Distribusi Responden Bukan Penderita Penyakit Diabetes Mellitus
POKOKHUKUMISLAM
-
Upload
diah-gembul -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of POKOKHUKUMISLAM
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
1/39
2009
hukum
bdurrahman Service
Dept.
[POKOK-POKOK HUKUM
ISLAM]Tulisan ini membicarakan tentang pokok-pokok di dalam hukum Islam.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
2/39
2
POKOK-POKOK HUKUM ISLAM
BAB I
AGAMA ISLAM DAN ASPEK-ASPEK YANG TERKANDUNG
DI DALAMNYA
A. Pengertian Agama Islam
Untuk dapat mempelajari Hukum Islam dengan baik terlebih dahulu
harus mempelajari tentang agama Islam. Hal ini disebabkan hubungan antara
Hukum Islam/Fiqh Islam di satu pihak dengan Agama Islam di lain pihak adalah
sangat erat, dan satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Tanpa
mempelajari kaaidah-kaidah agama Islam terlebih dahulu akan sulit untuk
mempelajari Hukum Islam, sebab setiap kaidah Hukum Islam tidak terlepas dari
agama Islam. Agama Islam adalah induk atau asal dari hukum Islam, sehingga
hukum Islam adalah bagian dari agama Islam (M.D. Ali, 1996: 27).
Pengertian dari agama Islam adalah agama yang disampaikan oleh para
nabi berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyuAllah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang terakhir.
Islam sebagai agama adalah nama resmi yang diberikan oleh Allah
sendiri dan bukan nama yang diciptakan oleh para pemeluk agama itu. Hal ini
dapat dibuktikan dalam Firman-firman Allah yang tercantum di dalam Kitab
Suci Al-Quran antara lain yaitu:
1. Firman Allah:
...... Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi
agamamu .......
(Q.S. Al-Maidah : 3).
2. Firman Allah:Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam .......
(Q.S. Ali Imran : 19).
Dengan memahami isi dari dua ayat di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Islam adalah nama resmi dari Allah terhadap agama yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada nama lain yang
dikenal/dipahami untuk memberi nama agama yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW itu.
Di dunia Barat terutama di Negeri Belanda agama Islam terkenal dengan
nama Muhammedanisme. Istilah ini pada dasarnya adalah tidak benar, karena
dengan memberikan nama Muhammedanisme seolah-olah menganggap bahwa
Agama Islam adalah ajaran pribadi dari Nabi Muhammad SAW untuk diajarkan
kepada seluruh umat manusia. Jadi apa yang diajarkan atau diucapkan dan yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW itu bukan ciptaannya sendiri melainkan
semuanya berdasarkan perintah dari Allah SWT (Drs. Subardi : 67).
Dan disamping itu di dalam agama Islam dilarang memuja dan
menghormati ataupun mengagungkan manusia walaupun itu Nabi Muhammad
sendiri sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pendewaan manusia atau
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
3/39
3
menganggap manusia seperti Tuhan. Oleh karena itu istilah Muhammedanisme
tidak dikenal oleh umat Islam.
B. Arti Kata Islam
Islam dalam bahasa Arab adalah sebagai kata benda jenis mashdar yaitu
kata benda berasal dari kata kerja. Kata kerja asalnya ialah:1. Aslama
2. Salima
3. Salama.
Aslama itu berarti berserah diri kepada Allah (Q.S. Al-Baqarah : 20),
artinya manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya harus mengakui
kelemahannya dan mengakui kemutlakan kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun
tingginya kemampuan akal pikiran manusia yang berujud menghasilkan
berbagai-bagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan tetapi semuanya itu kalau
dibandingkan dengan kekuasaan Allah tidak ada artinya.
Hasil potensi manusia yang berujud ilmu pengetahuan misalnya hanya
terbatas pada menganalisa dan menyusun bahan-bahan alamiah yang telah adauntuk dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tidak berarti
menciptakan dan tidak ada seperti halnya dengan kekuasaan Tuhan.
Demikian juga terhadap dirinya sendiri pun manusia tidak dapat berkuasa
mutlak, walaupun sudah banyak hartanya, sudah tinggi ilmunya, manusia tidak
dapat menghindarkan diri dari sakit, kecewa, sedih, dan akhirnya mati. Maka
sebagai orang Islam yang beriman dan mengakui akan kemutlakan kekuasaan
Tuhan hanya dapat berusaha secara optimal kemudian disertai dengan berdoa
kepada Tuhan, supaya keinginannya dapat tercapai sesuai dengan yang
direncanakannya.
Salima berarti menyelamatkan, menentramkan atau mengamankan.
Karena salima sebagai kata kerja transitif maka memerlukan obyek, sehinggakata salima berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan orang
lain. Jadi sebagai orang Islam maka mereka baik dari ucapan-ucapan maupun
tindakannya dituntut senantiasa dapat menimbulkan rasa aman, selamat dan
tenteram bagi orang lain.
Salama berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan.
Karena salama sebagai kata kerja intransitif, maka tidak memerlukan obyek luar,
obyeknya adalah diri sendiri atau batin manusia itu sendiri. Dengan kata lain,
sebagai orang Islam di dalam hidupnya harus selalu merasa tenteram, aman dan
selamat tidak mudah putus asa dan frustasi apabila menghadapi cobaan-cobaan
dan kesusahan dalam kehidupannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama lahir
maupun batin, bagi para pemeluknya harus dapat memenuhi ketiga aspek
tersebut di atas yaitu:
pertama, dalam hubungannya vertikal dengan Tuhan manusia hanya bisa
berserah diri dan patuh sepenuhnya kepada Tuhan.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
4/39
4
kedua, dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sesama umat Islam
menghendaki adanya hubungan saling menyelamatkan, menenteramkan dan
mengamankan.
ketiga, dalam hubungannya dengan diri pribadi, Islam dapat menimbulkan
kedamaian, ketenangan batin, kemantapan rohani dan mental.
Orang yang memeluk agama Islam secara umum disebutMuslim.
C. Aspek-aspek Ajaran Islam
Agama Islam itu mengandung beberapa unsur/aspek di dalamnya, namun
sebagai suatu agama aspek-aspek itu tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan
yang lainnya. Jadi harus merupakan satu kesatuan dan kebulatan.
Namun untuk memudahkan mempelajari masing-masing aspek yang
terkandung di dalam agama Islam, maka aspek yang satu dengan yang lainnya
dapat dipisahkan. Dan pada dasarnya Agama Islam terbagi atas tiga aspek,
yaitu:
1. Bagian yang bertalian dengan aqidah/keimanan. Bagian ini termasuk dalam
Ilmu Kalam.2. Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini
termasuk dalam Ilmu Akhlak.
3. Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk
dalam Ilmu Fiqh (Khozin Siraj : 2).
D. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Dasar dan kerangka hukum Islam ditetapkan oleh Allah. Hukum
ini mengatur berbagai hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alamsekitarnya (Mohammad Daud Ali, 1996: 39).
Hukum Islam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau
akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam;
3. Mempunyai dua istilah kunci yakni: a. syariat, dan b. fikih
Syariat terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan
fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariah;
4. Terdiri dari dua bidang utama yakni: a. ibadat, dan b. muamalat
Ibadat bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalat dalam arti yang
luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi
syarat dari masa ke masa;
5. Strukturnya berlapis, terdiri dari:
a. nas atau teks Al-Quran
b. sunnah Nabi Muhammad (untuk syariat)
c. hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al-Quran dan as-
Sunnah
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
5/39
5
d. pelaksanaannya dalam praktek, baik (i) berupa keputusan hakim, maupun
(ii) berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fikih);
6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala;
7. Dapat dibagi menjadi:
a. hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsah yaitu lima
kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukumyakni jaiz, sunnat, makruh, wajib, dan haram.
b. hukum wadhi yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau
terwujudnya hubungan hukum (M.D. Ali, 1996: 52-53).
Selain ciri-ciri di atas, menurut T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy dalam
bukunya Falsafah Hukum Islam (1975: 156 - 212) sebagaimana dikutip oleh
Mohammad Daud Ali (1996: 53), hukum Islam juga mempunyai ciri-ciri khas
sebagai berikut:
8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka
berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu
masa saja;
9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara
keseluruhan;
10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam.
Adapun yang menjadi tujuan Hukum Islam secara umum sering
dirumuskan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di
akhirat kelak dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah
atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya
untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di
akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam,yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta.
Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-
khamsah atau al-maqasid al-shariah (tujuan-tujuan hukum Islam) (M.D. Ali,
1996: 53-54).
BAB II
SYARIAH DAN FIQH
A. Pengertian Syariah dan Fiqh
Pada mulanya para ahli berpendapat bahwa pengertian Syariah dan Fiqh
itu adalah sama yaitu paham tentang ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan.
Pendapat ini dalam perkembangannya kemudian mengalami perubahan, yaitu
mereka memberikan pengertian yang berbeda antara Syariah dan Fiqh. Untuk
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
6/39
6
lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan pengertian masing-masing dari
Syariah dan Fiqh.
Syariah menurut istilah adalah hukum-hukum yang telah digariskan oleh
Allah kepada para hambanya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal
yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut arti istilah ini,
syariah terbagi atas tiga bagian, yaitu:- Bagian yang bertalian dengan aqidah. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Kalam.
- Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini
termasuk dalam Ilmu Akhlak.
- Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk dalam
Fiqh/Hukum Islam (Khozin Siraj : 2).
Fiqh menurut para Fuqaha, pengertiannya adalah Ilmu tentang hukum-
hukum Syariah yang berkenaan dengan perbuatan dan amalan manusia dan
didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci.
Di samping pengertian seperti yang tersebut di atas ada beberapa ulama
yang memberi pengertian Fiqh dilihat dari mana Fiqh ini berasal. Kalau dilihat
dari asalnya, maka pengertian Fiqh ialah:- Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Al Muqaddamah Al Mubtada wal
Khabar, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum
Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang wajib, haram,
makruh atau yang mubah yang diperoleh dengan jalan ijtihad dari Al-Quran
maupun dari Sunnah Nabi.
- Menurut Al Jalalul Mahalli, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang
menerangkan segala hukum Syara yang berhubungan dengan amalan dan
perbuatan manusia yang dengan jelas telah diatur dalam Al-Quran maupun
Sunnah Nabi.
- Menurut Abdus Salam Al Qabani, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum mengenai amalan dan perbuatan manusia baikyang sudah jelas diatur dalam Al-Quran maupun Sunnah Nabi, dan hukum-
hukum yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
Dari ketiga pendapat tersebut di atas yang berbeda satu dengan yang
lainnya, Prof. Hasby Ash Shiddieqy mengemukakan pendapat yang merupakan
jalan tengah dari ketiga pendapat di atas, yaitu Fiqh apabila ditinjau dari asalnya
dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama, Fiqh yang sudah jelas dan tegas
telah diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi disebut Fiqh Nabawy. Kedua,
Fiqh yang diperoleh/dihasilkan dengan jalan ijtihad disebut Fiqh Ijtihadi.
Menurut Mohammad Daud Ali, yang dimaksud dengan syariah dalam
pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh (oleh setiap umat
Islam). Sedangkan syariah dalam arti teknis adalah seperangkat norma Ilahi
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan
manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hubungan itu berupa (a)
kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut juga kaidah ibadah murni
yang mengatur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Tuhan, dan
(b) kaidah muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
7/39
7
dan benda dalam masyarakat. Kaidah ibadah yakni norma yang mengatur cara
dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan tidak boleh
ditambah-tambah atau dikurangi, sedangkan kaidah muamalah hanya pokok-
pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad
sehingga perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad (berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruhkemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan kaidahnya menurut
ruang ruang dan waktu. Adapun Fiqh (fikih) adalah ilmu yang khusus
memahami, mendalami syariah untuk dapat dirumuskan menjadi kaidah konkrit
yang dapat dilaksanakan dalam masyarakat. Karena syariah itu dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni ilmu syariah ibadah dan syariah
muamalah, maka ilmu fikih yang mempelajari dan mendalaminya pun dapat
dibagi dua pula yakni ilmu fikih ibadah dan ilmu fikih muamalah. Dan sebagai
hasil pemikiran manusia, hasil pemahaman tentang syariah yang disebut fikih
atau hukum fikih itu dapat berbeda di suatu tempat dengan di tempat yang lain.
Perbedaan tersebut menimbulkan berbagai aliran pula baik di kalangan Ahlus
sunnah wal jamaah (Sunni) maupun di kalangan Syiah (M.D. Ali, 1996: 30-34)
Dengan melihat uraian mengenai pengertian Syariah dan Fiqh di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Syariah adalah lebih
luas/umum dari pada Fiqh dan Fiqh hanyalah bagian dari Syariah. Antara
syariah dan fiqh mempunyai hubungan yang erat, karena syariah adalah
landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syariat. Perkataan syariah dan
fikih kedua-duanya terdapat di dalam al-Quran, syariah dalam surat al-Jatsiah
(45): 18, dan fikih dalam surat at-Taubah (9): 122 (M.D. Ali, 1996: 45).
Perbedaan pokok antara syariah dan fikih adalah sebagai berikut:
1. Syariat terdapat di dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadis, sedangkan Fikih
terdapat dalam kitab-kitab fikih.2. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
karena di dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak;
sedangkan Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum
yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan
hukum.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku
abadi; sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat
berubah dari masa ke masa.
4. Syariat hanya satu; sedangkan fikih mungkin lebih dari satu seperti
(misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah
mazahib atau madzhab-madzhab.
5. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan
keragamannya (Asaf A.A. Fyzee, 1955: 17, H.M. Rasjidi, 1958: 403, Ahmad
Ibrahim, 1965: 2, M. Khalid Masud, 1977: 22, S.H. Nasr, 1981: 60, Masjfuk
Zuhdi, 1987: 1 sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali, 1996: 45-
46).
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
8/39
8
B. Nilai Hukum di Dalam Fiqh
Menurut ajaran Islam semua tindakan manusia baik yang berupa
perkataan maupun perbuatan mempunyai ketentuan hukum. Ketentuan hukum
inilah yang disebut dengan nilai hukum di dalam Fiqh/Hukum Islam.
Di dalam Fiqh dikenal lima macam nilai hukum yang disebut Al-
Ahkamal-Khamsah, yaitu:1. Wajib/Fardh (perintah mutlak)
2. Sunnah/Mandub (perintah tak mutlak)
3. Haram (larangan mutlak)
4. Makruh (larangan tak mutlak)
5. Mubah/Jaiz
B.1. Wajib/Fardh
Yang dimaksud wajib/fardh ialah suatu perintah yang harus dilaksanakan
oleh setiap orang Islam. Perbuatan ini apabila dilakukan diberi pahala dan
apabila ditinggalkan berdosa dan akan mendapat siksa. Wajib ini ada
bermacam-macam, yaitu:a. Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya, wajib dibagi dua, yaitu:
- Wajib yang Mutlak , yaitu perintah yang tidak ditentukan waktu tertentu
untuk melaksanakannya. Oleh karena itu untuk melaksanakannya dapat
dilakukan kapan saja. Misalnya ibadah haji, adalah diwajibkan atas orang
Islam yang telah dewasa dan mampu sekali seumur hidup untuk
melaksanakannya tidak ditentukan waktunya/tahunnya.
- Wajib yang Muaqqat, yaitu yang ditentukan waktu untuk melaksanakannya.
Oleh karena itu orang tidak bebas melaksanakannya di luar waktu yang
telah ditentukan. Misalnya Puasa Ramadhan yang wajib dilaksanakan
dalam bulan Ramadhan dan shalat lima waktu yang wajib dilaksanakan
pada waktu-waktunya yang telah ditentukan.b. Ditinjau dari segi siapa yang wajib melaksanakan, wajib dibagi dua, yaitu:
- Wajib aini, ialah perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang
sudah dewasa, misalnya: Puasa Ramadhan, Shalat lima waktu.
- Wajib Kifayah, ialah perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif,
apabila sebagian dari mereka telah melaksanakan maka gugurlah tuntutan
terhadap yang lainnya. Apabila semua melakukannya maka masing-masing
akan mendapat pahala, akan tetapi apabila tidak seorang pun yang
melaksanakannya maka mereka itu masing-masing berdosa sebagai orang
yang mengabaikan kewajiban. Misalnya: Shalat jenazah, mendirikan rumah
sakit, rumah sekolah, mendirikan tempat peribadatan.
c. Ditinjau dari segi qadarnya (kuantitas), wajib dibagi dua, yaitu:
- Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan batas kadarnya
(jumlahnya) misalnya: shalat lima waktu, zakat harta, kifarat, Puasa
Ramadhan. Kewajiban ini kalau tidak dilaksanakan pada waktunya, tetap
menjadi tanggungan selamanya, sampai kewajiban ditunaikan semuanya.
- Wajib ghairu Muhaddad , yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas
kadarnya. Misalnya: membelanjakan harta di jalan Tuhan, memberikan
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
9/39
9
makan orang yang sedang kelaparan, dan sebagainya. Adanya kewajiban-
kewajiban tersebut adalah karena perintah syara tetapi tentang berapa
jumlahnya tergantung kepada keadaan. Kewajiban ini kalau ditunaikan
secukupnya pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau hutang
yang wajib dibayar kekurangannya (A. Hanafi M.A. : 22).
B.2. Sunnah/Mandub
Yang dimaksud sunnah/mandub adalah perbuatan yang diperintahkan
untuk dilakukan, namun perintah ini tidak mutlak, sebab perbuatan ini kalau
dilakukan mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa sehingga tidak
dikenakan siksa. Sunnah dapat juga diartikan sebagai suatu anjuran untuk
melakukan suatu perbuatan. Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam,
yaitu:
a. Sunnah amiyah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap
orang Islam. Misalnya: shalat sunat Ratibah/shalat sunat yang dikerjakan
sebelum dan sesudah shalat lima waktu.
b. Sunnah Kifayat, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan cukupseorang saja dari sejumlah orang. Misalnya: memberi salam, mendoakan
orang bersin.
c. Sunnah Muakhadah, yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh
Rasul, hanya kadang-kadang saja ditinggalkannya. Misalnya: Shalat Witir,
Shalat hari raya.
d. Sunnat Ghairu Muakhadah, yaitu segala perbuatan tidak wajib yang kadang-
kadang dikerjakan oleh Rasul, misalnya: Salat sunnat sebelum shalat
Maghrib.
B.3. Haram
Yang dimaksud haram adalah suatu perbuatan yang dilarang, apabiladitinggalkan akan diberi pahala dan apabila dilakukan akan mendapat siksa.
Haram dibagi menjadi dua yaitu:
a.Haram Lidzatihi, ialah perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena
hal-hal lain hukumnya haram. Misalnya: berzina, mencuri, merampok,
menipu.
b. Haram Liaridi, ialah perbuatan yang hukumnya haram karena berbarengan
dengan perbuatan lain. Misalnya: jual beli pada saat adzan Jumat telah
diserukan. Dalam Al-Quran Surat Jumah ayat 9 terdapat perintah
meninggalkan jual beli apabila adzan Jumat telah diserukan. Ayat tersebut
memberikan ketentuan hukum bahwa jual beli dilarang oleh karena adanya
seruan adzan Jumat. Berjual beli itu sendiri adalah hal yang dibenarkan
Islam, tetapi bila diadakan pada waktu telah terdengar seruan adzan Jumat itu
menjadi haram hukumnya. Hal-hal yang haram karena berbarengan dengan
hal-hal yang diharamkan tidak berakibat tidak sahnya perbuatan itu sendiri.
Jadi jual beli tetap dipandang sah, tetapi orangnya berdosa karena melanggar
larangan/tidak taat perintah Al-Quran (Ahmad Azhar : 25).
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
10/39
10
Berbeda halnya dengan perbuatan yang haram lidzatihi yang apabila
dilanggar mengakibatkan hal-hal yang merupakan hasil dari perbuatan itu
sendiri tidak sah. Misalnya: zina adalah haram lidzatihi, maka anak yang
lahir karena perbuatan zina dipandang sebagai anak yang tidak sah dan tidak
mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya.
B.4. Makruh
Yang dimaksud makruh adalah perbuatan yang terlarang, bila
ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak
dikenakan siksa. Makruh dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Makruh tanzih, ialah perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada
dikerjakan. Bila ditinggalkan berpahala dan bila dilaksanakan tidak berdosa
meskipun tercela. Makruh tanzih ini adalah kebalikan sunnah. Misalnya:
makan minum dengan menggunakan tangan kiri.
b. Makruh tahrim, ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukumnya tidak
pasti. Misalnya: memakai cincin emas adalah dilarang menurut ulama
madzab Hanafi.c. Tarkul-aula, ialah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang amat dianjurkan.
Misalnya: meninggalkan Shalat Witir.
B.5. Mubah/Jaiz
Yang dimaksud mubah/jaiz ialah perbuatan yang bila dilaksanakan tidak
berpahala dan bila ditinggalkan juga tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.
Mubah dapat dibagi menjadi tiga macam:
a. Dinyatakan dalam syara tidak berdosa untuk melakukannya.
b. Tidak ada dalil yang mengharamkan.
c. Yang dinyatakan dalam syara boleh memilih, kalau suka boleh dilakukan dan
kalau tidak suka boleh meninggalkan.
C. Perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum
Ada beberapa perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum,
yaitu:
1. Ditinjau dari segi sumbernya/dasar hukumnya
Hukum Islam bersumber pada dua hal, yaitu: pertama, Wahyu/Firman Allah
yang tercantum di dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Nabi sebagi
penjelasannya. Kedua, Ratio/akal manusia yaitu hasil ijtihad atau rayu.
Sedangkan Hukum Umum bersumber pada akal manusia saja.
2. Ditinjau dari segi obyek yang diaturnya
Hukum Islam mempunyai dua obyek hukum, yaitu: pertama, peraturan-
peraturan/hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, yang
disebut hukum Ibadah. Kedua, peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
antara sesama manusia dalam hidup bermasyarakat atau antara manusia
dengan benda-benda di sekelilingnya, yang disebut hukum Muammalah.
Sedangkan Hukum Umum obyeknya hanyalah peraturan-peraturan yang
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
11/39
11
mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hidup bermayarakat baik
dalam lingkungan yang sempit ataupun dalam lingkungan yang luas.
D. Ushul al Fiqh
Pengertian Ushul al Fiqh ialah
Ushul adalah sumber atau dalilFiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara tentang amalan dan perbuatan,
seperti hukum wajib, haram, mubah, makruh dan lain-lain. Hukum-hukum itu
ada sumbernya atau dalilnya yaitu: Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan Ushul al Fiqh adalah ilmu yang
membicarakan sumber-sumber hukum tersebut di atas dan bagaimana cara
menunjukkan kepada suatu hukum dengan secara ijmal (garis besar) (A. Hanafi :
12). Oleh karena itu Ushul al Fiqh tidak membicarakan dalil hukum tiap
persoalan satu per satu, tetapi hanya membicarakan dalil-dalil hukum secara
garis besar. Misalnya, di dalam Al-Quran terdapat perintah menunaikan zakat,
perintah berbuat baik kepada orang lain, perintah menyampaikan amanat dan
perintah-perintah lainnya.Ilmu Ushul Fiqh tidak mengatakan bahwa zakat itu hukumnya wajib.
Yang menjadi perhatian Ilmu Ushul Fiqh adalah apabila kita menjumpai bentuk
perintah dalam Al-Quran yang merupakan sumber utama dan pertama hukum
syara itu harus kita artikan bagaimana. Para ulama setelah membahas perintah-
perintah Al-Quran mengambil kesimpulan bahwa perintah-perintah itu pada
umumnya menunjukkan hukum wajib. Akhirnya dibuat suatu kaidah ushul fiqh
yang mengatakan pada dasarnya tiap-tiap perintah menunjukkan hukum wajib.
Contoh lain misalnya Al-Quran melarang berjudi, melarang berbuat
zina, melarang berbuat aniaya, dan lain-lain. Ilmu Ushul Fiqh membicarakan
dan membahas bagaimana mengartikan larangan-larangan itu. Setelah diselidiki
secara mendalam diperoleh kesimpulan bahwa pada dasarnya larangan-laranganitu menunjukkan hukum haram. Akhirnya dibuat suatu kaidah Ushul Fiqh yang
mengatakan pada dasarnya tiap-tiap larangan menunjukkan hukum haram (A.
Azhar Basyir, 1972 : 6).
Mempelajari Ushul Fiqh mempunyai beberapa faedah yaitu:
1. Dengan mempelajari Ushul Fiqh kita akan mengetahui dalil-dalil hukum
syara dan cara mengambil ketentuan-ketentuan hukum dari padanya.
Dengan demikian kita akan mampu melakukan sendiri mengambil
kesimpulan-kesimpulan hukum syara dari sumber-sumber asli, Al-Quran
dan Sunnah Rasul.
2. Dengan mempelajari ushul fiqh kita dapat mengembalikan kesimpulan-
kesimpulan hukum syara yang kita jumpai kepada sumber-sumber
pengambilannya. Dengan demikian kita akan dapat mengamalkan hukum
syara tidak hanya sebagai orang yang bertaqlid kepada orang lain tanpa
mengetahui sumber pengambilannya.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
12/39
12
BAB III
LAPANGAN-LAPANGAN HUKUM ISLAM
A. Pembagian Lapangan Hukum Islam
Fiqh Islam atau Hukum Islam merupakan kumpulan tata aturan yangmencakup semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia baik dalam
hubungannya dengan Tuhan sebagai Khaliqnya, maupun yang menyangkut
hubungan antar manusia di dalam lingkungan yang terbatas maupun dengan
manusia di luar lingkungannya.
Secara garis besar para fuqaha membagi lapangan hukum Islam menjadi
dua, yaitu Ibadat dan Muamalat. Lapangan Ibadatadalah lapangan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mendaptkan pahala di akherat. Lapangan
Muamalatadalah lapangan yang mengatur hubungan antara manusia baik dalam
golongannya maupun di luar golongannya, atau dengan kata lain Muamalat
adalah bidang yang mengatur kepentingan-kepentingan duniawi.Dari dua bidang ini para fuqaha masih membagi-bagi lagi menjadi
beberapa lapangan, dimana masing-masing tidak sama banyak dalam
membaginya. Di bawah ini akan dikemukakan pembagian lapangan Hukum
Islam oleh beberapa fuqaha.
1. Ulama-ulama Syafiiyah membagi lapangan Hukum Islam menjadi empat
bagian, yaitu: Ibadat, Muamalat, Munakahat dan Uqubatyaitu hal-hal yang
berhubungan dengan pidana.
2. Prof. M. Hasby Ash-Shiddieqy membagi lapangan Hukum Islam menjadi
delapan bidang, yaitu:
a. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang ibadat. Misalnya:
shalat, puasa, zakat, haji, jihad, dan nazar.b. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan kekeluargaan, misalnya:
perkawinan, wasiat, dan waris.
c. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan muamalat madaniyah,
misalnya: jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, gadai, dan lain
sebagainya.
d. Sekumpulan hukum yang mengenai harta peninggalan yaitu soal-soal yang
menjadi urusan baitulmal, penghasilannya, macam-macam harta yang
ditempatkan dalam baitulmal dan tempat-tempat pembelanjaannya.
e. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang uqubat, yaitu hukum-
hukum yang berhubungan dengan usaha memelihara keselamatan jiwa,
kehormatan dan akal manusia. Dengan kata lain hukum-hukum yang
berhubungan dengan pidana dan perbuatan pidana.
f. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan hukum acara, yaitu hukum-
hukum yang berhubungan dengan proses berperkara di Pengadilan.
g. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum tata negara,
misalnya: soal kepaala negara, hak-hak penguasa dan rakyat, badan
permusyawaratan dan lain-lainnya.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
13/39
13
h. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum
internasional, misalnya: hukum perang, perdamaian antar negara,
perjanjian antar negara dan lain-lainnya.
3. Para fuqaha masa kini membagi lapangan Hukum Islam selain bidang Ibadah
menurut sistem pembagian hukum Barat. Dalam hal ini lapangan Hukum
Islam dibagi dua bagian, yaitu:a. Hukum Privat (al Qanunul Khas), bidang ini meliputi:
- Hukum Perdata (Muamalat)
- Hukum Dagang (At Tijarah)
- Hukum Acara (Al Murafaat)
- Hukum Privat Internasional (Ad-Dauliyul Khas)
b. Hukum Umum (Al Qanunul Aam) ini meliputi:
- Hukum Pidana (Jinayat)
- Hukum Ketatanegaraan, Administrasi dan Keuangan
- Hukum Pidana Internasional
Dengan melihat pembagian lapangan Hukum Islam menurut para fuqaha
masa kini, maka sesuai dengan kepribadian Hukum Islam dan dapat mencakupseluruh bidang Hukum Islam, maka pembagian lapangan Hukum Islam penulis
susun secara berturut-turut sebagai berikut:
1. Ibadah
2. Hukum Keluarga, meliputi:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
3. Muamalat, meliputi
a. Hukum Perdata
b. Hukum Dagang
c. Hukum Acara4. Hukum Pidana (Jinayat)
5. Siyasah Syariiyah, meliputi:
a. Hukum Tata Negara
b. Administrasi dan Keuangan
6. Hukum Internasional, meliputi:
a. Hukum Perdata Internasional
b. Hukum Pidana Internasional
B. Lapangan Ibadah
Bidang Ibadah adalah kumpulan aturan yang mengatur hubungan
manusia dan Tuhan. Hukum-hukum Ibadah bersumber pada Al-Quran dan
Sunnah Rasul, yang pada dasarnya hukum-hukum ini mempunyai sifat yang
kekal (qoti), tidak berubah-ubah sepanjang masa dan tidak terpengaruh oleh
perkembangan zaman dan masyarakat dan tempat dimana hukum ini berlaku.
Oleh karena itu pada umumnya hukum-hukum ibadah ini sudah diterangkan
secara jelas dan terperinci.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
14/39
14
Karena sifatnya qoti maka mengubah dan menambah hukum-hukum
Ibadah tidak dibolehkan. Mengubah atau menambah aturan-aturan ibadah yang
tidak sesuai dengan tuntunan yang sudah diatur dalam Al-Quran atau Sunnah
Rasul disebut bidah.
Hal-hal yang dibicarakan dalam bidang Ibadah ini meliputi Thaharah,
Shalat, Zakat, Haji, Jihad, Sumpah, Aqiqah, Makanan dan Minuman.
C. Lapangan Muamalah
Lapangan/bidang Muamalah adalah bidang yang terdiri atas kumpulan
aturan yang mengatur hubungan manusia dan manusia dalam hidup
bermasyarakat baik dalam lingkungan yang terbatas maupun lingkungan yang
lebih luas. Dapat juga dikatakan bahwa bidang Muamalah adalah bidang
hukum yang mengatur hubungan hubungan dan kepentingan manusia dalam
hidup di dunia.
Hukum-hukum Muamalah bersumber pada Al-Quran, Sunnah Rasul
dan Ijtihad. Sifat Hukum Muamalah pada dasrnya sesuai dengan obyek yang
diaturnya yaitu manusia dalam hidup bermasyarakat, maka hukum inimempunyai sifat yang memungkinkan untuk berkembang ataupun berubah
(dhanni), seperti halnya masyarakat itu sendiri yang selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.
Bidang Muamalah ini terbagi atas beberapa bidang hukum, yaitu:
1. Hukum Keluarga
2. Hukum Privat (Muamalah)
3. Hukum Pidana (Jinayat)
4. Hukum Tata Negara (Siyasah Syariyyah)
5. Hukum Internasional.
1. Hukum KeluargaHukum keluarga adalah kumpulan aturan-aturan yang mengatur
hubungan hukum antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita
sebagai isteri dan keluarganya. Hukum Keluarga ini terdiri atas beberapa bidang
hukum, yaitu:
a. Hukum Perkawinan (Munakahat)
b. Hukum Waris (Faraid)
c. Hukum Wasiat
d. Hukum Wakaf
Hukum waris erat kaitannya dengan hukum keluarga sebab pembagian
warisan dalam Hukum Islam itu yang utama adalah berdasarkan pertalian
keluarga baik karena hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan.
Demikian juga mengenai hubungan wasiat dengan hukum keluarga juga sangat
erat terutama hubungannya dengan hukum waris, sebab harta yang diwasiatkan
untuk orang lain atau untuk keluarga diambilkan dari harta peninggalan pewaris.
Mengenai hukum wakaf yang erat hubungannya dengan hukum keluarga
adalah wakaf untuk keluarga/keturunan, sedangkan wakaf yang diperuntukkan
bagi kepentingan umum masuk di dalam bidang ibadah.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
15/39
15
a. Hukum Perkawinan (Munakahat)
Hal-hal yang diatur di dalam hukum perkawinan antara lain adalah
mengenai:
(1). Kedudukan hukum perkawinan di dalam agama Islam
(2). Prinsip-prinsip perkawinan
(3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan(4). Rukun dan syarat-syarat perkawinan
(5). Larangan-larangan perkawinan
(6). Hak-hak dan kewajiban suami isteri di dalam perkawinan
(7). Putusnya perkawinan
(1). Kedudukan Hukum Perkawinan di dalam Agama Islam
Hukum perkawinan di dalam Agama Islam mempunyai
kedudukan yang sangat penting, sebab perkawinan itu mempunyai arti
penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu peraturan-peraturan
tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci.
Hukum perkawinan pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacarapelaksanaan perkawinan saja melainkan mengatur juga segala persoalan yang
erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak dan kewajiban suami
isteri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk
memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya
perkawinan dan lain-lain.
Adapun arti pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia pada
umumnya dan khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:
(a). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan
hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan
wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk Tuhanyang lain.
(b). Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga
dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai
dan tenteram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami
isteri.
(c). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat diharapkan
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga
kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat
berlangsung terus secara jelas dan bersih.
(d). Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang
merupakan inti dari hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan
timbulnya satu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam
suasana damai.
(e). Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang
telah diatur di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul adalah merupakan
salah satu ibadah bagi umat Islam (Sumiyati, 1982 : 4).
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
16/39
16
(2). Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam
Di dalam Hukum Islam perkawinan mempunyai beberaapa asas
dan prinsip, yaitu:
(a). Pada dasarnya setiap perkawinan harus ada persetujuan secara suka rela
dari pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan. Caranya ialah dengan
diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah keduabelah pihak sudah setuju untuk melaksanakan perkawinan atau belum.
(b). Pada dasrnya seorang pria tidak dapat mengawini setiap wanita, sebab
ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita
yang harus diindahkan.
(c). Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun
yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
(d). Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu
keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-
lamanya.
(e). Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga,dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
(3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan yang dalam istilah Agama Islam disebut Nikah,
pengertiannya adalah melaksanakan suatu aqad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang pria dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan
keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan
cara-cara yang diridhoi Allah (Ahmad Azhar Basyir, 1977: 10).
Melihat rumusan perkawinan seperti tersebut di atas maka padadasarnya nikah itu merupakan suatuperjanjian perikatan antara seorang pria
dan seorang wanita. Walaupun nikah ini merupakan salah satu bentuk
perjanjian perikatan, namun perjanjian ini berbeda dengan perjanjian-
perjanjian perdata yang lainnya, misalnya: jual beli, sewa menyewa, dan lain-
lainnya.
Beberapa hal yang merupakan ciri khusus dalam perjanjian
perkawinan yang membedakan dengan perjanjian yang lainnya antara lain
ialah:
(a). Perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian suci untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya.
(b). Isi dari perjanjian perkawinan itu sudah ditentukan terlebih dahulu di
dalam agama Islam, sehingga pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian itu tidak dapat dengan bebas menentukan sendiri sesuai
kehendaknya masing-masing.
(c). Cara-cara pemutusan perjanjian perkawinan ini ketentuannya juga sudah
ditentukan terlebih dahulu, sehingga para pihak tidak dapat menentukan
sendiri secara bebas.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
17/39
17
Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam pada dasarnya dapat
diperinci sebagai berikut:
(a). Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita untuk
memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
(b). Membentuk/mewujudkan satu keluarga yang damai, tenteram dan kekal
dengan dasar cinta dan kasih sayang.(c). Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
(4). Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan
Perkawinan supaya sah hukumnya harus memenuhi beberapa
persyaratan tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak
melaksanakan perkawinan maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan
perkawinan itu sendiri.
Adapun persyaratan ini terdiri atas rukun dan syarat-syarat
perkawinan. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat
dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinanitu tidak dapat dilaksanakan.
Yang termasuk rukun perkawinan ialah:
(a). Pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan atau aqad nikah yaitu
mempelai pria dan wanita.
(b). Wali
(c). Saksi
(d). Akad nikah
Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan ialah sesuatu
yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari
perkawinan. Kalau salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi
maka perkawinan itu tidak sah. Misalnya, syarat-syarat yang harus dipenuhioleh masing-masing rukun perkawinan. Jadi supaya perkawinan itu dapat
dilaksanakan dan sah hukumnya maka rukun perkawinan itu harus ada dan
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh mengenai syarat-
syarat perkawinan, misalnya:
(a). Adanya unsur kesukarelaan dari pihak-pihak yang hendak melaksanakan
perkawinan.
(b). Untuk dapat menjadi wali syaratnya adalah muslim laki-laki, berakal
sehat dan lain-lainnya.
(c). Jumlah saksi dalam perkawinan paling sedikit dua orang laki-laki.
(d). Adanya mahar dalam perkawinan.
(e). Ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis, tidak boleh
dibatasi waktunya dan lain-lainnya.
(5). Larangan-larangan Perkawinan
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
18/39
18
Di dalam agama Islam ada ketentuan-ketentuan tentang larangan
perkawinan bagi pria dan wanita. Ketentuan tentang larangan perkawinan
ini ada yang sifatnya sementara dan ada yang sifatnya tetap.
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya tetap
ialah bahwa seorang pria dilarang mengawini seorang wanita untuk selama-
lamanya. Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah denganseorang wanita untuk selama-lamanya ialah:
(a). Karena adanya hubungan darah, yaitu: ibu, nenek, saudara kandung,
kemenakan dan bibi.
(b). Karena hubungan susuan, yaitu: ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan,
dan kemenakan susuan.
(c). Karena hubungan semenda, yaitu: mertua, menantu, anak tiri dan ibu tiri.
(d). Karena sumpah lian, yaitu suami isteri yang putus perkawinannya
karena sumpah lian, kedua belah pihak dilarang menjadi suami isteri
kembali untuk selama-lamanya.
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya
sementara ialah bahwa seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanitapada saat ada halangan-halangan tertentu yang menyebabkan keduanya
dilarang untuk menikah, tetapi apabila halangan-halangan ini hilang, maka
keduanya dimungkinkan untuk menikah/boleh menikah.
Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan
seorang wanita yang sifatnya sementara antara lain ialah:
(a). Mengumpulkan dua orang wanita yang masih bersaudara, baik saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu maupun saudara sesusuan,
kecuali secara bergantian, misalnya kawin dengan kakaknya kemudian
dicerai/meninggal kemudian ganti mengawini adiknya.
(b). Mengawini lebih dari empat orang wanita, kecuali salah satu dari yang
empat itu sudah ditalak/dicerai atau meninggal dunia.(c). Mengawini wanita yang sedang menjalani masa iddah baik iddah
karena kematian maupun karena talak kecuali masa iddahnya sudah
habis (Sumiyati, 1982: 32 - 36).
(6). Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara suami isteri
yang sudah barang tentu akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.
Yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik
atau dapat dimiliki oleh suami atau isteri yang diperolehnya dari hasil
perkawinannya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban ialah hal-hal
yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami isteri
untuk memenuhi hak dari pihak lain.
Hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan itu ada hak
dan kewajiban yang bersifat kebendaan dan ada hak dan kewajiban yang
bersifat bukan kebendaan.
Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan antara lain ialah:
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
19/39
19
(a). Suami wajib memberi mahar kepada isterinya.
(b). Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yaitu segala kebutuhan
isteri yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain
kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Dan di samping itu suami
wajib memberikan biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.
(c). Isteri wajib mengatur dan mengelola rumah tangga dengan baik.(d). Isteri wajib mendidik dan mengurus anak-anaknya dengan sebaik-
baiknya.
Hak dan kewajiban suami isteri yang bersifat bukan kebendaan antara lain
ialah:
(a). Suami isteri harus saling menjaga pergaulan yang baik dalam rumah
tangga termasuk saling menjaga rahasia masing-masing.
(b). Suami isteri harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
(c). Suami isteri harus menciptakan pergaulan dalam rumah tangga yang
diliputi rasa saling cinta mencintai.
(d). Suami isteri harus saling menciptakan pergaulan yang saling membela
dan memerlukan di masa tua (Sumiyati, 1982 : 87 - 92).
(7). Putusnya Perkawinan
Walaupun melakukan perkawinan itu pada dasarnya dengan
tujuan untuk selama-lamanya, namun adakalanya ada sebab-sebab tertentu
yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Jadi harus
diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, dengan
kata lain terjadi perceraian antara suami isteri.
Perceraian dalam istilah Fiqh disebut Talakatau Furqah. Yang
dimaksud dengan talak ialah membuka ikatan atau membatalkan perjanjian.
Sedangkan Furqah artinya adalah bercerai yaitu lawan kata dari berkumpul.
Kemudian dua kata itu dipakai oleh ahli Fiqh sebagai satu istilahyang berarti perceraian antara suami isteri. Perkataan talak dalam istilah fiqh
mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus.
Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.
Talak menurut arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan
oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk perceraian antara suami isteri itu
ada yang disebabkan karena talak, maka untuk selanjutnya istilah talak di
sini dimaksudkan sebagai talak dalam arti yang khusus.
Di atas telah diterangkan bahwa tujuan melaksanakan perkawinan
yang diperintahkan oleh agama Islam ialah perkawinan yang dimaksudkan
untuk selama-lamanya atas dasar saling cinta mencintai antara suami isteri.
Akan tetapi dalam melaksanakan kehidupan berumah tangga suami isteri
tentu saja tidak selamanya berada dalam suasana yang damai dan tenteram,
adakalanya terjadi salah paham antara suami isteri yang disebabkan oleh
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
20/39
20
beberapa hal, misalnya salah satu pihak melalaikan kewajiban, tidak percaya
mempercayai satu sama lain, dan lain sebagainya.
Dalam keadaan timbul ketegangan seperti ini kadang-kadang
dapat diatasi sehingga antara kedua pihak menjadi baik kembali, tetapi ada
kalanya kesalahpahaman ini menjadi berlarut sehingga antara suami isteri
terus menerus terjadi pertengkaran. Apabila perkawinan yang demikian itudilanjutkan maka tujuan utama dari perkawinan tidak akan tercapai.
Keadaan seperti ini dapat juga menyebabkan keretakan antara
keluarga kedua belah pihak. Maka dari itu untuk menghindari hal-hal yang
demikian tadi, maka agama Islam memberi jalan keluar yang terakhir bagi
suami isteri yang telah gagal dalam membina rumah tangganya yaitu dengan
perceraian.
Meskipun agama Islam membolehkan perceraian tetapi bukan
berarti bahwa agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu
perkawinan. Perceraian walaupun dibolehkan tetapi agama Islam tetap
memandang bahwa perceraian itu bertentangan dengan asas-asas Hukum
Islam.Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda:
Yang halal yang paling dibencioleh Allah ialah talak/perceraian
(H.R. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim).
Demikian juga bagi orang yang melakukan perceraian tanpa
alasan, Rasulullah SAW bersabda:
Apakah yang menyebabkan salah seorang dari kamu mempermainkan
hukum Allah, ia mengatakan aku sesungguhnya telah mentalak isteriku
dan aku sungguh telah merujuknya (H.R. An Nasai dan Ibnu Huban).
Dengan melihat isi kedua hadis Nabi tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa talak itu walaupun dibolehkan oleh agama, tetapi
pelaksanaannya harus berdasarkan alasan yang kuat dan merupakan jalanyang terakhir yang ditempuh oleh suami isteri, apabila cara-cara yang lain
yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan
keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut.
Perkawinan dapat putus karena beberapa sebab, yaitu antara lain
ialah:
(a). Talak, ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
(b). Khuluk, ialah perceraian atas persetujuan suami isteri. Caranya yaitu
suami menjatuhkan talak satu kepada isterinya namun dengan syarat
isteri harus memberi tebusan harta atau uang kepada suaminya.
Tebusan yang diberikan isteri kepada suaminya disebut iwald.
(c). Syiqaq, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh hakam dari kedua belah
pihak suami dan isteri karena antara suami dan isteri terus menerus
terjadi pertengkaran yang harus diselesaikan supaya tidak berlarut-larut
dan menambah penderitaan kedua belah pihak suami isteri tersebut.
(d). Fasakh, ialah perkawinan yang diputuskan oleh Pengadilan Agama atas
permintaan salah satu pihak. Biasanya yang menuntut fasakh di
Pengadilan adalah isteri, sebab kalau suami yang menginginkan
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
21/39
21
perkawinannya putus, ia dapat langsung mengajukan permohonan ke
Pengadilan untuk menjatuhkan talaknya pada isterinya (Sumiyati, 1982:
103 - 113).
b. Hukum Waris
Di samping Hukum Perkawinan maka Hukum Waris merupakan bagiandari hukum keluarga yang memegang peranan penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu
(Hazairin, 1964: 9).
Hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan
peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu
peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat
hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa
hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris. Dengandemikian Hukum Waris dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan
hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia
oleh ahli waris atau badan hukum lainnya (M. Idris Romulyo, 1984: 1).
Beberapa hal yang diatur dalam Hukum Waris antara lain ialah:
(1). Kedudukan Hukum Waris di dalam Hukum Islam
(2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam
(3). Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
(4). Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan
(5). Syarat-syarat dan rukun kewarisan
(6). Penghalang-penghalang warisan
(7). Golongan-golongan ahli waris
(1). Kedudukan Hukum Waris Dalam Hukum Islam
Hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam
Hukum Islam sehingga ayat-ayat Al-Quran mengatur hukum waris dengan jelas
dan terinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh
setiap orang, di samping itu hukum waris langsung menyangkut harta benda
yang apabila tidak diberikan ketentuan-ketentuan pasti amat mudah
menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
Beberapa hadis nabi di bawah ini mengajarkan bahwa hukum waris
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Islam.
(a). Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majjah dan Addaraquthni mengajarkan:
Pelajarilah faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl
adalah separuh ilmu yang mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang
pertama kali hilang dari umatku.
(b). Hadis Nabi Riwayat Ahmad bin Hambal, memerintahkan:
Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku
adalah manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang;
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
22/39
22
hampir-hampir dua orang bersengketa dalam faraidl dan masalahnya, maka
mereka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaimana
penyelesaiannya.
Karena ada perintah khusus untuk mempelajari dan mengajarkan faraidl
maka para ulama menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri
sendiri yang disebut Ilmu Faraidl, ilmu tentang pembagian harta warisan(Ahmad Azhar Basyir, 1980: 7).
(2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam
Hukum Waris Islam bersumber kepada tiga sumber hukum, yaitu:
(a). Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang mengatur pembagian harta warisan terdapat
dalam beberapa ayat di dalam Surat An Nisa, yaitu ayat 1, ayat 7 sampai
dengan 13, ayat 176 dan Surat Al Anfal ayat 75.
Ayat-ayat tersebut di atas mengatur antara lain:
- Kuatnya hubungan kerabat karena pertalian darah.
- Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas harta warisan orangtuanya.
- Agar orang berhati-hati dalam memelihara harta warisan anak yatim.
- Bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.
- Menentukan tentang bagian-bagian tertentu kepada golongan ahli waris
tertentu.
(b). Hadis Nabi
Meskipun Al-Quran mengatur secara terinci ketentuan-ketentuan tentang
bagian ahli waris namun ada hal-hal yang belum diatur di dalam Al-Quran
yang kemudian ketentuannya diatur di dalam Sunnah Nabi. Hal-hal yang
tidak diatur di dalam Al-Quran antara lain, yaitu:
- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris, lebih berhak atas sisa harta warisan
setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
- Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta warisan
orang yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik
Baitulmal.
- Hadis riwayat Malik dan Ibnu Majjah mengajarkan bahwa pembunuh
tidak berhak waris atas harta orang yang dibunuhnya.
- Hadis riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak
waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan
tangisan kelahiran.
(c). Ijtihad
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberikan ketentuan terinci
tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam hal-hal yang tidak ada
aturannya dalam kedua sumber hukum di atas perlu ditentukan aturannya
dengan jalan ijtihad. Misalnya mengenai hal-hal sebagai berikut:
- Aturan mengenai bagian warisan orang banci.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
23/39
23
- Aturan mengenai harta warisan yang tidak habis terbagi, kepada siapa
sisanya harus dibagikan.
- Aturan mengenai bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan
suami atau isteri.
(3). Prinsip-prinsip Hukum Waris IslamHukum waris Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat disimpulkan
sebagai berikut:
(a). Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan
penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan
jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki seperti yang berlaku pada
sistem keapitalisme, dan melarang sama sekali pembagian harta
peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui
hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem
warisan.
(b). Warisan adalah ketetapan hukum, sehingga yang mewariskan tidak dapat
menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli warisberhak atas harta warisan tanpa perlu membuat pernyataan menerima secara
suka rela atau atas keputusan hakim. Tetapi tidak berarti bahwa dengan
demikian ahli waris dibebani melunasi hutang-hutang si pewaris.
(c). Warisan terbatas pada lingkungan keluarga karena hubungan perkawinan
atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat
hubungannya dengan si pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih jauh.
(d). Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan
kepada sebanyak mungkin ahli waris. Misalnya: ahli waris terdiri dari ayah,
ibu, suami dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan.
(e). Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan
orang tuanya baik anak yang sudah besar maupun yang masih kecil, laki-laki ataupun wanita bahkan yang masih dalam kandungan berhak atas harta
warisan orang tuanya. Tetapi perbedaan besar kecil bagian diadakan sejalan
dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam
keluarga.
(f). Hukum waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli
waris diselaraskan dengan kebutuhan dalam hidup sehari-hari, dan di
samping itu juga ditentukan berdasarkan jauh dekatnya hubungan ahli waris
dengan pewaris. Bagian tertentu dari harta warisan itu adalah: 2/3; 1/2; 1/3;
1/4; 1/6; dan 1/8. Ketentuan tersebut termasuk hal yang sifatnya taabbudi
yang wajib dilaksanakan oleh karena telah telah menjadi ketentuan Al-
Quran (lihat S. An Nisa ayat 13). Adanya ketentuan-ketentuan ahli waris
yang bersifat taabbudi itu merupakan salah satu ciri hukum waris Islam (A.
Azhar Basyir, 1980: 11).
(4). Hak-hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
24/39
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
25/39
25
3. Ahli waris karena hubungan Wala (karena pembebasan budak), yaitu
seseorang yang telah membebaskan budak berhak terhadap
peninggalan budak itu, dan sebaliknya orang yang membebaskan
budak apabila tidak ada ahli waris yang lain (M. Idris Romulyo, 1984:
38 - 40).
(6). Penghalang-penghalang Warisan
Ada beberapa macam penghalang seseorang menerima warisan, antara
lain ialah:
(a). Karena pembunuhan. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi yang
mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak mewaris atas harta
peninggalan orang yang dibunuhnya. Yang dimaksud dengan
pembunuhan ialah pembunuhan dengan sengaja yang mengandung
unsur pidana, bukan karena membela diri dan sebagainya. Demikian
juga percobaan pembunuhan belum dipandang sebagai penghalang
warisan.
(b). Karena berlainan agama antara si pewaris dan ahli waris. Adapun alasanpenghalang ini adalah Hadis Nabi yang mengajarkan bahwa orang
muslim tidak berhak waris atas orang kafir dan sebaliknya orang kafir
tidak berhak waris atas harta orang muslim. Misalnya: antara suami
yang beragama Islam dan isteri beragama Keristen, apabila suami
menghendaki isterinya dapat menikmati harta peninggalannya dapat
dilakukan dengan jalan wasiat.
(7). Golongan Ahli Waris
Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan bila ditinjau
dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan.
Dari segi jenis kelaminnya ahli waris dapat dibagi menjadi dua golonganyaitu ahli waris laki-laki dan ahli warisperempuan.
Dari segi haknya atas harta warisan ahli waris dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu:
(a). Ahli waris Dzawil-furudl, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian-bagian
tertentu sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran atau Sunnah Rasul.
Bagian-bagian tertentu itu ialah: 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.
Bagian 2/3 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak dua orang saudara
perempuan kandung atau seayah dan dua anak perempuan.
Bagian 1/2 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak seorang anak
perempuan, seorang saudara perempuan kandung atau seayah dan suami
bila pewaris tidak meninggalkan anak yang berhak waris.
Bagian 1/3 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak ibu apabila pewaris
tidak meninggalkan anak atau lebih dari seorang saudara dan saudara-
saudara seibu jika lebih dari seorang.
Bagian 1/4 disebut dalam Al-Quran menjadi hak suami jika pewaris
meninggalkan anak yang berhak waris dan isteri apabila pewaris tidak
meninggalkan anak yang berhak waris.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
26/39
26
Bagian 1/6 disebut di dalam Al-Quran menjadi hak ayah dan ibu jika
pewaris meninggalkan anak yang berhak waris, juga ibu bila pewaris
meninggalkan saudara lebih dari seorang dan seorang saudara ibu. Hadis
Nabi menyebutkan juga bahwa bagian 1/6 menjadi hak cucu perempuan
(dari anak laki-laki) bersama-sama dengan seorang anak perempuan ,
saudara perempuan seayah bersama-sama dengan seorang saudaraperempuan kandung dan kakek apabila pewaris meninggalkan anak yang
berhak waris.
Bagian 1/8 disebutkan dalam Al-Quran menjadi hak isteri apabila
pewaris meninggalkan anak yang berhak waris.
Ahli waris Dzawil furudl itu ada 12 orang, yaitu: suami, isteri, ayah, ibu,
anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki), saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, kakek dan
nenek.
(b). Ahli waris Ashabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya tetapi
akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil
furudl, berhak atas sisanya jika bersisa dan apabila tidak ada sisa samasekali maka mereka tidak akan mendapat bagian apapun.
Ahli waris ashabah ini ada tiga macam, yaitu:
1. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah dengan sendirinya, tidak
karena ditarik oleh waris ashabah lain atau tidak karena bersama-sama
dengan waris lain, disebut ashabah binnafsi. Misalnya: anak laki-laki,
cucu laki-laki (dari anak laki-laki), saudara laki-laki kandung atau seayah
dan lain sebagainya.
2. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena ditarik oleh waris
ashabah lain, ini disebut ashabah bil ghairi. Misalnya: anak perempuan
ditarik menjadi ashabah oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik
menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dan lain sebagainya.3. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena bersama-sama dengan
waris lain, ini disebut ashabah maal ghairi. Misalnya: saudara
perempuan kandung atau seayah menjadi waris ashabah karena bersama-
sama dengan anak perempuan.
(c). Ahli waris Dzawil-arham, ialah ahli waris yang mempunyai hubungan
famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil-furudl
atau ashabah. Misalnya: cucu laki-laki dari anak perempuan, kemenakan
laki-laki atau perempuan dari saudara perempuan, bibi, dan lain-lainnya (A.
Azhar Basyir, 1981 : 24 - 27).
c. Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab washiyyah yang berarti pesan atau
weling (jawa). Menurut istilah Fiqh Islam ada bermacam-macam pengertian
yang diberikan. Di antara sekian banyak pengertian tentang wasiat maka yang
amat sederhana dan tepat ialah yang dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-
Undang Wasiat Mesir no. 71/1946, sebagai berikut:
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
27/39
27
Wasiat adalah tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang
disandarkan kepada keadaan setelah meninggal.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka dapat mencakup segala
macam bentuk wasiat. Untuk memberi gambaran yang jelas mengenai bentuk-
bentuk wasiat di bawah ini diberikan beberapa contoh, yaitu:
(a). Wasiat yang memberikan sebagian harta peninggalan kepada orang tertentu,misalnya: seseorang berwasiat bila ia meninggal nanti sepeda miliknya
harap diberikan kepada temannya yang bernama Ali.
(b). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti sebagian dari harta
peninggalannya supaya dibelikan tanah dan membangun sebuah gedung
untuk balai pertemuan kampungnya. Wasiat seperti ini berbentuk
memberikan sebagian harta peninggalannya bukan kepada seseorang
tertentu, tetapi untuk kepentingan umum. Wasiat seperti ini dapat
berkedudukan sebagai harta wakaf.
(c). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti piutangnya pada seseorang
tertentu supaya dibebaskan saja. Wasiat semacam ini berbentuk
melepaskan hak untuk orang lain.(d). Seseorang berwasiat menunjuk seseorang yang dipercaya bertindak sebagai
wali atas anak-anaknya dan harta warisan yang jatuh pada mereka sesudah
ia meninggal nanti. Wasiat semacam ini berbentuk minta kepada seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan.
2. Dasar-dasar Hukum Wasiat
Hukum wasiat berdasarkan pada Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijtihad.
(a). Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang memberi ketentuan wasiat antara lain:
(1). S. Al-Baqarah 180, yang mengajarkan bila seseorang mendekati ajalnya
padahal ia memiliki harta banyak hendaklah ia berwasiat untuk ibu,bapak, dan kerabat-kerabatnya secara adil dan baik.
(2). S. An Nisa 12, memberikan ketentuan bahwa bagian ahli waris dari
harta warisan adalah setelah diambil untuk membayar hutang pewaris
dan melaksanakan wasiatnya.
(b). Sunnah Rasul
Dari beberapa Sunnah Rasul dapat diperoleh beberapa ajaran tentang wasiat
antara lain:
(1). Hadis Nabi SAW riwayat Ad Daraquthni dari Muadz bin Jabal
mengajarkan bahwa wasiat amat penting artinya bagi orang yang
berwasiat karena akan menjadi tambahan amal kebajikannya di akhirat
kelak.
(2). Hadis Nabi riwayat Al Jamaah dari Saad ibn Abi Waqqash, yang
mengajarkan bahwa berwasiat itu dibenarkan dan juga memberi
ketentuan bahwa memberi wasiat yang menyangkut harta jangan
melebihi sepertiga dari harta peninggalan. Atau dengan kata lain
berwasiat itu maksimum sampai dengan sepertiga dari seluruh harta
peninggalan.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
28/39
28
3. Hukum Wasiat
Wasiat dapat dihukumkan: wajib, haram, makruh, dan mubah.
(a). Wasiat wajib hukumnya dalam hal-hal yang menyangkut hak Allah seperti
Zakat, Kifarat, Fidyah puasa dan lain-lainnya yang merupakan hutang yang
wajib ditunaikan bagi Allah. Di samping itu juga dapat berupa hak-haksesama manusia yang tidak mungkin diketahui adanya bila tidak
diwasiatkan seperti titipan barang, hutang-hutang, dan sebagainya. Bila
seseorang tidak berwasiat dalam hal-hal tersebut hingga tidak terpenuhi
oleh ahli waris dari harta peninggalannya, orang itu berdosa dan
bertanggung jawab di hadapan Allah.
(b). Wasiat sunnah hukumnya apabila ditujukan untuk amal kebajikan dan hanya
mengharapkan keridlaan Allah semata-mata.
(c). Wasiat haram hukumnya apabila mewasiatkan barang-barang yang dengan
jelas diharamkan agama, seperti berwasiat harta benda untuk membangun
tempat perjudian atau tempat-tempat maksiat yang lainnya.
(d). Wasiat makruh hukumnya apabila seseorang berwasiat memberikansebagian hartanya kepada seseorang diluar ahli waris, sedangkan hartanya
sedikit tetapi ahli warisnya banyak dan dalam keadaan kekurangan.
(e). Wasiat mubah hukumnya apabila tidak terdapat hal-hal tersebut pada empat
macam hukum wasiat terdahulu, serta yang diberi wasiat tidak
memerlukannya karena sudah berkecukupan. Sehingga wasiat ini dilakukan
hanya sebagai tanda persahabatan atau sebagai balas jasa tanpa disertai niat
untuk beribadat kepada Allah dengan wasiatnya itu.
4. Unsur-unsur Wasiat dan Persyaratannya
Unsur-unsur yang terdapat dalam wasiat itu ada empat macam:
(a). Orang yang berwasiat (mushi)(b). Orang yang menerima wasiat (mushalahu)
(c). Sesuatu yang diwasiatkan (musha-bihi)
(d). Sighat / ikrar
(a). Syarat-syarat Mushi
Untuk sahnya wasiat mushi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Dewasa / baligh
(2). Berakal sehat
(3). Atas kehendak sendiri secara bebas
Berwasiat adalah tindakan tabarru (derma) dari harta bendanya, maka
memerlukan pertimbangan akal yang baik, pertimbangan dipandang ada
kalau mushi telah dewasa dan berakal sehat. Disamping itu karena
berwasiat itu diperlukan adanya pertimbangan akal sehat, maka apabila
mushi membuat wasiat di luar kehendaknya karena adanya unsur paksaan
maka wasiat itu dianggap tidak sah.
(b). Syarat-syarat Mushalahu
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
29/39
29
Mushalahu adalah orang yang dituju dalam suatu wasiat, supaya wasiat itu
sah maka mushalahu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Harus dapat diketahui dengan jelas
(2). Telah wujud ketika wasiat dinyatakan
(3). Bukan tujuan kemaksiatan
(4). Mushalahu tidak membunuh mushi.(c). Syarat-syarat Musha-bihi
Supaya wasiat itu sah maka musha-bihi atau sesuatu yang diwasiatkan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek
perjanjian
(2). Sudah wujud/ada bentuknya waktu wasiat dinyatakan
(3). Milik mushi
(4). Jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalan.
(d). Sighat wasiat
Untuk sahnya wasiat dapat dipakai segala cara yang memberi pengertian
adanya wasiat. Jadi wasiat dapat diucapkan dengan lisan, dapat pulaberbentuk tulisan dan dapat berbentuk isyarat yang dapat dimengerti oleh
orang yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Sighat wasiat hanya diperlukan pernyataan dari mushi saja (ijab) dan
pada prinsipnya pernyataan menerima dari mushalahu (qabul) tidak
diperlukan.
Sighat wasiat dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu asalkan syarat-
syarat itu tidak bertentangan dengan hukum wasiat, tidak merusak
kemungkinan menikmati barang wasiat dan tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan agama Islam pada umumnya.
5. Batalnya WasiatWasiat dianggap batal apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
(a). Mushi menarik wasiatnya
(b). Mushi kehilangan kecakapan melakukan tindakan hukum karena gila atau
rusak akal
(c). Mushi ketika meninggal mempunyai hutang yang menghabiskan harta
peninggalannya
(d). Musha-lahu meninggal sebelum mushi
(e). Musha-lahu membunuh mushi
(f). Musha-lahu menolak wasiat
(g). Musha-bihi binasa
(h). Musha-bihi diputuskan hakim menjadi hak orang lain
(i). Musha-bihi mengalami perubahan bentuk
(j). Habis waktu wasiatnya
(A. Azhar Basyir, 1979: 30 - 45).
d. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
30/39
30
Wakaf berasal dari kata Arab waqf yang artinya menahan. Menurut
istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa
mengalami musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah SWT.
2. Dasar-dasar Amalan WakafAmalan wakaf ini dasarnya ada dua macam, yaitu dasar umum dan dasar
khusus.
(a). Dasar Umum
Yang menjadi dasar umum dari amalan wakaf ini adalah ayat-ayat Al-
Quran yang memerintahkan agar orang berbuat kebaikan sebab amalan
wakaf adalah termasuk salah satu macam berbuat kebaikan. Di antara ayat-
ayat yang memerintahkan berbuat kebaikan itu antara lain:
(1). Al-Quran S. Al Hajj 77 memerintahkan Berbuatlah kebaikan agar
kamu bahagia.
(2). Al-Quran S. Al-Baqarah 267 memerintahkan Belanjakanlah sebagian
harta yang kamu peroleh dengan baik-baik.(3). Al-Quran S. Ali Imran 92 mengajarkan Sekali-kali kamu tidak akan
memperoleh kebaikan hingga kamu belanjakan sebagian harta yang
kamu senangi.
(b). Dasar Khusus
Dasar khusus amalan wakaf ialah Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim dari
Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar
datang menghadap Nabi untuk minta nasehat tentang penggunaan tanah
yang diperolehnya di Khaibar. Kemudian Nabi memberikan nasehat
sebagai berikut:
Bila kamu mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.
Nasehat itu kemudian diikuti oleh sahabat Umar yaitu tanahnyadisedekahkan dengan ketentuan:
- tidak boleh dijual pokoknya
- tidak boleh diwaris
- tidak boleh dihibahkan
- sedekahnya diperuntukkan bagi fakir miskin, sanak kerabat, untuk
memerdekakan budak, sabilillah dan tamu
- pengawas harta wakaf boleh menikmati hasilnya sekedarnya namun tidak
boleh berlebih-lebihan.
Dari hadis tentang wakaf Umar tersebut diperoleh ketentuan umum tentang
wakaf yaitu:
(1). Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain baik dengan
jalan dijualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan.
(2). Harta wakaf terlepas dari milik wakif (orang yang berwakaf).
(3). Tujuan wakaf harus jelas dan termasuk amal kebaikan menurut ajaran
Islam.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
31/39
31
(4). Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang mempunyai hak
ikut menikmati harta wakaf sekedar yang diperlukan, tidak boleh
berlebih-lebihan.
(5). Harta wakaf dapat berupa benda-benda tidak bergerak, misalnya tanah,
gedung dan sebagainya, yang dapat tahan lama dan tidak musnah
seketika setelah dipergunakan.(6). Harta wakaf berlaku untuk selama-lamanya.
3. Unsur-unsur Wakaf dan Persyaratannya
Unsur-unsur (rukun) wakaf itu ada empat macam, yaitu:
(a). Orang yang berwakaf (Wakif)
(b). Harta yang diwakafkan (Maukuf)
(c). Tujuan wakaf (Maukuf alaih)
(d). Pernyataan wakaf (Sighat)
(a). Syarat-syarat orang yang berwakaf (wakif)
Untuk sahnya wakaf, maka orang yang berwakaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu mempunyai
pertimbangan akal yang sempurna bagi orang yang telah baligh
(dewasa). Jadi dengan kata lain orang itu sudah dewasa dari segi umur
dan mempunyai kecakapan bertindak.
(2). Berakal sehat.
(3). Tidak terpaksa.
(b). Syarat-syarat harta wakaf
Wakaf dipandang sah apabila harta wakaf (maukuf) memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
(1). Harta wakaf merupakan harta yang bernilai.(2). Harta wakaf milik wakif.
(3). Harta itu tahan lama dalam penggunaannya.
Selain tanah atau gedung maka harta wakaf dapat pula berupa modal uang
yang diperdagangkan atau berupa saham pada perusahaan dagang dan
sebagainya.
(c). Syarat-syarat tujuan wakaf
Sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yaitu
merupakan salah satu amalan sadaqah, maka tujuan wakaf harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.
(2). Tujuan wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori
ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal yang
mubah menurut ajaran Islam.
(3). Tujuan wakaf harus jelas, baik yang ditijukan kepada kelompok orang-
orang tertentu atau badan-badan tertentu.
(d). Syarat-syarat Sighat Wakaf
Sighat wakaf atau pernyataan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan:
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
32/39
32
(1). Dengan lisan atau tulisan, hal ini dapat dinyatakan kepada siapapun
juga
(2). Dengan isyarat, hal ini hanya ditujukan kepada orang yang tidak mampu
menggunakan cara lisan atau tulisan.
4. Macam-macam WakafWakaf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
(a). WakafAhli atau wakaf keluarga atau dapat juga dikatakan sebagai wakaf
khusus, ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seorang
atau lebih, baik masih keluarga atau orang lain. Wakaf khusus ini
dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka
yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Sebagai contoh wakaf ahli ini
misalnya: seseorang mewakafkan buku-bukunya untuk anak-anaknya
yang mampu menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucunya
dan seterusnya.
(b). Wakaf Khairi (umum), ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk
kepentingan umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu.Wakaf khairi inilah yang pada dasarnya sejalan dengan jiwa amalan
wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa
pahalanya akan terus mengalir sekalipun wakif telah meninggal dunia
selagi harta wakaf itu masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf
khairi inilah yang hasilnya benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat
secara luas dan merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi,
pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.
2. Hukum Prifat (Muammalat)
Yang dimaksud dengan hukum prifat disini ialah apa yang disebut olehfuqaha dengan nama Fiqh Muammalatdalam artinya yang khusus, yaitu
menyangkut hukum benda (kebendaan).
Hal-hal yang dibicarakan dalam fiqh muammalat dalam arti yang khusus
ini hanyalah mengenai hak-hak manusia dalam hubungannya dengan manusia
lain, misalnya: hak penjual untuk menerima uang penjualan dan hak pembeli
untuk menerima barang yang dibelinya, hak penyewa untuk menempati rumah
yang disewanya dan hak pemilik rumah sewa untuk mendapatkan uang sewa dari
penyewa, dan lain sebagainya.
Para ahli fiqih pada umumnya tidak memisahkan pembicaraan antara
asas-asas muammalat di satu pihak dengan hukum muammalat di lain pihak,
sehingga semua persoalan dari kedua bidang tersebut dibicarakan bersama dalam
bab muammalat.
Kalau dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
maka para ahli fiqih hanya membicarakan satu bidang saja yaitu bidang/bab
perikatannya saja, tetapi tidak membicarakan secara khusus mengenai hukum
kebendaan.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
33/39
33
Apabila dilihat secara keseluruhan dan juga untuk bahan perbandingan
dengan hukum perdata barat maka bidang muammalat ini dapat dibagi menjadi
empat bagian, yaitu:
a. Asas-asas hukum muammalat
b. Hukum Perdata
c. Hukum Dagangd. Hukum Acara Perdata
a. Asas-asas Muammalat
Disini akan dikemukakan secara garis besar hal-hal apa yang dibicarakan
di dalam asas-asas muammalat yaitu antara lain:
(1). Teori-teori tentang hak milik, cara-cara untuk memperoleh hak milik dan
macam-macam hak milik.
(2). Perikatan (perjanjian), pembentukan perikatan, akibat-akibat adanya
perikatan, hapusnya perikatan dan macam-macam perikatan.
(3). Kecakapan bertindak, pengertian dan tingkat-tingkat kecakapan, halangan-
halangan kecakapan dan pengampuan.(4). Hak dan kewajiban: sumber-sumber hak, macam-macam hak, misalnya hak
kebendaan, hak milik, hak gadai, hak guna pakai dan lain sebagainya.
(5). Tanggungan, sumber-sumber tanggungan, obyek tanggungan dan syarat-
syarat adanya tanggungan.
(6). Badan-badan hukum dalam fiqh dan segi-segi perbedaannya dengan
manusia.
b. Hukum Perdata
Yang dibicarakan dalam bidang hukum perdata terutama mengenai
bentuk-bentuk perikatan tertentu yaitu antara lain:
(1). Jual beli, gadai/hipotik(2). Jaminan hutang (Al-Kafalah)
(3). Pemindahan hutang (Hiwalah)
(4). Kepailitan (At-Taflis)
(5). Perseroan dagang (As-Syarikah)
(6). Sewa menyewa (Al-Ijar)
(7). Penggarapan tanah (Al-Muzaraah)
(8). Pembagian milik bersama (Al-Qismah)
(9). Dan lain-lainnya.
c. Hukum Dagang
Walaupun sudah sejak jaman dulu orang-orang Islam terutama orang-
orang Arab terkenal sebagai pedagang yang telah mengadakan hubungan dagang
dengan berbagai bangsa di dunia ini, dari Afrika, Eropa, sampai ke India, Cina,
namun dalam kenyataannya orang Islam belum mempunyai peraturan-peraturan
yang mengatur tentang perdagangan dan seluk beluknya yang terpisah atau
berdiri sendiri. Tetapi peraturan-peraturan mengenai hukum dagang ini secara
garis besar masih diatur di dalam hukum perdata.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
34/39
34
Salah satu bentuk perikatan dagang yang dibicarakan secara tersendiri
yaitu perserikatan dagang yang disebut Mudharabah atau Qirald. Mudharabah
ialah suatu perjanjian dagang bersama dimana modal ditanggung oleh seseorang
sedang pihak yang satunya mempunyai tugas menjalankan modal itu untuk
berdagang kemudian keuntungannya dibagi antara kedua orang tersebut menurut
perjanjian yang telah ditentukan bersama.Mengenai pembukuan yang dapat dipakai sebagai alat bukti tertulis juga
tidak dibicarakan oleh para fuqaha. Hal ini mungkin disebabkan karena alat
bukti yang memegang peranan penting dalam hukum Islam hanyalah keterangan-
keterangan saksi.
d. Hukum Acara Perdata
Hal-hal yang dibicarakan dalam hukum acara perdata secara garis besar
terbagi atas tiga bidang, yaitu: Peradilan (Al-Qadli), Gugatan (Ad-Dawa), dan
Persaksian (As-Syahadah). Dari ketiga bidang ini dirinci sebagai berikut:
(1). Syarat-syarat seorang hakim
(2). Cara memeriksa perkara(3). Gugatan, obyek gugatan dan cara mengajukan gugatan
(4). Penggugat dan tergugat
(5). Alat-alat pembuktian, bukti tertulis, saksi, pengakuan, sumpah, dan lain-lain
(6). Pelaksanaan keputusan hakim.
3. Hukum Pidana Islam (Al-Jinayah)
a. Pengertian Jinayat dan Jarimah
Hukum Pidana Islam dalam Fiqh Islam disebut dengan istilah Al-
Jinaayat, yang artinya adalah perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran.Semua perbuatan dosa, kejahatan dan pelanggaran adalah perbuatan yang
termasuk dalam perbuatan pidana (jarimah). Dengan demikian maka Al-
Jinaayat atau Hukum Pidana Islam adalah bidang hukum yang membicarakan
macam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya.
Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkaam As-Sulthaaniyah memberikan
definisi Jarimah sebagai berikut:
Jarimah adalah larangan-larangan Syara yang diancam dengan hukuman Hadd
atau Tazir.
Hukuman Haddadalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya
dalam nash Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Hukuman Taziradalah hukuman yang ketentuannya tidak dipastikan
dalam nash Al-Quran dan Sunnah Rasul tetapi ketentuannya menjadi wewenang
penguasa.
Larangan-larangan Syara yang disebut jarimah itu dapat berupa
pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, misalnya: melanggar larangan
zina, minum-minuman keras dan dapat juga berupa meninggalkan hal-hal yang
diperintahkan, misalnya: mengabaikan kewajiban zakat.
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
35/39
35
Perbuatan-perbuatan yang jika dikerjakan atau ditinggalkan dipandang
sebagai jarimah ialah perbuatan yang mempunyai akaibat merugikan
perseorangan atau masyarakat dalam aqidah, harta benda, harga diri,
ketenteraman jiwa dan sebagainya yang berhak memperoleh perlindungan (A.
Azhar Basyir, 1982: 1).
b. Unsur-unsur Jarimah dan Macam-macam Jarimah
(1). Unsur-unsur Jarimah
Sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-
unsur sebagai berikut:
(a). Unsur formal, yaitu adanya nash atau dasar hukum yang menunjuknya
sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan
bahwa jarimah dianggap tidak ada sebelum dinyatakan dalam nash.
Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur formal adalah firman
Allah dalam Kitab Suci Al-Quran S. Al-Isra 15 yang mengajarkan
bahwa Allah tidak akan menyiksa hambanya sebelum mengutus
utusannya. Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akandijatuhkan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah.
Untuk dinilai bahwa seseorang telah membangkang ajaran Rasul Allah
harus terlebih dahulu diketahui adanya ajaran Rasul Allah yang
dituangkan dalam nash.
(b). Unsur material, yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-
benar telah dilakukan. Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur
material ialah Hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah
yang mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat
Nabi Muhammad atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati selagi
ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata.
(c). Unsur moral, yaitu adanya niat atau kesengajaan pelaku untuk berbuatjarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab yang hanya dikenakan
terhadap orang yang telah dewasa/baligh, sehat akalnya dan tidak
terpaksa dalam melakukannya. Dengan kata lain unsur moral ini
berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan
terhadap orang mukallaf yang bebas dari paksaan. Unsur ini
didasarkan kepada Hadis Nabi riwayat Ibnu Majjah dan Abu Dzarr
yang mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman terhadap umat
Nabi Muhammad karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan (A.
Azhar Basyir, 1981: 4).
(2). Macam-macam Jarimah
Dilihat dari berat ringannya macam hukuman yang diancamkan, Hukum
Pidana Islam mengenal empat macam Jarimah, yaitu:
(a).Jarimah Qishash, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishash
yaitu hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang
termasuk jarimah ini ialah:
1. Pembunuhan dengan sengaja, ini ancaman hukumannya adalah
pidana mati
-
8/8/2019 POKOKHUKUMISLAM
36/39
36
2. Penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotong atau
terlukanya anggota badan, ini ancaman hukumannya adalah sama
yaitu dipotong atau dilukai anggota badannya.
(b). Jarimah Diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman diyat,
yaitu hukuman ganti rugi atas penderitaan yang dialami si kurban atau
keluarganya. Yang termasuk jarimah ini adalah:1. Pembunuhan tidak sengaja (pembunuhan karena alpa), hukuman dari
jarimah ini adalah membayar diyat/ganti rugi. Dan ganti rugi ini
dapat berupa:
- Kifarat/pembebasan hamba sahaya yang beriman
- pembayaran ganti rugi kepada keluarganya