PKM_GT
-
Upload
gitaharyono -
Category
Documents
-
view
63 -
download
8
description
Transcript of PKM_GT
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kasus keracunan makanan menurut laporan BPOM (2007) telah terjadi
minimal sebanyak 48 kasus sepanjang tahun 2006. Tidak hanya di pasar
tradisional tetapi juga di supermarket masih ditemukan produk pangan segar dan
olahan kemasan yang telah kadaluarsa yang terkonsumsi oleh konsumen dan
menyebabkan keracunan. Hal ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan untuk
perlu dilakukan tahapan monitoring mulai dari proses produksi sampai
penanganan konsumen. Produk makanan yang telah dibeli oleh konsumen
mungkin saja berada pada kondisi yang tidak terkontrol pada tahap pengangkutan
ataupun penyimpanannya. Hal tersebut dapat mempercepat kerusakan dari produk
pangan.
Produk makanan yang mudah rusak merupakan masalah yang umum bagi
konsumen, produsen, serta penjual makanan. Salah satu produk yang mudah rusak
dan sering mengakibatkan keracunan adalah produk ikan segar (seperti ikan
pindang tonggkol) serta olahannya. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat, untuk mengonsumsi ikan perlu pengetahuan
masyarakat bahwa ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami
pembusukan (perishable food), hal ini disebabkan karena bebrapa hal seperti
kandungan protein yang tinggi dan kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk
pertumbuhan mikroba pembusuk. Adapun kondisi lingkungan tersebut seperti
suhu, pH, oksigen, waktu simpan, dan kondisi kebersihan sarana prasarana.
Beberapa tahun terakhir, telah diciptakan ”kemasan pintar” untuk
menginformasikan umur simpan dari produk pangan. Kemasan pintar ini
didefinisikan sebagai sistem pengemasan yang mampu memberikan fungsi
intelligent yaitu pendeteksi, perekeam, komunikasi, dan perasa) untuk
memfasilitasi konsumen dalam membuat suatu keputusan untuk memperpanjang
umur simpan, meningkatkan kualitas, meningkatkan keamanan pangan,
memberikan informasi, dan memberitahukan akan masalah yang mungkin terjadi
(Otles dan Yalcin, 2008).
Dalam perkembangan dunia pangan, peran edible film sebagai pengemas
pada beberapa dekade waktu sekarang ini semakin berkembang dengan pesat. Hal
ini dikarenakan selain berperan sebagai bahan lapis tipis yang melapisi suatu
bahan pangan, pengemas ini juga layak untuk dikonsumsi, dan dapat terdegradasi
oleh alam secara biologis (Robertson, 1993).
Bahan utama pembentuk edible film salah satunya adalah polisakarida,
dengan perlakuan tertentu bahan utama ini mampu membentuk matriks film
(Krochta et al., 1994). Menurut Brody (2005), edible film dari polisakarida
mempunyai sifat penahanan yang baik terhadap oksigen dan lemak. Dalam hal ini
sumber pati bisa didapatkan dari limbah pengolahan tapioka. Menurut Badan
Penelitian Dan Pengkajian Teknologi Indonesia, kandungan pati pada ampas
tapioka sebesar 67,8%.
Edible film dapat dikembangkan menjadi berbagai macam fungsi dan
kegunaan. Salah satu kegunaan yang hingga sekarang masih jarang untuk diteliti
adalah studi pembuatan edible film bioindikator pH yang sebagai produk
2
pengemas yang terbuat dari bahan nabati dan mempunyai fungsi sebagai indikator
perubahan pH pangan dari netral menjadi asam/basa maupun dari asam menjadi
basa dan sebaliknya akibat pengaruh dari keberadaan faktor ekstrinsik maupun
intrinstik dari suatu produk pangan.
Dalam rangka memenuhi fungsi edible film sebagai bioindikator pH,
maka dalam penelitian ini akan dikaji konsentrasi limbah tapioka sebagai
pembentuk matriks film yang akan dikombinasikan dengan bahan nabati yang
mengandung pigmen alami (anthosianin) yang dapat mendeteksi adanya
perubahan pH, bahan yang dimaksud adalah buah murbei. Hal ini juga
dimaksudkan sebagai upaya diversifikasi dan peningkatan nilai guna dari buah
murbei sebagai salah satu bahan nabati penyuplai pigmen anthosianin.
Selain itu untuk memperbaiki sifat fisik dari edible film yang nantinya
digunakan sebagai Smart Biopackaging ini juga dilkaukan penambahan khitosan.
Penggunaan biopolimer seperti khitosan sebagai campuran pati singkong pernah
dilakukan oleh Feris Firdaus (2006). Khitosan yang disintesa dari kulit udang ini
digunakan karena biopolimer ini bersifat hidrofobik dan dimaksudkan untuk
memodifikasi sifat hidrofilik dari pati. Penambahan khitosan juga dapat
memperbaiki sifat mekanik dari plastik berbahan pati.
Penelitian yang dilakukan oleh Miller (2006) menunjukkan metode cepat
mendeteksi kebusukan pada produk beku menggunakan indikator yang secara
kolorimetri dapat memberikan respon terhadap basa volatil. Indikator ini
(halogenated azo/ sulfonated xanthene) terekspos pada makanan dan secara visual
dapat diinspeksi apakah produk tersebut busuk atau tidak. Beberapa jurnal
internasional menulis tentang pengaplikasian sensor kesegaran pada kemasan
makanan. Jurnal World Intelectual Property Organization yang ditulis oleh
Morris (2005), dituliskan tentang pengaplikasian sensor yang dapat berubah
warna dengan adanya peningkatan kadar senyawa volatil basa yang merupakan
metabolit mikroba dan menyebabkan peningkatan pH produk.
Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu adanya inovasi
pengembangan metode maupun teknologi dalam pendeteksian umur simpan
produk ikan segar maupun olahan ikan Hal ini dilakukan agar jaminan keamanan
konsumen akan selalu terjaga sehingga proteksi pemerintah akan lebih mudah
dalam tindakan preventif penurunan kasus keracunan makanan yang tidak hanya
merugikan industry namun juga merugikan konsumen dan pemerintah. Salah satu
inovasi teknologi yang ditawarkan ialah dengan pemanfaatan limbah tapioka,
chitosan dan ekstrak buah murbei yang mengandung antosianin dalam pembuatan
Smart Biopackaging berindikator pH sebagai sensor umur simpan produk ikan
dan olahannya. Smart Biopackaging ini nantinya dapat menunjukkan adanya
kerusakan produk terlihat dari perubahan warna sensor pada bagian terluar
kemasan dan dihubungkan dengan sifat kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya.
Rumusan Masalah
Bagaimana menentukan kombinasi yang tepat antara konsentrasi limbah
tapioka, Chitosan dan konsentrasi sari buah murbei yang ditambahkan, sehingga
menghasilkan edible film bioindikator pH sebagai Smart Biopackaging dengan
3
sifat fisik dan kimia yang baik, serta efektif dalam mendeteksi perubahan pH
yang terjadi pada produk ikan maupun olahan ikan.
Tujuan
1. Membuat kemasan pintar yang dapat mendeteksi kerusakan pada bahan
pangan ikan maupun olahan ikan.
2. Mengetahui sensifitas Smart Biopackaging.
Manfaat
Memberikan informasi tentang metode cepat dalam mendeteksi umur
simpan produk pangan (khususnya produk ikan maupun olahannya) dengan
metode non-destruktif sehingga dapat memudahkan konsumen dalam menentukan
tingkat kelayakan konsumsi ikan pindang.
GAGASAN
Produk makanan yang mudah rusak merupakan masalah yang umum bagi
konsumen, produsen serta penjual makanan. Umumnya kerusakan makanan
disebabkan oleh proses oksidatif serta kontaminasi mikroba seperti bakteri,
khamir dan jamur. Mikroba memecah protein, karbohidrat dan lemak untuk
mendapatkan energi bagi proses pertumbuhannya.
Kerusakan makanan tidak selalu dapat terlihat secara fisik. Jika suatu
produk makanan masih berada dalam kemasan yang tertutup kebusukan sangat
susah untuk dideteksi. Terkadang jika produk makanan di uji secara langsung,
produk tersebut masih terlihat segar dan belum muncul bau busuk namun
mengandung mikroba pathogen yang berbahaya. Untuk mengatasi masalah
tersebut produk makanan yang mudah busuk dikemas dengan kemasan yang
tercantum tanggal kadaluwarsanya. Tanggal kadaluwarsa menunjukkan estimasi
tanggal dimana produk secara umum masih aman dikonsumsi. Namun asumsi
tersebut berlaku apabila produk selalu berada pada kondisi yang ideal.
Terkadang produk telah rusak sebelum tanggal kadaluwarsanya ataupun
sebaliknya setelah melampaui tanggal kadaluwarsanya produk masi baik-baik
saja.
Teknologi pengemas yang berkembang dan digunakan selama ini hanya
dapat menjalankan fungsi sebagai pembungkus saja. Namun tidak dapat
mendeteksi kondisi produk yang sebenarnya pada keadaan maupun waktu
tertentu. Sehingga seringkali, konsumen terpengaruh oleh label kadaluwarsa
produk tanpa memeriksa kondisi yang sebenarnya.
Penentuan kualitas kesegaran daging ikan oleh konsumen biasanya
dilakukan secara tradisonal yakni hanya melalui kualitas organoleptik yaitu
warna, aroma, rasa, dan tekstur. Cara tersebut dirasa kurang akurat karena bersifat
subyektif, memerlukan panelis yang sangat terlatih, dan tidak bisa menjamin
bahwa produk ikan tersebut masih layak untuk dikonsumsi. Keterbatasan
4
konsumen dalam menentukan kualitas daging ikan menjadi permasalahan utama
dalam penelitian ini. Seringkali daging ikan tidak menunjukkan kenampakan
visual yang mengindikasikan bahwa telah terdapat sejumlah mikroorganisme yang
melakukan aktivitas dan menghasilkan metabolit-metabolit yang merugikan
kesehatan. Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan penurunan kualitas dari
daging ikan dan tidak layak untuk dikonsumsi.
Kerusakan yang sering terjadi pada produk pangan berbasis protein adalah
disebabkan karena adanya mikroorganisme yang bersifat proteolitik.
Mikroorganisme tersebut memecah protein menjadi senyawa-senyawa yang tidak
diharapkan seperti NH3, senyawa-senyawa indol, H2S, yang dapat menyebabkan
perubahan yang tidak diinginkan seperti aroma, rasa, warna, tekstur, sehingga
tidak dapat untuk dikonsumsi. Beberapa contoh mikroorganisme proteolitik
tersebut adalah Pseudomonas sp. pada produk ikan dan olahannya. Pseudomonas
sp. ini memecah molekul protein menjadi senyawa-senyawa basa yang
menyebabkan off-flavor pada produk ikan (William dan Shaw, 1992).
Beberapa reaksi pembusukan digunakan untuk mengevaluasi kualitas
mikrobiologi dari produk olahan ikan. Selama proses pembusukan, terjadi reaksi
reduksi dari senyawa Trimethylamine Oxide (TMAO) menjadi Trimethylamine
(TMA) oleh bakteri. Ketika TMAO direduksi menjadi TMA, terjadi beberapa
perubahan fisik, menurunnya potensial reduksi, dan peningkatan pH. Pengukuran
perubahan TMAO menunjukkan level mikroba pembusuk pada produk olahan
ikan (DiChristina dan DeLong, 1993).
Salah satu metabolit yang dihasilkan oleh mikroorganisme perusak dan
digunakan sebagai parameter kerusakan dari produk-produk ikan adalah volatile
amine compounds (senyawa-senyawa volatil amina) seperti trimethylamina
(TMA), amonia (NH3), dan dimethylamina yang berkontribusi pada jumlah total
senyawa nitrogen atau total volatile base nitrogen (TVB-N). Senyawa-senyawa
tersebut merupakan hasil dari aktivitas mikroorganisme proteolitik dalam
memecah protein ikan dan sangat berpengaruh terhadap flavor dan aroma yang
tidak diharapkan dari produk ikan. Selama penyimpanan, mikroorganisme
pembusuk akan tumbuh dan menghasilkan sejumlah metabolit, salah satunya
adalah TVB-N yang menyebabkan peningkatan pH pada ikan sebagai indikasi
bahwa kualitas produk ikan telah menurun (mengalami kerusakan).
TVB-N (Total Volatile Base Nitrogen) dan TMA (Trimethylamine)
merupakan parameter standard analisa biokimiawi yang menjadi karakteristik
produk-produk hasil perikanan atau produk yang berkadar protein tinggi. Kedua
analisa ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak tingkat degradasi protein
melalui hasil uji dan aroma yang ditimbulkan akibat aktivitas mikroorganisme dan
enzim, berdasarkan kandungan nitrogen yang ada sebagai komponen penyusun
protein (Bavor, 1985).
TVB-N merupakan salah satu parameter yang dipakai sebagai penentu
kualitas ikan. Namun ummumnya di dalamnya termasuk pengujian terhadap
kandungan TMA, dimethylamine, dan amoniak yang diproduksi oleh bakteri
perusak (proteolitik) menyebabkan kerusakan ikan (Rehbein dan Oehlenschlager,
1982). Pengujian TVB-N dapat dilakukan dengan metode yang sudah umum
digunakan yaitu dari komponen volatil atau menggunakan metode ekstraksi
mikrodifusi (Conway, 1962).
5
TMA umumnya ditemukan pada habitat laut yang dapat ditemukan dalam
bentuk metal amina sebagai monometil amina dan dimetil amina. TMA
merupakan komponen volatile yang selalu dikaitkan dengan bau khas ikan pada
hasil laut. Hal ini dapat disebabkan adanya residu bakteri dari komponen
Trimethylamine oxide (TMAO) dimana secara alami terdapat pada jaringan tubuh
ikan (Dalgaard, 1994).
Beberapa jurnal internasional menulis tentang pengaplikasian sensor pH
pada kemasan makanan. Yaitu pendeteksian kualitas produk pangan berdasarkan
perubahan pH yang terbentuk selama masa penyimpanan. Jurnal World Intelectual
Property Organization yang ditulis oleh Morris (2005), ditulis tentang
pengaplikasian sensor yang dapat berubah warna dengan adanya peningkatan
kadar TVB-N yang merupakan metabolit mikroba. Penelitian yang dilakukan oleh
Judge (2006) mengenai hubungan antara perubahan warna pada sensor pH
terhadap peningkatan jumlah bakteri L. lactis. Sedangkan pada jurnal Freshness
indicator of foodstuff yang ditulis Ladas and Parry (2003) dilakukan
pengaplikasian sensor pH pada kemasan produk minuman dan foodstuff.
Suatu penetapan kasar pH suatu larutan dapat dilakukan dengan mudah
dengan indikator asam-basa. Indikator asam-basa adalah asam atau basa organik
yang mempunyai satu warna jika konsentrasi hidrogen lebih tinggi daripada suatu
harga tertentu dan suatu warna lain jika konsentrasi itu lebih rendah. Akan
digunakan rumus umum HIn untuk indikator asam lemah, untuk menggambarkan
tipe reaksi yang terlibat. Kesetimbangan untuk pengionannya dinyatakan
sebagai(Keenan et al, 1984):
HIn ↔ H+ + In
-
Jika indikator itu adalah asam lemah dinitrofenol (2,4 – 4,0), HIn tak
berwarna dan In- berwarna kuning. Dalam larutan dimana [H+] agak tinggi, dalam
hal ini pH sekitar 2,5, hadirnya ion [H+] sekutu menyebabkan reaksi ke arah kiri
dimenangkan. Akibatnya, bentuk HIn yang tak berwarna merupakan bentuk utama
indikator itu. Jika larutan itu dibuat lebih basa dengan menambahkan ion
hidroksida, ion-ion [OH-] akan bereaksi dengan [H
+] untuk membentuk air. Ini
menyebabkan reaksi ke kanan dimenangkan, dan campuran menjadi berwarna
kuning ciri khas In-, anion dinitrofenol. (Brady, 1999)
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat dikembangkan sebuah
inovasi baru penggunaan Smart Biopackaging berindikator pH. Smart
Biopackaging merupakan kemasan pintar yang terbuat dari bahan-bahan alami
yaitu limbah tapioka, Chitosan dan antosianin dari buah murbei. Limbah cair
merupakan limbah hasil pembuatan tepung tapioka yang tidak dapat dipisahkan
dengan air secara sempurna, sehingga limbah ini masih mengandung pati.
Pengembangan bahan edible film/coating dari bahan polisakarida larut air
sangat membantu pemanjangan umur simpan buah–buahan dan sayuran karena
kemampuan permeabilitasnya terhadap O2 dan CO2 sehingga diharapkan dapat
mengurangi laju respirasi buah dan sayuran tersebut ( krochta et al,1994 ).
Beberapa jenis polisakarida yang dapat digunakan untuk pembuatan edible
film/coating antara lain pati dan pektin, selulosa, dan alginat. Pelapis dari bahan
ini merupakan penghambat oksigen, aroma dan minyak yang sangat baik serta
mampunyai struktur yang kompak dan kuat. Akan tetapi tidak efektif digunakan
sebagai penghalang uap air karena sifatnya yang hidrofilik. Kemampuan menahan
6
oksigen sangat baik dikarenakan adanya jaringan ikatan hidrogen. Walaupun
begitu pelapisan dengan film tipe ini dapat menahan kematangan dan menaikkan
umur simpan dari produk tanpa menciptakan kondisi anaerobik (Baldwin et al,
1995 dalam Sonti, 2003)
Kitosan merupakan olahan dari kitin yang telah mengalami proses
deasetilasi. Unit penyusun kitosan merupakan disakarida (1-4)-2-amino-deoksi-D-
glukosa yang saling berikatan beta. Penampilan fungsional kitosan ditentukan
oleh sifat fisik dan kimiawinya. Seperti halnya dengan polisakarida lain, kitosan
memiliki kerangka gula, tetapi dengan sifat unik karena polimer ini memiliki
gugus amin bermuatan positif sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat
netral atau bermuatan negatif (Lestari dan Maggy, 2000).
Kitosan bersifat mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak
beracun, mempunyai berat molekul tinggi dan tidak larut pada pH 6,5 (Proton
Laboratories Inc. dalam Suptijah et. al., 1992 dalam Alamsyah, 2000). Kitosan
dapat dibuat menjadi edible film untuk menghambat kerusakan pada buah. Edible
film dari kitosan memiliki kelebihan dibanding dari bahan lain yaitu sifat
antimicrobial dan antifungal alami dari kitosan yang efektif untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Muzarelli, 2003).
Penggunaan biopolimer seperti khitosan sebagai campuran pati singkong
pernah dilakukan oleh Feris Firdaus (2006). Khitosan yang disintesa dari kulit
udang ini digunakan karena biopolimer ini bersifat hidrofobik dan dimaksudkan
untuk memodifikasi sifat hidrofilik dari pati. Penambahan khitosan juga dapat
memperbaiki sifat mekanik dari plastik berbahan pati.
Antosianin adalah indikator alami dari pH. Dalam media asam, tampak
merah, saat pH meningkat menjadi lebih biru. Warna antosianin biasanya lebih
stabil pada pH dibawah 3,5. Pigmen antosianin stabil pada pH 1-3. Pada pH 4-5,
antosianin hampir tidak berwarna. Kehilangan ini bersifat reversibel dan warna
merah akan kembali ketika suasana asam. Faktor-faktor yang mempengaruhi
stabilitas antosianin adalah oksigen, pH, temperatur, cahaya, ion logam, enzim,
dan asam askorbat. Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH dan panas sensintif.
Kecepatan kerusakan antosianin pada pH yang lebih tinggi dan juga reaksi ini
lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi (Kumalaningsih, 2006).
Antosianin menghasilkan kisaran warna dari berwarna merah sampai biru
yang banyak terdapat pada bunga dan buah, meskipun ada juga yang terdapat pada
daun serta bagian lain tanaman. Umumnya konsentrasi antosianin pada buah dan
sayuran antara 0,1 sampai 1% berat kering. Antosianin adalah pigmen yang larut
air berada pada lapisan epidermal buah dan lapisan mesofil pada daun (Vargas
and Lopez, 2003).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pada ekstraksi antosianin
adalah waktu ekstraksi, pelarut, pH, dan temperatur ekstraksi (Pifferi and Vaccari,
1996). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin adalah
oksigen, pH, temperatur, cahaya, ion logam, enzim dan asam askorbat (Iversen,
1999).
Shi et al.,(1992) menyatakan bahwa warna antosianin sangat sensitif
kestabilannya terhadap kondisi pH. Hal ini didukung oleh Pifferi and
Vaccari,(1996) yang menyatakan bahwa didalam larutan dengan pH rendah antara
1-4 (asam) pigmen ini akan berwarna merah dan pada pH yang tinggi akan mulai
7
terjadi perubahan warna menjadi tidak berwarna Perubahan pH mengakibatkan
perubahan warna antosianin seperti ditunjukkan pada Tabel 1 .
Tabel 1. pH dan Warna Antosianin
Warna pH
Merah (Cherry Red) 1-2
Cerise (Cerise) 3
Coklat (Plum) 4
Ungu (Royal Purple) 5
Ungu Kebiruan (Blue Purple) 6
Biru (Blue) 7
Hijau Kebiruan (Blue Green) 8
Hijau Tua (Emerald Green) 9-10
Hijau (Grass Green) 10-11
Hijau Kekuningan (Lime Grass) 12-13
Kuning (Yellow) 14
Sumber: Anonymous (1996)
Pigmen antosianin sangat dipengaruhi oleh pH dimana dalam suatu larutan
kestabilan strukturnya bisa berwarna sampai tidak berwarna. Bentuk kation (ion
flavilium) yang berwarna merah, stabil pada pH rendah dan kestabilannya berubah
menjadi tidak berwarna jika pH meningkat menuju pH netral. Beberapa antosianin
berwarna merah dalam larutan asam, ungu jika berada dalam larutan netral dan biru
dalam larutan alkali. Kebanyakan antosianin sangat berwarna pada pH < 4 (Vargas and
Lopez, 2003).
Kerusakan warna pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya kation
flavium yang bewarna merah menjadi basa karbinol yang tidak berwarna dan
akhirnya menjadi khalkone yang tidak berwarna (Francis, 1995).
Pada pH 1 seluruh pigmen antosianin berada pada bentuk kation flavium yang
berwarna merah. Degradasi warna dari pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya
kation flavium yang berwarna merah menjadi basa karbinol dan akhirnya menjadi
kalkon yang tidak berwarna (Markakis, 1982). Mekanisme perubahan struktur
antosianin menjadi tidak berwarna ditunjukkan pada Gambar 1 berikut
ini.
O
OH
OH
OH
O O
OH
OH
OH
OH+
+ H+
Kation Flavilium
(Merah)
Basa Quinoidal
(Biru)
8
O
OH
OH
OH
OH O
OH
OH
OH
OH
Basa Karbinol
(Tidak Berwarna)
Khalkone
(Tidak Berwarna)
OHOH
+ H+H2O
Gambar 1. Perubahan Struktur Antosianin (Markakis, 1982)
Sifat antosianin yang sangat sensitif terhadap perubahan pH menjadi dasar dari
penggunaan smart biopackaging pada produk ikan dan olahannya. Dimana perubahan
pH akan menyebabkan perubahan warna antosianin. Sebagaimana dijelaskan di awal
bahwa selama masa penyimpanan ikan, mikroorganisme pembusuk akan tumbuh
dan menghasilkan sejumlah metabolit, salah satunya adalah TVB-N yang
menyebabkan peningkatan pH pada ikan sebagai indikasi bahwa produk ikan telah
mengalami kerusakan. Peningkatan pH akan terdeteksi oleh antosianin sehingga
warna sensor Smart Biopackaging akan berubah. Dalam hal ini, warna antosianin
yang semula merah akan berubah menjadi hijau hingga kuning.
Desain Produk
Pembuatan Smart Biopackaging
suspensi
pemanasan dan pengadukan
penuangan pada plat kaca
pengeringan suhu kamar (± 1-2 hari)
Limbah cair tapioca + Chitosan
Sari buah murbei
Smart biopackaging
9
Keterangan: Sensor Kesegaran ditempelkan di penutup kemasan
Produk olahan ikan: ikan pindang, terasi, ikan asin, ikan peda,
Diagram Alir Aplikasi Pada Produk
Pengemasan
Penyimpanan pada suhu rendah
Tidak terjadi perubahan warna Terjadi perubahan warna
Keranjang Ikan Pindang
Berpenutup Plastik
Smart
BioPackaging
Ikan Pindang
Sensor Kesegaran
Ikan Segar/ Olahannya
Smart Biopackaging
Tidak Layak
dikonsumsi
Layak dikonsumsi
10
KESIMPULAN
1. Pemanfaatan Limbah Tapioka, chitosan dan antosianin buah murbei
sebagai Smart Biopackaging berindikator pH.
2. Smart Biopackaging berindikator pH merupakan bahan pengemas pintar
yang berfungsi sebagai detektor kerusakan bahan pangan. Dalam hal ini
akan diaplikasikan pada produk ikan segar dan olahannya yang seringkali
rusak akibat adanya aktivitas mikroba proteolitik. Protein pada produk
makanan dipecah oleh mikroba dan menghasilkan senyawa-senyawa indol,
H2S, merkaptan dan amina. Hasil pemecahan tersebut dapat
mempengaruhi nilai pH produk yang secara tidak langsung menunjukkan
bahwa kualitas produk telah berubah. Perubahan pH Produk akan
terdeteksi oleh Indikator pH pada Smart Biopackaging yang ditandai
dengan berubahnya warna antosianin dari merah menjadi hijau hingga
kekuningan.
3. Penggunaan Smart Biopackaging berindikator pH akan memudahkan
produsen, konsumen dan penjual dalam mendeteksi umur simpan produk
ikan dan olahannya dengan metode non destruktif. Hal ini akan
mengurangi resiko keracunan akibat kerusakan bahan pangan yang tidak
terdeteksi dengan baik.
11
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1996. Murbei. http://www.iptek.net.id. Tanggal akses 15 Januari
2010
Badan POM. 2007. Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait
Perlindungan Konsumen. http://www.indonesia.go.id/id-
REPUBLIKINDONESIA
Bavor, H.J. 1985. Chemical Procedures for Seafood Analysis: Laboratory
Manual of ASEAN Training in Fish Quality Control. School of Food
Science Hawkwesbury Agricultural College. Richmond. New South Wales
Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur Edisi Kelima. Penerbit
Binarupa Aksara. Jakarta
Conway, W. J. 1962. Micridifussion Analysis and Volumetric Error. Crusby
Dalgaard, D. 1994. Qualitative and Quantitaive Characterization of Spoilage
Bacteria from Packed Fish. International J. Food Microbiology
DiChristina and DeLong. 1993. Non-Sensory Assessment of Fish Quality. FAO
Corporate Document Repository.
http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5990e/X5990e01.htm
Francis, F. J. 1995. Pigment an Other Colorant in O. R. Fennema, (ed) Food
Chemistry.
Iversen, C. K. 1999. Black Currant Nectar : Effect of Processing and Storage
on Anthocyanins and Ascorbic Acid Content. Journal of Food Science
64 (1); 37-41.(http://www.confex.com/ift/JFSonline-81D4ycobCLoA/pd
fs? jfsv64n1p037-041ms0848.pdf). Diakses pada 1 Oktober 2009
Keenan, C.W., Donald C. Kleinfelter, and Jesse H. Wood. 1984. Ilmu Kimia
Untuk Universitas. Penerbit Erlangga. Jakarta
Krochta J.M, Elizabeth A.B., Myrna O.N., 1994. Edible Coating and Film to
Improve Food Quality. Technomic publishing co.INC . Lancaster
Kumalaningsih, S., N. Hidayat. 1996. Mikrobiologi Hasil Pertanian. Penerbit
IKIP. Malang. Marcel Dekker Inc. New York.
Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Coloors. Academic Press. America.
Miller, D.W. 2006. Food Quality Indicator Device. http://freepatentsonline.com
Pifferi, P. G. and A. Vaccari. 1996. The Anthocyanins of Sunflower. Dalam
Extraction of Anthocyanins Pigments From Sunflower Hulls. Gao L.
and G. Mazza. 1996. Journal of Food Science 61 (3); 600-603
(Proton Laboratories Inc. dalam Suptijah et. al., 1992 dalam Alamsyah, 2000).
Robertson, G. L. 1993. Food Packaging Pronciple and Practice. Marcel Dekker,
Inc. New York
Shi,Z; Min. L; and F.S. Francis. 1992. Stability of Anthocyanins from
Tradescania pallida. Journal of Foods Science 57(3): 758-771
Vargas and Lopez. (2003). Vargas, F. D and Lopez, O. P. 2003. Natural
Colorants for Food and Nutraceulitical Uses. CRC Press. USA.
William, J.I., and A. Shaw. 1992. Microorganism. Collins Educational Publshers
2nd
Edition, pp:100-103