PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ...Cronbach dan diperoleh hasil 0,928 dari 42 item dengan...
Transcript of PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ...Cronbach dan diperoleh hasil 0,928 dari 42 item dengan...
-
PERBEDAAN TINGKAT EMPATI PADA ORANG DEWASA YANG
MEMELIHARA HEWAN DI MASA KECIL DENGAN ORANG DEWASA
YANG TIDAK PERNAH MEMELIHARA HEWAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Ikma Edewelma
NIM: 139114145
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
MOTTO
Good Things, Take Time
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
LEMBAR PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah memberkati, menyertai dan
menjadi sumber kekuatanku.
Keluarga, saudara, anjingku dan sugar gliderku tersayang yang sudah
memberikanku semangat untuk melalui hal-hal yang sulit untuk kuhadapi.
Sahabat-sahabatku yang senantiasa menghiburku dan mendengarkan keluh
kesahku.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PERBEDAAN TINGKAT EMPATI PADA ORANG DEWASA YANG
MEMELIHARA HEWAN DI MASA KECIL DENGAN ORANG DEWASA
YANG TIDAK PERNAH MEMELIHARA HEWAN
Ikma Edewelma
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat empati antara
orang dewasa yang memelihara hewan di masa kecil dengan orang dewasa yang
tidak pernah memelihara hewan. Hipotesis yang diajukan yaitu tingkat empati
pada orang dewasa yang memelihara hewan di masa kecil lebih tinggi jika
dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak pernah memelihara hewan. Subjek
penelitian ini berjumlah 322 orang yang terdiri dari 161 orang dewasa yang
memelihara hewan di masa kecil dan 161 orang dewasa yang tidak pernah
memelihara hewan. Data diperoleh dengan menggunakan skala empati. Pengujian
realibilitas skala empati dengan menggunakan koefisien realibilitas Alpha
Cronbach dan diperoleh hasil 0,928 dari 42 item dengan rentang indeks
diskriminasi aitem total antara 0,306 hingga 0,714. Data dianalisis menggunakan
Uji Mann-Whitney. Hasil menyatakan nilai p < 0,05 yaitu 0,003 < 0,05. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat empati yang signifikan
pada orang dewasa yang memelihara hewan di masa kecil bila dibandingkan
dengan orang yang tidak pernah memelihara hewan, dimana orang dewasa yang
memelihara hewan di masa kecil memiliki tingkat empati yang lebih tinggi, dilihat
dari perbandingan dengan nilai meanorang dewasa yang tidak pernah memelihara
hewan (125,80 > 122,38).
Kata kunci: empati, memelihara hewan, tidak memelihara hewan.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
THE DIFFERENCE OF EMPATHY DEGREE BETWEEN ADULT WHO
HAVE A PET AT CHILDHOOD AND ADULT WHO NEVER HAVE A
PET
Ikma Edewelma
ABSTRACT
This research was aimed to seek for the difference of empathy degree
between adult who have a pet at childhood and adult who never have a pet. The
hypothesis that proposed was that the empathy degree between adult who have a
pet at childhood was higher than who never have a pet. Subject of this research
was 322 people which consist of 161 adult who have a pet at childhood and 161
adult who never have a pet. Empathy scale was used as the data collection of this
research. The reliability of the empathy scale was verified by using reliability
coefficient method Alpha Cronbach and the result found was 0,928 from 42 items
with total index discrimination item range was 0,306 until 0,714. Data was
analyzed using Mann-Whitney test. The result found that p
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat dan menyertai sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di
Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Peneliti juga
menyadari bahwa banyak pihak lain yang memberikan kontribusi membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Titik Kristiyani, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Monica Eviandaru M., M.App.Psych., Ph.D. selaku Kepala Program Studi
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
menyediakan waktu untuk membimbimbing dan mengarahkan penulis
untuk mengerjakan skripsi ini.
4. Dosen Penguji yang telah memberikan waktunya untuk membimbing
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Robertus Landung Eko Prihatmoko M.Psi dan Drs. Hadrianus Wahyudi
M.Si yang telah menjadi dosen pembimbing akademik semasa
perkuliahan.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
6. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah mengajar serta mendidik penulis selaku mahasiswa Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
7. Ibu Nanik, Mas Gandung dan Mas Muji selaku staff Psikologi yang telah
memberikan banyak bantuan selama masa perkuliahan.
8. Kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menyertai dan
memberkatiku.
9. Kepada kedua orang tua, om, tante, pakdhe, budhe, seluruh saudara, terima
kasih sudah memotivasi dan memberikan dukungan serta menjadi sumber
semangat, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Kepada para 5 CM / 5 Poin, yaitu Samuel, Randy, Fena dan Zerlinda,
terima kasih sudah memberikan banyak bantuan terkait dalam bidang
akademis maupun non akademis. Terima kasih sudah memberikan banyak
penghiburan dan menjadi tempat untuk berbagi kisah selama ini.
11. Kepada Rosario Wendy, sahabat baikku yang sudah membantu banyak hal
dalam pembuatan skripsi ini dan juga Syane yang sudah membantu untuk
menyebarkan kuisioner.
12. Untuk Karina, Dewi, Peni, Devina, Estu, Hans, Claudia, Putri (VOC),serta
seluruh angkatan 2013 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, yang sudah banyak membantu dalam proses pengerjaan
skripsi dan juga memberikan semangat agar skripsi cepat selesai.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
13. Untuk Erlinda yang menemani dan mengantarku untuk memenuhi keperluan
pendaftaran ujian, serta hanifa, shela & dila yang memberikanku semangat
dan dukungan.
14. Untuk Dhila ichi yang sudah membantu menyebarkan kuisioner dan
mengajakku refreshing selama di Jogja.
15. Untuk saudaraku Mas Timot, yang sudah memotivasiku agar segera
menyelesaikan skripsi dan telah membantu menyebarkan kuesioner.
16. Untuk UNSecret yang menjadi media penyebaran kuesioner online.
17. Untuk teman-teman yang telah berbaik hati untuk membantu menyebarkan
dan mengisi kuesioner.
18. Untuk Dog Lovers Solo dan Golden RetrieverGroup Indonesia yang telah
memberikan ijin untuk penyebaran kuesioner.
19. Untuk KPSGI (Komunitas Pecinta Sugar Glider Solo) yang telah
memberikan dukungan dalam penulisan skripsi.
20. Untuk dedek Toshi dan Mas Asus yang telah membantu dalam proses
penyelesaian skripsi.
\
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING....................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI................................................................. ii
HALAMAN MOTTO............................................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................................. v
ABSTRAK............................................................................................................. vi
ABSTRACT...........................................................................................................vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................................ viii
KATA PENGANTAR........................................................................................... ix
DAFTAR ISI......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xviii
DAFTAR GRAFIK.............................................................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xx
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiv
B. Rumusan Masalah............................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 12
D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 13
1. Manfaat Teoritis............................................................................13
2. Manfaat Praktis.............................................................................13
BAB II. LANDASAN TEORI.............................................................................. 14
A. Empati................................................................................................ 14
1. Definisi.......................................................................................... 14
2. Aspek Empati................................................................................ 16
3. Perkembangan Empati................................................................... 18
4. Faktor yang Mempengaruhi Empati.............................................. 19
5. Keterkaitan antara Empati yang Dimiliki oleh Anak dengan
Masa Dewasanya........................................................................... 26
6. Empati pada Hewan........................................................................27
B. Memelihara Hewan............................................................................ 28
1. Definisi.......................................................................................... 28
2. Anjing............................................................................................ 30
3. Pengaruh Memelihara Hewan terhadap Perkembangan
pada Anak...................................................................................... 31
C. Dewasa...................................................................................................... 34
1. Definisi dan Batasan........................................................................... 34
2. Perkembangan pada Masa Dewasa..................................................... 35
D. Dinamika Pemeliharaan Hewan terhadap Perkembangan Empati............ 37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xv
E. Skema Empati pada Pemelihara Hewan................................................... 44
F. Hipotesis.................................................................................................... 45
BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... 46
A. Jenis Penelitian.......................................................................................... 46
B. Identifikasi Variabel Penelitian................................................................. 46
C. Definisi Operasional.................................................................................. 46
1. Empati................................................................................................. 46
2. Memelihara Hewan............................................................................. 47
D. Subjek Penelitian....................................................................................... 48
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data........................................................ 49
F. Kredibilitas Alat Ukur............................................................................... 51
1. Validitas.............................................................................................. 51
2. Seleksi item.........................................................................................52
3. Reliabilitas........................................................................................... 55
G. Metode Analisis Data................................................................................ 56
1. Uji Asumsi.......................................................................................... 56
a. Uji Normalitas............................................................................... 56
b. Uji Homogenitas............................................................................ 57
2. Uji Hipotesis........................................................................................ 57
BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................... 58
A. Pelaksanaan Penelitian.............................................................................. 58
B. Deskripsi Subjek Penelitian...................................................................... 59
C. Hasil Penelitian......................................................................................... 60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xvi
1. Deskripsi Data Penelitian.................................................................... 60
2. Uji Asumsi.......................................................................................... 65
a. Uji Normalitas............................................................................... 65
b. Uji Homogenitas........................................................................... 68
3. Uji Hipotesis........................................................................................ 69
D. Pembahasan............................................................................................... 71
BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 76
A. Kesimpulan............................................................................................... 76
B. Keterbatasan Penelitian..............................................................................76
C. Saran.......................................................................................................... 78
1. Terkait dengan Manfaat Penelitian.....................................................78
2. Terkait dengan Kelanjutan Penelitian................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 78
LAMPIRAN.......................................................................................................... 84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.Blue Print Skala Empati (uji coba)...................................................... 49
Tabel 3.2.Distribusi Item Skala Empati (Uji coba).............................................. 50
Tabel 3.3.Penafsiran Indeks Diskriminasi Item................................................... 53
Tabel 3.4.Penyebaran item yang layak dan yang gugur pada Skala Empati........ 54
Tabel 4.1.Deskripsi Pembagian Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin................... 59
Tabel 4.2.Deskripsi Pembagian Subjek Berdasarkan Usia.................................. 60
Tabel 4.3.Mean Empiris Empati Subjek yang Memelihara
Hewan................................................................................................................... 61
Tabel 4.4.Mean Empiris Empati Subjek yang Tidak Memelihara
Hewan................................................................................................................... 61
Tabel 4.5.Mean Empiris Empati Subjek yang Memelihara Hewan & Tidak
Memelihara Hewan............................................................................................... 62
Tabel 4.6.Perbandingan Mean Empiris dan Mean Teoritis.................................. 62
Tabel 4.7.Acuan Kategori Data............................................................................ 63
Tabel 4.8.Data Skala Empati................................................................................ 64
Tabel 4.9.Kategori Skala Empati......................................................................... 64
Tabel 4.10.Kategori Tingkat Empati Pada Pemelihara Hewan dan Bukan
Pemelihara Hewan................................................................................................ 64
Tabel 4.11.Hasil Uji Normalitas Subjek yang Memelihara Hewan..................... 67
Tabel 4.12.Hasil Uji Normalitas Subjek yang Tidak Memelihara Hewan.......... 68
Tabel 4.13.Hasil Uji Homogenitas....................................................................... 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xviii
Tabel 4.14.Hasil Uji hipotesis (Mann-Whitney).................................................. 70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Empati pada Pemelihara Hewan.............................................. 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xx
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Hasil Uji Normalitas Subjek yang Memelihara Hewan..................... 66
Grafik 4.2. Hasil Uji Normalitas Subjek yang Tidak Memelihara Hewan........... 67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Penelitian............................................................................... 85
Lampiran B. Hasil Reliabilitas........................................................................... 110
Lampiran C. Hasil Uji Normalitas...................................................................... 115
Lampiran D. Hasil Uji Homogenitas.................................................................. 124
Lampiran E. Hasil Uji Hipotesis (Mann-Whitney).............................................. 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan mahkluk sosial yang akan melakukan
interaksi dengan orang lain (Walgito, 2010). Ketika berinteraksi dengan
orang lain, empati dibutuhkan karena merupakan kualitas utama dalam
berinteraksi (Zuchdi, 2003). Rogers (dalam Taufik, 2012) pada penelitian
dan riset yang telah dilakukan diperoleh bahwa empati telah menjadi pusat
dalam interaksi antar pribadi yang efektif. Empati sendiri merupakan
kapasitas untuk berbagi dan mengerti sebagian dari pikiran atau emosi
yang dialami oleh orang lain (Ioannidou & Konstantikaki, 2008).
Empati juga dapat digambarkan sebagai perasaan yang menyatu
dengan keadaan emosional yang sedang dialami oleh orang lain (King,
2010).Howe (2015) mengungkapkan empati adalah hasil pemikiran dan
perasaan yang terdiri dari respon afektif berupa mampu merasakan
perasaan orang lain dan respon kognitif dimana seseorang mampu
memahami mengapa orang lain tersebut merasakannya. Dapat disimpulkan
bahwa empati terdiri dari 2 aspek yaitu aspek afektif dan kognitif. Aspek
afektif berupa kemampuan untuk merasakan perasaan yang sedang dialami
oleh orang lain dan aspek kognitif berupa kemampuan untuk mengetahui
serta memahami alasan mengapa orang lain mampu merasakan perasaan
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
2
Menurut McDonald & Messinger (in press) pembentukan empati
terbaik diperoleh ketika bayi hingga masa-masa anak bersekolah. Seorang
anak mulai memasuki masa sekolah ketika berada pada masa anak
pertengahan, dimana anak berusia 6 hingga 11 tahun (Berk, 2012). Selman
(dalam Taufik, 2012) menemukan bahwa anak yang berusia 7-12 tahun
berada dalam tahap perspective-taking dimana dalam usia ini anak-anak
mampu masuk ke dalam diri orang lain dan mampu memandang perasaan,
pikiran, serta perilaku mereka sendiri melalui perspektif orang lain. Pada
masa tersebut dirasa merupakan usia yang tepat dimana anak mulai
mampu untuk merealisasikan empati, karena mereka telah mampu
memahami sekaligus merasakan kondisi orang lain dengan cara masuk ke
dalam alam pikiran dan perasaan orang lain tersebut (Taufik, 2012).
Meskipun pembentukan empati pada seseorang terjadi pada bayi
hingga masa anak pertengahan, namun empati memiliki peran penting
dalam kehidupan di masa dewasanya. Orang yang sedang berada dalam
masa dewasa yaitu seseorang yang berada dalam rentang usia 20 hingga 30
tahun (King, 2010). Empati memiliki peran penting dalam kehidupan
individu dewasa karena orang dewasa awal sedang berada dalam tahap
intimasi dan isolasi (Erikson dalam Feist & Feist, 2010). Pada tahap
tersebut seorang dewasa awal sedang berusaha untuk menjalin hubungan
intim dengan orang lain atau akan terisolasi secara sosial (King, 2010).
Selain itu Rubin (dalam Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000)
mengungkapkan bahwa rasa empati dan percaya datang dari komunikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
3
yang dekat dan kedekatan hubungan antara satu sama lain dibutuhkan
untuk membentuk keintiman. Selain itu, menurut Ridzal (2017)
mendengarkan dengan penuh empati dan kesediaan menerima pesan dari
pasangan merupakan hal vital untuk berkomunikasi dengan baik antar
pasangan. Sehingga dalam pemaparan tersebut empati dirasa menjadi
modal penting dalam membentuk keintiman dengan pasangan.
Warneken & Tomasello (dalam Taufik, 2012) menyatakan dampak
yang paling jelas terlihat dari adanya empati adalah perilaku tolong
menolong (altruisme). Perilaku nyata altruisme yang ditunjukkan dalam
interaksi setiap hari yang dilakukan oleh para usia dewasa, khususnya pada
mereka yang telah menjadi orang tuayaitu ketika mereka mampu
memberikan pengajaran yang baik mengenai altruisme kepada anaknya
(Zahn-Waxler, Hollenbeck & Radke-Yarrow, 1984). Berdasarkan hal
tersebut maka dapat diketahui bahwa empati sangat dibutuhkan oleh para
orang dewasa dalam membentuk keintiman dan perilaku tolong menolong.
Howe (2015) menyatakan bahwa banyak studi yang mendukung
ungkapan bahwa empati, perilaku-perilaku sosial dan pertimbangan moral
yang berorientasi kepedulian dapat saling terkait.Beberapa penelitian yang
dilakukan di Indonesia mampu mendukung pernyataan tersebut. Sari,
Ramdhani & Eliza (2003) menemukan dalam penelitiannya yang
menyertakan 150 subjek dengan usia 15-22, menggunakan Empathy Scale
(ES) dan Smoking Behavior Scale (SBS), memiliki hasil korelasi yang
negatif antara empati dan perilaku merokok di tempat umum. Hal tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
4
memiliki arti bahwa semakin tinggi tingkat empati seseorang maka
semakin jarang seorang perokok merokok di tempat umum. Dimana
mereka mengurangi perilaku merokok ditempat umum karena lebih
toleran, menghargai perasaan orang lain serta peduli pada orang-orang di
sekelilingnya (Sari, Ramdhani & Eliza, 2003).
Penelitian mengenai empati juga dilakukan oleh Mawarni,
Hardjono & Handayani (2013). Penelitian dilakukan untuk mengetahui
hubungan mencari sensasi dan empati dengan school bullying pada 101
siswa remaja putra kelas X dan XI di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Pengukuran empati menggunakan skala
empati yang merupakan adaptasi dari Interpersonal Reactivity Index,
memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan
antara tingkat empati dengan school bullying pada subjek. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat empati yang dimiliki para
siswa maka akan semakin rendah tingkat bullying.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Elvinawanty dan Mailani
(2016) yang melibatkan 60 pasangan di Kelurahan Binjai, Kecamatan
Medan Denai, menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
tingkat empati dengan tingkat pengampunan yang dimiliki subjek.
Semakin tinggi tingkat empati yang dimiliki maka akan semakin tinggi
pula tingkat pengampunan yang dimiliki terhadap pasangan.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa ketika seseorang memiliki tingkat empati yang tinggi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
5
maka seseorang akan berperilaku baik sesuai dengan prinsip moral yang
diterima oleh masyarakat, begitu juga sebaliknya, ketika seseorang
memiliki tingkat empati yang rendah maka seseorang akan berperilaku
kurang baik yang ternyata kurang sesuai dengan prinsip moral masyarakat.
Empati dipercaya memiliki kekuatan untuk mengaktifkan prinsip-prinsip
moral (Howe, 2015). Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat usaha untuk
hidup dengan baik di tengah masyarakat, maka muncul perilaku yang
disebut perilaku bermoral (Howe, 2015). Kehidupan sosial yang dianggap
berhasil membutuhkan adanya aturan-aturan dan nilai moral (Howe,
2015).
Selain itu, banyak riset yang telah dilakukan dalam bidang
keperawatan, khususnya mengenai peran empati untuk mempercepat
kesembuhan pasien (Taufik, 2012). Banyak psikolog kesehatan yang
menyatakan bahwa dukungan, pemahaman, dan perhatian yang diberikan
oleh keluarga serta orang-orang yang terdekatnya memiliki pengaruh besar
terhadap kesembuhan pasien, sehingga hal tersebut menunjukkan betapa
pentingnya empati yang mampu berfungsi sebagai obat, dimana para ahli
menyatakan empati dari para keluarga dan orang-orang terdekatnya
mampu memberikan pengaruh yang lebih besar dari obat-obatan medis
(Taufik, 2012). Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa empati sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
Goleman (1995) menyebutkan jika seseorang kurang memiliki
empati dapat menimbulkan berbagai masalah ketika berinteraksi di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
6
kehidupan bermasyarakat. Gordon (dalam Howe, 2015) meyakini bahwa
terhadap hubungan negatif yang nyata antara empati dan agresi, dimana
kegagalan empati mampu menyebabkan ketidakacuhan, kekejaman dan
kekerasan. Gordon (dalam Howe, 2015) menyebutkan bahwa semakin
rendah empati, maka akan semakin mudah orang untuk melakukan tindak
kekerasan. Sedangkan semakin besar empati yang dimiliki oleh seseorang
maka semakin besar kemungkinannya untuk membantu dan menolong
orang lain (Howe, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya
empati maka hubungan sosial dan perilaku menolong sulit terbentuk.
Kasus nyata yang terjadi di Indonesia perihal rendahnya perilaku
menolong sebagai bentuk kurangnya empati terjadi pada 10 Februari 2018.
Sebuah kecelakaan bus terjadi di Tanjakan Emen, Subang, Jawa Barat.
Kecelakaan bus ini menewaskan 27 anggota Koperasi Simpan Pinjam
(KSP) Permata, Ciputat, Tangerang Selatan. Seorang anggota KSP
Permata yang selamat dalam kecelakaan, Karmila mengaku bahwa warga
sekitar tidak mau menolong para korban. Mereka sibuk merekam situasi di
lokasi kejadian pasca kecelakaan terjadi dengan menggunakan ponsel
mereka masing-masing. Ketika Karmila meminta tolong untuk meminjam
ponsel para warga karena ponselnya sendiri berada di dalam bus yang
telah ringsek, para warga tidak mau meminjamkan dengan alasan tidak
memiliki pulsa atau baterai ponsel mereka habis, namun banyak dari
warga tetep merekam kejadian sekitar dengan ponsel mereka. Setelah itu,
Karmila yang lemas karena harus berjuang keluar dari bus bergegas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
7
mencoba menyelamatkan rekan-rekannya yang masih bisa diselamatkan di
dalam bus(https://megapolitan.kompas.com, 14 Februari 2018).
Kasus lain yang berkaitan dengan empati juga terjadi ketika
munculnya kasus pembunuhan berencana pemilik toko air soft gun yang
bernama Indra Gunawan karena dendam pribadi. Psikolog Irna Mauli
memaparkan bahwa pelaku kriminal dalam aksi tersebut umumnya
memiliki karakteristik yang ditandai dengan kecenderungan sikap
manipulatif dan kurangnya rasa empati (www.analisadaily.com, 24 Januari
2017).
Selain kasus pembunuhan terhadap manusia, terdapat pula kasus
penganiayaan dan pembunuhan terhadap hewan yang dilakukan oleh
seorang mahasiswa jurusan hukum salah satu universitas swasta di Kota
Surabaya. Dimana pemuda tersebut memukuli berkali-berkali seekor
anjing dalam sebuah jaring hijau.. Meskipun anjing tersebut mendengking
lemah ketika dipukuli, pemuda tersebut tidak menghentikan pukulannya.
Aksinya tersebut terekam dalam sebuah video yang kemudian diunggah ke
salah satu media sosial dan mendapat banyak kecaman dari warga.
(surabaya.tribunnews.com, 26 Desember 2017). Miller (dalam Petersen &
Farrington, 2007) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap hewan
merupakan salah satu tanda dari kurangnya empati. Sehingga kasus
kekerasan terhadap hewan juga merupakan akibat dari kurangnya empati
dalam diri seseorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
http://www.analisadaily.com/
-
8
Berbagai berita tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kasus
yang diakibatkan kurangnya rasa empati dalam diri individu yang terlibat.
maka dirasa penting jika seseorang memiliki tingkat empati yang tinggi
agar hal tersebut tak terulang kembali.Peningkatan empati sangat
diperlukan dalam hal ini. Howe (2015) menyebutkan bahwa salah satu
faktor dalam perkembangan empati yaitu adanya pengalaman. Sullivan
(dalam Taufik, 2012) mengungkapkan bahwa anak dan ibu memiliki
ikatan hubungan empatik. Pengalaman interaksi antar anak dengan orang
tuanya yang berkualitas baik di masa awal dapat mengembangkan
hubungan yang akrab dan empatik. Sehingga dapat disimpulkan interaksi
sosial yang dilakukan, mampu meningkatkan empati yang dimiliki
(Howe,2015).
Di sisi lain, empati tidak hanya dapat dimunculkan dengan
berinteraksi pada sesama manusia, namun juga interaksi dengan hewan.
Hal ini disebabkan empati mampu dibentuk dengan baik pada masa kanak-
kanak awal karena telah mampu memahami perspektif orang lain, dimana
memahami perspektif orang lain merupakan modal untuk berempati dan
pada usia 10-12 tahun, anak telah mampu membentuk empati pada orang
lain yang kurang beruntung (Santrock, 2007).
Selain itu diketahui sekitar 90% pemilik hewan percaya bahwa
hewan memiliki peran penting dalam kehidupan anak-anak (Horn & Meer
dalam Rothgerber & Mican, 2014). Hal tersebut dapat menunjukkan
sebuah keterkaitan bahwa berinteraksi dengan hewan peliharaan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
9
masa kanak-kanak mampu meningkatkan empati. Dimana anak-anak yang
berkomunikasi dengan mahkluk non verbal (salah satunya adalah
binatang) mampu meningkatkan empati, karena berkaitan dengan
kemampuan untuk membayangkan apa yang orang lain pikirkan dan
rasakan (Levinson, 1978).
Melson (2003) mengemukakan bahwa alasan yang memungkinkan
mengapa memelihara hewan dapat diasosiasikan dengan besarnya empati
yaitu adanya peran hewan peliharaan tersebut pada interaksi dalam
keluarga. Melson, Peet dan Sparks (1991) menemukan bahwa anak yang
memiliki kelekatan lebih banyak kepada hewan peliharaannya akan lebih
berempati terhadap teman sebayanya. Di sisi lain kelekatan pada binatang
peliharaan mampu memberikan dukungan secara psikologi dan sosial
(Chandler, dkk. 2015).
Dally & Suggs (2010) menemukan mayoritas guru yang telah
disurvey mengatakan bahwa adanya hewan peliharaan dalam kegiatan
mengajar di kelas mampu meningkatkan empati.Sebuah penelitian yang
lain menunjukkan bahwa hewan peliharaan mampu memberikan hasil
positif terhadap perkembangan pada empati dan perasaan kasihan pada
anak-anak (Levinson 1978). Temuan tersebut menunjukkan bahwa empati
pada anak mampu ditingkatkan dengan pemeliharaan hewan.Sehingga
dapat disimpulkan bahwa selain menjadi hobi yang berfungsi sebagai
teman bermain pemilik, memelihara hewan dapat memberikan manfaat
lain karena mampu meningkatkan empati pemiliknya. Hal ini dapat sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
10
menguntungkan karena pemilik tidak perlu melakukan hal-hal khusus
untuk meningkatkan empati, namun sudah dapat meningkatkan empatinya
cukup dengan berinteraksi dengan hewan peliharaan atau berinteraksi
dengan orang-orang yang terkait dalam pemeliharaan hewan tersebut.
Ada berbagai alasan mengapa seseorang memelihara hewan.
Menurut Rahmiati & Pribadi (2014), terdapat dua tujuan memelihara
hewan yaitu sebagai ternak dan sebagai companion animal dimana pemilik
menjadikan hewan sebagai teman bermain. Manusia telah menjadikan
hewan sebagai teman sudah dimulai sejak masa prahistoris (Levinson,
1978).Tujuan memelihara hewan ini disebabkan hobi yang mampu
mengurangi kesepian dengan berinteraksi dan merawat hewan tersebut
(Birsa, Marinsek & Tunsak dalam Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012).
Staats (dalam Chandler, dkk. 2015) mengungkapkan bahwa pada studi
yang mengeksplorasi alasan memelihara hewan, ditemukan jika
menghindari rasa kesepian adalah alasan yang paling sering muncul.
Sehingga dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini tujuan memelihara
hewan yang dimaksud sebagai companion animal karena membahas
interaksi anak dengan hewan peliharannya.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Cutt, Rijken & van Beek
(dalam Utz, 2014) mengungkapkan bahwa efek positif yang dikaitkan
antara memelihara hewan dengan interaksi manusia-hewan dapat berbeda
bergantung pada jenis hewan yang dipelihara. Sanders (1993) menemukan
bahwa berdasarkan hasil autoetnografi dan observasi yang ia lakukan, ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
11
menyimpulkan meski anjing tidak memiliki bahasa verbal, namun anjing
mampu berkomunikasi dengan manusia dan hubungan antara anjing
dengan manusia mampu memberikan perbedaan dari hubungan antar
manusia karena lebih berlandaskan pada afeksi dan mampu memberikan
interaksi yang bebas kritikan. Wood, et al (2015) menemukan bahwa
orang yang memelihara anjing menerima dukungan sosial lebih besar
dibandingkan pemilik hewan peliharaan lain, dimana dukungan sosial
sendiri mengandung unsur empati di dalamnya. Sehingga dapat diketahui
bahwa para pemilik anjing memiliki interaksi empati yang lebih tinggi
dibandingkan pemilik hewan peliharaan selain anjing. Pernyataan tersebut
yang menjadi alasan mengapa anjing dipilih dalam penelitian ini.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utz (2012)
menemukan bahwa pemilik hewan memiliki kesehatan fisik yang lebih
baik dibandingkan orang yang tidak memelihara hewan, namun tidak
meneliti perbedaan yang dapat ditimbulkan dari segi empati. Sedangkan
Rothgeber & Mican (2001) mengungkapkan bahwa individu dewasa yang
memelihara hewan di masa kecil akan lebih berempati dengan hewan
dibandingkan individu dewasa yang tidak memelihara hewan. Namun
tidak diteliti lebih lanjut apakah individu dewasa yang memelihara hewan
sewaktu kecil tersebut juga memiliki empati yang lebih tinggi kepada
sesama manusia jika dibandingkan dengan individu yang tidak pernah
memelihara hewan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
12
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mencari tahu
apakah individu dewasa yang memelihara hewan sewaktu kecil memiliki
empati yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan individu yang tidak
pernah memelihara hewan. Mengingat empati juga diperlukan pada masa
dewasa seseorang meskipun pembentukan empati berada pada masa
kanak-kanak pertengahan. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat
menyumbang informasi lain mengenai empati sebagai dampak dari
pemeliharaan hewan.
B. Rumusan Masalah
Rendahnya tingkat empati pada orang dewasa menjadi masalah
karena dapat menyebabkan perilaku kekerasan, kurangnya perilaku tolong-
menolong dan sulitnya untuk menjalin hubungan intim. Sehingga empati
perlu ditingkatkan untuk menghindari hal tersebut. Di sisi lain banyak
studi yang menenukan bahwa memelihara hewan mampu meningkatkan
empati pada anak. Untuk mengetahui hal tersebut maka pertanyaan
penelitian ini adalah: Apakah terdapat perbedaan tingkat empati antara
orang dewasa yang memiliki hewan peliharaan di masa kecil dengan orang
yang tidak pernah memelihara hewan peliharaan?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan tingkat empati pada pemelihara
hewan peliharaan dengan orang yang tidak memelihara hewan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
13
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan bahwa hasil penelitian ini mampu memberikan
kontribusi baru dalam bidang psikologi, terutama pada topik empati.
Dimana menambah pembahasan mengenai empati yang dikaitkan
dengan pemeliharaan hewan. Khususnya keterkaitan pemeliharaan
hewan pada masa kanak-kanak terhadap tingkat empati pada masa
dewasanya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
pemilik hewan peliharaan maupun orang yang akan memelihara hewan
mengenai dampak yang ditimbulkan dari memelihara hewan
peliharaan khususnya pada aspek empati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Empati
1. Definisi
Berdasarkan Kamus Psikologi APA (2006: 327), empati diartikan
sebagai memahami seseorang dari kerangka pada keterangan yang
cukup dimiliki pada seseorang, sehingga pengalaman orang lain berupa
perasaan, persepsi dan pemikiran seolah dialami sendiri. Empati tidak
digambarkan untuk menjadi sebuah bentuk pertolongan, di samping itu
hal tersebut akan berubah menjadi simpati atau distres pribadi, dimana
menghasilkan sebuah aksi nyata.
Menurut Zahn-Waxler, Hollenbeck & Radke-Yarrow (1984)
empati adalah kapasitas untuk merasakan perasaan orang lain. Lipps
(dalam Ioannidou & Konstantikaki, 2008) mengungkapkan kata
einfuhlung sebagai kata awal dari empati yang memiliki makna yang
menggambarkan apresiasi emosional terhadap perasaan orang lain.
Levenson & Ruef (1992) menyatakan empati adalah bagian
fundamental dari emosi struktur sosial, menyediakan jembatan antara
perasaan pada satu orang dengan orang lainnya.
Definisi empati yang diungkapkan oleh Goleman (dalam Rachmah,
2014) menyatakan bahwa empati merupakan suatu keadaan berupa
membagi perasaan dengan orang lain secara emosional. Hurlock
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
15
(dalam Mawarni, Hardjono & Andayani, 2013) mendefiniskan empati
sebagai kemampuan seseorang untuk menempatkan diri sendiri dalam
keadaan psikologis orang lain dan untuk melihat suatu situasi dari
sudut pandang orang lain. Sedangkan menurut Hoffman (dalam Zahn-
Waxler, Hollenbeck & Radke-Yarrow, 1984) empati memiliki
komponen kognitif dan afektif, dimana komponen afektif merupakan
pengalaman emosional atau merasakan pengalaman orang lain,
sedangkan komponen kognitif berupa pengertian intelektual atau
interpretasi dari bagaimana sebuah pengalaman memiliki arti. Selain
itu menurut Howe (2015) empati merupakan hasil pemikiran dan
perasaan yang terdiri dari respon afektif dan kognitif dimana seseorang
mampu merasakan perasaan orang lain dan memahami mengapa orang
lain tersebut merasakannya.
Dapat disimpulkan dari berbagai definisi di atas, empati merupakan
hasil pemikiran dan perasaan untuk mampu merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain dengan menggunakan kesadaran kognitif
serta ikut merasakan kondisi yang dialami dan perasaan yang tengah
dirasakan oleh orang lain sebagai sebuah respon afektif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
16
2. Aspek Empati
Howe (2015) mengungkapkan bahwa empati dapat merupakan
hasil dari pikiran maupun perasaan. Empati terdiri dari respon afektif
dan kognitif, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan
memahami mengapa orang lain tersebut merasakannya.
a. Empati secara afektif
Empati secara afektif ditandai ketika seseorang mampu
merasakan kesusahan yang dialami oleh orang lain, mampu melihat
dan memahami kesedihan orang lain (Howe, 2015). Secara pasti
kesusahan dan kesedihan dialami oleh orang lain, namun hal itu
mampu mempengaruhi secara emosional pada orang tersebut
(Howe, 2015). Di dalam empati emosional atau afektif, kita dapat
merasakan perasaan orang lain yang dan yang mendukung adanya
proses kerja sama, altruism, kekompakan dan keamanan (Howe,
2015).
b. Empati secara kognitif
Empati kognitif didasarkan pada kemampuan melihat,
berimajinasi dan memikirkan sebuah situasi dari sudut pandang
yang dimiliki oleh orang lain (Howe, 2015). Selain itu dalam
empati kognitif dibutuhkan kemampuan untuk membaca,
mengenali dan menegoisasikan perilaku & maksud-maksud dari
orang lain (Howe, 2015). Empati kognitif melibatkan sebuah
proses reflektif yang lebih berbasis kognitif untuk memahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
17
perspektif orang lain (Howe, 2015). Diperlukan adanya sebagian
pengetahuan mengenai riwayat, kepribadian, keadaan dan situasi
orang lain, sebelum kita mampu menggerakkan otak kita untuk
membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang lain tersebut
(Howe, 2015).
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat diperoleh beberapa ciri
orang berempati yang dapat dikembangkan menjadi indikator dari
aspek empati yang diungkapkan oleh Howe (2015).
a. Aspek empati secara afektif
1) Kemampuan merasakan perasaan orang lain.
Empati ditandai ketika seseorang mampu merasakan
kesusahan yang dialami oleh orang lain, mampu melihat
dan memahami kesedihan orang lain.
b. Aspek empati secara kognitif
1) Mampu mengerti dan mengenali perilaku & maksud-
maksud dari orang lain.
Seseorang yang memiliki tingkat empati yang tinggi
akan cenderung menganalisis tujuan atau maksud yang
dimiliki oleh seseorang.
2) Mampu memahami perspektif orang lain
Seseorang yang empatik akan mampu memahami
pandangan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
18
3) Mampu berimajinasi dan memikirkan sebuah situasi dari
sudut pandang orang lain.
Seseorang yang memiliki tingkat empati yang tinggi
akan semakin mampu untuk membayangkan bagaimana
menjadi orang lain.
3. Perkembangan Empati
Menurut Damon (dalam Santrock, 2007), terdapat beberapa proses
perkembangan empati sebagai berikut:
Pada masa bayi, empati yang dimunculkan masih secara global.
Respon individu pada usia bayi bercirikan pengertian akan perasaan
dan kebutuhan orang lain.
Di usia 1-2 tahun, individu mulai mampu merasakan
ketidaknyamanan yang dialami oleh orang lain dan mulai
memperhatikannya meskipun belum dapat memahaminya dengan jelas.
Namun individu pada usia ini belum mampu menerjemahkan perasaan
tersebut dalam tingkat laku yang efektif.
Memasuki masa kanak-kanak awal, anak menjadi lebih sadar akan
adanya perspektif orang lain yang berbeda dan mampu memahami
bahwa orang lain mungkin saja bereaksi berbeda terhadap suatu
situasi. Kesadaran ini memungkinkan anak untuk berespon lebih wajar
terhadap kesusahan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
19
Pada usia 10-12 tahun, anak telah mampu membentuk empati
terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak
menguntungkan. Bahkan saat remaja, individu sudah memiliki
kesensitifan yang memberi pandangan humanistik pada ideologi dan
pemahamannya mengenai politik.
4. Faktor yang mempengaruhi empati
a. Kebudayaan
Semakin beragam etnis dan budaya dalam sebuah
masyarakat maka dapat terjadi peningkatan ketertarikan terhadap
empati dalam kaitannya dengan perbedaan kebudayaan dan
terkadang dideskripsikan sebagai ‘empati etnokultural’ (Wang,
dalam Howe, 2015). Rasoal et al. (dalam Howe, 2015)
mendefinisikan empati etnokultural sebagai ‘memahami,
merasakan dan peduli terhadap apa yang dirasakan oleh orang yang
yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dari dirinya. Sebuah
studi yang dilakukan oleh Marthur et al. (dalam Howe, 2015)
menemukan bahwa pada individu-individu Amerika-Afrika dan
Amerika kaukasian memiliki level empati yang lebih tinggi ketika
mereka melihat kesusahan dari kelompok kebudayaan mereka
sendiri. Ridle dan Lingle (dalam Howe, 2015) mengungkapkan
bahwa empati kultural ‘melibatkan penguatan respons empatik
manusia yang mampu memunculkan rasa mutualis dan pemahaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
20
di tengah perbedaan yang besar dalam nilai dan pengharapan yang
sering terjadi dalam interaksi lintas kultural.’ Hingga saat ini pokok
bahasan mengenai hal tersebut masih terbatas.
b. Person, Situasi dan Perilaku Sosial
Keragaman tingkat pada sifat dan kecenderungan manusia
seperti kecerdasaan atau kekuatan, rasa malu atau humor, juga
terjadi pada level empati (Howe, 2015). Penyebab dari berbagai
perbedaan tersebut mungkin bersifat bawaan dan biologis atau
hasil dari pengasuhan dan pengalaman (Howe, 2015). Kualitas
individu atau sifat kepribadian yang dimiliki seseorang, seringkali
merupakan hasil dari hubungan dinamis antara gen dan
lingkungan, bawaan dan pengasuhan, biologi dan pengalaman
(Howe, 2015). Pada intinya faktor-faktor lain selain jenis kelamin
atau gender, seperti kepribadian, temparemen dan kebudayaan
mampu memiliki pengaruh pada kemampuan untuk berempati.
c. Pengaruh Jenis Kelamin
Secara jelas jika semua jumlah laki-laki dibandingkan
dengan semua jumlah perempuan, maka laki-laki sedikit kurang
berbakat dalam hal membaca ekspresi emosi orang lain dan kurang
tertarik pada apa yang mereka pikirkan atau mereka rasakan
(Mehrabian & Trobst dalam Howe, 2015). Pada pertemanan
perempuan akan melibatkan lebih banyak keterbukaan dan empati,
sementara pertemanan laki-laki lebih sering berdasarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
21
kebersamaan, seperti melakukan pekerjaan atau kegiatan secara
bersama-sama (Vernon dalam Howe, 2015), meskipun diduga
bahwa karena ada anggapan di masyarakat bahwa perempuan lebih
empatik daripada laki-laki, mereka sering mendapati diri mereka
untuk sesuai dengan anggapan ini (Ickes dalam Howe, 2015).
d. Empatisan dan Sistematisan
Simon &Baron-Cohen (dalam Howe, 2015) menyatakan
bahwa otak perempuanlebih kuat dalam empati sedangkan otak
laki-laki lebih kuat dalam pemahaman dan pembangunan sistem-
sistem. Terdapat perbedaan secara umum antara jenis-jenis kelamin
di mana kelompok perempuan, secara umum, memiliki
kemampuan empati yang lebih baik dibandingkan laki-laki (Howe,
2015). Dalam hal ini, dan merefleksikan bias jenis kelamin, para
empatisan dikatakan memiliki ‘otak perempuan’ (Howe, 2015).
Di sisi lain, laki-laki cenderung menjadi ‘sistematisan’ yang
lebih baik (Howe, 2015). Sistematis adalah kecenderungan untuk
menganalisis, mengeksplorasi, dan menggambarkan bagaimana
segala sesuatunya berjalan dengan baik, menemukan berbagai
aturan dan prinsip dasar yang mengatur kerja sistem-sistem, seperti
misalnya mesin-mesin, organisme-organisme, program-program
komputer atau fenomena fisik (Howe, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
22
e. Kepribadian dan Temparemen
Respon empati dalam tiap orang akan berbeda tergantung
sebagian kepribadian dan temparemen mereka (Howe, 2015). Sifat
menyenangkan (agreeableness) yang dimiliki seseorang
berkolerasi positif dengan emosi-emosi prososial seperti empati
dan kemauan untuk menolong orang lain (Grasiono dalam Howe,
2015). Mereka yang memiliki sifat kurang menyenangkan
cenderung memperlihatkan tingkat empati yang lebih rendah dan
kurangnya kemauan untuk menolong (Howe, 2015). Selain itu
orang-orang yang memiliki skor tinggi dalam skala yang
digunakan untuk mengukur keinginan untuk diterima dan dimiliki
memiliki jaringan sosial yang luas dan cenderung lebih empatik
(Howe, 2015). Sedangkan mereka yang memiliki neurotikisme
tinggi, memiliki perasaan empati yang rendah dan perasaan
kesendirian yang tinggi (Beadle dalam Howe, 2015).
f. Keterampilan Sosial dan Gender
Anak perempuan memperlihatkan empati yang lebih
banyak dibandingkan anak laki-laki (Howe, 2015). Bayi
perempuan melakukan kontak mata lebih banyak daripada anak
laki-laki (Howe, 2015). Ketika telah berusia satu tahun, anak
perempuan tampak lebih peduli dibandingkan anak laki-laki dalam
menolong orang lain yang sedang kesusahan (Bloom dalam Howe,
2015). Saat remaja, para gadis memiliki kemampuan empati dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
23
pemikiran-pemikiran prososial yang lebih baik dibandingkan para
remaja laki-laki (Dolan & Fullam dalam Howe, 2015)
g. Perkembangan Otak dan Janin
Otak perempuan diketahui memiliki kemampuan empatik
yang lebih baik ketika menafsirkan keadaan emosional orang lain
dan respon emosional mereka pada perasaan yang dimiliki orang
lain (Schulte-Ruther, dalam Howe, 2015). Penanda munculnya bias
otak yang sistematis atau otak yang empatis adalah level hormon-
hormon yang mengalir dalam tubuh bayi selama tahap-tahap
tertentu dari perkembangan janin (Howe, 2015). Kadar testoteron
mampu memengaruhi perkembangan otak janin, terutama selama
trimester kedua (Howe, 2015). Bayi laki-laki cenderung
memproduksi testoteron lebih banyak dibandingkan bayi
perempuan, meskipun kadar tersebut juga dapat lebih tinggi atau
lebih rendah dari kadar testosteron alami yang mengalir dalam
darah ibu (Howe, 2015). Kadar testosteron dapat memuncak
kembali sekitar lima bulan setelah kelahiran atau selama pubertas
(Howe, 2015).
Kadar testosteron yang rendah (umumnya pada perempuan)
mengantar kepada level yang lebih baik dalam keterampilan
bahasa, keterampilan komunikasi, kontak mata dan berbagai
keterampilan sosial, yang merupakan tanda dari empatisan yang
baik (Baron-Cohen dalam Howe, 2015). Jika ketertarikan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
24
terbatas menjadi salah satu indikator dari karakter sistematisan
yang mendalam, maka hasil ini akan memperlihatkan dengan jelas
bahwa kemampuan sistematisasi yang baik terkait dengan level
testosteron janin yang tinggi (Baron-Cohen dalam Howe, 2015).
h. Pengalaman
Selain sifat bawaan, biologis, dan hasil dari pengasuhan
yang menyebabkan perbedaan empati antar individu, pengalaman
dirasa juga dapat mempengaruhi perbedaan tersebut (Howe, 2015).
Pengalaman-pengalaman anak-orangtua yang berkualitas baik di
masa permulaan memberi anak adiksi pada hubungan-hubungan
yang akrab dan empatik (Howe, 2015). Orang tua yang pengertian
mampu memantulkan kembali apa yang mereka pahami mengenai
keadaan emosi anak mereka (Howe, 2015). Ini lebih dikenal
sebagai ‘pencerminan emosi’ (Fonagy & Winnicot dalam Howe,
2015). Pencerminan emosi merupakan deskripsi dari pengasuh
yang merespon bayi mereka dengan emosi yang diyakini sesuai
dengan perilaku sang anak (Howe, 2015). Pengalaman ini sangat
penting bagi anak agar dapat mengembangkan empati (Howe,
2015).
Diprogram untuk memahami pengalaman, otak bayi
pertama membutuhkan sentuhan dengan pengalaman sebelum
mampu memahaminya (Howe, 2015). Tatanan yang sangat indah
memiliki arti bahwa otak tersebut belajar untuk memroses dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
25
memahami dunia dimana ia berada dan untuk mengatasi dunia
tersebut untuk bertahan hidup (Howe, 2015). Sebagaimana ilmu
saraf membantu memahami kemampuan untuk berempati, begitu
pula pengalaman hidup kita dalam berempati memberikan banyak
petunjuk kreatif kepada para ilmuwan otak tentang bagaimana kita
mempelajari kerumitan dan kecanggihan otak sosial kita yang
mengagumkan (Howe, 2015). Dengan bertambahnya pengalaman,
dunia menjadi semakin jelas dan mulai dipahami (Howe, 2015).
Selain pengalaman berinteraksi dengan manusia,
pengalaman berinteraksi dengan hewan dipercaya mampu
meningkatkan empati. Zahn-Waxler, Hollenbeck & Radke-Yarrow
(1984) mengungkapkan bahwa hewan terkadang dapat menjadi
penerima dari ekspresi empati pertama dari anak. Selain itu dalam
berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki
hewan peliharaan memiliki skor yang lebih tinggi pada skala
empati jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki hewan
peliharaan (Endenburg & Lith, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman berinteraksi dengan hewan peliharaan secara akurat
mampu memberikan perbedaan tingkat empati pada anak, dimana
anak yang memelihara hewan memiliki tingkat empati yang lebih
tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam
berinteraksi dengan orang lain maupun dengan hewan peliharaan
mampu mempengaruhi tingkat empati yang dimiliki seseorang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
26
5. Keterkaitan antara Empati yang Dimiliki oleh Anak dengan Masa
Dewasanya
Kecerdasan emosional dan empati membantu menyiapkan anak-
anak menghadapi kehidupan sosial yang sulit dan keras (Howe, 2015).
Mereka yang disiapkan dengan baik akan dapat menjadi pemain sosial
yang terampil (Howe, 2015). Agar anak-anak dapat memaknai
berbagai hubungan dan dunia sosial, mereka perlu berinteraksi dengan
orang lain (Howe, 2015). Perkembangan pemahaman sosial yang
dimiliki anak didapatkan dari adanya interaksi sosial (Howe, 2015).
Anak-anak yang menderita penolakan akan kehilangan hubungan
yang mendalampadahubungan timbal balik (Howe, 2015).
Menyebabkan mereka tidak memiliki empati dalam dirinya (Howe,
2015). Anak-anak yang yang kekurangan interaksi sosial menghadapi
risiko tidak mampu memaknai dirinya sendiri atau kehidupan sosial
yang dimiliki (Howe, 2015).
Selain itu kemampuan empatik dapat bergantung pada seberapa
baik proses-proses fisiologis dan emosional antara ibu dan bayi
terkoordinasi, atau ‘tersambung’ (Woodruff dalam Howe, 2015).
Interaksi antara temparemen dan pola pengasuhan orang tua secara
umum dianggap sebagai faktor-faktor penting dalam perkembangan
empati (Woodruff dalam Howe, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
27
Para pengasuh yang sensitif dan responsif membantu anak untuk
mengembangkan kelekatan yang aman (Bowlby dalam Howe, 2015).
Baron-Cohen (dalam Howe, 2015) mengungkapkan bahwa para orang
tua empatik, ketika membantu anak-anak untuk mengembangkan
kelekatan aman, memberikan mereka sebuah harapan, impian dan
kebahagiaan. Sumber daya ini memberikan mereka keterampilan sosial
dan emosional untuk menghadapi tantangan dan kesulitan dalam
kehidupan dan juga menfasilitasi empati anak itu sendiri (Howe,
2015). Dapat disimpulkan bahwa ketika anak mendapatkan cukup
banyak empati dan perhatian maka ia dapat berempati dan lebih sosial
di masa mendatang.
6. Empati pada Hewan
Meminjam dari definisi dasar empati, empati pada hewan memiliki
komponen afektif dan kognitif dimana berkaitan dengan menyadari
dan mengerti emosi dari hewan dan berbagi atau memiliki respon
emosional pada emosi yang ditunjukkan oleh hewan (Rothgeber &
Mican, 2014). Dimana tidak dibatasi pada emosi yang khusus, empati
secara umum mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa
menyedihkan yang dialami oleh mahkluk hidup (Zahn-Waxler,
Hollenbeck, & Radke-Yarrow, 1985). Terkhusus pada vegetarian,
empati yang tinggi membuat mereka secara kognitif dan emosional
menjadi alasan mengapa kesulitan untuk memakan hewan (Foer dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
28
Rothgeber & Mican, 2014). Para peneliti mengidentifikasikan bahwa
hubungan dan pertemanan antar spesies menyebabkan pembentukan
empati tidak hanya pada hewan peliharaan namun kepada hewan yang
lainnya juga (Foer dalam Rothgeber & Mican, 2014). Mereka
beralasan bahwa hewan memiliki keterbatasan komunikasi secara
verbal kepada manusia, manusia harus membangun kemampuan untuk
berkomunikasi dengan mereka dimana tanpa kesiagaan empati akan
sulit untuk mengetahui keinginan, suasaana hati dan segala hal yang
menjadi kebutuhan hewan tersebut (Rothgeber & Mican, 2014).
B. Memelihara Hewan
1. Definisi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), hewan
memiliki arti sebagai makhluk bernyawa yang mampu bergerak
(berpindah tempat) dan mampu bereaksi terhadap rangsangan, tetapi
tidak berakal budi (seperti anjing, kerbau, semut). Sedangkan hewan
peliharaan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) memiliki arti
sebagai hewan yang biasa dipiara untuk kesenangan (seperti anjing,
kucing, dan burung). Menurut Rahmiati & Pribadi (2014) hewan
peliharaan adalah hewan yang kehidupannya secara sebagian atau
bahkan seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.
Memelihara hewan yaitu kegiatan manusia yang memiliki
konsekuensi berupa adanya kewajiban untuk bertanggung jawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
29
terhadap keberlangsungan hidup hewan peliharaannya (Rahmiati &
Pribadi, 2014). Selain itu para pemilik memiliki beban dalam
memelihara hewan seperti beban waktu, materi, dan moril (Rahmiati &
Pribadi, 2014).
Beban waktu berupa pemilik harus meluangkan waktunya untuk
berinteraksi dengan hewan yang dipelihara seperti mengajak bermain,
jalan-jalan, memandikan dan mengecek kesehatan hewan
peliharaannya (Rahmiati & Pribadi, 2014). Beban materi dapat berupa
menyediakan kebutuhan hewan peliharaan seperti memberikan pakan,
minum, kandang, kesehatan dan lain sebagainya yang membutuhkan
biaya tertentu (Rahmiati & Pribadi, 2014). Sedangkan beban moril
yang ditanggung para pemilik hewan peliharaan yaitu dibutuhkannya
pemberian kasih sayang dan perhatian pada hewan yang dipelihara
karena hewan mampu memproses kognitif dan perasaan (Knight &
Barnett, dalam Rahmiati & Pribadi, 2014). Herzog & Galvin (dalam
Knight & Barnett, 2008) menyatakan bahwa pengalaman yang
melibatkan perasaan dan kemampuan kognitif pada hewan meliputi
perasaan siaga dan kemampuan untuk memecahkan masalah seperti
melakukan trik yang diberikan oleh pemilik agar dapat memperoleh
imbalan berupa makanan.
Smolkovic, Fajfar & Mlinaric (2012) menemukan bahwa pemilik
yang memelihara hewannya lebih dari tiga tahun, memiliki kelekatan
yang lebih kuat pada hewan peliharaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
30
2. Anjing
Anjing merupakan hewan pertama yang di domestikasikan,
dimulai sekitar 15.000 tahun yang lalu di Asia Timur (Savolainen,
Zhang, Luo, Lundeberg, & Leitner, dalam Podberscek, 2009). Menurut
Clutton-Brock (dalam Podberscek, 2009) beberapa teori mengatakan
bahwa alasan mendomestikasi anjing dengan tujuan untuk membantu
berburu dan menjaga keamanan.
Valentincic (dalam Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012)
menyatakan bahwa anjing lebih menuntut perawatan secara individual
dibandingkan hewan peliharaan yang lain. Kelekatan antara pemilik
dengan anjingnya mampu dipengaruhi oleh semakin mahalnya harga
anjing dan besarnya rencana pengeluaran yang lebih panjang,
perawatan yang baik, perhatian serta keterlibatan dalam aktivitas
bersama anjing, kelekatan yang lebih tinggi ditemui pada pemilik
terhadap anjing ras (Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012).
Berinteraksi dengan anjing yang telah memiliki ikatan dengan
baik dapat meningkatkan relaksasi, ditandai dengan berkurangnya
tekanan darah, menaikkan temperatur pada kulit periphal (Baun,
Oetting & Bergstrom, dalam Velde, Cipriani, & Fisher, 2014). Dalam
penelitian ini anjing dipilih karena memiliki popularitas yang tinggi
dan lebih interaktif secara alami dibandingkan hewan lain. (Rost,
Hartman, Paul & Serpell dalam Hergovich, dkk., 2002).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
31
3. Pengaruh Memelihara Hewan terhadap Perkembangan pada Anak
Banyak orang tua yang memberikan pengakuan bahwa memelihara
hewan mampu membantu anak mereka untuk menjadi lebih
bertanggung jawab (Raupp Dalam Jalongo, 2015), menjadi lebih
sosial, dan membangun karakter mereka (Endenburg, dalam
Endenburg & Lith, 2011). Anak yang besar dalam keluarga yang
memelihara anjing memperlihatkan kompetensi sosial yang lebih besar
(Guttman, Melson, Endenburg & Baarda, dalam Endenburg &Lith,
2011).
Chandler, dkk (2015) menemukan bahwa hewan peliharaan
mampu membuat para pemilik untuk sering berinteraksi dalam sebuah
pertemuan, seperti ketika mengajak jalan-jalan hewan
peliharaannya.Selain itu hewan peliharaan mampu menyatukan
keluarga ketika menghabiskan waktu bersama dengan hewan
peliharaan mereka atau sekedar menceritakan kejadian yang dialami
bersama hewan peliharaannya, hal tersebut mampu membuat
hubungan dalam keluarga semakin kuat (Chandler, dkk. 2015).
Hubungan dalam keluarga juga dapat tumbuh semakin kuat sebagai
konsekuensi dari kerja keras untuk memenuhi keperluan sehari-hari
dari hewan peliharaan mereka, hal tersebut merupakan efek positif dari
memelihara hewan peliharaan yang dinyatakan oleh Smolkovic, Fajfar
& Mlinaric (2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
32
Kelekatan dengan hewan peliharaan yang dihasilkan dari
pemberian kasih sayang dari pemilik kepada hewan peliharaannya
mampu memberikan dukungan secara psikologis dan sosial (Beck &
Madresh, dalam Chandler, dkk., 2015). Hal ini sesuai dengan
Hirschman (dalam Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012) yang
menemukan bahwa seseorang memutuskan memelihara hewan sebagai
teman untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Pada anak-anak yang
berada pada daerah yang terisolasi dengan sedikitnya teman sebaya,
hubungan dengan hewan peliharaan mampu menggantikan pertemanan
dengan manusia (Levinson, 1978). Hewan peliharaan dapat berperan
sebagai teman, mampu memberikan kesenangan tanpa syarat dan tidak
menghakimi kepada pemiliknya (Hill, Gaines & Wilson, dalam
Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012).
Nebbe (dalam Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012)
mengungkapkan hewan peliharaan mampu menerima, memberikan
afeksi secara terbuka, jujur, setia dan konsisten, dimana semua hal
tersebut merupakan kebutuhan dasar seseorang untuk dicintai dan
merasa berharga. Hal ini disebabkan karena hewan peliharaan
merupakan mahkluk yang mampu menerima apa adanya dimana secara
tidak terbatas memberikan penerimaan dan afeksi tanpa mengikat
(Levinson, 1978). Penerimaan penuh yang diberikan oleh hewan
peliharaan dapat membuat anak merasa berharga dan merasa disayangi
dimana mungkin saja hal tersebut tidak mampu ia dapatkan dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
33
lingkungannya (Levinson, 1978). Selain itu ketika anak-anak mampu
melatih hewan peliharaannya bersikap menerima atau bahkan mampu
menunjukkan sebuah trik, dapat membuat anak merasa lebih
berkompeten yang dapat menaikkan tingkat harga diri anak tersebut
(Levinson, 1978).
Banyak dari pemilik yang menganggap hewan peliharaan mereka
sebagai bagian dari keluarga, memperlakukan hewan peliharaannya
sebagai anak dan berbicara kepadanya (Wells dalam Endenburg &
Lith, 2011). Selain itu anak-anak yang menjadi “orang tua” dari hewan
peliharaannya mampu memiliki pandangan yang lebih realistik dari
orang tua mereka dan fungsi pola asuhnya (Levinson, 1978). Dimana
anak seringkali bermain peran dan berlaku sebagai orang tua dari
hewan peliharaan mereka, dengan adanya hal tersebut, anak mampu
untuk memiliki pandangan berada di posisi sebagai orang tua.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai dampak memelihara
hewan pada anak sebagai konsekuensi hasil interaksi dengan hewan
peliharaannya yaitu:
a. Meningkatkan interaksi dan hubungan dalam keluarga sebagai
konsekuensi karena adanya pemenuhan kebutuhan hewan
peliharaan seperti memberi makan, mengajak bermain,
memandikan, dsb.
b. Dapat memperoleh afeksi sehingga kebutuhan dasar seseorang
untuk dicintai dan merasa berharga mampu terpenuhi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
34
c. Pemilik hewan peliharaan mampu memiliki peran sebagai
orang tua dari hewan peliharaannya
d. Pemilik hewan peliharaan dapat menjadi lebih bertanggung
jawab
e. Pemilik hewan peliharaan menjadi lebih sosial.
C. Dewasa
1. Definisi dan Batasan
Menurut Arnett (dalam King, 2010) tumbuh dewasa merupakan
transisi dari remaja ke dewasa. Berdasarkan King (2010), seseorang
yang telah memasuki tahap dewasa, memiliki rentang usia 20-30
tahun.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa pada masa dewasa telah
ditandai oleh indikator dari dalam sebagai bentuk otonomi, kontrol
diri, dan tanggung jawab personal, hal tersebut sebagai bentuk pikiran
dibanding peristiwa yang berlainan (Shanahan, Porfeli, & Mortimer,
dalam Papalia & Feldman, 2014).
Menurut Arnett (dalam Papalia & Feldman, 2014) terdapat tiga
kriteria untuk mendefinisikan masa dewasa; (1) Mampu menerima
tanggung jawab pada diri sendiri, (2) Sanggup membuat keputusan
mandiri, (3) Dapat mandiri secara finansial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
35
Berdasarkan Papalia & Feldman (2014), banyak ilmuwan dalam
bidang perkembangan menyatakan bahwa banyak orang muda dalam
kelompok sosial industri, remaja akhir melalui pertengahan hingga
akhir usia 20-an menjadi periode kehidupan yang berbeda, dari
keseluruhan proses kehidupan peralihan masa dewasa. Pada fase ini,
seseorang dinilai berada pada titik dalam rentang ketika kehidupan
dewasa muda dapat mencari tahu siapa diri mereka dan memiliki
kesempatan untuk mencoba hal-hal baru dan cara hidup yang berbeda
(Papalia & Feldman, 2014).
2. Perkembangan pada Masa Dewasa
a. Perkembangan Kognitif
Kapasitas untuk berfikir secara reflektif tampaknya muncul
pada usia 20-25 tahun (Papalia & Feldman, 2014). Menurut
Papalia & Feldman (2014), meskipun hampir semua orang dewasa
mampu mengembangkan kapasitas untuk menjadi pemikir yang
reflektif, namun lebih sedikit yang dapat mencapai kecakapan yang
optimal dalam ketrampilan tersebut, bahkan lebih sedikit lagi yang
dapat menggunakannya secara konsisten untuk menghadapi
beragam masalah. Bagi kebanyakan individu dewasa, pendidikan
di perguruan tinggi menstimulasi kemajuan berfikir reflektif
(Papalia & Feldman, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
36
Tingkat perkembangan kognisi yang lebih tinggi pada masa
dewasa sering disebut pemikiran pascaformal dan pada umumnya
dimulai di peralihan masa dewasa, sering kali melalui ekspos dari
pendidikan tinggi (Labouvie-Vief, dalam Papalia & Feldman,
2014). Pemikiran pascaformal bersifat fleksibel, terbuka adaptif
dan individualistik, menggambarkan intuisi dan emosi begitu juga
dengan logika untuk membantu individu mengatasi dunia yang
tampak kacau (Papalia & Feldman, 2014).
b. Perkembangan Psikososial
Jalan individu menuju masa dewasa di pengaruhi oleh
beberapa faktor seperti gender, kemampuan akademis, sikap awal
terhadap pendidikan, ras dan etnisitas, harapan di akhir masa
remaja, dan kelas sosial (Papalia & Feldman, 2014). Erikson
mengemukakan bahwa orang dewasa muda berada pada tahap
intimasi dan isolasi (Feist & Feist, 2010). Dalam tahap tersebut
seorang dewasa muda sedang berusaha untuk menjalin hubungan
intim (King, 2010). Dalam membentuk keintiman, Rubin (dalam
Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000) mengungkapkan bahwa rasa
empati dan percaya sangat dibutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa
empati dibutuhkan orang dewasa dalam membangun sebuah relasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
37
D. Dinamika Memelihara Hewan dalam Pembentukan Empati
Rothgerber & Mican (2014) menyatakan bahwa hubungan dengan
hewan peliharaan mampu menunjukkan peluang untuk membangun
empati. Hal tersebut diwujudkan dalam banyaknya kegiatan yang dapat
dilakukan ketika memelihara hewan peliharaan. Dalam memelihara
hewan, pemilik mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar
dalam memelihara hewan peliharaannya agar dapat menjaga kesejahteraan
hewan tersebut dan membuat hewan peliharaannya mampu bertahan
hidup, yaitu beban waktu, beban materi dan beban moril.
Beban waktu yang dimiliki oleh pemilik berupa kegiatan mengajak
bermain, mengajak berjalan-jalan, memandikan, mengecek kesehatan, dsb.
Mengajak hewan bermain mampu meningkatkan interaksi dan hubungan
dalam keluarga karena seringkali aktivitas bermain dengan hewan
peliharaan dilakukan bersama-sama dengan sebagian besar anggota
keluarga. Hal ini sesuai dengan temuan Chandler, dkk (2015) dimana
hewan peliharaan mampu membuat keluarga berkumpul bersama dengan
meluangkan waktu bersama hewan peliharaan atau berbagi cerita
mengenai hewan peliharaan sehingga mampu membuat hubungan keluarga
semakin erat.
Selain itu meningkatnya interaksi dalam keluarga dapat membantu
seseorang dalam merasakan perasaan orang lain. Berdasarkan informasi
verbal dan nonverbal yang kita terima dari orang lain, kita mampu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
38
mendapat kesan apakah orang lain yang kita temui ramah, baik hati, judes,
pelit, pemarah, pintar, dan sebagainya (Sarwono & Meinarno, 2009).
Terkadang ketika meniru ekspresi wajah orang lain, kita mampu
merasakan perasaan orang lain dalam ekspresi wajah kita sendiri (Howe,
2015). Hal tersebut merupakan salah satu aksi empati emosional atau
afektif (Howe, 2105).
Guttman (dalam Endenburg & Lith, 2011) menemukan bahwa anak
laki-laki yang memiliki hewan peliharaan mempunyai performa yang lebih
baik dalam mengukur kapasitas mereka saat memberikan kode pada
informasi non-verbal, berpotensi membuat mereka baik dalam
berkomunikasi, dibandingkan anak laki-laki yang tidak memelihara
binatang. Dapat disimpulkan semakin mudah seseorang menyadari kesan
seseorang, semakin mudah pula seseorang merasakan perasaan orang lain.
Howe (2015) mengungkapkan bahwa orang berempati maka orang
tersebut akan memiliki kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain,
ditandai dengan ketika seseorang mampu merasakan kesusahan yang
dialami oleh orang lain, mampu melihat dan memahami kesedihan orang
lain (Howe, 2015)
Ketika interaksi dalam keluarga meningkat, hal tersebut juga dapat
memudahkan seseorang untuk memiliki kemampuan dalam mengevaluasi
maksud atau tujuan yang dimiliki seseorang. Hal ini sesuai dengan
ungkapan King (2010), dimana ketika kita berinteraksi dengan orang lain,
kita dapat mengamati perilaku orang dan mendengarkan apa yang mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
39
katakan, namun untuk menentukan penyebab dasar perilaku orang lain,
seringkali harus membuat kesimpulan dari pengamatan ini, selanjutnya
kita harus dapat mengambil informasi yang kita punya dan menghasilkan
tebakan yang bagus mengenai siapa mereka dan apa yang mungkin
dilakukan di kemudian hari. Howe (2015) mengungkapkan semakin
mudah seseorang dalam membaca, mengenali dan menegoisasikan
perilaku & maksud-maksud dari orang lain maka semakin berempati orang
tersebut.
Kegiatan bersama hewan peliharaan berupa mengajak berjalan-
jalan,mampu membuat pemilik menjadi lebih sosial. Hal ini disebabkan
ketika mengajak berjalan-jalan hewan peliharaan (dalam hal ini anjing)
seringkali pemilik akan bertemu dengan pemilik yang lain sehingga
mampu memunculkan interaksi di dalamnya. Hal ini sesuai dengan temuan
Chandler, dkk. (2015) yang menemukan bahwa hewan peliharaan mampu
membuat para pemilik untuk saling bertemu, sehingga mampu
meningkatkan ikatan pada para pemilik. Para pemilik akan saling
berinteraksi dengan saling berbagi atau bercerita mengenai hewan
peliharaan mereka (Chandler, dkk., 2015).
Meningkatnya interaksi akan mampu membuat pemilik menjadi lebih
sosial. Semakin sosialnya seseorang, dapat dikaitkan dengan perspektif
sosial. Dimana ketika seseorang semakin sosial maka orang tersebut akan
cenderung memiliki perspektif sosial. Ketika anak-anak terlibat dengan
orang lain, mereka belajar untuk memperhitungkan perspektif orang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
40
(Howe, 2015). Kualitas-kualitas hubungan yang dimiliki oleh anak
memberikan peranan penting, bagaimana sebaiknya mereka untuk
menangani dunia sosial tersebut (Howe, 2015). Dalam hubungan semacam
ini anak secara bertahap belajar untuk mendestralisasi pandangan dunia
mereka (Piaget dalam Howe, 2015). Mereka menjadi lebih mengerti
bagaimana mengenali dan meniru perspektif yang dimiliki oleh orang lain
secara perseptual, kognitif dan emosional (Eisenberg dalam Howe, 2015).
Howe (2015) menyebutkan dalam berempati secara kognitif melibatkan
sebuah proses reflektif yang lebih berbasis kognitif untuk memahami
perspektif orang lain. Dapat disimpulkan semakin sosial seseorang
semakin berempati orang tersebut.
Selain beban waktu, pemilik juga mengalami beban materi, dimana
pemilik akan melakukan kegiatan untuk menunjang kehidupan
peliharaannya seperti memberi pakan, memberi minum, memberi kandang,
merawat kesehatan, dsb. Dengan adanya berbagai kegiatan tersebut,
pemilik akan menjadi lebih bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena
pemilik telah memenuhi kewajibannya dengan mencukupi kebutuhan
secara materi untuk hewan peliharaannya. Hal tersebut sesuai dengan
sebagian arti dari bertanggung jawab yang dikemukakan Susanti (2015)
yaitu mengerti kewajiban yang harus dipenuhi olehnya. Perilaku tanggung
jawab sendiri juga dapat berkembang melalui proses sosialisasi pada
keluarga (Apriani & Wangid, 2015). Maka dapat disimpulkan bahwa
tanggung jawab dalam memelihara hewan dapat melibatkan peran serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
41
anggota keluarga lain seperti pada kasus anak memelihara binatang, orang
tua akan membantu anak untuk bertanggung jawab pada hewan
peliharaannya. Dengan adanya proses tersebut, penanaman rasa tanggung
jawab juga dapat menimbulkan interaksi sosial antara anak dengan orang
tua. Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, dengan
semakin sosialnya individu tersebut maka akan semakin berempati orang
tersebut.
Beban moril juga merupakan sebuah konsekuensi yang harus
ditanggung oleh pemilik. Pada beban moril pemilik dituntut untuk
mampu memberikan kasih sayang kepada hewan peliharaannya.
Dampak dari hal tersebut yaitu pemilik mampu memperoleh afeksi
sehingga kebutuhan dasar seseorang untuk dicintai dan merasa
berharga mampu terpenuhi (Nebbe dalam Smolkovic, Fajfar &
Mlinaric, 2012). Ketika anak-anak mampu melatih hewan
peliharaannya bersikap menerima atau bahkan mampu menunjukkan
sebuah trik, dapat membuat anak merasa lebih berkompeten yang
dapat menaikkan tingkat harga diri anak tersebut (Levinson, 1978).
Lupitazari & Fauziah (2017) menemukan bahwa semakin tinggi
tingkat harga diri seseorang maka makin tinggi pula tingkat prososial
orang tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika
semakin sosial seseorang, maka orang tersebut akan memiliki tingkat
empati yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang
memiliki tingkat harga diri yang tinggi sebagai dampak dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
42
memelihara hewan maka orang tersebut akan memiliki tingkat empati
yang lebih tinggi pula.
Dampak lain dari pemenuhan beban moril adalah pemilik dapat
memiliki peran sebagai orang tua dari hewan peliharaannya. Hal ini
disebabkan karena banyak dari pemilik menganggap hewan peliharaan
mereka sebagai bagian dari keluarga, memperlakukan hewan
peliharaannya sebagai anak dan berbicara kepadanya (Wells dalam
Endenburg & Lith, 2011). Pemilik akan menghabiskan waktu dengan
bermain serta berinteraksi bersama hewan peliharaan mereka. Mereka
berlaku seolah-olah mereka adalah orang tua dari hewan yang mereka
pelihara, sedangkan hewan peliharaan mereka adalah anak mereka
sendiri. Adanya permainan tersebut maka seseorang mampu
berimajinasi mengenai apa yang tengah ia perankan dan mengetahui
apa yang harus dilakukan. Bermain melibatkan aksi untuk berpura-
pura, pengambilan peran dan penggunaan imajinasi yang dimiliki
(Howe, 2015). Sedangkan dalam empati kognitif dibutuhkan
kemampuan melihat, berimajinasi dan memikirkan sebuah situasi dari
sudut pandang yang dimiliki oleh orang lain (Howe, 2015). Sehingga
hal ini dapat sesuai bahwa semakin orang mampu berimajinasi dari
sudut pandang orang lain maka makin berempati orang tersebut.
Banyak dari studi yang mampu menemukan bahwa memelihara
hewan mampu meningkatkan empati. Berbagai studi menemukan
bahwa anak muda dengan ikatan yang kuat atau hubungan yang dekat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
43
dengan hewan peliharaannya memiliki skor yang tinggi pada empati
dibandingkan dengan anak yang memiliki ikatan lemah maupun anak
yang tidak memiliki hewan peliharaan (Poresky & Vidovic, dalam
Endenburg & Lith, 2011).
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki sikap
positif pada binatang lebih empatik jika dibandingkan mereka yang
memiliki sikap negatif, atau kurang positif (Daly & Morton, dalam
Endenburg & Lith, 2011). Empati kepada hewan tampaknya mampu
memiliki efek memindah empati pada orang lain (Ascione dalam
Endenburg & Lith, 2011). Ascione (1992) menjelaskan bahwa ketika
anak mampu memperlakukan hewan dengan baik dan peduli maka
dapat memperlakukan teman sebayanya dengan baik pula sehingga
mampu menumbuhkan empati.
Konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Vidovic, penelitian yang
dilakukan oleh Daly & Mortin (dalam Endenburg & Lith, 2011)
menemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan kuat dengan hewan
peliharaannya, tidak hanya memiliki skor yang tinggi pada empati dan
skala perilaku prososial namun juga menilai suasana keluarga mereka
lebih menyenangkan dibandingkan anak yang memiliki kelekatan lebih
rendah dengan hewan peliharaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
44
E. Skema Empati pada Pemelihara Hewan
Gambar 1.
Skema Empati pada Pemelihara Hewan
Memelihara
Hewan Beban
Materi
Beban
Moril
Beban
Waktu
Mengajak
bermain
Mengecek
kesehatan
Memandikan
Mengajak
berjalan
jalan
Memberi
minum
Merawat
kesehatan
Memberi
kandang
Memberi
pakan
Memberikan
kasih
sayang
Meningkatkan
interaksi dan
hubungan
dalam
keluarga
Mampu
menjadi
lebih
sosial
Pemilik
hewan
mampu lebih
bertanggung
jawab
Pemilik
hewan
mampu
memiliki
peran
sebagai
orang tua
dari hewan
peliharaan
Dapat memperoleh afeksi
sehingga kebutuhan dasar
seseorang untuk dicintai
dan merasa berharga
mampu terpenuhi
Kemampuan
merasakanpe
rasaan orang
lain.
Mampu
mengerti dan
mengenali
perilaku &
maksud-
maksud dari
orang lain.
Mampu
memahami
perspektif
orang lain
Mampu
berimajinasi
dan
memikirkan
sebuah
situasi dari
sudut
pandang
orang lain.
Afektif
Kognitif
Empati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
45
F. Hipotesis
Berdasarkan pada penjabaran teori di atas maka peneliti memiliki
hipotesis bahwa terdapat perbedaan tingkat empati kepada sesama pada
orang dewasa yang memelihara hewan jika dibandingkan dengan orang
dewasa yang tidak pernah memelihara hewan, dimana empati kepada
sesama pada orang dewasa yang memelihara hewan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan orang dewasa tidak pernah memelihara hewan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Penelitian komparatif
adalah penelitian yang membandingkan kedua sampel yang berbeda dalam
satu variabel yang sama (Sugiyono, 2014). Penelitian ini akan
membandingkan antara pemilik hewan peliharaan dan bukan pemilik
hewan peliharaan.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Dependen: Empati
2. Variabel Independen: Memelihara hewan peliharaan
C. Definisi Operasional
1. Empati
Empati merupakan hasil pemikiran dan perasaan untuk mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dengan menggunakan
kesadaran kognitif serta ikut merasakan kondisi yang dialami dan
perasaan yang tengah dirasakan oleh orang lain sebagai sebuah respon
afektif. Empati diukur dengan skala empati. Skala empati dibuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
47
menggunakan konsep Howe (2015). Peneliti menggunakan aspek
empati secara afektif dan kognitif. Dalam aspek afektif memiliki satu
indikator yaitu kemampuan merasakan perasaan orang lain. Sedangkan
aspek kognitif memiliki 3 indikator yaitu mampu mengerti dan
mengenali perilaku & maksud-maksud dari orang lain,mampu
memahami perspektif orang laindan mampu berimajinasi dan
memikirkan sebuah situasi dari sudut pandang orang lain.
Semakin tinggi skor yang diperoleh akan menunjukkan