoni diantara berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Salahsatu Undang Undang yang dianggap paling ”destruktif” dalam proses pelemahanotonomi desa adalah Undang Undang Nomor 5/1979 tentang PemerintahanDesa. Meskipun Undang Undang ini masih mengakui keberadaan desa-desaberbasis adat atau kekhasan daerah, namun intervensi negara Negara sangat kuatdalam membatasi otonomi desa. Dalam Undang Undang ini terlihat bahwaNegara meletakkan pengakuan terhadap kekhasan desa dalam kerangkaparadigma politik “pembangunan” (developmentalisme) dengan pola”penyeragaman” sistem pemerintahan sampai dengan unit terendah, yaitu“desa”. Kuatnya intervensi negara ini berakibat pada semakin melemahnyaposisi tawar “desa” dengan entitas politik-ekonomi supra desa.

Kontroversi Undang Undang Nomor 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah danUndang Undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa ini berakhir setelahdikeluarkannya Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999 (yangkemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32/2004) yang lebih dikenaldengan Undang Undang Otonomi Daerah, yang mengamanatkan kepada pusatuntuk menyerahkan berbagai kewenangan pemerintahan kepada daerah. Ada 16urusan yang menjadi kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Namundemikian, pembagian kewenangan ini bukan tanpa masalah karena jenis urusanyang dilimpahkan kepada provinsi dan kabupaten menurut Undang Undangpemerintahan daerah persis sama, yang dibedakan hanyalah cakupan wilayahnya.Dalam praktiknya, hal ini seringkali menimbulkan ketidakjelasan (ambivalensi)kewenangan provinsi dan kabupaten –termasuk pada akhirnya desa- danmenjadi hambatan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Politik desentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia pasca reformasi ini, ternyatamembawa implikasi yang tidak seragam bagi setiap daerah karena setiap daerahmemiliki tafsir yang berbeda terhadap kebijakan desentralisasi yang digulirkanoleh pemerintah pusat tergantung pada kekhasan kondisi sosial, ekonomi, danbudaya, dan kepentingan penguasa daerah. Perbedaan tafsir terhadap konsep

Page 75: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

75

desentralisasi ini menyebabkan terjadinya keragaman praktik penyelenggaraanpemerintahan di setiap daerah. Keragaman bentuk dan sistem pemerintahanjuga dapat ditemukan dalam praktik pemerintahan ”desa” sebagai sebuah sistempemerintahan terkecil di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan hasil studi di lima daerah, terdapat keragaman sistem pemerintahandi setiap “desa”, yang secara umum dapat digolongkan ke dalam empat kategori.Pertama, dalam sistem pemerintahan terendah terdapat satu unit kelembagaanformal yang lingkup kewenangannya hanya pada masalah kedinasan, misalnyasistem kelembagaan Desa di Jawa Barat. Kategori kedua, dalam sistempemerintahan terendah terdapat satu unit kelembagaan formal yang lingkupkewenangannya meliputi urusan kedinasan dan adat, misalnya sistempemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Ketiga, dalam sistem pemerintahanterendah terdapat dua unit kelembagaan formal, yakni unit kelembagaan yangmengurusi masalah kedinasan/pemerintahan (dengan dasar hukum UndangUndang) dan unit kelembagaan adat (dengan dasar hukum Peraturan Daerah)yang mengurusi budaya dan adat istiadt, misalnya adanya dua kelembagaan”desa” di Bali yaitu Desa Dinas (Keperbekelan) dan Desa Adat (Pakraman), dankategori keempat, dalam sistem pemerintahan terendah terdapat dua unitkelembagaan formal dan informal, dimana unit kelembagaan formal mengurusimasalah kedinasan (pemerintahan) dan unit kelembagaan non-formal walaupuntidak memiliki legitimasi formal namun eksistensinya diakui oleh masyarakat.Contoh sistem ini adalah kelembagaan Desa (pemerintahan) dan kelembagaanMukim (sosial budaya) di Aceh serta kelembagaan Kampung (pemerintahan)dan kelembagaan Kampung-Keondoafian (adat) di Papua.

Tidak semua kelembagaan “adat” di daerah mengakui kepemilikan lahanindividual, misalnya pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dan Kampung Adat(keondoafian) di Papua hanya mengakui kepemilikan lahan kolektif. Meskipunpada kenyataannya dijumpai pula kepemilikan lahan individual dengan sertifikathak milik di kalangan masyarakat Minang dan Papua, namun sejatinya secaraadat kepemilikan lahan individual tidak diakui. Dalam penentuan teritorikelembagaan ”adat”, dalam studi ini setidaknya ditemukan tiga tipe yangmendasari batas wilayah selain dari aspek historis atau sejarah asal usul “desa”.Tipe pertama, enentuan teritori terutama didasarkan pada argumen geografis(bentang alam), yang dapat dijumpai pada kelembagaan ”desa” di Jawa Barat dandesa-desa di Jawa pada umumnya. Tipe kedua, dasar penentuan wilayah adatsangat ditentukan oleh aspek genealogis (garis keturunan keluarga/suku) misalnyakelembagaan ”Nagari” pada masyaralat Minang di Sumatera Barat dankelembagaan ”Kampung-Keondoafian” di Papua, dan tipe ketiga, dasarpenentuan wilayah adat sangat dipengaruhi oleh faktor religi (agama), misalnyakelembagaan Mukim di Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari cakupanpengaruh Masjid Jami dan Desa Adat (Pakraman) di Bali yang sangatdipengaruhi oleh keberadaan Pura. Studi ini memaparkan fakta terdapatnyakeragaman yang cukup besar dalam sistem pemerintahan terendah di Indonesia,setidaknya yang teramati di lima provinsi. Oleh karena itu, segala bentuk

Page 76: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

76

”penyeragaman” terhadap sistem pemerintahan ”desa” perlu dihindari karenahal ini akan membunuh realitas ke-bhineka-an sistem kelembagaan adat yangdiakui dan dipraktikkan oleh masyarakat di nusantara.

Otonomi Daerah membuka ruang bagi daerah dalam menjalankan sistempemerintahan “desa” sesuai dengan kekhasan daerah, sehingga masyarakat lokalberamai-ramai menghidupkan kembali sistem kelembagaan pemerintahan “desa”sesuai dengan tradisi lokal. Di berbagai daerah telah dibuat Peraturan Daerahyang mengatur sistem pemerintahan terendah berdasarkan kekhasan lokal.Namun demikian, untuk membuat materi Peraturan Daerah yang baik danmengimplementasikannya secara benar ternyata tidak mudah. Permasalahanterjadi karena di tengah menurunnya legitimasi negara, daerah melakukanreposisi terhadap tata hubungan mereka dengan pusat. Kecenderungan“otonomi setengah hati” yang dipraktikkan kelembagaan pusat dan tingginya“egoisme kedaerahan” sering memicu konflik antara pusat-daerah, baik dalamdomain ekonomi, perebutan sumber daya politik, serta pertarungan dalam arenakebudayaan. Beragam modus yang digunakan daerah dalam memperkuat posisitawarnya terhadap pusat, diantaranya dengan kekuatan fisik seperti ancamanboikot dan kekerasan kolektif, upaya hukum seperti permohonan peninjauankembali (judicial review) terhadap peraturan pusat yang dianggap tidak“menguntungkan” daerah, serta perlawanan melalui konstruksi budaya yangberbasiskan pada “atavisme” yang menggali sejarah masa lalu dan “indegenisme”yang membangkitkan rasa kebersamaan dan solidaritas masyarakat lokalberdasarkan kesamaan “geneologis”.

Bentuk reposisi dan perlawanan daerah semacam ini ternyata menumbuhkankecenderungan penerapan berbagai Peraturan Daerah yang terjebak menjadi“penyeragaman” budaya sesuai dengan kehendak mayoritas. Keinginanmasyarakat lokal di berbagai daerah untuk menerapkan sistem pemerintahanlokal sesuai dengan kekhasan daerahnya, ternyata dijawab dengan hadirnya Perdayang memaksakan penyeragaman bentuk sistem pemerintahan “desa” yang tidakdidasarkan pada penghargaan terhadap keragaman aspek lokalitas, tetapi lebihmencerminkan bentuk dominasi mayoritas. Kecenderungan adanya“pemaksaan” bentuk dan sistem pemerintahan di daerah yang diadopsi darisistem budaya “suku” atau “keyakinan kelompok” mayoritas ini sesungguhnyamerupakan bentuk pengulangan dari kesalahan rejim Orde Baru dengan UndangUndang Nomor 5/1979 yang diterapkan (kembali) oleh rejim PemerintahDaerah.

Studi ini juga mengkonfirmasikan realitas bahwa dengan kondisi kelembagaandan sosial kemasyarakatan saat ini, banyak desa yang mengalami kesulitan untukbisa melaksanakan secara baik kewenangan atas berbagai uruasan yang diberikanoleh otoritas supra desa. Hal ini disebabkan karena pelimpahan kewenanganberbagai urusan pemerintahan kepada desa tidak dibarengi dengan disiapkannyaberbagai kelengkapan kelembagaan, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia,lemahnya kapasitas kepemimpinan, serta terbatasnya infrastruktur. Oleh karena

Page 77: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

77

itu, keinginan politik agar desa mampu menjalankan sistem tata-kelolapemerintahannya secara mandiri hanyalah “retorika kosong” jika tidak adaupaya-upaya untuk menyiapkan pra-kondisi “desa” secara memadai. Settingekologi, sosial, kultural, politik dan ekonomi setiap desa akan sangatmempengaruhi kekhasan tampilan sistem tata-pemerintahan desa, sehinggapenguatan sistem pemerintahan masing-masing desa memerlukan pendekatanyang berbeda-beda. Akselerasi penguatan sistem pemerintahan desa dapatdilakukan dengan adanya pola kemitraan (partnership) berupa dukungankerjasama dan pendampingan dari berbagai pihak yang berkompeten. Denganadanya pola kemitraan (partnership) diharapkan dapat mendorong adanyaberbagai inovasi dalam membangun sistem tata-pemerintahan desa yang lebihbaik dan pada akhirnya dapat memberdayakan kapasitas sosial dan politik-ekonomi “desa” yang kuat dan mandiri.

6.2. Rekomendasi Kebijakan1. Kebijakan (bentuk dan aras) desentralisasi hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan dan kondisi faktual masyarakat dan tidak semata-mata didasarkanpada asumsi-asumsi yang belum teruji kesahihannya pada aras lokal.

2. Macam dan tingkat kewenangan yang diberikan kepada daerah (desa) harusdisesuaikan dengan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan, dankeuangan daerah (desa), karena pelimpahan kewenangan yang besar tanpadidukung kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan keuangan yangmemadai justru akan menyebabkan tersendatnya berbagai programpembangunan dan menyurutkan motivasi ”kemandirian” daerah (desa).

3. Pelimpahan kewenangan politik dan administratif kepada daerah (desa)harus dibarengi dengan pelimpahan kewenangan perencanaan danpenggunaan anggaran sehingga setiap program pembangunan dan pelayananpublik dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan perencanaan yangtelah dibuat secara mandiri.

4. Realitas keragaman harus dihargai dalam kebijakan otonomi daerah (desa).Pemberlakuan sistem kelembagaan ”desa” sesuai dengan kekhasan daerahadalah hal positif yang perlu didorong. Namun demikian, harus adaperangkat kebijakan yang memberikan koridor agar semangatmengembangkan sistem pemerintahan ”desa” berdasarkan kondisi spesifiklokal tidak terjebak pada bentuk ”penyeragaman” dari kelompok mayoritasyang membunuh keragaman kultur minoritas.

5. Pemerintah daerah seyogyanya tidak terjebak dalam konsep penyeragaman.Desentralisasi lokal yang diartikan sebagai kewenangan pengambilankeputusan di tingkat lokal tidak berarti menghasilkan pemindahan kekuasaandari pusat ke daerah yang kemudian membelenggu otonomi daerah yanglebih kecil. Jika hal tersebut terjadi, maka desentralisasi lokal tidak lebih daribentuk lain hegemoni daerah terhadap daerah-daerah di bawahnya.

Page 78: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

78

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Z., 2003. Babaliak Ka Sistem Pamarintahan Nagari dan Harapan.http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg22729.html. 28 Oktober 2003.

Anderson, J, 2000. Four considerations for decentralized forest management:subsidiarity, empowerment, pluralism and social capital. In: Enters, T,Durst, P.B and M. Victor (eds). Decentralization and Devolution ofForest Management in Asia and the Pacific. FAO and RECOFTC ReportNo.18 and RAP Publication 2000/1. Bangkok, Thailand.

Anonim, 2006. Desa Adat: Antara Otentisitas dan Demokrasi.http://www.desaadat.com/panbrayut/catatan7.html. Download18/04/2006.

Bali Pos, 2002. Sosialisasi Lemah Pelaksanaan Perda Desa Pakraman belumEfektif. Sabtu, 28 September 2002.

Buising, T, 2000. A Century of Decentralisation. Decentralise: Easy to say,Difficult to do. Inside Indonesia No. 63, July - September 2000.

Darusman, D dan D.R. Nurrochmat, 2005. Kajian Aspek Kebijakan danHukum Menuju Tata Kelola Pemerintahan Kehutanan yang Baik diKabupaten Kapuas Hulu, Malinau, dan Pasir. Tropenbos Indonesia.

Fisher, R.J, Durst, P.B, Enters, T and M. Victor. 2000. Overview of Themesand Issues in Devolution and Decentralization of Forest Management inAsia and the Pacific. In: Enters, T., Durst, P.B and M. Victor (eds).Decentralization and Devolution of Forest Management in Asia and thePacific. FAO and RECOFTC Report N.18 and RAP Publication 2000/1.Bangkok, Thailand.

Hanggono, A and E.S.Q. Hadipramono, 2000. Untuk Aktivis Reformasi. In:Hanggono and Hadipramono. Kumpulan Peraturan Tentang OtonomiDaerah. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Kambu, 2000. Materi Seminar Awal Tata-Kelola Pemerintahan Desa BerbasisKemitraan. PSP3-IPB dan Partnership.

Litvack, J, Ahmad, J and R. Bird, 1998. Rethinking Decentralization inDeveloping Countries. The World Bank. Washington, D.C.

Meinzen-Dick, R and A. Knoxx, 1999. Collective Action, Property Rights andDevolution of Natural Resources Management. A ConceptualFramework. Proceeding of the International Conference in Puerto Azul,the Philippines. DSE. Feldating, Germany.

Page 79: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

79

Nurrochmat, D.R., 2005a. The Impacts of Regional Autonomy on PoliticalDynamics, Socio-Economics, and Forest Degradation. Case of Jambi –Indonesia. Cuvillier Verlag, Goettingen.

Nurrochmat, D.R., 2005b. Strategi Pengelolaan Hutan. Upaya MenyelamatkanRimba yang Tersisa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Nurrochmat, D.R., 2005c. Desentralisasi dan Reformasi Kebijakan Kehutanandalam Yustika, A.E (Ed.). Menjinakkan Liberalisme. Revitalisasi SektorPertanian dan Kehutanan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Parker, A.N., 1995. Decentralization: The Way Forward for RuralDevelopment? World Bank, Washington DC.

Rozaki, A.,Sabtoni, A., Sudjito, A., Rinandari, H., Purnomo, J., Setiasih, M.,Zamroni, S., Eko, S. dan T. Hariyanto, 2005. Memperkuat Kapasitas Desadalam Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. IRE. Yogyakarta

Suparmoko, M dan D.R. Nurrochmat, 2005. Urgensi Penerapan PDRB Hijau diSektor Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Wanggai, V.V., 2006. Kebingungan Pusat dalam Kebijakan Pemekaran Papua.http://www.ppi-australia.org/articles/view.php?id=4. 19 April 2006.

Wibawa, S., 2003. Autonomy of Provinces and Kabupatens as a Strategy forSustainable Development? dalam Birner, R., Nurrochmat, D.R., dan S.Rosyadi (Eds.) Sustainable Development: Socio-Economic andEnvironmental Problems. Focused on Indonesian Cases. CuvillierVerlag. Goettingen.

Page 80: Politik Desentralisasi Pemerintahan Desapsp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/07/WP03_RGPS.pdfWorking Paper yang berjudul “Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa” ini merupakan

Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa

80

BIODATA PENULIS

DODIK RIDHO NURROCHMAT lahir di Ponorogo, Jawa Timur,29 Maret 1970. Menempuh pendidikan S-1 di Jurusan ManajemenHutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (1989-1994).Setelah lulus Sarjana Kehutanan, tahun 1994-1995 penulis bekerjasebagai Staf Direktur Pengusahaan Hutan sebuah group industri kayuterpadu di Jakarta. Selanjutnya tahun 1995-1996 menjadi konsultansistem manajemen mutu ISO-9000. Sejak Agustus 1996, penulis

kembali bergabung dengan almamater menjadi staf pengajar di Jurusan ManajemenHutan IPB. Pada tahun 1997 melanjutkan studi S-2 bidang Ekonomi Kehutanan diUniversitas Göttingen, Jerman dan menyelesaikannya tahun 1999. Tahun 2001-2005penulis melanjutkan studi S-3 di Universitas Göttingen dan berhasil meraih gelarDoktor bidang Politik Kehutanan dengan pujian tertinggi (summa cum laude). Saat inipenulis dipercaya sebagai salah satu anggota International Council RepresentativeIUFRO (International Union of Forest Research Organizations) yang berpusat di Wina,Austria untuk periode 2006-2010.

Tulisannya telah banyak dipublikasikan di berbagai media, prosidings, dan jurnal.Bersama-sama dengan staf pengajar di Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan IPBmenulis buku “Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia” (Debut Press, 2001), sertamenjadi co-editor dua buku yang diterbitkan di Jerman yakni “Sustainable Development:Socio-Economic and Environmental Problems” (Cuvillier Verlag, 2003) dan “Poverty Alleviation:Concepts and Experiences” (Cuvillier Verlag, 2004). Cuvillier Verlag (2005) jugamenerbitkan disertasinya yang berjudul “The Impacts of Regional Autonomy on PoliticalDynamics, Socio-Economics and Forest Degradation”. Bukunya yang berjudul “StrategiPengelolaan Hutan” diterbitkan oleh Pustaka Pelajar (2005). Penulis juga menjadikontributor (contributed author) dalam buku “Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi SektorPertanian dan Kehutanan” (Pustaka Pelajar, 2005) dan “Asia-Europe Co-operation on theEnvironment: Towards Sustainable Forest Management” (Asia-Europe Foundation, 2005).

HERU PURWANDARI, lahir di Bantul, Yogyakarta 24 Mei 1979.Pendidikan sarjana ditempuh pada program studi Penyuluhan danKomunikasi Pertanian IPB (1996-2000). Selanjutnya menempuhprogram Magister pada program studi Sosiologi Pedesaan IPB (2003-2006). Sejak tahun 2002 penulis tercatat sebagai peneliti pada PusatKajian Agraria-IPB dan telah melakukan penelitian yang terkait dengantema-tema pembaruan desa dan agraria. Beberapa penelitian yang

pernah dilakukan diantaranya adalah Analisis Kebijakan Pertanahan dalam MendukungKetahanan Pangan Nasional, Pengkajian Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat,Negotiating Land Rights and Natural Resource Regulations for Local People:The Role &Effectiveness of Federations, The Importance of Agrarian Issues in Addresing the Climate Change:The Case Study of Peat Land Rehabilitation in Jambi, dan lain-lain. Saat ini aktif sebagairedaktur pelaksana pada jurnal “Pembaruan Desa dan Agraria” yang diterbitkan ataskejasama Pusat Kajian Agraria-IPB, program studi Sosiologi Pedesaan-IPB danLAPERA Yogyakarta.