pkmrs.docx
-
Upload
farisah-dewi-batari-emsil -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of pkmrs.docx
TETANUS NEONATORUM
OLEH: FARISAH DEWI BATARI
C111 11 205
Pembimbing:
dr. Husain Assagaf
dr. Nia Krisdiantari
Supervisor:
Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A (K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKDEPARTEMENT ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASSAR 2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:
Nama : Farisah Dewi Batari
NIM : C111 11 205
Judul PKMRS : Tetanus Neonatorum
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, 16 September 2015
Pembimbing, Pembimbing, Mahasiswa,
dr. Husain Assagaf dr.Nia krisdiantari Farisah Dewi Batari
Supervisor
Dr.dr. Ema Alasiry, Sp.A(K)
2
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1 PENDAHULUAN 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1. Pengertian 42.2. Etiologi 52.3 Epidemiologi 62.4.Faktor Risiko 72.5.Patofisiologi 92.6.Manifestasi Klinis 102.7.Diagnosis 122.8.Diagnosis Banding 142.9.Penatalaksanaan 142.10. Komplikasi 182.11. Prognosis 182.12.Pencegahan 19
2.12.1. Perawatan Persalinan 19 2.12.2. Vaksinasi tetanus 19
BAB 3 KESIMPULAN 22
3
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tetanus pada neonatal merupakan penyebab kematian paling sering terjadi
akibat persalinan dan penanganan tali pusat tidak bersih. Tetanus ditandai dengan
kaku otot yang nyeri yang disebabkan oleh neurotoxin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani pada luka anaerob (tertutup). Tetanus neonatorum (TN) adalah
tetanus pada bayi usia hari ke 3-28 setelah lahir. Bila tetanus terjadi angka
kematian sangatlah tinggi, terutama ketika perawatan kesehatan yang tepat tidak
tersedia. Saat ini kematian akibat tetanus pada maternal dan neonatal dapat dengan
mudah dicegah dengan persalinan dan penanganan tali pusat yang higienis, dan
atau dengan imunisasi ibu dengan vaksin tetanus (Bulletin ETMN, 2012).
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ", pada
tahun 1890, ditemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus.
Badan Kesehata n Dunia (WHO) pada tahun 1988 dan UNICEF melalui
World Summit for Children pada tahun 1990 mengajak seluruh dunia untuk
mengeliminasi Tetanus Neonatorum pada tahun 2000. Target ini tidak tercapai,
karena belum ditemukan strategi operasional yang efektif, sehingga pada tahun
1999 UNICEF, WHO dan UNFPA kembali mengajak negara berkembang di
dunia untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN)
pada tahun 2005 dengan menggalang dana ETMN dunia.
WHO memperkirakan pada 2008 (angka estimasi tahun terakhir yang ada),
59.000 bayi baru lahir meninggal akibat TN, terdapat penurunan 92% dari situasi
4
pada akhir 1980-an. Pada 2008 terdapat 46 negara yang masih belum eliminasi
TMN di seluruh kabupaten, salah satunya adalah Indonesia.
Pada tahun 2007, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 141 naik
menjadi 198 kasus pada tahun 2008, namun terus menurun sampai tahun 2011
menjadi 114 kasus. Angka kematian tetanus neonatorum (case fatality rate)
berdasarkan persentase neonatus meninggal diantara neonatus terinfeksi tetanus
dari tahun 2007 -2011 berkisar antara 48% - 61%. Dari tahun 2008-2011, Provinsi
Banten dan Jawa timur selalu masuk dalam tiga tertinggi kasus tetanus
neonatorum. Berdasarkan provinsi kasus tetanus neonatorum tahun 2011, kasus
yang paling banyak adalah Provinsi Banten sebanyak 38 kasus kemudian
Provinsi Jawa Timur sebanyak 22 kasus, Kalimantan Barat sebanyak 13 kasus.
Untuk Provinsi Aceh, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 3 kasus (Buletin
ETMN, 2012).
Kasus tetanus neonatorum berdasarkan pemeriksaan kehamilan, dari tahun
2007-2011 yang paling besar terjadi pada ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya pada Bidan/Perawat dan ibu yang tidak memeriksakan
kehamilannya. Berdasarkan status imunisasi ibu hamil yang paling banyak terjadi
pada ibu hamil yang tidak divaksinasi. Berdasarkan penolong kelahiran, paling
banyak terjadi pada ibu yang melahirkan ditolong secara tradisional, kemudian
yang ditolong oleh bidan/perawat. Kasus tetanus neonatorium lebih banyak terjadi
pada bayi dengan perawatan tali pusatnya dilakukan secara tradisional serta
pemotongan tali pusatnya menggunakan gunting (Buletin ETMN, 2012).
Perjalanan penyakit tetanus neonatorum seperti pada tetanus anak, tetapi
lebih cepat dan berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu bayi tiba-tiba panas dan
tidak mau atau tidak dapat menyusui lagi (trismus), mulut mencucu seperti mulut
ikan (kapermond), mudah sekali dan sering kejang, suhu meninggi, kuduk kaku
sampai opistotonus.
5
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang
tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi,
penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan
yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus
mempunyai Case Fatality Rate (CFR) yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus
dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih
menurunkan angka kematian.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala
klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”.
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang
lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia
yang tiada akhir”. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan
tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia
penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus
pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil
mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa
organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan.
Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi
6
spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif
antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini
digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang Dunia I.
Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun
1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia I (Farrar et al, 2000).
Gambar 2.1. Lukisan “Opisthotonus” oleh Sir Charles Bell (1809), seorang
dokter bedah dan ahli anatomi, yang menggambarkan seorang tentara yang
menderita tetanus
Tetanus neonatorum (TN) adalah tetanus pada bayi usia hari ke 3-28
setelah lahir. Bila tetanus terjadi angka kematian sangatlah tinggi, terutama ketika
perawatan kesehatan yang tepat tidak tersedia. Saat ini kematian akibat tetanus
pada maternal dan neonatal dapat dengan mudah dicegah dengan persalinan dan
penanganan tali pusat yang higienis, dan atau dengan imunisasi ibu dengan vaksin
tetanus.
Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Clostridium tetani merupakan organisme
obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x
6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium
tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan.
Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran
7
hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana
anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan
tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang
menyebabkan spasme otot dan kejang.
Epidemiologi
Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat
dikatakan langka di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus
yang steril dan pemberian vaksin tetanus secara umum telah disosialisasikan dan
dilaksanakan sebagai suatu prosedur kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki
insiden tetanus neonatorum yang sangat rendah yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak
tahun 1967(Grossman, 1996). Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik
pada laki-laki maupun wanita (1:1), usia ibu yang paling sering mengalami tetanus
maternal adalah antara usia 20-30 tahun (berbanding lurus dengan usia melahirkan
terbanyak). 90 % kasus tetanus neonatorum dan tetanus maternal terjadi pada
partus yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan seperti di rumah, dukun, dsb
(CDC, 1998).
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana >
50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF,
setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini (CDC, 1998). WHO
menyatakan bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 % kematian
neonatus di seluruh dunia (Jurnal Neonatal Tetanus Elimination, 2005).
Pada tahun 2007, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 141 naik
menjadi 198 kasus pada tahun 2008, namun terus menurun sampai tahun 2011
menjadi 114 kasus. Angka kematian tetanus neonatorum (case fatality rate)
berdasarkan persentase neonatus men inggal diantara neonatus terinfeksi tetanus
8
dari tahun 2007 -2011 berkisar antara 48% - 61%. Dari tahun 2008-2011, Provinsi
Banten dan Jawa timur selalu masuk dalam tiga tertinggi kasus tetanus
neonatorum. Berdasarkan provinsi kasus tetanus neonatorum tahun 2011, kasus
yang paling banyak adalah Provinsi Banten sebanyak 38 kasus kemudian
Provinsi Jawa Timur sebanyak 22 kasus, Kalimantan Barat sebanyak 13 kasus.
Untuk Provinsi Aceh, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 3 kasus (Buletin
ETMN, 2012).
Faktor Risiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a) Faktor risiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan menyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita
dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang
kotor.
b) Faktor alat pemotongan tali pusat
Penggunaan alat yang tidak steril un tuk memotong tali pusat meningkatkan
risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku
di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan
pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau
sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008).
c) Faktor cara perawatan tali pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu
dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain
pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi
yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan
meningkatkan risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).
d) Faktor kebersihan tempat pelayanan persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat
pelayanan persalinan yang tidak bersih berisiko untuk menimbulkan penyakit
9
pada bayi yang akan dilahirkan dan pada ibu yang melahirkan. Tempat
pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril
(Abrutyn, 2008).
e) Faktor kekebalan ibu hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat
membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir.
Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui
darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian
besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak
pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000)
Patofisiologi
Spora Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora
yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh
beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif
dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala
klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang
sedang tumbuh. Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani
bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan merusak jaringan-
jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana anaerob yang
terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis tetapi tidak
berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian
menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus (Edlich
et al, 2003).
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus pada bayi (tetanus neonatorum) lebih cepat
dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-10 hari, dan biasanya
bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua pasca
10
persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of
the seventh day).
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat
dilihat ketika bayi mal a s m i num d a n men a n g is yang terus menerus, suhu tubuh
bayi normal atau bisa meningkat atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan
hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu.
Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang atau tris m us
mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti.
Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak
atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga
rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku sehingga
bentukan mulut menjadi men c u c u s e p e rti mu l ut ikan k a rper (karpermond) .
Kemudian terjadi kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik kearah lateral, dan
alis tertarik ke atas yang disebut risus s a rd o nicus . Kaku kuduk, disfagia, dinding
abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan
menyusul dalam beberapa jam berikutnya
Gambar 2.3 Manifestasi klinis tetanus neonatorum
11
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh
rangsangan- rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian
kejang akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi
masih baik namun spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi
akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga terjadi vasokonstriksi pada
saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini
merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum. Pada saat
spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada siku dan
tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung
tertarik menyerupai busur panah atau disebut op i stotonu s .
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya
pada kasus tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan
penting dalam menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset
ini, semakin buruk prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek
dibandingkan dengan pada anak atau dewasa dimana lebih ke arah beberapa jam
dari pada beberapa hari seperti pada dewasa, hal ini mungkin disebabkan
jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem saraf
pusat (Pudjiadi, 2009).
Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah
dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris
yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.
Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Edlich, 2003).
12
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat
bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau
telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus
klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C
selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme
kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi (Edlich et al, 2003).
Diagnosis Banding
Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai
tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses
alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis
dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala
trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada
trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan
melibatkan otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani
hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme
karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat
mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat
menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan
pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan
striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan
pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul lebih lambat
serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus (Edlich et al,
2003).
13
Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan
napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai
berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan
untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan
midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan
patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang
berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus
memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan
khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat
memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk
membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah
pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan
elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi (Dittrich,
Keilany, 2001)
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1)
menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan
(3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron
dimetabolisme (Edlich et al, 2003
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human
tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat
HTIG untuk tetanus. Bhatia (2002), menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-
6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam
formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU (Taylor, 2006). Waktu paruh
HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh
diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary
aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak
tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda
dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin
dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara
14
intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal
dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas
sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS
diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10
kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap
tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf (Afshar, Raju, Bleck, 2011).
Pemberian TIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya (maksimal 24 jam
setelah didiagnosis), karena toksin tidak dapat lagi dinetralisir oleh TIG atau ATS
apabila sudah mencapai medula spinalis (Dittrich, Keilany, 2001)
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB
per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G
merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis
dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan
pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan
anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui
jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan
sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12
jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol
juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan membuang
benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen
peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka
dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik (Ritarwan,
2004).
Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen
instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas.
Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama
untuk mencapai sedasi. Dosis diazepam yang digunakan 10 mg/kgBB/hari
15
intravena dalam 24 jam atau bolus intravena setiap 3 jam (0,5 mL/kali pemberian),
maksimum 40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital
yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan
digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg
untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila
spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-
200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120
mg/hari diberikan intravena (Taylor, 2006).
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit.
Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan aspirasi, oleh
karena itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau via nasogastric tube (NGT).
Pada kasus neonatus dengan jalan napas yang tidak berhasil distabilkan atau
intubasi yang melebihi 10 hari, trakeostomi dapat dilakukan (Edlich et al, 2003).
Komplikasi
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan
menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama
kematian pada kasus tetanus neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot
berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana
pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf otonom yang
dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat
menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab
kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial (contoh: Bronkopneumonia)
5. Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun
minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung)
16
Prognosis
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari
inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya
gejala hingga spasme tetanik yang pertama (Ogunrin, 2009). Statistik terbaru
menunjukkan tingkat mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%.
Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas 60%.
Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga
bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang diajukan pada
pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal
sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis
pertama (Ogunrin, 2009).
PENCEGAHAN
Perawatan persalinan dan pasca persalinan
Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara
signifikan dapat menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya
tetanus neonatorum. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan
medis yang mendukung (memastikan kebersihan tangan, tali pusat,
perineum, dan semua substans yang digunakan)
2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan
sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum
mendapat vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas
3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan
tetanus neonatorum.
Vaksinasi tetanus
17
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak
sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein
spesifik. Pemberian vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika
riwayat vaksin tidak diketahui atau kurang dari 3 kali imunisasi TT (Hinfey,
2011).
Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45
tahun) atau sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum
yang paling mudah dan efektif. Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi
terhadap infeksi tetanus mencapai lebih dari 90%.
Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis
tetanus toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis
tetanus) dengan jarak antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12
bulan kemudian, dosis ke 4 satu tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke
5, 1 tahun setelah pemberian dosis ke 4.
Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td,
atau DPT, dapat diberikan booster setiap 10 tahun.
Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan
vaksin pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu
sebelum melahirkan.
Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya
harus diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat
memberikan perlindungan hingga 5 tahun.
Tabel 2.7 Rekomendasi jadwal imunisasi tetanus toxoid (TT) dan tetanus dan
difteri toxoid (Td) untuk wanita pada masa subur yang belum divaksinasi
18
Dosis Jadwal Pemberian
TT1 atau Td1Pada kontak pertama atau sedini mungkin saat
kehamilan
TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis pertama
TT3 atau Td36-12 bulan setelah dosis kedua atau pada kehamilan
berikutnya
TT4 atau Td41-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat kehamilan
berikutnya
TT5 atau Td51-10 tahun setelah dosis keempat atau saat kehamilan
berikutnya
Tabel 2.8 Efikasi vaksin tetanus toxoid berdasarkan dosis
DosisInterval minimum
antar dosisPercent protected Durasi proteksi
TT1 - - -
TT2 4 minggu 80% 3 tahun
TT3 6 bulan 95% 5 tahun
TT4 1 tahun 99% 10 tahun
TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur hidup
KESIMPULAN
19
Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit
yang telah dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum
berhasil dieradikasi karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam
tanah dan feses hewan. Tetanus pada neonatus disebabkan spora Clostridium
tetani yang masuk melalui luka tali pusat yang tidak memenuhi syarat kebersihan.
Perjalanan penyakitnya seperti pada tetanus anak tetapi lebih cepat dan berat.
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat
dilihat ketika bayi malas minum dan menangis yang terus menerus, mulut
mencucu seperti ikan karpermond disertai kejang, suhu meninggi, dan kaku
kuduk sampai opistotonus.
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan
napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Penatalaksanaan berikutnya
memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2)
menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai
tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme.
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari
inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya
gejala hingga spasme tetanus yang pertama.
Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid,
higiene persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
20
Katrinan Kretsinger, MD , et.al, 2005 Preventing Tetanus, Diphteria, and Pertussis Among Adults : Use Of Tetanus Toxoid, Reduced Diphteria Toxoid and Acellular Pertussis Vaccine, Recommendations and Reports Vol. 55/ RR-17.
Kenneth C, Dittrich, and Bashar Keilany, 2001, Tetanus : lest we forget,
Standards for Maternal and Neonatal Care, Maternal Immunization against tetanus, (Integrated management of Pregnancy And Childbirth (IMPAC) 2002
Pusat Data dan Informasi, 2012, Eliminasi tetanus Maternal dan Neonatal, Bulletin Jendela Volume I, September 2012.
JJ Farrar, L M Yen, et.al, Tetanus, J. Neurol. Neorosurg Psychiatry 2000-292-301.
Profil Kesehatan Indonesia, 2008, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2009.
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination by 2005.
Martha H. Roper, et.al 2007, Maternal and Neonatal Tetanus, published online by the Lancet on 12 Seprember 2007.
Ritarwan Kiking, Tetanus, Bagian Neurologi Fak.Kedokteran USU/ RSU H.Adam Malik.
Tejpratap S.P Tiwan MD, Tetanus, VPDSurveilance Manual 5th Edition 2011.
WHO, 2008, Word Health Statistics 2008.
21