PKN

11
Toleransi Beragama di Indonesia Sisi Positif: PM Inggris Ingin Pelajari Toleransi Beragama di Indonesia Jul 26, 2015 Juwendra Asdiansyah Manca 0 Comments PM Inggris David Cameron. | Reuters/Suzanne Plunkett/CNN Duajurai.com, Jakarta – Perdana Menteri Inggris David Cameron akan menyambangi Indonesia selama dua hari mulai besok, Senin, 27/7/2015. Salah satu agenda utama, selain keperluan bisnis, adalah berdialog soal toleransi beragama dan mengatasi ekstremisme. Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik mengatakan Cameron akan melakukan dialog antaragama di hari kedua kunjungannya ke Indonesia. Di ajang ini, Cameron akan mendengarkan pengalaman dari Indonesia dalam bertoleransi dan membendung kelompok radikal. “Kami akan belajar dari Indonesia soal toleransi, bagaimana caranya mengambil pelajaran dari pengalaman itu dan menerapkannya,” kata Malik dalam konferensi pers, Minggu, 26/7/2015. Selain itu, akan dibicarakan juga soal upaya membendung ISIS, kelompok radikal yang menguasai sebagian Suriah dan Irak. Propaganda ISIS telah membuat warga Inggris turut berperang di Timur Tengah. Selain itu, mereka yang telah teracuni racun ISIS juga menjadi ancaman bagi keamanan dalam negeri di Inggris. “ISIS adalah organisasi yang menyalahgunakan Islam. Mereka adalah musuh bersama Inggris dan Indonesia, dan kami mencari cara bekerja sama untuk mencegah ancaman ekstremisme ini,” ujar Malik seperti dilansir CNN Indonesia.

description

tugas

Transcript of PKN

Page 1: PKN

Toleransi Beragama di Indonesia

Sisi Positif:

PM Inggris Ingin Pelajari Toleransi

Beragama di Indonesia Jul 26, 2015  Juwendra Asdiansyah  Manca 0 Comments

PM Inggris David Cameron. | Reuters/Suzanne Plunkett/CNN

Duajurai.com, Jakarta – Perdana Menteri Inggris David Cameron akan menyambangi

Indonesia selama dua hari mulai besok, Senin, 27/7/2015. Salah satu agenda utama, selain

keperluan bisnis, adalah berdialog soal toleransi beragama dan mengatasi ekstremisme.

Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik mengatakan Cameron akan melakukan

dialog antaragama di hari kedua kunjungannya ke Indonesia. Di ajang ini, Cameron akan

mendengarkan pengalaman dari Indonesia dalam bertoleransi dan membendung kelompok

radikal.

“Kami akan belajar dari Indonesia soal toleransi, bagaimana caranya mengambil pelajaran

dari pengalaman itu dan menerapkannya,” kata Malik dalam konferensi pers, Minggu,

26/7/2015.

Selain itu, akan dibicarakan juga soal upaya membendung ISIS, kelompok radikal yang

menguasai sebagian Suriah dan Irak. Propaganda ISIS telah membuat warga Inggris turut

berperang di Timur Tengah.

Selain itu, mereka yang telah teracuni racun ISIS juga menjadi ancaman bagi keamanan

dalam negeri di Inggris.

“ISIS adalah organisasi yang menyalahgunakan Islam. Mereka adalah musuh bersama

Inggris dan Indonesia, dan kami mencari cara bekerja sama untuk mencegah ancaman

ekstremisme ini,” ujar Malik seperti dilansir CNN Indonesia.

Indonesia, lanjut dia, terbukti berhasil membendung propaganda dan mencegah ancaman

ISIS di dalam negeri. Ada sekitar 500 warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS, namun

jumlah ini sangat kecil dibanding populasi keseluruhan negara ini.

Page 2: PKN

Berbeda dengan Inggris. Sekitar 1.600 warga negara Inggris diketahui bergabung dengan

ISIS di Irak dan Suriah. Cara Indonesia membendung ekstremisme ini yang coba dipelajari

oleh Cameron. “Kami tertarik mempelajari cara Indonesia dalam membendung ekstremisme,”

ujar Malik.

Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia yang disambangi Cameron usai terpilih

kembali dalam pemilu Mei 2015 lalu. Selain bersama menteri kabinetnya, Cameron juga

memboyong para pengusaha asal Inggris untuk menjajaki kerja sama dengan Indonesia

dalam kunjungannya selama dua hari.

Ada 30 pemimpin usaha yang diboyong Cameron dalam kunjungannya kali ini. Malik

mengatakan, para pengusaha ini bergerak di bidang yang paling dikuasai Inggris, yaitu

teknik, finansial, energi, teknologi dan infrastruktur.

Beberapa nota kesepahaman akan ditandatangani dalam kunjungan besok, terkait bidang

investasi, energi, infrastruktur dan teknologi. Dalam bidang antariksa, lanjut Malik, juga akan

dilakukan penjajakan kerja sama.

“ini adalah kunjungan pertama perdana menteri ke luar Eropa. Asia tenggara dan Indonesia

yang dipilih. Ini membuktikan bahwa Indonesia adalah mitra kunci di Asia, bersama dengan

India dan China dalam membentuk perekonomian dunia di abad ke-21,” kata Malik.(*)

Duajurai.com, Portal Berita Lampung Terkini Terpercaya

Vatikan Kagumi Toleransi Beragama di IndonesiaVictor MaulanaSelasa,  11 Agustus 2015  −  19:10 WI

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, dengan Menteri Luar Negeri Vatikan, Kardinal Pietro Parolin, di Jakarta pada Selasa (11/8/2015) | (Sindonews/Victor Maulana)A+ A-

Page 3: PKN

JAKARTA - Pemerintah Vatikan mengaku salut dengan toleransi antar agama yang ada di Indonesia. Hal itu terungkap kala terjadi pertemuan antara Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, dengan Menteri Luar Negeri Vatikan, Kardinal Pietro Parolin, di Jakarta pada Selasa (11/8/2015).

“Tadi beliau (Parolin) mengatakan sangat menghormati dan mengutarakan kekagumannya terhadap pluralisme di Indonesia, dimana Indonesia dengan ukuran yang sangat besar, dengan jumlah penduduk yang sangat banyak sampai saat ini mampu mempertahanan pluralisme,” kata Retno dalam sebuah pernyataan.

Dalam pertemuan tersebut, Retno mengatakan, salah satu fokus pembahasan dengan Parolin adalah mengenai dialog antara agama. Alasan Vatikan mengangkat isu tersebut, tidak lain kembali lagi pada faktor toleransi antara agama di Indonesia.

Vatikan bukan satu-satunya negara yang menjadikan Indonesia sebagai mitra dialog antar agama. Sebelumnya, Inggris, saat Perdana Menteri mereka David Cameron berkunjung ke Indonesia juga membawa isu tersebut, dimana Cameron melakukan diskusi dengan beberapa tokoh agama di tanah air.

Selain itu, kerjasama pendidikan juga turut menjadi salah satu topik pembahasan Retno dengan Parolin. Kerjasama pendidikan ini meliputi adanya kerjasama antar Universitas Katolik Indonesia dan Vatikan, termasuk didalamnya rencana untuk mengirimkan pengajar dari Vatikan untuk mengajar di Universitas Indonesia.

Page 4: PKN

Sisi Negatif:

TOLERANSI PALSU, KEBEBASAN BERAGAMA SEMU26 September 2013 · by RetakanKata · in Gerundelan. ·

Gerundelan Achmad Munjid

Entah untuk mengubur rasa bersalah atau karena “kurang gaul”, sebagian pejabat kita suka sekali membangga-

banggakan diri dalam perkara toleransi dan kebebasan beragama. Berkebalikan dengan laporan-laporan tahunan

yang dikeluarkan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Setara Institute, Wahid

Institute dan berbagai lembaga kredibel internasional mengenai kehidupan beragama di Indonesia yang bertabur

noda, baru-baru ini, misalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa hubungan antar-agama di

negara kita adalah yang terbaik di dunia. Dengan menengok sejarah sebentar saja, seharusnya kita paham. Sejak

1967, toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia lebih banyak ditafsir dan dipraktekkan menurut perspektif

mayoritas.

Interpelasi Simorangkir bisa disebut sebagai peristiwa terbuka pertama menyangkut isu toleransi dan kebebasan

beragama setelah kemerdekaan. Persis di awal Orde Baru, interpelasi Simorangkir diajukan kalangan Kristen

dalam suatu sidang parlemen DPR GR 1967 guna menggugat pelarangan pendirian gereja Metodis di Meulaboh,

Aceh. Menurut mereka, tindakan pelarangan itu menghancurkan semangat toleransi beragama, tidak sesuai dengan

Pancasila, melanggar HAM dan mengancam persatuan nasional.

Sebaliknya, kalangan Muslim yang dimotori oleh tokoh seperti HM. Rasjidi dan M. Natsir menuduh bahwa dengan

mendirikan gereja dan melakukan kegiatan misi di lingkungan Muslim seperti Aceh—yang pada jaman Belanda

pun dilarang di bawah peraturan “double mission”—golongan Kristenlah yang tidak punya toleransi dan tak

menghargai kebebasan beragama, membahayakan Pancasila serta mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa.

Beberapa bulan kemudian, meletus pula “Peristiwa Makassar” yang dipicu oleh kombinasi antara tindakan

pelecehan oleh seorang guru beragama Kristen terhadap Nabi Muhammad dan rencana penyelenggaraan Sidang

Raya Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) VI di kota itu. Belasan gereja, sekolah, asrama dan bangunan Kristen

dirusak massa Muslim. Bagi kalangan Kristen, ini merupakan bukti lain betapa umat Islam tidak memiliki toleransi

dan tak peduli kebebasan beragama, sebagaimana yang telah mereka khawatirkan sejak perdebatan perumusan

Konstitusi 1945. Sebaliknya, bagi warga Muslim, tindakan pelecehan dan penyelenggaraan SR DGI di kota

berpenduduk mayoritas Muslim itu dipandang sebagai ekspansi terang-terangan dan pelanggaran terhadap prinsip

toleransi serta kebebasan beragama.

Musyawarah Antarumat Beragama yang diselenggarakan Pemerintah pada akhir 1967 memang bisa menghentikan

perdebatan terbuka yang potensial mengguncang tahun-tahun awal Orde Baru, tapi ia gagal menyelesaikan

masalah. Berbagai peristiwa pada1967 dan periode formatif Orde Baru serta solusinya telah membentuk watak

hubungan antaragama di Indonesia, sampai sekarang. Di bawah otoritarianisme Suharto, ketegangan dan saling

curiga antarumat beragama terus mengendap, kadang pecah seperti dalam kasus pembunuhan seorang pendeta

Kristen Australia pada 1974 yang berbuntut pembatalan rencana SR Dewan Gereja-Gereja Dunia 1975 di Jakarta,

perdebatan RUU Perkawinan 1973, UU Peradilan Agama, UU Sisdiknas 1989 dan lain-lain.

Page 5: PKN

Dengan menggunakan dalil kerukunan, Pancasila, kesatuan nasional dan HAM, khususnya Islam dan Kristen

sebagai dua kelompok terbesar terus berebut tafsir dan berupaya untuk mempergunakan kekuatan negara dalam

mendesakkan kepentingan masing-masing sembari saling tuding mengenai siapa yang membela dan siapa yang

melanggar prinsip toleransi dan kebebasan beragama.

Dari Isaiah Berlin (2002) kita belajar tentang dua wajah kebebasan, kebebasan positif atau “kebebasan untuk”

(freedom for) dan kebebasan negatif atau “kebebasan dari” (freedom from). Keduanya bukan cuma bisa merupakan

dua ragam yang berbeda, tapi juga rival dan dua tafsir yang tak saling bersesuaian tentang kebebasan. Apa yang

terjadi dalam hubungan antaragama di Indonesia adalah contohnya.

Akibat sejarah yang kompleks, khususnya dalam hubungannya dengan kelompok Kristen, sebagian Muslim di

Indonesia cenderung memahami kebebasan beragama sebagai “kebebasan dari” pengaruh dan “gangguan” agama

lain. Peraturan izin pendirian rumah ibadah dan pelarangan penyebaran agama terhadap orang yang “sudah

beragama” yang dibuat Orde Baru setelah peristiwa 1967 atas desakan kalangan Muslim adalah contoh yang

populer. Bagi umat Islam, toleransi dan kebebasan beragama terutama adalah “jangan ganggu iman kami”.

Sementara kalangan Kristen cenderung menekankan aspek “kebebasan untuk”, termasuk kebebasan untuk

menyebarkan agamanya kepada siapa saja, baik yang “sudah beragama” maupun “belum”. Dalam perdebatan pada

1950-an, selain Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, Konstitusi RIS 1949 yang secara eksplisit mencantumkan hak

bebas berganti agama kerap mereka rujuk.

Sedangkan kelompok Muslim dan Hindu sama-sama sepakat agar umat yang “sudah beragama” tidak boleh

dijadikan sasaran penyebaran agama. Ini memang merupakan isu genting, terutama sejak 1965, ketika Orde Baru

mendorong arus konversi kedalam agama-agama resmi sebagai suatu cara untuk menghabisi golongan

komunis. Agama-agama yang diakui pun saling berebut penumpang. Akibatnya, kelompok mayoritas takut

kehilangan, kelompok minoritas takut tidak mendapat bagian.

Bagaimana dengan para penganut agama lokal? Dalam paradigma kewajiban menganut salah satu agama resmi ala

Orde Baru, bukan cuma mereka dilihat sebagai pasar empuk penyebaran agama, nasib agama dan kepercayaan

lokal tak perlu dipikirkan.

Sebagaimana kebebasan secara umum, sebenarnya kebebasan beragama selalu hadir dalam dua wajah, yang

“positif” dan “negatif”, dan tidak ada yang berdiri sendiri secara mutlak. Karenanya, negara semestinya tidak perlu

repot harus berpihak ke mana, kecuali kepada prinsip keadilan dan kesederajatan setiap kelompok dan warga.

Agama adalah urusan pribadi yang wajib dijamin oleh negara. Tetapi, pelaksanaan kebebasan beragama, baik yang

positif maupun negatif, harus ditindak jika terbukti melanggar aturan hukum. FPI, karena itu, tidak boleh dibiarkan

sewenang-wenang menghalang-halangi usaha pembangunan rumah ibadah umat non-Muslim atau menghabisi

kelompok-kelompok Islam yang mereka anggap sesat.

Pada masa lalu, Orde Baru dan banyak produk hukumnya, seperti peraturan pendirian tempat ibadah, pengawasan

terhadap aliran kepercayaan warga negara, dan pewajiban pelajaran agama di sekolah umum telah membuat

masalah toleransi dankebebasan beragama justru kian runyam. Sebab, Orde Baru memang tidak menjamin

penegakan prinsip toleransi dan kebebasan beragama itu sendiri, melainkan memihak kepada tafsir keduanya

Page 6: PKN

menurut kelompok yang menguntungkan kepentingan politiknya. Sampai sekarang, warisan kebijakan dan

paradigma itu rupanya masih terus dipertahankan.

Penganiayaan dan kesewenang-wenangan terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti tercermin dalam kasus

Syi’ah di Sampang, Ahmadiyah, dan GKI Yasmin, jelas menunjukkan bahwa posisi kita masih belum jauh

bergeser dari situasi tahun 1967, lama setelah Orde Baru runtuh.

Mungkinkah yang kita bangga-banggakan selama ini cuma toleransi palsu dan kebebasan beragama semu?

Sumber: Note FB Achmad Munjid

Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo edisi 16 September 2013.

Rendahnya Toleransi Jadi kendala Kerukunan Antar Umat beragamaRabu, 13 November 2013 | pukul : 08:47:18 | Administrator | Hits : 1756

Pekalongan, Info Publik – Salah satu masalah dalam meningkatkan kerukunan antar umat beragama adalah rendahnya toleransi. Selain itu Kepentingan politik dan sikap fanatik juga mempersulit upaya tersebut.

Hal itu dikemukakan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ahmad marzuqi saat berbicara pada Seminar Peningkatan Toleransi Kerukunan Dalam Kehidupan beragama Kota Pekalongan 2013 yang digelar di Ruang Amarta, Selasa

(12/11).Menurut Ahmad Marzuqi Kerukunan antar umat beragama sering hancur

karena faktor politisasi agama. “agama sering dijadikan instrumen untuk mencapai kepentingan politik tertentu,” katanya.

Selain itu kerukunan antar umat beragama sulit diwujudkan ketika muncul fanatisme yang berlebihan. “Radikalisme dan fundamentalis agama tidak hanya terdapat dalam agama Islam saja tapi juga agama Kristen dan agama-agama lainya,” tandasnya.

Karena diperlukan dialog antar pemeluk agama dan selalu bersikap optimis dengan mendirikan pusat studi agama dan lintas budaya. “hal itu bisa membuat masyarakat semakin dewasa cara berpikirnya terhadap provokasi,” tambahnya.

Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan politik (Kesbangpol) Tjuk Kushindarto pada kesempatan yang sama menegaskan peranan lembaga keagamaan dan para pemimpin atau tokoh agama dalam pembangunan antara lain menterjemahkan nilai-nilai dan norma agama dalam kehdiupan. B”Selain itu mereka juga harus mendorong dan membimbing masyarkat dan umat beragama untuk ikut serta dalam pembangunan,” tadasnya.

Sementara itu Walikota Pekalongan dr HM Basyir Ahmad saat membuka acara ini mengapresiasi acara seminar ini. “Kerukunan antar umat beragama

Page 7: PKN

sangatlah penting bagi kita untuk bersama-sama maju membangun Kota Pekalongan.” Katanya.

Bukti kerukunan itu sudah terjalin, basyir menunjuk bahwa Kota Pekalongan sudah tidak menjadi kota sumbu pendek yang gampang meledak. “Ini patut kita syukuri dan kita jaga terus dengan meningkatkan kerukunan antar umat beragama,” paparnya.

Selaiu kedua pembicara dari FKUB dan Kesbangpol, seminar ini juga menghadirkan Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota, AKP Herie Purwanto. (diskominfo/007)

Solusi Pemerintah Berkaitan Toleransi Beragama di Indonesia

Opini Tentang Toleransi Beragama

Artikel Tentang SKB II Menteri,Menteri Agama dan Luar Negeri

SKB 2 Menteri dan FKUB 03 Aug 2007  Ali Mursyid  Berita

 3258 times

Selain Diskriminatif Juga Bisa Timbulkan Konflik

Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 menteri -Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri- mengenai Pedoman Pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat, sungguh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan diskriminatif. Ini terungkap dalam diskusi bulanan forum sabtuan (forum lintas iman) Cirebon pada 27/04/2007 di kediaman Ali Mursyid, Jl. Kusnan Gg Bhakti no 12 Kota Cirebon

Page 8: PKN

Sebagai negara yang menerima dan menyepakati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mestinya Indonesia atau pemerintah Indonesia menyesuaikan segala kebijakan dengan nilai-nilai HAM yang universal. Dalam perpektif HAM, untuk persoalan Ekosok dan segala hal yang terkait dengan kesejahteraan rakyat, negara berkewajiban menghargai (to respect), melindungi (to protect) dan juga memenuhi (to fulfil) hak-hak warganya. Tetapi dalam masalah agama dan keyakinan, maka Negara wajib menghargai dan menjamin kebebasannya saja, dan tidak sampai pada pemenuhan. Karena itu dalam masalah kerukunan umat beragama mestinya negara menyerahkan sepenuhnya pada masyarakat. Dalam hal ini negara harusnya abstain, bukan malah ikut campur. Ini dituturkan Ali Mursyid, dalam pembukaan diskusi.

Memang awalnya niat adanya SKB dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)itu kan untuk mengatur kerukunan umat beragama. Namun faktanya, khususnya di Cirebon malah mungkin sebaliknya. Ini karena diantaranya dalam pembentukan FKUB tidak peka terhadap nasib minoritas. Ini terlihat dari tidak imbangnya perwakilan agama-agama yang ada dalam struktur kepengurusan FKUB. Perwakilan dari muslim untuk pengurus berjumlah 12 orang, sementara perwakilan dari non-muslim, masing-masing 1 orang saja. Tanpa memperhitungkan prosentase penganut agama yang ada. Selain itu penetapan dan kebijakan-kebijakan pelaksanaanya kurang dibicarakan secara fair sebagaimana di forum-forum cultural seperti forum sabtuan. Demikianlah Yohanes -perwakilan kaum Khatolik Cirebon yang juga aktif mengikuti pertemuan-pertemuan FKUB -mengungkapkan kekesalannya.

Nada yang sama diungkapkan juga oleh Pdt. Sugeng Daryadi, perwakilan kaum Kristen Protestan Cirebon. Menurutnya, ketidak adilan SKB mulai terlihat sebenarnya sejak dalam pertaturan yang mengatur tempat pendirian tempat ibadah. Dimana untuk mendirikan tempat ibadah disyaratkan ada tanda tangan persetujuan minimal 90 orang dari internal jama’ah, dan 60 orang dari lingkungan setempat yang berbeda agama. Dalam prakteknya ini hanya untuk menyulitkan pendirian gereja, sementara untuk masjid, mushola dan yang lain tidak atau kurang diperlakukan demikian, kata Sugeng dengan nada tinggi.

Kritikan bahwa SKB dan FKUB diskriminatif juga dilontarkan oleh Prof. DR. Adang Jumhur, seorang pengajar di Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cirebon. Dalam bacaannya, SKB ini benar pada pernyataan-pernyataan awalnya, karena ingin dan bertujuan menjamin kerukunan umat beragama. Tetapi aturan-aturan berikutnya, menunjukkan bahwa tujuan adanya SKB ini hanya semata-mata membatasi ruang gerak kebebasan non-muslim dalam menjalankan agamanya. Tidak diragukan lagi, ini jelas diskriminatif, tegasnya.

Hadir juga dalam pertemuan itu, beberapa anggota Jema’at Ahmadiyah Manis Lor Kuningan. Salah seorang diantaranya mempertanyakan langkah-langkah pemerintah selama ini, yang justru menghalangi orang untuk beribadah.

Page 9: PKN

“Ibadah itu kan baik, diatur yang ngak apa-apa. Tetapi kalau aturannya malah membikin orang sulit beribadah, lalu bagaimana maunya?”

Memang benar kata orang, di negeri ini kadang lebih mudah mendirikan tempat pelacuran dari pada mendirikan tempat ibadah, kata Ali sambil menutup acara. Acara pertemuan semacam ini diselenggarakan bulanan oleh forum lintas Iman Cirebon dengan dihadiri oleh para aktifis dari berbagai agama yang ada. Ini berjalan sejak 2001 hingga kini. Forum lintas iman ini berjalan tanpa harus ada aturan yang malah membingungkan seperti SKB 2 Menteri. Wallahu A’lam (AM)

Syarat Berdirinya Tempat Ibadah

Bagaimana Langkah atau Solusi Pemerintah Berkaitan dg SKB II Menteri

Bagaimana Opini Saudara Berkaitan dg SKB II Menteri