pkmrs.docx

32
TETANUS NEONATORUM OLEH: FARISAH DEWI BATARI C111 11 205 Pembimbing: dr. Husain Assagaf dr. Nia Krisdiantari Supervisor: Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A (K) DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMENT ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDIN MAKASSAR 2015 1

Transcript of pkmrs.docx

Page 1: pkmrs.docx

TETANUS NEONATORUM

OLEH: FARISAH DEWI BATARI

C111 11 205

Pembimbing:

dr. Husain Assagaf

dr. Nia Krisdiantari

Supervisor:

Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKDEPARTEMENT ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDIN

MAKASSAR 2015

1

Page 2: pkmrs.docx

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Farisah Dewi Batari

NIM : C111 11 205

Judul PKMRS : Tetanus Neonatorum

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 16 September 2015

Pembimbing, Pembimbing, Mahasiswa,

dr. Husain Assagaf dr.Nia krisdiantari Farisah Dewi Batari

Supervisor

Dr.dr. Ema Alasiry, Sp.A(K)

2

Page 3: pkmrs.docx

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN 1

DAFTAR ISI 2

BAB 1 PENDAHULUAN 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1. Pengertian 42.2. Etiologi 52.3 Epidemiologi 62.4.Faktor Risiko 72.5.Patofisiologi 92.6.Manifestasi Klinis 102.7.Diagnosis 122.8.Diagnosis Banding 142.9.Penatalaksanaan 142.10. Komplikasi 182.11. Prognosis 182.12.Pencegahan 19

2.12.1. Perawatan Persalinan 19 2.12.2. Vaksinasi tetanus 19

BAB 3 KESIMPULAN 22

3

Page 4: pkmrs.docx

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Tetanus pada neonatal merupakan penyebab kematian paling sering terjadi

akibat persalinan dan penanganan tali pusat tidak bersih. Tetanus ditandai dengan

kaku otot yang nyeri yang disebabkan oleh neurotoxin yang dihasilkan oleh

Clostridium tetani pada luka anaerob (tertutup). Tetanus neonatorum (TN) adalah

tetanus pada bayi usia hari ke 3-28 setelah lahir. Bila tetanus terjadi angka

kematian sangatlah tinggi, terutama ketika perawatan kesehatan yang tepat tidak

tersedia. Saat ini kematian akibat tetanus pada maternal dan neonatal dapat dengan

mudah dicegah dengan persalinan dan penanganan tali pusat yang higienis, dan

atau dengan imunisasi ibu dengan vaksin tetanus (Bulletin ETMN, 2012).

Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang

disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi

oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ", pada

tahun 1890, ditemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan

tetanospasmin yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.

lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari

tetanus.

Badan Kesehata n Dunia (WHO) pada tahun 1988 dan UNICEF melalui

World Summit for Children pada tahun 1990 mengajak seluruh dunia untuk

mengeliminasi Tetanus Neonatorum pada tahun 2000. Target ini tidak tercapai,

karena belum ditemukan strategi operasional yang efektif, sehingga pada tahun

1999 UNICEF, WHO dan UNFPA kembali mengajak negara berkembang di

dunia untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN)

pada tahun 2005 dengan menggalang dana ETMN dunia.

WHO memperkirakan pada 2008 (angka estimasi tahun terakhir yang ada),

59.000 bayi baru lahir meninggal akibat TN, terdapat penurunan 92% dari situasi

4

Page 5: pkmrs.docx

pada akhir 1980-an. Pada 2008 terdapat 46 negara yang masih belum eliminasi

TMN di seluruh kabupaten, salah satunya adalah Indonesia.

Pada tahun 2007, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 141 naik

menjadi 198 kasus pada tahun 2008, namun terus menurun sampai tahun 2011

menjadi 114 kasus. Angka kematian tetanus neonatorum (case fatality rate)

berdasarkan persentase neonatus meninggal diantara neonatus terinfeksi tetanus

dari tahun 2007 -2011 berkisar antara 48% - 61%. Dari tahun 2008-2011, Provinsi

Banten dan Jawa timur selalu masuk dalam tiga tertinggi kasus tetanus

neonatorum. Berdasarkan provinsi kasus tetanus neonatorum tahun 2011, kasus

yang paling banyak adalah Provinsi Banten sebanyak 38 kasus kemudian

Provinsi Jawa Timur sebanyak 22 kasus, Kalimantan Barat sebanyak 13 kasus.

Untuk Provinsi Aceh, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 3 kasus (Buletin

ETMN, 2012).

Kasus tetanus neonatorum berdasarkan pemeriksaan kehamilan, dari tahun

2007-2011 yang paling besar terjadi pada ibu hamil yang memeriksakan

kehamilannya pada Bidan/Perawat dan ibu yang tidak memeriksakan

kehamilannya. Berdasarkan status imunisasi ibu hamil yang paling banyak terjadi

pada ibu hamil yang tidak divaksinasi. Berdasarkan penolong kelahiran, paling

banyak terjadi pada ibu yang melahirkan ditolong secara tradisional, kemudian

yang ditolong oleh bidan/perawat. Kasus tetanus neonatorium lebih banyak terjadi

pada bayi dengan perawatan tali pusatnya dilakukan secara tradisional serta

pemotongan tali pusatnya menggunakan gunting (Buletin ETMN, 2012).

Perjalanan penyakit tetanus neonatorum seperti pada tetanus anak, tetapi

lebih cepat dan berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu bayi tiba-tiba panas dan

tidak mau atau tidak dapat menyusui lagi (trismus), mulut mencucu seperti mulut

ikan (kapermond), mudah sekali dan sering kejang, suhu meninggi, kuduk kaku

sampai opistotonus.

5

Page 6: pkmrs.docx

Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang

tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi,

penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.

Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan

yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus

mempunyai Case Fatality Rate (CFR) yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus

dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih

menurunkan angka kematian.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh

tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit

ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat

dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta

diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala

klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf

pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.

Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”.

Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang

lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia

yang tiada akhir”. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan

tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia

penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus

pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil

mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa

organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan.

Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi

6

Page 7: pkmrs.docx

spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif

antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini

digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang Dunia I.

Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun

1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia I (Farrar et al, 2000).

Gambar 2.1. Lukisan “Opisthotonus” oleh Sir Charles Bell (1809), seorang

dokter bedah dan ahli anatomi, yang menggambarkan seorang tentara yang

menderita tetanus

Tetanus neonatorum (TN) adalah tetanus pada bayi usia hari ke 3-28

setelah lahir. Bila tetanus terjadi angka kematian sangatlah tinggi, terutama ketika

perawatan kesehatan yang tepat tidak tersedia. Saat ini kematian akibat tetanus

pada maternal dan neonatal dapat dengan mudah dicegah dengan persalinan dan

penanganan tali pusat yang higienis, dan atau dengan imunisasi ibu dengan vaksin

tetanus.

Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah Clostridium tetani merupakan organisme

obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x

6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga

membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium

tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan.

Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran

7

Page 8: pkmrs.docx

hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana

anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin

dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam

patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan

tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang

menyebabkan spasme otot dan kejang.

Epidemiologi

Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat

dikatakan langka di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus

yang steril dan pemberian vaksin tetanus secara umum telah disosialisasikan dan

dilaksanakan sebagai suatu prosedur kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki

insiden tetanus neonatorum yang sangat rendah yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak

tahun 1967(Grossman, 1996). Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik

pada laki-laki maupun wanita (1:1), usia ibu yang paling sering mengalami tetanus

maternal adalah antara usia 20-30 tahun (berbanding lurus dengan usia melahirkan

terbanyak). 90 % kasus tetanus neonatorum dan tetanus maternal terjadi pada

partus yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan seperti di rumah, dukun, dsb

(CDC, 1998).

Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana >

50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF,

setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini (CDC, 1998). WHO

menyatakan bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 % kematian

neonatus di seluruh dunia (Jurnal Neonatal Tetanus Elimination, 2005).

Pada tahun 2007, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 141 naik

menjadi 198 kasus pada tahun 2008, namun terus menurun sampai tahun 2011

menjadi 114 kasus. Angka kematian tetanus neonatorum (case fatality rate)

berdasarkan persentase neonatus men inggal diantara neonatus terinfeksi tetanus

8

Page 9: pkmrs.docx

dari tahun 2007 -2011 berkisar antara 48% - 61%. Dari tahun 2008-2011, Provinsi

Banten dan Jawa timur selalu masuk dalam tiga tertinggi kasus tetanus

neonatorum. Berdasarkan provinsi kasus tetanus neonatorum tahun 2011, kasus

yang paling banyak adalah Provinsi Banten sebanyak 38 kasus kemudian

Provinsi Jawa Timur sebanyak 22 kasus, Kalimantan Barat sebanyak 13 kasus.

Untuk Provinsi Aceh, jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 3 kasus (Buletin

ETMN, 2012).

Faktor Risiko

Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:

a) Faktor risiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik

Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan menyebabkan

Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita

dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang

kotor.

b) Faktor alat pemotongan tali pusat

Penggunaan alat yang tidak steril un tuk memotong tali pusat meningkatkan

risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku

di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan

pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau

sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008).

c) Faktor cara perawatan tali pusat

Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih

menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu

dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain

pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi

yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan

meningkatkan risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).

d) Faktor kebersihan tempat pelayanan persalinan

Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat

pelayanan persalinan yang tidak bersih berisiko untuk menimbulkan penyakit

9

Page 10: pkmrs.docx

pada bayi yang akan dilahirkan dan pada ibu yang melahirkan. Tempat

pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril

(Abrutyn, 2008).

e) Faktor kekebalan ibu hamil

Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat

membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir.

Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui

darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian

besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak

pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000)

Patofisiologi

Spora Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora

yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh

beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif

dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala

klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang

sedang tumbuh. Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu

tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani

bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan merusak jaringan-

jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana anaerob yang

terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis tetapi tidak

berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian

menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus (Edlich

et al, 2003).

Manifestasi Klinis

Masa inkubasi tetanus pada bayi (tetanus neonatorum) lebih cepat

dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-10 hari, dan biasanya

bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua pasca

10

Page 11: pkmrs.docx

persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of

the seventh day).

Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat

dilihat ketika bayi mal a s m i num d a n men a n g is yang terus menerus, suhu tubuh

bayi normal atau bisa meningkat atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan

hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu.

Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang atau tris m us

mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti.

Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak

atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga

rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku sehingga

bentukan mulut menjadi men c u c u s e p e rti mu l ut ikan k a rper (karpermond) .

Kemudian terjadi kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik kearah lateral, dan

alis tertarik ke atas yang disebut risus s a rd o nicus . Kaku kuduk, disfagia, dinding

abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan

menyusul dalam beberapa jam berikutnya

Gambar 2.3 Manifestasi klinis tetanus neonatorum

11

Page 12: pkmrs.docx

Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh

rangsangan- rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian

kejang akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi

masih baik namun spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi

akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga terjadi vasokonstriksi pada

saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini

merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum. Pada saat

spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada siku dan

tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan

mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung

tertarik menyerupai busur panah atau disebut op i stotonu s .

Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya

pada kasus tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan

penting dalam menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset

ini, semakin buruk prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek

dibandingkan dengan pada anak atau dewasa dimana lebih ke arah beberapa jam

dari pada beberapa hari seperti pada dewasa, hal ini mungkin disebabkan

jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem saraf

pusat (Pudjiadi, 2009).

Diagnosis

Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis

dibandingkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah

dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara

berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik

menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,

kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris

yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.

Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara

umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Edlich, 2003).

12

Page 13: pkmrs.docx

Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada

hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat

bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau

telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus

klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C

selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme

kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi (Edlich et al, 2003).

Diagnosis Banding

Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai

tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses

alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis

dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi

dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala

trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus

dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada

trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan

melibatkan otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani

hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme

karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat

mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat

menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan

pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan

striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan

pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul lebih lambat

serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus (Edlich et al,

2003).

13

Page 14: pkmrs.docx

Penatalaksanaan

Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan

napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai

berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan

untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan

midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan

patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang

berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus

memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan

khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat

memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk

membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah

pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan

elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi (Dittrich,

Keilany, 2001)

Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1)

menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan

(3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron

dimetabolisme (Edlich et al, 2003

Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human

tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat

HTIG untuk tetanus. Bhatia (2002), menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-

6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam

formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU (Taylor, 2006). Waktu paruh

HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh

diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary

aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak

tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda

dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin

dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara

14

Page 15: pkmrs.docx

intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa

(20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal

dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas

sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS

diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10

kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap

tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf (Afshar, Raju, Bleck, 2011).

Pemberian TIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya (maksimal 24 jam

setelah didiagnosis), karena toksin tidak dapat lagi dinetralisir oleh TIG atau ATS

apabila sudah mencapai medula spinalis (Dittrich, Keilany, 2001)

Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan

debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB

per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G

merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis

dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan

pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan

anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui

jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan

sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12

jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol

juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan membuang

benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen

peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka

dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik (Ritarwan,

2004).

Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen

instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas.

Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama

untuk mencapai sedasi. Dosis diazepam yang digunakan 10 mg/kgBB/hari

15

Page 16: pkmrs.docx

intravena dalam 24 jam atau bolus intravena setiap 3 jam (0,5 mL/kali pemberian),

maksimum 40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital

yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan

digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg

untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila

spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-

200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120

mg/hari diberikan intravena (Taylor, 2006).

Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit.

Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan aspirasi, oleh

karena itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau via nasogastric tube (NGT).

Pada kasus neonatus dengan jalan napas yang tidak berhasil distabilkan atau

intubasi yang melebihi 10 hari, trakeostomi dapat dilakukan (Edlich et al, 2003).

Komplikasi

1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan

menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama

kematian pada kasus tetanus neonatorum.

2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot

berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana

pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna

3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf otonom yang

dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat

menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab

kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.

4. Sepsis akibat infeksi nosokomial (contoh: Bronkopneumonia)

5. Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun

minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung)

16

Page 17: pkmrs.docx

Prognosis

Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari

inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya

gejala hingga spasme tetanik yang pertama (Ogunrin, 2009). Statistik terbaru

menunjukkan tingkat mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%.

Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas 60%.

Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga

bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang diajukan pada

pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal

sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis

pertama (Ogunrin, 2009).

PENCEGAHAN

Perawatan persalinan dan pasca persalinan

Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara

signifikan dapat menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya

tetanus neonatorum. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan

medis yang mendukung (memastikan kebersihan tangan, tali pusat,

perineum, dan semua substans yang digunakan)

2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan

sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum

mendapat vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas

3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan

tetanus neonatorum.

Vaksinasi tetanus

17

Page 18: pkmrs.docx

Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak

sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein

spesifik. Pemberian vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika

riwayat vaksin tidak diketahui atau kurang dari 3 kali imunisasi TT (Hinfey,

2011).

Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45

tahun) atau sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum

yang paling mudah dan efektif. Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi

terhadap infeksi tetanus mencapai lebih dari 90%.

Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis

tetanus toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis

tetanus) dengan jarak antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12

bulan kemudian, dosis ke 4 satu tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke

5, 1 tahun setelah pemberian dosis ke 4.

Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td,

atau DPT, dapat diberikan booster setiap 10 tahun.

Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan

vaksin pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu

sebelum melahirkan.

Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya

harus diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat

memberikan perlindungan hingga 5 tahun.

Tabel 2.7 Rekomendasi jadwal imunisasi tetanus toxoid (TT) dan tetanus dan

difteri toxoid (Td) untuk wanita pada masa subur yang belum divaksinasi

18

Page 19: pkmrs.docx

Dosis Jadwal Pemberian

TT1 atau Td1Pada kontak pertama atau sedini mungkin saat

kehamilan

TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis pertama

TT3 atau Td36-12 bulan setelah dosis kedua atau pada kehamilan

berikutnya

TT4 atau Td41-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat kehamilan

berikutnya

TT5 atau Td51-10 tahun setelah dosis keempat atau saat kehamilan

berikutnya

Tabel 2.8 Efikasi vaksin tetanus toxoid berdasarkan dosis

DosisInterval minimum

antar dosisPercent protected Durasi proteksi

TT1 - - -

TT2 4 minggu 80% 3 tahun

TT3 6 bulan 95% 5 tahun

TT4 1 tahun 99% 10 tahun

TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur hidup

KESIMPULAN

19

Page 20: pkmrs.docx

Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit

yang telah dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum

berhasil dieradikasi karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam

tanah dan feses hewan. Tetanus pada neonatus disebabkan spora Clostridium

tetani yang masuk melalui luka tali pusat yang tidak memenuhi syarat kebersihan.

Perjalanan penyakitnya seperti pada tetanus anak tetapi lebih cepat dan berat.

Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat

dilihat ketika bayi malas minum dan menangis yang terus menerus, mulut

mencucu seperti ikan karpermond disertai kejang, suhu meninggi, dan kaku

kuduk sampai opistotonus.

Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan

napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Penatalaksanaan berikutnya

memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2)

menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai

tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme.

Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari

inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya

gejala hingga spasme tetanus yang pertama.

Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid,

higiene persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

20

Page 21: pkmrs.docx

Katrinan Kretsinger, MD , et.al, 2005 Preventing Tetanus, Diphteria, and Pertussis Among Adults : Use Of Tetanus Toxoid, Reduced Diphteria Toxoid and Acellular Pertussis Vaccine, Recommendations and Reports Vol. 55/ RR-17.

Kenneth C, Dittrich, and Bashar Keilany, 2001, Tetanus : lest we forget,

Standards for Maternal and Neonatal Care, Maternal Immunization against tetanus, (Integrated management of Pregnancy And Childbirth (IMPAC) 2002

Pusat Data dan Informasi, 2012, Eliminasi tetanus Maternal dan Neonatal, Bulletin Jendela Volume I, September 2012.

JJ Farrar, L M Yen, et.al, Tetanus, J. Neurol. Neorosurg Psychiatry 2000-292-301.

Profil Kesehatan Indonesia, 2008, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2009.

Maternal and Neonatal Tetanus Elimination by 2005.

Martha H. Roper, et.al 2007, Maternal and Neonatal Tetanus, published online by the Lancet on 12 Seprember 2007.

Ritarwan Kiking, Tetanus, Bagian Neurologi Fak.Kedokteran USU/ RSU H.Adam Malik.

Tejpratap S.P Tiwan MD, Tetanus, VPDSurveilance Manual 5th Edition 2011.

WHO, 2008, Word Health Statistics 2008.

21