PKM_GT

11
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kasus keracunan makanan menurut laporan BPOM (2007) telah terjadi minimal sebanyak 48 kasus sepanjang tahun 2006. Tidak hanya di pasar tradisional tetapi juga di supermarket masih ditemukan produk pangan segar dan olahan kemasan yang telah kadaluarsa yang terkonsumsi oleh konsumen dan menyebabkan keracunan. Hal ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan untuk perlu dilakukan tahapan monitoring mulai dari proses produksi sampai penanganan konsumen. Produk makanan yang telah dibeli oleh konsumen mungkin saja berada pada kondisi yang tidak terkontrol pada tahap pengangkutan ataupun penyimpanannya. Hal tersebut dapat mempercepat kerusakan dari produk pangan. Produk makanan yang mudah rusak merupakan masalah yang umum bagi konsumen, produsen, serta penjual makanan. Salah satu produk yang mudah rusak dan sering mengakibatkan keracunan adalah produk ikan segar (seperti ikan pindang tonggkol) serta olahannya. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, untuk mengonsumsi ikan perlu pengetahuan masyarakat bahwa ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami pembusukan (perishable food), hal ini disebabkan karena bebrapa hal seperti kandungan protein yang tinggi dan kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Adapun kondisi lingkungan tersebut seperti suhu, pH, oksigen, waktu simpan, dan kondisi kebersihan sarana prasarana. Beberapa tahun terakhir, telah diciptakan ”kemasan pintar” untuk menginformasikan umur simpan dari produk pangan. Kemasan pintar ini didefinisikan sebagai sistem pengemasan yang mampu memberikan fungsi intelligent yaitu pendeteksi, perekeam, komunikasi, dan perasa) untuk memfasilitasi konsumen dalam membuat suatu keputusan untuk memperpanjang umur simpan, meningkatkan kualitas, meningkatkan keamanan pangan, memberikan informasi, dan memberitahukan akan masalah yang mungkin terjadi (Otles dan Yalcin, 2008). Dalam perkembangan dunia pangan, peran edible film sebagai pengemas pada beberapa dekade waktu sekarang ini semakin berkembang dengan pesat. Hal ini dikarenakan selain berperan sebagai bahan lapis tipis yang melapisi suatu bahan pangan, pengemas ini juga layak untuk dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis (Robertson, 1993). Bahan utama pembentuk edible film salah satunya adalah polisakarida, dengan perlakuan tertentu bahan utama ini mampu membentuk matriks film (Krochta et al., 1994). Menurut Brody (2005), edible film dari polisakarida mempunyai sifat penahanan yang baik terhadap oksigen dan lemak. Dalam hal ini sumber pati bisa didapatkan dari limbah pengolahan tapioka. Menurut Badan Penelitian Dan Pengkajian Teknologi Indonesia, kandungan pati pada ampas tapioka sebesar 67,8%. Edible film dapat dikembangkan menjadi berbagai macam fungsi dan kegunaan. Salah satu kegunaan yang hingga sekarang masih jarang untuk diteliti adalah studi pembuatan edible film bioindikator pH yang sebagai produk

description

contoh

Transcript of PKM_GT

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kasus keracunan makanan menurut laporan BPOM (2007) telah terjadi

minimal sebanyak 48 kasus sepanjang tahun 2006. Tidak hanya di pasar

tradisional tetapi juga di supermarket masih ditemukan produk pangan segar dan

olahan kemasan yang telah kadaluarsa yang terkonsumsi oleh konsumen dan

menyebabkan keracunan. Hal ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan untuk

perlu dilakukan tahapan monitoring mulai dari proses produksi sampai

penanganan konsumen. Produk makanan yang telah dibeli oleh konsumen

mungkin saja berada pada kondisi yang tidak terkontrol pada tahap pengangkutan

ataupun penyimpanannya. Hal tersebut dapat mempercepat kerusakan dari produk

pangan.

Produk makanan yang mudah rusak merupakan masalah yang umum bagi

konsumen, produsen, serta penjual makanan. Salah satu produk yang mudah rusak

dan sering mengakibatkan keracunan adalah produk ikan segar (seperti ikan

pindang tonggkol) serta olahannya. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang

banyak dikonsumsi oleh masyarakat, untuk mengonsumsi ikan perlu pengetahuan

masyarakat bahwa ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami

pembusukan (perishable food), hal ini disebabkan karena bebrapa hal seperti

kandungan protein yang tinggi dan kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk

pertumbuhan mikroba pembusuk. Adapun kondisi lingkungan tersebut seperti

suhu, pH, oksigen, waktu simpan, dan kondisi kebersihan sarana prasarana.

Beberapa tahun terakhir, telah diciptakan ”kemasan pintar” untuk

menginformasikan umur simpan dari produk pangan. Kemasan pintar ini

didefinisikan sebagai sistem pengemasan yang mampu memberikan fungsi

intelligent yaitu pendeteksi, perekeam, komunikasi, dan perasa) untuk

memfasilitasi konsumen dalam membuat suatu keputusan untuk memperpanjang

umur simpan, meningkatkan kualitas, meningkatkan keamanan pangan,

memberikan informasi, dan memberitahukan akan masalah yang mungkin terjadi

(Otles dan Yalcin, 2008).

Dalam perkembangan dunia pangan, peran edible film sebagai pengemas

pada beberapa dekade waktu sekarang ini semakin berkembang dengan pesat. Hal

ini dikarenakan selain berperan sebagai bahan lapis tipis yang melapisi suatu

bahan pangan, pengemas ini juga layak untuk dikonsumsi, dan dapat terdegradasi

oleh alam secara biologis (Robertson, 1993).

Bahan utama pembentuk edible film salah satunya adalah polisakarida,

dengan perlakuan tertentu bahan utama ini mampu membentuk matriks film

(Krochta et al., 1994). Menurut Brody (2005), edible film dari polisakarida

mempunyai sifat penahanan yang baik terhadap oksigen dan lemak. Dalam hal ini

sumber pati bisa didapatkan dari limbah pengolahan tapioka. Menurut Badan

Penelitian Dan Pengkajian Teknologi Indonesia, kandungan pati pada ampas

tapioka sebesar 67,8%.

Edible film dapat dikembangkan menjadi berbagai macam fungsi dan

kegunaan. Salah satu kegunaan yang hingga sekarang masih jarang untuk diteliti

adalah studi pembuatan edible film bioindikator pH yang sebagai produk

2

pengemas yang terbuat dari bahan nabati dan mempunyai fungsi sebagai indikator

perubahan pH pangan dari netral menjadi asam/basa maupun dari asam menjadi

basa dan sebaliknya akibat pengaruh dari keberadaan faktor ekstrinsik maupun

intrinstik dari suatu produk pangan.

Dalam rangka memenuhi fungsi edible film sebagai bioindikator pH,

maka dalam penelitian ini akan dikaji konsentrasi limbah tapioka sebagai

pembentuk matriks film yang akan dikombinasikan dengan bahan nabati yang

mengandung pigmen alami (anthosianin) yang dapat mendeteksi adanya

perubahan pH, bahan yang dimaksud adalah buah murbei. Hal ini juga

dimaksudkan sebagai upaya diversifikasi dan peningkatan nilai guna dari buah

murbei sebagai salah satu bahan nabati penyuplai pigmen anthosianin.

Selain itu untuk memperbaiki sifat fisik dari edible film yang nantinya

digunakan sebagai Smart Biopackaging ini juga dilkaukan penambahan khitosan.

Penggunaan biopolimer seperti khitosan sebagai campuran pati singkong pernah

dilakukan oleh Feris Firdaus (2006). Khitosan yang disintesa dari kulit udang ini

digunakan karena biopolimer ini bersifat hidrofobik dan dimaksudkan untuk

memodifikasi sifat hidrofilik dari pati. Penambahan khitosan juga dapat

memperbaiki sifat mekanik dari plastik berbahan pati.

Penelitian yang dilakukan oleh Miller (2006) menunjukkan metode cepat

mendeteksi kebusukan pada produk beku menggunakan indikator yang secara

kolorimetri dapat memberikan respon terhadap basa volatil. Indikator ini

(halogenated azo/ sulfonated xanthene) terekspos pada makanan dan secara visual

dapat diinspeksi apakah produk tersebut busuk atau tidak. Beberapa jurnal

internasional menulis tentang pengaplikasian sensor kesegaran pada kemasan

makanan. Jurnal World Intelectual Property Organization yang ditulis oleh

Morris (2005), dituliskan tentang pengaplikasian sensor yang dapat berubah

warna dengan adanya peningkatan kadar senyawa volatil basa yang merupakan

metabolit mikroba dan menyebabkan peningkatan pH produk.

Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu adanya inovasi

pengembangan metode maupun teknologi dalam pendeteksian umur simpan

produk ikan segar maupun olahan ikan Hal ini dilakukan agar jaminan keamanan

konsumen akan selalu terjaga sehingga proteksi pemerintah akan lebih mudah

dalam tindakan preventif penurunan kasus keracunan makanan yang tidak hanya

merugikan industry namun juga merugikan konsumen dan pemerintah. Salah satu

inovasi teknologi yang ditawarkan ialah dengan pemanfaatan limbah tapioka,

chitosan dan ekstrak buah murbei yang mengandung antosianin dalam pembuatan

Smart Biopackaging berindikator pH sebagai sensor umur simpan produk ikan

dan olahannya. Smart Biopackaging ini nantinya dapat menunjukkan adanya

kerusakan produk terlihat dari perubahan warna sensor pada bagian terluar

kemasan dan dihubungkan dengan sifat kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya.

Rumusan Masalah

Bagaimana menentukan kombinasi yang tepat antara konsentrasi limbah

tapioka, Chitosan dan konsentrasi sari buah murbei yang ditambahkan, sehingga

menghasilkan edible film bioindikator pH sebagai Smart Biopackaging dengan

3

sifat fisik dan kimia yang baik, serta efektif dalam mendeteksi perubahan pH

yang terjadi pada produk ikan maupun olahan ikan.

Tujuan

1. Membuat kemasan pintar yang dapat mendeteksi kerusakan pada bahan

pangan ikan maupun olahan ikan.

2. Mengetahui sensifitas Smart Biopackaging.

Manfaat

Memberikan informasi tentang metode cepat dalam mendeteksi umur

simpan produk pangan (khususnya produk ikan maupun olahannya) dengan

metode non-destruktif sehingga dapat memudahkan konsumen dalam menentukan

tingkat kelayakan konsumsi ikan pindang.

GAGASAN

Produk makanan yang mudah rusak merupakan masalah yang umum bagi

konsumen, produsen serta penjual makanan. Umumnya kerusakan makanan

disebabkan oleh proses oksidatif serta kontaminasi mikroba seperti bakteri,

khamir dan jamur. Mikroba memecah protein, karbohidrat dan lemak untuk

mendapatkan energi bagi proses pertumbuhannya.

Kerusakan makanan tidak selalu dapat terlihat secara fisik. Jika suatu

produk makanan masih berada dalam kemasan yang tertutup kebusukan sangat

susah untuk dideteksi. Terkadang jika produk makanan di uji secara langsung,

produk tersebut masih terlihat segar dan belum muncul bau busuk namun

mengandung mikroba pathogen yang berbahaya. Untuk mengatasi masalah

tersebut produk makanan yang mudah busuk dikemas dengan kemasan yang

tercantum tanggal kadaluwarsanya. Tanggal kadaluwarsa menunjukkan estimasi

tanggal dimana produk secara umum masih aman dikonsumsi. Namun asumsi

tersebut berlaku apabila produk selalu berada pada kondisi yang ideal.

Terkadang produk telah rusak sebelum tanggal kadaluwarsanya ataupun

sebaliknya setelah melampaui tanggal kadaluwarsanya produk masi baik-baik

saja.

Teknologi pengemas yang berkembang dan digunakan selama ini hanya

dapat menjalankan fungsi sebagai pembungkus saja. Namun tidak dapat

mendeteksi kondisi produk yang sebenarnya pada keadaan maupun waktu

tertentu. Sehingga seringkali, konsumen terpengaruh oleh label kadaluwarsa

produk tanpa memeriksa kondisi yang sebenarnya.

Penentuan kualitas kesegaran daging ikan oleh konsumen biasanya

dilakukan secara tradisonal yakni hanya melalui kualitas organoleptik yaitu

warna, aroma, rasa, dan tekstur. Cara tersebut dirasa kurang akurat karena bersifat

subyektif, memerlukan panelis yang sangat terlatih, dan tidak bisa menjamin

bahwa produk ikan tersebut masih layak untuk dikonsumsi. Keterbatasan

4

konsumen dalam menentukan kualitas daging ikan menjadi permasalahan utama

dalam penelitian ini. Seringkali daging ikan tidak menunjukkan kenampakan

visual yang mengindikasikan bahwa telah terdapat sejumlah mikroorganisme yang

melakukan aktivitas dan menghasilkan metabolit-metabolit yang merugikan

kesehatan. Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan penurunan kualitas dari

daging ikan dan tidak layak untuk dikonsumsi.

Kerusakan yang sering terjadi pada produk pangan berbasis protein adalah

disebabkan karena adanya mikroorganisme yang bersifat proteolitik.

Mikroorganisme tersebut memecah protein menjadi senyawa-senyawa yang tidak

diharapkan seperti NH3, senyawa-senyawa indol, H2S, yang dapat menyebabkan

perubahan yang tidak diinginkan seperti aroma, rasa, warna, tekstur, sehingga

tidak dapat untuk dikonsumsi. Beberapa contoh mikroorganisme proteolitik

tersebut adalah Pseudomonas sp. pada produk ikan dan olahannya. Pseudomonas

sp. ini memecah molekul protein menjadi senyawa-senyawa basa yang

menyebabkan off-flavor pada produk ikan (William dan Shaw, 1992).

Beberapa reaksi pembusukan digunakan untuk mengevaluasi kualitas

mikrobiologi dari produk olahan ikan. Selama proses pembusukan, terjadi reaksi

reduksi dari senyawa Trimethylamine Oxide (TMAO) menjadi Trimethylamine

(TMA) oleh bakteri. Ketika TMAO direduksi menjadi TMA, terjadi beberapa

perubahan fisik, menurunnya potensial reduksi, dan peningkatan pH. Pengukuran

perubahan TMAO menunjukkan level mikroba pembusuk pada produk olahan

ikan (DiChristina dan DeLong, 1993).

Salah satu metabolit yang dihasilkan oleh mikroorganisme perusak dan

digunakan sebagai parameter kerusakan dari produk-produk ikan adalah volatile

amine compounds (senyawa-senyawa volatil amina) seperti trimethylamina

(TMA), amonia (NH3), dan dimethylamina yang berkontribusi pada jumlah total

senyawa nitrogen atau total volatile base nitrogen (TVB-N). Senyawa-senyawa

tersebut merupakan hasil dari aktivitas mikroorganisme proteolitik dalam

memecah protein ikan dan sangat berpengaruh terhadap flavor dan aroma yang

tidak diharapkan dari produk ikan. Selama penyimpanan, mikroorganisme

pembusuk akan tumbuh dan menghasilkan sejumlah metabolit, salah satunya

adalah TVB-N yang menyebabkan peningkatan pH pada ikan sebagai indikasi

bahwa kualitas produk ikan telah menurun (mengalami kerusakan).

TVB-N (Total Volatile Base Nitrogen) dan TMA (Trimethylamine)

merupakan parameter standard analisa biokimiawi yang menjadi karakteristik

produk-produk hasil perikanan atau produk yang berkadar protein tinggi. Kedua

analisa ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak tingkat degradasi protein

melalui hasil uji dan aroma yang ditimbulkan akibat aktivitas mikroorganisme dan

enzim, berdasarkan kandungan nitrogen yang ada sebagai komponen penyusun

protein (Bavor, 1985).

TVB-N merupakan salah satu parameter yang dipakai sebagai penentu

kualitas ikan. Namun ummumnya di dalamnya termasuk pengujian terhadap

kandungan TMA, dimethylamine, dan amoniak yang diproduksi oleh bakteri

perusak (proteolitik) menyebabkan kerusakan ikan (Rehbein dan Oehlenschlager,

1982). Pengujian TVB-N dapat dilakukan dengan metode yang sudah umum

digunakan yaitu dari komponen volatil atau menggunakan metode ekstraksi

mikrodifusi (Conway, 1962).

5

TMA umumnya ditemukan pada habitat laut yang dapat ditemukan dalam

bentuk metal amina sebagai monometil amina dan dimetil amina. TMA

merupakan komponen volatile yang selalu dikaitkan dengan bau khas ikan pada

hasil laut. Hal ini dapat disebabkan adanya residu bakteri dari komponen

Trimethylamine oxide (TMAO) dimana secara alami terdapat pada jaringan tubuh

ikan (Dalgaard, 1994).

Beberapa jurnal internasional menulis tentang pengaplikasian sensor pH

pada kemasan makanan. Yaitu pendeteksian kualitas produk pangan berdasarkan

perubahan pH yang terbentuk selama masa penyimpanan. Jurnal World Intelectual

Property Organization yang ditulis oleh Morris (2005), ditulis tentang

pengaplikasian sensor yang dapat berubah warna dengan adanya peningkatan

kadar TVB-N yang merupakan metabolit mikroba. Penelitian yang dilakukan oleh

Judge (2006) mengenai hubungan antara perubahan warna pada sensor pH

terhadap peningkatan jumlah bakteri L. lactis. Sedangkan pada jurnal Freshness

indicator of foodstuff yang ditulis Ladas and Parry (2003) dilakukan

pengaplikasian sensor pH pada kemasan produk minuman dan foodstuff.

Suatu penetapan kasar pH suatu larutan dapat dilakukan dengan mudah

dengan indikator asam-basa. Indikator asam-basa adalah asam atau basa organik

yang mempunyai satu warna jika konsentrasi hidrogen lebih tinggi daripada suatu

harga tertentu dan suatu warna lain jika konsentrasi itu lebih rendah. Akan

digunakan rumus umum HIn untuk indikator asam lemah, untuk menggambarkan

tipe reaksi yang terlibat. Kesetimbangan untuk pengionannya dinyatakan

sebagai(Keenan et al, 1984):

HIn ↔ H+ + In

-

Jika indikator itu adalah asam lemah dinitrofenol (2,4 – 4,0), HIn tak

berwarna dan In- berwarna kuning. Dalam larutan dimana [H+] agak tinggi, dalam

hal ini pH sekitar 2,5, hadirnya ion [H+] sekutu menyebabkan reaksi ke arah kiri

dimenangkan. Akibatnya, bentuk HIn yang tak berwarna merupakan bentuk utama

indikator itu. Jika larutan itu dibuat lebih basa dengan menambahkan ion

hidroksida, ion-ion [OH-] akan bereaksi dengan [H

+] untuk membentuk air. Ini

menyebabkan reaksi ke kanan dimenangkan, dan campuran menjadi berwarna

kuning ciri khas In-, anion dinitrofenol. (Brady, 1999)

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat dikembangkan sebuah

inovasi baru penggunaan Smart Biopackaging berindikator pH. Smart

Biopackaging merupakan kemasan pintar yang terbuat dari bahan-bahan alami

yaitu limbah tapioka, Chitosan dan antosianin dari buah murbei. Limbah cair

merupakan limbah hasil pembuatan tepung tapioka yang tidak dapat dipisahkan

dengan air secara sempurna, sehingga limbah ini masih mengandung pati.

Pengembangan bahan edible film/coating dari bahan polisakarida larut air

sangat membantu pemanjangan umur simpan buah–buahan dan sayuran karena

kemampuan permeabilitasnya terhadap O2 dan CO2 sehingga diharapkan dapat

mengurangi laju respirasi buah dan sayuran tersebut ( krochta et al,1994 ).

Beberapa jenis polisakarida yang dapat digunakan untuk pembuatan edible

film/coating antara lain pati dan pektin, selulosa, dan alginat. Pelapis dari bahan

ini merupakan penghambat oksigen, aroma dan minyak yang sangat baik serta

mampunyai struktur yang kompak dan kuat. Akan tetapi tidak efektif digunakan

sebagai penghalang uap air karena sifatnya yang hidrofilik. Kemampuan menahan

6

oksigen sangat baik dikarenakan adanya jaringan ikatan hidrogen. Walaupun

begitu pelapisan dengan film tipe ini dapat menahan kematangan dan menaikkan

umur simpan dari produk tanpa menciptakan kondisi anaerobik (Baldwin et al,

1995 dalam Sonti, 2003)

Kitosan merupakan olahan dari kitin yang telah mengalami proses

deasetilasi. Unit penyusun kitosan merupakan disakarida (1-4)-2-amino-deoksi-D-

glukosa yang saling berikatan beta. Penampilan fungsional kitosan ditentukan

oleh sifat fisik dan kimiawinya. Seperti halnya dengan polisakarida lain, kitosan

memiliki kerangka gula, tetapi dengan sifat unik karena polimer ini memiliki

gugus amin bermuatan positif sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat

netral atau bermuatan negatif (Lestari dan Maggy, 2000).

Kitosan bersifat mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak

beracun, mempunyai berat molekul tinggi dan tidak larut pada pH 6,5 (Proton

Laboratories Inc. dalam Suptijah et. al., 1992 dalam Alamsyah, 2000). Kitosan

dapat dibuat menjadi edible film untuk menghambat kerusakan pada buah. Edible

film dari kitosan memiliki kelebihan dibanding dari bahan lain yaitu sifat

antimicrobial dan antifungal alami dari kitosan yang efektif untuk menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Muzarelli, 2003).

Penggunaan biopolimer seperti khitosan sebagai campuran pati singkong

pernah dilakukan oleh Feris Firdaus (2006). Khitosan yang disintesa dari kulit

udang ini digunakan karena biopolimer ini bersifat hidrofobik dan dimaksudkan

untuk memodifikasi sifat hidrofilik dari pati. Penambahan khitosan juga dapat

memperbaiki sifat mekanik dari plastik berbahan pati.

Antosianin adalah indikator alami dari pH. Dalam media asam, tampak

merah, saat pH meningkat menjadi lebih biru. Warna antosianin biasanya lebih

stabil pada pH dibawah 3,5. Pigmen antosianin stabil pada pH 1-3. Pada pH 4-5,

antosianin hampir tidak berwarna. Kehilangan ini bersifat reversibel dan warna

merah akan kembali ketika suasana asam. Faktor-faktor yang mempengaruhi

stabilitas antosianin adalah oksigen, pH, temperatur, cahaya, ion logam, enzim,

dan asam askorbat. Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH dan panas sensintif.

Kecepatan kerusakan antosianin pada pH yang lebih tinggi dan juga reaksi ini

lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi (Kumalaningsih, 2006).

Antosianin menghasilkan kisaran warna dari berwarna merah sampai biru

yang banyak terdapat pada bunga dan buah, meskipun ada juga yang terdapat pada

daun serta bagian lain tanaman. Umumnya konsentrasi antosianin pada buah dan

sayuran antara 0,1 sampai 1% berat kering. Antosianin adalah pigmen yang larut

air berada pada lapisan epidermal buah dan lapisan mesofil pada daun (Vargas

and Lopez, 2003).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pada ekstraksi antosianin

adalah waktu ekstraksi, pelarut, pH, dan temperatur ekstraksi (Pifferi and Vaccari,

1996). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin adalah

oksigen, pH, temperatur, cahaya, ion logam, enzim dan asam askorbat (Iversen,

1999).

Shi et al.,(1992) menyatakan bahwa warna antosianin sangat sensitif

kestabilannya terhadap kondisi pH. Hal ini didukung oleh Pifferi and

Vaccari,(1996) yang menyatakan bahwa didalam larutan dengan pH rendah antara

1-4 (asam) pigmen ini akan berwarna merah dan pada pH yang tinggi akan mulai

7

terjadi perubahan warna menjadi tidak berwarna Perubahan pH mengakibatkan

perubahan warna antosianin seperti ditunjukkan pada Tabel 1 .

Tabel 1. pH dan Warna Antosianin

Warna pH

Merah (Cherry Red) 1-2

Cerise (Cerise) 3

Coklat (Plum) 4

Ungu (Royal Purple) 5

Ungu Kebiruan (Blue Purple) 6

Biru (Blue) 7

Hijau Kebiruan (Blue Green) 8

Hijau Tua (Emerald Green) 9-10

Hijau (Grass Green) 10-11

Hijau Kekuningan (Lime Grass) 12-13

Kuning (Yellow) 14

Sumber: Anonymous (1996)

Pigmen antosianin sangat dipengaruhi oleh pH dimana dalam suatu larutan

kestabilan strukturnya bisa berwarna sampai tidak berwarna. Bentuk kation (ion

flavilium) yang berwarna merah, stabil pada pH rendah dan kestabilannya berubah

menjadi tidak berwarna jika pH meningkat menuju pH netral. Beberapa antosianin

berwarna merah dalam larutan asam, ungu jika berada dalam larutan netral dan biru

dalam larutan alkali. Kebanyakan antosianin sangat berwarna pada pH < 4 (Vargas and

Lopez, 2003).

Kerusakan warna pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya kation

flavium yang bewarna merah menjadi basa karbinol yang tidak berwarna dan

akhirnya menjadi khalkone yang tidak berwarna (Francis, 1995).

Pada pH 1 seluruh pigmen antosianin berada pada bentuk kation flavium yang

berwarna merah. Degradasi warna dari pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya

kation flavium yang berwarna merah menjadi basa karbinol dan akhirnya menjadi

kalkon yang tidak berwarna (Markakis, 1982). Mekanisme perubahan struktur

antosianin menjadi tidak berwarna ditunjukkan pada Gambar 1 berikut

ini.

O

OH

OH

OH

O O

OH

OH

OH

OH+

+ H+

Kation Flavilium

(Merah)

Basa Quinoidal

(Biru)

8

O

OH

OH

OH

OH O

OH

OH

OH

OH

Basa Karbinol

(Tidak Berwarna)

Khalkone

(Tidak Berwarna)

OHOH

+ H+H2O

Gambar 1. Perubahan Struktur Antosianin (Markakis, 1982)

Sifat antosianin yang sangat sensitif terhadap perubahan pH menjadi dasar dari

penggunaan smart biopackaging pada produk ikan dan olahannya. Dimana perubahan

pH akan menyebabkan perubahan warna antosianin. Sebagaimana dijelaskan di awal

bahwa selama masa penyimpanan ikan, mikroorganisme pembusuk akan tumbuh

dan menghasilkan sejumlah metabolit, salah satunya adalah TVB-N yang

menyebabkan peningkatan pH pada ikan sebagai indikasi bahwa produk ikan telah

mengalami kerusakan. Peningkatan pH akan terdeteksi oleh antosianin sehingga

warna sensor Smart Biopackaging akan berubah. Dalam hal ini, warna antosianin

yang semula merah akan berubah menjadi hijau hingga kuning.

Desain Produk

Pembuatan Smart Biopackaging

suspensi

pemanasan dan pengadukan

penuangan pada plat kaca

pengeringan suhu kamar (± 1-2 hari)

Limbah cair tapioca + Chitosan

Sari buah murbei

Smart biopackaging

9

Keterangan: Sensor Kesegaran ditempelkan di penutup kemasan

Produk olahan ikan: ikan pindang, terasi, ikan asin, ikan peda,

Diagram Alir Aplikasi Pada Produk

Pengemasan

Penyimpanan pada suhu rendah

Tidak terjadi perubahan warna Terjadi perubahan warna

Keranjang Ikan Pindang

Berpenutup Plastik

Smart

BioPackaging

Ikan Pindang

Sensor Kesegaran

Ikan Segar/ Olahannya

Smart Biopackaging

Tidak Layak

dikonsumsi

Layak dikonsumsi

10

KESIMPULAN

1. Pemanfaatan Limbah Tapioka, chitosan dan antosianin buah murbei

sebagai Smart Biopackaging berindikator pH.

2. Smart Biopackaging berindikator pH merupakan bahan pengemas pintar

yang berfungsi sebagai detektor kerusakan bahan pangan. Dalam hal ini

akan diaplikasikan pada produk ikan segar dan olahannya yang seringkali

rusak akibat adanya aktivitas mikroba proteolitik. Protein pada produk

makanan dipecah oleh mikroba dan menghasilkan senyawa-senyawa indol,

H2S, merkaptan dan amina. Hasil pemecahan tersebut dapat

mempengaruhi nilai pH produk yang secara tidak langsung menunjukkan

bahwa kualitas produk telah berubah. Perubahan pH Produk akan

terdeteksi oleh Indikator pH pada Smart Biopackaging yang ditandai

dengan berubahnya warna antosianin dari merah menjadi hijau hingga

kekuningan.

3. Penggunaan Smart Biopackaging berindikator pH akan memudahkan

produsen, konsumen dan penjual dalam mendeteksi umur simpan produk

ikan dan olahannya dengan metode non destruktif. Hal ini akan

mengurangi resiko keracunan akibat kerusakan bahan pangan yang tidak

terdeteksi dengan baik.

11

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1996. Murbei. http://www.iptek.net.id. Tanggal akses 15 Januari

2010

Badan POM. 2007. Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait

Perlindungan Konsumen. http://www.indonesia.go.id/id-

REPUBLIKINDONESIA

Bavor, H.J. 1985. Chemical Procedures for Seafood Analysis: Laboratory

Manual of ASEAN Training in Fish Quality Control. School of Food

Science Hawkwesbury Agricultural College. Richmond. New South Wales

Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur Edisi Kelima. Penerbit

Binarupa Aksara. Jakarta

Conway, W. J. 1962. Micridifussion Analysis and Volumetric Error. Crusby

Dalgaard, D. 1994. Qualitative and Quantitaive Characterization of Spoilage

Bacteria from Packed Fish. International J. Food Microbiology

DiChristina and DeLong. 1993. Non-Sensory Assessment of Fish Quality. FAO

Corporate Document Repository.

http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5990e/X5990e01.htm

Francis, F. J. 1995. Pigment an Other Colorant in O. R. Fennema, (ed) Food

Chemistry.

Iversen, C. K. 1999. Black Currant Nectar : Effect of Processing and Storage

on Anthocyanins and Ascorbic Acid Content. Journal of Food Science

64 (1); 37-41.(http://www.confex.com/ift/JFSonline-81D4ycobCLoA/pd

fs? jfsv64n1p037-041ms0848.pdf). Diakses pada 1 Oktober 2009

Keenan, C.W., Donald C. Kleinfelter, and Jesse H. Wood. 1984. Ilmu Kimia

Untuk Universitas. Penerbit Erlangga. Jakarta

Krochta J.M, Elizabeth A.B., Myrna O.N., 1994. Edible Coating and Film to

Improve Food Quality. Technomic publishing co.INC . Lancaster

Kumalaningsih, S., N. Hidayat. 1996. Mikrobiologi Hasil Pertanian. Penerbit

IKIP. Malang. Marcel Dekker Inc. New York.

Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Coloors. Academic Press. America.

Miller, D.W. 2006. Food Quality Indicator Device. http://freepatentsonline.com

Pifferi, P. G. and A. Vaccari. 1996. The Anthocyanins of Sunflower. Dalam

Extraction of Anthocyanins Pigments From Sunflower Hulls. Gao L.

and G. Mazza. 1996. Journal of Food Science 61 (3); 600-603

(Proton Laboratories Inc. dalam Suptijah et. al., 1992 dalam Alamsyah, 2000).

Robertson, G. L. 1993. Food Packaging Pronciple and Practice. Marcel Dekker,

Inc. New York

Shi,Z; Min. L; and F.S. Francis. 1992. Stability of Anthocyanins from

Tradescania pallida. Journal of Foods Science 57(3): 758-771

Vargas and Lopez. (2003). Vargas, F. D and Lopez, O. P. 2003. Natural

Colorants for Food and Nutraceulitical Uses. CRC Press. USA.

William, J.I., and A. Shaw. 1992. Microorganism. Collins Educational Publshers

2nd

Edition, pp:100-103