Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

202
Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Riau 2013 Penulis : Nurfi Afriansyah, dkk Layout : Andi Maharany Patta Katy Desain Sampul : Suci Wiji Lestari Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari C-1 Jakarta Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 202 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm ISBN 978-602-235-539-7 Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933 Email: [email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002 1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Transcript of Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

Page 1: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Riau 2013 Penulis : Nurfi Afriansyah, dkk Layout : Andi Maharany Patta Katy Desain Sampul : Suci Wiji Lestari Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari C-1 Jakarta Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 202 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm ISBN 978-602-235-539-7 Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933 Email: [email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau

memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Page 2: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

POKOK-POKOK HASIL RISET KESEHATAN DASAR

PROVINSI RIAU RISKESDAS 2013

PENYUSUN: 1. Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH

2. Ir. Sri Prihatini, MKes 3. Ir. Tjetjep Syarif Hidayat, MKes

4. drg. Lelly Andayasari, MKes 5. dr. Mogsa Sitanggang

6. Yunita Diana Sari, SKM, MKM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI

TAHUN 2013

Page 3: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

i

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan.

Hasil akhir Riskesdas 2013 disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Riau dan buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka Provinsi Riau. Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel.

Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007–2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id

Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian Daerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.

Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-Nya kepada kita.

Wassalamu‟alaikum wr.wb.

Bogor, Desember 2013 Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Dr. Siswanto, MHP.,DTM

Page 4: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

ii

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.

Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.

Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.

Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator,para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini.

Semoga buku ini bermanfaat.

Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI

Dr. dr. Trihono, MSc

Page 5: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007, yang merepresentasikan gambaran wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: (1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota; (3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan (5) Bagaimana korelasi antar-faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2, sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.

Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah-tangga (RT) maupun tingkat individual, dengan ruang lingkup sebagai berikut: (1) Akses dan pelayanan kesehatan; (4) Kesehatan lingkungan; (5) Pemukiman dan ekonomi; (6) Penyaki menular; (7) Penyakit tidak menular; (8) Cedera; (9) Gigi dan mulut; (10) disabilitas; (11) Kesehatan jiwa; (12) Pengetahuan, sikap dan perilaku; (13) Pembiayan kesehatan; (14) Kesehatan reproduksi; (15) Kesehatan anak; (16) Pengukuran berat badan, tinggi/panjang badan, Lingkar lengan atas, lingkar perut dan tekanan darah; (17) Pemeriksaan indera mata dan telinga; (18) Pemeriksaan status gigi permanen; (19) Pengambilan spesimen darah dan urine, garam dan air RT.

Desain Riskesdas 2013 merupakan survei cross-sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga (RT) di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota. Sampel RT dan anggota rumah tangga (ART) dalam Riskesdas 2013 dirancang terpisah dengan daftar sampel RT dan ART Susenas 2013.

Riskesdas 2013 berhasil mengunjungi 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS yang ditargetkan (99,9%), 294.959 dari 300.000 RT (98,3%), dan 1.027.763 anggota RT (93,0%). Riskesdas 2013 juga mengumpulkan 49.931 spesimen darah anggota RT umur ≥ 1 tahun untuk pemeriksaan hemoglobin, malaria, glukosa, dan beberapa parameter kimia klinis. Untuk mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT (294.959); pemeriksaan garam iodium dari sub-sampel nasional (11.430 RT); pemeriksaan air untuk melihat level iodium (3028 RT), dan pemeriksaan iodium dalam urine pada 6.154 anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 13.811 wanita usia subur (15-49 tahun). Pelaksanaan Riskesdas 2013 di propinsi Riau mencakup 305 BS, 7520 RT, 28017 anggota rumah tangga.

Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan perencanan program kesehatan. Dengan 1060 variabel yang terkelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 telah dan dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik.

Ringkasan hasil per topik Riskesdas 2013 propinsi Riau disajikan pada tulisan berikut :

Akses dan Pelayanan Kesehatan

Informasi mengenai akses dan pelayanan kesehatan (yankes) dalam Riskesdas 2013 didapatkan dari pengetahuan RT tentang keberadaan fasilitas dan jenis yankes terdekat yang ada di sekitar tempat tinggal. Keberadaan jenis yankes yang ditanyakan ada 8 jenis: (1) rumah sakit (RS) pemerintah; (2) RS swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) tempat praktik dokter atau klinik; (5) tempat praktik bidan atau rumah bersalin (RB); (6) pos kesehatan desa

Page 6: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

iv

(poskesdes) atau pos kesehatan pesantren (poskestren); (7) polindes; dan (8) posyandu. Di samping itu juga diperoleh data mengenai keterjangkauan terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang dilihat dari jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju faskes tersebut.

Di Riau, 54,6 persen RT mengetahui keberadaan RS pemerintah, sedangkan RS swasta diketahui oleh 41,1 persen RT. RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah paling tinggi di Kota Dumai (92,9%) dan terendah di Siak (13,6%). Adapun pengetahuan RT tentang keberadaan RS swasta paling tinggi di Kota Pekanbaru (92,6%), sedangkan terendah di Kepulauan Meranti (0,9%). Sebanyak 64,5 persen RT mengetahui keberadaan tempat praktik bidan atau RB; paling tinggi di Kampar (89,3%) dan terendah di Siak (10,3%). Sementara sebanyak 49,6 persen RT mengetahui keberadaan posyandu; paling tinggi di Pelalawan (76,3%) dan terendah di Siak (8,9%).

Sepengetahuan RT di Riau, untuk mengakses RS pemerintah, moda transportasi sepeda motor lebih dominan digunakan, baik di perkotaan (72,8%) maupun di perdesaan (56,3%). Di perkotaan, urutan penggunaan moda transportasi sesudah sepeda motor adalah mobil pribadi (11,5%) dan > 1 moda transportasi (9,7%). Adapun di perdesaan, setelah sepeda motor, urutan penggunaan moda trasnportasi berikutnya ialah > 1 moda transportasi (19,2%) dan kendaraan umum (17,1%).

Waktu tempuh ke faskes terdekat, berupa RS pemerintah, yang terbanyak diketahui RT di Riau > 60 menit (28,2%) dan paling sedikit ≤ 15 menit (18,1%). Pola ini berbeda dengan waktu tempuh ke RS swasta; terbanyak disebutkan ≤ 15 menit (31,4%). Sementara waktu tempuh ke puskesmas atau pustu, tempat praktik dokter atau klinik, tempat praktik bidan atau RB, poskesdes atau poskestren, polindes, dan posyandu memiliki pola yang sama; yang terbanyak disebutkan ≤ 15 menit.

Biaya transportasi ≤ Rp 10.000 mendominasi biaya transportasi menuju RS swasta (49,7%), puskesmas/pustu (78,2%), tempat praktik dokter/klinik (80,5%) dan tempat praktik bidan/RB (88,4%). Kecuali untuk RS pemerintah dengan dominasi biaya > Rp 10.000-50.000 (45,9%). Sementara biaya transportasi ≤ Rp 10.000 mendominasi biaya transportasi menuju semua UKBM: poskesdes/poskestren (81,8%), polindes (89,3%), dan posyandu (95,5%).

Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional

Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi RT yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki pengetahuan benar mengenai obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan alasan memanfaatkan yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

RT swamedikasi sebesar 28,1 persen, dengan proporsi RT tertinggi di Kota Pekanbaru (47,6%) dan terendah di Kepulauan Meranti (6,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir tiga macam. Dari 28,1 persen RT yang menyimpan obat, proporsi RT yang menyimpan obat keras 25,7 persen dan antibiotika 19 persen. Adanya obat keras dan antibiotika swamedika menunjukkan adanya penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 87,3 persen RT yang menyimpan obat keras dan 89,1 persen RT yang menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Bila status obat dikelompokkan berdasarkan obat „sedang digunakan‟, obat „untuk persediaan‟ jika sakit, dan „obat sisa‟, maka 29,5 persen RT menyimpan obat yang sedang digunakan, 42,4 persen RT menyimpan obat sisa dan 43,5 persen RT menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa merupakan obat sisa resep dokter atau obat sisa penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Secara umum obat sisa resep seharusnya tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalahgunakan atau rusak/kedaluwarsa.

Terdapat 29 persen RT yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (96,9%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Sebanyak 78,6 persen RT mempersepsikan OG sebagai obat murah dan 67,2 persen obat program pemerintah. Proporsi RT yang berpersepsi bahwa OG adalah obat tanpa

Page 7: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

v

merek dagang tergolong paling rendah (17,3%). Sumber informasi tentang OG paling banyak diperoleh dari media elektronik (62,3%).

Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 20,1 persen RT di Riau memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir; tertinggi di Kuantan Singingi (45,7%) dan terendah di Kepulauan Meranti (4,2%). Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh RT terbanyak ialah keterampilan tanpa alat (84,4%) dan ramuan (29,4%). Alasan utama terbanyak RT memanfaatkan yankestrad adalah untuk menjaga kesehatan, kebugaran. Hasil ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad masih cukup banyak.

Kesehatan lingkungan

Air minum

Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Riau sebesar 45,5 persen (perkotaan 31,6%; perdesaan 56,8%). Lima kabupaten dengan proporsi RT tertinggi memiliki akses terhadap air minum improved adalah Indragiri Hilir (87,5%), Kepulauan Meranti (71,4%), Rokan Hilir (65,9%), Rokan Hulu (63,8%), dan Kuantan Singingi (58,4%).

Berdasarkan gender, ART yang biasa mengambil air di Riau pada umumnya laki-laki dan perempuan dewasa (berturut-turut 77,0% dan 21,6%). Masih terdapat anak perempuan (0,9%) dan anak laki-laki (0,5%) berumur < 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum RT.

Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (2,4%), berwarna (2,2%), berasa (1,9%), berbusa (0,6%), dan berbau (1,4%). Berdasarkan kabupaten, proporsi RT tertinggi untuk air minum keruh, berwarna dan berbau ada di Rokan Hulu (7,2%, 6,9% dan 4,1%), serta berasa dan berbusa di Siak (8,5%, dan 2,0%).

Proporsi RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum di Riau sebesar 58,7 persen. Dari 58,7 persen RT yang mengolah air sebelum diminum, 97,4 persen mengolahnya dengan cara dimasak. Cara pengolahan air lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar matahari/solar disinfection (2,1%), disaring saja (0,4%), serta disaring dan ditambah larutan tawas (0,1%).

Sanitasi

Proporsi RT di Riau yang menggunakan fasilitas tempat buang air besar (BAB) milik sendiri 88,4 persen, milik bersama 4,1 persen, dan fasilitas umum 1,7 persen. Masih terdapat RT yang tidak memiliki fasiltas BAB (BAB sembarangan), sebesar 5,8 persen. Lima kabupaten dengan proporsi RT yang tidak memiliki fasilitas BAB tertinggi adalah Kuantan Singingi (16,9%), Rokan Hulu (16,0%), Indragiri Hulu (13,6%), Kepulauan Meranti (9,4%), dan Pelalawan (5,8%).

Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO-UNICEF) di Riau sebesar 64,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved tertinggi adalah Kota Pekanbaru (88,9%), Kota Dumai (86,7%), Kampar (78,3%), Pelalawan (77,8%), dan Bengkalis (74,8%).

Untuk air limbah kamar mandi/tempat cuci/dapur, RT di Riau umumnya membuang langsung ke got/sungai (34,2%). “Hanya” 22,1 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL, 18,4 persen tanpa penampungan (di tanah) serta 14,8 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan dan 10,5 persen ditampung di luar pekarangan.

Sementara dalam hal pengelolaan sampah, RT umumnya melakukannya dengan cara dibakar (66,4%) dan hanya 22,2 persen yang diangkut petugas. Sementara lainnya dengan cara dibuang ke sembarang tempat, dibuang ke kali/parit/laut, ditimbun dalam tanah, dan dibuat kompos. Lima kabupaten dengan proporsi tertinggi RT yang sampahnya dibakar adalah Kepulauan Meranti (93,5%), Kuantan Singingi (89,8%), Indragiri Hulu (86,7%), Rokan Hulu (82,4%), dan Siak (78,7%).

Page 8: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

vi

Perumahan

Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Riau menempati rumah milik sendiri (73,0%), sisanya mengontrak, menyewa, menempati rumah dinas, rumah milik orang tua/sanak/saudara atau rumah milik orang lain. Menurut kepadatan hunian, terdapat 87 persen rumah dengan kepadatan hunian ≥ 8 m

2 per orang (tidak padat). Untuk keadaan

ruang dalam rumah, mayoritas ruang terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula dalam hal kebersihan, > 80 persen RT memiliki kondisi ruang, baik ruang tidur, keluarga maupun dapur, yang bersih dan berpencahayaan cukup. Sementara proporsi RT yang memiliki ruang tidur-keluarga-dapur berventilasi cukup dengan ketersediaan jendela dan keterbukaannya setiap hari sekitar 62-67 dan 67-69 persen.

Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman (listrik dan gas/elpiji) sebesar 65,8 persen; lebih tinggi di perkotaan (77,0%) daripada di perdesaan (59,0%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan obat anti-nyamuk bakar (67,8%), diikuti oleh penggunaan kelambu (30,2%), insektisida (16,0%), kasa nyamuk (13,7%), dan repelen (4,3%). Sekitar 15,9 persen RT di Riau menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia dalam rumah.

Penyakit menular

Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan melalui: (1) udara, yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, dan tuberkulosis (TB) paru; (2) makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) vektor (malaria). Informasi diperoleh via wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur secara klinis.

Ditularkan melalui udara

Period prevalence ISPA berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (nakes) dan gejala/keluhan penduduk Riau sebesar 17,1 persen. Lima kabupaten dengan ISPA paling tinggi adalah Kuantan Singingi (28,9%), Bengkalis (25,6%), Kepulauan Meranti (22,6%), Indragiri Hilir (21,4%), dan Siak (20,8%).

Period prevalence pneumonia balita di Riau adalah 19 permil. Lima kabupaten yang mempunyai period prevalence pneumonia balita tertinggi adalah Bengkalis (26,0‰), Kepulauan Meranti (25,0‰), Indragiri Hilir (20,0‰), Rokan Hulu (16,0‰) dan Kantan Singingi (15,0‰). Period prevalence pneumonia balita paling tinggi terdapat pada kelompok umur 15- 24 bulan (21,0‰). Pneumonia balita lebih banyak dialami kelompok RT dengan kuintil indeks kepemilikan menengah (26,0‰)

Prevalensi TB paru penduduk Riau yang didiagnosis nakes sebesar 0,1 persen. Empat kabupaten/kota dengan TB paru tertinggi adalah Kuantan Singingi (0,4%), Siak dan Kota Dumai (masing-masing 0,3%), dan Rokan Hilir (0,2%). Dari seluruh penduduk yang didiagnosis nakes TB paru, “hanya” 23,5 persen diobati dengan obat program.

Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya

Prevalensi hepatitis berdasarkan diagnosis nakes dan gejala penduduk Riau 0,7 persen. Lima kabupaten dengan prevalensi hepatitis paling tinggi adalah Indragiri Hulu (1,9%), Kuantan Singingi (1,1%), Kampar (0,9%), Indragiri Hilir dan Rokan Hulu (masing-masing 0,8%).

Insiden dan period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur penduduk Riau adalah 2,3 persen dan 5,4 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalence diare tertinggi adalah Kuantan Singingi (4,1% dan 7,5%), Kepulauan Meranti (4,1% dan 7,0%), Rokan Hilir (3,4% dan 5,7%), Bengkalis (3,0% dan 6,7%), dan Kota Pekanbaru (1,4% dan 9,2%). Insiden diare pada kelompok usia balita di Riau sebesar 5,2 persen. Lima kabupaten dengan insiden diare pada balita tertinggi adalah Rokan Hilir (10,9%), Kepulauan Meranti (9,0%), Kuantan Singingi (8,1%), Indragiri Hulu (6,4%), dan Rokan Hulu (5,2%).

Page 9: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

vii

Ditularkan vektor

Insiden malaria berdasarkan diagnosis nakes dan gejala penduduk Riau sebesar 0,6 persen, sedangkan prevalensinya sebesar 5,4 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi malaria tertinggi adalah Kuantan Singingi (4,0% dan 7,5%), Kota Pekanbaru (0,2% dan 9,2%), Kepulauan Meranti (0,1% dan 7,0%), Rokan Hilir (0,8% dan 5,7%), dan Bengkalis (0,4% dan 6,7%).

Penyakit tidak menular

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. Data PTM didapat melalui pertanyaan/wawancara responden mengenai PTM yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), (3) kanker; (4) Diabetes mellitus (DM); (5) hipertiroid; (6) tekanan darah tinggi (hipertensi); (7) penyakit jantung koroner (PJK); (8) penyakit gagal jantung; (9) stroke; (10) penyakit gagal ginjal kronis; (11) penyakit batu ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker ditanyakan kepada responden semua umur, PPOK ditanyakan kepada responden umur ≥ 30 tahun, sedangkan DM, hipertiroid, hipertensi, PJK, penyakit gagal jantung, stroke, penyakit ginjal, dan penyakit sendi/rematik/encok ditanyakan kepada responden umur ≥ 15 tahun.

Data prevalensi penyakit ditentukan dengan wawancara berupa gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis dokter/nakes atau kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM (berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, penyakit gagal ginjal kronis, dan penyakit batu ginjal ditentukan menurut informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk prevalensi hipertensi, selain berdasarkan wawancara, juga didasarkan atas hasil pengukuran tekanan darah.

Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker di Riau berdasarkan wawancara berturut-turut sebesar 2 persen, 2,1 persen, dan 0,7 permil. Prevalensi asma paling tinggi ditemukan di Bengkalis (4,2%), Indragiri Hilir (3,5%), dan Kuantan Singingi (2,9%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (4,9%), Indragiri Hilir (2,9%), Bengkalis (2,8%), dan Kepulauan Meranti (2,6%). Sementara prevalensi kanker paling tinggi ditemukan di Bengkalis dan Kepulauan Meranti.

Prevalensi DM dan hipertiroid berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter pada penduduk Riau sebesar 1,0 dan 0,1 persen. DM yang terdiagnosis dokter dan/atau gejala sebesar 1,2 persen. Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi ditemukan di Kota Dumai (1,7%), Bengkalis dan Kuantan Singingi (masing-masing 1,6%), dan Rokan Hilir (1,2%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter dan/atau gejala tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (2,9%), Bengkalis dan Rokan Hilir (masing-masing 2,0%), dan Kota Dumai (1,7%). Sementara prevalensi hipertiroid paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi, Indragiri Hilir, Bengkalis, Rokan Hilir, Kota Pekanbaru, dan Kota Dumai (masing-masing 0,2%).

Prevalensi PJK berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter pada penduduk Riau sebesar 0,2 persen dan menurut diagnosis dokter dan/atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi PJK berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter paling tinggi ditemukan di Bengkalis (0,6%), diikuti Rokan Hulu (0,4%), Kota Pekanbaru (0,3%), dan Pelalawan (0,2%). Sementara prevalensi PJK menurut diagnosis dan/atau gejala paling tinggi terdapat di Bengkalis (1,0%), diikuti Kuantan Singingi (0,8%), Pelalawan, Rokan Hulu dan Rokan Hilir (masing-masing 0,4%). Prevalensi penyakit gagal jantung berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter di Riau sebesar 0,1 persen, dan menurut diagnosis dokter dan/atau gejala sebesar 0,2 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter tertinggi ditemukan di Bengkalis (0,5%), diikuti Indragiri Hilir dan Kota Pekanbaru (masing-masing 0,2%). Prevalensi gagal jantung menurut diagnosis dokter dan/atau gejala tertinggi terdapat sama di Bengkalis (0,5%), diikuti Kuantan Singingi (0,4%), Indragiri Hilir (0,3%), dan Kota Pekanbaru (0,2%).

Prevalensi hipertensi yang diperoleh melalui pengukuran pada penduduk Riau umur ≥ 18 tahun sebesar 20,9 persen; tertinggi di Kepulauan Meranti (27,7%), diikuti Siak (26,7%),

Page 10: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

viii

Rokan Hilir (24,9%), dan Indragiri Hilir (22,8%). Prevalensi hipertensi di Riau berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes sebesar 6 persen, sedangkan yang terdiagnosis nakes dan/atau sedang minum obat sebesar 6,1 persen. Prevalensi stroke berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes di Riau sebesar 4,2 permil dan yang terdiagnosis nakes dan/atau gejala sebesar 12,1 permil. Prevalensi stroke menurut diagnosis nakes paling tinggi ditemukan di Bengkalis (7,7‰), diikuti Kuantan Singingi (5,9‰), Kota Pekanbaru (5,8‰), dan Kampar (4,2‰). Sementara prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes dan/atau gejala tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (10,5‰), diikuti Bengkalis (8,8‰), Kota Pekanbaru (5,8‰), dan Kampar (5,7‰).

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara terdiagnosis nakes pada penduduk Riau sebesar 0,1 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kuantan Singingi (0,6%), diikuti Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Bengkalis, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti (masing-masing 0,2%). Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Riau sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (0,8%), diikuti Rokan Hilir (0,4%), Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir (masing-masing 0,3%).

Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes pada penduduk Riau sebesar 6,8 persen, sedangkan menurut diagnosis dan/atau gejala sebesar 10,8 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (15,8%), diikuti Bengkalis (10,0%), Indragiri Hilir (9,3%), Kampar (7,4%), dan Rokan Hilir (5,5%). Prevalensi penyakit sendi menurut diagnosis nakes dan/atau gejala paling tinggi juga terdapat di Kuantan Singingi (22,6%), diikuti pula Bengkalis (19,7%), Rokan Hilir (14,6%), Kampar (13,9%), dan Indragiri Hilir (12,7%).

Cedera

Prevalensi cedera di Riau sebesar 5,7 persen. Prevalensi paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (11,3%) dan terendah di Pelalawan (2,2%). Kabupaten/kota yang memiliki prevalensi cedera di atas angka provinsi ada 5.

Penyebab cedera terbanyak di Riau adalah kecelakaan sepeda motor (41,8%) dan jatuh (41,2%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor paling tinggi terdapat di Rokan Hulu (64,6%) dan terendah di Indragiri Hilir (31,9%). Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki, pendidikan ≥ tamat SMP/MTs, pekerjaan wiraswasta dan pegawai, tinggal di perkotaan, dan kuintil indeks kepemilikan menengah.

Prevalensi jatuh paling tinggi di Riau terdapat di Indragiri Hilir (54,2%) dan terendah di Rokan Hulu (17,0%). Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok anak balita, perempuan, pendidikan rendah, tidak bekerja dan lainnya, tinggal di perdesaan, serta kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah.

Proporsi jenis cedera di Riau didominasi oleh luka lecet/memar (72,1%), diikuti terkilir (28,7%) dan luka robek (22,2%). Cedera paling banyak terjadi di jalan raya (41,8%), diikuti di rumah (36,7%), area pertanian (6,8%) dan area sekolah (5,6%).

Gigi dan mulut

Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi dan mulut masyarakat secara komprehensif yang meliputi status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku menyikat gigi. Pengumpulan data dilakukan, baik dengan wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dengan bantuan sinar matahari atau lampu senter. Wawancara dilakukan kepada responden semua umur, sedangkan pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan kepada kelompok umur ≥ 12 tahun oleh tenaga terlatih.

Penduduk Riau yang memiliki masalah gigi dan mulut sebesar 16,2 persen dan, dari jumlah itu, 33,3 persen menerima perawatan dari tenaga medis gigi. Jadi, secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk memperoleh pelayanan tenaga medis gigi atau Effective

Page 11: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

ix

Medical Demand (EMD) “hanya” 5,4 persen. Proporsi masalah gigi dan mulut paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (28,6%) dan Rokan Hilir (25,2%) & Bengkalis (23,5%), dengan EMD masing-masing 8,9, 5,8 & 8,4 persen. Masalah gigi dan mulut tertinggi terdapat pada kelompok umur 35-44 tahun, perempuan, pendidikan tamat SD/MI, pekerjaan petani/nelayan/buruh dan lainnya, serta tinggal di perdesaan. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan proporsi masalah gigi dan mulut.

Sebagian besar (95,6%) penduduk Riau umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari. Proporsi menyikat gigi setiap hari penduduk tertinggi terdapat di Kota Pekanbaru (98,3%), diikuti Pelalawan (97,8%) dan Kampar (97,6%), sedangkan terendah ditemukan di Indragiri Hilir (88,9%) dan Kepulauan Meranti (90,2%). Penduduk yang berperilaku menyikat gigi dengan benar “hanya” sebesar 2,3 persen. Proporsi menyikat gigi dengan benar paling tinggi terdapat di Kota Pekanbaru (5,5%) dan terendah di Indragiri Hulu (0,4%). Penduduk yang menyikat gigi sesudah makan pagi sebesar 3,5 persen dan sebelum tidur malam sebesar 24,1 persen.

Indeks DMF-T menggambarkan tingkat kerusakan gigi permanen. Indeks DMF-T meningkat dengan bertambahnya umur dan makin rendahnya pendidikan & indeks kepemilikan serta lebih tinggi pada perempuan dan di perdesaan. Indeks DMF-T adalah penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik Decay/D (jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau diambil), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar) maupun Filling/F (jumlah gigi permanen yang sudah ditumpat atau ditambal).

Disabilitas

Bahasan disabilitas bertujuan memperoleh pemahaman seutuhnya mengenai pengalaman hidup penduduk karena keadaan kesehatannya, termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu di rumah, sekolah, tempat kerja, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan WHO (2010) untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, sekolah, tempat kerja atau area sosial lain; hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin.

Riskesdas 2013 menunjukkan status disabilitas pada penduduk Riau sebesar 8,5 persen. Artinya, sekitar 92 persen penduduk Riau bebas disabilitas. Ini dapat diinterpretasikan, penduduk Riau cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami dalam melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Kuantan Singingi adalah kabupaten di Riau yang memiliki status disabilitas paling tinggi (16,6%), sedangkan Pelalawan sebaliknya (2,7%). Rata-rata penduduk Riau tidak dapat berfungsi optimal selama 6,3 hari, dengan variasi dari yang tertinggi di Kota Dumai (15,2 hari) hingga yang terendah di Indragiri Hilir (2,4 hari).

Status disabilitas berbanding lurus dengan umur dan pendidikan. Kelompok umur 75 tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas paling tinggi. Disabilitas lebih banyak dialami perempuan daripada laki-laki dan terjadi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, serta paling banyak dialami kelompok tidak bekerja.

Kesehatan jiwa

Kesehatan jiwa yang dinilai antara lain gangguan jiwa berat (psikosis, skizofrenia), termasuk pemasungan, serta gangguan mental emosional. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gangguan mental emosional (distres psikologis) adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Gangguan itu dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius bila tidak berhasil dikendalikan.

Page 12: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

x

Prevalensi gangguan jiwa berat di Riau sebesar 0,9 permil. Prevalensi paling tinggi ditemukan di Rokan Hulu dan Bengkalis (masing-masing 2,3‰), sedangkan terendah terdapat di Rokan Hilir dan Siak (masing-masing 0‰). Proporsi RT yang pernah memasung ART dengan gangguan jiwa berat sebesar 17,8 persen; terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan menengah.

Sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Riau sebesar 2,7 persen. Prevalensi paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (6,2%) dan terendah terdapat di Kota Pekanbaru (0,5%). Gangguan mental emosional cenderung berbanding lurus dengan umur serta berbanding terbalik dengan pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Kelompok umur ≥ 75 tahun merupakan kelompok dengan gangguan mental emosional paling tinggi. Gangguan tersebut lebih banyak dialami perempuan serta pada kelompok tidak bekerja dan tinggal di perkotaan.

Pengetahuan, sikap, dan perilaku

Pengumpulan data pengetahuan, sikap, dan perilaku dilakukan pada penduduk umur ≥ 10 tahun. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku pencegahan dan perilaku berisiko terjadinya penyakit yang terdiri dari perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah, pola konsumsi makanan tertentu, konsumsi makanan olahan dari tepung terigu, serta perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pola konsumsi makanan tertentu mencakup kebiasaan mengonsumsi makanan tertentu, yakni makanan/minuman manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan yang dibakar/dipanggang, makanan yang diawetkan atau makanan olahan berpengawet, bumbu penyedap, minuman berkafein), sedangkan pola konsumsi makanan olahan dari terigu meliputi mi instan, mi basah, roti, dan biskuit.

Proporsi perilaku higienis yang benar dalam buang air besar pada penduduk Riau sebesar 86,6 persen. Lima kabupaten paling rendah adalah Indragiri Hilir (51,8%), Indragiri Hulu (80,7%), Kuantan Singingi dan Rokan Hulu (masing-masing 81,4%), dan Kampar (87,1%). Sementara perilaku higienis yang benar dalam cuci tangan penduduk Riau sebesar 37,7 persen. Lima kabupaten terendah adalah Kepulauan Meranti (7,7%), Indragiri Hulu (23,6%), Indragiri Hilir (26,3%), Kuantan Singingi (30,6%), dan Bengkalis (33,2%).

Rerata proporsi perokok saat ini di Riau sebesar 24,2 persen. Proporsi perokok saat ini paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi, dengan perokok setiap hari 29,1 persen dan perokok kadang-kadang 3,1 persen. Proporsi perokok aktif setiap hari tertinggi terdapat pada kelompok umur 35-39 tahun (34,8%) dan kelompok umur 30-34 tahun (34,7%), sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (45,8% berbanding 1,2%). Proporsi perokok aktif setiap hari paling tinggi juga ditemukan pada petani/nelayan/buruh (50,8%) dan wiraswasta (49,2%), serta di wilayah perdesaan (25,6%) daripada perkotaan (22,0%). Kebiasaan merokok setiap hari cenderung berbanding terbalik dengan kuintil indeks kepemilikan.

Proporsi status aktivitas fisik yang tergolong kurang aktif di Riau sebesar 30,6 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi status aktivitas fisik kurang aktif paling tinggi adalah Rokan Hulu (51,4%), Rokan Hilir (40,1%), Pelalawan (37,3%), Kota Pekanbaru (36,6%), dan Kuantan Singingi (32,8%). Hampir 40 persen penduduk umur ≥ 10 tahun berperilaku sedentary ≥ 6 jam. Lima kabupaten/kota dengan proporsi perilaku sedentary ≥ 6 jam tertinggi adalah Indragiri Hulu (84,6%), Kota Dumai (70,7%), Bengkalis (60,0%), Kota Pekanbaru (56,6%), dan Kampar (51,1%). Proporsi perilaku sedentary ≥ 6 jam paling tinggi ditemukan pada kelompok umur 10-14 tahun (43,4%) dan ≥ 65 tahun (43,1%), serta berpendidikan tamat D1-D3/PT (48,0%). Proporsi perilaku sedentary ≥ 6 jam lebih banyak pada perempuan (41,5%) daripada laki-laki (36,9%) dan di wilayah perkotaan (49,3%) dibandingkan dengan perdesaaan (32,4%). Perilaku sedentary cenderung berbanding lurus dengan kuintil indeks kepemilikan.

Hampir semua penduduk umur ≥ 10 tahun di Riau (98,9%) kurang makan sayur dan/atau buah; 89,2 persen mengonsumsi 1-2 porsi sayur dan/atau buah dan 9 persen mengonsumsi

Page 13: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xi

3-4 porsi. Lima kabupaten/kota dengan proporsi kurang makan sayur dan/atau buah tertinggi adalah Indragiri Hilir (100%), Kepulauan Meranti (99,9%), Pelalawan (99,8%), Kampar dan Kota Dumai (masing-masing 99,5%).

Proporsi perilaku konsumsi makanan/minuman manis ≥ 1 kali setiap hari di Riau sebesar 54,9 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi adalah Pelalawan (66,3%), Rokan Hilir (65,4%), Indragiri Hilir (63,5%), Kota Pekanbaru (60,2%), dan Kepulauan Meranti (57,3%). Hampir empat dari lima penduduk Riau umur ≥ 10 tahun mengonsumsi penyedap ≥ 1 kali per hari (78,1%). Proporsi paling tinggi ditemukan di Indragiri Hulu (95,9%) dan paling rendah di Kepulauan Meranti (60,4%). Sementara itu proporsi perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥ 1 kali setiap hari di Riau sebesar 25,2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi tertinggi adalah Indragiri Hulu (41,5%), Rokan Hilir (36,1%), Bengkalis (32,8%), Siak (27,8%), dan Kampar (25,2%).

Hampir satu dari sepuluh penduduk mengonsumsi mi instan ≥ 1 kali sehari. Lima kabupaten/kota dengan proporsi perilaku konsumsi mi instan tertinggi adalah Siak (19,7%), Indragiri Hilir (16,4%), Rokan Hilir (13,9%), Kuantan Singingi (12,6%), dan Kepulauan Meranti (11,2%). Hanya 4,7 persen penduduk mengonsumsi mi basah ≥ kali per hari. Sebanyak 16 persen penduduk Riau umur ≥ 10 tahun mengonsumsi biskuit ≥ 1 kali sehari. Lima kabupaten/kota dengan proporsi perilaku konsumsi biskuit paling tinggi adalah Siak (22,1%), Indragiri Hilir (21,1%), Rokan Hilir (20,0%), Kota Pekanbaru (19,6%), dan Kota Dumai (16,0%).

Proporsi RT di Riau yang ber-PHBS baik sebesar 22,6 persen, dengan proporsi paling tinggi di Kota Pekanbaru (38,8%) dan terendah di Kepulauan Meranti (5,6%). Terdapat 7 dari 12 kabupaten/kota di Riau yang masih memiliki RT ber-PHBS baik di bawah proporsi provinsi.

Pembiayaan

Kepemilikan Jaminan Kesehatan

Sebanyak 57,8 persen penduduk Riau belum mempunyai jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 5,2 persen penduduk, Jamsostek 5,6 persen, Askes swasta dan tunjangan kesehatan dari perusahaan berturut-turut sebesar 3 dan 2,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (15,4%) dan Jamkesda (13,9%).

Bengkalis menjadi kabupaten yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan di antara kabupaten lain, yakni sekitar 89,6 persen penduduk atau hanya 10,4 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya, Indragiri Hilir menjadi kabupaten dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan terendah dengan 73,8 persen penduduk tidak punya jaminan.

Penduduk yang memiliki jaminan kesehatan lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan, khususnya untuk jenis selain jamkesmas. Sebaliknya, kepemilikan Jamkesmas lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Makin tinggi indeks kepemilikan, semakin besar proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk, terutama Askes/ASABRI, Askes swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan. Pada Jamsostek dan Jamkesda, proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk meningkat dari kuintil indeks kepemilikan terbawah sampai kepemilikan menengah atas, kemudian turun pada indeks kepemilikan teratas. Sebaliknya Jamkesmas, makin tinggi indeks kepemilikan, semakin kecil proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk.

Mengobati sendiri

Penduduk yang mengobati sendiri dengan membeli obat di toko obat atau warung tanpa resep (15,1%) lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan (12,3%). Dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan di perkotaan tidak berbeda dengan perdesaan, yaitu sebesar Rp. 10.000. Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas tergolong kelompok yang paling sedikit mengobati sendiri (11,2%), tetapi kelompok yang terbanyak mengeluarkan biaya, yakni Rp. 12.000.

Page 14: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xii

Rawat jalan

Sebanyak 5,3 persen penduduk Riau dalam sebulan terakhir memanfaatkan rawat jalan dengan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 50.000. Bengkalis merupakan kabupaten paling tinggi yang penduduknya melakukan rawat jalan (12,3%) dengan median biaya sebesar Rp. 50.000 dalam satu bulan terakhir. Kota Dumai adalah kota terendah dalam memanfaatkan fasilitas rawat jalan penduduknya (2,0%) dengan median pengeluaran sebesar Rp. 100.000. Adapun di Kota Pekanbaru, 2,4 persen penduduk melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp. 150.000, yang juga merupakan pengeluaran tertinggi dalam sebulan terakhir, bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya.

Kelompok umur 75+ tahun adalah kelompok umur berproporsi paling tinggi melakukan rawat jalan (16,9%) dengan median pengeluaran sebesar Rp. 40.700 dalam sebulan terakhir, sedangkan kelompok umur 15-24 tahun merupakan pemanfaat terendah tetapi dengan median biaya paling tinggi (Rp. 75.000). Makin bertambah umur, cenderung semakin besar proporsi penduduk pemanfaat rawat jalan.

Rawat jalan lebih banyak dilakukan penduduk perdesaan (5,7%) daripada perkotaan (4,8%). Namun, proporsi median pengeluaran rawat jalan lebih tinggi di perkotaan (Rp. 60.000) dibandingkan dengan perdesaan (Rp. 45.000). Dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas, proporsi pemanfaatan rawat jalan cenderung makin kecil. Namun, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi median biaya rawat jalan.

Rawat inap

Dalam setahun terakhir, 1 persen penduduk Riau melakukan rawat inap dengan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 2.000.000. Proporsi pemanfaat rawat inap paling tinggi di Kuantan Singingi (2,3%) dengan proporsi median biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp. 2.000.000, disusul Rokan Hilir (2,0%) dengan median pengeluaran sebesar Rp. 2.800.000. Penduduk Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai merupakan tiga kabupaten/kota paling rendah untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu masing-masing 0,5 persen. Namun, proporsi rerata biaya di tiga kabupaten/kota di atas berbeda-beda: Indragiri Hilir sebesar Rp. 1.500.000, Kepulauan Meranti Rp. 800.000, dan Kota Dumai sebesar Rp. 1.950.000. Proporsi median pengeluaran rawat inap tertinggi ada di Pelalawan, yakni sebesar Rp. 3.000.000.

Proporsi pemanfaatan rawat inap dalam setahun terakhir paling tinggi pada kelompok umur 75+ (3,8%). Namun, proporsi median biaya tertinggi terdapat pada kelompok umur 55-64 tahun (Rp. 5.000.000). Pemanfaatan rawat inap lebih tinggi di perkotaan (1,1%) daripada perdesaan (0,9%); dengan median pengeluaran Rp. 2.000.000 untuk perkotaan dan Rp. 1.800.000 untuk perdesaan. Dari kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah atas, proporsi pemanfaatan rawat jalan cenderung makin besar. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi median biaya pemanfaatan rawat inap. Median pengeluaran untuk rawat inap paling tinggi pada indeks kepemilikan teratas. Pemanfaatan rawat inap terbanyak terdapat pada indeks kepemilikan menengah atas.

Kesehatan reproduksi

Blok kesehatan reproduksi menyediakan informasi mengenai status kesehatan ibu dan beberapa isu kespro pada semua perempuan umur 10-54 tahun. Informasi yang disajikan meliputi: (1) kejadian kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner RT; (2) penggunaan alat/cara Keluarga Berencana (KB); (3) cakupan yankes ibu dari masa kehamilan hingga masa nifas; dan (4) masalah kespro lainnya.

Proporsi penggunaan KB saat ini paling rendah di Rokan Hilir (48,2%) dan tertinggi di Kepulauan Meranti (67,0%). Proporsi penggunaan KB saat ini di Riau secara umum 55,7 persen. Itu terdiri dari penggunaan KB modern 54,9 persen dan KB tradisional 0,7 persen. Menurut kelompok umur, penggunaan KB terbanyak pada kelompok umur 30-39 tahun (66,9%), sedangkan pada kelompok umur berisiko, yaitu 45-49 tahun dan 15-19 tahun, tergolong relatif rendah; berturut-turut 36,8 dan 32,5 persen.

Page 15: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xiii

Proporsi penggunaan alat/cara KB hormonal paling tinggi di Kepulauan Meranti (63,5%) dan terendah di Kota Pekanbaru (41,2%). Sementara untuk proporsi penggunaan alat/cara KB nonhormonal, paling tinggi di Kota Pekanbaru (12,1%) dan terendah di Indragiri Hilir (1,1%). Proporsi penggunaan alat/cara KB MKJP paling tinggi di Kota Pekanbaru (12,5%) dan terendah di Indragiri Hilir (2,3%). Sementara proporsi penggunaan alat/cara KB non-MKJP paling tinggi di Indragiri Hilir (61,9%) dan terendah di Kota Pekanbaru (40,8%).

Tempat pelayanan KB yang paling banyak dikunjungi ialah tempat praktik bidan (57,7%), sedangkan yang paling sedikit adalah Tim KB/Medis Keliling (0,4%). Sejalan dengan tempat pelayanan KB yang paling banyak dikunjungi, nakes yang terbanyak memberikan pelayanan KB ialah bidan (81,1%).

Secara umum, alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB terkait dengan hak setiap perempuan untuk memiliki anak sehingga tidak menggunakan alat/cara KB. Alasan tidak menggunakan alat/cara KB karena masalah fertilitas dan sedang ingin punya anak mengindikasikan kelompok yang tidak memerlukan KB. Alasan lainnya, seperti masalah kepercayaan/agama, dilarang suami/keluarga, kurang pengetahuan, masalah akses alat KB, khawatir efek samping, dan tidak nyaman, dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan cakupan KB.

Kesehatan Anak

Persentase BBLR di Riau sebesar 8,6 persen. Persentase BBLR tertinggi ditemukan di Bengkalis (17,1%) dan terendah di Kepulauan Meranti (3,8%).

Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 15,7 persen dan 48-52 cm sebesar 80,9 persen. Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di kabupaten Pelalawan (28,0%) dan terendah di Kuantan Singingi (0,1%).

Berdasarkan jenis imunisasi, cakupan jenis imunisasi tertinggi pada anak umur 12-59 bulan adalah BCG (81,4%) dan terendah adalah HB-0 (68,8%). Cakupan imunisasi untuk semua

jenis imunisasi terendah adalah di kabupaten Indragiri Hulu dan tertinggi di kota Pekanbaru

Cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak, di provinsi Riau sebesar 52,2 persen. Persentase imunisasi lengkap

tertinggi terlihat di kota Pekanbaru (74,9%) dan terendah di Rokan Hilir (33,5%).

Cakupan pemberian vitamin A pada balita di provinsi Riau adalah sebesar 60,8 persen . Persentase tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti (80,5%) dan terendah di Indragiri Hilir (49,8%).

Informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Proporsi balita dengan frekuensi penimbangan >4 kali di provinsi Riau sebesar 23,2% persen . Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir sebesar 52,2 persen .Persentase anak tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri hilir (67,6%) dan terendah di kota Pekanbaru (35,2%)

Persentase anak umur 0-59 bulan dengan kunjungan neonatal lengkap adalah 22,0 persen . Persentase kunjungan neonatal lengkap tertinggi di kabupaten Indragiri hilir (31,3%) dan terendah di Pelalawan (9,9%).

Status Gizi

Prevalensi status gizi balita BB/U menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk pada balita sebesar 9 persen dan gizi kurang 13,5 persen. Prevalensi gizi buruk tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hulu yaitu sebesar 22.0 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 5,6 persen . Sementara prevalensi gizi lebih sebesar 6,7 persen , prevalensi tertinggi terlihat di kota Pekanbaru dan terendah di Rokan Hilir.

Page 16: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xiv

Prevalensi status gizi balita TB/U menunjukkan bahwa anak pendek (sangat pendek dan pendek) sebesar 34,1 persen. Prevalensi anak pendek tertinggi ditemukan di kabupaten Rokan Hulu yaitu sebesar 56.0 persen dan terendah di kota Dumai sebesar 34,1 persen . Prevalensi status gizi balita BB/TB menunjukkan bahwa anak kurus (sangat kurus dan kurus) sebesar 15,6 persen. Prevalensi anak kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hulu yaitu sebesar 25,0 persen dan terendah di kabupaten Pelalawan sebesar 11,0 persen . Prevalensi balita gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 14,3 persen dan prevalensi tertinggi adalah di kota Pekanbaru. Prevalensi status gizi anak 5-12 tahun IMT/U menunjukkan bahwa anak kurus (sangat kurus dan kurus) sebesar 13,7 persen. Prevalensi anak kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebesar 21,3 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 9,3 persen . Prevalensi anak umur 5-12 tahun gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 10,6 persen dan prevalensi tertinggi adalah di Pelalawan (14,8%) . Prevalensi obesitas ditemukan sebesar 7,2 persen, tertinggi ditemukan di kabupaten Rokan Hulu (12,3%). Prevalensi status gizi IMT/U anak remaja umur 13-15 tahun menunjukkan bahwa prevalensi remaja kurus (sangat kurus dan kurus ) sebesar 11,5 persen. Prevalensi remaja kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 16,0 persen dan terendah di Rokan Hulu sebesar 4,6 persen . Prevalensi anak umur 13-18 tahun gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 8,3 persen prevalensi obesitas sebesar 1,7 persen. Prevalensi status gizi IMT/U anak remaja umur 16-18 tahun menunjukkan bahwa prevalensi remaja kurus (sangat kurus dan kurus ) sebesar 7,9 persen. Prevalensi remaja kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 12,3 persen dan terendah di kota Dumai sebesar 3,0 persen . Prevalensi remaja umur 16-18 tahun gemuk adalah sebesar 2,4 persen dan obesitas sebesar 0,7 persen Prevalensi status gizi IMT/U dewasa umur >18 tahun menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa kurus sebesar 8,8 persen. Prevalensi penduduk dewasa kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 17,9 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 3,7 persen . Prevalensi penduduk dewasa dengan berat badan lebih adalah sebesar 13,6 persen dan obesitas sebesar 14,1 persen Proporsi obesitas sentral penduduk umur ≥ 15 tahun menunjukkan bahwa, prevalensi obesitas sentral sebesar 27,0 persen. Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan di kota Pekanbaru yaitu sebesar 35,3 persen dan terendah di Rokan Hulu sebesar 14,8 persen . Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (15-49 tahun) menunjukkan bahwa prevalensi risiko KEK WUS hamil sebesar 23,5 persen . Prevalensi terendah di Kota Pekanbaru dan prevalensi tertinggi di Kuantan Singingi sebesar 53,4 persen . Sedangkan prevalensi KEK pada WUS tidak hamil sebesar 15,2 persen .

Iodium dalam garam

Proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium sebesar 88,0 persen , 9,1persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan kurang iodium dan 2,9 persen RT mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium. Kabupaten dengan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium tertinggi adalah Kepulauan Meranti dan Kota Pekanbaru sebesar 96 persen dan terendah kabupaten Kuantan Singingi sebesar 69,1 persen .

Page 17: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xv

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i

SAMBUTAN ............................................................................................................................... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF......................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. xv

DAFTAR TABEL .................................................................................................................... xviii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. xxv

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................... xxvi

BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ................................................................................. 2

1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................................. 2

1.4 Tujuan Riskesdas 2013 .............................................................................................. 2

1.5 Kerangka Pikir ............................................................................................................. 3

1.6 Alur Pikir Riskesdas 2013 ........................................................................................... 4

1.7 Pengorganisasian Riskesdas 2013 ............................................................................ 6

1.8 Manfaat Riskesdas 2013 ............................................................................................ 7

1.9 Persetujuan Etik Riskesdas ........................................................................................ 7

BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS ...................................................................................... 8

2.1 Metode Sampling ........................................................................................................ 8

2.2 Populasi dan Sampel ................................................................................................ 10

2.3 Penjaminan Mutu Data Riskesdas 2013 .................................................................. 13

2.4 Variabel ..................................................................................................................... 13

2.5 Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ................................................ 14

2.6 Manajemen Data ....................................................................................................... 15

2.7 Keterbatasan Data .................................................................................................... 17

2.8 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................................. 17

2.9 Pengembangan Kuintil Indeks Kepemilikan ............................................................. 17

BAB 3. AKSES DAN PELAYaNAN KESEHATAN ................................................................ 19

BAB 4. FARMASI DAN PELAYaNAN KESEHATAN TRADISIONAL ................................... 25

4.1 Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah-Tangga.................................................25

4.2 Pengetahuan Rumah-Tangga tentang Obat Generik (OG).....................................27

4.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)...............................29

BAB 5. KESEHATAN LINGKUNGAN .................................................................................... 32

5.1 Air minum.................................................................................................................32

5.2 Sanitasi....................................................................................................................35

5.3 Perumahan...............................................................................................................39

BAB 6. PENYAKIT MENULAR .............................................................................................. 45

Page 18: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xvi

BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR .................................................................................. 58

7.1 Asma ......................................................................................................................... 58

7.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) .................................................................. 59

7.3 Kanker ....................................................................................................................... 59

7.4 Diabetes Mellitus (DM) .............................................................................................. 61

7.5 Penyakit Hipertiroid ................................................................................................... 61

7.6 Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi) ........................................................................... 61

7.7 Penyakit Jantung....................................................................................................... 64

7.8 Stroke ........................................................................................................................ 64

7.9 Penyakit Ginjal .......................................................................................................... 67

7.10 Penyakit Sendi/Rematik/Encok ................................................................................. 67

BAB 8. CEDERA ................................................................................................................... 71

8.1 Prevalensi Cedera dan Penyebabnya ...................................................................... 71

8.2 Jenis Cedera ............................................................................................................. 73

8.3 Tempat Terjadinya Cedera ....................................................................................... 76

BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT ............................................................................. 79

9.1 Effective Medical Demand (EMD) ............................................................................. 79

9.2 Perilaku Menyikat Gigi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun ............................................... 81

9.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T .......................................................... 84

BAB 10. STATUS DISABILITAS ............................................................................................. 86

BAB 11. KESEHATAN JIWA ................................................................................................... 89

11.1 Gangguan Jiwa Berat ............................................................................................... 89

11.2 Gangguan Mental Emosional ................................................................................... 91

BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU .............................................................. 93

12.1 Perilaku Higienis ....................................................................................................... 93

12.2 Perilaku Penggunaan Tembakau ............................................................................. 94

12.3 Perilaku Aktivitas Fisik .............................................................................................. 97

12.4 Perilaku Konsumsi Sayur dan Buah ....................................................................... 100

12.5 Perilaku Konsumsi Makanan Tertentu .................................................................... 100

12.6 Perilaku Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung Terigu ...................................... 101

12.7 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) .............................................................. 102

BAB 13. PEMBIAYAAN KESEHATAN .................................................................................. 106

13.1 Kepemilikan Jaminan Kesehatan ........................................................................... 106

13.2 Mengobati Sendiri ................................................................................................... 108

13.3 Rawat Jalan ............................................................................................................ 109

13.4 Rawat Inap .............................................................................................................. 110

13.5 Sumber Pembiayaan .............................................................................................. 112

Page 19: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xvii

BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI ................................................................................. 116

14.1 Pelayanan Program Keluarga Berencana (KB) ...................................................... 116

14.2 Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan, Persalinan, dan Nifas ............................ 120

BAB 15. BAB 15. KESEHATAN ANAK ................................................................................. 126

15.1 Berat dan Panjang Badan Lahir .............................................................................. 126

15.2 Kecacatan ............................................................................................................... 132

15.3 Status Imunisasi ...................................................................................................... 133

15.4 Kunjungan Neonatal ............................................................................................... 138

15.5 Perawatan Tali Pusar .............................................................................................. 142

15.6 Pola Pemberian ASI ................................................................................................ 142

15.7 Cakupan Kapsul Vitamin A ..................................................................................... 144

15.8 Pemantauan Pertumbuhan ..................................................................................... 145

15.9 Sunat perempuan ................................................................................................... 145

BAB 16. STATUS GIZI .......................................................................................................... 147

16.1 Status Gizi Anak Balita ........................................................................................... 147

16.2 Status Gizi Anak Umur 5-18 Tahun ........................................................................ 151

16.3 Status Gizi Dewasa ................................................................................................. 155

BAB 17. KESEHATAN INDERA ............................................................................................ 158

17.1 Kesehatan Mata ...................................................................................................... 159

17.2 Kesehatan Telinga .................................................................................................. 164

BAB 18. PEMERIKSAAN IODIUM GARAM .......................................................................... 169

LAMPIRAN ............................................................................................................................. 171

Page 20: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (response rate) menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................................................... 11

Tabel 2.2 Distribusi jumlah sampel menurut kelompok umur, Riau 2013 ............................... 12

Tabel 3.1 Proporsi RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah dan swasta menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................................................... 19

Tabel 3.2 Proporsi RT yang mengetahui keberadaan tempat praktik bidan atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Riau 2013.......................................................................... 20

Tabel 3.3 Proporsi RT yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 20

Tabel 3.4 Proporsi moda transportasi ke RS pemerintah menurut karakteristik, Riau 2013 .. 21

Tabel 3.5 Proporsi moda transportasi ke puskesmas atau pustu menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................................................... 22

Tabel 3.6 Waktu tempuh menuju faskes terdekat menurut pengetahuan RT, Riau 2013 ...... 22

Tabel 3.7 Waktu tempuh menuju RS pemerintah menurut karakteristik, Riau 2013 .............. 23

Tabel 3.8 Biaya transportasi menuju faskes terdekat, Riau 2013 .......................................... 23

Tabel 3.9 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Riau 2013........................................... 23

Tabel 4.1 Proporsi RT yang menyimpan obat/OT dan rerata jumlah obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....................................................................................... 25

Tabel 4.2 Proporsi RT yang menyimpan obat/OT berdasarkan jenis obat/OT menurut karakteristik, Riau 2013 .......................................................................................................... 26

Tabel 4.3 Proporsi RT yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................................................... 26

Tabel 4.4 Proporsi RT berdasarkan sumber mendapatkan obat/OT menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 27

Tabel 4.5 Proporsi RT berdasarkan status obat/OT yang disimpan menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 27

Tabel 4.6 Proporsi RT yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .............................................................................. 28

Tabel 4.7 Proporsi RT yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Riau 2013 .................................................................................... 28

Tabel 4.8 Proporsi RT berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Riau 2013 .......................................................................................................... 29

Tabel 4.9 Proporsi RT berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................................... 29

Tabel 4.10 Proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................ 30

Tabel 4.11 Proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Riau 2013 .................................. 30

Tabel 4.12 Proporsi RT berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan yankestrad, Riau 2013 ................................................................................................................................. 31

Tabel 5.1 Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................................... 33

Page 21: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xix

Tabel 5.2 Proporsi RT berdasarkan anggota RT yang biasa mengambil air menurut karakteristik, Riau 2013 .......................................................................................................... 34

Tabel 5.3 Proporsi RT berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................................. 34

Tabel 5.4 Proporsi RT yang melakukan pengolahan air minum sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................................................... 35

Tabel 5.5 Proporsi RT berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 36

Tabel 5.6 Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................................................... 37

Tabel 5.7 Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved menurut karterisrik, Riau 2013 ............................................................................................................... 37

Tabel 5.8 Proporsi RT berdasarkan tempat penampungan air limbah kamar mandi/tempat cuci/dapur menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................... 38

Tabel 5.9 Proporsi RT berdasarkan pengelolaan sampah menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ......................................................................................................................................... 39

Tabel 5.10 Proporsi RT berdasarkan status penguasaan bangunan rumah yang ditempati menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................. 40

Tabel 5.11 Proporsi RT berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................................. 40

Tabel 5.12 Proporsi RT berdasarkan kondisi fisik bangunan rumah menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 41

Tabel 5.13 Proporsi RT berdasarkan keadaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur (keterpisahan, kebersihan, kondisi jendela, ventilasi, pencahayaan alami), Riau 2013 ........ 41

Tabel 5.14 Proporsi RT berdasarkan jenis sumber penerangan non-listrik menurut kabu/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 42

Tabel 5.15 Proporsi RT berdasarkan jenis bahan bakar utama menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................................................... 42

Tabel 5.16 Proporsi RT berdasarkan cara mencegah gigitan nyamuk menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 43

Tabel 5.17 Proporsi RT yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................. 43

Tabel 6.1 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....................................................................................... 46

Tabel 6.2 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................. 47

Tabel 6.3 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 48

Tabel 6.4 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................................................... 49

Tabel 6.5 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....................................................................................... 50

Tabel 6.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................. 51

Tabel 6.7 Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 52

Page 22: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xx

Tabel 6.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................................. 52

Tabel 6.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................... 53

Tabel 6.10 Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Riau 2013 ........................ 54

Tabel 6.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................. 55

Tabel 6.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Riau 2013 ...................................................... 56

Tabel 7.1 Prevalensi asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ........... 59

Tabel 7.2 Prevalensi asma, PPOK, dan kanker menurut karakteristik, Riau 2013 ................ 60

Tabel 7.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid, dan hipertensi menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................................. 62

Tabel 7.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid, dan hipertensi menurut karakteristik, Riau 2013 . 63

Tabel 7.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke menurut kab/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 65

Tabel 7.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke menurut karakteristik, Riau 2013 .......................................................................................................... 66

Tabel 7.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi menurut kab/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 67

Tabel 7.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 69

Tabel 8.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ........... 72

Tabel 8.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Riau 2013 ................ 73

Tabel 8.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................... 74

Tabel 8.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................... 75

Tabel 8.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............... 76

Tabel 8.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Riau 2013 ..................... 77

Tabel 9.1 Proporsi penduduk bermasalah gigi & mulut, menerima perawatan tenaga medis gigi, dan effective medical demand dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ......................................................................................................................................... 79

Tabel 9.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi & mulut, menerima perawatan tenaga medis gigi, dan effective medical demand dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................................. 80

Tabel 9.3 Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis nakes menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 81

Tabel 9.4 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....................................................... 82

Tabel 9.5 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................ 83

Tabel 9.6 Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Riau 2013 ............. 84

Tabel 10.1 Proporsi penduduk menurut komponen disabilitas dan tingkat kesulitan, Riau 2013 ......................................................................................................................................... 86

Tabel 10.2 Prevalensi disabilitas dan rerata hari produktif hilang menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 87

Page 23: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxi

Tabel 10.3 Prevalensi disabilitas menurut karakteristik, Riau 2013 ....................................... 88

Tabel 11.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................. 90

Tabel 11.2 Proporsi RT yang memiliki ART bergangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................. 90

Tabel 11.3 Prevalensi gangguan mental emosional menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .... 91

Tabel 11.4 Prevalensi gangguan mental emosional menurut karakteristik, Riau 2013 .......... 92

Tabel 12.1 Proporsi perilaku yang benar dalam BAB dan cuci tangan penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................................. 93

Tabel 12.2 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 94

Tabel 12.3 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 95

Tabel 12.4 Rerata jumlah batang rokok diisap penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................................... 96

Tabel 12.5 Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................................................... 96

Tabel 12.6 Proporsi status aktivitas fisik penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 97

Tabel 12.7 Proporsi perilaku sedentari penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................................................. 98

Tabel 12.8 Proporsi perilaku sedentari penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................................................................. 99

Tabel 12.9 Proporsi porsi kurang makan sayur dan buah penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 100

Tabel 12.10 Proporsi perilaku konsumsi makanan tertentu ≥ 1 kali sehari penduduk ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ........................................................................... 101

Tabel 12.11 Proporsi perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung terigu ≥ 1 kali sehari penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ......................................... 101

Tabel 12.12 Proporsi RT yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 104

Tabel 13.1 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................................................................................... 107

Tabel 13.2 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut karakteristik, Riau 2013 ....................................................................................................................................... 108

Tabel 13.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan median besaran biaya menurut karakteristik, Riau 2013 ................................................................................. 109

Tabel 13.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 109

Tabel 13.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................... 110

Tabel 13.6 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 111

Tabel 13.7 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................... 111

Page 24: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxii

Tabel 13.8 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat jalan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 112

Tabel 13.9 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat jalan menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................................ 113

Tabel 13.10 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat inap menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 113

Tabel 13.11 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat inap menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................................ 114

Tabel 14.1 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin menurut kab/kota, Riau 2013 ............................................................................................................................... 116

Tabel 14.2 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin menurut kelompok umur, Riau 2013 ................................................................................................................... 117

Tabel 14.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB modern oleh WUS kawin berdasarkan kandungan hormon dan jangka waktu efektif KB menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....... 118

Tabel 14.4 Proporsi pemanfaatan tempat pelayanan kesehatan dalam memperoleh pelayanan KB menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .............................................................. 119

Tabel 14.5 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 119

Tabel 14.6 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................................................................................... 121

Tabel 14.7 Proporsi pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 122

Tabel 14.8 Proporsi tempat pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 . 123

Tabel 14.9 Proporsi ibu Hamil mengkonsumsi zat besi dan jumlah hari konsumsi menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 123

Tabel 14.10 Persentase kepemilikan buku KIA dan observasi isian Amanat Persalinan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 125

Tabel 15.1 Persentase berat badan lahir rendah (BBLR) anak balita, Riau 2013 ................ 126

Tabel 15.2 Persentase berat badan lahir dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................................................... 127

Tabel 15.3 Persentase panjang badan lahir dari anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 128

Tabel 15.4 Persentase panjang badan lahir dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................................................... 129

Tabel 15.5 Persentase berat badan lahir rendah dan panjang badan lahir pendek anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................... 130

Tabel 15.6 Persentase berat badan lahir rendah dan panjang badan lahir pendek anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................... 131

Tabel 15.7 Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan, Riau 2013 ............... 132

Tabel 15.8 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................... 134

Tabel 15.9 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................................................................................................... 135

Tabel 15.10 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 135

Page 25: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxiii

Tabel 15.11 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................... 136

Tabel 15.12 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013* ......................................................................................... 137

Tabel 15.13 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ...................................................................... 137

Tabel 15.14 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 138

Tabel 15.15 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................... 139

Tabel 15.16 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 140

Tabel 15.17 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................... 141

Tabel 15.18 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 142

Tabel 15.19 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kab/kota, Riau 2013 ............................................................................................................. 143

Tabel 15.20 Persentase cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................ 144

Tabel 15.21 Persentase frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .............................................................. 145

Tabel 15.22 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 146

Tabel 15.23 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................... 146

Tabel 16.1 Prevalensi status gizi balita BB/U menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............. 149

Tabel 16.2 Prevalensi status gizi balita TB/U menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............. 150

Tabel 16.3 Prevalensi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .......... 150

Tabel 16.4 Prevalensi status gizi TB/U umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....................................................................................................................................... 152

Tabel 16.5 Prevalensi status gizi IMT/U umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ....................................................................................................................................... 152

Tabel 16.6 Prevalensi status gizi TB/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................................................................................... 153

Tabel 16.7 Prevalensi status gizi IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 153

Tabel 16.8 Prevalensi status gizi TB/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................................................................................... 154

Tabel 16.9 Prevalensi status gizi IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................................................................................... 155

Tabel 16.10 Proporsi status gizi penduduk dewasa (>18 Tahun) berdasarkan kategori IMT menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................... 155

Tabel 16.11 Proporsi obesitas sentral pada penduduk umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ................................................................................................... 156

Page 26: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxiv

Tabel 16.12 Prevalensi risiko kurang energi kronis penduduk wanita usia subur (WUS) 15 – 49 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................. 156

Tabel 16.13 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/Kota, ..................................................................................................................... 157

Tabel 17.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 160

Tabel 17.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................... 161

Tabel 17.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 162

Tabel 17.4 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Riau 2013 ........................................................................................... 163

Tabel 17.5 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................... 164

Tabel 17.6 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ............................................................. 165

Tabel 17.7 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Riau 2013 .................................................................. 166

Tabel 17.8 Prevalensi morbiditas telinga lainnya pada penduduk umur ≥2 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013 .................................................................................................... 167

Tabel 17.9 Prevalensi morbiditas telinga lainnya pada penduduk umur ≥2 tahun menurut karakteristik, Riau 2013 ......................................................................................................... 168

Tabel 18.1 Proporsi rumah-tangga mengonsumsi garam iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut kabupaten/kota, Riau 2013 ..................................................................................... 169

Tabel 18.2 Prpoporsi rumah-tangga yang mengonsumsi garam mengandung cukup iodium berdsarkan hasil tes cepat menurut karakteristik, Riau 2013 ............................................... 170

Page 27: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 ............................................................. 3

Gambar 12.1 Proporsi RT Melakukan PHBS menurut 10 indikator.............................. 104

Gambar 14.1 Proporsi penggunaan KB menurut jenis alat/cara KB, Riau 2013.......... 117

Gambar 14.2 Proporsi alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB pada WUS

yang sekarang tidak ber-KB, Riau 2013.................................................

120

Page 28: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxvi

DAFTAR SINGKATAN

µg/L : microgram per Liter ACT : Artemisinin-based combination therapy ADA : American Diabetes Assocation Amanat Persalinan : Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat ANC : Antenatal care ANC 4x + : proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu

hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.

APN : Asuhan Persalinan Normal ART : Anggota Rumah Tangga Asabri : Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ASI : Air Susu Ibu Askes : Asuransi kesehatan BAB : Buang air besar Babel : Bangka Belitung Badan Litbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balita : Bawah lima tahun BB : Berat Badan BB/TB : Berat badan/Tinggi Badan BB/U : Berat badan/umur BBLR : Berat Badan Lahir Rendah BP : Balai Pengobatan BPS : Badan Pusat Statistik BS : Blok Sensus Buku KIA : Buku Kesehatan Ibu dan Anak CPR : Contraceptive Prevalence Rate D : Diagnosis dokter/tenaga kesehatan D1 : Diploma 1 D3 : Diploma 3 DG : Diagnosis atau gejala Dinkes : Dinas Kesehatan DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta DKI : Daerah Khusus Ibukota DM : Diabetes Mellitus DO : Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri EIU : Eksresi Iodium Urin EKG : Elektro Kardio Gram EMD : Effective Medical Demand FKM : Fakultas Kesehatan Masyarakat G : Gejala klinis spesifik penyakit GAKI : Gangguan Akibat Kekurangan Iodium GATS : Global Adults Tobacco Survey GDP : Glukosa Darah Puasa GDPP : Glukosa Darah Pasca Pembebanan GDS : Glukosa Darah Sewaktu GGK : Gagal ginjal kronik Hb : Hemoglobin HDL : High-Density Lipoprotein HIV/ AIDS : Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired

Immunodeficiency Syndrome ICCIDD : International Council for Control of Iodine Deficiency

Disorders ICF : International Classification of Functioning IFCC : International Federation of Clinical Chemistry IMD : Inisiasi Menyusu Dini

Page 29: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxvii

IMT : Indeks Massa Tubuh Indeks DMF-T : Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth) IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut IU : International Unit IUD : Intra Uterine Device Jabar : Jawa Barat Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jateng : Jawa Tengah Jatim : Jawa Timur JMP : Joint Monitoring Programme JNC : Joint National Committee JPK : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan K1 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu

hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan

K1 ideal : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1

K4 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3.

Kadinkes : Kepala Dinas Kesehatan Kalbar : Kalimantan Barat Kalsel : Kalimantan Selatan Kalteng : Kalimantan Tengah Kaltim : Kalimantan Timur Kasie litbang : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Kasie Litbangda : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah Kasie puldata : Kepala Seksi Pengumpulan Data Kasubdin : Kepala Sub Dinas Katim : Ketua Tim KB : Keluarga Berencana KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga KEK : Kurang Energi Kronis Kep. Riau : Kepulauan Riau KEPK : Komisi Etik Penelitian Kesehatan Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan Kespro : Kesehatan Reproduksi KF : Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama

periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. KIA : Kesehatan Ibu dan Anak KIO3 : Kalium Iodat KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi KK : Kepala Keluarga KLB : Kejadian Luar Biasa KMS : Kartu Menuju Sehat KN : Kunjungan Neonatal Korwil : Koordinator Wilayah Lansia : Lanjut usia LDL : Low-Density Lipoprotein LH : Lahir Hidup LiLA : Lingkar Lengan Atas

Page 30: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxviii

Linakes : Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan)

LM : Lahir Mati LP : Lingkar Perut Malut : Maluku Utara MDGs : Millennium Development Goals Menkes : Menteri Kesehatan MI : Missing Indeks MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu Nakes : Tenaga Kesehatan NCEP-ATP III : National Cholesterol Education Program- Adult Treatment

Panel III NLIS : Nutrition Landscape Information System Non MKJP : Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang NTB : Nusa Tenggara Barat NTT : Nusa Tenggara Timur OAT : Obat Anti Tuberkulosis OG : Obat Generik OT : Obat Tradisional P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan

Komplikasi Pabar : Papua Barat PB : Panjang Badan PBTDK : Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan PCA : Principal Component Analysis PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi PDBK : Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan PERDAMI : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia PERHATI : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok

Indonesia Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan Perpres : Peraturan Presiden PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PJK : Penyakit Jantung Koroner PM : Penyakit Menular PMT : Pemberian Makanan Tambahan PNS : Pegawai Negeri Sipil Polindes : Pondok Bersalin Desa Poltekkes : Politeknik Kesehatan Poskesdes : Pos Kesehatan Desa Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu PPI : Program Pengembangan Imunisasi Ppm : Part per million PPS : Probability Proportional To Size PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis PSU : Primary Sampling Unit PT : Perguruan Tinggi PTI : Performance Treatment Index PTM : Penyakit Tidak Menular PUS : Pasangan Usia Subur Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Pustu : Puskesmas Pembantu PWS KIA : Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak RB : Rumah Bersalin

Page 31: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

xxix

RDT : Rapid Diagnostic Test RI : Republik Indonesia Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RKD : Riskesdas RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RS : Rumah Sakit RT : Rumah Tangga RTI : Required Treatment Index SD/MI : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah SDM : Sumber Daya Manusia SKN : Sistem Kesehatan Nasional SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMA/MA : Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah SMP/MTS : Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah SP 2010 : Sensus Penduduk 2010 SPK : Standar Pelayanan Kebidanan SRQ : Self Reporting Questionnaire STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sulbar : Sulawesi Barat Sulsel : Sulawesi Selatan Sulteng : Sulawesi Tengah Sultra : Sulawesi Tenggara Sulut : Sulawesi Utara Sumbar : Sumatera Barat Sumsel : Sumatera Selatan Sumut : Sumatera Utara Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional TB : Tinggi Badan TB : Tuberkulosis TB/U : Tinggi badan/Umur TGT : Toleransi Glukosa Terganggu TKP : Tempat Kejadian Perkara TNI/Polri : Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI U : Ukur UI : Universitas Indonesia UKBM : Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat UNAIR : Universitas Airlangga UNHAS : Universitas Hasanuddin UNICEF : United Nations Children’s Fund USI : Universal Salt Iodization UU : Undang – Undang WG : Washington Group WHO : World Health Organization WHODAS 2 : WHO Disability Assessment Schedule 2 WUS : Wanita Usia Subur Yankestrad : Pelayanan Kesehatan Tradisional

Page 32: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk pemberdayaan swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem Kesehatan Nasional tahun 2012 memasukkan penelitian dan pengembangan ke dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang ada.

Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data kesehatan berskala nasional, baik berbasis fasilitas maupun komunitas, yang dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercaya.

Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan riset kesehatan berbasis komunitas yang dirancang berskala nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk mengevaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini laporan difokuskan pada hasil pelaksanaan Riskesdas di Provinsi Riau.

Riskesdas pertama dilakukan pada tahun 2007, meliputi indikator kesehatan utama, yakni status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi makanan gizi rumah tangga (RT), pengetahuan sikap perilaku kesehatan (flu burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum minuman alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan), dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, dan pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota RT (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan.

Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan penyelenggara program kesehatan, baik di pusat maupun daerah. Di samping sudah digunakan sebagai bahan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), yang berguna untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK).

Pada tahun 2013 Riskesdas, yang serupa dengan tahun 2007, kembali dilakukan dengan keterwakilan sampel hingga tingkat kabupaten/kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, mewakili tingkat provinsi, sedangkan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.

Tahap persiapan Riskesdas 2013 sudah dilakukan selama setahun di tahun 2012, yang diawali dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2007 untuk meningkatkan kualitas data. Selanjutnya, beberapa indikator ditambahkan, seperti Pemukiman dan Ekonomi, Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional, Kesehatan Mental ditambah informasi tentang Gangguan Jiwa Berat dan Pasung, Kesehatan Reproduksi, Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan yang Bersumber dari Tepung Terigu, Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam Air, dan Pemeriksaan Iodium dalam Urine pada WUS. Indikator status ekonomi dikembangkan dari komposit variabel aset yang termasuk dalam blok Pemukiman dan Ekonomi. Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 ditambahkan informasi sunat perempuan. Sebaliknya, ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan, seperti konsumsi makanan dan gizi RT, dengan alasan

Page 33: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

2

akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak dikumpulkan, antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan mengenai flu burung, dan kebisingan di sekitar RT.

1.2 Ruang Lingkup Riskesdas 2013

Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas Provinsi Riau 2013 adalah mengumpulkan data berbasis komunitas yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di tingkat kabupaten/kota, termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam Riskesdas 2013 Riau adalah:

1. Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di Riau dan kabupaten/kota-nya tahun 2013?

2. Apakah sudah terjadi perubahan masalah kesehatan masyarakat yang spesifik di Riau dan kabupaten/kota-nya?

3. Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di Riau dan kabupaten/kota-nya?

1.4 Tujuan Riskesdas 2013

Tujuan Umum:

Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Tujuan Khusus:

1. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan, termasuk alokasi sumber daya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

2. Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2013.

3. Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten/kota dengan menggunakan IPKM.

4. Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.

Page 34: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

3

1.5 Kerangka Pikir

Gambar 1.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM

Page 35: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

4

1.6 Alur Pikir Riskesdas 2013

Alur pikir (Gambar 1.2) ini secara skematis menggambarkan enam tahap penting dalam Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili RT dan individu sampai ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahap 1 hingga Tahap 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013 bukan saja mampu menjawab pertanyaan kebijakan, tetapi dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya.

Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahap Riskesdas 2013 dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas 2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia.

Page 36: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

5

Alur Pikir Riskesdas 2013

Pertanyaan

Kebijakan

Pertanyaan

Penelitian

Riskesdas

2013

1. Indikator:

Status gizi

Kesehatan ibu & anak

Morbiditas PM & PTM

Cedera & Kes Jiwa

Disabilitas

Kecacatan

Kesehatan lingkungan

Perumahan & pemukiman

Pengetahuan, sikap & perilaku

Farmasi & yankestrad

Akses & yankes

Pembiayaan kes

6. Laporan

Tabel Dasar

Hasil Pendahuluan Nasional

Hasil Pendahuluan Provinsi

Hasil Akhir Nasional

Hasil Akhir Provinsi

2. Desain APD:

Kuesioner wawancara, pengukuran, pemeriksaan

Validitas

Reliabilitas

Dapat diterima

5. Statistik

Deskriptif

Bivariat

Multivariat

Uji Hipotesis

3. Pelaksanaan Riskesdas 2013:

Pengembangan manual Riskesdas

Pengembangan modul pelatihan

Pelatihan pelaksana

Penelusuran sampel

Pengorganisasian

Logistik

Pengumpulan data

Supervisi/bimbingan teknis

Validasi

4. Manajemen Data Riskesdas 2013:

Editing

Entry

Cleaning follow-up

Perlakuan terhadap missing data

Perlakuan terhadap outliers

Consistency check

Analisis syntax appropriateness

Pengarsipan

Page 37: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

6

1.7 Pengorganisasian Riskesdas 2013

Dasar hukum persiapan Riskesdas adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun 2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/1.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 mengenai Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.

Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: 1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasihat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim

Manajemen, dan Tim Pelaksana Pusat.

Tim Penasihat terdiri dari Menkes dan Kepala BPS beserta Pejabat eselon I Kementerian Kesehatan.

Tim Pengarah terdiri dari Kepala Balitbangkes dan Pejabat eselon I beserta sektor terkait.

Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidang masing-masing.

Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon II dan Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes.

Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III dan staf Badan Litbangkes.

Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (Korwil) dan setiap Korwil mengkoordinasi beberapa provinsi.

2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi.

Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kepada Dinkes Provinsi, Kepala Subdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kepala Seksi Litbang/Puldata Dinkes Provinsi.

3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota.

Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/kota diketuai oleh Kepala Dinkes kabupaten/Kota, Kepala Subdin Bina Program tingkat kabupaten/kota, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan Kepala Seksi Litbangda Dinkes Kabupaten/Kota.

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk pula Tim Pengumpul dan Manajemen Data. Setiap Tim pengumpul data mencakup 6 BS (150 rumah-tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data, termasuk Katim, minimal berpendidikan D3 Kesehatan. Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi) dan lain-lain. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan manejemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/kota dengan persetujuan kepada bidang masing-masing untuk dibebaskan dati tugas rutin.

Koordinator atau penanggung jawab teknis (PJT) provinsi, manajemen data (Mandat), dan masing-masing kabupaten/kota di Riau sebagai berikut: 1. PJT Provinsi Riau adalah Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH. 2. PJT Mandat Provinsi Riau adalah Ir. Sri Prihatini, MKes. 3. PJT Kabupaten Kuantan Singingi adalah Drs. Tugiman Atmasumarta, MKes, yang

mencakup 22 blok sensus (BS) kesmas. 4. PJT Kabupaten Indagiri Hulu adalah Dr. Heryudarini Harahap, MKes, yang mencakup 24

BS kesmas. 5. PJT Kabupaten Indragiri Hilir adalah Ratih Kumaladewi, SGz, yang mencakup 29 BS

kesmas. 6. PJT Kabupaten Pelalawan adalah Ir. Itje A. Ranida, MKes, yang mencakup 24 BS

kesmas. 7. PJT Kabupaten Siak adalah Ikha Deviyanti Puspita, SGz, MKM, yang mencakup 24 BS

kesmas dan 3 BS biomedis. 8. PJT Kabupaten Kampar adalah Gurid P. Eko Mulyo, SKM, MSc, yang mencakup 29 BS

kesmas dan 2 BS biomedis. 9. PJT Kabupaten Rokan Hulu adalah Achmad Jajuli, SKM, MKM, yang mencakup 27 BS

kesmas.

Page 38: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

7

10. PJT Kabupaten Bengkalis adalah Angga Prasetya, SKM, MARS, yang mencakup 26 BS kesmas dan 6 BS biomedis.

11. PJT Kabupaten Kepulauan Meranti adalah Dipo Wicaksono Kamal, SKM, yang mencakup 21 BS kesmas.

12. PJT Kabupaten Rokan Hilir adalah Lina Triana Sari, SGz, yang mencakup 27 BS kesmas. 13. PJT Kota Pekanbaru adalah Ir. Tjetjep S. Hidayat, MKes, yang mencakup 30 BS kesmas. 14. PJT Kota Dumai adalah Ratna Duhita Pramintari, SKM, MSi, yang mencakup 22 BS

kesmas.

1.8 Manfaat Riskesdas 2013

Riskesdas 2013 bermanfaat bagi kabupaten/kota untuk:

1. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai dengan perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir.

2. Memiliki bahan advokasi yang berbasis-bukti.

3. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.

1.9 Persetujuan Etik Riskesdas

Pelaksanaan Riskesdas 2013 telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI dengan No. LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent) untuk responden yang digunakan dalam Riskesdas 2013.

Page 39: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

8

BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS

2.1 Metode Sampling

Riskesdas adalah sebuah survei skala nasional dengan desain cross-sectional. Riskesdas 2013 dilakukan bertujuan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang terwakili oleh penduduk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dengan mempertimbangkan parameter yang dikumpulkan pada Riskesdas 2013, untuk memudahkan perbedaan, maka Riskesdas 2013 dibagi menjadi 3 Modul: Modul Kabupaten, Modul Provinsi, dan Modul Nasional.

(1) Modul Kabupaten dirancang untuk dapat menyajikan data kabupaten/kota yang bertujuan untuk mengembangkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM);

(2) Modul Provinsi dirancang untuk dapat menyajikan data provinsi, yang merupakan sub sampel Modul Kabupaten;

(3) Modul Nasional dirancang untuk dapat menyajikan data tingkat nasional, khususnya untuk kepentingan sampel biomedis, yang merupakan sub sampel Modul Provinsi.

a. Kerangka sampel.

Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari dua jenis, yakni kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap pertama dan penarikan sampel tahap kedua.

Kerangka sampel penarikan sampel tahap pertama adalah daftar primary sampling unit (PSU) dalam master sampel. PSU dalam master sampel berjumlah 30.000, yang dipilih secara probability proportional to size (PPS), dengan jumlah rumah tangga (RT) hasil Sensus Penduduk (SP) 2010. PSU adalah gabungan dari beberapa Blok Sensus (BS), yang merupakan wilayah kerja tim pencacahan SP2010. PSU juga dilengkapi dengan data kepala RT berdasarkan klasifikasi wilayah urban rural.

Kerangka sampel penarikan sampel tahap kedua adalah seluruh bangunan sensus (bangsen) yang di dalamnya terdapat RT biasa, tidak termasuk institutional household (panti asuhan, barak polisi/militer, penjara, dan sebagainya) hasil pencacahan lengkap SP2010 (SP2010-C1). Bangsen terpilih dan RT di dalam bangsen terpilih dimutakhirkan terlebih dulu. Pemutakhiran dilakukan enumerator Riskesdas 2013 sebelum wawancara mulai dilakukan.

b. Desain sampel.

(1) Estimasi kabupaten/kota:

Metode sampling yang digunakan adalah metode penarikan sampel tiga tahap berstrata. Tahapan metode ini sebagai berikut.

Tahap pertama, memilih secara sistematis sejumlah PSU dari PSU terpilih pada setiap kabupaten/kota sesuai dengan alokasi domain.

Tahap kedua, dari PSU terpilih itu dipilih 2 BS secara PPS dengan jumlah RT SP2010 – Rekap Jumlah RT hasil listing (SP2010-RBL1) pada setiap kabupaten/kota sesuai dengan alokasi domain. Selanjutnya, satu BS untuk Riskesdas dan satu BS untuk Susenas dipilih secara acak.

Tahap ketiga, sejumlah bangsen (n=25) dipilih secara sistematis dari setiap BS Riskesdas berdasarkan data bangsen hasil SP2010-C1.

Page 40: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

9

Tahap keempat, dari setiap bangsen terpilih, terlebih dulu dilakukan pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya, satu RT dipilih secara acak sebagai sampel. RT di dalam bangsen dimutakhirkan terlebih dulu.

(2) Estimasi provinsi:

Metode sampling yang digunakan adalah metode penarikan sampel dua tahap berstrata dan merupakan sub-sampel dari estimasi kabupaten/kota. Tahapan metode tersebut sebagai berikut.

Tahap pertama, memilih secara sistematis sejumlah BS dari BS terpilih estimasi kabupaten/kota sesuai dengan alokasi domain kabupaten/kota.

Tahap kedua, sejumlah bangsen (n=25) dipilih secara sistematis dari setiap BS terpilih ini berdasarkan data bangsen hasil SP2010-C1.

Tahap ketiga, dari setiap bangsen terpilih, terlebih dulu dilakukan pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya, satu RT dipilih secara acak sebagai sampel. RT di dalam bangsen dimutakhirkan terlebih dulu.

(3) Estimasi nasional:

Metode sampling yang digunakan adalah metode penarikan sampel dua tahap berstrata dan merupakan sub-sampel dari estimasi provinsi. Tahapan metode itu sebagai berikut.

Tahap pertama, memilih 250 kabupaten/kota secara PPS with replacement (PPS WR). Metode tersebut memanfaatkan informasi jumlah RT per kabupaten/kota hasil SP2010 sebagai ukuran (size) yang dijadikan dasar untuk peluang dalam pemilihan sampel. Dari penarikan sampel dihasilkan jumlah realisasi sampel yang efektif (effective sample size) sebanyak 177 kabupaten/kota.

Tahap kedua, dari setiap kabupaten/kota terpilih ini dipilih BS secara systematic sampling dari daftar BS sampel Riskesdas Modul MDGs. Dengan demikian, BS terpilih Modul Biomedis merupakan sub sampel dari BS yang digunakan dalam Modul Provinsi dengan jumlah 1.000 BS. RT yang menjadi sampel dalam Riskesdas Modul Biomedis berjumlah 25 RT yang terpilih pada Modul Provinsi di BS sampel Modul Biomedis.

(4) Kepentingan sampel untuk validasi Riskesdas 2013:

Untuk menjaga mutu sampel yang dikumpulkan, validasi dilakukan oleh tiga perguruan tinggi: Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin. Penarikan sampel dilakukan dari subsampel nasional dengan jumlah 150 BS, yang tersebar di 33 provinsi.

c. Jumlah sampel blok sensus dan rumah-tangga (RT).

Sebagaimana sudah diuraikan di muka, jumlah sampel BS dan RT ditujukan untuk beberapa domain estimasi sebagai berikut.

Estimasi kabupaten/kota: merupakan minimum sampel untuk estimasi kabupaten dengan total sampel RT 300.000 (dari 12.000 BS). Sampel BS dialokasikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan.

Estimasi provinsi: merupakan minimum sampel untuk estimasi provinsi dengan total sampel RT 75.000 (3.000 BS). Sampel BS dialokasikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan.

Estimasi nasional: merupakan minimum sampel untuk estimasi nasional dengan total sampel RT 25.000 (1.000 BS). Sampel BS dialokasikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan.

Sampel validasi: merupakan minimum sampel dari subsampel nasional (150 BS), yang dialokasikan menurut perkotaan dan perdesaan.

Page 41: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

10

2.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh RT biasa, yang mewakili 33 provinsi, termasuk Provinsi Riau. Sampel RT dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk 2010. Proses pemilihan RT ditentukan oleh BPS yang memberikan daftar bangsen terpilih yang berasal dari BS terpilih dengan tahapan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel RT yang dimaksud.

Proses pemilihan rumah-tangga sampel

Seperti sudah diuraikan, BPS memilih BS untuk Riskesdas 2013 berdasarkan sampling frame SP2010. Diperoleh daftar 12.000 BS berikut dengan 300.000 daftar bangsen yang telah dilengkapi dengan nama-nama kepala RT (KRT) ketika SP2010 dilakukan. Nama-nama KRT itu dimutakhirkan oleh enumerator sebelum dilakukan pencacahan. Beberapa catatan pada proses pemilihan dan pemutakhiran RT dari BS dan bangsen terpilih sebagai berikut.

(1) Kasus BS yang tidak ditemukan atau hilang karena bencana (banjir, longsor, gempa bumi), seperti di Mentawai dan beberapa kabupaten di Kalimantan;

(2) Kasus BS yang merupakan daerah konflik dan sangat sulit untuk dijangkau, seperti Papua;

(3) Kasus bangsen yang tidak ditemukan karena sudah berubah fungsi menjadi „bukan RT biasa‟.

Untuk kasus-kasus seperti di atas, BPS dilaporkan sehingga BS berikut bangsennya dipilih ulang.

Jumlah sampel Riskesdas 2013 Provinsi Riau

Dari 305 BS terpilih untuk sampel Riskesdas 2013 Provinsi Riau, semua (100%) berhasil ditemukan dan dikunjungi, yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Sampel RT yang berhasil dikunjungi berjumlah 7.520 dari 7.625 RT yang ditargetkan (98,6%). Adapun anggota rumah-tangga (ART) yang berhasil diwawancarai berjumlah 28.017 dari 29.621 orang yang ditargetkan (94,6%).

Tabel 2.1 adalah distribusi jumlah BS, RT dan ART menurut kabupaten/kota di Riau. Tabel 2.2 merupakan distribusi jumlah sampel menurut kelompok umur. Pengelompokkan umur dilakukan untuk kepentingan analisis parameter Riskesdas 2013.

Sampel anak di bawah lima tahun (balita) berjumlah 2.580, anak usia sekolah (5-14 tahun) berjumlah 6.522, serta remaja dan dewasa (≥ 15 tahun) berjumlah 18.915.

Jumlah sampel tes cepat garam Iodium sebanyak 7520 RT dan jumlah ini dapat mewakili gambaran tingkat kabupaten/kota.

Page 42: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

11

Tabel 2.1 Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (response rate) menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Blok Sensus Rumah-Tangga (RT) ART

Sampel Dikunjungi Response

Rate (%) Sampel Dikunjungi

Response

Rate (%) Sampel Wawancara

Response

Rate (%)

Kuantan Singingi 22 22 100 550 550 100,0 1953 1815 92,9

Indragiri Hulu 24 24 100 600 599 99,8 2382 2228 93,5

Indragiri Hilir 29 29 100 725 680 93,8 2678 2432 90,8

Pelalawan 24 24 100 600 599 99,8 2289 2269 99,1

Siak 24 24 100 600 598 99,7 2202 2126 96.6

Kampar 29 29 100 725 725 100,0 3020 2936 97,2

Rokan Hulu 27 27 100 675 655 97,0 2434 2240 92,0

Bengkalis 26 26 100 650 615 94,6 2500 2260 90,4

Rokan Hilir 27 27 100 675 674 98,9 2857 2643 92,5

Kepulauan Meranti 21 21 100 525 525 100,0 1908 1726 90,5

Pekanbaru 30 30 100 750 750 100,0 2989 2985 99,9

Dumai 22 22 100 550 550 100,0 2409 2357 97,8

RIAU 305 305 100 7625 7520 98,6 29621 28017 94,6

Page 43: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

12

Tabel ‎2.2 Distribusi jumlah sampel menurut kelompok umur, Riau 2013

Sampel Riskesdas 2013 n %

Anak Balita (bulan): 0-5 212 8,2 6-11 261 10,1 12-23 501 19,4 24-35 513 19,9 36-47 549 21,3 48-59 544 21,1

Jumlah 2.580 100,0

Anak Usia Sekolah (tahun):

5 -9 3.366 51,6 10 -14 3.156 48,4

Jumlah 6.522 100,0

Remaja dan Dewasa (tahun): 15-19 2.445 12,9 20-24 1.836 9,7 25-29 2.186 11,6 30-34 2.442 12,9 35-39 2.370 12,5 40-44 2.183 11,5 45-49 1.676 8,9 50-54 1.390 7,4 55-59 947 5,0 60-64 618 3,3 65-69 333 1,8 70-74 272 1,4 75+ 217 1,1

Jumlah 18.915 100,0

Total 28.017 100,0

Page 44: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

13

2.3 Penjaminan Mutu Data Riskesdas 2013

Data berbasis bukti yang diperoleh dari Riskesdas 2013 harus terjaga kualitasnya. Beberapa upaya penjaminan mutu data Riskesdas 2013 dilakukan dengan menguji coba instrumen dan melakukan validasi. Uji coba dilakukan oleh peneliti Badan Litbangkes, akademisi, dan organisasi profesi.

2.3.1 Validasi

Validasi Riskesdas 2013 adalah kunjungan ulang sub-sampel Riskesdas 2013 yang dilakukan sebagai salah satu bagian dari quality assurance untuk menjamin kualitas data Riskesdas 2013. Validasi Riskesdas 2013 dilakukan oleh tim independen, gabungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin.

2.4 Variabel

Pada pelaksanaan Riskesdas 2013 terdapat ± 1060 variabel yang terkelompokkan menjadi dua jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut:

(1) Kuesioner Rumah-Tangga (RKD13.RT) terdiri dari ± 160 variabel meliputi:

a. Blok I tentang „Pengenalan Tempat‟ (14 variabel), termasuk pengambilan sampel „Garam Rumah-Tangga‟ dan „Air Rumah-Tangga‟;

b. Blok II tentang ‟Keterangan Rumah-Tangga‟ (6 variabel);

c. Blok III tentang „Keterangan Pengumpul Data‟ (6 variabel);

d. Blok IV tentang ‟Keterangan Anggota Rumah-Tangga‟ (14 variabel);

e. Blok V tentang ‟Akses dan Pelayanan Kesehatan‟ (5 variabel);

f. Blok VI tentang „Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional‟ (16 variabel), yang mencakup „Obat dan Obat Tradisional di Rumah-Tangga‟ (10 variabel), „Pengetahuan tentang Obat Generik‟ (3 variabel), „Pelayanan Kesehatan Tradisional‟ (3 variabel);

g. Blok VII tentang „Gangguan Jiwa Berat dalam Keluarga‟ (6 variabel);

h. Blok VIII tentang „Kesehatan Lingkungan‟ (16 variabel);

i. Blok IX tentang ‟Pemukiman dan Ekonomi‟ (12 variabel).

(2) Kuesioner Individu (RKD13.IND) terdiri dari 900 variabel yang mencakup:

a. Blok X tentang „Keterangan Wawancara (Identifikasi) Individu‟ (4 variabel);

b. Blok XI tentang „Identifikasi Responden‟ (4 variabel) yang dikelompokkan menjadi:

i. Blok XI-A tentang „Penyakit Menular‟ (23 variabel) untuk semua umur, yang terdiri dari „Infeksi Saluran Pernapasan Akut‟ (2 variabel), „Diare‟ (3 variabel), „Pneumonia‟ (3 variabel), „Malaria‟ (7 variabel), „Tuberkulosis Paru‟ (5 variabel), „Hepatitis‟ (3 variabel);

ii. Blok XI-B tentang „Penyakit Tidak Menular‟ untuk umur ≥ 15 tahun (32 variabel), kecuali „Asma‟ dan „Kanker‟ untuk semua umur, yang terdiri dari „Asma dan PPOK‟ (6 variabel), „Kanker‟ (4 variabel), „Diabetes Melitus‟ (3 variabel), „Penyakit Hipertiroid‟ (3 variabel), „Hipertensi‟ (3 variabel), „Penyakit Jantung Koroner‟ (3 variabel), „Penyakit Gagal Jantung‟ (3 variabel), „Penyakit Ginjal‟ (2 variabel), „Penyakit Sendi/Rematik/Encok‟ (2 variabel), „Stroke‟ (3 variabel);

iii. Blok XI-C tentang „Cedera‟ untuk semua umur (10 variabel);

Page 45: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

14

iv. Blok XI-D tentang „Gigi dan Mulut‟ untuk semua umur (7 variabel);

v. Blok XI-E tentang „Disabilitas‟ untuk umur ≥ 15 tahun (16 variabel);

vi. Blok XI-F tentang „Kesehatan Jiwa‟ untuk umur ≥ 15 tahun (22 variabel);

vii. Blok XI-G tentang „Pengetahuan, Sikap dan Perilaku‟ untuk semua umur ≥ 10 tahun (28 variabel), yang terdiri dari „Perilaku Higienis‟ (4 variabel), „Penggunaan Tembakau‟ (11 variabel), „Aktivitas Fisik‟ (7 variabel), „Perilaku Konsumsi Sayuran dan Buah‟ (4 variabel), „Perilaku Konsumsi Makanan Berisiko‟ (1 variabel dengan 8 subvariabel), „Perilaku Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung Terigu‟ (1 variabel dengan 4 subvariabel);

viii. Blok XI-H tentang „Pembiayaan Kesehatan‟ untuk semua umur (5 variabel), yang terdiri dari „Kepemilikan Jaminan Kesehatan‟ (1 variabel dengan 6 subvariabel), „Rawat Jalan‟ (3 variabel), „Rawat Inap‟ (1 variabel dengan 9 subvariabel);

ix. Blok XI-I tentang „Kesehatan Reproduksi‟ khusus untuk perempuan umur 10-54 tahun (53 variabel), yang terdiri dari „Alat/Cara KB‟ (7 variabel), „Riwayat Kehamilan Seumur Hidup‟ (6 variabel), „Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Masa Nifas‟ khusus untuk perempuan yang pernah hamil 3 tahun terakhir (40 variabel);

x. Blok XI-J tentang „Kesehatan Anak dan Imunisasi‟ (44 variabel), yang terdiri dari „Kesehatan Bayi dan Anak Balita‟ khusus untuk umur 0-59 bulan (28 variabel), „ASI dan MP-ASI‟ khusus untuk umur 0-23 bulan (12 variabel), „Sunat Perempuan‟ khusus untuk perempuan umur 0-11 tahun (4 variabel);

xi. Blok XI-K tentang „Pengukuran‟ (6 variabel), yang terdiri dari „Berat dan Tinggi/Panjang Badan‟ untuk semua umur (2 variabel), „Lingkar Lengan Atas (LiLA)‟ khusus untuk perempuan usia subur (15-49 tahun) dan/atau hamil (1 variabel), „Lingkar Perut‟, „Tekanan Darah‟ [diukur di lengan kiri] untuk umur ≥ 15 tahun (3 variabel);

xii. Blok XI-L tentang „Pemeriksaan Mata‟ (6 variabel);

xiii. Blok XI-M tentang „Pemeriksaan Telinga‟ untuk umur ≥ 2 tahun (3 variabel);

xiv. Blok XI-N tentang „Pemeriksaaan Status Gigi Permanen‟ untuk umur ≥ 12 tahun (3 variabel);

xv. Blok XI-O tentang „Pengambilan Spesimen Darah serta Sampel Urine, Garam dan Air (status iodium)‟ (4 variabel).

2.5 Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan instrumen sebagai berikut:

(1) Data rumah-tangga dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner.

a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga, Ibu rumah-tangga atau ART yang dapat memberikan informasi.

b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh ART diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak diwawancarai.

(2) Data individu pada berbagai kelompok umur dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.

a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap ART.

Page 46: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

15

b. Khusus untuk ART berusia < 15 tahun yang berada dalam kondisi sakit, wawancara dilakukan terhadap ART yang menjadi pendampingnya.

(3) Tinggi badan diukur dengan menggunakan alat ukur tinggi badan “multifungsi” berkapasitas ukur 2 meter dan berketelitian 0,1 cm. Sementara berat badan diukur dengan timbangan berat badan digital merek “Fesco”, yang dikalibrasi setiap hari. Adapun lingkar perut dan LILA diukur dengan menggunakan satu alat medline, yakni alat ukur yang didesain untuk mengukur lingkar lengan dan lingkar perut. Seluruh pengukuran antropometri dilakukan dengan menggunakan pedoman pengukuran.

(4) Tensi diukur dengan menggunakan tensimeter digital merek Omron tipe IA1, yang batu baterainya harus diganti setiap satu BS selesai dilakukan pengukuran. Pengukuran tensimeter dilakukan dengan menggunakan pedoman pengukuran tensi.

(5) Pemeriksaan mata menggunakan beberapa peralatan yang meliputi kartu tumbling E, pinhole, kaca pembesar, lampu senter dan kartu peraga, disertai pedoman pemeriksaan.

(6) Telinga diperiksa dengan menggunakan spekulum telinga, disertai pedoman pemeriksaan.

(7) Pemeriksaan gigi menggunakan satu set peralatan yang terdiri dari kaca mulut, sarung tangan, lampu senter, masker dan dentogram, disertai pedoman pemeriksaan.

(8) Untuk pengambilan data biomedis, peralatan satu set laboratorium lapangan mencakup formulir (BM01 sampai BM05), perlengkapan penanganan limbah serta alat untuk pengambilan urine, spesimen darah, tes cepat iodium, pengambilan sampel air dan sampel garam, serta pedoman pengumpulan spesimen biomedis.

2.6 Manajemen Data

Proses manajemen data Riskesdas 2013 terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, manajemen di kabupaten/kota yang terdiri dari kegiatan: pengumpulan data; receiving-batching (penerimaan-pembukuan); editing (kontrol kualitas data); data entry; dan pengiriman data elektronik. Tahap kedua, manajemen di pusat (Badan Litbangkes) yang terdiri dari kegiatan: penerimaan dan penggabungan data seluruh kabupaten/kota, kemudian data di-clean; penggabungan data provinsi; penggabungan data nasional; cleaning data nasional; imputasi; pembobotan; dan penyimpanan data elektronik. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih lima bulan. Tim Manajemen Data yang berpusat di Jakarta mengkoordinasi manajemen keseluruhan data Riskesdas 2013. Laporan kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dikomunikasikan dan dapat dilihat di website Badan Litbangkes. Secara rinci urutan kegiatan manajemen data sebagai berikut.

2.6.1 Receiving batching

Proses receiving-batching adalah proses pencatatan penerimaan kuesioner. Pencatatan dilakukan pada electronic file berisi identitas wilayah yang telah dikunjungi, jumlah RT dan ART yang diwawancarai dan jumlah yang di-entry. Proses ini bermanfaat untuk menilai konsistensi jumlah data responden yang diwawancarai, di-entry, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data, serta memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya kehilangan data karena proses input atau pengiriman elektronik.

2.6.2 Editing data

Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu mata rantai yang potensial dapat mengontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan ketua tim, kemudian dilanjutkan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota, sejak enumerator

Page 47: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

16

selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan.

Editing kuesioner yang dilakukan PJT Kabupaten/Kota meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti:

Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan. Contoh, pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 10-54 tahun.

Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi.

Kelengkapan formulir biomedis (BM01 s.d. BM05), termasuk stiker nomor laboratorium, sebelum dilakukan entry data.

2.6.3 Entry data

Program entry data Riskesdas 2013 dikembangkan oleh tim manajemen data Riskesdas Badan Litbangkes menggunakan software CSPro 4.1 dengan operating system windows 7 yang memiliki fasilitas autorun. Program entry tersebut mencakup kuesioner RT, individu, dan hasil pemeriksaan biomedis (formulir spesimen darah, urine, garam, dan air, termasuk sticker nomor laboratorium). Entry data kuesioner kesmas dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data, sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen darah dan urine dilakukan oleh tim biomedis di Jakarta dan Balai GAKI-Magelang.

Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda, sehingga kuesioner disusun dengan beberapa lompatan pertanyaan (skip questions) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi data dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu program entry dibuat dengan diperkuat oleh batasan-batasan entry secara komputerisasi. Hasil entry data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.

2.6.4 Penggabungan data

File data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data pusat. Langkah selanjutnya dilakukan penggabungan data dan cleaning sementara agar umpan balik dapat segera diberikan kepada tim pewawancara untuk memperbaiki data, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari hampir 12000 BS terdiri dari file RT, file daftar ART, file Individu, dan file biomedis. Satu tim manajemen data pusat menangani data satu atau dua provinsi.

2.6.5 Cleaning data

Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang kualitas data. Tim manajemen data di pusat sudah melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada waktu menerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di kabupaten, tim manajemen data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk melakukan entry data ulang dan mengirimkan kembali data yang sudah diperbaiki melalui email.

Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning variabel secara keseluruhan. Hanya data yang sudah clean yang dianalisis lebih lanjut.

Page 48: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

17

Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, dan outliers amat menentukan akurasi dan presisi dari analisis yang dihasilkan Riskesdas 2013.

2.6.6 Imputasi data

Imputasi adalah proses untuk penanganan data missing dan outlier. Tim Manajemen Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi dilakukan untuk data kontinyu yang outlier, sedangkan jika responden tidak bersedia menjawab, maka diberikan kode sebagai data missing.

2.7 Keterbatasan Data

Keterbatasan data Riskesdas 2013 berkaitan dengan keterbatasan metode dan manajemen operasional.

Keterbatasan metode

Beberapa indikator tidak dapat disajikan sampai tingkat kabupaten/kota karena masalah besar sampel yang mewakili untuk pertanyaan tertentu. Batasan jumlah sampel untuk masing-masing indikator yang masih dapat diterima adalah bila „n‟ sampel >30. Contoh, pada penentuan status gizi balita, jika jumlah sampel balita di suatu kabupaten/kota <30, hasil analisis akan disajikan dengan pemberian tanda (*) agar pembaca berhati-hati dalam menginterpretasikan hasilnya.

Keterbatasan manajemen operasional

Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen operasional antara lain:

(1) BS tidak terjangkau karena ketidaktersediaan alat transportasi menuju lokasi tersebut atau kondisi alam yang tidak memungkinkan, seperti gelombang besar yang membahayakan. Riskesdas tidak berhasil mengumpulkan 14 BS yang terpilih.

(2) Sejumlah RT yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat ditemukan oleh tim enumerator. Di Provinsi Riau, RT yang berhasil dikunjungi sebesar 98,6 persen yang tersebar di seluruh kabupaten/kota [Tabel 2.1].

(3) Sejumlah ART dari RT terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai tim enumerator. Pada waktu pengumpulan data dilakukan, sebagian ART tidak berada di tempat. Jumlah ART yang berhasil dikumpulkan di Provinsi Riau sebesar 94,6 persen [Tabel 2.1].

2.8 Pengolahan dan Analisis Data

Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab III. Dalam laporan ini, seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel, baik RT maupun ART setelah missing values dan outlier dikeluarkan, serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel. Data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS17.0®.

2.9 Pengembangan Kuintil Indeks Kepemilikan

Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan pengeluaran rumah-tangga (RT) untuk memprediksi status ekonomi yang digunakan sebagai salah satu karakteristik untuk analisis. Namun, menggunakan pendekatan perhitungan kuintil indeks kepemilikan.

Status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan memberi gambaran bahwa makin tinggi kuintil RT, semakin banyak barang tahan lama yang dimiliki. Status ekonomi di Riau, berdasarkan indeks kepemilikan, meliputi 33 persen RT ada pada kuintil teratas, 20,3 persen

Page 49: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

18

RT pada kuintil menengah atas, 17,5 persen RT pada kuintil menengah bawah, 15,9 persen RT pada kuintil menengah, dan 13,4 persen RT ada pada kuintil terbawah.

Daftar Pustaka

Ariawan I. Indeks sosio-ekonomi menggunakan principal analysis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2006; 1(2): 83-7.

Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan, Macro International. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: BPS, 2008.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Jakarta: Kemenkes, 2013.

Page 50: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

19

BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN

Lelly Andasari dan Nurfi Afriansyah

Informasi tentang „Akses dan Pelayanan Kesehatan rumah-tangga (RT) dalam Riskesdas 2013‟ dikumpulkan untuk mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang diketahui RT, moda transportasi yang digunakan RT menuju faskes dan waktu tempuhnya, serta biaya atau ongkos transportasi RT menuju faskes. Keberadaan faskes yang diketahui RT meliputi rumah sakit (RS) pemerintah, RS swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu), tempat praktik dokter atau klinik, tempat praktik bidan atau rumah bersalin (RB), pos kesehatan desa (poskesdes) atau pos kesehatan pesantren (poskestren), polindes, dan posyandu. Moda transportasi yang dapat digunakan RT menuju faskes mencakup mobil pribadi, sepeda motor, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan > satu moda transportasi atau kombinasi. Waktu-tempuh RT menuju faskes (dalam menit) yang dihitungkan adalah waktu-tempuh yang menggunakan moda transportasi yang paling sering digunakan RT. Sementara biaya atau ongkos transportasi RT menuju faskes dihitung dalam satu kali pergi. Hasil lebih rinci dari blok „Akses dan Pelayanan Kesehatan‟ dapat dilihat pada buku 2 Riskesdas 2013 dalam Angka.

Keberadaan Pelayanan Kesehatan

Pengetahuan RT mengenai keberadaan faskes terkait erat dengan aksesnya terhadap faskes. Sampel RT yang diwawancarai dan dianalisis sebanyak 7.520 RT. Data yang ditampilkan berupa persentase RT yang mengetahui keberadaan faskes tertentu.

Keberadaan faskes di Riau berdasarkan kabupaten/kota disajikan dalam bentuk pengetahuan RT tentang keberadaan RS pemerintah dan swasta serta tempat praktik bidan dan posyandu. Data selengkapnya mengenai keberadaan faskes yang diketahui RT di Riau menurut karakteristik, yang menguraikan berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

Tabel 3.1 memperlihatkan, di Riau 54,6 persen RT mengetahui keberadaan RS pemerintah, sedangkan RS swasta diketahui keberadaannya oleh 41,1 persen RT. RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah paling tinggi di Kota Dumai (92,9%) dan terendah di Siak (13,6%). Sementara pengetahuan RT tentang keberadaan RS swasta paling tinggi di Kota Pekanbaru (92,6%), sedangkan terendah di Kepulauan Meranti (0,9%).

Tabel ‎3.1 Proporsi RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah dan swasta menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Keberadaan rumah sakit (%)

Pemerintah Swasta

Kuantan Singingi 63,6 7,7 Indragiri Hulu 60,7 19,6 Indragiri Hilir 27,3 8,7 Pelalawan 59,0 63,6 Siak 13,6 5,9 Kampar 63,4 53,3 Rokan Hulu 30,7 22,4 Bengkalis 62,3 55,2 Rokan Hilir 32,1 39,0 Kepulauan Meranti 64,9 0,9 Kota Pekanbaru 91,3 92,6 Kota Dumai 92,9 57,2

RIAU 54,6 41,1

Page 51: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

20

Sebanyak 64,5 persen RT di Riau mengetahui keberadaan tempat praktik bidan atau rumah bersalin (RB), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.2. RT yang mengetahui keberadaan tempat praktik bidan atau RB paling tinggi di Kampar (89,3%) dan terendah di Siak (10,3%).

Tabel 3.2 Proporsi RT yang mengetahui keberadaan tempat praktik bidan atau rumah bersalin menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Tempat praktik bidan/RB (%)

Kuantan Singingi 63,6 Indragiri Hulu 67,2 Indragiri Hilir 38,2 Pelalawan 84,9 Siak 10,3 Kampar 89,3 Rokan Hulu 69,9 Bengkalis 62,6 Rokan Hilir 63,8 Kepulauan Meranti 47,6 Kota Pekanbaru 77,2 Kota Dumai 85,1

RIAU 64,5

Tabel 3.3 menunjukkan, di Riau 49,6 persen RT mengetahui keberadaan posyandu. RT yang mengetahui keberadaan posyandu paling tinggi di Pelalawan (76,3%), sedangkan terendah di Siak (8,9%).

Tabel 3.3 Proporsi RT yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Posyandu (%)

Kuantan Singingi 46,0 Indragiri Hulu 50,1 Indragiri Hilir 33,4 Pelalawan 76,3 Siak 8,9 Kampar 49,5 Rokan Hulu 34,4 Bengkalis 62,1 Rokan Hilir 75,1 Kepulauan Meranti 43,9 Kota Pekanbaru 54,0 Kota Dumai 67,1

RIAU 49,6

Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan

Keterjangkuan faskes dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi yang digunakan, waktu tempuh (dalam satuan menit), dan biaya transportasi menuju faskes. Moda transportasi yang digunakan menuju faskes dapat berupa kendaraan umum, sepeda motor, mobil pribadi, sepeda, jalan kaki, perahu (kecuali ke posyandu, poskesdes dan polindes), serta yang menggunakan > satu moda transportasi.

Waktu tempuh RT menuju faskes dihitung dalam satuan menit dan dibagi menjadi 4 kategori, yakni ≤15 menit; 16-30 menit; 31-60 menit, dan > 60 menit. Sementara biaya transportasi

Page 52: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

21

menuju faskes dikelompokkan ke dalam 3 kategori untuk pengobatan modern (RS pemerintah, RS swasta, puskesmas, tempat praktik dokter atau klinik, dan tempat praktik bidan atau RB), yaitu ≤ Rp 10.000,00 > Rp 10.000,00-Rp. 50.000,00 dan > Rp 50.000,00 serta 2 kategori untuk upaya kesehatan bersumber-daya masyarakat (posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes), yakni ≤ Rp 10.000,00 dan > Rp 10.000,00.

Tabel ‎3.4 Proporsi moda transportasi ke RS pemerintah menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Moda transportasi (%)

Kendaraan umum

> 1 moda

Sepeda motor

Mobil pribadi

Lainnya

Tempat Tinggal: Perkotaan 4,8 9,7 72,8 11,5 0,5 Pedesaan 17,1 19,2 56,3 5,2 0,5

Indeks Kepemilikan: Terbawah 17,8 24,7 48,4 1,6 2,2 Menengah bawah 14,0 14,3 67,5 2,7 0,5 Menengah 11,2 13,7 71,3 2,5 0,5 Menengah atas 10,9 9,1 76,1 3,5 0,1 Teratas 4,0 13,5 58,6 23,8 0

Tabel 3.4 menginformasikan bahwa, untuk mengakses RS pemerintah di Riau, moda transportasi sepeda motor lebih dominan digunakan, baik di perkotaan (72,8%) maupun di perdesaan (56,3%). Di perkotaan, urutan penggunaan moda transportasi sesudah sepeda motor adalah mobil pribadi (11,5%) dan > 1 moda transportasi (9,7%). Sementara di perdesaan, setelah sepeda motor, urutan penggunaan moda trasnportasi berikutnya adalah > 1 moda transportasi (19,2%) dan kendaraan umum (17,1%).

Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, sepeda motor juga menempati proporsi terbesar digunakan menuju RS pemerintah di Riau, dari strata terbawah hingga teratas. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan RT, semakin besar kecenderungan proporsi penggunaan sepeda motor dan mobil pribadi ke RS pemerintah. Sebaliknya, makin rendah kuintil indeks kepemilikan RT, semakin besar proporsi penggunaan kendaraan umum untuk menuju RS pemerintah.

Pola penggunaan moda transportasi ke puskesmas atau pustu tidak berbeda jauh dengan pola penggunaan moda transportasi ke RS pemerintah di Riau. Untuk mengakses puskesmas atau pustu di Riau, sepeda motor lebih dominan digunakan, baik di perdesaan (81,9%) maupun perkotaan (81,5%). Di perdesaan, urutan penggunaan moda transportasi sesudah sepeda motor adalah > 1 moda transportasi (8,2%) dan kendaraan umum (2,2%). Sementara di perkotaan, setelah sepeda motor, urutan penggunaan moda trasportasi berikutnya adalah > 1 moda transportasi (7,8%) dan mobil pribadi (5,1%) [Tabel 3.5].

Menurut kuintil indeks kepemilikan, sepeda motor menempati pula proporsi terbesar digunakan menuju puskesmas atau pustu di Riau. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan RT, semakin besar kecenderungan proporsi penggunaan sepeda motor dan mobil pribadi untuk menjangkau puskesmas/pustu. Sebaliknya, makin rendah kuintil indeks kepemilikan RT, semakin besar kecenderungan proporsi penggunaan kendaraan umum untuk ke puskesmas/pustu [Tabel 3.5].

Page 53: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

22

Tabel 3.5 Proporsi moda transportasi ke puskesmas atau pustu menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Moda transportasi (%)

Kendaraan umum

> 1 moda

Sepeda motor

Mobil pribadi

Lainnya

Tempat Tinggal: Perkotaan 3,2 7,8 81,5 5,1 0,5 Pedesaan 2,2 8,2 81,9 0,9 0,2

Indeks Kepemilikan: Terbawah 3,3 9,1 72,7 0,2 0,8 Menengah bawah 3,5 8,2 83,8 0,1 0,4 Menengah 3,7 7,1 85,4 0,7 0,5 Menengah atas 2,2 5,3 89,6 1,2 0 Teratas 0,7 10,5 77,6 10,4 0

Tabel 3.6 menunjukkan, waktu tempuh menuju faskes terdekat berupa RS pemerintah yang terbanyak diketahui RT adalah > 60 menit (28,2%) dan yang paling sedikit adalah ≤ 15 menit (18,1%). Pola ini berbeda dengan waktu tempuh ke RS swasta; yang terbanyak disebutkan adalah ≤ 15 menit (31,4%) dan yang paling sedikit adalah 31-60 menit (17,8%). Sementara waktu tempuh ke puskesmas atau pustu, tempat praktik dokter atau klinik, tempat praktik bidan atau RB, poskesdes atau poskestren, polindes, dan posyandu memiliki pola yang sama, yakni yang terbanyak disebutkan adalah ≤ 15 menit dan yang paling sedikit adalah > 60 menit.

Tabel ‎3.6 Waktu tempuh menuju faskes terdekat menurut pengetahuan RT, Riau 2013

Faskes terdekat Waktu tempuh (%)

≤ 15 menit 16-30 menit 31-60 menit > 60 menit

RS pemerintah 18,1 27,5 26,2 28,2 RS swasta 31,4 30,6 17,8 20,2 Puskesmas/pustu 57,7 28,1 9,7 4,5 Tempat praktik dokter/klinik 66,6 22,3 6,2 4,9 Tempat praktik bidan/RB 75,9 18,9 3,4 1,8 Poskesdes/poskestren 75,4 21,8 1,8 1,0 Polindes 77,4 17,9 3,7 1,1 Posyandu 86,8 10,0 2,0 1,2

Page 54: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

23

Tabel 3.7 Waktu tempuh menuju RS pemerintah menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Waktu tempuh (%)

≤ 15 menit 16-30 menit 31-60 menit > 60 menit

Tempat Tinggal: Perkotaan 30,5 41,4 25,7 2,5 Pedesaan 3,3 11,1 26,8 58,8

Indeks Kepemilikan: Terbawah 5,9 12,7 18,9 62,5 Menengah bawah 18,5 16,8 22,3 42,4 Menengah 18,7 23,6 25,4 32,3 Menengah atas 24,8 30,9 25,0 19,3 Teratas 17,3 40,6 33,4 8,6

Waktu tempuh menuju RS pemerintah yang terbanyak diketahui RT di perkotaan adalah 16-30 menit (41,4%) dan yang paling sedikit diketahui adalah > 60 menit (2,5%). Sementara waktu tempuh ke RS pemerintah yang terbanyak diketahui RT di perdesaan adalah > 60 menit (58,8%) dan yang paling sedikit diketahui adalah ≤ 15 menit (3,3%) [Tabel 3.7].

Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan RT, semakin besar proporsi waktu tempuh 16-30 menit, 31-60 menit, dan kecenderungan ≤ 15 menit yang disebutkan RT untuk dapat mengakses RS pemerintah. Sebaliknya, makin rendah kuintil indeks kepemilikan RT, semakin besar proporsi waktu tempuh lama (> 60 menit) untuk dapat mengakses RS pemerintah [Tabel 3.7].

Biaya transportasi menuju faskes RS pemerintah, RS swasta, puskesmas atau pustu, tempat praktik dokter atau klinik, dan tempat praktik bidan atau RB dibagi menjadi tiga kategori, yakni ≤ Rp 10.000,00 > Rp 10.000,00-Rp. 50.000,00 dan > Rp 50.00000. Biaya transportasi ≤ Rp 10.000,00 mendominasi biaya transportasi menuju RS swasta (49,7%), puskesmas/pustu (78,2%), tempat praktik dokter/klinik (80,5%) dan tempat praktik bidan/RB (88,4%). Kecuali untuk RS pemerintah dengan dominasi biaya transportasi > Rp 10.000,00-Rp. 50.000,00 [Tabel 3.8].

Tabel 3.8 Biaya transportasi menuju faskes terdekat, Riau 2013

Faskes terdekat Biaya transportasi (%)

≤ Rp 10.000 > Rp 10.000-50.000 > Rp 50.000

RS pemerintah 39,1 45,9 15,0 RS swasta 49,7 37,5 12,8 Puskesmas/pustu 78,2 19,7 2,0 Tempat praktik dokter/klinik 80,5 16,1 3,4 Tempat praktik bidan/RB 88,4 10,4 1,2

Tabel ‎3.9 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Riau 2013

UKBM* terdekat Biaya transportasi (%)

≤ Rp 10.000 > Rp 10.000

Poskesdes/poskestren 81,8 18,2 Polindes 89,3 10,7 Posyandu 95,5 4,5

* UKBM: Upaya Kesehatan Bersumber-daya Masyarakat

Biaya transportasi menuju upaya kesehatan bersumber-daya masyarakat (UKBM), seperti poskesdes/poskestren, polindes dan posyandu, dibagi menjadi 2 kategori, yaitu ≤

Page 55: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

24

Rp 10.000,00 dan > Rp 10.000,00. Biaya transportasi ≤ Rp 10.000,00 mendominasi biaya transportasi menuju semua UKBM [Tabel 3.9].

Daftar Pustaka

Indonesia, Departemen Kesehatan. Permenkes RI Nomor 949 Tahun 2007 tentang Kriteria Sarana Pelayanan Kesehatan Terpencil dan Sangat Terpencil. Jakarta: Depkes, 2007.

Indonesia, Kementerian Kesehatan. Permenkes RI Nomor 6 Tahun 2013 tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang Tidak Diminati. Jakarta: Kemenkes, 2013.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan di DTPK. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar, 2012.

Suharmiati, Handayani L, Kristina L. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterjangkauan pelayanan kesehatan di puskesmas terpencil perbatasan di kabupaten Sambas: Studi kasus di Puskesmas Sajingan Besar. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 2012; 15(3):

Page 56: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

25

BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

Nurfi Afriansyah dan Sri Prihatini

Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi RT yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki pengetahuan benar mengenai Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad meliputi jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sampel yang dianalisis berjumlah 7.520 RT, yang dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (1) Obat dan obat tradisional; (2) Pengetahuan RT mengenai OG, dan (3) Pemanfaatan yankestrad. Informasi tentang farmasi dan yaskestrad merupakan bahasan baru dalam Riskesdas 2013.

4.1 Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah-Tangga

Tabel 4.1 memperlihatkan variasi RT yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), dengan proporsi RT paling tinggi di Kota Pekanbaru (47,6%) dan terendah di Kepulauan Meranti (6,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir tiga macam, tertinggi di Indragiri Hilir (2,9%) dan terendah di Kepulauan Meranti (1,2%) [Tabel 4.1].

Tabel ‎4.1 Proporsi RT yang menyimpan obat/OT dan rerata jumlah obat/OT yang disimpan menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Menyimpan obat

Ya (%) Rerata jumlah obat

Kuantan Singingi 38,9 2,8

Indragiri Hulu 13,3 2,2

Indragiri Hilir 25,5 2,9 Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Kepulauan Meranti Kota Pekanbaru Kota Dumai

30,5 21,1 29,4 13,7 31,6 25,3 6,2 47,6 23,4

2,5 1,6 2,2 1,7 2,3 2,5 1,2 1,9 2,5

RIAU 28,1 2,3

Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, RT yang menyimpan obat keras, antibiotika, obat tradisional dan obat tidak teridentifikasi lebih banyak di perdesaan (29,9%, 23,4%, 17,6%, 1,6%) daripada di perkotaan (21,6%, 14,7%, 11,2%, 0,9%). Kecuali untuk obat bebas, lebih banyak di perkotaan (86,5%) dibandingkan dengan perdesaan (82,3%). Menurut karakteristik kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil proporsi RT yang menyimpan antibiotika, obat tradisional dan obat tidak teridentifikasi. Sebaliknya untuk obat bebas, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar juga kecenderungan proporsi RT yang menyimpan obat bebas. Sementara untuk obat keras, dari kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah makin besar proporsi RT yang menyimpannya, tetapi dari kuintil indeks kepemilikan menengah sampai teratas semakin kecil proporsi RT yang menyimpannya [Tabel 4.2].

Page 57: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

26

Tabel 4.2 Proporsi RT yang menyimpan obat/OT berdasarkan jenis obat/OT menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik Obat keras Obat bebas Antibiotika Obat tradisional Obat tidak

teridentifikasi

Tempat Tinggal: Perkotaan 21,6 86,5 14,7 11,2 0,9 Pedesaan 29,9 82,3 23,4 17,6 1,6

Indeks Kepemilikan: Terbawah 25,8 78,1 24,0 19,8 2,4 Menengah bawah 27,4 84,4 19,7 16,0 1,5 Menengah 31,5 81,8 19,6 10,4 1,4 Menengah atas 23,5 85,1 18,1 15,5 0,3 Teratas 22,6 88,6 16,7 12,5 1,2

Tabel 4.3 menunjukkan RT yang menyimpan obat keras dan antibiotika yang diperoleh tanpa resep dokter di Riau. RT yang menyimpan obat keras tanpa resep paling tinggi di Rokan Hulu (99,1%) dan terendah di Kuantan Singingi (76,2%). Sementara RT yang menyimpan antibiotika tanpa resep paling tinggi di Kepulauan Meranti (100%), sedangkan terendah di Kuantan Singingi (74,8%).

Tabel 4.3 Proporsi RT yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Jenis obat tanpa resep

Obat keras Antibiotika

Kuantan Singingi 76,2 74,8 Indragiri Hulu 89,7 90,4 Indragiri Hilir 79,1 85,3 Pelalawan 79,0 77,4 Siak 91,0 94,6 Kampar 83,6 84,4 Rokan Hulu 99,1 97,4 Bengkalis 93,9 94,1 Rokan Hilir 85,6 92,5 Kepulauan Meranti 97,2 100,0 Kota Pekanbaru 92,1 93,2 Kota Dumai 89,6 94,3

RIAU 87,3 89,1

Toko obat/warung dan apotek merupakan sumber utama RT mendapatkan obat dengan proporsi masing-masing 40,7 persen dan 36,7 persen [lihat buku Riskesdas 2013 dalam Angka]. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi RT yang memperoleh obat dari apotek, pemberian orang lain, pelayanan kesehatan formal dan tradisional lebih banyak di perkotaan (52%, 1%, 14,7%, 2,2%) daripada di perdesaan (20,8%, 0,8%, 11,9%, 1,6%). Sebaliknya, RT yang mendapatkan obat dari toko obat/warung, tenaga kesehatan (nakes), dan penjual obat tradisional keliling lebih banyak di perdesaan (50,5%, 30%, 2,4%) dibandingkan dengan perkotaan (31,2%, 13,5%, 0,5%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang memperoleh obat dari apotek. Untuk obat pemberian orang lain dan yankestrad, dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas, makin besar proporsi RT yang mendapatkannya. Untuk toko obat/warung dan nakes, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang mendapat obat [Tabel 4.4].

Page 58: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

27

Tabel 4.4 Proporsi RT berdasarkan sumber mendapatkan obat/OT menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Sumber obat

Apotek Toko obat/

warung

Pembe- rian org

lain

Yankes formal

Nakes Yankestrad Penjual

OT keliling

Tempat Tinggal: Perkotaan 52,0 31,2 1,0 14,7 13,5 2,2 0,5 Pedesaan 20,8 50,5 0,8 11,9 30,0 1,6 2,4

Indeks Kepemilikan: Terbawah 13,8 54,2 1,1 13,3 30,8 2,0 3,8 Menengah bawah 23,4 53,9 0,2 12,1 22,4 1,0 1,7 Menengah 32,4 43,6 0,6 14,0 25,0 1,5 0,8 Menengah atas 40,3 40,5 0,6 12,1 19,7 1,8 0,9 Teratas 55,2 24,5 1,7 14,8 16,1 2,8 1,0

Tabel 4.5 memperlihatkan status obat yang ada di RT untuk swamedikasi. Status obat dikelompokkan menurut obat yang „sedang digunakan‟, „untuk persediaan‟ bila sakit, dan „obat sisa‟. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Di Riau, RT yang menyimpan obat yang sedang digunakan dan obat sisa lebih banyak di perdesaan (33,4% dan 43,5%) daripada di perkotaan (25,7% dan 41,4%). Sebaliknya, RT yang menyimpan obat untuk persediaan; lebih banyak di perkotaan (49,1%) dibandingkan dengan di perdesaan (37,7%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang menyimpan obat untuk persediaan dan semakin kecil kecenderungan proporsi RT yang menyimpan obat sedang digunakan.

Tabel 4.5 Proporsi RT berdasarkan status obat/OT yang disimpan menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Status obat di rumah-tangga

Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa

Tempat Tinggal: Perkotaan 25,7 49,1 41,4 Pedesaan 33,4 37,7 43,5

Indeks Kepemilikan: Terbawah 37,3 33,0 44,2 Menengah bawah 28,0 39,6 43,8 Menengah 28,3 39,3 44,4 Menengah atas 30,2 43,1 40,8 Teratas 26,8 53,9 40,8

4.2 Pengetahuan Rumah-Tangga tentang Obat Generik (OG)

Bahasan ini menyajikan informasi proporsi RT yang mengetahui atau pernah mendengar dan ‟berpengetahuan benar‟, serta persepsi mengenai OG. Definisi RT ‟berpengetahuan benar‟ tentang OG adalah RT mengetahui bahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi RT berdasarkan sumber informasi OG.

Page 59: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

28

Tabel 4.6 Proporsi RT yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Mengetahui tentang OG Pengetahuan tentang OG

Benar Salah

Kuantan Singingi 20,6 1,3 98,7

Indragiri Hulu 20,1 0,5 99,5

Indragiri Hilir 10,6 1,3 98,7

Pelalawan 23,9 3,0 97,0

Siak 17,3 0,4 99,6

Kampar 44,2 1,6 98,4

Rokan Hulu 17,1 0,9 99,1

Bengkalis 25,8 4,1 95,9

Rokan Hilir 14,7 2,2 97,8

Kepulauan Meranti 5,1 0,5 99,5

Kota Pekanbaru 65,7 9,7 90,3

Kota Dumai 36,6 6,7 93,3

RIAU 29,0 3,1 96,9

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa di Riau terdapat 29 persen RT yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (96,9%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel 4.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah, tetapi RT di perdesaan jauh lebih rendah daripada RT di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang OG.

Tabel 4.7 Proporsi RT yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Mengetahui tentang

OG Pengetahuan tentang OG

Benar Salah

Tempat Tinggal: Perkotaan 46,3 6,2 93,8 Pedesaan 18,1 1,2 98,8

Indeks Kepemilikan: Terbawah 6,2 0,3 99,7 Menengah bawah 16,3 1,3 98,7 Menengah 28,7 1,4 98,6 Menengah atas 38,9 2,7 97,3 Teratas 56,5 10,1 89,9

Sebanyak 78,6 persen RT mempersepsikan OG sebagai obat murah dan 67,2 persen obat program pemerintah [lihat buku Riskesdas 2013 dalam Angka]. Tabel 4.8 menunjukkan RT yang mempersepsikan OG sebagai obat gratis, obat bagi pasien miskin, dan obat program pemerintah lebih banyak di perdesaan (59,6%, 39,4%, 68,4%) daripada di perkotaan (45,2%, 35,9%, 66,4%). Sebaliknya RT yang mempersepsikan OG sebagai obat murah, dapat dibeli diwarung, obat tanpa merek dagang, dan khasiat sama dengan obat bermerek lebih banyak di perkotaan (80,4%, 21,6%, 20,6%, 34%) dibandingkan dengan di perdesaan (75,7%, 21,1%, 12%, 25%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi kecenderungan RT yang mempersepsi OG sebagai obat program pemerintah, obat tanpa merek dagang, obat murah, dan khasiat sama dengan obat bermerek.

Persepsi tersebut perlu dipromosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG secara lebih luas dan lebih baik dimasyarakat. Proporsi RT dengan persepsi bahwa OG adalah obat

Page 60: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

29

tanpa merek dagang, paling rendah (17,3%), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas.

Tabel 4.8 Proporsi RT berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik

Persepsi rumah-tangga tentang OG

Obat gratis

Obat murah

Obat utk pasien

miskin

Dapat dibeli di warung

Obat tanpa merek

dagang

Khasiat sama dengan obat

bermerek

Obat program

pemerintah

Tempat Tinggal: Perkotaan 45,2 80,4 35,9 21,6 20,6 34,0 66,4 Pedesaan 59,6 75,7 39,4 21,1 12,0 25,0 68,4

Indeks Kepemilikan: Terbawah 61,1 67,4 30,0 21,3 7,9 12,2 46,1 Menengah bawah 53,0 75,1 35,3 24,4 12,0 23,4 56,7 Menengah 56,3 81,0 41,8 13,9 13,6 18,1 64,1 Menengah atas 51,4 73,8 37,3 15,4 14,3 30,3 68,9 Teratas 45,8 83,1 36,5 28,3 23,9 40,9 73,1

Kecuali nakes, sumber informasi tentang OG yang berasal dari media cetak, media elektronik, kader/tokoh-masyarakat, teman/kerabat dan pendidikan lebih banyak di perkotaan (33,1%, 65,8%, 20,6%, 36,3%, 12%) daripada perdesaan (26%, 56,6%, 17,5%, 32,6%, 10,3%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT dengan sumber informasi tentang OG berasal dari media cetak, media elektronik, kader/tokoh-masyarakat [Tabel 4.9].

Tabel 4.9 Proporsi RT berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik Sumber informasi tentang OG

Media cetak

Media elektronik

Tenaga kesehatan

Kader/ toma

Teman/ kerabat

Pendidikan

Tempat Tinggal: Perkotaan 33,1 65,8 57,6 20,6 36,3 12,0 Pedesaan 26,0 56,6 60,5 17,5 32,6 10,3

Indeks Kepemilikan: Terbawah 14,6 47,9 43,8 12,4 37,8 5,6 Menengah bawah 18,9 57,1 59,2 12,9 25,3 9,2 Menengah 26,2 60,7 52,9 15,6 39,6 4,5 Menengah atas 28,8 60,3 53,0 16,2 36,0 8,3 Teratas 38,7 67,5 67,1 26,3 34,4 18,1

4.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)

Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan (yankes yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Tabel pada bahasan berikut ini menyajikan informasi proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfatkannya.

Tabel 4.10 menunjukkan proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad tertinggi di Kuantan Singingi (45,7%) dan terendah di Kepulauan Meranti (4,2%). Proporsi RT yang

Page 61: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

30

memanfaatkan yankestrad ramuan tertinggi di Kota Dumai (48,6%) dan terendah di Rokan Hilir (4,9%). Proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Kota Pekanbaru (15%) dan terendah di Rokan Hilir (0,5%). Proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Rokan Hilir (98,5%) dan terendah di Indragiri Hulu (57,6%). Proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Kampar (12,4%) dan terendah di Bengkalis (0,8%).

Tabel 4.10 Proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis

yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Pernah

memanfaatkan yankestrad

Jenis Yankestrad

Ramuan Keterampilan

Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran

Kuantan Singingi 45,7 45,0 0,6 96,5 2,9 Indragiri Hulu 13,5 61,0 3,4 57,6 1,7 Indragiri Hilir 4,3 24,2 - 82,4 - Pelalawan 27,8 9,7 8,0 90,3 4,4 Siak 11,6 16,7 7,4 85,2 5,6 Kampar 14,2 28,3 14,2 78,8 12,4 Rokan Hulu 10,4 29,4 6,0 69,1 2,9 Bengkalis 42,1 28,9 7,0 88,7 0,8 Rokan Hilir 31,7 4,9 0,5 98,5 - Kepulauan Meranti 4,2 - 10,0 90,0 - Kota Pekanbaru 22,1 44,0 15,0 73,3 - Kota Dumai 13,8 48,6 8,3 59,5 -

RIAU 20,1 29,4 7,0 84,4 2,4

Proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad lebih tinggi di perkotaan (21,3%) dibandingkan dengan perdesaan (19,4%). Proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad ramuan dan keterampilan dengan alat lebih tinggi di perkotaan (35,8% dan 11,3%) daripada di perdesaan (25,1% dan 4,0%). Sebaliknya, pemanfaatan yankestrad keterampilan tanpa alat dan dengan pikiran lebih tinggi di perdesaan (88,7% dan 3,1%) dibandingkan dengan di perkotaan (78,1% dan 1,3%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad tanpa alat [Tabel 4.11].

Tabel 4.11 Proporsi RT yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis

yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Pernah memanfaatkan

yankestrad

Jenis Yankestrad

Ramuan Keterampilan

Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran

Tempat Tinggal: Perkotaan 21,3 35,8 11,3 78,1 1,3 Pedesaan 19,4 25,1 4,0 88,7 3,1

Indeks Kepemilikan: Terbawah 11,8 27,1 3,5 90,0 0,6 Menengah bawah 20,5 23,5 2,9 87,9 2,6 Menengah 21,0 26,2 5,3 83,3 3,0 Menengah atas 23,0 34,1 7,3 82,9 3,2 Teratas 25,1 33,3 13,0 80,9 1,5

Page 62: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

31

Tabel 4.12 Proporsi RT berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan yankestrad, Riau 2013

Jenis Yankestrad

Alasan memanfaatkan Yankestrad

Menjaga kesehatan, kebugaran

Tradisi, keper-cayaan

Lebih manjur

Coba-coba

Putus asa

Biaya murah

Yankestrad ramuan 61,9 11,1 13,9 4,8 0,8 2,8 Keterampilan dengan alat 40,2 9,8 28,3 15,2 5,4 - Keterampilan tanpa alat 59,7 9,8 21,4 1,7 0,7 2,2 Keterampilan dengan pikiran 11,4 54,3 12,8 1,5 15,8 0

Tabel 4.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai yankestrad oleh RT. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat sebagian besar dimanfaatkan RT dengan alasan utama „menjaga kesehatan, kebugaran‟. Sementara yankestrad keterampilan dengan pikiran mayoritas dimanfaatkan RT dengan alasan utama „tradisi, kepercayaan‟. Proporsi RT dengan alasan „lebih manjur‟ tergolong cukup tinggi untuk yankestrad keterampilan dengan alat (28,3%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi.

Daftar Pustaka

Hardon A, Hodgkin C, Fresle D. How to investigate the use of medicines by consumers. WHO & University of Amsterdam, 2004.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Database Registri. Accessed September 2013. http://www.pom.go.id/webreg/index.php/home/produk

Indonesia, Badan POM. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: Badan POM, 2008.

Media Informasi Obat dan Penyakit – Online. http://medicastore.com/

MIMS Indonesia. 108th Edition. 2007.

WHO. Guidelines for the Regulatory Assessment of Medicinal Products for Use in Self-Medication. WHO/EDM/QSM/00.1, 2000.

Page 63: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

32

BAB 5. KESEHATAN LINGKUNGAN

Tjetjep S. Hidayat dan Sri Prihatini

Topik kesehatan lingkungan (kesling) pada Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengevaluasi program kesling yang sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan program yang akan dilaksanakan, serta mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Data kesling termutakhir yang diperoleh ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam upaya pengendalian penyakit berbasis-lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data kesling yang meliputi air minum, sanitasi (jamban dan sampah) serta kesehatan perumahan.

Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Unit analisis adalah rumah-tangga (RT). Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesling menurut kabupaten/kota, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan.

5.1 Air minum

Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 mencakup jenis sumber air untuk kebutuhan RT dan minum; rerata pemakaian air per orang per hari; anggota RT (ART) yang biasa mengambil air minum dari sumbernya; kualitas fisik air minum; serta pengelolaan air minum (pengolahan air sebelum diminum dan penyimpanan air siap-minum). Tabel selengkapnya disajikan dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Akses terhadap sumber air minum dinilai dengan menggunakan kriteria JMP WHO-UNICEF tahun 2006. Menurut kriteria itu, RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved adalah RT dengan sumber air minum dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan RT lain telah improved).

Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan RT di Riau pada umumnya sumur gali terlindung (31,3%), sumur bor/pompa (30,7%), sumur gali tak terlindung (19,0%), air ledeng/PDAM dan air sungai/danau/irigasi (masing-masing 6,1%), penampungan air hujan (3,8%). Di perkotaan, RT lebih banyak yang menggunakan air dari sumur bor/pompa (38,7%) dan sumur gali terlindung (29,7%). Adapun di perdesaan, RT lebih banyak menggunakan sumur gali terlindung (37,6%) dan sumur gali tidak terlindung (26,3%) [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Pada RT yang menggunakan sumber air untuk seluruh keperluan RT selain air sungai/danau/irigasi, pemakaian air per orang per hari oleh RT di Riau pada umumnya antara 100 dan 300 liter (49,3%) serta 50-99,9 liter (32,3%). Proporsi RT tertinggi untuk pemakaian air antara 100 dan 300 liter per orang per hari dijumpai di Pelalawan (80,8%), sedangkan terendah di Kepulauan Meranti (22,6%). Masih terdapat RT dengan pemakaian air < 20 liter per orang per hari. Berdasarkan kabupaten, proporsi RT dengan jumlah pemakaian air per orang per hari < 20 liter tertinggi ditemukan di Rokan Hilir (8,0%) dan Kepulauan Meranti (3,8%) [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Menurut karakteristik, proporsi RT di Riau yang menggunakan air < 20 liter per orang per hari sedikit lebih tinggi di perdesaan (1,7%) daripada perkotaan (1,3%). Sementara proporsi RT dengan pemakaian air ≥ 100 liter lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. RT dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas cenderung menggunakan air 100-300 liter per orang per hari, sedangkan RT berkuintil indeks kepemilikan terbawah cenderung menggunakan air 50-99,9 liter per orang per hari [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Untuk sumber air minum, RT di Riau menggunakan air isi ulang (47,2%), air dari penampungan air hujan (19,3%), air dari sumur gali terlindung (15,0%), air dari sumur bor/pompa (7,9%), air dari sumur gali tak terlindung (5,2%), air kemasan (1,9%), air ledeng

Page 64: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

33

(1,0%) serta air ledeng eceran/membeli dan air sungai/danau/irigasi (masing-masing 0,9%) [Riskesdas 2013 dalam Angka]. Adapun RT yang mempunyai akses terhadap sumber air minum improved sebesar 45,5 persen. Lima kabupaten dengan proporsi RT tertinggi memiliki akses terhadap air minum improved adalah Indragiri Hilir (87,5%), Kepulauan Meranti (71,4%), Rokan Hilir (65,9%), Rokan Hulu (63,8%), dan Kuantan Singingi (58,4%).

Berdasarkan karakteristik, proporsi RT yang mempunyai akses terhadap sumber air minum improved lebih tinggi di perdesaan (56,8%) daripada di perkotaan (31,6%). Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved [Tabel 5.1].

Tabel 5.1 Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik Akses terhadap sumber air minum

Improved* Unimproved**

Tempat Tinggal: Perkotaan 31,6 68,4 Pedesaan 56,8 43,2

Indeks Kepemilikan: Terbawah 72,3 27,7 Menengah bawah 60,9 39,1 Menengah 50,5 49,5 Menengah atas 25,3 74,7 Teratas 20,7 79,3

* Air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan rumah-tangga lainnya improved)

** Air kemasan, air isi ulang (DAM), air ledeng eceran/membeli, sumur gali tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai/danau/irigasi

ART yang biasa mengambil air di Riau pada umumnya laki-laki dan perempuan dewasa (berturut-turut 77,0% dan 21,6%) [Riskesdas 2013 dalam Angka]. Apabila dibandingkan, proporsi ART laki-laki dewasa yang biasa mengambil air lebih tinggi di perkotaan (82,9%) dibandingkan dengan di perdesaan (74,7%), sedangkan proporsi ART perempuan dewasa lebih rendah di perkotaan (15,4%) daripada perdesaan (23,9%). Meski sedikit, masih ada anak perempuan (0,9%) dan anak laki-laki (0,5%) berumur < 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum RT. Proporsi RT dengan anak perempuan berumur < 12 tahun sebagai pengambil air minum lebih tinggi di perkotaan (1,6%) dibandingkan dengan di perdesaan (0,7%) [Tabel 5.2].

Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT dengan ART laki-laki dewasa yang biasa mengambil air. Sebaliknya, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil proporsi RT dengan ART perempuan dewasa yang biasa mengambil air [Tabel 5.2].

Page 65: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

34

Tabel 5.2 Proporsi RT berdasarkan anggota RT yang biasa mengambil air menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik

ART yang biasa mengambil air

Dewasa Anak-anak

Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki

Tempat Tinggal:

Perkotaan 15,4 82,9 1,6 0,2 Pedesaan 23,9 74,7 0,7 0,6

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 34,6 64,0 0,8 0,7 Menengah bawah 22,2 76,7 0,8 0,3

Menengah 22,1 77,2 0,6 0,1

Menengah atas 14,5 83,0 1,3 1,2

Teratas 8,1 90,6 1,3 -

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No 492/Menkes/Per/IV/2010 mengenai Kualitas Air Minum disebutkan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan kesehatan secara fisik, kimia, dan mikrobiologi. Pada laporan Riskesdas ini air minum yang dikonsumsi dikategorikan „baik‟ bila memenuhi persyaratan kualitas fisik, yakni tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau. Pada umumnya air minum RT di Riau tergolong ke dalam kategori baik (95,3%). Namun, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (2,4%), berwarna (2,2%), berasa (1,9%), berbusa (0,6%), dan berbau (1,4%).

Menurut kabupaten, proporsi RT tertinggi untuk air minum keruh, berwarna dan berbau ada di Rokan Hulu (7,2%, 6,9% dan 4,1%), serta berasa dan berbusa di Siak (8,5% dan 2,0%) [Riskesdas 2013 dalam Angka]. Sementara berdasarkan karakteristik, proporsi RT dengan air minum berkualitas „baik‟ lebih tinggi di perkotaan (98,1%) daripada di perdesaan (97,2%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang memiliki air minum berkualitas baik [Tabel 5.3].

Tabel 5.3

Proporsi RT berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Kualitas fisik air minum

Tidak keruh

Tidak berwarna

Tidak berasa

Tidak berbusa

Tidak berbau

Baik*

Tempat Tinggal:

Perkotaan 98,1 98,6 98,8 99,4 98,8 97,1

Pedesaan 97,2 97,1 97,5 99,3 98,5 94,0

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 95,7 95,4 97,1 99,1 97,9 90,6

Menengah bawah 97,3 97,1 97,0 99,2 98,4 94,4

Menengah 97,9 98,2 97,6 99,4 98,6 95,9

Menengah atas 98,1 98,8 99,0 99,4 98,7 97,1

Teratas 99,1 99,2 99,6 99,7 99,6 98,8

* tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau

Page 66: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

35

Tabel 5.4 menunjukkan, proporsi RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut kabupaten/kota di Riau. Sebanyak 58,7 persen RT di Riau melakukan pengolahan air sebelum dikonsumsi. Lima kabupaten tertinggi untuk RT yang mengolah air sebelum diminum adalah Indragiri Hilir (86,6%), Rokan Hulu (76,9%), Kuantan Singingi (76,2%), Rokan Hilir (76,0%), dan Kepulauan Meranti (75,6%).

Tabel 5.4 Proporsi RT yang melakukan pengolahan air minum sebelum diminum menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Pengolahan air minum sebelum dikonsumsi

Ya Tidak

Kuantan Singingi 76,2 23,8

Indragiri Hulu 68,9 31,1

Indragiri Hilir 86,6 13,4

Pelalawan 46,9 53,1

Siak 31,9 68,1

Kampar 48,8 51,2

Rokan Hulu 76,9 23,1

Bengkalis 54,5 45,5

Rokan Hilir 76,0 24,0

Kepulauan Meranti 75,6 24,4

Kota Pekanbaru 33,9 66,1

Kota Dumai 30,0 70,0

RIAU 58,7 41,3

Dari 58,7 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum dikonsumsi, sebagian besar (97,4%) mengolahnya dengan cara dimasak. Hampir tak ada perbedaan pengolahan air minum dengan cara dimasak antara di perkotaan dan perdesaan serta antar-kuintil indeks kepemilikan [Riskesdas 2013 dalam Angka].

5.2 Sanitasi

Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas/tempat buang air besar (BAB) sebagian besar ART; tempat pembuangan akhir tinja; akses ke fasilitas sanitasi; jenis tempat dan kepemilikan penampungan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur; dan cara mengelola sampah. Tabel selengkapnya disajikan dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Akses terhadap fasilitas BAB (sanitasi) dinilai dengan menggunakan kriteria JMP WHO-UNICEF tahun 2006. Menurut kriteria ini, RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah RT yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri dengan jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.

Hasil Riskesdas 2013 memperlihatkan, sebagian besar RT di Riau (88,4%) menggunakan tempat BAB milik sendiri. Lima kabupaten/kota dengan proporsi RT tertinggi untuk penggunaan fasilitas BAB milik sendiri adalah Kota Pekanbaru (99,3%), Kota Dumai (97,1%), Rokan Hilir (96,1%), Siak (93%), dan Bengkalis (92,7%). Namun, masih terdapat RT yang tidak memiliki jamban sehingga melakukan BAB di sembarang tempat (5,8%). Lima kabupaten tertinggi yang tidak memiliki jamban adalah Kuantan Singingi (16,9%), Rokan Hulu (16%), Indragiri Hulu (13,6%), Kepulauan Meranti (9,4%), dan Pelalawan (5,8%) [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Page 67: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

36

Berdasarkan karakteristik, proporsi RT yang menggunakan jamban sendiri lebih tinggi di perkotaan (96,8%) dibandingkan dengan di perdesaan (83,2%). Sementara proporsi RT yang melakukan BAB di fasilitas milik bersama, umum dan sembarang tempat lebih rendah di perkotaan (2%, 0,5% dan 0,7%) daripada perdesaan (berturut-turut 5,5%, 2,4% dan 8,9%). Kian tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin besar proporsi RT yang menggunakan jamban milik sendiri, sedangkan makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang melakukan BAB di tempat milik bersama dan umum serta sembarang tempat [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Tabel 5.5 Proporsi RT berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota

Tempat pembuangan akhir tinja

Tangki septik

SPAL Kolam/ sawah

Sungai/ danau/

laut

Lubang tanah

Pantai/ tanah lapang/

kebun Lainnya

Kuantan Singingi 68,6 5,2 0,2 15,9 9,2 0,1 0,8

Indragiri Hulu 62,4 1,0 3,1 14,6 17,6 0,9 0,4

Indragiri Hilir 31,8 0,9 1,5 45,0 17,8 2,8 0,2

Pelalawan 75,2 2,4 0,5 3,2 15,5 1,9 1,3

Siak 73,3 4,8 4,5 2,4 15,1 - -

Kampar 77,2 4,7 0,5 7,5 9,9 - 0,2

Rokan Hulu 50,3 10,4 0,5 16,2 19,7 0,8 2,1

Bengkalis 75,3 1,5 2,4 0,5 19,5 0,1 0,6

Rokan Hilir 53,3 13,8 0,6 3,1 24,0 4,7 0,4

Kepulauan Meranti 34,6 1,5 0,7 4,1 49,7 9,5 -

Kota Pekanbaru 92,0 3,0 0,1 0,1 4,8 0 -

Kota Dumai 89,8 1,5 0,2 0,3 7,8 0,1 0,3

RIAU 66,5 4,6 1,2 10,4 15,5 1,4 0,5

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa tangki septik merupakan tempat pembuangan akhir tinja yang digunakan sebagian besar RT di Riau (66,5%). Lima kabupaten/kota yang memiliki proporsi RT paling tinggi dengan pembuangan akhir tinja berupa tangki septik adalah Kota Pekanbaru (92%), Kota Dumai (89,8%), Kampar (77,2%), Bengkalis (75,3%), dan Pelalawan (75,2%). Masih ada RT yang mempunyai tempat pembuangan akhir tinja bukan tangki septik (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, ke lubang tanah atau ke pantai/kebun). Lima kabupaten terendah untuk RT dengan pembuangan akhir tinja bukan tangki septik adalah Indragiri Hilir (31,8%), Kepulauan Meranti (34,6%), Rokan Hulu (50,3%), Rokan Hilir (53,3%), dan Indragiri Hulu (62,4%).

Menurut karakteristik, proporsi RT yang menggunakan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki septik lebih tinggi di perkotaan (90,2%) dibandingkan dengan di perdesaan (51,6%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki septik. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang tidak menggunakan tangki septik, khususnya menggunakan sungai/danau/laut dan lubang tanah [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Tabel 5.6 menyajikan proporsi RT yang memiliki akses ke sanitasi improved, sesuai dengan kriteria JMP WHO-UNICEF (2006). Sebesar 64,2 persen RT di Riau memiliki akses ke fasilitas sanitasi improved. Lima kabupaten/kota dengan proporsi paling tinggi untuk RT yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi improved adalah Kota Pekanbaru (88,9%), Kota Dumai (86,7%), Kampar (78,3%), Pelalawan (77,8%), dan Bengkalis (74,8).

Page 68: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

37

Tabel 5.6 Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Akses ke fasilitas sanitasi

Improved* Unimproved**

Kuantan Singingi 68,4 31,6

Indragiri Hulu 65,9 34,1

Indragiri Hilir 34,0 66,0

Pelalawan 77,8 22,2

Siak 72,2 27,8

Kampar 78,3 21,7

Rokan Hulu 49,8 50,2

Bengkalis 74,8 25,2

Rokan Hilir 57,6 42,4

Kepulauan Meranti 37,9 62,1

Kota Pekanbaru 88,9 11,1

Kota Dumai 86,7 13,3

RIAU 64,2 35,8

* Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan/atau plengsengan, pembuangan akhir tinja di tangki septik ** Tidak memiliki fasilitas, sarana jamban cemplung, pembuangan akhir tinja di tangki septik

Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved menurut karakteristik disajikan dalam Tabel 5.7. Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved lebih tinggi di perkotaan (86,1%) daripada perdesaan (51,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin besar proporsi RT yang memiliki akses terhadap sanitasi improved.

Tabel 5.7 Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved menurut karterisrik,

Riau 2013

Karakteristik Akses ke fasilitas sanitasi

Improved * Unimproved **

Tempat Tinggal: Perkotaan 86,1 13,9 Pedesaan 51,3 48,7

Indeks Kepemilikan: Terbawah 6,4 93,6 Menengah bawah 53,0 47,0 Menengah 82,6 17,4 Menengah atas 93,9 6,1 Teratas 95,4 4,6

* Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan atau plengsengan, pembuangan akhir tinja di tangki septik ** Fasilitas milik bersama, umum, dan atau BAB sembarangan, sarana jamban cemplung, pembuangan

akhir tinja tidak di tangki septik

Pada umumnya, RT di Riau membuang limbahnya dari kamar mandi, tempat cuci dan dapur langsung ke got/sungai (34,2%) dan tempat penampungan tertutup di pekarangan atau SPAL (22,1%). Masih cukup banyak RT yang membuang limbahnya ke tempat tanpa penampungan atau di tanah (18,4%). Masih lebih tinggi dibandingkan dengan RT yang membuang limbahnya ke tempat penampungan terbuka di lapangan (14,8%) dan tempat penampungan di luar pekarangan (10,5%) [Tabel 5.8].

Page 69: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

38

Tabel 5.8 Proporsi RT berdasarkan tempat penampungan air limbah kamar mandi/tempat cuci/dapur

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/cuci/dapur

Ter

tutu

p di

pe

kara

ngan

/SP

AL

Pen

ampu

ngan

terb

uka

di la

pang

an

Pen

ampu

ngan

di l

uar

peka

rang

an

Tan

pa p

enam

pung

an

(d

i tan

ah)

Lang

sung

ke

got/s

unga

i

Kuantan Singingi 16,5 35,8 11,4 15,5 20,8

Indragiri Hulu 12,5 28,7 13,4 19,0 26,4

Indragiri Hilir 2,8 3,4 4,2 38,9 50,7

Pelalawan 25,7 19,6 11,4 22,4 20,9

Siak 12,5 13,0 7,5 20,6 46,4

Kampar 35,3 10,5 9,8 20,3 24,1

Rokan Hulu 16,8 22,1 17,0 9,2 34,9

Bengkalis 19,6 21,9 16,1 12,7 29,7

Rokan Hilir 12,5 11,0 18,3 28,2 29,9

Kepulauan Meranti 21,0 16,9 19,2 25,9 17,1

Kota Pekanbaru 43,8 6,6 1,7 2,1 45,8

Kota Dumai 31,9 10,8 8,4 16,3 32,7

RIAU 22,1 14,8 10,5 18,4 34,2

Dari segi cara mengelola sampah, hanya 22,2 persen RT di Riau yang sampahnya dikelola dengan diangkut petugas. Sebagian besar RT mengelola sampah dengan dibakar (66,4%), dibuang ke sembarang tempat (4,9%), dibuang ke kali/parit/laut (4,1%), ditimbun dalam tanah (2,3%), dan dibuat kompos (0,2%). Lima kabupaten dengan proporsi RT tertinggi yang sampahnya dikelola dengan dibakar adalah Kepulauan Meranti (93,5%), Kuantan Singingi (89,8%), Indragiri Hulu (86,7%), Rokan Hulu (82,4%), dan Siak (78,7%). Sementara tiga kabupaten/kota dengan proporsi RT terendah dalam mengelola sampahnya dengan dibakar adalah Kota Pekanbaru (25,7%), Indragiri Hilir (45,3%), dan Kota Dumai (64,2%) [Tabel 5.9].

Page 70: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

39

Tabel 5.9 Proporsi RT berdasarkan pengelolaan sampah menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota

Cara pengelolaan sampah rumah-tangga

Diangkut petugas

Ditimbun dalam tanah

Dibuat kompos

Dibakar Dibuang ke kali/parit/laut

Dibuang sembarangan

Kuantan Singingi 5,6 1,1 0,4 89,8 1,3 1,8 Indragiri Hulu 2,8 1,7 0 86,7 4,5 4,4 Indragiri Hilir 9,5 2,2 0,2 45,3 21,0 21,8 Pelalawan 20,9 1,8 0,2 73,1 1,1 2,8 Siak 14,9 2,3 0,1 78,7 1,5 2,5 Kampar 25,2 1,7

72,0 0,4 0,8

Rokan Hulu 8,7 3,0 0,1 82,4 3,8 2,1 Bengkalis 16,3 2,3 0,4 78,2 1,4 1,4 Rokan Hilir 9,9 4,4 0,1 75,2 3,0 7,4 Kepulauan Meranti 3,1 2,2

93,5 0,6 0,7

Kota Pekanbaru 68,3 2,3 0,2 25,7 1,7 1,8 Kota Dumai 29,5 1,0

64,2 1,0 4,2

RIAU 22,2 2,3 0,2 66,4 4,1 4,9

Menurut karakteristik, proporsi RT yang sampahnya dikelola dengan diangkut petugas lebih tinggi di perkotaan (48,4%) daripada perdesaan (5,8%), sedangkan proporsi RT yang mengelola sampah dengan dibakar lebih tinggi di perdesaan (80,3%) dibandingkan dengan perkotaan (44,0%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi RT yang sampahnya dikelola dengan diangkut petugas. Sebaliknya, proporsi RT yang mengelola sampah dengan dibakar cenderung lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan lebih rendah [Riskesdas 2013 dalam Angka].

5.3 Perumahan

Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 mencakup data status penguasaan bangunan rumah yang ditempati; kepadatan hunian; jenis plafon/langit-langit, dinding, dan lantai terluas; keadaan ruang dalam rumah (keterpisahan dan kebersihan ruang, ketersedian dan keterbukaan jendela, kecukupan ventilasi dan pencahayaan alami); penggunaan jenis bahan bakar untuk memasak; perilaku menguras bak mandi RT, yang terkait dengan risiko penyebaran penyakit menular melalui vektor (DBD, malaria); serta penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan beracun dalam rumah, seperti pestisida/insektisida/pupuk kimia. Tabel selengkapnya disajikan dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

Umumnya RT di Riau menempati rumah milik sendiri (73,0%). Masih terdapat RT yang menempati rumah dengan mengontrak (8,6%) dan menyewa (5,3%), menempati rumah dinas (6,0%), rumah milik orang tua/sanak/saudara (3,9%), dan rumah milik orang lain (2,0%) [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Menurut karakteristik, proporsi RT dengan status penguasaan bangunan milik sendiri lebih rendah di perkotaan (61,2%) daripada di perdesaan (80,4%). Sebaliknya, proporsi RT berstatus penguasaan bangunan dengan mengontak dan menyewa lebih tinggi di perkotaan (17,5% dan 11,5%) dibandingkan dengan perdesaan (3,1% dan 1,5%) [Tabel 5.10].

Page 71: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

40

Tabel 5.10 Proporsi RT berdasarkan status penguasaan bangunan rumah yang ditempati menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Status penguasaan bangunan tempat tinggal

Milik sendiri

Kontrak Sewa Bebas sewa

Rumah dinas

Lainnya Milik orang lain

Milik orang tua/sanak/sdr

Tempat tinggal: Perkotaan 61,2 17,5 11,5 1,2 4,9 3,6 0,2 Prdesaan 80,4 3,1 1,5 2,5 3,3 7,5 1,9

Indeks Kepemilikan: Terbawah 84,3 2,3 2,1 3,0 3,0 1,7 3,6

Menengah bawah 71,3 5,0 5,5 4,0 4,0 9,0 1,1 Menengah 63,7 11,1 8,0 1,5 4,3 10,8 0,7 Menengah atas 66,4 12,5 8,7 0,9 5,3 6,0 0,3 Teratas 78,1 12,8 2,7 0,3 3,0 3,1 0

*) milik orang lain; **) milik orang tua/sanak/saudara

Kepadatan hunian adalah salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan disebutkan, kepadatan hunian ≥ 8 m

2/orang dikategorikan tidak padat. Proporsi RT yang

tergolong „tidak padat‟ di Riau sebesar 87 persen. Lima kabupaten dengan proporsi tertinggi untuk RT berkategori padat (< 8 m

2/orang) adalah Indragiri Hilir (22,8%), Kepulauan Meranti

(19,7%), Rokan Hulu (16,9%), Rokan Hilir (13,6%), dan Indragiri Hulu (13,3%) [Tabel 5.11].

Tabel 5.11 Proporsi RT berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Kepadatan hunian

≥ 8 m2/orang < 8 m2/orang

Kuantan Singingi 86,9 13,1

Indragiri Hulu 86,7 13,3

Indragiri Hilir 77,2 22,8

Pelalawan 90,0 10,0

Siak 92,7 7,3

Kampar 91,7 8,3

Rokan Hulu 83,1 16,9

Bengkalis 88,2 11,8

Rokan Hilir 86,4 13,6

Kepulauan Meranti 80,3 19,7

Kota Pekanbaru 90,1 9,9

Kota Dumai 88,4 11,6

RIAU 87,0 13,0

Tabel 5.12 menyajikan kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan bangunan) yang meliputi plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi RT dengan rumah bagian terluas beratap plafon sebesar 53,7 persen, berdinding tembok sebesar 53,3 persen, dan berlantai bukan tanah sebesar 99 persen [Riskesdas 2013 dalam Angka]. Sementara proporsi rumah dengan atap terluas berplafon lebih tinggi di perkotaan (68,3%) daripada perdesaan (44,6%). Begitu juga untuk dinding dan lantai rumah terluas. Dinding tembok dan lantai bukan tanah lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan.

Page 72: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

41

Tabel 5.12 Proporsi RT berdasarkan kondisi fisik bangunan rumah menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Kondisi fisik bangunan rumah

Atap plafon Dinding tembok Lantai bukan tanah

Tempat Tinggal:

Perkotaan 68,3 72,7 99,7

Pedesaan 44,6 41,2 98,6

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 28,5 14,9 97,7

Menengah bawah 46,8 37,4 98,2

Menengah 64,3 58,3 99,4

Menengah atas 68,0 71,8 99,9

Teratas 63,5 87,5 100,0

Keadaan ruang dalam rumah, seperti ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur, dilihat dari keterpisahan dan kebersihan ruang, ketersediaan dan keterbukaan jendela, serta kecukupan ventilasi dan pencahayaan alami. Di Riau, mayoritas ruang tersebut terpisah dari ruang lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar 80 persen ke atas RT di Riau memiliki kondisi ruang, baik ruang tidur, keluarga maupun dapur, yang bersih dan berpencahayaan cukup. Sementara proporsi RT yang memiliki ruang tidur-keluarga-dapur berventilasi cukup dengan ketersediaan jendela dan keterbukaannya setiap hari sekitar 62-67 dan 67-69 persen [Tabel 5.13].

Tabel 5.13 Proporsi RT berdasarkan keadaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur

(keterpisahan, kebersihan, kondisi jendela, ventilasi, pencahayaan alami), Riau 2013

Jenis Ruang dalam Rumah

Keadaan ruang Kerberadaan & keterbukaan

jendela

Kecukupan ventilasi

Kecukupan pencahayaan

alami Terpisah Bersih

Ruang Tidur 91,4 86,8 68,8 64,0 79,5 Ruang Keluarga 83,3 86,1 69,1 67,0 85,0 Ruang Dapur 87,2 80,2 67,0 62,4 80,0

Dari segi jenis sumber penerangan, sebagian besar (97,1%) RT di Riau menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah. Sisanya (2,9%) menggunakan non-listrik, seperti petromaks/aladin, pelita/sentir/obor [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Tabel 5.14 menunjukkan proporsi RT sesuai jenis penerangan listrik dan non-listrik berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Lima kabupaten dengan proporsi RT tertinggi yang menggunakan penerangan non-listrik adalah Kepulauan Meranti (15,9%), Indragiri Hulu (9,1%), Rokan Hilir (5,3%), Indragiri Hilir (4%), dan Rokan Hulu (3,4%).

Page 73: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

42

Tabel 5.14 Proporsi RT berdasarkan jenis sumber penerangan non-listrik menurut kabu/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Jenis sumber penerangan rumah

Listrik Non-listrik

Kuantan Singingi 98,8 1,2

Indragiri Hulu 90,9 9,1

Indragiri Hilir 96,0 4,0

Pelalawan 97,1 2,9

Siak 99,3 0,7

Kampar 100,0 0

Rokan Hulu 96,6 3,4

Bengkalis 98,0 2,0

Rokan Hilir 94,7 5,3

Kepulauan Meranti 84,1 15,9

Kota Pekanbaru 100,0 -

Kota Dumai 99,7 0,3

RIAU 97,1 2,9

Listrik: Listrik PLN dan non-PLN Non-listrik: Petromaks/ aladin, pelita/sentir/obor, lainnya

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar (energi) utama dalam RT dikelompokkan menjadi dua: (1) aman, yakni tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji); (2) tidak aman, yaitu berpotensi menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Proporsi RT yang menggunakan bahan bakar aman di Riau sebesar 65,8 persen.

Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman lebih tinggi di perkotaan (77,0%) daripada perdesaan (59,0%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi RT yang menggunakan bahan bakar yang aman [Tabel 5.15].

Tabel 5.15

Proporsi RT berdasarkan jenis bahan bakar utama menurut karakteristik, Riau 2013

Karaktristik Penggunaan bahan bakar

Aman Tidak Aman

Tempat Tinggal: Perkotaan 77,0 23,1

Pedesaan 59,0 41,1

Indeks Kepemilikan: Terbawah 22,6 29,7

Menengah bawah 56,5 31,6

Menengah 66,5 33,4

Menengah atas 88,7 15,3

Teratas 98,0 8,8

Tabel 5.16 memperlihatkan proporsi RT dalam upaya mencegah dari gigitan nyamuk di Riau, baik secara mekanis (kelambu, kasa nyamuk) maupun secara kimiawi (insektisida, obat anti-nyamuk bakar, repelen). Proporsi RT tertinggi dalam upaya mencegah dari gigitan nyamuk adalah penggunaan obat anti-nyamuk bakar (67,8%), diikuti penggunaan kelambu (30,2%),

Page 74: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

43

insektisida (16,0%), kasa nyamuk (13,7%), dan repelen (4,3%) [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Berdasarkan karakteristik, proporsi RT yang menggunakan obat anti-nyamuk bakar hampir sama antara di perkotaan (68,4%) dan di perdesaan (67,4). Sementara proporsi RT yang menggunakan kelambu lebih tinggi di perdesaan (41%) dibandingkan dengan perkotaan (12,8%). Sebaliknya, proporsi RT yang menggunakan insektisida, kasa nyamuk dan repelen lebih tinggi di perkotaan (berturut-turut 26,3%, 24,6% dan 5,3%) daripada di perdesaan (9,6%, 7,0% dan 3,7%) [Tabel 5.16].

Tabel 5.16 Proporsi RT berdasarkan cara mencegah gigitan nyamuk menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Cara mencegah gigitan nyamuk

Kelambu Obat nyamuk

bakar Kasa nyamuk Repelen Insektisida

Minum obat

Tempat Tinggal:

Perkotaan 12,8 68,4 24,6 5,3 26,3 0,5

Pedesaan 41,0 67,4 7,0 3,7 9,6 0,5

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 51,7 63,6 2,2 3,1 3,8 0,2

Menengah bawah 42,7 64,2 6,6 4,2 7,0 0,6

Menengah 27,1 70,2 12,7 5,2 14,0 0,7

Menengah atas 19,4 71,4 18,4 5,5 19,5 0,2

Teratas 8,1 69,7 29,7 3,6 36,9 0,8

Proporsi RT yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia di dalam rumah di Riau sebesar 15,9 persen; paling tinggi di Kampar (28,0%) dan Bengkalis (24,1%), terendah di Kepulauan Meranti (2,1%) dan Rokan Hulu (4,1%) [Riskesdas 2013 dalam Angka]. Penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia sedikit lebih tinggi di perkotaan (18,6%) daripada di perdesaan (14,2%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi RT yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia [Tabel 5.17].

Tabel 5.17 Proporsi RT yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Penggunaan/penyimpanan pestisida/insektisida/pupuk kimia

Ya Tidak

Tempat Tinggal:

Perkotaan 18,6 81,4

Pedesaan 14,2 85,8

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 10,8 89,2

Menengah bawah 12,0 88,0

Menengah 16,1 83,9

Menengah atas 20,1 79,9

Teratas 20,8 79,2

Page 75: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

44

Daftar Pustaka

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas Air Minum.

Indonesia, Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang ....

WHO and UNICEF. Meeting the MDG Drinking Water and Sanitation Target: the Urban and Rural Challenge of the Decade. Geneva: WHO, 2006.

WHO and UNICEF. Progress on Sanitation and Drinking-Water: 2013 Update. Geneva: WHO, 2013.

Page 76: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

45

BAB 6. PENYAKIT MENULAR

Mogsa Sitanggang dan Nurfi Afriansyah

Informasi mengenai penyakit menular didapat dari semua umur dengan total sampel 1.027.766 responden di 33 provinsi di seluruh Indonesia, termasuk Riau. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner baku dan terstruktur. Responden ditanya „apakah ia pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan)‟ (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan kembali „apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut‟ (G: gejala). Jadi, data insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit didapat, baik dari D maupun G (D/G), yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Insiden diukur dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang, period prevalence dalam kurun waktu 1 bulan atau kurang dan prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang .

Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada tiga kelompok penyakit, yakni (1) penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan akut [ISPA], pneumonia dan tuberkulosis [TB] paru); (2) penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan medium lainnya (diare dan hepatitis); serta (3) penyakit yang ditularkan melalui vektor (malaria). Penyakit-penyakit itu berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia.

6.1 Penyakit yang Ditularkan melalui Udara

Data ISPA disajikan berupa period prevalence; pneumonia dalam bentuk period prevalence dan prevalensi; dan TB paru berupa prevalensi.

Tabel 6.1 dan 6.2 melaporkan period prevalence & prevalensi penyakit ISPA dan pneumonia berdasarkan kabupaten/kota dan karakteristik. Sementara Tabel 6.3 dan 6.4 menyajikan prevalensi TB paru menurut kabupaten/kota dan karakteristik.

6.1.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala, seperti batuk berdahak atau kering; pilek; tenggorokan sakit atau nyeri ketika menelan. Period prevalence dihitung dalam kurun waktu sebulan terakhir. Period prevalence ISPA berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala/keluhan penduduk sebesar 17,1 persen. Lima kabupaten dengan ISPA paling tinggi adalah Kuantan Singingi (28,9%), Bengkalis (25,6%), Kepulauan Meranti (22,6%), Indragiri Hilir (21,4%), dan Siak (20,8%).

Page 77: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

46

Tabel 6.1 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Period prevalence

ISPA (%)

Period prevalence pneumonia

(%)

Prevalensi pneumonia

(%)

Period prevalence

pneumonia balita (%)

D DG D DG D DG D DG

Kuantan Singingi 19,7 28,9 0,2 6,0 15,0 50,0 1,5 8,0

Indragiri Hulu 10,6 18,4 0,1 0,5 20,0 31,0 1,3 1,9

Indragiri Hilir 13,9 21,4 0,2 1,0 2,0 12,0 1,0 2,2

Pelalawan 5,7 9,2 0,1 0,4 2,0 9,0 0,8 1,5

Siak 18,3 20,8 0,1 0,5 5,0 5,0 0,5 1,0

Kampar 8,8 16,8

0,4 5,0 10,0 0,4 1,2

Rokan Hulu 12,9 14,7 0,1 0,6 16,0 18,0 0,8 1,4

Bengkalis 15,6 25,6 0,2 1,5 26,0 50,0 1,1 3,0

Rokan Hilir 7,9 18,1 0 0,5 5,0 11,0 1,3 2,2

Kepulauan Meranti 12,7 22,6

0,1 25,0 25,0 2,3 2,4

Kota Pekanbaru 6,8 9,5 0,2 0,4 8,0 13,0 1,3 1,8

Kota Dumai 3,3 5,3

0,1 7,0 7,0 0,6 0,9

RIAU 10,9 17,1 0,1 0,9 10,0 19,0 1,0 2,1

*) D = Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

Karakteristik RT dengan ISPA paling tinggi dijumpai pada kelompok umur 1-4 tahun (31,0%). Menurut jenis kelamin, kekerapan kejadian pada laki-laki (10,8%) dan perempuan (11,1%) hampir sama. ISPA lebih banyak dialami kelompok RT dengan kuintil indeks kepemilikan makin ke bawah [Tabel 6.2].

Page 78: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

47

Tabel ‎6.2 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Period prevalence

ISPA (%)

Period prevalence pneumonia

(%)

Prevalensi pneumonia

(%)

Period prevalence

pneumonia balita (%)

D D/G D D/G D D/G D D/G

Kelompok Umur (tahun):

< 1 20,6 28,6 0,2 0,9 6,6 8,4 12,0 19,0 1-4 21,5 31,0 0,1 0,8 7,2 9,4 10,0 19,0 5-14 11,5 18,7

0,7 3,4 5,1 9,0 18,0

15-24 7,7 13,1 0,1 1,0 2,4 4,1 9,0 21,0 25-34 7,8 12,5 0,1 0,7 3,0 5,2 9,0 17,0 35-44 9,2 14,4 0,1 0,6 2,8 5,1 9,0 16,0 45-54 10,8 15,7 0,1 0,9 3,8 5,2 9,0 21,0 55-64 13,1 18,6 0,6 2,0 3,7 5,2 20,0 39,0 65-74 14,0 22,8 0,7 3,5 3,8 6,2 39,0 81,0 ≥75 18,2 30,3

2,8 2,9 6,9 5,0 79,0

Kelompok Umur Balita (bulan):

0-11 12,0 19,0 12-23 3,0 17,0 24-35 12,0 22,0 36-47 15,0 21,0 48-59 9,0 14,0

Jenis Kelamin: Laki-laki 10,8 17,4 0,1 1,0 1,1 2,2 10,0 20,0 Perempuan 11,1 16,7 0,1 0,8 0,8 1,9 11,0 17,0 Pendidikan KK:

Tidak sekolah 12,8 20,8

1,1 0,9 2,4 Tidak Tamat SD/MI 10,9 17,4 0,1 0,7 1,1 2,0 Tamat SD/MI 9,6 16,0 0,2 1,1 1,1 2,3 Tamat SMP/MTs 9,5 14,8 0,1 1,2 0,9 2,3 Tamat SMA/MA 8,4 12,6 0,1 0,6 0,9 1,8 Tamat D1-D3/PT 7,0 10,6 0,1 0,6 1,1 1,7 Pekerjaan KK:

Tidak bekerja 8,8 14,2 0,1 0,9 0,9 2,0 Pegawai 9,9 14,1 0,2 0,8 1,3 2,1 Wiraswasta 8,8 13,3 0,1 0,5 1,1 1,7 Petani/nelayan/buruh 10,1 16,4 0,1 1,1 1,0 2,7 Lainnya 8,7 17,0

1,3 1,5 3,0

Tempat Tinggal:

Perkotaan 9,8 14,6 0,1 0,7 1,2 2,1 14,0 25,0 Pedesaan 11,7 18,7 0,1 1,0 0,9 2,1 8,0 15,0 Indeks Kepemilikan KK:

Terbawah 12,5 20,6 0,2 1,0 1,1 2,3 6,0 10,0 Menengah bawah 12,1 19,4 0,1 1,0 0,9 2,1 9,0 15,0 Menengah 10,3 16,5 0,2 1,0 1,1 2,1 17,0 26,0 Menengah atas 10,6 16,4 0 0,8 0,9 1,9 9,0 19,0 Teratas 9,1 12,5 0,1 0,6 1,2 2,0 10,0 25,0

*) D = Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

Page 79: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

48

6.1.2 Pneumonia

Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala demam/panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi napas > 50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Period prevalence dihitung dalam kurun waktu ≤ sebulan dan ≤ 12 bulan terakhir. Prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis nakes dan gejala/keluhan penduduk sebesar 2,1 persen. Lima kabupaten/kota yang memiliki period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kuantan Singingi (6,0% dan 8,0%), Bengkalis (1,5% dan 3,0%), Indragiri Hilir (1,0% dan 2,2%), Kota Pekanbaru (0,4% dan 1,8%), dan Kepulauan Meranti (0,1% dan 2,4%) [Tabel 6.1].

Berdasarkan kelompok umur, period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur < 5 tahun dan ≥ 75 tahun. Period prevalence pneumonia balita di Riau adalah 19 permil. Lima kabupaten yang mempunyai period prevalence pneumonia balita tertinggi adalah Bengkalis (26,0‰), Kepulauan Meranti (25,0‰), Indragiri Hilir (20,0‰), Rokan Hulu (16,0‰) dan Kantan Singingi (15,0‰). Period prevalence pneumonia balita paling tinggi terdapat pada kelompok umur 15- 24 bulan (21,0‰). Pneumonia balita lebih banyak dialami kelompok RT dengan kuintil indeks kepemilikan menengah (26,0‰) [Tabel 6.2].

6.1.3 Tuberkulosis paru (TB paru)

TB paru merupakan penyakit menular langsung akibat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) yang menjadi perhatian global. Gejala utama adalah batuk ≥ 2 minggu, batuk disertai dengan gejala tambahan, yakni berdahak, dahak bercampur darah, demam > 1 bulan, sesak napas, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, nafsu makan berkurang, berat badan menurun atau sulit bertambah, badan lemas, malaise. Informasi mengenai penyakit ini diperoleh dari responden dalam kurun waktu ≤ 1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan nakes melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya.

Tabel 6.3 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Diagnosis TB paru

Gejala TB paru

Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah

Kuantan Singingi 0,4 2,9 6,4 Indragiri Hulu 0 1,6 2,0 Indragiri Hilir 0,1 1,7 4,4 Pelalawan 0,1 2,7 0,2 Siak 0,3 2,6 1,7 Kampar 0,1 0,4 7,5 Rokan Hulu 0 0,7 1,4 Bengkalis 0 3,1 0,6 Rokan Hilir 0,2 1,4 1,3 Kepulauan Meranti 0 4,8 3,4 Kota Pekanbaru 0,1 1,7 1,9 Kota Dumai 0,3 1,3 2,3

RIAU 0,1 1,8 2,5

Prevalensi TB paru yang didiagnosis nakes di Riau sebesar 0,1 persen. Empat kabupaten/kota dengan proporsi TB paru tertinggi adalah Kuantan Singingi (0,4%), Siak dan Kota Dumai (masing-masing 0,3%), dan Rokan Hilir (0,2%). Proporsi RT dengan gejala TB paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 1,8 persen dan batuk darah sebesar 2,5 persen [Tabel 6.3].

Page 80: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

49

Tabel 6.4 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Diagnosis TB paru

Gejala TB

Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah

Kelompok Umur (tahun): < 1

1,5 3,1

1-4 0 2,0 0,7 5-14 0 1,6 1,1 15-24 0,1 1,6 2,0 25-34 0,2 1,5 2,0 35-44 0,1 1,6 2,7 45-54 0,5 2,0 4,9 55-64 0,2 3,2 4,8 65-74 0,2 5,4 4,9 ≥75 0,1 4,6 11,7

Jenis Kelamin:

Laki-laki 0,1 1,9 2,9 Perempuan 0,1 1,7 2,0

Pendidikan:

Tidak sekolah 0,1 2,3 1,0 Tidak Tamat SD/MI 0,2 1,7 4,2 Tamat SD/MI 0,1 1,9 3,4 Tamat SMP/MTs 0,2 1,7 1,7 Tamat SMA/MA 0,1 1,7 3,1 Tamat D1-D3/PT 0 1,5

Pekerjaan:

Tidak bekerja 0,1 1,6 2,9 Pegawai 0,1 1,7

Wiraswasta 0,2 2,0 4,4 Petani/nelayan/buruh 0,3 2,1 4,4 Lainnya 0,2 1,9 1,3

Tempat Tinggal:

Perkotaan 0,2 1,9 2,3 Pedesaan 0,1 1,7 2,7

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 0,1 1,8 3,1 Menengah bawah 0,2 2,3 3,7 Menengah 0,2 1,9 2,7 Menengah atas 0,1 1,8 1,9 Teratas 0 1,3 1,0

Berdasarkan karakteristik, prevalensi TB paru cenderung meningkat hingga usia 45-54 tahun, kemudian menurun; lebih tinggi pada petani/nelayan/buruh. Tidak ditemukan TB paru pada kuintil indeks kepemilikan teratas [Tabel 6.4]. Dari seluruh RT yang didiagnosis nakes TB paru, “hanya” 23,5 persen diobati dengan obat program. Enam kabupaten yang mengobati TB paru dengan obat program paling banyak adalah Bengkalis (51,5%), Kuantan Singingi (41,7%), Rokan Hilir (30,6%), Indragiri Hilir (29,3%), serta Pelalawan dan Kampar (masing-masing 27,1%) [Riskesdas 2013 dalam Angka].

Page 81: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

50

6.2 Penyakit yang Ditularkan melalui Makanan, Air dan Lainnya

Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 meliputi diare dan hepatitis. Kedua penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan tentang diare ditambahkan dalam kurun waktu ≤ 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.

6.2.1 Hepatitis

Hepatitis merupakan penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis A, B, C, D atau E. Gejala penyakit ini adalah demam, lemah/lesu, mata atau kulit berwarna kuning, gangguan saluran cerna (mual, muntah, tidak/hilang nafsu makan), nyeri pada perut kanan atas, disertai urine berwarna seperti air teh pekat yang diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya kadar bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimtomatis). Prevalensi hepatitis sebesar 0,7 persen. Lima kabupaten dengan prevalensi hepatitis paling tinggi adalah Indragiri Hulu (1,9%), Kuantan Singingi (1,1%), Kampar (0,9%), Indragiri Hilir dan Rokan Hulu (masing-masing 0,8%).

Tabel 6.5 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Prevalensi hepatitis

Insiden diare

Insiden diare balita

Period prevalence

diare

D D/G D D/G D D/G D D/G

Kuantan Singingi 0,4 1,1 2,7 4,1 7,2 8,1 4,8 7,5 Indragiri Hulu 0 1,9 1,8 2,5 5,0 6,4 3,6 4,5 Indragiri Hilir

0,8 2,1 2,9 3,3 3,3 4,2 5,6

Pelalawan 0,1 0,2 0,7 0,7 1,8 1,8 1,7 1,9 Siak 0,2 0,5 1,7 2,0 3,8 3,8 3,8 4,5 Kampar 0,1 0,9 0,8 1,9 3,1 4,7 1,6 3,0 Rokan Hulu 0,1 0,8 1,6 1,9 4,8 5,2 3,1 3,7 Bengkalis 0,1 0,6 2,1 3,0 2,0 3,3 4,5 6,7 Rokan Hilir 0,1 0,3 1,9 3,4 5,9 10,9 3,4 5,7 Kepulauan Meranti

0 3,6 4,1 9,0 9,0 5,6 7,0

Kota Pekanbaru 0,2 0,7 1,2 1,4 4,4 4,4 4,4 9,2 Kota Dumai 0,1 0,2 1,1 1,3 2,9 2,9 2,0 2,4

RIAU 0,1 0,7 1,6 2,3 4,1 5,2 3,5 5,4

*) D = Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

Menurut karakteristik, prevalensi hepatitis lebih tinggi di perdesaan (0,8%) daripada di perkotaan (0,5%). Makin menuju kuintil indeks kepemilikan menengah atas, semakin besar prevalensi hepatitis. Prevalensi makin meningkat pada RT berumur 15 tahun ke atas [Tabel 6.6]. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Riau adalah hepatitis A (28,1%) dan hepatitis B (26,2%) [Tabel 6.7].

6.2.2 Diare

Diare merupakan gangguan buang air besar (BAB) yang ditandai dengan BAB > 3 kali sehari dengan konsistensi kotoran/tinja lembek atau cair; dapat disertai dengan darah dan/atau lendir.

Page 82: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

51

Tabel 6.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Prevalensi hepatitis

Insiden diare Insiden

diare balita

Period prevalence

diare

D D/G D D/G D D/G D D/G

Kelompok Umur (tahun):

< 1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75

0,1 0,5 3,9 5,2 6,6 8,4 0,1 0,3 4,2 5,1 7,2 9,4 0 0,4 1,5 2,0 3,4 5,1

0,2 0,6 1,1 1,7 2,4 4,1 0,1 0,7 1,2 2,0 3,0 5,2 0,2 0,9 1,3 1,9 2,8 5,1 0,1 1,2 1,5 2,2 3,8 5,2

1,5 1,4 2,0 3,7 5,2 0,5 1,3 2,2 2,8 3,8 6,2

2,3 0,9 1,6 2,9 6,9 Kelompok Umur Balita (bulan):

0-11 3,9 5,2 12-23 6,1 7,4 24-35 5,4 6,3 36-47 2,4 3,2 48-59 2,8 3,7

Jenis Kelamin: Laki-laki 0,1 0,8 1,5 2,2 3,9 5,0 3,6 5,7 Perempuan 0,1 0,6 1,7 2,4 4,3 5,3 3,4 5,2

Pendidikan KK: Tidak sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTs Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT

0,1 0,6 2,0 2,7 3,5 5,5 0,1 0,5 1,4 2,1 3,3 5,0 0,1 0,8 1,4 1,9 2,8 4,6 0,2 1,0 1,5 2,2 3,2 5,4 0,1 0,8 1,0 1,6 2,7 4,8

0,9 1,0 1,1 3,3 4,6 Pekerjaan KK:

Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya

0,1 0,6 1,3 1,8 2,7 4,3 0,2 1,0 0,6 1,1 3,4 5,0 0,1 0,9 1,3 1,8 3,1 6,0 0,2 1,2 1,3 2,4 3,0 5,2

1,1 2,8 3,4 5,3 6,7 Tempat Tinggal:

Perkotaan Pedesaan

0,1 0,5 1,4 1,7 3,5 3,6 3,7 6,3 0,1 0,8 1,8 2,7 4,5 6,1 3,4 4,9

Indeks Kepemilikan KK:

Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas

0,1 0,7 1,9 2,7 4,8 5,7 3,6 5,3 0,1 0,8 2,2 3,4 5,1 6,8 4,2 6,0 0,2 0,8 1,4 1,9 3,8 5,4 2,8 4,6 0,1 1,0 1,5 2,2 3,7 4,4 3,2 5,4 0,1 0,8 1,0 1,6 2,9 3,3 2,7 4,8

*) D = Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

Insiden dan period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Riau sebesar 2,3 persen dan 5,4 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalence diare tertinggi adalah Kuantan Singingi (4,1% dan 7,5%), Kepulauan Meranti (4,1% dan 7,0%), Rokan Hilir (3,4% dan 5,7%), Bengkalis (3,0% dan 6,7%), dan Kota Pekanbaru (1,4% dan 9,2%).

Page 83: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

52

Berdasarkan karakteristik, kelompok umur balita adalah kelompok umur yang paling tinggi menderita diare. Insiden dan period prevalence diare “hanya” sedikit berbeda antar-jenis kelamin dan antar-tempat tinggal. Di samping yang tidak bekerja, diare juga lebih sedikit dialami RT berstatus pegawai. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi kecenderungan kejadian diare [Tabel 6.6].

Tabel 6.7 Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Jenis hepatitis yang diderita

Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis lain

Kuantan Singingi 25,4 17,2

12,5 Indragiri Hulu

100,0

Indragiri Hilir

Pelalawan

100,0

Siak 22,5 55,4

Kampar 30,6 42,0

Rokan Hulu

Bengkalis

Rokan Hilir 61,8

38,2

Kepulauan Meranti

Kota Pekanbaru 49,4

Kota Dumai 38,2 61,8

RIAU 28,1 26,2 2,4 2,1

Insiden diare balita di Riau sebesar 8,1 persen. Lima kabupaten dengan insiden diare balita paling tinggi adalah Rokan Hilir (10,9%), Kepulauan Meranti (9,0%), Kuantan Singingi (8,1%), Indragiri Hulu (6,4%), dan Rokan Hulu (5,2%) [Tabel 6.5]. Menurut karakteristik, diare balita banyak terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,4%), perempuan (5,3%), dan tinggal di perdesaan (6,1%). Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi kecenderungan kejadian diare pada balita [Tabel 6.6].

Tabel 6.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Oralit Zinc

Kuantan Singingi 9,3 16,6 Indragiri Hulu 29,3 20,9 Indragiri Hilir 46,6 16,8 Pelalawan 41,2 32,7 Siak 66,8

Kampar 36,9 34,1 Rokan Hulu 71,5 34,0 Bengkalis 45,4 6,0 Rokan Hilir 34,6 12,2 Kepulauan Meranti 63,9

Kota Pekanbaru 20,0 83,3 Kota Dumai

8,4

RIAU 36,5 32,3

Oralit dan zinc sangat dibutuhkan untuk pengendalian diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi penting ketika anak banyak kehilangan cairan akibat diare, sedangkan kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan diare balita dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan angka kematian akibat diare yang tinggi, sampai 40 persen.

Page 84: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

53

Pemakaian oralit untuk mengendalikan diare balita di Riau sebesar 36,5 persen. Lima kabupaten pengguna oralit paling tinggi adalah Rokan Hulu (71,5%), Siak (66,8%), Kepulauan Meranti (63,9%), Indragiri Hilir (46,6%), dan Bengkalis (45,4%). Adapun penggunaan zinc untuk mengobati diare pada balita di Riau sebesar 32,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan pemakaian zinc untuk pengobatan diare balita tertinggi adalah Kota Pekanbaru (83,3%), Kampar (34,1%), Rokan Hulu (34,0%), Pelalawan (32,7%), dan Indragiri Hulu (20,9%).

6.3 Penyakit yang Ditularkan melalui Vektor (Malaria)

Malaria adalah penyakit menular yang menjadi perhatian global, selain TB paru. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB), berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Malaria dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai dengan menggigil atau panas naik-turun secara berkala, yang dapat disertai dengan sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan atau satu tahun terakhir. Responden ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan “pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama mengalami panas atau > 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum selama 3 hari.

Insiden malaria pada penduduk Riau sebesar 0,6 persen, sedangkan prevalensinya sebesar 5,4 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi malaria tertinggi adalah Kuantan Singingi (4,0% dan 7,5%), Kota Pekanbaru (0,2% dan 9,2%), Kepulauan Meranti (0,1% dan 7,0%), Rokan Hilir (0,8% dan 5,7%), dan Bengkalis (0,4% dan 6,7%). Dari 12 kabupaten/kota di Riau, separuhnya mempunyai prevalensi malaria di atas angka provinsi.

Tabel 6.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Insiden malaria Prevalensi malaria

D D/G D D/G

Kuantan Singingi 0,4 4,0 4,8 7,5 Indragiri Hulu 0,3 0,9 3,6 4,5 Indragiri Hilir 0,2 0,6 4,2 5,6 Pelalawan 0,1 0,2 1,7 1,9 Siak 0,2 0,6 3,8 4,5 Kampar 0,1 0,2 1,6 3,0 Rokan Hulu 0 0,3 3,1 3,7 Bengkalis 0,1 0,4 4,5 6,7 Rokan Hilir 0,1 0,8 3,4 5,7 Kepulauan Meranti 0,1 0,1 5,6 7,0 Kota Pekanbaru 0,1 0,2 4,4 9,2 Kota Dumai 0,1 0,1 2,0 2,4

RIAU 0,1 0,6 3,5 5,4

*) D = Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

Tabel 6.10 memperlihatkan, prevalensi malaria pada balita relatif lebih tinggi daripada kelompok usia di atasnya. Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada anak masih kurang.

Page 85: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

54

Tabel 6.10 Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Insiden malaria Prevalensi malaria

D D/G D D/G Kelompok Umur (tahun):

< 1 0,6 6,6 8,4 1-4 0,2 7,2 9,4 5-14 0,1 0,3 3,4 5,1 15-24 0,1 0,4 2,4 4,1 25-34 0,3 0,6 3,0 5,2 35-44 0,1 0,6 2,8 5,1 45-54 0,3 1,0 3,8 5,2 55-64 0,3 1,6 3,7 5,2 65-74 0,4 1,7 3,8 6,2 ≥75 0,1 3,7 2,9 6,9

Jenis Kelamin:

Laki-laki 0,2 0,6 3,6 5,7 Perempuan 0,1 0,5 3,4 5,2

Pendidikan: Tidak sekolah 0,2 1,1 3,5 5,5 Tidak Tamat SD/MI 0,1 0,5 3,3 5,0 Tamat SD/MI 0,2 0,8 2,8 4,6 Tamat SMP/MTs 0,2 0,8 3,2 5,4 Tamat SMA/MA 0,2 0,6 2,7 4,8 Tamat D1-D3/PT 0 0,2 3,3 4,6

Pekerjaan:

Tidak bekerja 0,1 0,6 2,7 4,3 Pegawai 0,3 0,6 3,4 5,0 Wiraswasta 0,2 0,6 3,1 6,0 Petani/nelayan/buruh 0,3 1,2 3,0 5,2 Lainnya 0,1 0,6 5,3 6,7

Tempat Tinggal:

Perkotaan 0,1 0,4 3,7 6,3 Pedesaan 0,2 0,7 3,4 4,9

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 0,3 1,0 3,6 5,3 Menengah bawah 0,2 0,6 4,2 6,0 Menengah 0 0,4 3,4 4,6 Menengah atas 0,1 0,6 2,8 4,3 Teratas 0 0,3 3,6 6,8

*) D = Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai dengan acuan program pengendalian malaria. Penduduk Riau yang mengobati sendiri malaria yang dideritanya sebesar 0,2 persen. Enam kabupaten/kota berpenduduk paling tinggi mengobati sendiri malaria yang dideritanya adalah Kuantan Singingi (1,5%), Indragiri Hulu (0,3%), Siak (0,3%), Kampar, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti (masing-masing 0,2%) [Tabel 6.11].

Page 86: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

55

Tabel 6.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan yang

mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Pengobatan penyakit malaria Minum obat anti-malaria dng/tanpa

gejala khas malaria

Mendapatkan obat ACT program

Mendapatkan obat dalam 24 jam

pertama

Minum obat selama 3 hari

Kuantan Singingi 14,0 63,3 100,0 1,5

Indragiri Hulu 28,1 29,4 80,9 0,3

Indragiri Hilir

0,1

Pelalawan

0,1

Siak 38,7 82,5 70,6 0,3

Kampar 3,8 100,0

0,2

Rokan Hulu 2,5

100,0 0,1

Bengkalis 23,2 46,8 46,8 0,1

Rokan Hilir 16,9 50,3 100,0 0,2

Kepulauan Meranti

0,2

Kota Pekanbaru 19,9 100,0 76,5 0,1

Kota Dumai

0,1

RIAU 13,4 60,0 76,4 0,2

Page 87: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

56

Tabel 6.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan yang

mengobati sendiri menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Pengobatan penyakit malaria Minum obat Anti-malaria

dng/tanpa gejala khas malaria

Mendapatkan obat ACT program

Mendapatkan obat dlm 24 jam pertama

Minum obat selama 3 hari

Kelompok Umur (tahun):

< 1

0,2

1-4

0,2

5-14 12,6 52,4 74,6 0,2

15-24 13,1 15,1 79,3 0,2

25-34 21,1 83,1 67,2 0,2

35-44 6,5

47,9 0,3

45-54 9,5 65,9 100,0 0,3

55-64 29,7 96,5 100,0 0,5

65-74 3,3

100,0 0,2

≥75

0,3

Jenis Kelamin:

Laki-laki 13,7 68,5 74,0 0,2

Perempuan 13,0 46,7 80,1 0,2

Pendidikan:

Tidak sekolah 8,4

100,0 0,2

Tidak tamat SD 11,1 100,0 72,3 0,2

Tamat SD 10,9 23,3 69,1 0,2

Tamat SMP/MTs 13,4 67,3 85,9 0,3

Tamat SMA/MA 26,6 69,1 75,0 0,1

Tamat D1/D2/D3/PT

0,3

Pekerjaan:

Tidak bekerja 16,4 45,6 81,6 0,2

Pegawai 16,5 100,0 100,0 0,2

Wiraswasta 18,4 91,6 67,8 0,3

Petani/Nelayan/Buruh 10,9 58,0 49,7 0,3

Lainnya 10,2 45,8 100,0 0,2

Tempat Tinggal:

Perkotaan 21,0 51,6 76,4 0,2

Pedesaan 9,8 68,7 76,4 0,2

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 6,1 48,5 65,2 0,3

Menengah bawah 11,6 8,9 74,9 0,1

Menengah 9,0 62,5 100,0 0,3

Menengah atas 27,9 72,4 85,1 0,2

Teratas 13,4 100,0 48,6 0,2

Page 88: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

57

Daftar Pustaka

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Direktorat Pengendalian Penyakit Berbasis-Binatang Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Buku Saku Menuju Eliminasi Malaria. Jakarta: Dit P2BB, 2011.

Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta: Ditjen P2PL, 2012.

Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Pedoman Pengendalian Hepatitis. Jakarta: Ditjen P2PL, 2012.

Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Ditjen P2PL, 2012.

Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Pedoman Nasional Pengendalian TB. Edisi 2. Jakarta: Ditjen P2PL, 2012.

Rothman KJ. Epidemiologi Modern. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995. p 33-49.

Page 89: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

58

BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR

Lelly Andayasari dan Nurfi Afriansyah

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM memiliki durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernapasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes mellitus (DM). Data PTM didapat melalui pertanyaan/wawancara responden mengenai PTM yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) DM, (5) hipertiroid, (6) tekanan darah tinggi (hipertensi), (7) penyakit jantung koroner (PJK), (8) penyakit gagal jantung, (9) stroke, (10) penyakit gagal ginjal kronis, (11) penyakit batu ginjal, dan (12) penyakit sendi/rematik.

Pertanyaan tentang penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diajukan kepada responden semua umur, PPOK kepada umur ≥ 30 tahun karena onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan, sedangkan sisanya (DM, hipertiroid, hipertensi, PJK, penyakit gagal jantung, stroke, penyakit gagal ginjal kronis, penyakit batu ginjal, penyakit sendi/rematik) diajukan kepada umur ≥ 15 tahun. Jenis pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis oleh nakes atau berdasarkan gejala/keluhan tertentu, dan onset PTM yang didiagnosis nakes atau gejala yang dialami responden.

Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Prevalensi kanker, hipertiroid, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal hanya didasarkan pada kasus yang pernah didiagnosis dokter. „Riwayat penyakit‟ yang ditanyakan mencakup umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan „gejala penyakit‟ meliputi pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala.

7.1 Asma

Asma merupakan gangguan inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi pada saluran pernapasan. Asma memiliki gejala berupa sesak napas, batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari (terpapar udara dingin), ada alergen (seperti debu, asap rokok, obat tertentu, makanan tertentu), stres, kelelahan atau saat sedang menderita sakit seperti demam, flu atau infeksi. Gejala akan hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma bila pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi sebagai berikut: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan. Disertai salah satu atau lebih gejala, seperti: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan/tanpa pengobatan, dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi, serta jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur < 40 tahun (usia serangan terbanyak).

Ada beberapa perbedaan pertanyaan mengenai asma dalam kuesioner Riskesdas 2013 dan Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2007 ditanyakan „apakah responden pernah didiagnosis asma oleh nakes?‟ Kepada responden yang menjawab „tidak‟, pertanyaan dilanjutkan dengan „apakah mengalami gejala asma seperti sesak napas disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari atau pada waktu lain?‟ Sementara dalam Riskesdas 2013, pertanyaan tentang asma lebih lengkap, mencakup sesak napas yang timbul bila terpapar oleh udara dingin/rokok/debu/ infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat di malam hari atau menjelang pagi; gejala hilang dengan/tanpa pengobatan.

Page 90: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

59

7.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

PPOK adalah penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan hambatan aliran udara, khususnya udara ekspirasi, dan bersifat progresif lambat (makin lama semakin memburuk), akibat pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam dan di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Pertanyaan mengenai PPOK baru ada pada Riskesdas 2013. Pertanyaan didasarkan atas gejala yang meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok dengan Indeks Brinkman ≥ 200, sesak bertambah saat beraktivitas dan bertambah dengan meningkatnya usia. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami peningkatan sesak napas ketika beraktivitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥ 200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan spirometri karena keluhan PPOK baru muncul bila fungsi paru-paru sudah banyak turun.

7.3 Kanker

Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus tumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan di sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Dalam Riskesdas 2007, kanker ditanyakan dalam bentuk pertanyaan „apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga kesehatan?‟ Hasilnya dinilai agak bias karena pertanyaan tentang tumor/kanker mencakup tumor jinak dan ganas. Pada Riskesdas 2013, baik diagnosis maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara dengan pertanyaan „apakah pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter?‟ sehingga lebih fokus terhadap tumor ganas/kanker.

Tabel 7.1 menginformasikan, prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Riau berturut-turut sebesar 2 persen, 2,1 persen, dan 0,7 permil. Prevalensi asma paling tinggi ditemukan di Bengkalis (4,2%), Indragiri Hilir (3,5%), dan Kuantan Singingi (2,9%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (4,9%), Indragiri Hilir (2,9%), Bengkalis (2,8%), dan Kepulauan Meranti (2,6%). Sementara prevalensi kanker paling tinggi ditemukan di Bengkalis dan Kepulauan Meranti.

Tabel 7.1 Prevalensi asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker (‰)***

Kuantan Singingi 2,9 4,9 0 Indragiri Hulu 2,0 1,0 0 Indragiri Hilir 3,5 2,9 Pelalawan 1,2 2,2 0,1 Siak 1,7 1,6 0,1 Kampar 1,9 2,0 0 Rokan Hulu 0,8 2,0 0,1 Bengkalis 4,2 2,8 0,2 Rokan Hilir 2,0 1,9 0,1 Kepulauan Meranti 1,9 2,6 0,2 Kota Pekanbaru 1,1 1,1 0,1 Kota Dumai 1,3 0,5 0,1

RIAU 2,0 2,1 0,7

* Wawancara semua umur berdasarkan gejala; ** Wawancara umur ≥ 30 tahun berdasarkan gejala *** Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter

Page 91: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

60

Berdasarkan karakteristik, prevalensi kanker, PPOK, dan asma cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi asma menurun pada kelompok umur ≥ 45 tahun, tetapi meningkat lagi pada umur 75 tahun ke atas. Prevalensi kanker mulai meningkat pada kelompok umur ≥ 55 tahun. Prevalensi asma dan kanker cenderung lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, sedangkan prevalensi PPOK sebaliknya. Prevalensi asma dan PPOK cenderung lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan prevalensi kanker sebaliknya. Prevalensi asma cenderung lebih tinggi pada pendidikan rendah, sedangkan prevalensi kanker dan PPOK cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi. Prevalensi asma dan PPOK cenderung lebih tinggi pada kelompok berstatus pekerjaan petani/nelayan/buruh dan lainnya, sedangkan prevalensi kanker cenderung lebih tinggi pada kelompok berstatus tidak bekerja. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan prevalensi asma dan PPOK, sedangkan kanker sebaliknya [Tabel 7.2].

Tabel 7.2 Prevalensi asma, PPOK, dan kanker menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Asma* PPOK** Kanker (‰)***

Kelompok Umur (tahun): < 1 0,4 1- 4 1,5 5-14 1,4 0 15-24 2,1 0,1 25-34 2,4 0,6 0 35-44 3,0 1,3 0,1 45-54 1,5 2,2 0,1 55-64 2,6 4,2 0,3 65-74 1,7 7,1 0,8 75+ 5,7 9,9

Jenis Kelamin: Laki-Laki 1,7 2,1 0 Perempuan 2,4 2,0 0,1

Pendidikan: Tidak sekolah 2,5 0,6 0,1 Tidak Tamat SD/MI 1,9 1,3 0,1 Tamat SD/MI 2,5 2,2 0 Tamat SMP/MTs 2,1 4,2 0,1 Tamat SMA/MA 1,8 7,1 0,1 Tamat D1-D3/PT 2,2 9,9 0,3

Status Pekerjaan: Tidak bekerja 2,2 2,5 0,2 Pegawai 1,8 0,7 0,1 Wiraswasta 1,7 1,2 Petani/nelayan/buruh 2,6 2,6 0 Lainnya 3,7 3,1 0

Tempat Tinggal: Perkotaan 1,9 1,4 0,1 Pedesaan 2,1 2,5 0

Indeks Kepemilikan: Terbawah 2,7 3,9 0 Menengah bawah 2,5 2,9 0,1 Menengah 1,8 2,3 0,1 Menengah atas 2,1 1,6 0,1 Teratas 1,0 1,1 0,2

* Wawancara semua umur berdasarkan gejala; ** Wawancara umur ≥ 30 tahun berdasarkan gejala *** Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter

Page 92: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

61

7.4 Diabetes Mellitus (DM)

DM adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah di atas normal) akibat cacat pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. DM diklasifikasikan menjadi 4: (1) diabetes tipe 1 (kerusakan sel β, biasanya menyebabkan kekurangan insulin absolut); (2) diabetes tipe 2 (mulai dari dominan resistensi insulin dengan kekurangan insulin relatif hingga dominan cacat sekresi insulin dengan resistensi insulin); (3) tipe diabetes spesifik lainnya (cacat genetis fungsi sel β, cacat genetis dalam aksi insulin, penyakit-penyakit pankreas eksokrin, endokrinopati, diinduksi obat atau bahan kimia, infeksi, bentuk tidak umum dari diabetes yang dimediasi imun, sindroma genetis lain yang kadang-kadang berkaitan dengan diabetes); (4) DM gestasional [American Diabetes Association, 2013].

Gejala-gejala hiperglikemia kentara meliputi sering kencing (poliuri) khususnya malam hari, rasa haus berlebihan (polidipsi), berat badan turun, kadang-kadang sering merasa lapar (polifagi), penglihatan menjadi kabur, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita diabetes oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala sering lapar dan sering haus serta sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat badan turun.

7.5 Penyakit Hipertiroid

Penyakit hipertiroid adalah keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebar-debar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter.

Pertanyaan tentang hipertiroid tidak ada dalam Riskesdas 2007, tetapi pada Riskesdas 2013 ditanyakan apakah pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter. Prevalensi yang didapat berdasarkan pertanyaan akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena penduduk biasanya berobat ke tenaga medis setelah ada gejala saat penyakit sebenarnya sudah berlanjut.

7.6 Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)

Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan zat gizi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita tekanan darah tinggi oleh nakes (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi, tetapi saat diwawancarai sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Karena kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun, maka prevalensi hipertensi didasarkan pada pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥15 tahun, maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi.

Hipertensi dinilai melalui 2 cara, yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum

Page 93: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

62

obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah (tensi) menggunakan alat pengukur tensi (tensimeter) digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran kedua berbeda ≥10 mmHg dibandingkan dengan pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi. Walaupun ditanya dan diukur pada umur > 15 tahun prevalensi yang ditampilkan dalam tabel adalah pada umur > 18 tahun sesuai kriteria JNC VII, 2003.

Tekanan darah pada Riskesdas 2007 diukur dengan tensimeter digital merek Omron tipe IA2 dan pengukuran dilakukan pada lengan kanan sesuai pedoman. Namun, Riskesdas 2013 menggunakan tensimeter digital merek Omron tipe IA1 karena tipe IA2 sudah diskontinyu dan sesuai pedoman, diukur pada lengan kiri.

Tabel 7.3 memperlihatkan prevalensi DM dan hipertiroid di Riau berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,0 dan 0,1 persen. DM yang terdiagnosis dokter dan/atau gejala sebesar 1,2 persen. Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi ditemukan di Kota Dumai (1,7%), Bengkalis dan Kuantan Singingi (masing-masing 1,6%), dan Rokan Hilir (1,2%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter dan/atau gejala tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (2,9%), Bengkalis dan Rokan Hilir (masing-masing 2,0%), dan Kota Dumai (1,7%). Sementara prevalensi hipertiroid paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi, Indragiri Hilir, Bengkalis, Rokan Hilir, Kota Pekanbaru, dan Kota Dumai (masing-masing 0,2%).

Prevalensi hipertensi di Riau yang diperoleh melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 20,9 persen; tertinggi di Kepulauan Meranti (27,7%), diikuti Siak (26,7%), Rokan Hilir (24,9%), dan Indragiri Hilir (22,8%). Prevalensi hipertensi di Riau berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes sebesar 6 persen, sedangkan yang terdiagnosis nakes dan/atau sedang minum obat sebesar 6,1 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal, tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0,7 persen. Jadi, prevalensi hipertensi di Riau sebesar 21,6 persen (20,9% + 0,7%).

Tabel 7.3

Prevalensi diabetes, hipertiroid, dan hipertensi menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Diabetes* Hipertiroid*

Hipertensi*

Wawancara Pengukuran

D** D/G D** D*** D/O U

Kuantan Singingi 1,6 2,9 0,2 8,4 8,8 21,0 Indragiri Hulu 1,0 1,1 0 4,4 4,4 15,7 Indragiri Hilir 0,7 0,7 0,2 5,8 5,8 22,8 Pelalawan 0,6 0,6 3,3 3,3 18,3 Siak 1,0 1,1 0,1 3,8 3,8 26,7 Kampar 1,0 1,2 4,7 5,1 19,8 Rokan Hulu 0,3 0,3 4,5 4,5 21,4 Bengkalis 1,6 2,0 0,2 11,3 11,4 20,9 Rokan Hilir 1,2 2,0 0,2 6,3 6,4 24,9 Kepulauan Meranti 0,6 0,7 4,7 4,7 27,7 Kota Pekanbaru 0,8 0,9 0,2 6,8 6,8 18,1 Kota Dumai 1,7 1,7 0,2 7,4 7,5 17,5

RIAU 1,0 1,2 0,1 6,0 6,1 20,9

* Wawancara umur ≥ 15 tahun untuk diabetes & hipertiroid; ** Wawancara umur ≥ 18 tahun untuk hipertensi D** = berdasarkan diagnosis dokter; D*** = berdasarkan diagnosis nakes D/G = berdasarkan diagnosis dokter atau gejala; D/O = berdasarkan diagnosis nakes atau minum obat U = berdasarkan pengukuran

Page 94: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

63

Tabel 7.4 menunjukkan prevalensi DM meningkat seiring dengan bertambahnya umur, berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter dan/atau gejala. Namun, mulai umur 65 tahun ke atas cenderung menurun. Prevalensi hipertiroid cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM dan hipertensi cenderung lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, sedangkan hipertiroid sama antara laki-laki dan perempuan. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi cenderung lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan.

Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada kelompok berpendidikan lebih rendah dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas, baik berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter maupun terdiagnosis dokter dan/atau gejala. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok berpendidikan rendah serta kelompok berstatus tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh, baik menurut wawancara maupun pengukuran.

Tabel 7.4

Prevalensi diabetes, hipertiroid, dan hipertensi menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Diabetes* Hipertiroid*

Hipertensi*

Wawancara Pengukuran

D** D/G D** D*** D/O U

Kelompok Umur (tahun): 15-24 0,1 0,3 0,1 0,3 0,4 6,9 25-34 0,2 0,2 0,1 1,9 1,9 11,7

35-44 0,7 1,0 0,1 4,9 5,0 22,0 45-54 2,6 2,9 0,2 12,2 12,4 34,7 55-64 4,6 5,4 0,2 19,0 19,1 45,6 65-74 2,8 3,0 0,7 29,9 30,0 61,8 75+ 3,5 3,5 32,4 33,9 72,5

Jenis Kelamin: Laki-Laki 0,8 1,1 0,1 4,8 4,9 19,2 Perempuan 1,1 1,3 0,1 7,4 7,5 22,6

Pendidikan: Tidak sekolah 1,7 1,8 13,9 13,9 39,7 Tidak Tamat SD/MI 1,3 1,4 0,1 10,6 10,6 30,4 Tamat SD/MI 1,2 1,7 0 8,1 8,2 25,2 Tamat SMP/MTs 0,6 0,8 0,2 4,3 4,4 16,8 Tamat SMA/MA 0,8 1,0 0,1 3,6 3,7 15,7 Tamat D1-D3/PT 0,9 1,0 0,4 5,4 5,4 19,3

Status Pekerjaan: Tidak bekerja 1,1 1,3 0,1 7,2 7,3 21,7 Pegawai 1,1 1,2 0,3 5,0 5,1 18,8 Wiraswasta 0,8 1,0 0,2 5,1 5,2 19,0 Petani/nelayan/buruh 0,9 1,2 0 5,7 5,7 21,8 Lainnya 0,2 0,8 0,2 3,6 3,6 21,5

Tempat Tinggal: Perkotaan 1,0 1,2 0,2 7,0 7,1 20,2 Pedesaan 0,9 1,2 0,1 5,4 5,5 21,3

Indeks Kepemilikan: Terbawah 0,5 0,7 0,1 5,1 5,2 22,7 Menengah bawah 1,0 1,2 0,2 5,5 5,6 20,0 Menengah 0,8 1,0 0,1 6,3 6,4 20,4 Menengah atas 0,9 1,2 0 6,6 6,6 20,2 Teratas 1,6 1,8 0,3 6,7 6,8 21,0

* Wawancara umur ≥ 15 tahun untuk diabetes & hipertiroid; Wawancara umur ≥ 18 tahun untuk hipertensi D** = berdasarkan diagnosis dokter; D*** = berdasarkan diagnosis nakes D/G = berdasarkan diagnosis dokter atau gejala; D/O = berdasarkan diagnosis nakes atau minum obat U = berdasarkan pengukuran

Page 95: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

64

7.7 Penyakit Jantung

Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner (PJK) dan penyakit gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya adalah dengan menanyakan gejala yang dialami responden.

Pada Riskesdas 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantung koroner/gagal jantung/jantung reumatik, dll), dengan pertanyaan „apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga kesehatan?‟ Namun, pada Riskesdas 2013 pertanyaan berupa „apakah pernah didiagnosis menderita PJK oleh dokter?‟ Bagi yang belum terdiagnosis, pertanyaan dilanjutkan dengan „gejala yang sesuai kriteria Rose Quesionnaire. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang diajukan: „apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter?‟ Bagi yang belum terdiagnosis, pertanyaan dilanjutkan dengan „gejala terkait gagal jantung‟.

7.7.1 Penyakit jantung koroner (PJK)

PJK adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK, tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada; nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri; nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa; dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktivitas/istirahat.

7.7.2 Penyakit gagal jantung

Penyakit gagal jantung atau payah jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktivitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung, tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat beraktivitas; sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal; kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah; dan tungkai bawah bengkak.

7.8 Stroke

Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi saraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non-traumatik. Gangguan saraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes, tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan: kelumpuhan pada satu sisi tubuh; atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh; atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata; atau bicara pelo; atau sulit bicara/komunikasi dan/atau tidak mengerti pembicaraan.

Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan pada Riskesdas 2007, yaitu „apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan‟, dilanjutkan dengan pertanyaan „gejala terkait penyakit‟.

Page 96: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

65

Tabel 7.5 memperlihatkan prevalensi PJK berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Riau sebesar 0,2 persen dan menurut diagnosis dokter dan/atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi PJK berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter paling tinggi ditemukan di Bengkalis (0,6%), diikuti Rokan Hulu (0,4%), Kota Pekanbaru (0,3%), dan Pelalawan (0,2%). Sementara prevalensi PJK menurut diagnosis dan/atau gejala paling tinggi terdapat di Bengkalis (1,0%), diikuti Kuantan Singingi (0,8%), Pelalawan, Rokan Hulu dan Rokan Hilir (masing-masing 0,4%).

Prevalensi penyakit gagal jantung berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter di Riau sebesar 0,1 persen, dan menurut diagnosis dokter dan/atau gejala sebesar 0,2 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter tertinggi ditemukan di Bengkalis (0,5%), diikuti Indragiri Hilir dan Kota Pekanbaru (masing-masing 0,2%). Prevalensi gagal jantung menurut diagnosis dokter dan/atau gejala tertinggi terdapat sama di Bengkalis (0,5%), diikuti Kuantan Singingi (0,4%), Indragiri Hilir (0,3%), dan Kota Pekanbaru (0,2%).

Prevalensi stroke di Riau berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes sebesar 4,2 permil dan yang terdiagnosis nakes dan/atau gejala sebesar 12,1 permil. Prevalensi stroke menurut diagnosis nakes paling tinggi ditemukan di Bengkalis (7,7‰), diikuti Kuantan Singingi (5,9‰), Kota Pekanbaru (5,8‰), dan Kampar (4,2‰). Sementara prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes dan/atau gejala tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (10,5‰), diikuti Bengkalis (8,8‰), Kota Pekanbaru (5,8‰), dan Kampar (5,7‰).

Tabel 7.5

Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke menurut kab/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Jantung koroner* Gagal jantung* Stroke* (‰)

D** D/G D** D/G D*** D/G

Kuantan Singingi 0,8 0,4 5,9 10,5 Indragiri Hulu 0,1 0,1 0,1 0,1 3,7 4,5 Indragiri Hilir 0,1 0,1 0,2 0,3 3,7 4,0 Pelalawan 0,2 0,4 3,8 4,0 Siak 0,1 0,2 0 0 1,3 1,9 Kampar 0 0,2 4,2 5,7 Rokan Hulu 0,4 0,4 2,6 5,4 Bengkalis 0,6 1,0 0,5 0,5 7,7 8,8 Rokan Hilir 0,1 0,4 0,1 0,1 3,4 4,3 Kepulauan Meranti 0,1 0,1 1,8 1,8 Kota Pekanbaru 0,3 0,3 0,2 0,2 5,8 5,8 Kota Dumai 0,1 0,1 0 0 1,8 3,4

RIAU 0,2 0,3 0,1 0,2 4,2 5,2

* Wawancara umur ≥ 15 tahun D** = berdasarkan diagnosis dokter; D*** = berdasarkan diagnosis nakes D/G = berdasarkan diagnosis dokter/nakes atau gejala

Tabel 7.6 menunjukkan prevalensi PJK meningkat seiring dengan bertambahnya umur, baik berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter maupun terdiagnosis dokter dan/atau gejala. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok umur 65-74 tahun dan 75 tahun ke atas, yakni masing-masing 1,2 dan 2,1 persen. Prevalensi PJK sama antara laki-laki dan perempuan, baik menurut wawancara terdiagnosis dokter maupun terdiagnosis dokter dan/atau gejala. Prevalensi PJK lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan prevalensi PJK.

Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Untuk yang terdiagnosis dokter, paling tinggi ditemukan pada kelompok umur 55-64 tahun (0,7%) dan menurun pada kelompok umur 65-74 tahun (0,2%). Namun, untuk yang terdiagnosis dokter dan/atau gejala, tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun ke atas (1,6%).

Page 97: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

66

Prevalensi gagal jantung sama pada perempuan dan laki-laki serta di perkotaan dan perdesaan untuk yang terdiagnosis dokter. Prevalensi cenderung lebih tinggi pada kelompok berpendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan teratas.

Tabel 7.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik Jantung koroner* Gagal jantung* Stroke* (‰)

D** D/G D** D/G D*** D/G

Kelompok Umur (tahun): 15-24 0 0,1 0,1 0,1 0,8 25-34 0,1 0,1 0,6 35-44 0,1 0,3 0 0,1 2,0 2,2 45-54 0,3 0,6 0,4 0,5 8,1 10,1 55-64 0,6 1,0 0,7 0,7 22,7 25,5 65-74 1,2 1,3 0,2 0,3 36,3 41,3 75+ 2,1 2,1 1,6 31,2 41,1

Jenis Kelamin: Laki-Laki 0,2 0,3 0,1 0,2 4,8 5,5 Perempuan 0,2 0,3 0,1 0,2 3,5 4,9

Pendidikan: Tidak sekolah 0,2 0,6 0,2 21,3 25,5 Tidak Tamat SD/MI 0,3 0,6 0,3 0,5 10,2 12,2 Tamat SD/MI 0,2 0,4 0,2 0,2 3,6 5,3 Tamat SMP/MTs 0,2 0,3 0 0 2,4 2,9 Tamat SMA/MA 0,2 0,2 0,1 0,1 2,1 2,5 Tamat D1-D3/PT 0,1 0,2 0,3 6,5 7,1

Status Pekerjaan: Tidak bekerja 0,2 0,3 0,1 0,1 5,5 6,9 Pegawai 0,1 0,2 0,3 0,4 4,9 5,7 Wiraswasta 0,1 0,2 0,1 0,1 2,1 2,1 Petani/nelayan/buruh 0,1 0,5 0,1 0,2 2,5 4,1 Lainnya 0,2 0,2 0,2 0,2 4,5 4,5

Tempat Tinggal: Perkotaan 0,3 0,4 0,1 0,2 5,3 5,8 Pedesaan 0,1 0,3 0,1 0,2 3,4 4,9

Indeks Kepemilikan: Terbawah 0,1 0,3 0,1 0,2 2,9 3,9 Menengah bawah 0,1 0,4 0 0 3,5 4,9 Menengah 0,2 0,4 0,1 0,1 4,2 5,3 Menengah atas 0,1 0,2 0,1 0,1 4,2 5,8 Teratas 0,4 0,5 0,2 0,3 6,0 6,4

* Wawancara umur ≥ 15 tahun D** = berdasarkan diagnosis dokter; D*** = berdasarkan diagnosis nakes D/G = berdasarkan diagnosis dokter/nakes atau gejala

Prevalensi stroke cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, baik berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes maupun terdiagnosis nakes dan/atau gejala. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok 65 tahun ke atas. Prevalensi stroke lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Prevalensi lebih tinggi pada kelompok tidak sekolah dan tidak tamat SD/MI serta kelompok tidak bekerja. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar prevalensi stroke.

Page 98: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

67

7.9 Penyakit Ginjal

Penyakit ginjal adalah kelainan pada organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Berbeda dengan pada Riskesdas 2007, pada Riskesdas 2013 juga terdapat pertanyaan „apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal oleh dokter. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.

7.10 Penyakit Sendi/Rematik/Encok

Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemis kronis pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinis penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh nakes (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan.

Tabel 7.7 memperlihatkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara terdiagnosis nakes di Riau sebesar 0,1 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kuantan Singingi (0,6%), diikuti Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Bengkalis, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti (masing-masing 0,2%).

Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Riau sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (0,8%), diikuti Rokan Hilir (0,4%), Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir (masing-masing 0,3%).

Tabel 7.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi menurut kab/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Gagal ginjal kronis* Batu ginjal* Penyakit sendi*

D** D** D*** D/G

Kuantan Singingi 0,6 0,8 15,8 22,6 Indragiri Hulu 0,2 0,3 5,3 7,0 Indragiri Hilir 0,2 0,3 9,3 12,7 Pelalawan 0,2 5,4 6,9 Siak 0,1 0,2 4,1 5,4 Kampar 0 0,2 7,4 13,9 Rokan Hulu 0,1 0,2 5,1 6,2 Bengkalis 0,2 0,2 10,0 19,7 Rokan Hilir 0,2 0,4 5,5 14,6 Kepulauan Meranti 0,2 0,1 4,3 4,9 Kota Pekanbaru 5,3 7,0 Kota Dumai 0,1 0,1 2,4 5,5

RIAU 0,1 0,2 6,8 10,8

* Wawancara umur ≥ 15 tahun D** = berdasarkan diagnosis dokter; D*** = berdasarkan diagnosis nakes D/G = berdasarkan diagnosis nakes atau gejala

Page 99: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

68

Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes di Riau sebesar 6,8 persen, sedangkan menurut diagnosis dan/atau gejala sebesar 10,8 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (15,8%), diikuti Bengkalis (10,0%), Indragiri Hilir (9,3%), Kampar (7,4%), dan Rokan Hilir (5,5%). Prevalensi penyakit sendi menurut diagnosis nakes dan/atau gejala paling tinggi juga terdapat di Kuantan Singingi (22,6%), diikuti pula Bengkalis (19,7%), Rokan Hilir (14,6%), Kampar (13,9%), dan Indragiri Hilir (12,7%).

Tabel 7.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tetapi menurun mulai umur 55 tahun. Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, dan pada kelompok berstatus petani/nelayan/buruh.

Page 100: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

69

Tabel 7.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik Gagal ginjal kronis* Batu ginjal* Penyakit sendi*

D** D** D*** D/G

Kelompok Umur (tahun): 15-24 0,1 0,1 0,5 1,6 25-34 0 0,1 2,5 5,9 35-44 0,1 0,3 6,9 12,1 45-54 0,4 0,5 13,4 19,9 55-64 0,3 0,5 22,7 31,0 65-74 0,2 0,2 31,5 38,5 75+ 1,1 42,7 51,0

Jenis Kelamin: Laki-Laki 0,1 0,3 5,3 8,6 Perempuan 0,2 0,2 8,3 13,2

Pendidikan: Tidak sekolah 0,4 0,1 17,6 23,0 Tidak Tamat SD/MI 0,1 0,2 13,9 20,2 Tamat SD/MI 0,3 0,4 9,8 15,4 Tamat SMP/MTs 0,1 0,2 3,9 7,2 Tamat SMA/MA 0,1 0,1 3,6 6,5 Tamat D1-D3/PT 0 0,1 5,1 7,8

Status Pekerjaan: Tidak bekerja 0,2 0,2 6,8 10,8 Pegawai 0,1 0,2 4,5 7,5 Wiraswasta 0 0,1 4,9 7,7 Petani/nelayan/buruh 0,2 0,4 9,2 14,5 Lainnya 0,2 6,9 12,8

Tempat Tinggal: Perkotaan 0,1 0,2 5,6 8,5 Pedesaan 0,1 0,3 7,5 12,4

Indeks Kepemilikan: Terbawah 0,2 0,2 8,1 12,4 Menengah bawah 0,1 0,3 6,8 11,1 Menengah 0,1 0,2 7,2 12,2 Menengah atas 0,2 0,3 5,8 10,3 Teratas 0,1 0,1 5,8 8,4

* Wawancara umur ≥ 15 tahun D** = berdasarkan diagnosis dokter; D*** = berdasarkan diagnosis nakes D/G = berdasarkan diagnosis nakes atau gejala

Prevalensi penyakit sendi meningkat seiring dengan bertambahnya umur, baik berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes maupun terdiagnosis nakes dan/atau gejala. Prevalensi tertinggi ditemukan pada umur 75 tahun ke atas. Baik berdasarkan wawancara yang terdiagnosis nakes maupun terdiagnosis nakes dan/atau gejala, prevalensi penyakit sendi lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, pada kelompok berpendidikan rendah, serta kelompok berstatus petani/nelayan/buruh dan tidak bekerja. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan prevalensi penyakit sendi.

Page 101: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

70

Daftar Pustaka

American Diabetes Association. Diagnosis and classification of Diabetes Mellitus: Position statement. Diabetes Care 2013; 36(Suppl 1): S67-S74.

Eguchi K, Yacoub M, Jhalani J et al. Consistency of blood pressure differences between the left and right arms. Arch Intern Med 2007; 167(4): 388-93.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney Inter Suppl 2013; 3: 1-150.

National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. The Seventh Report of the Joint Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007, 2 Nov). Available from: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf

WHO. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia. Geneva: WHO, 2006. p 9-43.

WHO, Media Centre. Noncommunicable Disease. Updated March 2013. Access 18 November 2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/

Page 102: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

71

BAB 8. CEDERA

Yunita Diana Sari dan Nurfi Afriansyah

Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden.

8.1 Prevalensi Cedera dan Penyebabnya

Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury), dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undeterminated intent) [WHO, 2004]. Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri; kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak; penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar. Sementara penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan mencakup penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan ke dalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab cedera yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera berdasarkan provinsi disajikan pada Tabel 8.1.

Prevalensi cedera di Riau sebesar 5,7 persen. Prevalensi paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (11,3%) dan terendah di Pelalawan (2,2%). Kabupaten/kota yang memiliki prevalensi cedera di atas angka provinsi ada 5.

Penyebab cedera terbanyak di Riau adalah kecelakaan sepeda motor (41,8%) dan jatuh (41,2%), diikuti terkena benda tajam/tumpul (5,9%), lainnya (5,7%), kecelakaan transportasi darat lainnya (5,6%), kejatuhan (3,8%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor paling tinggi terdapat di Rokan Hulu (64,6%) dan terendah di Indragiri Hilir (31,9%). Adapun untuk transportasi darat lainnya, prevalensi tertinggi ditemukan di Bengkalis (12,4%) dan terendah di Kepulauan Meranti (0%). Prevalensi jatuh paling tinggi terdapat di Indragiri Hilir (54,2%) dan terendah di Rokan Hulu (17,0%). Prevalensi terkena benda tajam/tumpul tertinggi ditemukan di Pelalawan (20,0%) dan terendah di Kota Dumai (1,9%). Sementara prevalensi kejatuhan paling tinggi terdapat di Pelalawan (9,4%) dan terendah di Kota Dumai (1,2%).

Page 103: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

72

Tabel 8.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Cedera

Penyebab cedera

Sep

eda

mot

or

Tra

ns

dara

t lai

n

Jatu

h

Ben

da

taja

m/

tum

pul

Ter

baka

r

Gig

itan

hew

an

Kej

atuh

an

Ker

acun

an

Lain

nya

Kuantan Singingi 11,3 46,3 6,8 42,0 2,2 0,3 0 2,4 0 11,3 Indragiri Hulu 6,9 40,6 6,9 40,2 6,7 0,9 0,7 3,7 0,3 6,9 Indragiri Hilir 5,3 31,9 1,9 54,2 6,2 1,1 0 3,8 1,0 5,3 Pelalawan 2,2 35,5 4,4 25,3 20,0 5,5 0 9,4 0 2,2 Siak 3,5 37,5 11,4 34,9 10,4 0 1,4 4,5 0 3,5 Kampar 7,7 37,0 3,8 49,1 6,6 1,1 0,3 2,2 0 7,7 Rokan Hulu 2,7 64,6 3,0 17,0 10,6 0 0 4,8 0 2,7 Bengkalis 8,2 38,8 12,4 34,8 6,7 0,6 1,1 4,1 1,5 8,2 Rokan Hilir 8,5 33,6 3,9 52,1 4,2 0 0 6,2 0 8,5 Kepulauan Meranti

2,4 40,3 0 46,1 8,3 0 0 5,3 0 2,4

Kota Pekanbaru 3,9 58,4 3,9 28,6 3,7 2,7 0 2,7 0 3,9 Kota Dumai 4,5 58,7 5,5 27,0 1,9 5,8 0 1,2 0 4,5

RIAU 5,7 41,8 5,6 41,2 5,9 1,1 0,3 3,8 0,3 5,7

Tabel 8.2 memperlihatkan prevalensi cedera berdasarkan karaktertistik. Prevalensi cedera meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tetapi cenderung menurun pada umur 25-54 tahun dan meningkat lagi mulai umur 55 tahun. Prevalensi cedera tertinggi ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki, pendidikan lebih rendah atau tamat SMP/MTs ke bawah, tidak bekerja, tinggal di perkotaan, dan pada kuintil indeks kepemilikan menengah.

Kecelakaan sepeda motor sebagai penyebab cedera terbanyak, prevalensi paling tinggi terdapat pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki, pendidikan ≥ tamat SMP/MTs, pekerjaan wiraswasta dan pegawai, tinggal di perkotaan, dan kuintil indeks kepemilikan menengah. Sementara „jatuh‟ sebagai penyebab cedera kedua terbanyak, prevalensi paling tinggi ditemukan pada kelompok anak balita, perempuan, pendidikan rendah, tidak bekerja dan lainnya, tinggal di perdesaan, serta kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah.

Page 104: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

73

Tabel 8.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Cedera

Penyebab cedera

Sep

eda

mot

or

Tra

nsda

rat

lain

Jatu

h

Ben

data

jam

/ tu

mpu

l

Ter

baka

r

Gig

itan

hew

an

Kej

atuh

an

Ker

acun

an

Lain

nya

Kelompok Umur (tahun): <1 1,5 0 0 100,0 0 0 0 0 0 1,5 1-4 4,2 3,8 3,0 86,8 4,4 0,3 0 1,4 0,3 4,2 5-14 7,1 21,7 8,2 63,4 1,9 1,7 0,2 2,8 0 7,1 15-24 8,5 62,7 4,7 23,4 6,0 0 0,8 2,4 0 8,5 25-34 4,4 57,3 2,7 20,7 12,4 1,3 0 5,1 0,5 4,4 35-44 4,0 54,1 4,7 26,6 7,8 2,8 0,3 3,8 0 4,0 45-54 4,3 41,1 5,3 33,5 6,9 1,7 0 9,5 1,9 4,3 55-64 6,3 35,3 10,8 41,5 4,7 0 0,5 7,1 0 6,3 65-74 6,1 43,4 3,1 33,0 11,8 0 0 3,4 5,3 6,1 75+ 6,6 19,4 4,6 64,1 0 0 0 11,8 0 6,6

Jenis Kelamin: Laki-laki 7,0 43,8 5,2 36,9 8,4 1,1 0,4 4,0 0,4 7,0 Perempuan 4,3 38,3 6,3 48,8 1,7 1,2 0,2 3,4 0,2 4,3

Pendidikan: Tidak sekolah 6,8 23,8 9,0 58,8 1,2 1,6 0,7 4,9 0 23,8 Tidak Tamat SD/MI 6,0 21,3 9,6 57,6 3,3 2,1 0 4,9 1,2 21,3 Tamat SD/MI 6,1 45,5 4,1 38,1 8,3 0 0,3 3,5 0 45,5 Tamat SMP/MTs 6,2 54,1 5,2 28,7 6,7 0,6 0,8 3,9 0,1 54,1 Tamat SMA/MA 5,8 65,6 3,4 17,2 7,5 1,5 0,1 4,4 0,3 65,6 Tamat D1-D3/PT 3,9 56,3 10,0 28,1 4,8 0 0 0,9 0 56,3

Status Pekerjaan: Tidak bekerja 6,1 47,9 5,0 39,5 3,0 0,6 0,4 3,4 0,2 47,9 Pegawai 5,7 56,4 8,4 15,5 9,1 1,0 0 9,7 0 56,4 Wiraswasta 5,6 60,7 2,7 20,0 12,1 1,7 0 2,7 0,1 60,7 Petani/nelayan/buruh 5,6 47,6 4,7 25,9 14,1 1,5 0,4 4,9 0,9 47,6 Lainnya 4,7 40,7 6,8 40,4 0 3,1 0 6,2 2,9 40,7

Tempat Tinggal: Perkotaan 5,8 46,6 6,7 34,4 5,1 1,5 0,7 4,2 0,8 46,6 Pedesaan 5,6 38,6 4,8 45,7 6,5 0,9 0 3,5 0 38,6

Indeks Kepemilikan: Terbawah 5,1 36,8 4,6 46,1 5,7 0,7 0 5,2 0,9 36,8 Menengah bawah 6,4 41,4 4,6 42,6 6,0 0,8 0 4,5 0 41,4 Menengah 6,1 41,7 6,5 38,7 7,3 1,5 0,8 3,5 0 41,7 Menengah atas 6,2 44,6 4,6 39,5 6,5 1,1 0,6 3,1 0,1 44,6 Teratas 4,7 44,1 8,0 39,3 3,8 1,6 0 2,5 0,7 44,1

8.2 Jenis Cedera

Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Seseorang yang cedera bisa mengalami minimal satu jenis cedera (multiple injuries). Gambaran proporsi jenis cedera yang dialami RT berdasarkan kabupaten/kota di Riau disajikan pada Tabel 8.3.

Proporsi jenis cedera di Riau didominasi oleh luka lecet/memar (72,1%), diikuti terkilir (28,7%) dan luka robek (22,2%). Proporsi luka lecet/memar tertinggi terdapat di Kota Dumai (86,5%) dan terendah di Rokan Hilir (54,8%). Proporsi terkilir paling tinggi ditemukan di Rokan Hulu (44,2%) dan terendah di Kota Dumai (13,0%). Sementara proporsi luka robek

Page 105: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

74

tertinggi terdapat juga di Rokan Hulu (40,2%) dan terendah di Kepulauan Meranti (10,4%). Jenis cedera lain dengan proporsi jauh lebih kecil adalah patah tulang (5,9%), lainnya (1,8%), anggota tubuh terputus (0,9%), cedera mata (0,8%) dan geger otak (0,4%).

Tabel 8.3

Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Jenis Cedera

Lecet/ Memar

Luka robek

Patah tulang

Terkilir Anggota

tubuh terputus

Cedera mata

Gegar otak

Lain- nya

Kuantan Singingi 82,2 21,6 9,7 25,8 0,8 1,0 0 1,0

Indragiri Hulu 75,7 21,7 4,2 23,3 1,6 0 0 2,8

Indragiri Hilir 69,3 14,6 3,8 22,5 1,8 0 0 3,1

Pelalawan 62,1 29,9 4,9 20,6 0 3,7 0 0

Siak 75,4 29,0 3,0 18,9 0 0 0 1,6

Kampar 79,4 26,9 4,9 33,0 0,6 0,7 0 0

Rokan Hulu 63,7 40,2 11,4 44,2 1,6 4,6 1,7 3,0

Bengkalis 74,2 25,2 7,2 17,2 1,8 0,6 1,0 2,4

Rokan Hilir 54,8 19,0 6,0 37,7 0,5 0 0 1,2

Kepulauan Meranti 63,5 10,4 5,4 25,1 0 0 0 0,9

Kota Pekan Baru 73,5 15,8 5,4 39,8 0 2,0 1,5 3,4

Kota Dumai 86,5 18,2 3,7 13,0 1,2 0 0 2,3

RIAU 72,1 22,2 5,9 28,7 0,9 0,8 0,4 1,8

Luka lecet/memar sebagai jenis cedera terbanyak, prevalensi paling tinggi ditemukan pada kelompok umur < 1 tahun (85,9%), perempuan (76,5%), pendidikan tamat diploma/perguruan tinggi (84,2%), tidak bekerja (73,6%), tinggal di perkotaan (74,2%), dan kuintil indeks kepemilikan menengah atas (76,9%). Sementara „terkilir‟ sebagai jenis cedera kedua terbanyak, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun ke atas, sama antara laki-laki dan perempuan, pendidikan tamat SMA/MA ke atas, pekerjaan pegawai dan petani/nelayan/buruh, tinggal di perdesaan, dan kuintil indeks kepemilikan terbawah.

Page 106: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

75

Tabel 8.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Jenis cedera

Lecet/ Memar

Luka robek

Patah tulang

Terkilir Anggota

tubuh terputus

Cedera mata

Gegar otak

Lain- nya

Kelompok Umur (tahun):

< 1 85,9 9,9 0 4,2 0 0 0 0

1-4 76,4 9,3 1,2 22,0 0 1,6 0 1,2

5-14 73,5 18,8 4,9 21,3 1,0 0 0,2 2,5

15-24 78,6 22,3 6,7 29,9 0,6 0,8 0,2 1,7

25-34 64,5 33,8 4,7 39,3 2,0 0 1,1 0

35-44 68,7 21,3 9,5 23,5 1,0 3,7 0 1,8

45-54 68,3 25,4 3,4 36,8 0 0,7 0 0,6

55-64 69,0 20,8 7,6 35,8 1,7 0 1,7 4,0

65-74 65,0 30,0 23,5 39,4 0 0 0 9,9

75+ 23,4 3,5 4,4 56,9 0 11,8 0 0

Jenis Kelamin:

Laki-laki 69,5 26,7 6,5 28,7 1,3 0,8 0,5 1,6

Perempuan 76,5 14,5 4,8 28,7 0,3 0,8 0,1 2,1

Pendidikan:

Tidak sekolah 82,9 18,7 5,3 23,5 1,5 1,3 1,1 0,5

Tidak tamat SD/MI 70,1 18,8 6,1 20,5 1,0 0 0 3,4

Tamat SD/MI 70,1 24,6 4,7 30,6 0,8 0,3 0 1,9

Tamat SMP/MTs 70,7 26,1 9,2 27,5 1,4 1,6 0 1,4

Tamat SMA/MA 70,1 24,7 7,2 37,9 1,0 1,3 1,4 0,9

Tamat Diploma/PT 84,2 27,2 3,0 37,3 0 0 0 4,9

Status Pekerjaan:

Tidak bekerja 73,6 20,7 7,3 30,1 1,1 0,4 0,3 2,2

Pegawai 73,2 27,0 1,7 32,8 0,8 2,7 2,8 0,7

Wiraswasta 68,6 27,2 8,0 30,8 1,7 0,8 0 2,0

Petani/nelayan/buruh 62,7 30,4 6,9 32,7 1,4 1,4 0 0,9

Lainnya 57,3 21,6 4,4 26,4 0 0 0 8,2

Tempat Tinggal:

Perkotaan 74,2 19,4 6,5 24,8 1,2 0,6 0,7 2,3

Pedesaan 70,7 24,1 5,5 31,2 0,7 1,0 0,1 1,4

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 73,7 21,0 5,1 31,9 1,6 2,0 0 1,9

Menengah bawah 66,0 24,3 6,0 30,6 0,8 0,3 0,3 1,5

Menengah 73,0 25,4 5,3 22,5 0,4 0,2 0 0,9

Menengah atas 76,9 21,0 6,3 28,0 0,5 0,7 1,0 1,7

Teratas 70,8 18,8 6,6 30,7 1,4 0,8 0,4 3,3

*Responden biasanya mempunyai > 1 jenis cedera (multiple injuires)

Page 107: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

76

8.3 Tempat Terjadinya Cedera

Tempat terjadinya cedera adalah area/lokasi peristiwa yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data mengenai lokasi tanpa disertai dengan keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden ketika kejadian cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor & outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang tempat terjadinya cedera berdasarkan kabupaten/kota di Riau disajikan pada Tabel 8.5.

Cedera paling banyak terjadi di jalan raya (41,8%), diikuti di rumah (36,7%), area pertanian (6,8%) dan area sekolah (5,6%). Proporsi cedera di jalan raya yang tertinggi ditemukan di Kota Dumai (59,8%) dan terendah di Indragiri Hilir (24,6%). Proporsi cedera di rumah paling tinggi terdapat di Kepulauan Meranti (57,0%) dan terendah di Rokan Hulu (19,3%). Proporsi cedera di area pertanian yang tertinggi ditemukan di Rokan Hulu (23,0%) dan terendah di Kepulauan Meranti (0%). Sementara proporsi cedera di area sekolah paling tinggi terdapat di Siak (11,8%) dan terendah di Kepulauan Meranti (0,2%).

Tabel 8.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Tempat terjadinya cedera

Rumah Sekolah Olah raga

Jalan raya

Tempat umum

Industri Pertanian Lain- nya

Kuantan Singingi 38,8 5,8 2,3 41,9 2,6 0,3 8,3 0

Indragiri Hulu 39,5 3,8 5,5 46,2 1,6 0 3,5 0

Indragiri Hilir 42,7 10,4 7,3 24,6 2,1 1,8 10,2 0,9

Pelalawan 31,5 0,8 6,2 31,7 4,9 6,0 18,8 0

Siak 33,4 11,8 5,2 41,8 1,7 0 6,1 0

Kampar 46,9 3,6 4,3 37,1 1,1 2,3 4,8 0

Rokan Hulu 19,3 3,6 3,2 48,0 1,2 1,6 23,0 0

Bengkalis 33,4 6,8 4,5 42,8 1,3 2,9 6,2 2,2

Rokan Hilir 34,0 5,1 7,3 42,8 1,5 1,8 6,9 0,6

Kepulauan Meranti 57,0 0,2 2,4 35,4 5,0 0 0 0

Kota Pekan Baru 29,4 5,0 4,4 54,3 1,8 3,9 1,2 0

Kota Dumai 26,7 5,3 1,7 59,8 0 2,1 4,4 0

RIAU 36,7 5,6 4,9 41,8 1,7 2,0 6,8 0,5

Gambaran proporsi tempat terjadinya cedera berdasarkan karakteristik disajikan pada Tabel 8.6. Proporsi cedera di jalan raya yang tertinggi ditemukan pada kelompok usia produktif (15-54 tahun), laki-laki, pendidikan tamat SMP/MTs ke atas, pekerjaan wiraswasta dan pegawai,

dan tinggal di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi kecenderungan cedera di jalan raya.

Proporsi cedera di rumah paling tinggi terdapat pada kelompok anak balita, perempuan, pendidikan rendah, tidak bekerja dan lainnya, tinggal di perdesaan, dan kuintil indeks

kepemilikan menengah atas.

Proporsi cedera di area pertanian yang paling tinggi ditemukan pada kelompok umur 55 tahun ke atas, laki-laki, pendidikan tamat SD/MI, pekerjaan petani/nelayan/buruh, dan di

perdesaan. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan proporsi cedera di area pertanian.

Sementara proporsi cedera di area sekolah tertinggi terdapat pada kelompok anak usia sekolah (5-14 tahun), perempuan, tidak tamat SD/MI, tidak bekerja, dan tinggal di perkotaan. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan proporsi cedera di

area sekolah.

Page 108: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

77

Tabel 8.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Tempat terjadinya cedera

Rumah Sekolah Olah raga

Jalan raya

Tempat umum

Industri Pertanian Lain- nya

Kelompok Umur (tahun):

< 1 100,0 0 0 0 0 0 0 0

1-4 93,2 1,7 0 5,1 0 0 0 0

5-14 54,4 13,9 5,4 24,2 0,9 0 0,9 0,3

15-24 15,8 4,3 9,3 62,7 0,8 1,3 5,8 0

25-34 20,5 0,7 4,6 56,7 2,7 3,8 11,1 0

35-44 25,4 1,8 0,8 48,4 5,2 7,1 11,3 0

45-54 35,0 2,1 1,9 42,8 1,1 4,0 11,1 1,9

55-64 36,1 0,2 2,3 31,6 1,6 1,2 23,5 3,3

65-74 37,3 0,1 0 38,7 0 0 18,6 5,3

75+ 36,0 4,5 0 29,3 18,4 0 11,8 0

Jenis Kelamin:

Laki-laki 31,5 3,9 6,9 43,8 2,1 3,0 8,1 0,7

Perempuan 45,8 8,7 1,4 38,4 1,0 0,1 4,6 0

Pendidikan:

Tidak sekolah 53,7 9,7 3,3 24,3 5,2 1,1 2,8 0

Tidak tamat SD/MI 49,9 11,4 3,5 25,8 0,9 1,0 5,9 1,5

Tamat SD/MI 30,6 6,6 4,9 41,6 2,2 1,8 12,3 0,1

Tamat SMP/MTs 19,3 3,3 9,0 54,3 1,2 3,2 9,7 0

Tamat SMA/MA 17,7 2,4 5,1 64,6 1,9 3,4 4,2 0,7

Tamat Diploma/PT 27,4 0,8 6,6 63,3 0,4 0 1,5 0

Status Pekerjaan:

Tidak bekerja 31,9 7,8 6,8 48,7 1,0 0,2 3,2 0,4

Pegawai 18,7 2,5 5,1 58,7 0,7 4,5 9,9 0

Wiraswasta 14,5 0,4 3,8 62,4 4,8 7,8 6,1 0

Petani/nelayan/buruh 22,1 0,7 3,6 38,7 3,7 4,8 24,5 1,9

Lainnya 32,0 2,6 2,6 52,9 1,6 0 8,4 0

Tempat Tinggal:

Perkotaan 30,9 6,2 4,8 50,5 1,8 2,6 2,5 0,7

Pedesaan 40,6 5,3 5,0 36,1 1,6 1,5 9,6 0,4

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 36,9 6,3 3,3 35,6 0,5 2,3 14,2 0,8

Menengah bawah 38,1 4,6 4,1 39,3 3,1 1,0 9,0 0,7

Menengah 32,9 5,9 7,8 42,8 2,7 1,5 6,2 0,2

Menengah atas 41,4 5,8 4,1 44,6 0,8 1,1 2,3 0

Teratas 33,3 5,7 5,4 46,8 1,1 4,4 2,5 0,7

Page 109: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

78

Daftar Pustaka

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Riyadina W. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Laporan Hasil Analisis Lanjut Data Riskesdas. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Litbangkes Depkes, 2008.

Sethi D et al. Guidelines for Conducting Community Surveys on Injuries and Violence. Geneva: WHO, 2004.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

WHO. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Volume 1. Tenth Revision (ICD-10). Geneva: WHO, 1992. p 891-1010.

Page 110: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

79

BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT

Mogsa Sitanggang dan Nurfi Afriansyah

Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah-Tangga (SKRT) 1986. Kemudian, secara periodik SKRT dilaksanakan tahun 1995, 2001 dan 2004, lalu dilanjutkan dengan Riskesdas 2007 dan 2013.

Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi dan mulut (gilut) secara komprehensif yang meliputi status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku menyikat gigi. Pengumpulan data dilakukan, baik melalui wawancara maupun pemeriksaan gilut, dengan keseluruhan sampel berjumlah 1.027.763 responden. Wawancara dilakukan kepada semua umur, sedangkan pemeriksaan gilut dilakukan tenaga terlatih kepada kelompok umur ≥ 12 tahun (789.771 responden).

Dalam tabel yang memuat karakteristik responden, sesudah kelompok umur umum ditambahkan pembagian kelompok umur menurut WHO (12; 15; 18). Kelompok umur menurut WHO perlu ditambahkan karena pada usia ≥ 12 tahun seluruh gigi, dari insisivus hingga molar 1, telah tumbuh semua/permanen; pada usia 15 tahun seluruh gigi, dari insisivus sampai molar 2, sudah tumbuh; dan pada usia 18 tahun seluruh gigi, dari insisivus hingga molar 3, diharapkan telah tumbuh semua. Penilaian dalam dentogram dilakukan pada gigi permanen saja [selengkapnya dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka].

9.1 Effective Medical Demand (EMD)

EMD didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah dengan gilut dalam 12 bulan terakhir dikalikan dengan persentase penduduk penerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis gigi (dokter gigi spesialis, dokter gigi, perawat gigi).

Tabel 9.1 memperlihatkan proporsi penduduk yang bermasalah gilut, yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi, dan EMD dalam 12 bulan terakhir berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Penduduk Riau yang memiliki masalah gilut sebesar 16,2 persen dan, dari jumlah itu, 33,3 persen menerima perawatan dari tenaga medis gigi. Jadi, secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk memperoleh pelayanan tenaga medis gigi atau EMD hanya 5,4 persen.

Tabel 9.1 Proporsi penduduk bermasalah gigi & mulut, menerima perawatan tenaga medis gigi, dan

effective medical demand dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Bermasalah

gigi dan mulut (%) Menerima perawatan tenaga medis gigi (%)

Effective medical demand (%)

Kuantan Singingi 28,6 31,1 8,9 Indragiri Hulu 16,8 21,8 3,7 Indragiri Hilir 19,6 22,2 4,4 Pelalawan 8,0 52,4 4,2 Siak 11,1 47,2 5,2 Kampar 14,7 40,8 6,0 Rokan Hulu 14,6 42,2 6,2 Bengkalis 23,5 35,9 8,4 Rokan Hilir 25,2 23,1 5,8 Kepulauan Meranti 14,2 25,0 3,5 Kota Pekanbaru 8,5 48,6 4,2 Kota Dumai 12,8 28,2 3,6

RIAU 16,2 33,3 5,4

Page 111: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

80

Proporsi masalah gilut paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi (28,6%) dan Rokan Hilir (25,2%) & Bengkalis (23,5%), dengan EMD masing-masing 8,9, 5,8 & 8,4 persen.

Tabel 9.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi & mulut, menerima perawatan tenaga medis gigi, dan

effective medical demand dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Bermasalah

gigi dan mulut (%) Menerima perawatan tenaga

medis gigi (%) Effective medical

demand (%)

Kelompok Umur: <1 0,6 62,0 0,4 1-4 6,3 23,2 1,5 5-9 18,6 33,6 6,3 10-14 15,2 29,9 4,6 15-24 16,1 30,2 4,9 25-34 17,5 34,4 6,0 35-44 19,5 36,9 7,2 45-54 18,5 36,5 6,7 55-64 17,5 33,7 5,9 ≥ 65 15,3 28,0 4,3

Kelompok Umur (WHO): 12 16,2 26,4 4,3 15 16,2 26,3 4,3 18 17,5 48,6 8,5 35-44 19,5 36,9 7,2 45-54 18,5 36,5 6,7 55-64 17,5 33,7 5,9 ≥ 65 15,3 28,0 4,3

Jenis Kelamin: Laki-laki 15,0 31,7 4,7 Perempuan 17,4 34,7 6,0

Pendidikan: Tidak Sekolah 15,9 33,9 5,4 Tidak Tamat SD/MI 19,0 29,5 5,6 Tamat SD/MI 19,4 31,4 6,1 Tamat SMP/MTs 17,1 31,7 5,4 Tamat SMA/MA 15,9 39,5 6,3 Tamat D1-D3/PT 13,1 48,5 6,4

Pekerjaan: Tidak bekerja 17,2 34,0 5,8 Pegawai 14,3 44,8 6,4 Wiraswasta 14,7 35,9 5,3 Petani/nelayan/buruh 20,4 29,0 5,9 Lainnya 21,1 24,6 5,2

Tempat Tinggal: Perkotaan 13,5 38,4 5,2 Pedesaan 17,9 30,7 5,5

Indeks Kepemilikan: Terbawah 18,4 21,0 3,9 Menengah bawah 17,7 31,6 5,6 Menengah 16,8 37,4 6,3 Menengah atas 15,7 39,9 6,3 Teratas 12,3 40,3 5,0

Tabel 9.2 menunjukkan proporsi penduduk bermasalah gilut menurut karakteristik. Masalah gilut tertinggi terdapat pada kelompok umur 35-44 tahun, perempuan, pendidikan tamat

Page 112: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

81

SD/MI, pekerjaan petani/nelayan/buruh dan lainnya, serta tinggal di perdesaan. Makin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan proporsi masalah gilut.

Perawatan gilut dari tenaga medis gigi paling tinggi diterima oleh kelompok umur < 1 tahun, perempuan, pendidikan tamat D1-D3/PT, pekerjaan pegawai, dan tinggal di perkotaan. Makin

tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan proporsi penerimaan perawatan gilut dari tenaga medis gigi. Sementara EMD tertinggi ditemukan pada kelompok umur 35-44 tahun, perempuan, pendidikan tamat D1-D3/PT, pekerjaan pegawai, dan tinggal

di perdesaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar kecenderungan proporsi EMD.

Tabel 9.3 Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis nakes menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Dokter gigi

spesialis (%) Dokter gigi (%)

Perawat gigi (%)

Paramedik lainnya (%)

Tukang gigi (%)

Lainnya (%)

Kuantan Singingi 0,2 26,6 12,2 29,0 8,8 25,4 Indragiri Hulu 2,8 65,5 13,4 12,3 1,6 5,0 Indragiri Hilir 9,6 30,3 12,9 41,4 3,0 7,6 Pelalawan 33,0 6,0 65,1 1,6 0,3 Siak 3,1 71,9 21,1 13,2 2,5 Kampar 0,7 45,1 7,1 51,3 0,8 5,3 Rokan Hulu 4,0 34,7 15,2 37,3 6,3 8,3 Bengkalis 57,9 3,2 34,7 2,4 4,7 Rokan Hilir 1,5 35,8 6,4 46,6 1,1 10,8 Kepulauan Meranti 61,1 6,0 32,9 Kota Pekanbaru 6,8 79,6 4,6 9,7 1,0 Kota Dumai 12,7 66,3 7,6 18,3 1,0 4,3

RIAU 3,2 49,3 9,1 34,0 2,7 6,6

Tabel 9.3 memperlihatkan proporsi berobat gigi penduduk Riau berdasarkan jenis nakes menurut kabupaten/kota. Sebagian besar penduduk berobat gigi ke dokter gigi (49,3%), diikuti paramedik lain (34,0%), dan perawat gigi (9,1%). Proporsi penduduk yang berobat ke dokter gigi tertinggi ditemukan di Kota Pekanbaru (79,6%), diikuti Siak (71,9%), Kota Dumai (66,3%), dan Indragiri Hulu (65,5%).

9.2 Perilaku Menyikat Gigi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun

Setiap orang perlu menjaga kesehatan gilut dengan cara menyikat gigi secara benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan mengenai perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam.

Tabel 9.4 menunjukkan sebagian besar (95,6%) penduduk umur ≥ 10 tahun di Riau menyikat gigi setiap hari. Proporsi menyikat gigi setiap hari penduduk tertinggi terdapat di Kota Pekanbaru (98,3%), diikuti Pelalawan (97,8%) dan Kampar (97,6%), sedangkan terendah ditemukan di Indragiri Hilir (88,9%) dan Kepulauan Meranti (90,2%). Mayoritas penduduk Riau menyikat gigi saat mandi pagi (97,0%) dan mandi sore (84,1%). Proporsi menyikat gigi pada waktu mandi pagi tertinggi terdapat di Rokan Hulu (99,6%) dan Kota Pekanbaru (99,2%), sedangkan terendah ditemukan di Bengkalis (91,2%) dan Kepulauan Meranti (91,4%). Proporsi kombinasi waktu menyikat gigi ketika mandi pagi dan sore juga tinggi (82,5%).

Page 113: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

82

Tabel 9.4 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat

gigi menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Sikat gigi

setiap hari

Waktu menyikat gigi Menyikat

gigi dengan benar

Mandi pagi

Mandi sore

Sesudah makan pagi

Sesudah bangun

pagi

Sebelum tidur

malam

Sesudah makan siang

Mandi pagi dan sore

Kuantan Singingi

94,9 98,1 88,7 2,2 4,3 18,5 4,5 87,7 1,1

Indragiri Hulu 95,9 97,6 86,5 1,1 4,2 13,6 2,9 85,0 0,4 Indragiri Hilir 88,9 91,6 76,7 2,8 23,3 16,8 2,9 71,9 1,9 Pelalawan 97,8 99,1 81,3 1,4 2,3 19,6 1,3 80,8 0,8 Siak 95,7 98,9 81,8 3,2 3,7 26,5 4,5 81,4 1,6 Kampar 97,6 98,9 89,3 1,9 7,7 19,4 1,7 89,1 1,0 Rokan Hulu 96,9 99,6 97,7 1,2 6,4 14,2 3,2 97,6 0,7 Bengkalis 96,1 91,2 78,9 6,7 13,8 30,4 11,2 73,2 4,0 Rokan Hilir 95,1 97,2 72,4 3,2 10,8 28,4 6,9 70,9 1,8 Kepulauan Meranti

90,2 91,4 61,6 7,6 7,4 22,2 3,7 58,4 2,9

Kota Pekanbaru 98,3 99,2 89,6 6,6 7,9 37,0 2,6 89,5 5,5 Kota Dumai 96,9 98,5 87,6 2,4 3,9 27,7 3,1 87,0 2,0

RIAU 95,6 97,0 84,1 3,5 9,0 24,1 3,9 82,5 2,3

Tabel 9.4 memperlihatkan pula kebiasaan menyikat gigi dengan benar, yakni setiap hari setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Ternyata, penduduk Riau yang berperilaku menyikat gigi dengan benar “hanya” sebesar 2,3 persen. Proporsi menyikat gigi dengan benar paling tinggi terdapat di Kota Pekanbaru (5,5%) dan terendah di Indragiri Hulu (0,4%). Penduduk yang menyikat gigi sesudah makan pagi sebesar 3,5 persen dan sebelum tidur malam sebesar 24,1 persen. Tampaknya, promosi tentang perilaku menyikat gigi setelah makan pagi perlu ditingkatkan.

Tabel 9.5 menunjukkan kebiasaan menyikat gigi setiap hari cenderung menurun mulai umur 45 tahun, makin meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, serta lebih tinggi di perkotaan. Sementara kebiasaan menyikat gigi yang keliru hampir merata tinggi di semua kelompok umur. Ada kecenderungan kebiasaan menyikat gigi dengan benar lebih tinggi pada perempuan, kelompok berpendidikan tinggi (tamat D1-D3/PT), pekerjaan pegawai, tinggal di perkotaan, dan indeks kepemilikan teratas.

Page 114: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

83

Tabel 9.5 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat

gigi menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik

Sikat gigi

setiap hari

Waktu menyikat gigi Menyikat

gigi dengan benar

Man

di p

agi

Man

di s

ore

Ses

udah

m

akan

pag

i

Ses

udah

ba

ngun

P

agi

Seb

elum

tidur

mal

am

Ses

udah

m

akan

sian

g

Man

di p

agi

dan

sore

Kelompok Umur (tahun): 10-14 97,5 97,2 82,1 2,8 7,7 19,9 2,4 80,9 1,6 15-24 98,5 97,8 86,2 4,2 9,4 30,2 4,1 85,0 3,3 25-34 98,1 97,3 85,7 3,6 9,1 25,2 3,9 84,0 2,4 35-44 96,7 96,4 84,4 3,2 8,8 21,8 4,2 82,7 1,8 45-54 94,0 96,5 82,1 3,3 9,0 21,6 4,6 80,6 1,8 55-64 86,2 96,8 78,7 3,8 9,3 18,5 4,8 76,8 2,0 65 + 61,8 92,2 75,0 2,9 13,0 18,1 5,4 69,4 2,0

Kelompok Umur (WHO): 12

2,5

15 97,4 98,4 83,4 3,1 8,9 20,2 2,8 82,7 2,3 18 98,1 98,1 87,2 2,6 6,9 24,0 3,5 86,4 3,4 35-44 98,9 98,9 84,4 3,6 8,3 31,8 4,7 83,7 1,8 45-64 96,7 96,4 84,4 3,2 8,8 21,8 4,2 82,7 1,8 55-64 94,0 96,5 82,1 3,3 9,0 21,6 4,6 80,6 2,0 ≥65 86,2 96,8 78,7 3,8 9,3 18,5 4,8 76,8 2,0

Jenis Kelamin: Laki-laki 95,5 97,1 82,8 3,2 8,2 20,8 4,0 81,2 2,0 Perempuan 95,7 96,9 85,5 3,8 9,8 27,5 3,9 83,9 2,6

Pendidikan: Tidak sekolah 82,4 94,1 82,4 3,3 11,0 16,0 5,0 79,4 2,0 Tidak tamat SD/MI 92,0 95,9 81,2 2,3 10,9 15,5 3,1 79,2 1,4 Tamat SD/MI 94,8 96,9 83,4 2,6 8,1 18,8 3,6 81,4 1,3 Tamat SMP/MTs 97,3 97,1 84,0 3,0 8,1 23,0 3,6 82,4 1,8 Tamat SMA/MA 98,0 97,7 86,7 4,0 8,3 29,7 4,3 85,7 2,8 Tamat D1-D3/PT 99,0 97,7 83,8 9,6 13,0 47,9 6,5 83,2 7,9

Pekerjaan: Tidak kerja 95,7 97,3 84,6 3,3 8,6 25,2 3,5 83,4 2,3 Pegawai 98,0 98,0 84,4 5,7 10,2 38,0 5,4 83,6 4,5 Wiraswasta 97,8 97,9 85,0 4,2 7,7 23,6 3,7 84,2 2,5 Petani/nelayan/buruh 92,6 96,0 82,7 2,0 8,8 12,6 4,1 80,1 0,7 Lainnya 95,6 91,4 79,0 4,8 16,6 29,5 6,0 73,5 3,3

Tempat Tinggal: Perkotaan 96,9 98,0 84,2 4,9 8,4 34,2 3,7 83,5 3,7 Pedesaan 94,8 96,4 84,1 2,6 9,3 17,3 4,1 81,9 1,3

Indeks Kepemilikan: Terbawah 91,1 94,6 80,2 2,1 11,2 13,4 3,4 76,7 1,0 Menengah bawah 95,5 96,0 82,7 2,9 8,9 18,8 4,7 80,4 1,4 Menengah 96,1 98,0 84,5 3,2 7,4 24,3 4,4 83,6 1,9 Menengah atas 97,5 98,3 85,6 2,7 7,6 24,7 3,2 85,0 1,5 Teratas 98,2 98,1 87,2 6,5 9,6 37,7 4,2 86,6 5,3

Page 115: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

84

9.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T

Indeks DMF-T adalah penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik Decay/D (jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau diambil), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar) maupun Filling/F (jumlah gigi permanen yang sudah ditumpat atau ditambal). Indeks DMF-T menggambarkan tingkat kerusakan gigi permanen.

Tabel 9.6 Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik D-T (X)

M-T (X)

F-T (X)

DF-T (X)

DMF-T (X)

Kelompok Umur (tahun): 12-14 1,00 0,35 0,03 0,01 1,36 15-24 1,16 0,49 0,08 0,02 1,71 25-34 1,90 1,83 0,11 0,03 3,81 35-44 2,26 3,41 0,22 0,03 5,86 45-54 2,37 5,32 0,28 0,06 7,91 55-64 2,39 10,14 0,11 0,02 12,62 ≥ 65 2,85 15,83 0,13 0,02 18,80

Kelompok Umur (WHO): 12 1,08 0,34 0,03 0,03 1,43 15 1,19 0,36 0,04 0,02 1,57 18 0,86 0,41 0,11 0,01 1,36 35-44 2,26 3,41 0,22 0,03 5,86 45-54 2,37 5,32 0,28 0,06 7,91 55-64 2,39 10,14 0,11 0,02 12,62 65 + 2,85 15,83 0,13 0,02 18,80

Jenis Kelamin: Laki-laki 1,55 1,80 0,10 0,02 3,43 Perempuan 1,73 2,71 0,14 0,04 4,55

Pendidikan: Tidak sekolah 3,26 5,91 0,06 0,06 9,17 Tidak Tamat SD/MI 1,41 3,44 0,07 0,02 4,89 Tamat SD/MI 1,75 2,36 0,06 0,01 4,16 Tamat SMP/MTs 1,58 1,64 0,11 0,03 3,30 Tamat SMA/MA 1,57 1,97 0,24 0,05 3,73 Tamat D1-D3/PT 1,19 1,30 0,24 0,03 2,70

Pekerjaan: Tidak bekerja 1,40 1,64 0,10 0,03 3,11 Pegawai 1,64 1,63 0,25 0,05 3,47 Wiraswasta 1,78 2,51 0,27 0,03 4,53 Petani /nelayan/ buruh 2,48 4,61 0,06 0,02 7,14 Lainnya 1,87 3,27 0,05 0,00 5,19

Tempat Tinggal: Perkotaan 1,34 1,98 0,18 0,05 3,45 Pedesaan 1,84 2,43 0,08 0,01 4,34

Indeks Kepemilikan: Terbawah 1,96 3,43 0,08 0,03 5,44 Menengah bawah 1,82 2,27 0,05 0,00 4,13 Menengah 1,97 2,31 0,10 0,03 4,35 Menengah atas 1,43 2,02 0,15 0,05 3,55 Teratas 1,10 1,29 0,23 0,03 2,59

Page 116: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

85

Tabel 9.6 memperlihatkan indeks DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan makin rendahnya pendidikan & indeks kepemilikan serta lebih tinggi pada perempuan dan di perdesaan.

Daftar Pustaka

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Statistik Kesehatan Gigi 1995: Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga No. 7. Jakarta: Badan Litbangkes, 1995.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia 2001: Analisis Data Survei Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Badan Litbangkes, 2001.

Indonesia, Departemen Kesehatan. Profil Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta: Depkes, 1999.

Kristanti ChM et al. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia. Jakarta: Badan Litbangkes, 2012.

Kristanti ChM, Budiarso R. Persepsi dan Motivasi Masyarakat untuk Berobat Gigi. Prodising Seminar Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986.

WHO. Oral Health Care: Needs of the Community. Geneva: WHO, 1995.

Page 117: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

86

BAB 10. STATUS DISABILITAS

Nurfi Afriansyah dan Sri Prihatini

Bahasan disabilitas bertujuan memperoleh pemahaman seutuhnya mengenai pengalaman hidup penduduk karena keadaan kesehatannya, termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu di rumah, sekolah, tempat kerja, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan WHO (2010) untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, sekolah, tempat kerja atau area sosial lain; hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin.

Instrumen untuk data disabilitas dalam Riskesdas 2013 diadaptasi dari WHODAS 2 sebagai operasionalisasi konsep International Classification of Functioning (ICF), yang terdiri dari 12 pernyataan/komponen untuk memperoleh informasi tentang status disabilitas seseorang. Instrumen ini dapat digunakan oleh enumerator nonmedis. Respondennya adalah kelompok umur ≥ 15 tahun.

Data yang dikumpulkan meliputi keberadaan kondisi disabilitas dalam kurun waktu sebulan sebelum survei. Ada lima opsi jawaban untuk responden, yaitu: (1) tidak mengalami kesulitan, (2) mengalami sedikit kesulitan atau kesulitan ringan, (3) mengalami cukup kesulitan atau kesulitan sedang, (4) mengalami kesulitan berat, dan (5) sangat berat atau tidak dapat/mampu melakukan kegiatan. Bagi responden yang menjawab (2), (3), (4) atau (5), lalu ditanyakan „lama hari‟ mengalami kesulitan, yang terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak dapat melakukan kegiatan rutin dan jumlah hari masih mampu beraktivitas rutin walaupun tidak optimal.

Tabel disabilitas berisi beberapa indikator, prevalensi, dan rerata „hari produktif hilang‟. Prevalensi disabilitas didapat dari minimal ada jawaban 3-4-5 pada salah satu komponen disabilitas. Sementara rerata hari produktif hilang atau hari „tidak mampu‟ merupakan rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan karena disabilitas. Rerata hari produktif hilang menggambarkan rerata kerugian yang dialami akibat disabilitas. Indikator itu dapat digunakan menghitung nilai ekonomi karena disabilitas.

Hasil lebih rinci mengenai status disabilitas dapat dilihat pada buku 2 „Riskesdas 2013 dalam Angka‟.

Tabel 10.1 Proporsi penduduk menurut komponen disabilitas dan tingkat kesulitan, Riau 2013

Komponen disabilitas Tidak ada Ringan Sedang Berat Sangat berat

1. Sulit mengenakan pakaian 94,3 4,4 1,0 0,2 0,1

2. Sulit membersihkan tubuh 94,0 4,5 1,1 0,2 0,1

3. Sulit memelihara persahabatan 94,7 3,6 1,4 0,2 0,1

4. Sulit bergaul dengan orang yang belum dikenal 94,3 3,8 1,5 0,3 0,1

5. Sulit mengerjakan pekerjaan sehari-hari 93,3 4,1 1,8 0,5 0,2

6. Sulit berperan dalam kegiatan kemasyarakatan 92,8 4,1 2,2 0,8 0,2

7. Sulit memusatkan pikiran selama 10 menit 92,7 4,2 2,4 0,6 0,1

8. Besar masalah kesehatan yg mempengaruhi emosi 92,5 4,4 2,4 0,5 0,1

9. Sulit mengerjakan kegiatan rumah-tangga 90,9 4,7 3,3 0,9 0,2

10. Sulit berdiri dalam waktu lama (sekitar 30 menit) 89,8 5,2 3,4 1,4 0,2

11. Sulit berjalan jarak jauh (sekitar 1 km) 90,2 3,7 3,1 2,3 0,7

12. Sulit mempelajari/mengerjakan hal-hal baru 92,1 4,5 2,5 0,8 0,2

13. Sulit bergaul dengan orang yang belum dikenal 94,3 3,8 1,5 0,3 0,1

Page 118: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

87

Tabel 10.1 memperlihatkan kesulitan berdiri dalam waktu lama dan berjalan jarak jauh, masing-masing dialami oleh 10 dari 100 penduduk di Riau. Untuk kesulitan berjalan jarak

jauh, termasuk 6,1 persen kesulitan dari level sedang hingga sangat berat. Sementara kesulitan membersihkan tubuh sendiri dialami 6 persen penduduk, termasuk 1,4 persen

kesulitan tingkat sedang sampai sangat berat atau tidak mampu membersihkan diri tanpa dibantu.

Tabel 10.2 dan Tabel 10.3 menunjukkan prevalensi disabilitas, dan rerata hari produktif hilang menurut kabupaten/kota dan karakteristik. Prevalensi disabilitas sedang hingga sangat berat penduduk Riau sebesar 8,5 persen, dengan variasi dari yang paling tinggi di Kuantan

Singingi (16,6%) sampai yang terendah di Pelalawan (2,7%). Sementara rata-rata penduduk Riau tidak dapat berfungsi optimal selama 5,3 hari, dengan variasi dari yang tertinggi di Kota Dumai (15,2 hari) hingga yang terendah di Indragiri Hilir (2,4 hari). Rerata penduduk masih

mampu mengatasi kesulitan akibat disabilitas dijumpai di propinsi Riau sebesar 4%.

Tabel 10.2 Prevalensi disabilitas dan rerata hari produktif hilang menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Prevalensi

Rerata hari produktif hilang

Masih mampu

Tidak mampu

Total

Kuantan Singingi 16,6 1,9 1,8 3,7 Indragiri Hulu 6,6 5,2 0,3 5,5 Indragiri Hilir 12,4 1,8 0,6 2,4 Pelalawan 2,7 7,8 2,8 10,7 Siak 11,5 2,8 1,2 4,0 Kampar 3,9 4,3 1,9 6,2 Rokan Hulu 12,6 2,5 0,6 3,1 Bengkalis 6,4 7,9 1,3 9,2 Rokan Hilir 9,8 4,0 1,9 6,0 Kepulauan Meranti 4,1 2,4 2,3 4,7 Kota Pekanbaru 8,1 6,5 1,2 7,7 Kota Dumai 4,7 11,2 4,0 15,2

RIAU 8,5 4,0 1,2 5,3

Tabel 10.3 pun memperlihatkan bahwa disabilitas meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan makin rendahnya pendidikan. Kelompok umur 75 tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas paling tinggi. Disabilitas lebih banyak dialami perempuan daripada laki-laki dan terjadi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, serta paling banyak dialami kelompok tidak bekerja.

Page 119: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

88

Tabel 10.3 Prevalensi disabilitas menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Prevalesi disabilitas

Kelompok Umur (tahun): 15-24 3,9 25-34 5,7 35-44 7,0 45-54 10,9 55-64 19,8 65-74 40,6 75+ 56,9

Jenis Kelamin: Laki-laki 7,6 Perempuan 9,4

Pendidikan Tidak sekolah 23,9 Tidak Tamat SD/MI 14,5 Tamat SD/MI 9,3 Tamat SMP/MTS 6,7 Tamat SMA/MA 6,5 Tamat D1-D3/PT 6,0

Pekerjaan: Tidak berkerja 9,8 Pegawai 5,8 Wiraswasta 6,2 Petani/nelayan/buruh 9,0 Lainnya 6,8

Tempat Tinggal: Perkotaan 8,1 Perdesaan 8,8

Indeks Kepemilikan: Terbawah 8,9 Menengah bawah 8,1 Menengah 7,0 Menengah atas 7,0 Teratas 11,3

Daftar Pustaka

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

WHO. 2000. WHO Disability Assessment Schedule 2.0 WHODAS 2.0. http://www.int/classifications/icf/whodasii/en

Page 120: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

89

BAB 11. KESEHATAN JIWA

Yunita Diana Sari dan Sri Prihatini

Indikator kesehatan jiwa yang dinilai dalam Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, termasuk pemasungan, serta gangguan mental emosional. Gangguan jiwa berat, yang dikenal dengan sebutan psikosis, adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan itu antara lain halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses berpikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Salah satu contoh dari psikosis ialah skizofrenia.

Gangguan jiwa berat menurunkan produktivitas penderita, menimbulkan beban biaya yang besar, baik bagi penderita sendiri, keluarga, masyarakat maupun negara/pemerintah. Dari segi pemerintah, besarnya biaya pengobatan gangguan tersebut dapat menghabiskan alokasi biaya yankes untuk masyarakat. Hingga kini masih terdapat pemasungan dan perlakuan salah terhadap penderita gangguan jiwa berat di masyarakat. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke yankes jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pemasungan sebab tindakan pemasungan dan perlakuan salah terhadap penderita gangguan jiwa berat merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia.

Berbeda dengan gangguan jiwa berat (psikosis) dan skizofrenia, gangguan mental emosional (distres psikologis) adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan mental emosional mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Gangguan itu dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius bila tidak berhasil dikendalikan. Gangguan mental emosional dapat dicegah menjadi lebih serius jika orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau berobat sedini mungkin ke pusat yankes atau nakes yang kompeten.

11.1 Gangguan Jiwa Berat

Gangguan jiwa berat dinilai dari serangkaian pertanyaan yang diajukan pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah-tangga (KRT) atau ART yang mewakilinya. Inti pertanyaan mengenai keberadaan ART (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) dalam RT tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup. RT yang memiliki ART dengan gangguan jiwa ditanya tentang riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya. Pewawancara sudah dilatih mengenai cara mewawancarainya dan pengetahuan praktis bagaimana ciri-ciri gangguan jiwa. Pelatihan singkat telah membekali pewawancara keterampilan melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan KRT atau ART yang mewakilinya.

Namun, ada keterbatasan pada pengumpulan data dengan wawancara, yakni kemungkinan terdapat kasus gangguan jiwa berat yang tidak dilaporkan dan diagnosis yang kurang tepat. Kelemahan ini diatasi dengan upaya menetapkan batasan operasional bahwa gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dimaksud ialah gangguan yang dapat dikenali masyarakat di sekitarnya. Jadi, gangguan jiwa berat yang hanya dapat ditegakkan dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnosis dokter spesialis jiwa kemungkinan tidak terdata.

Page 121: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

90

Tabel 11.1 memperlihatkan prevalensi psikosis pada penduduk Riau sebesar 0,9 permil. Prevalensi paling tinggi ditemukan di Rokan Hulu dan Bengkalis (masing-masing 2,3‰), sedangkan terendah terdapat di Rokan Hilir dan Siak (masing-masing 0‰). Gangguan jiwa berat berdasarkan karakteristik dipaparkan dalam buku 2 Riskesdas 2013 dalam Angka.

Tabel 11.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Gangguan jiwa berat

(psikosis/skizofrenia) permil

Kuantan Singingi 1,8 Indragiri Hulu 0,9 Indragiri Hilir 0,9 Pelalawan 0,5 Siak 0 Kampar 0,4 Rokan Hulu 2,3 Bengkalis 2,3 Rokan Hilir 0 Kepulauan Meranti 0,6 Kota Pekanbaru 0,7 Kota Dumai 1,3

RIAU 0,9

Prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi, berkisar 4 permil sampai dengan 1,4 persen (Lewis et al, 2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan umumnya prevalensi skizofrenia sebesar 1 persen.

Tabel 11.2 menunjukkan proporsi RT yang pernah melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Proporsi RT yang pernah memasung ART dengan gangguan jiwa berat sebesar 17,8 persen. Proporsi tertinggi ditemukan pada RT di perdesaan serta kuintil indeks kepemilikan menengah dan menengah bawah.

Tabel 11.2 Proporsi RT yang memiliki ART bergangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik RT dengan riwayat

pemasungan ART (%)

Tempat Tinggal: Perkotaan 14,4 Pedesaan 23,0

Indeks Kepemilikan: Terbawah 10,5 Menengah bawah 23,5 Menengah 27,1 Menengah atas 18,7 Teratas 0

Page 122: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

91

11.2 Gangguan Mental Emosional

Pertanyaan tentang gangguan mental emosional diajukan kepada penduduk berumur ≥ 15 tahun berdasarkan Self-Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 pertanyaan. Pilihan jawaban ke-20 pertanyaan itu hanya ‟ya‟ dan ‟tidak‟. Nilai batas yang ditetapkan adalah 6; artinya, bila responden menjawab ≥ 6 jawaban ‟ya‟, responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional (Hartono, 1995). Namun, ada keterbatasan instrumen SRQ. Instrumen ini hanya mengungkap status emosional individu sesaat (± 30 hari), tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik.

Tabel 11.3 memperlihatkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Riau sebesar 2,7 persen. Prevalensi tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (6,2%) dan terendah di Kota Pekanbaru (0,5%). Prevalensi cakupan pengobatan gangguan mental emosional seumur hidup dan 2 minggu terakhir dimuat dalam buku 2 Riskesdas dalam Angka.

Tabel 11.3 Prevalensi gangguan mental emosional menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Gangguan

mental emosional* (%)

Kuantan Singingi 6,2 Indragiri Hulu 1,5 Indragiri Hilir 2,0 Pelalawan 0,7 Siak 2,6 Kampar 4,3 Rokan Hulu 2,1 Bengkalis 4,2 Rokan Hilir 5,3 Kepulauan Meranti 1,4 Kota Pekanbaru 0,5 Kota Dumai 1,8

RIAU 2,7*

* Wawancara umur ≥ 15 tahun berdasarkan ‘Self-Reporting Questionnaire 20’ *Nilai Batas Pisah (Cut-off Point) ≥ 6

Tabel 11.4 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional di Riau menurut karakteristik. Gangguan mental emosional cenderung berbanding lurus dengan umur serta berbanding terbalik dengan pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Kelompok umur ≥ 75 tahun merupakan kelompok dengan gangguan mental emosional paling tinggi. Gangguan itu lebih banyak dialami perempuan serta pada kelompok tidak bekerja dan tinggal di perkotaan.

Page 123: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

92

Tabel 11.4 Prevalensi gangguan mental emosional menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Gangguan

mental emosional* (%)

Kelompok Umur (tahun): 15-24 2,2 25-34 2,1 35-44 2,1 45-54 3,2 55-64 4,5 65-74 9,1 75+ 11,2

Jenis Kelamin: Laki-laki 1,9 Perempuan 3,4

Pendidikan: Tidak sekolah 5,1 Tidak Tamat SD/MI 4,0 Tamat SD/MI 3,3 Tamat SMP/MTS 2,3 Tamat SMA/MA 2,0 Tamat D1-D3/PT 1,5

Pekerjaan: Tidak bekerja 3,5 Pegawai 1,8 Wiraswasta 1,6 Petani/nelayan/buruh 2,2 Lainnya 3,7

Tempat Tinggal: Perkotaan 3,5 Pedesaan 1,8

Indeks Kepemilikan: Terbawah 2,9 Menengah bawah 3,4 Menengah 2,8 Menengah atas 2,6 Teratas 1,7

RIAU 2,7

* Wawancara umur ≥ 15 tahun berdasarkan ‘Self-Reporting Questionnaire 20’ *Nilai Batas Pisah (Cut-off Point) ≥ 6

Daftar Pustaka

Hartono IG. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community health centre in Indonesia. Thesis. Perth: University of Western Australia, 1995.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Lewis GH, Thomas HV, Cannon M, Jones PB. Epidemiological methods. In: Thornicroft G & Szmukler G, eds. Textbook of Community Psychiatry. New York: Oxford University Press.

Page 124: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

93

BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU

Yunita Diana Sari dan Nurfi Afriansyah

Pengumpulan data pengetahuan, sikap, dan perilaku dilakukan pada penduduk umur ≥ 10 tahun. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku pencegahan dan perilaku berisiko terjadinya penyakit yang terdiri dari perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah, pola konsumsi makanan tertentu, konsumsi makanan olahan dari tepung terigu, serta perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pola konsumsi makanan tertentu mencakup kebiasaan mengonsumsi makanan berisiko, yakni makanan/minuman manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan yang dibakar/dipanggang, makanan yang diawetkan atau makanan olahan berpengawet, bumbu penyedap, minuman berkafein), sedangkan pola konsumsi makanan olahan dari terigu meliputi mi instan, mi basah, roti, dan biskuit.

12.1 Perilaku Higienis

Perilaku higienis yang dikumpulkan mencakup kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila BAB dilakukan di

jamban. Perilaku mencuci tangan yang benar ialah jika cuci tangan dilakukan dengan menggunakan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (antara lain sehabis memegang uang, hewan, berkebun), sesudah BAB, setelah menceboki bayi/anak, sehabis menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi [Promkes, 2011].

Tabel 12.1 memperlihatkan proporsi perilaku yang benar dalam BAB, yaitu BAB di jamban, dan dalam cuci tangan penduduk Riau umur ≥ 10 tahun berdasarkan kabupaten/kota. Proporsi perilaku higienis yang benar dalam BAB pada penduduk Riau sebesar 86,6 persen. Lima kabupaten paling rendah adalah Indragiri Hilir (51,8%), Indragiri Hulu (80,7%), Kuantan Singingi dan Rokan Hulu (masing-masing 81,4%), dan Kampar (87,1%). Sementara perilaku higienis yang benar dalam cuci tangan penduduk Riau sebesar 37,7 persen. Lima kabupaten terendah adalah Kepulauan Meranti (7,7%), Indragiri Hulu (23,6%), Indragiri Hilir (26,3%), Kuantan Singingi (30,6%), dan Bengkalis (33,2%).

Tabel 12.1 Proporsi perilaku yang benar dalam BAB dan cuci tangan penduduk umur ≥ 10 tahun

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Perilaku BAB yang benar* Perilaku cuci tangan yang benar**

Kuantan Singingi 81,4 30,6 Indragiri Hulu 80,7 23,6 Indragiri Hilir 51,8 26,3 Pelalawan 92,3 40,5 Siak 90,5 41,0 Kampar 87,1 50,7 Rokan Hulu 81,4 35,5 Bengkalis 96,9 33,2 Rokan Hilir 95,5 47,5 Kepulauan Meranti 87,8 7,7 Kota Pekanbaru 99,7 40,6 Kota Dumai 97,9 52,1

RIAU 86,6 37,7

Page 125: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

94

12.2 Perilaku Penggunaan Tembakau

Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas 2013 dibagi menjadi dua kelompok, yakni merokok dan perilaku penggunaan tembakau dengan dikunyah. Pembagian

ini didasarkan atas efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan tembakau dengan cara merokok dan mengunyah itu berbeda. Perokok isap dapat menimbulkan polusi pada

perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan mengunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri.

Tabel 12.2 menunjukkan rerata proporsi perokok saat ini di Riau sebesar 24,2 persen. Proporsi perokok saat ini paling tinggi ditemukan di Kuantan Singingi, dengan perokok setiap hari 29,1 persen dan perokok kadang-kadang 3,1 persen.

Tabel 12.2 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Perokok saat ini Tidak merokok

Perokok setiap hari

Perokok kadang-kadang

Mantan perokok

Bukan perokok

Kuantan Singingi 29,1 3,1 3,2 64,6 Indragiri Hulu 26,8 3,8 3,5 65,8 Indragiri Hilir 21,1 6,0 3,1 69,7 Pelalawan 27,4 2,8 1,8 68,1 Siak 22,7 4,7 4,7 68,0 Kampar 26,5 2,4 2,5 68,6 Rokan Hulu 24,4 4,8 2,7 68,0 Bengkalis 24,0 4,2 5,3 66,4 Rokan Hilir 26,3 3,3 3,2 67,3 Kepulauan Meranti 25,3 3,2 2,0 69,6 Kota Pekanbaru 19,4 5,1 2,9 72,6 Kota Dumai 26,2 4,1 3,4 66,3

RIAU 24,2 4,1 3,2 68,5

Tabel 12.3 memperlihatkan proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik di Riau. Proporsi perokok aktif setiap hari tertinggi terdapat pada kelompok umur 35-39 tahun (34,8%) dan kelompok umur 30-34 tahun (34,7%), sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (45,8% berbanding 1,2%). Proporsi perokok aktif setiap hari paling tinggi juga ditemukan pada petani/nelayan/buruh (50,8%) dan wiraswasta (49,2%), serta di wilayah perdesaan (25,6%) daripada perkotaan (22,0%). Kebiasaan merokok setiap hari cenderung berbanding terbalik dengan kuintil indeks kepemilikan.

Page 126: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

95

Tabel 12.3 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Perokok saat ini

Perokok setiap hari Perokok kadang-kadang

Kelompok Umur (tahun): 10-14 0,2 0,5 15-19 8,5 5,8 20-24 23,6 6,9 25-29 30,3 3,4 30-34 34,7 4,1 35-39 34,8 4,0 40-44 32,0 4,9 45-49 32,3 4,2 50-54 33,3 4,3 55-59 32,0 3,9 60-64 29,4 5,5 65+ 21,2 5,2

Jenis Kelamin: Laki-laki 45,8 7,5 Perempuan 1,2 0,6

Pendidikan: Tidak sekolah 22,5 3,5 Tidak Tamat SD/MI 14,9 2,8 Tamat SD/MI 23,7 3,2 Tamat SMP/MTS 26,2 4,4 Tamat SMA/MA 29,5 5,3 Tamat D1-D3/PT 19,5 5,6

Pekerjaan: Tidak bekerja 5,7 2,5 Pegawai 35,2 6,6 Wiraswasta 49,2 5,8 Petani/nelayan/buruh 50,8 5,7 Lain-lain 26,0 5,9

Tempat Tinggal: Perkotaan 22,0 4,3 Pedesaan 25,6 4,0

Indeks Kepemilikan: Terbawah 25,6 4,9 Menengah bawah 26,6 4,1 Menengah 26,2 4,0 Menengah atas 23,7 3,8 Teratas 19,2 3,9

Tabel 12.4 menunjukkan rerata jumlah batang rokok yang diisap setiap orang per hari di Riau sebesar 16,5 persen. Jumlah rerata batang rokok yang diisap tertinggi terdapat di Kota Dumai (18,6%) dan Kampar (17,8%).

Page 127: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

96

Tabel ‎12.4 Rerata jumlah batang rokok diisap penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota,

Riau 2013

Tabel 12.5 Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau penduduk umur ≥ 10 tahun menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Pengunyah tembakau

saat ini

Setiap hari Kadang-kadang

Kuantan Singingi 2,9 1,6 Indragiri Hulu 2,2 1,7

Indragiri Hilir 3,4 2,0 Pelalawan 3,8 2,5 Siak 3,1 1,8 Kampar 1,9 0,7

Rokan Hulu 1,3 1,3 Bengkalis 2,1 2,6 Rokan Hilir 1,7 2,3

Kepulauan Meranti 0,9 0,5

Kota Pekanbaru 0,3 0,7

Kota Dumai 1,7 1,2

RIAU 2,0 1,5

Tabel 12.5 memperlihatkan proporsi kebiasaan mengunyah tembakau pada penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota di Riau. Kebiasaan mengunyah tembakau (smokeless tobacco) setiap hari sebesar 2 persen dan kadang-kadang sebesar 1,5 persen. Lima kabupaten dengan proporsi pengunyah tembakau setiap hari paling tinggi adalah Pelalawan (3,8%), Indragiri Hilir (3,4%), Siak (3,1%), Kuantan Singingi (2,9%), dan Indragiri Hulu (2,2%).

Kabupaten/Kota Perokok (Kretek,

putih dan linting) tiap/hari

Kuantan Singingi 15,6 Indragiri Hulu 16,9

Indragiri Hilir 15,6 Pelalawan 15,2

Siak 14,6 Kampar 17,8

Rokan Hulu 16,3

Bengkalis 17,6

Rokan Hilir 16,9

Kepulauan Meranti 16,4

Kota Pekanbaru 16,0

Kota Dumai 18,6

RIAU 16,5

Page 128: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

97

12.3 Perilaku Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengendalikan berat badan serta menguatkan sistem kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah). Data frekuensi aktivitas fisik yang dikumpulkan adalah dalam periode seminggu terakhir untuk penduduk umur ≥ 10 tahun. Aktivitas fisik adalah kegiatan fisik yang dilakukan secara terus menerus minimal 10 menit sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih cepat dari lazimnya (misalnya, menimba air, menebang pohon, mendaki gunung, mencangkul, berjalan cepat, berlari) selama paling sedikit tiga hari dalam seminggu dan total waktu beraktivitas ≥ 1500 Metabolic Equivalent (MET) minute. MET lazim digunakan untuk mengekspresikan intensitas aktivitas fisik. Lama waktu beraktivitas fsik (menit) dalam seminggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori tergolong MET minute aktivitas fisik berat. Bila melakukan aktivitas fisik sedang, seperti menyapu, mengepel, dll, ≥ 5 hari dengan total lama waktu beraktivitas 150 menit dalam seminggu, maka tergolong MET minute aktivitas fisik sedang. Selain kedua kategori tersebut, dimasukkan ke dalam kategori aktivitas fisik ringan [WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012].

Pada Riskesdas 2013, individu yang tergolong melakukan aktivitas fisik „aktif‟ ialah individu yang beraktivitas fisik berat atau sedang atau kedua-duanya, sedangkan individu yang „kurang aktif‟ adalah individu yang tidak beraktivitas fisik, baik berat maupun sedang. Perilaku „kurang gerak‟ (sedentary) merupakan perilaku santai sehari-hari antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya, baik di tempat kerja (di depan komputer, membaca, dll), rumah (menonton TV, main game, dll), maupun di perjalanan (bus, kereta, motor), termasuk waktu berbincang-bincang. Namun, tidak termasuk waktu tidur.

Penelitian di Amerika mengenai perilaku sedentary dengan menggunakan cut-off point < 3 jam, 3-5,9 dan ≥ 6 jam, menunjukkan bahwa pengurangan perilaku sedentary hingga < 3 jam per hari dapat meningkatkan usia harapan hidup sebesar 2 tahun [Katzmarzyk & Lee, 2012]. Di samping mempengaruhi usia harapan hidup, perilaku sedentary juga merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah dan penyakit jantung.

Tabel 12.6 memperlihatkan proporsi status aktivitas fisik (aktif, kurang aktif) penduduk umur ≥ 10 tahun berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Secara umum proporsi status aktivitas fisik yang tergolong kurang aktif di Riau sebesar 30,6 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi status aktivitas fisik kurang aktif paling tinggi adalah Rokan Hulu (51,4%), Rokan Hilir (40,1%), Pelalawan (37,3%), Kota Pekanbaru (36,6%), dan Kuantan Singingi (32,8%).

Tabel 12.6 Proporsi status aktivitas fisik penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Status aktivitas fisik

Aktif Kurang aktif*)

Kuantan Singingi 67,2 32,8 Indragiri Hulu 80,3 19,7 Indragiri Hilir 68,2 31,8 Pelalawan 62,7 37,3 Siak 75,1 24,9 Kampar 80,2 19,8

Rokan Hulu 48,6 51,4

Bengkalis 85,1 14,9

Rokan Hilir 59,9 40,1

Kepulauan Meranti 72,5 27,5

Kota Pekanbaru 63,4 36,6

Kota Dumai 79,8 20,2

RIAU 69,4 30,6

* Kegiatan kumulatif < 150 menit dalam seminggu

Page 129: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

98

Tabel 12.7 menunjukkan proporsi perilaku sedentary penduduk umur ≥ 10 tahun berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Hampir 40 persen penduduk umur ≥ 10 tahun berperilaku sedentary ≥ 6 jam. Lima kabupaten/kota dengan proporsi perilaku sedentary ≥ 6 jam tertinggi adalah Indragiri Hulu (84,6%), Kota Dumai (70,7%), Bengkalis (60,0%), Kota Pekanbaru (56,6%), dan Kampar (51,1%).

Tabel 12.7 Proporsi perilaku sedentari penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Perilaku sedentari

< 3 jam 3- 5,59 jam ≥ 6 jam

Kuantan Singingi 38,7 34,4 26,9 Indragiri Hulu 1,3 14,2 84,6 Indragiri Hilir 40,5 49,7 9,8

Pelalawan 43,7 36,2 20,1 Siak 46,8 34,0 19,2

Kampar 10,4 38,5 51,1 Rokan Hulu 59,4 35,3 5,4

Bengkalis 11,7 28,2 60,0

Rokan Hilir 12,8 48,6 38,6

Kepulauan Meranti 50,0 47,2 2,8

Kota Pekanbaru 11,4 32,0 56,6

Kota Dumai 10,8 18,5 70,7

RIAU 25,2 35,7 39,1

Tabel 12.8 memperlihatkan proporsi perilaku sedentary penduduk ≥ umur 10 tahun berdasarkan karakteristik di Riau. Proporsi perilaku sedentary ≥ 6 jam paling tinggi ditemukan pada kelompok umur 10-14 tahun (43,4%) dan ≥ 65 tahun (43,1%), serta berpendidikan tamat D1-D3/PT (48,0%). Proporsi perilaku sedentary ≥ 6 jam lebih banyak pada perempuan (41,5%) daripada laki-laki (36,9%) dan di wilayah perkotaan (49,3%) dibandingkan dengan perdesaaan (32,4%). Perilaku sedentary cenderung berbanding lurus dengan kuintil indeks kepemilikan.

Page 130: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

99

Tabel 12.8 Proporsi perilaku sedentari penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Perilaku sedentari

< 3 jam 3- 5,59 jam ≥ 6 jam

Kelompok Umur (tahun):

10-14 20,6 36,0 43,4

15-19 21,9 36,9 41,2

20-24 22,3 35,7 42,0

25-29 26,9 35,8 37,3

30-34 27,3 35,5 37,2

35-39 28,6 34,4 37,1

40-44 28,3 35,8 35,9

45-49 27,1 35,9 37,0

50-54 27,1 36,2 36,7 55-59 25,6 38,9 35,5

60-64 25,1 32,1 42,8

65+ 25,4 31,5 43,1

Jenis Kelamin:

Laki-laki 26,3 36,9 36,9

Perempuan 24,1 34,4 41,5

Pendidikan:

Tidak sekolah 34,3 37,3 28,4

Tidak tamat SD 26,0 35,4 38,6

Tamat SD 28,0 37,1 34,9 Tamat SLTP 25,8 36,9 37,2

Tamat SLTA 21,6 33,8 44,6

Tamat D1-D3/PT 19,3 32,7 48,0

Pekerjaan:

Tidak bekerja 22,7 34,7 42,5

Pegawai 25,9 32,3 41,8

Wiraswasta 23,3 37,5 39,2

Petani/buruh/nelayan 32,1 38,6 29,4

Lainnya 30,4 36,3 33,4

Tempat Tinggal:

Perkotaan 18,1 32,6 49,3

Pedesaan 29,9 37,7 32,4

Kuintil Indeks Kepemilikan:

Terbawah 34,3 41,6 24,1

Menengah bawah 30,8 35,9 33,3

Menengah 23,2 34,4 42,4

Menengah atas 20,7 34,4 44,9

Teratas 17,3 31,8 51,0

Page 131: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

100

12.4 Perilaku Konsumsi Sayur dan Buah

Informasi tentang frekuensi dan porsi konsumsi sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan „cukup‟ makan sayur dan/atau buah bila mengonsumsi sayur dan/atau buah minimal 5 porsi sehari selama 7 hari dalam seminggu. Sementara penduduk dikategorikan „kurang‟ makan sayur dan/atau buah jika mengonsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas.

Tabel 12.9

Proporsi porsi kurang makan sayur dan buah penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Porsi Konsumsi sayur dan buah per hari dalam seminggu

Kurang makan sayur dan buah Cukup makan sayur & buah

Tidak konsumsi 1-2 porsi 3-4 porsi ≥ 5 porsi

Kuantan Singingi 0,4 61,0 37,6 1,1 Indragiri Hulu 1,1 81,4 16,1 1,4 Indragiri Hilir 1,6 94,4 3,9 0 Pelalawan 0,4 98,3 1,1 0,2 Siak 1,5 74,2 19,5 4,7 Kampar 0,8 96,2 2,6 0,5 Rokan Hulu 0,2 90,7 7,5 1,6 Bengkalis 0,9 89,3 8,4 1,4 Rokan Hilir 0,3 96,8 2,0 0,9 Kepulauan Meranti 0,1 94,6 5,2 0,1 Kota Pekanbaru 0,1 86,0 12,6 1,3 Kota Dumai 0,2 93,2 6,1 0,5

RIAU 0,6 89,2 9,0 1,1

Tabel 12.9 menunjukkan proporsi kurang makan sayur dan/atau buah penduduk umur ≥ 10 tahun berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Hampir semua penduduk umur ≥ 10 tahun di Riau (98,9%) kurang makan sayur dan/atau buah; 89,2 persen mengonsumsi 1-2 porsi sayur dan/atau buah dan 9 persen mengonsumsi 3-4 porsi. Lima kabupaten/kota dengan proporsi kurang makan sayur dan/atau buah tertinggi adalah Indragiri Hilir (100%), Kepulauan Meranti (99,9%), Pelalawan (99,8%), Kampar dan Kota Dumai (masing-masing 99,5%).

12.5 Perilaku Konsumsi Makanan Tertentu

Perilaku konsumsi makanan tertentu meliputi kebiasaan mengonsumsi makanan/minuman manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan yang dibakar/dipanggang, makanan yang diawetkan, minuman berkafein, dan makanan berbumbu penyedap. Frekuensi konsumsi makanan tertentu dikategorikan „sering‟ bila penduduk umur ≥ 10 tahun mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih per hari.

Tabel 12.10 memperlihatkan proporsi perilaku konsumsi makanan tertentu ≥ 1 kali sehari penduduk umur ≥ 10 tahun berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Proporsi perilaku konsumsi makanan/minuman manis ≥ 1 kali setiap hari di Riau sebesar 54,9 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi adalah Pelalawan (66,3%), Rokan Hilir (65,4%), Indragiri Hilir (63,5%), Kota Pekanbaru (60,2%), dan Kepulauan Meranti (57,3%).

Hampir empat dari lima penduduk Riau umur ≥ 10 tahun mengonsumsi penyedap ≥ 1 kali per hari (78,1%). Proporsi paling tinggi ditemukan di Indragiri Hulu (95,9%) dan paling rendah di Kepulauan Meranti (60,4%).

Sementara itu proporsi perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥ 1 kali setiap hari di Riau sebesar 25,2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi

Page 132: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

101

tertinggi adalah Indragiri Hulu (41,5%), Rokan Hilir (36,1%), Bengkalis (32,8%), Siak (27,8%), dan Kampar (25,2%). Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Riskesdas 2013 dalam Angka: Buku 2.

Tabel 12.10 Proporsi perilaku konsumsi makanan tertentu ≥ 1 kali sehari penduduk ≥ 10 tahun menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Perilaku konsumsi makanan tertentu ≥ 1 kali per hari

Manis Asin Berlemak Dibakar/

panggang Hewani

berpengawet Penyedap

Minuman berkafein

Kuantan Singingi 44,6 17,8 23,6 8,0 10,9 88,9 14,3 Indragiri Hulu 54,5 13,5 41,5 2,0 2,2 95,9 15,6 Indragiri Hilir 63,5 35,9 23,2 7,8 12,9 70,4 12,5 Pelalawan 66,3 22,8 13,1 1,9 0,6 82,9 28,6 Siak 55,7 24,8 27,8 11,4 12,5 63,2 29,2 Kampar 49,4 8,6 25,2 2,2 4,0 78,6 26,1 Rokan Hulu 27,8 7,7 13,4 1,5 1,7 79,0 13,5 Bengkalis 57,2 11,8 32,8 2,2 3,5 84,3 25,5 Rokan Hilir 65,4 10,8 36,1 2,6 2,0 72,8 18,4 Kepulauan Meranti 57,3 20,9 14,2 11,7 18,7 60,4 56,2 Kota Pekanbaru 60,2 10,3 22,7 2,2 8,1 78,4 22,5 Kota Dumai 48,0 10,0 20,6 1,7 2,7 83,4 27,5

RIAU 54,9 15,6 25,2 4,0 6,3 78,1 22,0

12.6 Perilaku Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung Terigu

Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung terigu juga dikumpulkan pada Riskesdas 2013. Contoh makanan jadi dari olahan tepung terigu adalah mi instan, mi basah, roti, dan biskuit.

Tabel 12.11 menunjukkan rerata penduduk umur ≥ 10 tahun di Riau berperilaku konsumsi mi instan. Hampir satu dari sepuluh penduduk mengonsumsi mi instan ≥ kali sehari. Lima kabupaten/kota dengan proporsi perilaku konsumsi mi instan tertinggi adalah Siak (19,7%), Indragiri Hilir (16,4%), Rokan Hilir (13,9%), Kuantan Singingi (12,6%), dan Kepulauan Meranti (11,2%). Hanya 4,7 persen penduduk mengonsumsi mi basah ≥ kali per hari.

Tabel 12.11 Proporsi perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung terigu ≥ 1 kali sehari penduduk umur

≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/ Kota Makanan olahan dari tepung terigu ≥ 1 kali sehari

Mi instan Mi basah Roti Biskuit

Kuantan Singingi 12,6 4,2 16,6 13,0 Indragiri Hulu 8,7 1,1 15,0 14,1 Indragiri Hilir 16,4 10,8 22,2 21,1 Pelalawan 7,6 1,7 16,0 9,5 Siak 19,7 10,3 29,5 22,1 Kampar 8,5 2,7 15,0 13,7 Rokan Hulu 5,3 2,1 10,9 9,8 Bengkalis 4,7 2,1 11,2 9,9 Rokan Hilir 13,9 5,6 23,3 20,0 Kepulauan Meranti 11,2 13,9 23,2 15,4 Kota Pekanbaru 5,4 3,5 23,9 19,6 Kota Dumai 8,4 1,7 23,7 16,0

RIAU 9,9 4,7 19,2 16,0

Page 133: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

102

Sebanyak 16 persen penduduk Riau umur ≥ 10 tahun mengonsumsi biskuit ≥ 1 kali sehari. Lima kabupaten/kota dengan proporsi perilaku konsumsi biskuit paling tinggi adalah Siak (22,1%), Indragiri Hilir (21,1%), Rokan Hilir (20,0%), Kota Pekanbaru (19,6%), dan Kota Dumai (16,0%). Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Riskesdas 2013 dalam Angka: Buku 2.

12.7 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

PHBS terdiri dari sepuluh indikator yang meliputi perilaku individu dan gambaran rumah-tangga [Pusat Promkes, 2009]. Data PHBS tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Indikator individu mencakup pertolongan persalinan oleh nakes, bayi 0-6 bulan memperoleh ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, serta penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Sementara indikator rumah-tangga (RT) meliputi akses terhadap air bersih, akses terhadap jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥ 8 m

2/orang), dan RT berlantai rumah bukan tanah. Pada PHBS

tahun 2007, RT dengan balita terdiri dari 10 indikator sehingga nilai tertinggi adalah sepuluh, sedangkan RT tanpa balita terdiri dari 8 indikator sehingga nilai tertinggi adalah delapan. PHBS diklasifikasikan „kurang‟ bila mendapatkan nilai < 6 untuk RT dengan balita dan < 5 untuk RT tanpa balita.

Tahun 2011 telah dibuat/ditetapkan indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan (Pusat Promkes) Kemenkes mencakup 10 indikator, yakni: (1) Persalinan ditolong oleh nakes; (2) melakukan penimbangan bayi dan balita; (3) memberikan ASI eksklusif; (4) menggunakan air bersih; (5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; (6) memberantas jentik nyamuk; (7) memakai jamban sehat; (8) makan sayur dan buah setiap hari; (9) melakukan aktivitas fisik setiap hari; (10) tidak merokok dalam rumah. Pada tahun 2013 PHBS untuk RT dengan balita tetap terdiri dari 10 indikator sehingga nilai tertinggi adalah sepuluh, sedangkan PHBS untuk RT tanpa balita terdiri dari 7 indikator sehingga nilai tertinggi adalah tujuh. Penilaian PHBS RT „baik‟ diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian RT PHBS tahun 2007. Kriteria RT ber-PHBS „baik‟ adalah RT yang memenuhi ≥ 6 indikator „baik‟ untuk RT dengan balita dan ≥ 5 indikator „baik‟ untuk RT tanpa balita.

Dalam Riskesdas 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan Pusat Promkes tahun 2011 yang meliputi 8 indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan ditolong nakes, memberi ASI eksklusif, menimbang balita) dan 2 indikator RT (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk).

Definisi operasional untuk masing-masing indikator PHBS data Riskesdas 2013 sedikit berbeda dengan definisi operasional yang ditetapkan pada cukupan yankes. Definisi indikator yang digunakan dalam PHBS Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut.

1. Persalinan oleh nakes. RT dengan ART, termasuk ibu, memiliki riwayat persalinan dalam kurun waktu 3 tahun sebelum survei. Data ini diperoleh dari data persalinan terakhir ART yang ditolong nakes dari riwayat persalinan dalam 3 tahun terakhir sebelum survei (kurun waktu 2010 hingga 2013).

2. Penimbangan bayi dan balita. Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai riwayat pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Pada subbab pemantauan pertumbuhan, data frekuensi penimbangan bayi/balita disajikan terpisah antara ≥ 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan terakhir.

3. Pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI saja kepada bayi usia ≤ 6 bulan dalam 24 jam terakhir saat wawancara dan riwayat ASI eksklusif untuk baduta usia > 6 bulan dari data pertama kali diberi

Page 134: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

103

minuman atau makanan berumur ≥ 6 bulan. Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif di antara individu baduta usia 0-23 bulan.

4. Cuci tangan dengan air bersih dan sabun. RT yang memiliki inividu berperilaku mencuci tangan dengan benar. Indikator mencuci tangan dengan benar meliputi cuci tangan dengan air bersih dan sabun, baik sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, sesudah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), sesudah menceboki bayi, maupun sebelum menyusui bayi.

5. Pemakaian jamban sehat. RT yang menggunakan jamban sehat diukur dari RT yang mempunyai individu berperilaku buang air besar menggunakan jamban saja.

6. Aktivitas fisik setiap hari. RT yang memiliki individu yang biasa beraktivitas fisik berat atau sedang dalam 7 hari seminggu. Pada subbab perilaku aktivitas fisik, individu diperhitungkan.

7. Konsumsi sayur dan buah setiap hari. RT yang mempunyai individu yang biasa mengonsumsi sayur dan buah dalam 7 hari seminggu.

8. Tidak merokok di dalam rumah. RT yang memiliki individu yang tidak biasa merokok di dalam rumah ketika ada ART lain serta memperhitungkan juga RT yang tidak mempunyai ART yang merokok.

9. Penggunaan air bersih. Perilaku penggunaan air bersih didapat dari data RT yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik (air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan) untuk seluruh keperluan RT.

10. Pemberantasan jentik nyamuk. RT yang menguras bak mandi ≥ 1 kali dalam seminggu atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai.

Beberapa indikator yang digunakan dalam Riskesdas 2013 berbeda dengan yang digunakan dalam Riskesdas 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan kenaikan atau penurunan proporsi RT ber-PHBS.

Berikut adalah proporsi RT dengan 10 indikator PHBS dalam Riskesdas 2013.

Page 135: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

104

Gambar 12.1

Proporsi RT melakukan PHBS menurut 10 indikator, Riau 2013

Tabel 12.12 Proporsi RT yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota RT

PHBS baik RT

PHBS kurang

Kuantan Singingi 18,2 81,8

Indragiri Hulu 18,9 81,1

Indragiri Hilir 8,9 91,1

Pelalawan 10,7 89,3

Siak 28,4 71,6

Kampar 24,6 75,4

Rokan Hulu 19,1 80,9

Bengkalis 24,4 75,6

Rokan Hilir 21,2 78,8

Kepulauan Meranti 5,6 94,4

Kota Pekanbaru 38,8 61,2

Kota Dumai 33,2 66,8

RIAU 22,6 75,1

Catatan: PHBS baik adalah RT yang memenuhi kriteria ≥ 6 indikator untuk RT dengan anak balita dan ≥ 5 indikator untuk RT tanpa anak balita.

Nilai maksimal indikator yang terpenuhi adalah 10 indikator untuk rumah-tangga dengan anak balita dan 7 indikator untuk rumah-tangga tanpa anak balita.

Gambar 12.12 menunjukkan bahwa proporsi RT di Riau yang ber-PHBS baik sebesar 22,6 persen, dengan proporsi paling tinggi di Kota Pekanbaru (38,8%) dan terendah di Kepulauan Meranti (5,6%). Terdapat 7 dari 12 kabupaten/kota di Riau yang masih memiliki RT ber-PHBS baik di bawah proporsi provinsi.

10,1

10,6

37,7

47,8

69,4

74,7

86,6

86,8

95,8

0 20 40 60 80 100 120

Konsumsi sayur dan buah tiap hari

Tidak merokok di dalam rumah

Cuci tangan dengan benar

Menimbang balita

Aktivitas fisik setiap hari

Sumber air-bersih baik

BAB di jamban

Persalinan nakes

Memberi ASI eksklusif

Perilaku cegah jentik nyamuk

Page 136: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

105

Daftar Pustaka

Hartono IG. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community health centre in Indonesia. Thesis. Perth: University of Western Australia, 1995.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan. Rumah-Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta: Pusat Promkes Depkes, 2009.

Indonesia, Kementerian Kesehatan. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta: Kemenkes, 2011.

Katzmarzyk PT, Lee I-M. Sedentary behaviour and life expectancy in the USA: a cause-deleted life table analysis. BMJ Open 2012; 2: e000828.

WHO. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Geneva: Department of Chronic Diseases and Health Promotion, 2012.

Page 137: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

106

BAB 13. PEMBIAYAAN KESEHATAN

Tjetjep S. Hidayat dan Nurfi Afriansyah

Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan yankes (fairness of financing) [WHO, 2000]. Pada topik ini dikumpulkan informasi mengenai jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfatan fasilitas yankes, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya.

Pembiayaan kesehatan merupakan besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan upaya kesehatan atau memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk menjamin dana yang cukup, bukan hanya bagi penyedia yankes, melainkan pula seluruh penduduk agar memiliki akses terhadap upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan yang efektif dan berkualitas [WHO, 2000].

Jaminan kesehatan ialah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang sudah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah [Perpres No 12 tahun 2013].

UU No 36 tahun 2009 tentang „Kesehatan‟ pasal 130 berbunyi, „pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya‟. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber yang lain.

Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan yankes dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan yankes; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan yankes yang optimal [UU No 36 tahun 2009].

Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan mencakup kepemilikan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas yankes rawat jalan dan inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber pembiayaan dibedakan menjadi biaya sendiri, asuransi kesehatan (Askes) sosial (meliputi Askes PNS, pensiunan, veteran, TNI/POLRI), JPK Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Askes swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesdas). Hasil lebih rinci dari blok „Pembiayaan Kesehatan‟ dapat dilihat pada buku 2 Riskesdas dalam Angka.

13.1 Kepemilikan Jaminan Kesehatan

Hasil analisis menginformasikan mengenai proporsi penduduk, baik yang telah tercakup maupun tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari Askes (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/POLRI), ASABRI (TNI/POLRI aktif, staf Kementerian Hukum dan HAM), JPK Jamsostek, Askes swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas, dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis, Askes dan ASABRI dimasukkan ke dalam satu kelompok karena pemerintah pun membayar sebagian iuran jaminan itu.

Page 138: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

107

Tabel 13.1 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Jenis jaminan kesehatan

Askes/ ASABRI

Jamsostek Askes Swasta

Perusahaan Jamkesmas Jamkesda Tidak punya

Kuantan Singingi 4,2 0,5 0,5 0,6 19,7 8,4 66,5 Indragiri Hulu 3,2 4,2 0,6 1,7 15,1 7,2 69,6 Indragiri Hilir 5,0 0,9 0,2 0,3 14,2 6,2 73,8 Pelalawan 3,5 19,3 7,9 10,4 9,9 11,2 48,6 Siak 1,7 3,2 10,3 4,9 11,7 32,8 49,3 Kampar 4,7 5,2 0,7 0,4 12,9 14,7 61,9 Rokan Hulu 3,7 4,1 0,6 3,6 13,7 7,0 69,7 Bengkalis 4,3 7,6 2,9 8,5 13,2 66,6 10,4 Rokan Hilir 2,8 6,0 0,5 0,3 16,6 4,5 70,0 Kepulauan Meranti 4,2 0,2 0,2 0,2 59,6 3,9 32,7 Kota Pekanbaru 11,6 7,3 7,2 1,4 10,6 0,6 62,7 Kota Dumai 5,5 7,2 1,8 9,4 26,0 8,7 44,2

RIAU 5,2 5,6 3,0 2,9 15,4 13,9 57,8

Tabel 13.1 menunjukkan 57,8 persen penduduk Riau belum mempunyai jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 5,2 persen penduduk, Jamsostek 5,6 persen, Askes swasta dan tunjangan kesehatan dari perusahaan berturut-turut sebesar 3 dan 2,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (15,4%) dan Jamkesda (13,9%). Data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis untuk individu yang sama.

Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten sangat bervariasi. Bengkalis menjadi kabupaten yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan di antara kabupaten lain, yakni sekitar 89,6 persen penduduk atau hanya 10,4 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya, Indragiri Hilir menjadi kabupaten dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan terendah dengan 73,8 persen penduduk tidak punya jaminan.

Tujuh kabupaten/kota dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan < rerata provinsi Riau (57,8%) adalah Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Kota Pekanbaru, dan Kampar.

Tabel 13.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut tempat tinggal, penduduk yang memiliki jaminan kesehatan lebih banyak di perkotaan daripada perdesaan, khususnya untuk jenis selain jamkesmas. Sebaliknya, kepemilikan Jamkesmas lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan.

Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi antar-kelompok bayi, anak balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia (lansia). Kelompok umur di bawah 5 tahun (anak balita) adalah kelompok paling tinggi yang tidak memiliki jaminan kesehatan (64,7%), sedangkan kepemilikan jaminan kesehatan pada kelompok umur > 55 tahun berkisar 55,2 hingga 62,1 persen. Sementara pada kelompok umur selain anak balita dan lansia, yang tidak memiliki jaminan kesehatan masih tinggi pula atau > 50 persen.

Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang tidak mempunyai jaminan kesehatan adalah kelompok wiraswasta (64,3%), sedangkan yang paling rendah adalah pegawai (31,5%). Kelompok wiraswasta terdiri dari pedagang besar dan eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari, baik pegawai formal maupun nonformal. Sebanyak 60 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan apapun, sedangkan bagi yang telah mempunyai jaminan kesehatan mayoritas adalah Jamkesmas atau Jamkesda. Sementara bagi penduduk yang tidak bekerja, 58,5 persen di antaranya belum memiliki jaminan.

Page 139: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

108

Tabel 13.2 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Jenis jaminan kesehatan

Askes/ ASABRI

Jam- sostek

Askes Swasta

Perusa-haan

Jam- kesmas

Jam- kesda

Tidak punya

Kelompok Umur (tahun): 0 - 4 3,3 6,6 2,7 3,6 9,8 12,8 64,7 5 -14 3,9 5,3 3,3 3,1 16,9 13,2 58,1 15-24 4,2 4,0 2,0 2,5 15,2 13,2 61,4 25-34 5,1 8,3 3,5 3,5 14,5 13,2 56,4 35-44 5,8 5,9 4,3 3,2 16,2 16,1 53,2 45-54 8,6 4,3 2,3 2,9 16,7 14,2 54,0 55-64 10,0 1,4 1,5 0,5 15,2 18,1 55,2 65-74 8,6 1,6 1,5 0,7 22,0 16,6 53,6 75+ 4,4 0,4 0,3 25,0 9,7 62,1

Pekerjaan: Tidak bekerja 4,5 4,1 2,5 2,4 16,5 14,6 58,5 Pegawai 25,8 18,6 8,9 7,4 5,7 10,9 31,5 Wiraswasta 3,0 4,5 3,0 1,8 13,1 12,5 64,3 Petani/Nelayan/Buruh 0,7 3,2 1,1 2,5 19,8 15,8 60,0 Lainnya 3,3 2,0 1,5 1,7 27,1 17,3 53,7

Tempat Tinggal: Perkotaan 9,1 6,3 6,4 3,6 12,1 16,5 51,2 Pedesaan 2,6 5,1 0,8 2,5 17,5 12,2 62,1

Indeks Kepemilikan: Terbawah 0,6 0,7 0,1 0,5 24,1 12,0 63,4 Menengah bawah 1,0 5,3 1,5 2,7 20,1 14,3 58,2 Menengah 3,5 8,0 2,1 3,0 15,2 15,0 57,7 Menengah atas 5,3 7,2 3,8 4,3 10,8 19,4 55,5 Teratas 15,1 6,9 7,2 4,2 6,8 9,0 54,1

Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi indeks kepemilikan, semakin besar proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk, terutama Askes/ASABRI, Askes swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan. Pada Jamsostek dan Jamkesda, proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk meningkat dari kuintil indeks kepemilikan terbawah sampai kepemilikan menengah atas, kemudian turun pada indeks kepemilikan teratas. Sebaliknya Jamkesmas, makin tinggi indeks kepemilikan, semakin kecil proporsi kepemilikan jaminan kesehatan penduduk.

13.2 Mengobati Sendiri

Pola pencarian pengobatan dikategorikan ke dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotek atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besar biaya juga ditanyakan dan hasil analisis merupakan median total besar biaya dalam sebulan terakhir dengan menggunakan median.

Analisis pemanfaatan rawat jalan merupakan pemanfaatan faskes oleh seseorang dalam satu bulan terakhir untuk mengatasi gangguan kesehatan dirinya.

Page 140: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

109

Tabel 13.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan median besaran biaya

menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Mengobati diri sendiri

% Median (Rp)

Tempat Tinggal: Perkotaan 12,3 10.000 Pedesaan 15,1 10.000

Indeks Kepemilikan: Terbawah 14,7 5.000 Menengah bawah 14,7 9.500 Menengah 15,8 10.000 Menengah atas 13,9 10.000 Teratas 11,2 12.000

Tabel 13.3 menggambarkan penduduk yang mengobati sendiri dengan membeli obat di toko obat atau warung tanpa resep (15,1%) lebih banyak di perdesaan daripada perkotaan (12,3%). Dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan di perkotaan tidak berbeda dengan perdesaan, yaitu sebesar Rp. 10.000.

Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas tergolong kelompok yang paling sedikit mengobati sendiri (11,2%), tetapi kelompok yang terbanyak mengeluarkan biaya, yakni Rp. 12.000.

13.3 Rawat Jalan

Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, dan yankes lainnya tanpa di rawat inap. Pemanfaatan atau utilisasi faskes ditanyakan dalam sebulan terakhir, termasuk besar biayanya. Hasil analisis, yang disajikan secara umum tanpa melihat jenis faskes dan besar biaya, merupakan median total besar biaya dalam satu bulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median.

Pemanfaatan pelayanan rawat jalan menurut faskes dapat dibaca pada buku 2 Riskesdas 2013 dalam Angka.

Tabel 13.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Pemanfaatan rawat jalan

(%) Median biaya

(Rp)

Kuantan Singingi 7,1 50.000 Indragiri Hulu 3,9 50.000 Indragiri Hilir 3,4 30.000 Pelalawan 5,1 50.000 Siak 2,9 50.000 Kampar 6,3 45.000 Rokan Hulu 4,6 50.000 Bengkalis 12,3 50.000 Rokan Hilir 7,6 45.000 Kepulauan Meranti 9,2 15.000 Kota Pekanbaru 2,4 150.000 Kota Dumai 2,0 100.000

RIAU 5,3 50.000

Page 141: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

110

Tabel 13.4 menggambarkan 5,3 persen penduduk Riau dalam sebulan terakhir memanfaatkan rawat jalan dengan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 50.000. Bengkalis merupakan kabupaten paling tinggi yang penduduknya melakukan rawat jalan (12,3%) dengan median biaya sebesar Rp. 50.000 dalam satu bulan terakhir. Kota Dumai adalah kota terendah dalam memanfaatkan fasilitas rawat jalan penduduknya (2,0%) dengan median pengeluaran sebesar Rp. 100.000. Adapun di Kota Pekanbaru, 2,4 persen penduduk melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp. 150.000, yang juga merupakan pengeluaran tertinggi dalam sebulan terakhir, bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya.

Tabel 13.5

Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Pemanfaatan rawat jalan

(%) Median biaya

(Rp)

Kelompok Umur (tahun): 0-4 8,7 35.000 5-14 4,5 35.000 15-24 3,0 75.000 25-34 4,7 60.000 35-44 4,6 50.000 45-54 6,7 50.000 55-64 9,3 50.000 65-74 11,5 70.000 75+ 16,9 40.700

Tempat Tinggal: Perkotaan 4,8 60.000 Pedesaan 5,7 45.000

Indeks Kepemilikan: Terbawah 4,3 35.000 Menengah bawah 6,4 45.000 Menengah 6,1 50.000 Menengah atas 5,8 50.000 Teratas 4,2 100.000

Tabel 13.5 memperlihatkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai faskes dalam satu bulan terakhir. Kelompok umur 75+ tahun adalah kelompok umur berproporsi paling tinggi melakukan rawat jalan (16,9%) dengan median pengeluaran sebesar Rp. 40.700 dalam sebulan terakhir, sedangkan kelompok umur 15-24 tahun merupakan pemanfaat terendah tetapi dengan median biaya paling tinggi (Rp. 75.000). Makin bertambah umur, cenderung semakin besar proporsi penduduk pemanfaat rawat jalan.

Rawat jalan lebih banyak dilakukan penduduk perdesaan (5,7%) daripada perkotaan (4,8%). Namun, proporsi median pengeluaran rawat jalan lebih tinggi di perkotaan (Rp. 60.000) dibandingkan dengan perdesaan (Rp. 45.000). Dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas, proporsi pemanfaatan rawat jalan cenderung makin kecil. Namun, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi median biaya rawat jalan.

13.4 Rawat Inap

Rawat Inap, menurut Azwar Azrul (1996: 73), merupakan suatu bentuk yankes kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan, baik oleh RS, RS bersalin, maupun RB. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu setahun terakhir. Hasil analisis, yang disajikan secara umum tanpa melihat jenis faskes dan besar biaya, merupakan median total besar biaya dalam waktu dua belas bulan terakhir dengan menggunakan median.

Pemanfaatan rawat inap berdasarkan faskes dapat dibaca pada buku 2 Riskesdas 2013 dalam Angka.

Page 142: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

111

Tabel 13.6 menunjukkan, dalam setahun terakhir, 1 persen penduduk Riau melakukan rawat inap dengan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 2.000.000. Proporsi pemanfaat rawat inap paling tinggi di Kuantan Singingi (2,3%) dengan proporsi median biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp. 2.000.000, disusul Rokan Hilir (2,0%) dengan median pengeluaran sebesar Rp. 2.800.000. Penduduk Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai merupakan tiga kabupaten/kota paling rendah untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu masing-masing 0,5 persen. Namun, proporsi median biaya di tiga kabupaten/kota di atas berbeda-beda: Indragiri Hilir sebesar Rp. 1.500.000, Kepulauan Meranti Rp. 800.000, dan Kota Dumai sebesar Rp. 1.950.000. Proporsi median pengeluaran rawat inap tertinggi ada di Pelalawan, yakni sebesar Rp. 3.000.000.

Tabel 13.6 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Pemanfaatan rawat inap

(%) Median biaya

(Rp)

Kuantan Singingi 2,3 2.000.000 Indragiri Hulu 1,2 1.000.000 Indragiri Hilir 0,5 1.500.000 Pelalawan 0,8 3.000.000 Siak 0,8 2.000.000 Kampar 0,9 2.000.000 Rokan Hulu 0,6 1.700.000 Bengkalis 1,4 1.200.000 Rokan Hilir 2,0 2.800.000 Kepulauan Meranti 0,5 800.000 Kota Pekanbaru 0,9 2.000.000 Kota Dumai 0,5 1.950.000

RIAU 1,0 2.000.000

Tabel 13.7 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Pemanfaatan rawat inap

(%) Median biaya

(Rp)

Kelompok Umur (tahun): 0-4 0,6 2.000.000 5-14 0,5 1.000.000 15-24 0,8 1.150.000 25-34 1,4 2.000.000 35-44 1,1 2.000.000 45-54 1,1 1.500.000 55-64 2,4 5.000.000 65-74 3,2 2.000.000 75+ 3,8 3.000.000

Tempat Tinggal: Perkotaan 1,1 2.000.000 Pedesaan 0,9 1.800.000

Indeks Kepemilikan: Terbawah 0,5 560.000 Menengah bawah 1,0 1.800.000 Menengah 1,2 2.000.000 Menengah atas 1,3 2.000.000 Teratas 1,1 3.500.000

Page 143: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

112

Tabel 13.7 memperlihatkan bahwa proporsi pemanfaatan rawat inap dalam setahun terakhir paling tinggi pada kelompok umur 75+ (3,8%). Namun, proporsi median biaya tertinggi terdapat pada kelompok umur 55-64 tahun (Rp. 5.000.000).

Pemanfaatan rawat inap lebih tinggi di perkotaan (1,1%) daripada perdesaan (0,9%); dengan median pengeluaran Rp. 2.000.000 untuk perkotaan dan Rp. 1.800.000 untuk perdesaan. Dari kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah atas, proporsi pemanfaatan rawat jalan cenderung makin besar. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin besar proporsi median biaya pemanfaatan rawat inap. Median pengeluaran untuk rawat inap paling tinggi pada indeks kepemilikan teratas. Pemanfaatan rawat inap terbanyak terdapat pada indeks kepemilikan menengah atas.

13.5 Sumber Pembiayaan

Sumber pembiayaan kesehatan, menurut SKN, terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber pembiayaan kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan/atau rawat inap dalam satu tahun terakhir. Sumber pembiayaan dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, Askes (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/POLRI), ASABRI (TNI/POLRI aktif, staf Kementerian Hukum dan HAM), Jamsostek, Askes swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda.

Pada Riskesdas 2013, penduduk diminta menyebutkan total biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh yankes rawat jalan (satu bulan terakhir) dan rawat inap (dua belas bulan terakhir). Hasil analisis besar biaya merupakan median total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) atau satu tahun terakhir (rawat inap) dengan menggunakan median.

Tabel 13.8 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat jalan menurut kabupaten/kota,

Riau 2013

Kabupaten/Kota

Sumber pembiayaan rawat jalan

Biaya Sendiri

Askes/ ASABRI

Jam- sostek

Asuransi Swasta

Jam- kesmas

Perusa-haan

Sumber Lainnya

> 1 Sumber

Jam- kesda

Kuantan Singingi 85,7 2,3 0,5 2,1 0,6 7,4 0,2 1,2

Indragiri Hulu 57,1 0,5 5,7 16,0 9,1 6,2 1,4 4,0 Indragiri Hilir 74,3 4,7 0,3 7,9 6,8 0,5 5,6 Pelalawan 62,8 2,6 8,0 0,4 1,9 18,9 0,9 4,5 Siak 33,3 0,2 1,7 9,8 2,4 23,3 5,6 1,8 21,8

Kampar 68,5 0,9 1,1 0,5 8,3 2,5 4,8 2,1 11,5 Rokan Hulu 93,0 1,9 2,1 1,9 1,1 Bengkalis 57,2 11,0 1,1 3,0 8,0 1,0 18,7 Rokan Hilir 70,9 1,5 4,5 8,1 2,5 0,9 11,5

Kepulauan Meranti 43,3 2,6 52,6 0,9 0,6 Kota Pekanbaru 61,0 16,0 2,5 16,6 2,2 1,6 Kota Dumai 54,6 9,9 5,2 0,2 11,1 6,6 6,4 6,1

RIAU 65,8 2,6 4,3 0,7 8,9 4,5 3,3 0,8 9,2

Tabel 13.8 menggambarkan, secara keseluruhan sumber pembiayaan rawat jalan penduduk Riau didominasi (65,8%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesda (9,2%) dan Jamkesmas (8,9%), serta terendah pembiayaan oleh asuransi swasta (0,7%). Sumber pembiayaan rawat jalan dari tunjangan kesehatan Perusahaan sebesar 4,5 persen, Jamsostek 4,3 persen, Askes/ASABRI 2,6 persen, sumber lainnya 3,3 persen, dan sebanyak 0,8 persen dibiayai > satu sumber.

Page 144: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

113

Sumber pembiayaan rawat jalan yang ditanggung oleh pasien sendiri atau keluarga paling tinggi ditemukan di Rokan Hulu (93,0%) dan Kuantan Singingi (85,7%). Dua kabupaten dengan pembiayaan rawat jalan out of pocket terendah adalah Siak (33,3%) dan Kepulauan Meranti (43,3%).

Tabel 13.9 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat jalan menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik

Sumber pembiayaan rawat jalan

Biaya Sendiri

Askes/ ASABRI

Jam- sostek

Asuransi Swasta

Jam- kesmas

Perusa-haan

Sumber Lainnya

> 1 Sumber

Jam- kesda

Tempat Tinggal:

Kota 58,7 5,5 6,1 1,9 9,2 5,7 2,9 0,3 9,7

Desa 69,6 0,9 3,3 0 8,6 3,9 3,5 1,1 9,0 Indeks Kepemilikan:

Terbawah 68,9 0,7 18,3 5,9 6,2 Menengah bawah 61,7 0,2 5,2 0,2 12,2 3,6 3,5 0,8 12,6

Menengah 72,3 0,7 5,2 0,2 6,9 3,7 3,1 0,8 7,2 Menengah atas 58,9 3,8 8,4 1,8 4,9 9,4 1,2 1,5 10,1 Teratas 69,3 8,4 0,5 1,1 2,6 4,9 3,4 0,9 8,9

Tabel 13.9 menunjukkan, sumber pembiayaan rawat jalan pada semua jenis faskes dari berbagai jaminan kesehatan, baik Askes/ASABRI, Jamsostek, Askes swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas maupun Jamkesda, lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sementara di daerah perdesaan, sumber pembiayaan rawat jalan lebih banyak menggunakan biaya sendiri, sumber lain dan > 1 sumber.

Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber pembiayaan rawat jalan untuk semua jenis faskes yang berasal dari biaya sendiri pada semua kuintil mempunyai proporsi > 58 persen, dengan proporsi tertinggi pada kuintil menengah. Untuk sumber pembiayaan rawat jalan dari Jamkesmas, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil proporsinya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah tidak ditemukan pemanfaatan rawat jalan yang menggunakan sumber pembiayaan dari Jamsostek, askes swasta, tunjangan kesehatan perusahaan, dan > 1 sumber.

Tabel 13.10 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat inap menurut kabupaten/kota,

Riau 2013

Kabupaten/Kota

Sumber pembiayaan rawat inap

Biaya Sendiri

Askes/ ASABRI

Jam- sostek

Asuransi Swasta

Jam- kesmas

Perusa-haan

Sumber Lainnya

> 1 Sumber

Jam- kesda

Kuantan Singingi 79,7 2,3 1,8 11,6 4,6 0,1

Indragiri Hulu 72,9 6,2 11,4 9,5 Indragiri Hilir 64,1 25,8 1,1 9,0 Pelalawan 46,0 6,4 10,0 2,6 19,5 6,8 8,5 Siak 36,6 6,4 9,0 19,8 1,6 26,7

Kampar 87,4 8,3 4,4 Rokan Hulu 65,0 0,1 15,8 12,4 6,7 Bengkalis 51,8 1,0 12,2 6,7 7,9 20,4 Rokan Hilir 66,2 2,0 7,0 3,8 6,7 5,2 2,4 6,7

Kepulauan Meranti 14,3 71,5 14,2 Kota Pekanbaru 48,5 9,5 9,5 16,2 10,1 6,1 Kota Dumai 37,3 5,9 1,8 33,8 10,9 10,3

RIAU 61,8 4,8 6,7 0,5 6,9 5,1 5,5 1,6 7,3

Page 145: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

114

Tabel 13.10 memperlihatkan bahwa sumber pembiayaan yang dipakai untuk rawat inap pada semua faskes di Riau masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 61,8 persen. Ini dimungkinkan karena masih sekitar 57,8 persen penduduk Riau belum memiliki jaminan kesehatan. Ada 7 kabupaten/kota yang mempunyai persentase out of pocket di atas angka provinsi (Tabel 13.1).

Selanjutnya, sumber pembiayaan yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah Jamkesda 7,3 persen, Jamkesmas 6,9 persen, Jamsostek 6,7 persen, tunjangan kesehatan dari perusahaan 5,1 persen, Askes/ASABRI 4,8 persen, dan sumber lainnya 5,5 persen.

Tabel 13.11 Proporsi penduduk berdasarkan sumber pembiayaan rawat inap menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik

Sumber pembiayaan rawat inap

Biaya Sendiri

Askes/ ASABRI

Jam- sostek

Asuransi Swasta

Jam- kesmas

Perusa-haan

Sumber Lainnya

> 1 Sumber

Jam- kesda

Tempat tinggal:

Kota 50,2 7,5 6,7 1,1 11,8 6,0 5,5 1,2 10,0 Desa 70,9 2,6 6,6 2,9 4,3 5,5 1,9 5,2

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 73,3 2,1 15,8 8,8 Menengah bawah 59,8 7,8 14,9 3,3 1,7 1,3 11,2 Menengah 53,5 5,9 10,1 5,6 3,4 6,8 3,8 11,0

Menengah atas 56,6 5,6 4,9 0,9 7,1 10,3 7,5 1,3 5,8

Teratas 72,3 9,4 7,5 1,1 3,0 4,8 0,2 0,8 0,8

Tabel 13.11 menunjukkan, hampir semua sumber pembiayaan rawat inap pada semua faskes dari berbagai jaminan kesehatan lebih banyak dimanfaatkan di perkotaan. Di perkotaan, Jamkesmas dan Jamkesda lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Pada Jamkesda, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin kecil proporsinya. Sumber pembiayaan rawat inap untuk semua jenis faskes yang berasal dari biaya sendiri pada semua kuintil indeks kepemilikan memiliki proporsi > 53 persen.

Page 146: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

115

Daftar Pustaka

Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.

Gottret P, Schieber G. Health Financing Revisited: A Practitioner’s Guide. Washington, DC: World Bank Publications, 2006.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia Tahun 2013: Buku 1. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riskesdas Riau Tahun 2013 dalam Angka: Buku 2. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kemenkes, 2014.

Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.

Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.

WHO. The World Health Report 2000 – Health Systems: Improving Performance. Geneva: WHO, 2000.

WHO. The World Health Report 2010 – Health Systems Financing: the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO, 2010.

Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Page 147: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

116

BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI

Yunita Diana Sari dan Lely Andayasari

Kesehatan reproduksi (kespro) mulai masuk dalam Riskesdas 2010 yang hanya memberikan gambaran nasional dan provinsi. Pada Riskesdas 2013, informasi kespro yang disajikan bukan hanya tingkat nasional dan provinsi, melainkan juga kabupaten/kota (terbatas untuk indikator tertentu), sehingga di tingkat provinsi cakupan yankes ibu berbasis-komunitas dapat dinilai sebagai komplemen dari data rutin.

Blok kespro menyediakan informasi mengenai status kesehatan ibu dan beberapa isu kespro pada semua perempuan umur 10-54 tahun. Informasi yang disajikan meliputi: (1) kejadian kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner RT; (2) penggunaan alat/cara Keluarga Berencana (KB); (3) cakupan yankes ibu dari masa kehamilan hingga masa nifas; dan (4) masalah kespro lainnya.

14.1 Pelayanan Program Keluarga Berencana (KB)

Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan program KB nasional. Salah satu indikator program KB ialah penggunaan KB saat ini dan CPR (Contraceptive Prevalence Rate), yakni persentase penggunaan alat/cara KB oleh pasangan usia subur (PUS) – WUS (umur 15-49 tahun) berstatus menikah atau hidup bersama [Rajaguguk, Omas Bulan, 2010].

Pada laporan ini, informasi tentang KB dianalisis pada kelompok WUS berstatus menikah atau hidup bersama. Analisis jenis alat/cara KB yang digunakan merujuk pada alat/cara KB yang paling efektif.

a. Pola penggunaan KB saat ini

Tabel 14.1 memperlihatkan proporsi penggunaan alat/cara KB di Riau pada Riskesdas 2013 (55,7%). Penggunaan KB bervariasi menurut kabupaten/kota. Proporsi penggunaan KB saat ini paling rendah di Rokan Hilir (48,2%) dan tertinggi di Kepulauan Meranti (67,0%).

Tabel 14.1 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin menurut kab/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Penggunaan KB Saat ini

Sekarang pakai

Pernah KB

Kuantan Singingi 60,4 28,3 Indragiri Hulu 51,2 29,2 Indragiri Hilir 64,2 18,6 Pelalawan 56,9 20,8 Siak 55,4 25,8 Kampar 61,0 23,9 Rokan Hulu 51,3 32,2 Bengkalis 51,8 25,8 Rokan Hilir 48,2 32,0 Kepulauan Meranti 67,0 17,8 Kota Pekanbaru 53,4 24,6 Kota Dumai 54,7 23,0

RIAU 55,7 25,5

Page 148: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

117

Tabel 14.2 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin menurut kelompok umur,

Riau 2013

Kelompok Umur (tahun)

Penggunaan KB saat ini

Ya Pernah Tidak

pernah Total

15-19 32,5 9,4 58,0 100,0

20-24 53,2 20,2 26,6 100,0

25-29 56,2 24,1 19,7 100,0

30-34 61,9 23,0 15,1 100,0

35-39 61,9 22,3 15,7 100,0

40-44 55,3 29,6 15,0 100,0

45-49 36,8 40,9 22,3 100,0

Tabel 14.2 menunjukkan, proporsi penggunaan KB saat ini di Riau secara umum sebesar 55,7 persen. Itu terdiri dari penggunaan KB modern 54,9 persen dan KB tradisional 0,7 persen. Menurut kelompok umur, penggunaan KB terbanyak pada kelompok umur 30-39 tahun (66,9%), sedangkan pada kelompok umur berisiko, yaitu 45-49 tahun dan 15-19 tahun, tergolong relatif rendah; berturut-turut 36,8 dan 32,5 persen.

b. Penggunaan KB menurut kandungan hormon dan jangka waktu efektif

Penggunaan KB modern berdasarkan jenis alat/cara KB disajikan secara rinci dalam Gambar 14.1. Tampak suntikan KB merupakan jenis alat/cara KB yang paling banyak digunakan.

Gambar 14.1

Proporsi penggunaan KB menurut jenis alat/cara KB, Riau 2013

Berdasarkan data jenis alat/cara KB tersebut, kemudian dikelompokkan menurut kandungan hormon dan jangka waktu efektif KB. Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil KB, sedangkan kelompok non-hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom. Kelompok alat/cara KB modern menurut

2,6

0,1

1,4

2,2

32,6

14,7

0,1

1,3

0 5 10 15 20 25 30 35

Susuk/Implant

Sterilisasi pria

Sterilisasi wanita

IUD/AKDR/spiral

Suntikan

Pil KB

Diafragma/kondom wanita

Kondom pria

Page 149: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

118

jangka waktu keefektifan untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) terdiri dari susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, serta spiral/IUD, sedangkan kelompok non-MKJP ialah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.

Tabel 14.3 memperlihatkan proporsi penggunaan alat/cara KB modern oleh WUS kawin berdasarkan kandungan hormon dan jangka waktu efektif KB menurut kabupaten/kota. Proporsi penggunaan alat/cara KB hormonal paling tinggi di Kepulauan Meranti (63,5%) dan terendah di Kota Pekanbaru (41,2%). Sementara untuk proporsi penggunaan alat/cara KB non hormonal, paling tinggi di Kota Pekanbaru (12,1%) dan terendah di Indragiri Hilir (1,1%).

Tabel 14.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB modern oleh WUS kawin berdasarkan kandungan hormon

dan jangka waktu efektif KB menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Cara Modern Kandungan Hormon Jangka waktu efektif

Hormonal Nonhormonal MKJP Non-MKJP

Kuantan Singingi 60,4 56,0 4,4 6,4 53,8

Indragiri Hulu 51,0 48,2 2,9 5,3 45,8

Indragiri Hilir 64,2 63,1 1,1 2,3 61,9

Pelalawan 56,9 53,0 3,9 3,3 53,5

Siak 50,1 45,5 7,7 5,2 47,3

Kampar 60,0 57,2 3,3 6,8 53,8

Rokan Hulu 51,2 48,7 2,5 2,4 48,6

Bengkalis 51,4 45,1 6,5 7,9 43,8

Rokan Hilir 47,6 44,3 3,4 4,0 43,9

Kepulauan Meranti 62,9 63,5 2,0 7,2 58,4

Kota Pekanbaru 53,2 41,2 12,1 12,5 40,8

Kota Dumai 54,0 47,1 7,3 10,3 44,2

RIAU 54,9 49,9 5,1 6,2 48,7

Keterangan: 1) Hormonal = Jenis KB modern susuk, suntikan KB, Pil, 2) Nonhormonal = Jenis KB modern IUD, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, diafragma/kondom, 3) MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) = Susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, IUD 4) Non-MKJP = suntikan, pil, difragma, kondom

Tabel 14.3 juga menunjukkan variasi proporsi penggunaan alat/cara KB berdasarkan jangka waktu efektif KB (MKJP dan non-MKJP). Proporsi penggunaan alat/cara KB MKJP paling tinggi di Kota Pekanbaru (12,5%) dan terendah di Indragiri Hilir (2,3%). Sementara proporsi penggunaan alat/cara KB non-MKJP paling tinggi di Indragiri Hilir (61,9%) dan terendah di Kota Pekanbaru (40,8%).

c. Tempat dan tenaga untuk pelayanan KB modern

Informasi tempat dan tenaga pelayanan alat/cara KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan KB.

Tabel 14.4 memperlihatkan penggunaan tempat yang memberikan pelayanan KB. Tempat pelayanan KB yang paling banyak dikunjungi ialah tempat praktik bidan (57,7%), sedangkan yang paling sedikit adalah Tim KB/Medis Keliling (0,4%).

Page 150: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

119

Tabel 14.4 Proporsi pemanfaatan tempat pelayanan kesehatan dalam memperoleh pelayanan KB

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota RS Puskes-

mas/ Pustu

Klinik/ BP

Tim KB/

Medis keliling

Praktik dokter

Praktik bidan

Praktik pera-wat

Polin-des/

Poskes-des

Pos-yan- du

Apotek/ lainnya

Kuantan Singingi 2,4 11,1 0,2 0 0,6 64,7 5,2 3,7 2,5 9,6

Indragiri Hulu 2,0 8,1 2,3 0 0,6 79,5 0 0 0,8 6,7

Indragiri Hilir 1,5 24,7 8,1 0 0,6 41,6 1,1 6,8 4,0 11,6

Pelalawan 5,0 5,1 3,7 0,9 3,5 64,3 4,0 3,3 1,2 9,0

Siak 7,9 27,7 6,1 0,2 0,5 27,3 0 8,8 1,2 20,1

Kampar 2,1 5,4 0,8 0 1,4 83,4 0,5 0 0,6 5,8

Rokan Hulu 2,1 6,7 5,3 0,1 0,8 70,2 0,4 3,2 0,3 10,8

Bengkalis 7,6 11,3 4,8 0,9 0 40,8 8,6 13,1 1,2 11,7

Rokan Hilir 3,8 16,5 1,8 0 0 51,6 4,9 4,5 0 16,7

Kepulauan Meranti 3,6 42,9 0 2,0 0,8 15,4 0 32,6 0 2,7

Kota Pekanbaru 10,4 9,2 2,2 1,0 4,1 61,6 0,1 0 0,9 10,5

Kota Dumai 11,7 9,6 2,9 0 2,3 59,9 1,9 0,4 1,0 10,3

RIAU 4,9 13,4 3,5 0,4 1,4 57,7 2,0 4,7 1,3 10,7

Tabel 14.5 menunjukkan nakes yang memberi pelayanan KB. Sejalan dengan tempat pelayanan KB yang paling banyak dikunjungi, nakes yang terbanyak memberikan pelayanan KB ialah bidan (81,1%).

Tabel 14.5 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Tenaga pelayanan KB modern

Dokter ObGyn

Dokter umum

Bidan Perawat Lainnya

Kuantan Singingi 1,7 1,0 91,5 5,7 Indragiri Hulu 1,2 1,5 97,2

Indragiri Hilir 1,5 3,5 92,3 2,7 Pelalawan 2,6 5,4 87,1 4,9 Siak 4,0 4,2 90,9 0,9 Kampar 3,0 1,1 95,3 0,7 Rokan Hulu 1,4 1,7 95,0 2,0 Bengkalis 5,1 1,1 80,5 13,3 Rokan Hilir 3,9

88,9 7,2

Kepulauan Meranti 3,0 0,8 88,3 7,8 Kota Pekanbaru 6,9 2,6 89,9 0,6 Kota Dumai 6,8 4,5 86,1 2,6 RIAU 3,1 2,0 81,1 3,1 10,7

Page 151: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

120

d. Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB

Pada Riskesdas 2013, responden ditanyakan alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB. Secara umum, alasan utamanya terkait dengan hak setiap perempuan untuk memiliki anak sehingga tidak menggunakan alat/cara KB. Alasan tidak menggunakan alat/cara KB karena masalah fertilitas dan sedang ingin punya anak mengindikasikan kelompok yang tidak memerlukan KB. Alasan lainnya, seperti masalah kepercayaan/agama, dilarang suami/keluarga, kurang pengetahuan, masalah akses alat KB, khawatir efek samping, dan tidak nyaman, dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan cakupan KB [Gambar 14.2]. Untuk responden yang merasa khawatir efek samping (11,0%) dan tidak nyaman (8,1%) tampaknya diperlukan penjelasan lebih jauh mengenai alat/cara KB lain yang lebih tepat agar mereka mau ber-KB kembali.

Gambar 14.2

Proporsi alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB pada WUS yang sekarang tidak ber-KB, Riau 2013

14.2 Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan, Persalinan, dan Nifas

Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama ke-hamilan hingga masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kemenkes menekankan tersedianya yankes ibu di masyarakat.

Semua perempuan umur 10-54 tahun yang permah melahirkan, baik lahir hidup maupun lahir mati pada periode 1 Januari 2010 hingga saat wawancara, ditanyakan pengalamannya memperoleh yankes selama periode hamil sampai masa nifas.

Terdapat 2 indikator MDGs yang didapat dari bagian ini, yakni cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali serta proporsi penolong persalinan oleh nakes yang kompeten.

7,7

46,7

13,5

3,8

5,7

2,3

11

1,2

8,1

0 10 20 30 40 50

Fertilitas

Sedang ingin punya anak

Sudah tidak ingin ber-KB

Masalah kepercayaan/agama

Dilarang suami/keluarga

Kurang pengetahuan

Khawatir efek samping

Masalah akses alat KB

Merasa tidak nyaman

Definisi operasional indikator Antenatal Care (ANC):

K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi kelahiran yg mendapat yankes ibu hamil (bumil) minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.

K1 ideal adalah proporsi pada kelahiran yg memperoleh yankes bumil pertama kali pada trimester 1.

K4 adalah proporsi kelahiran yg mendapat yankes bumil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2: minimal 1 kali pada trimester (TM) 1, minimal 1 kali pada TM 2, dan minimal 2 kali pada TM 3.

ANC minimal 4 kali adalah proporsi pada kelahiran yg memperoleh yankes bumil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.

Page 152: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

121

a. Pelayanan kesehatan ibu hamil dan indikator cakupan ANC

Antenatal Care (ANC) adalah yankes yang diberikan oleh nakes kepada ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang diterapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan [Direktorat Bina Kesehatan Ibu Depkes, 2010]. Nakes yang dimaksud tersebut ialah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Riskesdas 2013 menyajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali) dan indikator ANC untuk evaluasi program yankes ibu di Indonesia, seperti cakupan K1 ideal dan K4.

Tabel 14.6 memperlihatkan bahwa kelahiran yang mendapat ANC (K1) ada sebesar 92,2 persen. Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 76,3 persen (Indragiri Hilir) hingga 98,8 persen (Kota Pekanbaru). Untuk cakupan ANC minimal 4 kali, Kota Pekanbaru (93,1%) pun tetap paling tinggi. Selisih K1 dan ANC 4 kali menunjukkan adanya kehamilan yang tidak optimal mendapat pelayanan ANC.

Tabel 14.6 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Melakukan ANC Cakupan ANC

K1 Tidak Total K1 Ideal ANC K4 ANC 4x +

Kuantan Singingi 86,9 13,1 100,0 66,3 62,6 79,3

Indragiri Hulu 86,0 14,0 100,0 79,9 63,5 67,0

Indragiri Hilir 76,3 23,7 100,0 69,4 46,9 54,2

Pelalawan 88,2 11,8 100,0 82,7 46,8 52,9

Siak 95,1 4,9 100,0 87,2 87,2 93,6

Kampar 97,5 2,5 100,0 92,7 71,0 78,1

Rokan Hulu 87,6 12,4 100,0 79,4 50,2 64,0

Bengkalis 94,3 5,7 100,0 77,7 70,0 77,6

Rokan Hilir 97,2 2,8 100,0 77,3 61,5 75,7

Kepulauan Meranti 93,5 6,5 100,0 71,1 60,4 68,7

Kota Pekanbaru 98,8 1,2 100,0 98,1 93,1 95,3

Kota Dumai 98,2 1,8 100,0 83,8 73,4 90,1

RIAU 92,2 7,8 100,0 83,0 67,2 75,5

Keterangan: 1) ANC K1 ideal = ANC pertama kali pada trimester 1 2) ANC K4 = ANC 1-1-2 yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester satu, minimal 1 kali pada trimester dua

dan minimal dua kali pada trimester tiga, 3) ANC min 4 kali = Frekuensi ANC sebanyak minimal empat kali selama kehamilan tanpa memperhatikan periode

umur kandungan,

Tabel 14.6 pun menginformasikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 ialah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC [Direktorat Bina Kesehatan Ibu Depkes, 2010].

Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk kepada frekuensi dan periode trimester pada waktu dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Itu dapat dilihat dari indikator ANC K4. Cakupan K1 ideal di Riau sebesar 83 persen dengan cakupan tertinggi di Kota Pekanbaru (98,1%) dan terendah di Kuantan Singingi (66,3%). Cakupan K4 di Riau sebesar 67,2 persen dengan cakupan tertinggi juga di Kota Pekanbaru (93,1%) dan terendah di Rokan Hulu (50,2%). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari

Page 153: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

122

cakupan K1 ideal dan K4 di Riau memperlihatkan bahwa terdapat 15,8 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4).

b. Tenaga kesehatan dan tempat pemeriksaan kehamilan

Nakes yang kompeten memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat [Direktorat Bina Kesehatan Ibu Depkes, 2009].

Tabel 14.7 menunjukkan bahwa bidan merupakan nakes yang paling berperan dalam memberikan yankes ibu hamil sebesar 85,9 persen. Hal tersebut terlihat pula di semua kabupaten/kota. Proporsi nakes yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan oleh bidan paling tinggi di Indragiri Hulu (98,2%) dan terendah di Kota Pekanbaru (65,5%).

Tabel 14.7 Proporsi pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Nakes yang memberi pelayanan ANC

Dokter ObGyn

Dokter umum

Bidan Perawat

Kuantan Singingi 11,5 1,1 87,4 0

Indragiri Hulu 0,7 0 98,2 1,1

Indragiri Hilir 4,5 1,2 94,3 0

Pelalawan 13,4 2,0 81,8 2,7

Siak 21,2 1,4 77,5 0 Kampar 7,2 0,4 92,5 0

Rokan Hulu 3,0 1,8 95,1 0

Bengkalis 12,1 0 86,3 1,6

Rokan Hilir 6,5 4,0 88,3 1,2

Kepulauan Meranti 6,5 0 93,5 0

Kota Pekanbaru 32,6 1,9 65,5 0

Kota Dumai 14,9 0,8 84,3 0

RIAU 12,3 1,3 85,9 0,5

Faskes disediakan untuk meningkatkan cakupan yankes ibu hamil dari RS hingga posyandu, yang merupakan salah satu upaya untuk mendekatkan nakes yang memberi pelayanan kepada masyarakat. Tabel 14.8 memperlihatkan praktik bidan (59,3%) adalah faskes yang paling banyak dimanfaatkan ibu hamil untuk memperoleh pelayanan pemeriksaan kehamilan, disusul Puskesmas/Pustu (9,8%), RS (8,5%) dan RB (6,3%). Proporsi paling tinggi ditemukan di Kampar (84,2%), disusul Indragiri Hulu (79,1%) dan Rokan Hulu (73,4%). Proporsi paling rendah terdapat di Kepulauan Meranti (5,9%), disusul Siak (27,1%) dan Indragiri Hilir (37,1%). Proporsi nakes yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

Page 154: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

123

Tabel 14.8 Proporsi tempat pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota RS RB Puskesmas/

Pustu Praktik dr/

klinik Praktik bidan

Poskesdes/ Polindes

Posyandu Lainnya

Kuantan Singingi 1,2 2,7 3,9 6,6 54,0 16,3 14,3 1,1

Indragiri Hulu 0 3,0 7,3 1,7 79,1 1,5 7,3 0

Indragiri Hilir 0 3,1 23,3 5,8 37,1 23,2 7,5 0

Pelalawan 10,3 8,9 6,8 5,0 64,9 3,8 0 0,4

Siak 7,9 21,9 29,9 3,0 27,1 5,8 4,3 0

Kampar 5,0 3,8 1,5 0,6 84,2 0,5 4,4 0

Rokan Hulu 1,8 1,5 9,5 0 73,4 0 9,3 4,6

Bengkalis 7,8 4,6 17,0 8,0 43,1 18,1 1,3 0

Rokan Hilir 7,7 0,5 6,5 1,8 66,4 3,5 12,5 1,1

Kepulauan Meranti 2,0 4,4 55,5 2,3 5,9 21,4 8,5 0

Kota Pekanbaru 27,4 13,5 1,7 6,1 50,0 0 1,4 0

Kota Dumai 9,4 10,2 4,3 9,6 64,3 0 2,3 0

RIAU 8,5 6,3 9,8 3,9 59,3 6,0 5,5 0,6

c. Konsumsi zat besi

Zat besi sangat dibutuhkan ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal [Depkes, 2001]. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya [Depkes, 2001]. Riskesdas 2013 menanyakan apakah ibu mengonsumsi zat besi selama hamil dan berapa hari ibu mengonsumsinya selama hamil. Zat besi yang dimaksud ialah semua bentuk zat besi yang dikonsumsi, baik berupa tablet/pil, kaplet, kapsul, maupun sirup, selama masa kehamilannya, termasuk yang dijual bebas seperti multivitamin yang mengandung zat besi.

Tabel ‎14.9 Proporsi ibu Hamil mengkonsumsi zat besi dan jumlah hari konsumsi menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Tabel 14.9 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di Indonesia sebesar 84,9 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat 20,8 persen yang mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya.

Kabupaten/kota Konsumsi zat besi Jumlah hari konsumsi*

Ya Tidak Total 90+ < 90 Lupa

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Kuantan Singingi 90,0 10,0 100,0 7,7 25,1 57,2

Indragiri Hulu 74,8 25,2 100,0 18,8 39,3 16,7 Indragiri Hilir 60,1 39,9 100,0 33,7 20,0 6,5 Pelalawan 82,5 17,5 100,0 20,1 42,3 20,1 Siak 89,1 10,9 100,0 15,5 67,6 6,0 Kampar 93,0 7,0 100,0 20,3 45,2 27,5 Rokan Hulu 82,0 18,0 100,0 4,6 30,0 47,4 Bengkalis 90,1 9,9 100,0 63,8 22,4 3,9 Rokan Hilir 84,8 15,2 100,0 8,8 63,9 12,1 Kepulauan Meranti 91,7 8,3 100,0 17,9 30,8 43,0 Kota Pekanbaru 89,2 10,8 100,0 13,5 50,8 24,9 Kota Dumai 95,4 4,6 100,0 4,4 75,0 16,0

RIAU 84,9 15,1 100,0 20,8 41,9 22,2

*) Kolom 5, 6 dan 7 pada Tabel 3,12,18 dan 3,12,19 merujuk pada jawaban responden yang mengonsumsi zat besi (kolom 2)

Page 155: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

124

d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K

Buku Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA) telah dirintis sejak 1997 dengan dukungan dari JICA (Japan International Cooperation Agency). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi berkenaan dengan cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap ibu hamil memperoleh 1 buku KIA.

Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat mengenai kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian ibu [Factsheet Ditjen Bina Kesehatan Ibu Kemenkes]. P4K adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh nakes, kader, tokoh agama, tokoh masyarakat untuk meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan dan persiapan menghadapi komplikasi bagi kehamilan/persalinan bagi setiap ibu hamil dengan menggunakan media stiker sebagai penanda. Sebagai wujud dari penerapan P4K itu, tertuliskan pula pada buku KIA pada lembar „Amanat Persalinan‟, yang merupakan kependekan dari „Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat‟. Setiap ibu hamil yang mendapat buku KIA dan membuat perencanaan persalinan, dituliskan dalam lembar tersebut [Kementerian Kesehatan, 1997].

Riskesdas 2013 menanyakan tentang kepemilikan buku KIA. Bila responden dapat menunjukkan buku KIA, observasi 5 komponen P4K dilakukan terhadap lembar „Amanat Persalinan‟ yang terkait dengan perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB, yang meliputi:

1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya

persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju

tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus

perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah).

Page 156: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

125

Tabel 14.10 Persentase kepemilikan buku KIA dan observasi isian Amanat Persalinan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota

Memiliki Buku KIA Hasil observasi isian pd buku KIA

Ya, menunjuk-

kan

Ya, tidak menun-

jukkan

Tidak Punya

Total Penolong

persa-linan

Dana persalinan

Kendara-an

Metode KB

Sumbangan darah

Lengkap 5 Kompo-

nen

Tidak ada isian

Kuantan Singingi 21,6 57,1 21,2 100,0 10,8 10,8 10,8 10,8 2,5 0,0 86,6

Indragiri Hulu 16,3 61,5 22,2 100,0 40,8 16,5 5,4 21,5 5,4 5,4 59,2

Indragiri Hilir 21,8 31,7 46,5 100,0 28,9 6,0 14,3 14,3 6,0 6,0 71,1

Pelalawan 7,2 61,9 30,9 100,0 74,7 29,5 21,5 0,0 14,6 0,0 25,3

Siak 27,7 46,2 26,1 100,0 16,9 3,8 0,0 3,8 0,0 0,0 83,1

Kampar 21,5 59,1 19,4 100,0 29,5 18,9 13,8 14,6 10,7 10,7 67,3

Rokan Hulu 25,2 59,4 15,4 100,0 43,0 31,0 31,0 37,9 31,0 31,0 57,0

Bengkalis 15,1 30,4 54,5 100,0 26,4 26,4 17,3 21,8 17,3 17,3 73,6

Rokan Hilir 16,7 18,9 64,4 100,0 4,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 95,2

Kepulauan Meranti 43,2 46,7 10,1 100,0 58,4 13,8 4,6 32,1 0,0 0,0 32,5

Kota Pekanbaru 18,5 71,0 10,5 100,0 90,8 61,5 7,3 35,5 19,4 0,8 9,2

Kota Dumai 16,3 60,0 23,7 100,0 6,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 93,9

Riau 19,6 50,8 29,6 100,0 37,6 21,8 12,1 19,2 11,5 8,5 61,4

* kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara

Sekitar dua pertiga lembar amanat persalinan tidak diisi dan yang terisi lengkap dijumpai kurang dari 10 persen. Yang terisi 5 komponen lebih sepertiga ibu hamil telah merencanakan nama tenaga kesehatan yang akan membantu persalinan, sekitar seperlima telah mempersiapkan dana metode KB setelah melahirkan. Namun hanya 10 persen ibu hamil yang merencanakan kendaraan dan nama donor darah untuk keperluan melahirkan.

Page 157: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

126

BAB 15. BAB 15. KESEHATAN ANAK

Sri Prihatini dan Nurfi Afriansyah

Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Indikator status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan.

Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

15.1 Berat dan Panjang Badan Lahir

Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya.

Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 2500 gram (BBLR), 2500-3999 gram, dan ≥ 4000 gram. Persentase BBLR di Riau sebesar 8,6 persen. Persentase BBLR tertinggi ditemukan di Bengkalis (17,1%) dan terendah di Kepulauan Meranti (3,8%).

Tabel 15.1 Persentase berat badan lahir rendah (BBLR) anak balita, Riau 2013

Kabupaten/Kota BBLR

Kuantan Singingi 4,0 Indragiri Hulu 9,0 Indragiri Hilir 6,9 Pelalawan 8,7 Siak 10,4 Kampar 7,4 Rokan Hulu 5,3 Bengkalis 17,1 Rokan Hilir 8,1 Kepulauan Meranti 3,8 Kota Pekanbaru 7,6 Kota Dumai 8,6

RIAU 8,6

Tabel 15.2 menyajikan berat badan baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran kepala RT. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR lebih tinggi pada perempuan (9,8%) daripada laki-laki (7,3%), tetapi persentase berat badan lahir ≥ 4000 gram lebih tinggi pada laki-laki (7,7%) dibandingkan dengan perempuan (5,1%).

Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, terlihat adanya kecenderungan makin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevalensi BBLR.

Page 158: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

127

Tabel 15.2 Persentase berat badan lahir dari anak umur 0-59 bulan

menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Berat badan Lahir

< 2500 g 2500-3999 g ≥ 4000 g

Kelompok Umur (bulan): 0-5 7,5 88,7 3,8

6-11 13,9 82,5 3,7 12-23 9,6 84,1 6,3 24-35 5,4 86,2 8,4 36-47 10,5 81,1 8,4 48-59 5,3 88,7 6,0

Jenis Kelamin: Laki-laki 7,3 84,9 7,7

Perempuan 9,8 85,1 5,1 Pendidikan KK:

Tidak pernah sekolah 3,9 96,1

Tidak Tamat SD/MI 8,9 82,9 8,1 Tamat SD/MI 8,7 83,6 7,7 Tamat SMP/MTs 9,1 83,9 7,0 Tamat SMA/MA 8,6 85,2 6,3 Tamat D1-D3/PT 7,7 88,3 4,0

Pekerjaan KK: Tidak bekerja 7,3 89,2 3,5

Pegawai 8,4 84,8 6,9 Wiraswasta 8,9 86,3 4,9 Petani/nelayan/buruh 8,9 82,3 8,8 Lainnya 5,2 93,6 1,2

Tempat Tinggal: Perkotaan 9,4 87,2 3,5

Pedesaan 7,8 82,9 9,2 Indeks Kepemilikan KK:

Terbawah 7,6 82,5 9,9 Menengah bawah 11,7 80,6 7,7 Menengah 8,1 86,4 5,5 Menengah atas 7,4 86,2 6,4 Teratas 8,4 87,5 4,0

Page 159: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

128

Tabel 15.3 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 15,7 persen dan 48-52 cm sebesar 80,9 persen. Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di kabupaten Pelalawan (28,0%) dan terendah di Kuantan Singingi (0,1%).

Tabel 15.3 Persentase panjang badan lahir dari anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Panjang Badan Lahir

< 48 cm 48-52 cm > 52 cm

Kuantan Singingi 0,1 93,2 6,7 Indragiri Hulu 12,3 87,7 - Indragiri Hilir 14,5 85,5 - Pelalawan 28,0 69,5 2,4 Siak 24,1 74,4 1,5 Kampar 16,7 74,2 9,2 Rokan Hulu 10,1 88,7 1,2 Bengkalis 14,1 78,8 7,1 Rokan Hilir 21,0 75,6 3,4 Kepulauan Meranti 16,8 83,2

Kota Pekanbaru 14,5 83,7 1,8 Kota Dumai 12,4 82,8 4,8

RIAU 15,7 80,9 3,5

Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada Tabel 15.4. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (17,6%) lebih tinggi daripada anak laki-laki (13,8%).

Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Menurut jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (26,1%). Persentase anak lahir pendek di perdesaan (15,5%) lebih tinggi daripada di perkotaan (15,8%).

Page 160: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

129

Tabel 15.4 Persentase panjang badan lahir dari anak umur

0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Panjang badan Lahir

< 48 cm 48-52 cm > 52 cm

Kelompok Umur (bulan): 0-5 15,6 81,6 2,7

6-11 19,2 76,4 4,4 12-23 17,9 78,5 3,6 24-35 14,9 83,0 2,1 36-47 13,6 81,7 4,8 48-59 12,7 83,9 3,4

Jenis Kelamin:

Laki-laki 13,8 83,0 3,3 Perempuan 17,6 78,7 3,7

Pendidikan KK:

Tidak pernah sekolah 7,0 93,0

Tidak Tamat SD/MI 21,6 78,4

Tamat SD/MI 15,8 81,6 2,6 Tamat SMP/MTs 19,6 76,1 4,3 Tamat SMA/MA 14,2 82,7 3,1 Tamat D1-D3/PT 12,3 82,0 5,7

Pekerjaan KK:

Tidak bekerja 26,1 73,9

Pegawai 15,2 79,8 4,9 Wiraswasta 14,3 81,9 3,9 Petani/nelayan/buruh 16,9 81,2 1,8 Lainnya 14,1 82,9 3,0

Tempat Tinggal:

Perkotaan 15,8 81,1 3,2 Pedesaan 15,5 80,6 3,8

Indeks Kepemilikan KK: Terbawah 10,0 89,5 0,5

Menengah bawah 18,3 78,9 2,8 Menengah 20,0 77,0 3,0 Menengah atas 15,9 79,6 4,5 Teratas 12,8 82,4 4,8

Tabel 15.5 menyajikan persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram (BBLR) dan panjang badan lahir <48 cm (lahir pendek) menurut kabupaten. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR di provinsi Riau sebesar 3,2 persen, tertinggi kabupaten Bengkalis (6,0%) dan terendah di Kuantan Singingi .

Page 161: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

130

Tabel 15.5 Persentase berat badan lahir rendah dan

panjang badan lahir pendek anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota BBL< 2.500 g dan PBL < 4 8 cm

Kuantan Singingi 0 Indragiri Hulu 2,6 Indragiri Hilir

Pelalawan 3,5 Siak 3,1 Kampar 2,8 Rokan Hulu 1,9 Bengkalis 6,0 Rokan Hilir 1,8 Kepulauan Meranti

3,8

Kota Pekanbaru 4,7 Kota Dumai 2,9

RIAU 3,2

Tabel 15.6 menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada kelompok umur 6-11 bulan paling tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada perempuan (4,2%) lebih tinggi daripada laki-laki (2,2%).

Page 162: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

131

Tabel 15.6 Persentase berat badan lahir rendah dan panjang

badan lahir pendek anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik BBL< 2.500 g dan PBL < 48 cm

Kelompok Umur (bulan): 0-5 3,9

6-11 6,5 12-23 3,7 24-35 2,6 36-47 3,2 48-59 0,2

Jenis Kelamin: Laki-laki 2,2

Perempuan 4,2 Pendidikan:

Tidak pernah sekolah 1,9 Tidak Tamat SD/MI 2,9 Tamat SD/MI 3,3 Tamat SMP/MTs 3,2 Tamat SMA/MA 3,4 Tamat D1-D3/PT 2,7

Pekerjaan: Tidak bekerja 6,4

Pegawai 3,4 Wiraswasta 3,2 Petani/nelayan/buruh 2,5 Lainnya 5,2

Tempat Tinggal: Perkotaan 4,5

Pedesaan 2,0 Indeks Kepemilikan:

Terbawah 2,1 Menengah bawah 2,6 Menengah 3,0 Menengah atas 4,4 Teratas 3,2

Page 163: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

132

15.2 Kecacatan

Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini:

a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan (Kaufman & Hallahan).

b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu).

c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease). Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih lebar, garis tangan melengkung tidak terputus.

d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh.

e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya.

f. Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

Tabel 15.7 menunjukkan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan di provinsi Riau yang tertinggi adalah tuna wicara sebesar 0,2 persen dan terendah adalah tuna rungu dan tuna netra .

Tabel 15.7 Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan,

Riau 2013

Jenis kelainan/Cacat Persentase

Tuna netra 0 Tuna rungu Tuna wicara 0,2 Tuna daksa 0 Bibir sumbing 0,1 Down syndrome 0,1 Minimal satu jenis cacat 0,4

Page 164: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

133

15.3 Status Imunisasi

Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.

Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan.

Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Analisis data imunisasi usia 12-23 bulan dapat memberikan gambaran pada tingkat provinsi Riau.

Analisis imunisasi dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya. Namun karena keterbatasan jumlah sampel maka untuk mendapat gambaran imunisasi tingkat kabupaten/kota maka analisis dilakukan pada anak usia 12-59 bulan.

Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013.

Tabel 15.8 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut kabupaten . Berdasarkan jenis imunisasi, cakupan tertinggi adalah BCG (81,4%) dan terendah adalah HB-0 (68,8%). Cakupan imunisasi untuk semua jenis imunisasi terendah adalah di kabupaten Indragiri Hulu dan tertinggi di kota Pekanbaru .

Page 165: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

134

Tabel 15.8 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota,

Riau 2013

Kabupaten/kota Jenis imunisasi dasar

HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak

Kuantan Singingi 62,8 92,0 64,6 71,6 89,2 Indragiri Hulu 58,3 71,2 61,7 58,2 73,1 Indragiri Hilir 44,8 69,7 55,2 65,4 62,5 Pelalawan 63,4 72,8 58,2 61,5 68,5 Siak 82,3 93,9 82,0 90,8 92,3 Kampar 79,2 82,7 66,5 60,1 78,3 Rokan Hulu 84,2 83,5 73,1 74,2 80,2 Bengkalis 52,4 79,2 59,8 59,8 66,2 Rokan Hilir 44,6 73,8 66,6 69,7 73,9 Kepulauan Meranti 76,6 86,1 82,0 86,1 86,1 Kota Pekanbaru 91,8 92,2 92,2 86,6 90,9 Kota Dumai 78,5 86,9 80,8 80,5 75,1

RIAU 68,8 81,4 70,0 70,9 77,3

Tabel 15.9 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan imunisasi pada anak perempuan lebih tinggi dari anak laki laki. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Pada kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lainnya.

Page 166: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

135

Tabel 15.9 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Persentase imunisasi dasar

HB-0 BCG DPT-HB Polio Campak

Jenis Kelamin:

Laki-laki 68,5 80,9 69,8 70,9 78,0

Perempuan 69,1 81,9 70,2 70,8 76,5 Pendidikan:

Tidak pernah sekolah 28,5 34,8 16,4 26,6 35,2 Tidak Tamat SD/MI 41,8 67,5 67,5 69,6 68,3 Tamat SD/MI 58,4 80,3 64,7 64,4 74,5 Tamat SMP/MTs 70,5 82,4 68,2 69,8 76,0 Tamat SMA/MA 77,4 86,6 78,9 81,7 84,0 Tamat D1-D3/PT 78,4 77,4 67,3 59,7 76,7

Pekerjaan:

Tidak bekerja 74,9 91,9 91,9 82,8 91,9 Pegawai 80,5 86,0 73,4 70,4 83,6 Wiraswasta 74,4 82,9 74,5 76,7 76,4 Petani/nelayan/buruh 58,4 77,7 62,9 65,3 74,7 Lainnya 58,4 75,4 67,4 69,4 69,2

Tempat Tinggal:

Perkotaan 79,2 88,8 81,6 80,8 83,4 Pedesaan 62,4 76,9 62,8 64,8 73,5

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 54,4 70,2 57,8 62,6 70,7 Menengah bawah 53,4 75,4 64,3 66,6 70,0 Menengah 76,1 82,1 64,6 68,0 73,0 Menengah atas 82,7 88,4 80,8 76,0 83,5 Teratas 80,4 92,5 85,2 83,7 93,0

Tabel 15.10 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap di provinsi Riau sebesar 52,2 persen. Persentase imunisasi lengkap tertinggi terlihat di kota Pekanbaru (74,9%) dan terendah di Rokan Hilir (33,5%).

Tabel 15.10 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59

bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Kelengkapan imunisasi dasar

Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi

Kuantan Singingi 41,9 50,1 8,0 Indragiri Hulu 49,1 31,2 19,7 Indragiri Hilir 36,1 30,6 33,3 Pelalawan 41,1 38,5 20,4 Siak 67,2 25,1 7,7 Kampar 49,1 40,3 10,6 Rokan Hulu 67,1 17,0 15,8 Bengkalis 41,0 39,2 19,8 Rokan Hilir 33,5 46,3 20,2 Kepulauan Meranti 72,4 13,7 13,9 Kota Pekanbaru 74,9 20,8 4,3 Kota Dumai 55,6 31,5 12,9

RIAU 52,2 31,9 15,9

Page 167: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

136

Tabel 15.11. menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (61,9%) daripada di perdesaan (46,5) dan terdapat 20,2 persen anak umur 12-59 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya.

Tabel 15.11 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59

bulan menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Kelengkapan imunisasi dasar

Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi

Jenis Kelamin:

Laki-laki 52,1 33,1 14,8 Perempuan 52,4 30,6 17,0

Pendidikan: Tidak pernah sekolah 10,9 24,3 64,8

Tidak Tamat SD/MI 33,9 40,6 25,5 Tamat SD/MI 43,3 38,8 17,9 Tamat SMP/MTS 52,2 32,5 15,3 Tamat SMA/MA 63,1 27,2 9,7 Tamat D1-D3/PT 52,0 28,4 19,6

Pekerjaan: Tidak bekerja 66,5 25,4 8,1

Pegawai 59,9 26,6 13,5 Wiraswasta 55,8 30,2 14,1 Petani/nelayan/buruh 45,1 36,2 18,7 Lainnya 43,5 36,4 20,1

Tempat Tinggal: Perkotaan 61,9 29,5 8,6

Pedesaan 46,5 33,3 20,2 Indeks Kepemilikan:

Terbawah 43,6 29,6 26,8 Menengah bawah 43,5 33,9 22,7 Menengah 49,8 37,7 12,5 Menengah atas 62,6 27,8 9,6 Teratas 64,3 29,9 5,8

Tabel 15.12 menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase keluarga yang tidak mengizinkan anaknya diimunisasi. Persentase anak di perkotaan yang tidak diizinkan keluarga untuk diimunisasi (36,3%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (27.2%).

Page 168: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

137

Tabel 15.12 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan

menurut karakteristik, Riau 2013*

Karakteristik

Alasan tidak pernah imunisasi

Keluarga tidak

mengijinkan

Takut anak menjadi panas

Anak sering sakit

Tidak tahu tempat

imunisasi

Tempat imunisasi jauh

Sibuk/ repot

Jenis Kelamin: Laki-laki 32,9 30,9 12,2

25,1 8,9

Perempuan 24,3 21,7 3,3 12,7 32,7 5,2 Pendidikan:

Tidak pernah sekolah 42,8

57,2

Tidak Tamat SD/MI

24,0

34,0 42,0

Tamat SD/MI 36,6 20,7 11,3

31,3 9,7

Tamat SMP/MTS 18,0 19,7

14,6 34,5 13,2 Tamat SMA/MA 8,9 46,6 24,5

14,0 6,0

Tamat D1-D3/PT 65,7 30,4

19,9

Tempat Tinggal:

Perkotaan 36,3 33,8

20,8

9,2 Pedesaan 27,2 24,9 9,6 3,0 34,9 6,7

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 17,3 16,8 22,6 7,1 37,7 6,0 Menengah bawah 18,4 29,7

11,0 30,7 10,3

Menengah 48,9 21,0

21,0 9,1 Menengah atas 64,2 47,8

18,0

Teratas 45,7 54,3

*) dari 15,9 persen anak yang tidak diimunisasi

Tabel 15.13. menunjukkan bahwa keluhan yang sering terjadi adalah bengkak (30,8%), kemerahan (25,1%), sedangkan keluhan demam tinggi dialami oleh 5,7persen anak.

Tabel 15.13 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak

umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Demam tinggi Bengkak Kemerahan Bernanah Lainnya

Kuantan Singingi 3,1 33,4 29,8 11,1

Indragiri Hulu 3,1 14,6 10,5 2,6

Indragiri Hilir

38,0 29,7 7,7

Pelalawan 8,4 20,9 21,5 8,8

Siak

36,6 35,0

Kampar 6,0 30,4 16,4 1,7

Rokan Hulu 10,8 42,7 35,7

Bengkalis 4,8 15,5 7,2

Rokan Hilir 11,0 38,3 38,9 10,2 3,8 Kepulauan Meranti 4,4 12,3 8,6 4,4

Kota Pekanbaru 3,6 34,6 30,8 4,8

Kota Dumai 12,2 31,2 22,6 1,7

RIAU 5,7 30,8 25,1 3,9 0,4

Page 169: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

138

15.4 Kunjungan Neonatal

Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada saat bayi saat berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Tabel 15.14 menunjukkan cakupan kunjungan neonatal tertinggi pada bayi umur 6-48 jam (72,0%) dan terendah pada bayi umur 8-28 hari (24,1%).

Tabel 15.14 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Kunjungan neonatal

KN1 (6 – 48 jam) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari)

Kuantan Singingi 74,7 47,1 16,7 Indragiri Hulu 68,4 50,2 33,0 Indragiri Hilir 45,7 37,5 18,2 Pelalawan 60,2 25,6 12,4 Siak 86,7 47,6 16,9 Kampar 80,1 56,4 33,0 Rokan Hulu 74,4 56,7 23,6 Bengkalis 72,7 62,2 27,8 Rokan Hilir 63,7 45,5 14,1 Kepulauan Meranti 60,3 34,2 16,2 Kota Pekanbaru 92,0 66,4 33,9 Kota Dumai 57,3 37,6 13,3

RIAU 72,0 51,0 24,1

Persentase kunjungan neonatus menurut karakteristik disajikan pada Tabel 15.15. Persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut jenis kelamin anak hampir tidak ada perbedaan, sedangkan menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal pada bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, persentase kunjungan neonatal pada umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok pekerjaan pegawai, yaitu 80,1 persen untuk KN1, 60,4 persen untuk KN2, dan 28,5 persen untuk KN3.

Page 170: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

139

Tabel 15.15 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan

menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Kunjungan neonatal

KN1 (6 – 48 jam) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari)

Kelompok Umur (bulan):

0-5 74,5 51,4 16,4 6-11 77,9 58,4 28,2 12-23 74,9 51,9 23,1 24-35 72,4 51,6 23,9 36-47 67,4 45,3 24,3 48-59 68,5 50,7 25,9

Jenis Kelamin:

Laki-laki 73,0 50,9 24,6 Perempuan 71,0 51,0 23,6

Pendidikan:

Tidak pernah sekolah 22,3 14,8 12,1 Tidak Tamat SD/MI 57,8 43,9 20,4 Tamat SD/MI 64,8 43,7 21,0 Tamat SMP/MTS 72,1 48,2 18,3 Tamat SMA/MA 78,3 56,5 27,0 Tamat D1-D3/PT 84,4 64,5 37,5

Pekerjaan:

Tidak bekerja 57,1 37,9 20,0 Pegawai 80,1 60,4 28,5 Wiraswasta 80,1 54,7 28,0 Petani/nelayan/buruh 62,3 44,2 18,6 Lainnya 71,1 47,7 24,6

Tempat Tinggal:

Perkotaan 82,1 55,4 27,8 Pedesaan 65,6 48,2 21,7

Indeks Kepemilikan:

Terbawah 53,4 36,1 16,4 Menengah bawah 68,7 50,9 21,2 Menengah 72,3 54,7 23,9 Menengah atas 80,5 53,3 26,2 Teratas 85,0 60,4 33,0

Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten disajikan pada table 15.16.

Tabel 15.16. menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatal lengkap adalah 22,0 persen . Persentase kunjungan neonatal lengkap tertinggi di kabupaten Indragiri hilir (31,3%) dan terendah di Pelalawan (9,9%).

Page 171: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

140

Tabel 15.16 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Kunjungan neonatal

Tidak pernah KN

KN tidak lengkap

KN lengkap

Kuantan Singingi 24,2 60,6 15,2 Indragiri Hulu 29,2 39,5 31,3 Indragiri Hilir 51,6 31,9 16,5 Pelalawan 39,3 50,8 9,9 Siak 12,4 70,6 17,0 Kampar 18,1 51,2 30,7 Rokan Hulu 23,9 53,9 22,3 Bengkalis 24,5 49,0 26,5 Rokan Hilir 36,2 50,1 13,6 Kepulauan Meranti 39,7 44,0 16,2 Kota Pekanbaru 5,4 67,2 27,4 Kota Dumai 41,3 46,4 12,4

RIAU 26,3 51,8 22,0

Tabel 15.17 menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan neonatal lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 33,4 persen anak balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatal . Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan wiraswasta (25,3%) dan terendah pada kelompok petani/buruh/nelayan (17,9%).

Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan, balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal tertinggi pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh (37,2%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (15,6%).

Page 172: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

141

Tabel 15.17 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan

menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Kunjungan neonatal

Tidak pernah KN KN tidak lengkap KN lengkap

Kelompok Umur (bulan): 0 – 5 26,0 58,4 15,7

6 – 11 20,2 52,5 27,3 12 – 23 23,5 54,9 21,6 24 – 35 25,7 53,0 21,2 36 – 47 30,9 47,3 21,9 48 – 59 29,0 48,3 22,7

Jenis Kelamin: Laki-laki 24,9 53,1 22,0

Perempuan 27,7 50,4 21,9 Pendidikan:

Tidak pernah sekolah 77,7 16,2 6,1 Tidak Tamat SD/MI 41,5 40,1 18,4 Tamat SD/MI 34,0 46,0 20,1 Tamat SMP/MTS 27,4 54,5 18,1 Tamat SMA/MA 19,0 57,0 24,0 Tamat D1-D3/PT 13,1 54,2 32,7

Pekerjaan: Tidak bekerja 40,8 40,9 18,2

Pegawai 15,6 60,0 24,3 Wiraswasta 18,4 56,2 25,3 Petani/nelayan/buruh 37,2 45,0 17,9 Lainnya 29,1 46,3 24,6

Tempat Tinggal: Perkotaan 15,1 60,7 24,2

Pedesaan 33,4 46,1 20,6 Indeks Kepemilikan:

Terbawah 46,7 37,0 16,4 Menengah bawah 30,3 50,4 19,3 Menengah 25,9 52,0 22,1 Menengah atas 15,9 61,5 22,6 Teratas 13,0 56,8 30,2

Page 173: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

142

15.5 Perawatan Tali Pusar

Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya.

Tabel 15.18 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 11,6 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 78,4 persen, dan diberi obat tabur sebesar 1,5 persen.

Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di kabupaten Siak (34,8%) dan terendah di Bengkalis (0,7%).

Tabel 15.18 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota

Cara perawatan tali pusar

Tidak diberi apa-apa

Diberi betadine/ alkohol

Diberi obat tabur

Diberi ramuan/ obat tradisional

Kuantan Singingi 21,2 68,5

10,3 Indragiri Hulu 2,7 80,0 1,1 16,2 Indragiri Hilir 13,2 49,7 5,0 32,1 Pelalawan 12,8 70,5 0,5 16,3 Siak 34,8 64,6

0,5

Kampar 9,0 89,0

2,0 Rokan Hulu 5,1 90,3 0,6 4,0 Bengkalis 0,7 94,2 2,4 2,7 Rokan Hilir 5,0 84,1 2,6 8,3 Kepulauan Meranti

12,8 61,2

26,0

Kota Pekanbaru 19,1 78,8 1,5 0,7 Kota Dumai 21,0 76,2 2,0 0,9

RIAU 11,6 78,4 1,5 8,5

15.6 Pola Pemberian ASI

Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan dan minuman lain selain ASI.

Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).

Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan, bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak

Page 174: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

143

berumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya.

Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 15.19. Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di propivinsi Riau adalah 22,1 persen, dengan persentase tertinggi di kota Dumai (53,6%) dan terendah di Pelalawan (17,7%).

Tabel 15.19

Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kab/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Proses Mulai Menyusu

<1 jam (IMD) 1-6 jam 7-23 jam 24-47 jam ≥48 jam

Kuantan Singingi 45,2 41,5

4,9 8,4 Indragiri Hulu 32,7 49,8 3,8 5,0 8,7 Indragiri Hilir 28,1 59,4 3,8 8,7

Pelalawan 17,7 65,8 13,0 1,8 1,8 Siak 65,1 32,9

2,0

Kampar 46,7 41,7 2,1 4,2 5,2 Rokan Hulu 39,2 49,4

7,4 4,1

Bengkalis 41,1 43,9 10,1 2,8 2,1 Rokan Hilir 43,3 24,7 5,7 1,6 24,7 Kepulauan Meranti 48,6 51,4

Kota Pekanbaru 42,7 39,6 9,1 6,5 2,0 Kota Dumai 53,6 26,3 2,1 10,8 7,2

RIAU 22,1 43,9 5,1 10,9 18,0

Page 175: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

144

15.7 Cakupan Kapsul Vitamin A

Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.

Tabel 15.20 menunjukkan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan menurut kabupaten/kota . Cakupan pemberian vitamin A di provinsi Riau adalah sebesar 60,8 persen . Persentase tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti (80,5%) dan terendah di Indragiri Hilir (49,8%).

Tabel 15.20 Persentase cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan

terakhir menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Menerima kapsul vitamin A

Kuantan Singingi 79,7 Indragiri Hulu 60,3 Indragiri Hilir 49,8 Pelalawan 53,3 Siak 73,2 Kampar 56,1 Rokan Hulu 66,0 Bengkalis 56,7 Rokan Hilir 64,2 Kepulauan Meranti 80,5 Kota Pekanbaru 51,6 Kota Dumai 78,2

RIAU 60,8

Page 176: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

145

15.8 Pemantauan Pertumbuhan

Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain.

Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali.

Tabel 15.21 menunjukkan bahwa frekuensi penimbangan >4 kali di provinsi Riau (23,2%) . Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir sebesar 52,2 persen .Persentase anak tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri hilir (67,6%) dan terendah di kota Pekanbaru (35,2%)

Tabel 15.21

Persentase frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota,

Riau 2013

Kabupaten/kota Frekuensi pemantauan pertumbuhan anak balita

≥ 4 kali 1 -3 kali Tidak pernah

Kuantan Singingi 39,2 15,6 45,2 Indragiri Hulu 31,9 18,9 49,2 Indragiri Hilir 16,7 15,7 67,6 Pelalawan 4,6 33,0 62,4 Siak 22,9 22,1 55,0 Kampar 13,9 29,2 56,9 Rokan Hulu 25,5 18,7 55,8 Bengkalis 25,2 27,7 47,2 Rokan Hilir 18,2 27,9 54,0 Kepulauan Meranti 38,2 7,8 54,0 Kota Pekanbaru 32,2 32,6 35,2 Kota Dumai 25,8 26,0 48,2

RIAU 23,2 24,6 52,2

15.9 Sunat perempuan

Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun, berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang presentase orang yang menyarankan untuk melakukan sunat dan presentase yang melakukan sunat anak perempuan.

Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada table 15.22. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun di provinsi Riau sebesar 74,4 persen. Persentase tertinggi di temukan di kota Dumai (74,4%) dan terendah di kabupaten Siak (47,1%)

Page 177: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

146

Tabel 15.22 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/kota Pernah disunat

Kuantan Singingi 81,2 Indragiri Hulu 67,8 Indragiri Hilir 83,3 Pelalawan 67,0 Siak 47,1 Kampar 77,3 Rokan Hulu 75,0 Bengkalis 70,6 Rokan Hilir 81,4 Kepulauan Meranti 83,5 Kota Pekanbaru 74,3 Kota Dumai 85,8

RIAU 74,4

Tabel 15.23 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut karakteristik. Menurut pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga, persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun bervariasi antar tingkat pendidikan, maupun jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 75,3 persen, lebih tinggi daripada di perdesaan (73,9%). Menurut kuintil indeks kepemilikan, persentase terendah pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun terdapat di kelompok kuintil menengah bawah (68,8%).

Tabel 15.23 Persentase anak perempuan umur 0-11

tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Pernah disunat

Pendidikan KK: Tidak pernah sekolah 76,9

Tidak Tamat SD/MI 78,4 Tamat SD/MI 76,9 Tamat SMP/MTS 71,6 Tamat SMA/MA 71,5 Tamat D1-D3/PT 82,3

Pekerjaan KK: Tidak bekerja 75,0

Pegawai 73,1 Wiraswasta 74,3 Petani/nelayan/buruh 74,8 Lainnya 78,8

Tempat Tinggal: Perkotaan 75,3

Pedesaan 73,9 Indeks Kepemilikan:

Terbawah 76,1 Menengah bawah 68,8 Menengah 73,7 Menengah atas 77,0 Teratas 76,3

Page 178: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

147

BAB 16. STATUS GIZI

Tjetjep S Hidayat dan Sri Prihatini

Uraian status gizi terdiri dari: (1) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5 – 18 tahun; (3) status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko tinggi (risti). Selain itu disajikan juga gambaran kecenderungan status gizi hasil dari Riskesdas 2007, 2010, dan 2013. Informasi status gizi secara lengkap disajikan di buku 2: Riskesdas 2013 Provinsi Riau dalam angka halaman 290 sampai dengan 320.

16.1 Status Gizi Anak Balita

1. Cara penilaian status gizi anak balita

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.

Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut :

a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/U :

Gizi Buruk : Zscore < -3,0 Gizi Kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0 Gizi Baik : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 Gizi Lebih : Zscore > 2,0

b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:

Sangat pendek : Zscore <-3,0 Pendek : : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore ≤-2,0

c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB:

Sangat kurus : Zscore <-3,0 Kurus : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 Gemuk : Zscore > 2,0

d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:

Pendek-kurus : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0 Pendek-normal : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -

2,0 s/d 2,0 Pendek-gemuk : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 TB Normal-kurus : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0 TB Normal-normal : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB antara -

2,0 s/d 2,0 TB Normal-gemuk : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0

Page 179: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

148

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Berdasarkan indikator BB/U:

Prevalensi gizi buruk : (S Balita gizi buruk/S Balita) x 100% Prevalensi gizi kurang : (S Balita gizi kurang/S Balita) x 100% Prevalensi gizi baik : (S Balita gizi baik/S Balita) x 100% Prevalensi gizi lebih : (S Balita gizi lebih/S Balita) x 100%

Berdasarkan indikator TB/U

Prevalensi sangat pendek : (S Balita sangat pendek/S Balita) x 100% Prevalensi pendek : (S Balita pendek/S Balita) x 100% Prevalensi normal : (S Balita normal/S Balita) x 100%

Berdasarkan indikator BB/TB:

Prevalensi sangat kurus : (S Balita sangat kurus/S Balita) x 100% Prevalensi kurus : (S Balita kurus/S Balita) x 100% Prevalensi normal : (S Balita normal/S Balita) x 100% Prevalensi gemuk : (S Balita gemuk/S Balita) x 100%

Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

Prevalensi pendek-kurus : (S Balita pendek-kurus/ S Balita) x 100% Prevalensi pendek-normal : (S Balita pendek-normal/S Balita) x 100% Prevalensi pendek-gemuk : (S Balita pendek-gemuk/S Balita) x 100% Prevalensi TB normal-kurus : (S Balita normal-kurus/S Balita) x 100% Prevalensi TB normal-normal : (S Balita normal-normal/S Balita) x 100% Prevalensi TB normal-gemuk : (S Balita normal-gemuk/S Balita) x 100%

Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:

Berat Kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight) Kependekan : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting) Kekurusan : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)

Sasaran berat-kurang pada MD/G tahun 2015 yaitu 15,5 persen. Menurut WHO 2010, dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat adalah menurut indikator tersebut adalah:

a. Prevalensi berat-kurang (BB/U) serius bila antara 20,0 - 29,0 persen, dan prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen.

b. Prevalensi tinggi bila kependekan (TB/U) sebesar 30 – 39 persen, dan prevalensi sangat tinggi bila ≥40 persen.

c. Prevalensi kekurusan (BB/TB) antara 10,0- 14,0 persen sebagai masalah serius, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen.

2. Sifat-sifat indikator status gizi

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).

Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam jangka waktu lama sejak usia bayi sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek.

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang

Page 180: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

149

sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker).

Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek.

3. Status gizi balita menurut indikator BB/U

Pada Tabel 16.1 menyajikan prevalensi status gizi balita BB/U menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi gizi buruk sebesar 9 persen dan 13,5 persen gizi kurang. Prevalensi gizi buruk tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hulu yaitu sebesar 22.0 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 5,6 persen . Sementara prevalensi gizi lebih sebesar 6,7 persen , prevalensi tertinggi terlihat di kota Pekanbaru dan terendah di Rokan Hilir.

Tabel 16.1 Prevalensi status gizi balita BB/U menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi BB/U

Kabupaten/Kota Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih (%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 6,5 16,1 73,5 3,9 Indragiri Hulu 20,2 15,2 57,4 7,2 Indragiri Hilir 11,4 20,7 62,2 5,7 Pelalawan 8,6 14,5 68,6 8,2 Siak 7,5 16,0 69,7 6,9 Kampar 6,6 13,7 70,7 9,0 Rokan Hulu 10,3 13,2 70,5 5,9 Bengkalis 6,3 15,4 75,0 3,3 Rokan Hilir 11,5 11,1 75,4 2,1 Kepulauan Meranti 12,1 15,2 68,3 4,4 Kota Pekanbaru 5,6 5,8 75,9 12,8 Kota Dumai 5,9 10,7 79,0 4,5

Riau 9,0 13,5 70,8 6,7

4. Status gizi balita menurut indikator TB/U Pada Tabel 16.2 menyajikan prevalensi status gizi balita TB/U menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi anak pendek (sangat pendek dan pendek) sebesar 34,1 persen. Prevalensi anak pendek tertinggi ditemukan di kabupaten Rokan Hulu yaitu sebesar 56.0 persen dan terendah di kota Dumai sebesar 34,1 persen .

Page 181: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

150

Tabel 16.2 Prevalensi status gizi balita TB/U menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi TB/U

Kabupaten/Kota Sangat pendek Pendek Normal

(%) (%) (%)

Kuantan Singingi 17,9 20,8 61,3 Indragiri Hulu 20,2 20,3 59,6 Indragiri Hilir 16,7 23,2 60,1 Pelalawan 26,4 18,0 55,6 Siak 10,6 13,8 75,6 Kampar 16,1 15,9 68,0 Rokan Hulu 39,1 19,9 41,0 Bengkalis 12,9 14,0 73,1 Rokan Hilir 16,9 16,8 66,3 Kepulauan Meranti 20,7 17,0 62,3 Kota Pekanbaru 22,6 12,1 65,4 Kota Dumai 21,2 12,9 65,9

Riau 20,0 16,8 63,2

5. Status gizi balita menurut indikator BB/TB

Pada Tabel 16.3 menyajikan prevalensi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi anak kurus (sangat kurus dan kurus) sebesar 15,6 persen. Prevalensi anak kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hulu yaitu sebesar 25,0 persen dan terendah di kabupaten Pelalawan sebesar 11,0 persen . Prevalensi balita gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 14,3 persen dan prevalensi tertinggi adalah di kota Pekanbaru.

Tabel 16.3 Prevalensi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi BB/TB

Kabupaten/Kota Sangat kurus Kurus Normal Gemuk

(%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 5,6 10,9 71,8 11,7 Indragiri Hulu 16,5 8,5 59,1 16,0 Indragiri Hilir 9,4 7,3 74,7 8,7 Pelalawan 6,1 5,0 65,9 23,0 Siak 7,0 13,2 68,5 11,3 Kampar 8,0 4,6 76,8 10,6 Rokan Hulu 7,0 8,3 60,3 24,4 Bengkalis 4,2 8,3 81,6 5,9 Rokan Hilir 4,8 10,7 75,8 8,7 Kepulauan Meranti 6,5 11,0 71,7 10,8 Kota Pekanbaru 4,2 11,7 59,2 24,9 Kota Dumai 5,5 7,5 71,9 15,2

Riau 6,9 8,7 70,2 14,3

Page 182: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

151

6. Status gizi balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

16.2 Status Gizi Anak Umur 5-18 Tahun

Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).

Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun, dihitung nilai Zscore TB/U dan IMT/U masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut: Klasifikasi indikator TB/U:

Sangat pendek : Zscore< -3, Pendek : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Zscore≥ -2,0 Klasifikasi indikator IMT/U:

Sangat kurus : Zscore< -3,0 Kurus : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Zscore≥-2,0 s/d ≤1,0 Gemuk : Zscore> 1,0 s/d ≤ 2,0 Obesitas : Zscore> 2,0 Status gizi dewasa adalah penilaian status gizi penduduk berumur ≥18 tahun yang dinilai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m) kuadrat. Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi adalah: Kategori kurus : IMT < 18,5 Kategori normal : IMT ≥18,5 - <24,9 Kategori berat badan lebih : IMT ≥25,0 - <27,0 Kategori obesitas : IMT ≥27,0. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit degeneratif/kronis. Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan dengan LP >80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005).

Informasi masalah kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun dan wanita hamil, berdasarkan indikator lingkar lengan atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas nilai rerata LILA<23,5 cm. Wanita hamil berisiko tinggi (risti) yaitu wanita hamil dengan tinggi badan <150 cm (WHO, 2007). 1. Status gizi anak umur 5-12 tahun

Pada Tabel 16.4 menyajikan prevalensi status gizi TB/U anak umur 5-12 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi anak 5-12 tahun pendek (sangat pendek dan pendek ) sebesar 28,8 persen. Prevalensi anak pendek tertinggi ditemukan di kabupaten Rokan Hulu yaitu sebesar 39,6 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 16,6 persen .

Page 183: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

152

Tabel 16.4 Prevalensi status gizi TB/U umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi menurut TB/U

Kabupaten/Kota Sangat pendek Pendek Normal

(%) (%) (%)

Kuantan Singingi 9,6 15,6 74,8 Indragiri Hulu 11,0 17,7 71,3 Indragiri Hilir 12,9 17,7 69,4 Pelalawan 14,7 8,5 76,8 Siak 7,6 14,9 77,5 Kampar 11,8 12,8 75,4 Rokan Hulu 24,9 14,7 60,5 Bengkalis 5,4 19,0 75,6 Rokan Hilir 13,0 20,8 66,2 Kepulauan Meranti 10,1 19,6 70,3 Kota Pekanbaru 8,9 7,7 83,4 Kota Dumai 14,3 13,3 72,4

Riau 12,1 14,7 73,2

Pada Tabel 16.5 menyajikan prevalensi status gizi IMT/U anak umur 5-12 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi anak kurus (sangat kurus dan kurus) sebesar 13,7 persen. Prevalensi anak kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebesar 21,3 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 9,3 persen . Prevalensi anak umur 5-12 tahun gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 10,6 persen dan prevalensi tertinggi adalah di Pelalawan (14,8%) . Prevalensi obesitas ditemukan sebesar 7,2 persen, tertinggi ditemukan di kabupaten Rokan Hulu (12,3%)

Tabel 16.5 Prevalensi status gizi IMT/U umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi IMT/U

Kabupaten/Kota Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas (%) (%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 4,4 5,2 67,8 13,6 9,0 Indragiri Hulu 11,8 9,2 62,8 9,8 6,5 Indragiri Hilir 9,1 12,2 68,3 7,4 3,0 Pelalawan 3,8 5,7 69,7 14,8 6,0 Siak 4,6 10,1 63,7 11,9 9,6 Kampar 3,2 5,4 72,9 13,2 5,3 Rokan Hulu 6,9 8,0 59,0 13,9 12,3 Bengkalis 1,9 12,2 74,5 5,8 5,7 Rokan Hilir 5,5 8,3 76,5 6,0 3,8 Kepulauan Meranti 5,5 11,9 70,1 8,1 4,4 Kota Pekanbaru 4,4 4,9 65,8 12,7 12,1 Kota Dumai 6,8 8,6 66,0 9,9 8,7

Riau 5,5 8,2 68,5 10,6 7,2

Page 184: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

153

2. Status gizi anak umur 13-15 tahun Pada Tabel 16.6 menyajikan prevalensi status gizi TB/U anak remaja umur 13-15 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi remaja pendek (sangat pendek dan pendek ) sebesar 36,5 persen. Prevalensi remaja pendek tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebesar 55,2 persen dan terendah di Kuantan singingi sebesar 19,8 persen .

Tabel 16.6 Prevalensi status gizi TB/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi TB/U

Kabupaten/Kota Sangat pendek Pendek Normal (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 7,3 12,5 80,2 Indragiri Hulu 24,3 19,4 56,3 Indragiri Hilir 27,1 28,1 44,8 Pelalawan 20,2 19,8 59,9 Siak 23,9 19,8 56,3 Kampar 16,0 21,4 62,6 Rokan Hulu 16,3 19,7 64,0 Bengkalis 3,8 20,5 75,7 Rokan Hilir 16,0 22,5 61,4 Kepulauan Meranti 9,8 25,8 64,4 Kota Pekanbaru 9,7 18,8 71,5 Kota Dumai 12,0 16,6 71,5

Riau 15,7 20,8 63,5

Pada Tabel 16.7 menyajikan prevalensi status gizi IMT/U anak remaja umur 13-15 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi remaja kurus (sangat kurus dan kurus ) sebesar 11,5 persen. Prevalensi remaja kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 16,0 persen dan terendah di Rokan Hulu sebesar 4,6 persen . Prevalensi anak umur 13-18 tahun gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 8,3 persen prevalensi obesitas sebesar 1,7 persen.

Tabel 16.7 Prevalensi status gizi IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Status gizi IMT/U

Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas

(%) (%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 5,0 6,8 80,1 5,5 2,5 Indragiri Hulu 4,6 8,4 74,8 7,5 4,8 Indragiri Hilir 4,0 10,7 77,7 6,8 ,8 Pelalawan 1,2 4,8 79,2 12,2 2,6 Siak 6,9 6,8 78,6 4,8 2,8 Kampar 3,4 8,5 75,8 10,6 1,7 Rokan Hulu 3,1 1,5 83,8 9,5 2,1 Bengkalis 1,8 7,8 81,1 7,0 2,3 Rokan Hilir 2,2 11,7 78,9 6,2 1,0 Kepulauan Meranti 7,9 8,1 76,1 6,9 1,0 Kota Pekanbaru 2,3 9,5 77,8 10,3 ,1 Kota Dumai 2,1 5,7 79,3 10,3 2,7

Riau 3,4 8,1 78,5 8,3 1,7

Page 185: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

154

3. Status gizi anak umur 16-18 tahun Pada Tabel 16.8 menyajikan prevalensi status gizi TB/U anak remaja umur 16-18 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi remaja umur 16-18 tahun pendek (sangat pendek dan pendek ) sebesar 31,8 persen. Prevalensi remaja pendek tertinggi ditemukan di kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebesar 43,4 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 14,6 persen .

Tabel 16.8 Prevalensi status gizi TB/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Status gizi TB/U

Sangat pendek Pendek Normal Jumlah

(%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 5,2 24,3 70,5 100 Indragiri Hulu 17,3 25,8 56,9 100 Indragiri Hilir 17,1 26,3 56,6 100 Pelalawan 14,1 22,8 63,1 100 Siak 1,7 40,8 57,5 100 Kampar 5,7 26,2 68,1 100 Rokan Hulu 16,4 19,3 64,3 100 Bengkalis 5,2 21,1 73,8 100 Rokan Hilir 4,2 30,2 65,6 100 Kepulauan Meranti 11,4 32,1 56,5 100 Kota Pekanbaru 3,4 11,2 85,4 100 Kota Dumai 4,3 16,1 79,5 100

Riau 8,3 23,5 68,3 100

Pada Tabel 16.9 menyajikan prevalensi status gizi IMT/U anak remaja umur 16-18 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi remaja kurus (sangat kurus dan kurus ) sebesar 7,9 persen. Prevalensi remaja kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 12,3 persen dan terendah di kota Dumai sebesar 3,0 persen . Prevalensi remaja umur 16-18 tahun gemuk adalah sebesar 2,4 persen dan obesitas sebesar 0,7 persen

Page 186: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

155

Tabel 16.9 Prevalensi status gizi IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Status gizi IMT/U

Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas

(%) (%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 5,0 12,4 75,2 5,3 2,1 Indragiri Hulu 1,8 11,2 85,0 ,9 1,2 Indragiri Hilir 1,3 5,9 89,6 3,3 Pelalawan 2,1 ,9 90,8 5,8 ,4 Siak 4,5 3,8 88,6 2,1 1,0 Kampar 1,8 5,9 88,1 3,4 ,8 Rokan Hulu 1,2 3,3 93,4 1,3 ,8 Bengkalis 1,0 9,7 82,8 4,0 2,4 Rokan Hilir 3,5 5,1 90,3 1,1 Kepulauan Meranti 6,2 6,1 83,3 4,4 Kota Pekanbaru ,3 5,4 85,1 9,2 Kota Dumai ,6 2,4 90,8 4,4 1,8

Riau 2,0 5,9 89,0 2,4 0,7

16.3 Status Gizi Dewasa

1. Status gizi dewasa (> 18 tahun) menurut IMT

Pada Tabel 16.10 menyajikan prevalensi status gizi IMT/U dewasa umur >18 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi penduduk dewasa kurus sebesar 8,8 persen. Prevalensi penduduk dewasa kurus tertinggi ditemukan di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 17,9 persen dan terendah di kota Pekanbaru sebesar 3,7 persen . Prevalensi penduduk dewasa dengan berat badan lebih adalah sebesar 13,6 persen dan obesitas sebesar 14,1 persen

Tabel 16.10 Proporsi status gizi penduduk dewasa (>18 Tahun) berdasarkan kategori IMT menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Status gizi menurut IMT

Kabupaten/Kota Kurus Normal BB Lebih Obesitas

(%) (%) (%) (%)

Kuantan Singingi 11,3 61,0 12,6 15,1 Indragiri Hulu 11,6 67,4 8,7 12,3 Indragiri Hilir 14,9 67,6 9,8 7,7 Pelalawan 6,7 65,7 13,3 14,3 Siak 7,2 60,1 11,9 20,7 Kampar 8,5 67,2 12,1 12,2 Rokan Hulu 9,2 65,2 12,0 13,6 Bengkalis 7,5 60,0 13,2 19,3 Rokan Hilir 8,8 64,3 10,3 16,6 Kepulauan Meranti 17,9 63,3 8,7 10,1 Kota Pekanbaru 3,7 69,3 14,8 12,1 Kota Dumai 8,8 63,6 13,6 14,1

Riau 8,9 65,4 12,0 13,7

Page 187: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

156

2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP)

Pada Tabel 16.11 menyajikan proporsi obesitas sentral penduduk umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di provinsi Riau , prevalensi obesitas sentral sebesar 27,0 persen. Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan di kota Pekanbaru yaitu sebesar 35,3 persen dan terendah di Rokan Hulu sebesar 14,8 persen .

Tabel 16.11

Proporsi obesitas sentral pada penduduk umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Obesitas sentral

(LP: L > 90, P >80)

Kuantan Singingi 26,2 Indragiri Hulu 23,8 Indragiri Hilir 16,0 Pelalawan 33,7 Siak 31,1 Kampar 32,7 Rokan Hulu 14,8 Bengkalis 29,3 Rokan Hilir 25,3 Kepulauan Meranti 16,2 Kota Pekanbaru 35,3 Kota Dumai 29,6

Riau 27,0

3. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) Tabel 16.12 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (15-49 tahun). Di provinsi Riau prevalensi risiko KEK WUS hamil sebesar 23,5 persen. Prevalensi terendah di Kota Pekanbaru dan prevalensi tertinggi di Kuantan Singingi sebesar 53,4 persen . Sedangkan prevalensi KEK pada WUS tidak hamil sebesar 15,2 persen.

Tabel 16.12 Prevalensi risiko kurang energi kronis penduduk wanita usia subur (WUS) 15 – 49 tahun

menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota

Proporsi risiko KEK (LILA < 23,5 cm)

Wanita hamil Wanita tidak hamil

Kuantan Singingi 53,4 17,4 Indragiri Hulu 21,2 16,4 Indragiri Hilir 28,9 18,6 Pelalawan 2,0 12,8 Siak 48,7 16,1 Kampar 37,1 16,3 Rokan Hulu 3,2 5,0 Bengkalis 43,9 22,5 Rokan Hilir 13,4 20,8 Kepulauan Meranti 31,5 Kota Pekanbaru 4,1 Kota Dumai 14,0 27,2

Riau 23,5 15,2

Page 188: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

157

4. Wanita hamil berisiko tinggi

Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan<150 cm (WHO 2007). Tabel 16.13 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 26,8 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di kabupaten rokan hulu (11,4%) dan tertinggi di kota Dumai (49,9%).

Tabel ‎16.13 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/Kota,

Riau 2013

Kabupaten /Kota Berisiko tinggi

(tinggi badan< 150cm)

Kuantan Singingi 21,9 Indragiri Hulu 23,0 Indragiri Hilir 37,5 Pelalawan 19,6 Siak 39,3 Kampar 17,8 Rokan Hulu 11,4 Bengkalis 40,6 Rokan Hilir 35,9 Kepulauan Meranti 32,1 Kota Pekanbaru 19,0 Kota Dumai 49,9

Riau 28,6

Page 189: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

158

BAB 17. KESEHATAN INDERA

Moqsa Sitanggang dan Nurfi Afriansyah

Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran, Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran), Riskesdas 2013 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, yang dapat diperbandingkan dengan data angka kebutaan hasil Riskesdas 2007, Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan, Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pin-hole) pada responden umur 6 tahun keatasserta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur, Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata (terdapatnya pterygium dan kekeruhan kornea) dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa (terdapatnya katarak) dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light,

Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga pada Riskesdas 2013 meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran, Pengumpulan data morbiditas telinga dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berusia 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden usia 5 tahun keatas yang kooperatif dan tidak tuna wicara, Keutuhan gendang telinga ternyata sulit diamati oleh enumerator, sehingga validitas pemeriksaannya diragukan dan tidak dilaporkan pada buku ini,

Page 190: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

159

17.1 Kesehatan Mata

1. Prevalensi kebutaan dan severe low vision

Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E, peraga yang lebih sederhana daripada Snellen chart dan mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E jauh lebih mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan (Limburg, 2002), sedangkan Snellen chart lebih detail, perlu waktu pemeriksaan lebih lama, dan format pelaporan angka ukuran visus yang lebih rumit.

Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu:

1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA

Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.

Tabel 17.1 memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh menurut kabupaten. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi ditemukan di Bengkalis (5,9%) diikuti Kampar (4,5%), dan Kota Dumai (4,5%).

Tabel 17.1 juga menunjukkan bahwa prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun keatas secara Provinsi sebesar 0,7 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Kuantan Singingi (1,6%), diikuti Indragiri Hilir dan Rokan Hulu (masing-masing 1,2%).. Kabupaten dengan prevalensi severe low vision terendah adalah Pelalawan (0,0%) diikuti oleh Kepulauan Meranti dan Kota Dumai (masing-masing 0,3%).

Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas secara Provinsi adalah 0,4 persen dan prevalensi tertinggi, ditemukan di Kuantan Singingi dan Indragiri Hilir (masing-masing 1,1%) Bengkalis dan Rokan Hilir (masing-masing 0,4%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Indragiri Hulu, Pelalawan, Siak, Rokan Hulu dan Kota Pekanbaru (masing-masing 0,1%) diikuti Kampar, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai (masing-masing 0,2%).

Page 191: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

160

Tabel 17.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Pakai Kacamata/

Lensa kontak Severe Low vision Kebutaan

Kuantan Singingi 3,4 1,6 1,1

Indragiri Hulu 3,2 0,4 0,1

Indragiri Hilir 1,9 1,2 1,1

Pelalawan 1,6 0 0,1

Siak 4,3 0,5 0,1

Kampar 4,5 0,7 0,2

Rokan Hulu 1,8 1,2 0,1

Bengkalis 5,9 0,9 0,4

Rokan Hilir 3,9 0,6 0,4

Kepulauan Meranti 2,8 0,3 0,2

Kota Pekanbaru 4,2 0,5 0,1

Kota Dumai 4,5 0,3 0,2

Riau 3,6 0,7 0,4

Tabel 17.2 menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak dua kali lebih banyak dibanding kelompok petani/nelayan/buruh. Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Responden perempuan cenderung lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak. Makin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan responden, maka makin tinggi pula proporsi responden yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh.

Tabel 17.2 juga menunjukkan kecenderungan prevalensi penderita severe low vision dan kebutaan yang meningkat pesat pada kelompok umur 45 tahun keatas, rata-rata peningkatan sekitar dua kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung lebih tinggi pada perempuan dan pada penduduk perdesaan. Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/buruh juga cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.

Page 192: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

161

Tabel 17.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada

penduduk umur ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Pakai Kaca mata/

Lensa kontak Severe Low vision Kebutaan

Kelompok umur (tahun) 6-14 0,7 0 0 15-24 1,2 0,1 0 25-34 1,4 0,2 35-44 3,9 0,4 0,1 45-54 10,1 1,6 0,6 55-64 16,4 3,7 2,0 65-74 16,8 9,7 5,8 75+ 17,6 12,8 7,3

Jenis kelamin Laki-laki 3,5 0,5 0,3 Perempuan 3,7 1,0 0,4

Pendidikan Tidak sekolah 2,9 1,8 1,5 Tidak Tamat SD/MI/MI 1,8 0,8 0,4 Tamat SD/MI/MI 3,9 1,0 0,4 Tamat SMP/MTS 2,8 0,6 0,3 Tamat SMA/MA 4,4 0,2 0,1 Tamat D1-D3/PT 8,4 0,9 0,1

Pekerjaan Tidak bekerja 3,4 0,9 0,5 Pegawai 7,1 0,5 0,1 Wiraswasta 5,0 0,4 0,2 Petani/nelayan/buruh 3,4 1,2 0,6 Lainnya 3,5 0,8 0,3

Tempat tinggal Perkotaan 4,8 0,6 0,3 Pedesaan 2,8 0,8 0,4

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 1,3 1,0 0,7 Menengah bawah 2,4 0,7 0,4 Menengah 4,1 1,0 0,3 Menengah atas 4,3 0,5 0,1 Teratas 6,0 0,4 0,2

2. Kelainan permukaan mata dan lensa

Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden.

Tabel 17.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium di provinsi Riau adalah sebesar 6,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kepulauan Meranti (13,6%), diikuti Kuantan Singingi (11,0%) dan Siak (10,6%). Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 1,2 persen, diikuti oleh Kota Pekan Baru 3,9 persen.

Prevalensi kekeruhan kornea provinsi adalah 4,5 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Indragiri Hilir (10,2%), diikuti oleh Kepulauan Meranti (10,1%) dan Kuantan Singingi (8,6%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Indragiri Hulu (1,7%) diikuti Kota Dumai (1,9%).

Page 193: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

162

Tabel 17.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut

kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Pterygium Kekeruhan kornea

Kuantan Singingi 11,0 8,6 Indragiri Hulu 1,2 1,7 Indragiri Hilir 6,5 10,2 Pelalawan 6,7 4,0 Siak 10,6 4,2 Kampar 6,9 3,2 Rokan Hulu 6,1 3,3 Bengkalis 9,3 2,4 Rokan Hilir 5,5 4,1 Kepulauan Meranti 13,6 10,1 Kota Pekanbaru 2,9 3,4 Kota Dumai 3,6 1,9

Riau 6,3 4,5

Tabel 17.4 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid.

Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak terkait dengan faktor pertambahan usia. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid.

Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (7,6% untuk pterygium dan 9,2% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (13,3% untuk pterygium dan 9,5% untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.

Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan.

Page 194: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

163

Tabel 17.4 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut

karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Morbiditas permukaan mata

Pterygium Kekeruhan kornea

Kelompok umur (tahun) 0-4 0,6 0,6 5-14 0,6 0,9 15-24 1,7 1,6 25-34 4,5 2,6 35-44 10,2 5,0 45-54 17,6 10,6 55-64 28,4 21,5 65-74 32,9 38,5 75+ 32,2 41,6

Jenis kelamin Laki-laki 6,8 4,6 Perempuan 5,8 4,5

Pendidikan Tidak sekolah 7,6 9,2 Tidak Tamat SD/MI/MI 5,8 5,6 Tamat SD/MI/MI 9,9 6,9 Tamat SMP/MTS 6,5 3,1 Tamat SMA/MA 6,2 3,4 Tamat D1-D3/PT 6,2 4,5

Pekerjaan Tidak bekerja 5,7 4,6 Pegawai 8,0 4,4 Wiraswasta 9,0 4,7 Petani/nelayan/buruh 13,3 9,5 Lainnya 10,3 7,5

Tempat tinggal Perkotaan 5,9 3,5 Pedesaan 6,6 5,2

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 7,5 7,2 Menengah bawah 6,2 4,8 Menengah 6,8 4,3 Menengah atas 6,7 3,6 Teratas 4,5 2,7

Pada tabel 17.5 terlihat bahwa prevalensi katarak di propinsi Riau sebesar 1,9 persen, prevalensi tertinggi terlihat di Indragiri Hilir (3,1%) diikuti oleh Pelalawan (3,0%) dan Kuantan Singingi (2,7%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Indragiri Hulu (0,9%) diikuti Rokan Hulu dan Rokan Hilir (masing-masing 1,1%). Sebagian besar penduduk dengan katarak di Riau belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/ direhabilitasi. Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya.

Page 195: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

164

Tabel 17.5 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk

semua umur menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Katarak Alasan belum operasi

Tidak tahu kalau katarak

Tidak mampu membiayai

Takut operasi

Kuantan Singingi 2,7 21,7 44,9 5,8

Indragiri Hulu 0,9 23,8 23,8 4,8

Indragiri Hilir 3,1 32,1 31,0 8,3

Pelalawan 3,0 45,1 8,5 7,0

Siak 1,4 80,0 2,5

Kampar 1,2 25,8 48,4 12,9

Rokan Hulu 1,1 33,3 26,2 19,0

Bengkalis 2,3 54,7 14,1 9,4

Rokan Hilir 1,1 11,1 27,8 8,3

Kepulauan Meranti 1,9 36,1 5,6 13,9

Kota Pekanbaru 2,1 12,9 17,7

Kota Dumai 1,7 33,3 6,7 35,6

Riau 1,9 32,0 20,2 11,6

17.2 Kesehatan Telinga

Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara.

Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi.

1. Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian

Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut:

Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” pendengaran NORMAL.

Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2” gangguan pendengaran ringan.

Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3 gangguan pendengaran sedang.

Page 196: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

165

Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “4” ketulian.

Pada table 17.6. menunjukkan bahwa di provinsi Riau , prevalensi gangguan pendengaran adalah sebesar 2,2 persen . Prevalensi tertinggi terdapat di Rokan Hulu (4,2%), dan terendah di Kota Dumai (0,6%). Terdapat empat kabupaten dengan prevalensi gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata provinsi (2,2%). Prevalensi ketulian Riau sebesar 0,13 persen. Kabupaten dengan prevalensi ketulian di atas rata-rata nasional sejumlah 3 kabupaten dan prevalensi ketulian tertinggi ditemukan di Kepulauan Meranti (0,36%), sedangkan yang terendah di Bengkalis (0,01%).

Tabel 17.6

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Gangguan pendengaran Ketulian

Kuantan Singingi 1,9 0,05 Indragiri Hulu 2,0 Indragiri Hilir 3,4 0,55 Pelalawan 1,3 Siak 1,0 Kampar 1,9 0,10 Rokan Hulu 4,2 0,20 Bengkalis 1,0 0,01 Rokan Hilir 2,3 0,02 Kepulauan Meranti 3,1 0,36 Kota Pekanbaru 2,1 0,12 Kota Dumai 0,6 0,09

Riau 2,2 0,13

Dalam Riskesdas 2013 di propivinsi Riau diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (40,4%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (17,8%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 15-24 tahun dan 5-14 tahun (masing-masing 0,9% dan 1,0%) sesuai Tabel 17.7 Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada umur 65-74 tahun (1,86%), Prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 15-24 tahun dan 5-14 tahun (masing-masing 0,02%dan 0,07). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (2,4%:1,9%), begitu juga prevalensi ketulian prevalensi perempuan 0,15% dan laki-laki 0,11%.

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (4,8% gangguan pendengaran dan 0,50% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden petani/nelayan/buruh memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 3,0%, disusul oleh tidak bekerja sebesar 2,4%. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (1,2%). Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden petani/nelayan/buruh (0,21%) dan terendah pada tidak bekerja (0,17%).

Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,0% dan prevalensi ketulian 0,08%. Prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 2,2% dan prevalensi ketulian 0,17%.

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin sedikit prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan

Page 197: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

166

terbawah ditemukan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (3,2%) dan prevalensi ketulian tertinggi (0,35%). Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan teratas (1,6%). Prevalensi ketulian terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan menengah atas (0,03%)

Tabel 17.7 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes

konversasi menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Gangguan pendengaran Ketulian

Kelompok umur (tahun) 5-14 15-24 1,0 0,07 25-34 0,9 0,02 35-44 1,2 45-54 1,9 0,12 55-64 2,6 0,32 65-74 6,2 0,36 75+ 17,8 1,86

Jenis kelamin 40,4 1,12 Laki-laki Perempuan 1,9 0,11

Pendidikan 2,4 0,16 Tidak sekolah Tidak Tamat SD/MI/MI 4,8 0,50 Tamat SD/MI/MI 2,6 0,34 Tamat SMP/MTS 2,7 0,12 Tamat SMA/MA 1,2 0,01 Tamat D1-D3/PT 1,4 0,02

Status pekerjaan 1,4 Tidak bekerja Pegawai 2,4 0,17 Wiraswasta 1,2 Petani/nelayan/buruh 1,9 0,04 Lainnya 3,0 0,21

Tempat tinggal 2,2 Perkotaan Pedesaan 2,0 0,08

Kuintil indeks kepemilikan 2,2 0,17 Terbawah Menengah bawah 3,2 0,35 Menengah 2,4 0,22 Menengah atas 1,9 Teratas 1,7 0,03

3. Morbiditas Telinga Lainnya

Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel retroautrikular,serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung.

Page 198: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

167

Table 17.8 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dengan serumen di provinsi Riau sebesar 12,1 persen. Prevalensi tertinggi terdapat di Kampar (33,5%) dan terendah di Kota Pekanbaru (1,3%).

Tabel 17.8

Prevalensi morbiditas telinga lainnya pada penduduk umur ≥2 tahun menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Serumen Sekret dalam liang

telinga Abses/fistel

Retroaurikular

Kuantan Singingi 15,3 0,4 0,1 Indragiri Hulu 10,6 0,3 0 Indragiri Hilir 15,3 0,9 0,1 Pelalawan 8,8 0,2 0,1 Siak 9,6 0,8 0,2 Kampar 33,5 0 0,1 Rokan Hulu 2,2 1,1 0,1 Bengkalis 13,4 0,4 0 Rokan Hilir 8,1 0,3 0,1 Kepulauan Meranti 20,4 0,4 0,2 Kota Pekanbaru 1,3 0,1 0 Kota Dumai 11,9 0,3 0

Riau 12,1 0,4 0,1

Tabel 17.9 menunjukkan bahwa kelompok umur 75 tahun ke atas mempunyaii prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen, sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 22,4%; 3,0%; dan 1,2%. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (7,7%), 15-24 tahun dan 25-34 tahun untuk sekret (masing-masing 0,2%), dan 2-4,5-14,25-34 dan 55-64 tahun untuk abses/fistel retroaurikular.

Page 199: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

168

Tabel 17.9 Prevalensi morbiditas telinga lainnya pada penduduk umur ≥2 tahun menurut karakteristik,

Riau 2013

Karakteristik Serumen Sekret dalam liang

Telinga Abses/fistel

retroaurikular

Kelompok umur (tahun) 2-4 15,4 0,3 0 5-14 14,6 0,5 0 15-24 7,7 0,2 0,1 25-34 9,5 0,2 0 35-44 11,5 0,4 0,1 45-54 13,3 0,7 0,1 55-64 18,3 1,1 0 65-74 19,3 2,0 0,2 75+ 22,4 3,0 1,2

Jenis kelamin Laki-laki 13,1 0,5 0,1 Perempuan 11,0 0,4 0,1

Pendidikan Tidak sekolah 16,7 1,3 0,1 Tidak Tamat SD/MI/MI 16,6 0,6 0,1 Tamat SD/MI/MI 12,7 0,4 0,1 Tamat SMP/MTS 10,3 0,3 0,1 Tamat SMA/MA 7,8 0,3 0 Tamat D1-D3/PT 6,0 0,2 0,1

Pekerjaan Tidak bekerja 10,4 0,3 0,1 Pegawai 5,7 0,3 0 Wiraswasta 11,1 0,3 0 Petani/nelayan/buruh 16,5 0,7 0,1 Lainnya 12,8 0,5 0

Tempat tinggal Perkotaan 10,3 0,3 0 Pedesaan 13,3 0,5 0,1

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 16,0 0,9 0,1 Menengah bawah 12,4 0,5 0,1 Menengah 12,3 0,4 0 Menengah atas 11,0 0,2 0 Teratas 8,7 0,2 0

Page 200: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

169

BAB 18. PEMERIKSAAN IODIUM GARAM

Sri Prihatini dan Nurfi Afriansyah

1. Status Iodium

Status iodium dilakukan berdasarkan pemeriksaan seluruh sampel garam RT dengan metoda tes cepat meneteskan Iodina ke garam. Metoda tes cepat dilakukan dengan cara meneteskan larutan RTK pada sampel garam yang digunakan RT. Rumah tangga dinyatakan mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium (30 ppm KIO3), bila hasil tes menunjukkan warna biru/ungu tua; mengonsumsi garam yang mengandung kurang iodium bila hasil tes menunjukkan warna biru/ungu muda; dan dinyatakan mengonsumsi garam tidak mengandung iodium bila hasil tes tidak menunjukkan perubahan warna. Tabel.18.1 menunjukkan bahwa di provinsi Riau sebesar 88,0 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 9,1persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan kurang iodium dan 2,9 persen RT mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium. Kabupaten dengan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium tertinggi adalah Kepulauan Meranti dan Kota Pekanbaru sebesar 96 persen dan terendah kabupaten Kuantan Singingi sebesar 69,1 persen . Angka ini masih belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beriodium untuk semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium (WHO/UNICEF ICCIDD, 2010).

Tabel 18.1

Proporsi rumah-tangga mengonsumsi garam iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut kabupaten/kota, Riau 2013

Kabupaten/Kota Iodium dalam garam

Cukup Kurang Tidak ada

Kuantan Singingi 69,1 29,0 1,9 Indragiri Hulu 87,0 11,8 1,2 Indragiri Hilir 73,1 10,1 16,8 Pelalawan 88,6 7,4 4,0 Siak 93,9 4,4 1,7 Kampar 85,4 14,0 0,5 Rokan Hulu 92,4 7,0 0,6 Bengkalis 95,0 4,8 0,2 Rokan Hilir 93,4 4,7 1,9 Kepulauan Meranti 96,8 1,6 1,6 Kota Pekanbaru 96,1 3,7 0,2 Kota Dumai 79,0 21,0 0

Riau 88,0 9,1 2,9

Tabel 18.2 menunjukkan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut karakteristik. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala RT, semakin tinggi pendidikan kepala RT, maka semakin tinggi pula proporsi garam yang mengandung cukup iodium. Berdasarkan status pekerjaan kepala RT, proporsi tertinggi pada status pekerjaan pegawai dan terendah pada petani/nelayan/buruh. Proporsi di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.

Page 201: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

170

Tabel 18.2 Prpoporsi rumah-tangga yang mengonsumsi garam mengandung cukup iodium berdsarkan

hasil tes cepat menurut karakteristik, Riau 2013

Karakteristik Iodium dalam garam

Cukup Kurang Tidak ada

Tempat Tinggal: Perkotaan 92,8 6,1 1,2 Pedesaan 85,1 10,9 4,0

Pendidikan: Tidak sekolah 82,7 11,1 6,2 Tidak Tamat SD/MI 84,3 10,7 4,9 Tamat SD/MI 85,3 10,5 4,2 Tamat SMP/MTS 88,2 8,9 2,8 Tamat SMA/MA 91,5 7,7 0,8 Tamat D1-D3/PT 92,2 5,9 1,9

Pekerjaan: Tidak berkerja 89,5 8,2 2,3 Pegawai 92,5 5,6 1,9 Wiraswasta 90,2 8,3 1,5 Petani/nelayan/buruh 84,1 11,3 4,6 Lainnya 88,9 8,8 2,2

Indeks Kepemilikan: Terbawah 75,0 12,6 12,4 Menengah bawah 86,4 10,5 3,1 Menengah 89,1 9,2 1,7 Menengah atas 91,4 7,7 0,9 Teratas 91,5 7,6 0,9

Page 202: Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Prov Riau

171

LAMPIRAN

1) SK Menkes untuk Riskesdas 2013 2) SK Korwil 3) Kuesioner Rumah Tangga (RKD13.RT) 4) Kuesioner Individu (RKD13.IND) 5) Persetujuan Etik 6) Informed consent 7) Rekomendasi Penelitian