PILIHAN BENTUK TRITISAN HEMAT ENERGI UNTUK...

20
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56 *) Staf pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang Ketua labo. TEKNOLOGI BANGUNAN ARSITEKTUR & cluster Eco-Tropical Home FT.Undip Telp. 081325514192, [email protected] PILIHAN BENTUK TRITISAN HEMAT ENERGI UNTUK KOTA SEMARANG Eddy Prianto *) Abstrak Pesatnya penyediaan perumahan di Kota Semarang, bilamana dibarengi dengan keperdulian mengefisienkan energi listrik pada skala perumahan akan mempercepat kondisi terciptanya Kota Semarang Perduli Energi. Karena perlu diketahui bahwa dari data pada skala nasional terkait dengan konsumsi terbesar dari energi listrik ada pada skala sektor rumah tangga (40%) disusul sektor industri (37%), sektor komersial (17%) dan sektor publik (6%). Dan untuk kota-kota di negara tropis, khususnya Kota Semarang, kondisi konsumsi pemakaian energi listrik rumah tinggal rata-rata mencapai 40% beban total dibutuhkan untuk mendinginkan ruangan (AC), yang dipergunakan untuk mendinginkan panas ruangan akibat akumulasi panas udara lewat desain dinding dan atap rumah tinggal. Tren desain tampilan rumah dalam dekade belakangan ini kearah ‘meminimaliskan’ elemen-elemen arsitektural penghalang pancaran sinar matahari. Dan tipe desain yang ditawarkan, atau model desain fasad yang dikembangkan untuk ke segala arah oriantasi mata angin ternyata tidak dibedakan. Artinya desain fasad tertentu berlaku untuk semua arah, baik utara, selatan, timur bahkan barat. Hal ini sebenarnya tidaklah tepat bilamana kita akan menciptakan kenyamanan dan efisiensi energi dalam rumah kita. Untuk mengetahui model tritisan yang tepat (tepat bentuk dan tepat penempatan fasadnya) khusus Kota Semarang, maka pengamatan ini mempergunakan gabungan simulasi komputer Google SketchUp versi 8 dan pengukuran lapangan. Hasil akhir menunjukkan, bahwa rumah minimalis dengan model tritisan yang ‘minim’ bentuk/desainnya untuk Kota Semarang akan cocok untuk rumah dengan arah hadap utara ataupun selatan, namun dimensi jendelanya jangan diminimaliskan/ artinya justru pada arah utara-selatan, desain jendela seyogyanya lebar dan besar dengan bidang kaca yang terang/bening. Sedangkan arah timur dan barat seyogyanya mengoptimalkan fungsi tritisan tradisional, baik dari bentuk, ukuran dan peletakannya. Karena perubahan pemakaian tritisan dari model minimalis ke model tradisional akan menekan beban panas sebesar 60%. Kata kunci : tritisan, sketchup, intensitas radiasi matahari, Semarang Abstract The rapid increase of settlement in Semarang must be followed by energi saving strategy. The domestic energi consumption took 40% of state consumption, followed by Industrial sector (37%), Commercial sector (17%) and public sector (6%) The cities in the tropical region such as Semarang, the domestic energi consumption spended for cooling strategy by making used the mechanical air conditioning system to overcome the indoor heating load intruded through opening and roof design. The currently architectural fasad in minimalist style, obscured the sun radiation come into the building. The fasad design applied in all building neglect the orientation taking into considering. This design was not appropriate to provide indoor thermal comfort and energi saving. To find out the appropriate model of overhang ( both shape and placement) in Semarang, the komputer simulation by making used Google Sketcup version 8 and in situ experimentation were carried out. The result showed the small overhang integrated with large frosted glass opening adjusted to north and south oriented building. The Traditional overhang style ( shape, size, and placement)

Transcript of PILIHAN BENTUK TRITISAN HEMAT ENERGI UNTUK...

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

*) Staf pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang Ketua labo. TEKNOLOGI BANGUNAN ARSITEKTUR & cluster Eco-Tropical Home FT.Undip

Telp. 081325514192, [email protected]

PILIHAN BENTUK TRITISAN HEMAT ENERGI

UNTUK KOTA SEMARANG

Eddy Prianto*)

Abstrak

Pesatnya penyediaan perumahan di Kota Semarang, bilamana dibarengi dengan

keperdulian mengefisienkan energi listrik pada skala perumahan akan mempercepat kondisi

terciptanya Kota Semarang Perduli Energi. Karena perlu diketahui bahwa dari data pada

skala nasional terkait dengan konsumsi terbesar dari energi listrik ada pada skala sektor

rumah tangga (40%) disusul sektor industri (37%), sektor komersial (17%) dan sektor

publik (6%). Dan untuk kota-kota di negara tropis, khususnya Kota Semarang, kondisi

konsumsi pemakaian energi listrik rumah tinggal rata-rata mencapai 40% beban total

dibutuhkan untuk mendinginkan ruangan (AC), yang dipergunakan untuk mendinginkan

panas ruangan akibat akumulasi panas udara lewat desain dinding dan atap rumah tinggal.

Tren desain tampilan rumah dalam dekade belakangan ini kearah ‘meminimaliskan’

elemen-elemen arsitektural penghalang pancaran sinar matahari. Dan tipe desain yang

ditawarkan, atau model desain fasad yang dikembangkan untuk ke segala arah oriantasi mata angin ternyata tidak dibedakan. Artinya desain fasad tertentu berlaku untuk semua

arah, baik utara, selatan, timur bahkan barat. Hal ini sebenarnya tidaklah tepat bilamana

kita akan menciptakan kenyamanan dan efisiensi energi dalam rumah kita.

Untuk mengetahui model tritisan yang tepat (tepat bentuk dan tepat penempatan

fasadnya) khusus Kota Semarang, maka pengamatan ini mempergunakan gabungan

simulasi komputer Google SketchUp versi 8 dan pengukuran lapangan.

Hasil akhir menunjukkan, bahwa rumah minimalis dengan model tritisan yang ‘minim’

bentuk/desainnya untuk Kota Semarang akan cocok untuk rumah dengan arah hadap utara

ataupun selatan, namun dimensi jendelanya jangan diminimaliskan/ artinya justru pada arah

utara-selatan, desain jendela seyogyanya lebar dan besar dengan bidang kaca yang

terang/bening. Sedangkan arah timur dan barat seyogyanya mengoptimalkan fungsi tritisan

tradisional, baik dari bentuk, ukuran dan peletakannya. Karena perubahan pemakaian

tritisan dari model minimalis ke model tradisional akan menekan beban panas sebesar 60%.

Kata kunci : tritisan, sketchup, intensitas radiasi matahari, Semarang

Abstract

The rapid increase of settlement in Semarang must be followed by energi saving

strategy. The domestic energi consumption took 40% of state consumption, followed by

Industrial sector (37%), Commercial sector (17%) and public sector (6%) The cities in the

tropical region such as Semarang, the domestic energi consumption spended for cooling

strategy by making used the mechanical air conditioning system to overcome the indoor

heating load intruded through opening and roof design. The currently architectural fasad in

minimalist style, obscured the sun radiation come into the building. The fasad design applied

in all building neglect the orientation taking into considering. This design was not appropriate

to provide indoor thermal comfort and energi saving. To find out the appropriate model of

overhang ( both shape and placement) in Semarang, the komputer simulation by making

used Google Sketcup version 8 and in situ experimentation were carried out. The result

showed the small overhang integrated with large frosted glass opening adjusted to north and south oriented building. The Traditional overhang style ( shape, size, and placement)

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

38

suggested to apply in the East and West oriented building. The application of traditional

overhang reduce 60% of the heating load in minimalist overhang.

Keywords : overhang, sketchup, sun radiation intensity, Semarang

Pendahuluan

Perkembangan perumahan di Kota

Semarang sangat pesat, sepesat

pembukaan lahan di pinggiran kota.

Bahkan tidak jarang lahan kritis,

konservasi ataupun daerah resapan air

jadi incaran para pengembang

perumahan. Karakteristik masyarakat

kita yang senang melihat tampilan fisik

bangunan, tanpa melihat pengalaman

efek pasca huni, merupakan aspek

kelemahan yang di „perdayakan‟ oleh

sebagian orang yang mengambil

keuntungan. Tampilan yang indah,

warna yang beraneka ragam dan model

yang modern dan harga yang tidak

murah lagi, merupakan kriteria pilihan

kita dalam membeli rumah.

Gambar 1

Tren Tampilan Fasad Rumah di Kota

Semarang : Tanpa/ Minim Tritisan

Pelindung Jendela

Tren perumahan yang cenderung

„meminimalisir‟ bagian kulit bangunan,

merupakan bentuk kesalahan umum

kehadiran bangunan di daerah tropis.

Banyak ditemukan rumah dengan

pelindung jendela yang sangat minim

bahkan cenderung pelindung tersebut

dihilangkan dan diganti pewarnaan yang

menyolok, pemakaian batu alam hingga

pemakaian bahan kayu untuk kusen-

kusen jendelanya diekspos di panas

sinar matahari dan hujan (gambar 1).

Kenyamanan penghuni hingga

efisiensi energi listrik dari pilihan

envelope rumah/ bangunan sudah

banyak dipaparkan, seperi pilihan cat

yang bagaimana yang membuat rumah

hemat energi, pilihan batu alam yang

bagaimana untuk rumah menghadap

timur, hingga perletakan green wall yang

bagaimana supaya rumah menjadi adem.

Kesemua pengamatan itu didasari usaha

untuk menekan konsumsi energi yang

dimulai dari skala rumah tinggal

(Prianto, 2003) (Prianto, 2007),

(Prianto,2011), (Prianto, 2013).

Data pada skala nasional terkait

dengan konsumsi terbesar dari energi

listrik ada pada sektor rumah tangga

(40%), disusul sektor industri (37%),

sektor komersial (17%) dan sektor

publik (6%). Dan setiap tahun

mengalami peningkatan pemakaian

untuk rata-rata seluruh sektor sekitar 3%-13%, (Prokum.ESDM, 2013), (ESDM,

2013). Bilamana sektor-sektor tersebut

secara serempak bisa menekan

kenaikan, maka dapat dikatakan efisiensi

energi listrik tercapai. Dari hasil

penelitian sebelumnya, kondisi

menunjukan bahwa konsumsi energi

listrik pada skala rumah tinggal di

daerah tropis rata-rata mencapai 40%

beban total yang dibutuhkan untuk

mendinginkan ruangan dari akumulasi

panas udara dalam ruangan, dimana 80%

beban panas dalam rumah tinggal

dipengaruhi desain envelopenya (desain

dinding dan atap rumah tinggal).

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

39

Dari deskripsi di atas, menunjukan

bahwa sektor perumahan khususnya di

Kota Semarang yang berkembang pesat

seharusnya dapat merespon atau

perduli terhadap gerakan efisiensi

energi tingkat nasional. Keperdulian

bersama dari para pengembang dan

penghuni pemilik bangunan serta

pemerintah, merupakan 3 (tiga) aktor

dalam menciptakan Kota Semarang

Hemat Energi.

Salah satu langkah konkret yang

dapat diaplikasikan secara mandiri oleh

sebagain warga Semarang adalah perlu

mengetahui, memahami dan bisa

memilih/membangun rumah dengan

pertimbangan aspek efisiensi energi.

Envelope bangunan merupakan bidang

terluar bangunan yang bersentuhan

dengan sumber panas sinar matahari.

Rumah kita sepanjang hari pasti terkena

sinar matahari, apalagi yang arah hadap

fasadnya kearah timur dan barat. Rumah

tanpa tritisan suatu pilihan yang tidak

tepat dalam konteks ini. Untuk itu

dalam penulisan ini, akan dipaparkan

bagaimana memilih tritisan yang tepat

untuk Kota Semarang. Teknik

pemilihannyapun bisa dilakukan dengan

bantuan program kompter yang gratis untuk diunduh. Dan kiat apa saja yang

bisa dilakukan bila rumah kita sudah‟

terlanjur‟ menghadap barat atau timur.

State of The Art

Desain Jendela dan Sinar Matahari

dalam Desain Arsitektur

Tritisan, menurut Sukawi

mengandung pengertian bagian dari

bangunan yang berupa atap tambahan

yang berdiri sendiri atau bisa juga

berupa perpanjangan dari atap utama

(Sukawi, 2008). Konsep topi atau caping

mendasari cara kerja tritisan. Disamping

terbentuk daerah bayangan di

bawahnya, juga berfungsi meminimalisir

kualitas dan kuantitas sinar matahari

yang masuk ke dalam ruangan melalui

lubang dinding/jendela. Tritisan bisa

berkedudukan mendatar atau vertikal.

Tergantung sinar mana dan yang

bagaimana yang boleh masuk ruangan

atau tidak. (Olgyay, 1973), (Lippsmeier,

1994), (Szokolay, 2008).

Jendela, merupakan salah satu

bentuk pelubangan dinding yang lazim

dipasang/dilengkapi tritisan. Salah satu

fungsi jendela ini adalah untuk

mendapatkan penerangan alami.

a b

Gambar 2

Sketsa Proses Penerangan Alami ke

dalam Ruangan : A) Sinar dan

Cahaya Masuk, B) Sinar Terhalang,

tapi Cahaya Masuk.

Terdapat dua aspek dalam

penerangan alami ini adalah cahaya

matahari dan sinar matahari. Cahaya

matahari adalah terang yang dihasilkan

dari terang langit (tidak ada unsur

energi panas). Sinar matahari adalah

terang yang dihasilkan dari radiasi

matahari secara langsung (mengandung

unsur energi panas). Dalam

perencanaan dan perancangan

bangunan, diusahakan untuk

memasukkan cahaya matahari

semaksimal mungkin, sedangkan sinar

matahari ini diusahakan agar tidak

masuk ke dalam ruangan (lihat Gambar

2).

Dua prinsip dasar fungsi tritisan

dalam merespons sinar dan cahaya

matahari (YB, 1997):

Prinsip Payung atau Perisai (Prinsip Pembayangan), sebagai contoh : a)

Atap rapat yang lazim diterapkan

rumah selasar, galeri, doorloop, dan

sebagainya, b). Penjulangan pada

cucuran (tritisan), c).Kerai, tanda

jendela dan sebagainya, d). Vegetasi

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

40

(bougenvile, tanaman rambatan,

hiasan), e). Papan atau bidang yang

dapat diatur pada poros vertikal (jalusi), f). Penggunaan jendela-

jendela rapat (blinden) dan

sebagainya.

Prinsip penyaringan cahaya, sebagai

contoh melalui penggunaan kerai,

krepyak (louver,jdlousie), kisi-kisi,

kerawang (rooster), dedaunan

tanaman, pergola, dinding tabir

berselah papan-papan horisontal

(horizontal overhang)

Jenis Sinar Matahari.

Secara umum sinar matahari yang

masuk ke dalam ruangan bisa dibedakan

dalam beberapa jenis:

Sinar matahari langsung, yang masuk

kedalam ruang tanpa terhalang oleh

apapun,

Sinar matahari tidak langsung tapi pancaran sinar mengenai awan dan

awan memantulkan lalu sinar

tersebut masuk atau menyinari

ruangan, atau pantulan dari benda-

benda diluar bangunan (kaca,

tembok putih hingga seng rumah

tetangga)]

Sinar matahari refleksi dari dalam

ruangan, yaitu cahaya dalam ruangan

yang disebabkan oleh pantulan sinar

matahari yang mengenai benda-

benda atau elemen-elemen didalam

ruang itu sendiri.

Manfaat Sinar Matahari

Sinar matahari bermanfaat karena

aspek terangnya tapi akan

mendatangkan panas. Proses ini dikenal

dengan istilah perpindahan panas radiasi,

yaitu perpindahan panas yang terjadi

karena pancaran/sinar/radiasi gelombang

elektromagnetik (Kreith & Prijono,

1991) (Buchori & Soemardjo, 2011),

(Setyowati, 2013).

Radiasi sinar matahari tersedia

dalam tempat-tempat yang

mendapatkan cahaya secara langsung

dan tersebar. Jumlah radiasi bervariasi

sesuai dengan periode waktu dalam satu

tahun, garis lintang dan garis bujur dan kondisi awan lokal (Liebard & De

Herde, -).

Menurut Anik Juniwati dan Antarya

dalam penelitiannya tentang bangunan

tinggi di daerah tropis bahwa

peningkatan perolehan cahaya alami

membawa pengaruh pada penurunan

kebutuhan energi pencahayaan (Santoso

& Antaryama, 2010). Dan ditegaskan

kembali oleh Amin, bahwa pemanfaatan

cahaya matahari baik untuk pencahayaan

ruangan memberikan efisiensi

pemakaian energi listrik untuk lampu

dan mengurangi biaya konsumsi listrik

hingga 36% (Amin, 2011)

Dipertegas lagi dalam penelitian

sebelumnya oleh Prianto, bahwa

keberadaan jendela yang bertritisan

sangat signifikan dalam menciptakan

pola gerakan udara yang masuk dan

akhirnya dapat memberi efek tingkat

kenyamanan bagi penghuninya (Prianto,

2003). (Prianto, 2005), (Prianto, 2005).

Beberapa trik perancangan tata

ruang dalam dan luar terhadap kinerja

penerangan alami (Smith, 2005),

(Lippsmeier, 1994), (Liebard & De

Herde, -):

Manfaatkan „sinar‟ matahari seoptimal mungkin dan

meminimalisir langkah-langkah dari

efek panas yang timbulkannya

Usahakan menghindari pemanfaat

sinar langsung, artinya untuk daerah

tropis seperti negara Indonesia ini,

khususnya Kota Semarang, usahakan

cukup pendapatkan cahaya dari

pemantulan, terutama fasad yang beorientasi utara dan selatan.

Inovasikan solusi desain arsitektural

bilama „terpaksa‟ menggunakan

cahaya langsung atau tidak langsung

melalui kesan aksentuasi atau

penempatan fungsi-fungsi tertentu.

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

41

Penerapan Rancangan Pasif-Desain,

dalam merespon permasalahan iklim

setempat.

Usahakan menerapkan standar ideal

menurut Dirjen Cipta Karya

(Umum, 1987), disebutkan bahwa

standar minimal lubang cahaya untuk ruang-ruang kegiatan sehari-hari

adalah 1/8-1/10 dari luas lantai. Dan

sedangkan ukuran ideal lubang

jendela untuk daerah tropis minimal

30% dari porosite dindingnya

(Prianto, et al, 2000)

Pertimbangkan derajat/tingkat

penyinaran dengan memperhatikan :

ketinggian lubang cahaya dan

kedalaman ruangan. Menurut

Soetiaji dikatakan dalam

penelitiannya, bahwa bahwa derajat

/ tingkat penyinaran makin

berkurang/redup bilamana posisi

jendela makin turun, serta jendela

satu sisi lebih cepat tingkat

redupnya dibandingkan dua sisi.

Pertimbangkan aspek penghalang element eksterior. Menurut Hanni

(Mahaputri, 2010), bahwa

perencanaan letak halangan

lingkungan (outdoor obstruction) yang

tepat sangat berpengaruh terhadap

kinerja penerangan alami dalam

bangunan.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian terkait dengan penerangan

alami ini adalah studi simulasi komputer

(komputer modelling). Dimana metode

ini banyak memberikan keuntungan

dibanding dengan penelitian lapangan,

yaitu aspek teratasi kendala cuaca yang

tidak menentu akhir-akhir ini, waktu

dan biaya yang tidak sedikit bilamana

dilakukan penelitian lapangan. Satwiko

memaparkan beberapa program

komputer yang memungkinkan

digunakan oleh para perencana

bangunan (Satwioko, 2005).

Terkait dengan iklim Kota

Semarang, sebagai gambaran umum,

semenjak tahun 2010-2012, cuaca Kota

Semarang serba tidak menentu, tahun

2010, merupakan tahun terpanas

sepanjang tahun dimana relatif tidak

curah hujan, dan tahun 2013 curah

hujannya ekstrim, sebentar atau musim

penghujan makin bergeser). Keuntungan

metoda simulasi komputer ini, tampilan

dimensi, bentuk semakin akurat dan

fleksibel.

Software yang digunakan adalah

Google SketchUp 8, secara prinsip

program ini digunakan untuk

kepentingan tampilan grafis bagi pemula

hingga arsitek profesional sekalipun.

Keakuratan untuk skala penelitian dari

aspek pembayangan sinar matahari

perlu ditinjau lagi, namun menurut Gian

(Prabawa & Prianto, 2007) tingkat

penyimpangan tidak lebih dari 5%.

Beberapa cara perangkat untuk

pengukuran aspek pncahayaan alami bisa

digunakan pula Diagram Matahari,

Girassol dan diagram dari CSTB &

CERMA. (Brau, Miller-Chagas, Patrick,

Guyot, & Peneau, 1989)

Secara runtut metode pengamatan

yang dilakukan digunakan dua cara :

Pertama, pensimulasian komputer untuk untuk mendapatkan pola

pembayangan dari efek 5 tragam

tritisan

Kedua, pengukuran lapangan dengan

menggunakan lux meter, untuk

mengetahui seberapa besar radiasi

matahari di Kota Semarang, yang

diukur setiap jam semenjak matahari

terbit hingga terbenam.

Kemudian, metoda penganalisaannya

adalah menggabungkan kedua cara

tersebut secara matematis untuk

besaran intensitas energi panas yang

masuk ke dalam ruangan uji coba

karena pengaruh dari model-model

tritisan.

Analisa arsitektural dilakukan untuk mencari solusi rancangan dalam

usaha meminimalkan intensitas

panas yang masuk dalam ruangan.

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

42

Deskripsi Grafis Bangunan

Bangunan diposisikan dalam skala

terletak di Surabaya, dengan koordinat astronomis di Kota Semarang, yang

terletak di sekitar 7°Lintang Selatan dan

110° Bujur Timur.

MODEL 01 MODEL 02

MODEL 03 MODEL 04

MODEL 05 b)

c)

Gambar 3

a) 5 (Lima) Bentuk Tritisan sebagai

Model Ujicoba, b) Bentuk Rumah

Program KPR FLPP Kementerian

Perumahan Rakyat yang akan

Dimodifikasikan Tritisannya (RI,

2013), c) Tiga Lintasan Matahari

Model Bentuk Tritisan

Terdapat lima bentuk tritisan yang

akan dijadikan model (sketsa dapat dilihat pada Gambar 03-a):

MODEL 01 : bangunan rumah

tinggal tanpa tritisan

MODEL 02 : bangunan rumah

tinggal dengan tritisan plat beton

50cm

MODEL 03 : bangunan rumah tinggal degan tritisan plat beton

keliling jendela

MODEL 04 : bangunan rumah

tinggal dengan tritisan

miring/membentuk sudut, lebar 50

cm

MODEL 05 : bangunan rumah tinggal dengan tritisan

miring/membentuk sudut, lebar 100

cm

Tahap Pensimulasian Google

SketchUP-8

Langkah-langkah dalam

pensimulasian adalah sebagai berikut :

Bentuk-bentuk model diterapkan dalam suatu model bangunan rumah

tinggal- bangunan yang menjadi

percontohan dalam program KPR

FLPP dari Kementerian Perumahan

Rakyat Republik Indonesia (RI,

2013), model di gambar dengan

bantuan program Google SketchUp

(lihat Gambar 3 b)

Untuk mendapatkan efek bayangan

dari penyinaran matahari, maka

ditentukan koordinat astronomis

Kota Semarang, yang terletak di

sekitar 7°l lintang selatan dan 110°

bujur timur.

Pengambilan data dengan simulasi terkait profil intensitas sinar

matahari Kota Semarang ini

dilakukan atau merekam selama

1(satu) tahun penuh.

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

43

Maka, pengamatan dilakukan pada 3

(tiga) tanggal ekstrim lintasan

matahari : 22 Maret/22September,

22 Juni dan 22 Desember (Szokolay,

2008), (Smith, 2005).

o Tanggal 22 Juni, posisi matahari

berada di balik lintang utara (23,5°

LU)

o Tanggal 22 Maret dengan 22

September cukup diambil salah

satu, karena posisi matahari sama-

sama persis diatas garis

khatulistiwa (0°)

o Tanggal 22 desember, posisi

matahari berada dibalik lintang

selatan (23,5° LS).

Data pengamatan akan direkam setiap 60 menit/1 jam, dimulai dari

pk.06.00 hingga pk.18.00 (selama 12

kali), sehingga perlu dibuatlah tabel

rekapitulasi.

Pengamatan merekam data tampilan

visual efek pembayangan bagian luar

dan efek penyinaran bagian

dalam/interior ruangan.

Teknik perhitungan intensitas sinar

masuk dalam ruangan dilakukan

dengan membandingkan luas total

sinar masuk dalam ruangan terhadap

luas total jendela dalam satuan

persen (%):

Intensitas sinar masuk (%)

=

Rekapitulasi pendataan adalah

sebagai berikut :

o Model 01, diamati

(eksterior&interior), selama 12

kali, pada tanggal 22 maret, 22 juni

dan 22 desember, sehingga

didapatkan data = 2 x 12 x 3 = 72

data gambar/ukur prosentase

intensitas sinar masuk.

o Demikian untuk model 02 hingga

model 05, sehingga keseluruhan

data didapatkan 360 data.

Sebagai bahan penganalisaan

berikutnya, maka rekapitulasi

tersebut perlu ditampilkan dalam

tabel Excel.

Tahap Pengukuran Data Intensitas

Radiasi Matahari Kota Semarang

Langkah-langkah dalam pengukuran

lapangan terhadap intensitas radiasi

matahari adalah sebagai berikut :

Kita tentukan tanggal ekstrim untuk daerah tropis (ada 3 tanggal ekstrim,

sebagaimana dilakukan pada tahap

pertama). Karena keterbatasan

waktu, tenaga dan biaya, untuk

penelitian ini diambil tanggal ekstrim

tepat di bulan September.

Pengukuran intensitas radiasi

matahari dilakukan di luar/eksterior

bangunan dengan rentang 60 menit

selama 12 jam. Alat yang digunakan

untuk lux meter. Data yang didapat

dapat berupa satuan joule/cm²,

ataupun dalam satuan watt/m2.

Sebagai bahan penganalisaan berikutnya, maka rekapitulasi data

tersebut perlu disdimpan atau

ditampilkan dalam tabel Excel.

Tahap Penganalisaan Beban Panas

dalam Ruangan

Tahapan ini merupakan tahapan analisa setelah data hasil simulasi

program Google SketchUP dan tabel

intensitas radiasi matahari

didapatkan.

Tahap ini digunakan rumus

perhitungan sebagai berikut :

Rumus yang digunakan :

Be (Watt/m²) = Ism (%) x Rmt

(Watt/m²)

Dimana :

Be = Besaran energi dalam ruangan

(Watt/m2)

Ism = Intensitas sinar masuk (%)

Rmt = Besaran energi radiasi matahari

(Watt/m2)

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

44

Analisa dilakukan dengan batasan untuk mendapatkan njawaban

bahwa pilihan bentuk tritisan mana

yang mempunyai efek intensitas

beban panas terendah.

Solusi bagi kasus fasad „yang

terlanjur‟ dilakukan analisa

arsitektural.

Hasil dan Pembahasan Kajian Pertama : Seberapa besar

kuantitas sinar masuk dari masing-

masing bentuk tritisan bangunan untuk

Kota Semarang ?

Tujuan dari kajian pertama ini adalah

untuk mengetahui model tritisan yang

optimal dalam menghalangi sinar masuk,

dari keempat orientasi fasad. Dan hasil

pengamatan sinar masuk dalam ruangan

suatu bangunan rumah tinggal, dapat

dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4

Grafik Profil Intensitas Sinar Masuk

pada Ragam Bentuk Tritisan

Pengertian prosentase sinar masuk

tersebut adalah perbandingan antara

luasan sinar masuk terhadap luasan lubang jendela (cek rumus di depan).

Jendela berdaun pintu dua, dengan luas

(2 x 0.47) x 0.94 = 0,88 m², ternyata

dari pengaruh bentuk tritisan terhadap

sinar masuk dalam ruangan untuk Kota

Semarang, sepanjang tahun rata-rata

maksimal ada pada desain rumah tanpa

tritisan sebesar 27% dan paling rendah

adalah 17% pada desain dengan tritisan

miring selebar 1.00m.

Tren pilihan tritisan untuk rumah

tinggal Kota Semarang dalam dekade

belakangan ini adalah bentuk minimalis atau bahkan cenderung tidak

menggunakan tritisan sama sekali.

Artinya, dari tabel diatas, dapat disimak,

bahwa pilihan tren ini justru cenderung

memberikan porsi/dampak paling

banyak terhadap masuknya sinar

matahari kedalam ruangan.

Pilihan desain yang tepat sesuai

kebutuhan kegiatan dalam ruangan

(kebutuhan aktifitas ruangan yang

membutuhkan sinar masuk, seperti

kondisi bangunan didaerah

dingin/gunung atau kebutuhan ruangan

yang mengatisipasi sinar masuk seperti

ruangan di kota-kota panas/pantai)

merupakan desain yang tepat yang

menyesuaiakan situasi dan kondisi atau

lebih tepatnya sesuai dengan

microclimate dan memberi dampak

pada efisiensi penggunaan energi.

Berdasarkan grafik tersebut, dapat

dikaji bahwa perubahan pilihan dari

tritisan miring dengan lebar 1.00m

(bentuk „tradisional‟) ke model tritisan

lain justru memberi dampak

penambahan pada intensitas sinar

masuk sebagai berikut :

Model 05 ke model 01 (jendela tanpa tritisan) justru akan

memberikan penambahan sebesar

60%,

Model 05 ke model 02 (plat beton

50 cm diatas jendela ) akan

memberikan penambahan sebesar

23%,

Model 05 ke model 04 (jendela dengan tritisan miring selebar 50

cm) akan memberikan penambahan

sebesar 26%,

Dan justru usaha terapan konsep

minimalis yang memberi

pengurangan intensitas sinar ada

pada perubahan ke tritisan plat

beton keliling ( dari model 05 ke

03), yaitu mengalami pengurangan sebesar 1%.

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

45

Secara urutan pilihan optimalnya

adalah ke model 03 (-1%), ke model

02 (23%), ke model 03 (26%) dan

terjelek ke model 01 (60%)

Secara tampilan visual sketsa profil

perubahan intensitas sinar masuk dari

kelima pilihan desain tritisan tersebut

dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 5

Sketsa Perubahan Pengurangan

Intensitas Sinar Masuk dari Bangunan

Bertitisan ‘Tradisional’ ke Ragam Bentuk Tritisan dan Tanpa Tritisan

Atau dapat disampaikan profil

perubahan yang terjadi dari suatu

bangunan tanpa tritisan/ bangunan tren

minimalis terhadap pengurangan

intensitas panas yang masuk dapat

dilakukan dengan merubah bentuk atau

memberi tritisan prosentase

perubahannya adalah sebagai berikut :

Model minimalis/tanpa tritisan ke

model plat 50 cm (Model 01 ke

model 02) akan mengurangi intensitas sinar masuk sebesar 23%

Model minimalis/tanpa tritisan ke

model plat keliling 50 cm (Model 01

ke model 03) akan mengurangi

intensitas sinar masuk sebesar 38%

Model minimalis/tanpa tritisan ke

model tritisan miring lebar 50 cm (Model 01 ke model 04) akan

mengurangi intensitas sinar masuk

sebesar 21%

Model minimalis/tanpa tritisan ke

model tritisan miring lebar 100 cm

(Model 01 ke model 05) akan

mengurangi intensitas sinar masuk

sebesar 38%

Secara urutan pilihan optimalnya

adalah ke model 03 dan 05 (38%),

ke model 02 (23%), ke model 04

(21%). Artinya karena tidak ada

pilihan terjelek, maka pemakaian

tritisan pada lubang jendela

merupakan suatu keharusan dalam

usaha mengurangi intensitas sinar

matahari yang masuk.

Secara tampilan visual sketsa profil

perubahan intensitas sinar masuk dari

pilihan desain tritisan dapat dilihat pada

gambar dibawah ini.

Gambar 6

Sketsa Perubahan Pengurangan

Intensitas Sinar Masuk dari Bangunan

tanpa Tritisan/Bangunan ‘Super

Minimalis’ ke Ragam Bentuk Tritisan

Kajian Kedua : Berdasarkan arah

orientasi hadap fasad utama (utara -

selatan - timur dan barat), pilihan model

tritisan mana yang tepat ?

Tujuan dari kajian kedua ini adalah

untuk mengetahui model tritisan yang

tepat untuk masing-masing arah hadap

fasad khususnya di Kota Semarang. Dan

hasil pengamatan sinar masuk dalam

ruangan suatu bangunan rumah tinggal

sepanjang tahun dengan 4 orientasi

matahari dapat dilihat pada Gambar 7 di

bawah ini.

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

46

Gambar 7

Profil Umum dari Sinar Masuk

Melalui Pelubangan Fasad Sepanjang

Tahun untuk Kelima Model Ragam

Tritisan

Pada grafik rekapitulasi rata-rata

besaran sinar masuk dalam ruangan

berdasarkan orientasi fasad, maka dari

kelima model uji coba, sudah selayaknya

bahwa sinar matahari akan masuk

banyak dalam ruangan melalui

pelobangan fasad yang menghadap barat

dan timur untuk ketiga titik ekstrim

lintasan matahari (22 desember, 22

Maret/22 September dan 22 Juni)

Sinar masuk rata-rata sepanjang hari

sebesar 39% untuk fasad menghadap

timur dan

Sinar masuk rata-rata sepanjang hari sebesar 34% untuk fasad menghadap

Barat.

Aplikasi desain arsitektur terhadap

pilihan jenis tritisan pada kondisi

arah fasad bangunan menghadap

barat ataupun timur adalah

mengoptimalkan pilihan tritisan yang

berfungsi memblokir sinar masuk,

dalam hal ini pilihan Model 05 dan

model 03.

Atau dapat direkomendasikan

bahwa pilihan rumah model tritisan

minimalis sangat tidak diajurkan

untuk rumah menghadap timur dan

barat. Yang perlu diperhatikan bahwa

untuk fasad menghadap utara dan

selatan, dapat di simak sebagai berikut :

Sinar matahari masuk kedalam rata-

rata hanya berkisar sebesar 4%-7%

dari luas lubang dindingnya (artinya

sangat sedikit sinar yang masuk)

Dan total tidak terdapat sinar masuk pada bangunan dengan fasad

utara pada lintasan matahari dibulan

Maret dan Juni, sedangkan selatan

pada bulan Desember dan Maret.

Aplikasi desain arsitektur terhadap

pilihan jenis tritisan pada kondisi

arah fasad bangunan menghadap

utara ataupun selatan adalah pilihan

tritisan model apapun hasilnya tidak

memberi dampak masuknya sinar.

Atau dapat direkomendasikan bahwa pilihan rumah model tritisan

minimalis sebenarnya sangat

diajurkan untuk rumah menghadap

utara dan selatan.

Gambar 8

Profil Rata-Rata Sinar Masuk Melalui

Pelobangan Fasad Berdasarkan

Oriantasi Mata Angin (U-S-T-B)

untuk Kelima Model Ragam Tritisan

Tampilan visual sketsa profil pilihan

tritisan berdasarkan oriantasi fasad

rumah tinggal atau gedung dapat dilihat

pada gambar di bawah ini.

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

47

a) MODEL 01

b) MODEL 02 c) MODEL 03

d) MODEl 04

e) MODEL 05

Gambar 9

Sketsa Profil Rata-Rata

Sinar Masuk Berdasarkan

Ragam Tritisan dan

Orentasi Fasad terhadap

Arah Mata Angin : A)

Model 01, B) Model 02,

C) Model 03, D) Model

04 Dan E) Model 05

Kajian Ketiga :

Bagiamana detail profil intensitas sinar

masuk Kota Semarang pada kondisi

harian dari kelima model pada masing-

masing orientasi fasad ( utara-selatan-

timur dan barat) ?

Tujuan dari kajian ketiga ini adalah

setelah kita ketahui model tritisan yang

tepat untuk masing-masing arah hadap

fasad khususnya di Kota Semarang,

bagaimana solusinya bila rumah kita

„terlanjur‟ menghadap ke arah tertentu ?

karena hal ini berbeda antara saat kita

hendak membeli rumah atau

menentukan arah kapling rumah dengan

saat sekarang kita sudah memiliki rumah

dengan orientasi hadap tertentu.

Dari keempat orientasi ini,

sebagaimana diketahui sebelumnya

bahwa intensitas sinar terjadi dari pk

06.00 hingga 18.00 atau dari saat

matahari terbit hingga terbenam,

kisaran 1% hingga 110% terhadap luas

jendelanya.

Rata-rata intensitas terbesar dari

kelima model didapatkan untuk

orientasi timur (78%) dengan

sebaran sinar masuk terjadi pada

pagi hari selama 6 jam dan orientasi barat (78%) dengan sebaran selama

6 jam terjadi pasca siang hari.

Sedangkan rata-rata terkecil terjadi

pada orientasi utara (7%) dan

selatan (4%). Dimana sebaran kedua

orientasi ini terjadi sepanjang hari

selama 12 jam, dimulai pk 06.00

hingga 18.00.

Aplikasi desain arsitektur pada karakter sinar ini adalah bahwa

bilamana bangunan menginginkan

adanya sinar masuk sepanjang hari

selama 12 jam dengan intensitas

kecil, maka orientasi menghadap

utara ataupun selatan adalah

pilihannya. Begitu pula sebaliknya,

bila hanya menginginkan intensitas

optimal tapi tidak sepanjang hari

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

48

(hanya 6 jam) maka pilihan barat dan

timur menjadi solusinya.

Bagaimana treatment terhadap bangunan kita yang orientasinya

„terlanjur‟ menghadap barat, tidak

menghendaki sinar banyak masuk

pada pasca siang hari, tapi

menghendaki sinar masuk segala

arah dengan intensitas kecil ?

Guna mengetahui secara detail

profil sinar yang masuk dari kelima

model pada arah yang berbeda-beda

dan bagaimana solusi desain

arsitekturnya, kita kaji tiap orientasi

fasadnya.

Fasad rumah menghadap timur :

Pada Gambar 9, menunjukan bahwa

dari kelima model apapun bentuk

tritisan untuk Kota Semarang, karakter

sinar matahari masuk bagi yang

menghadap ke timur terjadi dimulai pk06.00 hingga 12.00 (hanya setengah

hari), dengan profil seberapa intentitas

sebagai berikut :

Kondisi sinar masuk mencapai

maksimal terjadi pada model 01

(bangunan tanpa tritisan), dengan

intensitas rentang 135% hingga

160% terjadi pada pk.06.00 hingga

08.00. dan kisaran selanjunya (pk

09.00 hingga 12.00) besaran

intensitas sinar antara 30% hingga

60%.

Sedangkan kondisi minimalnya pada

pk 06.00 hingga 07.00 terjadi pada

model 6 dan kisaran selanjutnya

berhenti pada pk 11.00 dengan

intensitas kurang dari 1%.

Secara urutan dari intensitas

terbanyak hingga paling minim dari

kelima model yang menghadap

timur ini adalah Model 01, Model 2,

Model 04, Model 03 dan Model 05.

Dua kiat bagi rumah yang „terlanjur‟ menghadap timur : 1) Bilamana

bangunan tidak menghendaki adanya

sinar yang masuk pada pagi hari,

maka dari kelima model, pilihan yang

cocok adalah Model 05, sedangkan

kiat kedua adalah memodifikasi

bentuk dan tata letak tritisan : dilakukan dengan memperpanjang

bidang penghalang, memperlebar

sudut kemiringannya (lebih besar

dari 45 derajat), memposisikan letak

dudukan tritisan ditembok dengan

mendekatkan ke jendela.

Gambar 10 :

Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima

Model pada Fasad Menghadap Timur

Gambar 11

Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima

Model pada Fasad Menghadap Barat

Fasad rumah menghadap barat :

Mengamati Gambar 11, menunjukan

bahwa dari kelima model apapun

bentuk tritisan di Kota Semarang

sepanjang tahunnya (pada lintasan

matahari ekstrim selatan ataupun utara),

karakter sinar matahari masuk dalam

ruangan rumah yang menghadap ke

barat terjadi dimulai pk12.00 hingga

18.00 (sore/terbenamnya matahari),

dengan profil seberapa intentitas

sebagai berikut :

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

49

Kondisi sinar masuk mencapai

maksimal terjadi pada model 01

(bangunan tanpa tritisan), dengan

intensitas rentang 120% hingga

180% terjadi pada pk.16.00 hingga

17.00. dan kisaran selanjunya (pk

12.00 hingga 15.00) besaran

intensitas sinar antara 2% hingga

90%.

Sedangkan kondisi minimalnya pada siang hari terjadi pada model 5 dan

kisaran intensitas antara 110%-

120%.

Secara urutan dari intensitas

terbanyak hingga paling minim dari

kelima model yang menghadap

timur ini adalah Model 01, Model 3,

Model 02, Model 04 dan Model 05.

Dua kiat bagi rumah yang „terlanjur‟ menghadap barat adalah analog

dengan kiat bangunan menghadap

timur.

Mengamati karakter sinar yang

terjadi pada model 01, 02 dan 03

(bangunan dengan model tritisan

minimal/ tren seperti model rumah

minimalis, maka kondisi/pilihan

model tritisan ini tidak

direkomendasikan untuk rumah

menghadap ke barat (bilamana

intensitas sinar hendak dikurangi).

Solusi „diluar‟ treatment bentuk fisik pada rumah „terlanjur‟ minimalis

yang mengahadap barat diantaranya

adalah memberikan korden di

belakang jendela, memberikan tirai

dibagian luar ataupun mengusahakan

penghalangan sinar masuk misalnya

penempatan pepohonan (green

barrier).

Fasad rumah menghadap utara dan

selatan:

Karakter sinar masuk pada

bangunan yang menghadap utara dan

selatan, dapat kita amati Gambar 12 dan

13, dimana dari kelima model apapun

bentuk tritisan di Kota Semarang

sepanjang tahunnya (pada lintasan

matahari ekstrim selatan ataupun utara),

karakter sinar matahari masuk dalam

ruangan rumah yang menghadap ke

utara dan selatan terjadi dimulai

pk.06.00 hingga 18.00 (dari terbit hingga

terbenam selama 12 jam), seberapa

intentitas masuknya, dapat kita lihat

kajian berikut ini.

Gambar 12

Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima

Model pada Fasad Menghadap Utara

Gambar 13

Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima

Model pada Fasad Menghadap Selatan

Untuk fasad menghadap utara :

Kondisi sinar masuk mencapai

maksimal sepanjang hari terjadi pada

model 01 (bangunan tanpa tritisan),

dengan intensitas rentang hanya 8%

hingga 16%., dengan rata-rata tiap

jamnya sekitar 13%

Sedangkan kondisi minimalnya pada siang hari terjadi pada model 3

(model dengan tritisan beton plat

keliling) dengan kisaran intensitas

antara 1%-3%.

Secara urutan dari intensitas

terbanyak hingga paling minim dari

kelima model yang menghadap utara

ini adalah Model 01, Model 04,

Model 05, Model 02 dan Model 03.

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

50

Untuk fasad menghadap selatan :

Kondisi sinar masuk mencapai maksimal sepanjang hari terjadi pada

model 01 (bangunan tanpa tritisan),

dengan intensitas rentang hanya 4%

hingga 9%., dengan rata-rata tiap

jamnya sekitar 7%. Dimana

intensitasnya makin kecil dibanding

fasad menghadap utara.

Sedangkan kondisi minimalnya pada siang hari terjadi pada model 3

(model dengan tritisan beton plat

keliling) dengan kisaran intensitas

tidak lebih dari 2%.

Secara urutan dari intensitas

terbanyak hingga paling minim dari

kelima model yang menghadap utara

ataupun selatan ini adalah Model 01,

Model 04, Model 05, Model 02 dan

Model 03.

Kemiripan dari dua karakter sinar

masuk pada kedua orientasi ini (Utara

dan Selatan), yang patut kita cermati

adalah, bahwa rata-rata terbanyak

intensitas sinar dari kelima bentuk

tritisan untuk Kota Semarang ini terjadi

pada kurun waktu pasca siang hari

hingga matahari terbenam, dengan

selisih hanya sekitar 2% (gambar 14).

Gambar 14

Proporsi Intensitas Antara Pagi dan

Sore pada Fasad Berorientasi

Menghadap Utara dan Selatan

Pada kondisi ke dua arah ini,

bukannya usaha untuk mengantisipasi

masuknya sinar matahari kedalam ruangan, namun bagaimana agar sinar

bisa masuk sehingga penerangan alami/

cahaya sinar matahari dapat optimal

menerangi ruangan, karena intensitanya

hanya berkisar kurang dari 10% (sangat

sedikit, dibanding dengan arah timur

dan barat).

Beberapa kiat bagi rumah yang

„terlanjur‟ menghadap utara dan selatan

adalah:

untuk kondisi di kota semarang,

posisi hadap bangunan kea rah

selatan lebih „redup‟ dibanding posisi

utara. Sehingga pemecahan

menghadirkan sinar masuk untuk

bangunan arah selatan harus lebih

dioptimalkan.

Hindari pemakaian tritisan „konvensional‟, artinya disarankan

menggunakan tritisan „modern‟ atau

berkonsep minimalis yang

menggunakan plat-plat beton,

karena akan semakin menghalangi

intensitas kualitas dan kuantitas

sinar dan cahaya matahari masul

dalam ruangan.

„Konsep‟ refleksi atau pemantulan datangnya sinar sangat diajurkan

untuk diterapkan di seputar jendela.

Perbesar lubang jendela atau pada

tampak arah hadap ini, justru jangan

memperkecil demensi jendela, tapi

justru diperlebar demensi jendela.

Lebih baik pergunakan kaca bening atau hindari penggunaan kaca

rayben/gelap.

Kajian Ke empat : Bagaimana

menghitung profil besaran beban energi

panas yang diakibatkan masing-masing

type tritisan tersebut ?

Tujuan dari kajian keempat ini

adalah pertama, mengetahui sejauh

mana profil intensitas radiasi matahari

Kota Semarang dari tahun ke tahun

dalam kurun 25 tahun ini ?

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

51

Tingkat radiasi matahari global Kota

Semarang naik 150% :

Sebelum mengamati dengan cermat

perubahan data radiasi matahari Kota

Semarang, kita coba memperhatikan

sejenak peningkatan panas radiasi

matahari di 3 (tiga) kota besar di

Indonesia ditahun 1987 dan ditahun

2013 ini. Hasil ini sangatlah

mengejutkanm, bahwa menunjukan

tanda-tanda nyata efek global warming

sangat nyata ditunjukan dengan

perubahan kondisi radiasi sinar matahari

dalam kurun 25 tahun ini.

Sumber :Soegijanto, 1998 dan Prianto & Suyono,

2013

Gambar 15

Profil Radiasi Matahari di Kota

Jakarta, Bandung dan Semarang di

Tahun 1987 dan 2013

Perhatikan Gambar 15. besarnya

intensitas radiasi matahari global rata-

rata selama periode 1984 sampai

dengan periode 1987 di Jakarta adalah

514 Watt/m2, sedangkan untuk kota

Bandung 708 Watt/m2 lebih panas 194

Watt/m2. (Soegijanto, 1998), sedangkan

data Kota Semarang dihitung dalam

simulasi kondisi saat ini didapatkan rata-

rata 636 Watt/m2 atau lebih panas

122Watt/m2 dibandingkan kota Jakarta.

(Prianto & Suyono, 2013). Kini di Kota

Semarang 2013, besarnya intensitas

radiasi matahari global rata-rata 960

Watt/m2. Berarti terjadi peningkatan

yang sangat signifikan, yaitu sebesar

151%.

Bagimana Beban Panas untuk

Rumah Menghadap Barat ?

Pada pembahasan kali ini, kita

mengkaji beban panas dari sinar masuk

yang ekstrim/terbanyak, yaitu pada

model 01 dan model 05 dengan

orientasi kearah barat. Untuk

mengetahu metode perhitungan

matematisnya, dilakukan langkah-

langkah sebagai berikut (lihat gambar

no.16) :

Pertama, kita pilih model tritisan

dan pilih orientasi fasad yang akan

dihitung. Pada bagian ini, kita mengambil contoh fasad

berorientasi ke Barat, karena

kondisi inilah didapatkan rata-rata

intensitas sinar matahari masuk yang

terbesar diatara ketiga oriantasi

fasad lainnya dengan model 01

(bangunan tanpa tritisan)

Kedua, kita tampilkan grafik profil

beban panas radiasi Kota Semarang

tahun 2013 berdasarkan kondisi

global rata-rata tahunan dalam

setiap jam pengukuran (pk.06.00

hingga pk.18.00), hal ini perlu karena

beban panas dalam setiap jamnya

berbeda yanitu mempunyai rentang

antara 155Watt/m2 pada pagi hari

hingga mencapai puncaknya pada

pk12.00 sebesar 1562 Watt/m2

(lihat kembali gambar 1.12).

Ketiga, setelah dilakukan

perhitungan matematis, dengan

menyesuaikan besaran beban energi

panas pada setiap sinar masuk, maka

didapatkan hasil akhir dari beban

panas, yang kemudian dilakukan

analisa.

Rumus yang digunakan :

BE = I x R

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

52

Dimana :

B = Besaran energi dalam ruangan (Watt/m2)

I = Intensitas sinar masuk (%)

R = Besaran energi radiasi matahari (Watt/m2)

Gambar 16

Tahapan Perhitungan Beban Panas Sinar Matahari yang Masuk Melalui Lubang

Jendela untuk Kota Semarang

Analisa perbandingan beban

energi panas penggunaan tritisan

Model 01 (bangunan tanpa tritisan/

minimalis) dengan model 05

(bangunan bertritisan tradisional)

yang berorientasi ke barat

Bangunan dengan arah hadap barat,

berati pada pagi hari hingga siang hari

reratif tidak ada sinar masuk/tidak ada

panas yang masuk melalui jendela.

Intensitas dimulai 20% terjadi pada pk.13.00 dengan beban panas sebasar

1500 Watt/m2 untuk pk.13.00, berarti

beban yang terjadi = 10% x 1562 W/m2

= 302 W/m2. Kondisi makin panas saat

menuju pk14.00 dengan kenaikan panas

mencapai 135%. Hal semacam ini,

bilamana ruangan tidak diimbangi

dengan „pengurangan‟ beban panas

ekstra, maka suasana ruangan ini sangat

terasa tidak nyaman. Kalaupun ruangan

menggunakan Air Conditioner, maka

beban energi pendinginan pemakaian

AC pun akan bekerja ekstra pada

suasana ini.

Beban panas semakin naik hingga

pk.16.00, kemudian mulai mengalami

penurunan mencapai maksimal pada pk.

16.00 ke pk.17.00, yaitu sebesar 74%. (lihat gambar no.17 dan 18)

Penghematan yang terjadi pada saat

ini karena pemakaian tritisan dibanding

bangunan tak bertritisan adalah rata-

rata mencapai 60% (1058 Watt/m2

pada kondisi tanpa tritisan dan 538

watt/m2 pada kondisi dengan tritisan).

Langkah 01

Langkah 02

Langkah 03

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

53

Aplikasi desain arsitektur pada

kondisi semacam ini adalah dapat

dilakukan 2 (dua) cara, yaitu perubahan

bentuk fisik tritisan/pemakaian tritisan

seoptimal mungkin, atau dapat

dikatakan bahwa rumah berdesain

minimalis sangat tidak tepat untuk

bangunan beroriantasi ke barat. Kedua

pemakaian pendinginan aktif, dengan

menggunakan Kipas angin ataupun AC

secara effesien cukup selama 4 jam saja

yaitu mulai pk 13.00 hingga 17.00.

Gambar 17

Profil Beban Panas dalam Ruangan

Karena Sinar Masuk pada Bangunan

Menghadap Barat dengan Tipe

Bangunan Tanpa Tritisan

Gambar 18

Profil Beban Panas dalam Ruangan

pada Pk. 13.00 hingga 17.00 di

Bangunan tanpa Tritisan (Model 01)

dan Bertritisan (Model 05)

Kesimpulan

Untuk Kota Semarang, posisi

bangunan arah selatan akan lebih

redup dibanding dengan arah Utara,

maka pemecahan menghadirkan

sinar masuk harus lebih optimal di

posisi ini dibanding arah utara.

Rumah berkonsep minimalis/ rumah

dengan demensi tritisan minimal di

Kota Semarang, sangat cocok hanya

untuk fasad menghadap utara dan

selatan.

Bangunan menghadap barat sangat disarankan memanfaatkan fungsi

tritisan seoptimal mungkin.

Pemakaian pemakaian tritisan pada

arah ini dibanding dengan bangunan

„minimalis‟ akan mengefisienkan

energi sebesar 60%.

Kiat antisipasi besaran intensitas

panas matahari untuk bangunan

menghadap Barat dan Timur :

Jendela seyogyanya menggunakan

tritisan dengan model seoptimal

mungkin menangkis sinar matahri.

2). Perimbangkan tata letak tritisan,

tritisan makin berfungsi optimal

bilamana posisinya dekat dengan

jendela. 3) memperlebar besaran

sudut miring akan memberikan hasil optimal dibanduing dengan

memperpanjang bentuk plat beton

tritisan.

Sedangkan bberapa kiat bagi rumah

yang fasadnya menghadap Utara dan

Selatan : 1). Pilihan tritisan model

minimalis sangat dianjurkan karena

membuka peluang masuknya sinar

dan cahaya matahari terutama pada

bulan maret, juni dan September

(pada masa ini ruangan dalam tidak

mendapatkan sinar matahari apapun

bentuk tritisannya), 2). Jangan

menerapkan demensi bukaan

dinding/jendela yang kecil/minimalis,

artinya pergunakanlah jendela

berukuran lebar/besar.3) Hindari

pemakaian kaca jenis „rayben‟/redup.

Fenomena efek global warming untuk Kota Semarang dapat

ditunjukan dengan meningkatkan

rata-rata radiasi matahari global

mencapai 150% yang didapat dengan

memperbandingkan kondisi rata-

rata radiasi panas matahari global

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

54

tahunan Kota Semarang 25 tahun

silam (tahun 2013 ke 1987).

Ucapan Terimakasih

Makalah ini merupakan bagian Roadmap

Rumah Tropis Hemat Energi dari

rangkaian penelitian yang dilakukan pada

cluster Eco-Tropical Home di

Laboratorium Teknologi Bangunan

Arsitektur Jurusan Arsitektur Fakultas

Teknik Universitas Diponegoro. Pada

kesempatan ini tak lupa Penulis

mengucapkan pada pihak-pihak

membantu pensimulasian dengan

program SketchUp pada mata kuliah

fisika bangunan periode semester gasal

2013 (tema penerangan alami bangunan

arsitektur)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, N. 2011. ”Optimasi Sistem

Pencahayaan dengan

Memanfaatkan Cahaya Alami

(Studi Kasus Lab Elektronika

Dan Mikroprosesor Untad)”.

Jurnal Ilmiah Foristek Vol.1 No.1

, 43-60.

Brau, J., Miller-Chagas, P., Patrick, D.,

Guyot, A., & Peneau, J.-P. 1989.

Analyse Climatique du Site. Paris:

Formation-Agence Francaise

pour la maitrise de l'energie.

Buchori, L., & Soemardjo, M. 2011.

Buku Ajar Perpindahan Panas.

Semarang: PT Petraya Mitrajaya.

ESDM, P. 2013. Handbook of Energi

Economic Statistic of Indonesia.

Jakarta: PSDATIN ESDM.

Kreith, F., & Prijono, A. 1991. Prinsip-

Prinsip Perpindahan

Panas-edisi ketiga

(terjemahan). Jakarta: Penerbit

Erlangga

Liebard, A., & De Herde, A. (-).

Bioclimatic Fasads.

United Kingdom: Somfy Group.

Lippsmeier, G. 1994. Bangunan Tropis

(terjemahan). Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Mahaputri, H. E. 2010. “Studi Simulasi

Model Penerangan Alami pada

Bangunan Fasilitas Pendidikan

Tinggi dengan Superlite2.0”.

Teknologi dan Kejuruan, vol.33

no.2 , 201-210.

Olgyay, V. 1973. Design With Climate -

Bioclimatic Approach to

Architectural Regionalism. New

Jersey: Princeton University

Press.

Prabawa, G. A., & Prianto, E. 2007. 100

Alternatif Tritisan Beton Hemat

Energi. Semarang: JAFT Undip

(laporan penelitian tidak

dipublikasikan).

Prianto, E. 2005. “Arsitektur Jendela

Respon Gerakan Hemat

Energi”. Jurnal Ilmiah

Nasional Efisiensi & Konservasi

Energi , 1-11.

Prianto, E. 2003. Desain Jendela yang Tanggap Terhadap Tuntutan

Kenyamanan Penghuni. Semarang:

Badan Penerbit Universitas

Diponegoro.

Prianto, E. 2011. “Efek Penggunaan Batu

Alam pada Fasad Rumah Tinggal

terhadap Pemakaian Energi

Listrik. Jurnal Riptek, Vol.3 ,53-

60.

Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56

55

Prianto, E. 2010.” Efek Warna Dinding

Terhadap Pemakaian Energi

Listrik Dalam Rumah

Tangga”.Jurnal Riptek, Vol.4

no.1, 31-35.

Prianto, E. 2007. “Rumah Tropis Hemat

Energi Bentuk Keperdulian

Global Warming”. Jurnal Riptek.

Vol.1, No.1 , 1-10.

Prianto, E. 2013. “Trik Hemat Listrik

pada Skala Rumah Tinggal”.

Buletin Teknologi

Terapan Populer-UPPM- FT

Undip , 14-18.

Prianto, E., & Suyono, B. 2013. Simulasi

Efisiensi Energi Listrik pada

Bangunan Ber-Greenwall di

Semarang. Semarang: JAFT

Undip.

Prokum.ESDM. (2013, Oktober 20).

Indonesia Energi Stastic 2010.

Jakarta.

RI, K. P. “Program KPR FLPP”. Kompas,

19 Nopember 2013.

Santoso, A. J., & Antaryama, I. G. 2010.

Bangunan Tinggi di Daerah Tropis

Lembab. Surabaya: Program

Magister ITS (laporan penelitian

tidak dipublikasikan).

Satwioko, P. 2005. Arsitektur Sadar

Energi. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

Setyowati, E. 2013. Buku Ajar Fisika

Bangunan 2 : Thermal & Acoustic.

Semarang: Badan penerbit

Universitas Diponegoro.

Smith, P. F. 2005. Architecture in a

Climate of Change.

Oxford: Architectural

Press.

Soegijanto. 1998. Bangunan di Indonesia

dengan Iklim Tropis Lembab

Ditinjau dari Aspek Fisika

Bangunan. Jakarta: Dikti

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Soetiaji, S. 1986. Anatomi Utilitas. Jakarta:

Jambatan.

Sukawi. 2008. “Kuliah Online Fisika

Bangunan”. Semarang:

http://www.sukawiblogspot.com.

Szokolay, S. V. 2008. Introduction to

Architectural Science. Oxford:

Architectural Press.

Umum, D. P. 1987. Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan

Sederhana Tidak Susun. Jakarta:

Yayasan Penerbit PU.

YB, M. 1997. Pengantar Fisika Bangunan.

Jakarta: Penerbit Djambatan.

Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi

Untuk Kota Semarang (Eddy Prianto)

56