POKOKHUKUMISLAM

download POKOKHUKUMISLAM

of 39

Transcript of POKOKHUKUMISLAM

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    1/39

    2009

    hukum

    bdurrahman Service

    Dept.

    [POKOK-POKOK HUKUM

    ISLAM]Tulisan ini membicarakan tentang pokok-pokok di dalam hukum Islam.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    2/39

    2

    POKOK-POKOK HUKUM ISLAM

    BAB I

    AGAMA ISLAM DAN ASPEK-ASPEK YANG TERKANDUNG

    DI DALAMNYA

    A. Pengertian Agama Islam

    Untuk dapat mempelajari Hukum Islam dengan baik terlebih dahulu

    harus mempelajari tentang agama Islam. Hal ini disebabkan hubungan antara

    Hukum Islam/Fiqh Islam di satu pihak dengan Agama Islam di lain pihak adalah

    sangat erat, dan satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Tanpa

    mempelajari kaaidah-kaidah agama Islam terlebih dahulu akan sulit untuk

    mempelajari Hukum Islam, sebab setiap kaidah Hukum Islam tidak terlepas dari

    agama Islam. Agama Islam adalah induk atau asal dari hukum Islam, sehingga

    hukum Islam adalah bagian dari agama Islam (M.D. Ali, 1996: 27).

    Pengertian dari agama Islam adalah agama yang disampaikan oleh para

    nabi berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyuAllah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang terakhir.

    Islam sebagai agama adalah nama resmi yang diberikan oleh Allah

    sendiri dan bukan nama yang diciptakan oleh para pemeluk agama itu. Hal ini

    dapat dibuktikan dalam Firman-firman Allah yang tercantum di dalam Kitab

    Suci Al-Quran antara lain yaitu:

    1. Firman Allah:

    ...... Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah

    Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi

    agamamu .......

    (Q.S. Al-Maidah : 3).

    2. Firman Allah:Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam .......

    (Q.S. Ali Imran : 19).

    Dengan memahami isi dari dua ayat di atas maka dapat diambil

    kesimpulan bahwa Islam adalah nama resmi dari Allah terhadap agama yang

    diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada nama lain yang

    dikenal/dipahami untuk memberi nama agama yang diajarkan oleh Nabi

    Muhammad SAW itu.

    Di dunia Barat terutama di Negeri Belanda agama Islam terkenal dengan

    nama Muhammedanisme. Istilah ini pada dasarnya adalah tidak benar, karena

    dengan memberikan nama Muhammedanisme seolah-olah menganggap bahwa

    Agama Islam adalah ajaran pribadi dari Nabi Muhammad SAW untuk diajarkan

    kepada seluruh umat manusia. Jadi apa yang diajarkan atau diucapkan dan yang

    dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW itu bukan ciptaannya sendiri melainkan

    semuanya berdasarkan perintah dari Allah SWT (Drs. Subardi : 67).

    Dan disamping itu di dalam agama Islam dilarang memuja dan

    menghormati ataupun mengagungkan manusia walaupun itu Nabi Muhammad

    sendiri sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pendewaan manusia atau

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    3/39

    3

    menganggap manusia seperti Tuhan. Oleh karena itu istilah Muhammedanisme

    tidak dikenal oleh umat Islam.

    B. Arti Kata Islam

    Islam dalam bahasa Arab adalah sebagai kata benda jenis mashdar yaitu

    kata benda berasal dari kata kerja. Kata kerja asalnya ialah:1. Aslama

    2. Salima

    3. Salama.

    Aslama itu berarti berserah diri kepada Allah (Q.S. Al-Baqarah : 20),

    artinya manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya harus mengakui

    kelemahannya dan mengakui kemutlakan kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun

    tingginya kemampuan akal pikiran manusia yang berujud menghasilkan

    berbagai-bagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan tetapi semuanya itu kalau

    dibandingkan dengan kekuasaan Allah tidak ada artinya.

    Hasil potensi manusia yang berujud ilmu pengetahuan misalnya hanya

    terbatas pada menganalisa dan menyusun bahan-bahan alamiah yang telah adauntuk dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tidak berarti

    menciptakan dan tidak ada seperti halnya dengan kekuasaan Tuhan.

    Demikian juga terhadap dirinya sendiri pun manusia tidak dapat berkuasa

    mutlak, walaupun sudah banyak hartanya, sudah tinggi ilmunya, manusia tidak

    dapat menghindarkan diri dari sakit, kecewa, sedih, dan akhirnya mati. Maka

    sebagai orang Islam yang beriman dan mengakui akan kemutlakan kekuasaan

    Tuhan hanya dapat berusaha secara optimal kemudian disertai dengan berdoa

    kepada Tuhan, supaya keinginannya dapat tercapai sesuai dengan yang

    direncanakannya.

    Salima berarti menyelamatkan, menentramkan atau mengamankan.

    Karena salima sebagai kata kerja transitif maka memerlukan obyek, sehinggakata salima berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan orang

    lain. Jadi sebagai orang Islam maka mereka baik dari ucapan-ucapan maupun

    tindakannya dituntut senantiasa dapat menimbulkan rasa aman, selamat dan

    tenteram bagi orang lain.

    Salama berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan.

    Karena salama sebagai kata kerja intransitif, maka tidak memerlukan obyek luar,

    obyeknya adalah diri sendiri atau batin manusia itu sendiri. Dengan kata lain,

    sebagai orang Islam di dalam hidupnya harus selalu merasa tenteram, aman dan

    selamat tidak mudah putus asa dan frustasi apabila menghadapi cobaan-cobaan

    dan kesusahan dalam kehidupannya.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama lahir

    maupun batin, bagi para pemeluknya harus dapat memenuhi ketiga aspek

    tersebut di atas yaitu:

    pertama, dalam hubungannya vertikal dengan Tuhan manusia hanya bisa

    berserah diri dan patuh sepenuhnya kepada Tuhan.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    4/39

    4

    kedua, dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sesama umat Islam

    menghendaki adanya hubungan saling menyelamatkan, menenteramkan dan

    mengamankan.

    ketiga, dalam hubungannya dengan diri pribadi, Islam dapat menimbulkan

    kedamaian, ketenangan batin, kemantapan rohani dan mental.

    Orang yang memeluk agama Islam secara umum disebutMuslim.

    C. Aspek-aspek Ajaran Islam

    Agama Islam itu mengandung beberapa unsur/aspek di dalamnya, namun

    sebagai suatu agama aspek-aspek itu tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan

    yang lainnya. Jadi harus merupakan satu kesatuan dan kebulatan.

    Namun untuk memudahkan mempelajari masing-masing aspek yang

    terkandung di dalam agama Islam, maka aspek yang satu dengan yang lainnya

    dapat dipisahkan. Dan pada dasarnya Agama Islam terbagi atas tiga aspek,

    yaitu:

    1. Bagian yang bertalian dengan aqidah/keimanan. Bagian ini termasuk dalam

    Ilmu Kalam.2. Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini

    termasuk dalam Ilmu Akhlak.

    3. Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk

    dalam Ilmu Fiqh (Khozin Siraj : 2).

    D. Hukum Islam

    Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari

    agama Islam. Dasar dan kerangka hukum Islam ditetapkan oleh Allah. Hukum

    ini mengatur berbagai hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan,

    hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia

    lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alamsekitarnya (Mohammad Daud Ali, 1996: 39).

    Hukum Islam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;

    2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau

    akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam;

    3. Mempunyai dua istilah kunci yakni: a. syariat, dan b. fikih

    Syariat terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan

    fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariah;

    4. Terdiri dari dua bidang utama yakni: a. ibadat, dan b. muamalat

    Ibadat bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalat dalam arti yang

    luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi

    syarat dari masa ke masa;

    5. Strukturnya berlapis, terdiri dari:

    a. nas atau teks Al-Quran

    b. sunnah Nabi Muhammad (untuk syariat)

    c. hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al-Quran dan as-

    Sunnah

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    5/39

    5

    d. pelaksanaannya dalam praktek, baik (i) berupa keputusan hakim, maupun

    (ii) berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fikih);

    6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala;

    7. Dapat dibagi menjadi:

    a. hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsah yaitu lima

    kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukumyakni jaiz, sunnat, makruh, wajib, dan haram.

    b. hukum wadhi yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau

    terwujudnya hubungan hukum (M.D. Ali, 1996: 52-53).

    Selain ciri-ciri di atas, menurut T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy dalam

    bukunya Falsafah Hukum Islam (1975: 156 - 212) sebagaimana dikutip oleh

    Mohammad Daud Ali (1996: 53), hukum Islam juga mempunyai ciri-ciri khas

    sebagai berikut:

    8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka

    berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu

    masa saja;

    9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara

    keseluruhan;

    10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam.

    Adapun yang menjadi tujuan Hukum Islam secara umum sering

    dirumuskan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di

    akhirat kelak dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah

    atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.

    Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik

    rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya

    untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di

    akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam,yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta.

    Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-

    khamsah atau al-maqasid al-shariah (tujuan-tujuan hukum Islam) (M.D. Ali,

    1996: 53-54).

    BAB II

    SYARIAH DAN FIQH

    A. Pengertian Syariah dan Fiqh

    Pada mulanya para ahli berpendapat bahwa pengertian Syariah dan Fiqh

    itu adalah sama yaitu paham tentang ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan.

    Pendapat ini dalam perkembangannya kemudian mengalami perubahan, yaitu

    mereka memberikan pengertian yang berbeda antara Syariah dan Fiqh. Untuk

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    6/39

    6

    lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan pengertian masing-masing dari

    Syariah dan Fiqh.

    Syariah menurut istilah adalah hukum-hukum yang telah digariskan oleh

    Allah kepada para hambanya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal

    yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut arti istilah ini,

    syariah terbagi atas tiga bagian, yaitu:- Bagian yang bertalian dengan aqidah. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Kalam.

    - Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini

    termasuk dalam Ilmu Akhlak.

    - Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk dalam

    Fiqh/Hukum Islam (Khozin Siraj : 2).

    Fiqh menurut para Fuqaha, pengertiannya adalah Ilmu tentang hukum-

    hukum Syariah yang berkenaan dengan perbuatan dan amalan manusia dan

    didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci.

    Di samping pengertian seperti yang tersebut di atas ada beberapa ulama

    yang memberi pengertian Fiqh dilihat dari mana Fiqh ini berasal. Kalau dilihat

    dari asalnya, maka pengertian Fiqh ialah:- Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Al Muqaddamah Al Mubtada wal

    Khabar, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum

    Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang wajib, haram,

    makruh atau yang mubah yang diperoleh dengan jalan ijtihad dari Al-Quran

    maupun dari Sunnah Nabi.

    - Menurut Al Jalalul Mahalli, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang

    menerangkan segala hukum Syara yang berhubungan dengan amalan dan

    perbuatan manusia yang dengan jelas telah diatur dalam Al-Quran maupun

    Sunnah Nabi.

    - Menurut Abdus Salam Al Qabani, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang

    menerangkan hukum-hukum mengenai amalan dan perbuatan manusia baikyang sudah jelas diatur dalam Al-Quran maupun Sunnah Nabi, dan hukum-

    hukum yang diperoleh dengan jalan ijtihad.

    Dari ketiga pendapat tersebut di atas yang berbeda satu dengan yang

    lainnya, Prof. Hasby Ash Shiddieqy mengemukakan pendapat yang merupakan

    jalan tengah dari ketiga pendapat di atas, yaitu Fiqh apabila ditinjau dari asalnya

    dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama, Fiqh yang sudah jelas dan tegas

    telah diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi disebut Fiqh Nabawy. Kedua,

    Fiqh yang diperoleh/dihasilkan dengan jalan ijtihad disebut Fiqh Ijtihadi.

    Menurut Mohammad Daud Ali, yang dimaksud dengan syariah dalam

    pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh (oleh setiap umat

    Islam). Sedangkan syariah dalam arti teknis adalah seperangkat norma Ilahi

    yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan

    manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam

    lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hubungan itu berupa (a)

    kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut juga kaidah ibadah murni

    yang mengatur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Tuhan, dan

    (b) kaidah muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    7/39

    7

    dan benda dalam masyarakat. Kaidah ibadah yakni norma yang mengatur cara

    dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan tidak boleh

    ditambah-tambah atau dikurangi, sedangkan kaidah muamalah hanya pokok-

    pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad

    sehingga perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk

    berijtihad (berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruhkemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan kaidahnya menurut

    ruang ruang dan waktu. Adapun Fiqh (fikih) adalah ilmu yang khusus

    memahami, mendalami syariah untuk dapat dirumuskan menjadi kaidah konkrit

    yang dapat dilaksanakan dalam masyarakat. Karena syariah itu dapat

    dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni ilmu syariah ibadah dan syariah

    muamalah, maka ilmu fikih yang mempelajari dan mendalaminya pun dapat

    dibagi dua pula yakni ilmu fikih ibadah dan ilmu fikih muamalah. Dan sebagai

    hasil pemikiran manusia, hasil pemahaman tentang syariah yang disebut fikih

    atau hukum fikih itu dapat berbeda di suatu tempat dengan di tempat yang lain.

    Perbedaan tersebut menimbulkan berbagai aliran pula baik di kalangan Ahlus

    sunnah wal jamaah (Sunni) maupun di kalangan Syiah (M.D. Ali, 1996: 30-34)

    Dengan melihat uraian mengenai pengertian Syariah dan Fiqh di atas

    maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Syariah adalah lebih

    luas/umum dari pada Fiqh dan Fiqh hanyalah bagian dari Syariah. Antara

    syariah dan fiqh mempunyai hubungan yang erat, karena syariah adalah

    landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syariat. Perkataan syariah dan

    fikih kedua-duanya terdapat di dalam al-Quran, syariah dalam surat al-Jatsiah

    (45): 18, dan fikih dalam surat at-Taubah (9): 122 (M.D. Ali, 1996: 45).

    Perbedaan pokok antara syariah dan fikih adalah sebagai berikut:

    1. Syariat terdapat di dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadis, sedangkan Fikih

    terdapat dalam kitab-kitab fikih.2. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas

    karena di dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak;

    sedangkan Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum

    yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan

    hukum.

    3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku

    abadi; sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat

    berubah dari masa ke masa.

    4. Syariat hanya satu; sedangkan fikih mungkin lebih dari satu seperti

    (misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah

    mazahib atau madzhab-madzhab.

    5. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan

    keragamannya (Asaf A.A. Fyzee, 1955: 17, H.M. Rasjidi, 1958: 403, Ahmad

    Ibrahim, 1965: 2, M. Khalid Masud, 1977: 22, S.H. Nasr, 1981: 60, Masjfuk

    Zuhdi, 1987: 1 sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali, 1996: 45-

    46).

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    8/39

    8

    B. Nilai Hukum di Dalam Fiqh

    Menurut ajaran Islam semua tindakan manusia baik yang berupa

    perkataan maupun perbuatan mempunyai ketentuan hukum. Ketentuan hukum

    inilah yang disebut dengan nilai hukum di dalam Fiqh/Hukum Islam.

    Di dalam Fiqh dikenal lima macam nilai hukum yang disebut Al-

    Ahkamal-Khamsah, yaitu:1. Wajib/Fardh (perintah mutlak)

    2. Sunnah/Mandub (perintah tak mutlak)

    3. Haram (larangan mutlak)

    4. Makruh (larangan tak mutlak)

    5. Mubah/Jaiz

    B.1. Wajib/Fardh

    Yang dimaksud wajib/fardh ialah suatu perintah yang harus dilaksanakan

    oleh setiap orang Islam. Perbuatan ini apabila dilakukan diberi pahala dan

    apabila ditinggalkan berdosa dan akan mendapat siksa. Wajib ini ada

    bermacam-macam, yaitu:a. Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya, wajib dibagi dua, yaitu:

    - Wajib yang Mutlak , yaitu perintah yang tidak ditentukan waktu tertentu

    untuk melaksanakannya. Oleh karena itu untuk melaksanakannya dapat

    dilakukan kapan saja. Misalnya ibadah haji, adalah diwajibkan atas orang

    Islam yang telah dewasa dan mampu sekali seumur hidup untuk

    melaksanakannya tidak ditentukan waktunya/tahunnya.

    - Wajib yang Muaqqat, yaitu yang ditentukan waktu untuk melaksanakannya.

    Oleh karena itu orang tidak bebas melaksanakannya di luar waktu yang

    telah ditentukan. Misalnya Puasa Ramadhan yang wajib dilaksanakan

    dalam bulan Ramadhan dan shalat lima waktu yang wajib dilaksanakan

    pada waktu-waktunya yang telah ditentukan.b. Ditinjau dari segi siapa yang wajib melaksanakan, wajib dibagi dua, yaitu:

    - Wajib aini, ialah perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang

    sudah dewasa, misalnya: Puasa Ramadhan, Shalat lima waktu.

    - Wajib Kifayah, ialah perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif,

    apabila sebagian dari mereka telah melaksanakan maka gugurlah tuntutan

    terhadap yang lainnya. Apabila semua melakukannya maka masing-masing

    akan mendapat pahala, akan tetapi apabila tidak seorang pun yang

    melaksanakannya maka mereka itu masing-masing berdosa sebagai orang

    yang mengabaikan kewajiban. Misalnya: Shalat jenazah, mendirikan rumah

    sakit, rumah sekolah, mendirikan tempat peribadatan.

    c. Ditinjau dari segi qadarnya (kuantitas), wajib dibagi dua, yaitu:

    - Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan batas kadarnya

    (jumlahnya) misalnya: shalat lima waktu, zakat harta, kifarat, Puasa

    Ramadhan. Kewajiban ini kalau tidak dilaksanakan pada waktunya, tetap

    menjadi tanggungan selamanya, sampai kewajiban ditunaikan semuanya.

    - Wajib ghairu Muhaddad , yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas

    kadarnya. Misalnya: membelanjakan harta di jalan Tuhan, memberikan

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    9/39

    9

    makan orang yang sedang kelaparan, dan sebagainya. Adanya kewajiban-

    kewajiban tersebut adalah karena perintah syara tetapi tentang berapa

    jumlahnya tergantung kepada keadaan. Kewajiban ini kalau ditunaikan

    secukupnya pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau hutang

    yang wajib dibayar kekurangannya (A. Hanafi M.A. : 22).

    B.2. Sunnah/Mandub

    Yang dimaksud sunnah/mandub adalah perbuatan yang diperintahkan

    untuk dilakukan, namun perintah ini tidak mutlak, sebab perbuatan ini kalau

    dilakukan mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa sehingga tidak

    dikenakan siksa. Sunnah dapat juga diartikan sebagai suatu anjuran untuk

    melakukan suatu perbuatan. Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam,

    yaitu:

    a. Sunnah amiyah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap

    orang Islam. Misalnya: shalat sunat Ratibah/shalat sunat yang dikerjakan

    sebelum dan sesudah shalat lima waktu.

    b. Sunnah Kifayat, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan cukupseorang saja dari sejumlah orang. Misalnya: memberi salam, mendoakan

    orang bersin.

    c. Sunnah Muakhadah, yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh

    Rasul, hanya kadang-kadang saja ditinggalkannya. Misalnya: Shalat Witir,

    Shalat hari raya.

    d. Sunnat Ghairu Muakhadah, yaitu segala perbuatan tidak wajib yang kadang-

    kadang dikerjakan oleh Rasul, misalnya: Salat sunnat sebelum shalat

    Maghrib.

    B.3. Haram

    Yang dimaksud haram adalah suatu perbuatan yang dilarang, apabiladitinggalkan akan diberi pahala dan apabila dilakukan akan mendapat siksa.

    Haram dibagi menjadi dua yaitu:

    a.Haram Lidzatihi, ialah perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena

    hal-hal lain hukumnya haram. Misalnya: berzina, mencuri, merampok,

    menipu.

    b. Haram Liaridi, ialah perbuatan yang hukumnya haram karena berbarengan

    dengan perbuatan lain. Misalnya: jual beli pada saat adzan Jumat telah

    diserukan. Dalam Al-Quran Surat Jumah ayat 9 terdapat perintah

    meninggalkan jual beli apabila adzan Jumat telah diserukan. Ayat tersebut

    memberikan ketentuan hukum bahwa jual beli dilarang oleh karena adanya

    seruan adzan Jumat. Berjual beli itu sendiri adalah hal yang dibenarkan

    Islam, tetapi bila diadakan pada waktu telah terdengar seruan adzan Jumat itu

    menjadi haram hukumnya. Hal-hal yang haram karena berbarengan dengan

    hal-hal yang diharamkan tidak berakibat tidak sahnya perbuatan itu sendiri.

    Jadi jual beli tetap dipandang sah, tetapi orangnya berdosa karena melanggar

    larangan/tidak taat perintah Al-Quran (Ahmad Azhar : 25).

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    10/39

    10

    Berbeda halnya dengan perbuatan yang haram lidzatihi yang apabila

    dilanggar mengakibatkan hal-hal yang merupakan hasil dari perbuatan itu

    sendiri tidak sah. Misalnya: zina adalah haram lidzatihi, maka anak yang

    lahir karena perbuatan zina dipandang sebagai anak yang tidak sah dan tidak

    mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya.

    B.4. Makruh

    Yang dimaksud makruh adalah perbuatan yang terlarang, bila

    ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak

    dikenakan siksa. Makruh dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

    a. Makruh tanzih, ialah perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada

    dikerjakan. Bila ditinggalkan berpahala dan bila dilaksanakan tidak berdosa

    meskipun tercela. Makruh tanzih ini adalah kebalikan sunnah. Misalnya:

    makan minum dengan menggunakan tangan kiri.

    b. Makruh tahrim, ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukumnya tidak

    pasti. Misalnya: memakai cincin emas adalah dilarang menurut ulama

    madzab Hanafi.c. Tarkul-aula, ialah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang amat dianjurkan.

    Misalnya: meninggalkan Shalat Witir.

    B.5. Mubah/Jaiz

    Yang dimaksud mubah/jaiz ialah perbuatan yang bila dilaksanakan tidak

    berpahala dan bila ditinggalkan juga tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.

    Mubah dapat dibagi menjadi tiga macam:

    a. Dinyatakan dalam syara tidak berdosa untuk melakukannya.

    b. Tidak ada dalil yang mengharamkan.

    c. Yang dinyatakan dalam syara boleh memilih, kalau suka boleh dilakukan dan

    kalau tidak suka boleh meninggalkan.

    C. Perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum

    Ada beberapa perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum,

    yaitu:

    1. Ditinjau dari segi sumbernya/dasar hukumnya

    Hukum Islam bersumber pada dua hal, yaitu: pertama, Wahyu/Firman Allah

    yang tercantum di dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Nabi sebagi

    penjelasannya. Kedua, Ratio/akal manusia yaitu hasil ijtihad atau rayu.

    Sedangkan Hukum Umum bersumber pada akal manusia saja.

    2. Ditinjau dari segi obyek yang diaturnya

    Hukum Islam mempunyai dua obyek hukum, yaitu: pertama, peraturan-

    peraturan/hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, yang

    disebut hukum Ibadah. Kedua, peraturan-peraturan yang mengatur hubungan

    antara sesama manusia dalam hidup bermasyarakat atau antara manusia

    dengan benda-benda di sekelilingnya, yang disebut hukum Muammalah.

    Sedangkan Hukum Umum obyeknya hanyalah peraturan-peraturan yang

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    11/39

    11

    mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hidup bermayarakat baik

    dalam lingkungan yang sempit ataupun dalam lingkungan yang luas.

    D. Ushul al Fiqh

    Pengertian Ushul al Fiqh ialah

    Ushul adalah sumber atau dalilFiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara tentang amalan dan perbuatan,

    seperti hukum wajib, haram, mubah, makruh dan lain-lain. Hukum-hukum itu

    ada sumbernya atau dalilnya yaitu: Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.

    Oleh karena itu yang dimaksud dengan Ushul al Fiqh adalah ilmu yang

    membicarakan sumber-sumber hukum tersebut di atas dan bagaimana cara

    menunjukkan kepada suatu hukum dengan secara ijmal (garis besar) (A. Hanafi :

    12). Oleh karena itu Ushul al Fiqh tidak membicarakan dalil hukum tiap

    persoalan satu per satu, tetapi hanya membicarakan dalil-dalil hukum secara

    garis besar. Misalnya, di dalam Al-Quran terdapat perintah menunaikan zakat,

    perintah berbuat baik kepada orang lain, perintah menyampaikan amanat dan

    perintah-perintah lainnya.Ilmu Ushul Fiqh tidak mengatakan bahwa zakat itu hukumnya wajib.

    Yang menjadi perhatian Ilmu Ushul Fiqh adalah apabila kita menjumpai bentuk

    perintah dalam Al-Quran yang merupakan sumber utama dan pertama hukum

    syara itu harus kita artikan bagaimana. Para ulama setelah membahas perintah-

    perintah Al-Quran mengambil kesimpulan bahwa perintah-perintah itu pada

    umumnya menunjukkan hukum wajib. Akhirnya dibuat suatu kaidah ushul fiqh

    yang mengatakan pada dasarnya tiap-tiap perintah menunjukkan hukum wajib.

    Contoh lain misalnya Al-Quran melarang berjudi, melarang berbuat

    zina, melarang berbuat aniaya, dan lain-lain. Ilmu Ushul Fiqh membicarakan

    dan membahas bagaimana mengartikan larangan-larangan itu. Setelah diselidiki

    secara mendalam diperoleh kesimpulan bahwa pada dasarnya larangan-laranganitu menunjukkan hukum haram. Akhirnya dibuat suatu kaidah Ushul Fiqh yang

    mengatakan pada dasarnya tiap-tiap larangan menunjukkan hukum haram (A.

    Azhar Basyir, 1972 : 6).

    Mempelajari Ushul Fiqh mempunyai beberapa faedah yaitu:

    1. Dengan mempelajari Ushul Fiqh kita akan mengetahui dalil-dalil hukum

    syara dan cara mengambil ketentuan-ketentuan hukum dari padanya.

    Dengan demikian kita akan mampu melakukan sendiri mengambil

    kesimpulan-kesimpulan hukum syara dari sumber-sumber asli, Al-Quran

    dan Sunnah Rasul.

    2. Dengan mempelajari ushul fiqh kita dapat mengembalikan kesimpulan-

    kesimpulan hukum syara yang kita jumpai kepada sumber-sumber

    pengambilannya. Dengan demikian kita akan dapat mengamalkan hukum

    syara tidak hanya sebagai orang yang bertaqlid kepada orang lain tanpa

    mengetahui sumber pengambilannya.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    12/39

    12

    BAB III

    LAPANGAN-LAPANGAN HUKUM ISLAM

    A. Pembagian Lapangan Hukum Islam

    Fiqh Islam atau Hukum Islam merupakan kumpulan tata aturan yangmencakup semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia baik dalam

    hubungannya dengan Tuhan sebagai Khaliqnya, maupun yang menyangkut

    hubungan antar manusia di dalam lingkungan yang terbatas maupun dengan

    manusia di luar lingkungannya.

    Secara garis besar para fuqaha membagi lapangan hukum Islam menjadi

    dua, yaitu Ibadat dan Muamalat. Lapangan Ibadatadalah lapangan yang

    mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dengan tujuan untuk

    mendekatkan diri kepada Allah dan mendaptkan pahala di akherat. Lapangan

    Muamalatadalah lapangan yang mengatur hubungan antara manusia baik dalam

    golongannya maupun di luar golongannya, atau dengan kata lain Muamalat

    adalah bidang yang mengatur kepentingan-kepentingan duniawi.Dari dua bidang ini para fuqaha masih membagi-bagi lagi menjadi

    beberapa lapangan, dimana masing-masing tidak sama banyak dalam

    membaginya. Di bawah ini akan dikemukakan pembagian lapangan Hukum

    Islam oleh beberapa fuqaha.

    1. Ulama-ulama Syafiiyah membagi lapangan Hukum Islam menjadi empat

    bagian, yaitu: Ibadat, Muamalat, Munakahat dan Uqubatyaitu hal-hal yang

    berhubungan dengan pidana.

    2. Prof. M. Hasby Ash-Shiddieqy membagi lapangan Hukum Islam menjadi

    delapan bidang, yaitu:

    a. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang ibadat. Misalnya:

    shalat, puasa, zakat, haji, jihad, dan nazar.b. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan kekeluargaan, misalnya:

    perkawinan, wasiat, dan waris.

    c. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan muamalat madaniyah,

    misalnya: jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, gadai, dan lain

    sebagainya.

    d. Sekumpulan hukum yang mengenai harta peninggalan yaitu soal-soal yang

    menjadi urusan baitulmal, penghasilannya, macam-macam harta yang

    ditempatkan dalam baitulmal dan tempat-tempat pembelanjaannya.

    e. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang uqubat, yaitu hukum-

    hukum yang berhubungan dengan usaha memelihara keselamatan jiwa,

    kehormatan dan akal manusia. Dengan kata lain hukum-hukum yang

    berhubungan dengan pidana dan perbuatan pidana.

    f. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan hukum acara, yaitu hukum-

    hukum yang berhubungan dengan proses berperkara di Pengadilan.

    g. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum tata negara,

    misalnya: soal kepaala negara, hak-hak penguasa dan rakyat, badan

    permusyawaratan dan lain-lainnya.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    13/39

    13

    h. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum

    internasional, misalnya: hukum perang, perdamaian antar negara,

    perjanjian antar negara dan lain-lainnya.

    3. Para fuqaha masa kini membagi lapangan Hukum Islam selain bidang Ibadah

    menurut sistem pembagian hukum Barat. Dalam hal ini lapangan Hukum

    Islam dibagi dua bagian, yaitu:a. Hukum Privat (al Qanunul Khas), bidang ini meliputi:

    - Hukum Perdata (Muamalat)

    - Hukum Dagang (At Tijarah)

    - Hukum Acara (Al Murafaat)

    - Hukum Privat Internasional (Ad-Dauliyul Khas)

    b. Hukum Umum (Al Qanunul Aam) ini meliputi:

    - Hukum Pidana (Jinayat)

    - Hukum Ketatanegaraan, Administrasi dan Keuangan

    - Hukum Pidana Internasional

    Dengan melihat pembagian lapangan Hukum Islam menurut para fuqaha

    masa kini, maka sesuai dengan kepribadian Hukum Islam dan dapat mencakupseluruh bidang Hukum Islam, maka pembagian lapangan Hukum Islam penulis

    susun secara berturut-turut sebagai berikut:

    1. Ibadah

    2. Hukum Keluarga, meliputi:

    a. Perkawinan

    b. Waris

    c. Wasiat

    3. Muamalat, meliputi

    a. Hukum Perdata

    b. Hukum Dagang

    c. Hukum Acara4. Hukum Pidana (Jinayat)

    5. Siyasah Syariiyah, meliputi:

    a. Hukum Tata Negara

    b. Administrasi dan Keuangan

    6. Hukum Internasional, meliputi:

    a. Hukum Perdata Internasional

    b. Hukum Pidana Internasional

    B. Lapangan Ibadah

    Bidang Ibadah adalah kumpulan aturan yang mengatur hubungan

    manusia dan Tuhan. Hukum-hukum Ibadah bersumber pada Al-Quran dan

    Sunnah Rasul, yang pada dasarnya hukum-hukum ini mempunyai sifat yang

    kekal (qoti), tidak berubah-ubah sepanjang masa dan tidak terpengaruh oleh

    perkembangan zaman dan masyarakat dan tempat dimana hukum ini berlaku.

    Oleh karena itu pada umumnya hukum-hukum ibadah ini sudah diterangkan

    secara jelas dan terperinci.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    14/39

    14

    Karena sifatnya qoti maka mengubah dan menambah hukum-hukum

    Ibadah tidak dibolehkan. Mengubah atau menambah aturan-aturan ibadah yang

    tidak sesuai dengan tuntunan yang sudah diatur dalam Al-Quran atau Sunnah

    Rasul disebut bidah.

    Hal-hal yang dibicarakan dalam bidang Ibadah ini meliputi Thaharah,

    Shalat, Zakat, Haji, Jihad, Sumpah, Aqiqah, Makanan dan Minuman.

    C. Lapangan Muamalah

    Lapangan/bidang Muamalah adalah bidang yang terdiri atas kumpulan

    aturan yang mengatur hubungan manusia dan manusia dalam hidup

    bermasyarakat baik dalam lingkungan yang terbatas maupun lingkungan yang

    lebih luas. Dapat juga dikatakan bahwa bidang Muamalah adalah bidang

    hukum yang mengatur hubungan hubungan dan kepentingan manusia dalam

    hidup di dunia.

    Hukum-hukum Muamalah bersumber pada Al-Quran, Sunnah Rasul

    dan Ijtihad. Sifat Hukum Muamalah pada dasrnya sesuai dengan obyek yang

    diaturnya yaitu manusia dalam hidup bermasyarakat, maka hukum inimempunyai sifat yang memungkinkan untuk berkembang ataupun berubah

    (dhanni), seperti halnya masyarakat itu sendiri yang selalu berubah dan

    berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.

    Bidang Muamalah ini terbagi atas beberapa bidang hukum, yaitu:

    1. Hukum Keluarga

    2. Hukum Privat (Muamalah)

    3. Hukum Pidana (Jinayat)

    4. Hukum Tata Negara (Siyasah Syariyyah)

    5. Hukum Internasional.

    1. Hukum KeluargaHukum keluarga adalah kumpulan aturan-aturan yang mengatur

    hubungan hukum antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita

    sebagai isteri dan keluarganya. Hukum Keluarga ini terdiri atas beberapa bidang

    hukum, yaitu:

    a. Hukum Perkawinan (Munakahat)

    b. Hukum Waris (Faraid)

    c. Hukum Wasiat

    d. Hukum Wakaf

    Hukum waris erat kaitannya dengan hukum keluarga sebab pembagian

    warisan dalam Hukum Islam itu yang utama adalah berdasarkan pertalian

    keluarga baik karena hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan.

    Demikian juga mengenai hubungan wasiat dengan hukum keluarga juga sangat

    erat terutama hubungannya dengan hukum waris, sebab harta yang diwasiatkan

    untuk orang lain atau untuk keluarga diambilkan dari harta peninggalan pewaris.

    Mengenai hukum wakaf yang erat hubungannya dengan hukum keluarga

    adalah wakaf untuk keluarga/keturunan, sedangkan wakaf yang diperuntukkan

    bagi kepentingan umum masuk di dalam bidang ibadah.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    15/39

    15

    a. Hukum Perkawinan (Munakahat)

    Hal-hal yang diatur di dalam hukum perkawinan antara lain adalah

    mengenai:

    (1). Kedudukan hukum perkawinan di dalam agama Islam

    (2). Prinsip-prinsip perkawinan

    (3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan(4). Rukun dan syarat-syarat perkawinan

    (5). Larangan-larangan perkawinan

    (6). Hak-hak dan kewajiban suami isteri di dalam perkawinan

    (7). Putusnya perkawinan

    (1). Kedudukan Hukum Perkawinan di dalam Agama Islam

    Hukum perkawinan di dalam Agama Islam mempunyai

    kedudukan yang sangat penting, sebab perkawinan itu mempunyai arti

    penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu peraturan-peraturan

    tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci.

    Hukum perkawinan pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacarapelaksanaan perkawinan saja melainkan mengatur juga segala persoalan yang

    erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak dan kewajiban suami

    isteri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk

    memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya

    perkawinan dan lain-lain.

    Adapun arti pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia pada

    umumnya dan khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:

    (a). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan

    hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan

    wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia

    sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk Tuhanyang lain.

    (b). Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga

    dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai

    dan tenteram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami

    isteri.

    (c). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat diharapkan

    memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga

    kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat

    berlangsung terus secara jelas dan bersih.

    (d). Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang

    merupakan inti dari hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan

    timbulnya satu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam

    suasana damai.

    (e). Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang

    telah diatur di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul adalah merupakan

    salah satu ibadah bagi umat Islam (Sumiyati, 1982 : 4).

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    16/39

    16

    (2). Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam

    Di dalam Hukum Islam perkawinan mempunyai beberaapa asas

    dan prinsip, yaitu:

    (a). Pada dasarnya setiap perkawinan harus ada persetujuan secara suka rela

    dari pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan. Caranya ialah dengan

    diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah keduabelah pihak sudah setuju untuk melaksanakan perkawinan atau belum.

    (b). Pada dasrnya seorang pria tidak dapat mengawini setiap wanita, sebab

    ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita

    yang harus diindahkan.

    (c). Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-

    persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun

    yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

    (d). Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu

    keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-

    lamanya.

    (e). Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga,dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

    (3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan

    Perkawinan yang dalam istilah Agama Islam disebut Nikah,

    pengertiannya adalah melaksanakan suatu aqad atau perjanjian untuk

    mengikatkan diri antara seorang pria dan wanita untuk menghalalkan

    hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan

    keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup

    berkeluarga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan

    cara-cara yang diridhoi Allah (Ahmad Azhar Basyir, 1977: 10).

    Melihat rumusan perkawinan seperti tersebut di atas maka padadasarnya nikah itu merupakan suatuperjanjian perikatan antara seorang pria

    dan seorang wanita. Walaupun nikah ini merupakan salah satu bentuk

    perjanjian perikatan, namun perjanjian ini berbeda dengan perjanjian-

    perjanjian perdata yang lainnya, misalnya: jual beli, sewa menyewa, dan lain-

    lainnya.

    Beberapa hal yang merupakan ciri khusus dalam perjanjian

    perkawinan yang membedakan dengan perjanjian yang lainnya antara lain

    ialah:

    (a). Perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian suci untuk

    membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya.

    (b). Isi dari perjanjian perkawinan itu sudah ditentukan terlebih dahulu di

    dalam agama Islam, sehingga pihak-pihak yang melaksanakan

    perjanjian itu tidak dapat dengan bebas menentukan sendiri sesuai

    kehendaknya masing-masing.

    (c). Cara-cara pemutusan perjanjian perkawinan ini ketentuannya juga sudah

    ditentukan terlebih dahulu, sehingga para pihak tidak dapat menentukan

    sendiri secara bebas.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    17/39

    17

    Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam pada dasarnya dapat

    diperinci sebagai berikut:

    (a). Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita untuk

    memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.

    (b). Membentuk/mewujudkan satu keluarga yang damai, tenteram dan kekal

    dengan dasar cinta dan kasih sayang.(c). Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

    serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

    (4). Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan

    Perkawinan supaya sah hukumnya harus memenuhi beberapa

    persyaratan tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak

    melaksanakan perkawinan maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan

    perkawinan itu sendiri.

    Adapun persyaratan ini terdiri atas rukun dan syarat-syarat

    perkawinan. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat

    dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinanitu tidak dapat dilaksanakan.

    Yang termasuk rukun perkawinan ialah:

    (a). Pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan atau aqad nikah yaitu

    mempelai pria dan wanita.

    (b). Wali

    (c). Saksi

    (d). Akad nikah

    Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan ialah sesuatu

    yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari

    perkawinan. Kalau salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi

    maka perkawinan itu tidak sah. Misalnya, syarat-syarat yang harus dipenuhioleh masing-masing rukun perkawinan. Jadi supaya perkawinan itu dapat

    dilaksanakan dan sah hukumnya maka rukun perkawinan itu harus ada dan

    memenuhi syarat-syarat tertentu.

    Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh mengenai syarat-

    syarat perkawinan, misalnya:

    (a). Adanya unsur kesukarelaan dari pihak-pihak yang hendak melaksanakan

    perkawinan.

    (b). Untuk dapat menjadi wali syaratnya adalah muslim laki-laki, berakal

    sehat dan lain-lainnya.

    (c). Jumlah saksi dalam perkawinan paling sedikit dua orang laki-laki.

    (d). Adanya mahar dalam perkawinan.

    (e). Ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis, tidak boleh

    dibatasi waktunya dan lain-lainnya.

    (5). Larangan-larangan Perkawinan

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    18/39

    18

    Di dalam agama Islam ada ketentuan-ketentuan tentang larangan

    perkawinan bagi pria dan wanita. Ketentuan tentang larangan perkawinan

    ini ada yang sifatnya sementara dan ada yang sifatnya tetap.

    Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya tetap

    ialah bahwa seorang pria dilarang mengawini seorang wanita untuk selama-

    lamanya. Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah denganseorang wanita untuk selama-lamanya ialah:

    (a). Karena adanya hubungan darah, yaitu: ibu, nenek, saudara kandung,

    kemenakan dan bibi.

    (b). Karena hubungan susuan, yaitu: ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan,

    dan kemenakan susuan.

    (c). Karena hubungan semenda, yaitu: mertua, menantu, anak tiri dan ibu tiri.

    (d). Karena sumpah lian, yaitu suami isteri yang putus perkawinannya

    karena sumpah lian, kedua belah pihak dilarang menjadi suami isteri

    kembali untuk selama-lamanya.

    Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya

    sementara ialah bahwa seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanitapada saat ada halangan-halangan tertentu yang menyebabkan keduanya

    dilarang untuk menikah, tetapi apabila halangan-halangan ini hilang, maka

    keduanya dimungkinkan untuk menikah/boleh menikah.

    Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan

    seorang wanita yang sifatnya sementara antara lain ialah:

    (a). Mengumpulkan dua orang wanita yang masih bersaudara, baik saudara

    kandung, saudara seayah, atau saudara seibu maupun saudara sesusuan,

    kecuali secara bergantian, misalnya kawin dengan kakaknya kemudian

    dicerai/meninggal kemudian ganti mengawini adiknya.

    (b). Mengawini lebih dari empat orang wanita, kecuali salah satu dari yang

    empat itu sudah ditalak/dicerai atau meninggal dunia.(c). Mengawini wanita yang sedang menjalani masa iddah baik iddah

    karena kematian maupun karena talak kecuali masa iddahnya sudah

    habis (Sumiyati, 1982: 32 - 36).

    (6). Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan

    Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara suami isteri

    yang sudah barang tentu akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan

    kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.

    Yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik

    atau dapat dimiliki oleh suami atau isteri yang diperolehnya dari hasil

    perkawinannya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban ialah hal-hal

    yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami isteri

    untuk memenuhi hak dari pihak lain.

    Hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan itu ada hak

    dan kewajiban yang bersifat kebendaan dan ada hak dan kewajiban yang

    bersifat bukan kebendaan.

    Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan antara lain ialah:

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    19/39

    19

    (a). Suami wajib memberi mahar kepada isterinya.

    (b). Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yaitu segala kebutuhan

    isteri yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain

    kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Dan di samping itu suami

    wajib memberikan biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.

    (c). Isteri wajib mengatur dan mengelola rumah tangga dengan baik.(d). Isteri wajib mendidik dan mengurus anak-anaknya dengan sebaik-

    baiknya.

    Hak dan kewajiban suami isteri yang bersifat bukan kebendaan antara lain

    ialah:

    (a). Suami isteri harus saling menjaga pergaulan yang baik dalam rumah

    tangga termasuk saling menjaga rahasia masing-masing.

    (b). Suami isteri harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

    (c). Suami isteri harus menciptakan pergaulan dalam rumah tangga yang

    diliputi rasa saling cinta mencintai.

    (d). Suami isteri harus saling menciptakan pergaulan yang saling membela

    dan memerlukan di masa tua (Sumiyati, 1982 : 87 - 92).

    (7). Putusnya Perkawinan

    Walaupun melakukan perkawinan itu pada dasarnya dengan

    tujuan untuk selama-lamanya, namun adakalanya ada sebab-sebab tertentu

    yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Jadi harus

    diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, dengan

    kata lain terjadi perceraian antara suami isteri.

    Perceraian dalam istilah Fiqh disebut Talakatau Furqah. Yang

    dimaksud dengan talak ialah membuka ikatan atau membatalkan perjanjian.

    Sedangkan Furqah artinya adalah bercerai yaitu lawan kata dari berkumpul.

    Kemudian dua kata itu dipakai oleh ahli Fiqh sebagai satu istilahyang berarti perceraian antara suami isteri. Perkataan talak dalam istilah fiqh

    mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus.

    Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk

    perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,

    maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena

    meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.

    Talak menurut arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan

    oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk perceraian antara suami isteri itu

    ada yang disebabkan karena talak, maka untuk selanjutnya istilah talak di

    sini dimaksudkan sebagai talak dalam arti yang khusus.

    Di atas telah diterangkan bahwa tujuan melaksanakan perkawinan

    yang diperintahkan oleh agama Islam ialah perkawinan yang dimaksudkan

    untuk selama-lamanya atas dasar saling cinta mencintai antara suami isteri.

    Akan tetapi dalam melaksanakan kehidupan berumah tangga suami isteri

    tentu saja tidak selamanya berada dalam suasana yang damai dan tenteram,

    adakalanya terjadi salah paham antara suami isteri yang disebabkan oleh

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    20/39

    20

    beberapa hal, misalnya salah satu pihak melalaikan kewajiban, tidak percaya

    mempercayai satu sama lain, dan lain sebagainya.

    Dalam keadaan timbul ketegangan seperti ini kadang-kadang

    dapat diatasi sehingga antara kedua pihak menjadi baik kembali, tetapi ada

    kalanya kesalahpahaman ini menjadi berlarut sehingga antara suami isteri

    terus menerus terjadi pertengkaran. Apabila perkawinan yang demikian itudilanjutkan maka tujuan utama dari perkawinan tidak akan tercapai.

    Keadaan seperti ini dapat juga menyebabkan keretakan antara

    keluarga kedua belah pihak. Maka dari itu untuk menghindari hal-hal yang

    demikian tadi, maka agama Islam memberi jalan keluar yang terakhir bagi

    suami isteri yang telah gagal dalam membina rumah tangganya yaitu dengan

    perceraian.

    Meskipun agama Islam membolehkan perceraian tetapi bukan

    berarti bahwa agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu

    perkawinan. Perceraian walaupun dibolehkan tetapi agama Islam tetap

    memandang bahwa perceraian itu bertentangan dengan asas-asas Hukum

    Islam.Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda:

    Yang halal yang paling dibencioleh Allah ialah talak/perceraian

    (H.R. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim).

    Demikian juga bagi orang yang melakukan perceraian tanpa

    alasan, Rasulullah SAW bersabda:

    Apakah yang menyebabkan salah seorang dari kamu mempermainkan

    hukum Allah, ia mengatakan aku sesungguhnya telah mentalak isteriku

    dan aku sungguh telah merujuknya (H.R. An Nasai dan Ibnu Huban).

    Dengan melihat isi kedua hadis Nabi tersebut di atas dapat ditarik

    kesimpulan bahwa talak itu walaupun dibolehkan oleh agama, tetapi

    pelaksanaannya harus berdasarkan alasan yang kuat dan merupakan jalanyang terakhir yang ditempuh oleh suami isteri, apabila cara-cara yang lain

    yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan

    keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut.

    Perkawinan dapat putus karena beberapa sebab, yaitu antara lain

    ialah:

    (a). Talak, ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

    (b). Khuluk, ialah perceraian atas persetujuan suami isteri. Caranya yaitu

    suami menjatuhkan talak satu kepada isterinya namun dengan syarat

    isteri harus memberi tebusan harta atau uang kepada suaminya.

    Tebusan yang diberikan isteri kepada suaminya disebut iwald.

    (c). Syiqaq, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh hakam dari kedua belah

    pihak suami dan isteri karena antara suami dan isteri terus menerus

    terjadi pertengkaran yang harus diselesaikan supaya tidak berlarut-larut

    dan menambah penderitaan kedua belah pihak suami isteri tersebut.

    (d). Fasakh, ialah perkawinan yang diputuskan oleh Pengadilan Agama atas

    permintaan salah satu pihak. Biasanya yang menuntut fasakh di

    Pengadilan adalah isteri, sebab kalau suami yang menginginkan

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    21/39

    21

    perkawinannya putus, ia dapat langsung mengajukan permohonan ke

    Pengadilan untuk menjatuhkan talaknya pada isterinya (Sumiyati, 1982:

    103 - 113).

    b. Hukum Waris

    Di samping Hukum Perkawinan maka Hukum Waris merupakan bagiandari hukum keluarga yang memegang peranan penting bahkan menentukan dan

    mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu

    (Hazairin, 1964: 9).

    Hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

    manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan

    peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu

    peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat

    hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan

    kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.

    Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa

    hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris. Dengandemikian Hukum Waris dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan

    hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia

    oleh ahli waris atau badan hukum lainnya (M. Idris Romulyo, 1984: 1).

    Beberapa hal yang diatur dalam Hukum Waris antara lain ialah:

    (1). Kedudukan Hukum Waris di dalam Hukum Islam

    (2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam

    (3). Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam

    (4). Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan

    (5). Syarat-syarat dan rukun kewarisan

    (6). Penghalang-penghalang warisan

    (7). Golongan-golongan ahli waris

    (1). Kedudukan Hukum Waris Dalam Hukum Islam

    Hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam

    Hukum Islam sehingga ayat-ayat Al-Quran mengatur hukum waris dengan jelas

    dan terinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh

    setiap orang, di samping itu hukum waris langsung menyangkut harta benda

    yang apabila tidak diberikan ketentuan-ketentuan pasti amat mudah

    menimbulkan sengketa di antara ahli waris.

    Beberapa hadis nabi di bawah ini mengajarkan bahwa hukum waris

    mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Islam.

    (a). Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majjah dan Addaraquthni mengajarkan:

    Pelajarilah faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl

    adalah separuh ilmu yang mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang

    pertama kali hilang dari umatku.

    (b). Hadis Nabi Riwayat Ahmad bin Hambal, memerintahkan:

    Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku

    adalah manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang;

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    22/39

    22

    hampir-hampir dua orang bersengketa dalam faraidl dan masalahnya, maka

    mereka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaimana

    penyelesaiannya.

    Karena ada perintah khusus untuk mempelajari dan mengajarkan faraidl

    maka para ulama menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri

    sendiri yang disebut Ilmu Faraidl, ilmu tentang pembagian harta warisan(Ahmad Azhar Basyir, 1980: 7).

    (2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam

    Hukum Waris Islam bersumber kepada tiga sumber hukum, yaitu:

    (a). Al-Quran

    Ayat-ayat Al-Quran yang mengatur pembagian harta warisan terdapat

    dalam beberapa ayat di dalam Surat An Nisa, yaitu ayat 1, ayat 7 sampai

    dengan 13, ayat 176 dan Surat Al Anfal ayat 75.

    Ayat-ayat tersebut di atas mengatur antara lain:

    - Kuatnya hubungan kerabat karena pertalian darah.

    - Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas harta warisan orangtuanya.

    - Agar orang berhati-hati dalam memelihara harta warisan anak yatim.

    - Bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.

    - Menentukan tentang bagian-bagian tertentu kepada golongan ahli waris

    tertentu.

    (b). Hadis Nabi

    Meskipun Al-Quran mengatur secara terinci ketentuan-ketentuan tentang

    bagian ahli waris namun ada hal-hal yang belum diatur di dalam Al-Quran

    yang kemudian ketentuannya diatur di dalam Sunnah Nabi. Hal-hal yang

    tidak diatur di dalam Al-Quran antara lain, yaitu:

    - Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris, lebih berhak atas sisa harta warisan

    setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.

    - Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta warisan

    orang yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik

    Baitulmal.

    - Hadis riwayat Malik dan Ibnu Majjah mengajarkan bahwa pembunuh

    tidak berhak waris atas harta orang yang dibunuhnya.

    - Hadis riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak

    waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan

    tangisan kelahiran.

    (c). Ijtihad

    Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberikan ketentuan terinci

    tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam hal-hal yang tidak ada

    aturannya dalam kedua sumber hukum di atas perlu ditentukan aturannya

    dengan jalan ijtihad. Misalnya mengenai hal-hal sebagai berikut:

    - Aturan mengenai bagian warisan orang banci.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    23/39

    23

    - Aturan mengenai harta warisan yang tidak habis terbagi, kepada siapa

    sisanya harus dibagikan.

    - Aturan mengenai bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan

    suami atau isteri.

    (3). Prinsip-prinsip Hukum Waris IslamHukum waris Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat disimpulkan

    sebagai berikut:

    (a). Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan

    penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan

    jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki seperti yang berlaku pada

    sistem keapitalisme, dan melarang sama sekali pembagian harta

    peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui

    hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem

    warisan.

    (b). Warisan adalah ketetapan hukum, sehingga yang mewariskan tidak dapat

    menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli warisberhak atas harta warisan tanpa perlu membuat pernyataan menerima secara

    suka rela atau atas keputusan hakim. Tetapi tidak berarti bahwa dengan

    demikian ahli waris dibebani melunasi hutang-hutang si pewaris.

    (c). Warisan terbatas pada lingkungan keluarga karena hubungan perkawinan

    atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat

    hubungannya dengan si pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih jauh.

    (d). Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan

    kepada sebanyak mungkin ahli waris. Misalnya: ahli waris terdiri dari ayah,

    ibu, suami dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan.

    (e). Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan

    orang tuanya baik anak yang sudah besar maupun yang masih kecil, laki-laki ataupun wanita bahkan yang masih dalam kandungan berhak atas harta

    warisan orang tuanya. Tetapi perbedaan besar kecil bagian diadakan sejalan

    dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam

    keluarga.

    (f). Hukum waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli

    waris diselaraskan dengan kebutuhan dalam hidup sehari-hari, dan di

    samping itu juga ditentukan berdasarkan jauh dekatnya hubungan ahli waris

    dengan pewaris. Bagian tertentu dari harta warisan itu adalah: 2/3; 1/2; 1/3;

    1/4; 1/6; dan 1/8. Ketentuan tersebut termasuk hal yang sifatnya taabbudi

    yang wajib dilaksanakan oleh karena telah telah menjadi ketentuan Al-

    Quran (lihat S. An Nisa ayat 13). Adanya ketentuan-ketentuan ahli waris

    yang bersifat taabbudi itu merupakan salah satu ciri hukum waris Islam (A.

    Azhar Basyir, 1980: 11).

    (4). Hak-hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    24/39

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    25/39

    25

    3. Ahli waris karena hubungan Wala (karena pembebasan budak), yaitu

    seseorang yang telah membebaskan budak berhak terhadap

    peninggalan budak itu, dan sebaliknya orang yang membebaskan

    budak apabila tidak ada ahli waris yang lain (M. Idris Romulyo, 1984:

    38 - 40).

    (6). Penghalang-penghalang Warisan

    Ada beberapa macam penghalang seseorang menerima warisan, antara

    lain ialah:

    (a). Karena pembunuhan. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi yang

    mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak mewaris atas harta

    peninggalan orang yang dibunuhnya. Yang dimaksud dengan

    pembunuhan ialah pembunuhan dengan sengaja yang mengandung

    unsur pidana, bukan karena membela diri dan sebagainya. Demikian

    juga percobaan pembunuhan belum dipandang sebagai penghalang

    warisan.

    (b). Karena berlainan agama antara si pewaris dan ahli waris. Adapun alasanpenghalang ini adalah Hadis Nabi yang mengajarkan bahwa orang

    muslim tidak berhak waris atas orang kafir dan sebaliknya orang kafir

    tidak berhak waris atas harta orang muslim. Misalnya: antara suami

    yang beragama Islam dan isteri beragama Keristen, apabila suami

    menghendaki isterinya dapat menikmati harta peninggalannya dapat

    dilakukan dengan jalan wasiat.

    (7). Golongan Ahli Waris

    Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan bila ditinjau

    dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan.

    Dari segi jenis kelaminnya ahli waris dapat dibagi menjadi dua golonganyaitu ahli waris laki-laki dan ahli warisperempuan.

    Dari segi haknya atas harta warisan ahli waris dibagi menjadi tiga

    golongan, yaitu:

    (a). Ahli waris Dzawil-furudl, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian-bagian

    tertentu sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran atau Sunnah Rasul.

    Bagian-bagian tertentu itu ialah: 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.

    Bagian 2/3 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak dua orang saudara

    perempuan kandung atau seayah dan dua anak perempuan.

    Bagian 1/2 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak seorang anak

    perempuan, seorang saudara perempuan kandung atau seayah dan suami

    bila pewaris tidak meninggalkan anak yang berhak waris.

    Bagian 1/3 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak ibu apabila pewaris

    tidak meninggalkan anak atau lebih dari seorang saudara dan saudara-

    saudara seibu jika lebih dari seorang.

    Bagian 1/4 disebut dalam Al-Quran menjadi hak suami jika pewaris

    meninggalkan anak yang berhak waris dan isteri apabila pewaris tidak

    meninggalkan anak yang berhak waris.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    26/39

    26

    Bagian 1/6 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak ayah dan ibu jika

    pewaris meninggalkan anak yang berhak waris, juga ibu bila pewaris

    meninggalkan saudara lebih dari seorang dan seorang saudara ibu. Hadis

    Nabi menyebutkan juga bahwa bagian 1/6 menjadi hak cucu perempuan

    (dari anak laki-laki) bersama-sama dengan seorang anak perempuan ,

    saudara perempuan seayah bersama-sama dengan seorang saudaraperempuan kandung dan kakek apabila pewaris meninggalkan anak yang

    berhak waris.

    Bagian 1/8 disebutkan dalam Al-Quran menjadi hak isteri apabila

    pewaris meninggalkan anak yang berhak waris.

    Ahli waris Dzawil furudl itu ada 12 orang, yaitu: suami, isteri, ayah, ibu,

    anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki), saudara perempuan

    kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, kakek dan

    nenek.

    (b). Ahli waris Ashabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya tetapi

    akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil

    furudl, berhak atas sisanya jika bersisa dan apabila tidak ada sisa samasekali maka mereka tidak akan mendapat bagian apapun.

    Ahli waris ashabah ini ada tiga macam, yaitu:

    1. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah dengan sendirinya, tidak

    karena ditarik oleh waris ashabah lain atau tidak karena bersama-sama

    dengan waris lain, disebut ashabah binnafsi. Misalnya: anak laki-laki,

    cucu laki-laki (dari anak laki-laki), saudara laki-laki kandung atau seayah

    dan lain sebagainya.

    2. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena ditarik oleh waris

    ashabah lain, ini disebut ashabah bil ghairi. Misalnya: anak perempuan

    ditarik menjadi ashabah oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik

    menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dan lain sebagainya.3. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena bersama-sama dengan

    waris lain, ini disebut ashabah maal ghairi. Misalnya: saudara

    perempuan kandung atau seayah menjadi waris ashabah karena bersama-

    sama dengan anak perempuan.

    (c). Ahli waris Dzawil-arham, ialah ahli waris yang mempunyai hubungan

    famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil-furudl

    atau ashabah. Misalnya: cucu laki-laki dari anak perempuan, kemenakan

    laki-laki atau perempuan dari saudara perempuan, bibi, dan lain-lainnya (A.

    Azhar Basyir, 1981 : 24 - 27).

    c. Wasiat

    1. Pengertian Wasiat

    Kata wasiat berasal dari bahasa Arab washiyyah yang berarti pesan atau

    weling (jawa). Menurut istilah Fiqh Islam ada bermacam-macam pengertian

    yang diberikan. Di antara sekian banyak pengertian tentang wasiat maka yang

    amat sederhana dan tepat ialah yang dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-

    Undang Wasiat Mesir no. 71/1946, sebagai berikut:

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    27/39

    27

    Wasiat adalah tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang

    disandarkan kepada keadaan setelah meninggal.

    Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka dapat mencakup segala

    macam bentuk wasiat. Untuk memberi gambaran yang jelas mengenai bentuk-

    bentuk wasiat di bawah ini diberikan beberapa contoh, yaitu:

    (a). Wasiat yang memberikan sebagian harta peninggalan kepada orang tertentu,misalnya: seseorang berwasiat bila ia meninggal nanti sepeda miliknya

    harap diberikan kepada temannya yang bernama Ali.

    (b). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti sebagian dari harta

    peninggalannya supaya dibelikan tanah dan membangun sebuah gedung

    untuk balai pertemuan kampungnya. Wasiat seperti ini berbentuk

    memberikan sebagian harta peninggalannya bukan kepada seseorang

    tertentu, tetapi untuk kepentingan umum. Wasiat seperti ini dapat

    berkedudukan sebagai harta wakaf.

    (c). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti piutangnya pada seseorang

    tertentu supaya dibebaskan saja. Wasiat semacam ini berbentuk

    melepaskan hak untuk orang lain.(d). Seseorang berwasiat menunjuk seseorang yang dipercaya bertindak sebagai

    wali atas anak-anaknya dan harta warisan yang jatuh pada mereka sesudah

    ia meninggal nanti. Wasiat semacam ini berbentuk minta kepada seseorang

    untuk melakukan suatu perbuatan.

    2. Dasar-dasar Hukum Wasiat

    Hukum wasiat berdasarkan pada Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijtihad.

    (a). Al-Quran

    Ayat-ayat Al-Quran yang memberi ketentuan wasiat antara lain:

    (1). S. Al-Baqarah 180, yang mengajarkan bila seseorang mendekati ajalnya

    padahal ia memiliki harta banyak hendaklah ia berwasiat untuk ibu,bapak, dan kerabat-kerabatnya secara adil dan baik.

    (2). S. An Nisa 12, memberikan ketentuan bahwa bagian ahli waris dari

    harta warisan adalah setelah diambil untuk membayar hutang pewaris

    dan melaksanakan wasiatnya.

    (b). Sunnah Rasul

    Dari beberapa Sunnah Rasul dapat diperoleh beberapa ajaran tentang wasiat

    antara lain:

    (1). Hadis Nabi SAW riwayat Ad Daraquthni dari Muadz bin Jabal

    mengajarkan bahwa wasiat amat penting artinya bagi orang yang

    berwasiat karena akan menjadi tambahan amal kebajikannya di akhirat

    kelak.

    (2). Hadis Nabi riwayat Al Jamaah dari Saad ibn Abi Waqqash, yang

    mengajarkan bahwa berwasiat itu dibenarkan dan juga memberi

    ketentuan bahwa memberi wasiat yang menyangkut harta jangan

    melebihi sepertiga dari harta peninggalan. Atau dengan kata lain

    berwasiat itu maksimum sampai dengan sepertiga dari seluruh harta

    peninggalan.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    28/39

    28

    3. Hukum Wasiat

    Wasiat dapat dihukumkan: wajib, haram, makruh, dan mubah.

    (a). Wasiat wajib hukumnya dalam hal-hal yang menyangkut hak Allah seperti

    Zakat, Kifarat, Fidyah puasa dan lain-lainnya yang merupakan hutang yang

    wajib ditunaikan bagi Allah. Di samping itu juga dapat berupa hak-haksesama manusia yang tidak mungkin diketahui adanya bila tidak

    diwasiatkan seperti titipan barang, hutang-hutang, dan sebagainya. Bila

    seseorang tidak berwasiat dalam hal-hal tersebut hingga tidak terpenuhi

    oleh ahli waris dari harta peninggalannya, orang itu berdosa dan

    bertanggung jawab di hadapan Allah.

    (b). Wasiat sunnah hukumnya apabila ditujukan untuk amal kebajikan dan hanya

    mengharapkan keridlaan Allah semata-mata.

    (c). Wasiat haram hukumnya apabila mewasiatkan barang-barang yang dengan

    jelas diharamkan agama, seperti berwasiat harta benda untuk membangun

    tempat perjudian atau tempat-tempat maksiat yang lainnya.

    (d). Wasiat makruh hukumnya apabila seseorang berwasiat memberikansebagian hartanya kepada seseorang diluar ahli waris, sedangkan hartanya

    sedikit tetapi ahli warisnya banyak dan dalam keadaan kekurangan.

    (e). Wasiat mubah hukumnya apabila tidak terdapat hal-hal tersebut pada empat

    macam hukum wasiat terdahulu, serta yang diberi wasiat tidak

    memerlukannya karena sudah berkecukupan. Sehingga wasiat ini dilakukan

    hanya sebagai tanda persahabatan atau sebagai balas jasa tanpa disertai niat

    untuk beribadat kepada Allah dengan wasiatnya itu.

    4. Unsur-unsur Wasiat dan Persyaratannya

    Unsur-unsur yang terdapat dalam wasiat itu ada empat macam:

    (a). Orang yang berwasiat (mushi)(b). Orang yang menerima wasiat (mushalahu)

    (c). Sesuatu yang diwasiatkan (musha-bihi)

    (d). Sighat / ikrar

    (a). Syarat-syarat Mushi

    Untuk sahnya wasiat mushi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    (1). Dewasa / baligh

    (2). Berakal sehat

    (3). Atas kehendak sendiri secara bebas

    Berwasiat adalah tindakan tabarru (derma) dari harta bendanya, maka

    memerlukan pertimbangan akal yang baik, pertimbangan dipandang ada

    kalau mushi telah dewasa dan berakal sehat. Disamping itu karena

    berwasiat itu diperlukan adanya pertimbangan akal sehat, maka apabila

    mushi membuat wasiat di luar kehendaknya karena adanya unsur paksaan

    maka wasiat itu dianggap tidak sah.

    (b). Syarat-syarat Mushalahu

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    29/39

    29

    Mushalahu adalah orang yang dituju dalam suatu wasiat, supaya wasiat itu

    sah maka mushalahu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    (1). Harus dapat diketahui dengan jelas

    (2). Telah wujud ketika wasiat dinyatakan

    (3). Bukan tujuan kemaksiatan

    (4). Mushalahu tidak membunuh mushi.(c). Syarat-syarat Musha-bihi

    Supaya wasiat itu sah maka musha-bihi atau sesuatu yang diwasiatkan harus

    memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    (1). Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek

    perjanjian

    (2). Sudah wujud/ada bentuknya waktu wasiat dinyatakan

    (3). Milik mushi

    (4). Jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalan.

    (d). Sighat wasiat

    Untuk sahnya wasiat dapat dipakai segala cara yang memberi pengertian

    adanya wasiat. Jadi wasiat dapat diucapkan dengan lisan, dapat pulaberbentuk tulisan dan dapat berbentuk isyarat yang dapat dimengerti oleh

    orang yang tidak dapat berbicara atau menulis.

    Sighat wasiat hanya diperlukan pernyataan dari mushi saja (ijab) dan

    pada prinsipnya pernyataan menerima dari mushalahu (qabul) tidak

    diperlukan.

    Sighat wasiat dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu asalkan syarat-

    syarat itu tidak bertentangan dengan hukum wasiat, tidak merusak

    kemungkinan menikmati barang wasiat dan tidak bertentangan dengan

    ketentuan-ketentuan agama Islam pada umumnya.

    5. Batalnya WasiatWasiat dianggap batal apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:

    (a). Mushi menarik wasiatnya

    (b). Mushi kehilangan kecakapan melakukan tindakan hukum karena gila atau

    rusak akal

    (c). Mushi ketika meninggal mempunyai hutang yang menghabiskan harta

    peninggalannya

    (d). Musha-lahu meninggal sebelum mushi

    (e). Musha-lahu membunuh mushi

    (f). Musha-lahu menolak wasiat

    (g). Musha-bihi binasa

    (h). Musha-bihi diputuskan hakim menjadi hak orang lain

    (i). Musha-bihi mengalami perubahan bentuk

    (j). Habis waktu wasiatnya

    (A. Azhar Basyir, 1979: 30 - 45).

    d. Wakaf

    1. Pengertian Wakaf

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    30/39

    30

    Wakaf berasal dari kata Arab waqf yang artinya menahan. Menurut

    istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa

    mengalami musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta

    dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah SWT.

    2. Dasar-dasar Amalan WakafAmalan wakaf ini dasarnya ada dua macam, yaitu dasar umum dan dasar

    khusus.

    (a). Dasar Umum

    Yang menjadi dasar umum dari amalan wakaf ini adalah ayat-ayat Al-

    Quran yang memerintahkan agar orang berbuat kebaikan sebab amalan

    wakaf adalah termasuk salah satu macam berbuat kebaikan. Di antara ayat-

    ayat yang memerintahkan berbuat kebaikan itu antara lain:

    (1). Al-Quran S. Al Hajj 77 memerintahkan Berbuatlah kebaikan agar

    kamu bahagia.

    (2). Al-Quran S. Al-Baqarah 267 memerintahkan Belanjakanlah sebagian

    harta yang kamu peroleh dengan baik-baik.(3). Al-Quran S. Ali Imran 92 mengajarkan Sekali-kali kamu tidak akan

    memperoleh kebaikan hingga kamu belanjakan sebagian harta yang

    kamu senangi.

    (b). Dasar Khusus

    Dasar khusus amalan wakaf ialah Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim dari

    Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar

    datang menghadap Nabi untuk minta nasehat tentang penggunaan tanah

    yang diperolehnya di Khaibar. Kemudian Nabi memberikan nasehat

    sebagai berikut:

    Bila kamu mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.

    Nasehat itu kemudian diikuti oleh sahabat Umar yaitu tanahnyadisedekahkan dengan ketentuan:

    - tidak boleh dijual pokoknya

    - tidak boleh diwaris

    - tidak boleh dihibahkan

    - sedekahnya diperuntukkan bagi fakir miskin, sanak kerabat, untuk

    memerdekakan budak, sabilillah dan tamu

    - pengawas harta wakaf boleh menikmati hasilnya sekedarnya namun tidak

    boleh berlebih-lebihan.

    Dari hadis tentang wakaf Umar tersebut diperoleh ketentuan umum tentang

    wakaf yaitu:

    (1). Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain baik dengan

    jalan dijualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan.

    (2). Harta wakaf terlepas dari milik wakif (orang yang berwakaf).

    (3). Tujuan wakaf harus jelas dan termasuk amal kebaikan menurut ajaran

    Islam.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    31/39

    31

    (4). Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang mempunyai hak

    ikut menikmati harta wakaf sekedar yang diperlukan, tidak boleh

    berlebih-lebihan.

    (5). Harta wakaf dapat berupa benda-benda tidak bergerak, misalnya tanah,

    gedung dan sebagainya, yang dapat tahan lama dan tidak musnah

    seketika setelah dipergunakan.(6). Harta wakaf berlaku untuk selama-lamanya.

    3. Unsur-unsur Wakaf dan Persyaratannya

    Unsur-unsur (rukun) wakaf itu ada empat macam, yaitu:

    (a). Orang yang berwakaf (Wakif)

    (b). Harta yang diwakafkan (Maukuf)

    (c). Tujuan wakaf (Maukuf alaih)

    (d). Pernyataan wakaf (Sighat)

    (a). Syarat-syarat orang yang berwakaf (wakif)

    Untuk sahnya wakaf, maka orang yang berwakaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    (1). Mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu mempunyai

    pertimbangan akal yang sempurna bagi orang yang telah baligh

    (dewasa). Jadi dengan kata lain orang itu sudah dewasa dari segi umur

    dan mempunyai kecakapan bertindak.

    (2). Berakal sehat.

    (3). Tidak terpaksa.

    (b). Syarat-syarat harta wakaf

    Wakaf dipandang sah apabila harta wakaf (maukuf) memenuhi syarat-syarat

    sebagai berikut:

    (1). Harta wakaf merupakan harta yang bernilai.(2). Harta wakaf milik wakif.

    (3). Harta itu tahan lama dalam penggunaannya.

    Selain tanah atau gedung maka harta wakaf dapat pula berupa modal uang

    yang diperdagangkan atau berupa saham pada perusahaan dagang dan

    sebagainya.

    (c). Syarat-syarat tujuan wakaf

    Sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yaitu

    merupakan salah satu amalan sadaqah, maka tujuan wakaf harus memenuhi

    syarat-syarat sebagai berikut:

    (1). Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.

    (2). Tujuan wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori

    ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal yang

    mubah menurut ajaran Islam.

    (3). Tujuan wakaf harus jelas, baik yang ditijukan kepada kelompok orang-

    orang tertentu atau badan-badan tertentu.

    (d). Syarat-syarat Sighat Wakaf

    Sighat wakaf atau pernyataan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan:

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    32/39

    32

    (1). Dengan lisan atau tulisan, hal ini dapat dinyatakan kepada siapapun

    juga

    (2). Dengan isyarat, hal ini hanya ditujukan kepada orang yang tidak mampu

    menggunakan cara lisan atau tulisan.

    4. Macam-macam WakafWakaf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

    (a). WakafAhli atau wakaf keluarga atau dapat juga dikatakan sebagai wakaf

    khusus, ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seorang

    atau lebih, baik masih keluarga atau orang lain. Wakaf khusus ini

    dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka

    yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Sebagai contoh wakaf ahli ini

    misalnya: seseorang mewakafkan buku-bukunya untuk anak-anaknya

    yang mampu menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucunya

    dan seterusnya.

    (b). Wakaf Khairi (umum), ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk

    kepentingan umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu.Wakaf khairi inilah yang pada dasarnya sejalan dengan jiwa amalan

    wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa

    pahalanya akan terus mengalir sekalipun wakif telah meninggal dunia

    selagi harta wakaf itu masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf

    khairi inilah yang hasilnya benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat

    secara luas dan merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan

    kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi,

    pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.

    2. Hukum Prifat (Muammalat)

    Yang dimaksud dengan hukum prifat disini ialah apa yang disebut olehfuqaha dengan nama Fiqh Muammalatdalam artinya yang khusus, yaitu

    menyangkut hukum benda (kebendaan).

    Hal-hal yang dibicarakan dalam fiqh muammalat dalam arti yang khusus

    ini hanyalah mengenai hak-hak manusia dalam hubungannya dengan manusia

    lain, misalnya: hak penjual untuk menerima uang penjualan dan hak pembeli

    untuk menerima barang yang dibelinya, hak penyewa untuk menempati rumah

    yang disewanya dan hak pemilik rumah sewa untuk mendapatkan uang sewa dari

    penyewa, dan lain sebagainya.

    Para ahli fiqih pada umumnya tidak memisahkan pembicaraan antara

    asas-asas muammalat di satu pihak dengan hukum muammalat di lain pihak,

    sehingga semua persoalan dari kedua bidang tersebut dibicarakan bersama dalam

    bab muammalat.

    Kalau dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

    maka para ahli fiqih hanya membicarakan satu bidang saja yaitu bidang/bab

    perikatannya saja, tetapi tidak membicarakan secara khusus mengenai hukum

    kebendaan.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    33/39

    33

    Apabila dilihat secara keseluruhan dan juga untuk bahan perbandingan

    dengan hukum perdata barat maka bidang muammalat ini dapat dibagi menjadi

    empat bagian, yaitu:

    a. Asas-asas hukum muammalat

    b. Hukum Perdata

    c. Hukum Dagangd. Hukum Acara Perdata

    a. Asas-asas Muammalat

    Disini akan dikemukakan secara garis besar hal-hal apa yang dibicarakan

    di dalam asas-asas muammalat yaitu antara lain:

    (1). Teori-teori tentang hak milik, cara-cara untuk memperoleh hak milik dan

    macam-macam hak milik.

    (2). Perikatan (perjanjian), pembentukan perikatan, akibat-akibat adanya

    perikatan, hapusnya perikatan dan macam-macam perikatan.

    (3). Kecakapan bertindak, pengertian dan tingkat-tingkat kecakapan, halangan-

    halangan kecakapan dan pengampuan.(4). Hak dan kewajiban: sumber-sumber hak, macam-macam hak, misalnya hak

    kebendaan, hak milik, hak gadai, hak guna pakai dan lain sebagainya.

    (5). Tanggungan, sumber-sumber tanggungan, obyek tanggungan dan syarat-

    syarat adanya tanggungan.

    (6). Badan-badan hukum dalam fiqh dan segi-segi perbedaannya dengan

    manusia.

    b. Hukum Perdata

    Yang dibicarakan dalam bidang hukum perdata terutama mengenai

    bentuk-bentuk perikatan tertentu yaitu antara lain:

    (1). Jual beli, gadai/hipotik(2). Jaminan hutang (Al-Kafalah)

    (3). Pemindahan hutang (Hiwalah)

    (4). Kepailitan (At-Taflis)

    (5). Perseroan dagang (As-Syarikah)

    (6). Sewa menyewa (Al-Ijar)

    (7). Penggarapan tanah (Al-Muzaraah)

    (8). Pembagian milik bersama (Al-Qismah)

    (9). Dan lain-lainnya.

    c. Hukum Dagang

    Walaupun sudah sejak jaman dulu orang-orang Islam terutama orang-

    orang Arab terkenal sebagai pedagang yang telah mengadakan hubungan dagang

    dengan berbagai bangsa di dunia ini, dari Afrika, Eropa, sampai ke India, Cina,

    namun dalam kenyataannya orang Islam belum mempunyai peraturan-peraturan

    yang mengatur tentang perdagangan dan seluk beluknya yang terpisah atau

    berdiri sendiri. Tetapi peraturan-peraturan mengenai hukum dagang ini secara

    garis besar masih diatur di dalam hukum perdata.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    34/39

    34

    Salah satu bentuk perikatan dagang yang dibicarakan secara tersendiri

    yaitu perserikatan dagang yang disebut Mudharabah atau Qirald. Mudharabah

    ialah suatu perjanjian dagang bersama dimana modal ditanggung oleh seseorang

    sedang pihak yang satunya mempunyai tugas menjalankan modal itu untuk

    berdagang kemudian keuntungannya dibagi antara kedua orang tersebut menurut

    perjanjian yang telah ditentukan bersama.Mengenai pembukuan yang dapat dipakai sebagai alat bukti tertulis juga

    tidak dibicarakan oleh para fuqaha. Hal ini mungkin disebabkan karena alat

    bukti yang memegang peranan penting dalam hukum Islam hanyalah keterangan-

    keterangan saksi.

    d. Hukum Acara Perdata

    Hal-hal yang dibicarakan dalam hukum acara perdata secara garis besar

    terbagi atas tiga bidang, yaitu: Peradilan (Al-Qadli), Gugatan (Ad-Dawa), dan

    Persaksian (As-Syahadah). Dari ketiga bidang ini dirinci sebagai berikut:

    (1). Syarat-syarat seorang hakim

    (2). Cara memeriksa perkara(3). Gugatan, obyek gugatan dan cara mengajukan gugatan

    (4). Penggugat dan tergugat

    (5). Alat-alat pembuktian, bukti tertulis, saksi, pengakuan, sumpah, dan lain-lain

    (6). Pelaksanaan keputusan hakim.

    3. Hukum Pidana Islam (Al-Jinayah)

    a. Pengertian Jinayat dan Jarimah

    Hukum Pidana Islam dalam Fiqh Islam disebut dengan istilah Al-

    Jinaayat, yang artinya adalah perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran.Semua perbuatan dosa, kejahatan dan pelanggaran adalah perbuatan yang

    termasuk dalam perbuatan pidana (jarimah). Dengan demikian maka Al-

    Jinaayat atau Hukum Pidana Islam adalah bidang hukum yang membicarakan

    macam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya.

    Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkaam As-Sulthaaniyah memberikan

    definisi Jarimah sebagai berikut:

    Jarimah adalah larangan-larangan Syara yang diancam dengan hukuman Hadd

    atau Tazir.

    Hukuman Haddadalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya

    dalam nash Al-Quran dan Sunnah Rasul.

    Hukuman Taziradalah hukuman yang ketentuannya tidak dipastikan

    dalam nash Al-Quran dan Sunnah Rasul tetapi ketentuannya menjadi wewenang

    penguasa.

    Larangan-larangan Syara yang disebut jarimah itu dapat berupa

    pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, misalnya: melanggar larangan

    zina, minum-minuman keras dan dapat juga berupa meninggalkan hal-hal yang

    diperintahkan, misalnya: mengabaikan kewajiban zakat.

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    35/39

    35

    Perbuatan-perbuatan yang jika dikerjakan atau ditinggalkan dipandang

    sebagai jarimah ialah perbuatan yang mempunyai akaibat merugikan

    perseorangan atau masyarakat dalam aqidah, harta benda, harga diri,

    ketenteraman jiwa dan sebagainya yang berhak memperoleh perlindungan (A.

    Azhar Basyir, 1982: 1).

    b. Unsur-unsur Jarimah dan Macam-macam Jarimah

    (1). Unsur-unsur Jarimah

    Sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-

    unsur sebagai berikut:

    (a). Unsur formal, yaitu adanya nash atau dasar hukum yang menunjuknya

    sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan

    bahwa jarimah dianggap tidak ada sebelum dinyatakan dalam nash.

    Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur formal adalah firman

    Allah dalam Kitab Suci Al-Quran S. Al-Isra 15 yang mengajarkan

    bahwa Allah tidak akan menyiksa hambanya sebelum mengutus

    utusannya. Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akandijatuhkan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah.

    Untuk dinilai bahwa seseorang telah membangkang ajaran Rasul Allah

    harus terlebih dahulu diketahui adanya ajaran Rasul Allah yang

    dituangkan dalam nash.

    (b). Unsur material, yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-

    benar telah dilakukan. Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur

    material ialah Hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah

    yang mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat

    Nabi Muhammad atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati selagi

    ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata.

    (c). Unsur moral, yaitu adanya niat atau kesengajaan pelaku untuk berbuatjarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab yang hanya dikenakan

    terhadap orang yang telah dewasa/baligh, sehat akalnya dan tidak

    terpaksa dalam melakukannya. Dengan kata lain unsur moral ini

    berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan

    terhadap orang mukallaf yang bebas dari paksaan. Unsur ini

    didasarkan kepada Hadis Nabi riwayat Ibnu Majjah dan Abu Dzarr

    yang mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman terhadap umat

    Nabi Muhammad karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan (A.

    Azhar Basyir, 1981: 4).

    (2). Macam-macam Jarimah

    Dilihat dari berat ringannya macam hukuman yang diancamkan, Hukum

    Pidana Islam mengenal empat macam Jarimah, yaitu:

    (a).Jarimah Qishash, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishash

    yaitu hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang

    termasuk jarimah ini ialah:

    1. Pembunuhan dengan sengaja, ini ancaman hukumannya adalah

    pidana mati

  • 8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM

    36/39

    36

    2. Penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotong atau

    terlukanya anggota badan, ini ancaman hukumannya adalah sama

    yaitu dipotong atau dilukai anggota badannya.

    (b). Jarimah Diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman diyat,

    yaitu hukuman ganti rugi atas penderitaan yang dialami si kurban atau

    keluarganya. Yang termasuk jarimah ini adalah:1. Pembunuhan tidak sengaja (pembunuhan karena alpa), hukuman dari

    jarimah ini adalah membayar diyat/ganti rugi. Dan ganti rugi ini

    dapat berupa:

    - Kifarat/pembebasan hamba sahaya yang beriman

    - pembayaran ganti rugi kepada keluarganya